input,output
" KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 112/KMK.03/2001
TENTANG
PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 ATAS PENGHASILAN
BERUPA UANG PESANGON, UANG TEBUSAN PENSIUN, DAN TUNJANGAN
HARI TUA ATAU JAMINAN HARI TUA
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : bahwa sebagai pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 149 Tahun
2000 tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 Atas Penghasilan
Berupa Uang Pasangon, Uang Tebusan Pensiun, Dan Tunjangan hari
Tua atau Jaminan Hari tua, perlu menetapkan Keputusan Menteri
Keuangan tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas
Penghasilan Berupa Uang Pesangon, Uang Tebusan Pensiun, dan
Tunjangan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua;
Mengingat : 1. Undang-undang Republik Indonesia Nonor 7 Tahun 1983 tentang
Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 60, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3567);
2. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1992 tentang
Dana Pensiun (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992
Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3477);
3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1993
tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1993 Nomor 20,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3520);
4. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 149 Tahun 2000
tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 Atas Penghasilan
Berupa Uang Pesangon, Uang Tebusan Pensiun, Dan Tunjangan
Hari Tua atau Jaminan Hari Tua (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2000 Nomor 266, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4067);
5. Keputusan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia Nomor KEP-
150/Men/2000 tentang Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja
dan Penetapan Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja dan
Ganti Kerugian di Perusahaan;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN TENTANG
PEMOTONG- AN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 ATAS
PENGHASILAN BERUPA UANG PESANGON, UANG
TEBUSAN PENSIUN, DAN TUNJANGAN HARI TUA ATAU
JAMINAN HARI TUA.
Pasal 1
Dalam Keputusan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan :
a. Uang Pesangon adalah penghasilan yang dibayarkan oleh pemberi
kerja kepada karyawan dengan nama dan dalam bentuk apapun
sehubungan dengan berakhirnya masa kerja atau terjadi pemutusan
hubungan kerja, termasuk uang penghargaan masa kerja dan uang
ganti kerugian;
b. Uang Tebusan Pensiun adalah penghasilan yang dibayarkan oleh
dana pensiun yang telah disahkan oleh Menteri Keuangan baik
Dana Pensiun Pemberi Kerja maupun Dana Pemsiun Lembaga
Keuangan, kepada orang pribadi yang berhak menerimanya secara
sekaligus;
c. Tunjang Hari Tua adalah penghasilan yang dibayarkan oleh badan
penyelenggara Tunjangan Hari Tua kepada orang pribadi yang
berhak menerimanya secara sekaligus dalam jangka waktu yang
telah ditentuan;
d. Jaminan Hari Tua adalah pengahasilan yang dibayarkan oleh badan
penyelenggara jaminan Sosial Tenaga Kerja kepada orang pribadi
yang berhak menerimanya secara sekaligus dalam jangka waktu
yang telah ditentukan atau keadaan lain yang ditentukan.
Pasal 2
(1) Atas penghasilan berupa Uang Pesangon, Uang Tebusan Pensiun,
dan Tujuangan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua yang dibayarkan
secara sekaligus dipotong Pajak Penghasilan yang bersifat final
oleh pihak-pihak yang membarkan.
(2) Tarif pemotongan pajak atas penghasilan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) adalah sebagai berikut :
a. penghasilan bruto sampai dengan Rp 25.000.000,00 (dua
puluh lima juta rupiah) dikecualikan dari pemotongan pajak;
b. penghasilan bruto di atas Rp 25.000.000,00 (dua puluh lima juta
rupiah) sampai dengan Rp 50.000.000,00 (lima puluh lima juta
rupiah) sebesar 5% (lima persen);
c. penghasilan bruto di atas Rp 50.000.000,00 (lima puluh lima
juta rupiah) sampai dengan Rp 100.000.000,00 (seratus juta
rupiah) sebesar 10% (sepuluh persen);
d. penghasilan bruto di atas Rp 100.000.000,00 (seratus juta
rupiah) sampai dengan Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah) sebesar 15% (lima belas persen);
e. penghasilan bruto di atas Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah) sebesar 25% (dua puliuh lima belas persen);
Pasal 3
Pada saat Keputusan Menteri Keuangan ini mulai berlaku, Keputusan
Menteri Keuangan Nomor 462/KMK.04/1998 dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 4
Keputusan ini mulai berlaku tanggal 1 Januari 2001.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman
Keputusan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 6 Maret 2001
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK
INDONESIA
PRIJADI PRAPTOSUHARDJO
"," KEP-MEN
112/KMK.03/2001|KEP-MENKEU/2001
PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 ATAS PENGHASILAN BERUPA UANG PESANGON, UANG TEBUSAN PENSIUN, DAN TUNJANGAN HARI TUA ATAU JAMINAN HARI TUA
6 Maret 2001
1 Januari 2001
'462/KMK.04/1998|KEP-MENKEU/1998'
'KEP-150/Men/2000|KEP-MENAKER/2000', '11/UU/1992', '149/PP/2000', '10/UU/1994', '7/UU/1983', '14/PP/1993'
"
" KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : 26/KMK.017/1998
TENTANG
SYARAT DAN TATACARA PELAKSANAAN JAMINAN PEMERINTAH
TERHADAP KEWAJIBAN PEMBAYARAN BANK UMUM
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa dengan ditetapkannya Keputusan Presiden Republik
Indonesia Nomor 26 Tahun 1998, Pemerintah memberikan jaminan
terhadap kewajiban pembayaran Bank Umum ;
b. bahwa berhubung dengan itu dipandang perlu untuk menetapkan
syarat dan tata cara pelaksanaan jaminan Pemerintah atas
kewajiban-kewajiban Bank Umum kepada deposan dan pihak
tertentu lainnya dengan Keputusan Menteri Keuangan ;
Mengingat : 1. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 1998
tentang Jaminan Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Umum ;
2. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1998
tentang Pembentukan Badan Penyehatan Perbankan Nasional ;
MEMUTUSKAN :
Memutuskan : KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
TENTANG SYARAT DAN TATA CARA PELAKSANAAN
JAMINAN PEMERINTAH TERHADAP KEWAJIBAN
PEMBAYARAN BANK UMUM.
Pasal 1
Kewajiban yang dijamin oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam
Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1998 meliputi seluruh kewajiban
pembayaran dari Bank Umum, baik dalam mata uang Rupiah maupun
dalam mata uang asing yang timbul sebelum, pada, atau sesudah hari
pertama dari jangka waktu berlaku dan jatuh tempo pada atau
sebelumhari terakhir dari jangka waktu berlaku, termasuk tetapi tidak
terbatas pada giro, tabungan, deposito berjangka dan deposito on call;
obligasi; surat berharga; pinjaman atar bank; pinjaman yang diterima;
swaps/hedges/futures, derivatives dan kewajiban-kewajiban kontinjen
(off balance sheet) lainnya; seperti bank garansi, standby letters of
credit, performance bonds dan kewajiban-kewajiban yang sejenis selain
yang dikecualikan dalam Keputusan ini.
Pasal 2
Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 adalah bank umum
yang berbentuk badan hukum Indonesia sebagaimana tercantum dalam
Lampiran Keputusan ini.
Pasal 3
(1) Kewajiban yang dijamin selain giro, tabungan, deposito, dan atau
bentuk lainnya dipersamakan dengan itu, harus didaftarkan pada
Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dalam hal :
a. kewajiban dalam mata uang Rupiah dengan jumlah lebih dari
Rp. 10.000.000.000,- (sepuluh milyar rupiah); atau
b. kewajiban dalam mata uang asing dengan jumlah lebih dari
ejuivalen dengan 2.000.000 dollar AS (dua juta dollar AS)
(2) Pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh
kreditur dalam jangka waktu :
a. selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari sejak ditetapkannya
Keputusan ini bagi kewajiban yang telah ada sebelum Keputusan
ini ;
b. selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari sejak timbulnya
kewajiban tersebut setelah ditetapkannya Keputusan ini.
Pasal 4
(1) Pemerintah tidak menjamin pembayaran :
a. modal pinjaman;
b. pinjaman subordinasi;
c. kewajiban-kewajiban yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya
oleh kreditur berdasarkan dokumentasi yang wajar dan lazim
untuk transaksi sejenis;
d. kewajiban kepada direktur, komisaris, orang-orang yang
memiliki secara langsung maupun tidak langsung 10 (sepuluh)
persen atau lebih kepentingan dalam ekuitas Bank Umum, serta
pihak terkait sebagaimana dimaksud dalam peraturan Bank
Indonesia mengenai Batas Maksimum Pemberian Kredit dan atau
orang-orang yang mempunyai kekuasaan untuk turut serta di
dalam atau mengendalikan manajemen Bank Umum;
e. kewajiban-kewajiban yang diperoleh dengan cara yang
bertentangan dengan praktek-praktek perbankan yang sehat atau
kewajiban-kewajiban yang dimiliki oleh kreditur yang tidak
beritikat baik;
f. giro, tabungan, deposito berjangka, dan deposito on call, surat
berharga, sertifikat deposito atau intrumen-instrumen lainnya
yang dikeluarkan sejak ditetapkannya Keputusan ini dengan
syarat dan ketentuan finansial yang tidak wajar dari pasar
instrumen dalam jumlah dan untuk jangka waktu yang setara
pada waktu deposito berjangka, deposito on call atau instrumen
lainnya yang bersangkutan diterbitkan;
g. tagihan berdasarkan jaminan ini tidak dilengkapi dokumen secara
sah dalam waktu 60 (enam puluh) hari setelah hari terakhir
jangka waktu berlaku, kecuali untuk tagihan dari penyimpanan
mengenai simpanan mereka.
(2) Jaminan dapat dibayar apabila kreditur menyetujui bahwa Bank
Umum atau BPPN dapat mengkompensasikan hutangnya dengan
Bank Umum, tanpa mempertimbangkan tanggal jatuh tempo hutang
tersebut.
Pasal 5
Pendaftaran yang dilakukan sesuai ketentuan dalam Pasal 3 atas
kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 tidak mengakibatkan
kewajiban tersebut menjadi kewajiban yang dijamin oleh Pemerintah.
Pasal 6
(1) Pembayaran Jaminan oleh BPPN hanya dapat dilakukan setelah
Bank Umum tidak dapat melaksanakan pembayaran kepada
kreditur.
(2) Pembayaran kewajiban dalam mata uang asing dibayarkan dengan
uang Rupiah berdasarkan nilai tukar pada pada hari pembayaran
yang tercatat di Bank Indonesia pada pukul 10.00 WIB.
(3) Kreditur yang menerima pembayaran harus menyerahkan dokumen
asli dengan disertai perjanjian yang menyatakan pengalihan hak
tagihan kepada BPPN.
Pasal 7
(1) Jaminan berlaku pertama kali untuk jangka waktu 2 (dua) tahun
sejak tanggal 26 Januari 1998 sampai dengan tanggal 31 Januari
2000.
(2) Setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
berakhir, maka jangka waktu berlakunya jaminan dengan sendirinya
diperpanjang untuk jangka waktu 6 (enam) bulan berikutnya kecuali
BPPN dalam waktu sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan sebelum
berakhirnya jangka waktu tersebut menerbitkan pemberitahuan
bahwa BPPN tidak bermaksud untuk memperpanjang jangka
waktunya.
Pasal 8
Bank umum berkewajiban untuk :
a. Memenuhi ketentuan dan pengawasan yang lebih ketat serta
kewenangan yang lebih besar dari BPPN dan Bank Indonesia.
b. Menyampaikan laporan yang diminta oleh BPPN dan Bank
Indonesia.
c. Memberikan kontra jaminan kepada BPPN dalam bentuk surat
hutang dengan tingkat bunga pasar senilai jumlah yang dibayarkan
Pemerintah berdasarkan jaminan.
d. Menyutujui untuk membagikan deviden kepada pemegang saham
selama jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1)
atau selama kewajiban Bank Umum kepada BPPN belum terbayar;
dengan ketentuan, bahwa pembatasan pembayaran deviden ini tidak
akan membatasi Bank Umum untuk membagikan deviden selama
Bank Umum tersebut dapat membuktikan kepada BPPN bahwa
Bank Umum yang bersangkutan telah memenuhi seluruh
persyaratan hukum
dan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
e. Menyatakan bahwa direktur-direktur dan komisaris-komisarisnya
langsung bertanggung jawab atas kelalaian berat dan perbuatan
melanggar hukum yang disengaja dalam menjalankan kegiatan
Bank Umum.
f. Membayar premi setiap 6 (enam) bulan kepada Pemerintah yang
dihitung sebagai persentase, yang akan ditentukan dari waktu ke
waktu, dari jumlah nominal kewajiban yang dijamin oleh
Pemerintah.
g. Melaksanakan hal-hal lain yang dianggap perlu oleh Menteri
keuangan untuk memperlancar pelaksanaan pemberian jaminan
Pemerintah.
Pasal 9
Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman
Keputusan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik
Indonesia.
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 28 Januari 1998
Menteri Keuangan
ttd
Mar'ie Muhammad.
"," KEP-MEN
26/KMK.017/1998|KEP-MENKEU/1998
SYARAT DAN TATACARA PELAKSANAAN JAMINAN PEMERINTAH TERHADAP KEWAJIBAN PEMBAYARAN BANK UMUM
28 Januari 1998
28 Januari 1998
'26/KEPPRES/1998', '27/KEPPRES/1998'
"
" SALINAN
KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL LEMBAGA KEUANGAN
NOMOR : Kep- 2833/LK/2003
TENTANG
PEDOMAN PELAKSANAAN PENERAPAN PRINSIP MENGENAL NASABAH
PADA LEMBAGA KEUANGAN NON BANK
DIREKTUR JENDERAL LEMBAGA KEUANGAN,
Menimbang: a. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 4, Pasal 14, Pasal 17, dan Pasal
21 Keputusan Menteri Keuangan nomor 45/KMK.06/2003 tentang Penerapan
Prinsip Mengenal Nasabah Bagi Lembaga Keuangan Non Bank, diperlukan
pedoman lebih lanjut untuk pelaksanaan penerapan Prinsip Mengenal
Nasabah bagi Lembaga Keuangan Non Bank;
b. bahwa sehubungan dengan pertimbangan pada huruf a di atas perlu ditetapkan
Keputusan Direktur Jenderal Lembaga Keuangan tentang Pedoman Penerapan
Prinsip Mengenal Nasabah Bagi Lembaga Keuangan Non Bank;
Mengingat:
1. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian
(Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 1992, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3467);
2. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun (Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 1992; Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3477);
3. Undang-undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian
Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002;
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4191);
4. Keputusan Presiden Nomor 61 Tahun 1988 tentang Lembaga Pembiayaan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 53 Tahun 1988);
5. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 45/KMK.06/2003 tentang Penerapan
Prinsip Mengenal Nasabah Bagi Lembaga Keuangan Non Bank (Berita
Negara Republik Indonesia Nomor XX Tahun 2003);
6. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 2/KMK.01/2001 tentang Organisasi dan
Tata Kerja Departemen Keuangan sebagaimana telah diubah terakhir dengan
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 316/KMK.01/2002;
Memutuskan …..
- 2 -
Memutuskan:
Menetapkan : KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL LEMBAGA KEUANGAN TENTANG
PEDOMAN PELAKSANAAN PRINSIP MENGENAL NASABAH PADA
LEMBAGA KEUANGAN NON BANK
Pasal 1
Pedoman Pelaksanaan Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) Keputusan Menteri Keuangan tentang Penerapan
Prinsip Mengenal Nasabah Bagi Lembaga Keuangan Non Bank wajib disusun
sesuai dengan keadaan, struktur organisasi dan jenis usaha masing-masing
Lembaga Keuangan Non Bank.
Pasal 2
(1) Pedoman Pelaksanaan Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 sekurang-kurangnya mencakup uraian tentang:
a. unit kerja khusus atau petugas khusus yang bertanggung jawab atas
pelaksanaan penerapan Prinsip Mengenal Nasabah;
b. tugas direksi, dewan komisaris atau yang setara dengan itu, dan unit
kerja khusus atau petugas khusus sebagaimana dimaksud dalam huruf a,
dalam pelaksanaan penerapan Prinsip Mengenal Nasabah;
c. kebijakan penerimaan dan identifikasi nasabah, kebijakan pemantauan
dan pelaporan transaksi yang mencurigakan, dan kebijakan manajemen
risiko serta kebijakan bermitra bisnis, apabila ada;
d. prosedur penerimaan dan identifikasi nasabah serta prosedur
pemantauan dan pelaporan transaksi yang mencurigakan;
e. kebijakan pelatihan penerapan Prinsip Mengenal Nasabah bagi pegawai;
dan
f. contoh-contoh bentuk transaksi yang mencurigakan.
(2) Pedoman Pelaksanaan Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) disusun dalam satu pedoman yang berdiri sendiri
atau menjadi bagian dari satu atau lebih pedoman operasional lain yang
mengatur transaksi dengan nasabah.
(3) Petunjuk Penyusunan Pedoman Pelaksanaan Penerapan Prinsip Mengenal
Nasabah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disajikan dalam Lampiran I
dari Keputusan ini.
Pasal 3 …..
- 3 -
Pasal 3
(1) Dalam hal Pedoman Pelaksanaan Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 disusun dalam satu pedoman yang
berdiri sendiri, maka yang wajib disampaikan kepada Menteri Keuangan
adalah pedoman tersebut.
(2) Dalam hal Pedoman Pelaksanaan Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 merupakan bagian dari satu atau lebih
pedoman operasional lain yang mengatur transaksi dengan nasabah, maka
yang wajib disampaikan kepada Menteri Keuangan adalah:
a. pokok-pokok atau daftar isi secara keseluruhan dari tiap-tiap pedoman
operasional yang terkait; dan
b. bagian dari tiap-tiap pedoman operasional tersebut yang mengatur
tentang Prinsip Mengenal Nasabah.
Pasal 4
(1) Contoh-contoh bentuk transaksi yang mencurigakan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14 Keputusan Menteri Keuangan tentang Penerapan Prinsip
Mengenal Nasabah Bagi Lembaga Keuangan Non Bank disajikan dalam
Lampiran II dari Keputusan ini.
(2) Dalam hal Lembaga Keuangan Non Bank mengidentifikasi transaksi lain
yang menurut pertimbangannya patut dipandang sebagai transaksi yang
mencurigakan tetapi transaksi tersebut belum tercantum dalam Lampiran II
dari Keputusan ini, Lembaga Keuangan Non Bank tersebut wajib
memperlakukan transaksi tersebut sebagai transaksi yang mencurigakan dan
wajib melaporkannya kepada Menteri Keuangan.
(3) Lembaga Keuangan Non Bank wajib melakukan pengkinian atas contoh-
contoh bentuk transaksi yang mencurigakan dalam Pedoman Pelaksanaan
Penerapan Prinsip Mengenal Nasabahnya, termasuk menambahkan bentuk
transaksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
(4) Unit kerja khusus atau petugas khusus yang bertanggung jawab atas
pelaksanaan penerapan Prinsip Mengenal Nasabah wajib mendistribusikan
contoh-contoh bentuk transaksi yang mencurigakan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dan hasil pengkiniannya sebagaimana dimaksud dalam ayat
(3) kepada pemegang saham, dewan komisaris atau yang setara dengan itu,
pegawai dan karyawan Lembaga Keuangan Non Bank yang bersangkutan.
(5) Unit …..
- 4 -
(5) Unit kerja khusus atau petugas khusus yang bertanggung jawab atas
pelaksanaan penerapan Prinsip Mengenal Nasabah wajib memberikan
pemahaman mengenai bentuk transaksi yang mencurigakan kepada
pemegang saham, pendiri dan mitra pendiri, dewan komisaris atau yang
setara dengan itu, pegawai dan karyawan Lembaga Keuangan Non Bank
yang bersangkutan.
Pasal 5
(1) Pembentukan unit kerja khusus atau penunjukan petugas khusus yang
bertanggung jawab atas pelaksanaan penerapan Prinsip Mengenal Nasabah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 Keputusan Menteri Keuangan
tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah Bagi Lembaga Keuangan
Non Bank ditetapkan oleh rapat umum pemegang saham atau yang setara
dengan itu.
(2) Dalam hal penetapan pembentukan unit kerja khusus atau penunjukan
petugas khusus yang bertanggung jawab atas pelaksanaan penerapan Prinsip
Mengenal Nasabah oleh rapat umum pemegang saham atau yang setara
dengan itu belum dapat dilakukan, pembentukan unit kerja khusus atau
penunjukan petugas khusus tersebut ditetapkan dengan pernyataan tertulis
dari direksi atau pengurus.
(3) Pernyataan tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus mendapat
persetujuan rapat umum pemegang saham atau yang setara dengan itu
dalam kesempatan pertama mereka dalam mengambil keputusan.
(4) Penetapan pembentukan unit kerja khusus atau penunjukan petugas khusus
yang bertanggung jawab atas pelaksanaan penerapan Prinsip Mengenal
Nasabah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) serta
persetujuan rapat umum pemegang saham atau yang setara dengan itu
sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) wajib disampaikan kepada Menteri
Keuangan.
Pasal 6
(1) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 Keputusan
Menteri Keuangan tentang penerapan Prinsip Mengenal Nasabah Bagi
Lembaga Keuangan Non Bank dapat berupa:
a. Sanksi Peringatan;
b. Pembatasan/Pembekuan Kegiatan Usaha;
c. Pencabutan Izin Usaha; atau
d. Penggantian pengurus/pelaksana tugas pengurus.
(2) Jenis
- 5 -
(2) Jenis sanksi administratif yang dikenakan serta prosedur dan jangka waktu
pengenaan setiap jenis sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) disesuaikan dengan jenis Lembaga Keuangan Non Bank dan jenis
pelanggarannya.
Pasal 7
Keputusan Direktur Jenderal Lembaga Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal
ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 12 Mei 2003
Direktur Jenderal Lembaga Keuangan,
ttd
Darmin Nasution
NIP 130605098
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Bagian Umum
Ttd.
Prasetyo Wahyu Adi S
NIP 060076008
"," KEPDIR-LK
KEP-2833/LK/2003|KEPDIR-LK/2003
PEDOMAN PELAKSANAAN PENERAPAN PRINSIP MENGENAL NASABAH PADA LEMBAGA KEUANGAN NON BANK
12 Mei 2003
12 Mei 2003
'2/UU/1992', '2/KMK.01/2001|KEP-MENKEU/2001', '316/KMK.01/2002|KEP-MENKEU/2002', '45/KMK.06/2003|KEP-MENKEU/2003', '61/KEPPRES/1988', '11/UU/1992', '15/UU/2002'
'Pasal 6'
"
" KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR: 61 TAHUN 1988
TENTANG
LEMBAGA PEMBIAYAAN
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka menunjang pertumbuhan ekonomi maka
sarana penyediaan dana yang dibutuhkan masyarakat perlu
lebih diperluas sehingga peranannya sebagai sumber dana
pembangunan makin meningkat;
b. bahwa untuk maksud tersebut peranan Lembaga Pembiayaan
sebagai salah satu sumber pembiayaan pembangunan perlu
lebih ditingkatkan;
c. bahwa berhubung dengan itu, dipandang perlu untuk mene-
tapkan
ketentuan tentang
Keputusan Presiden;
Menimbang : 1. Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 17 Undang-Undang Dasar 1945;
2.
3.
Lembaga Pembiayaan
dalam
Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Staatsblad 1847Nomor
23);
Kitab Undang-undang Hukum Dagang (Staatsblad 1347
Nomor 23) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir
dengan. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1971 (Lembaran
Negara Tabun 1971 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 2959);
4. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok
Perkoperasian (Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 23,
Tambahan Lembaga Negara Nomor 2832);
5. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok
Perbankan (Lembaran Negara
Tahun 1167 Nomor
Tambahan Lembaran Negara Nomor 2842);
MEMUTUSKAN:
Dengan mencabut Keputusan Presiden Nomor 39 Tahun 1988
tentang Lembaga Pembiayaan.
- 1 -
34,
Menetapkan : KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA TENTANG
LEMBAGA PEMBIAYAAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Keputusan Presiden ini yang dimaksud dengan :
1. Menteri adalah Menteri Keuangan;
2. Lembaga Pembiayaan adalah badan usaha yang melakukan
kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana atau
barang modal dengan tidak menarik dana secara langsung
dari masyarakat;
3. Bank adalah Bank Umum, Bank Tabungan dan Bank pemba-
ngunan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang
Nomor 14 Tahun 1967 tentang Perbankan;
4. Lembaga Keuangan Bukan Bank adalah badan usaha yang
melakukan kegiatan di
bidang keuangan yang secara
langsung atau tidak langsung menghimpun dana dengan jalan
mengeluarkan surat berharga dan menyalurkannya ke dalam
masyarakat guna membiayai investasi perusahaan-
perusahaan;
5. Perusahaan Pembiayaan adalah badan usaha di
luar Bank
dan Lembaga Keuangan Bukan Bank yang khusus didirikan
untuk melakukan kegiatan yang termasuk dalam bidang usaha
Lembaga Pembiayaan;
6. Perusahaan Pembiayaan Konsumen (Consumers Finance
Company) adalah badan usaha yang melakukan pembiayaan
pengadaan barang untuk kebutuhan konsumen dengan sistem
pembayaran angsuran atau berkala;
7. Perusahaan Kartu Kredit (Credit Card Company) adalah
badan usaha yang melakukan usaha pembiayaan untuk
membeli barang dan jasa dengan menggunakan kartu kredit;
8. Perusahaan Anjak piutang (Factoring Company) adalah badan
usaha yang melakukan usaha pembiayaan dalam bantuk
pembelian dan/atau pengalihan serta pengurusan piutang atau
tagihan jangka pendek suatu perusahaan dari transaksi per-
dagangan dalam atau luar negeri;
- 2 -
9. Perusahaan Sewa Guna Usaha (Leasing Company) adalah
badan usaha yang melakukan usaha pembiayaan dalam
bentuk penyediaan barang modal baik secara ""Finance Lease""
maupun ""Operating Lease"" untuk digunakan oleh Penyewa
Guna Usaha selama jangka waktu tertentu berdasarkan
pembayaran secara berkala.
10. Perusahaan Perdagangan
11. Perusahaan Modal
Surat Berharga (Securities
Company) adalah badan usaha yang melakukan usaha
pembiayaan dalam bentuk perdagangan surat berharga;
Ventura (Venture Capital Company)
adalah badan usaha yang melakukan usaha pembiayaan
dalam bentuk penyertaan modal ke dalam suatu Perusahaan
yang menerima bantuan pembiayaan (investee Company)
untuk jangka waktu tertentu;.
12. Surat Sanggup Bayar (Promissory Note) adalah surat pernya-
taan kesanggupan tanpa syarat untuk membayar sejumlah
uang tertentu kepada pihak yang tercantum dalam surat
tersebut atau kepada penggantinya.
BAB II
BIDANG USAHA DAN
PENDIRIAN LEMBAGA PEMBIAYAAN
Pasal 2
(1) Lembaga pembiayaan melakukan kegiatan yang meliputi
antara lain bidang usaha :
a. Sewa Guna Usaha;
b. Modal Ventura;
c. Perdagangan Surat Berharga;
d. Anjak Piutang;
e. Usaha Kartu Kredit;
f. Pembiayaan Konsumen.
(2) Ketentuan lebih lanjut tentang persyaratan dan tata cara
pendirian perusahaan, serta kegiatan dalam bidang-bidang
usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih
lanjut oleh Menteri.
- 3 -
Pasal 3
(1) Kegiatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1)
dapat dilakukan oleh :
a. Bank;
b. Lembaga Keuangan Bukan Bank;
c. Perusahaan Pembiayaan.
(2) Perusahaan Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) huruf c berbentuk Perseroan Terbatas atau Koperasi.
(3) Saham Perusahaan Pembiayaan yang berbentuk Perseroan
Terbatas dapat dimiliki oleh :
a. Warga Negara Indonesia dan/atau Badan Hukum
Indonesia;
b. Badan Usaha Asing dan Warga Negara Indonesia atau
Badan Hukum Indonesia (usaha patungan).
(4) Pemilikan saham oleh Badan Usaha Asing sebagaimana
dimaksud
besarnya 85% (delapan puluh lima persen) dari Modal
Disetor.
Pasal 4
(1) Perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1)
dapat melakukan satu atau lebih kegiatan Usaha Lembaga
Pembiayaan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelenggaraan
kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur oleh
Menteri.
BAB III
PEMBATASAN
Pasal 5
(1) Perusahaan Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (1) huruf c dilarang menarik dana secara
langsung dari masyarakat dalam bentuk:
a. Giro;
b. Deposito;
c. Tabungan;
d. Surat Sanggup Bayar (Promissory Note).
- 4 -
dalam ayat (3) huruf b ditentukan sebesar-
(2) Perusahaan Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (1) huruf c dapat menerbitkan Surat Sanggup
Bayar hanya sebagai jaminan atas hutang kepada Bank
yang menjadi krediturnya.
BAB IV
PENGAWASAN
Pasal 6
Menteri melakukan pengawasan dan pembinaan atas usaha Per-
usahaan Pembiayaan.
BAB V
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 7
Dengan ditetapkannnya Keputusan Presiden ini, Bank, Lembaga
Keuangan Bukan Bank, dan Perusahaan Pembiayaan yang telah
memperoleh izin usaha dari Menteri atau telah melaksanakan
kegiatan
usaha
pembiayaan
BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 8
Dengan ditetapkannya Keputusan presiden ini, segala peraturan
mengenai Sawa Guna Usaha yang telah ada, dinyatakan tidak
berlaku.
Pasal 9
Keputusan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar setiap orang
pengundangan
Keputusan Presiden
mengetahuinya, memerintahkan
ini
tetap dapat
melanjutkan
kegiatannya dengan mengadakan penyesuaian terhadap
ketentuan yang ditetapkan oleh Menteri.
dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
- 5 -
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 20 Desember 1988
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd
S0EHART0
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1988
NOMOR 53
- 6 -
"," KEPPRES
61/KEPPRES/1988
LEMBAGA PEMBIAYAAN
20 Desember 1988
20 Desember 1988
20 Desember 1988
'39/KEPPRES/1988'
'4/UU/1971', '12/UU/1967', '14/UU/1967', '23/STBLD/1847', 'KUH Dagang', 'KUH Perdata', 'UUD 1945 | Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 17'
"
" Peraturan Nomor IX.I.3
KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
NOMOR KEP-62/PM/1996
TENTANG
PENERBITAN FOREIGN DEPOSITARY RECEIPTS
KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL,
Menimbang
:
bahwa dengan berlakunya Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang
Pasar Modal, dipandang perlu untuk mengubah Surat Ketua Bapepam
Nomor S-17/PM/1992 tentang Penerbitan Foreign Depositary Receipts
dengan menetapkan Keputusan Ketua Bapepam yang baru;
Mengingat
:
1. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal
(Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3608);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1995 tentang
Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal (Lembaran
Negara Tahun 1995 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3617);
3. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 322/M Tahun 1995;
M E M U T U S K A N:
Menetapkan
: KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL TENTANG
PENERBITAN FOREIGN DEPOSITARY RECEIPTS.
Pasal 1
Ketentuan mengenai Penerbitan Foreign Depositary Receipts diatur dalam Peraturan Nomor
IX.I.3 sebagaimana dimuat dalam Lampiran Keputusan ini.
Pasal 2
Dengan ditetapkannya Keputusan ini, maka Surat Ketua Bapepam Nomor S-17/PM/1992 tanggal
7 Januari 1992 dinyatakan tidak berlaku lagi
IV-1
Peraturan Nomor IX.I.3
Pasal 3
Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di
:
Jakarta
pada tanggal : 17 Januari 1996
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
Ketua,
I PUTU GEDE ARY SUTA
NIP. 060065493
IV-2
Peraturan Nomor IX.I.3
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal
Nomor : Kep-62/PM/1996
Tanggal : 17 Januari 1996
PERATURAN NOMOR IX.I.3
1.
: PENERBITAN FOREIGN DEPOSITARY RECEIPTS
Memperhatikan perkembangan Bursa Efek dan untuk melindungi kepentingan pemodal dalam
negeri, maka seluruh Emiten dan atau Perusahaan Publik yang merencanakan untuk
menerbitkan Foreign Depositary Receipts, seperti American Depositary Receipts (ADRs),
Singapore Depositary Receipts (SDRs), dan Global Depositary Receipts (GDRs) wajib
terlebih dahulu melaporkan rencananya kepada Bapepam.
2. Laporan yang disampaikan hendaknya mengandung informasi lengkap terutama berkenaan
dengan keterlibatan Emiten dan atau Perusahaan Publik serta persyaratan lainnya yang
diperlukan dalam penerbitan Foreign Depositary Receipts tersebut.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 17 Januari 1996
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
Ketua,
I PUTU GEDE ARY SUTA
NIP. 060065493
IV-3
"," KEPTA-BAPEPAM
KEP-62/PM/1996|KEPTA-BAPEPAM/1996
PENERBITAN FOREIGN DEPOSITARY RECEIPTS
17 Januari 1996
17 Januari 1996
'S-17/PM/1992|SRTTA-BAPEPAM/1992'
'8/UU/1995', '45/PP/1995', '322/M|KEPPRES/1995'
"
" DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
SALINAN
KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN
NOMOR: KEP-430 /BL/2007
TENTANG
PERNYATAAN PENDAFTARAN DALAM RANGKA PENAWARAN UMUM
REKSA DANA BERBENTUK KONTRAK INVESTASI KOLEKTIF
KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN,
Menimbang : bahwa dalam rangka peningkatan efisiensi Pernyataan
Pendaftaran serta penyelarasan dengan perkembangan produk
Reksa Dana, dipandang perlu untuk mengubah Peraturan
Nomor IX.C.5 tentang Pernyataan Pendaftaran Dalam Rangka
Penawaran Umum Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi
Kolektif, Lampiran Keputusan Ketua Bapepam Nomor: Kep-
10/PM/1997 tanggal 30 April 1997 dengan menetapkan
Keputusan Ketua Bapepam dan LK yang baru;
Mengingat :
1. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal
(Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3608);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1995 tentang
Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal (Lembaran
Negara Tahun 1995 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3617) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 12 Tahun 2004 (Lembaran Negara Tahun
2004 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4372);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 1995 tentang Tata
Cara Pemeriksaan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara
Tahun 1995 Nomor 87, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3618);
4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 45/M Tahun
2006;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan
: KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN TENTANG PERNYATAAN
PENDAFTARAN DALAM RANGKA PENAWARAN UMUM
REKSA DANA BERBENTUK KONTRAK INVESTASI
KOLEKTIF.
Pasal 1
Ketentuan mengenai Pernyataan Pendaftaran Dalam Rangka
Penawaran Umum Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi
Kolektif diatur dalam Peraturan Nomor IX.C.5 sebagaimana
dimuat dalam Lampiran Keputusan ini.
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
- 2 -
Pasal 2
Dengan ditetapkannya Keputusan ini, maka Peraturan Nomor
IX.C.5 tentang Pernyataan Pendaftaran Dalam Rangka
Penawaran Umum Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi
Kolektif, Lampiran Keputusan Ketua Bapepam Nomor: Kep-
10/PM/1997 tanggal 30 April 1997 dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 3
Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengumuman Keputusan ini dengan penempatannya dalam
Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 19 Desember 2007
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
dan Lembaga Keuangan
ttd.
A. Fuad Rahmany
NIP 060063058
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Bagian Umum
Prasetyo Wahyu Adi Suryo
NIP 060076008
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-430/BL/2007
Tanggal : 19 Desember 2007
PERATURAN NOMOR IX.C.5 : PERNYATAAN PENDAFTARAN DALAM
RANGKA PENAWARAN UMUM REKSA
DANA
BERBENTUK KONTRAK
INVESTASI KOLEKTIF
1.
Pernyataan Pendaftaran dalam rangka Penawaran Umum Reksa Dana
berbentuk Kontrak Investasi Kolektif diajukan oleh Manajer Investasi
dengan cara sebagai berikut:
a. menyampaikan Pernyataan Pendaftaran dengan mengisi Formulir
Nomor IX.C.5-1 lampiran 1 peraturan ini;
b. Pernyataan Pendaftaran diajukan dalam rangkap 2 (dua);
c. menyertakan dokumen Perjanjian Agen Penjual Efek Reksa Dana (jika
ada);
d. menyampaikan rencana pemasaran dan operasional Reksa Dana;
e. menyampaikan kontrak dengan Sponsor bagi Reksa Dana berbentuk
Kontrak Investasi Kolektif yang Unit Penyertaannya diperdagangkan
di Bursa Efek jika dalam penciptaan Unit Penyertaan Reksa Dana
dimaksud melibatkan Sponsor;
f. menyampaikan perjanjian antara Manajer Investasi dengan Dealer
Partisipan bagi Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang
Unit Penyertaannya diperdagangkan di Bursa Efek;
g. menyampaikan dokumen perjanjian pendahuluan pencatatan antara
Manajer Investasi dengan Bursa Efek jika Unit Penyertaan Reksa Dana
berbentuk Kontrak Investasi Kolektif diperdagangkan di Bursa Efek;
dan
h. menyampaikan dokumen perjanjian penyimpanan Unit Penyertaan
dalam penitipan kolektif antara Manajer Investasi dengan Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian jika Unit Penyertaan Reksa Dana
berbentuk Kontrak Investasi Kolektif diperdagangkan di Bursa Efek.
2.
Dalam hal Pernyataan Pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam angka 1
huruf a peraturan ini tidak memenuhi syarat atau memenuhi syarat,
Bapepam dan LK memberikan surat pemberitahuan kepada pemohon yang
menyatakan bahwa:
a. Pernyataan Pendaftaran tidak lengkap dengan menggunakan Formulir
Nomor IX.C.5-2 lampiran 2 peraturan ini.
b. Pernyataan Pendaftaran dinyatakan efektif oleh Bapepam dan LK
menggunakan Formulir Nomor IX.C.5-3 lampiran 3 peraturan ini.
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-430/BL/2007
Tanggal : 19 Desember 2007
- 2 -
3.
Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang Pasar Modal,
Bapepam dan LK dapat mengenakan sanksi terhadap setiap pelanggaran
ketentuan peraturan ini, termasuk Pihak yang menyebabkan terjadinya
pelanggaran tersebut.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 19 Desember 2007
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
Dan Lembaga Keuangan
ttd.
A. Fuad Rahmany
NIP 060063058
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Bagian Umum
Prasetyo Wahyu Adi Suryo
NIP 060076008
LAMPIRAN
:
Peraturan Nomor :
1
IX.C.5
FORMULIR NOMOR: IX.C.5-1
Nomor
:
Lampiran :
Perihal
: Pernyataan
Pendaftaran
Dalam Rangka
Penawaran Umum Reksa
Dana Berbentuk Kontrak
Investasi
.................
Bersama ini
kami mengajukan Pernyataan Pendaftaran dalam
rangka Penawaran Umum sejumlah ................. Unit Penyertaan dengan
nilai per Unit Penyertaan Rp/US Dollar/Euro ..........................
Para Pihak yang terlibat dalam Pernyataan Pendaftaran Dalam
Rangka Penawaran Umum Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi
Kolektif yaitu :
I.
Manajer Investasi
1. Nama
2. Alamat
3. Nomor dan tanggal akta
pendirian berikut
perubahan anggaran dasar : ...............................................
4. Nomor dan tanggal
pengesahan / persetujuan /
pemberitahuan Menteri
Hukum dan HAM RI
5. Nomor dan tanggal
pengumuman dalam Berita
Negara Indonesia
6. Nomor dan tanggal izin
usaha dari Bapepam
7. Nomor Pokok Wajib Pajak
perusahaan
: ...............................................
: ...............................................
: ...............................................
Yth.
Kolektif
............., ………...............20....
KEPADA
Ketua Bapepam dan LK
di -
Jakarta
: ...............................................
: ...............................................
: ...............................................
8. Anggota direksi dan dewan komisaris:
Nama Kewarganegaraan Alamat
a.
b.
c.
d.
e.
II. Bank Kustodian
1. Nama
2. Alamat
3. Nomor dan tanggal akta
pendirian berikut perubahan
: ...............................................
: ...............................................
Jabatan
anggaran dasar
: ...............................................
4. Nomor dan tanggal
pengesahan / persetujuan /
pemberitahuan Menteri
Hukum dan HAM RI
5. Nomor dan tanggal
pengumuman dalam Berita
Negara Indonesia
6. Nomor dan tanggal
persetujuan dari Bapepam
dan LK
7. Nomor Pokok Wajib Pajak
perusahaan
a.
b.
c.
d.
e.
III. Notaris
1. Nama
2. Alamat
3. Nomor Pokok Wajib Pajak
4. Nomor pendaftaran di
Bapepam
IV. Konsultan Hukum
1. Nama
2. Alamat
3. Nomor Pokok Wajib Pajak
4. Nomor pendaftaran di
Bapepam
:
...............................................
:
...............................................
:
...............................................
:
...............................................
:
...............................................
:
...............................................
:
...............................................
:
...............................................
V. Daftar dokumen yang dilampirkan:
1. Prospektus (diberi materai dan ditandatangani para
Pihak);
2. Kontrak Investasi Kolektif (ditandatangani oleh Notaris)
3. Salinan dokumen Perjanjian Agen Penjual Efek Reksa
Dana (jika ada);
4. Rencana pemasaran dan operasional Reksa Dana;
5. Kontrak dengan Sponsor bagi Reksa Dana berbentuk
Kontrak Investasi Kolektif yang Unit Penyertaannya
diperdagangkan di Bursa Efek jika dalam penciptaan Unit
Penyertaan Reksa Dana dimaksud melibatkan Sponsor;
: ...............................................
: ...............................................
: ...............................................
: ...............................................
8. Anggota direksi dan dewan komisaris :
Nama Kewarganegaraan Alamat
Jabatan
6. Perjanjian antara Manajer Investasi dengan Dealer
Partisipan bagi Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi
Kolektif yang Unit Penyertaannya diperdagangkan di
Bursa Efek;
7. Perjanjian pendahuluan pencatatan antara Manajer
Investasi dengan Bursa Efek jika Unit Penyertaan Reksa
Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif
diperdagangkan di Bursa Efek; dan
8. Perjanjian penyimpanan Unit Penyertaan dalam
penitipan kolektif antara Manajer Investasi dengan
Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian jika Unit
Penyertaan Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi
Kolektif diperdagangkan di Bursa Efek.
PERNYATAAN ATAU KETERANGAN YANG DIMUAT DALAM
PERNYATAAN PENDAFTARAN ADALAH BENAR DAN TIDAK
ADA FAKTA MATERIAL YANG TIDAK DIMUAT DALAM
PERNYATAAN PENDAFTARAN YANG DIPERLUKAN AGAR
PERNYATAAN PENDAFTARAN TIDAK MENYESATKAN.
MANAJER INVESTASI,
Materai
............................................
Nama lengkap
LAMPIRAN
FORMULIR NOMOR: IX.C.5-2
:
Peraturan Nomor :
2
IX.C.5
Nomor
: S- /BL/20...
Jakarta, ..............20....
Lampiran : ---
Perihal
: Perubahan dan atau Tambahan Informasi Atas
Pernyataan Pendaftaran Dalam Rangka
Penawaran Umum Reksa Dana .........................
Yth. ..........................................................
Di .........................
Menunjuk surat Saudara Nomor : ................. tanggal .................................... perihal
Dalam Rangka Penawaran Umum Reksa
..................................., dengan ini diberitahukan bahwa setelah diadakan penelaahan atas
Pernyataan Pendaftaran
Dana................................................., maka Saudara diminta untuk menyampaikan
perubahan dan atau tambahan informasi yang bersangkutan kepada Bapepam dan LK
sebagai berikut:
1. Perubahan yang perlu dilaksanakan adalah:
a. .........................................................................................................
b. .........................................................................................................
2. Tambahan informasi yang wajib disampaikan adalah:
a. .........................................................................................................
b. .........................................................................................................
Sebelum hal-hal di atas dipenuhi, Pernyataan Pendaftaran Saudara belum dapat
dinyatakan menjadi efektif
Demikian agar Saudara maklum.
Ketua,
............................................
NIP. ..................................
Tembusan:
1. Sekretaris Badan; dan
2. Kepala Biro Pengelolaan Investasi.
LAMPIRAN
FORMULIR NOMOR: IX.C.5-3
:
Peraturan Nomor :
3
IX.C.5
Nomor
: S- /BL/20...
Jakarta, ..............20....
Lampiran : ---
Perihal
: Pemberitahuan Efektifnya Pernyataan Pendaftaran
Yth. ..........................................................
Di .........................
Sehubungan dengan Pernyataan Pendaftaran Saudara Nomor ......................,
tanggal ................... serta revisi kelengkapan dokumen yang telah disampaikan dengan
surat Nomor ..................., tanggal ......................, dan setelah dilakukan penelaahan lebih
lanjut, kami tidak memerlukan informasi tambahan dan tidak mempunyai tanggapan
lebih lanjut dan Pernyataan Pendaftaran tersebut menjadi efektif.
Pernyataan efektif ini bukan merupakan persetujuan Bapepam dan LK atas
kecukupan atau kebenaran keterangan yang tercantum dalam Pernyataan Pendaftaran
atau dokumen lampirannya atau menyetujui, mengesahkan atau meneliti keunggulan
investasi pada perusahaan atau Efek yang diajukan dalam Pernyataan Pendaftaran
tersebut di atas.
Ketua,
............................................
NIP. ..................................
Tembusan:
1. Sekretaris Badan; dan
2. Kepala Biro Pengelolaan Investasi.
"," KEPTA-BAPEPAM
KEP-430/BL/2007|KEPTA-BAPEPAM/2007
PERNYATAAN PENDAFTARAN DALAM RANGKA PENAWARAN UMUM REKSA DANA BERBENTUK KONTRAK INVESTASI KOLEKTIF
19 Desember 2007
19 Desember 2007
'KEP-10/PM/1997|KEPTA-BAPEPAM/1997 | Lampiran Peraturan Nomor IX.C.5'
'8/UU/1995', '45/PP/1995', '12/PP/2004', '46/PP/1995', '45/M|Keppres/2006'
"
" Peraturan Nomor IX.B.1
KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
NOMOR KEP-49/PM/1996
TENTANG
PEDOMAN MENGENAI BENTUK DAN ISI
PERNYATAAN PENDAFTARAN PERUSAHAAN PUBLIK
KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL,
Menimbang
: bahwa dengan berlakunya Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang
Pasar Modal, dipandang perlu untuk mengubah Keputusan Ketua Bapepam
Nomor Kep-20/PM/1991 tentang Pedoman Mengenai Bentuk dan Isi Pernyataan
Pendaftaran Perusahaan Publik dengan menetapkan Keputusan Ketua
Bapepam yang baru;
Mengingat
: 1. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran
Negara Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3608);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan
Kegiatan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor
86, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3617);
3. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 322/M Tahun 1995;
M E M U T U S K A N :
Menetapkan
: KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL TENTANG
PEDOMAN MENGENAI BENTUK DAN ISI PERNYATAAN PENDAFTARAN
PERUSAHAAN PUBLIK.
Pasal 1
Ketentuan mengenai Pedoman Mengenai Bentuk dan Isi Pernyataan Pendaftaran Perusahaan
Publik diatur dalam Peraturan Nomor IX.B.1 sebagaimana dimuat dalam Lampiran Keputusan ini.
Pasal 2
Dengan ditetapkannya Keputusan ini, maka Keputusan Ketua Bapepam Nomor Kep-20/PM/1991
tanggal 19 April 1991 dinyatakan tidak berlaku lagi.
IV-1
Peraturan Nomor IX.B.1
Pasal 3
Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 17 Januari 1996
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
Ketua,
I PUTU GEDE ARY SUTA
NIP. 060065493
IV-2
Peraturan Nomor IX.B.1
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal
Nomor : Kep-49/PM/1996
Tanggal : 17 Januari 1996
PERATURAN NOMOR IX.B.1 : PEDOMAN MENGENAI BENTUK DAN ISI PERNYATAAN
PENDAFTARAN PERUSAHAAN PUBLIK
Suatu Pernyataan Pendaftaran harus mencakup semua informasi dan atau fakta material mengenai
Perusahaan Publik, yang dapat mempengaruhi keputusan pemodal, yang diketahui atau yang
layak diketahui.
1. Keterangan bahwa Pernyataan Pendaftaran telah diajukan kepada Bapepam dengan menunjuk
pada Undang-undang tentang Pasar Modal yang bersangkutan dan peraturan pelaksanaannya;
2. Pernyataan bahwa Perusahaan Publik bertanggung jawab sepenuhnya atas kebenaran semua
informasi dan kewajaran pendapat yang diungkapkan dalam Pernyataan Pendaftaran;
3. Pernyataan bahwa semua Lembaga dan Profesi Penunjang Pasar Modal yang disebut dalam
Pernyataan Pendaftaran bertanggung jawab sepenuhnya atas data yang disajikan relevan
dengan fungsi mereka, sesuai dengan peraturan yang berlaku, kode etik, norma, dan standar
profesi masing-masing;
4. Nama lengkap, alamat perusahaan, logo perusahaan, nomor telepon/telex/faksimili, nomor
kotak pos, kegiatan usaha dari Perusahaan Publik (tidak saja alamat kantor pusat, juga pabrik
dan kantor perwakilan);
5. Struktur Modal Saham pada saat Pernyataan Pendaftaran diajukan, termasuk Modal Dasar,
Modal Ditempatkan dan Disetor Penuh, yang mencakup :
a. jumlah dan nilai total saham;
b. informasi tentang maksud Perusahaan Publik atau pemegang saham yang ada untuk
mengeluarkan atau mencatatkan saham dalam waktu 12 (dua belas) bulan setelah tanggal
penyerahan Pernyataan Pendaftaran.
6. Keterangan tentang rincian dari struktur Modal Saham pada tanggal Pernyataan Pendaftaran
(disarankan dalam bentuk tabel). Tabel atau keterangan dimaksud harus mencakup:
a. Modal Dasar, Modal Ditempatkan dan Disetor Penuh (Jumlah saham dan nilai nominal);
b. rincian kepemilikan saham oleh pemegang saham yang memiliki 5% (lima perseratus)
atau lebih saham, direksi dan komisaris (jumlah saham, nilai nominal dan persentase);
c. Saham dalam simpanan (portepel), yang mencakup jumlah saham dan nilai nominal.
7. Analisis dan Pembahasan oleh Manajemen
Perusahaan Publik harus memberikan uraian singkat yang membahas dan menganalisis
laporan keuangan dan informasi lainnya yang tercantum dalam Pernyataan Pendaftaran,
dengan tujuan untuk memberikan penjelasan atas keadaan keuangan dan kegiatan usaha
pada saat Pernyataan Pendaftaran diajukan dan yang diharapkan pada masa yang akan
datang.
IV-3
Peraturan Nomor IX.B.1
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal
Nomor : Kep-49/PM/1996
Tanggal : 17 Januari 1996
Sepanjang dipandang penting untuk memperoleh pengertian tentang keadaan keuangan
Perusahaan Publik dan pengambilan keputusan pemodal berkenaan dengan investasi pada Efek
perusahaan, bahasan dan analisis dimaksud harus mencakup:
a. bahasan mengenai kecenderungan yang diketahui, permintaan, ikatan-ikatan, kejadian-
kejadian atau ketidakpastian yang mungkin mengakibatkan terjadinya peningkatan atau
penurunan yang material terhadap likuiditas perusahaan;
b. bahasan mengenai ikatan yang material untuk investasi barang modal dengan penjelasan
tentang tujuan dari ikatan tersebut, sumber dana yang diharapkan untuk memenuhi ikatan-
ikatan tersebut, mata uang yang menjadi denominasi, dan langkah-langkah yang direncanakan
Perusahaan Publik untuk melindungi risiko dari posisi mata uang asing yang terkait;
c. bahasan tentang seberapa jauh hasil usaha atau keadaan keuangan Perusahaan Publik
pada masa yang akan datang menghadapi risiko fluktuasi kurs atau suku bunga, dalam hal
ini harus diberikan keterangan tentang semua pinjaman dan ikatan tanpa proteksi yang
dinyatakan dalam mata uang asing, atau hutang yang suku bunganya tidak ditentukan
terlebih dahulu;
d. bahasan dan analisis tentang perkembangan material yang diperkirakan terjadi, kejadian-
kejadian, kecenderungan-kecenderungan keadaan persaingan dan ketidakpastian yang
diketahui dapat menyebabkan informasi keuangan yang telah dilaporkan tidak memberikan
indikasi atas hasil usaha dan keadaan keuangan pada masa yang akan datang;
e. uraian tentang kejadian atau transaksi yang tidak normal dan jarang terjadi atau perubahan
penting dalam ekonomi yang dapat mempengaruhi jumlah pendapatan yang dilaporkan
dalam laporan keuangan yang telah diperiksa Akuntan, sebagaimana tercantum dalam
Pernyataan Pendaftaran, dengan penekanan pada laporan keuangan terakhir. Selain
daripada itu, uraian tentang komponen-komponen penting dari pendapatan atau beban
lainnya yang dianggap perlu untuk dapat mengetahui hasil usaha perusahaan;
f. jika laporan keuangan dalam Pernyataan Pendaftaran mengungkapkan peningkatan material
dari penjualan atau pendapatan bersih, perlu adanya bahasan tentang sejauh mana kenaikan
tersebut dapat dikaitkan dengan kenaikan harga, volume atau jumlah barang atau jasa
yang dijual, atau adanya produk atau jasa baru;
g. bahasan tentang dampak perubahan harga terhadap penjualan dan pendapatan bersih
perusahaan serta laba operasi perusahaan selama 3 (tiga) tahun atau selama perusahaan
menjalankan usahanya jika kurang dari 3 (tiga) tahun;
h. jika dikehendaki dapat diberikan bahasan tentang prospek. Jika prakiraan dan atau proyeksi
keuangan diungkapkan, hal tersebut harus dipersiapkan dengan seksama serta obyektif
dan berdasarkan asumsi yang layak. Penilaian atas penyusunan laporan keuangan prospektif
dan hal-hal yang mendasari asumsi harus diperiksa dan dilaporkan oleh Akuntan yang
mengaudit laporan keuangan perusahaan. Namun demikian perusahaan bertanggung jawab
secara langsung atas kelayakan prakiraan dan atau proyeksi keuangan tersebut.
IV-4
Peraturan Nomor IX.B.1
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal
Nomor : Kep-49/PM/1996
Tanggal : 17 Januari 1996
8. Risiko Usaha
Keterangan tentang risiko usaha hendaknya disusun berdasarkan bobot risiko yang dihadapi
yang antara lain disebabkan oleh :
a. persaingan;
b. pasokan bahan baku;
c. ketentuan negara lain atau peraturan internasional; dan
d. kebijaksanaan pemerintah.
9. Kejadian penting setelah tanggal laporan Akuntan
Informasi tentang semua fakta material yang terjadi setelah tanggal laporan Akuntan.
10. Keterangan tentang Perusahaan Publik
a. Riwayat singkat perusahaan :
1) keterangan tentang pendirian perusahaan, yaitu antara lain tanggal pendirian,
pemegang saham, nama lengkap dan kegiatan usahanya. Gambaran tersebut harus
mencakup riwayat singkat mengenai pendirian perusahaan, termasuk bentuk dan
nama organisasi dimaksud. Uraian mengenai sifat dan akibat dari kepailitan, perwalian
atau proses yang sejenis menyangkut Perusahaan Publik. Uraian mengenai sifat dan
akibat dari restrukturisasi penggabungan (merger), atau konsolidasi dari Perusahaan
Publik atau perusahaan Afiliasinya yang penting. Uraian tentang aktiva yang material
yang dibeli diluar kegiatan usaha biasa, dan setiap perubahan penting dalam cara
menjalankan kegiatan usaha;
2) kronologis singkat dokumen hukum sehubungan dengan pendirian Perusahaan Publik
dan perubahan penting yang terjadi sesudahnya, termasuk akta pendirian, persetujuan
Menteri Kehakiman dan pendaftaran pada pengadilan negeri serta pengumuman
pada Tambahan Berita Negara Republik Indonesia;
3) perubahan dalam kepemilikan saham setelah pendirian (untuk saham yang telah
disetor penuh);
4) kejadian sehubungan dengan perkembangan kegiatan usaha dari perusahaan, seperti
penambahan sarana produksi yang penting atau penggunaan teknologi baru;
5) perjanjian penting menyangkut lisensi, pembeli utama, penunjukan agen atau distributor
tunggal produk penting, perjanjian teknis, dan sebagainya;
6) gambaran umum dari sarana & prasarana yang dikuasai perusahaan seperti tanah,
gedung, dan pabrik serta statusnya;
7) hubungan dengan perusahaan-perusahaan lain berdasarkan pemilikan, pemegang
saham yang sama, atau faktor-faktor lain.
b. Pengurusan dan pengawasan :
1) nama-nama anggota disertai foto masing-masing direktur dan komisaris;
2) uraian singkat dari setiap anggota direktur dan komisaris, termasuk:
a) kewarganegaraan;
b) umur;
IV-5
Peraturan Nomor IX.B.1
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal
Nomor : Kep-49/PM/1996
Tanggal : 17 Januari 1996
c) jabatan sekarang dan sebelumnya;
d) pengalaman kerja serta usaha yang relevan;
e) jika pendidikan diungkapkan, sekolah, bidang studi, dan tahun tamat belajar harus
dicantumkan.
c. Sumber daya manusia :
1) rincian pegawai menurut jabatan dan pendidikan (disajikan dalam tabel);
2) sarana pendidikan dan pelatihan (jika ada);
3) tenaga kerja asing (jika ada);
4) sarana kesejahteraan (jika ada), seperti :
a) pengobatan;
b) transportasi;
c) perjanjian tenaga kerja (KKB);
d) jamsostek (seperti ASTEK);
e) koperasi; atau
f) dana pensiun.
11. Kegiatan dan prospek usaha Perusahaan Publik. Uraian secara umum mengenai kegiatan
usaha perusahaan, produk dan atau jasa utama yang diberikan, dan kedudukannya dalam
industri (jika tersedia sumber data yang layak dipercaya), termasuk :
a. Produksi atau operasi :
1) keterangan tentang sumber dan tersedianya bahan baku untuk produksi serta
tingkat ketergantungan pada pemasok tertentu;
2) keterangan tentang proses produksi dan pengendalian mutu, termasuk uraian
secara umum mengenai status pengembangan produk dan jasa tertentu, serta
apakah perkembangan tersebut memerlukan investasi yang relatif berarti.
Apabila keterangan dimaksud dapat merugikan kedudukan perusahaan dalam
persaingan, maka keterangan dimaksud tidak wajib diungkapkan.
Ketentuan ini tidak dimaksudkan sebagai keharusan pengungkapan keterangan
tentang perusahaan yang tidak layak terbuka untuk umum oleh karena dapat
merugikan kedudukan persaingan Perusahaan Publik;
3) kapasitas dan hasil produksi selama 5 (lima) tahun atau sejak perusahaan berdiri
jika kurang dari 5 (lima) tahun;
4) produk dan jasa utama perusahaan;
5) masa berlaku dari paten, merek, lisensi, franchise dan konsesi utama serta pentingnya
hal tersebut bagi perusahaan;
6) besarnya ketergantungan perusahaan terhadap satu atau sekelompok pelanggan;
7) sifat musiman dari kegiatan usaha perusahaan (jika ada);
IV-6
Peraturan Nomor IX.B1
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal
Nomor : Kep-49/PM/1996
Tanggal : 17 Januari 1996
8) kegiatan usaha Perusahaan Publik sehubungan dengan modal kerja yang menimbulkan
risiko khusus seperti :
a) memiliki persediaan dalam jumlah yang berarti;
b) memberikan kemungkinan untuk pengembalian barang-barang dagangan; atau
c) memberikan kelonggaran syarat pembayaran kepada pelanggan;
9) uraian tentang pesanan yang sedang menumpuk, perkembangan dari pesanan-pesanan
tersebut dalam 3 (tiga) tahun terakhir dan kemungkinan penumpukan pesanan pada masa
yang akan datang;
10) ketergantungan pada kontrak-kontrak dengan pemerintah;
11) keadaan persaingan dalam industri termasuk kedudukan Perusahaan Publik dalam
persaingan tersebut (jika ada sumber data yang layak dipercaya);
12) informasi singkat tentang pengeluaran untuk riset dan pengembangan;
13) uraian tentang kegiatan pemasaran antara lain mencakup :
a) daerah pemasaran produk;
b) sistem penjualan dan distribusi;
c) data tentang angka-angka penjualan untuk Perusahaan Publik dan anak perusahaannya
yang dinyatakan dalam nilai rupiah (dijelaskan kesesuaiannya dengan Laporan
Keuangan) dan dalam satuan (jika ada) selama 5 (lima) tahun terakhir atau sejak
berdirinya Perusahaan Publik jika kurang dari 5 (lima) tahun (jika mungkin data
penjualan dirinci menurut kelompok produk utama);
14) uraian tentang prospek Perusahaan Publik sehubungan dengan industri, ekonomi secara
umum, dan pasar internasional serta dapat disertai data pendukung kuantitatif (jika ada
sumber data yang layak dipercaya).
12. Ikhtisar Data Keuangan Penting
a. keterangan bahwa laporan keuangan merupakan sumber data;
b. pernyataan tentang apakah laporan keuangan telah diperiksa Akuntan dan penjelasan
tentang jangka waktu yang dicakup;
c. data yang disajikan harus konsisten dengan laporan keuangan termasuk nama akun yang
digunakan;
d. selain data dari laporan keuangan, rasio keuangan yang relevan dengan industri
bersangkutan juga harus disajikan.
13. Ekuitas
Keterangan tentang ekuitas berdasarkan laporan keuangan yang diperiksa Akuntan, termasuk:
IV-7
Peraturan Nomor IX.B.1
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal
Nomor : Kep-49/PM/1996
Tanggal : 17 Januari 1996
a. tabel ekuitas yang memuat rincian ekuitas per tanggal laporan keuangan seluruh periode
yang disajikan dalam laporan keuangan;
b. uraian secara kronologis yang menggambarkan perubahan struktur permodalan Perusahaan
Publik antara lain menyangkut perubahan Modal Dasar beserta keterangan pengesahan dari
MenteriKehakiman, perubahan Modal Disetor dan nilai nominal per saham; dan
c. perubahan struktur permodalan yang terjadi setelah tanggal laporan keuangan terakhir (jika
ada).
14. Kebijakan Dividen
Informasi tentang kebijakan dividen yang direncanakan termasuk rentang jumlah persentase
dividen tunai yang direncanakan dikaitkan dengan jumlah laba bersih.
15. Perpajakan
Uraian tentang pajak yang berlaku baik bagi pemodal maupun perusahaan dan fasilitas khusus
perpajakan yang diperoleh.
16. Nama dan alamat Lembaga dan Profesi Penunjang Pasar Modal (jika ada).
17. Pendapat dan Laporan Pemeriksaan Dari Segi Hukum
Pendapat dari Konsultan Hukum antara lain meliputi :
a. keabsahan akta pendirian serta Anggaran Dasar dan perubahan-perubahannya;
b. semua izin dan persetujuan yang diperlukan dalam pelaksanaan kegiatan usaha atau kegiatan
usaha yang direncanakan Perusahaan Publik;
c. status pemilikan aktiva yang material dari Perusahaan Publik;
d. perkara perdata, pidana, perburuhan, administrasi serta tindakan hukum lainnya;
e. perikatan-perikatan dengan Pihak ketiga;
f. permodalan Perusahaan Publik dan perubahan-perubahan yang direncanakan, diajukan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan telah memperoleh semua
persetujuan yang diperlukan;
g. hal-hal lainnya yang material.
18. Laporan Keuangan
a. Laporan Akuntan berkenaan dengan laporan keuangan yang disajikan;
b. menyajikan laporan keuangan untuk jangka waktu 3 (tiga) tahun terakhir atau sejak berdirinya
perusahaan bagi perusahan-perusahaan yang berdiri kurang dari 3 (tiga) tahun sebagai
berikut:
IV-8
Peraturan Nomor IX.B.1
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal
Nomor : Kep-49/PM/1996
Tanggal : 17 Januari 1996
1) neraca;
2) laporan laba rugi;
3) laporan saldo laba;
4) laporan arus kas;
5) catatan atas laporan keuangan; dan
6) laporan lain serta materi penjelasan yang merupakan bagian integral dari laporan keuangan
jika dipersyaratkan, seperti laporan komitmen dan kontinjensi untuk perusahaan publik yang
bergerak dalam bidang perbankan.
c. untuk perusahaan yang telah berdiri secara hukum selama kurang dari 1 (satu) tahun buku,
persyaratan di atas berlaku untuk periode selama masa berdirinya dikurangi sebanyak-banyaknya
3 (tiga) bulan.
19. Laporan Penilai (jika ada)
Ikhtisar laporan Penilai yang mencakup antara lain metode penilaian serta uraian tentang aktiva
bersangkutan dan hasil penilaiannya.
20. Anggaran Dasar
Anggaran dasar terakhir yang telah disetujui oleh Menteri Kehakiman.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 17 Januari 1996
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
Ketua,
I PUTU GEDE ARY SUTA
NIP. 060065493
IV-9
"," KEPTA-BAPEPAM
KEP-49/PM/1996|KEPTA-BAPEPAM/1996
PEDOMAN MENGENAI BENTUK DAN ISI PERNYATAAN PENDAFTARAN PERUSAHAAN PUBLIK
17 Januari 1996
17 Januari 1996
'KEP-20/PM/1991|KEPTA-BAPEPAM/1991'
'8/UU/1995', '45/PP/1995', '322/M|Keppres/1995'
"
" Peraturan Nomor IX.A.10
KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
NOMOR KEP-49/PM/1997
TENTANG
PENAWARAN UMUM SERTIFIKAT PENITIPAN EFEK INDONESIA
( INDONESIAN DEPOSITARY RECEIPT )
KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL,
Menimbang
Mengingat
: bahwa dengan berlakunya Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang
Pasar Modal, dipandang perlu untuk menetapkan Keputusan Ketua Bapepam
tentang Penawaran Umum Sertifikat Penitipan Efek Indonesia;
:
1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran
Negara Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3608);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan
Kegiatan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor
86, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3617);
3. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 322/M Tahun 1995;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan
: KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL TENTANG
PENAWARAN UMUM SERTIFIKAT PENITIPAN EFEK INDONESIA
( INDONESIAN DEPOSITARY RECEIPT )
Pasal 1
Ketentuan tentang Penawaran Umum Sertifikat Penitipan Efek Indonesia diatur dalam Peraturan
Nomor IX.A.10 sebagaimana dimuat dalam Lampiran Keputusan ini.
Pasal 2
Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 26 Desember 1997
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
Ketua,
I PUTU GEDE ARY SUTA
NIP.060065493
IV-1
Peraturan Nomor IX.A.10
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal
Nomor : Kep-49/PM/1997
Tanggal : 26 Desember 1997
PERATURAN NOMOR IX.A.10 : PENAWARAN UMUM SERTIFIKAT PENITIPAN EFEK
INDONESIA (INDONESIAN DEPOSITARY RECEIPT )
1.
Definisi:
a. Sertifikat Penitipan Efek Indonesia adalah Efek yang memberikan hak kepada
pemegangnya atas Efek Utama yang dititipkan secara kolektif pada Bank Kustodian
yang telah mendapat persetujuan Bapepam.
b. Efek Utama adalah Efek yang dititipkan pada Bank Kustodian yang menjadi dasar
diterbitkannya Sertifikat Penitipan Efek Indonesia.
c. Yurisdiksi Setara adalah sistem hukum negara lain yang di dalam peraturan perundang-
undangannya, termasuk peraturan di bidang pasar modal, terdapat ketentuan tentang
perlindungan terhadap kepentingan pemodal yang melakukan investasi atas suatu jenis
Efek, yang pada prinsipnya sesuai dengan ketentuan tentang perlindungan terhadap
kepentingan pemodal yang melakukan investasi atas Efek yang sejenis menurut peraturan
perundang-undangan pasar modal di Indonesia.
2. Penawaran Umum Sertifikat Penitipan Efek Indonesia yang Efek Utamanya merupakan Efek
badan hukum Indonesia wajib memenuhi ketentuan Penawaran Umum yang berlaku untuk
Efek Utama dimaksud.
3. Penawaran Umum Sertifikat Penitipan Efek Indonesia yang Efek Utamanya merupakan Efek
badan hukum negara lain yang telah dijual melalui Penawaran Umum yang mempunyai:
a. Yurisdiksi Setara wajib memenuhi ketentuan peraturan ini dan Peraturan Bapepam
Nomor IX.A.1 dan IX.A.2, kecuali angka 14 dan angka 17 Peraturan Bapepam Nomor
IX.A.2;
b. Yurisdiksi tidak setara wajib memenuhi seluruh ketentuan Penawaran Umum yang
berlaku di Indonesia.
4. Penawaran Umum Sertifikat Penitipan Efek Indonesia yang Efek Utamanya merupakan Efek
badan hukum negara lain yang tidak dijual melalui Penawaran Umum wajib memenuhi
ketentuan Penawaran Umum yang berlaku di Indonesia.
5. Pernyataan Pendaftaran dalam rangka Penawaran Umum Sertifikat Penitipan Efek Indonesia
yang Efek Utamanya merupakan Efek badan hukum negara lain yang telah dijual melalui
Penawaran Umum yang mempunyai Yurisdiksi Setara harus sekurang-kurangnya mencakup:
a. surat pengantar Pernyataan Pendaftaran sesuai Formulir Nomor: IX.A.10-1 lampiran
peraturan ini;
b. Pernyataan Pendaftaran yang telah disampaikan kepada Pengawas Pasar Modal negara
lain yang mempunyai Yurisdiksi Setara dan telah diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia oleh penerjemah resmi; dan
c. dokumen tambahan yang terdiri dari:
IV-2
Peraturan Nomor IX.A.10
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal
Nomor : Kep-49/PM/1997
Tanggal : 26 Desember 1997
1)
surat pernyataan dari perseroan atau Konsultan Hukum yang terdaftar di Bapepam yang membuat
kontrak dengan Pihak yang melakukan Penawaran Umum Sertifikat Penitipan Efek Indonesia atau
Pihak yang menerbitkan Efek Utama untuk melakukan Penawaran Umum Sertifikat Penitipan Efek
Indonesia, yang memuat informasi baru bersifat material sehubungan dengan Efek Utama, dan
informasi tersebut belum dimuat dalam Pernyataan Pendaftaran atau dokumen lainnya yang
disampaikan kepada Pengawas pasar modal negara lain yang mempunyai Yurisdiksi Setara;
2) pendapat dari segi hukum yang dibuat oleh konsultan hukum yang terdaftar di Bapepam yang
menyatakan bahwa sistem hukum negara tempat dilakukannya Penawaran Umum Efek Utama
dapat dikategorikan mempunyai Yurisdiksi Setara, dengan mengemukakan alasan dan analisis
terhadap tingkat perlindungan dan upaya hukum menuntut ganti rugi yang diberikan kepada
pemodal di Indonesia berkenaan dengan :
a) adanya informasi yang tidak lengkap, tidak benar dan atau menyesatkan atas Efek Utama;
b) pelaksanaan perdagangan Efek Utama yang tidak wajar, teratur, atau efisien, apabila pemodal
di Indonesia melaksanakan haknya untuk menukarkan kembali Sertifikat Penitipan Efek
Indonesia dengan Efek Utama dari Bank Kustodian; dan
c) dilusi Efek Utama dan atau transaksi benturan kepentingan dalam hal Efek Utama tersebut
merupakan Efek Bersifat Ekuitas.
3) uraian tentang persyaratan dan ketentuan yang tercantum dalam perjanjian penitipan Efek
Utama sehubungan dengan penerbitan Sertifikat Penitipan Efek Indonesia;
4) analisis dan pendapat Akuntan yang terdaftar di Bapepam tentang:
a) aspek perpajakan Sertifikat Penitipan Efek Indonesia bagi pemodal asing dan Indonesia;
b) perbedaan antara prinsip akuntansi yang digunakan dalam menyusun laporan keuangan
dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia atau dengan International
Accounting Standard (jika ada).
5)
tata cara pengalihan Sertifikat Penitipan Efek Indonesia, pembagian keuntungan dan hak-hak lain
atas pemilikan Sertifikat Penitipan Efek Indonesia, pengambilan kembali Efek Utama, pembatalan
Sertifikat Penitipan Efek Indonesia, dan hal-hal lain yang berhubungan dengan Sertifikat Penitipan
Efek Indonesia serta uraian mengenai pengalaman Bank Kustodian dalam rangka penerbitan
Sertifikat Penitipan Efek Indonesia;
6) uraian lengkap mengenai penentuan harga, penjaminan emisi, dan pendistribusian Sertifikat
Penitipan Efek Indonesia;
7) uraian lengkap mengenai rencana dicatat atau tidaknya Sertifikat Penitipan Efek Indonesia pada
Bursa Efek di Indonesia;
8) uraian lengkap mengenai risiko yang berhubungan dengan Sertifikat Penitipan Efek Indonesia
tidak termasuk risiko yang melekat pada Efek Utama; dan
9) uraian lengkap mengenai prakiraan perdagangan Sertifikat Penitipan Efek Indonesia di pasar
sekunder.
IV-3
Peraturan Nomor IX.A.10
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal
Nomor : Kep-49/PM/1997
Tanggal : 26 Desember 1997
6. Dokumen sebagaimana dimaksud dalam angka 5 peraturan ini dan laporan keuangan
terakhir dari Pihak yang melakukan Penawaran Umum atau Pihak yang menerbitkan Efek
Utama yang telah diaudit wajib disampaikan kepada Bapepam oleh perseroan yang mewakili
Emiten atau Konsultan Hukum yang terdaftar di Bapepam yang bertindak untuk kepentingan
Pihak yang melakukan Penawaran Umum Sertifikat Penitipan Efek Indonesia atau Pihak
yang menerbitkan Efek Utama.
7. Dalam hal Pernyataan Pendaftaran disampaikan kepada Bapepam lebih dari 60 (enam
puluh) hari setelah tanggal Penawaran Umum Efek Utama terakhir di negara yang mempunyai
Yurisdiksi Setara, maka selain memenuhi ketentuan sebagaimana disebutkan dalam angka
3 huruf a peraturan ini, Pernyataan Pendaftaran dimaksud harus diperbaharui dengan data
terakhir yang dimuat dalam dokumen-dokumen sebagaimana dipersyaratkan di negara asal,
serta :
a. Laporan Keuangan terakhir dari Pihak yang menerbitkan Efek Utama yang telah diaudit
oleh akuntan;
b. Prospektus Penawaran Umum Sertifikat Penitipan Efek Indonesia, yang pada prinsipnya,
bentuk dan isi Prospektus tersebut harus memenuhi ketentuan sebagaimana tercantum
dalam Peraturan Nomor IX.C.1 dan IX.C.2.
8. Perseroan atau Konsultan Hukum yang terdaftar di Bapepam yang bertindak mewakili Pihak
yang melakukan Penawaran Umum Sertifikat Penitipan Efek Indonesia atau Pihak yang
menerbitkan Efek Utama dalam rangka Penawaran Umum Sertifikat Penitipan Efek Indonesia
wajib menyampaikan kepada Bapepam laporan hasil Penawaran Umum Sertifikat Penitipan
Efek Indonesia yang memuat jumlah dan nilai Sertifikat Penitipan Efek Indonesia yang telah
terjual paling lambat pada hari ke-15 (lima belas) setelah berakhirnya masa Penawaran
Umum.
9. Pihak yang melakukan Penawaran Umum Sertifikat Penitipan Efek Indonesia atau Pihak
yang menerbitkan Efek Utama wajib menunjuk Bank Kustodian yang telah memperoleh
persetujuan dari Bapepam untuk :
a. menyampaikan kepada Bapepam seluruh dokumen dan laporan yang disampaikan
kepada Pengawas Pasar Modal negara yang mempunyai Yurisdiksi Setara yang telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh penerjemah resmi dan dokumen serta
laporan tersebut tersedia di Bank Kustodian;
b. menyampaikan kepada Bapepam dan para pemegang Sertifikat Penitipan Efek Indonesia
seluruh dokumen dan laporan yang wajib disampaikan kepada pemegang Efek Utama
dari negara yang mempunyai Yurisdiksi Setara yang telah diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia oleh penerjemah resmi.
Dokumen dan laporan sebagaimana dimaksud dalam butir a dan b di atas wajib disampaikan
kepada Bapepam dalam batas waktu sebagaimana diatur oleh pengawas pasar modal yang
mempunyai Yurisdiksi Setara dimana perusahaan yang bersangkutan melakukan Penawaran
Umum. Dalam hal penyampaian Laporan Keuangan Berkala kepada Bapepam, apabila
terdapat perbedaan prinsip akuntansi sebagaimana dimaksud dalam angka 5. huruf c butir
4) b), maka perbedaan tersebut wajib diungkapkan;
IV-4
Peraturan Nomor IX.A.10
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal
Nomor : Kep-49/PM/1997
Tanggal : 26 Desember 1997
10. Bank Kustodian wajib menyampaikan laporan bulanan kepada Bapepam tentang perubahan
yang berkaitan dengan kepemilikan Sertifikat Penitipan Efek Indonesia termasuk perubahan
jumlah Efek Utama yang dititipkan di Bank Kustodian sebagaimana dimaksud dalam Formulir
Nomor IX.A.10-4 lampiran peraturan ini selambatnya-lambatnya pada hari ke-12 (dua belas)
bulan berikutnya.
11. Kewajiban menyampaikan seluruh dokumen dan laporan sebagaimana dimaksud dalam angka
9 berlaku sejak Pernyataan Pendaftaran kepada Bapepam menjadi efektif sampai dengan
jumlah Efek Utama yang dititipkan pada Bank Kustodian, selama 6 (enam) bulan berturut-
turut, menjadi kurang dari 10% (sepuluh per seratus) dari jumlah keseluruhan Efek Utama
yang dijadikan dasar penerbitan Sertifikat Penitipan Efek Indonesia pada waktu dilakukannya
Penawaran Umum perdana Sertifikat Penitipan Efek Indonesia.
12. Peraturan Bapepam berikut ini tidak berlaku untuk Penawaran Umum Sertifikat Penitipan Efek
Indonesia yang Efek Utamanya adalah saham atau Efek Bersifat Ekuitas lainnya dari badan
hukum negara lain yang mempunyai Yurisdiksi Setara :
a. Peraturan Nomor IX.A.6 tentang Pembatasan atas Saham yang Diterbitkan Sebelum
Penawaran Umum;
b. Peraturan Nomor IX.D.1 tentang Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu;
c. Peraturan Nomor IX.E.1 tentang Benturan Kepentingan Transaksi Tertentu;
d. Peraturan Nomor X.M.1 tentang Keterbukaan Informasi Pemegang Saham Tertentu;
e. Peraturan Nomor IX.G.1 tentang Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha Perusahaan
Publik atau Emiten Yang Telah Melakukan Penawaran Umum; dan
f. Surat Ketua Bapepam Nomor: S-456/PM/1991 tanggal 12 April 1991 tentang Pembelian
Saham atau Penyertaan Pada Perusahaan Lain.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 26 Desember 1997
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
Ketua,
I PUTU GEDE ARY SUTA
NIP. 060065493
IV-5
Peraturan Nomor IX.A.10
Formulir Nomor: IX.A.10-1
Nomor
Lampiran
Perihal
:
:
……..(domisili),……(tgl./bln./thn.)
: Surat Pengantar untuk Pernyataan
Pendaftaran dalam rangka Penawaran
Umum Sertifikat Penitipan Efek
Indonesia ……….(nama Emiten)
Kepada
Yth.
Bapak Ketua Bapepam
di
Jakarta
Bersama ini kami mengajukan Pernyataan Pendaftaran dalam rangka
Penawaran Umum Sertifikat Penitipan Efek Indonesia …………… (nama
perusahaan) sejumlah …… dengan nilai sejumlah Rp ……….
1. Identitas perseroan/Konsultan Hukum dalam melakukan Penawaran Umum
SPEI.
a. Nama Perusahaan
b. Alamat Lengkap
c. Nomor dan tanggal Akta
Pendirian berikut perubahan
Anggaran Dasar
d. Nomor dan tanggal persetujuan
Menteri Kehakiman
: ……...........………………………
: …………......……....……………
: ………………….............…………
: …………………........…………
e. Nomor dan tanggal pengumuman
dalam Berita Negara Indonesia : …………………………….........
f. NPWP Perusahaan
g. Anggota Direksi dan Dewan
Komisaris
Nama
1.
2.
3.
4.
5.
2. Identitas Pihak yang melakukan Penawaran Umum SPEI atau Pihak yang
Menerbitkan Efek Utama.
IV-6
:
Jabatan
Alamat
: ……………………………..........
Peraturan Nomor IX.A.10
a. Nama Perusahaan / Pihak
Perseorangan
b. Bentuk Hukum Perusahaan
c. Bidang Usaha
d. Alamat Lengkap
e. Dokumen dan informasi-
informasi yang terkait dengan
pendirian Perusahaan
:
:
:
:
:
f. Susunan Pengurus Perusahaan :
Nama
1.
2.
3.
4.
5.
3. Bank Kustodian
a. Nama Perusahaan
b. Alamat Lengkap
c. Nomor dan tanggal Akta
Pendirian berikut perubahan
Anggaran Dasar
d. Nomor dan tanggal persetujuan
Menteri Kehakiman
……....................………………………
……..................………………………
….................…………………………
……..................………………………
……..................………………………
Kewarganegaraan
Jabatan
:
:
:
:
e. Nomor dan tanggal pengumuman
dalam Berita Negara Indonesia :
f. Nomor dan tanggal Persetujuan
Dari Bapepam
g. NPWP Perusahaan
h. Anggota Direksi dan Dewan
Komisaris
Nama
1.
2.
3.
4.
5.
IV-7
:
:
:
Kewarganegaraan
Alamat
……....................………………………
……....................………………………
……....................………………………
……....................………………………
……....................………………………
……....................………………………
……....................………………………
Peraturan Nomor IX.A.10
4. Konsultan Hukum.
a. Nama
b. Alamat Lengkap
c. NPWP
: ……………..............................………………
: ……………..............................………………
: ……………..............................………………
d. Nomor Pendaftaran di Bapepam : ……………..............................………………
5. Penjamin Emisi Efek (jika ada).
a. Nama
b. Alamat Lengkap
c. NPWP
d. Nomor dan tanggal Izin Usaha
dari Bapepam
: ……………..............................………………
: ……………..............................………………
: ……………..............................………………
: ……………..............................………………
6. Jumlah halaman dalam Pernyataan Pendaftaran yang diserahkan.
7. Daftar dokumen yang dilampirkan:
a. ……………………………………………………………….
b. ……………………………………………………………….
c. ……………………………………………………………….
PERNYATAAN ATAU KETERANGAN YANG DIMUAT DALAM PERNYATAAN PENDAFTARAN ADALAH
BENAR DAN TIDAK ADA FAKTA MATERIAL YANG TIDAK DIMUAT DALAM PERNYATAAN
PENDAFTARAN YANG DIPERLUKAN AGAR PERNYATAAN PENDAFTARAN TIDAK MENYESATKAN.
(nama Emiten)
Meterai Rp.2000,00
(tanda tangan direktur yang berwenang)
(nama jelas)
IV-8
Peraturan Nomor IX.A.10
Formulir Nomor : IX.A.10-2
Nomor
:
Lampiran :
Perihal
:
S- /PM/199...
Pemberitahuan Efektifnya Pernyataan
Pendaftaran dalam rangka Penawaran
Umum Sertifikat Penitipan Efek Indonesia
…………. (nama perusahaan).
Jakarta, ..... (tgl../bln./thn.)
Kepada
Yth. ............................
di –
…….........…..
Sehubungan dengan Pernyataan Pendaftaran Saudara Nomor: ………..
tanggal ………. serta revisi kelengkapan dokumen yang telah disampaikan dengan
surat nomor …………... tanggal ………, dan setelah dilakukan penelaahan lebih
lanjut, kami tidak memerlukan informasi tambahan dan tidak mempunyai tanggapan
lebih lanjut dan Pernyataan Pendaftaran tersebut menjadi efektif.
Pernyataan efektif ini bukan merupakan persetujuan Bapepam atas
kecukupan atau kebenaran keterangan yang tercantum dalam Pernyataan
Pendaftaran atau dokumen lampirannya atau menyetujui, mengesahkan, atau
meneliti keunggulan investasi pada perusahaan atau Efek yang diajukan dalam
Pernyataan Pendaftaran tersebut di atas.
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
Ketua,
………………………….
NIP. …………….
Tembusan kepada Yth.:
1. Bapak Menteri Keuangan Republik Indonesia;
2. Sdr. Sekretaris Jenderal, Departemen Keuangan Republik Indonesia;
3. Sdr. Sekretaris Bapepam;
4. Sdr. Para Kepala Biro di lingkungan Bapepam;
5. Sdr. Direksi PT………..(Bank Kustodian).
IV-9
Peraturan Nomor IX.A.10
Formulir Nomor : IX.A.10-3
Nomor
Lampiran :
Perihal
: S- /PM/199...
Jakarta........(tgl./bln./thn.)
: Perubahan dan atau Tambahan
Informasi atas Pernyataan
Pendaftaran dalam rangka
Penawaran Umum Sertifikat
Penitipan Efek Indonesia ……
(nama perusahaan).
Menunjuk surat Saudara Nomor: ……………….. tanggal …………….
perihal …………………., dengan ini diberitahukan bahwa setelah diadakan
penelaahan atas Pernyataan Pendaftaran dalam rangka Penawaran Umum Sertifikat
Penitipan Efek Indonesia ………………………… (nama perusahaan), maka Saudara
diminta untuk menyampaikan perubahan dan atau tambahan informasi yang
bersangkutan kepada Bapepam sebagai berikut :
1. Perubahan yang perlu dilaksanakan adalah :
a. ………………………………………….
b. ………………………………………….
2. Tambahan informasi yang wajib disampaikan adalah :
a. ………………………………………….
b. ………………………………………….
Sebelum hal-hal di atas dipenuhi, Pernyataan Pendaftaran Saudara belum
dapat dinyatakan menjadi efektif.
Demikian agar Saudara maklum.
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
Ketua,
Kepada
Yth.….........................................
di-
……….………......
………………………….
NIP. …………….
Tembusan Kepada Yth.:
1. Sdr. Sekretaris Bapepam;
2. Sdr. para Kepala Biro di lingkungan Bapepam.
IV-10
Peraturan Nomor IX.A.10
FORMULIR NOMOR : IX.A.10-4
LAPORAN PERUBAHAN
SERTIFIKAT PENITIPAN EFEK INDONESIA YANG BEREDAR
PERIODE BULAN:……………
Nama Perusahaan
Nama Bank Kustodian
Telepon
Faksimili
:
:
:
:
a. Jumlah saham awal yang dititipkan
dalam Bank Kustodian sebagai dasar
penerbitan SPEI …………………
b. Jumlah saham yang dititipkan pada
awal periode pelaporan ……………
c. Perubahan jumlah saham yang
dititipkan selama periode pelaporan :
- Penambahan saham dalam titipan ………
- Pengurangan saham dalam titipan ……...
d. Saldo saham yang dititipkan pada
akhir periode laporan ………………………..
e. Jumlah SPEI berdasarkan saldo saham
yang dititipkan pada akhir periode
pelaporan ……
f. Perbandingan antara jumlah pada
huruf d dengan jumlah pada huruf a
(%) …………...
xxxxxxx
(xxxxxxx) +
xxxxxxx -
xxxxxxxx
xxxxxxx
xxxxxxx
xxxxxxxx
...............%
Jakarta, …………19…
BANK KUSTODIAN
Direktur
IV-11
"," KEPTA-BAPEPAM
KEP-49/PM/1997|KEPTA-BAPEPAM/1997
PENAWARAN UMUM SERTIFIKAT PENITIPAN EFEK INDONESIA (INDONESIAN DEPOSITARY RECEIPT)
26 Desember 1997
26 Desember 1997
'8/UU/1995', '45/PP/1995', '322/M|Keppres/1995'
"
" Peraturan Nomor II.A.3
KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
NOMOR KEP-41/PM/1997
TENTANG
SURAT, LAPORAN DAN DOKUMEN LAIN YANG DIKIRIM KEPADA BAPEPAM
KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL,
Menimbang
: bahwa dengan berlakunya Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal, dipandang perlu untuk mengubah Keputusan Ketua Bapepam Nomor
Kep- 23/PM/1993 tentang Surat, Laporan dan Dokumen Lain Yang Dikirim Kepada
Bapepam dengan menetapkan Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
yang baru;
Mengingat
:
1. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara
Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3608);
2. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran
Negara Tahun 1995 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3587)
3. Keputusan Presiden
Republik Indonesia Nomor 322/M Tahun 1995;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan
: KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL TENTANG SURAT,
LAPORAN DAN DOKUMEN LAIN YANG DIKIRIM KEPADA BAPEPAM.
Pasal 1
Ketentuan mengenai Surat, Laporan dan Dokumen Lain yang Dikirim Kepada Bapepam diatur dalam
Peraturan Nomor II.A.3 sebagaimana dimuat dalam Lampiran Keputusan ini.
Pasal 2
Dengan ditetapkannya Keputusan ini, maka Keputusan Ketua Bapepam Nomor Kep-23/PM/1993 tanggal
10 Agustus 1993 dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 3
Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di :
pada tanggal :
Jakarta
26 Desember 1997
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
Ketua,
I PUTU GEDE ARY SUTA
NIP 060065493
IV-1
Peraturan Nomor II.A.3
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal
Nomor
Tanggal : 26 Desember 1997
PERATURAN NOMOR II.A.3 : SURAT, LAPORAN DAN DOKUMEN LAIN YANG DIKIRIM
KEPADA BAPEPAM
1. Surat, laporan dan dokumen lain yang dikirim kepada Bapepam harus dialamatkan kepada Ketua
Bapepam.
2. Surat, laporan dan dokumen lain sebagaimana tersebut dalam angka 1 baik asli maupun tembusan
disampaikan kepada Bapepam melalui Subbagian Tata Usaha Sekretariat.
3. Surat, laporan dan dokumen lain sebagaimana disebutkan dalam angka 2 di atas dianggap diterima
pada saat dibubuhi cap waktu oleh Subbagian Tata Usaha Sekretariat.
4. Surat dan laporan kepada Bapepam dapat disampaikan melalui e-mail atau faksimili, disamping
surat dan laporan asli berkenaan dengan hal tersebut.
5.
6.
Laporan berkala serta dokumen lain yang disampaikan kepada Bapepam wajib pula disertai disket
komputer yang formatnya akan diatur lebih lanjut dengan Surat Edaran Bapepam.
Surat, laporan, permohonan, dan dokumen lain yang dipersyaratkan untuk diajukan kepada Bapepam
harus berbahasa Indonesia, jika menggunakan bahasa asing harus ada terjemahannya dalam
bahasa Indonesia, kecuali dokumen-dokumen sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Nomor
IX.A.8 tentang Prospektus Awal dan Info Memo.
Ditetapkan di
pada tanggal
:
:
Jakarta
26 Desember 1997
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
Ketua,
I PUTU GEDE ARY SUTA
NIP 060065493
: Kep-41/PM/1997
IV-2
"," KEPTA-BAPEPAM
KEP-41/PM/1997|KEPTA-BAPEPAM/1997
SURAT, LAPORAN DAN DOKUMEN LAIN YANG DIKIRIM KEPADA BAPEPAM
26 Desember 1997
26 Desember 1997
'KEP-23/PM/1993|KEPTA-BAPEPAM/1993'
'8/UU/1995', '1/UU/1995', '322/M|KEPPRES/1995'
"
" Peraturan Nomor IX.D.5
KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
NOMOR: KEP-35/PM/2003
TENTANG
SAHAM BONUS
KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL,
Menimbang
:
a. bahwa penerbitan saham bonus merupakan salah satu cara untuk
meningkatkan kinerja keuangan Emiten atau Perusahaan Publik yang dapat
dilakukan tanpa merugikan kepentingan pemegang saham;
b. bahwa selama ini pelaksanaan penerbitan saham bonus mengacu pada
Penjelasan Nomor I.B.1, Lampiran Surat Edaran Bapepam Nomor SE-
05/PM/1996 tanggal 24 Desember 1996 perihal Penjelasan Mengenai
Pedoman Tentang Pernyataan dan Keterbukaan Atas Saham Bonus;
c. bahwa dalam rangka memberikan dasar hukum yang lebih kokoh terhadap
pelaksanaan penerbitan Saham Bonus, dengan tetap memperhatikan
prinsip keterbukaan dan perlindungan kepada masyarakat pemodal,
dipandang perlu untuk menetapkan Keputusan Ketua Bapepam tentang
Saham Bonus;
Mengingat
:
1. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran
Negara Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3608);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan
Kegiatan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor
86, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3617);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 1995 tentang Tata Cara Pemeriksaan
di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 87, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3618);
4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 7/M Tahun 2000;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan
: KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL TENTANG
SAHAM BONUS.
Pasal 1
Ketentuan mengenai Saham Bonus diatur dalam Peraturan Nomor IX.D.5 sebagaimana dimuat
dalam Lampiran Keputusan ini.
Pasal 2
Dengan ditetapkannya Keputusan ini, maka Penjelasan Nomor I.B.1, Lampiran Surat Edaran
Bapepam Nomor SE-05/PM/1996 tanggal 24 Desember 1996 perihal Penjelasan Mengenai Pedoman
Tentang Pernyataan dan Keterbukaan Atas Saham Bonus dinyatakan tidak berlaku lagi.
IV-1
Peraturan Nomor IX.D.5
Pasal 3
Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 30 September 2003
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
Herwidayatmo
NIP 060065750
IV-2
Peraturan Nomor IX.D.5
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal
Nomor : Kep- 35 /PM/2003
Tanggal : 30 September 2003
PERATURAN NOMOR IX.D.5 : SAHAM BONUS
1.
Definisi :
a. Agio Saham adalah selisih lebih setoran pemegang saham diatas nilai nominalnya dalam
hal saham dikeluarkan dengan nilai nominal.
b. Kekayaan Bersih adalah selisih antara total aktiva dengan total kewajiban.
c. Saldo Laba adalah akumulasi hasil usaha periodik setelah memperhitungkan pembagian
dividen dan koreksi laba rugi periode lalu.
d. Saham Bonus adalah saham yang dibagikan secara cuma-cuma kepada pemegang
saham berdasarkan jumlah saham yang dimiliki.
e. Dividen Saham adalah bagian laba yang dibagikan kepada pemegang saham dalam
bentuk saham.
f. Dividen Kas adalah bagian laba yang dibagikan kepada pemegang saham dalam bentuk
uang.
g. Selisih Penilaian Kembali Aktiva Tetap adalah selisih antara nilai revaluasi dengan nilai
buku (nilai tercatat) aktiva tetap.
2. Peraturan ini berlaku bagi Emiten yang telah melakukan Penawaran Umum Efek Bersifat
Ekuitas atau Perusahaan Publik.
3. Pembagian Saham Bonus harus proporsional dengan kepemilikan saham dari setiap pemegang
saham.
4. Pelaksanaan pembagian Saham Bonus harus telah selesai dilakukan selambat-lambatnya 45
(empat puluh lima) hari setelah pelaksanaan Rapat Umum Pemegang Saham yang menyetujui
pembagian Saham Bonus tersebut.
5. Emiten atau Perusahaan Publik wajib menyampaikan kepada Bapepam laporan penjatahan
Saham Bonus yang telah diperiksa oleh Akuntan yang terdaftar di Bapepam sebanyak 2 (dua)
eksemplar selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari setelah pembagian Saham Bonus
dilaksanakan.
6. Saham Bonus yang merupakan Dividen Saham, berasal dari kapitalisasi Saldo Laba.
7. Saham Bonus yang bukan merupakan Dividen Saham, berasal dari kapitalisasi:
a. Agio Saham; dan atau
b. unsur ekuitas lainnya.
8. Jumlah saham yang dibagikan dalam rangka Saham Bonus yang merupakan Dividen Saham
ditentukan berdasarkan hal-hal sebagai berikut :
a. dalam hal harga pasar saham pada penutupan perdagangan 1 (satu) hari sebelum Rapat
Umum Pemegang Saham di bawah nilai nominal saham, maka jumlah saham yang
dibagikan ditentukan berdasarkan sekurang-kurangnya pada nilai nominal saham.
b. dalam hal harga pasar saham sama atau lebih tinggi dari nilai nominal saham, maka
jumlah saham yang dibagikan ditentukan berdasarkan harga pasar saham pada penutupan
perdagangan 1 (satu) hari sebelum Rapat Umum Pemegang Saham.
IV-3
Peraturan Nomor IX.D.5
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal
Nomor : Kep- 35 /PM/2003
Tanggal : 30 September 2003
9. Jumlah saham yang dibagikan dalam rangka Saham Bonus yang bukan merupakan Dividen
Saham ditentukan berdasarkan nilai nominal saham.
10. Dengan memperhatikan ketentuan angka 8 dan angka 9 peraturan ini, dalam hal terdapat
lebih dari satu nilai nominal saham, maka yang digunakan sebagai dasar pembagian Saham
Bonus adalah saham dengan nilai nominal terendah.
11. Pembagian Saham Bonus hanya dapat dilaksanakan apabila asal Saham Bonus tersebut
telah dimuat dalam Laporan Keuangan Tahunan terakhir yang telah diaudit oleh Akuntan
yang terdaftar di Bapepam.
12. Dalam hal Saham Bonus berasal dari kapitalisasi Agio Saham maka nilai yang dapat
dikapitalisasi adalah jumlah Agio Saham setelah dikurangi biaya emisi Efek ekuitas.
13. Emiten atau Perusahaan Publik atau pelaku Pasar Modal lainnya dalam hubungan dengan
para pemodal dilarang memberikan informasi yang menyesatkan mengenai rencana
pembagian Saham Bonus oleh Emiten atau Perusahaan Publik tertentu. Informasi yang
termasuk menyesatkan tersebut antara lain pernyataan bahwa :
a. Saham Bonus merupakan pengganti dari Dividen Kas yang dijanjikan oleh Emiten atau
Perusahaan Publik;
b. Saham Bonus yang bersumber dari kapitalisasi Agio Saham dan atau unsur ekuitas
lainnya merupakan indikasi kemampuan Emiten atau Perusahaan Publik dalam
memperoleh laba;
c. Harga saham pada saat penawaran umum menjadi lebih rendah dengan adanya rencana
pembagian Saham Bonus; dan
d. Pembagian Saham Bonus sama dengan hasil dividen (dividend yield), seperti :
1) menggunakan pembagian Saham Bonus sedemikian rupa sehingga menimbulkan
kesan sama dengan hasil Dividen Kas;
2) menambahkan persentase pembagian Saham Bonus dengan hasil dividen dan
menyatakannya sebagai pembayaran dividen atau sebagai hasil investasi; dan
3) dividend yield tidak berubah berkaitan dengan diubahnya Dividen Kas menjadi
Dividen Saham.
14. Emiten atau Perusahaan Publik yang akan membagikan Saham Bonus wajib menginformasikan
kepada Bapepam selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sebelum pengumuman Rapat Umum
Pemegang Saham. Informasi mengenai pembagian Saham Bonus tersebut wajib diumumkan
kepada publik selambat-lambatnya 28 (dua puluh delapan) hari sebelum pelaksanaan
Rapat Umum Pemegang Saham.
15. Informasi sebagaimana dimaksud dalam angka 14 sekurang-kurangnya wajib memuat hal-
hal sebagai berikut :
a. Penjelasan terperinci mengenai sumber dari kapitalisasi modal yang menjadi Saham
Bonus;
IV-4
Peraturan Nomor IX.D.5
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal
Nomor : Kep- 35 /PM/2003
Tanggal : 30 September 2003
b. Nilai dari masing-masing sumber kapitalisasi Saham Bonus;
c. Rasio pembagian Saham Bonus;
d. Dasar penetapan harga yang digunakan sebagai dasar pembagian Saham Bonus sebagaimana
dimaksud dalam angka 8, angka 9 dan angka 10 peraturan ini;
e. Penjelasan mengenai perlakuan pajak atas Saham Bonus, baik pengaruhnya pada para pemegang
saham maupun pada perusahaan. Jika pengenaan pajak atas Saham Bonus kurang menguntungkan
bagi pemegang saham daripada jika pembagian diberikan dalam bentuk Dividen Kas, maka fakta
tersebut wajib diungkapkan dan alasan untuk tidak membayarkan Dividen Kas, wajib dijelaskan; dan
f.
Prosedur administratif yang berkaitan dengan pembagian Saham Bonus.
16. Semua pelaku Pasar Modal yang terlibat dalam persiapan data historis mengenai harga saham dan informasi
keuangan per saham wajib menyesuaikan informasi tersebut terhadap pengaruh dari pembagian Saham
Bonus dan menjelaskan metode yang dipergunakan dalam penyesuaian tersebut.
17. Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan pidana di bidang Pasar Modal, Bapepam berwenang
mengenakan sanksi terhadap setiap pelanggaran ketentuan peraturan ini, termasuk kepada Pihak yang
menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut.
Ditetapkan di :
pada tanggal :
Jakarta
30 September 2003
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
Herwidayatmo
NIP 060065750
IV-5
"," KEPTA-BAPEPAM
KEP-35/PM/2003|KEPTA-BAPEPAM/2003
SAHAM BONUS
30 September 2003
30 September 2003
'SE-05/PM/1996|SE-BAPEPAM/1996 | Lampiran Penjelasan Nomor I.B.1.'
'46/PP/1995', '8/UU/1995', '45/PP/1995', '7/M|KEPPRES/2000'
"
" Peraturan Nomor III.C.5
KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
NOMOR KEP-16/PM/1996
TENTANG
TATA CARA PEMBERIAN PERSETUJUAN ANGGARAN DASAR
LEMBAGA PENYIMPANAN DAN PENYELESAIAN
KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL,
Menimbang
: bahwa dengan berlakunya Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal, dipandang perlu untuk menetapkan Keputusan Ketua Bapepam tentang
Tata Cara Pemberian Persetujuan Anggaran Dasar Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian;
Mengingat
: 1. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara
Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3608);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Kegiatan
di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 86, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3617);
3. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 322/M Tahun 1995;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan
:
KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL TENTANG TATA
CARA PEMBERIAN PERSETUJUAN ANGGARAN DASAR LEMBAGA
PENYIMPANAN DAN PENYELESAIAN.
Pasal 1
Ketentuan mengenai Tata Cara Pemberian Persetujuan Anggaran Dasar Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian, diatur dalam Peraturan Nomor III.C.5 sebagaimana dimuat dalam Lampiran Keputusan ini.
Pasal 2
Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 17 Januari 1996
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
Ketua,
I PUTU GEDE ARY SUTA
NIP. 060065493
IV-1
Peraturan Nomor III.C.5
LAMPIRAN
Keputusan Ketua
Badan Pengawas Pasar Modal
Nomor : Kep- 16 /PM/1996
Tanggal :
17 Januari 1996
PERATURAN NOMOR III.C.5 :
TATA CARA PEMBERIAN PERSETUJUAN ANGGARAN
DASAR LEMBAGA PENYIMPANAN DAN PENYELESAIAN
1. Anggaran dasar Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, sekurang-kurangnya memuat:
a. maksud dan tujuan Perseroan menyelenggarakan kegiatan sebagai Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian;
b. ketentuan mengenai direksi dan komisaris mencakup antara lain :
1) persyaratan calon direktur dan komisaris Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian
sesuai dengan persyaratan Peraturan Nomor III.C.3;
2) jumlah anggota direksi dan komisaris masing-masing sebanyak-banyaknya 7 (tujuh)
orang;
3) tata cara pengajuan calon direktur dan komisaris;
4) anggota direksi dan komisaris diangkat untuk masa jabatan selama 3 (tiga) tahun
dan dapat diangkat kembali;
5) masa jabatan direktur dan komisaris dimaksud diatur sedemikian rupa sehingga
pengangkatan direktur dan komisaris tidak dilakukan pada saat yang bersamaan;
dan
6) anggota direksi tidak mempunyai jabatan rangkap sebagai anggota direksi, komisaris,
atau pegawai pada perusahaan lain.
c. ketentuan mengenai saham mencakup antara lain sebagai berikut :
1) saham Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian adalah saham atas nama yang
mempunyai nilai nominal dan hak suara yang sama;
2) saham Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian hanya dapat dimiliki oleh Bursa
Efek, Perusahaan Efek, Biro Administrasi Efek, Bank Kustodian, atau Pihak lain atas
persetujuan Bapepam; dan
3) dalam hal saham Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian dimiliki oleh Pihak yang
tidak lagi memenuhi persyaratan sebagai pemegang saham Lembaga Penyimpanan
dan Penyelesaian, maka saham tersebut wajib dialihkan dalam waktu 6 (enam)
bulan kepada Pihak yang memenuhi persyaratan.
d. pemindahan hak atas saham Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian hanya dapat
dilakukan kepada Bursa Efek, Perusahaan Efek, Biro Administrasi Efek, Bank Kustodian,
atau Pihak lain yang memperoleh persetujuan Bapepam; dan
e. ketentuan bahwa Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian tidak membagikan dividen
kepada pemegang saham.
2. Setiap anggaran dasar atau perubahan anggaran dasar Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian wajib memperoleh persetujuan Bapepam sebelum diajukan kepada Menteri
Kehakiman untuk memperoleh pengesahan.
IV-2
Peraturan Nomor III.C.5
LAMPIRAN
Keputusan Ketua
Badan Pengawas Pasar Modal
Nomor : Kep- 16 /PM/1996
Tanggal :
17 Januari 1996
3. Permohonan persetujuan perubahan anggaran dasar diajukan kepada Bapepam dalam
rangkap 4 (empat) dengan menggunakan Formulir Nomor III.C.5-1 lampiran 1 peraturan ini
disertai dengan dokumen :
a. anggaran dasar atau perubahan anggaran dasar yang dimintakan persetujuan;
b. akta berita acara Rapat Umum Pemegang Saham yang dibuat oleh notaris;
c. surat panggilan Rapat Umum Pemegang Saham;
d. agenda Rapat Umum Pemegang Saham; dan
e. daftar hadir Rapat Umum Pemegang Saham.
4. Dalam permohonan dijelaskan alasan permohonan yang antara lain menyangkut latar belakang
perubahan anggaran dasar.
5. Dalam rangka memproses permohonan persetujuan sebagaimana dimaksud dalam angka 3
peraturan ini, Bapepam akan melakukan penelaahan atas materi perubahan anggaran
dasar Lembaga Penyimpan dan Penyelesaian yang diajukan pemohon.
6. Dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya permohonan tersebut, Bapepam
wajib memberikan surat pemberitahuan kepada pemohon yang menyatakan bahwa :
a. permohonannya tidak lengkap dengan menggunakan Formulir Nomor III.C.5-2 lampiran
2 peraturan ini;
b. permohonannya ditolak dengan menggunakan Formulir Nomor III.C.5-3 lampiran 3
peraturan ini; atau
c. permohonannya disetujui dengan menggunakan Formulir Nomor III.C.5-4 lampiran 4
peraturan ini.
7. Apabila dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari sebagaimana dimaksud dalam angka 5
peraturan ini, Bapepam tidak memberikan tanggapan maka permohonan pemberian persetujuan
atas anggaran dasar dan perubahan dimaksud berlaku efektif.
Ditetapkan di
:
pada tanggal :
Jakarta
17 Januari 1996
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
Ketua,
I PUTU GEDE ARY SUTA
NIP 060065493
IV-3
Peraturan Nomor III.C.5
LAMPIRAN
FORMULIR NOMOR: III.C.5-1
Nomor :
Lampiran : ---
Perihal : Permohonan Persetujuan atas
Perubahan Anggaran Dasar Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian
: 1
Peraturan Nomor : III.C.5
Jakarta,. ...........................19....
KEPADA
Yth. Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
di -
Jakarta
Sehubungan dengan perihal tersebut diatas, dengan ini kami mengajukan
permohonan persetujuan perubahan anggaran dasar Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian sebagai berikut:
1.
2.
3.
...................................................................................................................
...................................................................................................................
...................................................................................................................
Sebagai bahan pertimbangan, bersama ini disampaikan penjelasan dan dokumen
sebagai berikut :
1.
2.
3.
...................................................................................................................
...................................................................................................................
...................................................................................................................
Demikian, atas perhatiannya di ucapkan terimakasih.
PT . ......................................
.............................................
(Nama Lengkap dan Jabatan)
Tembusan Yth. :
1. Sekretaris Bapepam;
2. Para Kepala Biro di lingkungan Bapepam.
IV-4
Peraturan Nomor III.C.5
LAMPIRAN
FORMULIR NOMOR: III.C.5-2
Nomor : S-
/PM/19...
Lampiran :
Perihal
---
: Permintaan Keterangan Tambahan
Perubahan Permohonan Persetujuan
Perubahan Anggaran Dasar Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian.
KEPADA
Yth. .............................................
di -
......................................
: 2
Peraturan Nomor : III.C.5
Jakarta,. ...........................19....
Menunjuk surat Saudara Nomor ...................... tanggal ........................ perihal
.........................., dengan ini diberitahukan bahwa permohonan Saudara masih terdapat
kekurangan data sebagai berikut :
1.
2.
3.
........................................................................................................................
........................................................................................................................
........................................................................................................................
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, dengan ini kami sampaikan bahwa
permohonan Saudara untuk memperoleh persetujuan atas perubahan anggaran
dasar belum dapat dipertimbangkan. Selanjutnya permohonan Saudara akan
dipertimbangkan setelah Saudara memenuhi kekurangan-kekurangan tersebut
di atas.
Demikian agar Saudara maklum.
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
Ketua,
............................................
NIP. ....................................
Tembusan Kepada Yth :
1. Sdr. Sekretaris Bapepam;
2. Sdr. para Kepala Biro di lingkungan Bapepam.
IV-5
Peraturan Nomor III.C.5
LAMPIRAN
FORMULIR NOMOR: III.C.5-3
Nomor : S-
/PM/19...
Lampiran :
Perihal
---
: Penolakan Atas Permohonan Persetujuan
Perubahan Anggaran Dasar Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian.
KEPADA
Yth. .............................................
di -
......................................
: 3
Peraturan Nomor : III.C.5
Jakarta,. ...........................19....
Menunjuk surat Saudara Nomor: ...................... tanggal ........................ perihal
perihal permohonan persetujuan atas perubahan anggaran dasar Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian, setelah meneliti permohonan Saudara, dengan ini
diputuskan bahwa permohonan Saudara ditolak karena tidak memenuhi persyaratan
sebagai berikut:
1.
2.
3.
........................................................................................................................
........................................................................................................................
........................................................................................................................
Demikian agar Saudara maklum.
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
Ketua,
............................................
NIP. ....................................
Tembusan Kepada Yth :
1. Sdr. Sekretaris Bapepam;
2. Sdr. para Kepala Biro di lingkungan Bapepam.
IV-6
Peraturan Nomor III.C.5
LAMPIRAN
FORMULIR NOMOR: III.C.5-4
Nomor : S-
/PM/19...
Lampiran :
Perihal
---
: Persetujuan atas Perubahan
Anggaran Dasar Lembaga Penyimpanan
dan Penyelesaian.
Yth.
di -
......................................
KEPADA
: 4
Peraturan Nomor : III.C.5
Jakarta,. ...........................19....
Menunjuk surat Saudara Nomor ................... tanggal ............. perihal
permohonan persetujuan atas perubahan anggaran dasar Lembaga Penyimpanan
dan Penyelesaian, dengan ini disampaikan bahwa perubahan anggaran dasar
Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian sebagaimana dimaksud dalam permohonan
Saudara dapat disetujui.
Demikian agar Saudara maklum.
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
Ketua,
............................................
NIP. ....................................
Tembusan Kepada Yth :
1. Sdr. Sekretaris Bapepam;
2. Sdr. para Kepala Biro di lingkungan Bapepam.
IV-7
"," KEPTA-BAPEPAM
KEP-16/PM/1996|KEPTA-BAPEPAM/1996
TATA CARA PEMBERIAN PERSETUJUAN ANGGARAN DASAR LEMBAGA PENYIMPANAN DAN PENYELESAIAN
17 Januari 1996
17 Januari 1996
'8/UU/1995', '45/PP/1995', '322/M|KEPPRES/1995'
"
" Peraturan Nomor II.A.2
KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
NOMOR KEP-40/PM/1997
TENTANG
PROSEDUR PENYEDIAAN DOKUMEN BAGI MASYARAKAT
DI PUSAT REFERENSI PASAR MODAL
KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL,
Menimbang
: bahwa dengan berlakunya Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang
Pasar Modal, dipandang perlu untuk mengubah Keputusan Ketua Bapepam
Nomor Kep- 22/PM/1993 tentang Prosedur Penyediaan Dokumen Bagi
Masyarakat di Ruang Referensi Umum dengan menetapkan Keputusan
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal yang baru;
Mengingat
:
1. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran
Negara Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3608);
2. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas
(Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3587)
3. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 322/M Tahun 1995;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan
: KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL TENTANG
PROSEDUR PENYEDIAAN DOKUMEN BAGI MASYARAKAT DI PUSAT
REFERENSI PASAR MODAL.
Pasal 1
Ketentuan mengenai Prosedur Penyediaan Dokumen Bagi Masyarakat di Pusat Referensi Pasar
Modal diatur dalam Peraturan Nomor II.A.2 sebagaimana dimuat dalam Lampiran Keputusan ini.
Pasal 2
Dengan ditetapkannya Keputusan ini, maka Keputusan Ketua Bapepam Nomor Kep-22/PM/1993
tanggal 10 Agustus 1993 dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 3
Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di
pada tanggal
:
Jakarta
: 26 Desember 1997
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
Ketua,
I PUTU GEDE ARY SUTA
NIP. 060065493
IV-1
Peraturan Nomor II.A.2
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal
Nomor : Kep-40/PM/1997
Tanggal : 26 Desember 1997
PERATURAN NOMOR II.A.2 : PROSEDUR PENYEDIAAN DOKUMEN BAGI
MASYARAKAT DI PUSAT REFERENSI PASAR MODAL
1. Setiap Pihak yang diwajibkan menyampaikan dokumen kepada Bapepam berdasarkan
peraturan perundang-undangan di bidang Pasar Modal, wajib menyampaikan tembusan
dokumen tersebut dengan mengirimkannya langsung ke Pusat Referensi Pasar Modal.
Adapun dokumen dimaksud adalah sebagai berikut :
a. laporan keuangan tengah tahunan;
b. laporan keuangan tahunan;
c. laporan tahunan;
d. laporan hasil Rapat Umum Pemegang Saham;
e. laporan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Nomor X.K.1 tentang Keterbukaan
Informasi Yang Harus Segera Diumumkan Kepada Publik;
f. laporan harian dan mingguan Bursa Efek;
g. laporan kegiatan bulanan Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, dan Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian;
h. laporan Modal Kerja Bersih Disesuaikan Perusahaan Efek; dan
i. laporan Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana Terbuka.
2. Dokumen sebagaimana dimaksud dalam angka 1 Peraturan ini wajib pula disertai disket
komputer yang formatnya akan diatur lebih lanjut dengan Surat Edaran Bapepam.
3. Dokumen Bapepam yang tersedia di Pusat Referensi Pasar Modal antara lain :
a. laporan tahunan Bapepam, disampaikan oleh Sekretariat Bapepam;
b. peraturan perundang-undangan di bidang Pasar Modal, disampaikan oleh Biro
Perundang-undangan dan Bantuan Hukum;
c. siaran pers Bapepam, disampaikan oleh Sekretariat Bapepam; dan
d. Statistik Mingguan Pasar Modal, disampaikan oleh Biro Pengelolaan Investasi dan Riset.
4. Dokumen berikut ini tersedia di Pusat Referensi Pasar Modal yang disampaikan oleh
Bapepam ke Pusat Referensi Pasar Modal sebagai berikut :
a. Pernyataan Pendaftaran Dalam Rangka Penawaran Umum sebagaimana dimaksud
dalam Peraturan Nomor IX.C.1, termasuk Prospektus Awal, Info Memo dan dokumen
sejenisnya (jika ada) disampaikan oleh Biro Penilaian Keuangan Perusahaan;
IV-2
Peraturan Nomor II.A.2
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal
Nomor : Kep-40/PM/1997
Tanggal : 26 Desember 1997
b. Pernyataan Pendaftaran Dalam Rangka Penawaran Umum Perusahaan Menengah atau
Kecil, sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Nomor IX.C.7, termasuk Prospektus Awal, Info
Memo dan dokumen sejenisnya (jika ada) disampaikan oleh Biro Penilaian Keuangan Perusahaan;
c. Pernyataan Pendaftaran Perusahaan Publik sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Nomor
IX.B.1, termasuk Prospektus Awal, Info Memo dan dokumen sejenisnya (jika ada) disampaikan
oleh Biro Penilaian Keuangan Perusahaan;
d. Pernyataan Pendaftaran Dalam Rangka Penerbitan Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu
sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Nomor IX.D.2, Info Memo dan dokumen sejenisnya
(jika ada) disampaikan oleh Biro Penilaian Keuangan Perusahaan;
e. Pernyataan Penawaran Tender sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Nomor IX.F.1 disampaikan
oleh Biro Penilaian Keuangan Perusahaan;
f. Laporan Penjatahan oleh Manajer Penjatahan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Nomor
IX.A.7, disampaikan oleh Biro Penilaian Keuangan Perusahaan;
g. Pernyataan Pendaftaran Dalam Rangka Penawaran Umum Reksa Dana berbentuk perseroan
sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Nomor IX.C.4, termasuk Prospektus Awal, Info Memo
dan dokumen sejenisnya (jika ada) disampaikan oleh Biro Pengelolaan Investasi dan Riset; dan
h. Pernyataan Pendaftaran Dalam Rangka Penawaran Umum Reksa Dana berbentuk Kontrak
Investasi Kolektif sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Nomor IX.C.5, termasuk Prospektus
Awal, Info Memo dan dokumen sejenisnya (jika ada) disampaikan oleh Biro Pengelolaan Investasi
dan Riset.
5. Dokumen yang tembusannya disampaikan oleh Bapepam kepada Pusat Referensi Pasar Modal
antara lain surat pemberitahuan efektifnya Pernyataan Pendaftaran, surat penangguhan Penawaran
Umum surat pencabutan penangguhan Penawaran Umum, pemberian surat izin usaha, surat
pencabutan izin usaha, surat izin Wakil Agen Penjual Efek Reksa Dana, surat izin Wakil Perusahaan
Efek, dan Surat Tanda Terdaftar Profesi Penunjang Pasar Modal.
6. Dokumen yang tersedia di Pusat Referensi Pasar Modal dapat digandakan oleh masyarakat dengan
tatacara yang diatur lebih lanjut oleh Pusat Referensi Pasar Modal.
Ditetapkan di
pada tanggal
:
Jakarta
: 26 Desember 1997
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
Ketua
I PUTU GEDE ARY SUTA
NIP 060065493
IV-3
"," KEPTA-BAPEPAM
KEP-40/PM/1997|KEPTA-BAPEPAM/1997
PROSEDUR PENYEDIAAN DOKUMEN BAGI MASYARAKAT DI PUSAT REFERENSI PASAR MODAL
26 Desember 1997
26 Desember 1997
'KEP-22/PM/1993|KEPTA-BAPEPAM/1993'
'8/UU/1995', '1/UU/1995', '322/M|KEPPRES/1995'
"
" Peraturan Nomor III.B.2
KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
NOMOR KEP-08/PM/1996
TENTANG
TATA CARA PEMBUATAN PERATURAN
OLEH LEMBAGA KLIRING DAN PENJAMINAN
KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL,
Menimbang
:
bahwa dengan berlakunya Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang
Pasar Modal, dipandang perlu untuk menetapkan Keputusan Ketua
Bapepam tentang Tata Cara Pembuatan Peraturan Oleh Lembaga Kliring
dan Penjaminan;
Mengingat
: 1. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran
Negara Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3608);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan
Kegiatan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor
86, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3617);
3. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 322/M Tahun 1995;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan
: KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL TENTANG
TATA CARA PEMBUATAN PERATURAN OLEH LEMBAGA KLIRING
DAN PENJAMINAN.
Pasal 1
Ketentuan mengenai Tata Cara Pembuatan Peraturan Oleh Lembaga Kliring dan Penjaminan,
diatur dalam Peraturan Nomor III.B.2 sebagaimana dimuat dalam Lampiran Keputusan ini.
Pasal 2
Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di
pada tanggal
: Jakarta
: 17 Januari 1996
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
Ketua,
I PUTU GEDE ARY SUTA
NIP. 060065493
IV-1
Peraturan Nomor III.B.2
LAMPIRAN :
Keputusan Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal
Nomor : Kep-08/PM/1996
Tanggal : 17 Januari 1996
PERATURAN NOMOR III.B.2 : TATA CARA PEMBUATAN PERATURAN OLEH LEMBAGA
KLIRING DAN PENJAMINAN
1. Peraturan atau perubahan peraturan Lembaga Kliring dan Penjaminan dibuat dengan
memperhatikan pendapat dari pemakai jasa Lembaga Kliring dan Penjaminan, Bursa
Efek, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, serta Pihak-Pihak yang berkepentingan
lainnya.
2. Peraturan atau perubahan peraturan Lembaga Kliring dan Penjaminan sebagaimana dimaksud
dalam angka 1 peraturan ini, wajib terlebih dahulu memperoleh persetujuan dewan komisaris
sebelum diajukan kepada Bapepam untuk memperoleh persetujuan.
3. Permohonan persetujuan peraturan atau perubahan peraturan Lembaga Kliring dan Penjaminan
disampaikan kepada Bapepam dalam rangkap 4 (empat) dengan menggunakan Formulir
Nomor III.B.2-1 lampiran 1 peraturan ini disertai dengan dokumen :
a. peraturan yang dimintakan persetujuan;
b. persetujuan dewan komisaris;
c. pendapat pemakai jasa Lembaga Kliring dan Penjaminan; dan
d. pendapat Pihak-Pihak yang berkepentingan dengan peraturan dimaksud.
4. Dalam permohonan dijelaskan alasan permohonan yang antara lain menyangkut latar belakang
penyusunan peraturan, masalah-masalah yang dihadapi, dan cara pemecahannya.
5. Dalam rangka memproses permohonan persetujuan sebagaimana dimaksud dalam angka 3
peraturan ini :
a. persetujuan atau penolakan atas permohonan perubahan peraturan Lembaga Kliring dan
Penjaminan wajib diberikan selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari sejak permohonan
diterima secara lengkap oleh Bapepam;
b. dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam huruf a, Bapepam dapat meminta
untuk mengubah materi perubahan peraturan Lembaga Kliring dan Penjaminan dan atau
meminta tambahan informasi yang berhubungan dengan peraturan dimaksud, dengan
menggunakan Formulir Nomor III.B.2-2 lampiran 2 peraturan ini;
c. dalam hal perubahan dan atau tambahan informasi sebagaimana dimaksud dalam huruf
b telah disampaikan kepada Bapepam, permohonan perubahan peraturan Lembaga
Kliring dan Penjaminan dihitung sejak tanggal diterimanya perubahan atau tambahan
informasi tersebut oleh Bapepam.
6. Penolakan atas permohonan persetujuan mengenai pengajuan atau perubahan peraturan
Lembaga Kliring dan Penjaminan dilakukan dengan menggunakan Formulir Nomor III.B.2-3
lampiran 3 peraturan ini.
7. Persetujuan atas peraturan atau perubahan peraturan Lembaga Kliring dan Penjaminan yang
diajukan kepada Bapepam dilakukan dengan menggunakan Formulir Nomor III.B.2-4 lampiran
4 peraturan ini.
IV-2
Peraturan Nomor III.B.2
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal
Nomor : Kep- 08/PM/1996
Tanggal : 17 Januari 1996
8. Penafsiran atas peraturan Lembaga Kliring dan Penjaminan untuk memperjelas
pengertiannya tetapi tidak merubah atau menambah pengertian dimaksud, dan ketentuan
mengenai pelaksanaan kegiatan interen Lembaga Kliring dan Penjaminan yang
menyangkut kepegawaian Lembaga Kliring dan Penjaminan, penggunaan tanda pengenal
atau standar prosedur operasi kegiatan Lembaga Kliring dan Penjaminan berlaku pada
saat diajukan kepada Bapepam.
9. Pemberitahuan oleh Lembaga Kliring dan Penjaminan kepada Bapepam mengenai penafsiran
atas peraturan Lembaga Kliring dan Penjaminan dan ketentuan mengenai pelaksanaan
kegiatan interen Lembaga Kliring dan Penjaminan sebagaimana dimaksud dalam angka 8
peraturan ini, disampaikan dengan menggunakan Formulir Nomor III.B.2-5 lampiran 5
peraturan ini, disertai dengan penjelasan dan latar belakang penyusunannya.
10. Bapepam dapat membatalkan penafsiran dan ketentuan mengenai kegiatan interen Lembaga
Kliring dan Penjaminan sebagaimana dimaksud dalam angka 8 peraturan ini, dalam jangka
waktu 30 (tiga puluh) hari sejak berlakunya peraturan dimaksud dengan menggunakan
Formulir Nomor III.B.2-6 lampiran 6 peraturan ini.
Ditetapkan di
Pada tanggal
: Jakarta
: 17 Januari 1996
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
Ketua,
I PUTU GEDE ARY SUTA
NIP. 060065493
IV-3
Peraturan Nomor III.B.2
LAMPIRAN
FORMULIR NOMOR: III.B.2-1
Nomor :
Lampiran : ---
Perihal : Permohonan Persetujuan Atas
Pengajuan atau Perubahan Peraturan
oleh Lembaga Kliring dan Penjaminan.
: 1
Peraturan Nomor : III.B.2
Jakarta,. ...........................19....
KEPADA
Yth. Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
di -
Jakarta
Sehubungan dengan perihal tersebut diatas, dengan ini kami mengajukan
permohonan persetujuan atas pengajuan atau perubahan peraturan oleh Lembaga
Kliring dan Penjaminan sebagai berikut :
1.
2.
3.
...................................................................................................................
...................................................................................................................
...................................................................................................................
Sebagai bahan pertimbangan, bersama ini disampaikan penjelasan dan dokumen
sebagai berikut :
1.
2.
3.
...................................................................................................................
...................................................................................................................
...................................................................................................................
Demikian, atas perhatiannya kami ucapkan terimakasih.
PT . ......................................
.............................................
(Nama Lengkap dan Jabatan)
Tembusan Yth. :
1. Sekretaris Bapepam;
2. Para Kepala Biro di lingkungan Bapepam.
IV-4
Peraturan Nomor III.B.2
LAMPIRAN : 2
Peraturan Nomor : III.B.2
FORMULIR NOMOR: III.B.2-2
Nomor : S-
/PM/19...
Lampiran : ---
Perihal : Permintaan Keterangan Tambahan
Atau Perubahan Permohonan Persetujuan
Atas Pengajuan Atau Perubahan
Peraturan Lembaga Kliring dan Penjaminan
Jakarta,. ...........................19....
KEPADA
Yth..................................................
di -
......................................
Menunjuk surat Saudara Nomor ...................... tanggal ........................ perihal
.........................., dengan ini diberitahukan bahwa permohonan Saudara masih
terdapat kekurangan data sebagai berikut :
1.
2.
3.
...................................................................................................................
...................................................................................................................
...................................................................................................................
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, dengan ini kami sampaikan bahwa
permohonan Saudara untuk memperoleh Persetujuan atas perubahan anggaran
dasar Lembaga Kliring dan Penjaminan belum dapat dipertimbangkan. Selanjutnya
permohonan Saudara akan dipertimbangkan setelah Saudara memenuhi
kekurangan-kekurangan tersebut di atas.
Demikian agar Saudara maklum.
BADAN PENGAWAS PASAR
MODAL
Ketua,
............................................
NIP. ....................................
Tembusan Kepada Yth :
1. Sdr. Sekretaris Bapepam;
2. Sdr. para Kepala Biro di lingkungan Bapepam.
IV-5
Peraturan Nomor III.B.2
LAMPIRAN
FORMULIR NOMOR: III.B.2-3
Nomor : S-
/PM/19...
Lampiran: ---
Perihal : Penolakan Atas Permohonan
Persetujuan Atas Pengajuan Atau
PerubahanPeraturan Lembaga
Kliring dan Penjaminan.
: 3
Peraturan Nomor : III.B.2
Jakarta,. ...........................19....
KEPADA
Yth..................................................
di -
......................................
Menunjuk surat Saudara Nomor: ...................... tanggal ........................ perihal
Permohonan Persetujuan atas Pengajuan atau Perubahan Peraturan Lembaga Kliring
dan Penjaminan., setelah meneliti permohonan Saudara, dengan ini diputuskan bahwa
permohonan Saudara ditolak karena tidak memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1.
2.
3.
...................................................................................................................
...................................................................................................................
...................................................................................................................
Demikian agar Saudara maklum.
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
Ketua,
............................................
NIP. ....................................
Tembusan Kepada Yth :
1. Sdr. Sekretaris Bapepam;
2. Sdr. para Kepala Biro di lingkungan Bapepam.
IV-6
Peraturan Nomor III.B.2
LAMPIRAN
FORMULIR NOMOR: III.B.2-4
Nomor : S-
/PM/19...
Lampiran :
Perihal
---
: Persetujuan Perubahan Peraturan
Lembaga Kliring dan Penjaminan.
: 4
Peraturan Nomor : III.B.2
Jakarta,. ...........................19....
KEPADA
Yth. Sdr. Direksi Lembaga Kliring dan
Penjaminan..........................
di -
......................................
Menunjuk surat Saudara Nomor ................. tanggal .................... perihal
Permohonan Persetujuan atas Perubahan Peraturan Lembaga Kliring dan
Penjaminan, dengan ini disampaikan bahwa Perubahan Peraturan Lembaga Kliring
dan Penjaminan .............................., sebagaimana dimaksud dalam permohonan
Saudara, dapat disetujui.
Demikian agar Saudara maklum.
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
Ketua,
............................................
NIP. ....................................
Tembusan Kepada Yth :
1. Sdr. Sekretaris Bapepam;
2. Sdr. para Kepala Biro di lingkungan Bapepam.
IV-7
Peraturan Nomor III.B.2
LAMPIRAN
FORMULIR NOMOR: III.B.2-5
Nomor :
Lampiran : ---
Perihal : Pemberitahuan atas Penafsiran
Peraturan Lembaga Kliring dan
Penjaminan/Peraturan Kegiatan Intern
Lembaga Kliring dan Penjaminan
: 5
Peraturan Nomor : III.B.2
Jakarta,. ...........................19....
KEPADA
Yth. Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
di -
Jakarta
Dengan ini diberitahukan bahwa Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan .............
telah menetapkan penafsiran peraturan/peraturan kegiatan intern sebagai berikut :
1.
2.
3.
...................................................................................................................
...................................................................................................................
...................................................................................................................
Sebagai tambahan informasi, bersama ini kami sampaikan penjelsan mengenai
latar belakang penafsiran peraturan/peraturan kegiatan intern dimaksud, sebagai
berikut :
1.
2.
3.
...................................................................................................................
...................................................................................................................
...................................................................................................................
Demikian atas perhatiannya di ucapkan terimakasih.
PT . ......................................
.............................................
(Nama Lengkap dan Jabatan)
IV-8
Peraturan Nomor III.B.2
LAMPIRAN
FORMULIR NOMOR: III.B.2-6
Nomor : S-
/PM/19...
Lampiran :
Perihal
---
: Pembatalan Berlakunya Penafsiran
Peraturan/ Peraturan Kegiatan
Intern Lembaga Kliring dan
Penjaminan.......................
: 6
Peraturan Nomor : III.B.2
Jakarta,. ...........................19....
KEPADA
Yth..................................................
di -
......................................
Menunjuk surat Saudara Nomor .............................. tanggal ................... tentang
pemberitahuan atas penafsiran peraturan/peraturan kegiatan intern Lembaga Kliring
dan Penjaminan ............, dengan ini diberitahukan bahwa penafsiran
peraturan/peraturan kegiatan intern dimaksud dibatalkan, dengan alasan sebagai
berikut :
1.
2.
3.
...................................................................................................................
...................................................................................................................
...................................................................................................................
Pembatalan ini berlaku sejak tanggal berlakunya penafsiran peraturan/peraturan
kegiatan intern dimaksud.
Demikian agar Saudara maklum.
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
Ketua,
............................................
NIP. ....................................
Tembusan Kepada Yth :
1. Sdr. Sekretaris Bapepam;
2. Sdr. para Kepala Biro di lingkungan Bapepam.
IV-9
"," KEPTA-BAPEPAM
KEP-08/PM/1996|KEPTA-BAPEPAM/1996
TATA CARA PEMBUATAN PERATURAN OLEH LEMBAGA KLIRING DAN PENJAMINAN
17 Januari 1996
17 Januari 1996
'8/UU/1995', '45/PP/1995', '322/M|KEPPRES/1995'
"
" Peraturan Nomor II.F.4
KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
NOMOR KEP-01/PM/1996
TENTANG
PEMERIKSAAN REKSA DANA
KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL,
Menimbang
: bahwa dengan berlakunya Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang
Pasar Modal, dipandang perlu untuk mengubah Keputusan Ketua
Bapepam Nomor Kep-172/PM/1991 tentang Pemeriksaan Reksa Dana
dengan menetapkan Keputusan Ketua Bapepam yang baru;
Mengingat
: 1. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran
NegaraTahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3608);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan
Kegiatan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor
86 Tambahan Lembaran Negara Nomor 3617);
3. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 322/M Tahun 1995;
4. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
646/KMK.010/1995 tentang Pemilikan Saham Atau Unit Penyertaan
Reksa Dana Oleh Pemodal Asing;
M E M U T U S K A N :
Menetapkan
: KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL TENTANG
PEMERIKSAAN REKSA DANA.
Pasal 1
Ketentuan mengenai Pemeriksaan Reksa Dana, diatur dalam Peraturan Nomor: II.F.4 sebagaimana
dimuat dalam Lampiran Keputusan ini.
Pasal 2
Dengan ditetapkannya Keputusan ini, maka Keputusan Ketua Bapepam Nomor: Kep-172/PM/1991
tanggal 16 Desember 1991 dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 3
Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 17 Januari 1996
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
Ketua,
I PUTU GEDE ARY SUTA
NIP 060065493
IV-1
Peraturan Nomor II.F.4
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal
Nomor : Kep- 01/PM/1996
Tanggal : 17 Januari 1996
PERATURAN NOMOR II.F.4
: PEMERIKSAAN REKSA DANA
1. Pemeriksaan oleh Bapepam dapat dilakukan sewaktu-waktu apabila dipandang perlu.
2. Reksa Dana, Manajer Investasi dan Bank Kustodian yang berkaitan dengan Reksa Dana wajib
memperlihatkan buku, catatan dan dokumen-dokumen kepada pemeriksa, serta memberikan
keterangan yang diperlukan dalam rangka pemeriksaan.
3. Pemeriksa wajib menjaga kerahasiaan hasil pemeriksaan dan dokumen- dokumennya.
4. Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam angka 1 peraturan ini dilakukan setelah memenuhi tata
cara sebagai berikut :
a. Pemeriksa dilengkapi dengan surat tugas yang bentuk dan isinya sebagaimana dimaksud dalam
formulir nomor II.F.4-1 dan ditandatangani Ketua Bapepam atau pejabat yang ditunjuk;
b. Pemeriksa memperlihatkan surat tugas;
c. Pemeriksaan dilakukan sesuai dengan rencana pemeriksaan yang telah disetujui oleh Ketua
Bapepam; dan
d. Pemeriksa wajib menyusun laporan hasil pemeriksaan yang dilakukan.
Ditetapkan di
pada tanggal
: Jakarta
: 17 Januari 1996
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
Ketua,
I PUTU GEDE ARY SUTA
NIP 060065493
IV-2
Peraturan Nomor II.F.4
LAMPIRAN :
Peraturan Nomor : II.F.4
FORMULIR NOMOR : II.F.4-1
Nomor
Lampiran
Perihal
: S-
:
/PM/9...
: Pemeriksaan Reksa Dana
Jakarta, ...........................19....
KEPADA
Yth. .........................................
di -
..............................
No.
1.
Dengan ini diberitahukan bahwa pegawai Bapepam yang bernama :
Nama
Jabatan
NIP
................................................................................................................................
2.
................................................................................................................................
3.
ditugaskan melakukan pemeriksaan pada ........................ dari tanggal .....................
s/d tanggal ...............
Maksud dan tujuan pemeriksaan adalah :
1.
2.
3.
...........................................................................................................................
...........................................................................................................................
...........................................................................................................................
Demikian agar Saudara maklum.
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
Ketua,
I PUTU GEDE ARY SUTA
NIP. 060065493
Tembusan Yth :
1. Sdr. Sekretaris Bapepam;
2. Sdr. Para Kepala Biro di lingkungan Bapepam.
IV-3
"," KEPTA-BAPEPAM
KEP-01/PM/1996|KEPTA-BAPEPAM/1996
PEMERIKSAAN REKSA DANA
17 Januari 1996
17 Januari 1996
'KEP-172/PM/1991|KEPTA-BAPEPAM/1991'
'8/UU/1995', '45/PP/1995', '646/KMK.010/1995|KEP-MENKEU/1995', '322/M|KEPPRES/1995'
"
" Peraturan Nomor III.C.2
KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
NOMOR KEP-13/PM/1996
TENTANG
TATA CARA PEMBUATAN PERATURAN
OLEH LEMBAGA PENYIMPANAN DAN PENYELESAIAN
KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL,
Menimbang
: bahwa dengan berlakunya Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang
Pasar Modal, dipandang perlu untuk menetapkan Keputusan Ketua
Bapepam tentang Tata Cara Pembuatan Peraturan Oleh Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian;
Mengingat
: 1. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran
Negara Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3608);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan
Kegiatan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor
86, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3617);
3. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 322/M Tahun 1995;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan
:
KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
TENTANG TATA CARA PEMBUATAN PERATURAN OLEH LEMBAGA
PENYIMPANAN DAN PENYELESAIAN.
Pasal 1
Ketentuan mengenai Tata Cara Pembuatan Peraturan Oleh Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian, diatur dalam Peraturan Nomor III.C.2 sebagaimana dimuat dalam Lampiran
Keputusan ini.
Pasal 2
Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di
pada tanggal
:
Jakarta
: 17 Januari 1996
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
Ketua,
I PUTU GEDE ARY SUTA
NIP. 060065493
IV-1
Peraturan Nomor III.C.2
LAMPIRAN
Keputusan Ketua
Badan Pengawas Pasar Modal
Nomor
: Kep- 13 /PM/1996
Tanggal : 17 Januari 1996
PERATURAN NOMOR III.C.2 : TATA CARA PEMBUATAN PERATURAN OLEH LEMBAGA
PENYIMPANAN DAN PENYELESAIAN
1. Peraturan atau perubahan peraturan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian dibuat dengan
memperhatikan pendapat dari pemakai jasa Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, Bursa
Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, serta Pihak-Pihak yang berkepentingan lainnya.
2. Peraturan atau perubahan peraturan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian sebagaimana
dimaksud dalam angka 1 peraturan ini, wajib memperoleh persetujuan dewan komisaris
sebelum diajukan kepada Bapepam untuk memperoleh persetujuan.
3. Permohonan persetujuan peraturan atau perubahan peraturan Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian disampaikan kepada Bapepam dalam rangkap 4 (empat) dengan menggunakan
Formulir Nomor III.C.2-1 lampiran 1 peraturan ini disertai dengan dokumen :
a. peraturan yang dimintakan persetujuan;
b. persetujuan dewan komisaris;
c. pendapat pemakai jasa Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian; dan
d. pendapat Pihak-Pihak yang berkepentingan dengan peraturan dimaksud.
4. Dalam permohonan dijelaskan alasan permohonan yang antara lain menyangkut latar belakang
penyusunan peraturan, masalah-masalah yang dihadapi, dan cara pemecahannya.
5. Dalam rangka memproses permohonan persetujuan sebagaimana dimaksud dalam angka 3
peraturan ini :
a. persetujuan atau penolakan atas permohonan perubahan peraturan Lembaga Penyimpanan
dan Penyelesaian wajib diberikan selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari sejak
permohonan diterima secara lengkap oleh Bapepam;
b. dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam huruf a, Bapepam dapat meminta
untuk mengubah materi perubahan peraturan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian
dan atau meminta tambahan informasi yang berhubungan dengan peraturan dimaksud,
dengan menggunakan Formulir Nomor III.C.2-2 lampiran 2 peraturan ini; dan
c. dalam hal perubahan dan atau tambahan informasi sebagaimana dimaksud dalam huruf
b telah disampaikan kepada Bapepam, permohonan perubahan peraturan Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian dihitung sejak tanggal diterimanya perubahan atau
tambahan informasi tersebut oleh Bapepam.
6. Penolakan atas permohonan persetujuan mengenai pengajuan atau perubahan peraturan
Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian dilakukan dengan menggunakan Formulir Nomor
III.C.2-3 lampiran 3 peraturan ini.
7. Persetujuan atas peraturan atau perubahan peraturan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian
yang diajukan kepada Bapepam dilakukan dengan menggunakan Formulir Nomor III.C.2-4
lampiran 4 peraturan ini.
IV-2
Peraturan Nomor III.C.2
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal
Nomor : Kep- 13/PM/1996
Tanggal : 17 Januari 1996
8. Penafsiran atas peraturan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian untuk memperjelas
pengertiannya tetapi tidak merubah atau menambah pengertian dimaksud, dan ketentuan
mengenai pelaksanaan kegiatan interen Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang
menyangkut kepegawaian Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, penggunaan tanda
pengenal atau standar prosedur operasi kegiatan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian
berlaku pada saat diajukan kepada Bapepam.
9. Pemberitahuan oleh Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian kepada Bapepam mengenai
penafsiran atas peraturan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian dan ketentuan mengenai
pelaksanaan kegiatan interen Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian sebagaimana
dimaksud dalam angka 8 peraturan ini, disampaikan dengan menggunakan Formulir Nomor
III.C.2-5 lampiran 5 peraturan ini, disertai dengan penjelasan dan latar belakang
penyusunannya.
10. Bapepam dapat membatalkan penafsiran dan ketentuan mengenai kegiatan interen Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian sebagaimana dimaksud dalam angka 8 peraturan ini, dalam
jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak berlakunya peraturan dimaksud dengan menggunakan
Formulir Nomor III.C.2-6 lampiran 6 peraturan ini.
Ditetapkan di
pada tanggal
:
:
Jakarta
17 Januari 1996
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
Ketua,
I PUTU GEDE ARY SUTA
NIP 060065493
IV-3
Peraturan Nomor III.C.2
LAMPIRAN
FORMULIR NOMOR: III.C.2-1
Nomor :
Lampiran : ---
Perihal : Permohonan Persetujuan atas
Pengajuan atau Perubahan Peraturan
oleh Lembaga Penyimpanan
dan Penyelesaian.
: 1
Peraturan Nomor : III.C.2
Jakarta,. ...........................19....
KEPADA
Yth. Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
di -
Jakarta
Sehubungan dengan perihal tersebut diatas, dengan ini kami mengajukan
permohonan persetujuan atas pengajuan atau perubahan peraturan oleh Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian sebagai berikut :
1.
2.
3.
...................................................................................................................
...................................................................................................................
...................................................................................................................
Sebagai bahan pertimbangan, bersama ini disampaikan penjelasan dan dokumen
sebagai berikut:
1.
2.
3.
...................................................................................................................
...................................................................................................................
...................................................................................................................
Demikian, atas perhatiannya di ucapkan terimakasih.
PT . ......................................
.............................................
(Nama Lengkap dan Jabatan)
Tembusan Yth. :
1. Sekretaris Bapepam;
2. Para Kepala Biro di lingkungan Bapepam.
IV-4
Peraturan Nomor III.C.2
LAMPIRAN
FORMULIR NOMOR: III.C.2-2
Nomor : S-
/PM/19...
Lampiran :
Perihal
---
: Permintaan Keterangan Tambahan
atau Perubahan Permohonan Persetujuan
atas Pengajuan atau Perubahan Peraturan
Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian.
KEPADA
Yth..................................................
di -
......................................
: 2
Peraturan Nomor : III.C.2
Jakarta,. ...........................19....
Menunjuk surat Saudara Nomor ...................... tanggal ........................ perihal
.........................., dengan ini diberitahukan bahwa permohonan Saudara masih
terdapat kekurangan data sebagai berikut :
1.
2.
3.
...................................................................................................................
...................................................................................................................
...................................................................................................................
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, dengan ini kami sampaikan bahwa
permohonan Saudara untuk memperoleh Persetujuan atas Permohonan Pengajuan
atau Perubahan Peraturan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian belum dapat
dipertimbangkan. Selanjutnya permohonan Saudara akan dipertimbangkan setelah
Saudara memenuhi kekurangan-kekurangan tersebut di atas.
Demikian agar Saudara maklum.
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
Ketua,
............................................
NIP. ....................................
Tembusan Kepada Yth :
1. Sdr. Sekretaris Bapepam;
2. Sdr. para Kepala Biro di lingkungan Bapepam.
IV-5
Peraturan Nomor III.C.2
LAMPIRAN
FORMULIR NOMOR: III.C.2-3
Nomor : S-
/PM/19...
Lampiran :
Perihal
---
: Penolakan atas Permohonan Persetujuan
atas Pengajuan atau Perubahan
Peraturan Lembaga Penyimpanan
dan Penyelesaian.
KEPADA
Yth..................................................
di -
......................................
: 3
Peraturan Nomor : III.C.2
Jakarta,. ...........................19....
Menunjuk surat Saudara Nomor: ...................... tanggal ........................ perihal
Permohonan Persetujuan atas Pengajuan atau Penghapusan Peraturan Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian, setelah meneliti permohonan Saudara, dengan ini
diputuskan bahwa permohonan Saudara ditolak karena tidak memenuhi persyaratan
sebagai berikut:
1.
2.
3.
...................................................................................................................
...................................................................................................................
...................................................................................................................
Demikian agar Saudara maklum.
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
Ketua,
............................................
NIP. ....................................
Tembusan Kepada Yth :
1. Sdr. Sekretaris Bapepam;
2. Sdr. para Kepala Biro di lingkungan Bapepam.
IV-6
Peraturan Nomor III.C.2
LAMPIRAN
FORMULIR NOMOR: III.C.2-4
Nomor : S-
/PM/19...
Lampiran :
Perihal
---
: Persetujuan atas Perubahan
Peraturan Lembaga Penyimpanan
dan Penyelesaian.
KEPADA
Yth. Sdr Direksi Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian
di -
......................................
: 4
Peraturan Nomor : III.C.2
Jakarta,. ...........................19....
Menunjuk surat Saudara Nomor ................. tanggal .................... perihal
Permohonan Persetujuan atas Perubahan Peraturan Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian, dengan ini disampaikan bahwa Perubahan Peraturan Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian .............................., sebagaimana dimaksud dalam
permohonan Saudara, dapat disetujui.
Demikian agar Saudara maklum.
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
Ketua,
............................................
NIP. ....................................
Tembusan Kepada Yth :
1. Sdr. Sekretaris Bapepam;
2. Sdr. para Kepala Biro di lingkungan Bapepam.
IV-7
Peraturan Nomor III.C.2
LAMPIRAN
FORMULIR NOMOR: III.C.2-5
Nomor :
Lampiran : ---
Perihal : Pemberitahuan atas Penafsiran
Peraturan Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian/Peraturan Kegiatan Intern
Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian.
: 5
Peraturan Nomor : III.C.2
Jakarta,. ...........................19....
KEPADA
Yth. Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
di -
Jakarta
Dengan ini diberitahukan bahwa Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian
...................... telah menetapkan penafsiran peraturan/peraturan kegiatan intern
sebagai berikut:
1.
2.
3.
...................................................................................................................
...................................................................................................................
...................................................................................................................
Sebagai tambahan informasi, bersama ini kami sampaikan penjelsan mengenai
latar belakang penafsiran peraturan/peraturan kegiatan intern dimaksud, sebagai
berikut :
1.
2.
3.
...................................................................................................................
...................................................................................................................
...................................................................................................................
Demikian, atas perhatiannya di ucapkan terimakasih.
PT . ......................................
.............................................
(Nama Lengkap dan Jabatan)
IV-8
Peraturan Nomor III.C.2
LAMPIRAN
FORMULIR NOMOR: III.C.2-6
Nomor : S-
/PM/19...
Lampiran :
Perihal
---
: Pembatalan Berlakunya Penafsiran
Peraturan/ Peraturan Kegiatan Intern
Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian.
KEPADA
Yth. Direksi PT.............................
di -
......................................
: 6
Peraturan Nomor : III.C.2
Jakarta,. ...........................19....
Menunjuk surat Saudara Nomor .............................. tanggal ................... tentang
pemberitahuan atas penafsiran peraturan/peraturan kegiatan intern Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian ...................., dengan ini diberitahukan bahwa
penafsiran peraturan/peraturan kegiatan intern dimaksud dibatalkan, dengan alasan
sebagai berikut :
1.
2.
3.
........................................................................................................................
........................................................................................................................
........................................................................................................................
Pembatalan ini berlaku sejak tanggal berlakunya penafsiran peraturan/peraturan
kegiatan intern dimaksud.
Demikian agar Saudara maklum.
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
Ketua,
............................................
NIP. ....................................
Tembusan Kepada Yth :
1. Sdr. Sekretaris Bapepam;
2. Sdr. para Kepala Biro di lingkungan Bapepam.
IV-9
"," KEPTA-BAPEPAM
KEP-13/PM/1996|KEPTA-BAPEPAM/1996
TATA CARA PEMBUATAN PERATURAN OLEH LEMBAGA PENYIMPANAN DAN PENYELESAIAN
17 Januari 1996
17 Januari 1996
'8/UU/1995', '45/PP/1995', '322/M|KEPPRES/1995'
"
" DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
SALINAN
KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN
NOMOR: KEP- 480/BL/2009
TENTANG
PEDOMAN PELAKSANAAN FUNGSI-FUNGSI MANAJER INVESTASI
KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka melaksanakan kegiatannya, Manajer
Investasi perlu untuk memiliki dan menerapkan fungsi-
fungsi yang mendukung peningkatan kualitas dan
profesionalisme Manajer Investasi serta perlindungan
terhadap investor;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, dipandang perlu untuk menetapkan
Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan
Lembaga Keuangan tentang Pedoman Pelaksanaan Fungsi-
Fungsi Manajer Investasi;
Mengingat
:
1. Undang-Undang Nomor 8 tahun 1995 tentang Pasar Modal
(Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3608);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1995 tentang
Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal (Lembaran
Negara Tahun 1995 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3617) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 12 Tahun 2004 (Lembaran Negara Tahun
2004 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4372);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 1995 tentang Tata
Cara Pemeriksaan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara
Tahun 1995 Nomor 87, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3618);
4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 45/M Tahun
2006;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN TENTANG PEDOMAN
PELAKSANAAN FUNGSI-FUNGSI MANAJER INVESTASI.
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
- 2 -
Pasal 1
Ketentuan mengenai Pedoman Pelaksanaan Fungsi-Fungsi
Manajer Investasi diatur dalam Peraturan Nomor V.D.11
sebagaimana dimuat dalam Lampiran Keputusan ini.
Pasal 2
Perusahaan Efek yang telah memiliki izin usaha sebagai Manajer
Investasi sebelum ditetapkannya Keputusan ini, wajib
menyesuaikan dengan ketentuan dalam Peraturan Nomor V.D.11
Lampiran Keputusan ini paling lambat satu tahun sejak
ditetapkannya Keputusan ini.
Pasal 3
Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di
pada tanggal
: Jakarta
: 31 Desember 2009
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
dan Lembaga Keuangan
ttd.
A. Fuad Rahmany
NIP 060063058
Salinan sesuai dengan aslinya
Pjs. Kepala Bagian Umum
ttd.
Kristrianti Puji Rahayu
NIP 060089892
NIP 060076008
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep- 480/BL/2009
Tanggal
: 31 Desember 2009
PERATURAN NOMOR V.D.11 : PEDOMAN PELAKSANAAN FUNGSI-FUNGSI
MANAJER INVESTASI
1. Dalam melakukan kegiatannya, Manajer Investasi wajib sekurang-kurangnya
mempunyai dan melaksanakan fungsi-fungsi sebagai berikut:
a. Investasi;
b. Manajemen risiko;
c. Kepatuhan;
d. Pemasaran;
e. Perdagangan (dealing);
f. Penyelesaian transaksi Efek;
g. Penanganan keluhan investor;
h. Riset dan teknologi informasi;
i. Pengembangan sumber daya manusia; dan
j. Akuntansi dan keuangan.
2. Pelaksanaan fungsi investasi sebagaimana dimaksud dalam angka 1 huruf a
peraturan ini wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. Pelaksanaan fungsi investasi dilakukan oleh karyawan yang memiliki izin
orang perseorangan sebagai Wakil Manajer Investasi dari Bapepam dan LK;
dan
b. Pelaksanaan fungsi investasi dikoordinir oleh direksi atau karyawan yang
memiliki izin orang perseorangan sebagai Wakil Manajer Investasi dari
Bapepam dan LK dan mempunyai pengalaman kerja dalam bidang investasi
dan pengelolaan dana paling kurang 3 (tiga) tahun.
3. Pelaksanaan fungsi manajemen risiko sebagaimana dimaksud dalam angka 1
huruf b peraturan ini wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. Pelaksanaan fungsi manajemen risiko dilakukan berdasarkan suatu strategi
manajemen risiko yang sekurang-kurangnya memuat:
1) identifikasi semua risiko yang mungkin timbul dalam kegiatan
perusahaan;
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep- 480/BL/2009
Tanggal
: 31 Desember 2009
- 2 -
2) penjelasan mengenai penyebab dari timbulnya risiko-risiko tersebut;
3) identifikasi kemungkinan terjadinya risiko-risiko tersebut;
4) penjelasan tentang implikasi atas terjadinya risiko-risiko tersebut; dan
5) langkah-langkah yang akan diambil apabila risiko-risiko tersebut terjadi.
b. Pelaksanaan fungsi manajemen risiko dikoordinir oleh direksi atau
karyawan yang mempunyai izin orang perseorangan sebagai Wakil Manajer
Investasi dari Bapepam dan LK dan pengalaman kerja dalam bidang Pasar
Modal dan/atau keuangan paling kurang 3 (tiga) tahun.
4. Pelaksanaan fungsi kepatuhan sebagaimana dimaksud dalam angka 1 huruf c
peraturan ini wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. Karyawan yang melakukan fungsi kepatuhan mempunyai akses atas semua
dokumen perusahaan dalam menjalankan tugasnya; dan
b. Pelaksanaan fungsi kepatuhan dikoordinir oleh direksi atau karyawan yang
mempunyai izin orang perseorangan sebagai Wakil Manajer Investasi dari
Bapepam dan LK dan pengalaman kerja dalam bidang Pasar Modal
dan/atau keuangan paling kurang 3 (tiga) tahun.
5. Pelaksanaan fungsi pemasaran sebagaimana dimaksud dalam angka 1 huruf d
peraturan ini wajib dikoordinir oleh direksi atau karyawan yang memiliki izin
orang perseorangan sebagai Wakil Perusahaan Efek dari Bapepam dan LK serta
mempunyai pengalaman kerja dalam bidang Pasar Modal dan atau/keuangan
paling kurang 2 (dua) tahun.
6. Pelaksanaan fungsi perdagangan (dealing) sebagaimana dimaksud dalam angka
1 huruf e peraturan ini wajib dikoordinir oleh direksi atau karyawan yang
memiliki izin orang perseorangan sebagai Wakil Manajer Investasi dari
Bapepam dan LK dan mempunyai pengalaman kerja dalam bidang Pasar Modal
dan/atau keuangan paling kurang 3 (tiga) tahun.
7. Pelaksanaan fungsi penyelesaian transaksi Efek sebagaimana dimaksud dalam
angka 1 huruf f peraturan ini wajib dikoordinir oleh direksi atau karyawan yang
memiliki izin orang perseorangan sebagai Wakil Perantara Pedagang Efek dari
Bapepam dan LK dan mempunyai pengalaman kerja dalam bidang Pasar Modal
dan/atau keuangan paling kurang 3 (tiga) tahun.
8. Pelaksanaan fungsi penanganan keluhan investor sebagaimana dimaksud
dalam angka 1 huruf g peraturan ini wajib dikoordinir oleh direksi atau
karyawan yang memiliki izin orang perseorangan sebagai Wakil Perusahaan
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep- 480/BL/2009
Tanggal
: 31 Desember 2009
- 3 -
Efek atau Wakil Agen Penjual Efek Reksa Dana dari Bapepam dan LK dan
mempunyai pengalaman kerja dalam bidang Pasar Modal dan/atau keuangan
paling kurang 2 (dua) tahun.
9. Pelaksanaan fungsi riset dan teknologi informasi sebagaimana dimaksud dalam
angka 1 huruf h peraturan ini wajib dikoordinir oleh direksi atau karyawan
yang mempunyai pengalaman kerja dalam bidang riset dan/atau teknologi
informasi paling kurang 2 (dua) tahun.
10. Pelaksanaan fungsi pengembangan sumber daya manusia sebagaimana
dimaksud dalam angka 1 huruf i peraturan ini, wajib memenuhi ketentuan
sebagai berikut:
a. Pelaksanaan fungsi pengembangan sumber daya manusia mencakup
perekrutan, pelatihan, penempatan, peningkatan kemampuan teknis, dan
peningkatan kepatuhan terhadap kode etik dan standar perilaku karyawan;
dan
b. Pelaksanaan fungsi pengembangan sumber daya manusia dikoordinir oleh
direksi atau karyawan yang mempunyai pengalaman kerja dalam bidang
pengembangan sumber daya manusia paling kurang 2 (dua) tahun.
11. Pelaksanaan fungsi akuntansi dan keuangan sebagaimana dimaksud dalam
angka 1 huruf j peraturan ini wajib dikoordinir oleh direksi atau karyawan yang
mempunyai pengalaman kerja dalam bidang akuntansi dan keuangan paling
kurang 2 (dua) tahun.
12. Dalam hal kegiatan usaha Manajer Investasi masih tergabung dengan kegiatan
usaha Penjamin Emisi Efek dan/atau Perantara Pedagang Efek dalam
Perusahaan Efek yang sama, maka SOP (standard operating procedures) untuk
pelaksanaan setiap fungsi Manajer Investasi sebagaimana diatur dalam
peraturan ini wajib dipisahkan dengan SOP untuk setiap pelaksanaan fungsi
Perusahaan Efek sebagai Perantara Pedagang Efek dan Penjamin Emisi Efek.
13. Manajer Investasi wajib memisahkan pelaksanaan antar fungsi investasi, fungsi
perdagangan (dealing) dan fungsi penyelesaian transaksi Efek.
14. Manajer Investasi wajib memisahkan pelaksanaan fungsi kepatuhan dari
pelaksanaan fungsi Manajer Investasi lainnya, kecuali pelaksanaan fungsi
manajemen risiko.
15. Pelaksanaan fungsi kepatuhan, wajib independen terhadap pelaksanaan seluruh
fungsi Manajer Investasi lainnya.
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep- 480/BL/2009
Tanggal
: 31 Desember 2009
- 4 -
16. Manajer Investasi wajib memastikan bahwa semua prosedur pelaksanaan
fungsi-fungsi sebagaimana dimaksud dalam angka 1 huruf a sampai dengan
angka 1 huruf j peraturan ini dibuat dan dibakukan secara tertulis dalam bentuk
pedoman (standard operating procedures) yang wajib dipatuhi oleh semua
karyawan yang menjalankan fungsi-fungsi tersebut.
17. Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang Pasar Modal, Bapepam
dan LK berwenang mengenakan sanksi terhadap setiap pelanggaran ketentuan
peraturan ini, termasuk pihak-pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran
tersebut.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal
: 31 Desember 2009
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
Dan Lembaga Keuangan
ttd.
A. Fuad Rahmany
NIP 060063058
Salinan sesuai dengan aslinya
Pjs. Kepala Bagian Umum
ttd.
Kristrianti Puji Rahayu
NIP 060089892
"," KEPTA-BAPEPAM-LK
KEP-480/BL/2009|KEPTA-BAPEPAM-LK/2009
PEDOMAN PELAKSANAAN FUNGSI-FUNGSI MANAJER INVESTASI
31 Desember 2009
31 Desember 2009
'45/PP/1995', '45/M|KEPPRES/2006', '12/PP/2004', '46/PP/1995', '8/UU/1995'
"
" KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
SALINAN
KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN
NOMOR: KEP-691/BL/2011
TENTANG
PEMESANAN DAN PENJATAHAN EFEK DALAM
PENAWARAN UMUM
KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN,
Menimbang
: bahwa untuk lebih memberikan kepastian hukum bagi
investor dalam pemesanan dan penjatahan Efek dalam
Penawaran Umum, dipandang
perlu untuk
menyempurnakan Keputusan Ketua Bapepam Nomor
KEP-45/PM/2000 tentang Tanggung Jawab Manajer
Penjatahan Dalam Rangka Pemesanan dan Penjatahan
Efek Dalam Penawaran Umum, dengan menetapkan
Keputusan Ketua Bapepam dan LK yang baru;
Mengingat
:
1. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 64,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3608);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1995 tentang
Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal
(Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 86, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3617) sebagaimana diubah
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2004
(Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 27, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 4372);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 1995 tentang
Tata Cara Pemeriksaan di Bidang Pasar Modal
(Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 87, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3618);
4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor
20/M Tahun 2011;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR
MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN TENTANG
PEMESANAN DAN PENJATAHAN EFEK DALAM
PENAWARAN UMUM.
Pasal 1
Ketentuan mengenai pemesanan dan penjatahan Efek
dalam Penawaran Umum diatur dalam Peraturan
Nomor IX.A.7 sebagaimana dimuat dalam Lampiran
Keputusan ini.
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
-2-
Pasal 2
Dengan berlakunya keputusan ini, maka Peraturan
Bapepam Nomor IX.A.7, Lampiran Keputusan Ketua
Bapepam Nomor KEP-45/PM/2000 tanggal 27 Oktober
2000 tentang Tanggung Jawab Manajer Penjatahan
Dalam Rangka Pemesanan dan Penjatahan Efek Dalam
Penawaran Umum dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku.
Pasal 3
Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di
pada tanggal
ttd.
Nurhaida
NIP 195906271989022001
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Bagian Umum
ttd.
Prasetyo Wahyu Adi Suryo
NIP 195710281985121001
: Jakarta
: 30 Desember 2011
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
dan Lembaga Keuangan
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-691/BL/2011
Tanggal : 30 Desember 2011
PERATURAN NOMOR IX.A.7
: PEMESANAN DAN PENJATAHAN EFEK
DALAM PENAWARAN UMUM
1. KETENTUAN UMUM
a. Dalam Peraturan ini, yang dimaksud dengan:
1) Penjatahan Pasti adalah mekanisme penjatahan Efek yang dilakukan
dengan cara memberikan alokasi Efek kepada pemesan sesuai dengan
jumlah pemesanan dalam formulir pemesanan Efek.
2) Penjatahan Terpusat adalah mekanisme penjatahan Efek yang dilakukan
dengan cara mengumpulkan seluruh pemesanan Efek (pooling) dan
kemudian dijatahkan sesuai dengan prosedur sebagaimana diatur dalam
Peraturan ini.
3) Manajer Penjatahan adalah Penjamin Pelaksana Emisi Efek yang
bertanggung jawab atas penjatahan Efek dalam suatu Penawaran Umum,
atau Emiten dalam hal tidak menggunakan Penjamin Emisi Efek.
b. Penawaran Umum dapat merupakan Penawaran Umum kepada masyarakat
luas atau kepada kelompok masyarakat tertentu atau sebagian kepada
masyarakat luas dan sebagian kepada masyarakat tertentu.
c. Dalam setiap Penawaran Umum wajib terdapat satu Manajer Penjatahan.
d. Penjamin Emisi Efek atau Emiten (dalam hal tidak menggunakan Penjamin
Emisi Efek) wajib menjamin terlaksananya penyebaran Efek secara luas
melalui penyediaan tempat dan sarana penyebarluasan Prospektus dan
formulir pemesanan yang memadai.
e. Dalam hal Penjamin Emisi Efek atau Emiten (dalam hal tidak menggunakan
Penjamin Emisi Efek) menggunakan agen penjualan Efek, maka Manajer
Penjatahan wajib memastikan bahwa semua agen penjualan Efek yang
tercantum dalam Prospektus mempunyai kesempatan yang sama untuk
memperoleh formulir pemesanan dan dokumen pemesanan lain yang
diperlukan. Formulir pemesanan tersebut wajib tersedia dalam jumlah yang
cukup dan mempunyai nomor urut tercetak (preprinted number).
f. Penjamin Pelaksana Emisi Efek wajib memiliki rekening bank yang khusus
menerima pembayaran pemesanan Efek.
g. Penjamin Pelaksana Emisi Efek dapat membuka rekening dalam mata uang
selain rupiah pada bank yang berdomisili atau berada di Indonesia sehingga
pembayaran atas penjatahan Efek dapat dilakukan dengan baik tanpa
merugikan pemodal akibat adanya perubahan kurs.
h. Dalam hal terjadi kelebihan permintaan beli dalam suatu Penawaran Umum,
maka Penjamin Emisi Efek, agen penjualan Efek, Afiliasi dari Penjamin Emisi
Efek, atau Afiliasi dari agen penjualan Efek dilarang membeli atau memiliki
Efek untuk portofolio Efek mereka sendiri.
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-691/BL/2011
Tanggal : 30 Desember 2011
-2-
i. Dalam hal terjadi kekurangan permintaan beli dalam Penawaran Umum,
maka Penjamin Emisi Efek, agen penjualan Efek, Afiliasi dari Penjamin Emisi
Efek, atau Afiliasi dari agen penjualan Efek dilarang menjual Efek yang telah
dibeli atau akan dibelinya berdasarkan perjanjian penjaminan emisi Efek
sampai dengan Efek tersebut dicatatkan di Bursa Efek.
2. PEMESANAN EFEK
a. Formulir pemesanan untuk Penawaran Umum harus memuat pernyataan
yang ditandatangani oleh para pemesan mengenai apakah:
1) pemesan adalah pemodal Indonesia atau pemodal asing;
2) pemesan telah menerima atau telah berkesempatan membaca Prospektus;
3) pemesan adalah:
a) direktur, komisaris, pegawai, atau Pihak yang memiliki 20% (dua
puluh per seratus) atau lebih saham dari suatu Perusahaan Efek yang
bertindak sebagai Penjamin Emisi Efek atau agen penjualan Efek
sehubungan dengan Penawaran Umum;
b) direktur, komisaris, dan/atau pemegang saham utama Emiten; atau
c) Afiliasi dari Pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf a) dan huruf
b), yang bukan merupakan Pihak yang melakukan pemesanan untuk
kepentingan pihak ketiga.
4) pemesan mengadakan persetujuan dengan Pihak lain mana pun, untuk
membeli Efek dalam Penawaran Umum dimaksud dengan cara apa pun,
baik langsung atau tidak langsung, yang mengakibatkan Pihak pemodal
lain menjadi pemilik manfaat (beneficial owner);
5) pemesan mempunyai rekening Efek di Perusahaan Efek sebagaimana
dipersyaratkan dalam Peraturan Nomor V.D.3; dan
6) pemesan adalah pegawai, yang bukan anggota komisaris, direksi, dan
pemegang saham utama dari Emiten yang bersangkutan.
b. Penggunaan informasi berkaitan dengan pemesanan pembelian Efek
1) Manajer Penjatahan wajib menggunakan informasi dari pernyataan para
pemesan untuk tujuan penjatahan pemesanan, kecuali jika diketahui
bahwa pernyataan tersebut tidak benar dan didukung dengan bukti yang
memadai; dan
2) Dalam hal terjadi kelebihan pemesanan, maka Manajer Penjatahan harus
menolak penjatahan bagi pemesanan oleh Pihak yang memberikan
jawaban “ya” atas pertanyaan dalam angka 2 huruf a angka 4), atau
memberikan jawaban “tidak” atas pertanyaan dalam angka 2 huruf a
angka 5).
c. Dalam hal terjadi kelebihan pemesanan Efek dan terbukti bahwa Pihak
tertentu mengajukan pemesanan Efek melalui lebih dari satu formulir
pemesanan untuk setiap Penawaran Umum, baik secara langsung maupun
tidak langsung, maka untuk tujuan penjatahan Manajer Penjatahan hanya
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-691/BL/2011
Tanggal : 30 Desember 2011
-3-
dapat mengikutsertakan satu formulir pemesanan Efek yang pertama kali
diajukan oleh pemesan yang bersangkutan.
d. Dalam hal pemesanan Efek dari pemesan kategori tertentu wajib disertai
dengan pembayaran pemesanan Efek, maka persyaratan ini wajib berlaku
sama bagi seluruh pemesan dalam kategori dimaksud. Semua setoran
pembayaran dimaksud harus diserahkan dengan persyaratan yang sama
dalam rekening bank sebagaimana dimaksud dalam angka 1 huruf f dan
wajib diaudit sesuai dengan ketentuan angka 5 huruf b.
e. Persyaratan pemesanan
Pemesanan wajib diterima oleh Manajer Penjatahan apabila telah memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
1) pemesanan dilakukan dengan menggunakan formulir pemesanan asli;
dan
2) pemesanan disampaikan melalui Perusahaan Efek yang menjadi anggota
sindikasi Penjaminan Emisi Efek dan/atau agen penjualan Efek.
3. PENJATAHAN EFEK
a. Penjatahan Pasti
Penjatahan Pasti dalam Penawaran Umum Efek berupa saham hanya dapat
dilakukan dengan memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1) Manajer Penjatahan menentukan besarnya persentase dan Pihak yang
akan mendapatkan Penjatahan Pasti dalam Penawaran Umum.
Penentuan besarnya persentase Penjatahan Pasti wajib memperhatikan
kepentingan pemesan perorangan;
2) Jumlah Penjatahan Pasti sebagaimana dimaksud pada butir 1) termasuk
pula jatah bagi pegawai Emiten yang melakukan pemesanan dalam
Penawaran Umum (jika ada) dengan jumlah paling banyak 10% (sepuluh
perseratus) dari jumlah saham yang ditawarkan dalam Penawaran
Umum; dan
3) Penjatahan Pasti dilarang diberikan kepada pemesan sebagaimana
dimaksud pada angka 2 huruf a angka 3).
b. Penjatahan Terpusat
Jika jumlah Efek yang dipesan melebihi jumlah Efek yang ditawarkan
melalui suatu Penawaran Umum, maka Manajer Penjatahan yang
bersangkutan harus melaksanakan prosedur penjatahan sisa Efek setelah
alokasi untuk Penjatahan Pasti sebagai berikut:
1) dalam hal setelah mengecualikan pemesan Efek sebagaimana dimaksud
dalam angka 2 huruf a angka 3) dan terdapat sisa Efek yang jumlahnya
sama atau lebih besar dari jumlah yang dipesan, maka:
a) pemesan yang tidak dikecualikan akan menerima seluruh jumlah Efek
yang dipesan; dan
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-691/BL/2011
Tanggal : 30 Desember 2011
-4-
b) dalam hal para pemesan yang tidak dikecualikan telah menerima
penjatahan sepenuhnya dan masih terdapat sisa Efek, maka sisa Efek
tersebut dibagikan secara proporsional kepada para pemesan
sebagaimana dimaksud dalam angka 2 huruf a angka 3) menurut
jumlah yang dipesan oleh para pemesan.
2) dalam hal setelah mengecualikan pemesan Efek sebagaimana dimaksud
dalam angka 2 huruf a angka 3) dan terdapat sisa Efek yang jumlahnya
lebih kecil dari jumlah yang dipesan, maka penjatahan bagi pemesan
yang tidak dikecualikan itu, harus mengikuti ketentuan sebagai berikut:
a) dalam hal tidak akan dicatatkan di Bursa Efek, maka Efek tersebut
dialokasikan secara proporsional menurut jumlah yang dipesan oleh
para pemesan tanpa pecahan; atau
b) dalam hal akan dicatatkan di Bursa Efek, maka Efek tersebut
dialokasikan dengan memenuhi persyaratan berikut ini:
(1) para pemesan yang tidak dikecualikan akan memperoleh satu
satuan perdagangan di Bursa Efek, jika terdapat cukup satuan
perdagangan yang tersedia. Dalam hal jumlahnya tidak
mencukupi, maka satuan perdagangan yang tersedia akan
dibagikan dengan diundi. Jumlah Efek yang termasuk dalam
satuan perdagangan dimaksud adalah satuan perdagangan
terbesar yang ditetapkan oleh Bursa Efek di mana Efek tersebut
akan tercatat; dan
(2) apabila terdapat Efek yang tersisa, maka setelah satu satuan
perdagangan dibagikan kepada pemesan yang tidak dikecualikan,
pengalokasian dilakukan secara proporsional dalam satuan
perdagangan menurut jumlah yang dipesan oleh para pemesan.
c. Metode Penjatahan Lain
Metode penjatahan lain dapat digunakan sepanjang:
1) prosedur dimaksud telah disetujui oleh Bapepam dan LK;
2) prosedur dimaksud telah diungkapkan sepenuhnya dalam Prospektus;
dan
3) prosedur dimaksud telah sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan ini,
kecuali angka 3 huruf a dan huruf b.
4. PENYERAHAN BUKTI KEPEMILIKAN EFEK DAN PENGEMBALIAN UANG
PEMESANAN
a. Untuk Efek berupa saham, setiap bukti kepemilikan Efek berupa surat
kolektif Efek yang diserahkan sebagai akibat dari suatu pemesanan, harus
diterbitkan atas nama pemesan yang bersangkutan.
b. Dalam hal Emiten tidak menerbitkan surat kolektif Efek, maka Efek tersebut
diadministrasikan secara elektronik dalam penitipan kolektif pada Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian.
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-691/BL/2011
Tanggal : 30 Desember 2011
-5-
c. Penyerahan bukti kepemilikan Efek dianggap terpenuhi jika Efek dimaksud
telah diserahkan kepada pemesan atau dimasukkan ke dalam sub rekening
Efek atas nama pemesan di Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian.
d. Dalam hal terdapat pengembalian uang atas pemesanan pembelian Efek
yang melewati masa 2 (dua) hari kerja, maka Penjamin Pelaksana Emisi Efek
atau Emiten dalam hal tidak menggunakan Penjamin Emisi Efek wajib
membayar ganti kerugian atas keterlambatan tersebut. Dalam hal ini, Emiten
dan Penjamin Pelaksana Emisi Efek wajib mengungkapkan secara jelas baik
melalui Prospektus, Prospektus ringkas, dan/atau melalui publikasi lain hal-
hal sebagai berikut:
1) tingkat bunga yang akan digunakan sebagai dasar perhitungan ganti
rugi atas keterlambatan pengembalian uang pemesanan pembelian Efek,
dengan menyebutkan persentase tingkat bunga, atau pengukur lainnya;
dan
2) tata cara yang akan digunakan dalam melakukan pengembalian uang
pemesanan pembelian Efek dan ganti rugi yang meliputi antara lain jenis
alat pembayaran dan cara pembayaran.
e. Pengembalian uang pemesanan dianggap terpenuhi jika uang dimaksud
telah diserahkan kepada pemesan atau dimasukan ke dalam rekening Efek
atas nama pemesan.
5. LAPORAN MANAJER PENJATAHAN
a. Manajer Penjatahan dari suatu Penawaran Umum wajib mengisi dan
menyampaikan Formulir Nomor: IX.A.7-1 lampiran Peraturan ini kepada
Bapepam dan LK paling lambat 5 (lima) hari kerja setelah tanggal
penjatahan, sebagai bagian dari laporan hasil Penawaran Umum
sebagaimana diatur dalam Peraturan Nomor IX.A.2.
b. Manajer Penjatahan wajib menunjuk Akuntan untuk melaksanakan
pemeriksaan khusus mengenai pelaksanaan pemesanan dan penjatahan
Efek, dengan ketentuan sebagai berikut:
1) Pemeriksaan wajib dilakukan sesuai dengan prosedur sebagaimana
diatur dalam Peraturan Nomor VIII.G.12.
2) Dalam hal jumlah pemesanan melebihi jumlah Efek yang ditawarkan,
prosedur pemeriksaan wajib dititikberatkan pada pelaksanaan
pemesanan Efek, penjatahan Efek, penyerahan Efek, pengembalian uang
pemesanan Efek, dan penyerahan dana hasil Penawaran Umum kepada
Emiten.
3) Dalam hal jumlah pemesanan kurang dari atau sama dengan jumlah Efek
yang ditawarkan, prosedur pemeriksaan wajib dititikberatkan pada
pelaksanaan pemesanan Efek, penyerahan Efek, dan penyerahan dana
hasil Penawaran Umum kepada Emiten.
c. Manajer Penjatahan wajib menyampaikan laporan hasil pemeriksaan
Akuntan sebagaimana dimaksud dalam huruf b kepada Bapepam dan LK
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-691/BL/2011
Tanggal : 30 Desember 2011
-6-
paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah berakhirnya masa Penawaran
Umum.
6. KETENTUAN PENUTUP
a. Semua dokumen yang berhubungan dengan proses penjatahan wajib
disimpan oleh Manajer Penjatahan yang bersangkutan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan dokumen
perusahaan.
b. Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan pidana di bidang Pasar
Modal, Bapepam dan LK berwenang mengenakan sanksi terhadap setiap
Pihak yang melanggar ketentuan Peraturan ini atau Pihak yang
menyebabkan terjadinya pelanggaran ketentuan Peraturan ini.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 30 Desember 2011
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
dan Lembaga Keuangan
ttd.
Nurhaida
NIP 195906271989022001
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Bagian Umum
ttd.
Prasetyo Wahyu Adi Suryo
NIP 195710281985121001
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
Lampiran:
Peraturan Nomor IX.A.7
FORMULIR NOMOR : IX.A.7 - 1
LAPORAN MANAJER PENJATAHAN MENGENAI PENJATAHAN EFEK DALAM RANGKA PENAWARAN UMUM
Tanggal efektif
Tanggal penjatahan
Nama Emiten
Uraian tentang Efek yang ditawarkan
:
:
Tanggal laporan Akuntan harus disampaikan :
Nama Manajer Penjatahan
:
:
:
Kelompok
Pemesan
JUMLAH
EFEK
YANG
DITAWARKAN (a)
PENJATAHAN PASTI:
– Efek yang dijatahkan melalui
Penjatahan Pasti
PENJATAHAN TERPUSAT:
– Efek yang dijatahkan dalam satu
satuan perdagangan, kecuali bagi
Pihak terafiliasi (angka 2 huruf a
butir 3) Peraturan Nomor IX.A.7)
Pemodal Asing (d)
Pemodal Indonesia
– Efek yang dijatahkan dalam jumlah Pemodal Asing
Jumlah pemesan
Institusi
Perorangan
Jumlah Efek yang
dijatahkan
Institusi
Perorangan
Jumlah uang
pemesanan
Jumlah Efek
Pemodal Asing (b)
Pemodal Indonesia
lebih dari satu satuan perdagangan,
kecuali bagi Pihak terafiliasi (angka
2 huruf a butir 3) Peraturan Nomor
IX.A.7)
– Efek yang dijatahkan bagi Pihak
terafiliasi (angka 2 huruf a butir 3)
Peraturan Nomor IX.A.7)
SUB JUMLAH EFEK YANG
DIJATAHKAN
Pemodal Indonesia
Pemodal Asing (h)
Pemodal Indonesia
Pemodal Asing j =
b+d+f+h
Pemodal Indonesia
k = c+e+g+i
JUMLAH EFEK YANG DIJATAHKAN l = j+k
JUMLAH EFEK YANG TERSISA (JIKA ADA) m = a-l
Penjamin Emisi Efek yang mengambil bagian Efek yang tersisa:
No.
1.
2.
3, dst.
Jumlah
…………………………,…………………20…….
MANAJER PENJATAHAN
Direktur
Tembusan:
Emiten
Nama Penjamin Emisi Efek
Jumlah uang pemesanan
Jumlah Efek
"," KEPTA-BAPEPAM-LK
KEP-691/BL/2011|KEPTA-BAPEPAM-LK/2011
PEMESANAN DAN PENJATAHAN EFEK DALAM PENAWARAN UMUM
30 Desember 2011
30 Desember 2011
'KEP-45/PM/2000|KEPTA-BAPEPAM/2000 | Lampiran Peraturan Nomor IX.A.7'
'45/PP/1995', '20/M|KEPPRES/2011', '12/PP/2004', '46/PP/1995', '8/UU/1995'
"
" DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
SALINAN
KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN
NOMOR KEP-123/BL/2009
TENTANG
PELAPORAN TRANSAKSI EFEK
KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN,
Menimbang
: bahwa dalam rangka meningkatkan pengembangan dan
integritas pasar Efek bersifat utang dan Sukuk melalui pelaporan
perdagangan Efek, dipandang perlu untuk menyempurnakan
Peraturan Bapepam dan LK Nomor X.M.3 tentang Pelaporan
Transaksi Obligasi;
Mengingat
:
1. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal
(Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3608);
2. Undang-undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang
Negara (Lembaran Negara Tahun 2002 Nomor 110, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 4236);
3. Undang-undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat
Berharga Syariah Negara (Lembaran Negara Tahun 2008
Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4852);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1995 tentang
Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal (Lembaran
Negara Tahun 1995 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3617) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 12 Tahun 2004 (Lembaran Negara Tahun
2004 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4372);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 1995 tentang
Pemeriksaan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun
1995 Nomor 87, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3618);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 2005 tentang Tata
Cara Penatausahaan, Pertanggungjawaban, dan Publikasi
Informasi atas Pengelolaan SUN (Lembaran Negara Tahun
2005 Nomor 162, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4590);
7. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 45/M Tahun
2006;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN TENTANG PELAPORAN
TRANSAKSI EFEK.
Pasal 1
Ketentuan mengenai Pelaporan Transaksi Efek, diatur dalam Peraturan
Nomor X.M.3 sebagaimana dimuat dalam Lampiran Keputusan ini.
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
-2-
Pasal 2
Ketentuan sanksi denda atas keterlambatan pelaporan Transaksi Efek
sebagaimana dimaksud pada angka 21 Peraturan Nomor X.M.3
sebagaimana dimuat dalam Lampiran Keputusan ini, berlaku terhadap
pelaporan Transaksi Efek terhitung mulai tanggal 1 Januari 2010.
Pasal 3
Dengan berlakunya Keputusan ini, maka Keputusan Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor: Kep-
07/BL/2006 tanggal 31 Juli 2006 tentang Pelaporan Transaksi Obligasi
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 4
Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal 1 Oktober 2009.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal
: 29 Mei 2009
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Dan
Lembaga Keuangan
ttd.
A. Fuad Rahmany
NIP 060063058
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Bagian Umum
ttd.
Prasetyo Wahyu Adi Suryo
NIP 060076008
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-123/BL/2009
Tanggal : 29 Mei 2009
PERATURAN NOMOR X.M.3: PELAPORAN TRANSAKSI EFEK
1. Dalam peraturan ini yang dimaksud dengan:
a. Partisipan adalah Perantara Pedagang Efek, Bank, atau Pihak lain yang
disetujui Bapepam dan LK, yang menggunakan sistem dan/atau sarana
pelaporan Transaksi Efek dan terdaftar pada Penerima Laporan Transaksi
Efek.
b. Penerima Laporan Transaksi Efek adalah Pihak yang ditunjuk oleh Bapepam
dan LK untuk menyediakan sistem dan/atau sarana dan menerima
pelaporan Transaksi Efek.
c.
Transaksi Efek adalah setiap aktivitas atau kontrak dalam rangka
memperoleh, melepaskan, atau menggunakan Efek yang mengakibatkan
terjadinya pengalihan kepemilikan atau tidak mengakibatkan terjadinya
pengalihan kepemilikan.
2. Transaksi Efek yang wajib dilaporkan sesuai dengan peraturan ini adalah
transaksi atas Efek bersifat utang dan Sukuk yang telah dijual melalui Penawaran
Umum, Surat Berharga Negara, dan Efek lain yang ditetapkan oleh Ketua
Bapepam dan LK untuk dilaporkan, yang diperdagangkan di pasar sekunder.
3. Transaksi Efek yang wajib dilaporkan mencakup antara lain jenis transaksi
sebagai berikut:
a.
b.
jual beli putus (outright);
hibah;
c. warisan;
d.
e.
tukar menukar;
pengalihan karena penetapan pengadilan;
f. Pengalihan karena penggabungan, peleburan, atau pengambilalihan;
g. pinjam meminjam;
h.
transaksi jual dengan janji beli kembali pada waktu dan harga yang telah
ditetapkan (repurchase agreement/repo);
i. pemindahbukuan Efek yang dilakukan oleh Pihak dengan identitas yang
sama;
j. pembelian kembali (buy back);
k. peralihan Efek dalam rangka penciptaan dan pembelian kembali (pelunasan)
Unit Penyertaan Reksa Dana yang diperdagangkan di Bursa Efek;
konversi menjadi Efek lain;
l.
m. penjaminan Efek selain dalam rangka Penjaminan Penyelesaian Transaksi
Bursa yang ditempatkan pada Lembaga Kliring dan Penjaminan; dan
n.
jenis transaksi lain yang ditetapkan oleh Ketua Bapepam dan LK.
4. Setiap Pihak dapat melakukan Transaksi Efek di pasar sekunder baik di Bursa
Efek maupun di luar Bursa Efek.
5. Setiap Pihak yang melakukan Transaksi Efek sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan angka 3 wajib menyampaikan laporan atas setiap Transaksi Efek yang
dilakukannya kepada Bapepam dan LK melalui Penerima Laporan Transaksi Efek,
dengan ketentuan sebagai berikut:
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-123/BL/2009
Tanggal : 29 Mei 2009
-2-
a. Dalam hal Transaksi Efek dilakukan di Bursa Efek, maka pelaporan atas
Transaksi Efek tersebut otomatis telah dilakukan oleh Bursa Efek.
b. Dalam hal Transaksi Efek dilakukan di luar Bursa Efek dan Transaksi Efek
tersebut dilakukan oleh atau melalui Partisipan, maka pelaporan atas
Transaksi Efek tersebut otomatis dilakukan oleh Partisipan.
c. Dalam hal Transaksi Efek dilakukan di luar Bursa Efek, dan Transaksi Efek
tersebut dilakukan tidak melalui Partisipan namun penyelesaiannya
dilakukan melalui Partisipan, maka pelaporannya otomatis dilakukan oleh
Partisipan yang menyelesaikan Transaksi Efek dimaksud.
d. Dalam hal Transaksi Efek dilakukan di luar Bursa Efek, dan Transaksi Efek
serta penyelesaiannya dilakukan tidak melalui Partisipan, maka pelaporan
atas Transaksi Efek tersebut wajib dilakukan melalui Partisipan yang
ditunjuk oleh Pihak yang melakukan Transaksi Efek dimaksud.
e. Dalam hal Transaksi Efek dilakukan dengan Pemerintah atau Bank Indonesia
di luar Bursa Efek, maka pelaporan atas Transaksi Efek tersebut wajib
dilakukan oleh lawan transaksi melalui Partisipan sesuai dengan mekanisme
sebagaimana dimaksud dalam huruf b, huruf c, atau huruf d.
f. Dalam hal Transaksi Efek adalah konversi menjadi Efek lain sebagaimana
dimaksud dalam angka 3 huruf l, maka pelaporan atas Transaksi Efek
tersebut wajib dilakukan oleh Pihak yang mengkonversi menjadi Efek lain
tersebut melalui Partisipan sesuai dengan mekanisme sebagaimana
dimaksud dalam huruf b, huruf c, atau huruf d.
6. Dalam hal pelaporan Transaksi Efek dilakukan melalui Bursa Efek sebagaimana
dimaksud dalam angka 5 huruf a, maka Bursa Efek wajib melaporkan setiap
transaksi dimaksud seketika setelah transaksi terjadi (real time) sesuai dengan data
Transaksi Bursa.
7. Dalam hal pelaporan Transaksi Efek dilakukan oleh atau melalui Partisipan
sebagaimana dimaksud dalam angka 5 huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan
huruf f maka Partisipan wajib melaporkan setiap transaksi dimaksud dengan
memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. Laporan wajib disampaikan secara elektronik dengan menggunakan sistem
dan/atau sarana yang disediakan oleh Penerima Laporan Transaksi Efek;
b. Hal-hal yang wajib dilaporkan mencakup:
1) nama dan seri Efek;
2) nama Pihak penjual/pemilik awal/pemilik rekening serah;
3) nama Pihak pembeli/pemilik akhir/pemilik rekening terima;
4)
5)
jenis rekening (rekening sendiri atau rekening nasabah);
harga transaksi;
6) imbal hasil (yield);
7) volume transaksi;
8)
nilai transaksi;
9) waktu transaksi;
10) waktu pelaporan atau waktu instruksi kepada Partisipan;
11) jenis transaksi;
12) tanggal penyelesaian transaksi;
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-123/BL/2009
Tanggal : 29 Mei 2009
-3-
13) kepemilikan (lokal atau asing);
14) nama Kustodian;
15) identitas Partisipan;
16) NPWP (jika ada); dan
17) tingkat harga dan jangka waktu transaksi (khusus untuk transaksi jual
dengan janji beli kembali pada waktu dan harga yang telah ditetapkan
(repurchase agreement/repo) atau transaksi pinjam meminjam).
c. Laporan wajib disampaikan sesegera mungkin paling lambat 30 (tiga puluh)
menit dengan ketentuan:
1)
2)
setelah Transaksi Efek terjadi jika Transaksi Efek dilakukan oleh atau
melalui Partisipan; atau
jika Transaksi Efek tidak dilakukan melalui Partisipan, maka:
a) setelah instruksi penyelesaian diterima oleh Partisipan apabila
penyelesaian Transaksi Efek dimaksud dilakukan melalui
Partisipan dimaksud.
b) setelah Partisipan menerima laporan Transaksi Efek apabila
penyelesaian Transaksi Efek dimaksud dilakukan tidak melalui
Partisipan dimaksud.
d. Khusus untuk pelaporan nama Kustodian sebagaimana dimaksud dalam
angka 7 huruf b butir 14) wajib disampaikan dengan ketentuan paling
lambat:
1)
2)
pada akhir hari Transaksi Efek, jika Transaksi Efek dilakukan melalui
Partisipan; atau
pada akhir hari diterimanya pelaporan atau instruksi penyelesaian
Transaksi Efek oleh Partisipan, jika Transaksi Efek tidak dilakukan
melalui Partisipan.
8. Ketentuan jam pelaporan ditetapkan oleh Penerima Laporan Transaksi Efek
dengan ketentuan:
a. Dalam hal transaksi terjadi, dilaporkan, atau diinstruksikan penyelesaiannya
kepada Partisipan sebelum jam pelaporan, maka batas waktu pelaporan
sebagaimana dimaksud pada angka 7 huruf c dan huruf d dihitung sejak jam
pelaporan dibuka pada hari yang sama dengan transaksi terjadi atau
transaksi dilaporkan kepada Partisipan.
b. Dalam hal transaksi terjadi, dilaporkan atau diinstruksikan penyelesaiannya
kepada Partisipan setelah jam pelaporan, maka batas waktu pelaporan
sebagaimana dimaksud pada angka 7 huruf c dan huruf d dihitung sejak jam
pelaporan dibuka pada hari kerja selanjutnya sejak transaksi terjadi atau
transaksi dilaporkan kepada Partisipan.
9. Partisipan wajib memberikan bukti atas pelaporan Transaksi Efek kepada Pihak
yang melaporkan sesegera mungkin setelah pelaporan tersebut diterima
Partisipan.
10. Pihak yang telah menyampaikan pelaporan Transaksi Efek melalui Partisipan
berhak memperoleh bukti pelaporan Transaksi Efek yang disampaikan Partisipan
kepada Penerima Laporan Transaksi Efek dari Partisipan.
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-123/BL/2009
Tanggal : 29 Mei 2009
-4-
11. Penerima Laporan Transaksi Efek wajib memberikan bukti atas pelaporan
Transaksi Efek kepada Partisipan sesegera mungkin setelah pelaporan tersebut
diterima Penerima Laporan Transaksi Efek.
12. Penerima Laporan Transaksi Efek wajib menyediakan data transaksi yang
dapat diakses publik seketika setelah transaksi dilaporkan (real time) tanpa
memungut biaya. Data transaksi yang wajib tersedia untuk publik antara lain
memuat informasi tentang:
a. nama dan seri Efek;
b. harga transaksi;
c. imbal hasil (yield);
d. volume transaksi;
e.
f.
nilai transaksi;
jenis transaksi;
g.
h.
tanggal penyelesaian transaksi; dan
tingkat harga dan jangka waktu transaksi (khusus untuk transaksi jual dengan
janji beli kembali pada waktu dan harga yang telah ditetapkan (repurchase
agreement/repo) atau transaksi pinjam meminjam).
13. Partisipan wajib memuat dalam kontrak antara Partisipan dan nasabahnya
mengenai ketentuan kewajiban nasabah untuk menyampaikan laporan Transaksi
Efek di luar Bursa Efek setelah terjadinya transaksi tersebut.
14. Penyampaian laporan Transaksi Efek tidak dikenakan biaya.
15. Dalam hal Penerima Laporan Transaksi Efek memberikan layanan tambahan, maka
layanan tambahan dimaksud beserta biaya atas layanan tambahan tersebut wajib
terlebih dahulu disetujui oleh Bapepam dan LK.
16. Penerima Laporan Transaksi Efek wajib menetapkan tata cara pendaftaran
Partisipan, prosedur dan tata cara pelaporan, serta menyediakan sistem pelaporan
elektronik yang dapat di akses oleh Partisipan, yang wajib terlebih dahulu
disetujui oleh Bapepam dan LK.
17. Penerima Laporan Transaksi Efek wajib menyediakan sistem teknologi informasi
kepada Bapepam dan LK yang memungkinkan Bapepam dan LK mengawasi
pelaporan Transaksi Efek setiap saat.
18. Dalam rangka pengawasan Transaksi Efek yang dilakukan Bapepam dan LK,
Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian menyampaikan setiap data penyelesaian
Transaksi Efek kepada Bapepam dan LK melalui Penerima Laporan Transaksi
Efek dengan menggunakan sistem pelaporan elektronik dan mewajibkan
Kustodian untuk memasukkan nomor referensi pelaporan pada instruksi
penyelesaian yang disampaikan kepada Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian.
Khusus untuk pengawasan pelaporan transaksi Surat Berharga Negara, Bapepam
dan LK dapat meminta Bank Indonesia selaku Central Registry untuk
menyampaikan setiap data penyelesaian transaksi Surat Berharga Negara kepada
Bapepam dan LK melalui Penerima Laporan Transaksi Efek dengan
menggunakan sistem pelaporan elektronik dan mewajibkan Sub registry, bank
dan Pihak lain yang menjadi anggota Central Registry untuk memasukkan nomor
referensi pelaporan pada instruksi penyelesaian yang disampaikan kepada Central
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-123/BL/2009
Tanggal : 29 Mei 2009
-5-
Registry.
19. Penerima Laporan Transaksi Efek wajib menjamin kerahasiaan data Transaksi
Efek yang dilaporkan kepadanya selain data yang wajib disediakan kepada publik
sebagaimana dimaksud dalam angka 12 peraturan ini.
20. Apabila Partisipan terlambat atau tidak menyampaikan laporan sebagaimana
dimaksud dalam angka 7 huruf c dan huruf d peraturan ini, maka Partisipan
dapat dikenakan sanksi administratif berupa denda sesuai dengan akumulasi
waktu keterlambatan atas semua transaksi yang dilakukan dalam satu bulan.
21. Besarnya sanksi denda sebagaimana dimaksud dalam angka 20 adalah
Rp10.000,00 (sepuluh ribu rupiah) atas setiap jam keterlambatan pelaporan per
laporan atau Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per hari per laporan, dengan
ketentuan bahwa jumlah keseluruhan denda paling banyak Rp100.000.000,00
(seratus juta rupiah) per laporan.
22. Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang Pasar Modal, Bapepam dan
LK dapat mengenakan sanksi terhadap setiap Pihak yang melanggar ketentuan
peraturan ini termasuk Pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal
: 29 Mei 2009
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan
dan Lembaga Keuangan
ttd
A. Fuad Rahmany
NIP 060063058
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Bagian Umum
ttd.
Prasetyo Wahyu Adi Suryo
NIP 060076008
"," KEPTA-BAPEPAM-LK
KEP-123/BL/2009|KEPTA-BAPEPAM-LK/2009
PELAPORAN TRANSAKSI EFEK
29 Mei 2009
1 Oktober 2009
'KEP-07/BL/2006|KEPTA-BAPEPAM-LK/2006'
'19/UU/2008', '45/PP/1995', '45/M|KEPPRES/2006', '76/PP/2005', '12/PP/2004', '46/PP/1995', '24/UU/2002', '8/UU/1995'
"
" DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
SALINAN
KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN
NOMOR KEP-182/BL/2009
TENTANG
LAPORAN LEMBAGA PENYIMPANAN DAN PENYELESAIAN
KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN,
Menimbang :
a. bahwa dalam rangka meningkatkan efektivitas penyampaian
informasi kepada publik mengenai data kepemilikan 5% (lima
perseratus) atau lebih saham Emiten atau Perusahaan Publik,
maka diperlukan mekanisme yang efisien melalui pelaporan
Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian kepada Bapepam dan
LK serta pengumumannya kepada publik;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, maka dipandang perlu untuk menyempurnakan
Peraturan Nomor X.C.1
tentang Laporan Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian, Lampiran Keputusan Ketua
Bapepam Nomor: Kep-68/PM/1996 tentang Laporan Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian dengan menetapkan Keputusan
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan
yang baru;
Mengingat
:
1. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal
(Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3608);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1995 tentang
Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal (Lembaran
Negara Tahun 1995 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3617) sebagaimana diubah dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 12 Tahun 2004 (Lembaran Negara Tahun
2004 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4372);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 1995 tentang
Pemeriksaan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun
1995 Nomor 87, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3618);
4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 45/M Tahun
2006;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN TENTANG LAPORAN
LEMBAGA PENYIMPANAN DAN PENYELESAIAN.
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
- 2 -
Pasal 1
Ketentuan mengenai Laporan Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian diatur dalam Peraturan Nomor X.C.1 sebagaimana
dimuat dalam Lampiran Keputusan ini.
Pasal 2
Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian wajib menyampaikan
laporan posisi rekening Efek nasabah atas kepemilikan 5% (lima
perseratus) atau lebih saham seluruh Emiten atau Perusahaan
Publik yang tercatat dalam Penitipan Kolektif pada Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian per tanggal 31 Juli 2009 kepada
Bapepam dan LK pada tanggal 3 Agustus 2009 dengan tembusan
kepada Bursa Efek di Indonesia dimana saham tersebut dicatatkan
dan kepada Lembaga Kliring dan Penjaminan.
Pasal 3
Bursa Efek wajib mengumumkan laporan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 pada sistem pelaporan elektronik Bursa Efek yang
dapat diakses setiap saat oleh masyarakat paling lambat pada hari
bursa berikutnya setelah Bursa Efek menerima tembusan laporan
tersebut.
Pasal 4
Dengan berlakunya Keputusan ini, maka Keputusan Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal Nomor: Kep-68/PM/1996 tanggal 17
Januari 1996 tentang Laporan Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 5
Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal 3 Agustus 2009.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal
: 30 Juni 2009
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
dan Lembaga Keuangan
ttd.
A. Fuad Rahmany
NIP 060063058
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Bagian Umum
ttd.
Prasetyo Wahyu Adi Suryo
NIP 060076008
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-182/BL/2009
Tanggal : 30 Juni 2009
PERATURAN NOMOR X.C.1 : LAPORAN LEMBAGA PENYIMPANAN DAN
PENYELESAIAN
1. Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian wajib menyampaikan laporan kegiatan
kepada Bapepam dan LK yang meliputi:
a. laporan harian mengenai mutasi penyimpanan dan penyelesaian Transaksi
Bursa;
b. laporan bulanan yang memuat:
1) rekapitulasi kegiatan selama periode tersebut dilengkapi dengan statistik
perkembangan volume penyimpanan dan penyelesaian;
2) laporan mengenai jumlah Emiten yang pencatatan Efeknya pada buku
daftar pemegang saham Emiten diwakili oleh Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian; dan
3) kegiatan pemakai jasa Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian.
c. laporan keuangan tengah tahunan dan laporan keuangan tahunan yang telah
diaudit oleh Akuntan yang terdaftar di Bapepam dan LK disertai pendapat
dari Akuntan tersebut;
d. laporan realisasi anggaran dan penggunaan laba;
e. laporan penyelenggaraan Rapat Umum Pemegang Saham;
f. laporan mengenai perubahan status pemakai jasa Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian;
g. laporan mengenai pengenaan sanksi oleh Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian terhadap pemakai jasa Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian;
h. laporan mengenai peristiwa khusus seperti kesulitan keuangan pemakai jasa
Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian; dan
i. laporan posisi rekening Efek nasabah atas kepemilikan 5% (lima perseratus)
atau lebih saham dan setiap perubahan kepemilikan atas saham Emiten atau
Perusahaan Publik dimaksud pada rekening Efek pada Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian, yang sekurang-kurangnya memuat:
1) nama pemegang rekening Efek;
2) nama nasabah (pemegang sub rekening Efek), domisili (jika ada), dan
kewarganegaraan (untuk badan hukum sebutkan nama negara dimana
badan hukum tersebut didirikan);
3) nama Emiten atau Perusahaan Publik penerbit saham;
4) prosentase kepemilikan saham terakhir sebelum perubahan, setelah
perubahan dan perubahannya pada saat dilaporkan dari total saham yang
diterbitkan Emiten atau Perusahaan Publik; dan
5) tanggal pemindahbukuan pada sub rekening Efek atau tanggal pertama
kali tercatat pada sub rekening Efek untuk saham yang baru tercatat dalam
Penitipan Kolektif pada Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian.
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-182/BL/2009
Tanggal : 30 Juni 2009
-2-
2. Penyampaian laporan kegiatan oleh Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian
kepada Bapepam dan LK sebagaimana dimaksud dalam angka 1 dapat dilakukan
secara elektronik.
3. Penerimaan Bapepam dan LK terhadap laporan kegiatan yang disampaikan oleh
Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian sebagaimana dimaksud dalam angka 1
dan angka 2 dihitung berdasarkan waktu diterimanya laporan tersebut oleh
Bapepam dan LK dalam bentuk dokumen tercetak (hardcopy) atau dalam bentuk
data elektronik (softcopy).
4. Laporan harian mutasi penyimpanan dan penyelesaian Transaksi Bursa
sebagaimana dimaksud dalam angka 1 huruf a peraturan ini wajib disampaikan
kepada Bapepam dan LK selambat-lambatnya pada hari kerja berikutnya.
5. Laporan sebagaimana dimaksud dalam angka 1 huruf b peraturan ini meliputi
jumlah dan jenis Efek yang dimutasikan serta keterangan lain yang diminta oleh
Bapepam dan LK yang berkaitan dengan fungsinya sebagai Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian, dan wajib disampaikan kepada Bapepam dan LK
selambat-lambatnya hari ke-12 (dua belas) pada bulan berikutnya.
6. Laporan sebagaimana dimaksud dalam angka 1 huruf c peraturan ini meliputi:
a. laporan keuangan tengah tahunan, wajib disampaikan kepada Bapepam dan
LK paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak tanggal akhir periode;
b. laporan keuangan tahunan wajib disampaikan kepada Bapepam dan LK
paling lambat 90 (sembilan puluh) hari sejak tanggal akhir tahun buku;
c. dalam hal Akuntan memberikan pendapat selain Wajar Tanpa pengecualian
terhadap laporan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b diatas,
Bapepam dan LK dapat memanggil direksi dan atau melakukan pemeriksaan
untuk memperoleh keterangan lebih lanjut; dan
d. laporan keuangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b di atas wajib
diumumkan dalam sekurang-kurangnya dua surat kabar harian berbahasa
Indonesia, satu diantaranya berperedaran nasional dalam waktu 30 (tiga
puluh) hari sejak tanggal laporan akuntan yang bersangkutan.
7. Laporan realisasi anggaran dan penggunaan laba sebagaimana dimaksud dalam
angka 1 huruf d peraturan ini wajib disusun secara triwulanan dan disampaikan
kepada Bapepam dan LK melalui dewan komisaris, dengan ketentuan bahwa
laporan tersebut disampaikan secara kumulatif triwulanan dan diterima oleh
Bapepam dan LK paling lambat pada hari ke 12 (dua belas) setelah berakhirnya
triwulan yang bersangkutan.
8. Laporan penyelenggaraan Rapat Umum Pemegang Saham sebagaimana dimaksud
dalam angka 1 huruf e peraturan ini wajib disampaikan kepada Bapepam dan LK,
paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah tanggal penyelenggaraan Rapat Umum
Pemegang Saham Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian.
9. Laporan mengenai perubahan status pemakai jasa Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian sebagaimana dimaksud dalam angka 1 huruf f peraturan ini wajib
disampaikan kepada Bapepam dan LK, paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah
adanya perubahan tersebut.
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-182/BL/2009
Tanggal : 30 Juni 2009
-3-
10. Laporan mengenai pengenaan sanksi oleh Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian terhadap pemakai jasa Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian dan
laporan mengenai peristiwa khusus sebagaimana dimaksud dalam angka 1 huruf
g dan huruf h peraturan ini wajib disampaikan kepada Bapepam dan LK paling
lambat pada hari kerja berikutnya.
11. Laporan mengenai kepemilikan dan setiap perubahan kepemilikan saham Emiten
atau Perusahaan Publik sebagaimana dimaksud dalam angka 1 huruf i peraturan
ini wajib disampaikan kepada Bapepam dan LK dengan tembusan kepada Bursa
Efek di Indonesia dimana saham tersebut dicatatkan dan kepada Lembaga Kliring
dan Penjaminan paling lambat pada hari kerja berikutnya setelah
pemindahbukuan atau setelah pencatatan untuk saham yang pertama kali dicatat
pada sub rekening Efek pada Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian.
12. Bursa Efek wajib mengumumkan laporan sebagaimana dimaksud dalam angka 11
pada sistem pelaporan elektronik Bursa Efek yang dapat diakses setiap saat oleh
masyarakat paling lambat pada hari bursa berikutnya setelah Bursa Efek
menerima tembusan laporan tersebut.
13. Dalam hal batas waktu penyampaian laporan-laporan sebagaimana dimaksud
dalam angka 5, angka 6, dan angka 7 jatuh pada hari besar atau hari libur, maka
laporan-laporan tersebut wajib disampaikan pada hari kerja berikutnya.
14. Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang Pasar Modal, Bapepam dan
LK dapat mengenakan sanksi terhadap setiap Pihak yang melanggar ketentuan
peraturan ini termasuk Pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal
: 30 Juni 2009
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
Lembaga Keuangan
ttd.
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Bagian Umum
ttd.
Prasetyo Wahyu Adi Suryo
NIP 060076008
A. Fuad Rahmany
NIP 060063058
"," KEPTA-BAPEPAM-LK
KEP-182/BL/2009|KEPTA-BAPEPAM-LK/2009
LAPORAN LEMBAGA PENYIMPANAN DAN PENYELESAIAN
30 Juni 2009
3 Agustus 2009
'KEP-68/PM/1996|KEPTA-BAPEPAM/1996'
'45/PP/1995', '45/M|KEPPRES/2006', '12/PP/2004', '46/PP/1995', '8/UU/1995'
"
" PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 20/27/PADG/2018
TENTANG
TRANSAKSI SERTIFIKAT DEPOSITO SYARIAH
DI PASAR UANG
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa Bank Indonesia telah menerbitkan Peraturan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai transaksi
sertifikat deposito syariah di pasar uang;
b. bahwa peraturan mengenai transaksi sertifikat deposito
syariah di pasar uang perlu didukung dengan peraturan
pelaksana yang mengatur hal teknis operasional
transaksi sertifikat deposito syariah di pasar uang;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b perlu menetapkan
Peraturan Anggota Dewan Gubernur tentang Transaksi
Sertifikat Deposito Syariah di Pasar Uang;
Mengingat
: 1. Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/11/PBI/2016
tentang Pasar Uang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2016 Nomor 148, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5909);
2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/9/PBI/2018
tentang Transaksi Sertifikat Deposito Syariah di Pasar
Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018
2
Nomor 121, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 6233);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG
TRANSAKSI SERTIFIKAT DEPOSITO SYARIAH DI PASAR
UANG.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang dimaksud
dengan:
1. Bank adalah bank umum syariah dan unit usaha
syariah.
2. Bank Umum Syariah adalah bank umum syariah
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang
mengatur mengenai perbankan syariah.
3. Unit Usaha Syariah adalah unit usaha syariah
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang
mengatur mengenai perbankan syariah.
4. Pasar Uang adalah bagian dari sistem keuangan yang
bersangkutan dengan kegiatan perdagangan, pinjam
meminjam, atau pendanaan berjangka pendek sampai
dengan 1 (satu) tahun dalam mata uang rupiah dan
valuta asing, yang berperan dalam transmisi kebijakan
moneter, pencapaian stabilitas sistem keuangan, dan
kelancaran sistem pembayaran dan pengelolaan uang
rupiah.
5.
Sertifikat Deposito Berdasarkan Prinsip Syariah yang
selanjutnya disebut Sertifikat Deposito Syariah adalah
instrumen pasar uang berupa simpanan dalam bentuk
deposito berdasarkan prinsip syariah yang sertifikat bukti
penyimpanannya dapat dipindahtangankan.
6. Transaksi Sertifikat Deposito Syariah adalah
pemindahtanganan secara jual-beli Sertifikat Deposito
3
Syariah yang dilakukan melalui Pasar Uang dengan
kesepakatan harga, mekanisme penyelesaian, dan
penatausahaan tertentu.
7. Penerbit Sertifikat Deposito Syariah yang selanjutnya
disebut Penerbit adalah pihak yang menerbitkan
Sertifikat Deposito Syariah.
8. Pelaku Transaksi Sertifikat Deposito Syariah yang
selanjutnya disebut Pelaku Transaksi adalah pihak yang
melakukan Transaksi Sertifikat Deposito Syariah yang
ditransaksikan di Pasar Uang.
9. Lembaga Pendukung Pasar Uang adalah lembaga
pendukung pasar uang sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
pasar uang.
10. Lembaga Pendukung Transaksi Sertifikat Deposito
Syariah adalah Lembaga Pendukung Pasar Uang yang
memberikan jasa perantara pelaksanaan Transaksi
Sertifikat Deposito Syariah.
11. Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian
Transaksi Sertifikat Deposito Syariah adalah Lembaga
Pendukung Pasar Uang yang memberikan jasa
penatausahaan dan penyelesaian Transaksi Sertifikat
Deposito Syariah.
12. Perusahaan Efek adalah perusahaan efek sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur
mengenai pasar modal.
13. Perusahaan Pialang Pasar Uang Rupiah dan Valuta Asing
yang selanjutnya disebut Perusahaan Pialang adalah
perusahaan pialang sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
perusahaan pialang pasar uang rupiah dan valuta asing.
14. Kustodian adalah kustodian sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai pasar
modal.
15. Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang
selanjutnya
disebut LPP adalah pihak yang
menyelenggarakan kegiatan Kustodian sentral bagi bank
4
Kustodian, Perusahaan Efek, dan pihak lain untuk
kepentingan pencatatan dan penatausahaan Sertifikat
Deposito Syariah dalam bentuk tanpa warkat.
16. Prinsip Syariah adalah prinsip syariah sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur
mengenai perbankan syariah.
BAB II
KRITERIA SERTIFIKAT DEPOSITO SYARIAH
YANG DITRANSAKSIKAN DI PASAR UANG
Pasal 2
(1) Sertifikat Deposito Syariah yang ditransaksikan di Pasar
Uang wajib memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. diterbitkan, ditransaksikan, dan ditatausahakan
dalam bentuk tanpa warkat (scripless);
b. diterbitkan dalam mata uang rupiah atau valuta
asing;
c. diterbitkan dengan tidak menggunakan mekanisme
bunga, termasuk mekanisme diskonto;
d. diterbitkan dengan besaran nominal paling sedikit
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) atau
ekuivalennya dalam valuta asing;
e. memiliki jangka waktu 1 (satu) bulan, 3 (tiga) bulan,
6 (enam) bulan, 9 (sembilan) bulan, 12 (dua belas)
bulan, 24 (dua puluh empat) bulan, atau 36 (tiga
puluh enam) bulan;
f.
dialihkan secara elektronik;
g. didaftarkan dan ditatausahakan di Bank Indonesia
atau LPP yang ditunjuk oleh Bank Indonesia;
h. diterbitkan dengan akad mudarabah; dan
i. imbalan diberikan dalam bentuk bagi hasil.
(2) Sertifikat Deposito Syariah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tidak dapat dicairkan sebelum jatuh tempo.
5
Pasal 3
(1) Untuk pendaftaran dan penatausahaan Sertifikat
Deposito Syariah yang ditransaksikan di Pasar Uang,
Bank Indonesia menunjuk PT. Kustodian Sentral Efek
Indonesia (KSEI) sebagai LPP sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) huruf g.
(2) Penatausahaan dan penyelesaian Transaksi Sertifikat
Deposito Syariah oleh LPP sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan dengan mengacu pada ketentuan
peraturan perundang-undangan terkait LPP dan/atau
ketentuan yang diterbitkan oleh LPP.
Pasal 4
(1) Bagi hasil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
huruf i dibayarkan secara periodik atau pada saat jatuh
tempo.
(2) Bagi hasil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung
berdasarkan nisbah bagi hasil Sertifikat Deposito Syariah
untuk nasabah, nominal, jangka waktu dan porsi
pendapatan yang dibagihasilkan untuk Sertifikat
Deposito Syariah.
(3) Pembayaran bagi hasil Sertifikat Deposito Syariah oleh
Bank dapat dilakukan secara langsung oleh Bank atau
melalui LPP.
(4) Mekanisme pembayaran bagi hasil Sertifikat Deposito
Syariah oleh LPP sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
mengacu pada ketentuan dan prosedur yang ditetapkan
oleh LPP.
(5) Contoh perhitungan bagi hasil sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) tercantum dalam Lampiran I yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini.
6
BAB III
KETERBUKAAN INFORMASI
Pasal 5
(1) Untuk keterbukaan informasi, dokumen informasi
penawaran dari Penerbit kepada calon investor paling
sedikit memuat:
a. pernyataan “dapat ditransaksikan di Pasar Uang”;
b. akad;
c. persentase nisbah bagi hasil nasabah;
d. persentase tingkat indikasi imbalan;
e. tata cara perhitungan bagi hasil;
f. tanggal pengumuman bagi hasil;
g. tanggal pembayaran bagi hasil;
h. informasi pajak atas bagi hasil; dan
i.
(2) Selain informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Penerbit wajib mencantumkan pemberitahuan kepada
calon investor yang melakukan pembelian Sertifikat
Deposito Syariah di pasar perdana maupun pembelian
dan/atau penjualan Sertifikat Deposito Syariah di pasar
sekunder untuk menyetujui pemberian data dan/atau
informasi kepada Bank Indonesia mengenai kepemilikan,
transaksi, dan penyelesaian transaksi Sertifikat Deposito
Syariah yang dilakukan.
Pasal 6
(1) Penerbit mengumumkan tingkat realisasi imbalan
Sertifikat Deposito Syariah.
(2) Pengumuman tingkat realisasi imbalan Sertifikat
Deposito Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan secara periodik atau pada saat jatuh tempo.
(3) Selain pengumuman yang dilakukan oleh Penerbit
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengumuman
tingkat realisasi imbalan Sertifikat Deposito Syariah
kegiatan usaha yang didanai, dalam hal
menggunakan akad mudarabah muqayyadah.
7
dapat dilakukan oleh LPP berdasarkan informasi yang
diterima dari Penerbit.
(4) Mekanisme pengumuman tingkat realisasi imbalan
Sertifikat Deposito Syariah oleh LPP mengacu pada
ketentuan dan prosedur yang ditetapkan LPP.
BAB IV
TATA CARA PERIZINAN PENERBITAN DAN
PENDAFTARAN LEMBAGA PENDUKUNG PASAR UANG
Bagian Kesatu
Tata Cara Perizinan Penerbitan dan Pendaftaran pada LPP
Paragraf 1
Tata Cara Perizinan Penerbitan
Pasal 7
(1) Permohonan izin penerbitan Sertifikat Deposito Syariah
yang ditransaksikan di Pasar Uang diajukan oleh Bank
kepada Bank Indonesia.
(2) Permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilengkapi dengan dokumen pendukung sebagai berikut:
a. informasi Bank yang paling sedikit meliputi nama,
alamat kantor pusat dan kontak korespondensi,
serta daftar nama direksi dan dewan komisaris;
b. fotokopi surat persetujuan dari otoritas yang
berwenang untuk penerbitan Sertifikat Deposito
Syariah; dan
c. surat pernyataan yang berisi komitmen manajemen.
(3) Surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf c meliputi komitmen manajemen untuk:
a. memenuhi ketentuan yang diatur dalam Peraturan
Bank Indonesia tentang Transaksi Sertifikat
Deposito Syariah di Pasar Uang beserta peraturan
pelaksanaannya;
b. memenuhi kriteria Sertifikat Deposito Syariah sesuai
dengan Peraturan Bank Indonesia tentang Transaksi
8
Sertifikat Deposito Syariah di Pasar Uang beserta
peraturan pelaksanaannya, setiap kali akan
menerbitkan Sertifikat Deposito Syariah yang
ditransaksikan di Pasar Uang;
c. menerapkan Prinsip Syariah, prinsip kehati-hatian
dan manajemen risiko dalam penerbitan Sertifikat
Deposito Syariah yang ditransaksikan di Pasar Uang;
dan
d. mempertimbangkan risiko sistemik dalam
penerbitan Sertifikat Deposito Syariah yang
ditransaksikan di Pasar Uang.
(4) Contoh surat permohonan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tercantum dalam Lampiran II.A yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan
Gubernur ini.
(5) Contoh surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf c tercantum dalam Lampiran II.B yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini.
Paragraf 2
Pendaftaran pada LPP
Pasal 8
Bank yang telah mendapatkan izin penerbitan Sertifikat
Deposito Syariah dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (1) menyampaikan fotokopi surat izin
penerbitan dimaksud kepada LPP sebagai bagian dari
dokumen pendukung pendaftaran Sertifikat Deposito Syariah
dalam penatausahaan LPP.
9
Bagian Kedua
Pendaftaran Lembaga Pendukung Transaksi
Sertifikat Deposito Syariah
Paragraf 1
Perusahaan Efek
Pasal 9
(1) Permohonan pendaftaran Perusahaan Efek sebagai
Lembaga Pendukung Transaksi Sertifikat Deposito
Syariah diajukan kepada Bank Indonesia.
(2) Permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilengkapi dengan dokumen pendukung sebagai
berikut:
a. informasi perusahaan yang paling sedikit meliputi
identitas perusahaan, daftar perizinan, daftar
pemegang saham serta daftar nama direksi dan
dewan komisaris Perusahaan Efek;
b. fotokopi surat persetujuan izin usaha sebagai
perantara pedagang efek dari otoritas berwenang;
c. prosedur operasi standar dalam kegiatan perantara
pelaksanaan transaksi; dan
d. surat pernyataan yang berisi komitmen manajemen.
(3) Surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf d meliputi komitmen manajemen untuk:
a. memenuhi ketentuan yang diatur dalam Peraturan
Bank Indonesia tentang Transaksi Sertifikat
Deposito Syariah di Pasar Uang beserta peraturan
pelaksanaannya;
b. melaporkan Transaksi Sertifikat Deposito Syariah
sesuai dengan ketentuan yang berlaku; dan
c. menerapkan Prinsip Syariah, prinsip kehati-hatian,
dan manajemen risiko dalam Transaksi Sertifikat
Deposito Syariah.
(4) Contoh surat permohonan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tercantum dalam Lampiran III.A yang merupakan
10
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan
Gubernur ini.
(5) Contoh dokumen informasi perusahaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf a tercantum dalam
Lampiran III.B yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
(6) Contoh surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf d tercantum dalam Lampiran III.C yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini.
Paragraf 2
Perusahaan Pialang
Pasal 10
(1) Permohonan pendaftaran Perusahaan Pialang sebagai
Lembaga Pendukung Transaksi Sertifikat Deposito
Syariah diajukan kepada Bank Indonesia.
(2) Permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilengkapi dengan dokumen pendukung berupa
surat pernyataan yang berisi komitmen manajemen
untuk:
a. memenuhi ketentuan yang diatur dalam Peraturan
Bank Indonesia tentang Transaksi Sertifikat
Deposito Syariah di Pasar Uang beserta peraturan
pelaksanaannya;
b. melaporkan Transaksi Sertifikat Deposito Syariah
sesuai dengan ketentuan yang berlaku; dan
c. menerapkan Prinsip Syariah, prinsip kehati-hatian,
dan manajemen risiko dalam Transaksi Sertifikat
Deposito Syariah.
(3) Contoh surat permohonan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tercantum dalam Lampiran IV.A yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan
Gubernur ini.
11
(4) Contoh surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) tercantum dalam Lampiran IV.B yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan
Gubernur ini.
Bagian Ketiga
Pendaftaran Lembaga Pendukung Penatausahaan dan
Penyelesaian Transaksi Sertifikat Deposito Syariah
Paragraf 1
Bank yang Melaksanakan Kegiatan Kustodian
Pasal 11
(1) Permohonan pendaftaran bank yang melaksanakan
kegiatan Kustodian sebagai Lembaga Pendukung
Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Sertifikat
Deposito Syariah diajukan kepada Bank Indonesia.
(2) Permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilengkapi dengan dokumen pendukung sebagai
berikut:
a. informasi perusahaan yang paling sedikit meliputi
identitas bank, data perizinan, daftar nama
pemegang saham, serta daftar nama direksi dan
dewan komisaris bank yang melaksanakan kegiatan
Kustodian;
b. fotokopi surat persetujuan izin kegiatan usaha bank
sebagai Kustodian dari otoritas berwenang;
c. prosedur operasi standar dalam kegiatan Kustodian;
dan
d. surat pernyataan yang berisi komitmen manajemen.
(3) Surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf d meliputi komitmen manajemen untuk:
a. memenuhi ketentuan yang diatur dalam Peraturan
Bank Indonesia tentang Transaksi Sertifikat
Deposito Syariah di Pasar Uang beserta peraturan
pelaksanaannya;
12
b. melaporkan Transaksi Sertifikat Deposito Syariah
sesuai dengan ketentuan yang berlaku; dan
c. menerapkan Prinsip Syariah, prinsip kehati-hatian
dan manajemen risiko dalam pelaksanaan fungsi
Kustodian Transaksi Sertifikat Deposito Syariah.
(4) Contoh surat permohonan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tercantum dalam Lampiran V.A yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan
Gubernur ini.
(5) Contoh dokumen informasi bank sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf a, tercantum dalam Lampiran V.B
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini.
(6) Contoh surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf d tercantum dalam Lampiran V.C yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini.
Paragraf 2
Perusahaan Efek
Pasal 12
(1) Permohonan pendaftaran Perusahaan Efek sebagai
Lembaga Pendukung Penatausahan dan Penyelesaian
Transaksi Sertifikat Deposito Syariah diajukan kepada
Bank Indonesia.
(2) Permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilengkapi dengan dokumen pendukung sebagai
berikut:
a. informasi perusahaan yang paling sedikit meliputi
identitas perusahaan, data perizinan, daftar nama
pemegang saham, serta daftar nama direksi dan
dewan komisaris Perusahaan Efek;
b. fotokopi surat persetujuan izin kegiatan usaha
sebagai perantara pedagang efek yang dapat
mengadministrasikan rekening efek nasabah dari
otoritas yang berwenang;
13
c. prosedur operasi standar dalam kegiatan Kustodian;
dan
d. surat pernyataan yang berisi komitmen manajemen.
(3) Surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf d meliputi komitmen manajemen untuk:
a. memenuhi ketentuan yang diatur dalam Peraturan
Bank Indonesia tentang Transaksi Sertifikat
Deposito Syariah di Pasar Uang beserta peraturan
pelaksanaannya;
b. melaporkan Transaksi Sertifikat Deposito Syariah
sesuai dengan ketentuan yang berlaku; dan
c. menerapkan Prinsip Syariah, prinsip kehati-hatian
dan manajemen risiko dalam pelaksanaan fungsi
Kustodian Transaksi Sertifikat Deposito Syariah.
(4) Contoh surat permohonan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tercantum dalam Lampiran VI.A yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan
Gubernur ini.
(5) Contoh dokumen informasi perusahaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf a, tercantum dalam
Lampiran VI.B merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
(6) Contoh surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf d tercantum dalam Lampiran VI.C yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini.
14
Bagian Keempat
Pendaftaran Lembaga Pendukung Transaksi Sertifikat
Deposito Menjadi Lembaga Pendukung Transaksi Sertifikat
Deposito Syariah
Paragraf 1
Perusahaan Efek
Pasal 13
(1) Permohonan pendaftaran bagi Perusahaan Efek yang
telah memperoleh izin sebagai lembaga pendukung
transaksi sertifikat deposito dan akan menjadi Lembaga
Pendukung Transaksi Sertifikat Deposito Syariah
diajukan kepada Bank Indonesia.
(2) Permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilengkapi dengan dokumen pendukung berupa
surat pernyataan yang berisi komitmen manajemen
untuk:
a. memenuhi ketentuan yang diatur dalam Peraturan
Bank Indonesia tentang Transaksi Sertifikat
Deposito Syariah di Pasar Uang beserta peraturan
pelaksanaannya;
b. melaporkan Transaksi Sertifikat Deposito Syariah
sesuai dengan ketentuan yang berlaku; dan
c. menerapkan Prinsip Syariah, prinsip kehati-hatian
dan manajemen risiko dalam Transaksi Sertifikat
Deposito Syariah.
(3) Contoh surat permohonan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tercantum dalam Lampiran VII.A yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini.
(4) Contoh surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) tercantum dalam Lampiran VII.B yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini.
15
Paragraf 2
Perusahaan Pialang
Pasal 14
(1) Permohonan pendaftaran bagi Perusahaan Pialang yang
telah memperoleh izin sebagai lembaga pendukung
transaksi sertifikat deposito dan akan menjadi Lembaga
Pendukung Transaksi Sertifikat Deposito Syariah
diajukan kepada Bank Indonesia.
(2) Permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilengkapi dengan dokumen pendukung berupa
surat pernyataan yang berisi komitmen manajemen
untuk:
a. memenuhi ketentuan yang diatur dalam Peraturan
Bank Indonesia tentang Transaksi Sertifikat
Deposito Syariah di Pasar Uang beserta peraturan
pelaksanaannya;
b. melaporkan Transaksi Sertifikat Deposito Syariah
sesuai dengan ketentuan yang berlaku; dan
c. menerapkan Prinsip Syariah, prinsip kehati-hatian
dan manajemen risiko dalam Transaksi Sertifikat
Deposito Syariah.
(3) Contoh surat permohonan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tercantum dalam Lampiran VIII.A yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini.
(4) Contoh surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) tercantum dalam Lampiran VIII.B yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini.
16
Bagian Kelima
Pendaftaran Lembaga Pendukung Penatausahaan dan
Penyelesaian Transaksi Sertifikat Deposito Menjadi Lembaga
Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi
Sertifikat Deposito Syariah
Paragraf 1
Bank yang Melaksanakan Kegiatan Kustodian
Pasal 15
(1) Permohonan pendaftaran bagi bank yang melaksanakan
kegiatan Kustodian yang telah memperoleh izin sebagai
lembaga pendukung penatausahaan dan penyelesaian
transaksi sertifikat deposito dan akan menjadi Lembaga
Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi
Sertifikat Deposito Syariah diajukan kepada Bank
Indonesia.
(2) Permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilengkapi dengan dokumen pendukung berupa
surat pernyataan yang berisi komitmen manajemen
untuk:
a. memenuhi ketentuan yang diatur dalam Peraturan
Bank Indonesia tentang Transaksi Sertifikat
Deposito Syariah di Pasar Uang beserta peraturan
pelaksanaannya;
b. melaporkan Transaksi Sertifikat Deposito Syariah
sesuai dengan ketentuan yang berlaku; dan
c. menerapkan Prinsip Syariah, prinsip kehati-hatian
dan manajemen risiko dalam pelaksanaan fungsi
Kustodian Transaksi Sertifikat Deposito Syariah.
(3) Contoh surat permohonan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tercantum dalam Lampiran IX.A yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan
Gubernur ini.
(4) Contoh surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) tercantum dalam Lampiran IX.B yang merupakan
17
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan
Gubernur ini.
Paragraf 2
Perusahaan Efek
Pasal 16
(1) Permohonan pendaftaran bagi Perusahaan Efek yang
telah memperoleh izin sebagai lembaga pendukung
penatausahaan dan penyelesaian transaksi sertifikat
deposito dan akan menjadi Lembaga Pendukung
Penatausahan dan Penyelesaian Transaksi Sertifikat
Deposito Syariah diajukan kepada Bank Indonesia.
(2) Permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilengkapi dengan dokumen pendukung berupa
surat pernyataan yang berisi komitmen manajemen
untuk:
a. memenuhi ketentuan yang diatur dalam Peraturan
Bank Indonesia tentang Transaksi Sertifikat
Deposito Syariah di Pasar Uang beserta peraturan
pelaksanaannya;
b. melaporkan Transaksi Sertifikat Deposito Syariah
sesuai dengan ketentuan yang berlaku; dan
c. menerapkan Prinsip Syariah, prinsip kehati-hatian,
dan manajemen risiko dalam pelaksanaan fungsi
Kustodian Transaksi Sertifikat Deposito Syariah.
(3) Contoh surat permohonan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tercantum dalam Lampiran X.A yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan
Gubernur ini.
(4) Contoh surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) tercantum dalam Lampiran X.B yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan
Gubernur ini.
18
Bagian Keenam
Korespondensi
Pasal 17
(1) Pengajuan permohonan izin
dan pendaftaran
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 9
ayat (1), Pasal 10 ayat (1), Pasal 11 ayat (1), Pasal 12 ayat
(1), Pasal 13 ayat (1), Pasal 14 ayat (1), Pasal 15 ayat (1),
dan Pasal 16 ayat (1) disampaikan kepada:
Departemen Ekonomi dan Keuangan Syariah
Bank Indonesia
Jl. M.H. Thamrin No. 2
Jakarta 10350.
(2) Dalam hal terdapat perubahan alamat korespondensi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia
menyampaikan pemberitahuan melalui surat dan/atau
sarana lainnya.
BAB V
PEMROSESAN PERMOHONAN IZIN DAN PENDAFTARAN
Pasal 18
(1) Bank Indonesia dapat memberikan persetujuan atau
penolakan atas:
a. permohonan izin penerbitan Sertifikat Deposito
Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat
(1);
b. permohonan pendaftaran Perusahaan Efek sebagai
Lembaga Pendukung Transaksi Sertifikat Deposito
Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat
(1);
c. permohonan pendaftaran Perusahaan Pialang
sebagai Lembaga Pendukung Transaksi Sertifikat
Deposito Syariah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10 ayat (1);
d. permohonan pendaftaran bank yang melaksanakan
kegiatan Kustodian sebagai Lembaga Pendukung
19
Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi
Sertifikat Deposito Syariah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11 ayat (1);
e. permohonan pendaftaran Perusahaan Efek sebagai
Lembaga Pendukung Penatausahaan dan
Penyelesaian Transaksi Sertifikat Deposito Syariah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1);
f. permohonan pendaftaran Perusahaan Efek yang
telah memperoleh izin sebagai lembaga pendukung
transaksi sertifikat deposito dan akan menjadi
Lembaga Pendukung Transaksi Sertifikat Deposito
Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat
(1);
g. permohonan pendaftaran Perusahaan Pialang yang
telah memperoleh izin sebagai lembaga pendukung
transaksi sertifikat deposito dan akan menjadi
Lembaga Pendukung Transaksi Sertifikat Deposito
Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat
(1);
h. permohonan pendaftaran bank yang melaksanakan
kegiatan Kustodian yang telah memperoleh izin
sebagai lembaga pendukung penatausahaan dan
penyelesaian transaksi sertifikat deposito dan akan
menjadi Lembaga Pendukung Penatausahaan dan
Penyelesaian Transaksi Sertifikat Deposito Syariah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1); dan
i. permohonan pendaftaran bagi Perusahaan Efek yang
telah memperoleh izin sebagai lembaga pendukung
penatausahaan dan penyelesaian transaksi sertifikat
deposito dan akan menjadi Lembaga Pendukung
Penatausahaan
dan Penyelesaian Transaksi
Sertifikat Deposito Syariah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 16 ayat (1),
paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal surat
permohonan izin atau pendaftaran diterima secara
lengkap.
20
(2) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia
dapat melakukan klarifikasi atas dokumen dalam
bentuk:
a. pertemuan tatap muka dengan pihak yang
mengajukan izin atau pendaftaran untuk melakukan
verifikasi atas kebenaran dan kesesuaian dokumen
yang diajukan; dan/atau
b. meminta informasi kepada otoritas yang berwenang.
BAB VI
TRANSAKSI SERTIFIKAT DEPOSITO SYARIAH
DI PASAR SEKUNDER
Bagian Kesatu
Pelaku Transaksi
Pasal 19
(1) Pelaku Transaksi meliputi:
a. bank;
b. Perusahaan Efek; dan
c. nasabah.
(2) Nasabah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c
meliputi:
a. bank;
b. Perusahaan Efek;
c.
korporasi;
d. orang perseorangan; dan
e. bukan penduduk.
(3) Pelaku Transaksi berupa bank sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a dan Perusahaan Efek sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat melakukan
Transaksi Sertifikat Deposito Syariah untuk kepentingan
sendiri maupun untuk kepentingan nasabah.
(4) Bank dan Perusahaan Efek sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) melakukan Transaksi Sertifikat Deposito Syariah
21
secara langsung tanpa melalui Lembaga Pendukung
Transaksi Sertifikat Deposito Syariah.
(5) Pelaku Transaksi berupa nasabah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c melakukan Transaksi
Sertifikat Deposito Syariah untuk kepentingan sendiri.
(6) Nasabah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus
melakukan Transaksi Sertifikat Deposito Syariah melalui
Lembaga Pendukung Transaksi Sertifikat Deposito
Syariah yang terdaftar di Bank Indonesia.
Bagian Kedua
Harga Dalam Transaksi Sertifikat Deposito Syariah
Pasal 20
(1) Harga Transaksi Sertifikat Deposito Syariah dihitung
dengan mempertimbangkan:
a. nominal Sertifikat Deposito Syariah;
b.
realisasi tingkat imbalan Sertifikat Deposito Syariah;
dan
c. proyeksi hak bagi hasil pemegang Sertifikat Deposito
Syariah sebelumnya.
(2) Nominal Sertifikat Deposito Syariah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan nilai nominal
Sertifikat Deposito Syariah pada saat penerbitan.
(3) Realisasi tingkat imbalan Sertifikat Deposito Syariah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diperoleh
dari informasi tingkat imbalan Sertifikat Deposito Syariah
yang diumumkan oleh Bank.
(4) Proyeksi hak bagi hasil pemegang Sertifikat Deposito
Syariah sebelumnya sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf c diperoleh dari perkalian antara nilai nominal,
proyeksi tingkat bagi hasil bulan berjalan, dan waktu
kepemilikan efektif.
(5) Perhitungan harga Transaksi Sertifikat Deposito Syariah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan
konvensi perhitungan hari (day-count convention) yaitu
actual/360.
22
(6) Contoh perhitungan harga Transaksi Sertifikat Deposito
Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum
dalam Lampiran XI yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
BAB VII
LAPORAN
Bagian Kesatu
Informasi Penerbitan
Pasal 21
(1) Bank menyampaikan informasi realisasi penerbitan
kepada Bank Indonesia setiap kali melakukan penerbitan
Sertifikat Deposito Syariah yang ditransaksikan di Pasar
Uang.
(2) Informasi realisasi penerbitan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) paling sedikit mencakup:
a. security name, termasuk seri penerbitan dan nomor
international securities identification number (ISIN);
b. nominal penerbitan;
c. akad;
d. nisbah bagi hasil;
e. tata cara perhitungan bagi hasil;
f. kegiatan usaha yang didanai;
g. indikasi tingkat imbalan;
h. tanggal penerbitan;
i.
tanggal jatuh tempo;
j. tanggal pengumuman bagi hasil;
k. tanggal pembayaran bagi hasil; dan
l.
penatalaksana penerbitan (arranger).
(3) Penyampaian informasi realisasi penerbitan kepada Bank
Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan
kepada alamat korespondensi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 17 paling lambat 5 (lima) hari kerja setelah
Sertifikat Deposito Syariah diterbitkan dan dicatat secara
efektif pada LPP.
23
Bagian Kedua
Pelaporan Transaksi Sertifikat Deposito Syariah
di Pasar Uang
Pasal 22
(1) Pelapor Transaksi Sertifikat Deposito Syariah terdiri atas:
a. Bank;
b. Perusahaan Efek;
c. Perusahaan Pialang; dan
d. bank yang melaksanakan kegiatan Kustodian.
(2) Pelapor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
menyampaikan laporan kepada Bank Indonesia yang
terdiri atas:
a. laporan Transaksi Sertifikat Deposito Syariah untuk
kepentingan sendiri yang dilakukan oleh Bank dan
Perusahaan Efek;
b. laporan Transaksi Sertifikat Deposito Syariah untuk
kepentingan nasabah yang dilakukan oleh
Perusahaan Efek dan Perusahaan Pialang sebagai
Lembaga Pendukung Transaksi Sertifikat Deposito
Syariah; dan/atau
c. laporan Transaksi Sertifikat Deposito Syariah yang
dilakukan oleh nasabah secara langsung tanpa
melibatkan Lembaga Pendukung Transaksi Sertifikat
Deposito Syariah oleh bank yang melaksanakan
kegiatan Kustodian dan Perusahaan Efek.
(3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
disampaikan kepada Bank Indonesia dengan pengaturan
sebagai berikut:
a. bagi pelapor Bank, melalui sistem laporan harian
bank umum; dan
b. bagi pelapor Perusahaan Efek, Perusahaan Pialang
dan bank yang melaksanakan kegiatan Kustodian,
melalui sistem laporan pasar uang.
(4) Tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2):
24
a. bagi pelapor Bank, mengacu pada ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai laporan harian
bank umum; dan
b. bagi pelapor Perusahaan Efek, Perusahaan Pialang,
dan bank yang melaksanakan kegiatan Kustodian,
mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai laporan pasar uang nonbank
dan kustodian.
Bagian Ketiga
Pelaporan Penatausahaan Sertifikat Deposito Syariah
Pasal 23
(1) LPP yang ditunjuk Bank Indonesia menyampaikan
laporan atas penatausahaan Sertifikat Deposito Syariah
secara periodik kepada Bank Indonesia.
(2) Tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur lebih lanjut dalam perjanjian antara
Bank Indonesia dengan LPP.
BAB VIII
PENCABUTAN IZIN DAN STATUS TERDAFTAR
Pasal 24
(1) Bank dapat mengajukan permohonan pencabutan izin
sebagai penerbit Sertifikat Deposito Syariah kepada Bank
Indonesia.
(2) Perusahaan Efek, Perusahaan Pialang, dan/atau bank
yang melaksanakan kegiatan Kustodian
dapat
mengajukan permohonan pencabutan status terdaftar
sebagai Lembaga Pendukung Transaksi Sertifikat
Deposito Syariah dan/atau Lembaga Pendukung
Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Sertifikat
Deposito Syariah kepada Bank Indonesia.
(3) Permohonan pencabutan izin sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) atau status terdaftar sebagaimana
25
dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Bank
Indonesia disertai dengan:
a. alasan permohonan pencabutan izin atau status
terdaftar; dan
b. penjelasan mengenai langkah-langkah yang akan
ditempuh untuk penyelesaian seluruh tagihan dan
kewajiban kepada pihak terkait.
(4) Penyampaian permohonan pencabutan izin sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) atau status terdaftar
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditujukan kepada
alamat korespondensi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17.
BAB IX
TATA CARA PENGENAAN SANKSI
Bagian Kesatu
Pengenaan Sanksi Teguran Tertulis
Pasal 25
(1) Bank yang melanggar ketentuan mengenai:
a. keterbukaan informasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 ayat (1), Pasal 6 ayat (2), dan/atau
Pasal 6 ayat (3);
b. pendaftaran sebagai Lembaga Penatausahaan dan
Penyelesaian Transaksi Sertifikat Deposito Syariah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1)
dan/atau Pasal 11 ayat (2);
c. Transaksi Sertifikat Deposito Syariah di pasar
sekunder sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12
dan/atau Pasal 13;
d. penerapan Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21;
e. penerapan prinsip kehati-kehatian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1);
f. penerapan manajemen risiko sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 23;
26
g. penyediaan data dan/atau informasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) dan/atau Pasal 26
ayat (2); dan/atau
h. penyampaian informasi realisasi penerbitan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1),
Peraturan Bank Indonesia tentang Transaksi Sertifikat
Deposito Syariah di Pasar Uang, dikenakan sanksi
administratif berupa teguran tertulis.
(2) Perusahaan Efek yang melanggar ketentuan mengenai:
a. pendaftaran sebagai Lembaga Pendukung Transaksi
Sertifikat Deposito Syariah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 ayat (1) dan/atau Pasal 10 ayat (2);
b. pendaftaran sebagai Lembaga Pendukung
Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi
Sertifikat Deposito Syariah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (1) dan/atau Pasal 11 ayat (2);
c. Transaksi Sertifikat Deposito Syariah di pasar
sekunder sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12
dan/atau Pasal 13;
d. penerapan Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21;
e. penerapan prinsip kehati-hatian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1);
f. penerapan prinsip manajemen risiko sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 23; dan/atau
g. penyediaan data dan/atau informasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) dan/atau Pasal 26
ayat (2),
Peraturan Bank Indonesia tentang Transaksi Sertifikat
Deposito Syariah di Pasar Uang, dikenakan sanksi
administratif berupa teguran tertulis.
(3) Perusahaan Pialang yang melanggar ketentuan mengenai:
a. pendaftaran sebagai Lembaga Pendukung Transaksi
Sertifikat Deposito Syariah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 ayat (1) dan/atau Pasal 10 ayat (2);
b. Transaksi Sertifikat Deposito Syariah di pasar
sekunder sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13;
27
c. penerapan Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21;
d. penerapan prinsip kehati-hatian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1);
e. penerapan prinsip manajemen risiko sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 23; dan/atau
f.
penyediaan data dan/atau informasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) dan/atau Pasal 26
ayat (2),
Peraturan Bank Indonesia tentang Transaksi Sertifikat
Deposito Syariah di Pasar Uang, dikenakan sanksi
administratif berupa teguran tertulis.
(4) Bank Indonesia menyampaikan surat tertulis kepada
Bank, Perusahaan Efek dan/atau Perusahaan Pialang
yang melakukan pelanggaran sebagaimana pada ayat (1),
ayat (2), dan/atau ayat (3) dengan tembusan kepada
otoritas yang berwenang.
Bagian Kedua
Pengenaan Sanksi Kewajiban Membayar
Pasal 26
(1) Bank yang melanggar ketentuan mengenai:
a. pemenuhan kriteria Sertifikat Deposito Syariah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1);
dan/atau
b.
izin sebagai Penerbit sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 ayat (1),
Peraturan Bank Indonesia tentang Transaksi Sertifikat
Deposito Syariah di Pasar Uang, dikenakan sanksi
kewajiban membayar sebesar 0,01% (nol koma nol satu
persen) dari nilai nominal penerbitan, paling sedikit
Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan paling banyak
Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) per penerbitan.
(2) Bank yang melanggar ketentuan mengenai penjualan
Sertifikat Deposito Syariah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 18 ayat (1) Peraturan Bank Indonesia tentang
28
Transaksi Sertifikat Deposito Syariah di Pasar Uang,
dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar 0,01%
(nol koma nol satu persen) dari nilai nominal transaksi,
paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan
paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) per
transaksi.
(3) Perusahaan Efek yang melanggar ketentuan mengenai
penjualan Sertifikat Deposito Syariah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) dan/atau memberikan
jasa perantara penjualan Sertifikat Deposito Syariah
sebagaimana dimaksud Pasal 18 ayat (2) Peraturan Bank
Indonesia tentang Transaksi Sertifikat Deposito Syariah
di Pasar Uang, dikenakan sanksi kewajiban membayar
sebesar 0,01% (nol koma nol satu persen) dari nilai
nominal transaksi yang tidak memenuhi persyaratan
tersebut, paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah)
dan paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta
rupiah) per transaksi.
(4) Perusahaan Pialang yang melanggar ketentuan mengenai
jasa perantara penjualan Sertifikat Deposito Syariah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2)
Peraturan Bank Indonesia tentang Transaksi Sertifikat
Deposito Syariah di Pasar Uang, dikenakan denda
kewajiban membayar sebesar 0,01% (nol koma nol satu
persen) dari nilai nominal transaksi yang tidak memenuhi
persyaratan tersebut, paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu
juta rupiah) dan paling banyak sebesar Rp10.000.000,00
(sepuluh juta rupiah) per transaksi.
(5) Bank Indonesia menyampaikan surat pengenaan sanksi
kewajiban membayar kepada Bank, Perusahaan Efek,
dan/atau Perusahaan Pialang yang melakukan
pelanggaran sebagaimana pada ayat (1), ayat (2), ayat (3)
dan/atau ayat (4), dengan tembusan kepada otoritas
yang berwenang.
(6) Pengenaan sanksi kewajiban membayar diatur sebagai
berikut:
29
a. sanksi kewajiban membayar bagi Bank dilakukan
oleh Bank Indonesia dengan cara mendebet rekening
giro Bank yang bersangkutan di Bank Indonesia;
b. sanksi kewajiban membayar bagi Perusahaan Efek
dan Perusahaan Pialang dilakukan dengan cara
melakukan setoran kepada rekening Bank Indonesia
dan menyampaikan bukti setoran paling lambat 10
(sepuluh) hari kerja setelah diterimanya surat
pengenaan sanksi kewajiban membayar kepada
alamat korespondensi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17.
Bagian Ketiga
Pengenaan Sanksi Penghentian Sementara
Kegiatan di Pasar Uang
Pasal 27
(1) Bank yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), Pasal 7
ayat (1), Pasal 9 ayat (1), Pasal 11 ayat (2), Pasal 13, Pasal
18 ayat (1), Pasal 21, Pasal 22 ayat (1), Pasal 23,
dan/atau Pasal 27 ayat (1) Peraturan Bank Indonesia
tentang Transaksi Sertifikat Deposito Syariah di Pasar
Uang, sebanyak 3 (tiga) kali dalam 6 (enam) bulan
dikenakan sanksi penghentian sementara kegiatan di
Pasar Uang berupa penerbitan Sertifikat Deposito Syariah
yang ditransaksikan di Pasar Uang dan/atau Transaksi
Sertifikat Deposito Syariah untuk kepentingan sendiri
dan/atau nasabah, selama 1 (satu) bulan.
(2) Perusahaan Efek yang melakukan pelanggaran terhadap
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1),
Pasal 9 ayat (1), Pasal 10 ayat (2), Pasal 11 ayat (2), Pasal
13, Pasal 18 ayat (1), Pasal 18 ayat (2), Pasal 21, Pasal 22
ayat (1), dan/atau Pasal 23 Peraturan Bank Indonesia
tentang Transaksi Sertifikat Deposito Syariah di Pasar
Uang, sebanyak 3 (tiga) kali dalam 6 (enam) bulan
dikenakan sanksi penghentian sementara kegiatan di
30
Pasar Uang berupa Transaksi Sertifikat Deposito Syariah
untuk kepentingan sendiri dan/atau nasabah dan/atau
kegiatan sebagai Lembaga Pendukung Penatausahaan
dan Penyelesaian Transaksi Sertifikat Deposito Syariah,
selama 1 (satu) bulan.
(3) Perusahaan Pialang yang melakukan pelanggaran
terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
8 ayat (1), Pasal 10 ayat (2), Pasal 13, Pasal 18 ayat (2),
Pasal 21, Pasal 22 ayat (1), dan/atau Pasal 23 Peraturan
Bank Indonesia tentang Transaksi Sertifikat Deposito
Syariah di Pasar Uang, sebanyak 3 (tiga) kali dalam 6
(enam) bulan dikenakan sanksi penghentian sementara
kegiatan di Pasar Uang berupa kegiatan sebagai Lembaga
Pendukung Transaksi Sertifikat Deposito Syariah, selama
1 (satu) bulan.
(4) Bank Indonesia menyampaikan surat penghentian
sementara kegiatan di Pasar Uang kepada Bank,
Perusahaan Efek, dan/atau Perusahaan Pialang yang
melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), ayat (2), dan/atau ayat (3), dengan tembusan
kepada otoritas yang berwenang.
(5) Contoh pengenaan sanksi penghentian sementara
kegiatan di Pasar Uang sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), ayat (2), dan ayat (3) tercantum dalam Lampiran XII.A
yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
Bagian Keempat
Pengenaan Sanksi Pencabutan Izin
Pasal 28
(1) Bank yang telah mendapatkan sanksi penghentian
sementara kegiatan di Pasar Uang sebanyak 3 (tiga) kali
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1)
Peraturan Bank Indonesia tentang Transaksi Sertifikat
Deposito Syariah di Pasar Uang, dikenakan sanksi
31
pencabutan izin dan/atau status terdaftar yang telah
diberikan.
(2) Perusahaan Efek yang telah mendapatkan sanksi
penghentian sementara kegiatan di Pasar Uang sebanyak
3 (tiga) kali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat
(2) Peraturan Bank Indonesia tentang Transaksi Sertifikat
Deposito Syariah di Pasar Uang, dikenakan sanksi
pencabutan status terdaftar yang telah diberikan.
(3) Perusahaan Pialang yang telah mendapatkan sanksi
penghentian sementara kegiatan di Pasar Uang sebanyak
3 (tiga) kali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat
(3) Peraturan Bank Indonesia tentang Transaksi Sertifikat
Deposito Syariah di Pasar Uang, dikenakan sanksi
pencabutan status terdaftar yang telah diberikan.
(4) Bank Indonesia menyampaikan surat pencabutan izin
dan/atau status terdaftar kepada Bank, Perusahaan
Efek, dan/atau Perusahaan Pialang sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan/atau ayat (3)
dengan tembusan kepada otoritas yang berwenang.
(5) Contoh pengenaan sanksi pencabutan izin sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan pencabutan status terdaftar
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3)
tercantum dalam Lampiran XII.B yang merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan
Gubernur ini.
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 29
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada
tanggal ditetapkan.
32
Agar setiap orang
mengetahuinya, memerintahkan
penempatan Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 6 November 2018
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR,
DODY BUDI WALUYO
TTD
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 20/27/PADG/2018
TENTANG
TRANSAKSI SERTIFIKAT DEPOSITO SYARIAH DI PASAR UANG
I. UMUM
Bank Indonesia telah menerbitkan Peraturan Bank Indonesia Nomor
20/9/PBI/2018 tentang Transaksi Sertifikat Deposito Syariah di Pasar
Uang yang mengatur beberapa aspek, antara lain kriteria Sertifikat
Deposito Syariah yang ditransaksikan di Pasar Uang, pelaku pasar dan
lembaga pendukung, keterbukaan informasi, perizinan penerbit dan
pendaftaran lembaga pendukung, Transaksi Sertifikat Deposito Syariah di
pasar sekunder, penatausahaan dan penyelesaian Transaksi Sertifikat
Deposito Syariah, penerapan Prinsip Syariah, prinsip kehati-hatian dan
manajemen risiko, pengawasan, dan pelaporan Transaksi Sertifikat
Deposito Syariah di Pasar Uang.
Untuk implementasi ketentuan tersebut, Bank Indonesia menetapkan
peraturan pelaksanaan yang berfungsi sebagai pedoman pelaksanaan bagi
pelaku pasar dalam melakukan Transaksi Sertifikat Deposito Syariah di
Pasar Uang, yang terdiri atas kriteria Sertifikat Deposito Syariah yang
ditransaksikan di Pasar Uang, keterbukaan informasi, tata cara perizinan
dan pendaftaran lembaga pendukung, pemrosesan permohonan izin dan
pendaftaran, Transaksi Sertifikat Deposito Syariah di pasar sekunder,
pencabutan izin dan status terdaftar, pelaporan, dan pengenaan sanksi.
2
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “periodik” adalah menurut periode
tertentu misalnya bulanan, triwulanan, semesteran, atau
tahunan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Dokumen informasi penawaran yang digunakan antara lain
dalam bentuk memorandum informasi atau dokumen sejenis
yang lazim dipergunakan.
Huruf a
Pencantuman pernyataan “dapat ditransaksikan di
Pasar Uang” untuk mempertegas bahwa Sertifikat
Deposito Syariah dapat ditransaksikan di Pasar Uang.
Huruf b
Akad yang digunakan dapat berupa mudarabah
mutlaqoh atau mudarabah muqayyadah.
3
Dalam hal Sertifikat Deposito Syariah menggunakan
akad mudarabah mutlaqah, Bank tidak dibatasi untuk
menggunakan dana nasabah dalam aktivitas
penyaluran dana sepanjang tidak bertentangan dengan
Prinsip Syariah.
Dalam hal Sertifikat Deposito Syariah menggunakan
akad mudarabah muqayyadah, nasabah selaku
pemilik dana memberikan persyaratan dan batasan
tertentu kepada Bank antara lain mengenai tempat,
cara, dan/atau obyek investasi yang dinyatakan secara
jelas dalam perjanjian.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “persentase nisbah bagi hasil
nasabah” adalah persentase keuntungan yang menjadi
porsi nasabah.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “persentase tingkat indikasi
imbalan” adalah persentase proyeksi bagi hasil
Sertifikat Deposito Syariah.
Huruf e
Salah satu informasi dalam tata cara perhitungan bagi
hasil adalah informasi mengenai metode bagi hasil
yaitu profit sharing atau non profit sharing.
Huruf f
Pengumuman tingkat bagi hasil dapat dilakukan
bersamaan dengan pengumuman rencana tanggal
pembayaran bagi hasil.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
4
Pasal 6
Ayat (1)
Informasi tingkat realisasi imbalan Sertifikat Deposito Syariah
digunakan sebagai salah satu acuan bagi pelaku transaksi
dalam penetapan harga Sertifikat Deposito Syariah yang
ditransaksikan di pasar sekunder.
Media yang dapat digunakan oleh
menginformasikan tingkat realisasi imbalan Sertifikat Deposito
Syariah antara lain berupa media papan pengumuman di kantor
Penerbit, media laman resmi Penerbit, dan/atau media lainnya.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “periodik” adalah menurut periode
tertentu misalnya bulanan, triwulanan, semesteran, atau
tahunan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Prosedur operasi standar paling sedikit memuat:
1. judul prosedur operasi standar;
2. penanggung jawab prosedur operasi standar;
Penerbit untuk
5
3. pihak yang melaksanakan prosedur operasi standar;
4. diagram alir (flowchart) dan penjelasan pelaksanaan
tahapan prosedur (input, proses, dan output); dan
5. batasan waktu dan pelaksanaan dalam setiap
prosedur.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Penerapan prinsip kehati-hatian mencakup:
1. penerapan etika bertransaksi dan market code of
conduct yang diterima secara umum;
2. transparansi dan keterbukaan informasi kepada
nasabah;
3. perlindungan konsumen; dan
4. penyelesaian sengketa.
Penerapan manajemen risiko dalam kegiatan perantara
pelaksanaan transaksi mengacu pada ketentuan otoritas
yang berwenang.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
6
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Penerapan prinsip kehati-hatian mencakup:
1. penerapan etika bertransaksi dan market code of
conduct yang diterima secara umum;
2. transparansi dan keterbukaan informasi kepada
nasabah;
3. perlindungan konsumen; dan
4. penyelesaian sengketa.
Penerapan manajemen risiko dalam kegiatan perantara
pelaksanaan transaksi mengacu pada ketentuan otoritas
yang berwenang.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Prosedur operasi standar paling sedikit memuat:
1. judul prosedur operasi standar;
2. penanggung jawab prosedur operasi standar;
3. pihak yang melaksanakan prosedur operasi standar;
4. diagram alir (flowchart) dan penjelasan pelaksanaan
tahapan prosedur (input, proses, dan output); dan
5. batasan waktu dan pelaksanaan dalam setiap prosedur
Huruf d
Cukup jelas.
7
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Penerapan prinsip kehati-hatian mencakup:
1. transparansi dan keterbukaan informasi kepada
nasabah;
2. perlindungan konsumen; dan
3. penyelesaian sengketa.
Penerapan manajemen risiko dalam kegiatan Kustodian
mengacu pada ketentuan otoritas yang berwenang.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Prosedur operasi standar paling sedikit memuat:
1. judul prosedur operasi standar;
2. penanggung jawab prosedur operasi standar;
3. pihak yang melaksanakan prosedur operasi standar;
4. diagram alir (flowchart) dan penjelasan pelaksanaan
tahapan prosedur (input, proses, dan output); dan
5. batasan waktu dan pelaksanaan dalam setiap
prosedur.
8
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Penerapan prinsip kehati-hatian mencakup:
1. transparansi dan keterbukaan informasi kepada
nasabah;
2. perlindungan konsumen; dan
3. penyelesaian sengketa.
Penerapan manajemen risiko dalam kegiatan Kustodian
mengacu pada ketentuan otoritas yang berwenang.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Penerapan prinsip kehati-hatian mencakup:
1. penerapan etika bertransaksi dan market code of
conduct yang diterima secara umum;
2. transparansi dan keterbukaan informasi kepada
nasabah;
3. perlindungan konsumen; dan
9
4. penyelesaian sengketa.
Penerapan manajemen risiko dalam kegiatan perantara
pelaksanaan transaksi mengacu pada ketentuan otoritas
yang berwenang.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Penerapan prinsip kehati-hatian mencakup:
1. penerapan etika bertransaksi dan market code of
conduct yang diterima secara umum;
2. transparansi dan keterbukaan informasi kepada
nasabah;
3. perlindungan konsumen; dan
4. penyelesaian sengketa.
Penerapan manajemen risiko dalam melaksanakan kegiatan
sebagai perantara pelaksanaan transaksi mengacu pada
ketentuan otoritas yang berwenang.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas.
10
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Penerapan prinsip kehati-hatian mencakup:
1. transparansi dan keterbukaan informasi kepada
nasabah;
2. perlindungan konsumen; dan
3. penyelesaian sengketa.
Penerapan manajemen risiko dalam kegiatan Kustodian
mengacu pada ketentuan otoritas yang berwenang.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Penerapan prinsip kehati-hatian mencakup:
1. transparansi dan keterbukaan informasi kepada
nasabah;
2. perlindungan konsumen; dan
3. penyelesaian sengketa.
Penerapan manajemen risiko dalam kegiatan Kustodian
mengacu pada ketentuan otoritas yang berwenang.
Ayat (3)
Cukup jelas.
11
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “bank” adalah bank umum
konvensional, Bank Umum Syariah, dan Unit Usaha
Syariah.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “nasabah” adalah pihak yang
menggunakan perantara pelaksanaan transaksi.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “bank” adalah bank umum
konvensional, Bank Umum Syariah, Unit Usaha Syariah,
bank perkreditan rakyat, dan bank pembiayaan rakyat
syariah.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “korporasi” adalah badan usaha
selain bank yang berbadan hukum dan berdomisili di
Indonesia.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
12
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
13
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
"," PADG
20/27/PADG/2018
TRANSAKSI SERTIFIKAT DEPOSITO SYARIAH DI PASAR UANG
6 November 2018
6 November 2018
'18/11/PBI/2016', '20/9/PBI/2018'
'BAB IX'
"
" PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 20/10/PADG/2018
TENTANG
GIRO WAJIB MINIMUM DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING
BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL, BANK UMUM SYARIAH,
DAN UNIT USAHA SYARIAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa sebagai kelanjutan dari reformulasi kerangka
operasional kebijakan moneter, dilakukan upaya
penyempurnaan giro wajib minimum dan langkah
percepatan implementasi giro wajib minimum rata-rata
guna meningkatkan efektivitas transmisi kebijakan
moneter dalam menjaga stabilitas perekonomian;
b. bahwa upaya penyempurnaan dan langkah percepatan
sebagaimana dimaksud dalam huruf a dilakukan dengan
meningkatkan fleksibilitas pengelolaan likuiditas untuk
mendorong fungsi intermediasi oleh perbankan dan
mendukung upaya pendalaman pasar keuangan, yang
dilakukan melalui lembaga keuangan perbankan
konvensional dan syariah;
c. bahwa untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan
pengaturan pemenuhan sebagian giro wajib minimum
secara rata-rata dan penyesuaian lainnya terkait giro wajib
minimum;
2
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a sampai dengan huruf c, perlu menetapkan
Peraturan Anggota Dewan Gubernur tentang Giro Wajib
Minimum dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank
Umum Konvensional, Bank Umum Syariah, dan Unit
Usaha Syariah;
Mengingat
: Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/3/PBI/2018 tentang Giro
Wajib Minimum Bank Umum dalam Rupiah dan Valuta Asing
bagi Bank Umum Konvensional, Bank Umum Syariah, dan Unit
Usaha Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2018 Nomor 43; Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 6193);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG GIRO
WAJIB MINIMUM DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING BAGI
BANK UMUM KONVENSIONAL, BANK UMUM SYARIAH, DAN
UNIT USAHA SYARIAH.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang dimaksud
dengan:
1. Bank Umum Konvensional yang selanjutnya disingkat BUK
adalah bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha
secara konvensional sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan,
termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di
luar negeri.
2. Bank Umum Syariah yang selanjutnya disingkat BUS
adalah bank umum yang menjalankan kegiatan usahanya
berdasarkan prinsip syariah sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan
syariah.
3
3. Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disingkat UUS adalah
unit usaha syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah.
4. BUK yang Melakukan Kegiatan Usaha dalam Valuta Asing
adalah BUK yang memperoleh persetujuan dari otoritas
yang berwenang untuk melakukan kegiatan usaha dalam
valuta asing.
5. BUS dan UUS yang Melakukan Kegiatan Usaha dalam
Valuta Asing adalah BUS dan UUS yang memperoleh
persetujuan dari otoritas yang berwenang untuk
melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing.
6. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat OJK
adalah Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai Otoritas
Jasa Keuangan.
7. Dana Pihak Ketiga BUK yang selanjutnya disebut DPK BUK
adalah kewajiban BUK kepada penduduk dan bukan
penduduk dalam rupiah dan/atau valuta asing.
8. Dana Pihak Ketiga BUS dan UUS yang selanjutnya disebut
DPK BUS dan UUS adalah kewajiban BUS dan UUS kepada
penduduk dan bukan penduduk dalam rupiah dan/atau
valuta asing.
9. Rekening Giro adalah rekening giro sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
rekening giro di Bank Indonesia.
10. Rekening Giro dalam Rupiah yang selanjutnya disebut
Rekening Giro Rupiah adalah rekening giro dalam mata
uang rupiah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai rekening giro di
Bank Indonesia.
11. Rekening Giro dalam Valuta Asing yang selanjutnya disebut
Rekening Giro Valas adalah rekening giro dalam valuta
asing sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai rekening giro di Bank
Indonesia.
12. Giro Wajib Minimum yang selanjutnya disingkat GWM
adalah jumlah dana minimum yang wajib dipelihara oleh
4
BUK atau BUS dan UUS yang besarnya ditetapkan oleh
Bank Indonesia sebesar persentase tertentu dari DPK BUK
atau DPK BUS dan UUS.
13. Jakarta Interbank Offered Rate yang selanjutnya disingkat
JIBOR adalah Jakarta Interbank Offered Rate sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai suku bunga penawaran antarbank.
14. Pasar Uang Antarbank Berdasarkan Prinsip Syariah yang
selanjutnya disebut PUAS adalah pasar uang antarbank
berdasarkan prinsip syariah sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pasar
uang antarbank berdasarkan prinsip syariah.
15. Sertifikat Investasi Mudharabah Antarbank yang
selanjutnya disingkat SIMA adalah sertifikat investasi
mudharabah antarbank sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
sertifikat investasi mudharabah antarbank.
16. Tingkat Indikasi Imbalan SIMA adalah rata-rata tertimbang
tingkat indikasi imbalan SIMA dalam rupiah yang terjadi di
PUAS pada pasar perdana.
17. Laporan Berkala Bank Umum yang selanjutnya disingkat
LBBU adalah laporan berkala bank umum sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai laporan berkala bank umum.
18. Laporan Berkala Bank Umum bagi BUS dan UUS yang
selanjutnya disingkat LBBUS adalah laporan berkala bank
umum bagi BUS dan UUS sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
laporan berkala bank umum.
19. Laporan Harian Bank Umum yang selanjutnya disingkat
LHBU adalah laporan harian bank umum sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai laporan harian bank umum.
5
BAB II
GIRO WAJIB MINIMUM BAGI BUK
Bagian Kesatu
Tata Cara Perhitungan Giro Wajib Minimum
dalam Rupiah bagi BUK
Pasal 2
GWM dalam rupiah ditetapkan sebesar rata-rata 6,5% (enam
koma lima persen) dari DPK BUK dalam rupiah selama periode
laporan tertentu, yang wajib dipenuhi:
a. secara harian sebesar 4,5% (empat koma lima persen); dan
b. secara rata-rata sebesar 2% (dua persen).
Pasal 3
(1) Pemenuhan GWM dalam rupiah secara harian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a dihitung
dengan membandingkan posisi saldo Rekening Giro Rupiah
BUK di Bank Indonesia pada setiap akhir hari dalam 2 (dua)
periode laporan terhadap rata-rata harian jumlah DPK BUK
dalam rupiah dalam 2 (dua) periode laporan pada 4 (empat)
periode laporan sebelumnya.
(2) DPK BUK dalam rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diperoleh dari laporan DPK BUK dalam rupiah pada
LBBU.
(3) DPK BUK dalam rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) terdiri atas rata-rata harian total DPK BUK dalam
rupiah pada seluruh kantor BUK di Indonesia.
(4) DPK BUK dalam rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) meliputi kewajiban dalam rupiah kepada pihak ketiga
bukan bank, baik kepada penduduk maupun bukan
penduduk, yang terdiri atas:
a.
giro;
b. tabungan;
c. simpanan berjangka/deposito; dan
d. kewajiban lainnya.
6
Pasal 4
(1) Pemenuhan GWM dalam rupiah secara rata-rata
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b dihitung
dengan membandingkan rata-rata posisi saldo Rekening
Giro Rupiah BUK di Bank Indonesia pada akhir hari pada
setiap akhir 2 (dua) periode laporan terhadap rata-rata
harian jumlah DPK BUK dalam rupiah dalam 2 (dua)
periode laporan pada 4 (empat) periode laporan
sebelumnya.
(2) Pemenuhan GWM dalam rupiah secara rata-rata
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat
dilakukan setelah BUK memenuhi GWM dalam rupiah
secara harian dan giro atas pemenuhan rasio intermediasi
makroprudensial sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai rasio
intermediasi makroprudensial dan penyangga likuiditas
makroprudensial.
(3) Perhitungan DPK BUK mengacu pada ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2), ayat (3), dan
ayat (4).
Pasal 5
(1) Bank Indonesia dapat memberikan jasa giro setiap hari
terhadap bagian tertentu dari pemenuhan kewajiban GWM
dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.
(2) Bagian tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan sebesar 1,5% (satu koma lima persen) dari DPK
dalam rupiah.
(3) Jasa giro sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan
dengan tingkat bunga sebesar 0% (nol persen) per tahun.
(4) Jasa giro sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan
untuk setiap hari bagi BUK yang memenuhi rasio GWM
dalam rupiah lebih dari atau sama dengan 6,5% (enam
koma lima persen).
(5) Bank Indonesia dapat mengubah kebijakan pemberian jasa
giro
dan/atau persentase jasa giro dengan
7
mempertimbangkan kondisi perekonomian dan arah
kebijakan Bank Indonesia.
(6) Pemberian jasa giro sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
sampai dengan ayat (4) tidak berlaku terhadap BUK yang
menerima pinjaman likuiditas jangka pendek sejak tanggal
aktivasi pemberian pinjaman likuiditas jangka pendek
sampai dengan satu hari sebelum tanggal pelunasan
pinjaman likuiditas jangka pendek.
Pasal 6
(1) Pemberian jasa giro sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
dilaksanakan dengan mengkredit Rekening Giro Rupiah
BUK pada Bank Indonesia.
(2) Pengkreditan Rekening Giro Rupiah BUK untuk pemberian
jasa giro sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
sebagai berikut:
a. jasa giro periode tanggal 1 sampai dengan tanggal 15
dikreditkan paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah
tanggal 15 bulan yang sama; dan
b. jasa giro periode tanggal 16 sampai dengan tanggal akhir
bulan dikreditkan paling lambat 2 (dua) hari kerja
setelah tanggal akhir bulan.
(3) Dalam hal di kemudian hari diketahui terjadi kekurangan
atau kelebihan dalam pengkreditan yang terkait dengan
pemberian jasa giro sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Bank Indonesia dapat mengkredit atau mendebit Rekening
Giro Rupiah BUK yang bersangkutan sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai sistem Bank Indonesia-Real Time Gross
Settlement.
8
Bagian Kedua
Tata Cara Perhitungan Giro Wajib Minimum
dalam Valuta Asing bagi BUK
Pasal 7
GWM dalam valuta asing ditetapkan sebesar rata-rata 8%
(delapan persen) dari DPK BUK dalam valuta asing selama
periode laporan tertentu, yang wajib dipenuhi:
a. secara harian sebesar 6% (enam persen); dan
b. secara rata-rata sebesar 2% (dua persen).
Pasal 8
(1) Pemenuhan GWM dalam valuta asing secara harian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a dihitung
dengan membandingkan posisi saldo Rekening Giro Valas
BUK di Bank Indonesia pada setiap akhir hari dalam 2 (dua)
periode laporan terhadap rata-rata harian jumlah DPK BUK
dalam valuta asing dalam 2 (dua) periode laporan pada 4
(empat) periode laporan sebelumnya.
(2) DPK BUK dalam valuta asing sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diperoleh dari laporan DPK BUK dalam valuta asing
pada LBBU.
(3) DPK BUK dalam valuta asing sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) terdiri atas rata-rata harian total DPK BUK dalam
valuta asing pada seluruh kantor BUK di Indonesia.
(4) DPK BUK dalam valuta asing sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi kewajiban dalam valuta asing kepada
pihak ketiga termasuk bank di Indonesia, baik kepada
penduduk maupun bukan penduduk, yang terdiri atas:
a.
giro;
b. tabungan;
c. simpanan berjangka/deposito; dan
d. kewajiban lainnya.
Pasal 9
(1) Pemenuhan GWM dalam valuta asing secara rata-rata
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b dihitung
9
dengan membandingkan rata-rata posisi saldo Rekening
Giro Valas BUK di Bank Indonesia pada akhir hari pada
setiap akhir 2 (dua) periode laporan terhadap rata-rata
harian jumlah DPK BUK dalam valuta asing dalam 2 (dua)
periode laporan pada 4 (empat) periode laporan
sebelumnya.
(2) Pemenuhan GWM dalam valuta asing secara rata-rata
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dipenuhi
setelah BUK memenuhi GWM dalam valuta asing secara
harian.
(3) Perhitungan DPK BUK mengacu pada ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2), ayat (3), dan
ayat (4).
Bagian Ketiga
Pemenuhan Giro Wajib Minimum
bagi BUK yang Melakukan Penggabungan atau Peleburan
dan bagi BUK yang Baru Mendapatkan Izin
Melakukan Kegiatan Usaha dalam Valuta Asing
Pasal 10
(1) Bank Indonesia dapat memberikan kelonggaran atas
kewajiban pemenuhan GWM dalam rupiah yang wajib
dipenuhi secara harian sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 huruf a kepada BUK yang melakukan
penggabungan atau peleburan.
(2) Kelonggaran atas kewajiban pemenuhan GWM dalam
rupiah yang wajib dipenuhi secara harian sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebesar 1% (satu
persen) untuk 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal
penggabungan atau peleburan berlaku efektif.
(3) Pemberian kelonggaran atas kewajiban pemenuhan GWM
dalam rupiah yang wajib dipenuhi secara harian
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan atas
permintaan BUK kepada Bank Indonesia.
10
Pasal 11
(1) Permintaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3)
harus diajukan kepada Bank Indonesia bersamaan dengan
penyampaian informasi mengenai rencana penggabungan
atau peleburan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai pelayanan
perizinan terpadu terkait hubungan operasional bank
umum dengan Bank Indonesia.
(2) Permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dialamatkan kepada:
a. Departemen Surveilans Sistem Keuangan, Jalan M.H.
Thamrin No. 2, Jakarta 10350, bagi BUK yang
berkantor pusat di wilayah kerja kantor pusat Bank
Indonesia; atau
b. Departemen Surveilans Sistem Keuangan, Jalan M.H.
Thamrin No. 2, Jakarta 10350, dengan tembusan
kepada Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat,
bagi BUK yang berkantor pusat selain di wilayah kerja
kantor pusat Bank Indonesia,
dengan tembusan kepada OJK.
(3) Bank Indonesia memberikan persetujuan atau penolakan
atas permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
sebelum tanggal efektif penggabungan atau peleburan.
Pasal 12
Pemenuhan GWM dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 dan GWM dalam valuta asing sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 bagi BUK yang melakukan penggabungan atau
peleburan dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. sampai dengan 2 (dua) hari kerja sebelum tanggal efektif
pelaksanaan penggabungan atau peleburan, perhitungan
GWM dalam rupiah dan GWM dalam valuta asing tetap
dilakukan secara terpisah untuk masing-masing BUK;
b. sejak 1 (satu) hari kerja sebelum tanggal efektif
pelaksanaan penggabungan atau peleburan, perhitungan
GWM dalam rupiah dan GWM dalam valuta asing hanya
11
dilakukan terhadap BUK hasil penggabungan atau
peleburan;
c. dalam hal data BUK hasil penggabungan atau peleburan
sebagaimana dimaksud dalam huruf b belum tersedia,
perhitungan GWM dalam rupiah dan GWM dalam valuta
asing menggunakan hasil penjumlahan data BUK yang
melakukan penggabungan atau peleburan;
d. data gabungan BUK sebagaimana dimaksud dalam huruf c
meliputi DPK BUK dalam rupiah, saldo Rekening Giro
Rupiah serta DPK BUK dalam valuta asing, dan saldo
Rekening Giro Valas.
Pasal 13
Pemenuhan GWM dalam valuta asing untuk BUK yang baru
mendapatkan izin melakukan kegiatan usaha dalam valuta
asing diatur sebagai berikut:
a. selain memenuhi GWM dalam rupiah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2, BUK yang baru mendapatkan izin
melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing juga wajib
memenuhi GWM dalam valuta asing sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7;
b. kewajiban pemenuhan GWM dalam valuta asing untuk
BUK yang baru mendapatkan izin melakukan kegiatan
usaha dalam valuta asing berlaku setelah 4 (empat) periode
laporan pada LBBU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
dan Pasal 9.
Bagian Keempat
Pemenuhan Giro Wajib Minimum
bagi BUK yang Menerima Pinjaman Likuiditas Jangka Pendek
Pasal 14
(1) Pemenuhan GWM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
dan Pasal 7 tidak berlaku bagi BUK yang menerima
pinjaman likuiditas jangka pendek.
(2) BUK yang menerima pinjaman likuiditas jangka pendek
wajib memenuhi GWM dalam rupiah secara harian sebesar
6,5% (enam koma lima persen) dari DPK BUK dalam rupiah.
12
(3) BUK yang menerima pinjaman likuiditas jangka pendek
wajib memenuhi GWM dalam valuta asing secara harian
sebesar 8% (delapan persen) dari DPK BUK dalam valuta
asing.
(4) Pemenuhan GWM sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dan ayat (3) dilakukan sejak tanggal aktivasi pemberian
pinjaman likuiditas jangka pendek sampai dengan 1 (satu)
hari sebelum tanggal pelunasan pinjaman likuiditas jangka
pendek.
Pasal 15
(1) Sampai dengan 1 (satu) hari sebelum tanggal aktivasi
pemberian pinjaman likuiditas jangka pendek dan sejak
tanggal pelunasan pinjaman likuiditas jangka pendek maka
pemenuhan GWM dalam rupiah untuk BUK yang
menerima pinjaman likuiditas jangka pendek dihitung
dengan tata cara pemenuhan GWM dalam rupiah secara
harian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a dan
Pasal 3 dan pemenuhan GWM dalam rupiah secara rata-
rata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b dan
Pasal 4.
(2) Sampai dengan 1 (satu) hari sebelum tanggal aktivasi
pemberian pinjaman likuiditas jangka pendek dan sejak
tanggal pelunasan pinjaman likuiditas jangka pendek maka
pemenuhan GWM dalam valuta asing untuk BUK yang
menerima pinjaman likuiditas jangka pendek dihitung
dengan tata cara pemenuhan GWM dalam valuta asing
secara harian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf
a dan Pasal 8 dan pemenuhan GWM dalam valuta asing
secara rata-rata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
huruf b dan Pasal 9.
(3) Tanggal aktivasi dan tanggal pelunasan pinjaman likuiditas
jangka pendek sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (4)
yaitu tanggal aktivasi dan tanggal pelunasan sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai pinjaman likuiditas jangka pendek.
13
(4) Dalam hal tanggal pelunasan sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) jatuh pada hari libur atau hari yang kemudian
ditetapkan pemerintah sebagai hari libur maka pemenuhan
GWM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 7
dilakukan pada hari
saat Bank Indonesia
menyelenggarakan Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia
dan/atau sistem Bank Indonesia-Real Time Gross
Settlement berikutnya.
BAB III
GIRO WAJIB MINIMUM BAGI BUS DAN UUS
Bagian Kesatu
Tata Cara Perhitungan Giro Wajib Minimum
dalam Rupiah bagi BUS dan UUS
Pasal 16
GWM dalam rupiah ditetapkan sebesar rata-rata 5% (lima
persen) dari DPK BUS dan UUS dalam rupiah selama periode
laporan tertentu, yang wajib dipenuhi:
a. secara harian sebesar 3% (tiga persen); dan
b. secara rata-rata sebesar 2% (dua persen).
Pasal 17
(1) Pemenuhan GWM dalam rupiah secara harian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf a dihitung
dengan membandingkan posisi saldo Rekening Giro Rupiah
BUS dan UUS di Bank Indonesia pada setiap akhir hari
dalam 2 (dua) periode laporan terhadap rata-rata harian
jumlah DPK BUS dan UUS dalam rupiah dalam 2 (dua)
periode laporan pada 4 (empat) periode laporan
sebelumnya.
(2) DPK BUS dan UUS dalam rupiah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diperoleh dari laporan DPK BUS dan UUS
dalam rupiah pada LBBUS.
(3) DPK BUS dan UUS dalam rupiah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) terdiri atas rata-rata harian total DPK BUS
14
dan UUS dalam rupiah pada seluruh kantor BUS dan UUS
di Indonesia.
(4) DPK BUS dan UUS dalam rupiah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi kewajiban dalam rupiah kepada
pihak ketiga bukan bank, baik kepada penduduk maupun
bukan penduduk, yang terdiri atas:
a. dana simpanan wadiah;
b. dana investasi tidak terikat; dan
c. kewajiban lainnya.
Pasal 18
(1) Pemenuhan GWM dalam rupiah secara rata-rata
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf b dihitung
dengan membandingkan rata-rata posisi saldo Rekening
Giro Rupiah BUS dan UUS di Bank Indonesia pada akhir
hari pada setiap akhir 2 (dua) periode laporan terhadap
rata-rata harian jumlah DPK BUS dan UUS dalam rupiah
dalam 2 (dua) periode laporan pada 4 (empat) periode
laporan sebelumnya.
(2) Pemenuhan GWM dalam rupiah secara rata-rata
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat
dilakukan setelah BUS dan UUS memenuhi GWM dalam
rupiah secara harian dan giro atas pemenuhan rasio
intermediasi makroprudensial sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
rasio intermediasi makroprudensial dan penyangga
likuiditas makroprudensial.
(3) Perhitungan DPK BUK mengacu pada ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2), ayat (3),
dan ayat (4).
Pasal 19
Bank Indonesia tidak memberikan jasa giro untuk pemenuhan
kewajiban GWM dalam rupiah bagi BUS dan UUS sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16.
15
Bagian Kedua
Tata Cara Perhitungan Giro Wajib Minimum
dalam Valuta Asing bagi BUS dan UUS
Pasal 20
GWM dalam valuta asing ditetapkan sebesar 1% (satu persen)
dari DPK BUS dan UUS dalam valuta asing selama periode
laporan tertentu yang wajib dipenuhi secara harian.
Pasal 21
(1) Pemenuhan GWM dalam valuta asing secara harian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dihitung dengan
membandingkan posisi saldo Rekening Giro Valas BUS dan
UUS di Bank Indonesia setiap akhir hari dalam 2 (dua)
periode laporan terhadap rata-rata harian jumlah DPK BUS
dan UUS dalam valuta asing dalam 2 (dua) periode laporan
pada 4 (empat) periode laporan sebelumnya.
(2) DPK BUS dan UUS dalam valuta asing sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diperoleh dari laporan DPK BUS
dan UUS dalam valuta asing pada LBBUS.
(3) DPK BUS dan UUS dalam valuta asing sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) terdiri atas rata-rata harian total
DPK BUS dan UUS dalam valuta asing pada seluruh kantor
BUS dan UUS di Indonesia.
(4) DPK BUS dan UUS dalam valuta asing sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi kewajiban dalam valuta
asing kepada pihak ketiga, termasuk bank di Indonesia,
baik kepada penduduk maupun bukan penduduk, yang
terdiri atas:
a. dana simpanan wadiah;
b. dana investasi tidak terikat; dan
c. kewajiban lainnya.
16
Bagian Ketiga
Pemenuhan Giro Wajib Minimum
bagi BUS yang Melakukan Penggabungan atau Peleburan
dan bagi BUS dan UUS yang Baru Mendapatkan Izin
Melakukan Kegiatan Usaha dalam Valuta Asing
Pasal 22
(1) Bank Indonesia dapat memberikan kelonggaran atas
kewajiban pemenuhan GWM dalam rupiah yang wajib
dipenuhi secara harian sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 16 huruf a kepada BUS yang melakukan
penggabungan atau peleburan.
(2) Kelonggaran atas kewajiban pemenuhan GWM dalam
rupiah yang wajib dipenuhi secara harian sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebesar 1% (satu
persen) untuk 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal
penggabungan atau peleburan berlaku efektif.
(3) Pemberian kelonggaran atas kewajiban pemenuhan GWM
dalam rupiah yang wajib dipenuhi secara harian
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan atas
permintaan BUS kepada Bank Indonesia.
Pasal 23
(1) Permintaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (3)
harus diajukan kepada Bank Indonesia bersamaan dengan
penyampaian informasi mengenai rencana penggabungan
atau peleburan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai pelayanan
perizinan terpadu terkait hubungan operasional bank
umum dengan Bank Indonesia.
(2) Permintaan BUS kepada Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dialamatkan kepada:
a. Departemen Surveilans Sistem Keuangan, Jalan M.H.
Thamrin No. 2, Jakarta 10350, bagi BUS yang
berkantor pusat di wilayah kerja kantor pusat Bank
Indonesia; atau
b. Departemen Surveilans Sistem Keuangan, Jalan M.H.
17
Thamrin No. 2, Jakarta 10350, dengan tembusan
kepada Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat,
bagi BUS yang berkantor pusat selain di wilayah kerja
kantor pusat Bank Indonesia,
dengan tembusan kepada OJK.
(3) Bank Indonesia memberikan persetujuan atau penolakan
atas permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
sebelum tanggal efektif penggabungan atau peleburan.
Pasal 24
Pemenuhan GWM dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 16 dan GWM dalam valuta asing sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 20 bagi BUS yang melakukan penggabungan atau
peleburan dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. sampai dengan 2 (dua) hari kerja sebelum tanggal efektif
pelaksanaan penggabungan atau peleburan, perhitungan
GWM dalam rupiah dan GWM dalam valuta asing tetap
dilakukan secara terpisah untuk masing-masing BUS;
b. sejak 1 (satu) hari kerja sebelum tanggal efektif
pelaksanaan penggabungan atau peleburan, perhitungan
GWM dalam rupiah dan valuta asing hanya dilakukan
terhadap BUS hasil penggabungan atau peleburan;
c. dalam hal data BUS hasil penggabungan atau peleburan
sebagaimana dimaksud dalam huruf b belum tersedia,
perhitungan GWM dalam rupiah dan GWM dalam valuta
asing menggunakan hasil penjumlahan data BUS yang
melakukan penggabungan atau peleburan;
d. data gabungan BUS sebagaimana dimaksud dalam huruf c
meliputi DPK BUS dalam rupiah, saldo Rekening Giro
Rupiah serta DPK BUS dalam valuta asing, dan saldo
Rekening Giro Valas.
Pasal 25
Pemenuhan GWM dalam valuta asing untuk BUS dan UUS yang
baru mendapatkan izin melakukan kegiatan usaha dalam valuta
asing diatur sebagai berikut:
a. selain memenuhi GWM dalam rupiah sebagaimana
18
dimaksud dalam Pasal 16, BUS dan UUS yang baru
mendapatkan izin melakukan kegiatan usaha dalam valuta
asing juga wajib memenuhi GWM dalam valuta asing
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20;
b. kewajiban pemenuhan GWM dalam valuta asing bagi BUS
dan UUS yang baru mendapatkan izin melakukan kegiatan
usaha dalam valuta asing berlaku setelah 4 (empat) periode
laporan pada Laporan Berkala Bank Umum sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21.
Bagian Keempat
Pemenuhan Giro Wajib Minimum
bagi BUS Hasil Pemisahan UUS dari BUK
dan bagi BUS Hasil Perubahan Kegiatan Usaha BUK
Pasal 26
Pemenuhan GWM dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 16 dan GWM dalam valuta asing sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 20 bagi BUS hasil pemisahan UUS dari BUK
dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. sampai dengan 2 (dua) hari sebelum tanggal efektif
pemisahan UUS menjadi BUS, perhitungan GWM dalam
rupiah dan GWM dalam valuta asing dilakukan terhadap
UUS;
b. sejak 1 (satu) hari sebelum tanggal efektif pemisahan UUS
menjadi BUS, perhitungan GWM dalam rupiah dan GWM
dalam valuta asing hanya dilakukan terhadap BUS hasil
pemisahan; dan
c. dalam hal data BUS hasil pemisahan UUS dari BUK
sebagaimana dimaksud dalam huruf b belum tersedia,
perhitungan GWM dalam rupiah dan GWM dalam valuta
asing menggunakan data UUS.
Pasal 27
Pemenuhan GWM dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 16 dan GWM dalam valuta asing sebagaimana dimaksud
19
dalam Pasal 20 bagi BUS hasil perubahan kegiatan usaha BUK
dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. sampai dengan 1 (satu) hari sebelum tanggal efektif
perubahan kegiatan usaha BUK menjadi BUS, perhitungan
GWM dalam rupiah dan GWM dalam valuta asing
dilakukan terhadap BUK;
b. sejak tanggal efektif perubahan kegiatan usaha BUK
menjadi BUS, perhitungan GWM dalam rupiah dan GWM
dalam valuta asing dilakukan terhadap BUS hasil
perubahan kegiatan usaha BUK; dan
c. dalam hal data BUS hasil perubahan kegiatan usaha BUK
menjadi BUS sebagaimana dimaksud dalam huruf b belum
tersedia, perhitungan GWM dalam rupiah dan GWM dalam
valuta asing menggunakan data BUK.
Bagian Kelima
Pemenuhan Giro Wajib Minimum bagi BUS
yang Menerima Pembiayaan Likuiditas Jangka Pendek Syariah
Pasal 28
(1) Pemenuhan GWM dalam rupiah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 16 tidak berlaku bagi BUS yang menerima
pembiayaan likuiditas jangka pendek syariah.
(2) BUS yang menerima pembiayaan likuiditas jangka pendek
syariah wajib memenuhi GWM dalam rupiah secara harian
sebesar 5% (lima persen) dari DPK BUS dalam rupiah.
(3) Pemenuhan GWM sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan sejak tanggal aktivasi pemberian pembiayaan
likuiditas jangka pendek syariah sampai dengan 1 (satu)
hari sebelum tanggal pelunasan pembiayaan likuiditas
jangka pendek syariah.
Pasal 29
(1) Sampai dengan 1 (satu) hari sebelum tanggal aktivasi
pemberian pembiayaan likuiditas jangka pendek syariah
dan sejak tanggal pelunasan pembiayaan likuiditas jangka
pendek syariah maka pemenuhan GWM dalam rupiah
20
untuk bank yang menerima pembiayaan likuiditas jangka
pendek syariah dihitung dengan tata cara pemenuhan
GWM dalam rupiah secara harian sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 16 huruf a dan Pasal 17 serta pemenuhan
GWM dalam rupiah secara rata-rata sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16 huruf b dan Pasal 18.
(2) Tanggal aktivasi dan tanggal pelunasan pembiayaan
likuiditas jangka pendek syariah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 28 ayat (3) adalah tanggal aktivasi dan tanggal
pelunasan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai pembiayaan likuiditas
jangka pendek syariah.
(3) Dalam hal tanggal pelunasan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) jatuh pada hari libur atau hari yang kemudian
ditetapkan pemerintah sebagai hari libur maka pemenuhan
GWM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dilakukan
pada hari saat Bank Indonesia menyelenggarakan Sistem
Kliring Nasional Bank Indonesia dan/atau sistem Bank
Indonesia-Real Time Gross Settlement berikutnya.
BAB IV
SANKSI
Bagian Kesatu
Sanksi bagi BUK
Pasal 30
BUK yang melanggar:
a. kewajiban pemenuhan GWM dalam rupiah; dan/atau
b. kewajiban pemenuhan GWM dalam valuta asing,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 7, dan/atau Pasal
14 dikenakan sanksi berupa teguran tertulis dan kewajiban
membayar.
Pasal 31
(1) Tata cara pengenaan sanksi kewajiban membayar bagi
BUK, termasuk BUK yang menerima pinjaman likuiditas
21
jangka pendek, yang melanggar kewajiban pemenuhan
GWM dalam rupiah diatur sebagai berikut:
a. BUK yang melanggar kewajiban pemenuhan GWM
dalam rupiah secara harian sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 huruf a atau Pasal 14 ayat 2 dikenakan
sanksi kewajiban membayar sebesar 125% (seratus
dua puluh lima persen) dari suku bunga jangka waktu
1 (satu) hari overnight dari JIBOR dalam rupiah pada
hari terjadinya pelanggaran, terhadap kekurangan
GWM dalam rupiah, untuk setiap hari pelanggaran;
dan
b. BUK yang melanggar kewajiban pemenuhan GWM
dalam rupiah secara rata-rata sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 huruf b dikenakan sanksi kewajiban
membayar sebesar 125% (seratus dua puluh lima
persen) dari suku bunga jangka waktu 1 (satu) hari
overnight dari rata-rata JIBOR dalam rupiah selama 2
(dua) periode laporan, terhadap rata-rata kekurangan
GWM yang wajib dipenuhi secara rata-rata selama 2
(dua) periode laporan untuk setiap hari selama 2 (dua)
periode laporan.
(2) Perhitungan suku bunga jangka waktu 1 (satu) hari
overnight dari JIBOR sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai suku bunga penawaran antarbank.
Pasal 32
(1) Tata cara pengenaan sanksi kewajiban membayar bagi BUK
termasuk BUK yang menerima pinjaman likuiditas jangka
pendek yang melanggar kewajiban pemenuhan GWM dalam
valuta asing diatur sebagai berikut:
a. BUK yang melanggar kewajiban pemenuhan GWM
dalam valuta asing secara harian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 huruf a atau Pasal 14 ayat 3,
dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar 0,04%
(nol koma nol empat persen) untuk setiap hari
pelanggaran, yang dihitung dari selisih antara saldo
22
harian Rekening Giro Valas BUK pada Bank Indonesia
yang wajib dipenuhi dengan saldo harian Rekening
Giro Valas BUK yang dicatat pada sistem akunting
Bank Indonesia; dan
b. BUK yang melanggar kewajiban pemenuhan GWM
dalam valuta asing secara rata-rata sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 huruf b, dikenakan sanksi
kewajiban membayar sebesar 0,04% (nol koma nol
empat persen) yang dihitung dari selisih antara saldo
rata-rata Rekening Giro Valas BUK pada Bank
Indonesia yang wajib dipenuhi selama 2 (dua) periode
laporan dengan saldo rata-rata Rekening Giro Valas
BUK selama 2 (dua) periode laporan yang dicatat pada
sistem akunting Bank Indonesia untuk setiap hari
selama 2 (dua) periode laporan.
(2) Sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a dibebankan dalam rupiah dengan
menggunakan kurs tengah dari kurs transaksi Bank
Indonesia pada hari terjadinya pelanggaran.
(3) Sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b dibebankan dalam rupiah dengan
menggunakan rata-rata kurs tengah dari kurs transaksi
Bank Indonesia selama 2 (dua) periode laporan pada
periode terjadinya pelanggaran.
Pasal 33
(1) Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31
ayat (1) huruf a sampai dengan huruf b dan Pasal 32 ayat
(1) huruf a sampai dengan huruf b dilaksanakan dengan
mendebit Rekening Giro Rupiah BUK di Bank Indonesia.
(2) Pendebitan Rekening Giro Rupiah BUK untuk pengenaan
sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
paling lambat 3 (tiga) hari kerja berikutnya setelah tanggal
terjadinya pelanggaran GWM dan/atau tanggal
ditemukannya pelanggaran GWM.
(3) Dalam hal di kemudian hari diketahui terjadi kekurangan
atau kelebihan dalam pendebitan yang terkait dengan
23
pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Bank Indonesia dapat langsung mendebit atau mengkredit
Rekening Giro Rupiah BUK yang bersangkutan
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai sistem Bank Indonesia-Real Time
Gross Settlement.
(4) Dalam hal pada saat pendebitan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), saldo Rekening Giro Rupiah BUK tidak
mencukupi, seluruh sanksi kewajiban membayar tersebut
diperhitungkan sebagai kewajiban yang masih harus
diselesaikan oleh BUK kepada Bank Indonesia.
(5) Dalam hal saldo Rekening Giro Rupiah BUK tidak
mencukupi sebagaimana dimaksud pada ayat (4), atas
kekurangan tersebut juga dikenakan sanksi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) huruf a.
Bagian Kedua
Sanksi bagi BUS dan UUS
Pasal 34
BUS dan UUS yang melanggar:
a. kewajiban pemenuhan GWM dalam rupiah; dan/atau
b. kewajiban pemenuhan GWM dalam valuta asing,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, Pasal 20 dan/atau
Pasal 28 dikenakan sanksi berupa teguran tertulis dan
kewajiban membayar.
Pasal 35
(1) Tata cara pengenaan sanksi kewajiban membayar bagi BUS
dan UUS, termasuk BUS yang menerima pembiayaan
likuiditas jangka pendek syariah, yang melanggar
kewajiban pemenuhan GWM dalam rupiah diatur sebagai
berikut:
a. BUS dan UUS yang melanggar kewajiban pemenuhan
GWM dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 16 huruf a atau Pasal 28 ayat (2) dikenakan
sanksi kewajiban membayar sebesar 125% (seratus
24
dua puluh lima persen) dari Tingkat Indikasi Imbalan
SIMA pada hari terjadinya pelanggaran, terhadap
kekurangan GWM dalam rupiah, untuk setiap hari
pelanggaran;
b. BUS dan UUS yang melanggar kewajiban pemenuhan
GWM dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 16 huruf b dikenakan sanksi kewajiban
membayar sebesar 125% (seratus dua puluh lima
persen) dari rata-rata Tingkat Indikasi Imbalan SIMA
selama 2 (dua) periode laporan terhadap rata-rata
kekurangan GWM dalam rupiah yang wajib dipenuhi
secara rata-rata selama periode laporan untuk setiap
hari pelanggaran selama 2 (dua) periode laporan.
(2) Dalam hal data Tingkat Indikasi Imbalan SIMA
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dan huruf b
tidak tersedia, pengenaan sanksi dihitung berdasarkan
rata-rata tingkat imbalan deposito investasi mudharabah
berjangka waktu 1 (satu) bulan sebelum didistribusikan,
pada bulan sebelumnya dari seluruh BUS dan UUS.
Pasal 36
(1) Tata cara pengenaan sanksi kewajiban membayar bagi BUS
dan UUS termasuk BUS yang menerima pembiayaan
likuiditas jangka pendek syariah yang melanggar kewajiban
pemenuhan GWM dalam valuta asing sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 20, dikenakan sanksi kewajiban
membayar sebesar 0,04% (nol koma nol empat persen)
untuk setiap hari pelanggaran, yang dihitung dari selisih
antara saldo harian Rekening Giro Valas BUS dan UUS di
Bank Indonesia yang wajib dipenuhi dengan saldo harian
Rekening Giro Valas BUS dan UUS yang dicatat pada
sistem akunting Bank Indonesia.
(2) Sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dibebankan dalam rupiah dengan
menggunakan kurs tengah dari kurs transaksi Bank
Indonesia pada hari terjadinya pelanggaran.
25
Pasal 37
(1) Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35
ayat (1) dan Pasal 36 dilaksanakan dengan mendebit
Rekening Giro Rupiah BUS dan UUS di Bank Indonesia.
(2) Pendebitan Rekening Giro Rupiah BUS dan UUS untuk
pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan paling lambat 3 (tiga) hari kerja berikutnya
setelah tanggal terjadinya pelanggaran GWM dan/atau
tanggal ditemukannya pelanggaran GWM.
(3) Dalam hal di kemudian hari diketahui terjadi kekurangan
atau kelebihan dalam pendebitan yang terkait dengan
pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Bank Indonesia dapat langsung mendebit atau mengkredit
Rekening Giro Rupiah BUS dan UUS yang bersangkutan
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai sistem Bank Indonesia-Real Time
Gross Settlement.
(4) Dalam hal pada saat pendebitan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), saldo Rekening Giro Rupiah BUS dan UUS
tidak mencukupi, seluruh sanksi kewajiban membayar
tersebut diperhitungkan sebagai kewajiban yang masih
harus diselesaikan oleh BUS dan UUS kepada Bank
Indonesia.
(5) Dalam hal saldo Rekening Giro Rupiah BUS dan UUS tidak
mencukupi sebagaimana dimaksud pada ayat (4), atas
kekurangan tersebut juga dikenakan sanksi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) huruf a.
BAB V
CONTOH PERHITUNGAN PEMENUHAN GWM
Bagian Kesatu
Contoh Perhitungan Giro Wajib Minimum bagi BUK
Pasal 38
Contoh perhitungan pemenuhan GWM bagi BUK, yang terdiri
atas:
26
a. perhitungan GWM dalam rupiah, jasa giro, dan sanksi
kewajiban membayar bagi BUK tercantum dalam Lampiran
I;
b. perhitungan GWM dalam valuta asing dan sanksi
kewajiban membayar bagi BUK tercantum dalam Lampiran
II;
c. perhitungan GWM dalam rupiah bagi BUK yang melakukan
penggabungan atau peleburan tercantum dalam Lampiran
III;
d. perhitungan GWM dalam valuta asing bagi BUK yang baru
mendapatkan izin melakukan kegiatan usaha dalam valuta
asing tercantum dalam Lampiran IV; dan
e. perhitungan GWM bagi BUK yang menerima pinjaman
likuiditas jangka pendek tercantum dalam Lampiran V,
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini.
Bagian Kedua
Contoh Perhitungan Giro Wajib Minimum bagi BUS dan UUS
Pasal 39
Contoh perhitungan GWM bagi BUS dan UUS, yang terdiri atas:
a. perhitungan GWM dalam rupiah dan sanksi kewajiban
membayar bagi BUS dan UUS tercantum dalam Lampiran
VI;
b. perhitungan GWM dalam valuta asing dan sanksi
kewajiban membayar bagi BUS dan UUS tercantum dalam
Lampiran VII;
c. perhitungan GWM bagi BUS yang melakukan
penggabungan atau peleburan tercantum dalam Lampiran
VIII;
d. perhitungan pemenuhan GWM dalam valuta asing bagi
BUS dan UUS yang baru mendapatkan izin melakukan
kegiatan usaha dalam valuta asing tercantum dalam
Lampiran IX;
e. perhitungan GWM bagi BUS hasil pemisahan UUS dari
BUK tercantum dalam Lampiran X;
27
f.
perhitungan GWM bagi BUS hasil perubahan kegiatan
usaha BUK tercantum dalam Lampiran XI; dan
g. perhitungan GWM bagi BUS yang menerima pembiayaan
likuiditas jangka pendek syariah tercantum dalam
Lampiran XII
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini.
BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 40
Pada saat Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai
berlaku, Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor
19/4/PADG/2017 tanggal 28 April 2017 tentang Giro Wajib
Minimum Bank Umum dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi
Bank Umum Konvensional dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku, kecuali ketentuan yang mengatur mengenai GWM
dalam valuta asing dinyatakan masih tetap berlaku sampai
dengan tanggal 30 September 2018.
Pasal 41
(1) Ketentuan pemenuhan kewajiban GWM dalam valuta asing
bagi BUK secara harian dan rata-rata sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 mulai berlaku pada tanggal 1
Oktober 2018.
(2) Ketentuan pemenuhan kewajiban GWM dalam rupiah
secara harian dan rata-rata sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 16 serta GWM dalam valuta asing secara harian bagi
BUS dan UUS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20
mulai berlaku pada tanggal 1 Oktober 2018.
Pasal 42
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada
tanggal 16 Juli 2018.
28
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini dengan penempatannya
dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 31 Mei 2018
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR,
TTD
MIRZA ADITYASWARA
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 20/10/PADG/2018
TENTANG
GIRO WAJIB MINIMUM DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING
BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL, BANK UMUM SYARIAH,
DAN UNIT USAHA SYARIAH
I. UMUM
Bank Indonesia telah melakukan perubahan kewajiban pemenuhan
dan perhitungan GWM dalam rupiah maupun dalam valuta asing bagi BUK
dan bagi BUS serta UUS. Kebijakan ini selaras dengan langkah percepatan
penguatan kerangka operasional kebijakan moneter sebagai bagian dari
reformasi berkelanjutan Bank Indonesia.
Selain itu, Bank Indonesia juga menambah porsi GWM rata-rata bagi
BUK serta menyamakan periode perhitungan kewajiban GWM. Kebijakan
ini bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan fleksibilitas bagi
pengelolaan likuiditas perbankan, mendorong fungsi intermediasi
perbankan, dan semakin mendorong upaya pendalaman pasar keuangan
guna mendukung pencapaian stabilitas makroekonomi dan stabilitas
moneter.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
2
Pasal 2
Periode laporan tertentu DPK BUK dalam rupiah dihitung dengan
menggunakan hari kalender.
Huruf a
Perhitungan pemenuhan GWM dalam rupiah secara harian
dilakukan berdasarkan posisi saldo Rekening Giro Rupiah
BUK di Bank Indonesia pada akhir hari saat Bank Indonesia
menyelenggarakan Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia
dan/atau sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement.
Huruf b
Perhitungan pemenuhan GWM dalam rupiah secara rata-
rata dilakukan berdasarkan rata-rata posisi saldo Rekening
Giro Rupiah BUK di Bank Indonesia pada akhir hari, pada
setiap akhir periode laporan tertentu.
Periode laporan tertentu pemenuhan GWM dalam rupiah
secara rata-rata dihitung dengan menggunakan hari pada
saat Bank Indonesia menyelenggarakan Sistem Kliring
Nasional Bank Indonesia dan/atau sistem Bank Indonesia-
Real Time Gross Settlement.
Pasal 3
Ayat (1)
Perhitungan pemenuhan persentase GWM dalam rupiah yang
dipenuhi secara harian yaitu sebagai berikut:
Posisi saldo Rekening Giro Rupiah BUK di Bank
Indonesia pada setiap akhir hari dalam 2 (dua)
periode laporan
Rata-rata harian jumlah DPK BUK dalam rupiah
dalam 2 (dua) periode laporan pada 4 (empat) periode
laporan sebelumnya
Perhitungan pemenuhan GWM dalam rupiah bagi BUK secara
harian didasarkan pada DPK BUK dalam rupiah sebagai berikut:
a. GWM harian untuk 2 (dua) periode laporan yaitu sejak
tanggal 1 sampai dengan tanggal 7 dan sejak tanggal 8
sampai dengan tanggal 15 adalah sebesar persentase GWM
yang ditetapkan dari rata-rata harian jumlah DPK BUK
X 100%
3
dalam rupiah dalam 2 (dua) periode laporan pada 4 (empat)
periode laporan sebelumnya yaitu sejak tanggal 1 sampai
dengan tanggal 7 dan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal
15 pada bulan sebelumnya; dan
b. GWM harian untuk 2 (dua) periode laporan yaitu sejak
tanggal 16 sampai dengan tanggal 23 dan sejak tanggal 24
sampai dengan tanggal akhir bulan adalah sebesar
persentase GWM yang ditetapkan dari rata-rata harian
jumlah DPK BUK dalam rupiah dalam 2 (dua) periode
laporan pada 4 (empat) periode laporan sebelumnya yaitu
sejak tanggal 16 sampai dengan tanggal 23 dan sejak tanggal
24 sampai dengan tanggal akhir bulan pada bulan
sebelumnya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Bagi BUK yang memiliki UUS, jumlah DPK dalam rupiah tidak
termasuk DPK dalam rupiah yang dilaporkan oleh UUS.
Ayat (4)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “giro” adalah komponen giro yang
tercantum dalam penjelasan komponen dana pihak ketiga
dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan berkala
bank umum.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “tabungan” adalah komponen
tabungan yang tercantum dalam penjelasan komponen
dana pihak ketiga dalam rupiah sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
laporan berkala bank umum.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “simpanan berjangka/deposito”
adalah komponen simpanan berjangka yang tercantum
dalam penjelasan komponen dana pihak ketiga dalam
rupiah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank
4
Indonesia yang mengatur mengenai laporan berkala bank
umum.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “kewajiban lainnya” adalah
kewajiban lainnya kepada pihak ketiga bukan bank yang
tercantum dalam penjelasan komponen dana pihak ketiga
dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan berkala
bank umum.
Pasal 4
Ayat (1)
Perhitungan pemenuhan persentase GWM dalam rupiah bagi
BUK secara rata-rata dalam periode laporan tertentu yaitu
sebagai berikut:
Rata-rata posisi saldo Rekening Giro Rupiah
BUK di Bank Indonesia pada akhir hari pada
setiap akhir 2 (dua) periode laporan
Rata-rata harian jumlah DPK BUK dalam rupiah
dalam 2 (dua) periode laporan pada 4 (empat)
periode laporan sebelumnya
X 100 %
Perhitungan pemenuhan GWM dalam rupiah bagi BUK secara
rata-rata dalam periode laporan tertentu didasarkan pada DPK
BUK dalam rupiah sebagai berikut:
a. GWM rata-rata untuk 2 (dua) periode laporan yaitu sejak
tanggal 1 sampai dengan tanggal 7 dan sejak tanggal 8
sampai dengan tanggal 15 adalah sebesar persentase GWM
yang ditetapkan dari rata-rata harian jumlah DPK BUK
dalam rupiah dalam 2 (dua) periode laporan pada 4 (empat)
periode laporan sebelumnya yaitu sejak tanggal 1 sampai
dengan tanggal 7 dan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal
15 pada bulan sebelumnya; dan
b. GWM rata-rata untuk 2 (dua) periode laporan yaitu sejak
tanggal 16 sampai dengan tanggal 23 dan sejak tanggal 24
sampai dengan tanggal akhir bulan adalah sebesar
persentase GWM yang ditetapkan dari rata-rata harian
jumlah DPK BUK dalam rupiah dalam 2 (dua) periode
5
laporan pada 4 (empat) periode laporan sebelumnya yaitu
sejak tanggal 16 sampai dengan tanggal 23 dan sejak tanggal
24 sampai dengan tanggal akhir bulan pada bulan
sebelumnya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “hari” adalah hari pada saat Bank
Indonesia menyelenggarakan Sistem Kliring Nasional Bank
Indonesia dan/atau sistem Bank Indonesia-Real Time Gross
Settlement.
Perhitungan jasa giro harian dalam 2 (dua) masa laporan
dilakukan dengan mengalikan persentase jasa giro terhadap
bagian tertentu dari rata-rata harian jumlah DPK dalam 2 (dua)
masa laporan pada 4 (empat) masa laporan sebelumnya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Tingkat bunga merupakan tingkat bunga efektif tahunan (effective
annual rate) yang ditentukan berdasarkan periode compounding
harian selama 360 (tiga ratus enam puluh) hari.
Ayat (4)
Dalam hal BUK tidak memenuhi rasio GWM dalam rupiah lebih
dari atau sama dengan 6,5% (enam koma lima persen) dan
memenuhi seluruh kewajiban GWM dalam rupiah, BUK tidak
diberikan jasa giro untuk hari tersebut.
BUK yang mendapat insentif kelonggaran pemenuhan kewajiban
GWM dalam rupiah dianggap telah memenuhi seluruh kewajiban
GWM dalam rupiah apabila BUK telah memenuhi kewajiban GWM
dalam rupiah paling sedikit 5,5% (lima koma lima persen) dari
DPK dalam rupiah yang terdiri atas 3,5% (tiga koma lima persen)
GWM dalam rupiah yang wajib dipenuhi secara harian dan 2%
6
(dua persen) GWM dalam rupiah yang wajib dipenuhi secara rata-
rata untuk masa laporan tertentu.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Periode laporan tertentu DPK BUK dalam valuta asing dihitung dengan
menggunakan hari kalender.
Huruf a
Perhitungan pemenuhan GWM dalam valuta asing secara
harian dilakukan berdasarkan posisi saldo Rekening Giro
Valas BUK di Bank Indonesia pada akhir hari saat Bank
Indonesia menyelenggarakan Sistem Kliring Nasional Bank
Indonesia dan/atau sistem Bank Indonesia-Real Time Gross
Settlement.
Huruf b
Perhitungan pemenuhan GWM dalam valuta asing secara
rata-rata dilakukan berdasarkan rata-rata posisi saldo
Rekening Giro Valas BUK di Bank Indonesia pada akhir hari,
pada setiap akhir periode laporan tertentu.
Periode laporan tertentu pemenuhan GWM dalam valuta
asing secara rata-rata dihitung dengan menggunakan hari
pada saat Bank Indonesia menyelenggarakan Sistem Kliring
Nasional Bank Indonesia dan/atau sistem Bank Indonesia-
Real Time Gross Settlement.
Pasal 8
Ayat (1)
Perhitungan pemenuhan persentase GWM dalam valuta asing
yang dipenuhi secara harian yaitu sebagai berikut:
7
Posisi saldo Rekening Giro Valas di Bank
Indonesia pada setiap akhir hari dalam 2 (dua)
periode laporan
Rata-rata harian jumlah DPK BUK dalam valuta
asing dalam 2 (dua) periode laporan pada 4
(empat) periode laporan sebelumnya
X 100 %
Perhitungan pemenuhan GWM dalam valuta asing bagi BUK
secara harian didasarkan pada DPK BUK dalam valuta asing
sebagai berikut:
a. GWM harian untuk 2 (dua) periode laporan yaitu sejak
tanggal 1 sampai dengan tanggal 7 dan sejak tanggal 8
sampai dengan tanggal 15 adalah sebesar persentase GWM
yang ditetapkan dari rata-rata harian jumlah DPK BUK
dalam valuta asing dalam 2 (dua) periode laporan pada 4
(empat) periode laporan sebelumnya yaitu sejak tanggal 1
sampai dengan tanggal 7 dan sejak tanggal 8 sampai dengan
tanggal 15 pada bulan sebelumnya; dan
b. GWM harian untuk 2 (dua) periode laporan yaitu sejak
tanggal 16 sampai dengan tanggal 23 dan sejak tanggal 24
sampai dengan tanggal akhir bulan adalah sebesar
persentase GWM yang ditetapkan dari rata-rata harian
jumlah DPK BUK dalam valuta asing dalam 2 (dua) periode
laporan pada 4 (empat) periode laporan sebelumnya yaitu
sejak tanggal 16 sampai dengan tanggal 23 dan sejak tanggal
24 sampai dengan tanggal akhir bulan pada bulan
sebelumnya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Bagi BUK yang memiliki UUS, jumlah DPK dalam valuta asing tidak
termasuk DPK dalam valuta asing yang dilaporkan oleh UUS.
Ayat (4)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “giro” adalah komponen giro yang
tercantum dalam penjelasan komponen dana pihak ketiga dalam
valuta asing sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank
8
Indonesia yang mengatur mengenai laporan berkala bank
umum.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “tabungan” adalah komponen tabungan
yang tercantum dalam penjelasan komponen dana pihak ketiga
dalam valuta asing sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan berkala bank
umum.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “simpanan berjangka/deposito” adalah
komponen simpanan berjangka yang tercantum dalam
penjelasan komponen dana pihak ketiga dalam valuta asing
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai laporan berkala bank umum.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “kewajiban lainnya” adalah kewajiban
lainnya kepada pihak ketiga bukan bank yang tercantum dalam
penjelasan komponen dana pihak ketiga dalam valuta asing
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai laporan berkala bank umum.
Pasal 9
Ayat (1)
Perhitungan pemenuhan persentase GWM dalam valuta asing
secara rata-rata dalam periode laporan tertentu yaitu sebagai
berikut:
Rata-rata posisi saldo Rekening Giro Valas BUK
di Bank Indonesia pada akhir hari pada setiap
akhir 2 (dua) periode laporan
Rata-rata harian jumlah DPK BUK dalam valuta
asing dalam 2 (dua) periode laporan pada 4
(empat) periode laporan sebelumnya
X 100 %
Perhitungan pemenuhan GWM dalam valuta asing bagi BUK
secara rata-rata dalam periode laporan tertentu didasarkan pada
DPK BUK dalam valuta asing sebagai berikut:
a. GWM rata-rata untuk 2 (dua) periode laporan yaitu sejak
tanggal 1 sampai dengan tanggal 7 dan sejak tanggal 8
9
sampai dengan tanggal 15 adalah sebesar persentase GWM
yang ditetapkan dari rata-rata harian jumlah DPK BUK
dalam valuta asing dalam 2 (dua) periode laporan pada 4
(empat) periode laporan sebelumnya yaitu sejak tanggal 1
sampai dengan tanggal 7 dan sejak tanggal 8 sampai dengan
tanggal 15 pada bulan sebelumnya; dan
b. GWM rata-rata untuk 2 (dua) periode laporan yaitu sejak
tanggal 16 sampai dengan tanggal 23 dan sejak tanggal 24
sampai dengan tanggal akhir bulan adalah sebesar
persentase GWM yang ditetapkan dari rata-rata harian
jumlah DPK BUK dalam valuta asing dalam 2 (dua) periode
laporan pada 4 (empat) periode laporan sebelumnya yaitu
sejak tanggal 16 sampai dengan tanggal 23 dan sejak tanggal
24 sampai dengan tanggal akhir bulan pada bulan
sebelumnya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Dalam memberikan kelonggaran atas kewajiban pemenuhan
GWM dalam rupiah secara harian, Bank Indonesia dapat
berkoordinasi dengan OJK untuk memperoleh rekomendasi
dan/atau informasi mengenai kondisi bank.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas.
10
Ayat (2)
Penyampaian tembusan kepada OJK ditujukan kepada satuan
kerja terkait.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “tanggal efektif” adalah tanggal
pelaksanaan operasional BUK hasil penggabungan atau
peleburan.
Pasal 12
Huruf a
Yang dimaksud dengan “tanggal efektif” adalah tanggal
pelaksanaan operasional BUK hasil penggabungan atau
peleburan.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “BUK yang menerima pinjaman likuiditas
jangka pendek” adalah BUK yang menerima pinjaman likuiditas
jangka pendek sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai pinjaman likuiditas jangka
pendek.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
11
Pasal 16
Periode laporan tertentu DPK BUS dan UUS dalam rupiah dihitung
dengan menggunakan hari kalender.
Huruf a
Perhitungan pemenuhan GWM dalam rupiah secara harian
dilakukan berdasarkan posisi saldo Rekening Giro Rupiah
BUS dan UUS di Bank Indonesia pada akhir hari saat Bank
Indonesia menyelenggarakan Sistem Kliring Nasional Bank
Indonesia dan/atau sistem Bank Indonesia-Real Time Gross
Settlement.
Huruf b
Perhitungan pemenuhan GWM dalam rupiah secara rata-
rata dilakukan berdasarkan rata-rata posisi saldo Rekening
Giro Rupiah BUS dan UUS di Bank Indonesia pada akhir
hari, pada setiap akhir periode laporan tertentu.
Periode laporan tertentu pemenuhan GWM dalam rupiah
secara rata-rata dihitung dengan menggunakan hari pada
saat Bank Indonesia menyelenggarakan Sistem Kliring
Nasional Bank Indonesia dan/atau sistem Bank Indonesia-
Real Time Gross Settlement.
Pasal 17
Ayat (1)
Perhitungan pemenuhan persentase GWM bagi BUS dan UUS
dalam rupiah yang dipenuhi secara harian yaitu sebagai berikut:
Posisi saldo Rekening Giro Rupiah BUS dan UUS
di Bank Indonesia pada setiap akhir hari dalam
2 (dua) periode laporan
X 100%
Rata-rata harian jumlah DPK BUS dan UUS
dalam rupiah dalam 2 (dua) periode laporan
pada 4 (empat) periode laporan sebelumnya
Perhitungan pemenuhan GWM dalam rupiah bagi BUS dan UUS
secara harian didasarkan pada DPK BUS dan UUS dalam rupiah
sebagai berikut:
a. GWM harian untuk 2 (dua) periode laporan yaitu sejak tanggal
1 sampai dengan tanggal 7 dan sejak tanggal 8 sampai dengan
tanggal 15 adalah sebesar persentase GWM yang ditetapkan
12
dari rata-rata harian jumlah DPK BUS dan UUS dalam rupiah
dalam 2 (dua) periode laporan pada 4 (empat) periode laporan
sebelumnya yaitu sejak tanggal 1 sampai dengan tanggal 7
dan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 bulan
sebelumnya; dan
b. GWM harian untuk 2 (dua) periode laporan yaitu sejak tanggal
16 sampai dengan tanggal 23 dan sejak tanggal 24 sampai
dengan tanggal akhir bulan adalah sebesar persentase GWM
yang ditetapkan dari rata-rata harian jumlah DPK BUS dan
UUS dalam rupiah dalam 2 (dua) periode laporan pada 4
(empat) periode laporan sebelumnya yaitu sejak tanggal 16
sampai dengan tanggal 23 dan sejak tanggal 24 sampai
dengan tanggal akhir bulan sebelumnya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “dana simpanan wadiah” adalah
komponen dana simpanan wadiah yang tercantum dalam
penjelasan komponen dana pihak ketiga dalam rupiah
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai laporan berkala bank umum.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “dana investasi tidak terikat”
adalah komponen dana investasi tidak terikat yang
tercantum dalam penjelasan komponen dana pihak ketiga
dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan berkala
bank umum.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “kewajiban lainnya” adalah
kewajiban lainnya kepada pihak ketiga bukan bank yang
tercantum dalam penjelasan komponen dana pihak ketiga
dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
13
Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan berkala
bank umum.
Pasal 18
Ayat (1)
Perhitungan pemenuhan persentase GWM bagi BUS dan
UUS dalam rupiah secara rata-rata dalam periode laporan
tertentu adalah sebagai berikut:
Rata-rata posisi saldo Rekening Giro Rupiah
BUS dan UUS di Bank Indonesia pada akhir
hari pada setiap akhir 2 (dua) periode laporan
Rata-rata harian jumlah DPK BUS dan UUS
dalam rupiah dalam 2 (dua) periode laporan
pada 4 (empat) periode laporan sebelumnya
X 100 %
Perhitungan pemenuhan GWM bagi BUS dan UUS dalam
rupiah secara rata-rata didasarkan pada DPK BUS dan UUS
dalam rupiah sebagai berikut:
a. GWM rata-rata untuk 2 (dua) periode laporan yaitu
sejak tanggal 1 sampai dengan tanggal 7 dan sejak
tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 adalah sebesar
persentase GWM yang ditetapkan dari rata-rata harian
jumlah DPK BUS dan UUS dalam rupiah dalam 2 (dua)
periode laporan pada 4 (empat) periode laporan
sebelumnya yaitu sejak tanggal 1 sampai dengan
tanggal 7 dan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15
bulan sebelumnya; dan
b. GWM rata-rata untuk 2 (dua) periode laporan yaitu
sejak tanggal 16 sampai dengan tanggal 23 sejak tanggal
24 sampai dengan tanggal akhir bulan adalah sebesar
persentase GWM yang ditetapkan dari rata-rata harian
jumlah DPK BUS dan UUS dalam rupiah dalam 2 (dua)
periode laporan pada 4 (empat) periode laporan
sebelumnya yaitu sejak tanggal 16 sampai dengan
tanggal 23 dan sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal
akhir bulan sebelumnya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
14
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Periode laporan tertentu DPK BUS dan UUS dalam valuta asing
dihitung dengan menggunakan hari kalender.
Perhitungan pemenuhan GWM dalam valuta asing secara harian
dilakukan berdasarkan posisi saldo Rekening Giro Valas BUS dan UUS
di Bank Indonesia pada akhir hari saat Bank Indonesia
menyelenggarakan Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia dan/atau
sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement.
Pasal 21
Ayat (1)
Perhitungan pemenuhan persentase GWM dalam valuta asing
yang dipenuhi secara harian yaitu sebagai berikut:
Posisi saldo Rekening Giro Valas BUS dan
UUS di Bank Indonesia pada setiap akhir hari
dalam 2 (dua) periode laporan
Rata-rata harian jumlah DPK BUS dan UUS
dalam valuta asing dalam 2 (dua) periode
laporan pada 4 (empat) periode laporan
sebelumnya
X 100 %
Perhitungan pemenuhan GWM dalam valuta asing bagi BUS dan
UUS secara harian didasarkan pada DPK BUS dan UUS dalam
valuta asing sebagai berikut:
a. GWM harian untuk 2 (dua) periode laporan yaitu sejak
tanggal 1 sampai dengan tanggal 7 dan sejak tanggal 8
sampai dengan tanggal 15 adalah sebesar persentase GWM
yang ditetapkan dari rata-rata harian jumlah DPK BUS dan
UUS dalam valuta asing dalam 2 (dua) periode laporan pada
4 (empat) periode laporan sebelumnya yaitu sejak tanggal 1
sampai dengan tanggal 7 dan sejak tanggal 8 sampai dengan
tanggal 15 pada bulan sebelumnya; dan
15
b. GWM harian untuk 2 (dua) periode laporan yaitu sejak
tanggal 16 sampai dengan tanggal 23 dan sejak tanggal 24
sampai dengan tanggal akhir bulan adalah sebesar
persentase GWM yang ditetapkan dari rata-rata harian
jumlah DPK BUS dan UUS dalam valuta asing dalam 2 (dua)
periode laporan pada 4 (empat) periode laporan sebelumnya
yaitu sejak tanggal 16 sampai dengan tanggal 23 dan sejak
tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan pada bulan
sebelumnya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “dana simpanan wadiah” adalah
komponen dana simpanan wadiah yang tercantum dalam
penjelasan komponen dana pihak ketiga dalam valuta asing
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai laporan berkala bank umum.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “dana investasi tidak terikat” adalah
komponen dana investasi tidak terikat yang tercantum dalam
penjelasan komponen dana pihak ketiga dalam valuta asing
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai laporan berkala bank umum.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “kewajiban lainnya” adalah
kewajiban lainnya kepada pihak ketiga bukan bank yang
tercantum dalam penjelasan komponen dana pihak ketiga
dalam valuta asing sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan berkala
bank umum.
16
Pasal 22
Ayat (1)
Dalam memberikan kelonggaran atas kewajiban pemenuhan
GWM dalam rupiah secara harian, Bank Indonesia dapat
berkoordinasi dengan OJK untuk memperoleh rekomendasi
dan/atau informasi mengenai kondisi bank.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 23
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Penyampaian tembusan kepada OJK ditujukan kepada satuan
kerja terkait.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “tanggal efektif” adalah tanggal
pelaksanaan operasional BUS hasil penggabungan atau
peleburan.
Pasal 24
Huruf a
Yang dimaksud dengan “tanggal efektif” adalah tanggal
pelaksanaan operasional BUS hasil penggabungan atau
peleburan.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
17
Pasal 26
Huruf a
Yang dimaksud dengan “tanggal efektif” adalah tanggal
pelaksanaan operasional BUS hasil pemisahan.
Yang dimaksud dengan “hari” adalah hari pada saat Bank
Indonesia menyelenggarakan Sistem Kliring Nasional Bank
Indonesia dan/atau sistem Bank Indonesia-Real Time Gross
Settlement.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “hari” adalah hari pada saat Bank
Indonesia menyelenggarakan Sistem Kliring Nasional Bank
Indonesia dan/atau sistem Bank Indonesia-Real Time Gross
Settlement.
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal 27
Huruf a
Yang dimaksud dengan “tanggal efektif” adalah tanggal
pelaksanaan operasional BUS hasil perubahan kegiatan usaha
BUK.
Yang dimaksud dengan “hari” adalah hari pada saat Bank
Indonesia menyelenggarakan Sistem Kliring Nasional Bank
Indonesia dan/atau sistem Bank Indonesia-Real Time Gross
Settlement.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal 28
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “BUS yang menerima pembiayaan
likuiditas jangka pendek syariah” adalah BUS yang menerima
pembiayaan likuiditas jangka pendek syariah sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai pembiayaan likuiditas jangka pendek syariah.
18
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “dana pihak ketiga BUS” adalah
kewajiban BUS kepada penduduk dan bukan penduduk yang
diperoleh dari laporan dana pihak ketiga BUS pada LBBUS.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Ayat (1)
Huruf a
Perhitungan sanksi kewajiban membayar atas pelanggaran
GWM dalam rupiah yang wajib dipenuhi secara harian
dihitung dengan rumus sebagai berikut:
125% x suku bunga JIBOR dalam rupiah x kekurangan
GWM dalam rupiah yang wajib dipenuhi secara harian x
hari pelanggaran
360
Huruf b
Perhitungan sanksi kewajiban membayar atas pelanggaran
GWM dalam rupiah yang wajib dipenuhi secara rata-rata
dihitung dengan rumus sebagai berikut:
125% x rata-rata suku bunga JIBOR dalam rupiah selama
2 (dua) periode laporan x kekurangan GWM dalam rupiah
yang wajib dipenuhi secara rata-rata x jumlah hari selama
2 (dua) periode laporan
360
Yang dimaksud dengan “hari” adalah hari pada saat Bank
Indonesia menyelenggarakan Sistem Kliring Nasional Bank
19
Indonesia dan/atau sistem Bank Indonesia-Real Time Gross
Settlement.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 32
Ayat (1)
Huruf a
Perhitungan sanksi kewajiban membayar atas pelanggaran
GWM dalam valuta asing yang wajib dipenuhi secara harian
dihitung dengan rumus sebagai berikut:
Kekurangan GWM dalam valuta asing yang wajib dipenuhi
secara harian x 0,04% x hari pelanggaran
Huruf b
Perhitungan sanksi kewajiban membayar atas pelanggaran
GWM dalam valuta asing yang wajib dipenuhi secara rata-
rata dihitung dengan rumus sebagai berikut:
Kekurangan GWM dalam valuta asing yang wajib dipenuhi
secara rata-rata x 0,04% x jumlah hari selama 2 (dua) periode
laporan
Yang dimaksud dengan “hari” adalah hari pada saat Bank
Indonesia menyelenggarakan Sistem Kliring Nasional Bank
Indonesia dan/atau sistem Bank Indonesia-Real Time Gross
Settlement.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “kurs tengah dari kurs transaksi Bank
Indonesia” adalah kurs jual ditambah dengan kurs beli dibagi
dua.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “kurs tengah dari kurs transaksi Bank
Indonesia” adalah kurs jual ditambah dengan kurs beli dibagi
dua.
Pasal 33
Cukup jelas.
20
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Ayat (1)
Huruf a
Data mengenai Tingkat Indikasi Imbalan SIMA yang
digunakan yaitu rata-rata tertimbang tingkat indikasi
imbalan SIMA dalam rupiah untuk semua tenor yang terjadi
di PUAS pada pasar perdana yang diperoleh dari LHBU.
Perhitungan sanksi kewajiban membayar atas pelanggaran
GWM dalam rupiah yang wajib dipenuhi secara harian
dihitung dengan rumus sebagai berikut:
125% x Tingkat Indikasi Imbalan SIMA x
kekurangan GWM dalam rupiah yang wajib
dipenuhi secara harian x hari pelanggaran
360
Huruf b
Perhitungan sanksi kewajiban membayar atas pelanggaran
GWM dalam rupiah yang wajib dipenuhi secara rata-rata
dihitung dengan rumus sebagai berikut:
125% x rata-rata Tingkat Indikasi Imbalan SIMA
selama 2 (dua) periode laporan x kekurangan GWM
dalam rupiah yang wajib dipenuhi secara rata-rata
x jumlah hari selama 2 (dua) periode laporan
360
Yang dimaksud dengan “hari” adalah hari pada saat Bank
Indonesia menyelenggarakan Sistem Kliring Nasional Bank
Indonesia dan/atau sistem Bank Indonesia-Real Time Gross
Settlement.
Ayat (2)
Data mengenai tingkat imbalan deposito investasi mudharabah
berjangka waktu 1 (satu) bulan sebelum didistribusikan yang
digunakan yaitu rata-rata tingkat imbalan deposito mudharabah
21
berjangka waktu 1 (satu) bulan sebelum didistribusikan yang
tercatat pada LHBU.
Pasal 36
Ayat (1)
Perhitungan sanksi kewajiban membayar atas pelanggaran GWM
dalam valuta asing dihitung dengan rumus sebagai berikut:
Kekurangan GWM dalam valuta asing yang wajib dipenuhi secara
harian x 0,04% x hari pelanggaran
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “kurs tengah dari kurs transaksi Bank
Indonesia” adalah kurs jual ditambah dengan kurs beli dibagi
dua.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
"," PADG
20/10/PADG/2018
GIRO WAJIB MINIMUM DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL, BANK UMUM SYARIAH, DAN UNIT USAHA SYARIAH
31 Mei 2018
16 Juli 2018
'19/4/PADG/2017'
'20/3/PBI/2018'
'BAB IV'
"
" PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 20/5/PADG/2018
TENTANG
INSTRUMEN OPERASI PASAR TERBUKA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa dalam melaksanakan kebijakan moneter untuk
mencapai tujuan Bank Indonesia, Bank Indonesia
melakukan pengendalian moneter yang salah satunya
melalui pelaksanaan operasi moneter, baik secara
konvensional maupun berdasarkan prinsip syariah;
b. bahwa dalam melaksanakan operasi
moneter
sebagaimana dimaksud dalam huruf a, Bank Indonesia
perlu mengatur instrumen yang digunakan dalam operasi
pasar terbuka baik secara konvensional maupun
berdasarkan prinsip syariah;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan
Anggota Dewan Gubernur tentang Instrumen Operasi
Pasar Terbuka;
Mengingat
: Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/5/PBI/2018 tentang
Operasi Moneter (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2018 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 6198);
2
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG
INSTRUMEN OPERASI PASAR TERBUKA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang dimaksud
dengan:
1. Bank adalah bank umum konvensional, bank umum
syariah, dan unit usaha syariah.
2. Bank Umum Konvensional yang selanjutnya disingkat
BUK adalah bank umum yang melaksanakan kegiatan
usaha secara konvensional sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan.
3. Bank Umum Syariah yang selanjutnya disingkat BUS
adalah bank umum yang menjalankan kegiatan usahanya
berdasarkan prinsip syariah sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai
perbankan syariah.
4. Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disingkat UUS
adalah unit usaha syariah sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan
syariah.
5. Operasi Moneter adalah pelaksanaan kebijakan moneter
oleh Bank Indonesia untuk pengendalian moneter yang
dilakukan secara konvensional dan berdasarkan prinsip
syariah.
6. Operasi Moneter Konvensional yang selanjutnya disingkat
OMK adalah pelaksanaan kebijakan moneter oleh Bank
Indonesia untuk pengendalian moneter yang dilakukan
secara konvensional.
7. Operasi Moneter Syariah yang selanjutnya disingkat OMS
adalah pelaksanaan kebijakan moneter oleh Bank
3
Indonesia untuk pengendalian moneter yang dilakukan
berdasarkan prinsip syariah.
8. Operasi Pasar Terbuka yang selanjutnya disingkat OPT
adalah kegiatan transaksi di pasar uang dan/atau pasar
valuta asing yang dilakukan oleh Bank Indonesia dengan
Bank dan/atau pihak lain untuk Operasi Moneter yang
dilakukan secara konvensional dan berdasarkan prinsip
syariah.
9. Operasi Pasar Terbuka Konvensional yang selanjutnya
disebut OPT Konvensional adalah kegiatan transaksi di
pasar uang dan/atau pasar valuta asing yang dilakukan
oleh Bank Indonesia dengan BUK dan/atau pihak lain.
10. Operasi Pasar Terbuka Syariah yang selanjutnya disebut
OPT Syariah adalah kegiatan transaksi di pasar uang
berdasarkan prinsip syariah dan/atau pasar valuta asing
yang dilakukan oleh Bank Indonesia dengan BUS, UUS,
dan/atau pihak lain.
11. Peserta OPT Konvensional adalah BUK yang telah
memperoleh izin dari Bank Indonesia sebagai peserta OMK
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai kepesertaan operasi moneter.
12. Peserta OPT Syariah adalah BUS dan/atau UUS yang telah
memperoleh izin dari Bank Indonesia sebagai peserta OMS
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai kepesertaan operasi moneter.
13. Lembaga Perantara adalah pialang pasar uang rupiah dan
valuta asing dan perusahaan efek yang ditunjuk oleh
Menteri Keuangan Republik Indonesia sebagai dealer
utama yang telah memperoleh izin dari Bank Indonesia
sebagai lembaga perantara dalam Operasi Moneter
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai kepesertaan operasi moneter.
14. Sertifikat Bank Indonesia yang selanjutnya disingkat SBI
adalah surat berharga dalam mata uang rupiah yang
diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan utang
berjangka waktu pendek.
4
15. Sertifikat Bank Indonesia Syariah yang selanjutnya
disingkat SBIS adalah surat berharga berdasarkan prinsip
syariah dalam mata uang rupiah yang diterbitkan oleh
Bank Indonesia dan berjangka waktu pendek.
16. Sertifikat Deposito Bank Indonesia yang selanjutnya
disingkat SDBI adalah surat berharga dalam mata uang
rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai
pengakuan utang berjangka waktu pendek yang dapat
diperdagangkan hanya antar-BUK.
17. Surat Berharga Bank Indonesia dalam Valuta Asing yang
selanjutnya disebut SBBI Valas adalah surat berharga
dalam valuta asing yang diterbitkan oleh Bank Indonesia
sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek.
18. Surat Berharga Negara yang selanjutnya disingkat SBN
adalah surat utang negara dan surat berharga syariah
negara.
19. Surat Utang Negara yang selanjutnya disingkat SUN
adalah surat utang negara sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai surat utang
negara.
20. Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya disingkat
SBSN adalah surat berharga syariah negara sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur
mengenai surat berharga syariah negara.
21. Transaksi Repurchase Agreement Surat Berharga untuk
OPT Konvensional yang selanjutnya disebut Transaksi
Repo OPT Konvensional adalah transaksi penjualan surat
berharga oleh Peserta OPT Konvensional kepada Bank
Indonesia, dengan kewajiban pembelian kembali oleh
Peserta OPT Konvensional sesuai dengan harga dan jangka
waktu yang disepakati.
22. Transaksi Repurchase Agreement Surat Berharga untuk
OPT Syariah yang selanjutnya disebut Transaksi Repo OPT
Syariah adalah transaksi penjualan surat berharga oleh
Peserta OPT Syariah kepada Bank Indonesia dengan janji
pembelian kembali oleh Peserta OPT Syariah sesuai
dengan harga dan jangka waktu yang disepakati.
5
23. Transaksi Reverse Repo Surat Berharga untuk OPT
Konvensional yang selanjutnya disebut Transaksi Reverse
Repo OPT Konvensional adalah transaksi pembelian surat
berharga oleh Peserta OPT Konvensional dari Bank
Indonesia, dengan kewajiban penjualan kembali oleh
Peserta OPT Konvensional sesuai dengan harga dan jangka
waktu yang disepakati.
24. Transaksi Reverse Repo Surat Berharga untuk OPT
Syariah yang selanjutnya disebut Transaksi Reverse Repo
OPT Syariah adalah transaksi pembelian surat berharga
oleh Peserta OPT Syariah dari Bank Indonesia, dengan
janji penjualan kembali oleh Peserta OPT Syariah sesuai
dengan harga dan jangka waktu yang disepakati.
25. Penempatan Berjangka OPT Konvensional yang
selanjutnya disebut Transaksi Term Deposit OPT
Konvensional adalah penempatan dana secara berjangka
di Bank Indonesia dalam rupiah dan/atau valuta asing
milik Peserta OPT Konvensional.
26. Penempatan Berjangka OPT Syariah yang selanjutnya
disebut Transaksi Term Deposit OPT Syariah adalah
penempatan dana secara berjangka di Bank Indonesia
dalam valuta asing milik Peserta OPT Syariah.
27. Transaksi Spot adalah transaksi jual atau beli valuta asing
terhadap rupiah dengan penyerahan dana dilakukan 2
(dua) hari kerja setelah tanggal transaksi.
28. Transaksi Spot Beli Bank Indonesia adalah transaksi beli
valuta asing terhadap rupiah oleh Bank Indonesia dengan
penyerahan dana dilakukan 2 (dua) hari kerja setelah
tanggal transaksi.
29. Transaksi Spot Jual Bank Indonesia adalah transaksi jual
valuta asing terhadap rupiah oleh Bank Indonesia dengan
penyerahan dana dilakukan 2 (dua) hari kerja setelah
tanggal transaksi.
30. Transaksi Swap adalah transaksi pertukaran valuta asing
terhadap rupiah melalui pembelian atau penjualan tunai
(spot) dengan penjualan atau pembelian kembali secara
berjangka (forward) yang dilakukan secara simultan
6
dengan counterpart yang sama serta pada tingkat harga
yang dibuat dan disepakati pada tanggal transaksi
dilakukan.
31. Transaksi Swap Beli Bank Indonesia adalah transaksi jual
valuta asing terhadap rupiah oleh Bank Indonesia secara
tunai (spot) dengan diikuti transaksi pembelian kembali
valuta asing terhadap rupiah oleh Bank Indonesia secara
berjangka (forward) yang dilakukan secara simultan
dengan counterpart yang sama serta pada tingkat harga
yang dibuat dan disepakati pada tanggal transaksi
dilakukan.
32. Transaksi Swap Jual Bank Indonesia adalah transaksi beli
valuta asing terhadap rupiah oleh Bank Indonesia secara
tunai (spot) dengan diikuti transaksi penjualan kembali
valuta asing terhadap rupiah oleh Bank Indonesia secara
berjangka (forward) yang dilakukan secara simultan
dengan counterpart yang sama serta pada tingkat harga
yang dibuat dan disepakati pada tanggal transaksi
dilakukan.
33. Transaksi Forward adalah transaksi jual atau beli valuta
asing terhadap rupiah dengan penyerahan dana dilakukan
lebih dari 2 (dua) hari kerja setelah tanggal transaksi.
34. Transaksi Forward Jual Bank Indonesia adalah transaksi
jual valuta asing terhadap rupiah oleh Bank Indonesia
dengan penyerahan dana dilakukan lebih dari 2 (dua) hari
kerja setelah tanggal transaksi.
35. Transaksi Forward Beli Bank Indonesia adalah transaksi
beli valuta asing terhadap rupiah oleh Bank Indonesia
dengan penyerahan dana dilakukan lebih dari 2 (dua) hari
kerja setelah tanggal transaksi.
36. Kurs Referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate yang
selanjutnya disebut JISDOR adalah representasi harga
spot dolar Amerika Serikat terhadap rupiah dari transaksi
antar Bank di pasar domestik, termasuk transaksi Bank
dengan bank di luar negeri, yang informasi data
transaksinya dapat diakses melalui Sistem Monitoring
Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah sebagaimana
7
diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai transaksi valuta asing terhadap rupiah antara
bank dengan pihak domestik.
37. Delivery Versus Payment yang selanjutnya disingkat DVP
adalah mekanisme setelmen transaksi dengan cara
setelmen surat berharga dan setelmen dana dilakukan
secara bersamaan.
38. Pelunasan atau Pencairan Sebelum Jatuh Waktu yang
selanjutnya disebut Early Redemption adalah pelunasan
SBI, SDBI, SBBI Valas sebelum jatuh waktu atau
pencairan Term Deposit OPT Konvensional atau Term
Deposit OPT Syariah sebelum jatuh waktu.
39. Sistem Bank Indonesia-Electronic Trading Platform yang
selanjutnya disebut Sistem BI-ETP adalah Sistem BI-ETP
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai penyelenggaraan transaksi,
penatausahaan surat berharga, dan setelmen dana
seketika.
40. Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System
yang selanjutnya disingkat BI-SSSS adalah BI-SSSS
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai penyelenggaraan transaksi,
penatausahaan surat berharga, dan setelmen dana
seketika.
41. Hari Kerja adalah hari kerja Bank Indonesia, termasuk
hari kerja operasional terbatas Bank Indonesia.
BAB II
TUJUAN OPT
Pasal 2
(1) Bank Indonesia melaksanakan OPT sebagai salah satu
upaya untuk mencapai tujuan Operasi Moneter yaitu
mendukung pencapaian stabilitas moneter.
(2) OPT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan di
pasar uang dan pasar valuta asing secara terintegrasi.
8
(3) OPT sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
a. OPT Konvensional; dan
b. OPT Syariah.
Pasal 3
(1) Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1), OPT Konvensional dilakukan untuk
mengendalikan Suku Bunga PUAB O/N dan menjaga
stabilitas nilai tukar rupiah.
(2) Untuk mengendalikan Suku Bunga PUAB O/N
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia
melakukan pengelolaan likuiditas di pasar uang rupiah
dengan cara absorpsi likuiditas dan/atau injeksi
likuiditas.
(3) Untuk menjaga stabilitas nilai tukar, Bank Indonesia
melakukan intervensi dan/atau transaksi lainnya di pasar
valuta asing.
Pasal 4
(1) Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1), OPT Syariah dilakukan untuk
memengaruhi kecukupan likuiditas di pasar uang
berdasarkan prinsip syariah dan pasar valuta asing.
(2) Untuk memengaruhi kecukupan likuiditas di pasar uang
berdasarkan prinsip syariah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Bank Indonesia melakukan pengelolaan likuiditas
dengan cara absorpsi likuiditas dan/atau injeksi
likuiditas.
(3) Untuk memengaruhi kecukupan likuiditas di pasar valuta
asing, Bank Indonesia melakukan intervensi dan/atau
transaksi lainnya di pasar valuta asing.
9
BAB III
PELAKSANAAN OPT
Pasal 5
(1) OPT dapat dilakukan pada Hari Kerja yang ditetapkan
Bank Indonesia.
(2) Window time OPT dapat dilakukan antara pukul 08.00
WIB sampai dengan pukul 16.00 WIB atau waktu lain yang
ditetapkan Bank Indonesia.
Pasal 6
Bank Indonesia melakukan OPT melalui Sistem BI-ETP atau
sarana dealing system yang ditetapkan Bank Indonesia.
Pasal 7
(1) Bank Indonesia melakukan OPT dengan mekanisme lelang
dan/atau nonlelang.
(2) Pelaksanaan OPT dengan mekanisme lelang sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan metode
sebagai berikut:
a. harga tetap (fixed rate tender); atau
b. harga beragam (variable rate tender).
(3) Pelaksanaan OPT dengan mekanisme nonlelang
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara
bilateral antara Bank Indonesia dengan peserta OPT.
Pasal 8
OPT Konvensional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
(3) huruf a dilaksanakan melalui instrumen sebagai berikut:
a. penerbitan SBI, SDBI, dan/atau SBBI Valas;
b. Transaksi Repo OPT Konvensional dan/atau Transaksi
Reverse Repo OPT Konvensional;
c. Transaksi pembelian dan penjualan SBN secara putus
(outright) di pasar sekunder;
d. Transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam rupiah;
10
e. Transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta
asing;
f. Transaksi Spot, Swap, dan/atau Forward; dan/atau
g. transaksi lainnya baik di pasar uang rupiah maupun
pasar valuta asing.
Pasal 9
OPT Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3)
huruf b dilaksanakan melalui instrumen sebagai berikut:
a. Penerbitan SBIS;
b. Transaksi Repo OPT Syariah dan/atau Transaksi Reverse
Repo OPT Syariah;
c. Transaksi pembelian dan penjualan SBSN secara putus
(outright) di pasar sekunder;
d. Transaksi Term Deposit OPT Syariah dalam valuta asing;
dan/atau
e. transaksi lainnya yang memenuhi prinsip syariah baik di
pasar uang rupiah maupun pasar valuta asing.
Pasal 10
(1) Kriteria dan persyaratan surat berharga yang dapat
digunakan dalam transaksi OPT diatur dalam ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai kriteria dan
persyaratan surat berharga dalam operasi moneter.
(2) Persyaratan Peserta OPT Konvensional, Peserta OPT
Syariah, dan Lembaga Perantara yang dapat mengajukan
penawaran dalam transaksi OPT diatur dalam ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai kepesertaan
operasi moneter.
11
BAB IV
INSTRUMEN OPT KONVENSIONAL
Bagian Kesatu
Penerbitan SBI
Paragraf 1
Karakteristik SBI
Pasal 11
Penerbitan SBI merupakan instrumen yang digunakan Bank
Indonesia untuk absorpsi likuiditas rupiah di pasar uang.
Pasal 12
(1) SBI memiliki karakteristik sebagai berikut:
a. memiliki satuan unit sebesar Rp1.000.000,00 (satu
juta rupiah);
b. berjangka waktu paling singkat 1 (satu) bulan dan
paling lama 12 (dua belas) bulan yang dinyatakan
dalam jumlah hari kalender, yang dihitung sejak 1
(satu) hari kalender sesudah tanggal setelmen sampai
dengan tanggal jatuh waktu.
c.
diterbitkan dan diperdagangkan dengan sistem
diskonto;
d. diterbitkan dan ditransaksikan di Sistem BI-ETP;
e.
diterbitkan tanpa warkat
ditatausahakan di BI-SSSS; dan
f.
(scripless) dan
dapat dipindahtangankan (negotiable) melalui
perdagangan di pasar sekunder dengan cara
pembelian atau penjualan secara putus (outright),
pinjam-meminjam, hibah, repurchase agreement
(repo), atau dijadikan agunan.
(2) SBI yang masih dalam status agunan tidak dapat
diperdagangkan.
(3) Bank Indonesia melunasi SBI sebesar nilai nominal pada
saat jatuh waktu.
12
(4) Bank Indonesia dapat melakukan Early Redemption atas
SBI berdasarkan pertimbangan terkait strategi
pengelolaan moneter.
(5) Early Redemption atas SBI sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) dilakukan dengan persetujuan pemilik SBI.
(6) Contoh perhitungan jangka waktu SBI tercantum dalam
Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
Paragraf 2
Mekanisme Penerbitan SBI
Pasal 13
(1) Penerbitan SBI dilakukan dengan mekanisme lelang
melalui Sistem BI-ETP.
(2) Lelang SBI dilakukan dengan metode sebagai berikut:
a. harga tetap (fixed rate tender), dengan tingkat
diskonto lelang SBI ditetapkan oleh Bank Indonesia;
atau
b. harga beragam (variable rate tender), dengan tingkat
diskonto lelang SBI diajukan oleh Peserta OPT
Konvensional.
Bagian Kedua
Penerbitan SDBI
Paragraf 1
Karakteristik SDBI
Pasal 14
Penerbitan SDBI merupakan instrumen yang digunakan Bank
Indonesia untuk absorpsi likuiditas rupiah di pasar uang.
Pasal 15
(1) SDBI memiliki karakteristik sebagai berikut:
a. memiliki satuan unit sebesar Rp1.000.000,00 (satu
juta rupiah);
13
b. berjangka waktu paling singkat 1 (satu) hari kalender
dan paling lama 12 (dua belas) bulan yang dinyatakan
dalam jumlah hari kalender dan dihitung sejak 1
(satu) hari kalender sesudah tanggal setelmen sampai
dengan tanggal jatuh waktu;
c.
diterbitkan dan diperdagangkan dengan sistem
diskonto;
d. diterbitkan dan ditransaksikan di Sistem BI-ETP;
e.
diterbitkan tanpa warkat (scripless) dan
ditatausahakan di BI-SSSS;
f. hanya dapat dipindahtangankan (negotiable) antar-
BUK;
g. hanya dapat dimiliki oleh BUK; dan
h. hanya dapat ditransaksikan antar-BUK antara lain
dengan cara pembelian dan/atau penjualan secara
putus (outright), pinjam-meminjam, hibah,
repurchase agreement (repo), atau dijadikan agunan.
(2) SDBI yang masih dalam status agunan tidak dapat
diperdagangkan.
(3) Bank Indonesia melunasi SDBI sebesar nilai nominal pada
saat jatuh waktu.
(4) Bank Indonesia dapat melakukan Early Redemption atas
SDBI, dalam hal:
a. terdapat pertimbangan Bank Indonesia terkait
strategi pengelolaan moneter; atau
b. SDBI dimiliki oleh pihak selain BUK.
(5) Early Redemption atas SDBI sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) huruf a dilakukan dengan persetujuan pemilik
SDBI.
(6) Contoh perhitungan jangka waktu SDBI tercantum dalam
Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
14
Paragraf 2
Mekanisme Penerbitan SDBI
Pasal 16
(1) Penerbitan SDBI dilakukan dengan mekanisme lelang
melalui Sistem BI-ETP.
(2) Lelang SDBI dilakukan dengan metode sebagai berikut:
a. harga tetap (fixed rate tender), dengan tingkat
diskonto lelang SDBI ditetapkan oleh Bank Indonesia;
atau
b. harga beragam (variable rate tender), dengan tingkat
diskonto lelang SDBI diajukan oleh Peserta OPT
Konvensional.
Bagian Ketiga
Penerbitan SBBI Valas
Paragraf 1
Karakteristik SBBI Valas
Pasal 17
Penerbitan SBBI Valas merupakan instrumen yang digunakan
Bank Indonesia untuk mendukung stabilitas nilai tukar rupiah.
Pasal 18
(1) SBBI Valas memiliki karakteristik sebagai berikut:
a. jenis valuta asing yaitu dolar Amerika Serikat;
b. memiliki satuan unit sebesar USD1,000.00 (seribu
dolar Amerika Serikat);
c. berjangka waktu paling singkat 1 (satu) bulan dan
paling lama 12 (dua belas) bulan yang dinyatakan
dalam jumlah hari kalender dan dihitung sejak 1
(satu) hari kalender sesudah tanggal setelmen sampai
dengan tanggal jatuh waktu;
d. diterbitkan tanpa warkat (scripless);
e. dapat dimiliki oleh penduduk atau bukan penduduk
di pasar perdana atau pasar sekunder;
15
f.
g.
dapat diperdagangkan (tradable); dan
diterbitkan dan diperdagangkan dengan sistem
diskonto.
(2) SBBI Valas yang masih dalam status agunan tidak dapat
diperdagangkan.
(3) Bank Indonesia melunasi SBBI Valas sebesar nilai
nominal pada saat jatuh waktu.
(4) Bank Indonesia dapat melakukan Early Redemption atas
SBBI Valas berdasarkan pertimbangan terkait strategi
pengelolaan moneter.
(5) Early Redemption atas SBBI Valas sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) dilakukan dengan persetujuan pemilik SBBI
Valas.
Paragraf 2
Mekanisme Penerbitan SBBI Valas
Pasal 19
(1) Penerbitan SBBI Valas dilakukan dengan mekanisme
lelang melalui sarana dealing system yang ditetapkan
Bank Indonesia.
(2) Lelang SBBI Valas dilakukan dengan metode sebagai
berikut:
a. harga tetap (fixed rate tender), dengan tingkat
diskonto lelang SBBI Valas ditetapkan oleh Bank
Indonesia; atau
b. harga beragam (variable rate tender), dengan tingkat
diskonto lelang SBBI Valas diajukan oleh Peserta OPT
Konvensional.
16
Bagian Keempat
Transaksi Repo OPT Konvensional
Paragraf 1
Karakteristik Transaksi Repo OPT Konvensional
Pasal 20
Transaksi Repo OPT Konvensional merupakan instrumen yang
digunakan Bank Indonesia untuk injeksi likuiditas rupiah di
pasar uang.
Pasal 21
Transaksi Repo OPT Konvensional memiliki karakteristik
sebagai berikut:
a.
dilakukan dengan prinsip sell and buy back, yaitu terdapat
perpindahan kepemilikan surat berharga (transfer of
ownership);
b. berjangka waktu paling singkat 1 (satu) hari kalender dan
paling lama 12 (dua belas) bulan yang dinyatakan dalam
hari kalender, yang dihitung sejak 1 (satu) hari kalender
setelah tanggal setelmen sampai dengan tanggal jatuh
waktu;
c. bunga repo dihitung berdasarkan metode bunga dibayar di
belakang (simple interest); dan
d. hak penerimaan kupon atas surat berharga yang di-repo-
kan selama periode Transaksi Repo OPT Konvensional
tetap merupakan milik Peserta OPT Konvensional.
Paragraf 2
Mekanisme Transaksi Repo OPT Konvensional
Pasal 22
(1) Transaksi Repo OPT Konvensional dilakukan dengan
mekanisme lelang melalui:
a. Sistem BI-ETP untuk Transaksi Repo OPT
Konvensional dengan surat berharga dalam rupiah;
atau
17
b. sarana dealing system yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia untuk Transaksi Repo OPT Konvensional
dengan surat berharga dalam valuta asing.
(2) Lelang Transaksi Repo OPT Konvensional dilakukan
dengan metode sebagai berikut:
a. harga tetap (fixed rate tender), dengan suku bunga
repo (repo rate) ditetapkan oleh Bank Indonesia; atau
b. harga beragam (variable rate tender), dengan suku
bunga repo (repo rate) diajukan oleh Peserta OPT
Konvensional.
Bagian Kelima
Transaksi Reverse Repo OPT Konvensional
Paragraf 1
Karakteristik Transaksi Reverse Repo OPT Konvensional
Pasal 23
Transaksi Reverse Repo OPT Konvensional merupakan
instrumen yang digunakan Bank Indonesia untuk absorpsi
likuiditas rupiah di pasar uang.
Pasal 24
Transaksi Reverse Repo OPT Konvensional memiliki
karakteristik sebagai berikut:
a. dilakukan dengan prinsip sell and buy back, yaitu terdapat
perpindahan kepemilikan surat berharga (transfer of
ownership);
b. berjangka waktu paling singkat 1 (satu) hari kalender dan
paling lama 12 (dua belas) bulan yang dinyatakan dalam
hari kalender, yang dihitung sejak 1 (satu) hari kalender
setelah tanggal setelmen sampai dengan tanggal jatuh
waktu;
c. bunga reverse repo dihitung berdasarkan metode bunga
dibayar di belakang (simple interest); dan
18
d. hak penerimaan kupon atas surat berharga yang di-
reverse-repo-kan selama periode Transaksi Reverse Repo
OPT Konvensional tetap merupakan milik Bank Indonesia.
Paragraf 2
Mekanisme Transaksi Reverse Repo OPT Konvensional
Pasal 25
(1) Transaksi Reverse Repo OPT Konvensional dilakukan
dengan mekanisme lelang melalui Sistem BI-ETP.
(2) Lelang Transaksi Reverse Repo OPT Konvensional
dilakukan dengan metode sebagai berikut:
a. harga tetap (fixed rate tender), dengan suku bunga
reverse repo (RR-Rate) ditetapkan Bank Indonesia;
atau
b. harga beragam (variable rate tender), dengan suku
bunga reverse repo (RR-Rate) diajukan Peserta OPT
Konvensional.
Bagian Keenam
Transaksi Pembelian dan Penjualan SBN Secara Putus
(Outright) di Pasar Sekunder
Pasal 26
(1) Transaksi pembelian SBN secara putus (outright) oleh
Bank Indonesia di pasar sekunder dilakukan untuk injeksi
likuiditas rupiah di pasar uang dan/atau menjaga
ketersediaan SBN yang diperlukan sebagai instrumen
Operasi Moneter dalam pencapaian sasaran operasional
kebijakan moneter Bank Indonesia.
(2) Transaksi penjualan SBN secara putus (outright) oleh Bank
Indonesia di pasar sekunder merupakan instrumen yang
digunakan oleh Bank Indonesia untuk absorpsi likuiditas
rupiah di pasar uang.
19
Pasal 27
(1) Transaksi pembelian dan penjualan SBN secara putus
(outright) di pasar sekunder dilakukan dengan:
a. mekanisme lelang melalui Sistem BI-ETP dan/atau
sarana dealing system yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia; atau
b. mekanisme nonlelang melalui Sistem BI-ETP atau
sarana dealing system yang digunakan oleh Bank
Indonesia.
(2) Lelang transaksi pembelian dan penjualan SBN secara
putus (outright) di pasar sekunder dilakukan dengan
metode sebagai berikut:
a. harga tetap (fixed rate tender), dengan yield atau
harga transaksi pembelian atau penjualan SBN
secara putus (outright) di pasar sekunder ditetapkan
oleh Bank Indonesia; atau
b. harga beragam (variable rate tender), dengan yield
atau harga transaksi pembelian atau penjualan SBN
secara putus (outright) di pasar sekunder diajukan
oleh Peserta OPT Konvensional.
Bagian Ketujuh
Transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam Rupiah
Paragraf 1
Karakteristik Transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam
Rupiah
Pasal 28
Transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam rupiah
merupakan instrumen yang digunakan Bank Indonesia untuk
absorpsi likuiditas rupiah di pasar uang.
20
Pasal 29
Transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam rupiah
memiliki karakteristik sebagai berikut:
a. berjangka waktu paling singkat 1 (satu) hari kalender dan
paling lama 12 (dua belas) bulan yang dinyatakan dalam
hari kalender yang dihitung sejak 1 (satu) hari kalender
setelah tanggal setelmen sampai dengan tanggal jatuh
waktu;
b. dilakukan tanpa disertai dengan penerbitan surat
berharga;
c. perhitungan bunga dengan menggunakan sistem
diskonto;
d. ditatausahakan dalam BI-SSSS; dan
e. dapat dilakukan Early Redemption baik keseluruhan atau
sebagian.
Paragraf 2
Mekanisme Transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam
Rupiah
Pasal 30
(1) Transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam rupiah
dilakukan dengan mekanisme lelang melalui Sistem BI-
ETP.
(2) Lelang Transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam
rupiah dilakukan dengan metode sebagai berikut:
a. harga tetap (fixed rate tender), dengan tingkat
diskonto Transaksi Term Deposit OPT Konvensional
dalam rupiah ditetapkan oleh Bank Indonesia; atau
b. harga beragam (variable rate tender), dengan tingkat
diskonto Transaksi Term Deposit OPT Konvensional
dalam rupiah diajukan oleh Peserta OPT
Konvensional.
21
Bagian Kedelapan
Transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam Valuta Asing
Paragraf 1
Karakteristik Transaksi Term Deposit OPT Konvensional
dalam Valuta Asing
Pasal 31
Transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing
merupakan instrumen yang digunakan oleh Bank Indonesia
untuk mengelola likuiditas valuta asing guna mendukung
stabilitas nilai tukar rupiah.
Pasal 32
Transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing
memiliki karakteristik sebagai berikut:
a.
jenis mata uang yang digunakan adalah dolar Amerika
Serikat;
b. berjangka waktu paling singkat 1 (satu) hari kalender dan
paling lama 12 (dua belas) bulan yang dinyatakan dalam
hari kalender, yang dihitung sejak 1 (satu) hari kalender
setelah tanggal setelmen sampai dengan tanggal jatuh
waktu;
c. dilakukan tanpa disertai dengan penerbitan surat
berharga;
d. perhitungan bunga dengan menggunakan metode bunga
dibayar di belakang (simple interest);
e. dapat dilakukan Early Redemption baik keseluruhan atau
sebagian; dan
f.
dapat dialihkan menjadi Transaksi Swap Jual Bank
Indonesia.
22
Paragraf 2
Mekanisme Transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam
Valuta Asing
Pasal 33
(1) Transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta
asing dilakukan dengan mekanisme lelang melalui sarana
dealing system yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
(2) Lelang Transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam
valuta asing dilakukan dengan metode sebagai berikut:
a. harga tetap (fixed rate tender), dengan tingkat bunga
Transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam
valuta asing ditetapkan oleh Bank Indonesia; atau
b. harga beragam (variable rate tender), dengan tingkat
bunga Transaksi Term Deposit OPT Konvensional
dalam valuta asing diajukan oleh Peserta OPT
Konvensional.
Bagian Kesembilan
Transaksi Spot
Paragraf 1
Karakteristik Transaksi Spot
Pasal 34
Transaksi Spot merupakan instrumen yang digunakan oleh
Bank Indonesia untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah
dengan cara:
a. Transaksi Spot Jual Bank Indonesia; atau
b. Transaksi Spot Beli Bank Indonesia.
Pasal 35
Jenis valuta asing yang digunakan dalam Transaksi Spot
adalah dolar Amerika Serikat.
23
Paragraf 2
Mekanisme Transaksi Spot
Pasal 36
(1) Transaksi Spot dilakukan dengan mekanisme nonlelang
secara bilateral antara Bank Indonesia dengan Peserta
OPT Konvensional secara langsung atau melalui Lembaga
Perantara.
(2) Transaksi Spot dilakukan melalui sarana dealing system
yang digunakan Bank Indonesia.
Bagian Kesepuluh
Transaksi Swap
Paragraf 1
Karakteristik Transaksi Swap
Pasal 37
Transaksi Swap merupakan transaksi yang digunakan oleh
Bank Indonesia untuk mendukung pengelolaan likuiditas dan
menjaga stabilitas nilai tukar rupiah dengan cara:
a. Transaksi Swap Jual Bank Indonesia; atau
b. Transaksi Swap Beli Bank Indonesia.
Pasal 38
Transaksi Swap memiliki karakteristik sebagai berikut :
a.
jenis mata uang yang digunakan adalah dolar Amerika
Serikat terhadap rupiah;
b. berjangka waktu paling singkat 1 (satu) hari kalender dan
paling lama 12 (dua belas) bulan yang dinyatakan dalam
hari kalender, yang dihitung sejak 1 (satu) hari kalender
setelah tanggal setelmen sampai dengan tanggal jatuh
waktu;
c. kurs spot dolar Amerika Serikat terhadap rupiah yang
digunakan dalam Transaksi Swap adalah JISDOR; dan
24
d. kurs forward dolar Amerika Serikat terhadap rupiah yang
digunakan dalam Transaksi Swap adalah kurs spot
ditambah premi swap.
Pasal 39
(1) Dalam hal window time Transaksi Swap secara lelang
dibuka sebelum penerbitan JISDOR, kurs spot yang
digunakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 huruf
c adalah JISDOR hari kerja sebelumnya.
(2) Dalam hal window time Transaksi Swap secara lelang
dibuka setelah penerbitan JISDOR, kurs spot yang
digunakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 huruf
c adalah JISDOR pada tanggal transaksi.
Paragraf 2
Mekanisme Transaksi Swap
Pasal 40
Transaksi Swap dilakukan dengan mekanisme lelang atau
nonlelang.
Pasal 41
(1) Transaksi Swap dengan mekanisme lelang dilakukan
melalui sarana dealing system yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia.
(2) Transaksi Swap dengan mekanisme lelang dilakukan
dengan metode sebagai berikut:
a. harga tetap (fixed rate tender), dengan premi swap
ditetapkan oleh Bank Indonesia; atau
b. harga beragam (variable rate tender), dengan premi
swap diajukan oleh Peserta OPT Konvensional.
Pasal 42
(1) Transaksi Swap dengan mekanisme nonlelang dilakukan
secara bilateral antara Bank Indonesia dengan Peserta
OPT Konvensional secara langsung atau melalui Lembaga
Perantara.
25
(2) Transaksi Swap dengan mekanisme nonlelang dilakukan
melalui sarana dealing system yang digunakan Bank
Indonesia.
Bagian Kesebelas
Transaksi Forward
Paragraf 1
Karakteristik Transaksi Forward
Pasal 43
Transaksi Forward merupakan instrumen yang digunakan oleh
Bank Indonesia untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah
dengan cara:
a. Transaksi Forward Jual Bank Indonesia; atau
b. Transaksi Forward Beli Bank Indonesia.
Pasal 44
Transaksi Forward memiliki karakteristik sebagai berikut:
a.
jenis valuta asing yang digunakan adalah dolar Amerika
Serikat;
b. waktu penyerahan dana (tenor) Transaksi Forward
dilakukan lebih dari 2 (dua) hari kerja dan paling lama 12
(dua belas) bulan yang dinyatakan dalam hari kalender,
yang dihitung sejak 1 (satu) hari kalender setelah tanggal
transaksi sampai dengan tanggal setelmen; dan
c. kurs forward dolar Amerika Serikat terhadap rupiah yang
digunakan adalah kurs JISDOR pada saat transaksi
ditambah premi yang disepakati.
Pasal 45
(1) Dalam hal window time dibuka sebelum penerbitan
JISDOR, kurs spot yang digunakan adalah JISDOR hari
kerja sebelumnya.
(2) Dalam hal window time dibuka setelah penerbitan
JISDOR, kurs spot yang digunakan adalah JISDOR pada
tanggal transaksi.
26
Paragraf 2
Mekanisme Transaksi Forward
Pasal 46
Transaksi Forward dilakukan dengan mekanisme lelang atau
nonlelang.
Pasal 47
(1) Transaksi Forward dengan mekanisme lelang dilakukan
melalui sarana dealing system yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia.
(2) Transaksi Forward dengan mekanisme lelang dilakukan
dengan metode sebagai berikut:
a. harga tetap (fixed rate tender), dengan forward point
Transaksi Forward ditetapkan oleh Bank Indonesia;
atau
b. harga beragam (variable rate tender), dengan forward
point Transaksi Forward diajukan oleh Peserta OPT
Konvensional.
Pasal 48
(1) Transaksi Forward dengan mekanisme nonlelang
dilakukan secara bilateral antara Bank Indonesia dengan
Peserta OPT Konvensional secara langsung atau melalui
Lembaga Perantara.
(2) Transaksi Forward dengan mekanisme nonlelang
dilakukan melalui sarana dealing system yang digunakan
Bank Indonesia.
27
BAB V
INSTRUMEN OPT SYARIAH
Bagian Kesatu
Penerbitan SBIS
Paragraf 1
Karakteristik SBIS
Pasal 49
Penerbitan SBIS merupakan instrumen yang digunakan oleh
Bank Indonesia untuk absorpsi likuiditas rupiah di pasar uang
berdasarkan prinsip syariah.
Pasal 50
(1) SBIS memiliki karakteristik sebagai berikut:
a. memiliki satuan unit sebesar Rp1.000.000,00 (satu
juta rupiah);
b. berjangka waktu paling singkat 1 (satu) bulan dan
paling lama 12 (dua belas) bulan yang dinyatakan
dalam jumlah hari kalender, yang dihitung sejak 1
(satu) hari kalender setelah tanggal setelmen sampai
dengan tanggal jatuh waktu.
c.
diterbitkan tanpa warkat (scripless)
ditatausahakan di BI-SSSS;
d. dapat diagunkan kepada Bank Indonesia;
e.
f. hanya dapat dimiliki oleh BUS atau UUS.
(2) SBIS yang diterbitkan oleh Bank Indonesia menggunakan
akad ju’alah.
(3) SBIS diterbitkan dan ditransaksikan di Sistem BI-ETP.
(4) Bank Indonesia melunasi SBIS sebesar nilai nominal pada
saat jatuh waktu.
(5) Contoh perhitungan jangka waktu SBIS tercantum pada
Lampiran III yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
dan
tidak dapat diperdagangkan (non-tradable) di pasar
sekunder; dan
28
Pasal 51
(1) Bank Indonesia membayar imbalan atas SBIS milik
Peserta OPT Syariah dengan ketentuan sebagai berikut:
a. pada saat SBIS jatuh waktu; atau
b. sebelum jatuh waktu, dalam hal Peserta OPT Syariah
tidak dapat memenuhi kewajiban second leg
transaksi repurchase agreement (repo) SBIS
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai Standing
Facilities.
(2) Tingkat imbalan yang diberikan mengacu kepada tingkat
diskonto atau tingkat bunga hasil lelang transaksi OPT
Konvensional dengan jangka waktu yang sama yang
ditransaksikan bersamaan dengan penerbitan SBIS
dengan ketentuan sebagai berikut:
a. dalam hal lelang transaksi OPT Konvensional
menggunakan metode harga tetap (fixed rate tender),
imbalan SBIS ditetapkan sama dengan tingkat
diskonto atau tingkat bunga hasil lelang transaksi
OPT Konvensional.
b. dalam hal lelang transaksi OPT Konvensional
menggunakan metode harga beragam (variable rate
tender), imbalan SBIS ditetapkan sama dengan rata-
rata tertimbang tingkat diskonto atau tingkat bunga
hasil lelang transaksi OPT Konvensional.
(3) Dalam hal pada saat yang bersamaan tidak terdapat lelang
transaksi OPT Konvensional dengan jangka waktu yang
sama, tingkat imbalan yang diberikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) mengacu pada data terkini antara
tingkat imbalan SBIS, tingkat diskonto, atau tingkat
bunga transaksi OPT dengan jangka waktu yang sama.
(4) Perhitungan imbalan SBIS dihitung berdasarkan rumus
sebagai berikut:
Nilai
Nilai
=
Imbalan SBIS
Nominal
SBIS
× (
Jangka Waktu
SBIS
360
) ×
Tingkat
Imbalan
SBIS
29
Paragraf 2
Mekanisme Penerbitan SBIS
Pasal 52
Penerbitan SBIS dilakukan dengan mekanisme lelang melalui
Sistem BI-ETP.
Bagian Kedua
Transaksi Repo OPT Syariah
Paragraf 1
Karakteristik Transaksi Repo OPT Syariah
Pasal 53
Transaksi Repo OPT Syariah merupakan instrumen yang
digunakan oleh Bank Indonesia untuk injeksi likuiditas rupiah
di pasar uang berdasarkan prinsip syariah.
Pasal 54
Transaksi Repo OPT Syariah memiliki karakteristik sebagai
berikut:
a. menggunakan akad al bai’ (jual beli) yang disertai dengan
janji (al wa’d) oleh Peserta OPT Syariah kepada Bank
Indonesia, dalam dokumen terpisah, untuk membeli
kembali SBSN dalam jangka waktu dan harga tertentu
yang disepakati;
b. berjangka waktu paling singkat 1 (satu) hari kalender dan
paling lama 12 (dua belas) bulan yang dinyatakan dalam
hari kalender, yang dihitung sejak 1 (satu) hari kalender
setelah tanggal setelmen sampai dengan tanggal jatuh
waktu;
c. margin repo diperhitungkan pada saat setelmen second leg
Transaksi Repo OPT Syariah; dan
d. hak penerimaan imbalan atas surat berharga yang di-repo-
kan selama periode Transaksi Repo OPT Syariah tetap
merupakan milik Peserta OPT Syariah.
30
Paragraf 2
Mekanisme Transaksi Repo OPT Syariah
Pasal 55
(1) Transaksi Repo OPT Syariah dilakukan dengan
mekanisme lelang melalui Sistem BI-ETP.
(2) Lelang Transaksi Repo OPT Syariah dilakukan dengan
metode sebagai berikut:
a. harga tetap (fixed rate tender) dengan margin repo
ditetapkan oleh Bank Indonesia; atau
b. harga beragam (variable rate tender), dengan margin
repo diajukan oleh Peserta OPT Syariah.
Bagian Ketiga
Transaksi Reverse Repo OPT Syariah
Paragraf 1
Karakteristik Transaksi Reverse Repo OPT Syariah
Pasal 56
Transaksi Reverse Repo OPT Syariah merupakan instrumen
yang digunakan oleh Bank Indonesia untuk absorpsi likuiditas
rupiah di pasar uang berdasarkan prinsip syariah.
Pasal 57
Transaksi Reverse Repo OPT Syariah memiliki karakteristik
sebagai berikut:
a. menggunakan akad al bai’ (jual beli) yang disertai dengan
janji (al wa’d) oleh Peserta OPT Syariah kepada Bank
Indonesia, dalam dokumen terpisah, untuk menjual
kembali SBSN dalam jangka waktu dan harga tertentu
yang disepakati;
b. memiliki jangka waktu paling singkat 1 (satu) hari
kalender dan paling lama 12 (dua belas) bulan yang
dinyatakan dalam hari kalender, yang dihitung sejak 1
(satu) hari kalender setelah tanggal setelmen sampai
dengan tanggal jatuh waktu;
31
c. margin reverse repo diperhitungkan pada saat setelmen
second leg Transaksi Reverse Repo OPT Syariah; dan
d. hak penerimaan imbalan atas surat berharga yang di-
reverse repo-kan selama periode Transaksi Reverse Repo
OPT Syariah tetap merupakan milik Bank Indonesia.
Paragraf 2
Mekanisme Transaksi Reverse Repo OPT Syariah
Pasal 58
(1) Transaksi Reverse Repo OPT Syariah dilakukan dengan
mekanisme lelang melalui Sistem BI-ETP.
(2) Pelaksanaan lelang Transaksi Reverse Repo OPT Syariah
dilakukan dengan metode sebagai berikut:
a. harga tetap (fixed rate tender) dengan margin
Transaksi Reverse Repo OPT Syariah ditetapkan oleh
Bank Indonesia; atau
b. harga beragam (variable rate tender) dengan margin
Transaksi Reverse Repo OPT Syariah diajukan Peserta
OPT Syariah.
Bagian Keempat
Transaksi Pembelian dan Penjualan SBSN Secara Putus
(Outright) di Pasar Sekunder
Pasal 59
(1) Transaksi pembelian SBSN secara putus (outright) oleh
Bank Indonesia di pasar sekunder merupakan transaksi
yang digunakan oleh Bank Indonesia untuk injeksi
likuiditas serta untuk menjaga ketersediaan SBSN yang
diperlukan sebagai instrumen OMS dalam mencapai
sasaran operasional kebijakan moneter Bank Indonesia.
(2) Transaksi penjualan SBSN secara putus (outright) oleh
Bank Indonesia di pasar sekunder merupakan instrumen
yang digunakan oleh Bank Indonesia untuk absorpsi
likuiditas rupiah di pasar uang berdasarkan prinsip
syariah.
32
Pasal 60
(1) Transaksi pembelian dan penjualan SBSN secara putus
(outright) di pasar sekunder dilakukan dengan:
a. mekanisme lelang melalui Sistem BI-ETP dan/atau
sarana dealing system yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia; atau
b. mekanisme nonlelang melalui Sistem BI-ETP atau
sarana dealing system yang digunakan oleh Bank
Indonesia.
(2) Transaksi pembelian dan penjualan SBN secara putus
(outright) di pasar sekunder dengan mekanisme lelang
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan
dengan metode sebagai berikut:
a. harga tetap (fixed rate tender), dengan yield atau
harga transaksi pembelian atau penjualan SBSN
ditetapkan oleh Bank Indonesia; atau
b. harga beragam (variable rate tender), dengan yield
atau harga transaksi pembelian dan penjualan SBSN
diajukan oleh Peserta OPT Syariah.
Bagian Kelima
Transaksi Term Deposit OPT Syariah dalam Valuta Asing
Paragraf 1
Karakteristik Transaksi Term Deposit OPT Syariah dalam
Valuta Asing
Pasal 61
Transaksi Term Deposit OPT Syariah dalam valuta asing
merupakan instrumen yang memenuhi prinsip syariah yang
digunakan oleh Bank Indonesia untuk mengelola likuiditas
valuta asing untuk mendukung stabilitas nilai tukar rupiah.
33
Pasal 62
Transaksi Term Deposit OPT Syariah dalam valuta asing
memiliki karakteristik sebagai berikut:
a. menggunakan akad ju’alah oleh Peserta OPT Syariah
kepada Bank Indonesia;
b.
jenis mata uang yang digunakan adalah dolar Amerika
Serikat;
c. berjangka waktu paling singkat 1 (satu) hari kalender dan
paling lama 12 (dua belas) bulan yang dinyatakan dalam
hari kalender, yang dihitung sejak 1 (satu) hari kalender
setelah tanggal setelmen sampai dengan tanggal jatuh
waktu;
d. dilakukan tanpa disertai dengan penerbitan surat
berharga;
e. diberikan imbalan; dan
f.
dapat dilakukan Early Redemption baik keseluruhan atau
sebagian.
Pasal 63
(1) Bank Indonesia membayar imbalan atas Transaksi Term
Deposit OPT Syariah dalam valuta asing pada saat
Transaksi Term Deposit OPT Syariah dalam valuta asing
jatuh waktu atau pada tanggal setelmen Early Redemption.
(2) Tingkat imbalan Transaksi Term Deposit OPT Syariah
dalam valuta asing mengacu pada suku bunga hasil lelang
Transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta
asing berjangka waktu sama, yang dilakukan secara
bersamaan dengan Transaksi Term Deposit OPT Syariah
dalam valuta asing.
(3) Tingkat imbalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
ditetapkan sebagai berikut:
a. dalam hal lelang Transaksi Term Deposit OPT
Konvensional dalam valuta asing menggunakan
metode harga tetap (fixed rate tender), tingkat imbalan
Transaksi Term Deposit OPT Syariah dalam valuta
asing ditetapkan sama dengan suku bunga Transaksi
Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing.
34
b. dalam hal lelang Transaksi Term Deposit OPT
Konvensional dalam valuta asing menggunakan
metode harga beragam (variable rate tender), tingkat
imbalan Transaksi Term Deposit OPT Syariah dalam
valuta asing ditetapkan sama dengan rata-rata
tertimbang suku bunga hasil Transaksi Term Deposit
OPT Konvensional dalam valuta asing.
(4) Dalam hal pada saat yang bersamaan tidak terdapat lelang
Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing dengan
jangka waktu sama, tingkat imbalan yang diberikan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengacu pada
tingkat imbalan Transaksi Term Deposit OPT Syariah
dalam valuta asing atau suku bunga Term Deposit OPT
Konvensional dalam valuta asing pada lelang sebelumnya,
yang terkini di antara keduanya dan masing-masing
berjangka waktu sama.
(5) Perhitungan nilai imbalan Transaksi Term Deposit OPT
Syariah dalam valuta asing dihitung dengan rumus
sebagai berikut:
Nilai Imbalan =
Nilai Nominal
Term Deposit OPT Syariah
dalam Valuta Asing
Keterangan:
k =
×
Tingkat
Imbalan
k
×
360
jangka waktu sampai dengan tanggal setelmen
Transaksi Term Deposit OPT Syariah dalam
valuta asing jatuh waktu atau tanggal setelmen
Early Redemption Transaksi Term Deposit OPT
Syariah dalam valuta asing (dalam hari).
(6) Contoh perhitungan imbalan tercantum dalam Lampiran
IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
35
Paragraf 2
Mekanisme Transaksi Term Deposit OPT Syariah dalam Valuta
Asing
Pasal 64
Transaksi Term Deposit OPT Syariah dalam valuta asing
dilakukan dengan mekanisme lelang melalui sarana dealing
system yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 65
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada
tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan
Peraturan
Anggota Dewan Gubernur
ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 20 April 2018
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR,
ERWIN RIJANTO
TTD
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 20/5/PADG/2018
TENTANG
INSTRUMEN OPERASI PASAR TERBUKA
I. UMUM
Dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia menjadi Undang-Undang, telah diatur secara jelas bahwa
tujuan Bank Indonesia adalah menjaga dan memelihara kestabilan nilai
rupiah.
Dalam rangka mencapai tujuan dimaksud dan menghadapi tantangan
kondisi makroekonomi, Bank Indonesia melaksanakan pengendalian
moneter melalui pelaksanaan operasi moneter baik secara konvensional
atau berdasarkan prinsip syariah.
Operasi moneter salah satunya dilakukan melalui Operasi Pasar
Terbuka yang mencakup OPT Konvensional untuk mengendalikan suku
bunga PUAB O/N dan menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, dan OPT
Syariah untuk memengaruhi kecukupan likuiditas di pasar uang
berdasarkan prinsip syariah dan di pasar valuta asing.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
2
Pasal 2
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “stabilitas moneter” adalah suatu kondisi
dimana inflasi bergerak di dalam kisaran sasarannya dan nilai
tukar bergerak stabil sejalan dengan kondisi fundamental
perekonomian.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “Suku Bunga PUAB O/N” adalah suku
bunga transaksi pinjam meminjam uang dalam mata uang rupiah
antar-BUK yang berjangka waktu 1 (satu) hari (overnight).
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “absorpsi likuiditas” adalah pengurangan
likuiditas di pasar uang rupiah melalui kegiatan OPT
Konvensional.
Yang dimaksud dengan “injeksi likuiditas” adalah penambahan
likuiditas di pasar uang rupiah melalui kegiatan OPT
Konvensional.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “absorpsi likuiditas” adalah pengurangan
likuiditas rupiah di pasar uang berdasarkan prinsip syariah
melalui kegiatan OPT Syariah.
Yang dimaksud dengan “injeksi likuiditas” adalah penambahan
likuiditas rupiah di pasar uang berdasarkan prinsip syariah
melalui kegiatan OPT Syariah.
3
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Dalam hal lelang dilakukan dengan harga tetap (fixed rate tender),
Bank Indonesia menetapkan antara lain tingkat diskonto, suku
bunga repo (repo rate), yield/harga, margin repo, atau margin
reverse repo.
Dalam hal lelang dilakukan dengan harga beragam (variable rate
tender), Bank mengajukan antara lain tingkat diskonto, suku
bunga repo (repo rate), yield/harga, margin repo, atau margin
reverse repo.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
4
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
5
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
6
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “hari kerja” adalah hari kerja yang dimulai
dari hari Senin sampai dengan hari Jumat, kecuali hari libur
nasional dan/atau hari libur khusus yang ditetapkan oleh
pemerintah.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “hari kerja” adalah hari kerja yang dimulai
dari hari Senin sampai dengan hari Jumat, kecuali hari libur
7
nasional dan/atau hari libur khusus yang ditetapkan oleh
pemerintah.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “akad ju’alah” adalah janji atau komitmen
(iltizam) untuk memberikan imbalan tertentu (iwadh/ju’l) atas
pencapaian hasil (natijah) yang ditentukan dari suatu pekerjaan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
8
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Cukup jelas.
Pasal 62
Huruf a
Yang dimaksud dengan “akad ju’alah” adalah janji atau komitmen
(iltizam) untuk memberikan imbalan tertentu (iwadh/ju’l) atas
pencapaian hasil (natijah) yang ditentukan dari suatu pekerjaan.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
9
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Cukup jelas.
"," PADG
20/5/PADG/2018
INSTRUMEN OPERASI PASAR TERBUKA
20 April 2018
20 April 2018
'20/5/PBI/2018'
"
" PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 22/1/PADG/2020
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 19/20/PADG/2017 TENTANG REKENING GIRO DI BANK INDONESIA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa untuk mendukung pelaksanaan kebijakan Bank
Indonesia dalam bidang moneter, makroprudensial, dan
sistem pembayaran serta pelaksanaan fungsi sebagai
pemegang kas pemerintah, Bank Indonesia melaksanakan
penatausahaan rekening giro;
b. bahwa untuk pelaksanaan penatausahaan rekening giro
yang efektif dan dapat dipertanggungjawabkan dengan
tetap mengutamakan penerapan prinsip tata kelola yang
baik, perlu diperjelas pengaturan mengenai jenis biaya,
besar biaya, dan pihak yang dikenakan biaya atas
penatausahaan rekening giro;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan
Anggota Dewan Gubernur tentang Perubahan atas
Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor
19/20/PADG/2017 tentang Rekening Giro di Bank
Indonesia;
2
Mengingat
: 1. Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/24/PBI/2015
tentang Rekening Giro di Bank Indonesia (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 416,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2015 Nomor 5832);
2. Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor
19/20/PADG/2017 tanggal 29 Desember 2017 tentang
Rekening Giro di Bank Indonesia;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN
GUBERNUR NOMOR 19/20/PADG/2017
REKENING GIRO DI BANK INDONESIA.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Anggota Dewan
Gubernur Nomor 19/20/PADG/2017 tanggal 29 Desember
2017 tentang Rekening Giro di Bank Indonesia diubah sebagai
berikut:
1. Ketentuan ayat (3) Pasal 71 tetap, dan penjelasan ayat (3)
Pasal 71 diubah menjadi sebagaimana tercantum dalam
penjelasan pasal demi pasal.
2. Ketentuan ayat (3) Pasal 72 ditambah 1 (satu) huruf, yakni
huruf d, sehingga Pasal 72 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 72
(1) Jenis biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71
ayat (1) meliputi:
a. biaya transaksi;
b. biaya administrasi; dan
c. biaya meterai.
TENTANG
3
(2) Biaya administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b terdiri atas:
a. biaya perolehan sarana penarikan Rekening
Giro; dan
b. biaya administrasi Rekening Giro tidak aktif.
(3) Pembebanan biaya transaksi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a diatur sebagai berikut:
a. biaya transaksi dikenakan untuk penarikan
Rekening Giro berupa pemindahan dana dari
Rekening Giro yang dilakukan melalui sistem BI-
RTGS dan SWIFT;
b. biaya transaksi tidak dikenakan untuk
penarikan Rekening Giro berupa pemindahan
dana dari Rekening Giro yang dilakukan melalui
SKNBI;
c. biaya transaksi atas penarikan Rekening Giro
dikenakan pajak pertambahan nilai (PPN); dan
d. biaya transaksi tidak dikenakan untuk
Penyetoran ke Rekening Giro.
(4) Pembebanan biaya perolehan sarana penarikan
Rekening Giro sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf a dikenakan untuk sarana penarikan Rekening
Giro berupa buku BG BI dan Cek BI.
(5) Pembebanan biaya administrasi Rekening Giro tidak
aktif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b
diatur sebagai berikut:
a. biaya administrasi dikenakan untuk saldo
Rekening Giro tidak aktif yang telah dipindahkan
ke rekening tertentu di Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1)
huruf f;
b. biaya administrasi sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dibebankan sampai dengan saldo
0 (nol) atau telah daluwarsa; dan
c.
sisa saldo Rekening Giro yang telah dipindahkan
ke rekening tertentu di Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan telah
4
daluwarsa diakui sebagai penerimaan Bank
Indonesia.
(6) Pembebanan biaya meterai sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf c dikenakan untuk:
a. permintaan informasi saldo;
b. penyediaan Rekening Koran akhir tahun; dan
c. permintaan lain.
3. Ketentuan ayat (1) huruf c Pasal 73 diubah sehingga Pasal
73 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 73
(1) Besar biaya transaksi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 71 ayat (1) diatur sebagai berikut:
a. besar biaya transaksi untuk Pemilik Rekening
Giro yang merupakan peserta sistem BI-RTGS
mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai penyelenggaraan transaksi,
penatausahaan surat berharga, dan setelmen
dana seketika;
b. besar biaya transaksi untuk Pemilik Rekening
Giro yang bukan merupakan peserta sistem BI-
RTGS ditetapkan sebesar biaya setelmen dana
tertinggi untuk peserta sistem BI-RTGS
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur
penyelenggaraan transaksi, penatausahaan
surat berharga, dan setelmen dana seketika; dan
c. besar biaya transaksi untuk Rekening Giro Valas
diatur dengan ketentuan sebagai berikut:
1. ditetapkan sebesar Rp70.000,00 (tujuh
puluh ribu rupiah) per transaksi;
2. biaya sebagaimana dimaksud dalam angka
1 hanya dibebankan pada penarikan
Rekening Giro Valas;
3. dilakukan dengan menggunakan sarana
penarikan lain yang berlaku umum
mengenai
5
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat
(3) huruf c; dan
4. dalam hal Bank melakukan pembatalan
Penyetoran ke Rekening Giro Valas dan
Bank Indonesia sudah mengkredit Rekening
Giro Valas Bank yang bersangkutan,
pembatalan Penyetoran ke Rekening Giro
Valas dikenakan biaya sebagaimana
dimaksud dalam angka 1.
(2) Besar biaya administrasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 71 ayat (1) diatur sebagai berikut:
a. besar biaya administrasi untuk perolehan buku
BG BI dan Cek BI mengacu pada ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai biaya
perolehan buku blanko cek dan bilyet giro Bank
Indonesia; dan
b. besar biaya administrasi untuk Rekening Giro
tidak aktif ditetapkan sebesar Rp200.000,00
(dua ratus ribu rupiah) per bulan.
(3) Besar biaya meterai sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 71 ayat (1) mengacu pada ketentuan peraturan
perundang-undangan yang mengatur mengenai bea
meterai.
4. Lampiran XVII dihapus.
Pasal II
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada
tanggal ditetapkan.
6
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan
Peraturan Anggota Dewan Gubernur
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
ini dengan
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 4 Februari 2020
...........................
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR,
SUGENG
TTD
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 22/1/PADG/2020
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 19/20/PADG/2017 TENTANG REKENING GIRO DI BANK INDONESIA
I. UMUM
Untuk mendukung kebijakan Bank Indonesia dalam bidang moneter,
makroprudensial, dan sistem pembayaran, Bank Indonesia melaksanakan
penatausahaan Rekening Giro.
Dalam menjalankan fungsi Penatausahaan Rekening Giro, Bank
Indonesia menetapkan biaya sebagaimana diatur dalam Peraturan Anggota
Dewan Gubernur (PADG) No. 19/20/PADG/2017 tentang Rekening Giro di
Bank Indonesia. Namun, pengaturan terkait biaya yang ditetapkan tersebut
dinilai oleh Bank Indonesia sudah tidak sejalan dengan kondisi existing,
best practice di perbankan maupun tidak sejalan dengan tujuan Bank
Indonesia untuk menciptakan sistem pembayaran di Indonesia yang efektif
dan efisien. Oleh karena itu, Bank Indonesia melakukan penyempurnaan
terhadap Peraturan Anggota Dewan Gubernur (PADG) No.
19/20/PADG/2017 tentang Rekening Giro di Bank Indonesia khususnya
pengaturan terkait biaya. Penyempurnaan dilakukan tidak hanya terhadap
besaran biaya, namun juga dilakukan evaluasi terhadap jenis dan pihak
yang dikenakan biaya.
2
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 71
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “pihak” antara lain Kementerian
Keuangan Republik Indonesia, lembaga keuangan
internasional, dan bank sentral negara lain.
Yang dimaksud dengan “pertimbangan tertentu” antara
lain berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan dan/atau kesepakatan bersama.
Angka 2
Pasal 72
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “saldo Rekening Giro tidak
aktif” adalah termasuk dalam hal saldo atas
Rekening Giro telah dipindahkan ke rekening
tertentu di Bank Indonesia.
Yang dimaksud dengan “daluwarsa” adalah
Rekening Giro telah tidak aktif selama 30 (tiga
puluh) tahun.
3
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (6)
Yang dimaksud dengan “permintaan lain” antara lain
biaya meterai untuk surat kuasa yang belum dibubuhi
meterai oleh Pemilik Rekening Giro.
Angka 3
Pasal 73
Cukup jelas.
Pasal II
Cukup jelas.
"," PADG
22/1/PADG/2020
PERUBAHAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 19/20/PADG/2017 TENTANG REKENING GIRO DI BANK INDONESIA
4 Februari 2020
4 Februari 2020
'19/20/PADG/2017'
'19/20/PADG/2017', '17/24/PBI/2015'
"
" PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 19/1/PADG/2017
TENTANG
PELAKSANAAN LELANG SURAT BERHARGA NEGARA DI PASAR PERDANA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka penerbitan Surat Berharga Negara
oleh Pemerintah yang terdiri atas Surat Utang Negara dan
Surat Berharga Syariah Negara, Bank Indonesia
melaksanakan kegiatan sebagai agen lelang Surat
Berharga Negara di pasar perdana;
b. bahwa dalam upaya untuk lebih meningkatkan kedalaman
pasar Surat Berharga Negara dan likuiditas pasar uang
maka dealer utama dapat melakukan penawaran
kompetitif dan/atau nonkompetitif atas Surat Utang
Negara;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan
Anggota Dewan Gubernur tentang Pelaksanaan Lelang
Surat Berharga Negara di Pasar Perdana.
Mengingat
: 1. Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/13/PBI/2008
tentang Lelang dan Penatausahaan Surat Berharga Negara
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor
123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4888) sebagaimana telah diubah beberapa kali,
2
terakhir dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor
17/19/PBI/2015 tentang Perubahan Kedua atas
Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/13/PBI/2008
tentang Lelang dan Penatausahaan Surat Berharga Negara
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor
274, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5763);
2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/18/PBI/2015 tentang
Penyelenggaraan Transaksi, Penatausahaan Surat
Berharga, dan Setelmen Dana Seketika (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 273, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5762).
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG
PELAKSANAAN LELANG SURAT BERHARGA NEGARA DI
PASAR PERDANA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini, yang dimaksud
dengan:
1. Surat Berharga Negara yang selanjutnya disingkat SBN
adalah Surat Utang Negara dan Surat Berharga Syariah
Negara.
2. Surat Utang Negara yang selanjutnya disingkat SUN
adalah surat berharga yang berupa surat pengakuan
utang dalam mata uang Rupiah maupun dalam valuta
asing yang dijamin pembayaran bunga dan pokoknya oleh
Negara Republik Indonesia, sesuai dengan masa
berlakunya.
3. Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya disingkat
SBSN, atau dapat disebut Sukuk Negara, adalah SBN yang
diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti
atas bagian penyertaan terhadap aset SBSN, baik dalam
3
mata uang Rupiah maupun valuta asing.
4. Surat Perbendaharaan Negara yang selanjutnya disingkat
SPN adalah SUN yang berjangka waktu sampai dengan 12
(dua belas) bulan dengan pembayaran bunga secara
diskonto.
5. SBSN Jangka Pendek atau dapat disebut Surat
Perbendaharaan Negara Syariah adalah SBSN yang
berjangka waktu sampai dengan 12 (dua belas) bulan
dengan pembayaran imbalan berupa kupon dan/atau
secara diskonto.
6. Obligasi Negara adalah SUN yang berjangka waktu lebih
dari 12 (dua belas) bulan dengan kupon dan/atau dengan
pembayaran bunga secara diskonto.
7. SBSN Jangka Panjang adalah SBSN yang berjangka waktu
lebih dari 12 (dua belas) bulan dengan pembayaran
imbalan berupa kupon dan/atau secara diskonto.
8. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam
undang-undang yang mengatur mengenai perbankan
termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di
luar negeri dan bank umum syariah termasuk unit usaha
syariah sebagaimana dimaksud dalam undang-undang
yang mengatur mengenai perbankan syariah.
9. Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia.
10. Lembaga Penjamin Simpanan yang selanjutnya disingkat
LPS adalah lembaga penjamin simpanan sebagaimana
dimaksud dalam undang-undang yang mengatur
mengenai lembaga penjamin simpanan.
11. Peserta Transaksi adalah pihak yang berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan dapat melakukan transaksi
SUN dan/atau SBSN dengan Pemerintah secara langsung.
12. Dealer Utama adalah Bank dan/atau perusahaan efek
yang ditunjuk oleh Menteri sebagai dealer utama
sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri
Keuangan yang mengatur mengenai dealer utama.
13. Peserta Lelang adalah Bank dan perusahaan efek yang
ditunjuk Menteri sebagai peserta lelang SBSN di pasar
4
perdana dalam negeri.
14. Peserta BI-SSSS adalah pihak yang memenuhi persyaratan
dan telah memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia
untuk menjadi peserta dalam penyelenggaraan BI-SSSS.
15. Pasar Perdana adalah kegiatan penawaran dan penjualan
SBN untuk pertama kali.
16. Pasar Sekunder adalah kegiatan perdagangan SBN yang
telah dijual di Pasar Perdana.
17. Lelang SBN adalah penjualan SBN di Pasar Perdana
domestik oleh Pemerintah yang dilakukan dengan
mekanisme lelang.
18. Lelang SBN Tambahan (Greenshoe Option) yang
selanjutnya disebut Lelang SBN Tambahan adalah
penjualan SBN di Pasar Perdana dalam mata uang Rupiah
dengan cara lelang yang dilaksanakan pada 1 (satu) hari
kerja setelah tanggal pelaksanaan Lelang SBN.
19. Imbal Hasil (Yield) adalah keuntungan yang diharapkan
oleh investor dalam persentase per tahun.
20. Penawaran Pembelian Kompetitif (Competitive Bidding)
adalah pengajuan penawaran pembelian dengan
mencantumkan volume dan tingkat Imbal Hasil (Yield)
atau harga (price) yang diinginkan penawar.
21. Penawaran Pembelian Nonkompetitif (Non-competitive
Bidding) adalah pengajuan penawaran pembelian dengan
mencantumkan volume tanpa tingkat Imbal Hasil (Yield)
atau harga (price) yang diinginkan penawar.
22. Sistem Bank Indonesia-Electronic Trading Platform yang
selanjutnya disebut Sistem BI-ETP adalah infrastruktur
yang digunakan sebagai sarana transaksi dengan Bank
Indonesia dan transaksi pasar keuangan yang dilakukan
secara elektronik.
23. Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System yang
selanjutnya disebut BI-SSSS adalah infrastruktur yang
digunakan sebagai sarana penatausahaan transaksi dan
penatausahaan surat berharga yang dilakukan secara
elektronik.
5
24. Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement yang
selanjutnya disebut Sistem BI-RTGS adalah infrastruktur
yang digunakan sebagai sarana transfer dana elektronik
yang setelmennya dilakukan seketika per transaksi secara
individual.
25. Batas Paling Tinggi Nominal Penawaran (Broker Bidding
Limit) adalah batas paling tinggi nominal penawaran yang
diberikan oleh Peserta Transaksi kepada Peserta Transaksi
lain untuk dapat melakukan penawaran per hari untuk
dan atas nama Peserta Transaksi yang memberikan batas
nominal penawaran.
26. Penatausahaan SBN adalah kegiatan yang mencakup
pencatatan kepemilikan, kliring, dan Setelmen serta
pembayaran bunga/kupon atau imbalan serta pelunasan
pokok/nominal SBN.
27. Sub-Registry adalah Bank Indonesia dan pihak yang
memenuhi persyaratan dan disetujui oleh Bank Indonesia
sebagai Peserta BI-SSSS untuk melakukan fungsi
Penatausahaan SBN bagi kepentingan nasabah.
28. Setelmen adalah proses penyelesaian akhir transaksi SBN
melalui pendebitan dan pengkreditan Rekening Giro
dan/atau Rekening Surat Berharga dan/atau rekening
lainnya di Bank Indonesia.
29. Sistem Laporan Harian Bank Umum yang selanjutnya
disebut Sistem LHBU adalah sarana pelaporan Bank
kepada Bank Indonesia secara harian termasuk
penyediaan informasi pasar uang dan pengumuman dari
Bank Indonesia.
30. Bank Pembayar adalah peserta Sistem BI-RTGS yang
memiliki Rekening Giro dalam Rupiah dan/atau valuta
asing di Bank Indonesia dan ditunjuk oleh Peserta
Transaksi dan/atau Sub-Registry untuk melakukan
pembayaran dan penerimaan dana dalam rangka
Setelmen transaksi SBN.
31. Rekening Surat Berharga adalah rekening Peserta BI-SSSS
dalam mata uang Rupiah dan/atau valuta asing yang
ditatausahakan di Bank Indonesia dalam rangka pencatatan
6
kepemilikan dan Setelmen atas transaksi SBN, transaksi
dengan Bank Indonesia, transaksi pasar keuangan, dan/atau
fasilitas likuiditas intrahari.
32. Rekening Giro adalah rekening giro sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai rekening giro di Bank Indonesia.
BAB II
PELAKSANAAN LELANG SBN DALAM RUPIAH
Pasal 2
Bank Indonesia menyelenggarakan Lelang SBN dalam Rupiah
berdasarkan rencana yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal
Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko untuk dan atas nama
Menteri.
Pasal 3
(1) Peserta Transaksi pada Lelang SBN dikelompokkan
sebagai berikut:
a. Peserta Transaksi pada lelang SUN dalam Rupiah;
dan
b. Peserta Transaksi pada lelang SBSN dalam Rupiah.
(2) Peserta Transaksi pada lelang SUN dalam Rupiah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas:
a. Dealer Utama;
b. Bank Indonesia; dan/atau
c. LPS.
(3) Peserta Transaksi pada lelang SBSN dalam Rupiah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas:
a. Peserta Lelang;
b. Bank Indonesia; dan/atau
c. LPS.
(4) Peserta Transaksi pada lelang SUN dalam Rupiah
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur sebagai
berikut:
a. untuk lelang SPN dapat diikuti oleh Dealer Utama,
7
Bank Indonesia, dan/atau LPS; dan
b. untuk lelang Obligasi Negara dapat diikuti oleh Dealer
Utama dan/atau LPS.
(5) Peserta Transaksi pada lelang SBSN dalam Rupiah
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur sebagai
berikut:
a. untuk lelang SBSN Jangka Pendek dapat diikuti oleh
Peserta Lelang, Bank Indonesia, dan/atau LPS; dan
b. untuk lelang SBSN Jangka Panjang dapat diikuti oleh
Peserta Lelang dan/atau LPS.
Pasal 4
(1) Dealer Utama dapat mengajukan penawaran lelang SUN
dalam Rupiah atas nama diri sendiri dan/atau atas nama
pihak lain selain Bank Indonesia dan LPS sesuai dengan
Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai
lelang surat utang negara dalam mata uang Rupiah dan
valuta asing di pasar perdana domestik.
(2) Peserta Lelang dapat mengajukan penawaran lelang SBSN
dalam Rupiah atas nama diri sendiri dan/atau atas nama
pihak lain selain Bank Indonesia dan LPS sesuai dengan
Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai
penerbitan dan penjualan surat berharga syariah negara
di pasar perdana dalam negeri dengan cara lelang.
(3) Bank Indonesia dan LPS mengajukan penawaran Lelang
SBN dalam Rupiah hanya untuk dan atas nama diri
sendiri.
Pasal 5
Penawaran Lelang SBN dalam Rupiah dilakukan dengan
mengajukan Penawaran Pembelian Kompetitif (Competitive
Bidding) dan/atau Penawaran Pembelian Nonkompetitif (Non-
competitive Bidding) dalam suatu periode waktu penawaran
yang telah ditentukan dan diumumkan sebelumnya.
8
Pasal 6
(1) Dalam hal Dealer Utama mengajukan penawaran lelang
SUN dalam Rupiah untuk dan atas nama diri sendiri maka
penawaran dapat dilakukan dengan cara Penawaran
Pembelian Kompetitif (Competitive Bidding) dan/atau
Penawaran Pembelian Nonkompetitif (Non-competitive
Bidding).
(2) Dalam hal Dealer Utama mengajukan penawaran lelang
SUN dalam Rupiah untuk dan atas nama pihak lain selain
Bank Indonesia dan/atau LPS maka penawaran dapat
dilakukan dengan cara Penawaran Pembelian Kompetitif
(Competitive Bidding) dan/atau Penawaran Pembelian
Nonkompetitif (Non-competitive Bidding).
Pasal 7
(1) Dalam hal Peserta Lelang mengajukan penawaran lelang
SBSN dalam Rupiah untuk dan atas nama diri sendiri
maka penawaran hanya dapat dilakukan dengan cara
Penawaran Pembelian Kompetitif (Competitive Bidding).
(2) Dalam hal Peserta Lelang mengajukan penawaran lelang
SBSN dalam Rupiah untuk dan atas nama pihak lain
selain Bank Indonesia dan/atau LPS maka penawaran
dilakukan dengan persyaratan sebagai berikut:
a. pengajuan penawaran pada lelang SBSN Jangka
Pendek dilakukan dengan cara Penawaran Pembelian
Kompetitif (Competitive Bidding);
b. pengajuan penawaran pada lelang SBSN Jangka
Panjang dilakukan dengan cara Penawaran
Pembelian Kompetitif (Competitive Bidding) dan/atau
Penawaran Pembelian Nonkompetitif (Non-competitive
Bidding).
Pasal 8
Bank Indonesia dapat mengajukan penawaran Lelang SBN
dalam Rupiah berupa SPN dan SBSN Jangka Pendek, namun
hanya dengan cara Penawaran Pembelian Nonkompetitif (Non-
9
competitive Bidding).
Pasal 9
LPS dapat mengajukan penawaran Lelang SBN dalam Rupiah
namun hanya dengan cara Penawaran Pembelian Nonkompetitif
(Non-competitive Bidding).
Pasal 10
(1) Lelang SBN dalam Rupiah dilakukan pada hari Selasa
antara pukul 10.00 WIB sampai dengan pukul 12.00 WIB
atau hari kerja dan/atau waktu lain yang ditetapkan
Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko
untuk dan atas nama Menteri.
(2) Dalam hal terdapat perubahan jadwal pelaksanaan Lelang
SBN dalam Rupiah, Bank Indonesia mengumumkan
perubahan jadwal pelaksanaan lelang sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) melalui Sistem LHBU dan/atau
sarana lain yang digunakan Bank Indonesia.
Pasal 11
Pengajuan penawaran Lelang SBN dalam Rupiah menggunakan
Sistem BI-ETP atau sarana lain yang ditetapkan Bank Indonesia.
Pasal 12
(1) Dealer Utama atau Peserta Lelang harus memperhatikan
Batas Paling Tinggi Nominal Penawaran (Broker Bidding
Limit) per hari dalam pengajuan penawaran Lelang SBN
dalam Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat
(2) dan Pasal 7 ayat (2).
(2) Penetapan Batas Paling Tinggi Nominal Penawaran (Broker
Bidding Limit) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
diatur dalam suatu perjanjian antara Bank dengan Dealer
Utama atau Peserta Lelang.
Pasal 13
(1) Bank Indonesia mengumumkan rencana Lelang SBN
dalam Rupiah paling lambat 1 (satu) hari kerja sebelum
10
hari pelaksanaan Lelang SBN dalam Rupiah melalui
Sistem BI-ETP, Sistem LHBU, dan/atau sarana lain yang
digunakan Bank Indonesia.
(2) Pengumuman rencana Lelang SBN dalam Rupiah paling
sedikit memuat:
a.
b.
c.
d.
jenis dan seri SBN;
tanggal pelaksanaan lelang;
target indikatif yang ditawarkan;
tanggal penerbitan dan tanggal jatuh tempo;
e. mata uang;
f. waktu pembukaan dan penutupan penawaran;
g.
tanggal Setelmen;
h. sarana pengajuan penawaran lelang;
i.
alokasi untuk Penawaran Pembelian Nonkompetitif
(Non-competitive Bidding), dalam hal dilakukan
kombinasi lelang kompetitif dan nonkompetitif untuk
lelang SBN dalam Rupiah; dan
j. daftar nama Peserta Transaksi.
Pasal 14
(1) Peserta Transaksi mengajukan:
a. penawaran nominal dan tingkat diskonto atau tingkat
Imbal Hasil (Yield) atau harga (price) untuk Penawaran
Pembelian Kompetitif (Competitive Bidding); dan/atau
b. penawaran nominal untuk Penawaran Pembelian
Nonkompetitif (Non-competitive Bidding),
pada hari pelaksanaan Lelang SBN dalam Rupiah.
(2) Peserta Transaksi mengajukan penawaran Lelang SBN
dalam Rupiah untuk Penawaran Pembelian Kompetitif
(Competitive Bidding), dengan ketentuan sebagai berikut:
a. pengajuan penawaran nominal dari masing-masing
Peserta Transaksi paling sedikit Rp1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah) dan selebihnya dengan kelipatan
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah);
b. dalam hal lelang SUN dalam Rupiah, penawaran
diskonto atau tingkat Imbal Hasil (Yield) diajukan
dengan kelipatan 1/100 (satu per seratus) atau 0,01
11
(nol koma nol satu);
c. dalam hal lelang SBSN dalam Rupiah, penawaran
tingkat Imbal Hasil (Yield) diajukan dengan kelipatan
1/32 (satu per tiga puluh dua) atau 0,03125 (nol
koma nol tiga satu dua lima) untuk imbalan tetap dan
SBSN tanpa kupon (zero coupon bond); dan
d. penawaran harga (price) diajukan dengan kelipatan
0,05% (nol koma nol lima persen).
(3) Peserta Transaksi yang mengajukan penawaran Lelang
SBN dalam Rupiah untuk Penawaran Pembelian
Nonkompetitif (Non-competitive Bidding) melakukan
pengajuan penawaran nominal sesuai dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a.
(4) Peserta Transaksi bertanggung jawab atas kebenaran data
penawaran pembelian Lelang SBN dalam Rupiah.
(5) Peserta Transaksi dapat melakukan koreksi atas setiap
penawaran pembelian yang diajukan dalam periode waktu
(window time) transaksi Lelang SBN dalam Rupiah.
(6) Peserta Transaksi yang telah mengajukan penawaran
pembelian Lelang SBN dalam Rupiah tidak dapat
membatalkan penawaran.
Pasal 15
Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko untuk
dan atas nama Menteri menetapkan hasil Lelang SBN dalam
Rupiah pada tanggal pelaksanaan lelang, yang mencakup:
a. pemenang lelang;
b. nilai nominal;
c.
tingkat Imbal Hasil (Yield) atau harga (price) untuk lelang
SUN dalam Rupiah atau tingkat imbalan dan/atau diskonto
untuk lelang SBSN dalam Rupiah; dan
d.
jenis dan nilai aset SBSN untuk lelang SBSN dalam
Rupiah.
12
Pasal 16
(1) Bank Indonesia mengumumkan hasil Lelang SBN dalam
Rupiah yang telah ditetapkan oleh Direktur Jenderal
Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko untuk dan atas nama
Menteri kepada publik melalui Sistem BI-ETP, Sistem LHBU
dan/atau sarana lain yang digunakan oleh Bank Indonesia
pada akhir hari pelaksanaan Lelang SBN dalam Rupiah.
(2) Bank Indonesia menyampaikan pengumuman hasil Lelang
SBN dalam Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Pengumuman kepada seluruh Peserta Transaksi paling
sedikit memuat:
1.
jenis dan seri SBN;
2. mata uang;
3. kuantitas lelang secara keseluruhan;
4.
tingkat bunga atau tingkat imbalan untuk
Obligasi Negara atau SBSN Jangka Panjang
dengan kupon;
5.
rata-rata tertimbang tingkat imbalan dan/atau
diskonto, tingkat Imbal Hasil (Yield), atau harga
(price); dan
6.
tanggal jatuh tempo.
b. Pengumuman kepada setiap pemenang Lelang SBN
dalam Rupiah melalui Sistem BI-ETP paling sedikit
memuat:
1. nama pemenang;
2. nilai nominal yang dimenangkan; dan
3.
tingkat diskonto, tingkat Imbal Hasil (Yield), atau
harga (price).
(3) Dalam hal Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan
Risiko untuk dan atas nama Menteri menetapkan tidak
ada pemenang lelang, Bank Indonesia mengumumkan
penetapan tersebut melalui Sistem BI-ETP, Sistem LHBU,
dan/atau sarana lain yang digunakan Bank Indonesia.
13
BAB III
PELAKSANAAN LELANG SBN TAMBAHAN
Pasal 17
(1) Bank Indonesia menyelenggarakan Lelang SBN Tambahan
berdasarkan rencana yang ditetapkan Direktur Jenderal
Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko untuk dan atas nama
Menteri.
(2) Lelang SBN Tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) terdiri atas Lelang SUN Tambahan dan/atau Lelang
SBSN Tambahan.
Pasal 18
(1) Peserta Transaksi pada lelang SUN Tambahan adalah Peserta
Transaksi lelang SUN dalam Rupiah yang telah mengajukan
Penawaran Pembelian Nonkompetitif (Non-competitive
Bidding) pada lelang SUN.
(2) Peserta Transaksi yang dapat mengajukan penawaran
pada lelang SUN Tambahan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) adalah sebagai berikut:
a. untuk lelang SPN dapat diikuti oleh Dealer Utama,
Bank Indonesia, dan/atau LPS dengan mengajukan
Penawaran Pembelian Nonkompetitif (Non-competitive
Bidding); dan
b. untuk lelang Obligasi Negara dapat diikuti oleh Dealer
Utama dan/atau LPS dengan mengajukan Penawaran
Pembelian Nonkompetitif (Non-competitive Bidding).
(3) Dealer Utama dapat mengajukan penawaran lelang SUN
Tambahan atas nama diri sendiri dan/atau atas nama
pihak lain selain Bank Indonesia dan LPS sesuai dengan
Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai
lelang surat utang negara dalam mata uang Rupiah dan
valuta asing di pasar perdana domestik.
Pasal 19
(1) Peserta Transaksi pada lelang SBSN Tambahan terdiri
14
atas:
a. Bank Indonesia;
b. LPS;dan/atau
c. Peserta Lelang,
yang menyampaikan penawaran pembelian dalam lelang
SBSN.
(2) Peserta Transaksi pada lelang SBSN Tambahan diatur
sebagai berikut:
a. untuk Lelang SBSN Jangka Pendek hanya dapat
diikuti oleh Bank Indonesia;
b. untuk Lelang SBSN Jangka Panjang dapat diikuti
oleh LPS dan/atau Peserta Lelang.
Pasal 20
(1) Lelang SBN Tambahan dilaksanakan pada hari kerja antara
pukul 10.00 WIB sampai dengan pukul 12.00 WIB atau pada
waktu lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal
Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko untuk dan atas nama
Menteri.
(2) Dalam hal Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan
Risiko untuk dan atas nama Menteri menetapkan waktu
lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia
mengumumkan perubahan tersebut melalui Sistem LHBU
dan/atau sarana lain yang digunakan Bank Indonesia.
Pasal 21
Pengajuan penawaran Lelang SBN Tambahan menggunakan
Sistem BI-ETP atau sarana lain yang ditetapkan Bank
Indonesia.
Pasal 22
(1) Bank Indonesia mengumumkan rencana Lelang SBN
Tambahan melalui Sistem BI-ETP, Sistem LHBU,
dan/atau sarana lain yang digunakan Bank Indonesia
setelah penetapan hasil Lelang SBN dalam Rupiah oleh
Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko
15
untuk dan atas nama Menteri.
(2) Pengumuman rencana Lelang SBN Tambahan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit
memuat:
a.
jenis dan seri SBN;
b. daftar nama peserta Lelang SBN Tambahan;
c.
d.
tanggal dan waktu pelaksanaan Lelang SBN
Tambahan; dan
rata-rata tertimbang tingkat imbalan dan/atau
diskonto, tingkat Imbal Hasil (Yield), atau harga (price).
Pasal 23
(1) Penawaran pembelian pada lelang SUN Tambahan
dilakukan dengan mengajukan volume penawaran SUN.
(2) Pengajuan penawaran pada lelang SUN Tambahan
dibatasi paling banyak sebesar Penawaran Pembelian
Nonkompetitif (Non-competitive Bidding) dalam lelang SUN
pada masing-masing seri SUN yang ditawarkan.
Pasal 24
(1) Penawaran pembelian pada lelang SBSN Tambahan
dilakukan dengan Penawaran Pembelian Nonkompetitif
(Non-Competitive Bidding).
(2) Total penawaran pembelian setiap peserta lelang SBSN
Tambahan dibatasi paling tinggi sebesar total penawaran
pembelian setiap peserta pada lelang SBSN untuk seri
SBSN yang ditawarkan dalam lelang SBSN Tambahan.
Pasal 25
(1) Peserta Transaksi mengajukan penawaran nominal pada
hari pelaksanaan Lelang SBN Tambahan.
(2) Pengajuan penawaran nominal sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) mengacu pada ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) huruf a.
(3) Peserta Transaksi bertanggung jawab atas kebenaran data
penawaran pembelian Lelang SBN Tambahan.
(4) Peserta Transaksi dapat melakukan koreksi atas setiap
16
penawaran pembelian yang diajukan dalam periode waktu
(window time) transaksi Lelang SBN Tambahan.
(5) Peserta Transaksi yang telah mengajukan penawaran
pembelian Lelang SBN Tambahan tidak dapat
membatalkan penawaran.
Pasal 26
Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko untuk
dan atas nama Menteri menetapkan hasil Lelang SBN Tambahan
yang paling sedikit mencakup nama pemenang dan nilai nominal.
Pasal 27
(1) Bank Indonesia mengumumkan hasil Lelang SBN
Tambahan yang telah ditetapkan oleh Direktur Jenderal
Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko untuk dan atas nama
Menteri melalui Sistem BI-ETP, Sistem LHBU, dan/atau
sarana lain yang digunakan Bank Indonesia pada akhir
hari pelaksanaan Lelang SBN Tambahan.
(2) Bank Indonesia menyampaikan pengumuman hasil Lelang
SBN Tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dengan ketentuan sebagai berikut:
a. pengumuman kepada seluruh Peserta Transaksi
paling sedikit memuat seri SBN dan nilai nominal;
dan
b. pengumuman kepada setiap pemenang Lelang SBN
Tambahan melalui Sistem BI-ETP paling sedikit memuat
nama pemenang dan nilai nominal yang dimenangkan.
BAB IV
PELAKSANAAN LELANG SUN DALAM VALUTA ASING
Pasal 28
Bank Indonesia menyelenggarakan lelang SUN dalam valuta
asing berdasarkan rencana yang ditetapkan oleh Direktur
Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko untuk dan atas
nama Menteri.
17
Pasal 29
(1) Pihak yang dapat membeli SUN dalam valuta asing dalam
lelang terdiri atas:
a. orang perseorangan warga negara Indonesia yang
bertempat tinggal di Indonesia;
b. perusahaan, usaha bersama, asosiasi, atau kelompok
yang terorganisasi baik dari Indonesia ataupun asing,
yang didirikan atau bertempat kedudukan di wilayah
Republik Indonesia; atau
c. LPS.
(2) Pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan
huruf b dapat membeli SUN dalam valuta asing dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. memenuhi persyaratan administrasi; dan
b.
teregistrasi dalam daftar investor residen,
sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri
Keuangan yang mengatur mengenai lelang surat utang
negara dalam mata uang Rupiah dan valuta asing di pasar
perdana domestik.
(3) Pihak yang telah memenuhi ketentuan dalam Peraturan
Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
mengikuti lelang SUN dalam valuta asing melalui Dealer
Utama.
Pasal 30
(1) Peserta Transaksi lelang SUN dalam valuta asing terdiri
atas Dealer Utama dan/atau LPS.
(2) Peserta Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat mengajukan penawaran untuk SPN dan/atau
Obligasi Negara dalam valuta asing.
(3) Dealer Utama dapat mengajukan penawaran pembelian
lelang SUN dalam valuta asing atas nama diri sendiri
dan/atau atas nama pihak lain selain LPS sesuai dengan
Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai
lelang surat utang negara dalam mata uang Rupiah dan
valuta asing di pasar perdana domestik.
(4) LPS mengajukan penawaran lelang SUN dalam valuta
18
asing hanya untuk dan atas nama diri sendiri.
Pasal 31
(1) Penawaran lelang SUN dalam valuta asing dilakukan
dengan mengajukan Penawaran Pembelian Kompetitif
(Competitive Bidding) dan/atau Penawaran Pembelian
Nonkompetitif (Non-competitive Bidding) dalam suatu
periode waktu (window time) penawaran yang telah
ditentukan dan diumumkan sebelumnya.
(2) Dealer Utama mengajukan penawaran lelang SUN dalam
valuta asing untuk dan atas nama diri sendiri, atau untuk
dan atas nama pihak lain selain LPS, dengan tata cara
sebagai berikut:
a. penawaran pada lelang SPN dalam valuta asing
dilakukan dengan cara Penawaran Pembelian
Kompetitif (Competitive Bidding); dan
b. penawaran pada lelang Obligasi Negara dalam valuta
asing dilakukan dengan cara Penawaran Pembelian
Kompetitif (Competitive Bidding) dan/atau Penawaran
Pembelian Nonkompetitif (Non-competitive Bidding).
(3) LPS dapat mengajukan penawaran lelang SUN dalam
valuta asing berupa SPN dan Obligasi Negara dalam valuta
asing dengan tata cara sebagai berikut:
a. penawaran dilakukan secara langsung tanpa melalui
Dealer Utama; dan
b. penawaran hanya dilakukan dengan cara Penawaran
Pembelian Nonkompetitif (Non-competitive Bidding).
Pasal 32
(1) Lelang SUN dalam valuta asing dilaksanakan pada hari
Senin antara pukul 09.00 WIB sampai dengan pukul 11.00
WIB atau pada hari kerja dan/atau waktu lain yang
ditetapkan Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan
Risiko untuk dan atas nama Menteri.
(2) Dalam hal terdapat perubahan jadwal lelang SUN dalam
valuta asing, Bank Indonesia mengumumkan perubahan
jadwal pelaksanaan lelang sebagaimana dimaksud pada ayat
19
(1) melalui Bloomberg, Sistem LHBU, dan/atau sarana lain
yang digunakan Bank Indonesia.
Pasal 33
Pengajuan penawaran lelang SUN dalam valuta asing
menggunakan terminal Bloomberg atau sarana lain yang
ditetapkan Bank Indonesia.
Pasal 34
(1) Bank yang mengajukan penawaran lelang SUN dalam valuta
asing melalui Dealer Utama harus menetapkan Batas
Paling Tinggi Nominal Penawaran (Broker Bidding Limit)
per hari untuk lelang SUN dalam valuta asing bagi Dealer
Utama.
(2) Peserta Transaksi yang tidak memiliki Rekening Surat
Berharga yang mengajukan penawaran lelang SUN dalam
valuta asing harus menunjuk Sub-Registry untuk
pelaksanaan Setelmen hasil lelang SUN dalam valuta
asing.
(3) Sub-Registry yang ditunjuk untuk pelaksanaan Setelmen
hasil lelang SUN dalam valuta asing sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) harus menetapkan Batas Paling Tinggi Nominal
Penawaran (Broker Bidding Limit) per hari untuk lelang SUN
dalam valuta asing bagi Peserta Transaksi untuk kepentingan
nasabah Sub-Registry.
(4) Penetapan Batas Paling Tinggi Nominal Penawaran (Broker
Bidding Limit) per hari untuk lelang SUN dalam valuta
asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3)
harus diatur dalam suatu perjanjian antara Bank atau
Sub-Registry dengan Dealer Utama.
Pasal 35
(1) Bank Indonesia mengirimkan surat permintaan kepada
Peserta Transaksi untuk menyampaikan paling banyak 2
(dua) nama pegawai yang ditunjuk untuk melakukan
transaksi lelang SUN dalam valuta asing melalui terminal
Bloomberg sebelum pelaksanaan lelang SUN dalam valuta
20
asing yang pertama kali dilakukan oleh Peserta Transaksi.
(2) Berdasarkan surat Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Peserta Transaksi menyampaikan
nama pegawai yang ditunjuk untuk melakukan transaksi
lelang SUN dalam valuta asing melalui surat dan dapat
disampaikan terlebih dahulu melalui faksimile, dengan
menggunakan format sebagaimana tercantum dalam
Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
(3) Surat dan faksimile sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
disampaikan kepada Bank Indonesia dengan alamat
sebagai berikut:
Bank Indonesia
Departemen Pengelolaan Moneter (DPM)
Grup Operasi Moneter (GOpM)
Menara Sjafruddin Prawiranegara, Lantai 13
Jl. M. H. Thamrin No.2
Jakarta 10350
Telepon 021-29818350 dan 021-29818351
Faksimile 021-2310347.
(4) Dalam hal terdapat perubahan alamat surat-menyurat
dan sarana komunikasi, Bank Indonesia memberitahukan
perubahan tersebut melalui surat dan/atau media lain.
(5) Dalam hal terdapat perubahan atau pergantian pegawai
yang ditunjuk untuk melakukan transaksi lelang SUN
dalam valuta asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Peserta Transaksi menyampaikan pengkinian data melalui
surat kepada Bank Indonesia – Departemen Pengelolaan
Moneter c.q. Grup Operasi Moneter dengan menggunakan
format sebagaimana dimaksud dalam Lampiran I.
Pasal 36
(1) Bank Indonesia mengumumkan rencana lelang paling
lambat 1 (satu) hari kerja sebelum hari pelaksanaan lelang
SUN dalam valuta asing dengan pemberitahuan kepada
pegawai yang telah ditunjuk oleh Peserta Transaksi
melalui terminal Bloomberg, pengumuman melalui Sistem
21
LHBU, dan/atau sarana lain yang digunakan Bank
Indonesia.
(2) Pengumuman rencana lelang SUN dalam valuta asing
paling sedikit memuat:
a.
b.
c.
d.
jenis dan seri;
tanggal pelaksanaan lelang;
target indikatif yang ditawarkan;
tanggal penerbitan dan tanggal jatuh tempo;
e. mata uang;
f. waktu pembukaan dan penutupan penawaran;
g. waktu pengumuman hasil lelang;
h. tanggal Setelmen;
i.
alokasi untuk Penawaran Pembelian Nonkompetitif
(Non-competitive Bidding), dalam hal dilakukan
kombinasi lelang kompetitif dan nonkompetitif; dan
j. daftar nama Peserta Transaksi lelang.
(3) Dalam hal dilakukan kombinasi lelang kompetitif dan
lelang nonkompetitif, kombinasi
lelang dimaksud
dilakukan pada 2 (dua) lelang yang berbeda yaitu lelang
kompetitif dan lelang nonkompetitif.
Pasal 37
(1) Peserta Transaksi mengajukan penawaran pada hari
pelaksanaan lelang SUN dalam valuta asing, dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. Penawaran Pembelian Kompetitif (Competitive
Bidding) memuat informasi yaitu:
1. kuantitas penawaran;
2.
tingkat diskonto atau tingkat Imbal Hasil (Yield)
atau harga (price); dan
3. kode investor yang diterbitkan oleh Direktur
Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko -
Kementerian Keuangan Republik Indonesia,
yang terdiri atas 7 (tujuh) angka dengan format
penulisan xxx-yyyy.
Contoh penulisan kode investor: 123-0000
22
123 : 3 (tiga) angka pertama merupakan
informasi kode Peserta BI-SSSS; dan
0000 : 4 (empat) angka terakhir merupakan
informasi nomor investor non-Bank atau
diisi dengan “0000” dalam hal investor
adalah Bank; dan
b. Penawaran Pembelian Nonkompetitif (Non-competitive
Bidding) memuat informasi sebagai berikut:
1. kuantitas penawaran; dan
2. kode investor sebagaimana dimaksud dalam
huruf a angka 3.
(2) Peserta Transaksi mengajukan penawaran lelang SUN
dalam valuta asing untuk Penawaran Pembelian
Kompetitif (Competitive Bidding), dengan ketentuan
sebagai berikut:
a. pengajuan penawaran nominal dari setiap Peserta
Transaksi paling sedikit USD100,000.00 (seratus ribu
Dolar Amerika Serikat) dan selebihnya dengan
kelipatan USD10,000.00 (sepuluh ribu Dolar Amerika
Serikat);
b. penawaran diskonto atau tingkat Imbal Hasil (Yield)
diajukan dengan kelipatan 1/100 (satu per seratus)
atau 0,01 (nol koma nol satu); dan
c. penawaran harga (price) diajukan dengan kelipatan
0,05% (nol koma nol lima persen).
(3) Dalam hal Peserta Transaksi mengajukan penawaran
lelang SUN dalam valuta asing dengan cara Penawaran
Pembelian Nonkompetitif (Non-competitive Bidding),
pengajuan penawaran nominal dilakukan sesuai dengan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a.
Pasal 38
(1) Peserta Transaksi harus menyampaikan penawaran lelang
SUN dalam valuta asing dengan informasi yang lengkap
dan benar berdasarkan dokumen instruksi transaksi.
(2) Peserta Transaksi bertanggung jawab atas kebenaran data
penawaran pembelian lelang SUN dalam valuta asing.
23
(3) Peserta Transaksi dapat melakukan koreksi atas setiap
penawaran lelang SUN dalam valuta asing yang diajukan
dalam periode waktu (window time) transaksi lelang SUN
dalam valuta asing.
(4) Peserta Transaksi yang telah mengajukan penawaran
lelang SUN dalam valuta asing tidak dapat membatalkan
penawaran.
Pasal 39
Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko untuk
dan atas nama Menteri menetapkan hasil lelang SUN dalam
valuta asing yang paling sedikit mencakup:
a. pemenang lelang;
b. nilai nominal; dan
c.
tingkat diskonto atau tingkat Imbal Hasil (Yield) atau
harga (price).
Pasal 40
(1) Bank Indonesia mengumumkan hasil lelang SUN dalam
valuta asing yang telah ditetapkan oleh Direktur Jenderal
Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko untuk dan atas nama
Menteri kepada seluruh Peserta Transaksi dan kepada
masing-masing pemenang lelang SUN dalam valuta asing.
(2) Pengumuman kepada seluruh Peserta Transaksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. pengumuman hasil lelang SUN dalam valuta asing
dilakukan melalui Sistem LHBU dan/atau sarana
lain yang digunakan oleh Bank Indonesia pada akhir
hari pelaksanaan lelang SUN dalam valuta asing;
b. pengumuman sebagaimana dimaksud dalam huruf a
paling sedikit memuat:
1.
jenis dan seri;
2. mata uang;
3. kuantitas lelang secara keseluruhan;
4.
tingkat bunga untuk Obligasi Negara dalam
valuta asing dengan kupon;
24
5.
6.
rata-rata tertimbang tingkat diskonto, tingkat
Imbal Hasil (Yield) atau harga (price); dan
tanggal jatuh tempo;
(3) Pengumuman kepada masing-masing pemenang lelang
SUN dalam valuta asing dilakukan dengan ketentuan
sebagai berikut:
a. pengumuman hasil lelang SUN dalam valuta asing
dilakukan melalui terminal Bloomberg kepada
masing-masing pegawai yang ditunjuk oleh Peserta
Transaksi yang dimenangkan pada lelang SUN dalam
valuta asing;
b. pengumuman sebagaimana dimaksud dalam huruf a
paling sedikit memuat:
1. nama pemenang;
2. nilai nominal; dan
3.
tingkat diskonto, tingkat Imbal Hasil (Yield) atau
harga (price).
BAB V
KEADAAN TIDAK NORMAL PADA PELAKSANAAN LELANG
SBN, LELANG SBN TAMBAHAN DAN LELANG SUN DALAM
VALUTA ASING
Pasal 41
(1) Dalam hal terjadi keadaan tidak normal pada pelaksanaan
Lelang SBN dan/atau Lelang SBN Tambahan yang
mempengaruhi kelancaran pelaksanaan pada tahapan
persiapan dan tahapan pelaksanaan, Bank Indonesia akan
mengumumkan keputusan Direktur Jenderal Pengelolaan
Pembiayaan dan Risiko untuk dan atas nama Menteri
terhadap pelaksanaan lelang dan Setelmen melalui Sistem
LHBU dan/atau sarana komunikasi lain yang digunakan
Bank Indonesia.
(2) Keadaan tidak normal sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) terjadi dalam hal terdapat situasi atau kondisi yang
mengakibatkan adanya gangguan atau kerusakan pada
perangkat keras, perangkat lunak, jaringan komunikasi,
25
aplikasi, maupun sarana pendukung yang ada pada
Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko
dan/atau Bank Indonesia.
Pasal 42
(1) Peserta Transaksi yang mengalami gangguan pada terminal
dan/atau jaringan Bloomberg yang dimiliki Peserta
Transaksi yang menyebabkan Peserta Transaksi tidak dapat
mengajukan penawaran lelang SUN dalam valuta asing dapat
menggunakan fasilitas back-up terminal Bloomberg yang ada
di Bank Indonesia.
(2) Dalam hal jumlah Peserta Transaksi yang mengajukan
permohonan penggunaan fasilitas back-up terminal
Bloomberg melebihi jumlah terminal yang tersedia, Bank
Indonesia menetapkan batas waktu penggunaan fasilitas
back-up terminal Bloomberg.
Pasal 43
(1) Peserta Transaksi yang menggunakan fasilitas back up
terminal Bloomberg sebagaimana dimaksud dalam Pasal
42 ayat (1) mengajukan permohonan penggunaan fasilitas
back-up terminal Bloomberg disertai dengan informasi
data penawaran lelang SUN dalam valuta asing.
(2) Permohonan yang disertai dengan informasi data penawaran
lelang SUN dalam valuta asing sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) disampaikan melalui surat dan dapat disampaikan
terlebih dahulu melalui faksimile, dengan menggunakan
format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini.
(3) Penyampaian surat melalui faksimile dilakukan paling
lambat 30 (tiga puluh) menit sebelum penggunaan fasilitas
back-up terminal Bloomberg.
(4) Surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
paling sedikit memuat:
a. permohonan penggunaan fasilitas back-up terminal
26
Bloomberg;
b. alasan menggunakan fasilitas back-up terminal
Bloomberg;
c. nama pegawai yang ditunjuk oleh Peserta Transaksi
untuk menggunakan fasilitas back-up terminal
Bloomberg; dan
d. pernyataan bahwa Peserta Transaksi yang
bersangkutan membebaskan Bank Indonesia dari
tanggung jawab atas segala kerugian yang timbul
pada Peserta Transaksi (indemnity) sehubungan
dengan penggunaan fasilitas back-up terminal
Bloomberg.
(5) Surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
ditandatangani oleh pejabat yang berwenang dari Peserta
Transaksi yang telah memiliki spesimen tanda tangan di
Bank Indonesia yang ditatausahakan oleh penyelenggara BI-
ETP.
(6) Surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
ditujukan kepada Bank Indonesia - Departemen Pengelolaan
Moneter c.q. Grup Operasi Moneter dengan alamat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (3) dengan
tembusan kepada:
Departemen Penyelenggaraan Sistem Pembayaran c.q.
Divisi Setelmen Dana dan Penatausahaan Surat Berharga
Gedung D, Lantai 3
Jl. M. H. Thamrin No.2
Jakarta-10350
Telepon 021-29818888
Faksimile 021-2311476.
Pasal 44
(1) Penawaran lelang SUN dalam valuta asing yang diajukan
oleh Peserta Transaksi melalui fasilitas back-up terminal
Bloomberg harus sesuai dengan informasi data penawaran
lelang SUN dalam valuta asing sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 43 ayat (1).
(2) Peserta Transaksi menyampaikan data penawaran lelang
27
SUN dalam valuta asing yang telah diajukan melalui
fasilitas back-up terminal Bloomberg kepada Bank
Indonesia untuk dicocokkan dengan informasi data
penawaran lelang SUN dalam valuta asing sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 43 ayat (1) setelah penawaran
selesai dilakukan.
(3) Peserta Transaksi yang mengajukan penawaran lelang
SUN dalam valuta asing melalui fasilitas back-up terminal
Bloomberg tidak dapat melakukan perubahan data
penawaran yang telah diajukan.
(4) Peserta Transaksi yang mengajukan penawaran lelang
SUN dalam valuta asing melalui fasilitas back-up terminal
Bloomberg bertanggung jawab atas kebenaran dan
kesesuaian data penawaran lelang SUN dalam valuta asing
yang diajukan.
(5) Peserta Transaksi bertanggung jawab atas segala kerugian
yang timbul sehubungan dengan pelaksanaan transaksi
melalui fasilitas back-up terminal Bloomberg sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1).
BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 45
Pada saat Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai
berlaku, ketentuan mengenai tata cara lelang surat berharga
negara di pasar perdana sebagaimana diatur dalam Surat
Edaran Bank Indonesia Nomor 17/32/DPSP tanggal 13
November 2015 perihal Tata Cara Lelang Surat Berharga
Negara di Pasar Perdana dan Penatausahaan Surat Berharga
Negara, sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir
dengan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 18/36/DPSP
tanggal 16 Desember 2016 perihal Perubahan atas Surat
Edaran Bank Indonesia Nomor 17/32/DPSP tanggal 13
November 2015 perihal Tata Cara Lelang Surat Berharga
Negara di Pasar Perdana dan Penatausahaan Surat Berharga
Negara, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
28
Pasal 46
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada
tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengumuman Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 10 Februari 2017
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR,
ERWIN RIJANTO
"," PADG
19/1/PADG/2017
PELAKSANAAN LELANG SURAT BERHARGA NEGARA DI PASAR PERDANA
10 Februari 2017
10 Februari 2017
'17/32/DPSP|SE-BI/2015', '18/36/DPSP|SE-BI/2016'
'17/19/PBI/2015', '17/18/PBI/2015', '10/13/PBI/2008'
"
" PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 20/14/PADG/2018
TENTANG
LAPORAN PASAR UANG NONBANK DAN KUSTODIAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa guna pelaksanaan tugas Bank Indonesia di sektor
moneter, makroprudensial, serta sistem pembayaran dan
pengelolaan uang rupiah yang lebih efektif diperlukan
dukungan informasi secara tepat waktu, aman, akurat,
andal, objektif, lengkap, dan mudah untuk diakses secara
simultan;
b. bahwa untuk menyediakan informasi yang berkualitas,
diperlukan pengembangan sistem pelaporan pasar uang
nonbank dan kustodian sebagai pedoman bagi pelapor
dalam menyusun dan menyampaikan laporan pasar uang
nonbank dan kustodian;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan
Anggota Dewan Gubernur tentang Laporan Pasar Uang
Nonbank dan Kustodian;
Mengingat
: 1. Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/11/PBI/2016
tentang Pasar Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2016 Nomor 148, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5909);
2
2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/2/PBI/2017 tentang
Transaksi Sertifikat Deposito di Pasar Uang (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 50,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
6034);
3. Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/9/PBI/2017 tentang
Penerbitan dan Transaksi Surat Berharga Komersial di
Pasar Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2017 Nomor 164, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 6100);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG
LAPORAN PASAR UANG NONBANK DAN KUSTODIAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang dimaksud
dengan:
1. Pasar Uang adalah bagian dari sistem keuangan yang
bersangkutan dengan kegiatan perdagangan, pinjam
meminjam, atau pendanaan berjangka pendek sampai
dengan 1 (satu) tahun dalam mata uang rupiah dan valuta
asing, yang berperan dalam transmisi kebijakan moneter,
pencapaian stabilitas sistem keuangan, serta kelancaran
sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah.
2. Perusahaan Efek adalah perusahaan efek sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur
mengenai pasar modal.
3. Perusahaan Pialang Pasar Uang Rupiah dan Valuta Asing
yang selanjutnya disebut Perusahaan Pialang adalah
perusahaan pialang sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
perusahaan pialang pasar uang rupiah dan valuta asing.
3
4. Kustodian adalah kustodian sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai pasar
modal.
5. Pelapor adalah Perusahaan Efek, Perusahaan Pialang, dan
Kustodian.
6. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan
termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di
luar negeri serta bank umum syariah dan unit usaha
syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
yang mengatur mengenai perbankan syariah.
7. Laporan Pasar Uang Nonbank dan Kustodian yang
selanjutnya disebut LPU adalah laporan yang disusun dan
disampaikan oleh Pelapor secara periodik kepada Bank
Indonesia.
8. Sistem Laporan Pasar Uang yang selanjutnya disebut
Sistem LPU adalah sistem penerimaan (capturing) LPU
yang berbasis web yang disampaikan Pelapor melalui
jaringan internet.
9.
Instrumen Pasar Uang adalah instrumen yang
ditransaksikan di Pasar Uang yang meliputi instrumen
yang diterbitkan dengan jangka waktu sampai dengan 1
(satu) tahun, sertifikat deposito, dan instrumen lain yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia, termasuk yang
berdasarkan prinsip syariah.
10. Penyampaian Laporan Secara Online yang selanjutnya
disebut Online adalah penyampaian laporan yang
dilakukan dengan mengirim rekaman data secara
langsung melalui jaringan komunikasi data kepada Bank
Indonesia.
11. Penyampaian Laporan Secara Offline yang selanjutnya
disebut Offline adalah penyampaian laporan yang
dilakukan dengan menyampaikan rekaman data dalam
bentuk media perekaman data elektronik kepada Bank
Indonesia.
12. Hari Kerja adalah hari kerja Bank Indonesia yang
mewilayahi Pelapor.
4
BAB II
PELAPOR DAN RUANG LINGKUP DATA LPU
Bagian Kesatu
Pelapor LPU
Pasal 2
Pelapor LPU terdiri atas:
a. kantor pusat dari Perusahaan Efek;
b. kantor pusat dari Perusahaan Pialang; dan
c. kantor pusat dari Bank yang melaksanakan kegiatan
Kustodian.
Bagian Kedua
Ruang Lingkup Data LPU
Pasal 3
(1) Pelapor harus menyusun LPU.
(2) Penyusunan LPU sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi data perdagangan Instrumen Pasar Uang di pasar
sekunder.
Pasal 4
Data perdagangan Instrumen Pasar Uang di pasar sekunder
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) disusun dalam
form 301 sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota
Dewan Gubernur ini.
Pasal 5
(1) Data perdagangan Instrumen Pasar Uang di pasar
sekunder sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2)
yang dilaporkan oleh Perusahaan Efek sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 huruf a meliputi:
5
a. seluruh transaksi untuk kepentingan sendiri,
kecuali:
1. lawan transaksi berupa Bank; atau
2. salah satu perantara transaksi yaitu Bank;
b. seluruh transaksi dalam hal Perusahaan Efek
menjadi perantara transaksi untuk kepentingan
nasabah, kecuali:
1. nasabah berupa Bank atau Perusahaan Efek;
2. lawan transaksi yaitu Bank atau Perusahaan
Efek; atau
3. perantara transaksi pihak lawan yaitu Bank; dan
c. seluruh transaksi dalam hal Perusahaan Efek
bertindak sebagai Kustodian dan transaksi dilakukan
secara langsung oleh nasabah, kecuali:
1. nasabah berupa Bank atau Perusahaan Efek;
atau
2. lawan transaksi yaitu Bank atau Perusahaan
Efek.
(2) Data perdagangan Instrumen Pasar Uang di pasar
sekunder sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2)
yang dilaporkan oleh Perusahaan Pialang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 huruf b meliputi seluruh
transaksi dalam hal Perusahaan Pialang menjadi
perantara transaksi untuk kepentingan nasabah, kecuali:
a. nasabah berupa Bank atau Perusahaan Efek;
b. lawan transaksi yaitu Bank atau Perusahaan Efek;
atau
c. perantara transaksi pihak lawan yaitu Bank atau
Perusahaan Efek.
(3) Data perdagangan Instrumen Pasar Uang di pasar
sekunder sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2)
yang dilaporkan oleh Bank yang melaksanakan kegiatan
Kustodian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c
meliputi seluruh transaksi dalam hal Bank bertindak
sebagai Kustodian dan transaksi dilakukan secara
langsung oleh nasabah, kecuali:
6
a. nasabah berupa Bank atau Perusahaan Efek; atau
b. lawan transaksi yaitu Bank atau Perusahaan Efek.
BAB III
TATA CARA PENYAMPAIAN LPU
Bagian Kesatu
Prosedur Teknis Penyampaian LPU
Pasal 6
(1) Pelapor harus menyampaikan LPU kepada Bank Indonesia
secara lengkap, akurat, benar, dan tepat waktu.
(2) Pelapor harus menyampaikan koreksi LPU apabila
terdapat kesalahan data pada LPU yang telah disampaikan
kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat
(1).
(3) Penyampaian LPU sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan/atau koreksi LPU sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) kepada Bank Indonesia dilakukan secara Online.
(4) Sebelum menyampaikan LPU sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan/atau koreksi LPU sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), Pelapor harus melakukan validasi
teknis sesuai dengan pedoman penyusunan dan petunjuk
teknis LPU yang tercantum dalam Lampiran I.
(5) Setelah menyampaikan LPU sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan/atau koreksi LPU sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), Pelapor harus memastikan bahwa status
data LPU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2)
telah matching dengan data Pelapor lain sebagai lawan
transaksi, melalui laporan absensi LPU.
Pasal 7
(1) Untuk penyusunan dan penyampaian LPU, Bank
Indonesia memberikan hak akses berupa 1 (satu) user ID
dan password terhadap Sistem LPU kepada Pelapor.
(2) Hak akses sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan
oleh Pelapor dengan menyampaikan surat permohonan
7
hak akses kepada Bank Indonesia sebagaimana diatur
dalam Lampiran II dan melampirkan profil Pelapor LPU
sebagaimana diatur dalam Lampiran III yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan
Gubernur ini.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak
berlaku bagi Perusahaan Efek yang sudah terdaftar
sebagai Lembaga Pendukung Pasar Uang sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai pasar uang.
(4) Pengajuan surat permohonan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) ditujukan kepada Bank Indonesia c.q.
Departemen Pengembangan Pasar Keuangan, Jl. M.H.
Thamrin Nomor 2 Jakarta 10350.
(5) Rincian dan tata cara pengisian informasi pokok Pelapor
serta pengajuan permohonan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) mengacu pada Lampiran III.
Pasal 8
(1) Pelapor harus menunjuk penanggung jawab untuk
melakukan penyusunan dan penyampaian LPU.
(2) Penunjukan penanggung jawab sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diajukan bersamaan dengan surat
permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat
(2).
(3) Penunjukan penanggung jawab sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tidak mengurangi dan/atau menghilangkan
tanggung jawab direksi Pelapor.
(4) Dalam hal terdapat perubahan penanggung jawab
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pelapor harus
melaporkan perubahan tersebut secara Online.
8
Bagian Kedua
Periode Penyampaian LPU
Pasal 9
(1) Penyampaian LPU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
oleh Pelapor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
dilakukan secara mingguan.
(2) Data LPU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk
Pelapor berupa:
a. Perusahaan Efek yang melakukan transaksi untuk
kepentingan sendiri sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 ayat (1) huruf a;
b. Perusahaan Efek yang bertindak sebagai perantara
transaksi untuk kepentingan nasabah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b; atau
c. Perusahaan Pialang sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 ayat (2),
merupakan data transaksi yang dilakukan pada Hari Kerja
selama periode mingguan laporan.
(3) Data LPU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk
Pelapor berupa:
a. Perusahaan Efek yang bertindak sebagai Kustodian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf
c; dan
b. Bank yang bertindak sebagai Kustodian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3),
merupakan data transaksi yang ditatausahakan pada Hari
Kerja selama periode mingguan laporan.
(4) Pelapor harus menyampaikan LPU sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) beserta form header setiap hari
Jumat selama periode mingguan laporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3).
(5) Dalam hal hari Jumat merupakan hari libur maka
penyampaian LPU beserta form header sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) disampaikan pada Hari Kerja
sebelumnya.
9
Pasal 10
Pelapor yang tidak memiliki data perdagangan Instrumen Pasar
Uang di pasar sekunder sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3,
tetap harus menyampaikan LPU berupa form header.
Pasal 11
Pelapor dinyatakan telah menyampaikan LPU sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4) dan Pasal 10 yang dibuktikan
dengan tanda terima dari Sistem LPU.
Pasal 12
Dalam hal Pelapor melakukan merger atau konsolidasi dengan
Pelapor lain, masing-masing Pelapor harus menyampaikan LPU
sampai dengan Hari Kerja terakhir sebelum tanggal
dilakukannya merger atau konsolidasi secara operasional oleh
masing-masing Pelapor.
Bagian Ketiga
Periode Penyampaian Koreksi LPU
Pasal 13
(1) Penyampaian koreksi LPU sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 ayat (2) beserta form header dilakukan paling
lambat 2 (dua) Hari Kerja setelah batas waktu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4).
(2) Pelapor dinyatakan telah menyampaikan koreksi LPU
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dibuktikan
dengan tanda terima dari Sistem LPU.
Bagian Keempat
Keterlambatan Penyampaian LPU dan/atau Koreksi LPU
Pasal 14
(1) Pelapor dinyatakan terlambat menyampaikan LPU
dan/atau koreksi LPU apabila Pelapor menyampaikan LPU
dan/atau koreksi LPU beserta form header melampaui
batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat
10
(4) dan Pasal 13 ayat (1), sampai dengan 5 (lima) hari kerja
setelah batas waktu penyampaian koreksi LPU
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1).
(2) Dalam hal Pelapor dinyatakan terlambat menyampaikan
LPU dan/atau koreksi LPU sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) maka Pelapor harus menyampaikan LPU dan/atau
koreksi LPU beserta form header secara Offline kepada:
a. Bank Indonesia c.q. Departemen Pengelolaan dan
Kepatuhan Laporan, Jl. M.H. Thamrin Nomor 2
Jakarta 10350, bagi Pelapor yang berada di wilayah
kerja Kantor Pusat Bank Indonesia atau yang
memiliki kantor cabang di wilayah kerja Kantor Pusat
Bank Indonesia; atau
b. Kantor Perwakilan Bank Indonesia Dalam Negeri yang
mewilayahi, bagi Pelapor yang berada di luar wilayah
kerja Kantor Pusat Bank Indonesia
Pasal 15
(1) Pelapor dianggap tidak menyampaikan LPU dan/atau
koreksi LPU apabila LPU dan/atau koreksi LPU tidak
diterima oleh Bank Indonesia dalam batas waktu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1).
(2) Dalam hal Pelapor dinyatakan tidak menyampaikan LPU
dan/atau koreksi LPU sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) maka Pelapor tetap harus menyampaikan LPU
dan/atau koreksi LPU beserta form header secara Offline
kepada:
a. Bank Indonesia c.q. Departemen Pengelolaan dan
Kepatuhan Laporan, Jl. M.H. Thamrin Nomor 2
Jakarta 10350, bagi Pelapor yang berada di wilayah
kerja Kantor Pusat Bank Indonesia atau yang
memiliki kantor cabang di wilayah kerja Kantor Pusat
Bank Indonesia; atau
b. Kantor Perwakilan Bank Indonesia Dalam Negeri yang
mewilayahi, bagi Pelapor yang berada di luar wilayah
kerja Kantor Pusat Bank Indonesia.
11
Bagian Kelima
Gangguan Teknis
Pasal 16
(1) Dalam hal Pelapor mengalami gangguan teknis sehingga
tidak dapat menyampaikan LPU dan/atau koreksi LPU
secara Online sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat
(3), Pelapor memberitahukan secara lisan kepada Bank
Indonesia c.q. Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan
Laporan segera setelah mengalami gangguan sebelum
batas waktu laporan dan ditegaskan secara tertulis pada
Hari Kerja yang sama.
(2) Penegasan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditandatangani oleh pejabat Pelapor yang
berwenang dan disampaikan kepada Bank Indonesia c.q.
Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan, Jl. M.H.
Thamrin Nomor 2 Jakarta 10350.
(3) Pelapor yang tidak dapat menyampaikan LPU dan/atau
koreksi LPU secara Online karena gangguan teknis
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau karena
gangguan lainnya pada sistem dan/atau jaringan
komunikasi di kantor Pelapor maupun di Bank Indonesia,
harus menyampaikan LPU dan/atau koreksi LPU secara
Offline paling lambat Hari Kerja berikutnya pukul 12.00
waktu setempat kepada:
a. Bank Indonesia c.q. Departemen Pengelolaan dan
Kepatuhan Laporan, Jl. M.H. Thamrin Nomor 2
Jakarta 10350, bagi Pelapor yang berada di wilayah
kerja Kantor Pusat Bank Indonesia atau yang
memiliki kantor cabang di wilayah kerja Kantor Pusat
Bank Indonesia; atau
b. Kantor Perwakilan Bank Indonesia Dalam Negeri yang
mewilayahi, bagi Pelapor yang berada di luar wilayah
kerja Kantor Pusat Bank Indonesia.
12
Pasal 17
Dalam hal Pelapor tidak menyampaikan penegasan secara
tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2), Pelapor
dianggap tidak menyampaikan LPU dan/atau koreksi LPU.
Bagian Keenam
Keadaan Memaksa (Force Majeure)
Pasal 18
(1) Pelapor yang tidak dapat menyampaikan LPU
dan/atau koreksi LPU karena terjadi keadaan memaksa
(force majeure) harus segera memberitahukan secara
tertulis disertai penjelasan mengenai penyebab terjadinya
keadaan memaksa (force majeure) yang dibenarkan oleh
penguasa atau pejabat dari instansi terkait di daerah
setempat beserta upaya yang dilakukan.
(2) Pemberitahuan secara tertulis sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditandatangani oleh pejabat Pelapor
yang berwenang dan disampaikan kepada:
a. Bank Indonesia c.q. Departemen Pengelolaan dan
Kepatuhan Laporan, Jl. M.H. Thamrin Nomor 2
Jakarta 10350, bagi Pelapor yang berada di
wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia atau yang
memiliki kantor cabang di wilayah kerja Kantor Pusat
Bank Indonesia; atau
b. Kantor Perwakilan Bank Indonesia Dalam Negeri yang
mewilayahi, bagi Pelapor yang berada di luar
wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia.
(3) Pelapor yang mengalami keadaan memaksa (force majeure)
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan dari
keharusan untuk menyampaikan LPU dan/atau koreksi
LPU sampai dengan keadaan memaksa (force majeure)
dapat teratasi.
13
BAB IV
PENGAWASAN
Bagian Ketujuh
Pengawasan dan Pembinaan
Pasal 19
(1) Bank Indonesia melakukan pengawasan atas pelaporan
LPU oleh Pelapor.
(2) Guna pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Bank Indonesia dapat:
a. meminta keterangan dan/atau data yang terkait
kepada Pelapor; dan/atau
b. melakukan pemeriksaan (on site supervision)
terhadap Pelapor.
Pasal 20
Pelapor yang:
a. terlambat menyampaikan LPU dan/atau koreksi LPU
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1);
b. tidak menyampaikan LPU sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 15 ayat (1); atau
c. menyampaikan LPU sebagaimana dimaksud dalam Pasal
6 ayat (1) secara tidak benar,
dapat dikenakan pembinaan oleh Bank Indonesia melalui
kerangka pengawasan Pasar Uang.
BAB V
PENYAMPAIAN PERTANYAAN DAN/ATAU KORESPONDENSI
Pasal 21
Dalam hal terdapat pertanyaan yang berkaitan dengan sistem,
materi, dan/atau ketentuan LPU, Pelapor dapat menyampaikan
pertanyaan tersebut kepada BICARA Bank Indonesia, Jl. M.H.
Thamrin Nomor 2 Jakarta 10350, Telp 021-131 atau melalui
surat elektronik: bicara@bi.go.id.
14
Pasal 22
Dalam hal terjadi perubahan alamat surat menyurat dan/atau
informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4), Pasal
14 ayat (2), Pasal 15 ayat (2), Pasal 16 ayat (1), Pasal 16 ayat
(2), Pasal 16 ayat (3), Pasal 18 ayat (2), dan/atau Pasal 21 Bank
Indonesia akan memberitahukan melalui surat atau media
lainnya.
BAB VI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 23
Keharusan Pelapor untuk memastikan bahwa status data LPU
telah matching dengan data Pelapor lain sebagai lawan
transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (5) mulai
berlaku pada tanggal 1 Februari 2019.
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 24
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada
tanggal 1 Juli 2018.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan
Peraturan
Anggota Dewan Gubernur
ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 29 Juni 2018
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR,
MIRZA ADITYASWARA
TTD
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 20/14/PADG/2018
TENTANG
LAPORAN PASAR UANG OLEH NONBANK DAN KUSTODIAN
I. UMUM
Dalam menjalankan tugas menetapkan dan melaksanakan kebijakan
di sektor moneter, makroprudensial, sistem pembayaran dan pengelolaan
uang rupiah, Bank Indonesia memerlukan data atau informasi dalam
bentuk laporan, keterangan, dan/atau penjelasan secara mingguan. Data
atau informasi tersebut akan digunakan sebagai bahan dasar dalam
menetapkan dan melaksanakan kebijakan di sektor moneter,
makroprudensial, sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah.
Untuk menyediakan data atau informasi yang lebih utuh,
komprehensif, dan berkualitas dalam rangka penetapan dan pelaksanaan
kebijakan sebagaimana tersebut di atas, maka diperlukan pengumpulan
data dan/atau informasi yang dilaporkan dalam aplikasi laporan pasar
uang nonbank dan kustodian (LPU) sesuai dengan Pedoman Penyusunan
dan Petunjuk Teknis LPU dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
2
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Huruf a
Contoh pelaporan transaksi oleh Perusahaan Efek untuk
kepentingan sendiri:
1. Pada tanggal 2 Juli 2018, Perusahaan Efek A membeli
Surat Berharga Komersial XYZ dari Perusahaan Efek B
sebesar Rp25 Milyar tanpa melalui perantara. Selain itu,
Perusahaan Efek A dan Perusahaan Efek B
menggunakan Bank P sebagai Bank Kustodian.
Berdasarkan transaksi di atas, pada hari Jumat (6 Juli
2018), Perusahaan Efek A dan Perusahaan Efek B harus
melaporkan transaksi dimaksud melalui Sistem LPU,
sedangkan Bank P tidak harus lapor.
2. Pada tanggal 4 Juli 2018, Perusahaan Efek A membeli
Surat Berharga Komersial XYZ dari korporasi FGH
sebesar Rp25 Milyar melalui Perusahaan Pialang K.
Selain itu, Perusahaan Efek A dan korporasi FGH
menggunakan Bank P sebagai Bank Kustodian.
Berdasarkan transaksi di atas, pada hari Jumat (6 Juli
2018), Perusahaan Efek A harus melaporkan transaksi
tersebut melalui sistem LPU. Sedangkan Perusahaan
Pialang K dan Bank P tidak harus lapor.
3. Pada tanggal 3 Juli 2018, Perusahaan Efek A membeli
Surat Berharga Komersial XYZ dari korporasi FGH
sebesar Rp25 Milyar tanpa melalui perantara. Selain itu,
Perusahaan Efek A dan korporasi FGH menggunakan
Bank P sebagai Bank Kustodian.
3
Maka pada hari Jumat (6 Juli 2018), perusahaan Efek
A harus melaporkan transaksi dimaksud melalui Sistem
LPU, sedangkan Bank P tidak harus lapor.
4. Pada tanggal 9 Juli 2018, Perusahaan Efek A membeli
Surat Berharga Komersial XYZ dari korporasi FGH
sebesar Rp25 Milyar melalui perantara Perusahaan Efek
B. Selain itu, Perusahaan Efek A dan korporasi FGH
menggunakan Bank P sebagai Bank Kustodian. Maka
pada hari Jumat (13 Juli 2018), perusahaan Efek A
harus melaporkan transaksi dimaksud melalui Sistem
LPU, sedangkan Perusahaan Efek B dan Bank P tidak
harus lapor.
5. Pada tanggal 9 Juli 2018, Perusahaan Efek A membeli
Surat Berharga Komersial XZ melalui perantara
Perusahaan Efek B dari korporasi FGH melalui
perantara Perusahaan Efek C sebesar Rp95 Milyar.
Selain itu, Perusahaan Efek A dan korporasi FGH
menggunakan Bank P sebagai Bank Kustodian. Maka
pada hari Jumat (13 Juli 2018), perusahaan Efek A
harus melaporkan trasaksi dimaksud melalui Sistem
LPU. Sedangkan Perusahaan Efek B, Perusahaan Efek
C, dan Bank P tidak harus lapor.
Angka 1
Contoh pelaporan transaksi Perusahaan Efek untuk
kepentingan sendiri dengan lawan transaksi berupa
Bank:
Pada tanggal 10 Juli 2018, Perusahaan Efek A membeli
Surat Berharga Komersial CEX dari Bank Q sebesar
Rp25 Milyar tanpa melalui perantara. Selain itu,
Perusahaan Efek A dan Bank Q menggunakan Bank P
sebagai Bank Kustodian. Maka pada hari Jumat (13 Juli
2018) perusahaan Efek A dan Bank P tidak harus
melaporkan transaksi dimaksud melalui Sistem LPU.
Sedangkan Bank Q wajib melaporkan transaksi tersebut
melalui LHBU sebagaimana mengacu pada ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan
harian bank umum.
4
Angka 2
Contoh pelaporan transaksi Perusahaan Efek untuk
kepentingan sendiri dengan salah satu perantara
transaksi yaitu Bank:
1. Pada tanggal 10 Juli 2018, Perusahaan Efek A
membeli Surat Berharga Komersial CEX dari
Perusahaan Efek B sebesar Rp245 Milyar melalui
perantara Bank P. Selain itu, Perusahaan Efek A
dan Perusahaan Efek B menggunakan Bank Q
sebagai Bank Kustodian. Maka pada hari Jumat
(13 Juli 2018) perusahaan Efek A, Perusahaan Efek
B dan Bank Q tidak harus melaporkan transaksi
dimaksud melalui Sistem LPU.
2. Pada tanggal 11 Juli 2018, Perusahaan Efek A
membeli Surat Berharga Komersial XZ melalui
perantara Bank P dari korporasi FGH melalui
perantara Bank Q sebesar Rp295 Milyar. Selain itu,
Perusahaan Efek A dan korporasi FGH
menggunakan Bank R sebagai Bank Kustodian.
Maka pada hari Jumat (13 Juli 2018), perusahaan
Efek A dan Bank R tidak harus melaporkan
transaksi dimaksud melalui Sistem LPU.
Huruf b
Contoh transaksi dalam hal Perusahaan Efek sebagai
perantara transaksi untuk kepentingan nasabah:
1. Pada tanggal 16 Juli 2018, Korporasi HIJ membeli Surat
Berharga Komersial XYZ dari korporasi EFG sebesar
Rp600 Milyar melalui perantara Perusahaan Efek A.
Selain itu, korporasi HIJ dan korporasi EFG
menggunakan Bank P sebagai Bank Kustodian. Maka
pada hari Jumat (20 Juli 2018), perusahaan Efek A
harus melaporkan transaksi dimaksud melalui Sistem
LPU, sedangkan Korporasi HIJ dan Korporasi EFG, dan
Bank P tidak harus lapor.
2. Pada tanggal 17 Juli 2018, Korporasi Hijau melalui
perantara Perusahaan Efek A membeli Surat Berharga
Komersial CAB kepada korporasi Merah melalui
5
perantara Perusahaan Efek B sebesar Rp880 Milyar.
Selain itu, korporasi Hijau dan korporasi Merah
menggunakan Bank Q sebagai Bank Kustodian. Maka
pada hari Jumat (20 Juli 2018), Perusahaan Efek A dan
Perusahaan Efek B harus melaporkan transaksi
dimaksud melalui Sistem LPU, sedangkan Korporasi
Hijau, Korporasi Merah, dan Bank Q tidak harus lapor.
Angka 1
Contoh transaksi dalam hal Perusahaan Efek sebagai
perantara transaksi untuk kepentingan nasabah berupa
Bank atau Perusahaan Efek:
Pada tanggal 18 Juli 2018, Bank P melalui perantara
Perusahaan Efek B membeli Surat Berharga Komersial
CX dari Perusahaan Efek A sebesar Rp245 Milyar. Selain
itu, Bank P dan Perusahaan Efek A menggunakan Bank
Q sebagai Bank Kustodian. Maka pada hari Jumat (20
Juli 2018) Perusahaan Efek A, Perusahaan Efek B dan
Bank Q tidak harus melaporkan transaksi dimaksud
melalui Sistem LPU.
Angka 2
Contoh transaksi dalam hal Perusahaan Efek sebagai
perantara transaksi untuk kepentingan nasabah
dengan lawan transaksi yaitu Bank atau Perusahaan
Efek:
1. Pada tanggal 20 Juli 2018, korporasi FIG melalui
perantara Perusahaan Efek A membeli Surat
Berharga Komersial CX dari Bank P sebesar Rp780
Milyar. Selain itu, korporasi FIG dan Bank P
menggunakan Bank Q sebagai Bank Kustodian.
Maka pada hari Jumat (20 Juli 2018) Perusahaan
Efek A dan Bank Q tidak harus melaporkan
transaksi dimaksud melalui Sistem LPU.
2. Pada tanggal 20 Juli 2018, korporasi FIG melalui
perantara Perusahaan Efek A membeli Surat
Berharga Komersial CX dari Perusahaan Efek B
sebesar Rp180 Milyar. Selain itu, korporasi FIG dan
Perusahaan Efek B menggunakan Bank Q sebagai
6
Bank Kustodian. Maka pada hari Jumat (20 Juli
2018) perusahaan Efek B harus melaporkan
transaksi dimaksud melalui Sistem LPU,
sedangkan Perusahaan Efek A dan Bank Q tidak
harus lapor.
Angka 3
Contoh transaksi dalam hal Perusahaan Efek sebagai
perantara transaksi untuk kepentingan nasabah
dengan perantara transaksi pihak lawan yaitu Bank:
Pada tanggal 23 Juli 2018, korporasi FIG melalui
perantara Perusahaan Efek A membeli Surat Berharga
Komersial CX dari korporasi DEF melalui perantara
Bank P sebesar Rp160 Milyar. Selain itu, korporasi FIG
dan korporasi DEF menggunakan Bank Q sebagai Bank
Kustodian. Maka pada hari Jumat (20 Juli 2018)
Perusahaan Efek A dan Bank Q tidak harus melaporkan
transaksi dimaksud melalui Sistem LPU.
Huruf c
Contoh transaksi dalam hal Perusahaan Efek bertindak
sebagai Kustodian dan transaksi dilakukan secara langsung
oleh nasabah:
1. Pada tanggal 12 Juli 2018, Korporasi Biru membeli NCD
Bank RAT dari korporasi Merah sebesar Rp440 Milyar
secara langsung tanpa melibatkan pihak ketiga
(Bank/Perusahaan Efek). Selanjutnya, pada tanggal 16
Juli 2018 korporasi Biru dan korporasi Merah
menginstruksikan Perusahaan Efek P sebagai
Kustodian kedua belah pihak. Maka pada hari Jumat
(20 Juli 2018), Perusahaan Efek P sebagai Kustodian
kedua belah pihak harus melaporkan transaksi
dimaksud melalui Sistem LPU, sedangkan Korporasi
Biru dan Korporasi Merah tidak harus lapor.
2. Pada tanggal 12 Juli 2018, Korporasi Biru membeli NCD
Bank RAT dari korporasi Merah sebesar Rp440 Milyar
secara langsung tanpa melibatkan pihak ketiga
(Bank/Perusahaan Efek). Selanjutnya, pada tanggal 16
Juli 2018 Korporasi Biru menginstruksikan pencatatan
7
kepada Perusahaan Efek P sebagai Kustodian pihak
pembeli sedangkan korporasi Merah menginstruksikan
pencatatan Perusahaan Efek Q sebagai Kustodian pihak
penjual. Maka pada hari Jumat (20 Juli 2018),
Perusahaan Efek P sebagai Kustodian pihak pembeli
dan Perusahaan Efek P sebagai Kustodian pihak penjual
harus melaporkan transaksi dimaksud melalui Sistem
LPU, sedangkan Korporasi Biru dan Korporasi Merah
tidak harus lapor.
Angka 1
Contoh transaksi dalam hal Perusahaan Efek bertindak
sebagai Kustodian dan transaksi dilakukan secara
langsung oleh nasabah berupa Bank atau Perusahaan
Efek:
1. Pada tanggal 12 Juli 2018, Bank P membeli NCD
Bank RAT dari korporasi Merah sebesar Rp440
Milyar secara langsung tanpa melibatkan pihak
ketiga (Bank/Perusahaan Efek). Selanjutnya, pada
tanggal 16 Juli 2018 Bank P menginstruksikan
pencatatan kepada Perusahaan Efek P sebagai
Kustodian pihak pembeli sedangkan korporasi
Merah menginstruksikan pencatatan Perusahaan
Efek Q sebagai Kustodian pihak penjual. Maka
pada hari Jumat (20 Juli 2018), Perusahaan Efek P
dan Perusahaan Efek Q sebagai Kustodian tidak
harus melaporkan transaksi dimaksud melalui
Sistem LPU, mengingat keharusan penyampaian
laporan berada pada Bank P.
2. Pada tanggal 12 Juli 2018, Perusahaan Efek A
membeli NCD Bank RAT dari korporasi Merah
sebesar Rp440 Milyar secara langsung tanpa
melibatkan pihak ketiga (Bank/Perusahaan Efek).
Selanjutnya, pada tanggal 16 Juli 2018
Perusahaan Efek A menginstruksikan pencatatan
kepada Perusahaan Efek B sebagai Kustodian
pihak pembeli sedangkan korporasi Merah
menginstruksikan pencatatan Perusahaan Efek C
8
sebagai Kustodian pihak penjual. Maka pada hari
Jumat (20 Juli 2018), Perusahaan Efek A harus
melaporkan transaksi dimaksud melalui Sistem
LPU sedangkan Perusahaan Efek B dan
Perusahaan Efek C sebagai Kustodian tidak harus
lapor.
Angka 2
Contoh transaksi dalam hal Perusahaan Efek bertindak
sebagai Kustodian dan transaksi dilakukan secara
langsung oleh nasabah dengan lawan transaksi yaitu
Bank atau Perusahaan Efek:
1. Pada tanggal 12 Juli 2018, korporasi hijau membeli
NCD Bank RAT kepada Bank P sebesar Rp440
Milyar secara langsung tanpa melibatkan pihak
ketiga (Bank/Perusahaan Efek). Selanjutnya, pada
tanggal 16 Juli 2018 korporasi hijau dan Bank P
menginstruksikan pencatatan kepada Perusahaan
Efek P sebagai Kustodian kedua belah pihak. Maka
pada hari Jumat (20 Juli 2018), Perusahaan Efek P
sebagai Kustodian kedua belah pihak tidak harus
melaporkan transaksi dimaksud melalui LPU.
2. Pada tanggal 12 Juli 2018, korporasi hijau membeli
NCD Bank RAT dari Perusahaan Efek A sebesar
Rp440 Milyar secara langsung tanpa melibatkan
pihak ketiga (Bank/Perusahaan Efek). Selanjutnya,
pada tanggal 16 Juli 2018 korporasi hijau dan
Perusahaan Efek A menginstruksikan pencatatan
kepada Perusahaan Efek P sebagai Kustodian
kedua belah pihak. Maka pada hari Jumat (20 Juli
2018), Perusahaan Efek A harus melaporkan
transaksi dimaksud melalui Sistem LPU,
sedangkan Perusahaan Efek P sebagai Kustodian
kedua belah pihak tidak harus lapor.
9
Ayat (2)
Contoh transaksi dalam hal Perusahaan Pialang menjadi
perantara transaksi untuk kepentingan nasabah:
1. Pada tanggal 2 Juli 2018, Korporasi Hijau membeli Surat
Berharga Komersial ACB dari korporasi Merah sebesar
Rp640 Milyar melalui perantara Perusahaan Pialang H.
Selain itu, korporasi Hijau dan korporasi Merah
menggunakan Bank P sebagai Bank Kustodian.
Maka pada hari Jumat (6 Juli 2018), Perusahaan Pialang H
harus melaporkan transaksi dimaksud melalui Sistem LPU,
sedangkan Korporasi Hijau, Korporasi Merah, dan Bank P
tidak harus lapor.
2. Pada tanggal 3 Juli 2018, Korporasi Hijau melalui perantara
Perusahaan Pialang H membeli Surat Berharga Komersial
ACB kepada korporasi Merah melalui perantara Perusahaan
Pialang J sebesar Rp440 Milyar. Selain itu, korporasi Hijau
dan korporasi Merah menggunakan Bank P sebagai Bank
Kustodian.
Maka pada hari Jumat (6 Juli 2018), Perusahaan Pialang H
dan Perusahaan Pialang J wajib lapor ke aplikasi LPU,
sedangkan Korporasi Hijau, Korporasi Merah, dan Bank P
tidak wajib lapor.
Huruf a
Contoh transaksi dalam hal Perusahaan Pialang menjadi
perantara transaksi untuk kepentingan nasabah berupa
Bank atau Perusahaan Efek:
1. Pada tanggal 4 Juli 2018, Bank P melalui perantara
Perusahaan Pialang H membeli Surat Berharga
Komersial ACB kepada korporasi Merah melalui
perantara Perusahaan Pialang J sebesar Rp840 Milyar.
Selain itu, Bank P dan korporasi Merah menggunakan
Bank Q sebagai Bank Kustodian. Maka pada hari Jumat
(6 Juli 2018), Perusahaan Pialang H dan Perusahaan
Pialang J tidak wajib melaporkan transaksi dimaksud
melalui Sistem LPU.
2. Pada tanggal 4 Juli 2018, Perusahaan Efek A melalui
perantara Perusahaan Pialang H membeli Surat
10
Berharga Komersial ACB dari korporasi Merah melalui
perantara Perusahaan Pialang J sebesar Rp840 Milyar.
Selain itu, Perusahaan Efek A dan korporasi Merah
menggunakan Bank Q sebagai Bank Kustodian. Maka
pada hari Jumat (6 Juli 2018), Perusahaan Efek A harus
melaporkan transaksi dimaksud melalui Sistem LPU,
Sedangkan, Perusahaan Pialang H dan Perusahaan
Pialang J tidak harus lapor.
Huruf b
Contoh transaksi dalam hal Perusahaan Pialang menjadi
perantara transaksi untuk kepentingan nasabah dengan
lawan transaksi yaitu Bank atau Perusahaan Efek :
1. Pada tanggal 4 Juli 2018, korporasi Merah melalui
perantara Perusahaan Pialang H membeli Surat
Berharga Komersial ACB dari Bank P melalui perantara
Perusahaan Pialang J sebesar Rp140 Milyar. Selain itu,
korporasi Merah dan Bank P menggunakan Bank Q
sebagai Bank Kustodian. Maka pada hari Jumat (6 Juli
2018), Perusahaan Pialang H dan Perusahaan Pialang J
tidak wajib melaporkan transaksi dimaksud melalui
Sistem LPU.
2. Pada tanggal 4 Juli 2018, korporasi Merah melalui
perantara Perusahaan Pialang H membeli Surat
Berharga Komersial ACB dari Perusahaam Efek A
melalui perantara Perusahaan Pialang J sebesar Rp940
Milyar. Selain itu, korporasi Merah dan Perusahaan
Efek A menggunakan Bank Q sebagai Bank Kustodian.
Maka pada hari Jumat (6 Juli 2018), Perusahaan Efek
A wajib melaporkan transaksi dimaksud melalui Sistem
LPU, sedangkan Perusahaan Pialang H dan Perusahaan
Pialang J tidak harus lapor.
Huruf c
Contoh transaksi dalam hal Perusahaan Pialang menjadi
perantara transaksi untuk kepentingan nasabah dengan
perantara transaksi pihak lawan yaitu Bank atau
Perusahaan Efek:
11
Pada tanggal 10 Juli 2018, Korporasi FER membeli Surat
Berharga Komersial CEX melalui perantara Perusahaan
Pialang G dari Korporasi DES sebesar Rp845 Milyar melalui
perantara Bank P. Selain itu, Korporasi FER dan Korporasi
DES menggunakan Bank Q sebagai Bank Kustodian. Maka
pada hari Jumat (13 Juli 2018) Perusahaan Pialang G dan
Bank Q tidak harus melaporkan transaksi dimaksud melalui
Sistem LPU.
Ayat (3)
Contoh transaksi dalam hal Bank bertindak sebagai Kustodian
dan transaksi dilakukan secara langsung oleh nasabah:
Pada tanggal 5 Juli 2018, Korporasi Biru membeli NCD Bank RAT
dari korporasi Merah sebesar Rp440 Milyar secara langsung tanpa
melibatkan pihak ketiga(Bank/Perusahaan Efek). Selanjutnya,
pada tanggal 10 Juli 2018 korporasi Hijau dan korporasi Merah
menginstruksikan Bank Q sebagai Bank Kustodian kedua belah
pihak. Maka pada hari Jumat (13 Juli 2018), Bank Q sebagai
Bank Kustodian kedua belah pihak wajib lapor ke aplikasi LPU,
sedangkan Korporasi Biru dan Korporasi Merah tidak wajib lapor.
Huruf a
Contoh transaksi dalam hal Bank bertindak sebagai
Kustodian dan transaksi dilakukan secara langsung oleh
nasabah berupa Bank atau Perusahaan Efek:
1. Pada tanggal 5 Juli 2018, Bank P membeli NCD Bank
RAT dari korporasi Merah sebesar Rp440 Milyar secara
langsung tanpa melibatkan
pihak ketiga
(Bank/Perusahaan Efek). Selanjutnya, pada tanggal 10
Juli 2018 Bank P dan korporasi Merah
menginstruksikan Bank Q sebagai Bank Kustodian
kedua belah pihak. Maka pada hari Jumat (13 Juli
2018), Bank Q sebagai Bank Kustodian kedua belah
pihak tidak harus melaporkan transaksi dimaksud
melalui Sistem LPU.
2. Pada tanggal 5 Juli 2018, Perusahaan Efek A membeli
NCD Bank RAT kepada korporasi Merah sebesar Rp440
Milyar secara langsung tanpa melibatkan pihak ketiga
(Bank/Perusahaan Efek). Selanjutnya, pada tanggal 10
12
Juli 2018 Perusahaan Efek A dan korporasi Merah
menginstruksikan Bank Q sebagai Bank Kustodian
kedua belah pihak. Maka pada hari Jumat (13 Juli
2018), Bank Q sebagai Bank Kustodian kedua belah
pihak tidak harus melaporkan transaksi dimaksud
melalui Sistem LPU.
Huruf b
Contoh transaksi dalam hal Bank bertindak sebagai
Kustodian dan transaksi dilakukan secara langsung oleh
nasabah dengan lawan transaksi yaitu Bank atau
Perusahaan Efek:
1. Pada tanggal 5 Juli 2018, korporasi Merah membeli
NCD Bank RAT kepada Bank P sebesar Rp440 Milyar
secara langsung tanpa melibatkan pihak ketiga
(Bank/Perusahaan Efek). Selanjutnya, pada tanggal 10
Juli 2018 korporasi Merah dan Bank P
menginstruksikan Bank Q sebagai Bank Kustodian
kedua belah pihak. Maka pada hari Jumat (13 Juli
2018), Bank Q sebagai Bank Kustodian kedua belah
pihak tidak harus melaporkan transaksi dimaksud
melalui Sistem LPU.
2. Pada tanggal 5 Juli 2018, korporasi Merah A membeli
NCD Bank RAT kepada Perusahaan Efek sebesar Rp440
Milyar secara langsung tanpa melibatkan pihak ketiga
(Bank/Perusahaan Efek). Selanjutnya, pada tanggal 10
Juli 2018 korporasi Merah dan Perusahaan Efek A
menginstruksikan Bank Q sebagai Bank Kustodian
kedua belah pihak. Maka pada hari Jumat (13 Juli
2018), Bank Q sebagai Bank Kustodian kedua belah
pihak tidak harus melaporkan transaksi dimaksud
melalui Sistem LPU.
Pasal 6
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “secara lengkap” adalah laporan yang
memenuhi seluruh rincian persyaratan laporan.
13
Yang dimaksud dengan “secara benar” adalah laporan yang
memuat data sesuai dengan fakta sebenarnya.
Yang dimaksud dengan “secara tepat waktu” adalah laporan yang
disampaikan sesuai dengan batas waktu yang ditetapkan oleh
Bank Indonesia serta telah diterima oleh Bank Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Pada tanggal 2 Juli 2018, Perusahaan Efek A membeli Surat
Berharga Komersial XYZ dari Perusahaan Efek B sebesar Rp25
Milyar tanpa melalui perantara. Selain itu, Perusahaan Efek A dan
Perusahaan Efek B menggunakan Bank P sebagai Bank
Kustodian. Berdasarkan transaksi di atas, pada hari Jumat (6 Juli
2018), Perusahaan Efek A dan Perusahaan Efek B harus
melaporkan transaksi dimaksud melalui Sistem LPU dengan
kedua laporan tersebut telah matching (sama) antara laporan dari
Pelapor Perusahaan Efek A dan Perusahaan Efek B
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “periode mingguan laporan” adalah
periode transaksi yang dilakukan sejak hari Senin sampai dengan
hari Jumat.
Ayat (3)
Cukup jelas.
14
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “form header” adalah formulir LPU yang
memuat paling sedikit informasi tentang sandi Pelapor, tanggal
laporan, nomor form, dan jumlah record isi.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Bank Indonesia memperoleh informasi Hari Kerja terakhir sebelum
tanggal dilakukannya merger atau konsolidasi secara operasional
berdasarkan informasi dari Pelapor terkait.
Contoh:
Apabila pada tanggal 8 Agustus 2018, Pelapor X melakukan merger
atau konsolidasi dengan Pelapor Y maka :
-
-
Pelapor berupa korporasi baru harus menyampaikan LPU untuk
periode data tanggal 8-10 Agustus 2018.
Pasal 13
Ayat (1)
Contoh:
Koreksi data LPU pada periode laporan minggu ke-2 Juli
2018 yaitu tanggal 13 Juli 2018 disampaikan paling lambat
pada tanggal 17 Juli 2018.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pelapor X dan Pelapor Y masing-masing harus menyampaikan
LPU untuk periode data tanggal 6 dan 7 Agustus 2018; dan
15
Pasal 14
Ayat (1)
Contoh:
1. Perusahaan Efek A dinyatakan terlambat bila
penyampaian data LPU pada periode laporan minggu ke-2
Juli 2018 (tanggal 13 Juli 2018) namun disampaikan pada
tanggal 16 Juli 2018. Setelah tanggal 17 Juli 2018 maka
penyampaian data LPU dilakukan secara offline.
2. Perusahaan Efek B dinyatakan terlambat bila
penyampaian koreksi data LPU pada periode laporan
minggu ke-2 Juli 2018 (tanggal 17 Juli 2018) namun
disampaikan pada tanggal 18 Juli 2018.
Ayat (2)
Penyampaian Offline data LPU dan/atau koreksi LPU untuk
periode laporan minggu ke-2 Juli 2018 disampaikan paling
lambat pada tanggal 24 Juli 2018.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Penegasan secara tertulis dapat dilakukan melalui surat, surat
elektronik (e-mail), atau media lainnya.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “keadaan memaksa (force majeure)”
adalah keadaan yang secara nyata menyebabkan Pelapor tidak
dapat menyampaikan LPU dan/atau koreksi LPU, antara lain
16
kebakaran, kerusuhan massa, perang, sabotase, serta bencana
alam seperti gempa bumi dan banjir, yang dibenarkan oleh
penguasa atau pejabat dari instansi terkait di daerah setempat.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
"," PADG
20/14/PADG/2018
LAPORAN PASAR UANG NONBANK DAN KUSTODIAN
29 Juni 2018
1 Juli 2018
'18/11/PBI/2016', '19/2/PBI/2017', '19/9/PBI/2017'
"
" 1
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 20/26/PADG/2018
TENTANG
KEPESERTAAN DALAM SISTEM KLIRING NASIONAL BANK INDONESIA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa layanan kepesertaan dalam penyelenggaraan
transfer dana dan kliring berjadwal perlu diselaraskan
dengan kebijakan perizinan secara terpadu agar semakin
efektif dan efisien serta sejalan dengan prinsip tata kelola
yang baik;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan Anggota
Dewan Gubernur tentang Kepesertaan dalam Sistem
Kliring Nasional Bank Indonesia;
Mengingat
: 1. Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/9/PBI/2015 tentang
Penyelenggaraan Transfer Dana dan Kliring Berjadwal oleh
Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2015 Nomor 122, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5704) sebagaimana telah
beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Bank
Indonesia Nomor 19/15/PBI/2017 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 302, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6170);
2
2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/13/PBI/2017
tentang Pelayanan Perizinan Terpadu Terkait Hubungan
Operasional Bank Umum dengan Bank Indonesia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor
254, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 6147);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG
KEPESERTAAN DALAM SISTEM KLIRING NASIONAL BANK
INDONESIA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang dimaksud
dengan:
1. Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia yang selanjutnya
disingkat SKNBI adalah infrastruktur yang digunakan oleh
Bank Indonesia dalam penyelenggaraan transfer dana dan
kliring berjadwal untuk memproses data keuangan
elektronik pada layanan transfer dana, layanan kliring
warkat debit, layanan pembayaran reguler, dan layanan
penagihan reguler.
2. Penyelenggara SKNBI yang selanjutnya disebut
Penyelenggara adalah Bank Indonesia.
3. Peserta SKNBI yang selanjutnya disebut Peserta adalah
pihak yang telah memenuhi persyaratan dan telah
memperoleh persetujuan dari Penyelenggara sebagai
Peserta.
4. Layanan Transfer Dana adalah layanan dalam SKNBI yang
memproses pemindahan sejumlah dana antar-Peserta dari
1 (satu) pengirim kepada 1 (satu) penerima.
5. Layanan Kliring Warkat Debit adalah layanan dalam
SKNBI yang memproses penagihan sejumlah dana yang
dilakukan antar-Peserta dari 1 (satu) pengirim tagihan
3
kepada 1 (satu) penerima tagihan, disertai dengan fisik
warkat debit.
6. Layanan Pembayaran Reguler adalah layanan dalam
SKNBI yang memproses pemindahan sejumlah dana
antar-Peserta dari 1 (satu) atau beberapa pengirim kepada
1 (satu) atau beberapa penerima.
7. Layanan Penagihan Reguler adalah layanan dalam SKNBI
yang memproses penagihan sejumlah dana antar-Peserta
dari 1 (satu) pengirim tagihan kepada beberapa penerima
tagihan.
8. Data Keuangan Elektronik yang selanjutnya disingkat
DKE adalah data keuangan dalam format elektronik yang
digunakan sebagai dasar perhitungan dalam
penyelenggaraan SKNBI.
9. Warkat Debit adalah alat pembayaran nontunai yang
diperhitungkan atas beban nasabah atau bank melalui
Layanan Kliring Warkat Debit.
10. Peserta Langsung Utama yang selanjutnya disingkat PLU
adalah Peserta yang mengirimkan DKE ke Penyelenggara
secara langsung dengan menggunakan infrastruktur
SKNBI dan setelmen dana dilakukan ke rekening setelmen
dana Peserta yang bersangkutan.
11. Peserta Langsung Afiliasi yang selanjutnya disingkat PLA
adalah Peserta yang mengirimkan DKE ke Penyelenggara
secara langsung dengan menggunakan infrastruktur
SKNBI Peserta yang bersangkutan dan setelmen dana
dilakukan ke rekening setelmen dana bank pembayar.
12. Peserta Tidak Langsung yang selanjutnya disingkat PTL
adalah Peserta yang mengirimkan DKE ke Penyelenggara
secara tidak langsung melalui bank penerus dan setelmen
dana dilakukan ke rekening setelmen dana bank penerus.
13. Bank Pembayar adalah PLU yang ditunjuk oleh PLA untuk
setelmen dana, penyediaan prefund,
dan/atau
pembayaran kewajiban lainnya dalam penyelenggaraan
SKNBI.
14. Bank Penerus adalah PLU yang memenuhi persyaratan
dan telah memperoleh persetujuan dari Penyelenggara
untuk melaksanakan pengiriman DKE, penyediaan
4
prefund, setelmen dana, dan/atau pembayaran kewajiban
lainnya untuk kepentingan PTL.
15. Rekening Setelmen Dana adalah rekening Peserta dalam
mata uang rupiah yang ditatausahakan di Bank Indonesia.
16. Setelmen Dana adalah kegiatan pendebitan dan
pengkreditan Rekening Setelmen Dana melalui Sistem
Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement yang
dilakukan berdasarkan perhitungan hak dan kewajiban
masing-masing Peserta yang timbul dalam
penyelenggaraan SKNBI.
17. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan
termasuk kantor cabang dari bank di luar negeri dan bank
umum syariah termasuk unit usaha syariah sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur
mengenai perbankan syariah.
18. Penyelenggara Transfer Dana Selain Bank adalah badan
usaha berbadan hukum Indonesia bukan Bank yang telah
memperoleh izin dari Bank Indonesia untuk
menyelenggarakan kegiatan transfer dana.
19. Sistem Sentral Kliring yang selanjutnya disingkat SSK
adalah infrastruktur SKNBI di Penyelenggara yang
digunakan dalam penyelenggaraan SKNBI.
20. Sistem Peserta Kliring yang selanjutnya disingkat SPK
adalah infrastruktur SKNBI di Peserta yang terhubung
dengan SSK yang digunakan oleh Peserta dalam
penyelenggaraan SKNBI.
21. Jaringan Komunikasi Data yang selanjutnya disingkat
JKD adalah infrastruktur komunikasi data yang
digunakan dalam penyelenggaraan SKNBI yang
menghubungkan SSK dengan SPK.
22. Soft Token adalah sertifikat dalam bentuk file terproteksi
yang memuat identitas pemilik sertifikat, kunci enkripsi
untuk melakukan verifikasi tanda tangan digital pemilik,
dan periode sertifikat, yang dihasilkan oleh infrastruktur
kunci publik Bank Indonesia.
5
23. Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement yang
selanjutnya disebut Sistem BI-RTGS adalah infrastruktur
yang digunakan sebagai sarana transfer dana elektronik
yang setelmennya dilakukan seketika per transaksi secara
individual.
24. Kantor Perwakilan Bank Indonesia Dalam Negeri yang
selanjutnya disebut KPwDN adalah kantor Bank Indonesia
selain kantor pusat Bank Indonesia yang melaksanakan
fungsi sistem pembayaran.
25. Wilayah Kliring adalah suatu wilayah tertentu yang
disetujui oleh Penyelenggara untuk penyelenggaraan
kegiatan pertukaran Warkat Debit.
26. Koordinator Pertukaran Warkat Debit yang selanjutnya
disebut Koordinator PWD adalah koordinator pertukaran
Warkat Debit kantor Bank Indonesia dan koordinator
pertukaran Warkat Debit selain Bank Indonesia yang
melaksanakan pertukaran Warkat Debit di Wilayah
Kliring.
27. Perwakilan Peserta adalah kantor Peserta di Wilayah
Kliring yang ditunjuk untuk mewakili Peserta dalam
melaksanakan pertukaran Warkat Debit yang dikliringkan
di Wilayah Kliring tersebut.
28. Pimpinan adalah direksi atau pejabat yang berwenang
mewakili Peserta sesuai dengan ketentuan yang berlaku
bagi masing-masing Peserta sebagai berikut:
a. Pimpinan untuk Peserta berupa bank umum dan
bank umum syariah adalah anggota direksi
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang
mengatur mengenai perseroan terbatas;
b. Pimpinan untuk Peserta berupa unit usaha syariah
adalah anggota direksi bank umum konvensional
yang membawahkan unit usaha syariah atau
pimpinan kantor cabang dari bank yang
berkedudukan di luar negeri yang membawahkan
unit usaha syariah;
c. Pimpinan untuk Peserta berupa kantor cabang dari
bank yang berkedudukan di luar negeri adalah
6
pemimpin kantor cabang dan pejabat satu tingkat di
bawah pemimpin kantor cabang yang menerima surat
kuasa (power of attorney) dari kantor pusat bank yang
berkedudukan di luar negeri; dan
d. Pimpinan untuk Penyelenggara Transfer Dana Selain
Bank adalah anggota direksi sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai penyelenggaraan transfer dana.
BAB II
KEPESERTAAN SKNBI
Pasal 2
(1) Setiap pihak yang akan menjadi Peserta harus terlebih
dahulu memperoleh persetujuan dari Penyelenggara.
(2) Pihak yang dapat menjadi Peserta yaitu:
a. Bank Indonesia;
b. Bank; dan
c. Penyelenggara Transfer Dana Selain Bank.
(3) Bagi Peserta berupa Bank yang melaksanakan kegiatan
usaha secara konvensional dan berdasarkan prinsip
syariah dalam bentuk unit usaha syariah maka
kepesertaan dalam SKNBI harus terpisah.
Pasal 3
(1) Jenis kepesertaan dalam SKNBI terdiri atas:
a. PLU;
b. PLA; atau
c. PTL.
(2) Kepesertaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
sebagai berikut:
a. PLU yaitu Bank Indonesia dan Bank; dan
b. PLA atau PTL yaitu Penyelenggara Transfer Dana
Selain Bank.
7
Pasal 4
(1) Jenis layanan SKNBI terdiri atas:
a. Layanan Transfer Dana;
b. Layanan Kliring Warkat Debit;
c. Layanan Pembayaran Reguler; dan
d. Layanan Penagihan Reguler.
(2) Keikutsertaan Peserta dalam layanan SKNBI sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur sebagai berikut:
a. Bank Indonesia dapat mengikuti seluruh layanan
SKNBI;
b. Bank harus mengikuti seluruh layanan SKNBI; dan
c. Penyelenggara Transfer Dana Selain Bank hanya
dapat mengikuti Layanan Transfer Dana dan/atau
Layanan Pembayaran Reguler.
(3) Keikutsertaan Penyelenggara Transfer Dana Selain Bank
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dalam
Layanan Pembayaran Reguler hanya berlaku bagi
Penyelenggara Transfer Dana Selain Bank yang mengelola
rekening nasabah.
BAB III
PERSYARATAN MENJADI PESERTA
Pasal 5
Calon PLU berupa Bank harus memenuhi persyaratan sebagai
berikut:
a. memiliki izin usaha dari lembaga yang berwenang;
b. tidak sedang dalam proses likuidasi atau kepailitan;
c.
telah menjadi peserta dalam Sistem BI-RTGS;
d. Pimpinan calon PLU telah memperoleh:
1. penunjukan dari lembaga terkait; atau
2. persetujuan atau dinyatakan lulus dalam penilaian
kemampuan dan kepatutan dari lembaga pengawas
yang berwenang;
e. mempunyai infrastruktur SPK sesuai dengan spesifikasi
yang telah ditetapkan Penyelenggara sebagaimana
tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian
8
tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan
Gubernur ini; dan
f.
memiliki laporan hasil security audit atas infrastruktur
SPK dalam 1 (satu) tahun terakhir, dalam hal calon PLU
akan menghubungkan sistem internal PLU ke SSK.
Pasal 6
(1) Calon PLA harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. memiliki izin sebagai penyelenggara transfer dana
dari Bank Indonesia;
b. tidak sedang dalam proses likuidasi atau kepailitan;
c. menyediakan layanan transfer dana kepada nasabah
dan memiliki jaringan kantor di mayoritas dari
seluruh provinsi di Indonesia;
d. memiliki kinerja keuangan yang baik selama 2 (dua)
tahun terakhir;
e. memiliki aset paling sedikit Rp1.000.000.000.000,00
(satu triliun rupiah) atau modal paling sedikit
Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah)
selama 1 (satu) tahun terakhir;
f. Pimpinan calon PLA tidak tercantum dalam daftar
kredit macet dan/atau daftar hitam nasional yang
diterbitkan oleh lembaga yang berwenang;
g. mempunyai infrastruktur SPK sesuai dengan
spesifikasi yang ditetapkan oleh Penyelenggara
sebagaimana tercantum dalam Lampiran I;
h. memiliki laporan hasil security audit atas
infrastruktur SPK yang dilakukan dalam 1 (satu)
tahun terakhir, dalam hal calon PLA akan
menghubungkan sistem internal PLA ke SSK; dan
i. menunjuk dan memiliki perjanjian dengan 1 (satu)
Bank Pembayar untuk pendebitan dan/atau
pengkreditan dana.
(2) Perjanjian dengan Bank Pembayar sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf i, paling sedikit memuat:
a. hak dan kewajiban untuk pendebitan dan/atau
pengkreditan dana;
b. mekanisme penyediaan prefund kredit;
9
c. batas waktu penerusan hasil Setelmen Dana dari
Bank Pembayar ke PLA;
d. kerahasiaan informasi hasil Setelmen Dana; dan
e. mekanisme penyelesaian perselisihan.
Pasal 7
(1) Calon PTL harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. memiliki izin sebagai penyelenggara transfer dana
dari Bank Indonesia;
b. tidak sedang dalam proses likuidasi atau kepailitan;
c. Pimpinan calon PTL tidak tercantum dalam daftar
kredit macet dan/atau daftar hitam nasional yang
diterbitkan oleh lembaga yang berwenang; dan
d. menunjuk dan memiliki perjanjian dengan 1 (satu)
Bank Penerus untuk pelaksanaan transfer dana.
(2) Perjanjian dengan Bank Penerus sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf d paling sedikit memuat:
a. hak dan kewajiban dalam pelaksanaan transfer dana;
b. kerahasiaan data dan/atau informasi dalam
pelaksanaan transfer dana;
c. mekanisme pelaksanaan transfer dana;
d. mekanisme penyelesaian perselisihan;
e. biaya penggunaan infrastruktur yang dikenakan
kepada PTL; dan
f. pembebanan atas pengenaan sanksi administratif.
BAB IV
PERMOHONAN KEPESERTAAN SKNBI
Pasal 8
(1) Permohonan untuk menjadi Peserta yang diajukan oleh:
a. Bank yang baru didirikan; atau
b. Bank yang melakukan langkah strategis dan
mendasar,
disampaikan kepada satuan kerja di Bank Indonesia yang
melaksanakan fungsi pengawasan makroprudensial,
moneter, dan sistem pembayaran.
10
(2) Permohonan untuk menjadi Peserta yang diajukan oleh
Bank selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
Penyelenggara Transfer Dana Selain Bank, disampaikan
kepada satuan kerja di Bank Indonesia yang melaksanakan
fungsi penyelenggaraan sistem pembayaran.
Bagian Kesatu
Tata Cara Menjadi PLU dan PLA
Paragraf 1
Persetujuan Prinsip Menjadi PLU dan PLA
Pasal 9
(1) Calon PLU atau calon PLA menyampaikan surat
permohonan kepada Penyelenggara untuk menjadi PLU
atau PLA.
(2) Surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. ditandatangani oleh Pimpinan;
b. ditembuskan kepada KPwDN yang mewilayahi, dalam
hal kantor pusat calon PLU atau calon PLA
berkedudukan di wilayah kerja KPwDN; dan
c. dilengkapi dengan dokumen sebagaimana tercantum
dalam butir A.1. Lampiran II yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan
Gubernur ini.
(3) Dalam hal dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf c telah disampaikan kepada penyelenggara Sistem
BI-RTGS dan tidak terdapat perubahan, Peserta tidak
perlu menyampaikan kembali kepada Penyelenggara.
(4) Dalam hal diperlukan, calon PLU atau calon PLA harus
memperlihatkan asli dokumen sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf c kepada Penyelenggara.
11
Pasal 10
(1) Penyelenggara melakukan penelitian atas permohonan
yang disampaikan oleh calon PLU atau calon PLA
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2).
(2) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditemukan bahwa dokumen yang
disampaikan tidak lengkap dan/atau tidak sesuai,
Penyelenggara meminta calon PLU atau calon PLA untuk
melengkapi dan/atau memperbaiki dalam jangka waktu
paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung setelah
tanggal surat permintaan kelengkapan dan/atau
perbaikan dokumen dari Penyelenggara.
(3) Dalam memberikan persetujuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Penyelenggara dapat melakukan
pemeriksaan ke lokasi kantor calon PLU atau calon PLA.
(4) Dalam hal sampai dengan jangka waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) calon PLU atau calon PLA belum
menyampaikan dokumen yang telah dilengkapi dan/atau
diperbaiki, calon PLU atau calon PLA dianggap
membatalkan permohonan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 ayat (1).
Pasal 11
(1) Penyelenggara memberikan persetujuan prinsip atau
penolakan atas permohonan yang disampaikan oleh calon
PLU atau calon PLA berdasarkan pemenuhan persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan Pasal 6 serta
hasil penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10.
(2) Surat persetujuan prinsip atau penolakan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling lama 21 (dua
puluh satu) hari kerja terhitung setelah permohonan dan
dokumen diterima secara lengkap oleh Penyelenggara.
Pasal 12
Persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11
ayat (1) paling sedikit memuat hal sebagai berikut:
12
a. persetujuan prinsip menjadi PLU atau PLA;
b. nama dan kode Peserta;
c. kegiatan yang harus dilakukan oleh calon PLU atau calon
PLA paling sedikit:
1. mengikuti kegiatan pelatihan; dan
2. instalasi SPK; dan
d. kelengkapan dokumen yang harus dipenuhi oleh calon
PLU atau calon PLA sebagaimana tercantum dalam huruf
B Lampiran II.
Paragraf 2
Persetujuan Operasional Sebagai PLU dan PLA
Pasal 13
Berdasarkan persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11 ayat (1), calon PLU atau calon PLA
menyampaikan kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 12 huruf d kepada Penyelenggara.
Pasal 14
(1) Berdasarkan dokumen yang disampaikan oleh calon PLU
atau calon PLA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13,
Penyelenggara menyampaikan surat pemberitahuan
kepada calon PLU atau calon PLA yang memuat
permintaan dan informasi sebagai berikut:
a. pembuatan spesimen tanda tangan Pimpinan
dan/atau pejabat penerima kuasa dari Pimpinan;
b. pengambilan Soft Token;
c. waktu pelatihan penggunaan SKNBI; dan
d. waktu pemasangan JKD.
(2) Untuk calon PLU, selain permintaan dan informasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penyelenggara juga
memberitahukan kegiatan yang harus dilakukan oleh
calon PLU, berupa:
a. penunjukan salah satu kantor Peserta sebagai
Perwakilan Peserta di setiap Wilayah Kliring; dan
13
b. penyediaan stempel kliring dan stempel kliring
dibatalkan untuk setiap kantor di Wilayah Kliring
yang dipilih.
Pasal 15
(1) Calon PLU atau calon PLA harus:
a. menyampaikan dokumen sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13; dan
b. melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 14,
dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari kerja terhitung
setelah tanggal surat persetujuan prinsip
Penyelenggara.
dari
(2) Dalam hal calon PLU atau calon PLA tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maka:
a. persetujuan prinsip yang telah disampaikan oleh
Penyelenggara menjadi tidak berlaku dan calon PLU
atau calon PLA dinyatakan telah membatalkan
permohonan; dan
b. calon PLU atau calon PLA harus mengembalikan
dokumen yang disampaikan oleh Penyelenggara
paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah persetujuan
prinsip tidak berlaku.
Pasal 16
(1) Penyelenggara menyampaikan surat
persetujuan
operasional sebagai PLU atau PLA dan tanggal efektif
operasional paling lama 14 (empat belas) hari kerja setelah
calon PLU atau calon PLA melaksanakan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1).
(2) Persetujuan operasional dan tanggal efektif operasional
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga disampaikan
kepada:
a. seluruh Peserta melalui administrative message
dan/atau sarana lainnya;
b. Koordinator PWD yang di wilayah kerjanya terdapat
Perwakilan Peserta melalui surat atau sarana lain,
14
untuk persetujuan operasional dan tanggal efektif
operasional PLU; dan
c. KPwDN yang mewilayahi PLA, untuk persetujuan
operasional dan tanggal efektif operasional PLA.
Paragraf 3
Surat Kuasa Terkait Kepesertaan SKNBI
Pasal 17
Pimpinan calon PLU atau calon PLA yang memberikan kuasa
kepada pejabat calon PLU atau calon PLA yang ditunjuk harus
memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. kuasa diberikan tanpa hak subsitusi atau dengan 1 (satu)
kali hak subsitusi;
b. kuasa diberikan untuk melakukan kegiatan sebagai
berikut:
1. penandatanganan surat menyurat dan/atau
dokumen lain, baik dokumen tertulis maupun
dokumen elektronik;
2. penyerahan dan/atau pengambilan surat dan/atau
dokumen lain, baik dokumen tertulis maupun
dokumen elektronik; dan/atau
3. penyerahan certificate signing request dan/atau
pengambilan Soft Token;
c. kegiatan yang dikuasakan dapat dituangkan dalam 1
(satu) atau lebih surat kuasa sesuai dengan kebutuhan
calon PLU atau calon PLA;
d. surat kuasa disertai dengan fotokopi identitas diri yang
masih berlaku dari penerima kuasa;
e. jumlah pejabat penerima kuasa dari Pimpinan paling
banyak 5 (lima) orang; dan
f. kuasa dengan 1 (satu) kali hak subsitusi hanya untuk
kegiatan sebagaimana dimaksud dalam huruf b angka 2.
15
Paragraf 4
Permohonan Menjadi Bank Penerus
Pasal 18
(1) PLU yang telah memperoleh persetujuan operasional dapat
menjadi Bank Penerus.
(2) Calon Bank Penerus sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a.
termasuk dalam kategori bank umum berdasarkan
kegiatan usaha (BUKU) 4 sesuai penilaian terakhir
yang dilakukan oleh otoritas pengawasan Bank;
b. memiliki teknologi informasi yang memadai yaitu
paling sedikit memiliki kemampuan untuk:
1. melakukan pemrosesan dan pencatatan
transaksi PTL secara seketika; dan
2. menyampaikan informasi transaksi secara
terenkripsi;
c. memiliki unit khusus dengan didukung oleh sumber
daya manusia yang memadai untuk mengkoordinir
kegiatan sebagai Bank Penerus; dan
d. telah menerapkan manajemen risiko dengan
mengacu pada ketentuan yang mengatur mengenai
penerapan manajemen risiko bagi bank umum.
Pasal 19
(1) Calon Bank Penerus menyampaikan surat permohonan
kepada Penyelenggara untuk menjadi Bank Penerus.
(2) Surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. ditandatangani oleh Pimpinan atau pejabat yang
menerima kuasa dari Pimpinan yang telah memiliki
spesimen tanda tangan di Penyelenggara;
b. ditembuskan kepada KPwDN yang mewilayahi, dalam
hal kantor pusat calon Bank Penerus berkedudukan
di wilayah kerja KPwDN; dan
c.
dilengkapi dengan dokumen sebagaimana tercantum
dalam huruf C Lampiran II.
16
Pasal 20
(1) Penyelenggara melakukan penelitian atas permohonan
yang disampaikan oleh calon Bank Penerus sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1).
(2) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditemukan bahwa dokumen yang
disampaikan tidak lengkap dan/atau tidak sesuai,
Penyelenggara meminta calon Bank Penerus untuk
melengkapi dan/atau memperbaiki dalam jangka waktu
paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung setelah
tanggal surat permintaan kelengkapan dan/atau
perbaikan dokumen dari Penyelenggara.
(3) Dalam hal sampai dengan jangka waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) calon Bank Penerus belum
menyampaikan dokumen yang telah dilengkapi dan/atau
diperbaiki, calon Bank Penerus dianggap membatalkan
permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat
(1).
(4) Penyelenggara dapat melakukan pemeriksaan ke lokasi
kantor calon Bank Penerus untuk memastikan kesiapan
infrastruktur SKNBI dari calon Bank Penerus.
Pasal 21
(1) Penyelenggara memberikan persetujuan atau penolakan
atas permohonan yang disampaikan oleh calon Bank
Penerus sebagaimana dimaksud pada Pasal 19 ayat (1).
(2) Surat persetujuan atau penolakan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) disampaikan paling lama 21 (dua puluh satu)
hari kerja terhitung setelah permohonan dan dokumen
diterima secara lengkap oleh Penyelenggara.
Bagian Kedua
Tata Cara Menjadi PTL
Pasal 22
(1) Calon PTL menyampaikan surat permohonan kepada
Penyelenggara melalui PLU yang ditunjuk sebagai Bank
Penerus untuk menjadi PTL.
17
(2) Surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilengkapi dengan dokumen sebagaimana tercantum
dalam butir A.2 Lampiran II.
Pasal 23
(1) PLU yang ditunjuk sebagai Bank Penerus melakukan
penelitian atas kelengkapan dan kesesuaian dokumen
yang disampaikan oleh calon PTL sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 22 ayat (2).
(2) PLU yang ditunjuk sebagai Bank Penerus menyampaikan
surat penerusan permohonan calon PTL kepada
Penyelenggara apabila dokumen telah lengkap dan sesuai.
(3) Surat penerusan permohonan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. ditandatangani oleh Pimpinan PLU; dan
b. dilengkapi dengan dokumen sebagaimana tercantum
dalam butir A.2 Lampiran II.
Pasal 24
(1) Penyelenggara melakukan penelitian atas penerusan
permohonan yang disampaikan oleh PLU yang ditunjuk
sebagai Bank Penerus sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 23 ayat (2).
(2) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditemukan bahwa dokumen yang
disampaikan tidak lengkap dan/atau tidak sesuai,
Penyelenggara meminta PLU untuk melengkapi dan/atau
memperbaiki dalam jangka waktu paling lama 14 (empat
belas) hari kerja terhitung setelah tanggal surat
permintaan kelengkapan dan/atau perbaikan dokumen
dari Penyelenggara.
(3) Dalam hal sampai dengan jangka waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) PLU belum menyampaikan
dokumen yang telah dilengkapi dan/atau diperbaiki, calon
PTL dianggap membatalkan permohonan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2).
18
Pasal 25
(1) Penyelenggara memberikan persetujuan atau penolakan
atas permohonan yang disampaikan oleh PTL melalui PLU
yang ditunjuk sebagai Bank Penerus berdasarkan
pemenuhan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 23 ayat (3).
(2) Surat persetujuan atau penolakan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) disampaikan paling lama 21 (dua puluh satu)
hari kerja terhitung setelah permohonan dan dokumen
diterima secara lengkap oleh Penyelenggara.
(3) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling
sedikit memuat hal sebagai berikut:
a. persetujuan menjadi PTL;
b. nama dan kode Peserta; dan
c. tanggal efektif menjadi PTL.
(4) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga
disampaikan kepada:
a. seluruh Peserta melalui administrative message
dan/atau sarana lainnya; dan
b. KPwDN yang mewilayahi PTL, untuk persetujuan
tanggal efektif PTL.
BAB V
PERUBAHAN DATA KEPESERTAAN
Pasal 26
(1) Peserta harus menyampaikan surat kepada Penyelenggara
mengenai:
a. permohonan; dan/atau
b. penyampaian informasi,
perubahan data kepesertaan.
(2) Permohonan atau penyampaian informasi perubahan data
kepesertaan bagi Peserta berupa Bank disampaikan
kepada satuan kerja di Bank Indonesia yang
melaksanakan fungsi pengawasan makroprudensial,
moneter, dan sistem pembayaran untuk:
19
a. perubahan data kepesertaan SKNBI karena
melakukan langkah strategis dan mendasar; dan
b. perubahan data kepesertaan yang memengaruhi data
Peserta di Bank Indonesia,
dengan mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai pelayanan perizinan terpadu terkait
hubungan operasional bank umum dengan Bank
Indonesia.
(3) Permohonan perubahan data kepesertaan SKNBI selain
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), disampaikan
kepada satuan kerja di Bank Indonesia yang
melaksanakan fungsi penyelenggaraan sistem
pembayaran.
Bagian Kesatu
Ruang Lingkup Perubahan Data Kepesertaan
Pasal 27
(1) Surat permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26
ayat (1) huruf a disampaikan untuk perubahan data
kepesertaan mengenai:
a. jenis kepesertaan;
b. kode Peserta;
c. nama Peserta;
d. kegiatan usaha;
e. lokasi SPK dan/atau pemindahan JKD utama
Peserta;
f. Bank Pembayar;
g. Bank Penerus;
h. spesimen tanda tangan;
i. kuasa; dan/atau
j.
Wilayah Kliring dalam Layanan Kliring Warkat Debit.
(2) Informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1)
huruf b disampaikan untuk perubahan data kepesertaan
sebagai berikut:
a. nama, kewenangan, dan/atau jabatan Pimpinan;
dan/atau
b. alamat kantor.
20
(3) Surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan penyampaian informasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. ditandatangani oleh Pimpinan atau pejabat Peserta
yang menerima kuasa dari Pimpinan, yang telah
memiliki spesimen tanda tangan di Penyelenggara;
b. ditembuskan kepada KPwDN yang mewilayahi, dalam
hal kantor pusat Peserta berkedudukan di wilayah
kerja KPwDN; dan
c.
dilengkapi dengan dokumen sebagaimana tercantum
dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur
ini.
(4) Surat persetujuan atau penolakan permohonan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau surat
pemberitahuan atas diterimanya informasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) disampaikan oleh Penyelenggara
paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung setelah
permohonan atau informasi dan dokumen diterima secara
lengkap.
Paragraf 1
Perubahan Jenis Kepesertaan
Pasal 28
(1) Penyelenggara Transfer Dana Selain Bank dapat
melakukan perubahan jenis kepesertaan dari PTL menjadi
PLA atau sebaliknya
Penyelenggara.
berdasarkan persetujuan
(2) Perubahan jenis kepesertaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) mengacu pada ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 17, dan Pasal 22
sampai dengan Pasal 25.
(3) Surat permohonan perubahan jenis kepesertaan
dilakukan dengan mengacu pada ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3).
21
Paragraf 2
Perubahan Kode Peserta
Pasal 29
(1) Peserta dapat melakukan perubahan kode Peserta dengan
persetujuan Penyelenggara.
(2) Perubahan kode Peserta sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dapat disebabkan oleh:
a. perubahan kode peserta Sistem BI-RTGS;
b. Peserta menjadi anggota Society for Worldwide
Interbank Financial Telecommunication (SWIFT);
dan/atau
c. adanya perubahan Bank Identifier Code (BIC) dari
Peserta.
Pasal 30
(1) Peserta yang akan melakukan perubahan kode Peserta
menyampaikan surat permohonan ke Penyelenggara
dengan mengacu pada ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 27 ayat (3).
(2) Dalam hal Penyelenggara menyetujui permohonan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), persetujuan
memuat:
a. kode Peserta yang baru; dan
b. tanggal efektif perubahan kode Peserta serta Soft
Token baru.
(3) Surat persetujuan perubahan kode Peserta dan tanggal
efektif perubahan kode Peserta juga disampaikan kepada:
a. seluruh Peserta melalui administrative message atau
sarana lainnya; dan
b. Koordinator PWD yang di wilayah kerjanya terdapat
Perwakilan Peserta melalui surat.
(4) Peserta yang telah disetujui oleh Penyelenggara untuk
mengubah kode Peserta harus mengganti Soft Token yang
pelaksanaannya mengacu pada ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai penyelenggaraan transfer dana
dan kliring berjadwal oleh Bank Indonesia.
22
Paragraf 3
Perubahan Nama Peserta
Pasal 31
(1) Peserta dapat melakukan perubahan nama Peserta
dengan persetujuan Penyelenggara.
(2) Peserta yang akan melakukan perubahan nama Peserta
menyampaikan surat permohonan ke Penyelenggara
dengan mengacu pada ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 27 ayat (3).
(3) Dalam hal Penyelenggara menyetujui permohonan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Penyelenggara
menyampaikan surat persetujuan kepada Peserta yang
memuat:
a. tanggal efektif perubahan nama Peserta;
b. permintaan untuk menyediakan stempel kliring dan
stempel kliring dibatalkan untuk setiap kantor
Peserta di Wilayah Kliring yang dipilih; dan/atau
c. penyesuaian Warkat Debit dan dokumen kliring.
(4) Surat persetujuan perubahan nama Peserta dan tanggal
efektif perubahan nama Peserta juga disampaikan oleh
Penyelenggara kepada:
a. seluruh Peserta melalui administrative message atau
sarana lainnya; dan
b. Koordinator PWD yang di wilayah kerjanya terdapat
Perwakilan Peserta melalui surat.
Paragraf 4
Perubahan Kegiatan Usaha
Pasal 32
(1) Peserta dapat melakukan perubahan kegiatan usaha
Peserta dengan persetujuan Penyelenggara.
(2) Perubahan kegiatan usaha Peserta sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) huruf d meliputi
perubahan kegiatan usaha bank umum konvensional
menjadi bank umum syariah.
23
(3) Dalam hal Peserta melakukan perubahan kegiatan usaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Peserta harus
melakukan perubahan data kepesertaan berupa:
a. kegiatan usaha Peserta; dan
b. nama Peserta.
(4) Dalam hal perubahan kegiatan usaha berdampak pada
perubahan kode Peserta maka Peserta harus mengajukan
permohonan perubahan kode Peserta dan penggantian
Soft Token.
Pasal 33
(1) Peserta yang akan melakukan perubahan kegiatan usaha
Peserta menyampaikan surat permohonan ke
Penyelenggara dengan mengacu pada ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3).
(2) Dalam hal Penyelenggara menyetujui permohonan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penyelenggara
menyampaikan surat persetujuan kepada Peserta yang
memuat:
a. tanggal efektif perubahan kegiatan usaha Peserta;
b. permintaan untuk menyediakan stempel kliring dan
stempel kliring dibatalkan untuk setiap kantor
Peserta di Wilayah Kliring yang dipilih; dan/atau
c. penyesuaian Warkat Debit dan dokumen kliring,
dalam hal perubahan kegiatan usaha memengaruhi
spesifikasi dan informasi pada Warkat Debit dan
dokumen kliring.
(3) Tanggal efektif perubahan kegiatan usaha Peserta
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) juga disampaikan
oleh Penyelenggara kepada:
a. seluruh Peserta melalui administrative message atau
sarana lainnya; dan
b. Koordinator PWD yang di wilayah kerjanya terdapat
Perwakilan Peserta melalui surat.
24
Paragraf 5
Perubahan Lokasi SPK dan/atau Pemindahan JKD Utama
Peserta
Pasal 34
(1) Peserta dapat melakukan perubahan lokasi SPK dan/atau
pemindahan JKD utama Peserta dengan persetujuan
Penyelenggara.
(2) Peserta yang akan melakukan perubahan lokasi SPK
dan/atau pemindahan JKD utama Peserta menyampaikan
surat permohonan ke Penyelenggara dengan mengacu
pada ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27
ayat (3).
(3) Dalam hal Penyelenggara menyetujui
permohonan
sebagaimana dimaksud dimaksud pada ayat (2),
Penyelenggara menyampaikan surat persetujuan kepada
Peserta yang memuat:
a. perubahan lokasi SPK utama dan/atau SPK
cadangan Peserta telah dicatat dalam tata usaha
Penyelenggara;
b. waktu pelaksanaan pemindahan JKD; dan
c. kegiatan yang harus dilakukan oleh Peserta terkait
dengan perubahan lokasi SPK utama, SPK cadangan,
dan/atau JKD.
Paragraf 6
Perubahan Bank Pembayar
Pasal 35
(1) Peserta dapat melakukan perubahan Bank Pembayar
dengan persetujuan Penyelenggara.
(2) Peserta yang akan melakukan perubahan Bank Pembayar
menyampaikan surat permohonan ke Penyelenggara
dengan mengacu pada ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 27 ayat (3).
25
(3) Dalam hal Penyelenggara menyetujui permohonan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Penyelenggara
menyampaikan surat persetujuan kepada Peserta yang
memuat tanggal efektif perubahan Bank Pembayar.
(4) Bank Pembayar yang diganti harus tetap menjalankan
fungsinya sampai dengan hari kerja terakhir sebelum
tanggal efektif perubahan Bank Pembayar sebagaimana
dimaksud pada ayat (3).
Paragraf 7
Perubahan Bank Penerus
Pasal 36
(1) Peserta dapat melakukan perubahan Bank Penerus
dengan persetujuan Penyelenggara.
(2) Peserta yang akan melakukan perubahan Bank Penerus
menyampaikan surat permohonan ke Penyelenggara
dengan mengacu pada ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 27 ayat (3).
(3) Dalam hal Penyelenggara menyetujui permohonan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Penyelenggara
menyampaikan surat persetujuan kepada Peserta yang
memuat tanggal efektif perubahan Bank Penerus.
(4) Bank Penerus yang diganti harus tetap menjalankan
fungsinya sampai dengan hari kerja terakhir sebelum
tanggal efektif perubahan Bank Penerus sebagaimana
dimaksud pada ayat (3).
Paragraf 8
Perubahan Spesimen Tanda Tangan
Pasal 37
(1) Peserta dapat melakukan perubahan spesimen tanda
tangan dengan persetujuan Penyelenggara.
(2) Perubahan spesimen tanda tangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) huruf h dilakukan
dalam hal terdapat perubahan:
26
a. nama;
b. kewenangan; dan/atau
c. jabatan,
Pimpinan dan/atau pejabat penerima kuasa dari
Pimpinan yang berdampak pada spesimen tanda tangan
yang ditatausahakan oleh Penyelenggara.
(3) Dalam hal seluruh Pimpinan yang telah memiliki spesimen
tanda tangan di Penyelenggara mengalami perubahan
dan/atau penggantian maka permohonan mengenai
perubahan spesimen tanda tangan disampaikan oleh
Pimpinan yang baru atau pejabat penerima kuasa dari
Pimpinan.
(4) Dalam hal Pimpinan dan/atau pejabat penerima kuasa
dari Pimpinan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah
memiliki spesimen tanda tangan di Sistem BI-RTGS,
Peserta dapat meminta penambahan kewenangan dalam
operasional SKNBI.
(5) Dalam hal terdapat kondisi sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) maka Pimpinan dan/atau pejabat penerima kuasa
dari Pimpinan tidak perlu melakukan pembuatan
spesimen tanda tangan.
Pasal 38
(1) Peserta yang akan melakukan perubahan spesimen tanda
tangan Pimpinan dan/atau pejabat penerima kuasa dari
Pimpinan menyampaikan surat permohonan ke
Penyelenggara dengan mengacu pada ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3).
(2) Dalam hal perubahan spesimen tanda tangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disebabkan oleh
penggantian dan/atau penambahan Pimpinan dan/atau
pejabat penerima kuasa dari Pimpinan, Peserta juga harus
melengkapi dokumen tambahan sebagaimana tercantum
dalam angka 6 Lampiran III.
27
(3) Dalam hal Penyelenggara menyetujui permohonan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penyelenggara
menyampaikan surat persetujuan kepada Peserta yang
memuat:
a. waktu pembuatan spesimen tanda tangan baru;
b. tanggal efektif spesimen tanda tangan Pimpinan
dan/atau pejabat penerima kuasa dari Pimpinan
yang telah memiliki spesimen di Sistem BI-RTGS;
dan/atau
c. tanggal efektif pencabutan kewenangan dalam hal
terdapat perubahan kewenangan Pimpinan dan/atau
pejabat penerima kuasa dari Pimpinan.
(4) Pembuatan spesimen tanda tangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) huruf a dilakukan di hadapan
pejabat kantor pusat Bank Indonesia atau pejabat KPwDN.
(5) Spesimen tanda tangan sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) berlaku efektif:
a. sejak pemberitahuan dari Penyelenggara mengenai
tanggal efektif berlakunya spesimen tanda tangan;
atau
b. paling lama 5 (lima) hari kerja setelah tanggal
pembuatan spesimen tanda tangan dalam hal tidak
terdapat pemberitahuan dari Penyelenggara.
(6) Dalam hal:
a. Peserta tidak mengajukan permohonan perubahan
spesimen tanda tangan kepada Penyelenggara;
dan/atau
b. pencabutan kewenangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) huruf c belum berlaku efektif,
spesimen tanda tangan yang telah ditatausahakan di
Penyelenggara dianggap masih berlaku dan segala
tindakan hukum yang dilakukan oleh Pimpinan dan/atau
pejabat penerima kuasa dari Pimpinan menjadi tanggung
jawab Peserta.
28
Paragraf 9
Perubahan Kuasa
Pasal 39
(1) Perubahan kuasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27
ayat (1) huruf i dilakukan untuk penambahan,
penggantian, dan/atau pencabutan kuasa dari pejabat
penerima kuasa dari Pimpinan.
(2) Perubahan kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan mengacu pada ketentuan pemberian
kuasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17.
Pasal 40
(1) Peserta dapat melakukan perubahan kuasa dengan
persetujuan Penyelenggara.
(2) Peserta yang akan melakukan perubahan kuasa
menyampaikan surat permohonan ke Penyelenggara
dengan mengacu pada ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 27 ayat (3).
(3) Selain mengacu pada ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), permohonan juga harus dilakukan dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. penambahan dan/atau penggantian kuasa berlaku
efektif paling lambat 5 (lima) hari kerja sejak
dokumen dan spesimen tanda tangan telah diterima
secara lengkap oleh Penyelenggara;
b. dalam hal terdapat pencabutan seluruh atau
sebagian kuasa maka:
1. pencabutan seluruh atau sebagian kuasa
berlaku efektif terhitung sejak
tanggal
permohonan pencabutan kuasa diterima secara
lengkap oleh Penyelenggara; dan
2. spesimen tanda tangan pejabat penerima kuasa
dari Pimpinan yang dicabut dinyatakan tidak
berlaku; dan
c. dalam hal terdapat perubahan kewenangan dalam
surat kuasa yang diberikan kepada pejabat yang
29
menerima kuasa, Peserta harus menyampaikan
permohonan yang dilampiri dengan surat kuasa yang
baru.
(4) Dalam hal Penyelenggara menyetujui permohonan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Penyelenggara
menyampaikan surat persetujuan kepada Peserta yang
memuat tanggal efektif perubahan kuasa pejabat
penerima kuasa dari Pimpinan.
(5) Dalam hal terdapat perubahan kuasa yang tidak
disampaikan kepada Penyelenggara maka surat kuasa
yang telah ditatausahakan di Penyelenggara dianggap
masih berlaku dan segala tindakan hukum yang
dilakukan pejabat penerima kuasa tersebut menjadi
tanggung jawab Peserta.
Paragraf 10
Perubahan Wilayah Kliring dalam Layanan Kliring Warkat
Debit
Pasal 41
(1) Peserta dapat melakukan perubahan Wilayah Kliring
dengan persetujuan Penyelenggara.
(2) Peserta yang akan melakukan perubahan berupa
penambahan dan/atau pengurangan Wilayah Kliring
dalam Layanan Kliring Warkat Debit menyampaikan surat
permohonan ke Penyelenggara dengan mengacu pada
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3).
(3) Peserta yang melakukan perubahan berupa penambahan
Wilayah Kliring sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
harus menunjuk dan mendaftarkan Perwakilan Peserta
kepada Penyelenggara.
(4) Dalam hal Penyelenggara menyetujui permohonan
perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
Penyelenggara menyampaikan surat persetujuan kepada
Peserta yang memuat paling sedikit:
30
a. penambahan dan/atau pengurangan Wilayah Kliring;
dan
b. tanggal efektif perubahan Wilayah Kliring.
(5) Persetujuan perubahan Wilayah Kliring sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) juga disampaikan kepada:
a. seluruh Peserta melalui administrative message atau
sarana lainnya; dan
b. Koordinator PWD yang di wilayah kerjanya terdapat
penambahan atau penghentian Perwakilan Peserta,
melalui surat.
Paragraf 11
Perubahan Nama, Kewenangan, dan/atau Jabatan Pimpinan
Pasal 42
(1) Peserta menyampaikan informasi perubahan nama,
kewenangan, dan/atau jabatan Pimpinan dengan
mengacu pada ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 27 ayat (3).
(2) Untuk Peserta berupa kantor cabang dari bank yang
berkedudukan di luar negeri, Peserta harus melengkapi
dokumen tambahan sebagaimana tercantum dalam
Lampiran III.
(3) Dalam hal perubahan nama, kewenangan, dan/atau
jabatan Pimpinan diikuti dengan perubahan spesimen
tanda tangan Pimpinan, permohonan perubahan
spesimen tanda tangan Pimpinan disampaikan dengan
mengacu pada ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 37 dan Pasal 38.
Pasal 43
(1) Penyelenggara menyampaikan surat pemberitahuan atas
diterimanya informasi perubahan nama, kewenangan,
dan/atau jabatan Pimpinan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 42 ayat (1) kepada Peserta yang memuat:
a. waktu pembuatan spesimen tanda tangan bagi
Pimpinan baru; dan/atau
31
b. tanggal efektif pencabutan kewenangan Pimpinan
dalam hal terdapat perubahan kewenangan
Pimpinan.
(2) Spesimen tanda tangan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a berlaku efektif:
a. sejak pemberitahuan dari Penyelenggara mengenai
tanggal efektif berlakunya spesimen tanda tangan;
atau
b. paling lama 5 (lima) hari kerja sejak tanggal
pembuatan spesimen tanda tangan dalam hal tidak
terdapat pemberitahuan dari Penyelenggara.
(3) Dalam hal:
a. Peserta tidak menyampaikan informasi perubahan
nama, kewenangan, dan/atau jabatan Pimpinan
kepada Penyelenggara; dan/atau
b. pencabutan kewenangan Pimpinan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b belum berlaku efektif,
nama, kewenangan, dan/atau jabatan Pimpinan yang
telah ditatausahakan di Penyelenggara dianggap masih
berlaku dan segala tindakan hukum yang dilakukan oleh
Pimpinan menjadi tanggung jawab Peserta.
Paragraf 12
Perubahan Alamat Kantor Peserta
Pasal 44
(1) Peserta menyampaikan informasi perubahan alamat kantor
pusat Peserta atau alamat kantor cabang dari bank yang
berkedudukan di luar negeri dengan mengacu pada
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3).
(2) Dalam hal perubahan alamat kantor Peserta diikuti dengan
perubahan lokasi SPK dan pemindahan JKD utama Peserta,
informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
memuat perubahan lokasi SPK dan pemindahan JKD utama
Peserta.
32
(3) Penyelenggara menyampaikan surat pemberitahuan atas
diterimanya informasi perubahan alamat kantor Peserta
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Peserta yang
memuat tanggal efektif perubahan alamat kantor Peserta.
Bagian Kedua
Administrasi Perubahan Data Kepesertaan
Pasal 45
Peserta yang telah menyampaikan dokumen perubahan data
dan informasi Peserta sebagaimana tercantum dalam Lampiran
III kepada penyelenggara Sistem BI-RTGS dan tidak terdapat
perubahan, tidak perlu menyampaikan lagi dokumen tersebut
kepada Penyelenggara.
Pasal 46
Dalam hal terdapat perbedaan tanda tangan antara yang
tercantum pada identitas diri dengan yang tercantum pada
spesimen tanda tangan Pimpinan dan/atau pejabat penerima
kuasa yang ditatausahakan di Penyelenggara maka Peserta
harus menyampaikan surat pernyataan atas perbedaan tanda
tangan tersebut.
Pasal 47
Setiap terdapat perubahan pada administrasi kepesertaan
dalam kegiatan pertukaran Warkat Debit, Koordinator PWD
melakukan hal sebagai berikut:
a. menyampaikan surat pemberitahuan kepada Perwakilan
Peserta di Wilayah Kliring;
b. menyiapkan tanda pengenal peserta kliring; dan
c. melakukan pengkinian data kepesertaan pertukaran
Warkat Debit.
33
BAB VI
STATUS KEPESERTAAN DAN PERUBAHANNYA
Pasal 48
Status kepesertaan dalam SKNBI terdiri dari:
a. aktif;
b. ditangguhkan;
c. dibekukan; atau
d. ditutup.
Pasal 49
(1) Status kepesertaan dapat berubah dari:
a. status aktif menjadi ditangguhkan atau sebaliknya;
b. status aktif menjadi dibekukan atau sebaliknya;
c. status aktif menjadi ditutup;
d. status ditangguhkan menjadi dibekukan atau
sebaliknya;
e. status ditangguhkan menjadi ditutup; atau
f.
status dibekukan menjadi ditutup.
(2) Perubahan status kepesertaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan oleh Penyelenggara berdasarkan
pertimbangan sebagai berikut:
a. pengenaan sanksi administratif oleh Penyelenggara;
b. adanya perubahan status kepesertaan dalam Sistem
BI-RTGS;
c. permintaan tertulis dari lembaga pengawas yang
berwenang terhadap kegiatan Peserta; atau
d. permintaan tertulis dari Peserta untuk mengubah
status dari status aktif menjadi ditutup.
(3) Permintaan tertulis dari Peserta sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf d didasarkan pada alasan self-
liquidation, penggabungan, peleburan, pemisahan,
pengunduran diri, atau alasan lain dan telah memperoleh
persetujuan dari Penyelenggara atau lembaga pengawas
yang berwenang.
34
(4) Perubahan status kepesertaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) berlaku efektif pada tanggal yang ditetapkan
oleh Penyelenggara.
(5) Dalam hal
terjadi perubahan status Peserta,
Penyelenggara menyampaikan informasi perubahan
status Peserta kepada:
a. Peserta yang bersangkutan melalui surat;
b. seluruh Peserta melalui administrative message atau
sarana lainnya;
c. Koordinator PWD yang di wilayah kerjanya terdapat
Perwakilan Peserta melalui surat; dan/atau
d. lembaga yang berwenang dalam melakukan
pengawasan terhadap kegiatan Peserta melalui surat.
Pasal 50
(1) Dalam hal dilakukan perubahan status kepesertaan
menjadi ditutup, Peserta harus menyelesaikan seluruh
kewajiban dalam penyelenggaraan SKNBI.
(2) Dalam hal dilakukan perubahan status kepesertaaan
menjadi ditutup yang disebabkan oleh penggabungan,
peleburan, atau pemisahan maka penyelesaian kewajiban
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. hak dan kewajiban Peserta yang akan ditutup beralih
kepada Peserta hasil penggabungan, peleburan, atau
pemisahan; dan
b. pengalihan sebagaimana dimaksud dalam huruf a
dilengkapi dengan surat pernyataan pengambilalihan
hak dan kewajiban dari Peserta hasil penggabungan,
peleburan, atau pemisahan.
(3) Dalam hal dilakukan perubahan status kepesertaan
menjadi ditutup yang disebabkan oleh adanya pengalihan
aset dan kewajiban selain karena alasan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) maka penyelesaian kewajiban
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
ketentuan sebagai berikut:
35
a. hak dan kewajiban Peserta yang ditutup beralih
kepada Peserta yang menerima pengalihan aset dan
kewajiban; dan
b. pengalihan sebagaimana dimaksud dalam huruf a
dilakukan berdasarkan surat pernyataan
pengambilalihan hak dan kewajiban dari Peserta yang
menerima pengalihan aset dan kewajiban.
Pasal 51
(1) Dalam hal perubahan status kepesertaan terjadi pada PLU
yang berfungsi sebagai Bank Pembayar dan/atau Bank
Penerus, maka:
a. PLA harus menunjuk PLU lainnya sebagai Bank
Pembayar pengganti; dan
b. PTL harus menunjuk PLU lainnya sebagai Bank
Penerus pengganti.
(2) Penunjukan Bank Pembayar dan Bank Penerus
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
mengacu pada ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 35 dan Pasal 36.
BAB VII
TATA CARA PERUBAHAN STATUS KEPESERTAAN
Bagian Kesatu
Perubahan Status Kepesertaan karena Permintaan Pihak yang
Berwenang Melakukan Pengawasan Kegiatan Peserta
Pasal 52
(1) Permohonan perubahan status kepesertaan atas
permintaan dari lembaga pengawas yang berwenang
disampaikan melalui surat kepada Gubernur Bank
Indonesia.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling
sedikit memuat hal sebagai berikut:
a. nama Peserta dan perubahan status kepesertaan
yang diminta;
36
b. alasan perubahan status kepesertaan; dan
c. tanggal efektif perubahan status kepesertaan.
(3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dilengkapi dengan dokumen sebagaimana tercantum
dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
(4) Dalam hal perubahan status kepesertaan yang diminta
merupakan perubahan status menjadi ditangguhkan,
permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
memuat pula batasan penangguhan terhadap kegiatan
tertentu di SKNBI.
(5) Penyelenggara menyetujui dan mengubah status
kepesertaan apabila:
a. dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) telah
diterima secara lengkap oleh Penyelenggara; dan
b. Peserta telah memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1), dalam hal status
kepesertaan berubah menjadi ditutup.
Bagian Kedua
Perubahan Status Peserta karena Permintaan Peserta
Pasal 53
(1) Permohonan perubahan status kepesertaan berupa Bank
karena melakukan langkah strategis dan mendasar
disampaikan melalui surat kepada satuan kerja yang
melaksanakan fungsi pengawasan makroprudensial,
moneter, dan sistem pembayaran.
(2) Permohonan perubahan status kepesertaan berupa Bank
selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
Penyelenggara Transfer Dana Selain Bank disampaikan
melalui surat kepada satuan kerja yang melaksanakan
fungsi penyelenggaraan sistem pembayaran.
37
Pasal 54
(1) Permohonan penutupan kepesertaan karena self-
liquidation, pengunduran diri, dan alasan lainnya
disampaikan melalui surat kepada Penyelenggara.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. ditandatangani oleh Pimpinan Peserta;
b. ditembuskan kepada KPwDN yang mewilayahi, dalam
hal kantor pusat Peserta berkedudukan di wilayah
kerja KPwDN; dan
c. dilengkapi dengan dokumen sebagaimana tercantum
dalam Lampiran IV.
Pasal 55
(1) Penyelenggara
menyampaikan persetujuan
atas
permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat
(1) dan mengubah status kepesertaan Peserta menjadi
ditutup apabila Peserta telah memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) dan Pasal
54 ayat (2).
(2) Penyelenggara menyampaikan informasi tanggal efektif
perubahan status Peserta kepada pihak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 49 ayat (5).
Paragraf 1
Perubahan Status Kepesertaan karena Penggabungan
Pasal 56
Setiap Peserta yang menggabungkan diri harus menyampaikan
permohonan penutupan kepesertaan dengan mengacu pada
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54.
Pasal 57
(1) Peserta yang menerima penggabungan menyampaikan
surat pemberitahuan penggabungan kepada Penyelenggara
yang paling sedikit memuat informasi mengenai:
38
a.
persetujuan penggabungan dari lembaga yang
berwenang;
b. Peserta yang menerima penggabungan dan Peserta
yang menggabungkan diri;
c. waktu pelaksanaan pengalihan operasional dalam
SKNBI dari Peserta yang menggabungkan diri kepada
Peserta yang menerima penggabungan;
d. pengambilalihan hak dan kewajiban Peserta yang
menggabungkan diri oleh Peserta yang menerima
penggabungan efektif sejak tanggal penggabungan
secara hukum; dan
e. pengumuman penggabungan yang dimuat dalam
surat kabar harian berskala nasional.
(2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilengkapi dengan dokumen sebagaimana tercantum
dalam Lampiran IV.
(3) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus:
a. ditandatangani oleh Pimpinan Peserta; dan
b. ditembuskan kepada KPwDN yang mewilayahi, dalam
hal kantor pusat Peserta berkedudukan di wilayah
kerja KPwDN.
(4) Berdasarkan pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Penyelenggara menyampaikan informasi kepada
Peserta yang menerima penggabungan yang paling sedikit
memuat hal sebagai berikut:
a. waktu
operasional dalam SKNBI; dan
b. hal yang harus dilakukan oleh Peserta.
(5) Status kepesertaan dari Peserta yang menggabungkan diri
efektif berubah menjadi ditutup pada tanggal pelaksanaan
penggabungan secara operasional dalam SKNBI.
pelaksanaan penggabungan secara
39
Paragraf 2
Perubahan Status Kepesertaan karena Peleburan
Pasal 58
Setiap Peserta yang meleburkan diri harus menyampaikan
permohonan penutupan kepesertaan dengan mengacu pada
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (2).
Pasal 59
(1) Calon Peserta yang merupakan hasil peleburan harus
menyampaikan surat pemberitahuan peleburan dan
menyampaikan permohonan menjadi Peserta kepada
Penyelenggara dengan memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 25.
(2) Pemberitahuan peleburan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) paling sedikit memuat informasi mengenai:
a.
persetujuan peleburan dari lembaga yang berwenang;
b. Peserta hasil peleburan dan Peserta yang meleburkan
diri;
c. waktu pelaksanaan pengalihan operasional dalam
SKNBI dari Peserta yang meleburkan diri kepada
Peserta hasil peleburan;
d. pengambilalihan hak dan kewajiban Peserta yang
meleburkan diri oleh Peserta hasil peleburan efektif
sejak tanggal peleburan secara hukum; dan
e. pengumuman peleburan yang dimuat dalam surat
kabar harian berskala nasional.
(3) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilengkapi dengan dokumen sebagaimana tercantum
dalam Lampiran IV.
(4) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus:
a. ditandatangani oleh Pimpinan Peserta; dan
b. ditembuskan kepada KPwDN yang mewilayahi, dalam
hal kantor pusat Peserta berkedudukan di wilayah
kerja KPwDN.
40
(5) Berdasarkan pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Penyelenggara menyampaikan informasi kepada
Peserta hasil peleburan yang paling sedikit memuat:
a. waktu pelaksanaan peleburan secara operasional
dalam SKNBI; dan
b. hal yang harus dilakukan oleh Peserta.
(6) Status kepesertaan dari Peserta yang meleburkan diri
efektif berubah menjadi ditutup pada tanggal pelaksanaan
peleburan secara operasional dalam SKNBI.
Paragraf 3
Perubahan Status Kepesertaan Karena Pemisahan
Pasal 60
Perubahan status kepesertaan karena pemisahan dilakukan
dalam hal terdapat Peserta berupa unit usaha syariah yang
memisahkan diri dari Peserta berupa bank konvensional
dilakukan dengan cara:
a. mendirikan bank umum syariah baru; atau
b. mengalihkan hak dan kewajiban Peserta unit usaha
syariah kepada Peserta berupa bank umum syariah.
Pasal 61
Peserta berupa unit usaha syariah yang memisahkan diri dari
Peserta berupa bank konvensional sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 60 harus menyampaikan permohonan penutupan
kepesertaan dalam SKNBI dengan mengacu pada ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (2).
Pasal 62
(1) Bank umum syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal
60 huruf a yang akan menjadi Peserta harus
menyampaikan surat pemberitahuan pemisahan dan
mengajukan permohonan menjadi Peserta kepada
Penyelenggara dengan memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 dan Pasal 8 sampai dengan Pasal
21.
41
(2) Pemberitahuan pemisahan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) paling sedikit memuat informasi mengenai:
a. persetujuan pemisahan dari lembaga yang
berwenang;
b. Peserta hasil pemisahan dan Peserta yang
memisahkan diri;
c. waktu pelaksanaan peralihan operasional dalam
SKNBI dari Peserta yang memisahkan diri kepada
Peserta hasil pemisahan;
d. pengambilalihan hak dan kewajiban Peserta yang
memisahkan diri oleh Peserta hasil pemisahan efektif
sejak tanggal pemisahan secara hukum; dan
e. pengumuman pemisahan yang dimuat dalam surat
kabar harian berskala nasional.
(3) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilengkapi dengan dokumen sebagaimana tercantum
dalam Lampiran IV.
(4) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus:
a. ditandatangani oleh Pimpinan Peserta; dan
b. ditembuskan kepada KPwDN yang mewilayahi, dalam
hal kantor pusat Peserta berkedudukan di wilayah
kerja KPwDN.
Pasal 63
(1) Peserta berupa bank umum syariah yang menerima hasil
pemisahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 huruf
b menyampaikan surat pemberitahuan pemisahan kepada
Penyelenggara yang paling sedikit memuat informasi
mengenai:
a. persetujuan pemisahan dari lembaga yang
berwenang;
b. Peserta yang menerima pemisahan dan Peserta yang
memisahkan diri;
c. waktu pelaksanaan pengalihan operasional dalam
SKNBI dari Peserta yang memisahkan diri kepada
Peserta yang menerima pemisahan;
42
d. pengambilalihan hak dan kewajiban Peserta yang
memisahkan diri oleh Peserta yang menerima
pemisahan efektif sejak tanggal pemisahan secara
hukum; dan
e. pengumuman pemisahan yang dimuat dalam surat
kabar harian berskala nasional.
(2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilengkapi dengan dokumen sebagaimana tercantum
dalam Lampiran IV.
(3) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus:
a. ditandatangani oleh Pimpinan Peserta; dan
b. ditembuskan kepada KPwDN yang mewilayahi, dalam
hal kantor pusat Peserta berkedudukan di wilayah
kerja KPwDN.
Pasal 64
(1) Penyelenggara menyampaikan:
a. surat persetujuan kepada Peserta berupa bank
umum syariah yang baru sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 62; atau
b. surat pemberitahuan kepada Peserta berupa bank
umum syariah yang menerima hasil pemisahan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63.
(2) Surat persetujuan atau pemberitahuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) memuat:
a. waktu pelaksanaan:
1. pemisahan secara operasional SKNBI untuk
pemisahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
60 huruf a; atau
2. pengalihan hak dan kewajiban secara
operasional
SKNBI untuk pemisahan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 huruf b;
dan
b. hal yang harus dilakukan oleh Peserta.
43
Bagian Ketiga
Administrasi Perubahan Status Kepesertaan
Pasal 65
Peserta yang telah menyampaikan dokumen perubahan
status kepesertaan sebagaimana tercantum dalam Lampiran
IV kepada penyelenggara Sistem BI-RTGS dan tidak terdapat
perubahan, tidak perlu menyampaikan lagi dokumen
tersebut kepada Penyelenggara.
Pasal 66
(1) Penyelesaian DKE atas perubahan status kepesertaan dari
aktif menjadi ditangguhkan atau ditangguhkan menjadi
dibekukan pada jam operasional, berlaku ketentuan
sebagai berikut:
a. DKE yang telah diterima oleh Penyelenggara sebelum
perubahan status kepesertaan, tetap diteruskan dan
diperhitungkan sepanjang didukung dengan dana
yang cukup;
b. DKE transfer dana dan DKE pembayaran yang telah
diterima oleh Penyelenggara namun tidak didukung
dana yang cukup maka Peserta pengirim harus
menyelesaikan DKE yang tidak diperhitungkan oleh
Penyelenggara (unconfirmed DKE transfer dana
dan/atau DKE pembayaran);
c. DKE Warkat Debit dan/atau DKE penagihan yang
telah diterima oleh Penyelenggara dan telah
diteruskan kepada Peserta penerima, namun tidak
dapat diperhitungkan oleh Penyelenggara maka DKE
Warkat Debit dan/atau DKE penagihan diselesaikan
antar-Peserta; dan
d. Penerusan dana atas DKE yang tidak diperhitungkan
oleh Penyelenggara sebagaimana dimaksud dalam
huruf b dan huruf c, mengacu pada ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai perlindungan
nasabah dalam pelaksanaan transfer dana dan
kliring berjadwal melalui SKNBI.
44
(2) Untuk PLU yang berfungsi sebagai Bank Penerus
dan/atau Bank Pembayar maka PLU yang bersangkutan
harus memberitahukan secara tertulis kepada PLA dan
PTL mengenai perubahan status PLU sesegera mungkin
dan menyelesaikan kewajibannya sesuai ketentuan yang
berlaku.
BAB VIII
KORESPONDENSI
Pasal 67
(1) Korespondensi terkait kepesertaan SKNBI yang
disampaikan kepada satuan kerja di Bank Indonesia yang
melaksanakan fungsi penyelenggaraan sistem
pembayaran ditujukan ke alamat:
Bank Indonesia
c.q. Departemen Penyelenggaraan Sistem Pembayaran
Gedung D Lantai 3
Jalan M. H. Thamrin No. 2
Jakarta 10350.
(2) Korespondensi yang disampaikan kepada satuan kerja di
Bank Indonesia yang melaksanakan fungsi pengawasan
makroprudensial, moneter, dan sistem pembayaran
ditujukan ke alamat:
Bank Indonesia
c.q. Departemen Surveilans Sistem Keuangan
Gedung D Lantai 9
Jalan M.H. Thamrin No. 2
Jakarta 10350.
(3) Layanan help desk dapat diperoleh melalui:
Telepon : 021-29818888
Faksimile : 021-2311902
E-mail
: HelpdeskSPBI@bi.go.id.
(4) Dalam hal terjadi perubahan alamat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), dan serta perubahan
nomor telepon, nomor faksimile dan/atau e-mail
45
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) maka Penyelenggara
memberitahukan perubahan tersebut melalui surat.
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 68
Pada saat Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku,
Bab III huruf A sampai dengan huruf G Surat Edaran Bank
Indonesia Nomor 18/7/DPSP tanggal 2 Mei 2016 perihal
Penyelenggaraan Transfer Dana dan Kliring Berjadwal oleh
Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Surat
Edaran Bank Indonesia Nomor 18/40/DPSP tanggal 30
Desember 2016, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 69
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada
tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 31 Oktober 2018
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR,
TTD
SUGENG
dengan
2
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 20/26/PADG/2018
TENTANG
KEPESERTAAN DALAM SISTEM KLIRING NASIONAL BANK INDONESIA
I. UMUM
Untuk mendukung salah satu kebijakan Bank Indonesia berupa
perizinan secara terpadu maka proses layanan kepesertaan dalam
penyelenggaraan transfer dana dan kliring berjadwal perlu diselaraskan
dengan kebijakan tersebut. Penyelarasan dengan kebijakan perizinan secara
terpadu juga diperlukan untuk mempercepat dan mempermudah layanan
kepesertaan agar semakin efektif dan efisien serta sejalan dengan prinsip
tata kelola yang baik.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
2
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “Penyelenggara Transfer Dana Selain Bank
yang mengelola rekening nasabah” adalah Penyelenggara Transfer
Dana Selain Bank yang menyediakan layanan transaksi keuangan
antara lain kegiatan penyetoran, penyimpanan, dan
pemindahbukuan dari dan/atau untuk pengguna jasa sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 5
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Security audit yang dilakukan oleh auditor internal dilengkapi
dengan surat pernyataan Pimpinan calon PLU yang menyatakan
bahwa pelaksanaan security audit dilakukan secara independen.
Pasal 6
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
3
Huruf d
Kinerja keuangan yang baik antara lain dibuktikan dengan
laporan keuangan Penyelenggara Transfer Dana Selain Bank
yang akan menjadi PLA.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Security audit yang dilakukan oleh auditor internal dilengkapi
dengan surat pernyataan Pimpinan calon PLA yang
menyatakan bahwa pelaksanaan security audit dilakukan
secara independen.
Huruf i
Penunjukan Bank Pembayar untuk pendebitan dan/atau
pengkreditan dana ditujukan untuk:
a. Setelmen Dana;
b. penyediaan prefund kredit;
c. pembebanan biaya dalam penyelenggaraan SKNBI; dan
d. pembebanan atas pengenaan sanksi administratif berupa
kewajiban membayar atas pelanggaran ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan
transfer dana dan kliring berjadwal.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
4
Huruf c
Mekanisme pelaksanaan transfer dana meliputi:
1. penyediaan prefund kredit;
2. pengiriman DKE kepada Penyelenggara; dan
3. batas waktu penerusan hasil Setelmen Dana dari Bank
Penerus kepada PTL,
baik dalam keadaan normal, keadaan tidak normal, dan
keadaan darurat pada Bank Penerus.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “sanksi administratif” adalah sanksi
berupa kewajiban membayar atas pelanggaran ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan
transfer dana dan kliring berjadwal.
Pasal 8
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “Bank yang baru didirikan atau Bank yang
melakukan langkah strategis dan mendasar” adalah sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai pelayanan perizinan terpadu terkait hubungan
operasional bank umum dengan Bank Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
5
Ayat (3)
Pemeriksaan ke lokasi kantor calon PLU atau calon PLA dilakukan
antara lain untuk melihat kesesuaian informasi dalam dokumen
yang disampaikan dengan kondisi di lapangan termasuk dalam
rangka memastikan kesiapan operasional.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Penolakan permohonan disertai dengan alasan penolakan antara
lain infrastruktur calon PLU atau calon PLA tidak memenuhi
spesifikasi yang dipersyaratkan.
Yang dimaksud dengan “penelitian” termasuk melakukan
pemeriksaan lokasi dalam hal diperlukan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Pelatihan penggunaan SKNBI mengikutsertakan pejabat
dan/atau petugas yang akan menangani teknis operasional
SKNBI.
6
Huruf d
Pemasangan JKD termasuk melakukan instalasi SPK dan uji
koneksi SPK yang berada di lokasi calon PLU dan calon PLA
dengan SSK.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “dokumen” adalah aplikasi SPK, buku
petunjuk instalasi SPK, dan buku pedoman penggunaan
aplikasi SPK yang disampaikan pada saat pemasangan JKD.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “sumber daya manusia yang
memadai” antara lain kecukupan jumlah dan kompetensi
sumber daya manusia.
7
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Pemeriksaan ke lokasi kantor calon Bank Penerus dilakukan
antara lain untuk melihat kesesuaian informasi dalam dokumen
yang disampaikan dengan kondisi di lapangan dan kesiapan
infrastruktur.
Pasal 21
Ayat (1)
Penolakan permohonan disertai alasan penolakan, antara lain
calon Bank Penerus tidak memiliki teknologi informasi yang
memadai.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
8
Pasal 25
Ayat (1)
Penolakan permohonan disertai alasan penolakan, antara lain
perjanjian antara Bank Penerus dan PTL tidak memenuhi
ketentuan yang ditetapkan oleh Penyelenggara.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 26
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “perubahan data kepesertaan SKNBI
karena melakukan langkah strategis dan mendasar” adalah
perubahan nama dan kegiatan usaha Peserta.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “memengaruhi data Peserta di Bank
Indonesia” adalah perubahan data Pimpinan dan alamat
kantor Peserta.
Ayat (3)
Contoh perubahan data kepesertaan SKNBI selain yang terkait
dengan langkah strategis dan mendasar memengaruhi data
Peserta di Bank Indonesia yaitu perubahan kode Peserta dan
perubahan Bank Pembayar.
Pasal 27
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
9
Ayat (4)
Penolakan permohonan disertai alasan penolakan antara lain
surat permohonan tidak ditandatangani oleh Pimpinan atau
pejabat yang menerima kuasa dari Pimpinan, yang telah memiliki
spesimen tanda tangan di Penyelenggara.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
10
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Peserta dengan status ditangguhkan dapat melakukan berbagai
kegiatan dalam SKNBI namun kegiatannya dibatasi sebagai
berikut:
11
a. untuk Layanan Kliring Transfer Dana, Peserta tidak dapat
mengirim DKE Transfer Dana;
b. untuk Layanan Kliring Warkat Debit, Peserta tidak dapat
mengirimkan dan menerima DKE Warkat Debit;
c. untuk Layanan Pembayaran Reguler, Peserta tidak dapat
mengirim DKE Pembayaran; dan/atau
d. untuk Layanan Penagihan Reguler, Peserta tidak dapat
mengirim dan menerima DKE Penagihan.
Huruf c
Peserta dengan status dibekukan tidak dapat melakukan seluruh
kegiatan dalam layanan SKNBI namun tetap memiliki hak akses
terhadap informasi terkait SKNBI.
Huruf d
Peserta dengan status ditutup dihentikan secara tetap
kepesertaannya dalam SKNBI dan tidak dapat diaktifkan kembali
sebagai Peserta.
Pasal 49
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Lembaga pengawas yang berwenang antara lain Bank
Indonesia sebagai otoritas pengawas makroprudensial dan
sistem pembayaran serta Otoritas Jasa Keuangan sebagai
otoritas pengawas mikroprudensial.
Peran Bank Indonesia sebagai otoritas pengawas
makroprudensial dan sistem pembayaran dilakukan oleh
satuan kerja yang melaksanakan fungsi pengawasan
makroprudensial, moneter, dan sistem pembayaran.
Huruf d
Cukup jelas.
12
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “alasan lain” adalah pengalihan aset dan
kewajiban yang terjadi berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan dan/atau persetujuan dari lembaga
pengawas yang berwenang.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “efektif pada tanggal yang ditetapkan oleh
Penyelenggara” adalah pada jam layanan SKNBI.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 50
Ayat (1)
Kewajiban dalam penyelenggaraan SKNBI antara lain biaya
penggunaan SKNBI dan pelunasan pajak yang diperhitungkan
dari Rekening Setelmen Dana.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Pengalihan aset dan kewajiban dilakukan berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan dan/atau persetujuan dari
lembaga pengawas yang berwenang.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Ayat (1)
Lembaga pengawas yang berwenang antara lain Bank Indonesia
sebagai otoritas pengawas makroprudensial dan sistem
pembayaran serta Otoritas Jasa Keuangan sebagai otoritas
pengawas mikroprudensial.
Peran
Bank Indonesia sebagai otoritas
pengawas
makroprudensial dan sistem pembayaran dilakukan oleh satuan
kerja yang melaksanakan fungsi pengawasan makroprudensial,
moneter, dan sistem pembayaran.
13
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Ayat (1)
Contoh alasan lainnya yaitu pengalihan aset dan kewajiban yang
dilakukan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan
dan/atau persetujuan dari lembaga pengawas yang berwenang.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
14
Pasal 61
Cukup jelas.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Cukup jelas.
Pasal 66
Cukup jelas.
Pasal 67
Cukup jelas.
Pasal 68
Cukup jelas.
Pasal 69
Cukup jelas.
"," PADG
20/26/PADG/2018
KEPESERTAAN DALAM SISTEM KLIRING NASIONAL BANK INDONESIA
31 Oktober 2018
31 Oktober 2018
'18/7/DPSP|SE-BI/2016', '18/40/DPSP|SE-BI/2016'
'17/9/PBI/2015', '19/13/PBI/2017', '19/15/PBI/2017'
"
" PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 21/15/PADG/2019
TENTANG
PENERIMAAN DEVISA HASIL EKSPOR DARI KEGIATAN PENGUSAHAAN,
PENGELOLAAN, DAN/ATAU PENGOLAHAN SUMBER DAYA ALAM
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa kewajiban penerimaan devisa hasil ekspor dari
kegiatan pengusahaan, pengelolaan, dan/atau
pengolahan sumber daya alam melalui rekening khusus
pada bank perlu dipantau kepatuhannya guna
mendukung optimalisasi pemanfaatan devisa hasil ekspor;
b. bahwa pengaturan penerimaan devisa hasil ekspor dari
kegiatan pengusahaan, pengelolaan, dan/atau
pengolahan sumber daya alam perlu disusun ketentuan
pelaksanaannya sebagai pedoman bagi eksportir dan bank
dalam memenuhi kewajibannya;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan huruf b perlu menetapkan Peraturan
Anggota Dewan Gubernur tentang Penerimaan Devisa
Hasil Ekspor dari Kegiatan Pengusahaan, Pengelolaan,
dan/atau Pengolahan Sumber Daya Alam;
2
Mengingat
: Peraturan Bank Indonesia Nomor 21/3/PBI/2019 tentang
Penerimaan Devisa Hasil Ekspor dari Kegiatan Pengusahaan,
Pengelolaan, dan/atau Pengolahan Sumber Daya Alam
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 8,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6303);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG
PENERIMAAN DEVISA HASIL EKSPOR DARI KEGIATAN
PENGUSAHAAN, PENGELOLAAN, DAN/ATAU PENGOLAHAN
SUMBER DAYA ALAM.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang dimaksud
dengan:
1. Bank yang melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing
yang selanjutnya disebut Bank adalah bank umum
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang
mengatur mengenai perbankan dan bank umum syariah
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang
mengatur mengenai perbankan syariah, termasuk kantor
cabang bank asing di Indonesia namun tidak termasuk
kantor cabang luar negeri dari bank yang berkantor pusat
di Indonesia, yang memperoleh persetujuan dari otoritas
yang berwenang untuk melakukan kegiatan usaha dalam
valuta asing.
2. Ekspor adalah kegiatan mengeluarkan barang dari daerah
pabean sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai
kepabeanan.
3. Eksportir adalah orang perseorangan, badan hukum, atau
badan lainnya yang tidak berbadan hukum yang
melakukan Ekspor atas hasil kegiatan pengusahaan,
pengelolaan, dan/atau pengolahan sumber daya alam.
3
4. Perusahaan Jasa Titipan yang selanjutnya disingkat PJT
adalah perusahaan yang menangani layanan kiriman
secara ekspres atau peka waktu, memiliki izin
penyelenggaraan jasa titipan dari instansi terkait, dan
mendapatkan persetujuan untuk melaksanakan kegiatan
kepabeanan dari kepala kantor pelayanan bea dan cukai.
5. Pemilik Barang adalah orang perseorangan, badan
hukum, atau badan lainnya yang tidak berbadan hukum,
yang memiliki barang Ekspor.
6. Pemberitahuan Pabean Ekspor yang selanjutnya disingkat
PPE adalah pernyataan yang dibuat oleh orang untuk
melaksanakan kewajiban pabean Ekspor dalam bentuk
dan syarat yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan peraturan perundang-undangan yang
mengatur mengenai kepabeanan.
7. Devisa Hasil Ekspor yang selanjutnya disingkat DHE
adalah devisa dari hasil kegiatan Ekspor.
8. Devisa Hasil Ekspor dari Barang Ekspor Sumber Daya
Alam yang selanjutnya disebut DHE SDA adalah DHE yang
diperoleh dari kegiatan pengusahaan, pengelolaan,
dan/atau pengolahan sumber daya alam yang mencakup
pertambangan, perkebunan, kehutanan, dan perikanan
sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah yang
mengatur mengenai devisa hasil ekspor yang diperoleh
dari kegiatan pengusahaan, pengelolaan, dan/atau
pengolahan sumber daya alam.
9. Nasabah adalah nasabah sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan dan
Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan
syariah.
10. Rekening Khusus DHE SDA yang selanjutnya disebut
Reksus DHE SDA adalah rekening milik Nasabah di Bank
dalam valuta rupiah atau valuta asing, yang digunakan
khusus untuk penerimaan DHE SDA.
11. Nilai Ekspor adalah nilai Ekspor free on board (FOB) yang
tercantum pada PPE.
4
12. Barang Tambang adalah minyak dan gas bumi serta
mineral dan batubara.
13. Minyak dan Gas Bumi adalah minyak dan gas bumi
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang
mengatur mengenai minyak dan gas bumi.
14. Mineral dan Batubara adalah mineral dan batubara
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang
mengatur mengenai pertambangan mineral dan batubara.
15. Pihak yang Tunduk kepada Kontrak Kerja Sama Minyak
dan Gas Bumi yang selanjutnya disebut Pihak dalam
Kontrak Migas adalah operator dan/atau pemegang
participating interest beserta para penggantinya dari waktu
ke waktu, yang tercatat di otoritas yang berwenang.
16. Sandi Kantor Pabean adalah sandi Kantor Pengawasan
dan Pelayanan Bea dan Cukai (KPPBC) pemuatan yang
menerbitkan PPE.
17. Nomor PPE adalah nomor pendaftaran yang dikeluarkan
oleh KPPBC sebagaimana tercantum pada dokumen PPE.
18. Dokumen Pendukung DHE SDA adalah dokumen yang
membuktikan kebenaran data dan/atau keterangan
mengenai penerimaan DHE SDA.
19. Dokumen Pendukung Transfer Dana Keluar (Outgoing
Transfer) yang selanjutnya disebut Dokumen Pendukung
Outgoing Transfer adalah dokumen terkait transaksi lalu
lintas devisa Nasabah berupa transfer dana keluar
(outgoing transfer) dengan nilai setara di atas jumlah
tertentu (threshold).
20. Maklon adalah pemberian jasa dalam rangka proses
penyelesaian suatu barang tertentu yang proses
pengerjaannya dilakukan oleh pihak pemberi jasa
(disubkontrakkan), dan pengguna jasa menetapkan
spesifikasi, serta menyediakan bahan baku, dan/atau
barang setengah jadi dan/atau bahan penolong atau
pembantu yang akan diproses sebagian atau seluruhnya,
dengan kepemilikan atas barang jadi berada pada
pengguna jasa.
5
21. Jasa Perbaikan adalah jasa terkait perbaikan dan/atau
perawatan barang.
22. Operational Leasing adalah kegiatan pembiayaan dalam
bentuk penyediaan barang modal secara sewa guna usaha
tanpa hak opsi untuk membeli yang digunakan oleh
penyewa guna usaha (lessee) selama jangka waktu
tertentu berdasarkan pembayaran secara angsuran.
23. Financial Leasing adalah kegiatan pembiayaan dalam
bentuk penyediaan barang modal secara sewa guna usaha
dengan hak opsi untuk membeli yang digunakan oleh
penyewa guna usaha (lessee) selama jangka waktu
tertentu berdasarkan pembayaran secara angsuran.
24. Netting adalah mekanisme penyelesaian tagihan Eksportir,
Pemilik Barang, dan/atau Pihak dalam Kontrak Migas
yang dikompensasikan (set off) dengan kewajiban
Eksportir, Pemilik Barang, dan/atau Pihak dalam Kontrak
Migas.
25. Usance L/C adalah letter of credit yang mensyaratkan
pembayaran secara berjangka sesuai kesepakatan antara
Eksportir, Pemilik Barang, dan/atau Pihak dalam Kontrak
Migas dengan importir.
26. Konsinyasi adalah penitipan barang Ekspor untuk
diperdagangkan yang pembayarannya dilakukan setelah
barang terjual sesuai kesepakatan antara Eksportir,
Pemilik Barang, dan/atau Pihak dalam Kontrak Migas
dengan importir.
27. Pembayaran Kemudian adalah pembayaran yang
dilakukan baik sekaligus maupun secara bertahap setelah
barang dikirimkan kepada importir sesuai kesepakatan
antara Eksportir, Pemilik Barang, dan/atau Pihak dalam
Kontrak Migas dengan importir.
28. Collection adalah penagihan pembayaran Ekspor dengan
menggunakan jasa bank melalui pengiriman dokumen
terkait Ekspor kepada bank di luar negeri.
29. Pembayaran di Muka (Advance Payment) adalah
pembayaran yang dilakukan oleh importir kepada
Eksportir, Pemilik Barang, dan/atau Pihak dalam Kontrak
6
Migas sebelum barang dikapalkan, baik untuk seluruh
(full payment) maupun sebagian (partial payment) nilai
barang.
30. Perintah Transfer Dana adalah perintah transfer dana
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang
mengatur mengenai transfer dana.
31. Transfer Dana Keluar (Outgoing Transfer) adalah transaksi
lalu lintas devisa Nasabah berupa transfer dana keluar
dalam valuta asing.
32. Hari adalah hari kerja Bank Indonesia.
BAB II
KEWAJIBAN PENERIMAAN DHE SDA
MELALUI REKSUS DHE SDA PADA BANK
Bagian Kesatu
Kewajiban Penerimaan DHE SDA
Pasal 2
(1) Seluruh DHE SDA wajib diterima melalui Bank pada
Reksus DHE SDA.
(2) Kewajiban penerimaan DHE SDA melalui Bank
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk:
a. DHE SDA milik pemerintah yang diterima melalui
Bank Indonesia; atau
b. DHE SDA yang diterima dalam bentuk uang tunai di
dalam negeri sepanjang dibuktikan dengan dokumen
pendukung yang memadai.
(3) Eksportir yang menerima DHE SDA dalam bentuk uang
tunai di dalam negeri sebagaimana ayat (2) huruf b harus
menyampaikan Dokumen Pendukung DHE SDA kepada
Bank Indonesia.
7
Pasal 3
Jenis barang Ekspor dengan kewajiban penerimaan DHE SDA
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 mengacu pada
Keputusan Menteri Keuangan mengenai penetapan barang
ekspor sumber daya alam.
Pasal 4
(1) Penerimaan DHE SDA sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) huruf b wajib dilakukan paling
lambat pada akhir bulan ketiga setelah bulan pendaftaran
PPE.
(2) Penerimaan DHE SDA sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) yang berasal dari cara pembayaran Usance L/C,
Konsinyasi, Pembayaran Kemudian, dan/atau Collection,
yang jatuh temponya melebihi atau sama dengan 3 (tiga)
bulan setelah bulan pendaftaran PPE wajib dilakukan
paling lama 14 (empat belas) hari kalender setelah tanggal
jatuh tempo pembayaran yang bersangkutan.
(3) Penentuan jatuh tempo pembayaran sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) untuk masing-masing cara
pembayaran diatur sebagai berikut:
a. jatuh tempo Usance L/C yaitu sesuai tenor yang
tercantum pada Usance L/C;
b. jatuh tempo Konsinyasi yaitu tanggal jatuh tempo
pembayaran oleh pembeli (buyer) kepada penerima
barang Konsinyasi (consignee) setelah barang
Konsinyasi terjual oleh penerima barang Konsinyasi
(consignee);
c. jatuh tempo Pembayaran Kemudian yaitu waktu
pembayaran yang disepakati antara Eksportir,
Pemilik Barang, dan/atau Pihak dalam Kontrak
Migas dengan importir setelah tanggal pengiriman
barang; dan
d. jatuh tempo Collection yaitu waktu bank penerima
amanat Collection menerima hasil penagihan dari
importir.
8
(4) Dalam hal batas akhir penerimaan DHE SDA sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) jatuh pada hari libur, penerimaan
DHE SDA dapat dilakukan paling lambat pada Hari
berikutnya.
(5) Eksportir yang menerima DHE SDA dengan cara
pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus
menyampaikan Dokumen Pendukung DHE SDA yang
memadai kepada Bank.
(6) Bank harus meneruskan Dokumen Pendukung DHE SDA
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) kepada Bank
Indonesia.
Pasal 5
(1) Nilai DHE SDA yang diterima sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) huruf b harus sesuai
dengan Nilai Ekspor.
(2) Penerimaan DHE SDA sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dapat dilakukan dalam valuta yang berbeda dengan
valuta yang tercantum pada PPE.
Pasal 6
(1) Dalam hal nilai DHE SDA lebih kecil dari Nilai Ekspor
dengan selisih kurang:
a. paling banyak ekuivalen Rp50.000.000,00 (lima
puluh juta rupiah); atau
b. paling banyak 10% (sepuluh persen) dari Nilai Ekspor
untuk Barang Tambang, yang disebabkan oleh
perbedaan harga, kualitas, komposisi, dan kuantitas
barang,
nilai DHE SDA yang diterima dianggap sesuai dengan Nilai
Ekspor sehingga Eksportir tidak perlu menyampaikan
Dokumen Pendukung DHE SDA.
(2) Dalam hal selisih kurang antara nilai DHE SDA dengan
Nilai Ekspor lebih besar dari ekuivalen Rp50.000.000,00
(lima puluh juta rupiah) yang disebabkan oleh selisih kurs,
diskon atau rabat, biaya administrasi, dan/atau biaya
lainnya terkait perdagangan internasional sehingga
9
terdapat selisih kurang antara nilai DHE SDA dan Nilai
Ekspor paling banyak 10% (sepuluh persen) dari Nilai
Ekspor, nilai DHE SDA yang diterima dianggap sesuai
dengan Nilai Ekspor apabila Eksportir menyampaikan
Dokumen Pendukung DHE SDA yang memadai.
(3) Dalam hal selisih kurang antara nilai DHE SDA dengan
Nilai Ekspor lebih besar dari ekuivalen Rp50.000.000,00
(lima puluh juta rupiah) yang disebabkan oleh Maklon,
Jasa Perbaikan, Operational Leasing, Financial Leasing,
perbedaan harga barang, perbedaan kualitas barang,
perbedaan komposisi barang, dan/atau perbedaan
kuantitas barang, nilai DHE SDA yang diterima dianggap
sesuai dengan Nilai Ekspor apabila Eksportir
menyampaikan Dokumen Pendukung DHE SDA yang
memadai.
(4) Dalam hal selisih kurang antara nilai DHE SDA dengan
Nilai Ekspor untuk Barang Tambang lebih besar dari 10%
(sepuluh persen) dari Nilai Ekspor yang disebabkan oleh
perbedaan harga, kualitas, komposisi, dan/atau kuantitas
barang, nilai DHE SDA yang diterima dianggap sesuai
dengan Nilai Ekspor apabila Eksportir menyampaikan
Dokumen Pendukung DHE SDA yang memadai.
Pasal 7
(1) Penerimaan nilai DHE SDA yang lebih kecil dari Nilai
Ekspor yang disebabkan Netting antara tagihan Ekspor
dengan kewajiban Eksportir hanya diperbolehkan untuk
Netting dengan pembayaran impor barang terkait kegiatan
Ekspor yang bersangkutan yang hanya melibatkan 2 (dua)
pihak.
(2) Dalam hal kegiatan Ekspor melibatkan lebih dari 2 (dua)
pihak, Netting antara tagihan Ekspor dengan kewajiban
Eksportir dalam bentuk impor barang terkait kegiatan
Ekspor yang bersangkutan hanya diperbolehkan apabila
pihak dimaksud berada dalam 1 (satu) grup.
(3) Penerimaan nilai DHE SDA yang lebih kecil dari Nilai
Ekspor yang disebabkan Netting antara tagihan Ekspor
10
dengan kewajiban Eksportir sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) dianggap sesuai dengan Nilai Ekspor
apabila Eksportir menyampaikan Dokumen Pendukung
DHE SDA berupa:
a. bukti transaksi Netting yang memadai; dan
b. surat pernyataan terkait Netting penerimaan DHE
SDA.
Pasal 8
(1) Eksportir yang menerima DHE SDA melalui Bank dengan
nilai lebih kecil dari Nilai Ekspor, dengan selisih kurang
lebih besar dari ekuivalen Rp50.000.000,00 (lima puluh
juta rupiah) yang disebabkan importir wanprestasi, pailit,
atau mengalami keadaan memaksa (force majeure), harus
menyampaikan Dokumen Pendukung DHE SDA yang
memadai kepada Bank untuk diteruskan kepada Bank
Indonesia.
(2) Eksportir yang tidak menerima DHE SDA atau menerima
DHE SDA dalam bentuk uang tunai dengan nilai lebih
kecil dari Nilai Ekspor dengan selisih kurang lebih besar
dari ekuivalen Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah),
yang disebabkan importir wanprestasi, pailit, atau
mengalami keadaan memaksa (force majeure), harus
menyampaikan Dokumen Pendukung DHE SDA yang
memadai kepada Bank Indonesia.
Pasal 9
(1) Dalam hal valuta DHE SDA sesuai dengan valuta pada PPE
maka besarnya selisih kurang antara nilai DHE SDA dan
Nilai Ekspor dikonversikan ke rupiah dengan
menggunakan kurs tengah Bank Indonesia pada akhir
bulan pendaftaran PPE.
(2) Dalam hal terdapat perbedaan valuta antara DHE SDA
dengan valuta pada PPE maka besarnya selisih kurang
antara nilai DHE SDA dan Nilai Ekspor dihitung setelah
masing-masing valuta dikonversikan ke rupiah dengan
11
menggunakan kurs tengah Bank Indonesia pada akhir
bulan pendaftaran PPE.
(3) Dalam hal valuta DHE SDA dan/atau valuta pada PPE
tidak terdapat dalam daftar kurs yang diumumkan oleh
Bank Indonesia maka besarnya selisih kurang antara nilai
DHE SDA dan Nilai Ekspor dihitung dengan cara sebagai
berikut:
a. nilai DHE SDA dan/atau Nilai Ekspor dalam masing-
masing valuta dikonversikan terlebih dahulu ke dolar
Amerika Serikat menggunakan kurs tengah Reuters
pada akhir bulan pendaftaran PPE; dan
b.
hasil konversi dalam dolar Amerika Serikat
sebagaimana dimaksud pada huruf a dikonversikan
ke rupiah dengan menggunakan kurs tengah Bank
Indonesia pada akhir bulan pendaftaran PPE untuk
selanjutnya dihitung selisihnya.
Pasal 10
(1) Dalam hal Ekspor dilakukan melalui PJT, ketentuan bagi
Eksportir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
dan ayat (2) huruf b, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7,
Pasal 8, dan Pasal 9, berlaku terhadap Pemilik Barang
sebagaimana tercantum dalam lembar lanjutan PPE.
(2) Dalam hal Ekspor Minyak dan Gas Bumi, ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2)
huruf b, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, dan
Pasal 9 berlaku terhadap Eksportir dan/atau Pihak dalam
Kontrak Migas.
Bagian Kedua
Pembukaan Reksus DHE SDA, Transfer Dana Masuk dan
Transfer Dana Keluar (Outgoing Transfer)
ke atau dari Reksus DHE SDA
Pasal 11
(1) Untuk memenuhi kewajiban penerimaan DHE SDA
melalui Bank pada Reksus DHE SDA sebagaimana
12
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), Eksportir harus
melakukan pembukaan Reksus DHE SDA pada Bank.
(2) Reksus DHE SDA sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berbentuk rekening giro, tabungan, atau rekening lainnya
yang dapat digunakan untuk melakukan transaksi.
(3) Reksus DHE SDA sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat berupa:
a. pembukaan rekening baru oleh Eksportir untuk
menampung penerimaan DHE SDA; atau
b. pengalihfungsian rekening yang telah dimiliki
Eksportir menjadi Reksus DHE SDA.
(4) Dalam hal Eksportir melakukan pengalihfungsian
rekening yang telah dimiliki menjadi Reksus DHE SDA
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b, dana yang
terdapat pada rekening yang telah dimiliki Eksportir
tersebut harus dikosongkan terlebih dahulu.
(5) Eksportir dapat membuka lebih dari 1 (satu) Reksus DHE
SDA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pada 1 (satu)
Bank atau lebih.
(6) Bank harus memastikan Nasabah yang akan melakukan
pembukaan Reksus DHE SDA merupakan Eksportir.
(7) Bank harus memberikan penanda khusus (flag) untuk
setiap Reksus DHE SDA di sistem internal Bank.
Pasal 12
(1) Pada saat mengajukan permohonan pembukaan Reksus
DHE SDA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1),
Eksportir harus menyampaikan dokumen pendukung
sebagai berikut:
a. dokumen yang dapat menunjukkan Ekspor atas hasil
pengusahaan, pengelolaan, dan/atau pengolahan
sumber daya alam; dan
b. surat pernyataan terkait Ekspor atas hasil kegiatan
pengusahaan, pengelolaan, dan/atau pengolahan
sumber daya alam.
(2) Surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b disusun dengan mengacu pada contoh
13
sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini.
Pasal 13
(1) Transfer dana masuk pada Reksus DHE SDA hanya dapat
berasal dari:
a. DHE SDA;
b. dana dari pencairan deposito dan/atau pembayaran
bunga deposito yang dananya bersumber dari Reksus
DHE SDA milik Eksportir yang sama; dan
c. dana yang berasal dari Reksus DHE SDA lain milik
Eksportir yang sama, baik di Bank lain maupun di
Bank yang sama.
(2) Bank harus memastikan transfer dana masuk pada
Reksus DHE SDA hanya berasal dari sumber sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
(3) Dalam hal terdapat transfer dana masuk ke Reksus DHE
SDA sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Eksportir
harus menyampaikan dokumen pendukung yang dapat
membuktikan bahwa dana masuk tersebut merupakan
DHE SDA.
(4) Transfer dana masuk yang berasal dari DHE SDA
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan
dengan mekanisme:
a. transfer langsung ke Reksus DHE SDA; atau
b. transfer terlebih dahulu melalui rekening selain
Reksus DHE SDA milik Eksportir.
(5) Dalam hal terdapat transfer dana masuk ke Reksus DHE
SDA selain dari sumber sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), Eksportir harus memindahkan dana dimaksud keluar
dari Reksus DHE SDA.
14
Pasal 14
(1) DHE SDA yang ditempatkan dalam Reksus DHE SDA
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) digunakan
oleh Eksportir untuk Transfer Dana Keluar (Outgoing
Transfer) guna pembayaran:
a. bea keluar dan pungutan lain di bidang Ekspor;
b. pinjaman;
c. impor;
d. keuntungan atau dividen; dan/atau
e. keperluan lain dari penanam modal sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur
mengenai penanaman modal.
(2) Dalam hal Eksportir melakukan Transfer Dana Keluar
(Outgoing Transfer) melalui Reksus DHE SDA sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dengan nilai setara di atas jumlah
tertentu (threshold), Eksportir harus menyampaikan
Dokumen Pendukung Outgoing Transfer kepada Bank.
(3) Bank hanya dapat melakukan pengaksepan Perintah
Transfer Dana untuk Transfer Dana Keluar (Outgoing
Transfer) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sepanjang
dilengkapi dengan Dokumen Pendukung Outgoing
Transfer.
(4) Dokumen Pendukung Outgoing Transfer sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dapat berupa dokumen yang
mendasari adanya kegiatan transaksi (underlying
transaction) Transfer Dana Keluar (Outgoing Transfer)
dalam valuta asing, yaitu:
a. tagihan dari penjual barang dan jasa di luar negeri;
b. kontrak pinjaman atau dokumen lain yang
menunjukkan adanya kewajiban pembayaran bunga
dan/atau pokok pinjaman;
c. kontrak atau dokumen lain yang menunjukkan
adanya kewajiban membayar royalti dan kewajiban
hak intelektual lainnya;
d. dokumen rapat umum pemegang saham yang
menunjukkan kewajiban pembagian dividen kepada
pemegang saham di luar negeri;
15
e.
perjanjian kerja atau dokumen kepegawaian lainnya
yang menunjukkan kewajiban membayar gaji dan
penghasilan lainnya;
f. dokumen likuidasi aset di dalam negeri yang
merupakan hak pihak di luar negeri; dan/atau
g. dokumen pengecualian atau penangguhan kewajiban
penggunaan rupiah untuk transaksi valuta asing di
dalam negeri.
(5) Dokumen Pendukung Outgoing Transfer sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) harus diterima sebelum
pelaksanaan penyelesaian transaksi.
(6) Bank harus meneruskan informasi kepada Bank
Indonesia mengenai penyampaian Dokumen Pendukung
Outgoing Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(7) Ketentuan mengenai mekanisme pengaksepan Perintah
Transfer Dana, threshold, dan penyampaian Dokumen
Pendukung Outgoing Transfer sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) sampai dengan ayat (6) mengacu pada
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
pemantauan kegiatan lalu lintas devisa bank dan
nasabah.
Pasal 15
(1) Dalam hal Ekspor dilakukan melalui PJT, ketentuan bagi
Eksportir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Pasal
12, Pasal 13, dan Pasal 14 berlaku terhadap Pemilik
Barang sebagaimana tercantum dalam lembar lanjutan
PPE.
(2) Dalam hal Ekspor Minyak dan Gas Bumi, ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Pasal 12, Pasal
13, dan Pasal 14 berlaku terhadap Eksportir dan/atau
Pihak dalam Kontrak Migas.
16
BAB III
PENYAMPAIAN INFORMASI, LAPORAN,
DAN DOKUMEN PENDUKUNG
Bagian Kesatu
Penyampaian Informasi dan Dokumen Pendukung DHE SDA
Pasal 16
(1) Eksportir harus menyampaikan informasi terkait
penerimaan DHE SDA kepada Bank paling lambat tanggal
5 bulan berikutnya setelah DHE SDA diterima yang paling
kurang meliputi:
a. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) Eksportir;
b. nama Eksportir;
c. Sandi Kantor Pabean;
d. Nomor PPE;
e. tanggal PPE;
f. jenis valuta DHE SDA;
g. jenis valuta PPE;
h. nilai DHE SDA;
i.
Nilai Ekspor; dan
j. keterangan.
(2) Bank harus menyampaikan informasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) kepada Bank Indonesia dalam
laporan rincian transaksi Ekspor,
(3) Penyampaian informasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) berlaku untuk PPE dengan nilai lebih besar dari
USD10,000.00 (sepuluh ribu dolar Amerika Serikat) atau
ekuivalennya.
(4) Dalam hal Eksportir bukan penerima DHE SDA, informasi
NPWP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan
nama Eksportir sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b yaitu NPWP dan nama penerima DHE SDA.
(5) Nilai DHE SDA yang dilaporkan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf h yaitu nilai DHE SDA yang diterima
oleh Eksportir melalui Reksus DHE SDA di Bank.
17
(6) Nilai Ekspor yang digunakan oleh Bank Indonesia untuk
menghitung selisih kurang antara nilai DHE SDA dan Nilai
Ekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6,
Pasal 7, Pasal 8, dan Pasal 9, yaitu Nilai Ekspor yang
diterima dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC).
(7) Dalam hal terdapat perbedaan antara Nilai Ekspor yang
disampaikan Eksportir sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf i dengan Nilai Ekspor yang diterima Bank
Indonesia dari DJBC sebagaimana dimaksud pada ayat
(6), Bank Indonesia memutuskan data PPE yang dijadikan
acuan pemenuhan ketentuan DHE SDA.
Pasal 17
(1) Dokumen Pendukung DHE SDA sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b berisi keterangan mengenai
penerimaan DHE SDA dalam bentuk uang tunai di dalam
negeri.
(2) Eksportir harus menyampaikan Dokumen Pendukung
DHE SDA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada
Bank Indonesia paling lambat tanggal 5 pada bulan
berikutnya setelah bulan pendaftaran PPE.
(3) Penyampaian Dokumen Pendukung DHE SDA kepada
Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
berlaku untuk PPE dengan nilai lebih besar dari
USD10,000.00 (sepuluh ribu dolar Amerika Serikat) atau
ekuivalennya.
Pasal 18
(1) Dokumen Pendukung DHE SDA untuk cara pembayaran
Usance L/C, Konsinyasi, Pembayaran Kemudian,
dan/atau Collection sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (2) yaitu sebagai berikut:
a. Usance L/C, dapat berupa fotokopi SWIFT message
L/C, bill of lading, dan/atau packing list;
b. Konsinyasi, dapat berupa fotokopi dokumen
kesepakatan Konsinyasi dan/atau invoice consignee
kepada buyer;
18
c. Pembayaran Kemudian, dapat berupa fotokopi
dokumen kesepakatan antara Eksportir dan importir;
dan
d. Collection, dapat berupa fotokopi dokumen
kesepakatan jual beli.
(2) Eksportir harus menyampaikan Dokumen Pendukung
DHE SDA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada
Bank paling lambat tanggal 5 pada bulan berikutnya
setelah bulan pendaftaran PPE.
(3) Bank harus menyampaikan Dokumen Pendukung DHE
SDA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Bank
Indonesia.
Pasal 19
(1) Dokumen Pendukung DHE SDA sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 berisi keterangan mengenai penyebab
selisih kurang antara nilai DHE SDA dan Nilai Ekspor,
yaitu:
a. untuk selisih kurs, diskon atau rabat, biaya
administrasi, dan/atau biaya lainnya terkait
perdagangan internasional sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 ayat (2), dapat berupa invoice, SWIFT
message, bukti transfer lainnya dari Bank, dan/atau
nota debet (debit note);
b. untuk Maklon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
ayat (3), dapat berupa kesepakatan atau perjanjian
dan/atau invoice terkait Maklon;
c. untuk Jasa Perbaikan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 ayat (3), dapat berupa kesepakatan atau
perjanjian dan/atau invoice terkait Jasa Perbaikan;
d. untuk Operational Leasing sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 ayat (3), dapat berupa kesepakatan
atau perjanjian sewa guna usaha tanpa hak opsi
untuk membeli;
e. untuk Financial Leasing sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 ayat (3), dapat berupa kesepakatan
19
atau perjanjian sewa guna usaha dengan hak opsi
untuk membeli dan/atau invoice;
f. untuk perbedaan harga barang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) dan ayat (4), dapat
berupa invoice, nota kredit (credit note), nota debet
(debit note), dan/atau keterangan dari importir
dan/atau lembaga lain terkait nilai barang yang
diimpor; dan
g. untuk perbedaan kualitas, komposisi, dan/atau
kuantitas barang sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 ayat (3) dan ayat (4), dapat berupa invoice,
nota kredit (credit note), nota debet (debit note),
certificate of analysis, dan/atau keterangan dari
importir dan/atau lembaga lain terkait barang yang
diimpor.
(2) Eksportir harus menyampaikan Dokumen Pendukung
DHE SDA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada
Bank paling lambat tanggal 5 pada bulan berikutnya
setelah DHE SDA diterima.
(3) Bank harus menyampaikan Dokumen Pendukung DHE
SDA sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Bank
Indonesia.
Pasal 20
(1) Dokumen Pendukung DHE SDA untuk bukti transaki
Netting sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3)
huruf a dapat berupa rekapitulasi dan rincian Netting
report (account receivable/account payable), kesepakatan
Netting, fotokopi pemberitahuan pabean impor, dan/atau
invoice.
(2) Dokumen Pendukung DHE SDA untuk surat pernyataan
terkait Netting sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat
(3) huruf b berisi informasi yang menegaskan bahwa:
a. barang yang diimpor digunakan dalam proses
menghasilkan barang Ekspor sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2); dan
20
b. pihak yang melakukan Netting antara tagihan Ekspor
dengan kewajiban impor barang terkait kegiatan
Ekspor yang bersangkutan berada dalam 1 (satu)
grup, dalam hal Netting melibatkan lebih dari 2 (dua)
pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2).
(3) Surat pernyataan terkait Netting sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dapat disusun dengan mengacu pada contoh
sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini.
(4) Eksportir harus menyampaikan bukti transaksi Netting
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan surat
pernyataan terkait Netting sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dengan ketentuan sebagai berikut:
a. untuk penerimaan DHE SDA melalui Bank maka
Eksportir menyampaikan bukti transaksi Netting dan
surat pernyataan terkait Netting kepada Bank yang
bersangkutan paling lambat tanggal 5 pada bulan
berikutnya setelah DHE SDA diterima; dan
b. untuk penerimaan DHE SDA tidak melalui Bank
maka Eksportir menyampaikan secara langsung
bukti transaksi Netting dan surat pernyataan terkait
Netting kepada Bank Indonesia paling lambat:
1. tanggal 5 pada bulan keempat setelah bulan
pendaftaran PPE; atau
2. tanggal 5 pada bulan berikutnya setelah tanggal
jatuh tempo pembayaran.
(5) Bank harus menyampaikan bukti transaksi Netting dan
surat pernyataan terkait Netting sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) huruf a kepada Bank Indonesia.
Pasal 21
(1) Dokumen Pendukung DHE SDA untuk importir
wanprestasi, pailit, atau mengalami keadaan memaksa
(force majeure) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 yaitu
sebagai berikut:
21
a. untuk importir wanprestasi atau mengalami keadaan
memaksa (force majeure), dapat berupa keterangan
dari importir dan/atau lembaga lain yang terkait; dan
b. untuk importir pailit, dapat berupa keterangan pailit
dari instansi atau pihak yang berwenang di negara
tempat kedudukan importir.
(2) Eksportir harus menyampaikan Dokumen Pendukung
DHE SDA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. untuk penerimaan DHE SDA yang diperjanjikan
kurang dari 3 (tiga) bulan setelah bulan pendaftaran
PPE, Dokumen Pendukung DHE SDA disampaikan
paling lambat akhir bulan ketiga setelah bulan
pendaftaran PPE; dan
b. untuk penerimaan DHE SDA yang diperjanjikan
dengan cara pembayaran menggunakan Usance L/C,
Konsinyasi, Pembayaran Kemudian, dan/atau
Collection yang jatuh temponya melebihi atau sama
dengan 3 (tiga) bulan setelah bulan pendaftaran PPE,
Dokumen Pendukung DHE SDA disampaikan paling
lama 14 (empat belas) hari kalender setelah tanggal
jatuh tempo pembayaran.
Pasal 22
(1) Penerimaan DHE SDA sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 dalam rangka Pembayaran di Muka (Advance
Payment) diatur sebagai berikut:
a. Eksportir harus menyampaikan keterangan dan data
terkait penerimaan DHE SDA kepada Bank paling
lambat tanggal 5 pada bulan berikutnya setelah DHE
SDA diterima;
b. keterangan dan data sebagaimana dimaksud pada
huruf a meliputi:
1. NPWP Eksportir;
2. nama Eksportir; dan
22
3. keterangan penerimaan atas Pembayaran di
Muka (Advance Payment) baik sebagian maupun
secara penuh atas nilai DHE SDA yang diterima;
c.
setelah barang diekspor, Eksportir harus
menyampaikan keterangan dan data terkait Ekspor
kepada Bank paling lambat tanggal 5 pada bulan
berikutnya setelah bulan pendaftaran PPE;
d. keterangan dan data sebagaimana dimaksud pada
huruf c meliputi:
1.
tanggal PPE;
2. Sandi Kantor Pabean;
3. Nomor PPE;
4. Nilai Ekspor; dan
5.
nilai DHE SDA yang merupakan nilai
Pembayaran di Muka (Advance Payment) yang
telah diselesaikan dengan pengiriman barang;
dan
e. dalam hal terdapat selisih kurang antara nilai DHE
SDA dan Nilai Ekspor terkait pelunasan atas
Pembayaran di Muka (Advance Payment), Eksportir
harus menyampaikan Dokumen Pendukung DHE
SDA yang memadai kepada Bank.
(2) Bank harus menyampaikan informasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf c kepada Bank
Indonesia.
Pasal 23
Apabila batas akhir penyampaian informasi dan Dokumen
Pendukung DHE SDA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16
ayat (1) dan Pasal 17 sampai dengan Pasal 22 jatuh pada hari
libur, penyampaian informasi, keterangan, dan Dokumen
Pendukung DHE SDA dilakukan paling lambat pada Hari
berikutnya.
Pasal 24
Dalam hal Eksportir, Pemilik Barang, dan Pihak dalam Kontrak
Migas tidak menyampaikan Dokumen Pendukung DHE SDA
23
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 sampai dengan Pasal
22 maka:
a.
b. Eksportir, Pemilik Barang, dan Pihak dalam Kontrak Migas
dianggap tidak memenuhi kewajiban sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 dan/atau Pasal 4.
Pasal 25
Dalam hal Ekspor dilakukan melalui PJT maka PJT harus:
a. menyampaikan fotokopi izin penyelenggaraan jasa titipan
dari instansi terkait kepada Bank Indonesia;
b. mengisi lembar lanjutan khusus PJT secara akurat sesuai
dengan ketentuan kepabeanan yang berlaku; dan
c. menyampaikan informasi PPE kepada Pemilik Barang
dalam rangka pengisian laporan rincian transaksi Ekspor
oleh Pemilik Barang.
Pasal 26
Dalam hal Ekspor dilakukan melalui PJT, Pemilik Barang
sebagaimana tercantum dalam lembar lanjutan PPE harus
menyampaikan informasi, keterangan, dan Dokumen
Pendukung DHE SDA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16
ayat (1) dan Pasal 17 sampai dengan Pasal 22.
Pasal 27
Dalam hal Ekspor Minyak dan Gas Bumi, Eksportir dan/atau
Pihak dalam Kontrak Migas harus menyampaikan informasi,
keterangan, dan Dokumen Pendukung DHE SDA sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) dan Pasal 17 sampai dengan
Pasal 22.
nilai DHE yang diterima dianggap tidak sesuai dengan
Nilai Ekspor; dan
24
Bagian Kedua
Penyampaian Informasi untuk Setiap Transfer Dana Masuk
dan Transfer Dana Keluar (Outgoing Transfer)
Melalui Reksus DHE SDA
Pasal 28
(1) Eksportir harus menyampaikan informasi kepada Bank
untuk setiap transfer dana masuk dan/atau Transfer
Dana Keluar (Outgoing Transfer) melalui Reksus DHE SDA,
yang paling kurang meliputi informasi:
a.
nilai transaksi;
b. tujuan transaksi;
c. pelaku transaksi; dan
d. hubungan keuangan antarpelaku transaksi.
(2) Bank harus menyampaikan informasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) kepada Bank Indonesia dalam
laporan lalu lintas devisa.
Pasal 29
Dalam hal Ekspor dilakukan melalui PJT, ketentuan bagi
Eksportir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 berlaku
terhadap Pemilik Barang, sebagaimana tercantum dalam
lembar lanjutan PPE.
Pasal 30
Dalam hal Ekspor Minyak dan Gas Bumi, ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 berlaku terhadap
Eksportir dan/atau Pihak dalam Kontrak Migas.
Pasal 31
Tata cara penyampaian informasi dan Dokumen Pendukung
DHE SDA ke Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada
Pasal 16 ayat (2), Pasal 18 ayat (3), Pasal 19 ayat (3), Pasal 20
ayat (5), Pasal 22 ayat (2), dan Pasal 28 ayat (2) mengacu pada
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
pemantauan kegiatan lalu lintas devisa bank dan nasabah.
25
BAB IV
PENGAWASAN
Pasal 32
(1) Bank Indonesia melakukan pengawasan kepada:
a. Eksportir, Pemilik Barang, dan/atau Pihak dalam
Kontrak Migas; dan
b. Bank,
terhadap pemenuhan kewajiban penerimaan DHE SDA
melalui Reksus DHE SDA dan penggunaan DHE SDA.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. pengawasan tidak langsung; dan/atau
b. pemeriksaan.
(3) Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Bank Indonesia dapat:
a. meminta penjelasan, bukti, catatan, dan/atau
dokumen pendukung, dengan atau tanpa melibatkan
instansi terkait; dan
b. melakukan kegiatan lainnya yang ditetapkan oleh
Bank Indonesia.
(4) Dalam hal diperlukan, dalam melakukan pengawasan
Bank Indonesia dapat menunjuk pihak lain untuk
melakukan penelitian kebenaran dokumen pendukung.
Pasal 33
(1) Berdasarkan hasil pengawasan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 32, Bank Indonesia menyampaikan surat
pemantauan pertama kepada Eksportir yang belum
memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 dan/atau Pasal 4.
(2) Eksportir harus menindaklanjuti dan/atau memberikan
tanggapan atas surat pemantauan pertama sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu sebagaimana
tercantum dalam surat pemantauan pertama.
(3) Apabila sampai dengan jangka waktu sebagaimana
tercantum dalam surat pemantauan pertama Eksportir
26
belum menindaklanjuti dan/atau memberikan tanggapan
atas surat pemantauan pertama, Bank Indonesia
menyampaikan surat pemantauan kedua.
(4) Eksportir harus menindaklanjuti dan/atau memberikan
tanggapan atas surat pemantauan kedua sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dalam jangka waktu sebagaimana
tercantum dalam surat pemantauan kedua.
Pasal 34
(1) Bank Indonesia menyampaikan informasi hasil
pengawasan dan pelanggaran yang dilakukan oleh
Eksportir, Pemilik Barang, dan/atau Pihak dalam Kontrak
Migas yang belum memenuhi kewajiban sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 dan/atau Pasal 4 dan tidak
memberikan tanggapan terhadap surat pemantauan
kedua sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (4)
yang membuktikan pemenuhan kewajiban sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 dan/atau Pasal 4.
(2) Bank Indonesia menyampaikan informasi
hasil
pengawasan dan pelanggaran sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) kepada:
a. Kementerian Keuangan c.q. DJBC; dan
b. kementerian dan/atau lembaga teknis terkait,
untuk ditindaklanjuti sesuai dengan kewenangan masing-
masing.
(3) Penyampaian informasi hasil pengawasan dan
pelanggaran kepada kementerian dan/atau lembaga
teknis terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf
b dilakukan sepanjang kementerian dan/atau lembaga
teknis terkait dimaksud memiliki ketentuan pelaksanaan
atas Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai
devisa hasil ekspor dari kegiatan pengusahaan,
pengelolaan, dan/atau pengolahan sumber daya alam.
Pasal 35
(1) Bank Indonesia menyampaikan surat pemantauan
pertama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1)
27
dan surat pemantauan kedua sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 33 ayat (3) kepada Eksportir dengan alamat
sebagaimana tercantum dalam Nomor Identitas
Kepabeanan (NIK) atau informasi lain yang disampaikan
oleh Eksportir.
(2) Dalam hal Ekspor dilakukan oleh PJT, surat pemantauan
pertama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1)
dan surat pemantauan kedua sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 33 ayat (3) disampaikan kepada Pemilik
Barang.
(3) Dalam hal Ekspor Minyak dan Gas Bumi, surat
pemantauan pertama sebagaimana dimaksud dalam Pasal
33 ayat (1) dan surat pemantauan kedua sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 33 ayat (3) disampaikan kepada
Eksportir dan/atau Pihak dalam Kontrak Migas.
Pasal 36
(1) Eksportir yang telah dikenai sanksi penangguhan atas
pelayanan kepabeanan oleh DJBC harus menyampaikan
bukti pemenuhan kewajiban sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 dan/atau Pasal 4 kepada Bank Indonesia.
(2) Bukti pemenuhan kewajiban sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat berupa fotokopi SWIFT message, credit
advice, rekening koran, dan/atau informasi lain.
(3) Dalam hal berdasarkan penelitian Bank Indonesia
terhadap bukti pemenuhan kewajiban sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) Eksportir tidak melakukan
pelanggaran terhadap kewajiban sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 dan/atau Pasal 4, Bank Indonesia
menyampaikan informasi kepada DJBC dengan tembusan
kepada Eksportir.
(4) Dalam hal Ekspor dilakukan melalui PJT:
a. bukti pemenuhan kewajiban sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) disampaikan oleh Pemilik Barang
kepada Bank Indonesia; dan
28
b. tembusan surat penyampaian informasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) disampaikan oleh Bank
Indonesia kepada Pemilik Barang.
(5) Dalam hal Ekspor Minyak dan Gas Bumi:
a. bukti pemenuhan kewajiban sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) disampaikan oleh Eksportir dan/atau
Pihak dalam Kontrak Migas kepada Bank Indonesia.
b. tembusan surat penyampaian informasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) disampaikan oleh Bank
Indonesia kepada Eksportir dan/atau Pihak dalam
Kontrak Migas.
BAB V
KORESPONDENSI
Pasal 37
(1) Penyampaian surat dan komunikasi dengan Bank
Indonesia berkaitan dengan Peraturan Anggota Dewan
Gubernur ini ditujukan kepada:
Bank Indonesia
Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan
c.q. Grup Pengelolaan dan Pengawasan Laporan LLD dan
DHE
Menara Sjafruddin Prawiranegara Lt.16
Jl. M.H. Thamrin No. 2
Jakarta 10350
(2) Dalam hal terjadi perubahan alamat korespondensi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia
memberitahukan perubahan dimaksud melalui surat
dan/atau media lainnya.
BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 38
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada
tanggal ditetapkan.
29
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 19 Juli 2019
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR,
MIRZA ADITYASWARA
i
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 21/15/PADG/2019
TENTANG
PENERIMAAN DEVISA HASIL EKSPOR DARI KEGIATAN PENGUSAHAAN,
PENGELOLAAN, DAN/ATAU PENGOLAHAN SUMBER DAYA ALAM
I. UMUM
Pembangunan ekonomi nasional membutuhkan sumber dana yang
memadai dan berkesinambungan, baik yang berasal dari dalam negeri
maupun luar negeri. Salah satu sumber pendanaan dari luar negeri yang
relatif stabil dan berkesinambungan (sustainable) yaitu DHE yang juga
penting untuk mendukung stabilitas nilai rupiah dan makroekonomi
secara keseluruhan.
Sejalan dengan telah diterbitkannya Peraturan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai penerimaan devisa hasil ekspor dari kegiatan
pengusahaan, pengelolaan, dan/atau pengolahan sumber daya alam untuk
optimalisasi pemanfaatan devisa hasil ekspor, dan untuk meningkatkan
kualitas informasi yang diperoleh guna pemantauan kepatuhan DHE yang
lebih efektif, perlu disusun ketentuan pelaksanaan mengenai DHE SDA
yang mengatur antara lain mengenai kewajiban penerimaan DHE SDA
melalui Reksus DHE SDA di Bank.
Penyesuaian pengaturan ini tetap berlandaskan pada sistem devisa
bebas yang berlaku selama ini yaitu setiap penduduk dapat dengan bebas
memiliki dan menggunakan devisa sebagaimana diatur dalam Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai
Tukar.
2
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “wajib diterima melalui Bank pada Reksus
DHE SDA” tidak termasuk kewajiban menyimpan dalam jangka
waktu tertentu dan/atau mengonversi ke dalam mata uang
rupiah.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “diterima dalam bentuk uang tunai”
adalah penerimaan DHE SDA dalam bentuk pembayaran
uang kertas dan/atau uang logam.
Ayat (3)
Dokumen Pendukung DHE SDA dinilai memadai apabila menurut
Bank Indonesia dokumen yang bersangkutan dapat
membuktikan terjadinya penerimaan DHE SDA dalam bentuk
uang tunai di dalam negeri dan memenuhi aspek kewajaran
untuk dilakukan pembayaran dalam bentuk uang tunai, antara
lain dari aspek jumlah dan jenis transaksinya.
Contoh:
Perusahaan A melakukan ekspor sumber daya alam ke
perusahaan B di luar negeri yang pembayarannya diterima dalam
uang tunai di dalam negeri untuk disetor ke Bank. Dokumen
Pendukung DHE SDA yang diperlukan antara lain tanda terima
pembayaran dan/atau fotokopi rekening koran yang
menunjukkan penyetoran uang tunai tersebut.
Pasal 3
Cukup jelas.
3
Pasal 4
Ayat (1)
Contoh:
Perusahaan A mengekspor komoditas sumber daya alam ke luar
negeri dengan tanggal PPE 6 Mei 2019. Dalam hal ini, perusahaan
A wajib menerima DHE SDA melalui Bank pada Reksus DHE SDA
paling lambat tanggal 31 Agustus 2019.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Contoh:
Importir membuka Usance L/C yang jatuh tempo
pembayarannya 180 hari setelah tanggal pengapalan barang
yang tercantum dalam bill of lading. Apabila tanggal
pengapalan barang 10 Juli 2019 dan tanggal jatuh tempo
pembayaran adalah 6 Januari 2020 maka DHE SDA wajib
diterima melalui Bank pada Reksus DHE SDA paling lambat
tanggal 20 Januari 2020.
Huruf b
Contoh:
Perusahaan B melakukan kontrak jual beli barang
Konsinyasi. Barang Konsinyasi dikirim pada bulan Mei 2019
dan terjual pada tanggal 20 November 2019 serta dibayar
oleh pembeli sesuai tanggal jatuh tempo pembayaran, yaitu
pada tanggal 22 November 2019. Dalam hal ini DHE SDA
wajib diterima melalui Bank pada Reksus DHE SDA paling
lambat pada tanggal 6 Desember 2019.
Huruf c
Contoh:
Perusahaan C mengirim barang ke luar negeri pada bulan
Maret 2019 dengan perjanjian jatuh tempo pembayaran
dilakukan pada tanggal 10 September 2019. DHE SDA wajib
diterima melalui Bank pada Reksus DHE SDA paling lambat
tanggal 24 September 2019.
4
Huruf d
Contoh:
Perusahaan D mengirim barang ke luar negeri pada bulan
Juni 2019 dan mempercayakan bank M di luar negeri untuk
melakukan penagihan ke importir. Bank M menerima hasil
penagihan pada tanggal 12 November 2019. DHE SDA wajib
diterima melalui Bank pada Reksus DHE SDA paling lambat
pada tanggal 26 November 2019.
Ayat (4)
Contoh:
Apabila batas waktu penerimaan DHE SDA jatuh pada tanggal 24
Agustus 2019 (hari Sabtu) yang merupakan hari libur maka DHE
SDA paling lambat diterima melalui Bank pada Reksus DHE SDA
pada hari Senin, tanggal 26 Agustus 2019.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Contoh:
Dalam dokumen PPE, Nilai Ekspor sumber daya alam perusahaan
A tercantum sebesar USD500,000.00 (lima ratus ribu dolar
Amerika Serikat). Perusahaan A dapat menerima DHE SDA
tersebut melalui Bank pada Reksus DHE SDA dalam valuta selain
dolar Amerika Serikat, misalnya euro, yen, dan/atau renminbi.
Pasal 6
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
5
Huruf b
Contoh:
Perusahaan A melakukan Ekspor komoditas batubara
dengan Nilai Ekspor sebesar USD800,000.00 (delapan ratus
ribu dolar Amerika Serikat). DHE SDA yang diterima sebesar
USD750,000.00 (tujuh ratus lima puluh ribu dolar Amerika
Serikat) karena adanya perbedaan kualitas barang. Dengan
demikian terdapat selisih kurang sebesar USD50,000.00
(lima puluh ribu dolar Amerika Serikat) atau sebesar 6,25%
(enam koma dua puluh lima persen) dari Nilai Ekspor.
Mengingat selisih kurang nilai DHE SDA dan Nilai Ekspor
kurang dari 10% (sepuluh persen) maka nilai DHE SDA yang
diterima dianggap sesuai dengan Nilai Ekspor dan
perusahaan A tidak perlu menyampaikan Dokumen
Pendukung DHE SDA.
Ayat (2)
Dokumen Pendukung DHE SDA dinilai memadai apabila
menurut Bank Indonesia dokumen tersebut dapat membuktikan
terjadinya selisih kurang antara nilai DHE SDA dan Nilai Ekspor,
yang disebabkan oleh selisih kurs, diskon atau rabat, biaya
administrasi, dan/atau biaya lainnya terkait perdagangan
internasional.
Contoh:
Perusahaan B melakukan ekspor dengan nilai yang tercantum di
dokumen PPE sebesar USD180,000.00 (seratus delapan puluh
ribu dolar Amerika Serikat). DHE SDA yang diterima sebesar
USD170,000.00 (seratus tujuh puluh ribu dolar Amerika Serikat)
setelah dipotong biaya administrasi, rabat, dan biaya transportasi
barang dengan total sebesar USD10,000.00 (sepuluh ribu dolar
Amerika Serikat) atau 5,9% dari Nilai Ekspor. Kurs tengah Bank
Indonesia pada akhir bulan pendaftaran PPE yaitu
Rp14.500,00/USD maka selisih kurang antara nilai DHE SDA
dan Nilai Ekspor dalam rupiah adalah sebesar ((USD170,000.00
x Rp14.500,00/USD) – (USD180,000.00 x Rp14.500,00/USD)) =
Rp145.000.000,00. Dalam hal ini, penerimaan DHE SDA
dianggap sesuai dengan Nilai Ekspor apabila perusahaan B
menyampaikan Dokumen Pendukung DHE SDA yang dapat
6
membuktikan adanya biaya administrasi, rabat, dan biaya
transportasi barang.
Ayat (3)
Dokumen Pendukung DHE SDA dinilai memadai apabila
menurut Bank Indonesia dokumen tersebut dapat membuktikan
terjadinya selisih kurang antara nilai DHE SDA dan Nilai Ekspor,
yang disebabkan oleh Maklon, Jasa Perbaikan, Operational
Leasing, Financial Leasing, perbedaan harga barang, perbedaan
kualitas barang, perbedaan komposisi barang, dan/atau
perbedaan kuantitas barang.
Contoh:
Perusahaan C menerima DHE SDA sebesar USD534,000.00 (lima
ratus tiga puluh empat ribu dolar Amerika Serikat) atas
pengiriman barang dengan Nilai Ekspor sebesar USD540,000.00
(lima ratus empat puluh ribu dolar Amerika Serikat). Dengan
demikian terdapat selisih sebesar USD6,000.00 (enam ribu dolar
Amerika Serikat). Selisih sebesar USD6,000.00 (enam ribu dolar
Amerika Serikat) tersebut berasal dari perbedaan harga barang
pada saat perjanjian Ekspor dengan harga pada saat barang
diterima yaitu USD3,000.00 (tiga ribu dolar Amerika Serikat) dan
perbedaan kualitas barang yaitu USD3,000.00 (tiga ribu dolar
Amerika Serikat). Kurs tengah Bank Indonesia pada akhir bulan
pendaftaran PPE yaitu Rp14.250,00/USD maka selisih kurang
antara nilai DHE SDA dan Nilai Ekspor dalam rupiah adalah
sebesar ((USD540,000.00 x Rp14.250,00/USD) – (USD534,000.00
x Rp14.250,00/USD)) = Rp85.500.000,00. Mengingat selisih
kurang nilai DHE SDA dengan Nilai Ekspor dalam rupiah lebih
besar dari Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) maka
penerimaan DHE SDA dianggap sesuai dengan Nilai Ekspor
apabila perusahaan C menyampaikan Dokumen Pendukung DHE
SDA yang membuktikan perbedaan harga barang dan perbedaan
kualitas barang.
Ayat (4)
Dokumen Pendukung DHE SDA dinilai memadai apabila
menurut Bank Indonesia dokumen tersebut dapat membuktikan
terjadinya selisih kurang antara nilai DHE SDA dan Nilai Ekspor,
7
yang disebabkan oleh perbedaan harga, kualitas, komposisi,
dan/atau kuantitas barang.
Contoh:
Perusahaan D melakukan ekspor komoditas timah dengan Nilai
Ekspor sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika
Serikat). DHE SDA yang diterima sebesar USD850,000.00
(delapan ratus lima puluh ribu dolar Amerika Serikat) karena
adanya perbedaan perkiraan harga barang sewaktu pengisian
PPE dengan realisasi harga saat barang dibayar oleh importir.
Dengan demikian terdapat selisih kurang sebesar USD150,000.00
(seratus lima puluh ribu dolar Amerika Serikat) atau sebesar 15%
(lima belas persen) dari Nilai Ekspor. Mengingat selisih kurang
nilai DHE SDA dan Nilai Ekspor lebih besar dari 10% (sepuluh
persen) maka nilai DHE SDA yang diterima dianggap sesuai
dengan Nilai Ekspor apabila perusahaan D menyampaikan
Dokumen Pendukung DHE SDA yang memadai.
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pihak yang berada dalam 1 (satu) grup merupakan badan hukum
atau badan lain yang memiliki hubungan berdasarkan
kepemilikan dan/atau pemegang saham yang sama.
Ayat (3)
Huruf a
Bukti transaksi Netting dapat berupa antara lain
kesepakatan penyelesaian Netting tagihan Ekspor dengan
kewajiban impor barang terkait kegiatan Ekspor yang
bersangkutan, laporan konsolidasi Netting tagihan Ekspor
dengan kewajiban impor barang dan invoice.
Bukti transaksi Netting dinilai memadai apabila menurut
penilaian Bank Indonesia dokumen tersebut dapat
membuktikan adanya Netting yang diperbolehkan.
Huruf b
Cukup jelas.
8
Pasal 8
Ayat (1)
Dokumen pendukung dinilai memadai apabila menurut Bank
Indonesia dokumen yang bersangkutan dapat membuktikan
kondisi importir wanprestasi, pailit, atau mengalami keadaan
memaksa (force majeure).
Ayat (2)
Dokumen pendukung dinilai memadai apabila menurut Bank
Indonesia dokumen tersebut dapat membuktikan kondisi importir
wanprestasi, pailit, atau mengalami keadaan memaksa (force
majeure).
Pasal 9
Ayat (1)
Contoh:
Perusahaan B melakukan ekspor sumber daya alam pada tanggal
2 Juli 2019 sebesar EUR50,000.00 (lima puluh ribu euro) dan
menerima DHE SDA pada tanggal 16 Agustus 2019 sebesar
EUR40,000.00 (empat puluh ribu euro). Dalam hal ini, selisih
kurang antara nilai DHE SDA dan Nilai Ekspor dengan
menggunakan kurs tengah Bank Indonesia pada tanggal 31 Juli
2019 (misalnya Rp16.000,00/EUR) yaitu sebesar ((EUR50,000.00
x Rp16.000,00/EUR) – (EUR40,000.00 x Rp16.000,00/EUR)) =
Rp160.000.000,00.
Ayat (2)
Contoh:
Perusahaan C melakukan ekspor sumber daya alam pada tanggal
15 Juli 2019 sebesar EUR50,000.00 (lima puluh ribu euro) dan
menerima DHE SDA pada tanggal 22 Agustus 2019 sebesar
AUD40,000.00 (empat puluh ribu dolar Australia). Dalam hal ini,
selisih kurang antara nilai DHE SDA dan Nilai Ekspor dengan
menggunakan kurs tengah Bank Indonesia tanggal 31 Juli 2019
(misalnya Rp10.000,00/AUD dan Rp16.000,00/EUR) yaitu
sebesar ((EUR50,000.00 x Rp16.000,00/EUR) – (AUD40,000.00 x
Rp10.000,00/AUD)) = Rp400.000.000,00.
9
Ayat (3)
Contoh:
Perusahaan D melakukan ekspor sumber daya alam pada tanggal
20 Juli 2019 sebesar INR5,000,000.00 (lima juta rupee India) dan
menerima DHE SDA pada tanggal 23 Agustus 2019 sebesar
INR4,000,000.00 (empat juta rupee India). Berdasarkan kurs
tengah Reuters pada tanggal 31 Juli 2019 (USD0.015/INR)
dihitung Nilai Ekspor sebesar (INR5,000,000.00 x USD0.015/INR)
= USD75,000.00 dan nilai DHE SDA sebesar (INR4,000,000.00 x
USD0.015/INR) = USD60,000.00. Dalam hal ini selisih kurang
antara nilai DHE SDA dan Nilai Ekspor dengan menggunakan
kurs tengah Bank Indonesia tanggal 31 Juli 2019
(Rp16.000,00/USD)
yaitu
sebesar ((USD75,000.00 x
Rp16.000,00/USD)) – (USD60,000.00 x Rp16.000,00/USD)) =
Rp240.000.000,00.
Pasal 10
Ayat (1)
Contoh:
PJT melakukan Ekspor barang milik perusahaan A. Dalam hal ini,
ketentuan bagi Eksportir berlaku terhadap perusahaan A.
Ayat (2)
Contoh 1:
Dalam kontrak kerja sama minyak bumi, perusahaan B berperan
sebagai operator, sementara perusahaan C dan perusahaan D
berperan sebagai participating interest. Untuk setiap Ekspor
minyak bumi, PPE diterbitkan atas nama masing-masing
perusahaan sesuai dengan hasil lifting-nya. Dalam hal ini,
ketentuan bagi Eksportir berlaku terhadap perusahaan B,
perusahaan C, dan perusahaan D, selaku Eksportir.
Contoh 2:
Dalam kontrak kerja sama gas bumi, perusahaan E berperan
sebagai operator, sementara perusahaan F dan perusahaan G
berperan sebagai participating interest. Untuk setiap Ekspor gas
bumi yang merupakan hasil joint lifting ketiga perusahaan
tersebut, PPE diterbitkan atas nama perusahaan E. Dalam hal ini,
ketentuan bagi Eksportir berlaku terhadap perusahaan E selaku
10
Eksportir sekaligus Pihak dalam Kontrak Migas serta perusahaan
F dan perusahaan G selaku Pihak dalam Kontrak Migas.
Contoh 3:
Dalam kontrak kerja sama gas bumi, perusahaan H berperan
sebagai operator, sementara perusahaan I dan perusahaan J
berperan sebagai participating interest. Untuk setiap Ekspor gas
bumi yang merupakan hasil joint lifting ketiga perusahaan
tersebut, PPE diterbitkan atas nama perusahaan K selaku
Eksportir yang tidak memiliki hak atas hasil lifting. Dalam hal ini,
ketentuan bagi Eksportir berlaku terhadap perusahaan H,
perusahaan I, dan perusahaan J, selaku Pihak dalam Kontrak
Migas.
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Rekening lainnya dapat berupa produk simpanan lainnya dari
Bank yang dapat digunakan untuk melakukan transaksi.
Ayat (3)
Contoh:
Perusahaan W, Eksportir timah, telah memiliki rekening giro di
Bank R yang digunakan untuk menampung semua penerimaan,
termasuk Ekspor timah. Dalam memenuhi ketentuan,
perusahaan W dapat:
1. membuka rekening baru yang diperuntukkan sebagai
Reksus DHE SDA; atau
2. menggunakan rekening giro di Bank R sebagai Reksus DHE
SDA sehingga penerimaan selain dari DHE SDA tidak
diperbolehkan menggunakan rekening giro ini.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Contoh:
Perusahaan V, Eksportir batubara, berencana membuka rekening
baru yang khusus untuk menampung DHE SDA-nya di Bank P
11
Dalam hal ini, perusahaan V diperbolehkan untuk memiliki lebih
dari satu Reksus DHE SDA, baik di Bank P maupun Bank lain.
Ayat (6)
Bank memastikan Nasabah yang akan melakukan pembukaan
Reksus DHE SDA merupakan Eksportir berdasarkan dokumen
pendukung yang disampaikan oleh Eksportir pada saat
mengajukan permohonan pembukaan Reksus DHE SDA.
Ayat (7)
Penanda khusus (flag) dapat berupa antara lain pada nama
rekening atau nomor rekening.
Pasal 12
Ayat (1)
Huruf a
Dokumen yang dapat menunjukkan Ekspor atas hasil
pengusahaan, pengelolaan, dan/atau pengolahan sumber
daya alam dapat berupa antara lain dokumen PPE, surat izin
Ekspor dari instansi terkait, dan kontrak penjualan Ekspor.
Termasuk dalam PPE yaitu Pemberitahuan Ekspor Barang
(PEB).
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 13
Ayat (1)
Huruf a
Contoh:
Perusahaan D melakukan Ekspor sumber daya alam pada
tanggal 7 Juli 2019 kepada importir K di Singapura senilai
USD500,000.00 (lima ratus ribu dolar Amerika Serikat).
Pembayaran pertama oleh importir K melalui bank E di
Singapura sebesar USD100,000.00 (seratus ribu dolar
Amerika Serikat) diterima perusahaan D melalui Bank F di
Jakarta pada tanggal 1 Agustus 2019. Sisanya sebesar
USD400,000.00 (empat ratus ribu dolar Amerika Serikat)
12
dibayar importir K melalui bank E di Singapura dan diterima
PT D melalui Bank F di Jakarta pada tanggal 1 September
2019.
Dalam hal ini, penerimaan DHE SDA pada tanggal 1 Agustus
2019 dan 1 September 2019 wajib dilakukan melalui Reksus
DHE SDA di Bank F.
Huruf b
Contoh:
Perusahaan I pada tanggal 5 Januari 2020 memiliki Reksus
DHE SDA di Bank J di Jakarta dengan saldo sebesar
USD125,000.00 (seratus dua puluh lima ribu dolar Amerika
Serikat). Pada tanggal yang sama perusahaan membuka
deposito senilai USD100,000.00 (seratus ribu dolar Amerika
Serikat) dengan jangka waktu 1 (satu) bulan dengan bunga
3% (tiga persen) per tahun di bank yang sama, yang dananya
bersumber dari Reksus DHE SDA. Pada saat pencairan yaitu
tanggal 5 Februari 2020, nilai pokok deposito dan bunganya
masing-masing sebesar USD100,000.00 (seratus ribu dolar
Amerika Serikat) dan USD250.00 (dua ratus lima puluh dolar
Amerika Serikat), dapat dimasukkan kembali ke Reksus DHE
SDA.
Huruf c
Contoh:
Perusahaan K memiliki 2 (dua) Reksus DHE SDA, yaitu di
Bank J Jakarta dan Bank L di Bandung dengan saldo akhir
bulan Agustus 2019 masing-masing sebesar USD150,000.00
(seratus lima puluh ribu dolar Amerika Serikat) dan
USD20,000.00 (dua puluh ribu dolar Amerika Serikat).
Dalam hal ini, perpindahan dana antar-Reksus DHE SDA
milik perusahaan K di dua Bank berbeda diperbolehkan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Dokumen pendukung dapat berupa antara lain dokumen PPE
berupa PEB, dokumen Nota Pelayanan Ekspor (NPE), kontrak
penjualan Ekspor, dan surat pernyataan dari Eksportir.
13
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Contoh:
Perusahaan L memiliki 2 (dua) rekening di Bank C, yaitu
rekening umum yang dapat menampung semua transfer
dana masuk dan Reksus DHE SDA. Pada tanggal 7 Maret
2020, perusahaan L menerima DHE SDA sebesar
USD350,000.00 (tiga ratus lima puluh ribu dolar Amerika
Serikat) di rekening umum atas Ekspor yang dilakukan pada
bulan Februari 2020.
Untuk memenuhi ketentuan Bank Indonesia, perusahaan L
harus memindahkan dana sebesar USD350,000.00 (tiga
ratus lima puluh ribu dolar Amerika Serikat) tersebut dari
rekening umum ke Reksus DHE SDA, dengan disertai
dokumen pendukung yang dapat membuktikan dana masuk
tersebut berasal dari DHE SDA.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Contoh:
Perusahaan J melakukan Transfer Dana Keluar (Outgoing
Transfer) melalui Bank G sebesar USD225,000,000.00 (dua ratus
dua puluh lima juta dolar Amerika Serikat) untuk pembayaran
impor. Jika tanggal valuta yaitu tanggal 20 Agustus 2019 maka
Dokumen Pendukung Outgoing Transfer untuk transaksi
14
pembayaran impor harus disampaikan perusahaan J sebelum
pelaksanaan penyelesaian transaksi pada tanggal valuta.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Pada saat ketentuan Bank Indonesia ini berlaku, threshold
Transfer Dana Keluar (Outgoing Transfer) sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
pemantauan kegiatan lalu lintas devisa bank dan nasabah yaitu
USD100,000.00 (seratus ribu dolar Amerika Serikat).
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
15
Huruf j
Yang dimaksud dengan “keterangan” antara lain mengenai
penyebab selisih antara nilai DHE SDA yang diterima dengan
Nilai Ekspor.
Contoh:
Perusahaan Q menerima DHE SDA melalui Bank pada
Reksus DHE SDA tanggal 17 Juli 2019. Dalam hal ini,
perusahaan Q harus menyampaikan informasi terkait
penerimaan DHE SDA tersebut kepada Bank paling lambat
tanggal 5 Agustus 2019.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Contoh 1:
Eksportir yaitu perusahaan A, perusahaan B, dan perusahaan C.
Perusahaan D, selaku holding company yang berkedudukan di
Indonesia, menerima DHE SDA yang berasal dari 3 (tiga)
perusahaan tersebut. Dalam hal ini, NPWP dan nama yang
dilaporkan dalam pelaporan DHE melalui Bank yaitu NPWP dan
nama perusahaan D.
Contoh 2:
Perusahaan D dan perusahaan E menerima DHE SDA melalui
Bank yang berasal dari satu PPE atas nama PJT DN. NPWP dan
nama yang dilaporkan dalam pelaporan DHE melalui Bank
masing-masing adalah NPWP dan nama perusahaan D dan
perusahaan E.
Contoh 3:
Perusahaan F selaku operator serta perusahaan G dan
perusahaan H selaku participating interest dalam kontrak kerja
sama Minyak dan Gas Bumi menerima DHE SDA melalui Bank
yang berasal dari satu PPE atas nama perusahaan F. NPWP dan
nama yang dilaporkan dalam pelaporan DHE melalui Bank
masing-masing yaitu NPWP dan nama perusahaan F, perusahaan
G, dan perusahaan H.
16
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 17
Ayat (1)
Dokumen Pendukung DHE SDA antara lain berupa fotokopi tanda
terima pembayaran dan/atau fotokopi rekening koran yang
menunjukkan penyetoran uang tunai ke Bank.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Penerimaan DHE SDA melalui Bank terjadi dalam hal
terdapat penerimaan DHE SDA karena tagihan ekspor yang
diterima lebih besar dari kewajiban impor yang dibayarkan
oleh Eksportir.
17
Huruf b
Penerimaan DHE SDA tidak melalui Bank terjadi dalam hal
tidak terdapat penerimaan DHE SDA karena tagihan ekspor
lebih kecil atau sama dengan kewajiban impor yang
dibayarkan oleh Eksportir
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
18
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
"," PADG
21/15/PADG/2019
PENERIMAAN DEVISA HASIL EKSPOR DARI KEGIATAN PENGUSAHAAN, PENGELOLAAN, DAN/ATAU PENGOLAHAN SUMBER DAYA ALAM
19 Juli 2019
19 Juli 2019
'21/3/PBI/2019'
"
" PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 19/19/PADG/2017
TENTANG
PENYETORAN DAN PENARIKAN UANG RUPIAH OLEH BANK
DI BANK INDONESIA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa guna meningkatkan kualitas uang rupiah yang
beredar di masyarakat, perbankan perlu meningkatan
efektivitas dan efisiensi manajemen kas dengan
mengoptimalkan pengolahan uang rupiah;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan
Anggota Dewan Gubernur tentang Penyetoran dan
Penarikan Uang Rupiah oleh Bank di Bank Indonesia;
Mengingat
: Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/7/PBI/2012 tentang
Pengelolaan Uang Rupiah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2012 Nomor 138, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5323);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG
PENYETORAN DAN PENARIKAN UANG RUPIAH OLEH BANK
DI BANK INDONESIA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang dimaksud
dengan:
1. Uang Rupiah adalah rupiah sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai mata
uang.
2. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan
dan bank umum syariah sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan
syariah.
3. Penyelenggara Jasa Pengolahan Uang Rupiah yang
selanjutnya disingkat PJPUR adalah penyelenggara jasa
pengolahan uang rupiah sebagaimana dimaksud dalam
Peraturan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
penyelenggara jasa pengolahan uang rupiah.
4. Penyetoran Uang Rupiah yang selanjutnya disebut
Penyetoran adalah kegiatan Bank melakukan penyetoran
Uang Rupiah ke Bank Indonesia.
5. Uang Rupiah Layak Edar yang selanjutnya disebut ULE
adalah Uang Rupiah yang kondisinya sesuai dengan
standar yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
6. Uang Rupiah Tidak Layak Edar selanjutnya disebut UTLE
adalah Uang Rupiah yang terdiri atas Uang Rupiah
lusuh, Uang Rupiah cacat, dan Uang Rupiah rusak.
7. Penarikan Uang Rupiah yang selanjutnya disebut
Penarikan adalah kegiatan Bank melakukan penarikan
ULE dari Bank Indonesia.
8. Uang Rupiah Kertas adalah Uang Rupiah dalam bentuk
lembaran yang terbuat dari kertas uang.
9. Uang Rupiah Logam adalah Uang Rupiah dalam bentuk
koin yang terbuat dari logam uang.
10. Uang Rupiah Lusuh adalah Uang Rupiah yang ukuran
dan bentuk fisiknya tidak berubah dari ukuran aslinya,
tetapi kondisinya telah berubah karena jamur, minyak,
bahan kimia, coretan, atau sebab lainnya.
11. Uang Rupiah Cacat adalah Uang Rupiah hasil cetak yang
spesifikasi teknisnya tidak sesuai dengan yang telah
ditetapkan oleh Bank Indonesia.
12. Uang Rupiah Rusak adalah Uang Rupiah yang:
a. ukuran atau fisiknya telah berubah dari aslinya
karena terbakar, berlubang, atau hilang sebagian;
b. ukuran atau fisiknya berbeda dengan aslinya karena
robek atau mengerut;
c. rusak minor; atau
d. rusak karena sebab lainnya.
13. Uang Rupiah Rusak Minor adalah Uang Rupiah Rusak
dengan kriteria yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
14. Posisi Long adalah suatu kondisi pada saat Bank
mengalami kelebihan likuiditas ULE dalam periode
tertentu yang merupakan selisih antara saldo kas Bank
yang tersedia untuk setiap pecahan tertentu dikurangi
dengan kebutuhan kas Bank.
15. Posisi Short adalah suatu kondisi pada saat Bank
mengalami kekurangan likuiditas ULE dalam periode
tertentu yang merupakan selisih antara saldo kas Bank
yang tersedia untuk setiap pecahan tertentu dikurangi
dengan kebutuhan kas Bank.
16. Posisi Square adalah suatu kondisi pada saat Bank tidak
mengalami Posisi Long atau Posisi Short.
17. Posisi Net Long adalah suatu kondisi pada saat Posisi
Long seluruh Bank lebih besar dibandingkan dengan
Posisi Short seluruh Bank untuk pecahan tertentu pada
hari kerja yang sama di wilayah kerja kantor Bank
Indonesia setempat.
18. Posisi Net Short adalah suatu kondisi dimana Posisi Short
seluruh Bank lebih besar dibandingkan dengan Posisi
Long seluruh Bank untuk pecahan tertentu pada hari
kerja yang sama di wilayah kerja kantor Bank Indonesia
setempat.
19. Hari Kerja adalah hari kerja sesuai dengan ketentuan
Bank Indonesia.
20. Transaksi Uang Kartal Antar-Bank yang selanjutnya
disebut TUKAB adalah kegiatan antar-Bank yang
meliputi permintaan, penawaran, dan penukaran ULE
untuk memenuhi kebutuhan jumlah nominal dan/atau
jenis pecahan Uang Rupiah.
BAB II
PRINSIP UMUM DAN PERSYARATAN PENYETORAN DAN
PENARIKAN UANG RUPIAH
Bagian Kesatu
Prinsip Umum Penyetoran
dan Penarikan Uang Rupiah
Pasal 2
(1) Penyetoran dan Penarikan dilakukan oleh Bank yang
memiliki rekening giro di Bank Indonesia.
(2) Bank hanya dapat melakukan 1 (satu) kali Penyetoran
dan/atau 1 (satu) kali Penarikan dalam 1 (satu) Hari
Kerja.
(3) Dalam hal Bank melakukan Penyetoran dan Penarikan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), berlaku ketentuan
sebagai berikut:
a. Penyetoran ULE hanya dapat dilakukan terhadap
jenis pecahan yang berbeda dengan Penarikan; dan
b. Penyetoran Uang Rupiah Lusuh, Uang Rupiah Rusak
Minor, dan/atau Uang Rupiah yang dicabut dan
ditarik dari peredaran dapat dilakukan terhadap jenis
pecahan yang sama atau berbeda dengan Penarikan.
(4) Penyetoran dan/atau Penarikan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus dilakukan oleh kantor Bank dalam
wilayah kerja yang sama dengan kantor Bank Indonesia
setempat.
(5) Bank harus menunjuk 1 (satu) kantor Bank di setiap
wilayah kerja Bank Indonesia sebagai koordinator Bank
tersebut untuk melakukan Penyetoran dan/atau
Penarikan.
(6) Bank harus mengoptimalkan TUKAB sebelum melakukan
Penyetoran dan/atau Penarikan ke Bank Indonesia.
(7) Bank dapat menunjuk PJPUR yang telah memiliki izin
dari Bank Indonesia untuk melakukan Penyetoran
dan/atau Penarikan di Bank Indonesia.
(8) PJPUR dapat untuk melakukan Penyetoran dan/atau
Penarikan untuk lebih dari 1 (satu) Bank.
Bagian Kedua
Persyaratan Umum Penyetoran
dan Penarikan
Pasal 3
Dalam melaksanakan Penyetoran dan Penarikan, diatur
ketentuan sebagai berikut:
a. Petugas Bank atau
petugas PJPUR harus
memperlihatkan tanda pengenal dan surat tugas atau
surat penunjukan kepada petugas Bank Indonesia pada
saat melakukan Penyetoran dan/atau Penarikan.
b. Bank atau PJPUR harus memenuhi aspek keamanan
dalam melakukan Penyetoran dan/atau Penarikan.
c. Bank Indonesia hanya melayani kegiatan Penyetoran
dan/atau Penarikan selama waktu layanan kas.
d. Bank atau PJPUR dilarang melakukan kegiatan selain
Penyetoran dan/atau Penarikan di lingkungan kantor
Bank Indonesia.
e. Bank Indonesia menetapkan standardisasi kualitas Uang
Rupiah yang digunakan sebagai pedoman bagi Bank
dan/atau PJPUR.
Bagian Ketiga
Persyaratan Penyetoran
Pasal 4
Uang Rupiah yang akan disetor harus dipilah antara ULE
dengan UTLE sesuai dengan standardisasi kualitas Uang
Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf e.
Pasal 5
(1) Bank hanya dapat menyetorkan UTLE berupa Uang
Rupiah Lusuh dan Uang Rupiah Rusak Minor, dan/atau
Uang Rupiah yang dicabut dan ditarik dari peredaran ke
Bank Indonesia.
(2) Uang Rupiah selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat ditukarkan kepada Bank Indonesia dengan
mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai penukaran uang rupiah.
(3) Uang Rupiah yang dicabut dan ditarik dari peredaran
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berjumlah
kurang dari 1 (satu) brood dapat ditukarkan kepada Bank
Indonesia dengan mengacu pada ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai penukaran uang
rupiah.
(4) Bank yang menyetorkan UTLE dan Uang Rupiah yang
dicabut dan ditarik dari peredaran, yang memiliki Posisi
Short dapat melakukan Penarikan jenis pecahan yang
sama atau berbeda dalam 1 (satu) Hari Kerja.
Pasal 6
(1) Bank harus menyerahkan warkat Penyetoran paling
lambat 30 (tiga puluh) menit sebelum berakhirnya batas
waktu layanan kas.
(2) Dalam hal pada 1 (satu) waktu Bank melakukan
Penyetoran ULE dan UTLE serta Uang Rupiah yang
dicabut dan ditarik dari peredaran, Bank harus
menyerahkan 1 (satu) warkat untuk masing-masing
Penyetoran.
Pasal 7
Bank yang melakukan Penyetoran wajib memenuhi jumlah
Penyetoran dengan ketentuan sebagai berikut:
a. ULE yang berupa Uang Rupiah Kertas paling sedikit 10
(sepuluh) brood, untuk setiap jenis pecahan;
b. UTLE dan Uang Rupiah yang dicabut dan ditarik dari
peredaran yang berupa Uang Rupiah Kertas paling sedikit
1 (satu) brood, untuk setiap jenis pecahan; dan/atau
c. ULE dan UTLE serta Uang Rupiah yang dicabut dan
ditarik dari peredaran yang berupa Uang Rupiah Logam
paling sedikit 1 (satu) kemasan plastik transparan, untuk
setiap jenis pecahan.
Bagian Keempat
Persyaratan Penarikan
Pasal 8
(1) Bank Indonesia dapat menetapkan jenis pecahan dan
jumlah nominal dari masing-masing jenis pecahan Uang
Rupiah yang dapat ditarik oleh Bank.
(2) Bank yang melakukan Penarikan wajib memenuhi
jumlah Penarikan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Uang Rupiah Kertas paling sedikit 10 (sepuluh)
brood, untuk setiap jenis pecahan; dan/atau
b. Uang Rupiah Logam paling sedikit 10 (sepuluh)
kemasan plastik transparan, untuk setiap jenis
pecahan.
Bagian Kelima
Penyortiran, Penghitungan, dan Pengemasan Uang Rupiah
Pasal 9
(1) Penyortiran, penghitungan, dan pengemasan Uang
Rupiah Kertas yang disetorkan ke Bank Indonesia wajib
dilakukan dengan tata cara sebagai berikut:
a.
disortir menurut jenis pecahan dan tahun emisi
serta disusun searah;
b. setiap 100 (seratus) lembar diikat menjadi 1 (satu)
pak dengan menggunakan ban uang Bank tersebut
serta dibubuhi stempel nama Bank dan/atau
PJPUR, tanggal pengolahan, dan paraf atau kode
petugas Bank dan/atau PJPUR;
c. setiap 10 (sepuluh) pak diikat menjadi 1 (satu)
brood;
d. setiap 10 (sepuluh) brood dikemas dalam kemasan
plastik transparan dan diberikan segel serta label
yang dibubuhkan stempel nama Bank dan/atau
PJPUR; dan
e.
label Bank diisi dengan informasi:
1. nama Bank;
2. tanggal Penyetoran;
3. kode ULE, UTLE, dan/atau Uang Rupiah Rusak
Minor;
4. jenis pecahan dan tahun emisi;
5. jumlah nominal; dan
6. tanda tangan atau kode petugas Bank dan/atau
PJPUR.
(2) Penyortiran, penghitungan, dan pengemasan Uang
Rupiah Logam yang akan disetorkan ke Bank Indonesia
dilakukan dengan tata cara sebagai berikut:
a. disortir menurut jenis pecahan dan tahun emisi;
b. setiap 500 (lima ratus) keping dikemas dalam
kemasan plastik transparan dan diberikan segel
serta label yang dibubuhkan stempel nama Bank
dan/atau PJPUR; dan
c.
label Bank diisi dengan informasi:
1. nama Bank;
2.
tanggal Penyetoran;
3. kode ULE dan/atau UTLE;
4. jenis pecahan dan tahun emisi;
5. jumlah nominal; dan
6. tanda tangan atau kode petugas Bank dan/atau
PJPUR.
BAB III
RENCANA PENYETORAN
DAN PENARIKAN UANG RUPIAH
Pasal 10
(1) Bank harus menyampaikan rencana Penyetoran
dan/atau Penarikan kepada Bank Indonesia paling
lambat 1 (satu) Hari Kerja sebelumnya.
(2) Penyampaian rencana sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan melalui Bank Indonesia sistem informasi
layanan kas dengan mengacu pada ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan
Bank Indonesia sistem informasi layanan kas.
(3) Dalam hal Bank Indonesia sistem informasi layanan kas
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengalami
gangguan maka Bank harus menyampaikan rencana
Penyetoran dan/atau Penarikan melalui surat atau surat
elektronik.
Pasal 11
(1) Bank hanya dapat melakukan perubahan rencana
Penyetoran dan/atau Penarikan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10 ayat (1) paling banyak 10% (sepuluh
persen) dari jumlah nominal untuk masing-masing jenis
pecahan setelah Bank terlebih dahulu mengoptimalkan
TUKAB.
(2) Bank menyampaikan surat permintaan perubahan
rencana Penyetoran dan/atau Penarikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) kepada Bank Indonesia dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. perubahan disertai dengan alasan yang jelas dan
dapat dipertanggungjawabkan;
b. perubahan ditandatangani oleh pejabat Bank yang
berwenang; dan
c. perubahan disampaikan dalam batas waktu yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia.
(3) Bank menyampaikan perubahan rencana Penyetoran
dan/atau Penarikan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) melalui surat atau surat elektronik.
(4) Perubahan rencana Penyetoran dan/atau Penarikan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat
dilakukan paling banyak 2 (dua) kali dalam 1 (satu)
bulan.
Pasal 12
(1) Bank dapat melakukan pembatalan terhadap rencana
Penyetoran dan/atau Penarikan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10 ayat (1) sepanjang disetujui oleh Bank
Indonesia.
(2) Bank menyampaikan surat permohonan pembatalan
rencana Penyetoran dan/atau Penarikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dengan ketentuan sebagai
berikut:
a. pembatalan disertai dengan alasan yang jelas dan
dapat dipertanggungjawabkan;
b. pembatalan ditandatangani oleh pejabat Bank paling
rendah kepala satuan kerja yang memiliki fungsi
cash management atau pemimpin kantor cabang
Bank; dan
c. pembatalan disampaikan dalam batas waktu yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia.
(3) Bank tetap melakukan Penyetoran dan/atau Penarikan
dalam hal pemberitahuan pembatalan terhadap rencana
Penyetoran dan/atau Penarikan sebagaimana pada
ayat (1) tidak disetujui oleh Bank Indonesia.
BAB IV
TATA CARA PENYETORAN DAN
PENARIKAN UANG RUPIAH
Bagian Kesatu
Tata Cara Penyetoran
Pasal 13
(1) Bank melakukan Penyetoran ULE dan/atau UTLE dan
Uang Rupiah yang dicabut dan ditarik dari peredaran
kepada Bank Indonesia sesuai dengan rencana
Penyetoran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat
(1) atau perubahan rencana Penyetoran sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3).
(2) Bank yang telah melakukan Penyetoran ULE
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat
melakukan Penarikan dengan jenis pecahan yang sama
selama 3 (tiga) Hari Kerja setelah Bank melakukan
Penyetoran ULE tersebut.
(3) Bank tidak dapat melakukan Penarikan untuk suatu
jenis pecahan dalam hal terdapat Bank lain yang
melakukan Penyetoran ULE yang sama dengan jenis
pecahan tersebut.
Pasal 14
(1) Bank Indonesia melakukan penghitungan secara garis
besar atas Uang Rupiah yang disetorkan oleh Bank di
loket setoran Bank Indonesia, dengan disaksikan oleh
petugas Bank atau PJPUR.
(2) Bank Indonesia dapat melakukan pengujian kebenaran
jumlah terhadap setoran Uang Rupiah dari Bank di loket
setoran Bank Indonesia dalam hal berdasarkan data hasil
penghitungan ulang secara rinci terhadap setoran Uang
Rupiah sebelumnya, ditemukan selisih kurang dan/atau
selisih lebih melebihi jumlah yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia.
(3) Bank dilarang melakukan Penyetoran yang di dalamnya
terdapat campuran antara ULE dan UTLE melebihi 10%
(sepuluh persen) dari jumlah Uang Rupiah yang
disetorkan untuk masing-masing jenis pecahan.
Pasal 15
(1) Bank Indonesia melakukan penghitungan ulang secara
rinci terhadap setoran Uang Rupiah yang diterima dari
Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1).
(2) Petugas Bank atau PJPUR dapat menyaksikan
penghitungan ulang secara rinci yang dilakukan oleh
Bank Indonesia dengan terlebih dahulu mengajukan
permintaan tertulis dan mendapat persetujuan dari Bank
Indonesia.
(3) Petugas Bank atau PJPUR yang menyaksikan
penghitungan ulang secara rinci sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) harus mematuhi tata tertib di area kas
sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai tata tertib di area kas.
(4) Dalam hal saat penghitungan ulang secara rinci terhadap
Uang Rupiah yang disetorkan oleh Bank sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditemukan selisih kurang atau
selisih lebih maka Bank Indonesia memperhitungkan
selisih kurang atau selisih lebih tersebut dengan rekening
giro Bank yang berada di Bank Indonesia.
(5) Selisih kurang atau selisih lebih sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) disebabkan adanya:
a.
jumlah lembar atau keping Uang Rupiah yang
disetorkan kurang atau lebih;
b. pecahan Uang Rupiah yang berbeda;
c. Uang Rupiah yang dicabut dan ditarik dari
peredaran melampaui jangka waktu penukaran;
d. Uang Rupiah Rusak yang tidak mendapatkan
penggantian;
e. Uang Rupiah tidak asli; dan/atau
f.
sebab lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Bagian Kedua
Tata Cara Penarikan Uang Rupiah
Pasal 16
(1) Bank menarik Uang Rupiah dari Bank Indonesia sesuai
dengan rencana Penarikan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10 ayat (1) atau perubahan rencana Penarikan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3).
(2) Bank Indonesia dapat melakukan pembayaran kepada
Bank yang melakukan Penarikan dengan menggunakan
setoran ULE yang diperoleh dari Bank tanpa melalui
proses penghitungan ulang secara rinci oleh Bank
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat
(1).
(3) Pembayaran dengan menggunakan setoran ULE
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh
Bank Indonesia kepada Bank yang sama atau Bank yang
berbeda dengan kemasan Uang Rupiah dan label Bank
penyetor yang masih utuh dan tersegel.
(4) Dalam hal Bank Indonesia melakukan pembayaran
menggunakan setoran ULE kepada Bank yang berbeda
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) maka Bank
Indonesia menyampaikan informasi melalui surat atau
surat elektronik kepada Bank yang menyetorkan ULE
bahwa setoran ULE tersebut telah dibayarkan kepada
Bank yang berbeda.
Pasal 17
(1) Bank dapat melakukan verifikasi atas kebenaran jumlah
Uang Rupiah yang ditarik dari Bank Indonesia sebelum
Bank membawa Uang Rupiah tersebut keluar dari loket
bayaran Bank Indonesia.
(2) Verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
dilakukan di loket bayaran Bank Indonesia atau tempat
lain yang disediakan oleh Bank Indonesia dan disaksikan
oleh petugas Bank Indonesia.
(3) Verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikecualikan untuk Uang Rupiah yang merupakan
setoran ULE milik Bank yang sama atau Bank yang
berbeda yang dibayarkan oleh Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (3).
(4) Bank tidak dapat melakukan klaim atas kekurangan
jumlah Uang Rupiah yang ditarik dari Bank Indonesia
setelah keluar dari loket bayaran Bank Indonesia.
BAB V
TUKAB
Pasal 18
(1) Tata cara pelaksanaan TUKAB sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (5) berpedoman pada kesepakatan
tertulis yang berlaku antar-Bank.
(2) Kesepakatan tertulis antar-Bank sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) berlaku juga untuk penyelesaian selisih
kurang atau selisih lebih yang ditemukan dalam hal
Bank menerima pembayaran dari Bank Indonesia berupa
setoran ULE yang berasal dari Bank yang berbeda.
BAB VI
PENYAMPAIAN LAPORAN DAN INFORMASI TERKAIT
PENYETORAN DAN PENARIKAN UANG RUPIAH
Bagian Kesatu
Laporan Proyeksi Cashflow
Pasal 19
(1) Bank wajib menyampaikan Laporan Proyeksi Cashflow
kepada Bank Indonesia secara periodik yang memuat:
a. perkiraan jumlah ULE yang diterima Bank dan/atau
kebutuhan Bank terhadap ULE; dan
b. perkiraan jumlah UTLE yang diterima Bank dan
rencana penyetoran UTLE ke Bank Indonesia,
melalui Bank Indonesia sistem informasi layanan kas.
(2) Tata cara dan batas waktu penyampaian Laporan
Proyeksi Cashflow sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berpedoman pada ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai penyelenggaraan Bank Indonesia
sistem informasi layanan kas.
(3) Perkiraan jumlah ULE yang diterima oleh Bank dan/atau
kebutuhan Bank terhadap ULE sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a tidak termasuk rencana Bank
untuk melakukan Penarikan dari Bank Indonesia serta
rencana Bank untuk melakukan TUKAB.
(4) Dalam hal Bank Indonesia sistem informasi layanan kas
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengalami
gangguan maka penyampaian Laporan Proyeksi Cashflow
disampaikan melalui surat atau surat elektronik.
Bagian Kedua
Laporan Realisasi TUKAB
Pasal 20
(1) Bank wajib menyampaikan Laporan Realisasi TUKAB
kepada Bank Indonesia secara periodik melalui Bank
Indonesia sistem informasi layanan kas.
(2) Tata cara dan batas waktu penyampaian Laporan
Realisasi TUKAB sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berpedoman pada ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai penyelenggaraan Bank Indonesia
sistem informasi layanan kas.
(3) Dalam hal Bank Indonesia sistem informasi layanan kas
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengalami
gangguan maka penyampaian Laporan Realisasi TUKAB
disampaikan melalui surat atau surat elektronik.
Bagian Ketiga
Informasi Posisi Long, Posisi Short, dan/atau Posisi Square
Pasal 21
(1) Bank wajib menyampaikan informasi Posisi Long, Posisi
Short, dan/atau Posisi Square kepada Bank Indonesia
dalam jumlah nominal masing-masing pecahan pada
setiap Hari Kerja secara lengkap dan benar, melalui Bank
Indonesia sistem informasi layanan kas.
(2) Tata cara dan batas waktu penyampaian informasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berpedoman pada
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
penyelenggaraan Bank Indonesia sistem informasi
layanan kas.
(3) Dalam hal Bank Indonesia sistem informasi layanan kas
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengalami
gangguan maka penyampaian informasi Posisi Long,
Posisi Short, dan/atau Posisi Square disampaikan melalui
surat atau surat elektronik.
BAB VII
PENGAWASAN DALAM KEGIATAN PENYETORAN DAN
PENARIKAN UANG RUPIAH
Pasal 22
(1) Bank Indonesia melakukan pengawasan terhadap Bank
yang melakukan Penyetoran dan Penarikan di Bank
Indonesia, dan Bank yang melakukan pengolahan Uang
Rupiah.
(2) Pengawasan terhadap Bank yang melakukan Penyetoran
dan Penarikan di Bank Indonesia sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan pula atas kegiatan pengolahan
Uang Rupiah.
(3) Pengawasan terhadap Bank sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan juga terhadap PJPUR yang ditunjuk
oleh Bank.
BAB VIII
TATA CARA PENGENAAN SANKSI
Pasal 23
Bank Indonesia mengenakan sanksi administratif berupa
teguran tertulis kepada Bank yang melakukan pelanggaran
sebagai berikut:
a. melakukan kegiatan selain Penyetoran dan Penarikan di
lingkungan perkantoran Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 huruf d;
b. melakukan perubahan rencana Penyetoran dan/atau
Penarikan melebihi 10% (sepuluh persen) dan/atau tidak
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11;
c. menyampaikan informasi yang tidak benar mengenai
kondisi tertentu atau keadaan memaksa sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2);
d. melakukan pembatalan rencana Penyetoran dan/atau
Penarikan dengan tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12;
e.
tidak atau terlambat menyampaikan Laporan Proyeksi
Cashflow dan/atau Laporan Realisasi TUKAB sesuai
batas waktu yang ditetapkan oleh Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dan Pasal 20;
f. ditemukan campuran antara ULE dan UTLE melebihi
10% (sepuluh persen) dari jumlah Uang Rupiah yang
disetorkan untuk masing-masing jenis pecahan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3);
g. ditemukan campuran jenis pecahan dan/atau tahun
emisi dalam setoran Uang Rupiah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a saat dilakukan
penghitungan ulang secara rinci; dan/atau
h. ditemukan selisih kurang atau selisih lebih sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf b yang melebihi
jumlah lembar atau keping yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia.
Pasal 24
(1) Bank Indonesia mengenakan sanksi administratif berupa
uji petik di loket setoran terhadap setoran ULE dan/atau
UTLE dari Bank yang melanggar batas campuran ULE
dan UTLE sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat
(3) dalam periode tertentu yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia.
(2) Sanksi uji petik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan setelah Bank mendapatkan sanksi teguran
tertulis sebanyak 3 (tiga) kali.
(3) Pelaksanaan uji petik sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) disaksikan oleh petugas Bank atau PJPUR.
Pasal 25
(1) Bank Indonesia mengenakan sanksi administratif berupa
penolakan terhadap Penyetoran dan/atau Penarikan
kepada Bank yang melanggar ketentuan sebagai berikut:
a. melakukan penyetoran Uang Rupiah Cacat dan/atau
Uang Rupiah Rusak selain Uang Rupiah Rusak
Minor; dan/atau
b. melakukan Penyetoran dan/atau Penarikan tidak
sesuai dengan jumlah minimal Uang Rupiah yang
dapat disetorkan ke Bank Indonesia dan/atau
ditarik dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 dan Pasal 8 ayat (2).
(2) Bank Indonesia mengenakan sanksi administratif berupa
penolakan terhadap jenis pecahan, tahun emisi,
dan/atau jumlah nominal yang ditemukan tidak sesuai
kepada Bank yang melanggar ketentuan sebagai berikut:
a. ditemukan selisih kurang atau selisih lebih paling
sedikit 1 (satu) pak saat dilakukan penghitungan
secara garis besar sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 14 ayat (1), pengujian kebenaran jumlah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2),
atau uji petik sebagaimana dimaksud dalam Pasal
24 ayat (2) di loket setoran Bank Indonesia;
b. ditemukan campuran jenis pecahan dan/atau tahun
emisi dalam setoran Uang Rupiah saat dilakukan
penghitungan secara garis besar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1), pengujian
kebenaran jumlah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 14 ayat (2), atau uji petik sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) di loket setoran
Bank Indonesia;
c. ditemukan Uang Rupiah Rusak selain Uang Rupiah
Rusak Minor dan/atau Uang Rupiah Cacat dalam
setoran Uang Rupiah saat dilakukan penghitungan
secara garis besar sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 14 ayat (1), pengujian kebenaran jumlah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2),
atau uji petik sebagaimana dimaksud dalam Pasal
24 ayat (2) di loket setoran Bank Indonesia;
d. ditemukan campuran ULE dan UTLE melebihi 10%
(sepuluh persen) dari jumlah yang diuji petik dalam
setoran Uang Rupiah saat dilakukan penghitungan
uji petik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24
ayat (2) di loket setoran Bank Indonesia;
e. melakukan Penyetoran dengan jenis pecahan yang
tidak sesuai dengan rencana Penyetoran;
f. melakukan Penyetoran dengan jumlah nominal yang
tidak sesuai dengan rencana Penyetoran atau
perubahan rencana Penyetoran;
g. melakukan Penarikan dengan jenis pecahan yang
tidak sesuai dengan rencana Penarikan atau
perubahan Penarikan; dan/atau
h. melakukan Penarikan dengan jumlah nominal yang
tidak sesuai dengan rencana Penarikan atau
perubahan rencana Penarikan.
(3) Dalam hal Bank Indonesia mengenakan sanksi berupa
penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) maka
dibuatkan Berita Acara Penolakan Penyetoran dan/atau
Penarikan.
(4) Bank harus melakukan koreksi terhadap dokumen
Penyetoran dan/atau Penarikan dalam hal Bank
Indonesia melakukan penolakan kegiatan Penyetoran
dan/atau Penarikan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2).
BAB IX
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 26
(1) Dalam hal ditemukan selisih kurang yang disebabkan
karena terdapat Uang Rupiah tidak asli dalam setoran
Bank saat dilakukan penghitungan secara garis besar
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1),
pengujian kebenaran jumlah setoran sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), atau uji petik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) di loket
setoran Bank Indonesia maka Bank Indonesia meminta
Bank untuk melakukan koreksi terhadap dokumen
Penyetoran.
(2) Uang Rupiah tidak asli yang ditemukan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditahan oleh Bank Indonesia dan
diproses lebih lanjut sesuai ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai klarifikasi atas uang rupiah
yang diragukan keasliannya.
Pasal 27
(1) Bank yang mengalami kondisi tertentu dan/atau
keadaan memaksa, berdasarkan persetujuan Bank
Indonesia dapat melakukan:
a. perubahan rencana Penyetoran sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) melebihi 10%
(sepuluh persen) dari jumlah nominal untuk masing-
masing jenis pecahan;
b. Penyetoran dan/atau Penarikan di luar waktu
layanan kas Bank Indonesia;
c. Penyetoran dan/atau Penarikan di Bank Indonesia
lebih dari 1 (satu) kali dalam 1 (satu) Hari Kerja;
d. Penarikan dengan jenis pecahan yang sama, kurang
dari jangka waktu 3 (tiga) Hari Kerja setelah Bank
melakukan Penyetoran ULE; dan/atau
e.
Penarikan dalam jenis pecahan sama pada Hari
Kerja bersamaan Bank lain melakukan Penyetoran
ULE.
(2) Permintaan Penyetoran dan/atau Penarikan dalam
kondisi tertentu atau keadaan memaksa disampaikan
oleh Bank kepada Bank Indonesia dengan ketentuan
sebagai berikut:
a.
disertai dengan alasan yang jelas dan dapat
dipertanggungjawabkan;
b. ditandatangani oleh pejabat Bank paling rendah
kepala satuan kerja yang memiliki fungsi cash
management atau pemimpin kantor cabang Bank;
dan
c. disampaikan kepada Bank Indonesia melalui surat
atau surat elektronik.
(3) Dalam hal Bank Indonesia mengalami keadaan memaksa
maka Bank melakukan Penyetoran dan/atau Penarikan
dengan mekanisme yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Pasal 28
(1) Bank Indonesia berwenang menetapkan kebijakan
tertentu terkait:
a. jumlah batas campuran antara ULE dan UTLE
dalam setoran Uang Rupiah dari Bank sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3);
b. jumlah batas perubahan rencana Penyetoran
dan/atau Penarikan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11 ayat (1) dan ayat (2); dan/atau
c. pembatasan jumlah Uang Rupiah yang dapat
disetorkan oleh Bank.
(2) Kebijakan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berdasarkan pertimbangan:
a. kualitas Uang Rupiah hasil pengolahan Bank
dan/atau PJPUR yang disetorkan ke Bank
Indonesia;
b. kualitas Uang Rupiah hasil pengolahan Bank
dan/atau PJPUR yang dilakukan TUKAB;
c. optimalisasi manajemen kas Bank; dan/atau
d. pertimbangan lainnya.
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 29
Pada saat Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai
berlaku maka:
a. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 13/9/DPU tanggal
5 April 2011 perihal Penyetoran dan Penarikan Uang
Rupiah oleh Bank Umum di Bank Indonesia; dan
b. Bab III Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 16/6/DPU
tanggal 17 April 2014 perihal Penyelenggaraan Bank
Indonesia Sistem Informasi Layanan Kas,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 30
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada
tanggal 1 Februari 2018.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
penempatan Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 29 Desember 2017
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR,
TTD
SUGENG
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 19/19/PADG/2017
TENTANG
PENYETORAN DAN PENARIKAN UANG RUPIAH RUPIAH OLEH BANK
DI BANK INDONESIA
I. UMUM
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata
Uang Bank Indonesia memiliki kewenangan dan tugas melakukan
Pengelolaan Uang Rupiah.
Guna melaksanakan kewenangan dan tugas tersebut, Bank
Indonesia terus berupaya untuk memenuhi kebutuhan uang kartal di
masyarakat baik dalam nominal yang cukup, jenis pecahan yang sesuai,
tepat waktu, maupun dalam kondisi yang layak edar.
Salah satu upaya pemenuhan kebutuhan Uang Rupiah di
masyarakat adalah dengan memberikan layanan Penyetoran dan
Penarikan kepada Bank di kantor Bank Indonesia. Pengaturan Penyetoran
dan Penarikan oleh Bank ini telah berjalan dengan baik sejak tahun 2011
sehingga secara umum, perbankan telah melaksanakan manajemen kas
yang efektif dan efisien, serta frekuensi dan volume pelaksanaan TUKAB
yang semakin meningkat. Dengan demikian, Bank dapat memenuhi
kebutuhan atas ULE secara mandiri.
Namun demikian, untuk lebih menguatkan peran perbankan dalam
menyediakan ULE kepada masyarakat dan menyetorkan UTLE kepada
Bank Indonesia maka diperlukan penyempurnaan terhadap peraturan
mengenai Penyetoran dan Penarikan Uang Rupiah. Peningkatan peran
perbankan dalam melakukan penghitungan dan penyortiran Uang Rupiah
sesuai standar kualitas Uang Rupiah yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia merupakan wujud dari perlindungan konsumen untuk
menerima ULE dari perbankan dan bebas dari Uang Rupiah tidak asli.
Penyempurnaan peraturan tersebut juga merupakan tahapan
transformasi Bank Indonesia menuju Pengelolaan Uang Rupiah yang
menerapkan tata kelola yang baik, efektif, dan menciptakan efisiensi bagi
industri perbankan.
Secara garis besar materi yang diatur dalam Peraturan Anggota
Dewan Gubernur ini meliputi prinsip umum dan persyaratan Penyetoran
dan/atau Penarikan di Bank Indonesia, tata cara Penyetoran dan/atau
Penarikan di Bank Indonesia, TUKAB, penyampaian laporan dan informasi
terkait kegiatan Penyetoran dan/atau Penarikan, pengawasan dan
pembinaan, serta tata cara pengenaan sanksi.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Contoh:
Bank A yang melakukan Penyetoran ULE pecahan 10.000
(sepuluh ribu) hanya dapat melakukan Penarikan selain
pecahan 10.000 (sepuluh ribu) dalam 1 (satu) Hari Kerja.
Huruf b
Contoh:
Bank B melakukan Penyetoran UTLE pecahan 10.000
(sepuluh ribu) dan melakukan Penarikan pecahan 10.000
(sepuluh ribu) dalam 1 (satu) Hari Kerja.
Ayat (3)
Contoh:
Salah satu kantor cabang Bank A di Bandung dapat mewakili
seluruh kantor cabang Bank A untuk melakukan Penyetoran
dan/atau Penarikan yang harus dilakukan di Kantor Perwakilan
Bank Indonesia Provinsi Jawa Barat.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan “mengoptimalkan TUKAB” adalah Bank
harus terlebih dahulu melaksanakan TUKAB untuk memenuhi
kebutuhan ULE sebelum melakukan Penyetoran dan/atau
Penarikan dari Bank Indonesia.
Bank harus melakukan TUKAB sepanjang masih tersedia ULE di
Bank lain atau terdapat Bank yang membutuhkan ULE dengan
jenis pecahan yang sama atau berbeda di wilayah kerja kantor
Bank Indonesia.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 3
Huruf a
Bank Indonesia tidak melayani kegiatan Penyetoran dan
Penarikan yang dilakukan oleh petugas Bank atau PJPUR
yang tidak dapat memperlihatkan tanda pengenal dan surat
tugas atau surat penunjukan.
Huruf b
Contoh pemenuhan aspek keamanan antara lain Bank atau
PJPUR menggunakan alat transportasi khusus dan petugas
pengawalan serta menyediakan petugas yang memadai.
Penggunaan petugas pengawalan dilakukan dengan mengacu
pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur
mengenai sistem manajemen pengamanan.
Huruf c
Waktu layanan kas ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “kegiatan selain Penyetoran dan/atau
Penarikan” adalah kegiatan pengumpulan dan pembagian Uang
Rupiah.
Huruf e
Standardisasi kualitas Uang Rupiah digunakan oleh Bank
antara lain dalam kegiatan pemilahan antara ULE dengan UTLE
dan/atau pelaksanaan TUKAB.
Standardisasi kualitas Uang Rupiah yang disampaikan oleh
Bank Indonesia kepada Bank berupa contoh Uang Rupiah dari
berbagai tingkat kualitas dan/atau setting parameter mesin
hitung dan sortir Uang Rupiah sebagai pedoman bagi Bank.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Tujuan Bank dapat menyetorkan Uang Rupiah Rusak Minor
adalah untuk meningkatkan efektifitas manajemen kas dalam
pengelolaan Uang Rupiah yang dimiliki Bank.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Penetapan jumlah nominal dari masing-masing jenis pecahan
Uang Rupiah dilakukan dengan memperhatikan kebutuhan
masyarakat terhadap jenis pecahan, Posisi Long Bank di wilayah
kerja kantor Bank Indonesia setempat, dan pertimbangan
lainnya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Setiap 10 (sepuluh) pak yang diikat menjadi 1 (satu) brood
tidak diperbolehkan menggunakan strap band atau tali lain
yang dapat merusak Uang Rupiah.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Bank Indonesia tidak melayani kegiatan Penyetoran dan/atau
Penarikan bagi Bank yang tidak atau terlambat menyampaikan
rencana Penyetoran dan/atau Penarikan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Termasuk perubahan rencana Penyetoran yaitu perubahan
rencana Penyetoran ULE dan/atau UTLE.
Pembatasan jumlah persentase perubahan rencana Penyetoran
dan/atau Penarikan dimaksudkan agar Bank menerapkan
manajemen kas yang lebih efektif dan efisien melalui
perencanaan yang baik dan tepat.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Contoh:
Bank A melakukan penyetoran ULE pecahan 100.000 (seratus
ribu) pada tanggal 15 Januari 2018 maka Bank A tidak dapat
melakukan penarikan ULE pecahan 100.000 (seratus ribu) pada
tanggal 16 Januari 2018 sampai dengan tanggal 18 Januari
2018.
Ayat (3)
Contoh:
Bank A melakukan penyetoran ULE pecahan 100.000 (seratus
ribu) pada tanggal 15 Januari 2018 maka Bank lainnya tidak
dapat melakukan penarikan ULE pecahan 100.000 (seratus ribu)
pada tanggal 15 Januari 2018.
Pasal 14
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “penghitungan secara garis besar”
adalah penghitungan dalam brood dan pak untuk Uang Rupiah
Kertas atau kemasan untuk Uang Rupiah Logam.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “setoran Uang Rupiah sebelumnya”
adalah setoran Uang Rupiah sebelum dilakukan pengujian
kebenaran jumlah.
Ayat (3)
Pembatasan jumlah persentase campuran antara ULE dan UTLE
dalam setoran Bank dimaksudkan agar Bank meningkatkan
kualitas hasil pengolahan Uang Rupiah dengan lebih baik dan
efektif dengan memperhatikan standardisasi kualitas Uang
Rupiah dari Bank Indonesia.
Bank Indonesia menentukan campuran antara ULE dan UTLE
melebihi atau tidak melebihi batas persentase yang ditetapkan
melalui penghitungan ulang secara rinci seluruh setoran Bank
atau dalam persentase tertentu dari jumlah Uang Rupiah yang
disetorkan untuk masing-masing jenis pecahan.
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “jangka waktu penukaran” adalah
jangka waktu penukaran sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
penukaran uang rupiah.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “Uang Rupiah Rusak yang tidak
mendapat penggantian” adalah Uang Rupiah Rusak yang
tidak mendapat penggantian sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
penukaran uang rupiah.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pengawasan pengolahan Uang Rupiah termasuk pengawasan
terhadap sarana dan prasarana yang digunakan oleh Bank
dalam kegiatan pengolahan Uang Rupiah serta kegiatan lainnya.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “kondisi tertentu” antara lain dalam
rangka pemenuhan Giro Wajib Minimum, Penarikan Uang
Rupiah secara besar-besaran oleh nasabah (rush), penyetoran
Uang Rupiah terkait prefund.
Yang dimaksud dengan “keadaan memaksa” adalah keadaan
yang secara nyata menyebabkan proses Penyetoran dan/atau
Penarikan oleh Bank ke Bank Indonesia tidak dapat berjalan
normal dan diluar kemampuan Bank dan/atau Bank Indonesia
untuk mengatasinya antara lain disebabkan oleh bencana alam,
huru-hara, pemberontakan, perang atau dikeluarkannya
peraturan oleh Pemerintah mengenai keadaan bahaya, serta
perubahan kebijakan pemerintah.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
"," PADG
19/19/PADG/2017
PENYETORAN DAN PENARIKAN UANG RUPIAH OLEH BANK DI BANK INDONESIA
29 Desember 2017
1 Februari 2018
'13/9/DPU|SE-BI/2011', '16/6/DPU|SE-BI/2014 | Bab III'
'14/7/PBI/2012'
'BAB VIII'
"
" PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 20/30/PADG/2018
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 20/10/PADG/2018 TENTANG GIRO WAJIB MINIMUM
DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL,
BANK UMUM SYARIAH, DAN UNIT USAHA SYARIAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa sebagai kelanjutan dari reformulasi kerangka
operasional kebijakan moneter, perlu dilakukan
penyesuaian pemenuhan giro wajib minimum secara rata-
rata guna meningkatkan efektivitas transmisi kebijakan
moneter dalam menjaga stabilitas makroekonomi dan
sistem keuangan;
b. bahwa penyesuaian sebagaimana dimaksud dalam huruf a
dilakukan dengan meningkatkan fleksibilitas dan
distribusi likuiditas oleh perbankan konvensional dan
perbankan syariah;
c. bahwa peningkatan fleksibilitas dan distribusi likuiditas
sebagaimana dimaksud dalam huruf b dilakukan dengan
mengubah pengaturan pemenuhan sebagian giro wajib
minimum secara rata-rata dalam rupiah bagi bank umum
konvensional, bank umum syariah, dan unit usaha
syariah;
2
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a sampai dengan huruf c, perlu menetapkan
Peraturan Anggota Dewan Gubernur tentang Perubahan
atas Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor
20/10/PADG/2018 tentang Giro Wajib Minimum dalam
Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum Konvensional,
Bank Umum Syariah, dan Unit Usaha Syariah;
Mengingat
: Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/3/PBI/2018 tentang Giro
Wajib Minimum Bank Umum dalam Rupiah dan Valuta Asing
bagi Bank Umum Konvensional, Bank Umum Syariah, dan Unit
Usaha Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2018 Nomor 43; Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 6193);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN
GUBERNUR NOMOR 20/10/PADG/2018 TENTANG GIRO
WAJIB MINIMUM DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING BAGI
BANK UMUM KONVENSIONAL, BANK UMUM SYARIAH, DAN
UNIT USAHA SYARIAH.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur
Nomor 20/10/PADG/2018 tentang Giro Wajib Minimum dalam
Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum Konvensional, Bank
Umum Syariah, dan Unit Usaha Syariah diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 2 diubah sehingga Pasal 2 berbunyi
sebagai berikut:
3
Pasal 2
GWM dalam rupiah ditetapkan sebesar rata-rata 6,5%
(enam koma lima persen) dari DPK BUK dalam rupiah
selama periode laporan tertentu, yang wajib dipenuhi:
a. secara harian sebesar 3,5% (tiga koma lima persen);
dan
b. secara rata-rata sebesar 3% (tiga persen).
2. Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga Pasal 16 berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 16
GWM dalam rupiah ditetapkan sebesar rata-rata 5% (lima
persen) dari DPK BUS dan UUS dalam rupiah selama
periode laporan tertentu, yang wajib dipenuhi:
a. secara harian sebesar 2% (dua persen); dan
b. secara rata-rata sebesar 3% (tiga persen).
Pasal II
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada
tanggal 1 Desember 2018.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini dengan penempatannya
dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 30 November 2018
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR,
MIRZA ADITYASWARA
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 20/30/PADG/2018
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 20/10/PADG/2018 TENTANG GIRO WAJIB MINIMUM DALAM
RUPIAH DAN VALUTA ASING BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL,
BANK UMUM SYARIAH, DAN UNIT USAHA SYARIAH
1. UMUM
Sebagai kelanjutan dari reformulasi kerangka operasional kebijakan
moneter, Bank Indonesia senantiasa berupaya melakukan penyempurnaan
pengaturan GWM secara rata-rata bagi perbankan konvensional maupun
perbankan syariah.
Sebagai upaya menjaga kecukupan likuiditas perbankan, Bank
Indonesia meningkatkan fleksibilitas dan distribusi likuiditas baik untuk
perbankan konvensional maupun perbankan syariah. Kebjakan ini
dilakukan dengan menambah porsi GWM rata-rata dalam rupiah bagi BUK,
BUS, dan UUS yang semula sebesar 2% (dua persen) menjadi sebesar 39
(tiga persen) quna memastikan tetap terjaganya stabilitas makroekonomi
dan sistem keuangan.
Schubungan dengan hal di atas, perlu ditetapkan Peraturan Anggota
Dewan Gubemur tentang Perubahan atas Peraturan Anggota Dewan
Gubernur Nomor 20/10/PADG/2018 tentang Giro Wajib Minimum dalam
Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum Konvensional, Bank Umum
Syariah, dan Unit Usaha Syariah.
End of Page 4
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal l
Angka 1
Pasal 2
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal II
Cukup jelas.
End of Page 5
"," PADG
20/30/PADG/2018
PERUBAHAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/10/PADG/2018 TENTANG GIRO WAJIB MINIMUM DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL, BANK UMUM SYARIAH, DAN UNIT USAHA SYARIAH
30 November 2018
1 Desember 2018
'20/10/PADG/2018'
'20/3/PBI/2018'
"
" PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 7/52/PBI/2005
TENTANG
PENYELENGGARAAN KEGIATAN ALAT PEMBAYARAN
DENGAN MENGGUNAKAN KARTU
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa kebutuhan masyarakat terhadap penggunaan kartu
sebagai
alat pembayaran
dalam memenuhi kegiatan
ekonomi menunjukkan perkembangan yang cukup pesat;
b. bahwa sejalan dengan meningkatnya penggunaan kartu
sebagai alat pembayaran tersebut, tingkat keamanan
teknologi baik keamanan kartu maupun keamanan sistem
yang
digunakan untuk memproses
pembayaran
ditingkatkan
dengan menggunakan kartu
agar penggunaan kartu sebagai
alat
pembayaran dapat senantiasa berjalan dengan aman dan
lancar;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
pada
huruf a dan huruf b dipandang perlu untuk
melakukan pengaturan kembali terhadap ketentuan
mengenai penyelenggaraan kegiatan alat pembayaran
dengan menggunakan kartu;
transaksi alat
perlu
Mengingat …
-2-
Mengingat
:
1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah
diubah
dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998
Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia
(Lembaran Negara Republik
Indonesia
Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara
Indonesia Nomor 4357);
M E M U T U S K A N :
Menetapkan
: PERATURAN
BANK
PENYELENGGARAAN KEGIATAN
INDONESIA TENTANG
ALAT
PEMBAYARAN DENGAN MENGGUNAKAN KARTU.
Republik
BAB I …
-3-
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini, yang dimaksud dengan :
1. Bank adalah Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998,
termasuk pula kantor cabang Bank asing.
2. Lembaga Selain Bank adalah badan hukum yang didirikan berdasarkan
hukum Indonesia atau badan usaha yang kantor pusatnya berkedudukan di
luar negeri yang melakukan kegiatan yang berkaitan dengan alat pembayaran
dengan menggunakan kartu di Indonesia.
3. Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu adalah alat pembayaran yang
berupa kartu kredit, kartu Automated Teller Machine (ATM), kartu debet,
dan/atau kartu prabayar.
4. Kartu Kredit adalah Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu yang
dapat digunakan untuk melakukan pembayaran atas kewajiban yang timbul
dari suatu kegiatan ekonomi, termasuk transaksi pembelanjaan dan/atau untuk
melakukan penarikan tunai dimana kewajiban pembayaran pemegang kartu
dipenuhi terlebih dahulu oleh acquirer atau penerbit, dan pemegang kartu
berkewajiban melakukan pelunasan kewajiban pembayaran tersebut pada
waktu yang disepakati baik secara sekaligus (charge card) ataupun secara
angsuran.
5. Kartu ATM adalah Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu yang dapat
digunakan untuk melakukan penarikan tunai dan/atau pemindahan dana
dimana …
-4-
dimana kewajiban pemegang kartu dipenuhi seketika dengan mengurangi
secara langsung simpanan pemegang kartu pada Bank atau Lembaga Selain
Bank yang mendapat persetujuan untuk menghimpun dana.
6. Kartu Debet adalah Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu yang
dapat digunakan untuk melakukan pembayaran atas kewajiban yang timbul
dari suatu kegiatan ekonomi, termasuk transaksi pembelanjaan, dimana
kewajiban pemegang kartu dipenuhi seketika dengan mengurangi secara
langsung simpanan pemegang kartu pada Bank atau Lembaga Selain Bank
yang mendapat persetujuan untuk menghimpun dana.
7. Kartu Prabayar adalah Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu yang
diperoleh dengan menyetorkan terlebih dahulu sejumlah uang kepada
penerbit, baik secara langsung maupun melalui agen-agen penerbit, dan nilai
uang tersebut dimasukkan menjadi nilai uang dalam kartu, yang dinyatakan
dalam satuan Rupiah atau dikonversikan dalam satuan lain seperti pulsa, yang
digunakan untuk melakukan transaksi pembayaran dengan cara mengurangi
secara langsung nilai uang pada kartu tersebut.
8. Kartu Prabayar Single-purpose adalah Kartu Prabayar yang digunakan untuk
melakukan pembayaran atas kewajiban yang timbul dari satu jenis transaksi
ekonomi, misalnya Kartu Prabayar yang hanya dapat digunakan untuk
pembayaran tol atau Kartu Prabayar yang hanya dapat digunakan untuk
pembayaran transportasi umum.
9. Kartu Prabayar Multi-purpose adalah Kartu Prabayar yang digunakan untuk
melakukan pembayaran atas kewajiban yang timbul dari berbagai jenis
transaksi ekonomi, misalnya Kartu Prabayar yang dapat digunakan untuk
pembayaran tol, telepon, transportasi umum, dan untuk berbelanja.
10. Pemegang …
-5-
10. Pemegang Kartu
Menggunakan Kartu.
adalah pemilik sah dari Alat Pembayaran Dengan
11. Penyelenggara adalah Bank atau Lembaga Selain Bank yang melakukan
kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu baik sebagai
prinsipal, penerbit, dan/atau acquirer.
12. Prinsipal adalah Bank atau Lembaga Selain Bank yang menjadi pemilik
tunggal hak atas merek dalam kegiatan Alat Pembayaran Dengan
Menggunakan Kartu.
13. Penerbit adalah Bank atau Lembaga Selain Bank yang menerbitkan Alat
Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu untuk Pemegang Kartu dengan
menggunakan merek tertentu atas persetujuan Prinsipal.
14. Acquirer adalah Bank atau Lembaga Selain Bank yang melakukan kegiatan
Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu yang dapat berupa financial
acquirer dan/atau technical acquirer.
15. Financial Acquirer adalah Acquirer yang melakukan pembayaran terlebih
dahulu atas transaksi yang dilakukan oleh Pemegang Kartu.
16. Technical Acquirer adalah Acquirer yang menyediakan sarana yang
diperlukan dalam pemrosesan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu.
17. Perusahaan Switching adalah perusahaan yang mengoperasikan sistem yang
digunakan untuk meneruskan (switching/routing) transaksi Alat Pembayaran
Dengan Menggunakan Kartu dari sistem Financial Acquirer tertentu ke
sistem Penerbit untuk kepentingan otorisasi, dan perusahaan tersebut dapat
melakukan perhitungan hak dan kewajiban antar Financial Acquirer dengan
Penerbit yang timbul dari proses transaksi Alat Pembayaran Dengan
Menggunakan Kartu.
BAB II …
-6-
BAB II
PERSETUJUAN PENYELENGGARAAN KEGIATAN
Bagian Pertama
Prinsipal
Pasal 2
(1) Prinsipal dalam penyelenggaraan kegiatan Alat Pembayaran Dengan
Menggunakan Kartu terdiri dari :
a. Prinsipal umum yaitu :
1. Prinsipal yang hak atas mereknya selain digunakan oleh Prinsipal
yang bersangkutan juga digunakan oleh Penerbit lain berdasarkan
suatu perjanjian tertulis; atau
2. Prinsipal yang hak atas mereknya digunakan oleh Penerbit lain
berdasarkan suatu perjanjian tertulis.
b. Prinsipal khusus yaitu Prinsipal yang hak atas mereknya hanya
digunakan oleh Prinsipal yang bersangkutan, yang sekaligus bertindak
sebagai Penerbit dan/atau Acquirer.
(2) Prinsipal umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a hanya dapat
dilakukan oleh Lembaga Selain Bank.
Pasal 3
Bank atau Lembaga Selain Bank yang akan bertindak sebagai Prinsipal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 wajib melaporkan secara tertulis rencana
kegiatannya kepada Bank Indonesia.
Pasal …
-7-
Pasal 4
(1) Bank Indonesia dapat melakukan kerja sama dengan Prinsipal dalam rangka
meningkatkan keamanan dan kelancaran penyelenggaraan kegiatan Alat
Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu.
(2)
Prinsipal wajib menghentikan sementara atau mencabut persetujuan
penggunaan merek yang telah diberikan kepada Penerbit apabila Bank
Indonesia mengenakan sanksi penghentian sementara atau mencabut
persetujuan yang telah diberikan kepada Penerbit
tersebut sebagaimana
diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini.
Bagian Kedua
Penerbit
Pasal 5
Bank atau Lembaga Selain Bank dapat menjadi Penerbit seluruh jenis Alat
Pembayaran dengan Menggunakan Kartu, baik Kartu Kredit, Kartu ATM, Kartu
Debet, dan/atau Kartu Prabayar.
Pasal 6
(1) Lembaga Selain Bank yang dapat bertindak sebagai Penerbit Kartu Kredit
yaitu Lembaga Selain Bank yang telah memperoleh izin dari Departemen
Keuangan Republik Indonesia untuk menjalankan kegiatan Kartu Kredit.
(2) Lembaga …
-8-
(2) Lembaga Selain Bank yang dapat bertindak sebagai Penerbit Kartu ATM
dan/atau Kartu Debet yaitu Lembaga Selain Bank yang mempunyai
kewenangan
untuk melakukan kegiatan penghimpunan dana
dari
masyarakat dalam bentuk simpanan berdasarkan undang-undang yang
mengatur mengenai Lembaga Selain Bank tersebut.
(3) Lembaga Selain Bank yang dapat bertindak sebagai Penerbit untuk Kartu
Prabayar yang memerlukan persetujuan dari Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4) yaitu Lembaga Selain Bank yang
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. berbadan hukum Indonesia dalam bentuk Perseroan Terbatas (PT); dan
b. memiliki pengalaman dan reputasi baik dalam penyelenggaraan Kartu
Prabayar Single-purpose single merchant atau Multi-purpose single
merchant di Indonesia paling singkat selama 2 (dua) tahun.
(4) Kriteria Lembaga Selain Bank yang dapat menjadi Penerbit Kartu Prabayar
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dievaluasi
kembali oleh Bank
Indonesia paling lambat 2 (dua) tahun sejak diterbitkannya Peraturan Bank
Indonesia ini.
Pasal 7
(1) Bank atau Lembaga Selain Bank yang akan bertindak sebagai Penerbit
wajib mendapat persetujuan dari Bank Indonesia.
(2) Dalam hal Bank dan/atau Lembaga Selain Bank sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) akan menerbitkan sekaligus beberapa jenis kartu, baik dalam
satu fisik
kartu maupun beberapa fisik
kartu,
wajib mengajukan
permohonan persetujuan untuk masing-masing jenis kartu.
(3) Permohonan …
-9-
(3) Permohonan persetujuan untuk masing-masing jenis kartu sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) berlaku pula untuk Bank dan/atau Lembaga Selain
Bank yang telah bertindak sebagai Penerbit salah satu jenis kartu dan akan
menambahkan jenis kartu lainnya, baik dalam satu fisik kartu maupun
beberapa fisik kartu.
(4) Khusus untuk Kartu Prabayar, Penerbit wajib meminta persetujuan kepada
Bank Indonesia dalam hal Kartu Prabayar yang diterbitkan adalah:
a. Kartu Prabayar Single-purpose tetapi dapat digunakan di lebih dari
satu penyedia barang dan/atau jasa (Single-purpose multi merchants);
b. Kartu Prabayar Multi-purpose yang dapat digunakan untuk melakukan
pembayaran pada lebih dari satu penyedia barang dan/atau jasa (Multi-
purpose multi merchants); dan/atau
c. Kartu Prabayar Single-purpose atau Multi-purpose yang Penerbitnya
bukan merupakan penyedia barang dan/atau jasa (bukan merchant).
Pasal 8
(1) Untuk mendapatkan persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat
(1), Bank atau Lembaga Selain Bank harus menyampaikan permohonan
secara tertulis kepada Bank Indonesia.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilampiri dengan
dokumen-dokumen sebagai berikut :
a. Bank
1. rencana kerja Bank yang didalamnya mencantumkan rencana
kegiatan Bank sebagai Penerbit;
2. hasil …
-10-
2.
hasil analisis bisnis dari kegiatan Alat Pembayaran Dengan
Menggunakan Kartu yang akan dilakukan untuk 1 (satu) tahun ke
depan;
3. bukti kesiapan perangkat hukum;
4. bukti kesiapan penerapan manajemen risiko; dan
5. bukti kesiapan operasional.
b. Lembaga Selain Bank
1. rencana kerja Lembaga Selain Bank;
2.
fotokopi dari akta pendirian badan hukum yang telah disahkan
oleh pihak yang berwenang. Fotokopi akta pendirian badan
hukum tersebut harus pula dilegalisir oleh pihak/pejabat yang
berwenang;
3.
hasil analisis bisnis dari kegiatan Alat Pembayaran Dengan
Menggunakan Kartu yang akan dilakukan untuk 1 (satu) tahun ke
depan;
4. bukti kesiapan perangkat hukum;
5. bukti kesiapan penerapan manajemen risiko; dan
6. bukti kesiapan operasional.
(3) Dalam hal Penerbit bekerjasama dengan Technical Acquirer dan/atau
Perusahaan Switching, Penerbit harus:
a. memiliki bukti mengenai kehandalan dan keamanan operasional
Technical Acquirer dan/atau Perusahaan Switching tersebut yang
antara lain dibuktikan dengan adanya hasil audit dari security auditor
yang independen;
b. mensyaratkan kepada Technical Acquirer dan/atau Perusahaan
Switching yang
bekerjasama
dengan Penerbit
tersebut untuk
menerapkan …
-11-
menerapkan prinsip resiprositas dalam hal Technical Acquirer dan/atau
Perusahaan Switching tersebut melakukan kerjasama dengan Technical
Acquirer dan/atau Perusahaan Switching lain yang berbadan hukum
asing dan berkedudukan di luar wilayah Republik Indonesia; dan
c. mensyaratkan Technical Acquirer dan/atau Perusahaan Switching
untuk melaporkan kegiatannya kepada Bank Indonesia.
(4)
Penerbit hanya dapat bekerjasama dengan Perusahaan Switching yang
berbadan hukum Indonesia atau dengan Perusahaan Switching yang
berbadan hukum asing namun memiliki basis operasional di Indonesia.
Pasal 9
(1) Dalam melakukan kegiatan yang terkait dengan Alat Pembayaran Dengan
Menggunakan Kartu, Bank dan/atau Lembaga Selain Bank yang bertindak
sebagai Penerbit dan/atau Financial Acquirer dapat melakukan kerjasama
dengan pihak lain di luar pihak sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (3).
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kerjasama Bank dan/atau Lembaga Selain
Bank dengan pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 10
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian persetujuan atau penolakan
atas
persetujuan atau penolakan, dan tata cara pelaporan pelaksanaan kegiatan Alat
Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu, diatur dengan Surat Edaran Bank
Indonesia.
Pasal …
permohonan sebagai Penerbit, termasuk jangka waktu pemberian
-12-
Pasal 11
(1) Bank Indonesia berwenang untuk :
a. menunda pemberlakuan persetujuan penyelenggaraan kegiatan Alat
Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu apabila menurut penilaian
Bank Indonesia, Bank atau Lembaga Selain Bank tersebut tidak dapat
bertindak sebagai Penerbit untuk sementara waktu; atau
b. membatalkan persetujuan penyelenggaraan kegiatan Alat Pembayaran
Dengan Menggunakan
Kartu
apabila menurut penilaian
Bank
Indonesia, Bank atau Lembaga Selain Bank tersebut tidak dapat
bertindak sebagai Penerbit.
(2) Penundaan atau pembatalan persetujuan oleh Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) antara lain didasarkan pada :
a. memburuknya kondisi keuangan Bank;
b. adanya rekomendasi dari otoritas pengawas Lembaga Selain Bank
untuk menunda berlakunya atau membatalkan persetujuan yang telah
diberikan kepada Lembaga Selain Bank sebagai Penerbit; atau
c. lemahnya manajemen risiko Bank atau Lembaga Selain Bank yang
dinilai dapat menimbulkan kerugian bagi pihak yang terkait dalam
kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu dan/atau
perekonomian nasional.
(3) Dalam hal Bank Indonesia menunda
pemberlakuan
persetujuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, kegiatan sebagai Penerbit
dapat dilakukan setelah terdapat pemberitahuan tertulis dari Bank Indonesia.
Pasal …
-13-
Pasal 12
(1) Persetujuan yang telah diberikan oleh Bank Indonesia kepada Bank atau
Lembaga Selain Bank sebagai Penerbit kegiatan Alat Pembayaran Dengan
Menggunakan Kartu tidak mengikat Prinsipal untuk memberikan
persetujuan penggunaan merek kepada Bank atau Lembaga Selain Bank
tersebut.
(2) Dalam memberikan persetujuan kepada Bank atau Lembaga Selain Bank
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Prinsipal dapat menetapkan syarat-
syarat lain di luar persyaratan yang telah ditetapkan dalam Peraturan Bank
Indonesia ini.
Bagian Ketiga
Acquirer
Pasal 13
Lembaga Selain Bank yang dapat bertindak sebagai Financial Acquirer adalah
Lembaga Selain Bank yang mempunyai kewenangan untuk melakukan kegiatan
pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan ketentuan yang mengatur
mengenai Lembaga Selain Bank tersebut.
Pasal 14
(1)
Bank dan/atau Lembaga Selain Bank yang telah memperoleh persetujuan
sebagai Penerbit dan akan melakukan kegiatan sebagai Financial Acquirer
dan/atau Technical Acquirer harus melaporkan secara tertulis rencana
kegiatan …
-14-
kegiatan sebagai Financial Acquirer dan/atau Technical Acquirer tersebut
kepada Bank Indonesia
(2)
Laporan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilampiri
dengan:
a. bukti kesiapan perangkat hukum; dan
b. bukti kesiapan manajemen likuiditas.
(3)
Prosedur dan tata cara pelaporan sebagai Financial Acquirer dan/atau
Technical Acquirer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 15
(1) Bank atau Lembaga Selain Bank yang akan bertindak sebagai Financial
Acquirer wajib mendapat persetujuan Bank Indonesia.
(2) Untuk mendapatkan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank
atau Lembaga Selain Bank harus menyampaikan permohonan secara tertulis
kepada Bank Indonesia.
(3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dilampiri dengan
dokumen-dokumen sebagai berikut :
a. Bank
1. rencana kerja Bank yang didalamnya mencantumkan rencana
kegiatan Bank sebagai Financial Acquirer;
2.
hasil analisis bisnis dari kegiatan Alat Pembayaran Dengan
Menggunakan Kartu yang akan dilakukan untuk 1 (satu) tahun ke
depan;
3. bukti kesiapan perangkat hukum;
4. bukti …
-15-
4. bukti kesiapan penerapan manajemen risiko; dan
5. bukti kesiapan operasional.
b. Lembaga Selain Bank
1. rencana kerja Lembaga Selain Bank;
2.
fotokopi dari akta pendirian badan hukum yang telah disahkan
oleh pihak yang berwenang. Fotokopi akta pendirian badan
hukum tersebut harus pula dilegalisir oleh pihak/pejabat yang
berwenang;
3.
hasil analisis bisnis dari kegiatan Alat Pembayaran Dengan
Menggunakan Kartu yang akan dilakukan untuk 1 (satu) tahun ke
depan;
4. bukti kesiapan perangkat hukum;
5. bukti kesiapan penerapan manajemen risiko; dan
6. bukti kesiapan operasional.
(4) Dalam hal Financial Acquirer bekerjasama dengan Technical Acquirer
dan/atau Perusahaan Switching, Financial Acquirer harus:
a. memiliki bukti mengenai kehandalan dan keamanan operasional
Technical Acquirer dan/atau Perusahaan Switching tersebut yang
antara lain dibuktikan dengan adanya hasil audit dari security auditor
yang independen;
b. mensyaratkan kepada Technical Acquirer dan/atau Perusahaan
Switching yang bekerjasama dengan Financial Acquirer tersebut untuk
menerapkan prinsip resiprositas dalam hal Technical Acquirer dan/atau
Perusahaan Switching tersebut melakukan kerjasama dengan Technical
Acquirer …
-16-
Acquirer dan/atau Perusahaan Switching lain yang berbadan hukum
asing dan berkedudukan di luar wilayah Republik Indonesia; dan
c. mensyaratkan Technical Acquirer dan/atau Perusahaan Switching
untuk melaporkan kegiatannya kepada Bank Indonesia.
(5) Financial Acquirer hanya dapat bekerjasama dengan Perusahaan Switching
yang berbadan hukum Indonesia atau dengan Perusahaan Switching yang
berbadan hukum asing namun memiliki basis operasional di Indonesia.
Pasal 16
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian persetujuan atau penolakan
atas permohonan sebagai Financial Acquirer, termasuk jangka waktu pemberian
persetujuan atau penolakan dan tata cara pelaporan pelaksanaan kegiatan Alat
Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu diatur dengan Surat Edaran Bank
Indonesia.
Pasal 17
(1) Bank Indonesia berwenang untuk :
a. menunda pemberlakuan persetujuan penyelenggaraan kegiatan Alat
Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu apabila menurut penilaian
Bank Indonesia, Bank atau Lembaga Selain Bank tersebut tidak dapat
bertindak sebagai Financial Acquirer untuk sementara waktu; atau
b. membatalkan …
-17-
b. membatalkan persetujuan penyelenggaraan kegiatan Alat Pembayaran
Dengan Menggunakan Kartu apabila menurut penilaian Bank Indonesia,
Bank atau Lembaga Selain Bank tersebut tidak dapat bertindak sebagai
Financial Acquirer.
(2) Penundaan atau pembatalan persetujuan oleh Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) antara lain didasarkan pada :
a. memburuknya kondisi keuangan Bank;
b. adanya rekomendasi dari otoritas pengawas Lembaga Selain Bank untuk
menunda berlakunya atau membatalkan persetujuan yang telah diberikan
kepada Lembaga Selain Bank sebagai Financial Acquirer; atau
c. lemahnya manajemen risiko Bank atau Lembaga Selain Bank yang
dinilai dapat menimbulkan kerugian bagi pihak yang terkait dalam
kegiatan Alat
perekonomian nasional.
(3) Dalam
hal Bank Indonesia menunda
pemberlakuan persetujuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, kegiatan sebagai Financial
Acquirer dapat dilakukan setelah terdapat pemberitahuan tertulis dari Bank
Indonesia.
Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu dan/atau
BAB III …
-18-
BAB III
PENYELENGGARAAN KEGIATAN
Bagian Pertama
Kartu Kredit
Pasal 18
Pemberian Kartu Kredit hanya dapat dilakukan oleh Penerbit berdasarkan
permohonan tertulis dari calon Pemegang Kartu.
Pasal 19
(1) Dalam pemberian Kartu Kredit, Penerbit wajib menerapkan manajemen
risiko sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
manajemen risiko.
(2) Selain memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penerbit
wajib pula menerapkan manajemen risiko kredit yang sekurang-kurangnya
meliputi :
a. penetapan minimum usia calon Pemegang Kartu;
b. penetapan minimum pendapatan calon Pemegang Kartu;
c. penetapan batas maksimum kredit calon Pemegang Kartu;
d. penetapan persentase minimum pembayaran oleh Pemegang Kartu,
sekurang-kurangnya sebesar 10 % (sepuluh per seratus) dari total
tagihan; dan
e. prosedur pemberian persetujuan kepada calon Pemegang Kartu.
(3) Bank Indonesia dapat menetapkan minimum usia, minimum pendapatan,
dan/atau batas maksimum kredit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf
a, huruf b, dan/atau huruf c dan perubahannya, serta perubahan penetapan
besarnya persentase minimum sebagaimana dimaksud pada huruf d, dengan
Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal …
-19-
Pasal 20
(1)
Penerbit wajib memberikan informasi secara tertulis kepada Pemegang
Kartu, sekurang-kurangnya hal-hal sebagai berikut:
a. prosedur dan tata cara penggunaan Kartu Kredit;
b. hal-hal penting yang harus diperhatikan oleh Pemegang Kartu dalam
penggunaan kartunya dan konsekuensi/risiko yang mungkin timbul dari
penggunaaan Kartu Kredit;
c. hak dan kewajiban Pemegang Kartu;
d. tata cara pengajuan pengaduan atas Kartu Kredit yang diberikan dan
perkiraan lamanya waktu penanganan pengaduan tersebut;
e. komponen dalam penghitungan bunga;
f. komponen dalam penghitungan denda; dan
g. jenis dan besarnya biaya administrasi yang dikenakan.
(2) Penerbit wajib mencantumkan dalam lembar penagihan yang disampaikan
kepada Pemegang Kartu, sekurang-kurangnya hal-hal sebagai berikut
:
a. besarnya minimum pembayaran oleh Pemegang Kartu;
b. tanggal jatuh tempo pembayaran;
c. besarnya persentase bunga per bulan dan persentase efektif bunga per
tahun (annualized percentage rate)
atas
transaksi yang dilakukan,
termasuk bunga atas transaksi pembelian barang atau jasa, penarikan
tunai,
dan manfaat lainnya dari Kartu Kredit apabila bunga atas
masing-masing transaksi tersebut berbeda;
d. besarnya denda atas keterlambatan pembayaran oleh Pemegang Kartu;
dan
e. nominal bunga yang dikenakan.
(3) Informasi …
-20-
(3) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib
disampaikan kembali secara tertulis kepada Pemegang Kartu apabila terjadi
perubahan atas informasi tersebut.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyampaian informasi tertulis
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan informasi dalam lembar penagihan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Surat Edaran Bank
Indonesia.
Pasal 21
(1) Pemberian kredit yang merupakan fasilitas Kartu Kredit wajib dilakukan
sesuai
dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
penyusunan dan pelaksanaan kebijaksanaan perkreditan Bank bagi bank
umum.
(2) Penghitungan bunga dan/atau denda yang timbul atas transaksi Kartu Kredit
dilakukan sesuai dengan standar akuntansi keuangan yang berlaku dengan
mempertimbangkan asas keadilan dan kewajaran.
(3) Dalam hal pemberian kredit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi
kredit bermasalah, penyelesaian atas kredit bermasalah tersebut termasuk
tagihan pokok, bunga dan/atau denda, diselesaikan sesuai dengan ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyusunan dan pelaksanaan
kebijaksanaan perkreditan Bank bagi bank umum.
(4) Penghitungan kolektibilitas kredit dalam Kartu Kredit wajib dilakukan
sesuai ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai kolektibilitas
kredit Bank Umum.
(5) Penerbit …
-21-
(5) Penerbit Kartu Kredit dapat melakukan penghitungan kolektibilitas yang
lebih hati-hati (prudent) daripada ketentuan Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) untuk kepentingan internal Penerbit Kartu Kredit
yang bersangkutan, namun untuk kepentingan pelaporan kepada Bank
Indonesia, Penerbit Kartu Kredit wajib melakukan penghitungan
kolektibilitas
kredit berdasarkan ketentuan Bank Indonesia mengenai
pemberian kredit oleh Bank.
(6) Penerbit wajib menjamin bahwa penagihan atas transaksi Kartu Kredit, baik
yang dilakukan oleh Penerbit sendiri atau menggunakan jasa pihak lain,
dilakukan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam Surat Edaran
Bank Indonesia.
Pasal 22
Penerbit dilarang memberikan fasilitas yang mempunyai dampak tambahan biaya
kepada Pemegang Kartu dan/atau memberikan fasilitas lain di luar fungsi utama
Kartu Kredit tanpa persetujuan tertulis dari Pemegang Kartu.
Pasal 23
(1) Penerbit wajib melakukan tukar-menukar informasi data Pemegang Kartu
dengan seluruh Penerbit lainnya yang meliputi negative list dan positive list
serta data negatif penyedia barang dan/atau jasa (merchant black list).
(2) Tukar-menukar informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
secara bilateral dan/atau melalui pusat pengelola informasi.
(3) Dalam …
-22-
(3) Dalam hal tukar-menukar informasi dilakukan melalui pusat pengelola
informasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), Bank Indonesia
menetapkan ketentuan pelaksanaan tukar menukar informasi dan pengaturan
tanggung jawab pusat pengelola informasi tersebut.
(4) Penerbit dilarang memberikan informasi data Pemegang Kartu kepada pihak
lain di luar kepentingan tukar-menukar informasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tanpa persetujuan tertulis dari Pemegang Kartu.
Pasal 24
(1) Dalam hal Penerbit bertindak pula sebagai Financial Acquirer, selain wajib
menerapkan manajemen risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat
(1) dan ayat (2), Penerbit tersebut wajib pula menerapkan pengendalian
risiko keuangan dalam hal terjadi kerugian akibat penggunaan kartu palsu.
(2) Dalam hal Penerbit bertindak pula sebagai Technical Acquirer, selain wajib
menerapkan manajemen risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat
(1) dan ayat (2), Penerbit tersebut wajib pula menerapkan manajemen risiko
operasional yang sekurang-kurangnya meliputi :
a. penyediaan sarana pengganti (back-up system) dalam hal terjadi
gangguan pada perangkat keras dan jaringan komunikasi yang menjadi
tanggung jawab Acquirer; dan
b. penyediaan sarana back-up data transaksi.
(3) Dalam hal Penerbit bekerjasama dengan Financial Acquirer, Penerbit
wajib memastikan
bahwa Financial Acquirer tersebut menerapkan
pengendalian risiko keuangan dalam hal terjadi kerugian akibat penggunaan
kartu palsu sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Dalam …
-23-
(4) Dalam hal Penerbit bekerjasama dengan Technical Acquirer, Penerbit wajib
memastikan bahwa Technical Acquirer tersebut menerapkan manajemen
risiko operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
Bagian Kedua
Kartu ATM, Kartu Debet, dan/atau Kartu Prabayar
Pasal 25
(1) Dalam pemberian Kartu ATM, Kartu Debet, dan/atau Kartu Prabayar,
Penerbit wajib menerapkan manajemen risiko sesuai dengan ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai manajemen risiko.
(2) Selain memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penerbit
wajib pula menerapkan manajemen risiko operasional yang sekurang-
kurangnya meliputi :
a. penetapan batas maksimum nilai transaksi;
b. penetapan batas maksimum penarikan uang tunai; dan
c. penetapan batas maksimum nilai yang tersimpan pada kartu, khusus
untuk Kartu Prabayar.
(3) Bank Indonesia dapat menetapkan batas maksimum nilai transaksi, batas
maksimum penarikan uang tunai, dan batas maksimum nilai yang tersimpan
pada Kartu Prabayar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan Surat
Edaran Bank Indonesia.
Pasal …
-24-
Pasal 26
(1) Kartu Prabayar yang dapat digunakan untuk bertransaksi di Indonesia
adalah Kartu Prabayar yang diterbitkan oleh Bank sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1 angka 1 atau Lembaga Selain Bank sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 ayat (3).
(2) Kartu Prabayar yang digunakan untuk bertransaksi di Indonesia wajib
menggunakan satuan hitung dalam Rupiah.
Pasal 27
(1) Dalam hal Penerbit bertindak pula sebagai Financial Acquirer, selain wajib
menerapkan manajemen risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat
(1) dan ayat (2), Penerbit tersebut wajib pula menerapkan pengendalian
risiko keuangan dalam hal terjadi kerugian akibat penggunaan kartu palsu.
(2) Dalam hal Penerbit bertindak pula sebagai Technical Acquirer, selain wajib
menerapkan manajemen risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat
(1) dan ayat (2), Penerbit tersebut wajib pula menerapkan manajemen risiko
operasional yang sekurang-kurangnya meliputi :
a. penyediaan sarana pengganti (back-up system) dalam hal terjadi
gangguan pada perangkat keras dan jaringan komunikasi yang menjadi
tanggung jawab Acquirer; dan
b. penyediaan sarana back-up data transaksi.
(3) Dalam hal Penerbit bekerjasama dengan Financial Acquirer, Penerbit wajib
memastikan bahwa Financial Acquirer tersebut menerapkan pengendalian
risiko …
-25-
risiko keuangan dalam hal terjadi kerugian akibat penggunaan kartu palsu
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Dalam hal Penerbit bekerjasama dengan Technical Acquirer, Penerbit wajib
memastikan bahwa Technical Acquirer tersebut menerapkan manajemen
risiko operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
Pasal 28
Penerbit wajib memberikan informasi secara tertulis kepada Pemegang Kartu,
sekurang-kurangnya mengenai hal-hal sebagai berikut:
a.
prosedur dan tata cara penggunaan Kartu ATM, Kartu Debet, dan/atau
Kartu Prabayar, fasilitas yang melekat pada Kartu ATM, Kartu Debet,
dan/atau Kartu Prabayar, dan risiko yang mungkin timbul dari penggunaan
Kartu ATM, Kartu Debet, dan/atau Kartu Prabayar;
b. hak dan kewajiban Pemegang Kartu; dan
c.
penanganan pengaduan tersebut.
BAB IV
PENGHENTIAN KEGIATAN
Pasal 29
Bank Indonesia berwenang untuk menghentikan secara tetap penyelenggaraan
kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu dalam hal:
a. Penyelenggara …
tata cara pengajuan pengaduan yang berkaitan dengan penggunaan kartu
sebagaimana dimaksud pada huruf a dan
perkiraan
lamanya
waktu
-26-
a. Penyelenggara kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu
tidak memenuhi ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia
ini setelah
dikenakan sanksi penghentian sementara sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 45, Pasal 46, Pasal 47, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50, Pasal 51, Pasal 52,
Pasal 53, Pasal 54, Pasal 55, Pasal 57, Pasal 58, Pasal 59, atau Pasal 60.
b.
terdapat
putusan pengadilan yang menghukum Penyelenggara untuk
menghentikan kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu yang
dilakukannya; atau
c. adanya permintaan tertulis/rekomendasi kepada Bank Indonesia dari otoritas
pengawas
yang berwenang untuk menghentikan kegiatan usaha
Penyelenggara, atau otoritas pengawas dimaksud telah menghentikan
kegiatan usaha Penyelenggara.
Pasal 30
(1) Penyelenggara harus melaporkan secara tertulis kepada Bank Indonesia
apabila akan menghentikan kegiatannya.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan paling
lambat 1 (satu) bulan sebelum Penyelenggara menghentikan kegiatannya.
(3) Pelaksanaan penghentian kegiatan oleh Penyelenggara harus dilaporkan
secara tertulis kepada Bank Indonesia paling lambat 3 (tiga) hari kerja
terhitung sejak tanggal penghentian kegiatan.
BAB V …
-27-
BAB V
KLIRING DAN PENYELESAIAN AKHIR
Pasal 31
(1) Dalam
hal penyelenggaraan kegiatan Alat
Pembayaran Dengan
Menggunakan Kartu memerlukan kegiatan kliring untuk memperhitungkan
hak dan kewajiban keuangan masing-masing Penerbit dan/atau Financial
Acquirer, maka kegiatan kliring tersebut diselenggarakan oleh Bank
Indonesia atau pihak lain dengan persetujuan Bank Indonesia.
(2) Persetujuan kepada pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan untuk penyelenggaraan kliring yang dilakukan di wilayah
Republik Indonesia.
(3) Penyelenggara kegiatan kliring sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib
menyampaikan laporan secara tertulis kepada Bank Indonesia mengenai
kegiatan kliring yang dilakukannya.
(4) Dalam hal kegiatan kliring
diselenggarakan di
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1)
luar wilayah Republik Indonesia, penyelenggara
kegiatan kliring tidak memerlukan persetujuan Bank Indonesia, tetapi wajib
menyampaikan laporan secara tertulis kepada Bank Indonesia mengenai
kegiatan kliring yang dilakukannya sepanjang penyelenggara
tersebut
memiliki kantor cabang atau kantor perwakilan di wilayah Republik
Indonesia.
(5) Tata cara pemberian persetujuan kepada pihak lain sebagai penyelenggara
kegiatan kliring sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan penyampaian
laporan …
-28-
laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) diatur dalam
Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 32
(1) Penyelesaian akhir atas perhitungan hak dan kewajiban keuangan masing-
masing Penerbit dan/atau Financial Acquirer sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 31 ayat (1) diselenggarakan oleh Bank Indonesia atau pihak lain
dengan persetujuan Bank Indonesia.
(2) Persetujuan kepada pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan untuk penyelenggaraan penyelesaian akhir atas transaksi dalam
mata uang rupiah untuk kartu yang diterbitkan oleh Penerbit di wilayah
Republik Indonesia.
(3) Penyelenggara kegiatan penyelesaian akhir sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) wajib menyampaikan laporan secara tertulis kepada Bank Indonesia
mengenai penyelenggaraan kegiatan penyelesaian akhir yang dilakukannya.
(4) Dalam hal kegiatan penyelesaian akhir sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diselenggarakan di
luar wilayah Republik Indonesia, penyelenggara
kegiatan penyelesaian akhir tidak memerlukan persetujuan Bank Indonesia,
tetapi wajib menyampaikan laporan secara tertulis kepada Bank Indonesia
mengenai penyelenggaraan kegiatan penyelesaian akhir yang dilakukannya
sepanjang penyelenggara tersebut memiliki kantor cabang atau kantor
perwakilan di wilayah Republik Indonesia.
(5) Tata cara pemberian persetujuan kepada pihak lain sebagai penyelenggara
kegiatan penyelesaian akhir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
penyampaian …
-29-
penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4)
diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
BAB VI
PENGAWASAN
Pasal 33
(1) Bank Indonesia melakukan pengawasan baik secara langsung maupun tidak
langsung terhadap Penyelenggara.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara berkala
dan/atau setiap waktu apabila diperlukan.
(3) Dalam rangka pengawasan langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Penyelenggara wajib memberikan :
a. keterangan dan/atau data yang terkait dengan penyelenggaraan kegiatan
Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu;
b. kesempatan untuk melakukan pengawasan secara langsung terhadap
sarana fisik
dan aplikasi pendukungnya
yang
terkait dengan
penyelenggaraan kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan
Kartu; dan/atau
c. hal-hal lain yang diperlukan.
(4) Berdasarkan hasil pengawasan langsung maupun tidak langsung
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia dapat melakukan
pembinaan dan/atau mengenakan sanksi.
Pasal …
-30-
Pasal 34
Bank Indonesia dapat menugaskan pihak lain untuk dan atas nama Bank
Indonesia melaksanakan pengawasan secara langsung sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 33 ayat (1).
Pasal 35
Dalam rangka pengawasan tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal
33 ayat (1), Penyelenggara wajib menyampaikan laporan tertulis kepada Bank
Indonesia baik secara berkala dan/atau setiap waktu apabila diperlukan mengenai
kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu yang dilakukan.
BAB VII
PENINGKATAN KEAMANAN TEKNOLOGI ALAT PEMBAYARAN
DENGAN MENGGUNAKAN KARTU
Pasal 36
(1) Penyelenggara wajib meningkatkan keamanan teknologi Alat Pembayaran
Dengan Menggunakan Kartu, baik keamanan pada kartu maupun keamanan
pada seluruh sistem yang digunakan untuk memproses transaksi Alat
Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu.
(2) Ketentuan mengenai keamanan teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), termasuk pengaturan mengenai pencetakan dan personalisasi kartu,
serta …
-31-
serta persetujuan perusahaan personalisasi kartu diatur lebih lanjut dengan
Surat Edaran Bank Indonesia.
BAB VIII
LAIN-LAIN
Pasal 37
Penyelenggaraan kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu oleh
Bank Umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah
(Bank Umum Syariah) dan Unit Usaha Syariah tunduk kepada Peraturan Bank
Indonesia ini dengan tetap mengacu pada prinsip syariah yang berlaku.
Pasal 38
Bank Perkreditan Rakyat dapat menyelenggarakan kegiatan Alat Pembayaran
Dengan Menggunakan Kartu sepanjang peraturan yang mengatur Bank
Perkreditan Rakyat memungkinkan bagi Bank Perkreditan Rakyat untuk
melakukan kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu.
Pasal 39
Perusahaan Switching yang dapat beroperasi di Indonesia adalah Perusahaan
Switching yang berbadan hukum Indonesia atau Perusahaan Switching yang
berbadan hukum asing namun memiliki basis operasional di Indonesia.
Pasal …
-32-
Pasal 40
(1) Penyelenggara wajib menyediakan sistem yang dapat dikoneksikan dengan
sistem Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu yang lain.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban penyediaan sistem yang dapat
dikoneksikan dengan sistem Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu
yang lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Surat Edaran
Bank Indonesia.
Pasal 41
Peraturan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia ini diatur lebih lanjut
dengan Surat Edaran Bank Indonesia.
BAB IX
S A N K S I
Pasal 42
Prinsipal yang tidak menghentikan sementara atau mencabut persetujuan
penggunaan merek yang telah diberikan kepada Penerbit sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (2) dalam jangka waktu paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja
terhitung sejak tanggal pemberitahuan tertulis oleh Bank Indonesia dikenakan
sanksi administratif berupa teguran tertulis.
Pasal …
-33-
Pasal 43
(1) Dalam hal Technical Acquirer dan/atau Perusahaan Switching tidak
memiliki bukti kehandalan dan keamanan operasional, tidak menerapkan
prinsip resiprositas, dan/atau tidak menyampaikan laporan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3), Bank Indonesia dapat meminta Penerbit
menghentikan kerjasama dengan Technical Acquirer dan/atau Perusahaan
Switching tersebut.
(2) Dalam hal Penerbit bekerjasama dengan Perusahaan Switching yang tidak
berbadan hukum Indonesia atau dengan Perusahaan Switching yang
berbadan hukum asing namun tidak memiliki basis operasional di Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4), Bank Indonesia dapat
meminta Penerbit menghentikan kerjasama dengan Perusahaan Switching
tersebut.
Pasal 44
(1) Dalam hal Technical Acquirer dan/atau Perusahaan Switching tidak
memiliki bukti kehandalan dan keamanan operasional, tidak menerapkan
prinsip resiprositas, dan/atau tidak menyampaikan laporan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15 ayat (4), Bank Indonesia dapat meminta Financial
Acquirer menghentikan kerjasama dengan Technical Acquirer dan/atau
Perusahaan Switching tersebut.
(2) Dalam hal Financial Acquirer bekerjasama dengan Perusahaan Switching
yang tidak berbadan hukum Indonesia atau dengan Perusahaan Switching
yang berbadan hukum asing namun tidak memiliki basis operasional di
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (5), Bank Indonesia
dapat …
-34-
dapat meminta Financial Acquirer menghentikan kerjasama dengan
Perusahaan Switching tersebut.
Pasal 45
(1) Penerbit Kartu Kredit yang memberikan Kartu Kredit tidak berdasarkan
permohonan tertulis
sanksi administratif berupa teguran tertulis.
(2) Jika dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal teguran tertulis
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Penerbit Kartu Kredit tidak memenuhi
ketentuan Pasal 18, Penerbit Kartu Kredit tersebut dikenakan teguran
tertulis kedua.
(3) Jika dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal teguran tertulis kedua
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Penerbit Kartu Kredit tidak memenuhi
ketentuan Pasal 18, Penerbit Kartu Kredit tersebut dikenakan sanksi
penghentian sementara kegiatan sebagai Penerbit Kartu Kredit.
Pasal 46
(1) Penerbit Kartu Kredit yang tidak menerapkan manajemen risiko
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dan/atau ayat (2) dikenakan
sanksi administratif berupa teguran tertulis.
(2) Jika dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal teguran tertulis
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Penerbit Kartu Kredit tidak memenuhi
ketentuan …
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 dikenakan
-35-
ketentuan Pasal 19 ayat (1) dan/atau ayat (2), Penerbit Kartu Kredit tersebut
dikenakan teguran tertulis kedua.
(3) Jika dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal teguran tertulis kedua
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Penerbit Kartu Kredit tidak memenuhi
ketentuan Pasal 19 ayat (1) dan/atau ayat (2), Penerbit Kartu Kredit tersebut
dikenakan sanksi penghentian sementara kegiatan sebagai Penerbit Kartu
Kredit.
(4) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) berlaku
juga untuk Penerbit Kartu Kredit yang tidak memenuhi persyaratan
mengenai minimum usia, minimum pendapatan, batas maksimum kredit,
dan/atau persentase minimum pembayaran sebagaimana ditetapkan dalam
Surat Edaran Bank Indonesia .
Pasal 47
(1) Penerbit yang tidak memenuhi kewajiban pemberian informasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 20 dan/atau Pasal 28 dikenakan sanksi administratif
berupa teguran tertulis.
(2) Jika dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal teguran tertulis
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Penerbit tidak memenuhi ketentuan
Pasal 20 dan/atau Pasal 28, Penerbit tersebut dikenakan teguran tertulis
kedua.
(3) Jika dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal teguran tertulis kedua
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Penerbit tidak memenuhi ketentuan
Pasal 20 dan/atau Pasal 28, Penerbit tersebut dikenakan sanksi penghentian
sementara kegiatan sebagai Penerbit.
Pasal …
-36-
Pasal 48
(1) Penerbit Kartu Kredit yang tidak memenuhi ketentuan yang berkaitan
dengan pemberian dan/atau penyelesaian kredit sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21 dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis.
(2) Jika dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal teguran tertulis
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Penerbit Kartu Kredit tidak memenuhi
ketentuan Pasal 21, Penerbit tersebut dikenakan teguran tertulis kedua.
(3) Jika dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal teguran tertulis kedua
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Penerbit Kartu Kredit tidak memenuhi
ketentuan Pasal 21, Penerbit tersebut dikenakan sanksi penghentian
sementara kegiatan sebagai Penerbit Kartu Kredit.
Pasal 49
(1) Penerbit Kartu Kredit yang tidak memenuhi ketentuan yang terkait dengan
pemberian fasilitas lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 dikenakan
sanksi administratif berupa teguran tertulis.
(2) Jika dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal teguran tertulis
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Penerbit Kartu Kredit tidak memenuhi
ketentuan Pasal 22, Penerbit tersebut dikenakan teguran tertulis kedua.
(3) Jika dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal teguran tertulis kedua
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Penerbit Kartu Kredit tidak memenuhi
ketentuan Pasal 22, Penerbit
tersebut
dikenakan sanksi penghentian
sementara kegiatan sebagai Penerbit Kartu Kredit.
Pasal …
-37-
Pasal 50
(1) Penerbit Kartu Kredit yang tidak memenuhi kewajiban untuk melakukan
tukar menukar informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1)
dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis.
(2) Penerbit Kartu Kredit yang memberikan informasi data Pemegang Kartu
kepada pihak
lain di luar kepentingan
tukar-menukar informasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (4), dikenakan sanksi
administratif berupa teguran tertulis.
(3) Jika dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal teguran tertulis
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) Penerbit Kartu Kredit
tidak memenuhi ketentuan dalam Pasal 23 ayat (1) dan/atau ayat
Penerbit Kartu Kredit tersebut dikenakan teguran tertulis kedua.
(4),
(4) Jika dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal teguran tertulis kedua
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Penerbit Kartu Kredit tidak memenuhi
ketentuan dalam Pasal 23 ayat (1) dan/atau ayat (4), Penerbit Kartu Kredit
tersebut dikenakan sanksi penghentian sementara kegiatan sebagai Penerbit
Kartu Kredit.
Pasal 51
(1) Penerbit Kartu Kredit yang melanggar ketentuan Pasal 24 dikenakan sanksi
administratif berupa teguran tertulis.
(2) Jika dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal teguran tertulis
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Penerbit Kartu Kredit tidak memenuhi
ketentuan …
-38-
ketentuan Pasal 24, Penerbit Kartu Kredit tersebut dikenakan teguran tertulis
kedua.
(3) Jika dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal teguran tertulis kedua
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Penerbit Kartu Kredit tidak memenuhi
ketentuan Pasal 24, Penerbit Kartu Kredit
tersebut dikenakan
penghentian sementara kegiatan sebagai Penerbit Kartu Kredit.
Pasal 52
(1) Penerbit Kartu ATM, Kartu Debet, dan/atau Kartu Prabayar yang tidak
menerapkan manajemen risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat
(1) dan ayat (2) dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis.
(2) Jika dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal teguran tertulis
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Penerbit Kartu ATM, Kartu Debet,
dan/atau Kartu Prabayar tidak memenuhi ketentuan Pasal 25 ayat (1) dan
ayat (2), Penerbit tersebut dikenakan teguran tertulis kedua.
(3) Jika dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal teguran tertulis kedua
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Penerbit Kartu ATM, Kartu Debet,
dan/atau Kartu Prabayar tidak memenuhi ketentuan Pasal 25 ayat (1) dan
ayat (2), Penerbit tersebut dikenakan sanksi penghentian sementara kegiatan
sebagai Penerbit Kartu ATM, Kartu Debet, dan/atau Kartu Prabayar.
sanksi
Pasal …
-39-
Pasal 53
(1) Penerbit Kartu ATM, Kartu Debet, dan/atau Kartu Prabayar yang tidak
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 dikenakan
sanksi administratif berupa teguran tertulis.
(2) Jika dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal teguran tertulis
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Penerbit Kartu ATM, Kartu Debet,
dan/atau Kartu Prabayar tidak memenuhi ketentuan Pasal 27, Penerbit
tersebut dikenakan teguran tertulis kedua.
(3) Jika dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal teguran tertulis kedua
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Penerbit Kartu ATM, Kartu Debet,
dan/atau Kartu Prabayar tidak memenuhi ketentuan Pasal 27, Penerbit
tersebut dikenakan sanksi penghentian sementara kegiatan sebagai Penerbit
Kartu ATM, Kartu Debet, dan/atau Kartu Prabayar.
Pasal 54
(1) Penyelenggara kegiatan kliring yang tidak menyampaikan laporan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (3) dan/atau ayat (4), serta
penyelenggara kegiatan penyelesaian akhir yang tidak menyampaikan
laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3) dan/atau ayat (4)
dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis.
(2) Jika dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal teguran tertulis
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) penyelenggara kegiatan kliring tidak
memenuhi ketentuan Pasal 31 ayat (3) dan/atau ayat (4), dan/atau
penyelenggara kegiatan penyelesaian akhir tidak memenuhi ketentuan
Pasal …
-40-
Pasal 32 ayat (3) dan/atau ayat (4), penyelenggara tersebut dikenakan
teguran tertulis kedua.
(3) Jika dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal teguran tertulis kedua
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) penyelenggara kegiatan kliring tidak
memenuhi ketentuan Pasal 31 ayat (3) dan/atau ayat (4), dan/atau
penyelenggara kegiatan penyelesaian akhir tidak memenuhi ketentuan Pasal
32 ayat (3) dan/atau ayat (4), penyelenggara tersebut dikenakan sanksi
penghentian sementara.
Pasal 55
Penyelenggara
yang tidak memberikan keterangan, data, hal-hal lain yang
diperlukan dalam rangka pengawasan, dan/atau tidak memberi kesempatan
pengawas untuk melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33
ayat (3), dikenakan sanksi penghentian sementara kegiatan sebagai
Penyelenggara.
Pasal 56
Penyelenggara yang tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 35 setelah berakhirnya batas waktu penyampaian laporan dikenakan sanksi
administratif berupa teguran tertulis dan sanksi kewajiban membayar sebesar
Rp. 100.000,00 (seratus ribu rupiah) per hari keterlambatan per jenis laporan dan
per periode penyampaian laporan.
Pasal …
-41-
Pasal 57
(1) Penyelenggara
yang tidak memenuhi kewajiban
keamanan teknologi sebagaimana
dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis.
(2) Jika dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal teguran tertulis
sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) Penyelenggara
tersebut tidak
memenuhi ketentuan Pasal 36 ayat (1), Bank atau Lembaga Selain Bank
tersebut dikenakan sanksi teguran tertulis kedua.
(3) Jika dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal teguran tertulis kedua
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Penyelenggara tidak memenuhi
ketentuan Pasal 36 ayat (1), Penyelenggara tersebut dikenakan sanksi
penghentian sementara kegiatan sebagai Penyelenggara kegiatan Alat
Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu.
Pasal 58
(1) Penyelenggara yang tidak memenuhi kewajiban penyediaan sistem
sebagaimana
dimaksud
dalam Pasal 40 ayat (1) dikenakan sanksi
administratif berupa teguran tertulis.
(2) Jika dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal teguran tertulis
sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) Penyelenggara tersebut tidak
memenuhi ketentuan Pasal 40 ayat (1), Bank atau Lembaga Selain Bank
tersebut dikenakan sanksi teguran tertulis kedua.
(3) Jika dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal teguran tertulis kedua
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Penyelenggara tidak memenuhi
ketentuan …
untuk meningkatkan
dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1)
-42-
ketentuan Pasal 40 ayat (1), Penyelenggara tersebut dikenakan sanksi
penghentian sementara kegiatan sebagai Penyelenggara kegiatan Alat
Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu.
Pasal 59
(1) Bank atau Lembaga Selain Bank yang telah menyelenggarakan kegiatan
Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu dan tidak melaporkan
kegiatannya tersebut kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 61 dikenakan sanksi teguran tertulis.
(2) Jika dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal teguran tertulis
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Bank atau Lembaga Selain Bank
tersebut tidak memenuhi ketentuan Pasal 61, Bank atau Lembaga Selain
Bank tersebut dikenakan sanksi penghentian sementara atas kegiatan Alat
Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu yang dilakukan.
Pasal 60
(1) Bank atau Lembaga Selain Bank yang telah menyelenggarakan kegiatan
kliring dan/atau penyelesaian akhir dan tidak melaporkan kegiatannya
kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 dikenakan
sanksi teguran tertulis.
(2) Jika dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal teguran tertulis
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Bank atau Lembaga Selain Bank
tersebut tidak memenuhi ketentuan Pasal 63, Bank atau Lembaga Selain
Bank tersebut dikenakan sanksi penghentian sementara atas
penyelenggaraan kegiatan kliring dan/atau penyelesaian akhir.
BAB X …
-43-
BAB X
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 61
Bank atau Lembaga Selain Bank
yang telah melakukan kegiatan Alat
Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu sebelum tanggal 28 Desember 2004
wajib melaporkan kegiatannya kepada Bank Indonesia dengan tata cara, waktu
penyampaian, dan jenis laporan sebagaimana
Indonesia.
Pasal 62
Perusahaan Switching yang telah beroperasi di Indonesia sebelum berlakunya
Peraturan Bank Indonesia ini, yang belum berbadan hukum Indonesia atau tidak
memiliki kantor cabang di Indonesia, wajib memenuhi ketentuan dalam Pasal 39
paling lambat dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sejak berlakunya Peraturan
Bank Indonesia ini.
Pasal 63
Bank atau Lembaga Selain Bank yang telah menyelenggarakan kegiatan kliring
dan/atau penyelesaian akhir atas kegiatan Alat Pembayaran Dengan
Menggunakan Kartu sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini tetap
dapat menyelenggarakan kegiatan tersebut dan wajib melaporkan kegiatannya
kepada Bank Indonesia dengan tata cara, waktu penyampaian, dan jenis laporan
yang diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
BAB XI …
diatur dalam Surat Edaran Bank
-44-
BAB XI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 64
Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku, Peraturan Bank Indonesia
Nomor 6/30/PBI/2004 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran
Dengan Menggunakan Kartu (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4462)
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 65
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 28 Desember 2005
GUBERNUR BANK INDONESIA,
BURHANUDDIN ABDULLAH
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2005 NOMOR 148
DASP
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 7/52/PBI/2005
TENTANG
PENYELENGGARAAN KEGIATAN ALAT PEMBAYARAN
DENGAN MENGGUNAKAN KARTU
UMUM
Sebagai pelaksanaan dari Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2004,
khususnya terkait dengan tugas Bank Indonesia dalam mengatur dan menjaga
kelancaran sistem pembayaran, Bank Indonesia berwenang antara lain
melaksanakan dan memberikan persetujuan dan izin atas penyelenggaraan jasa
sistem pembayaran dan mewajibkan penyelenggara jasa sistem pembayaran
untuk menyampaikan laporan tentang kegiatannya. Persetujuan atau izin Bank
Indonesia atas penyelenggaraan jasa sistem pembayaran tersebut diperlukan
dengan maksud agar penyelenggaraan jasa sistem pembayaran memenuhi
persyaratan, khususnya persyaratan keamanan dan efisiensi.
kewajiban penyampaian laporan kegiatan dari penyelenggara jasa
Sedangkan
sistem
pembayaran dimaksudkan agar Bank Indonesia dapat melakukan pengawasan
terhadap penyelenggaraan jasa sistem pembayaran. Selain itu, informasi yang
diperoleh dari penyelenggaraan jasa sistem pembayaran juga diperlukan untuk
menunjang pelaksanaan tugas-tugas Bank Indonesia lainnya dalam bidang
pengendalian moneter serta pengaturan dan pengawasan perbankan.
Salah …
-2-
Salah satu kegiatan sistem pembayaran yang saat ini telah berkembang
dengan cepat adalah Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu. Kebutuhan
masyarakat terhadap penggunaan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu
dalam memenuhi kegiatan ekonomi menunjukkan perkembangan yang cukup
pesat dari tahun ke tahun. Sejalan dengan meningkatnya penggunaan Alat
Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu tersebut, tingkat keamanan teknologi
baik keamanan kartu maupun keamanan sistem yang digunakan untuk
memproses transaksi Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu
perlu
ditingkatkan agar penggunaan kartu sebagai alat bayar dapat senantiasa berjalan
dengan aman dan lancar.
Berkaitan dengan teknologi yang saat ini digunakan dalam kegiatan Alat
Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu yaitu magnetic stripes yang dinilai
semakin rawan terhadap berbagai modus operandi kejahatan (fraud), maka perlu
diatur kewajiban Penyelenggara untuk meningkatkan keamanan antara lain
dengan mengkombinasikan penggunaan teknologi magnetic
stripes dengan
teknologi chip. Penggunaan teknologi chip selain untuk meningkatkan keamanan,
juga dimaksudkan untuk mencegah migrasi kejahatan Alat Pembayaran Dengan
Menggunakan Kartu dari negara-negara lain yang telah menerapkan chip ke
Indonesia, serta untuk memberikan kemudahan bagi pengembangan produk
layanan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu di masa mendatang.
Selain pengaturan mengenai kewajiban peningkatan teknologi, pengaturan
Kartu Prabayar dalam PBI ini lebih dipertegas antara lain dengan mengatur jenis
Kartu Prabayar yang perlu mendapat persetujuan dari Bank Indonesia. Perlunya
persetujuan Bank Indonesia terhadap penerbitan Kartu Prabayar yang bersifat
Single-purpose multi merchants, Multi-purpose multi merchants dan Single-
purpose atau Multi-purpose yang diterbitkan oleh bukan merchant antara lain
dilatarbelakangi hal-hal sebagai berikut:
1. Kartu-kartu …
-3-
1. Kartu-kartu tersebut pada dasarnya bersifat seperti uang yang dibawa oleh
Pemegang Kartu. Dipersamakannya sifat kartu-kartu tersebut dengan uang
karena pada saat Pemegang Kartu menggunakan kartunya pada merchant
tertentu, maka bagi merchant tersebut nilai yang dikurangkan dari kartu,
apapun satuan nilai dalam kartu tersebut, pada dasarnya berupa nilai uang
yang pada waktunya akan ditagihkan pada Penerbit Kartu Prabayar dalam
bentuk uang;
2. Kartu-kartu tersebut dapat dikategorikan sebagai System Wide Important
Payment System (SWIPS) karena
melibatkan berbagai pihak; dan
digunakan oleh masyarakat banyak dan
3. Untuk menjamin kelancaran dan keamanan sistem pembayaran, karena
penerbitan kartu-kartu pembayaran tersebut melibatkan banyak pihak.
Adapun perlunya persetujuan oleh Bank Indonesia dimaksud didasarkan pada
pertimbangan pentingnya:
1.
perlindungan bagi masyarakat pengguna,
2. menjaga kepercayaan masyarakat terhadap alat pembayaran, dan
3.
pelaksanaan tugas Bank Indonesia dalam memonitor uang beredar.
Sedangkan Kartu Prabayar single merchant yang diterbitkan sendiri
oleh
merchant, tidak memerlukan persetujuan dari Bank Indonesia karena pada
dasarnya nilai dalam kartu, walaupun berupa nilai uang, hanya dapat digunakan
untuk pembayaran kepada merchant tersebut sehingga tidak akan ada penagihan
dari merchant lainnya.
Peraturan Bank Indonesia ini juga membatasi Lembaga Selain Bank yang
dapat bertindak sebagai Penerbit Kartu Prabayar mengingat sifat Kartu Prabayar
yang sama seperti uang tunai. Kartu-kartu Prabayar, apapun satuan nilai yang
terdapat
didalamnya, apakah rupiah,
pulsa, ataupun bentuk lainnya,
pada
dasarnya …
-4-
dasarnya bersifat seperti “uang tunai di dalam fisik kartu” yang dibawa oleh
Pemegang Kartu. Dikatakan bersifat seperti “uang tunai” karena nilai “uang”
telah berada di dalam kartu (prabayar) dan bukan disimpan dalam rekening di
bank.
Pada dasarnya, “uang digital” yang terdapat dalam Kartu Prabayar dapat
dikonstruksikan dalam dua bentuk, yakni bentuk “barang” dan bentuk “uang”.
Kartu telepon, yang hanya digunakan untuk menelepon pada penyedia jasa
telekomunikasi penerbit kartu telepon tersebut (single purpose single merchant)
dapat dikategorikan sebagai “barang”, yang pembeliannya dapat disamakan
dengan pembelian barang biasa (barang yang dibeli adalah pulsa).
Selain hal-hal tersebut di atas, hal-hal yang terkait dengan aspek kehati-
hatian, perlindungan konsumen, dan pengawasan terhadap kegiatan Alat
Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu merupakan materi yang diatur dalam
PBI ini.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Cukup jelas
Pasal 3
Cukup jelas
Pasal …
-5-
Pasal 4
Cukup jelas
Pasal 5
Cukup jelas
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Dimungkinkannya Lembaga Selain Bank dalam ayat ini untuk
menjadi Penerbit Kartu Prabayar ditujukan untuk menampung
potensi lembaga-lembaga yang bukan lembaga keuangan untuk
menerbitkan Kartu Prabayar
sebagaimana Kartu Prabayar yang
diterbitkan oleh Bank. Sebagai contoh, perusahaan telekomunikasi
mengeluarkan kartu telepon berisi pulsa yang dapat digunakan baik
untuk menelpon maupun untuk berbelanja.
Yang dimaksud dengan “reputasi baik” dalam hal ini misalnya dalam
penyelenggaraan Kartu Prabayar Single-purpose single merchant
atau Multi-purpose single merchant, Penerbit tidak pernah gagal
bayar dan kartu-kartu yang diterbitkannya dapat digunakan dengan
baik.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal …
-6-
Pasal 7
Ayat (1)
Persetujuan Bank Indonesia dimaksudkan agar terdapat kesetaraan
antara Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu yang
diterbitkan oleh Bank dengan Alat
Pembayaran Dengan
Menggunakan Kartu yang diterbitkan oleh Lembaga Selain Bank,
dan persetujuan Bank Indonesia tersebut
dimaksudkan untuk
melindungi masyarakat pengguna Alat Pembayaran Dengan
Menggunakan Kartu, menjaga kepercayaan masyarakat terhadap
alat pembayaran tersebut, dan menjalankan tugas Bank Indonesia
dalam memonitor uang beredar.
Ayat (2)
Pengajuan permohonan persetujuan untuk menerbitkan beberapa
jenis kartu, baik dalam satu fisik kartu maupun beberapa fisik
kartu, dapat diajukan dalam 1 (satu) surat permohonan.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “beberapa jenis kartu tergabung dalam satu
fisik kartu” antara lain fungsi Kartu ATM yang tergabung menjadi
satu dengan Kartu Debet.
Yang dimaksud dengan “menambahkan jenis kartu lainnya secara
tergabung dalam fisik kartu yang telah diterbitkan” antara lain
Penerbit yang telah menerbitkan Kartu ATM akan menambahkan
fungsi Kartu Debet dalam fisik Kartu Kredit tersebut.
Ayat (4)
Penerbitan Kartu Prabayar Multi-purpose multi merchants, Kartu
Prabayar Single-purpose multi merchants, dan Kartu Prabayar
Multi-purpose atau Single-purpose di mana
Penerbit Kartu
Prabayar …
-7-
Prabayar tersebut bukan merupakan penyedia barang dan/atau jasa
(merchant), memerlukan persetujuan Bank Indonesia karena:
1. Kartu-kartu tersebut pada dasarnya bersifat seperti uang yang
dibawa oleh Pemegang Kartu. Dipersamakannya sifat kartu-
kartu tersebut dengan uang karena pada saat Pemegang Kartu
menggunakan kartunya pada merchant tertentu, maka bagi
merchant tersebut nilai yang dikurangkan dari kartu, apapun
satuan nilai dalam kartu tersebut, pada dasarnya berupa nilai
uang yang pada waktunya akan ditagihkan pada Penerbit Kartu
Prabayar dalam bentuk uang;
2. Kartu-kartu tersebut dapat dikategorikan sebagai System Wide
Important Payment System (SWIPS) karena digunakan oleh
masyarakat banyak dan melibatkan berbagai pihak; dan
3. Untuk menjamin kelancaran dan keamanan sistem pembayaran,
karena penerbitan kartu-kartu pembayaran tersebut melibatkan
banyak pihak.
Pemberian persetujuan oleh Bank Indonesia
didasarkan pada
pertimbangan pentingnya:
1. perlindungan bagi masyarakat pengguna,
2. menjaga kepercayaan masyarakat terhadap alat pembayaran,
dan
3. pelaksanaan tugas Bank Indonesia
beredar.
dalam memonitor uang
Contoh Kartu Prabayar Single-purpose multi merchants adalah
Kartu Prabayar yang dapat digunakan untuk membayar tiket
berbagai transportasi umum, misalnya kereta api, bus kota, feri,
monorel …
-8-
monorel, busway dan lain-lain, yang diselenggarakan oleh lebih
dari satu perusahaan.
Contoh Kartu Prabayar Multi-purpose multi merchants adalah
Kartu Prabayar yang dapat digunakan untuk pembayaran tol,
pembelanjaan umum, dan pembayaran tiket berbagai transportasi
umum yang dikelola oleh lebih dari satu perusahaan pengelola,
misalnya kereta api, bus kota, feri, monorel, busway, dan lain-lain.
Contoh Kartu Prabayar Multi-purpose maupun Single-purpose
yang Penerbitnya bukan merupakan penyedia barang dan atau jasa
(bukan merchant) adalah:
1. Suatu perusahaan telekomunikasi menerbitkan Kartu Prabayar
telekomunikasi yang dapat digunakan untuk membayar biaya
tol di berbagai ruas tol yang dikelola oleh satu atau berbagai
perusahaan
pengelola jalan tol (Single-purpose single
merchant atau Single-purpose multi merchants, dan Penerbit
bukan merchant).
2. Bank menerbitkan Kartu Prabayar yang dapat digunakan
untuk berbelanja barang dan atau jasa di satu atau berbagai
merchants (multi-purpose single merchant atau multi-purpose
multi merchants, dan Penerbit bukan merchant).
Dalam hal Bank menyediakan jasa layanan bagi nasabahnya yang
pembayaran atas jasa
layanan
tersebut dilakukan dengan
menggunakan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu maka
dalam hal ini Bank dimaksud bertindak sebagai merchant.
Sedangkan …
-9-
Sedangkan Kartu Prabayar single merchant yang diterbitkan sendiri
oleh merchant tersebut, tidak memerlukan persetujuan dari Bank
Indonesia karena pada dasarnya nilai dalam kartu, walaupun berupa
nilai uang, hanya dapat digunakan untuk pembayaran kepada
merchant tersebut sehingga tidak
merchant lainnya.
akan ada
penagihan
dari
Contoh:
1. Kartu Prabayar Multi-purpose yang hanya dapat digunakan
pada satu penyedia barang dan/atau jasa (multi purpose single
merchant), misalnya Kartu Prabayar yang diterbitkan oleh
perusahaan pengelola jalan tol dan dapat digunakan untuk
membayar tiket tol dan transaksi pembelanjaan lain pada
outlet yang dimiliki oleh perusahaan yang sama.
2. Kartu Prabayar Single-purpose yang hanya dapat digunakan
untuk kepentingan pembayaran barang dan/atau jasa tetapi
hanya pada satu perusahaan penyedia barang dan/atau jasa
(Single-purpose single merchant), misalnya Kartu Prabayar
yang diterbitkan oleh perusahaan pengelola jalan tol untuk
kepentingan pembayaran penggunaan jalan tol pada berbagai
ruas jalan yang hanya dikelola oleh perusahaan tersebut.
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat …
-10-
Ayat (2)
Huruf a
Angka 1
Cukup jelas
Angka 2
Cukup jelas
Angka 3
Kesiapan perangkat hukum dalam pasal ini antara
lain perjanjian antara Penerbit dengan Prinsipal,
pengaturan mengenai hak dan kewajiban para pihak
baik secara umum maupun dalam kasus-kasus khusus
seperti pengaturan hak dan kewajiban Penerbit,
Prinsipal, Acquirer, dan Pemegang Kartu, serta
prosedur penyelesaian sengketa yang timbul diantara
para pihak.
Angka 4
Manajemen risiko
dalam pasal ini antara lain
menajemen risiko likuiditas, manajemen risiko kredit,
dan manajemen risiko operasional.
Angka 5
Bukti kesiapan operasional dalam pasal ini antara
lain:
1. rencana struktur organisasi dan persiapan sumber
daya manusia;
2. rencana peralatan dan sarana usaha.
Huruf …
-11-
Huruf b
Angka 1
Cukup jelas
Angka 2
Pihak/pejabat yang berwenang untuk memberikan
legalisasi fotokopi akta
misalnya notaris.
pendirian badan hukum
Angka 3
Cukup jelas
Angka 4
Kesiapan perangkat hukum dalam pasal ini antara
lain perjanjian antara Penerbit dengan Prinsipal,
pengaturan mengenai hak dan kewajiban para pihak
baik secara umum maupun dalam kasus-kasus khusus
seperti pengaturan hak dan kewajiban Penerbit,
Prinsipal, Acquirer, dan Pemegang Kartu, serta
prosedur penyelesaian sengketa yang timbul diantara
para pihak.
Angka 5
Manajemen risiko
Angka 6
Bukti kesiapan operasional dalam pasal ini antara
lain:
1. rencana struktur organisasi dan persiapan sumber
daya manusia; dan
2. rencana peralatan dan sarana usaha.
Ayat …
dalam pasal ini antara lain
menajemen risiko likuiditas, manajemen risiko kredit,
dan manajemen risiko operasional.
-12-
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Penerapan prinsip resiprositas diperlukan untuk menjamin
agar terdapat kesejajaran di mana produk Alat Pembayaran
Dengan Menggunakan Kartu Indonesia dapat dipergunakan
di luar negeri sama dengan
digunakannya produk Alat
Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu asing di
Indonesia. Contoh, Bank-bank yang bersama-sama
tergabung
dalam jaringan ATM domestik
(jaringan
Perusahaan Switching domestik), dan jaringan ATM
domestik tersebut akan dikoneksikan (interlink) dengan
jaringan ATM luar negeri, maka kartu-kartu ATM yang
diterbitkan oleh Bank-bank yang tergabung di jaringan ATM
domestik maupun yang diterbitkan oleh Bank-bank yang
tergabung dalam jaringan ATM luar negeri tersebut harus
saling dapat digunakan baik di jaringan ATM di Indonesia
maupun jaringan ATM di luar negeri.
Huruf c
Cukup jelas
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “memiliki basis operasional di Indonesia”
antara lain memiliki kantor cabang di Indonesia.
Pasal …
-13-
Pasal 9
Ayat (1)
Contoh pihak lain dalam pasal ini antara lain pihak kolektor tagihan
Kartu Kredit yang bekerjasama dengan Penerbit Kartu Kredit.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 10
Cukup jelas
Pasal 11
Cukup jelas
Pasal 12
Cukup jelas
Pasal 13
Cukup jelas
Pasal 14
Ayat (1)
Bank dan atau Lembaga Selain Bank yang telah bertindak sebagai
Penerbit dan mempunyai jaringan ATM sendiri dan kemudian
melakukan kerjasama dengan Perusahaan Switching atau Penerbit
lainnya dalam mengoperasikan jaringan ATM bersama, maka
Penerbit tersebut otomatis menjalankan pula fungsi sebagai
Financial Acquirer untuk nasabah Bank dan atau Lembaga Selain
Bank …
-14-
Bank lainnya yang tergabung dalam jaringan ATM bersama
tersebut.
Bank atau Lembaga Selain Bank telah menjalankan fungsi sebagai
Financial Acquirer apabila Bank atau Lembaga Selain Bank
tersebut memberikan talangan untuk nasabah Bank atau Lembaga
Selain Bank lainnya, meskipun Bank atau Lembaga Selain Bank
tersebut tidak menyediakan jaringan ATM sendiri.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Huruf a
Angka 1
Cukup jelas
Angka 2
Cukup jelas
Angka 3
Kesiapan perangkat hukum dalam pasal ini antara
lain perjanjian antara Financial Acquirer dengan
Penerbit dan/atau penyedia barang dan/atau jasa,
pengaturan …
-15-
pengaturan mengenai hak dan kewajiban para pihak
baik secara umum maupun dalam kasus-kasus khusus
seperti pengaturan hak dan kewajiban Financial
Acquirer, Penerbit,
serta prosedur penyelesaian
sengketa yang timbul diantara para pihak.
Angka 4
Manajemen risiko
dalam pasal ini antara lain
menajemen risiko likuiditas, manajemen risiko kredit,
dan manajemen risiko operasional.
Angka 5
Bukti kesiapan operasional dalam pasal ini antara
lain:
1. rencana struktur organisasi dan persiapan sumber
daya manusia; dan
2. rencana peralatan dan sarana usaha.
Huruf b
Angka 1
Cukup jelas
Angka 2
Pihak/pejabat yang berwenang untuk memberikan
legalisasi fotokopi akta
misalnya notaris.
pendirian badan hukum
Angka 3
Cukup jelas
Angka …
-16-
Angka 4
Kesiapan perangkat hukum dalam pasal ini antara
lain perjanjian antara Financial Acquirer dengan
Penerbit dan/atau penyedia barang dan/atau jasa,
pengaturan mengenai hak dan kewajiban para pihak
baik secara umum maupun dalam kasus-kasus khusus
seperti pengaturan hak dan kewajiban Financial
Acquirer, Penerbit,
serta prosedur penyelesaian
sengketa yang timbul diantara para pihak.
Angka 5
Manajemen risiko
dalam pasal ini antara lain
menajemen risiko likuiditas, manajemen risiko kredit,
dan manajemen risiko operasional.
Angka 6
Bukti kesiapan operasional dalam pasal ini antara
lain:
1. rencana struktur organisasi dan persiapan sumber
daya manusia; dan
2. rencana peralatan dan sarana usaha.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan “memiliki basis operasional di Indonesia”
antara lain memiliki kantor cabang di Indonesia.
Pasal 16
Cukup jelas
Pasal …
-17-
Pasal 17
Cukup jelas
Pasal 18
Penawaran produk Kartu Kredit secara lisan kepada calon Pemegang
Kartu (solicitation) dapat dilakukan namun pemberian Kartu Kredit baru
dapat dilakukan setelah adanya permohonan tertulis
tandatangan basah oleh calon Pemegang Kartu.
yang dibubuhi
Pasal 19
Ayat (1)
Ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai manajemen
risiko antara lain Peraturan Bank Indonesia tentang Penerapan
Manajemen Risiko dan seluruh peraturan pelaksanaannya.
Ayat (2)
Manajemen risiko kredit dalam pasal ini wajib dituangkan dalam
bentuk dokumen tertulis.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 20
Cukup jelas
Pasal 21
Ayat (1)
Kewajiban untuk tunduk pada ketentuan mengenai penyusunan dan
pelaksanaan kebijakan perkreditan Bank bagi Bank umum dalam
pemberian …
-18-
pemberian kredit, berlaku baik untuk Bank maupun Lembaga
Selain Bank yang menerbitkan Kartu Kredit.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “mempertimbangkan asas keadilan dan
kewajaran” antara lain Penerbit:
a. tidak memperhitungkan nilai transaksi yang belum jatuh tempo
sebagai komponen dalam penghitungan bunga;
b. menghitung bunga dari unpaid balance, bukan dari nilai
transaksi; dan
c. tidak mengenakan bunga
atas tagihan yang telah
sebelum tanggal cetak tagihan (early payment).
Ayat (3)
Kewajiban untuk tunduk pada ketentuan mengenai penyusunan dan
pelaksanaan kebijakan perkreditan Bank bagi Bank umum dalam
penyelesaian kredit bermasalah, berlaku baik untuk Bank maupun
Lembaga Selain Bank yang menerbitkan Kartu Kredit.
Ayat (4)
Kewajiban untuk tunduk pada ketentuan mengenai pemberian
kredit oleh Bank dalam penghitungan kolektibilitas kredit, berlaku
baik untuk Bank maupun Lembaga Selain Bank yang menerbitkan
Kartu Kredit.
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
dibayar
Pasal …
-19-
Pasal 22
Yang dimaksud dengan ”fasilitas yang mempunyai dampak tambahan
biaya” dalam pasal ini antara lain adalah program asuransi dan pemberian
Kartu Kredit tambahan.
Yang dimaksud dengan ”fasilitas lain di luar fungsi utama Kartu Kredit”
antara lain adalah memperlakukan kelebihan pembayaran tagihan Kartu
Kredit sebagai tabungan yang benar-benar diperlakukan seperti simpanan
biasa yang dapat digunakan untuk bertransaksi di luar transaksi Kartu
Kredit misalnya transaksi transfer dana antar Bank.
Yang dimaksud dengan “persetujuan tertulis” dalam ayat ini termasuk
juga kesepakatan lisan yang dituangkan dalam catatan resmi pejabat Bank
yang berwenang.
Pasal 23
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Pusat pengelola
informasi
dalam ayat ini
antara
lain pusat
pengelola informasi yang diselenggarakan oleh Bank Indonesia
dan/atau credit bureau.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Larangan pemberian informasi data Pemegang Kartu pada ayat ini
misalnya pemberian informasi data Pemegang Kartu oleh Penerbit
kepada pihak lain seperti penyedia barang dan/atau jasa dan
perusahaan asuransi.
Pasal …
-20-
Pasal 24
Cukup jelas
Pasal 25
Cukup jelas
Pasal 26
Cukup jelas
Pasal 27
Cukup jelas
Pasal 28
Cukup jelas
Pasal 29
Yang dimaksud “penghentian secara tetap” adalah pencabutan persetujuan
sebagai Penerbit dan/atau Financial Acquirer oleh Bank Indonesia.
Permintaan tertulis
dari otoritas pengawas yang berwenang untuk
menghentikan kegiatan usaha Penyelenggara kepada Bank Indonesia dapat
didasarkan pada pertimbangan antara lain adanya pelanggaran terhadap
ketentuan yang dikeluarkan oleh otoritas yang berwenang tersebut.
Pasal 30
Cukup jelas
Pasal …
-21-
Pasal 31
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pihak lain” dalam ayat ini antara lain
Bank dan Perusahaan Switching.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas
Pasal 34
Cukup jelas
Pasal 35
Cukup jelas
Pasal 36
Cukup jelas
Pasal …
-22-
Pasal 37
Yang dimaksud dengan “prinsip syariah” dalam pasal ini adalah prinsip
syariah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia
yang mengatur mengenai perbankan
pelaksanaannya, antara lain berdasarkan pada fatwa Dewan Syariah
Nasional (DSN) yang mengatur tentang kartu syariah.
Pasal 38
Cukup jelas
Pasal 39
Yang dimaksud dengan “memiliki basis operasional di Indonesia” antara
lain memiliki kantor cabang di Indonesia.
Pasal 40
Ayat (1)
Kewajiban penyediaan sistem yang dapat dikoneksikan dengan
sistem Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu yang lain
antara lain dimaksudkan untuk meningkatkan efisiensi dalam
kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 41
Ketentuan yang diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia antara lain
memuat :
a. tata
cara penyelenggaraan kegiatan Alat
Menggunakan Kartu oleh Bank atau Lembaga Selain Bank;
b. tata cara pengawasan langsung dan tidak langsung;
c. tata …
dan seluruh ketentuan
Pembayaran Dengan
-23-
c. tata cara pelaporan dan jenis laporan;
d. waktu penyampaian laporan; dan
e. tata cara dan jenis informasi yang dapat dipertukarkan dalam rangka
tukar-menukar informasi.
Pasal 42
Cukup jelas
Pasal 43
Cukup jelas
Pasal 44
Cukup jelas
Pasal 45
Cukup jelas
Pasal 46
Cukup jelas
Pasal 47
Cukup jelas
Pasal 48
Cukup jelas
Pasal …
-24-
Pasal 49
Cukup jelas
Pasal 50
Cukup jelas
Pasal 51
Cukup jelas
Pasal 52
Cukup jelas
Pasal 53
Cukup jelas
Pasal 54
Cukup jelas
Pasal 55
Cukup jelas
Pasal 56
Cukup jelas
Pasal 57
Cukup jelas
Pasal …
-25-
Pasal 58
Cukup jelas
Pasal 59
Cukup jelas
Pasal 60
Cukup jelas
Pasal 61
Cukup jelas
Pasal 62
Cukup jelas
Pasal 63
Cukup jelas
Pasal 64
Cukup jelas
Pasal 65
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4583
"," PBI
7/52/PBI/2005
PENYELENGGARAAN KEGIATAN ALAT PEMBAYARAN DENGAN MENGGUNAKAN KARTU
28 Desember 2005
28 Desember 2005
'6/30/PBI/2004'
'23/UU/1999', '7/UU/1992', '3/UU/2004', '10/UU/1998'
'BAB II Pasal 4 Ayat (2)', 'BAB IX'
"
" PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 11/ 3 /PBI/2009
TENTANG
BANK UMUM SYARIAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa dalam menghadapi perkembangan perekonomian nasional
yang mengalami perubahan yang cepat dan tantangan yang
dinamis, serta terintegrasi dengan perekonomian global yang terus
berkembang, diperlukan perbankan nasional yang tangguh;
b. bahwa perbankan syariah sebagai salah satu unsur dari perbankan
nasional diharapkan dapat memberikan kontribusi yang optimal
sebagai lembaga intermediasi dalam mendukung pembangunan
ekonomi nasional;
c. bahwa untuk mendorong terciptanya perbankan syariah yang
tangguh dan efisien, diperlukan pengaturan kegiatan perbankan
syariah yang komprehensif, jelas dan memberikan kepastian
hukum;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a, huruf b, dan huruf c maka diperlukan penyempurnaan
terhadap ketentuan mengenai Bank Umum Syariah dalam suatu
Peraturan Bank Indonesia;
Mengingat …
- 2 -
Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843)
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 142, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4901) sebagaimana
telah ditetapkan dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4962);
2. Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4867);
3. Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007
Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4756);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG BANK UMUM
SYARIAH.
BAB I …
- 3 -
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah Bank Umum Syariah sebagaimana dimaksud dalam
Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah;
2. Kantor Cabang yang selanjutnya disebut dengan KC adalah
kantor Bank yang bertanggung jawab kepada kantor pusat Bank
yang bersangkutan, dengan alamat tempat usaha yang jelas
sesuai dengan lokasi KC tersebut melakukan usahanya;
3. Kantor di bawah Kantor Cabang adalah Kantor Cabang
Pembantu atau Kantor Kas;
4. Kantor Cabang Pembantu yang selanjutnya disebut dengan KCP
adalah kantor Bank yang kegiatan usahanya membantu KC
induknya, dengan alamat tempat usaha yang jelas sesuai dengan
lokasi KCP tersebut melakukan usahanya;
5. Kantor Kas yang selanjutnya disebut dengan KK adalah kantor
Bank yang kegiatan usahanya membantu KC atau KCP
induknya, kecuali melakukan penyaluran dana, dengan alamat
tempat usaha yang jelas sesuai dengan lokasi KK tersebut
melakukan usahanya;
6. Kegiatan Pelayanan Kas yang selanjutnya disebut dengan KPK
adalah kegiatan kas dalam rangka melayani pihak yang telah
menjadi nasabah Bank meliputi antara lain:
a. Kas Keliling yaitu kegiatan pelayanan kas secara berpindah-
pindah dengan menggunakan alat transportasi atau pada
lokasi …
- 4 -
lokasi tertentu secara tidak permanen, antara lain kas mobil,
kas terapung atau counter bank non permanen;
b. Payment Point yaitu kegiatan dalam bentuk penerimaan
pembayaran melalui kerjasama antara Bank dengan pihak
lain pada suatu lokasi tertentu, seperti untuk penerimaan
pembayaran tagihan telepon, tagihan listrik dan/atau
penerimaan setoran dari pihak ketiga;
c. Perangkat Perbankan Elektronis yang selanjutnya disebut
dengan PPE yaitu kegiatan pelayanan kas atau non kas yang
dilakukan dengan menggunakan sarana mesin elektronis
yang berlokasi baik di dalam maupun di luar kantor Bank,
yang dapat melakukan pelayanan antara lain penarikan atau
penyetoran secara tunai, pembayaran melalui
pemindahbukuan, transfer antar bank dan/atau memperoleh
informasi mengenai saldo/mutasi rekening nasabah, baik
menggunakan jaringan dan/atau mesin milik Bank sendiri
maupun melalui kerja sama Bank dengan pihak lain, antara
lain Anjungan Tunai Mandiri (ATM);
7. Pemegang Saham Pengendali yang selanjutnya disebut dengan
PSP adalah badan hukum, orang perseorangan, dan/atau
kelompok usaha yang:
a. memiliki saham Bank sebesar 25% (dua puluh lima persen)
atau lebih dari jumlah saham yang dikeluarkan dan memiliki
hak suara; atau
b. memiliki saham Bank kurang dari 25% (dua puluh lima
persen) dari jumlah saham yang dikeluarkan dan memiliki
hak suara tetapi yang bersangkutan dapat dibuktikan telah
melakukan …
- 5 -
melakukan pengendalian Bank baik secara langsung maupun
tidak langsung;
8. Dewan Komisaris adalah Dewan Komisaris sebagaimana
dimaksud dalam Undang-undang Nomor 40 tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas;
9. Komisaris Independen adalah anggota Dewan Komisaris yang
tidak memiliki hubungan keuangan, kepengurusan, kepemilikan
saham dan/atau hubungan keluarga dengan anggota Dewan
Komisaris lainnya, Direksi dan/atau pemegang saham
pengendali atau hubungan dengan bank, yang dapat
mempengaruhi kemampuannya untuk bertindak independen;
10. Direksi adalah Direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-
undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas;
11. Dewan Pengawas Syariah yang selanjutnya disebut DPS adalah
dewan yang bertugas memberikan nasihat dan saran kepada
Direksi serta mengawasi kegiatan Bank agar sesuai dengan
prinsip syariah;
12. Pejabat Eksekutif adalah pejabat yang bertanggung jawab
langsung kepada direktur atau Direksi dan/atau mempunyai
pengaruh terhadap kebijakan dan operasional Bank seperti
kepala divisi, pemimpin KC, atau kepala satuan kerja audit
internal;
13. Kelompok Usaha adalah:
a. perorangan dan badan hukum;
b. beberapa orang; atau
c. beberapa badan hukum
yang memiliki keterkaitan kepengurusan, kepemilikan dan/atau
hubungan …
- 6 -
hubungan keuangan.
14. Hari adalah hari kalender.
Pasal 2
Bentuk badan hukum Bank adalah perseroan terbatas.
Pasal 3
Bank harus memiliki anggaran dasar yang selain memenuhi
persyaratan anggaran dasar sebagaimana diatur dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan juga harus memuat ketentuan:
a. pengangkatan anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi, dan
anggota DPS dengan memperoleh persetujuan Bank Indonesia
terlebih dahulu;
b. syarat, jumlah, tugas, kewenangan, tanggung jawab, serta hal lain
yang menyangkut Dewan Komisaris, Direksi, dan DPS sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
c. Rapat Umum Pemegang Saham Bank yang menetapkan tugas
manajemen, remunerasi Dewan Komisaris dan Direksi, laporan
pertanggungjawaban tahunan, penunjukan dan biaya jasa akuntan
publik, penggunaan laba, dan hal-hal lainnya yang ditetapkan
dalam ketentuan Bank Indonesia; dan
d. Rapat Umum Pemegang Saham yang harus dipimpin oleh
Presiden Komisaris atau Komisaris Utama.
BAB II …
- 7 -
BAB II
PERIZINAN
Bagian Kesatu
Pendirian Bank
Pasal 4
(1) Bank hanya dapat didirikan dan melakukan kegiatan usaha
setelah memperoleh izin Bank Indonesia.
(2) Pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dalam 2 (dua) tahap:
a. persetujuan prinsip, yaitu persetujuan untuk melakukan
persiapan pendirian Bank; dan
b. izin usaha, yaitu izin yang diberikan untuk melakukan
kegiatan usaha Bank setelah persiapan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a selesai dilakukan.
Pasal 5
Modal disetor untuk mendirikan Bank ditetapkan paling kurang
sebesar Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah).
Pasal 6
(1) Bank hanya dapat didirikan dan/atau dimiliki oleh:
a. warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia;
b. warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia
dengan warga negara asing dan/atau badan hukum asing
secara kemitraan; atau
c. pemerintah daerah.
(2) Kepemilikan oleh warga negara asing dan/atau badan hukum
asing …
- 8 -
asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b paling
banyak sebesar 99% (sembilan puluh sembilan persen) dari
modal disetor Bank.
Bagian Kedua
Persetujuan Prinsip
Pasal 7
(1) Permohonan untuk mendapatkan persetujuan prinsip
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a diajukan
paling kurang oleh salah satu calon pemilik kepada Bank
Indonesia disertai dengan dokumen pendukung.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus disertai
dengan pemenuhan setoran modal paling kurang 30% (tiga puluh
persen) dari modal disetor minimum sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 yang dibuktikan dengan dokumen pendukung.
(3) Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 8
(1) Persetujuan atau penolakan atas permohonan persetujuan prinsip
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 diberikan paling lambat 60
(enam puluh) hari setelah dokumen permohonan diterima secara
lengkap.
(2) Persetujuan atau penolakan atas permohonan persetujuan prinsip
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberikan Bank Indonesia
berdasarkan pada:
a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen;
b. analisis …
- 9 -
b. analisis yang mencakup antara lain tingkat persaingan yang
sehat antar Bank dan Unit Usaha Syariah, tingkat kejenuhan
jumlah Bank dan Unit Usaha Syariah serta pemerataan
pembangunan ekonomi nasional; dan
c. uji kemampuan dan kepatutan (fit and proper test) terhadap
calon PSP, calon anggota Dewan Komisaris, dan calon
anggota Direksi, serta wawancara terhadap calon anggota
DPS.
(3) Selain ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pihak-
pihak yang mengajukan permohonan pendirian Bank wajib
melakukan presentasi kepada Bank Indonesia mengenai
keseluruhan rencana pendirian Bank.
Pasal 9
(1) Persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat
(1) berlaku untuk jangka waktu 1 (satu) tahun terhitung sejak
tanggal persetujuan prinsip diterbitkan.
(2) Pihak yang telah mendapat persetujuan prinsip sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilarang melakukan kegiatan usaha
Bank, sebelum mendapat izin usaha.
(3) Apabila setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) pihak yang telah mendapat persetujuan prinsip sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) belum mengajukan permohonan izin
usaha kepada Bank Indonesia, maka persetujuan prinsip yang
telah diberikan menjadi tidak berlaku.
Bagian …
- 10 -
Bagian Ketiga
Izin Usaha
Pasal 10
(1) Permohonan untuk mendapatkan izin usaha sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf b diajukan oleh pihak
yang telah mendapat persetujuan prinsip kepada Bank Indonesia
disertai dengan dokumen pendukung.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus disertai
dengan pelunasan modal disetor minimum sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 yang dibuktikan dengan dokumen
pendukung.
(3) Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 11
(1) Persetujuan atau penolakan atas permohonan izin usaha
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 diberikan paling lambat
60 (enam puluh) hari setelah dokumen permohonan diterima
secara lengkap.
(2) Persetujuan atau penolakan atas permohonan izin usaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberikan Bank Indonesia
berdasarkan pada:
a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen; dan
b. uji kemampuan dan kepatutan (fit and proper test) dan
wawancara terhadap pihak-pihak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 ayat (2) huruf c dalam hal terdapat
penggantian.
Pasal 12 …
- 11 -
Pasal 12
(1) Bank yang telah mendapat izin usaha dari Bank Indonesia wajib
melakukan kegiatan usaha Bank paling lambat 60 (enam puluh)
hari terhitung sejak tanggal izin usaha diterbitkan.
(2) Pelaksanaan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib dilaporkan oleh Presiden Direktur atau Direktur Utama
Bank kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari
setelah tanggal pelaksanaan kegiatan usaha.
(3) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) Bank belum melakukan kegiatan usaha, maka izin yang telah
diberikan menjadi tidak berlaku.
Pasal 13
(1) Bank yang telah mendapat izin usaha dari Bank Indonesia wajib
mencantumkan secara jelas kata Syariah sesudah kata Bank atau
setelah nama bank pada penulisan namanya.
(2) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berlaku
bagi Bank yang mendapatkan izin usaha setelah berlakunya
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah.
BAB III
KEPEMILIKAN DAN PERUBAHAN MODAL BANK
Pasal 14
Kepemilikan Bank oleh badan hukum sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 ayat (1) paling tinggi sebesar modal sendiri bersih badan
hukum yang bersangkutan.
Pasal 15 …
- 12 -
Pasal 15
Sumber dana yang digunakan dalam rangka kepemilikan Bank
dilarang:
a. berasal dari pinjaman atau fasilitas pembiayaan dalam bentuk
apapun dari bank dan/atau pihak lain; dan/atau
b. berasal dari dan untuk tujuan pencucian uang (money laundering).
Pasal 16
Pihak-pihak yang dapat menjadi pemilik Bank wajib memenuhi
persyaratan integritas, yang paling kurang mencakup:
a. memiliki akhlak dan moral yang baik;
b. memiliki komitmen untuk mematuhi peraturan perbankan syariah
dan peraturan perundang-undangan lain yang berlaku; dan
c. memiliki komitmen yang tinggi terhadap pengembangan Bank
yang sehat dan tangguh (sustainable).
Pasal 17
(1) Pihak-pihak yang dapat menjadi PSP Bank wajib memenuhi
persyaratan integritas dan kelayakan keuangan.
(2) Persyaratan dan tata cara penilaian pemenuhan persyaratan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam ketentuan
Bank Indonesia mengenai uji kemampuan dan kepatutan (fit and
proper test).
Pasal 18
(1) Perubahan pemilik Bank tunduk kepada tata cara perubahan
pemilik Bank yang diatur dalam peraturan perundang-undangan
yang …
- 13 -
yang berlaku mengenai penggabungan (merger), peleburan
(konsolidasi), dan pengambilalihan (akuisisi) bank dan/atau
mengenai pembelian saham bank umum.
(2) Perubahan PSP sebagai akibat adanya pewarisan tidak
diperlakukan sebagai pengambilalihan (akuisisi) namun tetap
wajib memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia.
Pasal 19
(1) Perubahan komposisi kepemilikan Bank yang tidak
mengakibatkan perubahan pengendalian, baik yang
mengakibatkan maupun tidak mengakibatkan penggantian,
pengurangan, dan/atau penambahan pemilik wajib dilaporkan
oleh Bank kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh)
hari setelah perubahan dilakukan disertai dengan dokumen
pendukung.
(2) Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 20
(1) Perubahan modal dasar wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank
Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah tanggal
diterimanya persetujuan perubahan anggaran dasar dari instansi
berwenang disertai dengan dokumen pendukung.
(2) Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
(3) Pembelian kembali saham yang telah dikeluarkan oleh Bank
wajib memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari Bank
Indonesia …
- 14 -
Indonesia dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang
berlaku.
Pasal 21
(1) Penerbitan saham Bank melalui penawaran umum di bursa efek
(go public) wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia.
(2) Rencana penerbitan saham Bank melalui penawaran umum
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dicantumkan dalam
Rencana Bisnis Bank.
(3) Pelaporan penerbitan saham sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) wajib dilakukan paling lambat 60 (enam puluh) hari sebelum
pelaksanaan penawaran umum disertai dengan dokumen
pendukung.
(4) Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 22
(1) Bank wajib mengadministrasikan dengan tertib daftar pemegang
saham dan perubahannya.
(2) Bank yang telah terdaftar di pasar modal wajib memperbarui
daftar sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
BAB IV …
- 15 -
BAB IV
DEWAN KOMISARIS, DIREKSI, DEWAN PENGAWAS SYARIAH DAN
PEJABAT EKSEKUTIF
Bagian Kesatu
Dewan Komisaris dan Direksi
Pasal 23
(1) Anggota Dewan Komisaris dan anggota Direksi wajib memenuhi
persyaratan integritas, kompetensi, dan reputasi keuangan.
(2) Persyaratan dan tata cara penilaian pemenuhan persyaratan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam ketentuan
Bank Indonesia mengenai uji kemampuan dan kepatutan (fit and
proper test).
Pasal 24
(1) Dewan Komisaris melakukan pengawasan atas pelaksanaan
tugas dan tanggung jawab Direksi, serta memberikan nasihat
kepada Direksi.
(2) Pengawasan oleh Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilaksanakan dengan berpedoman antara lain pada
ketentuan Bank Indonesia mengenai pelaksanaan good corporate
governance yang berlaku bagi Bank.
Pasal 25
(1) Jumlah anggota Dewan Komisaris paling kurang 3 (tiga) orang
dan paling banyak sama dengan jumlah anggota Direksi.
(2) Paling kurang 1 (satu) orang anggota Dewan Komisaris wajib
berdomisili di Indonesia.
(3) Dewan …
- 16 -
(3) Dewan Komisaris dipimpin oleh Presiden Komisaris atau
Komisaris Utama.
(4) Paling kurang 50% (lima puluh persen) dari jumlah anggota
Dewan Komisaris adalah Komisaris Independen.
Pasal 26
(1) Anggota Dewan Komisaris hanya dapat merangkap jabatan
sebagai:
a. anggota Dewan Komisaris, Direksi, atau Pejabat Eksekutif
pada 1 (satu) lembaga/perusahaan bukan lembaga keuangan;
b. anggota Dewan Komisaris atau Direksi yang melaksanakan
fungsi pengawasan pada 1 (satu) perusahaan anak lembaga
keuangan bukan Bank yang dimiliki oleh Bank;
c. anggota Dewan Komisaris, Direksi, atau Pejabat Eksekutif
pada 1 (satu) perusahaan yang merupakan pemegang saham
Bank; atau
d. pejabat pada paling banyak 3 (tiga) lembaga nirlaba.
(2) Mayoritas anggota Dewan Komisaris dilarang saling memiliki
hubungan keluarga sampai dengan derajat kedua dengan sesama
anggota Dewan Komisaris dan/atau anggota Direksi.
Pasal 27
(1) Direksi bertanggungjawab penuh atas pelaksanaan pengelolaan
Bank termasuk pemenuhan prinsip kehati-hatian dan prinsip
syariah.
(2) Pengelolaan Bank oleh Direksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilaksanakan dengan berpedoman antara lain pada ketentuan
Bank …
- 17 -
Bank Indonesia mengenai pelaksanaan good corporate
governance yang berlaku bagi Bank.
Pasal 28
(1) Jumlah anggota Direksi paling kurang 3 (tiga) orang.
(2) Setiap anggota Direksi harus berdomisili di Indonesia.
(3) Direksi dipimpin oleh Presiden Direktur atau Direktur Utama.
(4) Presiden Direktur atau Direktur Utama sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) wajib berasal dari pihak yang independen terhadap
PSP.
Pasal 29
(1) Anggota Direksi dilarang merangkap jabatan sebagai anggota
Dewan Komisaris, anggota Direksi, atau Pejabat Eksekutif pada
bank, perusahaan dan/atau lembaga lain.
(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan
apabila:
a. Direksi yang bertanggung jawab terhadap pengawasan atas
penyertaan pada perusahaan anak Bank, menjalankan tugas
fungsional menjadi anggota Dewan Komisaris pada
perusahaan anak bukan bank yang dikendalikan oleh Bank;
dan/atau
b. Direksi menduduki jabatan pada 2 (dua) lembaga nirlaba.
(3) Anggota Direksi baik secara sendiri-sendiri atau bersama-sama
dilarang memiliki saham melebihi 25% (dua puluh lima persen)
dari modal disetor pada perusahaan lain.
(4) Mayoritas anggota Direksi dilarang saling memiliki hubungan
keluarga …
- 18 -
keluarga sampai dengan derajat kedua dengan sesama anggota
Direksi dan/atau dengan anggota Dewan Komisaris.
Pasal 30
(1) Bank wajib memiliki 1 (satu) orang Direktur Kepatuhan yang
diangkat oleh Rapat Umum Pemegang Saham.
(2) Direktur Kepatuhan bertugas untuk memastikan kepatuhan Bank
terhadap pelaksanaan ketentuan Bank Indonesia dan peraturan
perundang-undangan lainnya.
(3) Ketentuan mengenai Direktur Kepatuhan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai
Direktur Kepatuhan.
Pasal 31
(1) Calon anggota Dewan Komisaris dan/atau anggota Direksi wajib
memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia sebelum
menduduki jabatannya.
(2) Pengangkatan anggota Dewan Komisaris dan/atau anggota
Direksi oleh Rapat Umum Pemegang Saham berlaku efektif
setelah mendapat persetujuan dari Bank Indonesia.
(3) Selain memenuhi ketentuan Bank Indonesia, calon anggota
Dewan Komisaris dan/atau anggota Direksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi persyaratan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 32
(1) Permohonan untuk memperoleh persetujuan sebagaimana
dimaksud …
- 19 -
dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) diajukan oleh Bank kepada
Bank Indonesia disertai dengan dokumen pendukung.
(2) Persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diberikan Bank Indonesia berdasarkan
pada:
a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen; dan
b. uji kemampuan dan kepatutan (fit and proper test) terhadap
calon anggota Dewan Komisaris dan/atau anggota Direksi.
(3) Persetujuan atau penolakan atas pengajuan calon anggota Dewan
Komisaris dan/atau anggota Direksi diberikan paling lambat 30
(tiga puluh) hari sejak dokumen permohonan diterima secara
lengkap.
(4) Calon anggota Dewan Komisaris dan/atau calon anggota Direksi
yang telah mendapat persetujuan Bank Indonesia namun tidak
diangkat oleh Rapat Umum Pemegang Saham dalam jangka
waktu 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal persetujuan
diterbitkan, maka persetujuan terhadap calon anggota Dewan
Komisaris dan/atau calon anggota Direksi menjadi tidak berlaku.
(5) Pengangkatan anggota Dewan Komisaris dan/atau anggota
Direksi wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia
paling lambat 10 (sepuluh) hari sejak tanggal pengangkatan
efektif disertai dengan dokumen pendukung.
(6) Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (5) diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 33
Pemberhentian dan/atau pengunduran diri anggota Dewan Komisaris
dan/atau …
- 20 -
dan/atau anggota Direksi wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia
paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah pemberhentian dan/atau
pengunduran diri efektif.
Bagian Kedua
Dewan Pengawas Syariah
Pasal 34
(1) Bank wajib membentuk DPS yang berkedudukan di kantor pusat
Bank.
(2) Anggota DPS wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. Integritas, yang paling kurang mencakup:
1. memiliki akhlak dan moral yang baik;
2. memiliki komitmen untuk mematuhi peraturan
perbankan syariah dan peraturan perundang-undangan
lain yang berlaku;
3. memiliki komitmen terhadap pengembangan Bank yang
sehat dan tangguh (sustainable); dan
4. tidak termasuk dalam Daftar Tidak Lulus sebagaimana
diatur dalam ketentuan mengenai uji kemampuan dan
kepatutan (fit and proper test) yang ditetapkan oleh
Bank Indonesia.
b. Kompetensi, yang paling kurang memiliki pengetahuan dan
pengalaman di bidang syariah mu’amalah dan pengetahuan
di bidang perbankan dan/atau keuangan secara umum; dan
c. Reputasi keuangan, yang paling kurang mencakup:
1. tidak termasuk dalam daftar kredit macet; dan
2. tidak pernah dinyatakan pailit atau menjadi pemegang
saham …
- 21 -
saham, anggota Dewan Komisaris, atau anggota Direksi
yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perseroan
dinyatakan pailit, dalam waktu 5 (lima) tahun terakhir
sebelum dicalonkan.
Pasal 35
(1) DPS bertugas dan bertanggungjawab memberikan nasihat dan
saran kepada Direksi serta mengawasi kegiatan Bank agar sesuai
dengan Prinsip Syariah.
(2) Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab DPS sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi antara lain:
a. menilai dan memastikan pemenuhan Prinsip Syariah atas
pedoman operasional dan produk yang dikeluarkan Bank;
b. mengawasi proses pengembangan produk baru Bank;
c. meminta fatwa kepada Dewan Syariah Nasional untuk
produk baru Bank yang belum ada fatwanya;
d. melakukan review secara berkala atas pemenuhan prinsip
syariah terhadap mekanisme penghimpunan dana dan
penyaluran dana serta pelayanan jasa bank; dan
e. meminta data dan informasi terkait dengan aspek syariah
dari satuan kerja Bank dalam rangka pelaksanaan tugasnya.
(3) Pedoman pelaksanaan tugas dan tanggung jawab DPS
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) akan diatur lebih lanjut
dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 36
(1) Jumlah anggota DPS paling kurang 2 (dua) orang atau paling
banyak …
- 22 -
banyak 50% (lima puluh persen) dari jumlah anggota Direksi.
(2) DPS dipimpin oleh seorang ketua yang berasal dari salah satu
anggota DPS.
(3) Anggota DPS hanya dapat merangkap jabatan sebagai anggota
DPS paling banyak pada 4 (empat) lembaga keuangan syariah
lain.
Pasal 37
(1) Bank wajib mengajukan calon anggota DPS untuk memperoleh
persetujuan Bank Indonesia sebelum menduduki jabatannya.
(2) Pengangkatan anggota DPS oleh Rapat Umum Pemegang Saham
berlaku efektif setelah mendapat persetujuan Bank Indonesia.
(3) Pengajuan calon anggota DPS sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan setelah mendapat rekomendasi Majelis Ulama
Indonesia.
Pasal 38
(1) Permohonan untuk memperoleh persetujuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) diajukan oleh Bank kepada
Bank Indonesia disertai dengan dokumen pendukung.
(2) Persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diberikan Bank Indonesia berdasarkan
pada:
a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen; dan
b. wawancara terhadap calon anggota DPS
(3) Persetujuan atau penolakan atas pengajuan calon anggota DPS
diberikan paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak dokumen
permohonan …
- 23 -
permohonan diterima secara lengkap.
(4) Calon anggota DPS yang telah mendapat persetujuan Bank
Indonesia namun tidak diangkat oleh Rapat Umum Pemegang
Saham dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal
persetujuan diterbitkan, maka persetujuan terhadap calon
anggota DPS menjadi tidak berlaku.
(5) Pengangkatan anggota DPS wajib dilaporkan oleh Bank kepada
Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah tanggal
pengangkatan efektif disertai dengan dokumen pendukung.
(6) Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
(5) diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 39
Pemberhentian dan/atau pengunduran diri anggota DPS wajib
dilaporkan kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari
setelah pemberhentian dan/atau pengunduran diri efektif.
Bagian Ketiga
Pejabat Eksekutif
Pasal 40
(1) Pengangkatan, pemberhentian, atau penggantian Pejabat
Eksekutif wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia
paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah tanggal pengangkatan,
pemberhentian, atau penggantian efektif disertai dengan
dokumen pendukung.
(2) Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
(3) Apabila …
- 24 -
(3) Apabila berdasarkan penilaian dan penelitian Bank Indonesia,
Pejabat Eksekutif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk
dalam daftar antara lain Daftar Tidak Lulus sebagaimana diatur
dalam ketentuan mengenai uji kemampuan dan kepatutan (fit and
proper test) yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, Daftar Kredit
Macet, dan pertimbangan lain yang menunjukkan tidak
terpenuhinya aspek integritas, maka Bank wajib membatalkan
pengangkatan Pejabat Eksekutif tersebut paling lambat 30 (tiga
puluh) hari setelah tanggal surat penegasan dari Bank Indonesia.
Bagian Keempat
Tenaga Kerja Asing
Pasal 41
(1) Bank yang 25% (dua puluh lima persen) atau lebih sahamnya
dimiliki oleh warga negara asing dan/atau badan hukum asing
dapat memanfaatkan tenaga kerja asing untuk jabatan:
a. Dewan Komisaris;
b. Direksi; dan/atau
c. Pejabat Eksekutif.
(2) Mayoritas Dewan Komisaris dan Direksi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a dan b wajib berkewarganegaraan Indonesia.
(3) Pejabat Eksekutif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c
wajib berkewarganegaraan Indonesia kecuali untuk jabatan yang
memerlukan keahlian khusus yang belum tersedia di Indonesia.
(4) Hal-hal lain terkait pemanfaatan tenaga kerja asing wajib
memenuhi persyaratan dan tata cara pemanfaatan tenaga kerja
asing sebagaimana diatur dalam ketentuan yang berlaku.
BAB V …
- 25 -
BAB V
PEMBUKAAN KANTOR BANK
Bagian Kesatu
Pembukaan KC di Dalam Negeri
Pasal 42
(1) Pembukaan KC di dalam negeri hanya dapat dilakukan dengan
izin Bank Indonesia.
(2) Rencana pembukaan KC sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib dicantumkan dalam Rencana Bisnis Bank.
Pasal 43
(1) Permohonan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1)
diajukan oleh Bank kepada Bank Indonesia disertai dengan
dokumen pendukung.
(2) Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
(3) Persetujuan atau penolakan atas permohonan izin sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diberikan Bank Indonesia berdasarkan
pada:
a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen;
b. analisis atas hasil studi kelayakan yang disampaikan oleh
Bank; dan
c. analisis atas kemampuan Bank, termasuk tingkat kesehatan,
kecukupan permodalan, dan profil risiko.
(4) Apabila diperlukan, Bank Indonesia dapat melakukan
pemeriksaan untuk meneliti persiapan pembukaan kantor dan
memperoleh keyakinan atas kebenaran dokumen yang
disampaikan …
- 26 -
disampaikan.
(5) Persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) diberikan paling lambat 30 (tiga puluh)
hari setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap.
Pasal 44
(1) Pelaksanaan pembukaan KC wajib dilakukan paling lambat 30
(tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal izin diterbitkan.
(2) Pelaksanaan pembukaan KC sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia paling
lambat 10 (sepuluh) hari setelah tanggal pembukaan.
(3) Apabila setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), Bank tidak melaksanakan pembukaan KC, maka izin
pembukaan KC yang telah diberikan menjadi tidak berlaku.
Pasal 45
(1) Rencana KC untuk tidak beroperasi pada hari kerja wajib
memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia.
(2) Bank wajib menyampaikan permohonan persetujuan kepada
Bank Indonesia atas rencana KC untuk tidak beroperasi pada
hari kerja paling lambat 15 (lima belas) hari sebelum tanggal
pelaksanaan KC tidak beroperasi.
(3) Persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diberikan paling lambat 10 (sepuluh)
hari setelah dokumen permohonan diterima.
(4) Rencana KC untuk tidak beroperasi pada hari kerja wajib
diumumkan kepada masyarakat paling lambat 3 (tiga) hari
sebelum …
- 27 -
sebelum tanggal tidak beroperasi.
Bagian Kedua
Pembukaan Kantor di Bawah KC dan KPK di Dalam Negeri
Pasal 46
(1) Rencana pembukaan Kantor di bawah KC di dalam negeri wajib
dicantumkan dalam Rencana Bisnis Bank.
(2) Pembukaan Kantor di bawah KC sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) hanya dapat dilakukan:
a. dalam satu wilayah kerja Bank Indonesia yang sama dengan
kantor induknya;
b. dengan mempertimbangkan hasil studi kelayakan yang
memuat tingkat kejenuhan jumlah kantor Bank dan Unit
Usaha Syariah; dan
c. dengan menggunakan sumber daya manusia sendiri Bank.
(3) Pembukaan Kantor di bawah KC dapat beralamat yang sama
dengan kantor lain sepanjang memenuhi persyaratan antara lain:
a.
terdapat pemisahan kantor antara Kantor di bawah KC
dengan kantor lain;
b. tidak menimbulkan risiko operasional dan risiko reputasi
bagi Bank; dan
c.
terdapat pengaturan yang jelas dalam pemanfaatan sarana
dan prasarana kerja serta penggunaan fasilitas gedung
kantor, yang memungkinkan adanya pembebanan biaya
masing-masing kantor dapat dilakukan dengan tepat.
(4) Laporan keuangan Kantor di bawah KC wajib digabungkan
dengan laporan keuangan KC induknya pada hari yang sama.
Pasal 47 …
- 28 -
Pasal 47
(1) Bank wajib menyampaikan rencana pembukaan Kantor di bawah
KC kepada Bank Indonesia paling lambat 30 (tiga puluh) hari
sebelum pelaksanaan pembukaan kantor disertai dengan
dokumen pendukung.
(2) Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
(3) Pelaksanaan pembukaan Kantor di bawah KC sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan paling lambat 30 (tiga
puluh) hari setelah tanggal penegasan dari Bank Indonesia.
(4) Pelaksanaan pembukaan Kantor di bawah KC sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank
Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah tanggal
pelaksanaan pembukaan.
Pasal 48
(1) Rencana Kantor di bawah KC untuk tidak beroperasi pada hari
kerja wajib memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia.
(2) Permohonan untuk memperoleh persetujuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib diajukan oleh KC yang menjadi
induk dari Kantor di bawah KC dengan memenuhi tata cara
sebagaimana diatur dalam Pasal 45.
Pasal 49
(1) Rencana pembukaan KPK wajib dicantumkan dalam Rencana
Bisnis Bank.
(2) Realisasi pembukaan, pemindahan alamat, dan penutupan KPK
wajib …
- 29 -
wajib dilaporkan Bank dalam Laporan Realisasi Rencana Bisnis
Bank triwulanan.
Bagian Ketiga
Pembukaan Kantor di Luar Negeri
Pasal 50
(1) Pembukaan KC, kantor perwakilan dan jenis-jenis kantor lainnya
di luar negeri hanya dapat dilakukan dengan izin Bank
Indonesia.
(2) Pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat
diberikan apabila Bank:
a.
telah menjadi Bank devisa paling kurang 24 (dua puluh
empat) bulan;
b. telah mencantumkan rencana pembukaan KC, kantor
perwakilan dan jenis-jenis kantor lainnya di luar negeri
dalam Rencana Bisnis Bank;
c. memenuhi persyaratan tingkat kesehatan, kecukupan
permodalan, dan profil risiko; dan
d. mempunyai alamat atau tempat kedudukan kantor yang jelas.
Pasal 51
(1) Permohonan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1)
diajukan oleh Bank kepada Bank Indonesia disertai dengan
dokumen pendukung.
(2) Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
(3) Persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana
dimaksud …
- 30 -
dimaksud pada ayat (1) diberikan Bank Indonesia berdasarkan
pada:
a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen;
b. analisis atas hasil studi kelayakan yang disampaikan oleh
Bank; dan
c. analisis atas kemampuan Bank termasuk tingkat kesehatan,
kecukupan permodalan, dan profil risiko.
(4) Persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) diberikan paling lambat 30 (tiga puluh)
hari setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap.
Pasal 52
(1) Pembukaan kantor di luar negeri sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 50 hanya dapat dilakukan setelah mendapat izin dari
otoritas di negara setempat.
(2) Pelaksanaan pembukaan kantor wajib dilaporkan oleh Bank
kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah
tanggal pembukaan disertai dengan dokumen pendukung.
(3) Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
(4) Dalam hal 6 (enam) bulan setelah tanggal persetujuan Bank
Indonesia diterbitkan Bank belum melaksanakan pembukaan
Kantor di Luar Negeri, Bank wajib melaporkan alasan belum
dibukanya kantor dimaksud.
(5) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan
paling lambat 10 (sepuluh) hari terhitung sejak batas waktu 6
(enam) bulan berakhir.
BAB VI …
- 31 -
BAB VI
PENINGKATAN DAN PENURUNAN STATUS
KANTOR BANK
Pasal 53
Peningkatan status Kantor di bawah KC menjadi KC wajib dilakukan
dengan cara memenuhi ketentuan pembukaan KC.
Pasal 54
(1) Penurunan status KC menjadi kantor di bawah KC wajib
dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia paling lambat 10
(sepuluh) hari setelah tanggal pelaksanaan dimaksud disertai
dengan dokumen pendukung.
(2) Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
BAB VII
PEMINDAHAN ALAMAT KANTOR BANK
Pasal 55
(1) Pemindahan alamat kantor pusat dan/atau KC di dalam negeri
hanya dapat dilakukan dengan izin Bank Indonesia.
(2) Rencana pemindahan alamat kantor pusat dan/atau KC
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dicantumkan dalam
Rencana Bisnis Bank.
(3) Pemindahan alamat KC yang dilakukan ke luar wilayah kerja
Kantor Bank Indonesia sebelumnya wajib memenuhi ketentuan
penutupan KC dan pembukaan KC.
Pasal 56 …
- 32 -
Pasal 56
(1) Permohonan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1)
diajukan oleh Bank kepada Bank Indonesia disertai dengan
dokumen pendukung.
(2) Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
(3) Persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diberikan Bank Indonesia berdasarkan
pada:
a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen; dan
b. analisis atas hasil studi kelayakan yang disampaikan oleh
Bank.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b tidak
berlaku untuk permohonan pemindahan alamat KC yang
dilakukan dalam kotamadya/kabupaten yang sama dengan kantor
sebelumnya.
(5) Apabila diperlukan, Bank Indonesia dapat melakukan
pemeriksaan untuk meneliti persiapan pemindahan alamat kantor
dan memperoleh keyakinan atas kebenaran dokumen yang
disampaikan.
(6) Persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) diberikan paling lambat 30 (tiga puluh)
hari setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap.
Pasal 57
(1) Pelaksanaan pemindahan alamat kantor pusat dan/atau KC di
dalam negeri wajib dilakukan paling lambat 30 (tiga puluh) hari
terhitung …
- 33 -
terhitung sejak tanggal izin diterbitkan.
(2) Pelaksanaan pemindahan alamat kantor sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) wajib diumumkan oleh Bank dalam:
a. surat kabar yang mempunyai peredaran nasional, bagi
pemindahan alamat kantor pusat; atau
b. surat kabar yang mempunyai peredaran luas di tempat
kedudukan KC, bagi pemindahan alamat KC,
paling lambat 10 (sepuluh) hari sebelum tanggal pelaksanaan
pemindahan alamat kantor.
(3) Pelaksanaan pemindahan alamat kantor sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia
paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah tanggal pelaksanaan
pemindahan alamat kantor.
(4) Apabila setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), Bank tidak melaksanakan pemindahan alamat kantor, maka
izin pemindahan alamat kantor yang telah diberikan menjadi
tidak berlaku.
Pasal 58
(1) Rencana pemindahan alamat:
a. Kantor di bawah KC di dalam negeri; atau
b. KC, kantor perwakilan, dan jenis-jenis kantor lainnya di luar
negeri,
wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia paling
lambat 30 (tiga puluh) hari sebelum pelaksanaan pemindahan
alamat disertai dengan dokumen pendukung.
(2) Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur …
- 34 -
diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
(3) Pemindahan alamat Kantor di bawah KC yang dilakukan ke luar
wilayah kerja Kantor Bank Indonesia sebelumnya wajib
memenuhi ketentuan penutupan Kantor di bawah KC dan
pembukaan Kantor di bawah KC.
Pasal 59
(1) Pelaksanaan pemindahan alamat Kantor di bawah KC
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) huruf a wajib
dilakukan paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal
penegasan dari Bank Indonesia.
(2) Pelaksanaan pemindahan alamat Kantor di bawah KC
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diumumkan oleh
Bank dalam surat kabar yang mempunyai peredaran luas di
tempat kedudukan KC induknya paling lambat 10 (sepuluh) hari
sebelum tanggal pelaksanaan pemindahan alamat kantor.
(3) Pelaksanaan pemindahan alamat Kantor di bawah KC di dalam
negeri wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia paling
lambat 10 (sepuluh) hari setelah tanggal pelaksanaan
pemindahan alamat.
(4) Pelaksanaan pemindahan alamat KC, kantor perwakilan, dan
jenis-jenis kantor lainnya di luar negeri sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 58 ayat (1) huruf b wajib dilaporkan oleh Bank
kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah
tanggal pelaksanaan pemindahan alamat disertai dengan
dokumen pendukung.
(5) Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
diatur …
- 35 -
diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
BAB VIII
PERUBAHAN ANGGARAN DASAR DAN NAMA
Bagian Kesatu
Perubahan Anggaran Dasar
Pasal 60
Bank wajib melaporkan kepada Bank Indonesia setiap perubahan
anggaran dasar Bank paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah
diterimanya persetujuan atau penerimaan pemberitahuan perubahan
anggaran dasar dari instansi yang berwenang.
Bagian Kedua
Perubahan Nama Bank
Pasal 61
(1) Perubahan nama Bank wajib dilakukan dengan memenuhi
ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Bank yang telah memperoleh persetujuan perubahan anggaran
dasar terkait penggunaan nama baru dari instansi berwenang
wajib mengajukan permohonan kepada Bank Indonesia
mengenai penetapan penggunaan izin usaha yang dimiliki untuk
Bank dengan nama yang baru.
(3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan oleh
Bank kepada Bank Indonesia paling lambat 30 (tiga puluh) hari
setelah perubahan nama disertai dengan dokumen pendukung.
(4) Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
(5) Persetujuan …
- 36 -
(5) Persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), diberikan Bank Indonesia paling lambat
15 (lima belas) hari setelah dokumen permohonan diterima
secara lengkap.
(6) Pelaksanaan perubahan nama Bank wajib diumumkan dalam
surat kabar yang mempunyai peredaran nasional paling lambat
10 (sepuluh) hari setelah tanggal persetujuan Bank Indonesia.
BAB IX
PENUTUPAN KANTOR BANK
Bagian Kesatu
Penutupan KC di Dalam Negeri
Pasal 62
(1) Penutupan KC di dalam negeri hanya dapat dilakukan dengan
izin Bank Indonesia.
(2) Permohonan untuk memperoleh izin penutupan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh Bank kepada Bank
Indonesia paling lambat 60 (enam puluh) hari sebelum tanggal
rencana penutupan disertai dengan dokumen pendukung.
(3) Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
(4) Persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diberikan paling lambat 30 (tiga puluh)
hari setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap.
Pasal 63
(1) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62
ayat (2) …
- 37 -
ayat (2) disetujui Bank Indonesia, maka Bank wajib untuk:
a. menghentikan seluruh kegiatan usaha Bank pada KC
dimaksud;
b. mengumumkan rencana penutupan KC dalam surat kabar
harian yang mempunyai peredaran luas di tempat
kedudukan KC paling lambat 3 (tiga) hari sebelum tanggal
pelaksanaan penutupan; dan
c.
segera menyelesaikan seluruh kewajiban KC;
(2) Pelaksanaan penutupan KC sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia paling
lambat 10 (sepuluh) hari setelah tanggal pelaksanaan penutupan
KC disertai dengan dokumen pendukung.
(3) Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Bagian Kedua
Penutupan Kantor di Bawah KC di Dalam Negeri
Pasal 64
(1) Rencana penutupan Kantor di bawah KC wajib dilaporkan oleh
Bank kepada Bank Indonesia paling lambat 30 (tiga puluh) hari
sebelum pelaksanaan penutupan kantor dimaksud disertai dengan
dokumen pendukung.
(2) Pelaksanaan penutupan Kantor di bawah KC wajib dilaporkan
oleh Bank kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh)
hari setelah tanggal penutupan disertai dengan dokumen
pendukung.
(3) Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) …
- 38 -
ayat (2) diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Bagian Ketiga
Penutupan Kantor di Luar Negeri
Pasal 65
(1) Penutupan KC, kantor perwakilan dan jenis-jenis kantor lainnya
di luar negeri wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank
Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah tanggal
pelaksanaan penutupan kantor disertai dengan dokumen
pendukung.
(2) Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
BAB X
PENCABUTAN IZIN USAHA ATAS PERMINTAAN BANK
Pasal 66
(1) Bank Indonesia dapat mencabut izin usaha atas permintaan
Bank.
(2) Permintaan Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
berdasarkan keputusan Rapat Umum Pemegang Saham.
Pasal 67
Bank yang dapat mengajukan permintaan pencabutan izin usahanya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 tidak sedang ditempatkan
dalam pengawasan khusus Bank Indonesia sebagaimana diatur dalam
ketentuan Bank Indonesia mengenai tindak lanjut pengawasan dan
penetapan status bank.
Pasal 68 …
- 39 -
Pasal 68
Pencabutan izin usaha atas permintaan Bank sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 66 hanya dapat dilakukan oleh Bank Indonesia apabila
Bank telah menyelesaikan kewajibannya kepada seluruh nasabah.
Pasal 69
Pencabutan izin usaha atas permintaan Bank sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 66 dilakukan dalam 2 (dua) tahap:
a. Persetujuan persiapan pencabutan izin usaha;
b. Keputusan pencabutan izin usaha.
Pasal 70
(1) Permohonan persetujuan persiapan pencabutan izin usaha
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 huruf a diajukan oleh
Direksi Bank kepada Bank Indonesia disertai dengan dokumen
pendukung.
(2) Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 71
Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70
disetujui, Bank Indonesia menerbitkan surat persetujuan persiapan
pencabutan izin usaha Bank, dan mewajibkan Bank untuk:
a. menghentikan seluruh kegiatan usaha Bank;
b. mengumumkan rencana pembubaran badan hukum Bank dan
rencana penyelesaian kewajiban Bank dalam 2 (dua) surat kabar
harian yang mempunyai peredaran luas paling lambat 10 (sepuluh)
hari …
- 40 -
hari sejak tanggal surat persetujuan persiapan pencabutan izin
usaha Bank;
c. segera menyelesaikan seluruh kewajiban Bank; dan
d. menunjuk kantor akuntan publik untuk melakukan verifikasi atas
penyelesaian kewajiban Bank.
Pasal 72
(1) Apabila Bank telah menyelesaikan kewajibannya kepada seluruh
nasabah, Direksi mengajukan permohonan pencabutan izin usaha
Bank kepada Bank Indonesia disertai dengan dokumen
pendukung.
(2) Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
(3) Berdasarkan permohonan pencabutan izin usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia menerbitkan Surat
Keputusan pencabutan izin usaha Bank dan meminta Bank untuk
melakukan pembubaran badan hukum sesuai ketentuan
perundang-undangan yang berlaku.
(4) Segala kewajiban yang belum diselesaikan Bank dan ditemukan
dikemudian hari menjadi tanggung jawab pemegang saham
Bank.
Pasal 73
Status badan hukum Bank hapus sejak tanggal pengumuman
berakhirnya badan hukum Bank dalam Berita Negara Republik
Indonesia.
BAB XI …
- 41 -
BAB XI
LAIN-LAIN
Pasal 74
Unit Pelayanan Syariah yang telah mendapat penegasan Bank
Indonesia dan telah beroperasi sebelum berlakunya ketentuan ini
ditetapkan menjadi KCP berdasarkan Peraturan Bank Indonesia ini.
Pasal 75
Pengaturan bagi kantor cabang, kantor cabang pembantu, dan kantor
perwakilan dari Bank yang berkedudukan di luar negeri diatur dalam
ketentuan tersendiri.
BAB XII
SANKSI
Pasal 76
(1) Bank yang tidak menaati ketentuan dalam Pasal 3, Pasal 6 ayat
(2), Pasal 12 ayat (1), Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16,
Pasal 17, Pasal 18, Pasal 20 ayat (3), Pasal 21, Pasal 22, Pasal
23, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29,
Pasal 30, Pasal 31, Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36, Pasal 37, Pasal
40 ayat (3), Pasal 41, Pasal 42, Pasal 44 ayat (1), Pasal 45 ayat
(1), Pasal 46 ayat (1) dan ayat (4), Pasal 47 ayat (1) dan ayat (3),
Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50, Pasal 52 ayat (1), Pasal 53, Pasal
55, Pasal 57 ayat (1), Pasal 58, Pasal 59 ayat (1), Pasal 61 ayat
(1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 62 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 63
ayat (1) huruf a dan huruf c, Pasal 64 ayat (1), Pasal 77, dan
Pasal 78 dapat dikenakan sanksi administratif sesuai Pasal 58
Undang-undang …
- 42 -
Undang-undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah.
(2) Bank yang tidak menaati ketentuan dalam Pasal 12 ayat (2),
Pasal 19, Pasal 20 ayat (1), Pasal 32 ayat (5), Pasal 33, Pasal 38
ayat (5), Pasal 39, Pasal 40 ayat (1), Pasal 44 ayat (2), Pasal 45
ayat (4), Pasal 47 ayat (4), Pasal 52 ayat (2) dan ayat (5), Pasal
54, Pasal 57 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 59 ayat (2), ayat (3), dan
ayat (4), Pasal 60, Pasal 61 ayat (6), Pasal 63 ayat (1) huruf b
dan ayat (2), Pasal 64 ayat (2), dan Pasal 65 dapat dikenakan
sanksi administratif sesuai Pasal 58 Undang-undang Nomor 21
tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, berupa :
a.
teguran tertulis dan denda sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta
rupiah) per hari kelambatan atau paling banyak sebesar
Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah) untuk setiap
laporan dan/atau pengumuman;
b. teguran tertulis dan denda sebesar Rp30.000.000,00 (tiga
puluh juta rupiah) apabila Bank tidak menyampaikan laporan
dan/atau pengumuman.
(3) Bank dinyatakan tidak menyampaikan laporan dan/atau
pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b
apabila Bank belum menyampaikan laporan dimaksud setelah 30
(tiga puluh) hari sejak batas akhir penyampaian laporan dan/atau
pengumuman.
(4) Setiap pihak yang tidak menaati ketentuan Pasal 4 ayat (1) dan
Pasal 9 ayat (2) dapat dikenakan sanksi pidana sesuai dengan
Pasal 59 Undang-undang Nomor 21 tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah.
BAB XIII …
- 43 -
BAB XIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 77
Permohonan izin yang telah diajukan sebelum berlakunya Peraturan
Bank Indonesia ini tetapi belum mendapat persetujuan dari Bank
Indonesia, wajib menyesuaikan dengan ketentuan sebagaimana diatur
dalam Peraturan Bank Indonesia ini.
Pasal 78
Anggaran dasar Bank wajib disesuaikan dengan ketentuan
sebagaimana diatur dalam Pasal 3 dan peraturan perundang-undangan
yang berlaku paling lambat tanggal 16 Juli 2009.
BAB XIV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 79
Peraturan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia ini diatur lebih
lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 80
Dengan dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia ini maka Peraturan
Bank Indonesia Nomor 6/24/PBI/2004 tentang Bank Umum yang
Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 122,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 4434) sebagaimana diubah
dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/35/PBI/2005 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 90, Tambahan
Lembaran …
- 44 -
Lembaran Negara Nomor 4536) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 81
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 29 Januari 2009.
GUBERNUR BANK INDONESIA,
BOEDIONO
Diundangkan di : Jakarta
Pada tanggal
: 29 Januari 2009.
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 29
DPbS
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 11/3/PBI/2009
TENTANG
BANK UMUM SYARIAH
I. UMUM
Dalam rangka menghadapi perkembangan perekonomian nasional yang
mengalami perubahan yang cepat, menghadapi tantangan yang dinamis dan
semakin kompleks, serta terintegrasi dengan perekonomian global, diperlukan
berbagai penyesuaian kebijakan yang komprehensif di bidang perbankan,
termasuk pengaturan yang jelas dan memberikan kepastian hukum, yang
diharapkan dapat meningkatkan ketahanan perbankan nasional. Dalam kaitan
dengan keberadaan perbankan syariah, penyesuaian dan/atau penyempurnaan
ketentuan telah memperoleh pijakan yang kuat yaitu dengan telah disahkannya
Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah pada tanggal
16 Juli 2008. Dengan telah disahkannya Undang-undang tersebut maka
keberadaan perbankan syariah di Indonesia sebagai alternatif jasa perbankan bagi
masyarakat Indonesia menjadi semakin diterima dan diakui oleh masyarakat
sehingga diharapkan dapat memberikan kontribusi yang optimal dalam rangka
menunjang pembangunan ekonomi nasional.
Sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku, Bank Indonesia
diamanahkan tanggung jawab untuk melakukan pembinaan dan pengawasan
Bank. Dalam melaksanakan amanah dimaksud, Bank Indonesia secara
profesional mengacu pada prinsip syariah, prinsip kehati-hatian, dan praktek
perbankan yang lazim (international best practices) agar industri perbankan
syariah …
- 2 -
syariah nasional menjadi sehat dan tangguh serta berkembang (sustainable).
Penerapan prinsip syariah pada bank syariah dipandang menjadi semakin
penting di mata semua stakeholder karena dalam kegiatan usahanya bank syariah
menghindari transaksi keuangan yang bersifat spekulatif, mendorong
transparansi, menghindari eksploitasi dan mendorong pertumbuhan sektor riil.
Kegiatan operasional perbankan syariah yang mencakup seluruh aspek kehidupan
ekonomi seperti kegiatan pembiayaan berbasis bagi hasil (mudharabah dan
musyarakah), jual beli (murabahah, salam dan istishna), sewa (ijarah) dan jasa
lainnya (rahn, sharf dan kafalah) telah menjadikan bank syariah lebih dapat
memenuhi berbagai kebutuhan masyarakat (universal banking).
Dalam rangka mewujudkan bank syariah yang sehat, tangguh dan efisien
serta mampu bersaing dengan perbankan nasional lainnya, diperlukan pengaturan
tentang kelembagaan yang dapat memberikan kejelasan dan kepastian hukum.
Pengaturan kelembagaan Bank ini disusun selain memperhatikan prinsip kehati-
hatian, praktek perbankan yang berlaku di dunia internasional juga
mempertimbangkan masukan dari para stakeholders.
Untuk melengkapi ketentuan ini maka perlu diperhatikan pula peraturan
perundang-undangan yang mempunyai relevansi dengan ketentuan ini, antara
lain peraturan perundang-undangan tentang Perseroan Terbatas, Pasar Modal,
dan peraturan lainnya.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2 …
- 3 -
Pasal 2
Yang dimaksud dengan ”perseroan terbatas” adalah badan hukum yang
merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian,
melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi
dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-
Undang tentang Perseroan Terbatas serta peraturan pelaksanaannya.
Pasal 3
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Pokok-pokok pengaturan tugas Direksi Bank dalam anggaran dasar
antara lain:
a.
tugas dan tanggung jawab
b. pelaporan; dan
c. perlindungan dalam pelaksanaan tugas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Dalam hal, Presiden Komisaris atau Komisaris Utama berhalangan,
maka Rapat Umum Pemegang Saham dapat dipimpin oleh anggota
Dewan Komisaris lainnya.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5 …
- 4 -
Pasal 5
Yang dimaksud dengan “modal disetor” adalah setoran yang dilakukan
dalam bentuk setoran tunai.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan untuk
memperoleh keyakinan atas kebenaran dokumen yang
disampaikan.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Pelaksanaan uji kemampuan dan kepatutan (fit and proper test)
dilakukan sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang berlaku.
Ayat (3)
Hal-hal yang harus dipresentasikan antara lain: tujuan dan alasan
pendirian Bank, sumber permodalan dan kepemilikan, pangsa utama
penghimpunan dana, pangsa utama penyaluran dana, serta rencana
struktur …
- 5 -
struktur dan personil organisasi.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan untuk
memperoleh keyakinan atas kebenaran dokumen yang
disampaikan.
Huruf b
Pelaksanaan uji kemampuan dan kepatutan (fit and proper test)
dilakukan sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang berlaku.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Ayat (1)
Contoh: Bank Syariah XYZ atau Bank XYZ Syariah.
Ayat (2) …
- 6 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 14
Yang dimaksud dengan modal sendiri bersih adalah:
a. penjumlahan dari modal disetor, cadangan dan laba, dikurangi
penyertaan dan kerugian, bagi badan hukum Perseroan
Terbatas/Perusahaan Daerah;
b. penjumlahan dari simpanan pokok, simpanan wajib, hibah, modal
penyertaan, dana cadangan, dan sisa hasil usaha, dikurangi penyertaan
dan kerugian, bagi badan hukum Koperasi; atau
c. perhitungan modal sendiri bersih atau yang dapat dipersamakan dengan
itu sesuai jenis badan hukum yang bersangkutan, bagi badan hukum
lainnya.
Pasal 15
Huruf a
Tidak termasuk dalam pengertian pihak lain adalah Pemerintah Pusat,
Pemerintah Daerah, atau lembaga yang bertugas untuk melakukan
penyelamatan Bank sesuai peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Huruf b
Cukup jelas.
Pasal 16
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b …
- 7 -
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “memiliki komitmen yang tinggi” antara lain
kesediaan untuk membantu mengembangkan Bank agar menjadi
sehat, tangguh dan berkembang (sustainable).
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “tidak diperlakukan sebagai pengambilalihan
(akuisisi)” adalah penggantian PSP yang tidak melalui persyaratan dan
tata cara pengambilalihan sebagaimana diatur dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22 …
- 8 -
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Keberadaan Komisaris Independen dimaksudkan untuk mendorong
terciptanya iklim dan lingkungan kerja yang lebih obyektif dan
menempatkan kewajaran (fairness) dan kesetaraan di antara berbagai
kepentingan termasuk kepentingan pemegang saham minoritas dan
stakeholders lainnya.
Pasal 26
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b …
- 9 -
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “lembaga nirlaba” adalah semua
lembaga yang tidak mencari keuntungan (non profit motive).
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan hubungan keluarga sampai dengan derajat
kedua adalah hubungan baik vertikal maupun horizontal, termasuk
mertua, menantu, dan ipar, sehingga yang dimaksud dengan keluarga
meliputi :
1. Orang tua kandung/tiri/angkat;
2. Saudara kandung/tiri/angkat beserta suami atau istrinya;
3. Anak kandung/tiri/angkat;
4. Kakek/nenek kandung/tiri/angkat;
5. Cucu kandung/tiri/angkat;
6. Saudara kandung/tiri/angkat dari orang tua beserta suami atau
istrinya;
7. Suami/istri;
8. Mertua;
9. Besan;
10. Suami/istri dari anak kandung/tiri/angkat;
11. Kakek atau nenek dari suami atau istri;
12. Suami/istri dari cucu kandung/tiri/angkat;
13. Saudara kandung/tiri/angkat dari suami atau istri beserta suami
atau istrinya.
Pasal 27 …
- 10 -
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “independen” adalah tidak terdapat
keterkaitan kepengurusan, kepemilikan dan/atau hubungan keuangan,
serta hubungan keluarga.
Pasal 29
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “lembaga nirlaba” adalah semua
lembaga yang tidak mencari keuntungan (non profit motive).
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan perusahaan lain, antara lain meliputi
perusahaan-perusahaan lain diluar Bank yang bersangkutan, seperti
lembaga …
- 11 -
lembaga keuangan bank dan non-bank, lembaga pembiayaan, atau
perusahaan.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan hubungan keluarga sampai dengan derajat
kedua adalah hubungan baik vertikal maupun horizontal, termasuk
mertua, menantu dan ipar, sehingga yang dimaksud dengan keluarga
meliputi:
1. orang tua kandung/tiri/angkat;
2. saudara kandung/tiri/angkat beserta suami atau istrinya;
3. anak kandung/tiri/angkat;
4. kakek/nenek kandung/tiri/angkat;
5. cucu kandung/tiri/angkat;
6. saudara kandung/tiri/angkat dari orang tua beserta suami atau
istrinya;
7. suami/istri;
8. mertua;
9. besan;
10. suami/istri dari anak kandung/tiri/ angkat;
11. kakek atau nenek dari suami atau istri;
12. suami/istri dari cucu kandung/ tiri/angkat;
13. saudara kandung/tiri/angkat dari suami atau istri beserta suami
atau istrinya.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31 …
- 12 -
Pasal 31
Ayat (1)
Ketentuan ini berlaku juga terhadap peralihan jabatan dari anggota
Direksi menjadi anggota Dewan Komisaris atau sebaliknya.
Ayat (2)
Anggota Dewan Komisaris dan/atau anggota Direksi yang belum atau
tidak mendapat persetujuan Bank Indonesia dilarang menjabat sebagai
anggota Dewan Komisaris dan/atau anggota Direksi.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “ketentuan perundang-undangan yang
berlaku” antara lain ketentuan perundang-undangan tentang Perseroan
Terbatas atau ketentuan perundang-undangan tentang Badan Usaha
Milik Negara.
Pasal 32
Ayat (1)
Permohonan untuk memperoleh persetujuan calon anggota Dewan
Komisaris diajukan paling kurang oleh Presiden Direktur atau
Direktur Utama kepada Bank Indonesia. Permohonan untuk
memperoleh persetujuan calon anggota Direksi diajukan paling kurang
oleh Presiden Komisaris atau Komisaris Utama kepada Bank
Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4) …
- 13 -
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 33
Yang dimaksud dengan tanggal pemberhentian dan/atau pengunduran diri
efektif adalah tanggal setelah pemberhentian dan/atau pengunduran diri
yang bersangkutan mendapat persetujuan dari rapat umum pemegang
saham, serah terima jabatan, atau mekanisme lainnya sebagaimana diatur
dalam anggaran dasar.
Pasal 34
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Yang dimaksud dengan “memiliki komitmen” antara lain
kesediaan untuk menyediakan waktu yang cukup kepada
Bank dalam rangka melaksanakan tugasnya secara efektif.
Angka 4 …
- 14 -
Angka 4
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Angka 1
Yang dimaksud dengan “daftar kredit macet” adalah daftar
kredit macet sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai Sistem Informasi
Debitur.
Angka 2
Cukup jelas.
Pasal 35
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan menilai dan memastikan pemenuhan
prinsip syariah dalam pedoman operasional adalah dalam rangka
membantu bank untuk memenuhi prinsip syariah yang tertuang
dalam pedoman operasional.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d …
- 15 -
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Yang dimaksud dengan tanggal pemberhentian dan/atau pengunduran diri
efektif adalah tanggal setelah pemberhentian dan/atau pengunduran diri
yang bersangkutan mendapat persetujuan dari rapat umum pemegang
saham, serah terima jabatan atau mekanisme lainnya sebagaimana diatur
dalam anggaran dasar.
Pasal 40
Ayat (1)
Pejabat Eksekutif yang wajib dilaporkan antara lain adalah Pejabat
Eksekutif yang memiliki peranan dalam pelaksanaan kebijakan dan
operasional …
- 16 -
operasional Bank dalam kegiatan pembiayaan,
treasury,
penghimpunan dana, dan kegiatan operasional lainnya.
Pejabat Eksekutif dinyatakan efektif menduduki jabatannya apabila
yang bersangkutan:
a.
telah menerima surat pengangkatan dan/atau pemberian kuasa
atau dokumen lainnya yang dapat dipersamakan dengan itu; dan
b. telah melakukan serah terima jabatan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan ”pertimbangan lain yang menunjukkan tidak
terpenuhinya aspek integritas” antara lain informasi track record yang
berasal dari hasil pengawasan Bank Indonesia atau sumber-sumber
lainnya.
Pasal 41
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan ketentuan yang berlaku dalam Pasal ini antara
lain adalah:
a. Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan dan aturan-aturan
Pelaksanaannya; …
- 17 -
pelaksanaannya;
b. Undang-Undang tentang Keimigrasian dan aturan-aturan
pelaksanaannya; dan
c. Peraturan Bank Indonesia tentang Pemanfaatan Tenaga Kerja
Asing dan Program Alih Pengetahuan di Sektor Perbankan.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan kantor lain adalah kantor dari bank lain atau
perusahaan lain.
Ayat (4) …
- 18 -
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Ayat (1)
Tidak termasuk dalam KPK adalah kegiatan pameran yang dilakukan
dalam rangka promosi, tidak bersifat permanen, dan hanya menerima
setoran awal/titipan kas sesuai persyaratan setoran minimal
pembukaan rekening tabungan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Ayat (1)
Pengajuan …
- 19 -
Pengajuan permohonan izin kepada otoritas di negara setempat
dilakukan setelah adanya persetujuan dari Bank Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 53
Dengan diterbitkannya izin pembukaan KC maka status kantor Bank
berubah dari Kantor di bawah KC menjadi KC tanpa perlu memenuhi
ketentuan penutupan Kantor di bawah KC.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58 …
- 20 -
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku
antara lain Undang-Undang yang mengatur tentang Perseroan
Terbatas, Undang-Undang yang mengatur tentang Perbankan Syariah.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63 …
- 21 -
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Cukup jelas.
Pasal 66
Cukup jelas.
Pasal 67
Cukup jelas.
Pasal 68
Yang dimaksud dengan “kewajiban“ adalah kewajiban kepada nasabah
penyimpan, nasabah investor, nasabah penerima fasilitas Bank baik yang
tercatat pada neraca (on balance sheet) atau pada rekening administratif (off
balance sheet) serta kewajiban lainnya seperti gaji karyawan Bank dan
pajak terutang.
Pasal 69
Cukup jelas.
Pasal 70
Cukup jelas.
Pasal 71 …
- 22 -
Pasal 71
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “kewajiban“ adalah kewajiban kepada
nasabah penyimpan, nasabah investor, nasabah penerima fasilitas
Bank baik yang tercatat pada neraca (on balance sheet) atau pada
rekening administratif (off balance sheet) serta kewajiban lainnya
seperti gaji karyawan Bank dan pajak terutang.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 72
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Surat Keputusan pencabutan izin usaha Bank diterbitkan dengan
memperhatikan hasil pemeriksaan terhadap Bank yang bersangkutan
untuk memastikan terpenuhinya persyaratan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 71 dan ketentuan yang berlaku lainnya.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “kewajiban“ adalah kewajiban kepada
nasabah penyimpan, nasabah investor, nasabah penerima fasilitas
Bank …
- 23 -
Bank baik yang tercatat pada neraca (on balance sheet) atau pada
rekening administratif (off balance sheet) serta kewajiban lainnya
seperti gaji karyawan Bank dan pajak terutang.
Pasal 73
Cukup jelas.
Pasal 74
Yang dimaksud dengan Unit Pelayanan Syariah adalah kantor Bank
setingkat KCP yang kegiatan usahanya membantu KC induknya dan
berlokasi di luar ibukota provinsi dan di luar Bogor, Depok, Tangerang dan
Bekasi.
Pasal 75
Cukup jelas.
Pasal 76
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Dalam hal Bank dikenakan sanksi tidak menyampaikan
laporan, tidak lagi dikenakan sanksi keterlambatan
penyampaian laporan.
Ayat (3) …
- 24 -
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 77
Cukup jelas.
Pasal 78
Cukup jelas.
Pasal 79
Cukup jelas.
Pasal 80
Cukup jelas.
Pasal 81
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4978
DPbS
"," PBI
11/3/PBI/2009
BANK UMUM SYARIAH
29 Januari 2009
29 Januari 2009
29 Januari 2009
'6/24/PBI/2004', '7/35/PBI/2005'
'21/UU/2008', '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '40/UU/2007'
'BAB XII'
"
" PERATURAN BANK INDONESIA
Nomor : 3/10/PBI/2001
TENTANG
PENERAPAN PRINSIP MENGENAL NASABAH
(KNOW YOUR CUSTOMER PRINCIPLES)
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa dalam menjalankan kegiatan usaha, bank menghadapi
berbagai risiko usaha;
b. bahwa untuk mengurangi risiko usaha, bank wajib
menerapkan prinsip kehati-hatian;
c. bahwa salah satu upaya melaksanakan prinsip kehati-hatian
adalah penerapan prinsip mengenal nasabah;
d. bahwa berdasarkan hal tersebut diatas perlu diatur ketentuan
tentang penerapan prinsip mengenal nasabah dalam suatu
Peraturan Bank Indonesia;
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3472) sebagaimana telah diubah
dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran
Negara Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3790);
2. Undang-undang …
-2-
2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 66,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843);
M E M U T U S K A N:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENERAPAN
PRINSIP MENGENAL NASABAH (KNOW YOUR
CUSTOMER PRINCIPLES).
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Yang dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia ini dengan:
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998;
2. Prinsip Mengenal Nasabah adalah prinsip yang diterapkan Bank untuk
mengetahui identitas nasabah, memantau kegiatan transaksi nasabah
termasuk pelaporan transaksi yang mencurigakan;
3. Nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa Bank;
4. Usaha Kecil adalah usaha yang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud
dalam Undang-undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil.
Pasal 2 …
-3-
Pasal 2
(1) Bank wajib menerapkan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer
Principles).
(2) Dalam menerapkan Prinsip Mengenal Nasabah sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), Bank wajib:
a. menetapkan kebijakan penerimaan Nasabah;
b. menetapkan kebijakan dan prosedur dalam mengidentifikasi Nasabah;
c. menetapkan kebijakan dan prosedur pemantauan terhadap rekening dan
transaksi Nasabah;
d. menetapkan kebijakan dan prosedur manajemen risiko yang berkaitan
dengan penerapan Prinsip Mengenal Nasabah.
Pasal 3
(1) Direksi Bank wajib bertanggung jawab atas penerapan Prinsip Mengenal
Nasabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.
(2) Bank wajib membentuk unit kerja khusus dan atau menunjuk pejabat Bank
yang bertanggung jawab atas penerapan Prinsip Mengenal Nasabah.
(3) Unit kerja khusus dan atau pejabat Bank sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) wajib bertanggung jawab langsung kepada Direktur Kepatuhan.
BAB II …
-4-
BAB II
KEBIJAKAN PENERIMAAN DAN IDENTIFIKASI NASABAH
Pasal 4
(1) Sebelum melakukan hubungan usaha dengan Nasabah, Bank wajib meminta
informasi mengenai:
a. identitas calon Nasabah;
b. maksud dan tujuan hubungan usaha yang akan dilakukan calon Nasabah
dengan Bank;
c. informasi lain yang memungkinkan Bank untuk dapat mengetahui profil
calon Nasabah; dan
d. identitas pihak lain, dalam hal calon Nasabah bertindak untuk dan atas
nama pihak lain sebagaimana diatur dalam Pasal 6.
(2) Identitas calon Nasabah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dapat
dibuktikan dengan keberadaan dokumen-dokumen pendukung.
(3) Bank wajib meneliti kebenaran dokumen pendukung identitas calon Nasabah
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
(4) Bagi Bank yang telah menggunakan media elektronis dalam pelayanan jasa
perbankan wajib melakukan pertemuan dengan calon Nasabah sekurang-
kurangnya pada saat pembukaan rekening.
(5) Apabila diperlukan, Bank dapat melakukan wawancara dengan calon
Nasabah untuk meneliti dan meyakini keabsahan dan kebenaran dokumen
sebagaimana dimaksud dalam ayat (3).
Pasal 5 …
-5-
Pasal 5
Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) bagi:
a. Nasabah perorangan sekurang-kurangnya terdiri dari:
1) identitas Nasabah yang memuat:
a) nama;
b) alamat tinggal tetap;
c) tempat dan tanggal lahir;
d) kewarganegaraan;
2) keterangan mengenai pekerjaan;
3) spesimen tanda tangan; dan
4) keterangan mengenai sumber dana dan tujuan penggunaan dana;
b. Nasabah perusahaan:
1) perusahaan yang tergolong Usaha Kecil, sekurang-kurangnya terdiri dari:
a) akte pendirian/anggaran dasar bagi perusahaan yang bentuknya diatur
dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku;
b) izin usaha atau izin lainnya dari instansi berwenang;
c) nama, spesimen tanda-tangan dan kuasa kepada pihak-pihak yang
ditunjuk mempunyai wewenang bertindak untuk dan atas nama
perusahaan dalam melakukan hubungan usaha dengan Bank;
d) keterangan sumber dana dan tujuan penggunaan dana;
2) perusahaan yang tidak tergolong Usaha Kecil, sekurang-kurangnya terdiri
dari:
a) akte …
-6-
a) akte pendirian/anggaran dasar bagi perusahaan yang bentuknya diatur
dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku;
b) izin usaha atau izin lainnya dari instansi yang berwenang;
c) Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) bagi Nasabah yang diwajibkan
untuk memiliki NPWP sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
d) laporan keuangan dari perusahaan atau deskripsi kegiatan usaha
perusahaan;
e) struktur manajemen perusahaan;
f) dokumen identitas pengurus yang berwenang mewakili perusahaan;
g) nama, spesimen tanda-tangan dan kuasa kepada pihak-pihak yang
ditunjuk mempunyai wewenang bertindak untuk dan atas nama
perusahaan dalam melakukan hubungan usaha dengan Bank;
h) keterangan sumber dana dan tujuan penggunaan dana.
c. Nasabah berupa lembaga pemerintah, lembaga internasional, dan perwakilan
negara asing sekurang-kurangnya berupa nama, spesimen tanda-tangan dan
surat penunjukan bagi pihak-pihak yang berwenang mewakili lembaga
dalam melakukan hubungan usaha dengan Bank;
d. Nasabah berupa bank, terdiri dari dokumen-dokumen yang lazim dalam
melakukan hubungan transaksi antar bank, antara lain:
1) akte pendirian/anggaran dasar bank;
2) izin usaha dari instansi yang berwenang;
3) nama …
-7-
3) nama, spesimen tanda-tangan dan kuasa kepada pihak-pihak yang
ditunjuk mempunyai wewenang bertindak untuk dan atas nama bank
dalam melakukan hubungan usaha dengan Bank.
Pasal 6
(1) Dalam hal calon Nasabah bertindak sebagai perantara dan atau kuasa pihak
lain (beneficial owner) untuk membuka rekening, Bank wajib memperoleh
dokumen pendukung identitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan
hubungan hukum, penugasan, serta kewenangan bertindak sebagai
perantara dan atau kuasa pihak lain.
(2) Dalam hal calon Nasabah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan
bank lain di dalam negeri maka verifikasi atau konfirmasi atas identitas
beneficial owner dilakukan oleh bank lain di dalam negeri tersebut.
(3) Dalam hal calon Nasabah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan
bank lain di luar negeri yang menerapkan Prinsip Mengenal Nasabah yang
sekurang-kurangnya setara dengan Peraturan Bank Indonesia ini, Bank
cukup menerima pernyataan tertulis bahwa identitas dari beneficial owner
telah diperoleh dan ditatausahakan oleh bank di luar negeri tersebut.
(4) Dalam hal calon Nasabah bukan merupakan pihak-pihak sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3), Bank wajib memperoleh bukti atas
identitas dari beneficial owner, sumber dana dan tujuan penggunaan dana,
serta informasi lainnya mengenai beneficial owner dari Nasabah, yang
antara lain berupa:
a. bagi …
-8-
a. bagi beneficial owner perorangan:
1) dokumen identitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a;
2) bukti pemberian kuasa kepada calon Nasabah;
3) pernyataan dari calon Nasabah bahwa telah dilakukan penelitian
terhadap kebenaran identitas maupun sumber dana dari beneficial
owner;
b. bagi beneficial owner perusahaan termasuk bank:
1) dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b atau huruf d;
2) dokumen identitas pengurus yang berwenang mewakili perusahaan;
3) dokumen identitas pemegang saham pengendali perusahaan;
4) bukti pemberian kuasa kepada Nasabah termasuk untuk pembukaan
rekening;
5) pernyataan dari Nasabah bahwa telah dilakukan penelitian terhadap
kebenaran identitas maupun sumber dana dari beneficial owner.
(5) Dalam hal Bank meragukan atau tidak dapat meyakini identitas beneficial
owner, Bank wajib menolak untuk melakukan hubungan usaha dengan
calon Nasabah.
Pasal 7
Bank dilarang melakukan hubungan usaha dengan calon Nasabah yang tidak
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5 dan Pasal 6.
BAB III …
-9-
BAB III
PEMANTAUAN REKENING DAN TRANSAKSI NASABAH
Pasal 8
(1) Bank wajib menatausahakan dokumen-dokumen sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 dan Pasal 6 dalam jangka waktu sekurang-kurangnya 5 (lima)
tahun sejak Nasabah menutup rekening pada Bank.
(2) Bank wajib melakukan pengkinian data dalam hal terdapat perubahan
terhadap dokumen-dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 atau
Pasal 6.
Pasal 9
Bank wajib memiliki sistem informasi yang dapat mengidentifikasi,
menganalisa, memantau dan menyediakan laporan secara efektif mengenai
karakteristik transaksi yang dilakukan oleh Nasabah Bank.
Pasal 10
Bank wajib memelihara profil Nasabah yang sekurang-kurangnya meliputi
informasi mengenai:
a. pekerjaan atau bidang usaha;
b. jumlah penghasilan;
c. rekening lain yang dimiliki;
d. aktivitas transaksi normal; dan
e. tujuan pembukaan rekening.
BAB IV …
-10-
BAB IV
MANAJEMEN RISIKO
Pasal 11
Kebijakan dan prosedur manajemen risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (2) huruf d sekurang-kurangnya mencakup:
a. pengawasan oleh pengurus Bank (management oversight);
b. pendelegasian wewenang;
c. pemisahan tugas;
d. sistem pengawasan intern termasuk audit intern; dan
e. program pelatihan karyawan mengenai penerapan Prinsip Mengenal
Nasabah.
Pasal 12
Bank wajib menunjuk petugas khusus yang bertanggung jawab untuk menangani
Nasabah yang dianggap mempunyai risiko tinggi termasuk penyelenggara
negara, dan atau transaksi-transaksi yang dapat dikategorikan mencurigakan
(suspicious transactions) sebagaimana contoh dalam Lampiran 1.
BAB V …
-11-
BAB V
PELAPORAN
Pasal 13
Bank wajib melaksanakan Prinsip Mengenal Nasabah dan menyampaikan
fotokopi kebijakan dan prosedur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 kepada
Bank Indonesia selambat-lambatnya 6 (enam) bulan sejak diberlakukannya
Peraturan Bank Indonesia ini.
Pasal 14
(1) Bank wajib melaporkan kepada Bank Indonesia apabila terjadi transaksi
yang mencurigakan (suspicious transactions) selambat-lambatnya 7 (tujuh)
hari kerja setelah diketahui oleh Bank, sesuai format pada Lampiran 2.
(2) Tindak lanjut atas laporan yang disampaikan Bank sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) berpedoman kepada peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Pasal 15
(1) Penyampaian fotokopi kebijakan dan prosedur sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13 dialamatkan kepada :
a. Direktorat Pengawasan Bank yang terkait, Bank Indonesia, Jl. M.H.
Thamrin No.2 Jakarta 10110, bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah
kerja Kantor Pusat Bank Indonesia;
b. Kantor …
-12-
b. Kantor Bank Indonesia setempat, bagi Bank yang berkantor pusat di luar
wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia.
(2) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1)
dialamatkan kepada Unit Khusus Investigasi Perbankan, Bank Indonesia, Jl.
M.H. Thamrin No.2 Jakarta 10110.
BAB VI
PENERAPAN PRINSIP MENGENAL NASABAH PADA KANTOR BANK
DI LUAR NEGERI BAGI BANK BERBADAN HUKUM INDONESIA
Pasal 16
(1) Bagi kantor Bank berbadan hukum Indonesia yang berada di luar negeri,
berlaku Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah sesuai dengan ketentuan di
negara tersebut sepanjang standar Prinsip Mengenal Nasabah di negara
tersebut sama atau lebih ketat dari yang diatur dalam Peraturan Bank
Indonesia ini.
(2) Dalam hal di negara tempat kedudukan kantor Bank sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) belum berlaku ketentuan Prinsip Mengenal Nasabah atau
berlaku Prinsip Mengenal Nasabah namun dengan standar yang lebih
longgar dari yang diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini maka kantor
Bank dimaksud wajib menerapkan Prinsip Mengenal Nasabah sebagaimana
diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini.
(3) Dalam hal penerapan Prinsip Mengenal Nasabah sebagaimana diatur dalam
Peraturan Bank Indonesia ini mengakibatkan pelanggaran terhadap
ketentuan perundang-undangan yang berlaku di negara tempat kedudukan
kantor …
-13-
kantor Bank berada maka pejabat kantor Bank di luar negeri tersebut wajib
menginformasikan kepada kantor pusat Bank dan Bank Indonesia bahwa
kantor Bank dimaksud tidak dapat menerapkan Prinsip Mengenal Nasabah
sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini.
BAB VII
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 17
(1) Ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini tidak berlaku bagi Nasabah
yang tidak mempunyai rekening di Bank, sepanjang nilai transaksi yang
dilakukan tidak melebihi Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) atau nilai
yang setara dengan itu.
(2) Perubahan nilai transaksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan
dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
BAB VIII
SANKSI
Pasal 18
(1) Pelanggaran terhadap ketentuan dalam Pasal 13 dan Pasal 14 ayat (1)
dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat
(2) huruf a Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998
berupa kewajiban membayar sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per
hari keterlambatan dan setinggi-tingginya Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta
rupiah).
(2) Pelanggaran …
-14-
(2) Pelanggaran terhadap ketentuan dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4 ayat (1), ayat
(2) dan ayat (3), Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal
12, Pasal 16 dan Pasal 19 dikenakan sanksi administratif sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2) huruf b, huruf c, huruf e, huruf f, dan atau
huruf g Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998.
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 19
Bagi Nasabah Bank yang sudah ada pada saat berlakunya Peraturan Bank
Indonesia ini dan belum dilengkapi dengan dokumen sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 maka Bank wajib meminta dan melengkapi
dokumen-dokumen tersebut paling lambat 6 (enam) bulan sejak berlakunya
Peraturan Bank Indonesia ini.
BAB X …
-15-
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 20
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 18 Juni 2001
GUBERNUR BANK INDONESIA
SYAHRIL SABIRIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2001 NOMOR 78
DPNP/UKIP/DHk/DASP
-16-
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
Nomor : 3/10/PBI/2001
TENTANG
PENERAPAN PRINSIP MENGENAL NASABAH
(KNOW YOUR CUSTOMER PRINCIPLES)
I. UMUM
Dengan semakin berkembangnya kegiatan usaha perbankan, bank
dihadapkan kepada berbagai risiko seperti risiko operasional, risiko hukum,
risiko terkonsentrasinya transaksi, dan risiko reputasi.
Ketidakcukupan penerapan Prinsip Mengenal Nasabah dapat
memperbesar risiko yang dihadapi Bank dan dapat mengakibatkan kerugian
keuangan yang signifikan bagi bank baik dari sisi aktiva maupun pasiva bank.
Mengingat hal tersebut dan dengan memperhatikan rekomendasi dari Basel
Committee on Banking Supervision dalam Core Principles for Effective Banking
Supervision bahwa penerapan Prinsip Mengenal Nasabah merupakan faktor yang
penting dalam melindungi kesehatan bank, maka bank perlu menerapkan Prinsip
Mengenal Nasabah secara lebih efektif.
Disamping …
-17-
Disamping itu, sebagaimana dikemukakan oleh The Financial Action
Task Force on Money Laundering, Prinsip Mengenal Nasabah merupakan upaya
untuk mencegah industri perbankan digunakan sebagai sarana atau sasaran
kejahatan, baik yang dilakukan secara langsung maupun tidak langsung oleh
pelaku kejahatan.
Berdasarkan hal-hal tersebut diatas dan mengingat bahwa Prinsip
Mengenal Nasabah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem
pengendalian risiko Bank maka dipandang perlu untuk menetapkan peraturan
mengenai Prinsip Mengenal Nasabah di Indonesia.
II.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a dan huruf b
Dalam menetapkan kebijakan untuk penerimaan Nasabah,
Bank perlu menetapkan pula kebijakan untuk menolak
Nasabah yang dianggap tidak layak melakukan hubungan
usaha dengan Bank dan kriteria Nasabah biasa atau
Nasabah yang berisiko tinggi.
Dalam …
-18-
Dalam menetapkan kebijakan ini faktor-faktor seperti latar
belakang Nasabah, kewarganegaraan, kegiatan usaha,
jabatan, atau indikator faktor risiko lain harus menjadi
pertimbangan.
Huruf c
Pemantauan terhadap rekening dan transaksi nasabah
merupakan bagian penting dari pelaksanaan Prinsip
Mengenal Nasabah.
Untuk dapat melakukan pemantauan dan mengurangi risiko,
Bank harus mengetahui kegiatan dan karakteristik transaksi
Nasabah.
Huruf d
Kebijakan dan prosedur manajemen risiko antara lain
mencakup pengawasan oleh manajemen, pendelegasian
wewenang dan pemisahan tugas secara jelas, pengawasan
intern yang melakukan pemantauan secara reguler, serta
program pelatihan karyawan yang berkelanjutan.
Pasal 3
Ayat (1)
Direksi Bank harus memberikan komitmen yang sungguh-sungguh
untuk melaksanakan Prinsip Mengenal Nasabah secara efektif.
Prinsip Mengenal Nasabah mempunyai kaitan dalam upaya
melindungi kelangsungan usaha Bank, mengingat pelaksanaan
Prinsip Mengenal Nasabah:
a. merupakan …
-19-
e. merupakan bagian dari manajemen risiko Bank sebagai dasar
untuk mengidentifikasi, membatasi, dan mengendalikan
eksposur risiko aktiva dan pasiva Bank;
f. membantu menjaga reputasi Bank serta integritas dari sistem
perbankan dengan mengurangi kemungkinan Bank untuk
dijadikan sarana atau sasaran kejahatan keuangan (financial
crimes).
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Unit kerja khusus dalam ayat ini tidak merupakan bagian dari
satuan kerja manajemen risiko.
Pasal 4
Ayat (1)
Huruf a sampai dengan huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Dalam hal tidak diberikan identitas pihak lain maka
Nasabah bertindak untuk diri sendiri.
Ayat (2)
Bank cukup menatausahakan fotokopi dokumen yang dibuktikan
dengan penunjukan dokumen asli oleh Nasabah.
Ayat (3) …
-20-
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan penelitian kebenaran dokumen pendukung
identitas Nasabah sekurang-kurangnya meliputi pemeriksaan
seluruh dokumen yang berkaitan dengan identitas Nasabah untuk
memastikan dokumen tersebut secara nyata diyakini sesuai dengan
kondisi Nasabah.
Ayat (4)
Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah mencakup Nasabah Bank
biasa (face-to-face customer) maupun Nasabah Bank tanpa
kehadiran fisik (non-face-to-face customer) seperti Nasabah yang
melakukan transaksi melalui telepon, surat-menyurat, dan
electronic banking.
Pertemuan Bank dengan Nasabah dapat dilakukan melalui petugas
khusus atau pihak lain yang mewakili Bank untuk meyakinkan
Bank terhadap identitas Nasabah.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 5 …
-21-
Pasal 5
Huruf a
Angka 1)
Dokumen identitas Nasabah antara lain berupa Kartu Tanda
Penduduk (KTP), Surat Izin Mengemudi (SIM) atau paspor
yang dilengkapi dengan informasi mengenai alamat tinggal
tetap apabila berbeda dengan yang tertera dalam dokumen.
Huruf a)
Cukup jelas.
Huruf b)
Cukup jelas.
Huruf c)
Cukup jelas.
Huruf d)
Cukup jelas.
Angka 2)
Keterangan mengenai pekerjaan Nasabah memuat alamat
perusahaan tempat bekerja dan kegiatan usaha yang
dilakukan perusahaan.
Dalam hal Nasabah tidak memiliki pekerjaan maka data
yang diperlukan adalah sumber pendapatan.
Angka 3) …
-22-
Angka 3)
Cukup jelas.
Angka 4)
Cukup jelas.
Huruf b
Dalam pengertian perusahaan termasuk pula yayasan dan badan
sejenis lainnya.
Angka 1)
Huruf a)
Cukup jelas.
Huruf b)
Cukup jelas.
Huruf c)
Cukup jelas.
Huruf d)
Cukup jelas.
Angka 2)
Huruf a)
Cukup jelas.
Huruf b) …
-23-
Huruf b)
Cukup jelas.
Huruf c)
Bagi calon Nasabah yang wajib memiliki NPWP,
apabila pada saat mengajukan permohonan untuk
menjadi Nasabah belum memiliki NPWP maka yang
bersangkutan dapat menyampaikan fotokopi
permohonan NPWP. Segera setelah Nasabah
memperoleh NPWP Bank wajib meminta NPWP
tersebut kepada Nasabah.
Bagi calon Nasabah yang tidak wajib memiliki
NPWP maka calon Nasabah wajib membuat
pernyataan bahwa yang bersangkutan merupakan
pihak yang tidak wajib memiliki NPWP.
Huruf d)
Deskripsi kegiatan usaha perusahaan mencakup
informasi mengenai bidang usaha, profil pelanggan,
alamat tempat kegiatan usaha dan nomor telepon
perusahaan.
Huruf e)
Cukup jelas.
Huruf f)
Cukup jelas.
Huruf g …
-24-
Huruf g)
Cukup jelas.
Huruf h)
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Angka 1)
Cukup jelas.
Angka 2) …
-25-
Angka 2)
Di dalam surat kuasa dijelaskan pula hubungan
hukum.
Angka 3)
Cukup jelas.
Huruf b
Angka 1)
Cukup jelas.
Angka 2)
Cukup jelas.
Angka 3)
Cukup jelas.
Angka 4)
Di dalam surat kuasa dijelaskan pula hubungan
hukum.
Angka 5)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8 …
-26-
Pasal 8
Ayat (1)
Dokumen-dokumen dalam ayat ini merupakan dokumen identitas
Nasabah yang tidak merupakan dokumen keuangan sebagaimana
diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1997 tentang
Dokumen Perusahaan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 9
Sistem informasi yang dimiliki harus dapat memungkinkan Bank untuk
menelusuri setiap transaksi (individual transaction), apabila diperlukan,
baik untuk keperluan intern dan atau Bank Indonesia maupun dalam
kaitannya dengan kasus peradilan.
Hal-hal yang termasuk dalam penelusuran transaksi antara lain adalah
penelusuran atas identitas Nasabah, identitas mitra transaksi Nasabah,
instrumen transaksi, tanggal transaksi, jumlah dan denominasi transaksi,
dan sumber dana yang digunakan untuk transaksi.
Termasuk dalam karakteristik Nasabah antara lain adalah karakteristik
transaksi dan sifat transaksi Nasabah yang bersangkutan serta sifat
hubungan Nasabah dengan Bank secara menyeluruh.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11 …
-27-
Pasal 11
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Termasuk pendelegasian wewenang adalah penetapan limit
wewenang untuk pejabat Bank dalam kaitannya dengan
manajemen rekening atau transaksi Nasabah.
Huruf c
Termasuk pemisahan tugas adalah pemisahan fungsi pelaksana
dengan fungsi pemutus.
Huruf d
Peran pengawasan intern adalah untuk mengevaluasi dan
memastikan kepatuhan dan mengevaluasi kebijakan dan prosedur
Prinsip Mengenal Nasabah yang diterapkan. Fungsi pengawasan
intern memberikan penilaian independen atas pelaksanaan
kebijakan dan prosedur Bank termasuk pemenuhan terhadap
ketentuan umum dan perundang-undangan yang berlaku.
Huruf e
Cukup jelas.
Pasal 12 …
-28-
Pasal 12
Yang dimaksud dengan penyelenggara negara adalah penyelenggara
negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 28 Tahun
1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi,
Kolusi dan Nepotisme, yaitu pejabat negara yang menjalankan fungsi
eksekutif, legislatif, atau yudikatif, dan pejabat lain yang fungsi dan tugas
pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta pihak-pihak
yang terkait dengan penyelenggara negara antara lain:
a. perusahaan yang dimiliki dan atau dikelola penyelenggara negara;
b. keluarga penyelenggara negara yang terdiri dari saudara kandung,
anak, orang tua, istri atau suami, mertua dan menantu; dan
c. pihak-pihak yang secara umum dan diketahui publik mempunyai
hubungan yang dekat dengan penyelenggara negara.
Ketentuan dalam ayat ini juga termasuk penyelenggara negara asing yang
setingkat.
Yang dimaksud dengan transaksi yang dapat dikategorikan mencurigakan
(suspicious transactions) adalah transaksi yang tidak sesuai dengan
karakteristik dan profil Nasabah. Dengan demikian faktor utama untuk
menentukan transaksi yang mencurigakan adalah dengan mengetahui
kelaziman transaksi yang dilakukan Nasabah.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14 …
-29-
Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 17
Ayat (1)
Ketentuan dalam Pasal ini berlaku bagi Nasabah yang tidak
bermaksud untuk membuka rekening di Bank namun
menggunakan pelayanan jasa Bank seperti jasa transfer dan
pembelian travellers cheque.
Ayat (2) …
-30-
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2001 NOMOR
4107
-31-
Lampiran 1
BEBERAPA CONTOH TRANSAKSI YANG DAPAT DIKATEGORIKAN
SEBAGAI TRANSAKSI YANG MENCURIGAKAN
1. Transaksi mencurigakan dengan menggunakan pola transaksi tunai
(a) Penyetoran tunai dalam jumlah besar yang tidak lazim oleh
perorangan atau perusahaan yang memiliki kegiatan usaha
tertentu dan penyetoran tersebut biasanya dilakukan dengan
menggunakan cek atau instrumen non-tunai lainnya;
(b) Peningkatan penyetoran tunai yang sangat material pada rekening
perorangan atau perusahaan tanpa disertai penjelasan yang
memadai, khususnya apabila setoran tunai tersebut langsung
ditransfer ke tujuan yang tidak mempunyai hubungan atau
keterkaitan dengan perorangan atau perusahaan tersebut;
(c) Penyetoran tunai dengan menggunakan beberapa slip setoran
dalam jumlah kecil sehingga total penyetoran tunai tersebut
mempunyai jumlah sangat besar;
(d) Penggunaan rekening perusahaan yang lazimnya dilakukan dengan
menggunakan cek atau instrumen non-tunai lainnya namun
dilakukan secara tunai;
(e) Pembayaran atau penyetoran dalam bentuk tunai untuk
penyelesaian tagihan wesel, transfer atau instrumen pasar uang
lainnya;
(f) Penukaran uang tunai berdenominasi kecil dalam jumlah besar
dengan uang tunai berdenominasi besar;
(g) Penukaran uang tunai ke dalam mata uang asing dalam frekuensi
yang tinggi;
(h) Peningkatan kegiatan transaksi tunai dalam jumlah yang sangat
besar untuk ukuran suatu kantor Bank;
(i) Penyetoran tunai yang didalamnya selalu terdapat uang palsu;
(j) Transfer dalam jumlah besar dari atau ke negara lain dengan
instruksi untuk dilakukan pembayaran tunai;
(k) Penyetoran tunai dalam jumlah besar melalui rekening titipan
setelah jam kerja kas untuk menghindari hubungan langsung
dengan petugas Bank.
-32-
2. Transaksi mencurigakan dengan menggunakan rekening Bank
(a) Pemeliharaan beberapa rekening atas nama pihak lain yang tidak sesuai
dengan jenis kegiatan usaha nasabah;
(b) Penyetoran tunai dalam jumlah kecil ke dalam beberapa rekening yang
dimiliki nasabah pada Bank sehingga total penyetoran tersebut
mempunyai jumlah sangat besar;
(c) Penyetoran dan atau penarikan dalam jumlah besar dari rekening
perorangan atau perusahaan yang tidak sesuai atau tidak terkait dengan
usaha nasabah;
(d) Pemberian informasi yang sulit dibuktikan atau memerlukan biaya yang
sangat besar bagi Bank untuk melakukan pembuktian;
(e) Pembayaran dari rekening nasabah yang dilakukan setelah adanya
penyetoran tunai kepada rekening dimaksud pada hari yang sama atau
hari sebelumnya;
(f) Penarikan dalam jumlah besar dari rekening nasabah yang semula tidak
aktif atau dari rekening nasabah yang menerima setoran dalam jumlah
besar dari luar negeri;
(g) Penggunaan petugas teller yang berbeda oleh nasabah yang secara
bersamaan untuk melakukan transaksi tunai dalam jumlah besar atau
transaksi mata uang asing;
(h) Pihak yang mewakili perusahaan selalu menghindar untuk berhubungan
dengan petugas Bank;
(i) Peningkatan yang besar atas penyetoran tunai atau negotiable
instruments oleh suatu perusahaan dengan menggunakan rekening klien
perusahaan, khususnya apabila penyetoran tersebut langsung ditransfer
di antara rekening klien lainnya;
-33-
(j) Penolakan oleh nasabah untuk menyediakan tambahan dokumen atau
informasi penting, yang apabila diberikan memungkinkan nasabah
menjadi layak untuk memperoleh fasilitas pemberian kredit atau jasa
perbankan lainnya;
(k) Penolakan nasabah terhadap fasilitas perbankan yang lazim diberikan,
seperti penolakan untuk diberikan tingkat bunga yang lebih tinggi
terhadap jumlah saldo tertentu;
(l) Penyetoran untuk untung rekening yang sama oleh banyak pihak tanpa
penjelasan yang memadai;
3. Transaksi mencurigakan melalui transaksi yang berkaitan dengan
investasi
(a) Pembelian surat berharga untuk disimpan di Bank sebagai kustodian yang
seharusnya tidak layak apabila memperhatikan reputasi atau
kemampuan finansial nasabah;
(b) Transaksi pinjaman dengan jaminan dana yang diblokir (back-to-back
deposit/loan transactions) antara Bank dengan anak perusahaan,
perusahaan afiliasi, atau institusi perbankan di negara lain yang dikenal
sebagai negara tempat lalu-lintas perdagangan narkotika;
(c) Permintaan nasabah untuk jasa pengelolaan investasi dengan sumber dana
investasi yang tidak jelas sumbernya atau tidak konsisten dengan
reputasi atau kemampuan finansial nasabah;
(d) Transaksi dengan pihak lawan (counterparty) yang tidak dikenal atau
sifat, jumlah dan frekuensi transaksi yang tidak lazim;
(e) Investor yang diperkenalkan oleh bank di negara lain, perusahaan afiliasi,
atau investor lain dari negara yang diketahui umum sebagai tempat
produksi atau perdagangan narkotika.
4. Transaksi mencurigakan melalui aktivitas Bank di luar negeri
(a) Pengenalan nasabah oleh kantor cabang di luar negeri, perusahaan
afiliasi atau bank lain yang berada di negara yang diketahui sebagai
tempat produksi atau perdagangan narkotika;
-34-
(b) Penggunaan Letter of Credits (L/C) dan instrumen perdagangan
internasional lain untuk memindahkan dana antar negara dimana
transaksi perdagangan tersebut tidak sejalan dengan kegiatan usaha
nasabah;
(c) Penerimaan atau pengiriman transfer oleh nasabah dalam jumlah besar
ke atau dari negara yang diketahui merupakan negara yang terkait
dengan produksi, proses, dan atau pemasaran obat terlarang atau
kegiatan terorisme;
(d) Penghimpunan saldo dalam jumlah besar yang tidak sesuai dengan
karakteristik perputaran usaha nasabah yang kemudian ditransfer ke
negara lain;
(e) Transfer secara elektronis oleh nasabah tanpa disertai penjelasan yang
memadai atau tidak dengan menggunakan rekening;
(f) Permintaan travellers cheques, wesel dalam mata uang asing, atau
negotiable instrument lainnya dengan frekuensi tinggi;
(g) Pembayaran dengan menggunakan travellers cheques atau wesel dalam
mata uang asing khususnya yang diterbitkan oleh negara lain dengan
frekuensi tinggi.
5. Transaksi mencurigakan yang melibatkan karyawan Bank dan atau
agen
(a) Peningkatan kekayaan karyawan dan agen Bank dalam jumlah besar
tanpa disertai penjelasan yang memadai;
(b) Hubungan transaksi melalui agen yang tidak dilengkapi dengan informasi
yang memadai mengenai penerima akhir (ultimate beneficiary).
6. Transaksi mencurigakan melalui transaksi pinjam meminjam
-35-
(a) Pelunasan pinjaman bermasalah secara tidak terduga;
(b) Permintaan fasilitas pinjaman dengan agunan yang asal usulnya dari
aset yang diagunkan tidak jelas atau tidak sesuai dengan reputasi dan
kemampuan finansial nasabah;
(c) Permintaan nasabah kepada Bank untuk memberikan fasilitas
pembiayaan dimana porsi dana sendiri Nasabah dalam fasilitas
dimaksud tidak jelas asal usulnya, khususnya apabila terkait dengan
properti.
-36-
Lampiran 2
LAPORAN TRANSAKSI YANG DAPAT DIKATEGORIKAN SEBAGAI
TRANSAKSI YANG MENCURIGAKAN *)
NOMOR LAPORAN
NAMA BANK
KANTOR BANK (ALAMAT DAN NOMOR
TELEPON)
NAMA PEMEGANG REKENING
TANGGAL PEMBUKAAN REKENING
PEMBERI REFERENSI
IDENTITAS NASABAH **)
IDENTITAS BENEFICIAL OWNER ***)
ALAMAT PEMEGANG REKENING
RINCIAN KETERANGAN TENTANG
TRANSAKSI YANG DAPAT
DIKATEGORIKAN MENCURIGAKAN,
ANTARA LAIN PENJELASAN:
?? SUMBER DANA
?? PENGKREDITAN/PENDEBETAN
REKENING
?? JUMLAH
?? TANGGAL TRANSAKSI YANG
MENCURIGAKAN
?? MATA UANG/VALUTA
INFORMASI RELEVAN LAINNYA
*)
**)
***)
format laporan ini tidak mengurangi kemungkinan untuk Bank menambahkan informasi dan
data yang diperlukan
identitas nasabah disesuaikan dengan ketentuan Pasal 5
identitas beneficial owner disesuaikan dengan ketentuan Pasal 6
Tanggal Laporan
: …………………………
-37-
Tanda Tangan Pejabat Bank : …………………………
Nama Pejabat Bank
: …………………………
"," PBI
3/10/PBI/2001
PENERAPAN PRINSIP MENGENAL NASABAH (KNOW YOUR CUSTOMER PRINCIPLES)
18 Juni 2001
18 Juni 2001
'23/UU/1999', '7/UU/1992', '10/UU/1998'
'BAB VIII'
"
" PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 12/ 11 /PBI/2010
TENTANG
OPERASI MONETER
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka mendukung tujuan Bank Indonesia guna
mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah, Bank
Indonesia melakukan pengendalian moneter terutama melalui
Operasi Moneter;
b. bahwa dalam rangka menghadapi dan mengantisipasi
perkembangan ekonomi, keuangan dan moneter, efektivitas
Operasi Moneter perlu ditingkatkan;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a dan huruf b, perlu mengatur ketentuan mengenai
Operasi Moneter dalam suatu Peraturan Bank Indonesia;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31;
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3472) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor
182; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3790);
2.Undang...
- 2 -
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66;
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843) sebagaimana telah
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 7; Tambahan Lembaran Negara
Nomor 4962);
3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang
Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002
Nomor 110; Tambahan Lembaran Negara Nomor 4236);
4. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga
Syariah Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2008 Nomor 70; Tambahan Lembaran Negara Nomor 4852);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG OPERASI
MONETER
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan :
1. Bank ...
- 3 -
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
tentang Perbankan yang berlaku, yang melakukan kegiatan usaha secara
konvensional.
2. Operasi Moneter adalah pelaksanaan kebijakan moneter oleh Bank Indonesia
dalam rangka pengendalian moneter melalui operasi pasar terbuka dan
koridor suku bunga (standing facilities).
3. Operasi Pasar Terbuka yang selanjutnya disebut OPT adalah kegiatan
transaksi di pasar uang yang dilakukan oleh Bank Indonesia dengan Bank
dan/atau pihak lain dalam rangka Operasi Moneter.
4. Koridor Suku Bunga (Standing Facilities) yang selanjutnya disebut Standing
Facilities adalah kegiatan penyediaan dana rupiah (lending facility) dari Bank
Indonesia kepada Bank dan penempatan dana rupiah (deposit facility) oleh
Bank di Bank Indonesia dalam rangka Operasi Moneter.
5. Absorpsi Likuiditas adalah pengurangan likuiditas di pasar uang rupiah
melalui kegiatan Operasi Moneter.
6. Injeksi Likuiditas adalah penambahan likuiditas di pasar uang rupiah melalui
kegiatan Operasi Moneter.
7. Sertifikat Bank Indonesia yang selanjutnya disebut SBI adalah surat berharga
dalam mata uang rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai
pengakuan utang berjangka waktu pendek.
8. Surat Berharga Negara yang selanjutnya disebut SBN adalah Surat Utang
Negara dan Surat Berharga Syariah Negara.
9. Surat Utang Negara yang selanjutnya disebut SUN adalah surat berharga yang
berupa surat pengakuan utang dalam mata uang rupiah maupun valuta asing
yang dijamin pembayaran bunga dan pokoknya oleh Negara Republik
Indonesia, sesuai dengan masa berlakunya, sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang berlaku.
10. Surat ...
- 4 -
10. Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya disebut SBSN, atau dapat
disebut Sukuk Negara, adalah SBN yang diterbitkan berdasarkan prinsip
syariah, sebagai bukti atas penyertaan terhadap aset SBSN, baik dalam mata
uang rupiah maupun valuta asing, sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang yang berlaku.
11. Bank Indonesia – Scripless Securities Settlement System yang selanjutnya
disebut BI-SSSS adalah sarana transaksi dengan Bank Indonesia termasuk
penatausahaannya, dan penatausahaan surat berharga secara elektronik dan
terhubung langsung antara peserta, penyelenggara dan Sistem Bank Indonesia
– Real Time Gross Settlement.
12. Sistem Bank Indonesia – Real Time Gross Settlement yang selanjutnya
disebut Sistem BI-RTGS adalah suatu sistem transfer dana elektronik antar
peserta Sistem BI-RTGS dalam mata uang rupiah yang penyelesaiannya
dilakukan secara seketika per transaksi secara individual.
BAB II
TUJUAN OPERASI MONETER
Pasal 2
(1) Operasi Moneter bertujuan mencapai sasaran operasional kebijakan moneter
dalam rangka mendukung pencapaian sasaran akhir kebijakan moneter Bank
Indonesia.
(2) Sasaran operasional kebijakan moneter berupa suku bunga pasar uang jangka
pendek.
Pasal 3 ...
- 5 -
Pasal 3
Pencapaian sasaran operasional kebijakan moneter sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2, dilakukan melalui pengelolaan likuiditas di pasar uang rupiah dengan
cara Absorpsi Likuiditas dan/atau Injeksi Likuiditas.
BAB III
OPERASI MONETER
Bagian Kesatu
Bentuk Operasi Moneter
Pasal 4
Operasi Moneter dilakukan dengan :
a. OPT; dan
b. Standing Facilities.
Bagian Kedua
Operasi Pasar Terbuka
Pasal 5
Kegiatan OPT meliputi :
a. penerbitan SBI;
b. transaksi repurchase agreement (repo) dan reverse repo surat berharga;
c. transaksi pembelian dan penjualan surat berharga secara outright;
d. penempatan berjangka (term deposit) di Bank Indonesia; dan
e. jual beli valuta asing terhadap rupiah.
Pasal 6 ...
- 6 -
Pasal 6
(1) OPT dapat dilaksanakan setiap hari kerja.
(2) Pelaksanaan OPT dilakukan melalui mekanisme lelang dan/atau non lelang.
Pasal 7
Penempatan berjangka (term deposit) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
huruf d, dapat dicairkan sebelum jatuh waktu (early redemption) dengan
memenuhi persyaratan tertentu.
Pasal 8
Dalam kegiatan OPT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b, Bank
Indonesia dapat menggunakan surat berharga milik pihak lain yang ditetapkan
Bank Indonesia.
Bagian Ketiga
Standing Facilities
Pasal 9
(1) Standing Facilities meliputi:
a. Penyediaan dana rupiah (lending facility); dan
b. Penempatan dana rupiah (deposit facility).
(2) Standing Facilities memiliki jangka waktu 1 (satu) hari kerja.
Pasal 10
(1) Standing Facilities sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dilaksanakan oleh
Bank Indonesia pada setiap hari kerja.
(2) Pelaksanaan ...
- 7 -
(2) Pelaksanaan Standing Facilities dilakukan melalui mekanisme non lelang.
BAB IV
SERTIFIKAT BANK INDONESIA
Pasal 11
SBI yang diterbitkan oleh Bank Indonesia memiliki karakteristik sebagai berikut:
a. berjangka waktu paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 12 (dua belas)
bulan yang dinyatakan dalam jumlah hari dan dihitung sejak 1 (satu) hari
sesudah tanggal setelmen sampai dengan tanggal jatuh waktu;
b. diterbitkan dan diperdagangkan dengan sistem diskonto;
c. diterbitkan tanpa warkat (scripless); dan
d. dapat dipindahtangankan (negotiable).
Pasal 12
(1) Bank Indonesia menatausahakan SBI dalam suatu sistem penatausahaan
secara elektronis melalui Sistem Book Entry Registry dalam BI-SSSS.
(2) Sistem penatausahaan yang dikelola oleh Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) mencakup sistem pencatatan kepemilikan dan
penyelesaian transaksi SBI.
(3) Sistem pencatatan kepemilikan SBI sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan tanpa warkat (scripless).
(4) Bank Indonesia dapat menunjuk pihak lain untuk mendukung penatausahaan
SBI sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(5) Dalam ...
- 8 -
(5) Dalam hal pihak lain yang ditunjuk untuk mendukung penatausahaan SBI
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak dapat memenuhi persyaratan yang
ditetapkan Bank Indonesia atau menghentikan kegiatan usahanya, Bank
Indonesia berwenang mencabut penunjukan yang telah ditetapkan.
Pasal 13
(1) Dalam jangka waktu tertentu sejak memiliki SBI, pemilik SBI dilarang
melakukan transaksi atas SBI yang dimilikinya dengan pihak lain.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak berlaku untuk
transaksi SBI oleh peserta Operasi Moneter dengan Bank Indonesia.
(3) Pihak lain yang ditunjuk untuk mendukung penatausahaan SBI sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 ayat (4), wajib menatausahakan SBI milik
nasabahnya dengan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1).
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai jangka waktu sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 14
(1) Bank Indonesia melunasi SBI pada saat jatuh waktu sebesar nilai nominal.
(2) Bank Indonesia dapat melunasi SBI sebelum jatuh waktu dengan
persetujuan pemilik SBI.
BAB V
PESERTA OPERASI MONETER DAN LEMBAGA PERANTARA
Pasal 15 ...
- 9 -
Pasal 15
(1) Peserta Operasi Moneter terdiri dari :
a. peserta OPT, yaitu Bank dan/atau pihak lain yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia; dan
b. peserta Standing Facilities, yaitu Bank.
(2) Peserta OPT dapat mengikuti OPT secara langsung dan/atau tidak langsung
melalui lembaga perantara.
(3) Peserta standing facilities hanya dapat mengikuti standing facilities secara
langsung.
(4) Bank Indonesia menetapkan persyaratan bagi peserta Operasi Moneter dan
lembaga perantara.
Pasal 16
(1) Peserta Operasi Moneter dan lembaga perantara bertanggung jawab atas
kebenaran data penawaran yang diajukan.
(2) Peserta Operasi Moneter dan lembaga perantara yang telah mengajukan
penawaran dilarang membatalkan penawarannya.
(3) Peserta Operasi Moneter dan lembaga perantara wajib memenuhi tata cara
pengajuan penawaran dan persyaratan dalam transaksi Operasi Moneter yang
ditetapkan Bank Indonesia.
(4) Dalam hal peserta Operasi Moneter dan lembaga perantara tidak memenuhi
kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penawaran yang telah
diajukan akan ditolak dan/atau tidak akan diproses oleh Bank Indonesia.
Pasal 17 ...
- 10 -
Pasal 17
(1) Peserta Operasi Moneter wajib memiliki rekening giro rupiah di Bank
Indonesia.
(2) Peserta Operasi Moneter wajib memiliki rekening surat berharga di BI-SSSS
dan/atau di lembaga kustodian yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
(3) Peserta Operasi Moneter yang mengikuti kegiatan Operasi Moneter wajib
menyediakan dana yang cukup di rekening giro rupiah di Bank Indonesia
dan/atau surat berharga yang cukup di rekening surat berharga di BI-SSSS
atau di lembaga kustodian untuk penyelesaian kewajiban pada waktu
penyelesaian transaksi.
(4) Peserta Operasi Moneter yang melakukan transaksi di pasar valuta asing
wajib menyediakan dana di Bank Indonesia atau transfer dana ke rekening
Bank Indonesia yang cukup untuk penyelesaian kewajiban pembayaran pada
tanggal penyelesaian transaksi.
(5) Dalam hal peserta Operasi Moneter tidak memenuhi kewajiban sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), transaksi Operasi Moneter yang bersangkutan
dinyatakan batal, kecuali untuk transaksi di pasar valuta asing.
Pasal 18
Dalam rangka penyelesaian transaksi Operasi Moneter, Bank Indonesia
berwenang melakukan pendebetan rekening giro di Bank Indonesia dan/atau
rekening surat berharga di BI-SSSS dan/atau di lembaga kustodian milik peserta
Operasi Moneter.
BAB VI ...
- 11 -
BAB VI
SANKSI
Pasal 19
(1) Atas batalnya transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (5),
peserta Operasi Moneter dikenakan sanksi berupa:
a. teguran tertulis; dan
b. kewajiban membayar sebesar 0,01% (satu per sepuluh ribu) dari nilai
nominal transaksi Operasi Moneter yang batal, paling sedikit sebesar
Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak sebesar
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(2) Dalam hal terjadi batal transaksi yang ketiga kali dalam kurun waktu 6
(enam) bulan, selain dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), peserta Operasi Moneter juga dikenakan sanksi penghentian sementara
untuk mengikuti kegiatan Operasi Moneter selama 5 (lima) hari kerja
berturut-turut.
Pasal 20
(1) Dalam hal peserta Operasi Moneter yang melakukan transaksi di pasar valuta
asing tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat
(4), peserta Operasi Moneter dimaksud wajib membayar nominal transaksi
pada hari kerja berikutnya setelah tanggal penyelesaian transaksi.
(2) Peserta Operasi Moneter sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga
dikenakan sanksi sebagai berikut :
a. teguran tertulis; dan
b. kewajiban membayar yang dihitung atas dasar :
1. suku ...
- 12 -
1. suku bunga Fed Fund yang berlaku pada tanggal penyelesaian
transaksi ditambah 200 (dua ratus) basis point dikalikan nominal
transaksi dikalikan 1/360 (satu per tiga ratus enam puluh) untuk
penyelesaian kewajiban pembayaran dalam valuta US Dollar;
2. suku bunga yang dikeluarkan oleh bank sentral atau otoritas moneter
di negara valuta yang bersangkutan (official rate) yang berlaku pada
tanggal penyelesaian transaksi ditambah 200 (dua ratus) basis point
dikalikan nominal transaksi dikalikan 1/360 (satu per tiga ratus enam
puluh) untuk penyelesaian kewajiban pembayaran dalam valuta asing
non US Dollar; atau
3. suku bunga kebijakan Bank Indonesia (BI Rate) yang berlaku
ditambah 200 (dua ratus) basis point dikalikan nominal transaksi
dikalikan 1/360 (satu per tiga ratus enam puluh) untuk penyelesaian
kewajiban pembayaran dalam rupiah.
(3) Penyelesaian kewajiban pembayaran nominal transaksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan melalui:
a. pendebetan rekening giro valuta US Dollar peserta Operasi Moneter di
Bank Indonesia untuk penyelesaian kewajiban pembayaran dalam valuta
asing. Untuk kewajiban pembayaran dalam valuta asing non US Dollar,
digunakan kurs indikasi Reuters pukul 08.00 WIB pada tanggal
pembebanan.
b. pendebetan rekening giro rupiah peserta Operasi Moneter di Bank
Indonesia untuk penyelesaian kewajiban pembayaran peserta Operasi
Moneter dalam rupiah.
Pasal 21...
- 13 -
Pasal 21
Pemilik SBI yang merupakan peserta Operasi Moneter yang melanggar ketentuan
dalam Pasal 13 ayat (1) dan/atau pihak lain yang ditunjuk untuk mendukung
penatausahaan SBI yang melanggar ketentuan dalam Pasal 13 ayat (3) dikenakan
sanksi berupa :
a. teguran tertulis; dan
b. kewajiban membayar sebesar 0,01% (satu per sepuluh ribu) dari nilai nominal
transaksi SBI yang tidak memenuhi persyaratan dimaksud, paling sedikit
sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak sebesar
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) per hari.
BAB VII
PERALIHAN
Pasal 22
Transaksi atas SBI yang dilakukan setelah berlakunya Peraturan Bank Indonesia
ini yang merupakan bagian dari transaksi yang telah dilakukan sebelum Peraturan
Bank Indonesia ini diberlakukan, dikecualikan dari ketentuan Pasal 13 sampai
dengan transaksi yang bersangkutan jatuh waktu.
BAB VIII
PENUTUP
Pasal 23
Ketentuan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia ini diatur lebih lanjut
dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 24...
- 14 -
Pasal 24
Dengan diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia ini, maka:
a. Peraturan Bank Indonesia Nomor 4/9/PBI/2002 tanggal 18 November 2002
tentang Operasi Pasar Terbuka;
b. Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/4/PBI/2004 tanggal 16 Februari 2004
tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 4/9/PBI/2002
tentang Operasi Pasar Terbuka;
c. Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/33/PBI/2004 tanggal 31 Desember 2004
tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor
4/9/PBI/2002 tentang Operasi Pasar Terbuka;
d. Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/30/PBI/2005 tanggal 13 September 2005
tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor
4/9/PBI/2002 tentang Operasi Pasar Terbuka;
e. Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/14/PBI/2008 tanggal 23 September 2008
tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor
4/9/PBI/2002 tentang Operasi Pasar Terbuka;
f. Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/21/PBI/2008 tanggal 15 Oktober 2008
tentang Perubahan Kelima Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor
4/9/PBI/2002 tentang Operasi Pasar Terbuka;
g. Peraturan Bank Indonesia Nomor 4/10/PBI/2002 tanggal 18 November 2002
tentang Sertifikat Bank Indonesia; dan
h. Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/5/PBI/2004 tanggal 16 Februari 2004
tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 4/10/PBI/2002
tentang Sertifikat Bank Indonesia,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 25 ...
- 15 -
Pasal 25
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 7 Juli 2010.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank
Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 2 Juli 2010
Pjs. GUBERNUR BANK INDONESIA,
DARMIN NASUTION
Diundangkan di Jakarta
Pada Tanggal 2 Juli 2010
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
PATRIALIS AKBAR
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 84
DPM
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 12/ 11 /PBI/2010
TENTANG
OPERASI MONETER
UMUM
Dalam rangka mendukung tujuan Bank Indonesia, yaitu mencapai dan
memelihara kestabilan nilai rupiah, Bank Indonesia melaksanakan pengendalian
moneter sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 10 ayat (1) huruf b Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia menjadi Undang-Undang. Salah satu ukuran keberhasilan tujuan
dimaksud adalah tercapainya sasaran inflasi jangka menengah sebagai sasaran
akhir dari pelaksanaan tugas Bank Indonesia di bidang moneter.
Dalam rangka mencapai sasaran akhir kebijakan moneter, Bank Indonesia
menerapkan kerangka kebijakan moneter yang difokuskan pada pengendalian
suku bunga. Bank Indonesia menetapkan suku bunga pasar uang jangka pendek
sebagai sasaran operasional. Untuk mencapai sasaran operasional tersebut, Bank
Indonesia melakukan pengendalian moneter yang bersifat absorpsi dan/atau
injeksi likuiditas. Pengendalian Moneter tersebut antara lain dilakukan melalui
operasi pasar terbuka baik di pasar uang rupiah maupun pasar uang valuta asing.
Operasi pasar terbuka di pasar valuta asing dilakukan dengan cara
sterilisasi/intervensi di pasar valuta asing dalam rangka stabilisasi rupiah.
PASAL ...
- 2 -
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “suku bunga pasar uang jangka pendek”
adalah suku bunga pasar uang antar bank overnight (PUAB O/N).
Yang dimaksud dengan “suku bunga PUAB O/N” adalah suku
bunga transaksi pinjam meminjam uang dalam mata uang rupiah
antar Bank yang berjangka waktu 1 (satu) hari (overnight).
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Pelaksanaan OPT termasuk sterilisasi/intervensi di pasar valuta asing yang
dilakukan oleh Bank Indonesia dalam rangka stabilisasi rupiah.
Pasal 5
Huruf a
Yang dimaksud dengan “penerbitan SBI” adalah penjualan SBI
oleh Bank Indonesia di pasar perdana.
Huruf b ...
- 3 -
Huruf b
Yang dimaksud dengan “transaksi repurchase agreement (repo)”
adalah transaksi penjualan surat berharga oleh peserta Operasi
Moneter kepada Bank Indonesia dengan kewajiban pembelian
kembali oleh peserta Operasi Moneter sesuai dengan harga dan
jangka waktu yang disepakati.
Yang dimaksud dengan “transaksi reverse repo” adalah transaksi
pembelian surat berharga oleh peserta Operasi Moneter dari Bank
Indonesia dengan kewajiban penjualan kembali oleh peserta
Operasi Moneter sesuai dengan harga dan jangka waktu yang
disepakati.
Yang dimaksud dengan “surat berharga” adalah SBI, SBN dan
surat berharga lain yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan
yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “transaksi pembelian dan penjualan surat
berharga secara outright” adalah transaksi pembelian dan
penjualan surat berharga secara putus.
Yang dimaksud dengan “surat berharga” adalah SBN dan surat
berharga lain yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “penempatan berjangka (term deposit)”
adalah penempatan dana rupiah milik peserta Operasi Moneter
secara berjangka di Bank Indonesia.
Huruf e ...
- 4 -
Huruf e
Jual beli valuta asing terhadap rupiah dilakukan antara lain dalam
bentuk spot, forward dan swap.
Yang dimaksud dengan “spot” adalah transaksi jual/beli antara
valuta asing terhadap rupiah dengan penyerahan dananya dilakukan
2 (dua) hari kerja setelah tanggal transaksi. Transaksi tersebut
dimungkinkan untuk dinegosiasikan dengan penyerahan valuta
pada hari yang sama (today) atau dengan penyerahan 1 (satu) hari
kerja setelah tanggal transaksi (tomorrow).
Yang dimaksud dengan “forward” adalah transaksi jual/beli antara
valuta asing terhadap rupiah dengan penyerahan dananya dilakukan
lebih dari 2 (dua) hari kerja setelah tanggal transaksi.
Yang dimaksud dengan “swap” adalah transaksi pertukaran valuta
asing terhadap rupiah melalui pembelian/penjualan tunai (spot)
dengan penjualan/pembelian kembali secara berjangka (forward)
yang dilakukan secara simultan, dengan counterpart yang sama dan
pada tingkat harga yang dibuat dan disepakati pada tanggal
transaksi dilakukan.
Pasal 6
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “hari kerja” adalah hari kerja Bank
Indonesia, termasuk hari kerja terbatas Bank Indonesia.
Ayat (2) ...
- 5 -
Ayat (2)
Mekanisme lelang dapat dilakukan dengan metode lelang harga
tetap (fixed rate tender) atau metode lelang harga beragam
(variable rate tender). Mekanisme non lelang dilakukan secara
bilateral antara Bank Indonesia dengan peserta OPT.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Penggunaan surat berharga milik pihak lain oleh Bank Indonesia dalam
kegiatan OPT didasarkan pada suatu perjanjian antara Bank Indonesia dan
pemilik surat berharga.
Pasal 9
Ayat (1)
Huruf a
Penyediaan dana rupiah (lending facility) dilakukan melalui
mekanisme repurchase agreement (repo) surat berharga.
Yang dimaksud dengan “surat berharga” adalah SBI, SBN
dan surat berharga lain yang berkualitas tinggi dan mudah
dicairkan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Huruf b
Penempatan dana rupiah (deposit facility) dilakukan tanpa
penerbitan surat berharga.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 10 ...
- 6 -
Pasal 10
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “hari kerja” adalah hari kerja Bank
Indonesia, termasuk hari kerja terbatas Bank Indonesia.
Ayat (2)
Mekanisme non lelang dalam Standing Facilities dilakukan secara
bilateral antara Bank Indonesia dengan Bank.
Pasal 11
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “tanpa warkat (scripless)” adalah
diterbitkan tanpa adanya fisik SBI, dan bukti kepemilikan bagi
pemegang SBI berupa pencatatan elektronis.
Huruf d
SBI dapat dipindahtangankan melalui perdagangan di pasar
sekunder antara lain secara repurchase agreement (repo), secara
outright atau dijadikan agunan.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13 ...
- 7 -
Pasal 13
Ayat (1)
Transaksi SBI dengan pihak lain antara lain mencakup transaksi
repurchase agreement (repo), penjualan secara outright, hibah dan
pengagunan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “pihak lain” antara lain badan
hukum non-Bank dan badan lainnya.
Huruf b
Cukup Jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “lembaga perantara” antara lain pialang
pasar uang rupiah dan valuta asing dan/atau pialang pasar modal
yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Ayat (3) ...
- 8 -
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 16
Yang dimaksud dengan “membatalkan” penawaran adalah Bank menarik
kembali penawaran yang telah diajukan.
Pasal 17
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Penyediaan dana di Bank Indonesia berlaku untuk kewajiban
penyelesaian transaksi dalam rupiah. Penyelesaian transaksi dalam
valuta asing dilakukan dengan transfer dana ke rekening Bank
Indonesia yang ditunjuk.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19 ...
- 9 -
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5141
DPM
"," PBI
12/11/PBI/2010
OPERASI MONETER
2 Juli 2010
7 Juli 2010
2 Juli 2010
'10/14/PBI/2008', '4/10/PBI/2002', '6/33/PBI/2004', '6/5/PBI/2004', '4/9/PBI/2002', '10/21/PBI/2008', '7/30/PBI/2005', '6/4/PBI/2004'
'6/UU/2009', '19/UU/2008', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '7/UU/1992', '24/UU/2002', '10/UU/1998'
'BAB VI'
"
" PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 7/26/PBI/2005
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 2/8/PBI/2000
TANGGAL 23 FEBRUARI 2000 TENTANG PASAR UANG ANTARBANK
BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang
:
a. bahwa untuk memenuhi kebutuhan informasi harian yang
mendukung pelaksanaan tugas Bank Indonesia di sektor
moneter, perbankan dan sistem pembayaran, Bank Indonesia
telah menerapkan Laporan Harian Bank Umum sebagai
sarana penyampaian laporan;
b.
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
huruf a dipandang perlu untuk melakukan perubahan terhadap
Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/8/PBI/2000 tentang Pasar
Uang Antarbank Berdasarkan Prinsip Syariah;
Mengingat
:
1. Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor
31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan
Lembaran …
2
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah
Bank
Tahun
Republik
diubah dengan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357);
3. Peraturan Bank Indonesia No.7/10/PBI/2005 tentang Laporan
Harian Bank Umum (Lembaran Negara Republik
Tahun 2005 Nomor 25, Tambahan Lembaran
Indonesia
Negara
Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 4483);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan
: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR
2/8/PBI/2000 TENTANG PASAR UANG ANTARBANK
BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor:2/8/PBI/2000 tentang
Pasar Uang Antarbank Berdasarkan Prinsip Syariah (Lembaran Negara Republik
Indonesia …
3
Indonesia Tahun 2000 Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor3936) diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 1 angka 3 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
“Unit Usaha Syariah, yang selanjutnya disebut UUS, adalah unit kerja di kantor
pusat bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang
berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang syariah dan atau unit syariah,
atau unit kerja di kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri yang
melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang berfungsi sebagai kantor
induk dari kantor cabang pembantu syariah dan atau unit syariah.”
2. Ketentuan Pasal 1 angka 7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
“7. Laporan Harian Bank Umum, yang selanjutnya disebut LHBU, adalah laporan
yang disusun dan disampaikan oleh Bank Pelapor secara harian kepada Bank
Indonesia.""
3. Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 11
(1) Bank Syariah penerbit Sertifikat IMA wajib melaporkan informasi Sertifikat
IMA kepada Bank Indonesia pada setiap hari kerja yang sama dengan hari
penerbitan Sertifikat IMA.
(2) Dalam hal tidak terdapat penerbitan Sertifikat IMA sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), Bank Syariah wajib mengirimkan form header kepada Bank
Indonesia sebagaimana diatur dalam ketentuan mengenai LHBU.
(3) Bank …
4
(3) Bank Syariah wajib melaporkan tingkat imbalan deposito investasi
Mudharabah untuk semua periode jangka waktu kepada Bank Indonesia pada
setiap hari kerja.
(4) Dalam hal tidak terdapat perubahan tingkat imbalan deposito investasi
Mudharabah sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) maka Bank Syariah wajib
menyampaikan data tingkat imbalan deposito investasi Mudharabah yang telah
dilaporkan pada hari kerja sebelumnya.
(5) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4)
disampaikan melalui LHBU sebagaimana diatur dalam ketentuan mengenai
LHBU.”
4. Ketentuan Pasal 12 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 12
Pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dilakukan oleh kantor pusat
Bank Syariah penerbit Sertifikat IMA”
Pasal II
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 26 Agustus 2005.
Ditetapkan …
5
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 8 Agustus 2005
GUBERNUR BANK INDONESIA,
BURHANUDDIN ABDULLAH
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2005 NOMOR 74
DPM
PENJELASAN
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 7/26/PBI/2005
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 2/8/PBI/2000
TENTANG PASAR UANG ANTARBANK BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH
UMUM
Informasi pasar uang antarbank berdasarkan prinsip syariah diperlukan oleh Bank
Indonesia sebagai bahan pertimbangan dalam penetapan kebijakan. Untuk memenuhi
kebutuhan informasi harian yang mendukung pelaksanaan tugas Bank Indonesia di
bidang moneter, perbankan dan sistem pembayaran, Bank Indonesia telah menerapkan
Laporan Harian Bank Umum.
Berkaitan dengan hal tersebut maka Bank Syariah diwajibkan menyusun laporan
Pasar Uang Antarbank Berdasarkan Prinsip Syariah secara benar dan lengkap serta
menyampaikan laporan dimaksud kepada Bank Indonesia secara real time dan tepat
waktu.
PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Cukup jelas
Angka 2
Cukup jelas
Angka …
2
Angka 3
Pasal 11
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Angka 4
Pasal 12
Cukup jelas
Pasal II
Cukup jelas
hari kerja
adalah hari
kerja
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan mengenai LHBU.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2005 NOMOR 4524
"," PBI
7/26/PBI/2005
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 2/8/PBI/2000 TANGGAL 23 FEBRUARI 2000 TENTANG PASAR UANG ANTARBANK BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH
8 Agustus 2005
26 Agustus 2005
'2/8/PBI/2000'
'23/UU/1999', '3/UU/2004', '7/10/PBI/2005', '7/UU/1992', '10/UU/1998'
"
" PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 11/ 33 /PBI/2009
TENTANG
PELAKSANAAN GOOD CORPORATE GOVERNANCE
BAGI BANK UMUM SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang:
a. bahwa dalam rangka membangun industri perbankan syariah yang
sehat dan tangguh, diperlukan pelaksanaan Good Corporate
Governance bagi bank umum syariah dan unit usaha syariah yang
efektif;
b. bahwa pelaksanaan Good Corporate Governance di dalam
industri perbankan syariah harus memenuhi prinsip syariah
(sharia compliance);
c. bahwa pelaksanaan Good Corporate Governance merupakan
salah satu upaya untuk melindungi kepentingan stakeholders dan
meningkatkan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan
yang berlaku serta nilai-nilai etika yang berlaku secara umum
pada industri perbankan syariah;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada
huruf a, huruf b dan huruf c dipandang perlu untuk menetapkan
Peraturan Bank Indonesia tentang Pelaksanaan Good Corporate
Governance Bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah;
Mengingat ...
- 2 -
Mengingat:
1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843)
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999
tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962);
2. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007
Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4756);
3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4867);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PELAKSANAAN
GOOD CORPORATE GOVERNANCE BAGI BANK UMUM
SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH.
BAB I ...
- 3 -
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah dari
Bank Umum Konvensional termasuk Unit Usaha Syariah dari
kantor cabang dari suatu bank yang berkedudukan di luar negeri;
2. Bank Umum Syariah yang selanjutnya disebut BUS adalah Bank
Syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu
lintas pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah;
3. Bank Umum Konvensional adalah Bank Konvensional yang
dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2008 tentang Perbankan Syariah;
4. Unit Usaha Syariah, yang selanjutnya disebut UUS, adalah unit
kerja dari kantor pusat Bank Umum Konvensional yang berfungsi
sebagai kantor induk dari kantor atau unit yang melaksanakan
kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah, atau unit kerja di
kantor cabang dari suatu bank yang berkedudukan di luar negeri
yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang
berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang pembantu
syariah dan/atau unit syariah sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah;
5. Prinsip ...
- 4 -
5. Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam di bidang perbankan
syariah yang tertuang dalam bentuk fatwa Dewan Syariah
Nasional – Majelis Ulama Indonesia;
6. Dewan Komisaris adalah organ perseroan yang bertugas
melakukan pengawasan secara umum dan/atau khusus sesuai
dengan anggaran dasar serta memberi nasihat kepada Direksi
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun
2007 tentang Perseroan Terbatas;
7. Direksi adalah organ perseroan yang berwenang dan bertanggung
jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan
perseroan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan serta
mewakili perseroan, baik di dalam dan di luar pengadilan sesuai
dengan ketentuan anggaran dasar sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas;
8. Direktur UUS adalah direktur Bank Umum Konvensional atau
pimpinan kantor cabang dari suatu bank yang berkedudukan di
luar negeri yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas
pengurusan UUS;
9. Komisaris Independen adalah anggota Dewan Komisaris yang
tidak memiliki:
a. hubungan keuangan, kepengurusan, kepemilikan saham
dan/atau hubungan keluarga dengan pemegang saham
pengendali, anggota Dewan Komisaris dan/atau anggota
Direksi; atau
b. hubungan keuangan dan/atau hubungan kepemilikan saham
dengan Bank,
sehingga ...
- 5 -
sehingga dapat mendukung kemampuannya untuk bertindak
independen;
10. Good Corporate Governance, yang selanjutnya disebut GCG,
adalah suatu tata kelola Bank yang menerapkan prinsip-prinsip
keterbukaan (transparency), akuntabilitas (accountability),
pertanggungjawaban (responsibility), profesional (professional),
dan kewajaran (fairness);
11. Stakeholders adalah seluruh pihak yang memiliki kepentingan
secara langsung atau tidak langsung terhadap kegiatan usaha dan
kelangsungan usaha Bank;
12. Dewan Pengawas Syariah adalah dewan yang bertugas
memberikan nasihat dan saran kepada Direksi serta mengawasi
kegiatan Bank agar sesuai dengan Prinsip Syariah; dan
13. Pejabat Eksekutif adalah pejabat yang bertanggung jawab
langsung kepada Direksi dan/atau mempunyai pengaruh terhadap
kebijakan dan operasional Bank seperti kepala divisi atau
pemimpin kantor cabang.
Pasal 2
(1) Bank wajib melaksanakan GCG dalam setiap kegiatan usahanya
pada seluruh tingkatan atau jenjang organisasi.
(2) Pelaksanaan GCG sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi BUS
paling kurang harus diwujudkan dalam:
a. pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Dewan Komisaris dan
Direksi;
b. kelengkapan dan pelaksanaan tugas komite-komite dan fungsi
yang menjalankan pengendalian intern BUS;
c. pelaksanaan ...
- 6 -
c. pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Dewan Pengawas
Syariah;
d. penerapan fungsi kepatuhan, audit intern dan audit ekstern;
e. batas maksimum penyaluran dana; dan
f. transparansi kondisi keuangan dan non keuangan BUS.
(3) Pelaksanaan GCG sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi UUS
paling kurang harus diwujudkan dalam:
a. pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Direktur UUS;
b. pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Dewan Pengawas
Syariah;
c. penyaluran dana kepada nasabah pembiayaan inti dan
penyimpanan dana oleh deposan inti; dan
d. transparansi kondisi keuangan dan non keuangan UUS.
Pasal 3
Bank Indonesia melakukan penilaian terhadap pelaksanaan GCG
Bank.
BAB II ...
- 7 -
BAB II
BANK UMUM SYARIAH
Bagian Pertama
Dewan Komisaris
Paragraf 1
Persyaratan Dewan Komisaris
Pasal 4
Jumlah, komposisi, kriteria, rangkap jabatan, hubungan keluarga, dan
persyaratan lain bagi anggota Dewan Komisaris tunduk kepada
ketentuan Bank Indonesia terkait.
Pasal 5
(1) Mantan anggota Direksi BUS tidak dapat menjadi Komisaris
Independen pada BUS yang bersangkutan sebelum menjalani
masa tunggu (cooling off) paling kurang selama 6 (enam) bulan.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi
mantan Direksi BUS yang melakukan fungsi pengawasan.
Pasal 6
(1) Usulan pengangkatan dan/atau penggantian anggota Dewan
Komisaris kepada Rapat Umum Pemegang Saham dilakukan
dengan memperhatikan rekomendasi Komite Remunerasi dan
Nominasi.
(2) Dalam hal anggota Komite Remunerasi dan Nominasi memiliki
benturan kepentingan (conflict of interest) dengan usulan yang
direkomendasikan, maka dalam usulan tersebut wajib
diungkapkan ...
- 8 -
diungkapkan adanya benturan kepentingan serta pertimbangan-
pertimbangan yang mendasari usulan tersebut.
Paragraf 2
Tugas dan Tanggung Jawab Dewan Komisaris
Pasal 7
Dewan Komisaris wajib melaksanakan tugas dan tanggung jawab
sesuai dengan prinsip-prinsip GCG.
Pasal 8
(1) Dewan Komisaris wajib melakukan pengawasan atas
terselenggaranya pelaksanaan GCG dalam setiap kegiatan usaha
BUS pada seluruh tingkatan atau jenjang organisasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2).
(2) Dewan Komisaris wajib melaksanakan pengawasan terhadap
pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Direksi, serta memberikan
nasihat kepada Direksi.
(3) Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), Dewan Komisaris wajib memantau dan mengevaluasi
pelaksanaan kebijakan strategis BUS.
(4) Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), Dewan Komisaris dilarang terlibat dalam pengambilan
keputusan kegiatan operasional BUS, kecuali pengambilan
keputusan untuk pemberian pembiayaan kepada Direksi sepanjang
kewenangan Dewan Komisaris tersebut ditetapkan dalam
Anggaran Dasar BUS atau dalam Rapat Umum Pemegang Saham.
Pasal 9 ...
- 9 -
Pasal 9
Dewan Komisaris wajib memastikan bahwa Direksi telah
menindaklanjuti temuan audit dan/atau rekomendasi dari hasil
pengawasan Bank Indonesia, auditor intern, Dewan Pengawas Syariah
dan/atau auditor ekstern.
Pasal 10
Dewan Komisaris wajib memberitahukan secara tertulis kepada Bank
Indonesia paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak ditemukannya:
a. pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang keuangan
dan perbankan; dan
b. suatu kondisi yang dapat membahayakan kelangsungan usaha
BUS.
Pasal 11
(1) Dalam rangka mendukung efektivitas pelaksanaan tugas dan
tanggung jawabnya, Dewan Komisaris wajib membentuk paling
kurang:
a. Komite Pemantau Risiko;
b. Komite Remunerasi dan Nominasi; dan
c. Komite Audit.
(2) Pengangkatan anggota komite sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) ditetapkan oleh Direksi berdasarkan keputusan rapat Dewan
Komisaris.
(3) Dewan Komisaris wajib memastikan bahwa komite yang telah
dibentuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjalankan
tugasnya secara efektif.
(4) Dewan ...
- 10 -
(4) Dewan Komisaris wajib memiliki pedoman dan tata tertib kerja
setiap komite sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(5) Pedoman dan tata tertib kerja komite sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) harus dievaluasi dan dilakukan pengkinian secara berkala.
Pasal 12
(1) Dewan Komisaris wajib memiliki pedoman dan tata tertib kerja
yang bersifat mengikat bagi setiap anggota Dewan Komisaris.
(2) Pedoman dan tata tertib kerja sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) paling kurang mencantumkan:
a. waktu kerja; dan
b. pengaturan rapat.
Pasal 13
Anggota Dewan Komisaris wajib menyediakan waktu yang cukup
untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya secara optimal.
Paragraf 3
Rapat Dewan Komisaris
Pasal 14
(1) Rapat Dewan Komisaris wajib diselenggarakan paling kurang 1
(satu) kali dalam 2 (dua) bulan.
(2) Rapat Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib dihadiri paling kurang oleh 2/3 (dua per tiga) dari jumlah
anggota Dewan Komisaris.
(3) Rapat Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib dipimpin oleh Komisaris Utama.
(4) Dalam ...
- 11 -
(4) Dalam hal Komisaris Utama berhalangan hadir maka rapat Dewan
Komisaris dapat dipimpin oleh salah seorang anggota Dewan
Komisaris.
Pasal 15
(1) Seluruh keputusan Dewan Komisaris yang dituangkan dalam
risalah rapat merupakan keputusan bersama seluruh anggota
Dewan Komisaris.
(2) Hasil rapat Dewan Komisaris wajib dituangkan dalam risalah
rapat dan didokumentasikan dengan baik.
(3) Dalam hal terdapat perbedaan pendapat (dissenting opinions) atas
hasil keputusan rapat Dewan Komisaris, maka perbedaan
pendapat tersebut wajib dicantumkan secara jelas dalam risalah
rapat beserta alasannya.
Paragraf 4
Aspek Transparansi Dewan Komisaris
Pasal 16
Anggota Dewan Komisaris wajib mengungkapkan:
a. kepemilikan saham yang mencapai 5% (lima persen) atau lebih
pada BUS yang bersangkutan;
b. hubungan keuangan dan hubungan keluarga dengan pemegang
saham pengendali, anggota Dewan Komisaris lain dan/atau
anggota Direksi;
c. rangkap jabatan pada perusahaan atau lembaga lain,
dalam laporan pelaksanaan GCG sebagaimana diatur dalam Peraturan
Bank Indonesia ini.
Pasal 17 ...
- 12 -
Pasal 17
(1) Anggota Dewan Komisaris dilarang memanfaatkan BUS untuk
kepentingan pribadi, keluarga, dan/atau pihak lain yang dapat
mengurangi aset atau mengurangi keuntungan BUS.
(2) Anggota Dewan Komisaris dilarang mengambil dan/atau
menerima keuntungan pribadi dari BUS selain remunerasi dan
fasilitas lainnya yang ditetapkan Rapat Umum Pemegang Saham.
(3) Anggota Dewan Komisaris wajib mengungkapkan remunerasi dan
fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pada laporan
pelaksanaan GCG sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank
Indonesia ini.
Bagian Kedua
Direksi
Paragraf 1
Persyaratan Direksi
Pasal 18
Jumlah, kriteria, rangkap jabatan, hubungan keluarga dan persyaratan
lain bagi anggota Direksi tunduk kepada ketentuan Bank Indonesia
terkait.
Pasal 19
Usulan pengangkatan dan/atau penggantian anggota Direksi kepada
Rapat Umum Pemegang Saham, dilakukan dengan memperhatikan
rekomendasi Komite Remunerasi dan Nominasi.
Paragraf 2 ...
- 13 -
Paragraf 2
Tugas dan Tanggung Jawab Direksi
Pasal 20
(1) Direksi bertanggung jawab penuh atas pelaksanaan pengelolaan
BUS berdasarkan prinsip kehati-hatian dan Prinsip Syariah.
(2) Direksi wajib mengelola BUS sesuai dengan kewenangan dan
tanggung jawabnya sebagaimana diatur dalam Anggaran Dasar
BUS dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 21
Direksi wajib melaksanakan GCG dalam setiap kegiatan usaha BUS
pada seluruh tingkatan atau jenjang organisasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2).
Pasal 22
Direksi wajib menindaklanjuti temuan audit dan/atau rekomendasi
dari hasil pengawasan Bank Indonesia, auditor intern, Dewan
Pengawas Syariah dan/atau auditor ekstern.
Pasal 23
Dalam rangka melaksanakan GCG sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 21, Direksi wajib memiliki fungsi paling kurang:
a. Audit Intern;
b. Manajemen Risiko dan Komite Manajemen Risiko; dan
c. Kepatuhan.
Pasal 24 ...
- 14 -
Pasal 24
Direksi wajib mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugasnya
kepada pemegang saham melalui Rapat Umum Pemegang Saham.
Pasal 25
Direksi harus mengungkapkan kepada pegawai kebijakan BUS yang
bersifat strategis di bidang kepegawaian.
Pasal 26
Anggota Direksi dilarang memberikan kuasa umum kepada pihak lain
yang mengakibatkan pengalihan tugas dan fungsi Direksi.
Pasal 27
Direksi hanya dapat menggunakan jasa konsultan, penasihat, atau
yang dapat dipersamakan dengan itu sepanjang memenuhi persyaratan
sebagai berikut:
a. proyek bersifat khusus yang sangat diperlukan untuk kegiatan
usaha BUS;
b. didasari oleh kontrak yang jelas, yang sekurang-kurangnya
mencakup tujuan, ruang lingkup kerja, tanggung jawab, jangka
waktu pelaksanaan pekerjaan dan biaya; dan
c. konsultan merupakan pihak independen yang profesional dan
memiliki kualifikasi yang cukup untuk melaksanakan proyek
secara efektif dan efisien.
Pasal 28 ...
- 15 -
Pasal 28
Direksi wajib menyediakan data dan informasi yang akurat, relevan
dan tepat waktu kepada Dewan Komisaris dan Dewan Pengawas
Syariah.
Pasal 29
(1) Setiap anggota Direksi wajib memiliki kejelasan tugas dan
tanggung jawab sesuai dengan bidang tugasnya.
(2) Direksi wajib memiliki pedoman dan tata tertib kerja yang bersifat
mengikat bagi setiap anggota Direksi.
(3) Pedoman dan tata tertib kerja sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) paling kurang mencantumkan:
a. waktu kerja; dan
b. pengaturan rapat.
Pasal 30
Setiap keputusan Direksi bersifat mengikat dan menjadi tanggung
jawab seluruh anggota Direksi.
Paragraf 3
Rapat Direksi
Pasal 31
(1) Setiap kebijakan dan keputusan strategis wajib diputuskan melalui
rapat Direksi.
(2) Hasil rapat Direksi wajib dituangkan dalam risalah rapat dan
didokumentasikan dengan baik.
(3) Dalam ...
- 16 -
(3) Dalam hal terdapat perbedaan pendapat (dissenting opinions) atas
hasil keputusan rapat Direksi, maka perbedaan pendapat tersebut
wajib dicantumkan secara jelas dalam risalah rapat beserta
alasannya.
Paragraf 4
Aspek Transparansi Direksi
Pasal 32
Anggota Direksi wajib mengungkapkan:
a. kepemilikan saham yang mencapai 5% (lima persen) atau lebih,
baik pada BUS yang bersangkutan maupun pada bank dan
perusahaan lain, yang berkedudukan di dalam dan di luar negeri;
b. hubungan keuangan dan hubungan keluarga dengan pemegang
saham pengendali, anggota Dewan Komisaris dan/atau anggota
Direksi lainnya,
dalam laporan pelaksanaan GCG sebagaimana diatur dalam Peraturan
Bank Indonesia ini.
Pasal 33
(1) Anggota Direksi dilarang memanfaatkan BUS untuk kepentingan
pribadi, keluarga, dan/atau pihak lain yang dapat mengurangi aset
atau mengurangi keuntungan BUS.
(2) Anggota Direksi dilarang mengambil dan/atau menerima
keuntungan pribadi dari BUS, selain remunerasi dan fasilitas
lainnya yang ditetapkan Rapat Umum Pemegang Saham.
(3) Anggota ...
- 17 -
(3) Anggota Direksi wajib mengungkapkan remunerasi dan fasilitas
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pada laporan pelaksanaan
GCG sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini.
Bagian Ketiga
Komite-Komite
Paragraf 1
Struktur dan Keanggotaan Komite
Pasal 34
(1) Anggota Komite Pemantau Risiko sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11 ayat (1) huruf a paling kurang terdiri dari:
a. seorang Komisaris Independen;
b. seorang pihak independen yang memiliki keahlian di bidang
perbankan syariah; dan
c. seorang pihak independen yang memiliki keahlian di bidang
manajemen risiko.
(2) Anggota Komite Pemantau Risiko sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib memiliki integritas dan reputasi keuangan yang
baik.
(3) Komite Pemantau Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diketuai oleh Komisaris Independen.
(4) Anggota Direksi dilarang menjadi anggota Komite Pemantau
Risiko.
(5) Mayoritas anggota Komisaris yang menjadi anggota Komite
Pemantau Risiko harus merupakan Komisaris Independen.
Pasal 35 ...
- 18 -
Pasal 35
(1) Anggota Komite Remunerasi dan Nominasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) huruf b paling kurang terdiri
dari:
a. 2 (dua) orang Komisaris Independen; dan
b. seorang Pejabat Eksekutif yang membawahi sumber daya
manusia.
(2) Komite Remunerasi dan Nominasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diketuai oleh Komisaris Independen.
(3) Anggota Direksi dilarang menjadi anggota Komite Remunerasi
dan Nominasi.
(4) Mayoritas anggota Komisaris yang menjadi anggota Komite
Remunerasi dan Nominasi harus merupakan Komisaris
Independen.
Pasal 36
(1) Anggota Komite Audit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11
ayat (1) huruf c paling kurang terdiri dari:
a. seorang Komisaris Independen;
b. seorang pihak independen yang memiliki keahlian di bidang
akuntansi keuangan; dan
c. seorang pihak independen yang memiliki keahlian di bidang
perbankan syariah.
(2) Anggota Komite Audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib memiliki integritas dan reputasi keuangan yang baik.
(3) Komite Audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diketuai oleh
Komisaris Independen.
(4) Anggota ...
- 19 -
(4) Anggota Direksi dilarang menjadi anggota Komite Audit.
(5) Mayoritas anggota Komisaris yang menjadi anggota Komite Audit
harus merupakan Komisaris Independen.
Pasal 37
(1) Mantan anggota Direksi BUS tidak dapat menjadi pihak
independen sebagaimana dimaksud pada Pasal 34 ayat (1) huruf b
dan huruf c serta Pasal 36 ayat (1) huruf b dan huruf c pada BUS
yang bersangkutan sebelum menjalani masa tunggu (cooling off)
paling kurang selama 6 (enam) bulan.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi
mantan Direksi BUS yang melakukan fungsi pengawasan.
Paragraf 2
Jabatan Rangkap Ketua Komite
Pasal 38
Ketua komite sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (3), Pasal
35 ayat (2) dan Pasal 36 ayat (3) hanya dapat merangkap jabatan
sebagai ketua komite paling banyak pada 1 (satu) komite lainnya pada
BUS yang sama.
Paragraf 3
Tugas dan Tanggung Jawab Komite
Pasal 39
Komite Pemantau Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat
(1) huruf a mempunyai tugas dan tanggung jawab paling kurang:
a. melakukan evaluasi tentang kebijakan manajemen risiko;
b. melakukan ...
- 20 -
b. melakukan evaluasi tentang kesesuaian antara kebijakan
manajemen risiko dengan pelaksanaan kebijakan tersebut;
c. melakukan evaluasi pelaksanaan tugas Komite Manajemen Risiko
dan Satuan Kerja Manajemen Risiko,
guna memberikan rekomendasi kepada Dewan Komisaris.
Pasal 40
Komite Remunerasi dan Nominasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11 ayat (1) huruf b mempunyai tugas dan tanggung jawab paling
kurang:
a. terkait dengan kebijakan remunerasi:
1) melakukan evaluasi terhadap kebijakan remunerasi;
2) melakukan evaluasi terhadap kesesuaian antara kebijakan
remunerasi dengan pelaksanaan kebijakan tersebut; dan
3) memberikan rekomendasi kepada Dewan Komisaris mengenai
kebijakan remunerasi bagi Dewan Komisaris, Direksi, Dewan
Pengawas Syariah, Pejabat Eksekutif dan pegawai secara
keseluruhan.
b. terkait dengan kebijakan nominasi:
1) memberikan rekomendasi kepada Dewan Komisaris mengenai
sistem serta prosedur pemilihan dan/atau penggantian anggota
Dewan Komisaris, Direksi dan Dewan Pengawas Syariah;
2) memberikan rekomendasi kepada Dewan Komisaris mengenai
calon anggota Dewan Komisaris, Direksi dan/atau Dewan
Pengawas Syariah;
3) memberikan rekomendasi kepada Dewan Komisaris mengenai
calon pihak independen yang akan menjadi anggota Komite
sebagaimana ...
- 21 -
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) huruf b dan
huruf c serta Pasal 36 ayat (1) huruf b dan huruf c.
Pasal 41
Komite Remunerasi dan Nominasi dalam menjalankan tugas dan
tanggung jawab terkait dengan kebijakan remunerasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 40 butir a, paling kurang wajib memperhatikan:
a. kinerja keuangan;
b. pemenuhan pembentukan Penyisihan Penghapusan Aktiva;
c. kewajaran dengan peer group; dan
d. pertimbangan sasaran dan strategi jangka panjang BUS.
Pasal 42
(1) Komite Audit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1)
huruf c memiliki tugas dan tanggung jawab paling kurang:
a. melakukan evaluasi atas pelaksanaan audit intern dalam
rangka menilai kecukupan pengendalian intern termasuk
kecukupan proses pelaporan keuangan; dan
b. melakukan koordinasi dengan Kantor Akuntan Publik dalam
rangka efektivitas pelaksanaan audit ekstern.
(2) Dalam rangka melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a, Komite Audit paling kurang melakukan evaluasi
terhadap:
a. pelaksanaan tugas yang dilaksanakan oleh fungsi audit intern;
b. pelaksanaan tindak lanjut oleh Direksi atas hasil temuan audit
dan/atau rekomendasi dari hasil pengawasan Bank Indonesia,
auditor ...
- 22 -
auditor intern, Dewan Pengawas Syariah, dan/atau auditor
ekstern,
guna memberikan rekomendasi kepada Dewan Komisaris.
(3) Komite Audit memberikan rekomendasi mengenai penunjukan
Akuntan Publik dan Kantor Akuntan Publik kepada Dewan
Komisaris.
Paragraf 4
Rapat Komite
Pasal 43
Hasil rapat komite wajib dituangkan dalam risalah rapat dan
didokumentasikan dengan baik.
Bagian Keempat
Dewan Pengawas Syariah
Paragraf 1
Persyaratan Dewan Pengawas Syariah
Pasal 44
Jumlah, kriteria, rangkap jabatan dan persyaratan lain bagi Dewan
Pengawas Syariah tunduk kepada ketentuan Bank Indonesia terkait.
Pasal 45
(1) Usulan pengangkatan dan/atau penggantian anggota Dewan
Pengawas Syariah kepada Rapat Umum Pemegang Saham
dilakukan dengan memperhatikan rekomendasi Komite
Remunerasi dan Nominasi.
(2) Masa ...
- 23 -
(2) Masa jabatan anggota Dewan Pengawas Syariah paling lama sama
dengan masa jabatan anggota Direksi atau Dewan Komisaris.
Paragraf 2
Tugas dan Tanggung Jawab Dewan Pengawas Syariah
Pasal 46
Dewan Pengawas Syariah wajib melaksanakan tugas dan tanggung
jawab sesuai dengan prinsip-prinsip GCG.
Pasal 47
(1) Tugas dan tanggung jawab Dewan Pengawas Syariah adalah
memberikan nasihat dan saran kepada Direksi serta mengawasi
kegiatan Bank agar sesuai dengan Prinsip Syariah.
(2) Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Dewan Pengawas Syariah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi antara lain:
a. Menilai dan memastikan pemenuhan Prinsip Syariah atas
pedoman operasional dan produk yang dikeluarkan Bank;
b. Mengawasi proses pengembangan produk baru Bank agar
sesuai dengan fatwa Dewan Syariah Nasional – Majelis
Ulama Indonesia;
c. Meminta fatwa kepada Dewan Syariah Nasional – Majelis
Ulama Indonesia untuk produk baru Bank yang belum ada
fatwanya;
d. Melakukan review secara berkala atas pemenuhan Prinsip
Syariah terhadap mekanisme penghimpunan dana dan
penyaluran dana serta pelayanan jasa Bank; dan
e. Meminta ...
- 24 -
e. Meminta data dan informasi terkait dengan aspek syariah dari
satuan kerja Bank dalam rangka pelaksanaan tugasnya.
(3) Dewan Pengawas Syariah wajib menyampaikan Laporan Hasil
Pengawasan Dewan Pengawas Syariah secara semesteran.
(4) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib disampaikan
kepada Bank Indonesia paling lambat 2 (dua) bulan setelah
periode semester dimaksud berakhir.
(5) Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dan tata cara penyampaian laporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) akan diatur lebih rinci dalam Surat Edaran
Bank Indonesia.
Pasal 48
Anggota Dewan Pengawas Syariah wajib menyediakan waktu yang
cukup untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya secara
optimal.
Paragraf 3
Rapat Dewan Pengawas Syariah
Pasal 49
(1) Rapat Dewan Pengawas Syariah wajib diselenggarakan paling
kurang 1 (satu) kali dalam 1 (satu) bulan.
(2) Pengambilan keputusan rapat Dewan Pengawas Syariah dilakukan
berdasarkan musyawarah mufakat.
(3) Seluruh keputusan Dewan Pengawas Syariah yang dituangkan
dalam risalah rapat merupakan keputusan bersama seluruh
anggota Dewan Pengawas Syariah.
(4) Hasil ...
- 25 -
(4) Hasil rapat Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib dituangkan dalam risalah rapat dan
didokumentasikan dengan baik.
Paragraf 4
Aspek Transparansi Dewan Pengawas Syariah
Pasal 50
Anggota Dewan Pengawas Syariah wajib mengungkapkan rangkap
jabatan sebagai anggota Dewan Pengawas Syariah pada lembaga
keuangan syariah lain dalam laporan pelaksanaan GCG sebagaimana
diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini.
Pasal 51
(1) Anggota Dewan Pengawas Syariah dilarang memanfaatkan BUS
untuk kepentingan pribadi, keluarga dan/atau pihak lain yang
dapat mengurangi aset atau mengurangi keuntungan BUS.
(2) Anggota Dewan Pengawas Syariah dilarang mengambil dan/atau
menerima keuntungan pribadi dari BUS selain remunerasi dan
fasilitas lainnya yang ditetapkan Rapat Umum Pemegang Saham.
(3) Anggota Dewan Pengawas Syariah wajib mengungkapkan
remunerasi dan fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pada
laporan pelaksanaan GCG sebagaimana diatur dalam Peraturan
Bank Indonesia ini.
(4) Anggota Dewan Pengawas Syariah dilarang merangkap jabatan
sebagai konsultan di seluruh BUS dan/atau UUS.
Bagian ...
- 26 -
Bagian Kelima
Fungsi Kepatuhan, Audit Intern dan Audit Ekstern
Paragraf 1
Fungsi Kepatuhan
Pasal 52
(1) BUS wajib memiliki 1 (satu) orang direktur yang bertugas untuk
memastikan kepatuhan terhadap ketentuan Bank Indonesia dan
peraturan perundang-undangan lainnya sebagaimana diatur dalam
ketentuan Bank Indonesia mengenai direktur kepatuhan.
(2) Dalam rangka membantu pelaksanaan tugas direktur sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), BUS wajib melaksanakan fungsi
kepatuhan yang independen terhadap satuan kerja operasional.
(3) Pelaksanaan fungsi kepatuhan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) harus didukung oleh personil yang paling kurang memiliki
pengetahuan dan/atau pemahaman tentang operasional perbankan
syariah.
Paragraf 2
Fungsi Audit Intern
Pasal 53
(1) BUS wajib menerapkan fungsi audit intern yang efektif
sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai
penerapan standar pelaksanaan fungsi audit intern bank umum.
(2) BUS wajib melaksanakan fungsi audit intern yang independen
terhadap satuan kerja operasional.
(3) Pelaksanaan ...
- 27 -
(3) Pelaksanaan fungsi audit intern sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) harus didukung oleh personil dalam jumlah yang memadai dan
kompeten di bidangnya, dengan paling kurang terdapat 1 (satu)
orang personil yang memiliki pengetahuan dan/atau pemahaman
tentang operasional perbankan syariah.
(4) Laporan hasil audit intern terkait pelaksanaan pemenuhan Prinsip
Syariah disampaikan kepada Dewan Pengawas Syariah.
Paragraf 3
Fungsi Audit Ekstern
Pasal 54
(1) BUS wajib menunjuk Akuntan Publik dan Kantor Akuntan Publik
yang terdaftar di Bank Indonesia dalam pelaksanaan audit laporan
keuangan BUS.
(2) Penunjukan Akuntan Publik dan Kantor Akuntan Publik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib terlebih dahulu
memperoleh persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham
berdasarkan calon yang diajukan oleh Dewan Komisaris.
(3) Pelaksanaan audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
penunjukan Akuntan Publik dan Kantor Akuntan Publik
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib memenuhi ketentuan
Bank Indonesia yang berlaku mengenai hubungan antara BUS
dengan Akuntan Publik dan Kantor Akuntan Publik.
Bagian ...
- 28 -
Bagian Keenam
Batas Maksimum Penyaluran Dana
Pasal 55
Pelaksanaan penyaluran dana wajib mengikuti ketentuan Bank
Indonesia mengenai batas maksimum penyaluran dana.
Bagian Ketujuh
Aspek Transparansi Kondisi BUS
Pasal 56
(1) BUS wajib melaksanakan transparansi kondisi keuangan dan non-
keuangan kepada Stakeholders.
(2) Dalam rangka pelaksanaan transparansi kondisi keuangan dan
non-keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), BUS wajib
menyusun dan menyajikan laporan sebagaimana diatur dalam
ketentuan Bank Indonesia tentang Transparansi Kondisi
Keuangan Bank.
Pasal 57
BUS wajib melaksanakan transparansi informasi mengenai produk
dan penggunaan data nasabah BUS sebagaimana diatur dalam
ketentuan Bank Indonesia tentang Transparansi Informasi Produk
Bank dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah.
Pasal 58
(1) BUS wajib melaporkan kepada Bank Indonesia apabila terjadi
perubahan terhadap:
a. pedoman ...
- 29 -
a. pedoman manajemen risiko termasuk pedoman risk control
system, sistem pengendalian intern, sistem teknologi informasi
yang digunakan dan pedoman GCG;
b. sistem dan prosedur kerja yang digunakan dalam kegiatan
operasional BUS.
(2) BUS wajib menyampaikan laporan perubahan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) kepada Bank Indonesia paling lambat 1
(satu) bulan sejak terjadinya perubahan atau sesuai jangka waktu
tertentu apabila diatur secara khusus dalam ketentuan Bank
Indonesia lain yang mengatur mengenai penyampaian laporan
tersebut.
(3) BUS wajib melaporkan struktur kelompok usaha yang terkait
dengan BUS termasuk badan hukum pemilik BUS sampai dengan
ultimate shareholders kepada Bank Indonesia 1 (satu) tahun sekali
untuk posisi akhir tahun dan setiap terdapat perubahan struktur
kelompok usaha yang menyebabkan perubahan pengendali BUS.
(4) Laporan struktur kelompok usaha untuk posisi akhir tahun
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan bagian dari
Laporan Tahunan BUS.
(5) BUS wajib menyampaikan laporan perubahan struktur kelompok
usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada Bank
Indonesia paling lambat 1 (satu) bulan setelah terjadinya
perubahan.
Bagian ...
- 30 -
Bagian Kedelapan
Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam Kegiatan Penghimpunan Dana dan
Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa
Pasal 59
BUS wajib melaksanakan pemenuhan Prinsip Syariah dalam kegiatan
operasional BUS sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia
tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam Penghimpunan Dana dan
Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa Bank Syariah.
Bagian Kesembilan
Pelaporan Internal dan Benturan Kepentingan
Paragraf 1
Pelaporan Internal
Pasal 60
Dalam rangka meningkatkan kualitas proses pengambilan keputusan
oleh Direksi serta kualitas proses pengawasan oleh Dewan Komisaris
dan Dewan Pengawas Syariah, BUS wajib memastikan ketersediaan
dan kecukupan pelaporan internal yang didukung oleh sistem
informasi manajemen yang memadai.
Paragraf 2
Penanganan Benturan Kepentingan
Pasal 61
(1) Dalam hal terjadi benturan kepentingan, anggota Dewan
Komisaris, anggota Direksi dan Pejabat Eksekutif dilarang
mengambil tindakan yang dapat mengurangi aset atau mengurangi
keuntungan BUS.
(2) Benturan ...
- 31 -
(2) Benturan kepentingan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
diungkapkan dalam setiap keputusan.
(3) Untuk menghindari pengambilan keputusan yang berpotensi
mengurangi aset atau mengurangi keuntungan BUS, BUS harus
memiliki dan menerapkan kebijakan intern mengenai:
a. pengaturan mengenai penanganan benturan kepentingan yang
mengikat setiap pengurus dan pegawai BUS, antara lain tata
cara pengambilan keputusan; dan
b. administrasi pencatatan, dokumentasi dan pengungkapan
benturan kepentingan dimaksud dalam risalah rapat.
Bagian Kesepuluh
Laporan dan Penilaian Pelaksanaan GCG
Paragraf 1
Laporan Pelaksanaan GCG
Pasal 62
(1) BUS wajib menyusun laporan pelaksanaan GCG pada setiap akhir
tahun buku.
(2) Laporan pelaksanaan GCG sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
paling kurang meliputi:
a. kesimpulan umum dari hasil self assesment atas pelaksanaan
GCG BUS;
b. kepemilikan saham anggota Dewan Komisaris, hubungan
keuangan dan hubungan keluarga anggota Dewan Komisaris
dengan pemegang saham pengendali, anggota Dewan
Komisaris lain dan/atau anggota Direksi BUS serta jabatan
rangkap ...
- 32 -
rangkap pada perusahaan atau lembaga lain sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16;
c. kepemilikan saham anggota Direksi serta hubungan keuangan
dan hubungan keluarga anggota Direksi dengan pemegang
saham pengendali, anggota Dewan Komisaris dan/atau
anggota Direksi lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32;
d. rangkap jabatan sebagai anggota Dewan Pengawas Syariah
pada lembaga keuangan syariah lainnya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 50;
e. daftar konsultan, penasihat atau yang dipersamakan dengan
itu yang digunakan oleh BUS sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 27;
f. kebijakan remunerasi dan fasilitas lain (remuneration
package) bagi Dewan Komisaris, Direksi, dan Dewan
Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat
(3), Pasal 33 ayat (3) dan Pasal 51 ayat (3);
g. rasio gaji tertinggi dan gaji terendah;
h. frekuensi rapat Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14 ayat (1);
i. frekuensi rapat Dewan Pengawas Syariah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1);
j. jumlah penyimpangan (internal fraud) yang terjadi dan upaya
penyelesaian oleh BUS;
k. jumlah permasalahan hukum baik perdata maupun pidana dan
upaya penyelesaian oleh BUS;
l. transaksi yang mengandung benturan kepentingan;
m. buy back shares dan/atau buy back obligasi BUS;
n. penyaluran ...
- 33 -
n. penyaluran dana untuk kegiatan sosial baik jumlah maupun
pihak penerima dana; dan
o. pendapatan non halal dan penggunaannya.
(3) Pengungkapan kebijakan remunerasi dan fasilitas lain
(remuneration package) bagi Dewan Komisaris, Direksi, dan
Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf f paling kurang mencakup jumlah anggota Dewan
Komisaris, jumlah anggota Direksi, jumlah anggota Dewan
Pengawas Syariah serta jumlah keseluruhan gaji, tunjangan
(benefits), kompensasi dalam bentuk saham, bentuk remunerasi
lainnya dan fasilitas yang ditetapkan Rapat Umum Pemegang
Saham.
Pasal 63
(1) BUS wajib menyampaikan laporan pelaksanaan GCG
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 kepada pemegang saham
dan kepada:
a. Bank Indonesia;
b. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI);
c. Lembaga pemeringkat di Indonesia;
d. Perhimpunan Bank – Bank Umum Nasional (Perbanas);
e. 1 (satu) lembaga penelitian di bidang ekonomi dan keuangan;
dan
f. 1 (satu) majalah ekonomi dan keuangan,
paling lambat 3 (tiga) bulan setelah tahun buku berakhir.
(2) Bagi BUS yang telah memiliki homepage
menginformasikan laporan pelaksanaan GCG sebagaimana
wajib
dimaksud ...
- 34 -
dimaksud pada ayat (1) pada homepage BUS paling lambat 3
(tiga) bulan setelah tahun buku berakhir.
(3) BUS dianggap terlambat menyampaikan laporan pelaksanaan
GCG apabila BUS menyampaikan laporan dimaksud kepada Bank
Indonesia melampaui batas akhir waktu penyampaian laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetapi belum melampaui 1
(satu) bulan sejak batas akhir waktu penyampaian laporan.
(4) BUS dianggap tidak menyampaikan laporan GCG apabila BUS
belum menyampaikan laporan dimaksud hingga akhir batas waktu
keterlambatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
Pasal 64
Penyusunan laporan pelaksanaan GCG sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 62 diatur lebih rinci dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 65
Penyampaian laporan pelaksanaan GCG kepada Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1) huruf a dialamatkan
kepada:
a. Direktorat Perbankan Syariah, Jl. MH Thamrin No.2, Jakarta
10350, bagi BUS yang berkantor pusat di wilayah kerja Kantor
Pusat Bank Indonesia;
b. Kantor Bank Indonesia setempat, bagi BUS yang berkantor pusat
di luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia dengan
tembusan kepada Direktorat Perbankan Syariah.
Paragraf 2 ...
- 35 -
Paragraf 2
Self Assessment Pelaksanaan GCG
Pasal 66
(1) BUS wajib melakukan self assessment atas pelaksanaan GCG
yang mencakup hal-hal sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (2)
paling kurang 1 (satu) kali dalam setahun.
(2) Tata cara self assessment sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 67
(1) Dalam rangka melakukan penilaian terhadap pelaksanaan GCG
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Bank Indonesia dapat
melakukan evaluasi terhadap hasil self assessment pelaksanaan
GCG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1).
(2) Berdasarkan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Bank Indonesia dapat meminta BUS untuk melakukan perbaikan
atas pelaksanaan GCG.
BAB III
UNIT USAHA SYARIAH
Bagian Pertama
Direktur UUS
Pasal 68
Direktur UUS bertanggung jawab penuh atas pelaksanaan pengelolaan
UUS berdasarkan prinsip kehati-hatian dan Prinsip Syariah.
Pasal 69 ...
- 36 -
Pasal 69
Direktur UUS wajib menindaklanjuti rekomendasi dari hasil
pengawasan Dewan Pengawas Syariah.
Pasal 70
Direktur UUS wajib menyediakan data dan informasi terkait dengan
pemenuhan Prinsip Syariah yang akurat, relevan dan tepat waktu
kepada Dewan Pengawas Syariah.
Bagian Kedua
Dewan Pengawas Syariah
Pasal 71
(1) Ketentuan tentang Dewan Pengawas Syariah yang berlaku bagi
BUS sebagaimana dimaksud dalam Bab II Bagian Keempat
tentang Dewan Pengawas Syariah dalam Peraturan Bank
Indonesia ini berlaku pula bagi Dewan Pengawas Syariah pada
Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS dan kantor
cabang dari suatu bank yang berkedudukan di luar negeri yang
memiliki UUS.
(2) Pengangkatan Dewan Pengawas Syariah pada UUS yang dimiliki
oleh kantor cabang dari suatu bank yang berkedudukan di luar
negeri, ditetapkan oleh pimpinan tertinggi di Indonesia dari kantor
cabang tersebut.
Bagian ...
- 37 -
Bagian Ketiga
Penyaluran Dana Kepada Nasabah Pembiayaan Inti
dan Penyimpanan Dana Oleh Deposan Inti
Pasal 72
UUS wajib menerapkan prinsip kehati-hatian dalam penyaluran dana
kepada nasabah pembiayaan inti dan penyimpanan dana oleh deposan
inti.
Bagian Keempat
Aspek Transparansi Kondisi UUS
Pasal 73
(1) UUS wajib melaksanakan transparansi kondisi keuangan dan non-
keuangan kepada Stakeholders.
(2) Dalam rangka pelaksanaan transparansi kondisi keuangan dan
non-keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), UUS wajib
menyusun dan menyajikan laporan sebagaimana diatur dalam
ketentuan Bank Indonesia tentang Transparansi Kondisi
Keuangan Bank.
Bagian Kelima
Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam Kegiatan Penghimpunan Dana
dan Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa
Pasal 74
UUS wajib melaksanakan pemenuhan Prinsip Syariah dalam kegiatan
operasional UUS sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia
tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam Penghimpunan Dana dan
Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa Bank Syariah.
Bagian ...
- 38 -
Bagian Keenam
Pelaporan Internal
Pasal 75
Dalam rangka meningkatkan kualitas proses pengawasan oleh Dewan
Pengawas Syariah, UUS wajib memastikan ketersediaan dan
kecukupan data/informasi bagi Dewan Pengawas Syariah.
Bagian Ketujuh
Laporan dan Penilaian Pelaksanaan GCG
Paragraf 1
Laporan Pelaksanaan GCG
Pasal 76
(1) UUS wajib menyusun laporan pelaksanaan GCG pada setiap akhir
tahun buku.
(2) Laporan pelaksanaan GCG sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Laporan
pelaksanaan GCG Bank Umum Konvensional dan/atau kantor
cabang dari suatu bank yang berkedudukan di luar negeri yang
memiliki UUS dimaksud.
(3) Laporan pelaksanaan GCG sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
paling kurang meliputi:
a. kesimpulan umum dari hasil self assesment atas pelaksanaan
GCG UUS;
b. rangkap jabatan sebagai anggota Dewan Pengawas Syariah
pada lembaga keuangan syariah lainnya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 50;
c. daftar ...
- 39 -
c. daftar konsultan, penasihat atau yang dipersamakan dengan
itu yang digunakan oleh UUS;
d. kebijakan remunerasi dan fasilitas lain (remuneration
package) bagi Dewan Pengawas Syariah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 51 ayat (3);
e. frekuensi rapat Dewan Pengawas Syariah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1);
f. jumlah penyimpangan (internal fraud) yang terjadi dan upaya
penyelesaiannya oleh UUS;
g. jumlah permasalahan hukum baik perdata maupun pidana dan
upaya penyelesaiannya oleh UUS;
h. penyaluran dana untuk kegiatan sosial baik jumlah maupun
pihak penerima dana; dan
i. pendapatan non halal dan penggunaannya.
(4) Pengungkapan kebijakan remunerasi dan fasilitas
lain
(remuneration package) bagi Dewan Pengawas Syariah
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d paling kurang
mencakup jumlah anggota Dewan Pengawas Syariah, jumlah
keseluruhan gaji, tunjangan (benefits), kompensasi dalam bentuk
saham, bentuk remunerasi lainnya, dan fasilitas yang ditetapkan
Rapat Umum Pemegang Saham.
Pasal 77
Penyusunan laporan pelaksanaan GCG sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 76 diatur lebih rinci dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 78 ...
- 40 -
Pasal 78
(1) UUS wajib menyampaikan laporan pelaksanaan GCG
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 kepada Bank Indonesia
paling lambat 3 (tiga) bulan setelah tahun buku berakhir.
(2) UUS dianggap terlambat menyampaikan laporan pelaksanaan
GCG apabila UUS menyampaikan laporan dimaksud kepada Bank
Indonesia melampaui batas akhir waktu penyampaian laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetapi belum melampaui 1
(satu) bulan sejak batas akhir waktu penyampaian laporan.
(3) UUS dianggap tidak menyampaikan laporan GCG apabila UUS
belum menyampaikan laporan dimaksud hingga akhir batas waktu
keterlambatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Penyampaian laporan pelaksanaan GCG UUS kepada Bank
Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dialamatkan
kepada Direktorat Perbankan Syariah, Jl. MH Thamrin No.2,
Jakarta 10350, dan/atau Kantor Bank Indonesia setempat.
Paragraf 2
Self Assessment Pelaksanaan GCG
Pasal 79
(1) UUS wajib melakukan self assessment atas pelaksanaan GCG
UUS yang mencakup hal-hal sebagaimana diatur dalam Pasal 2
ayat (3) paling kurang 1 (satu) kali dalam setahun.
(2) Tata cara self assesment atas pelaksanaan GCG UUS sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Surat Edaran Bank
Indonesia.
Pasal 80 ...
- 41 -
Pasal 80
(1) Dalam rangka melakukan penilaian terhadap pelaksanaan GCG
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Bank Indonesia dapat
melakukan evaluasi terhadap hasil self assessment atas
pelaksanaan GCG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (1).
(2) Berdasarkan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Bank Indonesia dapat meminta UUS untuk melakukan perbaikan
atas pelaksanaan GCG.
BAB IV
SANKSI
Bagian Pertama
Sanksi Pelaksanaan GCG
Pasal 81
Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2, Pasal 6 ayat (2), Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11 ayat
(1), ayat (3) dan ayat (4), Pasal 12 ayat (1), Pasal 13, Pasal 14 ayat (1),
ayat (2) dan ayat (3), Pasal 15 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 16, Pasal 17,
Pasal 20 ayat (2), Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 26,
Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 31, Pasal 32,
Pasal 33, Pasal 34 ayat (2) dan ayat (4), Pasal 35 ayat (3), Pasal 36
ayat (2) dan ayat (4), Pasal 38, Pasal 41, Pasal 43, Pasal 46, Pasal 47,
Pasal 48, Pasal 49 ayat (1) dan ayat (4), Pasal 50, Pasal 51, Pasal 52
ayat (2) dan ayat (3), Pasal 53 ayat (5), Pasal 60, Pasal 61 ayat (1) dan
ayat (2), Pasal 62 ayat (1), Pasal 63 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 66 ayat
(1), Pasal 69, Pasal 70, Pasal 72, Pasal 75, Pasal 76 ayat (1), dan Pasal
79 ayat (1) dapat dikenakan sanksi administratif sesuai Pasal 58
Undang-Undang ...
- 42 -
Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah,
antara lain berupa:
a) teguran tertulis;
b) penurunan tingkat kesehatan berupa penurunan peringkat faktor
manajemen dalam penilaian tingkat kesehatan;
c) pelarangan untuk turut serta dalam kegiatan kliring;
d) pembekuan kegiatan usaha tertentu; dan
e) pemberhentian pengurus Bank dan selanjutnya menunjuk dan
mengangkat pengganti sementara sampai Rapat Umum Pemegang
Saham mengangkat pengganti yang tetap dengan persetujuan
Bank Indonesia.
Pasal 82
(1) Dalam hal terdapat 3 (tiga) kali teguran tertulis dari Bank
Indonesia terkait pelanggaran terhadap ketentuan dalam Pasal 46,
Pasal 47, Pasal 48, Pasal 49 ayat (1) dan ayat (4), Pasal 50 dan
Pasal 51, maka BUS atau UUS terkait harus mengganti anggota
Dewan Pengawas Syariah tersebut.
(2) Dalam hal Dewan Pengawas Syariah tidak melaksanakan
tugasnya dengan baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47
sampai dengan izin usaha Bank dicabut, maka anggota Dewan
Pengawas Syariah dimaksud dapat dikenakan sanksi berupa
pelarangan menjadi anggota Dewan Pengawas Syariah di
perbankan syariah paling lama 10 (sepuluh) tahun sejak tanggal
pencabutan izin usaha Bank oleh Bank Indonesia.
Pasal 83 ...
- 43 -
Pasal 83
BUS yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 52 ayat (1), Pasal 53 ayat
(1) dan ayat (2), dan Pasal 54 dikenakan sanksi sebagaimana diatur
dalam Peraturan Bank Indonesia mengenai penugasan direktur
kepatuhan dan penerapan standar pelaksanaan fungsi audit intern bank
umum dan Peraturan Bank Indonesia tentang Transparansi Kondisi
Keuangan Bank.
Pasal 84
BUS yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 55 dikenakan sanksi
sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai batas
maksimum penyaluran dana.
Pasal 85
BUS yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 56 dan Pasal 57 dan UUS
yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 73 dikenakan sanksi
sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia tentang
Transparansi Kondisi Keuangan Bank dan Peraturan Bank Indonesia
tentang Transparansi Informasi Produk Bank dan Penggunaan Data
Pribadi Nasabah.
Pasal 86
BUS yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 59 dan UUS yang tidak
memenuhi ketentuan Pasal 74 dikenakan sanksi sebagaimana diatur
dalam Peraturan Bank Indonesia tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah
dalam Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa
Bank Syariah.
Bagian ...
- 44 -
Bagian Kedua
Sanksi Pelaporan
Paragraf 1
Laporan Pelaksanaan
Pasal 87
(1) BUS yang terlambat menyampaikan laporan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 63 ayat (3) dan UUS yang terlambat
menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78
ayat (2) dikenakan sanksi kewajiban membayar paling banyak
sebesar Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari kerja
keterlambatan.
(2) BUS yang tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 63 ayat (4) dan UUS yang tidak menyampaikan
laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (3) dikenakan
sanksi kewajiban membayar paling banyak sebesar Rp.
100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan teguran tertulis oleh
Bank Indonesia.
(3) BUS yang menyampaikan laporan yang dinilai tidak benar
dan/atau tidak lengkap sebagaimana diatur dalam Pasal 62 dan
UUS yang menyampaikan laporan yang dinilai tidak benar
dan/atau tidak lengkap sebagaimana diatur dalam Pasal 76
dikenakan sanksi administratif berupa kewajiban membayar
paling banyak sebesar Rp. 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh
juta rupiah) dan dapat dikenakan sanksi administratif sesuai Pasal
58 Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah, berupa:
a. penurunan tingkat kesehatan yaitu penurunan peringkat faktor
manajemen dalam penilaian tingkat kesehatan;
b. pelarangan ...
- 45 -
b. pelarangan untuk turut serta dalam kegiatan kliring;
c. pembekuan kegiatan usaha tertentu;
d. pemberhentian pengurus Bank dan selanjutnya menunjuk dan
mengangkat pengganti sementara sampai Rapat Umum
Pemegang Saham mengangkat pengganti yang tetap dengan
persetujuan Bank Indonesia; dan/atau
e. pencantuman anggota pengurus, pegawai, pemegang saham
Bank dalam daftar tidak lulus melalui mekanisme uji
kemampuan dan kepatutan (fit and proper test).
(4) Pengenaan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) dilakukan setelah Bank diberikan 2 (dua) kali surat
teguran oleh Bank Indonesia dengan tenggang waktu 7 (tujuh)
hari kerja untuk setiap teguran dan Bank tidak memperbaiki
laporan dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah surat
teguran terakhir.
Paragraf 2
Laporan Hasil Pengawasan Dewan Pengawas Syariah,
Pedoman, Sistem dan Prosedur serta Struktur Kelompok Usaha
Pasal 88
(1) Bank yang tidak menaati ketentuan pelaporan hasil pengawasan
Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal
47 ayat (4), pelaporan perubahan pedoman, sistem dan prosedur
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) dan ayat (2),
serta pelaporan perubahan struktur kelompok usaha sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 58 ayat (3) dan ayat (5), dapat dikenakan
sanksi administratif sesuai Pasal 58 Undang-Undang Nomor 21
tahun …
- 46 -
tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, berupa :
a. teguran tertulis dan sanksi kewajiban membayar paling
banyak sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari
kerja kelambatan untuk setiap laporan;
b. teguran tertulis dan sanksi kewajiban membayar paling
banyak sebesar Rp40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah)
apabila Bank tidak menyampaikan laporan.
(2) Bank dinyatakan tidak menyampaikan laporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b apabila Bank belum
menyampaikan laporan dimaksud setelah 1 (satu) bulan sejak
batas akhir penyampaian laporan, untuk pelaporan perubahan
pedoman, sistem dan prosedur serta pelaporan perubahan
struktur kelompok usaha.
(3) Bank dinyatakan tidak menyampaikan laporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b apabila Bank belum
menyampaikan laporan dimaksud setelah 2 (dua) bulan sejak
batas akhir penyampaian laporan, untuk pelaporan hasil
pengawasan Dewan Pengawas Syariah.
(4) Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
menghapuskan kewajiban Bank untuk menyampaikan laporan
dimaksud.
BAB V
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 89
Ketentuan mengenai larangan rangkap jabatan bagi anggota Dewan
Pengawas Syariah sebagai konsultan di BUS dan/atau UUS
sebagaimana …
- 47 -
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (4) wajib dipenuhi paling
lambat 1 (satu) tahun sejak tanggal berlakunya Peraturan Bank
Indonesia ini.
Pasal 90
Laporan pelaksanaan GCG BUS untuk posisi laporan akhir Desember
2009 tetap mengacu pada Peraturan Bank Indonesia Nomor
8/4/PBI/2006 tanggal 30 Januari 2006 tentang Pelaksanaan Good
Corporate Governance bagi Bank Umum sebagaimana diubah dengan
Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/14/PBI/2006 tanggal 5 Oktober
2006 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor
8/4/PBI/2006 tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance bagi
Bank Umum.
BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 91
Ketentuan lebih lanjut dari Peraturan Bank Indonesia ini diatur dalam
Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 92
Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini maka PBI
No.8/4/PBI/2006 tanggal 30 Januari 2006 tentang Pelaksanaan Good
Corporate Governance bagi Bank Umum beserta ketentuan
perubahannya dinyatakan tidak berlaku bagi BUS.
Pasal 93 …
- 48 -
Pasal 93
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari
2010.
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 7 Desember 2009
Pjs GUBERNUR BANK INDONESIA,
DARMIN NASUTION
Diundangkan di : Jakarta
Pada tanggal
: 7 Desember 2009
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA
PATRIALIS AKBAR
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 175
DPbS
"," PBI
11/33/PBI/2009
PELAKSANAAN GOOD CORPORATE GOVERNANCE BAGI BANK UMUM SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH
7 Desember 2009
1 Januari 2010
7 Desember 2009
'8/4/PBI/2006'
'21/UU/2008', '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '40/UU/2007'
'BAB IV'
"
" PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 8/ 29 /PBI/2006
TENTANG
DAFTAR HITAM NASIONAL
PENARIK CEK DAN/ATAU BILYET GIRO KOSONG
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa penggunaan instrumen cek dan/atau bilyet giro
sebagai alat pembayaran di Indonesia masih sangat
diminati khususnya dilihat dari tingginya nilai nominal
perputaran cek dan/atau bilyet giro;
b. bahwa adanya penarikan cek dan/atau bilyet giro kosong
dapat mempengaruhi kepercayaan masyarakat terhadap
penggunaan cek dan/atau bilyet giro sebagai instrumen
pembayaran;
c. bahwa penerapan sanksi daftar hitam penarik cek dan/atau
bilyet giro kosong serta pemberlakuannya dalam cakupan
di wilayah kliring lokal belum cukup efektif menurunkan
tingkat penarikan cek dan/atau bilyet giro kosong;
d. bahwa berdasarkan prinsip pengenalan nasabah, bank
adalah pihak yang paling mengetahui karakteristik dan
identitas nasabah penarik cek dan/atau bilyet giro kosong
sehingga perlu diterapkan prinsip self assessment agar
penatausahaan …
-2-
penatausahaan daftar hitam dapat dilakukan dengan lebih
akurat;
e. bahwa dalam rangka melindungi dan menjaga
kepercayaan masyarakat atas penarikan cek dan/atau
bilyet giro kosong sebagaimana dimaksud pada huruf a,
huruf b, huruf c, dan huruf d, diperlukan dasar pengaturan
dan penerapan sanksi yang lebih proporsional kepada
penarik cek dan/atau bilyet giro kosong dalam suatu daftar
hitam yang berlaku secara nasional;
f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
pada huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e perlu
membentuk Peraturan Bank Indonesia tentang Daftar
Hitam Nasional Penarik Cek dan/atau Bilyet Giro
Kosong;
Mengingat
: 1. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Wet-boek van
Koophandel, Staatsblad 1847:23) sebagaimana telah
beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1971 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1971 Nomor 20, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 2959);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992
Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3472)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik
Indonesia …
-3-
Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3790);
3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 4357);
4. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor
28/32/KEP/DIR tanggal 4 Juli 1995 tentang Bilyet Giro;
M E M U T U S K A N :
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG DAFTAR
HITAM NASIONAL PENARIK CEK DAN BILYET GIRO
KOSONG.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana
telah …
-4-
telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun
1998.
2. Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disebut UUS, adalah unit kerja di
kantor pusat bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha secara
konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang syariah
dan/atau unit syariah, atau unit kerja di kantor cabang dari bank yang
berkedudukan di luar negeri yang melaksanakan kegiatan usaha secara
konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang
pembantu syariah dan/atau unit syariah.
3. Kantor Cabang Syariah adalah Kantor Cabang yang melakukan kegiatan
usaha berdasarkan prinsip syariah dari Bank Umum konvensional.
4. Cek adalah cek sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Dagang (KUHD).
5. Bilyet Giro adalah bilyet giro sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai bilyet giro.
6. Penarik adalah pemilik rekening atau orang yang dikuasakan oleh pemilik
rekening yang memerintahkan bank tertarik untuk melakukan pembayaran
atau pemindahbukuan sejumlah dana atas beban rekening pemilik rekening
kepada pemegang atau kepada pihak yang disebutkan namanya dalam Cek
atau Bilyet Giro.
7. Pemilik Rekening adalah orang atau badan yang memiliki rekening giro atau
memiliki fasilitas rekening khusus pada bank.
8. Rekening Giro adalah rekening giro rupiah yang dananya dapat ditarik setiap
saat dengan menggunakan Cek dan/atau Bilyet Giro, sarana perintah
pembayaran lainnya, atau dengan pemindahbukuan.
9. Rekening …
-5-
9. Rekening Khusus adalah rekening yang khusus dibuka dan disediakan oleh
Bank Tertarik untuk Penarik yang Rekening Gironya ditutup atas permintaan
sendiri atau karena dikenakan sanksi setelah dicantumkannya identitas
Pemilik Rekening dalam daftar hitam nasional yang berlaku, dan hanya dapat
digunakan untuk menampung dana guna memenuhi kewajiban pembayaran
atas Cek dan/atau Bilyet Giro yang masih beredar.
10. Dana adalah saldo pada Rekening Penarik, termasuk fasilitas cerukan dari
Bank Tertarik.
11. Bank Tertarik adalah Bank yang menerima perintah pembayaran atau
perintah pemindahbukuan atas sejumlah Dana dari Penarik dengan
menggunakan Cek dan/atau Bilyet Giro.
12. Pemegang adalah nasabah yang memperoleh pembayaran atau
pemindahbukuan Dana dari Bank Tertarik sebagaimana diperintahkan oleh
Penarik kepada Bank Tertarik.
13. Perjanjian Pembukaan Rekening Giro adalah dokumen tertulis dalam rangka
pembukaan Rekening Giro yang mendasari hubungan hukum antara Bank
dengan Pemilik Rekening.
14. Penarikan adalah setiap kegiatan penerbitan Cek atau Bilyet Giro dari
Penarik.
15. Tanggal Penarikan Cek atau Bilyet Giro adalah tanggal yang terdapat pada
Cek atau Bilyet Giro yang merupakan tanggal diterbitkannya Cek atau Bilyet
Giro.
16. Pengunjukan adalah penyerahan Cek sebagaimana diatur dalam KUHD atau
penawaran Bilyet Giro sebagaimana diatur dalam ketentuan yang mengatur
mengenai …
-6-
mengenai Bilyet Giro oleh Pemegang kepada Bank Tertarik baik secara
langsung (over the counter) ataupun melalui kliring oleh Bank penagih.
17. Bank Penagih adalah Bank yang melakukan penagihan Cek dan/atau Bilyet
Giro kepada Bank Tertarik melalui kliring untuk kepentingan Pemegang.
18. Daftar Hitam Individual Bank, yang selanjutnya disebut DHIB adalah suatu
daftar yang dibuat oleh Bank yang mencantumkan data Penarik Cek dan/atau
Bilyet Giro kosong yang ditetapkan oleh Bank yang bersangkutan.
19. Kantor Pengelola Daftar Hitam Nasional, yang selanjutnya disebut sebagai
KPDHN adalah kantor yang ditetapkan oleh kantor pusat Bank Tertarik
untuk mengelola daftar hitam untuk seluruh kantor Bank yang bersangkutan
secara nasional.
20. Daftar Hitam Nasional yang selanjutnya disebut DHN adalah daftar yang
merupakan kumpulan DHIB yang berada di Bank Indonesia yang datanya
berasal dari KPDHN untuk diakses oleh Bank.
21. Tenggang Waktu Pengunjukan adalah jangka waktu selama 70 (tujuh puluh)
hari sejak Tanggal Penarikan Cek atau Bilyet Giro yang pada masa tersebut
Penarik dilarang untuk membatalkan Cek atau Bilyet Giro tersebut.
22. Tanggal Efektif adalah tanggal mulai berlakunya perintah pemindahbukuan
pada Bilyet Giro.
23. Kliring adalah pertukaran warkat dan/atau data keuangan elektronik
antarpeserta kliring baik atas nama peserta maupun atas nama nasabah
peserta yang perhitungannya diselesaikan pada waktu tertentu.
24. Nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa Bank, termasuk pihak yang
tidak memiliki Rekening namun memanfaatkan jasa Bank untuk melakukan
transaksi keuangan (walk-in customer).
25. Cek …
-7-
25. Cek dan/atau Bilyet Giro Kosong adalah Cek dan/atau Bilyet Giro yang
diunjukkan oleh Pemegang baik melalui Kliring maupun melalui loket bank
secara langsung (over the counter) dan ditolak pembayaran atau
pemindahbukuannya oleh Bank Tertarik dengan alasan penolakan
sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Bank Indonesia ini.
26. Rekening Giro Gabungan (joint account) adalah rekening giro yang dimiliki
oleh lebih dari satu Pemilik Rekening, yang dapat terdiri dari gabungan
badan, orang pribadi, dan/atau campuran keduanya.
27. Keadaan Darurat adalah suatu kondisi dimana terjadi suatu bencana alam
seperti gempa bumi, banjir bandang, gunung meletus atau bencana lainnya
atau peristiwa tak terduga atau tidak dapat diperkirakan sebelumnya seperti
kerusuhan masal yang kemunculannya bersifat mendadak, yang melanda di
suatu wilayah tanah air Indonesia.
BAB II
PENGELOLAAN REKENING
Bagian Pertama
Pembukaan Rekening
Pasal 2
(1) Rekening Giro hanya dapat dibuka untuk Nasabah berdasarkan adanya
Perjanjian Pembukaan Rekening Giro antara Nasabah dengan Bank.
(2) Pembukaan Rekening Giro sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
dilengkapi dengan data dan/atau informasi Nasabah.
(3) Rekening …
-8-
(3) Rekening Giro sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibagi menjadi 3
(tiga) jenis Rekening Giro berdasarkan Nasabah yang melakukan Perjanjian
Pembukaan Rekening Giro, yaitu:
a. Rekening Giro perorangan;
b. Rekening Giro badan;
c. Rekening Giro Gabungan.
(4) Perjanjian Pembukaan Rekening Giro sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
paling kurang berisi klausula-klausula yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembukaan Rekening Giro sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan klausula-klausula sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 3
(1) Bank dapat memberikan Cek dan/atau Bilyet Giro kepada Nasabah yang
telah memenuhi persyaratan dalam pembukaan Rekening Giro sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1).
(2) Bank harus membuat tata usaha atas Cek dan/atau Bilyet Giro yang telah
diberikan kepada Nasabah yang telah menjadi Pemilik Rekening
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Bagian …
-9-
Bagian Kedua
Kewajiban Penyediaan Dana
Pasal 4
(1) Penarik wajib telah menyediakan Dana yang cukup dalam Rekening
Gironya pada Bank Tertarik, dengan ketentuan:
a. Untuk Cek pada saat diunjukkan kepada Bank Tertarik; atau
b. Untuk Bilyet Giro sejak tanggal efektif sampai dengan tanggal
daluwarsa.
(2) Ketentuan tentang kewajiban penyediaan Dana sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tidak berlaku untuk:
a. Bilyet Giro yang diunjukkan sebelum Tanggal Efektif;
b. Cek dan/atau Bilyet Giro yang dibatalkan oleh Penarik setelah
tanggal berakhirnya Tenggang Waktu Pengunjukan; dan/atau
c. Cek dan/atau Bilyet Giro yang diunjukkan telah daluwarsa.
(3) Ketentuan mengenai kewajiban penyediaan Dana sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) untuk Cek dan/atau Bilyet Giro yang diblokir
pembayarannya diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 5
(1) Pembatalan Cek dan/atau Bilyet Giro oleh Penarik sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf b hanya dapat dilakukan secara
tertulis.
(2) Tata cara pembatalan Cek dan/atau Bilyet Giro oleh Penarik diatur lebih
lanjut dengan Surat Edaran Bank Indonesia.
Bagian …
-10-
Bagian Ketiga
Penutupan Rekening Giro
Pasal 6
(1) Dalam hal Rekening Giro ditutup, baik karena permintaan sendiri maupun sebab
lain, Bank wajib mensyaratkan kepada Pemilik Rekening untuk:
a. Mengembalikan sisa blanko Cek dan/atau Bilyet Giro yang belum
digunakan;
b. Menyediakan Dana yang cukup pada Rekening Khusus jika terdapat Cek
dan/atau Bilyet Giro yang masih beredar; dan
c. Menyerahkan surat pernyataan di atas meterai yang cukup, yang paling
kurang memuat pernyataan bahwa:
1. semua kewajiban Pemilik Rekening berkaitan dengan penggunaan Cek
dan/atau Bilyet Giro telah diselesaikan dengan baik;
2. tidak terdapat Cek dan/atau Bilyet Giro Pemilik Rekening yang masih
beredar di masyarakat sepanjang Pemilik Rekening memastikan tidak
terdapat Cek dan/atau Bilyet Giro yang masih beredar; dan
3. Pemilik Rekening bersedia identitasnya dicantumkan atau dicantumkan
kembali ke dalam DHN, apabila ternyata dikemudian hari masih terdapat
penarikan Cek dan/atau Bilyet Giro Kosong yang memenuhi kriteria DHN.
(2) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c tidak berlaku untuk
Pemilik Rekening yang:
a. tidak pernah memperoleh Cek dan/atau Bilyet Giro dari Bank Tertarik; atau
b. memperoleh Cek dan/atau Bilyet Giro namun seluruhnya telah kembali ke
dalam tata usaha Bank Tertarik.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penutupan Rekening Giro sebagaimana
dimaksud …
-11-
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia.
Bagian Keempat
Pembukaan dan Penutupan Rekening Khusus
Pasal 7
(1) Dalam hal Rekening Giro ditutup karena permintaan sendiri maupun
sebab lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), sedangkan
Pemilik Rekening masih memiliki kewajiban pembayaran atas Cek
dan/atau Bilyet Giro yang masih beredar, Bank Tertarik wajib langsung
membuka Rekening Khusus untuk menyelesaikan kewajiban
pembayaran dimaksud.
(2) Dalam hal Rekening Giro ditutup, namun masih terdapat sisa Dana dan
tidak terdapat kewajiban untuk melakukan pembayaran atas Cek
dan/atau Bilyet Giro yang masih beredar, maka penyelesaian sisa Dana
diserahkan pada kebijakan Bank Tertarik.
Pasal 8
(1) Bank wajib menutup Rekening Khusus sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 ayat (1) jika kewajiban terhadap seluruh Cek dan/atau Bilyet
Giro yang masih beredar telah diselesaikan.
(2) Penutupan Rekening Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberitahukan secara tertulis oleh Bank kepada Pemilik Rekening.
Pasal 9 …
-12-
Pasal 9
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembukaan dan penutupan
Rekening Khusus, termasuk jangka waktu paling lambat dalam penutupan
Rekening Khusus diatur lebih lanjut dengan Surat Edaran Bank Indonesia.
BAB III
PEMBAYARAN CEK DAN BILYET GIRO
Pasal 10
Bank Tertarik dalam menolak pembayaran atau pemindahbukuan atas Cek
dan/atau Bilyet Giro yang diunjukkan oleh Pemegang harus memperhatikan
ketentuan penolakan sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini.
Pasal 11
(1) Cek dan/atau Bilyet Giro wajib ditolak pembayarannya jika memenuhi
alasan-alasan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
(2) Cek dan/atau Bilyet Giro yang ditolak pembayarannya oleh Bank Tertarik
dengan alasan saldo Rekening Giro atau Rekening Khusus tidak cukup, atau
telah ditutup, dikategorikan sebagai Cek dan/atau Bilyet Giro Kosong.
(3) Kategori Cek dan/atau Bilyet Giro Kosong sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) tidak berlaku antara lain jika:
a. unsur-unsur Cek atau syarat formal Bilyet Giro tidak terpenuhi;
b. Cek dan/atau Bilyet Giro dibatalkan setelah Tenggang Waktu Pengunjukan
berakhir;
c. Cek dan/atau Bilyet Giro telah daluwarsa;
d. Bilyet …
-13-
d. Bilyet Giro diunjukkan sebelum Tanggal Efektif, atau Tanggal
Efektif dicantumkan tidak dalam Tenggang Waktu Pengunjukan.
(4) Pengkategorian Cek dan/atau Bilyet Giro yang diblokir pembayarannya dalam
kategori Cek dan/atau Bilyet Giro Kosong ditetapkan oleh Bank
Indonesia.
(5) Jika Bank Tertarik menolak pembayaran atau pemindahbukuan Cek dan/atau
Bilyet Giro dengan menggunakan alasan di luar yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Tertarik tersebut harus
dapat mempertanggungjawabkan penolakan tersebut atas dasar ketentuan
perundang-undangan yang berlaku dan melaporkannya kepada Bank
Indonesia.
(6) Ketentuan mengenai:
a. alasan penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beserta tata
cara penolakannya;
b. pengecualian kategori Cek dan/atau Bilyet Giro Kosong
sebagaimana dimaksud pada ayat (3);
c. pengkategorian Cek dan/atau Bilyet Giro yang diblokir
pembayarannya sebagaimana dimaksud pada ayat (4); dan
d. tata cara pelaporan penolakan Cek dan/atau Bilyet Giro
sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 12
(1) Bank Tertarik wajib memberitahukan alasan penolakan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) kepada Pemegang disertai dengan
pengembalian Cek dan/atau Bilyet Giro yang ditolak.
(2) Bank …
-14-
(2) Bank Tertarik wajib memberitahukan alasan penolakan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) kepada Penarik.
(3) Ketentuan mengenai tata cara pemberitahuan alasan penolakan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Surat
Edaran Bank Indonesia.
BAB IV
TATA USAHA PENOLAKAN CEK DAN/ATAU BILYET GIRO
Pasal 13
(1) Bank wajib menatausahakan penolakan Cek dan/atau Bilyet Giro yang
ditolak dengan alasan apapun secara lengkap dan benar.
(2) Bank wajib menatausahakan secara terpisah Cek dan/atau Bilyet Giro
yang ditolak dengan alasan kosong.
(3) Dalam hal Bank melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan
berdasarkan prinsip syariah secara bersamaan, penatausahaan penolakan Cek
dan/atau Bilyet Giro sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
dilakukan secara terpisah antara Bank konvensional dan UUS.
Pasal 14
(1) Dalam rangka penatausahaan penolakan Cek dan/atau Bilyet Giro Kosong
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2), Bank menetapkan salah satu
kantornya sebagai KPDHN.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan KPDHN sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia.
BAB …
-15-
BAB V
KRITERIA PENARIK CEK DAN/ATAU BILYET GIRO KOSONG
YANG DICANTUMKAN DALAM DHN
Pasal 15
(1) Bank wajib menetapkan dan mencantumkan dalam DHIB identitas Pemilik
Rekening yang melakukan Penarikan Cek dan/atau Bilyet Giro Kosong
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) jika memenuhi kriteria
sebagai berikut:
a. melakukan penarikan Cek dan/atau Bilyet Giro Kosong yang berbeda sebanyak
3 (tiga) lembar atau lebih dengan nilai nominal masing-masing di bawah
Rp500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) pada Bank Tertarik yang sama dalam
jangka waktu 6 (enam) bulan; atau
b. melakukan penarikan Cek dan/atau Bilyet Giro Kosong 1 (satu) lembar
dengan nilai nominal Rp500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) atau
lebih.
(2) Dalam hal Pemilik Rekening sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki
Rekening Giro pada Bank Tertarik yang melaksanakan kegiatan usaha secara
konvensional dan juga memiliki Rekening Giro pada kantor cabang syariah
dari Bank konvensional yang sama, penghitungan Cek dan/atau Bilyet Giro
Kosong untuk Pemilik Rekening tersebut dilakukan secara terpisah antara
Bank konvensional dan UUS
BAB …
-16-
BAB VI
PENYAMPAIAN DHIB DAN PENERBITAN DHN
Pasal 16
(1) Bank wajib menyampaikan identitas Pemilik Rekening yang tercantum
dalam DHIB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) kepada Bank
Indonesia secara lengkap dan benar pada periode waktu yang telah
ditetapkan untuk dicantumkan dalam DHN.
(2) Bank bertanggung jawab atas kelengkapan dan kebenaran DHIB yang
disampaikan kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Data DHIB yang telah disampaikan kepada Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat dikoreksi oleh Bank yang bersangkutan paling
lambat pada akhir periode penyampaian tanpa memerlukan persetujuan
terlebih dahulu dari Bank Indonesia.
(4) Data identitas Pemilik Rekening dalam DHIB yang disampaikan oleh Bank
kepada Bank Indonesia dalam jangka waktu 3 (tiga) periode setelah periode
penyampaian DHIB yang seharusnya dikategorikan sebagai terlambat
menyampaikan DHIB.
(5) Data identitas Pemilik Rekening dalam DHIB yang disampaikan oleh Bank
kepada Bank Indonesia setelah 3 (tiga) periode penyampaian DHIB
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dikategorikan sebagai tidak
menyampaikan DHIB.
Pasal …
-17-
Pasal 17
(1) Data DHIB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1), ayat (4) dan ayat
(5) diproses oleh Bank Indonesia menjadi DHN.
(2) Bank Indonesia menerbitkan DHN secara berkala untuk diakses oleh Bank.
(3) Bank bertanggung jawab atas penggunaan dan kerahasiaan informasi DHIB
dan DHN.
(4) Pencantuman identitas Pemilik Rekening dalam DHN berlaku secara
nasional selama 1 (satu) tahun sejak tanggal penerbitan DHN.
(5) Dalam hal Bank mencantumkan kembali identitas Pemilik Rekening yang
telah tercantum dalam DHN maka masa berlakunya pencantuman identitas
Pemilik Rekening dalam DHN sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dihitung
1 (satu) tahun sejak tanggal penerbitan DHN terakhir.
Pasal 18
Ketentuan lebih lanjut antara lain mengenai tata cara penetapan dan
pencantuman identitas Pemilik Rekening dalam DHIB, periode penyampaian
DHIB, serta pencantuman identitas Pemilik Rekening dalam DHN diatur dengan
Surat Edaran Bank Indonesia.
BAB …
-18-
BAB VII
SANKSI BAGI PENARIK CEK DAN/ATAU BILYET GIRO KOSONG
YANG MEMENUHI KRITERIA DHN
Bagian Pertama
Pembekuan Hak Penggunaan Cek dan/atau Bilyet Giro
Pasal 19
(1) Bank Tertarik wajib membekukan hak penggunaan Cek dan/atau Bilyet
Giro Pemilik Rekening yang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 15 ayat (1) paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak
tanggal penolakan Cek dan/atau Bilyet Giro yang menyebabkan Pemilik
Rekening dicantumkan dalam DHIB.
(2) Bank selain Bank Tertarik wajib membekukan hak penggunaan Cek
dan/atau Bilyet Giro Pemilik Rekening yang namanya dicantumkan
dalam DHN paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak tanggal
penerbitan DHN.
(3) Pembekuan hak penggunaan Cek dan/atau Bilyet Giro sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) berlaku sampai dengan berakhirnya
masa pencantuman identitas Pemilik Rekening dalam DHN.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembekuan hak penggunaan
Cek dan/atau Bilyet Giro Pemilik Rekening diatur dengan Surat Edaran
Bank Indonesia.
Bagian …
-19-
Bagian Kedua
Penutupan Rekening Giro karena Penarikan Cek dan/atau Bilyet Giro Kosong
Pasal 20
(1) Apabila dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak tercantum dalam
DHN, Pemilik Rekening melakukan lagi Penarikan 1 (satu) lembar
atau lebih Cek dan/atau Bilyet Giro Kosong dengan nilai nominal
berapapun, Bank Tertarik wajib menutup seluruh Rekening Giro
Pemilik Rekening yang bersangkutan.
(2) Kewajiban penutupan Rekening Giro sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) tidak berlaku untuk:
a. Rekening Giro pada Bank selain Bank Tertarik;
b. Rekening Giro yang dimaksudkan hanya untuk menampung
kredit/pinjaman baik pada Bank Tertarik maupun Bank selain Bank
Tertarik; dan
c. Rekening Giro pada Bank Tertarik yang selain merupakan Rekening
simpanan juga dipergunakan untuk menampung kredit/pinjaman dari
Bank Tertarik sepanjang kredit/pinjaman tersebut masih berjalan.
(3) Bank Tertarik wajib mencantumkan kembali identitas Pemilik
Rekening sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ke dalam DHIB dan
menyampaikan kepada Bank Indonesia untuk dicantumkan ke dalam
DHN periode berikutnya.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penutupan Rekening Giro,
pencantuman kembali identitas Pemilik Rekening dalam DHN diatur
lebih lanjut dengan Surat Edaran Bank Indonesia.
BAB …
-20-
BAB VIII
PEMBUKAAN REKENING GIRO BARU BAGI PEMILIK REKENING YANG
IDENTITASNYA MASIH TERCANTUM DALAM DHN
Pasal 21
(1) Pemilik Rekening yang hak penggunaan Cek dan/atau Bilyet Giro
dibekukan karena sanksi DHN dapat mengajukan permohonan
pembukaan Rekening Giro baru kepada Bank, namun Bank dilarang
memberikan sarana perintah pembayaran berupa Cek dan/atau Bilyet
Giro.
(2) Dalam hal Rekening Giro Pemilik Rekening di Bank Tertarik telah
ditutup karena sanksi DHN, Pemilik Rekening tersebut dilarang
membuka Rekening di Bank Tertarik yang bersangkutan kecuali
pembukaan Rekening Giro yang dimaksudkan hanya untuk menampung
kredit/pinjaman dari Bank Tertarik.
BAB IX
PEMBATALAN PENOLAKAN CEK DAN/ATAU BILYET GIRO KOSONG,
DAN REHABILITASI PENARIK DARI DHN
Bagian Pertama
Pembatalan terhadap Penolakan Cek dan/atau Bilyet Giro Kosong
Pasal 22
(1) Pembatalan terhadap Penolakan Cek dan/atau Bilyet Giro Kosong hanya
dapat dilakukan oleh Bank Tertarik jika terbukti:
a. terdapat …
-21-
a. terdapat kesalahan administrasi yang dilakukan oleh Bank Tertarik;
b. kewajiban Penarik atas penarikan Cek dan/atau Bilyet Giro Kosong kepada
Pemegang telah dipenuhi baik oleh Penarik atau pihak lain dalam jangka waktu 7
(tujuh) hari kerja setelah tanggal penolakan;
c. terdapat putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap yang
menyatakan bahwa Bank harus membatalkan penolakan Cek dan/atau Bilyet Giro
Kosong;
d. keadaan Darurat yang mengakibatkan Pemilik Rekening tidak dapat memenuhi
kewajibannya atas penarikan Cek dan/atau Bilyet Giro; dan/atau
e. pembayaran atau pemindahbukuan dari Cek dan/atau Bilyet Giro Kosong
diperuntukan bagi Pemilik Rekening itu sendiri.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembatalan terhadap Penolakan Cek
dan/atau Bilyet Giro Kosong diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 23
(1) Dalam hal Bank Tertarik melakukan pembatalan terhadap salah satu atau
lebih Penolakan Cek dan/atau Bilyet Giro Kosong sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 22 ayat (1) dan pembatalan tersebut mengakibatkan
dikeluarkannya identitas Pemilik Rekening dari DHIB serta identitas
Pemilik Rekening belum dicantumkan dalam DHN maka Bank Tertarik
dapat melakukan pembatalan tersebut tanpa persetujuan dari Bank Indonesia.
(2) Dalam hal pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
setelah identitas Pemilik Rekening dicantumkan dalam DHN, Bank Tertarik
hanya dapat melakukan pembatalan dengan terlebih dahulu mendapatkan
persetujuan dari Bank Indonesia.
Pasal …
-22-
Pasal 24
(1) Untuk mendapatkan persetujuan dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 23 ayat (2), Bank Tertarik wajib mengajukan permohonan
tertulis disertai dengan dokumen-dokumen pendukung dan dikenakan biaya
administrasi.
(2) Bank yang melakukan kesalahan administrasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 22 ayat (1) huruf a wajib segera mengajukan permohonan pembatalan
kepada Bank Indonesia paling lambat 3 (tiga) periode penyampaian DHIB
berikutnya sejak tanggal pencantuman identitas Pemilik Rekening dalam
DHN.
(3) Bank Indonesia memberikan persetujuan atau penolakan permohonan
pembatalan secara tertulis kepada Bank Tertarik paling lama 30 (tiga puluh)
hari kalender setelah dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima
secara lengkap.
(4) Permohonan pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat
diajukan oleh Bank Tertarik.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengajuan permohonan
pembatalan dan besarnya biaya administrasi diatur dengan Surat Edaran
Bank Indonesia.
Bagian Kedua
Rehabilitasi Penarik dari DHN
Pasal 25
(1) Dalam hal permohonan pembatalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23
ayat (2) disetujui oleh Bank Indonesia dan pembatalan tersebut
mengakibatkan …
-23-
mengakibatkan Pemilik Rekening tersebut tidak lagi memenuhi kriteria
untuk dicantumkan dalam DHN, Bank Tertarik melakukan rehabilitasi
Pemilik Rekening dari DHN setelah menerima surat persetujuan dari Bank
Indonesia.
(2) Tanggal mulai berlakunya rehabilitasi identitas Pemilik Rekening di Bank
Tertarik terhitung sejak tanggal diterimanya surat persetujuan dari Bank
Indonesia oleh Bank Tertarik sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Tanggal mulai berlakunya rehabilitasi identitas Pemilik Rekening di Bank
selain Bank Tertarik terhitung sejak tanggal dilakukannya Rehabilitasi oleh
Bank Tertarik.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara rehabilitasi oleh Bank Tertarik
diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia.
BAB X
PENGAWASAN
Pasal 26
(1) Bank Indonesia melakukan pengawasan secara tidak langsung maupun
langsung terhadap Bank atas pelaksanaan ketentuan-ketentuan dalam
Peraturan Bank Indonesia ini.
(2) Dalam rangka pengawasan tidak langsung, Bank wajib menyampaikan
laporan, keterangan dan penjelasan yang diminta Bank Indonesia sesuai
dengan tata cara yang ditetapkan Bank Indonesia.
(3) Dalam rangka pengawasan langsung, Bank wajib memberikan kepada
Bank Indonesia:
a. keterangan …
-24-
a. keterangan dan data serta dokumen yang diminta;
b. kesempatan untuk melihat semua dokumen dan sarana fisik yang berkaitan dengan
pembukaan Rekening Giro, penarikan Cek dan/atau Bilyet Giro dan Tata Usaha
penarikan Cek dan/atau Bilyet Giro; dan/atau
c. hal-hal lain yang diperlukan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengawasan diatur dalam Surat
Edaran Bank Indonesia.
BAB XI
SANKSI
Pasal 27
(1) Bank yang atas dasar hasil pengawasan Bank Indonesia yang dilakukan
secara langsung ditemukan tidak menatausahakan Penolakan Cek dan/atau
Bilyet Giro secara lengkap dan benar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
ayat (1) maka dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp100.000,00
(seratus ribu rupiah) per kesalahan dan/atau ketidaklengkapan dan paling
banyak sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) per hasil pengawasan.
(2) Jika berdasarkan hasil pengawasan Bank Indonesia ditemukan bahwa Bank
menyampaikan identitas Pemilik Rekening yang tercantum dalam DHIB
kepada Bank Indonesia pada periode yang ditetapkan, namun identitas
tersebut dilaporkan secara tidak lengkap dan/atau tidak
benar sesuai
ketentuan Pasal 16 ayat (1), Bank dikenakan sanksi kewajiban membayar
sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per
ketidaklengkapan …
-25-
ketidaklengkapan dan/atau per kesalahan dan paling banyak sebesar
Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) per laporan DHIB yang
disampaikan kepada Bank Indonesia.
(3) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dikenakan atas kesalahan
dan/atau ketidaklengkapan yang telah dikenakan sanksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2).
Pasal 28
(1) Bank yang terlambat melaporkan identitas Pemilik Rekening yang
tercantum dalam DHIB kepada Bank Indonesia pada periode yang
ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (4) dikenakan sanksi
kewajiban membayar sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per
Pemilik Rekening per keterlambatan periode pelaporan dan paling banyak
sebesar Rp300.000,00 (tiga ratus ribu rupiah) per Pemilik Rekening.
(2) Bank yang tidak menyampaikan identitas Pemilik Rekening yang
seharusnya tercantum dalam DHIB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16
ayat (5) dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp5.000.000,00
(lima juta rupiah) per identitas Pemilik Rekening yang tidak disampaikan.
Pasal 29
(1) Bank Tertarik yang tidak membekukan hak penggunaan Cek dan/atau Bilyet
Giro Pemilik Rekening sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1)
dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta
rupiah) per Pemilik Rekening per hari kerja keterlambatan dan paling banyak
sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) per Pemilik Rekening.
(2) Bank …
-26-
(2) Bank selain Bank Tertarik yang ditemukan tidak membekukan hak
penggunaan Cek dan/atau Bilyet Giro Pemilik Rekening sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) dikenakan sanksi kewajiban membayar
sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per Pemilik Rekening per hari
kerja keterlambatan dan paling banyak sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh
juta rupiah) per Pemilik Rekening.
Pasal 30
(1) Jika berdasarkan hasil pengawasan Bank Indonesia ditemukan bahwa Bank
Tertarik melakukan pembatalan atas penolakan Cek dan/atau Bilyet Giro
Kosong menurut Pasal 23 ayat (1), namun pembatalan tersebut tidak
menggunakan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) atau
menggunakan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) namun
tidak didukung dengan bukti-bukti pendukung yang benar, Bank Tertarik
dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta
rupiah) per Pemilik Rekening yang penolakan Cek dan/atau Bilyet Giro
Kosongnya dibatalkan.
(2) Bank Tertarik yang dikenakan sanksi kewajiban membayar sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib:
a. mengkategorikan kembali penolakan Cek dan/atau Bilyet Giro yang dibatalkan
sebagai penolakan Cek dan/atau Bilyet Giro Kosong; dan
b. menetapkan dan mencantumkan kembali identitas Pemilik Rekening yang
penolakan Cek dan/atau Bilyet Giro Kosongnya telah dibatalkan ke
dalam DHIB periode berikutnya setelah tanggal pengenaan sanksi, jika:
1)
akibat pengkategorian kembali sebagaimana dimaksud pada huruf
a menyebabkan terpenuhinya kriteria pencantuman identitas
Pemilik Rekening dalam DHIB sebagaimana dimaksud dalam
Pasal …
-27-
Pasal 15 ayat (1); atau
2) pembatalan dilakukan setelah identitas Pemilik Rekening telah
dicantumkan ke dalam DHIB.
(3) Segala konsekuensi yang timbul sehubungan dengan kesalahan administrasi
Bank Tertarik yang mengakibatkan identitas Pemilik Rekening harus
dicantumkan dalam DHIB sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b
menjadi tanggung jawab Bank Tertarik yang bersangkutan.
Pasal 31
Bank yang terlambat mengajukan permohonan pembatalan karena kesalahan
administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) dikenakan sanksi
kewajiban membayar sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) per Pemilik
Rekening.
Pasal 32
Bank yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan dalam Peraturan Bank
Indonesia ini dikenakan sanksi administratif berupa kewajiban membayar dan
pembinaan atau sanksi administratif berupa pembinaan dalam rangka pengawasan
Bank oleh Bank Indonesia.
BAB XII
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 33
(1) Bank harus melakukan pembinaan terhadap seluruh Pemilik Rekening di
Bank yang bersangkutan termasuk Penarik Cek dan/atau Bilyet Giro
Kosong.
(2) Bank …
-28-
(2) Bank dapat membekukan hak penggunaan Cek dan/atau Bilyet Giro atau
menutup Rekening Pemilik Rekening atas pertimbangan-pertimbangan
Bank, meskipun Pemilik Rekening tersebut tidak tercantum dalam DHN
sepanjang alasan pembekuan dan/atau penutupan telah diperjanjikan dalam
perjanjian pembukaan Rekening Giro atau dengan persetujuan Pemilik
Rekening atau berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
(3) Pelaksanaan pembekuan atau penutupan Rekening beserta dasar
pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberitahukan kepada
Pemilik Rekening.
Pasal 34
(1) Ketentuan mengenai penutupan Rekening Giro, pencantuman identitas
Pemilik Rekening dalam DHIB dan pengenaan sanksi dalam Peraturan Bank
Indonesia ini tidak diberlakukan terhadap penarikan Cek dan/atau Bilyet
Giro Kosong yang dilakukan oleh Pemilik Rekening berupa:
a. Bank umum maupun Bank Perkreditan Rakyat (BPR);
b.
c.
instansi pemerintah; atau
lembaga negara.
(2) Terhadap Penarikan Cek dan/atau Bilyet Giro Kosong yang memenuhi
kriteria DHN yang dilakukan Pemilik Rekening sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) berlaku ketentuan pembekuan hak penggunaan Cek dan/atau Bilyet
Gironya di Bank Tertarik selama 1 (satu) tahun sejak Pemilik Rekening
tersebut memenuhi kriteria DHN.
BAB …
-29-
BAB XIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 35
(1) Pemilik Rekening yang melakukan penarikan Cek dan/atau Bilyet Giro
Kosong sebelum diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia ini dan belum
memenuhi kriteria dicantumkan dalam daftar hitam berdasarkan ketentuan
Bank Indonesia yang ada, wajib dicatat oleh Bank Tertarik sebagai data yang
berpotensi untuk dicantumkan dalam DHN.
(2) Dalam hal Pemilik Rekening sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
melakukan lagi penarikan Cek dan/atau Bilyet Giro Kosong setelah
diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia ini sehingga memenuhi kriteria
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1), maka Pemilik Rekening
dimaksud dicantumkan dalam DHN.
(3) Daftar hitam yang telah diterbitkan pada masing-masing wilayah Kliring
lokal dan masih berlaku pada saat diberlakukannya Peraturan Bank
Indonesia ini, dinyatakan tetap berlaku dalam masing-masing wilayah
Kliring lokal dimaksud sampai dengan berakhirnya masa berlaku daftar
hitam yang bersangkutan.
Pasal 36
(1) Selama ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini belum diberlakukan,
Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 2/10/DASP tanggal 8 Juni 2000 perihal
Tata Usaha Penarikan Cek/Bilyet Giro Kosong beserta perubahan-
perubahannya dinyatakan tetap berlaku.
(2) Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini diberlakukan maka Surat Edaran
Bank …
-30-
Bank Indonesia Nomor 2/10/DASP tanggal 8 Juni 2000 perihal Tata Usaha
Penarikan Cek/Bilyet Giro Kosong beserta perubahannya dinyatakan tidak
berlaku kecuali ketentuan tentang pembatalan penolakan Cek dan/atau Bilyet
Giro Kosong yang tetap berlaku sampai berakhirnya masa sanksi daftar
hitam.
BAB XIV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 37
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 2007, kecuali
ketentuan Pasal 35 ayat (1) yang berlaku sejak tanggal ditetapkannya Peraturan
Bank Indonesia ini.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 20 Desember 2006
GUBERNUR BANK INDONESIA,
BURHANUDDIN ABDULLAH
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2006 NOMOR 107
DASP
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 8/ 29 /PBI/2006
TENTANG
DAFTAR HITAM NASIONAL
PENARIK CEK DAN/ATAU BILYET GIRO KOSONG
I. UMUM
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2004, Bank Indonesia mempunyai tugas untuk mengatur dan menjaga kelancaran
sistem pembayaran dalam rangka mendukung terwujudnya sistem pembayaran
yang efisien, cepat, aman dan handal. Adanya sistem pembayaran yang efisien,
cepat, aman, dan handal dimaksudkan untuk mendukung terciptanya stabilitas
sistem keuangan. Sementara itu, dukungan terhadap stabilitas sistem keuangan
dapat dilakukan secara berkesinambungan melalui penurunan berbagai risiko
sistem pembayaran nasional.
Upaya penurunan risiko dan peningkatan kepercayaan masyarakat atas jasa
layanan sistem pembayaran nasional telah dilakukan oleh Bank Indonesia antara
lain dengan langkah kebijakan pengaturan dalam sistem Bank Indonesia Real
Time Gross Settlement (Sistem BI-RTGS), Sistem Kliring Nasional Bank
Indonesia (SKNBI) dan pengaturan alat pembayaran dengan menggunakan kartu.
Di sisi lain, pelaksanaan Kliring dilakukan melalui pertukaran warkat
dan/atau data keuangan elektronik, baik dalam Kliring debet maupun Kliring
kredit. Dalam pelaksanaannya, Kliring kredit dilakukan dengan melakukan
pengiriman data keuangan elektronik tanpa pengiriman warkat kredit secara fisik
(paperless) …
-2-
(paperless), sedangkan untuk Kliring debet pengiriman data keuangan elektronik
masih disertai dengan pertukaran warkat debet secara fisik (paperbased), seperti
Cek dan Bilyet Giro.
Dalam perkembangannya, nilai nominal dari penggunaan Cek dan Bilyet
Giro sebagai alat pembayaran masih signifikan. Meskipun pembayaran dengan
menggunakan Cek dan/atau Bilyet Giro relatif aman dan nyaman, namun di dalam
prakteknya belum dapat dilepaskan dari permasalahan risiko gagal bayar akibat
adanya Cek dan/atau Bilyet Giro yang tidak disediakan Dananya secara cukup
oleh Penarik atau yang dikenal dengan Cek dan/atau Bilyet Giro kosong. Secara
statistik, persentase Penarikan Cek dan/atau Bilyet Giro kosong relatif kecil,
sekitar 0,5%-2% dari total nilai perputaran dan nilai transaksi Cek dan/atau Bilyet
Giro, namun hal tersebut masih tetap merupakan masalah yang harus terus
menerus menjadi perhatian untuk dapat diminimalkan. Upaya penurunan tersebut
harus pula dipandang sebagai upaya menjaga kepercayaan masyarakat terhadap
Cek dan/atau Bilyet Giro sebagai alat pembayaran dan melindungi kepentingan
Pemegang Cek dan/atau Bilyet Giro dalam menerima pembayaran.
Dalam kaitan tersebut di atas, kepada Pemilik Rekening yang oleh
Peraturan Perundang-undangan diberikan fasilitas untuk menarik Dananya dengan
menerbitkan Cek dan/atau Bilyet Giro, perlu diberikan edukasi yang memadai
agar dapat mengelola dengan baik penggunaan dan peredaran Cek dan/atau Bilyet
Gironya serta selalu menjaga ketersediaan Dananya pada waktu Cek dan/atau
Bilyet Giro diunjukkan untuk kepentingan pembayaran. Sementara itu kepada
Bank Tertarik juga dituntut untuk melakukan penatausahaan yang tertib atas
peredaran Cek dan/atau Bilyet Giro Bank yang digunakan oleh Nasabahnya
terutama yang ditolak oleh Bank lain karena alasan Cek dan Bilyet Giro kosong.
Namun demikian, dalam praktek masih sering terjadi Penarikan Cek
dan/atau Bilyet Giro kosong yang diakibatkan oleh adanya short term liquidity
mismatch. Untuk mengatasi hal tersebut diberikan masa waktu selama 7 (tujuh)
hari …
-3-
hari kerja setelah terjadinya tolakan karena alasan kosong kepada Penarik untuk
menyelesaikan kewajiban pembayarannya, sehingga pengkategorian sebagai
Penarik Cek dan/atau Bilyet Giro kosong hanya diberikan kepada Nasabah Bank
yang benar-benar beritikad tidak baik.
Jika upaya edukasi kepada Pemilik Rekening telah dilakukan dengan baik,
namun dari penatausahaan Bank diketahui bahwa masih banyak Penarikan Cek
dan/atau Bilyet Giro kosong, maka diperlukan pemberian sanksi yang dapat
memberikan efek jera kepada Penarik dengan mempublikasikannya dalam suatu
daftar untuk dapat diketahui oleh Bank lain. Penyebarluasan kepada Bank lain
dimaksudkan pula agar dapat mencegah terulangnya penggunaan Cek dan/atau
Bilyet Giro kosong yang merugikan masyarakat secara luas.
Daftar hitam lokal yang selama ini berlaku di wilayah Kliring tertentu,
dipandang masih belum mampu mengurangi peredaran Cek dan/atau Bilyet Giro
kosong. Untuk itu diperlukan kebijakan pengenaan sanksi daftar hitam yang lebih
proporsional, baik melalui penetapan kriteria yang lebih ketat maupun
memberikan cakupan efektivitas sanksi yang lebih luas menjadi secara nasional.
Penerapan sanksi kepada Penarik yang menerbitkan satu atau lebih Cek
dan/atau Bilyet Giro kosong dilakukan dengan pemberian surat peringatan dari
Bank Tertarik. Pencantuman dalam DHN dapat dilakukan apabila telah memenuhi
kriteria daftar hitam individual pada Bank Tertarik disertai dengan pembekuan hak
menggunakan Cek dan/atau Bilyet Giro yang bersangkutan pada Bank Tertarik.
Apabila nama Penarik/Pemilik Rekening telah tercantum dalam DHN yang
diterbitkan secara nasional oleh Bank Indonesia, maka pembekuan hak
penggunaan Cek dan/atau Bilyet Giro tersebut juga dilakukan oleh Bank selain
Bank Tertarik di seluruh Indonesia. Apabila setelah tercantum dalam DHN,
Penarik masih melakukan lagi Penarikan Cek dan/atau Bilyet Giro kosong, maka
Bank Tertarik akan mengenakan sanksi penutupan rekening kepada Penarik yang
bersangkutan. Pengenaan sanksi yang dilakukan secara bertahap, dimulai dari
pembekuan …
-4-
pembekuan hak menggunakan Cek dan/atau Bilyet Giro kosong diharapkan dapat
menjadi suatu peringatan kepada Penarik atas Penarikan Cek dan/atau Bilyet Giro
kosong yang dilakukan, sehingga dapat mengurangi pengenaan sanksi penutupan
rekening yang harus dilakukan oleh Bank Tertarik. Dalam kaitan ini, langkah yang
hati-hati dari perbankan dalam menetapkan Pemilik Rekening masuk dalam DHN
sangat diperlukan.
Mengingat Bank Tertarik sebagai pihak yang mengetahui secara pasti
penggunaan sarana Cek dan/atau Bilyet Giro dari para Pemilik Rekening di
Banknya, maka tepat jika pencantuman nama Penarik Cek dan/atau Bilyet Giro
kosong dalam DHN dilakukan secara self assessment oleh Bank Tertarik.
Disamping itu, untuk menghindari adanya moral hazard dan benturan kepentingan
yang mungkin terjadi pada Bank Tertarik, diperlukan suatu kebijakan pengawasan
yang bersifat proaktif dan penerapan sanksi yang tegas dari Bank Indonesia baik
kepada Bank maupun kepada Penarik Cek dan/atau Bilyet Giro kosong.
Jika langkah pengelolaan atas penggunaan Cek dan/atau Bilyet Giro telah
dilakukan dengan baik oleh Penarik dan Bank Tertarik serta sanksi atas
penyalahgunaan dari pengelolaan tersebut telah dirumuskan secara proporsional,
diharapkan secara keseluruhan dapat memberikan rasa aman dan nyaman kepada
pengguna warkat debet, khususnya Cek dan/atau Bilyet Giro, yang pada gilirannya
akan meningkatkan pemakaian uang giral dalam memperlancar sistem
pembayaran.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat …
-5-
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Data dan/atau informasi Nasabah antara lain nama/nama badan, alamat,
tempat, dan tanggal lahir Nasabah, serta NPWP yang didukung dengan
bukti-bukti identitas lengkap seperti Kartu Tanda Pengenal (KTP),
Surat Izin Mengemudi (SIM) dan atau paspor.
Ayat (3)
Huruf a
Yang dimaksud “perorangan” adalah orang-perorangan termasuk
individu yang membuka Rekening Giro untuk usaha perorangan
seperti toko, restoran, bengkel dan/atau warung.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “badan” antara lain adalah instansi
pemerintah/lembaga negara, setiap badan yang diatur dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang atau Peraturan Perundang-
undangan lainnya, badan hukum yang diatur dalam Peraturan
Perundang-undangan, dan/atau organisasi masyarakat dan
sejenisnya.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal …
-6-
Pasal 4
Ayat (1)
Yang dimaksud “saat diunjukkan” untuk Cek adalah saat dimana Bank
Tertarik melakukan pengecekan ketersediaan Dana pada Rekening Giro
Penarik setelah Bank Tertarik menerima Cek dari Pemegang, baik
secara langsung (over the counter) maupun melalui proses Kliring.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cek dan/atau Bilyet Giro dianggap telah daluwarsa apabila
tidak diunjukkan untuk pembayarannya dalam Tenggang
Waktu Pengunjukan ditambah 6 (enam) bulan sejak
berakhirnya Tenggang Waktu Pengunjukan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Ayat (1)
Pemilik Rekening yang karena alasan tertentu bermaksud untuk menutup
Rekening …
-7-
Rekening Giro atas permintaan sendiri harus mengajukan permohonan
secara tertulis kepada Bank.
Yang dimaksud dengan “sebab lain” dalam hal ini antara lain karena
Pemilik Rekening tercantum dalam DHN dan Rekening Gironya harus
ditutup.
Ayat (2)
Yang dimaksud “seluruh Cek dan/atau Bilyet Giro telah kembali ke
dalam tata usaha Bank Tertarik” meliputi blanko Cek dan/atau Bilyet Giro
yang belum digunakan maupun Cek dan/atau Bilyet Giro yang telah
ditarik dan dipenuhi kewajibannya.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Pembukaan Rekening Khusus tersebut wajib dilakukan secara langsung
dan dimaksudkan untuk menampung Dana guna menyelesaikan
kewajiban-kewajiban pembayaran atas Cek dan/atau Bilyet Giro
yang masih beredar.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 8
Ayat (1)
Jika Rekening Khusus berupa rekening yang terdiri dari sub-sub
rekening maka yang wajib ditutup adalah sub rekening atas nama
Pemilik Rekening yang bersangkutan.
Ayat (2)
Cukup jelas …
-8-
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cek yang tidak memenuhi unsur-unsur Cek atau Bilyet Giro
yang tidak memenuhi syarat formal Bilyet Giro belum dianggap
sebagai Cek atau Bilyet Giro.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cek …
-9-
Cek dan/atau Bilyet Giro yang diblokir pembayarannya dalam hal ini
antara lain karena dilaporkan hilang oleh Penarik (harus dilampiri
dengan surat keterangan hilang dari kepolisian) atau atas
permintaan instansi yang berwenang.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “melakukan penatausahaan penolakan Cek
dan/atau Bilyet Giro dengan lengkap” antara lain adalah penatausahaan
identitas Pemilik Rekening yang mencakup informasi sebagaimana
dipersyaratkan pada saat pembukaan Rekening Giro secara sama dan
konsisten.
Yang dimaksud dengan “melakukan penatausahaan penolakan Cek
dan/atau Bilyet Giro dengan benar” adalah pencantuman alasan
penolakan Cek dan/atau Bilyet Giro berdasarkan fakta dan kondisi yang
sebenarnya terjadi serta berpedoman pada ketentuan mengenai alasan
penolakan yang berlaku.
Ayat (2)
Kewajiban menatausahakan secara terpisah untuk Cek dan/atau Bilyet
Giro yang ditolak dengan alasan kosong dimaksudkan agar dapat
mempermudah …
-10-
mempermudah Bank untuk menetapkan Penarik masuk ke dalam
DHIB.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 14
Ayat (1)
Kantor yang ditetapkan sebagai KPDHN dapat berupa kantor pusat
Bank atau kantor di bawah kantor pusat Bank.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 15
Ayat (1)
Penetapan Pemilik Rekening yang memenuhi kriteria untuk
dicantumkan dalam DHIB dilakukan oleh Bank Tertarik secara self
assessment.
Huruf a
Penarikan satu lembar Cek dan/atau Bilyet Giro Kosong yang
sama dan dilakukan berulang kali, diperhitungkan sebagai satu
lembar Penarikan Cek dan/atau Bilyet Giro Kosong.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (2)
Kantor Cabang Syariah untuk Bank yang berkantor pusat di luar negeri
adalah kantor cabang pembantu syariah.
Pasal 16
Ayat (1)
Bank Indonesia …
-11-
Bank Indonesia dalam hal ini hanya menyediakan sarana DHN. DHN
berisi data DHIB yang berasal dari KPDHN untuk keperluan Bank.
Penyampaian identitas Pemilik Rekening dalam DHIB oleh Bank
kepada Bank Indonesia dilakukan secara online.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 17
Ayat (1)
Pemrosesan data DHIB menjadi DHN dilakukan oleh Bank
Indonesia tanpa melakukan perubahan atas data DHIB yang
telah disampaikan oleh Bank.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Informasi dalam dalam DHIB dan DHN hanya digunakan untuk
kepentingan Bank sehingga Bank harus menjaga terhadap kemungkinan
penyalahgunaan oleh pihak lain dan pembocoran kerahasiaannya.
Ayat (4)
Identitas Pemilik Rekening yang tercantum dalam DHN otomatis
tidak tercantum lagi terhitung 1 (satu) tahun sejak tanggal penerbitan
DHN …
-12-
DHN kecuali identitas yang bersangkutan dicantumkan kembali dalam
DHN berikutnya.
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “membekukan hak penggunaan Cek dan/atau
Bilyet Giro” adalah Bank Tertarik meminta kepada Pemilik Rekening
untuk mengembalikan seluruh lembar Cek dan/atau Bilyet Giro yang
belum digunakan.
Pembekuan hak penggunaan Cek dan/atau Bilyet Giro pada Bank
Tertarik dilakukan untuk seluruh Rekening Giro yang dimiliki oleh
Pemilik Rekening pada Bank Tertarik tersebut.
Perhitungan waktu paling lambat 14 (empat belas) hari kerja bagi Bank
Tertarik untuk membekukan hak penggunaan Cek dan/atau Bilyet Giro
antara lain memperhatikan adanya jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja
setelah tanggal penolakan untuk memenuhi kewajiban Penarik yang
beritikad baik untuk melakukan pembayaran Cek dan/atau Bilyet Giro
akibat terjadinya short term liquidity mismatch ditambah dengan 7
(tujuh) hari kerja untuk melakukan koordinasi internal Bank Tertarik
serta untuk pemberitahuan kepada Pemilik Rekening.
Pembekuan hak penggunaan Cek dan/atau Bilyet Giro tidak
menyebabkan penutupan Rekening Giro Pemilik Rekening, sehingga
Pemilik Rekening yang bersangkutan masih dapat menggunakan sarana
lain …
-13-
lain di luar Cek dan/atau Bilyet Giro, misalnya form transfer Dana atau
slip penarikan tunai.
Pembekuan hak menggunakan Cek dan/atau Bilyet Giro dilakukan
terhadap seluruh Rekening Giro dari Pemilik Rekening, baik berupa
Rekening Giro perorangan, Rekening Giro gabungan maupun Rekening
Giro yang dimaksudkan hanya untuk menampung kredit/pinjaman
dari Bank Tertarik.
Ayat (2)
Pembekuan hak penggunaan Cek dan/atau Bilyet Giro pada Bank selain
Bank Tertarik dilakukan untuk seluruh Rekening Giro yang dimiliki
oleh Pemilik Rekening pada Bank selain Bank Tertarik tersebut
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 20
Ayat (1)
Pengenaan sanksi penutupan Rekening Giro merupakan upaya terakhir
sebagai akibat masih adanya Penarikan Cek dan/atau Bilyet Giro Kosong
setelah Pemilik Rekening dikenakan sanksi pencantuman dalam DHN dan
pembekuan hak penggunaan Cek dan/atau Bilyet Giro
Dalam praktek, terdapat kemungkinan Pemilik Rekening mempunyai
beberapa Rekening Giro pada 1 (satu) Bank Tertarik, sehingga apabila
Pemilik Rekening melakukan lagi Penarikan Cek dan/atau Bilyet Giro
Kosong setelah namanya dicantumkan dalam DHN, maka Bank Tertarik yang
menolak Penarikan lagi 1 (satu) lembar atau lebih dengan nilai nominal
berapapun wajib menutup seluruh Rekening Giro Pemilik Rekening.
Ayat (2) …
-14-
Ayat (2)
Huruf a
Penutupan Rekening Giro pada Bank Tertarik tidak
mengharuskan Bank selain Bank Tertarik menutup Rekening Giro
atas nama Pemilik Rekening tersebut. Namun demikian, hak
penggunaan Cek dan/atau Bilyet Giro dari Pemilik Rekening
tersebut di Bank selain Bank Tertarik masih tetap dibekukan.
Huruf b
Dalam hal ini, Rekening Giro yang dimaksudkan hanya untuk
menampung kredit/pinjaman tidak ditutup, namun hak
penggunaan Cek dan/atau Bilyet Gironya tetap dibekukan.
Huruf c
Dalam praktek terdapat kemungkinan Dana kredit/pinjaman
dari Bank Tertarik ditatausahakan dalam Rekening Giro
Pemilik Rekening. Dalam hal ini, sepanjang Rekening Giro
tersebut masih diperlukan untuk penatausahaan
kredit/pinjaman maka Rekening Giro tersebut tidak ditutup.
Penutupan Rekening Giro demikian wajib dilakukan apabila
kredit/pinjaman telah diselesaikan dan identitas Pemilik
Rekening masih tercantum dalam DHN.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 21
Ayat (1)
Yang …
-15-
Yang dimaksud dengan “Bank” pada ayat ini adalah Bank Tertarik
maupun Bank selain Bank Tertarik. Rekening Giro baru dapat
diperuntukkan untuk menampung kredit/pinjaman dan transaksi
lainnya namun tidak diberikan sarana Cek dan/atau Bilyet Giro.
Ayat (2)
Pembukaan Rekening Giro yang dimaksudkan hanya untuk
menampung kredit/pinjaman dimaksud tetap tidak diberikan
sarana Cek dan/atau Bilyet Giro.
Pasal 22
Ayat (1)
Huruf a
Kesalahan administrasi yang dilakukan oleh Bank Tertarik
adalah kesalahan Bank Tertarik karena melakukan penolakan
atas Cek dan/atau Bilyet Giro dengan alasan saldo Rekening
Giro atau Rekening Khusus tidak cukup yang sebenarnya Dana
pada Rekening Penarik mencukupi. Kesalahan administrasi
tersebut dapat disebabkan antara lain karena:
a.
terdapat kesepakatan khusus antara Pemilik Rekening
dengan Bank dalam pemenuhan kewajiban pembayaran
Cek dan/atau Bilyet Giro, dimana kewajiban pembayaran
Cek dan/atau Bilyet Giro dapat dipenuhi dengan
menggunakan Dana yang cukup dari rekening lain yang
dimiliki Penarik, namun kesepakatan itu tidak
dilaksanakan oleh Bank Tertarik; atau
b.
terdapat gangguan pada sistem sehingga Dana menjadi
tidak tersedia pada waktu Cek dan/atau Bilyet Giro
diunjukkan.
Huruf b …
-16-
Huruf b
Pemberian jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah tanggal
penolakan dimaksudkan untuk memberi kesempatan bagi Penarik
yang beritikad baik namun karena short term liquidity mismatch
Cek dan/atau Bilyet Gironya ditolak dengan alasan saldo
Rekening Giro atau Rekening Khusus tidak cukup dan
diperhitungkan sebagai Penarikan Cek dan/atau Bilyet Giro
Kosong. Pemberian jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja tersebut
diperhitungkan sebagai waktu yang cukup bagi Penarik yang
beritikad baik untuk memenuhi kewajiban pembayaran, dan tidak
dimaksudkan untuk meniadakan kewajiban penyediaan Dana bagi
Cek dan/atau Bilyet Giro. Dengan demikian, dalam hal terdapat
keterlambatan pembayaran, Pemegang Cek dan/atau Bilyet Giro
berhak menuntut kompensasi tertentu sesuai dengan hukum
dan/atau perjanjian yang berlaku.
Pemenuhan kewajiban pembayaran dapat dilakukan melalui
pembayaran tunai, transfer, atau cara-cara lainnya, dan harus
dibuktikan kepada Bank Tertarik dengan dokumen yang
lengkap.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 23 …
-17-
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Kewajiban mengajukan permohonan pembatalan yang ditetapkan
dalam ayat ini dimaksudkan untuk melindungi kepentingan Pemilik
Rekening.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Ayat (1)
Bank Indonesia melakukan pengawasan tidak langsung dengan cara
meneliti laporan yang disampaikan oleh Bank.
Bank Indonesia dapat melakukan pengawasan langsung dengan cara
melakukan pemeriksaan di Bank.
Ayat (2) …
-18-
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 27
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “laporan DHIB secara lengkap” antara lain
adalah data/identitas Pemilik Rekening yang tercantum dalam DHIB
sesuai dengan data pada saat pembukaan Rekening Giro.
Yang dimaksud dengan “laporan DHIB secara benar” antara lain adalah
kebenaran penggolongan alasan penolakan Cek dan/atau Bilyet Giro
sesuai ketentuan yang berlaku.
Ayat (3)
Penetapan mengenai pembatasan sanksi atas kesalahan dimaksudkan
agar Bank tidak dikenakan dua sanksi atau lebih atas kesalahan dengan
objek yang sama.
Pasal 28
Ayat (1)
Sanksi kewajiban membayar paling banyak sebesar Rp300.000,00 (tiga
ratus ribu rupiah) berdasarkan perhitungan bahwa keterlambatan
pelaporan maksimum 3 (tiga) periode setelah periode pelaporan yang
seharusnya. Pelaporan sampai dengan 3 (tiga) periode pelaporan
dianggap …
-19-
dianggap sebagai terlambat melapor.
Ayat (2)
Kewajiban membayar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) dikenakan
atas dasar anggapan tidak adanya itikad baik Bank untuk melaporkan
Pemilik Rekening yang seharusnya tercantum dalam DHIB karena telah
memenuhi kriteria DHN.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Sanksi yang ditetapkan dalam ayat ini dimaksudkan untuk melindungi
kepentingan Pemilik Rekening.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pembinaan” dalam ayat ini antara lain
memberikan informasi dan edukasi kepada Pemilik Rekening untuk
memperhatikan ketentuan penggunaan Cek dan/atau Bilyet Giro serta
konsekuensi bagi Pemilik Rekening apabila melakukan pelanggaran.
Pembinaan …
-20-
Pembinaan dimaksud dilakukan paling kurang pada saat pembukaan
Rekening Giro.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “ketentuan peraturan perundang-undangan”
antara lain yang memberikan kewenangan kepada penegak hukum atau
pihak berwenang lainnya untuk melakukan tindakan paksa misalnya
berupa pembekuan atau penutupan rekening.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 34
Ayat (1)
Dalam rangka menjaga kepentingan dan kepercayaan publik, agar
fungsi pelayanan masyarakat dapat tetap berjalan, Penarikan Cek
dan/atau Bilyet Giro Kosong yang dilakukan oleh Bank, instansi
pemerintah, atau lembaga negara dikecualikan dari pengenaan sanksi
pembekuan hak penggunaan Cek dan/atau Bilyet Giro, penutupan
Rekening Giro dan pencantuman dalam DHN
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Instansi pemerintah dalam hal ini antara lain adalah pemerintah
pusat dan pemerintah daerah serta kantor-kantornya yang
melakukan fungsi pemerintahan, namun tidak termasuk Badan
Usaha Milik Negara (BUMN) atau Badan Usaha Milik Daerah
(BUMD).
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2) …
-21-
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 35
Ayat (1)
Ayat ini mewajibkan Bank untuk mencatat setiap Penarikan Cek
dan/atau Bilyet Giro kosong sejak ditetapkannya Peraturan Bank
Indonesia ini. Ketentuan yang ada pada saat ditetapkannya Peraturan
Bank Indonesia ini adalah Surat Edaran Bank Indonesia Nomor
2/10/DASP tanggal 8 Juni 2000 perihal Tata Usaha Penarikan Cek
dan/atau Bilyet Giro Kosong beserta seluruh perubahannya.
Yang dimaksud dengan “data yang berpotensi” adalah data Penarikan
Cek dan/atau Bilyet Giro kosong yang belum dicantumkan dalam daftar
hitam yang berlaku di wilayah Kliring lokal.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 36
Ayat (1)
Pemberlakuan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 2/10/DASP tanggal
8 Juni 2000 perihal Tata Usaha Penarikan Cek/Bilyet Giro Kosong
beserta seluruh perubahannya dilakukan dengan memperhatikan
ketentuan Bank Indonesia mengenai Sistem Kliring Nasional Bank
Indonesia yang antara lain telah mengubah alasan penolakan warkat
debet, termasuk Cek dan/atau Bilyet Giro.
Ayat (2) …
-22-
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4669
"," PBI
8/29/PBI/2006
DAFTAR HITAM NASIONAL PENARIK CEK DAN/ATAU BILYET GIRO KOSONG
20 Desember 2006
1 Juli 2007, kecuali ketentuan Pasal 35 ayat (1) yang berlaku sejak tanggal 20 Desember 2006
'2/10/DASP|SE-BI/2000'
'4/UU/1971', '23/UU/1999', '3/UU/2004', '7/UU/1992', '10/UU/1998', '28/32/KEP/DIR|SKDIR-BI/1995', '23/STBLD/1847', 'KUH Dagang'
'BAB VII', 'BAB XI'
"
" PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 4/ 11 /PBI/2002
TENTANG
PERLAKUAN KHUSUS TERHADAP KREDIT BANK UMUM PASCATRAGEDI
BALI
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa dengan terjadinya tragedi di Propinsi Bali, perlu dilakukan
berbagai upaya untuk mendukung pemulihan kondisi
perekonomian;
b.
bahwa salah satu upaya untuk mendukung pemulihan kondisi
perekonomian adalah dengan memberikan perlakuan khusus
terhadap kredit bank umum;
c.
bahwa sehubungan dengan itu dipandang perlu untuk menetapkan
ketentuan mengenai perlakuan khusus terhadap kredit bank umum
pascatragedi Bali dalam Peraturan Bank Indonesia;
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31; Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182; Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3790);
2.
Undang-undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 74;
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3611);
3.
Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66;
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERLAKUAN
KHUSUS TERHADAP KREDIT BANK UMUM PASCATRAGEDI
BALI.
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor
7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-
undang Nomor 10 Tahun 1998, termasuk Kantor Cabang Bank Asing.
2.
Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu,
berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara Bank
dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya
setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga, termasuk:
a. Pembelian surat berharga nasabah yang dilengkapi dengan Note Purchase
Agreement (NPA);
b. Pengambilalihan tagihan dalam rangka anjak piutang.
3.
Usaha Kecil adalah usaha kecil sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Pasal 2
(1) Penggolongan kualitas Kredit atau penyediaan dana lain dari Bank bagi nasabah
debitur Usaha Kecil dengan plafon keseluruhan maksimum sebesar
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) didasarkan atas ketepatan pembayaran
pokok dan bunga sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia tentang
Kualitas Aktiva Produktif yang berlaku.
(2) Nasabah debitur Usaha Kecil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah
nasabah debitur yang dibiayai oleh Bank dan memiliki usaha produktif dengan
lokasi proyek atau lokasi usaha di Propinsi Bali.
Pasal 3
(1) Penggolongan kualitas Kredit yang direstrukturisasi dapat ditetapkan Lancar
dalam jangka waktu 1 (satu) tahun.
(2) Pelaksanaan restrukturisasi kredit mengacu kepada ketentuan Bank Indonesia
tentang Restrukturisasi Kredit yang berlaku.
Pasal 4
Penggolongan kualitas Kredit yang direstrukturisasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (1) hanya berlaku untuk Kredit yang memenuhi persyaratan-persyaratan
sebagai berikut :
a. disalurkan kepada nasabah debitur yang dibiayai oleh Bank dan memiliki usaha
produktif dengan lokasi proyek atau lokasi usaha di Propinsi Bali;
b. memiliki kualitas Lancar atau Dalam Perhatian Khusus sebelum terjadinya
tragedi Bali; dan
c. telah atau diperkirakan akan mengalami kesulitan pembayaran pokok dan/atau
bunga Kredit yang disebabkan dampak dari tragedi Bali.
Pasal 5
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 20 Desember 2002
GUBERNUR BANK INDONESIA
SYAHRIL SABIRIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2002 NOMOR DPNP
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 4/ /PBI/2002
TENTANG
PERLAKUAN KHUSUS TERHADAP KREDIT BANK UMUM PASCATRAGEDI
BALI
UMUM
Sebagaimana dimaklumi peristiwa tragedi Bali pada tanggal 12 Oktober 2002
diperkirakan akan memberikan dampak pada perekonomian Indonesia khususnya di
Propinsi Bali. Nasabah debitur yang terkena dampak tragedi Bali diperkirakan akan
mengalami kesulitan dalam melunasi kewajibannya sesuai dengan perjanjian Kredit.
Sehubungan dengan itu maka Bank Indonesia memandang perlu untuk
memberikan perlakuan khusus terhadap kredit bank umum dalam rangka memberikan
kesempatan bagi nasabah debitur untuk melakukan perbaikan usaha guna mendukung
pemulihan perekonomian di Propinsi Bali.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Termasuk dalam pengertian Kredit adalah Pembiayaan berdasarkan Prinsip
Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 Angka 12 Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 10 tahun 1998.
Angka 3
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan penyediaan dana lain adalah penerbitan jaminan dan
pembukaan letter of credit.
Perhitungan batas pemberian fasilitas kredit atau penyediaan dana lain
berlaku baik untuk debitur individual maupun debitur grup serta untuk seluruh
fasilitas yang diterima dari 1 (satu) Bank.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Jangka waktu 1 (satu) tahun dihitung sejak tanggal ditetapkannya Peraturan
Bank Indonesia ini.
Sesuai ketentuan yang berlaku, Bank wajib membentuk Penyisihan
Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP) sekurang-kurangnya sebesar 1% (satu
perseratus) dari aktiva produktif dengan kualitas Lancar. Dengan demikian
Bank dapat membentuk PPAP lebih dari ketentuan yang berlaku.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 4
Penggolongan kualitas Kredit yang direstrukturisasi dan tidak memenuhi kriteria
dalam Pasal ini, tunduk pada ketentuan Bank Indonesia tentang Restrukturisasi
Kredit yang berlaku.
Pasal 5
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR
"," PBI
4/11/PBI/2002
PERLAKUAN KHUSUS TERHADAP KREDIT BANK UMUM PASCATRAGEDI BALI
20 Desember 2002
20 Desember 2002
'23/UU/1999', '7/UU/1992', '10/UU/1998', '9/UU/1995'
"
" PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 12/ 14 /PBI/2010
TENTANG
PENCABUTAN DAN PENARIKAN DARI PEREDARAN UANG LOGAM
PECAHAN 25 (DUA PULUH LIMA) RUPIAH TAHUN EMISI 1991
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang
: a. bahwa uang logam pecahan 25 (dua puluh lima) rupiah
sudah tidak banyak dipergunakan oleh masyarakat
dalam melakukan pembayaran;
b. bahwa nilai intrinsik dan biaya pencetakan uang logam
pecahan 25 (dua puluh lima) rupiah tahun emisi 1991
saat ini telah lebih besar dari nilai nominalnya;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu untuk
mengatur ketentuan mengenai pencabutan dan
penarikan dari peredaran uang logam pecahan 25 (dua
puluh lima) rupiah tahun emisi 1991 dalam suatu
Peraturan Bank Indonesia;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun
1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843)
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan
Peraturan . . .
2
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962);
2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/14/PBI/2004
tentang Pengeluaran, Pengedaran, Pencabutan dan
Penarikan, serta Pemusnahan Uang Rupiah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 52,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4388) sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/10/PBI/2007
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007
Nomor 113, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4762);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan
: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG
PENCABUTAN DAN PENARIKAN DARI
PEREDARAN UANG LOGAM PECAHAN 25 (DUA
PULUH LIMA) RUPIAH TAHUN EMISI 1991.
Pasal 1
(1) Bank Indonesia mencabut dan menarik dari peredaran uang logam pecahan
25 (dua puluh lima) rupiah tahun emisi 1991.
(2) Uang . . .
3
(2) Uang logam rupiah yang dicabut dan ditarik dari peredaran sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dinyatakan tidak berlaku lagi sebagai alat
pembayaran yang sah sejak tanggal 31 Agustus 2010.
Pasal 2
Uang logam rupiah yang dicabut dan ditarik dari peredaran sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 dapat ditukarkan di Bank Indonesia dan/atau Bank
Umum dalam jangka waktu tertentu.
Pasal 3
Jangka waktu dan tempat penukaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ditetapkan sebagai berikut:
1. Terhitung sejak tanggal 31 Agustus 2010 sampai dengan tanggal
30 Agustus 2015 penukaran dilakukan di Bank Indonesia dan/atau Bank
Umum.
2. Terhitung sejak tanggal 31 Agustus 2015 sampai dengan tanggal
30 Agustus 2020 penukaran hanya dapat dilakukan di Bank Indonesia.
Pasal 4
Hak untuk menuntut penukaran uang logam rupiah yang telah dicabut dan ditarik
dari peredaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 tidak berlaku lagi setelah
10 (sepuluh) tahun terhitung sejak tanggal pencabutan atau tanggal 31 Agustus
2020.
Pasal 5
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 31 Agustus 2010.
Agar . . .
4
Agar setiap orang mengetahuinya memerintahkan pengundangan Peraturan Bank
Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 13 Agustus 2010
Pjs. GUBERNUR BANK INDONESIA,
DARMIN NASUTION
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 13 Agustus 2010
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
PATRIALIS AKBAR
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 96
DPU
"," PBI
12/14/PBI/2010
PENCABUTAN DAN PENARIKAN DARI PEREDARAN UANG LOGAM PECAHAN 25 (DUA PULUH LIMA) RUPIAH TAHUN EMISI 1991
13 Agustus 2010
31 Agustus 2010
13 Agustus 2010
'23/UU/1999', '6/UU/2009', '6/14/PBI/2004', '9/10/PBI/2007', '2/PERPPU/2008'
"
" PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 6/30/PBI/2004
TENTANG
PENYELENGGARAAN KEGIATAN ALAT PEMBAYARAN
DENGAN MENGGUNAKAN KARTU
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a.
bahwa
penyelenggaraan kegiatan Alat
Pembayaran
Dengan Menggunakan Kartu yang dilaksanakan oleh
Bank atau Lembaga Selain Bank telah mengalami
pertumbuhan yang sangat signifikan, dan sampai saat ini
belum
terdapat pengaturan atas penyelenggaraan
kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu
tersebut;
b. bahwa untuk memberikan kepastian hukum terhadap
penyelenggaraan kegiatan Alat
penyelenggaraan kegiatan
Pembayaran Dengan
Menggunakan Kartu, dipandang perlu untuk menetapkan
ketentuan mengenai
Alat
Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu tersebut dalam
Peraturan Bank Indonesia;
Mengingat :
1. Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah
dengan …
-2-
dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998
Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik
Indonesia
Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4357);
M E M U T U S K A N :
Menetapkan
: PERATURAN
BANK INDONESIA TENTANG
PENYELENGGARAAN KEGIATAN ALAT
PEMBAYARAN DENGAN MENGGUNAKAN KARTU.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini, yang dimaksud dengan :
1. Bank adalah Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
sebagaimana …
-3-
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998,
termasuk pula kantor cabang Bank asing.
2. Lembaga Selain Bank adalah badan hukum yang didirikan berdasarkan
hukum Indonesia atau badan usaha yang kantor pusatnya berkedudukan di
luar negeri yang melakukan kegiatan yang berkaitan dengan Alat Pembayaran
Dengan Menggunakan Kartu di Indonesia.
3. Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu adalah alat pembayaran yang
berupa Kartu Kredit, Kartu Automated Teller Machine (ATM), Kartu Debet,
Kartu Prabayar, dan atau yang dipersamakan dengan itu.
4. Kartu Kredit adalah Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu yang
dapat digunakan untuk melakukan pembayaran atas kewajiban yang timbul
dari suatu kegiatan ekonomi, termasuk transaksi pembelanjaan dan atau untuk
melakukan penarikan tunai dimana kewajiban pembayaran Pemegang Kartu
dipenuhi terlebih dahulu oleh Penerbit atau Acquirer, dan Pemegang Kartu
berkewajiban melakukan pelunasan kewajiban pembayaran tersebut pada
waktu yang disepakati baik secara sekaligus ataupun secara angsuran.
5. Kartu ATM adalah Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu yang dapat
digunakan untuk melakukan penarikan tunai dan atau pemindahan dana
dimana kewajiban Pemegang Kartu dipenuhi seketika dengan mengurangi
secara langsung simpanan Pemegang Kartu pada Bank atau Lembaga Selain
Bank yang mendapat persetujuan untuk menghimpun dana.
6. Kartu Debet adalah Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu yang
dapat digunakan untuk melakukan pembayaran atas kewajiban yang timbul
dari suatu kegiatan ekonomi, termasuk transaksi pembelanjaan, penarikan
tunai, dan atau pemindahan dana, dimana kewajiban Pemegang Kartu
dipenuhi seketika dengan mengurangi secara langsung simpanan Pemegang
Kartu …
-4-
Kartu pada Bank atau Lembaga Selain Bank yang mendapat persetujuan
untuk menghimpun dana.
7. Kartu Prabayar adalah Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu yang
dapat digunakan untuk melakukan pembayaran atas kewajiban yang timbul
dari suatu kegiatan ekonomi, termasuk transaksi pembelanjaan, penarikan
tunai dan atau pemindahan dana, dimana Pemegang Kartu menyetorkan
terlebih dahulu sejumlah dana tertentu kepada Penerbit, dan kewajiban
Pemegang Kartu dipenuhi seketika dengan mengurangi secara langsung nilai
dana tersebut.
8. Pemegang Kartu adalah pengguna sah dari Alat Pembayaran Dengan
Menggunakan Kartu.
9. Penyelenggara adalah Bank atau Lembaga Selain Bank yang melakukan
kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu baik sebagai
Prinsipal, Penerbit, dan atau Acquirer.
10. Prinsipal adalah Bank atau Lembaga Selain Bank yang menjadi pemilik
tunggal
hak atas merek
Menggunakan Kartu.
11. Penerbit adalah Bank atau Lembaga Selain Bank yang menerbitkan Alat
Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu untuk Pemegang Kartu dengan
menggunakan merek tertentu atas persetujuan Prinsipal.
12. Acquirer adalah Bank atau Lembaga Selain Bank yang melakukan kegiatan
Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu yang dapat berupa Financial
Acquirer dan atau Technical Acquirer.
13. Financial Acquirer adalah Acquirer yang melakukan pembayaran terlebih
dahulu atas transaksi yang dilakukan oleh Pemegang Kartu dengan penyedia
barang dan atau jasa.
14. Technical …
dalam kegiatan Alat Pembayaran
Dengan
-5-
14. Technical Acquirer adalah Acquirer yang menyediakan
sarana yang
diperlukan dalam pemrosesan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu
berdasarkan perjanjian dengan penyedia barang dan atau jasa.
BAB II
PERSETUJUAN PENYELENGGARAAN KEGIATAN
Bagian Pertama
Prinsipal
Pasal 2
(1) Prinsipal dalam penyelenggaraan kegiatan
Menggunakan Kartu terdiri dari :
a.
Alat Pembayaran Dengan
Prinsipal khusus yaitu Prinsipal yang hak atas mereknya hanya
digunakan oleh Prinsipal yang bersangkutan, yang sekaligus bertindak
sebagai Penerbit dan atau Acquirer.
b. Prinsipal umum yaitu :
1) Prinsipal yang hak atas mereknya selain digunakan oleh Prinsipal
yang bersangkutan juga digunakan oleh Penerbit lain berdasarkan
suatu perjanjian tertulis; atau
2) Prinsipal yang hak atas mereknya digunakan oleh Penerbit lain
berdasarkan suatu perjanjian tertulis.
(2) Prinsipal umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b hanya dapat
dilakukan oleh Lembaga Selain Bank.
Pasal …
-6-
Pasal 3
Bank atau Lembaga Selain Bank yang akan bertindak sebagai Prinsipal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 harus melaporkan secara tertulis rencana
kegiatannya kepada Bank Indonesia.
Pasal 4
(1) Bank Indonesia dapat melakukan kerja sama dengan Prinsipal dalam rangka
meningkatkan keamanan dan kelancaran penyelenggaraan kegiatan Alat
Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu.
(2) Prinsipal wajib menghentikan sementara persetujuan penggunaan merek
kepada Penerbit apabila Bank Indonesia mengenakan sanksi penghentian
sementara kepada Penerbit tersebut sebagaimana diatur dalam Peraturan
Bank Indonesia ini.
Bagian Kedua
Penerbit
Pasal 5
(1) Lembaga Selain Bank yang dapat bertindak sebagai Penerbit Kartu Kredit
adalah Lembaga Selain Bank yang telah memperoleh izin dari Departemen
Keuangan Republik Indonesia untuk menjalankan kegiatan Kartu Kredit.
(2) Lembaga Selain Bank yang dapat bertindak sebagai Penerbit Kartu ATM,
Kartu Debet, dan atau Kartu Prabayar adalah Lembaga Selain Bank yang
mempunyai kewenangan untuk melakukan kegiatan penghimpunan dana
dari …
-7-
dari masyarakat dalam bentuk simpanan berdasarkan ketentuan yang
mengatur mengenai Lembaga Selain Bank tersebut.
Pasal 6
(1) Bank atau Lembaga Selain Bank yang akan bertindak sebagai Penerbit
wajib mendapat persetujuan dari Bank Indonesia.
(2) Untuk mendapatkan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank
atau Lembaga Selain Bank harus menyampaikan permohonan secara tertulis
kepada Bank Indonesia.
(3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dilampiri dengan
dokumen-dokumen sebagai berikut:
a. Bank
1) Rencana kerja Bank yang di dalamnya mencantumkan rencana
kegiatan Bank sebagai Penerbit;
2) Hasil analisis bisnis dari kegiatan Alat Pembayaran Dengan
Menggunakan Kartu yang akan dilakukan untuk 1 (satu) tahun ke
depan;
3) Bukti kesiapan perangkat hukum;
4) Bukti kesiapan penerapan manajemen risiko; dan
5) Bukti kesiapan operasional.
b. Lembaga Selain Bank
1) Fotokopi akta pendirian badan hukum yang telah disahkan oleh
pihak yang berwenang atau fotokopi akta pendirian badan usaha
untuk Lembaga Selain Bank yang kantor pusatnya berkedudukan di
luar negeri yang telah disahkan oleh pihak yang berwenang;
2) Hasil …
-8-
2) Hasil analisis bisnis dari kegiatan Alat Pembayaran Dengan
Menggunakan Kartu yang akan dilakukan untuk 1 (satu) tahun ke
depan;
3) Bukti kesiapan perangkat hukum;
4) Bukti kesiapan penerapan manajemen risiko; dan
5) Bukti kesiapan operasional.
(4) Dalam hal Penerbit bekerjasama dengan Technical Acquirer, Penerbit
tersebut harus meminta Technical Acquirer melaporkan kegiatannya kepada
Bank Indonesia.
(5) Dalam hal Technical Acquirer sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
merupakan Technical Acquirer yang berbadan hukum Indonesia atau
berkedudukan di Indonesia, selain memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), Penerbit tersebut harus pula
meminta Technical Acquirer memenuhi standar uji keamanan sistem
berdasarkan hasil pemeriksaan security auditor yang independent.
Pasal 7
(1) Persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagai Penerbit diberikan
paling lambat 60 (enam puluh) hari kerja setelah surat permohonan
persetujuan beserta dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3)
diterima secara lengkap oleh Bank Indonesia.
(2) Apabila dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari kerja sejak tanggal
persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Bank atau Lembaga Selain
Bank yang telah mendapat persetujuan sebagai Penerbit telah melaksanakan
kegiatannya, Bank atau Lembaga Selain Bank tersebut harus melaporkan
dimulainya kegiatan sebagai Penerbit secara tertulis kepada Bank Indonesia
paling …
-9-
paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak tanggal dimulainya
kegiatan tersebut.
(3) Apabila dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari kerja sejak tanggal
persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Bank atau Lembaga Selain
Bank
yang
melaksanakan kegiatannya, Bank atau Lembaga Selain Bank dimaksud
harus melaporkan secara tertulis kepada Bank Indonesia mengenai alasan
belum
dapat dilaksanakannya kegiatan tersebut dan rencana waktu
penyelenggaraannya, paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak
tanggal berakhirnya jangka waktu 60 (enam puluh) hari kerja tersebut.
(4) Dalam hal Penerbit tidak melaporkan kegiatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dan atau terjadi kondisi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Bank
Indonesia menetapkan langkah-langkah selanjutnya yang harus dilakukan
oleh Bank atau Lembaga Selain Bank tersebut.
Pasal 8
(1) Bank Indonesia berwenang untuk :
a. menunda pemberlakuan persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
7 ayat (1) apabila menurut penilaian Bank Indonesia, Bank atau
Lembaga Selain Bank tersebut tidak dapat bertindak sebagai Penerbit
untuk sementara waktu; atau
b. membatalkan persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1)
apabila menurut penilaian Bank Indonesia, Bank atau Lembaga Selain
Bank tersebut tidak dapat bertindak sebagai Penerbit.
(2) Penundaan …
telah mendapat persetujuan sebagai Penerbit belum
-10-
(2) Penundaan atau pembatalan persetujuan oleh Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) antara lain didasarkan pada :
a. memburuknya kondisi keuangan Bank; atau
b. adanya rekomendasi dari otoritas pengawas Lembaga Selain Bank
untuk menunda berlakunya atau membatalkan persetujuan yang telah
diberikan kepada Lembaga Selain Bank sebagai Penerbit.
(3) Dalam
hal Bank
Indonesia menunda
pemberlakuan
persetujuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, kegiatan sebagai Penerbit
dapat dilakukan setelah terdapat pemberitahuan tertulis dari Bank Indonesia.
Pasal 9
(1) Persetujuan yang telah diberikan oleh Bank Indonesia kepada Bank atau
Lembaga Selain Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) tidak
mengikat
kepada Bank atau Lembaga Selain Bank tersebut.
(2) Dalam memberikan persetujuan kepada Bank atau Lembaga Selain Bank
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Prinsipal dapat menetapkan syarat-
syarat lain diluar persyaratan yang telah ditetapkan dalam Peraturan Bank
Indonesia ini.
Prinsipal untuk memberikan persetujuan penggunaan merek
Bagian …
-11-
Bagian Ketiga
Acquirer
Pasal 10
Lembaga Selain Bank yang dapat bertindak sebagai Financial Acquirer adalah
Lembaga Selain Bank yang mempunyai kewenangan untuk melakukan kegiatan
pemberian kredit atau pembiayaan
mengenai Lembaga Selain Bank tersebut.
Pasal 11
Penerbit yang akan melakukan kegiatan sebagai Acquirer harus melaporkan
rencana kegiatan sebagai Acquirer tersebut kepada Bank Indonesia.
Pasal 12
(1) Bank atau Lembaga Selain Bank yang akan bertindak sebagai Financial
Acquirer wajib mendapat persetujuan Bank Indonesia.
(2) Untuk mendapatkan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank
atau Lembaga Selain Bank harus menyampaikan permohonan secara tertulis
kepada Bank Indonesia.
(3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dilampiri
dokumen-dokumen sebagai berikut :
a. Bank
1) Rencana kerja Bank yang di dalamnya mencantumkan rencana
kegiatan Bank sebagai Financial Acquirer;
2) Hasil …
berdasarkan ketentuan yang mengatur
-12-
2) Hasil analisis bisnis dari kegiatan Alat Pembayaran Dengan
Menggunakan Kartu yang akan dilakukan untuk 1 (satu) tahun ke
depan;
3) Bukti kesiapan perangkat hukum;
4) Bukti kesiapan penerapan manajemen risiko; dan
5) Bukti kesiapan operasional.
b. Lembaga Selain Bank
1) Fotokopi akta pendirian badan hukum yang telah disahkan oleh
pihak yang berwenang atau fotokopi akta pendirian badan usaha
untuk Lembaga Selain Bank yang kantor pusatnya berkedudukan di
luar negeri yang telah disahkan oleh pihak yang berwenang;
2) Hasil analisis bisnis dari kegiatan Alat Pembayaran Dengan
Menggunakan Kartu yang akan dilakukan untuk 1 (satu) tahun ke
depan;
3) Bukti kesiapan perangkat hukum;
4) Bukti rencana penerapan manajemen risiko; dan
5) Bukti kesiapan operasional.
(4) Dalam hal Financial Acquirer sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
bekerjasama dengan Technical Acquirer, Financial Acquirer tersebut harus
meminta Technical Acquirer melaporkan kegiatannya kepada Bank
Indonesia.
(5) Dalam hal Technical Acquirer sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
merupakan Technical Acquirer yang berbadan hukum Indonesia atau
berkedudukan di Indonesia, selain memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), Financial Acquirer tersebut
harus meminta Technical Acquirer untuk memenuhi standar uji keamanan
sistem berdasarkan hasil pemeriksaan security auditor yang independent.
Pasal …
-13-
Pasal 13
(1) Persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagai Financial Acquirer
diberikan paling
lambat 60 (enam puluh) hari kerja setelah surat
permohonan persetujuan beserta dokumen sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12 ayat (3) diterima secara lengkap oleh Bank Indonesia.
(2) Apabila dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari kerja sejak tanggal
persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Bank atau Lembaga Selain
Bank yang telah mendapat persetujuan sebagai Financial Acquirer telah
melaksanakan kegiatannya, Bank atau Lembaga Selain Bank tersebut harus
melaporkan dimulainya kegiatan sebagai Financial Acquirer secara tertulis
kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak
tanggal dimulainya kegiatan tersebut.
(3) Apabila dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari kerja sejak tanggal
persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Bank atau Lembaga Selain
Bank yang telah mendapat persetujuan sebagai Financial Acquirer belum
melaksanakan kegiatannya, Bank atau Lembaga Selain Bank dimaksud
harus melaporkan secara tertulis kepada Bank Indonesia mengenai alasan
belum
dapat dilaksanakannya kegiatan tersebut dan rencana waktu
penyelenggaraannya, paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak
tanggal berakhirnya jangka waktu 60 (enam puluh) hari kerja tersebut.
(4) Dalam hal Financial Acquirer tidak melaporkan kegiatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dan atau terjadi kondisi sebagaimana dimaksud
pada ayat (3), Bank Indonesia menetapkan langkah-langkah selanjutnya
yang harus dilakukan oleh Bank atau Lembaga Selain Bank tersebut.
Pasal …
-14-
Pasal 14
(1) Bank Indonesia berwenang untuk :
a. menunda pemberlakuan persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
13 ayat (1) apabila menurut penilaian Bank Indonesia, Bank atau
Lembaga Selain Bank tersebut tidak dapat bertindak sebagai Financial
Acquirer untuk sementara waktu; atau
b. membatalkan persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat
(1) apabila menurut penilaian Bank Indonesia, Bank atau Lembaga
Selain Bank tersebut tidak dapat bertindak sebagai Financial Acquirer.
(2) Penundaan atau pembatalan persetujuan oleh Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) antara lain didasarkan pada :
a. memburuknya kondisi keuangan Bank; atau
b. adanya rekomendasi dari otoritas pengawas Lembaga Selain Bank untuk
menunda berlakunya atau membatalkan persetujuan yang telah diberikan
kepada Lembaga Selain Bank sebagai Financial Acquirer.
(3) Dalam
hal Bank Indonesia menunda pemberlakuan persetujuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, kegiatan sebagai Financial
Acquirer dapat dilakukan setelah terdapat pemberitahuan tertulis dari Bank
Indonesia.
BAB …
-15-
BAB III
PENYELENGGARAAN KEGIATAN
Bagian Pertama
Kartu Kredit
Pasal 15
(1) Pemberian Kartu Kredit hanya dapat dilakukan oleh Penerbit berdasarkan
permohonan tertulis dari calon Pemegang Kartu.
(2) Penyimpangan atas ketentuan ayat (1) hanya dapat dilakukan secara selektif
berdasarkan persyaratan yang telah ditetapkan dalam ketentuan internal dari
Penerbit yang bersangkutan.
Pasal 16
(1) Dalam pemberian Kartu Kredit, Penerbit wajib menerapkan manajemen
risiko sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
manajemen risiko.
(2) Selain memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penerbit
wajib pula menerapkan manajemen risiko kredit yang sekurang-kurangnya
meliputi :
a. penetapan minimum usia calon Pemegang Kartu;
b. penetapan minimum pendapatan calon Pemegang Kartu;
c. penetapan batas maksimum kredit calon Pemegang Kartu;
d. penetapan persentase minimum pembayaran oleh Pemegang Kartu,
sekurang-kurangnya sebesar 10 % (sepuluh per seratus) dari total
tagihan; dan
e. prosedur …
-16-
e. prosedur pemberian persetujuan kepada calon Pemegang Kartu.
(3) Dalam hal calon Pemegang Kartu tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf b, sedangkan Penerbit dengan alasan-alasan
tertentu menilai calon Pemegang Kartu layak untuk diberikan persetujuan,
Penerbit dapat memberikan Kartu Kredit kepada calon Pemegang Kartu
tersebut sepanjang Penerbit mempunyai manajemen risiko kredit khusus
untuk kondisi dimaksud.
(4) Bank Indonesia dapat menetapkan minimum usia, minimum pendapatan,
dan atau batas maksimum kredit, sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf
a, huruf b, dan atau huruf c.
(5) Penetapan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan perubahan
atas penetapan besarnya persentase minimum pembayaran sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf d diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 17
(1) Penerbit wajib memberikan informasi secara tertulis kepada Pemegang
Kartu, sekurang-kurangnya hal-hal sebagai berikut:
a. prosedur dan tata cara penggunaan Kartu Kredit, fasilitas yang melekat
pada Kartu Kredit, dan risiko yang mungkin timbul dari penggunaaan
Kartu Kredit;
b. hak dan kewajiban Pemegang Kartu;
c. tata cara pengajuan pengaduan atas Kartu Kredit yang diberikan dan
perkiraan lamanya waktu penanganan pengaduan tersebut;
d. komponen dalam penghitungan bunga;
e. komponen dalam penghitungan denda; dan
f. jenis …
-17-
f. jenis dan besarnya biaya administrasi yang dikenakan.
(2) Penerbit wajib mencantumkan dalam lembar penagihan yang disampaikan
kepada Pemegang Kartu, sekurang-kurangnya hal-hal sebagai berikut
:
a. besarnya minimum pembayaran oleh Pemegang Kartu;
b. tanggal jatuh tempo pembayaran;
c. besarnya persentase bunga per bulan dan persentase perhitungan bunga
per tahun (annual percentage rate) atas transaksi yang dilakukan,
termasuk bunga atas transaksi pembelian barang atau jasa, penarikan
tunai, dan manfaat lainnya dari Kartu Kredit apabila bunga atas
masing-masing transaksi tersebut berbeda;
d. besarnya denda atas keterlambatan pembayaran oleh Pemegang Kartu;
dan
e. nominal bunga yang dikenakan.
(3)
Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib
disampaikan kembali secara tertulis kepada Pemegang Kartu apabila terjadi
perubahan atas informasi tersebut.
Pasal 18
(1) Dalam hal Penerbit melakukan penghitungan bunga dan atau denda yang
timbul atas transaksi Kartu Kredit, penghitungan bunga dan atau denda
tersebut wajib dilakukan sesuai ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai kualitas aktiva produktif dan standar akuntansi keuangan yang
berlaku.
(2) Penerbit dalam melakukan penghitungan bunga atas transaksi Kartu Kredit
wajib menerapkan asas keadilan dan kewajaran, antara lain dengan tidak
menjadikan …
-18-
menjadikan nilai transaksi yang belum jatuh tempo sebagai komponen
dalam penghitungan bunga.
Pasal 19
Penerbit dilarang melakukan hal-hal sebagai berikut :
a. memberi fasilitas yang mempunyai dampak tambahan biaya; dan atau
b. memberi fasilitas lain diluar fungsi Kartu Kredit
kepada Pemegang Kartu tanpa persetujuan tertulis dari Pemegang Kartu.
Pasal 20
(1) Penerbit wajib melakukan tukar-menukar informasi data Pemegang Kartu
dengan seluruh Penerbit lainnya yang meliputi negative list dan atau
positive list.
(2) Tukar-menukar informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
secara bilateral dan atau melalui pusat pengelola informasi.
(3) Dalam hal tukar-menukar informasi dilakukan melalui pusat pengelola
informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Bank Indonesia
menetapkan ketentuan pelaksanaan tukar menukar informasi dan pengaturan
tanggung jawab pusat pengelola informasi tersebut.
Pasal 21
(1) Dalam hal Penerbit bertindak pula sebagai Financial Acquirer, selain wajib
menerapkan manajemen risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16
ayat …
-19-
ayat (1) dan ayat (2), Penerbit tersebut wajib pula menerapkan pengendalian
risiko keuangan dalam hal terjadi kerugian akibat penggunaan kartu palsu.
(2) Dalam hal Penerbit bertindak pula sebagai Technical Acquirer, selain wajib
menerapkan manajemen risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat
(1) dan ayat (2), Penerbit tersebut wajib pula menerapkan manajemen risiko
operasional yang sekurang-kurangnya meliputi :
a. penyediaan sarana pengganti (back-up system) dalam hal terjadi
gangguan pada perangkat keras dan jaringan komunikasi yang menjadi
tanggung jawab Acquirer; dan
b. penyediaan sarana back-up data transaksi.
(3) Dalam hal Penerbit bekerjasama dengan Financial Acquirer, Penerbit
wajib memastikan
bahwa Financial Acquirer tersebut menerapkan
pengendalian risiko keuangan dalam hal terjadi kerugian akibat penggunaan
kartu palsu sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Dalam hal Penerbit bekerjasama dengan Technical Acquirer, Penerbit wajib
memastikan bahwa Technical Acquirer tersebut menerapkan manajemen
risiko operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
Bagian Kedua
Kartu ATM, Kartu Debet, dan atau Kartu Prabayar
Pasal 22
(1) Dalam pemberian Kartu ATM, Kartu Debet, dan atau Kartu Prabayar,
Penerbit wajib menerapkan manajemen risiko sesuai dengan ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai manajemen risiko.
(2) Selain …
-20-
(2) Selain memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penerbit
wajib pula menerapkan manajemen risiko operasional yang sekurang-
kurangnya meliputi :
a. penetapan batas maksimum nilai transaksi;
b. penetapan batas maksimum penarikan uang tunai; dan
c. penetapan batas maksimum nilai yang tersimpan pada kartu, khusus
untuk Kartu Prabayar.
(3) Bank Indonesia dapat menetapkan batas maksimum nilai transaksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, dan batas maksimum nilai
yang tersimpan pada Kartu Prabayar sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf c.
(4) Penetapan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam
Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 23
(1) Dalam hal Penerbit bertindak pula sebagai Financial Acquirer, selain wajib
menerapkan manajemen risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22
ayat (1) dan ayat (2), Penerbit tersebut wajib pula menerapkan pengendalian
risiko keuangan dalam hal terjadi kerugian akibat penggunaan kartu palsu.
(2) Dalam hal Penerbit bertindak pula sebagai Technical Acquirer, selain wajib
menerapkan manajemen risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat
(1) dan ayat (2), Penerbit tersebut wajib pula menerapkan manajemen risiko
operasional yang sekurang-kurangnya meliputi :
a. penyediaan …
-21-
a. penyediaan sarana pengganti (back-up system) dalam hal terjadi
gangguan pada perangkat keras dan jaringan komunikasi yang menjadi
tanggung jawab Acquirer; dan
b. penyediaan sarana back-up data transaksi.
(3) Dalam hal Penerbit bekerjasama dengan Financial Acquirer, Penerbit wajib
memastikan bahwa Financial Acquirer tersebut menerapkan pengendalian
risiko keuangan dalam hal terjadi kerugian akibat penggunaan kartu palsu
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Dalam hal Penerbit bekerjasama dengan Technical Acquirer, Penerbit wajib
memastikan bahwa Technical Acquirer tersebut menerapkan manajemen
risiko operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
Pasal 24
Penerbit wajib memberikan informasi secara tertulis kepada Pemegang Kartu,
sekurang-kurangnya hal-hal sebagai berikut:
a. prosedur dan tata cara penggunaan Kartu ATM, Kartu Debet, dan atau Kartu
Prabayar, fasilitas yang melekat pada Kartu ATM, Kartu Debet, dan atau
Kartu Prabayar, dan risiko yang mungkin timbul dari penggunaan Kartu
ATM, Kartu Debet, dan atau Kartu Prabayar;
b. hak dan kewajiban Pemegang Kartu; dan
c. tata cara pengajuan pengaduan atas produk yang diberikan dan perkiraan
lamanya waktu penanganan pengaduan tersebut.
BAB …
-22-
BAB IV
PENGHENTIAN KEGIATAN OLEH PENYELENGGARA
Pasal 25
(1) Penyelenggara harus melaporkan secara tertulis kepada Bank Indonesia
apabila akan menghentikan kegiatannya.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan paling
lambat 1 (satu) bulan sebelum Penyelenggara menghentikan kegiatannya.
BAB V
KLIRING DAN PENYELESAIAN AKHIR
Pasal 26
(1) Dalam
hal penyelenggaraan kegiatan Alat Pembayaran Dengan
Menggunakan Kartu memerlukan kegiatan kliring untuk memperhitungkan
hak dan kewajiban keuangan masing-masing Penerbit dan atau Acquirer
maka kegiatan tersebut diselenggarakan oleh Bank Indonesia atau pihak lain
dengan persetujuan Bank Indonesia.
(2) Persetujuan kepada pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan untuk penyelenggaraan kliring yang
Republik Indonesia.
dilakukan di wilayah
(3) Penyelenggara kegiatan kliring sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib
menyampaikan laporan secara tertulis kepada Bank Indonesia mengenai
penyelenggaraan kegiatan kliring dimaksud.
(4) Dalam …
-23-
(4) Dalam
hal kegiatan kliring sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diselenggarakan di luar wilayah Republik Indonesia, penyelenggara
kegiatan kliring tidak memerlukan persetujuan Bank Indonesia, tetapi wajib
menyampaikan laporan secara tertulis kepada Bank Indonesia mengenai
penyelenggaraan kegiatan
kliring
dimaksud
sepanjang
penyelenggara
tersebut memiliki kantor cabang atau kantor perwakilan di wilayah
Republik Indonesia.
(5) Tata cara pemberian persetujuan kepada pihak lain sebagai penyelenggara
kegiatan kliring sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan penyampaian
laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) diatur dalam
ketentuan Bank Indonesia.
Pasal 27
(1) Penyelesaian akhir atas perhitungan hak dan kewajiban keuangan masing-
masing Penerbit dan atau Acquirer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26
ayat (1) diselenggarakan oleh Bank Indonesia atau pihak lain dengan
persetujuan Bank Indonesia.
(2) Persetujuan kepada pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan untuk penyelenggaraan penyelesaian akhir atas transaksi dalam
mata uang rupiah untuk kartu yang diterbitkan oleh Penerbit di wilayah
Republik Indonesia.
(3) Penyelenggara kegiatan penyelesaian akhir sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) wajib menyampaikan laporan secara tertulis kepada Bank Indonesia
mengenai penyelenggaraan kegiatan penyelesaian akhir dimaksud.
(4) Dalam …
-24-
(4) Dalam hal kegiatan penyelesaian akhir sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diselenggarakan di luar wilayah Republik Indonesia, penyelenggara
kegiatan penyelesaian akhir tidak memerlukan persetujuan Bank Indonesia,
tetapi wajib menyampaikan laporan secara tertulis kepada Bank Indonesia
mengenai
penyelenggaraan kegiatan penyelesaian akhir dimaksud
sepanjang penyelenggara tersebut memiliki kantor cabang atau kantor
perwakilan di wilayah Republik Indonesia.
(5) Tata cara pemberian persetujuan kepada pihak lain sebagai penyelenggara
kegiatan penyelesaian akhir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4)
diatur dalam ketentuan Bank Indonesia.
BAB VI
PENGAWASAN
Pasal 28
(1) Bank Indonesia melakukan pengawasan baik secara langsung maupun tidak
langsung terhadap Penyelenggara.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara berkala
dan atau setiap waktu apabila diperlukan.
(3) Berdasarkan hasil pengawasan langsung maupun tidak
langsung
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia dapat melakukan
pembinaan dan atau mengenakan sanksi.
Pasal …
-25-
Pasal 29
(1) Bank Indonesia dapat menugaskan pihak lain untuk dan atas nama Bank
Indonesia melaksanakan pengawasan secara langsung
dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1).
sebagaimana
(2) Dalam rangka pengawasan langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28
ayat (1), Penyelenggara wajib memberikan :
a. keterangan dan atau data yang terkait dengan penyelenggaraan kegiatan
Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu;
b. kesempatan untuk melakukan pengawasan secara langsung sarana fisik
dan aplikasi pendukungnya yang terkait dengan penyelenggaraan
kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu; dan atau
c. hal-hal lain yang diperlukan.
Pasal 30
Dalam rangka pengawasan tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal
28 ayat (1), Penyelenggara wajib menyampaikan laporan tertulis kepada Bank
Indonesia baik secara berkala dan atau setiap waktu apabila diperlukan atas
kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu yang dilakukan.
BAB …
-26-
BAB VII
S A N K S I
Pasal 31
Prinsipal yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 4 ayat (2) dikenakan sanksi
administratif berupa teguran tertulis.
Pasal 32
Dalam hal Technical Acquirer tidak menyampaikan laporan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (4) dan atau tidak memenuhi standar uji keamanan
sistem sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (5), Bank Indonesia berwenang
untuk meminta Penerbit menghentikan kerjasama dengan Technical Acquirer
tersebut.
Pasal 33
Dalam hal Technical Acquirer tidak menyampaikan laporan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 ayat (4) dan atau tidak memenuhi standar uji keamanan
sistem sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (5), Bank Indonesia
berwenang untuk meminta Financial Acquirer menghentikan kerjasama dengan
Technical Acquirer tersebut.
Pasal 34
Penerbit Kartu Kredit yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 15 dikenakan sanksi
administratif berupa teguran tertulis.
Pasal …
-27-
Pasal 35
(1) Penerbit Kartu Kredit yang
tidak menerapkan manajemen risiko
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)
dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis.
(2) Penerbit Kartu Kredit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
menerapkan manajemen risiko kredit sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 16 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)
terhitung sejak tanggal teguran tertulis.
paling lambat 6 (enam) bulan
(3) Dalam hal Penerbit Kartu Kredit tidak menerapkan manajemen risiko kredit
tersebut dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Penerbit
Kartu Kredit tersebut dikenakan sanksi penghentian sementara kegiatan
sebagai Penerbit Kartu Kredit.
Pasal 36
(1) Penerbit yang tidak memenuhi kewajiban pemberian informasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 dan atau Pasal 24 dikenakan sanksi administratif
berupa teguran tertulis.
(2) Apabila Penerbit dalam jangka waktu 6 (enam) bulan terhitung sejak
tanggal teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap tidak
memenuhi kewajiban pemberian informasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17 dan atau Pasal 24, Penerbit tersebut dikenakan sanksi administratif
berupa teguran tertulis kedua.
(3) Apabila Penerbit dalam jangka waktu 6 (enam) bulan terhitung sejak
tanggal teguran tertulis kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tetap
tidak …
-28-
tidak memenuhi kewajiban pemberian informasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 17 dan atau Pasal 24, Penerbit tersebut dikenakan sanksi
administratif berupa teguran tertulis ketiga.
(4) Apabila Penerbit dalam jangka waktu 6 (enam) bulan terhitung sejak
tanggal teguran tertulis ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tetap
tidak memenuhi kewajiban pemberian informasi sebagaimana dimaksud
dalam
Pasal 17 dan atau Pasal 24, Penerbit tersebut dikenakan sanksi
penghentian sementara kegiatan sebagai Penerbit.
Pasal 37
(1) Penerbit Kartu Kredit yang tidak memenuhi ketentuan penghitungan bunga
dan atau denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 dikenakan sanksi
administratif berupa teguran tertulis.
(2) Penerbit Kartu Kredit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi
ketentuan penghitungan bunga dan atau denda sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 18 paling lambat 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal
teguran tertulis.
(3) Dalam hal Penerbit Kartu Kredit tidak memenuhi ketentuan penghitungan
bunga dan atau denda dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), Penerbit Kartu Kredit tersebut dikenakan sanksi penghentian sementara
kegiatan sebagai Penerbit Kartu Kredit.
Pasal …
-29-
Pasal 38
(1) Penerbit Kartu Kredit yang melanggar ketentuan Pasal 19 dikenakan sanksi
administratif berupa teguran tertulis.
(2) Apabila Penerbit Kartu Kredit dalam jangka waktu 6 (enam) bulan terhitung
sejak tanggal teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap
melanggar ketentuan Pasal 19, Penerbit Kartu Kredit tersebut dikenakan
sanksi administratif berupa teguran tertulis kedua.
(3) Apabila Penerbit Kartu Kredit dalam jangka waktu 6 (enam) bulan terhitung
sejak tanggal teguran tertulis kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
tetap melanggar ketentuan Pasal 19, Penerbit Kartu Kredit tersebut
dikenakan sanksi penghentian sementara kegiatan sebagai Penerbit Kartu
Kredit.
Pasal 39
(1) Penerbit Kartu Kredit yang tidak memenuhi kewajiban melakukan tukar
menukar informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1)
dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis.
(2) Penerbit Kartu Kredit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi
ketentuan kewajiban melakukan tukar menukar
informasi
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) paling lambat 6 (enam) bulan terhitung
sejak tanggal teguran tertulis.
(3) Dalam hal Penerbit Kartu Kredit tidak memenuhi kewajiban melakukan
tukar menukar informasi tersebut dalam jangka waktu sebagaimana
dimaksud …
-30-
dimaksud pada ayat (2), Penerbit Kartu Kredit tersebut dikenakan sanksi
penghentian sementara kegiatan sebagai Penerbit Kartu Kredit.
Pasal 40
(1) Penerbit Kartu Kredit yang tidak
memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21 dikenakan sanksi administratif berupa teguran
tertulis.
(2) Penerbit Kartu Kredit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 paling lambat 6 (enam)
bulan terhitung sejak tanggal teguran tertulis.
(3) Dalam hal Penerbit Kartu Kredit tidak memenuhi ketentuan Pasal 21 dalam
jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Penerbit Kartu Kredit
tersebut dikenakan sanksi penghentian sementara kegiatan sebagai Penerbit
Kartu Kredit, Financial Acquirer, dan atau Technical Acquirer.
Pasal 41
(1) Penerbit Kartu ATM, Kartu Debet, dan atau Kartu Prabayar yang tidak
menerapkan manajemen risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat
(1) dan ayat (2) dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis.
(2) Penerbit Kartu ATM, Kartu Debet, dan atau Kartu Prabayar sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib menerapkan manajemen risiko sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) dan ayat (2) paling lambat 6 (enam)
bulan terhitung sejak tanggal teguran tertulis.
(3) Dalam …
-31-
(3) Dalam hal Penerbit Kartu ATM, Kartu Debet, dan atau Kartu Prabayar tidak
menerapkan manajemen risiko tersebut dalam jangka waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), Penerbit Kartu ATM, Kartu Debet, dan atau Kartu
Prabayar tersebut dikenakan sanksi penghentian sementara kegiatan
sebagai Penerbit Kartu ATM, Kartu Debet, dan atau Kartu Prabayar.
Pasal 42
(1) Penerbit Kartu ATM, Kartu Debet, dan atau Kartu Prabayar yang tidak
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
sanksi administratif berupa teguran tertulis.
Pasal 23 dikenakan
(2) Penerbit Kartu ATM, Kartu Debet, dan atau Kartu Prabayar sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 23 paling lambat 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal
teguran tertulis.
(3) Dalam hal Penerbit Kartu ATM, Kartu Debet, dan atau Kartu Prabayar tidak
memenuhi ketentuan Pasal 23 dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), Penerbit Kartu ATM, Kartu Debet, dan atau Kartu Prabayar
tersebut dikenakan sanksi penghentian sementara kegiatan sebagai
Penerbit, Financial Acquirer, dan atau Technical Acquirer Kartu ATM,
Kartu Debet, dan atau Kartu Prabayar.
Pasal 43
Penyelenggara yang tidak memberikan keterangan, data, hal-hal lain yang
diperlukan dalam rangka pengawasan, dan atau tidak memberi kesempatan
pengawas …
-32-
pengawas untuk melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29
ayat (2), dikenakan sanksi penghentian sementara kegiatan sebagai
Penyelenggara.
Pasal 44
Penyelenggara yang tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 30 setelah berakhirnya batas waktu penyampaian laporan dikenakan sanksi
administratif berupa teguran tertulis dan sanksi kewajiban membayar sebesar
Rp. 100.000,00 (seratus ribu rupiah) per hari keterlambatan dengan maksimum
kewajiban membayar sebesar Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah).
Pasal 45
Bank atau Lembaga Selain Bank yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 51 dikenakan sanksi penghentian sementara kegiatan
sebagai Penyelenggara.
Pasal 46
Bank atau Lembaga Selain Bank yang telah menyelenggarakan kegiatan kliring
dan atau penyelesaian akhir sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini
yang
tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52
dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis.
BAB …
-33-
BAB VIII
LAIN-LAIN
Pasal 47
Penyelenggara secara bersama-sama wajib turut serta secara aktif dalam
penanggulangan tindak kejahatan dalam penggunaan Alat Pembayaran Dengan
Menggunakan Kartu.
Pasal 48
Penyelenggaraan kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu oleh
Bank syariah tunduk kepada Peraturan Bank Indonesia ini dengan tetap
berpegang pada prinsip syariah yang berlaku.
Pasal 49
Bank Perkreditan Rakyat dapat menyelenggarakan kegiatan Alat Pembayaran
Dengan Menggunakan Kartu sepanjang
peraturan yang mengatur Bank
Perkreditan Rakyat memungkinkan bagi Bank Perkreditan Rakyat untuk
melakukan kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu.
Pasal 50
Petunjuk pelaksanaan Peraturan Bank Indonesia ini diatur lebih lanjut dalam
Surat Edaran Bank Indonesia.
BAB …
-34-
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 51
(1) Bank atau Lembaga Selain Bank yang telah melakukan kegiatan Alat
Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu sebelum berlakunya Peraturan
Bank Indonesia ini tetap dapat melakukan kegiatannya dan wajib
melaporkan kegiatannya kepada Bank Indonesia dengan tata cara, waktu
penyampaian, dan jenis laporan yang diatur dalam Surat Edaran Bank
Indonesia.
(2) Bank atau Lembaga Selain Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Bab III mengenai
Penyelenggaraan Kegiatan dalam jangka waktu 1 (satu) tahun terhitung
sejak tanggal berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini.
Pasal 52
Bank atau Lembaga Selain Bank yang telah menyelenggarakan kegiatan kliring
dan atau penyelesaian akhir atas kegiatan Alat Pembayaran Dengan
Menggunakan Kartu sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini tetap
dapat menyelenggarakan kegiatan tersebut dan wajib melaporkan kegiatannya
kepada Bank Indonesia dengan tata cara, waktu penyampaian, dan jenis laporan
yang diatur lebih lanjut dalam ketentuan Bank Indonesia.
BAB …
-35-
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 53
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 28 Desember 2004
GUBERNUR BANK INDONESIA,
BURHANUDDIN ABDULLAH
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004 NOMOR 166
DASP
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 6/30/PBI/2004
TENTANG
PENYELENGGARAAN KEGIATAN ALAT PEMBAYARAN
DENGAN MENGGUNAKAN KARTU
UMUM
Sebagai pelaksanaan dari Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2004,
khususnya terkait dengan tugas Bank Indonesia dalam mengatur dan menjaga
kelancaran
sistem pembayaran, Bank Indonesia berwenang antara lain
melaksanakan dan memberikan persetujuan dan izin atas penyelenggaraan jasa
sistem pembayaran dan mewajibkan penyelenggara jasa sistem pembayaran
untuk menyampaikan laporan tentang kegiatannya. Persetujuan atau izin Bank
Indonesia atas penyelenggaraan jasa sistem pembayaran tersebut diperlukan
dengan maksud agar penyelenggaraan jasa sistem pembayaran memenuhi
persyaratan, khususnya persyaratan keamanan
kewajiban
dan
efisiensi. Sedangkan
penyampaian laporan kegiatan dari penyelenggara jasa sistem
pembayaran dimaksudkan agar Bank Indonesia dapat melakukan pengawasan
terhadap penyelenggaraan jasa sistem pembayaran. Selain itu, informasi yang
diperoleh dari penyelenggaraan jasa sistem pembayaran juga diperlukan untuk
menunjang pelaksanaan tugas-tugas Bank Indonesia lainnya dalam bidang
pengendalian moneter serta pengaturan dan pengawasan perbankan.
Kegiatan …
-2-
Kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu yang merupakan
bagian dari sistem pembayaran nasional secara keseluruhan saat ini telah
menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun baik dari sisi jumlah transaksi
maupun dari sisi volume transaksi. Seiring dengan meningkatnya jumlah dan
volume transaksi, tingkat kejahatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan
Kartu menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan. Sehubungan dengan hal
tersebut, untuk meningkatkan faktor keamanan dan kelancaran dalam
penyelenggaraan kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu, Bank
Indonesia perlu menetapkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) tentang
Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu.
Selain itu, PBI ini juga ditujukan untuk mendukung perkembangan industri
Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu dan memastikan bahwa
Penyelenggara kegiatan tersebut senantiasa menerapkan prinsip kehati-hatian
dalam menjalankan kegiatannya serta senantiasa menerapkan aspek perlindungan
nasabah.
Cakupan materi pengaturan dalam PBI meliputi aspek payment system
regulation termasuk pengaturan mengenai kliring dan settlement pembayaran
dengan menggunakan kartu, aspek perlindungan nasabah, aspek pengawasan, dan
aspek prudential regulation. Implementasi prudential regulation dalam PBI ini
penting karena kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan
Kartu
khususnya Kartu Kredit mengandung aspek pemberian kredit yang berisiko
tinggi. Atas dasar pertimbangan tersebut, meskipun terhadap pemberian kredit
secara umum telah diatur dalam Pedoman Penyusunan Kebijakan Perkreditan
Bank (PPKPB), namun masih diperlukan adanya prudential regulation yang
terperinci dalam pemberian kredit melalui Kartu Kredit mengingat :
1. pemberian kredit melalui Kartu Kredit pada umumnya dilakukan atas dasar
informasi keuangan yang minim dari calon Pemegang Kartu. Sementara itu,
berdasarkan …
-3-
berdasarkan prinsip kehati-hatian dalam pemberian kredit sesuai PPKPB,
kredit yang
diberikan tanpa informasi keuangan yang memadai,
digolongkan sebagai “kredit yang perlu dihindari”.
2. pemberian kredit melalui Kartu Kredit pada umumnya ditangani oleh divisi
Kartu Kredit yang terpisah dari divisi kredit secara umum, sehingga
pengaturan ini juga dimaksudkan untuk memastikan bahwa divisi Kartu
Kredit yang terpisah dari divisi kredit secara umum juga menerapkan
manajemen risiko dalam pemberian kredit melalui Kartu Kredit.
Prudential regulation diimplementasikan berdasarkan pada pendekatan
manajemen risiko, sehingga Bank Indonesia tidak menetapkan secara rigid
kriteria tertentu untuk pemberian kartu kredit seperti batas minimum pendapatan,
batas maksimum limit kredit, dan pembatasan jumlah kartu yang dapat dimiliki
oleh Pemegang Kartu. Dalam hal ini, Bank Indonesia mewajibkan Penerbit Kartu
Kredit untuk menetapkan sendiri kriteria-kriteria tersebut sesuai dengan risk
appetite masing-masing Penerbit. Namun demikian, tidak tertutup kemungkinan
bahwa di kemudian hari Bank Indonesia mengatur hal-hal tersebut apabila terjadi
kondisi seperti tingginya tingkat kredit macet di bidang Kartu Kredit yang dinilai
membahayakan sistem pembayaran secara keseluruhan.
Berdasarkan PBI ini setiap Penerbit Kartu Kredit diwajibkan untuk
melakukan tukar menukar informasi data Pemegang Kartu dengan seluruh
Penerbit lainnya yang meliputi negative list dan atau positive list. Ketentuan ini
dimaksudkan untuk mendukung upaya peningkatan kehati-hatian Penerbit Kartu
Kredit dalam memberikan fasilitas Kartu Kredit kepada calon Pemegang Kartu.
Dengan adanya informasi yang akurat dan benar mengenai calon Pemegang
Kartu, Penerbit dapat melakukan analisa terhadap calon Pemegang Kartu dengan
tepat sehingga hal tersebut dapat mengurangi
risiko dalam pemberian kartu
kredit, …
-4-
kredit, khususnya risiko yang disebabkan karena tidak perform-nya Pemegang
Kartu.
PBI tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran Dengan
Menggunakan Kartu ini berlaku untuk kegiatan Alat Pembayaran Dengan
Menggunakan Kartu, baik yang diselenggarakan oleh Bank ataupun Lembaga
Selain Bank. Hal ini dimaksudkan untuk menerapkan pengaturan yang sama
kepada seluruh penyelenggara kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan
Kartu sehingga dapat meningkatkan iklim persaingan yang sehat.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Cukup jelas
Pasal 3
Cukup jelas
Pasal 4
Cukup jelas
Pasal 5
Cukup jelas
Pasal …
-5-
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Huruf a
Angka 1)
Cukup jelas
Angka 2)
Cukup jelas
Angka 3)
Kesiapan perangkat hukum dalam pasal ini antara lain
perjanjian antara Penerbit dengan Prinsipal,
pengaturan mengenai hak dan kewajiban para pihak
baik secara umum maupun dalam kasus-kasus khusus
seperti pengaturan hak dan kewajiban Penerbit,
Prinsipal, Acquirer dan Pemegang
prosedur penyelesaian sengketa yang timbul diantara
para pihak.
Angka 4)
Manajemen risiko
dalam pasal ini antara lain
manajemen risiko likuiditas, manajemen risiko kredit
dan manajemen risiko operasional.
Angka 5)
Bukti kesiapan operasional dalam pasal ini antara lain:
1. rencana …
Kartu, serta
-6-
1. rencana struktur organisasi dan persiapan sumber
daya manusia;
2. rencana peralatan dan sarana usaha.
Huruf b
Angka 1)
Cukup jelas
Angka 2)
Cukup jelas
Angka 3)
Kesiapan perangkat hukum dalam pasal ini antara lain
perjanjian antara Penerbit dengan Prinsipal, pengaturan
mengenai
hak
dan kewajiban para pihak seperti
pengaturan hak dan kewajiban Penerbit, Prinsipal,
Acquirer dan Pemegang
penyelesaian sengketa yang timbul diantara para pihak.
Angka 4)
Manajemen risiko
dalam pasal ini antara lain
manajemen risiko likuiditas, manajemen risiko kredit
dan manajemen risiko operasional.
Angka 5)
Bukti kesiapan operasional dalam pasal ini antara lain:
1. rencana struktur organisasi dan persiapan sumber
daya manusia;
2. rencana peralatan dan sarana usaha.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat …
Kartu, serta prosedur
-7-
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 7
Cukup jelas
Pasal 8
Cukup jelas
Pasal 9
Cukup jelas
Pasal 10
Cukup jelas
Pasal 11
Cukup jelas
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Huruf a
Angka 1)
Cukup jelas
Angka …
-8-
Angka 2)
Cukup jelas
Angka 3)
Kesiapan perangkat hukum dalam pasal ini antara lain
perjanjian antara Financial Acquirer dengan Penerbit
dan atau penyedia barang dan atau jasa, pengaturan
mengenai
hak
dan kewajiban para pihak seperti
pengaturan hak dan kewajiban Financial Acquirer,
Penerbit, dan atau penyedia barang atau jasa, serta
prosedur penyelesaian sengketa yang timbul diantara
para pihak.
Angka 4)
Manajemen risiko
dalam pasal ini antara lain
manajemen risiko likuiditas, manajemen risiko kredit
dan manajemen risiko operasional.
Angka 5)
Bukti kesiapan operasional dalam pasal ini antara lain:
1. rencana struktur organisasi dan persiapan sumber
daya manusia;
2. rencana tempat usaha.
Huruf b
Angka 1)
Cukup jelas
Angka 2)
Cukup jelas
Angka …
-9-
Angka 3)
Kesiapan perangkat hukum dalam pasal ini antara lain
perjanjian antara Financial Acquirer dengan Penerbit
dan atau penyedia barang dan atau jasa, pengaturan
mengenai
hak
dan kewajiban para pihak seperti
pengaturan hak dan kewajiban Financial Acquirer,
Penerbit, dan atau penyedia barang dan atau jasa, serta
prosedur penyelesaian sengketa yang timbul diantara
para pihak.
Angka 4)
Manajemen risiko
dalam pasal ini antara lain
manajemen risiko likuiditas, manajemen risiko kredit
dan manajemen risiko operasional.
Angka 5)
Bukti kesiapan operasional dalam pasal ini antara lain:
1. rencana struktur organisasi dan persiapan sumber
daya manusia;
2. rencana tempat usaha.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 13
Cukup jelas
Pasal …
-10-
Pasal 14
Cukup jelas
Pasal 15
Cukup jelas
Pasal 16
Ayat (1)
Ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai manajemen
risiko antara lain Peraturan Bank Indonesia tentang Penerapan
Manajemen Risiko dan seluruh peraturan pelaksanaannya.
Ayat (2)
Manajemen risiko kredit dalam pasal ini wajib dituangkan dalam
bentuk dokumen tertulis.
Ayat (3)
Manajemen risiko kredit dalam pasal ini misalnya dengan
mewajibkan Pemegang Kartu untuk menyerahkan setoran jaminan.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 17
Cukup jelas
Pasal 18
Cukup jelas
Pasal …
-11-
Pasal 19
Fasilitas yang mempunyai dampak tambahan biaya dalam pasal ini antara
lain program asuransi dan pemberian Kartu Kredit tambahan.
Fasilitas lain diluar fungsi Kartu Kredit dalam pasal ini antara lain fasilitas
kepada Pemegang Kartu Kredit yang mempunyai rekening pada Penerbit
sehingga Kartu Kredit tersebut sekaligus dapat berfungsi sebagai Kartu
Debet.
Pasal 20
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Pusat pengelola informasi dalam ayat ini antara lain credit bureau.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 21
Cukup jelas
Pasal 22
Ayat (1)
Ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai manajemen
risiko antara lain Peraturan Bank Indonesia tentang Penerapan
Manajemen Risiko dan seluruh peraturan pelaksanaannya.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat …
-12-
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 23
Cukup jelas
Pasal 24
Cukup jelas
Pasal 25
Cukup jelas
Pasal 26
Cukup jelas
Pasal 27
Cukup jelas
Pasal 28
Cukup jelas
Pasal 29
Cukup jelas
Pasal …
-13-
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas
Pasal 32
Cukup jelas
Pasal 33
Cukup jelas
Pasal 34
Cukup jelas
Pasal 35
Cukup jelas
Pasal 36
Cukup jelas
Pasal 37
Cukup jelas
Pasal 38
Cukup jelas
Pasal …
-14-
Pasal 39
Cukup jelas
Pasal 40
Cukup jelas
Pasal 41
Cukup jelas
Pasal 42
Cukup jelas
Pasal 43
Cukup jelas
Pasal 44
Cukup jelas
Pasal 45
Cukup jelas
Pasal 46
Cukup jelas
Pasal 47
Cukup jelas
Pasal …
-15-
Pasal 48
Yang dimaksud dengan prinsip syariah dalam pasal ini adalah prinsip
syariah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia
yang mengatur mengenai perbankan dan seluruh ketentuan pelaksanaannya.
Pasal 49
Cukup jelas
Pasal 50
Ketentuan yang diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia antara lain
memuat mengenai :
a. tata cara penyelenggaraan kegiatan Alat
Menggunakan Kartu oleh Bank atau Lembaga Selain Bank;
b. tata cara pengawasan langsung dan tidak langsung;
c. tata cara pelaporan dan jenis laporan;
d. waktu penyampaian laporan;
e. tata cara dan jenis informasi yang dapat dipertukarkan dalam rangka
tukar-menukar informasi; dan
f. tata cara penghentian persetujuan penggunaan merek oleh Prinsipal.
Pasal 51
Cukup jelas
Pasal 52
Cukup jelas
Pembayaran Dengan
Pasal …
-16-
Pasal 53
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR
4462
"," PBI
6/30/PBI/2004
PENYELENGGARAAN KEGIATAN ALAT PEMBAYARAN DENGAN MENGGUNAKAN KARTU
28 Desember 2004
28 Desember 2004
'23/UU/1999', '7/UU/1992', '3/UU/2004', '10/UU/1998'
'BAB VII'
"
" PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 1/ 3 /PBI/1999
TENTANG
PENYELENGGARAAN KLIRING LOKAL DAN PENYELESAIAN
AKHIR TRANSAKSI PEMBAYARAN ANTAR BANK
ATAS HASIL KLIRING LOKAL
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a bahwa dalam rangka memperluas dan memperlancar sistem
pembayaran diperlukan penyelenggaraan kliring lokal dan
penyelesaian akhir transaksi pembayaran antar bank atas
hasil kliring lokal yang aman, efektif, dan efisien;
b. bahwa untuk mendukung penyelenggaraan kliring lokal dan
penyelesaian akhir transaksi pembayaran antar bank atas
hasil
kliring lokal yang aman, efektif, dan efisien
diperlukan pengaturan penyelenggaraan kliring lokal dan
penyelesaian akhir transaksi pembayaran antar bank atas
hasil kliring lokal;
c. bahwa pengaturan mengenai penyelenggaraan kliring lokal
dan penyelesaian akhir transaksi pembayaran antar bank atas
hasil kliring lokal yang berlaku saat ini, tersebar dalam
berbagai ketentuan Bank Indonesia;
d. bahwa ...
P B I No. 1 / 3 / PBI / 1999
- 2 -
d. bahwa sehubungan dengan hal
tersebut
di
atas,
dipandang perlu untuk menyusun ketentuan yang terpadu
tentang penyelenggaraan kliring lokal dan penyelesaian
akhir transaksi pembayaran antar bank atas hasil kliring
lokal dalam Peraturan Bank Indonesia.
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 7 Tahun
1992
tentang
Perbankan (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 31,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3472) sebagaimana
telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998
(Lembaran Negara Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3790);
2. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1997 tentang Dokumen
Perusahaan (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 18,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3674);
3. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 66,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843);
4. Peraturan Bank Indonesia Nomor 1/1/PBI/1999 tentang
Fasilitas Pendanaan Dalam Rangka Mengatasi Kesulitan
Pendanaan Jangka Pendek Bagi Bank Umum (Lembaran
Negara Tahun 1999 Nomor 100, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3855);
MEMUTUSKAN ...
- 3 -
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN
BANK INDONESIA TENTANG
PENYELENGGARAAN KLIRING LOKAL DAN
PENYELESAIAN AKHIR TRANSAKSI PEMBAYARAN
ANTAR BANK ATAS HASIL KLIRING LOKAL.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini, yang dimaksud dengan :
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998;
2. Penyelenggara adalah Bank Indonesia atau pihak lain yang memperoleh
persetujuan dari Bank Indonesia untuk menyelenggarakan Kliring Lokal;
3. Kliring adalah pertukaran warkat atau data keuangan elektronik antar Bank
baik atas nama Bank maupun nasabah yang hasil perhitungannya
diselesaikan pada waktu tertentu;
4. Kliring Lokal adalah Kliring antar Bank di suatu wilayah Kliring;
5. Wilayah Kliring adalah suatu wilayah tertentu yang memungkinkan
pelaksanaan Kliring dalam jadwal Kliring Lokal yang telah ditetapkan;
6. Penyelesaian ...
- 4 -
6. Penyelesaian Akhir Transaksi Pembayaran Antar Bank atas Hasil Kliring
Lokal yang untuk selanjutnya disebut Penyelesaian Akhir adalah kegiatan
pendebetan atau pengkreditan rekening giro peserta pada Bank Indonesia
yang dilakukan atas dasar hasil perhitungan Kliring Lokal;
7. Warkat adalah alat pembayaran bukan tunai yang diperhitungkan atas beban
atau untuk untung rekening nasabah atau Bank melalui Kliring Lokal;
8. Data Keuangan Elektronik yang selanjutnya disebut DKE, adalah data
keuangan dalam bentuk elektronik yang digunakan sebagai dasar
perhitungan dalam Kliring Lokal;
9. Dokumen Kliring adalah dokumen yang berfungsi sebagai alat bantu dalam
proses perhitungan Kliring Lokal di Penyelenggara;
10. Peserta adalah Bank dan Bank Indonesia yang terdaftar pada Penyelenggara
untuk mengikuti kegiatan kliring;
11. Peserta Langsung adalah Peserta yang turut serta dalam pelaksanaan Kliring
Lokal secara langsung dengan menggunakan identitasnya sendiri;
12. Peserta Tidak Langsung adalah Peserta yang turut serta dalam pelaksanaan
Kliring Lokal melalui dan menggunakan identitas Peserta Langsung yang
menjadi induknya yang merupakan Bank yang sama;
13. Pasar Uang Antar Bank yang selanjutnya disebut PUAB, adalah kegiatan
pinjam meminjam dana antara 1 (satu) Bank dengan Bank lainnya;
14. Keadaan Darurat adalah suatu keadaan yang secara nyata-nyata
menyebabkan suatu kegiatan Kliring tidak dapat dilaksanakan secara
normal, atau terjadinya suatu keadaan memaksa (force majeur) antara lain
pemogokan kerja, kebakaran, kerusuhan massa, sabotase serta bencana
alam seperti gempa bumi dan banjir yang dibenarkan oleh pihak penguasa
atau pejabat yang berwenang setempat.
BAB II ...
- 5 -
BAB II
PENYELENGGARAAN KLIRING LOKAL
Pasal 2
(1) Penyelenggaraan Kliring Lokal dapat dilakukan dengan menggunakan
sistem :
a. manual;
b. semi otomasi;
c. otomasi;
d. elektronik.
(2) Perhitungan Kliring Lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
dan huruf c didasarkan pada Warkat.
(3) Perhitungan Kliring Lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
dan huruf d didasarkan pada DKE.
(4) Ketentuan pelaksanaan ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) akan diatur lebih
lanjut dengan Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 3
(1) Penyelenggaraan Kliring Lokal meliputi Kliring Penyerahan dan Kliring
Pengembalian yang merupakan satu kesatuan siklus Kliring.
(2) Apabila diperlukan Penyelenggara dapat menyelenggarakan Kliring PUAB
yang merupakan satu kesatuan siklus kliring dengan Kliring Penyerahan
dan Kliring Pengembalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Bank ...
- 6 -
(3) Bank Peserta yang melakukan transaksi PUAB melalui Kliring Penyerahan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau Kliring PUAB sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) wajib menyampaikan tembusan promes transaksi
PUAB ke Bank Indonesia.
BAB III
WARKAT, DOKUMEN KLIRING, DAN DKE
Pasal 4
(1) Warkat yang dapat diperhitungkan dalam Kliring Lokal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) meliputi :
a. Cek;
b. Bilyet Giro;
c. Wesel Bank Untuk Transfer;
d. Surat Bukti Penerimaan Transfer;
e. Nota Debet; dan
f. Nota Kredit.
(2) Jenis-jenis Warkat yang dapat diperhitungkan dalam Kliring Lokal
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diubah dengan Surat Edaran
Bank Indonesia.
Pasal 5
(1) Warkat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dinyatakan dalam
mata uang rupiah dan telah dapat ditagih pada saat dikliringkan.
(2) Warkat ...
- 7 -
(2) Warkat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) wajib memenuhi
spesifikasi teknis yang akan ditetapkan dengan Surat Edaran Bank
Indonesia.
(3) Setiap pembuatan dan pencetakan Warkat sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) untuk pertama kali dan atau perubahannya oleh Peserta wajib
memperoleh persetujuan secara tertulis dari Bank Indonesia.
Pasal 6
(1) Warkat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a, huruf b,
huruf c, huruf d, dan huruf f tidak dibatasi nilai nominalnya.
(2) Warkat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf e dibatasi
setinggi-tingginya bernilai nominal Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah)
dan tidak dapat digunakan untuk transaksi PUAB.
(3) Batas nominal dan penggunaan Warkat sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dapat diubah dengan Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 7
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) tidak berlaku,
apabila:
a. Nota Debet diterbitkan oleh Bank Indonesia dan ditujukan kepada Bank
atau nasabah Bank;
b. Nota Debet diterbitkan oleh Bank dan ditujukan kepada Bank Indonesia
sehubungan dengan tagihan-tagihan tertentu yang akan ditetapkan dengan
Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 8 ...
- 8 -
Pasal 8
(1) Dokumen Kliring wajib disertakan dalam penyampaian Warkat Peserta ke
Penyelenggara dan atau ke Peserta lawan transaksinya.
(2) Setiap pembuatan dan pencetakan untuk pertama kali dan atau
perubahannya oleh Peserta atas Dokumen Kliring sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) yang digunakan pada sistem otomasi dan elektronik, wajib
memperoleh persetujuan secara tertulis dari Bank Indonesia.
(3) Jenis dan spesifikasi teknis Dokumen Kliring sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) akan diatur lebih lanjut dengan Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 9
(1) Warkat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dicetak pada
perusahaan percetakan sekuriti (security printing) yang ditetapkan oleh
Bank Indonesia.
(2) Dokumen Kliring sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) yang
digunakan pada sistem otomasi dan elektronik dicetak pada perusahaan
percetakan sekuriti (security printing) yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
(3) Tata cara penetapan dan persyaratan perusahaan percetakan sekuriti
(security printing) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) akan diatur lebih
lanjut dengan Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 10
(1) DKE yang diperhitungkan dalam Kliring Lokal sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (3) didasarkan pada Warkat sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (1).
(2) DKE ...
- 9 -
(2) DKE sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggap sebagai data yang sah.
Pasal 11
Peserta tidak dapat mengubah atau membatalkan DKE dan atau Warkat
yang telah diterima Penyelenggara.
BAB IV
PENYELENGGARA
Pasal 12
(1) Penyelenggara di Wilayah Kliring yang terdapat kantor Bank Indonesia
adalah Bank Indonesia.
(2) Penyelenggara di Wilayah Kliring yang tidak terdapat kantor Bank
Indonesia adalah pihak lain dengan persetujuan Bank Indonesia.
(3) Ketentuan pelaksanaan mengenai pemberian persetujuan Bank Indonesia
kepada Penyelenggara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) akan diatur
lebih lanjut dengan Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 13
(1) Bank Indonesia dapat membatalkan sebagian atau seluruh perhitungan
Kliring dan atau Penyelesaian Akhir dari Peserta tertentu, apabila diperoleh
informasi bahwa transaksi yang diperhitungkan dalam Kliring melanggar
ketentuan yang berlaku;
(2) Penyelenggara…
- 10 -
(2) Penyelenggara akan memberitahukan pembatalan sebagian atau seluruh
perhitungan dan atau Penyelesaian Akhir sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) secara tertulis kepada Peserta yang bersangkutan.
Pasal 14
(1) Penyelenggara dapat mengenakan biaya Kliring Lokal kepada Peserta.
(2) Biaya Kliring Lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat terdiri dari
biaya administrasi, biaya proses dan
biaya lain yang berkaitan
dengan penyelenggaraan Kliring Lokal dan akan diatur lebih lanjut dalam
Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 15
(1) Bank Indonesia berwenang untuk memberikan keputusan terakhir dalam hal
terjadi perbedaan pendapat antara 2 (dua) atau lebih Peserta mengenai
dapat atau tidaknya suatu Warkat atau DKE diperhitungkan dalam Kliring
Lokal.
(2) Bank Indonesia dapat meminta bukti atau keterangan dari Peserta sebagai
bahan pertimbangan dalam mengambil keputusan terakhir sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), yang wajib dipenuhi oleh Peserta yang
bersangkutan.
BAB V ...
- 11 -
BAB V
KEWAJIBAN PENYELENGGARA
Pasal 16
(1) Penyelenggara tunduk kepada ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan
penyelenggaraan Kliring Lokal yang ditetapkan Bank Indonesia.
(2) Penyelenggara wajib menyediakan fasilitas penyelenggaraan Kliring Lokal.
Pasal 17
(1) Penyelenggara wajib memiliki rencana penanggulangan segera atas
penyelenggaraan Kliring Lokal dalam keadaan darurat.
(2) Rencana penanggulangan segera atas penyelenggaraan Kliring Lokal dalam
keadaan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), antara lain berupa :
a. Perubahan jadwal penyelenggaraan Kliring Lokal;
b. perubahan sistem penyelenggaraan Kliring Lokal;
c. pemindahan penyelenggaraan Kliring Lokal ke lokasi lain;
(3) Dalam hal rencana penanggulangan segera sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) tidak dapat dilaksanakan, Penyelenggara dapat menghentikan
untuk sementara kegiatan Kliring Lokal.
(4) Dalam hal terjadi Keadaan Darurat, Penyelenggara wajib secepatnya
melaporkan secara tertulis pelaksanaan penanggulangan segera
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan atau penghentian sementara
kegiatan Kliring Lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (3), kepada Bank
Indonesia.
BAB VI ...
- 12 -
BAB VI
PESERTA
Pasal 18
(1) Setiap Bank yang berada di Wilayah Kliring dapat menjadi Peserta dengan
persetujuan Penyelenggara;
(2) Status Peserta dalam Kliring Lokal dibedakan atas :
a. Peserta Langsung; atau
b. Peserta Tidak Langsung.
(3) Bank yang menjadi Peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
menetapkan sekurang-kurangnya 1 (satu) kantor Bank sebagai Peserta
Langsung.
(4) Peserta Langsung dapat terdiri atas kantor pusat, kantor cabang, dan kantor
cabang pembantu yang tidak berada dalam Wilayah Kliring yang sama
dengan kantor induknya.
(5) Peserta Tidak Langsung dapat terdiri atas kantor pusat, kantor cabang atau
kantor cabang pembantu.
(6) Kantor cabang pembantu dari Bank yang kantor pusatnya berkedudukan di
luar negeri dapat menjadi Peserta Langsung atau Peserta Tidak Langsung.
(7) Tata cara dan persyaratan menjadi Peserta akan diatur lebih lanjut dengan
Surat Edaran Bank Indonesia.
BAB VII ...
- 13 -
BAB VII
KEWAJIBAN PESERTA
Pasal 19
Dalam penyelenggaraan Kliring Lokal setiap Peserta antara lain wajib :
a. mengikuti penyelenggaraan Kliring Lokal pada setiap hari kerja sesuai
dengan jadwal Kliring Lokal yang ditetapkan Penyelenggara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 20 ;
b. menyediakan dana yang cukup pada rekening giro Bank di Bank Indonesia
untuk memenuhi kewajiban yang timbul dalam Kliring Lokal;
c. menyediakan sarana Kliring Lokal dengan jenis dan spesifikasi yang
ditentukan oleh Penyelenggara;
d. menunjuk petugas Kliring untuk mewakili Peserta.
e. melakukan pengamanan untuk mencegah terjadinya manipulasi melalui
Kliring Lokal;
f. segera melaporkan setiap perubahan nama, status, alamat, dan atau hal-hal
lain yang berkaitan dengan operasional Kliring Lokal secara tertulis kepada
Penyelenggara dan melakukan penyesuaian-penyesuaian yang diperlukan.
g. mematuhi ketentuan-ketentuan lainnya yang berkaitan dengan
penyelenggaraan Kliring Lokal.
BAB VIII ...
- 14 -
BAB VIII
JADWAL
Pasal 20
(1) Penyelenggaraan Kliring Lokal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
diadakan setiap hari kerja, kecuali ditetapkan lain oleh Bank Indonesia.
(2) Jadwal Kliring Lokal ditetapkan oleh Penyelenggara dengan persetujuan
Bank Indonesia.
BAB IX
PENYELESAIAN AKHIR
Pasal 21
(1) Penyelesaian Akhir dilakukan Bank Indonesia.
(2) Tanggal valuta Penyelesaian Akhir adalah sama dengan tanggal
penyampaian Warkat atau DKE dari Peserta kepada Penyelenggara.
(3) Penyelesaian Akhir dapat dilakukan oleh pihak lain dalam hal Penyelesaian
Akhir oleh Bank Indonesia akan menyebabkan ketentuan pada ayat (2)
tidak dapat dipenuhi.
(4) Dalam Keadaan Darurat Bank Indonesia dapat tidak memberlakukan
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
Pasal 22
(1) Peserta yang menghadapi kesulitan pendanaan jangka pendek akibat
Penyelesaian Akhir sehingga potensial mengakibatkan terjadinya saldo
giro ...
- 15 -
giro negatif atau telah memiliki saldo giro negatif sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 24, dapat melakukan langkah-langkah sebagai berikut :
a. melakukan penyetoran tunai;
b. mengupayakan pemenuhan dana melalui transfer antar kantor;
c. melakukan transaksi Pasar Uang Antar Bank (PUAB);
d. mengajukan permohonan fasilitas pendanaan kepada Bank Indonesia.
(2) Langkah-langkah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai
dengan jadwal pelayanan jasa perbankan yang berlaku di Bank Indonesia.
Pasal 23
(1) Transaksi PUAB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) huruf c
dilakukan dengan menggunakan Bilyet Giro Bank Indonesia (BGBI) atau
transfer dana secara elektronik.
(2) Bank Peserta yang melakukan transaksi PUAB sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib menyampaikan tembusan promes transaksi PUAB kepada
Bank Indonesia.
BAB X
SALDO GIRO NEGATIF
Pasal 24
Bank dinyatakan memiliki Saldo Giro negatif apabila saldo rekening giro
rupiah
pada Bank Indonesia yang mewilayahi Kliring Lokal Bank
menunjukkan angka negatif pada saat Bank Indonesia menutup sistem
akunting.
BAB XI ...
- 16 -
BAB XI
PENGHENTIAN SEBAGAI PESERTA
Pasal 25
Peserta dihentikan keikutsertaannya untuk sementara dalam Kliring Lokal oleh
Bank Indonesia apabila melanggar peraturan yang memuat sanksi penghentian
sementara dari Kliring Lokal diluar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 33 ayat (1) dan Pasal 34.
Pasal 26
Peserta dihentikan keikutsertaannya secara tetap dalam Kliring Lokal oleh
Bank Indonesia, jika disebabkan oleh salah satu atau lebih alasan sebagai
berikut :
a. peserta pindah dari suatu Wilayah Kliring ke Wilayah Kliring yang lain;
b. peserta dicabut izin usahanya atau;
c. peserta dicabut izin pembukaan kantor oleh Bank Indonesia.
Pasal 27
(1) Peserta dapat mengajukan permohonan penghentian keikutsertaan untuk
sementara dalam Kliring Lokal kepada Bank Indonesia, jika disebabkan
oleh salah satu atau lebih alasan sebagai berikut:
a. keadaan keuangan dan atau manajemen peserta tidak memungkinkan
untuk memenuhi kewajiban-kewajibannya dalam Kliring Lokal;
b. peserta pindah alamat dalam satu Wilayah Kliring yang sama;
c. terjadi Keadaan Darurat.
(2) Peserta ...
- 17 -
(2) Peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b wajib
menyampaikan permohonan pengunduran diri dari keikutsertaannya dalam
Kliring Lokal secara tertulis selambat-lambatnya 6 (enam) hari kerja
sebelumnya kepada Bank Indonesia.
Pasal 28
(1) Peserta dapat mengajukan permohonan penghentian secara tetap dari
keikutsertaannya dalam Kliring Lokal kepada Bank Indonesia.
(2) Peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mengajukan
permohonan pengunduran diri dari keikutsertaannya dalam Kliring Lokal
selambat-lambatnya 6 (enam) hari kerja sebelumnya kepada Bank
Indonesia.
Pasal 29
(1) Apabila Peserta yang dihentikan dari keikutsertaannya sebagaimana
dimaksud dalam pasal 25, Pasal 26 huruf b dan huruf c, dan Pasal 27 ayat
(1) huruf a merupakan kantor pusat Bank yang berkedudukan di Indonesia
atau kantor cabang Bank yang kantor pusatnya berkedudukan di luar negeri
maka semua kantor cabang dan kantor cabang pembantu Peserta yang
bersangkutan di seluruh Indonesia dihentikan keikutsertaannya dalam
Kliring Lokal.
(2) Apabila Peserta yang dihentikan dari keikutsertaannya dimaksud dalam
pasal 26 huruf a, Pasal 27 ayat (1) huruf b dan huruf c, dan Pasal 28
merupakan kantor pusat Bank maka hanya kantor Peserta, kantor cabang,
dan ...
- 18 -
dan kantor cabang pembantu yang menginduk pada kantor pusat Peserta
tersebut yang dihentikan keikutsertaannya dalam Kliring Lokal.
(3) Apabila Peserta yang dihentikan dari keikutsertaannya dalam Kliring Lokal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, Pasal 26, Pasal 27 dan Pasal 28
berstatus kantor cabang Bank maka hanya kantor cabang dan atau kantor
cabang pembantu yang menginduk pada kantor cabang Bank dimaksud
pada Wilayah Kliring yang sama yang dihentikan keikutsertaannya dari
Kliring Lokal.
BAB XII
PENGIKUTSERTAAN KEMBALI SEBAGAI PESERTA
Pasal 30
(1) Pengikutsertaan kembali dalam Kliring Lokal bagi Peserta yang dihentikan
keikutsertaan untuk sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25,
Pasal 27 dan Pasal 33 dapat dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut :
a. apabila penghentian untuk sementara tersebut ditetapkan untuk suatu
jangka waktu tertentu maka keikutsertaannya kembali dalam Kliring
Lokal bersifat otomatis pada hari kerja berikutnya setelah berakhirnya
jangka waktu dimaksud;
b. apabila penghentian untuk sementara tersebut ditetapkan tanpa batas
waktu tertentu maka keikutsertaannya kembali dalam Kliring Lokal
ditetapkan oleh Bank Indonesia.
(2) Peserta yang dihentikan keikutsertaanya secara tetap sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1), dapat mengajukan permohonan
keikutsertaan ...
- 19 -
keikutsertaan kembali dalam Kliring Lokal dengan memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (7).
BAB XIII
PENGAWASAN
Pasal 31
(1) Bank Indonesia melakukan pengawasan terhadap Penyelenggara dan
Peserta baik secara langsung maupun tidak langsung.
(2) Dalam rangka pengawasan langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Penyelenggara dan atau Peserta wajib memberikan kepada Bank
Indonesia :
a. keterangan dan data yang diminta;
b. kesempatan untuk melihat semua dokumen dan sarana fisik yang
berkaitan dengan kegiatan Kliring Lokal;
c. hal-hal lain yang diperlukan.
(3) Dalam rangka pengawasan tidak langsung sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Penyelenggara dan atau Peserta wajib menyampaikan laporan,
keterangan, dan penjelasan sesuai dengan tata cara yang ditetapkan oleh
Bank Indonesia.
BAB XIV ...
- 20 -
BAB XIV
SANKSI
Pasal 32
(1) Bank Peserta yang menyampaikan Warkat atau DKE Nota Debet kepada
Penyelenggara atau Peserta lawan transaksinya dalam Kliring Lokal yang
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) dan
atau Pasal 7 huruf b, dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp.
100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk setiap pelanggaran.
(2) Bank Peserta yang menerima Warkat atau DKE Nota Debet yang
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) serta
tidak menolak Warkat atau DKE Nota Debet tersebut, dikenakan sanksi
kewajiban membayar sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk
setiap pelanggaran.
Pasal 33
(1) Bank Peserta dikenakan sanksi penghentian sementara dari Kliring Lokal
oleh Bank Indonesia, apabila saldo giro negatif sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 24 tidak dapat ditutup sampai dengan pukul 09.00 Waktu
Indonesia Bagian Barat pada hari kerja berikutnya.
(2) Bank Indonesia dapat mengubah batas waktu sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dengan Surat Edaran Bank Indonesia.
(3) Apabila saldo giro negatif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 terjadi
pada rekening giro :
a. Kantor ...
- 21 -
a. Kantor pusat Bank, maka semua kantor cabang dan kantor cabang
pembantu Peserta yang bersangkutan diseluruh Indonesia ikut pula di
hentikan keikutsertaannya dalam Kliring Lokal;
b. Kantor cabang Bank, maka semua kantor cabang dan kantor cabang
pembantu Bank yang menjadi Peserta Kliring Lokal di wilayah kerja
Kantor Cabang Bank Indonesia, dihentikan keikutsertaannya dari
Kliring Lokal.
Pasal 34
Peserta yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal
31 ayat (2) dapat dikenakan sanksi berupa penghentian untuk sementara dari
keikutsertaannya dalam Kliring Lokal.
Pasal 35
(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan sanksi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 32, Pasal 33 dan Pasal 34, Bank Indonesia berwenang mengenakan
sanksi administratif dan atau sanksi kewajiban membayar kepada Peserta
yang tidak memenuhi ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia
ini dan atau peraturan pelaksanaannya.
(2) Pelaksanaan lebih lanjut mengenai sanksi administratif dan atau sanksi
kewajiban membayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
dengan Surat Edaran Bank Indonesia.
BAB XV ...
- 22 -
BAB XV
LAIN-LAIN
Pasal 36
Stempel Kliring wajib dibubuhkan pada setiap Warkat yang diperhitungkan
dalam Kliring Lokal yang berfungsi sebagai tanda pengenal dari Peserta yang
menyerahkan Warkat dan sebagai bukti bahwa Peserta yang bersangkutan telah
memperhitungkannya dalam Kliring Lokal pada tanggal yang tercantum pada
stempel Kliring.
Pasal 37
(1) Warkat debet dan atau DKE debet yang tidak dapat diperhitungkan ke
rekening nasabah oleh Peserta penerima, ditolak melalui Kliring
Pengembalian.
(2) Warkat kredit dan atau DKE kredit yang tidak dapat diperhitungkan ke
rekening nasabah oleh Peserta penerima, ditolak melalui Kliring
Penyerahan.
Pasal 38
(1) Bank Indonesia menyelenggarakan Tata Usaha Penarikan Cek dan Bilyet
Giro kosong.
(2) Peserta wajib menginformasikan data nasabahnya yang tergolong sebagai
penarik Cek dan Bilyet Giro sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Ketentuan ...
- 23 -
(3) Ketentuan pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur
lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 39
(1) Bank Indonesia menetapkan penghentian keikutsertaan Peserta dalam
Kliring Lokal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, Pasal 26, Pasal 27,
Pasal 28 dan Pasal 33 ayat (1) dan Pasal (34).
(2) Penyelenggara memberitahukan penghentian keikutsertaan Peserta dalam
Kliring Lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada semua Peserta
Kliring Lokal.
BAB XV
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 40
Peserta dalam sistem manual dan semi otomasi wajib memenuhi spesifikasi
Warkat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) dan mencetak Warkat
pada perusahaan percetakan sekuriti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat
(1), selambat-lambatnya 6 (enam) bulan sejak diberlakukannya Peraturan Bank
Indonesia ini.
Pasal 41 ...
- 24 -
Pasal 41
Perusahaan percetakan sekuriti (security printing) yang telah ditetapkan Bank
Indonesia sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini tetap diakui
sebagai
perusahaan percetakan sekuriti (security printing) yang dapat
mencetak Warkat dan dokumen Kliring dan wajib mengajukan permohonan
untuk memperoleh penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, selambat-
lambatnya 6 (enam) bulan sejak berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini.
Pasal 42
Peraturan yang berkaitan dengan
penyelenggaraan Kliring Lokal dan
Penyelesaian Akhir yang telah dikeluarkan sebelum berlakunya Peraturan
Bank Indonesia ini sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Bank
Indonesia ini, dinyatakan tetap berlaku sampai dengan dicabut, diganti atau
diperbaharui.
BAB XVI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 43
Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini maka :
a. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 14/35/Kep/Dir/UPPB tanggal
10 September 1981 tentang Penyelenggaraan Kliring Lokal;
b. Surat ...
- 25 -
b. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 21/9/KEP/DIR tanggal 23 Mei
1988 tentang Otomasi Penyelenggaraan Kliring Lokal dan Ketentuan
Pembakuan Warkat Kliring Lokal;
c. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 28/122/KEP/DIR tanggal 5
Januari 1996 tentang Cek/Bilyet Giro Kosong,
d. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 28/160/KEP/DIR tanggal 5
Maret 1996 tentang Perubahan Jadwal dan Penyelesaian Hasil Kliring;
e. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/1/KEP/DIR tanggal 3 April
1998 tentang Penggunaan Nota Debet Dalam Kliring,
f. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/79/KEP/DIR tanggal 18
Agustus 1998 tentang Penyelenggaraan Kliring Lokal Secara Elektronik,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 44
Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini maka :
a. Pengertian Pasal 1 angka 3 Peraturan Bank Indonesia Nomor 1/1/PBI/1999
tentang Fasilitas Pendanaan Dalam Rangka Mengatasi Kesulitan Pendanaan
jangka Pendek Bagi Bank Umum, diubah menjadi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 24 Peraturan Bank Indonesia ini;
b. Pasal 16 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) Peraturan Bank Indonesia Nomor
1/1/PBI/1999 tentang Fasilitas Pendanaan Dalam Rangka Mengatasi
Kesulitan Pendanaan jangka Pendek Bagi Bank Umum, dicabut dan diganti
menjadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 Peraturan Bank Indonesia
ini.
Pasal 45 ...
- 26 -
Pasal 45
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 13 Agustus 1999
GUBERNUR BANK INDONESIA
SYAHRIL SABIRIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1999 NOMOR 139
UASP
- 27 -
PENJELASAN
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 1/ 3 /PBI/1999
TENTANG
PENYELENGGARAAN KLIRING LOKAL DAN PENYELESAIAN
AKHIR TRANSAKSI PEMBAYARAN ANTAR BANK
ATAS HASIL KLIRING LOKAL
I. UMUM
Seiring dengan berkembangnya transaksi perekonomian di
Indonesia, terjadi peningkatan volume dan nilai Warkat yang memerlukan
penyelesaian melalui proses Kliring. Berkenaan dengan hal tersebut
penyelenggaraan Kliring Lokal perlu diperluas dan memperoleh landasan
hukum yang lebih kuat dan komprehensif. Selain itu pengaturan
pelaksanaan Penyelesaian Akhir Transaksi Pembayaran Antar Bank atas
Hasil Kliring Lokal (Penyelesaian Akhir) perlu diperkuat sehingga setiap
Bank Peserta Kliring mempunyai pegangan yang jelas dalam memenuhi
kewajiban Penyelesaian Akhir.
Saat ini pengaturan mengenai penyelenggaraan Kliring Lokal dan
Penyelesaian Akhir yang berlaku dalam Kliring Lokal di Indonesia, banyak
tersebar dalam berbagai ketentuan Bank Indonesia sehingga kurang dapat
memberikan informasi secara mudah dan terpusat bagi perbankan dalam
menjalankan kegiatan Kliringnya. Berkaitan dengan hal tersebut, dirasa
perlu…
P B I No. 1 / 3 / PBI / 1999
- 28 -
perlu untuk menyatukan berbagai peraturan mengenai Kliring Lokal yang
masih berlaku dan tersebar pada berbagai ketentuan Kliring Lokal
menjadi Penyelenggaraan Kliring Lokal dan Penyelesaian Akhir Transaksi
Pembayaran Antar Bank atas Hasil Kliring Lokal.
Penyatuan ketentuan penyelenggaraan Kliring Lokal dan
Penyelesaian Akhir tersebut diharapkan dapat memberikan pemahaman
yang lebih baik kepada Peserta Kliring mengenai tata cara pelaksanaan
Kliring dan Penyelesaian Akhir terutama yang menyangkut aspek
keamanan, efektivitas dan efisiensi yang pada gilirannya dapat
memperlancar, meningkatkan dan mengembangkan sistem pembayaran di
Indonesia.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Ayat (1)
Penyelenggara menetapkan sistem yang digunakan pada
penyelenggaraan Kliring Lokal dengan memperoleh persetujuan
tertulis terlebih dahulu dari Bank Indonesia. Dalam memberikan
persetujuan tersebut, Bank Indonesia mempertimbangkan jumlah
Warkat dan jumlah Peserta sehingga dapat dicapai keamanan,
efektivitas, serta efisiensi penyelenggaraan dan penyediaan
informasi hasil Kliring Lokal.
Huruf a…
- 29 -
Huruf a
Sistem Manual, yaitu Sistem penyelenggaraan Kliring
Lokal yang dalam pelaksanaan perhitungan, pembuatan
Bilyet Saldo Kliring serta pemilahan Warkat dilakukan
secara manual oleh setiap Peserta.
Huruf b
Sistem Semi Otomasi, yaitu Sistem penyelenggaraan
Kliring Lokal yang dalam pelaksanaan perhitungan dan
pembuatan Bilyet Saldo Kliring dilakukan secara otomasi,
sedangkan pemilahan Warkat dilakukan secara manual
oleh setiap Peserta.
Huruf c
Sistem Otomasi, yaitu Sistem penyelenggaraan Kliring
Lokal yang dalam pelaksanaan perhitungan, pembuatan
Bilyet Saldo Kliring dan pemilahan Warkat dilakukan oleh
Penyelenggara secara otomasi.
Huruf d
Sistem Elektronik, yaitu Sistem penyelenggaraan Kliring
Lokal yang dalam pelaksanaan perhitungan dan
pembuatan Bilyet Saldo Kliring dilakukan secara
elektronik disertai dengan penyampaian Warkat Peserta
kepada Penyelenggara untuk dipilah secara otomasi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)…
- 30 -
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Kliring Penyerahan adalah bagian dari suatu siklus Kliring guna
memperhitungkan Warkat dan atau DKE yang disampaikan oleh
Peserta.
Kliring Pengembalian adalah bagian dari suatu siklus Kliring
guna memperhitungkan Warkat dan atau DKE debet Kliring
Penyerahan dalam yang ditolak berdasarkan alasan yang
ditetapkan dalam ketentuan Bank Indonesia atau karena tidak
sesuai dengan tujuan dan persyaratan penerbitannya.
Ayat (2)
Kliring PUAB adalah bagian dari siklus Kliring dalam rangka
memperhitungkan Warkat dan atau DKE Kredit yang berasal dari
transaksi PUAB.
Ayat (3)
Kewajiban penyampaian promes tidak berlaku apabila transaksi
PUAB yang dilakukan adalah dalam rangka pelunasan.
Pasal 4…
- 31 -
Pasal 4
Ayat (1)
Huruf a
Cek, adalah cek sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-
undang Hukum Dagang (KUHD) termasuk cek deviden,
cek perjalanan, cek cinderamata, dan jenis cek lainnya
yang penggunaanya dalam Kliring disetujui oleh Bank
Indonesia.
Huruf b
Bilyet Giro adalah surat perintah dari nasabah kepada
Bank penyimpan dana untuk memindahbukukan sejumlah
dana dari
rekening yang bersangkutan kepada rekening pemegang
yang disebutkan namanya, termasuk Bilyet Giro Bank
Indonesia (BGBI).
Huruf c
Wesel Bank Untuk Transfer, adalah wesel sebagaimana
diatur dalam KUHD yang diterbitkan oleh Bank khusus
untuk sarana transfer.
Huruf d
Surat Bukti Penerimaan Transfer adalah surat bukti
penerimaan transfer dari luar kota yang dapat ditagihkan
kepada Bank Peserta penerima dana transfer melalui
Kliring Lokal.
Huruf e…
- 32 -
Huruf e
Nota Debet, adalah Warkat yang digunakan untuk
menagih dana pada Bank lain untuk untung Bank atau
nasabah Bank yang menyampaikan Warkat tersebut. Nota
Debet yang dikliringkan hendaknya telah diperjanjikan
dan dikonfirmasikan terlebih dahulu oleh Bank yang
menyampaikan Nota Debet kepada Bank yang akan
menerima Nota Debet tersebut.
Huruf f
Nota Kredit, adalah Warkat yang digunakan untuk
menyampaikan dana pada Bank lain untuk untung Bank
atau nasabah Bank yang menerima Warkat tersebut.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Spesifikasi teknis Warkat antara lain meliputi jenis dan kualitas
kertas, ukuran, rancang bangun, garis batas, jenis tinta serta jenis
angka dan simbol Magnetic Ink Character Recognation (MICR).
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)…
- 33 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Spesifikasi teknis Dokumen Kliring antara lain meliputi jenis dan
kualitas kertas, ukuran, rancang bangun, garis batas, jenis tinta
serta jenis angka dan simbol MICR.
Pasal 9
Ayat (1)
Mengingat Warkat termasuk dalam kategori dokumen yang
karena sifat dan fungsinya memerlukan perlindungan terhadap
pemalsuan atau penyalahgunaan, maka pencetakannya wajib
dilakukan pada perusahaan percetakan sekuriti yang ditetapkan
Bank Indonesia. Pencetakan Warkat dan Dokumen Kliring pada
perusahaan percetakan sekuriti hanya dapat dilakukan atas
permintaan Bank.
Ayat (2)…
- 34 -
Ayat (2)
Mengingat Dokumen Kliring termasuk dalam kategori dokumen
yang karena sifat dan fungsinya memerlukan perlindungan
terhadap pemalsuan atau penyalahgunaan, maka pencetakannya
wajib dilakukan pada perusahaan percetakan sekuriti yang
ditetapkan Bank Indonesia. Pencetakan Warkat dan Dokumen
Kliring pada perusahaan percetakan sekuriti hanya dapat
dilakukan atas permintaan Bank.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Mengingat data yang diterima oleh Penyelenggara dianggap
sebagai data yang sah, oleh karena itu penting bagi Peserta untuk
memastikan bahwa DKE yang disampaikannya adalah benar dan
sesuai dengan Warkat yang menjadi dasar pembuatan DKE
dimaksud.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)…
- 35 -
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan pihak lain adalah badan hukum baik
Bank maupun bukan Bank, yang memiliki kemampuan untuk
menyelenggarakan Kliring. Untuk sementara, Bank Indonesia
hanya memberi kesempatan kepada Bank untuk mengajukan
permohonan menjadi penyelenggara kliring di Wilayah Kliring
yang tidak terdapat kantor Bank Indonesia.
Ayat (3)
Pokok-pokok ketentuan yang akan ditetapkan dalam Surat Edaran
Bank Indonesia meliputi antara lain :
a. Persyaratan penyelenggaraan Kliring Lokal;
b. Tata cara dan persyaratan pemberian persetujuan calon
Penyelenggara;
c. Bantuan keuangan kepada Penyelenggara;
d. Hak dan Kewajiban Penyelenggara;
e. Pembubaran penyelenggaraan Kliring Lokal.
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 15…
- 36 -
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan fasilitas antara lain adalah tempat
pertemuan atau tempat penyelenggaraan Kliring Lokal dan
informasi hasil penyelenggaraan Kliring Lokal.
Pasal 17
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2) dan ayat (3)
Pelaksanaan penanggulangan segera atas penyelenggaraan
Kliring Lokal dalam keadaan darurat dilakukan oleh
Penyelenggara dengan memperhatikan situasi dan kondisi
spesifik yang terdapat pada penyelenggaraan Kliring Lokal,
dengan sejauh mungkin menghindari alternatif penghentian untuk
sementara kegiatan Kliring Lokal.
Ayat (4)
Pelaporan pelaksanaan penanggulangan segera atas
penyelenggaraan Kliring Lokal, disampaikan kepada :
a. Dalam…
- 37 -
a. Dalam hal Penyelenggara adalah Kantor Bank Indonesia,
maka laporan tersebut disampaikan kepada Urusan Akunting
dan Sistem Pembayaran di Kantor Pusat Bank Indonesia;
b. Dalam hal Penyelenggara adalah Bank, maka laporan tersebut
disampaikan kepada Kantor Bank Indonesia yang mewilayahi
Kliring Lokal.
Pasal 18
Ayat (1)
Ketentuan dalam ayat ini menetapkan bahwa keanggotaan dalam
Kliring Lokal bersifat sukarela sesuai dengan kebutuhan Bank
dan nasabahnya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 19
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b…
- 38 -
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan petugas Kliring adalah petugas Peserta
yang dapat merupakan petugas internal bank atau petugas jasa
kurir yang diberi kuasa atau wewenang tertentu untuk mewakili
Peserta dalam Kliring Lokal.
Huruf e
Pengamanan tersebut antara lain meliputi hal-hal sebagai
berikut :
1. Melakukan penatausahaan dan pengawasan terhadap Warkat,
dokumen Kliring Lokal, Tanda Pengenal Wakil Peserta, dan
sarana Kliring Lokal lainnya agar tidak disalahgunakan oleh
pihak-pihak yang tidak berwenang;
2. Melakukan penelitian atas keabsahan dan kebenaran jumlah
lembar dan nominal Warkat-warkat yang akan diserahkan
kepada Penyelenggara;
3. Meneliti kecocokan antara data Warkat Peserta yang
diserahkan kepada Penyelenggara dibandingkan dengan
Laporan Hasil Kliring Lokal;
4. Melakukan pencocokan Warkat dan Laporan Hasil Kliring
Lokal yang diterima dari Penyelenggara;
5. Melaporkan…
- 39 -
5. Melaporkan kepada Penyelenggara dan Peserta yang terkait
guna diteliti lebih lanjut mengenai segala perbedaan atau
perubahan atas Warkat dan atau Laporan Hasil Kliring Lokal
yang diterima Peserta baik yang terjadi karena kesalahan
teknis maupun yang diduga sebagai akibat penyalahgunaan
dan mengambil langkah pengamanan untuk menunda
pencairan dananya, sementara penelitian tersebut di atas
sedang dilakukan.
6. Menolak Warkat yang diduga ada hubungannya dengan suatu
tindak pidana dan melaporkannya kepada pihak yang
berwenang.
Huruf f
Yang dimaksud pindah alamat adalah pindah alamat dalam satu
wilayah kliring.
Huruf g
Cukup jelas.
Pasal 20
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 21
Ayat (1)
Penyelesaian Akhir pada Kliring Lokal yang diselenggarakan
oleh pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2)
dilakukan…
- 40 -
dilakukan dengan melimpahkan hasil Kliring Lokal Peserta ke
dalam rekening kantor lain dari Peserta tersebut di Bank
Indonesia yang ditetapkan Bank Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Ketentuan pada ayat ini berlaku dalam hal penyelenggaraan
kliring dilakukan oleh pihak selain Bank Indonesia.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 22
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 23
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan Bilyet Giro Bank Indonesia (BGBI)
adalah Bilyet Giro sebagaimana dimaksud dengan Pasal 4 ayat
(1) huruf b dimana pihak tertarik adalah Bank Indonesia.
Yang dimaksud dengan transfer dana secara elektronik adalah
sarana transfer dana antar Bank secara elektronik yang
diselenggarakan oleh Bank Indonesia.
Ayat (2)…
- 41 -
Ayat (2)
Tembusan promes transaksi PUAB disampaikan kepada Satuan
Kerja Akunting Bank Indonesia.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Dalam Keadaan Darurat, Peserta diharapkan dapat
mengupayakan segala cara termasuk berkonsultasi dengan
Penyelenggara agar tetap dapat ikut serta dalam
penyelenggaraan Kliring Lokal.
Ayat (2)
Dalam keadaan darurat yang menyebabkan Peserta yang
bersangkutan benar-benar tidak dapat ikut serta dalam Kliring
Lokal, maka syarat jangka waktu tersebut tidak berlaku.
Pasal 28…
- 42 -
Pasal 28
Ayat (1)
Mengingat keanggotaan dalam Kliring Lokal bersifat sukarela
maka Peserta dapat
mengajukan
permohonan
untuk
penghentian secara tetap dari keikutsertaannya dalam Kliring
Lokal. Peserta yang disetujui permohonannya wajib
memberitahukan penghentian tersebut kepada seluruh
nasabahnya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 29
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 30
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Hal ini berlaku pula untuk peserta yang
mengundurkan diri untuk pindah ke luar wilayah kliring.
Pasal 31…
- 43 -
Pasal 31
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan pengawasan langsung adalah
pengawasan dalam bentuk pemeriksaan yang disusul dengan
tindakan-tindakan perbaikan.
Yang dimaksud dengan pengawasan tidak langsung adalah
pengawasan dalam bentuk penelitian, analisis, dan evaluasi
terhadap laporan yang disampaikan oleh Penyelenggara dan atau
Peserta.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan keterangan dan data termasuk data
elektronis dan penjelasan yang berkaitan dengan tujuan
pemeriksaan.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Hal-hal lain yang diperlukan antara lain adalah penyediaan
ruang kerja dan salinan dokumen yang diperlukan dalam
pemeriksaan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 32
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)…
- 44 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 33
Ayat (1)
Ketentuan batas waktu penyediaan dana pada saldo giro rekening
Rupiah Peserta di Bank Indonesia adalah pukul 10.00 bagi
Peserta yang berada di wilayah Waktu Indonesia Bagian Tengah
dan pukul 11.00 bagi Peserta yang berada di wilayah Waktu
Indonesia Bagian Timur.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Apabila saldo giro negatif terjadi pada rekening kantor Bank
Peserta yang juga memperoleh limpahan penyelesaian akhir hasil
kliring dari kantor Bank Peserta Kliring di wilayah Kliring Lokal
yang tidak terdapat Kantor Bank Indonesia, maka apabila kantor
Bank Peserta dimaksud dihentikan sementara dari
keikutsertaannya dalam Kliring lokal, maka kantor Bank Peserta
yang sama di Wilayah Kliring Lokal yang tidak ada Kantor
Cabang Bank Indonesia juga akan dihentikan sementara dari
keikutsertaannya dalam Kliring Lokal.
Pasal 34
Sanksi penghentian sementara dari keikutsertaannya dalam Kliring
Lokal tersebut dikenakan terhadap Peserta yang tidak memenuhi
permintaan tertulis Bank Indonesia 3 (tiga) kali berturut-turut untuk
permasalahan yang sama.
Pasal 35…
- 45 -
Pasal 35
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 36
Stempel Kliring memuat identitas Peserta dan tanggal Warkat tersebut
diperhitungkan dalam Kliring Lokal.
Stempel Kliring pada Warkat-warkat debet yang dapat
dipindahtangankan dengan jalan endosemen dan tidak ditolak
pembayarannya oleh Peserta yang merupakan Bank tertagih, merupakan
tanda pelunasan dari Peserta yang menyerahkannya. Disamping itu
stempel Kliring pada Warkat yang demikian juga berarti bahwa Peserta
yang menyerahkan Warkat dimaksud telah membenarkan tanda tangan
endosan terakhir yang tercantum pada warkat tersebut.
Stempel Kliring pada Bilyet Giro yang tidak ditolak, mengandung arti
bahwa Peserta yang membubuhi stempel Kliring Lokal telah menerima
sejumlah dana yang tercantum dalam Bilyet Giro itu dan
mengkreditkannya pada rekening penerima dana yang ditulis pada
Bilyet Giro yang bersangkutan.
Stempel Kliring pada warkat debet lainnya yang tidak dapat
dipindahtangankan dengan jalan endosemen dan tidak ditolak oleh
Peserta tertarik merupakan suatu tanda bahwa Peserta yang
menyerahkan Warkat tersebut telah menerima sejumlah dana yang
tercantum dalam Warkat yang bersangkutan.
Stempel…
- 46 -
Stempel Kliring pada warkat kredit yang tidak dikembalikan oleh
Peserta penerima, merupakan bukti bahwa Peserta yang menyerahkan
telah memindahkan dana kepada Peserta penerima pada tanggal yang
disebut pada stempel Kliring tersebut, untuk untung pihak yang
disebutkan namanya dalam Warkat tersebut.
Pasal 37
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan Kliring Pengembalian adalah Kliring
Pengembalian pada siklus Kliring yang sama dengan Kliring
Penyerahannya.
Ayat (2)
Warkat kredit dan atau DKE kredit dapat ditolak antara lain
karena adanya kesalahan pengisian sandi
rekening atau jumlah nominal.
Yang dimaksud dengan Kliring Penyerahan adalah Kliring
Penyerahan berikutnya segera setelah diketahui adanya
kesalahan.
Pasal 38
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan Cek dan Bilyet Giro kosong adalah
Cek/Bilyet Giro yang ditolak dalam tenggang waktu adanya
kewajiban penyediaan dana oleh penarik karena dana/saldonya
tidak cukup atau rekening telah ditutup;
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)…
Peserta, nomor
- 47 -
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 39
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 40
Jangka waktu 6 (enam) bulan diberikan kepada Peserta sistem manual
dan sistem semi otomasi untuk melakukan penyesuaian Warkatnya yang
belum memenuhi spesifikasi Warkat yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Peraturan yang dimaksud dalam pasal ini termasuk pula Surat Edaran
Bank Indonesia yang merupakan pelaksanaan dari Surat Keputusan
Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3873
UASP
"," PBI
1/3/PBI/1999
PENYELENGGARAAN KLIRING LOKAL DAN PENYELESAIAN AKHIR TRANSAKSI PEMBAYARAN ANTAR BANK ATAS HASIL KLIRING LOKAL
13 Agustus 1999
13 Agustus 1999
'21/9/KEP/DIR|SKDIR-BI/1988', '31/79/KEP/DIR|SKDIR-BI/1998', '28/160/KEP/DIR|SKDIR-BI/1996', '28/122/KEP/DIR|SKDIR-BI/1996', '14/35/Kep/Dir/UPPB|SKDIR-BI/1981', '31/1/KEP/DIR|SKDIR-BI/1998', '1/1/PBI/1999 | Pasal 16 ayat (1), ayat (2), ayat (3)'
'8/UU/1997', '23/UU/1999', '7/UU/1992', '10/UU/1998', '1/1/PBI/1999'
'BAB XI Pasal 25', 'BAB XIV'
"
" PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 18/30/PBI/2016
TENTANG
PENGELUARAN UANG RUPIAH KERTAS
PECAHAN 20.000 (DUA PULUH RIBU)
TAHUN EMISI 2016
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa uang Rupiah sebagai mata uang Negara Kesatuan
Republik Indonesia memiliki peran yang sangat strategis,
baik sebagai simbol kedaulatan negara yang harus
dihormati dan dibanggakan oleh seluruh warga negara
Indonesia, maupun sebagai alat pembayaran yang sah
dalam kegiatan perekonomian nasional guna
mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia;
b. bahwa guna mewujudkan kesejahteraan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia dan dalam rangka
melaksanakan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun
2011 tentang Mata Uang, Bank Indonesia perlu
mengeluarkan uang Rupiah dan mengedarkannya sesuai
dengan kebutuhan masyarakat dalam jumlah nominal
yang cukup, jenis pecahan yang sesuai, tepat waktu, dan
dalam kondisi yang layak edar;
c. bahwa untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap
uang Rupiah maka uang Rupiah yang dikeluarkan Bank
- 2 -
Indonesia perlu senantiasa ditingkatkan kualitas dan
keandalannya;
d. bahwa
berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu
menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang
Pengeluaran Uang Rupiah Kertas Pecahan 20.000 (Dua
Puluh Ribu) Tahun Emisi 2016;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843), sebagaimana telah diubah
beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4962);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata
Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5223);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENGELUARAN
UANG RUPIAH KERTAS PECAHAN 20.000 (DUA PULUH RIBU)
TAHUN EMISI 2016.
Pasal 1
Bank Indonesia mengeluarkan uang Rupiah pecahan 20.000
(dua puluh ribu) tahun emisi 2016 sebagai alat pembayaran
yang sah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
- 3 -
Pasal 2
Macam uang Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
merupakan uang Rupiah kertas yang memiliki ciri tertentu.
Pasal 3
Harga uang Rupiah kertas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 merupakan nilai nominal pada pecahan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 yaitu sebesar Rp20.000,00 (dua
puluh ribu rupiah).
Pasal 4
Ciri tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang
terdapat pada bagian depan dan bagian belakang meliputi:
a. ciri umum; dan
b. ciri khusus.
Pasal 5
(1) Ciri umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
huruf a, pada bagian depan terdapat:
a. gambar lambang negara “Garuda Pancasila”;
b. frasa “NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA”;
c. sebutan pecahan dalam angka “20000” dan tulisan
“DUA PULUH RIBU RUPIAH”;
d. tanda tangan Gubernur Bank Indonesia beserta
tulisan “GUBERNUR” dan tanda tangan Menteri
Keuangan Republik Indonesia beserta tulisan
“MENTERI KEUANGAN”;
e.
tulisan tahun emisi yaitu “EMISI 2016”;
f. gambar utama yaitu Pahlawan Nasional Dr. G.S.S.J.
Ratulangi beserta tulisan “Dr. G.S.S.J. RATULANGI”;
g. gambar ornamen batik; dan
h. gambar lingkaran-lingkaran kecil.
(2) Ciri khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
huruf b, pada bagian depan yang berupa desain dan
teknik cetak, terdapat:
a. warna dominan hijau;
- 4 -
b.
hasil cetak yang terasa kasar apabila diraba pada
ciri umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, dan huruf f;
c. gambar saling isi (rectoverso) dari logo Bank
Indonesia yang dapat dilihat secara utuh apabila
diterawangkan ke arah cahaya;
d. gambar tersembunyi (latent image) berupa tulisan
“BI” yang dapat dilihat dari sudut pandang tertentu;
e. gambar tersembunyi (latent image) multiwarna
berupa angka “20” yang dapat dilihat dari sudut
pandang tertentu;
f. gambar perisai yang di dalamnya berisi logo Bank
Indonesia yang akan berubah warna apabila dilihat
dari sudut pandang berbeda (colour shifting);
g. kode tuna netra (blind code) berupa efek rabaan
(tactile);
h. gambar raster berupa tulisan “NKRI” yang tertulis
utuh dan/atau sebagian;
i.
mikroteks yang memuat tulisan “BI20”, tulisan
“BI20000”, dan angka “20”, yang dapat dilihat
dengan bantuan kaca pembesar; dan
j.
hasil cetak yang akan memendar dalam 1 (satu) atau
beberapa warna apabila dilihat dengan sinar
ultraviolet berupa:
1. 2 (dua) bidang persegi empat yang salah
satunya berisi tulisan “BI”;
2. angka nominal “20000”;
3. ornamen batik; dan
4. gambar wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Pasal 6
(1) Ciri umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
huruf a, pada bagian belakang terdapat:
a. angka nominal “20000”;
b. nomor seri dengan bentuk asimetris yang meliputi
3 (tiga) huruf dan 6 (enam) angka;
- 5 -
c. teks “DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,
NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA
MENGELUARKAN RUPIAH SEBAGAI ALAT
PEMBAYARAN YANG SAH DENGAN NILAI DUA
PULUH RIBU RUPIAH”;
d. tulisan tahun cetak “TC 2016”;
e. gambar utama yaitu tari gong beserta tulisan “TARI
GONG”, pemandangan alam Derawan beserta tulisan
“Derawan”, dan bunga anggrek hitam;
tulisan “BANK INDONESIA”;
f.
g. gambar ornamen batik;
h. gambar lingkaran-lingkaran kecil; dan
i.
tulisan “PERURI”.
(2) Ciri khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
huruf b, pada bagian belakang yang berupa desain dan
teknik cetak, terdapat:
a. warna dominan hijau;
b. hasil cetak yang terasa kasar apabila diraba pada
ciri umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a, huruf c, dan huruf f;
c.
hasil cetak yang terasa kasar apabila diraba pada
gambar tari gong, tulisan “TARI GONG”, dan tulisan
“Derawan”;
d. gambar saling isi (rectoverso) dari logo Bank
Indonesia yang dapat dilihat secara utuh apabila
diterawangkan ke arah cahaya;
e. gambar tersembunyi (latent image) berupa angka
“20” yang dapat dilihat dari sudut pandang tertentu;
f. gambar raster berupa tulisan “NKRI” dan angka
“20000”;
g. mikroteks yang memuat tulisan “BI20000”, tulisan
“BANKINDONESIA20000”, dan angka “20000”, yang
dapat dilihat dengan bantuan kaca pembesar; dan
h. hasil cetak yang akan memendar dalam 1 (satu) atau
beberapa warna apabila dilihat dengan sinar
ultraviolet berupa:
1. gambar bunga anggrek hitam;
- 6 -
2. gambar burung enggang gading;
3. bidang persegi empat yang berisi tulisan “BI”;
4. gambar lingkaran-lingkaran kecil; dan
5. nomor seri dengan bentuk asimetris yang
meliputi 3 (tiga) huruf dan 6 (enam) angka.
(3) Angka dalam tulisan tahun cetak sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf d akan berubah sesuai dengan tahun
cetak.
Pasal 7
Selain ciri khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
ayat (2) dan Pasal 6 ayat (2), uang Rupiah memiliki ciri
khusus sebagai berikut:
a. bahan berupa kertas uang yang memiliki spesifikasi:
1. terbuat dari serat kapas;
2. berwarna hijau muda;
3. tidak memendar dengan sinar ultraviolet;
4. terdapat tanda air (watermark) berupa gambar
Pahlawan Nasional Oto Iskandar Di Nata dan
ornamen tertentu; dan
5. terdapat benang pengaman berbentuk anyaman
yang memuat tulisan “BI 20000” secara berulang,
yang akan memendar multiwarna apabila dilihat
dengan sinar ultraviolet; dan
b. ukuran yaitu panjang 147 (seratus empat puluh tujuh)
milimeter dan lebar 65 (enam puluh lima) milimeter.
Pasal 8
Uang Rupiah kertas pecahan 20.000 (dua puluh ribu) tahun
emisi 2004 dinyatakan masih tetap berlaku sebagai alat
pembayaran yang sah di wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia sepanjang belum dicabut dan ditarik dari
peredaran.
Pasal 9
Uang Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 mulai
berlaku dan diedarkan pada tanggal 19 Desember 2016.
- 7 -
Pasal 10
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar
setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 26 Oktober 2016
GUBERNUR BANK INDONESIA,
AGUS D. W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 28 Oktober 2016
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 214
"," PBI
18/30/PBI/2016
PENGELUARAN UANG RUPIAH KERTAS PECAHAN 20.000 (DUA PULUH RIBU) TAHUN EMISI 2016
26 Oktober 2016
28 Oktober 2016
28 Oktober 2016
'23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '6/UU/2009', '7/UU/2011'
"
" PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 6/10/PBI/2004
TENTANG
SISTEM PENILAIAN TINGKAT KESEHATAN BANK UMUM
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa kesehatan suatu bank merupakan kepentingan semua
pihak yang terkait, baik pemilik, pengelola bank,
masyarakat pengguna jasa bank dan Bank Indonesia selaku
otoritas pengawasan bank;
b. bahwa dengan pesatnya perkembangan yang terjadi di
bidang perbankan berpengaruh pada meningkatnya
kompleksitas usaha bank dan profil risiko yang dimiliki
bank;
c. bahwa perubahan kompleksitas usaha dan profil risiko bank
serta perubahan metodologi penilaian kondisi bank yang
diterapkan secara internasional akan mempengaruhi sistem
penilaian Tingkat Kesehatan Bank yang saat ini berlaku;
d. bahwa sehubungan dengan hal tersebut dipandang perlu
untuk mengatur kembali Sistem Penilaian Tingkat
Kesehatan Bank Umum dalam suatu Peraturan Bank
Indonesia;
Mengingat …
- 2 -
Mengingat :
1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor
31, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3472)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor
10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3790);
2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang
Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 4357);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG SISTEM
PENILAIAN TINGKAT KESEHATAN BANK UMUM.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah Bank Umum yang melaksanakan kegiatan usaha secara
konvensional sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun
1992 …
- 3 -
1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang
Nomor 10 Tahun 1998, termasuk kantor cabang bank asing.
2. Direksi:
a. bagi Bank berbentuk hukum Perseroan Terbatas adalah direksi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 4 Undang-undang Nomor 1
Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas;
b. bagi Bank berbentuk hukum Perusahaan Daerah adalah direksi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 Undang-undang Nomor 5 Tahun
1962 tentang Perusahaan Daerah;
c. bagi Bank berbentuk hukum Koperasi adalah pengurus sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 29 Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992
tentang Perkoperasian.
3. Komisaris:
a. bagi Bank berbentuk hukum Perseroan Terbatas adalah komisaris
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 5 Undang-undang Nomor 1
Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas;
b. bagi Bank berbentuk hukum Perusahaan Daerah adalah pengawas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 Undang-undang Nomor 5 Tahun
1962 tentang Perusahaan Daerah;
c. bagi Bank berbentuk hukum Koperasi adalah pengawas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 38 Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992
tentang Perkoperasian.
4. Tingkat Kesehatan Bank adalah hasil penilaian kualitatif atas berbagai aspek
yang berpengaruh terhadap kondisi atau kinerja suatu Bank melalui Penilaian
Kuantitatif dan atau Penilaian Kualitatif terhadap faktor-faktor permodalan,
kualitas aset, manajemen, rentabilitas, likuiditas, dan sensitivitas terhadap
risiko pasar.
5. Peringkat …
- 4 -
5. Peringkat Komposit adalah peringkat akhir hasil penilaian Tingkat Kesehatan
Bank.
6. Penilaian Kuantitatif adalah penilaian terhadap posisi, perkembangan, dan
proyeksi rasio-rasio keuangan Bank.
7. Penilaian Kualitatif adalah penilaian terhadap faktor-faktor yang mendukung
hasil Penilaian Kuantitatif, penerapan manajemen risiko, dan kepatuhan
Bank.
Pasal 2
(1) Bank wajib melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip kehati-hatian
dalam rangka menjaga atau meningkatkan Tingkat Kesehatan Bank.
(2) Komisaris dan Direksi Bank wajib memantau dan mengambil
langkah-langkah yang diperlukan agar Tingkat Kesehatan Bank sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dapat dipenuhi.
Pasal 3
Penilaian Tingkat Kesehatan Bank mencakup penilaian terhadap faktor-faktor
sebagai berikut:
a. permodalan (capital);
b. kualitas aset (asset quality);
c. manajemen (management);
d. rentabilitas (earning);
e. likuiditas (liquidity); dan
f. sensitivitas terhadap risiko pasar (sensitivity to market risk).
Pasal 4 …
- 5 -
Pasal 4
(1) Penilaian terhadap faktor permodalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
huruf a meliputi penilaian terhadap komponen-komponen sebagai berikut:
a. kecukupan, komposisi, dan proyeksi (trend ke depan) permodalan serta
kemampuan permodalan Bank dalam mengcover aset bermasalah;
b. kemampuan Bank memelihara kebutuhan penambahan modal yang
berasal dari keuntungan, rencana permodalan Bank untuk mendukung
pertumbuhan usaha, akses kepada sumber permodalan, dan kinerja
keuangan pemegang saham untuk meningkatkan permodalan Bank.
(2) Penilaian terhadap faktor kualitas aset sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
huruf b meliputi penilaian terhadap komponen-komponen sebagai berikut:
a. kualitas aktiva produktif,
konsentrasi eksposur risiko kredit,
perkembangan aktiva produktif bermasalah, dan kecukupan penyisihan
penghapusan aktiva produktif (PPAP);
b. kecukupan kebijakan dan prosedur, sistem kaji ulang (review) internal,
sistem dokumentasi, dan kinerja penanganan aktiva produktif
bermasalah.
(3) Penilaian terhadap faktor manajemen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
huruf c meliputi penilaian terhadap komponen-komponen sebagai berikut:
a. kualitas manajemen umum dan penerapan manajemen risiko;
b. kepatuhan Bank terhadap ketentuan yang berlaku dan komitmen kepada
Bank Indonesia dan atau pihak lainnya.
(4) Penilaian terhadap faktor rentabilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
huruf d meliputi penilaian terhadap komponen-komponen sebagai berikut:
a. pencapaian return on assets (ROA), return on equity (ROE), net interest
margin (NIM), dan tingkat efisiensi Bank;
b. perkembangan …
- 6 -
b. perkembangan laba operasional, diversifikasi pendapatan, penerapan
prinsip akuntansi dalam pengakuan pendapatan dan biaya, dan prospek
laba operasional.
(5) Penilaian terhadap faktor likuiditas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
huruf e meliputi penilaian terhadap komponen-komponen sebagai berikut:
a. rasio aktiva/pasiva likuid, potensi maturity mismatch, kondisi Loan to
Deposit Ratio (LDR), proyeksi cash flow, dan konsentrasi pendanaan;
b. kecukupan kebijakan dan pengelolaan likuiditas (assets and liabilities
management/ALMA), akses kepada sumber pendanaan, dan stabilitas
pendanaan.
(6) Penilaian terhadap faktor sensitivitas terhadap risiko pasar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 huruf f meliputi penilaian terhadap
komponen-komponen sebagai berikut:
a. kemampuan modal Bank dalam mengcover potensi kerugian sebagai
akibat fluktuasi (adverse movement) suku bunga dan nilai tukar;
b. kecukupan penerapan manajemen risiko pasar.
Pasal 5
Dalam rangka menetapkan peringkat setiap komponen sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 dilakukan perhitungan dan analisis dengan mempertimbangkan
indikator pendukung dan atau pembanding yang relevan.
Pasal 6
(1) Berdasarkan hasil penetapan peringkat setiap komponen sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ditetapkan peringkat setiap faktor.
(2) Proses …
- 7 -
(2) Proses penetapan peringkat setiap faktor sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dilaksanakan setelah mempertimbangkan unsur judgement yang
didasarkan atas materialitas dan signifikansi dari setiap komponen yang
dinilai.
Pasal 7
(1) Berdasarkan hasil penetapan peringkat setiap faktor sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 ditetapkan Peringkat Komposit (composite rating).
(2) Peringkat Komposit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan
sebagai berikut:
a. Peringkat Komposit 1 (PK-1), mencerminkan bahwa Bank tergolong
sangat baik dan mampu mengatasi pengaruh negatif kondisi
perekonomian dan industri keuangan;
b. Peringkat Komposit 2 (PK-2), mencerminkan bahwa Bank tergolong
baik dan mampu mengatasi pengaruh negatif kondisi perekonomian dan
industri keuangan namun Bank masih memiliki kelemahan-kelemahan
minor yang dapat segera diatasi oleh tindakan rutin;
c. Peringkat Komposit 3 (PK-3), mencerminkan bahwa Bank tergolong
cukup baik namun terdapat beberapa kelemahan yang dapat
menyebabkan peringkat kompositnya memburuk apabila Bank tidak
segera melakukan tindakan korektif;
d. Peringkat Komposit 4 (PK-4), mencerminkan bahwa Bank tergolong
kurang baik dan sensitif terhadap pengaruh negatif kondisi perekonomian
dan industri keuangan atau Bank memiliki kelemahan keuangan
yang serius atau kombinasi dari kondisi beberapa faktor yang tidak
memuaskan …
- 8 -
memuaskan, yang apabila tidak dilakukan tindakan korektif yang efektif
berpotensi mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan
usahanya.
e. Peringkat Komposit 5 (PK-5), mencerminkan bahwa Bank tergolong
tidak baik dan sangat sensitif terhadap pengaruh negatif kondisi
perekonomian dan industri keuangan serta mengalami kesulitan yang
membahayakan kelangsungan usahanya.
(3) Proses penetapan Peringkat Komposit sebagaimana dimaksud ayat (2)
dilaksanakan dengan mempertimbangkan unsur judgement yang didasarkan
atas materialitas dan signifikansi dari masing-masing faktor.
BAB II
MEKANISME DAN TINDAK LANJUT HASIL PENILAIAN
Pasal 8
(1) Bank wajib melakukan penilaian Tingkat Kesehatan Bank sesuai dengan
Peraturan Bank Indonesia ini secara triwulanan untuk posisi bulan Maret,
Juni, September dan Desember.
(2) Apabila diperlukan Bank Indonesia meminta hasil penilaian Tingkat
Kesehatan Bank yang dilakukan oleh Bank sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1).
Pasal 9
(1) Dalam rangka melaksanakan pengawasan Bank, Bank Indonesia melakukan
penilaian Tingkat Kesehatan Bank secara triwulanan.
(2) Penilaian Tingkat Kesehatan Bank dilakukan berdasarkan hasil pemeriksaan,
laporan berkala yang disampaikan Bank, dan atau informasi lain yang
diketahui …
- 9 -
diketahui secara umum seperti hasil penilaian oleh otoritas atau lembaga lain
yang berwenang.
(3) Apabila terdapat perbedaan hasil penilaian Tingkat Kesehatan Bank yang
dilakukan oleh Bank Indonesia dengan hasil penilaian Tingkat Kesehatan
Bank yang dilakukan oleh Bank maka yang berlaku adalah hasil penilaian
Tingkat Kesehatan Bank yang dilakukan oleh Bank Indonesia.
(4) Berdasarkan hasil penilaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Bank
Indonesia dapat meminta Direksi, Komisaris, dan atau pemegang saham
untuk menyampaikan action plan yang memuat langkah-langkah perbaikan
yang wajib dilaksanakan oleh Bank terhadap permasalahan signifikan dengan
target waktu penyelesaian selama periode tertentu.
(5) Apabila diperlukan Bank Indonesia meminta Bank untuk melakukan
penyesuaian terhadap action plan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4).
Pasal 10
(1) Bank wajib menyampaikan laporan pelaksanaan action plan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4) selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja
setelah pelaksanaan action plan.
(2) Dalam hal pelaksanaan action plan dilakukan secara bertahap, Bank wajib
melaporkan pelaksanaan tahapan action plan dimaksud selambat-lambatnya
10 (sepuluh) hari kerja setelah pelaksanaan setiap tahapan action plan
dimaksud.
Pasal 11
Apabila diperlukan Bank Indonesia melakukan pemeriksaan khusus terhadap
hasil perbaikan yang telah dilakukan oleh Bank.
BAB III …
- 10 -
BAB III
PENILAIAN TINGKAT KESEHATAN KANTOR CABANG
BANK ASING
Pasal 12
Khusus bagi kantor cabang bank asing, penilaian Tingkat Kesehatan Bank hanya
dilakukan atas faktor kualitas aset sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf (b)
dan faktor manajemen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf (c).
Pasal 13
Berdasarkan hasil penilaian peringkat masing-masing faktor sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 ditetapkan Peringkat Komposit (composite rating)
sebagai berikut:
a. Peringkat Komposit 1 (PK-1), mencerminkan bahwa kantor cabang bank
asing memiliki kualitas aset yang sangat baik, memiliki dan menerapkan
manajemen risiko dan pengendalian operasional secara efektif dan
komprehensif, serta menerapkan kepatuhan terhadap ketentuan yang berlaku
dan prosedur intern secara konsisten;
b. Peringkat Komposit 2 (PK-2), mencerminkan bahwa kantor cabang bank
asing memiliki kualitas aset yang baik, memiliki dan menerapkan
manajemen risiko dan pengendalian operasional secara memadai, serta
menerapkan kepatuhan terhadap ketentuan yang berlaku dan prosedur intern
secara konsisten namun terdapat sedikit kelemahan yang dapat segera
diambil tindakan korektif;
c. Peringkat Komposit 3 (PK-3), mencerminkan bahwa kantor cabang bank
asing memiliki kualitas asset yang cukup baik, memiliki dan menerapkan
manajemen …
- 11 -
manajemen risiko dan pengendalian operasional secara cukup memadai, serta
menerapkan kepatuhan terhadap ketentuan yang berlaku dan prosedur intern
namun tidak sepenuhnya konsisten dan terdapat kelemahan yang dapat
menyebabkan peringkat kompositnya memburuk apabila Bank tidak segera
melakukan tindakan korektif;
d. Peringkat Komposit 4 (PK-4), mencerminkan bahwa kantor cabang bank
asing memiliki kualitas aset yang memburuk, memiliki dan menerapkan
manajemen risiko dan pengendalian operasional yang lemah dan kurang
diterapkan secara konsisten serta terdapat frekuensi pelanggaran terhadap
ketentuan yang berlaku dan prosedur intern yang cukup signifikan;
e. Peringkat Komposit 5 (PK-5), mencerminkan bahwa kantor cabang bank
asing memiliki kualitas aset yang terus memburuk, memiliki dan menerapkan
manajemen risiko dan pengendalian operasional yang sangat lemah dan tidak
diterapkan secara konsisten serta terdapat frekuensi pelanggaran terhadap
ketentuan yang berlaku dan prosedur intern yang signifikan.
Pasal 14
Apabila diperlukan Bank Indonesia meminta data atau informasi terakhir dari
kantor cabang bank asing mengenai peringkat kantor pusat bank asing secara
berkala atau sewaktu-waktu.
BAB IV
SANKSI
Pasal 15
Bank yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana diatur dalam
Pasal 2 …
- 12 -
Pasal 2, Pasal 8 ayat (1), Pasal 10, dan Pasal 16 ayat (2) dapat dikenakan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 Undang-undang Nomor 7
Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 berupa:
a. teguran tertulis;
b. pembekuan kegiatan usaha tertentu;
c. pencantuman pengurus dan atau pemegang saham Bank dalam daftar orang
yang dilarang menjadi pemegang saham dan pengurus Bank.
BAB V
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 16
(1) Pelaksanaan sistem penilaian Tingkat Kesehatan Bank sebagaimana
dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia ini mulai diterapkan sejak posisi
bulan Desember 2004.
(2) Dalam rangka persiapan penerapan secara efektif sistem penilaian Tingkat
Kesehatan Bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Bank wajib
melaksanakan uji coba penilaian Tingkat Kesehatan Bank sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 sejak posisi bulan Juni 2004.
(3) Apabila diperlukan Bank Indonesia meminta hasil penilaian Tingkat
Kesehatan yang dilakukan oleh Bank sebagaimana yang dimaksud dalam
ayat (2).
(4) Sebelum diterapkannya secara efektif sistem penilaian Tingkat Kesehatan
Bank sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia ini, penilaian
Tingkat Kesehatan Bank oleh Bank Indonesia dilakukan berdasarkan Surat
Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 30/11/KEP/DIR tanggal 30 April
1997 tentang Tatacara Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum
sebagaimana …
- 13 -
sebagaimana telah diubah dengan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia
Nomor 30/277/KEP/DIR tanggal 19 Maret 1998.
BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 17
Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan Peraturan
Bank Indonesia ini akan ditetapkan dengan Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 18
Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, maka:
a. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 30/11/KEP/DIR tanggal
30 April 1997 tentang Tatacara Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum
dan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 30/277/KEP/DIR
tanggal 19 Maret 1998 tentang Perubahan Surat Keputusan Direksi Bank
Indonesia Nomor 30/11/KEP/DIR tanggal 30 April 1997 tentang Tatacara
Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum, dinyatakan tidak berlaku bagi
Bank Umum yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional sejak
penilaian Tingkat Kesehatan Bank posisi akhir bulan Desember 2004;
b. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 30/266/KEP/DIR tanggal
27 Februari 1998 tentang Pelaksanaan Prinsip Kehati-hatian Yang
Menyangkut Kewajiban Antar Bank, Pengambilalihan Tagihan, Suku Bunga
Simpanan, dan Penyediaan Dana, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 19 …
- 14 -
Pasal 19
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 12 April 2004
GUBERNUR BANK INDONESIA,
BURHANUDDIN ABDULLAH
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004 NOMOR 38
DPNP
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 6/10/PBI/2004
TENTANG
SISTEM PENILAIAN TINGKAT KESEHATAN BANK UMUM
UMUM
Kesehatan atau kondisi keuangan dan non keuangan Bank merupakan
kepentingan semua pihak terkait, baik pemilik, pengelola (manajemen) Bank,
masyarakat pengguna jasa Bank, Bank Indonesia selaku otoritas pengawasan
Bank, dan pihak lainnya. Kondisi Bank tersebut dapat digunakan oleh
pihak-
pihak tersebut untuk mengevaluasi kinerja Bank dalam menerapkan prinsip
kehati-hatian, kepatuhan terhadap ketentuan yang berlaku dan manajemen risiko.
Perkembangan industri perbankan, terutama produk dan jasa yang semakin
kompleks dan beragam akan meningkatkan eksposur risiko yang dihadapi Bank.
Perubahan eksposur risiko Bank dan penerapan manajemen risiko akan
mempengaruhi profil risiko Bank yang selanjutnya berakibat pada kondisi Bank
secara keseluruhan.
Perkembangan metodologi penilaian kondisi Bank senantiasa bersifat
dinamis sehingga sistem penilaian tingkat kesehatan Bank harus diatur kembali
agar lebih mencerminkan kondisi Bank saat ini dan di waktu yang akan datang.
Pengaturan kembali tersebut antara lain meliputi penyempurnaan pendekatan
penilaian (kualitatif dan kuantitatif) dan penambahan faktor penilaian.
Bagi …
- 2 -
Bagi perbankan, hasil akhir penilaian kondisi Bank tersebut dapat
digunakan sebagai salah satu sarana dalam menetapkan strategi usaha di waktu
yang akan datang sedangkan bagi Bank Indonesia, antara lain digunakan sebagai
sarana penetapan dan implementasi strategi pengawasan Bank.
Agar pada waktu yang ditetapkan Bank dapat menerapkan sistem penilaian
tingkat kesehatan Bank sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini,
maka perbankan perlu melakukan langkah-langkah persiapan dalam menerapkan
sistem tersebut.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 3
Huruf a
Penilaian permodalan merupakan penilaian terhadap kecukupan
modal Bank untuk mengcover eksposur risiko saat ini dan
mengantisipasi eksposur risiko di masa datang.
Huruf b …
- 3 -
Huruf b
Penilaian kualitas aset merupakan penilaian terhadap kondisi aset
Bank dan kecukupan manajemen risiko kredit.
Huruf c
Penilaian manajemen merupakan penilaian terhadap kemampuan
manajerial pengurus Bank untuk menjalankan usahanya, kecukupan
manajemen risiko, dan kepatuhan Bank terhadap ketentuan yang
berlaku serta komitmen kepada Bank Indonesia dan atau pihak
lainnya.
Yang dimaksud dengan kepatuhan Bank terhadap ketentuan yang
berlaku antara lain kepatuhan terhadap ketentuan Batas Maksimum
Pemberian Kredit, Posisi Devisa Neto, dan Prinsip Mengenal
Nasabah (Know Your Customer).
Huruf d
Penilaian rentabilitas merupakan penilaian terhadap kondisi dan
kemampuan rentabilitas Bank untuk mendukung kegiatan operasional
dan permodalan.
Huruf e
Penilaian likuiditas merupakan penilaian terhadap kemampuan Bank
untuk memelihara tingkat likuiditas yang memadai dan kecukupan
manajemen risiko likuiditas.
Huruf f
Penilaian sensitivitas terhadap risiko pasar merupakan penilaian
terhadap kemampuan modal Bank untuk mengcover akibat yang
ditimbulkan oleh perubahan risiko pasar dan kecukupan manajemen
risiko pasar.
Pasal 4 …
- 4 -
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Pasal 5
Peringkat setiap komponen terdiri dari peringkat 1, peringkat 2,
peringkat 3, peringkat 4, dan peringkat 5.
Urutan peringkat yang lebih rendah mencerminkan kondisi Bank yang lebih
baik.
Pasal 6
Ayat (1)
Peringkat setiap faktor terdiri dari peringkat 1, peringkat 2, peringkat
3, peringkat 4, dan peringkat 5.
Urutan peringkat yang lebih rendah mencerminkan kondisi Bank
yang lebih baik.
Ayat (2) …
- 5 -
Ayat (2)
Pertimbangan unsur judgement merupakan pengambilan kesimpulan
yang dilakukan secara obyektif dan independen berdasarkan hasil
analisis yang didukung oleh fakta, data, dan informasi yang memadai
serta terdokumentasi dengan baik guna memperoleh hasil penilaian
yang mencerminkan kondisi Bank yang sebenarnya.
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Urutan Peringkat Komposit yang lebih rendah mencerminkan kondisi
Bank yang lebih baik.
Huruf a
Dalam peringkat ini Bank mampu mengendalikan usahanya
apabila terjadi perubahan yang signifikan pada industri
perbankan.
Huruf b
Kelemahan minor dalam huruf ini dapat berupa kelemahan
administratif dan operasional yang tidak mempengaruhi kondisi
Bank secara signifikan.
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Ayat (3) …
- 6 -
Ayat (3)
Pertimbangan unsur judgement merupakan pengambilan kesimpulan
yang dilakukan secara obyektif dan independen berdasarkan hasil
analisis yang didukung oleh fakta, data, dan informasi yang memadai
serta terdokumentasi dengan baik guna memperoleh hasil penilaian
yang mencerminkan kondisi Bank yang sebenarnya.
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 9
Ayat (1)
Dalam rangka memperoleh hasil penilaian Tingkat Kesehatan yang
sesuai dengan kondisi Bank yang sesungguhnya, Bank Indonesia
dapat meminta informasi dan penjelasan dari Bank.
Bank Indonesia dapat melakukan penyesuaian terhadap penilaian
Tingkat Kesehatan Bank apabila diketahui terdapat data dan
informasi yang mempengaruhi kondisi Bank secara signifikan pada
posisi setelah posisi penilaian (subsequent events).
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4) …
- 7 -
Ayat (4)
Bank Indonesia dapat meminta Direksi, Komisaris, dan atau
pemegang saham untuk menyampaikan action plan apabila hasil
penilaian Tingkat Kesehatan Bank menunjukkan bahwa satu atau
lebih faktor penilaian memiliki peringkat 4 dan atau peringkat 5.
Ayat (5)
Action plan yang disampaikan diperlakukan sebagai komitmen Bank
kepada Bank Indonesia.
Pasal 10
Ayat (1)
Laporan pelaksanaan action plan yang disampaikan Bank antara lain
memuat bukti pelaksanaan dan dokumen pendukung terkait.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 11
Cukup jelas
Pasal 12
Komponen faktor kualitas aset mengacu kepada Pasal 4 ayat (2)
sedangkan komponen faktor manajemen mengacu kepada Pasal 4 ayat (3).
Pasal 13 …
- 8 -
Pasal 13
Proses penetapan Peringkat Komposit didahului dengan proses penetapan
peringkat setiap komponen sebagaimana dimaksud Pasal 5 dan penetapan
peringkat setiap faktor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6.
Pasal 14
Penilaian peringkat kantor pusat bank asing dilakukan oleh lembaga
pemeringkat internasional antara lain Standard & Poor’s, Moody’s, dan
Fitch.
Pasal 15
Cukup jelas
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 17
Cukup jelas
Pasal 18 …
- 9 -
Pasal 18
Cukup jelas
Pasal 19
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR
4382
DPNP
"," PBI
6/10/PBI/2004
SISTEM PENILAIAN TINGKAT KESEHATAN BANK UMUM
12 April 2004
12 April 2004
'30/277/KEP/DIR|SKDIR-BI/1998', '30/266/KEP/DIR|SKDIR-BI/1998', '30/11/KEP/DIR|SKDIR-BI/1997'
'23/UU/1999', '7/UU/1992', '3/UU/2004', '10/UU/1998'
'BAB IV'
"
" PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 11/ 31 /PBI/2009
TENTANG
UJI KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN (FIT AND PROPER TEST)
BANK SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa dalam rangka memelihara dan meningkatkan kepercayaan
masyarakat terhadap Bank Syariah dan UUS dalam pengelolaan
dana pihak ketiga, perbankan syariah perlu dikelola oleh sumber
daya manusia yang mampu memelihara amanah;
b. bahwa dalam rangka mendorong pertumbuhan Bank Syariah dan
UUS yang sehat dan kuat, perbankan syariah perlu dikelola oleh
sumber daya manusia yang memiliki integritas dan profesional;
c. bahwa sumber daya manusia yang mampu memelihara amanah
dan memiliki integritas serta profesional akan mendorong
pelaksanaan tata kelola yang baik (good corporate governance) di
Bank Syariah dan UUS;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a, huruf b dan huruf c, dipandang perlu untuk menetapkan
ketentuan mengenai uji kemampuan dan kepatutan (fit and proper
test) terhadap pemilik dan pengelola Bank Syariah dan UUS
dalam suatu Peraturan Bank Indonesia.
Mengingat ...
- 2 -
Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843)
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999
tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4867);
3. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007
Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4756);
M E M U T U S K A N:
Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG UJI
KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN (FIT AND PROPER
TEST) BANK SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH
BAB I...
- 3 -
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank Syariah adalah Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan
Rakyat Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
2. Bank Umum Syariah yang selanjutnya disebut BUS adalah Bank
Umum Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
3. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah yang selanjutnya disebut
BPRS adalah Bank Pembiayaan Rakyat Syariah sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah.
4. Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disebut UUS adalah Unit
Usaha Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
5. Pengendalian adalah suatu tindakan yang bertujuan untuk
memengaruhi pengelolaan dan/atau kebijakan Bank Syariah
dengan cara apapun, baik secara langsung maupun tidak
langsung.
6. Pemegang Saham Pengendali yang selanjutnya disebut PSP
adalah badan hukum, orang perseorangan dan/atau kelompok
usaha yang:
a. memiliki saham Bank Syariah sebesar 25% (dua puluh lima
persen) atau lebih dari jumlah saham yang dikeluarkan oleh
Bank Syariah dan mempunyai hak suara; atau
b. memiliki ...
- 4 -
b. memiliki saham Bank Syariah kurang dari 25% (dua puluh
lima persen) dari jumlah saham yang dikeluarkan oleh Bank
Syariah dan mempunyai hak suara namun yang bersangkutan
dapat dibuktikan telah melakukan Pengendalian terhadap
Bank Syariah, baik secara langsung maupun tidak langsung.
7. Dewan Komisaris adalah Dewan Komisaris sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas;
8. Direksi adalah Direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas;
9. Direktur UUS adalah anggota Direksi yang mengelola dan
bertanggung jawab terhadap operasional UUS;
10. Pejabat Eksekutif adalah pejabat yang bertanggung jawab
langsung kepada Direksi dan/atau mempunyai pengaruh terhadap
kebijakan dan operasional Bank Syariah dan UUS;
11. Daftar Kepatutan dan Kelayakan (Daftar Tidak Lulus) adalah
daftar pihak-pihak yang mendapat predikat Tidak Memenuhi
Persyaratan (Tidak Lulus) dalam uji kemampuan dan kepatutan.
Pasal 2
(1) Pihak-pihak yang termasuk sebagai pengendali Bank Syariah
wajib tunduk pada ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia
ini.
(2) Pihak-pihak yang termasuk sebagai pengendali Bank Syariah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah orang perseorangan,
badan hukum atau gabungan keduanya termasuk kelompok
usaha yang melakukan pengendalian terhadap Bank Syariah.
(3) Pihak ...
- 5 -
(3) Pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat
melakukan Pengendalian terhadap Bank Syariah dengan cara-
cara antara lain sebagai berikut:
a. memiliki secara sendiri atau bersama-sama 25% (dua puluh
lima persen) atau lebih saham Bank Syariah;
b. secara langsung menjalankan manajemen dan/atau
memengaruhi kebijakan Bank Syariah;
c. memiliki hak opsi atau hak lainnya untuk memiliki saham
yang apabila digunakan akan menyebabkan pihak tersebut
memiliki dan/atau mengendalikan secara sendiri atau
bersama-sama 25% (dua puluh lima persen) atau lebih
saham Bank Syariah;
d. melakukan kerjasama atau tindakan yang sejalan untuk
mencapai tujuan bersama dalam mengendalikan Bank
Syariah (acting in concert) dengan atau tanpa perjanjian
tertulis dengan pihak lain, sehingga secara bersama-sama
memiliki dan/atau mengendalikan 25% (dua puluh lima
persen) atau lebih saham Bank Syariah, baik langsung
maupun tidak langsung dengan atau tanpa perjanjian tertulis;
e. melakukan kerjasama atau tindakan yang sejalan untuk
mencapai tujuan bersama dalam mengendalikan Bank
Syariah (acting in concert) dengan atau tanpa perjanjian
tertulis dengan pihak lain, sehingga secara bersama-sama
mempunyai hak opsi atau hak lainnya untuk memiliki
saham, yang apabila hak tersebut dilaksanakan menyebabkan
pihak-pihak tersebut memiliki dan/atau mengendalikan
secara bersama-sama 25% (dua puluh lima persen) atau lebih
saham ...
- 6 -
saham Bank Syariah;
f. mengendalikan satu atau lebih perusahaan lain yang secara
keseluruhan memiliki dan/atau mengendalikan secara
bersama-sama 25% (dua puluh lima persen) atau lebih
saham Bank Syariah;
g. mempunyai kewenangan untuk menyetujui dan/atau
memberhentikan anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi
dan Dewan Pengawas Syariah;
h. secara tidak langsung memengaruhi atau menjalankan
manajemen dan/atau kebijakan Bank Syariah;
i. melakukan Pengendalian terhadap perusahaan induk atau
perusahaan induk di bidang keuangan dari Bank Syariah;
dan/atau
j. melakukan Pengendalian terhadap pihak yang melakukan
Pengendalian sebagaimana dimaksud pada huruf a sampai
dengan huruf i.
Pasal 3
(1) Calon PSP, calon anggota Dewan Komisaris dan calon anggota
Direksi Bank Syariah, wajib mengikuti uji kemampuan dan
kepatutan dalam rangka memperoleh persetujuan Bank
Indonesia.
(2) Pihak-pihak yang dicalonkan menjadi Direktur UUS dan hanya
bertugas mengelola UUS, wajib mengikuti uji kemampuan dan
kepatutan sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Bank
Indonesia ini.
Pasal 4 ...
- 7 -
Pasal 4
(1) Bank Indonesia melakukan uji kemampuan dan kepatutan
terhadap:
a. calon PSP, calon anggota Dewan Komisaris, calon anggota
Direksi Bank Syariah dan pihak-pihak yang dicalonkan
menjadi Direktur UUS sebagaimana dimaksud dalam Pasal
3;
b. PSP, anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi dan Pejabat
Eksekutif Bank Syariah dalam hal terdapat indikasi bahwa
yang bersangkutan memiliki peranan atas terjadinya
pelanggaran atau penyimpangan, termasuk tindakan fraud
(penipuan, penggelapan dan/atau kecurangan) dalam
kegiatan operasional Bank Syariah; dan
c. Direktur UUS dan Pejabat Eksekutif UUS dalam hal terdapat
indikasi bahwa yang bersangkutan memiliki peranan atas
terjadinya pelanggaran atau penyimpangan, termasuk
tindakan fraud (penipuan, penggelapan dan/atau kecurangan)
dalam kegiatan operasional UUS.
(2) Bank Indonesia melakukan penilaian dan penelitian terhadap
Pejabat Eksekutif yang baru dilaporkan pengangkatan dan/atau
penggantiannya oleh Bank Syariah dan UUS.
BAB II ...
- 8 -
BAB II
UJI KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN BAGI
CALON PEMEGANG SAHAM PENGENDALI
Bagian Kesatu
Faktor yang Diuji
Pasal 5
Uji kemampuan dan kepatutan terhadap calon PSP adalah untuk
memperoleh keyakinan bahwa calon PSP memiliki:
a.
integritas; dan
b. kelayakan keuangan.
Pasal 6
Persyaratan integritas bagi calon PSP sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 huruf a paling kurang antara lain:
a. memiliki akhlak dan moral yang baik, antara lain ditunjukkan
dengan sikap mematuhi ketentuan yang berlaku baik yang tertulis
maupun tidak tertulis, termasuk tidak pernah dihukum karena
terbukti melakukan tindak pidana;
b. memiliki komitmen untuk mematuhi peraturan perbankan syariah
dan peraturan perundang-undangan lain yang berlaku;
c. memiliki komitmen untuk mendorong Direksi mengembangkan
Bank Syariah yang sehat dan tangguh (sustainable);
d. tidak termasuk dalam Daftar Kepatutan dan Kelayakan (Daftar
Tidak Lulus); dan
e.
tidak sedang menjalani proses uji kemampuan dan kepatutan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b dan huruf c.
Pasal 7 ...
- 9 -
Pasal 7
Persyaratan kelayakan keuangan bagi calon PSP sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 huruf b adalah memiliki kemampuan
keuangan yang dibuktikan dengan antara lain:
a. memiliki sumber penghasilan utama yang dapat mendukung
perkembangan bisnis Bank Syariah dalam jangka menengah dan
jangka panjang;
b.
tidak pernah dinyatakan pailit atau menjadi pemegang saham,
anggota Dewan Komisaris atau anggota Direksi suatu perseroan
dan/atau anggota pengurus suatu badan hukum lainnya yang
dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perseroan dan/atau badan
hukum lainnya dimaksud dinyatakan pailit berdasarkan ketetapan
pengadilan, dalam waktu 5 (lima) tahun terakhir sebelum
dicalonkan;
c.
tidak memiliki hutang yang bermasalah, termasuk tidak tercantum
dalam daftar kredit macet; dan
d. kesediaan untuk melakukan upaya-upaya yang diperlukan agar
Bank Syariah dapat mengatasi kesulitan permodalan maupun
likuiditas.
Bagian Kedua
Tata Cara Uji Kemampuan dan Kepatutan
Pasal 8
(1) Permohonan untuk memperoleh persetujuan menjadi PSP
diajukan oleh calon PSP melalui Bank Syariah kepada Bank
Indonesia.
(2) Dalam hal Bank Syariah masih dalam proses pendirian,
pengajuan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diajukan ...
- 10 -
diajukan oleh salah satu calon pemilik Bank Syariah.
(3) Persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh Bank Indonesia paling
lambat 30 (tiga puluh) hari setelah seluruh persyaratan terpenuhi
dan dokumen permohonan diterima secara lengkap.
(4) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan
kepada Bank Indonesia dengan melampirkan dokumen yang
akan diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 9
(1) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan atas
permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Bank
Indonesia melakukan penilaian terhadap calon PSP dengan
memperhatikan faktor integritas dan kelayakan keuangan
termasuk tujuan utama untuk menjadi PSP melalui proses
penelitian administratif dan wawancara.
(2) Sebagai bagian dari proses persetujuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Bank Indonesia dapat meminta calon PSP dan/atau
pihak-pihak yang melakukan Pengendalian untuk memberikan
komitmen tertulis dalam rangka pengembangan Bank Syariah
yang sehat dan tangguh (sustainable).
Pasal 10
(1) Dalam hal calon PSP Bank Syariah berbentuk badan hukum,
maka uji kemampuan dan kepatutan dilakukan dengan menilai
badan hukum yang bersangkutan melalui anggota Direksi yang
berwenang mewakili badan hukum yang bersangkutan dan/atau
pihak-pihak ...
- 11 -
pihak-pihak yang berdasarkan penilaian Bank Indonesia
merupakan pemilik dan pengendali terakhir dari badan hukum
tersebut (ultimate shareholders).
(2) Selain pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank
Indonesia dapat melakukan uji kemampuan dan kepatutan
terhadap pihak-pihak lain yang menurut penilaian Bank
Indonesia turut serta dalam melakukan Pengendalian.
Bagian Ketiga
Hasil Uji Kemampuan dan Kepatutan
Pasal 11
Berdasarkan proses uji kemampuan dan kepatutan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), hasil akhir uji kemampuan dan
kepatutan diklasifikasikan menjadi 2 (dua) predikat yaitu:
a. Memenuhi Persyaratan (Lulus); atau
b. Tidak Memenuhi Persyaratan (Tidak Lulus).
Pasal 12
(1) Calon PSP yang telah memiliki saham Bank Syariah, namun
dalam uji kemampuan dan kepatutan memperoleh predikat Tidak
Memenuhi Persyaratan (Tidak Lulus), diwajibkan untuk
menurunkan kepemilikan sahamnya menjadi paling banyak 10%
(sepuluh persen) paling lambat dalam jangka waktu 6 (enam)
bulan sejak tanggal surat pemberitahuan dari Bank Indonesia.
(2) Dalam hal calon PSP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
dapat menurunkan kepemilikannya menjadi paling banyak 10%
(sepuluh persen) dalam jangka waktu yang ditetapkan, maka:
a. calon ...
- 12 -
a. calon PSP tidak memiliki hak suara atau hak suara sebesar
0% (nol persen) dalam RUPS Bank Syariah;
b. hak suara calon PSP tidak diperhitungkan dalam
penghitungan kuorum atau tidaknya RUPS Bank Syariah;
c. dividen yang dapat dibayarkan oleh Bank Syariah kepada
calon PSP paling banyak 10% (sepuluh persen) dan sisanya
dicatat sebagai hutang dividen yang akan diselesaikan
setelah calon PSP tersebut mengalihkan kepemilikannya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan dibayarkan setelah
mendapat persetujuan Bank Indonesia; dan
d. nama calon PSP Bank Syariah yang bersangkutan
diumumkan kepada publik melalui 2 (dua) media massa
yang mempunyai peredaran luas.
(3) Dalam hal penurunan kepemilikan dilakukan dengan cara
mengalihkan saham kepada keluarga dan/atau kelompok usaha
dari calon PSP, maka pengalihan tersebut tidak dianggap sebagai
penurunan kepemilikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan
Bank Syariah dilarang mencatat pihak-pihak yang menerima
pengalihan tersebut dalam daftar pemegang saham Bank Syariah
dan pihak yang menerima pengalihan tidak memperoleh hak-
haknya sebagai Pemegang Saham.
BAB III...
- 13 -
BAB III
UJI KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN
BAGI CALON ANGGOTA DEWAN KOMISARIS DAN
CALON ANGGOTA DIREKSI
Bagian Kesatu
Faktor yang Diuji
Pasal 13
Uji kemampuan dan kepatutan terhadap calon anggota Dewan
Komisaris dan calon anggota Direksi adalah untuk memperoleh
keyakinan bahwa calon anggota Dewan Komisaris dan calon anggota
Direksi memiliki:
a.
integritas;
b. kompetensi; dan
c. reputasi keuangan.
Pasal 14
Persyaratan integritas bagi calon anggota Dewan Komisaris dan calon
anggota Direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf a
meliputi antara lain:
a. memiliki akhlak dan moral yang baik, antara lain ditunjukkan
dengan sikap mematuhi ketentuan yang berlaku baik yang tertulis
maupun yang tidak tertulis, termasuk tidak pernah dihukum
karena terbukti melakukan tindak pidana kejahatan;
b. memiliki komitmen atas pelaksanaan akuntabilitas dan
responsibilitas yang tinggi;
c. memiliki komitmen untuk mematuhi peraturan perbankan syariah
dan peraturan perundang-undangan lain yang berlaku;
d. memiliki
...
- 14 -
d. memiliki komitmen untuk mengawasi Direksi dalam rangka
pengembangan Bank Syariah yang sehat dan tangguh
(sustainable), khusus untuk calon anggota Dewan Komisaris;
e. memiliki komitmen yang tinggi terhadap pengembangan Bank
Syariah yang sehat dan tangguh (sustainable);
f.
g.
tidak termasuk dalam Daftar Kepatutan dan Kelayakan (Daftar
Tidak Lulus); dan
tidak sedang menjalani proses uji kemampuan dan kepatutan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b dan huruf c.
Pasal 15
(1) Persyaratan kompetensi bagi calon anggota Dewan Komisaris
dan calon anggota Direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
13 huruf b:
a. bagi calon anggota Dewan Komisaris BUS meliputi antara
lain:
1) memiliki pengetahuan, pemahaman dan/atau
pengalaman di bidang operasional perbankan syariah
yang cukup (adequate);
2) memiliki kemauan dan kemampuan untuk mengawasi
kegiatan usaha BUS agar sesuai dengan prinsip kehati-
hatian dan prinsip syariah di bidang perbankan syariah;
dan
3) memiliki pengetahuan dan pemahaman dalam penerapan
manajemen risiko.
b. bagi calon anggota Dewan Komisaris BPRS meliputi antara
lain:
1) memiliki ...
- 15 -
1) memiliki pengetahuan, pemahaman dan/atau
pengalaman di bidang operasional perbankan syariah
yang cukup (adequate); dan
2) memiliki kemauan dan kemampuan untuk mengawasi
kegiatan usaha BPRS agar sesuai dengan prinsip kehati-
hatian dan prinsip syariah di bidang perbankan syariah.
c. bagi calon anggota Direksi BUS meliputi antara lain:
1) memiliki pengetahuan dan pemahaman di bidang
operasional perbankan syariah yang cukup (adequate);
2) memiliki pengalaman dan keahlian di bidang operasional
perbankan atau perbankan syariah dan/atau bidang
keuangan atau keuangan syariah;
3) memiliki kemampuan untuk melakukan pengelolaan
strategis dalam rangka pengembangan BUS yang sehat
dan tangguh (sustainable); dan
4) memiliki pengetahuan, pemahaman dan kemampuan
dalam penerapan manajemen risiko.
d. bagi calon anggota Direksi BPRS meliputi antara lain:
1) memiliki pengetahuan dan pemahaman di bidang
operasional perbankan syariah yang cukup (adequate);
2) memiliki pengalaman dan keahlian di bidang operasional
perbankan atau perbankan syariah dan/atau bidang
keuangan atau keuangan syariah; dan
3) memiliki kemampuan untuk melakukan pengelolaan
strategis dalam rangka pengembangan BPRS yang sehat
dan tangguh (sustainable);
(2) Pemenuhan persyaratan pengalaman dan keahlian bagi calon
Direksi ...
- 16 -
Direksi BUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c angka
2), harus pula memenuhi persyaratan bahwa mayoritas anggota
Direksi wajib memiliki pengalaman minimal 4 (empat) tahun
paling kurang sebagai Pejabat Eksekutif di industri perbankan,
dimana minimal 1 (satu) tahun paling kurang sebagai Pejabat
Eksekutif pada BUS dan/atau UUS.
(3) Bagi BUS yang didirikan melalui proses perubahan kegiatan
usaha, untuk pertama kalinya ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) hanya diwajibkan bagi 1 (satu) calon anggota
Direksi.
(4) Mayoritas anggota Direksi BUS hasil perubahan kegiatan usaha
wajib memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
paling lambat 2 (dua) tahun setelah izin perubahan kegiatan
usaha diberikan.
Pasal 16
Persyaratan reputasi keuangan bagi calon anggota Dewan Komisaris
dan calon anggota Direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
huruf c meliputi antara lain:
a.
tidak pernah dinyatakan pailit atau menjadi pemegang saham,
anggota Dewan Komisaris atau anggota Direksi suatu perseroan
dan/atau anggota pengurus suatu badan hukum lainnya yang
dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perseroan dan/atau badan
hukum lainnya dimaksud dinyatakan pailit berdasarkan ketetapan
pengadilan, dalam waktu 5 (lima) tahun terakhir sebelum
dicalonkan; dan
b. tidak memiliki hutang yang bermasalah, antara lain tidak
tercantum ...
- 17 -
tercantum dalam daftar kredit macet.
Bagian Kedua
Tata Cara Uji Kemampuan dan Kepatutan
Pasal 17
(1) Permohonan untuk memperoleh persetujuan menjadi anggota
Dewan Komisaris dan/atau anggota Direksi diajukan oleh calon
anggota Dewan Komisaris dan/atau calon anggota Direksi
melalui Bank Syariah kepada Bank Indonesia.
(2) Dalam hal Bank Syariah masih dalam proses pendirian,
pengajuan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diajukan oleh salah satu calon pemilik Bank Syariah.
(3) Calon anggota Dewan Komisaris dan/atau calon anggota Direksi
yang diajukan dalam permohonan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) paling banyak berjumlah 2 (dua) orang untuk setiap
lowongan jabatan.
(4) Persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh Bank Indonesia paling
lambat 30 (tiga puluh) hari setelah dokumen permohonan
diterima secara lengkap.
Pasal 18
(1) Dalam hal Bank Syariah berada dalam program penyelamatan
oleh Lembaga Penjamin Simpanan, maka permohonan
persetujuan calon anggota Dewan Komisaris dan/atau calon
anggota Direksi diajukan oleh Lembaga Penjamin Simpanan.
(2) Permohonan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan ...
- 18 -
disampaikan paling lambat 30 (tiga puluh hari) setelah tanggal
pengangkatan oleh Lembaga Penjamin Simpanan.
(3) Pemberitahuan atas permohonan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diberikan oleh Bank Indonesia paling lambat 180
(seratus delapan puluh) hari setelah dokumen permohonan
diterima secara lengkap.
Pasal 19
(1) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan atas
permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1),
Bank Indonesia melakukan penilaian terhadap faktor integritas,
kompetensi dan reputasi keuangan calon anggota Dewan
Komisaris dan/atau calon anggota Direksi melalui proses
penelitian administratif dan wawancara.
(2) Sebagai bagian dari proses persetujuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Bank Indonesia dapat meminta calon anggota
Dewan Komisaris dan/atau calon anggota Direksi untuk
memberikan komitmen tertulis dalam rangka pelaksanaan tugas,
kewajiban dan tanggung jawabnya.
Bagian Ketiga
Hasil Uji Kemampuan dan Kepatutan
Pasal 20
Berdasarkan proses uji kemampuan dan kepatutan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), hasil akhir uji kemampuan dan
kepatutan diklasifikasikan menjadi 2 (dua) predikat yaitu:
a. Memenuhi Persyaratan (Lulus); atau
b. Tidak ...
- 19 -
b. Tidak Memenuhi Persyaratan (Tidak Lulus).
Pasal 21
Calon anggota Dewan Komisaris dan/atau calon anggota Direksi yang
memperoleh predikat Tidak Memenuhi Persyaratan (Tidak Lulus)
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf b yang disebabkan
karena faktor kompetensi, dapat mengajukan permohonan kepada
Bank Indonesia untuk kembali menjadi calon anggota Dewan
Komisaris dan/atau calon anggota Direksi, paling cepat 90 (sembilan
puluh) hari setelah penegasan dari Bank Indonesia.
BAB IV
UJI KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN BAGI
PEMEGANG SAHAM PENGENDALI, ANGGOTA DEWAN KOMISARIS,
ANGGOTA DIREKSI DAN PEJABAT EKSEKUTIF
Bagian Kesatu
Faktor yang Diuji
Pasal 22
Uji kemampuan dan kepatutan terhadap PSP, anggota Dewan
Komisaris, anggota Direksi dan/atau Pejabat Eksekutif yang
terindikasi memiliki peranan atas pelanggaran atau penyimpangan,
termasuk tindakan fraud (penipuan, penggelapan dan/atau
kecurangan) yang terkait dengan faktor:
a.
b.
integritas dan kelayakan keuangan dari PSP;
integritas, kompetensi dan reputasi keuangan dari anggota Dewan
Komisaris, anggota Direksi dan/atau Pejabat Eksekutif
dilakukan untuk menilai keterlibatan dan/atau keterkaitan yang
bersangkutan ...
- 20 -
bersangkutan (clearance test) atas pelanggaran atau penyimpangan
dimaksud.
Pasal 23
(1) Pelanggaran atau penyimpangan, termasuk tindakan fraud
(penipuan, penggelapan dan/atau kecurangan) yang terkait
dengan faktor integritas bagi PSP yaitu antara lain melakukan
tindakan-tindakan, baik secara langsung maupun tidak langsung,
berupa:
a.
tidak memiliki akhlak dan moral yang baik, antara lain
ditunjukkan dengan sikap tidak mematuhi ketentuan yang
berlaku baik yang tertulis maupun tidak tertulis, termasuk
pernah dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana
kejahatan;
b. menolak memberikan komitmen dan/atau tidak memenuhi
komitmen yang telah disepakati dengan Bank Indonesia
dan/atau Pemerintah; dan/atau
c. memengaruhi dan/atau menyuruh Dewan Komisaris,
Direksi, Pejabat Eksekutif dan/atau pegawai Bank Syariah
untuk melakukan:
1) perbuatan rekayasa atau praktek-praktek perbankan yang
menyimpang dari ketentuan perbankan;
2) perbuatan yang memberikan keuntungan secara tidak
wajar kepada pemilik, anggota Dewan Komisaris,
anggota Direksi, Dewan Pengawas Syariah, Pejabat
Eksekutif, pegawai dan/atau pihak lain yang dapat
merugikan atau mengurangi keuntungan Bank Syariah;
3) perbuatan ...
- 21 -
3) perbuatan yang melanggar prinsip kehati-hatian di
bidang perbankan; dan/atau
4) perbuatan yang melanggar prinsip syariah di bidang
perbankan syariah.
(2) Pelanggaran atau penyimpangan, termasuk tindakan fraud
(penipuan, penggelapan dan/atau kecurangan) yang terkait
dengan faktor kelayakan keuangan bagi PSP, yaitu perbuatan
dan/atau kondisi yang menyebabkan terjadinya ketidakmampuan
keuangan PSP dalam memenuhi kelangsungan usaha Bank
Syariah.
Pasal 24
(1) Pelanggaran atau penyimpangan, termasuk tindakan fraud
(penipuan, penggelapan dan/atau kecurangan) yang terkait
dengan faktor integritas bagi anggota Dewan Komisaris, anggota
Direksi atau Pejabat Eksekutif, yaitu melakukan tindakan-
tindakan baik secara langsung maupun tidak langsung berupa:
a.
tidak memiliki akhlak dan moral yang baik, antara lain
ditunjukkan dengan sikap tidak mematuhi ketentuan yang
berlaku baik yang tertulis maupun tidak tertulis, termasuk
pernah dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana
kejahatan;
b. menolak memberikan komitmen dan/atau tidak memenuhi
komitmen yang telah disepakati dengan Bank Indonesia
dan/atau Pemerintah;
c.
tidak memiliki komitmen atas pelaksanaan akuntabilitas dan
responsibilitas;
d. perbuatan ...
- 22 -
d. perbuatan rekayasa atau praktek-praktek perbankan yang
menyimpang dari ketentuan perbankan;
e. perbuatan yang memberikan keuntungan secara tidak wajar
kepada pemilik, anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi,
Dewan Pengawas Syariah, Pejabat Eksekutif, pegawai
dan/atau pihak lain yang dapat merugikan atau mengurangi
keuntungan Bank Syariah;
f. perbuatan yang melanggar prinsip kehati-hatian di bidang
perbankan;
g. perbuatan yang melanggar prinsip syariah di bidang
perbankan syariah;
h. perbuatan yang tidak independen; dan/atau
i.
tidak melaksanakan fungsinya.
(2) Pelanggaran atau penyimpangan, termasuk tindakan fraud
(penipuan, penggelapan dan/atau kecurangan) yang terkait
dengan faktor kompetensi bagi anggota Dewan Komisaris,
anggota Direksi atau Pejabat Eksekutif:
a. bagi anggota Dewan Komisaris BUS, yaitu tidak memiliki:
1) pengetahuan, pemahaman dan/atau pengalaman di
bidang operasional perbankan syariah yang memadai;
2) kemauan dan kemampuan untuk mengawasi kegiatan
usaha BUS agar sesuai dengan prinsip kehati-hatian dan
prinsip syariah di bidang perbankan syariah; dan
3) pengetahuan dan pemahaman dalam penerapan
manajemen risiko.
b. bagi anggota Dewan Komisaris BPRS, yaitu tidak memiliki:
1) pengetahuan ...
- 23 -
1) pengetahuan, pemahaman dan/atau pengalaman di
bidang operasional perbankan syariah yang memadai;
dan
2) kemauan dan kemampuan untuk mengawasi kegiatan
usaha BPRS agar sesuai dengan prinsip kehati-hatian
dan prinsip syariah di bidang perbankan syariah.
c. bagi anggota Direksi dan Pejabat Eksekutif BUS, yaitu tidak
memiliki:
1) pengetahuan dan pemahaman di bidang perbankan
syariah yang memadai;
2) pengalaman dan keahlian di bidang operasional
perbankan atau perbankan syariah dan/atau bidang
keuangan atau keuangan syariah;
3) kemampuan untuk melakukan pengelolaan strategis
dalam rangka pengembangan BUS yang sehat dan
tangguh (sustainable); dan
4) pengetahuan, pemahaman dan kemampuan dalam
penerapan manajemen risiko.
d. bagi anggota Direksi dan Pejabat Eksekutif BPRS, yaitu
tidak memiliki:
1) pengetahuan dan pemahaman di bidang operasional
perbankan syariah yang memadai;
2) pengalaman dan keahlian di bidang operasional
perbankan atau perbankan syariah dan/atau bidang
keuangan atau keuangan syariah; dan
3) kemampuan untuk melakukan pengelolaan strategis
dalam rangka pengembangan BPRS yang sehat dan
tangguh ...
- 24 -
tangguh (sustainable);
(3) Pelanggaran atau penyimpangan, termasuk tindakan fraud
(penipuan, penggelapan dan/atau kecurangan) yang terkait
dengan faktor reputasi keuangan bagi anggota Dewan Komisaris,
anggota Direksi dan Pejabat Eksekutif, yaitu perbuatan dan/atau
kondisi yang menyebabkan tingkat reputasi keuangan yang
bersangkutan menurun.
Bagian Kedua
Tata Cara Uji Kemampuan dan Kepatutan
Pasal 25
(1) Uji kemampuan dan kepatutan dilakukan dengan langkah-
langkah sebagai berikut:
a. pengumpulan data dan informasi;
b. pelaksanaan pemeriksaan khusus;
c. konfirmasi hasil pemeriksaan kepada pihak-pihak yang
dinilai dan/atau pihak terkait lainnya;
d. penyampaian hasil penilaian pertama kepada pihak-pihak
yang dinilai dan pihak terkait lainnya;
e. penerimaan atas tanggapan pertama dari pihak-pihak yang
dinilai dan pengkajian atas tanggapan tersebut;
f. penyampaian hasil penilaian kedua kepada pihak-pihak yang
dinilai;
g. penerimaan atas tanggapan kedua dari pihak-pihak yang
dinilai dan pengkajian atas tanggapan tersebut; dan
h. penetapan dan pemberitahuan hasil akhir uji kemampuan dan
kepatutan oleh Bank Indonesia.
(2) Penyampaian ...
- 25 -
(2) Penyampaian tanggapan pertama oleh pihak-pihak yang dinilai
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dilakukan dalam
jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja, sejak tanggal
penyampaian hasil penilaian pertama sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf d.
(3) Penyampaian tanggapan kedua oleh pihak-pihak yang dinilai
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf g dilakukan dalam
jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja, sejak tanggal
penyampaian hasil penilaian kedua sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf f.
(4) Dalam hal pihak-pihak yang dinilai tidak menggunakan hak
untuk menyampaikan tanggapan yang diberikan dalam jangka
waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau ayat (3), maka
hasil penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d atau
ayat (1) huruf f ditetapkan menjadi hasil akhir uji kemampuan
dan kepatutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h.
Pasal 26
(1) Dalam hal PSP telah melepaskan kepemilikannya atau anggota
Dewan Komisaris, anggota Direksi dan Pejabat Eksekutif Bank
Syariah telah mengundurkan diri atau pensiun dari jabatannya,
sementara yang bersangkutan masih dalam proses uji
kemampuan dan kepatutan, maka uji kemampuan dan kepatutan
dimaksud dapat tetap dilanjutkan.
(2) Dalam hal Bank Indonesia menetapkan uji kemampuan dan
kepatutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap dilanjutkan,
maka pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
memiliki ...
- 26 -
memiliki komitmen untuk menyelesaikan seluruh proses uji
kemampuan dan kepatutan.
(3) Dalam hal pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak memiliki atau tidak memenuhi komitmen untuk
menyelesaikan seluruh proses uji kemampuan dan kepatutan,
maka yang bersangkutan akan dimasukkan dalam catatan
administrasi Bank Indonesia.
Pasal 27
(1) Uji kemampuan dan kepatutan terhadap PSP dilakukan untuk
keseluruhan pihak-pihak yang melakukan Pengendalian terhadap
Bank Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3)
yang terkait dengan PSP yang akan diuji.
(2) Hasil uji kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) merupakan satu kesatuan dan berlaku bagi PSP dan
pihak-pihak yang melakukan Pengendalian terhadap Bank
Syariah yang terkait dengan PSP yang diuji, kecuali dapat
dibuktikan sebaliknya.
(3) Pembuktian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh
pihak-pihak yang bersangkutan dalam tahapan uji kemampuan
dan kepatutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25.
Bagian Ketiga
Hasil Uji Kemampuan dan Kepatutan
Pasal 28
(1) Berdasarkan uji kemampuan dan kepatutan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 25, hasil akhir uji kemampuan dan
kepatutan ...
- 27 -
kepatutan diklasifikasikan menjadi 2 (dua) predikat, yaitu:
a. Memenuhi Persyaratan (Lulus); atau
b. Tidak Memenuhi Persyaratan (Tidak Lulus).
(2) Penetapan hasil akhir uji kemampuan dan kepatutan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan nilai
dan bobot terhadap faktor yang dinilai sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 23 dan Pasal 24.
(3) Nilai dan bobot sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih
lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 29
Pihak-pihak yang diberikan predikat Tidak Memenuhi Persyaratan
(Tidak Lulus) dilarang menjadi:
a. PSP dan/atau pengendali pada seluruh Bank Syariah;
b. pemilik saham lebih dari 10% (sepuluh persen) pada seluruh Bank
Syariah; dan/atau
c. anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi dan/atau Pejabat
Eksekutif pada seluruh Bank Syariah.
Pasal 30
(1) Pihak-pihak yang dilarang menjadi PSP dan/atau pengendali
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 huruf a wajib
menyampaikan pernyataan tertulis kepada Bank Indonesia
dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak
dinyatakan Tidak Memenuhi Persyaratan (Tidak Lulus), yang
menyatakan bahwa yang bersangkutan tidak akan ikut serta
dalam Pengendalian Bank Syariah, baik langsung maupun tidak
langsung ...
- 28 -
langsung.
(2) Pihak-pihak yang dilarang menjadi pemilik saham lebih dari
10% (sepuluh persen) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29
huruf b wajib menurunkan kepemilikannya menjadi paling tinggi
10% (sepuluh persen) pada seluruh Bank Syariah dalam jangka
waktu paling lambat 6 (enam) bulan sejak dinyatakan Tidak
Memenuhi Persyaratan (Tidak Lulus).
Pasal 31
(1) Dalam hal PSP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 huruf a
tidak bersedia menurunkan kepemilikannya menjadi paling
tinggi 10% (sepuluh persen) dalam jangka waktu yang
ditetapkan, maka:
a. PSP tidak memiliki hak suara atau hak suara sebesar 0%
(nol persen) dalam RUPS Bank Syariah;
b. hak suara PSP tidak diperhitungkan dalam penghitungan
kuorum atau tidaknya RUPS Bank Syariah;
c. dividen yang dapat dibayarkan oleh Bank Syariah kepada
PSP paling banyak 10% (sepuluh persen) dan sisanya dicatat
sebagai hutang dividen yang akan diselesaikan setelah PSP
tersebut mengalihkan kepemilikannya dan dibayarkan
setelah mendapat persetujuan Bank Indonesia; dan
d. nama PSP Bank Syariah dimaksud diumumkan oleh Bank
Syariah kepada publik melalui 2 (dua) media massa yang
mempunyai peredaran luas.
(2) Dalam hal penurunan kepemilikan dilakukan dengan cara
mengalihkan saham kepada keluarga dan/atau kelompok usaha
dari ...
- 29 -
dari PSP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 huruf a, Bank
Syariah dilarang mencatat pihak-pihak yang menerima
pengalihan tersebut dalam daftar pemegang saham Bank Syariah
dan pihak yang menerima pengalihan tidak memperoleh hak-
haknya sebagai Pemegang Saham.
Pasal 32
(1) Pengenaan larangan terhadap pihak-pihak yang diberikan
predikat Tidak Memenuhi Persyaratan (Tidak Lulus)
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 diberikan apabila
perbuatan dan/atau tindakan yang bersangkutan mengakibatkan
kerugian yang berpengaruh pada permodalan Bank Syariah,
termasuk berkurangnya keuntungan Bank Syariah dan/atau
potensi kerugian yang ditimbulkan.
(2) Pengenaan larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan dengan jangka waktu sebagai berikut:
a. selama 2 (dua) tahun, apabila kerugian tidak material;
b. selama 3 (tiga) tahun, apabila kerugian cukup material;
c. selama 5 (lima) tahun, apabila kerugian sangat material.
(3) Pengenaan larangan selama 5 (lima) tahun sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf c dapat pula diberikan apabila:
a.
terjadi penyimpangan manajerial dan/atau operasional
perbankan yang bersifat serius (serious misconduct);
dan/atau
b. kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan
huruf b, diakibatkan oleh perbuatan dan/atau tindakan yang
dimaksudkan untuk memberikan keuntungan pribadi
dan ...
- 30 -
dan/atau kepada pihak lain.
Pasal 33
(1) Anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi dan Pejabat
Eksekutif yang diberikan predikat Tidak Memenuhi Persyaratan
(Tidak Lulus), wajib segera mengundurkan diri paling lambat 15
(lima belas) hari.
(2) Pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang
melakukan tugas operasional Bank Syariah dalam bentuk
apapun, dan harus menyelesaikan hal-hal terkait dengan
pelanggaran atau penyimpangan yang dilakukannya.
Pasal 34
(1) Pemegang saham atau Dewan Komisaris Bank Syariah wajib
meminta Direksi paling lambat 15 (lima belas) hari untuk
menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham dalam rangka
memberhentikan anggota Dewan Komisaris dan/atau anggota
Direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1).
(2) Dalam hal pemegang saham dan Dewan Komisaris tidak
meminta Direksi untuk menyelenggarakan Rapat Umum
Pemegang Saham dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), maka Bank Indonesia dapat menunjuk dan
mengangkat pengganti sementara sampai Rapat Umum
Pemegang Saham mengangkat pengganti yang tetap sesuai
dengan ketentuan yang berlaku.
(3) Dalam hal pengunduran diri sebagaimana dimaksud dalam Pasal
33 ayat (1) atau pemberhentian sebagaimana dimaksud pada
ayat ...
- 31 -
ayat (1) menyebabkan komposisi jumlah anggota Dewan
Komisaris dan/atau anggota Direksi tidak sesuai dengan
ketentuan yang berlaku, maka pemegang saham Bank Syariah
wajib melakukan penyesuaian dalam RUPS periode berikutnya.
Pasal 35
(1) Dalam hal Pejabat Eksekutif yang diberikan predikat Tidak
Memenuhi Persyaratan (Tidak Lulus) belum mengundurkan diri
dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari, maka Direksi Bank
Syariah wajib memberhentikan Pejabat Eksekutif yang diberikan
predikat Tidak Memenuhi Persyaratan (Tidak Lulus) paling
lambat 7 (tujuh) hari.
(2) Direksi Bank Syariah yang tidak memberhentikan Pejabat
Eksekutif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dinyatakan
melakukan pelanggaran atau penyimpangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) huruf i setelah yang
bersangkutan diberikan 2 (dua) kali surat teguran dengan
tenggang waktu 7 (tujuh) hari.
Pasal 36
PSP, anggota Dewan Komisaris, dan anggota Direksi dapat
dinyatakan Tidak Memenuhi Persyaratan (Tidak Lulus) dengan jangka
waktu larangan selama 20 (dua puluh) tahun apabila:
a. PSP yang memperoleh predikat Tidak Memenuhi Persyaratan
(Tidak Lulus) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1)
huruf b tidak bersedia menyampaikan surat pernyataan kepada
Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1);
b. PSP ...
- 32 -
b. PSP melakukan pelanggaran terhadap surat pernyataan tertulis
yang dibuat untuk memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 30 ayat (1); atau
c. anggota Dewan Komisaris dan anggota Direksi yang dinyatakan
memiliki predikat Tidak Memenuhi Persyaratan (Tidak Lulus),
namun tidak bersedia mengundurkan diri.
Pasal 37
(1) Selain berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 36, Bank Indonesia dapat menetapkan pemegang saham,
PSP, anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi dan Pejabat
Eksekutif sebagai pihak-pihak yang Tidak Memenuhi
Persyaratan (Tidak Lulus) dengan jangka waktu larangan selama
20 (dua puluh) tahun, apabila:
a. yang bersangkutan melakukan tindak pidana dengan
menggunakan Bank Syariah sebagai sarana dan/atau sasaran
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 dan telah diputus
bersalah oleh pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum
tetap;
b. yang bersangkutan terbukti bertanggung jawab
menyebabkan Bank Syariah mengalami kesulitan yang
membahayakan kelangsungan usahanya atau dapat
membahayakan sistem perbankan; atau
c. yang bersangkutan dinyatakan pailit atau menjadi pemegang
saham, anggota Dewan Komisaris atau anggota Direksi
suatu perseroan dan/atau anggota pengurus suatu badan
hukum lainnya yang dinyatakan bersalah menyebabkan
suatu ...
- 33 -
suatu perseroan dan/atau badan hukum lainnya dimaksud
dinyatakan pailit oleh pengadilan yang mempunyai kekuatan
hukum tetap.
(2) Penetapan pihak-pihak yang dinyatakan Tidak Memenuhi
Persyaratan (Tidak Lulus) sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a dan huruf c, dapat dilakukan tanpa melalui proses uji
kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
25.
Pasal 38
(1) Bank Indonesia memberitahukan hasil uji kemampuan dan
kepatutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Pasal 20,
Pasal 28 dan Pasal 44 secara tertulis kepada Bank Syariah dan
kepada pihak yang dinilai.
(2) Selain kepada Bank Syariah dan kepada pihak yang dinilai
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia dapat
memberitahukan hasil uji kemampuan dan kepatutan kepada
pihak-pihak lain yang berkepentingan.
Bagian Keempat
Peninjauan Kembali Atas Hasil Uji Kemampuan dan Kepatutan
Pasal 39
(1) Pihak-pihak yang memperoleh predikat Tidak Memenuhi
Persyaratan (Tidak Lulus), dapat mengajukan permohonan
peninjauan kembali kepada Bank Indonesia dalam hal terdapat
bukti baru yang kuat dan relevan.
(2) Keputusan pemberian persetujuan atau penolakan atas
permohonan ...
- 34 -
permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
wewenang penuh Bank Indonesia.
BAB V
UJI KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN BAGI CALON DIREKTUR
UNIT USAHA SYARIAH, DIREKTUR UNIT USAHA SYARIAH
DAN PEJABAT EKSEKUTIF UNIT USAHA SYARIAH
Pasal 40
(1) Pihak-pihak yang dicalonkan menjadi Direktur UUS dapat
berasal dari:
a. salah satu anggota Direksi BUK;
b. calon anggota Direksi BUK; atau
c. calon anggota Direksi BUK dan telah ditetapkan sejak awal
hanya akan bertugas mengelola UUS.
(2) Pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan
huruf b yang telah ditunjuk sebagai Direktur UUS, wajib
mengikuti proses wawancara.
(3) Dalam hal Direktur UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dinilai kurang memiliki kompetensi di bidang perbankan syariah,
maka kepada yang bersangkutan akan dilakukan wawancara
ulang paling lambat 3 (tiga) bulan sejak surat pemberitahuan
Bank Indonesia.
(4) Apabila berdasarkan wawancara ulang sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) Direktur UUS masih dinilai kurang memiliki
kompetensi, maka Direktur UUS tersebut wajib diganti.
Pasal 41 ...
- 35 -
Pasal 41
(1) Tata cara uji kemampuan dan kepatutan bagi calon Direktur UUS
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) huruf c,
berpedoman pada ketentuan sebagaimana diatur dalam BAB III
Peraturan Bank Indonesia ini, kecuali Pasal 15 ayat (2), ayat (3)
dan ayat (4) serta Pasal 17 ayat (1), ayat (2) dan ayat (4).
(2) Permohonan untuk memperoleh persetujuan calon Direktur UUS
diajukan oleh bank umum konvensional yang memiliki UUS
kepada Bank Indonesia.
(3) Dalam hal bank umum konvensional yang memiliki UUS berada
dalam program penyelamatan oleh Lembaga Penjamin Simpanan,
maka permohonan persetujuan calon Direktur UUS diajukan oleh
Lembaga Penjamin Simpanan.
Pasal 42
(1) Tata cara uji kemampuan dan kepatutan bagi Direktur UUS dan
Pejabat Eksekutif UUS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat
(1) huruf c berpedoman pada ketentuan sebagaimana diatur dalam
BAB IV Peraturan Bank Indonesia ini, kecuali Pasal 34.
(2) Pemegang saham bank umum konvensional harus segera
memberhentikan Direktur UUS yang mendapat predikat Tidak
Memenuhi Persyaratan (Tidak Lulus) paling lambat 30 (tiga
puluh) hari.
(3) Dalam hal pemegang saham bank umum konvensional tidak
memberhentikan Direksi UUS dalam jangka waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), maka Bank Indonesia dapat menunjuk
dan mengangkat pengganti sementara sampai Rapat Umum
Pemegang ...
- 36 -
Pemegang Saham mengangkat pengganti yang tetap sesuai
dengan ketentuan yang berlaku.
BAB VI
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 43
Bank Indonesia melaporkan kepada pihak yang berwenang, apabila
berdasarkan proses dan/atau hasil uji kemampuan dan kepatutan
ditemukan adanya penyimpangan manajerial dan operasional yang
bersifat serius (serious misconduct) sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 32 ayat (3) huruf a, dan patut diduga mengandung unsur tindak
pidana dengan menggunakan Bank Syariah sebagai sarana dan/atau
sasaran.
Pasal 44
Hasil uji kemampuan dan kepatutan bersifat rahasia dan
ditatausahakan serta digunakan oleh Bank Indonesia dalam rangka
pelaksanaan tugas pembinaan dan pengawasan Bank Syariah.
BAB VII
SANKSI
Pasal 45
(1) Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3), Pasal 31 ayat (2)
dan Pasal 40 ayat (4), dikenakan sanksi administratif sesuai
dengan Pasal 58 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008
tentang Perbankan Syariah, berupa:
a. teguran...
- 37 -
a.
teguran tertulis; dan/atau
b. pemberhentian anggota Dewan Komisaris atau anggota
Direksi Bank Syariah dan selanjutnya Bank Indonesia
menunjuk dan mengangkat pengganti sementara sampai
Rapat Umum Pemegang Saham mengangkat pengganti yang
tetap dengan persetujuan Bank Indonesia.
(2) PSP yang dengan sengaja tidak mentaati ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 29 huruf a dan huruf b, Pasal 34 ayat (1)
dan ayat (3), dan Pasal 36 huruf a dan huruf b, dapat dikenakan
sanksi sesuai dengan Pasal 64 Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2008 tentang Perbankan Syariah.
(3) Anggota Komisaris, anggota Direksi atau Pejabat Eksekutif yang
dengan sengaja tidak mentaati ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 29 huruf c dapat dikenakan sanksi sesuai Pasal 63
ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah.
BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 46
(1) Hasil uji kemampuan dan kepatutan yang telah ditetapkan oleh
Bank Indonesia sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia
ini dinyatakan tetap berlaku.
(2) Proses uji kemampuan dan kepatutan yang masih berlangsung
pada saat diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia ini, wajib
menyesuaikan dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam
Peraturan Bank Indonesia ini.
(3) Pihak-pihak ...
- 38 -
(3) Pihak-pihak yang telah dinyatakan sebagai pihak-pihak yang
Tidak Memenuhi Persyaratan (Tidak Lulus) dengan jangka
waktu larangan tertentu sebelum berlakunya Peraturan Bank
Indonesia ini, tetap dilarang menjadi pihak-pihak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 29 sampai dengan jangka waktu
pelarangan tersebut berakhir.
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 47
Ketentuan pelaksanaan tentang uji kemampuan dan kepatutan diatur
lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 48
Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini maka:
a. Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/25/PBI/2003 tanggal 10
November 2003 tentang Penilaian Kemampuan dan Kepatutan
(Fit and Proper Test), dinyatakan tidak berlaku bagi Bank
Umum Syariah.
b. Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/23/PBI/2004 tanggal 9
Agustus 2004 tentang Penilaian Kemampuan dan Kepatutan (Fit
and Proper Test) bagi Bank Perkreditan Rakyat, dinyatakan
tidak berlaku bagi Bank Pembiayaan Rakyat Syariah.
Pasal 49
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar ...
- 39 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 28 Agustus 2009
Pjs. GUBERNUR BANK INDONESIA,
DARMIN NASUTION
Diundangkan di : Jakarta
Pada tanggal : 28 Agustus 2009
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 119
DPbS
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 11/ 31 /PBI/2009
TENTANG
UJI KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN (FIT AND PROPER TEST)
BANK SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH
UMUM
Dalam rangka mewujudkan sistem perbankan syariah yang sehat dan tangguh
(sustainable) perlu didukung oleh ketersediaan sumber daya manusia yang berkualitas
guna menjaga dan mempertahankan kepercayaan masyarakat. Oleh karena itu bank
syariah perlu dimiliki dan dikelola oleh pihak-pihak yang mempunyai integritas yang
tinggi, mempunyai kompetensi yang memadai, serta memiliki kelayakan keuangan
dan/atau reputasi keuangan yang baik.
Untuk memperoleh sumber daya manusia perbankan syariah yang berkualitas
dan mampu menjaga kepercayaan masyarakat, Bank Indonesia perlu melakukan uji
kemampuan dan kepatutan terhadap pihak-pihak yang dinilai mempunyai pengaruh
signifikan dalam pengendalian dan pengelolaan bank syariah. Uji kemampuan dan
kepatutan merupakan bagian dari praktik pengawasan bank syariah yang lazim
diterapkan secara internasional.
Uji kemampuan dan kepatutan merupakan kegiatan yang tidak terpisahkan dari
pelaksanaan tugas pengawasan bank syariah oleh Bank Indonesia dan perlu dilakukan
secara berkesinambungan guna mewujudkan terpeliharanya pengelolaan bank syariah
yang berkualitas oleh sumber daya manusia yang memiliki integritas, termasuk
komitmen untuk mematuhi prinsip syariah dalam operasional perbankan syariah,
memiliki kompetensi serta memiliki kelayakan keuangan dan/atau reputasi keuangan
yang ...
- 2 -
yang baik. Selain memperhatikan faktor-faktor tersebut di atas, uji kemampuan dan
kepatutan juga mempertimbangkan berbagai informasi dan data yang dapat
dipertanggungjawabkan serta dilakukan dalam suatu proses yang transparan.
Uji kemampuan dan kepatutan ini dilakukan terhadap calon Pemegang Saham
Pengendali, calon anggota Dewan Komisaris dan calon anggota Direksi dalam rangka
untuk memastikan bahwa pengendali dan pengelola bank syariah memiliki integritas
yang tinggi, kompetensi yang memadai serta kelayakan keuangan dan/atau reputasi
keuangan yang baik. Selain itu, uji kemampuan dan kepatutan juga dilakukan terhadap
Pemegang Saham Pengendali, anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi dan Pejabat
Eksekutif yang sedang menjabat di bank syariah guna memastikan bahwa kualitas
pengelolaan bank syariah tetap dilakukan dengan baik.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “gabungan keduanya” adalah gabungan antara:
a. perorangan dan badan hukum;
b. beberapa orang; atau
c. beberapa badan hukum.
Yang dimaksud dengan “kelompok usaha” adalah gabungan keduanya
yang memiliki keterkaitan kepengurusan, kepemilikan dan/atau
hubungan ...
- 3 -
hubungan keuangan.
Ayat (3)
Dalam menghitung jumlah saham yang dimiliki dan/atau dikendalikan
secara bersama-sama oleh pihak-pihak yang melakukan Pengendalian
terhadap Bank Syariah, termasuk juga menghitung:
a. saham Bank Syariah yang dimiliki oleh pihak lain yang hak
suaranya dapat digunakan atau dikendalikan oleh pengendali Bank
Syariah;
b. saham Bank Syariah yang dimiliki oleh perusahaan yang
dikendalikan oleh pengendali Bank Syariah;
c. saham Bank Syariah yang dimiliki oleh pihak terafiliasi dari
pengendali Bank Syariah;
Yang dimaksud dengan pihak terafiliasi dari pengendali Bank
Syariah adalah:
1) anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi atau yang setara
atau kuasanya, pejabat atau karyawan perusahaan pengendali
Bank Syariah;
2) pengurus, pengawas, pengelola atau kuasanya, pejabat atau
karyawan perusahaan pengendali Bank Syariah, khusus bagi
perusahaan yang berbentuk badan hukum selain perseroan
terbatas;
3) pihak yang memberikan jasa kepada perusahaan pengendali
Bank Syariah, antara lain akuntan publik, penilai, konsultan
hukum dan konsultan lain yang terbukti dikendalikan oleh
pengendali Bank Syariah;
4) pihak yang mempunyai hubungan keluarga dengan pengendali
Bank Syariah baik karena perkawinan maupun karena
keturunan ...
- 4 -
keturunan sampai dengan derajat kedua baik secara horizontal
maupun vertikal, termasuk besan;
5) pihak yang menurut penilaian Bank Indonesia turut serta
memengaruhi pengelolaan perusahaan pengendali Bank
Syariah, antara lain pemegang saham dan keluarganya,
keluarga anggota Dewan Komisaris, keluarga anggota Direksi,
keluarga pengawas dan keluarga pengurus.
d. saham Bank Syariah yang dimiliki oleh anak perusahaan dari
perusahaan yang dikendalikan oleh pengendali Bank Syariah;
e. saham Bank Syariah yang dimiliki oleh pihak lain untuk dan atas
nama pengendali Bank Syariah (saham nominee) berdasarkan atau
tidak berdasarkan suatu perjanjian tertentu;
f. saham Bank Syariah yang dimiliki oleh pihak lain yang
pemindahtanganannya memerlukan persetujuan dari pengendali
Bank Syariah;
g. saham Bank Syariah lainnya selain saham sebagaimana dimaksud
dalam huruf a sampai dengan huruf f, yang dikendalikan oleh
pengendali Bank Syariah.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Ayat (1)
Huruf a
Bank Syariah dapat dimiliki oleh 1 (satu) atau lebih PSP.
Termasuk dalam pengertian calon PSP antara lain adalah
pemegang ...
- 5 -
pemegang saham yang menjadi PSP karena terjadinya pengalihan
saham Bank Syariah secara internal atau eksternal, penambahan
modal dari pemegang saham Bank Syariah, right issue saham
Bank Syariah dan/atau pengajuan diri secara sukarela menjadi
PSP.
Uji kemampuan dan kepatutan dilakukan pula apabila terjadi
peralihan jabatan dari Dewan Komisaris menjadi Direksi pada
Bank Syariah yang sama.
Terhadap peralihan jabatan dari anggota Direksi menjadi anggota
Dewan Komisaris dan/atau dari anggota Direksi atau anggota
Dewan Komisaris ke jabatan yang lebih tinggi pada Bank Syariah
yang sama, hanya dilakukan penilaian secara administratif.
Uji kemampuan dan kepatutan tidak dilakukan dalam hal
perpanjangan jabatan anggota Dewan Komisaris atau anggota
Direksi.
Huruf b dan huruf c
Termasuk dalam pelanggaran atau penyimpangan adalah
pelanggaran atau penyimpangan prinsip syariah di bidang
perbankan syariah.
Ayat (2)
Penilaian dan penelitian yang dilakukan meliputi antara lain atas Daftar
Kepatutan dan Kelayakan (Daftar Tidak Lulus), Daftar Kredit Macet dan
informasi lain yang menunjukkan tidak terpenuhinya aspek integritas.
Informasi lain dapat diperoleh antara lain melalui wawancara,
pengamatan dan pengujian (interview, observation and test) pada saat
pelaksanaan pemeriksaan, informasi mengenai catatan administrasi Bank
Indonesia yang berasal dari hasil pengawasan Bank Indonesia atau
sumber-sumber ...
- 6 -
sumber-sumber lainnya.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Huruf a
Penilaian terhadap kriteria dalam huruf ini dilakukan antara lain
berdasarkan informasi yang diperoleh Bank Indonesia atau informasi lain
yang diketahui oleh umum, bahwa yang bersangkutan tidak pernah
dihukum karena melakukan tindak pidana dengan menggunakan bank
sebagai sarana dan/atau sasaran dan/atau melakukan tindakan merugikan
pihak lain dan/atau negara secara melawan hukum.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “komitmen untuk mendorong Direksi” antara
lain komitmen calon PSP meminta Direksi untuk menjalankan visi dan
misi dalam rangka mengembangkan Bank Syariah agar menjadi sehat,
tangguh dan berkembang (sustainable).
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Pasal 7
Yang dimaksud dengan “memiliki kemampuan keuangan” antara lain memiliki
kemampuan ...
- 7 -
kemampuan keuangan yang kuat dan tidak berasal dari pinjaman atau fasilitas
pembiayaan dalam bentuk apapun.
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “hutang” adalah kewajiban baik dalam sistem
perbankan maupun diluar sistem perbankan yang dimiliki oleh yang
bersangkutan kepada pihak lain termasuk hutang dari perusahaan atau
kelompok usaha yang dimiliki oleh calon PSP.
Yang dimaksud dengan “hutang yang bermasalah” adalah antara lain
hutang yang tidak memenuhi persyaratan untuk dilakukan restrukturisasi
sesuai ketentuan yang berlaku.
Yang dimaksud dengan “daftar kredit macet” adalah daftar kredit macet
sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai Sistem
Informasi Debitur. Termasuk dalam pengertian kredit macet antara lain
kredit dan/atau pembiayaan macet yang dimiliki oleh badan hukum
dimana calon PSP menjadi anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi
atau pengurus yang menyebabkan terjadinya kredit macet pada badan
hukum dimaksud.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2) ...
- 8 -
Ayat (2)
Pengajuan calon PSP dilakukan sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia
mengenai Bank Syariah.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Penelitian administratif meliputi penelitian dokumen persyaratan
administratif, antara lain dokumen-dokumen yang terkait dengan catatan
administrasi Bank Indonesia, kemampuan dan kelayakan keuangan, serta
struktur kepemilikan saham calon PSP.
Penelitian terhadap catatan administrasi Bank Indonesia meliputi antara
lain penelitian terhadap pihak yang pernah mendapat predikat Tidak
Memenuhi Persyaratan (Tidak Lulus).
Wawancara hanya dilakukan terhadap calon PSP yang telah memenuhi
persyaratan dalam penelitian administratif.
Ayat (2)
Komitmen tertulis tersebut antara lain dapat berupa:
a. komitmen dari pihak yang melakukan Pengendalian untuk secara
transparan melaporkan rencana pengalihan kepemilikan saham
perusahaan yang mengakibatkan perubahan pengendali Bank
Syariah;
b. komitmen dari calon PSP dan/atau pihak yang melakukan
Pengendalian untuk tidak melakukan pengalihan kepemilikan
sahamnya ...
- 9 -
sahamnya di Bank Syariah dalam jangka waktu tertentu;
c. komitmen dari calon PSP dan/atau pihak-pihak yang melakukan
Pengendalian termasuk ultimate shareholders untuk tidak menerima
penyediaan dana dan/atau fasilitas apapun yang tidak wajar dari
Bank Syariah dimaksud; dan/atau
d. komitmen dari calon PSP untuk mematuhi prinsip syariah di bidang
perbankan syariah.
Pasal 10
Ayat (1)
Dalam hal calon PSP berbentuk badan hukum, maka calon PSP tersebut
harus menyampaikan hasil analisa kemampuan keuangan badan hukum
pada saat permohonan dan proyeksinya untuk jangka waktu minimal 3
(tiga) tahun.
Dalam hal badan hukum calon PSP dimaksud dimiliki dan dikendalikan
oleh badan hukum lain secara berjenjang dalam suatu kelompok usaha,
maka ultimate shareholders adalah orang-perseorangan atau badan
hukum yang memiliki saham dan merupakan pengendali badan hukum
terakhir dari keseluruhan struktur kelompok usaha yang mengendalikan
Bank Syariah.
Dalam hal badan hukum terakhir dari keseluruhan struktur kelompok
usaha yang mengendalikan Bank Syariah tidak memiliki pengendali,
maka badan hukum tersebut merupakan ultimate shareholders.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 11 ...
- 10 -
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Belum diturunkannya kepemilikan menjadi paling banyak 10% (sepuluh
persen) dalam jangka waktu yang ditetapkan, tidak menghilangkan
kewajiban yang bersangkutan untuk menurunkan kepemilikannya.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup Jelas.
Pasal 14
Persyaratan integritas didasarkan antara lain dari catatan administrasi Bank
Indonesia, predikat hasil uji kemampuan dan kepatutan yang pernah
diberikan kepada calon anggota Dewan Komisaris dan calon anggota Direksi
dimaksud.
Pasal 15
Ayat (1)
Huruf a
Angka 1)
Yang dimaksud dengan “pengetahuan, pemahaman di
bidang ...
- 11 -
bidang operasional perbankan syariah” adalah berupa
pengetahuan dan pemahaman tentang peraturan dan
operasional BUS yang antara lain dibuktikan dengan
memiliki sertifikat pelatihan perbankan syariah.
Yang dimaksud dengan “pengalaman di bidang operasional
perbankan syariah” antara lain berupa pengalaman dalam
mengelola bisnis utama bank syariah.
Angka 2)
Kemampuan untuk mengawasi kegiatan usaha BUS antara
lain ditunjukkan dengan memiliki pengetahuan dan
pemahaman mengenai pengawasan kegiatan usaha
perbankan syariah.
Angka 3)
Memiliki pengetahuan dan pemahaman menajemen risiko
antara lain dibuktikan dengan memiliki sertifikat
manajemen risiko yang dikeluarkan oleh Lembaga
Sertifikasi Profesi yang telah memperoleh izin dari Badan
Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP).
Huruf b
Angka 1)
Yang dimaksud dengan “pengetahuan, pemahaman di
bidang operasional perbankan syariah” adalah berupa
pengetahuan dan pemahaman tentang peraturan dan
operasional BPRS yang antara lain dibuktikan dengan
memiliki sertifikat pelatihan perbankan syariah.
Yang dimaksud dengan “pengalaman di bidang operasional
perbankan syariah” adalah antara lain memiliki
pengalaman ...
- 12 -
pengalaman dalam mengelola bisnis utama bank syariah.
Angka 2)
Kemampuan untuk mengawasi kegiatan usaha BPRS antara
lain dibuktikan dengan memiliki pengetahuan dan
pemahaman mengenai pengawasan kegiatan usaha
perbankan syariah.
Huruf c
Angka 1)
Yang dimaksud dengan “pengetahuan dan pemahaman di
bidang operasional perbankan syariah” adalah berupa
pengetahuan dan pemahaman tentang peraturan dan
operasional BUS yang antara lain dibuktikan dengan
memiliki sertifikat pelatihan perbankan syariah.
Angka 2)
Yang dimaksud dengan “pengalaman dan keahlian di
bidang operasional perbankan atau perbankan syariah
dan/atau bidang keuangan atau keuangan syariah” adalah
antara lain berupa pengalaman dan keahlian dalam
mengelola bisnis utama bank dan/atau lembaga keuangan.
Angka 3)
Yang dimaksud dengan “kemampuan untuk melakukan
pengelolaan strategis” antara lain kemampuan untuk
mengantisipasi perkembangan perekonomian, keuangan
dan perbankan, menginterpretasikan visi dan misi BUS dan
analisis situasi industri perbankan.
Angka 4) ...
- 13 -
Angka 4)
Memiliki pengetahuan dan pemahaman yang antara lain
dibuktikan dengan memiliki sertifikat manajemen risiko
yang diterbitkan oleh Lembaga Sertifikasi Profesi yang
telah memperoleh izin dari Badan Nasional Sertifikasi
Profesi (BNSP) serta memiliki kemampuan dalam
penerapan manajemen risiko pada kegiatan operasional
BUS.
Huruf d
Angka 1)
Yang dimaksud dengan “pengetahuan dan pemahaman di
bidang operasional perbankan syariah” antara lain berupa
pengetahuan dan pemahaman tentang peraturan dan
operasional BPRS yang antara lain dibuktikan dengan
memiliki sertifikat pelatihan perbankan syariah.
Angka 2)
Yang dimaksud dengan “pengalaman dan keahlian di
bidang operasional perbankan atau perbankan syariah
dan/atau bidang keuangan atau keuangan syariah” adalah
antara lain berupa pengalaman dan keahlian dalam
mengelola bisnis utama bank dan/atau lembaga keuangan.
Angka 3)
Yang dimaksud dengan “kemampuan untuk melakukan
pengelolaan strategis” antara lain kemampuan untuk
mengantisipasi perkembangan perekonomian, keuangan
dan perbankan, menginterpretasikan visi dan misi BPRS
dan analisis situasi industri perbankan.
Ayat (2) ...
- 14 -
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “mayoritas” adalah lebih dari 50% (lima puluh
persen) dari jumlah seluruh anggota Direksi.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 16
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “hutang” adalah kewajiban baik dalam sistem
perbankan maupun diluar sistem perbankan yang dimiliki oleh yang
bersangkutan kepada pihak lain.
Yang dimaksud dengan “hutang yang bermasalah” adalah antara lain
hutang yang tidak memenuhi persyaratan untuk dilakukan restrukturisasi
sesuai ketentuan yang berlaku.
Yang dimaksud dengan “daftar kredit macet” adalah daftar kredit macet
sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai Sistem
Informasi Debitur. Termasuk dalam pengertian kredit macet antara lain
kredit dan/atau pembiayaan macet yang dimiliki oleh badan hukum
dimana calon anggota Dewan Komisaris atau calon anggota Direksi
menjadi anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi atau pengurus yang
menyebabkan terjadinya kredit macet pada badan hukum dimaksud.
Pasal 17 ...
- 15 -
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Maksud lain dilakukannya Uji Kemampuan dan Kepatutan ini adalah untuk
memberikan masukan (feed back) kepada Lembaga Penjamin Simpanan.
Pasal 19
Ayat (1)
Penelitian administratif antara lain meliputi penelitian dokumen
persyaratan administratif, catatan administrasi Bank Indonesia serta
penelitian reputasi keuangan calon yang bersangkutan.
Wawancara hanya dilakukan terhadap calon yang telah memenuhi
persyaratan dalam penelitian administratif.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “komitmen tertulis” antara lain berupa:
a. komitmen dari calon anggota Dewan Komisaris dan/atau calon
anggota Direksi untuk secara konsisten mengembangkan Bank
Syariah yang sehat dan tangguh (sustainable);
b. komitmen dari calon anggota Dewan Komisaris dan/atau calon
anggota Direksi untuk mematuhi prinsip syariah di bidang perbankan
syariah; dan/atau
c. komitmen dari calon anggota Dewan Komisaris dan/atau calon
anggota Direksi untuk tidak menerima penyediaan dana dan/atau
fasilitas apapun yang tidak wajar dari Bank Syariah dimaksud.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21 ...
- 16 -
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “komitmen” adalah kesiapan dan
kesungguhan untuk melaksanakan hal-hal yang telah diperjanjikan
sebelumnya secara konsisten dan konsekuen.
Huruf c
Angka 1)
Yang dimaksud dengan rekayasa adalah upaya-upaya yang
dilakukan untuk menyembunyikan dan/atau mengaburkan
pelanggaran dari suatu ketentuan atau untuk kondisi
keuangan dan/atau transaksi yang sebenarnya, antara lain
berupa:
1) penggelapan atau manipulasi yang dapat merugikan
Bank Syariah;
2)
transaksi fiktif baik yang dilakukan pada sisi aktiva
maupun pasiva Bank Syariah serta transaksi rekening
administratif;
3) kolusi dengan nasabah atau pihak lain yang merugikan
Bank ...
- 17 -
Bank Syariah;
4) praktik bank dalam bank atau usaha bank di luar
pembukuan Bank Syariah; atau
5) window dressing dalam pembukuan atau laporan Bank
Syariah yang secara materil berpengaruh terhadap
keadaan keuangan Bank Syariah sehingga
mengakibatkan penilaian yang keliru terhadap Bank
Syariah.
Angka 2)
Yang dimaksud dengan “pegawai” adalah setiap orang yang
bekerja dan tercatat dalam administrasi kepegawaian Bank
Syariah.
Yang dimaksud dengan “merugikan atau mengurangi
keuntungan Bank Syariah” adalah merugikan atau
mengurangi keuntungan dalam bentuk keuangan yang dapat
menimbulkan kesulitan keuangan atau potensi kesulitan
keuangan di masa yang akan datang.
Angka 3)
Ketentuan yang berkaitan dengan prinsip kehati-hatian
antara lain namun tidak terbatas pada ketentuan tentang
Kualitas Aktiva, Kewajiban Penyediaan Modal Minimum,
Batas Maksimum Penyaluran Dana, Posisi Devisa Neto dan
Giro Wajib Minimum Bank Umum Syariah.
Angka 4)
Ketentuan yang berkaitan dengan prinsip syariah antara lain
namun tidak terbatas pada ketentuan tentang Pelaksanaan
Prinsip Syariah dalam Kegiatan Penghimpunan Dana dan
Penyaluran ...
- 18 -
Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa Bank Syariah dan
Unit Usaha Syariah.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan perbuatan dan/atau kondisi yang menyebabkan
terjadinya ketidakmampuan keuangan PSP dalam memenuhi
kelangsungan usaha Bank Syariah antara lain:
a.
tidak memiliki sumber penghasilan utama yang dalam jangka
menengah dan jangka panjang tidak dapat mendukung
perkembangan bisnis Bank Syariah;
b. memiliki sumber-sumber dana yang berasal dari pinjaman
langsung dan/atau tindak pidana pencucian uang (money
laundering);
c. dinyatakan pailit atau menjadi pemegang saham, anggota Dewan
Komisaris, atau anggota Direksi suatu perseroan dan/atau anggota
pengurus suatu badan hukum lainnya yang dinyatakan bersalah
menyebabkan suatu perseroan dan/atau badan hukum lainnya
dimaksud dinyatakan pailit berdasarkan ketetapan pengadilan.
d.
tidak memiliki kemampuan untuk memenuhi komitmen dalam
mengatasi kesulitan permodalan dan likuiditas yang dihadapi Bank
Syariah;
e. memiliki hutang yang bermasalah, termasuk tercantum dalam daftar
kredit macet. Termasuk dalam pengertian kredit macet antara lain
kredit dan/atau pembiayaan macet yang dimiliki oleh badan hukum
dimana PSP menjadi anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi
atau pengurus yang menyebabkan terjadinya kredit macet pada
badan hukum dimaksud; dan/atau
f.
tidak bersedia untuk melakukan upaya-upaya yang diperlukan agar
Bank ...
- 19 -
Bank Syariah dapat mengatasi kesulitan permodalan dan likuiditas.
Pasal 24
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Yang dimaksud dengan “independen” adalah perbuatan yang
dilakukan secara objektif dan bebas dari tekanan dan kepentingan
pihak manapun termasuk mengemukakan pandangan, pemikiran,
mengambil keputusan dan tindakan yang sesuai dengan profesi
dengan tidak memihak terhadap kepentingan pihak lain yang tidak
sesuai dengan kepentingan Bank Syariah dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku serta prinsip kehati-hatian
dalam pengelolaan Bank Syariah.
Huruf i ...
- 20 -
Huruf i
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Angka 1)
Yang dimaksud dengan “pengetahuan, pemahaman di
bidang operasional perbankan syariah” adalah berupa
pengetahuan dan pemahaman tentang peraturan dan
operasional BUS yang antara lain dibuktikan dengan
memiliki sertifikat pelatihan perbankan syariah.
Yang dimaksud dengan “pengalaman di bidang operasional
perbankan syariah” adalah berupa pengalaman dalam
mengelola bisnis utama bank syariah.
Angka 2)
Kemampuan untuk mengawasi kegiatan usaha BUS antara
lain dibuktikan dengan memiliki pengetahuan dan
pemahaman mengenai pengawasan kegiatan usaha
perbankan syariah.
Angka 3)
Memiliki pengetahuan dan pemahaman menajemen risiko
antara lain dibuktikan dengan memiliki sertifikat
manajemen risiko yang dikeluarkan oleh Lembaga
Sertifikasi Profesi yang telah memperoleh izin dari Badan
Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP).
Huruf b
Angka 1)
Yang dimaksud dengan “pengetahuan, pemahaman di
bidang ...
- 21 -
bidang operasional perbankan syariah” adalah berupa
pengetahuan dan pemahaman tentang peraturan dan
operasional BPRS yang antara lain dibuktikan dengan
memiliki sertifikat pelatihan perbankan syariah.
Yang dimaksud dengan “pengalaman di bidang operasional
perbankan syariah” adalah berupa pengalaman dalam
mengelola bisnis utama bank syariah.
Angka 2)
Kemampuan untuk mengawasi kegiatan usaha BPRS antara
lain dibuktikan dengan memiliki pengetahuan dan
pemahaman mengenai pengawasan kegiatan usaha
perbankan syariah.
Huruf c
Angka 1)
Yang dimaksud dengan “pengetahuan, pemahaman di
bidang perbankan syariah” adalah berupa pengetahuan dan
pemahaman tentang peraturan dan operasional BUS yang
antara lain dibuktikan dengan memiliki sertifikat pelatihan
perbankan syariah.
Angka 2)
Yang dimaksud dengan “pengalaman dan keahlian di
bidang operasional perbankan atau perbankan syariah
dan/atau keuangan atau keuangan syariah” adalah berupa
pengalaman dan keahlian dalam mengelola bisnis utama
bank dan/atau lembaga keuangan.
Angka 3)
Yang dimaksud dengan “kemampuan untuk melakukan
pengelolaan ...
- 22 -
pengelolaan strategis” antara lain kemampuan untuk
mengantisipasi perkembangan perekonomian, keuangan
dan perbankan, menginterpretasikan visi menjadi misi BUS
dan analisis situasi industri perbankan.
Angka 4)
Memiliki pengetahuan dan pemahaman yang antara lain
dibuktikan dengan memiliki sertifikat manajemen risiko
yang diterbitkan oleh Lembaga Sertifikasi Profesi yang
telah memperoleh izin dari Badan Nasional Sertifikasi
Profesi (BNSP) serta memiliki kemampuan dalam
penerapan manajemen risiko pada kegiatan operasional
BUS.
Huruf d
Angka 1)
Yang dimaksud dengan “pengetahuan dan pemahaman di
bidang operasional perbankan syariah” adalah berupa
pengetahuan dan pemahaman tentang peraturan dan
operasional BPRS yang antara lain dibuktikan dengan
memiliki sertifikat pelatihan perbankan syariah.
Angka 2)
Yang dimaksud dengan “pengalaman dan keahlian di
bidang operasional perbankan atau perbankan syariah
dan/atau keuangan atau keuangan syariah” adalah berupa
pengalaman dan keahlian dalam mengelola bisnis utama
bank dan/atau lembaga keuangan.
Angka 3)
Yang dimaksud dengan “kemampuan untuk melakukan
pengelolaan ...
- 23 -
pengelolaan strategis” antara lain kemampuan untuk
mengantisipasi perkembangan perekonomian, keuangan
dan perbankan, menginterpretasikan visi menjadi misi
BPRS dan analisis situasi industri perbankan.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “perbuatan dan/atau kondisi yang menyebabkan
tingkat reputasi keuangan yang bersangkutan menurun” antara lain:
a. dinyatakan pailit atau menjadi pemegang saham, anggota Dewan
Komisaris atau anggota Direksi suatu perseroan dan/atau anggota
pengurus suatu badan hukum lainnya yang dinyatakan bersalah
menyebabkan suatu perseroan dan/atau badan hukum lainnya
dimaksud dinyatakan pailit berdasarkan ketetapan pengadilan;
dan/atau
b. memiliki hutang yang bermasalah, termasuk tercantum dalam daftar
kredit macet. Termasuk dalam pengertian kredit macet antara lain
kredit dan/atau pembiayaan macet yang dimiliki oleh badan hukum
dimana anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi atau Pejabat
Eksekutif menjadi anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi atau
pengurus yang menyebabkan terjadinya kredit macet pada badan
hukum dimaksud.
Pasal 25
Ayat (1)
Huruf a
Data dan informasi dapat berdasarkan hasil pengawasan maupun
informasi lain yang diperoleh Bank Indonesia.
Huruf b
Pelaksanaan pemeriksaan dalam rangka uji kemampuan dan
kepatutan ...
- 24 -
kepatutan dapat dilakukan melalui pemeriksaan khusus atau
secara bersamaan dengan pemeriksaan lainnya dan dapat
mencakup pemeriksaan sebelumnya.
Huruf c
Dalam hal pihak-pihak yang dinilai merupakan kelompok usaha,
maka konfirmasi hasil pemeriksaan disampaikan kepada seluruh
anggota kelompok usaha yang terkait dengan Bank Syariah.
Dalam hal pihak-pihak yang dinilai merupakan badan hukum,
maka konfirmasi hasil pemeriksaan disampaikan kepada pengurus
badan hukum yang terkait.
Huruf d
Penyampaian hasil penilaian pertama kepada pihak-pihak yang
dinilai dan pihak terkait lainnya dilakukan secara tertulis. Pihak
terkait lainnya diantaranya adalah pemegang saham mayoritas
dan/atau PSP.
Huruf e
Penyampaian tanggapan oleh pihak-pihak yang dinilai dapat
dilakukan secara tertulis maupun melalui tatap muka serta
didukung bukti-bukti yang diperlukan.
Yang dimaksud dengan “pengkajian atas tanggapan” antara lain
termasuk penyesuaian hasil penilaian sementara uji kemampuan
dan kepatutan oleh Bank Indonesia dalam hal tanggapan yang
diajukan oleh pihak yang dinilai dapat diterima oleh Bank
Indonesia.
Huruf f
Penyampaian hasil penilaian kedua kepada pihak-pihak yang
dinilai dan pihak terkait lainnya dilakukan secara tertulis.
Huruf g ...
- 25 -
Huruf g
Penyampaian tanggapan kedua oleh pihak-pihak yang dinilai
dapat dilakukan secara tertulis maupun melalui tatap muka serta
didukung bukti-bukti yang diperlukan.
Huruf h
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 26
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “komitmen” antara lain kesediaan untuk
menyelesaikan seluruh proses uji kemampuan dan kepatutan yang
dinyatakan secara tertulis.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 27
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)...
- 26 -
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “satu kesatuan dan berlaku bagi PSP dan pihak-
pihak yang melakukan Pengendalian terhadap Bank Syariah yang terkait
dengan PSP yang diuji” adalah apabila PSP diberikan predikat Tidak
Memenuhi Persyaratan (Tidak Lulus), maka keseluruhan pihak-pihak
yang melakukan Pengendalian yang terkait dengan PSP juga diberikan
predikat Tidak Memenuhi Persyaratan (Tidak Lulus), kecuali dapat
dibuktikan sebaliknya.
Ketentuan ini dimaksudkan agar masing-masing pihak terkait dapat
bertindak independen terhadap PSP yang diuji.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 28
Ayat (1)
Huruf a
Pihak-pihak yang memperoleh predikat Memenuhi Persyaratan
(Lulus) dinyatakan memenuhi persyaratan untuk tetap menjadi
PSP, anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi atau Pejabat
Eksekutif.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 29 ...
- 27 -
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Ayat (1)
Pernyataan tertulis ditandatangani di atas materai yang cukup dan
dilegalisasi oleh Notaris. Sejak adanya surat pernyataan dimaksud maka
yang bersangkutan dilarang menggunakan segala hak dan wewenang
sebagai PSP.
Perhitungan jangka waktu dimulai sejak tanggal surat pemberitahuan dari
Bank Indonesia.
Ayat (2)
Tidak termasuk perbuatan menurunkan kepemilikan adalah melakukan
hibah dan/atau penjualan kepada pihak-pihak yang memiliki hubungan
keluarga sampai dengan derajat kedua.
Yang dimaksud dengan hubungan keluarga sampai dengan derajat kedua
adalah hubungan baik vertikal maupun horizontal, termasuk mertua,
menantu dan ipar, sehingga yang dimaksud dengan keluarga meliputi:
1. Orangtua kandung/tiri/angkat;
2. Saudara kandung/tiri/angkat beserta suami atau istrinya;
3. Anak kandung/tiri/angkat;
4. Kakek/nenek kandung/tiri/angkat;
5. Cucu kandung/tiri/angkat;
6. Saudara kandung/tiri/angkat dari orangtua beserta suami atau
istrinya;
7. Suami/istri;
8. Mertua;
9. Besan ...
- 28 -
9. Besan;
10. Suami/istri dari anak kandung/tiri/angkat;
11. Kakek atau nenek dari suami atau istri;
12. Suami/istri dari cucu kandung/tiri/angkat;
13. Saudara kandung/tiri/angkat dari suami atau istri beserta suami atau
istrinya.
Perhitungan jangka waktu 6 (enam) bulan dimulai sejak tanggal surat
pemberitahuan dari Bank Indonesia.
Pasal 31
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “tidak memperoleh hak-haknya” antara lain hak
suara tidak diperhitungkan dalam RUPS, hak suara tidak diperhitungkan
sebagai penghitungan kuorum atau tidaknya RUPS, dan hak memperoleh
dividen.
Pasal 32
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Perhitungan jangka waktu dimulai sejak tanggal surat pemberitahuan dari
Bank Indonesia.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 33 ...
- 29 -
Pasal 33
Ayat (1)
Perhitungan jangka waktu dimulai sejak tanggal surat pemberitahuan dari
Bank Indonesia.
Bank Indonesia dapat mengumumkan kepada masyarakat nama-nama
dari anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi dan Pejabat Eksekutif
yang memperoleh predikat Tidak Memenuhi Persyaratan (Tidak Lulus)
namun tidak bersedia mengundurkan diri dari jabatan sebagai anggota
Dewan Komisaris, anggota Direksi dan Pejabat Eksekutif.
Pengumuman kepada masyarakat antara lain dilakukan melalui website
Bank Indonesia.
Ayat (2)
Larangan untuk melakukan tugas operasional dimulai sejak diterimanya
surat pemberitahuan Bank Indonesia bahwa yang bersangkutan Tidak
Memenuhi Persyaratan (Tidak Lulus).
Pasal 34
Ayat (1)
Perhitungan jangka waktu dimulai sejak tanggal surat pemberitahuan dari
Bank Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 35 ...
- 30 -
Pasal 35
Ayat (1)
Kewajiban atas Direksi Bank Syariah dimaksud dilaksanakan oleh salah
satu anggota Direksi yang berwenang mengangkat dan memberhentikan
Pejabat Eksekutif.
Bank Indonesia dapat mengumumkan kepada masyarakat nama-nama
dari anggota Direksi yang terbukti tidak memberhentikan Pejabat
Eksekutif yang dinyatakan Tidak Memenuhi Persyaratan (Tidak Lulus).
Pengumuman kepada masyarakat antara lain dilakukan melalui website
Bank Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 36
Perhitungan jangka waktu 20 (dua puluh) tahun dimulai sejak tanggal surat
pemberitahuan dari Bank Indonesia.
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Anggota Dewan Komisaris dan anggota Direksi dinyatakan tidak
bersedia mengundurkan diri apabila yang bersangkutan belum
mengundurkan diri pada saat diberhentikan oleh pemegang saham.
Pasal 37...
- 31 -
Pasal 37
Ayat (1)
Perhitungan jangka waktu 20 (dua puluh) tahun dimulai sejak tanggal
surat pemberitahuan dari Bank Indonesia.
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “bertanggungjawab menyebabkan Bank
Syariah mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan
usahanya atau dapat membahayakan sistem perbankan”, antara
lain adalah:
1) memanfaatkan Bank Syariah untuk membiayai kepentingan
sendiri dan/atau kelompok usahanya; dan/atau
2) melanggar ketentuan dan/atau komitmen kepada Bank
Indonesia atau Pemerintah,
yang menyebabkan Bank Syariah bermasalah berat sehingga
diambil alih oleh Pemerintah, dibekukan kegiatan usahanya
dan/atau dicabut ijin usahanya.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 38
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2) ...
- 32 -
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “pihak-pihak lain yang berkepentingan” antara
lain adalah Pemerintah dan pemegang saham.
Dalam hal Bank Syariah, pihak yang dinilai dan pihak-pihak lain
memberitahukan hasil uji kemampuan dan kepatutan kepada pihak
ketiga, maka segala akibat hukum yang timbul sepenuhnya menjadi
tanggung jawab yang bersangkutan.
Pasal 39
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Keputusan persetujuan atau penolakan bersifat independen dengan
mendasarkan pada keyakinan dan bukti-bukti yang kuat dan relevan yang
dimiliki atau diperoleh Bank Indonesia. Informasi atau keputusan dari
instansi atau lembaga lain dapat digunakan sebagai pertimbangan dalam
penetapan keputusan Bank Indonesia tersebut.
Pasal 40
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Wawancara hanya dapat dilakukan setelah yang bersangkutan dinyatakan
lulus uji kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan uji kemampuan dan kepatutan untuk bank umum
konvensional.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4) ...
- 33 -
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49 ...
- 34 -
Pasal 49
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5042
DPbS
"," PBI
11/31/PBI/2009
UJI KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN (FIT AND PROPER TEST) BANK SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH
28 Agustus 2009
28 Agustus 2009
28 Agustus 2009
'6/23/PBI/2004', '5/25/PBI/2003'
'21/UU/2008', '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '40/UU/2007'
'BAB VII'
"
" PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 18/29/PBI/2016
TENTANG
PENGELUARAN UANG RUPIAH KERTAS
PECAHAN 100.000 (SERATUS RIBU)
TAHUN EMISI 2016
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa uang Rupiah sebagai mata uang Negara Kesatuan
Republik Indonesia memiliki peran yang sangat strategis,
baik sebagai simbol kedaulatan negara yang harus
dihormati dan dibanggakan oleh seluruh warga negara
Indonesia, maupun sebagai alat pembayaran yang sah
dalam kegiatan perekonomian nasional guna
mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia;
b. bahwa guna mewujudkan kesejahteraan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia dan dalam rangka
melaksanakan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun
2011 tentang Mata Uang, Bank Indonesia perlu
mengeluarkan uang Rupiah dan mengedarkannya sesuai
dengan kebutuhan masyarakat dalam jumlah nominal
yang cukup, jenis pecahan yang sesuai, tepat waktu, dan
dalam kondisi yang layak edar;
c. bahwa untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap
uang Rupiah maka uang Rupiah yang dikeluarkan Bank
- 2 -
Indonesia perlu senantiasa ditingkatkan kualitas dan
keandalannya;
d. bahwa
berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu
menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang
Pengeluaran Uang Rupiah Kertas Pecahan 100.000
(Seratus Ribu) Tahun Emisi 2016;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843), sebagaimana telah diubah
beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4962);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata
Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5223);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENGELUARAN
UANG RUPIAH KERTAS PECAHAN 100.000 (SERATUS RIBU)
TAHUN EMISI 2016.
Pasal 1
Bank Indonesia mengeluarkan uang Rupiah pecahan 100.000
(seratus ribu) tahun emisi 2016 sebagai alat pembayaran yang
sah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
- 3 -
Pasal 2
Macam uang Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
merupakan uang Rupiah kertas yang memiliki ciri tertentu.
Pasal 3
Harga uang Rupiah kertas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 merupakan nilai nominal pada pecahan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 yaitu sebesar Rp100.000,00 (seratus
ribu rupiah).
Pasal 4
Ciri tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang
terdapat pada bagian depan dan bagian belakang meliputi:
a. ciri umum; dan
b. ciri khusus.
Pasal 5
(1) Ciri umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
huruf a, pada bagian depan terdapat:
a. gambar lambang negara “Garuda Pancasila”;
b. frasa “NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA”;
c. sebutan pecahan dalam angka “100000” dan tulisan
“SERATUS RIBU RUPIAH”;
d. tanda tangan Gubernur Bank Indonesia beserta
tulisan “GUBERNUR” dan tanda tangan Menteri
Keuangan Republik Indonesia beserta tulisan
“MENTERI KEUANGAN”;
e.
tulisan tahun emisi yaitu “EMISI 2016”;
f. gambar utama yaitu Pahlawan Nasional Dr. (H.C.) Ir.
Soekarno dan Dr. (H.C.) Drs. Mohammad Hatta
beserta tulisan “Dr. (H.C.) Ir. SOEKARNO” dan
“Dr. (H.C.) Drs. MOHAMMAD HATTA”;
g. gambar ornamen batik; dan
h. gambar lingkaran-lingkaran kecil.
- 4 -
(2) Ciri khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
huruf b, pada bagian depan yang berupa desain dan
teknik cetak, terdapat:
a. warna dominan merah;
b.
hasil cetak yang terasa kasar apabila diraba pada
ciri umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, dan huruf f;
c. gambar saling isi (rectoverso) dari logo Bank
Indonesia yang dapat dilihat secara utuh apabila
diterawangkan ke arah cahaya;
d. gambar tersembunyi (latent image) berupa tulisan
“BI” yang dapat dilihat dari sudut pandang tertentu;
e. gambar tersembunyi (latent image) multiwarna
berupa angka “100” yang dapat dilihat dari sudut
pandang tertentu;
f. gambar perisai yang di dalamnya berisi logo Bank
Indonesia yang akan berubah warna apabila dilihat
dari sudut pandang berbeda (colour shifting);
g. kode tuna netra (blind code) berupa efek rabaan
(tactile);
h. gambar raster berupa tulisan “NKRI” yang tertulis
utuh dan/atau sebagian;
i.
mikroteks yang memuat tulisan “BI100”, tulisan
“BI”, dan angka “100”, yang dapat dilihat dengan
bantuan kaca pembesar; dan
j.
hasil cetak yang akan memendar dalam 1 (satu) atau
beberapa warna apabila dilihat dengan sinar
ultraviolet berupa:
1. 2 (dua) bidang persegi empat yang salah
satunya berisi tulisan “BI”;
2. angka nominal “100000”;
3. ornamen batik; dan
4. gambar wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
- 5 -
Pasal 6
(1) Ciri umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
huruf a, pada bagian belakang terdapat:
a. angka nominal “100000”;
b. nomor seri dengan bentuk asimetris yang meliputi
3 (tiga) huruf dan 6 (enam) angka;
c. teks “DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,
NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA
MENGELUARKAN RUPIAH SEBAGAI ALAT
PEMBAYARAN YANG SAH DENGAN NILAI SERATUS
RIBU RUPIAH”;
d. tulisan tahun cetak “TC 2016”;
e. gambar utama yaitu tari topeng betawi beserta
tulisan “TARI TOPENG BETAWI”, pemandangan
alam Raja Ampat beserta tulisan “Raja Ampat”, dan
bunga anggrek bulan;
f. tulisan “BANK INDONESIA”;
g. gambar ornamen batik;
h. gambar lingkaran-lingkaran kecil; dan
i.
tulisan “PERURI”.
(2) Ciri khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
huruf b, pada bagian belakang yang berupa desain dan
teknik cetak, terdapat:
a. warna dominan merah;
b.
hasil cetak yang terasa kasar apabila diraba pada
ciri umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a, huruf c, dan huruf f;
c.
hasil cetak yang terasa kasar apabila diraba pada
gambar tari topeng betawi, tulisan “TARI TOPENG
BETAWI”, dan tulisan “Raja Ampat”;
d. gambar saling isi (rectoverso) dari logo Bank
Indonesia yang dapat dilihat secara utuh apabila
diterawangkan ke arah cahaya;
e. gambar tersembunyi (latent image) berupa angka
“100” yang dapat dilihat dari sudut pandang
tertentu;
- 6 -
f. gambar raster berupa tulisan “NKRI” dan angka
“100000”;
g. mikroteks yang memuat tulisan “BI100000” dan
angka “100000”, yang dapat dilihat dengan bantuan
kaca pembesar; dan
h. hasil cetak yang akan memendar dalam 1 (satu) atau
beberapa warna apabila dilihat dengan sinar
ultraviolet berupa:
1. gambar bunga anggrek bulan;
2. gambar burung elang bondol;
3. bidang persegi empat yang berisi tulisan “BI”;
4. gambar lingkaran-lingkaran kecil; dan
5. nomor seri dengan bentuk asimetris yang
meliputi 3 (tiga) huruf dan 6 (enam) angka.
(3) Angka dalam tulisan tahun cetak sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf d akan berubah sesuai dengan tahun
cetak.
Pasal 7
Selain ciri khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
ayat (2) dan Pasal 6 ayat (2), uang Rupiah memiliki ciri
khusus sebagai berikut:
a. bahan berupa kertas uang yang memiliki spesifikasi:
1. terbuat dari serat kapas;
2. berwarna merah muda;
3. tidak memendar dengan sinar ultraviolet;
4. terdapat tanda air (watermark) berupa gambar
Pahlawan Nasional W. R. Soepratman dan ornamen
tertentu; dan
5. terdapat benang pengaman berbentuk anyaman
yang memuat tulisan “BI 100000” secara berulang,
yang akan berubah warna apabila dilihat dari sudut
pandang berbeda (colour shifting); dan
b. ukuran yaitu panjang 151 (seratus lima puluh satu)
milimeter dan lebar 65 (enam puluh lima) milimeter.
- 7 -
Pasal 8
Uang Rupiah kertas pecahan 100.000 (seratus ribu) tahun
emisi 2004 dan tahun emisi 2014 dinyatakan masih tetap
berlaku sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia sepanjang belum dicabut dan
ditarik dari peredaran.
Pasal 9
Uang Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 mulai
berlaku dan diedarkan pada tanggal 19 Desember 2016.
Pasal 10
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
- 8 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 26 Oktober 2016
GUBERNUR BANK INDONESIA,
AGUS D. W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 28 Oktober 2016
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 213
"," PBI
18/29/PBI/2016
PENGELUARAN UANG RUPIAH KERTAS PECAHAN 100.000 (SERATUS RIBU) TAHUN EMISI 2016
26 Oktober 2016
28 Oktober 2016
28 Oktober 2016
'23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '6/UU/2009', '7/UU/2011'
"
" PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 9/13/PBI/2007
TENTANG
KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM BANK UMUM
DENGAN MEMPERHITUNGKAN RISIKO PASAR
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa dalam perhitungan kecukupan permodalan, selain
mempertimbangkan risiko kredit, bank juga perlu
mempertimbangkan risiko pasar, maupun risiko lainnya;
b. bahwa dengan semakin kompleksnya instrumen keuangan
yang terekspos risiko pasar, perlu diberikan alternatif
metode pengukuran risiko pasar yang sesuai dengan
kemampuan dan kebutuhan bank dalam rangka perhitungan
kecukupan permodalan;
c. bahwa dalam memperhitungkan risiko pasar dapat dilakukan
dengan metode standar (standard method) dan/atau model
internal (internal model) baik bagi bank secara individual
maupun secara konsolidasi dengan perusahaan anak;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
pada huruf a, b, dan c diperlukan pengaturan kembali
terhadap ketentuan tentang Kewajiban Penyediaan Modal
Minimum Bank Umum Dengan Memperhitungkan Risiko
Pasar (Market Risk) dalam Peraturan Bank Indonesia;
Mengingat …
- 2 -
Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor
31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1998 Nomor 182 Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357);
3. Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/21/PBI/2001 tentang
Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor
149, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4158);
4. Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/6/PBI/2006 tentang
Penerapan Manajemen Risiko Secara Konsolidasi Bagi
Bank Yang Melakukan Pengendalian Terhadap Perusahaan
Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006
Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4602);
MEMUTUSKAN …
- 3 -
M E M U T U S K A N:
Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG KEWAJIBAN
PENYEDIAAN MODAL MINIMUM BANK UMUM DENGAN
MEMPERHITUNGKAN RISIKO PASAR.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, termasuk kantor cabang bank
asing, yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional.
2. Perusahaan Anak adalah badan hukum atau perusahaan yang dimiliki
dan/atau dikendalikan oleh Bank secara langsung maupun tidak langsung,
baik di dalam maupun di luar negeri yang melakukan kegiatan usaha di
bidang keuangan, yang terdiri dari:
a. Perusahaan Subsidiari (Subsidiary Company) yaitu Perusahaan Anak
dengan kepemilikan Bank lebih dari 50% (lima puluh perseratus);
b. Perusahaan Partisipasi (Participation Company) adalah Perusahaan
Anak dengan kepemilikan Bank 50% (lima puluh perseratus) atau
kurang, namun Bank memiliki Pengendalian terhadap perusahaan;
c. Perusahaan dengan kepemilikan Bank lebih dari 20% (dua puluh
perseratus) sampai dengan 50% (lima puluh perseratus) yang
memenuhi persyaratan yaitu:
1) kepemilikan …
- 4 -
1) kepemilikan Bank dan para pihak lainnya pada Perusahaan Anak
adalah masing-masing sama besar; dan
2) masing-masing pemilik melakukan Pengendalian secara bersama
terhadap Perusahaan Anak;
d. Entitas lain yang berdasarkan standar akuntansi keuangan yang berlaku
wajib dikonsolidasikan,
namun tidak termasuk perusahaan asuransi dan perusahaan yang dimiliki
dalam rangka penyelamatan kredit.
3. Risiko Pasar adalah risiko kerugian pada posisi neraca dan rekening
administratif termasuk transaksi derivatif akibat perubahan secara
keseluruhan dari kondisi pasar, termasuk risiko perubahan harga option.
4. Risiko Suku Bunga adalah risiko kerugian akibat perubahan harga
instrumen keuangan dari posisi Trading Book yang disebabkan oleh
perubahan suku bunga.
5. Risiko Nilai Tukar adalah risiko kerugian akibat perubahan nilai posisi
Trading Book dan Banking Book yang disebabkan oleh perubahan nilai
tukar valuta asing termasuk perubahan harga emas.
6. Risiko Ekuitas adalah risiko kerugian akibat perubahan harga instrumen
keuangan dari posisi Trading Book yang disebabkan oleh perubahan harga
saham.
7. Risiko Komoditas adalah risiko kerugian akibat perubahan harga instrumen
keuangan dari posisi Trading Book dan Banking Book yang disebabkan oleh
perubahan harga komoditas.
8. Risiko Spesifik adalah risiko perubahan harga instrumen keuangan akibat
faktor-faktor yang berkaitan dengan penerbit instrumen keuangan.
9. Risiko Umum adalah risiko perubahan harga instrumen keuangan akibat
perubahan faktor-faktor pasar.
10. Trading …
- 5 -
10. Trading Book adalah seluruh posisi instrumen keuangan dalam neraca dan
rekening administratif termasuk transaksi derivatif yang dimiliki untuk:
a.
tujuan diperdagangkan dan dapat dipindahtangankan dengan bebas
atau dapat dilindung nilai secara keseluruhan, baik dari transaksi untuk
kepentingan sendiri (proprietary positions), atas permintaan nasabah
maupun kegiatan perantaraan (brokering), dan dalam rangka
pembentukan pasar (market making), yang meliputi:
1) posisi yang dimiliki untuk dijual kembali dalam jangka pendek;
2) posisi yang dimiliki untuk tujuan memperoleh keuntungan jangka
pendek secara aktual dan/atau potensial dari pergerakan harga
(price movement); atau
3) posisi yang dimiliki untuk tujuan mempertahankan keuntungan
arbitrase (locking in arbitrage profits);
b.
tujuan lindung nilai atas posisi lainnya dalam Trading Book.
11. Banking Book adalah semua posisi lainnya yang tidak termasuk dalam
Trading Book.
Pasal 2
(1) Bank yang memenuhi kriteria tertentu wajib memenuhi kewajiban
penyediaan modal minimum (KPMM) dengan memperhitungkan Risiko
Pasar sebesar 8% (delapan perseratus) baik secara individual dan/atau
secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak.
(2) Pemenuhan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
menghilangkan kewajiban Bank memenuhi KPMM dengan
memperhitungkan risiko kredit sesuai ketentuan Bank Indonesia yang
berlaku.
(3) Risiko …
- 6 -
(3) Risiko Pasar yang wajib diperhitungkan oleh Bank secara individual
dan/atau secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak adalah:
a. Risiko Suku Bunga; dan/atau
b. Risiko Nilai Tukar.
(4) Dalam hal Bank:
a. memiliki Perusahaan Anak yang terekspos Risiko Ekuitas dan/atau
Risiko Komoditas; dan
b.
secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak memenuhi kriteria
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b,
maka Bank secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak wajib
memperhitungkan Risiko Ekuitas dan/atau Risiko Komoditas selain Risiko
Pasar sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
Pasal 3
(1) Kriteria tertentu bagi Bank yang wajib memenuhi KPMM dengan
memperhitungkan Risiko Pasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1) adalah:
a. Bank yang secara individual memenuhi salah satu kriteria sebagai
berikut:
1. Bank dengan total aktiva sebesar Rp10.000.000.000.000,00
(sepuluh triliun rupiah) atau lebih;
2. Bank devisa dengan posisi instrumen keuangan berupa surat
berharga dan/atau transaksi derivatif dalam Trading Book sebesar
Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah) atau lebih;
3. Bank …
- 7 -
3. Bank bukan Bank devisa dengan posisi instrumen keuangan
berupa surat berharga dan/atau transaksi derivatif suku bunga
dalam Trading Book sebesar Rp25.000.000.000,00 (dua puluh
lima miliar rupiah) atau lebih;
dan/atau;
b. Bank yang secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak memenuhi
salah satu kriteria sebagai berikut:
1. Bank devisa yang secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak
memiliki posisi instrumen keuangan berupa surat berharga
termasuk instrumen keuangan yang terekspos Risiko Ekuitas
dan/atau transaksi derivatif dalam Trading Book dan/atau
instrumen keuangan yang terekspos Risiko Komoditas dalam
Trading Book dan Banking Book sebesar Rp20.000.000.000,00
(dua puluh miliar rupiah) atau lebih;
2. Bank bukan Bank devisa yang secara konsolidasi dengan
Perusahaan Anak memiliki posisi instrumen keuangan berupa
surat berharga termasuk instrumen keuangan yang terekspos
Risiko Ekuitas dan/atau transaksi derivatif dalam Trading Book
dan/atau instrumen keuangan yang terekspos Risiko Komoditas
dalam Trading Book dan Banking Book sebesar
Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah) atau lebih.
(2) Kewajiban untuk memperhitungkan Risiko Pasar sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) berlaku pula untuk Bank yang memiliki jaringan
kantor dan/atau Perusahaan Anak di negara lain maupun kantor cabang dari
Bank yang kantor pusatnya berkedudukan di luar negeri.
Pasal 4 …
- 8 -
Pasal 4
Surat berharga dalam Trading Book sebagaimana dimaksud pada Pasal 3 ayat (1)
huruf a angka 2 dan angka 3, huruf b angka 1 dan angka 2 hanya mencakup surat
berharga yang diklasifikasikan dalam kelompok diperdagangkan.
Pasal 5
Bank yang setelah merger atau konsolidasi memenuhi kriteria sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 paling kurang pada 3 periode pelaporan bulanan dalam
6 bulan pertama setelah merger atau konsolidasi dinyatakan efektif, wajib
memperhitungkan Risiko Pasar dalam perhitungan KPMM sejak bulan ke
7 (tujuh) setelah merger atau konsolidasi dinyatakan efektif.
Pasal 6
Bagi Bank yang telah wajib memperhitungkan Risiko Pasar dalam perhitungan
KPMM, apabila pada tanggal 1 Januari 2009 tidak memenuhi kriteria
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 karena adanya perubahan cakupan surat
berharga dalam Trading Book, maka Bank tidak wajib memperhitungkan Risiko
Pasar dalam perhitungan KPMM.
Pasal 7
Bank yang telah memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan
Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 tetap wajib selamanya
memperhitungkan Risiko Pasar dalam KPMM.
BAB II …
- 9 -
BAB II
ASPEK PERMODALAN
Pasal 8
(1) Bank dapat memperhitungkan Modal Pelengkap Tambahan (tier 3) untuk
tujuan perhitungan KPMM secara individual dan/atau secara konsolidasi
dengan Perusahaan Anak.
(2) Modal Pelengkap Tambahan (tier 3) dalam perhitungan KPMM
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat digunakan untuk
memperhitungkan Risiko Pasar.
(3) Pos yang dapat diperhitungkan sebagai Modal Pelengkap Tambahan (tier 3)
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Pinjaman Subordinasi Jangka
Pendek yang memenuhi kriteria sebagai berikut:
a.
tidak dijamin oleh Bank atau Perusahaan Anak yang bersangkutan dan
telah disetor penuh;
b. memiliki jangka waktu perjanjian sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun;
c.
d.
tidak dapat dibayar sebelum jadwal waktu yang ditetapkan dalam
perjanjian pinjaman kecuali dengan persetujuan Bank Indonesia;
terdapat klausula yang mengikat (lock-in clause) yang menyatakan
bahwa tidak dapat dilakukan pembayaran pokok atau bunga, termasuk
pembayaran pada saat jatuh tempo, apabila pembayaran dimaksud
dapat menyebabkan KPMM secara individual atau secara konsolidasi
dengan Perusahaan Anak tidak memenuhi ketentuan yang berlaku;
e.
terdapat perjanjian pinjaman yang jelas termasuk jadwal pelunasannya;
dan
f. memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari Bank Indonesia.
(4) Modal …
- 10 -
(4) Modal Pelengkap Tambahan (tier 3) sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
untuk memperhitungkan Risiko Pasar hanya dapat digunakan dengan
memenuhi kriteria:
a. tidak melebihi 250% (dua ratus lima puluh perseratus) dari bagian
Modal Inti yang dialokasikan untuk memperhitungkan Risiko Pasar;
b. jumlah Modal Pelengkap (tier 2) dan Modal Pelengkap Tambahan
(tier 3) paling tinggi sebesar 100% (seratus perseratus) dari Modal Inti.
(5) Modal Pelengkap (tier 2) yang tidak digunakan dapat ditambahkan untuk
Modal Pelengkap Tambahan (tier 3) dengan memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
(6) Pinjaman Subordinasi sebagaimana diatur dalam ketentuan yang berlaku
dan melebihi 50% (lima puluh perseratus) Modal Inti, dapat digunakan
sebagai komponen Modal Pelengkap Tambahan (tier 3) dengan tetap
memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
BAB III
ASPEK RISIKO PASAR
Pasal 9
Risiko Pasar diperhitungkan atas:
a. posisi instrumen keuangan dalam Trading Book yang terekspos Risiko Suku
Bunga;
b. posisi valuta asing dalam Trading Book dan Banking Book yang terekspos
Risiko Nilai Tukar;
c. posisi instrumen keuangan dalam Trading Book yang terekspos Risiko
Ekuitas;
d. posisi instrumen keuangan dalam Trading Book dan Banking Book yang
terekspos Risiko Komoditas.
Pasal 10 …
- 11 -
Pasal 10
Aset keuangan yang pada saat pengakuan awal ditetapkan sebagai aset keuangan
yang diukur pada nilai wajar melalui laporan laba rugi dikecualikan dari cakupan
Trading Book.
Kebijakan dan Pedoman Trading Book
Pasal 11
(1) Bank wajib menyusun dan menerapkan kebijakan dan pedoman Trading
Book sebagai bagian dari kebijakan dan pedoman manajemen risiko Bank.
(2) Bank wajib melakukan kaji ulang secara berkala terhadap kebijakan dan
pedoman Trading Book sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 12
Kebijakan dan pedoman Trading Book sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11
paling kurang mencakup:
a.
tujuan memiliki posisi dalam Trading Book;
b. kriteria instrumen keuangan yang dapat ditetapkan sebagai Trading Book;
c. kebijakan pengelolaan portofolio Trading Book;
d. pihak yang diberi kewenangan untuk menyetujui atau mengubah kebijakan
dan pedoman Trading Book;
e. mekanisme untuk memastikan bahwa kriteria instrumen keuangan yang
ditetapkan sebagai Trading Book diterapkan secara konsisten;
f.
penetapan metodologi valuasi terhadap instrumen keuangan dalam Trading
Book dengan menggunakan nilai wajar secara harian berdasarkan harga
pasar atau model/teknik penilaian;
g. pendokumentasian …
- 12 -
g. pendokumentasian setiap strategi perdagangan (trading strategy) atas posisi
atau portofolio Trading Book yang mendapat persetujuan pihak yang diberi
kewenangan.
Valuasi Trading Book
Pasal 13
(1) Bank wajib melakukan valuasi secara harian terhadap posisi Trading Book
dengan akurat.
(2) Dalam melakukan valuasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank wajib
memiliki kebijakan dan prosedur valuasi, termasuk memiliki sistem
informasi manajemen dan pengendalian proses valuasi yang memadai dan
terintegrasi dengan sistem manajemen risiko.
(3) Kebijakan dan prosedur valuasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib
berlandaskan pada prinsip kehati-hatian.
Pasal 14
(1) Proses valuasi wajib dilakukan berdasarkan nilai wajar.
(2) Terhadap instrumen keuangan yang diperdagangkan secara aktif, proses
valuasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
menggunakan harga transaksi yang terjadi (close out prices) atau kuotasi
harga pasar dari sumber yang independen.
(3) Valuasi terhadap instrumen keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
menggunakan:
a. bid price untuk aset yang dimiliki atau kewajiban yang akan
diterbitkan; dan/atau
b. ask price untuk aset yang akan diperoleh atau kewajiban yang dimiliki.
(4) Dalam …
- 13 -
(4) Dalam hal harga pasar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak tersedia,
Bank dapat menetapkan nilai wajar dengan menggunakan suatu
model/teknik penilaian berlandaskan prinsip kehati-hatian.
Pasal 15
(1) Bank wajib melakukan verifikasi terhadap proses dan hasil valuasi.
(2) Proses verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan
sekurang-kurangnya 1 (satu) kali dalam 1 (satu) bulan oleh pihak yang tidak
ikut dalam pelaksanaan valuasi.
(3) Bank wajib menyesuaikan hasil valuasi berdasarkan verifikasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
Pasal 16
Bank wajib segera melakukan penyesuaian terhadap hasil valuasi yang belum
mencerminkan nilai wajar dalam hal:
a.
terjadi perubahan kondisi ekonomi yang signifikan;
b. harga instrumen keuangan yang dijadikan acuan adalah harga yang terjadi
dari transaksi yang dipaksakan, likuidasi yang dipaksakan, atau penjualan
akibat kesulitan keuangan;
c.
instrumen keuangan sudah mendekati jatuh tempo; dan/atau
d. harga yang dijadikan acuan tidak wajar karena kondisi lainnya.
Pasal 17
(1) Selain penyesuaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, Bank wajib
melakukan penyesuaian terhadap valuasi atas posisi yang kurang likuid
dengan mempertimbangkan faktor-faktor tertentu.
(2) Dalam …
- 14 -
(2) Dalam hal dilakukan penyesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Bank wajib memperhitungkan dampak penyesuaian sebagai faktor
pengurang Modal Inti dalam perhitungan KPMM.
Perhitungan Risiko Pasar
Pasal 18
(1) Perhitungan Risiko Pasar dalam perhitungan KPMM dilakukan dengan
menggunakan:
a. Metode Standar (Standard Method); dan/atau
b. Model Internal (Internal Model).
(2) Bank yang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 wajib
menggunakan Metode Standar dalam perhitungan Risiko Pasar.
Metode Standar
Pasal 19
(1) Perhitungan Risiko Suku Bunga meliputi Risiko Spesifik dan Risiko
Umum.
(2) Metode perhitungan Risiko Umum dilakukan dengan menggunakan:
a. Metode Jatuh Tempo (Maturity Method); atau
b. Metode Jangka Waktu (Duration Method).
(3) Penggunaan metode sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b wajib
memenuhi persyaratan tertentu sebagaimana diatur dalam Surat Edaran
Bank Indonesia.
(4) Beban modal untuk Risiko Suku Bunga dihitung berdasarkan persentase
tertentu dari posisi instrumen keuangan yang terekspos Risiko Suku Bunga.
Pasal 20 …
- 15 -
Pasal 20
(1) Dalam rangka perhitungan Risiko Suku Bunga, Bank Indonesia menetapkan
lembaga pemeringkat (rating agency) dan peringkat yang diakui.
(2) Penetapan lembaga pemeringkat dan peringkat yang diakui sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 21
(1) Perhitungan Risiko Nilai Tukar didasarkan pada Posisi Devisa Neto yang
dimiliki oleh Bank.
(2) Beban modal untuk Risiko Nilai Tukar dihitung berdasarkan persentase
tertentu dari Posisi Devisa Neto.
Pasal 22
(1) Perhitungan Risiko Ekuitas yang meliputi Risiko Spesifik dan Risiko
Umum didasarkan pada posisi instrumen keuangan yang terekspos Risiko
Ekuitas yang dimiliki oleh Perusahaan Anak.
(2) Beban modal untuk Risiko Ekuitas sebesar penjumlahan beban modal dari
Risiko Ekuitas pada setiap pasar keuangan.
(3) Beban modal untuk Risiko Ekuitas pada setiap pasar keuangan dihitung
berdasarkan persentase tertentu dari:
a. Posisi ekuitas bruto (gross equity position) untuk Risiko Spesifik; dan
b. Posisi ekuitas neto secara keseluruhan (overall net position) untuk
Risiko Umum;
Pasal 23 …
- 16 -
Pasal 23
(1) Perhitungan Risiko Komoditas yang timbul dari posisi instrumen keuangan
yang terekspos Risiko Komoditas yang dimiliki Perusahaan Anak,
dilakukan dengan menggunakan:
a. Metode Sederhana (Simplified Approach); atau
b. Metode Jatuh Tempo (Maturity Ladder Approach).
(2) Penggunaan metode sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan
secara konsisten.
(3) Beban modal untuk Risiko Komoditas dihitung berdasarkan persentase
tertentu dari posisi instrumen keuangan yang terekspos Risiko Komoditas.
Pasal 24
Persentase tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (4), Pasal 21 ayat
(2), Pasal 22 ayat (3), dan Pasal 23 ayat (3) diatur dalam Surat Edaran Bank
Indonesia.
Model Internal
Pasal 25
(1) Bank yang menggunakan Metode Standar sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 18 ayat (2) yang memenuhi persyaratan tertentu dapat menggunakan
Model Internal dalam perhitungan Risiko Pasar setelah memperoleh
persetujuan dari Bank Indonesia.
(2) Persyaratan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Surat
Edaran Bank Indonesia.
(3) Bank yang akan menggunakan Model Internal sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib mengajukan permohonan kepada Bank Indonesia disertai
informasi …
- 17 -
informasi dan dokumen tertentu yang diatur dalam Surat Edaran Bank
Indonesia.
(4) Dalam hal Bank akan melakukan modifikasi atas penggunaan Model
Internal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank wajib memperoleh
persetujuan kembali dari Bank Indonesia.
(5) Bank yang akan menggunakan Model Internal setelah akhir Desember
2007 wajib mencantumkan rencana penggunaan Model Internal dimaksud
dalam rencana bisnis Bank.
(6) Dalam rangka memberikan persetujuan, Bank Indonesia melakukan
pengkajian terhadap Model Internal yang akan digunakan.
Pasal 26
(1) Dalam hal terdapat produk dan aktivitas baru yang dilakukan oleh Bank
yang telah memperoleh persetujuan untuk menggunakan Model Internal,
maka pengukuran Risiko Pasar untuk produk dan aktivitas baru tersebut
menggunakan Metode Standar.
(2) Bank wajib menyampaikan rencana tindak penggunaan Model Internal
untuk pengukuran Risiko Pasar terhadap produk dan aktivitas baru
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Bank Indonesia.
(3) Rencana tindak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan
bersamaan dengan penyampaian laporan produk dan aktivitas baru.
(4) Bank Indonesia dapat meminta Bank melakukan perubahan atas rencana
tindak berdasarkan hasil pengkajian.
Pasal 27
(1) Bank Indonesia akan melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap
penggunaan Model Internal.
(2) Berdasarkan …
- 18 -
(2) Berdasarkan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank
Indonesia dapat melakukan antara lain:
a. mewajibkan Bank untuk melakukan penyesuaian penggunaan Model
Internal dalam jangka waktu yang ditetapkan oleh Bank Indonesia;
b. menetapkan penyesuaian faktor skala; dan/atau
c. membatalkan persetujuan penggunaan Model Internal.
Pasal 28
(1) Bank yang telah memperoleh persetujuan Bank Indonesia untuk
menggunakan Model Internal dilarang menggunakan kembali Metode
Standar dalam perhitungan Risiko Pasar.
(2) Penggunaan kembali Metode Standar dapat dilakukan hanya apabila Bank
Indonesia membatalkan persetujuan penggunaan Model Internal.
Pasal 29
Bank yang telah memperoleh persetujuan Bank Indonesia untuk menggunakan
Model Internal wajib menggunakan Model Internal untuk perhitungan KPMM
paling lambat pada posisi pelaporan akhir bulan berikutnya.
BAB IV
PERHITUNGAN KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM
Pasal 30
Perhitungan KPMM secara individu dan/atau secara konsolidasi dengan
Perusahaan Anak yang wajib dipenuhi oleh Bank yang memenuhi kriteria
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 mencakup:
a. KPMM …
- 19 -
a. KPMM untuk risiko kredit sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank
Indonesia yang berlaku mengenai KPMM, namun tidak termasuk posisi
pada Trading Book yang telah diperhitungkan Risiko Spesifik untuk Risiko
Suku Bunga; dan
b. KPMM untuk Risiko Pasar sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank
Indonesia ini.
BAB V
PELAPORAN
Pasal 31
(1) Bank yang menggunakan Metode Standar dalam perhitungan KPMM
dengan memperhitungkan Risiko Pasar wajib melaporkan perhitungan
Risiko Pasar secara bulanan sesuai format yang ditetapkan oleh
Bank Indonesia dengan mengacu kepada ketentuan tentang Laporan
Berkala Bank Umum.
(2) Dalam hal Bank telah memperoleh persetujuan Bank Indonesia untuk
menggunakan Model Internal dalam perhitungan KPMM dengan
memperhitungkan Risiko Pasar, Bank wajib menyampaikan laporan yang
terkait dengan Model
Internal secara bulanan dan triwulanan sesuai format
yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dengan mengacu kepada ketentuan
tentang Laporan Berkala Bank Umum.
(3) Laporan yang terkait dengan Model Internal secara triwulanan untuk
pertama kali disusun pada akhir triwulan setelah Model Internal digunakan
untuk perhitungan KPMM.
(4) Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)
dilakukan dalam periode penyampaian III Laporan Berkala Bank Umum.
(5) Selama …
- 20 -
(5) Selama pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) belum
dimungkinkan dilaporkan secara on-line, maka pelaporan wajib
disampaikan secara off-line oleh Bank kepada Bank Indonesia dengan
alamat:
a. Direktorat Pengawasan Bank terkait, Jl. MH. Thamrin No.2 Jakarta
10350, bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja kantor pusat
Bank Indonesia; atau
b. Kantor Bank Indonesia setempat, bagi Bank yang berkantor pusat di
luar wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia,
dengan tembusan kepada Direktorat Perizinan dan Informasi Perbankan,
Jl. MH. Thamrin No.2 Jakarta 10350.
BAB VI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 32
Ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/12/PBI/2003 tanggal
17 Juli 2003 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum
Dengan Memperhitungkan Risiko Pasar (Market Risk) yang mengatur mengenai:
a. posisi surat berharga dalam Trading Book sebagaimana dimaksud dalam
Penjelasan Pasal 3 ayat (1) huruf b dan c;
b. Sertifikat Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7;
c.
surat berharga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1); dan
d. proses mark to market sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan
ayat (2),
masih tetap berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 2008.
BAB VII …
- 21 -
BAB VII
SANKSI
Pasal 33
Bank yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana diatur dalam
Pasal 2, Pasal 5, Pasal 7, Pasal 8 ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5) dan
ayat (6), Pasal 9, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16,
Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 25 ayat (1),
ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), Pasal 26 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 28,
Pasal 29, dan Pasal 30 dapat dikenakan sanksi administratif antara lain berupa:
a.
teguran tertulis;
b. pembekuan kegiatan usaha tertentu;
c. pencantuman pengurus dan atau pemegang saham Bank dalam daftar orang
yang dilarang menjadi pemegang saham dan pengurus Bank,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998.
Pasal 34
Bank yang melanggar ketentuan pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
31 dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam ketentuan yang berlaku tentang
Laporan Berkala Bank Umum.
Pasal 35
Bank yang melakukan perdagangan atas aset keuangan dalam kelompok tersedia
untuk dijual, yang dilakukan dengan pola menyerupai perdagangan atas aset
keuangan dalam kelompok diperdagangkan:
a. dalam …
- 22 -
a. dalam jumlah yang signifikan; dan/atau
b. dalam frekuensi yang tinggi,
tidak diperkenankan untuk mengelompokkan pembelian aset keuangan
berikutnya dalam kelompok tersedia untuk dijual, selama 6 (enam) bulan
terhitung sejak tanggal dikeluarkan surat pembinaan oleh Bank Indonesia.
Pasal 36
Dalam hal Bank melakukan tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35
untuk kedua kalinya, maka Bank tidak diperkenankan untuk mengelompokkan
pembelian aset keuangan berikutnya dalam kelompok tersedia untuk dijual
selama 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal dikeluarkan surat pembinaan oleh
Bank Indonesia.
Pasal 37
Dalam hal Bank melakukan tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35
lebih dari dua kali, maka Bank tidak diperkenankan untuk mengelompokkan
pembelian aset keuangan berikutnya dalam kelompok tersedia untuk dijual
selama 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal dikeluarkan surat pembinaan oleh
Bank Indonesia.
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 38
Ketentuan mengenai:
a. surat berharga dalam Trading Book sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4;
b. Sertifikat …
- 23 -
b. Sertifikat Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam penjelasan Pasal 9
huruf a;
c. proses valuasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), ayat (3), dan
ayat (4);
d. proses verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15, penyesuaian
terhadap hasil valuasi yang belum mencerminkan nilai wajar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16, dan penyesuaian terhadap valuasi atas posisi
yang kurang likuid sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, khusus bagi
Bank yang menggunakan Metode Standar dalam perhitungan Risiko Pasar;
dan
e. sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35, Pasal 36, dan Pasal 37,
mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 2009.
Pasal 39
Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, maka Peraturan
Bank Indonesia Nomor 5/12/PBI/2003 tanggal 17 Juli 2003 tentang Kewajiban
Penyediaan Modal Minimum Bank Umum Dengan Memperhitungkan Risiko
Pasar (Market Risk) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 40
Ketentuan lebih lanjut dari Peraturan Bank Indonesia ini akan diatur dalam Surat
Edaran Bank Indonesia.
Pasal 41
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar …
- 24 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 1 November 2007
GUBERNUR BANK INDONESIA,
BURHANUDDIN ABDULLAH
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2007 NOMOR 128
DPNP
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 9/13/PBI/2007
TENTANG
KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM BANK UMUM
DENGAN MEMPERHITUNGKAN RISIKO PASAR
UMUM
Dalam perhitungan kecukupan permodalan, bank perlu
mempertimbangkan risiko–risiko yang mungkin muncul dalam kegiatan usaha
bank. Risiko-risiko tersebut meliputi risiko kredit, risiko pasar, dan risiko
lainnya.
Dalam Capital Accord 1988, Basel Committee on Banking Supervision
dari Bank for Internasional Settlements menetapkan metode perhitungan
kecukupan permodalan yang memperhitungkan risiko kredit. Selanjutnya pada
tahun 1996, Basel Committee on Banking Supervision telah melakukan
amandemen terhadap Capital Accord dimaksud dengan memasukkan unsur
risiko pasar yang selanjutnya disempurnakan lagi pada tahun 2005. Capital
Accord 1988 dan 1996 disesuaikan pula dengan International Convergence of
Capital Measurement and Capital Standards: A Revised Framework atau yang
lebih dikenal Basel II.
Penerapan perhitungan kecukupan permodalan di Indonesia pada saat
ini telah mengakomodasi Capital Accord 1988 dan 1996 yang memperhitungkan
risiko kredit dan risiko pasar dalam perhitungan kecukupan permodalan bank
baik secara individual maupun secara konsolidasi dengan perusahaan anak.
Namun …
- 2 -
Namun, perhitungan risiko pasar untuk saat ini masih menggunakan metode
standar. Dalam Capital Accord 1996 yang telah disesuaikan kembali pada tahun
2005 serta dalam Basel II, perhitungan risiko pasar dapat dilakukan dengan
menggunakan metode standar (standard method) dan/atau model internal
(internal model).
Oleh karena itu, mengingat dalam Capital Accord 1996, 2005, dan Basel
II terdapat alternatif metode dalam penerapan perhitungan risiko pasar, maka
berdasarkan Peraturan Bank Indonesia ini, perhitungan kecukupan permodalan
bank untuk risiko pasar juga dapat menggunakan model internal (internal model)
sepanjang memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Dengan ketentuan ini maka perhitungan rasio KPMM secara
individual dilakukan dengan membandingkan modal dengan aktiva
tertimbang menurut risiko baik untuk risiko kredit maupun Risiko
Pasar.
Sedangkan untuk perhitungan rasio KPMM secara konsolidasi
dengan Perusahaan Anak dilakukan dengan membandingkan modal
secara konsolidasi dengan aktiva tertimbang menurut risiko secara
konsolidasi baik untuk risiko kredit maupun Risiko Pasar.
Ayat (2) …
- 3 -
Ayat (2)
Alokasi modal untuk perhitungan KPMM diprioritaskan untuk
memenuhi KPMM dengan memperhitungkan risiko kredit.
Yang dimaksud dengan ”ketentuan Bank Indonesia yang berlaku”
adalah Peraturan Bank Indonesia mengenai KPMM.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Perubahan cakupan surat berharga dalam Trading Book yaitu yang tidak
memperhitungkan kelompok yang tersedia untuk dijual, mulai berlaku
sejak tanggal 1 Januari 2009.
Pasal 7 …
- 4 -
Pasal 7
Yang dimaksud dengan “selamanya” adalah dalam hal Bank yang telah
memenuhi kriteria tetapi kemudian menjadi tidak memenuhi kriteria, Bank
tetap wajib memperhitungkan Risiko Pasar dalam KPMM.
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Dengan pengaturan ini maka paling kurang sebesar 28,5% (dua
puluh delapan setengah perseratus) dari Risiko Pasar
diperhitungkan dari Modal Inti yang tidak digunakan untuk
menutup risiko kredit sesuai ketentuan Bank Indonesia yang
berlaku mengenai KPMM.
Huruf b
Modal Inti dan Modal Pelengkap adalah modal yang memenuhi
persyaratan sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank
Indonesia yang berlaku mengenai KPMM.
Ayat (5)
Modal Pelengkap yang dapat ditambahkan adalah Modal Pelengkap
yang memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam ketentuan
Bank Indonesia yang berlaku mengenai KPMM.
Ayat (6) …
- 5 -
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 9
Huruf a
Instrumen keuangan yang terekspos Risiko Suku Bunga termasuk
Sertifikat Bank Indonesia dalam Trading Book.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 10
Perlakuan pengakuan dan pengukuran terhadap aset keuangan yang diukur
pada nilai wajar melalui laporan laba rugi mengacu pada Pernyataan
Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No. 55 (Revisi 2006) mengenai
Instrumen Keuangan: Pengakuan dan Pengukuran.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b …
- 6 -
Huruf b
Kriteria tersebut ditetapkan dengan memperhatikan antara lain:
1. persyaratan dan kondisi yang harus dipenuhi termasuk jangka
waktu kepemilikan/ holding period yang mengacu kepada
praktek yang berlaku secara umum (maksimal 90 hari);
2. kemungkinan restriksi hukum yang dapat menghambat terjadinya
perdagangan; dan
3. standar akuntansi keuangan yang berlaku.
Huruf c
Kebijakan pengelolaan portofolio antara lain meliputi penetapan dan
pemantauan limit, kewenangan pihak-pihak yang terkait dengan
pengelolaan portofolio, serta pemantauan dan pelaporan pengelolaan
portofolio.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Mekanisme tersebut mencakup antara lain:
1. pihak/petugas yang bertanggungjawab melakukan pengecekan;
2. frekuensi pengecekan;
3. verifikasi pemenuhan kriteria Trading Book.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Pasal 13 …
- 7 -
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Kebijakan dan prosedur tersebut meliputi antara lain penetapan
tanggung jawab yang jelas dari berbagai pihak yang terlibat dalam
penetapan valuasi, sumber informasi pasar, dan proses kaji ulang
terhadap kelayakan valuasi, frekuensi valuasi (secara harian),
penetapan waktu untuk valuasi akhir hari (closing price), prosedur
pelaksanaan dan penyampaian hasil verifikasi baik secara berkala
maupun insidentil , serta prosedur penyesuaian valuasi.
Sistem informasi manajemen dan pengendalian proses valuasi paling
kurang mencakup pendokumentasian kebijakan dan prosedur valuasi
yang telah ditetapkan serta alur pelaporan (reporting lines) yang jelas
bagi satuan kerja yang bertanggung jawab terhadap proses valuasi
dan verifikasi.
Ayat (3)
Kebijakan dan prosedur valuasi yang berlandaskan pada prinsip
kehati-hatian antara lain melakukan valuasi dengan memperhatikan
penerapan aspek-aspek manajemen risiko dan prosedur valuasi yang
wajar.
Pasal 14
Ayat (1)
Sesuai dengan standar akuntansi keuangan yang berlaku, yang
dimaksud dengan ”nilai wajar” adalah nilai dimana suatu aset dapat
dipertukarkan …
- 8 -
dipertukarkan atau suatu kewajiban diselesaikan antara pihak yang
memahami dan berkeinginan untuk melakukan transaksi wajar
(arms’s length transaction).
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan ”instrumen keuangan yang diperdagangkan
secara aktif” adalah apabila harga instrumen keuangan tersedia
sewaktu-waktu dan dapat diperoleh secara rutin di bursa, pedagang
efek (dealer), perantara efek (broker), atau agen lainnya, serta harga
tersebut merupakan harga yang terjadi dari transaksi aktual yang
dilakukan secara wajar (arm’s length basis).
Harga transaksi yang terjadi atau kuotasi harga pasar dari sumber
yang independen antara lain meliputi harga di bursa (exchange
prices), harga pada layar dealer (screen prices), atau kuotasi yang
paling konservatif yang diberikan oleh paling kurang 2 (dua) broker
dan/atau market maker yang memiliki reputasi baik, yang minimal
salah satunya adalah pihak independen.
Penggunaan sumber yang independen dilakukan secara konsisten
kecuali harga yang diperoleh tidak mencerminkan nilai wajar.
Ayat (3)
Huruf a
Yang dimaksud dengan ”bid price” adalah harga beli yang
dikuotasikan oleh sumber yang independen.
Huruf b
Yang dimaksud ”ask price (offer price)” adalah harga jual yang
dikuotasikan oleh sumber yang independen.
Ayat (4) …
- 9 -
Ayat (4)
Termasuk model/teknik penilaian antara lain:
a. penggunaan harga yang timbul dari transaksi yang terjadi dalam
10 (sepuluh) hari kerja terakhir;
b. penggunaan harga pasar dari instrumen lain yang memiliki
karakteristik (paling kurang jangka waktu, tingkat bunga/kupon,
peringkat, dan golongan penerbit) yang serupa;
c. analisis arus kas yang didiskonto (discounted cash flow);
d. model penetapan harga opsi (option pricing models); atau
e. model/teknik penilaian yang secara umum telah digunakan oleh
pelaku pasar dalam menetapkan harga instrumen.
Penerapan prinsip kehati-hatian dalam penggunaan model/teknik
penilaian antara lain memperhatikan pemisahan tugas dan kompetensi
pihak-pihak yang terlibat dalam pengembangan dan penggunaan
model, dan memastikan dilakukan kaji ulang akurasi model/teknik
penilaian oleh fungsi yang independen, serta prosedur dan
dokumentasi pengembangan dan perubahan model/teknik penilaian.
Pasal 15
Ayat (1)
Verifikasi dilakukan untuk memastikan keakuratan penyusunan
laporan laba rugi.
Verifikasi terhadap proses dan hasil valuasi paling kurang dilakukan
terhadap kewajaran harga pasar maupun informasi yang digunakan
sebagai input dalam model/teknik penilaian.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3) …
- 10 -
Ayat (3)
Penyesuaian dilaksanakan terhadap nilai instrumen keuangan dalam
neraca secara langsung yang selanjutnya mempengaruhi laporan
laba rugi.
Pasal 16
Penyesuaian hasil valuasi dilakukan berdasarkan pemantauan harian
maupun hasil verifikasi oleh pihak yang tidak ikut dalam pelaksanaan
valuasi.
Sebagai contoh, valuasi yang belum mencerminkan nilai wajar dapat terjadi
pada valuasi dengan menggunakan model/teknik penilaian.
Huruf a
Yang dimaksud dengan ”perubahan kondisi ekonomi yang
signifikan” antara lain perubahan kurva imbal hasil (yield curve)
secara signifikan diluar ekspektasi pasar.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Faktor sisa jangka waktu sampai dengan jatuh tempo diperhitungkan
mengingat semakin mendekati jatuh tempo, nilai instrumen keuangan
semakin mendekati nilai nominal.
Huruf d
Termasuk kondisi lainnya antara lain:
a. kemungkinan kerugian potensial yang timbul karena pihak lawan
tidak dapat memenuhi kewajibannya (unearned credit spreads).
b. kemungkinan …
- 11 -
b. kemungkinan perhitungan biaya atau penalti yang timbul karena
pelunasan lebih awal sebelum jatuh tempo (early termination).
c. terjadinya mismatch arus kas yang menyebabkan harga dapat
dipengaruhi oleh perhitungan biaya untuk meminjam dan
menginvestasikan dana (investing and funding costs).
d. terjadi kondisi tertentu yang mengakibatkan ketidakpastian
dalam model valuasi misalnya ketidakmampuan menangkap
perubahan dalam kondisi tidak normal.
Pasal 17
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “faktor-faktor tertentu” antara lain rata-rata
dan volatilitas volume perdagangan, rata-rata volatilitas dari rentang
kuotasi penawaran dan permintaan (bid/ask spreads), dan
ketersediaan kuotasi pasar.
Ayat (2)
Penyesuaian tidak akan mengurangi nilai instrumen keuangan dalam
neraca dan tidak mempengaruhi laporan laba rugi.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20 …
- 12 -
Pasal 20
Ayat (1)
Penggunaan lembaga pemeringkat dan peringkat yang diakui dalam
perhitungan Risiko Suku Bunga adalah dalam rangka menghitung
Risiko Spesifik.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 21
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan ”Posisi Devisa Neto” adalah Posisi Devisa
Neto sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang
berlaku mengenai posisi devisa neto.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 22
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “posisi ekuitas bruto” adalah
penjumlahan nilai absolut atas posisi long dan short
setiap
instrumen …
- 13 -
instrumen keuangan yang terekspos Risiko Ekuitas dari masing-
masing emiten pada setiap pasar keuangan.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “posisi ekuitas neto” adalah nilai
absolut dari selisih atas penjumlahan posisi
penjumlahan posisi short dari setiap instrumen keuangan yang
terekspos Risiko Ekuitas pada setiap pasar keuangan.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Termasuk dalam pengertian modifikasi atas penggunaan Model
Internal antara lain perubahan metodologi Model Internal, perubahan
teknologi sistem informasi, dan perluasan penggunaan Model
Internal.
Sebelum …
long dan
- 14 -
Sebelum modifikasi atas penggunaan Model Internal memperoleh
persetujuan dari Bank Indonesia, Bank tetap menggunakan Model
Internal yang telah disetujui untuk perhitungan KPMM.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 26
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan ”produk dan aktivitas baru” adalah produk
dan aktivitas baru sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank
Indonesia mengenai penerapan manajemen risiko.
Ayat (2)
Penggunaan Model Internal terhadap produk dan aktivitas baru
termasuk cakupan modifikasi Model Internal.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 27
Ayat (1)
Pemantauan dan evaluasi terhadap penggunaan Model Internal
mencakup antara lain pemenuhan persyaratan penggunaan Model
Internal, laporan back testing, dan laporan stress testing.
Ayat (2) …
- 15 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 28
Ayat (1)
Larangan ini berlaku untuk pengukuran Risiko Pasar terhadap produk
dan aktivitas yang telah disetujui menggunakan Model Internal.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Ayat (1)
Laporan perhitungan Risiko Pasar antara lain mencakup laporan
posisi yang diperhitungkan dalam Risiko Pasar, laporan perhitungan
rasio KPMM.
Ayat (2)
Laporan yang terkait dengan Model Internal antara lain mencakup
laporan perhitungan value at risk dan beban modal, laporan
perhitungan rasio KPMM, laporan back testing, serta laporan stress
testing.
Ayat (3) …
- 16 -
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Contoh:
Sesuai ketentuan mengenai Laporan Berkala Bank Umum, maka
laporan posisi bulan Maret 2008 wajib disampaikan dalam periode
penyampaian III yaitu tanggal 16 sampai dengan tanggal 21 bulan
April 2008.
Ayat (5)
Penyampaian secara off-line dilakukan dengan softcopy dan
hardcopy.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Yang dimaksud dengan jumlah yang signifikan adalah signifikan terhadap
total aset keuangan dalam kelompok tersedia untuk dijual.
Pasal 36 …
- 17 -
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4773
"," PBI
9/13/PBI/2007
KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM BANK UMUM DENGAN MEMPERHITUNGKAN RISIKO PASAR
1 November 2007
1 November 2007
'5/12/PBI/2003'
'7/UU/1992', '10/UU/1998', '23/UU/1999', '3/UU/2004', '3/21/PBI/2001', '8/6/PBI/2006'
'BAB VII'
"
" PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 7/ 48 /PBI/2005
TENTANG
PERUBAHAN KETIGA ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 2/24/PBI/2000 TENTANG
HUBUNGAN REKENING GIRO ANTARA BANK INDONESIA DENGAN
PIHAK EKSTERN
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa untuk mendukung kelancaran dan meningkatkan
keamanan penarikan rekening giro rupiah dan valuta asing
oleh pihak-pihak yang dapat membuka rekening giro di
Bank Indonesia, perlu diatur mengenai sarana penarikan
lain yang dapat digunakan untuk melakukan penarikan
rekening giro tersebut;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, dipandang perlu untuk melakukan
perubahan
atas
Peraturan Bank Indonesia Nomor
2/24/PBI/2000 tentang Hubungan Rekening Giro Antara
Bank Indonesia Dengan Pihak Ekstern (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 205, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4025)
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Bank
Indonesia Nomor 6/16/PBI/2004
(Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 56, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4391);
Mengingat …
-2-
Mengingat
:
1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara
1992
Republik
Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3790);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357);
3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4355);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan
:
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 2/24/PBI/2000
TENTANG
PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN BANK
INDONESIA
TENTANG
HUBUNGAN REKENING GIRO ANTARA BANK
INDONESIA DENGAN PIHAK EKSTERN.
Pasal …
-3-
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/24/PBI/2000
tentang Hubungan Rekening Giro Antara Bank Indonesia Dengan Pihak Ekstern
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 205, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4025) yang telah beberapa kali
diubah dengan Peraturan Bank Indonesia:
a. Nomor 3/11/PBI/2001 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001
Nomor 79, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4108);
b. Nomor 6/16/PBI/2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4391);
diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 15 diubah dan ditambah menjadi 5 (lima) ayat sehingga
secara keseluruhan berbunyi sebagai berikut :
Pasal 15
(1) Penarikan
Rekening Giro Rupiah yang
dimiliki oleh instansi
pemerintah dilakukan dengan menggunakan sarana sebagai berikut:
a. Cek BI;
b. BG BI;
c.
d.
sarana elektronik; dan
sarana penarikan lain.
(2) Sarana penarikan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d
berupa:
a.
sarana penarikan lain yang distandardisasi dan diterbitkan oleh
Pemegang Rekening Giro atau oleh instansi pemerintah yang
berwenang; atau
b. sarana …
-4-
b.
sarana penarikan lain yang distandardisasi dan diterbitkan oleh
Bank Indonesia.
(3) Sarana penarikan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a
harus memperoleh persetujuan Bank Indonesia dan memuat paling
sedikit hal-hal sebagai berikut:
a.
perintah bayar;
b. nomor Rekening Giro Rupiah dan nama Rekening Giro Rupiah
yang didebet di Bank Indonesia;
c. nomor
d.
e.
rekening dan nama rekening yang dikredit di Bank
Indonesia atau di Bank Umum;
nilai nominal dalam angka dan huruf; dan
tempat dan tanggal penarikan.
(4) Sarana penarikan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a
harus memenuhi spesifikasi sebagai berikut:
a.
b.
kertas standar sesuai ketentuan intern Pemegang Rekening Giro
atau instansi pemerintah yang berwenang; dan
terdapat logo atau identitas dari Pemegang Rekening Giro atau
instansi pemerintah yang berwenang.
(5) Ketentuan mengenai prosedur pemberian persetujuan atas sarana
penarikan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (3), serta sarana
penarikan lain yang distandardisasi dan diterbitkan oleh Bank
Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b diatur dengan
Surat Edaran Bank Indonesia.
2. Ketentuan Pasal 16 diubah dan ditambah menjadi 2 (dua) ayat sehingga
secara keseluruhan berbunyi sebagai berikut:
Pasal 16
(1) Penarikan Rekening Giro Valas oleh instansi pemerintah tidak boleh
melebihi Saldo Efektif kecuali apabila terdapat kesepakatan lain
diantara …
-5-
diantara instansi
pemerintah
dan Bank
Indonesia dengan
memperhatikan ketentuan Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang No. 23
Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang No. 3 Tahun 2004.
(2) Rekening Giro Valas yang dimiliki oleh instansi pemerintah tidak
dapat ditarik secara tunai.
3. Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 17
(1) Penarikan Rekening Giro Valas yang dimiliki oleh instansi pemerintah
dilakukan dengan menggunakan sarana sebagai berikut:
a.
sarana penarikan yang distandardisasi dan diterbitkan oleh
Pemegang Rekening Giro atau oleh instansi pemerintah yang
berwenang; atau
b.
sarana penarikan yang distandardisasi dan diterbitkan oleh Bank
Indonesia.
(2) Sarana penarikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus
memperoleh persetujuan Bank Indonesia dan memuat paling sedikit
hal-hal sebagai berikut:
a.
perintah bayar;
b. nomor Rekening Giro Valas dan nama Rekening Giro Valas
yang didebet di Bank Indonesia;
c. nomor
d.
e.
rekening dan nama rekening yang dikredit di Bank
Indonesia atau di Bank Umum;
nilai nominal dalam angka dan huruf; dan
tempat dan tanggal penarikan.
(3) Sarana penarikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus
memenuhi spesifikasi sebagai berikut:
a. kertas …
-6-
a.
b.
kertas standar sesuai ketentuan intern Pemegang Rekening Giro
atau instansi pemerintah yang berwenang; dan
terdapat logo atau identitas dari Pemegang Rekening Giro atau
instansi pemerintah yang berwenang.
(4) Ketentuan mengenai prosedur pemberian persetujuan atas sarana
penarikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), serta sarana penarikan
yang distandardisasi dan diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b diatur dengan Surat Edaran Bank
Indonesia.
4. Ketentuan Pasal 19 diubah dan ditambah menjadi 2 (dua) ayat sehingga
secara keseluruhan berbunyi sebagai berikut:
Pasal 19
(1) Penarikan atas Rekening Giro Rupiah yang dimiliki oleh bukan
instansi pemerintah dilakukan dengan menggunakan sarana sebagai
berikut:
a. Cek BI;
b. BG BI;
c.
d.
sarana elektronik; dan
sarana penarikan lain.
(2) Ketentuan mengenai sarana penarikan lain sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf d diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia.
5. Ketentuan Pasal 20 diubah dan ditambah menjadi 2 (dua) ayat sehingga
secara keseluruhan berbunyi sebagai berikut:
Pasal 20
(1) Pemegang Rekening Giro Valas bukan instansi pemerintah dapat
melakukan pendebetan dengan jumlah paling banyak sebesar jumlah
Saldo Efektif.
(2) Rekening …
-7-
(2) Rekening Giro Valas yang dimiliki oleh bukan instansi pemerintah
tidak dapat ditarik secara tunai.
6. Ketentuan Pasal 21 diubah dan ditambah menjadi 2 (dua) ayat sehingga
secara keseluruhan berbunyi sebagai berikut:
Pasal 21
(1) Penarikan atas Rekening Giro Valas oleh Pemegang Rekening Giro
bukan instansi pemerintah dilakukan melalui pemindahbukuan dengan
menggunakan sarana sebagai berikut:
a. SWIFT
(Society
b.
Telecommunication);
Teleks; dan
c. Sarana penarikan lain yang distandardisasi dan diterbitkan oleh
Bank Indonesia.
(2) Ketentuan mengenai sarana penarikan lain yang distandardisasi dan
diterbitkan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
c diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal II
(1) Sarana penarikan Rekening Giro Valas dan/atau Rekening Giro Rupiah
berupa surat masih dapat digunakan oleh Pemegang Rekening Giro sebagai
sarana penarikan paling lama 2 (dua)
Bank Indonesia ini.
(2) Dalam hal sarana penarikan yang distandardisasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 15 ayat (2), Pasal 17 ayat (1) dan Pasal 21 ayat (1) huruf c telah
diterbitkan sebelum berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), sarana penarikan berupa surat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak dapat digunakan sebagai sarana penarikan.
(3) Sepanjang …
For Worldwide
Interbank
Financial
tahun sejak berlakunya Peraturan
-8-
(3) Sepanjang Surat Edaran Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 15 ayat (5) dan Pasal 17 ayat (4) belum diterbitkan, maka prosedur
pemberian persetujuan penggunaan sarana penarikan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15 ayat (3) dan Pasal 17 ayat (2) mengacu pada Surat
Edaran Bank Indonesia No. 4/11/DASP tanggal 13 Agustus 2002 perihal
Hubungan Rekening Giro Antara Bank Indonesia dengan Pihak Ekstern.
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 16 November 2005
GUBERNUR BANK INDONESIA,
BURHANUDDIN ABDULLAH
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2005 NOMOR 131
DASP
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 7/ 48 /PBI/2005
TENTANG
PERUBAHAN KETIGA ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 2/24/PBI/2000 TENTANG
HUBUNGAN REKENING GIRO ANTARA BANK INDONESIA DENGAN
PIHAK EKSTERN
PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Pasal 15
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “sarana elektronik” adalah suatu
fasilitas yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dengan
memanfaatkan teknologi komputer guna melakukan
penarikan dana secara tunai dari satu Rekening Giro atau
pemindahan dana dari satu Rekening Giro ke Rekening
Giro lainnya. Sarana elektronik tersebut antara lain adalah
sistem transfer dana yang penyelesaiannya dilakukan
secara …
-2-
secara individual atau per transaksi (Sistem Real Time
Gross Settlement).
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “instansi pemerintah yang
berwenang” adalah instansi yang membawahi Pemegang
Rekening Giro.
Sarana penarikan lain tersebut antara lain Surat Perintah
Pencairan Dana (SP2D) dan Surat Perintah Pembebanan
SP2D (SPB SP2D).
Sarana penarikan ini merupakan pengganti dari Surat
Perintah Membayar Giro Bank (SPMGB)
Perintah Pembebanan (SPB-SPM).
dan
Huruf b
Yang dimaksud dengan “sarana penarikan lain yang
distandardisasi dan diterbitkan oleh Bank Indonesia”
adalah sarana penarikan yang disediakan oleh Bank
Indonesia untuk digunakan oleh Pemegang Rekening Giro
dalam kondisi
dimana Pemegang Rekening Giro atau
instansi pemerintah yang berwenang tidak menetapkan
sarana penarikan yang distandardisasi sebagaimana
dimaksud dalam huruf a atau sarana penarikan yang telah
distandardisasi oleh Pemegang Rekening Giro atau
instansi pemerintah yang berwenang tersebut tidak tepat
digunakan untuk transaksi penarikan tertentu. Dalam hal
Bank …
Surat
-3-
Bank Indonesia bertindak sebagai penerima kuasa dari
Pemegang Rekening Giro
atau menjalankan tugas
berdasarkan ketentuan yang berlaku maka sarana
penarikan Rekening Giro yang digunakan adalah sarana
penarikan Rekening Giro yang ditetapkan Bank Indonesia
secara internal.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 16
Ayat (1)
Dalam hal terdapat kesepakatan antara instansi pemerintah dan
Bank Indonesia maka instansi pemerintah tersebut dimungkinkan
melakukan penarikan melebihi Saldo Efektifnya sepanjang pada
akhir hari saldo negatif tersebut dapat diselesaikan baik dengan
memindahkan saldo negatif tersebut kepada rekening instansi
pemerintah lainnya yang ditunjuk atau dengan pengkreditan dari
rekening instansi pemerintah lainnya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 17
Ayat (1)
Huruf a
Yang …
-4-
Yang dimaksud dengan “instansi pemerintah yang
berwenang” adalah instansi yang membawahi Pemegang
Rekening Giro.
Sarana penarikan dalam huruf ini antara lain Surat Perintah
Pencairan Dana (SP2D).
Sarana penarikan ini merupakan pengganti dari Surat
Perintah Membayar Giro Bank (SPMGB), Surat Perintah
Pembebanan
(SPB-SPM),
Surat
Perintah Membayar
Rekening Khusus (SPMRK) dan Surat Kuasa membayar
atas beban rekening khusus untuk Letter
(SPMRK L/C).
Huruf b
Yang dimaksud dengan “sarana penarikan yang
distandardisasi dan diterbitkan oleh Bank Indonesia”
adalah sarana penarikan yang disediakan oleh Bank
Indonesia untuk digunakan oleh Pemegang Rekening Giro
dalam kondisi dimana Pemegang Rekening Giro atau
instansi pemerintah yang berwenang tidak menetapkan
sarana penarikan yang distandardisasi sebagaimana
dimaksud dalam huruf a atau sarana penarikan yang telah
distandardisasi oleh Pemegang Rekening Giro atau
instansi pemerintah yang berwenang tersebut tidak tepat
digunakan untuk transaksi penarikan tertentu.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat …
of Credit
-5-
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 19
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “sarana elektronik” adalah suatu
fasilitas yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dengan
memanfaatkan teknologi komputer guna melakukan
penarikan dana secara tunai dari satu Rekening Giro atau
pemindahan dana dari satu Rekening Giro ke Rekening
Giro lainnya. Sarana elektronik tersebut antara lain adalah
sistem transfer dana yang penyelesaiannya dilakukan
secara individual atau per transaksi (Sistem Real Time
Gross Settlement).
Huruf d
Yang dimaksud dengan ”sarana penarikan lain” antara lain
adalah:
1. Teleks yang digunakan untuk pembukuan hasil kliring
oleh penyelenggara kliring lokal di tempat yang tidak
terdapat Kantor Bank Indonesia;
2. SWIFT …
-6-
2. SWIFT, yang digunakan khusus untuk sarana
penarikan Rekening Giro oleh Lembaga Keuangan
Internasional; dan
3. Sarana penarikan yang distandardisasi dan diterbitkan
oleh Bank Indonesia. Sarana penarikan ini hanya dapat
digunakan
apabila sarana
penarikan
sebagaimana
dimaksud pada Pasal 19 ayat (1) huruf a, huruf b, dan
huruf c tidak tepat digunakan untuk transaksi penarikan
tertentu.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “SWIFT (Society For Worldwide
Interbank Financial Telecommunication)” adalah suatu
jaringan internasional untuk keperluan pemindahan dana
dan atau pertukaran berita dengan menggunakan teknologi
komputer antar bank dan lembaga-lembaga keuangan
bukan bank yang menjadi anggotanya.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf …
-7-
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal II
Ayat (1)
Penetapan jangka waktu 2 (dua) tahun diperlukan sebagai masa
transisi dalam rangka memberikan kesempatan kepada
Pemegang Rekening Giro terkait dan kepada Bank Indonesia
untuk menyesuaikan proses standardisasi dan penerbitan sarana
penarikan lain dengan mengacu pada Peraturan Bank Indonesia
ini serta untuk melakukan sosialisasi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
-8-
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR
4570
"," PBI
7/48/PBI/2005
PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 2/24/PBI/2000 TENTANG HUBUNGAN REKENING GIRO ANTARA BANK INDONESIA DENGAN PIHAK EKSTERN
16 November 2005
16 November 2005
'2/24/PBI/2000'
'6/16/PBI/2004', '3/11/PBI/2011'
'23/UU/1999', '1/UU/2004', '3/UU/2004', '7/UU/1992', '10/UU/1998'
"
" PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 12/ 25 /PBI/2010
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 11/21/PBI/2009 TENTANG PENGELUARAN DAN PENGEDARAN
UANG KERTAS RUPIAH PECAHAN 2.000 (DUA RIBU)
TAHUN EMISI 2009
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa pengeluaran dan pengedaran uang rupiah ditujukan
untuk menyediakan uang tunai di masyarakat sebagai alat
pembayaran yang sah (legal tender) di Negara Kesatuan
Republik Indonesia;
b. bahwa Bank Indonesia telah memiliki Gubernur Bank
Indonesia yang definitif, sehingga diperlukan perubahan
penandatanganan pada uang rupiah;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan huruf b, perlu untuk melakukan
perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor
11/21/PBI/2009 tentang Pengeluaran dan Pengedaran Uang
Kertas Rupiah Pecahan 2.000 (Dua Ribu) Tahun Emisi
2009;
Mengingat : 1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999
tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran
Negara . . .
-2-
Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan
Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia Menjadi Undang-Undang (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4962);
2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/14/PBI/2004 tentang
Pengeluaran, Pengedaran, Pencabutan dan Penarikan, serta
Pemusnahan Uang Rupiah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 52, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4388) sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor
9/10/PBI/2007 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2007 Nomor 113, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4762);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 11/21/PBI/2009 TENTANG PENGELUARAN DAN
PENGEDARAN UANG KERTAS RUPIAH PECAHAN 2.000
(DUA RIBU) TAHUN EMISI 2009.
Pasal . . .
-3-
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/21/PBI/2009
tentang Pengeluaran dan Pengedaran Uang Kertas Rupiah Pecahan 2.000 (Dua
Ribu) Tahun Emisi 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 98) diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 4
Ciri uang rupiah pecahan 2.000 (dua ribu) sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1, untuk tahun pencetakan sampai dengan bulan November tahun 2010
adalah:
a. Warna
bagian muka dan bagian belakang uang dicetak dengan warna dominan
abu-abu.
b. Gambar
1. bagian muka
a) gambar utama berupa gambar Pahlawan Nasional Pangeran
Antasari dan di bawahnya dicantumkan tulisan “PANGERAN
ANTASARI”;
b) pada sebelah kiri gambar utama dan di tepi kiri dan kanan
bagian tengah terdapat gambar ornamen daerah Kalimantan,
serta pada bagian tepi kanan atas dan bawah terdapat garis
melengkung berwarna kuning yang akan memendar hijau
kekuningan di bawah sinar ultra violet;
c) pada sebelah kiri bawah gambar utama dengan arah horizontal
terdapat tulisan “BANK INDONESIA” dan di bawah tulisan
tersebut terdapat tulisan “DUA RIBU RUPIAH”;
d) pada . . .
-4-
d) pada sebelah kiri atas gambar utama dengan arah horizontal dan
pada sebelah kanan tanda air dengan arah vertikal, terdapat
angka nominal “2000”;
e) pada sebelah kiri gambar utama, di bawah angka nominal
“2000” terdapat gambar saling isi (rectoverso) yang apabila
diterawangkan ke arah cahaya akan terlihat logo Bank Indonesia
secara utuh;
f) pada sebelah kiri gambar utama, di bawah gambar saling isi
(rectoverso) terdapat kode tuna netra yang berbentuk sebuah
kotak persegi panjang;
g) pada sebelah kanan atas gambar utama terdapat gambar
tersembunyi (latent image) tulisan BI dalam bingkai persegi
panjang berbentuk ornamen daerah Kalimantan yang dapat
dilihat dari sudut pandang tertentu;
h) pada sebelah kanan atas gambar utama terdapat gambar
Lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia, yaitu Garuda
Pancasila;
i) pada sebelah kanan bawah gambar utama terdapat angka tahun
pencetakan “2009” (angka 2009 akan berubah sesuai dengan
tahun pencetakan uang), tulisan “DEWAN GUBERNUR”, tanda
tangan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia beserta tulisan
“DEPUTI GUBERNUR SENIOR”, dan tanda tangan Deputi
Gubernur Bank Indonesia beserta tulisan “DEPUTI
GUBERNUR”;
j) sebagai latar belakang dan pengisi bidang terdiri dari garis-garis
bergelombang, miring, dan rangkaian garis melengkung yang
membentuk ornamen daerah Kalimantan;
k) mikroteks yaitu teks yang hanya dapat dibaca dengan bantuan
kaca pembesar terdapat:
1) pada . . .
-5-
1) pada sebelah kiri gambar utama yang mengisi angka
nominal “2000” berupa tulisan BANKINDONESIA;
2) pada sebelah kiri atas dan bawah gambar utama berupa
tulisan BANKINDONESIA membentuk ornamen daerah
Kalimantan;
3) di tepi ornamen daerah Kalimantan berupa tulisan
DUARIBURUPIAH dalam bentuk melingkar;
4) di tepi kiri dan kanan bagian tengah berupa tulisan
BANKINDONESIA yang tersusun horizontal;
l) miniteks yaitu teks dengan ukuran kecil yang dapat dibaca tanpa
bantuan kaca pembesar terdapat di atas dan di bawah tanda air
berupa tulisan BANKINDONESIA yang berbentuk lengkungan
dengan ukuran teks yang berbeda.
2. bagian belakang
a) gambar utama berupa gambar Tarian Adat Dayak, Kalimantan
dan pada sebelah kanannya dicantumkan tulisan “TARIAN
ADAT DAYAK”;
b) pada sebelah kanan atas gambar utama terdapat tulisan “BANK
INDONESIA”;
c) di bawah gambar utama terdapat tulisan “DENGAN RAHMAT
TUHAN YANG MAHA ESA, BANK INDONESIA
MENGELUARKAN UANG SEBAGAI ALAT
PEMBAYARAN YANG SAH DENGAN NILAI DUA RIBU
RUPIAH”;
d) pada sebelah kanan bawah dengan arah horizontal dan pada
sebelah kiri atas dengan arah vertikal terdapat angka nominal
“2000”;
e) nomor seri yang terdiri dari 3 (tiga) huruf dan 6 (enam) angka
terletak pada sebelah kiri bawah uang yang dicetak dengan tinta
berwarna hitam yang akan memendar hijau di bawah sinar ultra
violet . . .
-6-
violet dan pada sebelah kanan atas di bawah tulisan
“BANKINDONESIA” dicetak dengan tinta berwarna merah
yang akan memendar oranye di bawah sinar ultra violet;
f) pada sebelah kanan atas di bawah nomor seri terdapat gambar
saling isi (rectoverso) yang apabila diterawangkan ke arah
cahaya akan terlihat logo Bank Indonesia secara utuh;
g) pada sebelah kanan bawah terdapat tulisan nama perusahaan
percetakan uang atau pemasok uang, dan angka tahun emisi
“2009”;
h) mikroteks yaitu teks yang hanya dapat dibaca dengan bantuan
kaca pembesar terdapat:
1) di tepi kiri dan kanan bagian tengah berupa tulisan
BANKINDONESIA yang tersusun horizontal;
2) di tepi kanan gambar utama berupa tulisan
BANKINDONESIA yang membentuk garis vertikal;
3) pada sebelah kanan bawah gambar utama yang mengisi
angka nominal “2000” berupa tulisan BANKINDONESIA;
i) miniteks yaitu teks dengan ukuran kecil yang dapat dibaca tanpa
bantuan kaca pembesar terdapat di atas dan di bawah tanda air
berupa tulisan BANKINDONESIA yang berbentuk garis
melengkung dengan warna dan ukuran teks yang berbeda.
c. Bahan
kertas uang memiliki spesifikasi sebagai berikut:
1. terbuat dari serat kapas;
2. ukuran panjang 141 mm dan lebar 65 mm;
3. warna abu-abu;
4. tidak memendar di bawah sinar ultra violet;
5. tanda air berupa gambar Pahlawan Nasional Pangeran Antasari;
6. benang pengaman tertanam dan memuat tulisan “BI2000” berulang-
ulang.
2. Di antara . . .
-7-
2. Di antara Pasal 4 dan Pasal 5 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 4A yang
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 4A
Ciri uang rupiah pecahan 2.000 (dua ribu) sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1, untuk tahun pencetakan mulai bulan Desember tahun 2010 adalah:
a. Warna
bagian muka dan bagian belakang uang dicetak dengan warna dominan
abu-abu.
b. Gambar
1. bagian muka
a) gambar utama berupa gambar Pahlawan Nasional Pangeran
Antasari dan di bawahnya dicantumkan tulisan “PANGERAN
ANTASARI”;
b) pada sebelah kiri gambar utama dan di tepi kiri dan kanan
bagian tengah terdapat gambar ornamen daerah Kalimantan,
serta pada bagian tepi kanan atas dan bawah terdapat garis
melengkung berwarna kuning yang akan memendar hijau
kekuningan di bawah sinar ultra violet;
c) pada sebelah kiri bawah gambar utama dengan arah horizontal
terdapat tulisan “BANK INDONESIA” dan di bawah tulisan
tersebut terdapat tulisan “DUA RIBU RUPIAH”;
d) pada sebelah kiri atas gambar utama dengan arah horizontal dan
pada sebelah kanan tanda air dengan arah vertikal, terdapat
angka nominal “2000”;
e) pada sebelah kiri gambar utama, di bawah angka nominal
“2000” terdapat gambar saling isi (rectoverso) yang apabila
diterawangkan ke arah cahaya akan terlihat logo Bank Indonesia
secara utuh;
f) pada ...
-8-
f) pada sebelah kiri gambar utama, di bawah gambar saling isi
(rectoverso) terdapat kode tuna netra yang berbentuk sebuah
kotak persegi panjang;
g) pada sebelah kanan atas gambar utama terdapat gambar
tersembunyi (latent image) tulisan BI dalam bingkai persegi
panjang berbentuk ornamen daerah Kalimantan yang dapat
dilihat dari sudut pandang tertentu;
h) pada sebelah kanan atas gambar utama terdapat gambar
Lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia, yaitu Garuda
Pancasila;
i) pada sebelah kanan bawah gambar utama terdapat angka tahun
pencetakan “2010” (angka 2010 akan berubah sesuai dengan
tahun pencetakan uang), tulisan “DEWAN GUBERNUR”, tanda
tangan Gubernur Bank Indonesia beserta tulisan
“GUBERNUR”, dan tanda tangan Deputi Gubernur Bank
Indonesia beserta tulisan “DEPUTI GUBERNUR”;
j) sebagai latar belakang dan pengisi bidang terdiri dari garis-garis
bergelombang, miring, dan rangkaian garis melengkung yang
membentuk ornamen daerah Kalimantan;
k) mikroteks yaitu teks yang hanya dapat dibaca dengan bantuan
kaca pembesar terdapat:
1) pada sebelah kiri gambar utama yang mengisi angka
nominal “2000” berupa tulisan BANKINDONESIA;
2) pada sebelah kiri atas dan bawah gambar utama berupa
tulisan BANKINDONESIA membentuk ornamen daerah
Kalimantan;
3) di tepi ornamen daerah Kalimantan berupa tulisan
DUARIBURUPIAH dalam bentuk melingkar;
4) di tepi . . .
-9-
4) di tepi kiri dan kanan bagian tengah berupa tulisan
BANKINDONESIA yang tersusun horizontal;
l) miniteks yaitu teks dengan ukuran kecil yang dapat dibaca tanpa
bantuan kaca pembesar terdapat di atas dan di bawah tanda air
berupa tulisan BANKINDONESIA yang berbentuk lengkungan
dengan ukuran teks yang berbeda.
2. bagian belakang
a) gambar utama berupa gambar Tarian Adat Dayak, Kalimantan
dan pada sebelah kanannya dicantumkan tulisan “TARIAN
ADAT DAYAK”;
b) pada sebelah kanan atas gambar utama terdapat tulisan “BANK
INDONESIA”;
c) di bawah gambar utama terdapat tulisan “DENGAN RAHMAT
TUHAN YANG MAHA ESA, BANK INDONESIA
MENGELUARKAN UANG SEBAGAI ALAT
PEMBAYARAN YANG SAH DENGAN NILAI DUA RIBU
RUPIAH”;
d) pada sebelah kanan bawah dengan arah horizontal dan pada
sebelah kiri atas dengan arah vertikal terdapat angka nominal
“2000”;
e) nomor seri yang terdiri dari 3 (tiga) huruf dan 6 (enam) angka
terletak pada sebelah kiri bawah uang yang dicetak dengan tinta
berwarna hitam yang akan memendar hijau di bawah sinar ultra
violet dan pada sebelah kanan atas di bawah tulisan
“BANKINDONESIA” dicetak dengan tinta berwarna merah
yang akan memendar oranye di bawah sinar ultra violet;
f) pada ...
-10-
f) pada sebelah kanan atas di bawah nomor seri terdapat gambar
saling isi (rectoverso) yang apabila diterawangkan ke arah
cahaya akan terlihat logo Bank Indonesia secara utuh;
g) pada sebelah kanan bawah terdapat tulisan nama perusahaan
percetakan uang atau pemasok uang, dan angka tahun emisi
“2009”;
h) mikroteks yaitu teks yang hanya dapat dibaca dengan bantuan
kaca pembesar terdapat:
1) di tepi kiri dan kanan bagian tengah berupa tulisan
BANKINDONESIA yang tersusun horizontal;
2) di tepi kanan gambar utama berupa tulisan
BANKINDONESIA yang membentuk garis vertikal;
3) pada sebelah kanan bawah gambar utama yang mengisi
angka nominal “2000” berupa tulisan BANKINDONESIA;
i) miniteks yaitu teks dengan ukuran kecil yang dapat dibaca tanpa
bantuan kaca pembesar terdapat di atas dan di bawah tanda air
berupa tulisan BANKINDONESIA yang berbentuk garis
melengkung dengan warna dan ukuran teks yang berbeda.
c. Bahan
kertas uang memiliki spesifikasi sebagai berikut:
1. terbuat dari serat kapas;
2. ukuran panjang 141 mm dan lebar 65 mm;
3. warna abu-abu;
4. tidak memendar di bawah sinar ultra violet;
5. tanda air berupa gambar Pahlawan Nasional Pangeran Antasari;
6. benang pengaman tertanam dan memuat tulisan “BI2000” berulang-
ulang.
Pasal . . .
-11-
Pasal II
Uang kertas rupiah pecahan 2.000 (dua ribu) tahun emisi 2009 yang dikeluarkan
oleh Bank Indonesia sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, masih
tetap berlaku sepanjang belum dicabut dan ditarik dari peredaran.
Pasal III
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Ditetapkan . . .
-12-
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 30 Desember 2010
GUBERNUR BANK INDONESIA,
DARMIN NASUTION
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 30 Desember 2010
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
PATRIALIS AKBAR
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 158
DPU
"," PBI
12/25/PBI/2010
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 11/21/PBI/2009 TENTANG PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG KERTAS RUPIAH PECAHAN 2.000 (DUA RIBU) TAHUN EMISI 2009
30 Desember 2010
30 Desember 2010
30 Desember 2010
'11/21/PBI/2009'
'6/UU/2009', '23/UU/1999', '6/14/PBI/2004', '2/PERPPU/2008', '9/10/PBI/2007'
"
" PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 6/ 28 /PBI/2004
TENTANG
PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG KERTAS RUPIAH
PECAHAN 100.000 (SERATUS RIBU) TAHUN EMISI 2004
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa peningkatan kegiatan masyarakat dalam melakukan
transaksi tunai, perlu didukung dengan ketersediaan uang
rupiah yang memadai dan mudah dikenali ciri-ciri
keasliannya sebagai alat pembayaran;
b. bahwa ketersediaan uang rupiah yang memadai dan mudah
dikenali ciri-ciri keasliannya tersebut, dipandang perlu untuk
meningkatkan unsur pengaman pada uang rupiah pecahan
100.000 (seratus ribu);
c. bahwa untuk meningkatkan unsur pengaman pada uang
rupiah pecahan 100.000 (seratus ribu), dipandang perlu
untuk mengeluarkan dan mengedarkan uang kertas rupiah
pecahan 100.000 (seratus ribu) tahun emisi 2004;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b dan huruf c, perlu menetapkan
Peraturan Bank
Indonesia tentang
Pengeluaran dan
Pengedaran Uang Kertas Rupiah Pecahan 100.000 (seratus
ribu) Tahun Emisi 2004.
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia .....
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357);
2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/14/PBI/2004 tanggal 22
Juni 2004 tentang Pengeluaran, Pengedaran, Pencabutan dan
Penarikan serta Pemusnahan Uang Rupiah
(Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 52,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4388 );
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
PERATURAN BANK INDONESIA
TENTANG
PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG KERTAS
RUPIAH PECAHAN 100.000 (SERATUS RIBU) TAHUN
EMISI 2004.
Pasal 1
Bank Indonesia mengeluarkan dan mengedarkan uang rupiah pecahan 100.000
(seratus ribu) tahun emisi 2004 sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah
negara Republik Indonesia.
Pasal 2
Macam uang rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 merupakan jenis uang
kertas yang terbuat dari bahan serat kapas.
Pasal 3 .....
Pasal 3
Harga uang rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 mempunyai nilai
nominal Rp100.000 (seratus ribu rupiah).
Pasal 4
Ciri uang rupiah pecahan 100.000 (seratus ribu) sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1 adalah :
a. warna
bagian muka dan bagian belakang uang dicetak dengan warna dominan
merah;
b. gambar
1. bagian muka
a) gambar utama berupa gambar Proklamator dan di bawahnya
dicantumkan tulisan “DR. IR. SOEKARNO” dan “DR. H.
MOHAMMAD HATTA”;
b) di antara gambar Proklamator terdapat tulisan “Teks Proklamasi
Republik Indonesia” dengan latar belakang Bendera Negara Republik
Indonesia;
c) di sebelah kiri gambar utama terdapat gambar Gedung Proklamasi;
d) di sebelah kiri bawah gambar utama dengan arah horizontal terdapat
tulisan “BANK INDONESIA” dan di bawah tulisan tersebut terdapat
tulisan “SERATUS RIBU RUPIAH”;
e) di sebelah kiri atas gambar utama dengan arah horizontal dan di
sebelah kanan tanda air dengan arah vertikal, terdapat angka nominal
“100000”;
f) di atas .....
f) di atas bagian kiri gambar Gedung Proklamasi terdapat gambar saling
isi (rectoverso) yang apabila diterawangkan ke arah cahaya akan
terlihat logo Bank Indonesia secara utuh;
g) di sebelah kanan atas gambar utama terdapat gambar Lambang Negara
Garuda Pancasila;
h) di sebelah kanan bawah terdapat logo Bank Indonesia di dalam bidang
segi lima yang dicetak dengan tinta khusus (optical variable ink) yang
akan berubah warna dari warna kuning keemasan menjadi hijau
apabila dilihat dari sudut pandang tertentu;
i) di sebelah kanan gambar utama terdapat angka tahun emisi “2004”,
tulisan “DEWAN GUBERNUR”, tanda tangan Gubernur Bank
Indonesia (Burhanuddin Abdullah) beserta tulisan “GUBERNUR”,
dan tanda tangan Deputi Gubernur Bank Indonesia (Aulia Pohan)
beserta tulisan “DEPUTI GUBERNUR”;
j) sebagai latar belakang dan pengisi bidang terdiri dari garis-garis
bergelombang, miring, dan rangkaian garis melengkung
membentuk ornamen tertentu;
yang
k) mikroteks dengan tulisan “Bank Indonesia” atau “BI” dan hanya dapat
dibaca dengan bantuan kaca pembesar terdapat di :
1) tepi kiri atas, tepi kiri tengah dan tepi kiri bawah yang membentuk
pola dasar uang dengan warna teks yang berbeda;
2) bagian tengah, di bawah teks proklamasi berbentuk lengkungan;
3) sebelah kanan gambar Proklamator DR. H. Mohammad Hatta yang
membentuk gambar bunga teratai;
4) sebelah kanan atas di sekitar gambar burung garuda dan di sebelah
kanan di bawah tanda tangan Dewan Gubernur berbentuk
lengkungan dengan ukuran teks yang berbeda yaitu dari besar ke
kecil;
5) tepi .....
5) tepi kanan atas, tepi kanan tengah dan tepi kanan bawah yang
membentuk pola dasar uang dengan warna teks yang berbeda.
2. bagian belakang
a) gambar utama berupa gambar Gedung Majelis Permusyawaratan
Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia;
b) di sebelah kanan atas gambar utama terdapat tulisan “BANK
INDONESIA”;
c) di sebelah atas gambar utama terdapat gambar Peta Kepulauan
Indonesia yang akan memendar kekuningan di bawah sinar ultra
violet;
d) di sebelah bawah gambar utama terdapat tulisan “DENGAN
RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, BANK INDONESIA
MENGELUARKAN UANG SEBAGAI ALAT PEMBAYARAN
YANG SAH DENGAN NILAI SERATUS RIBU RUPIAH”;
e) di sebelah kanan bawah dengan arah horizontal dan di sebelah kiri atas
dengan arah vertikal terdapat angka nominal “100000”;
f) nomor seri yang terdiri dari 3 (tiga) huruf dan 6 (enam) angka terletak
di sebelah kiri bawah uang yang dicetak dengan tinta berwarna hitam
yang akan memendar kehijauan di bawah sinar ultra violet dan di
sebelah kanan atas di bawah tulisan “BANK INDONESIA” dicetak
dengan tinta berwarna merah yang akan memendar kekuningan di
bawah sinar ultra violet;
g) di sebelah kanan atas di bawah nomor seri terdapat gambar saling isi
(rectoverso) yang apabila diterawangkan ke arah cahaya akan terlihat
logo Bank Indonesia secara utuh;
h) di sebelah kanan bawah tepat di bawah angka nominal “100000”
terdapat tulisan “PERUM PERCETAKAN UANG RI IMP. 2004”;
i) di atas .....
i) di atas tanda air, terdapat cetakan tidak kasat mata berupa gambar
gedung MPR/DPR yang akan memendar kemerahan di bawah sinar
ultra violet ;
j) di sebelah kiri atas gambar utama, terdapat cetakan tidak kasat mata
berupa angka nominal “100000” yang
kehijauan di bawah sinar ultra violet;
akan memendar kuning
k) mikroteks dengan tulisan “Bank Indonesia” atau “BI” dan hanya dapat
dibaca dengan bantuan kaca pembesar terdapat di :
1) tepi kiri tengah yang berbentuk lengkungan;
2) sebelah kiri atas dan bawah masing-masing berada di belakang
angka nominal dan dibawah gedung MPR/DPR RI berbentuk
lengkungan dengan ukuran teks yang berbeda yaitu dari besar ke
kecil;
3) bagian kanan atas atap gedung MPR/DPR RI yang membentuk
pola dasar uang;
4) tepi kanan tengah yang berbentuk lengkungan.
c. bahan
kertas uang memiliki spesifikasi sebagai berikut :
1. terbuat dari serat kapas;
2. ukuran panjang 151 mm dan lebar 65 mm;
3. warna merah muda;
4. tidak memendar di bawah sinar ultra violet;
5. tanda air berupa gambar Pahlawan Nasional W.R. Soepratman dan
electrotype berupa ornamen;
6. benang pengaman berbentuk anyaman yang memuat tulisan mikro “BI
100000” yang utuh atau terpotong sebagian;
7. Jenis .....
7. jenis pigmen tertentu berbentuk dua garis tanpa celah akan berubah warna
dari merah tembaga menjadi hijau dan warna biru berubah menjadi kuning
keemasan apabila dilihat dari sudut pandang tertentu.
Pasal 5
Uang rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dikeluarkan dan diedarkan
mulai tanggal 29 Desember 2004.
Pasal 6
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 17 Desember 2004
GUBERNUR BANK INDONESIA,
BURHANUDDIN ABDULLAH
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004 NOMOR
162 DPU
"," PBI
6/28/PBI/2004
PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG KERTAS RUPIAH PECAHAN 100.000 (SERATUS RIBU) TAHUN EMISI 2004
17 Desember 2004
17 Desember 2004
'23/UU/1999', '3/UU/2004', '6/14/PBI/2004'
"
" PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 11/13/PBI/2009
TENTANG
BATAS MAKSIMUM PEMBERIAN KREDIT
BANK PERKREDITAN RAKYAT
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa dalam rangka mendukung pertumbuhan ekonomi,
Bank Perkreditan Rakyat perlu meningkatkan pembiayaan
kepada sektor produktif, terutama membiayai usaha mikro,
kecil dan menengah;
b. bahwa dalam upaya meningkatkan pembiayaan kepada
usaha mikro, kecil dan menengah serta melindungi
kepentingan masyarakat, Bank Perkreditan Rakyat wajib
memelihara kesehatan dan kelangsungan usahanya dengan
memperhatikan prinsip kehati-hatian dalam penyediaan
dana;
c. bahwa …
- 2 -
c. bahwa penerapan prinsip kehati-hatian dalam penyediaan
dana perlu dilakukan, antara lain dengan penyebaran
portofolio penyediaan dana yang diberikan agar risiko
penyediaan dana tersebut tidak terpusat pada Peminjam
atau kelompok Peminjam tertentu;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
pada huruf a, huruf b, dan huruf c, dipandang perlu untuk
mengatur kembali ketentuan tentang Batas Maksimum
Pemberian Kredit bagi Bank Perkreditan Rakyat dalam
suatu Peraturan Bank Indonesia;
Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor
31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang …
- 3 -
Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua
atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962);
MEMUTUSKAN
Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG BATAS
MAKSIMUM PEMBERIAN KREDIT BANK PERKREDITAN
RAKYAT.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
dan Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008
tentang Perbankan Syariah.
2. Bank …
- 4 -
2. Bank Perkreditan Rakyat, yang selanjutnya disebut BPR, adalah Bank
Perkreditan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, yang melaksanakan kegiatan
usaha secara konvensional.
3. Batas Maksimum Pemberian Kredit yang selanjutnya disebut dengan
BMPK adalah persentase maksimum realisasi penyediaan dana yang
diperkenankan terhadap modal BPR.
4. Penyediaan Dana adalah penanaman dana BPR dalam bentuk:
a. kredit, dan/atau
b. penempatan dana antar bank.
5. Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan
dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam
antara BPR dengan pihak lain yang mewajibkan pihak Peminjam untuk
melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga,
imbalan atau pembagian hasil keuntungan.
6. Penempatan Dana Antar Bank adalah penanaman dana BPR pada Bank
lain, dalam bentuk giro, tabungan, deposito berjangka, sertifikat deposito,
kredit yang diberikan dan penanaman dana lainnya yang sejenis.
7. Modal adalah modal inti dan modal pelengkap sebagaimana diatur dalam
Peraturan Bank Indonesia tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum
BPR.
8. Pihak …
- 5 -
8. Pihak Terkait adalah perorangan atau perusahaan/badan yang mempunyai
hubungan kepemilikan, kepengurusan, dan/atau keuangan dengan BPR.
9. Pihak Tidak Terkait adalah perorangan atau perusahaan/badan yang tidak
mempunyai hubungan kepemilikan, kepengurusan, dan/atau keuangan
dengan BPR.
10. Pelanggaran BMPK adalah selisih lebih antara persentase Penyediaan Dana
pada saat direalisasikan terhadap Modal BPR dengan BMPK yang
diperkenankan.
11. Pelampauan BMPK adalah selisih lebih antara persentase Penyediaan Dana
yang telah direalisasikan terhadap Modal BPR pada saat tanggal laporan
dengan BMPK yang diperkenankan dan tidak termasuk Pelanggaran BMPK
sebagaimana dimaksud pada angka 10.
12. Peminjam adalah nasabah perorangan atau perusahaan/badan yang
memperoleh Penyediaan Dana dari BPR berupa Kredit.
13. Direksi:
a. bagi BPR berbentuk hukum Perseroan Terbatas adalah Direksi
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas;
b. bagi BPR berbentuk hukum Perusahaan Daerah adalah Direksi
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962
tentang Perusahaan Daerah;
c. bagi …
- 6 -
c. bagi BPR berbentuk hukum Koperasi adalah pengurus sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang
Perkoperasian.
14. Dewan Komisaris:
a. bagi BPR berbentuk hukum Perseroan Terbatas adalah Dewan
Komisaris sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas;
b. bagi BPR berbentuk hukum Perusahaan Daerah adalah pengawas
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962
tentang Perusahaan Daerah;
c. bagi BPR berbentuk hukum Koperasi adalah pengawas sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang
Perkoperasian.
Pasal 2
BPR wajib memperhatikan prinsip kehati-hatian dalam membuat Perjanjian
Kredit antara BPR dan Peminjam yang mencantumkan Penyediaan Dana.
Pasal 3
(1) BPR dilarang membuat Perjanjian Kredit sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 apabila Perjanjian Kredit tersebut mewajibkan BPR untuk
menyediakan …
- 7 -
menyediakan dana yang akan mengakibatkan terjadinya pelanggaran
BMPK.
(2) BPR dilarang memberikan Penyediaan Dana yang mengakibatkan
Pelanggaran BMPK.
BAB II
DASAR PERHITUNGAN BMPK
Pasal 4
(1) BMPK untuk Kredit dihitung berdasarkan baki debet Kredit.
(2) BMPK untuk Penempatan Dana Antar Bank pada BPR lain dihitung
berdasarkan nominal Penempatan Dana Antar Bank.
BAB III
BMPK KEPADA PIHAK TERKAIT
Pasal 5
Penyediaan Dana kepada seluruh Pihak Terkait ditetapkan paling tinggi 10%
(sepuluh persen) dari Modal BPR.
Pasal 6 …
- 8 -
Pasal 6
Penyediaan Dana dalam bentuk Kredit kepada Pihak Terkait wajib memperoleh
persetujuan dari 1 (satu) orang anggota Direksi dan 1 (satu) orang anggota
Dewan Komisaris BPR.
Pasal 7
Pihak Terkait meliputi:
a. pemegang saham yang memiliki saham 10% (sepuluh persen) atau lebih
dari modal disetor;
b.
c.
anggota Dewan Komisaris;
anggota Direksi;
d. pihak yang mempunyai hubungan keluarga sampai dengan derajat kedua,
baik horisontal maupun vertikal, dengan pihak-pihak sebagaimana
dimaksud pada huruf a sampai dengan huruf c;
e. Pejabat Eksekutif;
f.
perusahaan-perusahaan bukan Bank yang dimiliki oleh pihak-pihak
sebagaimana dimaksud pada huruf a sampai dengan huruf e yang
kepemilikannya baik individual maupun keseluruhan sebesar 25% (dua
puluh lima persen) atau lebih dari modal disetor perusahaan;
g. BPR lain yang dimiliki oleh pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada huruf
a sampai dengan huruf e yang kepemilikannya secara individual sebesar
10% (sepuluh persen) atau lebih dari modal disetor pada BPR lain tersebut;
h. BPR …
- 9 -
h. BPR lain yang:
1)
2)
anggota Dewan Komisarisnya merupakan anggota Dewan Komisaris
BPR; dan
rangkap jabatan pada BPR lain dimaksud merupakan 50% (lima puluh
persen) atau lebih dari jumlah keseluruhan anggota Dewan Komisaris
dan Direksinya.
i.
perusahaan yang 50% (lima puluh persen) atau lebih dari jumlah
keseluruhan anggota Dewan Komisaris dan anggota Direksinya merupakan
anggota Dewan Komisaris BPR;
j. Peminjam yang diberikan jaminan oleh pihak sebagaimana dimaksud pada
huruf a sampai dengan huruf i.
Pasal 8
Penyediaan Dana kepada pihak-pihak selain yang dimaksud dalam Pasal 7 dapat
dikategorikan sebagai Penyediaan Dana kepada Pihak Terkait apabila penyediaan
dana tersebut digunakan untuk keuntungan Pihak Terkait.
BAB IV …
- 10 -
BAB IV
BMPK KEPADA PIHAK TIDAK TERKAIT
Pasal 9
(1) Penyediaan Dana dalam bentuk Penempatan Dana Antar Bank kepada BPR
lain yang merupakan Pihak Tidak Terkait ditetapkan paling tinggi 20% (dua
puluh persen) dari Modal BPR.
(2) Penyediaan Dana dalam bentuk Kredit kepada 1 (satu) Peminjam Pihak
Tidak Terkait ditetapkan paling tinggi 20% (dua puluh persen) dari Modal
BPR.
(3) Penyediaan Dana dalam bentuk Kredit kepada 1 (satu) kelompok Peminjam
Pihak Tidak Terkait ditetapkan paling tinggi 30% (tiga puluh persen) dari
Modal BPR.
Pasal 10
Peminjam digolongkan sebagai anggota suatu kelompok Peminjam sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) apabila Peminjam mempunyai keterkaitan
dengan Peminjam lain baik melalui hubungan kepemilikan, hubungan
kepengurusan dan/atau hubungan keuangan, yang meliputi:
a. perusahaan-perusahaan yang masing-masing 25% (dua puluh lima persen)
atau lebih modal disetornya dimiliki oleh suatu perusahaan/badan atau
perorangan atau secara bersama oleh suatu keluarga;
b. perusahaan …
- 11 -
b. perusahaan-perusahaan yang salah satunya memiliki 25% (dua puluh lima
persen) atau lebih modal disetor perusahaan lainnya;
c. perusahaan-perusahaan yang 50% (lima puluh persen) atau lebih dari
jumlah keseluruhan anggota Dewan Komisaris dan anggota Direksi pada
perusahaan yang satu menjadi Dewan Komisaris dan/atau Direksi pada
perusahaan lainnya.
d. perusahaan-perusahaan yang tidak memenuhi kriteria sebagaimana
dimaksud pada huruf a sampai dengan huruf c, namun terdapat bantuan
keuangan dari salah satu perusahaan tersebut terhadap perusahaan lainnya
yang mengakibatkan adanya pengendalian oleh perusahaan tersebut
terhadap perusahaan lainnya.
e. perusahaan-perusahaan dan/atau perorangan yang salah satunya bertindak
sebagai penjamin kredit atas kredit yang diterima oleh perusahaan atau
perorangan lainnya.
BAB V
PELAMPAUAN BMPK
Pasal 11
Penyediaan Dana oleh BPR dikategorikan sebagai Pelampauan BMPK apabila
terjadi selisih lebih antara persentase Penyediaan Dana yang telah direalisasikan
terhadap Modal BPR pada saat tanggal laporan dengan BMPK yang
diperkenankan yang disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut:
a. penurunan …
- 12 -
a. penurunan Modal BPR;
b. penggabungan usaha, peleburan usaha, pengambilalihan usaha, perubahan
struktur kepemilikan dan/atau kepengurusan yang menyebabkan perubahan
Pihak Terkait dan/atau kelompok Peminjam;
c. perubahan ketentuan.
BAB VI
PENYELESAIAN PELANGGARAN DAN/ATAU PELAMPAUAN BMPK
Pasal 12
(1) BPR wajib menyusun dan menyampaikan rencana tindak (action plan)
untuk penyelesaian Pelanggaran BMPK dan/atau Pelampauan BMPK.
(2) Action plan untuk Pelanggaran BMPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus disampaikan oleh BPR dan diterima oleh Bank Indonesia paling
lambat 1 (satu) bulan setelah batas akhir penyampaian laporan BMPK bulan
yang bersangkutan atau 14 (empat belas) hari sejak exit meeting untuk
Pelanggaran BMPK yang ditemukan dalam pemeriksaan.
(3) Action plan untuk Pelampauan BMPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
yang disebabkan karena hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11
huruf a dan huruf b harus disampaikan oleh BPR dan diterima oleh Bank
Indonesia paling lambat 1 (satu) bulan setelah akhir bulan laporan BMPK
bulan yang bersangkutan atau 14 (empat belas) hari sejak exit meeting
untuk Pelampauan BMPK yang ditemukan dalam pemeriksaan.
(4) Action …
- 13 -
(4) Action plan untuk Pelampauan BMPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
yang disebabkan karena hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11
huruf c harus disampaikan oleh BPR dan diterima oleh Bank Indonesia
paling lambat 3 (tiga) bulan sejak diberlakukannya ketentuan baru.
(5) Dalam hal jangka waktu penyampaian action plan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) jatuh pada hari Sabtu atau hari libur
maka BPR wajib menyampaikan action plan pada hari kerja sebelumnya.
Pasal 13
(1) Action plan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) wajib memuat
paling kurang langkah-langkah untuk penyelesaian Pelanggaran BMPK
dan/atau Pelampauan BMPK serta target waktu penyelesaian.
(2) Target waktu penyelesaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
sebagai berikut:
a. Untuk Pelanggaran BMPK, paling lambat dalam jangka waktu 3 (tiga)
bulan sejak action plan disampaikan kepada Bank Indonesia.
b. Untuk Pelampauan BMPK yang disebabkan oleh hal-hal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 huruf a dan huruf b, paling lambat 6 (enam)
bulan sejak action plan disampaikan kepada Bank Indonesia.
c. Untuk Pelampauan BMPK yang disebabkan oleh hal-hal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 huruf c, paling lambat 12 (dua belas) bulan
sejak action plan disampaikan kepada Bank Indonesia.
(3) Dalam …
- 14 -
(3) Dalam hal sisa jangka waktu penyediaan dana sampai dengan jatuh tempo
lebih pendek daripada target waktu penyelesaian sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) maka target waktu penyelesaian paling lambat sampai dengan
penyediaan dana jatuh tempo.
(4) Target waktu penyelesaian pelanggaran dan/atau pelampauan BMPK atas
Penempatan Dana Antar Bank yang tidak memiliki jatuh tempo berupa
Tabungan pada BPR lain, paling lambat 1 (satu) bulan sejak action plan
disampaikan kepada Bank Indonesia.
(5) Bank Indonesia dapat meminta BPR melakukan penyesuaian action plan
yang disampaikan apabila menurut penilaian Bank Indonesia langkah-
langkah dan/atau target waktu penyelesaian tidak mungkin dicapai.
Pasal 14
(1) BPR wajib menyampaikan laporan pelaksanaan action plan untuk
penyelesaian Pelanggaran BMPK dan/atau Pelampauan BMPK disertai
dengan bukti pendukungnya.
(2) Laporan pelaksanaan action plan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib disampaikan oleh BPR dan diterima oleh Bank Indonesia paling
lambat 14 (empat belas) hari sejak realisasi action plan.
(3) Dalam hal jangka waktu 14 (empat belas) hari sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) jatuh pada hari Sabtu atau hari libur maka BPR wajib
menyampaikan laporan pelaksanaan action plan pada hari kerja
sebelumnya.
BAB VII …
- 15 -
BAB VII
PENGECUALIAN
Pasal 15
Ketentuan BMPK dikecualikan untuk:
a. Penempatan Dana Antar Bank pada Bank Umum, termasuk Bank Umum
yang memenuhi kriteria Pihak Terkait sebagaimana dimaksud dalam Pasal
7;
b. Bagian Penyediaan Dana yang dijamin oleh:
1) Agunan dalam bentuk agunan tunai berupa deposito atau tabungan di
BPR;
2) Emas dan/atau logam mulia; dan/atau
3) Sertifikat Bank Indonesia,
sepanjang memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a)
agunan diblokir dan dilengkapi dengan surat kuasa
pencairan/penjualan yang tidak dapat dibatalkan dari pemilik agunan
untuk keuntungan BPR penerima agunan,
termasuk
pencairan/penjualan sebagian untuk membayar tunggakan angsuran
pokok/bunga;
b)
jangka waktu pemblokiran sebagaimana dimaksud pada huruf a)
paling kurang sama dengan jangka waktu Penyediaan Dana; dan
c) untuk agunan tunai sebagaimana dimaksud pada angka 1) dan angka
2), disimpan atau ditatausahakan pada BPR yang bersangkutan.
c. Bagian …
- 16 -
c. Bagian Penyediaan Dana yang dijamin oleh Pemerintah Indonesia secara
langsung maupun melalui Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau Badan
Usaha Milik Daerah (BUMD) sesuai dengan ketentuan perundang-
undangan yang berlaku dan memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1)
jaminan bersifat tanpa syarat (unconditional) dan tidak dapat
dibatalkan (irrevocable);
2) harus dapat dicairkan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak klaim
diajukan, termasuk pencairan sebagian; dan
3) mempunyai jangka waktu penjaminan paling kurang sama dengan
jangka waktu Penyediaan Dana.
d. Bagian Penempatan Dana Antar Bank pada BPR lain sepanjang memenuhi
persyaratan:
1) Terdapat kesepakatan antar BPR yang menempatkan dananya dengan
BPR lain yang menerima penempatan dana;
2) Dalam rangka menanggulangi kesulitan likuiditas BPR; dan
3) Bagian Penempatan Dana dimaksud:
a) merupakan simpanan/iuran/porsi dana yang wajib ditempatkan
oleh BPR pada BPR lain sesuai kesepakatan sebagaimana
dimaksud pada angka 1); atau
b) berasal dari simpanan/iuran/porsi dana dari BPR-BPR yang
ditujukan untuk menanggulangi kesulitan likuiditas masing-
masing BPR.
Pasal 16 …
- 17 -
Pasal 16
(1) Penyediaan dana BPR berupa Kredit dengan pola kemitraan inti-plasma
atau pola Pengembangan Hubungan Bank dan Kelompok Swadaya
Masyarakat (PHBK) dikecualikan dari pengertian kelompok Peminjam
Pihak Tidak Terkait sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3).
(2) Pola kemitraan inti-plasma sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dikecualikan dari pengertian kelompok Peminjam Pihak Tidak Terkait
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3), sepanjang memenuhi
persyaratan:
a. Kredit diberikan dengan pola kemitraan;
b. Perusahaan inti merupakan Pihak Tidak Terkait dengan BPR;
c. Plasma bukan merupakan anak perusahaan atau cabang yang dimiliki,
dikuasai atau berafiliasi dengan perusahaan inti;
d. Plasma memproduksi komponen yang diperlukan perusahaan inti
sebagai bagian dari produksi perusahaan inti; dan
e. Perjanjian Kredit antara BPR dengan plasma dilakukan secara
langsung.
(3) Pola PHBK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan dari
pengertian kelompok Peminjam Pihak Tidak Terkait sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3), sepanjang memenuhi persyaratan:
a. Kredit diberikan kepada kelompok;
b. Partisipan PHBK telah melalui seleksi;
c. Menghargai …
- 18 -
c. Menghargai otonomi lembaga partisipan;
d. Mempromosikan tabungan dan mengkaitkan tabungan dengan kredit;
e. Mengenakan tingkat bunga pasar;
f. Mengembangkan dan menerima agunan alternatif;
g. Terdapat bantuan teknis/pendampingan untuk membina kelompok.
Pasal 17
Kredit kepada anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris dan/atau pegawai
BPR yang memenuhi kriteria Pihak Terkait yang ditujukan untuk peningkatan
kesejahteraan serta dibayar kembali dari pendapatan yang diperoleh dari BPR
yang bersangkutan dikecualikan sebagai pemberian Kredit kepada Pihak Terkait
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.
BAB VIII
TATACARA PENYAMPAIAN LAPORAN BMPK DAN
KOREKSI LAPORAN BMPK
Pasal 18
(1) BPR wajib menyusun dan menyampaikan laporan BMPK kepada Bank
Indonesia secara on-line setiap bulan secara benar, lengkap dan tepat waktu.
(2) Laporan BMPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup:
a. Penyediaan …
- 19 -
a. Penyediaan Dana kepada Pihak Tidak Terkait yang melanggar dan
melampaui BMPK; dan
b. Seluruh Penyediaan Dana kepada Pihak Terkait.
(3) Tatacara penyampaian laporan BMPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
akan diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 19
(1) BPR bertanggungjawab atas kebenaran dan kelengkapan isi laporan BMPK
yang disampaikan kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 18 ayat (1).
(2) Dalam hal terdapat kekeliruan dan/atau kesalahan atas laporan BMPK yang
telah disampaikan kepada Bank Indonesia, BPR wajib menyampaikan
koreksi atas laporan BMPK secara on-line dengan memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18.
Pasal 20
(1) Kewajiban penyampaian laporan BMPK dan/atau koreksi laporan BMPK
secara on-line sebagaimana dimaksud pada Pasal 18 ayat (1) dan Pasal 19
ayat (2) dikecualikan dalam hal:
a. BPR berkedudukan di daerah yang belum tersedia fasilitas komunikasi
sehingga tidak memungkinkan untuk menyampaikan laporan BMPK
dan/atau koreksi laporan BMPK secara on-line;
b. BPR …
- 20 -
b. BPR baru beroperasi dengan batas waktu paling lama 2 (dua) bulan
setelah melakukan kegiatan operasional;
c. BPR mengalami gangguan teknis; atau
d. Terjadi kerusakan dan/atau gangguan pada database atau jaringan
komunikasi di Bank Indonesia.
(2) BPR memperoleh pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
a, huruf b atau huruf c setelah menyampaikan pemberitahuan tertulis
terlebih dahulu kepada Bank Indonesia dengan mengemukakan alasannya.
(3) BPR wajib menyampaikan laporan BMPK dan/atau koreksi laporan BMPK
secara on-line setelah kegiatan operasional kembali berjalan secara normal.
Pasal 21
(1) BPR yang tidak dapat menyampaikan laporan BMPK dan/atau koreksi
laporan BMPK secara on-line sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, wajib
menyampaikan laporan dimaksud secara off-line.
(2) Tatacara penyampaian laporan BMPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
akan diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 22
(1) Laporan BMPK wajib disampaikan oleh BPR kepada Bank Indonesia
paling lambat tanggal 14 (empat belas) pada bulan berikutnya setelah
berakhirnya bulan laporan yang bersangkutan.
(2) Dalam …
- 21 -
(2) Dalam hal tanggal 14 (empat belas) jatuh pada hari libur atau hari Sabtu
maka BPR yang menyampaikan laporan BMPK secara off-line wajib
menyampaikan laporan BMPK pada hari kerja sebelumnya.
(3) BPR dinyatakan telah menyampaikan laporan BMPK pada tanggal
diterimanya laporan BMPK oleh Bank Indonesia.
(4) Dalam hal terdapat kekeliruan dan/atau kesalahan atas laporan BMPK yang
telah disampaikan, BPR wajib menyampaikan koreksi atas laporan BMPK
dimaksud kepada Bank Indonesia secara on-line paling lambat tanggal 20
(dua puluh) pada bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan laporan yang
bersangkutan.
(5) Dalam hal tanggal 20 (dua puluh) jatuh pada hari libur atau hari Sabtu maka
BPR yang menyampaikan koreksi laporan BMPK secara off-line wajib
menyampaikan laporan BMPK pada hari kerja sebelumnya.
(6) BPR dinyatakan telah menyampaikan koreksi laporan BMPK pada tanggal
diterimanya koreksi laporan BMPK oleh Bank Indonesia.
Pasal 23
(1) BPR dinyatakan terlambat menyampaikan laporan BMPK apabila sampai
dengan batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) BPR
belum menyampaikan laporan BMPK.
(2) BPR dinyatakan terlambat menyampaikan koreksi laporan BMPK apabila
sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (4)
BPR belum menyampaikan koreksi laporan BMPK.
(3) BPR …
- 22 -
(3) BPR dinyatakan tidak menyampaikan laporan BMPK dan/atau koreksi
laporan BMPK apabila sampai dengan akhir bulan berikutnya setelah
berakhirnya bulan laporan yang bersangkutan BPR belum menyampaikan
laporan BMPK dan/atau koreksi laporan BMPK.
(4) BPR yang dinyatakan tidak menyampaikan laporan BMPK dan/atau koreksi
laporan BMPK sebagaimana dimaksud pada ayat (3), tetap wajib
menyampaikan laporan BMPK dan/atau koreksi laporan BMPK.
BAB IX
KETENTUAN LAIN
Pasal 24
(1) Bank Indonesia berwenang melakukan koreksi terhadap pelaksanaan
ketentuan BMPK oleh BPR.
(2) BPR wajib melakukan koreksi yang ditetapkan Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam laporan BMPK BPR kepada
Bank Indonesia.
(3) Dalam hal terdapat koreksi Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), BPR wajib menyampaikan koreksi laporan BMPK dimaksud
kepada Bank Indonesia paling lambat 14 (empat belas) hari sejak tanggal
pemberitahuan oleh Bank Indonesia atau sejak tanggal exit meeting.
(4) Dalam …
- 23 -
(4) Dalam hal jangka waktu 14 (empat belas) hari sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) jatuh pada hari Sabtu atau hari libur maka BPR wajib
menyampaikan koreksi atas laporan BMPK pada hari kerja sebelumnya.
Pasal 25
(1) BPR dinyatakan terlambat menyampaikan koreksi laporan BMPK
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) apabila sampai dengan
batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (3) BPR belum
menyampaikan koreksi laporan BMPK.
(2) BPR dinyatakan tidak menyampaikan koreksi laporan BMPK sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) apabila sampai dengan 30 (tiga puluh)
hari sejak tanggal pemberitahuan oleh Bank Indonesia atau sejak tanggal
exit meeting, BPR belum menyampaikan koreksi laporan BMPK.
(3) BPR yang dinyatakan tidak menyampaikan koreksi laporan BMPK
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tetap wajib menyampaikan koreksi
laporan BMPK.
Pasal 26
Dalam 3 (tiga) bulan pertama sejak diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia
ini, selain menyampaikan laporan BMPK secara on-line sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 18, penyampaian laporan BMPK disertai rekaman data laporan
BMPK terkait dalam bentuk disket atau media perekam data elektronik lainnya
beserta hasil cetakan yang ditandatangani oleh pejabat yang berwenang.
BAB X …
- 24 -
BAB X
SANKSI
Pasal 27
(1) BPR yang melakukan Pelanggaran BMPK sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (2), Pasal 5, dan Pasal 9 dikenakan sanksi penilaian tingkat
kesehatan BPR sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang
berlaku.
(2) Terhadap setiap kesalahan laporan BMPK yang ditemukan berdasarkan
penelitian dan/atau pemeriksaan Bank Indonesia, dikenakan sanksi
kewajiban membayar sebesar Rp10.000,00 (sepuluh ribu rupiah) per jenis
kesalahan atau paling banyak sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah).
(3) Dalam hal jenis kesalahan yang sama terjadi pada laporan bulanan BPR
sesuai ketentuan yang berlaku dan atas kesalahan tersebut BPR telah
dikenakan sanksi maka BPR tidak lagi dikenakan sanksi atas jenis
kesalahan yang sama tersebut pada laporan BMPK.
(4) BPR yang dinyatakan terlambat menyampaikan laporan BMPK dan/atau
koreksi laporan BMPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) dan
ayat (2) dan Pasal 25 ayat (1) dikenakan sanksi kewajiban membayar
sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) per hari keterlambatan.
(5) BPR yang dinyatakan tidak menyampaikan laporan BMPK dan/atau koreksi
laporan BMPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (3) dan Pasal
25 ayat (2) dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp1.000.000,00
(satu juta rupiah).
(6) BPR ...
- 25 -
(6) BPR yang melanggar ketentuan dalam Pasal 3 ayat (1), Pasal 6, Pasal 12,
Pasal 14 serta Pasal 24 ayat (2), dikenakan sanksi administratif sesuai
dengan Pasal 52 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998, berupa:
a.
teguran tertulis; dan
b. penurunan nilai kredit aspek manajemen dalam perhitungan tingkat
kesehatan.
(7) BPR yang melanggar ketentuan dalam Pasal 3 ayat (1), Pasal 6, Pasal 12,
Pasal 14 serta Pasal 24 ayat (2) selain dikenakan sanksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (6) dapat dikenakan sanksi administratif sesuai dengan
Pasal 52 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998,
berupa pencantuman anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris dan/atau
pemegang saham dalam daftar pihak-pihak yang memperoleh predikat tidak
lulus dalam penilaian kemampuan dan kepatutan BPR sebagaimana diatur
dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku.
(8) BPR yang tidak menyelesaikan Pelanggaran BMPK dan/atau Pelampauan
BMPK sesuai dengan action plan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
ayat (2) dan/atau tidak melaksanakan langkah penyelesaian sesuai koreksi
yang ditetapkan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24
ayat (2), setelah diberi peringatan 2 (dua) kali oleh Bank Indonesia,
dikenakan sanksi administratif sesuai dengan Pasal 52 ayat (2) Undang-
Undang ...
- 26 -
Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, berupa:
a. pencantuman anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris dan/atau
pemegang saham dalam daftar pihak-pihak yang memperoleh predikat
tidak lulus dalam penilaian kemampuan dan kepatutan BPR
sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku;
dan/atau
b. pembekuan kegiatan usaha tertentu, antara lain tidak diperkenankan
untuk ekspansi Penyediaan Dana.
(9) BPR yang tidak menyelesaikan Pelanggaran BMPK selain dikenakan sanksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (7), terhadap anggota Direksi, anggota
Dewan Komisaris, pemegang saham maupun pihak terafiliasi lainnya dapat
dikenakan sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 49 ayat (2) huruf
b, Pasal 50, dan Pasal 50 A Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998.
Pasal 28
Ketentuan pengenaan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 27 ayat (2), ayat (4) dan ayat (5) berlaku setelah 3 (tiga) bulan pertama
sejak diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia ini.
BAB XI ...
- 27 -
BAB XI
KEADAAN MEMAKSA (FORCE MAJEURE)
Pasal 29
(1) BPR yang mengalami Keadaan Memaksa (force majeure) selama satu atau
lebih periode penyampaian laporan BMPK dan/atau koreksi laporan BMPK
dikecualikan dari kewajiban menyampaikan laporan BMPK dan/atau
koreksi laporan BMPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1),
Pasal 19 ayat (2) dan Pasal 24 ayat (3);
(2) BPR yang mengalami Keadaan Memaksa (force majeure) kurang dari satu
periode penyampaian laporan BMPK dan/atau koreksi laporan BMPK
dikecualikan dari kewajiban menyampaikan laporan BMPK dan/atau
koreksi laporan BMPK dalam batas waktu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 22 ayat (1), ayat (2), ayat (4) dan ayat (5);
(3) BPR yang mengalami Keadaan Memaksa (force majeure), menyampaikan
pemberitahuan secara tertulis kepada Bank Indonesia, dengan disertai
penjelasan mengenai Keadaan Memaksa yang dialami;
(4) BPR wajib menyampaikan laporan BMPK dan/atau koreksi laporan BMPK
setelah kembali melakukan kegiatan operasional secara normal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 dan Pasal 24 ayat (3).
BAB XII ...
- 28 -
BAB XII
PENUTUP
Pasal 30
Ketentuan lebih lanjut tentang BMPK akan diatur dengan Surat Edaran Bank
Indonesia.
Pasal 31
Dengan diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia ini maka Surat Keputusan
Direksi Bank Indonesia Nomor 31/61/KEP/DIR tanggal 9 Juli 1998 tentang
Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Perkreditan Rakyat dinyatakan tidak
berlaku bagi BPR yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional.
Pasal 32
Peraturan Bank Indonesia ini tidak berlaku bagi Badan Kredit Desa (BKD) yang
didirikan berdasarkan staatsblad Tahun 1929 Nomor 357 dan Rijksblad Tahun
1937 Nomor 9.
Pasal 33
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 2009.
Agar ...
- 29 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 17 April 2009.
GUBERNUR BANK INDONESIA
BOEDIONO
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 17 April 2009.
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 66
DKBU
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 11/13/PBI/2009
TENTANG
BATAS MAKSIMUM PEMBERIAN KREDIT
BANK PERKREDITAN RAKYAT
UMUM
Dalam rangka mengurangi potensi kegagalan usaha BPR sebagai akibat
dari konsentrasi penyediaan dana maka BPR wajib memperhatikan prinsip
kehati-hatian, antara lain dengan melakukan penyebaran risiko atas portofolio
penyediaan dana terutama melalui pembatasan penyediaan dana, baik kepada
Pihak Terkait maupun kepada Pihak Tidak Terkait sebesar persentase tertentu
dari modal BPR atau yang dikenal dengan BMPK.
Secara operasional, mengingat BPR dipengaruhi oleh faktor eksternal,
maka penyediaan dana dapat dikatakan tidak melanggar namun melampaui batas
maksimumnya antara lain apabila disebabkan adanya penurunan modal BPR dan
perubahan ketentuan.
Mengingat …
- 2 -
Mengingat peranannya dalam perekonomian nasional khususnya sebagai
lembaga intermediasi maka meskipun terdapat pembatasan dalam penyediaan
dananya, BPR tetap perlu didorong untuk mendukung pertumbuhan ekonomi
melalui langkah penyaluran dana kepada usaha mikro, kecil dan menengah
dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian. Untuk itu, penyediaan dana
tertentu diberikan kelonggaran atau pengecualian dalam penerapan BMPK,
antara lain penyediaan dana kepada nasabah dengan pola kemitraan inti-plasma
dan PHBK dan penyediaan dana yang dijamin oleh Pemerintah Pusat/Daerah
baik langsung atau melalui BUMN/BUMD dan meningkatkan BMPK untuk
kelompok Pihak Tidak Terkait dari 20% (dua puluh persen) menjadi 30% (tiga
puluh persen).
Dalam rangka pemantauan penyediaan dana, BPR diwajibkan untuk
menyampaikan laporan BMPK secara berkala, dan Bank Indonesia memiliki
wewenang untuk melakukan koreksi terhadap laporan yang disampaikan dan
meminta BPR untuk melakukan tindakan korektif yang diperlukan, serta
mengenakan sanksi secara efektif terhadap BPR yang melakukan pelanggaran
terhadap ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2 …
- 3 -
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Kewajiban pemenuhan ketentuan pada ayat ini berlaku untuk setiap
saat pemberian/realisasi Penyediaan Dana.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Persetujuan anggota Dewan Komisaris dimaksudkan sebagai pelaksanaan
tugas pengawasan yang dilakukan oleh Komisaris atas tindakan
kepengurusan …
- 4 -
kepengurusan oleh Direksi dan tidak menghilangkan tanggung jawab
Direksi sebagai pemutus.
Pasal 7
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan hubungan keluarga sampai dengan derajat
kedua, baik horisontal maupun vertikal, adalah pihak-pihak sebagai
berikut:
1. orang tua kandung/tiri/angkat;
2.
3.
saudara kandung/tiri/angkat;
anak kandung/tiri/angkat;
4. kakek atau nenek kandung/tiri/angkat;
5.
cucu kandung/tiri/angkat;
6.
saudara kandung/tiri/angkat dari orang tua;
7. suami …
- 5 -
7.
suami atau isteri;
8. mertua;
9. besan;
10. suami atau isteri dari anak kandung/tiri/angkat;
11. kakek atau nenek dari suami atau isteri;
12. suami atau isteri dari cucu kandung/tiri/angkat;
13. saudara kandung/tiri/angkat dari suami atau isteri beserta suami
atau isteri dari saudara yang bersangkutan.
Huruf e
Yang dimaksud dengan Pejabat Eksekutif adalah Pejabat Eksekutif
sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia tentang BPR.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Yang dimaksud dengan “BPR lain” termasuk pula Bank Pembiayaan
Rakyat Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Perbankan Syariah.
Huruf h
Ketentuan huruf h memperhatikan ketentuan pembatasan rangkap
jabatan sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia tentang
BPR.
Contoh: …
- 6 -
Contoh:
BPR A menyediakan dana kepada BPR B.
BPR A mempunyai 2 (dua) orang Direktur dan 2 (dua) orang
Komisaris. Kedua Komisaris BPR A tersebut menjabat sebagai
Komisaris pada BPR B yang mempunyai 2 (dua) orang Direktur dan 2
(dua) orang Komisaris. Mengingat 2 (dua) orang Komisaris pada BPR
B memenuhi asas mayoritas sebesar 50% (lima puluh persen) dari
jumlah keseluruhan anggota Dewan Komisaris dan Direksi BPR B
maka BPR B tersebut merupakan Pihak Terkait dari BPR A, sehingga
penyediaan dana BPR A kepada BPR B paling tinggi sebesar 10%
(sepuluh persen).
Huruf i
Ketentuan huruf i memperhatikan ketentuan pembatasan rangkap
jabatan sebagaimana sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank
Indonesia tentang BPR.
Contoh:
BPR C menyediakan dana kepada PT D.
BPR C mempunyai 2 (dua) orang Direktur dan 2 (dua) orang
Komisaris. Salah satu Komisaris BPR C tersebut menjabat sebagai
Komisaris pada PT D yang mempunyai 1 (satu) orang Direktur dan 1
(satu) orang Komisaris. Mengingat 1 (satu) orang Komisaris pada PT
D tersebut memenuhi asas mayoritas sebesar 50% (lima puluh persen)
dari jumlah keseluruhan anggota Dewan Komisaris dan Direksi PT D
maka …
- 7 -
maka PT D tersebut merupakan Pihak Terkait dari BPR C, sehingga
penyediaan dana BPR C kepada PT D paling tinggi sebesar 10%
(sepuluh persen).
Huruf j
Yang dimaksud dengan jaminan adalah janji yang dibuat secara
tertulis oleh pihak yang menjamin untuk mengambil alih dan/atau
melunasi sebagian atau seluruh kewajiban pihak yang berutang dalam
hal pihak yang berutang gagal memenuhi kewajibannya (wanprestasi).
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan Penempatan Dana Antar Bank kepada BPR
lain adalah penempatan dana dalam bentuk Tabungan, Deposito dan
Kredit yang Diberikan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 10 …
- 8 -
Pasal 10
Huruf a
Yang dimaksud dengan suatu keluarga adalah keluarga inti yang
terdiri dari suami, isteri dan anak kandung/tiri/angkat; suami dan
isteri; suami dan anak kandung/tiri/angkat; atau isteri dan anak
kandung/tiri/angkat.
Contoh:
1. 25% (dua puluh lima persen) atau lebih saham masing-masing
perusahaan A, perusahaan B dan perusahaan C, dimiliki oleh 1
(satu) orang/perusahaan.
Apabila perusahaan A, perusahaan B dan perusahaan C menjadi
Peminjam BPR yang sama maka perusahaan-perusahaan tersebut
digolongkan sebagai 1 (satu) kelompok Peminjam.
2. 25% (dua puluh lima persen) atau lebih saham masing-masing
perusahaan A, perusahaan B dan perusahaan C, dimiliki secara
bersama oleh X, Y dan Z yang merupakan suami, isteri dan anak
kandung/tiri/angkat.
Apabila perusahaan A, perusahaan B dan perusahaan C menjadi
Peminjam BPR yang sama maka perusahaan-perusahaan tersebut
digolongkan sebagai 1 (satu) kelompok Peminjam.
3. 25% (dua puluh lima persen) atau lebih saham perusahaan A
dimiliki oleh suami dan anak pertama, 25% (dua puluh lima
persen) …
- 9 -
persen) atau lebih saham perusahaan B dimiliki oleh isteri dan
anak kedua.
Apabila perusahaan A dan perusahaan B menjadi Peminjam BPR
yang sama maka perusahaan-perusahaan tersebut digolongkan
sebagai 1 (satu) kelompok Peminjam.
Huruf b
Contoh:
Perusahaan A memiliki 25% (dua puluh lima persen) saham
perusahaan B.
Perusahaan B memiliki 25% (dua puluh lima persen) saham
perusahaan C.
Apabila perusahaan A, perusahaan B dan perusahaan C menjadi
Peminjam BPR maka perusahaan A dan perusahaan B digolongkan
sebagai 1 (satu) kelompok Peminjam. Sementara perusahaan B dan
perusahaan C digolongkan sebagai 1 (satu) kelompok Peminjam yang
lain.
Huruf c
Pertimbangan azas mayoritas 50% (lima puluh persen) atau lebih
dihitung dari jumlah kumulatif Dewan Komisaris dan/atau Direksi.
Dalam hal perusahaan tersebut berbadan hukum Koperasi maka untuk
menentukan mayoritas adalah jumlah kumulatif dari pengurus,
pengawas …
- 10 -
pengawas dan pengelola yang diangkat oleh pengurus dari Koperasi
dimaksud.
Huruf d
Yang dimaksud dengan bantuan keuangan adalah bantuan keuangan
yang disertai dengan persyaratan tertentu yang menyebabkan pihak
yang memberikan bantuan mempunyai kewenangan untuk
menentukan kebijakan strategis perusahaan/badan yang menerima
bantuan, antara lain namun tidak terbatas pada keputusan untuk
melakukan pembagian deviden dan perubahan pengurus.
Huruf e
Yang dimaksud dengan penjamin adalah pihak yang memberikan
jaminan dalam bentuk janji yang dibuat secara tertulis yang
menyatakan bahwa penjamin akan mengambilalih dan/atau melunasi
sebagian atau seluruh kewajiban pihak yang berutang, dalam hal pihak
yang berutang gagal memenuhi kewajibannya (wanprestasi).
Termasuk dalam pengertian ini adalah pihak-pihak yang berutang
yang dijamin dengan menggunakan agunan yang sama.
Pasal 11
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b …
- 11 -
Huruf b
Yang dimaksud dengan penggabungan usaha atau merger adalah
penggabungan usaha 2 (dua) atau lebih perusahaan Peminjam dengan
perusahaan lainnya dan/atau BPR dengan BPR lainnya dengan tetap
mempertahankan berdirinya salah satu perusahaan Peminjam dan/atau
BPR dan membubarkan perusahaan Peminjam dan/atau BPR lainnya
tanpa melikuidasi terlebih dahulu.
Yang dimaksud dengan peleburan usaha atau konsolidasi adalah
penggabungan usaha 2 (dua) atau lebih perusahaan Peminjam dengan
perusahaan lainnya dan/atau BPR dengan BPR lainnya dengan cara
mendirikan perusahaan Peminjam dan/atau BPR baru dan
membubarkan perusahaan Peminjam dan/atau BPR tersebut tanpa
melikuidasi terlebih dahulu.
Yang dimaksud dengan pengambilalihan usaha atau akuisisi adalah
pengambilalihan kepemilikan suatu perusahaan Peminjam dan/atau
BPR yang mengakibatkan beralihnya pengendalian perusahaan
Peminjam dan/atau BPR.
Yang dimaksud dengan perubahan struktur kepemilikan adalah
perubahan struktur kepemilikan di perusahaan Peminjam dan/atau di
BPR.
Yang dimaksud dengan perubahan kepengurusan adalah perubahan
kepengurusan di perusahaan Peminjam dan/atau di BPR.
Yang …
- 12 -
Yang dimaksud dengan perubahan Pihak Terkait dan/atau kelompok
Peminjam adalah:
1) Peminjam Pihak Tidak Terkait menjadi Peminjam Pihak Terkait;
dan/atau
2) Peminjam perorangan menjadi kelompok Peminjam.
Huruf c
Yang dimaksud dengan perubahan ketentuan adalah perubahan
ketentuan yang menyebabkan perubahan kriteria Pihak Terkait
dan/atau kelompok Peminjam BPR dan/atau perubahan ketentuan
lainnya yang menyebabkan terjadinya pelampauan BMPK.
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan exit meeting adalah pertemuan akhir antara
pengurus BPR dan Bank Indonesia untuk membahas hasil
pemeriksaan.
Ayat (3)
Untuk Pelampauan BMPK yang disebabkan oleh penggabungan
usaha, peleburan usaha atau pengambilalihan usaha, jangka waktu
sebagaimana dimaksud pada ayat ini adalah 1 (satu) bulan setelah
akhir …
- 13 -
akhir bulan laporan sejak disahkannya akta penggabungan usaha,
peleburan usaha atau pengambilalihan usaha oleh instansi yang
berwenang.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 13
Ayat (1)
Langkah-langkah penyelesaian Pelanggaran BMPK dan/atau
Pelampauan BMPK meliputi antara lain:
a. Pelunasan seluruh/sebagian Kredit yang melanggar dan/atau
melampaui BMPK;
b. Penambahan modal disetor.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Contoh:
1. Pada tanggal 1 April 2009 BPR B memberikan Kredit kepada
debitur X (Pihak Tidak Terkait) sebesar Rp200.000.000,00 (dua
ratus …
- 14 -
ratus juta rupiah) yang merupakan 20% (dua puluh persen) dari
modal BPR B dengan jangka waktu 12 (dua belas) bulan.
Pada tanggal 31 Mei 2009 modal BPR B turun karena meng-
alami kerugian sehingga persentase Kredit kepada debitur X
menjadi 25% (dua puluh lima persen) dari modal BPR B atau
melampaui BMPK yang ditetapkan sebesar 5% (lima persen).
Untuk itu BPR B wajib membuat action plan untuk
menyelesaikan pelampauan tersebut dengan target waktu
penyelesaian paling lambat 6 (enam) bulan sejak action plan
disampaikan kepada Bank Indonesia.
2. Pada tanggal 1 April 2009 BPR A menempatkan Deposito 3
bulan (jatuh tempo pada tanggal 1 Juli 2009) pada BPR B (Pihak
Tidak Terkait) sebesar Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)
yang merupakan 30% (tiga puluh persen) dari modal BPR A.
Pada tanggal 10 Mei 2009 dikeluarkan ketentuan mengenai
BMPK BPR yang mengatur bahwa penempatan dana BPR ke
BPR lain paling tinggi 20% (dua puluh persen) dari modal.
Dengan asumsi modal BPR A tetap maka dengan adanya
ketentuan BMPK tersebut penempatan Deposito BPR A ke BPR
B menjadi melampaui BMPK yang ditetapkan sebesar 10%
(sepuluh persen).
Untuk itu BPR A wajib membuat action plan untuk
menyelesaikan pelampauan tersebut dengan target waktu
penyelesaian …
- 15 -
penyelesaian paling lambat sampai dengan jatuh tempo Deposito
yaitu tanggal 1 Juli 2009.
Ayat (4)
Contoh:
Pada tanggal 1 April 2009 BPR A menempatkan Tabungan pada BPR
B (Pihak Tidak Terkait) sebesar Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah) yang merupakan 30% (tiga puluh persen) dari modal BPR A.
Pada tanggal 10 Mei 2009 dikeluarkan ketentuan mengenai BMPK
BPR yang mengatur bahwa penempatan dana BPR ke BPR lain paling
tinggi 20% (dua puluh persen) dari modal. Dengan asumsi modal BPR
A tetap maka dengan adanya ketentuan BMPK tersebut penempatan
Tabungan BPR A ke BPR B menjadi melampaui BMPK yang
ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
Untuk itu BPR A wajib membuat action plan untuk menyelesaikan
pelampauan tersebut dengan target waktu penyelesaian paling lambat
1 (satu) bulan sejak action plan disampaikan kepada Bank Indonesia.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 14 …
- 16 -
Pasal 14
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan bukti pendukung antara lain adalah bukti
setoran modal dan bukti pembayaran atau pelunasan Kredit.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan realisasi action plan adalah tahapan
pelaksanaan penyelesaian Pelanggaran dan/atau Pelampauan BMPK.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 15
Huruf a
Yang dimaksud dengan Bank Umum adalah Bank Umum
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998 dan Bank Umum Syariah sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah.
Huruf b …
- 17 -
Huruf b
Angka 1)
Deposito dan Tabungan yang dapat dijadikan sebagai agunan
adalah Deposito dan Tabungan yang ditempatkan pada BPR
yang sama.
Angka 2)
Nilai agunan yang berupa emas dan/atau logam mulia ditentukan
berdasarkan harga pasar (market value).
Angka 3)
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan Pemerintah Indonesia adalah Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah.
Yang dimaksud dengan BUMN dan BUMD dalam Pasal ini adalah
sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia tentang
Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) BPR.
Angka 1)
Yang dimaksud dengan tanpa syarat (unconditional) adalah
apabila tidak memuat persyaratan prosedural, seperti:
a. mempersyaratkan waktu pengajuan pemberitahuan
wanprestasi (notification of default);
b. mempersyaratkan …
- 18 -
b. mempersyaratkan kewajiban pembuktian itikad baik (good
faith) oleh BPR penyedia dana; dan/atau
c. mempersyaratkan pencairan jaminan dengan cara
dilakukannya saling hapus buku (set-off) terlebih dahulu
dengan kewajiban BPR penyedia dana kepada pihak
penjamin.
Angka 2)
Cukup jelas.
Angka 3)
Cukup jelas.
Huruf d
Bagian Penempatan Dana yang dimaksud dalam ayat ini adalah
bagian penempatan dana dalam rangka memenuhi
simpanan/iuran/porsi dana atau penempatan dana dalam rangka
penanggulangan likuiditas yang ditetapkan sesuai dengan kesepakatan
kedua belah pihak.
Contoh:
Terdapat 28 BPR yang membuat kesepakatan untuk
menempatkan dana berupa simpanan/iuran/porsi dana pada salah
satu BPR yang ditunjuk untuk mengkoordinir pengelolaan dana
yang terhimpun.
Dalam …
- 19 -
Dalam kesepakatan tersebut dimuat antara lain:
-
Jumlah simpanan/iuran/porsi dana yang wajib ditempatkan
oleh BPR pada BPR lain yang ditunjuk, misalnya
Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) per BPR.
-
Jumlah maksimum dana/pinjaman likuiditas yang dapat
ditempatkan oleh BPR yang ditunjuk kepada salah satu dari
28 BPR tersebut, misalnya 10 (sepuluh) kali dari jumlah
simpanan/iuran/porsi dana yang ditempatkan atau
Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).
Yang dikecualikan dari perhitungan BMPK dalam contoh
tersebut adalah:
- masing-masing penempatan dana dari 28 BPR tersebut
kepada BPR yang ditunjuk sebesar Rp25.000.000,00 (dua
puluh lima juta rupiah).
-
penempatan dana dari BPR yang ditunjuk kepada salah satu
dari 28 BPR yang mengalami kesulitan likuiditas sebesar
Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).
Pasal 16
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan pola kemitraan adalah pola pengembangan
dengan menggunakan perusahaan inti yang membantu membimbing
perusahaan …
- 20 -
perusahaan rakyat sekitarnya sebagai plasma dalam suatu sistem
kerjasama yang saling menguntungkan, utuh dan berkesinambungan.
Yang dimaksud dengan pola PHBK adalah pola pembiayaan dalam
upaya mengembangkan prasarana pelayanan keuangan bagi
pengusaha mikro, yang bersifat saling menguntungkan antara tiga
unsur yang berbeda yaitu BPR, Lembaga Pengembangan Swadaya
Masyarakat (LPSM), dan Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM).
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Yang dimaksud kelompok disini adalah KSM.
Huruf b
Yang dimaksud partisipan PHBK adalah perorangan dan/atau
lembaga yang terlibat seperti LPSM dan KSM.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f …
- 21 -
Huruf f
Termasuk dalam agunan alternatif yaitu jaminan tanggung
renteng di antara anggota kelompok.
Huruf g
Cukup jelas.
Pasal 17
Yang dimaksudkan dengan pemberian Kredit yang dikecualikan pada Pasal
ini adalah fasilitas BPR kepada anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris
dan/atau pegawai BPR yang memenuhi kriteria Pihak Terkait yang antara
lain ditujukan untuk biaya sekolah, biaya pengobatan/sakit, biaya kontrak
rumah, cicilan rumah, uang muka pembelian rumah, biaya pernikahan dan
pembelian kendaraan bermotor.
Pemberian Kredit kepada pihak-pihak tersebut di atas dikategorikan sebagai
penyediaan dana kepada Pihak Tidak Terkait dan mengacu pada ketentuan
BMPK kepada Pihak Tidak Terkait.
Pasal 18
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan penyampaian secara on-line adalah
penyampaian laporan dengan mengirim atau mentransfer rekaman
data …
- 22 -
data secara langsung kepada Kantor Pusat Bank Indonesia melalui
fasilitas ekstranet Bank Indonesia atau sarana teknologi lainnya.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Perhitungan BMPK kepada Pihak Terkait dihitung secara
keseluruhan Penyediaan Dana.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Ayat (1)
Cukup jelas.
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b …
- 23 -
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan gangguan teknis adalah gangguan
yang mengakibatkan BPR tidak dapat menyampaikan
laporan BMPK dan/atau koreksi laporan BMPK secara on-
line, antara lain gangguan pada jaringan telekomunikasi
atau pemadaman listrik.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 21
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan penyampaian secara off-line adalah
penyampaian laporan dengan menyampaikan rekaman data dalam
bentuk disket atau media perekam data elektronik lainnya disertai
hasil validasi kepada Kantor Bank Indonesia setempat.
Ayat (2) …
- 24 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 22
Ayat (1)
Laporan BMPK dapat disampaikan secara on-line pada hari libur atau
hari Sabtu.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Bukti penerimaan untuk laporan BMPK yang disampaikan secara on-
line adalah berupa soft copy yang dapat diambil secara on-line
(download). Sedangkan bukti penerimaan untuk laporan BMPK yang
disampaikan secara off-line adalah berupa tanda terima apabila
disampaikan langsung kepada Bank Indonesia atau tanggal stempel
pos apabila dikirimkan melalui pos.
Ayat (4)
Koreksi laporan BMPK dapat disampaikan secara on-line pada hari
libur atau hari Sabtu.
Ayat (5) …
- 25 -
Ayat (5)
Contoh:
Koreksi laporan BMPK untuk data bulan Mei 2009 disampaikan
secara off-line paling lambat tanggal 19 Juni 2009 (hari Jumat) untuk
penyampaian secara langsung kepada Bank Indonesia maupun untuk
penyampaian melalui pos, mengingat tanggal 20 Juni 2009 jatuh pada
hari Sabtu.
Ayat (6)
Bukti penerimaan untuk koreksi laporan BMPK yang disampaikan
secara on-line adalah berupa soft copy yang dapat diambil secara on-
line (download). Sedangkan bukti penerimaan untuk koreksi laporan
BMPK yang disampaikan secara off-line adalah berupa tanda terima
apabila disampaikan langsung kepada Bank Indonesia atau tanggal
stempel pos apabila dikirimkan melalui pos.
Pasal 23
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3) …
- 26 -
Ayat (3)
Contoh:
BPR dinyatakan tidak menyampaikan laporan BMPK dan/atau koreksi
laporan BMPK untuk data bulan Juni 2009 apabila laporan dimaksud
belum diterima Bank Indonesia sampai dengan tanggal 31 Juli 2009.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 24
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan pelaksanaan ketentuan BMPK antara lain
adalah perhitungan Penyediaan Dana, perhitungan Modal, penentuan
kelompok Peminjam dan/atau penentuan Pihak Terkait.
Ayat (2)
Koreksi terhadap laporan BMPK kepada Bank Indonesia dilakukan
untuk posisi penelitian dan/atau pemeriksaan oleh Bank Indonesia
berdasarkan penelitian dan/atau pemeriksaan Bank Indonesia atas
Laporan BMPK yang telah disampaikan oleh BPR pelapor.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4) …
- 27 -
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan jenis kesalahan adalah nominal yang
dilaporkan meliputi jumlah Kredit yang diberikan dan nilai agunan.
Jenis kesalahan dihitung per rekening (per baris).
Nama debitur tidak termasuk yang diperhitungkan dalam jenis
kesalahan.
Termasuk jenis kesalahan adalah pelanggaran/pelampauan yang tidak
dilaporkan.
Ayat (3) …
- 28 -
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29 …
- 29 -
Pasal 29
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “keadaan memaksa (force majeure)” adalah
keadaan yang secara nyata menyebabkan BPR tidak dapat menyusun
dan/atau menyampaikan laporan BMPK dan/atau koreksi laporan
BMPK secara on-line dan off-line, antara lain kebakaran, kerusuhan
massa, perang, sabotase, serta bencana alam seperti gempa bumi dan
banjir, yang dibenarkan oleh pejabat instansi yang berwenang dari
daerah setempat.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32 …
- 30 -
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR
5002
DKBU
"," PBI
11/13/PBI/2009
BATAS MAKSIMUM PEMBERIAN KREDIT BANK PERKREDITAN RAKYAT
17 April 2009
1 Juli 2009
17 April 2009
'31/61/KEP/DIR|SKDIR-BI/1998'
'6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '7/UU/1992', '10/UU/1998'
'BAB X'
"
" PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 8/28/PBI/2006
TENTANG
KEGIATAN USAHA PENGIRIMAN UANG
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa saat ini jumlah transaksi maupun nilai nominal
pengiriman uang baik di dalam wilayah Republik
Indonesia, dari dalam wilayah Republik Indonesia ke
luar wilayah Republik Indonesia, maupun dari luar
wilayah Republik Indonesia ke dalam wilayah Republik
Indonesia mengalami perkembangan yang cukup
signifikan;
b. bahwa sampai saat ini belum terdapat peraturan yang
secara khusus mengatur kegiatan usaha pengiriman uang;
c. bahwa agar kegiatan usaha pengiriman uang dapat
dilakukan secara lancar dan aman bagi seluruh pihak
terkait, dan kegiatan usaha pengiriman Uang dapat
memberikan dampak optimal bagi perkembangan
ekonomi nasional, serta untuk mencegah agar kegiatan
pengiriman uang tidak dimanfaatkan untuk melakukan
kegiatan pencucian uang, perlu adanya ketentuan yang
mengatur mengenai kegiatan usaha pengiriman uang;
d. bahwa …
-2-
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
pada huruf a, huruf b dan huruf c dipandang perlu untuk
mengatur kegiatan usaha pengiriman uang dalam
Peraturan Bank Indonesia.
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998
Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4357);
3. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak
Pidana Pencucian Uang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2002 Nomor 30, Tambahan Lembaran
Republik Indonesia Nomor 4191) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003
Nomor …
-3-
Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4324);
4. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003
Nomor 45, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4284);
5. Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/10/PBI/2001 tentang
Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your
Customer Principles) (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2001 Nomor 78, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4107) sebagaimana
telah diubah terakhir dengan Peraturan Bank Indonesia
Nomor 5/21/PBI/2003 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2003 Nomor 111, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4325);
6. Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/14/PBI/2005 tentang
Pembatasan Transaksi Rupiah dan Pemberian Kredit
Valuta Asing Oleh Bank (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2005 Nomor 50, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4504);
MEMUTUSKAN …
-4-
M E M U T U S K A N :
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG
KEGIATAN USAHA PENGIRIMAN UANG.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Bagian Pertama
Definisi
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini, yang dimaksud dengan:
1. Uang adalah dana dalam bentuk tunai atau non tunai.
2. Pengiriman Uang adalah kegiatan yang dilakukan penyelenggara
Pengiriman Uang untuk melaksanakan perintah tidak bersyarat dari
pengirim kepada penyelenggara pengiriman uang untuk mengirim uang
kepada penerima.
3. Penyelenggara Pengiriman Uang, yang selanjutnya disebut Penyelenggara,
adalah perorangan, badan usaha berbadan hukum dan badan usaha tidak
berbadan hukum di Indonesia yang bertindak sebagai agen pengirim
dan/atau agen penerima Pengiriman Uang.
4. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana
telah …
-5-
telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun
1998.
5. Agen Pengirim adalah perorangan, badan usaha berbadan hukum atau badan
usaha tidak berbadan hukum yang menerima sejumlah Uang dari pengirim
untuk disampaikan kepada penerima melalui agen penerima.
6. Agen Penerima adalah perorangan, badan usaha berbadan hukum atau
badan usaha tidak berbadan hukum yang menerima sejumlah Uang dari
Agen Pengirim untuk disampaikan kepada penerima.
7. Pengirim adalah perorangan, badan usaha berbadan hukum atau badan
usaha tidak berbadan hukum yang memberikan perintah Pengiriman Uang
kepada Agen Pengirim.
8. Penerima adalah perorangan, badan usaha berbadan hukum atau badan
usaha tidak berbadan hukum yang disebut dalam perintah Pengiriman Uang
untuk menerima Uang hasil Pengiriman Uang.
9. Money Transfer Operator, yang selanjutnya disebut Operator, adalah
perorangan, badan usaha berbadan hukum atau badan usaha tidak berbadan
hukum yang menyediakan sarana dan prasarana, termasuk sistem, yang
digunakan sebagai media dalam penyelenggaraan kegiatan usaha
Pengiriman Uang, dan/atau melakukan kegiatan penerimaan dan penerusan
data dan/atau informasi terkait dari suatu Penyelenggara kepada
Penyelenggara lain untuk disampaikan kepada Penerima.
10. Pendaftaran adalah kegiatan Penyelenggara untuk mencatatkan identitas
kegiatan usaha Pengiriman Uang Penyelenggara dimaksud di Bank
Indonesia.
11. Perizinan …
-6-
11. Perizinan adalah kegiatan Penyelenggara untuk memperoleh izin kegiatan
usaha Pengiriman Uang dari Bank Indonesia yang dilakukan setelah
berakhirnya batas waktu Pendaftaran.
12. Daftar Penyelenggara, yang terdiri dari Daftar Penyelenggara Pengiriman
Uang yang Terdaftar di Bank Indonesia atau Daftar Penyelenggara yang
Telah Memperoleh Izin dari Bank Indonesia, adalah suatu daftar yang
diterbitkan oleh Bank Indonesia yang berisi identitas Penyelenggara yang
telah melakukan Pendaftaran di Bank Indonesia atau telah memperoleh izin
dari Bank Indonesia.
Bagian Kedua
Cakupan Kegiatan Usaha Pengiriman Uang
Pasal 2
(1) Ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini berlaku untuk kegiatan usaha
Pengiriman Uang yang dilakukan:
a. dari luar wilayah Republik Indonesia ke dalam wilayah Republik
Indonesia;
b. dari dalam wilayah Republik Indonesia ke luar wilayah Republik
Indonesia; dan/atau
c. di dalam wilayah Republik Indonesia.
(2) Pengiriman Uang dari dalam wilayah Republik Indonesia ke luar wilayah
Republik Indonesia maupun dari luar wilayah Republik Indonesia ke dalam
wilayah Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
dan …
-7-
dan huruf b hanya dapat dilakukan dalam bentuk Pengiriman Uang non
tunai.
(3) Pengiriman Uang dalam wilayah Republik Indonesia sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c dapat dilakukan dalam bentuk Pengiriman
Uang tunai maupun non tunai.
(4) Pengiriman Uang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib mengacu pada
peraturan perundang-undangan mengenai pembatasan transaksi rupiah dan
pemberian kredit dalam valuta asing.
Pasal 3
Penyelenggara dapat melakukan kegiatan Pengiriman Uang melalui jaringan
yang dimiliki sendiri oleh Penyelenggara atau melalui jaringan yang dimiliki atau
disediakan oleh Operator berdasarkan kerjasama antara Penyelenggara dengan
Operator.
BAB II
PENYELENGGARA DAN OPERATOR
Bagian Pertama
Penyelenggara
Pasal 4
(1) Pihak yang dapat melakukan kegiatan usaha Pengiriman Uang terdiri dari:
a. perorangan Warga Negara Indonesia;
b. badan …
-8-
b. badan usaha yang berbadan hukum, yang didirikan oleh Warga Negara
Indonesia, Badan Hukum Indonesia, Warga Negara Asing dan/atau
Badan Hukum Asing; dan/atau
c. badan usaha yang tidak berbadan hukum, yang didirikan berdasarkan
hukum Indonesia, dimiliki oleh Warga Negara Indonesia dan/atau badan
usaha lainnya.
(2) Pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c dapat
melakukan kegiatan usaha Pengiriman Uang jika:
a. berdasarkan peraturan perundang-undangan, anggaran dasar atau
persetujuan/izin yang diberikan oleh instansi yang berwenang dapat
melakukan kegiatan usaha Pengiriman Uang; dan
b. tidak dilarang melakukan kegiatan usaha Pengiriman Uang berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang mengatur badan usaha tersebut.
Bagian Kedua
Kerjasama dengan Operator
Pasal 5
(1) Kerjasama antara Penyelenggara dengan Operator sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 dilakukan berdasarkan perjanjian secara tertulis.
(2) Perjanjian kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memuat
hak dan kewajiban masing-masing pihak dengan memperhatikan peraturan
perundang-undangan.
(3) Penyelenggara wajib menyampaikan fotokopi perjanjian kerjasama
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Bank Indonesia.
BAB …
-9-
BAB III
PERIZINAN DAN PERSYARATAN PENYELENGGARA
Bagian Pertama
Perizinan
Pasal 6
(1) Perorangan, badan usaha yang berbadan hukum dan badan usaha yang tidak
berbadan hukum yang akan melakukan kegiatan usaha Pengiriman Uang
wajib terlebih dahulu memperoleh izin sebagai Penyelenggara dari Bank
Indonesia.
(2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diajukan secara tertulis
kepada Bank Indonesia.
(3) Bank Indonesia memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan
izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah permohonan izin dan
dokumen yang dipersyaratkan diterima secara lengkap dalam jangka waktu
yang telah ditetapkan oleh Bank Indonesia.
(4) Bank Indonesia dapat menetapkan jangka waktu izin kegiatan usaha
Pengiriman Uang yang diberikan kepada Penyelenggara.
(5) Bank Indonesia tidak mengenakan biaya kepada pihak-pihak yang
mengajukan permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 7
Izin kegiatan usaha Pengiriman Uang yang diberikan Bank Indonesia kepada
Penyelenggara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) tidak dapat
dialihkan kepada pihak lain.
Pasal …
-10-
Pasal 8
(1) Bank Indonesia mencantumkan setiap identitas perorangan, badan usaha
yang berbadan hukum dan badan usaha yang tidak berbadan hukum yang
telah memperoleh izin sebagai Penyelenggara dalam Daftar Penyelenggara.
(2) Bank Indonesia mempublikasikan Daftar Penyelenggara sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
Bagian Kedua
Persyaratan
Paragraf 1
Perorangan Warga Negara Indonesia
Pasal 9
(1) Perorangan Warga Negara Indonesia yang mengajukan permohonan izin
kegiatan usaha Pengiriman Uang harus menyampaikan dokumen-dokumen
sebagai berikut:
a. fotokopi kartu tanda penduduk;
b. surat keterangan domisili/tempat tinggal dari kelurahan/kepala desa
setempat;
c. surat pernyataan kesanggupan pemohon untuk tidak menyalahgunakan
Uang yang dikirim dan/atau diterima;
d. surat pernyataan kesanggupan pemohon untuk menatausahakan secara
terpisah antara Uang yang dikirim dan/atau diterima dengan kekayaan
pribadi pemohon;
e. informasi …
-11-
e. informasi mengenai tempat usaha dan sarana prasarana yang digunakan
oleh pemohon sebagai Penyelenggara; dan
f. prosedur pengiriman dan/atau penerimaan Uang.
(2) Perorangan Warga Negara Indonesia yang telah memperoleh izin sebagai
Penyelenggara kegiatan usaha Pengiriman Uang harus mengetahui dan
mengenal identitas pihak-pihak yang akan menggunakan jasanya.
Paragraf 2
Badan Usaha yang Berbadan Hukum
Pasal 10
Badan usaha yang berbadan hukum mengajukan permohonan izin kegiatan usaha
Pengiriman Uang dengan melampirkan dokumen-dokumen sebagai berikut:
a. fotokopi akte pendirian badan hukum Indonesia dan perubahannya apabila
ada, yang telah memperoleh pengesahan dari instansi yang berwenang;
b. surat pernyataan pengurus dalam bentuk akta otentik yang menyatakan
kesanggupan Penyelenggara untuk:
1. bertanggung jawab apabila terdapat penyalahgunaan Uang yang dikirim
dan/atau diterima; dan
2. memisahkan penatausahaan Uang yang dikirim dan/atau diterima dari
harta kekayaan Penyelenggara;
c. fotokopi surat keterangan domisili badan usaha yang bersangkutan dari
lurah/kepala desa setempat;
d. mekanisme …
-12-
d. mekanisme pengelolaan risiko yang sekurang-kurangnya meliputi:
1. penerapan prinsip mengenal nasabah;
2. metode monitoring Uang yang dikirim dan/atau diterima; dan
3. mekanisme penyelesaian permasalahan termasuk permasalahan mengenai
Uang kiriman yang terlambat atau tidak sampai kepada Penerima yang
dituju;
e. bukti kesiapan operasional yang antara lain meliputi:
1. sumber daya manusia yang memadai;
2. kesiapan tempat usaha;
3. sarana dan peralatan untuk melakukan kegiatan pengiriman dan/atau
penerimaan Uang; dan
4. mekanisme dan prosedur dalam melakukan kegiatan pengiriman dan/atau
penerimaan Uang.
Paragraf 3
Badan Usaha yang Tidak Berbadan Hukum
Pasal 11
Badan Usaha yang tidak berbadan hukum mengajukan permohonan izin kegiatan
usaha Pengiriman Uang dengan melampirkan dokumen-dokumen sebagai
berikut:
a. fotokopi surat keterangan domisili badan usaha dari lurah/kepala desa
setempat;
b. surat …
-13-
b. surat pernyataan pengurus dalam bentuk akta otentik yang menyatakan
kesanggupan Penyelenggara untuk:
1. bertanggung jawab apabila terdapat penyalahgunaan Uang yang dikirim
dan/atau diterima; dan
2. memisahkan penatausahaan Uang yang dikirim dan/atau diterima dari
harta kekayaan Penyelenggara;
c. mekanisme pengelolaan risiko yang sekurang-kurangnya meliputi:
1. penerapan prinsip mengenal nasabah;
2. metode monitoring Uang yang dikirim; dan
3. mekanisme penyelesaian permasalahan termasuk permasalahan mengenai
Uang kiriman yang terlambat atau tidak sampai kepada Penerima yang
dituju;
d. bukti kesiapan operasional yang antara lain meliputi:
1. sumber daya manusia yang memadai;
2. kesiapan tempat usaha;
3. sarana dan peralatan untuk melakukan kegiatan usaha Pengiriman Uang;
dan
4. mekanisme dan prosedur dalam melakukan kegiatan usaha Pengiriman
Uang.
Pasal 12
(1) Penyelenggara dapat membuka kantor cabang Pengiriman Uang di seluruh
wilayah Indonesia.
(2) Penyelenggara …
-14-
(2) Penyelenggara yang akan melakukan pembukaan kantor cabang
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib terlebih dahulu melaporkan
secara tertulis kepada Bank Indonesia.
BAB IV
PELAPORAN OPERATOR OLEH PENYELENGGARA
Pasal 13
Penyelenggara yang melakukan kerjasama dengan Operator wajib
menyampaikan laporan kerjasama yang antara lain meliputi:
a.
b.
fotokopi perjanjian kerjasama antara Penyelenggara dan Operator;
informasi singkat mengenai profil perusahaan Operator; dan
c. hasil audit dari security auditor yang menjelaskan kehandalan dan
keamanan operasional teknologi informasi yang dipergunakan oleh
Operator.
BAB V
KEWAJIBAN PENYELENGGARA
Pasal 14
Dalam melakukan kegiatan usaha Pengiriman Uang, Penyelenggara wajib
melakukan hal-hal sebagai berikut:
a. melakukan pencatatan transaksi Pengiriman Uang;
b. menyampaikan laporan secara berkala maupun insidentil kepada Bank
Indonesia;
c. menyampaikan …
-15-
c. menyampaikan laporan secara tertulis kepada Bank Indonesia apabila terjadi
perubahan pengurus, dengan dilengkapi surat pernyataan dari pengurus baru
yang dituangkan dalam akta otentik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10
huruf b dan Pasal 11 huruf b;
d. menjamin bahwa Uang yang diserahkan oleh Pengirim disampaikan dan
diterima oleh Penerima yang berhak dalam waktu yang telah disepakati;
e. memberikan informasi kepada Pengirim sehubungan dengan Pengiriman
Uang yang bersangkutan;
f. menyimpan dokumen yang terkait dengan Pengiriman Uang sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang mengatur dokumen perusahaan; dan
g. melaporkan transaksi yang mencurigakan kepada lembaga yang berwenang
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai
tindak pidana pencucian uang.
Pasal 15
Dalam menyelenggarakan kegiatan usaha Pengiriman Uang, Penyelenggara
wajib memperhatikan prinsip-prinsip persaingan usaha yang sehat sebagaimana
diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Pasal 16
Penyelenggara bertanggung jawab atas terlaksananya Pengiriman Uang sampai
Uang diterima oleh Penerima.
BAB …
-16-
BAB VI
PENGHENTIAN KEGIATAN SEBAGAI PENYELENGGARA
Pasal 17
(1) Bank Indonesia berwenang untuk menghentikan kegiatan sebagai
Penyelenggara dalam hal:
a. Penyelenggara dikenakan sanksi pencabutan izin usaha sebagaimana
diatur dalam Bab VIII;
b. Terdapat putusan pengadilan yang menghukum Penyelenggara untuk
menghentikan kegiatan usaha Pengiriman Uang yang dilakukannya;
c. Adanya permintaan tertulis/rekomendasi kepada Bank Indonesia dari
otoritas pengawas yang berwenang untuk menghentikan kegiatan
usaha Penyelenggara, atau otoritas pengawas dimaksud telah
menghentikan kegiatan usaha Penyelenggara;
d.
Izin kegiatan usaha Pengiriman Uang yang diberikan kepada
Penyelenggara dalam satu kesatuan dengan izin kegiatan usaha lainnya
oleh instansi yang berwenang dicabut oleh instansi tersebut; atau
e. Terdapat permintaan sendiri dari Penyelenggara yang bersangkutan.
(2) Penghentian kegiatan sebagai Penyelenggara sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan dengan mencabut izin kegiatan usaha dimaksud.
Pasal 18
Penyelenggara harus melaporkan secara tertulis kepada Bank Indonesia jika akan
menghentikan kegiatan Pengiriman Uang atas permintaan sendiri sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf e.
Pasal …
-17-
Pasal 19
Laporan penghentian kegiatan usaha Pengiriman Uang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 18 wajib memuat bukti telah menyelesaikan seluruh kewajiban
Penyelenggara kepada Pengirim dan/atau Penerima, berupa:
a. penyerahan dokumen penyelesaian hak dan kewajiban kepada Bank
Indonesia; dan
b. pernyataan dari pengurus atau pemilik bahwa segala tuntutan yang timbul
setelah dicabutnya izin usaha Pengiriman Uang menjadi tanggung jawab
sepenuhnya dari pengurus, atau pemilik jika Penyelenggara adalah
perorangan.
BAB VII
PENGAWASAN
Pasal 20
Bank Indonesia melakukan pengawasan baik secara langsung maupun tidak
langsung terhadap Penyelenggara.
Pasal 21
(1) Pengawasan langsung dilakukan secara berkala atau setiap waktu apabila
diperlukan.
(2) Dalam rangka pengawasan langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Penyelenggara wajib memberikan:
a. keterangan …
-18-
a. keterangan dan/atau data yang terkait dengan penyelenggaraan
kegiatan usaha Pengiriman Uang;
b. kesempatan untuk melakukan pengawasan terhadap sarana fisik dan
sistem pendukung yang terkait dengan penyelenggaraan kegiatan usaha
Pengiriman Uang; dan/atau
c. kesempatan untuk melakukan pengawasan terhadap hal-hal lain yang
diperlukan.
(3) Berdasarkan hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Bank
Indonesia dapat melakukan pembinaan dan/atau pengenaan sanksi.
Pasal 22
Bank Indonesia dapat menugaskan pihak lain untuk dan atas nama Bank
Indonesia melaksanakan pengawasan secara langsung sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21 ayat (1).
Pasal 23
Dalam rangka pengawasan tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal
20, Penyelenggara wajib menyampaikan laporan tertulis kepada Bank Indonesia
baik secara berkala dan/atau setiap waktu apabila diperlukan mengenai kegiatan
usaha Pengiriman Uang.
BAB VIII
SANKSI
Pasal 24
Perorangan, badan usaha yang berbadan hukum atau badan usaha yang tidak
berbadan hukum yang melakukan kegiatan usaha Pengiriman Uang tanpa izin
setelah …
-19-
setelah tanggal 31 Desember 2008 dapat dilaporkan kepada pihak yang berwajib
menurut peraturan perundang-undangan.
Pasal 25
(1) Penyelenggara yang membuka kantor cabang tanpa terlebih dahulu
melaporkan secara tertulis kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 12 ayat (2) dikenakan sanksi berupa teguran tertulis.
(2) Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender terhitung sejak
tanggal teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Penyelenggara
tidak melaporkan pembukaan kantor cabangnya, kepada Penyelenggara
tersebut dikenakan sanksi penutupan kantor cabang.
(3) Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender terhitung sejak
tanggal pemberitahuan penutupan dari Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) kantor cabang tersebut masih beroperasi, kepada
Penyelenggara tersebut dikenakan sanksi pencabutan izin kegiatan usaha
Pengiriman Uang.
Pasal 26
(1) Penyelenggara yang melanggar ketentuan Pasal 13, Pasal 14 huruf a sampai
dengan huruf f, dan Pasal 23 dikenakan sanksi berupa teguran tertulis.
(2) Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender sejak tanggal
teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Penyelenggara tetap
tidak melaksanakan ketentuan Pasal 13, Pasal 14 huruf a sampai dengan
huruf f, dan Pasal 23, Penyelenggara dikenakan sanksi berupa teguran
tertulis kedua.
(3) Apabila …
-20-
(3) Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalendar sejak tanggal
teguran tertulis kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Penyelenggara
tetap tidak memenuhi ketentuan dalam Pasal 13, Pasal 14 huruf a sampai
dengan huruf f, dan Pasal 23, Penyelenggara dikenakan sanksi sebagai
berikut:
a. Dalam hal Penyelenggara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)
huruf b berupa Bank maka dikenakan sanksi dalam rangka pengawasan
bank sesuai ketentuan yang berlaku.
b. Dalam hal Penyelenggara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)
huruf a, b, dan huruf c berupa selain Bank maka dikenakan sanksi
berupa pencabutan izin kegiatan usaha Pengiriman Uang dan
penghapusan dari Daftar Penyelenggara.
Pasal 27
(1) Penyelenggara yang melanggar ketentuan Pasal 14 huruf g, dikenakan
sanksi oleh lembaga yang berwenang sesuai peraturan perundang-undangan
yang mengatur mengenai tindak pidana pencucian uang.
(2) Bank Indonesia dapat mengenakan sanksi pencabutan izin kegiatan usaha
Pengiriman Uang terhadap Penyelenggara sebagaimana dimaksud pada ayat
(1).
Pasal 28
Bank Indonesia dapat melaporkan kepada pihak yang berwajib sesuai dengan
peraturan perundang-undangan jika Penyelenggara menghentikan kegiatan usaha
Pengiriman Uang tanpa memenuhi kewajibannya kepada Pengirim dan/atau
Penerima sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19.
Pasal …
-21-
Pasal 29
Penyelenggara yang tidak memberikan keterangan, data, hal-hal lain yang
diperlukan dalam rangka pengawasan, dan/atau tidak memberi kesempatan
pengawas untuk melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21
ayat (2), dikenakan sanksi penghentian kegiatan sebagai Penyelenggara.
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
Bagian Pertama
Ketentuan Pendaftaran Pada Masa Transisi
Pasal 30
(1) Perorangan, badan usaha yang berbadan hukum atau badan usaha yang tidak
berbadan hukum yang telah melakukan kegiatan usaha Pengiriman Uang
sebelum ditetapkannya Peraturan Bank Indonesia ini atau yang akan
melakukan kegiatan usaha Pengiriman Uang setelah ditetapkannya
Peraturan Bank Indonesia ini, harus melakukan Pendaftaran kepada Bank
Indonesia dengan memenuhi persyaratan yang ditetapkan.
(2) Pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam masa
transisi yaitu sejak tanggal ditetapkannya Peraturan Bank Indonesia ini
sampai dengan tanggal 31 Desember 2008.
(3) Dalam hal Penyelenggara telah memiliki kantor cabang dan/atau telah
melakukan perjanjian kerjasama dengan Operator sebelum berlakunya
Peraturan Bank Indonesia ini, keharusan melakukan Pendaftaran
sebagaimana …
-22-
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk pula melaporkan seluruh
kantor cabangnya dan/atau menyampaikan fotokopi perjanjian kerjasama
Penyelenggara dengan Operator kepada Bank Indonesia.
Pasal 31
(1) Perorangan, badan usaha yang berbadan hukum atau badan usaha yang
tidak berbadan hukum yang sudah mengajukan permohonan untuk
melakukan kegiatan usaha Pengiriman Uang kepada Bank Indonesia
sebagai Penyelenggara sebelum ditetapkannya Peraturan Bank Indonesia
ini, akan diproses lebih lanjut oleh Bank Indonesia sebagai permohonan
Pendaftaran.
(2) Bank Indonesia mencantumkan identitas Penyelenggara dalam Daftar
Penyelenggara terhadap permohonan yang telah memenuhi persyaratan
yang telah ditetapkan oleh Bank Indonesia.
(3) Penyelenggara yang telah dicantumkan dalam Daftar Penyelenggara
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus melengkapi persyaratan
perizinan sebagaimana dimaksud dalam Bab III Bagian Kedua paling
lambat tanggal 31 Desember 2008 untuk diproses lebih lanjut oleh Bank
Indonesia.
(4) Bank Indonesia memberikan izin kegiatan usaha kepada Penyelenggara
yang telah memenuhi persyaratan perizinan sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) dan mencantumkan identitas Penyelenggara dalam Daftar
Penyelenggara.
(5) Bank Indonesia menghapus identitas Penyelenggara dari Daftar
Penyelenggara apabila Penyelenggara tidak melengkapi persyaratan
sebagaimana …
-23-
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sampai dengan tanggal 31 Desember
2008.
Bagian Kedua
Pemberlakuan Ketentuan Perizinan Setelah Berakhirnya Masa Transisi
Pasal 32
Dalam hal Penyelenggara berbentuk badan usaha yang berbadan hukum
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b berupa Bank, ketentuan
sebagaimana diatur dalam BAB III Perizinan dan Persyaratan Penyelenggara,
BAB VI Penghentian Kegiatan sebagai Penyelenggara dan BAB IX Ketentuan
Peralihan tidak berlaku.
Pasal 33
Petunjuk pelaksanaan Peraturan Bank Indonesia ini diatur lebih lanjut dalam
Surat Edaran Bank Indonesia
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 34
(1) Ketentuan dalam Bab I, Bab II, Bab IX Bagian Pertama dan Bab X mulai
berlaku pada tanggal ditetapkannya Peraturan Bank Indonesia ini.
(2) Ketentuan dalam Bab III sampai dengan Bab VIII, dan Bab IX Bagian
Kedua mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2009.
Pasal …
-24-
Pasal 35
Keikutsertaan Bank Perkreditan Rakyat dalam kegiatan usaha Pengiriman Uang
akan diatur dalam Peraturan Bank Indonesia tersendiri.
Pasal 36
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 5 Desember 2006
GUBERNUR BANK INDONESIA,
BURHANUDDIN ABDULLAH
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2006 NOMOR 98
DASP
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 8/28/PBI/2006
TENTANG
KEGIATAN USAHA PENGIRIMAN UANG
UMUM
Pengiriman Uang khususnya yang bersifat lintas batas telah banyak
dilakukan oleh pelaku ekonomi di seluruh dunia termasuk dalam hal ini tenaga
kerja Indonesia yang berada di luar negeri. Hal tersebut tercermin dari transaksi
Pengiriman Uang yang terus menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun baik
dari sisi jumlah maupun nilai nominal.
Kelancaran kegiatan usaha Pengiriman Uang merupakan salah satu
pendukung perekonomian nasional dan memerlukan pengaturan yang menjamin
kepastian, keamanan dan perlindungan hukum khususnya kepada pihak penerima
kiriman Uang di Indonesia yang pada umumnya adalah keluarga tenaga kerja
Indonesia di luar negeri.
Pengiriman Uang pada dasarnya merupakan kegiatan transfer dana. Berbeda
dengan transfer dana biasa, sesuai definisi dari Bank Dunia dan Bank for
International Settlements dalam General Principles for International Remittance
Services Consultative Report March 2006 kegiatan Pengiriman Uang dilakukan
tanpa kompensasi atau imbal balik berupa barang dan/atau jasa dari penerima
kepada pengirim atau sebaliknya. Dalam prakteknya, Penyelenggara tidak harus
membuktikan apakah Pengiriman Uang yang dilakukan terdapat kompensasi atau
imbal balik barang dan/atau jasa.
Kegiatan …
-2-
Kegiatan Pengiriman Uang yang terjadi dalam wilayah Republik Indonesia
maupun yang bersifat lintas batas belum sepenuhnya terdata dengan baik dan
akurat. Data yang akurat diperlukan Bank Indonesia dalam rangka penyusunan
neraca pembayaran dan melakukan proyeksi moneter serta di sisi lain akan
mempermudah Pemerintah dalam melakukan optimalisasi potensi dana dari
Pengiriman Uang, serta untuk kepentingan lainnya seperti upaya dalam
peningkatan investasi Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM). Di samping itu,
Pengiriman Uang yang dilakukan oleh tenaga kerja Indonesia di luar negeri dapat
mendukung stabilitas nilai tukar. Penyedia jasa Pengiriman Uang yang terdata
dengan baik melalui pengaturan akan memberikan perlindungan hukum,
kepastian dan keamanan bertransaksi bagi Pengirim maupun Penerima Uang.
Pengaturan dan pengawasan kegiatan usaha Pengiriman Uang yang
dilakukan Bank Indonesia lebih ditujukan agar seluruh Penyelenggara melakukan
kegiatannya secara lebih tertib, transparan dan bertanggung jawab, sehingga
informasi yang diperoleh dapat dimanfaatkan secara optimal dalam mendorong
kelancaran jasa pembayaran dan menggiatkan perekonomian secara umum.
Pengaturan kegiatan usaha Pengiriman Uang dilakukan oleh Bank Indonesia
melalui pendaftaran dan perizinan. Pendaftaran Penyelenggara dilakukan dalam
masa transisi sampai dengan 31 Desember 2008 dan ditujukan untuk mencatat
Penyelenggara di Indonesia baik yang sudah ada maupun yang baru akan
melakukan kegiatan. Setelah berakhirnya masa transisi, setiap Penyelenggara
wajib terlebih dahulu memperoleh izin dari Bank Indonesia.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal …
-3-
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Peraturan perundang-undangan mengenai pembatasan transaksi
rupiah antara lain adalah PBI Nomor 7/14/PBI/2005 tentang
Pembatasan Transaksi Rupiah dan Pemberian Kredit Valuta Asing
Oleh Bank beserta perubahannya.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Badan usaha/badan hukum yang berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang mengatur badan usaha tersebut
dapat melakukan kegiatan usaha Pengiriman Uang misalnya
PT. Pos Indonesia.
Huruf b
Cukup jelas.
Pasal …
-4-
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Peraturan perundang-undangan antara lain undang-undang yang
mengatur mengenai larangan praktek monopoli dan persaingan
usaha tidak sehat.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 6
Ayat (1)
Izin terhadap perorangan diberikan atas nama pribadi dari
pemohon.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal …
-5-
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Publikasi dapat dilakukan melalui website Bank Indonesia
dan/atau media lain seperti penerbitan booklet. Daftar
Penyelenggara dapat pula disampaikan kepada instansi terkait.
Pasal 9
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Informasi tempat usaha meliputi antara lain alamat dan
lokasi tempat usaha, serta status kepemilikan tempat usaha
(sewa/milik sendiri).
Huruf f
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pengetahuan dan pengenalan identitas pihak-pihak yang
menggunakan jasa Penyelenggara ini dimaksudkan sebagai
penerapan Prinsip Mengenal Nasabah.
Pasal …
-6-
Pasal 10
Badan usaha selain Bank yang berbadan hukum Indonesia dan dapat
menjalankan kegiatan usaha misalnya Perseroan Terbatas dan koperasi.
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Pengertian pengurus sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang menjadi dasar hukum dari masing-masing bentuk badan
hukum.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Angka 1
Prinsip mengenal nasabah adalah prinsip yang diterapkan
oleh Penyelenggara untuk mengetahui antara lain identitas
Pengirim dan/atau Penerima, memantau kegiatan usaha
Pengiriman Uang, dan melaporkan transaksi yang
mencurigakan sebagaimana diatur dalam peraturan
perundang-undangan mengenai tindak pidana pencucian
Uang dan/atau prinsip mengenal nasabah sesuai dengan
ketentuan yang berlaku bagi badan usaha tersebut.
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Cukup jelas.
Huruf …
-7-
Huruf e
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Cukup jelas.
Angka 4
Bukti kesiapan mengenai mekanisme dan prosedur dapat
berbentuk pedoman internal Penyelenggara dalam
melakukan kegiatan usaha Pengiriman Uang.
Pasal 11
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Pengertian pengurus sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang menjadi dasar hukum dari masing-masing bentuk badan hukum.
Huruf c
Angka 1
Prinsip mengenal nasabah adalah prinsip yang diterapkan
oleh Penyelenggara untuk mengetahui antara lain identitas
Pengirim dan/atau Penerima, memantau kegiatan usaha
Pengiriman Uang, dan melaporkan transaksi yang
mencurigakan sebagaimana diatur dalam peraturan
perundang-undangan mengenai tindak pidana pencucian
Uang dan/atau prinsip mengenal nasabah sesuai dengan
ketentuan yang berlaku bagi badan usaha tersebut.
Angka …
-8-
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Cukup jelas.
Huruf d
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Cukup jelas.
Angka 4
Bukti kesiapan mengenai mekanisme dan prosedur dapat
berbentuk pedoman internal Penyelenggara dalam
melakukan kegiatan usaha Pengiriman Uang.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf …
-9-
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Informasi yang wajib disampaikan oleh Penyelenggara kepada
Pengirim antara lain lamanya waktu pelaksanaan Pengiriman
Uang, biaya dan syarat-syarat Pengiriman Uang, nilai kurs serta
hak dan kewajiban Penyelenggara dan Pengirim dan Penerima.
Huruf f
Dokumen yang dimaksud pada ayat ini, antara lain slip transaksi
dan bukti-bukti Pengiriman Uang dalam jangka waktu
sebagaimana diatur dalam undang-undang yang mengatur
mengenai dokumen perusahaan.
Huruf g
Kewajiban melapor dalam peraturan perundang-undangan yang
mengatur mengenai tindak pidana pencucian Uang diberlakukan
kepada penyedia jasa keuangan.
Yang dimaksud dengan transaksi yang mencurigakan adalah
transaksi yang menyimpang dari profil, karakteristik atau
kebiasaan pola transaksi dari nasabah yang bersangkutan.
Pasal 15
Yang dimaksud dengan ”peraturan perundang-undangan” antara lain
Undang-Undang yang mengatur mengenai larangan praktek monopoli dan
persaingan usaha tidak sehat.
Pasal …
-10-
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Permintaan tertulis dari otoritas pengawas yang berwenang
untuk menghentikan usaha Penyelenggara kepada Bank
Indonesia antara lain didasarkan pada pertimbangan adanya
pelanggaran terhadap ketentuan yang dikeluarkan oleh
otoritas yang berwenang tersebut.
Huruf d
Izin dalam satu kesatuan dengan izin kegiatan usaha lain
misalnya izin yang diberikan oleh Direktorat Jenderal Pos
dan Telekomunikasi kepada perusahaan Jasa Titipan yang
meliputi izin jasa pengiriman paket barang, jasa pengiriman
surat, dan transaksi jasa keuangan.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal …
-11-
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Pengawasan secara tidak langsung antara lain dilakukan melalui analisa
terhadap laporan yang disampaikan oleh Penyelenggara.
Pasal 21
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Pembinaan dilakukan antara lain dengan memberikan arahan dan
meminta koreksi/perbaikan.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal …
-12-
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Tanggal 31 Desember 2008 adalah batas akhir diterimanya surat
permohonan Pendaftaran oleh Bank Indonesia.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 31
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan Daftar Penyelenggara dalam ayat ini adalah
Daftar Penyelenggara Pengiriman Uang yang Terdaftar di Bank
Indonesia.
Ayat …
-13-
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan Daftar Penyelenggara dalam ayat ini adalah
Daftar Penyelenggara Pengiriman Uang yang Telah Memperoleh
Izin dari Bank Indonesia.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 32
Ketentuan BAB III Perizinan dan Persyaratan Penyelenggara, BAB VI
Penghentian Kegiatan sebagai Penyelenggara dan BAB IX Ketentuan
Peralihan tidak berlaku untuk Bank mengingat kegiatan Pengiriman Uang
merupakan bagian dari kegiatan usaha Bank.
Pasal 33
Ketentuan yang diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia antara lain
mengenai:
a. Tatacara permohonan dan pemberian izin, termasuk jangka waktu
pemberian persetujuan atau penolakan oleh Bank Indonesia;
b. Tatacara pelaporan pembukaan kantor cabang;
c. Tatacara penyampaian laporan kerjasama antara Penyelenggara
dengan Operator;
d. Tatacara pelaporan dan pencatatan mengenai transaksi Pengiriman
Uang, penyampaian laporan secara berkala maupun insidentil
kepada Bank Indonesia dan penyampaian laporan secara tertulis
kepada Bank Indonesia apabila terjadi perubahan pengurus;
e. Tatacara pelaporan penghentian kegiatan Penyelenggara;
f. Tatacara …
-14-
f. Tatacara penghentian kegiatan Penyelenggara;
g. Penetapan jangka waktu perizinan;
h. Tatacara dan syarat Pendaftaran, pelaporan, penghentian kegiatan
usaha dan penghapusan dari Daftar Penyelenggara dalam Masa
Transisi; dan
i. Tatacara dan bentuk pelaporan kantor cabang dan/atau kerjasama
antara Penyelenggara dengan Operator selama Masa Transisi.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4665
"," PBI
8/28/PBI/2006
KEGIATAN USAHA PENGIRIMAN UANG
5 Desember 2006
5 Desember 2006
'25/UU/2003', '15/UU/2003', '7/14/PBI/2005', '23/UU/1999', '3/UU/2004', '7/UU/1992', '5/21/PBI/2003', '10/UU/1998', '3/10/PBI/2001', '15/UU/2002'
'BAB VIII'
"
" PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 6/13 /PBI/2004
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR
6/8/PBI/2004 TENTANG SISTEM BANK INDONESIA
REAL TIME GROSS SETTLEMENT
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka mendukung pendanaan kredit
program oleh Pemerintah kepada usaha mikro dan kecil
perlu dilakukan perubahan terhadap penggunaan sarana
pembebanan atas rekening giro melalui Sistem Bank
Indonesia Real Time Gross Settlement;
b. bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas dipandang
perlu untuk melakukan perubahan atas Peraturan Bank
Indonesia Nomor 6/8/PBI/2004 (Lembaran
Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 28, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 4373) tentang Sistem Bank
Indonesia Real Time Gross Settlement;
Mengingat
: 1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992
Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3472)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang
Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik
Indonesia …
-2-
Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3790);
2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang
Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 4357);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan
:
PERATURAN BANK INDONESIA
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 6/8/PBI/2004 TENTANG SISTEM BANK
INDONESIA REAL TIME GROSS SETTLEMENT.
Pasal I
Menambah satu ayat dalam Pasal 23 sehingga seluruhnya berbunyi sebagai
berikut :
“Pasal 23
(1) Transaksi yang dilakukan oleh Peserta Langsung melalui Sistem
BI-RTGS didasarkan pada warkat pembukuan yang formatnya diatur oleh
masing-masing Peserta.
(2) Peserta …
-3-
(2) Peserta Langsung yang mengalami gangguan RT Server sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) dan ayat (3) serta Peserta Tidak
Langsung wajib menggunakan Bilyet Giro Bank Indonesia atau, khusus
untuk penarikan tunai, menggunakan Cek Bank Indonesia.
(3) Khusus untuk transaksi-transaksi tertentu antara Peserta Langsung dengan
Pemerintah yang telah mendapat persetujuan Bank Indonesia, Peserta
Langsung dapat menggunakan Bilyet Giro Bank Indonesia
dibukukan oleh Penyelenggara melalui Sistem BI-RTGS.
Pasal II
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
untuk
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 9 Juni 2004
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Ttd
BURHANUDDIN ABDULLAH
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 49
DASP
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 6/ 13 /PBI/2004
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR
6/8/PBI/2004 TENTANG SISTEM BANK INDONESIA
REAL TIME GROSS SETTLEMENT
PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Pasal 23
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Persetujuan Bank Indonesia dalam ayat ini diberikan sepanjang
transaksi-transaksi antara Peserta Langsung dengan Pemerintah
tersebut terkait dengan tugas Bank Indonesia dalam bidang
moneter, perbankan, dan sistem pembayaran.
Pasal II
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4387
DASP
"," PBI
6/13/PBI/2004
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 6/8/PBI/2004 TENTANG SISTEM BANK INDONESIA REAL TIME GROSS SETTLEMENT
9 Juni 2004
9 Juni 2004
'6/8/PBI/2004'
'23/UU/1999', '7/UU/1992', '3/UU/2004', '10/UU/1998'
"
" PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 3/ 4 /PBI/2001
TENTANG
PERUBAHAN PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 2/13/PBI/2000 TENTANG
JAMINAN PEMBIAYAAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan kembali kegiatan ekonomi nasional
khususnya kegiatan perdagangan internasional, maka dipandang perlu
untuk memberikan kepastian jaminan kepada bank kreditur melalui
perpanjangan periode penjaminan;
b. bahwa berhubung dengan itu dipandang perlu untuk melakukan perubahan
Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/13/PBI/2000 tentang Jaminan
Pembiayaan Perdagangan Internasional dengan Peraturan
Indonesia.
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472), sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 182 Tahun 1998, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843);
3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan
Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara Republik
- 2 -
Bank
Indonesia Tahun 1999 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3844);
4. Peraturan Bank Indonesia Nomor No. 1/3/PBI/1999 tanggal 13 Agustus
1999 tentang Penyelenggaraan Kliring Lokal dan Penyelesaian Akhir
Transaksi Pembayaran Antar Bank Atas Hasil Kliring Lokal (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 139, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3873) sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/4/PBI/2000
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 9, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3927);
5. Peraturan Bank Indonesia Nomor 1/9/PBI/1999 tanggal 28 Oktober 1999
tentang Pemantauan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Bank dan Lembaga
Keuangan Non Bank (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3915).
6. Peraturan Bank Indonesia Nomor No. 2/13/PBI/2000 tanggal 16 Mei
2000 tentang Jaminan Pembiayaan Perdagangan Internasional (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 58, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3954).
Memperhatikan : 1. Kesepakatan Bersama Menteri Keuangan dengan Gubernur Bank Indonesia
tanggal 3 Mei 2000 tentang Jaminan Atas Pembiayaan Perdagangan
Internasional dan Pinjaman Luar Negeri Antar Bank sebagaimana telah
diubah dengan Kesepakatan Bersama Menteri Keuangan dengan
Gubernur Bank Indonesia tanggal 20 Februari 2001;
- 3 -
2. Hasil Rapat Koordinasi antara Dewan Gubernur Bank Indonesia dan
Menteri – Menteri Terkait Bidang Perekonomian tanggal 18 Desember
2000.
M E M U T U S K A N :
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 2/13/PBI/2000 TENTANG
JAMINAN PEMBIAYAAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL
Pasal I
Mengubah ketentuan dalam Pasal 4 ayat (2) Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/13/PBI/2000
tentang Jaminan Pembiayaan Perdagangan Internasional sehingga berbunyi sebagai berikut :
“(2) Tanggal efektif LOG berlaku :
a. Sehari setelah berakhirnya LOG Kedua (yang diterbitkan tanggal 12 Mei 2000)
sampai dengan 30 Juni 2001, untuk Eligible Bank yang telah mengikuti program
penjaminan sebelumnya;
b. Sejak Bank Indonesia menandatangani Confirmation Letter yang disampaikan oleh
Eligible Bank, sampai dengan 30 Juni 2001, untuk Eligible Bank yang baru mengikuti
program penjaminan.”
- 4 -
Pasal II
Peraturan Bank Indonesia ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di :
Pada tanggal
Jakarta
: 12 Maret 2001
-------------------------------------------------
GUBERNUR BANK INDONESIA
SYAHRIL SABIRIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2000 NOMOR 20
DLN/KEPI
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 3/ 4
/PBI/2001
TENTANG
PERUBAHAN PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 2/13/PBI/2000 TENTANG
JAMINAN PEMBIAYAAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL
UMUM
Sebagaimana diketahui bahwa dalam pelaksanaan program penjaminan pembiayaan
perdagangan internasional (Trade Maintenance Facility/TMF), Bank Indonesia berdasarkan
counter guaranty yang diberikan Pemerintah menerbitkan Letter of Guaranty (LOG) yang
menjamin seluruh transaksi pembiayaan perdagangan internasional yang dilakukan oleh perbankan
Indonesia dengan perbankan internasional.
LOG pertama kali diberikan Bank Indonesia kepada perbankan luar negeri (Eligible Bank)
pada tanggal 25 Juli 1998, yang berlaku selama 1 (satu) tahun sejak Bank Indonesia menyetujui
Confirmation Letter yang disampaikan oleh Eligible Bank, kemudian dilanjutkan dengan LOG
kedua tanggal 12 Mei 2000 yang berlaku sampai dengan 31 Desember 2000 dan menjamin
transaksi yang jatuh tempo sampai dengan 30 Juni 2001.
Mengingat LOG kedua yang diberikan oleh Bank Indonesia kepada Eligible Bank telah
jatuh tempo, sementara Pemerintah memandang bahwa untuk saat ini program TMF masih
diperlukan dalam rangka meningkatkan kembali kegiatan ekonomi nasional khususnya kegiatan
perdagangan internasional maka Pemerintah dan Bank Indonesia memutuskan untuk
memperpanjang pelaksanaan program TMF tersebut. Perpanjangan penjaminan program TMF
berlaku sampai dengan 30 Juni 2001 disamakan dengan jatuh tempo transaksinya yaitu sampai
dengan 30 Juni 2001.
PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Cukup jelas
Pasal II
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2001 NOMOR 4080
DLN/KEPI
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2000 NOMOR 20
DLN/KEPI
"," PBI
3/4/PBI/2001
PERUBAHAN PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 2/13/PBI/2000 TENTANG JAMINAN PEMBIAYAAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL
12 Maret 2001
12 Maret 2001
'2/13/PBI/2000'
'2/13/PBI/2000', '1/3/PBI/1999', '23/UU/1999', '1/9/PBI/1999', '2/4/PBI/2000', '7/UU/1992', '10/UU/1998', '24/UU/1999'
"
" PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 18/25/PBI/2016
TENTANG
PENGELUARAN UANG RUPIAH KERTAS BERSAMBUNG
PECAHAN 10.000 (SEPULUH RIBU)
TAHUN EMISI 2016
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa untuk menandai suatu era baru dalam
pengeluaran seluruh pecahan uang Rupiah kertas
sebagai mata uang Negara Kesatuan Republik Indonesia
sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun
2011 tentang Mata Uang maka perlu dikeluarkan uang
Rupiah kertas khusus dalam bentuk bersambung;
b. bahwa pengeluaran uang Rupiah kertas khusus dalam
bentuk bersambung, juga dilakukan sebagai bagian dari
upaya Bank Indonesia untuk mengembangkan kegiatan
numismatika;
c. bahwa uang Rupiah kertas khusus dalam bentuk
bersambung merupakan alat pembayaran yang sah di
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu
menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang
Pengeluaran Uang Rupiah Kertas Bersambung Pecahan
10.000 (Sepuluh Ribu) Tahun Emisi 2016;
- 2 -
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843), sebagaimana telah diubah
beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4962);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata
Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5223);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENGELUARAN
UANG RUPIAH KERTAS BERSAMBUNG PECAHAN 10.000
(SEPULUH RIBU) TAHUN EMISI 2016.
Pasal 1
Bank Indonesia mengeluarkan uang Rupiah khusus pecahan
10.000 (sepuluh ribu) tahun emisi 2016 sebagai alat
pembayaran yang sah di wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Pasal 2
Macam uang Rupiah khusus sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1 merupakan uang Rupiah kertas khusus yang memiliki
ciri tertentu.
- 3 -
Pasal 3
(1) Uang Rupiah kertas khusus sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 berbentuk uang Rupiah kertas
bersambung yang meliputi:
a. 1 (satu) lembaran yang memuat 2 (dua) lembar
(bilyet);
b. 1 (satu) lembaran yang memuat 4 (empat) lembar
(bilyet); dan
c. 1 (satu) lembaran yang memuat 45 (empat puluh
lima) lembar (bilyet),
yang masing-masing lembaran merupakan satu
kesatuan.
(2) Bentuk lembaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
adalah persegi panjang dengan ukuran sebagai berikut:
a. panjang 145 (seratus empat puluh lima) milimeter
dan lebar 130 (seratus tiga puluh) milimeter untuk
lembaran yang memuat 2 (dua) lembar (bilyet);
b. panjang 290 (dua ratus sembilan puluh) milimeter
dan lebar 130 (seratus tiga puluh) milimeter untuk
lembaran yang memuat 4 (empat) lembar (bilyet);
dan
c. panjang 725 (tujuh ratus dua puluh lima) milimeter
dan lebar 585 (lima ratus delapan puluh lima)
milimeter untuk lembaran yang memuat 45 (empat
puluh lima) lembar (bilyet).
Pasal 4
(1) Harga setiap lembar (bilyet) uang Rupiah dalam lembaran
uang Rupiah kertas khusus sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (1) merupakan nilai nominal pada
pecahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 yaitu
sebesar Rp10.000,00 (sepuluh ribu rupiah).
(2) Dalam hal uang Rupiah kertas khusus digunakan
sebagai alat transaksi maka harga setiap lembar (bilyet)
sebesar nilai nominal sebagaimana dimaksud pada
ayat (1).
- 4 -
Pasal 5
Ciri tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang
terdapat pada bagian depan dan bagian belakang setiap
lembar (bilyet) dari uang Rupiah kertas bersambung
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) meliputi:
a. ciri umum; dan
b. ciri khusus.
Pasal 6
(1) Ciri umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
huruf a, pada bagian depan terdapat:
a. gambar lambang negara “Garuda Pancasila”;
b. frasa “NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA”;
c. sebutan pecahan dalam angka “10000” dan tulisan
“SEPULUH RIBU RUPIAH”;
d. tanda tangan Gubernur Bank Indonesia beserta
tulisan “GUBERNUR” dan tanda tangan Menteri
Keuangan Republik Indonesia beserta tulisan
“MENTERI KEUANGAN”;
e. tulisan tahun emisi yaitu “EMISI 2016”;
f. gambar utama yaitu Pahlawan Nasional Frans
Kaisiepo beserta tulisan “FRANS KAISIEPO”;
g. gambar ornamen batik; dan
h. gambar lingkaran-lingkaran kecil.
(2) Ciri khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
huruf b, pada bagian depan yang berupa desain dan
teknik cetak, terdapat:
a. warna dominan ungu;
b.
hasil cetak yang terasa kasar apabila diraba pada
ciri umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, dan huruf f;
c. gambar saling isi (rectoverso) dari logo Bank
Indonesia yang dapat dilihat secara utuh apabila
diterawangkan ke arah cahaya;
d. gambar tersembunyi (latent image) berupa tulisan
“BI” yang dapat dilihat dari sudut pandang tertentu;
- 5 -
e. gambar tersembunyi (latent image) multiwarna
berupa angka “10” yang dapat dilihat dari sudut
pandang tertentu;
f. kode tuna netra (blind code) berupa efek rabaan
(tactile);
g. gambar raster berupa tulisan “BI”;
h. mikroteks yang memuat tulisan “BI10”, tulisan
“BI10000”, tulisan “SEPULUHRIBURUPIAH”, dan
angka “10”, yang dapat dilihat dengan bantuan kaca
pembesar; dan
i.
hasil cetak yang akan memendar dalam 1 (satu) atau
beberapa warna apabila dilihat dengan sinar
ultraviolet berupa:
1. 2 (dua) bidang persegi empat yang salah
satunya berisi tulisan “BI”;
2. angka nominal “10000”;
3. ornamen batik; dan
4. gambar wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Pasal 7
(1) Ciri umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
huruf a, pada bagian belakang terdapat:
a. angka nominal “10000”;
b. nomor seri dengan bentuk asimetris yang meliputi
3 (tiga) huruf dan 6 (enam) angka;
c. teks “DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,
NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA
MENGELUARKAN RUPIAH SEBAGAI ALAT
PEMBAYARAN YANG SAH DENGAN NILAI SEPULUH
RIBU RUPIAH”;
d. tulisan tahun cetak “TC 2016”;
e. gambar utama yaitu tari pakarena beserta tulisan
“TARI PAKARENA”, pemandangan alam Taman
Nasional Wakatobi beserta tulisan “Taman Nasional
Wakatobi”, dan bunga cempaka hutan kasar;
f. tulisan “BANK INDONESIA”;
- 6 -
g. gambar ornamen batik;
h. gambar lingkaran-lingkaran kecil; dan
i.
tulisan “PERURI”.
(2) Ciri khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
huruf b, pada bagian belakang yang berupa desain dan
teknik cetak, terdapat:
a. warna dominan ungu;
b.
hasil cetak yang terasa kasar apabila diraba pada
ciri umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a, huruf c, dan huruf f;
c.
hasil cetak yang terasa kasar apabila diraba pada
gambar tari pakarena, tulisan “TARI PAKARENA”,
dan tulisan “Taman Nasional Wakatobi”;
d. gambar saling isi (rectoverso) dari logo Bank
Indonesia yang dapat dilihat secara utuh apabila
diterawangkan ke arah cahaya;
e. gambar tersembunyi (latent image) berupa angka
“10” yang dapat dilihat dari sudut pandang tertentu;
f. gambar raster berupa tulisan “NKRI” dan angka
“10000”;
g. mikroteks yang memuat tulisan “BI10000”, tulisan
“SEPULUHRIBURUPIAH”, dan angka “10000”, yang
dapat dilihat dengan bantuan kaca pembesar; dan
h. hasil cetak yang akan memendar dalam 1 (satu) atau
beberapa warna apabila dilihat dengan sinar
ultraviolet berupa:
1. gambar bunga cempaka hutan kasar;
2. gambar penyelam dan ikan;
3. gambar hewan tangkasi;
4. bidang persegi empat yang berisi tulisan “BI”;
5. gambar lingkaran-lingkaran kecil; dan
6. nomor seri dengan bentuk asimetris yang
meliputi 3 (tiga) huruf dan 6 (enam) angka.
- 7 -
Pasal 8
Selain ciri khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
ayat (2) dan Pasal 7 ayat (2), uang Rupiah memiliki ciri
khusus sebagai berikut:
a. bahan berupa kertas uang yang memiliki spesifikasi:
1. terbuat dari serat kapas;
2. berwarna ungu muda;
3. tidak memendar dengan sinar ultraviolet;
4. terdapat tanda air (watermark) berupa gambar
Pahlawan Nasional Sultan Mahmud Badaruddin II
dan ornamen tertentu; dan
5. terdapat benang pengaman yang memuat tulisan
“BI 10000” secara berulang yang akan memendar
apabila dilihat dengan sinar ultraviolet; dan
b. ukuran yaitu panjang 145 (seratus empat puluh lima)
milimeter dan lebar 65 (enam puluh lima) milimeter.
Pasal 9
Uang Rupiah kertas khusus sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (1) dikeluarkan paling banyak:
a. 10.000 (sepuluh ribu) lembaran yang masing-masing
memuat 2 (dua) lembar (bilyet);
b. 10.000 (sepuluh ribu) lembaran yang masing-masing
memuat 4 (empat) lembar (bilyet); dan
c. 100 (seratus) lembaran yang masing-masing memuat
45 (empat puluh lima) lembar (bilyet).
Pasal 10
Harga jual lembaran uang Rupiah kertas khusus sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Pasal 11
Setiap lembaran uang Rupiah kertas khusus sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 dilengkapi dengan sertifikat keaslian
dari Bank Indonesia.
- 8 -
Pasal 12
(1) Pengedaran uang Rupiah kertas khusus sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 dilakukan dengan cara menjual
secara langsung atau secara lelang kepada masyarakat.
(2) Penjualan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh Bank Indonesia atau pihak lain yang
ditunjuk oleh Bank Indonesia.
Pasal 13
(1) Uang Rupiah kertas khusus sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 dapat ditukarkan kepada Bank Indonesia
atau pihak lain yang ditunjuk oleh Bank Indonesia.
(2) Penukaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan penggantian untuk masing-masing lembar
(bilyet) dalam bentuk uang Rupiah lainnya yang bukan
uang Rupiah khusus.
(3) Besarnya nilai penggantian sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai penukaran uang Rupiah.
Pasal 14
Uang Rupiah khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
mulai berlaku dan diedarkan pada tanggal 19 Desember 2016.
Pasal 15
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
- 9 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 25 Oktober 2016
GUBERNUR BANK INDONESIA,
AGUS D. W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 27 Oktober 2016
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 208
"," PBI
18/25/PBI/2016
PENGELUARAN UANG RUPIAH KERTAS BERSAMBUNG PECAHAN 10.000 (SEPULUH RIBU) TAHUN EMISI 2016
25 Oktober 2016
27 Oktober 2016
27 Oktober 2016
'23/UU/1999', '6/UU/2009', '2/PERPPU/2008', '7/UU/2011'
"
" PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 17/10/PBI/2015
TENTANG
RASIO LOAN TO VALUE ATAU RASIO FINANCING TO VALUE UNTUK
KREDIT ATAU PEMBIAYAAN PROPERTI DAN UANG MUKA UNTUK
KREDIT ATAU PEMBIAYAAN KENDARAAN BERMOTOR
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa dalam rangka menjaga pertumbuhan
perekonomian nasional diperlukan upaya untuk
mendorong berjalannya fungsi intermediasi perbankan
melalui penyesuaian terhadap kebijakan
makroprudensial;
b. bahwa penyesuaian kebijakan makroprudensial tetap
dilakukan secara proporsional dan terukur untuk
menjaga stabilitas sistem keuangan;
c. bahwa dalam rangka mendorong pertumbuhan
ekonomi dan memelihara stabilitas sistem keuangan
perlu dilakukan penyesuaian terhadap ketentuan
mengenai perkreditan;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu
menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang Rasio
Loan To Value atau Rasio Financing To Value untuk
Kredit atau Pembiayaan Properti dan Uang Muka
untuk Kredit atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor;
Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3843) sebagaimana telah diubah beberapa kali,
terakhir ...
- 2 -
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008
tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor
23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi
Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4962);
2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/11/PBI/2014
tentang Pengaturan dan Pengawasan Makroprudensial
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014
Nomor 141, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5546);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG RASIO LOAN TO
VALUE ATAU RASIO FINANCING TO VALUE UNTUK KREDIT
ATAU PEMBIAYAAN PROPERTI DAN UANG MUKA UNTUK
KREDIT ATAU PEMBIAYAAN KENDARAAN BERMOTOR.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang yang mengatur mengenai perbankan, termasuk kantor cabang
dari bank yang berkedudukan di luar negeri, dan Bank Syariah
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur
mengenai perbankan syariah.
2. Kredit adalah kredit sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
yang mengatur mengenai perbankan.
3. Pembiayaan adalah pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah.
4. Properti ...
- 3 -
4. Properti adalah Rumah Tapak, Rumah Susun, dan Rumah Kantor
atau Rumah Toko.
5. Rumah Tapak adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal
yang merupakan kesatuan antara tanah dan bangunan dengan bukti
kepemilikan berupa surat keterangan, sertifikat, atau akta yang
dikeluarkan oleh lembaga atau pejabat yang berwenang.
6. Rumah Susun adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun
dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang
distrukturkan secara fungsional baik dalam arah horizontal maupun
vertikal dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat
dimiliki dan digunakan secara terpisah, antara lain griya tawang,
kondominium, apartemen, dan flat.
7. Rumah Kantor atau Rumah Toko adalah tanah berikut bangunan yang
izin pendiriannya sebagai rumah tinggal sekaligus untuk tujuan
komersial antara lain perkantoran, pertokoan, atau gudang.
8. Kredit Properti yang selanjutnya disingkat KP adalah kredit konsumsi
yang terdiri atas:
a. Kredit yang diberikan Bank untuk pembelian Rumah Tapak,
termasuk Kredit konsumsi beragun Rumah Tapak, yang
selanjutnya disebut KP Rumah Tapak;
b. Kredit yang diberikan Bank untuk pembelian Rumah Susun,
termasuk Kredit konsumsi beragun Rumah Susun, yang
selanjutnya disebut KP Rusun; dan
c. Kredit yang diberikan Bank untuk pembelian Rumah Toko
dan/atau Rumah Kantor, termasuk Kredit konsumsi beragun
Rumah Toko dan/atau Rumah Kantor, yang selanjutnya disebut KP
Ruko atau KP Rukan.
9. Pembiayaan Properti yang selanjutnya disebut KP Syariah adalah
Pembiayaan konsumsi yang terdiri atas:
a. Pembiayaan yang diberikan Bank untuk pembelian Rumah Tapak,
termasuk Pembiayaan konsumsi beragun Rumah Tapak, yang
selanjutnya disebut KP Rumah Tapak Syariah;
b. Pembiayaan ...
- 4 -
b. Pembiayaan yang diberikan Bank untuk pembelian Rumah Susun,
termasuk Pembiayaan konsumsi beragun Rumah Susun, yang
selanjutnya disebut KP Rusun Syariah; dan
c. Pembiayaan yang diberikan Bank untuk pembelian Rumah Toko
dan/atau Rumah Kantor, termasuk Pembiayaan konsumsi beragun
Rumah Toko dan/atau Rumah Kantor, yang selanjutnya disebut KP
Ruko Syariah atau KP Rukan Syariah.
10. Musyarakah Mutanaqisah yang selanjutnya disingkat MMQ adalah
musyarakah atau syirkah dalam rangka kepemilikan Properti antara
Bank dengan nasabah dengan kondisi penyertaan kepemilikan
Properti oleh Bank akan berkurang disebabkan pembelian secara
bertahap oleh nasabah.
11. Uang Jaminan yang selanjutnya disebut Deposit adalah uang yang
harus diserahkan oleh nasabah kepada Bank dalam rangka
kepemilikan Properti yang dilakukan dengan akad Ijarah Muntahiya
Bittamlik (IMBT).
12. Rasio Loan to Value yang selanjutnya disebut Rasio LTV adalah angka
rasio antara nilai Kredit yang dapat diberikan oleh Bank terhadap nilai
agunan berupa Properti pada saat pemberian Kredit berdasarkan
harga penilaian terakhir.
13. Rasio Financing to Value yang selanjutnya disebut Rasio FTV adalah
angka rasio antara nilai Pembiayaan yang dapat diberikan oleh Bank
terhadap nilai agunan berupa Properti pada saat pemberian
Pembiayaan berdasarkan harga penilaian terakhir.
14. Kredit atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disebut
KKB atau KKB Syariah adalah Kredit atau Pembiayaan yang diberikan
Bank untuk pembelian kendaraan bermotor.
15. Uang Muka adalah pembayaran di muka sebesar persentase tertentu
dari harga pembelian Properti atau kendaraan bermotor yang sumber
dananya berasal dari debitur atau nasabah.
Pasal 2
(1) Bank Indonesia menetapkan batasan Rasio LTV atau Rasio FTV KP
atau KP Syariah dan batasan Uang Muka KKB atau KKB Syariah.
(2) Bank ...
- 5 -
(2) Bank wajib memenuhi batasan Rasio LTV atau Rasio FTV KP atau KP
Syariah dan batasan Uang Muka KKB atau KKB Syariah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
BAB II
PENGATURAN RASIO LTV ATAU RASIO FTV
Bagian Pertama
Fasilitas Kredit, Nilai Agunan dan Penilaian Agunan
Pasal 3
(1) Perhitungan Kredit dan nilai agunan dalam perhitungan Rasio LTV
untuk Bank Umum ditetapkan sebagai berikut:
a. Kredit ditetapkan berdasarkan plafon Kredit yang diterima oleh
debitur sebagaimana tercantum dalam perjanjian Kredit; dan
b. nilai agunan ditetapkan berdasarkan nilai taksiran yang
dilakukan penilai intern Bank atau penilai independen terhadap
Properti yang menjadi agunan.
(2) Perhitungan Pembiayaan dan nilai agunan dalam perhitungan Rasio
FTV untuk Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah ditetapkan
sebagai berikut:
a. Pembiayaan ditetapkan berdasarkan jenis akad yang digunakan,
yaitu:
1. Pembiayaan berdasarkan akad murabahah atau akad istishna’
ditetapkan berdasarkan harga pokok Pembiayaan yang
diberikan kepada nasabah sebagaimana tercantum dalam
akad Pembiayaan;
2. Pembiayaan berdasarkan akad MMQ ditetapkan berdasarkan
penyertaan Bank dalam rangka kepemilikan Properti
sebagaimana tercantum dalam akad Pembiayaan; dan
3. Pembiayaan berdasarkan akad IMBT ditetapkan berdasarkan
hasil pengurangan harga Properti dengan Deposit sebagaimana
tercantum dalam akad Pembiayaan.
b. nilai
...
- 6 -
b. nilai agunan ditetapkan berdasarkan nilai taksiran yang
dilakukan penilai intern Bank atau penilai independen terhadap
Properti yang menjadi agunan.
Pasal 4
Tata cara penilaian agunan ditetapkan sebagai berikut:
a. apabila Kredit atau Pembiayaan untuk 1 (satu) atau beberapa debitur
atau nasabah secara keseluruhan pada proyek yang sama sampai
dengan Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) maka nilai agunan
didasarkan pada taksiran yang dilakukan oleh penilai intern Bank
atau penilai independen; dan
b. apabila Kredit atau Pembiayaan untuk 1 (satu) atau beberapa debitur
atau nasabah secara keseluruhan pada proyek yang sama di atas
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) maka nilai agunan
didasarkan pada taksiran yang dilakukan oleh penilai independen.
Pasal 5
Penilai independen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 4
adalah kantor jasa penilai publik yang paling kurang memenuhi kriteria:
a. memiliki izin usaha dari institusi yang berwenang;
b. tidak merupakan pihak terkait dengan Bank;
c. tidak merupakan pihak terafiliasi dengan debitur atau nasabah dan
pengembang yang dinyatakan dalam surat pernyataan dari kantor jasa
penilai publik (KJPP); dan
d. tercatat sebagai anggota asosiasi penilai independen atau asosiasi
penilai publik.
Bagian Kedua
Rasio LTV atau Rasio FTV
Pasal 6
Rasio LTV atau Rasio FTV untuk Bank yang memberikan KP dan KP
Syariah diatur sebagai berikut:
a. Rasio LTV atau Rasio FTV untuk KP dan KP Syariah pertama
ditetapkan paling tinggi sebesar:
1. 90% ...
- 7 -
1. 90% (sembilan puluh persen) untuk KP Rusun dan KP Rusun
Syariah dengan luas bangunan 22m2 (dua puluh dua meter
persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi);
2. 85% (delapan puluh lima persen) untuk KP Rumah Tapak Syariah
dan KP Rusun Syariah berdasarkan akad MMQ atau akad IMBT,
dengan luas bangunan di atas 70m2 (tujuh puluh meter persegi);
dan
3. 80% (delapan puluh persen) untuk KP Rusun, KP Rumah Tapak,
KP Rusun Syariah, dan KP Rumah Tapak Syariah berdasarkan
akad murabahah atau akad istishna’ dengan luas bangunan di
atas 70m2 (tujuh puluh meter persegi).
b. Rasio LTV atau Rasio FTV untuk KP dan KP Syariah kedua diatur
sebagai berikut:
1. Untuk KP kedua ditetapkan paling tinggi sebesar:
a) 80% (delapan puluh persen) untuk KP Rumah Tapak dengan
luas bangunan 22m2 (dua puluh dua meter persegi) sampai
dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi);
b) 80% (delapan puluh persen) untuk KP Rusun dengan luas
bangunan sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi);
c) 80% (delapan puluh persen) untuk KP Ruko atau KP Rukan;
dan
d) 70% (tujuh puluh persen) untuk KP Rumah Tapak dan KP
Rusun dengan luas bangunan di atas 70m2 (tujuh puluh meter
persegi).
2. Untuk KP Syariah kedua berdasarkan akad murabahah atau akad
istishna’ ditetapkan paling tinggi sebesar:
a) 80% (delapan puluh persen) untuk KP Rumah Tapak Syariah
dengan luas bangunan 22m2 (dua puluh dua meter persegi)
sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi);
b) 80% (delapan puluh persen) untuk KP Rusun Syariah dengan
luas bangunan sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter
persegi);
c) 80% (delapan puluh persen) untuk KP Ruko Syariah atau KP
Rukan Syariah; dan
d) 70% ...
- 8 -
d) 70% (tujuh puluh persen) untuk KP Rumah Tapak Syariah dan
KP Rusun Syariah dengan luas bangunan di atas 70m2 (tujuh
puluh meter persegi).
3. Untuk KP Syariah kedua berdasarkan akad MMQ dan IMBT
ditetapkan paling tinggi sebesar:
a) 80% (delapan puluh persen) untuk KP Rumah Tapak Syariah
dengan luas bangunan 22m2 (dua puluh dua meter persegi)
sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi);
b) 80% (delapan puluh persen) untuk KP Rusun Syariah dengan
luas bangunan sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter
persegi);
c) 80% (delapan puluh persen) untuk KP Ruko Syariah atau KP
Rukan Syariah; dan
d) 75% (tujuh puluh lima persen) untuk KP Rumah Tapak
Syariah dan KP Rusun Syariah dengan luas bangunan di atas
70m2 (tujuh puluh meter persegi).
c. Rasio LTV atau Rasio FTV untuk KP dan KP Syariah ketiga dan
seterusnya diatur sebagai berikut:
1. Untuk KP ketiga dan seterusnya ditetapkan paling tinggi sebesar:
a) 70% (tujuh puluh persen) untuk KP Rumah Tapak dengan luas
bangunan 22m2 (dua puluh dua meter persegi) sampai dengan
70m2 (tujuh puluh meter persegi);
b) 70% (tujuh puluh persen) untuk KP Rusun dengan luas
bangunan sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi);
c) 70% (tujuh puluh persen) untuk KP Ruko atau KP Rukan; dan
d) 60% (enam puluh persen) untuk KP Rumah Tapak dan KP
Rusun dengan luas bangunan di atas 70m2 (tujuh puluh meter
persegi).
2. Untuk KP Syariah ketiga dan seterusnya berdasarkan akad
murabahah atau akad istishna’ ditetapkan paling tinggi sebesar:
a) 70% (tujuh puluh persen) untuk KP Rumah Tapak Syariah
dengan luas bangunan 22m2 (dua puluh dua meter persegi)
sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi);
b) 70% ...
- 9 -
b) 70% (tujuh puluh persen) untuk KP Rusun Syariah dengan
luas bangunan sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter
persegi);
c) 70% (tujuh puluh persen) untuk KP Ruko Syariah atau KP
Rukan Syariah; dan
d) 60% (enam puluh persen) untuk KP Rumah Tapak Syariah dan
KP Rusun Syariah dengan luas bangunan di atas 70m2 (tujuh
puluh meter persegi).
3. Untuk KP Syariah ketiga dan seterusnya berdasarkan akad MMQ
dan IMBT ditetapkan paling tinggi sebesar:
a) 70% (tujuh puluh persen) untuk KP Rumah Tapak Syariah
dengan luas bangunan 22m2 (dua puluh dua meter persegi)
sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi);
b) 70% (tujuh puluh persen) untuk KP Rusun Syariah dengan
luas bangunan sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter
persegi);
c) 70% (tujuh puluh persen) untuk KP Ruko Syariah atau KP
Rukan Syariah; dan
d) 65% (enam puluh lima persen) untuk KP Rumah Tapak
Syariah dan KP Rusun Syariah dengan luas bangunan di atas
70m2 (tujuh puluh meter persegi).
Pasal 7
Penentuan urutan Kredit atau Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 wajib memperhitungkan seluruh KP dan KP Syariah yang telah
diterima debitur atau nasabah di Bank yang sama maupun Bank lainnya.
Pasal 8
(1) Ketentuan mengenai Rasio LTV dan/atau Rasio FTV sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 berlaku apabila Bank memenuhi persyaratan
sebagai berikut:
a. rasio Kredit atau Pembiayaan bermasalah dari total Kredit atau
Pembiayaan secara bruto (gross) kurang dari 5% (lima persen); dan
b. rasio ...
- 10 -
b. rasio KP atau KP Syariah bermasalah dari total KP atau KP Syariah
secara bruto (gross) kurang dari 5% (lima persen).
(2) Penghitungan rasio Kredit atau Pembiayaan bermasalah dan rasio KP
atau KP Syariah bermasalah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
didasarkan pada laporan bulanan Bank Umum atau laporan bulanan
Bank Umum Syariah periode 2 (dua) bulan sebelumnya.
Pasal 9
Bagi Bank yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 ayat (1) maka Rasio LTV atau Rasio FTV diatur sebagai
berikut:
a. Rasio LTV atau Rasio FTV untuk KP dan KP Syariah pertama
ditetapkan paling tinggi sebesar:
1. 90% (sembilan puluh persen) untuk KP Rusun Syariah
berdasarkan akad MMQ atau akad IMBT dengan luas bangunan
22m2 (dua puluh dua meter persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh
puluh meter persegi);
2. 80% (delapan puluh persen) untuk KP Rusun dengan luas
bangunan 22m2 (dua puluh dua meter persegi) sampai dengan
70m2 (tujuh puluh meter persegi);
3. 80% (delapan puluh persen) untuk KP Rumah Tapak Syariah dan
KP Rusun Syariah berdasarkan akad MMQ atau akad IMBT dengan
luas bangunan di atas 70m2 (tujuh puluh meter persegi); dan
4. 70% (tujuh puluh persen) untuk KP Rumah Tapak, KP Rusun, KP
Rumah Tapak Syariah, dan KP Rusun Syariah berdasarkan akad
murabahah atau akad istishna’ dengan luas bangunan di atas 70m2
(tujuh puluh meter persegi).
b. Rasio LTV atau Rasio FTV untuk KP dan KP Syariah kedua diatur
sebagai berikut:
1. Untuk KP kedua ditetapkan paling tinggi sebesar:
a) 70% (tujuh puluh persen) untuk KP Rumah Tapak dengan luas
bangunan 22m2 (dua puluh dua meter persegi) sampai dengan
70m2 (tujuh puluh meter persegi);
b). 70% ...
- 11 -
b) 70% (tujuh puluh persen) untuk KP Rusun dengan luas
bangunan sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi);
c) 70% (tujuh puluh persen) untuk KP Ruko atau KP Rukan; dan
d) 60% (enam puluh persen) untuk KP Rumah Tapak dan KP
Rusun dengan luas bangunan di atas 70m2 (tujuh puluh meter
persegi).
2. Untuk KP Syariah kedua berdasarkan akad murabahah atau akad
istishna’ ditetapkan paling tinggi sebesar:
a) 70% (tujuh puluh persen) untuk KP Rumah Tapak Syariah
dengan luas bangunan 22m2 (dua puluh dua meter persegi)
sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi);
b) 70% (tujuh puluh persen) untuk KP Rusun Syariah dengan luas
bangunan sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi);
c) 70% (tujuh puluh persen) untuk KP Ruko Syariah atau KP
Rukan Syariah; dan
d) 60% (enam puluh persen) untuk KP Rumah Tapak Syariah dan
KP Rusun Syariah dengan luas bangunan di atas 70m2 (tujuh
puluh meter persegi).
3. Untuk KP Syariah kedua berdasarkan akad MMQ dan IMBT
ditetapkan paling tinggi sebesar:
a) 80% (delapan puluh persen) untuk KP Rumah Tapak Syariah
dengan luas bangunan 22m2 (dua puluh dua meter persegi)
sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi);
b) 80% (delapan puluh persen) untuk KP Rusun Syariah dengan
luas bangunan sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter
persegi);
c) 80% (delapan puluh persen) untuk KP Ruko Syariah atau KP
Rukan Syariah; dan
d) 75% (tujuh puluh lima persen) untuk KP Rumah Tapak Syariah
dan KP Rusun Syariah dengan luas bangunan di atas 70m2
(tujuh puluh meter persegi).
c. Rasio LTV atau Rasio FTV untuk KP dan KP Syariah ketiga dan
seterusnya diatur sebagai berikut:
1. Untuk KP ketiga dan seterusnya ditetapkan paling tinggi sebesar:
a). 60% ...
- 12 -
a) 60% (enam puluh persen) untuk KP Rumah Tapak dengan luas
bangunan 22m2 (dua puluh dua meter persegi) sampai dengan
70m2 (tujuh puluh meter persegi);
b) 60% (enam puluh persen) untuk KP Rusun dengan luas
bangunan sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi);
c) 60% (enam puluh persen) untuk KP Ruko atau KP Rukan; dan
d) 50% (lima puluh persen) untuk KP Rumah Tapak dan KP Rusun
dengan luas bangunan di atas 70m2 (tujuh puluh meter persegi).
2. Untuk KP Syariah ketiga dan seterusnya berdasarkan akad
murabahah atau akad istishna’ ditetapkan paling tinggi sebesar:
a) 60% (enam puluh persen) untuk KP Rumah Tapak Syariah
dengan luas bangunan 22m2 (dua puluh dua meter persegi)
sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi);
b) 60% (enam puluh persen) untuk KP Rusun Syariah dengan luas
bangunan sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi);
c) 60% (enam puluh persen) untuk KP Ruko Syariah atau KP
Rukan Syariah; dan
d) 50% (lima puluh persen) untuk KP Rumah Tapak Syariah dan
KP Rusun Syariah dengan luas bangunan di atas 70m2 (tujuh
puluh meter persegi).
3. Untuk KP Syariah ketiga dan seterusnya berdasarkan akad MMQ
dan IMBT ditetapkan paling tinggi sebesar:
a) 70% (tujuh puluh persen) untuk KP Rumah Tapak Syariah
dengan luas bangunan 22m2 (dua puluh dua meter persegi)
sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi);
b) 70% (tujuh puluh persen) untuk KP Rusun Syariah dengan luas
bangunan sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi);
c) 70% (tujuh puluh persen) untuk KP Ruko Syariah atau KP
Rukan Syariah; dan
d) 60% (enam puluh persen) untuk KP Rumah Tapak Syariah dan
KP Rusun Syariah dengan luas bangunan di atas 70m2 (tujuh
puluh meter persegi).
Pasal ...
- 13 -
Pasal 10
Penetapan Rasio LTV dan Rasio FTV untuk Kredit atau Pembiayaan selain
yang diatur dalam Pasal 6 dan Pasal 9 diserahkan kepada kebijakan Bank
dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian dalam pemberian
Kredit atau Pembiayaan.
Bagian Ketiga
Kewajiban Administratif
Pasal 11
Dalam rangka penetapan Rasio LTV dan/atau Rasio FTV sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 9, Bank wajib:
a. memperlakukan debitur atau nasabah suami dan istri sebagai 1 (satu)
debitur atau nasabah kecuali terdapat perjanjian pemisahan harta
yang disahkan oleh notaris;
b. meminta surat pernyataan dari calon debitur atau nasabah yang
paling kurang memuat keterangan mengenai KP dan/atau KP Syariah
yang masih berjalan (outstanding) dan/atau yang sedang dalam proses
pengajuan permohonan, baik pada Bank yang sama maupun pada
Bank yang lain; dan
c. menolak permohonan KP dan/atau KP Syariah yang diajukan apabila
calon debitur atau nasabah tidak bersedia menyerahkan surat
pernyataan sebagaimana dimaksud pada huruf b.
Bagian Keempat
Tambahan Kredit atau Pembiayaan (Top Up) dan Kredit atau Pembiayaan
yang Diambil Alih (Take Over)
Pasal 12
Dalam hal Bank memberikan Kredit atau Pembiayaan tambahan (top up)
berdasarkan Properti yang masih menjadi agunan dari KP atau KP
Syariah sebelumnya, berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. Kredit atau Pembiayaan tambahan (top up) tersebut diperlakukan
sebagai Kredit atau Pembiayaan baru;
b. Rasio ...
- 14 -
b. Rasio LTV atau Rasio FTV Kredit atau Pembiayaan sebagaimana
dimaksud pada huruf a mengacu pada Rasio LTV atau Rasio FTV
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 atau Pasal 9; dan
c. jumlah Kredit atau Pembiayaan tambahan (top up) yang diberikan oleh
Bank wajib memperhitungkan jumlah baki debet Kredit atau
Pembiayaan sebelumnya yang menggunakan agunan yang sama.
Pasal 13
Dalam hal Bank memberikan Kredit atau Pembiayaan dengan mengambil
alih (take over) Kredit atau Pembiayaan dari Bank lain, berlaku ketentuan
sebagai berikut:
a. Kredit atau Pembiayaan yang hanya ditujukan untuk pelunasan
Kredit atau Pembiayaan sebelumnya di Bank lain tidak diperlakukan
sebagai Kredit atau Pembiayaan baru; atau
b. Kredit atau Pembiayaan yang disertai dengan tambahan (top up)
diperlakukan sebagai Kredit atau Pembiayaan baru sebagaimana
ketentuan dalam Pasal 12.
Bagian Kelima
Larangan Pemberian Kredit atau Pembiayaan Uang Muka
Pasal 14
Bank dilarang memberikan Kredit atau Pembiayaan untuk pemenuhan
Uang Muka dalam rangka KP, KP Syariah, KKB, dan KKB Syariah kepada
debitur atau nasabah.
Pasal 15
(1) Dalam rangka penerapan ketentuan mengenai Rasio LTV dan/atau
Rasio FTV, Bank hanya dapat memberikan KP atau KP Syariah jika
Properti yang akan dibiayai telah tersedia secara utuh.
(2) Bank dapat memberikan KP atau KP Syariah dengan Properti yang
akan dibiayai belum tersedia secara utuh apabila memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
a. Kredit atau Pembiayaan merupakan KP atau KP Syariah pada
urutan pertama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7;
b. terdapat ...
- 15 -
b. terdapat perjanjian kerjasama antara Bank dengan pengembang
yang paling kurang memuat kesanggupan pengembang untuk
menyelesaikan Properti sesuai dengan yang diperjanjikan dengan
debitur atau nasabah; dan
c. terdapat jaminan yang diberikan oleh pengembang kepada Bank
baik yang berasal dari pengembang sendiri atau pihak lain yang
dapat digunakan untuk menyelesaikan kewajiban pengembang
apabila Properti tidak dapat diselesaikan dan/atau tidak dapat
diserahterimakan sesuai perjanjian.
Pasal 16
(1) Dalam hal Bank memberikan KP atau KP Syariah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) maka pencairan KP atau KP
Syariah dimaksud hanya dapat dilakukan secara bertahap sesuai
perkembangan pembangunan Properti yang dibiayai.
(2) Perkembangan pembangunan Properti yang dibiayai didasarkan atas
laporan perkembangan pembangunan Properti yang berasal dari:
a. pengembang, apabila Kredit atau Pembiayaan untuk 1 (satu) atau
beberapa debitur atau nasabah secara keseluruhan pada proyek
yang sama bernilai sampai dengan Rp5.000.000.000,00 (lima
miliar rupiah); atau
b. penilai independen, apabila Kredit atau Pembiayaan untuk 1
(satu) atau beberapa debitur atau nasabah secara keseluruhan
pada proyek yang sama bernilai di atas Rp5.000.000.000,00 (lima
miliar rupiah).
Pasal 17
Kredit atau Pembiayaan dalam rangka pelaksanaan Program Perumahan
Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud
dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, sepanjang didukung
dengan dokumen yang menyatakan bahwa Kredit atau Pembiayaan
tersebut merupakan Program Perumahan Pemerintah Pusat dan/atau
Pemerintah Daerah dikecualikan dari ketentuan mengenai Rasio LTV atau
Rasio FTV untuk KP atau KP Syariah.
BAB ...
- 16 -
BAB III
PENGATURAN UANG MUKA KREDIT ATAU PEMBIAYAAN
KENDARAAN BERMOTOR
Pasal 18
Uang Muka yang harus dipenuhi oleh debitur atau nasabah dalam rangka
KKB atau KKB Syariah ditetapkan sebagai berikut:
a. paling rendah 20% (dua puluh persen) untuk pembelian kendaraan
bermotor roda dua;
b. paling rendah 20% (dua puluh persen) untuk pembelian kendaraan
bermotor roda tiga atau lebih untuk keperluan produktif apabila
memenuhi salah satu syarat sebagai berikut:
1. merupakan kendaraan yang memiliki izin untuk angkutan orang
atau barang yang dikeluarkan oleh pihak berwenang; atau
2. diajukan oleh perorangan atau badan hukum yang memiliki izin
usaha tertentu yang dikeluarkan oleh pihak berwenang dan
digunakan untuk mendukung kegiatan operasional dari usaha yang
dimilikinya; dan
c. paling rendah 25% (dua puluh lima persen) untuk pembelian
kendaraan bermotor roda tiga atau lebih yang tidak memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam huruf b.
Pasal 19
(1) Ketentuan mengenai Uang Muka sebagaimana dimaksud dalam Pasal
18 berlaku apabila Bank memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. rasio Kredit atau Pembiayaan bermasalah dari total Kredit atau
Pembiayaan secara bruto (gross) kurang dari 5% (lima persen); dan
b. rasio KKB atau KKB Syariah bermasalah dari total KKB atau KKB
Syariah secara bruto (gross) kurang dari 5% (lima persen).
(2) Penghitungan rasio Kredit atau Pembiayaan bermasalah dan rasio
KKB atau KKB Syariah bermasalah sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) didasarkan pada laporan bulanan Bank Umum atau laporan
bulanan Bank Umum Syariah periode 2 (dua) bulan sebelumnya.
Pasal
...
- 17 -
Pasal 20
Bagi Bank yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 19 maka Uang Muka yang harus dipenuhi oleh debitur atau
nasabah dalam rangka KKB atau KKB Syariah ditetapkan sebagai berikut:
a. paling rendah 25% (dua puluh lima persen) untuk pembelian
kendaraan bermotor roda dua;
b. paling rendah 20% (dua puluh persen) untuk pembelian kendaraan
bermotor roda tiga atau lebih untuk keperluan produktif apabila
memenuhi salah satu syarat sebagai berikut:
1. merupakan kendaraan yang memiliki izin untuk angkutan orang
atau barang yang dikeluarkan oleh pihak berwenang; atau
2. diajukan oleh perorangan atau badan hukum yang memiliki izin
usaha tertentu yang dikeluarkan oleh pihak berwenang dan
digunakan untuk mendukung kegiatan operasional dari usaha yang
dimilikinya; dan
c. paling rendah 30% (tiga puluh persen) untuk pembelian kendaraan
bermotor roda tiga atau lebih yang tidak memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam huruf b.
BAB IV
PEMERIKSAAN OLEH BANK INDONESIA
Pasal 21
(1) Bank Indonesia berwenang melakukan pemeriksaan kepada Bank
untuk memastikan kepatuhan Bank terhadap Peraturan Bank
Indonesia ini.
(2) Bank Indonesia dapat menunjuk pihak lain untuk dan atas nama
Bank Indonesia guna melaksanakan pemeriksaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
(3) Dalam melaksanakan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), Bank Indonesia dapat berkoordinasi dan bekerjasama dengan
otoritas lain.
BAB ...
- 18 -
BAB V
SANKSI
Pasal 22
(1) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 ayat (2), Pasal 3, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 9, Pasal 11, Pasal 12, Pasal
13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 18 dan/atau Pasal 20,
dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis.
(2) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
6, Pasal 9, Pasal 18 dan Pasal 20, selain dikenakan sanksi teguran
tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga dikenakan sanksi
kewajiban membayar sebesar 1% (satu persen) dari selisih antara
plafon Kredit atau Pembiayaan yang diberikan dengan plafon Kredit
atau Pembiayaan yang seharusnya.
(3) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
14 dan Pasal 15 selain dikenakan sanksi teguran tertulis sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) juga dikenakan sanksi kewajiban membayar
sebesar 1% (satu persen) dari plafon Kredit atau Pembiayaan Uang
Muka atau plafon KP dan KP Syariah.
(4) Bank Indonesia dapat meminta Bank untuk menyampaikan rencana
pelaksanaan perbaikan (action plan) atas pelanggaran Bank
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3).
(5) Bank yang tidak menyampaikan dan/atau tidak melaksanakan action
plan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dikenakan sanksi
kewajiban membayar sebesar 1% (satu persen) per bulan dari plafon
Kredit atau Pembiayaan untuk setiap Kredit atau Pembiayaan yang
melanggar ketentuan.
(6) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dikenakan setiap akhir
bulan untuk periode paling lama 12 (dua belas) bulan.
Pasal 23
Selain mengenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 22, Bank Indonesia dapat merekomendasikan kepada otoritas yang
berwenang untuk melakukan tindakan sesuai dengan kewenangan.
Pasal
...
- 19 -
Pasal 24
Bank Indonesia mengenakan sanksi kewajiban membayar kepada Bank
dengan mendebit rekening giro Rupiah Bank pada Bank Indonesia.
BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 25
Ketentuan lebih lanjut dari Peraturan Bank Indonesia ini diatur dalam
Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 26
Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku Surat Edaran Bank
Indonesia Nomor 15/40/DKMP tanggal 24 September 2013 perihal
Penerapan Manajemen Risiko pada Bank yang Melakukan Pemberian
Kredit atau Pembiayaan Pemilikan Properti, Kredit atau Pembiayaan
Konsumsi Beragun Properti, dan Kredit atau Pembiayaan Kendaraan
Bermotor dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 27
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar ...
- 20 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 18 Juni 2015
GUBERNUR BANK INDONESIA,
AGUS D. W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 18 Juni 2015
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 141
DKMP
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 17/10/PBI/2015
TENTANG
RASIO LOAN TO VALUE ATAU RASIO FINANCING TO VALUE UNTUK
KREDIT ATAU PEMBIAYAAN PROPERTI DAN UANG MUKA UNTUK
KREDIT ATAU PEMBIAYAAN KENDARAAN BERMOTOR
I. UMUM
Dalam rangka menjaga pertumbuhan perekonomian nasional agar
tetap berada pada momentum yang positif, diperlukan upaya untuk
mendorong berjalannya fungsi intermediasi perbankan melalui
penyesuaian terhadap kebijakan makroprudensial.
Penyesuaian kebijakan makroprudensial dilakukan secara
proporsional dan terukur untuk menjaga stabilitas sistem keuangan. Hal
tersebut dilakukan dengan memberikan fleksibilitas yang lebih besar
untuk pemberian Kredit atau Pembiayaan ke sektor Properti dan
kendaraan bermotor dengan tetap memperhatikan aspek kehati-hatian.
Pelonggaran ketentuan perkreditan di kedua sektor tersebut
didasarkan pada pertimbangan bahwa sektor Properti dan kendaraan
bermotor memiliki multiplier effect yang besar dalam mendorong
pertumbuhan ekonomi. Upaya yang ditempuh yaitu dengan
menurunkan beban biaya yang ditanggung oleh anggota masyarakat
yang berkeinginan untuk membeli Properti maupun kendaraan
bermotor. Langkah tersebut dilakukan bersamaan dengan pelonggaran
Rasio Loan to Value atau Rasio Financing to Value untuk Kredit Properti
dan Uang Muka untuk kredit kendaraan bermotor.
Namun demikian, agar kebijakan tersebut tidak meningkatkan
potensi risiko Kredit atau Pembiayaan, maka pelonggaran kebijakan
dimaksud dikaitkan dengan pemenuhan rasio Kredit atau Pembiayaan
bermasalah yang terjaga.
II. Pasal ...ASAL .
- 2 -
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Penetapan nilai taksiran mengacu pada metode
dan prinsip-prinsip yang berlaku umum dalam
penilaian agunan yang ditetapkan oleh asosiasi
dan/atau institusi yang berwenang.
Pasal 4
Huruf a
Yang dimaksud dengan “proyek yang sama” adalah
Properti yang berada pada area yang sama dan dibangun
oleh pengembang yang sama.
Huruf b
Cukup jelas.
Pasal 5
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “pihak terkait dengan Bank”
adalah sebagaimana dimaksud pada ketentuan perbankan
yang berlaku mengenai batas maksimum pemberian
kredit.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf ...
- 3 -
Huruf d
Yang dimaksud dengan “asosiasi penilai independen” atau
“asosiasi penilai publik” adalah asosiasi yang diakui oleh
instansi yang berwenang mengatur kantor jasa penilai
publik.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Penentuan urutan Kredit atau Pembiayaan dilakukan dengan
menggabungkan seluruh Kredit dan Pembiayaan yang telah
diperoleh debitur atau nasabah, baik berupa KP dan/atau KP
Syariah di Bank yang sama maupun Bank lainnya berdasarkan
urutan tanggal perjanjian Kredit atau akad Pembiayaan.
Dalam hal terdapat tanggal perjanjian Kredit atau akad
Pembiayaan yang sama maka penentuan urutan diawali dari
Kredit atau Pembiayaan dengan nilai agunan paling rendah.
Pasal 8
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “rasio Kredit atau
Pembiayaan bermasalah dari total Kredit atau
Pembiayaan” adalah rasio antara jumlah Kredit atau
Pembiayaan dengan kualitas kurang lancar,
diragukan dan macet kepada pihak ketiga bukan
Bank terhadap total Kredit atau Pembiayaan kepada
pihak ketiga bukan Bank.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “rasio KP atau KP Syariah
bermasalah” adalah rasio antara jumlah Kredit atau
Pembiayaan kepada sektor rumah tangga untuk
kepemilikan perumahan dan jumlah Kredit atau
Pembiayaan konsumsi lainnya yang beragun
Properti dengan kualitas kurang lancar, diragukan
dan ...
- 4 -
dan macet, terhadap total Kredit atau Pembiayaan
pada sektor rumah tangga untuk kepemilikan
perumahan dan jumlah Kredit atau Pembiayaan
konsumsi lainnya yang beragun Properti.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Contoh penetapan Rasio LTV yang diserahkan kepada kebijakan
Bank adalah Rasio LTV untuk KP Rumah Tapak dengan luas
bangunan sampai dengan 21m2 (dua puluh satu meter persegi).
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Mengingat Kredit atau Pembiayaan tambahan (top up)
diperlakukan sebagai Kredit atau Pembiayaan baru maka
urutan dan besaran Rasio LTV dan/atau Rasio FTV
mengikuti ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
6 atau Pasal 9.
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal 13
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Perlakuan terhadap Kredit atau Pembiayaan dengan
mengambil alih (take over) Kredit atau Pembiayaan dari
Bank lain yang disertai dengan Kredit atau Pembiayaan
tambahan ...
- 5 -
tambahan (top up) disamakan dengan Kredit atau
Pembiayaan tambahan (top up).
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Ayat (1)
Yang dimaksud telah tersedia secara utuh yaitu telah
terlihat wujud fisiknya sesuai yang diperjanjikan dan siap
diserahterimakan.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Jaminan yang diberikan oleh pengembang kepada
Bank dapat berupa aset tetap, aset bergerak, bank
guarantee, standby letter of credit dan/atau dana
yang dititipkan dan/atau disimpan dalam escrow
account di Bank pemberi Kredit atau Pembiayaan.
Nilai jaminan yang diberikan oleh pengembang
paling kurang sebesar selisih antara komitmen
Kredit atau Pembiayaan dengan pencairan yang telah
dilakukan oleh Bank.
Jaminan yang diberikan oleh pihak lain dapat
berbentuk corporate guarantee, stand by letter of
credit atau bank guarantee.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal ...
- 6 -
Pasal 19
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “rasio Kredit atau
Pembiayaan bermasalah dari total Kredit atau
Pembiayaan” adalah rasio antara jumlah Kredit atau
Pembiayaan dengan kualitas kurang lancar,
diragukan dan macet kepada pihak ketiga bukan
Bank terhadap total Kredit atau Pembiayaan kepada
pihak ketiga bukan Bank.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “rasio KKB atau KKB Syariah
bermasalah” adalah rasio antara jumlah Kredit atau
Pembiayaan untuk kepemilikan kendaraan bermotor
pada sektor rumah tangga dengan kualitas kurang
lancar, diragukan dan macet, terhadap total Kredit
atau Pembiayaan pada sektor rumah tangga untuk
kepemilikan kendaraan bermotor.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Pengenaan sanksi dihitung sebesar 1% (satu persen) dari
plafon Kredit atau Pembiayaan Uang Muka atau plafon KP
atau KP Syariah dari setiap debitur atau nasabah.
Ayat ...
- 7 -
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Pengenaan sanksi dihitung sebesar 1% (satu persen) per
bulan dari plafon Kredit atau Pembiayaan dari setiap
debitur atau nasabah.
Dalam hal Kredit atau Pembiayaan yang melanggar
ketentuan tersebut telah dilunasi pada periode pengenaan
sanksi, maka pengenaan sanksi dilakukan sampai dengan
satu periode sebelum pelunasan.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5706
"," PBI
17/10/PBI/2015
RASIO LOAN TO VALUE ATAU RASIO FINANCING TO VALUE UNTUK KREDIT ATAU PEMBIAYAAN PROPERTI DAN UANG MUKA UNTUK KREDIT ATAU PEMBIAYAAN KENDARAAN BERMOTOR
18 Juni 2015
18 Juni 2015
18 Juni 2015
'15/40/DKMP|SE-BI/2013'
'23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '6/UU/2009', '16/11/PBI/2014'
'BAB V'
"
" PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 1/11/PBI/1999
TENTANG
FASILITAS KHUSUS DALAM RANGKA MENGATASI KESULITAN PENDANAAN
JANGKA PENDEK BAGI BANK UMUM YANG DISEBABKAN
MASALAH KOMPUTER TAHUN 2000
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa dalam menghadapi kemungkinan penarikan dana oleh nasabah
penyimpan dana di bank dalam jumlah yang besar dan dalam waktu
yang relatif bersamaan berkaitan dengan kekhawatiran terhadap
masalah komputer dalam memasuki tahun 2000;
b. bahwa dalam rangka membantu bank mengatasi kesulitan pendanaan
yang disebabkan penarikan dana oleh nasabah, Bank Indonesia
sebagai lender of the last resort dapat memberikan fasilitas pendanaan
jangka pendek kepada Bank Umum;
c. bahwa berhubung dengan hal-hal tersebut di atas dipandang perlu
untuk mengatur ketentuan mengenai fasilitas khusus dalam rangka
mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek bagi Bank Umum yang
disebabkan masalah komputer tahun 2000 dalam Peraturan Bank
Indonesia;
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran
Negara Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3472) Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-undang Nomor 10
Tahun 1998 (Lembaran Negara Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3790);
2. Undang-…..
-2-
2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
(Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3843);
3. Peraturan Bank Indonesia Nomor 1/1/PBI/1999 tanggal 18 Mei 1999
tentang Fasilitas Pendanaan Dalam Rangka Mengatasi Kesulitan
Pendanaan Jangka Pendek Bagi Bank Umum (Lembaran Negara Tahun
1999 Nomor 100, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3855);
4. Peraturan Bank Indonesia Nomor 1/3/PBI/1999 tanggal 13 Agustus
1999 tentang Penyelenggaraan Kliring Lokal dan Penyelesaian Akhir
Transaksi Pembayaran Antar Bank Atas Hasil Kliring Lokal (Lembaran
Negara Tahun 1999 Nomor 139, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3873);
5. Peraturan Bank Indonesia Nomor 1/10/PBI/1999 tanggal 3 Desember
1999 tentang Portofolio Obligasi Pemerintah Bagi Bank Umum Peserta
Program Rekapitalisasi (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 211,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3917);
6. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 30/89A/KEP/DIR
tanggal 20 Oktober 1997 tentang Perubahan Surat Keputusan Direksi
Bank Indonesia Nomor 28/113/KEP/DIR tanggal 14 Desember 1995
tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum Pada Bank Indonesia Dalam
Rupiah Dan Valuta Asing Sebagaimana Telah Diubah Terakhir Dengan
Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 30/86/KEP/DIR
tanggal 7 Oktober 1997;
7. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/67/KEP/DIR
tanggal 23 Juli 1998 tentang Penerbitan dan Perdagangan Sertifikat Bank
Indonesia Serta Intervensi Rupiah.
MEMUTUSKAN:…..
-3-
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG FASILITAS KHUSUS
DALAM RANGKA MENGATASI KESULITAN PENDANAAN
JANGKA PENDEK BAGI BANK UMUM YANG DISEBABKAN
MASALAH KOMPUTER TAHUN 2000.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Yang dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia ini dengan :
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-
undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah
diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 yang
melaksanakan kegiatan usaha perbankan konvensional;
2. Masalah Komputer Tahun 2000 atau yang selanjutnya disebut dengan
MKT 2000 adalah kesalahan interpretasi data tahun 00 ketika sistem
mencapai tahun 2000 sehingga dapat terjadi implikasi yang berakibat
fatal antara lain kegagalan dan/atau kesalahan serta terhentinya
pengoperasian sistem komputer dan terhapusnya data bank;
3. Kesulitan Pendanaan Jangka Pendek Dalam Rangka MKT 2000 adalah
kesulitan likuiditas Bank yang disebabkan oleh penarikan dana nasabah
pada saat diberlakukannya PBI ini;
4. Saldo Giro Negatif adalah saldo rekening giro Rupiah Bank pada Bank
Indonesia yang mewilayahi kliring lokal Bank yang menunjukkan angka
negatif pada saat Bank Indonesia menutup sistem akunting;
5. Fasilitas Khusus Dalam Rangka MKT 2000 atau yang selanjutnya
disebut dengan Fasilitas Khusus adalah penyediaan pendanaan khusus
dalam Rupiah dari Bank Indonesia kepada Bank untuk mengatasi
Kesulitan Pendanaan Jangka Pendek Dalam Rangka MKT 2000;
6. Sertifikat…..
-4-
6. Sertifikat Bank Indonesia yang selanjutnya disebut dengan SBI adalah
surat berharga atas unjuk dalam Rupiah yang diterbitkan Bank
Indonesia sebagai pengakuan hutang berjangka waktu pendek dengan
sistem diskonto;
7. Repurchase Agreement atau jual beli bersyarat yang selanjutnya disebut
dengan Repo adalah transaksi jual beli surat berharga yang mewajibkan
penjual untuk membeli kembali surat berharga tersebut sesuai dengan
jangka waktu yang diperjanjikan;
8. Outright atau jual lepas adalah transaksi jual beli surat berharga sebelum
surat berharga tersebut jatuh waktu;
9. Fasilitas Kredit adalah penyediaan plafon pendanaan dari Bank
Indonesia kepada Bank dengan agunan Obligasi Pemerintah, yang
digunakan untuk mengatasi Kesulitan Pendanaan Jangka Pendek Dalam
Rangka MKT 2000;
10. Penarikan Kredit adalah pencairan dana dari Fasilitas Kredit;
11. Surat Utang Pemerintah yang selanjutnya disebut dengan Obligasi
Pemerintah adalah Surat Utang Negara Republik Indonesia dalam mata
uang Rupiah yang diterbitkan oleh Pemerintah dalam rangka Program
Rekapitalisasi Bank Umum;
12. Giro Wajib Minimum (statutory reserve) atau yang selanjutnya disebut
dengan GWM adalah simpanan minimum yang harus dipelihara oleh
Bank dalam bentuk saldo giro pada Bank Indonesia yang besarnya
ditetapkan oleh Bank Indonesia sebesar persentase tertentu dari dana
pihak ketiga Bank;
13. Jakarta Inter Bank Offered Rate Over Night atau yang selanjutnya disebut
dengan JIBOR O/N adalah suku bunga rata-rata dalam Rupiah jangka
waktu 1 (satu) hari yang ditawarkan oleh bank-bank tertentu di Jakarta.
Pasal 2 …..
-5-
Pasal 2
(1) Bank yang mengalami Kesulitan Pendanaan Jangka Pendek Dalam
Rangka MKT 2000 dapat memperoleh Fasilitas Khusus dari Bank
Indonesia berupa:
a. Penjualan SBI secara Repo; dan/atau
b. Penjualan SBI secara Outright; dan/atau
c. Penarikan Kredit dengan agunan Obligasi Pemerintah;
dengan memenuhi persyaratan dan tata cara sebagaimana diatur dalam
Peraturan Bank Indonesia ini.
(2) Bank yang mengajukan Fasilitas Khusus wajib terlebih dahulu melakukan
penjualan SBI secara Repo atau Outright, sebelum melakukan Penarikan
Kredit.
(3) Sisa jangka waktu SBI yang dijual secara Repo sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) huruf a di atas sekurang-kurangnya 3 (tiga) hari lebih
panjang dari jangka waktu Fasilitas Khusus yang diperoleh.
(4) Sisa jangka waktu SBI yang dijual secara Outright sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) huruf b di atas sekurang-kurangnya 1 (satu) hari.
Pasal 3
Fasilitas Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) berlaku dari
tanggal 22 Desember 1999 sampai dengan 17 Januari 2000.
Pasal 4
(1) Selama periode berlakunya Fasilitas Khusus sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3, maka:
a. Bank dapat mengajukan permohonan agar Kas Bank (cash in vault)
dalam Rupiah diperhitungkan sebagai komponen GWM dalam
Rupiah;
b. Sanksi …..
-6-
b. Sanksi atas pelanggaran GWM dalam Rupiah yang berupa kewajiban
membayar diturunkan dari 125% (seratus dua puluh lima per seratus)
dari JIBOR O/N menjadi JIBOR O/N ditambah 100 basis points;
c. Sanksi pembinaan tidak dikenakan atas pelanggaran GWM dalam
Rupiah.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a disampaikan
kepada:
a. Direktorat Pengawasan Bank terkait, Bank Indonesia, Jl. M.H. Thamrin
No.2, Jakarta, bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah kliring lokal
Jakarta, dengan tembusan kepada Direktorat Teknologi Informasi;
b. Kantor Bank Indonesia setempat, bagi Bank yang berkantor pusat di
luar wilayah kliring lokal Jakarta, dengan tembusan kepada Direktorat
Teknologi Informasi dan Direktorat Pengawasan Bank terkait;
disertai dengan laporan posisi kas konsolidasi dalam Rupiah pada 1 (satu)
hari kerja sebelum tanggal permohonan.
(3) Bank yang telah mengajukan permohonan, setiap hari wajib
menyerahkan laporan posisi kas konsolidasi pada 1 (satu) hari kerja
sebelumnya selama berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini kepada Bank
Indonesia dengan alamat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) selambat-
lambatnya pukul 10.00 waktu setempat.
BAB II
PERSYARATAN DAN TATA CARA PENJUALAN SBI
SECARA REPO ATAU OUTRIGHT
Pasal 5
(1) Bank yang mengalami Kesulitan Pendanaan Jangka Pendek Dalam
Rangka MKT 2000 dapat menjual seluruh SBI yang dimilikinya kepada
Bank Indonesia baik secara Repo maupun Outright.
(2) Tingkat …..
-7-
(2) Tingkat diskonto SBI yang dijual secara Repo atau Outright ditetapkan
sebesar rata-rata tertimbang tingkat diskonto SBI lelang jangka waktu 1
(satu) bulan yang tercatat dalam lelang terakhir ditambah 100 (seratus)
basis points.
(3) Perhitungan diskonto menggunakan rumus diskonto murni (true
discount) sebagai berikut:
Nilai Diskonto = nilai nominal - nilai tunai
(nilai nominal) x 360
Nilai Tunai
= -----------------------------------------------------
360 + (tingkat diskonto x jangka waktu)
Pasal 6
(1) Bank mengajukan permohonan penjualan SBI secara Repo atau Outright
kepada Bank Indonesia dari pukul 09.00 sampai dengan 18.00 waktu
setempat melalui Reuters Monitoring Dealing System (RMDS) atau telepon
atau faksimili yang ditegaskan dengan telepon yang disampaikan kepada:
a. Bagian Operasi Pasar Uang, Direktorat Pengelolaan Moneter, Bank
Indonesia, Jl. M.H. Thamrin No.2, Jakarta, bagi Bank yang berkantor
pusat di wilayah kliring lokal Jakarta, dengan tembusan kepada
Direktorat Pengawasan Bank terkait;
b. Kantor Bank Indonesia setempat, bagi Bank yang berkantor pusat di
luar wilayah kliring lokal Jakarta, dengan tembusan kepada Direktorat
Pengelolaan Moneter dan Direktorat Pengawasan Bank terkait.
(2) Permohonan penjualan SBI secara Repo atau Outright wajib ditegaskan
secara tertulis dengan Surat Permohonan Penjualan SBI secara Repo atau
Outright (SPPS-Repo atau SPPS-Outright) yang ditandatangani sekurang-
kurangnya oleh 2 (dua) anggota Direksi Bank sebagaimana contoh dalam
Lampiran 1 dan 2 disertai asli SBI atau Bilyet Depot Simpanan (BDS) SBI.
(3) Bank …..
-8-
(3) Bank Indonesia menyampaikan persetujuan atau penolakan atas
permohonan penjualan SBI secara Repo atau Outright kepada Bank
melalui RMDS atau faksimili atau telepon yang ditegaskan dengan
faksimili.
(4) Bank menyampaikan SPPS-Repo atau SPPS-Outright serta asli SBI atau
BDS-SBI kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya pukul 19.00 waktu
setempat pada hari transaksi.
(5) Dalam hal terjadi keterlambatan penyampaian SPPS-Repo atau SPPS-
Outright serta asli SBI atau BDS-SBI oleh Bank kepada Bank Indonesia,
maka permohonan penjualan SBI secara Repo atau Outright dinyatakan
batal.
(6) Dalam hal permohonan disetujui, pengkreditan rekening giro Bank di
Bank Indonesia dilakukan setelah Bank menyerahkan SPPS-Repo atau
SPPS-Outright serta asli SBI atau BDS SBI kepada Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) di atas.
BAB III
PERSYARATAN DAN TATA CARA MEMPEROLEH
FASILITAS KREDIT DAN PENARIKAN KREDIT
Pasal 7
Bank hanya dapat melakukan Penarikan Kredit apabila telah memiliki
Fasilitas Kredit.
Pasal 8
(1) Bank dapat memperoleh Fasilitas Kredit sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 dengan mengajukan permohonan secara tertulis kepada Bank
Indonesia sebagaimana contoh dalam Lampiran 3 dan menandatangani
perjanjian …..
-9-
perjanjian penyediaan Fasilitas Kredit serta pengikatan agunan secara
gadai.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) di atas ditandatangani
sekurang-kurangnya oleh 2 (dua) anggota Direksi Bank dan diketahui
sekurang-kurangnya oleh 2 (dua) anggota Dewan Komisaris Bank, disertai
dengan surat permohonan penerbitan Surat Keterangan Obligasi
Dijaminkan (SKOD), dan fotokopi Konfirmasi Pencatatan Obligasi (KPO),
dan disampaikan kepada:
a. Direktorat Pengelolaan Moneter, Bank Indonesia, Jl. M.H. Thamrin
No.2, Jakarta, bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah kliring lokal
Jakarta, dengan tembusan kepada Direktorat Pengawasan Bank terkait;
b. Kantor Bank Indonesia setempat, bagi Bank yang berkantor pusat di
luar wilayah kliring lokal Jakarta, dengan tembusan kepada Direktorat
Pengelolaan Moneter dan Direktorat Pengawasan Bank terkait.
(3) Agunan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 berupa Obligasi Pemerintah
dengan jumlah maksimum sebesar 10% (sepuluh per seratus) dari Obligasi
Pemerintah yang dimiliki Bank dan jumlah maksimum ini termasuk
Obligasi Pemerintah yang diagunkan kepada pihak ketiga.
(4) Agunan yang telah diagunkan kepada pihak ketiga tidak dapat diagunkan
kepada Bank Indonesia.
(5) Jumlah Fasilitas Kredit yang dapat diberikan oleh Bank Indonesia adalah
sebesar 75% (tujuhpuluh lima per seratus) dari nilai nominal Obligasi
Pemerintah yang diserahkan oleh Bank, dengan memperhatikan
ketentuan dalam ayat (3).
Pasal 9
(1) Bank yang mengalami Kesulitan Pendanaan Jangka Pendek Dalam
Rangka MKT 2000 dapat mengajukan permohonan Penarikan Kredit
maksimum …..
-10-
maksimum sebesar perkiraan Saldo Giro Negatif Bank yang dihitung oleh
Bank (self assessment), dan tidak melebihi Fasilitas Kredit yang tersedia.
(2) Perkiraan Saldo Giro Negatif Bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
di atas bukan disebabkan oleh penarikan dana oleh nasabah yang
termasuk dalam pihak terkait.
(3) Bank mengajukan permohonan Penarikan Kredit kepada Bank Indonesia
dari pukul 09.00 sampai dengan 18.00 waktu setempat melalui RMDS atau
telepon atau faksimili yang ditegaskan dengan telepon yang disampaikan
kepada:
a. Bagian Operasi Pasar Uang, Direktorat Pengelolaan Moneter, Bank
Indonesia, Jl. M.H. Thamrin No.2, Jakarta, bagi Bank yang berkantor
pusat di wilayah kliring lokal Jakarta, dengan tembusan kepada
Direktorat Pengawasan Bank terkait;
b. Kantor Bank Indonesia setempat, bagi Bank yang berkantor pusat di
luar wilayah kliring lokal Jakarta, dengan tembusan kepada Direktorat
Pengelolaan Moneter dan Direktorat Pengawasan Bank terkait.
(4) Permohonan Penarikan Kredit wajib ditegaskan secara tertulis dengan
Surat Permohonan Penarikan Kredit yang ditandatangani sekurang-
kurangnya oleh 2 (dua) anggota Direksi Bank dan diketahui sekurang-
kurangnya oleh 2 (dua) anggota Dewan Komisaris Bank sebagaimana
contoh dalam Lampiran 4.
(5) Bank Indonesia menyampaikan persetujuan atau penolakan permohonan
Penarikan Kredit kepada Bank melalui RMDS atau faksimili atau telepon
yang ditegaskan dengan faksimili.
(6) Bank menyampaikan surat permohonan Penarikan Kredit kepada Bank
Indonesia selambat-lambatnya pukul 19.00 waktu setempat pada hari
transaksi.
(7) Dalam …..
-11-
(7) Dalam hal terjadi keterlambatan penyampaian surat permohonan
Penarikan Kredit sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) di atas, maka
permohonan Penarikan Kredit dinyatakan batal.
(8) Penarikan Kredit dikenakan diskonto sebesar 125% (seratus dua puluh
lima per seratus) dari rata-rata tertimbang tingkat diskonto SBI lelang 1
(satu) bulan yang tercatat dalam lelang terakhir SBI.
(9) Perhitungan diskonto sebagaimana dimaksud dalam ayat (8)
menggunakan rumus diskonto murni (true discount) sebagai berikut:
Nilai Diskonto = nilai nominal - nilai tunai
(nilai nominal) x 360
Nilai Tunai = --------------------------------------------------------
360 + (tingkat diskonto x jangka waktu)
(10) Dalam hal permohonan disetujui, pengkreditan rekening giro Bank di
Bank Indonesia dilakukan setelah Bank menyerahkan Surat Permohonan
Penarikan Kredit kepada Bank Indonesia.
BAB IV
PELUNASAN
Pasal 10
(1) Pada saat Repo atau Penarikan Kredit jatuh waktu, Bank Indonesia akan
mendebet rekening giro Bank yang bersangkutan di Bank Indonesia.
(2) Bank Indonesia akan mengembalikan asli SBI atau BDS-SBI kepada Bank
apabila transaksi penjualan SBI secara Repo telah dilunasi.
(3) Dalam hal saldo giro Bank yang bersangkutan di Bank Indonesia tidak
mencukupi atau tidak ada dananya pada saat jatuh waktu, maka berlaku
ketentuan sebagai berikut:
a. untuk pelunasan SBI secara Repo:
1) sepanjang…..
-12-
1) sepanjang periode ketentuan ini belum berakhir, maka Bank dapat
memperpanjang jangka waktu penjualan SBI secara Repo
sepanjang sisa jangka waktu SBI masih mencukupi, atau menjual
SBI secara Outright apabila jangka waktu tidak mencukupi,
dengan tata cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6;
2) pada akhir periode ketentuan ini, maka rekening giro Bank yang
bersangkutan di Bank Indonesia akan didebet.
b. untuk pelunasan Penarikan Kredit:
1) sepanjang periode ketentuan ini belum berakhir, maka Bank
dapat memperpanjang jangka waktu Penarikan Kredit dengan
persyaratan dan tata cara sebagaimana diatur dalam Pasal 9;
2) pada akhir periode ketentuan ini, maka rekening giro Bank yang
bersangkutan di Bank Indonesia akan didebet.
(4) Apabila saldo giro Bank di Bank Indonesia mengalami saldo negatif
sebagai akibat pendebetan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) butir a.
2) dan b.2), Bank dapat memanfaatkan Fasilitas Pendanaan Dalam
Rangka Mengatasi Kesulitan Pendanaan Jangka Pendek Bagi Bank
Umum sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor
1/1/PBI/1999 tanggal 18 Mei 1999.
BAB V
PENGAWASAN
Pasal 11
Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan khusus terhadap Bank yang
telah menerima Fasilitas Khusus.
BAB VI …..
-13-
BAB VI
SANKSI
Pasal 12
(1) Apabila saldo awal giro Bank di Bank Indonesia pada 1 (satu) hari kerja
berikutnya setelah Penarikan Kredit diberikan tidak menunjukkan angka
negatif, Bank akan dikenakan sanksi dengan ketentuan sebagai berikut:
a. apabila kelebihan saldo dimaksud lebih kecil dari Penarikan Kredit
yang diterima, Bank akan didebet sebesar kelebihan saldo giro Bank
yang bersangkutan di Bank Indonesia dari saldo nihil, atau
b. apabila saldo giro Bank yang bersangkutan di Bank Indonesia lebih
besar dari Penarikan Kredit, Bank akan didebet sebesar Penarikan
Kredit yang diterima.
(2) Sehubungan dengan pendebetan kembali sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), Bank dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar 100 basis
points di atas diskonto Penarikan Kredit sebagaimana diatur dalam Pasal
9 ayat (8).
(3) Apabila dalam pemeriksaan khusus ditemukan adanya penyimpangan
penggunaan Penarikan Kredit, maka Bank dikenakan:
a. dalam hal Penarikan Kredit belum jatuh waktu, berupa:
1) pendebetan kembali Penarikan Kredit yang diterima, dan
2) kewajiban membayar sebesar 150% (seratus lima puluh per
seratus) dari rata-rata tertimbang suku bunga Pasar Uang Antar
Bank yang terjadi pada pagi dan sore hari untuk jangka waktu 1
(satu) hari pada hari Penarikan Kredit;
b. dalam hal Penarikan Kredit telah jatuh waktu atau telah berakhirnya
ketentuan ini, berupa kewajiban membayar sebagaimana dimaksud
dalam …..
-14-
dalam huruf a butir 2) di atas yang dihitung selama periode Penarikan
Kredit; dan
c. sanksi administratif sebagaimana diatur dalam Pasal 52 ayat (2)
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-undang Nomor 10
Tahun 1998.
(4) Pengenaan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud dalam
ayat (3) huruf a dihitung sejak tanggal Penarikan Kredit sampai dengan
tanggal pendebetan kembali Penarikan Kredit.
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 13
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal 22 Desember 1999.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 22 Desember 1999
GUBERNUR BANK INDONESIA
ANWAR NASUTION
Deputi Gubernur Senior
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1999 NOMOR 221
DPM
-15-
PENJELASAN
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 1/11/PBI/1999
TENTANG
FASILITAS KHUSUS PENDANAAN DALAM RANGKA MENGATASI
KESULITAN PENDANAAN JANGKA PENDEK BAGI BANK UMUM YANG
DISEBABKAN MASALAH KOMPUTER TAHUN 2000
I. UMUM
Dalam menghadapi tahun 2000, dikhawatirkan terdapat permasalahan
pengoperasian sistem komputer akibat kesalahan interpretasi data oleh sistem
komputer karena pergantian tahun 1999 menjadi tahun 2000. Hal tersebut dapat
berakibat terhadap kegagalan atau kesalahan bahkan berhentinya pengoperasian
sistem komputer serta terhapusnya data bank.
Sehubungan dengan permasalahan tersebut nasabah penyimpan dana pada
Bank diperkirakan akan menarik dana dalam jumlah yang besar dan dalam waktu
yang relatif bersamaan sehingga Bank dapat mengalami kesulitan penyediaan
dana/likuiditas dalam jumlah cukup dan waktu yang relatif cepat.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia,
Bank Indonesia dalam fungsinya sebagai lender of the last resort dapat memberikan
kredit kepada Bank untuk mengatasi Kesulitan Pendanaan Jangka Pendek agar
kelangsungan kegiatan usaha Bank dan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga
perbankan serta kelancaran sistem pembayaran dapat terpelihara.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2…..
-16-
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)…..
-17-
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)…..
-18-
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan pihak terkait adalah nasabah penyimpan dana di
Bank yang bersangkutan yang mempunyai keterkaitan dengan Bank
sebagaimana dimaksud Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor
31/177/KEP/DIR tanggal 31 Desember 1998 tentang Batas Maksimum
Pemberian Kredit Bank Umum.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)…..
-19-
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Ayat (10)
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 11
Pemeriksaan Khusus terhadap Bank yang menerima Fasilitas Khusus dapat
dilakukan pada periode diterimanya Fasilitas Khusus atau setelah jatuh
waktu Fasilitas Khusus.
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)…..
-20-
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3919
DPM
-21-
Lampiran Peraturan Bank Indonesia Nomor : 1/11/PBI/1999 tanggal 22 Desember 1999
Lampiran 1
Kepada *)
Bank Indonesia
c.q. Bagian Operasi Pasar Uang
Direktorat Pengelolaan Moneter
Jl. M.H. Thamrin No. 2
Jakarta 10110
Perihal : Penjualan SBI Secara Repo
---------------------------------
Menunjuk Peraturan Bank Indonesia Nomor 1/ 11 /PBI/1999 tanggal 22 Desember
1999, dengan ini kami mengajukan permohonan penjualan SBI secara Repo/perpanjangan
penjualan SBI secara Repo**) sebagai berikut :
Tanggal Penjualan Repo
Jangka Waktu Repo
Tanggal Jatuh Waktu Repo
Nama Bank
Nomor Rekening
pada BI
Jumlah Penjualan
Selama jangka waktu penjualan Repo, maka SBI atau BDS-SBI kami
serahkan dan menjadi milik Bank Indonesia.
Demikian Permohonan kami.
….…..., ........ (tempat, tanggal)
Direksi
(Nama Bank…..)
ttd
Meterai
------------- -------------
(Direktur 1) (Direktur 2)
:
:
:
Jumlah Penjualan
(Juta Rp)
Nomor SBI
Atau BDS-SBI
-22-
cc. Direktorat Pengawasan Bank terkait, Bank Indonesia.
*) Bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah kliring Jakarta,
permohonan disampaikan kepada Kantor Bank Indonesia
setempat, dengan tembusan kepada Direktorat Pengelolaan
Monter dan Direktorat Pengawasan Bank terkait.
**) coret yang tidak perlu.
-23-
Lampiran Peraturan Bank Indonesia Nomor : 1/11/PBI/1999 tanggal 22
Desember 1999
Lampiran 2
Kepada *)
Bank Indonesia
c.q. Bagian Operasi Pasar Uang
Direktorat Pengelolaan Moneter
Jl. M.H. Thamrin No. 2
Jakarta 10110
Perihal : Penjualan SBI Secara Outright
-------------------------------------
Menunjuk Peraturan Bank Indonesia Nomor 1/ 11 /PBI/1999 tanggal 22 Desember
1999, dengan ini kami mengajukan permohonan penjualan SBI secara Outright sebagai
berikut:
Tanggal Penjualan Outright
Sisa Jangka Waktu SBI
Nama Bank
Nomor Rekening
pada BI
Jumlah Penjualan
Sehubungan dengan penjualan Outright, maka SBI atau BDS-SBI kami
serahkan dan menjadi milik Bank Indonesia.
Demikian permohonan kami.
….…..., ........ (tempat, tanggal)
Direksi
(Nama Bank…..)
ttd
Meterai
------------- -------------
:
:
Jumlah Penjualan
(Juta Rp)
Nomor SBI
Atau BDS-SBI
-24-
(Direktur 1) (Direktur 2)
cc. Direktorat Pengawasan Bank terkait, Bank Indonesia.
*) Bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah kliring Jakarta,
permohonan disampaikan kepada Kantor Bank Indonesia
setempat, dengan tembusan kepada Direktorat Pengelolaan
Moneter dan Direktorat Pengawasan Bank terkait.
-25-
Lampiran Peraturan Bank Indonesia Nomor : 1/11/PBI /1999 tanggal 22
Desember 1999
Lampiran 3
Kepada *)
Bank Indonesia
c.q. Direktorat Pengelolaan Moneter
Jl. MH. Thamrin No. 2
Jakarta, 10110
Perihal : Permohonan Untuk Mendapatkan Fasilitas Kredit
------------------------------------------------------------
Menunjuk Peraturan Bank Indonesia Nomor 1/ 11 /PBI/1999 tanggal 22 Desember
1999, dengan ini kami mengajukan permohonan untuk mendapatkan Fasilitas Kredit
sebesar Rp. … … … ( … … … … ) untuk jangka waktu dari ………… sampai dengan
………….. Dalam kaitan ini, terlampir kami sampaikan surat permohonan penerbitan Surat
Keterangan Obligasi Dijaminkan (SKOD) dan fotokopi Konfirmasi Pencatatan Obligasi
(KPO).
Data tersebut kami sampaikan dengan sebenarnya. Apabila di kemudian
hari terbukti data tersebut di atas tidak benar, kami bersedia untuk
mempertanggung-jawabkannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Dalam hal surat berharga jatuh waktu, Saudara dapat langsung mengurangi Fasilitas
Kredit yang disediakan bagi Bank kami sebesar nilai tunai surat berharga dimaksud.
Demikian permohonan kami.
Komisaris
(Nama Bank….)
ttd
----------------
----------------
….…..., ........ (tempat, tanggal)
Direksi
(Nama Bank…..)
ttd
Meterai
------------- -------------
-26-
(Komisaris 1) (Komisaris 2)
cc. Direktorat Pengawasan Bank terkait, Bank Indonesia
*) Bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah kliring Jakarta,
permohonan disampaikan kepada Kantor Bank Indonesia
setempat, dengan tembusan kepada Direktorat Pengelolaan
Moneter dan Direktorat Pengawasan Bank terkait.
(Direktur 1) (Direktur 2)
-27-
Lampiran Peraturan Bank Indonesia Nomor : 1/11/PBI/1999 tanggal 22
Desember 1999
Lampiran 4
Kepada *)
Bank Indonesia
c.q. Bagian Operasi Pasar Uang
Direktorat Pengelolaan Moneter
Jl. MH. Thamrin No. 2
Jakarta, 10110
Perihal : Permohonan Penarikan Kredit/Permohonan Perpanjangan
Penarikan Kredit **)
-------------------------------------------------------------------------------
Menunjuk Peraturan Bank Indonesia Nomor 1/ 11 /PBI/1999 tanggal
22
Desember 1999 dan Perjanjian Penyediaan Fasilitas Kredit No. ……….. tanggal
…………, dengan ini kami mengajukan permohonan untuk melakukan Penarikan
Kredit/Perpanjangan Penarikan Kredit **) guna menutup perkiraan saldo giro negatif kami
di Bank Indonesia pada hari ini tanggal ……………, sebesar Rp. … … … ( … … … … )
untuk jangka waktu … ….dari tanggal ……… sampai dengan ……… Dengan ini pula
kami menyatakan bahwa kami tidak memiliki SBI atau SBI yang kami miliki senilai Rp
…………(….) telah kami jual kepada Bank Indonesia secara Repo/Outright.
Demikian permohonan kami.
Komisaris
(Nama Bank….)
ttd
----------------
----------------
(Komisaris 1) (Komisaris 2)
….…..., ........ (tempat, tanggal)
Direksi
(Nama Bank…..)
ttd
Meterai
------------- -------------
(Direktur 1) (Direktur 2)
-28-
cc. Direktorat Pengawasan Bank terkait, Bank Indonesia
*) Bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah kliring Jakarta,
permohonan disampaikan kepada Kantor Bank Indonesia
setempat, dengan tembusan kepada Direktorat Pengelolaan
Moneter dan Direktorat Pengawasan Bank terkait.
**) coret yang tidak perlu.
"," PBI
1/11/PBI/1999
FASILITAS KHUSUS DALAM RANGKA MENGATASI KESULITAN PENDANAAN JANGKA PENDEK BAGI BANK UMUM YANG DISEBABKAN MASALAH KOMPUTER TAHUN 2000
22 Desember 1999
22 Desember 1999
'1/3/PBI/1999', '31/67/KEP/DIR|SKDIR-BI/1998', '1/10/PBI/1999', '23/UU/1999', '30/89A/KEP/DIR|SKDIR-BI/1997', '30/86/KEP/DIR', '28/113/KEP/DIR|SKDIR-BI/1995', '7/UU/1992', '10/UU/1998', '1/1/PBI/1999'
'BAB VI'
"
" PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 21/6/PBI/2019
TENTANG
PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 20/5/PBI/2018 TENTANG OPERASI MONETER
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa untuk memperkuat kerangka operasi moneter,
Bank Indonesia menerbitkan Sukuk Bank Indonesia
sebagai salah satu instrumen operasi moneter
berdasarkan prinsip syariah;
b. bahwa untuk mendukung pelaksanaan Sukuk Bank
Indonesia perlu dilakukan perluasan underlying asset
berupa sukuk global yang dimiliki Bank Indonesia;
c. bahwa pelaksanaan operasi moneter berdasarkan prinsip
syariah secara terus menerus disempurnakan untuk
memperkuat dasar transaksi operasi moneter sehingga
perlu ada penyempurnaan akad;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan
Peraturan Bank Indonesia tentang Perubahan Ketiga atas
Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/5/PBI/2018 tentang
Operasi Moneter;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
-2-
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah beberapa kali
diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan
Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999
tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor
7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4962);
2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu
Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 67, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3844);
3. Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/5/PBI/2018 tentang
Operasi Moneter (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2018 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 6198) sebagaimana telah
beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Bank
Indonesia Nomor 20/14/PBI/2018 tentang Perubahan
Kedua atas Peraturan Bank Indonesia Nomor
20/5/PBI/2018 tentang Operasi Moneter (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 247,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
6278);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN
KETIGA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR
20/5/PBI/2018 TENTANG OPERASI MONETER.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor
20/5/PBI/2018 tentang Operasi Moneter (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 60, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6198)
sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan
-3-
Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/14/PBI/2018 tentang
Perubahan Kedua atas Peraturan Bank Indonesia Nomor
20/5/PBI/2018 tentang Operasi Moneter (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 247, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6278) diubah
sebagai berikut:
1. Ketentuan ayat (3) Pasal 31 diubah sehingga berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 31
(1) Penempatan dana rupiah (deposit facility) dalam
Standing Facilities Syariah dilakukan dengan
mekanisme Bank Indonesia menerima penempatan
dana rupiah dari peserta Standing Facilities Syariah
tanpa menerbitkan surat berharga.
(2) Penempatan dana rupiah (deposit facility)
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) salah satunya
dilakukan dalam bentuk Fasilitas Simpanan Bank
Indonesia Syariah (FASBIS).
(3) Penempatan dana rupiah
(deposit
facility)
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menggunakan
akad ju’alah.
(4) Dalam hal terdapat perubahan akad sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), perubahan tersebut
ditetapkan dalam Peraturan Anggota Dewan
Gubernur.
2. Ketentuan huruf a Pasal 45B diubah sehingga berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 45B
SukBI memiliki karakteristik sebagai berikut:
a. menggunakan underlying asset berupa SBSN
dan/atau sukuk global;
b. berjangka waktu paling singkat 1 (satu) hari dan
paling lama 12 (dua belas) bulan yang dinyatakan
-4-
dalam jumlah hari kalender, yang dihitung sejak 1
(satu) hari setelah tanggal penyelesaian transaksi
sampai dengan tanggal jatuh waktu;
c. diterbitkan tanpa warkat (scripless);
d. dapat diagunkan kepada Bank Indonesia;
e. hanya dapat dibeli oleh BUS dan UUS di pasar
perdana;
f.
dapat diperdagangkan (tradable) di pasar sekunder;
dan
g. hanya dapat dimiliki oleh Bank.
Pasal II
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
-5-
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 26 April 2019
GUBERNUR BANK INDONESIA,
TTD
PERRY WARJIYO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 29 April 2019
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
TTD
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2019 NOMOR 82
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 21/6/PBI/2019
TENTANG
PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 20/5/PBI/2018 TENTANG OPERASI MONETER
I. UMUM
Untuk memperkuat kerangka Operasi Moneter, Bank Indonesia
menerbitkan Sukuk Bank Indonesia sebagai salah satu instrumen Operasi
Moneter berdasarkan prinsip syariah.
Guna mendukung pelaksanaan Operasi Moneter berdasarkan prinsip
syariah, perlu dilakukan perluasan underlying asset bukan hanya
menggunakan SBSN namun juga dengan memasukkan sukuk global yang
dimiliki oleh Bank Indonesia sebagai underlying asset Sukuk Bank
Indonesia.
Di samping itu, pelaksanaan operasi moneter berdasarkan prinsip
syariah secara terus menerus disempurnakan untuk memperkuat dasar
transaksi operasi moneter sehingga ada penyempurnaan terhadap akad
Fasilitas Simpanan Bank Indonesia Syariah (FASBIS) yang semula
menggunakan akad wadi’ah menjadi ju’alah sesuai dengan opini dari
Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI).
Sehubungan dengan itu, perlu dilakukan perubahan ketiga atas
Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/5/PBI/2018 tentang Operasi
Moneter.
-2-
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 31
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “akad ju’alah” adalah janji atau
komitmen (iltizam) untuk memberikan imbalan tertentu
(‘iwadh/ju’l) atas pencapaian hasil (natijah) yang
ditentukan dari suatu pekerjaan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 45B
Huruf a
Yang dimaksud dengan “sukuk global” adalah sukuk
dalam valuta asing yang lazim diperdagangkan dalam
pasar keuangan internasional yang diterbitkan oleh
antara lain pemerintah, lembaga pemerintah, lembaga
supranasional, entitas, atau korporasi.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “tanpa warkat (scripless)”
adalah diterbitkan tanpa adanya fisik SukBI dan bukti
kepemilikan bagi pemegang SukBI berupa pencatatan
elektronis.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
-3-
Huruf f
SukBI dapat diperdagangkan antar-Bank di pasar
sekunder antara lain secara outright, repo, atau
dijadikan agunan.
Huruf g
Cukup jelas.
Pasal II
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6341
"," PBI
21/6/PBI/2019
PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 20/5/PBI/2018 TENTANG OPERASI MONETER
26 April 2019
29 April 2019
29 April 2019
'20/5/PBI/2018'
'20/14/PBI/2018'
'6/UU/2009', '23/UU/1999', '20/14/PBI/2018', '2/PERPPU/2008', '20/5/PBI/2018', '24/UU/1999'
"
" PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 3/16/PBI/2001
TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 3/1/PBI/2001 TENTANG PROYEK KREDIT MIKRO
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang :
a. Bahwa batas waktu pelaksanaan Proyek Kredit Mikro
sebagaimana diatur dalam Pasal 6 Peraturan Bank Indonesia
Nomor 3/1/PBI/2001 tentang Proyek Kredit Mikro telah
berakhir pada tanggal 30 Juni 2001;
b. Bahwa dengan memperhatikan kondisi ekonomi yang masih
memerlukan bantuan, jumlah rakyat miskin yang terus
meningkat, masih perlunya penguatan terhadap Lembaga-
lembaga Keuangan Perdesaan untuk kesinambungan usaha
mikro dan masih tingginya kebutuhan akan kredit mikro,
sehingga dirasa perlu untuk memperpanjang masa
pengelolaan dan menyempurnakan ketentuan pelaksanaan
Proyek Kredit Mikro;
c. Bahwa Asian Development Bank dan Pemerintah telah
sepakat mengenai perpanjangan masa pengelolaan Proyek
Kredit Mikro oleh Bank Indonesia menjadi sampai dengan 31
Desember 2001;
d. Bahwa …..
- 2 -
d. Bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas, dipandang
perlu mengubah kembali Peraturan Bank Indonesia Nomor
3/1/PBI/2001 tentang Proyek Kredit Mikro sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor
3/8/PBI/2001 tentang Perubahan Peraturan Bank Indonesia
Nomor 3/1/PBI/2001 tentang Proyek Kredit Mikro;
Mengingat :
1. Undang-undang Nomor 23 tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3843);
2. Undang-undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor
31; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3472)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1998 Nomor 182; Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3790);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN
KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR
3/1/PBI/2001 TENTANG PROYEK KREDIT MIKRO.
Pasal …..
- 3 -
Pasal I
Mengubah ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/1/PBI/2001
tentang Proyek Kredit Mikro sebagai berikut :
1. Ketentuan Pasal 6 diubah, sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut :
“Pasal 6
(1) Jangka waktu pelaksanaan kegiatan PKM adalah tanggal 21 Juli 1995
sampai dengan tanggal 31 Desember 2001.
(2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) di atas dapat ditinjau
kembali berdasarkan kesepakatan antara Pemerintah Republik Indonesia
dan ADB.”
2. Ketentuan Pasal 19 diubah dan ditambah 1 ayat, sehingga seluruhnya berbunyi
sebagai berikut:
“Pasal 19
(1) Realisasi penyaluran kredit dari BPR kepada nasabah pengusaha mikro
setiap bulannya minimum 10% (sepuluh per seratus) dari jumlah pinjaman
untuk nasabah pengusaha mikro yang telah ditarik dari BI, dan harus
direalisasikan seluruhnya selambat-lambatnya 10 (sepuluh) bulan terhitung
sejak tanggal pelimpahan dari BI kepada BPR.
(2) Dalam hal pada bulan tertentu realisasi penyaluran kredit dari BPR kepada
nasabah pengusaha mikro sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) lebih
besar dari 10% (sepuluh per seratus), maka kelebihan tersebut dapat
diperhitungkan …
- 4 -
diperhitungkan untuk menutup kekurangan pencapaian realisasi penyaluran
kredit pada bulan-bulan berikutnya dengan ketentuan rata-rata realisasi
penyaluran kredit setiap bulan sejak pelimpahan dana dari BI sampai
dengan bulan berjalan minimal 10% (sepuluh per seratus) dari dana yang
dilimpahkan.
(3) Realisasi pembelian komputer dan atau sepeda motor oleh BPR dilakukan
selambat-lambatnya 1 (satu) bulan setelah tanggal pelimpahan dari BI
kepada BPR.
(4) Realisasi pembelian komputer dan atau sepeda motor oleh LPSM
dilakukan selambat-lambatnya 1 (satu) bulan setelah tanggal pelimpahan
dari BI kepada BPD.”
3. Ketentuan Pasal 23 diubah dan ditambah 1 ayat, sehingga seluruhnya berbunyi
sebagai berikut:
“Pasal 23
(1) Dalam hal pada tanggal jatuh tempo pembayaran angsuran pokok dan
bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 saldo rekening BPD atau
BPR tidak mencukupi, maka berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. Untuk BPD akan dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar rata-
rata suku bunga deposito rupiah berjangka 3 (tiga) bulan selama 1 (satu)
bulan terakhir yang berlaku di bank yang bersangkutan, terhitung 1
(satu) hari setelah batas akhir pembayaran angsuran pokok dan bunga
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 sampai dengan tanggal
pembayaran tersebut, yang dihitung dari jumlah angsuran pokok dan
bunga yang seharusnya dibayar;
b. Untuk …
- 5 -
b. Untuk BPR akan dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar rata-
rata suku bunga deposito rupiah berjangka 3 (tiga) bulan selama 1 (satu)
bulan terakhir yang berlaku di Bank Umum, terhitung 1 (satu) hari
setelah batas akhir pembayaran angsuran pokok dan bunga
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 sampai dengan tanggal
pembayaran tersebut, yang dihitung dari jumlah angsuran pokok dan
bunga yang seharusnya dibayar.
(2) Dalam hal selama 3 (tiga) kali berturut-turut BPD atau BPR tidak
memenuhi kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, maka
keikutsertaan BPD atau BPR dihentikan terhitung 1 (satu) hari setelah
batas akhir pembayaran angsuran pokok dan bunga.
(3) Dalam hal keikutsertaan BPD atau BPR dihentikan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2), maka paling lambat 1 (satu) bulan sejak
dinyatakan berhenti bank yang bersangkutan wajib untuk mengembalikan
pokok kredit dan bunga yang terhutang.
(4) Dalam hal terjadi keterlambatan penyaluran kredit oleh BPD sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2), maka kepada BPD akan dikenakan
sanksi kewajiban membayar sebesar rata-rata suku bunga deposito rupiah
berjangka 3 (tiga) bulan selama 1 (satu) bulan terakhir yang berlaku di
BPD, yang dihitung dari
jumlah
dana
yang
tertahan,
terhitung 1
(satu) hari setelah batas akhir penyaluran kredit sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (2) sampai dengan tanggal penyaluran kredit tersebut.
(5) Dalam …..
- 6 -
(5) Dalam hal penyaluran kredit oleh BPR dalam setiap bulan tidak mencapai
10% (sepuluh per seratus) dari kategori pinjaman yang harus diteruskan
kepada nasabah mikro sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1),
maka kepada BPR akan dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar
rata-rata suku bunga deposito rupiah berjangka 3 (tiga) bulan selama
1 (satu) bulan terakhir yang berlaku di Bank Umum, yang dihitung dari
jumlah kekurangan penyaluran kredit pada bulan yang bersangkutan.
(6) Dalam hal pelimpahan dana pinjaman dari BI dilakukan setelah tanggal 1
(satu), maka apabila pada bulan pelimpahan tersebut penyaluran kredit ke
nasabah kurang dari 10% (sepuluh per seratus) BPR tidak dikenakan
sanksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (5).
(7) Dalam hal BPR tidak dapat menyalurkan seluruh kredit sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), maka kepada BPR diwajibkan
mengembalikan sisa pinjaman yang belum disalurkan paling lambat pada
hari kerja berikutnya.
(8) Dalam hal BPR tidak mengembalikan sisa pinjaman yang belum
disalurkan dalam batas waktu sebagaimana diatur dalam ayat (7), BPR
dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar rata-rata suku bunga
deposito rupiah berjangka 3 (tiga) bulan selama 1 (satu) bulan terakhir
yang berlaku di Bank Umum, yang dihitung dari jumlah sisa pinjaman
yang belum disalurkan, terhitung 1 (satu) hari setelah batas akhir
penyaluran kredit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) sampai
dengan tanggal pengembalian sisa pinjaman tersebut.
(9) Dalam …..
- 7 -
(9) Dalam hal terjadi keterlambatan realisasi pembelian komputer dan sepeda
motor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (3) BPR dikenakan
sanksi kewajiban membayar sebesar rata-rata suku bunga deposito rupiah
berjangka 3 (tiga) bulan selama 1 (satu) bulan terakhir yang berlaku di
Bank Umum, yang dihitung dari jumlah dana yang belum direalisasikan,
terhitung 1 (satu) hari setelah batas akhir realisasi pembelian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19 ayat (3) sampai dengan tanggal realisasi
pembelian tersebut.
(10) Kewajiban pengembalian kredit sebagaimana dimaksud dalam ayat (3)
dan ayat (7) serta pengenaan sanksi kewajiban membayar sebagaimana
diatur dalam Pasal ini, dilakukan dengan cara mendebet rekening giro dan
atau rekening tabungan BPR yang bersangkutan pada Bank Umum atau
rekening giro BPD pada BI setempat.”
Pasal II
1. Pelanggaran terhadap Pasal 19 ayat (1), yang terjadi sampai dengan tanggal
31 Agustus 2001 dikenakan sanksi sesuai Pasal 23 ayat (5) Peraturan Bank
Indonesia No.3/1/PBI/2001 tanggal 4 Januari 2001 tentang Proyek Kredit
Mikro.
2. Pelanggaran terhadap Pasal 19 ayat (1) yang terjadi selama bulan September
2001 tidak dikenakan sanksi.
3. Ketentuan pengenaan sanksi sebagaimana yang diatur dalam Pasal 23 ayat (5)
dan ayat (6) Peraturan Bank Indonesia ini berlaku untuk realisasi penyaluran
kredit dari BPR kepada nasabah pengusaha mikro sejak tanggal 1 Oktober
2001.
4. Peraturan …..
- 8 -
4. Peraturan Bank Indonesia ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dan berlaku
surut sampai dengan tanggal 1 Juli 2001, kecuali pengaturan sanksi
sebagaimana dimaksud dalam angka 1, angka 2 dan angka 3 Pasal ini.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal, 3 Oktober 2001
GUBERNUR BANK INDONESIA
SYAHRIL SABIRIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2001 NOMOR 123
BKr/TPP
- 9 -
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 3/16/PBI/2001
TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 3/1/PBI/2001 TENTANG PROYEK KREDIT MIKRO
UMUM
Sesuai perjanjian antara Pemerintah dan Asian Development Bank, batas
waktu pelaksanaan Proyek Kredit Mikro berakhir pada tanggal 30 Juni 2001.
Sementara itu, sebagai akibat depresiasi nilai Rupiah, dana Proyek yang tersedia
mengalami peningkatan, sehingga pada akhir batas waktu Proyek dana yang
belum terserap masih cukup signifikan untuk dimanfaatkan.
Di sisi lain, kondisi ekonomi Indonesia saat ini masih belum pulih dari
krisis ekonomi yang berkepanjangan. Sektor perbankan masih mengalami
kesulitan menghimpun dana yang berakibat pada keterbatasan dana yang akan
disalurkan ke pengusaha mikro, sementara sektor usaha mikro yang merupakan
bagian terbesar dari usaha masyarakat masih memerlukan bantuan permodalan
dari perbankan.
Dengan melihat perkembangan kondisi ekonomi di atas dan tujuan dari
Proyek untuk meningkatkan pendapatan dan kesempatan kerja serta untuk
mengembangkan usaha mikro maka dirasakan perlu untuk memperpanjang
pelaksanaan proyek agar dana yang tersisa dapat disalurkan kepada pengusaha
mikro.
PASAL …..
- 10 -
PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1.
Pasal 6
Ayat (1)
Jangka waktu ini merupakan batas waktu pelimpahan
dana dari BI kepada BPD dan BPR peserta PKM.
Ayat (2)
Cukup jelas
Angka 2.
Pasal 19
Ayat (1)
Setiap bulan bank harus menyalurkan kredit kepada
nasabah minimal 10% (sepuluh per seratus) dari kredit
yang telah ditarik dari BI kecuali apabila pada bulan
yang bersangkutan sisa dana yang ada kurang dari
10% (sepuluh per seratus).
Ayat (2)
Dalam hal pada suatu bulan, realisasi penyaluran
kredit kepada nasabah lebih besar dari 10% (sepuluh
per seratus) maka kelebihan tersebut diperhitungkan
untuk menutup kekurangan penyaluran kredit pada
bulan-bulan berikutnya. Namun apabila sampai
dengan bulan terjadinya kekurangan penyaluran kredit
tersebut, rata-rata kredit yang telah
disalurkan
per bulan …
- 11 -
per bulan kurang dari 10% (sepuluh per seratus), maka
kelebihan penyaluran tersebut tidak dapat digunakan
untuk menutup kekurangan pada bulan yang
bersangkutan.
Rata-rata realisasi penyaluran kredit setiap bulan
dihitung berdasarkan jumlah realisasi kredit kepada
nasabah sejak pelimpahan dana dari BI sampai dengan
bulan berjalan dibagi jumlah bulan pada periode
tersebut.
Rumus perhitungan rata-rata realisasi penyaluran
kredit adalah :
Rata-rata realisasi = R / b
R = Total realisasi kredit kepada nasabah sejak
pelimpahan dana dari BI sampai dengan
bulan berjalan.
b = Jumlah bulan sejak bulan pelimpahan dana
dari BI sampai dengan bulan berjalan.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Angka 3.
Pasal 23
Ayat (1), (4), (5), (8) dan (9)
Pengertian …..
- 12 -
Pengertian suku bunga deposito rupiah berjangka 3
(tiga) bulan selama 1 (satu) bulan terakhir adalah suku
bunga deposito rupiah berjangka 3 (tiga) bulan yang
berlaku di bank (BPD atau Bank Umum tempat BPR
membuka rekening PKM) selama bulan terakhir
sebelum pengenaan sanksi.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Cukup jelas
Ayat (10)
Cukup jelas
Pasal II
Angka 1 sampai dengan angka 4.
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR
4142
"," PBI
3/16/PBI/2001
PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 3/1/PBI/2001 TENTANG PROYEK KREDIT MIKRO
3 Oktober 2001
3 Oktober 2001 dan berlaku surut sampai dengan tanggal 1 Juli 2001
'3/1/PBI/2001'
'23/UU/1999', '7/UU/1992', '10/UU/1998'
'Pasal I Angka 3 Pasal 23', 'Pasal II'
"
" PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 1/ 7 /PBI/1999
TENTANG
SISTEM INFORMASI DEBITUR
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa dalam rangka penyediaan informasi guna
menunjang kelancaran kegiatan usaha bank dan sistem
perbankan yang sehat, diperlukan perluasan cakupan
sistem informasi kredit yang ada sebelumnya menjadi
sistem informasi debitur;
b. bahwa untuk lebih meningkatkan transparansi
informasi debitur yang disediakan oleh Bank
Indonesia untuk keperluan bank, diperlukan
penyempurnaan dalam penyajian informasi debitur;
c. bahwa sehubungan dengan itu, dipandang perlu untuk
menyempurnakan
informasi debitur dalam suatu Peraturan
Indonesia;
Mengingat
: 1. Undang-undang Nomor 7
Lembaran
ketentuan mengenai sistem
Bank
Tahun 1992 tentang
Perbankan (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 31,
Tambahan
Negara Nomor 3472),
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang
Nomor ...
-2-
Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Tahun 1998
Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3790);
2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 66,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG
SISTEM INFORMASI DEBITUR.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Yang dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia ini dengan:
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka
3 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun
1998, termasuk Kantor Cabang Bank Asing;
2. Kantor Bank Pelapor adalah kantor Bank yang melakukan kegiatan
operasional, meliputi:
a. kantor pusat yang melakukan kegiatan operasional;
b. kantor ...
-3-
b. kantor cabang Bank;
c. kantor cabang bank asing;
d. kantor cabang pembantu bank asing;
3. Kantor Perwakilan Bank Asing adalah kantor dari Bank Asing yang
bertindak semata-mata sebagai penghubung antara Bank dengan
nasabahnya;
4. Sistem Informasi Debitur adalah sistem yang menyediakan informasi
mengenai debitur dan/atau kelompok debitur yang diolah berdasarkan
laporan penyediaan dana yang diterima Bank Indonesia dari Kantor
Bank Pelapor dan Kantor Perwakilan Bank Asing;
5. Penyediaan Dana adalah penanaman dana Bank baik dalam Rupiah
maupun valuta asing, dalam bentuk kredit, surat berharga, penyertaan,
termasuk komitmen dan kontinjensi pada transaksi rekening
administratif;
6. Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan
dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam
meminjam antara Bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak
peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu
dengan pemberian bunga, termasuk:
a. pembelian surat berharga nasabah yang dilengkapi dengan note
purchase agreement (NPA);
b. pengambilalihan tagihan dalam rangka kegiatan anjak piutang;
7. Surat Berharga adalah surat pengakuan utang, wesel, obligasi, sekuritas
kredit, atau setiap derivatifnya, atau kepentingan lain, atau suatu
kewajiban dari penerbit, dalam bentuk yang lazim diperdagangkan
dalam ...
-4-
dalam pasar modal dan pasar uang, antara lain Sertifikat Bank
Indonesia (SBI), Surat Berharga Pasar Uang (SBPU), Surat Berharga
Komersial (Commercial Papers), Sertifikat Reksadana, dan Medium
Term Note;
8. Penyertaan adalah penanaman dana Bank dalam bentuk saham pada
perusahaan yang bergerak di bidang keuangan yang tidak melalui pasar
modal, serta dalam bentuk pernyertaan modal sementara pada
perusahaan debitur untuk mengatasi akibat kegagalan Kredit;
9. Transaksi rekening administratif adalah komitmen dan kontinjensi (Off-
Balance Sheet) yang terdiri dari warkat penerbitan jaminan,
akseptasi/endosemen, Letter of Credit (L/C) yang masih berjalan,
penjualan Surat Berharga dengan syarat repurchase agreement (repo),
standby L/C dan garansi lainnya, serta transaksi derivatif yang
mempunyai risiko Kredit;
10. Risiko Kredit untuk transaksi derivatif adalah nilai pasar (the mark to
market value) dari seluruh perjanjian/kontrak yang menjanjikan
keuntungan yang belum dapat terealisir namun secara potensial dapat
menjadi kerugian Bank apabila pihak lawan wanprestasi;
11. Pinjaman Luar Negeri adalah penyediaan dana yang diterima oleh
Debitur dari pihak-pihak di luar negeri melalui Bank termasuk kantor-
kantor cabang Bank di luar negeri atau melalui Kantor Perwakilan Bank
Asing;
12. Debitur adalah
nasabah
perorangan atau perusahaan/badan, tidak
termasuk Bank dan Kantor Perwakilan Bank Asing, yang memperoleh
satu atau lebih fasilitas Penyediaan Dana;
13. Kelompok ...
-5-
13. Kelompok Debitur adalah sejumlah debitur yang satu sama lain
mempunyai kaitan dalam hal kepemilikan, kepengurusan, dan/atau
hubungan keuangan sebagaimana diatur dalam ketentuan tentang batas
maksimum pemberian kredit yang berlaku;
14. Calon Debitur adalah perorangan atau perusahaan/badan, tidak
termasuk Bank dan Kantor Perwakilan Bank Asing, yang telah
mengajukan fasilitas Penyediaan Dana secara tertulis kepada Bank.
BAB II
MAKSUD DAN TUJUAN
Pasal 2
Penyelenggaraan Sistem Informasi Debitur dimaksudkan agar Bank
memperoleh informasi yang lengkap mengenai Debitur, yang dapat
digunakan sebagai sarana memperlancar penyediaan dana dan menghindari
penyediaan dana rangkap.
BAB III
LAPORAN PENYEDIAAN DANA
Pasal 3
Kantor Bank Pelapor dan Kantor Perwakilan Bank Asing wajib
menyampaikan Laporan Penyediaan Dana kepada Bank Indonesia setiap
bulan untuk posisi akhir bulan.
Pasal 4 ...
-6-
Pasal 4
Laporan Penyediaan Dana yang disusun oleh Kantor Bank Pelapor dan
Kantor Perwakilan Bank Asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
wajib disampaikan secara lengkap dan benar.
Pasal 5
(1) Cakupan Laporan Penyediaan Dana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 meliputi informasi mengenai Debitur, pengurus, pemilik serta
Kelompok Debitur, fasilitas Penyediaan Dana, agunan/jaminan, dan
baki debet.
(2) Fasilitas Penyediaan Dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
dilaporkan untuk plafon per debitur sebesar Rp50.000.000,00 (lima
puluh juta rupiah) atau lebih.
(3) Fasilitas Penyediaan Dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dengan plafon per debitur kurang dari Rp50.000.000,00 (lima puluh
juta rupiah), wajib dilaporkan dalam bentuk rekapitulasi.
(4) Bank Indonesia dapat mengubah cakupan pelaporan dalam Laporan
Penyediaan Dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau plafon
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dengan Surat Edaran
Bank Indonesia.
Pasal 6
(1) Kantor Bank Pelapor dan Kantor Perwakilan Bank Asing wajib
menyampaikan Laporan Penyediaan Dana sebagaimana dimaksud
dalam ...
-7-
dalam Pasal 3 selambat-lambatnya tanggal 10 (sepuluh) setelah akhir
bulan laporan.
(2) Kantor Bank Pelapor dan Kantor Perwakilan Bank Asing dinyatakan
terlambat menyampaikan Laporan Penyediaan Dana sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) apabila laporan dimaksud disampaikan setelah
tanggal 10 (sepuluh).
Pasal 7
(1) Kantor Bank Pelapor dan Kantor Perwakilan Bank Asing wajib
melakukan koreksi dalam hal terdapat kesalahan dan/atau perubahan
karena terjadi pembaruan data atas Laporan Penyediaan Dana yang
telah disampaikan kepada Bank Indonesia.
(2) Koreksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaporkan kepada
Bank Indonesia selambat-lambatnya tanggal 17 (tujuh belas) setelah
akhir bulan laporan.
(3) Kantor Bank Pelapor dan Kantor Perwakilan Bank Asing dinyatakan
terlambat menyampaikan koreksi atas Laporan Penyediaan Dana
apabila belum menyampaikan laporan koreksi tersebut setelah tanggal
17 (tujuh belas).
Pasal 8
(1) Kantor Bank Pelapor wajib menyampaikan Laporan Penyediaan Dana
secara On-line.
(2) Kantor Perwakilan Bank Asing dapat menyampaikan Laporan
Penyediaan Dana secara On-line atau hardcopy.
(3) Kantor ...
-8-
(3) Kantor Bank Pelapor yang berada di daerah yang tidak mempunyai
fasilitas telekomunikasi atau yang mengalami force majeure sehingga
tidak dapat menyampaikan Laporan Penyediaan Dana secara On-line,
dapat menyampaikan laporan dengan disket.
(4) Kantor Bank Pelapor wajib memberitahukan secara tertulis kepada
Bank Indonesia dengan disertai alasan dalam hal tidak dapat
menyampaikan laporan secara On-line sebagaimana dimaksud pada
ayat (3).
BAB IV
INFORMASI DEBITUR
Pasal 9
(1) Kantor Bank Pelapor dan Kantor Perwakilan Bank Asing yang telah
memenuhi kewajiban pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
dan Pasal 7, dapat meminta informasi Debitur kepada Bank Indonesia.
(2) Informasi Debitur yang disediakan bagi Kantor Bank Pelapor dan
Kantor Perwakilan Bank Asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi informasi Debitur dan/atau Calon Debitur dari Kantor Bank
Pelapor dan Kantor Perwakilan Bank Asing yang bersangkutan.
Pasal 10
(1) Permintaan informasi Debitur oleh Kantor Bank Pelapor dilakukan
secara On-line.
(2) Permintaan informasi Debitur oleh Kantor Perwakilan Bank Asing
dapat dilakukan secara On-line atau secara tertulis.
(3) Dalam ...
-9-
(3) Dalam hal Kantor Bank Pelapor yang berada di daerah yang tidak
mempunyai fasilitas telekomunikasi atau yang mengalami force
majeure sehingga tidak dapat meminta informasi Debitur secara On-
line, dapat dilakukan secara tertulis.
Pasal 11
(1) Penggunaan informasi Debitur bersifat terbatas dan hanya
keperluan Kantor Bank Pelapor dan Kantor Perwakilan Bank Asing.
untuk
(2) Segala akibat yang timbul sehubungan dengan penggunaan informasi
Debitur yang tidak sesuai dengan maksud dan tujuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2, sepenuhnya menjadi tanggung jawab Kantor
Bank Pelapor dan Kantor Perwakilan Bank Asing yang bersangkutan.
BAB V
PENUNJUKAN PEJABAT
Pasal 12
Kantor Bank Pelapor dan Kantor Perwakilan Bank Asing wajib
memberitahukan secara tertulis kepada Bank Indonesia:
a. nama pejabat yang bertanggungjawab terhadap keabsahan dan
kelengkapan Laporan Penyediaan Dana;
b. nama pejabat yang berwenang meminta dan menerima informasi
Debitur.
BAB VI ...
-10-
BAB VI
ALAMAT PENYAMPAIAN LAPORAN, PERMINTAAN
INFORMASI, DAN PENUNJUKAN PEJABAT
Pasal 13
Penyampaian Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2), ayat
(3) dan ayat (4), surat permintaan informasi Debitur sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) dan ayat (3), dan penyampaian surat
penunjukan pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ditujukan
kepada:
a. Bank Indonesia Up. Direktorat Perizinan dan Informasi Perbankan,
Jalan MH. Thamrin No. 2 Jakarta 10110, bagi Kantor Bank Pelapor dan
Kantor Perwakilan Bank Asing di wilayah Jabotabek; atau
b. Kantor Cabang Bank Indonesia yang mewilayahinya bagi Kantor Bank
Pelapor dan Kantor Perwakilan Bank Asing diluar wilayah Jabotabek.
BAB VII
SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 14
Kantor Bank Pelapor dan Kantor Perwakilan Bank Asing yang tidak
melaporkan satu atau lebih fasilitas dalam Laporan Penyediaan Dana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dikenakan sanksi kewajiban
membayar sebesar Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) per
fasilitas untuk setiap bulan dengan batas maksimal sebesar
Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dalam 12 (duabelas) bulan terakhir.
Pasal 15 ...
-11-
Pasal 15
(1) Pelanggaran terhadap kewajiban penyampaian Laporan Penyediaan
Dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dikenakan sanksi
berupa:
a. kewajiban membayar sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per
hari kelambatan untuk setiap keterlambatan laporan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) sampai bank menyampaikan
laporan; dan
b. penundaan pemberian informasi Debitur sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 sampai dengan diterimanya Laporan Penyediaan
Dana dimaksud oleh Bank Indonesia.
(2) Apabila kewajiban penyampaian Laporan Penyediaan Dana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) tidak dipenuhi sampai
dengan timbulnya kewajiban pelaporan bulan berikutnya, dengan tidak
mengurangi sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terhadap bank
dikenakan sanksi teguran tertulis dan penurunan tingkat kesehatan.
Pasal 16
(1) Kantor Bank Pelapor dan Kantor Perwakilan Bank Asing yang
terlambat atau tidak menyampaikan laporan koreksi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), dikenakan sanksi berupa :
a. kewajiban membayar sebesar Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh
ribu rupiah) per hari kelambatan untuk setiap keterlambatan laporan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) sampai bank
menyampaikan laporan; dan
b. penundaan ...
-12-
b. penundaan pemberian informasi Debitur sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 sampai dengan diterimanya Laporan Penyediaan
Dana dimaksud oleh Bank Indonesia.
(2) Apabila kewajiban penyampaian Laporan Penyediaan Dana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) tidak dipenuhi sampai
dengan timbulnya kewajiban pelaporan bulan berikutnya, dengan tidak
mengurangi sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terhadap bank
dikenakan sanksi teguran tertulis dan penurunan tingkat kesehatan.
Pasal 17
(1) Kantor Bank Pelapor yang tidak menyampaikan laporan secara On-line
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), dikenakan sanksi
kewajiban membayar sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk
setiap laporan.
(2) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi Kantor
Bank Pelapor yang telah memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia
untuk tidak melaporkan secara On-line sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 ayat (4).
Pasal 18
Kantor Bank Pelapor dan Kantor Perwakilan Bank Asing yang meminta
informasi Debitur yang ternyata digunakan bukan untuk maksud dan tujuan
sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 dikenakan sanksi kewajiban
membayar sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) untuk setiap
informasi Debitur.
BAB VIII ...
-13-
BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 19
Kantor Bank Pelapor dan Kantor Perwakilan Bank Asing wajib
menyampaikan seluruh fasilitas Penyediaan Dana yang tercatat dalam
pembukuan sejak akhir bulan Juli 1999.
Pasal 20
Pelaksanaan pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14,
Pasal 15, Pasal 16 dan Pasal 17, mulai berlaku sejak pelaporan untuk data
bulan September 1999
BAB IX
PENUTUP
Pasal 21
Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara penyampaian Laporan Penyediaan
Dana dan Informasi Debitur diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 22
Dengan dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia ini maka:
a. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No.27/58/KEP/DIR tanggal 8
September 1994 tentang Laporan Penyediaan Dana;
b. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No.23/90/KEP/DIR tanggal 18
Maret 1990 tentang Laporan Mengenai Debitur Yang Menerima
Pinjaman ...
-14-
Pinjaman Luar Negeri dan Aplikan Yang Memperoleh Garansi Bank
Dalam Rangka Pemenuhan Kewajiban Luar Negeri;
c. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No.28/37/KEP/DIR tanggal 10
Juli 1995 tentang Informasi Debitur Bank Umum,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 23
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 20 September 1999
GUBERNUR BANK INDONESIA
SYAHRIL SABIRIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1999 NOMOR 159
DPNP
-15-
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 1/ 7 /PBI/1999
TENTANG
SISTEM INFORMASI DEBITUR
UMUM
Dalam rangka menunjang sistem perbankan dan perkreditan yang
sehat, serta untuk membentuk pusat data debitur yang lebih lengkap,
maka diperlukan pengembangan cakupan Sistem Informasi Kredit
yang semula berupa laporan perkreditan diperluas menjadi laporan
penyediaan dana yang meliputi
kredit dengan atau tanpa perjanjian,
surat berharga, penyertaan, dan transaksi rekening administratif
termasuk pinjaman luar negeri.
Sejalan dengan hal tersebut, guna meningkatkan efektivitas dan
efisiensi penyelenggaraan informasi debitur dilakukan pula
penyempurnaan sistem dan prosedur permintaan dan pemberian
informasi debitur.
Dengan demikian Sistem Informasi Kredit (SIK) diubah menjadi
Sistem Informasi Debitur (SID).
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Angka 1
Cukup jelas
Angka 2 ...
-16-
Angka 2
Huruf a
Penyebutan lain dari kantor pusat yang melakukan
kegiatan operasional antara lain kantor cabang utama.
Huruf b
Kantor cabang Bank adalah kantor Bank yang secara
langsung bertanggung jawab kepada kantor pusat bank
yang bersangkutan, dengan alamat tempat usaha yang
jelas. Laporan dari kantor cabang di luar negeri
disampaikan oleh kantor pusat Bank yang bersangkutan.
Laporan dari kantor bank di bawah Kantor Cabang
digabung dengan laporan Kantor Cabang induknya.
Huruf c
Ketentuan mengenai Kantor Cabang Bank Asing
berpedoman pada Surat Keputusan Direksi Bank
Indonesia tentang Persyaratan dan Tatacara Pembukaan
Kantor Cabang, Kantor Cabang Pembantu dan Kantor
Perwakilan dari Bank yang berkedudukan di luar negeri.
Huruf d
Laporan dari kantor bank di bawah kantor Cabang
Pembantu Bank Asing digabung dengan laporan Kantor
Cabang Pembantu Bank Asing induknya.
Angka 3 sampai dengan angka14
Cukup jelas
Pasal 2 ...
-17-
Pasal 2
Cukup jelas
Pasal 3
Posisi Penyediaan Dana akhir bulan harus sama dengan posisi
yang dilaporkan dalam Laporan Bulanan Bank Umum (LBU).
Pasal 4
Cukup jelas
Pasal 5
Ayat (1)
Cakupan laporan penyediaan dana untuk:
a. debitur berisi informasi antara lain nama, alamat, nomor
pokok wajib pajak/nomor kartu tanda penduduk,
hubungan terkait dengan bank;
b. pengurus, pemilik dan kelompok debitur berisi informasi
antara lain nama, alamat, nomor pokok wajib
pajak/nomor kartu tanda penduduk, jabatan, pangsa
kepemilikan;
c. fasilitas penyediaan dana berisi informasi antara lain
kredit, surat berharga, penyertaan, dan transaksi rekening
administratif termasuk pinjaman luar negeri;
d. agunan/penjamin berisi informasi antara lain bukti
pemilikan, nilai taksasi, lokasi agunan;
e. baki ...
-18-
e. baki debet berisi informasi antara lain outstanding dan
kualitas penyediaan dana.
Ayat (2)
Untuk penyediaan dana dalam valuta asing dengan plafon
sebesar ekuivalen Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)
keatas wajib dilaporkan dalam valuta asalnya.
Ayat (3)
Untuk penyediaan dana dalam valuta asing dengan plafon
sebesar ekuivalen kurang dari Rp50.000.000,00 (lima puluh
juta rupiah) wajib dilaporkan dalam bentuk rekapitulasi per
valuta asalnya.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 6
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan bulan laporan adalah bulan data,
misalnya bulan laporan Juli 1999 adalah data posisi akhir
bulan Juli 1999. Untuk penyampaian Laporan Penyediaan
Dana bulan Juli 1999 ke Bank Indonesia dari tanggal 1
Agustus 1999 sampai dengan tanggal 10 Agustus 1999.
Apabila tanggal 10 jatuh pada hari libur/hari Sabtu maka
penyampaian Laporan Penyediaan Dana ke Bank Indonesia
selambat-lambatnya pada hari kerja sebelumnya.
Ayat (2) ...
-19-
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Penyampaian laporan koreksi dinyatakan terlambat apabila
koreksi atas Laporan Penyediaan Dana bulan Juli 1999
disampaikan ke Bank Indonesia pada tanggal 18 Agustus
1999.
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Pengecualian ini karena Kantor Perwakilan Bank Asing tidak
operasional.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan force majeure antara lain kebakaran,
banjir, gempa bumi, kerusuhan.
Ayat (4) ...
-20-
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Informasi Debitur yang disediakan terdiri dari informasi
Debitur individual dan informasi Debitur macet.
Pasal 10
Ayat (1)
Permintaan informasi Debitur Individual dan informasi
Debitur Macet dilakukan oleh kantor bank secara on-line ke
Bank Indonesia yang mewilayahinya.
Ayat (2)
Permintaan informasi secara tertulis tidak diperkenankan
menggunakan sarana facsimile atau teleks.
Kantor Perwakilan Bank Asing yang dapat meminta
informasi Debitur secara on-line adalah Kantor Perwakilan
Bank Asing yang telah mengirimkan laporan secara on-line.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan force majeure antara lain kebakaran,
banjir, gempa bumi, kerusuhan.
Pasal 11 ...
-21-
Pasal 11
Ayat (1)
Informasi Debitur tidak diperkenankan diteruskan kepada
pihak lain.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 12
Cukup jelas
Pasal 13
Cukup jelas
Pasal 14
Apabila debitur menerima beberapa fasilitas penyediaan dana
seperti kredit modal kerja, kredit investasi, surat berharga, kredit
konsumsi, pinjaman luar negeri diantaranya empat fasilitas tidak
dilaporkan ke Bank Indonesia selama 1 (satu) bulan, dikenakan
sanksi tidak melapor sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah).
Apabila fasilitas tersebut tidak dilaporkan selama 12 bulan maka
maksimum kewajiban membayar sebesar Rp10.000.000,00
(sepuluh juta rupiah).
Pasal 15 ...
-22-
Pasal 15
Ayat (1)
Huruf a
Apabila bank menyampaikan Laporan Penyedian Dana
data bulan Juli pada tanggal 12 Agustus 1999 maka
dikenakan sanksi terlambat melapor selama 2 (dua) hari,
yaitu sebesar Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah). Apabila
bank
menyampaikan
laporan pada tanggal 10
September 1999 maka dikenakan sanksi terlambat
melapor selama 31 (tiga puluh satu) hari, yaitu sebesar
Rp31.000.000,00 (tiga puluh satu juta rupiah).
Huruf b
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 16
Ayat (1)
Huruf a
Apabila bank menyampaikan koreksi Laporan
Penyedian Dana data bulan Juli 1999 pada tanggal 19
Agustus 1999 untuk empat fasilitas maka dikenakan
sanksi terlambat melapor selama 2 (dua) hari, yaitu
sebesar Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah). Apabila
bank ...
-23-
bank menyampaikan koreksi laporan pada tanggal 10
September 1999 maka dikenakan sanksi terlambat
melapor selama 31 (tiga puluh satu) hari, yaitu sebesar
Rp7.750.000,00 (tujuh juta tujuh ratus lima puluh ribu
rupiah).
Huruf b
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 17
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 18
Cukup jelas
Pasal 19
Laporan Penyediaan Dana sebagaimana dimaksud dalam
Peraturan Bank Indonesia ini wajib disampaikan oleh Kantor Bank
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) dan Kantor
Perwakilan Bank Asing pertama kali untuk laporan posisi bulan
Juli 1999.
Pasal 20 ...
-24-
Pasal 20
Cukup jelas
Pasal 21
Cukup jelas
Pasal 22
Cukup jelas
Pasal 23
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 3884
DPNP
-25-
"," PBI
1/7/PBI/1999
SISTEM INFORMASI DEBITUR
20 September 1999
20 September 1999
'23/90/KEP/DIR|SKDIR-BI/1990', '28/37/KEP/DIR|SKDIR-BI/1995', '27/58/KEP/DIR|SKDIR-BI/1994'
'23/UU/1999', '7/UU/1992', '10/UU/1998'
'BAB VII'
"
" PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 3/14/PBI/2001
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 2/12/PBI/2000
TENTANG JAMINAN PINJAMAN LUAR NEGERI ANTAR BANK
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka reorganisasi di Bank Indonesia, tugas
pelaksanaan penjaminan pemerintah atas program Interbank Debt
Exchange Offer telah dialihkan dari Direktorat Perizinan dan
Informasi Perbankan ke Direktorat Luar Negeri;
b. bahwa sesuai dengan perkembangan perekonomian di Indonesia
maka Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/12/PBI/2000 tentang
Jaminan Pinjaman Luar Negeri Antar Bank perlu disesuaikan;
c. bahwa sehubungan dengan hal tersebut dipandang perlu untuk
menetapkan perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor
2/12/PBI/2000 tentang Jaminan Pinjaman Luar Negeri Antar Bank;
Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472),
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 182
Tahun 1998, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843);
3. Undang…
- 2 -
3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa
dan Sistem Nilai Tukar Indonesia
(Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3844);
4. Peraturan Bank Indonesia Nomor : 2/12/PBI/2000 tentang Jaminan
Pinjaman Luar Negeri Antar Bank (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2000 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3953);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 2/12/PBI/2000
TENTANG JAMINAN PINJAMAN LUAR NEGERI ANTAR BANK.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/12/PBI/2000 tentang
Jaminan Pinjaman Luar Negeri Antar Bank (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2000 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3953) diubah
sebagai berikut :
1. Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga keseluruhan Pasal 1 berbunyi sebagai berikut :
“Pasal 1
Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan :
1. Bank adalah Bank Umum yang masih beroperasi yang telah menandatangani
Master Loan Agreement sebagaimana tercantum dalam Lampiran 1.
2. Kreditur adalah bank atau lembaga keuangan pemberi pinjaman sebagaimana
diatur dalam Master Loan Agreement.
3. Master Loan Agreement untuk selanjutnya disebut MLA adalah Naskah Perjanjian
Pinjaman Luar Negeri Antar Bank yang ditandatangani pada tanggal 18 Agustus
1998…
- 3 -
1998 dan 25 Mei 1999 oleh Bank Indonesia sebagai penjamin, Bank, Kreditur,
Syndicate Agent, Calculation Agent dan Exchange Agent.
4. Pinjaman Luar Negeri Antar Bank adalah kewajiban Bank terhadap Kreditur yang
meliputi simpanan antar bank, pinjaman jangka pendek, menengah dan panjang
serta pinjaman lainnya yang telah
sebagaimana diatur dalam MLA.
dipertukarkan menjadi
pinjaman
5. Syndicate Agent adalah bank-bank yang ditunjuk oleh Bank Indonesia dan
tercantum dalam MLA untuk mewakili Kreditur dalam menerima pembayaran
yang dilakukan oleh Bank dan atau Bank Indonesia serta melaksanakan tugas-
tugas lain yang ditetapkan dalam MLA.
6. Counter Guaranty adalah jaminan yang diberikan oleh Menteri Keuangan kepada
Gubernur Bank Indonesia untuk menjamin Pinjaman Luar Negeri Antar Bank
dengan menyediakan sejumlah dana di Rekening Pemerintah di Bank Indonesia,
dan memberikan kuasa pendebetan terhadap rekening tersebut.
7. Rekening Pemerintah adalah rekening Menteri Keuangan yang dibuka guna
memberikan Counter Guaranty untuk menjamin Pinjaman Luar Negeri Antar
Bank, dalam Rupiah nomor 519.000110 dengan nama “Rekening Trade
Maintenance Facility dan Exchange Offer”.
8. Buy Back adalah suatu transaksi pembelian kembali pinjaman bank dalam program
Interbank Debt Exchange Offer atas nama bank peserta oleh bank peserta (atau
affiliasi) itu sendiri.
9. Prepayment adalah suatu transaksi pembayaran sebagian atau seluruh pinjaman
Interbank Debt Exchange Offer sebelum jatuh tempo sebagaimana diatur dalam
Master Loan Agreement.
10. Notice of Assignment adalah suatu pernyataan adanya pengalihan kepemilikan
Interbank Debt Exchange Offer sebagaimana diatur dalam MLA.
11. Release…
baru
- 4 -
11. Release and Consent adalah suatu pernyataan pelepasan penjaminan pemerintah
atas Pinjaman Interbank Debt Exchange Offer yang ditandatangani oleh obligor
yang melakukan Buy Back dan Bank Indonesia sebagaimana contoh pada
Lampiran 1. ”
2. Ketentuan Pasal 4 ayat (2) diubah sehingga berbunyi sebagai berikut :
“Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Bank
Indonesia cq.: Direktorat Luar Negeri, Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10010,
selambat-lambatnya 8 (delapan) hari kerja sebelum kewajiban jatuh tempo dengan
menggunakan format sebagaimana contoh Lampiran 2.”
3. Ketentuan Pasal 8 ayat (1) diubah sehingga berbunyi sebagai berikut :
“Bagi Bank yang dibekukan usahanya dalam masa penjaminan, maka permohonan
untuk melakukan pembayaran kepada Kreditur diajukan oleh Badan Penyehatan
Perbankan Nasional kepada Bank Indonesia cq. Direktorat Luar Negeri, Jl. M.H.
Thamrin No. 2 Jakarta 10010, dengan menyebutkan rekening yang akan dibebankan.”
4. Diantara BAB VI Pasal 8 dan BAB VII Pasal 9 disisipkan BAB VI A dan 3 (tiga)
pasal yakni Pasal 8 A, 8 B dan Pasal 8 C yang berbunyi sebagai berikut :
“BAB VI A
PROSEDUR PREPAYMENT DAN
BUY BACK
Pasal 8 A
(1) Peserta program Exchange Offer dapat melakukan Prepayment dan Buy Back atas
pinjaman Interbank Debt Exchange Offer.
(2) Bank…
- 5 -
(2) Bank peserta Interbank Debt Exchange Offer yang akan melaksanakan
Prepayment wajib menyampaikan rencana Prepayment 2 (dua) bulan sebelum
pelaksanaan Prepayment kepada Bank Indonesia.
(3) Rencana Prepayment sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain memuat :
a. Besarnya nilai Prepayment yang akan dilakukan.
b. Alasan melakukan Prepayment.
c. Sumber dana yang akan digunakan.
Pasal 8 B
(1) Bank peserta Interbank Debt Exchange Offer yang akan melaksanakan Buy Back
wajib menyampaikan rencana Buy Back untuk periode 1 (satu) bulan ke depan
kepada Bank Indonesia.
(2) Rencana Buy Back sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain memuat :
a. Besarnya nilai Buy Back yang akan dilakukan.
b. Alasan melakukan Buy Back.
c. Sumber dana yang akan digunakan.
(3) Bank yang telah melakukan Buy Back wajib menyampaikan Release and Consent
dalam rangkap 3 (tiga) yang telah ditandatangani oleh obligor sebagaimana
contoh terlampir.
(4) Bank Indonesia akan menandatangani Release and Consent sebagaimana
dimaksud dalam ayat (3) atas dasar verifikasi dan kelengkapan dokumen-
dokumen yang wajib disampaikan pada saat menyampaikan laporan kepada Bank
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4).
Pasal 8 C…
- 6 -
Pasal 8 C
Pelaksanaan Prepayment atau Buy Back yang dilaksanakan oleh peserta program
Interbank Debt Exchange Offer dilakukan dengan memperhatikan MLA. ”
5. Ketentuan Pasal 9 diubah sehingga keseluruhan Pasal 9 berbunyi sebagai berikut :
“Pasal 9
(1) Bank wajib menyampaikan laporan semua kewajiban pembayaran yang telah
dilakukan kepada Syndicate Agent sebagaimana diatur dalam MLA kepada Bank
Indonesia.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan selambat-lambatnya 3
(tiga) hari kerja setelah akhir bulan pelaksanaan pembayaran bunga dan atau
pokok pinjaman yang bersangkutan, dengan menggunakan format sebagaimana
contoh Lampiran 6.
(3) Bank peserta program Interbank Debt Exchange Offer yang telah melaksanakan
Prepayment wajib melaporkan Prepayment dimaksud dalam Laporan Pelaksanaan
Kewajiban Pembayaran Pinjaman Luar Negeri Antar Bank dengan menambahkan
keterangan “KAMI TELAH
USD…..” pada sudut kiri bawah laporan.
(4) Bank peserta program Interbank Debt Exchange Offer yang telah melaksanakan
Buy Back wajib menyampaikan laporan kepada Bank Indonesia, dengan
melampirkan dokumen sebagai berikut :
1. Notice…
MELAKUKAN PREPAYMENT SEBESAR
- 7 -
1. Notice of Assignment sebagaimana diatur dalam MLA.
2. Bukti Settlement dan atau Trade Confirmation.
3. Release and Consent dalam rangkap 3 yang telah ditandatangani oleh obligor
sebagaimana contoh pada Lampiran.
6. Diantara Pasal 15 dan Pasal 16 disisipkan 3 (tiga) pasal yakni Pasal 15 A, 15 B, dan
Pasal 15 C yang berbunyi sebagai berikut :
“Pasal 15 A
Untuk selanjutnya, perubahan alamat dan atau format laporan akan dilakukan dengan
menggunakan Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 15 B
Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini maka semua pengaturan mengenai
Prepayment dan Buy Back dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 15 C
Prepayment dan Buy Back yang sudah dilaksanakaan dianggap telah sesuai dengan
Peraturan Bank Indonesia ini. Bagi transaksi Prepayment dan Buy Back yang sedang
dalam proses penyelesaian wajib disesuaikan dengan Peraturan Bank Indonesia ini. ”
7. Ketentuan Lampiran 2 diubah sehingga alamat penyampaian kesanggupan/
ketidaksanggupan pembayaran kewajiban Exchange Offer berbunyi sebagai berikut :
“Kepada
Bank Indonesia cq. Direktorat Luar Negeri
Jl. M.H. Thamrin No. 2
Jakarta 10010 “
Pasal II…
- 8 -
Pasal II
Peraturan Bank Indonesia ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 20 September 2001
GUBERNUR BANK INDONESIA
SYAHRIL SABIRIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
TAHUN 2001 NOMOR 121
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 3/14/PBI/2001
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 2/12/PBI/2000
TENTANG JAMINAN PINJAMAN LUAR NEGERI ANTAR BANK
UMUM
Dalam rangka reorganisasi di Bank Indonesia, tugas pelaksanaan penjaminan
pemerintah atas program Interbank Debt Exchange Offer telah dialihkan dari
Direktorat Perizinan dan Informasi Perbankan ke Direktorat Luar Negeri. Sehubungan
dengan hal tersebut, alamat penyampaian beberapa laporan terkait dengan penggunaan
jaminan pinjaman luar negeri antar bank perlu disesuaikan.
Selain itu, sesuai dengan perkembangan perekonomian di Indonesia saat ini
yang memungkinkan sejumlah bank untuk melunasi seluruh atau sebagian pinjaman
Interbank Debt Exchange Offer melalui Prepayment dan Buy Back, maka perlu
dibuatkan suatu bentuk pengaturan atas pelaksanaan Prepayment dan Buy Back
tersebut.
PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 1
Cukup jelas
Angka 2…
- 2 -
Angka 2
Cukup jelas
Angka 3
Cukup jelas
Angka 4
Cukup jelas
Pasal 8A
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Rencana Prepayment disampaikan kepada Bank Indonesia
cq. Direktorat Luar Negeri, Jl. M.H. Thamrin No. 2
Jakarta 10010.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 8B
Ayat (1)
Rencana Buy Back disampaikan kepada Bank Indonesia
cq. Direktorat Luar Negeri, Jl. M.H. Thamrin No. 2
Jakarta 10010.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)…
- 3 -
Ayat (4)
Bank Indonesia akan menyampaikan kembali Release and
Consent yang telah ditandatangani kepada Bank dalam
rangkap dua. Selanjutnya Bank menyampaikan Release
and Consent tersebut disertai dengan permintaan tertulis
penghapusan pencatatan pinjaman kepada Syndicate Agent
dengan tembusan kepada Bank Indonesia cq. Direktorat
Luar Negeri, Jl. MH. Thamrin No. 2 Jakarta 10010.
Pasal 8 C
Cukup jelas
Angka 5
Pasal 9
Ayat (1)
Laporan kewajiban pembayaran yang telah dilakukan
kepada Syndicate Agent disampaikan kepada Bank
Indonesia cq. Direktorat Luar Negeri, Jl. MH Thamrin No.
2, Jakarta 10010.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Laporan disampaikan kepada Bank Indonesia
cq.
Direktorat Luar Negeri, Jl. M.H. Thamrin No. 2, Jakarta
10010.
Angka 6…
- 4 -
Angka 6
Dengan diubahnya alamat penyampaian pernyataan maka penyampaian
tembusan kepada Direktorat Luar Negeri dihapuskan.
Angka 7
Pasal 15A
Cukup jelas
Pasal 15 B
Cukup jelas
Pasal 15 C
Cukup jelas
Pasal II
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 4140
"," PBI
3/14/PBI/2001
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 2/12/PBI/2000 TENTANG JAMINAN PINJAMAN LUAR NEGERI ANTAR BANK
20 September 2001
20 September 2001
'2/12/PBI/2000'
'23/UU/1999', '7/UU/1992', '10/UU/1998', '2/12/PBI/2000', '24/UU/1999'
"
" PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 13/ 16 /PBI/2011
TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 6/29/PBI/2004 TENTANG PENGELUARAN DAN PENGEDARAN
UANG KERTAS RUPIAH PECAHAN 20.000 (DUA PULUH RIBU)
TAHUN EMISI 2004
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang
: a. bahwa pengeluaran dan pengedaran uang rupiah
ditujukan untuk menyediakan uang tunai di masyarakat
sebagai alat pembayaran yang sah (legal tender) di
Negara Kesatuan Republik Indonesia;
b. bahwa untuk lebih mengoptimalkan fungsi elemen pada
desain uang kertas rupiah pecahan 20.000 (dua puluh
ribu) sebagai legal tender di Negara Kesatuan Republik
Indonesia, diperlukan perubahan unsur pengaman pada
desain uang rupiah;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu untuk
melakukan perubahan kedua atas Peraturan Bank
Indonesia Nomor 6/29/PBI/2004 tentang Pengeluaran
dan Pengedaran Uang Kertas Rupiah Pecahan 20.000
(Dua Puluh Ribu) Tahun Emisi 2004;
Mengingat ...
-2-
Mengingat
: 1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun
1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843),
sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan
Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999
tentang Bank Indonesia Menjadi Undang-Undang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4962);
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun
2011 tentang Mata Uang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 64, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5223);
3. Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/14/PBI/2004
tentang Pengeluaran, Pengedaran, Pencabutan dan
Penarikan, serta Pemusnahan Uang Rupiah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 52,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4388) sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/10/PBI/2007
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007
Nomor 113, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4762);
MEMUTUSKAN ...
-3-
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK
INDONESIA NOMOR 6/29/PBI/2004 TENTANG
PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG
KERTAS RUPIAH PECAHAN 20.000 (DUA PULUH
RIBU) TAHUN EMISI 2004.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/29/PBI/2004
tentang Pengeluaran dan Pengedaran Uang Kertas Rupiah Pecahan 20.000 (Dua
Puluh Ribu) Tahun Emisi 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2004 Nomor 163) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia
Nomor 11/7/PBI/2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 44) diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 4
Ciri uang rupiah pecahan 20.000 (dua puluh ribu) sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1, untuk tahun pencetakan mulai bulan Januari tahun 2009
sampai dengan bulan Juni tahun 2011 adalah:
a. Warna
bagian muka dan bagian belakang uang dicetak dengan warna dominan
hijau;
b. Gambar
1. bagian muka
a) gambar ...
-4-
a) gambar utama berupa gambar Pahlawan Nasional Oto Iskandar
Di Nata, dan di bawahnya dicantumkan tulisan “OTO
ISKANDAR DI NATA”;
b) pada sebelah kiri atas gambar utama dengan arah horizontal dan
pada sebelah kanan dengan arah vertikal, terdapat angka nominal
“20000”;
c) pada sebelah kiri gambar utama atau tepat di bawah angka
nominal “20000” terdapat gambar saling isi (rectoverso) yang
apabila diterawangkan ke arah cahaya akan terlihat logo Bank
Indonesia secara utuh;
d) pada sebelah kiri bawah gambar utama dengan arah horizontal
terdapat tulisan “BANK INDONESIA” dan tepat di bawah
tulisan tersebut terdapat tulisan “DUA PULUH RIBU
RUPIAH”;
e) pada sebelah kiri gambar utama dan di atas tulisan “BANK
INDONESIA” terdapat kode tuna netra (blind code) berupa
2 (dua) buah persegi panjang yang terasa kasar apabila diraba;
f) pada sebelah kanan atas gambar utama terdapat gambar
tersembunyi (latent image) tulisan “BI” dalam bingkai persegi
panjang berbentuk ornamen daerah Jawa Barat yang dapat dilihat
dari sudut pandang tertentu;
g) pada sebelah kanan atas gambar utama terdapat gambar
Lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia, yaitu Garuda
Pancasila;
h) pada sebelah kanan bawah terdapat logo Bank Indonesia di
dalam bidang segi lima yang dicetak dengan tinta khusus
(optically variable ink) yang akan berubah warna dari warna
magenta ...
-5-
magenta menjadi warna hijau apabila dilihat dari sudut pandang
tertentu;
i) pada sebelah kanan bawah gambar utama terdapat angka tahun
pencetakan “2009” (angka 2009 akan berubah sesuai dengan
tahun pencetakan uang), tulisan “DEWAN GUBERNUR”, tanda
tangan Gubernur Bank Indonesia beserta tulisan “GUBERNUR”,
dan tanda tangan Deputi Gubernur Bank Indonesia beserta
tulisan “DEPUTI GUBERNUR”;
j) sebagai latar belakang dan pengisi bidang terdiri dari garis-garis
bergelombang, miring, dan rangkaian garis melengkung yang
membentuk ornamen tertentu;
k) mikroteks dengan tulisan “BANKINDONESIA20000” yang
hanya dapat dibaca dengan bantuan kaca pembesar yang terdapat
pada sebelah kanan gambar Pahlawan Nasional Oto Iskandar Di
Nata yang berbentuk garis vertikal dari atas ke bawah;
l) miniteks yaitu teks dengan ukuran kecil yang dapat dibaca tanpa
bantuan kaca pembesar terdapat di atas dan di bawah tanda air
berupa tulisan “BANKINDONESIA” yang berbentuk
lengkungan dengan ukuran teks yang berbeda;
2. bagian belakang
a) gambar utama berupa gambar Pemetik Teh dan di bawahnya
dicantumkan tulisan “PEMETIK TEH”;
b) di bawah gambar utama terdapat tulisan “DENGAN RAHMAT
TUHAN YANG MAHA ESA, BANK INDONESIA
MENGELUARKAN UANG SEBAGAI ALAT
PEMBAYARAN YANG SAH DENGAN NILAI DUA PULUH
RIBU RUPIAH”;
c) pada ...
-6-
c) pada sebelah kiri atas gambar utama, terdapat cetakan tidak kasat
mata berupa angka nominal “20000” yang akan memendar
kuning kehijauan di bawah sinar ultra violet;
d) pada sebelah kiri bawah tanda air, terdapat cetakan tidak kasat
mata berupa gambar sehelai daun teh yang akan memendar
kehijauan di bawah sinar ultra violet;
e) nomor seri yang terdiri dari 3 (tiga) huruf dan 6 (enam) angka
terletak pada sebelah kiri bawah uang yang dicetak dengan tinta
berwarna hitam yang akan memendar kehijauan di bawah sinar
ultra violet dan pada sebelah kanan atas di bawah tulisan
“BANK INDONESIA” dicetak dengan tinta berwarna merah
yang akan memendar kekuningan di bawah sinar ultra violet;
f) pada sebelah kanan atas gambar utama terdapat tulisan “BANK
INDONESIA”;
g) pada sebelah kanan atas di bawah nomor seri terdapat gambar
saling isi (rectoverso) yang apabila diterawangkan ke arah
cahaya akan terlihat logo Bank Indonesia secara utuh;
h) pada sebelah kanan bawah dengan arah horizontal dan pada
sebelah kiri atas dengan arah vertikal terdapat angka nominal
“20000”;
i) pada sebelah kanan bawah tepat di bawah angka nominal
“20000” terdapat tulisan “PERUM PERCETAKAN UANG RI
IMP” dan angka tahun pengeluaran “2004”;
j) mikroteks dengan tulisan “BANKINDONESIA” yang hanya
dapat dibaca dengan bantuan kaca pembesar yang terdapat pada
tepi bagian atas dan bawah pada sisi sebelah kiri dan kanan uang
yang berbentuk diagonal;
k) miniteks ...
-7-
k) miniteks dengan tulisan “BANKINDONESIA” yang dapat
dibaca tanpa bantuan kaca pembesar yang terdapat pada sebelah
kiri atas dan bawah, berbentuk lengkungan dengan ukuran teks
yang berbeda yaitu dari besar ke kecil;
c. Bahan
kertas uang memiliki spesifikasi sebagai berikut:
1. terbuat dari serat kapas;
2. ukuran panjang 147 mm dan lebar 65 mm;
3. warna hijau muda;
4. tidak memendar di bawah sinar ultra violet;
5. tanda air berupa gambar Pahlawan Nasional Oto Iskandar Di Nata;
6. benang pengaman berbentuk anyaman.
2. Di antara Pasal 4 dan Pasal 5 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 4A yang
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 4A
Ciri uang rupiah pecahan 20.000 (dua puluh ribu) sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1, untuk tahun pencetakan mulai bulan Juli tahun 2011 adalah:
a. Warna
bagian muka dan bagian belakang uang dicetak dengan warna dominan
hijau;
b. Gambar
1. bagian muka
a) gambar utama berupa gambar Pahlawan Nasional Oto Iskandar
Di Nata, dan di bawahnya dicantumkan tulisan “OTO
ISKANDAR DI NATA”;
b) pada ...
-8-
b) pada sebelah kiri atas gambar utama dengan arah horizontal dan
pada sebelah kanan dengan arah vertikal, terdapat angka nominal
“20000”;
c) pada sebelah kiri gambar utama atau tepat di bawah angka
nominal “20000” terdapat gambar saling isi (rectoverso) yang
apabila diterawangkan ke arah cahaya akan terlihat logo Bank
Indonesia secara utuh;
d) pada sebelah kiri bawah gambar utama dengan arah horizontal
terdapat tulisan “BANK INDONESIA” dan tepat di bawah
tulisan tersebut terdapat tulisan “DUA PULUH RIBU
RUPIAH”;
e) pada sebelah kiri gambar utama dan di atas tulisan “BANK
INDONESIA” terdapat kode tuna netra (blind code) berupa
2 (dua) buah persegi panjang berwarna hitam yang terasa kasar
apabila diraba;
f) pada sebelah kanan atas gambar utama terdapat gambar
tersembunyi (latent image) tulisan “BI” dalam bingkai persegi
panjang berbentuk ornamen daerah Jawa Barat yang dapat dilihat
dari sudut pandang tertentu;
g) pada sebelah kanan atas gambar utama terdapat gambar
Lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia, yaitu Garuda
Pancasila;
h) pada sebelah kanan gambar utama terdapat rainbow printing
dalam bidang berbentuk segi empat yang akan berubah warna
apabila dilihat dari sudut pandang berbeda;
i) pada sebelah kanan gambar utama terdapat elemen desain
berbentuk lingkaran-lingkaran kecil berwarna hijau dan
ditengahnya berwarna putih yang letaknya tersebar;
j) pada ...
-9-
j) pada sebelah kanan bawah terdapat logo Bank Indonesia di
dalam bidang segi lima yang dicetak dengan tinta khusus
(optically variable ink) yang akan berubah warna dari warna
magenta menjadi warna hijau apabila dilihat dari sudut pandang
tertentu;
k) pada sebelah kanan bawah gambar utama terdapat angka tahun
pencetakan “2011” (angka 2011 akan berubah sesuai dengan
tahun pencetakan uang), tulisan “DEWAN GUBERNUR”, tanda
tangan Gubernur Bank Indonesia beserta tulisan “GUBERNUR”,
dan tanda tangan Deputi Gubernur Bank Indonesia beserta
tulisan “DEPUTI GUBERNUR”;
l) sebagai latar belakang dan pengisi bidang terdiri dari garis-garis
bergelombang, miring, dan rangkaian garis melengkung yang
membentuk ornamen tertentu;
m) mikroteks dengan tulisan “BANKINDONESIA20000” yang
hanya dapat dibaca dengan bantuan kaca pembesar yang terdapat
pada sebelah kanan gambar Pahlawan Nasional Oto Iskandar Di
Nata yang berbentuk garis vertikal dari atas ke bawah;
n) miniteks yaitu teks dengan ukuran kecil yang dapat dibaca tanpa
bantuan kaca pembesar terdapat di atas dan di bawah tanda air
berupa tulisan “BANKINDONESIA” yang berbentuk
lengkungan dengan ukuran teks yang berbeda;
2. bagian belakang
a) gambar utama berupa gambar Pemetik Teh dan di bawahnya
dicantumkan tulisan “PEMETIK TEH”;
b) di bawah gambar utama terdapat tulisan “DENGAN RAHMAT
TUHAN YANG MAHA ESA, BANK INDONESIA
MENGELUARKAN UANG SEBAGAI ALAT
PEMBAYARAN ...
-10-
PEMBAYARAN YANG SAH DENGAN NILAI DUA PULUH
RIBU RUPIAH”;
c) pada sebelah kiri atas gambar utama, terdapat cetakan tidak kasat
mata berupa angka nominal “20000” yang akan memendar
kuning kehijauan di bawah sinar ultra violet;
d) pada sebelah kiri bawah tanda air, terdapat cetakan tidak kasat
mata berupa gambar sehelai daun teh yang akan memendar
kehijauan di bawah sinar ultra violet;
e) pada sebelah kiri gambar utama terdapat elemen desain
berbentuk lingkaran-lingkaran kecil berwarna hijau dan
ditengahnya berwarna putih yang letaknya tersebar;
f) nomor seri yang terdiri dari 3 (tiga) huruf dan 6 (enam) angka
terletak pada sebelah kiri bawah uang yang dicetak dengan tinta
berwarna hitam yang akan memendar kehijauan di bawah sinar
ultra violet dan pada sebelah kanan atas di bawah tulisan
“BANK INDONESIA” dicetak dengan tinta berwarna merah
yang akan memendar kekuningan di bawah sinar ultra violet;
g) pada sebelah kanan atas gambar utama terdapat tulisan “BANK
INDONESIA”;
h) pada sebelah kanan atas di bawah nomor seri terdapat gambar
saling isi (rectoverso) yang apabila diterawangkan ke arah
cahaya akan terlihat logo Bank Indonesia secara utuh;
i) pada sebelah kanan bawah dengan arah horizontal dan pada
sebelah kiri atas dengan arah vertikal terdapat angka nominal
“20000”;
j) pada sebelah kanan bawah tepat di bawah angka nominal
“20000” terdapat tulisan “PERUM PERCETAKAN UANG RI
IMP” dan angka tahun pengeluaran “2004”;
k) mikroteks ...
-11-
k) mikroteks dengan tulisan “BANKINDONESIA” yang hanya
dapat dibaca dengan bantuan kaca pembesar yang terdapat pada
tepi bagian atas dan bawah pada sisi sebelah kiri dan kanan uang
yang berbentuk diagonal;
l) miniteks dengan tulisan “BANKINDONESIA” yang dapat
dibaca tanpa bantuan kaca pembesar yang terdapat pada sebelah
kiri atas dan bawah, berbentuk lengkungan dengan ukuran teks
yang berbeda yaitu dari besar ke kecil;
c. Bahan
kertas uang memiliki spesifikasi sebagai berikut:
1. terbuat dari serat kapas;
2. ukuran panjang 147 mm dan lebar 65 mm;
3. warna hijau muda;
4. tidak memendar di bawah sinar ultra violet;
5. tanda air berupa gambar Pahlawan Nasional Oto Iskandar Di Nata;
6. benang pengaman berbentuk anyaman.
3. Pasal 5A dihapus.
Pasal II
Uang kertas rupiah pecahan 20.000 (dua puluh ribu) yang dikeluarkan oleh Bank
Indonesia sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, masih tetap berlaku
sepanjang belum dicabut dan ditarik dari peredaran.
Pasal III
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar ...
-12-
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank
Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 1 Agustus 2011
GUBERNUR BANK INDONESIA,
DARMIN NASUTION
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 1 Agustus 2011
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
PATRIALIS AKBAR
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 75
DPU
"," PBI
13/16/PBI/2011
PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 6/29/PBI/2004 TENTANG PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG KERTAS RUPIAH PECAHAN 20.000 (DUA PULUH RIBU) TAHUN EMISI 2004
1 Agustus 2011
1 Agustus 2011
1 Agustus 2011
'6/29/PBI/2004'
'6/UU/2009', '23/UU/1999', '6/14/PBI/2004', '2/PERPPU/2008', '9/10/PBI/2007', '7/UU/2011'
"
" PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 8/17/PBI/2006
TENTANG
INSENTIF DALAM RANGKA KONSOLIDASI PERBANKAN
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa dalam rangka menciptakan sistem perbankan yang
kuat perlu dilakukan penguatan struktur perbankan melalui
upaya-upaya konsolidasi perbankan;
b. bahwa upaya percepatan konsolidasi perbankan
membutuhkan pendekatan yang menyeluruh terhadap segala
aspek sehingga diharapkan akan tercipta konsolidasi
perbankan yang lebih solid sesuai dengan Arsitektur
Perbankan Indonesia;
c. bahwa sehubungan dengan upaya percepatan konsolidasi
perbankan pada bank–bank yang melakukan merger atau
konsolidasi perlu diberikan insentif yang berguna sebagai
stimulus (sweetener);
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, dipandang perlu untuk
menyusun ketentuan mengenai insentif dalam
konsolidasi perbankan dalam Peraturan Bank Indonesia;
rangka
Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan
(Lembaran
Negara
Republik
Indonesia
Tahun …
- 2 -
Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3790);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357);
3. PBI Nomor 7/15/PBI/2005 tanggal 1 Juli 2005 tentang
Jumlah Modal Inti Minimum Bank Umum (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 53,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4507);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG
INSENTIF
PERBANKAN.
DALAM RANGKA KONSOLIDASI
Pasal 1 …
- 3 -
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, tidak termasuk kantor cabang bank
asing.
2. Merger adalah penggabungan dari dua bank atau lebih, dengan cara tetap
mempertahankan berdirinya salah satu bank dan membubarkan bank-bank
lainnya tanpa melikuidasi lebih dahulu.
3. Konsolidasi adalah penggabungan dari dua bank atau lebih, dengan cara
mendirikan bank
baru dan membubarkan bank-bank
melikuidasi lebih dahulu.
Pasal 2
(1) Bank Indonesia memberikan insentif kepada Bank yang melakukan Merger
atau Konsolidasi.
(2) Bentuk insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
a. Kemudahan dalam pemberian izin menjadi bank devisa;
b. Kelonggaran sementara atas kewajiban pemenuhan Giro Wajib
Minimum (GWM) Rupiah;
c. Perpanjangan jangka waktu penyelesaian pelampauan Batas Maksimum
Pemberian Kredit (BMPK) yang timbul sebagai akibat Merger atau
Konsolidasi;
d. Kemudahan dalam pemberian izin pembukaan kantor cabang Bank; dan
atau
e. Penggantian sebagian biaya konsultan pelaksanaan due diligence.
Pasal 3 …
tersebut tanpa
- 4 -
Pasal 3
(1) Kemudahan pemberian izin menjadi bank devisa sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a diberikan dalam hal:
a. Bank bukan devisa yang melakukan Merger atau Konsolidasi dengan 1
(satu) bank bukan devisa lainnya; dan
b. Menyimpang dari ketentuan yang berlaku mengenai persyaratan modal
disetor bank bukan devisa untuk menjadi bank devisa, modal inti bank
hasil Merger atau Konsolidasi paling kurang Rp100.000.000.000,00
(seratus miliar rupiah).
(2) Persyaratan lainnya untuk menjadi bank devisa tetap mengacu pada ketentuan
Bank Indonesia yang berlaku mengenai persyaratan bank umum bukan devisa
menjadi bank umum devisa.
Pasal 4
(1) Kelonggaran sementara atas kewajiban pemenuhan GWM Rupiah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b berupa pengurangan
sebesar 1% (satu perseratus) dari kewajiban yang ditetapkan dalam
ketentuan GWM.
(2) Kelonggaran sementara atas kewajiban pemenuhan GWM Rupiah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku selama 1 (satu) tahun sejak:
a. Tanggal persetujuan perubahan Anggaran Dasar atau Akta Pendirian
termasuk Anggaran Dasar oleh instansi yang berwenang; atau
b. Tanggal pendaftaran Akta Merger dan perubahan Anggaran Dasar
dalam daftar perusahaan apabila perubahan Anggaran Dasar tidak
memerlukan persetujuan instansi yang berwenang.
Pasal 5 …
- 5 -
Pasal 5
Perpanjangan jangka waktu penyelesaian pelampauan BMPK yang timbul
sebagai akibat Merger atau Konsolidasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (2) huruf c paling lama 24 (dua puluh empat) bulan sejak:
a. Tanggal persetujuan perubahan Anggaran Dasar atau Akta Pendirian
termasuk Anggaran Dasar oleh instansi yang berwenang; atau
b. Tanggal pendaftaran Akta Merger dan perubahan Anggaran Dasar dalam
daftar perusahaan apabila perubahan Anggaran Dasar tidak memerlukan
persetujuan instansi yang berwenang.
Pasal 6
(1) Kemudahan dalam pemberian izin pembukaan kantor cabang bagi Bank
hasil Merger atau Konsolidasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2)
huruf d, dalam hal tingkat kesehatan, hanya didasarkan pada penilaian
tingkat kesehatan posisi terakhir.
(2) Persyaratan lainnya untuk pemberian izin pembukaan kantor cabang tetap
mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang berlaku mengenai bank
umum.
Pasal 7
Penggantian sebagian biaya konsultan pelaksanaan due diligence sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf e adalah mengganti sebagian dana (on
reimbursement) pelaksanaan biaya konsultan due diligence Merger atau
Konsolidasi yang disepakati para pihak dengan penggantian sebesar 50% (lima
puluh perseratus) dan maksimum sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah) dari biaya due diligence setelah:
a. Tanggal …
- 6 -
a. Tanggal persetujuan perubahan Anggaran Dasar atau Akta Pendirian
termasuk Anggaran Dasar oleh instansi yang berwenang; atau
b. Tanggal pendaftaran Akta Merger dan perubahan Anggaran Dasar dalam
daftar perusahaan apabila perubahan Anggaran Dasar tidak memerlukan
persetujuan instansi yang berwenang.
Pasal 8
(1) Bank yang merencanakan Merger atau Konsolidasi wajib menyampaikan
permohonan rencana pemanfaatan insentif yang diajukan oleh Direksi
masing-masing Bank.
(2) Rencana pemanfaatan insentif oleh Bank wajib disampaikan kepada Bank
Indonesia paling lambat 6 (enam) bulan sebelum melakukan Merger atau
Konsolidasi dengan alamat:
a. Direktorat Pengawasan Bank terkait bagi Bank yang berkantor pusat di
wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia; atau
b. Kantor Bank Indonesia setempat, bagi Bank yang berkantor pusat di
luar wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia.
(3) Rencana pemanfaatan insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
dicantumkan dalam rencana bisnis Bank.
Pasal 9
Pemegang Saham Pengendali, Komisaris, dan Direksi Bank yang layak untuk
melakukan Merger atau Konsolidasi namun tidak bersedia untuk melakukan
Merger atau Konsolidasi dapat dikenakan sanksi berupa teguran tertulis serta
mempengaruhi penilaian integritas dalam penilaian kemampuan dan kepatutan
(fit and proper test).
Pasal 10 …
- 7 -
Pasal 10
Ketentuan lebih lanjut dari Peraturan Bank Indonesia ini akan diatur dengan
Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 11
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 5 Oktober 2006
GUBERNUR BANK INDONESIA,
BURHANUDDIN ABDULLAH
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2006 NOMOR 74
DPNP/DPbS
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 8/17/PBI/2006
TENTANG
INSENTIF DALAM RANGKA KONSOLIDASI PERBANKAN
UMUM
Dalam rangka menciptakan sistem perbankan yang kuat, sehat, dan efisien
guna mendorong kestabilan sistem keuangan diperlukan penguatan struktur dan
permodalan bank-bank nasional. Disamping akan mendorong pertumbuhan
kredit perbankan, penguatan permodalan bank-bank nasional dinilai sangat
penting untuk meningkatkan kapasitas bank-bank dalam menghadapi persaingan
yang semakin ketat serta mengantisipasi rencana penerapan Basel II yang
menuntut investasi di bidang teknologi dan sumber daya manusia yang memadai.
Salah satu upaya yang dapat ditempuh untuk memperkuat struktur dan
permodalan bank-bank adalah dengan mendorong terjadinya konsolidasi bank-
bank di Indonesia melalui pendekatan yang sistematis dan komprehensif.
Alternatif yang dapat dilakukan bank untuk memperkuat permodalan antara lain
melalui merger atau konsolidasi. Oleh karena itu, untuk mempercepat terjadinya
konsolidasi perbankan tersebut, disamping upaya-upaya lain yang telah
dilakukan, Bank Indonesia menganggap perlu memberikan insentif bagi bank-
bank yang melakukan merger atau konsolidasi.
PASAL …
- 2 -
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Angka 1 sampai dengan angka 3.
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)…
- 3 -
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Pasal 5
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 7
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Pasal 8 …
- 4 -
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 9
Yang dimaksud dengan layak untuk melakukan Merger atau Konsolidasi
adalah Bank yang memiliki modal inti dibawah Rp80.000.000.000,00
(delapan puluh miliar rupiah) dan pemegang saham pengendali tidak
memiliki kemampuan untuk menambah modal inti.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4643
DPNP/DPbS
"," PBI
8/17/PBI/2006
INSENTIF DALAM RANGKA KONSOLIDASI PERBANKAN
5 Oktober 2006
5 Oktober 2006
'7/UU/1992', '10/UU/1998', '23/UU/1999', '3/UU/2004', '7/15/PBI/2005'
'Pasal 9'
"
" PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR :3/20/PBI/2001
TENTANG
PENCABUTAN PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 2/13/PBI/2000
TENTANG JAMINAN PEMBIAYAAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL
DAN PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 3/4/PBI/2001 TENTANG
PERUBAHAN PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 2/13/PBI/2000
TENTANG JAMINAN PEMBIAYAAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang
: a.
bahwa dalam rangka meningkatkan kegiatan ekonomi nasional
khususnya kegiatan perdagangan internasional, Bank Indonesia
untuk dan atas nama Pemerintah menerbitkan Letter of
Guaranty untuk menjamin perdagangan internasional yang
dilakukan oleh bank;
b.
c.
bahwa fasilitas penjaminan perdagangan internasional tersebut
telah berakhir pada tanggal 30 Juni 2001;
bahwa sehubungan dengan itu dipandang perlu untuk mencabut
Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/13/PBI/2000 tentang
Jaminan Pembiayaan Perdagangan Internasional dan
perubahannya;
Mengingat . . .
- 2 -
Mengingat
: Undang-undang Nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PENCABUTAN PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR
2/13/PBI/2000 TENTANG JAMINAN PEMBIAYAAN
PERDAGANGAN INTERNASIONAL DAN PERATURAN BANK
INDONESIA NOMOR 3/4/PBI/2001 TENTANG PERUBAHAN
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 2/13/PBI/2000
TENTANG JAMINAN PEMBIAYAAN PERDAGANGAN
INTERNASIONAL.
Pasal 1
Dengan Peraturan Bank Indonesia ini maka :
1. Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/13/PBI/2000 tentang Jaminan Pembiayaan
Perdagangan Internasional;
2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/4/PBI/2001 tentang Perubahan Peraturan Bank
Indonesia Nomor 2/13/PBI/2000 tentang Jaminan Pembiayaan Perdagangan
Internasional,
dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 2 . . .
- 3 -
Pasal 2
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan dan berlaku surut
sejak tanggal 1 Juli 2001.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 29 November 2001
GUBERNUR BANK INDONESIA
SYAHRIL SABIRIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2001 NOMOR 140
DLN
"," PBI
3/20/PBI/2001
PENCABUTAN PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 2/13/PBI/2000 TENTANG JAMINAN PEMBIAYAAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL DAN PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 3/4/PBI/2001 TENTANG PERUBAHAN PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 2/13/PBI/2000 TENTANG JAMINAN PEMBIAYAAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL
29 November 2001
29 November 2001 dan berlaku surut sejak tanggal 1 Juli 2001
'2/13/PBI/2000', '3/4/PBI/2001'
'23/UU/1999'
"
" PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 19/14/PBI/2017
TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 17/18/PBI/2015 TENTANG PENYELENGGARAAN TRANSAKSI,
PENATAUSAHAAN SURAT BERHARGA, DAN SETELMEN DANA SEKETIKA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan penyelenggaraan sistem
pembayaran yang lebih lancar, aman, efisien, dan
andal, perlu menyempurnakan ketentuan mengenai
kewajiban penyediaan dana yang cukup pada saat
pengiriman instruksi setelmen dana dan ketentuan
mengenai fasilitas likuiditas intrahari;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan
Bank Indonesia tentang Perubahan Kedua atas
Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/18/PBI/2015
tentang Penyelenggaraan Transaksi, Penatausahaan
Surat Berharga, dan Setelmen Dana Seketika;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah beberapa kali
-2-
diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan
Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999
tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4962);
2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat
Utang Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2002 Nomor 110, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4236);
3. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat
Berharga Syariah Negara (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 70, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4852);
4. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2011 tentang Transfer
Dana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5204);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN
KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR
17/18/PBI/2015 TENTANG PENYELENGGARAAN TRANSAKSI,
PENATAUSAHAAN SURAT BERHARGA, DAN SETELMEN DANA
SEKETIKA.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor
17/18/PBI/2015 tentang Penyelenggaraan Transaksi,
Penatausahaan Surat Berharga, dan Setelmen Dana Seketika
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 273,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5762)
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia
Nomor 18/6/PBI/2016 tentang Perubahan atas Peraturan
-3-
Bank Indonesia Nomor
17/18/PBI/2015 tentang
Penyelenggaraan Transaksi, Penatausahaan Surat Berharga,
dan Setelmen Dana Seketika (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2016 Nomor 77, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5877), diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud
dengan:
1. Penyelenggara adalah Bank Indonesia yang
menyelenggarakan sistem dalam kegiatan transaksi,
penatausahaan surat berharga, dan setelmen dana
seketika.
2. Surat Berharga adalah surat berharga yang
diterbitkan oleh Bank Indonesia, Pemerintah,
dan/atau lembaga lain yang ditatausahakan pada
Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System.
3. Surat Utang Negara yang selanjutnya disingkat SUN
adalah surat utang negara sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai
surat utang negara.
4. Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya
disingkat SBSN adalah surat berharga syariah negara
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang
mengatur mengenai surat berharga syariah negara.
5. Surat Berharga Negara yang selanjutnya disingkat
SBN adalah SUN dan SBSN.
6. Transaksi dengan Bank Indonesia adalah transaksi
yang dilakukan oleh peserta dengan Bank Indonesia
untuk kegiatan operasi moneter, operasi moneter
syariah, dan/atau transaksi SBN untuk dan atas
nama Pemerintah, serta transaksi lainnya yang
dilakukan dengan Bank Indonesia.
-4-
7. Transaksi Pasar Keuangan adalah transaksi Surat
Berharga dan transaksi pinjam meminjam
antarpeserta yang dilakukan secara konvensional
atau yang dipersamakan berdasarkan prinsip syariah
dalam transaksi pasar uang dan/atau transaksi
Surat Berharga di pasar sekunder.
8. Transaksi adalah Transaksi dengan Bank Indonesia
dan Transaksi Pasar Keuangan.
9. Penatausahaan adalah kegiatan yang mencakup
pencatatan kepemilikan, kliring dan setelmen, serta
pembayaran kupon/bunga atau imbalan dan
pelunasan pokok/nominal atas hasil transaksi Surat
Berharga dan hasil transaksi tanpa Surat Berharga.
10. Setelmen adalah proses penyelesaian akhir transaksi
keuangan melalui pendebitan dan pengkreditan
rekening setelmen dana, rekening surat berharga,
dan/atau rekening lainnya di Bank Indonesia.
11. Sistem Bank Indonesia-Electronic Trading Platform
yang selanjutnya disebut Sistem BI-ETP adalah
infrastruktur yang digunakan sebagai sarana
Transaksi yang dilakukan secara elektronik.
12. Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement
System yang selanjutnya disingkat BI-SSSS adalah
infrastruktur yang digunakan sebagai sarana
Penatausahaan Transaksi dan Penatausahaan Surat
Berharga yang dilakukan secara elektronik.
13. Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement
yang selanjutnya disebut Sistem BI-RTGS adalah
infrastruktur yang digunakan sebagai sarana
transfer dana elektronik yang setelmennya
dilakukan seketika per transaksi secara individual.
14. Peserta adalah pihak yang telah memenuhi
persyaratan dan telah memperoleh persetujuan dari
Penyelenggara
sebagai
penyelenggaraan Sistem BI-ETP, BI-SSSS, dan/atau
Sistem BI-RTGS.
peserta dalam
-5-
15. Central Registry adalah Bank Indonesia yang
melakukan fungsi Penatausahaan bagi kepentingan
Peserta BI-SSSS.
16. Sub-Registry adalah Bank Indonesia dan pihak yang
memenuhi persyaratan dan disetujui oleh
Penyelenggara sebagai Peserta BI-SSSS, untuk
melakukan fungsi penatausahaan bagi kepentingan
nasabah.
17. Fasilitas Likuiditas Intrahari yang selanjutnya
disingkat FLI adalah fasilitas pendanaan yang
diberikan oleh Bank Indonesia kepada bank Peserta
Sistem BI-RTGS baik secara konvensional maupun
berdasarkan prinsip syariah untuk mengatasi
kesulitan pendanaan yang terjadi selama jam
operasional Sistem BI-RTGS.
18. Rekening Setelmen Dana adalah rekening Peserta
Sistem BI-RTGS dalam mata uang rupiah dan/atau
valuta asing yang ditatausahakan di Bank Indonesia
untuk pelaksanaan Setelmen dana.
19. Rekening Surat Berharga adalah rekening Peserta
BI-SSSS dalam mata uang rupiah dan/atau valuta
asing yang ditatausahakan di Bank Indonesia untuk
pencatatan kepemilikan dan Setelmen transaksi
Surat Berharga, Transaksi dengan Bank Indonesia,
dan/atau Transaksi Pasar Keuangan.
20. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai
perbankan termasuk kantor cabang dari bank yang
berkedudukan di luar negeri dan bank umum
syariah termasuk unit usaha syariah sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur
mengenai perbankan syariah.
21. Keadaan Tidak Normal adalah situasi atau kondisi
yang terjadi sebagai akibat adanya gangguan atau
kerusakan pada perangkat keras, perangkat lunak,
jaringan komunikasi, aplikasi maupun sarana
-6-
pendukung yang mempengaruhi kelancaran
penyelenggaraan Sistem BI-ETP, BI-SSSS, dan/atau
Sistem BI-RTGS.
22. Keadaan Darurat adalah suatu keadaan yang terjadi
di luar kekuasaan Penyelenggara dan/atau Peserta
yang menyebabkan kegiatan operasional Sistem BI-
ETP, BI-SSSS, dan/atau Sistem BI-RTGS tidak dapat
diselenggarakan yang diakibatkan oleh kebakaran,
kerusuhan massa, sabotase, bencana alam seperti
gempa bumi dan banjir, dan/atau sebab lain, yang
dinyatakan oleh pihak penguasa atau pejabat yang
berwenang setempat, termasuk Bank Indonesia.
2. Di antara Pasal 46 dan Pasal 47 disisipkan 1 (satu) pasal,
yakni Pasal 46A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 46A
(1) Peserta Sistem BI-RTGS harus menyediakan dana
yang cukup pada saat pengiriman instruksi
Setelmen dana.
(2) Dalam hal instruksi Setelmen dana sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak didukung dengan dana
dan/atau FLI yang mencukupi, Sistem BI-RTGS
akan menolak instruksi Setelmen dana tersebut.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dapat dikecualikan terhadap transaksi yang
dilakukan untuk kepentingan Bank Indonesia.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyediaan dana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penolakan
instruksi Setelmen dana sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), dan pengecualian transaksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), diatur dalam
Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
-7-
3. Ketentuan Pasal 52 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 52
(1) Untuk kelancaran Setelmen dana dalam Sistem BI-
RTGS, Bank Peserta Sistem BI-RTGS dapat
menggunakan FLI yang
Penyelenggara.
disediakan oleh
(2) FLI digunakan pada saat dana yang terdapat pada
Rekening Setelmen Dana dalam rupiah milik Bank
Peserta Sistem BI-RTGS tidak mencukupi untuk
melakukan Setelmen dana.
(3) FLI yang dapat digunakan yaitu sebesar kekurangan
dana pada Rekening Setelmen Dana untuk
melakukan Setelmen dana.
(4) Penggunaan FLI sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dilakukan berdasarkan kecukupan nilai Surat
Berharga yang tersedia pada rekening FLI.
4. Ketentuan Pasal 53 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 53
(1) Bank Peserta Sistem BI-RTGS yang akan
menggunakan FLI harus menyediakan Surat
Berharga dalam rekening FLI.
(2) Surat Berharga sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus memenuhi persyaratan Surat Berharga yang
dapat ditransaksikan secara repurchase agreement
(repo) dengan Bank Indonesia dalam lending facility
atau financing facility.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Surat Berharga
yang dapat digunakan untuk memperoleh FLI diatur
dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
-8-
5. Ketentuan Pasal 54 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 54
(1) Penyelenggara menetapkan persyaratan Bank
Peserta Sistem BI-RTGS yang dapat menggunakan
FLI.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan Bank
Peserta Sistem BI-RTGS yang dapat menggunakan
FLI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
6. Ketentuan Pasal 55 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 55
(1) Penggunaan FLI dalam Sistem BI-RTGS dilakukan
dengan mekanisme repo atas Surat Berharga yang
dimiliki oleh Bank Peserta Sistem BI-RTGS pada
rekening FLI.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai mekanisme repo
atas Surat Berharga dalam penggunaan FLI diatur
dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
Pasal II
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 1
Januari 2019.
-9-
Agar setiap orang
mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 27 Desember 2017
GUBERNUR BANK INDONESIA,
AGUS D.W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 28 Desember 2017
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 301
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 19/14/PBI/2017
TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 17/18/PBI/2015 TENTANG PENYELENGGARAAN TRANSAKSI,
PENATAUSAHAAN SURAT BERHARGA, DAN SETELMEN DANA SEKETIKA
I. UMUM
Untuk mewujudkan penyelenggaraan sistem pembayaran yang lebih
lancar, aman, efisien, dan andal perlu dilakukan penyempurnaan
terhadap pengaturan instruksi Setelmen dana seketika melalui Sistem BI-
RTGS. Hal ini dimaksudkan untuk menciptakan market discipline dengan
mendorong agar Peserta Sistem BI-RTGS telah menyediakan dana yang
mencukupi untuk setiap instruksi Setelmen dana. Setiap instruksi
Setelmen dana yang tidak didukung dengan dana yang mencukupi akan
ditolak oleh Sistem BI-RTGS (no money no game).
Selain itu, dalam Peraturan Bank Indonesia ini juga diatur mengenai
FLI yang disediakan bagi Bank Peserta Sistem BI-RTGS untuk
memperlancar Setelmen dana khususnya dalam mengatasi permasalahan
likuiditas intrahari (intraday liquidity mismatch). Pengaturan mengenai FLI
perlu disempurnakan dengan menyederhanakan cakupan FLI dan
menegaskan bahwa penggunaan FLI harus didukung dengan Surat
Berharga yang cukup.
- 2 -
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 1
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 46A
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 52
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “nilai Surat Berharga” adalah
nilai tunai (cash value) yang ditetapkan sesuai dengan
perhitungan nilai setelmen first leg transaksi lending
facility dan/atau financing facility.
Yang dimaksud dengan “rekening FLI” adalah Rekening
Surat Berharga pada BI-SSSS untuk mencatat Surat
Berharga yang akan digunakan oleh Bank Peserta Sistem
BI-RTGS untuk memperoleh FLI pada Sistem BI-RTGS.
Angka 4
Pasal 53
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “lending facility” adalah lending
facility sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai operasi moneter.
- 3 -
Yang dimaksud dengan “financing facility” adalah
financing facility sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
operasi moneter syariah.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 5
Pasal 54
Cukup jelas.
Angka 6
Pasal 55
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “repo” adalah transaksi penjualan
Surat Berharga dengan kewajiban pembelian kembali
sesuai dengan harga dan jangka waktu yang ditetapkan
Bank Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal II
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6169
"," PBI
19/14/PBI/2017
PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 17/18/PBI/2015 TENTANG PENYELENGGARAAN TRANSAKSI, PENATAUSAHAAN SURAT BERHARGA, DAN SETELMEN DANA SEKETIKA
27 Desember 2017
1 Januari 2019
28 Desember 2017
'17/18/PBI/2015'
'18/6/PBI/2016'
'6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '3/UU/2011', '19/UU/2008', '24/UU/2002'
"
" PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 9/2/PBI/2007
TENTANG
LAPORAN HARIAN BANK UMUM
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka pelaksanaan tugas Bank Indonesia di
sektor moneter, perbankan, dan sistem pembayaran yang lebih
efektif diperlukan dukungan informasi secara harian yang real
time, tepat waktu, aman, akurat, handal, obyektif, lengkap dan
mudah untuk diakses secara simultan;
b. bahwa untuk menyediakan informasi sebagaimana dimaksud
di atas, dibangun suatu sistem pelaporan harian dari bank guna
memenuhi kebutuhan informasi dalam rangka penetapan dan
pelaksanaan kebijakan moneter, sistem pembayaran, serta
pengawasan bank yang berbasis risiko;
c. bahwa pada saat ini informasi harian disediakan oleh sistem
Laporan Harian Bank Umum, namun untuk menyediakan
informasi yang lebih utuh, komprehensif, dan berkualitas
diperlukan penyempurnaan terhadap Laporan Harian Bank
Umum tersebut;
d. bahwa untuk menyempurnakan sistem Laporan Harian Bank
Umum tersebut diperlukan perluasan cakupan kandungan
informasi yang dilaporkan, penyempurnaan sistem, dan tata
cara pelaporan Laporan Harian Bank Umum;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, dipandang perlu
menyempurnakan Peraturan Bank Indonesia tentang Laporan
Harian Bank Umum.
Mengingat …
- 2 -
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor
31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4357).
MEMUTUSKAN
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG LAPORAN
HARIAN BANK UMUM
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan :
1. Bank adalah Bank umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 3
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana
telah …
- 3 -
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, termasuk
kantor cabang bank asing;
2. Bank Pelapor adalah kantor Bank yang meliputi kantor pusat Bank yang
berbadan hukum Indonesia, Kantor Cabang Bank Asing, dan Unit Usaha
Syariah;
3. Laporan Harian Bank Umum, yang selanjutnya disebut LHBU, adalah
laporan yang disusun dan disampaikan oleh Bank Pelapor secara harian
kepada Bank Indonesia;
4. Pusat Informasi Pasar Uang, yang selanjutnya disebut PIPU, adalah salah
satu hasil olahan LHBU yang menyediakan informasi yang meliputi namun
tidak terbatas pada pasar uang Rupiah dan valuta asing serta informasi dari
sumber lainnya yang terkait dengan pasar keuangan;
5. Pelanggan PIPU adalah pihak, selain Bank, yang dapat memperoleh hasil
olahan LHBU sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia;
6. Perjanjian Penggunaan PIPU adalah kesepakatan tertulis antara Bank
Indonesia dengan Pelanggan PIPU mengenai penggunaan PIPU dengan
syarat dan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia;
7. Penyampaian laporan secara on-line, yang selanjutnya disebut On-Line,
adalah penyampaian laporan yang dilakukan dengan mengirim rekaman
data secara langsung melalui jaringan komunikasi data kepada Bank
Indonesia;
8. Penyampaian laporan secara off-line, yang selanjutnya disebut Off-Line,
adalah penyampaian laporan yang dilakukan dengan menyampaikan
rekaman data dalam bentuk disket atau media perekaman data elektronik
lainnya kepada Bank Indonesia;
9. Pasar Uang Antar Bank, yang selanjutnya disebut PUAB, adalah kegiatan
pinjam-meminjam dalam Rupiah dan atau valuta asing antar Bank
konvensional dengan jangka waktu sampai dengan 1 (satu) tahun;
10. Pasar …
- 4 -
10. Pasar Uang Antar Bank Berdasarkan Prinsip Syariah, yang selanjutnya
disebut PUAS, adalah kegiatan transaksi keuangan jangka pendek antarbank
berdasarkan prinsip syariah baik dalam Rupiah maupun valuta asing;
11. Hari Kerja adalah hari pada saat Kantor Pusat Bank Indonesia
menyelenggarakan kegiatan kliring dan sistem Bank Indonesia - Real Time
Gross Settlement.
BAB II
PENYUSUNAN DATA LHBU
Pasal 2
(1) Bank Pelapor wajib menyusun LHBU.
(2) LHBU sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi data transaksional
dan data non transaksional.
(3) Data transaksional sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) meliputi data:
a. PUAB yang terdiri dari PUAB pagi Rupiah, PUAB sore Rupiah, PUAB
valuta asing dan PUAB luar negeri;
b. PUAS;
c. perdagangan surat berharga pasar uang di pasar sekunder;
d. transaksi valuta asing.
(4) Data non transaksional sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) meliputi data:
a. posisi akhir hari transaksi derivatif jual valuta asing bukan investasi
dengan pihak asing;
b. posisi akhir hari transaksi derivatif beli valuta asing bukan investasi
dengan pihak asing;
c. posisi rekapitulasi transaksi derivatif;
d. posisi devisa neto;
e. pos-pos tertentu neraca;
f. proyeksi arus kas;
g. tingkat …
- 5 -
g. tingkat imbalan deposito mudharabah Bank Syariah;
h. suku bunga dasar kredit;
i. suku bunga kredit;
j. suku bunga deposito berjangka, diskonto sertifikat deposito dan suku
bunga tabungan;
k. suku bunga penawaran (quotation).
(5) Penyusunan LHBU sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus
berpedoman pada sistematika penyusunan LHBU yang diatur dalam Surat
Edaran Bank Indonesia.
Pasal 3
(1) Bank Pelapor harus menunjuk penanggung jawab untuk menyusun dan
menyampaikan LHBU kepada Bank Indonesia.
(2) Penunjukan penanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
mengurangi dan atau menghilangkan tanggung jawab dari Direksi Bank dan
atau pimpinan Kantor Cabang Bank Asing.
(3) Dalam hal terjadi perubahan atas penanggung jawab sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), Bank Pelapor harus mengkinikan perubahan dimaksud.
BAB III
PENYAMPAIAN LHBU
Pasal 4
(1) Bank Pelapor wajib menyampaikan LHBU kepada Bank Indonesia secara
lengkap, akurat, dan benar.
(2) Bank Pelapor wajib menyampaikan data transaksional LHBU sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) berikut form header setiap Hari Kerja
secara real time atau segera setelah terjadinya transaksi pada tanggal
laporan.
(3) Bank …
- 6 -
(3) Bank Pelapor wajib menyampaikan data non transaksional LHBU
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) berikut form header setiap
Hari Kerja berdasarkan :
a. posisi akhir hari;
b. proyeksi; atau
c. data riil pada tanggal laporan.
(4) Bank Pelapor wajib menyampaikan data non transaksional suku bunga
penawaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) huruf k setiap
terjadi penawaran.
(5) Bank Pelapor wajib tetap menyampaikan form header walaupun tidak
memiliki data transaksional dan/atau data non transaksional.
(6) Batas waktu penyampaian LHBU sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
ayat (3), dan ayat (4) diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
(7) Kewajiban penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat
(3), dan ayat (4) tidak berlaku bagi Bank Pelapor yang tidak beroperasi,
dengan terlebih dahulu menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada
Bank Indonesia.
Pasal 5
Dalam hal terdapat kesalahan data pada LHBU yang telah disampaikan kepada
Bank Indonesia, Bank Pelapor wajib menyampaikan koreksi LHBU dalam batas
waktu koreksi yang diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 6
(1) Bank Pelapor wajib menyampaikan LHBU dan atau koreksi LHBU kepada
Bank Indonesia secara On-Line.
(2) Bank Pelapor yang mengalami gangguan teknis sehingga tidak dapat
menyampaikan LHBU dan atau koreksi LHBU secara On-Line sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) wajib menyampaikan pemberitahuan secara
tertulis …
- 7 -
tertulis kepada Bank Indonesia segera setelah terjadinya gangguan pada
Hari Kerja yang sama sebelum batas waktu penyampaian laporan mengenai
gangguan teknis yang dialami dan ditandatangani oleh Pejabat yang
berwenang.
(3) Dalam hal Bank Pelapor tidak menyampaikan pemberitahuan secara tertulis
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Bank Pelapor dianggap tidak
menyampaikan LHBU secara On-Line.
(4) Dalam hal terjadi gangguan teknis atau gangguan lainnya pada sistem dan
atau jaringan komunikasi di Bank Indonesia maka Bank Indonesia akan
memberitahukan terjadinya gangguan tersebut secara tertulis atau melalui
sarana lainnya kepada Bank Pelapor.
(5) Bank Pelapor yang tidak dapat menyampaikan LHBU dan atau koreksi
LHBU secara On-Line yang disebabkan oleh gangguan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) atau ayat (4), wajib menyampaikan LHBU dan atau
koreksi LHBU secara Off-Line pada Hari Kerja yang sama untuk data:
a. PUAB Pagi Rupiah;
b. PUAB Sore Rupiah;
c. PUAB Valuta Asing;
d. PUAS;
e. perdagangan surat berharga pasar uang di pasar sekunder;
f. suku bunga dasar kredit;
g. suku bunga kredit;
h. suku bunga deposito berjangka, diskonto sertifikat deposito dan suku
bunga tabungan;
i. tingkat imbalan deposito mudharabah Bank syariah; dan
j. suku bunga penawaran (quotation).
(6) Bank Pelapor yang tidak dapat menyampaikan LHBU dan atau koreksi
LHBU secara On-Line yang disebabkan oleh gangguan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) atau ayat (4), wajib menyampaikan LHBU dan atau
koreksi …
- 8 -
koreksi LHBU secara Off-Line paling lambat pada pukul 10.00 WIB Hari
Kerja berikutnya untuk data:
a. PUAB luar negeri;
b. posisi devisa neto;
c. pos-pos tertentu neraca;
d. proyeksi arus kas;
e. transaksi valuta asing;
f. posisi akhir hari transaksi derivatif jual valuta asing bukan investasi
dengan pihak asing;
g. posisi akhir hari transaksi derivatif beli valuta asing bukan investasi
dengan pihak asing; dan
h. posisi rekapitulasi transaksi derivatif.
Pasal 7
(1) Bank Pelapor dianggap tidak menyampaikan LHBU atau koreksi LHBU
secara On-Line apabila LHBU dan atau koreksi LHBU tidak diterima oleh
Bank Indonesia sampai dengan batas waktu penyampaian LHBU dan/atau
koreksi LHBU sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
(2) Bank Pelapor dianggap tidak menyampaikan LHBU atau koreksi LHBU
secara Off-Line apabila LHBU dan atau koreksi LHBU tidak diterima oleh
Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (5) dan Pasal 6
ayat (6).
Pasal 8
(1) Bank Pelapor yang dianggap tidak menyampaikan LHBU dan atau koreksi
LHBU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, tetap wajib menyampaikan
LHBU dan atau koreksi LHBU untuk data:
a. transaksi valuta asing;
b. posisi devisa neto;
c. pos- …
- 9 -
c. pos-pos tertentu neraca;
d. proyeksi arus kas;
e. posisi akhir hari transaksi derivatif jual valuta asing bukan investasi
dengan pihak asing;
f. posisi akhir hari transaksi derivatif beli valuta asing bukan investasi
dengan pihak asing; dan
g. posisi rekapitulasi transaksi derivatif.
(2) Tata cara penyampaian LHBU dan atau koreksi LHBU sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 9
(1) Kewajiban untuk menyampaikan LHBU dan atau koreksi LHBU
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6 ayat (1), Pasal 6 ayat (5) dan
Pasal 6 ayat (6) dikecualikan bagi Bank Pelapor yang mengalami keadaan
memaksa (force majeure) sehingga mengakibatkan Bank Pelapor tidak
dapat menyampaikan LHBU dan atau koreksi LHBU tersebut.
(2) Bank Pelapor yang tidak dapat menyampaikan LHBU atau koreksi LHBU
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus segera memberitahukan secara
tertulis kepada Bank Indonesia disertai penjelasan mengenai penyebab
terjadinya keadaan memaksa (force majeure) beserta upaya-upaya yang
dilakukan, yang ditandatangani oleh Pejabat yang berwenang.
(3) Pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya diberikan sampai
dengan keadaan memaksa (force majeure) sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dapat teratasi.
BAB IV …
- 10 -
BAB IV
HASIL OLAHAN DAN PENGGUNA LHBU
Pasal 10
(1) Bank Indonesia menyediakan hasil olahan LHBU kepada Bank Pelapor dan
atau Pelanggan PIPU.
(2) Hasil olahan LHBU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a.
informasi yang disediakan oleh PIPU dalam bentuk agregat; dan
b. data individual Bank Pelapor yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Pasal 11
(1) Bank Pelapor dapat memperoleh hasil olahan berupa informasi yang
disediakan oleh PIPU dalam bentuk agregat dan data individual Bank
Pelapor yang bersangkutan.
(2) Pelanggan PIPU hanya dapat memperoleh hasil olahan LHBU berupa
informasi yang disediakan oleh PIPU dalam bentuk agregat.
(3) Bank Indonesia dapat mengenakan biaya kepada Bank Pelapor atas
penyediaan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 12
(1) Untuk menjadi Pelanggan PIPU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat
(2) calon Pelanggan PIPU harus mengajukan permohonan secara tertulis
kepada Bank Indonesia.
(2) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetujui oleh
Bank Indonesia, calon Pelanggan PIPU harus menandatangani Perjanjian
Penggunaan PIPU dengan Bank Indonesia.
(3) Pengaturan pelaksanaan mengenai Pelanggan PIPU diatur lebih lanjut
dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 13 …
- 11 -
Pasal 13
(1) Bank Indonesia menyediakan hak akses terhadap sistem LHBU di Bank
Indonesia dalam jumlah tertentu kepada setiap Bank Pelapor tanpa
dikenakan biaya.
(2) Bank Indonesia mengenakan biaya kepada Bank Pelapor atas setiap
tambahan hak akses terhadap sistem LHBU sebagaimana dimaksud pada
ayat (1).
(3) Bank Indonesia menyediakan hak akses dan informasi kepada Pelanggan
PIPU dengan dikenakan biaya.
(4) Bank Pelapor dan Pelanggan PIPU bertanggung jawab atas hak akses
terhadap sistem LHBU yang diberikan oleh Bank Indonesia.
(5) Pengaturan pelaksanaan mengenai hak akses dan biaya diatur lebih lanjut
dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
BAB V
S A N K S I
Pasal 14
(1) Bank Pelapor yang tidak menyampaikan secara On-Line data transaksional
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a, huruf b, dan huruf c
dalam batas waktu penyampaian LHBU sebagaimana dimaksud dalam Pasal
4 ayat (6) atau secara Off-Line sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat
(5) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e, serta Pasal 6 ayat (6)
huruf a, dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp250.000,00 (dua
ratus lima puluh ribu Rupiah) untuk setiap data transaksional yang tidak
disampaikan dengan sanksi kewajiban membayar paling banyak sebesar
Rp5.000.000,00 (lima juta Rupiah) per hari untuk keseluruhan data
transaksional.
(2) Bank …
- 12 -
(2) Bank Pelapor yang tidak menyampaikan secara On-Line data transaksional
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf d dalam batas waktu
penyampaian LHBU yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (6) atau secara Off-Line sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (6)
huruf e, dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp250.000,00 (dua
ratus lima puluh ribu Rupiah) untuk setiap data transaksional yang tidak
disampaikan dengan sanksi kewajiban membayar paling banyak sebesar
Rp5.000.000,00 (lima juta Rupiah) per hari untuk keseluruhan data
transaksional.
(3) Bank pelapor yang tidak menyampaikan secara On-Line data non
transaksional LHBU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) huruf a
sampai dengan huruf j dalam batas waktu penyampaian LHBU yang
ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (6) atau secara Off-
Line sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (5) huruf f sampai dengan
huruf i dan Pasal 6 ayat (6) huruf b, huruf c, huruf d, huruf f, huruf g, dan
huruf h, dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp250.000,00
duaratus lima puluh ribu Rupiah) untuk setiap data non transaksional yang
tidak disampaikan.
(4) Bank Pelapor yang melakukan penawaran suku bunga namun tidak
menyampaikan secara On-Line data non transaksional suku bunga
penawaran (quotation) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) huruf
k setiap terjadi penawaran sampai dengan batas waktu penyampaian LHBU
yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (6) atau secara
Off-Line data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (5) huruf j,
dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp250.000,00 (dua ratus
lima puluh ribu Rupiah) untuk setiap data penawaran (quotation) yang tidak
disampaikan.
(5) Bank Pelapor yang tidak mengirimkan secara On-Line form header LHBU
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), Pasal 4 ayat (3), dan Pasal 4
ayat …
- 13 -
ayat (5) dalam batas waktu yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (6) atau secara Off-Line sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
ayat (5), Pasal 6 ayat (6) dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar
Rp1.000.000,00 (satu juta Rupiah) untuk setiap form header.
(6) Bank Pelapor yang menyampaikan data transaksional dan non transaksional
LHBU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a, huruf b dan
huruf c dan Pasal 2 ayat (4) huruf d sampai dengan huruf k, Pasal 6 ayat (5)
dan Pasal 6 ayat (6) huruf a sampai dengan huruf d, dalam batas waktu yang
ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 secara tidak benar
dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp50.000,00 (lima puluh
ribu Rupiah) untuk setiap butir (item) kesalahan dengan sanksi kewajiban
membayar paling banyak sebesar Rp2.000.000,00 (dua juta Rupiah) per
hari.
(7) Bank Pelapor yang menyampaikan data transaksional dan non transaksional
LHBU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf d dan Pasal 2
ayat (4) huruf a sampai dengan huruf c, Pasal 6 ayat (6) huruf e sampai
dengan huruf h, dalam batas waktu yang ditetapkan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 secara tidak benar, dikenakan sanksi kewajiban membayar
sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu Rupiah) untuk setiap butir (item)
kesalahan dengan sanksi kewajiban membayar paling banyak sebesar
Rp2.000.000,00 (dua juta Rupiah) per hari.
(8) Dalam hal Bank Pelapor tidak menyampaikan form header dan terdapat
transaksi yang wajib disampaikan Bank Pelapor sesuai dengan peraturan ini
maka Bank Pelapor dikenakan sanksi tidak menyampaikan form header
sebagaimana dimaksud pada ayat (5), sanksi tidak menyampaikan data
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan atau ayat (4),
dan sanksi menyampaikan data secara tidak benar sebagaimana dimaksud
pada ayat (6) dan atau ayat (7).
Pasal 15 …
- 14 -
Pasal 15
Pengenaan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14
dilakukan oleh Bank Indonesia dengan mendebet rekening giro Rupiah Bank
Pelapor pada Bank Indonesia.
Pasal 16
(1) Bank Pelapor yang melakukan pelanggaran terhadap Pasal 8 ayat (1) huruf
a, huruf e, huruf f, dan huruf g, dikenakan sanksi administratif dalam rangka
pembinaan dan pengawasan Bank berupa teguran tertulis.
(2) Pengaturan pelaksanaan mengenai sanksi terhadap Bank Pelapor
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 ayat (1)
diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 17
Bank Indonesia mengenakan sanksi terhadap Pelanggan PIPU yang tidak
melakukan pembayaran biaya penggunaan PIPU sebagaimana diatur dalam
Perjanjian Penggunaan PIPU berupa :
a. teguran tertulis;
b. kewajiban membayar; dan atau
c. penghentian sebagai Pelanggan PIPU.
BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 18
Dengan ditetapkannya Peraturan Bank Indonesia ini maka :
a. Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/10/PBI/2005 tentang Laporan Harian
Bank Umum, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia
Nomor 7/12/PBI/2005, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku; dan
b. Pasal …
- 15 -
b. Pasal 10 Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/31/PBI/2005 tentang Transaksi
Derivatif dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 19
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 5 Maret 2007
GUBERNUR BANK INDONESIA,
BURHANUDDIN ABDULLAH
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2007 NOMOR 40
DPM/UKMI/DPD/DPNP
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 9/2/PBI/2007
TENTANG
LAPORAN HARIAN BANK UMUM
UMUM
Di dalam Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 tahun 1999 tentang
Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2004, ditegaskan bahwa bank wajib menyampaikan laporan, keterangan,
dan penjelasan sesuai dengan tata cara yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Data dan atau informasi dalam laporan, keterangan, dan penjelasan dimaksud
lebih lanjut digunakan antara lain dalam menyusun statistik untuk analisis
kebijakan moneter, pengawasan dan pembinaan bank berbasis risiko serta
pengelolaan moneter berdasarkan kondisi pasar uang yang terkini. Berkaitan
dengan hal tersebut maka bank diwajibkan menyusun laporan harian secara
akurat, benar dan lengkap serta menyampaikan laporan kepada Bank Indonesia
secara real time dan tepat waktu.
Sistem devisa bebas di Indonesia telah mempercepat perkembangan dan
integrasi pasar keuangan Indonesia dengan pasar keuangan global termasuk
kegiatan transaksi derivatif.
Konsekuensi lanjutan dari perkembangan dan integrasi pasar keuangan
tersebut yaitu peningkatan transaksi rupiah antara bank dengan warga negara
asing dan badan asing yang diikuti dengan kegiatan spekulasi. Disisi lain
kegiatan transaksi derivatif valuta asing margin trading yang mengandung unsur
spekulatif menjadi salah satu faktor yang berpengaruh terhadap pergerakan nilai
tukar …
-2-
tukar rupiah, sehingga secara tidak langsung juga dapat mengganggu stabilitas
sistem keuangan dan moneter Indonesia.
Sehubungan dengan hal tersebut, Bank Indonesia telah mengatur kembali
pembatasan-pembatasan yang diperlukan sebagaimana tertuang dalam Peraturan
Bank Indonesia tentang Pembatasan Transaksi Rupiah dan Pemberian Kredit
Valuta Asing oleh Bank. Dilanjutkan dengan pengaturan kembali transaksi
derivatif sebagaimana tertuang dalam Peraturan Bank Indonesia tentang
Transaksi Derivatif.
Berkaitan dengan pengaturan kembali kebijakan-kebijakan tersebut diatas
maka penyampaian data kepada Bank Indonesia melalui sistem LHBU telah
mengalami penyempurnaan. Sistem LHBU hasil penyempurnaan tersebut tetap
memiliki keluaran (output) berupa informasi PIPU dan data individual Bank
Pelapor.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan data transaksional adalah data yang
dihasilkan dari transaksi Bank Pelapor dengan pihak lain sebagai
counterpart.
Yang dimaksud dengan data non transaksional adalah data yang
bukan dihasilkan dari transaksi Bank Pelapor dengan pihak lain,
dan atau merupakan data posisi atas transaksi Bank Pelapor.
Ayat (3) …
-3-
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan data perdagangan surat berharga pasar
uang di pasar sekunder adalah data transaksi dari surat-surat
berharga yang pada saat ini hanya berupa Sertifikat Bank
Indonesia, sertifikat deposito, dan commercial paper.
Huruf d
Yang dimaksud dengan transaksi valuta asing (foreign
exchange) adalah transaksi jual beli antara satu mata uang
dengan mata uang lainnya pada harga yang disepakati yang
terdiri dari antara lain tod/tom/spot, transaksi derivatif berupa
forward, swap, option, dan transaksi derivatif lainnya, namun
tidak termasuk transaksi jual beli Uang Kertas Asing (UKA).
Ayat (4)
Huruf a
Yang dimaksud dengan pihak asing adalah pihak-pihak
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang
berlaku tentang Pembatasan Transaksi Rupiah dan Pemberian
Kredit Valuta Asing oleh Bank.
Yang dimaksud data posisi akhir hari transaksi derivatif jual
valuta asing bukan investasi dengan pihak asing adalah data
sebagaimana …
-4-
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang
berlaku tentang Pembatasan Transaksi Rupiah dan Pemberian
Kredit Valuta asing oleh Bank.
Huruf b
Yang dimaksud data posisi akhir hari transaksi derivatif beli
valuta asing bukan investasi dengan pihak asing adalah data
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang
berlaku tentang Pembatasan Transaksi Rupiah dan Pemberian
Kredit Valas oleh Bank.
Huruf c
Yang dimaksud data rekapitulasi transaksi derivatif adalah data
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang
berlaku tentang Transaksi Derivatif.
Huruf d
Yang dimaksud dengan posisi devisa neto adalah posisi devisa
neto sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang berlaku
tentang posisi devisa neto.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k …
-5-
Huruf k
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan penanggung jawab adalah petugas Bank
Pelapor yang diberi otorisasi untuk menyusun dan menyampaikan
LHBU.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan Kantor Cabang Bank Asing adalah kantor
cabang dari Bank yang berkedudukan di luar negeri berdasarkan
hukum asing atau berkantor pusat di luar negeri, yang secara
langsung atau tidak langsung bertanggung jawab kepada kantor
pusat Bank yang bersangkutan dan mempunyai alamat serta tempat
kedudukan di Indonesia.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan form header adalah formulir LHBU yang
memuat paling sedikit informasi tentang sandi bank, tanggal
laporan, nomor form, dan jumlah record isi.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4) …
-6-
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan gangguan teknis adalah gangguan yang
menyebabkan Bank Pelapor tidak dapat menyampaikan LHBU
secara On-Line kepada Bank Indonesia antara lain karena gangguan
pada jaringan telekomunikasi dan atau penyebab lainnya.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan gangguan teknis atau gangguan lainnya
adalah gangguan yang menyebabkan Bank Indonesia tidak dapat
menerima penyampaian LHBU secara On-Line antara lain karena
gangguan pada jaringan telekomunikasi dan atau penyebab lainnya.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6) …
-7-
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan keadaan memaksa (force majeure) adalah
keadaan yang secara nyata menyebabkan Bank Pelapor tidak dapat
menyampaikan LHBU dan atau koreksi LHBU, antara lain
kebakaran, kerusuhan massa, perang, sabotase, serta bencana alam
seperti gempa bumi dan banjir, yang dibenarkan oleh penguasa atau
pejabat dari instansi terkait di daerah setempat.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan keadaan memaksa (force majeure) dapat
teratasi adalah keadaan Bank Pelapor yang secara normal telah
dapat melaksanakan kegiatan operasional sehingga dapat
menyampaikan …
-8-
menyampaikan LHBU dan atau koreksi LHBU kepada Bank
Indonesia sesuai dengan ketentuan ini.
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan data individual Bank Pelapor adalah data
atau informasi yang merupakan hasil olahan mengenai Bank
Pelapor yang bersangkutan.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Ayat (1)
Yang dimaksud hak akses adalah hak yang diberikan oleh Bank
Indonesia kepada Bank Pelapor dan atau Pelanggan PIPU untuk
dapat melakukan log-in ke dalam sistem LHBU di Bank
Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5) …
-9-
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Untuk transaksi valuta asing yang dimaksud dengan data non
transaksional meliputi keseluruhan data masing-masing data non
transaksional huruf a sampai dengan huruf c pada Pasal 2 ayat (4).
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Yang dimaksud dengan butir (item) dalam ayat ini adalah field-
field pada setiap record dalam setiap form.
Yang dimaksud dengan penyampaian data tidak benar adalah
termasuk penyampaian data yang tidak akurat dan tidak lengkap.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17 …
-10-
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4706
"," PBI
9/2/PBI/2007
LAPORAN HARIAN BANK UMUM
5 Maret 2007
5 Maret 2007
'7/10/PBI/2005', '7/12/PBI/2005', '7/31/PBI/2005'
'7/UU/1992', '10/UU/1998', '23/UU/1999', '3/UU/2004'
'BAB V'
"
" PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 7/46/PBI/2005
TENTANG
AKAD PENGHIMPUNAN DAN PENYALURAN DANA BAGI BANK
YANG MELAKSANAKAN KEGIATAN USAHA BERDASARKAN
PRINSIP SYARIAH
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa perbankan syariah harus senantiasa menjaga
kepercayaan masyarakat baik dari aspek finansial maupun
kesesuaian
terhadap
operasinya;
b. bahwa setiap pelaku dalam industri perbankan syariah,
termasuk pengelola bank/pemilik dana/pengguna dana, serta
otoritas pengawas harus memiliki kesamaan cara pandang
terhadap Akad-Akad produk penghimpunan dan penyaluran
dana bank syariah;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan b dipandang perlu untuk menetapkan
ketentuan tentang Akad penghimpunan dan penyaluran dana
bagi bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan
prinsip syariah dalam Peraturan Bank Indonesia;
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31,
Tambahan …
prinsip syariah yang menjadi
dasar
- 2 -
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10
Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 3
Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran
Indonesia Nomor 4357);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG AKAD
PENGHIMPUNAN DAN PENYALURAN DANA BAGI
BANK YANG MELAKSANAKAN KEGIATAN USAHA
BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH
Negara Republik
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Yang dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia ini dengan:
1. Bank …
- 3 -
1. Bank adalah Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana
dimaksud dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998,
yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip Syariah.
2. Prinsip Syariah adalah prinsip syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
angka 13 Undang-undang No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana
telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998;
3. Akad adalah perjanjian tertulis yang memuat ijab (penawaran) dan qabul
(penerimaan) antara Bank dengan pihak lain yang berisi hak dan kewajiban
masing-masing pihak sesuai dengan prinsip Syariah;
4. Wadi’ah adalah penitipan dana atau barang dari pemilik dana atau barang
pada penyimpan dana atau barang dengan kewajiban pihak yang menerima
titipan untuk mengembalikan dana atau barang titipan sewaktu-waktu.
5. Mudharabah adalah penanaman dana dari pemilik dana (shahibul maal)
kepada pengelola dana (mudharib) untuk melakukan kegiatan usaha tertentu,
dengan pembagian menggunakan metode bagi untung dan rugi (profit and
loss sharing) atau metode bagi pendapatan (revenue sharing) antara kedua
belah pihak berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya.
6. Musyarakah adalah penanaman dana dari pemilik dana/modal
untuk
mencampurkan dana/modal mereka pada suatu usaha tertentu, dengan
pembagian keuntungan berdasarkan nisbah yang telah disepakati
sebelumnya, sedangkan kerugian ditanggung semua pemilik dana/ modal
berdasarkan bagian dana/ modal masing-masing.
7. Murabahah …
- 4 -
7. Murabahah adalah jual beli barang sebesar harga pokok barang ditambah
dengan margin keuntungan yang disepakati.
8. Salam adalah jual beli barang dengan cara pemesanan dengan syarat-syarat
tertentu dan pembayaran tunai terlebih dahulu secara penuh.
9.
Istishna' adalah jual beli barang dalam bentuk pemesanan pembuatan barang
dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati dengan pembayaran
sesuai dengan kesepakatan.
10. Ijarah adalah transaksi sewa menyewa atas suatu barang dan atau upah
mengupah atas suatu jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa
atau imbalan jasa;
11. Qardh adalah pinjam meminjam dana tanpa imbalan dengan kewajiban pihak
peminjam mengembalikan pokok pinjaman secara sekaligus atau cicilan
dalam jangka waktu tertentu.
Pasal 2
(1) Dalam melaksanakan kegiatan penghimpunan dan penyaluran dana Bank
wajib membuat Akad sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Bank
Indonesia ini.
(2) Dalam Akad sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib ditegaskan jenis
transaksi syariah yang digunakan.
(3) Transaksi syariah sebagaimana dimaksud pada ayat
mengandung unsur gharar, maysir, riba, zalim, risywah,
dan maksiat.
(2) tidak
barang
boleh
haram
BAB II …
- 5 -
BAB II
PERSYARATAN AKAD PENGHIMPUNAN
DAN PENYALURAN DANA
Bagian Pertama
Penghimpunan Dana
Pasal 3
Dalam kegiatan penghimpunan dana dalam bentuk giro atau tabungan berdasarkan
Wadi'ah berlaku persyaratan paling kurang sebagai berikut:
a. Bank bertindak sebagai penerima dana titipan dan nasabah bertindak sebagai
pemilik dana titipan;
b. dana titipan disetor penuh kepada Bank dan dinyatakan dalam jumlah
nominal;
c.
dana titipan dapat diambil setiap saat;
d. tidak diperbolehkan menjanjikan pemberian imbalan atau bonus kepada
nasabah;
e. Bank menjamin pengembalian dana titipan nasabah.
Pasal 4
Dalam
kegiatan
penghimpunan
dana dalam
bentuk
giro berdasarkan
Mudharabah berlaku persyaratan paling kurang sebagai berikut:
a.
nasabah bertindak sebagai pemilik dana (shahibul maal) dan Bank bertindak
sebagai pengelola dana (mudharib);
b. Bank dapat melakukan berbagai macam usaha yang tidak bertentangan
dengan Prinsip Syariah dan mengembangkannya, termasuk di dalamnya
melakukan Akad Mudharabah dengan pihak lain;
c. modal …
- 6 -
c. modal harus dalam bentuk tunai dan bukan piutang, serta dinyatakan jumlah
nominalnya;
d. nasabah wajib memelihara saldo giro minimum yang ditetapkan oleh Bank
dan tidak dapat ditarik oleh nasabah kecuali dalam rangka penutupan
rekening;
e.
f.
pembagian keuntungan harus dinyatakan dalam bentuk nisbah dan
dituangkan dalam Akad pembukaan rekening.
pemberian keuntungan untuk nasabah didasarkan pada saldo terendah setiap
akhir bulan laporan.
g. Bank menutup
biaya
operasional giro dengan menggunakan
keuntungan yang menjadi haknya; dan
h. Bank tidak diperkenankan mengurangi nisbah keuntungan nasabah tanpa
persetujuan yang bersangkutan.
Pasal 5
Dalam kegiatan penghimpunan dana dalam bentuk tabungan atau deposito
berdasarkan Mudharabah berlaku persyaratan paling kurang sebagai berikut :
a. Bank bertindak sebagai pengelola dana dan nasabah bertindak sebagai
pemilik dana;
b.
c.
dana disetor penuh kepada Bank dan dinyatakan dalam jumlah nominal;
pembagian keuntungan dari pengelolaaan dana investasi dinyatakan dalam
bentuk nisbah;
d. pada Akad tabungan berdasarkan Mudharabah, nasabah wajib meng-
investasikan minimum dana tertentu yang jumlahnya ditetapkan oleh Bank
dan tidak dapat ditarik oleh nasabah kecuali dalam rangka penutupan
rekening;
e. nasabah …
nisbah
- 7 -
e.
nasabah tidak diperbolehkan menarik dana di luar kesepakatan;
f. Bank sebagai mudharib menutup biaya operasional tabungan atau deposito
dengan menggunakan nisbah keuntungan yang menjadi haknya;
g. Bank tidak diperbolehkan mengurangi bagian keuntungan nasabah tanpa
persetujuan nasabah yang bersangkutan; dan
h. Bank tidak menjamin dana nasabah, kecuali diatur berbeda dalam
perundang-undangan yang berlaku.
Bagian Kedua
Penyaluran Dana
Paragraf 1
Penyaluran Dana Berdasarkan Mudharabah dan Musyarakah
Pasal 6
Dalam kegiatan
penyaluran dana dalam bentuk pembiayaan
berdasarkan
Mudharabah berlaku persyaratan paling kurang sebagai berikut:
a. Bank bertindak sebagai shahibul maal yang menyediakan dana secara penuh,
dan nasabah bertindak sebagai mudharib yang mengelola dana dalam
kegiatan usaha;
b. jangka waktu pembiayaan, pengembalian dana, dan pembagian keuntungan
ditentukan berdasarkan kesepakatan Bank dan nasabah;
c. Bank tidak ikut serta dalam pengelolaan usaha nasabah tetapi memiliki hak
dalam pengawasan dan pembinaan usaha nasabah;
d. pembiayaan diberikan dalam bentuk tunai dan/atau barang;
e.
f.
dalam hal pembiayaan diberikan dalam bentuk tunai harus dinyatakan
jumlahnya;
dalam hal pembiayaan diberikan dalam bentuk barang, maka barang yang
diserahkan …
- 8 -
diserahkan harus dinilai berdasarkan harga perolehan atau harga pasar wajar;
g. pembagian keuntungan dari pengelolaaan dana dinyatakan dalam bentuk
nisbah yang disepakati;
h. Bank menanggung seluruh risiko kerugian usaha yang dibiayai kecuali jika
nasabah melakukan kecurangan, lalai, atau menyalahi perjanjian yang
mengakibatkan kerugian usaha;
i.
j.
nisbah bagi hasil yang disepakati tidak dapat diubah sepanjang jangka waktu
investasi, kecuali atas dasar kesepakatan para pihak dan tidak berlaku surut;
nisbah bagi hasil dapat ditetapkan secara berjenjang (tiering) yang besarnya
berbeda-beda berdasarkan kesepakatan pada awal Akad;
k. pembagian keuntungan dilakukan dengan menggunakan metode bagi untung
dan rugi (profit and loss sharing) atau metode bagi pendapatan (revenue
sharing);
l.
pembagian keuntungan berdasarkan hasil usaha dari mudharib sesuai dengan
laporan hasil usaha dari usaha mudharib;
m. dalam hal nasabah ikut menyertakan modal dalam kegiatan usaha yang
dibiayai Bank, maka berlaku ketentuan;
(i) nasabah bertindak sebagai mitra usaha dan mudharib;
(ii) atas keuntungan yang dihasilkan dari kegiatan usaha yang dibiayai
tersebut, maka nasabah mengambil bagian keuntungan dari porsi
modalnya, sisa keuntungan dibagi sesuai kesepakatan antara Bank dan
nasabah;
n. pengembalian pembiayaan
dilakukan pada akhir periode Akad
untuk
pembiayaan dengan jangka waktu sampai dengan satu tahun atau dilakukan
secara angsuran berdasarkan aliran kas masuk (cash in flow) usaha nasabah;
dan …
- 9 -
dan
o. Bank dapat meminta jaminan atau agunan untuk mengantisipasi risiko
apabila nasabah tidak dapat memenuhi kewajiban sebagaimana dimuat dalam
Akad karena kelalaian dan/atau kecurangan.
Pasal 7
Dalam kegiatan penyaluran dana dalam bentuk pembiayaan berdasarkan
Mudharabah muqayyadah (restricted investment) berlaku persyaratan paling
kurang sebagai berikut:
a. Bank bertindak sebagai agen penyalur dana investor (channelling agent)
kepada nasabah yang bertindak sebagai pengelola dana untuk kegiatan usaha
dengan persyaratan dan jenis kegiatan usaha yang ditentukan oleh investor;
b. jangka waktu pembiayaan, pengembalian dana, dan pembagian keuntungan
ditentukan berdasarkan kesepakatan antara investor, nasabah dan Bank;
c. Bank tidak ikut serta dalam pengelolaan usaha nasabah tetapi memiliki hak
dalam pengawasan dan pembinaan usaha nasabah;
d. pembiayaan diberikan dalam bentuk tunai dan/atau barang;
e.
dalam hal pembiayaan diberikan dalam bentuk barang, maka barang yang
diserahkan harus dinilai dengan harga perolehan atau harga pasar;
f. Bank sebagai agen penyaluran dana dapat menerima fee (imbalan) yang
perhitungannya diserahkan kepada kesepakatan para pihak;
g. pembagian keuntungan dari pengelolaaan dana investasi dinyatakan dalam
bentuk nisbah yang disepakati antara investor dan nasabah;
h. Bank sebagai agen penyaluran dana milik investor tidak menanggung risiko
kerugian usaha yang dibiayai; dan
i. investor …
- 10 -
i.
investor sebagai pemilik dana Mudharabah muqayyadah menanggung
seluruh risiko kerugian kegiatan usaha kecuali jika nasabah melakukan
kecurangan, lalai, atau menyalahi perjanjian yang mengakibatkan kerugian
usaha.
Pasal 8
Dalam kegiatan penyaluran dana dalam bentuk pembiayaan berdasarkan
Musyarakah berlaku persyaratan paling kurang sebagai berikut :
a. Bank dan nasabah masing-masing bertindak sebagai mitra usaha dengan
bersama-sama menyediakan dana dan/atau barang untuk membiayai suatu
kegiatan usaha tertentu;
b. nasabah bertindak sebagai pengelola usaha dan Bank sebagai mitra usaha
dapat ikut serta dalam pengelolaan usaha sesuai dengan tugas dan wewenang
yang disepakati;
c. Bank berdasarkan kesepakatan dengan nasabah dapat menunjuk nasabah
untuk mengelola usaha;
d. pembiayaan diberikan dalam bentuk tunai dan/atau barang;
e.
dalam hal pembiayaan diberikan dalam bentuk barang, maka barang yang
diserahkan harus dinilai secara tunai berdasarkan kesepakatan;
f. jangka waktu pembiayaan, pengembalian dana, dan pembagian keuntungan
ditentukan berdasarkan kesepakatan antara Bank dan nasabah;
biaya operasional dibebankan pada modal bersama sesuai kesepakatan;
g.
h. pembagian keuntungan dari pengelolaan dana dinyatakan dalam bentuk
nisbah yang disepakati;
i. Bank dan nasabah menanggung kerugian secara proporsional menurut porsi
modal …
- 11 -
modal masing-masing, kecuali jika terjadi kecurangan, lalai, atau menyalahi
perjanjian dari salah satu pihak;
j.
nisbah bagi hasil yang disepakati tidak dapat diubah sepanjang jangka waktu
investasi, kecuali atas dasar kesepakatan para pihak dan tidak berlaku surut;
k. nisbah bagi hasil dapat ditetapkan secara berjenjang (tiering) yang besarnya
berbeda-beda berdasarkan kesepakatan pada awal Akad;
l.
pembagian keuntungan dapat dilakukan dengan metode bagi untung atau rugi
(profit and loss sharing) atau metode bagi pendapatan (revenue sharing);
m. pembagian keuntungan berdasarkan hasil usaha sesuai dengan laporan
keuangan nasabah;
n. pengembalian pokok pembiayaan dilakukan pada akhir periode Akad atau
dilakukan secara angsuran berdasarkan aliran kas masuk (cash in flow) usaha;
dan
o. Bank dapat meminta jaminan atau agunan untuk mengantisipasi risiko
apabila nasabah tidak dapat memenuhi kewajiban sebagaimana dimuat dalam
Akad karena kelalaian dan atau kecurangan.
Paragraf 2
Penyaluran Dana Berdasarkan Murabahah, Salam dan Istishna’
Pasal 9
(1)
Kegiatan penyaluran dana dalam bentuk pembiayaan
berdasarkan
Murabahah berlaku persyaratan paling kurang sebagai berikut :
a. Bank menyediakan dana pembiayaan berdasarkan perjanjian jual beli
barang.
b. jangka waktu pembayaran harga barang oleh nasabah kepada Bank
ditentukan …
- 12 -
ditentukan berdasarkan kesepakatan Bank dan nasabah;
c. Bank dapat membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang
yang telah disepakati kualifikasinya;
d.
dalam hal Bank mewakilkan kepada nasabah (wakalah) untuk membeli
barang, maka Akad Murabahah harus dilakukan setelah barang secara
prinsip menjadi milik Bank;
e. Bank dapat meminta nasabah untuk membayar uang muka atau urbun
saat menandatangani kesepakatan awal pemesanan barang oleh nasabah;
f. Bank dapat meminta nasabah untuk menyediakan agunan tambahan
selain barang yang dibiayai Bank;
g.
kesepakatan marjin harus ditentukan satu kali pada awal Akad dan tidak
berubah selama periode Akad;
h. Angsuran pembiayaan selama periode Akad harus dilakukan secara
proporsional.
(2) Dalam hal Bank meminta nasabah untuk membayar uang muka atau urbun
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e maka berlaku ketentuan sebagai
berikut :
a.
dalam hal uang muka, jika nasabah menolak untuk membeli barang
setelah membayar uang muka, maka biaya riil Bank harus dibayar dari
uang muka tersebut dan bank harus mengembalikan kelebihan uang
muka kepada nasabah. Namun jika nilai uang muka kurang dari nilai
kerugian yang harus ditanggung oleh Bank, maka Bank dapat meminta
lagi pembayaran sisa kerugiannya kepada nasabah;
b.
dalam hal urbun, jika nasabah batal membeli barang, maka urbun yang
telah dibayarkan nasabah menjadi milik Bank maksimal sebesar
kerugian …
- 13 -
kerugian yang ditanggung oleh Bank akibat pembatalan tersebut, dan
jika urbun tidak mencukupi, nasabah wajib melunasi kekurangannya.
Pasal 10
(1) Dalam pembiayaan Murabahah Bank dapat memberikan potongan dari total
kewajiban pembayaran
hanya kepada nasabah yang telah melakukan
kewajiban pembayaran cicilannya dengan tepat waktu dan/atau nasabah yang
mengalami penurunan kemampuan pembayaran.
(2) Besar potongan Murabahah kepada nasabah tidak boleh diperjanjikan dalam
Akad dan diserahkan kepada kebijakan Bank.
Pasal 11
(1) Kegiatan penyaluran dana dalam bentuk pembiayaan berdasarkan Salam
berlaku persyaratan paling kurang sebagai berikut:
a. Bank membeli barang dari nasabah dengan spesifikasi, kualitas, jumlah,
jangka waktu, tempat, dan harga yang disepakati;
b. pembayaran harga oleh Bank kepada nasabah harus dilakukan secara
penuh pada saat Akad disepakati;
c. pembayaran oleh Bank kepada nasabah tidak boleh dalam bentuk
pembebasan kewajiban nasabah kepada Bank ;
d. alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya sesuai dengan
kesepakatan;
e. Bank sebagai pembeli tidak boleh menjual barang yang belum diterima;
f.
dalam rangka meyakinkan bahwa penjual dapat menyerahkan barang
sesuai kesepakatan maka Bank dapat meminta jaminan pihak ketiga
sesuai …
- 14 -
sesuai ketentuan yang berlaku; dan
g. Bank hanya dapat memperoleh keuntungan atau kerugian pada saat
barang yang dibeli Bank telah dijual kepada pihak lain, kecuali terdapat
perubahan harga pasar terhadap harga perolehan, sebelum barang dijual
kepada pihak lain.
(2) Dalam hal seluruh atau sebagian barang tidak tersedia sesuai dengan waktu
penyerahan, kualitas atau jumlahnya sebagaimana kesepakatan maka Bank
memiliki pilihan untuk :
a. membatalkan (mem-fasakh-kan) Akad dan meminta pengembalian dana
hak Bank;
b. menunggu penyerahan barang tersedia; atau
c. meminta kepada nasabah untuk mengganti dengan barang lainnya yang
sejenis atau tidak sejenis sepanjang nilai pasarnya sama dengan barang
pesanan semula;
(3) dalam hal nasabah menyerahkan barang kepada Bank dengan kualitas yang
lebih tinggi maka nasabah tidak boleh meminta tambahan harga, kecuali
terdapat kesepakatan antara Bank dengan nasabah;
(4) dalam hal nasabah menyerahkan barang kepada Bank dengan kualitas yang
lebih rendah dan Bank dengan sukarela menerimanya, maka tidak boleh
menuntut pengurangan harga (discount).
Pasal 12
(1) Kegiatan penyaluran dana dalam bentuk pembiayaan berdasarkan Salam
paralel berlaku persyaratan paling kurang sebagai berikut :
a. Bank sebagai pembeli dalam Akad Salam dapat membuat Akad Salam
paralel …
- 15 -
paralel dengan pihak lainnya dimana Bank bertindak sebagai penjual;
b. kewajiban dan hak dalam kedua Akad Salam tersebut harus terpisah;
c. Pelaksanaan kewajiban salah satu Akad Salam tidak boleh tergantung
pada Akad Salam lainnya;
d. Bank yang bertindak sebagai penjual dalam Akad Salam paralel harus
memenuhi kewajibannya kepada pihak lainnya apabila nasabah dalam
Akad Salam tidak memenuhi Akad Salam;
e. Bank menjual barang kepada nasabah pemesan dengan spesifikasi,
kualitas, jumlah, jangka waktu, tempat, dan harga yang disepakati;
f.
g.
pembayaran harga oleh nasabah kepada Bank dilakukan secara penuh
pada saat Akad disepakati;
dalam hal pembayaran harga oleh nasabah kepada Bank dilakukan
secara angsuran maka wajib dilakukan dengan Akad Murabahah;
h. pembayaran oleh nasabah kepada Bank tidak boleh dalam bentuk
pembebasan kewajiban Bank kepada nasabah;
i. alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya sesuai dengan
kesepakatan;
j.
k.
nasabah sebagai pembeli tidak boleh menjual barang yang belum
diterima;
dalam rangka meyakinkan Bank dapat menyerahkan barang sesuai
kesepakatan, maka nasabah dapat meminta jaminan pihak ketiga sesuai
ketentuan yang berlaku.
(2) Dalam hal seluruh atau sebagian barang tidak tersedia sesuai dengan waktu
penyerahan, kualitas atau jumlahnya sebagaimana kesepakatan maka nasabah
memiliki pilihan untuk:
a. membatalkan …
- 16 -
a. membatalkan (mem-fasakh-kan) Akad dan meminta pengembalian dana
hak nasabah;
b. menunggu penyerahan barang tersedia; atau
c. meminta kepada Bank untuk mengganti dengan barang lainnya yang
sejenis atau tidak sejenis sepanjang nilai pasarnya sama dengan barang
pesanan semula;
(3) Dalam hal Bank menyerahkan barang kepada nasabah dengan kualitas yang
lebih tinggi maka Bank tidak boleh meminta tambahan harga, kecuali
terdapat kesepakatan antara Bank dengan nasabah;
(4) Dalam hal Bank menyerahkan barang kepada nasabah dengan kualitas yang
lebih rendah dan nasabah dengan sukarela menerimanya, maka tidak boleh
menuntut pengurangan harga (discount).
Pasal 13
(1) Kegiatan penyaluran dana dalam bentuk pembiayaan berdasarkan Istishna'
berlaku persyaratan paling kurang sebagai berikut :
a. Bank menjual barang kepada nasabah dengan spesifikasi, kualitas,
jumlah, jangka waktu, tempat, dan harga yang disepakati;
b. pembayaran oleh nasabah kepada Bank tidak boleh dalam bentuk
pembebasan hutang nasabah kepada Bank;
c. alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya sesuai dengan
kesepakatan;
d. pembayaran oleh nasabah selaku pembeli kepada Bank dilakukan secara
bertahap atau sesuai kesepakatan;
(2) Dalam hal seluruh atau sebagian barang tidak tersedia sesuai dengan waktu
penyerahan …
- 17 -
penyerahan, kualitas atau jumlahnya sebagaimana kesepakatan maka nasabah
memiliki pilihan untuk:
a. membatalkan (mem-fasakh-kan) Akad dan meminta pengembalian dana
kepada Bank;
b. menunggu penyerahan barang tersedia; atau
c. meminta kepada Bank untuk mengganti dengan barang lainnya yang
sejenis atau tidak sejenis sepanjang nilai pasarnya sama dengan barang
pesanan semula;
(3) Dalam hal Bank menyerahkan barang kepada nasabah dengan kualitas yang
lebih tinggi maka Bank tidak boleh meminta tambahan harga, kecuali
terdapat kesepakatan antara nasabah dengan Bank;
(4) Dalam hal Bank menyerahkan barang kepada nasabah dengan kualitas yang
lebih rendah dan nasabah dengan sukarela menerimanya, maka nasabah tidak
boleh menuntut pengurangan harga (discount).
Pasal 14
(1) Kegiatan penyaluran dana dalam bentuk pembiayaan berdasarkan Istishna'
paralel berlaku persyaratan paling kurang sebagai berikut :
a. Bank sebagai penjual dalam Akad Istishna’ dapat membuat Akad
Istishna' paralel dengan pihak lainnya dimana Bank bertindak sebagai
pembeli;
b. kewajiban dan hak dalam kedua Akad Istishna’ tersebut harus terpisah;
c. pelaksanaan kewajiban salah satu Akad Istishna’ tidak boleh tergantung
pada Akad Istishna’ paralel atau sebaliknya;
d.
dalam hal Bank yang bertindak sebagai pembeli dalam Akad Istishna'
paralel …
- 18 -
paralel harus memenuhi kewajibannya kepada pihak lainnya apabila
nasabah dalam Akad Istishna’ tidak memenuhi Akad Istishna’;
e. Dalam hal pembayaran dilakukan secara angsuran, harus dilakukan
secara proporsional.
(2) Ketentuan Istishna’ berlaku pula pada Istishna’ Paralel sebagai berikut :
a. Bank membeli barang dari nasabah dengan spesifikasi, kualitas, jumlah,
jangka waktu, tempat, dan harga yang disepakati;
b. pembayaran oleh Bank kepada
nasabah tidak boleh dalam bentuk
pembebasan hutang nasabah kepada Bank;
c. alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya sesuai dengan
kesepakatan;
d. pembayaran oleh Bank selaku pembeli kepada nasabah dilakukan secara
bertahap atau sesuai kesepakatan;
e.
f.
dalam hal
nasabah menyerahkan barang kepada Bank dengan kualitas
yang lebih tinggi maka nasabah tidak boleh meminta tambahan harga;
dalam hal nasabah menyerahkan barang kepada Bank dengan kualitas
yang lebih rendah dan Bank dengan sukarela menerimanya, maka Bank
tidak boleh menuntut pengurangan harga (discount).
Paragraf 3
Penyaluran dana berdasarkan Akad Ijarah, Ijarah muntahiya bitamlik
dan Qardh
Pasal 15
Kegiatan penyaluran dana dalam bentuk pembiayaan berdasarkan Ijarah untuk
transaksi sewa menyewa berlaku persyaratan paling kurang sebagai berikut :
a. Bank …
- 19 -
a. Bank dapat membiayai pengadaan objek sewa berupa barang yang telah
dimiliki Bank atau barang yang diperoleh dengan menyewa dari pihak lain
untuk kepentingan nasabah berdasarkan kesepakatan;
b. objek dan manfaat barang sewa harus dapat dinilai dan diidentifikasi secara
spesifik dan dinyatakan dengan jelas termasuk pembayaran sewa dan jangka
waktunya;
c. Bank wajib menyediakan barang sewa, menjamin pemenuhan kualitas
maupun kuantitas barang sewa serta ketepatan waktu penyediaan barang
sewa sesuai kesepakatan;
d. Bank wajib menanggung biaya pemeliharaan barang/aset sewa yang sifatnya
materiil dan struktural sesuai kesepakatan;
e. Bank dapat mewakilkan kepada nasabah untuk mencarikan barang yang akan
disewa oleh nasabah;
f. nasabah wajib membayar sewa secara tunai, menjaga keutuhan barang sewa,
dan menanggung biaya pemeliharaan barang sewa sesuai dengan
kesepakatan;
g. nasabah tidak bertanggungjawab atas kerusakan barang sewa yang terjadi
bukan karena pelanggaran perjanjian atau kelalaian nasabah ;
Pasal 16
(1) Kegiatan penyaluran dana dalam bentuk Pembiayaan berdasarkan Ijarah
muntahiya bittamlik (IMBT) berlaku persyaratan paling kurang sebagai
berikut :
a. IMBT harus disepakati ketika Akad Ijarah ditandatangani dan
kesepakatan tersebut wajib dituangkan dalam Akad Ijarah dimaksud;
b. pelaksanaan …
- 20 -
b. pelaksanaan IMBT hanya dapat dilakukan setelah Akad Ijarah dipenuhi;
c. Bank wajib mengalihkan kepemilikan barang sewa kepada nasabah
berdasarkan hibah, pada akhir periode perjanjian sewa;
d.
pengalihan kepemilikan barang sewa kepada penyewa dituangkan dalam
Akad tersendiri setelah masa Ijarah selesai;
(2) Ketentuan Ijarah berlaku pula pada Akad IMBT sebagai berikut :
a. Bank dapat membiayai pengadaan objek sewa berupa barang yang telah
dimiliki Bank atau barang yang diperoleh dengan menyewa dari pihak
lain untuk kepentingan nasabah berdasarkan kesepakatan;
b. objek dan manfaat barang sewa harus dapat dinilai dan diidentifikasi
secara spesifik dan dinyatakan dengan jelas termasuk pembayaran sewa
dan jangka waktunya;
c. Bank wajib menyediakan barang sewa, menjamin pemenuhan kualitas
maupun kuantitas barang sewa serta ketepatan waktu penyediaan barang
sewa sesuai kesepakatan;
d. Bank wajib menanggung biaya pemeliharaan barang/aset sewa yang
sifatnya materiil dan struktural sesuai kesepakatan;
e. Bank dapat mewakilkan kepada nasabah untuk mencarikan barang yang
akan disewa oleh nasabah;
f. nasabah wajib membayar sewa secara tunai dan menjaga keutuhan
barang sewa, dan menanggung biaya pemeliharaan barang sewa sesuai
dengan kesepakatan;
g. nasabah tidak bertanggung jawab atas kerusakan barang sewa yang
terjadi bukan karena pelanggaran perjanjian atau kelalaian nasabah;
Pasal 17 …
- 21 -
Pasal 17
Kegiatan penyaluran dana dalam bentuk pembiayaan berdasarkan Ijarah untuk
transaksi multijasa berlaku persyaratan paling kurang sebagai berikut :
a. Bank dapat menggunakan Akad Ijarah untuk transaksi multijasa dalam jasa
keuangan antara lain dalam bentuk pelayanan pendidikan, kesehatan,
ketenaga kerjaan dan kepariwisataan;
b.
c.
dalam pembiayaan kepada nasabah yang menggunakan Akad Ijarah untuk
transaksi multijasa, Bank dapat memperoleh imbalan jasa (ujrah) atau fee;
besar ujrah atau fee harus disepakati di awal dan dinyatakan dalam bentuk
nominal bukan dalam bentuk prosentase.
Pasal 18
Kegiatan penyaluran dana dalam bentuk pinjaman dana berdasarkan Qardh
berlaku persyaratan paling kurang sebagai berikut :
a. Bank dapat memberikan pinjaman Qardh untuk kepentingan nasabah
berdasarkan kesepakatan;
b. nasabah wajib mengembalikan jumlah pokok pinjaman Qardh yang diterima
pada waktu yang telah disepakati;
c. Bank dapat membebankan kepada nasabah biaya administrasi sehubungan
dengan pemberian pinjaman Qardh;
d. nasabah dapat memberikan tambahan/sumbangan dengan sukarela kepada
Bank selama tidak diperjanjikan dalam Akad;
e.
dalam hal nasabah tidak dapat mengembalikan sebagian atau seluruh
kewajibannya pada waktu yang telah disepakati karena nasabah tidak
mampu, maka Bank dapat memperpanjang jangka waktu pengembalian atau
menghapus …
- 22 -
menghapus buku sebagian atau seluruh pinjaman nasabah atas beban
kerugian Bank;
f.
dalam hal nasabah digolongkan mampu dan tidak mengembalikan sebagian
atau seluruh kewajibannya pada waktu yang telah disepakati, maka Bank
dapat menjatuhkan sanksi kewajiban pembayaran atas kelambatan
pembayaran atau menjual agunan nasabah untuk menutup
pinjaman nasabah;
kewajiban
g. sumber dana pinjaman Qardh untuk kegiatan usaha yang bersifat sosial dapat
berasal dari modal, keuntungan yang disisihkan dan dari dana infak;
h. sumber dana pinjaman Qardh untuk kegiatan usaha yang bersifat talangan
dana komersial jangka pendek (short term financing) diperbolehkan dari
Dana Pihak Ketiga yang bersifat investasi sepanjang tidak merugikan
kepentingan nasabah pemilik dana;
Bagian Ketiga
Ketentuan Ganti Rugi (Ta’widh)
Pasal 19
Ketentuan Ganti Rugi (Ta'widh) dalam Pembiayaan:
a. Bank dapat mengenakan ganti rugi (ta`widh) hanya atas kerugian riil yang
dapat diperhitungkan dengan jelas kepada nasabah yang dengan sengaja atau
karena kelalaian melakukan sesuatu yang menyimpang dari ketentuan Akad
dan mengakibatkan kerugian pada Bank;
b. Besar ganti rugi yang dapat diakui sebagai pendapatan Bank adalah sesuai
dengan nilai kerugian riil (real loss) yang berkaitan dengan upaya Bank
untuk memperoleh pembayaran dari nasabah dan bukan kerugian yang
diperkirakan …
- 23 -
diperkirakan akan terjadi (potential loss) karena adanya peluang yang hilang
(opportunity loss/al-furshah al-dha-i’ah);
c. ganti rugi hanya boleh dikenakan pada Akad Ijarah dan Akad yang
menimbulkan utang piutang (dain), seperti Salam,
Murabahah, yang pembayarannya dilakukan tidak secara tunai;
Istishna’ serta
d. ganti rugi dalam Akad Mudharabah dan Musyarakah, hanya boleh dikenakan
Bank sebagai shahibul maal apabila bagian keuntungan Bank yang sudah
jelas tidak dibayarkan oleh nasabah sebagai mudharib;
e. klausul pengenaan ganti rugi harus ditetapkan secara jelas dalam Akad dan
dipahami oleh nasabah; dan
f.
Besarnya ganti rugi atas kerugian riil ditetapkan berdasarkan kesepakatan
antara Bank dengan nasabah.
BAB III
PENYELESAIAN SENGKETA BANK
DAN NASABAH
Pasal 20
(1) Dalam hal salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana
diperjanjikan dalam Akad atau jika terjadi perselisihan di antara Bank dan
Nasabah maka upaya penyelesaian dilakukan melalui musyawarah;
(2) Dalam hal musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mencapai
kesepakatan, maka penyelesaian lebih lanjut dapat dilakukan melalui
alternatif penyelesaian sengketa atau badan arbitrase Syariah;
BAB IV …
- 24 -
BAB IV
SANKSI
Pasal 21
(1) Bank yang tidak melaksanakan ketentuan dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal
19 Peraturan Bank Indonesia ini dikenakan sanksi administratif sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 52 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10
Tahun 1998 berupa:
a.
teguran tertulis;
b. penurunan tingkat kesehatan; dan atau
c.
penggantian pengurus.
(2) Unit Usaha Syariah (UUS) yang tidak melaksanakan pengawasan terkait
dengan pelaksanaan ketentuan dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 19
Peraturan Bank Indonesia ini dikenakan sanksi administratif berupa:
a.
teguran tertulis; dan atau
b. pencabutan izin usaha UUS.
BAB V
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 22
Akad-Akad Bank yang telah jatuh tempo dan akan diperpanjang wajib disesuaikan
dengan Peraturan Bank Indonesia ini.
BAB VI …
- 25 -
BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 23
Peraturan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal : 14 November 2005
GUBERNUR BANK INDONESIA,
BURHANUDDIN ABDULLAH
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2005 NOMOR 124
DPbS
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK NDONESIA
NOMOR: 7/46/PBI/2005
TENTANG
AKAD PENGHIMPUNAN DAN PENYALURAN DANA BAGI BANK YANG
MELAKSANAKAN KEGIATAN USAHA BERDASARKAN
PRINSIP SYARIAH
UMUM
Sejalan dengan perkembangan pesat industri perbankan syariah
dimungkinkan pula adanya berbagai penafsiran dalam penyusunan Akad produk
dan jasa bank syariah yang dapat menimbulkan iklim usaha yang kurang kondusif
bagi bank syariah dan ketidak pastian bagi para pihak terkait dan stakeholders
lainnya. Dengan demikian diperlukan pengaturan Akad penghimpunan dan
penyaluran dana bank syariah dalam rangka memelihara kepercayaan masyarakat
terhadap bank syariah.
Dengan adanya ketentuan tentang Akad penghimpunan dan penyaluran
dana bank syariah akan memberikan manfaat kepada semua pihak yang
berkepentingan yang pada gilirannya akan mewujudkan pengelolaan bank syariah
yang sehat. Selain itu, kejelasan Akad akan membantu operasional bank sehingga
menjadi lebih efisien dan meningkatkan kepastian hukum para pihak termasuk
bagi pengawas dan auditor bank syariah.
Ketentuan persyaratan minimum Akad ini disusun berpedoman kepada
fatwa yang diterbitkan oleh Dewan Syariah Nasional dengan memberikan
penjelasan …
- 2 -
penjelasan lebih rinci aspek teknis perbankan guna menyediakan landasan hukum
yang cukup memadai bagi para pihak yang berkepentingan.
Ketentuan
persyaratan minimum Akad ini mengikuti
proses yang
berkesinambungan (evolving process) dengan memperhatikan perubahan dan
perkembangan kondisi regulasi dan sistem perundangan yang berlaku
Prinsip-prinsip umum yang diatur dalam ketentuan persyaratan minimum
Akad ini meliputi antara lain prinsip transparansi produk dan jasa dalam upaya
mewujudkan bank syariah yang penuh integritas dan amanah, asas keberlakuan
secara universal sehingga bank syariah dapat dimanfaatkan oleh seluruh lapisan
masyarakat, dan pengutamaan penyelesaian sengketa antara bank dan nasabah
secara musyawarah, memenuhi rasa keadilan dan efisiensi biaya dalam
penyelesaian sengketa melalui alternatif penyelesaian sengketa atau arbitrase
syariah.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Angka 1 sampai dengan angka 11
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan jenis transaksi syariah yang maksud adalah
Wadi’ah, Mudharabah, Musyarakah, Murabahah, Salam, Istishna’,
Ijarah dan Qardh.
Ayat (3) …
- 3 -
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan:
""Gharar"" adalah transaksi yang mengandung tipuan dari salah satu
pihak sehingga pihak yang lain dirugikan.
""Maysir"" adalah transaksi yang mengandung unsur perjudian, untung-
untungan atau spekulatif yang tinggi.
""Riba"" adalah transaksi dengan pengambilan tambahan, baik dalam
transaksi jual-beli maupun pinjam-meminjam secara batil atau
bertentangan dengan ajaran Islam.
""Zalim"" adalah tindakan atau perbuatan yang mengakibatkan kerugian
dan penderitaan pihak lain.
""Risywah"" adalah
tindakan suap dalam bentuk uang, fasilitas, atau
bentuk lainnya yang melanggar hukum sebagai upaya mendapatkan
fasilitas atau kemudahan dalam suatu transaksi.
""Barang haram dan maksiat"" adalah barang atau fasilitas yang dilarang
dimanfaatkan atau digunakan menurut hukum Islam.
Pasal 3
Cukup jelas
Pasal 4
Huruf a sampai dengan huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Yang dimaksud dengan ""biaya operasional"" adalah biaya yang berkaitan
langsung dengan fasilitas pengelolaan rekening nasabah misalnya biaya
kartu …
- 4 -
kartu ATM, cetak buku/cek/bilyet giro, cetak laporan traksaksi dan
saldo rekening, pembukaan dan penutupan rekening.
Huruf h
Cukup jelas
Pasal 5
Cukup jelas
Pasal 6
Huruf a
Yang dimaksud dengan Mudharabah dalam pengaturan pasal ini
adalah Mudharabah mutlaqah.
Huruf b sampai dengan huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Harga pasar digunakan untuk barang yang telah dimiliki oleh Bank
atau bukan pengadaan baru.
Nasabah mengembalikan dana Bank sebesar nilai nominal yang
ditetapkan berdasarkan nilai perolehan atau nilai pasar pada saat Akad.
Huruf g sampai dengan huruf k
Cukup jelas
Huruf l
Bank dapat melakukan review, meminta bukti-bukti dari laporan hasil
usaha yang dibuat oleh nasabah. Laporan hasil usaha disepakati kedua
belah pihak berdasarkan bukti pendukung yang
dipertanggungjawabkan.
dapat
Huruf m …
- 5 -
Huruf m sampai dengan huruf o
Cukup jelas
Pasal 7
Cukup jelas
Pasal 8
Huruf a sampai dengan huruf l
Cukup jelas
Huruf m
Bank dapat melakukan review, meminta bukti-bukti dari laporan hasil
usaha yang dibuat oleh nasabah. Laporan hasil usaha disepakati kedua
belah pihak berdasarkan bukti pendukung yang dapat
dipertanggungjawabkan.
Huruf n dan huruf o
Cukup jelas
Pasal 9
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “barang” adalah barang yang diketahui
jelas kuantitas, kualitas dan spesifikasinya.
Huruf b dan huruf c
Cukup jelas
Huruf d …
- 6 -
Huruf d
Wakalah harus dibuatkan Akad secara terpisah dari Akad
Murabahah.
Yang dimaksud dengan secara prinsip barang milik Bank dalam
wakalah pada Akad Murabahah adalah adanya aliran dana yang
ditujukan kepada pemasok barang atau dibuktikan dengan
kuitansi pembelian.
Huruf e sampai dengan huruf g
Cukup jelas
Huruf h
Angsuran secara proposional adalah angsuran yang ditetapkan
Bank secara proposional antara harga pokok dan marjin, serta
jangka waktu angsuran. Contoh :
Harga pokok mesin Rp10.000.000,- (sepuluh juta rupiah)
Marjin Rp2.000.000,- (dua juta rupiah)
Jangka waktu angsuran = 12 (dua belas) bulan
Angsuran nasabah Rp12.000.000,-/12 = Rp1.000.000,- (satu
juta rupiah)
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 10
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan nasabah yang mengalami
penurunan
kemampuan membayar adalah nasabah yang kegiatan usahanya
terkena dampak bencana alam atau krisis perekonomian yang
ditetapkan …
- 7 -
ditetapkan secara resmi oleh pemerintah sebagai krisis nasional.
Pemotongan kewajiban pembayaran ditetapkan berdasarkan kebijakan
Bank.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 11
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud ‘barang’ adalah hasil pertanian dan atau hasil
tambang.
Huruf b
Yang dimaksud dengan pembayaran secara penuh pada saat
Akad adalah pembayaran segera setelah Akad disepakati atau
paling lambat 7 (tujuh) hari setelah Akad disepakati.
Huruf c sampai dengan huruf e
Cukup Jelas
Huruf f
Jaminan pihak ketiga antara lain dalam bentuk garansi
berdasarkan prinsip syariah.
Huruf g
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3) …
- 8 -
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 12
Ayat (1)
Pembiayaan berdasarkan Salam paralel muncul pada saat Bank
membeli barang untuk dijual kembali kepada pihak lain.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 13
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud ‘barang’ adalah proyek infrastruktur dan atau
hasil industri manufaktur.
Huruf b sampai dengan huruf d
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat 3 …
- 9 -
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 14
Ayat (1)
Pembiayaan Istishna’ paralel muncul pada saat Bank memesan barang
untuk dijual kembali kepada pihak lain.
Ayat (2)
Huruf a
Nasabah adalah termasuk nasabah produsen, pemasok atau
penyedia.
Huruf b sampai dengan huruf f
Cukup jelas
Pasal 15
Huruf a
Yang dimaksud ‘barang’ adalah barang bergerak atau tidak bergerak
yang dapat diambil manfaat sewa.
Huruf b dan huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Uraian biaya pemeliharaan yang bersifat material dan struktural sesuai
kesepakatan dituangkan dalam Akad
Huruf e …
- 10 -
Huruf e
Akad mewakilkan kepada nasabah di buatkan secara terpisah dari
Akad Ijarah
Huruf f dan huruf g
Cukup jelas
Pasal 16
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan IMBT adalah Ijarah dengan janji (wa’ad)
yang mengikat pihak yang menyewakan
kepemilikan kepada penyewa.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Huruf a sampai dengan huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Kondisi “nasabah tidak mampu” adalah ketidak mampuan nasabah
terhadap hal-hal di luar kemampuan nasabah karena musibah bencana
alam atau krisis perekonomian nasional yang ditetapkan sebagai krisis
oleh pemerintah.
Huruf f dan huruf g
Cukup jelas
Huruf h …
untuk mengalihkan
- 11 -
Huruf h
Dalam rangka kehati-hatian pemberian pinjaman Qardh untuk kegiatan
usaha yang bersifat talangan dana komersial, Bank dapat meminta
agunan kepada nasabah.
Pasal 19
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Kerugian riil adalah biaya-biaya riil yg dikeluarkan oleh Bank dalam
rangka penagihan hak Bank yang seharusnya dibayarkan oleh nasabah.
Huruf c sampai dengan huruf f
Cukup jelas
Pasal 20
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Badan arbitrase syariah yang digunakan adalah badan arbitrase syariah
yang berdomisili paling dekat dengan kantor Bank yang bersangkutan
atau yang ditunjuk sesuai kesepakatan Bank dan nasabah.
Pasal 21
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2) …
- 12 -
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 22
Cukup jelas
Pasal 23
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4563
"," PBI
7/46/PBI/2005
AKAD PENGHIMPUNAN DAN PENYALURAN DANA BAGI BANK YANG MELAKSANAKAN KEGIATAN USAHA BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH
14 November 2005
14 November 2005
'3/UU/2004', '7/UU/1992', '23/UU/1999', '10/UU/1998'
'BAB IV', 'BAB II Pasal 18 Huruf f'
"
" PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 19/3/PBI/2017
TENTANG
PINJAMAN LIKUIDITAS JANGKA PENDEK BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa kondisi makroekonomi dan stabilitas sektor
keuangan saat ini cukup terjaga dan perlu dipertahankan
dalam rangka memelihara stabilitas sistem keuangan
terutama perbankan serta turut menjaga kepercayaan
masyarakat terhadap perbankan;
b. bahwa dalam rangka memelihara stabilitas sistem
keuangan terutama perbankan dan turut menjaga
kepercayaan masyarakat terhadap perbankan, tetap
diperlukan upaya untuk mengatasi kesulitan likuiditas
jangka pendek;
c. bahwa upaya untuk mengatasi kesulitan likuiditas
jangka pendek tersebut merupakan salah satu cara
pencegahan dan penanganan krisis sistem keuangan;
d. bahwa upaya untuk mengatasi kesulitan likuiditas
jangka pendek tersebut dapat ditempuh melalui
penyediaan pinjaman likuiditas jangka pendek kepada
bank;
- 2 -
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf d, perlu
menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang Pinjaman
Likuiditas Jangka Pendek Bagi Bank Umum
Konvensional;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah beberapa kali
diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4962);
2. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang
Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016
Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5872);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PINJAMAN
LIKUIDITAS JANGKA PENDEK BAGI BANK UMUM
KONVENSIONAL.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank Indonesia adalah Bank Sentral Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang
mengatur mengenai Bank Indonesia.
- 3 -
2. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat OJK
adalah Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai Otoritas
Jasa Keuangan.
3. Bank Umum Konvensional yang selanjutnya disebut
Bank adalah bank umum yang melaksanakan kegiatan
usaha secara konvensional sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai
perbankan, tidak termasuk kantor cabang dari bank yang
berkedudukan di luar negeri.
4. Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disingkat UUS
adalah unit usaha syariah sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan
syariah, tidak termasuk unit usaha syariah dari kantor
cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri.
5. Giro Wajib Minimum yang selanjutnya disingkat GWM
adalah giro wajib minimum primer dalam rupiah
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai giro wajib minimum bank
umum.
6. Kesulitan Likuiditas Jangka Pendek adalah keadaan yang
dialami Bank yang disebabkan oleh terjadinya arus dana
masuk yang lebih kecil dibandingkan dengan arus dana
keluar dalam rupiah yang dapat membuat Bank tidak
dapat memenuhi kewajiban GWM.
7. Pinjaman Likuiditas Jangka Pendek yang selanjutnya
disingkat PLJP adalah pinjaman dari Bank Indonesia
kepada Bank untuk mengatasi Kesulitan Likuiditas
Jangka Pendek yang dialami oleh Bank.
8. Sertifikat Bank Indonesia yang selanjutnya disingkat SBI
adalah Sertifikat Bank Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai operasi moneter.
9. Sertifikat Bank Indonesia Syariah yang selanjutnya
disingkat SBIS adalah Sertifikat Bank Indonesia Syariah
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai operasi moneter syariah.
- 4 -
10. Sertifikat Deposito Bank Indonesia yang selanjutnya
disingkat SDBI adalah Sertifikat Deposito Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai operasi moneter.
11. Surat Utang Negara yang selanjutnya disingkat SUN
adalah surat berharga yang berupa surat pengakuan
utang dalam mata uang rupiah yang dijamin pembayaran
bunga dan pokoknya oleh Negara Republik Indonesia,
sesuai dengan masa berlakunya, sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai surat
utang negara.
12. Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya
disingkat SBSN, atau yang dapat disebut Sukuk Negara
adalah surat berharga negara yang diterbitkan
berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti atas bagian
penyertaan terhadap aset SBSN, dalam mata uang
rupiah, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
yang mengatur mengenai surat berharga syariah negara.
13. Surat Berharga Negara yang selanjutnya disingkat SBN
adalah SUN dan SBSN.
14. Aset Kredit adalah aset Bank berupa kredit sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur
mengenai perbankan, tidak termasuk kredit dalam valuta
asing.
15. Aset Pembiayaan adalah aset Bank berupa pembiayaan
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang
mengatur mengenai perbankan syariah, tidak termasuk
pembiayaan dalam valuta asing.
BAB II
PERSYARATAN PLJP
Pasal 2
(1) Bank yang mengalami Kesulitan Likuiditas Jangka
Pendek dapat mengajukan permohonan PLJP kepada
Bank Indonesia.
- 5 -
(2) Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
memperoleh PLJP apabila Bank memenuhi persyaratan:
a.
tergolong sebagai Bank solven;
b. memiliki peringkat komposit tingkat kesehatan Bank
paling rendah 2 (dua);
c. memiliki agunan berkualitas tinggi sebagai jaminan
PLJP yang memenuhi ketentuan sebagaimana diatur
dalam Peraturan Bank Indonesia ini; dan
d. diperkirakan mampu untuk mengembalikan PLJP.
(3) Bank mengajukan plafon PLJP berdasarkan perkiraan
jumlah kebutuhan likuiditas sampai dengan Bank
memenuhi GWM.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan Bank untuk
memperoleh PLJP diatur dalam Peraturan Anggota
Dewan Gubernur.
Pasal 3
(1) Agunan berkualitas tinggi sebagai jaminan PLJP
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf c
berupa:
a. surat berharga;
b. surat berharga berdasarkan prinsip syariah yang
dicatat dalam pembukuan UUS dari Bank;
c. Aset Kredit; dan/atau
d. Aset Pembiayaan yang dicatat dalam pembukuan
UUS dari Bank.
(2) Jenis surat berharga sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a berupa:
a. SBI;
b. SDBI;
c. SBN; dan/atau
d. surat berharga yang diterbitkan oleh badan hukum
lain yang memenuhi persyaratan:
1. memiliki peringkat paling rendah peringkat
investasi;
2. aktif diperdagangkan; dan
- 6 -
3. memiliki sisa jangka waktu yang ditetapkan
oleh Bank Indonesia.
(3) Jenis surat berharga sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b berupa:
a. SBIS;
b. SBSN; dan/atau
c. sukuk korporasi yang diterbitkan oleh badan hukum
lain yang memenuhi persyaratan:
1. memiliki peringkat paling rendah peringkat
investasi;
2. aktif diperdagangkan; dan
3. memiliki sisa jangka waktu yang ditetapkan
oleh Bank Indonesia.
(4) Aset Kredit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c
dan/atau Aset Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf d harus memenuhi persyaratan sebagai
berikut:
a. kolektibilitas tergolong lancar selama 12 (dua belas)
bulan terakhir berturut-turut;
b. bukan merupakan kredit dan/atau pembiayaan
konsumsi kecuali kredit pemilikan rumah dan/atau
pembiayaan pemilikan rumah;
c. dijamin dengan agunan tanah dan bangunan
dan/atau tanah dengan nilai paling rendah 110%
(seratus sepuluh persen) dari plafon kredit dan/atau
plafon pembiayaan;
d. bukan merupakan kredit dan/atau pembiayaan
kepada pihak terkait Bank;
e.
f.
tidak pernah direstrukturisasi dalam waktu 3 (tiga)
tahun terakhir;
sisa jangka waktu jatuh waktu kredit dan/atau
pembiayaan paling singkat 9 (sembilan) bulan sejak
tanggal penandatanganan perjanjian pemberian
PLJP;
g. baki debet kredit atau saldo pokok pembiayaan tidak
melebihi batas maksimum pemberian kredit atau
- 7 -
penyaluran dana pada saat diberikan dan tidak
melebihi plafon kredit atau pembiayaan;
h. memiliki perjanjian kredit dan/atau akad
pembiayaan serta pengikatan agunan yang
mempunyai kekuatan hukum;
i.
telah menjadi objek atau sampel pemeriksaan atau
audit oleh kantor akuntan publik terhadap Bank
paling lama 1 (satu) tahun terakhir;
j. dalam perjanjian kredit dan/atau akad pembiayaan
antara Bank dan debitur atau nasabah tercantum
klausul bahwa kredit dan/atau pembiayaan dapat
dialihkan kepada pihak lain; dan
k.
telah tercantum dalam laporan daftar Aset Kredit
dan/atau Aset Pembiayaan terkini yang disampaikan
secara berkala kepada Bank Indonesia.
(5) Surat berharga sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf d dan ayat (3) huruf c hanya dapat digunakan
sebagai agunan PLJP dalam hal:
a. Bank tidak memiliki surat berharga sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf a, huruf b, dan huruf
c, serta ayat (3) huruf a dan huruf b; atau
b. Bank memiliki surat berharga sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf a, huruf b, dan huruf
c, serta ayat (3) huruf a dan huruf b namun tidak
mencukupi untuk menjadi agunan PLJP.
(6) Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) hanya dapat digunakan sebagai
agunan PLJP apabila pada saat permohonan PLJP Bank
tidak memiliki surat berharga yang memenuhi
persyaratan agunan PLJP atau surat berharga yang
memenuhi persyaratan agunan PLJP yang dimiliki oleh
Bank tidak mencukupi untuk menjadi agunan PLJP.
(7) Dalam hal diperlukan, Bank Indonesia dapat meminta
agunan lain setelah agunan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) mencukupi.
- 8 -
(8) Agunan PLJP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
dilengkapi dengan dokumen yang terkait dengan agunan
PLJP.
(9) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria agunan,
mekanisme pengagunan, jenis akad pembiayaan yang
dapat diagunkan, dan dokumen agunan diatur dalam
Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
Pasal 4
(1) Nilai surat berharga, Aset Kredit, dan Aset Pembiayaan
sebagai agunan PLJP ditetapkan sebagai berikut:
a. nilai agunan berupa SBI ditetapkan sebesar 100%
(seratus persen) dari plafon PLJP yang dihitung
berdasarkan nilai jual SBI;
b. nilai agunan berupa SBIS ditetapkan sebesar 100%
(seratus persen) dari plafon PLJP yang dihitung
berdasarkan nilai nominal SBIS;
c. nilai agunan berupa SDBI ditetapkan sebesar 100%
(seratus persen) dari plafon PLJP yang dihitung
berdasarkan nilai jual SDBI;
d. nilai agunan berupa SBN ditetapkan sebagai berikut:
1. nilai agunan berupa SUN ditetapkan paling
rendah sebesar 105% (seratus lima persen) dari
plafon PLJP yang dihitung berdasarkan nilai
pasar SUN; dan
2. nilai agunan berupa SBSN ditetapkan paling
rendah sebesar 106,5% (seratus enam koma
lima persen) dari plafon PLJP yang dihitung
berdasarkan nilai pasar SBSN;
e. nilai agunan berupa surat berharga yang diterbitkan
oleh badan hukum lain ditetapkan paling rendah
sebesar 120% (seratus dua puluh persen) dari plafon
PLJP yang dihitung berdasarkan nilai pasar surat
berharga yang diterbitkan oleh badan hukum lain
tersebut; dan
f. nilai agunan berupa Aset Kredit atau Aset
Pembiayaan ditetapkan paling rendah sebesar 200%
- 9 -
(dua ratus persen) dari plafon PLJP yang dihitung
berdasarkan baki debet Aset Kredit atau saldo pokok
Aset Pembiayaan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai nilai agunan dan tata
cara perhitungan nilai agunan diatur dalam Peraturan
Anggota Dewan Gubernur.
Pasal 5
(1) Agunan PLJP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
harus berada dalam kondisi bebas dari segala perikatan,
sengketa, sitaan, dan tidak sedang dijaminkan kepada
pihak lain atau Bank Indonesia, yang dinyatakan dalam
surat pernyataan kepada Bank Indonesia.
(2) Bank tidak dapat memperjualbelikan dan/atau
menjaminkan kembali agunan PLJP sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 yang masih dalam status
sebagai agunan PLJP.
(3) Bank harus mengganti agunan PLJP, apabila:
a. agunan PLJP tidak memenuhi kondisi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2);
b. surat berharga yang diterbitkan oleh badan hukum
lain tidak lagi memenuhi persyaratan peringkat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf
d dan ayat (3) huruf c;
c.
terdapat pelunasan kredit dan/atau pembiayaan
yang menjadi agunan PLJP oleh debitur atau
nasabah Bank; dan/atau
d. Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan yang
diagunkan tidak lagi memenuhi persyaratan
kolektibilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
ayat (4) huruf a,
sehingga nilai agunan PLJP mengalami penurunan dan
secara keseluruhan tidak lagi memenuhi plafon PLJP.
(4) Penggantian agunan PLJP diprioritaskan dengan agunan
berupa surat berharga sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (2) dan ayat (3).
- 10 -
(5) Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4) dapat digunakan
sebagai pengganti agunan PLJP apabila Bank tidak
memiliki surat berharga yang memenuhi persyaratan
agunan PLJP atau surat berharga yang memenuhi
persyaratan agunan PLJP yang dimiliki oleh Bank tidak
mencukupi untuk menjadi agunan PLJP.
(6) Selama Bank Indonesia memproses penggantian agunan
PLJP sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pada periode
pemberian PLJP Bank tetap dapat mengajukan pencairan
PLJP sepanjang terdapat plafon atau sisa plafon dan
agunan PLJP yang mencukupi.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penggantian
agunan PLJP diatur dalam Peraturan Anggota Dewan
Gubernur.
Pasal 6
(1) Bank harus memelihara dan menatausahakan daftar
Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan yang memenuhi
persyaratan dan dialokasikan untuk menjadi agunan
PLJP.
(2) Bank menyampaikan laporan daftar Aset Kredit dan/atau
Aset Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
secara berkala kepada Bank Indonesia dengan tembusan
kepada OJK.
(3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
disampaikan setiap 6 (enam) bulan sekali untuk posisi
akhir bulan Juni dan akhir bulan Desember.
(4) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
disampaikan paling lambat tanggal 15 (lima belas) setelah
posisi akhir bulan bersangkutan termasuk koreksi
laporan.
(5) Bank yang tidak menyampaikan laporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) tidak dapat mengajukan PLJP
dengan agunan Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan.
- 11 -
(6) Bank dapat memperbarui laporan daftar Aset Kredit
dan/atau Aset Pembiayaan dengan ketentuan sebagai
berikut:
a. posisi akhir bulan Juni diperbarui dengan posisi
akhir bulan September pada tahun yang
bersangkutan; dan
b. posisi akhir bulan Desember diperbarui dengan
posisi akhir bulan Maret pada tahun berikutnya,
disampaikan kepada Bank Indonesia dengan tembusan
kepada OJK paling lambat tanggal 15 (lima belas) setelah
posisi akhir bulan bersangkutan termasuk koreksi
laporan.
(7) Bank Indonesia dapat meminta Bank untuk
menyampaikan dokumen pendukung dari Aset Kredit
dan/atau Aset Pembiayaan yang dilaporkan dalam
laporan daftar Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyampaian
laporan daftar Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan
serta dokumen pendukung diatur dalam Peraturan
Anggota Dewan Gubernur.
Pasal 7
(1) Pengikatan agunan PLJP dilakukan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundangan-undangan.
(2) Bank Indonesia menatausahakan dokumen yang terkait
dengan agunan PLJP.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengikatan agunan
diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
BAB III
PERMOHONAN PLJP
Pasal 8
(1) Permohonan PLJP diajukan oleh Bank secara tertulis
kepada Bank Indonesia dengan tembusan kepada OJK.
- 12 -
(2) Permohonan PLJP sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilengkapi dengan dokumen sebagai berikut:
a. surat pernyataan Bank bahwa Bank mengalami
Kesulitan Likuiditas Jangka Pendek;
b. dokumen yang mendukung jumlah kebutuhan
untuk mengatasi Kesulitan Likuiditas Jangka
Pendek;
c. daftar seluruh aset yang menjadi agunan PLJP;
d. daftar rekapitulasi Aset Kredit dan/atau Aset
Pembiayaan yang telah menjadi objek atau sampel
pemeriksaan atau audit oleh kantor akuntan publik
yang dikeluarkan dan/atau ditandatangani oleh
kantor akuntan publik
yang melakukan
pemeriksaan atau audit, dalam hal terdapat agunan
PLJP berupa Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan;
e.
surat pernyataan Bank bahwa aset yang menjadi
agunan PLJP berada dalam kondisi bebas dari segala
perikatan, sengketa, sitaan, dan tidak sedang
dijaminkan kepada pihak lain atau Bank Indonesia;
f.
surat pernyataan Bank bahwa Bank tidak akan
memperjualbelikan dan/atau menjaminkan kembali
agunan PLJP yang masih dalam status sebagai
agunan PLJP;
g. surat pernyataan kesanggupan Bank untuk
membayar segala kewajiban terkait PLJP;
h. surat persetujuan dari pihak yang berwenang sesuai
dengan anggaran dasar atau anggaran rumah
tangga Bank dan ketentuan peraturan perundang-
undangan, mengenai permohonan PLJP dan/atau
penggunaan aset Bank sebagai agunan PLJP;
i.
anggaran dasar atau anggaran rumah tangga Bank,
termasuk perubahannya;
- 13 -
j.
surat pernyataan Bank mengenai kebenaran data
dan/atau dokumen yang disampaikan dan
kesanggupan Bank untuk menyampaikan data
dan/atau dokumen lain yang diminta oleh Bank
Indonesia; dan
k. dokumen lain yang diminta oleh Bank Indonesia.
(3) Bank wajib menjamin kebenaran data dan dokumen yang
disampaikan kepada Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud pada ayat (2).
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara permohonan
PLJP diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
Pasal 9
(1) Bank Indonesia memberikan PLJP untuk jangka waktu
paling lama 14 (empat belas) hari kalender untuk setiap
periode pemberian PLJP.
(2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berlaku efektif sejak tanggal aktivasi pemberian PLJP
oleh Bank Indonesia.
(3) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat diperpanjang secara berturut-turut untuk jangka
waktu PLJP keseluruhan paling lama 90 (sembilan puluh)
hari kalender.
Pasal 10
(1) Bank Indonesia berkoordinasi dengan OJK dalam rangka
menindaklanjuti permohonan PLJP sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1).
(2) Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dalam rangka penilaian terhadap pemenuhan
persyaratan PLJP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (2).
- 14 -
BAB IV
PERSETUJUAN DAN PENOLAKAN PERMOHONAN PLJP
Pasal 11
(1) Bank Indonesia memberikan persetujuan atau penolakan
atas permohonan PLJP sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 ayat (1).
(2) Dalam memberikan persetujuan atau penolakan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia
mempertimbangkan paling sedikit hal sebagai berikut:
a. pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2;
b. kelengkapan dokumen permohonan PLJP
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2); dan
c. analisis mengenai perkiraan jumlah kebutuhan
likuiditas Bank.
(3) Persetujuan atau penolakan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) disampaikan melalui surat kepada Bank dengan
tembusan kepada OJK.
(4) Berdasarkan surat persetujuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3), Bank harus melakukan hal sebagai
berikut:
a. menyampaikan dokumen yang terkait dengan
agunan PLJP;
b. menunjuk notaris;
c. menyampaikan dokumen berupa rancangan akta
perjanjian pemberian PLJP dan rancangan akta
pengikatan agunan PLJP; dan
d. menyampaikan dokumen yang terkait dengan
agunan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
ayat (7), dalam hal diperlukan.
(5) Bank Indonesia melakukan verifikasi dan/atau penilaian
terhadap dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
huruf a, huruf c, dan huruf d.
(6) Dalam hal berdasarkan hasil verifikasi dan/atau
penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (5) agunan
PLJP memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
- 15 -
dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 maka akan dilakukan
penandatanganan terhadap akta perjanjian pemberian
PLJP dan akta pengikatan agunan PLJP.
(7) Dalam hal berdasarkan hasil verifikasi dan/atau
penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (5), nilai
agunan tidak mencukupi plafon dan Bank tidak dapat
menambah agunan PLJP maka plafon PLJP diturunkan
sesuai dengan nilai agunan yang tersedia, sepanjang
Bank mempunyai sumber dana lain untuk menutup
kekurangan likuiditas yang tidak dapat diperoleh dari
PLJP.
(8) Persetujuan atas permohonan PLJP sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dibatalkan oleh Bank Indonesia
apabila:
a. Bank tidak menyampaikan dokumen sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) huruf a, huruf c, dan/atau
huruf d;
b. berdasarkan hasil verifikasi dan/atau penilaian
Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat
(5) nilai agunan tidak mencukupi plafon, Bank tidak
dapat menambah agunan PLJP dan Bank tidak
mempunyai sumber dana lain untuk menutup
kekurangan likuiditas yang tidak dapat diperoleh
dari PLJP; dan/atau
c. diketahui bahwa Bank tidak lagi memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (2).
(9) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian persetujuan
atau penolakan atas permohonan PLJP diatur dalam
Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
Pasal 12
Berdasarkan pertimbangan tertentu sesuai dengan
kewenangan Bank Indonesia, Bank Indonesia dapat menolak
permohonan PLJP meskipun Bank telah memenuhi seluruh
persyaratan PLJP.
- 16 -
BAB V
PENCAIRAN PLJP
Pasal 13
(1) Bank dapat mengajukan pencairan PLJP sejak tanggal
aktivasi pemberian PLJP oleh Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2).
(2) Pencairan PLJP dilakukan paling banyak 1 (satu) kali
dalam sehari sebesar perkiraan kebutuhan Bank untuk
mengatasi Kesulitan Likuiditas Jangka Pendek.
(3) Pengajuan pencairan PLJP sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) disampaikan kepada Bank Indonesia dengan
dilampiri dokumen sebagai berikut:
a. surat sanggup bayar sebesar pengajuan pencairan;
dan
b. proyeksi arus kas yang mencerminkan kebutuhan
pencairan.
(4) Pencairan PLJP dilakukan melalui rekening giro rupiah
Bank yang bersangkutan pada Bank Indonesia.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pencairan PLJP diatur
dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
Pasal 14
(1) Bank Indonesia berwenang melakukan pembatasan
pencairan PLJP.
(2) Pembatasan pencairan PLJP sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan dalam hal nilai agunan tidak
mencukupi plafon dan Bank tidak dapat menambah
dan/atau mengganti agunan PLJP sehingga secara
keseluruhan nilai agunan tidak mencukupi plafon.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembatasan pencairan
PLJP diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
- 17 -
Pasal 15
(1) Bank Indonesia berwenang menghentikan pencairan
PLJP sebelum jatuh waktu dalam hal Bank:
a.
tidak memenuhi persyaratan solvabilitas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf
a; dan/atau
b.
tidak memenuhi persyaratan tingkat kesehatan
Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2)
huruf b.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penghentian pencairan
PLJP diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
BAB VI
PERPANJANGAN JANGKA WAKTU PLJP
Pasal 16
(1) Bank dapat mengajukan permohonan perpanjangan
jangka waktu PLJP secara tertulis kepada Bank
Indonesia dengan tembusan kepada OJK.
(2) Permohonan perpanjangan jangka waktu PLJP
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan
dokumen sebagai berikut:
a. dokumen yang mendukung jumlah kebutuhan
untuk mengatasi Kesulitan Likuiditas Jangka
Pendek;
b. daftar seluruh aset yang menjadi agunan PLJP;
c. daftar rekapitulasi Aset Kredit dan/atau Aset
Pembiayaan yang telah menjadi objek atau sampel
pemeriksaan atau audit oleh kantor akuntan publik
yang dikeluarkan atau ditandatangani oleh kantor
akuntan publik yang melakukan pemeriksaan atau
audit, dalam hal terdapat penggantian dan/atau
penambahan agunan; dan
d. dokumen lain yang diminta oleh Bank Indonesia.
(3) Untuk keperluan perpanjangan jangka waktu PLJP, Bank
tetap dapat menggunakan agunan PLJP pada periode
- 18 -
pemberian PLJP sebelumnya sepanjang masih memenuhi
persyaratan dan kecukupan jumlah agunan PLJP.
(4) Dalam hal Bank memiliki surat berharga yang memenuhi
persyaratan agunan PLJP pada saat permohonan
perpanjangan jangka waktu PLJP, Bank harus
menyerahkan surat berharga tersebut sebagai agunan
untuk perpanjangan jangka waktu PLJP.
(5) Bank Indonesia berkoordinasi dengan OJK dalam rangka
menindaklanjuti permohonan perpanjangan jangka
waktu PLJP sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 17
(1) Bank Indonesia memberikan persetujuan atau penolakan
atas permohonan perpanjangan jangka waktu PLJP
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1).
(2) Dalam memberikan persetujuan atau penolakan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia
mempertimbangkan paling sedikit hal sebagai berikut:
a. pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2;
b.
jangka waktu PLJP secara keseluruhan belum
melampaui 90 (sembilan puluh) hari kalender
berturut-turut; dan
c. Bank telah menyampaikan dokumen sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2).
(3) Persetujuan atau penolakan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) disampaikan melalui surat kepada Bank dengan
tembusan kepada OJK.
(4) Berdasarkan surat persetujuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3), Bank harus melakukan hal sebagai
berikut:
a. menyampaikan dokumen yang terkait dengan
penambahan dan/atau penggantian agunan PLJP;
b. menunjuk notaris;
c. menyampaikan dokumen berupa rancangan akta
perubahan perjanjian pemberian PLJP dan
- 19 -
rancangan akta perubahan pengikatan agunan
PLJP;
d. melunasi bunga atas PLJP pada saat jatuh waktu;
dan
e. menyampaikan dokumen yang terkait dengan
agunan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
ayat (7), dalam hal diperlukan.
(5) Bank Indonesia melakukan verifikasi dan/atau penilaian
terhadap pemenuhan ketentuan agunan PLJP, rancangan
akta perubahan perjanjian pemberian PLJP, dan
rancangan akta perubahan pengikatan agunan PLJP.
(6) Dalam hal berdasarkan hasil verifikasi dan/atau
penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (5), agunan
PLJP memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 maka akan dilakukan
penandatanganan terhadap akta perubahan perjanjian
pemberian PLJP dan akta perubahan pengikatan agunan
PLJP.
(7) Dalam hal berdasarkan hasil verifikasi dan/atau
penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (5) nilai
agunan tidak mencukupi plafon PLJP maka Bank harus:
a. menambah agunan PLJP; dan/atau
b. menyediakan sumber dana lain untuk menutup
kekurangan likuiditas yang tidak dapat diperoleh
dari PLJP.
(8) Persetujuan atas permohonan perpanjangan jangka
waktu PLJP sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dibatalkan oleh Bank Indonesia apabila:
a. Bank tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4);
b. berdasarkan verifikasi dan/atau penilaian Bank
Indonesia nilai agunan tidak mencukupi plafon dan
Bank tidak dapat menambah agunan PLJP dan/atau
Bank tidak menyediakan sumber dana lain untuk
menutup kekurangan likuiditas yang tidak dapat
diperoleh dari PLJP sebagaimana dimaksud pada
ayat (7); dan/atau
- 20 -
c. diketahui bahwa Bank tidak lagi memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (2).
(9) Ketentuan lebih lanjut mengenai perpanjangan jangka
waktu PLJP diatur dalam Peraturan Anggota Dewan
Gubernur.
BAB VII
PENAMBAHAN DAN PENURUNAN PLAFON PLJP
Pasal 18
(1) Bank dapat mengajukan permohonan penambahan
plafon PLJP secara tertulis kepada Bank Indonesia
dengan tembusan kepada OJK.
(2) Permohonan penambahan plafon PLJP sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus dilengkapi dengan
dokumen sebagai berikut:
a. dokumen yang mendukung jumlah kebutuhan
untuk mengatasi Kesulitan Likuiditas Jangka
Pendek;
b. daftar seluruh aset yang menjadi agunan PLJP;
c. daftar rekapitulasi Aset Kredit dan/atau Aset
Pembiayaan yang telah menjadi objek atau sampel
pemeriksaan atau audit oleh kantor akuntan publik
yang dikeluarkan atau ditandatangani oleh kantor
akuntan publik yang melakukan pemeriksaan atau
audit, dalam hal terdapat penggantian dan/atau
penambahan agunan; dan
d. dokumen lain yang diminta oleh Bank Indonesia.
(3) Bank Indonesia berkoordinasi dengan OJK dalam rangka
menindaklanjuti permohonan penambahan plafon PLJP
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 19
(1) Bank Indonesia memberikan persetujuan atau penolakan
atas permohonan penambahan plafon PLJP sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1).
- 21 -
(2) Dalam memberikan persetujuan atau penolakan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia
mempertimbangkan paling sedikit hal sebagai berikut:
a. pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2;
b.
jangka waktu PLJP secara keseluruhan belum
melampaui 90 (sembilan puluh) hari kalender
berturut-turut; dan
c. Bank telah menyampaikan dokumen sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2).
(3) Persetujuan atau penolakan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) disampaikan melalui surat kepada Bank dengan
tembusan kepada OJK.
(4) Berdasarkan surat persetujuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3), Bank harus melakukan hal sebagai
berikut:
a. menyampaikan dokumen yang terkait dengan
agunan PLJP dalam hal terdapat tambahan agunan;
b. menunjuk notaris;
c. menyampaikan dokumen berupa rancangan akta
perubahan perjanjian pemberian PLJP dan akta
perubahan pengikatan agunan PLJP; dan
d. menyampaikan dokumen yang terkait dengan
agunan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
ayat (7), dalam hal diperlukan.
(5) Bank Indonesia melakukan verifikasi dan/atau penilaian
terhadap pemenuhan ketentuan agunan PLJP, rancangan
akta perubahan perjanjian pemberian PLJP, dan
rancangan akta perubahan pengikatan agunan PLJP.
(6) Dalam hal berdasarkan hasil verifikasi dan/atau
penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (5), agunan
PLJP memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 maka akan dilakukan
penandatanganan terhadap akta perubahan perjanjian
pemberian PLJP dan akta perubahan pengikatan agunan
PLJP.
- 22 -
(7) Dalam hal berdasarkan hasil verifikasi dan/atau
penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (5) nilai
agunan tidak mencukupi plafon PLJP maka Bank harus:
a. menambah agunan PLJP; dan/atau
b. menyediakan sumber dana lain untuk menutup
kekurangan likuiditas yang tidak dapat diperoleh
dari PLJP.
(8) Persetujuan atas permohonan penambahan plafon PLJP
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibatalkan oleh
Bank Indonesia apabila:
a. Bank tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4);
b. berdasarkan verifikasi dan/atau penilaian Bank
Indonesia nilai tambahan agunan tidak mencukupi
penambahan plafon PLJP dan Bank tidak
menyediakan sumber dana lain untuk menutup
kekurangan likuiditas yang tidak dapat diperoleh
dari PLJP sebagaimana dimaksud pada ayat (7);
dan/atau
c. diketahui bahwa Bank tidak lagi memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (2).
(9) Tambahan plafon PLJP yang disetujui akan
diakumulasikan dengan plafon PLJP sebelumnya.
(10) Ketentuan lebih lanjut mengenai penambahan plafon
PLJP diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
Pasal 20
(1) Bank dapat mengajukan permohonan penurunan plafon
PLJP secara tertulis kepada Bank Indonesia dengan
tembusan kepada OJK.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penurunan plafon PLJP
diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
- 23 -
BAB VIII
LARANGAN DAN PEMBATASAN KEGIATAN BAGI BANK
PENERIMA PLJP
Pasal 21
(1) Selama periode pemberian PLJP atau selama Bank belum
melunasi kewajiban PLJP, Bank dilarang:
a. melakukan penempatan dana;
b. menyalurkan kredit dan/atau pembiayaan baru
kepada pihak terkait Bank, kecuali untuk
pemenuhan komitmen yang telah diperjanjikan
sebelumnya;
c. merealisasikan penarikan dana oleh pihak terkait
Bank; dan
d. melakukan pembagian dividen.
(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
meniadakan larangan lain yang telah dikeluarkan oleh
OJK.
Pasal 22
Selama periode pemberian PLJP Bank hanya dapat mengikuti
operasi moneter Bank Indonesia yang bersifat ekspansi.
BAB IX
BUNGA
Pasal 23
(1) Bank Indonesia mengenakan bunga secara harian
kepada Bank atas baki debet PLJP.
(2) Bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung
dengan menggunakan tingkat suku bunga sebesar
repurchase agreement rate ditambah margin sebesar 400
(empat ratus) basis poin.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai perhitungan bunga
diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
- 24 -
BAB X
PELUNASAN DAN EKSEKUSI AGUNAN
Pasal 24
(1) Bank wajib melakukan pelunasan PLJP pada saat jatuh
waktu sebesar pokok dan bunga PLJP.
(2) Bank yang belum melakukan pelunasan PLJP pada saat
jatuh waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak
dapat menggunakan surat berharga sebagai pemenuhan
prefund debit sejak tanggal jatuh waktu sampai dengan
PLJP lunas.
Pasal 25
(1) Bank Indonesia mendebit rekening giro Bank dalam
rupiah di Bank Indonesia dalam hal:
a. sebelum PLJP jatuh waktu dan saldo rekening giro
Bank di Bank Indonesia melebihi kewajiban GWM
ditambah 10% (sepuluh persen) dari kewajiban
GWM;
b. Bank meminta pelunasan sebelum PLJP jatuh
waktu; dan/atau
c. PLJP jatuh waktu.
(2) Bank Indonesia melakukan pendebitan rekening giro
Bank secara harian sampai dengan kewajiban PLJP
lunas.
(3) Dalam hal saldo rekening giro Bank dalam rupiah di
Bank Indonesia tidak mencukupi untuk membayar pokok
dan bunga PLJP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24
ayat (1) maka Bank Indonesia melakukan penihilan
rekening giro Bank dalam rupiah dan rekening giro Bank
dalam valuta asing, termasuk rekening giro milik UUS.
(4) Bank Indonesia tetap menghitung bunga sampai dengan
pokok PLJP dilunasi.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelunasan PLJP diatur
dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
- 25 -
Pasal 26
(1) Dalam hal kewajiban PLJP belum lunas setelah
dilakukan penihilan rekening giro sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 25 ayat (3), Bank Indonesia
melakukan eksekusi agunan dengan didahului
penyampaian surat pemberitahuan dan/atau peringatan
kepada Bank.
(2) Apabila nilai hasil eksekusi agunan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) lebih besar dari kewajiban PLJP
maka Bank Indonesia mengembalikan kelebihan tersebut
kepada Bank.
(3) Apabila nilai hasil eksekusi agunan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) lebih kecil dari kewajiban PLJP
maka Bank wajib melakukan pelunasan melalui setoran
kekurangan kewajiban PLJP kepada Bank Indonesia.
(4) Dalam hal Bank tidak melakukan penyetoran
kekurangan kewajiban PLJP sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) atau Bank melakukan penyetoran
kekurangan kewajiban PLJP namun tetap tidak
mencukupi maka pelunasan diperoleh dari agunan lain
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (7).
Pasal 27
(1) Dalam melaksanakan eksekusi agunan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1), Bank Indonesia dapat
berkoordinasi atau bekerja sama dengan OJK dan/atau
pihak lain.
(2) Bank harus bekerja sama dengan Bank Indonesia untuk
kelancaran pelaksanaan eksekusi agunan PLJP.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai eksekusi agunan diatur
dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
- 26 -
BAB XI
BIAYA
Pasal 28
(1) Biaya yang timbul sehubungan dengan proses PLJP
menjadi beban Bank.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai biaya yang timbul
sehubungan dengan proses PLJP diatur dalam Peraturan
Anggota Dewan Gubernur.
BAB XII
PELAPORAN
Pasal 29
(1) Bank yang menerima PLJP wajib menyampaikan laporan
kepada Bank Indonesia dengan tembusan kepada OJK
yang meliputi:
a.
b.
c.
laporan penggunaan PLJP;
laporan kondisi likuiditas Bank;
laporan perhitungan rasio kewajiban penyediaan
modal minimum;
d.
laporan agunan dalam hal terdapat:
1. obligasi korporasi atau sukuk korporasi yang
tidak memenuhi persyaratan peringkat yang
ditetapkan Bank Indonesia;
2. pelunasan kredit atau pembiayaan yang
menjadi agunan PLJP oleh debitur atau
nasabah Bank; dan/atau
3. Aset Kredit atau Aset Pembiayaan yang
mengalami penurunan kolektibilitas;
e.
rencana tindak perbaikan (remedial action plan)
untuk mengatasi Kesulitan Likuiditas Jangka
Pendek; dan
f.
laporan lain yang diminta oleh Bank Indonesia.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyampaian laporan
diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
- 27 -
BAB XIII
PENGAWASAN
Pasal 30
(1) Pengawasan terhadap Bank yang menerima PLJP
dilakukan oleh OJK berkoordinasi dengan Bank
Indonesia.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan untuk memantau dan memastikan
penggunaan dana PLJP sesuai dengan peruntukannya
dan pelaksanaan rencana pembayaran kembali PLJP
sesuai dengan perjanjian pemberian PLJP.
(3) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga
dimaksudkan untuk memantau dan memastikan
pemenuhan persyaratan PLJP selama periode pemberian
PLJP.
Pasal 31
(1) Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan terhadap
Bank yang menerima PLJP.
(2) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan setelah berkoordinasi dengan OJK.
BAB XIV
SANKSI
Pasal 32
(1) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 ayat (3), Pasal 21 ayat (1), dan/atau Pasal
29 ayat (1) dikenakan sanksi berupa:
a.
teguran tertulis;
b. PLJP tidak dapat diperpanjang; dan/atau
c.
tidak dapat mengajukan permohonan PLJP dalam
jangka waktu tertentu.
- 28 -
(2) Bank yang tidak melakukan pelunasan PLJP pada saat
jatuh waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat
(1) dikenakan sanksi berupa:
a.
b.
teguran tertulis;
tidak dapat mengajukan permohonan PLJP dalam
jangka waktu tertentu; dan
(3) Bank yang
c. penghentian sementara dari kepesertaan operasi
moneter, termasuk penghentian sementara dari
kepesertaan operasi moneter syariah bagi UUS.
tidak melakukan pelunasan PLJP
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (3) setelah
eksekusi agunan dilakukan, dikenakan sanksi berupa:
a.
b.
teguran tertulis;
tidak dapat mengajukan permohonan PLJP dalam
jangka waktu tertentu;
c. penghentian sementara dari kepesertaan operasi
moneter, termasuk penghentian sementara dari
kepesertaan operasi moneter syariah bagi UUS;
d. penurunan status kepesertaan Sistem Kliring
Nasional Bank Indonesia (SKNBI), termasuk
penurunan status kepesertaan SKNBI bagi UUS;
e. penurunan status kepesertaan Bank Indonesia-Real
Time Gross Settlement
(BI-RTGS), termasuk
penurunan status kepesertaan BI-RTGS bagi UUS;
dan/atau
f. penurunan status kepesertaan Bank Indonesia-
Scripless Securities Settlement System (BI-SSSS),
termasuk penurunan status kepesertaan BI-SSSS
bagi UUS.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi
diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
Pasal 33
Bank Indonesia menginformasikan pengenaan sanksi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 kepada Bank dengan
tembusan kepada OJK.
- 29 -
BAB XV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 34
Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku,
Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/16/PBI/2012 tentang
Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Bagi Bank Umum
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor
259, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5367), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 35
(1) Ketentuan mengenai persyaratan pencantuman Aset
Kredit dan/atau Aset Pembiayaan dalam laporan daftar
Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan terkini yang
disampaikan secara berkala kepada Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4) huruf k
mulai berlaku untuk permohonan PLJP yang diajukan
setelah tanggal 15 Juli 2017.
(2) Ketentuan mengenai persyaratan bahwa agunan berupa
Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan harus telah
menjadi objek atau sampel pemeriksaan atau audit oleh
kantor akuntan publik terhadap Bank paling lama 1
(satu) tahun terakhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal
3 ayat (4) huruf i mulai berlaku pada tanggal 1 Januari
2018.
Pasal 36
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
- 30 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 11 April 2017
GUBERNUR BANK INDONESIA,
AGUS D.W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 13 April 2017
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 82
- 1 -
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 19/3/PBI/2017
TENTANG
PINJAMAN LIKUIDITAS JANGKA PENDEK BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL
I. UMUM
Terpeliharanya kondisi makroekonomi dan stabilitas sistem
keuangan serta cukup kuatnya perbankan dalam menghadapi tekanan
memberikan kontribusi besar terhadap pertumbuhan perekonomian.
Namun dengan terbukanya pasar keuangan Indonesia dan meningkatnya
pengaruh pasar global, risiko di sistem keuangan terutama perbankan
apabila tidak diatasi dapat memicu terjadinya krisis sistem keuangan.
Risiko tersebut antara lain dapat tercermin dari kondisi likuiditas
yang memburuk di sektor perbankan. Kondisi tersebut perlu segera
diatasi agar Bank tidak mengalami liquidity mismatch yang dapat
mempengaruhi pemenuhan kewajiban GWM. Selain itu, liquidity mismatch
dapat pula terjadi dalam kegiatan operasional suatu Bank meskipun
secara umum kondisi likuiditas perbankan tergolong normal.
Oleh karena itu dalam rangka mengantisipasi memburuknya kondisi
liquidity mismatch perbankan tersebut dan untuk turut menjaga
kepercayaan masyarakat terhadap perbankan, perlu diberikan akses bagi
Bank yang sementara waktu mengalami kesulitan likuiditas untuk
memperoleh PLJP dari Bank Indonesia sebagai lender of the last resort.
Akses Bank untuk memperoleh pinjaman likuiditas tersebut juga
merupakan upaya Bank Indonesia untuk turut serta mencegah dan
menangani krisis sistem keuangan.
Sehubungan dengan hal tersebut maka perlu untuk mengatur
kembali PLJP bagi Bank yang diharapkan dapat memelihara stabilitas
- 2 -
sistem keuangan terutama perbankan dan menjaga kepercayaan
masyarakat terhadap perbankan.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “solven” adalah tingkat permodalan
Bank yang tercermin dari rasio kewajiban penyediaan
modal minimum bulan terkini yang memadai, paling rendah
sama dengan rasio kewajiban penyediaan modal minimum
berdasarkan profil risiko terakhir sesuai penilaian OJK
sebagaimana diatur dalam ketentuan yang mengatur
mengenai kewajiban penyediaan modal minimum.
Kewajiban penyediaan modal minimum bulan terkini
merupakan kewajiban penyediaan modal minimum bulanan
terkini sesuai penilaian OJK yang dilengkapi dengan
informasi kondisi terakhir Bank berupa peristiwa setelah
periode pelaporan (subsequent events) yang dapat
mempengaruhi rasio kewajiban penyediaan modal minimum
Bank.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “peringkat komposit tingkat
kesehatan Bank” adalah peringkat komposit tingkat
kesehatan Bank sesuai penilaian OJK sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan OJK yang mengatur mengenai
penilaian tingkat kesehatan bank umum.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “mampu untuk mengembalikan
- 3 -
PLJP” adalah Bank memiliki sumber dana untuk
mengembalikan PLJP yang tercermin antara lain dari
proyeksi arus kas Bank.
Ayat (3)
Perkiraan Bank atas jumlah kebutuhan likuiditas didasarkan
pada proyeksi arus kas paling singkat 30 (tiga puluh) hari
kalender sejak tanggal permohonan PLJP.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
SBN yang dapat digunakan sebagai agunan PLJP adalah
SBN yang dapat diperdagangkan.
Huruf d
Yang dimaksud dengan ""surat berharga yang diterbitkan
oleh badan hukum lain"" adalah obligasi korporasi dan
sukuk korporasi yang diterbitkan oleh badan hukum
Indonesia selain Bank yang mengajukan permohonan PLJP.
Angka 1
Peringkat investasi atau investment grade mengacu
pada hasil penilaian lembaga pemeringkat yang diakui
oleh OJK.
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
- 4 -
Huruf b
SBSN yang dapat digunakan sebagai agunan PLJP adalah
SBSN yang dapat diperdagangkan.
Huruf c
Yang dimaksud dengan ""sukuk korporasi yang diterbitkan
oleh badan hukum lain"" adalah sukuk korporasi yang
diterbitkan oleh badan hukum Indonesia.
Angka 1
Peringkat investasi atau investment grade mengacu
pada hasil penilaian lembaga pemeringkat yang diakui
oleh OJK.
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “kolektibilitas tergolong lancar”
adalah kualitas tergolong lancar sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan yang mengatur mengenai penilaian
kualitas aset bank umum atau ketentuan yang mengatur
mengenai penilaian kualitas aset bank umum syariah dan
unit usaha syariah.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Nilai agunan yang digunakan adalah nilai pasar
berdasarkan hasil penilai independen paling lama 2 (dua)
tahun terakhir sebelum tanggal permohonan PLJP.
Huruf d
Yang dimaksud dengan ""pihak terkait"" adalah pihak terkait
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang mengatur
mengenai batas maksimum pemberian kredit bank umum
atau batas maksimum penyaluran dana yang berlaku bagi
bank umum syariah dan unit usaha syariah.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “restrukturisasi”
adalah
- 5 -
restrukturisasi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
yang mengatur mengenai penilaian kualitas aset bank
umum atau ketentuan yang mengatur mengenai penilaian
kualitas aset bank umum syariah dan unit usaha syariah.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Batas maksimum pemberian kredit atau penyaluran dana
mengacu pada ketentuan yang mengatur mengenai batas
maksimum pemberian kredit.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Yang dimaksud dengan ”kantor akuntan publik” adalah
kantor akuntan publik yang telah tercantum dalam daftar
kantor akuntan publik yang diakui oleh OJK.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Yang dimaksud dengan “agunan lain” antara lain:
a. saham Bank yang menerima PLJP milik pemegang saham
pengendali;
b. personal guarantee dan/atau corporate guarantee dari
pemegang saham pengendali; dan/atau
c. aset tetap milik Bank yang menerima PLJP.
Ayat (8)
Yang dimaksud dengan ""dokumen yang terkait dengan agunan
PLJP"" antara lain perjanjian kredit dan/atau akad pembiayaan
antara Bank dengan debitur atau nasabah, bukti pengikatan
agunan, bukti kepemilikan atas aset yang menjadi agunan kredit
dan/atau pembiayaan Bank dan dokumen pendukung lainnya.
- 6 -
Ayat (9)
Cukup jelas.
Pasal 4
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Yang dimaksud dengan ""surat berharga yang diterbitkan
oleh badan hukum lain"" adalah obligasi korporasi dan
sukuk korporasi yang diterbitkan oleh badan hukum
Indonesia selain Bank yang mengajukan permohonan PLJP.
Huruf f
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Ayat (1)
Pemeliharaan dan penatausahaan daftar Aset Kredit dan/atau
Aset Pembiayaan dilakukan terhadap Aset Kredit dan/atau Aset
Pembiayaan yang akan dialokasikan oleh Bank sebagai agunan
dalam rangka mengantisipasi kebutuhan PLJP dengan agunan
berupa Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
- 7 -
Ayat (4)
Apabila tanggal batas waktu penerimaan laporan daftar Aset
Kredit dan/atau Aset Pembiayaan jatuh pada hari Sabtu, hari
Minggu, atau hari libur maka batas waktu penyampaian adalah
hari kerja berikutnya.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Yang dimaksud dengan “dokumen pendukung” antara lain
perjanjian kredit dan/atau akad pembiayaan antara Bank
dengan debitur atau nasabah, bukti pengikatan agunan, bukti
kepemilikan atas aset yang menjadi agunan kredit dan/atau
pembiayaan Bank, laporan keuangan debitur atau nasabah
Bank, dan dokumen pendukung lainnya.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan ""ketentuan peraturan perundang-
undangan"" antara lain peraturan yang mengatur mengenai gadai
dan fidusia.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “dokumen yang mendukung jumlah
- 8 -
kebutuhan untuk mengatasi Kesulitan Likuiditas Jangka
Pendek” antara lain proyeksi arus kas paling singkat 30
(tiga puluh) hari kalender sejak tanggal permohonan PLJP.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Surat persetujuan disampaikan apabila diatur dalam
anggaran dasar atau anggaran rumah tangga Bank dan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Tanggal aktivasi pemberian PLJP akan disampaikan oleh Bank
Indonesia melalui surat yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari perjanjian pemberian PLJP.
Ayat (3)
Cukup jelas.
- 9 -
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Koordinasi antara Bank Indonesia dan OJK dilakukan dalam
rangka melaksanakan ketentuan yang diatur dalam undang-
undang yang mengatur mengenai pencegahan dan penanganan
krisis sistem keuangan antara lain:
a. permintaan informasi dari OJK mengenai kondisi Bank
yang mengajukan PLJP, yang meliputi pemenuhan
persyaratan:
1. solvabilitas; dan
2.
tingkat kesehatan Bank; dan
b. pelaksanaan penilaian bersama mengenai pemenuhan
persyaratan agunan dan perkiraan kemampuan Bank
untuk mengembalikan PLJP.
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Bank Indonesia dapat menggunakan jasa pihak ketiga untuk
melakukan verifikasi dan/atau penilaian terhadap dokumen
yang terkait dengan agunan PLJP.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Sumber dana lain dibuktikan dengan tersedianya tambahan
dana di rekening giro Bank di Bank Indonesia dan disertai
dokumen dan/atau data pendukung.
- 10 -
Ayat (8)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Informasi bahwa Bank tidak lagi memenuhi persyaratan
antara lain diperoleh dari OJK dan/atau hasil verifikasi
dan/atau penilaian bersama oleh Bank Indonesia dan OJK
terhadap agunan PLJP.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Pasal 12
Yang dimaksud dengan “pertimbangan tertentu” antara lain hasil
simulasi kondisi Bank.
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “surat sanggup bayar” atau
promissory note adalah surat yang memuat kesanggupan
dari Bank untuk membayar kepada Bank Indonesia atas
pencairan dana PLJP. Surat sanggup bayar tersebut tidak
dapat diperdagangkan di pasar uang.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
- 11 -
Pasal 14
Dengan pembatasan pencairan PLJP maka Bank hanya dapat
mencairkan PLJP paling banyak sebesar kelonggaran tarik yang
didukung dengan kecukupan agunan.
Pasal 15
Ayat (1)
Meskipun pencairan PLJP dihentikan sebelum jatuh waktu,
pelunasan PLJP tetap dilakukan pada saat jatuh waktu.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “dokumen yang mendukung jumlah
kebutuhan untuk mengatasi Kesulitan Likuiditas Jangka
Pendek” antara lain proyeksi arus kas paling singkat 30
(tiga puluh) hari kalender sejak tanggal permohonan
perpanjangan jangka waktu PLJP.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Penyerahan surat berharga oleh Bank sebagai agunan untuk
perpanjangan jangka waktu PLJP tidak digantungkan pada
kecukupan jumlah agunan PLJP.
Ayat (5)
Cukup jelas.
- 12 -
Pasal 17
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Bank Indonesia dapat menggunakan jasa pihak ketiga untuk
melakukan verifikasi dan/atau penilaian terhadap dokumen
yang terkait dengan agunan PLJP.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Sumber dana lain dibuktikan dengan tersedianya tambahan
dana di rekening giro Bank di Bank Indonesia yang disertai
dokumen dan/atau data pendukung.
Ayat (8)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Informasi bahwa Bank tidak lagi memenuhi persyaratan
antara lain diperoleh dari OJK dan/atau hasil verifikasi
dan/atau penilaian bersama oleh Bank Indonesia dan OJK
terhadap agunan PLJP.
Ayat (9)
Cukup jelas.
- 13 -
Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “dokumen yang mendukung jumlah
kebutuhan untuk mengatasi Kesulitan Likuiditas Jangka
Pendek” antara lain proyeksi arus kas paling singkat 30
(tiga puluh) hari kalender sejak tanggal permohonan
penambahan plafon PLJP.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 19
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Bank Indonesia dapat menggunakan jasa pihak ketiga untuk
melakukan verifikasi dan/atau penilaian terhadap dokumen
yang terkait dengan agunan PLJP.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Huruf a
Cukup jelas.
- 14 -
Huruf b
Sumber dana lain dibuktikan dengan tersedianya
tambahan dana di rekening giro Bank di Bank Indonesia
yang disertai dokumen dan/atau data pendukung.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Ayat (10)
Cukup jelas.
Pasal 20
Ayat (1)
Permohonan penurunan plafon didasarkan pada kebutuhan
likuiditas Bank sampai dengan Bank memenuhi GWM sesuai
dengan ketentuan yang mengatur mengenai giro wajib
minimum, yang didukung dengan proyeksi arus kas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 21
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “kewajiban PLJP” adalah pokok atau
baki debet (outstanding) PLJP, bunga PLJP, dan biaya lainnya
terkait PLJP.
Larangan bagi Bank berlaku juga bagi UUS dari Bank penerima
PLJP.
Huruf a
Yang dimaksud dengan “penempatan dana” antara lain
penempatan dana pada pasar uang antar bank (PUAB),
pasar uang antar bank berdasarkan prinsip syariah (PUAS),
dan pembelian surat berharga.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
- 15 -
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 22
Operasi moneter Bank Indonesia yang bersifat ekspansi antara lain
transaksi repurchase agreement (repo) dalam rangka operasi pasar
terbuka dan transaksi lending facility dalam rangka standing
facilities.
Pembatasan keikutsertaan bagi Bank hanya dalam operasi moneter
Bank Indonesia yang bersifat ekspansi berlaku juga bagi UUS dari
Bank dalam operasi moneter syariah.
Pasal 23
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan ""repurchase agreement rate"" atau repo
rate adalah tingkat suku bunga lending facility sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai operasi moneter.
Rumus perhitungan besarnya bunga PLJP adalah sebagai
berikut:
X = P x R x t/360
Keterangan:
X : besarnya bunga yang diterima Bank Indonesia.
P : baki debet PLJP.
R : lending facility + 400 (empat ratus) basis poin.
t
: jumlah hari kalender perhitungan bunga.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 24
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pokok” adalah baki debet PLJP pada
saat jatuh waktu.
- 16 -
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “prefund debit” adalah prefund debit
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai penyelenggaraan transfer dana dan kliring
berjadwal.
Pasal 25
Ayat (1)
Huruf a
Pendebitan saldo rekening giro Bank dilakukan sepanjang
terdapat baki debet (outstanding) PLJP, paling tinggi sebesar
nilai terendah antara baki debet PLJP dan kelebihan saldo
rekening giro dari kewajiban GWM ditambah 10% (sepuluh
persen) dari kewajiban GWM.
Huruf b
Pelunasan sebelum PLJP jatuh waktu dilakukan dengan
mendebit saldo rekening giro Bank sebesar pokok dan
bunga PLJP.
Huruf c
Apabila saat jatuh waktu PLJP bertepatan pada hari Sabtu,
hari Minggu, hari libur, atau pada hari kerja yang
kemudian ditetapkan sebagai hari libur maka pendebitan
saldo rekening giro Bank dilakukan pada hari kerja
berikutnya, tanpa memperhitungkan bunga PLJP pada hari
tersebut.
Dalam hal Bank Indonesia beroperasi secara terbatas pada
hari libur atau cuti bersama, dimana Bank Indonesia
mengoperasikan sistem BI-RTGS dan SKNBI maka hari
tersebut termasuk sebagai hari kerja.
Ayat (2)
Pelunasan kewajiban PLJP merupakan transaksi high priority
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai penyelenggaraan setelmen dana seketika
melalui sistem BI-RTGS, dan penyelesaiannya dilakukan
mendahului penyelesaian transaksi lainnya.
Ayat (3)
Cukup jelas.
- 17 -
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Ayat (1)
Biaya yang timbul sehubungan dengan proses PLJP berupa
biaya jasa pihak ketiga untuk verifikasi dan/atau penilaian
agunan, biaya notaris untuk pengikatan perjanjian dan
pengikatan agunan, biaya dalam rangka eksekusi agunan, biaya
penyimpanan dokumen terkait agunan, dan biaya terkait lain.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Ayat (1)
Pengawasan dilakukan dalam rangka melaksanakan ketentuan
yang dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai
pencegahan dan penanganan krisis sistem keuangan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
- 18 -
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6044
"," PBI
19/3/PBI/2017
PINJAMAN LIKUIDITAS JANGKA PENDEK BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL
11 April 2017
13 April 2017
13 April 2017
'14/16/PBI/2012'
'23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '6/UU/2009', '9/UU/2016'
'BAB XIV'
"
" PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 11/29/PBI/2009
TENTANG
FASILITAS PENDANAAN JANGKA PENDEK SYARIAH
BAGI BANK PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa kegiatan usaha Bank Pembiayaan Rakyat Syariah
dipengaruhi oleh fluktuasi perekonomian daerah setempat dan
perekonomian nasional;
b. bahwa dalam kondisi perekonomian yang sedang mengalami
penurunan, risiko likuiditas yang dihadapi Bank Pembiayaan
Rakyat Syariah dapat meningkat;
c. bahwa Bank Pembiayaan Rakyat Syariah yang mengalami
kesulitan likuiditas perlu diberikan akses untuk memperoleh
fasilitas pendanaan jangka pendek syariah;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a, huruf b dan huruf c, dipandang perlu untuk mengatur
ketentuan mengenai Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Syariah
bagi Bank Pembiayaan Rakyat Syariah;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843)
sebagaimana ...
- 2 -
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4962);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4867);
M E M U T U S K A N:
Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG FASILITAS
PENDANAAN JANGKA PENDEK SYARIAH BAGI BANK
PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank Indonesia adalah Bank Sentral Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009;
2. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah, yang selanjutnya disebut
BPRS adalah Bank Pembiayaan Rakyat Syariah sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan ...
- 3 -
Perbankan Syariah;
3. Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Syariah, yang selanjutnya
disebut FPJPS adalah fasilitas pendanaan berdasarkan prinsip
syariah dari Bank Indonesia kepada BPRS untuk mengatasi
kesulitan pendanaan jangka pendek yang dialami oleh BPRS;
4. Kesulitan Pendanaan Jangka Pendek adalah keadaan yang
dialami BPRS yang disebabkan oleh terjadinya arus dana masuk
yang lebih kecil dibandingkan dengan arus dana keluar
(mismatch);
5. Rasio Kebutuhan Kas adalah perhitungan kebutuhan kas BPRS
yang didasarkan pada perbandingan antara alat likuid berupa kas,
dan antarbank aktiva yang tidak diblokir yaitu giro, tabungan dan
deposito jatuh tempo dengan kewajiban likuid berupa kewajiban
segera, simpanan dana nasabah tidak terkait yaitu tabungan dan
deposito jatuh tempo serta antarbank pasiva tidak terkait yaitu
tabungan dan deposito jatuh tempo;
6. Pembiayaan adalah pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah;
7. Mudharabah adalah perjanjian antara pemilik dana dengan
pengelola dana untuk memelihara likuiditas BPRS.
BAB II ...
- 4 -
BAB II
PERSYARATAN DAN TATA CARA PERMOHONAN FPJPS
Pasal 2
(1) BPRS yang mengalami Kesulitan Pendanaan Jangka Pendek
dapat mengajukan permohonan FPJPS dengan memenuhi
persyaratan sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia
ini.
(2) BPRS dapat mengajukan permohonan FPJPS sepanjang
memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. memiliki penilaian tingkat kesehatan paling kurang
peringkat komposit 3 (PK-3) selama 2 (dua) periode
terakhir;
b. memiliki penilaian faktor manajemen paling kurang
peringkat C selama 2 (dua) periode terakhir; dan
c. memiliki arus kas harian negatif selama 14 (empat belas)
hari kalender terakhir.
(3) Plafon FPJPS diberikan paling banyak sebesar kebutuhan
pendanaan jangka pendek BPRS untuk mencapai Rasio
Kebutuhan Kas sebesar 10% (sepuluh persen).
Pasal 3
FPJPS yang diterima oleh BPRS menggunakan akad Mudharabah.
Pasal 4 ...
- 5 -
Pasal 4
FPJPS wajib dijamin oleh BPRS dengan agunan yang berkualitas
tinggi yang nilainya memadai sebagaimana diatur dalam Peraturan
Bank Indonesia ini.
Pasal 5
(1) Agunan yang berkualitas tinggi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 adalah berupa :
a. aset Pembiayaan;
b. surat berharga yang dimiliki pemegang saham.
(2) Aset Pembiayaan yang dapat dijadikan agunan FPJPS
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi kriteria
sebagai berikut:
a. memiliki akad Pembiayaan yang masih berlaku selama
jangka waktu FPJPS;
b. memiliki kolektibilitas lancar selama paling kurang 3 (tiga)
bulan terakhir;
c. memiliki agunan;
d. bukan merupakan Pembiayaan kepada pihak terkait BPRS;
dan
e. memiliki saldo pokok tidak melebihi plafon Pembiayaan dan
batas maksimum penyaluran dana.
(3) Surat berharga yang dimiliki pemegang saham sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b berupa :
a. surat ...
- 6 -
a. surat berharga yang diterbitkan oleh Pemerintah Republik
Indonesia dan/atau Bank Indonesia yang meliputi Surat
Utang Negara (SUN), Surat Berharga Syariah Negara
(SBSN) dan Sertifikat Bank Indonesia (SBI);
b. surat berharga yang diterbitkan oleh badan hukum lainnya
yang pada saat permohonan FPJPS memiliki peringkat
paling kurang peringkat investasi (investment grade), aktif
diperdagangkan, dan sisa jangka waktu surat berharga paling
kurang 90 (sembilan puluh) hari.
(4) Surat berharga yang dimiliki pemegang saham sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b hanya dapat digunakan sebagai
agunan FPJPS dalam hal aset Pembiayaan yang dimiliki oleh
BPRS tidak mencukupi untuk menjadi agunan FPJPS.
Pasal 6
(1) Nilai agunan FPJPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
ditetapkan sebagai berikut :
a. dalam hal agunan berupa aset Pembiayaan, nilai
agunan tersebut ditetapkan paling kurang sebesar 150%
(seratus lima puluh persen) dari plafon FPJPS, yang dihitung
berdasarkan saldo pokok aset Pembiayaan yang diagunkan.
b. dalam hal agunan berupa SBI, nilai agunan ditetapkan paling
kurang sebesar 100% (seratus persen) dari plafon FPJPS
yang dihitung berdasarkan nilai jual SBI yang diagunkan;
c. dalam hal agunan berupa SUN atau SBSN, nilai agunan
ditetapkan paling kurang sebesar 105% (seratus lima persen)
dari ...
- 7 -
dari plafon FPJPS yang dihitung berdasarkan nilai pasar
surat berharga tersebut.
d. dalam hal agunan berupa surat berharga sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) huruf b, nilai agunan
ditetapkan sesuai dengan jenis surat berharga paling kurang
sebesar 120% (seratus dua puluh persen) dari plafon FPJPS,
yang dihitung berdasarkan nilai pasar surat berharga.
(2) Ketentuan mengenai nilai jual dan nilai pasar sebagaimana
tersebut pada ayat (1) huruf b, huruf c dan huruf d akan diatur
lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 7
(1) Agunan FPJPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1)
harus bebas dari segala bentuk perikatan, sengketa, dan tidak
sedang dijaminkan kepada pihak lain.
(2) BPRS wajib mengganti dan/atau menambah agunan FPJPS
apabila tidak memenuhi kondisi-kondisi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).
(3) Dalam hal terjadi penurunan kolektibilitas aset Pembiayaan yang
diagunkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2), BPRS
wajib menambah dan/atau mengganti agunan FPJPS.
(4) Untuk keperluan perpanjangan FPJPS, BPRS dapat
menjaminkan kembali aset Pembiayaan yang sedang menjadi
agunan FPJPS.
Pasal 8 ...
- 8 -
Pasal 8
(1) Pengikatan agunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat
(1) dilakukan sesuai dengan peraturan perundangan-undangan
yang berlaku.
(2) Dokumen-dokumen agunan FPJPS ditatausahakan oleh Bank
Indonesia.
Pasal 9
(1) BPRS yang memerlukan FPJPS mengajukan permohonan secara
tertulis kepada Bank Indonesia.
(2) Permohonan FPJPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
dilengkapi dengan dokumen-dokumen sebagai berikut:
a. perhitungan jumlah kebutuhan pendanaan jangka pendek
yang didukung dengan data-data keuangan terkait;
b. surat pernyataan BPRS mengalami Kesulitan Pendanaan
Jangka Pendek;
c. surat pernyataan BPRS bahwa seluruh agunan FPJPS tidak
sedang dijaminkan kepada pihak lain, tidak dibawah sitaan,
tidak tersangkut dalam suatu perkara atau sengketa, dan
memenuhi seluruh persyaratan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5;
d. surat pernyataan kesanggupan BPRS untuk membayar segala
kewajiban terkait FPJPS pada saat jatuh tempo;
e. surat ...
- 9 -
e. surat pernyataan BPRS mengenai kebenaran dan
kelengkapan data dan dokumen yang disampaikan kepada
Bank Indonesia;
f. surat kuasa dari BPRS kepada Bank Indonesia untuk
melakukan pendebetan seluruh rekening BPRS pada bank
umum dalam rangka pembayaran segala kewajiban BPRS
terkait FPJPS;
g. daftar aset Pembiayaan dan surat berharga yang dimiliki
pemegang saham yang menjadi agunan FPJPS beserta
dokumen pendukung; dan
h. akta pengikatan agunan FPJPS.
(3) Tata cara permohonan FPJPS sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 10
(1) Persetujuan Bank Indonesia atas permohonan FPJPS
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dilakukan apabila:
a. BPRS memenuhi persyaratan permohonan FPJPS;
b. BPRS memenuhi persyaratan kelengkapan dokumen
permohonan FPJPS; dan
c. berdasarkan analisis Bank Indonesia diperkirakan bahwa
BPRS tidak dapat memenuhi kewajiban pendanaan jangka
pendek.
(2). Persetujuan ...
- 10 -
(2) Persetujuan pemberian FPJPS sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dituangkan dalam perjanjian pemberian FPJPS secara notariil
antara Bank Indonesia dengan BPRS penerima FPJPS.
(3) Perjanjian pemberian FPJPS sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) diikuti dengan perjanjian pengikatan agunan FPJPS secara
gadai dan/atau fidusia.
(4) Realisasi pemberian FPJPS oleh Bank Indonesia dilakukan
dengan mengkredit rekening BPRS yang bersangkutan pada
bank umum, setelah perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) ditandatangani.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai perjanjian pemberian FPJPS
diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 11
Bank Indonesia dapat menolak permohonan FPJPS sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9, apabila permohonan dimaksud tidak sesuai
dengan ketentuan, tata cara dan/atau persyaratan yang diatur dalam
Peraturan Bank Indonesia ini.
Pasal 12
(1) Jangka waktu setiap FPJPS paling lama 30 (tiga puluh) hari
kalender.
(2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
diperpanjang secara berturut-turut dengan jangka waktu
keseluruhan paling lama 90 (sembilan puluh) hari kalender.
Pasal 13 ...
- 11 -
Pasal 13
Perpanjangan FPJPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2)
hanya dapat dilakukan apabila:
a.
imbalan atas FPJPS yang jatuh tempo dilunasi terlebih dahulu;
b. BPRS tidak dapat memenuhi Rasio Kebutuhan Kas sebesar 10%
(sepuluh persen); dan
c.
agunan masih mencukupi dan memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6 dan Pasal 7.
Pasal 14
(1) BPRS dapat mengajukan tambahan plafon FPJPS yang
dibutuhkan untuk menutupi kewajiban yang tidak dapat
diselesaikan BPRS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
(1) sepanjang:
a. BPRS menambah agunan dan memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6 dan Pasal 7;
dan
b. penggunaan FPJPS belum melampaui 90 (sembilan puluh)
hari kalender sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat
(2).
(2) Penambahan plafon FPJPS dapat dilakukan sepanjang Rasio
Kebutuhan Kas kurang dari 10% (sepuluh persen).
(3) Jangka waktu setiap tambahan plafon FPJPS adalah sampai
dengan jatuh tempo FPJPS.
BAB III ...
- 12 -
BAB III
PERHITUNGAN DAN PEMBAYARAN IMBALAN
Pasal 15
(1) Bank Indonesia memperoleh imbalan atas setiap FPJPS yang
diterima oleh BPRS.
(2) Besarnya imbalan FPJPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dihitung berdasarkan jumlah pokok FPJPS, tingkat realisasi
imbalan, nisbah bagi hasil bagi Bank Indonesia dan jumlah hari
kalender penggunaan FPJPS.
(3) Besarnya nisbah bagi hasil bagi Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), ditetapkan sebesar 90% (sembilan puluh
persen).
BAB IV
PELUNASAN DAN EKSEKUSI AGUNAN
Pasal 16
(1) Pada saat FPJPS jatuh tempo, Bank Indonesia mendebet
rekening BPRS di bank umum syariah, unit usaha syariah
dan/atau bank umum konvensional sebesar pokok FPJPS
ditambah imbalan FPJPS.
(2) Dalam hal FPJPS jatuh tempo dan saldo rekening BPRS yang
bersangkutan di bank umum syariah, unit usaha syariah dan/atau
bank umum konvensional tidak mencukupi untuk membayar
pokok dan imbalan FPJPS dan/atau BPRS tidak lagi memenuhi
persyaratan ...
- 13 -
persyaratan untuk memperoleh perpanjangan FPJPS, maka
dilakukan eksekusi agunan FPJPS.
(3) Bank Indonesia tetap mengenakan beban imbalan sampai dengan
eksekusi agunan selesai dilaksanakan.
(4) Apabila nilai hasil eksekusi agunan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) lebih kecil dibandingkan dengan jumlah pokok dan
imbalan FPJPS yang harus dilunasi oleh BPRS, maka BPRS
wajib membayar kekurangannya kepada Bank Indonesia.
(5) Apabila nilai hasil eksekusi agunan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) lebih besar dibandingkan dengan jumlah pokok dan
imbalan FPJPS yang harus dilunasi oleh BPRS, maka Bank
Indonesia mengembalikan kelebihan tersebut kepada BPRS.
(6) Eksekusi agunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB V
PENGAWASAN
Pasal 17
(1) BPRS wajib menyampaikan rencana tindak perbaikan (action
plan) untuk mengatasi Kesulitan Pendanaan Jangka Pendek
paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah perjanjian
pemberian FPJPS atau addendumnya ditandatangani.
(2) BPRS wajib menyampaikan laporan secara mingguan kepada
Bank Indonesia, berupa:
a. perhitungan Rasio Kebutuhan Kas harian;
b. kolektibilitas harian aset Pembiayaan yang diagunkan; dan
c. penggunaan FPJPS harian.
Pasal 18 ...
- 14 -
Pasal 18
Bank Indonesia melakukan pemeriksaan khusus penggunaan FPJPS
terhadap BPRS penerima FPJPS.
BAB VI
BIAYA PEMBERIAN FPJPS
Pasal 19
Biaya-biaya yang timbul sehubungan dengan pemberian FPJPS
menjadi beban BPRS.
BAB VII
SANKSI
Pasal 20
Dalam hal BPRS tidak melunasi FPJPS, melakukan pelanggaran atas
ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini dan/atau berdasarkan
pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 diketahui adanya
penyimpangan penggunaan FPJPS, maka BPRS dikenakan sanksi
administratif sebagaimana diatur dalam Pasal 58 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah antara lain
berupa teguran tertulis, penurunan tingkat kesehatan, pembekuan
kegiatan usaha tertentu dan/atau pemberhentian pengurus BPRS.
Pasal 21 ...
- 15 -
Pasal 21
Apabila anggota dewan komisaris, direksi, pemegang saham
pengendali dan/atau pegawai BPRS tidak melaksanakan langkah-
langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan BPRS terhadap
ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini dan/atau dengan
sengaja memberikan keterangan atau dokumen yang diwajibkan
dalam Peraturan Bank Indonesia ini secara tidak benar, dikenakan
sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 22
Ketentuan lebih lanjut mengenai FPJPS diatur dalam Surat Edaran
Bank Indonesia.
Pasal 23
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar ...
- 16 -
Agar setiap orang mengetahuinya memerintahkan pengundangan
Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 7 Juli 2009
Pjs. GUBERNUR BANK INDONESIA,
MIRANDA S. GOELTOM
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 7 Juli 2009
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 107
DPbS
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 11/29/PBI/2009
TENTANG
FASILITAS PENDANAAN JANGKA PENDEK SYARIAH BAGI BANK
PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH
I. UMUM
Perkembangan usaha BPRS dipengaruhi oleh naik turunnya kondisi
perekonomian daerah maupun perekonomian nasional. Kondisi perekonomian
yang menurun akan dapat berdampak terhadap kondisi BPRS.
Kondisi perekonomian yang menurun dapat menimbulkan permasalahan
likuiditas yang pada akhirnya dapat berdampak terhadap sistem perbankan
Indonesia termasuk perbankan syariah, sehingga menurunkan kepercayaan
masyarakat terhadap perbankan nasional. Kepercayaan masyarakat merupakan
salah satu prasyarat utama yang diperlukan untuk menciptakan sistem perbankan
syariah yang stabil.
Untuk mengantisipasi kemungkinan penurunan kepercayaan masyarakat
terhadap Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) dan menjaga stabilitas sistem
perbankan syariah diperlukan langkah-langkah tertentu dalam mengantisipasi
terjadinya risiko likuiditas pada BPRS.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2009, Bank Indonesia dapat memberikan Pembiayaan berdasarkan prinsip
syariah kepada bank untuk mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek yang
dijamin ...
- 2 -
dijamin dengan agunan yang berkualitas tinggi termasuk aset Pembiayaan
kolektibilitas lancar. Sejalan dengan hal tersebut, Bank Indonesia menyediakan
fasilitas pendanaan dalam rangka mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek
kepada BPRS dengan maksud agar kelangsungan kegiatan usaha BPRS dapat
terpelihara.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Penilaian tingkat kesehatan didasarkan pada ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai penilaian tingkat kesehatan
BPRS.
Huruf b
Penilaian faktor manajemen didasarkan pada ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai penilaian tingkat kesehatan
BPRS.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (3)
Kebutuhan pendanaan jangka pendek BPRS dihitung berdasarkan
posisi Rasio Kebutuhan Kas pada tanggal pengajuan permohonan
FPJPS.
Pasal 3 ...
- 3 -
Pasal 3
Cukup jelas
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “kolektibilitas lancar” adalah kualitas lancar
sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai
penilaian kualitas aktiva BPRS.
Huruf c
Adanya agunan dimaksudkan untuk memberi tambahan keyakinan
mengenai kualitas aset Pembiayaan yang dijadikan agunan FPJPS.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “pihak terkait” adalah pihak terkait
sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai Batas
Maksimum Penyaluran Dana (BMPD) yang berlaku bagi Bank
Pembiayaan Rakyat Syariah.
Huruf e
Batas maksimum penyaluran dana mengacu pada ketentuan Bank
Indonesia ...
- 4 -
Indonesia mengenai Batas Maksimum Penyaluran Dana (BMPD)
yang berlaku bagi Bank Pembiayaan Rakyat Syariah.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “surat berharga syariah yang diterbitkan oleh
badan hukum lainnya” adalah obligasi syariah korporasi (sukuk
korporasi).
Peringkat tersebut berdasarkan hasil penilaian lembaga pemeringkat
yang diakui Bank Indonesia sebagaimana diatur dalam ketentuan
Bank Indonesia mengenai lembaga pemeringkat dan peringkat yang
diakui Bank Indonesia.
Ayat (4)
Apabila BPRS memiliki aset Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) namun nilainya tidak mencukupi untuk menjadi agunan FPJPS maka
BPRS dapat menggunakan surat berharga milik pemegang saham untuk
menambah kekurangan nilai agunan.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3) ...
- 5 -
Ayat (3)
Penggantian atau penambahan agunan FPJPS dimaksudkan agar nilai
agunan FPJPS sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
6.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “peraturan perundang-undangan yang berlaku”
antara lain peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai gadai
atau fidusia.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “dokumen-dokumen agunan FPJPS” antara lain
akad Pembiayaan antara BPRS dengan nasabah, bukti pengikatan agunan
dan bukti kepemilikan atas aset yang menjadi agunan Pembiayaan BPRS.
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “perhitungan jumlah kebutuhan pendanaan
jangka pendek” adalah perhitungan Rasio Kebutuhan Kas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c ...
- 6 -
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Yang dimaksud dengan dokumen pendukung antara lain akad
Pembiayaan antara BPRS dengan nasabah, pengikatan agunan atas
Pembiayaan tersebut baik secara notariil maupun dibawah tangan,
bukti kepemilikan agunan dari aset Pembiayaan antara lain bukti
kepemilikan kendaraan bermotor, sertifikat tanah, surat keputusan
pengangkatan pegawai dan dokumen lain yang dapat membuktikan
terpenuhinya persyaratan agunan.
Huruf h
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)...
- 7 -
Ayat (3)
Penandatanganan perjanjian pemberian FPJPS dan perjanjian pengikatan
agunan dilakukan pada waktu bersamaan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Apabila saat jatuh tempo FPJPS bertepatan pada hari Sabtu, Minggu atau
hari libur nasional, maka pendebetan saldo rekening BPRS di bank umum
syariah, unit usaha syariah dan/atau bank umum konvensional dilakukan
pada hari kerja berikutnya.
Ayat (2)
Jangka waktu perpanjangan FPJPS sama dengan jangka waktu pemberian
FPJPS yaitu 30 (tiga puluh) hari kalender.
Pasal 13
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c...
- 8 -
Huruf c
Dalam rangka pelaksanaan perpanjangan FPJPS, agunan yang telah
diagunkan BPRS untuk menjamin FPJPS yang diterima BPRS sebelumnya
akan dinilai kembali, sehingga BPRS perlu menyesuaikan jumlah agunan
yang diserahkan untuk menjamin perpanjangan FPJPS.
Pasal 14
Ayat (1)
Tambahan plafon FPJPS yang diajukan akan diakumulasikan terhadap
jumlah FPJPS yang belum dilunasi.
Ayat (2)
Cukup Jelas.
Ayat (3)
Sebagai contoh:
FPJPS diberikan pada tanggal 1 Desember 2008 dengan jangka waktu 30
hari kalender sehingga jatuh tempo FPJPS adalah tanggal 30 Desember
2008. Tambahan FPJPS diberikan kepada BPRS pada tanggal 15 Desember
2008, maka jatuh tempo tambahan plafon FPJPS adalah tetap pada tanggal
30 Desember 2008.
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Rumus perhitungan besarnya imbalan FPJPS adalah sebagai berikut:
X = P x R x k x t/360
dimana :...
- 9 -
dimana :
X : Besarnya imbalan yang diterima Bank Indonesia;
P : Jumlah pokok FPJPS;
R : Realisasi tingkat imbalan sebelum distribusi pada BPRS penerima
FPJPS;
k : Nisbah bagi hasil bagi Bank Indonesia; dan
t
: Jumlah hari kalender penggunaan FPJPS.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 16
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “jatuh tempo” adalah berakhirnya jangka waktu
FPJPS.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 17 ...
- 10 -
Pasal 17
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Laporan wajib disampaikan pada hari kerja pertama pada minggu
berikutnya.
Pasal 18
Pemeriksaan terhadap BPRS yang menerima FPJPS dapat dilakukan selama
jangka waktu FPJPS atau setelah jatuh tempo FPJPS.
Pasal 19
Yang dimaksud dengan “biaya” antara lain biaya notaris untuk pengikatan
perjanjian FPJPS, pengikatan jaminan gadai atau fidusia, biaya eksekusi agunan
serta biaya lainnya yang mungkin timbul dalam rangka pemberian FPJPS.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup Jelas.
Pasal 22
Cukup Jelas.
Pasal 23 ...
- 11 -
Pasal 23
Cukup Jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5033
DPbS
"," PBI
11/29/PBI/2009
FASILITAS PENDANAAN JANGKA PENDEK SYARIAH BAGI BANK PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH
7 Juli 2009
7 Juli 2009
7 Juli 2009
'21/UU/2008', '6/UU/2009', '23/UU/1999'
'BAB VII'
"
" PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 5/ 23 /PBI/2003
TENTANG
PENERAPAN PRINSIP MENGENAL NASABAH
(KNOW YOUR CUSTOMER PRINCIPLES)
BAGI BANK PERKREDITAN RAKYAT
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa dalam menjalankan kegiatan usaha, Bank Perkreditan
Rakyat menghadapi berbagai risiko usaha;
b. bahwa untuk mengurangi risiko usaha, Bank Perkreditan Rakyat
wajib menerapkan prinsip kehati-hatian;
c. bahwa salah satu upaya melaksanakan prinsip kehati-hatian
adalah penerapan prinsip mengenal nasabah;
d. bahwa berdasarkan hal tersebut diatas perlu diatur ketentuan
tentang penerapan prinsip mengenal nasabah bagi Bank
Perkreditan Rakyat dalam suatu Peraturan Bank Indonesia;
Mengingat :
1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3472) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998
(Lembaran …
- 2 -
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3790);
2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843);
3. Undang-undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
30 Tahun 2002; Tambahan Lembaran
Negara Republik
Indonesia Nomor 4191) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 25 Tahun 2003 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 108, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 4324);
M E M U T U S K A N :
Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENERAPAN
PRINSIP MENGENAL NASABAH (KNOW YOUR CUSTOMER
PRINCIPLES) BAGI BANK PERKREDITAN RAKYAT.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan :
1. Bank Perkreditan Rakyat yang selanjutnya disebut BPR, adalah BPR
sebagaimana …
- 3 -
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10
Tahun 1998.
2. Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer Principles) adalah prinsip
yang diterapkan BPR untuk mengetahui identitas nasabah, memantau
kegiatan transaksi nasabah termasuk pelaporan transaksi yang
mencurigakan.
3. Pusat Pelaporan Dan Analisis Transaksi Keuangan yang selanjutnya disebut
PPATK adalah lembaga independen yang dibentuk dalam rangka mencegah
dan memberantas tindak pidana pencucian uang sebagaimana dimaksud
dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor
25 Tahun 2003.
4. Nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa BPR.
5. Hasil Tindak Pidana adalah harta kekayaan yang diperoleh dari tindak
pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 15
Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah
diubah dengan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2003.
Pasal 2
(1) BPR wajib menerapkan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer
Principles).
(2) Dalam menerapkan Prinsip Mengenal Nasabah sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), BPR wajib :
a. menetapkan …
- 4 -
a. menetapkan kebijakan penerimaan Nasabah;
b. menetapkan kebijakan dan prosedur dalam mengidentifikasi Nasabah;
c. menetapkan kebijakan dan prosedur pemantauan terhadap rekening dan
transaksi Nasabah;
d. menetapkan kebijakan dan prosedur manajemen risiko yang berkaitan
dengan penerapan Prinsip Mengenal Nasabah.
Pasal 3
(1) Direksi BPR wajib bertanggung jawab atas penerapan dan pengawasan
pelaksanaan Prinsip Mengenal Nasabah.
(2) Direksi BPR bertanggung jawab atas pemberian pengetahuan dan atau
pelatihan bagi karyawan mengenai penerapan Prinsip Mengenal Nasabah.
(3) Direksi BPR bertanggung jawab untuk menangani Nasabah yang dianggap
mempunyai risiko tinggi termasuk penyelenggara negara, dan atau transaksi-
transaksi yang dapat dikategorikan transaksi keuangan mencurigakan
(suspicious transactions) sebagaimana contoh dalam Lampiran.
BAB II
KEBIJAKAN PENERIMAAN DAN IDENTIFIKASI NASABAH
Pasal 4
(1) Sebelum melakukan hubungan usaha dengan Nasabah, BPR wajib meminta
informasi mengenai:
a. identitas calon Nasabah;
b. maksud …
- 5 -
b. maksud dan tujuan calon Nasabah melakukan hubungan usaha dengan
BPR;
c. informasi lain yang memungkinkan BPR untuk dapat mengetahui profil
calon Nasabah; dan
d. identitas pihak lain, dalam hal calon Nasabah bertindak untuk dan atas
nama pihak lain.
(2) Identitas calon Nasabah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dapat
dibuktikan dengan keberadaan dokumen pendukung.
(3) BPR wajib meneliti kebenaran dokumen pendukung identitas calon Nasabah
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
(4) Bagi BPR yang telah menggunakan media elektronis dalam pelayanan jasa
perbankan wajib melakukan pertemuan dengan calon Nasabah sekurang-
kurangnya pada saat pembukaan rekening.
Pasal 5
Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) bagi :
a. Nasabah perorangan sekurang-kurangnya terdiri dari:
1) identitas Nasabah yang memuat :
a) nama;
b) alamat tinggal tetap;
c) tempat dan tanggal lahir;
d) kewarganegaraan;
2) keterangan mengenai pekerjaan;
3) spesimen …
- 6 -
3) spesimen tanda tangan; dan
4) keterangan mengenai sumber dana dan tujuan penggunaan dana;
b. Nasabah perusahaan sekurang-kurangnya terdiri dari :
1) akte pendirian/anggaran dasar bagi perusahaan yang bentuknya diatur
dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku;
2) izin usaha dari instansi berwenang;
3) nama, spesimen tanda-tangan dan kuasa kepada pihak-pihak yang
ditunjuk mempunyai wewenang bertindak untuk dan atas nama
perusahaan dalam melakukan hubungan usaha dengan BPR;
4) keterangan sumber dana dan tujuan penggunaan dana;
5) Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP);
6) dokumen identitas pengurus yang berwenang mewakili perusahaan;
c. Nasabah berupa lembaga pemerintah, lembaga internasional, dan perwakilan
negara asing sekurang-kurangnya berupa nama, spesimen tanda-tangan dan
surat penunjukan bagi pihak-pihak yang berwenang mewakili lembaga
dalam melakukan hubungan usaha dengan BPR;
d. Nasabah berupa bank, terdiri dari dokumen-dokumen yang lazim dalam
melakukan hubungan transaksi antar bank, antara lain :
1) akte pendirian / anggaran dasar bank;
2) izin usaha dari instansi yang berwenang;
3) nama, spesimen tanda-tangan dan kuasa kepada pihak-pihak yang
ditunjuk mempunyai wewenang bertindak untuk dan atas nama bank
dalam melakukan hubungan usaha dengan BPR.
Pasal 6 …
- 7 -
Pasal 6
(1) Dalam hal calon Nasabah bertindak sebagai perantara dan atau kuasa pihak
lain (beneficial owner) untuk membuka rekening, BPR wajib memperoleh
dokumen pendukung identitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, dan
dokumen yang memuat keterangan tentang hubungan hukum, penugasan,
serta kewenangan bertindak sebagai perantara dan atau kuasa pihak lain.
(2) Dalam hal calon Nasabah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan
bank lain maka verifikasi atau konfirmasi atas identitas beneficial owner
dilakukan oleh bank lain yang merupakan calon nasabah tersebut.
(3) Dalam hal calon Nasabah bukan merupakan pihak-pihak sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), BPR wajib memperoleh bukti atas
identitas dari beneficial owner, sumber dana dan tujuan penggunaan dana,
serta informasi lainnya mengenai beneficial owner dari Nasabah, yang
antara lain berupa:
a. bagi beneficial owner perorangan :
1) dokumen identitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a;
2) bukti pemberian kuasa kepada calon Nasabah;
3) pernyataan dari calon Nasabah bahwa telah dilakukan penelitian
terhadap kebenaran identitas maupun sumber dana dari beneficial
owner;
b. bagi beneficial owner perusahaan termasuk bank :
1) dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b atau huruf d;
2) dokumen identitas pengurus yang berwenang mewakili perusahaan;
3) dokumen identitas pemegang saham pengendali perusahaan;
4) bukti …
- 8 -
4) bukti pemberian kuasa kepada Nasabah termasuk untuk pembukaan
rekening;
5) pernyataan dari Nasabah bahwa telah dilakukan penelitian terhadap
kebenaran identitas maupun sumber dana dari beneficial owner.
(4) Dalam hal BPR meragukan atau tidak dapat meyakini identitas beneficial
owner, BPR wajib menolak untuk melakukan hubungan usaha dengan calon
Nasabah.
Pasal 7
BPR dilarang melakukan hubungan usaha dengan calon Nasabah yang tidak
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5 dan Pasal 6.
BAB III
PEMANTAUAN REKENING DAN TRANSAKSI NASABAH
Pasal 8
(1) BPR wajib melakukan pengkinian data dalam hal terdapat perubahan
terhadap dokumen-dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 atau
Pasal 6.
(2) BPR wajib menatausahakan dokumen-dokumen sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 dan Pasal 6 sampai dengan sekurang-kurangnya 5 (lima)
tahun sejak Nasabah menutup rekening pada BPR.
Pasal 9 …
- 9 -
Pasal 9
BPR wajib memiliki sistem pencatatan yang dapat mengidentifikasi,
menganalisa, memantau dan menyediakan laporan secara efektif mengenai
karakteristik transaksi yang dilakukan oleh Nasabah.
Pasal 10
BPR wajib memelihara profil Nasabah yang sekurang-kurangnya meliputi
informasi mengenai :
a. pekerjaan atau bidang usaha;
b. jumlah penghasilan;
c. rekening lain yang dimiliki, apabila ada;
d. aktivitas transaksi normal; dan
e. tujuan pembukaan rekening.
BAB IV
PELAPORAN
Pasal 11
BPR wajib menyampaikan fotokopi kebijakan dan prosedur sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 6
(enam) bulan sejak diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia ini.
Pasal 12 …
- 10 -
Pasal 12
(1) BPR wajib menyampaikan laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan
kepada PPATK paling lambat 3 (tiga) hari kerja setelah BPR mengetahui
adanya unsur transaksi keuangan mencurigakan.
(2) Penyampaian laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan berpedoman pada ketentuan
yang berlaku.
BAB V
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 13
(1) Ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini tidak berlaku bagi Nasabah
yang tidak mempunyai rekening di BPR, sepanjang nilai transaksi yang
dilakukan tidak melebihi Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) atau yang
nilainya setara, baik dilakukan dalam satu kali transaksi maupun beberapa
kali transaksi dalam 1 (satu) hari kerja.
(2) Perubahan nilai transaksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan
dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
BAB VI
SANKSI
Pasal 14
Pelanggaran terhadap ketentuan dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 6, Pasal 7,
Pasal 8 …
- 11 -
Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, dan Pasal 15
dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2)
huruf b, huruf c, huruf e, huruf f, dan atau huruf g Undang-undang Nomor 7
Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-
undang Nomor 10 Tahun 1998.
BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 15
BPR wajib menerapkan Prinsip Mengenal Nasabah bagi Nasabah yang sudah
ada, termasuk pengkinian data nasabah selambat-lambatnya 6 (enam) bulan
sejak diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia ini;
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 16
Ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini tidak berlaku bagi Badan Kredit
Desa yang didirikan berdasarkan Staatsblad Tahun 1929 Nomor 357 dan
Rijksblad Tahun 1937 Nomor 9.
Pasal 17 …
- 12 -
Pasal 17
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 23 Oktober 2003
GUBERNUR BANK INDONESIA
Ttd.
BURHANUDDIN ABDULLAH
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2003 NOMOR 116
DPBPR/BPS
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 5/ 23 /PBI/2003
TENTANG
PENERAPAN PRINSIP MENGENAL NASABAH
(KNOW YOUR CUSTOMER PRINCIPLES)
BAGI BANK PERKREDITAN RAKYAT
I. UMUM
Dalam kegiatan usahanya Bank Perkreditan Rakyat dihadapkan kepada
berbagai risiko antara lain risiko reputasi, risiko operasional, risiko hukum, dan
risiko terkonsentrasinya transaksi.
Untuk mengelola risiko yang mungkin timbul maka BPR wajib
menerapkan prinsip kehati-hatian dalam melakukan kegiatan operasionalnya.
Salah satu upaya dalam melaksanakan prinsip kehati-hatian adalah penerapan
prinsip mengenal nasabah.
Berdasarkan hal-hal tersebut diatas dan mengingat bahwa Prinsip
Mengenal Nasabah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem
pengendalian risiko Bank Perkreditan Rakyat maka dipandang perlu untuk
menetapkan peraturan mengenai Prinsip Mengenal Nasabah bagi Bank
Perkreditan Rakyat.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2 …
- 2 -
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a dan huruf b
Dalam menetapkan kebijakan untuk penerimaan Nasabah,
yang menjadi pertimbangan antara lain adalah latar
belakang nasabah, kewarganegaraan, kegiatan usaha,
jabatan, pekerjaan atau indikator faktor risiko lain (contoh:
informasi mengenai dugaan keterlibatan dalam tindak
pidana)
Huruf c
Pemantauan terhadap rekening dan transaksi nasabah
dilakukan dengan penatausahaan dokumen-dokumen
nasabah, pengkinian data nasabah, pemilikan sistem
pencatatan yang dapat mengidentifikasi karakteristik
transaksi nasabah serta pemeliharaan profil nasabah.
Huruf d
Kebijakan dan prosedur manajemen risiko antara lain
mencakup :
a. pengawasan oleh manajemen;
b. pendelegasian wewenang, termasuk didalamnya
penetapan limit wewenang untuk pejabat Bank dalam
kaitannya dengan manajemen rekening atau transaksi
nasabah;
c. pemisahan …
- 3 -
c. pemisahan tugas secara jelas, termasuk didalamnya
pemisahan fungsi pelaksana dengan fungsi pemutus;
d. pengawasan intern yang melakukan pemantauan secara
reguler, yang berperan untuk mengevaluasi kebijakan
dan prosedur Prinsip Mengenal Nasabah yang
diterapkan, dan berfungsi memberikan penilaian
independen atas pelaksanaan kebijakan dan prosedur
Bank termasuk pemenuhan terhadap ketentuan umum
dan perundang-undangan yang berlaku;
e. program pelatihan karyawan yang berkelanjutan.
Pasal 3
Ayat (1)
Direksi BPR harus memberikan komitmen yang sungguh-sungguh
untuk melaksanakan Prinsip Mengenal Nasabah secara efektif.
Prinsip Mengenal Nasabah mempunyai kaitan dalam upaya
melindungi kelangsungan usaha BPR, mengingat pelaksanaan
Prinsip Mengenal Nasabah:
a. merupakan dasar untuk mengidentifikasi, membatasi, dan
mengendalikan risiko aktiva dan pasiva BPR;
b. membantu menjaga reputasi BPR serta integritas dari sistem
perbankan dengan mengurangi kemungkinan BPR untuk
dijadikan sarana atau sasaran kejahatan keuangan (financial
crimes).
Pengawasan pelaksanaan Prinsip Mengenal Nasabah terintegrasi
dalam pengawasan intern BPR.
Ayat (2) …
- 4 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Dalam pelaksanaannya, Direksi BPR dapat menunjuk petugas
untuk mengidentifikasi serta melaporkan transaksi yang dapat
dikategorikan transaksi keuangan mencurigakan.
Yang dimaksud dengan penyelenggara negara adalah
penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-
undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang
Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, yaitu
pejabat negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau
yudikatif, dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya
berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku serta pihak-pihak
yang terkait dengan penyelenggara negara antara lain:
a. perusahaan yang dimiliki dan atau dikelola penyelenggara
negara;
b. keluarga penyelenggara negara yang terdiri dari saudara
kandung, anak, orang tua, istri atau suami, mertua dan
menantu; dan
c. pihak-pihak yang secara umum dan diketahui publik
mempunyai hubungan yang dekat dengan penyelenggara
negara.
Yang dimaksud dengan transaksi yang dapat dikategorikan
transaksi keuangan mencurigakan (suspicious transactions) adalah
transaksi …
- 5 -
transaksi yang menyimpang dari profil dan karakteristik serta
kebiasaan pola transaksi Nasabah yang bersangkutan, termasuk
transaksi keuangan oleh Nasabah yang patut diduga dilakukan
dengan tujuan untuk menghindari pelaporan transaksi yang
bersangkutan yang wajib dilakukan oleh BPR sesuai ketentuan
dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak
Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-
undang Nomor 25 Tahun 2003. Dengan demikian faktor utama
untuk menentukan transaksi yang mencurigakan adalah dengan
mengetahui kelaziman transaksi yang dilakukan Nasabah,
termasuk transaksi keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan
dengan menggunakan Harta Kekayaan yang diduga berasal dari
Hasil Tindak Pidana.
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
BPR cukup menatausahakan fotokopi dokumen pendukung yang
dibuktikan dengan memperlihatkan dokumen asli oleh Nasabah.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan penelitian kebenaran dokumen pendukung
identitas Nasabah sekurang-kurangnya meliputi pemeriksaan
seluruh dokumen yang berkaitan dengan identitas Nasabah.
Apabila diperlukan, BPR dapat melakukan wawancara dengan
calon …
- 6 -
calon Nasabah untuk meneliti dan meyakini keabsahan dan
kebenaran dokumen pendukung.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan pelayanan jasa perbankan dengan
menggunakan media elektronis antara lain transaksi melalui
telepon, surat menyurat elektronis (e-mail) dan electronic banking.
Pertemuan BPR dengan Nasabah dapat dilakukan melalui petugas
khusus atau pihak lain yang mewakili BPR untuk meyakinkan BPR
terhadap identitas Nasabah.
Pasal 5
Huruf a
Angka 1)
Dokumen identitas Nasabah antara lain berupa Kartu Tanda
Penduduk (KTP), Kartu Izin Menetap Sementara (KIMS),
Surat Izin Mengemudi (SIM) atau paspor yang dilengkapi
dengan informasi mengenai alamat tinggal tetap apabila
berbeda dengan yang tertera dalam dokumen.
Angka 2)
Keterangan mengenai pekerjaan Nasabah memuat alamat
perusahaan tempat bekerja dan kegiatan usaha yang
dilakukan perusahaan. Dalam hal Nasabah tidak memiliki
pekerjaan maka data yang diperlukan adalah sumber
pendapatan.
Angka 3)
Cukup jelas.
Angka 4) …
- 7 -
Angka 4)
Cukup jelas.
Huruf b
Dalam pengertian perusahaan termasuk pula yayasan dan badan
sejenis lainnya.
Angka 1)
Cukup jelas.
Angka 2)
Cukup jelas.
Angka 3)
Cukup jelas.
Angka 4)
Cukup jelas.
Angka 5)
Apabila pada saat mengajukan permohonan untuk
menjadi Nasabah belum memiliki NPWP maka yang
bersangkutan dapat menyampaikan fotokopi
permohonan NPWP dan segera setelah Nasabah
memperoleh NPWP, BPR wajib meminta NPWP
tersebut kepada Nasabah.
Bagi calon Nasabah yang tidak wajib memiliki
NPWP, maka calon Nasabah membuat pernyataan
bahwa yang bersangkutan tidak wajib memiliki
NPWP.
Angka 6)
Cukup jelas.
Huruf c …
- 8 -
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Angka 1)
Cukup jelas.
Angka 2)
Di dalam surat kuasa dijelaskan pula hubungan
hukum.
Angka 3)
Cukup jelas.
Huruf b
Angka 1)
Cukup jelas.
Angka 2)
Cukup jelas.
Angka 3)
Cukup jelas.
Angka 4) …
- 9 -
Angka 4)
Di dalam surat kuasa dijelaskan pula hubungan
hukum.
Angka 5)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Dokumen dalam ayat ini merupakan dokumen identitas Nasabah
yang tidak merupakan dokumen keuangan sebagaimana diatur
dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1997 tentang Dokumen
Perusahaan.
Pasal 9
Sistem pencatatan yang dimiliki harus dapat memungkinkan BPR untuk
menelusuri setiap transaksi (individual transaction), apabila diperlukan,
baik untuk keperluan intern dan atau Bank Indonesia, PPATK maupun
kaitannya dengan kasus peradilan.
Hal-hal …
- 10 -
Hal-hal yang termasuk dalam penelusuran transaksi antara lain adalah
penelusuran atas identitas Nasabah, identitas mitra transaksi Nasabah,
instrumen transaksi, tanggal transaksi, jumlah dan denominasi transaksi,
dan sumber dana yang digunakan untuk transaksi.
Dengan menelusuri transaksi Nasabah maka BPR akan dapat mengetahui
karakteristik transaksi.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Penyampaian fotokopi kebijakan dan prosedur dimaksud dialamatkan
kepada :
a. DPBPR, Jl.M.H.Thamrin No.2 Jakarta 10110 bagi BPR yang berlokasi
di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Bekasi, Karawang dan Banten.
b. Kantor Bank Indonesia setempat bagi BPR yang berlokasi di luar
wilayah sebagaimana dimaksud huruf a.
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan ketentuan yang berlaku adalah Undang-
undang tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dan Ketentuan
PPATK.
Pasal 13 …
- 11 -
Pasal 13
Ayat (1)
Nasabah yang tidak mempunyai rekening namun menggunakan
jasa BPR seperti Nasabah yang menggunakan jasa transfer.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2003
NOMOR 4328
DPBPR/BPS
"," PBI
5/23/PBI/2003
PENERAPAN PRINSIP MENGENAL NASABAH (KNOW YOUR CUSTOMER PRINCIPLES) BAGI BANK PERKREDITAN RAKYAT
23 Oktober 2003
23 Oktober 2003
'25/UU/2003', '23/UU/1999', '7/UU/1992', '10/UU/1998', '15/UU/2002'
'BAB VI'
"
" PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 19/13/PBI/2017
TENTANG
PELAYANAN PERIZINAN TERPADU TERKAIT HUBUNGAN OPERASIONAL
BANK UMUM DENGAN BANK INDONESIA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa guna mewujudkan tujuan Bank Indonesia untuk
mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah, Bank
Indonesia memiliki tugas di bidang moneter, bidang sistem
pembayaran dan pengelolaan uang rupiah, serta bidang
makroprudensial;
b. bahwa dalam melaksanakan tugas dimaksud, Bank
Indonesia memberikan perizinan terkait hubungan
operasional bank umum dengan Bank Indonesia di bidang
moneter, bidang sistem pembayaran dan pengelolaan uang
rupiah, serta bidang makroprudensial;
c. bahwa untuk meningkatkan aspek pelayanan, tata kelola,
efektivitas, dan efisiensi dalam memberikan perizinan
kepada bank umum, Bank Indonesia memandang perlu
untuk memberikan pelayanan perizinan secara terpadu;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan
Peraturan Bank Indonesia tentang Pelayanan Perizinan
Terpadu terkait Hubungan Operasional Bank Umum
dengan Bank Indonesia;
- 2 -
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah beberapa kali
diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan
Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 1999 tentang
Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4962);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PELAYANAN
PERIZINAN TERPADU TERKAIT HUBUNGAN OPERASIONAL
BANK UMUM DENGAN BANK INDONESIA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan,
termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di
luar negeri, dan bank umum syariah sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai
perbankan syariah.
2. Pelayanan Perizinan Terpadu terkait Hubungan
Operasional Bank dengan Bank Indonesia yang selanjutnya
disebut PPTBU adalah pelayanan perizinan secara
terintegrasi yang terkait dengan tugas atau kewenangan
- 3 -
Bank Indonesia di bidang moneter, bidang sistem
pembayaran dan pengelolaan uang rupiah, serta bidang
makroprudensial sehubungan dengan:
a.
langkah strategis dan mendasar yang dilakukan Bank
yang berdampak pada hubungan operasional Bank
dengan Bank Indonesia; atau
b. pendirian Bank baru oleh pihak yang telah mendapat
persetujuan prinsip pendirian Bank oleh Otoritas Jasa
Keuangan.
3. Perizinan adalah proses pemberian keputusan atas
permohonan izin, persetujuan, pendaftaran, dan/atau
permohonan lain yang diajukan oleh Bank untuk
melaksanakan berbagai hubungan operasional Bank
dengan Bank Indonesia di bidang moneter, bidang sistem
pembayaran dan pengelolaan uang rupiah, serta bidang
makroprudensial berdasarkan persyaratan dan prosedur
sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia.
4. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat OJK
adalah Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai Otoritas
Jasa Keuangan.
BAB II
PRINSIP DAN TUJUAN
Pasal 2
(1) PPTBU dilaksanakan berdasarkan prinsip umum Perizinan.
(2) Prinsip umum Perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), paling sedikit berupa:
a. kehati-hatian;
b. akuntabel;
c. berkesinambungan;
d.
e.
industri yang sehat; dan
efektif dan efisien.
- 4 -
Pasal 3
(1) Tujuan PPTBU yaitu untuk memudahkan pelayanan
Perizinan yang diajukan oleh Bank.
(2) PPTBU sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diselenggarakan secara terpadu melalui 1 (satu) satuan
kerja di Bank Indonesia.
(3) Satuan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yaitu
satuan kerja yang melaksanakan fungsi pengawasan
makroprudensial, moneter, dan sistem pembayaran.
BAB III
RUANG LINGKUP
Pasal 4
(1) PPTBU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1)
berlaku bagi:
a. Bank yang melakukan langkah strategis dan
mendasar yang berdampak pada hubungan
operasional Bank dengan Bank Indonesia di bidang
moneter, bidang sistem pembayaran dan pengelolaan
uang rupiah, serta bidang makroprudensial; dan
b. pihak yang telah mendapat persetujuan prinsip
pendirian Bank oleh OJK.
(2) Langkah strategis dan mendasar Bank yang berdampak
pada hubungan operasional Bank dengan Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi
kegiatan:
a. aksi korporasi berupa penggabungan, peleburan,
pengambilalihan, dan pemisahan;
b. perubahan status;
c. perubahan nama;
d. pencabutan izin usaha; dan/atau
e. langkah strategis lainnya.
(3) Langkah strategis dan mendasar yang dilakukan oleh Bank
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat memengaruhi
izin yang telah diberikan oleh Bank Indonesia.
- 5 -
BAB IV
PELAKSANAAN PPTBU
Bagian Kesatu
Penyampaian Informasi
Pasal 5
(1) Bank yang akan melaksanakan langkah strategis dan
mendasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)
huruf a, harus menyampaikan informasi secara tertulis
kepada Bank Indonesia mengenai rencana pelaksanaan
langkah strategis dan mendasar yang berdampak pada
hubungan operasional Bank dengan Bank Indonesia di
bidang moneter, bidang sistem pembayaran dan
pengelolaan uang rupiah, serta bidang makroprudensial.
(2) Pihak yang telah mendapat persetujuan prinsip pendirian
Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf
b, harus menyampaikan informasi secara tertulis kepada
Bank Indonesia mengenai permohonan izin usaha kepada
OJK.
(3) Penyampaian informasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2), dilakukan bersamaan dengan penyampaian
surat permohonan kepada OJK.
Bagian Kedua
Penyampaian Permohonan
Pasal 6
(1) Bank yang telah mendapatkan izin, persetujuan, atau
rekomendasi dari OJK terkait aspek kelembagaan untuk
melaksanakan langkah strategis dan mendasar,
mengajukan permohonan secara tertulis kepada Bank
Indonesia untuk memperoleh Perizinan yang diperlukan.
(2) Bank yang telah memperoleh izin usaha dari OJK,
mengajukan permohonan secara tertulis kepada Bank
Indonesia untuk memperoleh Perizinan yang diperlukan.
- 6 -
(3) Persyaratan untuk memperoleh Perizinan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan sesuai
dengan ketentuan Bank Indonesia.
Bagian Ketiga
Pemrosesan Permohonan
Pasal 7
Bank Indonesia memproses permohonan yang diajukan Bank
sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia.
Bagian Keempat
Penyampaian Persetujuan atau Penolakan
Pasal 8
(1) Bank Indonesia memberikan persetujuan atau penolakan
atas permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6.
(2) Persetujuan atau penolakan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) disampaikan secara tertulis kepada Bank dengan
tembusan kepada OJK.
BAB V
KOORDINASI
Pasal 9
Bank Indonesia dapat meminta penjelasan, data, informasi,
dan/atau berkoordinasi dengan OJK dan/atau Bank untuk
pelaksanaan PPTBU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5,
Pasal 6, dan Pasal 7.
BAB VI
KORESPONDENSI
Pasal 10
(1) Penyampaian informasi dan permohonan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1), Pasal 5 ayat (2), Pasal 6
ayat (1), dan Pasal 6 ayat (2) ditujukan kepada satuan kerja
- 7 -
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) dengan
alamat:
Bank Indonesia c.q. Departemen Surveilans Sistem
Keuangan, Jalan M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350.
(2) Bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah kerja
kantor pusat Bank Indonesia, penyampaian informasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditembuskan kepada
Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat.
(3) Dalam hal terdapat perubahan korespondensi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia memberitahukan
perubahan tersebut kepada Bank melalui surat.
BAB VII
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 11
(1) Dalam hal Bank memiliki informasi yang memengaruhi
data Bank di Bank Indonesia maka Bank harus
menyampaikan informasi dimaksud secara tertulis kepada
Bank Indonesia.
(2) Informasi yang memengaruhi data Bank di Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi perubahan:
a. pemegang saham pengendali;
b. pengurus Bank; dan/atau
c. alamat kantor pusat Bank.
(3) Penyampaian informasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan setelah Bank mendapatkan izin, persetujuan,
atau rekomendasi dari OJK.
(4) Penyampaian informasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) juga dilaksanakan secara terpadu melalui 1 (satu)
satuan kerja di Bank Indonesia yang melaksanakan fungsi
pengawasan makroprudensial, moneter, dan sistem
pembayaran.
(5) Bank Indonesia dapat meminta penjelasan, data, informasi,
dan/atau berkoordinasi dengan OJK dan/atau Bank,
sehubungan dengan penyampaian informasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
- 8 -
(6) Penyampaian informasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) ditujukan kepada satuan kerja sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (3) dengan alamat:
Bank Indonesia c.q. Departemen Surveilans Sistem
Keuangan, Jalan M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350.
(7) Bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah kerja
Kantor Pusat Bank Indonesia, penyampaian informasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditembuskan kepada
Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat.
(8) Dalam hal terdapat perubahan korespondensi sebagaimana
dimaksud pada ayat (6), Bank Indonesia memberitahukan
perubahan tersebut kepada Bank melalui surat.
(9) Bank Indonesia menindaklanjuti penyampaian informasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan
ketentuan Bank Indonesia.
Pasal 12
Tata cara dan persyaratan Perizinan, sanksi, dan kewajiban
lainnya dilakukan sesuai ketentuan Bank Indonesia, kecuali
ketentuan mengenai penyampaian informasi dan/atau
permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10.
Pasal 13
Berkaitan dengan pelaksanaan PPTBU, Bank wajib mematuhi
seluruh ketentuan Bank Indonesia di bidang moneter, bidang
sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah, serta bidang
makroprudensial.
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 14
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
- 9 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 15 Desember 2017
GUBERNUR BANK INDONESIA,
TTD
AGUS D.W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 15 Desember 2017....................
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 254
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 19/13/PBI/2017
TENTANG
PELAYANAN PERIZINAN TERPADU TERKAIT HUBUNGAN OPERASIONAL
BANK UMUM DENGAN BANK INDONESIA
I. UMUM
Dalam mencapai tujuan Bank Indonesia untuk mencapai dan
memelihara kestabilan nilai rupiah, Bank Indonesia sebagai badan hukum
publik berwenang menetapkan peraturan dan mengenakan sanksi sesuai
dengan tugas dan wewenangnya, khususnya di bidang moneter, bidang
sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah, serta bidang
makroprudensial. Hal ini menunjukkan bahwa Bank Indonesia memegang
peranan penting dalam hubungan operasional lembaga jasa keuangan
khususnya Bank yang secara operasional merupakan media transmisi
utama bagi kebijakan Bank Indonesia di bidang moneter, bidang sistem
pembayaran dan pengelolaan uang rupiah, serta bidang makroprudensial.
Sebagai badan hukum publik, Bank Indonesia memiliki kewajiban
untuk tetap terus memberikan dan meningkatkan pelayanan yang lebih
baik kepada pemangku kepentingan (stakeholders) yang terkait, khususnya
Bank. Oleh karena itu, Bank Indonesia terus melakukan penyempurnaan
proses Perizinan terhadap hubungan operasional Bank dengan Bank
Indonesia dan proses Perizinan dengan menggunakan sistem atau aplikasi
di Bank Indonesia, yang tetap memperhatikan efektivitas dan efisiensi
dalam kegiatan Bank termasuk koordinasi dengan OJK.
Sehubungan dengan hal tersebut dan untuk meningkatkan aspek
pelayanan, tata kelola, efektivitas, dan efisiensi dalam memberikan
Perizinan kepada Bank maka Bank Indonesia mengambil kebijakan untuk
- 2 -
memberikan pelayanan Perizinan terpadu bagi Bank yang melakukan
langkah strategis dan mendasar yang memengaruhi hubungan operasional
Bank dengan Bank Indonesia serta berdampak pada keterlibatan lebih dari
satu satuan kerja di Bank Indonesia. Hal ini mengingat perubahan yang
terjadi sebagai dampak dari langkah strategis dan mendasar yang
dilakukan Bank pada dasarnya akan memengaruhi hubungan operasional
Bank dengan Bank Indonesia. Selain itu, pelayanan Perizinan terpadu juga
diberikan kepada pihak yang telah mendapat persetujuan prinsip pendirian
Bank oleh OJK.
Kebijakan pelayanan Perizinan terpadu bagi Bank tersebut diharapkan
menciptakan hubungan yang terkoordinasi baik antara Bank Indonesia dan
Bank sehingga proses terkait Perizinan sesuai dengan kewenangan Bank
Indonesia di bidang moneter, bidang sistem pembayaran dan pengelolaan
uang rupiah, serta bidang makroprudensial dapat dilakukan dengan lebih
efektif dan efisien.
Selanjutnya, memperhatikan hal tersebut, perlu disusun ketentuan
mengenai pelayanan Perizinan terpadu terkait hubungan operasional Bank
dengan Bank Indonesia.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “kehati-hatian” adalah
penyelenggaraan Perizinan
oleh Bank Indonesia
dilaksanakan secara berhati-hati dengan memperhatikan
tugas Bank Indonesia untuk mencapai dan memelihara
stabilitas moneter, mewujudkan sistem pembayaran yang
lancar, aman, efisien, dan andal, serta mendorong
terpeliharanya stabilitas sistem keuangan.
- 3 -
Huruf b
Yang dimaksud dengan “akuntabel” adalah penyelenggaraan
Perizinan
oleh Bank Indonesia
dipertanggungjawabkan.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “berkesinambungan” adalah
penyelenggaraan Perizinan
oleh Bank Indonesia
dilaksanakan dengan memerhatikan keberlangsungan
kegiatan yang mendapatkan izin dari Bank Indonesia.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “industri yang sehat” adalah
pemberian Perizinan bagi Bank diharapkan dapat
meningkatkan efektivitas dan efisiensi Bank dalam kegiatan
usahanya sehingga dapat mendukung terciptanya industri
perbankan yang sehat.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “efektif dan efisien” adalah
penyelenggaraan Perizinan
oleh Bank Indonesia
dilaksanakan dengan menggunakan sumber daya, proses,
dan infrastruktur yang tepat untuk memastikan efektivitas
dan efisiensi pelayanan Perizinan.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Ayat (1)
Huruf a
Hubungan operasional Bank dengan Bank Indonesia di
bidang moneter, bidang sistem pembayaran dan pengelolaan
uang rupiah, serta bidang makroprudensial antara lain:
1. peserta operasi moneter;
2. peserta lelang surat berharga Bank Indonesia dalam
valuta asing (SBBI Valas);
3. penerbitan instrumen pasar uang;
4. sandi Bank;
5. user pelaporan;
harus dapat
- 4 -
6. penyelenggara jasa sistem pembayaran (PJSP) antara
lain penyelenggara alat pembayaran menggunakan
kartu (APMK), uang elektronik, transfer dana, dompet
elektronik, payment gateway, switching, dan PJSP
lainnya;
7. persetujuan produk atau aktivitas PJSP;
8. sistem Bank Indonesia - Real-Time Gross Settlement (BI-
RTGS);
9. Bank Indonesia - Scripless Securities Settlement System
(BI-SSSS);
10. Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI);
11. subregistry;
12. fasilitas likuiditas intrahari (FLI);
13. penyetoran dan penarikan uang rupiah oleh Bank;
14. pembawaan uang kertas asing oleh Bank;
15. pembukaan rekening giro di Bank Indonesia;
16. pembukaan rekening surat berharga negara (SBN)
untuk nasabah subregistry Bank Indonesia;
17. peserta Bank Indonesia - Electronic Trading Platform (BI-
ETP);
18. pinjaman luar negeri Bank; dan/atau
19. penerbitan dan transaksi surat berharga komersial di
pasar uang.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Perubahan status Bank antara lain:
1. Bank yang baru mendapatkan izin untuk melakukan
kegiatan usaha dalam valuta asing; atau
2. Bank umum konvensional yang melakukan konversi
kegiatan usaha menjadi bank umum syariah.
Huruf c
Cukup jelas.
- 5 -
Huruf d
Yang dimaksud dengan “pencabutan izin usaha” adalah
pencabutan izin usaha atas permintaan pemegang saham
sendiri.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “langkah strategis lainnya” antara
lain berupa:
1. perubahan kantor cabang bank asing menjadi bank
berbadan hukum Indonesia dan/atau pengalihan aset
dan kewajiban yang bukan merupakan penggabungan,
peleburan,
atau
pemisahan
yang dilakukan
berdasarkan persetujuan lembaga yang berwenang;
2. pembentukan unit usaha syariah.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Penyampaian informasi mengenai rencana dimaksud menjadi
informasi awal bagi Bank Indonesia untuk melakukan persiapan
proses terhadap aspek yang memengaruhi hubungan operasional
Bank dengan Bank Indonesia di bidang moneter, bidang sistem
pembayaran dan pengelolaan uang rupiah, serta bidang
makroprudensial akibat adanya langkah strategis dan mendasar
yang dilakukan oleh Bank.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
- 6 -
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “ketentuan Bank Indonesia” adalah
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur antara lain:
1. peserta operasi moneter;
2. peserta lelang SBBI Valas;
3. penerbitan instrumen pasar uang;
4. sandi Bank;
5. user pelaporan;
6. PJSP antara lain penyelenggara APMK, uang elektronik,
transfer dana, dompet elektronik, payment gateway,
switching, dan PJSP lainnya;
7. persetujuan produk/aktivitas PJSP;
8. sistem BI-RTGS;
9. BI-SSSS;
10. SKNBI;
11. subregistry;
12. FLI;
13. penyetoran dan penarikan uang rupiah oleh Bank;
14. pembawaan uang kertas asing oleh Bank;
15. pembukaan rekening giro di Bank Indonesia;
16. pembukaan rekening SBN untuk nasabah subregistry Bank
Indonesia;
17. peserta BI-ETP;
18. pinjaman luar negeri Bank; dan/atau
19. penerbitan dan transaksi surat berharga komersial di pasar
uang.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
- 7 -
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “pengurus Bank” yaitu dewan
komisaris dan direksi.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Termasuk dalam ketentuan Bank Indonesia antara lain ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai :
a. penyelenggaraan transfer dana dan kliring berjadwal oleh
Bank Indonesia;
b. penyelenggaraan setelmen dana seketika melalui sistem BI-
RTGS; dan
c. penyelenggaraan penatausahaan surat berharga melalui BI-
SSSS.
- 8 -
Pasal 12
Yang dimaksud dengan “ketentuan Bank Indonesia” adalah ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur antara lain:
1. peserta operasi moneter;
2. peserta lelang SBBI Valas;
3. penerbitan instrumen pasar uang;
4. sandi Bank;
5. user pelaporan;
6. PJSP antara lain penyelenggara APMK, uang elektronik, transfer
dana, dompet elektronik, payment gateway, switching, dan PJSP
lainnya;
7. persetujuan produk/aktivitas PJSP;
8. sistem BI-RTGS;
9. BI-SSSS;
10. SKNBI;
11. subregistry;
12. FLI;
13. penyetoran dan penarikan uang rupiah oleh Bank;
14. pembawaan uang kertas asing oleh Bank;
15. pembukaan rekening giro di Bank Indonesia;
16. pembukaan rekening SBN untuk nasabah subregistry Bank
Indonesia;
17. peserta BI-ETP;
18. pinjaman luar negeri Bank; dan/atau
19. penerbitan dan transaksi surat berharga komersial di pasar uang.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR
6147...................
"," PBI
19/13/PBI/2017
PELAYANAN PERIZINAN TERPADU TERKAIT HUBUNGAN OPERASIONAL BANK UMUM DENGAN BANK INDONESIA
15 Desember 2017
15 Desember 2017
15 Desember 2017
'23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '6/UU/2009', '21/UU/2011'
"
" PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 14/20/PBI/2012
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 11/24/PBI/2009 TENTANG
FASILITAS PENDANAAN JANGKA PENDEK SYARIAH
BAGI BANK UMUM SYARIAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa kondisi makro ekonomi dan stabilitas sektor
keuangan serta kepercayaan masyarakat terhadap
perbankan saat ini semakin membaik, sehingga
dipandang perlu untuk menyesuaikan persyaratan
bank penerima fasilitas pendanaan jangka pendek;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a perlu untuk melakukan
perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor
11/24/PBI/2009 tentang Fasilitas Pendanaan
Jangka Pendek Syariah bagi Bank Umum Syariah;
Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843)
sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir
dengan …
- 2 -
dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi
Undang-Undang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867);
M E M U T U S K A N:
Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN
ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR
11/24/PBI/2009 TENTANG FASILITAS PENDANAAN
JANGKA PENDEK SYARIAH BAGI BANK UMUM
SYARIAH.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor
11/24/PBI/2009 tentang Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Syariah
bagi Bank Umum Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 102, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5028) diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan…
- 3 -
1. Ketentuan Pasal 2 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 2
(1) Bank yang mengalami Kesulitan Pendanaan Jangka Pendek
dapat mengajukan permohonan untuk memperoleh FPJPS
apabila memiliki rasio kewajiban penyediaan modal minimum
(capital adequacy ratio) paling rendah 8% (delapan persen) dan
memenuhi modal sesuai profil risiko Bank.
(2) Bank mengajukan plafon FPJPS berdasarkan perkiraan jumlah
kebutuhan likuiditas sampai dengan Bank memenuhi GWM
dalam mata uang rupiah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
(3) Pencairan FPJPS dilakukan sebesar kebutuhan Bank untuk
memenuhi kewajiban GWM dalam mata uang rupiah.
2. Ketentuan ayat (3) Pasal 5 diubah, ditambah 1 (satu) ayat, yakni
ayat (6), dan penjelasan ayat (5) Pasal 5 diubah sebagaimana
tercantum dalam penjelasan, sehingga Pasal 5 berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 5
(1) Agunan yang berkualitas tinggi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 berupa:
a. surat berharga;
b. aset Pembiayaan.
(2) Jenis surat berharga sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a adalah:
a. surat…
- 4 -
a. surat berharga yang diterbitkan oleh Pemerintah Republik
Indonesia dan/atau Bank Indonesia yang meliputi SBSN
dan SBIS;
b. surat berharga syariah yang diterbitkan oleh badan hukum
lainnya yang pada saat permohonan FPJPS memiliki
peringkat paling kurang peringkat investasi (investment
grade), aktif diperdagangkan, dan sisa jangka waktu surat
berharga paling kurang 90 (sembilan puluh) hari.
(3) Aset Pembiayaan yang dapat dijadikan agunan FPJPS
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b wajib memenuhi
kriteria sebagai berikut:
a. kualitas tergolong lancar selama 12 (dua belas) bulan
terakhir;
b. bukan merupakan Pembiayaan konsumsi kecuali
Pembiayaan kepemilikan rumah;
c. Pembiayaan dijamin dengan agunan tanah dan/atau
bangunan yang memiliki nilai paling kurang 140% (seratus
empat puluh persen) dari plafon Pembiayaan;
d. bukan merupakan Pembiayaan kepada pihak terkait Bank;
e. Pembiayaan belum pernah direstrukturisasi;
f.
sisa jangka waktu sampai dengan jatuh tempo Pembiayaan
paling singkat 12 (dua belas) bulan terhitung sejak tanggal
persetujuan FPJPS;
g. saldo pokok Pembiayaan tidak melebihi batas maksimum
penyaluran dana pada saat diberikan dan tidak melebihi
plafon Pembiayaan; dan
h. memiliki…
- 5 -
h. memiliki akad Pembiayaan dan pengikatan agunan yang
memiliki kekuatan hukum.
(4) Surat berharga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b
hanya dapat digunakan sebagai agunan FPJPS dalam hal:
a. Bank tidak memiliki surat berharga sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf a; atau
b. Bank memiliki surat berharga sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf a namun tidak mencukupi untuk menjadi
agunan FPJPS.
(5) Aset Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
hanya dapat digunakan sebagai agunan FPJPS dalam hal Bank
tidak memiliki surat berharga atau surat berharga yang dimiliki
oleh Bank tidak mencukupi untuk menjadi agunan FPJPS.
(6) Dalam hal setelah memperoleh FPJPS yang dijamin oleh sebagian
atau seluruhnya dengan aset Pembiayaan, Bank memiliki surat
berharga yang memenuhi syarat untuk menjadi agunan FPJPS,
Bank wajib mengganti aset Pembiayaan yang diagunkan dengan
surat berharga tersebut.
3. Ketentuan ayat (1) huruf d Pasal 6 diubah, sehingga Pasal 6
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 6
(1) Nilai aset yang digunakan sebagai agunan FPJPS sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ditetapkan sebagai berikut:
a. dalam…
- 6 -
a. dalam hal agunan berupa SBIS, nilai agunan ditetapkan
paling kurang sebesar 100% (seratus persen) dari plafon
FPJPS yang dihitung berdasarkan nilai nominal surat
berharga tersebut;
b. dalam hal agunan berupa SBSN, nilai agunan ditetapkan
paling kurang sebesar 105% (seratus lima persen) dari
plafon FPJPS yang dihitung berdasarkan nilai pasar surat
berharga tersebut;
c. dalam hal agunan berupa surat berharga sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf b, nilai agunan
ditetapkan sesuai dengan jenis surat berharga paling
kurang sebesar 120% (seratus dua puluh persen) dari
plafon FPJPS, yang dihitung berdasarkan nilai pasar surat
berharga;
d. dalam hal agunan berupa aset Pembiayaan, nilai agunan
tersebut ditetapkan paling kurang sebesar 200% (dua ratus
persen) dari plafon FPJPS, yang dihitung berdasarkan saldo
pokok aset Pembiayaan.
(2) Ketentuan mengenai nilai nominal dan nilai pasar sebagaimana
tersebut pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c akan diatur
lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
4. Ketentuan ayat (4) dan ayat (5) Pasal 7 diubah, ditambah 1 (satu)
ayat, yakni ayat (7), sehingga Pasal 7 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 7 …
- 7 -
Pasal 7
(1) Agunan FPJPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1)
harus bebas dari segala bentuk perikatan, sengketa, dan tidak
sedang dijaminkan kepada pihak lain dan/atau Bank Indonesia,
yang dinyatakan dalam surat pernyataan Direksi Bank kepada
Bank Indonesia.
(2) Bank yang telah memperoleh FPJPS dilarang untuk
memperjualbelikan dan/atau menjaminkan kembali agunan
surat berharga yang masih dalam status sebagai agunan FPJPS.
(3) Bank wajib mengganti dan/atau menambahkan agunan FPJPS
apabila tidak memenuhi kondisi-kondisi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2).
(4) Bank wajib melakukan penilaian terhadap agunan FPJPS secara
berkala dalam periode tertentu.
(5) Bank wajib menambah dan/atau mengganti agunan FPJPS,
apabila:
a.
terjadi penurunan nilai surat berharga berupa SBSN dan
surat berharga syariah yang diterbitkan oleh badan hukum
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b dan
huruf c; dan/atau
b. aset Pembiayaan yang diagunkan tidak lagi memenuhi
kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3)
dan/atau terjadi penurunan nilai aset Pembiayaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf d.
(6) Untuk…
- 8 -
(6) Untuk keperluan perpanjangan FPJPS, Bank dapat
menjaminkan kembali aset yang sedang menjadi agunan FPJPS.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai periode penilaian agunan
FPJPS sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam Surat
Edaran Bank Indonesia.
5. Di antara Pasal 7 dan Pasal 8 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal
7A dan Pasal 7B yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 7A
(1) Bank Indonesia dapat menetapkan:
a. penambahan persentase tertentu dari nilai agunan surat
berharga berupa SBSN dan surat berharga syariah yang
diterbitkan oleh badan hukum lain sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b dan huruf c; dan/atau
b. batas persentase penurunan nilai agunan surat berharga
berupa SBSN dan surat berharga syariah yang diterbitkan
oleh badan hukum lain yang lebih tinggi dari persentase
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b dan
huruf c.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penambahan persentase
tertentu dan batas persentase penurunan nilai agunan surat
berharga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam
Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 7B…
- 9 -
Pasal 7B
(1) Bank wajib memelihara dan menatausahakan daftar aset
Pembiayaan yang memenuhi persyaratan untuk menjadi agunan
FPJPS.
(2) Bank wajib menyampaikan laporan daftar aset Pembiayaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Bank Indonesia
setiap 6 (enam) bulan sekali, yaitu untuk posisi akhir bulan
Juni dan akhir bulan Desember, paling lambat tanggal 15 (lima
belas) setelah posisi akhir bulan bersangkutan.
(3) Untuk pertama kali, laporan daftar aset Pembiayaan
disampaikan untuk posisi bulan Juni 2013.
(4) Bank dapat menyampaikan laporan nihil apabila tidak memiliki
aset Pembiayaan yang memenuhi persyaratan sebagai agunan
FPJPS atau tidak mengalokasikan aset Pembiayaan sebagai
agunan untuk mengantisipasi kebutuhan FPJPS.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyampaian daftar
aset Pembiayaan dan dokumen pendukungnya diatur dalam
Surat Edaran Bank Indonesia.
6. Ketentuan Pasal 10 dihapus.
7. Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 13
Bank dapat mengajukan permohonan perpanjangan FPJPS
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) dengan ketentuan
sebagai berikut:
a.
imbalan …
- 10 -
a.
imbalan atas FPJPS yang jatuh tempo telah dilunasi;
b. Bank tidak dapat memenuhi kewajiban GWM rupiah
berdasarkan perkiraan arus kas selama 14 (empat belas) hari ke
depan; dan
c. agunan mencukupi dan memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6 dan Pasal 7.
8. Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 14
Bank dapat mengajukan tambahan nilai FPJPS yang dibutuhkan
sepanjang:
a. agunan mencukupi dan memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6 dan Pasal 7; dan
b. penggunaan FPJPS belum melampaui 90 (sembilan puluh) hari
berturut-turut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2).
9. Di antara Pasal 14 dan Pasal 15 disisipkan 3 (tiga) pasal, yakni Pasal
14A, Pasal 14B, dan Pasal 14C yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 14A
(1) Persetujuan Bank Indonesia atas permohonan FPJPS
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), perpanjangan
FPJPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, dan/atau
penambahan FPJPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14
dilakukan apabila:
a. Bank .…
- 11 -
a. Bank memenuhi persyaratan permohonan FPJPS;
b. Bank memenuhi persyaratan kelengkapan dokumen
permohonan FPJPS; dan
c. Berdasarkan analisis Bank Indonesia diperkirakan bahwa
Bank tidak dapat memenuhi kewajiban GWM berdasarkan
perkiraan arus kas selama 14 (empat belas) hari ke depan.
(2) Persetujuan pemberian FPJPS sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dituangkan dalam perjanjian pemberian FPJPS antara
Bank Indonesia dengan Bank penerima FPJPS.
(3) Perjanjian pemberian FPJPS sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dilampiri dengan perjanjian pengikatan agunan FPJPS.
(4) Realisasi pemberian FPJPS oleh Bank Indonesia dilakukan
melalui rekening giro rupiah Bank yang bersangkutan pada
Bank Indonesia.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai perjanjian pemberian FPJPS
diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 14B
Bank Indonesia menolak permohonan perpanjangan FPJPS
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan/atau permohonan
penambahan FPJPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dalam
hal:
a. permohonan perpanjangan FPJPS dan/atau permohonan
penambahan FPJPS tidak sesuai dengan ketentuan, tata cara,
dan persyaratan yang diatur dalam Peraturan Bank Indonesia
ini; dan/atau
b. Bank .…
- 12 -
b. Bank penerima FPJPS mengalami perkembangan yang
memburuk, permasalahan likuiditas mendasar, dan/atau
mengalami perubahan status sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penetapan
status dan tindak lanjut pengawasan Bank.
Pasal 14C
(1) Bank Indonesia menghentikan pencairan FPJPS dan/atau
mengakhiri perjanjian FPJPS sebelum jatuh waktu dalam hal
terjadi pelanggaran persyaratan FPJPS oleh Bank.
(2) Penghentian pencairan FPJPS dan/atau pengakhiran perjanjian
FPJPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang disebabkan
karena pelanggaran persyaratan agunan FPJPS, dilakukan
setelah tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (5)
ditempuh.
10. Ketentuan ayat (1) dan ayat (2) Pasal 16 diubah, sehingga Pasal 16
berbunyi sebagai berikut:
(1) Bank Indonesia mendebet rekening giro Rupiah Bank penerima
FPJPS di Bank Indonesia dalam hal:
a. sebelum FPJPS jatuh tempo dan saldo rekening giro Bank
di Bank Indonesia melebihi kewajiban GWM, paling tinggi
sebesar nilai pokok FPJPS yang telah diterima Bank;
b. FPJPS jatuh tempo, sebesar nilai pokok dan imbalan
FPJPS; dan/atau
c. FPJPS .…
- 13 -
c. FPJPS diakhiri sebelum perjanjian jatuh tempo, sebesar
nilai pokok dan imbalan FPJPS.
(2) Dalam hal saldo giro Rupiah Bank penerima FPJPS di Bank
Indonesia tidak mencukupi untuk membayar pokok dan
imbalan FPJPS, maka Bank Indonesia melakukan eksekusi
agunan FPJPS.
(3) Bank Indonesia tetap mengenakan imbalan sampai dengan
eksekusi agunan selesai dilaksanakan.
(4) Apabila nilai hasil eksekusi agunan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) lebih kecil dibandingkan dengan jumlah pokok dan
imbalan FPJPS yang harus dilunasi oleh Bank, maka Bank
wajib membayar kekurangannya kepada Bank Indonesia.
(5) Apabila nilai hasil eksekusi agunan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) lebih besar dibandingkan dengan jumlah pokok
dan imbalan FPJPS yang harus dilunasi oleh Bank, maka Bank
Indonesia mengembalikan kelebihan tersebut kepada Bank.
(6) Eksekusi agunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
11. Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 17
Dalam rangka pengawasan terhadap penggunaan FPJPS, Bank
wajib:
a. menyampaikan laporan kepada Bank Indonesia mengenai
penggunaan FPJPS, kondisi likuiditas Bank, pemantauan
pemenuhan persyaratan FPJPS dan persyaratan agunan FPJPS
pada .…
- 14 -
pada setiap akhir hari kerja; dan
b. menyampaikan rencana tindak perbaikan (action plan) untuk
mengatasi kesulitan likuiditas paling lama 5 (lima) hari kerja
setelah pencairan FPJPS.
12. Ketentuan Pasal 19 dihapus.
13. Ketentuan Pasal 21 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 21
Dalam hal Bank tidak melunasi FPJPS dan/atau melakukan
pelanggaran atas ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini,
Bank dikenakan sanksi berupa:
a.
tidak dapat menerima FPJPS dalam jangka waktu tertentu;
dan/atau
b. sanksi administratif sebagaimana diatur dalam Pasal 58 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah antara lain berupa teguran tertulis, larangan untuk
turut serta dalam kegiatan kliring, pembekuan kegiatan usaha
tertentu dan/atau pemberhentian pengurus Bank.
Pasal II
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar .…
- 15 -
Agar setiap orang mengetahuinya memerintahkan pengundangan
Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 17 Desember 2012
GUBERNUR BANK INDONESIA,
DARMIN NASUTION
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 17 Desember 2012
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
AMIR SYAMSUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2012 NOMOR 272
DPbS
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 14/ 20 /PBI/2012
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 11/24/PBI/2009 TENTANG
FASILITAS PENDANAAN JANGKA PENDEK SYARIAH
BAGI BANK UMUM SYARIAH
I. UMUM
Perkembangan terkini mengindikasikan terpeliharanya kondisi
ekonomi makro dan stabilitas sistem keuangan dan cukup kuatnya
sistem perbankan dalam menghadapi tekanan sehingga tetap mampu
berkembang cukup pesat yang berkontribusi terhadap pertumbuhan
perekonomian. Namun demikian, sebagai konsekuensi dari
globalisasi, sistem keuangan domestik terekspos terhadap
perekonomian global, yang di satu sisi mendorong pesatnya
perkembangan pasar, namun di sisi lain dapat meningkatkan risiko
pada sistem keuangan dan sistem perbankan.
Berdasarkan pengalaman di masa lalu, tekanan terhadap sistem
perbankan secara langsung akan tercermin pada keketatan likuiditas
yang terjadi secara mendadak. Apabila tidak diatasi secara cepat,
Bank dapat mengalami mismatch likuiditas sehingga tidak mampu
memenuhi kewajiban GWM.
Dalam …
- 2 -
Dalam rangka mengantisipasi adanya tekanan terhadap sistem
perbankan yang bersumber dari keketatan likuiditas, perlu diberikan
akses bagi Bank untuk memperoleh Fasilitas Pendanaan Jangka
Pendek dari Bank Indonesia sebagai lender of the last resort.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, dipandang perlu untuk
melakukan perubahan pengaturan Fasilitas Pendanaan Jangka
Pendek Syariah yang diharapkan dapat memelihara kepercayaan
masyarakat serta menjaga integritas sistem perbankan secara khusus
dan sistem keuangan secara menyeluruh.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal
I
Angka 1
Pasal 2
Ayat (1)
Apabila terdapat unit usaha syariah yang mengalami
Kesulitan Pendanaan Jangka Pendek, maka unit usaha
syariah wajib meminta tambahan dana dari bank umum
konvensional yang menjadi induknya.
Penetapan besarnya rasio kewajiban penyediaan modal
minimum mengacu kepada pemenuhan modal minimum
sesuai profil risiko sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
kewajiban penyediaan modal minimum bagi Bank.
Rasio…
- 3 -
Rasio kewajiban penyediaan modal minimum yang
digunakan adalah berdasarkan perhitungan terkini Bank
Indonesia.
Ayat (2)
Perkiraan Bank atas jumlah kebutuhan likuiditas
didasarkan pada proyeksi arus kas paling lama 14 hari
kalender ke depan.
Ayat (3)
Kewajiban GWM didasarkan pada perhitungan Bank
Indonesia.
Angka 2
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “surat berharga syariah yang
diterbitkan oleh badan hukum lainnya” adalah
obligasi syariah korporasi (sukuk korporasi).
Peringkat tersebut berdasarkan hasil penilaian
lembaga pemeringkat yang diakui Bank Indonesia
sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia
mengenai …
- 4 -
mengenai lembaga pemeringkat dan peringkat yang
diakui Bank Indonesia.
Ayat (3)
Huruf a
Kriteria kualitas tergolong lancar mengacu pada
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
penilaian kualitas aktiva bagi Bank.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Nilai agunan yang digunakan adalah nilai terendah
dari nilai taksasi dan nilai pasar.
Penilaian agunan dilakukan sesuai ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai penilaian kualitas
aktiva bagi Bank, antara lain mengenai batasan
pembiayaan yang agunannya harus dinilai oleh penilai
independen, kriteria penilai independen, dan waktu
dilakukannya penilaian.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “pihak terkait” adalah pihak
terkait sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai batas maksimum
penyaluran dana yang berlaku bagi Bank.
Sementara ketentuan mengenai batas maksimum
penyaluran dana bagi Bank belum diatur, maka batas
maksimum penyaluran dana bagi Bank mengacu pada
ketentuan …
- 5 -
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
batas maksimum pemberian kredit Bank Umum.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “Pembiayaan belum pernah
direstrukturisasi” adalah Pembiayaan yang belum
pernah dilakukan restrukturisasi sebagaimana diatur
dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai restrukturisasi pembiayaan bagi Bank.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Batas maksimum penyaluran dana mengacu pada
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
batas maksimum penyaluran dana yang berlaku bagi
Bank.
Sementara ketentuan mengenai batas maksimum
penyaluran dana bagi Bank belum diatur maka batas
maksimum penyaluran dana bagi Bank mengacu pada
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
batas maksimum pemberian kredit Bank Umum.
Huruf h
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5) …
- 6 -
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 6
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Penggantian atau penambahan agunan FPJPS
dimaksudkan agar nilai aset agunan FPJPS sesuai
dengan ketentuan Pasal 6.
Ayat
(6) …
- 7 -
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Angka 5
Pasal 7A
Ayat (1)
Penambahan persentase tertentu dan batas persentase
penurunan nilai agunan surat berharga dilakukan untuk
mengantisipasi fluktuasi nilai pasar surat berharga.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 7B
Ayat (1)
Pemeliharaan dan penatausahaan daftar aset
Pembiayaan dilakukan terhadap aset Pembiayaan yang
akan dialokasikan oleh Bank sebagai agunan dalam
rangka mengantisipasi kebutuhan FPJPS dengan agunan
berupa aset Pembiayaan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4) …
- 8 -
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Angka 6
Pasal 10
Dihapus.
Angka 7
Pasal 13
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan ”hari” pada ayat ini adalah hari
kalender.
Huruf c
Dalam rangka pelaksanaan perpanjangan FPJPS, agunan
yang telah diagunkan Bank untuk menjamin FPJPS yang
diterima Bank sebelumnya akan dinilai kembali, sehingga
Bank perlu menyesuaikan jumlah agunan yang
diserahkan untuk menjamin perpanjangan FPJPS.
Angka 8…
- 9 -
Angka 8
Pasal 14
Tambahan nilai FPJPS diakumulasikan dengan nilai FPJPS
yang belum dilunasi.
Angka 9
Pasal 14A
Cukup jelas.
Pasal 14B
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan ”mengalami perkembangan yang
memburuk” adalah apabila arah rasio GWM Bank
semakin menurun.
Yang dimaksud dengan ”permasalahan likuiditas
mendasar” antara lain adalah posisi arus kas yang
semakin memburuk sebagai akibat maturity mismatch
yang besar terutama pada skala waktu jangka pendek.
Pasal 14C
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan pelanggaran persyaratan FPJPS
adalah pelanggaran atas persyaratan Bank penerima
FPJPS dan persyaratan agunan FPJPS.
Ayat (2) …
- 10 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 10
Pasal 16
Cukup jelas.
Angka 11
Pasal 17
Cukup jelas.
Angka 12
Pasal 19
Dihapus.
Angka 13
Pasal 21
Cukup jelas
Pasal II
Cukup jelas.
R TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5376
DPbS
"," PBI
14/20/PBI/2012
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 11/24/PBI/2009 TENTANG FASILITAS PENDANAAN JANGKA PENDEK SYARIAH BAGI BANK UMUM SYARIAH
17 Desember 2012
17 Desember 2012
17 Desember 2012
'11/24/PBI/2009'
'21/UU/2008', '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008'
'Pasal I Angka 13 Pasal 21'
"
" PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 3/ 17 /PBI/2001
TENTANG
LAPORAN BERKALA BANK UMUM
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka penetapan kebijakan moneter serta
pemantauan kondisi bank secara benar, diperlukan data dan
informasi bank yang akurat dan tepat waktu;
b. bahwa dalam rangka memperoleh informasi yang akurat dan
tepat waktu secara efisien, maka sistem penyampaian dan
tata cara penyusunan beberapa laporan bank umum yang
telah ada perlu disesuaikan;
c. bahwa sehubungan dengan itu dipandang
perlu
untuk
menetapkan ketentuan mengenai laporan berkala bank
umum dalam suatu Peraturan Bank Indonesia;
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor
31, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3472) sebagaimana telah diubah
dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran
Negara Tahun 1998 Nomor
Negara Nomor 3790);
182, Tambahan Lembaran
2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 66,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843);
MEMUTUSKAN …
-2-
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG LAPORAN
BERKALA BANK UMUM.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, termasuk kantor cabang bank
asing;
2. Laporan Berkala Bank Umum yang selanjutnya disebut dengan LBBU
adalah laporan yang disusun oleh Bank untuk kepentingan Bank Indonesia
yang disajikan menurut sistematika yang ditentukan Bank Indonesia;
3. Penyampaian laporan secara on line adalah penyampaian laporan yang
dilakukan dengan mengirim/mentransfer rekaman data secara langsung
melalui komputer yang dihubungkan dengan pusat komputer Bank
Indonesia dengan bantuan computer switching;
4. Penyampaian laporan secara off line adalah penyampaian laporan yang
dilakukan dengan menyampaikan rekaman data dalam bentuk disket
kepada Bank Indonesia.
Pasal 2 …
-3-
Pasal 2
(1) Bank wajib menyusun dan menyampaikan LBBU kepada Bank Indonesia
secara akurat, lengkap, dan tepat waktu.
(2) Penyusunan dan penyampaian LBBU sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dilakukan oleh kantor pusat Bank.
(3) Penyusunan LBBU sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi data
mengenai:
a. dana pihak ketiga;
b. pos-pos neraca mingguan;
c. posisi devisa neto;
d. pemantauan likuiditas yang terdiri dari:
1. proyeksi arus kas; dan
2. maturity profile;
e. batas maksimum pemberian kredit, yang terdiri dari:
1. pelanggaran batas maksimum pemberian kredit;
2. pelampauan batas maksimum pemberian kredit;
3. penyediaan dana kepada pihak terkait;
4. penyediaan dana oleh Bank yang dijamin Bank lain; dan
5. realisasi jaminan.
Pasal 3
(1) Bank bertanggung jawab atas keakuratan, kelengkapan isi, dan ketepatan
waktu penyampaian LBBU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.
(2) Bank …
-4-
(2) Bank wajib menunjuk petugas dan penanggung jawab untuk menyusun dan
menyampaikan LBBU kepada Bank Indonesia.
(3) Bank wajib menyampaikan daftar pihak-pihak yang ditunjuk sebagai
petugas dan penanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah
tanggal dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia ini.
(4) Dalam hal terjadi perubahan atas daftar pihak-pihak yang ditunjuk sebagai
petugas dan penanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (3),
Bank wajib menyampaikan perubahan daftar
dimaksud
lambatnya 7 (tujuh) hari setelah terjadinya perubahan.
Pasal 4
(1) Bank dalam menyusun LBBU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 wajib
berpedoman pada sistematika penyusunan LBBU yang ditetapkan Bank
Indonesia.
(2) Sistematika penyusunan LBBU sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
ditetapkan lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
BAB II
MASA DAN POSISI LBBU
Pasal 5
Data LBBU berupa data dana pihak ketiga, pos-pos neraca mingguan, dan
posisi devisa neto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a, huruf
b, dan huruf c, disusun untuk 4 (empat) masa laporan pada setiap bulan yaitu:
a. masa …
selambat-
-5-
a. masa laporan minggu pertama, meliputi tanggal 1 sampai dengan tanggal
7;
b. masa laporan minggu kedua, meliputi tanggal 8 sampai dengan tanggal 15;
c. masa laporan minggu ketiga, meliputi tanggal 16 sampai dengan tanggal
23;
d. masa laporan minggu keempat, meliputi tanggal 24 sampai dengan akhir
bulan.
Pasal 6
(1) Data LBBU berupa data pemantauan likuiditas dalam bentuk proyeksi arus
kas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf d angka 1 disusun
untuk 2 (dua) posisi laporan pada setiap bulan, yaitu tanggal 15 dan akhir
bulan.
(2) Data LBBU berupa data pemantauan likuiditas dalam bentuk maturity
profile sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf d angka 2
disusun untuk posisi laporan tanggal akhir bulan pada setiap bulan.
Pasal 7
Data LBBU berupa data batas maksimum pemberian
kredit sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf e disusun untuk posisi laporan tanggal
akhir bulan pada setiap bulan.
BAB III …
-6-
BAB III
PENYAMPAIAN DAN KOREKSI LBBU
Pasal 8
Pada setiap bulan, Bank wajib menyampaikan LBBU dalam periode
penyampaian yang ditetapkan sebagai berikut:
a. periode penyampaian I, meliputi tanggal 1 sampai dengan tanggal 6;
b. periode penyampaian II, meliputi tanggal 8 sampai dengan tanggal 13;
c. periode penyampaian III, meliputi tanggal 16 sampai dengan tanggal 21;
d. periode penyampaian IV, meliputi tanggal 24 sampai dengan tanggal 29.
Pasal 9
Data LBBU yang wajib disampaikan untuk masing-masing periode
penyampaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ditetapkan sebagai berikut:
a. periode penyampaian I, meliputi data mengenai:
1. dana pihak ketiga untuk masa laporan minggu keempat bulan
sebelumnya;
2. pos-pos neraca mingguan untuk masa laporan minggu keempat bulan
sebelumnya;
3. posisi devisa neto untuk masa laporan minggu keempat bulan
sebelumnya; dan
4. pemantauan likuiditas dalam bentuk proyeksi arus kas dan maturity
profile untuk posisi laporan tanggal akhir bulan sebelumnya.
b. periode …
-7-
b. periode penyampaian II, meliputi data mengenai:
1. dana pihak ketiga untuk masa laporan minggu pertama bulan yang
bersangkutan;
2. pos-pos neraca mingguan untuk masa laporan minggu pertama bulan
yang bersangkutan; dan
3. posisi devisa neto untuk masa laporan minggu pertama bulan yang
bersangkutan.
c. periode penyampaian III, meliputi data mengenai:
1. dana pihak ketiga untuk masa laporan minggu kedua bulan yang
bersangkutan;
2. pos-pos neraca mingguan untuk masa laporan minggu kedua bulan
yang bersangkutan;
3. posisi devisa neto untuk masa laporan minggu kedua bulan yang
bersangkutan;
4. pemantauan likuiditas dalam bentuk proyeksi arus kas untuk posisi
laporan tanggal 15 bulan yang bersangkutan; dan
5. batas maksimum pemberian kredit untuk posisi laporan tanggal akhir
bulan sebelumnya.
d. periode penyampaian IV, meliputi data mengenai:
1. dana pihak ketiga untuk masa laporan minggu ketiga bulan yang
bersangkutan;
2. pos-pos neraca mingguan untuk masa laporan minggu ketiga bulan
yang bersangkutan; dan
3. posisi …
-8-
3. posisi devisa neto untuk masa laporan minggu ketiga bulan yang
bersangkutan.
Pasal 10
Dalam hal ditemukan kesalahan pada LBBU yang telah disampaikan, Bank
wajib melakukan koreksi atas kesalahan tersebut dan menyampaikannya kepada
Bank Indonesia dalam periode penyampaian LBBU yang sama sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8.
Pasal 11
Dalam hal batas akhir periode penyampaian LBBU sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 dan atau koreksi LBBU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10
jatuh pada hari Sabtu, hari Minggu, dan hari libur, maka LBBU dan atau
koreksi LBBU disampaikan pada hari kerja sebelumnya.
BAB IV
KETERLAMBATAN DAN TIDAK MENYAMPAIKAN LBBU
Pasal 12
(1) Bank dinyatakan terlambat menyampaikan LBBU untuk satu periode
penyampaian apabila LBBU diterima Bank Indonesia setelah batas akhir
periode penyampaian yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
8 sampai dengan 14 (empat belas) hari setelah
penyampaian dimaksud.
batas
akhir periode
(2) Bank dinyatakan terlambat menyampaikan koreksi LBBU untuk satu
periode penyampaian apabila koreksi LBBU diterima Bank Indonesia
setelah batas akhir periode penyampaian yang ditetapkan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 sampai dengan 14 (empat belas) hari setelah batas
akhir periode penyampaian koreksi dimaksud.
Pasal 13 . . .
-9-
Pasal 13
(1) Bank dinyatakan tidak menyampaikan LBBU dan atau koreksi LBBU
untuk satu periode penyampaian apabila Bank belum menyampaikan
LBBU dan atau koreksi LBBU dimaksud dalam batas waktu keterlambatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12.
(2) Bank yang dinyatakan tidak menyampaikan LBBU dan atau koreksi LBBU
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tetap wajib menyampaikan LBBU
dan atau koreksi LBBU kepada Bank Indonesia.
BAB V
METODE PENYAMPAIAN LBBU
Pasal 14
(1) Bank wajib menyampaikan LBBU dan atau koreksi LBBU kepada Bank
Indonesia secara on line.
(2) Kewajiban penyampaian laporan secara on line sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dikecualikan bagi:
a. Bank yang berada di daerah yang belum tersedia fasilitas komunikasi
sehingga tidak memungkinkan untuk menyampaikan LBBU dan atau
koreksi LBBU secara on line;
b. Bank yang baru dibuka dengan batas waktu paling lama 2 (dua) bulan
setelah melakukan kegiatan operasional;
c. Bank yang mengalami
gangguan teknis sehingga tidak dapat
menyampaikan LBBU dan atau koreksi LBBU secara on line.
Pasal 15 . . .
-10-
Pasal 15
Bank yang mengalami gangguan teknis sehingga tidak dapat menyampaikan
LBBU dan atau koreksi LBBU secara on line sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 14 ayat (2) huruf c wajib menyampaikan pemberitahuan secara tertulis
kepada Bank Indonesia mengenai gangguan teknis
yang
ditandatangani oleh anggota direksi Bank.
Pasal 16
(1) Bank yang dikecualikan untuk menyampaikan LBBU dan atau koreksi
LBBU secara on line karena hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14
ayat (2) atau terlambat menyampaikan LBBU dan atau koreksi LBBU
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, wajib menyampaikan LBBU dan
atau koreksi LBBU secara off line disertai hasil cetak komputer (hard
copy).
(2) Bank yang dinyatakan tidak menyampaikan LBBU dan atau koreksi LBBU
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, wajib menyampaikan LBBU dan
atau koreksi LBBU secara off line disertai hasil cetak komputer (hard
copy).
Pasal 17
LBBU, koreksi LBBU, dan pemberitahuan tertulis Bank kepada Bank
Indonesia disampaikan kepada Bank Indonesia dengan alamat sebagai berikut:
a. Direktorat Statistik Ekonomi dan Moneter, Jl. M.H. Thamrin Nomor 2
Jakarta 10110, bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja kantor
pusat Bank Indonesia; atau
b. Kantor …
dialami
dan
-11-
b. Kantor Bank Indonesia setempat, bagi Bank yang berkantor pusat di
wilayah kerja Kantor Bank Indonesia.
BAB VI
LAIN-LAIN
Pasal 18
(1) Kewajiban penyampaian LBBU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
(1) dan atau koreksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 untuk suatu
periode penyampaian, dikecualikan bagi kantor
pusat
Bank
yang
mengalami keadaan memaksa (force majeur) sehingga mengakibatkan
tidak dapat menyampaikan LBBU dan atau koreksi LBBU dalam periode
penyampaian tersebut.
(2) Kantor pusat Bank yang tidak dapat menyampaikan LBBU atau koreksi
LBBU sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib memberitahukan
secara tertulis kepada Bank Indonesia, disertai permohonan untuk tidak
menyampaikan LBBU atau koreksi LBBU dan penjelasan mengenai
penyebab terjadinya keadaan memaksa (force majeur) dan jangka waktu
yang diperlukan untuk mengatasi keadaan tersebut, yang ditandatangani
oleh anggota direksi dan komisaris Bank.
(3) Pengecualian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya diberikan
sampai dengan keadaan memaksa (force majeur) sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) dapat teratasi.
Pasal 19 …
-12-
Pasal 19
Bank yang tidak dapat mengirimkan data LBBU secara
lengkap yang
diakibatkan oleh satu atau lebih kantor cabang Bank mengalami keadaan
memaksa (force majeur) sehingga tidak dapat mengirimkan data LBBU kepada
kantor pusat Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf b, wajib
memberitahukan secara tertulis kepada Bank Indonesia dan ditandatangani oleh
anggota direksi dan komisaris Bank.
Pasal 20
Perubahan pengaturan dalam Pasal 2 ayat (3), Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8,
Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, dan Pasal 28 Peraturan Bank
Indonesia ini ditetapkan dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 21
Kewajiban penyampaian LBBU dan atau koreksi LBBU sebagaimana diatur
dalam Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku untuk LBBU yang wajib
disampaikan pada periode penyampaian I bulan November 2001.
BAB VII
SANKSI
Pasal 22
(1) Bank yang terlambat menyampaikan LBBU sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12 ayat (1) dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar
Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari kerja keterlambatan.
(2) Bank yang tidak menyampaikan LBBU sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 ayat (1) dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar
Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
(3) Bank …
-13-
(3) Bank yang terlambat menyampaikan koreksi LBBU sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) dikenakan sanksi kewajiban membayar
sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) per item koreksi dengan
jumlah maksimum sebesar Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah).
(4) Bank yang tidak menyampaikan koreksi LBBU sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13 ayat (1) dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar
Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per item koreksi dengan jumlah
maksimum sebesar Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah).
(5) Bank yang menyampaikan koreksi LBBU atas dasar temuan dan
permintaan Bank Indonesia dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar
Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk per item koreksi dengan jumlah
maksimum sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah).
Pasal 23
Bank yang menyampaikan LBBU dan atau koreksi LBBU secara off-line yang
tidak disebabkan oleh hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2),
dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp125.000,00 (seratus dua
puluh lima ribu rupiah) untuk setiap penyampaian LBBU atau koreksi LBBU.
Pasal 24
Bank yang tidak menyampaikan LBBU atau koreksi LBBU atas dasar temuan
dan atau permintaan Bank Indonesia, setelah 2 (dua) kali teguran tertulis,
dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp.100.000.000,00 (seratus juta
rupiah).
Pasal 25 …
-14-
Pasal 25
Pengenaan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22,
Pasal 23, dan Pasal 24 dilakukan Bank Indonesia dengan mendebet rekening
giro rupiah Bank pada Bank Indonesia.
Pasal 26
Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (3) dan ayat (4)
dikecualikan untuk:
a. penyampaian koreksi LBBU sebagai akibat hasil audit tahunan oleh akuntan
publik;
b. penyampaian koreksi LBBU sebagai akibat satu atau lebih kantor cabang
Bank mengalami keadaan memaksa (force majeur) sehingga tidak dapat
mengirimkan data LBBU kepada kantor pusat Bank.
Pasal 27
Selain sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22,
Pasal 23, dan Pasal 24, pelanggaran terhadap ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1),
Pasal 3 ayat (2), ayat (3), ayat (4), Pasal 4 ayat (1), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10,
Pasal 13 ayat (2), Pasal 14 ayat (1), Pasal 15, Pasal 16, dan Pasal 18 ayat (2)
dapat dikenakan sanksi dalam rangka pengawasan dan pembinaan Bank.
Pasal 28
Pengenaan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22,
Pasal 23, dan Pasal 24 mulai diberlakukan untuk LBBU yang
disampaikan pada periode penyampaian I bulan Desember 2001.
wajib
BAB VIII …
-15-
BAB VIII
PENUTUP
Pasal 29
Dengan diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia ini maka tata cara
penyusunan, penyampaian, dan pengenaan sanksi penyampaian
laporan
sebagaimana dimaksud dalam:
a. Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16,
Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 28/113/KEP/DIR tanggal
14 Desember 1995 tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum Pada Bank
Indonesia Dalam Rupiah dan Valuta Asing;
b. Pasal 14, Pasal 17 ayat (1) khususnya mengenai alamat penyampaian
laporan dalam Pasal 14, Pasal 18 ayat (1), Pasal 19 ayat (2) khususnya
mengenai tidak menyampaikan laporan dalam Pasal 14, Surat Keputusan
Direksi Bank Indonesia Nomor 31/177/KEP/DIR tanggal 31 Desember
1998 tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Umum;
c. Pasal 5, Pasal 7, serta Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2) Surat Keputusan Direksi
Bank Indonesia Nomor 31/178/KEP/DIR tanggal 31 Desember 1998
tentang Posisi Devisa Neto Bank Umum;
d. Pasal 2, Pasal 3, Pasal 6 ayat (1) khususnya mengenai Laporan Pemantauan
Likuiditas dalam Pasal 2, ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), Pasal 7 khususnya
alamat penyampaian Laporan Pemantauan Likuiditas dalam Pasal 2, Pasal
9 huruf a dan huruf b, dan Pasal 10 khususnya yang mengatur mengenai
Pasal 2 serta Pasal 9 huruf a dan huruf b, Surat Keputusan Direksi Bank
Indonesia Nomor 31/179/KEP/DIR tanggal 31 Desember 1998 tentang
Pemantauan Likuiditas Bank Umum; dan
e. Pasal 7 …
-16-
e. Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 8 ayat (2), Peraturan Bank
Indonesia Nomor 2/5/PBI/2000 tanggal 21 Februari 2000 tentang
Penyediaan Dana Oleh Bank Yang Dijamin Bank Lain,
disesuaikan dengan Peraturan Bank Indonesia ini sejak tanggal 31 Oktober
2001.
Pasal 30
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 4 Oktober 2001
GUBERNUR BANK INDONESIA
SYAHRIL SABIRIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2001 NOMOR 125
DPNP
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 3/ 17 /PBI/2001
TENTANG
LAPORAN BERKALA BANK UMUM
UMUM
Dalam Pasal 28 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia, ditetapkan bahwa bank wajib menyampaikan
laporan,
keterangan, dan penjelasan kepada Bank Indonesia dengan tata cara yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia. Data dan atau informasi dalam laporan,
keterangan, dan penjelasan dimaksud lebih lanjut digunakan antara lain dalam
menyusun statistik perbankan untuk analisis ekonomi moneter serta pengawasan
dan pembinaan bank.
Untuk menunjang pengkinian penyusunan statistik perbankan diperlukan
data keuangan perbankan yang akurat dan lengkap yang disampaikan secara
efisien dan tepat waktu.
Selain itu untuk meningkatkan efektifitas data keuangan perbankan
dirasakan perlu untuk menyeragamkan laporan yang disampaikan yang selama
ini telah diatur dalam beberapa ketentuan Bank Indonesia.
Sejalan dengan hal tersebut dan dengan semakin berkembangnya
penggunaan sarana telekomunikasi dan teknologi dalam kegiatan usaha Bank,
untuk mendukung terciptanya mekanisme pelaporan yang lebih efisien, maka
dalam …
-2-
dalam penyampaian laporan berkala bank umum perlu disempurnakan melalui
pemanfaatan sarana telekomunikasi dan teknologi.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Cukup jelas.
Angka 4
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Yang dimaksud dana pihak ketiga adalah dana pihak ketiga
dalam rupiah dan valuta asing sebagaimana dimaksud
dalam …
-3-
dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku tentang giro
wajib minimum bank umum pada Bank Indonesia dalam
rupiah dan valuta asing.
Huruf b
Yang dimaksud dengan pos-pos neraca mingguan adalah
neraca yang disusun secara mingguan
sesuai
dengan
rincian pos-pos neraca sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia yang berlaku tentang laporan
bulanan bank umum.
Huruf c
Yang dimaksud dengan posisi devisa neto adalah angka
yang merupakan penjumlahan dari nilai absolut dari selisih
bersih aktiva dan pasiva dalam neraca untuk setiap valuta
asing ditambah dengan selisih bersih tagihan dan
kewajiban, baik yang merupakan komitmen maupun
kontinjensi dalam rekening administratif untuk setiap
valuta asing sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank
Indonesia yang berlaku tentang posisi devisa neto.
Huruf d
Yang dimaksud dengan pemantauan likuiditas adalah
pemantauan likuiditas melalui proyeksi arus kas dan
maturity profile atas pos-pos neraca bank sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku
tentang pemantauan likuiditas bank umum.
Huruf e …
-4-
Huruf e
Yang dimaksud dengan batas maksimum pemberian kredit
adalah prosentase perbandingan batas
maksimum
penyediaan dana yang diperkenankan terhadap modal bank
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia
yang berlaku tentang batas maksimum pemberian kredit
bank umum.
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan petugas adalah operator yang
mengetahui, menguasai, dan mengoperasikan sistem pelaporan.
Yang dimaksud dengan penanggung jawab adalah pejabat yang
memiliki wewenang untuk memberikan
otorisasi mengenai
keabsahan data yang dikirimkan. Khusus untuk data batas
maksimum pemberian kredit, selain pejabat yang ditunjuk,
penanggung jawab juga termasuk salah seorang direksi dan salah
seorang komisaris Bank.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 4 …
-5-
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10 …
-6-
Pasal 10
Koreksi atas kesalahan data posisi devisa neto masa laporan minggu
ketiga wajib disampaikan dalam periode penyampaian yang sama dengan
periode penyampaian yang ditetapkan untuk data posisi devisa neto masa
laporan minggu ketiga.
Kesalahan LBBU antara lain disebabkan adanya temuan Bank, akuntan
publik, BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan) dan
atau Bank Indonesia.
Pasal 11
Yang dimaksud dengan hari libur adalah hari libur nasional dan atau hari
libur lokal yang ditetapkan oleh pemerintah daerah setempat.
Dalam hal terdapat beberapa hari libur umum yang berurutan termasuk
hari libur khusus, pelaksanaan penyampaian LBBU dan atau koreksi
LBBU akan diatur tersendiri oleh Bank Indonesia.
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 14 …
-7-
Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Ayat (1)
Yang dimaksud keadaan memaksa (force majeur) antara lain
adalah gempa bumi, banjir, kebakaran, kerusuhan dan perang.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3) …
-8-
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 19
Dalam hal satu atau lebih kantor cabang Bank mengalami keadaan
memaksa (force majeur) sehingga tidak dapat mengirimkan data LBBU
kepada kantor pusat Bank tidak mengurangi kewajiban Bank untuk
melaporkan LBBU selengkap-lengkapnya kepada Bank Indonesia.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Dalam hal Bank dikenakan sanksi kewajiban membayar karena
dinyatakan tidak menyampaikan LBBU maka sanksi kewajiban
membayar karena terlambat menyampaikan LBBU tidak
diberlakukan.
Ayat (3)
Penyampaian koreksi LBBU dilakukan atas inisiatif Bank.
Ayat (4)
Sanksi untuk penyampaian koreksi LBBU melebihi batas waktu
keterlambatan tidak menghilangkan sanksi kewajiban membayar
karena terlambat menyampaikan koreksi LBBU.
Ayat (5) …
-9-
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Apabila saldo rekening Bank pada Bank Indonesia tidak mencukupi
maka sanksi kewajiban membayar wajib disetorkan secara tunai kepada
rekening Bank pada Bank Indonesia.
Pasal 26
Termasuk akuntan publik adalah BPKP.
Pasal 27
Sanksi dalam rangka pengawasan dan pembinaan Bank antara lain
termasuk sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52
ayat (2) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun
1998, antara lain namun tidak terbatas pada:
a. teguran tertulis;
b. pencantuman anggota pengurus, pegawai Bank, pemegang saham
dalam daftar orang-orang yang dilarang menjadi pemegang saham
dan atau pengurus Bank;
c. pembekuan kegiatan usaha tertentu, antara lain tidak diperkenankan
untuk ekspansi penyediaan dana;
d. pemberhentian …
-10-
d. pemberhentian pengurus Bank dan selanjutnya menunjuk
mengangkat pengganti sementara; dan atau
e. larangan untuk turut serta dalam kegiatan kliring.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
dan
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4143
DPNP
"," PBI
3/17/PBI/2001
LAPORAN BERKALA BANK UMUM
4 Oktober 2001
4 Oktober 2001
'7/UU/1992', '10/UU/1998', '23/UU/1999'
'BAB VII'
"
" PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 6/18/PBI/2004
TENTANG
KUALITAS AKTIVA PRODUKTIF
BAGI BANK PERKREDITAN RAKYAT SYARIAH
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa kinerja dan kelangsungan usaha Bank Perkreditan
Rakyat Syariah dipengaruhi oleh kualitas dari penanaman
atau penempatan dana;
b. bahwa dalam rangka menjaga kinerja yang
baik
dan
pengembangan usaha yang senantiasa sesuai dengan prinsip
kehati-hatian dan prinsip Syariah, maka pengurus Bank
Perkreditan Rakyat yang melaksanakan kegiatan usaha
berdasarkan prinsip Syariah wajib menjaga kualitas aktiva
produktif;
c. bahwa produk penanaman atau penempatan dana dalam
bentuk
aktiva produktif Bank Perkreditan Rakyat yang
melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip Syariah
memiliki karakteristik yang khas;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, b dan c perlu untuk menetapkan ketentuan
tentang…..
- 2 -
tentang kualitas aktiva produktif
bagi Bank Perkreditan
Rakyat yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan
prinsip Syariah dalam Peraturan Bank Indonesia.
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor
31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang
Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang
Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-
undang No.3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2004 Nomor 7 Tambahan Lembaran Negara Nomor
4357);
M E M U T U S K A N :
Menetapkan
:
PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG
KUALITAS
AKTIVA
PRODUKTIF
PERKREDITAN RAKYAT SYARIAH
BAB I .…
BAGI
BANK
- 3 -
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan :
1. Bank Perkreditan Rakyat Syariah yang selanjutnya disebut BPRS adalah
Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, yang melaksanakan kegiatan usaha
berdasarkan prinsip syariah;
2. Bank Syariah adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-
undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah
dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 yang melaksanakan kegiatan
usaha berdasarkan prinsip Syariah, termasuk yang melaksanakan kegiatan
usaha secara konvensional dan berdasarkan prinsip Syariah secara
bersamaan;
3. Aktiva Produktif adalah penanaman atau penempatan dana BPRS dalam
Rupiah berdasarkan prinsip Syariah dalam bentuk pembiayaan, piutang,
Ijarah, Sertifikat Wadiah Bank Indonesia dan Penempatan Dana Pada Bank
Lain;
4. Pembiayaan berdasarkan prinsip Syariah adalah penyediaan dana dan atau
tagihan oleh BPRS kepada nasabah berdasarkan akad Mudharabah dan atau
Musyarakah dan atau pembiayaan lainnya berdasarkan prinsip bagi hasil;
5. Mudharabah adalah perjanjian antara BPRS sebagai penyedia dana dengan
nasabah sebagai pengelola dana untuk melakukan kegiatan usaha tertentu,
dengan pembagian keuntungan antara kedua belah pihak berdasarkan nisbah
yang .…
- 4 -
yang telah disepakati sebelumnya, sedangkan kerugian ditanggung penyedia
dana kecuali kerugian akibat kesalahan yang disengaja, kelalaian, dan atau
pelanggaran kesepakatan yang dilakukan oleh pengelola dana;
6. Musyarakah adalah perjanjian antara BPRS sebagai penyedia dana dengan
penyedia dana lainnya untuk membiayai usaha tertentu dengan pembagian
keuntungan diantara penyedia dana berdasarkan nisbah yang disepakati
sebelumnya, sedangkan kerugian ditanggung
berdasarkan porsi dana masing-masing pihak;
semua penyedia dana
7. Piutang adalah tagihan yang timbul dari transaksi jual beli berdasarkan akad
Murabahah, Salam, Istishna dan atau pinjam meminjam berdasarkan akad
Qardh;
8. Murabahah adalah perjanjian jual beli barang sebesar harga pokok barang
ditambah dengan marjin keuntungan yang disepakati antara BPRS sebagai
penjual dengan nasabah sebagai pembeli yang pembayarannya dilakukan
secara tangguh;
9. Salam adalah perjanjian jual beli barang dengan pembayaran lunas dimuka
oleh BPRS sebagai pembeli kepada nasabah sebagai penjual yang
berkewajiban menyerahkan barang pesanan berdasarkan jangka waktu,
kriteria dan persyaratan yang disepakati, dan barang tersebut akan dijual
kembali oleh BPRS kepada pihak lain;
10. Istishna adalah perjanjian jual beli barang dengan pesanan berdasarkan
jangka waktu, kriteria dan persyaratan yang disepakati, yang pembayarannya
dilakukan secara tangguh oleh nasabah sebagai pembeli kepada BPRS
sebagai penjual setelah barang pesanan diterima oleh nasabah;
11. Qardh adalah perjanjian pinjam meminjam dana antara BPRS sebagai
pemberi pinjaman dengan
nasabah sebagai pihak peminjam yang
mewajibkan….
- 5 -
mewajibkan pihak peminjam melakukan pengembalikan pokok pinjaman
tanpa imbalan yang diperjanjikan di muka secara sekaligus atau cicilan dalam
jangka waktu tertentu;
12. Ijarah adalah perjanjian sewa menyewa suatu barang (Aktiva Ijarah/ Uang
Muka Ijarah) antara BPRS sebagai pihak yang menyewakan dengan nasabah
sebagai pihak penyewa dalam jangka waktu tertentu;
13. Aktiva Ijarah adalah aktiva yang diperoleh atau dibeli BPRS untuk tujuan
disewakan;
14. Uang Muka Ijarah adalah uang muka sewa yang dibayar oleh BPRS kepada
pihak pemilik barang, selanjutnya barang tersebut disewakan oleh BPRS
kepada nasabah;
15. Penempatan Dana Pada Bank Lain adalah penanaman dana BPRS pada Bank
Syariah atau BPRS lainnya berdasarkan prinsip Syariah antara lain dalam
bentuk giro dan atau tabungan Wadiah, deposito berjangka dan atau tabungan
Mudharabah, Pembiayaan yang
diberikan dan atau bentuk-bentuk
penempatan lainnya yang dipersamakan dengan itu;
16. Proyeksi Bagi Hasil (PBH) adalah perkiraan bagi hasil yang akan diberikan
oleh nasabah kepada BPRS atas pembiayaan yang diberikan dengan jumlah
dan tanggal jatuh tempo yang disepakati antara BPRS dan nasabah;
17. Realisasi Bagi Hasil (RBH) adalah bagi hasil yang diberikan nasabah kepada
BPRS atas pembiayaan yang diberikan;
18. Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI) adalah bukti penitipan dana
Wadiah pada Bank Indonesia;
19. Wadiah adalah perjanjian penitipan dana antara pemilik dana dengan pihak
yang dipercaya untuk menjaga dana titipan tersebut;
20. Restrukturisasi….
- 6 -
20. Restrukturisasi pembiayaan, piutang dan atau Ijarah adalah upaya yang
dilakukan BPRS
dalam rangka membantu nasabah agar dapat
menunaikan kewajibannya antara lain melalui :
a. penjadualan kembali (rescheduling), yaitu perubahan jadwal pembayaran
kewajiban nasabah atau jangka waktunya;
b. persyaratan kembali
(reconditioning), yaitu perubahan sebagian atau
seluruh persyaratan pembiayaan, piutang dan atau Ijarah yang tidak
terbatas pada perubahan jadual pembayaran, jangka waktu, dan atau
persyaratan lainnya sepanjang tidak menyangkut perubahan maksimum
saldo pembiayaan, piutang dan atau Ijarah ;
c. penataan kembali (restructuring), yaitu perubahan persyaratan
pembiayaan, piutang dan atau Ijarah yang menyangkut:
1) penambahan dana BPRS;
2) konversi pembiayaan menjadi piutang dan atau sebaliknya;
3) konversi pembiayaan atau piutang menjadi Ijarah.
Pasal 2
(1) Penanaman dana BPRS pada Aktiva Produktif wajib dilaksanakan
berdasarkan prinsip kehati-hatian.
(2) Pengurus BPRS wajib memantau dan mengambil langkah-langkah
antisipasi agar Kualitas Aktiva Produktif senantiasa dalam keadaan Lancar.
BAB II….
- 7 -
BAB II
TATA CARA PENILAIAN
Pasal 3
Kualitas Aktiva Produktif wajib dinilai secara bulanan.
Pasal 4
(1) Kualitas Aktiva Produktif dalam bentuk Pembiayaan, Piutang, Ijarah dan
atau Penempatan Dana Pada Bank Lain ditetapkan menjadi 4 (empat)
golongan yaitu Lancar, Kurang Lancar, Diragukan dan Macet.
(2) Penilaian terhadap Kualitas Aktiva Produktif sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dilakukan berdasarkan pada ketepatan dan atau kemampuan
membayar kewajiban oleh nasabah penerima dana sesuai dengan lampiran
dalam Peraturan Bank Indonesia ini.
Pasal 5
(1) Penilaian terhadap kualitas Pembiayaan dan Penempatan Dana Pada Bank
Lain dilakukan berdasarkan kemampuan membayar yang mengacu pada
ketepatan pengembalian pokok dan atau pencapaian rasio antara Realisasi
Bagi Hasil (RBH) dengan Proyeksi Bagi Hasil (PBH).
(2) PBH dihitung berdasarkan pada analisis kelayakan usaha dan arus kas
masuk nasabah selama jangka waktu pembiayaan.
(3) BPRS dapat mengubah PBH berdasarkan kesepakatan dengan nasabah
penerima dana sepanjang terdapat perubahan atas kondisi ekonomi makro,
dan pasar yang mempengaruhi usaha nasabah.
(4) BPRS….
- 8 -
(4) BPRS wajib mencantumkan PBH dan perubahan PBH dalam perjanjian
pembiayaan antara BPRS dengan nasabah penerima dana serta harus
mendokumentasikannya secara lengkap.
(5) BPRS dapat melakukan revisi PBH maksimum :
a. 1 (satu) kali untuk pembiayaan dengan jangka waktu sampai dengan
satu tahun;
b. 2 (dua) kali untuk pembiayaan dengan jangka waktu di atas satu tahun.
Pasal 6
(1) Pengembalian pokok Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
ayat (1) dapat dilakukan secara bertahap selama jangka waktu Pembiayaan
atau sekaligus pada waktu berakhirnya akad untuk Pembiayaan dengan
jangka waktu sampai dengan 1 (satu) tahun.
(2) Apabila jangka waktu Pembiayaan lebih dari 1 (satu) tahun, pengembalian
pokok Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilakukan
secara bertahap dan sesuai dengan proyeksi arus kas masuk (cash inflow)
usaha nasabah penerima dana.
(3) Pengembalian pokok
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib
dicantumkan dalam perjanjian pembiayaan antara BPRS dengan nasabah
penerima dana dan didukung dengan dokumen yang lengkap.
Pasal 7
(1) Kualitas Aktiva Produktif dalam bentuk Piutang
ketepatan pembayaran angsuran Piutang.
dinilai berdasarkan
(2) Penilaian….
- 9 -
(2) Penilaian Kualitas Aktiva Produktif dalam bentuk Piutang sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) mengacu pada ketepatan pelunasan Piutang yang
berjangka waktu sampai dengan 1 (satu) bulan.
(3) Apabila jangka waktu Piutang lebih dari 1 (satu) bulan, pembayaran
angsuran Piutang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilakukan
secara berkala dan sesuai dengan proyeksi arus kas masuk (cash inflow)
usaha nasabah.
(4) Pembayaran angsuran Piutang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib
dicantumkan dalam perjanjian pembiayaan antara BPRS dengan nasabah
penerima dana serta didukung
dengan dokumentasi yang
lengkap,
sekurang-kurangnya memuat mengenai angsuran pokok, marjin dan jadwal
pembayaran.
Pasal 8
Kualitas Aktiva Produktif dalam bentuk Ijarah dinilai berdasarkan ketepatan
pembayaran sewa.
Pasal 9
Kualitas Sertifikat Wadiah Bank Indonesia ditetapkan Lancar.
Pasal 10
Penanaman dana BPRS dalam bentuk Aktiva Produktif wajib didukung
dengan dokumentasi yang lengkap.
Pasal 11….
- 10 -
Pasal 11
Kualitas Aktiva Produktif yang telah ditetapkan oleh BPRS dapat diturunkan
oleh Bank Indonesia (professional judgement) apabila terjadi salah satu atau
lebih hal sebagai berikut :
a. nasabah penerima dana tidak diketahui lagi keberadaannya tanpa alasan
yang dapat dibenarkan;
b.
usaha nasabah bangkrut.
Pasal 12
(1) BPRS dapat melakukan Restrukturisasi Pembiayaan, Piutang dan atau
Ijarah sepanjang Nasabah masih memiliki prospek usaha namun telah atau
diperkirakan akan mengalami kesulitan pembayaran pokok, angsuran, bagi
hasil, atau sewa.
(2) Restrukturisasi sebagaimana dimaksud dalam
berdasarkan prinsip Syariah.
ayat (1) dilakukan
(3) Penggolongan kualitas atas Pembiayaan, Piutang dan atau Ijarah yang
direstrukturisasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah sebagai
berikut :
a. setinggi-tingginya Kurang Lancar untuk Pembiayaan, Piutang dan atau
Ijarah yang sebelum direstrukturisasi tergolong Diragukan atau Macet;
b. kualitas tidak berubah untuk Pembiayaan, Piutang dan atau Ijarah yang
sebelum direstrukturisasi tergolong Lancar atau Kurang Lancar.
(4) Kualitas….
- 11 -
(4) Kualitas Pembiayaan, Piutang, dan atau Ijarah sebagaimana dimaksud
dalam ayat (3) dapat menjadi :
a. lancar apabila tidak terjadi tunggakan angsuran pokok dan bagi hasil
selama 6 (enam) kali periode pembayaran secara berturut-turut;
b. kembali pada kualitas yang
sama dengan sebelum dilakukan
restrukturisasi, apabila nasabah peminjam gagal memenuhi kriteria
sebagaimana disebutkan dalam huruf a.
BAB III
SANKSI
Pasal 13
BPRS yang tidak melaksanakan ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2),
Pasal 3, Pasal 5 ayat (4), Pasal 6 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 7 ayat (3) dan ayat
(4), dan Pasal 10 dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 52 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana
telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 berupa :
a.
teguran tertulis;
b. penurunan tingkat kesehatan; dan atau
c. penggantian pengurus.
BAB IV….
- 12 -
BAB IV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 14
Dengan dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia ini, maka Surat Keputusan
Direksi Bank Indonesia Nomor 26/22/KEP/DIR tentang Kualitas Aktiva
Produktif dan Pembentukan Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif, dan surat
Edaran Bank Indonesia Nomor 26/4/BPPP tentang Kualitas Aktiva Produktif
dan Pembentukan Penyisihan Aktiva Produktif masing-masing tanggal tanggal
29 Mei 1993, sebagaimana telah diubah dengan Surat keputusan Direksi Bank
Indonesia Nomor 26/167/KEP/DIR tentang Penyempurnaan Surat Keputusan
Direksi Bank Indonesia Nomor 26/22/KEP/DIR tanggal 29 Mei 1993 tentang
Kualitas Aktiva Produktif dan Pembentukan Penyisihan Penghapusan Aktiva
Produktif, dan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 26/9/BPPP tentang
Penyempurnaan Pembentukan Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif
masing-masing tanggal 29 Maret 1994, dinyatakan tidak berlaku bagi BPRS.
Pasal 15 ….
- 13 -
Pasal 15
Peraturan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 1 Juli 2004
GUBERNUR BANK INDONESIA
Ttd.
BURHANUDDIN ABDULLAH
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004 NOMOR 59
DPbS
- 14 -
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 6/18/PBI/2004
TENTANG
KUALITAS AKTIVA PRODUKTIF BAGI
BANK PERKREDITAN RAKYAT SYARIAH
I. UMUM
Kelangsungan usaha Bank Perkreditan Rakyat Syariah tergantung pada
kinerja, yang salah satu indikator utamanya adalah kualitas dari penanaman atau
penempatan dana bank. Kualitas penanaman atau penempatan dana yang baik
akan menghasilkan keuntungan, sehingga kinerja bank yang melakukan kegiatan
usaha berdasarkan prinsip Syariah akan baik. Sebaliknya kualitas penanaman
atau penempatan dana yang buruk akan membawa pengaruh menurunnya kinerja
Bank Perkreditan Rakyat Syariah, yang pada akhirnya dapat mengancam
kelangsungan usaha Bank Perkreditan Rakyat Syariah.
Dengan menyadari pentingnya kualitas penanaman atau penempatan
dana, maka pengurus Bank Perkreditan Rakyat Syariah sebagai penerima amanat
dari pemilik dana (investor) memiliki tanggung jawab atas pengelolaan dana
tersebut, mulai dari persetujuan sampai dengan pemantauan atas kualitas
penanaman atau penempatan dana. Pemantauan atas penanaman atau
penempatan dana ini dilakukan dengan cara selalu menilai kualitas penanaman
atau penempatan dana tersebut berdasarkan pada kemampuan membayar
nasabah.
Dengan…
- 15 -
Dengan melihat kekhasan produk dan operasional Bank Perkreditan
Rakyat Syariah dan dalam rangka mewujudkan tata cara penilaian kualitas aktiva
produktif yang berdasarkan pada prinsip kehati-hatian dan memenuhi prinsip
Syariah maka perlu ditetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang kualitas aktiva
produktif bagi Bank Perkreditan Rakyat Syariah.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan prinsip kehati-hatian dalam penanaman atau
penempatan dana yaitu penanaman atau penempatan dana BPRS
dilakukan antara lain berdasarkan :
• Analisis
kelayakan usaha dengan memperhatikan sekurang-
kurangnya faktor 5C (Character, Capital, Capacity, Condition of
Economy & Collateral);
• Penilaian terhadap aspek kemampuan membayar.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan memantau adalah mengawasi perkembangan
kinerja usaha nasabah dari waktu ke waktu.
Yang dimaksud….
- 16 -
Yang dimaksud dengan mengambil langkah-langkah antisipasi adalah
melakukan tindakan dan upaya pencegahan atas kemungkinan
timbulnya kegagalan dalam penanaman dana.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Perhitungan pencapaian rasio antara Realisasi Bagi Hasil (RBH)
dengan Proyeksi Bagi Hasil (PBH) adalah sebagai berikut:
RBH
K = ----------------
PBH
Dimana:
K
=
RBH =
x 100%
Kualitas Pembiayaan
Realisasi Bagi Hasil yang
nasabah kepada BPRS
diberikan
oleh
PBH….
- 17 -
PBH
Ayat (2)
Misalnya Pembiayaan berjangka waktu 2 tahun, jadwal
pembayaran bagi hasil ditetapkan setiap 1 bulan maka PBH
ditetapkan setiap 1 bulan, yaitu :
1. PBH 1 bulan I = Rp xxx atau x %
2. PBH 1 bulan II = Rp yyy atau y % dst.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan terdokumentasi secara lengkap yaitu
sekurang-kurangnya tersedianya dokumentasi pembiayaan yang
meliputi aplikasi, analisa, keputusan dan pemantauan atas
pembiayaan serta arsip lain yang terkait dengan PBH beserta
perubahannya.
Ayat (5)
Cukup jelas.
=
Perkiraan Bagi Hasil yang akan diberikan oleh
nasabah kepada BPRS
Pasal 6 ….
- 18 -
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas
Pasal 10 ….
- 19 -
Pasal 10
Yang dimaksud dengan dokumentasi yang lengkap yaitu sekurang-
kurangnya tersedianya dokumentasi penanaman atau penempatan dana
yang meliputi: aplikasi, analisis, keputusan dan pemantauan atas
penanaman atau penempatan dana serta perubahannya.
Pasal 11
Yang dimaksud dengan bangkrut adalah usaha nasabah mengalami
kesulitan keuangan yang berat sehingga yang bersangkutan tidak dapat
memenuhi kewajiban atau dinyatakan pailit.
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan restrukturisasi dilakukan berdasarkan
prinsip Syariah adalah restrukturisasi yang sesuai dengan fatwa
yang diterbitkan oleh otoritas fatwa Syariah.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 13
Cukup jelas
Pasal 14 ….
- 20 -
Pasal 14
Cukup jelas
Pasal 15
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4393
DPbS
"," PBI
6/18/PBI/2004
KUALITAS AKTIVA PRODUKTIF BAGI BANK PERKREDITAN RAKYAT SYARIAH
1 Juli 2004
1 Juli 2004
'26/9/BPPP|SE-BI/1994', '26/22/KEP/DIR|SKDIR-BI/1993', '26/4/BPPP|SE-BI/1993', '26/167/KEP/DIR|SKDIR-BI/1994'
'23/UU/1999', '7/UU/1992', '10/UU/1998', '3/UU/2004'
'BAB III'
"
" PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 18/1/PBI/2016
TENTANG
JUMLAH DAN NILAI NOMINAL UANG RUPIAH YANG DIMUSNAHKAN
TAHUN 2015
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa salah satu tugas Bank Indonesia adalah
melakukan pemusnahan terhadap uang Rupiah yang
ditarik dari peredaran;
b. bahwa jumlah dan nilai nominal uang Rupiah yang
ditarik dari peredaran yang dimusnahkan oleh Bank
Indonesia ditempatkan dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia secara periodik setiap 1 (satu) tahun sekali;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan
Peraturan Bank Indonesia tentang Jumlah dan Nilai
Nominal Uang Rupiah yang Dimusnahkan Tahun 2015;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah
beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
- 2 -
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4962);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5223);
M E M U T U S K A N:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG JUMLAH DAN
NILAI NOMINAL UANG RUPIAH YANG DIMUSNAHKAN TAHUN
2015.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Uang Rupiah adalah Rupiah sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang
Mata Uang.
2. Uang Rupiah Tidak Layak Edar adalah Uang Rupiah
yang terdiri atas Uang Rupiah lusuh, Uang Rupiah cacat,
dan Uang Rupiah rusak.
3. Pemusnahan adalah suatu rangkaian kegiatan meracik,
melebur, atau cara lain memusnahkan Uang Rupiah
sehingga tidak menyerupai Uang Rupiah.
BAB II
PEMUSNAHAN UANG RUPIAH
Pasal 2
(1) Bank Indonesia melaksanakan Pemusnahan terhadap:
a. Uang Rupiah Tidak Layak Edar;
b. Uang Rupiah yang masih layak edar yang dengan
pertimbangan tertentu tidak lagi mempunyai
- 3 -
manfaat ekonomis dan/atau kurang diminati oleh
masyarakat; dan/atau
c. Uang Rupiah yang sudah tidak berlaku yaitu Uang
Rupiah yang dicabut dan ditarik dari peredaran.
(2) Pemusnahan Uang Rupiah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dituangkan dalam suatu berita acara.
Pasal 3
Pemusnahan Uang Rupiah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) dilakukan dengan cara sebagai berikut:
a. Uang Rupiah kertas diracik dengan menggunakan mesin
yang memiliki fungsi untuk meracik Uang Rupiah kertas
atau dengan cara lain sehingga tidak menyerupai Uang
Rupiah kertas;
b. Uang Rupiah logam dilebur atau dengan cara lain
sehingga tidak menyerupai Uang Rupiah logam.
BAB III
PENEMPATAN JUMLAH DAN NILAI NOMINAL UANG RUPIAH
YANG DIMUSNAHKAN DALAM LEMBARAN NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
Pasal 4
(1) Jumlah dan nilai nominal Uang Rupiah yang
dimusnahkan oleh Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) ditempatkan dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia secara periodik
setiap 1 (satu) tahun sekali.
(2)
Informasi jumlah dan nilai nominal Uang Rupiah yang
dimusnahkan oleh Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi jenis pecahan, jumlah
bilyet dan keping, dan nilai nominal.
(3)
Informasi jumlah dan nilai nominal Uang Rupiah yang
dimusnahkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
untuk periode tanggal 1 Januari 2015 sampai dengan
31 Desember 2015 tercantum dalam Lampiran yang
- 4 -
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Bank Indonesia ini.
BAB IV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 5
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 28 Januari 2016
GUBERNUR BANK INDONESIA,
AGUS D.W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 28 Januari 2016
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
YASONNA H. LAOLY EG
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 22
"," PBI
18/1/PBI/2016
JUMLAH DAN NILAI NOMINAL UANG RUPIAH YANG DIMUSNAHKAN TAHUN 2015
28 Januari 2016
28 Januari 2016
28 Januari 2016
'7/UU/2011', '2/PERPPU/2008', '6/UU/2009', '23/UU/1999'
"
" PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 18/28/PBI/2016
TENTANG
PENGELUARAN UANG RUPIAH LOGAM
PECAHAN 200 (DUA RATUS)
TAHUN EMISI 2016
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa uang Rupiah sebagai mata uang Negara Kesatuan
Republik Indonesia memiliki peran yang sangat strategis,
baik sebagai simbol kedaulatan negara yang harus
dihormati dan dibanggakan oleh seluruh warga negara
Indonesia, maupun sebagai alat pembayaran yang sah
dalam kegiatan perekonomian nasional guna
mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia;
b. bahwa guna mewujudkan kesejahteraan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia dan dalam rangka
melaksanakan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun
2011 tentang Mata Uang, Bank Indonesia perlu
mengeluarkan uang Rupiah dan mengedarkannya sesuai
dengan kebutuhan masyarakat dalam jumlah nominal
yang cukup, jenis pecahan yang sesuai, tepat waktu, dan
dalam kondisi yang layak edar;
c. bahwa untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap
uang Rupiah maka uang Rupiah yang dikeluarkan Bank
- 2 -
Indonesia perlu senantiasa ditingkatkan kualitas dan
keandalannya;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu
menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang
Pengeluaran Uang Rupiah Logam Pecahan 200 (Dua
Ratus) Tahun Emisi 2016;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843), sebagaimana telah diubah
beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4962);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata
Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5223);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENGELUARAN
UANG RUPIAH LOGAM PECAHAN 200 (DUA RATUS) TAHUN
EMISI 2016.
Pasal 1
Bank Indonesia mengeluarkan uang Rupiah pecahan 200 (dua
ratus) tahun emisi 2016 sebagai alat pembayaran yang sah di
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
- 3 -
Pasal 2
Macam uang Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
merupakan uang Rupiah logam yang memiliki ciri tertentu.
Pasal 3
Harga uang Rupiah logam sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 merupakan nilai nominal pada pecahan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 yaitu sebesar Rp200,00 (dua ratus
rupiah).
Pasal 4
Ciri tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang
terdapat pada bagian depan dan bagian belakang meliputi:
a. ciri umum; dan
b. ciri khusus.
Pasal 5
Ciri umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a
yaitu:
a. pada bagian depan terdapat:
1. gambar lambang negara “Garuda Pancasila”;
2. frasa “REPUBLIK INDONESIA”; dan
3. gambar utama yaitu
Tjiptomangunkusumo
Dr.
“Dr. TJIPTOMANGUNKUSUMO”; dan
b. pada bagian belakang terdapat:
1. sebutan pecahan dalam angka “200”;
2. tulisan tahun emisi yaitu “2016”;
3. tulisan “BANK INDONESIA”; dan
4. tulisan “RUPIAH”.
Pasal 6
Ciri khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b
yang berupa desain, bahan, dan teknik cetak sebagai berikut:
a. warna, dominan putih aluminium;
b. bahan, terbuat dari aluminium;
Pahlawan Nasional
beserta tulisan
- 4 -
c.
berat, 2,38 (dua koma tiga puluh delapan) gram dengan
toleransi ± (lebih kurang) 0,05 (nol koma nol lima) gram;
d. diameter, 25,00 (dua puluh lima) milimeter dengan
toleransi ± (lebih kurang) 0,05 (nol koma nol lima)
milimeter; dan
e.
tebal sisi, 2,20 (dua koma dua puluh) milimeter dengan
toleransi ± (lebih kurang) 0,10 (nol koma sepuluh)
milimeter.
Pasal 7
Uang Rupiah logam pecahan 200 (dua ratus) tahun emisi
2003 dinyatakan masih tetap berlaku sebagai alat
pembayaran yang sah di wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia sepanjang belum dicabut dan ditarik dari
peredaran.
Pasal 8
Uang Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 mulai
berlaku dan diedarkan pada tanggal 19 Desember 2016.
Pasal 9
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
- 5 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 25 Oktober 2016
GUBERNUR BANK INDONESIA,
AGUS D. W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 27 Oktober 2016
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 211
"," PBI
18/28/PBI/2016
PENGELUARAN UANG RUPIAH LOGAM PECAHAN 200 (DUA RATUS) TAHUN EMISI 2016
25 Oktober 2016
27 Oktober 2016
27 Oktober 2016
'23/UU/1999', '6/UU/2009', '2/PERPPU/2008', '7/UU/2011'
"
" PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 11/ 5 /PBI/2009
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 3/19/PBI/2001 TENTANG PENGELUARAN DAN PENGEDARAN
UANG RUPIAH PECAHAN 5.000 (LIMA RIBU)
TAHUN EMISI 2001
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang
: a. bahwa pengeluaran dan pengedaran uang rupiah
ditujukan untuk menyediakan uang tunai di masyarakat
sebagai alat pembayaran yang sah (legal tender);
b. bahwa untuk lebih mengoptimalkan fungsi elemen pada
desain uang kertas rupiah pecahan 5.000 (lima ribu)
sebagai legal tender di Negara Kesatuan Republik
Indonesia, diperlukan penyempurnaan desain uang
rupiah antara lain mengenai penandatanganan pada
uang, penempatan letak tahun pengeluaran atau tahun
emisi, dan tahun pencetakan uang;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, dipandang perlu
untuk melakukan perubahan atas Peraturan Bank
Indonesia tentang Pengeluaran dan Pengedaran Uang
Rupiah Pecahan 5.000 (Lima Ribu) Tahun Emisi 2001;
Mengingat . . .
-2-
Mengingat
: 1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun
1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843)
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962);
2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/14/PBI/2004
tentang Pengeluaran, Pengedaran, Pencabutan dan
Penarikan, serta Pemusnahan Uang Rupiah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 52,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4388) sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/10/PBI/2007
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007
Nomor 113, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4762);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan
: PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK
INDONESIA NOMOR 3/19/PBI/2001 TENTANG
PENGELUARAN . . .
-3-
PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG RUPIAH
PECAHAN 5.000 (LIMA RIBU) TAHUN EMISI 2001.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/19/PBI/2001
tentang Pengeluaran dan Pengedaran Uang Rupiah Pecahan 5.000 (Lima Ribu)
Tahun Emisi 2001 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor
131) diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 4
Ciri uang rupiah pecahan 5.000 (lima ribu) sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1 adalah:
1. Warna
a. bagian muka dicetak dengan warna hijau, violet, merah jambu, coklat
muda, dan coklat tua;
b. bagian belakang dicetak dengan warna coklat muda, violet, coklat tua,
hijau, hitam, dan coklat kemerahan;
2. Gambar
a. bagian muka
1) gambar utama berupa gambar Pahlawan Nasional Tuanku Imam
Bondjol, dan dibawahnya dicantumkan tulisan ”TUANKU IMAM
BONDJOL”;
2) pada sebelah kiri gambar utama terdapat angka nominal “5000”
arah horizontal, sebagian gambar rectoverso yang apabila
diterawangkan ke arah cahaya akan terlihat logo “BI”, embosse
berbentuk roset dengan cetak tanpa tinta, anti fotokopi dalam
bentuk tulisan “RI”, anti fotoreproduksi dalam bentuk tulisan “BI”
yang . . .
-4-
yang berulang dan berseling terbalik, tulisan ”BANK
INDONESIA”, dan tulisan ”LIMA RIBU RUPIAH”;
3) pada sebelah kanan gambar utama terdapat cetakan latent image
memuat logo ”BI” yang dapat dilihat dari sudut pandang tertentu,
gambar Lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia, yaitu
Garuda Pancasila, angka nominal “5000” arah vertikal, angka tahun
pencetakan “2009” (angka 2009 akan berubah sesuai dengan tahun
pencetakan uang), tulisan “DEWAN GUBERNUR”, tanda tangan
Gubernur Bank Indonesia beserta tulisan “GUBERNUR” dan tanda
tangan Deputi Gubernur Bank Indonesia beserta tulisan “DEPUTI
GUBERNUR”, dan tulisan “PERUM PERCETAKAN UANG RI
IMP” dan angka tahun pengeluaran atau tahun emisi “2001”;
4) sebagai latar belakang dan pengisi bidang terdiri dari:
a) garis-garis lengkung dan lingkaran yang membentuk hiasan
bunga;
b) garis-garis guilloche, gelombang, vertikal, dan horizontal yang
membentuk hiasan;
c) garis-garis horizontal dan vertikal yang memuat tulisan mikro
“BANKINDONESIA5000” berulang-ulang tanpa spasi;
d) ornamen Tengkuluak dari Minangkabau Sumatera Barat;
b. bagian belakang
1) gambar utama berupa gambar Pengrajin Tenun;
2) pada sebelah bawah gambar utama terdapat tulisan ”DENGAN
RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, BANK INDONESIA
MENGELUARKAN UANG SEBAGAI ALAT PEMBAYARAN
YANG SAH DENGAN NILAI LIMA RIBU RUPIAH”, dan
tulisan modulasi “BI” yang utuh atau terpotong sebagian
membentuk kain tenun;
3) pada sebelah kiri gambar utama terdapat angka nominal “5000”
arah vertikal, nomor seri berwarna hitam (terdiri dari 3 (tiga) huruf
dan . . .
-5-
dan 6 (enam) angka) yang akan memendar hijau kekuningan
di bawah sinar ultra violet, cetakan tidak kasat mata berupa angka
“5000” yang akan tampak berwarna kuning kehijauan di bawah
sinar ultra violet;
4) pada sebelah kanan gambar utama terdapat tulisan ”BANK
INDONESIA”, nomor seri berwarna merah (terdiri dari 3 (tiga)
huruf dan 6 (enam) angka) yang akan memendar merah kekuningan
di bawah sinar ultra violet, sebagian gambar rectoverso yang
apabila diterawangkan ke arah cahaya akan terlihat logo “BI”, anti
fotokopi dalam bentuk tulisan “RI”, tulisan “PENGRAJIN TENUN
PANDAI SIKEK – SUMATERA BARAT”, angka nominal “5000”
arah horizontal;
5) sebagai latar belakang dan pengisi bidang terdiri dari:
a) garis-garis guilloche yang bergelombang;
b) tulisan mikro “BANKINDONESIA” yang berulang tanpa spasi;
c) garis-garis lingkaran, bergelombang yang membentuk hiasan
bunga;
d) garis-garis horizontal, vertikal, lengkung, dan lingkaran yang
memuat teks “RI”;
e) ornamen Tengkuluak dari Minangkabau Sumatera Barat.
3. Bahan
Jenis bahan terbuat dari 100% (seratus persen) serat kapas, dan memiliki
spesifikasi sebagai berikut:
a. ukuran panjang 143 mm dan lebar 65 mm;
b. warna krem (putih kekuning-kuningan);
c. tidak memendar di bawah sinar ultra violet;
d. tanda air berupa gambar Pahlawan Nasional Cut Nyak Meutia;
e. benang pengaman terbuat dari plastik tembus pandang yang memuat
tulisan mikro berwarna hitam “BANK INDONESIA” yang utuh atau
terpotong . . .
-6-
terpotong sebagian, dan memendar hijau dan kuning secara berseling
di bawah sinar ultra violet.
2. Di antara Pasal 5 dan Pasal 6 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 5 A,
sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 5 A
Uang kertas rupiah pecahan 5.000 (lima ribu) yang dikeluarkan oleh Bank
Indonesia sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, masih tetap
berlaku sepanjang belum dicabut dan ditarik dari peredaran.
Pasal II
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank
Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Ditetapkan . . .
-7-
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 3 Maret 2009.
GUBERNUR BANK INDONESIA,
BOEDIONO
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 3 Maret 2009.
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 42
DPU
"," PBI
11/5/PBI/2009
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 3/19/PBI/2001 TENTANG PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG RUPIAH PECAHAN 5.000 (LIMA RIBU) TAHUN EMISI 2001
3 Maret 2009
3 Maret 2009
3 Maret 2009
'3/19/PBI/2001'
'2/PERPPU/2008', '6/14/PBI/2004', '23/UU/1999', '9/10/PBI/2007', '6/UU/2009'
"
" PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 13/ 5 /PBI/2011
TENTANG
BATAS MAKSIMUM PENYALURAN DANA
BANK PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa dalam rangka mendukung pertumbuhan ekonomi, Bank
Pembiayaan Rakyat Syariah perlu meningkatkan pembiayaan
kepada sektor produktif, terutama membiayai usaha mikro, kecil
dan menengah;
b. bahwa dalam upaya meningkatkan pembiayaan kepada usaha
mikro, kecil dan menengah serta melindungi kepentingan
masyarakat, Bank Pembiayaan Rakyat Syariah wajib memelihara
kesehatan dan kelangsungan usahanya dengan memperhatikan
prinsip kehati-hatian dalam penyaluran dana;
c. bahwa penerapan prinsip kehati-hatian dalam penyaluran dana
perlu dilakukan, antara lain dengan penyebaran portofolio
penyaluran dana yang diberikan agar risiko penyaluran dana
tersebut tidak terpusat pada nasabah penerima fasilitas atau
sekelompok nasabah penerima fasilitas tertentu;
d. bahwa ...
- 2 -
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada
huruf a, huruf b, dan huruf c, dipandang perlu untuk mengatur
kembali ketentuan tentang Batas Maksimum Penyaluran Dana
bagi Bank Pembiayaan Rakyat Syariah dalam suatu Peraturan
Bank Indonesia;
Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843)
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999
tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4867);
MEMUTUSKAN: ...
- 3 -
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG BATAS
MAKSIMUM PENYALURAN DANA BANK PEMBIAYAAN
RAKYAT SYARIAH.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, serta Bank Umum
Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
2. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah, yang selanjutnya disebut BPRS, adalah Bank
Pembiayaan Rakyat Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
3. Batas Maksimum Penyaluran Dana yang selanjutnya disebut dengan BMPD
adalah persentase maksimum realisasi penyaluran dana yang diperkenankan
terhadap modal BPRS.
4. Penyaluran Dana adalah penanaman dana BPRS dalam bentuk:
a. pembiayaan, dan/atau
b. penempatan ...
- 4 -
b. penempatan dana antar bank.
5. Pembiayaan adalah Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
6. Penempatan Dana Antar Bank adalah penanaman dana BPRS pada Bank Umum
Konvensional, Bank Umum Syariah, Unit Usaha Syariah dan/atau BPRS lain,
dalam bentuk giro, tabungan, deposito berjangka, sertifikat deposito, pembiayaan
yang diberikan dan penanaman dana berdasarkan prinsip syariah lainnya yang
sejenis.
7. Modal adalah modal sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai kewajiban penyediaan modal minimum BPRS.
8. Pihak Terkait adalah perorangan atau perusahaan/badan yang mempunyai
hubungan kepemilikan, kepengurusan, dan/atau keuangan dengan BPRS.
9. Pihak Tidak Terkait adalah perorangan atau perusahaan/badan yang tidak
mempunyai hubungan kepemilikan, kepengurusan, dan/atau keuangan dengan
BPRS.
10. Pelanggaran BMPD adalah selisih lebih antara persentase Penyaluran Dana pada
saat direalisasikan terhadap Modal BPRS dengan BMPD yang diperkenankan.
11. Pelampauan BMPD adalah selisih lebih antara persentase Penyaluran Dana yang
telah direalisasikan terhadap Modal BPRS pada saat tanggal laporan dengan
BMPD yang diperkenankan dan tidak termasuk Pelanggaran BMPD sebagaimana
dimaksud pada angka 10.
12. Nasabah Penerima Fasilitas adalah perorangan, perusahaan atau badan yang
memperoleh fasilitas dana atau yang dipersamakan dengan itu berdasarkan
prinsip syariah.
13. Direksi ...
- 5 -
13. Direksi adalah Direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
14. Dewan Komisaris adalah Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
Pasal 2
BPRS wajib memperhatikan prinsip kehati-hatian dan prinsip syariah dalam membuat
akad Pembiayaan antara BPRS dengan Nasabah Penerima Fasilitas.
Pasal 3
(1) BPRS dilarang membuat akad Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
apabila akad Pembiayaan tersebut mewajibkan BPRS untuk menyalurkan dana
yang akan mengakibatkan terjadinya pelanggaran BMPD.
(2) BPRS dilarang memberikan Penyaluran Dana yang mengakibatkan Pelanggaran
BMPD.
BAB II
DASAR PERHITUNGAN BMPD
Pasal 4
(1) BMPD untuk Pembiayaan dihitung berdasarkan baki debet Pembiayaan.
(2) BMPD untuk Penempatan Dana Antar Bank pada BPRS lain dihitung
berdasarkan nominal Penempatan Dana Antar Bank.
BAB III ...
- 6 -
BAB III
BMPD KEPADA PIHAK TERKAIT
Pasal 5
Penyaluran Dana kepada seluruh Pihak Terkait ditetapkan paling tinggi 10% (sepuluh
persen) dari Modal BPRS.
Pasal 6
Penyaluran Dana dalam bentuk Pembiayaan kepada Pihak Terkait wajib memperoleh
persetujuan dari 1 (satu) orang anggota Direksi dan 1 (satu) orang anggota Dewan
Komisaris BPRS.
Pasal 7
Pihak Terkait meliputi:
a. pemegang saham yang memiliki saham 10% (sepuluh persen) atau lebih dari
modal disetor;
b. anggota Dewan Komisaris;
c. anggota Direksi;
d. pihak yang mempunyai hubungan keluarga sampai dengan derajat kedua, baik
horisontal maupun vertikal, dengan pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada
huruf a sampai dengan huruf c;
e. Pejabat Eksekutif;
f. perusahaan-perusahaan bukan Bank yang dimiliki oleh pihak-pihak sebagaimana
dimaksud pada huruf a sampai dengan huruf e yang kepemilikannya baik
individual ...
- 7 -
individual maupun keseluruhan sebesar 25% (dua puluh lima persen) atau lebih
dari modal disetor perusahaan;
g. BPRS lain yang dimiliki oleh pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada huruf a
sampai dengan huruf e yang kepemilikannya secara individual sebesar 10%
(sepuluh persen) atau lebih dari modal disetor pada BPRS lain tersebut;
h. BPRS lain yang:
1) anggota Dewan Komisarisnya merupakan anggota Dewan Komisaris
BPRS; dan
2) rangkap jabatan pada BPRS lain dimaksud merupakan 50% (lima puluh
persen) atau lebih dari jumlah keseluruhan anggota Dewan Komisaris dan
Direksinya.
i. perusahaan yang 50% (lima puluh persen) atau lebih dari jumlah keseluruhan
anggota Dewan Komisaris dan anggota Direksinya merupakan anggota Dewan
Komisaris BPRS;
j. Nasabah Penerima Fasilitas yang diberikan jaminan oleh pihak sebagaimana
dimaksud pada huruf a sampai dengan huruf i.
Pasal 8
Penyaluran Dana kepada pihak-pihak selain yang dimaksud dalam Pasal 7 dapat
dikategorikan sebagai Penyaluran Dana kepada Pihak Terkait apabila Penyaluran Dana
tersebut digunakan untuk keuntungan Pihak Terkait.
BAB IV ...
- 8 -
BAB IV
BMPD KEPADA PIHAK TIDAK TERKAIT
Pasal 9
(1) Penyaluran Dana dalam bentuk Penempatan Dana Antar Bank kepada BPRS lain
yang merupakan Pihak Tidak Terkait ditetapkan paling tinggi 20% (dua puluh
persen) dari Modal BPRS.
(2) Penyaluran Dana dalam bentuk Pembiayaan kepada 1 (satu) Nasabah Penerima
Fasilitas yang merupakan Pihak Tidak Terkait ditetapkan paling tinggi 20% (dua
puluh persen) dari Modal BPRS.
(3) Penyaluran Dana dalam bentuk Pembiayaan kepada 1 (satu) kelompok Nasabah
Penerima Fasilitas yang merupakan Pihak Tidak Terkait ditetapkan paling tinggi
30% (tiga puluh persen) dari Modal BPRS.
Pasal 10
Nasabah Penerima Fasilitas digolongkan sebagai anggota suatu kelompok Nasabah
Penerima Fasilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) apabila Nasabah
Penerima Fasilitas mempunyai keterkaitan dengan Nasabah Penerima Fasilitas lain
baik melalui hubungan kepemilikan, hubungan kepengurusan dan/atau hubungan
keuangan, yang meliputi:
a. perusahaan-perusahaan yang masing-masing 25% (dua puluh lima persen) atau
lebih modal disetornya dimiliki oleh suatu perusahaan/badan atau perorangan
atau secara bersama oleh suatu keluarga;
b. perusahaan-perusahaan yang salah satunya memiliki 25% (dua puluh lima
persen) atau lebih modal disetor perusahaan lainnya;
c. perusahaan ...
- 9 -
c. perusahaan-perusahaan yang 50% (lima puluh persen) atau lebih dari jumlah
keseluruhan anggota Dewan Komisaris dan anggota Direksi pada 1 (satu)
perusahaan tertentu menjadi Dewan Komisaris dan/atau Direksi pada perusahaan
lainnya.
d. perusahaan-perusahaan yang tidak memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud
pada huruf a sampai dengan huruf c, namun terdapat bantuan keuangan dari salah
satu perusahaan tersebut terhadap perusahaan lainnya yang mengakibatkan
adanya pengendalian oleh perusahaan tersebut terhadap perusahaan lainnya.
e. perusahaan-perusahaan dan/atau perorangan yang salah satunya bertindak
sebagai penjamin Pembiayaan atas Pembiayaan yang diterima oleh perusahaan
atau perorangan lainnya.
BAB V
PELAMPAUAN BMPD
Pasal 11
Penyaluran Dana oleh BPRS dikategorikan sebagai Pelampauan BMPD apabila terjadi
selisih lebih antara persentase Penyaluran Dana yang telah direalisasikan terhadap
Modal BPRS pada saat tanggal laporan dengan BMPD yang diperkenankan yang
disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut:
a. penurunan Modal BPRS;
b. penggabungan usaha, peleburan usaha, pengambilalihan usaha, perubahan
struktur kepemilikan dan/atau kepengurusan yang menyebabkan perubahan Pihak
Terkait dan/atau kelompok Nasabah Penerima Fasilitas;
c. perubahan ketentuan.
BAB VI ...
- 10 -
BAB VI
PENYELESAIAN PELANGGARAN DAN/ATAU PELAMPAUAN BMPD
Pasal 12
(1) BPRS wajib menyusun dan menyampaikan rencana tindak (action plan) untuk
penyelesaian Pelanggaran BMPD dan/atau Pelampauan BMPD.
(2) Action plan untuk Pelanggaran BMPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus disampaikan oleh BPRS dan diterima oleh Bank Indonesia paling lama 1
(satu) bulan setelah batas akhir penyampaian laporan BMPD bulan yang
bersangkutan atau 14 (empat belas) hari sejak exit meeting untuk Pelanggaran
BMPD yang ditemukan dalam pemeriksaan.
(3) Action plan untuk Pelampauan BMPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang
disebabkan karena hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf a dan
huruf b harus disampaikan oleh BPRS dan diterima oleh Bank Indonesia paling
lama 1 (satu) bulan setelah akhir bulan laporan BMPD bulan yang bersangkutan
atau 14 (empat belas) hari sejak exit meeting untuk Pelampauan BMPD yang
ditemukan dalam pemeriksaan.
(4) Action plan untuk Pelampauan BMPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang
disebabkan karena hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf c harus
disampaikan oleh BPRS dan diterima oleh Bank Indonesia paling lama 3 (tiga)
bulan sejak diberlakukannya ketentuan baru.
(5) Dalam hal jangka waktu penyampaian action plan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) jatuh pada hari Sabtu atau hari libur maka BPRS
wajib menyampaikan action plan pada hari kerja sebelumnya.
Pasal 13 ...
- 11 -
Pasal 13
(1) Action plan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) wajib memuat paling
kurang langkah-langkah untuk penyelesaian Pelanggaran BMPD dan/atau
Pelampauan BMPD serta target waktu penyelesaian.
(2) Target waktu penyelesaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
sebagai berikut:
a. Untuk Pelanggaran BMPD, paling lama dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan
sejak action plan disampaikan kepada Bank Indonesia.
b. Untuk Pelampauan BMPD yang disebabkan oleh hal-hal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 huruf a dan huruf b, paling lama 6 (enam) bulan
sejak action plan disampaikan kepada Bank Indonesia.
c. Untuk Pelampauan BMPD yang disebabkan oleh hal-hal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 huruf c, paling lama 12 (dua belas) bulan sejak
action plan disampaikan kepada Bank Indonesia.
(3) Dalam hal sisa jangka waktu penyediaan dana sampai dengan jatuh tempo lebih
pendek daripada target waktu penyelesaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
maka target waktu penyelesaian paling lama sampai dengan penyediaan dana
jatuh tempo.
(4) Target waktu penyelesaian pelanggaran dan/atau pelampauan BMPD atas
Penempatan Dana Antar Bank yang tidak memiliki jatuh tempo berupa Tabungan
pada BPRS lain, paling lama 1 (satu) bulan sejak action plan disampaikan
kepada Bank Indonesia.
(5) Bank ...
- 12 -
(5) Bank Indonesia dapat meminta BPRS melakukan penyesuaian action plan yang
disampaikan apabila menurut penilaian Bank Indonesia langkah-langkah
dan/atau target waktu penyelesaian tidak mungkin dicapai.
Pasal 14
(1) BPRS wajib menyampaikan laporan pelaksanaan action plan untuk penyelesaian
Pelanggaran BMPD dan/atau Pelampauan BMPD disertai dengan bukti
pendukungnya.
(2) Laporan pelaksanaan action plan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
disampaikan oleh BPRS dan diterima oleh Bank Indonesia paling lama 14 (empat
belas) hari sejak realisasi action plan.
(3) Dalam hal jangka waktu 14 (empat belas) hari sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) jatuh pada hari Sabtu atau hari libur maka BPRS wajib menyampaikan
laporan pelaksanaan action plan pada hari kerja sebelumnya.
BAB VII
PENGECUALIAN
Pasal 15
Ketentuan BMPD dikecualikan untuk:
a. Penempatan Dana Antar Bank pada Bank Umum Konvensional, Bank Umum
Syariah dan/atau Unit Usaha Syariah, termasuk Bank Umum Konvensional,
Bank Umum Syariah dan/atau Unit Usaha Syariah yang memenuhi kriteria Pihak
Terkait sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7;
b. Bagian ...
- 13 -
b. Bagian Penyaluran Dana yang dijamin oleh:
1) Agunan dalam bentuk agunan tunai berupa deposito atau tabungan di
BPRS;
2) Emas dan/atau logam mulia; dan/atau
3) Sertifikat Bank Indonesia atau Sertifikat Bank Indonesia Syariah,
sepanjang memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a) agunan diblokir dan dilengkapi dengan surat kuasa pencairan/penjualan
yang tidak dapat dibatalkan dari pemilik agunan untuk keuntungan BPRS
penerima agunan, termasuk pencairan/penjualan sebagian untuk membayar
tunggakan angsuran pokok/margin/bagi hasil/ujrah;
b) jangka waktu pemblokiran sebagaimana dimaksud pada huruf a) paling
singkat sama dengan jangka waktu Penyaluran Dana; dan
c) untuk agunan tunai sebagaimana dimaksud pada angka 1) dan angka 2),
disimpan atau ditatausahakan pada BPRS yang bersangkutan.
c. Bagian Penyaluran Dana yang dijamin oleh Pemerintah Indonesia secara
langsung maupun melalui Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau Badan
Usaha Milik Daerah (BUMD) sesuai dengan ketentuan perundang-undangan
yang berlaku dan memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1)
jaminan bersifat tanpa syarat (unconditional) dan tidak dapat dibatalkan
(irrevocable);
2) harus dapat dicairkan paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak klaim diajukan,
termasuk pencairan sebagian; dan
3) mempunyai jangka waktu penjaminan paling singkat sama dengan jangka
waktu Penyaluran Dana.
d. Bagian ...
- 14 -
d. Bagian Penempatan Dana Antar Bank pada BPRS lain sepanjang:
1) Terdapat kesepakatan antara BPRS yang menempatkan dananya dengan
BPRS lain yang menerima penempatan dana, dalam rangka menanggulangi
kesulitan likuiditas BPRS; dan
2) Bagian Penempatan Dana dimaksud merupakan simpanan/iuran/porsi dana
yang wajib ditempatkan oleh BPRS pada BPRS lain sesuai kesepakatan
sebagaimana dimaksud pada angka 1) yang ditujukan untuk menanggulangi
kesulitan likuiditas masing-masing BPRS.
Pasal 16
(1) Penyediaan dana BPRS berupa Pembiayaan dengan pola kemitraan inti-plasma
atau pola Pengembangan Hubungan Bank dan Kelompok Swadaya Masyarakat
(PHBK) dikecualikan dari pengertian kelompok Nasabah Penerima Fasilitas
Pihak Tidak Terkait sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3).
(2) Pola kemitraan inti-plasma sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dikecualikan dari pengertian kelompok Nasabah Penerima Fasilitas Pihak Tidak
Terkait sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3), sepanjang memenuhi
persyaratan:
a. Pembiayaan diberikan dengan pola kemitraan;
b. Perusahaan inti merupakan Pihak Tidak Terkait dengan BPRS;
c. Plasma bukan merupakan anak perusahaan atau cabang yang dimiliki,
dikuasai atau berafiliasi dengan perusahaan inti;
d. Plasma memproduksi komponen yang diperlukan perusahaan inti sebagai
bagian dari produksi perusahaan inti; dan
e. Akad ...
- 15 -
e. Akad Pembiayaan antara BPRS dengan plasma dilakukan secara langsung.
(3) Pola PHBK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan dari
pengertian kelompok Nasabah Penerima Fasilitas Pihak Tidak Terkait
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3), sepanjang memenuhi persyaratan:
a. Pembiayaan diberikan kepada kelompok;
b. Partisipan PHBK telah melalui seleksi;
c. Menghargai otonomi lembaga partisipan;
d. Mempromosikan tabungan dan mengkaitkan tabungan dengan Pembiayaan;
e. Mengenakan tingkat margin/bagi hasil/ujrah sesuai tingkat pasar;
f. Mengembangkan dan menerima agunan alternatif;
g. Terdapat bantuan teknis/pendampingan untuk membina kelompok.
Pasal 17
Pembiayaan kepada anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris dan/atau pegawai
BPRS yang memenuhi kriteria Pihak Terkait yang ditujukan untuk peningkatan
kesejahteraan serta dibayar kembali dari pendapatan yang diperoleh dari BPRS yang
bersangkutan dikecualikan sebagai pemberian Pembiayaan kepada Pihak Terkait
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.
BAB VIII ...
- 16 -
BAB VIII
TATACARA PENYAMPAIAN LAPORAN BMPD
DAN KOREKSI LAPORAN BMPD
Pasal 18
(1) BPRS wajib menyusun dan menyampaikan laporan BMPD kepada Bank
Indonesia secara on-line setiap bulan secara benar, lengkap dan tepat waktu.
(2) Laporan BMPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup:
a. Penyaluran Dana kepada Pihak Tidak Terkait yang melanggar dan
melampaui BMPD; dan
b. Seluruh Penyaluran Dana kepada Pihak Terkait.
(3) Tatacara penyampaian laporan BMPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 19
(1) BPRS bertanggung jawab atas kebenaran dan kelengkapan isi laporan BMPD
yang disampaikan kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18
ayat (1).
(2) Dalam hal terdapat kekeliruan dan/atau kesalahan atas laporan BMPD yang telah
disampaikan kepada Bank Indonesia, BPRS wajib menyampaikan koreksi atas
laporan BMPD secara on-line dengan memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18.
Pasal 20 ...
- 17 -
Pasal 20
(1) Kewajiban penyampaian laporan BMPD dan/atau koreksi laporan BMPD secara
on-line sebagaimana dimaksud pada Pasal 18 ayat (1) dan Pasal 19 ayat (2)
dikecualikan dalam hal:
a. BPRS berkedudukan di daerah yang belum tersedia fasilitas komunikasi
sehingga tidak memungkinkan untuk menyampaikan laporan BMPD
dan/atau koreksi laporan BMPD secara on-line;
b. BPRS baru beroperasi dengan batas waktu paling lama 2 (dua) bulan
setelah dimulainya kegiatan operasional;
c. BPRS mengalami gangguan teknis; atau
d. Terjadi kerusakan dan/atau gangguan pada database atau jaringan
komunikasi di Bank Indonesia.
(2) BPRS memperoleh pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a,
huruf b atau huruf c setelah menyampaikan pemberitahuan tertulis terlebih
dahulu kepada Bank Indonesia dengan mengemukakan alasannya.
(3) BPRS wajib menyampaikan laporan BMPD dan/atau koreksi laporan BMPD
secara on-line setelah kegiatan operasional kembali berjalan secara normal.
Pasal 21
(1) BPRS yang tidak dapat menyampaikan laporan BMPD dan/atau koreksi laporan
BMPD secara on-line sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, wajib
menyampaikan laporan dimaksud secara off-line.
(2) Tatacara penyampaian laporan BMPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 22 ...
- 18 -
Pasal 22
(1) Laporan BMPD wajib disampaikan oleh BPRS kepada Bank Indonesia paling
lama tanggal 14 (empat belas) pada bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan
laporan yang bersangkutan.
(2) Dalam hal tanggal 14 (empat belas) jatuh pada hari libur atau hari Sabtu maka
BPRS yang menyampaikan laporan BMPD secara off-line wajib menyampaikan
laporan BMPD pada hari kerja sebelumnya.
(3) BPRS dinyatakan telah menyampaikan laporan BMPD pada tanggal diterimanya
laporan BMPD oleh Bank Indonesia.
(4) Dalam hal terdapat kekeliruan dan/atau kesalahan atas laporan BMPD yang telah
disampaikan, BPRS wajib menyampaikan koreksi atas laporan BMPD dimaksud
kepada Bank Indonesia secara on-line paling lama tanggal 20 (dua puluh) pada
bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan laporan yang bersangkutan.
(5) Dalam hal tanggal 20 (dua puluh) jatuh pada hari libur atau hari Sabtu maka
BPRS yang menyampaikan koreksi laporan BMPD secara off-line wajib
menyampaikan laporan BMPD pada hari kerja sebelumnya.
(6) BPRS dinyatakan telah menyampaikan koreksi laporan BMPD pada tanggal
diterimanya koreksi laporan BMPD oleh Bank Indonesia.
Pasal 23
(1) BPRS dinyatakan terlambat menyampaikan laporan BMPD apabila sampai
dengan batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) BPRS belum
menyampaikan laporan BMPD.
(2) BPRS ...
- 19 -
(2) BPRS dinyatakan terlambat menyampaikan koreksi laporan BMPD apabila
sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (4)
BPRS belum menyampaikan koreksi laporan BMPD.
(3) BPRS dinyatakan tidak menyampaikan laporan BMPD dan/atau koreksi laporan
BMPD apabila sampai dengan akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan
laporan yang bersangkutan BPRS belum menyampaikan laporan BMPD dan/atau
koreksi laporan BMPD.
(4) BPRS yang dinyatakan tidak menyampaikan laporan BMPD dan/atau koreksi
laporan BMPD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), tetap wajib menyampaikan
laporan BMPD dan/atau koreksi laporan BMPD.
BAB IX
KETENTUAN LAIN
Pasal 24
(1) Bank Indonesia berwenang melakukan koreksi terhadap pelaksanaan ketentuan
BMPD oleh BPRS.
(2) BPRS wajib melakukan penyesuaian atas koreksi yang ditetapkan Bank
Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam laporan BMPD BPRS
kepada Bank Indonesia.
(3) Dalam hal terdapat koreksi Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
BPRS wajib menyampaikan koreksi laporan BMPD dimaksud kepada Bank
Indonesia paling lama 14 (empat belas) hari sejak tanggal pemberitahuan oleh
Bank Indonesia atau sejak tanggal exit meeting.
(4) Dalam ...
- 20 -
(4) Dalam hal jangka waktu 14 (empat belas) hari sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) jatuh pada hari Sabtu atau hari libur maka BPRS wajib menyampaikan
koreksi atas laporan BMPD pada hari kerja sebelumnya.
Pasal 25
(1) BPRS dinyatakan terlambat menyampaikan koreksi laporan BMPD sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) apabila sampai dengan batas waktu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (3) BPRS belum menyampaikan
koreksi laporan BMPD.
(2) BPRS dinyatakan tidak menyampaikan koreksi laporan BMPD sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) apabila sampai dengan 30 (tiga puluh) hari
sejak tanggal pemberitahuan oleh Bank Indonesia atau sejak tanggal exit meeting,
BPRS belum menyampaikan koreksi laporan BMPD.
(3) BPRS yang dinyatakan tidak menyampaikan koreksi laporan BMPD
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tetap wajib menyampaikan koreksi laporan
BMPD.
Pasal 26
(1) BPRS wajib melaporkan struktur kelompok usaha yang terkait dengan BPRS
termasuk badan hukum pemilik BPRS sampai dengan ultimate shareholders
kepada Bank Indonesia, 1 (satu) tahun sekali untuk posisi akhir tahun dan setiap
terdapat rencana perubahan struktur kelompok usaha yang menyebabkan
perubahan pengendali BPRS.
(2) Laporan ...
- 21 -
(2) Laporan struktur kelompok usaha untuk posisi akhir tahun sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan paling lama 30 (tiga puluh) hari
setelah akhir tahun.
(3) Laporan rencana perubahan struktur kelompok usaha sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) wajib disampaikan kepada Bank Indonesia paling lama 30 (tiga
puluh) hari sebelum terjadinya perubahan.
(4) Dalam hal perubahan struktur kelompok usaha sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) menurut penilaian Bank Indonesia menyebabkan perubahan pengendali
BPRS, maka BPRS wajib mengajukan calon PSP dimaksud untuk dilakukan uji
kemampuan dan kepatutan (fit and proper test) oleh Bank Indonesia.
Pasal 27
Bank Indonesia dapat menolak perubahan pengendali BPRS, apabila berdasarkan
penilaian Bank Indonesia perubahan tersebut dapat menyebabkan atau diindikasikan
dapat menghambat pelaksanaan pengawasan BPRS.
Pasal 28
(1) BPRS wajib mengungkapkan ultimate shareholders BPRS dalam laporan
keuangan tahunan dan laporan keuangan publikasi BPRS.
(2) Kewajiban pengungkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
tambahan atas kewajiban pengungkapan informasi mengenai pemegang saham
BPRS sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku.
BAB X ...
- 22 -
BAB X
SANKSI
Pasal 29
(1) BPRS yang melakukan Pelanggaran BMPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal
3 ayat (2), Pasal 5, dan Pasal 9 dikenakan sanksi penilaian tingkat kesehatan
BPRS sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku.
(2) Terhadap setiap kesalahan laporan BMPD yang ditemukan berdasarkan
penelitian dan/atau pemeriksaan Bank Indonesia, dikenakan sanksi kewajiban
membayar sebesar Rp10.000,00 (sepuluh ribu rupiah) per jenis kesalahan atau
paling banyak sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah).
(3) Dalam hal jenis kesalahan yang sama terjadi pada laporan bulanan BPRS sesuai
ketentuan yang berlaku dan atas kesalahan tersebut BPRS telah dikenakan sanksi
maka BPRS tidak lagi dikenakan sanksi atas jenis kesalahan yang sama tersebut
pada laporan BMPD.
(4) BPRS yang dinyatakan terlambat menyampaikan laporan BMPD dan/atau
koreksi laporan BMPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) dan ayat
(2) dan Pasal 25 ayat (1) dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar
Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) per hari keterlambatan.
(5) BPRS yang dinyatakan tidak menyampaikan laporan BMPD dan/atau koreksi
laporan BMPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (3) dan Pasal 25 ayat
(2) dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta
rupiah).
(6) BPRS yang melanggar ketentuan dalam Pasal 3 ayat (1), Pasal 6, Pasal 12, Pasal
14 serta Pasal 24 ayat (2), dikenakan sanksi administratif sesuai dengan Pasal 58
ayat ...
- 23 -
ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah,
berupa:
a. teguran tertulis; dan
b. penurunan nilai faktor manajemen dalam perhitungan tingkat kesehatan.
(7) BPRS yang melanggar ketentuan dalam Pasal 3 ayat (1), Pasal 6, Pasal 12, Pasal
14 serta Pasal 24 ayat (2) selain dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud pada
ayat (6) dapat dikenakan sanksi administratif sesuai dengan Pasal 58 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, berupa
pencantuman anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris dan/atau pemegang
saham dalam daftar pihak-pihak yang memperoleh predikat tidak memenuhi
persyaratan (tidak lulus) dalam uji kemampuan dan kepatutan BPRS
sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku.
(8) BPRS yang tidak menyelesaikan Pelanggaran BMPD dan/atau Pelampauan
BMPD sesuai dengan action plan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2)
dan/atau tidak melaksanakan langkah penyelesaian sesuai koreksi yang
ditetapkan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2),
setelah diberi peringatan 2 (dua) kali oleh Bank Indonesia, dikenakan sanksi
administratif sesuai dengan Pasal 58 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2008 tentang Perbankan Syariah, berupa:
a. pencantuman anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris dan/atau pemegang
saham dalam daftar pihak-pihak yang memperoleh predikat tidak memenuhi
persyaratan (tidak lulus) dalam uji kemampuan dan kepatutan BPRS
sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku; dan/atau
b. pembekuan kegiatan usaha tertentu, antara lain tidak diperkenankan untuk
ekspansi Penyaluran Dana.
(9) BPRS ...
- 24 -
(9) BPRS yang tidak menyelesaikan Pelanggaran BMPD selain dikenakan sanksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (8), terhadap anggota Direksi, anggota Dewan
Komisaris, pemegang saham maupun pihak terafiliasi lainnya dapat dikenakan
sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 63 ayat (2) huruf b, Pasal 64, dan
Pasal 65 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
(10) BPRS yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2)
dan (3) dikenakan sanksi administratif sesuai dengan Pasal 58 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, berupa teguran
tertulis dan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu
rupiah) per hari keterlambatan untuk setiap laporan dengan jumlah paling banyak
Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah).
Pasal 30
Ketentuan pengenaan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal
29 ayat (2), ayat (4) dan ayat (5) mulai berlaku pada laporan BMPD bulan Mei 2011
yang disampaikan pada bulan Juni 2011.
BAB XI
KEADAAN MEMAKSA (FORCE MAJEURE)
Pasal 31
(1) BPRS yang mengalami keadaan memaksa (force majeure) selama satu atau lebih
periode penyampaian laporan BMPD dan/atau koreksi laporan BMPD
dikecualikan dari kewajiban menyampaikan laporan BMPD dan/atau koreksi
laporan ...
- 25 -
laporan BMPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1), Pasal 19 ayat (2)
dan Pasal 24 ayat (3).
(2) BPRS yang mengalami keadaan memaksa (force majeure) kurang dari satu
periode penyampaian laporan BMPD dan/atau koreksi laporan BMPD
dikecualikan dari kewajiban menyampaikan laporan BMPD dan/atau koreksi
laporan BMPD dalam batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat
(1), ayat (2), ayat (4) dan ayat (5).
(3) BPRS yang mengalami keadaan memaksa (force majeure), menyampaikan
pemberitahuan secara tertulis kepada Bank Indonesia, dengan disertai penjelasan
mengenai keadaan memaksa yang dialami.
(4) BPRS wajib menyampaikan laporan BMPD dan/atau koreksi laporan BMPD
setelah kembali melakukan kegiatan operasional secara normal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 22 dan Pasal 24 ayat (3).
BAB XII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 32
(1) Kewajiban pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Surat Keputusan Direksi
Bank Indonesia Nomor 31/61/KEP/DIR tanggal 9 Juli 1998 tentang Batas
Maksimum Pemberian Kredit Bank Perkreditan Rakyat tetap berlaku dalam
waktu 3 (tiga) bulan setelah berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini.
(2) Terhadap pelanggaran atas kewajiban pelaporan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tetap berlaku ketentuan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Surat
Keputusan ...
- 26 -
Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/61/KEP/DIR tanggal 9 Juli 1998
tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Perkreditan Rakyat.
BAB XII
PENUTUP
Pasal 33
Ketentuan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia ini diatur lebih lanjut dalam
Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 34
Dengan diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia ini, maka Surat Keputusan Direksi
Bank Indonesia Nomor 31/61/KEP/DIR tanggal 9 Juli 1998 tentang Batas Maksimum
Penyaluran Kredit Bank Perkreditan Rakyat dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 35
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 1 Februari 2011.
Agar ...
- 27 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank
Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 24 Januari 2011
GUBERNUR BANK INDONESIA
DARMIN NASUTION
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 24 Januari 2011
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
PATRIALIS AKBAR
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 11
DPbS
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 13/ 5 /PBI/2011
TENTANG
BATAS MAKSIMUM PENYALURAN DANA
BANK PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH
I. UMUM
Dalam rangka mengurangi potensi kegagalan usaha BPRS sebagai akibat
dari konsentrasi penyaluran dana maka BPRS wajib memperhatikan prinsip
kehati-hatian, antara lain dengan melakukan penyebaran risiko atas portofolio
penyaluran dana terutama melalui pembatasan penyaluran dana, baik kepada
Pihak Terkait maupun kepada Pihak Tidak Terkait sebesar persentase tertentu
dari modal BPRS atau yang dikenal dengan BMPD.
Secara operasional, mengingat BPRS dipengaruhi oleh faktor eksternal,
maka penyaluran dana dapat dikatakan tidak melanggar namun melampaui batas
maksimumnya antara lain apabila disebabkan adanya penurunan modal BPRS
dan perubahan ketentuan.
Mengingat peranannya dalam perekonomian nasional khususnya sebagai
lembaga intermediasi maka meskipun terdapat pembatasan dalam penyaluran
dananya, BPRS tetap perlu didorong untuk mendukung pertumbuhan ekonomi
melalui langkah penyaluran dana kepada usaha mikro, kecil dan menengah
dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian. Untuk itu, penyaluran dana
tertentu ...
- 2 -
tertentu diberikan kelonggaran atau pengecualian dalam penerapan BMPD,
antara lain penyaluran dana kepada nasabah dengan pola kemitraan inti-plasma
dan PHBK dan penyaluran dana yang dijamin oleh Pemerintah Pusat/Daerah baik
langsung atau melalui BUMN/BUMD dan meningkatkan BMPD untuk
kelompok Pihak Tidak Terkait dari 20% (dua puluh persen) menjadi 30% (tiga
puluh persen).
Dalam rangka pemantauan penyaluran dana, BPRS diwajibkan untuk
menyampaikan laporan BMPD secara berkala, dan Bank Indonesia memiliki
wewenang untuk melakukan koreksi terhadap laporan yang disampaikan dan
meminta BPRS untuk melakukan tindakan korektif yang diperlukan, serta
mengenakan sanksi secara efektif terhadap BPRS yang melakukan pelanggaran
terhadap ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2) ...
- 3 -
Ayat (2)
Larangan pada ayat ini berlaku untuk setiap saat pemberian/realisasi
Penyaluran Dana.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Persetujuan anggota Dewan Komisaris dimaksudkan sebagai pelaksanaan
tugas pengawasan yang dilakukan oleh Komisaris atas tindakan
kepengurusan oleh Direksi dan tidak menghilangkan tanggung jawab
Direksi sebagai pemutus.
Pasal 7
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c ...
- 4 -
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan hubungan keluarga sampai dengan derajat
kedua, baik horisontal maupun vertikal, adalah pihak-pihak sebagai
berikut:
1. orang tua kandung/tiri/angkat;
2.
3.
saudara kandung/tiri/angkat;
anak kandung/tiri/angkat;
4. kakek atau nenek kandung/tiri/angkat;
5.
6.
cucu kandung/tiri/angkat;
7.
saudara kandung/tiri/angkat dari orang tua;
suami atau isteri;
8. mertua;
9. besan;
10. suami atau isteri dari anak kandung/tiri/angkat;
11. kakek atau nenek dari suami atau isteri;
12. suami atau isteri dari cucu kandung/tiri/angkat;
13. saudara kandung/tiri/angkat dari suami atau isteri beserta suami
atau isteri dari saudara yang bersangkutan.
Huruf e ...
- 5 -
Huruf e
Yang dimaksud dengan Pejabat Eksekutif adalah Pejabat Eksekutif
sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai BPRS.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Ketentuan huruf h memperhatikan ketentuan pembatasan rangkap
jabatan sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai
BPRS.
Contoh:
BPRS A menyediakan dana kepada BPRS B.
BPRS A mempunyai 2 (dua) orang Direktur dan 2 (dua) orang
Komisaris. Kedua Komisaris BPRS A tersebut menjabat sebagai
Komisaris pada BPRS B yang mempunyai 2 (dua) orang Direktur dan
2 (dua) orang Komisaris. Mengingat 2 (dua) orang Komisaris pada
BPRS B memenuhi asas mayoritas sebesar 50% (lima puluh persen)
dari jumlah keseluruhan anggota Dewan Komisaris dan Direksi BPRS
B maka BPRS B tersebut merupakan Pihak Terkait dari BPRS A,
sehingga penyediaan dana BPRS A kepada BPRS B paling tinggi
sebesar 10% (sepuluh persen).
Huruf i ...
- 6 -
Huruf i
Ketentuan huruf i memperhatikan ketentuan pembatasan rangkap
jabatan sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai
BPRS.
Contoh:
BPRS C menyediakan dana kepada PT D.
BPRS C mempunyai 2 (dua) orang Direktur dan 2 (dua) orang
Komisaris. Salah satu Komisaris BPRS C tersebut menjabat sebagai
Komisaris pada PT D yang mempunyai 1 (satu) orang Direktur dan 1
(satu) orang Komisaris. Mengingat 1 (satu) orang Komisaris pada PT
D tersebut memenuhi asas mayoritas sebesar 50% (lima puluh persen)
dari jumlah keseluruhan anggota Dewan Komisaris dan Direksi PT D
maka PT D tersebut merupakan Pihak Terkait dari BPRS C, sehingga
penyediaan dana BPRS C kepada PT D paling tinggi sebesar 10%
(sepuluh persen).
Huruf j
Yang dimaksud dengan jaminan adalah janji yang dibuat secara
tertulis oleh pihak yang menjamin untuk mengambil alih dan/atau
melunasi sebagian atau seluruh kewajiban pihak yang berutang dalam
hal pihak yang berutang gagal memenuhi kewajibannya (wanprestasi).
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9 ...
- 7 -
Pasal 9
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “Penempatan Dana Antar Bank kepada BPRS
lain” adalah penempatan dana dalam bentuk Tabungan, Deposito dan
Pembiayaan yang diberikan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 10
Huruf a
Yang dimaksud dengan suatu keluarga adalah keluarga inti yang
terdiri dari suami, isteri dan anak kandung/tiri/angkat; suami dan
isteri; suami dan anak kandung/tiri/angkat; atau isteri dan anak
kandung/tiri/angkat.
Contoh:
1. 25% (dua puluh lima persen) atau lebih saham masing-masing
perusahaan A, perusahaan B dan perusahaan C, dimiliki oleh 1
(satu) orang/perusahaan.
Apabila perusahaan A, perusahaan B dan perusahaan C menjadi
Nasabah Penerima Fasilitas BPRS yang sama maka perusahaan-
perusahaan ...
- 8 -
perusahaan tersebut digolongkan sebagai 1 (satu) kelompok
Nasabah Penerima Fasilitas.
2. 25% (dua puluh lima persen) atau lebih saham masing-masing
perusahaan A, perusahaan B dan perusahaan C, dimiliki secara
bersama oleh X, Y dan Z yang merupakan suami, isteri dan anak
kandung/tiri/angkat.
Apabila perusahaan A, perusahaan B dan perusahaan C menjadi
Nasabah Penerima Fasilitas BPRS yang sama maka perusahaan-
perusahaan tersebut digolongkan sebagai 1 (satu) kelompok
Nasabah Penerima Fasilitas.
3. 25% (dua puluh lima persen) atau lebih saham perusahaan A
dimiliki oleh suami dan anak pertama, 25% (dua puluh lima
persen) atau lebih saham perusahaan B dimiliki oleh isteri dan
anak kedua.
Apabila perusahaan A dan perusahaan B menjadi Nasabah
Penerima Fasilitas BPRS yang sama maka perusahaan-perusahaan
tersebut digolongkan sebagai 1 (satu) kelompok Nasabah
Penerima Fasilitas.
Huruf b
Contoh:
Perusahaan A memiliki 25% (dua puluh lima persen) saham
perusahaan B.
Perusahaan B memiliki 25% (dua puluh lima persen) saham
perusahaan C.
Apabila ...
- 9 -
Apabila perusahaan A, perusahaan B dan perusahaan C menjadi
Nasabah Penerima Fasilitas BPRS maka perusahaan A dan perusahaan
B digolongkan sebagai 1 (satu) kelompok Nasabah Penerima Fasilitas.
Sementara perusahaan B dan perusahaan C digolongkan sebagai 1
(satu) kelompok Nasabah Penerima Fasilitas yang lain.
Huruf c
Pertimbangan azas mayoritas 50% (lima puluh persen) atau lebih
dihitung dari jumlah kumulatif anggota Dewan Komisaris dan/atau
anggota Direksi.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “bantuan keuangan” adalah bantuan keuangan
yang disertai dengan persyaratan tertentu yang menyebabkan pihak
yang memberikan bantuan mempunyai kewenangan untuk
menentukan kebijakan strategis perusahaan/badan yang menerima
bantuan, antara lain namun tidak terbatas pada keputusan untuk
melakukan pembagian deviden dan perubahan pengurus.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “penjamin” adalah pihak yang memberikan
jaminan dalam bentuk janji yang dibuat secara tertulis yang
menyatakan bahwa penjamin akan mengambilalih dan/atau melunasi
sebagian atau seluruh kewajiban pihak yang berutang dalam hal pihak
yang berutang gagal memenuhi kewajibannya (wanprestasi).
Termasuk dalam pengertian ini adalah pihak-pihak yang berutang
yang dijamin dengan menggunakan agunan yang sama.
Pasal 11 ...
- 10 -
Pasal 11
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “penggabungan usaha atau merger” adalah
penggabungan usaha 2 (dua) atau lebih perusahaan Nasabah Penerima
Fasilitas dengan perusahaan lainnya dan/atau BPRS dengan BPRS
lainnya dengan tetap mempertahankan berdirinya salah satu
perusahaan Nasabah Penerima Fasilitas dan/atau BPRS dan
membubarkan perusahaan Nasabah Penerima Fasilitas dan/atau BPRS
lainnya tanpa melikuidasi terlebih dahulu.
Yang dimaksud dengan “peleburan usaha atau konsolidasi” adalah
penggabungan usaha 2 (dua) atau lebih perusahaan Nasabah Penerima
Fasilitas dengan perusahaan lainnya dan/atau BPRS dengan BPRS
lainnya dengan cara mendirikan perusahaan Nasabah Penerima
Fasilitas dan/atau BPRS baru dan membubarkan perusahaan Nasabah
Penerima Fasilitas dan/atau BPRS tersebut tanpa melikuidasi terlebih
dahulu.
Yang dimaksud dengan “pengambilalihan usaha atau akuisisi” adalah
pengambilalihan kepemilikan suatu perusahaan Nasabah Penerima
Fasilitas dan/atau BPRS yang mengakibatkan beralihnya pengendalian
perusahaan Nasabah Penerima Fasilitas dan/atau BPRS.
Yang dimaksud dengan “perubahan struktur kepemilikan” adalah
perubahan struktur kepemilikan di perusahaan Nasabah Penerima
Fasilitas dan/atau di BPRS.
Yang ...
- 11 -
Yang dimaksud dengan “perubahan kepengurusan” adalah perubahan
kepengurusan di perusahaan Nasabah Penerima Fasilitas dan/atau di
BPRS.
Yang dimaksud dengan “perubahan Pihak Terkait dan/atau kelompok
Nasabah Penerima Fasilitas” adalah:
1) Nasabah Penerima Fasilitas Pihak Tidak Terkait menjadi Nasabah
Penerima Fasilitas Pihak Terkait; dan/atau
2) Nasabah Penerima Fasilitas perorangan menjadi kelompok
Nasabah Penerima Fasilitas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “perubahan ketentuan” adalah perubahan
ketentuan yang menyebabkan perubahan kriteria Pihak Terkait
dan/atau kelompok Nasabah Penerima Fasilitas BPRS dan/atau
perubahan ketentuan lainnya yang menyebabkan terjadinya
pelampauan BMPD.
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “exit meeting” adalah pertemuan akhir antara
pengurus BPRS dan Bank Indonesia untuk membahas hasil
pemeriksaan.
Ayat (3) ...
- 12 -
Ayat (3)
Untuk Pelampauan BMPD yang disebabkan oleh penggabungan
usaha, peleburan usaha atau pengambilalihan usaha, jangka waktu
sebagaimana dimaksud pada ayat ini adalah 1 (satu) bulan setelah
akhir bulan laporan sejak disahkannya akta penggabungan usaha,
peleburan usaha atau pengambilalihan usaha oleh instansi yang
berwenang.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 13
Ayat (1)
Langkah-langkah penyelesaian Pelanggaran BMPD dan/atau
Pelampauan BMPD meliputi antara lain:
a. Pelunasan seluruh/sebagian Pembiayaan yang melanggar dan/atau
melampaui BMPD;
b. Penambahan modal disetor.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3) ...
- 13 -
Ayat (3)
Contoh:
1. Pada tanggal 3 Januari 2011 BPRS B memberikan Pembiayaan
kepada debitur X (Pihak Tidak Terkait) sebesar Rp200.000.000,00
(dua ratus juta rupiah) yang merupakan 20% (dua puluh persen)
dari modal BPRS B dengan jangka waktu 12 (dua belas) bulan.
Pada tanggal 28 Februari 2011 modal BPRS B turun karena
mengalami kerugian sehingga persentase Pembiayaan kepada
debitur X menjadi 25% (dua puluh lima persen) dari modal BPRS
B atau melampaui BMPD yang ditetapkan sebesar 5% (lima
persen).
Untuk itu BPRS B wajib membuat action plan untuk
menyelesaikan pelampauan tersebut dengan target waktu
penyelesaian paling lama 6 (enam) bulan sejak action plan
disampaikan kepada Bank Indonesia.
2. Pada tanggal 3 Januari 2011 BPRS A menempatkan Deposito 3
bulan (jatuh tempo pada tanggal 3 April 2011) pada BPRS B
(Pihak Tidak Terkait) sebesar Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah) yang merupakan 30% (tiga puluh persen) dari modal
BPRS A.
Pada tanggal 7 Februari 2011 dikeluarkan ketentuan mengenai
BMPD BPRS yang mengatur bahwa penempatan dana BPRS ke
BPRS lain paling tinggi 20% (dua puluh persen) dari modal.
Dengan asumsi modal BPRS A tetap maka dengan adanya
ketentuan BMPD tersebut penempatan Deposito BPRS A ke
BPRS ...
- 14 -
BPRS B menjadi melampaui BMPD yang ditetapkan sebesar 10%
(sepuluh persen).
Untuk itu BPRS A wajib membuat action plan untuk
menyelesaikan pelampauan tersebut dengan target waktu
penyelesaian paling lama sampai dengan jatuh tempo Deposito
yaitu tanggal 3 April 2011.
Ayat (4)
Contoh:
Pada tanggal 3 Januari 2011 BPRS A menempatkan Tabungan pada
BPRS B (Pihak Tidak Terkait) sebesar Rp500.000.000,00 (lima ratus
juta rupiah) yang merupakan 30% (tiga puluh persen) dari modal
BPRS A.
Pada tanggal 7 Februari 2011 dikeluarkan ketentuan mengenai BMPD
BPRS yang mengatur bahwa penempatan dana BPRS ke BPRS lain
paling tinggi 20% (dua puluh persen) dari modal. Dengan asumsi
modal BPRS A tetap maka dengan adanya ketentuan BMPD tersebut
penempatan Tabungan BPRS A ke BPRS B menjadi melampaui
BMPD yang ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
Untuk itu BPRS A wajib membuat action plan untuk menyelesaikan
pelampauan tersebut dengan target waktu penyelesaian paling lama 1
(satu) bulan sejak action plan disampaikan kepada Bank Indonesia.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 14 ...
- 15 -
Pasal 14
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “bukti pendukung” antara lain adalah bukti
setoran modal dan bukti pembayaran atau pelunasan Pembiayaan.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan realisasi action plan adalah pelaksanaan
tahapan penyelesaian Pelanggaran dan/atau Pelampauan BMPD.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 15
Huruf a
Penempatan Dana Antar Bank pada Bank Umum Konvensional adalah
dalam bentuk giro dan/atau tabungan.
Yang dimaksud dengan Bank Umum Konvensional, Bank Umum
Syariah dan/atau Unit Usaha Syariah adalah Bank Umum
Konvensional, Bank Umum Syariah dan/atau Unit Usaha Syariah
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 tentang
Perbankan Syariah.
Huruf b
Angka 1)
Deposito dan Tabungan yang dapat dijadikan sebagai agunan
adalah ...
- 16 -
adalah Deposito dan Tabungan yang ditempatkan pada BPRS
yang sama.
Angka 2)
Nilai agunan berupa emas dan/atau logam mulia ditentukan
berdasarkan harga pasar (market value).
Angka 3)
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “Pemerintah Indonesia” adalah Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah.
Huruf d
Bagian Penempatan Dana yang dimaksud dalam ayat ini adalah bagian
penempatan dana dalam rangka memenuhi simpanan/iuran/porsi dana
atau penempatan dana dalam rangka penanggulangan likuiditas yang
ditetapkan sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak.
Contoh:
Terdapat 28 BPRS yang membuat kesepakatan untuk menempatkan
dana berupa simpanan/iuran/porsi dana pada salah satu BPRS yang
ditunjuk untuk mengkoordinir pengelolaan dana yang terhimpun.
Dalam kesepakatan tersebut dimuat antara lain:
-
Jumlah simpanan/iuran/porsi dana yang wajib ditempatkan oleh
BPRS pada BPRS lain yang ditunjuk, misalnya Rp25.000.000,00
(dua puluh lima juta rupiah) per BPRS.
- Jumlah ...
- 17 -
-
Jumlah maksimum dana/pinjaman likuiditas yang dapat
ditempatkan oleh BPRS yang ditunjuk kepada salah satu dari 28
BPRS tersebut, misalnya 10 (sepuluh) kali dari jumlah
simpanan/iuran/porsi dana yang ditempatkan atau
Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).
Yang dikecualikan dari perhitungan BMPD dalam contoh tersebut
adalah:
- masing-masing penempatan dana dari 28 BPRS tersebut kepada
BPRS yang ditunjuk sebesar Rp25.000.000,00 (dua puluh lima
juta rupiah).
- penempatan dana dari BPRS yang ditunjuk kepada salah satu dari
28 BPRS yang mengalami kesulitan likuiditas sebesar
Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).
Pasal 16
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pola kemitraan” adalah pola pengembangan
dengan menggunakan perusahaan inti yang membantu membimbing
perusahaan rakyat sekitarnya sebagai plasma dalam suatu sistem
kerjasama yang saling menguntungkan, utuh dan berkesinambungan.
Yang dimaksud dengan “pola PHBK” adalah pola pembiayaan dalam
upaya mengembangkan prasarana pelayanan keuangan bagi
pengusaha mikro, yang bersifat saling menguntungkan antara tiga
unsur yang berbeda yaitu BPRS, Lembaga Pengembangan Swadaya
Masyarakat ...
- 18 -
Masyarakat (LPSM), dan Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM).
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Yang dimaksud kelompok disini adalah KSM.
Huruf b
Yang dimaksud partisipan PHBK adalah perorangan dan/atau
lembaga yang terlibat seperti LPSM dan KSM.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Termasuk dalam agunan alternatif yaitu jaminan tanggung
renteng di antara anggota kelompok.
Huruf g
Cukup jelas.
Pasal 17 ...
- 19 -
Pasal 17
Yang dimaksudkan dengan “Pembiayaan untuk peningkatan kesejahteraan”
adalah pembiayaan BPRS kepada anggota Direksi, anggota Dewan
Komisaris dan/atau pegawai BPRS yang memenuhi kriteria Pihak Terkait
yang antara lain ditujukan untuk biaya sekolah, biaya pengobatan/sakit,
biaya kontrak rumah, cicilan rumah, uang muka pembelian rumah, biaya
pernikahan dan pembelian kendaraan bermotor.
Pemberian Pembiayaan kepada pihak-pihak tersebut di atas dikategorikan
sebagai Penyaluran dana kepada Pihak Tidak Terkait dan mengacu pada
ketentuan BMPD kepada Pihak Tidak Terkait.
Pasal 18
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “penyampaian secara on-line” adalah
penyampaian laporan dengan mengirim atau mentransfer rekaman
data secara langsung kepada Kantor Pusat Bank Indonesia melalui
fasilitas ekstranet Bank Indonesia atau sarana teknologi lainnya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 19 ...
- 20 -
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “gangguan teknis” adalah gangguan
yang mengakibatkan BPRS tidak dapat menyampaikan laporan
BMPD dan/atau koreksi laporan BMPD secara on-line, antara
lain gangguan pada jaringan telekomunikasi atau pemadaman
listrik.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 21 ...
- 21 -
Pasal 21
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “penyampaian secara off-line” adalah
penyampaian laporan dengan cara menyampaikan rekaman data dalam
bentuk media perekam data elektronik disertai hasil validasi kepada
Kantor Bank Indonesia setempat.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 22
Ayat (1)
Laporan BMPD dapat disampaikan secara on-line pada hari libur atau
hari Sabtu.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Bukti penerimaan untuk laporan BMPD yang disampaikan secara
on-line adalah berupa soft copy yang dapat diambil secara on-line
(download). Sedangkan bukti penerimaan untuk laporan BMPD yang
disampaikan secara off-line adalah berupa tanda terima apabila
disampaikan langsung kepada Bank Indonesia atau tanggal stempel
pos apabila dikirimkan melalui pos.
Ayat (4) ...
- 22 -
Ayat (4)
Koreksi laporan BMPD dapat disampaikan secara on-line pada hari
libur atau hari Sabtu.
Ayat (5)
Contoh:
Koreksi laporan BMPD untuk data bulan Februari 2011 disampaikan
secara off-line paling lama tanggal 18 Maret 2011 (hari Jumat) untuk
penyampaian secara langsung kepada Bank Indonesia maupun untuk
penyampaian melalui pos, mengingat tanggal 20 Maret 2011 jatuh
pada hari Minggu.
Ayat (6)
Bukti penerimaan untuk koreksi laporan BMPD yang disampaikan
secara on-line adalah berupa soft copy yang dapat diambil secara
on-line (download). Sedangkan bukti penerimaan untuk koreksi
laporan BMPD yang disampaikan secara off-line adalah berupa tanda
terima apabila disampaikan langsung kepada Bank Indonesia atau
tanggal stempel pos apabila dikirimkan melalui pos.
Pasal 23
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3) ...
- 23 -
Ayat (3)
Contoh:
BPRS dinyatakan tidak menyampaikan laporan BMPD dan/atau
koreksi laporan BMPD untuk data bulan Maret 2011 apabila laporan
dimaksud belum diterima Bank Indonesia sampai dengan tanggal 30
April 2011.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 24
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pelaksanaan ketentuan BMPD” antara lain
adalah perhitungan Penyaluran Dana, perhitungan Modal, penentuan
kelompok Nasabah Penerima Fasilitas dan/atau penentuan Pihak
Terkait.
Ayat (2)
Koreksi terhadap laporan BMPD kepada Bank Indonesia dilakukan
untuk posisi hasil penelitian dan/atau pemeriksaan oleh Bank
Indonesia atas Laporan BMPD yang telah disampaikan oleh BPRS
pelapor.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4) ...
- 24 -
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Ayat (1)
Laporan struktur kelompok usaha pada ayat ini memuat seluruh
perorangan atau badan hukum yang memiliki 10% (sepuluh persen)
atau lebih saham BPRS dan pihak-pihak yang melakukan
Pengendalian dan/atau memiliki 10% (sepuluh persen) atau lebih
saham badan hukum dimaksud, serta menyebutkan pihak yang
menjadi ultimate shareholders.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 27 ...
- 25 -
Pasal 27
Yang dimaksud dengan menghambat pelaksanaan pengawasan BPRS antara
lain apabila Bank Indonesia mengalami atau melihat potensi adanya
kesulitan untuk mengakses data dan informasi termasuk informasi sumber
keuangan pengendali BPRS.
Pasal 28
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Contoh pengungkapan informasi pengendali terakhir (ultimate
shareholders):
1. Tuan X melalui PT ABC ...% saham BPRS.
2. Tuan Z melalui:
PT A ...% saham BPRS,
PT B ...% saham BPRS, dan
PT C ...% saham BPRS.
Pasal 29
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2) ...
- 26 -
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “jenis kesalahan” adalah nominal yang
dilaporkan meliputi jumlah Pembiayaan yang diberikan dan nilai
agunan.
Jenis kesalahan dihitung per rekening (per baris).
Nama debitur tidak termasuk yang diperhitungkan dalam jenis
kesalahan.
Termasuk jenis kesalahan adalah pelanggaran/pelampauan yang tidak
dilaporkan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9) ...
- 27 -
Ayat (9)
Cukup jelas.
Ayat (10)
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “keadaan memaksa (force majeure)” adalah
keadaan yang secara nyata menyebabkan BPRS tidak dapat menyusun
dan/atau menyampaikan laporan BMPD dan/atau koreksi laporan
BMPD secara on-line dan off-line, antara lain kebakaran, kerusuhan
massa, perang, sabotase, serta bencana alam seperti gempa bumi dan
banjir, yang dibenarkan oleh pejabat instansi yang berwenang dari
daerah setempat.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4) ...
- 28 -
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 32
Ayat (1)
Kewajiban untuk tetap menyampaikan pelaporan sebagaimana
dimaksud dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor
31/61/KEP/DIR tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank
Perkreditan Rakyat tetap diberlakukan dalam waktu 3 (tiga) bulan
setelah berlakunya PBI ini bertujuan untuk memberikan masa transisi
terhadap pelaporan BMPD yang semula dilakukan melalui rekaman
data dalam bentuk media perekam data elektronik beserta hasil
cetakan yang ditandatangani oleh pejabat yang berwenang menjadi
diubah secara on-line.
Kewajiban pelaporan BMPD secara on-line mulai berlaku untuk
pelaporan BMPD bulan Mei 2011 yang disampaikan pada bulan Juni
2011.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34 ...
- 29 -
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5191
DPbS
"," PBI
13/5/PBI/2011
BATAS MAKSIMUM PENYALURAN DANA BANK PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH
24 Januari 2011
1 Februari 2011
24 Januari 2011
'31/61/KEP/DIR|SKDIR-BI/1998'
'21/UU/2008', '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008'
'BAB X'
"
" PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 2/24/PBI/2000
TENTANG
HUBUNGAN REKENING GIRO
ANTARA BANK INDONESIA DENGAN PIHAK EKSTERN
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka memperlancar transaksi pembayaran antar
bank, pemerintah dan pihak-pihak lain, Bank Indonesia
menyediakan fasilitas pembukaan Rekening Giro kepada pihak-
pihak dimaksud;
b. bahwa untuk memberikan kepastian hukum dalam pelaksanaan
transaksi pembayaran tersebut, hubungan Rekening Giro antara
Bank Indonesia dengan pihak-pihak sebagaimana dalam huruf a
perlu diatur dalam suatu ketentuan;
c. bahwa berhubung dengan itu dipandang perlu untuk menetapkan
ketentuan mengenai Hubungan Rekening Giro antara Bank
Indonesia dengan pihak ekstern dalam Peraturan Bank Indonesia;
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-
undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Tahun 1998
Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3790);
- 2 -
2. Undang ...
2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
(Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3843);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG HUBUNGAN
REKENING GIRO ANTARA BANK INDONESIA DENGAN
PIHAK EKSTERN
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan :
1. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 7
Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang
Nomor 10 Tahun 1998;
2. Rekening Giro adalah sarana bagi penatausahaan transaksi dari simpanan yang
penarikannya dapat dilakukan setiap saat;
3. Rekening Giro dalam Rupiah yang selanjutnya disebut Rekening Giro Rupiah
adalah Rekening Giro dalam mata uang rupiah yang penarikannya dapat dilakukan
dengan menggunakan Cek Bank Indonesia, Bilyet Giro Bank Indonesia, atau
sarana sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Bank Indonesia ini;
4. Rekening Giro dalam Valuta Asing yang selanjutnya disebut Rekening Giro
Valas adalah Rekening Giro dalam valuta asing yang penarikannya dapat
- 3 -
dilakukan ...
dilakukan dengan cara pemindahbukuan atau sarana sebagaimana ditetapkan
dalam Peraturan Bank Indonesia ini;
5. Rekening Koran adalah laporan yang memuat posisi dan mutasi atas transaksi
yang terjadi pada Rekening Giro;
6. Pemegang Rekening Giro adalah pihak-pihak yang mempunyai Rekening Giro di
Bank Indonesia;
7. Spesimen Tanda Tangan adalah contoh tanda tangan yang ditulis pada formulir
yang disediakan oleh Bank Indonesia dan ditatausahakan di Bank Indonesia;
8. Cek Bank Indonesia yang selanjutnya disebut Cek BI adalah cek sebagaimana
dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang yang dikeluarkan oleh
Bank Indonesia;
9. Bilyet Giro Bank Indonesia yang selanjutnya disebut BG BI adalah bilyet giro
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan bilyet giro yang berlaku yang
dikeluarkan oleh Bank Indonesia;
10. Saldo Efektif adalah saldo kredit dalam Rekening Giro yang dapat ditarik oleh
Pemegang Rekening Giro dan atau pihak-pihak yang diberi kuasa untuk
melakukan penarikan Rekening Giro;
11. Warkat Pembukuan adalah sarana penarikan Rekening Giro yang berupa Cek BI,
BG BI, atau sarana lain yang bersifat paperbased;
12. Penyetoran ke Rekening Giro adalah kegiatan penambahan dana atau
pengkreditan pada Rekening Giro;
13. Penarikan Rekening Giro adalah kegiatan pengurangan dana atau pendebitan pada
Rekening Giro.
BAB…
- 4 -
BAB II
PEMBUKAAN REKENING GIRO
Pasal 2
Pihak yang dapat membuka Rekening Giro di Bank Indonesia adalah :
a. Bank;
b. Departemen Keuangan yang berkaitan dengan pelaksanaan anggaran penerimaan
dan belanja (budget);
c. International Monetary Funds (IMF).
Pasal 3
Rekening Giro pada Bank Indonesia tidak dapat dibuka dalam bentuk rekening
gabungan (joint account).
Pasal 4
(1) Rekening Giro pada Bank Indonesia hanya dapat dibuka berdasarkan permintaan
tertulis dari pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.
(2) Bank Indonesia dapat menyetujui atau menolak permintaan pembukaan
Rekening Giro pada Bank Indonesia.
(3) Tata cara dan persyaratan pembukaan Rekening Giro pada Bank Indonesia diatur
lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 5
Dalam hal permintaan pembukaan Rekening Giro sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (1) disetujui maka Pemegang Rekening Giro wajib membuat Spesimen
Tanda Tangan.
Pasal…
- 5 -
Pasal 6
Bank Indonesia tidak memberikan jasa giro atas Rekening Giro yang ditatausahakan
di Bank Indonesia.
Pasal 7
Rekening Giro yang dibuka di Bank Indonesia tidak dapat dijaminkan oleh
Pemegang Rekening Giro kepada pihak manapun.
BAB III
PENYETORAN KE REKENING GIRO
Pasal 8
Penyetoran ke Rekening Giro dapat dilakukan oleh Pemegang Rekening Giro atau
oleh bukan Pemegang Rekening Giro.
Pasal 9
Penyetoran ke Rekening Giro sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dilakukan
dengan cara :
a. Tunai, pemindahbukuan, atau transfer untuk Rekening Giro Rupiah;
b. Pemindahbukuan atau transfer untuk Rekening Giro Valas.
Pasal 10
Tata cara penyetoran ke Rekening Giro sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 diatur
lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
BAB…
- 6 -
BAB IV
PENARIKAN REKENING GIRO
Pasal 11
(1) Penarikan Rekening Giro dapat dilakukan oleh Pemegang Rekening Giro, atau
pihak yang diberi kuasa oleh Pemegang Rekening Giro.
(2) Pemberian kuasa dari Pemegang Rekening Giro untuk keperluan penarikan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam bentuk kuasa khusus
dengan satu kali hak substitusi.
(3) Pihak yang diberi kuasa oleh Pemegang Rekening Giro sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) wajib membuat Spesimen Tanda Tangan.
(4) Kewajiban pembuatan Spesimen Tanda Tangan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (3) tidak berlaku dalam hal penerima kuasa atau penerima kuasa substitusi
diberi kuasa untuk melakukan satu kali penarikan.
Pasal 12
(1) Dalam hal penarikan Rekening Giro dilakukan dengan menggunakan sarana
Warkat Pembukuan maka Bank Indonesia melakukan pencocokan antara tanda
tangan yang tercantum dalam Warkat Pembukuan dengan Spesimen Tanda
Tangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan atau Pasal 11 ayat (3).
(2) Dalam hal penarikan Rekening Giro dilakukan dengan menggunakan sarana
elektronik maka Bank Indonesia tidak melakukan pencocokan tanda tangan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), tetapi kegiatan pencocokan tersebut
dilakukan dengan cara lain yang diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank
Indonesia.
Pasal…
- 7 -
Pasal 13
(1) Pemegang Rekening Giro dapat mensyaratkan bahwa setiap penarikan Rekening
Giro dengan menggunakan warkat pembukuan harus ditandatangani oleh lebih
dari 1(satu) orang.
(2) Persyaratan selain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang ditetapkan oleh
Pemegang Rekening Giro atau instansi lain yang berwenang dianggap tidak ada
dan Bank Indonesia dapat melaksanakan penarikan tersebut tanpa
memperhatikan dipenuhinya persyaratan tersebut oleh Pemegang Rekening
Giro.
Bagian Pertama
Rekening Giro yang Dimiliki oleh Instansi Pemerintah.
Paragraf 1
Rekening Giro Rupiah
Pasal 14
Penarikan Rekening Giro Rupiah oleh instansi pemerintah tidak boleh melebihi
Saldo Efektif kecuali apabila terdapat kesepakatan lain diantara badan atau instansi
pemerintah dan Bank Indonesia dengan memperhatikan ketentuan Pasal 56 ayat (1)
Undang-undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.
Pasal 15
Penarikan Rekening Giro Rupiah yang dimiliki oleh atau instansi pemerintah
dilakukan dengan menggunakan sarana :
a. Cek BI;
b. BG BI;
c. Sarana elektronik;
d. Sarana lain.
Paragraf…
- 8 -
Paragraf 2
Rekening Giro Valas
Pasal 16
Penarikan Rekening Giro Valas oleh instansi pemerintah tidak boleh melebihi Saldo
Efektif kecuali apabila terdapat kesepakatan lain diantara instansi pemerintah dan
Bank Indonesia dengan memperhatikan ketentuan Pasal 56 ayat (1) Undang-undang
No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.
Pasal 17
Penarikan Rekening Giro Valas oleh instansi pemerintah dilakukan dengan
menggunakan sarana :
a. Surat Perintah Membayar Giro Bank (SPMGB);
b. Surat Perintah Pembebanan (SPB-SPM);
c. Surat Perintah Membayar Rekening Khusus (SPMRK);
d. Surat Kuasa membayar atas beban rekening khusus untuk Letter of Credit
(SPMRK L/C).
Bagian Kedua
Rekening Giro yang Dimiliki oleh Bukan Instansi Pemerintah
Paragraf 1
Rekening Giro Rupiah
Pasal 18
(1) Pemegang Rekening Giro Rupiah dapat melakukan penarikan dengan jumlah
maksimal sebesar jumlah Saldo Efektif.
(2) Dalam…
- 9 -
(2) Dalam hal Pemegang Rekening Giro Rupiah adalah Bank peserta kliring,
ketentuan sebagaimana dalam ayat (1) hanya berlaku bagi penarikan-penarikan di
luar penyelesaian akhir hasil kliring.
Pasal 19
Penarikan atas Rekening Giro Rupiah dilakukan dengan menggunakan :
a. Cek BI;
b. BG BI;
c. Sarana elektronik;
d. Sarana lain.
Paragraf 2
Rekening Giro dalam Valas
Pasal 20
Pemegang Rekening Giro Valas dapat melakukan pendebetan dengan jumlah
maksimal sebesar jumlah Saldo Efektif.
Pasal 21
Penarikan atas Rekening Giro Valas hanya dapat dilakukan melalui pemindahbukuan
dengan menggunakan sarana :
a. Act SWIFT;
b. Teleks.
Pasal 22
Permintaan penarikan Rekening Giro Valas oleh Bank dapat dilaksanakan apabila
permintaan dimaksud diterima oleh Bank Indonesia selambat-lambatnya 2 (dua) hari
kerja sebelum tanggal valuta.
BAB…
- 10 -
BAB V
PENGGUNAAN CEK BI/BG BI
Pasal 23
Cek BI hanya dapat digunakan untuk keperluan penarikan tunai atas beban Rekening
Giro Rupiah.
Pasal 24
BG BI digunakan untuk keperluan pemindahan dana dari satu Rekening Giro Rupiah
ke Rekening Giro Rupiah lainnya.
Pasal 25
(1) Bank Indonesia tidak memproses Cek BI atau BG BI yang terdapat perbedaan
nominal antara yang tertulis dalam angka dan dalam huruf.
(2) Penulisan nominal dalam angka dan huruf tidak dapat dilakukan pencoretan atau
perubahan.
(3) Setiap pencoretan atau perubahan penulisan selain mengenai nominal angka dan
huruf harus ditandatangani oleh Penarik Cek BI atau BG BI yang bersangkutan
pada tempat kosong yang terdekat dengan pencoretan atau perubahan penulisan
tersebut.
Pasal 26
(1) Pemegang Rekening Giro wajib menatausahakan dengan baik blanko Cek BI dan
atau BG BI yang diterima dari Bank Indonesia.
(2) Pemegang Rekening Giro bertanggungjawab atas segala macam penyalahgunaan
dari tiap-tiap helai Cek BI dan atau BG BI oleh pihak-pihak
yang…
- 11 -
yang tidak berhak serta segala akibat yang ditimbulkan atas penyalahgunaan
tersebut.
Pasal 27
Ketentuan mengenai Cek BI dan BG BI yang tidak diatur dalam Peraturan Bank
Indonesia ini tunduk pada ketentuan mengenai cek dan bilyet giro yang berlaku.
BAB VI
PERUBAHAN REKENING GIRO
Pasal 28
(1) Perubahan Rekening Giro hanya dapat dilakukan apabila terdapat perubahan
nomor rekening atau nama rekening.
(2) Perubahan nomor rekening sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat
dilakukan oleh Bank Indonesia.
(3) Perubahan nama rekening sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat
dilakukan oleh Pemegang Rekening Giro dengan terlebih dahulu mengajukan
permohonan secara tertulis kepada Bank Indonesia.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perubahan Rekening Giro
sebagaimana dalam ayat (1) diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
BAB VII
PENUTUPAN REKENING GIRO
Pasal 29
(1) Bank Indonesia setiap saat dapat menutup Rekening Giro baik atas permintaan
Pemegang Rekening Giro, pihak berwenang yang terkait dengan Rekening Giro
yang bersangkutan, maupun atas dasar pertimbangan Bank Indonesia.
- 12 -
(2) Penutupan…
(2) Penutupan Rekening Giro oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dilakukan dengan mempertimbangkan antara lain hal-hal sebagai berikut
:
a. Apabila pada satu Kantor Bank Indonesia (KPBI dan KBI) Pemegang
Rekening Giro memiliki lebih dari satu Rekening Giro dan mutasi-mutasi
yang dilakukan dapat ditampung pada salah satu rekening yang ada.
b. Pemegang Rekening Giro tidak mempunyai keterkaitan tugas dengan
Bank Indonesia.
c. Rekening Giro tidak aktif selama 2 (dua) tahun.
Pasal 30
(1) Permohonan penutupan Rekening Giro oleh Pemegang Rekening Giro atau
pihak lain yang berwenang atas Rekening Giro yang bersangkutan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) dilakukan secara tertulis.
(2) Ketentuan mengenai tata cara penutupan Rekening Giro diatur lebih lanjut
dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 31
Bank Indonesia dapat menyetujui permohonan penutupan Rekening Giro apabila
Pemegang Rekening Giro telah menyelesaikan seluruh kewajibannya kepada Bank
Indonesia.
Pasal 32
Dalam hal Rekening Giro telah ditutup, maka Cek BI dan atau BG BI yang masih
beredar tidak dapat diperhitungkan lagi atas beban Rekening Giro dimaksud.
BAB…
- 13 -
BAB VIII
LAPORAN
Pasal 33
(1) Terhadap Rekening Giro Rupiah setiap akhir hari Bank Indonesia mencetak
Rekening Koran yang dapat diambil oleh Pemegang Rekening Giro selambat-
lambatnya 1 (satu) minggu setelah tanggal Rekening Koran.
(2) Terhadap Rekening Giro Valas setiap minggu pada tanggal neraca Bank
Indonesia mencetak Rekening Koran yang dapat diambil oleh Pemegang
Rekening Giro selambat-lambatnya 1 (satu) minggu setelah tanggal Rekening
Koran.
(3) Pencetakan Rekening Koran sebagaimana dalam ayat (1) tidak berlaku dalam
hal sarana elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf c dan Pasal
19 huruf c menyediakan informasi yang terdapat dalam Rekening Koran secara
on-line.
Pasal 34
(1) Bank Indonesia melakukan penutupan periode laporan Rekening Koran pada
tiap akhir tahun kalender dan mencetak laporan tersebut untuk disampaikan
kepada Pemegang Rekening Giro.
(2) Penyampaian laporan Rekening Koran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan paling lambat 1 (satu) minggu setelah tanggal pencetakan laporan
Rekening Koran.
Pasal 35
(1) Dalam hal terdapat perbedaan antara data pada Rekening Koran dengan data yang
ada pada Pemegang Rekening Giro maka Pemegang Rekening Giro
wajib…
- 14 -
wajib melaporkan kepada Bank Indonesia dalam jangka waktu 2 (dua) minggu
setelah tanggal Rekening Koran tersebut.
(2) Dalam hal Pemegang Rekening Giro tidak melaporkan perbedaan data
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) maka data yang terdapat dalam Rekening
Koran dianggap sebagai data yang benar.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) berlaku pula
terhadap penyediaan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (3).
BAB IX
BIAYA-BIAYA
Pasal 36
Setiap penarikan atas beban Rekening Giro dikenakan biaya transaksi dan biaya
administrasi yang besarnya ditetapkan dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 37
Setiap perolehan blanko Cek BI dan BG BI dikenakan biaya cetak dan biaya materai
yang besarnya ditetapkan dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 38
Pengenaan biaya - biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dan 37
dilakukan dengan cara mendebet Rekening Giro yang bersangkutan.
Pasal…
- 15 -
Pasal 39
Bank Indonesia dapat mengecualikan pengenaan biaya-biaya sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 36 dan 37 untuk pihak-pihak tertentu yang akan diatur dalam Surat
Edaran Bank Indonesia.
BAB X
LAIN-LAIN
Pasal 40
Ketentuan mengenai hubungan Rekening Giro antara Bank Indonesia dengan
pegawai dan Dewan Gubernur Bank Indonesia tidak tunduk pada ketentuan ini.
Pasal 41
Sarana elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf c dan Pasal 19 huruf
c akan diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
BAB XI
ATURAN PERALIHAN
Pasal 42
Rekening Giro Rupiah dan atau Rekening Giro Valas milik pihak-pihak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 yang sudah ada pada saat berlakunya Peraturan Bank
Indonesia ini tetap diakui sebagai Rekening Giro yang sah berdasarkan Peraturan
Bank Indonesia ini.
Pasal 43
(1) Pihak lain diluar pihak-pihak sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2 yang
masih memiliki Rekening Giro di Bank Indonesia dalam jangka waktu
1 (satu)…
- 16 -
1 (satu) tahun sejak diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia ini wajib
mengajukan permohonan penutupan rekening.
(2) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pihak lain di
luar pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 tidak mengajukan
permohonan penutupan Rekening Giro, maka Bank Indonesia berwenang
menutup rekening yang bersangkutan.
Pasal 44
(1) Bagi pemegang Rekening Giro yang belum memiliki Spesimen Tanda Tangan
atau sudah memiliki namun belum memenuhi ketentuan sebagaimana diatur
dalam Peraturan Bank Indonesia ini dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah
berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini wajib menyampaikan Spesimen Tanda
Tangan kepada Bank Indonesia.
(2) Dalam hal Pemegang Rekening Giro tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) maka penarikan Rekening Giro tidak dapat dilakukan.
Pasal 45
Segala surat penunjukan kepada pihak lain untuk melakukan penarikan Rekening
Giro pada Bank Indonesia yang sudah ada pada saat berlakunya Peraturan Bank
Indonesia ini berlaku sebagai surat kuasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11
Peraturan Bank Indonesia ini.
Pasal 46
Kesepakatan antara badan atau instansi pemerintah dan Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 14 dan Pasal 16 yang sudah ada pada saat berlakunya
Peraturan Bank Indonesia ini dinyatakan tetap berlaku.
BAB…
- 17 -
BAB XII
PENUTUP
Pasal 47
Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 17 November 2000
a.n GUBERNUR BANK INDONESIA
ANWAR NASUTION
DEPUTI GUBERNUR SENIOR
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2000 NOMOR 205
DASP
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 2/24/PBI/2000
TENTANG
HUBUNGAN REKENING GIRO
ANTARA BANK INDONESIA DENGAN PIHAK EKSTERN
I. UMUM
Dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999
tentang Bank Indonesia maka Bank Indonesia diarahkan untuk melakukan
tugas dan fungsi yang seharusnya dilakukan oleh bank sentral. Sehubungan
dengan hal tersebut maka perlu dilakukan peninjauan kembali terhadap pihak-
pihak yang dapat mempunyai hubungan Rekening Giro dengan Bank
Indonesia. Dalam hal ini hanya pihak-pihak yang mempunyai keterkaitan
tugas dan fungsi dengan Bank Indonesia yang dapat mempunyai Rekening
Giro pada Bank Indonesia.
Salah satu fungsi pemeliharaan Rekening Giro pada Bank Indonesia
oleh pihak-pihak yang mempunyai keterkaitan tugas dengan Bank Indonesia
adalah dalam rangka memperlancar transaksi pembayaran diantara pihak-
pihak tersebut. Disamping itu pada saat ini Bank Indonesia telah
memanfaatkan perkembangan teknologi dalam memperlancar transaksi
pembayaran sehingga penyelesaian transaksi pembayaran dengan mendebit
dan mengkredit Rekening Giro para pihak dapat dilakukan secara elektronik.
Sehubungan dengan hal tersebut guna memberikan dasar hukum bagi
pihak-pihak tersebut dalam melakukan transaksi pembayaran secara
elektronik serta dalam rangka penataan kembali terhadap pihak-pihak
- 2 -
yang...
yang dapat mempunyai hubungan Rekening Giro dengan Bank Indonesia,
maka perlu dilakukan penyempurnaan terhadap Ketentuan-ketentuan
mengenai hubungan Rekening Koran dengan Bank Indonesia yang berlaku
saat ini. Dengan ditetapkannya ketentuan mengenai Hubungan Rekening Giro
antara Bank Indonesia dengan Pihak Ekstern diharapkan pelaksanaan
transaksi elektronik yang dilakukan oleh pihak yang mempunyai keterkaitan
tugas dengan Bank Indonesia akan lebih lancar dan mempunyai dasar hukum
yang kuat.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Huruf a
Bank yang dapat membuka Rekening Giro di Bank Indonesia
adalah tingkatan Kantor Pusat dan Kantor Cabang. Khusus bagi
Bank yang menjalankan kegiatan sebagai bank konvensional dan
bank syariah, maka Bank tersebut dapat membuka 2 (dua)
rekening masing-masing atas nama unit usaha konvensional dan
unit usaha syariahnya baik dalam rupiah maupun valas.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Pasal…
- 3 -
Pasal 3
Yang dimaksud dengan rekening gabungan (joint account) adalah
rekening yang dimiliki oleh lebih dari 1 (satu) pihak.
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Penolakan permintaan pembukaan Rekening Giro didasarkan pada
hal-hal sebagai berikut :
a. Persyaratan administrasi tidak dipenuhi, atau
b. Pemilik rekening telah memiliki rekening di Bank Indonesia
dan mutasi - mutasi yang akan dilakukan melalui rekening-
rekening yang bersangkutan dapat ditampung dalam rekening
yang telah ada.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 5
Cukup jelas
Pasal 6
Cukup jelas
Pasal 7
Cukup jelas
Pasal 8
Cukup jelas
Pasal…
- 4 -
Pasal 9
Cukup jelas
Pasal 10
Cukup jelas
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan pemberian kuasa khusus dengan dengan
satu kali hak substitusi adalah bahwa penerima kuasa dapat
memberikan kuasa lagi kepada satu atau beberapa orang
(penerima kuasa substitusi) namun penerima kuasa substitusi
tidak dapat memberikan kuasa lagi kepada pihak lain.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 12
Cukup jelas
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal ini antara lain
adalah diperlukannya countersign dari pihak lain yang ditunjuk
oleh Pemegang Rekening Giro atau yang ditetapkan oleh instansi
lain yang berwenang. Dalam hal ini Pemegang
Rekening…
- 5 -
Rekening Giro wajib mengupayakan pemenuhan persyaratan
tersebut. Bank Indonesia dibebaskan dari tanggung jawab atas
pelaksanaan penarikan yang tidak memenuhi persyaratan yang
ditetapkan oleh Pemegang Rekening Giro maupun instansi lain
yang berwenang tersebut.
Pasal 14
Dalam hal terdapat kesepakatan antara instansi pemerintah dan Bank
Indonesia maka instansi pemerintah tersebut dimungkinkan melakukan
penarikan melebihi Saldo Efektifnya sepanjang pada akhir hari saldo
negatif tersebut dapat diselesaikan baik dengan memindahkan saldo
negatif tersebut kepada rekening instansi pemerintah lainnya yang
ditunjuk atau dengan pengkreditan dari rekening instansi pemerintah
lainnya.
Pasal 15
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Sarana elektronik adalah suatu fasilitas yang ditetapkan oleh
Bank Indonesia
dengan
memanfaatkan
teknologi
komputer guna melakukan penarikan dana secara tunai dari
satu Rekening Giro atau pemindahan dana dari satu Rekening
Giro ke Rekening Giro lainnya. Sarana elektronik yaitu
antara lain adalah sistem transfer dana yang
penyelesaiannya…
- 6 -
penyelesaiannya dilakukan secara individual atau per transaksi
(Sistem Real Time Gross Settlement).
Huruf d
Sarana penarikan lain merupakan sarana penarikan Rekening
Giro yang telah distandarisir oleh pemerintah dan telah disetujui
oleh Bank Indonesia, antara lain terdiri dari :
1. SPMGB yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal
Anggaran (DJA) dan KPKN yang sekota dengan Bank
Indonesia; dan
2. SPB-SPM yang diterbitkan oleh KPKN non Bank
Indonesia;
Dalam hal terdapat perubahan sarana penarikan sebagaimana
tersebut di atas maka perubahan tersebut harus dilakukan dengan
persetujuan Bank Indonesia.
Pasal 16
Dalam hal terdapat kesepakatan antara instansi pemerintah dan Bank
Indonesia
maka instansi pemerintah tersebut dimungkinkan
melakukan penarikan melebihi Saldo Efektifnya sepanjang pada akhir
hari saldo negatif tersebut dapat diselesaikan baik dengan
memindahkan saldo negatif tersebut kepada rekening instansi
pemerintah lainnya yang ditunjuk atau dengan pengkreditan dari
rekening instansi pemerintah lainnya.
- 7 -
Pasal…
Pasal 17
Huruf a
SPMGB adalah warkat standar yang diterbitkan oleh KPKN
yang sekota dengan Bank Indonesia dan DJA dalam rangka
melakukan pembayaran kepada rekanan atau pihak lainnya atas
beban rekening yang bersangkutan atau untuk diperhitungkan
dengan rekening khusus.
Bentuk/format SPMGB yang digunakan untuk penarikan
Rekening Giro Valas wajib memperoleh persetujuan dari Bank
Indonesia.
Huruf b
SPB-SPM adalah warkat standar yang diterbitkan oleh KPKN
non-Bank Indonesia dalam rangka melakukan pembayaran
kepada rekanan atau pihak lainnya yang selanjutnya
diperhitungkan dengan rekening khusus di KPBI.
Bentuk/format SPB-SPM yang digunakan untuk penarikan
Rekening Giro Valas wajib memperoleh persetujuan dari Bank
Indonesia.
Huruf c
SPMRK adalah warkat yang diterbitkan oleh DJA yang
disampaikan ke KPBI untuk membebani rekening khusus dalam
valas.
Bentuk…
- 8 -
Bentuk/format SPMRK yang digunakan untuk penarikan
Rekening Giro Valas wajib memperoleh persetujuan dari Bank
Indonesia.
Huruf d
SPMRK L/C adalah warkat yang diterbitkan oleh DJA yang
disampaikan ke KPBI untuk membebani rekening khusus untuk
Letter of Credit.
Bentuk/format SPMRK L/C wajib memperoleh persetujuan dari
Bank Indonesia.
Pasal 18
Ayat (1)
Dalam hal pemegang rekening mempunyai rekening pada lebih
dari satu Kantor Bank Indonesia (KBI dan KPBI) maka Saldo
Efektif adalah saldo rekening pada masing-masing Kantor Bank
Indonesia.
Ayat (2)
Penyelesaian akhir hasil kliring diatur dalam Peraturan Bank
Indonesia tersendiri.
Pasal 19
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Sarana elektronik adalah suatu fasilitas yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia dengan memanfaatkan teknologi komputer guna
melakukan penarikan dana dari satu Rekening Giro atau
pemindahan…
- 9 -
pemindahan dana dari satu Rekening Giro ke Rekening Giro
lainnya. Sarana elektronik yaitu antara lain adalah sistem
transfer dana yang penyelesaiannya dilakukan secara individual
atau per transaksi (Sistem Real Time Gross Settlement).
Huruf d
Sarana lain yang dimaksud dalam Pasal ini antara lain adalah
sarana teleks yang digunakan untuk pembukuan hasil kliring oleh
penyelenggara kliring lokal di tempat yang tidak terdapat kantor
Bank Indonesia dan permintaan penarikan oleh lembaga
internasional.
Pasal 20
Cukup jelas
Pasal 21
Huruf a
Yang dimaksud dengan SWIFT (Society For Worldwide
Interbank Financial Telecommunication) adalah suatu jaringan
internasional untuk keperluan pemindahan dana dan atau
pertukaran berita dengan menggunakan teknologi komputer antar
bank dan lembaga-lembaga keuangan bukan bank yang menjadi
anggotanya.
Huruf b
Cukup jelas
Pasal 22
Cukup jelas
Pasal 23
Cukup jelas
- 10 -
Pasal…
Pasal 24
Cukup jelas
Pasal 25
Cukup jelas
Pasal 26
Cukup jelas
Pasal 27
Cukup jelas
Pasal 28
Cukup jelas
Pasal 29
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Apabila berdasarkan catatan pada Bank Indonesia suatu
Rekening Giro selama jangka waktu 1,5 (satu setengah)
tahun tidak aktif, Bank Indonesia akan memberitahukan
Pemegang Rekening Giro secara tertulis mengenai hal
tersebut sekaligus meminta agar yang bersangkutan
menutup Rekening Gironya. Selanjutnya apabila dalam
jangka waktu 6 (enam) bulan setelah pemberitahuan itu
- 11 -
tidak…
tidak ada jawaban maka Rekening Giro tersebut akan
ditutup tanpa pemberitahuan sebelumnya. Bank Indonesia
akan menginformasikan secara tertulis mengenai penutupan
tersebut, dan saldo Rekening Giro dimaksud setelah
diperhitungkan dengan seluruh kewajiban Pemegang
Rekening Giro kepada Bank Indonesia, akan dipindahkan
pada rekening tertentu untuk menunggu penyelesaian lebih
lanjut dari Pemegang Rekening Giro.
Pasal 30
Cukup jelas
Pasal 31
Cukup jelas
Pasal 32
Yang dimaksud dengan Cek BI atau BG BI yang masih beredar dalam
Pasal ini adalah Cek BI dan atau BG BI yang ditarik sebelum maupun
sesudah Rekening Giro ditutup.
Pasal 33
Ayat (1)
Pengambilan Rekening Koran harian dilakukan pada hari kerja
berikutnya sesuai jadwal yang berlaku.
Rekening Koran tersebut hanya akan dicetak apabila terdapat
mutasi pada Rekening Giro dimaksud.
Ayat (2)
Pengambilan Rekening Koran mingguan dilakukan pada hari
kerja berikutnya sesuai jadwal yang berlaku.
Rekening…
- 12 -
Rekening Koran tersebut hanya akan dicetak apabila terdapat
mutasi pada Rekening Giro dimaksud.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 34
Ayat (1)
Rekening Koran yang disebut dengan laporan akhir tahun untuk
Rekening Giro Rupiah adalah Rekening Koran harian yang
dicetak pada akhir hari kerja Bank Indonesia pada bulan
Desember. Laporan dimaksud memuat mutasi dari transaksi-
transaksi yang terjadi pada tanggal akhir bulan tersebut.
Rekening Koran yang disebut dengan laporan akhir tahun untuk
Rekening Giro Valas adalah rekening koran mingguan yang
dicetak pada tanggal neraca akhir hari kerja Bank Indonesia
pada bulan Desember. Laporan dimaksud memuat mutasi dari
transaksi-transaksi yang terjadi pada periode minggu terakhir
akhir bulan tersebut Rekening Koran akhir tahun kalender
tersebut di atas mencantumkan klausula
tertentu dan
ditandatangani oleh pejabat Bank Indonesia diatas materai yang
berlaku.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 35
Cukup jelas
Pasal 36
Cukup jelas
Pasal…
- 13 -
Pasal 37
Cukup jelas
Pasal 38
Cukup jelas
Pasal 39
Cukup jelas
Pasal 40
Cukup jelas
Pasal 41
Pokok-pokok ketentuan yang akan diatur dalam Surat Edaran
Bank Indonesia tersebut antara lain :
a. syarat kepesertaan;
b. tata cara penggunaan;
c. jenis transaksi yang dilakukan; dan
d. contingency plan.
Pasal 42
Cukup jelas
Pasal 43
Cukup jelas
Pasal 44
Cukup jelas
Pasal…
- 14 -
Pasal 45
Cukup jelas
Pasal 46
Cukup jelas
Pasal 47
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4025
DASP
"," PBI
2/24/PBI/2000
HUBUNGAN REKENING GIRO ANTARA BANK INDONESIA DENGAN PIHAK EKSTERN
17 November 2000
17 November 2000
'23/UU/1999', '7/UU/1992', '10/UU/1998'
"
" PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 18/10/PBI/2016
TENTANG
PEMANTAUAN KEGIATAN LALU LINTAS DEVISA
BANK DAN NASABAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa pemantauan kegiatan lalu lintas devisa sangat
dibutuhkan untuk mendukung perumusan dan
pelaksanaan kebijakan, baik di bidang moneter,
makroprudensial perbankan, maupun sistem
pembayaran;
b. bahwa keterangan dan data yang benar dan tepat waktu,
yang diperoleh dari pemantauan kegiatan lalu lintas
devisa sangat diperlukan dalam rangka penyusunan
statistik yang meliputi statistik neraca pembayaran
Indonesia, posisi investasi internasional Indonesia, dan
statistik lainnya;
c. bahwa pemantauan kegiatan lalu lintas devisa juga
diperlukan untuk mendukung pelaksanaan kebijakan
penerimaan devisa hasil ekspor;
d. bahwa transaksi penggunaan devisa perlu dilengkapi
dengan bukti pendukung guna mendorong transparansi
dan meningkatkan ketersediaan informasi kegiatan lalu
lintas devisa, baik yang dilakukan oleh bank maupun
nasabah;
- 2 -
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d
perlu mengatur kembali Peraturan Bank Indonesia
mengenai pemantauan kegiatan lalu lintas devisa bank
dan nasabah;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah
beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4962);
2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu
Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 67, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3844);
3. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2011 tentang Transfer
Dana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5204);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PEMANTAUAN
KEGIATAN LALU LINTAS DEVISA BANK DAN NASABAH.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
- 3 -
1. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan
dan Undang-Undang yang mengatur mengenai
perbankan syariah, termasuk kantor cabang dari bank
yang berkedudukan di luar negeri dan beroperasi di
Indonesia namun tidak termasuk kantor bank umum dan
bank umum syariah berbadan hukum Indonesia yang
beroperasi di luar negeri.
2. Lalu Lintas Devisa yang selanjutnya disingkat LLD
adalah lalu lintas devisa sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai lalu lintas
devisa dan sistem nilai tukar.
3. Kegiatan Lalu Lintas Devisa yang selanjutnya disebut
Kegiatan LLD adalah kegiatan yang menimbulkan
perpindahan aset dan kewajiban finansial antara
Penduduk dan bukan Penduduk, termasuk perpindahan
aset dan kewajiban finansial luar negeri antar Penduduk.
4. Aset Finansial Luar Negeri Bank yang selanjutnya disebut
AFLN Bank adalah aktiva Bank terhadap bukan
Penduduk baik dalam valuta asing maupun Rupiah,
antara lain dalam bentuk kas dalam valuta asing,
simpanan, dan surat berharga.
5. Kewajiban Finansial Luar Negeri Bank yang selanjutnya
disebut KFLN Bank adalah pasiva Bank terhadap bukan
Penduduk baik dalam valuta asing maupun Rupiah,
antara lain dalam bentuk simpanan milik bukan
Penduduk, utang luar negeri, dan ekuitas dari bukan
Penduduk.
6. Penduduk adalah penduduk sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai lalu
lintas devisa dan sistem nilai tukar.
7. Nasabah adalah nasabah sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai
perbankan dan Undang-Undang yang mengatur
mengenai perbankan syariah.
8. Laporan Kegiatan LLD yang selanjutnya disebut
Laporan LLD adalah laporan atas seluruh Kegiatan LLD
- 4 -
yang menimbulkan perubahan AFLN Bank dan/atau
KFLN Bank yang disebabkan oleh transaksi yang
dilakukan oleh Bank yang bersangkutan maupun
Nasabah, termasuk laporan yang berupa Laporan LLD
nihil.
9. Perintah Transfer Dana adalah perintah transfer dana
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang
mengatur mengenai transfer dana.
10. Periode Laporan yang selanjutnya disingkat PL adalah
periode data dari tanggal 1 sampai dengan akhir bulan
yang bersangkutan.
11. Masa Penyampaian Laporan yang selanjutnya disingkat MPL
adalah periode penyampaian Laporan LLD dari tanggal 1
sampai dengan tanggal 15 setelah berakhirnya PL.
12. Masa Penyampaian Koreksi Laporan yang selanjutnya
disingkat MPKL adalah periode penyampaian koreksi
Laporan LLD dari tanggal 1 sampai dengan tanggal 20
setelah berakhirnya PL.
13. Ekspor adalah kegiatan mengeluarkan barang dari daerah
pabean sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang
mengatur mengenai kepabeanan.
BAB II
PENYAMPAIAN LAPORAN DAN KOREKSI LAPORAN
Pasal 2
(1) Bank wajib menyampaikan Laporan LLD kepada Bank
Indonesia dengan benar dan tepat waktu.
(2) Laporan LLD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
disampaikan secara lengkap.
Pasal 3
(1) Laporan LLD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
(1) meliputi:
a. Laporan Transaksi;
b. Laporan Posisi; dan
c. laporan pendukung.
- 5 -
(2) Laporan Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a meliputi transaksi Bank dan/atau Nasabah yang
memengaruhi AFLN Bank dan/atau KFLN Bank.
(3) Laporan Posisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
b meliputi posisi dan mutasi dari setiap rekening AFLN Bank
dan/atau KFLN Bank.
(4) Laporan pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c meliputi antara lain rincian transaksi Ekspor dan
daftar dokumen terkait transaksi Ekspor.
Pasal 4
(1) Transaksi Bank dan/atau Nasabah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) dengan nilai lebih besar
dari USD10,000.00 (sepuluh ribu dolar Amerika Serikat)
atau yang nilainya setara dengan itu dilaporkan secara
individual per transaksi dan terinci, kecuali ditentukan
secara khusus.
(2) Transaksi Bank dan/atau Nasabah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) dengan nilai sampai
dengan USD10,000.00 (sepuluh ribu dolar Amerika
Serikat) atau yang nilainya setara dengan itu dilaporkan
secara gabungan dan dikelompokkan menurut jenis
rekening dan jenis valuta, kecuali ditentukan secara
khusus.
(3) Perubahan batasan nilai transaksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Surat
Edaran Bank Indonesia.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengecualian sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Surat
Edaran Bank Indonesia.
Pasal 5
(1) Dalam hal terdapat transaksi terkait Ekspor Nasabah
pada Laporan Transaksi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (2), Bank wajib menyampaikan laporan
pendukung yang meliputi antara lain rincian transaksi
Ekspor dan daftar dokumen terkait transaksi Ekspor
- 6 -
Nasabah kepada Bank Indonesia berdasarkan informasi dari
Nasabah, sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai penerimaan devisa hasil
Ekspor.
(2) Bank harus meneruskan dokumen terkait transaksi
Ekspor yang diterima dari Nasabah kepada Bank
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai penerimaan devisa
hasil Ekspor.
Pasal 6
(1) Bank wajib menyampaikan Laporan LLD sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 setiap bulan secara online selama
MPL.
(2) Dalam hal Laporan LLD yang telah disampaikan oleh
Bank kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tidak benar dan/atau tidak lengkap, Bank
menyampaikan koreksi Laporan LLD secara online
selama MPKL.
(3) Penyampaian Laporan LLD dan/atau koreksi Laporan
LLD yang melampaui MPKL dilakukan secara offline.
Pasal 7
(1) Dalam hal terdapat gangguan teknis yang menyebabkan
Bank tidak dapat menyampaikan Laporan LLD dan/atau
koreksi Laporan LLD secara online sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2), Laporan
LLD dan/atau koreksi Laporan LLD dapat disampaikan
secara offline.
(2) Dalam hal gangguan teknis sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) terjadi pada hari terakhir penyampaian Laporan
LLD, Laporan LLD disampaikan secara online pada hari
berikutnya jika gangguan teknis telah dapat diatasi atau
secara offline pada hari kerja berikutnya jika gangguan
teknis belum dapat diatasi.
(3) Dalam hal gangguan teknis sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) terjadi pada hari terakhir penyampaian koreksi
- 7 -
Laporan LLD, koreksi Laporan LLD disampaikan secara
offline pada hari kerja berikutnya.
(4) Dalam hal gangguan teknis sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) terjadi di Bank, Bank harus
menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada
Bank Indonesia disertai dengan bukti pendukung
terjadinya gangguan teknis.
Pasal 8
(1) Bank dinyatakan telah menyampaikan Laporan LLD
apabila Laporan LLD telah diterima oleh Bank Indonesia
serta memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia.
(2) Bank dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan LLD
apabila Laporan LLD disampaikan melampaui MPL
sampai dengan akhir bulan.
(3) Bank dinyatakan tidak menyampaikan Laporan LLD
apabila Laporan LLD tidak disampaikan sampai dengan
akhir bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Dalam hal Bank dinyatakan tidak menyampaikan
Laporan LLD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Bank
tetap wajib menyampaikan Laporan LLD yang belum
disampaikan.
Pasal 9
(1) Dalam rangka penyampaian Laporan LLD sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2, Bank harus meminta
keterangan, data, dan/atau dokumen pendukung kepada
Nasabah yang melakukan Kegiatan LLD melalui Bank.
(2) Nasabah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
memberikan keterangan, data, dan/atau dokumen
pendukung kepada Bank sesuai dengan permintaan
Bank.
(3) Nasabah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
menyampaikan keterangan, data, dan/atau dokumen
pendukung kepada Bank dengan benar.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai keterangan, data,
- 8 -
dan/atau dokumen pendukung sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 10
(1) Untuk transaksi LLD berupa transfer dana keluar
(outgoing transfer) dalam valuta asing dengan nilai setara
di atas USD100,000.00 (seratus ribu dolar Amerika
Serikat), Nasabah harus menyampaikan dokumen
pendukung kepada Bank.
(2) Keharusan penyampaian dokumen pendukung
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku
untuk:
a. transaksi yang dilakukan oleh Bank untuk
kepentingan Bank itu sendiri; dan
b. transaksi yang bertujuan untuk pemindahan
simpanan oleh Nasabah yang sama di dalam negeri.
(3) Perubahan batasan nilai transaksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Surat Edaran
Bank Indonesia.
Pasal 11
Bank hanya dapat melakukan pengaksepan Perintah Transfer
Dana untuk transaksi LLD sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10 ayat (1) sepanjang dilengkapi dengan dokumen
pendukung.
Pasal 12
Bank harus meneruskan informasi kepada Bank Indonesia
mengenai penyampaian dokumen pendukung untuk transaksi
LLD berupa transfer dana keluar (outgoing transfer)
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) yang
mengakibatkan berkurangnya giro Bank di luar negeri.
Pasal 13
(1) Bank harus memiliki sistem dan prosedur perolehan
data/informasi dan penyusunan Laporan LLD yang
dituangkan dalam suatu pedoman tertulis.
- 9 -
(2) Bank harus menunjuk petugas dan/atau penanggung
jawab untuk menyusun, memverifikasi, dan
menyampaikan Laporan LLD kepada Bank Indonesia.
BAB III
PENELITIAN KEBENARAN LAPORAN
Pasal 14
(1) Dalam hal diperlukan, Bank Indonesia dapat melakukan
penelitian kebenaran Laporan LLD, dengan cara antara
lain:
a. meminta penjelasan, bukti, catatan, dan/atau
dokumen pendukung kepada Bank; dan/atau
b. melakukan pemeriksaan langsung terhadap Bank.
(2) Dalam hal diperlukan, Bank Indonesia dapat melakukan
penelitian kebenaran keterangan, data, dan/atau
dokumen pendukung kepada Nasabah, dengan cara
antara lain:
a. meminta penjelasan, bukti, catatan, dan/atau
dokumen lainnya yang terkait kepada Nasabah;
b. melakukan pemeriksaan langsung terhadap
Nasabah; dan/atau
c. menunjuk pihak lain untuk melakukan penelitian
kebenaran dokumen pendukung.
Pasal 15
(1) Bank dan/atau Nasabah harus memberikan penjelasan,
bukti, catatan, dokumen pendukung, dan/atau dokumen
lainnya yang terkait dalam rangka penelitian kebenaran
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dalam jangka
waktu yang ditentukan oleh Bank Indonesia.
(2) Dalam hal Bank tidak memberikan penjelasan, bukti,
catatan, dan/atau dokumen pendukung sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1), Bank dinyatakan tidak
menyampaikan Laporan LLD dengan benar.
(3) Dalam hal Nasabah tidak memberikan penjelasan, bukti,
catatan, dan/atau dokumen lainnya yang terkait
- 10 -
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2),
keterangan, data, dan/atau dokumen pendukung yang
disampaikan Nasabah kepada Bank dinyatakan tidak
benar.
BAB IV
SANKSI
Pasal 16
(1) Bank yang terlambat menyampaikan Laporan LLD
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) dikenakan
sanksi administratif berupa denda sebesar
Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk setiap hari
keterlambatan.
(2) Bank yang tidak menyampaikan Laporan LLD
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) dikenakan
sanksi administratif berupa denda sebesar
Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
(3) Bank yang dinyatakan tidak menyampaikan Laporan LLD
dengan benar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
(1) dikenakan sanksi administratif berupa denda mulai
sebesar Rp25.000,00 (dua puluh lima ribu rupiah) untuk
setiap rincian baris (field) yang tidak benar dengan denda
paling banyak sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah).
(4) Bank yang melakukan pengaksepan Perintah Transfer
Dana untuk transaksi LLD tanpa dilengkapi dokumen
pendukung dari Nasabah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11 dikenakan sanksi administratif berupa denda
sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) untuk setiap
Perintah Transfer Dana.
Pasal 17
(1) Nasabah yang dinyatakan tidak menyampaikan
keterangan, data, dan/atau dokumen pendukung dengan
benar kepada Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal
9 ayat (3) dikenakan sanksi administratif berupa teguran
- 11 -
tertulis dan/atau denda sebesar 0,25% (nol koma dua
puluh lima persen) dari nilai transaksi dengan nominal
paling banyak sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah) untuk setiap Perintah Transfer Dana.
(2) Selain dikenakan sanksi administratif berupa denda
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Nasabah yang
dinyatakan tidak menyampaikan dokumen pendukung
dengan benar kepada Bank dapat dikenakan sanksi
administratif berupa pemberitahuan kepada instansi
terkait.
Pasal 18
(1) Bank atau Nasabah yang telah dikenakan sanksi
administratif berupa denda sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 16 dan Pasal 17, dapat diberikan
pembebasan sanksi administratif berupa denda.
(2) Pembebasan sanksi administratif berupa denda
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
ketentuan:
a. Bank atau Nasabah mengajukan permohonan
pembebasan sanksi administratif berupa denda; dan
b. berdasarkan penelitian Bank Indonesia, Bank atau
Nasabah tidak melakukan pelanggaran.
(3) Permohonan untuk pembebasan sanksi administratif
berupa denda harus disampaikan dalam batas waktu
yang ditentukan oleh Bank Indonesia.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai batas waktu tertentu
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan
Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 19
(1) Pembebanan sanksi administratif berupa denda bagi Bank
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dilakukan dengan
cara mendebet rekening giro Bank di Bank Indonesia
setelah adanya surat penetapan sanksi administratif
berupa denda.
- 12 -
(2) Pembayaran sanksi administratif berupa denda bagi
Nasabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dilakukan
dengan cara disetorkan ke Bank Indonesia setelah adanya
surat penetapan sanksi administratif berupa denda.
BAB V
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 20
(1) Bank yang mengalami keadaan memaksa sehingga
menyebabkan keterangan, data, dan/atau dokumen
pendukung dalam penyusunan Laporan LLD tidak tersedia,
dikecualikan dari kewajiban menyampaikan Laporan LLD
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1).
(2) Bank yang mengalami keadaan memaksa sehingga
menyebabkan terhambatnya penyampaian Laporan LLD,
dikecualikan dari kewajiban menyampaikan Laporan LLD
dalam batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
ayat (1).
(3) Bank yang mengalami keadaan memaksa sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2), harus segera
menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada
Bank Indonesia, dengan disertai penjelasan mengenai
keadaan memaksa yang dialami.
(4) Pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) berlaku dalam hal Bank memperoleh persetujuan
dari Bank Indonesia untuk tidak menyampaikan Laporan
LLD.
BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 21
Ketentuan lebih lanjut dari Peraturan Bank Indonesia ini
diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
- 13 -
Pasal 22
Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku:
a. Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/21/PBI/2011
tentang Pemantauan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Bank
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5242), dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku; dan
b. semua ketentuan pelaksanaan dari Peraturan Bank
Indonesia Nomor 13/21/PBI/2011 tentang Pemantauan
Kegiatan Lalu Lintas Devisa Bank (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 94, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5242),
dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan
dengan Peraturan Bank Indonesia ini.
Pasal 23
(1) Keharusan
penyampaian dokumen pendukung
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 berlaku setelah
diterbitkannya ketentuan pelaksanaan dari Peraturan
Bank Indonesia ini.
(2) Ketentuan mengenai sanksi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 16 ayat (4) dan Pasal 17, mulai berlaku
untuk data PL bulan Maret 2017 yang disampaikan
bulan April 2017.
Pasal 24
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
- 14 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 29 Juni 2016
GUBERNUR BANK INDONESIA,
AGUS D.W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 30 Juni 2016
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 129
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK NDONESIA
NOMOR 18/10/PBI/2016
TENTANG
PEMANTAUAN KEGIATAN LALU LINTAS DEVISA
BANK DAN NASABAH
I. UMUM
Sebagaimana telah ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 24
Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar, Bank
Indonesia memiliki kewenangan untuk meminta keterangan dan data
mengenai Kegiatan LLD yang dilakukan oleh Penduduk, melalui suatu
sistem pemantauan LLD yang efektif. Keterangan dan data yang diperoleh
melalui sistem pemantauan tersebut diperlukan untuk perumusan dan
pelaksanaan kebijakan baik di bidang moneter, makroprudensial
perbankan, maupun sistem pembayaran. Di samping itu, keterangan dan
data tersebut juga diperlukan untuk penyusunan statistik, yang meliputi
statistik neraca pembayaran Indonesia, posisi investasi internasional
Indonesia, dan statistik lainnya. Pemanfaatan data dalam sistem
pemantauan ini juga digunakan untuk mendukung pelaksanaan
ketentuan mengenai penerimaan devisa hasil Ekspor.
Saat ini penyampaian dokumen pendukung untuk Kegiatan LLD
melalui Bank hanya diberlakukan untuk transaksi terkait Ekspor. Guna
mendorong transparansi dan meningkatkan ketersediaan informasi
Kegiatan LLD maka perlu diatur kembali mengenai penyampaian
keterangan dan data, termasuk dokumen pendukungnya oleh Nasabah
kepada Bank.
- 2 -
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan laporan yang “benar” adalah laporan
yang memuat keterangan dan data Kegiatan LLD sesuai dengan
informasi dari Nasabah dan/atau dokumen pendukungnya.
Yang dimaksud dengan laporan yang “tepat waktu” adalah
laporan yang disampaikan dalam MPL yang ditetapkan oleh
Bank Indonesia, telah diterima oleh Bank Indonesia, dan
memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan laporan yang “lengkap” adalah laporan
yang memuat keterangan dan data seluruh Kegiatan LLD, serta
telah memenuhi rincian cakupan laporan yang ditetapkan oleh
Bank Indonesia.
Pasal 3
Ayat (1)
Dalam hal tidak terdapat Kegiatan LLD, Bank menyampaikan
Laporan LLD nihil kepada Bank Indonesia.
Ayat (2)
Transaksi Bank dan/atau Nasabah yang memengaruhi AFLN Bank
dan/atau KFLN Bank, meliputi antara lain :
a. penerimaan dari dan pembayaran ke luar negeri baik dalam
Rupiah maupun valuta asing;
b. penerimaan dari dan pembayaran kepada bukan Penduduk
di dalam negeri baik dalam Rupiah maupun valuta asing;
dan/atau
c. penerimaan dan pembayaran di dalam negeri antar
Penduduk dalam valuta asing.
Dalam hal bank bertindak selaku Nasabah dari Bank lain, transaksi
bank dimaksud dikategorikan sebagai transaksi Nasabah.
Dalam hal tidak terdapat transaksi Bank dan/atau Nasabah yang
- 3 -
memengaruhi AFLN Bank dan/atau KFLN Bank, Bank
menyampaikan Laporan Transaksi nihil.
Ayat (3)
Posisi dan mutasi dari setiap rekening AFLN Bank dan/atau KFLN
Bank dipengaruhi oleh transaksi yang dilakukan baik oleh Bank
maupun Nasabah.
Dalam hal bank bertindak selaku Nasabah dari Bank lain, transaksi
bank dimaksud dikategorikan sebagai transaksi Nasabah.
Dalam hal tidak terdapat posisi dan mutasi dari setiap rekening
AFLN Bank dan/atau KFLN Bank sebagai akibat dari transaksi yang
dilakukan oleh Bank dan/atau Nasabah, Bank menyampaikan
Laporan Posisi nihil.
Ayat (4)
Dalam hal tidak terdapat informasi transaksi terkait Ekspor
Nasabah, Bank menyampaikan laporan pendukung nihil.
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan jenis rekening adalah jenis AFLN Bank
atau KFLN Bank yang dipengaruhi oleh transaksi Bank
dan/atau transaksi Nasabah.
Dalam hal bank bertindak selaku Nasabah dari Bank lain, transaksi
bank dimaksud dikategorikan sebagai transaksi Nasabah.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Rincian transaksi terkait Ekspor meliputi keterangan dan data
antara lain:
a. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP);
b. nomor pendaftaran Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB);
c. tanggal pendaftaran Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB);
- 4 -
dan
d. nilai rincian Ekspor.
Dokumen terkait transaksi Ekspor Nasabah meliputi dokumen
pendukung yang disampaikan Nasabah, antara lain dokumen
Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB), faktur penjualan, dan
perjanjian terkait transaksi Ekspor.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 6
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “secara online” adalah menyampaikan
Laporan LLD kepada Bank Indonesia melalui jaringan khusus
ekstranet Bank Indonesia.
Laporan LLD secara online dapat disampaikan pada hari Sabtu,
hari Minggu, hari libur, dan cuti bersama yang ditetapkan oleh
Bank Indonesia.
Ayat (2)
Koreksi Laporan LLD secara online dapat disampaikan pada hari
Sabtu, hari Minggu, hari libur, dan cuti bersama yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Ayat (3)
Yang dimaksud “secara offline” adalah menyampaikan Laporan
LLD kepada Bank Indonesia dengan menggunakan media
elektronik antara lain compact disk, flash disk, atau e-mail.
Pasal 7
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “gangguan teknis” adalah gangguan
yang terjadi di Bank Indonesia dan/atau Bank, yang meliputi
antara lain gangguan jaringan dan/atau komunikasi, namun
tidak termasuk gangguan pada sistem penyusunan Laporan LLD
di Bank.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
- 5 -
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Keterangan dan data dimaksud antara lain meliputi nilai dan
jenis transaksi, tujuan atau maksud transaksi, pelaku transaksi,
dan negara tujuan atau asal pelaku transaksi.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “transfer dana” adalah transfer dana
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur
mengenai transfer dana.
Dokumen pendukung antara lain berupa dokumen yang
mendasari adanya kegiatan transaksi (underlying transaction)
transfer dana keluar (outgoing transfer) dalam valuta asing.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
- 6 -
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Termasuk sebagai dokumen lainnya yang terkait antara lain
laporan keuangan dan daftar mutasi rekening koran (bank
statement).
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “hari” adalah hari kalender.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
- 7 -
Ayat (3)
Bank Indonesia tidak akan memproses pengajuan permohonan
untuk pembebasan sanksi administratif berupa denda
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang disampaikan setelah
berakhirnya batas waktu yang ditentukan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “keadaan memaksa” adalah keadaan
yang berada di luar kendali Bank dan secara nyata dialami Bank
yang disebabkan antara lain karena kebakaran, kerusuhan
massa, pemogokan pekerja, terorisme, bom, perang, sabotase,
serta bencana alam seperti gempa bumi dan banjir, yang
dibenarkan oleh penguasa atau pejabat dari instansi terkait di
daerah setempat, termasuk Bank Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 21
Hal-hal yang diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia antara lain:
a. prosedur dan tata cara penyampaian Laporan LLD, termasuk
dokumen pendukungnya; dan
b. prosedur dan tata cara pengenaan sanksi.
Pasal 22
Cukup jelas.
- 8 -
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5897
"," PBI
18/10/PBI/2016
PEMANTAUAN KEGIATAN LALU LINTAS DEVISA BANK DAN NASABAH
29 Juni 2016
30 Juni 2016
30 Juni 2016
'13/21/PBI/2011'
'6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '3/UU/2011', '24/UU/1999'
'BAB IV'
"
" PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 10/ 25 /PBI/2008
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 10/19/PBI/2008
TENTANG
GIRO WAJIB MINIMUM BANK UMUM PADA BANK INDONESIA
DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa dampak gejolak ekonomi dan keuangan global
semakin berpotensi mengurangi kecukupan likuiditas
perbankan baik dalam rupiah maupun valuta asing;
b. bahwa untuk mengatasi dampak tersebut dan
meminimalkan risiko yang dapat mempengaruhi stabilitas
sistem perbankan, Bank Indonesia memandang perlu untuk
memberikan fleksibilitas pengaturan likuiditas;
c. bahwa pengaturan likuiditas perbankan antara lain
dilakukan melalui penetapan giro wajib minimum;
d. bahwa sehubungan dengan pertimbangan sebagaimana
dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c, dipandang
perlu untuk mengubah ketentuan mengenai giro wajib
minimum pada Bank Indonesia dalam rupiah dan valuta
asing dalam Peraturan Bank Indonesia;
Mengingat: …
- 2 -
Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992
Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4357);
M E M U T U S K A N:
Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN
ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR
10/19/PBI/2008 TENTANG GIRO WAJIB MINIMUM BANK
UMUM PADA BANK INDONESIA DALAM RUPIAH DAN
VALUTA ASING.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/19/PBI/2008
tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum pada Bank Indonesia dalam Rupiah
dan …
- 3 -
dan Valuta Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor
145, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4904) diubah
sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 1 diubah dan ditambah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 1
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998, termasuk kantor cabang bank asing, yang melakukan
kegiatan usaha secara konvensional.
2. Bank Devisa adalah Bank yang memperoleh surat penunjukan dari
Bank Indonesia untuk dapat melakukan kegiatan usaha perbankan
dalam valuta asing.
3. Dana Pihak Ketiga Bank, untuk selanjutnya disebut DPK, adalah
kewajiban Bank kepada penduduk dan bukan penduduk dalam rupiah
dan valuta asing.
4. Rekening Giro adalah rekening pihak eksternal tertentu di Bank
Indonesia yang merupakan sarana bagi penatausahaan transaksi dari
simpanan yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat.
5. Rekening Giro dalam Rupiah, yang untuk selanjutnya disebut
Rekening Giro Rupiah, adalah Rekening Giro dalam mata uang rupiah
yang penarikannya dapat dilakukan dengan menggunakan cek Bank
Indonesia, bilyet giro Bank Indonesia, atau sarana lainnya
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku
mengenai hubungan rekening giro antara Bank Indonesia dengan
pihak ekstern.
6. Rekening …
- 4 -
6. Rekening Giro dalam valuta asing, yang untuk selanjutnya disebut
Rekening Giro Valas, adalah Rekening Giro dalam valuta asing yang
penarikannya dapat dilakukan dengan cara pemindahbukuan atau
sarana lainnya sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank
Indonesia yang berlaku mengenai hubungan rekening giro antara Bank
Indonesia dengan pihak ekstern.
7. Giro Wajib Minimum yang untuk selanjutnya disebut GWM, adalah
jumlah dana minimum yang wajib dipelihara oleh Bank yang besarnya
ditetapkan oleh Bank Indonesia sebesar persentase tertentu dari DPK.
8. GWM Utama adalah simpanan minimum yang wajib dipelihara oleh
Bank dalam bentuk saldo Rekening Giro pada Bank Indonesia yang
besarnya ditetapkan oleh Bank Indonesia sebesar persentase tertentu
dari DPK.
9. GWM Sekunder adalah cadangan minimum yang wajib dipelihara
oleh Bank berupa SBI, SUN dan/atau Excess Reserve, yang besarnya
ditetapkan oleh Bank Indonesia sebesar persentase tertentu dari DPK.
10. Jakarta Interbank Offered Rate, yang untuk selanjutnya disebut
JIBOR, adalah suku bunga antar bank untuk berbagai jangka waktu
yang ditawarkan oleh bank-bank tertentu di Jakarta.
11. Sertifikat Bank Indonesia yang untuk selanjutnya disebut SBI adalah
surat berharga dalam mata uang rupiah yang diterbitkan oleh Bank
Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek.
12. Surat Utang Negara yang untuk selanjutnya disebut SUN adalah surat
pengakuan utang dalam mata uang rupiah yang diterbitkan oleh
Pemerintah Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Undang-undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara.
13. Excess …
- 5 -
13. Excess Reserve adalah kelebihan saldo Rekening Giro Rupiah Bank
dari GWM Utama yang dipelihara di Bank Indonesia.
2. Ketentuan Pasal 2 ditambah 1 (satu) ayat, yakni ayat (3) sehingga berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 2
(1) Bank wajib memenuhi GWM dalam rupiah.
(2) Bank Devisa selain wajib memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) juga wajib memenuhi GWM dalam valuta
asing.
(3) GWM dalam rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari
GWM Utama dan GWM Sekunder.
3. Diantara Pasal 4 dan Pasal 5 disisipkan 1 (satu) Pasal, yakni Pasal 4A
sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 4A
(1) Pemenuhan GWM dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
dilakukan sebagai berikut:
a. GWM Utama dalam rupiah sebesar 5% (lima persen) dari DPK
dalam rupiah; dan
b. GWM Sekunder dalam rupiah sebesar 2,5% (dua koma lima
persen) dari DPK dalam rupiah.
(2) Tata cara pemenuhan GWM Sekunder dalam rupiah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b akan diatur lebih lanjut dengan Surat
Edaran Bank Indonesia.
4. Ketentuan …
- 6 -
4. Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 5
Persentase GWM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, dan
Pasal 4A dapat disesuaikan dari waktu ke waktu dengan mempertimbangkan
kondisi perekonomian dan arah kebijakan Bank Indonesia.
5. Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 7
(1) Bank wajib memenuhi GWM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3,
Pasal 4, dan Pasal 4A secara harian.
(2) Pemenuhan GWM dalam valuta asing sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 dan pemenuhan GWM Utama dalam rupiah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4A ayat (1) huruf a dihitung dengan
membandingkan saldo Rekening Giro Bank pada Bank Indonesia
setiap akhir hari dalam 1 (satu) masa laporan terhadap rata-rata harian
jumlah DPK dalam 1(satu) masa laporan pada 2 (dua) masa laporan
sebelumnya.
(3) Pemenuhan GWM Sekunder dalam rupiah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4A ayat (1) huruf b dihitung dengan membandingkan
jumlah SBI, SUN dan/atau Excess Reserve setiap akhir hari dalam
1 (satu) masa laporan terhadap rata-rata harian jumlah DPK dalam
1 (satu) masa laporan pada 2 (dua) masa laporan sebelumnya.
(4) DPK dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan DPK
dalam valuta asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 diperoleh
dari Laporan DPK dalam Rupiah dan Valuta Asing pada Laporan
Berkala Bank Umum sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia
mengenai laporan berkala bank umum.
6. Ketentuan …
- 7 -
6. Ketentuan Pasal 9 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 9
(1) DPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 4A
terdiri dari:
a.
b.
rata-rata harian total DPK dalam rupiah pada seluruh kantor
Bank di Indonesia;
rata-rata harian total DPK dalam valuta asing pada seluruh
kantor Bank di Indonesia.
(2) DPK dalam rupiah meliputi kewajiban dalam rupiah kepada pihak
ketiga bukan bank, baik kepada penduduk maupun bukan penduduk,
yang terdiri dari:
a.
giro;
b. tabungan;
c. simpanan berjangka/deposito; dan
d. kewajiban-kewajiban lainnya.
(3) DPK dalam valuta asing meliputi kewajiban dalam valuta asing
kepada pihak ketiga, termasuk bank di Indonesia, baik kepada
penduduk maupun bukan penduduk, yang terdiri dari:
a.
giro;
b. tabungan;
c. simpanan berjangka/deposito; dan
d. kewajiban-kewajiban lainnya.
7. Pasal 11 dan Pasal 12 dihapus.
8. Pasal …
- 8 -
8. Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 13
(1) Bank yang melanggar kewajiban pemenuhan GWM sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4A ayat (1) dikenakan sanksi kewajiban
membayar sebesar 125% (seratus dua puluh lima persen) dari rata-rata
suku bunga jangka waktu 1 (satu) hari overnight dari JIBOR pada hari
terjadinya pelanggaran, terhadap kekurangan GWM dalam rupiah,
untuk setiap hari pelanggaran.
(2) Bank yang melanggar kewajiban pemenuhan GWM sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4, dikenakan sanksi kewajiban membayar
sebesar 0,04% (nol koma nol empat persen) per hari kerja, yang
dihitung dari selisih antara saldo harian Rekening Giro Valas Bank
pada Bank Indonesia yang wajib dipenuhi dengan saldo harian
Rekening Giro Valas Bank yang dicatat pada sistem akunting Bank
Indonesia.
(3) Sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dibayarkan dalam valuta rupiah dengan menggunakan kurs transaksi
Bank Indonesia pada hari terjadinya pelanggaran.
(4) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan bagi Bank
yang mendapatkan insentif kelonggaran pemenuhan kewajiban GWM
dalam rupiah sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia
mengenai insentif dalam rangka konsolidasi perbankan.
9. Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 14
Selain dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Bank yang
tidak …
- 9 -
tidak memenuhi kewajiban GWM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3,
Pasal 4, dan/atau Pasal 4A dapat dikenakan sanksi administratif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 Undang-undang Nomor 7
Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998.
10. Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 15
(1) Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
dilaksanakan dengan mendebet Rekening Giro Rupiah Bank pada
Bank Indonesia.
(2) Pendebetan Rekening Giro Rupiah Bank dalam rangka pengenaan
sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lambat
pada 3 (tiga) hari kerja berikutnya setelah tanggal terjadinya
pelanggaran GWM.
(3) Dalam hal dikemudian hari diketahui terjadi kekurangan atau
kelebihan dalam pendebetan yang terkait dengan pengenaan sanksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia dapat langsung
mendebet atau mengkredit Rekening Giro Bank yang bersangkutan
sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai Sistem
Bank Indonesia Real Time Gross Settlement.
(4) Dalam hal saldo Rekening Giro Rupiah Bank tidak mencukupi untuk
pendebetan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maka atas
kekurangan tersebut juga dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13 ayat (1).
11. Diantara …
- 10 -
11. Diantara Pasal 15 dan Pasal 16 disisipkan 2 (dua) Pasal, yakni Pasal 15A
dan Pasal 15B sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 15A
GWM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 4A dipenuhi sebagai
berikut:
a. Pemenuhan GWM Utama dalam rupiah mulai berlaku pada tanggal
24 Oktober 2008.
b. Pemenuhan GWM Sekunder dalam rupiah mulai berlaku pada tanggal
24 Oktober 2009.
Pasal 15B
Sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) dan Pasal 14
dikenakan sebagai berikut:
a. Untuk pelanggaran kewajiban pemenuhan GWM Utama dalam rupiah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4A ayat (1) huruf a dikenakan
sejak tanggal 24 Oktober 2008.
b. Untuk pelanggaran kewajiban pemenuhan GWM Sekunder dalam
rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4A ayat (1) huruf b
dikenakan sejak tanggal 24 Oktober 2009.
12. Diantara Pasal 16 dan Pasal 17 disisipkan 1 (satu) Pasal, yakni Pasal 16A
sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 16A
Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini maka Surat Edaran Bank
Indonesia Nomor 10/33/DPNP tanggal 15 Oktober 2008 dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.
Pasal II …
- 11 -
Pasal II
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 24 Oktober 2008.
Agar setiap orang mengetahuinya memerintahkan pengundangan Peraturan Bank
Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 23 Oktober 2008
GUBERNUR BANK INDONESIA,
BOEDIONO
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 23 Oktober 2008
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 159
DPNP/DKM
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 10/ 25 /PBI/2008
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 10/19/PBI/2008
TENTANG
GIRO WAJIB MINIMUM BANK UMUM PADA BANK INDONESIA
DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING
I. UMUM
Terciptanya stabilitas moneter merupakan hal yang sangat diperlukan
dalam rangka mewujudkan kondisi perekonomian yang stabil. Untuk
menciptakan stabilitas moneter diperlukan langkah-langkah untuk mengatasi
krisis ekonomi dan keuangan global yang berpotensi menimbulkan kekurangan
likuiditas perbankan.
Salah satu pendekatan yang dapat digunakan oleh Bank Indonesia untuk
mencapai stabilitas moneter adalah melalui pengaturan likuiditas perbankan.
Dalam melakukan pengaturan likuiditas perbankan, salah satu piranti
moneter yang dapat digunakan adalah melalui penetapan kebijakan giro wajib
minimum yang merupakan perbandingan antara saldo giro Bank yang wajib
ditempatkan pada Bank Indonesia ditambah cadangan minimum yang wajib
dipelihara oleh Bank berupa SBI, SUN dan/atau Excess Reserve terhadap dana
pihak ketiga yang dimiliki Bank.
Sejalan …
- 2 -
Sejalan dengan hal tersebut di atas, dengan mempertimbangkan kondisi
perekonomian, kondisi likuiditas perbankan dewasa ini, dan arah kebijakan Bank
Indonesia dipandang perlu untuk mengatur kembali ketentuan mengenai giro
wajib minimum sesuai dengan kondisi likuiditas perbankan.
Selanjutnya, mengingat perkembangan kondisi perekonomian yang
dinamis maka penerapan kebijakan giro wajib minimum dapat disesuaikan dari
waktu ke waktu sejalan dengan arah kebijakan Bank Indonesia.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 1
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 2
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 4A
Ayat (1)
Contoh perhitungan GWM dalam rupiah:
Bank memiliki rata-rata harian total DPK dalam rupiah
sebesar Rp55.000.000.000.000,00 (lima puluh lima trilyun
rupiah).
GWM dalam rupiah yang wajib dipenuhi adalah sebagai
berikut:
7,5% …
- 3 -
7,5% x
Rp55.000.000.000.000,00
=
Rp4.125.000.000.000,00 (empat trilyun seratus dua puluh
lima milyar rupiah).
Pemenuhan GWM dalam rupiah sebesar
Rp4.125.000.000.000,00 (empat trilyun seratus dua puluh
lima milyar rupiah) dilakukan dengan:
a. GWM Utama dalam rupiah sebesar 5% dari DPK dalam
rupiah, yaitu sebesar Rp2.750.000.000.000,00 (dua
trilyun tujuh ratus lima puluh milyar rupiah); dan
b. GWM Sekunder dalam rupiah sebesar 2,5% dari DPK
dalam rupiah yaitu Rp1.375.000.000.000,00 (satu trilyun
tiga ratus tujuh puluh lima milyar rupiah).
Ayat (2)
Cukup Jelas
Angka 4
Pasal 5
Cukup Jelas.
Angka 5
Pasal 7
Ayat (1)
Perhitungan secara harian dilakukan berdasarkan posisi
akhir hari.
Ayat (2)
Formula perhitungan persentase GWM Utama dalam
rupiah dan GWM dalam valuta asing adalah sebagai
berikut:
Jumlah …
- 4 -
Jumlah harian saldo Rekening Giro Bank yang tercatat di
Bank Indonesia setiap hari dalam 1 (satu) masa laporan
x 100%
Rata-rata harian jumlah DPK Bank dalam 1 (satu) masa
laporan pada 2 (dua) masa laporan sebelumnya
Persentase GWM Utama dalam rupiah atau GWM dalam
valuta asing didasarkan pada DPK Bank sebagai berikut:
a. GWM harian untuk masa laporan sejak tanggal 1
sampai dengan tanggal 7 adalah sebesar persentase
GWM yang ditetapkan dari rata-rata harian jumlah
DPK dalam masa laporan sejak tanggal 16 sampai
dengan tanggal 23 bulan sebelumnya;
b. GWM harian untuk masa laporan sejak tanggal 8
sampai dengan tanggal 15 adalah persentase GWM
yang ditetapkan dari rata-rata harian jumlah DPK
dalam masa laporan sejak tanggal 24 sampai dengan
akhir bulan sebelumnya;
c. GWM harian untuk masa laporan sejak tanggal 16
sampai dengan tanggal 23 adalah sebesar persentase
GWM yang ditetapkan dari rata-rata harian jumlah
DPK dalam masa laporan sejak tanggal 1 sampai
dengan tanggal 7 bulan yang sama;
d. GWM harian untuk masa laporan sejak tanggal 24
sampai dengan tanggal akhir bulan adalah sebesar
persentase GWM yang ditetapkan dari rata-rata harian
jumlah DPK dalam masa laporan sejak tanggal 8
sampai dengan tanggal 15 bulan yang sama.
Ayat (3) …
- 5 -
Ayat (3)
Cukup Jelas.
Ayat (4)
Cukup Jelas.
Angka 6
Pasal 9
Ayat (1)
Bagi Bank umum konvensional yang juga melakukan
kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, dalam
menentukan DPK dalam rupiah dan DPK dalam valuta
asing tidak termasuk DPK yang dilaporkan unit usaha
syariah.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan giro dalam rupiah adalah
komponen giro sebagaimana dimaksud dalam
penjelasan komponen Dana Pihak Ketiga dalam
Rupiah dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai
laporan berkala bank umum.
Huruf b
Yang dimaksud dengan tabungan dalam rupiah adalah
komponen tabungan sebagaimana dimaksud dalam
penjelasan komponen Dana Pihak Ketiga dalam
Rupiah dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai
laporan berkala bank umum.
Huruf c …
- 6 -
Huruf c
Yang dimaksud dengan simpanan berjangka/deposito
dalam rupiah adalah komponen simpanan berjangka
sebagaimana dimaksud dalam penjelasan komponen
Dana Pihak Ketiga dalam Rupiah dalam ketentuan
Bank Indonesia mengenai laporan berkala bank
umum.
Huruf d
Yang dimaksud dengan kewajiban- kewajiban lainnya
dalam rupiah adalah kewajiban-kewajiban lainnya
kepada pihak ketiga bukan bank sebagaimana
dimaksud dalam penjelasan komponen Dana Pihak
Ketiga dalam Rupiah dalam ketentuan Bank
Indonesia mengenai laporan berkala bank umum.
Ayat (3)
Huruf a
Yang dimaksud dengan giro dalam valuta asing
adalah komponen giro sebagaimana dimaksud dalam
penjelasan komponen Dana Pihak Ketiga dalam
Valuta Asing dalam ketentuan Bank Indonesia
mengenai laporan berkala bank umum.
Huruf b
Yang dimaksud dengan tabungan dalam valuta asing
adalah komponen tabungan sebagaimana dimaksud
dalam penjelasan komponen Dana Pihak Ketiga
dalam Valuta Asing dalam ketentuan Bank Indonesia
mengenai laporan berkala bank umum.
Huruf c …
- 7 -
Huruf c
Yang dimaksud dengan simpanan berjangka/deposito
dalam valuta asing adalah komponen simpanan
berjangka sebagaimana dimaksud dalam penjelasan
komponen Dana Pihak Ketiga dalam Valuta Asing
dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai laporan
berkala bank umum
Huruf d
Yang dimaksud dengan kewajiban-kewajiban lainnya
dalam valuta asing adalah kewajiban-kewajiban
lainnya kepada pihak ketiga termasuk bank
sebagaimana dimaksud dalam penjelasan komponen
Dana Pihak Ketiga dalam Valuta Asing dalam
ketentuan Bank Indonesia mengenai laporan berkala
bank umum
Angka 7
Cukup Jelas.
Angka 8
Pasal 13
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan hari pelanggaran adalah hari kerja.
Contoh perhitungan sanksi:
Bank A memiliki rata-rata harian DPK dalam rupiah dalam
masa laporan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15
bulan Januari sebesar Rp55.000.000.000.000,00 (lima
puluh lima trilyun rupiah).
GWM …
- 8 -
GWM harian yang wajib dipenuhi untuk masa laporan
sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan Januari
adalah sebesar:
a. GWM Utama dalam rupiah sebesar 5% (lima persen)
dari Rp55.000.000.000.000,00 (lima puluh lima
trilyun rupiah) yaitu sebesar Rp2.750.000.000.000,00
(dua trilyun tujuh ratus lima puluh milyar rupiah).
b. GWM Sekunder dalam rupiah sebesar 2,5% (dua
koma lima persen) dari Rp55.000.000.000.000,00
(lima puluh lima trilyun rupiah) yaitu sebesar
Rp1.375.000.000.000,00 (satu trilyun tiga ratus tujuh
puluh lima milyar rupiah).
Saldo Rekening Giro Rupiah Bank A pada Bank Indonesia
pada tanggal 24 Januari adalah sebesar
Rp2.000.000.000.000,00, (dua trilyun rupiah) dan Bank
memiliki SBI dan SUN sebesar Rp1.000.000.000.000,00
(satu trilyun rupiah) sehingga terdapat kekurangan
pemenuhan GWM sebesar Rp1.125.000.000.000,00 (satu
trilyun seratus dua puluh lima milyar rupiah) yaitu terdiri
dari kekurangan pemenuhan GWM Utama sebesar
Rp750.000.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh milyar
rupiah) dan kekurangan pemenuhan GWM Sekunder
sebesar Rp375.000.000.000,00 (tiga ratus tujuh puluh lima
milyar rupiah).
Suku Bunga JIBOR pada tanggal 24 Januari adalah sebesar
9% (sembilan persen).
Perhitungan …
- 9 -
Perhitungan sanksi kewajiban membayar atas pelanggaran
GWM rupiah untuk Bank A pada tanggal 24 Januari adalah
sebagai berikut:
Kekurangan GWM x 125% x suku bunga JIBOR x hari kerja
360 x 100
yaitu
Rp1.125.000.000.000,00 x 1,25 x 9 x 1
360 x 100
Ayat (2)
Contoh perhitungan:
Bank A memiliki rata-rata harian total DPK dalam valuta
asing dalam masa laporan sejak tanggal 8 sampai dengan
tanggal 15 bulan Januari sebesar USD100.000.000,00
(seratus juta US dollar).
GWM harian untuk masa laporan sejak tanggal 24 sampai
dengan tanggal akhir bulan Januari adalah sebesar :
1% x USD100.000.000,00 = USD1.000.000,00 (satu juta
US dollar)
Saldo Rekening Giro Valas Bank A pada Bank Indonesia
pada tanggal 24 Januari adalah sebesar USD900.000,00
(sembilan ratus ribu US dollar) sehingga terdapat
kekurangan pemenuhan GWM sebesar USD100.000,00
(seratus ribu US dollar).
Perhitungan sanksi kewajiban membayar atas pelanggaran
GWM dalam valuta asing untuk Bank A pada tanggal
24 Januari adalah sebagai berikut:
0.04% x (USD1.000.000,00 – USD900.000,00) =
USD40,00 (empat puluh US dollar)
Ayat (3) …
- 10 -
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan kurs transaksi adalah kurs jual
ditambah dengan kurs beli dibagi dua.
Dengan sanksi kewajiban membayar sebesar USD40,00
(empat puluh US dollar) sebagaimana contoh perhitungan
pada penjelasan ayat (2) dan asumsi kurs transaksi Bank
Indonesia pada hari terjadinya pelanggaran adalah
Rp9.700,00/USD (sembilan ribu tujuh ratus rupiah
per US dollar), maka sanksi kewajiban membayar yang
harus dibayarkan adalah sebesar:
40 x Rp9.700,00 = Rp388.000,00 (tiga ratus delapan puluh
delapan ribu rupiah).
Ayat (4)
Sesuai ketentuan Bank Indonesia mengenai insentif dalam
rangka konsolidasi perbankan, penurunan pemenuhan
GWM dalam rupiah bagi Bank yang melakukan merger
atau konsolidasi dikecualikan dari pengenaan sanksi
apabila GWM dalam rupiah yang dimiliki tidak kurang dari
4% (empat persen) dari DPK dalam rupiah sejak
24 Oktober 2008 dan tidak kurang dari 6,5% (enam koma
lima persen) dari DPK dalam rupiah sejak 24 Oktober 2009.
Angka 9
Pasal 14
Cukup Jelas
Angka 10 …
- 11 -
Angka 10
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Dalam hal tanggal pendebetan Rekening Giro Bank jatuh
pada hari libur, maka pendebetan dilakukan oleh Bank
Indonesia pada hari kerja berikutnya.
Contoh:
Bank A memiliki rata-rata harian total DPK dalam rupiah
dalam masa laporan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal
15 bulan Januari sebesar Rp55.000.000.000.000,00 (lima
puluh lima trilyun rupiah).
GWM harian yang wajib dipelihara untuk masa laporan
sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan Januari
adalah sebesar :
a. GWM Utama sebesar 5% (lima persen) dari
Rp55.000.000.000.000,00 (lima puluh lima trilyun
rupiah) yaitu sebesar Rp2.750.000.000.000,00 (dua
trilyun tujuh ratus lima puluh milyar rupiah).
b. GWM Sekunder
sebesar 2,5% dari
Rp55.000.000.000.000,00 (lima puluh lima trilyun
rupiah) yaitu sebesar Rp1.375.000.000.000,00 (satu
trilyun tiga ratus tujuh puluh lima milyar rupiah).
Saldo …
- 12 -
Saldo Rekening Giro Rupiah Bank A pada Bank Indonesia
pada tanggal 24 Januari adalah sebesar
Rp2.000.000.000.000,00, (dua trilyun rupiah) dan Bank A
memiliki SBI dan SUN sebesar Rp1.000.000.000.000,00
(satu trilyun rupiah) sehingga terdapat kekurangan
pemenuhan GWM sebesar Rp1.125.000.000.000,00 (satu
trilyun seratus dua puluh lima milyar rupiah) yaitu terdiri
dari kekurangan pemenuhan GWM Utama dalam Rupiah
sebesar Rp750.000.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh
milyar rupiah) dan kekurangan pemenuhan GWM
Sekunder dalam rupiah sebesar Rp375.000.000.000,00 (tiga
ratus tujuh puluh lima milyar rupiah).
Pembebanan sanksi atas kekurangan ini dibebankan paling
lambat 3 (tiga) hari kerja dan apabila diasumsikan tanggal
25 Januari adalah hari libur maka sanksi dibebankan paling
lambat pada tanggal 28 Januari.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Contoh perhitungan sanksi:
Bank A memiliki rata-rata harian DPK dalam rupiah dalam
masa laporan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15
bulan Januari sebesar Rp55.000.000.000.000,00 (lima
puluh lima trilyun rupiah).
Berdasarkan data tersebut, GWM harian untuk masa
laporan sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan
Januari adalah sebesar:
a. GWM …
- 13 -
a. GWM Utama sebesar 5% (lima persen) dari
Rp55.000.000.000.000,00 (lima puluh lima trilyun
rupiah) yaitu sebesar Rp2.750.000.000.000,00 (dua
trilyun tujuh ratus lima puluh milyar rupiah).
b. GWM Sekunder
sebesar 2,5% dari
Rp55.000.000.000.000,00 (lima puluh lima trilyun
rupiah) yaitu sebesar Rp1.375.000.000.000,00 (satu
trilyun tiga ratus tujuh puluh lima milyar rupiah).
Saldo Rekening Giro Rupiah Bank A pada Bank Indonesia
pada tanggal 24 Januari adalah sebesar
Rp1.000.000.000,00, (satu milyar rupiah) dan Bank tidak
memiliki SBI dan SUN sehingga terdapat kekurangan
pemenuhan GWM sebesar Rp4.124.000.000.000,00 (empat
trilyun seratus dua puluh empat milyar rupiah) yaitu terdiri
dari kekurangan pemenuhan GWM Utama sebesar
Rp2.749.000.000.000,00 (dua trilyun tujuh ratus empat
puluh sembilan milyar rupiah) dan kekurangan pemenuhan
GWM Sekunder sebesar Rp1.375.000.000.000,00 (satu
trilyun tiga ratus tujuh puluh lima milyar rupiah).
Suku Bunga JIBOR pada tanggal 24 Januari adalah sebesar
9% (sembilan persen).
Perhitungan sanksi kewajiban membayar atas pelanggaran
GWM rupiah untuk Bank A pada tanggal 24 Januari adalah
sebagai berikut:
Kekurangan …
- 14 -
Kekurangan GWM x 125% x suku bunga JIBOR x hari kerja
360 x 100
yaitu
Rp4.124.000.000.000,00 x 1,25 x 9 x 1
360 x 100
yaitu sebesar Rp1.288.750.000,00 (satu milyar dua ratus
delapan puluh delapan juta tujuh ratus lima puluh ribu
rupiah).
Untuk pendebetan sanksi tersebut terdapat kekurangan
saldo Rekening Giro Rupiah Bank sebesar
Rp288.750.000,00
(Rp1.000.000.000,00
–
Rp1.288.750.000,00).
Untuk kekurangan saldo Rekening Giro Rupiah Bank
sebesar Rp288.750.000,00 tersebut dikenakan sanksi
sebesar:
Kekurangan Saldo x 125% x suku bunga JIBOR x hari kerja
360 x 100
yaitu
Rp288.750.000,00 x 1,25 x 9 x 1
360 x 100
Angka 11
Pasal 15A
Cukup Jelas.
Pasal 15B
Cukup Jelas.
Angka 12
Pasal 16A
Cukup jelas.
Pasal II …
- 15 -
Pasal II
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
TAHUN 2008 NOMOR 4911
"," PBI
10/25/PBI/2008
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 10/19/PBI/2008 TENTANG GIRO WAJIB MINIMUM BANK UMUM PADA BANK INDONESIA DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING
23 Oktober 2008
24 Oktober 2008
23 Oktober 2008
'10/19/PBI/2008'
'10/33/DPNP|SE-BI/2008'
'23/UU/1999', '3/UU/2004', '7/UU/1992', '10/UU/1998'
'Pasal I Angka 8 Pasal 13', 'Pasal I Angka 9 Pasal 14', 'Pasal I Angka 11 Pasal 15B'
"
" PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 6/33/PBI/2004
TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 4/9/PBI/2002
TENTANG OPERASI PASAR TERBUKA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa untuk lebih meningkatkan efektifitas pelaksanaan kegiatan
operasi pasar terbuka, Bank Indonesia perlu memperkaya
instrumen operasi pasar terbuka;
b. bahwa berdasarkan hal tersebut di atas dipandang perlu untuk
melakukan perubahan kedua terhadap Peraturan Bank Indonesia
Nomor 4/9/PBI/2002 tentang Operasi Pasar Terbuka;
Mengingat : Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357);
MEMUTUSKAN: …
-2-
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN
KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR
4/9/PBI/2002 TENTANG OPERASI PASAR TERBUKA.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia No. 4/9/PBI/2002 tentang
Operasi Pasar Terbuka sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia
No. 6/4/PBI/2004, diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 4
OPT dilakukan melalui kegiatan:
a. penerbitan SBI;
b. jual beli surat berharga dalam Rupiah yang meliputi SBI, Surat Utang
Negara dan surat berharga lain yang berkualitas
tinggi dan mudah
dicairkan;
c. penyediaan Fasilitas Simpanan Bank Indonesia dalam Rupiah (FASBI);
d. jual beli valuta asing terhadap Rupiah;
e. fine tune operation (FTO).”
2. Di antara Pasal 4 dan Pasal 5 disisipkan 1 (satu) pasal baru menjadi Pasal 4A yang
berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 4A …
-3-
“Pasal 4A
(1) Bank Indonesia melakukan kegiatan FTO sewaktu-waktu apabila
diperlukan untuk mempengaruhi likuiditas perbankan secara
jangka
pendek, yang terdiri dari:
a. Transaksi Fine Tune Kontraksi (FTK) dengan cara penempatan dana
oleh Bank di Bank Indonesia atau penjualan secara bersyarat surat
berharga milik Bank Indonesia.
b. Transaksi Fine Tune Ekspansi (FTE) dengan cara pembelian secara
bersyarat surat berharga milik Bank oleh Bank Indonesia.
(2) Kegiatan FTO sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan
ketentuan:
a. Jangka waktu transaksi maksimum 14 (empat belas) hari dihitung dari
tanggal penyelesaian transaksi sampai dengan tanggal jatuh waktu.
b. Imbalan atas transaksi dapat dihitung dengan rumus diskonto murni
(true discount) atau bunga dibayar di belakang (simple interest)
sebagai berikut:
1) Diskonto murni :
kuantitas transaksi FTO x 360
nilai tunai = --------------------------------------------------------------------
360 + { (tingkat diskonto FTO) x (jangka waktu FTO) }
nilai diskonto = kuantitas transaksi FTO – nilai tunai
2) Bunga …
-4-
2) Bunga dibayar di belakang :
kuantitas
transaksi FTO
jatuh waktu
x
1 +
(suku bunga FTO x jangka waktu FTO)
-----------------------------------------------
360
c. Pengajuan transaksi bersifat final dan tidak dapat dibatalkan.
d. Tidak dapat dicairkan sebelum jatuh waktu.”
3. Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut :
“Pasal 7
Penyediaan FASBI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c dilakukan
dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Bank Indonesia menyediakan FASBI setiap saat apabila diperlukan.
b. Jangka waktu maksimum 14 (empat belas) hari dihitung dari tanggal
penyelesaian transaksi sampai dengan tanggal jatuh waktu.
c. Tingkat diskonto dan atau volume ditetapkan oleh Bank Indonesia.
d. Nilai diskonto dan nilai tunai transaksi dihitung berdasarkan rumus
diskonto murni (true discount) sebagai berikut:
nilai nominal x 360
nilai tunai = -------------------------------------------------------
360 + {(tingkat diskonto) x (jangka waktu)}
nilai diskonto = nilai nominal – nilai tunai
e. Pengajuan …
-5-
e. Pengajuan transaksi bersifat final dan tidak dapat dibatalkan.
f. Tidak dapat diperdagangkan, tidak dapat diagunkan dan tidak dapat
dicairkan sebelum jatuh waktu.”
Pasal II
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal 3 Januari 2005.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 31 Desember 2004
GUBERNUR BANK INDONESIA,
BURHANUDDIN ABDULLAH
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004 NOMOR 169
DPM
PENJELASAN
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 6/33/PBI/2004
TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 4/9/PBI/2002
TENTANG OPERASI PASAR TERBUKA
PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Cukup jelas
Angka 2
Cukup jelas
Angka 3
Cukup jelas
Pasal II
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4463
DPM
"," PBI
6/33/PBI/2004
PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 4/9/PBI/2002 TENTANG OPERASI PASAR TERBUKA
31 Desember 2004
3 Januari 2005
'4/9/PBI/2002'
'6/4/PBI/2004'
'3/UU/2004', '23/UU/1999'
"
" PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 8/24/PBI/2006
TENTANG
PENILAIAN KUALITAS AKTIVA
BAGI BANK PERKREDITAN RAKYAT BERDASARKAN
PRINSIP SYARIAH
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang:
a. bahwa kelangsungan usaha bank perkreditan rakyat
berdasarkan prinsip syariah tergantung dari kemampuan
dalam melakukan
penanaman dana
dengan
mempertimbangkan risiko dan prinsip kehati-hatian
berupa pemenuhan kualitas aktiva dan penyisihan
penghapusan aktiva yang memadai;
b. bahwa kewajiban penilaian kualitas aktiva dan
pembentukan penyisihan penghapusan aktiva perlu
diberlakukan terhadap aktiva produktif dan aktiva non
produktif;
c. bahwa ketentuan mengenai kualitas aktiva dan
pembentukan penyisihan penghapusan aktiva
merupakan ketentuan yang saling terkait, sehingga
dipandang perlu untuk menyatukan ketentuan tersebut
dalam satu pengaturan;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam butir a, butir b, dan butir c maka
dipandang perlu untuk melakukan pengaturan kembali
terhadap ketentuan tentang kualitas aktiva bagi bank
perkreditan …
- 2 -
perkreditan rakyat berdasarkan prinsip syariah dalam
Peraturan Bank Indonesia;
Mengingat: 1. Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998
Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Republik
Indonesia Negara Nomor 3843) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang No.3 Tahun 2004
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4357);
M E M U T U S K A N:
Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA
PENILAIAN KUALITAS AKTIVA BAGI
TENTANG
BANK
PERKREDITAN RAKYAT BERDASARKAN PRINSIP
SYARIAH
BAB I …
- 3 -
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank Perkreditan Rakyat Syariah yang selanjutnya disebut BPRS
adalah Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
angka 4 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998, yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip Syariah;
2. Aktiva Produktif adalah penanaman dana BPRS dalam Rupiah
berdasarkan prinsip Syariah dalam bentuk pembiayaan, Sertifikat
Wadiah Bank Indonesia, dan penempatan dana pada bank lain.
3. Aktiva Non Produktif adalah aset BPRS selain Aktiva Produktif yang
memiliki potensi kerugian, yaitu dalam bentuk agunan yang diambil
alih.
4. Pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan
dengan itu berupa:
a. transaksi bagi hasil dalam bentuk Mudharabah dan Musyarakah;
b. transaksi sewa menyewa dalam bentuk Ijarah atau sewa dengan
opsi perpindahan hak milik dalam bentuk Ijarah Muntahiyah bit
Tamlik;
c. transaksi jual beli dalam bentuk piutang Murabahah, Salam, dan
Istishna’; dan
d. transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutang Qardh;
e. transaksi multijasa dengan menggunakan akad Ijarah atau
Kafalah.
berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara BPRS dengan pihak
lain …
- 4 -
lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai dan/atau diberi fasilitas
dana untuk mengembalikan dana tersebut setelah jangka waktu
tertentu dengan imbalan, tanpa imbalan atau bagi hasil.
5. Mudharabah adalah penanaman dana dari pemilik dana (shahibul
maal) kepada pengelola dana (mudharib) untuk melakukan kegiatan
usaha tertentu, dengan pembagian menggunakan metode bagi untung
(profit sharing) atau metode bagi pendapatan (net revenue sharing)
antara kedua belah pihak berdasarkan nisbah yang telah disepakati
sebelumnya;
6. Musyarakah adalah penanaman dana dari pemilik dana/modal untuk
mencampurkan dana/modal mereka pada suatu usaha tertentu, dengan
pembagian keuntungan berdasarkan nisbah yang telah disepakati
sebelumnya, sedangkan kerugian ditanggung
dana/modal berdasarkan bagian dana/modal masing-masing;
semua pemilik
7. Murabahah adalah jual beli barang sebesar harga pokok barang
ditambah dengan margin keuntungan yang disepakati;
8. Salam adalah jual beli barang dengan cara pemesanan dengan syarat-
syarat tertentu dan pembayaran tunai terlebih dahulu secara penuh;
9.
Istishna’ adalah jual beli barang dalam bentuk pemesanan pembuatan
barang dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati dengan
pembayaran sesuai dengan kesepakatan;
10. Ijarah adalah akad sewa menyewa antara pemilik obyek sewa
termasuk kepemilikan terhadap hak pakai atas obyek sewa, antara
pemilik obyek sewa dan penyewa untuk mendapatkan imbalan atas
obyek sewa yang disewakannya.
11. Ijarah Muntahiyah bit Tamlik adalah akad sewa menyewa antara
pemilik obyek sewa dan penyewa untuk mendapatkan imbalan atas
obyek sewa yang disewakannya dengan opsi perpindahan hak milik
obyek …
- 5 -
obyek sewa baik dengan jual beli atau pemberian (hibah) pada saat
tertentu sesuai akad sewa.
12. Qardh adalah pinjam meminjam dana tanpa imbalan dengan
kewajiban pihak peminjam mengembalikan pokok pinjaman secara
sekaligus atau cicilan dalam jangka waktu tertentu;
13. Penempatan Dana Pada Bank Lain adalah penanaman dana pada Bank
Syariah atau BPRS lainnya berdasarkan prinsip Syariah antara lain
dalam bentuk bentuk giro dan/atau tabungan Mudharabah dan/atau
Wadiah, deposito berjangka dan/atau tabungan Mudharabah,
Pembiayaan yang diberikan, dan/atau bentuk-bentuk penempatan
lainnya yang dipersamakan dengan itu;
14. Proyeksi Pendapatan (PP) adalah perkiraan pendapatan yang akan
diterima BPRS dari nasabah atas pembiayaan yang diberikan dengan
jumlah dan tanggal jatuh tempo yang disepakati antara BPRS dan
nasabah;
15. Realisasi Pendapatan (RP) adalah pendapatan yang diterima BPRS
dari nasabah atas pembiayaan yang diberikan;
16. Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI) adalah sertifikat yang
diterbitkan oleh Bank
Indonesia sebagai bukti penitipan dana
berjangka pendek dengan prinsip Wadiah;
17. Wadiah adalah perjanjian penitipan dana atau barang dari pemilik
dana atau barang kepada penyimpan dana atau barang, dengan
kewajiban pihak penyimpan untuk mengembalikan titipan dana atau
barang tersebut sewaktu-waktu;
18. Agunan yang Diambil Alih yang untuk selanjutnya disebut AYDA
adalah aktiva yang diperoleh BPRS, baik melalui pelelangan maupun
diluar pelelangan berdasarkan penyerahan secara sukarela oleh pemilik
agunan atau berdasarkan kuasa untuk menjual diluar lelang dari
pemilik …
- 6 -
pemilik agunan apabila nasabah telah dinyatakan macet.
19. Penyisihan Penghapusan Aktiva yang untuk selanjutnya disebut PPA
adalah cadangan yang harus dibentuk sebesar persentase tertentu
berdasarkan kualitas aktiva.
20. Penilai Independen adalah perusahaan penilai yang:
a. tidak ada keterkaitan dalam hal kepemilikan, kepengurusan dan
keuangan baik dengan BPRS maupun nasabah yang menerima
fasilitas;
b. melakukan kegiatan penilaian berdasarkan kode etik profesi dan
ketentuan-ketentuan lain yang ditetapkan oleh institusi yang
berwenang;
c. menggunakan metode penilaian berdasarkan standar profesi
penilaian yang diterbitkan oleh institusi yang berwenang;
d. memiliki izin usaha dari institusi yang berwenang untuk beroperasi
sebagai perusahaan penilai; serta
e. tercatat sebagai anggota asosiasi yang diakui oleh institusi yang
berwenang.
21. Penilaian adalah pernyataan tertulis dari Penilai Independen atau
penilai intern BPRS mengenai taksiran dan pendapat atas nilai
ekonomis dari agunan berupa aktiva tetap berdasarkan analisis
terhadap fakta-fakta objektif dan relevan menurut metode dan prinsip-
prinsip yang berlaku umum yang ditetapkan oleh Masyarakat Profesi
Penilai Indonesia (MAPPI);
22. Nilai Pasar Wajar (Market Approach) adalah jumlah uang yang
diperkirakan dapat diperoleh dari transaksi jual beli atau hasil
penukaran suatu aset pada tanggal penilaian setelah dikurangi biaya-
biaya transaksi, pihak penjual dan pembeli sebelumnya tidak
mempunyai ikatan, memiliki
pengetahuan tentang
aset yang
diperdagangkan …
- 7 -
diperdagangkan dan melakukan transaksi tidak dalam keadaan
terpaksa;
23. Restrukturisasi Pembiayaan adalah upaya yang dilakukan BPRS
dalam
rangka membantu
nasabah
kewajibannya antara lain melalui:
a. penjadwalan kembali
agar dapat menyelesaikan
(rescheduling), yaitu perubahan jadwal
pembayaran kewajiban nasabah atau jangka waktunya;
b. persyaratan kembali
(reconditioning), yaitu perubahan sebagian
atau seluruh persyaratan Pembiayaan yang tidak terbatas pada
perubahan jadual pembayaran, jangka waktu, dan/atau persyaratan
lainnya sepanjang tidak menyangkut perubahan maksimum saldo
Pembiayaan;
c. penataan kembali
(restructuring), yaitu perubahan persyaratan
Pembiayaan, yang menyangkut:
1) penambahan dana BPRS;
2) konversi akad Pembiayaan;
BAB II
KUALITAS AKTIVA
Pasal 2
(1)
Penyediaan dana BPRS
wajib dilaksanakan
berdasarkan prinsip kehati-hatian dan memenuhi prinsip syariah.
(2) Pengurus BPRS wajib memantau dan mengambil
antisipasi agar kualitas Aktiva senantiasa dalam keadaan lancar.
Pasal 3
(1) BPRS wajib melakukan penilaian kualitas Aktiva baik terhadap Aktiva
Produktif maupun Aktiva Non Produktif.
(2) Penilaian …
langkah-langkah
- 8 -
(2) Penilaian kualitas Aktiva sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan secara bulanan.
BAB III
AKTIVA PRODUKTIF
Bagian Pertama
Umum
Pasal 4
(1) Kualitas Aktiva Produktif dalam bentuk Pembiayaan ditetapkan
menjadi 4 (empat) golongan yaitu Lancar, Kurang Lancar, Diragukan
dan Macet;
(2) Penilaian terhadap kualitas Aktiva Produktif sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan berdasarkan pada ketepatan dan/atau
kemampuan membayar kewajiban oleh nasabah.
Pasal 5
(1) Penilaian terhadap kualitas Pembiayaan Mudharabah dan Musyarakah
yang dilakukan berdasarkan kemampuan membayar mengacu pada
ketepatan pembayaran angsuran pokok dan/atau pencapaian rasio
Realisasi Pendapatan (RP) dengan Proyeksi Pendapatan (PP).
(2) Penghitungan rasio Realisasi Pendapatan (RP) dan Proyeksi
Pendapatan (PP) sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dihitung
berdasarkan rata-rata akumulasi selama periode Pembiayaan
Mudharabah dan Musyarakah yang telah berjalan.
(3) Proyeksi Pendapatan (PP) dihitung
berdasarkan pada analisis
kelayakan usaha dan arus kas masuk nasabah selama jangka waktu
Pembiayaan Mudharabah dan Musyarakah.
(4) BPRS …
- 9 -
(4) BPRS dapat melakukan revisi Proyeksi Pendapatan (PP) maksimum:
a. 1 (satu) kali dalam setahun untuk Pembiayaan Mudharabah dan
Musyarakah dengan jangka waktu sampai dengan 1(satu) tahun;
b. 2 (dua) kali dalam setahun untuk Pembiayaan Mudharabah dan
Musyarakah dengan jangka waktu di atas 1 (satu) tahun;
(5) Revisi Proyeksi Pendapatan (PP) sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
dapat dilakukan berdasarkan perubahan kondisi ekonomi makro, pasar,
atau bencana alam yang mempengaruhi usaha nasabah
(6) BPRS wajib mencantumkan Proyeksi Pendapatan (PP) dan perubahan
Proyeksi Pendapatan (PP) dalam perjanjian Pembiayaan Mudharabah
dan Musyarakah antara BPRS
terdokumentasi secara lengkap
Pasal 6
(1) Pembayaran angsuran pokok Pembiayaan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 ayat (1) dapat diangsur selama jangka waktu
Pembiayaan sesuai dengan kesepakatan antara BPRS dan nasabah.
(2) Apabila jangka waktu Pembiayaan lebih dari 1 (satu) tahun,
pembayaran angsuran pokok Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib diangsur secara berkala sesuai dengan proyeksi arus kas
masuk (cash inflow) usaha nasabah.
(3) Pembayaran angsuran pokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib dicantumkan dalam perjanjian pembiayaan antara BPRS dengan
nasabah dan harus didokumentasikan secara lengkap.
Pasal 7
(1) Kualitas Aktiva Produktif berupa Pembiayaan Murabahah, Salam,
Istishna’, Ijarah, Ijarah Muntahiyah bit Tamlik, dan Qardh dinilai
berdasarkan …
dengan nasabah dan harus
- 10 -
berdasarkan lamanya tunggakan pembayaran sebagai berikut:
a. angsuran di luar KPR;
b. angsuran untuk KPR.
(2) Pembayaran angsuran Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) wajib dicantumkan dalam perjanjian pembiayaan antara BPRS dan
nasabah dan didukung dengan dokumen yang lengkap, paling kurang
memuat porsi pokok, marjin dan jadwal pembayaran.
Pasal 8
Kualitas Aktiva Produktif berupa Sertifikat Wadiah Bank Indonesia
digolongkan Lancar.
Pasal 9
Kualitas Aktiva Produktif berupa Penempatan Dana Pada Bank Lain
digolongkan Lancar sepanjang dijamin oleh Lembaga Penjamin Simpanan.
Pasal 10
Dalam hal Penempatan Dana Pada Bank Lain tidak memenuhi persyaratan
program penjaminan Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9, kualitas Penempatan Dana Pada Bank Lain digolongkan
sebagai berikut:
a. Lancar, apabila tidak terdapat tunggakan pembayaran pokok untuk
Wadiah/Qardh, atau tidak terdapat tunggakan pembayaran pokok
dan/atau bagi hasil untuk Mudharabah dan Musyarakah, dan/atau
Realisasi Pendapatan (RP) ≥ 80 % Proyeksi Pendapatan (PP) untuk
Pembiayaan Mudharabah dan Musyarakah;
b. Kurang Lancar, apabila terdapat tunggakan pembayaran pokok untuk
Wadiah/Qardh, atau terdapat tunggakan pembayaran pokok dan/atau
bagi hasil …
- 11 -
bagi hasil untuk Mudharabah dan Musyarakah sampai dengan 5 (lima)
hari kerja, dan/atau Realisasi Pendapatan diatas 30 % Proyeksi
Pendapatan (PP) sampai dengan 80% Proyeksi Pendapatan (PP) atau
Realisasi Pendapatan (RP) ≤ 30% Proyeksi Pendapatan (PP) sampai
dengan 3 (tiga) periode pembayaran untuk Pembiayaan Mudharabah
dan Musyarakah;
c. Macet, apabila:
1) BPRS atau bank yang menerima Penempatan telah ditetapkan dan
diumumkan sebagai BPRS atau bank
dengan status dalam
pengawasan khusus (special surveillance) atau BPRS atau bank
telah dikenakan sanksi pembekuan seluruh kegiatan usaha;
2) BPRS atau bank yang menerima Penempatan ditetapkan sebagai
BPRS atau bank dalam likuidasi; dan/atau
3)
terdapat tunggakan pembayaran pokok untuk Wadiah/Qardh, atau
terdapat tunggakan pembayaran pokok dan/atau bagi hasil untuk
Mudharabah dan Musyarakah lebih dari 5 (lima) hari kerja,
dan/atau Realisasi Pendapatan (RP) ≤ 30 % Proyeksi Pendapatan
(PP) untuk Pembiayaan Mudharabah dan Musyarakah.
Pasal 11
(1) Penyediaan dana BPRS dalam bentuk Aktiva Produktif wajib
didukung dengan dokumen yang lengkap.
(2) Kualitas Aktiva Produktif yang oleh BPRS telah digolongkan Lancar
akan diturunkan oleh Bank Indonesia menjadi paling tinggi Kurang
Lancar, apabila dokumentasi nasabah tidak
informasi yang cukup.
dapat memberikan
BAB IV …
- 12 -
BAB IV
AKTIVA NON PRODUKTIF
Bagian Pertama
Umum
Pasal 12
(1) BPRS wajib menilai kualitas Aktiva Non Produktif berupa AYDA.
(2) BPRS wajib memiliki kebijakan dan prosedur tertulis mengenai
AYDA.
Bagian Kedua
Tata Cara Penilaian
Pasal 13
(1) BPRS wajib melakukan upaya penyelesaian terhadap AYDA yang
dimiliki.
(2) BPRS wajib mendokumentasikan upaya penyelesaian AYDA
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 14
(1) BPRS wajib melakukan penilaian kembali terhadap AYDA untuk
menetapkan net realizable value dari AYDA, yang dilakukan saat
pengambilalihan agunan.
(2) Penetapan net realizable value sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib dilakukan oleh penilai independen, untuk AYDA dengan nilai
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) atau lebih.
(3) Maksimum net realizable value adalah sebesar nilai Aktiva Produktif
yang diselesaikan dengan AYDA.
Pasal 15 …
- 13 -
Pasal 15
(1) AYDA yang
telah dilakukan upaya penyelesaian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13, ditetapkan memiliki kualitas sebagai
berikut:
a. Lancar, apabila AYDA dimiliki sampai dengan 1 (satu) tahun;
b. Kurang Lancar, apabila AYDA dimiliki lebih dari 1 (satu) tahun
sampai dengan 2 (dua) tahun;
c. Diragukan, apabila AYDA dimiliki lebih dari 2 (dua) tahun sampai
dengan 3 (tiga) tahun;
d. Macet, apabila AYDA dimiliki lebih dari 3 (tiga) tahun.
(2) AYDA yang
tidak
dilakukan upaya penyelesaian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13, ditetapkan memiliki kualitas satu tingkat
dibawah ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
BAB V
PENYISIHAN PENGHAPUSAN AKTIVA
Bagian Pertama
Umum
Pasal 16
(1) BPRS wajib membentuk PPA terhadap Aktiva Produktif dan Aktiva
Non Produktif
(2) PPA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. cadangan umum dan cadangan khusus untuk Aktiva Produktif; dan
b. cadangan khusus untuk Aktiva Non Produktif.
Bagian …
- 14 -
Bagian Kedua
Tata Cara Pembentukan
Pasal 17
(1) Cadangan umum PPA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2)
huruf a ditetapkan sekurang-kurangnya sebesar 0,5 % (lima perseribu)
dari seluruh Aktiva Produktif yang
termasuk Sertifikat Wadiah Bank Indonesia.
(2) Cadangan khusus Penyisihan Penghapusan Aktiva sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) huruf a ditetapkan sekurang-
kurangnya sebesar:
a. 10% (sepuluh perseratus) dari Aktiva yang digolongkan Kurang
Lancar setelah dikurangi nilai agunan;
b. 50% (lima puluh
perseratus) dari Aktiva yang
Diragukan setelah dikurangi nilai agunan; dan
c. 100% (seratus perseratus) dari Aktiva yang digolongkan Macet
setelah dikurangi nilai agunan.
(3) Kewajiban untuk membentuk PPA sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) tidak berlaku bagi Aktiva Produktif berupa Ijarah atau
Ijarah Muntahiyah bit Tamlik.
(4) BPRS wajib membentuk penyusutan/amortisasi untuk Ijarah atau
Ijarah Muntahiyah bit Tamlik, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Ijarah
disusutkan/diamortisasi sesuai dengan kebijakan
penyusutan BPRS bagi aktiva yang sejenis.
b. Ijarah Muntahiyah bit Tamlik disusutkan sesuai dengan masa
sewa.
(5) Penggunaan nilai agunan sebagai faktor pengurang dalam perhitungan
PPA sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan
untuk Aktiva Produktif.
Pasal 18 …
digolongkan
digolongkan Lancar, tidak
- 15 -
Pasal 18
Pembentukan PPA untuk Aktiva Produktif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 16 ayat (1) dan ayat (2) untuk Murabahah, Salam dan Istishna’
mempergunakan angka saldo harga perolehan atau saldo harga pokok.
Bagian Ketiga
Penilaian Agunan
Pasal 19
Agunan yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang dalam pembentukan
PPA terdiri dari:
a. Tabungan Wadiah, tabungan dan/atau deposito Mudharabah dan
setoran jaminan dalam mata uang rupiah yang diblokir disertai dengan
surat kuasa pencairan;
b. Sertifikat Wadiah Bank Indonesia yang telah dilakukan pengikatan
secara gadai;
c. Tanah, gedung, dan rumah tinggal yang telah dilakukan pengikatan
sesuai ketentuan yang berlaku;
d. Kendaraan bermotor dan persediaan yang telah dilakukan pengikatan
sesuai ketentuan yang berlaku.
Pasal 20
Nilai agunan yang
dapat diperhitungkan sebagai pengurang
pada
pembentukan PPA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ditetapkan:
a. untuk agunan tunai berupa uang kas, uang kertas asing, emas, mata uang
emas, tabungan Wadiah, tabungan dan/atau deposito Mudharabah, dan
setoran jaminan dalam mata uang rupiah yang diblokir disertai dengan
surat kuasa pencairan setinggi-tingginya sebesar 100% (seratus
perseratus …
- 16 -
perseratus);
b. untuk agunan berupa Sertifikat Wadiah Bank Indonesia setinggi-
tingginya sebesar 100% (seratus perseratus);
c. untuk agunan berupa tanah, gedung, dan rumah tinggal, kendaraan
bermotor, dan kapal laut paling tinggi sebesar:
1) 80% (delapan puluh perseratus) dari nilai tanggungan untuk agunan
berupa tanah bangunan dan rumah bersertifikat (SHM atau SHGB)
yang diikat dengan hak tanggungan;
2) 60% (tujuh puluh perseratus) dari nilai jual objek pajak (NJOP)
untuk agunan berupa tanah, bangunan dan rumah bersertifikat (SHM
atau SHGB), hak pakai tanpa hak tanggungan;
3) 50% (lima puluh perseratus) dari nilai jual objek pajak (NJOP),
untuk agunan berupa tanah berdasarkan kepemilikan surat girik
(letter C) dilampiri Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT)
selama 6 bulan;
4) 50% (lima puluh perseratus) dari Nilai Pasar Wajar untuk agunan
berupa kendaraan bermotor, dan kapal laut dengan disertai bukti
kepemilikan dan surat kuasa menjual.
Pasal 21
(1) Penilaian agunan dapat dilakukan oleh Penilai Independen atau penilai
intern BPRS yang wajib dilaksanakan berdasarkan analisis terhadap
fakta-fakta objektif dan relevan menurut metode dan prinsip-prinsip
yang berlaku umum sebagaimana dimaksud dengan Penilaian dalam
Pasal 1 angka 26.
(2) Kewajiban Penilaian agunan menggunakan Penilai Independen
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku untuk Pembiayaan
dengan nilai Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) atau lebih.
(3) Dalam …
- 17 -
(3) Dalam hal Penilaian agunan tidak dilakukan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) maka hasil Penilaian agunan tidak diperhitungkan
sebagai faktor pengurang PPA.
Pasal 22
Bank Indonesia berwenang melakukan penghitungan kembali atas nilai
agunan yang telah dikurangkan dalam PPA, apabila BPRS tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20.
BAB VI
RESTRUKTURISASI PEMBIAYAAN
Pasal 23
(1) BPRS wajib memiliki kebijakan dan prosedur tertulis mengenai
Restrukturisasi Pembiayaan.
(2) BPRS hanya dapat melakukan Restrukturisasi Pembiayaan terhadap
nasabah yang memenuhi kriteria:
a. telah atau diperkirakan mengalami penurunan kemampuan dalam
pembayaran dan/atau pemenuhan kewajibannya; dan
b. masih memiliki prospek usaha yang
memenuhi kewajiban setelah restrukturisasi.
baik dan/atau mampu
(3) Restrukturisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan
dengan mengacu kepada fatwa Dewan Syariah Nasional dan Standar
Akuntansi Keuangan yang berlaku bagi bank syariah.
(4) Penggolongan kualitas atas Pembiayaan, yang direstrukturisasi adalah
sebagai berikut :
a. Paling tinggi Kurang Lancar untuk Pembiayaan, yang sebelum
direstrukturisasi tergolong Diragukan atau Macet;
b. Kualitas tidak
berubah untuk
Pembiayaan, yang
sebelum
direstrukturisasi …
- 18 -
direstrukturisasi tergolong Lancar atau Kurang Lancar;
(5) Kualitas Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat
menjadi:
a. Lancar, apabila tidak terjadi tunggakan angsuran pokok dan bagi
hasil/marjin/fee atau kewajiban lain yang sejenis selama 3 (tiga)
kali periode pembayaran secara berturut-turut;
b. Kembali pada kualitas yang sama dengan sebelum dilakukan
restrukturisasi,
apabila
sebagaimana disebutkan dalam huruf a.
BAB VII
HAPUS BUKU DAN HAPUS TAGIH
Pasal 24
(1) BPRS wajib memiliki kebijakan dan prosedur tertulis mengenai hapus
buku dan hapus tagih.
(2) Hapus buku dan/atau hapus tagih hanya dapat dilakukan terhadap
Pembiayaan yang memiliki kualitas Macet.
(3) Hapus buku tidak dapat dilakukan terhadap sebagian Pembiayaan
(partial write off).
(4) Hapus tagih dapat dilakukan baik untuk sebagian atau seluruh
Pembiayaan.
(5) Hapus tagih terhadap sebagian Pembiayaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) hanya dapat dilakukan dalam rangka Restrukturisasi
Pembiayaan atau dalam rangka penyelesaian Pembiayaan.
Pasal 25
(1) Hapus buku dan/atau hapus tagih sebagaimana dimaksud dalam Pasal
24 hanya dapat dilakukan setelah BPRS melakukan berbagai upaya
untuk …
nasabah gagal memenuhi kriteria
- 19 -
untuk memperoleh kembali Aktiva Produktif yang diberikan.
(2) BPRS wajib mendokumentasikan upaya yang dilakukan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) serta dasar pertimbangan pelaksanaan hapus
buku dan/atau hapus hak tagih.
(3) BPRS wajib mengadministrasikan data dan informasi mengenai
Aktiva Produktif yang telah dihapus buku dan/atau dihapus tagih.
BAB VIII
SANKSI
Pasal 26
BPRS yang tidak melaksanakan ketentuan dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5
ayat (6), Pasal 6 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 7 ayat (2), Pasal 11 ayat (1),
Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 21, Pasal 23, Pasal
24, Pasal 25 dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 52 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
antara lain berupa:
a. teguran tertulis;
b. penurunan tingkat kesehatan; dan/atau
c. penggantian pengurus.
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 27
Penetapan kualitas Aktiva Non Produktif untuk AYDA sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 mulai berlaku pada tanggal 1 Desember 2007.
Pasal 28 …
- 20 -
Pasal 28
Dengan diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia ini, maka Peraturan
Bank Indonesia No. 6/18/PBI/2004 tanggal 1 Juli 2004 tentang Kualitas
Aktiva Produktif Bagi BPRS dan Peraturan Bank Indonesia Nomor
6/19/PBI/2004 tanggal 1 Juli 2004 tentang Penyisihan Penghapusan Aktiva
Produktif bagi Bank Perkreditan Rakyat yang Melaksanakan Kegiatan
Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 29
Ketentuan pelaksanaan tentang Penilaian Kualitas Aktiva sebagaimana
diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini akan diatur lebih lanjut dengan
Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 30
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2007
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 5 Oktober 2006
GUBERNUR BANK INDONESIA,
BURHANUDDIN ABDULLAH
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2006 NOMOR 81
DPbS
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 8/24/PBI/2006
TENTANG
PENILAIAN KUALITAS AKTIVA
BAGI BANK PERKREDITAN RAKYAT BERDASARKAN
PRINSIP SYARIAH
UMUM
Kelangsungan usaha
bank perkreditan rakyat
berdasarkan prinsip
syariah (BPRS) tergantung pada kinerja, yang salah satu indikator utamanya
adalah kualitas dari penanaman dana BPRS. Kualitas penanaman dana yang
baik akan menghasilkan keuntungan, sehingga dapat menjadi sumber dalam
mengembangkan usahanya. Mengingat karakteristik dari aset BPRS sangat
dipengaruhi oleh risiko pembiayaan (credit risk), maka BPRS harus selalu
memperbaiki kebijakan
dan prosedur
kualitasnya, melakukan pengelolaan
portofolio
pembiayaan termasuk
aset
dengan baik
penetapan
serta
kemampuan untuk mengantisipasi perubahan faktor eksternal yang dapat
mempengaruhi kualitas pembiayaan.
Untuk menentukan kualitas pembiayaan yang mencerminkan tingkat
eksposur risiko pembiayaan yang terkendali maka perlu ditata kembali batasan
dan kriteria penilaian kualitas pada setiap pembiayaan.
Selain itu, sejalan dengan perkembangan pembiayaan BPRS yang dapat
menimbulkan peningkatan agunan yang diambil alih oleh BPRS, maka
diperlukan penilaian terhadap agunan yang diambil alih tersebut yang
merupakan aktiva non produktif.
Berdasarkan …
- 2 -
Berdasarkan hal-hal tersebut,
dipandang perlu untuk melakukan
pengaturan kembali tentang penilaian kualitas aktiva yaitu berupa Peraturan
Bank Indonesia tentang Penilaian Kualitas Aktiva bagi Bank Perkreditan
Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Yang dimaksud dengan prinsip kehati-hatian dalam penanaman dana
yaitu penanaman dana dilakukan antara lain berdasarkan:
a. Analisis kelayakan usaha dengan memperhatikan sekurang-kurangnya
faktor 5C (Character, Capital, Capacity, Condition of economy &
Collateral);
b. Penilaian terhadap aspek kemampuan membayar.
Yang dimaksud dengan memantau adalah mengawasi perkembangan
kinerja usaha nasabah dari waktu ke waktu.
Yang dimaksud dengan mengambil
langkah-langkah antisipasi adalah
melakukan tindakan dan upaya pencegahan atas kemungkinan timbulnya
kegagalan dalam penanaman dana.
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan penilaian dilakukan secara bulanan adalah
penyajian dalam laporan bulanan sesuai dengan ketentuan Bank
Indonesia …
- 3 -
Indonesia tentang laporan bulanan BPRS.
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Perhitungan pencapaian rasio Realisasi Pendapatan (RP) dengan
Proyeksi Pendapatan (PP) adalah sebagai berikut:
RP
K =
PP
Dimana:
K = Rasio Pencapaian Pendapatan
RP = Realisasi Pendapatan yang diterima BPRS dari nasabah.
PP = Perkiraan pendapatan yang akan diterima oleh BPRS dari
nasabah.
Ayat (2)
Yang
dimaksud
dengan
rata-rata
akumulasi
selama
Pembiayaan yang telah berjalan adalah sebagai berikut :
Contoh 1 :
Untuk Pembiayaan Mudharabah dan Musyarakah yang berjangka
waktu 1 (satu)
tahun yang dimulai dari 1 Januari 2005 sampai
dengan 31 Desember 2005, dan dilakukan penilaian di bulan Januari
2006, berarti RP dan PP yang digunakan adalah angka akumulasi
selama …
periode
x 100%
- 4 -
selama bulan Januari sampai dengan Desember 2005.
Contoh 2 :
Untuk Pembiayaan Mudharabah dan Musyarakah dengan jangka
waktu 6 (enam) bulan, yang baru berjalan 3 (tiga) bulan, maka
akumulasi yang digunakan adalah selama periode berjalan tersebut
yaitu akumulasi 3 (tiga) bulan saja.
Ayat (3)
Misalnya Pembiayaan Mudharabah dan Musyarakah berjangka
waktu 2 (dua) tahun, jadwal pembayaran pendapatan (bagi hasil)
ditetapkan setiap 6 (enam) bulan maka PP ditetapkan setiap 6 (enam)
bulan, yaitu :
1. PP 6 (enam) bulan I = Rp xxx atau x %
2. PP 6 (enam)bulan II = Rp yyy atau y % dst.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Yang dimaksud dengan terdokumentasi secara
sekurang-kurangnya tersedianya dokumentasi
meliputi
aplikasi, analisa,
pembiayaan serta file lain
perubahannya.
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2) …
keputusan
yang
dan
lengkap yaitu
pembiayaan yang
pemantauan
atas
terkait dengan PP beserta
- 5 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas
Pasal 11
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan dokumen yang lengkap yaitu sekurang-
kurangnya tersedianya dokumentasi penyediaan dana yang meliputi:
aplikasi, analisa, keputusan dan pemantauan atas penyediaan dana
serta perubahannya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2) …
- 6 -
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan kebijakan dan prosedur tertulis antara lain
berupa mekanisme pengambilan AYDA, persyaratan AYDA.
Pasal 13
Ayat (1)
Pengaturan ini dimaksudkan agar BPRS melakukan kegiatan usaha
sesuai
fungsinya sebagai penghimpun dan penyalur dana
masyarakat. Upaya penyelesaian antara lain dapat dilakukan secara
aktif memasarkan dan menjual AYDA.
Ayat (2)
Dokumentasi
antara
lain mencakup
bukti data
mengenai upaya pemasaran dan penjualan AYDA.
Pasal 14
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan net realizable value adalah Nilai Pasar
Wajar agunan dikurangi estimasi biaya pelepasan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 16
Ayat (1) …
dan informasi
- 7 -
Ayat (1)
Pembentukan PPA terhadap Aktiva Non Produktif dimaksudkan
untuk mendorong BPRS melakukan upaya penyelesaian dan untuk
antisipasi terhadap potensi kerugian.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 17
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a dan b
Penyusutan atau amortisasi untuk Ijarah dan/atau Ijarah
Muntahiyah bit Tamlik dilakukan dengan mengacu kepada
standar akuntansi keuangan yang berlaku untuk bank syariah.
Kebijakan penyusutan yang dipilih harus mencerminkan pola
konsumsi yang diharapkan dari manfaat ekonomi di masa
depan dari objek Ijarah.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Huruf a …
- 8 -
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Yang dimaksud dengan ketentuan yang berlaku misalnya ketentuan
mengenai fidusia, gadai dan ketentuan mengenai resi gudang.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Ayat (1)
Kebijakan dan prosedur tertulis antara lain memuat pejabat dan
satuan kerja yang berwenang terhadap proses restrukturisasi, dan
proses analisis pembiayaan yang akan direstrukturisasi.
Ayat (2)
Cukup jelas …
- 9 -
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud restrukturisasi sesuai dengan fatwa Dewan Syariah
Nasional yang
dilakukan dengan memberikan potongan dari total kewajiban
pembayaran, penjadwalan kembali dan konversi akad Murabahah.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 24
Ayat (1)
Hapus buku adalah tindakan administratif BPRS untuk menghapus
buku penyediaan dana atau tagihan yang memiliki kualitas Macet
dari neraca sebesar kewajiban nasabah tanpa menghapus hak tagih
BPRS kepada nasabah.
Hapus tagih adalah tindakan BPRS menghapus kewajiban nasabah
yang tidak dapat diselesaikan.
Kebijakan dan prosedur hapus buku dan hapus tagih antara lain
mencakup persyaratan, limit, kewenangan dan tanggung jawab serta
tata cara hapus buku dan hapus tagih.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Pelaksanaan hapus buku dilakukan terhadap seluruh Pembiayaan
yang diberikan dan diikat dalam satu perjanjian.
Ayat (4) …
berlaku, antara lain untuk Murabahah dapat
- 10 -
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Hapus tagih dalam rangka Restrukturisasi Pembiayaan
dan
penyelesaian Pembiayaan dimaksudkan untuk kepentingan
transparansi kepada nasabah.
Penyelesaian Pembiayaan dapat dilakukan melalui pengambilalihan
agunan atau pelunasan oleh nasabah.
Pasal 25
Ayat (1)
Upaya yang dapat dilakukan antara lain dalam bentuk penagihan
kepada nasabah, Restrukturisasi Pembiayaan, meminta pembayaran
dari
pihak
yang memberikan garansi
atas Aktiva
dimaksud, dan penyelesaian Pembiayaan melalui pengambilalihan
agunan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas …
Produktif
- 11 -
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4650
"," PBI
8/24/PBI/2006
PENILAIAN KUALITAS AKTIVA BAGI BANK PERKREDITAN RAKYAT BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH
5 Oktober 2006
1 Januari 2007
'6/18/PBI/2004', '6/19/PBI/2004'
'23/UU/1999', '10/UU/1998', '7/UU/1992', '3/UU/2004'
'BAB VIII'
"
" PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 17/16/PBI/2015
TENTANG
PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 16/17/PBI/2014 TENTANG
TRANSAKSI VALUTA ASING TERHADAP RUPIAH
ANTARA BANK DENGAN PIHAK ASING
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa dinamika kondisi ekonomi dan keuangan
global membutuhkan upaya untuk peningkatan
stabilitas nilai tukar dan penguatan daya tahan
pasar keuangan domestik;
b. bahwa peningkatan stabilitas nilai tukar dan
penguatan daya tahan pasar keuangan domestik
dapat dicapai melalui pengembangan pasar valuta
asing domestik yang sehat dan seimbang;
c. bahwa dalam rangka mewujudkan pasar valuta
asing domestik yang sehat dan seimbang diperlukan
upaya untuk mendorong peningkatan likuiditas
transaksi dengan tetap memperhatikan prinsip
kehati-hatian;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c,
perlu melakukan perubahan ketiga atas Peraturan
Bank Indonesia tentang Transaksi Valuta Asing
terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak Asing;
Mengingat …
- 2 -
Mengingat :
1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843)
sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi
Undang-Undang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962);
2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu
Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 67,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3844);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN
KETIGA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR
16/17/PBI/2014 TENTANG TRANSAKSI VALUTA
ASING TERHADAP RUPIAH ANTARA BANK DENGAN
PIHAK ASING.
Pasal I …
- 3 -
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor
16/17/PBI/2014 tentang Transaksi Valuta Asing terhadap Rupiah antara
Bank dengan Pihak Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2014 Nomor 213, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5582) yang telah beberapa kali diubah dengan Peraturan Bank Indonesia:
a. Nomor 17/7/PBI/2015 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2015 Nomor 117, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5702);
b. Nomor 17/14/PBI/2015 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2015 Nomor 202, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5737),
diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 2 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 2
(1) Bank dapat melakukan Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah
dengan Pihak Asing atas dasar suatu kontrak.
(2) Dalam melakukan kegiatan Transaksi Valuta Asing Terhadap
Rupiah, Bank wajib:
a. memiliki pedoman internal tertulis sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan otoritas perbankan yang mengatur tentang
transaksi derivatif dan penerapan manajemen risiko Bank;
b. memenuhi ketentuan otoritas perbankan yang mengatur
mengenai kategori Bank yang dapat melakukan kegiatan
transaksi valuta asing;
c. menerapkan manajemen risiko secara efektif sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan otoritas perbankan yang
mengatur mengenai penerapan manajemen risiko Bank;
d. melakukan self assessment mengenai kesiapan manajemen
risiko Bank, sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
otoritas perbankan yang mengatur mengenai transaksi
derivatif dan tingkat kesehatan Bank Umum;
e. melakukan …
- 4 -
e. melakukan mark-to-market untuk transaksi derivatif
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan otoritas
perbankan yang mengatur mengenai transaksi derivatif dan
penerapan manajemen risiko bank;
f. memberikan edukasi tentang Transaksi Derivatif Valuta
Asing Terhadap Rupiah kepada Pihak Asing untuk
pelaksanaan kegiatan Transaksi Derivatif Valuta Asing
Terhadap Rupiah, dan
g. memenuhi ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai kewajiban penggunaan Rupiah.
2. Ketentuan Pasal 3 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 3
(1) Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah yang dilakukan Bank
dengan Pihak Asing di atas jumlah tertentu (threshold) wajib
memiliki Underlying Transaksi.
(2) Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi seluruh kegiatan:
a. perdagangan barang dan jasa di dalam dan di luar negeri;
dan/atau
b.
investasi berupa foreign direct investment, portfolio
investment, pinjaman, modal, dan investasi lainnya di
dalam dan di luar negeri.
(3) Underlying Transaksi kegiatan perdagangan barang dan jasa
dan/atau investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
meliputi juga perkiraan pendapatan dan biaya (income and
expense estimation).
(4) Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak
termasuk:
a. penggunaan Sertifikat Bank Indonesia untuk Transaksi
Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah;
b. penempatan …
- 5 -
b. penempatan dana pada Bank (vostro) antara lain berupa
tabungan, giro, deposito, dan Negotiable Certificate of
Deposit (NCD); dan
c.
fasilitas pemberian kredit yang masih belum ditarik, antara
lain berupa standby loan dan undisbursed loan.
(5) Khusus untuk penjualan valuta asing terhadap Rupiah melalui
transaksi forward dan untuk transfer Rupiah ke rekening yang
dimiliki Pihak Asing, Underlying Transaksi juga meliputi
kepemilikan dana valuta asing di dalam negeri dan di luar negeri
antara lain berupa tabungan, giro, deposito, dan Negotiable
Certificate of Deposit (NCD).
3. Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 5
(1) Jumlah tertentu (threshold) sebagaimana dimaksud dalam Pasal
3 ayat (1), untuk Transaksi Derivatif jual dan Transaksi Derivatif
beli antara Bank dengan Pihak Asing adalah masing-masing
USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat) atau
ekuivalennya per transaksi per Pihak Asing maupun per posisi
(outstanding) per Bank.
(2) Khusus untuk penjualan valuta asing terhadap Rupiah melalui
transaksi forward, jumlah tertentu (threshold) sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) adalah USD5,000,000.00 (lima
juta dolar Amerika Serikat) atau ekuivalennya per transaksi per
Pihak Asing maupun per posisi (outstanding) per Bank.
(3) Transaksi Derivatif jual antara Bank dengan Pihak Asing dan
Transaksi Derivatif beli antara Bank dengan Pihak Asing
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang
melebihi nilai nominal Underlying Transaksi.
(4) Dalam hal nilai nominal Underlying Transaksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) tidak dalam kelipatan USD10,000.00
(sepuluh ribu dolar Amerika Serikat) maka terhadap nilai
nominal Underlying Transaksi dimaksud dapat dilakukan
pembulatan …
- 6 -
pembulatan ke atas dalam kelipatan USD10,000.00 (sepuluh
ribu dolar Amerika Serikat).
(5) Jangka waktu Transaksi Derivatif dilarang melebihi jangka
waktu Underlying Transaksi.
4. Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 6
Kewajiban memiliki Underlying Transaksi untuk Transaksi Valuta
Asing Terhadap Rupiah oleh Pihak Asing kepada Bank di atas jumlah
tertentu (threshold) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1),
Pasal 5 ayat (1), dan Pasal 5 ayat (2) tidak berlaku untuk
penyelesaian Transaksi Derivatif awal yang dilakukan melalui:
a. perpanjangan transaksi (roll over) sepanjang jangka waktu
perpanjangan transaksi (roll over) paling lama sama dengan
jangka waktu Underlying Transaksi awal;
b. percepatan penyelesaian transaksi (early termination); atau
c. pengakhiran transaksi (unwind).
5. Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 19
(1) Penyelesaian Transaksi Spot antara Bank dengan Pihak Asing
wajib dilakukan dengan pemindahan dana pokok secara penuh.
(2) Penyelesaian Transaksi Derivatif antara Bank dengan Pihak
Asing dapat dilakukan secara netting atau dengan pemindahan
dana pokok secara penuh.
(3) Penyelesaian Transaksi Derivatif antara Bank dengan Pihak
Asing yang dapat dilakukan secara netting sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) hanya berlaku untuk perpanjangan
transaksi (roll over), percepatan penyelesaian transaksi (early
termination), dan pengakhiran transaksi (unwind).
(4) Penyelesaian penjualan valuta asing terhadap Rupiah oleh Pihak
Asing kepada Bank melalui transaksi forward dengan nominal
transaksi …
- 7 -
transaksi dibawah jumlah tertentu (threshold) sebagaimana
dimaksud dalam pasal 5 ayat (2) wajib dilakukan dengan
pemindahan dana pokok secara penuh.
(5) Penyelesaian penjualan valuta asing terhadap Rupiah oleh Pihak
Asing kepada Bank melalui transaksi forward dengan
menggunakan Underlying Transaksi berupa kepemilikan dana
valuta asing di dalam negeri dan di luar negeri wajib dilakukan
dengan pemindahan dana pokok secara penuh.
6. Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 20
(1) Penyelesaian Transaksi Derivatif antara Bank dengan Pihak
Asing secara netting sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat
(3) dengan nilai nominal paling banyak sebesar jumlah tertentu
(threshold) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dapat
dilakukan sepanjang didukung dengan Underlying Transaksi
dari Transaksi Derivatif awal.
(2) Dalam hal pada saat penyelesaian Transaksi Derivatif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pihak Asing tidak dapat
menyampaikan dokumen Underlying Transaksi maka
penyelesaian Transaksi Derivatif dilakukan dengan pemindahan
dana pokok secara penuh.
7. Ketentuan Pasal 21 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 21
(1) Jenis dokumen Underlying Transaksi ditetapkan oleh Bank
Indonesia.
(2) Dokumen tagihan dalam valuta asing dari transaksi yang
diwajibkan menggunakan Rupiah sebagaimana diatur dalam
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kewajiban
penggunaan Rupiah di wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia, tidak dapat menjadi dokumen Underlying Transaksi.
(3) Ketentuan …
- 8 -
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan jenis dokumen
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dalam Surat
Edaran Bank Indonesia.
8. Ketentuan Pasal 23 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 23
(1) Dalam hal Bank melakukan Transaksi Derivatif dengan Pihak
Asing di atas jumlah tertentu (threshold) sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), Bank wajib memastikan
Pihak Asing untuk menyampaikan dokumen sebagai berikut:
a. dokumen
Underlying
Transaksi
yang dapat
dipertanggungjawabkan, baik yang bersifat final maupun
yang berupa perkiraan; dan
b. dokumen pendukung berupa pernyataan tertulis yang
authenticated dari Pihak Asing yang berisi informasi
mengenai:
1. keaslian dan kebenaran dokumen Underlying Transaksi
sebagaimana dimaksud pada huruf a;
2. penggunaan dokumen Underlying Transaksi untuk
Transaksi Derivatif paling banyak sebesar nominal
Underlying Transaksi dalam sistem perbankan di
Indonesia;
3. jumlah kebutuhan, tujuan penggunaan, dan tanggal
penggunaan valuta asing, dalam hal dokumen Underlying
Transaksi sebagaimana dimaksud pada huruf a berupa
perkiraan pembelian valuta asing terhadap Rupiah; dan
4. sumber dana, jumlah penjualan, dan tanggal tersedianya
valuta asing, dalam hal dokumen Underlying Transaksi
sebagaimana dimaksud pada huruf a berupa perkiraan
penjualan valuta asing terhadap Rupiah.
(2) Dalam hal Pihak Asing melakukan penyelesaian Transaksi
Derivatif dengan nilai nominal paling banyak sebesar jumlah
tertentu …
- 9 -
tertentu (threshold) secara netting sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 20 ayat (1) maka Pihak Asing wajib menyampaikan
dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
9. Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 30
(1) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (1), Pasal 4 ayat (2), Pasal 5 ayat (3), Pasal 5 ayat
(5), Pasal 7, Pasal 13, Pasal 14 ayat (1), Pasal 15 ayat (2), Pasal
17, Pasal 18 ayat (2), Pasal 19 ayat (1), Pasal 19 ayat (4), Pasal
19 ayat (5), Pasal 22 ayat (1), Pasal 23 ayat (1), Pasal 23 ayat (2),
Pasal 24, Pasal 25 ayat (2), Pasal 25 ayat (3), Pasal 25 ayat (4),
Pasal 25 ayat (5), dan/atau Pasal 25 ayat (6) dikenakan sanksi
administratif berupa teguran tertulis dan sanksi kewajiban
membayar sebesar 1% (satu persen) dari nilai nominal transaksi
yang dilanggar untuk setiap pelanggaran, dengan jumlah sanksi
paling sedikit sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah)
dan paling banyak sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah).
(2) Perhitungan nilai nominal transaksi yang dilanggar sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur sebagai berikut:
a. selisih antara total nilai nominal transaksi valuta asing
terhadap Rupiah dengan jumlah tertentu (threshold)
kewajiban pemenuhan Underlying Transaksi; atau
b. total nilai nominal Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah
yang tidak didukung dengan Underlying Transaksi dalam hal
nilai nominal transaksi di bawah jumlah tertentu (threshold)
tetapi dilakukan netting.
(3) Penghitungan sanksi kewajiban membayar sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) menggunakan kurs Jakarta Interbank
Spot Dollar Rate (JISDOR) pada tanggal terjadinya pelanggaran.
Pasal II …
- 10 -
Pasal II
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 2 Oktober 2015
GUBERNUR BANK INDONESIA,
AGUS D. W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 7 Oktober 2015
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 224
DPM
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 17/16/ PBI/ 2015
TENTANG
PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 16/17/PBI/2014 TENTANG
TRANSAKSI VALUTA ASING TERHADAP RUPIAH
ANTARA BANK DENGAN PIHAK ASING
I. UMUM
Perkembangan pasar keuangan domestik, termasuk pasar valuta
asing, cenderung mengalami tekanan sejalan dengan perkembangan
pasar keuangan global yang pada gilirannya berdampak terhadap
instabilitas nilai tukar. Selain itu, tingginya kebutuhan pelaku
ekonomi terhadap valuta asing untuk mendukung kegiatan ekonomi
juga turut menjadi penyebab tekanan terhadap nilai tukar.
Dalam kaitan ini, diperlukan respons kebijakan untuk menjaga
stabilitas nilai tukar dan perekonomian nasional. Permasalahan lain
yang dihadapi adalah keterbatasan penawaran valuta asing oleh
pelaku ekonomi sehingga diperlukan langkah-langkah untuk
mendorong peningkatan penawaran valuta asing di pasar domestik.
Penyempurnaan terhadap ketentuan terkait dengan transaksi valuta
asing terhadap Rupiah antara Bank dengan pihak asing merupakan
salah satu upaya meningkatkan penawaran valuta asing sehingga
dapat memenuhi tingginya kebutuhan terhadap valuta asing dalam
rangka kegiatan ekonomi.
Dengan adanya kebijakan tersebut, perlu dilakukan perubahan
ketiga atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/17/PBI/2014
tentang Transaksi Valuta Asing terhadap Rupiah antara Bank dengan
Pihak Asing.
II. PASAL …
- 2 -
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 2
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “kontrak’ adalah konfirmasi tertulis
yang menunjukkan terjadinya transaksi yang antara lain
berupa dealing conversation, SWIFT, atau konfirmasi tertulis
lainnya.
Ayat (2)
Huruf a
Pedoman internal tertulis berisi antara lain pencatatan
akuntansi, sumber daya manusia, sistem dan penerapan
manajemen risiko yang disetujui oleh manajemen Bank
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan otoritas
perbankan.
Huruf b
Ketentuan otoritas perbankan yang mengatur mengenai
kategori Bank yang dapat melakukan kegiatan transaksi
valuta asing antara lain mengatur bahwa Bank yang dapat
melakukan transaksi valuta asing, baik Transaksi Spot
maupun transaksi derivatif plain vanilla (forward, swap,
option, dan CCS) paling kurang adalah Bank BUKU 2.
Huruf c
Ketentuan otoritas yang mengatur mengenai penerapan
manajemen risiko Bank antara lain mengatur bahwa Bank
wajib …
- 3 -
wajib menerapkan manajemen risiko secara efektif yang
paling kurang mencakup:
1. pengawasan aktif dewan komisaris dan direksi;
2. kecukupan kebijakan, prosedur, dan penetapan limit;
3. kecukupan proses identifikasi, pengukuran,
pemantauan dan pengendalian risiko serta sistem
informasi manajemen risiko;
4. sistem pengendalian intern yang menyeluruh.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Edukasi dilakukan dalam rangka memberikan
pemahaman kepada Pihak Asing mengenai manfaat dan
risiko transaksi derivatif valuta asing terhadap Rupiah.
Huruf g
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf …
- 4 -
Huruf b
Yang dimaksud dengan “foreign direct investment”
adalah investasi langsung Pihak Asing ke dalam
negeri.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 5
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 6
Cukup jelas.
Angka 5
Pasal 19
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pemindahan dana pokok secara
penuh” adalah penyerahan dana secara riil untuk masing-
masing transaksi jual dan/atau transaksi beli valuta asing
terhadap Rupiah sebesar nilai penuh nominal transaksi atau
ekuivalennya.
Ayat …
- 5 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Angka 6
Pasal 20
Cukup jelas.
Angka 7
Pasal 21
Cukup jelas.
Angka 8
Pasal 23
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan ”dokumen Underlying Transaksi yang
bersifat final” adalah dokumen yang tidak akan mengalami
perubahan dalam hal jumlah dan/atau waktu pemenuhan
kebutuhannya.
Huruf …
- 6 -
Huruf b
Yang dimaksud dengan ”pernyataan tertulis yang
authenticated” adalah pernyataan tertulis yang telah
diverifikasi atau dibuktikan kebenarannya secara sistem.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 9
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal II
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5744
"," PBI
17/16/PBI/2015
PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 16/17/PBI/2014 TENTANG TRANSAKSI VALUTA ASING TERHADAP RUPIAH ANTARA BANK DENGAN PIHAK ASING
2 Oktober 2015
7 Oktober 2015
7 Oktober 2015
'16/17/PBI/2014'
'17/7/PBI/2015', '17/14/PBI/2015'
'6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '24/UU/1999'
'Pasal I Angka 9 Pasal 30'
"
" PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 1/ 6 /PBI/1999
TENTANG
PENUGASAN DIREKTUR KEPATUHAN (COMPLIANCE DIRECTOR)
DAN PENERAPAN STANDAR PELAKSANAAN FUNGSI AUDIT INTERN
BANK UMUM
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa dalam rangka menegakkan pelaksanaan prinsip kehati-
hatian dalam pengelolaan Bank diperlukan adanya anggota
direksi yang ditugaskan sebagai compliance director guna
memantau dan memastikan pelaksanaan hal tersebut;
b. bahwa dalam rangka menjaga dan mengamankan kegiatan
usaha Bank, juga diperlukan adanya pelaksanaan fungsi audit
intern bank yang efektif;
c. bahwa sehubungan dengan itu dipandang perlu untuk
menetapkan ketentuan tentang penugasan compliance
director dan penerapan standar pelaksanaan fungsi audit
intern bank umum dalam Peraturan Bank Indonesia;
Mengingat
:
1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3472) sebagaimana telah diubah
dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran
Negara Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3790);
2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 66,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843);
2. Undang …
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG
PENUGASAN DIREKTUR KEPATUHAN (COMPLIANCE
DIRECTOR) DAN PENERAPAN STANDAR
PELAKSANAAN FUNGSI AUDIT INTERN BANK UMUM.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Yang dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia ini dengan:
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor
7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-
undang Nomor 10 Tahun 1998, termasuk kantor cabang bank asing;
2. Kantor Cabang Bank Asing adalah kantor cabang dari bank yang berkedudukan
di luar negeri yang secara langsung bertanggungjawab kepada kantor pusat bank
yang bersangkutan dan mempunyai alamat serta tempat kedudukan di
Indonesia;
3. Direktur Kepatuhan (yang merupakan terjemahan dari Compliance Director)
adalah anggota direksi Bank atau anggota pimpinan Kantor Cabang Bank Asing
yang ditugaskan untuk menetapkan langkah-langkah yang diperlukan guna
memastikan kepatuhan Bank terhadap peraturan Bank Indonesia, peraturan
perundang-undangan lain yang berlaku dan perjanjian serta komitmen dengan
Bank Indonesia;
4. Standar …
4. Standar Pelaksanaan Fungsi Audit Intern Bank atau disingkat SPFAIB adalah
ukuran minimal yang harus dipatuhi oleh semua Bank dalam melaksanakan
fungsi audit intern.
BAB II
PENUGASAN DIREKTUR KEPATUHAN
Pasal 2
(1) Bank wajib menugaskan salah seorang anggota direksi sebagai Direktur
Kepatuhan.
(2) Kantor Cabang Bank Asing wajib menugaskan salah seorang anggota pimpinan
kantor cabang sebagai Direktur Kepatuhan.
Pasal 3
(1) Penugasan dan pemberhentian Direktur Kepatuhan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) dilakukan oleh dewan komisaris dan direktur utama
dengan mendapat persetujuan terlebih dahulu dari Bank Indonesia.
(2) Bagi Kantor Cabang Bank Asing, penugasan dan pemberhentian Direktur
Kepatuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) dilakukan oleh pihak-
pihak yang berwenang sesuai dengan struktur organisasi Bank dengan
mendapat persetujuan terlebih dahulu dari Bank Indonesia.
Pasal 4
Anggota direksi Bank atau anggota pimpinan Kantor Cabang Bank Asing yang
ditugaskan sebagai Direktur Kepatuhan wajib memenuhi persyaratan sekurang-
kurangnya:
a. tidak merangkap jabatan sebagai direktur utama Bank atau pemimpin Kantor
Cabang Bank Asing;
b. tidak …
b. tidak membawahi kegiatan operasional, akuntansi dan/atau Satuan Kerja Audit
Intern (SKAI);
c. memahami peraturan Bank Indonesia dan peraturan perundang-undangan lain
yang berlaku;
d. mampu bekerja secara independen.
Pasal 5
Direktur Kepatuhan bertugas dan bertanggung jawab sekurang-kurangnya untuk:
a. menetapkan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan Bank telah
memenuhi seluruh peraturan Bank Indonesia dan peraturan perundang-
undangan lain yang berlaku dalam rangka pelaksanaan prinsip kehati-hatian;
b. memantau dan menjaga agar kegiatan usaha Bank tidak menyimpang dari
ketentuan yang berlaku;
c. memantau dan menjaga kepatuhan Bank terhadap seluruh perjanjian dan
komitmen yang dibuat oleh Bank kepada Bank Indonesia.
Pasal 6
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Direktur
Kepatuhan wajib mencegah direksi Bank atau pimpinan Kantor Cabang Bank Asing
agar tidak menempuh kebijakan dan/atau menetapkan keputusan yang menyimpang
dari peraturan Bank Indonesia dan peraturan perundang-undangan lain yang
berlaku.
Pasal 7
(1) Direktur Kepatuhan wajib melaporkan pelaksanaan tugas dan tanggung
jawabnya secara berkala kepada direktur utama dengan tembusan kepada dewan
komisaris.
(2) Bagi …
(2) Bagi Kantor Cabang Bank Asing, Direktur Kepatuhan wajib melaporkan
pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya secara berkala kepada pemimpin
kantor cabang dan pihak-pihak yang berwenang sesuai dengan struktur
organisasi bank.
BAB III
STANDAR PELAKSANAAN FUNGSI AUDIT INTERN BANK
Pasal 8
(1) Bank wajib menerapkan fungsi audit intern bank sebagaimana ditetapkan dalam
Standar Pelaksanaan Fungsi Audit Intern Bank yang merupakan lampiran tidak
terpisahkan dari Peraturan Bank Indonesia ini.
(2) Dalam hal suatu Bank telah mempunyai standar audit intern sendiri maka
standar tersebut harus sekurang-kurangnya memenuhi Standar Pelaksanaan
Fungsi Audit Intern Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 9
Berdasarkan Standar Pelaksanaan Fungsi Audit Intern Bank, Bank wajib:
a. menyusun Piagam Audit Intern (Internal Audit Charter);
b. membentuk Satuan Kerja Audit Intern (SKAI);
c. menyusun panduan audit intern.
Pasal 10
SKAI bertugas dan bertanggung jawab untuk :
a. membantu tugas direktur utama dan dewan komisaris dalam melakukan
pengawasan dengan cara menjabarkan secara operasional baik perencanaan,
pelaksanaan maupun pemantauan hasil audit;
b. membuat …
b. membuat analisis dan penilaian di bidang keuangan, akuntansi, operasional dan
kegiatan lainnya melalui pemeriksaan langsung dan pengawasan secara tidak
langsung;
c. mengidentifikasi segala kemungkinan untuk memperbaiki dan meningkatkan
efisiensi penggunaan sumber daya dan dana;
d. memberikan saran perbaikan dan informasi yang objektif tentang kegiatan yang
diperiksa pada semua tingkatan manajemen.
Pasal 11
(1) SKAI merupakan satuan kerja yang bertanggung jawab langsung kepada
direktur utama.
(2) Dalam melaksanakan tugasnya SKAI menyampaikan laporan kepada direktur
utama dan dewan komisaris dengan tembusan kepada Direktur Kepatuhan.
(3) Kepala SKAI diangkat dan diberhentikan oleh direktur utama Bank dengan
persetujuan dewan komisaris.
BAB IV
PELAPORAN
Pasal 12
Bank wajib menyampaikan laporan kepada Bank Indonesia tentang pelaksanaan
tugas Direktur Kepatuhan, yaitu:
a. laporan pokok-pokok pelaksanaan tugas Direktur Kepatuhan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5;
b. laporan khusus mengenai kebijakan dan/atau keputusan direksi atau pimpinan
Kantor Cabang Bank Asing yang menurut pendapat Direktur Kepatuhan telah
menyimpang dari peraturan Bank Indonesia dan/atau peraturan perundang-
undangan lain yang berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6.
Pasal 13
Pasal 13 …
Bank wajib menyampaikan laporan kepada Bank Indonesia tentang pelaksanaan
fungsi audit intern, yaitu:
a. laporan pengangkatan atau pemberhentian kepala SKAI yang disertai dengan
pertimbangan dan alasan pengangkatan atau pemberhentian;
b. laporan pelaksanaan dan pokok-pokok hasil audit intern termasuk informasi
hasil audit yang bersifat rahasia;
c. laporan khusus mengenai setiap temuan audit intern yang diperkirakan dapat
mengganggu kelangsungan usaha bank;
d. laporan hasil kaji ulang pihak ekstern yang memuat pendapat tentang hasil
kerja SKAI dan kepatuhannya terhadap Standar Pelaksanaan Fungsi Audit
Intern Bank serta perbaikan yang mungkin dilakukan.
Pasal 14
(1) Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf a yang ditandatangani
oleh Direktur Kepatuhan dan direktur utama atau pemimpin Kantor Cabang
Bank Asing, wajib disampaikan kepada Bank Indonesia setiap akhir bulan Juni
dan Desember, selambat-lambatnya 1 (satu) bulan setelah bulan laporan.
(2) Dalam hal direktur utama atau pemimpin Kantor Cabang Bank Asing tidak
bersedia menandatangani laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Direktur Kepatuhan wajib menyampaikan langsung kepada Bank Indonesia
disertai dengan penjelasan.
(3) Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf b yang ditandatangani
oleh Direktur Kepatuhan wajib disampaikan kepada Bank Indonesia selambat-
lambatnya 7 (tujuh) hari setelah terjadinya kebijakan dan/atau keputusan
dimaksud.
Pasal 15 …
Pasal 15
(1) Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf a yang ditandatangani
oleh direktur utama dan dewan komisaris, wajib disampaikan kepada Bank
Indonesia selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari setelah tanggal
pengangkatan atau pemberhentian kepala SKAI.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf b yang ditandatangani
oleh direktur utama dan dewan komisaris, wajib disampaikan kepada Bank
Indonesia setiap akhir bulan Juni dan Desember, selambat-lambatnya 2 (dua)
bulan setelah bulan laporan.
(3) Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf c yang ditandatangani
oleh direktur utama dan dewan komisaris, wajib segera disampaikan kepada
Bank Indonesia selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sejak temuan audit
diketahui.
(4) Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf d wajib disampaikan
kepada Bank Indonesia sekurang-kurangnya sekali dalam 3 (tiga) tahun,
selambat-lambatnya 1 (satu) bulan setelah hasil kaji ulang oleh pihak ekstern
diterima oleh Bank.
BAB V
ALAMAT PERMOHONAN DAN PENYAMPAIAN LAPORAN
Pasal 16
(1) Permohonan untuk mendapatkan persetujuan menjadi Direktur Kepatuhan
dialamatkan kepada:
a. Dewan Gubernur Bank Indonesia Up. Direktorat Perizinan dan Informasi
Perbankan, dengan tembusan kepada Direktorat Pengawasan Bank, Bank
Indonesia, Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10110, bagi Bank yang
berkantor pusat di wilayah Jabotabek; atau
b. Dewan Gubernur Bank Indonesia Up. Direktorat Perizinan dan Informasi
Perbankan, dengan tembusan kepada Direktorat Pengawasan Bank, Bank
Indonesia, Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10110 dan Kantor Cabang Bank
Indonesia setempat, bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah
Jabotabek.
Kantor …
(2) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dan Pasal 15
dialamatkan kepada:
a. Direktorat Pengawasan Bank, Bank Indonesia, Jl. M.H. Thamrin No. 2,
Jakarta 10110, bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah Jabotabek; atau
b. Kantor Cabang Bank Indonesia setempat, bagi Bank yang berkantor pusat di
luar wilayah Jabotabek.
BAB VI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 17
(1) Pengajuan calon Direktur Kepatuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
wajib disampaikan kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 30 (tiga puluh)
hari sejak ditetapkannya Peraturan Bank Indonesia ini.
(2) Pengajuan calon Direktur Kepatuhan kepada Bank Indonesia disampaikan
dengan alamat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1).
Pasal 18
Bagi Bank yang telah memiliki Direktur Kepatuhan sebelum berlakunya Peraturan
Bank Indonesia ini wajib menyesuaikan dengan ketentuan dalam Peraturan Bank
Indonesia ini.
BAB VII …
BAB VII
SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 19
(1) Direktur Kepatuhan yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7 dan Pasal 14 dikenakan sanksi berupa
pembatalan persetujuan Bank Indonesia sebagai Direktur Kepatuhan.
(2) Bank wajib mengajukan calon Direktur Kepatuhan baru apabila Direktur
Kepatuhan yang ada dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).
(3) Pengajuan calon Direktur Kepatuhan baru sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) wajib disampaikan kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 30 (tiga
puluh) hari sejak pembatalan persetujuan Bank Indonesia sebagai Direktur
Kepatuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 20
(1) Bank yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2,
Pasal 8, Pasal 9, Pasal 17 ayat (1), Pasal 18 dan/atau Pasal 19 ayat (2)
dikenakan sanksi administratif.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa antara
lain:
a. teguran tertulis;
b. penurunan tingkat kesehatan bank;
c. pemberhentian pengurus bank dan selanjutnya menunjuk dan mengangkat
pengganti sementara sampai Rapat Umum Pemegang Saham atau Rapat
Anggota Koperasi mengangkat pengganti yang tetap dengan persetujuan
Bank Indonesia;
d. pencantuman anggota pengurus, pegawai Bank, pemegang saham dalam
daftar orang tercela di bidang perbankan.
Pasal 21
Pasal 21 …
Bank yang terlambat menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
14 atau Pasal 15 dikenakan sanksi administratif berupa kewajiban membayar
sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk setiap laporan per hari
kelambatan.
Pasal 22
(1) Bank dianggap tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 14 atau Pasal 15 apabila Bank belum menyampaikan laporan dimaksud
30 (tiga puluh) hari setelah jangka waktu yang ditetapkan.
(2) Bank yang tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikenakan sanksi administratif berupa kewajiban membayar sebesar
Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) untuk setiap laporan dan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2).
BAB VIII
LAIN – LAIN
Pasal 23
Bagi Bank yang sedang mengikuti program rekapitalisasi bank umum, berlaku
ketentuan baik dalam Peraturan Bank Indonesia ini maupun ketentuan dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 84 Tahun 1998 tanggal 31 Desember 1998 tentang
Program Rekapitalisasi Bank Umum dan peraturan pelaksanaannya.
BAB IX …
BAB IX
PENUTUP
Pasal 24
Dengan dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia ini maka Surat Keputusan
Direksi Bank Indonesia Nomor 27/163/KEP/DIR tanggal 31 Maret 1995 tentang
Kewajiban Bank Umum Untuk Menerapkan Standar Pelaksanaan Fungsi Audit
Intern Bank dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 25
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 20 September 1999
GUBERNUR BANK INDONESIA
SYAHRIL SABIRIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1999 NOMOR 158
DPNP
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 1/ 6 /PBI/1999
TENTANG
PENUGASAN DIREKTUR KEPATUHAN (COMPLIANCE DIRECTOR)
DAN PENERAPAN STANDAR PELAKSANAAN FUNGSI AUDIT INTERN
BANK UMUM
UMUM
Dalam rangka restrukturisasi perbankan nasional, telah dilaksanakan
beberapa langkah perbaikan antara lain berupa program rekapitalisasi perbankan,
penilaian fit and proper terhadap pemilik dan pengurus bank, dan penyesuaian
beberapa ketentuan perbankan yang berhubungan dengan pelaksanaan prinsip
kehati-hatian dalam pengelolaan bank.
Berbagai langkah yang telah dilaksanakan tersebut perlu terus dipantau
tindak lanjutnya agar tetap sesuai dengan tujuan yang diharapkan yaitu terciptanya
sistem perbankan yang sehat.
Selain peningkatan fungsi pengawasan bank oleh Bank Indonesia, dari sisi
intern di setiap bank umum perlu dilakukan pemantauan terhadap pelaksanaan
langkah-langkah perbaikan yang telah direncanakan serta untuk selalu memastikan
ketaatan bank umum terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku di
bidang perbankan.
Untuk mencapai hal tersebut maka pada bank umum perlu ditugaskan salah
seorang anggota direksi sebagai Direktur Kepatuhan.
Khusus bagi bank umum yang mengikuti program rekapitalisasi bank
umum, Direktur Kepatuhan juga bertugas untuk memastikan ketaatan bank
terhadap perjanjian rekapitalisasi dan rencana kerja yang telah disetujui oleh Bank
Indonesia.
Keberadaan …
Keberadaan Direktur Kepatuhan tersebut diharapkan dapat membantu
manajemen bank dalam melaksanakan kegiatan operasionalnya sesuai dengan
prinsip kehati-hatian.
Di samping itu, diperlukan adanya pelaksanaan fungsi audit intern bank
yang efektif melalui adanya kesamaan pemahaman mengenai misi, kewenangan,
independensi, dan ruang lingkup pekerjaan audit intern bank.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Angka 1
Ketentuan mengenai Bank Umum berpedoman pada Surat
Keputusan Direksi Bank Indonesia tentang Bank Umum, dan Surat
Keputusan Direksi Bank Indonesia tentang Bank Umum berdasarkan
Prinsip Syariah
Angka 2
Ketentuan mengenai Kantor Cabang Bank Asing berpedoman pada
Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia tentang Persyaratan dan
Tata Cara Pembukaan Kantor Cabang, Kantor Cabang Pembantu dan
Kantor Perwakilan dari Bank Yang Berkedudukan di Luar Negeri.
Angka 3
Cukup jelas
Angka 4
Cukup jelas
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2) …
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan pimpinan kantor cabang adalah pemimpin
kantor cabang dan pejabat satu tingkat di bawah pemimpin kantor
cabang dari Kantor Cabang Bank Asing.
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Pihak-pihak yang berwenang menunjuk Direktur Kepatuhan antara
lain direktur di kantor pusat atau pimpinan di kantor wilayah bank
yang bersangkutan.
Pasal 4
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Yang dimaksud dengan kegiatan operasional adalah kegiatan kredit,
treasury, penghimpunan dana dan kegiatan operasional lainnya.
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Yang dimaksud dengan bekerja secara independen adalah dapat
mengungkapkan pandangan serta pemikiran sesuai dengan profesi,
dengan tidak memihak terhadap kepentingan pihak lain yang tidak
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan
prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan bank.
Pasal 5 …
Pasal 5
Huruf a
Yang dimaksud dengan menetapkan langkah-langkah antara lain
adalah menyiapkan prosedur kepatuhan (compliance procedure)
pada setiap satuan kerja, menyesuaikan pedoman intern bank
terhadap perubahan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan
menyiapkan proses pengambilan keputusan oleh manajemen.
Yang dimaksud dengan ketentuan dalam rangka pelaksanaan prinsip
kehati-hatian antara lain adalah ketentuan mengenai Kewajiban
Penyediaan Modal Minimum, Batas Maksimum Pemberian Kredit,
Posisi Devisa Neto, Kualitas Aktiva Produktif, dan Penyisihan
Penghapusan Aktiva Produktif.
Huruf b
Dilakukan antara lain dengan pemantauan penerapan prosedur
kepatuhan (compliance procedure) pada setiap satuan kerja yang
digunakan sebagai alat dalam setiap pengambilan keputusan yang
dilakukan, dan melakukan pelatihan serta sosialisasi kepatuhan
terhadap ketentuan yang berlaku.
Huruf c
Perjanjian yang dibuat oleh Bank dengan Bank Indonesia antara lain
adalah perjanjian dalam rangka program rekapitalisasi bank umum.
Komitmen yang dibuat oleh Bank adalah kesanggupan Bank untuk
memenuhi perintah dan larangan dari Bank Indonesia dalam
pelaksanaan kegiatan tertentu (Cease and Desist Order).
Pasal 6
Dalam hal Direktur Kepatuhan telah melakukan pencegahan namun masih
terjadi penyimpangan, direksi Bank atau pimpinan Kantor Cabang Bank
Asing tetap bertanggung jawab atas penyimpangan yang terjadi.
Pasal 7 …
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 9
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Pasal 10
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d …
Huruf d
Cukup jelas
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Tembusan laporan SKAI kepada Direktur Kepatuhan dimaksudkan
antara lain untuk dijadikan sebagai informasi dalam rangka
penyempurnaan prosedur kepatuhan yang ada di setiap unit kerja.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 12
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Pasal 13
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Pasal 14 …
Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 17
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Ayat (2) …
Cukup jelas
Pasal 18
Yang dimaksud dengan menyesuaikan dengan Peraturan Bank Indonesia ini
adalah menyesuaikan tugas-tugas dan persyaratan Direktur Kepatuhan yang
telah dimiliki, dengan Peraturan Bank Indonesia, serta mengajukan
permohonan persetujuan kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 30
(tiga puluh) hari sejak ditetapkannya Peraturan Bank Indonesia ini.
Pasal 19
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 20
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 21
Cukup jelas
Pasal 22
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 23
Penugasan/penunjukan Direktur Kepatuhan untuk Bank yang sedang
mengikuti program rekapitalisasi bank umum berlaku ketentuan dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 84 Tahun 1998 tanggal 31 Desember 1998
tentang Program Rekapitalisasi Bank Umum dan Surat Keputusan Bersama
Menteri Kuangan Republik Indonesia dan Gubernur Bank
Indonesia Nomor
53/KMK.017/1999
31/12/KEP/GBI
tanggal 8 Februari 1999
tentang Pelaksanaan Program Rekapitalisasi Bank Umum, yaitu melalui
Rapat Umum Pemegang Saham.
Pasal 24
Cukup jelas
Pasal 25
Cukup jelas
Pasal 22 …
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1999
NOMOR 3883
DPNP
KEWAJIBAN BANK UMUM UNTUK
MENERAPKAN STANDAR PELAKSANAAN
FUNGSI AUDIT INTERN BANK
BANK INDONESIA
1999
DAFTAR ISI
BAB I
KEBIJAKAN UMUM
1.
2.
KEBIJAKAN UMUM ……………………………………………… 1
MISI AUDIT INTERN BANK ……………………………………… 1
2.1. Mekanisme Pengendalian Umum ……………………………… 2
2.2. Fungsi SKAI ……………………………………………… 4
2.3.
Peran Dewan Komisaris dalam hubungannya dengan
fungsi SKAI …………………………………………. …… 4
3.
INDEPENDENSI …………………………………………… 4
3.1
3.2.
3.3
3.4
Dukungan ……………………………………………………… 5
Kebebasan menetapkan metode ……………………………… 5
Obyektifitas …………………………………………………… 5
Bebas dari pertentangan kepentingan ……..…………………… 5
4. WEWENANG, KEDUDUKAN DAN TANGGUNG
JAWAB SKAI …………………………………………………………… 6
5.
6.
RUANG LINGKUP PEKERJAAN AUDIT INTERN ………………... 6
STANDAR PELAKSANAAN FUNGSI AUDIT
INTERN BANK ………………………… ………..……………… 6
6.1.
6.2.
6.3.
Hubungan SPFAIB dengan standar yang lain ………………… 7
Kontinuitas SPFAIB ……………………………………… 7
Keterkaitan SPFAIB dengan pengawasan
Bank Indonesia ………………………………….…..… 7
BAB II
PROFESIONALISME
1.
2.
2.1.
2.2.
3.
3.1.
3.2.
3.3.
4.
4.1.
4.2.
PROFESIONALISME ………………………………………………. 8
KEMAHIRAN PROFESIONALISME
…………………….……. 8
Latar belakang pendidikan …………………….……………. 8
Pengalaman kerja …………………………………….………… 9
SIKAP MENTAL DAN ETIKA ……………………………………… 9
Sikap mental Auditor Intern ……………………………….…. 9
Etika Auditor Intern ………………………………………….. 10
Tanggung jawab terhadap profesi ……………………………… 11
KEMAMPUAN KOMUNIKASI ……………………………………… 12
Komunikasi dengan Auditee ……………………………..…… 12
Komunikasi dengan auditor ekstern ………………………..… 12
BAB III
ORGANISASI DAN MANAJEMEN
1. ORGANISASI DAN MANAJEMEN ………………………………..… 13
2. AUDITOR YANG PROFESIONAL ……..…………………………… 13
3. KEDUDUKAN DAN HUBUNGAN SKAI DENGAN
MANAJEMEN DAN DEWAN KOMISARIS
3.1.
3.2.
3.3.
…………..……… 14
Kedudukan SKAI dalam organisasi ……………..…………… 14
Kewajiban manajemen untuk
menanggapi hasil laporan SKAI ……………………………… 15
Kedudukan, komunikasi, keanggotaan
dan tanggung jawab Dewan Komisaris ……………………… 15
4. STRUKTUR ORGANISASI ………………………..………………… 16
5. WEWENANG DAN TANGGUNG JAWAB ……………..…………… 16
5.1. Internal Audit Charter …………………………………..……… 17
5.2. Wewenang dan tanggung jawab Kepala SKAI ……………… 17
5.3. Peran SKAI sebagai konsultan ……………………………… 17
6. PERENCANAAN ……………………………………………………… 18
7. KEBIJAKAN DAN PROSEDUR ……………………………………… 19
8. PENGEMBANGAN AUDITOR INTERN DAN
PENDIDIKAN PROFESI ……………………………………………… 19
9. PENGENDALIAN MUTU AUDIT ……………………………… 19
10. HUBUNGAN SKAI DENGAN AUDITOR EKSTERN ……………… 20
BAB IV
RUANG LINGKUP PEKERJAAN AUDIT INTERN
1.
2.
RUANG LINGKUP PEKERJAAN AUDIT INTERN …………… 21
HUBUNGAN AUDIT INTERN DENGAN STRUKTUR
BAB V
PELAKSANAAN AUDIT
1.
2.
PELAKSANAAN AUDIT ……………………………………… 24
PERSIAPAN AUDIT ……………………..…………………… 24
2.1.
2.2.
2.3.
2.4.
Metode Pendekatan Audit Intern …………………………… 24
Penetapan penugasan ……………………………………… 24
Pemberitahuan audit ……………………………………… 25
Penelitian pendahuluan …………………………………… 25
3.
PENYUSUNAN PROGRAM AUDIT …………………………… 26
4.
PELAKSANAAN PENUGASAN AUDIT ……………………… 26
4.1.
4.2.
4.3.
4.4.
Proses audit ……………………………………………… 26
Bukti audit ……………………………………………… 27
Evaluasi hasil audit ……………………………………… 27
Supervisi …………………………………………………… 28
5.
PELAPORAN HASIL AUDIT …………………………………… 29
5.1.
5.2.
5.3.
Standar pelaporan ……………………………………..… 29
Materi pelaporan ………………………………………… 30
Informasi khusus yang tidak dicantumkan dalam
Laporan Hasil Audit ……………………………… 31
5.4.
5.5.
6.
Proses penyusunan laporan ……………………………… 31
Penyampaian laporan ……………………………………… 32
TINDAK LANJUT HASIL AUDIT ……………………………… 33
BAB VI
DOKUMENTASI DAN ADMINISTRASI
1.
2.
DOKUMENTASI DAN ADMINISTRASI ……………………… 34
DOKUMENTASI KERTAS KERJA AUDIT …………………… 34
2.1.
2.2.
2.3.
3.
ADMINISTRASI HASIL AUDIT ……………………………… 35
3.1.
3.2.
Fungsi Kertas Kerja Audit ………………………………..… 34
Penyusunan Dokumentasi Kertas Kerja Audit …………… 34
Penyimpanan Kertas Kerja Audit ……………………… 35
Administrasi komunikasi audit ……………………………... 36
Administrasi kelengkapan pelaksanaan audit ………………. 36
PENGERTIAN ISTILAH …………………………………………………. 37
BAB I
KEBIJAKAN UMUM
1. KEBIJAKAN UMUM
Fungsi Audit Intern Bank sangat penting karena peranan yang diharapkan
dari fungsi tersebut untuk membantu semua tingkatan manajemen dalam
mengamankan kegiatan operasional bank yang melibatkan dana dari
masyarakat luas. Di samping itu, menyadari kedudukan yang strategis dari
perbankan dalam perekonomian, Audit Intern bank diharapkan juga mampu
menjaga perkembangan bank ke arah yang dapat menunjang program
pembangunan dari Pemerintah. Dalam hubungan ini, perlu diciptakan
kesamaan pemahaman mengenai misi, kewenangan, independensi, dan ruang
lingkup pekerjaan Audit Intern bank sehingga peranan tesebut dapat
terwujud. Selanjutnya, agar penjabaran operasional dari misi, kewenangan,
independensi dan ruang lingkup pekerjaan Audit Intern bank dapat
terlaksana sesuai dengan yang diharapkan, diperlukan adanya Standar
Pelaksanaan Fungsi Audit Intern Bank (SPFAIB) sebagai ukuran minimal
yang harus dipatuhi oleh semua bank umum di Indonesia. Pelaksanaan
SPFAIB untuk Bank-Bank Persero juga perlu memperhatikan Peraturan
Pemerintah Nomor 3 Tahun 1983 tanggal 25 Januari 1983 tentang Tata cara
Pembinaan dan Pengawasan Perusahaan Jawatan (Perjan), Perusahaan
Umum (Perum) dan Perusahaan Perseroan (Persero).
2. MISI AUDIT INTERN BANK
Terpenuhinya secara baik kepentingan bank dan masyarakat penyimpan dana
merupakan bagian dari misi Audit Intern Bank. Hal ini perlu dikemukakan
karena sebagai badan usaha, di dalam bank terdapat dan bertemu berbagai
macam kepentingan dari pihak-pihak terkait, seperti pemilik, manajemen,
pegawai, dan nasabah. Walaupun terdapat perbedaan kepentingan diantara
pihak-pihak terkait tersebut, namun pada hakekatnya kepentingan tersebut
mempunyai tujuan yang sama, yaitu tercapainya bank yang sehat dan mampu
berkembang secara wajar. Dalam kaitan ini, Audit Intern bank harus dapat
menempatkan fungsinya di atas berbagai kepentingan tersebut untuk
memastikan terwujudnya bank yang sehat, berkembang secara wajar dan
dapat menunjang perekonomian nasional. Agar misi tersebut dapat
terlaksana dengan baik, diperlukan mekanisme pengendalian umum dalam
setiap bank di Indonesia. Selanjutnya, perlu dilakukan penataan dan
penegasan dari peranan Dewan Komisaris dalam hubungannya dengan
Fungsi Audit Intern bank.
2.1. Mekanisme Pengendalian Umum
Mekanisme pengendalian umum adalah setiap kebijakan dan kegiatan
yang ditentukan oleh manajemen bank di bidang pengawasan dalam rangka
memperoleh keyakinan yang memadai bahwa kepentingan bank, masyarakat
penyimpan dana dan pengguna jasa serta perekonomian nasional dapat
terpelihara dengan serasi, dan dapat dilaksanakan dengan efektif dan
efisien. Beberapa aspek yang memerlukan kejelasan dan kesamaan
pemahaman agar mekanisme tersebut dapat terwujud diantaranya adalah
tanggung jawab dan wewenang pengawasan dari Dewan Komisaris dan
Direksi, ruang lingkup Pengendalian Intern dan pekerjaan Audit Intern
dalam hubungannya dengan struktur pengendalian intern bank.
a. Tanggung jawab dan wewenang pengawasan Dewan Komisaris dan
Direksi
Dalam kerangka pengendalian umum, pembagian tanggung jawab
dan wewenang pengawasan antara Dewan Komisaris dan Direksi
harus dinyatakan dengan jelas dalam Anggaran Dasar bank atau
Keputusan Rapat Umum Pemegang Saham bagi bank yang belum
mencantumkan hal tersebut dalam anggaran dasarnya. Pembagian
tersebut diatur sebagai berikut:
i. tanggung jawab akhir pengawasan dilakukan oleh Dewan Komisaris
antara lain dengan mengevaluasi hasil temuan pemeriksaan oleh
Satuan Kerja Audit Intern (SKAI). Dalam kaitan ini, Dewan
Komisaris berwenang untuk meminta Direksi menindaklanjuti hasil
temuan pemeriksaan SKAI.
ii. tanggung jawab Direksi adalah menciptakan struktur pengendalian
intern, menjamin terselenggaranya Fungsi Audit Intern bank dalam
setiap tingkatan manajemen dan menindaklanjuti temuan Audit Intern
bank sesuai dengan kebijakan ataupun pengarahan yang diberikan oleh
Dewan Komisaris. Dalam kaitan ini, Direksi berkewajiban pula
melaporkan kegiatan tersebut di atas kepada Rapat Umum Pemegang
Saham.
b. Ruang lingkup Pengendalian Intern Bank
Struktur pengendalian intern meliputi kebijakan, organisasi, prosedur,
metode dan ketentuan yang terkoordinasi yang dianut dalam satuan usaha.
Struktur pengendalian intern bertujuan untuk mengamankan harta
kekayaan, meyakini akurasi dan kehandalan data akuntansi,
mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya secara ekonomis dan efisien
serta mendorong ditaatinya kebijakan manajemen yang telah digariskan.
Dalam usaha perbankan yang melibatkan dana dari masyarakat luas, ruang
lingkup pengendalian intern bank meliputi juga aspek-aspek yang mampu
menjamin keamanan dana yang disimpan oleh masyarakat dan pihak
ketiga lainnya.
c. Audit Intern sebagai bagian dari Struktur Pengendalian Intern
Audit Intern merupakan bagian dari struktur pengendalian intern dan
merupakan segala bentuk kegiatan yang berhubungan dengan audit dan
pelaporan hasil audit mengenai terselenggaranya struktur pengendalian
secara terkoordinasi dalam setiap tingkatan manajemen bank.
Transparansi dan kejelasan merupakan suatu hal yang sangat penting
dalam pengelolaan bank sehingga kebijakan Audit Intern yang berkaitan
dengan wewenang dan tingkat independensinya perlu dinyatakan dalam
sebuah dokumen tertulis dari Direktur Utama bank dengan persetujuan
Dewan Komisaris yang disebut Internal Audit Charter. Secara periodik
Internal Audit Charter ini perlu dinilai kecukupannya oleh Direktur
Utama dan Dewan Komisaris agar pelaksanan Audit Intern senantiasa
berada pada tingkat yang optimal.
2.2. Fungsi SKAI
Tugas SKAI adalah membantu Direktur Utama dan Dewan Komisaris dengan
menjabarkan secara operasional perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan
atas hasil audit. Dalam melaksanakan hal ini Auditor Intern mewakili
pandangan dan kepentingan profesinya dengan membuat analisis dan
penelitian di bidang keuangan, akuntansi, operasional dan kegiatan lainnya
melalui pemeriksaan secara on-site dna pemantauan secara off-site, serta
memberikan saran perbaikan dan informasi yang obyektif tentang kegiatan
yang direview kepada semua tingkatan manajemen. Di samping itu SKAI
harus mampu mengidentifikasikan segala kemungkinan untuk memperbaiki
dan meningkatkan efisiensi penggunaan sumber daya dan dana.
2.3. Peran Dewan Komisaris Dalam Hubungannya Dengan Fungsi
SKAI
Dewan Komisaris harus menjamin agar SKAI dapat melaksanakan tugas
secara independen. Dalam hal ini Dewan Komisaris wajib melakukan review
atas perencanaan dan pelaksanaan audit serta pemantauan atas tindak lanjut
hasil audit dalam rangka menilai kecukupan pengendalian intern termasuk
kecukupan proses pelaporan keuangan. Hal tersebut perlu dilakukan
mengingat Dewan Komisaris berperan sebagai wakil dari pemegang saham
dan masyarakat.
3. INDEPENDENSI
Baik SKAI maupun masing-masing Auditor Intern harus memiliki
independensi dalam melakukan audit dan mengungkapkan pandangan serta
pemikiran sesuai dengan profesinya dan standar audit yang berlaku umum.
Independensi tersebut sangat penting agar produk yang dihasilkannya
memiliki manfaat yang optimal bagi terselenggara dan terjaminnya
kepentingan bank dan masyarakat. Dalam hubungan ini Audit Intern harus
independen dari kegiatan yang diperiksa. Auditor Intern dianggap independen
apabila dapat bekerja dengan bebas dan obyektif. Untuk memperoleh
independensi tersebut, kedudukan Kepala SKAI dalam organisasi harus
ditetapkan sedemikain rupa sehingga mampu mengungkapkan pandangan dan
pemikirannya tanpa pengaruh ataupun tekanan dari manajemen ataupun pihak
lain yang terkait dengan bank.
3.1. Dukungan
Manajemen harus memberikan dukungan sepenuhnya kepada SKAI agar dapat
bekerja dengan bebas tanpa campur tangan dari pihak manapun.
3.2. Kebebasan Menetapkan Metode
SKAI harus memiliki kebebasan dalam menetapkan metode, cara, teknik dan
pendekatan audit yang akan dilakukan.
3.3. Obyektivitas
Obyektivitas adalah sikap mental yang independen yang harus dipelihara oleh
Auditor Intern dalam melakukan audit. Sikap mental tersebut tercermin dari
laporan yang lengkap, obyektif serta berdasarkan analisis yang cermat dan
tidak memihak. Untuk dapat memelihara obyektivitas diperlukan antara lain:
a. rotasi secara berkala penugasan pekerjaan kepada para Auditor Intern,
b.review secara cermat atas laporan hasil audit serta prosesnya.
3.4. Bebas Dari Pertentangan Kepentingan
Auditor Intern tidak boleh memiliki kepentingan atas obyek atau kegiatan
yang diperiksanya. Penugasan oleh Kepala SKAI harus dilakukan sedemikian
rupa sehingga dapat dihindari terjadinya pertentangan kepentingan.
4. WEWENANG, KEDUDUKAN, DAN TANGGUNG JAWAB SKAI
SKAI harus diberi wewenang, kedudukan dan tanggung jawab dalam
organisasi sedemikian rupa sehingga dapat dan mampu melaksanakan
tugasnya sesuai dengan ukuran-ukuran standar pekerjaan yang dituntut oleh
profesinya.
5. RUANG LINGKUP PEKERJAAN AUDIT INTERN
Ruang lingkup pekerjaan audit SKAI harus mencakup seluruh aspek dan
unsur kegiatan bank yang secara langsung ataupun tidak langsung
diperkirakan dapat mempengaruhi tingkat terselenggaranya secara baik
kepentingan bank dan masyarakat. Dalam hubungan ini, selain meliputi
pemeriksaan dan penilaian atas kecukupan dan efektivitas struktur
pengendalian intern dan kualitas pelaksanaannya, juga mencakup segala aspek
dan unsur dari organisasi bank sehingga mampu menunjang analisis yang
optimal dalam membantu proses pengambilan keputusan oleh manajemen.
6. STANDAR PELAKSANAAN FUNGSI AUDIT INTERN BANK
SPFAIB merupakan standar yang memuat ukuran minimal tentang Fungsi
Audit Intern yang perlu diselenggarakan oleh bank umum serta aspek-aspek
yang berkaitan dengan pelaksanaan Audit Intern tersebut. Standar ini tidak
dimaksudkan untuk menguraikan secara teknis dan rinci tentang teknik dan
tatacara pelaksanaan fungsi Audit Intern serta tidak pula dimaksudkan untuk
mengatur bentuk organisasi SKAI. Dengan adanya SPFAIB diharapkan dapat
tercipta kesamaan landasan semua bank umum di Indonesia mengenai tingkat
pemeliharaan kepentingan dari semua pihak terkait dengan bank. Dalam
pelaksanaannya masing-masing bank perlu menjabarkan lebih lanjut
penyusunan Internal Audit Charter dan panduan Audit Intern yang disesuaikan
dengan kondisi masing-masing bank yang bersangkutan.
6.1. Hubungan SPFAIB dengan standar yang lain
Bank yang secara organisatoris atau karena hal lain harus mengikuti standar
dari lembaga lain atau dari organisasi induknya, baik di dalam maupun di luar
negeri, seperti Norma Pemeriksaan Satuan Pengawasan Intern
BUMN/BUMD, atau Standards For The Professional Practice of Internal
Auditing (The Institute of Internal Auditors), dalam pelaksanaan fungsi Audit
Internnya minimal harus memenuhi ukuran-ukuran yang telah ditetapkan
dalam SPFAIB.
6.2. Kontinuitas SPFAIB
Ukuran-ukuran yang dinyatakan dalam SPFAIB ini akan terus dimutakhirkan
dengan memperhatikan perkembangan didalam praktek perbankan.
6.3. Keterkaitan SPFAIB dengan Pengawasan Bank Indonesia
Kepatuhan bank dalam melaksanakan fungsi Audit Intern berdasarkan
SPFAIB merupakan salah satu aspek pengawasan dari Bank Indonesia.
BAB II
PROFESIONALISME
I. PROFESIONALISME
Profesionalisme harus menjadi acuan dalam pelaksanaan fungsi Audit Intern
oeh SKAI. Untuk dapat mewujudkan hal tersebut, Auditor Intern secara
sendiri-sendiri ataupun bersama-sama harus mempunyai:
a. pengetahuan yang memadai dalam bidang tugasnya yaitu pengetahuan
mengenai teknis audit dan disiplin ilmu lain yang relevan dengan
spesialisasinya;
b. perilaku yang independen, jujur, obyektif, tekun dan loyal,
c. kemampuan mempertahankan kualitas profesionalnya melalui pendidikan
profesi lanjutan yang berkesinambungan,
d. kemampuan melaksanakan kemahiran profesionalnya secara cermat dan
seksama,
e. kecakapan dalam berinteraksi dan berkomunikasi baik lisan maupun
tertulis secara efektif.
2. KEMAHIRAN PROFESIONAL
Kemahiran profesional dapat diperoleh Auditor Intern melalui pendidikan
dan pengalaman kerja yang memadai dalam bidang Audit Intern, kegiatan
operasional perbankan serta disiplin ilmu lain yang relevan dengan
spesialisasinya.
2.1. Latar Belakang Pendidikan
Persyaratan minimal pendidikan bagi Auditor Intern ditetapkan oleh masing-
masing bank sesuai dengan ukuran organisasi maupun tingkat kerumitan
kegiatan banknya. Meskipun demikian agar dapat melaksanakan tugasnya
dengan baik, latar belakang pendidikan Auditor Intern seharusnya dapat
menunjang untuk:
a. memahami penerapan SPFAIB;
b. memahami standar akuntansi keuangan;
c. memahami peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan kegiatan
operasional perbankan;
d. memahami prinsip-prinsip manajemen khususnya manajemen perbankan,
e. memiliki pengetahuan mengenai ilmu yang berkaitan dengna kegiatan
perbankan seperti ilmu ekonomi, ilmu hukum, perpajakan dan masalah-
masalah keuangan, metode kuantitatif/statistik dan memahami prinsip-
prinsip Pengolahan Data Elektronik.
Dalam penerapannya, masing-masing Auditor Intern tidak perlu memahami
seluruh bidang di atas, akan tetapi SKAI secara keseluruhan harus
mempunyai personil yang memahami disiplin ilmu di atas.
2.2. Pengalaman Kerja
Pengalaman kerja yang memadai dalam bidang operasional perbankan akan
menambah atau membantu memberikan kemahiran profesional bagi Auditor
Intern,
3. SIKAP MENTAL DAN ETIKA
Auditor Intern harus memiliki sikap mental dan etika serta tanggung jawab
profesi yang tinggi, sehingga kualitas hasil kerjanya dapat
dipertanggungjawabkan dan dapat digunakan untuk membantu terwujudnya
perkembangan bank yang wajar dan sehat.
3.1. Sikap Mental Auditor Intern
Auditor Intern harus memiliki sikap mental yang baik yang tercermin dari
kejujuran, obyektivitas, ketekunan dan loyalitasnya kepada profesi.
a. Kejujuran
Auditor Intern harus mampu mengemukakan pendapat secara jujur dan
bijaksana, sesuai dengan hasil temuannya.
b. Obyektivitas
Auditor Intern harus selalu mempertahankan sikap obyektif, sehingga
dapat mengemukakan temuan berdasarkan bukti-bukti atau fakta-fakta
yang dapat dipertanggungjawabkan. Dengan demikian laporan atas hasil
temuan harus lengkap dan didasarkan pada analisis yang obyektif.
c. Ketekunan
Auditor Intern harus memiliki ketekunan dan keuletan di dalam
menelusuri masalah/indikasi yang dihadapi guna memperoleh bukti-bukti
yang akan mendukung temuannya.
d. Loyalitas
Auditor Intern harus menunjukkan loyalitas kepada tanggung jawab
profesinya
3.2. Etika Auditor Intern
Auditor Intern harus memiliki Kode Etik Profesi yang antara lain mengacu
kepada Code of Ethics dari The Institute of Internal Auditors. kode etik
tersebut sekurang-kurangnya memuat keharusan untuk:
a. berperilaku jujur, santun, tidak tercela, obyektif dan bertanggung jawab;
b. memiliki dedikasi tinggi;
c. tidak akan menerima apapun yang akan dapat mempengaruhi pendapat
profesionalnya;
d. menjaga prinsip kerahasiaan sesuai dengan ketentuan dan perundangan
yang berlaku;
e. terus meningkatkan kemampuan profesionalnya.
3.3. Tanggung Jawab Terhadap Profesi
Auditor Intern harus menunjukkan tanggung jawab terhadap profesi dengan
selalu menerapkan prinsip kerja yang cermat dan seksama serta terus
memelihara kemampuan teknisnya, sehingga dapat menghasilkan kualitas
kerja yang optimal.
a. Bekerja secara cermat dan seksama
Auditor Intern harus bekerja secara cermat dan seksama dalam batas yang
layak serta menerapkan kemahiran profesionalnya secara optimal. Untuk
itu perlu diperhatikan:
i.
Ruang lingkup ataupun tingkat kesulitan yang dihadapi dalam
pelaksanaan tugas;
ii. Kewaspadaan terhadap kemungkinan adanya penyimpangan,
kesalahan, penggelapan, inefisiensi, pemborosan serta pertentangan
kepentingan dan pelaporannya kepada atasan pejabat yang
bersangkutan;
iii. Kecermatan dalam mengidentifikasi keadaan dan kegiatan yang
rawan penyimpangan, kelemahan struktur pengendalian intern dan
ketepatan dalam memberikan saran guna meningkatkan ketaatan
terhadap prosedur yang ditetapkan bank;
iv. Kesungguhan dan tanggung jawab dalam pelaksanaan tugas;
v.
Kemungkinan dilakukannya pemeriksaan lanjutan atau pemeriksaan
khusus yang lebih mendalam.
b. Upaya peningkatan pengetahuan melalui pendidikan profesi
berkelanjutan.
Auditor Intern harus selalu memelihara kemampuan teknisnya melalui
upaya:
i.
ii. Mengikuti perkembangan produk-produk baru dari perbankan;
Mengikuti perkembangan terakhir tentang teknik Audit Intern
melalui seminar, kursus atau pendidikan lanjutan lainnya.
iii. Mengikuti serta memahami ketentuan-ketentuan yang berlaku yang
berkaitan dengan aktivitas operasional perbankan.
4. KEMAMPUAN KOMUNIKASI
Auditor Intern harus memiliki kemampuan berinteraksi dan berkomunikasi
baik lisan maupun tertulis secara efektif karena Auditor Intern harus
senantiasa berhubungan dengan berbagai pihak, baik intern maupun ekstern.
4.1. Komunikasi Dengan Auditee
a. Auditor Intern harus senantiasa menjaga komunikasi dan interaksi yang
baik dan wajar dengan Auditee sehingga pelaksanaan tugasnya dapat
berjalan dengan lancar;
b. Auditor Intern harus mampu melaksanakan komunikasi lisan atau tertulis
sehingga dapat menyampaikan masalah-masalah audit, seperti tujuan,
penilaian, kesimpulan audit dan rekomendasi hasil audit, yang diberikan
secara jelas dan efektif.
4.2. Komunikasi Dengan Auditor Ekstern
Auditor Intern harus mampu melakukan komunikasi lisan atau tertulis dengan
auditor ekstern sesuai dengan batas kewenangan masing-masing auditor
ekstern tersebut.
BAB III
ORGANISASI DAN MANAJEMEN
1. ORGANISASI DAN MANAJEMEN
Fungsi Audit Intern bank merupakan alat untuk membantu memastikan bahwa
bank tersebut dapat mengelola dana yang dihimpun dari masyarakat dan
mampu mengamankan kegiatan bank sehingga dapat menunjang program
pembangunan Pemerintah. Oleh karena itu manajemen bank harus
bertanggung jawab untuk mengarahkan agar fungsi Audit Intern yang
bersangkutan dapat berjalan dengan efektif. Organisasi SKAI harus
sedemikan rupa sehingga fungsi Audit Intern dapat berjalan dengan efektif.
Sehubungan dengan hal tersebut SKAI harus memiliki:
a. auditor yang profesional;
b. kedudukan yang jelas dalam organisasi;
c. struktur organisasi yang handal;
d. wewenang dan tanggungjawab yang jelas;
e. perencanaan yang matang;
f. kebijakan dan prosedur yang jelas;
g. program pengembangan dan pendidikan profesi;
h. program pengendalian mutu.
2. AUDITOR YANG PROFESIONAL
Auditor yang profesional memiliki pengetahuan dan kemahiran profesional
yang diperoleh baik melalui pendidikan maupun melalui pengalaman dalam
bidang operasional bank dan senantiasa bekerja berdasarkan suatu sikap
mental dan kode etik yang telah ditetapkan.
3. KEDUDUKAN DAN HUBUNGAN SKAI DENGAN MANAJEMEN DAN
DEWAN KOMISARIS
SKAI harus mendapat dukungan dari manajemen dan Dewan Komisaris agar
para auditor dapat memperoleh kerjasama dari auditee dan melakukan
pekerjaan tanpa hambatan.
3.1. Kedudukan SKAI dalam organisasi
a. Pengangkatan dan pemberhentian
Kepala SKAI diangkat dan diberhentikan oleh Direksi bank dengan
persetujuan dari Dewan Komisaris dan dilaporkan kepada Bank
Indonesia.
b. Independensi
Kepala SKAI bertanggung jawab kepada Direktur Utama bank. Untuk
mendukung independensi dan menjamin kelancaran audit serta wewenang
dalam memantau tindak lanjut maka Kepala SKAI dapat berkomunikasi
langsung dengan Dewan Komisaris untuk menginformasikan berbagai hal
yang berhubungan dengan audit. Pemberian informasi tersebut harus
dilaporkan kepada Direktur Utama dengan tembusan kepada Direktur
Kepatuhan (Compliance Director).
c. Pelaporan
----- : Garis komunikasi/penyampaian informasi
menyampaikan laporan audit kepada Direktur Utama dan Dewan
Komisaris dengan tembusan kepada Direktur Kepatuhan,
Kepala SKAI wajib:
i.
ii. menyiapkan laporan pelaksanaan dan pokok-pokok hasil audit yang
akan disampaikan kepada Bank Indonesia setiap semester. Laporan
tersebut ditandatangani oleh Direktur Utama dan Dewan Komisaris,
iii. menyiapkan segera laporan atas setiap temuan audit yang
diperkirakan dapat mengganggu kelangsungan usaha bank. Laporan
tersebut harus segera disampaikan kepada Bank Indonesia oleh
Direktur Utama dan Dewan Komisaris.
3.2. Kewajiban Manajemen Untuk Menanggapi Hasil Laporan SKAI
Manajemen harus memberikan tanggapan dan segera mengambil langkah
yang diperlukan atas dasar hasil Audit Intern.
3.3. Tanggung Jawab Dewan Komisaris
Tanggung jawab Dewan Komisaris sekurang-kurangnya:
i. Menyetujui Internal Audit Charter, menanggapi rencana Audit
Intern dan masalah-masalah yang ditemukan oleh Auditor Intern
serta menentukan pemeriksaan khusus oleh SKAI apabila terdapat
dugaan terjadinya kecurangan, penyimpangan terhadap hukum dan
peraturan yang berlaku.
ii. Mengambil langkah-langkah yang diperlukan dalam hal Auditee
tidak menindaklanjuti laporan Kepala SKAI.
iii. Memastikan:
• bahwa laporan-laporan yang disampaikan kepada Bank
Indonesia serta instansi lain yang berkepentingan telah
dilakukan dengan benar dan tepat waktu,
• bahwa bank mematuhi ketentuan dan perundang-undangan yang
berlaku.
iv. Memastikan bahwa manajemen menjamin baik Auditor Ekstern
maupun Intern dapat bekerja sesuai dengan standar auditing yang
berlaku.
v. Memastikan bahwa manajemen telah menjalankan usahanya sesuai
dengan prinsip pengelolaan bank secara sehat.
vi. Menilai efektivitas pelaksanaan fungsi SKAI.
4. STRUKTUR ORGANISASI
Struktur organisasi harus jelas mengatur aspek-aspek yang berkaitan dengan
pembagian kerja di antara Auditor, pengelompokan Auditor dan rentang
kendali serta pendelegasian wewenang dari Kepala SKAI. Oleh karena jenis
kegiatan dan volume usaha bank berbeda antara yang satu dengan lainnya, di
antaranya bank yang kantor pusatnya berkedudukan di luar negeri, maka
dalam menentukan struktur organisasi SKAI perlu disesuaikan dengan
kondisi yang dihadapi masing-masing bank. Bagi bank yang kantor pusatnya
brkedudukan di luar negeri, pengertian Dewan Komisaris adalah pejabat yang
ditunjuk oleh kantor pusatnya untuk melakukan fungsi Dewan Komisaris.
Dalam hal jaringan kantor bank membutuhkan fungsi audit intern yang
terpisah, maka fungsi tersebut tetap harus berada dalam koordinasi SKAI. Di
dalam penugasan Auditor Intern, harus dimungkinkan adanya rotasi secara
berkala sehingga dapat memberikan kesempatan kepada para Auditor Intern
untuk menambah pengetahuan dan kemampuannya.
5. WEWENANG DAN TANGGUNG JAWAB
Auditor Intern harus diberikan wewenang, kedudukan dan tanggung jawab
sedemikian rupa didalam organisasi sehingga dapat dan mampu
melaksanakan tugasnya dengan ukuran-ukuran standar pekerjaan yang dituntut
oleh profesinya sebagai Auditor Intern bank.
5.1. Piagam Audit Intern (Internal Audit Charter)
Misi, wewenang dan tanggung jawab SKAI harus dirumuskan dalam suatu
dokumen tertulis yang harus disetujui oleh Dewan Komisaris yang
selanjutnya disebut Piagam Audit Intern. Piagam Audit Intern sekurang-
kurangnya harus mencantumkan:
a.
kedudukan SKAI,
b.
kewenangan untuk melakukan akses terhadap catatan, karyawan, sumber
daya dan dana serta aset bank lainnya yang berkaitan dengan pelaksanaan
audit,
c.
d.
ruang lingkup kegiatan Audit Intern,
penyertaan bahwa Auditir Intern tidak boleh mempunyai wewenang atau
tanggung jawab untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan operasional dari
Auditee.
5.2. Wewenang dan tanggung jawab Kepala SKAI
Status Kepala SKAI harus memungkinkannya untuk dapat menjaga
independensi, memberikan perhatian yang cukup terhadap laporan hasil audit
dan tindak lanjutnya. Kepala SKAI juga bertanggung jawab untuk
merencanakan audit, melaksanakan audit, mengatur dan mengarahkan audit
serta mengevaluasi prosedur yang ada untuk memperoleh keyakinan bahwa
tujuan dan sasaran dari bank akan dapat dicapai secara optimal. Dalam
hubungan ini Kepala SKAI harus mempertanggungjawabkan kegiatannya
secara berkala kepada Direktur Utama.
5.3. Peran SKAI Sebagai Konsultan
SKAI harus berusaha agar dapat berperan sebagai konsultan bagi pihak-pihak
intern bank yang membutuhkan, terutama yang menyangkut ruang lingkup
tugasnya. SKAI antara lain harus memberikan tanggapan atas usulan
kebijakan atau sistem dan prosedur untuk dapat memastikan bahwa dalam
kebijakan ataupun sistem yang baru tersebut telah dimasukkan pula aspek-
aspek pengendalian intern sehingga di dalam pelaksanaannya akan dapat
tercapai tujuannya secara efektif dan efisien. Dengan adanya keterlibatannya
SKAI di dalam review sistem ini, tidak berarti bahwa hal-hal tersebut akan
dikecualikan sebagai obyek audit.
6. PERENCANAAN
Kegiatan SKAI harus didasarkan pada perencanaan. Kepala SKAI
bertanggung jawab membuat rencana untuk melaksanakan tugas satuan kerja
yang dipimpinnya. Rencana tersebut harus konsisten dengan Internal Audit
Charter, tujuan bank, disetujui oleh Direktur Utama dan dilaporkan kepada
Dewan Komisaris. Proses perencanaan audit terdiri dari:
6.1. Penentuan tujuan audit
Tujuan dari SKAI harus bisa diukur dan sesuai dengan rencana dan
anggaran operasi bank.
6.2. Penentuan skedul kerja audit
Skedul kerja audit harus mencakup kegiatan yang akan diaudit, tanggal
mulai dan waktu yang dibutuhkan, dengan mempertimbangkan ruang
lingkup audit dan hasil audit yang telah dilakukan oleh auditor
sebelumnya. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam membuat skedul
kerja audit tersebut antara lain adalah:
a.
temuan audit periode sebelumnya,
b. evaluasi risiko yang meliputi antara lain risiko usaha, risiko
kredit, risiko likuiditas, risiko perubahan nilai tukar dan risiko
operasional. Tujuan dari dilakukannya evaluasi risiko adalah untuk
mengidentifikasikan bagian yang material atau signifikan dari
kegiatan yang diaudit.
6.3. Rencana sumber daya manusia dan anggaran
Di dalam perencanaan sumber daya manusia dan anggaran perlu diperhatikan
jumlah auditor yang diperlukan untuk pelaksanaan tugas, kualifikasi yang
dibutuhkan, pelatihan yang diperlukan untuk upaya pengembangan di samping
kegiatan-kegiatan administratif yang harus dilakukan.
6.4. Laporan kegiatan audit
Laporan kegiatan audit harus disampaikan kepada Direktur Utama dan Dewan
Komisaris dengan tembusan kepada Direktur Kepatuhan. Laporan terebut
antara lain harus dapat menggambarkan perbandingan antara hasil audit yang
telah dicapai dengan sasaran yang telah ditetapkan sebelumnya, realisasi
biaya dan anggaran, penyebab terjadinya penyimpangan serta tindakan yang
telah dan perlu diambil untuk melakukan penyempurnaan
7. KEBIJAKAN DAN PROSEDUR
Kepala SKAI berkewajiban menyusun kebijakan dan prosedur tertulis
sebagai pedoman bagi Auditor Intern dalam melaksanakan tugasnya. Bentuk
dan isi dari kebijakan dan prosedur tersebut harus disesuaikan dengan
struktur organisasi SKAI dan besarnya SKAI serta tingkat kerumitan kegiatan
bank yang bersangkutan
8. PENGEMBANGAN AUDITOR INTERN DAN PENDIDIKAN PROFESI
SKAI harus memiliki program rekrutmen dan pengembangan sumber daya
manusia. Program tersebut sekurang-kurangnya harus memuat:
a.
b.
c.
d.
e.
uraian tugas dan tanggungjawab yang jelas bagi setiap auditor,
kriteria auditor yang memenuhi persyaratan,
rencana pendidikan dan pelatihan profesi berkelanjutan,
metode penilaian kinerja auditor,
pengembangan karir auditor.
9. PENGENDALIAN MUTU AUDIT
SKAI harus memiliki suatu program untuk mengevaluasi mutu kegiatan audit
yang dilakukannya. Evaluasi tersebut terdiri dari:
9.1. Supervisi
Supervisi terhadap pekerjaan Auditor Intern harus dilakukan secara
berkesinambungan untuk memastikan adanya kepatuhan terhadap standar
audit, kebijakan, prosedur dan program audit yang telah disusun.
9.2. Review Intern
Auditor Intern juga harus melakukan review secara berkesinambungan atas
kualitas pekerjaan audit yang mereka hasilkan.
9.3. Review Ekstern
Untuk menilai mutu operasi SKAI, fungsi audit intern bank harus direview
oleh lembaga ekstern sekurang-kurangnya sekali dalam 3 tahun. Review ini
harus dilaksanakan oleh lembaga ekstern yang memiliki kompetensi dan
independensi dan tidak mempunyai pertentangan kepentingan. Laporan atas
review ekstern ini harus memuat pendapat tentang hasil kerja SKAI dan
kepatuhannya terhadap SPFAIB serta perbaikan yang mungkin dilakukan.
Hasil review tersebut harus disampaikan pula ke Bank Indonesia.
10. HUBUNGAN SKAI DENGAN AUDITOR EKSTERN
SKAI bertanggungjawab untuk mengkoordinasikan kegiatannya dengan
kegiatan auditor ekstern. Melalui koordinasi tersebut diharapkan dapat
dicapai hasil audit yang komprehensif dan optimal. Koordinasi dapat
dilakukan melalui pertemuan secara periodik untuk membicarakan hal-hal
yang dianggap penting bagi kedua belah pihak.
BAB IV
RUANG LINGKUP PEKERJAAN AUDIT INTERN
1. RUANG LINGKUP PEKERJAAN AUDIT INTERN
Ruang lingkup pekerjaan Audit Intern harus mencakup pemeriksaan dan
penilaian atas kecukupan dan efektivitas struktur pengendalian intern dari bank
yang bersangkutan dan atas kualitas kinerja dalam melaksanakan tanggung
jawab yang telah digariskan. Ruang lingkup pekerjaan dan kegiatan yang akan
dan harus diaudit diarahkan oleh Direktur Utama dan Dewan Komisaris.
1.1. Penilaian Kecukupan Struktur Pengendalian Intern
Pemeriksaan dan penilaian atas kecukupan dari struktur pengendalaian intern
dimaksudkan untuk menentukan sampai seberapa jauh sistem yang telah
ditetapkan dapat diandalkan kemampuannya untuk memberikan keyakinan yang
memadai bahwa tujuan dan sasaran bank dapat dicapai secara efesien dan
ekonomis.
1.2. Penilaian Efektivitas Struktur Pengendalaian Intern
Pemeriksaan dan penilaian atas efektivitas dari struktur pengendalian intern
dimaksudkan untuk menentukan sejauh mana struktur tersebut sudah berfungsi
seperti diinginkan.
1.3. Penilaian Kualitas Kinerja
Pemeriksaan dan penilaian atas kualitas kinerja dimaksudkan untuk
menentukan sejauh mana tujuan dan sasaran organisasi telah tercapai.
2. HUBUNGAN AUDIT INTERN DENGAN STRUKTUR PENGENDALIAN
INTERN
Audit Intern merupakan bagian dari sturktur pengendalian intern. Pengendalian
intern adalah setiap tindakan yang diambil oleh manajeman untuk memastikan
tercapainya tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan. Adapun tujuan utama dari
pengendalian intern adalah untuk memastikan:
a. pengamanan dana masyarakat;
b. pencapaian tujuan dan sasaran kegiatan operasional yang telah ditetapkan;
c. pemanfaatan sumber daya secara ekonomis dan efisien;
d. kebenaran dan keutuhan informasi;
e. kepatuhan terhadap kebijakan, rencana, prosedur, hukum dan peraturan;
f. pengamanan harta kekayaan.
Pemeriksaan dan penilaian atas efektivitas dari struktur pengendalian intern
dimaksudkan untuk memberikan keyakinan bagi auditor intern bahwa
pengendalian telah berjalan seperti yang telah ditetapkan.
2.1. Pengamanan Dana Masyarakat
Auditor Intern harus menilai kehandalan sistem yang telah ditetapkan dalam
mengamankan dana yang dihimpun bank dari masyarakat yang meliputi
deposito, giro, tabungan serta dana pihak ketiga lainnya.
2.2. Pencapaian Tujuan dan Sasaran Kegiatan Operasional yang Telah
Ditetapkan
Auditor Intern harus menilai sejauh mana tujuan dan sasaran kegiatan
operasional tertentu telah dicapai secara konsisten sesuai dengan yang
diharapkan. Dalam hubungan ini, antara lain Auditor Intern harus mampu
menilai kewajaran perkembangan usaha bank baik potensi maupun kendala
yang mempengaruhinya.
2.3. Pemanfaatan Sumber Daya Secara Ekonomis dan Efesien
Auditor Intern harus menilai sejauh mana sumber daya telah dimanfaatkan
secara ekonomis dan efesien. Untuk itu antara lain diperlukan penilaian atas
efesiensi, efektivitas dan keamanan kegiatan operasional tertentu seperti
kegiatan komputerisasi. Selain itu Auditor Intern harus menilai pemanfaatan
sumber daya serta fasilitas yang kurang dimanfaatkan atau suatu pekerjaan
yang dinilai kurang produktif.
2.4. Kebenaran dan Keutuhan Informasi
Auditor Intern harus menilai kebenaran dan keutuhan dari informasi keuangan
dan kegiatan operasional termasuk pencatatan kewajiban bank dan rekening
administratif. Tujuan penilaian terhadap informasi dimaksud adalah
memastikan bahwa informasi tersebut akurat, handal, tepat waktu, lengkap dan
berguna baik kepentingan bank, masyarakat maupun Bank Indonesia.
2.5. Kepatuhan Terhadap Kebijakan, Rencana, Prosedur, Hukum dan
Peraturan
Auditor Intern harus menilai sistem yang telah ditetapkan untuk memastikan
kepatuhan terhadap kebijakan, rencana, prosedur, hukum dan peraturan yang
mungkin mempunyai dampak yang signifikan terhadap operasi bank, termasuk
penilaian tentang aspek-aspek kegiatan usaha bank yang dapat mempengaruhi
tingkat kesehatan atau dapat menimbulkan permasalahan.
2.6. Pengamanan Harta Kekayaan
Auditor Intern harus menilai cara yang digunakan untuk mengamankan harta
kekayaan bank termasuk sumber daya dan dana serta memeriksa eksistensi dari
harta kekayaan tersebut.
BAB V
PELAKSANAAN AUDIT
1. PELAKSANAAN AUDIT
Pendekatan pelaksanaan audit dipengaruhi oleh besar organisasi, karakteristik,
volume dan kompleksitas operasi masing-masing bank. Oleh karena itu, setiap
pelakasanaan kegiatan audit perlu memperhatikan kondisi dari masing-masing
bank. Pelaksanaan audit dapat dibedakan dalam 5 (lima) tahap kegiatan yaitu
tahap persiapan audit, penyusunan program audit, pelaksanaan penugasan audit,
pelaporan hasil audit dan tindak lanjut hasil audit.
2. PERSIAPAN AUDIT
Pelaksanaan audit harus dipersiapkan dengan baik agar tujuan audit dapat
dicapai dengan cara efesien. Langkah yang perlu diperhatikan pada tahap
persiapan audit meliputi penetapan penugasan, pemberitahuan audit dan
penelitian pendahuluan.
2.1. Metode Pendekatan Auditor Intern
Auditor Intern harus mampu menggunakan metode-metode pendekatan yang
diperlukan untuk pelaksanaan audit intern, agar pelaksanaan auditnya dapat
berlangsung secara efektif dan efesien. Metode pendekatan tersebut dapat
berbeda antara satu auditor dengan auditor lainnya serta dalam satu bank
dengan bank lainnya, namun sekurang-kurangnnya Auditor Intern perlu
memperhatikan aspek-aspek tehnis seperti cara dan penetapan sampling,
tehnik pengujian yang akan dilakukan, minimal bukti audit yang diperlukan dan
cara mendapatkannya serta memperhatikan konsep materialitas.
2.2. Penetapan Penugasan
Penetapan penugasan audit dimaksudkan untuk pemberitahuan kepada auditor
sebagai dasar untuk melakukan audit sebagaimana ditetapkan dalam rencana
audit tahunan bank. Penetapan penugasan disampaikan oleh kepala SKAI
kepada ketua dan tim audit dalam bentuk surat penugasan, yang antara lain
menetapkan ketua dan anggota tim audit, waktu yang diperlukan serta tujuan
audit.
2.3. Pemberitahuan Audit
Pelaksanaan Auditor Intern harus dilengkapi dengan surat pemebritahuan audit
dari SKAI, yang dapat disampaikan kepada auditee sebelum atau pada saat audit
dilaksanakan. Dalam surat pemberitahuan tersebut antara lain dikemukakan:
a. penegasan kembali wewenang SKAI untuk melakukan audit sebagaimana
telah ditetapkan pada Internal Audit Charter;
b. rencana pertemuan awal dengan kepada satuan kerja Auditee, yang
dimaksudkan untuk untuk menjelaskan tujuan audit serta sekaligus
mendapatkan penjelasan dari kepala satuan kerja Auditee mengenai
kegiatan dan fungsi dari satuan kerja Auditee;
c. susunan ketua dan anggota tim;
d. informasi yang diperlukan.
Selanjutnya kepala satuan kerja Auditee harus meneruskan kepada pejabat
bawahannya sebagai pemberitahuan akan dilakukan audit oleh SKAI dan
instruksi untuk mempersiapkan data/informasi serta dokumen yang diperlukan.
2.4. Penelitian Pendahuluan
Penelitian pendahuluan dimaksudkan untuk mengenal dan memahami setiap
kegiatan atau fungsi Auditee secara umum supaya audit dapat difokuskan pada
hal-hal yang strategis sehingga Auditor dapat merumuskan tujuan audit secara
lebih jelas. Dalam tahap ini Auditor harus mengenal dengan baik aspek-aspek
dari Auditee antara lain fungsi, struktur organisasi, wewenang dan tanggung
jawab, kebijakan, sistem dan prosedur operasional, risiko kegiatan dan
pengendaliannya, indikator keberhasilan, aspek legal dan ketentuan lainnya.
Untuk dapat memperoleh gambaran secara menyeluruh atas sistem yang akan
diaudit perlu dibuat suatu bagan alur, sehingga karakteristik kegiatan yang
berkaitan satu dengan lainnya akan dapat lebih mudah dipahami. Analisis
terhadap penelitian pendahuluan tersebut digunakan senagai dasar penyusunan
program audit secara lebih rinci. Informasi dan hasil analisis tersebut perlu
didokumentasikan secara lengkap dalam arsip permanen.
3. PENYUSUNAN PROGRAM AUDIT
Berdasarkan hasil penelitian pendahuluan disusun program audit. Program
audit harus:
a. merupakan dokumentasi prosedur bagi Auditor Intern dalam
mengumpulkan, menganalisis, menginterpretasikan dan
mendokumentasikan informasi selama pelaksanaan audit, termasuk
catatan untuk pemeriksaan yang akan datang;
b. menyatakan tujuan audit;
c. menetapkan luas, tingkat dan metodologi pengujian yang diperlukan guna
mencapai tujuan audit untuk tiap tahapan audit;
d. menetapkan jangka waktu pemeriksaan;
e. mengindentifikasi aspek-aspek teknis, risiko, proses dan transaksi yang
harus diuji, termasuk pengolahan data elektronik.
Adanya program audit secara tertulis akan memudahkan pengendalian audit
selama tahap-tahap pelaksanaan. Program audit tersebut dapat diubah sesuai
dengan kebutuhan selama audit berlangsung.
4. PELAKSANAAN PENUGASAN AUDIT
Tahap pelaksanaan audit meliputi kegiatan mengumpulkan, menganalisis,
menginterpretasikan dan mendokumentasikan bukti-bukti audit serta informasi
lain yang dibutuhkan, sesuai dengan prosedur yang digariskan dalam program
audit untuk mendukung hasil audit.
4.1. Proses Audit
Proses audit meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut:
a. Mengumpulkan bukti dan informasi yang cukup, kompeten dan relevan.
b. Memeriksa dan mengevaluasi semua bukti dan informasi untuk
mendapatkan temuan dan rekomendasi audit.
c. Menetapkan metode dan tehnik sampling yang dapat dipakai dan
dikembangkan sesuai dengan keadaan, diantaranya pengujian atas
pengendalian dan pengujian substantif atas saldo-saldo seperti validasi atas
rekening simpanan dan kredit.
d. Supervisi atas proses pengumpulan bukti dan informasi serta pengujian
yang telah dilakukan.
e. Mendokumentasikan Kertas Kerja Audit
f. Membahas hasil audit dengan Auditee.
4.2. Bukti Audit
Bukti audit adalah semua data dan informasi yang dapat dipakai oleh Auditor
untuk mendukung temuan auditnya. Auditor intern harus memperoleh bukti
yang cukup, kompeten dan relevan untuk mendukung penyusunan kesimpulan
dan rekomendasinya. Dalam hal ini Auditor Intern harus menggunakan
pertimbangan profesionalnya untuk menentukan jumlah dan jenis bukti audit
yang dibutuhkan setelah mempelajari dengan teliti keadaan yang dihadapinya.
Bukti tersebut dapat diperoleh melalui pemeriksaan fisik atau dokumen,
konfirmasi, pengamatan, pengajuan pertanyaan, perhitungan dan pengujian
analitis.
4.3. Evaluasi Hasil Audit
Evaluasi terhadap hasil audit menjadi tanggung jawab dari masing-masing
anggota tim audit. Dalam mengevaluasi hasil audit tersebut, tim harus
menyusun kesimpulan pada tiap tingkat program audit, mengevaluasi hasil
audit terhadap sasaran audit dan menyusun ikhtisar temuan dan rekomendasi
hasil audit.
a. Kesimpulan dari pelaksanaan program audit
Jika program dan prosedur audit telah selesai dilaksanakan, Auditor Intern
harus menyusun kesimpulan terhadap hasil audit yang sesuai dengan
sasaran atau tujuan dari program dan prosedur audit tersebut.
b. Evaluasi hasil audit terhadap sasaran audit
Apabila Auditor Intern dalam melakukan pengujian menemukan
penyimpangan, maka penyimpangan tersebut harus dievaluasi berdasarkan
analisis sebab akibat.
c. Ikhtisar temuan dan rekomendasi hasil audit
Auditor Intern harus membuat ikhtisar temuan dan rekomendasi hasil audit.
Apabila ditemukan kelemahan atau penyimpangan, maka dalam ikhtisar
tersebut sekurang-kurangnya harus mengungkapkan:
i. fakta/keadaan yang sebenarnya terjadi,
ii. keadaan yang seharusnya terjadi,
iii. penyebab terjadinya penyimpangan,
iv. dampak dari terjadinya penyimpangan,
v. langkah perbaikan yang telah dilakukan Auditee,
vi. rekomendasi Auditor Intern.
4.4. Supervisi
Kepala SKAI harus dapat menjamin terselenggaranya supervisi atas
pelaksanaan audit secara cermat dan tepat. Supervisi tersebut harus
dilaksanakan secara berkesinambungan dimulai sejak awal hingga akhir
penugasan audit. Kegiatan supervisi meliputi:
a. penyiapan instruksi yang jelas kepada Auditor Intern dan persetujuan
program audit,
b. pengawasan pelaksanaan program audit,
c. penetapan kecukupan kertas kerja audit,
d. penilaian mengenai akurasi, obyektivitas, kelengkapan dan ketepatan waktu
dari laporan hasil audit,
e. penilaian atas pencapaian tujuan dan sasaran audit.
Bukti pelaksaan kegiatan supervisi harus didokumentasikan dan
diadministrasikan.
Tingkat sepervisi yang dilakukan harus disesuaikan dengan kualifikasi para
Auditor Intern dan kompleksitas permasalahan.
Dalam hal pelaksanaan audit dilakukan oleh pihak lain, tanggung jawab
supervisi tetap berada pada Kepala SKAI.
5. PELAPORAN HASIL AUDIT
Setelah selesai melakukan kegiatan audit, Auditor Intern berkewajiban untuk
menuangkan hasil audit tersebut dalam bentuk laporan tertulis. Laporan
tersebut harus memenuhi standar pelaporan, memuat kelengkapan materi dan
melalui proses penyusunan yang baik.
5.1. Standar Pelaporan
Laporan hasil audit sekurang-kurangnya harus memenuhi standar sebagai
berikut:
a. Laporan harus tertulis
Laporan harus tertulis dan memuat hasil audit sesuai dengan ruang lingkup
penugasan. Disamping itu laporan harus dapat berfungsi sebagai dokumen
formal yang mencerminkan tanggung jawab Auditor Intern dan Auditee atas
kegiatan yang dilakukan.
b. Laporan diuraikan secara singkat dan mudah dipahami
Laporan harus dibuat secara singkat yang memuat beberapa hal pokok atau
yang dianggap penting dan hal-hal yang perlu untuk dilakukan perbaikan
oleh Auditee.
c. Laporan harus didukung kertas kerja yang memadai
Laporan yang memuat temuan audit harus didukung kertas kerja yang
memadai agar dapat dipertanggungjawabkan
d. Laporan harus obyektif
Laporan harus obyektif dan berdasarkan fakta serta tidak memihak kepada
kepentingan tertentu.
e. Laporan harus konstruktif
Laporan harus konstruktif dan dapat memberikan saran perbaikan atau arah
bagi Auditee untuk dapat melakukan perbaikan.
f. Laporan harus ditandatangani oleh Auditor Intern dan atau Kepala SKAI
Tanda tangan Auditor dan atau Kepala SKAI dimaksudkan sebagai
pencerminan tanggungjawab atas kebenaran isi laporan yang dibuat.
g. Laporan harus dibuat dan disampaikan tepat waktu
Laporan harus dibuat dan disampaikan tepat waktu atau dalam batas waktu
yang masih relevan dengan materi laporan.
h. Laporan dituangkan secara sistematis
Laporan harus dituangkan secara sistematis yang antara lain memuat obyek
audit, periode audit, temuan audit, kesimpulan dan rekomendasi serta
tanggapan Auditee.
5.2. Materi Laporan
Materi atau isi laporan harus cukup lengkap dan jelas. Agar dapat diperoleh
suatu laporan yang informatif dan efektif. Materi laporan antara lain meliputi:
a. Tujuan, luas dan pendekatan audit
Hal ini dimaksudkan agar pembaca laporan sejak awal mengetahui tujuan,
luas dan pendekatan audit sehingga dapat memahami dengan baik materi
yang dikemukakan dalam laporan.
b. Temuan audit
Temuan audit yang diungkapkan dalam laporan harus memuat secara jelas
mengenai fakta, keadaan yang seharusnya serta dampak dan penyebab
terjadinya penyimpangan. Temuan audit yang dianggap penting sekali harus
dilaporkan segera oleh Ketua Tim Audit kepada Kepala SKAI tanpa
menuggu selesainya audit.
c. Kesimpulan Auditor Intern atas hasil audit
Auditor Intern harus memberikan kesimpulan atas temuannya baik berupa
keberhasilan maupun penyimpangan sesuai dengan lingkup auditnya.
d. Pernyataan Auditor Intern bahwa audit telah dilakukan sesuai dengan
SPFAIB
Auditor Intern dalam hal ini perlu menyatakan bahwa audit telah dilakukan
sesuai dengan SPFAIB
e. Rekomendasi Auditor Intern
Apabila dalam audit ditemui adanya kelemahan atau penyimpangan, Auditor
Intern harus memberikan rekomendasi perbaikan.
f. Tanggapan Auditte
Auditee harus diberikan kesempatan untuk memberikan
tanggapan/komentar atas temuan audit yang dapat berupa
pembenaran/persetujuan, atau keberatan/penolakan dan alasannya.
Selanjutnya Auditee perlu memberikan komitmen untuk melakukan
perbaikan dengan batas waktu tertentu.
g. Hasil pengecekan komitmen Auditee
Dalam laporan harus dikemukakan hasil pengecekan atas pelaksanaan
komitmen Auditee atas audit sebelumnya yang belum dapat dilaksanakan.
5.3. Informasi Khusus yang tidak dicantumkan dalam Laporan Hasil
Audit
Dalam hal suatu informasi hasil audit bersifat sangat terbatas dan tidak dapat
dicantumkan dalam Laporan Hasil Audit, maka informasi tersebut dilaporkan
secara khusus kepada Direktur Utama dan Dewan Komisaris serta Direktur
Kepatuhan sesuai dengan tingkat informasi khusus tersebut. Informasi tersebut
harus termasuk dalam pokok-pokok hasil audit yang disampaikan ke Bank
Indonesia setiap semester.
5.4. Proses penyusunan laporan
Proses penyusunan laporan perlu dilakukan dengan cermat agar dapat disajikan
laporan yang akurat dan bermanfaat bagi Auditee. Proses tersebut antara lain
mencakup:
a. Kompilasi dan analisis temuan audit
Temuan audit yang akan dituangkan dalam laporan harus dikompilasi dan
dianalisis tingkat signifikasinya.
b. Konfirmasi dengan Auditee
Temuan audit harus dikonfirmasikan dengan Auditee untuk diketahui dan
dipahami.
c. Diskusi dengan Kepala SKAI
Temuan audit yang sudah dikompilasi dan dianalisis harus dilaporkan serta
didiskusikan dengan Kepala SKAI atau pejabat yang ditunjuk.
d. Diskusi dengan Auditee
Diskusi ini dimaksudkan agar Auditee memberikan komitmen dan bersedia
melakukan perbaikan dalam batas waktu tertentu yang dijanjikan.
e. Review laporan
Konsep laporan yang disusun oleh tim audit direview oleh Kepala SKAI
atau pejabat yang ditunjuk agar diperoleh keyakinan bahwa laporan tersebut
telah lengkap dan benar.
5.5. Penyampaian Laporan
a. Laporan SKAI kepada Direktur Utama, Dewan Komisaris, Direktur
Kepatuhan (Compliance Director) dan Auditee
Laporan Auditor Intern harus disampaikan oleh Kepala SKAI kepada
Direktur Utama, Dewan Komisaris, Direktur Kepatuhan (Compliance
Director) dan Auditee untuk dapat diketahui dan ditindaklanjuti.
b. Laporan Direktur Utama dan Dewan Komisaris kepada Bank Indonesia
Direktur Utama dan Dewan Komisaris menyampaikan laporan pelaksanaan
dan pokok-pokok hasil audit intern setiap semester kepada Bank Indonesia.
Selain itu apabila terdapat temuan audit intern yang diperkirakan dapat
mengganggu kelangsungan usaha bank, Direktur Utama dan Dewan
Komisaris harus segera melaporkannya kepada Bank Indonesia.
6. TINDAK LANJUT HASIL AUDIT
SKAI harus memantau dan menganalisis serta melaporkan perkembangan
pelaksanaan tindaklanjut perbaikan yang telah dilakukan Auditee. Tindak lanjut
tersebut meliputi:
a. Pemantauan atas pelaksanaan tindak lanjut
Pemantauan atas pelaksanaan tindak lanjut harus dilakukan, agar dapat
diketahui perkembangannya dan dapat diingatkan kepada Auditee apabila
Auditee belum dapat melaksanakan komitmen perbaikan menjelang atau
sampai batas waktu yang dijanjikan.
b. Analisis kecukupan tindak lanjut
Dari hasil pemantauan pelaksanaan tindak lanjut, dilakukan analisis
kecukupan atas realisasi janji perbaikan yang telah dilaksanakan Auditee.
Selanjutnya pengecekan kembali tindak lanjut perlu dilakukan apabila
terdapat kesulitan atau hambatan yang menyebabkan tindak lanjut tersebut
tidak dapat dilakukan sebagaimana mestinya.
c. Pelaporan tindak lanjut
Dalam hal pelaksanaan tindak lanjut tidak dilaksanakan oleh Auditee, maka
SKAI memberikan laporan tertulis kepada Direktur Utama dan Dewan
Komisaris untuk tindakan lebih lanjut.
BAB VI
DOKUMENTASI DAN ADMINISTRASI
1. DOKUMENTASI DAN ADMINISTRASI
Untuk mendukung hasil audit, SKAI harus mendokumentasikan dan
mengadministrasikan bukti-bukti dokumen sejak tahap perencanaan, persiapan,
pelaksanaan, analisis, evaluasi dan pelaporan hasil audit. Produk yang
didokumentasikan dan diadministrasikan adalah semua berkas Kertas Kerja
Audit termasuk surat-menyurat dan Laporan Hasil Audit.
2. DOKUMENTASI KERTAS KERJA AUDIT
SKAI harus mendokumentasikan Kertas Kerja Audit dengan lengkap dan jelas.
Kertas Kerja Audit dapat berupa kertas, disket, pita magnetik, film atau media
yang lain. Semua kertas kerja tersebut dikompilasikan dengan memperhatikan
fungsi, penyusunan dan penyimpanannya.
2.1. Fungsi Kertas Kerja Audit
Fungsi Kertas Kerja Audit adalah sebagai pendukung utama dari Laporan Hasil
Audit dan sarana dalam membantu proses perencanaan, pelaksanaan dan
pemantauan hasil audit. Fungsi lain Kertas Kerja Audit adalah untuk
memperoleh gambaran apakah tujuan audit telah tercapai sesuai dengan yang
direncanakan, membantu pihak lain yang berkepentingan dalam memeriksa
hasil audit dan menilai kemampuan atau kualitas SKAI dalam melaksanakan
tugasnya.
2.2. Penyusunan Dokumentasi Kertas Kerja Audit
Penyusunan Dokumentasi Kertas Kerja Audit harus:
a.
Rapi
Dokumentasi Kertas Kerja Audit harus rapi sehingga memudahkan
penggunaannya. Kertas Kerja Audit harus lengkap, jelas dan mudah
dimengerti sehingga memudahkan bagi pihak yang memerlukan informasi
tersebut.
b. Sistematis
Dokumentasi Kertas Kerja Audit harus disusun secara sistematis
berdasarkan kronologis kejadiannya dengan menggunakan indeks arsip.
2.3. Penyimpanan Kertas Kerja Audit
Kertas Kerja Audit adalah arsip milik bank, sehingga harus diperhatikan
peraturan yang berlaku pada bank yang bersangkutan, yaitu peraturan yang
mengani penyimpanan, keamanan dan kerahasiannya. Hal-hal atau ketentuan
khusus yang ahrus diperhatikan dalam melaksanakan penyimpanan asip Kertas
Kerja Audit antara lain adalah sebagai berikut:
a. Izin penggunaan Kertas Kerja Audit
Kertas Kerja Audit adalah milik bank sehingga pengambilan, peminjaman
dan pembuatan salinan oleh pihak di luar SKAI, seperti satuan kerja lain di
dalam bank dan auditor ekstern, harus dengan seizin Kepala SKAI dengan
tetap memperhatikan ketentuan mengenai rahasia bank.
b. Pengawasan terhadap Kertas Kerja Audit
Kertas Kerja Audit harus berada dalam pengawasan SKAI dan hanya boleh
dibaca dan dipinjam oleh yang berwenang.
c. Penyimpanan Kertas Kerja Audit
Penyimpanan Kertas Kerja Audit harus dipisahkan menjadi Arsip Kini dan
Arsip Permanen. SKAI harus membuat ketentuan mengenai tata cara
penyimpanan Arsip Kini dan Arsip Permanen tersebut yang disesuaikan
dengan ketentuan yang berlaku termasuk penetapan jadwal retensi.
3. ADMINSTRASI HASIL AUDIT
Hasil kerja akhir dari SKAI adalah Laporan Hasil Audit yang dibuat secara
tertulis. Laporan Hasil Audit harus didukung oleh dokumentasi Kertas Kerja
Audit dan telah diperiksa oleh Kepala SKAI mengenai tata cara penyajian
maupun kebenarannya. Laporan Hasil Audit maupun surat-menyurat harus
diarsipkan sebagai dokumen yang bersifat rahasia.
3.1. Adminstrasi Komunikasi Audit
Semua surat menyurat dan laporan yang berkaitan dengan audit yang
merupakan bentuk komunikasi dengan Auditee maupun pihak lain harus
diadministrasikan dengan baik.
3.2. Administrasi Kelengkapan Pelaksanaan Audit
Setelah pelaksanaan audit selesai, SKAI harus meneliti ulang kelengkapan
administrasi dari seluruh berkas Kertas Kerja Audit baik pada tahap
perencanaan, pelaksanaan maupun pada tahap tindak lanjut hasil audit.
PENGERTIAN ISTILAH
Arsip Kini
Arsip Kini atau “current file” adalah kumpulan dokumen yang berkaitan
dengan kegiatan audit yang sedang dalam proses pelaksanaan.
Arsip Permanen
Arsip Permanen atau “permanent file” adalah kumpulan dokumen yang
pemanfaatannya bersifat terus menerus.
Auditee
adalah satuan kerja atau aktivitas dalam organisasi bank yang diaudit.
Auditor Ekstern
adalah auditor profesional yang independen terhadap organisasi bank yang
diaudit.
Direktur Kepatuhan (Compliance Director)
adalah anggota direksi bank yang ditugaskan untuk menetapkan langkah-
langkah yang diperlukan guna memastikan kepatuhan bank terhadap
peraturan Bank Indonesia, peraturan perundang-undangan lain yang berlaku
dan perjanjian serta komitmen dengan Bank Indonesia.
Direksi
adalah pengurus bank yang diangkat oleh Rapat Umum Pemegang Saham
dan terdiri dari seorang Direktur Utama dan seorang atau lebih Direktur.
Direktur Utama
adalah pejabat yang mempunyai kedudukan tertinggi dalam manajemen
bank dan pengangkatannya dilakukan oleh Rapat Umum Pemegang Saham.
Indeks Arsip
adalah suatu daftar yang memuat penomoran (indexing) ataspengarsipan
Kertas Kerja Audit dalam suatu berkas audit (audit file).
Informasi khusus yang tidak dicantumkan dalam Laporan hasil Audit
adalah informasi yang bersifat sensitif dan laporannya hanya ditujukan
kepada pihak tertentu.
Internal Audit Charter
adalah dokumen resmi bank yang memuat misi, wewenang dan
tanggungjawab SKAI. Dokumen ini dapat menggunakan nama lain
sepanjang memenuhi kriteria tersebut di atas.
Kepala SKAI
adalah pejabat yang mempunyai kedudukan tertinggi dalam SKAI dan dalam
kapasitasnya bertanggungjawab langsung kepada Direktur Utama.
Kode Etik Profesi
adalah etika kerja yang digunakan sebagai dasar dalam mempertahankan
integritas serta tanggungjawab profesi.
Manajemen
adalah pejabat yang memimpin satuan kerja pada semua tingkatan
organisasi bank yang bertanggungjawab terhadap penetapan dan pencapaian
tujuan.
Norma Pemeriksaan Satuan Pengawasan Intern BUMN/BUMD
adalah norma atau kaidah pelaksanaan Audit Intern oleh Satuan Pengawasan
Intern BUMN/BUMD yang disusun oleh BPKP.
Panduan Audit Intern
adalah pedoman pelaksaan Audit Intern yang berlaku di masing-masing
bank. Panduan ini harus mengacu kepada SPFAIB.
Pemantauan secara off-site
adalah pemantauan secara berkesinambungan atas kegiatan Auditee dalam
melaksanakan fungsinya yang pada umumnya dilakukan berdasarkan laporan
yang disampaikan secara periodik oleh Auditee atau informasi lain yang
signifikan dan relevan.
Pemeriksaan secara on-site
adalah pemeriksaan yang dilakukan secara langsung atau on the spot
terhadap kegiatan Auditee dalam melaksanakan fungsinya.
Pengangkatan dan pemberhentian Kepala SKAI
Pengertian “dilaporkan kepada Bank Indonesia” pada Angka 3.1 Huruf a
adalah untuk dicatatkan dan diketahui oleh Bank Indonesia. Pengangkatan
atau pemberhentian yang menyimpang tidak akan dicatatkan oleh Bank
Indonesia.
Pernyataan Auditor Intern bahwa audit telah dilakukan sesuai dengan
SPFAIB
Adalah suatu pernyataan tertulis dari SKAI bahwa pelaksanaan audit dan
faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan audit telah sesuai dengan
standar yang diatur dalam SPFAIB. Pada hakekatnya SPFAIB harus
diterapkan secara penuh yang intinya:
1. Standar yang berkaitan dengan aspek-aspek organisasi dan manajemen
SKAI, yang menunjang pelaksanaan audit yang independen.
2. Standar yang berkaitan dengan persyaratan yang ahrus dipenuhi oleh
Auditor Intern, khususnya profesionalisme, sehingga audit berlangsung
secara efektif.
3. Standar yang berkaitan dengan ruang lingkup pekerjaan Audit Intern.
4. Standar yang berkaitan dengan setiap tahap pelaksanaan audit.
Pertentangan Kepentingan
Pertentangan kepentingan atau “conflict of interest” adalah suatu keadaan
dimana Auditor Intern tidak dapat mengambil suatu keputusan yang
obyektif dan independen karena adanya unsur subyektivitas.
Satuan Kerja Audit Intern (SKAI)
adalah satuan kerja yang melaksanakan fungsi Audit Intern. Penggunaan
nama/istilah untuk satuan kerja tersebut dapat ditetapkan oleh masing-
masing bank.
Standards for The Proffesional Practice of Internal Auditing
adalah standar pelaksanaan Audit Intern secara profesional yang ditetapkan
oleh The Institute of Internal Auditors (IIA).
Standar Pelaksanaan Fungsi Audit Intern Bank (SPFAIB)
Pengertian “standar” dalam SPFAIB adalah ukuran minimal yang digunakan
sebagai acuan bank dalam melaksanakan fungsi Audit Intern. Standar
tersebut dimaksudkan juga sebagai kriteria yang dapat digunakan untuk
mengevaluasi dan mengukur efektivitas kegiatan SKAI.
The Institute of Internal Auditors (IIA)
adalah organisasi profesi internasional dalam bidang Audit Intern yang
didirikan di New York pada tahun 1941, yang menetapkan stadar
pelaksanaan Audit Intern secara profesional dan memiliki program
pendidikan dan pelatihan profesi.
"," PBI
1/6/PBI/1999
PENUGASAN DIREKTUR KEPATUHAN (COMPLIANCE DIRECTOR) DAN PENERAPAN STANDAR PELAKSANAAN FUNGSI AUDIT INTERN BANK UMUM
20 September 1999
20 September 1999
'27/163/KEP/DIR|SKDIR-BI/1995'
'23/UU/1999', '7/UU/1992', '10/UU/1998'
'BAB VII'
"
"1281019
MENTER KEUANGAN
SALINAN
PERATURAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR 78 /PMK.05/2007
TENTANG
PENILAIAN KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN
BAGI DIREKSI DAN KOMISARIS PERUSAHAAN PERASURANSIAN
MENTERI KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa untuk meningkatkan efektifitas penilaian kemampuan dan
kepatutan bagi direksi dan komisaris perusahaan perasuransian serta
dalam rangka menyesuaikannya dengan perkembangan yang terjadi
dalam industri perasuransian nasional, perlu dilakukan
penyempurnaan terhadap ketentuan mengenai penilaian
kemampuan dan kepatutan bagi direksi dan komisaris perusahaan
perasuransian sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 421/KMK.06/2003;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada
huruf a, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang
Penilaian Kemampuan dan Kepatutan bagi Direksi dan Komisaris
Perusahaan Perasuransian;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian
(Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 1992,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3467):
2. Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang
Penyelenggaraaan Usaha Perasuransian (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1992 Nomor 120, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3506) sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 1999 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 118, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3861);
3. Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun 2005;
MEMUTUSKAN
Menetapkan: PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PENILAIAN
KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN BAGI DIREKSI DAN KOMISARIS
PERUSAHAAN PERASURANSIAN.
End of Page 1
REPUBLUK INDONESIA
-2-
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan:
1. Perusahaan Perasuransian adalah perusahaan perasuransian
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Usaha
Perasuransian.
2. Direksi adalah direksi Perseroan Terbatas atau Persero, atau yang
setara dengan itu.
3. Komisaris adalah komisaris Perseroan Terbatas atau Persero, atau
yang setara dengan itu.
. Komite Evaluasi adalah komite yang terdiri dari unsur pejabat dan
pegawai Biro Perasuransian, Badan Pengawas Pasar Modal dan
Lembaga Keuangan dan unsur di luar pajabat dan pegawai Biro
Perasuransian, Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan.
5. Kepala Biro adalah Kepala Biro Perasuransian pada Badan Pengawas
Pasar Modal dan Lembaga Keuangan.
6. Ketua adalah Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan.
7. Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia.
BAB I
KEWAJIBAN MEMENUHI PERSYARATAN
KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN
Pasal 2
(1) Direksi, Komisaris, dan pemegang saham Perusahaan Perasuransian
setiap saat wajib memenuhi persyaratan kemampuan dan kepatutan.
(2) Direksi, Komisaris, dan pemegang saham dari perusahaan yang
mengajukan permohonan izin usaha Perusahaan Perasuransian
wajib memenuhi persyaratan kemampuan dan kepatutan.
(3) Direksi dan Komisaris yang baru dari Perusahaan Perasuransian
yang akan diambil alih kepemilikannya serta calon pemegang saham
yang akan mengambil alih kepemilikan Perusahaan Perasuransian,
wajib memenuhi persyaratan kemampuan dan kepatutan.
End of Page 2
MENTERI KEUANGAN
-3-
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penilaian kemampuan dan
kepatutan bagi pemegang saham diatur dengan Peraturan Menteri
Keuangan.
Pasal 3
Ketua melakukan penilaian kemampuan dan kepatutan, serta
menetapkan bahwa Direksi atau Komisaris lulus dan memenuhi
persyaratan kemampuan dan kepatutan, atau tidak lulus dan tidak
memenuhi persyaratan kemampuan dan kepatutan.
Pasal 4
(1) Penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 dilakukan:
a. pada saat seseorang akan memangku jabatan sebagai Direksi
atau Komisaris; dan
b. setiap waktu apabila dianggap perlu oleh Ketua.
(2) Penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a dilakukan terhadap
a. seseorang yang belum pernah menjadi Direksi atau Komisaris
Perusahaan Perasuransian, yang dicalonkan menjadi Direksi atau
Komisaris Perusahaan Perasuransian;
b. seseorang yang pernah menjabat sebagai Direksi atau Komisaris
Perusahaan Perasuransian, yang dicalonkan menjadi Direksi atau
Komisaris Perusahaan Perasuransian lainnya;
c. seseorang yang sedang menjabat sebagai Komisaris Perusahaan
Perasuransian yang dicalonkan menjadi Direksi atau Komisaris
Perusahaan Perasuransian lainnya;
d. seseorang yang sedang menjabat sebagai Direksi Perusahaan
Perasuransian, yang dicalonkan menjadi Komisaris Perusahaan
Perasuransian lainnya;
e. Direksi Perusahaan Perasuransian yang beralih jabatan menjadi
Komisaris Perusahaan Perasuransian yang sama;
Komisaris Perusahaan Perasuransian yang beralih jabatan
menjadi Direksi pada Perusahaan Perasuransian yang sama.
3) Direksi atau Komisaris Perusahaan Perasuransian yang telah
dinyatakan lulus dan memenuhi persyaratan penilaian kemampuan
dan kepatutan, dan dicalonkan untuk menduduki posisi yang sama
atau ruang lingkup tanggung jawab yang sama pada Perusahaan
Perasuransian lain, tidak wajib menjalani penilaian kemampuan dan
kepatutan, sepanjang tidak melampaui jangka waktu paling lama 3
(tiga) tahun terhitung sejak dinyatakan lulus dan memenuhi
persyaratan penilaian kemampuan dan kepatutan.
End of Page 3
REPUBLIK INDONESIA
-4-
(4) Direksi Perusahaan Perasuransian yang telah dinyatakan lulus dan
memenuhi persyaratan penilaian kemampuan dan kepatutan, dan
dicalonkan untuk menjadi komisaris pada Perusahaan Perasuransian
yang sama, tidak wajib menjalani penilaian kemampuan dan
kepatutan, sepanjang tidak melampaui jangka waktu paling lama 3
(tiga) tahun terhitung sejak dinyatakan lulus dan memenuhi
persyaratan penilaian kemampuan dan kepatutan.
(5) Penilaian setiap waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
dilakukan apabila Direksi atau Komisaris diduga atau patut diduga
tidak lagi memenuhi persyaratan kamampuan dan kepatutan
berdasarkan hasil analisis dan/atau hasil pemeriksaan Biro
Perasuransian.
Pasal 5
Direksi atau Komisaris yang menolak untuk dilakukan penilaian
kemampuan dan kepatutan, dinyatakan tidak lulus dan tidak
memenuhi persyaratan kemampuan dan kepatutan.
BAB III
FAKTOR PENILAIAN
Pasal 6
Penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 dilakukan terhadap kompetensi dan integritas.
Pasal7
(1) Faktor kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 yang
merupakan kriteria kelulusan meliputi
a. pengetahuan yang memadai dan relevan dengan jabatannya;
. pemahaman tentang peraturan perundang-undangan di bidang
perasuransian dan peraturan perundang-undangan lain yang
berhubungan dengan usaha perasuransian
c. pengalaman dan keahlian di bidang usaha perasuransian
dan/atau bidang lain yang relevan dengan jabatanngas dan
kemampuan untuk melakukan pengelolaan strategis dalan
rangka pengembangan usaha perasuransian yang sehat.
merupakan kriteria ketidaklulusan meliputi:
a. praktik-praktik tercela di bidang usaha perasuransian atau jasa
keuangan lain;
End of Page 4
MENTERI KEUANGAN
REPUBLK INDONESIA
-5-
b. perbuatan tindak pidana di bidang usaha perasuransian
dan/atau perekonomian;
perbuatan tindak pidana yang dijatuhi sanksi pidana penjara 5
c. perbuatan tindak pidana ya
(lima) tahun atau lebih;
perbuatan tidak memenuhi komitmen yang telah disepakat
dengan instansi pembina dan pengawas usaha perasuransian;
e. perbuatan yang memberikan keuntungan secara tidak wajar
kepada pemegang saham, Direksi, Komisaris, pegawai dan/atau
pihak lain yang dapat merugikan atau mengurangi hak
pemegang polis dan/atau Perusahaan Perasuransian;
perbuatan melanggar prinsip kehati-hatian di bidang usaha
perasuransian;
8. perbuatan yang menunjukkan bahwa Direksi atau Komisaris
yang bersangkutan tidak memiliki kewenangan atau memiliki
kewenangan namun tidak mampu menjalankan kewenangan
masing-masing sebagai Direksi atau Komisaris; dan/atau
h. perbuatan yang melanggar peraturan perundang-undangan di
bidang usaha perasuransian.
BAB IV
TAHAPAN PENILAIAN
Pasal 8
(1) Penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (1) dilakukan dengan tahapan sebagai berikut
a. analisis pendahuluan;
b. pengujian kemampuan dan kepatutan; dan
c. penetapan hasil penilaian.
(2) Penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan berdasarkan pedoman penilaian yang ditetapkan
oleh Ketua.
Bagian Pertama
Analisis Pendahuluan
Pasal 9
(1) Analisis pendahuluan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1)
huruf a dilakukan oleh Biro Perasuransian dengan prosedur sebagai
berikut
a. analisis atas informasi yang dimiliki Biro Perasuransian;
b. konfirmasi kepada pihak lain, bila diangsap perlu
End of Page 5
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
c. perumusan hasil analisis informasi;
d. penyusunan rencana pengujian kemampuan dan kepatutan.
(2) Dalam rangka melakukan analisis pendahuluan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Biro Perasuransian dapat meminta surat
keterangan mengenai catatan reputasi (frack record) pihak yang
dinilai kepada pengawas perasuransian dari negara domisili
terakhir, bagi Direksi atau Komisaris yang berasal dari luar negeri.
Bagian Kedua
Pengujan Kemampuan dan Kepatutan
Pasal 10
(1) Pengujan kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 ayat (1) huruf b dilakukan oleh Komite Evaluasi.
2) Pelaksanaan pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
terhadap 1 (satu) orang Direksi atau 1 (satu) orang Komisaris
dilakukan oleh 5 (lima) orang anggota Komite Evaluasi yang
selanjutnya disebut Tim Pengujiuyang terdiri darit
selanjutnya disebut Tim Penguji yang terdiri dari
a. 2 (dua) orang dari Biro Perasuransian, Badan Pengawas Pasar
Modal dan Lembaga Keuangan; dan
. 3 (tiga) orang dari luar Biro Perasuransian, Badan Pengawas
Pasar Modal dan Lembaga Keuangan.
3) Salah seorang dari Tim Pengujisebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf a ditetapkan sebagai Ketua Tim Penguji.
(4) Anggota dan Ketua Tim Penguji sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dan ayat (3) ditetapkan oleh Kepala Biro.
Pasal 11
(1) Pengujian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) dilakukan
dengan prosedur sebagai berikut
a. wawancara terhadap pihak yang dinilai berdasarkan hasil
analisis pendahuluan dan pedoman penilaian kemampuan dan
kepatutan bagi Direksi dan Komisaris Perusahaan Perasuransian;
b. penilaian kompetensi dan integritas pihak yang dinilai;
c. perumusan hasil pengujian kemampuan dan kepatutan.
(2) Wawancara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan
dengan tatap muka langsung di kantor Biro Perasuransian atau
tempat lain yang ditetapkan oleh Biro Perasuransian.
End of Page 6
MENTERI KEUANGAN
REPUBLK INDONESIA
-7-
(3) Wawancara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam
bahasa Indonesia.
(4) Direksi atau Komisaris yang tidak menguasai bahasa Indonesia wajib
mempergunakan jasa penerjemah dalam proses penilaian
kemampuan dan kepatutan.
(5) Pembiayaan penggunaan jasa penerjemah sebagaimana dimaksud
pada ayat (i) ditanggung oleh Perusahaan Perasuransian yang
bersangkutan.
Bagian Ketiga
Penetapan Hasil Penilaian
Pasal 12
(i) Ketua melakukan penetapan hasil penilaian kemampuan dan
kepatutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf c
dengan prosedur sebagai berikut
a. pelaporan Tim Penguji kepada Kepala Biro mengenai
pelaksanaan pengujian kemampuan dan kepatutan beserta hasil
penilaian dan alasannya;
b. penyampaian hasil penilaian kemampuan dan kepatutan dari
Kepala Biro kepada Ketua;
. penetapan Keputusan Ketua mengenai hasil penilaian
kemampuan dan kepatutan.
(2) Penetapan hasil penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lambat 30 (tiga puluh) hari
kerja setelah dilaksanakannya pengujian kemampuan dan kepatutan.
(3) Kepala Biro dapat meminta dilakukan pembahasan atas usulan hasil
penilaian kemampuan dan kepatutan dengan Tim Penguji, sebelum
menyampaikan hasil penilaian kemampuan dan kepatutan
dimaksud kepada Ketua.
(4) Dalam rangka penetapan keputusan mengenai hasil penilaian
kemampuan dan kepatutan, Ketua dapat meminta dilakukan
pembahasan atas usulan hasil penilaian kemampuan dan kepatutan
dengan Tim Penguji dan Kepala Biro.
(5) Keputusan hasil penilaian kemampuan dan kepatutan disampaikan
oleh Ketua kepada pemegang saham.
End of Page 7
REPUBUK INDONESIA
-8 -
Pasal 13
(1) Sebelum penetapan Keputusan Ketua mengenai hasil penilaian
kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12
ayat (1) huruf c, Tim Penguji melalui Kepala Biro dapat meminta
dokumen pendukung tambahan yang relevan dengan pelaksanaan
pengujian kemampuan dan kepatutan dari Direksi atau Komisaris
yang diuji, pemegang saham atau pihak lain.
(2) Direksi, Komisaris, pemegang saham atau pihak lain harus
memenuhi permintaan dokumen pendukung tambahan
sebagaimana dimaksud pada ayat (l) paling lambat 7 (tujuh) hari
kerja setelah tanggal surat permintaan dari Kepala Biro.
Pasal 14
Direksi atau Komisaris dinyatakan menolak untuk dilakukan penilaian
kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
apabila
a. tidak menyampaikan dokumen pendukung tambahan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) dalam jangka waktu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2); atau
b. tidak hadir pada jadwal yang ditentukan setelah 2 (dua) kali
dijadwalkan oleh Biro Perasuransian.
BAB V
KOMITE EVALUASI
Pasal 15
(i) Penunjukan anggota Komite Evaluasi dilakukan dengan
mempertimbangkan faktor kompetensi, integritas, dan independensi.
(2) Anggota Komite Evaluasi berhak memperoleh honorarium dalam
melaksanakan penilaian kemampuan dan kepatutan.
(3) Komite Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan besarnya
honorarium sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan
berdasarkan Keputusan Ketua, dengan jumlah anggota paling
banyak 50 (lima puluh) orang dan masa kerja 1 (satu) tahun.
(4) Anggota Komite Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang
berasal dari luar Biro Perasuransian, Badan Pengawas Pasar Modal
dan Lembaga Keuangan, harus memenuhi kriteria sebagai berikut.
a. memiliki pengalaman atau pengetahuan di bidang perasuransian
atau jasa keuangan lainnya;
End of Page 8
MENTERI KEUANGAN
REPUBLK INDONESIA
b. tidak sedang menjabat sebagai Direksi Perusahaan Perasuransian;
c. tidak pernah membuat perusahaan dicabut izin usahanya, pailit,
dipailitkan atau dilikuidasi;
. tidak pernah dijatuhi sanksi pidana penjara 5 (lima) tahun atau
lebih, atau terlibat dalam perkara pidana ekonomi.
(5) Komisaris Perusahaan Perasuransian yang ditunjuk sebagai anggota
Komite Evaluasi wajib telah mengikuti serta dinyatakan lulus dan
memenuhi persyaratan penilaian kemampuan dan kepatutan.
BAB VI
PROSEDUR PENILAIAN
Pasal 16
(1) Pelaksanaan penilaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)
huruf a dilakukan berdasarkan pengajuan permohonan tertulis dari
pemegang saham atau yang setara dengan itu.
(2) Jumlah calon Direksi atau calon Komisaris yang diajukan untuk
penilaian kemampuan dan kepatutan sesuai dengan jumlah jabatan
yang akan diisi.
(3) Pengajuan permohonan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus dilengkapi dengan:
a. daftar riwayat hidup beserta dokumen pendukung dari Direksi
atau Komisaris yang akan dinilai;
b. surat pernyataan dari Direksi atau Komisaris yang akan dinilai
mengenai:
1) kesediaan untuk diangkat menjadi Direksi atau Komisaris;
) kesediaan untuk mengikuti dan menerima hasil penilaian
tanpa syarat
3) pernah/tidak pernah melakukan tindakan/praktik yang
menyimpang dari ketentuan perundang-undangan di bidang
perasuransian;
) pernah/tidak pernah ikut terlibat dalam perkara pidana yang
diancam sanksi pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, atau
terlibat dalam perkara pidana ekonomi.
(4) Berdasarkan permohonan tertulis dari pemegang saham
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Biro Perasuransian
menyampaikan jadwal penilaian kemampuan dan kepatutan bagi
Direksi atau Komisaris Perusahaan Perasuransian yang
bersangkutan, paling lambat 20 (dua puluh) hari kerja setelah
dokumen pendukungnya diterima secara lengkap.
End of Page 9
REPUBLIK INDONESIA
-10-
(5) Tim Penguji melaksanakan pengujan kemampuan dan kepatutan
terhadap Direksi atau Komisaris dan memberitahukan hasilnya
secara tertulis kepada Kepala Biro paling lambat 5 (lima) hari kerja
terhitung sejak tanggal pelaksanaan penilaian kemampuan dan
kepatutan.
Pasal 17
Dalam hal Ketua menilai perlu dilakukan penilaian setiap waktu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf b, Ketua meminta
Direksi dan/atau Komisaris yang bersangkutan untuk mengikuti
pengujian kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11.
Pasal 18
(1) Direksi atau Komisaris yang tidak dapat hadir pada jadwal penilaian
kemampuan dan kepatutan yang ditetapkan Kepala Biro, harus
menyampaikan alasan secara tertulis paling lambat2 (dua) hari kerja
sebelum pelaksanaan penilaian kemampuan dan kepatutan bagi
yang bersangkutan.
(2) Direksi atau Komisaris yang tidak hadir diberikan kesempatan 1
(satu) kali lagi untuk penilaian kemampuan dan kepatutan yang
jadwalnya ditetapkan oleh Kepala Biro.
(3) Dalam hal Direksi atau Komisaris sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) tidak hadir pada kesempatan pengujian yang kedua, Tim Penguji
membuat Berita Acara ketidaklulusan yang bersangkutan karena
ketidakhadirannya dan menyampaikannya kepada Kepala Biro.
BAB VII
HASIL PENILAIAN DAN TINDAK LANJUT
Pasal 19
(i) Hasil penilaian kemampuan dan kepatutan diklasifikasikan menjadi
2 (dua) predikat sebagai berikut
a. lulus; atau
b. tidak lulus.
(2) Direksi atau Komisaris diklasifikasikan tidak lulus apabila yang
bersangkutan memperoleh hasil penilaian akhir kurang dari 65
(enam puluh lima) dan/atau terdapat penilaian 0 (nol) pada satu
kriteria atau lebih dalam faktor integritas.
End of Page 10
MENTERI KEUANGAN
-11-
(3) Direksi atau Komisaris yang dinyatakan tidak lulus dapat
mengajukan permintaan keterangan mengenai ketidaklulusannya
kepada Ketua.
Pasal 20
(I) Direksi atau Komisaris yang tidak lulus penilaian kemampuan dan
kepatutan tidak dapat bertindak sebagai Direksi atau Komisaris
Perusahaan Perasuransian.
(2) Pemegang saham wajib mengganti Direksi atau Komisaris
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lambat 1 (satu) bulan
sejak tanggal surat penyampaian hasil penilaian dan kepatutan.
Pasal 21
Direksi atau Komisaris yang dinyatakan tidak lulus berlaku ketentuan
sebagai berikut
a. jika tidak lulus karena faktor integritas, maka pihak dimaksud tidak
dapat diangkat sebagai Direksi atau Komisaris Perusahaan
Perasuransian dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak tanggal surat
penyampaian salinan keputusan Ketua mengenai hasil penilaian
kemampuan dan kepatutan; atau
b. jika tidak lulus karena faktor kompetensi, maka pihak dimaksud
tidak dapat diangkat sebagai Direksi atau Komisaris Perusahaan
Perasuransian dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak tanggal surat
penyampaian salinan keputusan mengenai hasil penilaian
kemampuan dan kepatutan.
BAB VIII
KERAHASIAAN
Pasal 22
Anggota Komite Evaluasi atau yang pernah menjadi anggota Komite
Evaluasi wajib merahasiakan dokumen, informasi, dan hasil penilaian
kemampuan dan kepatutan, kecuali karena jabatan yang bersangkutan
diwajibkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
End of Page 11
REPUBUIK INDONESIA
- 12 -
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 23
(1) Direksi atau Komisaris Perusahaan Perasuransian yang sedang
menjabat pada saat Peraturan Menteri Keuangan ini berlaku, wajib
memenuhi ketentuan persyaratan kemampuan dan kepatutan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.
(2) Hasil penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap Direksi atau
Komisaris Perusahaan Perasuransian berdasarkan Keputusan
Menteri Keuangan Nomor 421/KMK.06/2003, dinyatakan tetap
berlaku.
(3) Pemegang saham Perusahaan Perasuransian wajib mengajukan
permohonan penilaian kemampuan dan kepatutan bagi Direksi dan
Komisaris yang belum memenuhi ketentuan Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 421/KMK.06/2003 paling lambat 3 (tiga) bulan
sejak berlakunya Peraturan Menteri Keuangan ini.
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 24
(1) Dengan ditetapkannya Peraturan Menteri Keuangan ini, Keputusan
Menteri Keuangan Nomor 421/KMK.06/2003 tentang Penilaian
Kemampuan dan Kepatutan bagi Direksi dan Komisaris Perusahaan
Perasuransian dinyatakan tidak berlaku lagi.
(2) Keputusan Direktur Jenderal Lembaga Keuangan Nomor Kep-
3603/LK/2004 tentang Pedoman Penilaian Kemampuan dan
Kepatutan bagi Direksi dan Komisaris Perusahaan Perasuransian
tetap berlaku sampai diberlakukannya peraturan perundang-
undangan yang menggantikannya berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan ini.
Pasal 25
(1) Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor
421/KMK.06/2003 tentang Penilaian Kemampuan dan Kepatutan
bagi Direksi dan Komisaris Perusahaan Perasuransian, dinyatakan
tetap berlaku sampai dengan ditetapkannya Komite Evaluasi yang
baru.
End of Page 12
MENTERI KEUANGAN
- 13 -
(2) Dengan ditetapkannya Peraturan Menteri Keuangan ini, untuk
pertama kali Ketua menetapkan Komite Evaluasi yang baru
berdasarkan ketentuan Pasal 15 ayat (3), dengan masa kerja sampai
dengan 31 Desember 2007.
Pasal 26
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman
Keputusan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 13 Juli 2007
MENTERI KEUANGAN,
Salinan sesuai dengan aslinya, MENTERIKEUANGAN, '
md
Kepala Biro Umum
SRIMULYANI INDRAWATI
End of Page 13
"," PER-MEN
78/PMK.05/2007|PER-MENKEU/2007
PENILAIAN KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN BAGI DIREKSI DAN KOMISARIS PERUSAHAAN PERASURANSIAN
13 Juli 2007
13 Juli 2007
'421/KMK.06/2003|KEP-MENKEU/2003'
'2/UU/1992', '73/PP/1992', '63/PP/1999', '20/P|KEPPRES/2005'
"
"MENTERI KEUANGAN
SALINAN
PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR21 /PMK.010/ 2012
TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN
OMOR 510/KMK.06/2002 TENTANG PENDANAAN DAN SOLVABILITAS
DANA PENSIUN PEMBERI KERJA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka mendorong pertumbuhan industri
Dana Pensiun, dipandang perlu mengubah ketentuan
mengenai sanksi administratif berupa denda atas
keterlambatan penyampaian laporan aktuaris
sebagaimana telah ditetapkan dalam Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 510/KMK.06/2002 tentang Pendanaan
dan Solvabilitas Dana Pensiun Pemberi Kerja sebagaimana
telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
113/PMK.05/2005;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan Menteri
Keuangan tentang Perubahan Kedua Atas Keputusan
Menteri Keuangan Nomor 510/KMK.06/2002 tentang
tlb diubah dengan Peraturan Menten
Keuangan Nomor 113/PMK.05/2005;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana
Pensiun (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahur
1992 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3477);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 1992 tentang
Indonesia Tahun 1992 Nomor 126, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3507);
3. Peraturan Presiden Nomor 89 Tahun 2006 tentang Panitia
Urusan Piutang Negara;
End of Page 1
REPUBLIK INDONESIA
-2
4. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 510/KMK.06/2002
tentang Pendanaan dan Solvabilitas Dana Pensiun
Pemberi Kerja, sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 113/PMK.05/2005;
5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 128/PMK.06/2007
tentang Pengurusan Piutang Negara sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
88/PMK.06/2009 (Berita Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 86);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PERUBAHAN
KEDUA ATAS KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NOMOR
510/KMK.06/2002 TENTANG PENDANAAN DAN
SOLVABILITAS DANA PENSIUN PEMBERI KERJA.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Keputusan Menteri Keuangan
Nomor 510/KMK.06/2002 tentang Pendanaan dan
Solvabilitas Dana Pensiun Pemberi Kerja, sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
113/PMK.05/2005, diubah sebagai berikut
1. Ketentuan Pasal 22 ditambahkan 1 (satu) ayat, yakni ayat
(4) schingga Pasal 22 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 22
(1) Tanggal perhitungan aktuaria untuk laporan aktuaris
yang disusun dalam rangka permohonan pengesahan
pernyataan tertulis Pendiri tentang Pembentukan Dana
Pensiun.
(2) Tanggal perhitungan aktuaria untuk laporan aktuaris
yang disusun dalam rangka pembubaran Dana
Pensiun adalah tanggal pernyataan tertulis Pendiri
tentang pembubaran Dana Pensiun atau tanggal
Keputusan Menteri dalam hal tidak ada pernyataan
tertulis Pendiri tentang pembubaran Dana Pensiun.
End of Page 2
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
(3) Tanggal perhitungan aktuaria untuk laporan aktuaris
yang disusun dalam rangka permohonan pengesahan
perubahan Peraturan Dana Pensiun yang berkaitan
dengan pendanaan paling lama 3 (tiga) bulan sebelum
tanggal permohonan perubahan Peraturan Dana
Pensiun
(4) Tanggal perhitungan aktuaria dalam rangka Laporan
Aktuaris Berkala adalah per tanggal 31 Desember.
2. Ketentuan Pasal 25 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat
(5) dan ayat (6) diubah, serta ditambahkan 1 (satu) ayat,
yakni ayat (7) sehingga Pasal 25 berbunyi sebagai berikut
Pasal 25
(1) Setiap laporan aktuaris yang dijadikan dasar dalam
penetapan iuran Pemberi Kerja disampaikan kepada
Menteri c.q. Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan
Lembaga Keuangan dilengkapi dengan pernyataan
yang ditandatangani Pendiri sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 20 ayat (2).
(2) Penyampaian laporan aktuaris sebagaimana dimaksud
pada ayat (I) harus laporan asli dan disertai dengan
data elektronik yang sama dengan data pada laporan
aktuaris tersebut.
(3) Laporan Aktuaris Berkala dan data elektronik
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan
paling lama 5 (lima) bulan setelah tanggal perhitungan
aktuaria.
(4) Penyampaian Laporan Aktuaris Berkala atau laporan
Dana Pensiun atau pengesahan perubahan Peraturan
Dana Pensiun menjadi dasar dalam penetapan
kewajiban penyampaian laporan aktuaris berikutnya.
(5) Bentuk dan susunan data elektronik sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Ketua Badar
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan.
(6) Penyampaian laporan aktuaris sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) dapat dilakukan dengan cara sebagai
berikut
4
End of Page 3
REPUBLIK INDONESIA
a. diserahkan langsung ke kantor Badan Pengawas
Pasar Modal dan Lembaga Kelangan;
b. dikirim melalui kantor pos secara tercatat; atau
. dikirim melalui perusahaan jasa
pengiriman/titipan.
(7) Dalam hal laporan aktuaris dikirim melalui kantor pos
atau perusahaan jasa pengiriman/titipan, tanggal
penyampajan laporan aktuaris adalah tanggal
pengiriman dalam tanda bukti pengiriman.
3. Pasal 26 dihapus.
Pasal II
1. Di antara BAB VI dan BAB VII disisipkan 1 (satu) bab,
yakni BAB VIA sehingga berbunyi sebagai berikut
BAB VIA
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 28C
Piutang negara yang timbul dari pengenaan sanksi
administratif berupa denda atas keterlambatan
penyampaian laporan aktuaris yang sudah ada
sebelum ditetapkannya Peraturan Menteri ini,
dikategorikan sebagai piutang macet yang
pengurusannya dilimpahkan/ diserahkan oleh Badan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan kepada
Panitia Urusan Piutang Negara/Direktorat Jenderal
Kekayaan Negara.
diundangkan.
m
End of Page 4
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya
dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 1 Februari 2012
MENTERI KEUANGAN,
ttd.
AGUS D.W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 1 Februari 2012
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA,
ttd.
AMIR SYAMSUDIN
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2012 NOMOR 146
Salinan sesuai dengan aslinya
KEPALA BIRO UMUM
KEPALA PAGAN T.U. KEMENTERIAN
End of Page 5
"," PER-MEN
21/PMK.010/2012|PER-MENKEU/2012
PERUBAHAN KEDUA ATAS KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 510/KMK.06/2002 TENTANG PENDANAAN DAN SOLVABILITAS DANA PENSIUN PEMBERI KERJA
1 Februari 2012
1 Februari 2012
1 Februari 2012
'510/KMK.06/2002|KEP-MENKEU/2002'
'113/PMK.05/2005|PER-MENKEU/2005'
'11/UU/1992', '76/PP/1992', '89/PERPRES/2006', '510/KMK.06/2002|KEP-MENKEU/2002', '113/PMK.05/2005|PER-MENKEU/2005', '128/PMK.06/2007|PER-MENKEU/2007', '88/PMK.06/2009|PER-MENKEU/2009'
"
"MENTERI KEUANGAN
SALINAN
PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 22 /PMK.010/2012
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR
TNTANGAPORAN TEKNS DANA PENSUN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan tertib administrasi
pengenaan sanksi administratif berupa denda atas
keterlambatan penyampaian laporan teknis kepada
Menteri Keuangan, dipandang perlu mengubah
ketentuan mengenai sanksi administratif berupa denda
atas keterlambatan penyampaian laporan teknis
sebagaimana telah ditetapkan dalam Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 100/PMK.010/2007 tentang Laporan
Teknis Dana Pensiun;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan
Menteri Keuangan tentang Perubahan Atas Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 100/PMK.010/2007 tentang
Laporan Teknis Dana Pensiun,
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana
Pensiun (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1992 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3477);
2. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang
Peneama Neara Bukan Paiak (Tamhor
Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 43, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3687);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 1992 tentang
Dana Pensiun Pemberi Kerja (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1992 Nomor 126, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3507);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 1992 tentang
Dana Pensiun Lembaga Keuangan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 127, Tambahar
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 8508);
End of Page 1
ENTERIKEJANA
-2-
5. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2003 tentang
Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bulkan Pajak Yang
Berlaku Pada Departemen Keuangan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 95, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4313);
6. Peraturan Presiden Nomor 89 Tahun 2006 tentang
Panitia Urusan Piutang Negara,
7. Peraturan Menteri Keuangan Nomor
100/PMK.010/2007 tentang Laporan Teknis Dana
Pensiun;
8. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 128/PMK.06/2007
tentang Pengurusan Piutang Negara sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
88/PMK.06/2009 (Berita Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 86);
MEMUTUSKAN
Menetapkan : PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR 100/PMK.010/2007 TENTANG LAPORAN TEKNIS
DANA PENSIUN.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 100/PMK.010/2007 tentang Laporan Teknis Dana
Pensiun, diubah sebagai berikut
1. Ketentuan Pasal 2 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut
Pasal 2
Dana Pensiun wajib menyampaikan Laporan Teknis
setiap tahun kepada Menteri c.q. Ketua Badan Pengawas
Pasar Modal dan Lembaga Keuangan.
2. Ketentuan Pasal 6 ayat (1) dihapus, ayat (2) dan ayat (3)
diubah serta ditambahkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (4),
sehingga Pasal 6 berbunyi sebagai berikut
Pasal 6
(1) Dihapus.
End of Page 2
MENTERI KEUANGAN
- 3-
(2) Laporan Teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 disampaikan paling lama 3 (tiga) bulan setelah
berakhirnya periode kegiatan Dana Pensiun.
(3) Penyampaian Laporan Teknis sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), dapat dilakukan dengan
cara sebagai berikut
a. diserahkan langsung ke kantor Badan Pengawas
Pasar Modal dan Lembaga Keuangan;
b. dikirim melalui kantor pos secara tercatat; atau
c. dikirim melalui perusahaan jasa
pengiriman/ titipan.
(4) Dalam hal batas akhir penyampaian Laporan Teknis
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) jatuh pada
hari libur, batas akhir penyampaian laporan adalah
hari kerja pertama berikutnya.
3. Ketentuan Pasal 7 ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5)
diubah, ayat (3) dihapus, diantara ayat (3) dan ayat (4)
disisipkan 1 ayat yakni ayat (3a), dan diantara ayat (4)
dan ayat (5) disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (4a)
sehingga Pasal 7 berbunyi sebagai berikut
Pasal 7
(1) Dalam hal Dana Pensiun terlambat menyampaikan
Laporan Teknis, Pendiri Dana Pensiun dikenakan
sanksi administratif berupa denda sebesar
Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk setiap
hari keterlambatan, terhitung sejak hari pertama
setelah batas akhir penyampaian laporan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2)
sampai dengan tanggal penyampaian Laporan
(2) Dalam rangka pengenaan sanksi administratif
berupa. denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
tanggal penyampaian laporan adalah :
a. tanggal penerimaan Laporan Teknis, apabila
Laporan Teknis diserahkan langsung ke kantor
Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan; dan
b. tanggal pengiriman yang terdapat dalam tanda
bukti pengiriman, apabila Laporan Teknis
dikirim melalui kantor pos atau perusahaan
jasa pengiriman/titipan.
End of Page 3
MENTERI KEUANGAN
REPUBUK INDONEGT
(3) Dihapus.
(3a) Surat pengenaan sanksi administratif berupa denda
ditetapkan oleh Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
dan Lembaga Keuangan atas nama Menteri
Keuangan.
(4) Sanksi administratif berupa denda atas
keterlambatan penyampaian Laporan Teknis
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
dibayarkan ke Kas Negara dengan menggunakan
formulir Surat Setoran Bukan Pajak (SSBP) dengan
kode Mata Anggaran Penerimaan (MAP)
sebagaimana disebutkan dalam surat pengenaan
sanksinya.
(4a) Potocopy Surat Setoran Bukan Pajak (SSBP) yang
merupakan bukti pembayaran sanksi administratif
berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
disampaikan kepada Sekretaris Badan Pengawas
Pasar Modal dan Lembaga Keuangan c.q.
Kepala Bagian Keuangan dengan tembusan kepada
Kepala Biro Dana Pensiun, paling lama 7 (tujuh)
hari kerja setelah denda dibayarkan ke Kas Negara.
(5) Dalam hal Pendiri Dana Pensiun belum membayar
denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), denda
tersebut dinyatakan sebagai utang Pendiri Dana
Pensiun kepada Negara dan harus dicantumkan
dalam laporan keuangan Pendiri Dana Pensiun
yang bersangkutan.
4. Ketentuan Pasal 10 diubah schingga berbunyi sebagai
berikut
Pasal 10
(1) Apabila dalam jangka waktu scbagaimana
dimaksud pada surat teguran kedua sanksi
administratif berupa denda beserta bunganya tidak
dilunasi, sanksi administratif berupa denda beserta
bunganya dikategorikan sebagai piutang macet.
2) Piutang macet sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), pengurusannya dilimpahkan/ diserahkan oleh
Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan kepada Panitia UnenD
Negara/Direktorat Jenderal Kekayaan Negara dalam
jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari
administratif berupa denda
dikategorikan sebagai piutang macet.
End of Page 4
MENTERI KEUANGAN
Pasal II
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Menteri ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 1 Februari 2012
MENTERI KEUANGAN,
ttd.
AGUS D.W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 1 Februari 2012
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA,
ttd.
AMIR SYAMSUDIN
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2012 NOMOR 147
Salinan sesuai dengan aslinya
KEPALA BIRQ IIMUM
REPIS
KEPAIABAGIAN T.U REMENTERIAN
GIARTO
NIP 19590420198402901
End of Page 5
"," PER-MEN
22/PMK.010/2012|PER-MENKEU/2012
PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 100/PMK.010/2007 TENTANG LAPORAN TEKNIS DANA PENSIUN
1 Februari 2012
1 Februari 2012
1 Februari 2012
'100/PMK.010/2007|PER-MENKEU/2007'
'11/UU/1992', '20/UU/1997', '76/PP/1992', '77/PP/1992', '44/PP/2003', '89/PERPRES/2006', '100/PMK.010/2007|PER-MENKEU/2007', '128/PMK.06/2007|PER-MENKEU/2007', '88/PMK.06/2009|PER-MENKEU/2009'
'Pasal I Angka 3 Pasal 7 Ayat (1)'
"
" SALINAN
PERATURAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR 74 /PMK.010/2007
TENTANG
PENYELENGGARAAN PERTANGGUNGAN ASURANSI
PADA LINI USAHA ASURANSI KENDARAAN BERMOTOR
MENTERI KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka memberikan perlindungan yang lebih baik kepada
tertanggung asuransi kendaraan bermotor diperlukan tingkat premi
wajar yang tidak memberatkan tertanggung dan tidak bersifat
diskriminatif;
b. bahwa dalam rangka menegakkan praktik usaha yang sehat untuk
pemasaran asuransi kendaraan bermotor, khususnya dalam penetapan
premi dan pembentukan cadangan teknis, diperlukan pengawasan yang
lebih baik;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf
a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang
Penyelenggaraan Pertanggungan Asuransi Pada Lini Usaha Asuransi
Kendaraan Bermotor;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 13,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3467);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 Tentang Penyelenggaraan
Usaha Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1992 Nomor 120, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3506) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 63 Tahun 1999 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3861);
3. Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun 2005;
4. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 422/KMK.06/2003 tentang
Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Asuransi dan Perusahaan
Reasuransi;
5. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 424/KMK.06/2003 tentang
Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi;
- 2 -
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MENTERI
KEUANGAN TENTANG
PENYELENGGARAAN PERTANGGUNGAN ASURANSI PADA LINI
USAHA ASURANSI KENDARAAN BERMOTOR.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini, yang dimaksud dengan :
1. Perusahaan Asuransi Umum adalah perusahaan asuransi kerugian
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Perasuransian.
2. Asuransi Kendaraan Bermotor adalah produk asuransi kerugian yang
melindungi tertanggung dari risiko kerugian yang mungkin timbul
sehubungan dengan kepemilikan dan pemakaian kendaraan bermotor.
3. Biaya Akuisisi adalah biaya-biaya yang dibayarkan penanggung kepada
pemegang polis atau pihak ketiga dalam rangka perolehan bisnis.
4. Komisi adalah komponen Biaya Akuisisi yang menjadi hak Agen
Asuransi atau Perusahaan Pialang Asuransi sebagai imbalan jasa
keperantaraan yang telah diberikan.
5. Agen Asuransi adalah agen asuransi sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang tentang Usaha Perasuransian.
6. Perusahaan Pialang Asuransi adalah perusahaan pialang asuransi
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Perasuransian.
7. Premi Neto adalah premi neto sebagaimana dimaksud dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha
Perasuransian sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 63 Tahun 1999.
8. Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia.
BAB II
PENETAPAN PREMI
Pasal 2
(1) Perusahaan Asuransi Umum yang memasarkan Asuransi Kendaraan
Bermotor wajib menetapkan tarif premi.
tentang Usaha
tentang Usaha
- 3 -
(2) Penetapan tarif premi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup
unsur-unsur premi murni, biaya administrasi dan umum lain, biaya
akuisisi, serta keuntungan, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Penetapan unsur premi murni dilakukan berdasarkan perhitungan
yang didukung dengan data profil risiko dan kerugian (risk and loss
profile) untuk periode paling singkat 5 (lima) tahun;
b. Penetapan unsur biaya administrasi dan biaya umum lainnya
dilakukan berdasarkan perhitungan yang didukung dengan data
biaya administrasi dan biaya umum lainnya yang menjadi bagian
lini usaha Asuransi Kendaraan Bermotor untuk periode paling
singkat 5 (lima) tahun;
c. Penetapan unsur biaya akuisisi dilakukan sesuai dengan ketentuan
mengenai biaya akuisisi sebagaimana dimaksud dalam Peraturan
Menteri Keuangan ini; dan
d. Penetapan unsur keuntungan yang wajar.
Pasal 3
(1) Perusahaan Asuransi Umum yang belum memiliki data profil risiko
dan kerugian serta data biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
huruf a dan huruf b, wajib menetapkan unsur premi murni serta unsur
biaya administrasi dan biaya umum lainnya berdasarkan referensi yang
ditetapkan oleh Menteri.
(2) Untuk pertama kali, referensi unsur premi murni serta unsur biaya
administrasi dan biaya umum lainnya yang dapat digunakan oleh
Perusahaan Asuransi Umum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Peraturan Menteri
Keuangan ini.
(3) Referensi unsur premi murni serta unsur biaya administrasi dan biaya
umum lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) akan ditinjau
setiap tahun dan perubahannya ditetapkan oleh Ketua Badan Pengawas
Pasar Modal dan Lembaga Keuangan.
BAB III
BIAYA AKUISISI DAN KOMISI
Pasal 4
(1) Komisi hanya dapat dibayarkan kepada atau dikutip oleh Perusahaan
Pialang Asuransi atau Agen Asuransi.
(2) Perusahaan Asuransi Umum dapat membebankan Biaya Akuisisi selain
Komisi dalam bentuk pemberian diskon, bonus, hadiah, atau manfaat
lain kepada Perusahaan Pialang Asuransi, Agen Asuransi, pemegang
- 4 -
polis, atau pihak ketiga lainnya yang berhubungan dengan perolehan
bisnis.
(3) Besarnya pembebanan Biaya Akuisisi sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) dalam rangka perolehan bisnis, secara kumulatif tidak boleh
melebihi 25% dari premi bruto.
BAB IV
PEMBENTUKAN CADANGAN ATAS PREMI YANG
BELUM MERUPAKAN PENDAPATAN
Pasal 5
Perusahaan Asuransi Umum yang memasarkan Asuransi Kendaraan
Bermotor wajib membentuk cadangan atas premi yang belum merupakan
pendapatan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Besar cadangan atas premi yang belum merupakan pendapatan untuk
Asuransi Kendaraan Bermotor paling rendah 40% (empat puluh per
seratus) dari Premi Neto.
b. Premi Neto sebagaimana dimaksud pada huruf a diperoleh dari premi
bruto yang dihitung berdasarkan:
i. unsur premi murni serta unsur biaya administrasi dan biaya umum
lainnya sesuai referensi yang
ditetapkan oleh
Menteri dan
perubahan-perubahannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3;
dan
ii. Biaya Akuisisi paling tinggi 25% (dua puluh lima per seratus) dari
premi bruto.
BAB V
PEMELIHARAAN DATA DAN PELAPORAN
Pasal 6
(1) Perusahaan Asuransi Umum yang memasarkan Asuransi Kendaraan
Bermotor wajib memiliki sistem informasi yang mampu mengolah dan
memelihara data profil risiko dan kerugian serta data biaya administrasi
dan biaya umum lainnya untuk produk dimaksud.
(2) Perusahaan Asuransi Umum yang memasarkan Asuransi Kendaraan
Bermotor wajib memelihara data profil risiko dan kerugian serta data
biaya administrasi dan biaya umum lainnya untuk Asuransi Kendaraan
Bermotor sekurang-kurangnya untuk periode 5 (lima) tahun terakhir.
- 5 -
Pasal 7
(1) Perusahaan Asuransi Umum yang memasarkan Asuransi Kendaraan
Bermotor setiap tahun wajib menyampaikan laporan data profil risiko
dan kerugian serta data biaya administrasi dan biaya umum lainnya
untuk lini usaha Asuransi Kendaraan Bermotor yang disajikan
berdasarkan tahun underwriting (underwriting year basis) kepada
Menteri.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi
ketentuan sebagai berikut:
a. berisi data profil risiko serta data biaya administrasi dan biaya
umum lainnya untuk periode tahun underwriting 2 (dua) tahun
sebelumnya;
b. disampaikan paling lambat tanggal 30 April;
c. harus ditandatangani oleh direksi dan tenaga ahli perusahaan.
(3) Bentuk dan susunan laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran 2 Peraturan Menteri
Keuangan ini.
BAB VI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 8
(1) Perusahaan Asuransi Umum yang
Kendaraan
Bermotor
Keuangan wajib
sebelum ditetapkannya
telah memasarkan Asuransi
Peraturan Menteri
menyesuaikan sistem informasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 dalam jangka waktu paling lama 6 (enam)
bulan sejak ditetapkannya Peraturan Menteri Keuangan ini.
(2) Untuk pertama kali, Perusahaan Asuransi Umum wajib melaporkan
data profil risiko dan kerugian serta data biaya administrasi dan biaya
umum lainnya yang dialokasikan untuk lini usaha Asuransi Kendaraan
Bermotor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), untuk tahun
underwriting 2001, 2002, 2003, 2004 dan 2005 paling lama tanggal 30
November 2007.
Pasal 9
(1) Perusahaan Asuransi Umum yang telah menetapkan tarif premi
Asuransi Kendaraan Bermotor atas polis-polis yang masih berlangsung
pada saat ditetapkannya Peraturan Menteri Keuangan ini, masih dapat
menggunakan tarif premi dimaksud sampai dengan berakhirnya polis,
termasuk untuk perhitungan premi bruto dalam rangka pembentukan
cadangan atas premi yang belum merupakan pendapatan.
- 6 -
(2) Apabila polis-polis
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) akan
dilakukan perpanjangan pada saat berakhirnya polis, maka Perusahaan
Asuransi Umum wajib menyesuaikan tarif premi Asuransi Kendaraan
Bermotor sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan ini pada saat
perpanjangan polis dimaksud, termasuk untuk perhitungan premi
bruto dalam rangka pembentukan cadangan atas premi yang belum
merupakan pendapatan.
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 10
(1) Dengan berlakunya
Peraturan Menteri
Keuangan ini,
mengenai premi dalam Keputusan Menteri Keuangan
ketentuan
Nomor
422/KMK.06/2003 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan
Asuransi dan Perusahaan Reasuransi dan ketentuan mengenai
cadangan premi dalam Keputusan Menteri Keuangan
424/KMK.06/2003 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi
dan Perusahaan Reasuransi,
dinyatakan tidak berlaku bagi
penyelenggaraan pertanggungan asuransi pada lini usaha kendaraan
bermotor.
(2) Ketentuan lain dalam Keputusan
Menteri Keuangan Nomor
422/KMK.06/2003 dan Keputusan Menteri Keuangan Nomor
424/KMK.06/2003, sepanjang tidak diatur lain dalam Peraturan
Menteri Keuangan ini dinyatakan masih tetap berlaku.
Pasal 11
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada saat ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman
Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 29 Juni 2007
MENTERI KEUANGAN,
ttd
SRI MULYANI INDRAWATI
Nomor
LAMPIRAN 1
PERATURAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR
74
/PMK.010/2007 TENTANG
PENYELENGGARAAN PERTANGGUNGAN
USAHA PADA LINI ASURANSI KENDARAAN
BERMOTOR
REFERENSI TARIF PREMI
LINI BISNIS KENDARAAN BERMOTOR
TAHUN 2007
I. PREMI MURNI
KATEGORI
UANG
PERTANGGUNGAN
(1) (2)
Jenis Kendaraan Non Truck
Kategori 1 0 s.d. Rp150.000.000,00
Kategori 2
Kategori 3
Kategori 4
Rp151.000.000,00 s.d.
Rp300.000.000,00
Rp301.000.000,00 s.d.
Rp500.000.000,00
Rp501.000.000,00 s.d.
Rp800.000.000,00
Kategori 5 Lebih dari Rp800.000.000,00
Jenis Kendaraan Truck
Kategori 6 Semua uang pertanggungan
TARIF PREMI
PERTANGGUNGAN
TOTAL LOSS ONLY (TLO)
(3)
0,74%
TARIF PREMI
PERTANGGUNGAN
COMPREHENSIVE
(4)
2,18%
0,67% 1,96%
0,62% 1,74%
0,62% 1,48%
0,56%
0,62%
1,19%
2,01%
Penerapan tarif premi murni pada tabel di atas dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
1. Tarif premi murni berlaku untuk coverage dasar. Untuk perluasan Strike, Riot, Civil Commotion
(SRCC), Flood, Earthquake, dan Third Party Liability (TPL) harus dikenakan premi tambahan.
2. Tarif premi risiko merupakan persentase dari uang pertanggungan.
3. Deductible minimal sebesar Rp200.000,00.
4. Premi murni pada umumnya memiliki persentase dari premi bruto sebesar 50%.
II. BIAYA ADMINISTRASI DAN UMUM LAINNYA
1. Biaya administrasi dan umum lainnya merupakan persentase dari premi bruto.
2. Unsur biaya administrasi dan biaya umum lainnya adalah 15% dari premi bruto.
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
SRI MULYANI INDRAWATI
Lampiran 2
Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 74 /PMK.010/2007
Tanggal 29 Juni
2007
Tentang Penyelenggaraan Pertanggungan
Asuransi Pada Lini Usaha Asuransi
Kendaraan Bermotor
KEPADA
Yth. Biro Perasuransian
Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan
Departemen Keuangan RI
Gedung A Lantai 8
Jalan Wahidin No. 1 Jakarta 10710
ASURANSI KENDARAAN BERMOTOR
LAPORAN DATA PROFIL RISIKO DAN KERUGIAN
Perusahaan Asuransi Kerugian / Perusahaan Reasuransi
(Diisi nama, alamat, nomor telepon, nomor faximile dan e-mail perusahaan)
Tahun Pelaporan : …….
Tahun Underwriting : ……
- 2 -
( Nama Perusahaan )
PERNYATAAN DIREKSI DAN TENAGA AHLI
Kami yang bertanda tangan di bawah ini, dengan ini menyatakan bahwa menurut pendapat kami, perusahaan telah
menyajikan semua data yang wajar dan dapat dijadikan dasar untuk menyusun Laporan Data Profil Risiko dan
Kerugian Asuransi Kendaraan Bermotor tahun underwriting 200X.
Demikian pernyataan ini dibuat dengan sesungguhnya.
Jakarta, ……………………….
Direksi (Diisi nama jabatan)
Tenaga Ahli
tanda tangan
(Nama)
tanda tangan
(Nama dan No. Registrasi)
- 3 -
DAFTAR ISI LAPORAN
Judul
- COVER
- PERNYATAAN DIREKSI DAN TENAGA AHLI
- DAFTAR ISI LAPORAN
A. Rekapitulasi Premi dan Klaim
B. Data Premi Kendaraan Angkutan Penumpang Dengan Polis Total Loss Only
C. Data Premi Kendaraan Angkutan Barang Dengan Polis Total Loss Only
D. Data Premi Kendaraan Bus Dengan Polis Total Loss Only
E. Data Premi Kendaraan Angkutan Penumpang Dengan Polis Comprehensive
F. Data Premi Kendaraan Angkutan Barang Dengan Polis Comprehensive
G. Data Premi Kendaraan Bus Dengan Polis Comprehensive
H. Data Klaim Kendaraan Angkutan Penumpang Dengan Polis Total Loss Only
I. Data Klaim Kendaraan Angkutan Barang Dengan Polis Total Loss Only
J. Data Klaim Kendaraan Bus Dengan Polis Total Loss Only
K. Data Klaim Kendaraan Angkutan Penumpang Dengan Polis Comprehensive
L. Data Klaim Kendaraan Angkutan Barang Dengan Polis Comprehensive
M. Data Klaim Kendaraan Bus Dengan Polis Comprehensive
N. Data Biaya
O. Daftar Kode Merk dan Tipe Kendaraan Bermotor
P. Petunjuk Pengisian
Halaman
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18-24
25-27
- 4 -
A. REKAPITULASI DATA PREMI DAN KLAIM
NAMA PERUSAHAAN
TAHUN PELAPORAN
UNDERWRITING YEAR
NO.
MERK
1 Kendaraan Angkutan Penumpang Dengan Polis Total Loss Only
2 Kendaraan Angkutan Barang Dengan Polis Total Loss Only
3 Kendaraan Bus Dengan Polis Total Loss Only
4 Kendaraan Angkutan Penumpang Dengan Polis Comprehensive
5 Kendaraan Angkutan Barang Dengan Polis Comprehensive
6 Kendaraan Bus Dengan Polis Comprehensive
TOTAL
:
: 200X
: 200X-2
JUMLAH
KENDARAAN
JUMLAH UANG
PERTANGGUNGAN
JUMLAH
PREMI
JUMLAH
FREKUENSI
KLAIM
JUMLAH
NILAI KLAIM
- 5 -
B. DATA PREMI
NAMA PERUSAHAAN
TAHUN PELAPORAN
UNDERWRITING YEAR
JENIS KENDARAAN
COVERAGE POLIS
NO.
KODE MERK DAN TIPE
KENDARAAN
TAHUN
KENDARAAN
:
: 200X
: 200X-2
: ANGKUTAN PENUMPANG
: TLO
PENGGUNAAN
JUMLAH
KENDARAAN
JUMLAH UANG
PERTANGGUNGAN
PREMI U/Y 200X-2
DITERIMA 200X-2
PREMI U/Y 200X-2
DITERIMA 200X-1
JUMLAH PREMI
U/Y 200X-2
- 6 -
C. DATA PREMI
NAMA PERUSAHAAN
TAHUN PELAPORAN
UNDERWRITING YEAR
JENIS KENDARAAN
COVERAGE POLIS
NO.
KODE MERK DAN TIPE
KENDARAAN
TAHUN
KENDARAAN
:
: 200X
: 200X-2
: ANGKUTAN BARANG
: TLO
PENGGUNAAN
JUMLAH
KENDARAAN
JUMLAH UANG
PERTANGGUNGAN
PREMI U/Y 200X-2
DITERIMA 200X-2
PREMI U/Y 200X-2
DITERIMA 200X-1
JUMLAH PREMI
U/Y 200X-2
- 7 -
D. DATA PREMI
NAMA PERUSAHAAN
TAHUN PELAPORAN
UNDERWRITING YEAR
JENIS KENDARAAN
COVERAGE POLIS
NO.
KODE MERK DAN TIPE
KENDARAAN
TAHUN
KENDARAAN
:
: 200X
: 200X-2
: BUS
: TLO
PENGGUNAAN
JUMLAH
KENDARAAN
JUMLAH UANG
PERTANGGUNGAN
PREMI U/Y 200X-2
DITERIMA 200X-2
PREMI U/Y 200X-2
DITERIMA 200X-1
JUMLAH PREMI
U/Y 200X-2
- 8 -
E. DATA PREMI
NAMA PERUSAHAAN
TAHUN PELAPORAN
UNDERWRITING YEAR
JENIS KENDARAAN
COVERAGE POLIS
NO.
KODE MERK DAN TIPE
KENDARAAN
TAHUN
KENDARAAN
:
: 200X
: 200X-2
: ANGKUTAN PENUMPANG
: COMPREHENSIVE
PENGGUNAAN
JUMLAH
KENDARAAN
JUMLAH UANG
PERTANGGUNGAN
PREMI U/Y 200X-2
DITERIMA 200X-2
PREMI U/Y 200X-2
DITERIMA 200X-1
JUMLAH PREMI
U/Y 200X-2
- 9 -
F. DATA PREMI
NAMA PERUSAHAAN
TAHUN PELAPORAN
UNDERWRITING YEAR
JENIS KENDARAAN
COVERAGE POLIS
NO.
KODE MERK DAN TIPE
KENDARAAN
TAHUN
KENDARAAN
:
: 200X
: 200X-2
: ANGKUTAN BARANG
: COMPREHENSIVE
PENGGUNAAN
JUMLAH
KENDARAAN
JUMLAH UANG
PERTANGGUNGAN
PREMI U/Y 200X-2
DITERIMA 200X-2
PREMI U/Y 200X-2
DITERIMA 200X-1
JUMLAH PREMI
U/Y 200X-2
- 10 -
G. DATA PREMI
NAMA PERUSAHAAN
TAHUN PELAPORAN
UNDERWRITING YEAR
JENIS KENDARAAN
COVERAGE POLIS
NO.
KODE MERK DAN TIPE
KENDARAAN
TAHUN
KENDARAAN
:
: 200X
: 200X-2
: BUS
: COMPREHENSIVE
PENGGUNAAN
JUMLAH
KENDARAAN
JUMLAH UANG
PERTANGGUNGAN
PREMI U/Y 200X-2
DITERIMA 200X-2
PREMI U/Y 200X-2
DITERIMA 200X-1
JUMLAH PREMI
U/Y 200X-2
- 11 -
H. DATA KLAIM
NAMA PERUSAHAAN
TAHUN PELAPORAN
UNDERWRITING YEAR
JENIS KENDARAAN
COVERAGE POLIS
NO.
KODE MERK DAN TIPE
KENDARAAN
TAHUN
KENDARAAN
:
: 200X
: 200X-2
: ANGKUTAN PENUMPANG
: TLO
PENGGUNAAN
FREKUENSI KLAIM
U/Y 200X-2 YANG
TERJADI DI
TAHUN 200X-2
NILAI KLAIM U/Y
200X-2 YANG TERJADI
DI TAHUN 200X-2
FREKUENSI
KLAIM U/Y 200X-2
YANG TERJADI DI
TAHUN 200X-1
NILAI KLAIM U/Y
200X-2 YANG
TERJADI DI TAHUN
200X-1
JUMLAH
FREKUENSI
KLAIM U/Y 200X-2
JUMLAH NILAI
KLAIM U/Y 200X-2
- 12 -
I. DATA KLAIM
NAMA PERUSAHAAN
TAHUN PELAPORAN
UNDERWRITING YEAR
JENIS KENDARAAN
COVERAGE POLIS
NO.
KODE MERK DAN TIPE
KENDARAAN
TAHUN
KENDARAAN
:
: 200X
: 200X-2
: ANGKUTAN BARANG
: TLO
PENGGUNAAN
FREKUENSI KLAIM
U/Y 200X-2 YANG
TERJADI DI
TAHUN 200X-2
NILAI KLAIM U/Y
200X-2 YANG TERJADI
DI TAHUN 200X-2
FREKUENSI
KLAIM U/Y 200X-2
YANG TERJADI DI
TAHUN 200X-1
NILAI KLAIM U/Y
200X-2 YANG
TERJADI DI TAHUN
200X-1
JUMLAH
FREKUENSI
KLAIM U/Y 200X-2
JUMLAH NILAI
KLAIM U/Y 200X-2
- 13 -
J. DATA KLAIM
NAMA PERUSAHAAN
TAHUN PELAPORAN
UNDERWRITING YEAR
JENIS KENDARAAN
COVERAGE POLIS
NO.
KODE MERK DAN TIPE
KENDARAAN
TAHUN
KENDARAAN
:
: 200X
: 200X-2
: BUS
: TLO
PENGGUNAAN
FREKUENSI KLAIM
U/Y 200X-2 YANG
TERJADI DI
TAHUN 200X-2
NILAI KLAIM U/Y
200X-2 YANG TERJADI
DI TAHUN 200X-2
FREKUENSI
KLAIM U/Y 200X-2
YANG TERJADI DI
TAHUN 200X-1
NILAI KLAIM U/Y
200X-2 YANG
TERJADI DI TAHUN
200X-1
JUMLAH
FREKUENSI
KLAIM U/Y 200X-2
JUMLAH NILAI
KLAIM U/Y 200X-2
- 14 -
K. DATA KLAIM
NAMA PERUSAHAAN
TAHUN PELAPORAN
UNDERWRITING YEAR
JENIS KENDARAAN
COVERAGE POLIS
NO.
KODE MERK DAN TIPE
KENDARAAN
TAHUN
KENDARAAN
:
: 200X
: 200X-2
: ANGKUTAN PENUMPANG
: COMPREHENSIVE
PENGGUNAAN
JENIS
KLAIM
FREKUENSI KLAIM
U/Y 200X-2 YANG
TERJADI DI
TAHUN 200X-2
NILAI KLAIM U/Y
200X-2 YANG TERJADI
DI TAHUN 200X-2
FREKUENSI
KLAIM U/Y 200X-2
YANG TERJADI DI
TAHUN 200X-1
NILAI KLAIM U/Y
200X-2 YANG
TERJADI DI TAHUN
200X-1
JUMLAH
FREKUENSI
KLAIM U/Y 200X-2
JUMLAH NILAI
KLAIM U/Y 200X-
2
- 15 -
L. DATA KLAIM
NAMA PERUSAHAAN
TAHUN PELAPORAN
UNDERWRITING YEAR
JENIS KENDARAAN
COVERAGE POLIS
NO.
KODE MERK DAN TIPE
KENDARAAN
TAHUN
KENDARAAN
:
: 200X
: 200X-2
: ANGKUTAN BARANG
: COMPREHENSIVE
PENGGUNAAN
JENIS
KLAIM
FREKUENSI KLAIM
U/Y 200X-2 YANG
TERJADI DI
TAHUN 200X-2
NILAI KLAIM U/Y
200X-2 YANG TERJADI
DI TAHUN 200X-2
FREKUENSI
KLAIM U/Y 200X-2
YANG TERJADI DI
TAHUN 200X-1
NILAI KLAIM U/Y
200X-2 YANG
TERJADI DI TAHUN
200X-1
JUMLAH
FREKUENSI
KLAIM U/Y 200X-2
JUMLAH NILAI
KLAIM U/Y 200X-
2
- 16 -
M. DATA KLAIM
NAMA PERUSAHAAN
TAHUN PELAPORAN
UNDERWRITING YEAR
JENIS KENDARAAN
COVERAGE POLIS
NO.
KODE MERK DAN TIPE
KENDARAAN
TAHUN
KENDARAAN
:
: 200X
: 200X-2
: BUS
: COMPREHENSIVE
PENGGUNAAN
JENIS
KLAIM
FREKUENSI KLAIM
U/Y 200X-2 YANG
TERJADI DI
TAHUN 200X-2
NILAI KLAIM U/Y
200X-2 YANG TERJADI
DI TAHUN 200X-2
FREKUENSI
KLAIM U/Y 200X-2
YANG TERJADI DI
TAHUN 200X-1
NILAI KLAIM U/Y
200X-2 YANG
TERJADI DI TAHUN
200X-1
JUMLAH
FREKUENSI
KLAIM U/Y 200X-2
JUMLAH NILAI
KLAIM U/Y 200X-
2
- 17 -
N. DATA BIAYA
NAMA PERUSAHAAN :
UNDERWRITING YEAR : 200X
JUMLAH BIAYA
NO.
1 Promosi
2 Entertaintment dan Representasi
3 Rekruitment Agen Asuransi
4 Kontes Keagenan
5 Beban Pegawai Pemasaran Asuransi KB
6 Beban Pegawai Teknik Asuransi KB
7 Beban Perjalanan Dinas Pegawai Pemasaran Asuransi KB
8 Beban Perjalanan Dinas Pegawai Teknik Asuransi KB
9 Beban Pendidikan dan Latihan Pegawai Pemasaran Asuransi KB
10 Beban Pendidikan dan Latihan Pegawai Teknik Asuransi KB
11 Beban Konsultan Pemasaran Asuransi KB
12 Beban Konsultan Teknik Asuransi KB
13 Beban Penghapusan Premi Asuransi KB
14 Beban Komunikasi
15 Beban Transportasi
16 Beban Teknologi Informasi
17 Beban Barang Cetakan
18 Beban Materai
19 Beban Langsung Lainnya
20 Beban Pegawai Non Pemasaran dan Non Teknik
21 Beban Perjalanan Dinas Pegawai Non Pemasaran dan Non Teknik
22 Beban Pendidikan dan Latihan Pegawai Non Pemasaran dan Non Teknik
23 Beban Konsultan Non Pemasaran dan Non Teknik
24 Beban Tenaga Kerja Asing
25 Jasa Manajemen dan Royalti
26 Iuran Keanggotaan
27 Beban Perkantoran
28 Beban Penyusutan Aktiva Tetap
29 Beban Amortisasi Aktiva Tak Berwujud
30 Beban Komunikasi Lain
31 Beban Transportasi Umum
32 Beban Teknologi Informasi Lain
33 Beban Administrasi Lain
JUMLAH
RINCIAN BIAYA
JENIS BIAYA
Langsung
Langsung
Langsung
Langsung
Langsung
Langsung
Langsung
Langsung
Langsung
Langsung
Langsung
Langsung
Langsung
Langsung
Langsung
Langsung
Langsung
Langsung
Langsung
Tidak Langsung
Tidak Langsung
Tidak Langsung
Tidak Langsung
Tidak Langsung
Tidak Langsung
Tidak Langsung
Tidak Langsung
Tidak Langsung
Tidak Langsung
Tidak Langsung
Tidak Langsung
Tidak Langsung
Tidak Langsung
DIALOKASIKAN KE LINI
BISNIS KENDARAAN
BERMOTOR
- 18 -
O. DAFTAR KODE MERK DAN TIPE KENDARAAN
NO.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
Kode Merk dan
Tipe
10 001
10 002
10 003
10 004
10 005
10 006
10 099
11 001
11 002
11 003
11 099
Merk Kendaraan
KENDARAAN PENUMPANG
A 3
AUDI
AUDI
AUDI
AUDI
AUDI
AUDI
AUDI
BIMANTARA
BIMANTARA
BIMANTARA
BIMANTARA
12 001 BMW
12 002 BMW
12 003 BMW
12 004 BMW
12 005 BMW
12 006 BMW
12 007 BMW
12 008 BMW
12 099 BMW
13 001
13 002
13 003
13 004
13 005
13 006
13 007
13 008
13 099
14 001
14 002
14 003
14 004
14 099
A 4
A 6
A 8
ALLROAD
TT 1.8 TURBO
Lainnya
ARYA 2.5
CAKRA 1.5
NENGGALA 1.6
Lainnya
120 I
Seri 3
Seri 5
Seri 6
Seri 7
X3
X5
Seri Z
CHEVROLET
CHEVROLET
CHEVROLET
CHEVROLET
CHEVROLET
CHEVROLET
CHEVROLET
CHEVROLET
CHEVROLET
CHRYSLER
CHRYSLER
CHRYSLER
CHRYSLER
CHRYSLER
15 001 DAEWOO
15 002 DAEWOO
15 003 DAEWOO
15 004 DAEWOO
15 005 DAEWOO
15 006 DAEWOO
15 007 DAEWOO
15 099 DAEWOO
Lainnya
AVEO
BLAZER
EXPRESS
OPTRA
SPARK
TAVERA
TROOPER
ZAFIRA
Lainnya
DODGE
CHEROKEE
WRANGLER
PT CRUISER
Lainnya
ESPERO
LANOS
LEGANZA
MATIZ
NEXIA
NUBIRA
TACUMA
Lainnya
Tipe Kendaraan
- 19 -
O. DAFTAR KODE MERK DAN TIPE KENDARAAN
NO.
43
44
45
46
47
48
49
50
51
52
53
54
55
56
57
58
59
60
61
62
63
64
65
66
67
68
69
70
71
72
73
74
75
76
77
78
79
80
81
82
83
84
85
86
Kode Merk dan
Tipe
16 001
16 002
16 003
16 004
16 005
16 006
16 007
16 008
16 009
16 010
16 011
16 012
16 099
17 001
17 002
17 003
17 004
17 005
17 006
17 099
Merk Kendaraan
DAIHATSU
DAIHATSU
DAIHATSU
DAIHATSU
DAIHATSU
DAIHATSU
DAIHATSU
DAIHATSU
DAIHATSU
DAIHATSU
DAIHATSU
DAIHATSU
DAIHATSU
FORD
FORD
FORD
FORD
FORD
FORD
FORD
18 001 HONDA
18 002 HONDA
18 003 HONDA
18 004 HONDA
18 005 HONDA
18 006 HONDA
18 007 HONDA
18 099 HONDA
19 001
19 002
19 003
19 004
19 005
19 006
19 007
19 008
19 009
19 010
19 011
19 012
19 099
20 001
20 002
20 099
Tipe Kendaraan
CERIA
CLASSY
COPEN
ESPASS
FEROZA
ZEBRA
TAFT
TARUNA
TERIOS
XENIA
YRV
ZEBRA
Lainnya
ESCAPE
EVEREST
LASER CHAMP
LYNX
RANGER
TELSTAR
Lainnya
ACCORD
CITY
CIVIC
CR-V
FIT / JAZZ
ODYSSEY
STREAM
Lainnya
HYUNDAI
HYUNDAI
HYUNDAI
HYUNDAI
HYUNDAI
HYUNDAI
HYUNDAI
HYUNDAI
HYUNDAI
HYUNDAI
HYUNDAI
HYUNDAI
HYUNDAI
ISUZU
ISUZU
ISUZU
ACCENT
ATOZ
COUPE
GETZ
GRACE
GRANDEUR
GRACE
MATRIX
SANTA
SONATA
TRAJET
ELANTRA
Lainnya
D-MAX
PANTHER
Lainnya
- 20 -
O. DAFTAR KODE MERK DAN TIPE KENDARAAN
NO.
87
88
89
90
91
92
93
94
95
96
97
98
99
100
101
102
103
104
105
106
107
108
109
110
111
112
113
114
115
116
117
118
119
120
121
122
123
124
125
126
127
128
129
130
Kode Merk dan
Tipe
21 001
21 002
21 003
21 004
21 099
22 001
22 002
22 003
22 004
22 005
22 006
22 007
22 008
22 009
22 010
22 011
22 012
22 013
22 014
22 015
22 099
23 001
23 002
23 003
23 004
23 099
Merk Kendaraan
JAGUAR
JAGUAR
JAGUAR
JAGUAR
JAGUAR
KIA
KIA
KIA
KIA
KIA
KIA
KIA
KIA
KIA
KIA
KIA
KIA
KIA
KIA
KIA
KIA
LANDROVER
LANDROVER
LANDROVER
LANDROVER
LANDROVER
24 001 MAZDA
24 002 MAZDA
24 003 MAZDA
24 004 MAZDA
24 005 MAZDA
24 006 MAZDA
24 007 MAZDA
24 008 MAZDA
24 009 MAZDA
24 010 MAZDA
24 011 MAZDA
24 099 MAZDA
25 001
25 002
25 003
25 004
25 005
25 006
Tipe Kendaraan
DAIMLER
S-TYPE
XJ
X-TYPE
Lainnya
BIG UP
CARNIVAL
CARRENS
CERES
MAGENTIS
PREGIO
RIO
SHUMA
SEDONA
SPECTRA
SPORTAGE
SORENTO
VISTO
PICANTO
TRAVELO
Lainnya
DEFENDER
DISCOVERY
FREELANDER
RANGE ROVER
Lainnya
323
626
E-2000
MPV 2.5
MR 90
MX 6
PREMACY
MAZDA RX 8
VANTREND ST. WAGON
TRIBUTE
B-SERIES 2.5
Lainnya
MERCEDEZ BENZ
MERCEDEZ BENZ
MERCEDEZ BENZ
MERCEDEZ BENZ
MERCEDEZ BENZ
MERCEDEZ BENZ
A-CLASS
C-CLASS
E - CLASS
ML - CLASS
S - CLASS
V - CLASS
- 21 -
O. DAFTAR KODE MERK DAN TIPE KENDARAAN
NO.
131
132
133
134
135
136
137
138
139
140
141
142
143
144
145
146
147
148
149
150
151
152
153
154
155
156
157
158
159
160
161
162
163
164
165
166
167
168
169
170
171
172
173
174
Kode Merk dan
Tipe
25 099
26 001
26 002
26 003
26 004
26 005
26 006
26 007
26 008
26 009
26 010
26 099
27 001
27 002
27 003
27 004
27 005
27 006
27 007
27 008
27 009
27 010
27 011
27 012
27 099
28 001
28 002
28 003
28 099
29 001
29 002
29 003
29 004
29 005
29 099
30 001
30 002
30 003
30 004
30 099
31 001
31 002
31 003
31 004
Merk Kendaraan
MERCEDEZ BENZ
MITSUBISHI
MITSUBISHI
MITSUBISHI
MITSUBISHI
MITSUBISHI
MITSUBISHI
MITSUBISHI
MITSUBISHI
MITSUBISHI
MITSUBISHI
MITSUBISHI
NISSAN
NISSAN
NISSAN
NISSAN
NISSAN
NISSAN
NISSAN
NISSAN
NISSAN
NISSAN
NISSAN
NISSAN
NISSAN
OPEL
OPEL
OPEL
OPEL
PEUGEOT
PEUGEOT
PEUGEOT
PEUGEOT
PEUGEOT
PEUGEOT
RENAULT
RENAULT
RENAULT
RENAULT
RENAULT
SSYANGYONG
SSYANGYONG
SSYANGYONG
SSYANGYONG
Tipe Kendaraan
Lainnya
COLT L 300
COLT T 120 SS
CHARIOT
ETERNA
GALANT
GRANDIS
KUDA
L 200
LANCER
PAJERO
Lainnya
CEFIRO
GENESIS
INFINITY
PATROL
SENTRA
SERENA
SILVIA
TERRANO
X-TRAIL
TEANA
SUNNY
NISSAN MARCH
Lainnya
BLAZER
OPTIMA
VECTRA
Lainnya
Seri 2
Seri 3
Seri 4
Seri 8
PARTNER
Lainnya
CLIO
KANGOO
LAGUNA
SCENIC
Lainnya
BOXER
CHAIRMAN
KORANDO
MUSSO
- 22 -
O. DAFTAR KODE MERK DAN TIPE KENDARAAN
NO.
175
176
177
178
179
180
181
182
183
184
185
186
187
188
189
190
191
192
193
194
195
196
197
198
199
200
201
202
203
204
205
206
207
208
209
210
211
212
213
214
215
216
217
218
Kode Merk dan
Tipe
31 005
31 099
32 001
32 002
32 003
32 004
32 099
33 001
33 002
33 003
33 004
33 005
33 006
33 007
33 008
33 009
33 010
33 011
33 012
33 099
34 001
34 099
35 001
35 002
35 003
35 004
35 005
35 006
35 007
35 008
35 009
35 010
35 011
35 012
35 013
35 014
35 015
35 016
35 017
35 018
35 019
35 020
35 021
35 022
Merk Kendaraan
SSYANGYONG
SSYANGYONG
SUBARU
SUBARU
SUBARU
SUBARU
SUBARU
SUZUKI
SUZUKI
SUZUKI
SUZUKI
SUZUKI
SUZUKI
SUZUKI
SUZUKI
SUZUKI
SUZUKI
SUZUKI
SUZUKI
SUZUKI
TIMOR
TIMOR
TOYOTA
TOYOTA
TOYOTA
TOYOTA
TOYOTA
TOYOTA
TOYOTA
TOYOTA
TOYOTA
TOYOTA
TOYOTA
TOYOTA
TOYOTA
TOYOTA
TOYOTA
TOYOTA
TOYOTA
TOYOTA
TOYOTA
TOYOTA
TOYOTA
TOYOTA
Tipe Kendaraan
REXTON
Lainnya
FORESTER
IMPREZA
LEGACY
OUTBACK
Lainnya
APV
AERIO
BALENO
CARRY
ESCUDO
ESTEEM
EVERY
KARIMUN
KATANA
SIDEKICK
VITARA
SWIFT
Lainnya
S 515
Lainnya
ALPHARD
AVANZA
CAMRY
COROLLA
CORONA
NEW CROWN
CYGNUS
TOYOTA FORTUNER
HARRIER
HILUX TIGER
IST
KIJANG
LAND CRUISER
PRADO
PREVIA
PROBOX
RAV
SOLUNA
STARLET
VIOS
WISH
NOAH / VOXY
- 23 -
O. DAFTAR KODE MERK DAN TIPE KENDARAAN
NO.
219
220
221
222
223
224
225
226
227
228
229
230
231
232
233
234
235
236
237
238
239
240
241
242
243
244
245
246
247
248
249
250
251
252
253
254
255
256
257
258
259
260
Kode Merk dan
Tipe
35 099
36 001
36 002
36 003
36 004
36 005
36 006
36 099
37 001
37 002
37 003
37 004
37 005
37 006
37 007
37 008
37 009
37 010
37 011
37 099
59 001
60 001
60 099
61 001
61 002
61 003
61 004
61 005
61 099
62 001
62 002
62 003
62 099
63 001
63 002
63 003
63 099
64 001
64 002
64 003
64 004
64 005
Merk Kendaraan
TOYOTA
VOLKSWAGEN
VOLKSWAGEN
VOLKSWAGEN
VOLKSWAGEN
VOLKSWAGEN
VOLKSWAGEN
VOLKSWAGEN
VOLVO
VOLVO
VOLVO
VOLVO
VOLVO
VOLVO
VOLVO
VOLVO
VOLVO
VOLVO
VOLVO
VOLVO
LAIN-LAIN
KENDARAAN BUS
DAIHATSU
DAIHATSU
HINO
HINO
HINO
HINO
HINO
HINO
ISUZU
ISUZU
ISUZU
ISUZU
MITSUBISHI
MITSUBISHI
MITSUBISHI
MITSUBISHI
NISSAN
NISSAN
NISSAN
NISSAN
NISSAN
DELTA
Lainnya
Seri FF
Seri FL
Seri FM
Seri SG
DUTRO
Lainnya
BORNEO
CXZ
ELF
Lainnya
COLT DIESEL
FUSO
TRONTON
Lainnya
CDA
CKA
CWA
PKC
PKD
Tipe Kendaraan
Lainnya
CARAVELLE
GOLF
NEW BEETLE
PASSAT
NEW POLO
TOUAREG
Lainnya
740
850
960
S90
S 60
S 70
S 80
S40
V40
V70
XC
Lainnya
Lainnya
- 24 -
O. DAFTAR KODE MERK DAN TIPE KENDARAAN
NO.
261
262
263
264
265
266
267
268
269
270
271
272
273
274
275
276
277
278
279
280
281
282
283
284
285
286
287
288
289
290
291
292
293
294
295
296
297
298
Kode Merk dan
Tipe
64 099
65 001
65 002
65 099
66 001
66 099
79 001
80 001
80 002
80 099
81 001
81 002
81 003
81 004
81 005
81 099
82 001
82 002
82 003
82 099
83 001
83 002
83 003
83 004
83 099
84 001
84 002
84 003
84 004
84 005
84 099
85 001
85 002
85 003
85 099
86 001
86 099
99 001
Merk Kendaraan
NISSAN
TOYOTA
TOYOTA
TOYOTA
SCANIA
SCANIA
Lainnya
DAIHATSU
DAIHATSU
HINO
HINO
HINO
HINO
HINO
HINO
ISUZU
ISUZU
ISUZU
ISUZU
MITSUBISHI
MITSUBISHI
MITSUBISHI
MITSUBISHI
MITSUBISHI
NISSAN
NISSAN
NISSAN
NISSAN
NISSAN
NISSAN
TOYOTA
TOYOTA
TOYOTA
TOYOTA
SCANIA
SCANIA
Lainnya
Tipe Kendaraan
Lainnya
DYNA RINO
DYNA 115 S
Lainnya
SCANIA BUS
Lainnya
Lainnya
KENDARAAN ANGKUTAN BARANG (TRUK)
DAIHATSU
DELTA
Zebra Pick Up
Lainnya
Seri FF
Seri FL
Seri FM
Seri SG
DUTRO
Lainnya
BORNEO
CXZ
ELF
Lainnya
COLT DIESEL
FUSO
TRONTON
Kuda Pick Up
Lainnya
CDA
CKA
CWA
PKC
PKD
Lainnya
DYNA RINO
DYNA 115 S
Kijang Pick Up
Lainnya
TRONTON
Lainnya
Lainnya
- 25 -
P. PETUNJUK PENGISIAN
I. FORMULIR DATA PREMI
Seluruh kolom harus diisi secara lengkap, dengan isian sebagai berikut :
NAMA PERUSAHAAN
TAHUN PELAPORAN
UNDERWRITING YEAR
JENIS KENDARAAN
COVERAGE POLIS
KODE MERK DAN TYPE KENDARAAN
TAHUN KENDARAAN
PENGGUNAAN
JUMLAH KENDARAAN
JUMLAH UANG PERTANGGUNGAN
PREMI U/Y 200X-2 DITERIMA 200X-2
PREMI U/Y 200X-2 DITERIMA 200X-1
JUMLAH PREMI U/Y 200X-2
: nama perusahaan pembuat laporan
: tahun laporan disampaikan, misalnya tahun 2007
: tahun underwriting, misalnya untuk laporan tahun 2007 diisi tahun 2005
: ANGKUTAN PENUMPANG, ANGKUTAN BARANG, ATAU BUS
: TOTAL LOSS atau COMPREHENSIVE (ALL RISK)
: Kode Merk dan Type kendaraan sesuai dengan Daftar Merk dan Type Kendaraan. Contoh untuk mobil
penumpang Toyota Kijang kodenya adalah 35012, truk mitsubishi Fuso kodenya 85002
: Tahun produksi kendaraan
: PRIBADI atau KOMERSIAL
: Jumlah kendaraan yang dicover
: Jumlah uang pertanggungan kendaraan yang dicover
: Premi U/Y 200x-2 yang diterima tahun 200x-2, dalam jutaan rupiah.
Contoh : premi tahun underwriting 2005 yang diterima pada tahun 2005
: Premi U/Y 200x-2 yang diterima tahun 200x-1, dalam jutaan rupiah.
Contoh : premi tahun underwriting 2005 yang diterima pada tahun 2006
: Jumlah premi U/Y 200x-2, dalam jutaan rupiah.
Contoh: jumlah premi U/Y 2005 yang telah diterima s.d. tahun 2006
- 26 -
II. FORMULIR DATA KLAIM
Seluruh kolom harus diisi secara lengkap, dengan isian sebagai berikut :
NAMA PERUSAHAAN
TAHUN PELAPORAN
UNDERWRITING YEAR
JENIS KENDARAAN
COVERAGE POLIS
TAHUN KENDARAAN
PENGGUNAAN
JENIS KLAIM
FREKUENSI KLAIM U/Y 200X-2 YANG
TERJADI DI TAHUN 200X-2
NILAI KLAIM U/Y 200X-2 YANG
TERJADI DI TAHUN 200X-2
FREKUENSI KLAIM U/Y 200X-2 YANG
TERJADI DI TAHUN 200X-1
NILAI KLAIM U/Y 200X-2 YANG
TERJADI DI TAHUN 200X-1
: nama perusahaan pembuat laporan
: tahun laporan disampaikan, misalnya 2007
: tahun underwriting, misalnya untuk laporan tahun 2007 diisi tahun 2005
: ANGKUTAN PENUMPANG, ANGKUTAN BARANG, ATAU BUS
: TOTAL LOSS atau COMPREHENSIVE (ALL RISK)
KODE MERK DAN TYPE KENDARAAN : Kode Merk dan Type kendaraan sesuai dengan Daftar Merk dan Type Kendaraan. Contoh untuk mobil
penumpang Toyota Kijang kodenya adalah 35012, truk mitsubishi Fuso kodenya 85002
: Tahun produksi kendaraan
: PRIBADI atau KOMERSIAL
: TLO, Partial Loss, TPL Property Damage, atau TPL Bodily Injury
: Frekuensi klaim untuk polis U/Y 200x-2 yang terjadi dan settle di tahun 200x-2
Contoh : klaim atas polis tahun underwriting 2005 yang terjadi dan settle di tahun 2005
: Nilai klaim untuk polis U/Y 200x-2 yang terjadi dan settle di tahun 200x-2, dalam jutaan rupiah
: Frekuensi klaim untuk polis U/Y 200x-2 yang terjadi dan settle di tahun 200x-1
Contoh : klaim atas polis tahun underwriting 2005 yang terjadi dan settle di tahun 2006
: Nilai klaim untuk polis U/Y 200x-2 yang terjadi dan settle di tahun 200x-1, dalam jutaan rupiah
JUMLAH FREKUENSI KLAIM U/Y 200X-2 : Frekuensi klaim untuk polis U/Y 200x-2 yang settle di tahun sampai dengan tahun 200x-1
JUMLAH NILAI KLAIM U/Y 200X-2
: Nilai klaim untuk polis U/Y 200x-2 yang settle di tahun sampai dengan tahun 200x-1, dalam jutaan rupiah
- 27 -
III. FORMULIR DATA BIAYA
Seluruh kolom harus diisi secara lengkap, dengan isian sebagai berikut :
BIAYA LANGSUNG
BIAYA TIDAK LANGSUNG
: adalah biaya yang terkait langsung dengan lini bisnis asuransi kendaraan bermotor dengan demikian biaya
langsung harus dialokasikan seluruhnya ke lini bisnis asuransi kendaraan bermotor;
: adalah seluruh biaya yang secara tidak langsung mendukung pengembangan lini bisnis asuransi kendaraan
bermotor. Biaya tidak langsung dapat berupa biaya umum maupun joint cost yang terkait dengan lini bisnis lain.
Alokasi biaya tidak langsung kepada lini bisnis asuransi kendaraan bermotor dapat dilakukan sesuai dengan
proporsi Premi Bruto atau proporsi Jumlah Transaksi.
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
SRI MULYANI INDRAWATI
"," PER-MEN
74/PMK.010/2007|PER-MENKEU/2007
PENYELENGGARAAN PERTANGGUNGAN ASURANSI PADA LINI USAHA ASURANSI KENDARAAN BERMOTOR
29 Juni 2007
29 Juni 2007
'422/KMK.06/2003|KEP-MENKEU/2003 | ketentuan mengenai premi', '424/KMK.06/2003|KEP-MENKEU/2003 | ketentuan mengenai cadangan premi'
'2/UU/1992', '73/PP/1992', '63/PP/1999', '20/P|KEPPRES/2005', '422/KMK.06/2003|KEP-MENKEU/2003', '424/KMK.06/2003|KEP-MENKEU/2003'
"
" MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 53/PMK.010/2012
TENTANG
KESEHATAN KEUANGAN PERUSAHAAN ASURANSI
DAN PERUSAHAAN REASURANSI
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka mendorong pertumbuhan industri
perasuransian nasional dan meningkatkan upaya
perlindungan terhadap tertanggung atau pemegang polis
perlu dilakukan penyempurnaan terhadap ketentuan
mengenai kesehatan keuangan perusahaan asuransi dan
perusahaan reasuransi baik yang berbentuk perseroan
terbatas maupun yang berbentuk bukan perseroan
terbatas;
b. bahwa dalam rangka menyempurnakan ketentuan
mengenai kesehatan keuangan perusahaan asuransi dan
perusahaan reasuransi sebagaimana dimaksud dalam
huruf a, perlu dilakukan penyesuaian secara keseluruhan
terhadap Keputusan Menteri Keuangan Nomor
424/KMK.06/2003 tentang Kesehatan Keuangan
Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 158/PMK.010/2008
dan terhadap Keputusan Menteri Keuangan Nomor
504/KMK.06/2004 tentang Kesehatan Keuangan Bagi
Perusahaan Asuransi yang Berbentuk Badan Hukum
Bukan Perseroan Terbatas;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan
Menteri Keuangan tentang Kesehatan Keuangan
Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha
Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1992 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3467);
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
- 2 -
2. Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang
Penyelenggaraan Usaha Perasuransian (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 120, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3506)
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2008 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 212,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4954);
3. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 422/KMK.06/2003
tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Asuransi dan
Perusahaan Reasuransi;
4. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 426/KMK.06/2003
tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan Perusahaan
Asuransi dan Perusahaan Reasuransi;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG KESEHATAN
KEUANGAN PERUSAHAAN ASURANSI DAN PERUSAHAAN
REASURANSI.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini, yang dimaksud dengan:
1. Perusahaan adalah Perusahaan Asuransi atau Perusahaan
Reasuransi baik yang berbentuk badan hukum perseroan
terbatas maupun bukan perseroan terbatas.
2. Perusahaan Asuransi adalah Perusahaan Asuransi Umum
dan Perusahaan Asuransi Jiwa.
3. Perusahaan Reasuransi adalah perusahaan reasuransi
sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai
usaha perasuransian.
4. Perusahaan Asuransi Umum adalah perusahaan asuransi
kerugian sebagaimana dimaksud dalam undang-undang
mengenai usaha perasuransian.
5. Perusahaan Asuransi Jiwa adalah perusahaan asuransi
jiwa sebagaimana dimaksud dalam undang-undang
mengenai usaha perasuransian.
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
- 3 -
6. Aset Yang Diperkenankan adalah kekayaan yang
diperkenankan yang diperhitungkan dalam perhitungan
Tingkat Solvabilitas sebagaimana dimaksud dalam
peraturan perundang-undangan di bidang perasuransian.
7. Liabilitas adalah kewajiban sebagaimana dimaksud dalam
peraturan perundang-undangan di bidang perasuransian.
8. Tingkat Solvabilitas adalah selisih antara jumlah Aset
Yang Diperkenankan dikurangi dengan jumlah Liabilitas.
9. Ekuitas adalah ekuitas berdasarkan standar akuntansi
keuangan yang berlaku di Indonesia.
10. Premi Neto adalah premi bruto dikurangi komisi dan
dikurangi premi reasuransi dibayar yang telah dikurangi
komisi reasuransi diterima.
11. Produk Asuransi Yang Dikaitkan Dengan Investasi adalah
produk asuransi yang selain memberikan proteksi, juga
memberikan hasil investasi yang mengacu pada hasil
investasi pasar baik yang dinyatakan dalam bentuk unit
maupun bukan unit.
12. Dana Jaminan adalah bagian dari aset Perusahaan yang
dimaksudkan sebagai jaminan terakhir dalam rangka
melindungi kepentingan para pemegang polis.
13. Manajer Investasi adalah manajer investasi sebagaimana
dimaksud dalam undang-undang mengenai pasar modal.
14. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam
undang-undang mengenai perbankan.
15. Bank Kustodian adalah bank umum yang telah
mendapatkan persetujuan Badan Pengawas Pasar Modal
dan Lembaga Keuangan untuk bertindak sebagai
kustodian.
16. Afiliasi adalah afiliasi sebagaimana dimaksud dalam
undang-undang mengenai usaha perasuransian.
17. Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia.
BAB II
TINGKAT SOLVABILITAS
Bagian Kesatu
Modal Minimum Berbasis Risiko
Pasal 2
(1) Perusahaan setiap saat wajib memenuhi Tingkat
Solvabilitas paling rendah 100% (seratus per seratus) dari
modal minimum berbasis risiko.
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
- 4 -
(2) Perusahaan setiap tahun wajib menetapkan target Tingkat
Solvabilitas.
(3) Target Tingkat Solvabilitas sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) paling rendah 120% (seratus dua puluh per
seratus) dari modal minimum berbasis risiko.
(4) Menteri dapat memerintahkan kepada Perusahaan untuk
meningkatkan target Tingkat Solvabilitas sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dengan mempertimbangkan risiko
yang mungkin timbul dari rencana perubahan strategi
dan/atau pengembangan bisnis Perusahaan.
(5) Dalam hal Perusahaan tidak dapat memenuhi perintah
untuk meningkatkan target Tingkat Solvabilitas
sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Perusahaan dilarang
melaksanakan rencana perubahan strategi dan/atau
pengembangan bisnisnya.
Pasal 3
(1) Modal minimum berbasis risiko merupakan jumlah dana
yang dibutuhkan untuk mengantisipasi risiko kerugian
yang mungkin timbul sebagai akibat dari deviasi dalam
pengelolaan aset dan Liabilitas.
(2) Risiko kerugian yang mungkin timbul sebagai akibat dari
deviasi dalam pengelolaan aset dan Liabilitas sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. kegagalan pengelolaan aset;
b. ketidakseimbangan antara proyeksi arus aset dan
Liabilitas;
c. ketidakseimbangan antara nilai aset dan Liabilitas
dalam setiap jenis mata uang;
d. perbedaan antara beban klaim yang terjadi dan beban
klaim yang diperkirakan;
e. ketidakcukupan premi akibat perbedaan hasil investasi
yang diasumsikan dalam penetapan premi dengan hasil
investasi yang diperoleh;
f. ketidakmampuan pihak reasuradur untuk memenuhi
kewajiban membayar klaim; dan/atau
g. kegagalan dalam proses produksi, ketidakmampuan
sumber daya manusia atau sistem untuk berkinerja
baik, atau adanya kejadian lain yang merugikan.
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
- 5 -
(3) Dalam hal Perusahaan Asuransi Jiwa memasarkan Produk
Asuransi Yang Dikaitkan Dengan Investasi, modal
minimum berbasis risiko sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib ditambah sebesar persentase tertentu dari
dana investasi yang bersumber dari Produk Asuransi Yang
Dikaitkan Dengan Investasi.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai perhitungan jumlah
modal minimum berbasis risiko sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Ketua
Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan.
Bagian Kedua
Aset Yang Diperkenankan
Dalam Bentuk Investasi
Pasal 4
(1) Aset Yang Diperkenankan dalam bentuk investasi harus
ditempatkan dalam jenis:
a. deposito berjangka pada Bank, termasuk deposit on call
dan deposito yang berjangka waktu kurang dari atau
sama dengan 1 (satu) bulan;
b. sertifikat deposito yang tidak dapat diperdagangkan
(non negotiable certificate deposit) pada Bank;
c. saham yang diperdagangkan di bursa efek;
d. surat utang korporasi;
e. sukuk korporasi;
f. surat berharga yang diterbitkan oleh Negara Republik
Indonesia;
g. surat berharga yang diterbitkan oleh negara selain
Negara Republik Indonesia;
h. surat berharga yang diterbitkan oleh Bank Indonesia;
i. surat berharga yang diterbitkan oleh lembaga
multinasional yang Negara Republik Indonesia menjadi
salah satu anggota atau pemegang sahamnya;
j. reksa dana;
k. efek beragun aset yang diterbitkan berdasarkan
kontrak investasi kolektif efek beragun aset;
l. dana investasi real estat;
m. penyertaan langsung (saham yang tidak tercatat
di bursa efek);
n. bangunan dengan hak strata (strata title) atau tanah
dengan bangunan, untuk investasi;
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
- 6 -
o. pembiayaan melalui mekanisme kerja sama dengan
pihak lain dalam bentuk pembelian piutang
(refinancing);
p. emas murni; dan/atau
q. pinjaman yang dijamin dengan hak tanggungan.
(2) Aset Yang Diperkenankan dalam bentuk investasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dapat
ditempatkan di luar negeri harus dalam jenis:
a. saham yang diperdagangkan di bursa efek;
b. surat utang korporasi;
c. sukuk korporasi;
d. surat berharga yang diterbitkan oleh negara selain
Negara Republik Indonesia;
e. surat berharga yang diterbitkan oleh lembaga
multinasional yang Negara Republik Indonesia menjadi
salah satu anggota atau pemegang sahamnya;
f. reksa dana; dan/atau
g. penyertaan langsung (saham yang tidak tercatat
di bursa efek).
Pasal 5
(1) Penilaian atas Aset Yang Diperkenankan dalam bentuk
investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)
harus dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. deposito berjangka pada Bank, termasuk deposit on call
dan deposito yang berjangka waktu kurang dari atau
sama dengan 1 (satu) bulan, berdasarkan nilai
nominal;
b. sertifikat deposito yang tidak dapat diperdagangkan
(non negotiable certificate deposit) pada Bank,
berdasarkan nilai tunai;
c. saham yang diperdagangkan di bursa efek,
berdasarkan nilai pasar dengan menggunakan
informasi harga penutupan terakhir di bursa efek;
d. surat utang korporasi, berdasarkan nilai pasar yang
ditetapkan oleh lembaga penilaian harga efek yang
telah memperoleh izin dari Badan Pengawas Pasar
Modal dan Lembaga Keuangan atau lembaga penilaian
harga efek yang telah diakui secara internasional;
e. sukuk korporasi, berdasarkan nilai pasar yang
ditetapkan oleh lembaga penilaian harga efek yang
telah memperoleh izin dari Badan Pengawas Pasar
Modal dan Lembaga Keuangan atau lembaga penilaian
harga efek yang telah diakui secara internasional;
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
- 7 -
f. surat berharga yang diterbitkan oleh Negara Republik
Indonesia, berdasarkan nilai pasar yang ditetapkan
oleh lembaga penilaian harga efek yang telah
memperoleh izin dari Badan Pengawas Pasar Modal dan
Lembaga Keuangan atau lembaga penilaian harga efek
yang diakui secara internasional;
g. surat berharga yang diterbitkan oleh negara selain
Negara Republik Indonesia, berdasarkan nilai pasar
yang ditetapkan oleh lembaga penilaian harga efek
yang diakui secara internasional;
h. surat berharga yang diterbitkan oleh Bank Indonesia,
berdasarkan nilai pasar;
i. surat berharga yang diterbitkan oleh lembaga
multinasional yang Negara Republik Indonesia menjadi
salah satu anggota atau pemegang sahamnya,
berdasarkan nilai pasar yang ditetapkan oleh lembaga
penilaian harga efek yang diakui secara internasional;
j. reksa dana, berdasarkan nilai aktiva bersih;
k. efek beragun aset yang diterbitkan berdasarkan
kontrak investasi kolektif efek
berdasarkan nilai pasar;
l. dana investasi real estat, berdasarkan nilai pasar;
m. penyertaan langsung (saham yang tidak tercatat
di bursa efek), berdasarkan nilai ekuitas;
n. bangunan dengan hak strata (strata title) atau tanah
dengan bangunan, untuk investasi, berdasarkan nilai
yang ditetapkan oleh lembaga penilai yang terdaftar
pada instansi yang berwenang atau Nilai Jual Objek
Pajak (NJOP) dalam hal tidak dilakukan penilaian oleh
lembaga penilai;
o. pembiayaan melalui mekanisme kerja sama dengan
pihak lain dalam bentuk pembelian piutang
(refinancing), berdasarkan nilai sisa piutang setelah
dikurangi penyisihan untuk piutang
(net performing loan);
tak tertagih
p. emas murni, berdasarkan nilai pasar; dan/atau
q. pinjaman yang dijamin dengan hak tanggungan,
berdasarkan nilai sisa pinjaman.
(2) Ketentuan mengenai penilaian atas Aset Yang
Diperkenankan dalam bentuk investasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat diubah dengan Peraturan
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan hanya dalam rangka untuk mengantisipasi
ketidakwajaran pasar keuangan dan diberlakukan dalam
jangka waktu terbatas.
beragun aset,
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
- 8 -
Pasal 6
(1) Penempatan atas Aset Yang Diperkenankan dalam bentuk
investasi berupa surat utang korporasi dan sukuk
korporasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)
huruf d dan huruf e harus paling kurang memiliki
peringkat BBB atau yang setara dari perusahaan
pemeringkat efek yang telah memperoleh izin dari Badan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan.
(2) Penempatan atas Aset Yang Diperkenankan dalam bentuk
investasi berupa surat berharga yang diterbitkan oleh
lembaga multinasional yang Negara Republik Indonesia
menjadi salah satu anggota atau pemegang sahamnya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf i
harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. paling kurang memiliki peringkat BBB atau yang
setara dari perusahaan pemeringkat efek yang diakui
secara internasional;
b. dijual melalui penawaran umum; dan
c. informasi mengenai transaksinya dapat diakses
di Indonesia.
(3) Penempatan atas Aset Yang Diperkenankan dalam bentuk
investasi berupa reksa dana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (1) huruf j, harus memenuhi ketentuan
sebagai berikut:
a. telah mendapat pernyataan efektif dari Badan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan; dan
b. dilakukan melalui penawaran umum sebagaimana
diatur
dalam
peraturan
di bidang pasar modal.
(4) Dalam hal penempatan atas Aset Yang Diperkenankan
dalam bentuk investasi berupa reksa dana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf j dalam bentuk
kontrak investasi kolektif penyertaan terbatas, reksa dana
penyertaan terbatas tersebut harus memiliki underlying
berupa efek yang diperdagangkan di bursa efek.
(5) Penempatan atas Aset Yang Diperkenankan dalam bentuk
investasi berupa efek beragun aset yang diterbitkan
berdasarkan kontrak investasi kolektif efek beragun aset
dan dana investasi real estat sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (1) huruf k dan huruf l harus
memenuhi ketentuan sebagai berikut:
perundang-undangan
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
- 9 -
a. telah mendapat pernyataan efektif dari Badan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan;
b. paling kurang memiliki peringkat BBB atau yang setara
dari perusahaan pemeringkat efek yang telah
memperoleh izin dari Badan Pengawas Pasar Modal
dan Lembaga Keuangan; dan
c. dilakukan melalui penawaran umum sebagaimana
diatur dalam
peraturan perundang-undangan
di bidang pasar modal.
(6) Penempatan atas Aset Yang Diperkenankan dalam bentuk
investasi berupa bangunan dengan hak strata (strata title)
atau tanah dengan bangunan, untuk investasi,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf n
harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. dimiliki dan dikuasai oleh Perusahaan yang dibuktikan
dengan bukti kepemilikan atas nama Perusahaan dari
instansi yang berwenang;
b. memberikan penghasilan sewa dan penghasilan
lainnya melalui transaksi yang didasarkan pada harga
pasar yang berlaku; dan
c. tidak ditempatkan pada bangunan dengan hak strata
(strata title) atau tanah dengan bangunan yang sedang
diagunkan, dalam sengketa, atau diblokir pihak lain.
(7) Penempatan atas Aset Yang Diperkenankan dalam bentuk
investasi berupa pembiayaan melalui mekanisme kerja
sama dengan pihak lain dalam bentuk pembelian piutang
(refinancing) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)
huruf o hanya dapat dilakukan atas piutang yang dimiliki
perusahaan pembiayaan dan/atau Bank dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. merupakan perusahaan pembiayaan yang telah
memperoleh izin usaha dari Menteri dan/atau Bank
yang telah memperoleh izin usaha dari Pimpinan Bank
Indonesia;
b. merupakan perusahaan pembiayaan dan/atau Bank
yang tidak terafiliasi dengan Perusahaan;
c. perusahaan pembiayaan dan/atau Bank dimaksud
tidak sedang dikenai sanksi administratif berupa
pembatasan kegiatan usaha atau pembekuan kegiatan
usaha oleh Menteri atau Pimpinan Bank Indonesia
pada saat dimulainya kerja sama; dan
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
- 10 -
d. memenuhi ketentuan tingkat kesehatan keuangan
berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang
pembiayaan dan/atau perbankan, pada saat
dimulainya kerja sama.
(8) Penempatan atas Aset Yang Diperkenankan dalam bentuk
investasi berupa emas murni sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (1) huruf p harus memenuhi ketentuan
sebagai berikut:
a. memenuhi persyaratan spesifikasi yang ditetapkan oleh
bursa komoditi yang telah memperoleh izin dari
instansi yang berwenang; dan
b. disimpan di Bank Kustodian komoditi yang memiliki
kerja sama dengan bursa komoditi sebagaimana
dimaksud dalam huruf a.
(9) Penempatan atas Aset Yang Diperkenankan dalam bentuk
investasi berupa pinjaman yang dijamin dengan hak
tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)
huruf q harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. pinjaman tersebut diberikan kepada perorangan;
b. pinjaman tersebut dijamin dengan hak tanggungan
pertama;
c. pinjaman tersebut dilakukan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan;
d. sertifikat hak atas tanah yang telah dibubuhi catatan
pembebanan hak tanggungan disimpan oleh
Perusahaan; dan
e. besarnya setiap pinjaman paling tinggi 75% (tujuh
puluh lima per seratus) dari nilai jaminan yang terkecil
diantara nilai yang ditetapkan oleh lembaga penilai
yang terdaftar pada instansi yang berwenang dan Nilai
Jual Objek Pajak (NJOP).
Pasal 7
(1) Penempatan atas Aset Yang Diperkenankan dalam bentuk
investasi di luar negeri berupa saham yang
diperdagangkan di bursa efek sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a harus memenuhi ketentuan
sebagai berikut:
a. termasuk dalam kategori saham yang aktif
diperdagangkan pada bursa efek di tempat saham
tersebut dicatatkan berdasarkan kriteria yang
ditetapkan oleh bursa efek dimaksud; dan
b. informasi mengenai emiten dan transaksi saham
tersebut dapat di akses di Indonesia.
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
- 11 -
(2) Penempatan atas Aset Yang Diperkenankan dalam bentuk
investasi di luar negeri berupa surat utang korporasi,
sukuk korporasi, dan surat berharga yang diterbitkan oleh
negara selain Negara Republik Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf b, huruf c, dan
huruf d harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. paling kurang memiliki peringkat BBB atau yang setara
dari perusahaan pemeringkat efek yang diakui secara
internasional;
b. dijual melalui penawaran umum; dan
c. informasi mengenai transaksinya dapat diakses
di Indonesia.
(3) Penempatan atas Aset Yang Diperkenankan dalam bentuk
investasi di luar negeri berupa reksa dana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf f harus memenuhi
ketentuan sebagai berikut:
a. diterbitkan oleh manajer investasi di luar negeri yang
memiliki hubungan Afiliasi dengan Manajer Investasi
di Indonesia yang memperoleh izin dari Badan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan; dan
b. dicatatkan di bursa efek di negara tempat manajer
investasi dimaksud berdomisili.
Pasal 8
(1) Penempatan atas Aset Yang Diperkenankan dalam bentuk
investasi berupa saham yang diperdagangkan di bursa
efek, surat utang korporasi, dan sukuk korporasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a,
huruf b, dan huruf c yang diperdagangkan di bursa efek di
dalam negeri maupun di luar negeri dan emitennya
merupakan badan hukum asing, dikategorikan sebagai
investasi di luar negeri.
(2) Penempatan atas Aset Yang Diperkenankan dalam bentuk
investasi berupa surat utang yang diterbitkan di luar
negeri oleh badan hukum Indonesia melalui badan hukum
asing yang khusus didirikan dalam rangka penerbitan
surat utang dimaksud, dikategorikan sebagai investasi
dalam negeri.
(3) Penempatan atas Aset Yang Diperkenankan dalam bentuk
investasi berupa surat berharga yang diterbitkan oleh
lembaga multinasional yang Negara Republik Indonesia
menjadi salah satu anggota atau pemegang sahamnya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf i dan
Pasal 4 ayat (2) huruf e yang berdenominasi rupiah,
dikategorikan sebagai investasi dalam negeri.
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
- 12 -
Pasal 9
(1) Pembatasan atas Aset Yang Diperkenankan dalam bentuk
investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 adalah
sebagai berikut:
a. investasi berupa deposito berjangka termasuk deposit
on call dan deposito yang berjangka waktu kurang dari
atau sama dengan 1 (satu) bulan dan sertifikat
deposito yang tidak dapat diperdagangkan (non
negotiable certificate deposit) pada Bank, untuk setiap
Bank paling tinggi 15% (lima belas per seratus) dari
jumlah investasi;
b. investasi berupa saham yang diperdagangkan di bursa
efek, untuk setiap emiten paling tinggi 10% (sepuluh
per seratus) dari jumlah investasi dan seluruhnya
paling tinggi 40% (empat puluh per seratus) dari
jumlah investasi;
c. investasi berupa surat utang korporasi, sukuk
korporasi, dan surat berharga yang diterbitkan oleh
lembaga multinasional yang Negara Republik Indonesia
menjadi salah satu anggota atau pemegang sahamnya,
untuk setiap emiten paling tinggi 15% (lima belas per
seratus) dari jumlah investasi dan seluruhnya paling
tinggi 50% (lima puluh per seratus) dari jumlah
investasi;
d. investasi berupa surat berharga yang diterbitkan oleh
negara selain Negara Republik Indonesia untuk setiap
penerbit paling tinggi 10% (sepuluh per seratus) dari
jumlah investasi;
e. investasi berupa reksa dana, untuk setiap Manajer
Investasi paling tinggi 15% (lima belas per seratus) dari
jumlah investasi dan seluruhnya paling tinggi 50%
(lima puluh per seratus) dari jumlah investasi;
f. investasi berupa efek beragun aset yang diterbitkan
berdasarkan kontrak investasi kolektif efek beragun
aset untuk setiap Manajer Investasi paling tinggi 10%
(sepuluh per seratus) dari jumlah investasi dan
seluruhnya paling tinggi 20% (dua puluh per seratus)
dari jumlah investasi;
g. investasi berupa dana investasi real estat, untuk setiap
Manajer Investasi paling tinggi 10% (sepuluh per
seratus) dari jumlah investasi dan seluruhnya paling
tinggi 20% (dua puluh per seratus) dari jumlah
investasi;
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
- 13 -
h. investasi berupa penyertaan langsung (saham yang
tidak tercatat di bursa efek), seluruhnya paling tinggi
10% (sepuluh per seratus) dari jumlah investasi;
i. investasi berupa bangunan dengan hak strata (strata
title) atau tanah dengan bangunan, untuk investasi,
seluruhnya paling tinggi 10% (sepuluh per seratus)
dari jumlah investasi;
j. investasi berupa pembiayaan melalui mekanisme kerja
sama dengan pihak lain dalam bentuk pembelian
piutang (refinancing) untuk setiap pihak paling tinggi
10% (sepuluh per seratus) dari jumlah investasi dan
seluruhnya paling tinggi 20% (dua puluh per seratus)
dari jumlah investasi;
k. investasi berupa emas murni seluruhnya paling tinggi
10% (sepuluh per seratus) dari jumlah investasi;
dan/atau
l. investasi berupa pinjaman yang dijamin dengan hak
tanggungan, seluruhnya paling tinggi 10% (sepuluh
per seratus) dari jumlah investasi.
(2) Penempatan atas Aset Yang Diperkenankan dalam bentuk
investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,
huruf c, dan huruf e, jumlah seluruhnya paling tinggi 80%
(delapan puluh per seratus) dari jumlah investasi.
(3) Dalam hal penempatan atas Aset Yang Diperkenankan
dalam bentuk investasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf h
dilakukan pada instrumen investasi di luar negeri, jumlah
seluruhnya paling tinggi 20% (dua puluh per seratus) dari
jumlah investasi.
Pasal 10
(1) Jumlah seluruh investasi Perusahaan yang ditempatkan
pada pihak yang terafiliasi dengan Perusahaan paling
tinggi 10% (sepuluh per seratus) dari jumlah investasi.
(2) Jenis investasi Perusahaan yang ditempatkan pada pihak
yang terafiliasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
termasuk penyertaan langsung (saham yang tidak tercatat
pada bursa efek).
(3) Jumlah seluruh investasi Perusahaan yang ditempatkan
pada satu pihak yang terafiliasi namun satu pihak
tersebut tidak terafiliasi dengan Perusahaan, paling tinggi
20% (dua puluh per seratus) dari jumlah investasi.
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
- 14 -
(4) Satu pihak yang
tidak terafiliasi dengan Perusahaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah sekelompok
perusahaan yang memiliki hubungan afiliasi satu dengan
yang lain.
(5) Pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (4)
termasuk pula pihak yang baik secara sendiri maupun
bersama mempunyai hubungan Afiliasi dan/atau
hubungan hukum lainnya dengan pihak lain yaitu:
a. hubungan keluarga karena perkawinan dan keturunan
sampai derajat kedua baik secara horizontal maupun
vertikal;
b. hubungan antara pihak dengan pegawai satu tingkat
di bawah direksi, anggota direksi, atau anggota dewan
komisaris dari pihak tersebut;
c. hubungan antara 2 (dua) perusahaan atau lebih
dimana terdapat satu atau lebih anggota direksi atau
anggota dewan komisaris yang sama; dan/atau
d. hubungan antara perusahaan dengan pemegang
saham utama.
(6) Hubungan Afiliasi dan/atau hubungan hukum lainnya
dengan pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
tidak termasuk hubungan karena kepemilikan atau
penyertaan modal oleh Negara Republik Indonesia.
Pasal 11
Jumlah investasi yang digunakan sebagai dasar perhitungan
pembatasan atas Aset Yang Diperkenankan dalam bentuk
investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, Pasal 10
ayat (1) dan ayat (3) merupakan nilai seluruh bentuk investasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 per tanggal laporan
posisi keuangan yang penilaiannya didasarkan pada
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5.
Bagian Ketiga
Aset Yang Diperkenankan
Dalam Bentuk Bukan Investasi
Pasal 12
Aset Yang Diperkenankan dalam bentuk bukan investasi
harus dalam jenis:
a. kas dan bank;
b. tagihan premi penutupan langsung, termasuk tagihan
premi koasuransi yang menjadi bagian Perusahaan;
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
- 15 -
c. tagihan klaim koasuransi;
d. tagihan reasuransi;
e. tagihan investasi;
f. tagihan hasil investasi;
g. pinjaman polis; dan/atau
h. bangunan dengan hak strata (strata title) atau tanah
dengan bangunan, untuk dipakai sendiri.
Pasal 13
Penilaian atas Aset Yang Diperkenankan dalam bentuk bukan
investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 harus
dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. kas dan bank, berdasarkan nilai
nominal, dengan
ketentuan kas dan bank di luar negeri yang
diperkenankan seluruhnya paling tinggi 1% (satu per
seratus) dari Ekuitas periode berjalan;
b. tagihan premi penutupan langsung termasuk tagihan
premi koasuransi yang menjadi bagian Perusahaan,
berdasarkan nilai sisa tagihan dengan umur tagihan
paling lama 2 (dua) bulan dihitung sejak tanggal:
1) pertanggungan dimulai bagi polis dengan
pembayaran premi tunggal; atau
2) jatuh tempo pembayaran premi bagi polis dengan
pembayaran premi cicilan.
c. tagihan klaim koasuransi, berdasarkan nilai sisa tagihan
dengan umur tagihan paling lama 2 (dua) bulan dihitung
sejak tanggal pembayaran klaim kepada tertanggung;
d. tagihan reasuransi, berdasarkan nilai sisa tagihan dengan
umur tagihan paling lama 2 (dua) bulan dihitung sejak
tanggal jatuh tempo pembayaran;
e. tagihan investasi, berdasarkan nilai tagihan dengan umur
tagihan paling lama 1 (satu) bulan dihitung sejak tanggal
jatuh tempo pembayaran;
f. tagihan hasil investasi, berdasarkan nilai sisa tagihan
dengan umur tagihan paling lama 1 (satu) bulan dihitung
sejak tanggal jatuh tempo pembayaran;
g. pinjaman polis, berdasarkan nilai sisa pinjaman dengan
besarnya pinjaman polis paling tinggi 80% (delapan puluh
per seratus) dari nilai tunai polis yang bersangkutan;
dan/atau
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
- 16 -
h. bangunan dengan hak strata (strata title) atau tanah
dengan bangunan, yang dipakai sendiri, berdasarkan nilai
yang ditetapkan oleh lembaga penilai yang terdaftar pada
instansi yang berwenang atau berdasarkan Nilai Jual
Objek Pajak (NJOP) dalam hal tidak dilakukan penilaian
oleh lembaga penilai dengan nilai seluruhnya paling tinggi
15% (lima belas per seratus) dari Ekuitas periode
berjalan.
Bagian Keempat
Status Aset Yang Diperkenankan
Pasal 14
Aset Yang Diperkenankan dalam bentuk investasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan Aset Yang
Diperkenankan dalam bentuk bukan investasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 harus:
a. dimiliki dan dikuasai oleh Perusahaan, yang dibuktikan
dengan bukti kepemilikan atas nama Perusahaan dari
instansi yang berwenang;
b. tidak dalam sengketa;
c. tidak sedang dijadikan jaminan; dan
d. tidak sedang diblokir oleh pihak yang berwenang.
Bagian Kelima
Liabilitas
Pasal 15
Liabilitas yang diperhitungkan dalam perhitungan Tingkat
Solvabilitas wajib meliputi semua Liabilitas Perusahaan,
termasuk cadangan teknis.
Pasal 16
(1) Liabilitas dalam bentuk cadangan teknis sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15 meliputi:
a. cadangan premi untuk produk yang berjangka waktu
lebih dari 1 (satu) tahun yang syarat dan kondisi
polisnya tidak dapat diperbaharui kembali (non
renewable) pada setiap ulang tahun polis;
b. cadangan atas premi yang belum merupakan
pendapatan untuk produk yang berjangka waktu
sampai dengan 1 (satu) tahun atau berjangka waktu
lebih dari 1 (satu) tahun yang syarat dan kondisi
polisnya dapat diperbaharui kembali (renewable) pada
setiap ulang tahun polis;
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
- 17 -
c. cadangan akumulasi dana untuk produk atau bagian
dari produk yang memberikan manfaat berupa
akumulasi dana; dan
d. cadangan klaim.
(2) Pembentukan cadangan premi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a wajib memperhitungkan penerimaan
dan pengeluaran yang dapat terjadi di masa yang akan
datang dengan menggunakan asumsi estimasi sentral
ditambah dengan marjin risiko.
(3) Pembentukan cadangan atas premi yang belum
merupakan pendapatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b wajib memperhitungkan cadangan atas seluruh
risiko yang belum dijalani (unexpired risk reserve)
termasuk cadangan atas risiko bencana (catastrophic
reserve).
(4) Cadangan akumulasi dana sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf c merupakan cadangan akumulasi dana
produk yang digaransi.
(5) Cadangan klaim sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf d meliputi cadangan klaim dalam proses
penyelesaian dan cadangan klaim yang sudah terjadi
namun belum dilaporkan (incurred but not reported atau
IBNR).
Pasal 17
(1) Penilaian terhadap Liabilitas dalam bentuk cadangan
teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1)
wajib dilakukan oleh aktuaris Perusahaan.
(2) Penilaian terhadap Liabilitas dalam bentuk cadangan
teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi
Perusahaan Asuransi Umum dapat dilakukan oleh
aktuaris dari perusahaan konsultan aktuaria yang tidak
terafiliasi dengan Perusahaan paling lambat sampai
dengan tanggal 31 Desember 2014.
Pasal 18
(1) Dalam hal ditemukan ketidakwajaran cadangan teknis
atau bagian dari cadangan teknis yang dibentuk oleh
Perusahaan, Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan
Lembaga Keuangan dapat:
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
- 18 -
a. meminta Perusahaan untuk melakukan valuasi ulang
atas jumlah cadangan teknis atau atas bagian dari
cadangan teknis yang dianggap tidak wajar; atau
b. meminta dilakukan penelaahan (review) atas cadangan
teknis atau atas bagian dari cadangan teknis tersebut
oleh pihak independen atas beban Perusahaan.
(2) Perusahaan wajib menunjuk pihak independen paling
lama 1 (satu) bulan setelah permintaan untuk dilakukan
penelaahan (review) sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b.
Pasal 19
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan cadangan
teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 diatur dengan
Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan.
Bagian Keenam
Pinjaman Subordinasi
Pasal 20
Dalam rangka perhitungan Tingkat Solvabilitas, pinjaman
subordinasi tidak diperlakukan sebagai unsur Liabilitas
apabila pinjaman tersebut memenuhi ketentuan sebagai
berikut:
a. digunakan untuk memenuhi ketentuan batas Tingkat
Solvabilitas; dan
b. dituangkan dalam perjanjian notariil yang paling kurang
memuat:
1) pembayaran pokok pinjaman tersebut hanya dapat
dilakukan apabila tidak menyebabkan Perusahaan
menjadi tidak dapat memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3);
2) jangka waktu pelunasan pinjaman tidak dibatasi; dan
3) tingkat bunga yang dijanjikan paling tinggi 1/5 (satu
per lima) dari tingkat suku bunga Bank Indonesia pada
saat ditandatanganinya perjanjian.
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
- 19 -
Bagian Ketujuh
Kecukupan Investasi
Pasal 21
(1) Perusahaan wajib memiliki aset dalam bentuk investasi
yang telah memenuhi ketentuan mengenai jenis, penilaian,
dan pembatasan Aset Yang Diperkenankan ditambah Aset
Yang Diperkenankan dalam bentuk kas dan bank, paling
sedikit sebesar jumlah cadangan teknis ditambah
Liabilitas pembayaran klaim retensi sendiri dan Liabilitas
lain kepada tertanggung.
(2) Liabilitas pembayaran klaim retensi sendiri sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) merupakan Liabilitas pembayaran
atas klaim yang telah disepakati tetapi belum dibayar
dikurangi dengan beban klaim yang menjadi bagian dari
reasuradur.
BAB III
DUKUNGAN REASURANSI DAN RETENSI SENDIRI
Bagian Kesatu
Dukungan Reasuransi
Pasal 22
(1) Perusahaan wajib memperoleh dukungan reasuransi
otomatis untuk setiap lini usaha asuransi yang dipasarkan
termasuk dukungan reasuransi otomatis untuk risiko
bencana (catastrophic risks).
(2) Dukungan reasuransi otomatis sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) bagi Perusahaan Asuransi Umum wajib
diperoleh paling sedikit dari 2 (dua) reasuradur di dalam
negeri, yang salah satunya adalah Perusahaan Reasuransi.
(3) Dukungan reasuransi otomatis sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) bagi Perusahaan Asuransi Jiwa wajib
diperoleh paling sedikit dari 1 (satu) Perusahaan
Reasuransi di dalam negeri.
(4) Dalam hal dukungan reasuransi otomatis di dalam negeri
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) tidak
diperoleh, dukungan reasuransi otomatis dapat diperoleh
dari reasuradur di luar negeri.
(5) Dukungan reasuransi otomatis dari luar negeri
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) hanya dapat
dilakukan setelah Perusahaan tidak memperoleh
dukungan reasuransi otomatis dari seluruh Perusahaan
Reasuransi dalam negeri.
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
- 20 -
(6) Dalam hal dukungan reasuransi otomatis sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diperoleh dari reasuradur di luar
negeri, Perusahaan wajib memperoleh dukungan
reasuradur luar negeri yang paling kurang memiliki
peringkat BBB atau yang setara dari perusahaan
pemeringkat yang diakui secara internasional.
(7) Dalam hal peringkat reasuradur di luar negeri
sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diterbitkan oleh lebih
dari satu perusahaan pemeringkat, peringkat yang
digunakan adalah peringkat yang paling rendah.
(8) Perusahaan Asuransi wajib melampirkan bukti tidak
diperolehnya dukungan reasuransi otomatis di dalam
negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan bukti
peringkat reasuradur di luar negeri sebagaimana
dimaksud pada
ayat (6) dalam laporan program
reasuransi.
Pasal 23
Dalam hal Perusahaan Reasuransi menolak memberikan
dukungan reasuransi otomatis kepada Perusahaan Asuransi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2) dan ayat (3),
Perusahaan Reasuransi dimaksud wajib menyampaikan
tembusan surat penolakan tersebut kepada Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan dengan
dilengkapi alasan penolakannya paling lama 15 (lima belas)
hari setelah tanggal penolakan.
Pasal 24
(1) Dukungan reasuransi otomatis sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 22 ayat (1) dapat dikecualikan dalam hal:
a. tidak ada reasuradur yang bersedia memberikan
dukungan reasuransi otomatis karena karakteristik
risiko yang khusus dari lini usaha asuransi;
b. Perusahaan akan memulai memasarkan lini usaha
asuransi yang baru;
c. Perusahaan memasarkan produk asuransi hanya
untuk memenuhi permintaan pemegang polis atas
paket asuransi yang komprehensif dan tidak
memasarkan secara tersendiri; atau
d. risiko yang dikelola tidak melebihi kapasitas retensi
sendiri.
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
- 21 -
(2) Perusahaan wajib melampirkan bukti penyebab tidak
diperoleh atau tidak diperlukannya dukungan reasuransi
otomatis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam
laporan program reasuransi.
Pasal 25
(1) Perusahaan wajib memperoleh dukungan reasuransi
fakultatif dalam hal:
a. Perusahaan tidak memperoleh dukungan reasuransi
otomatis karena alasan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 24 ayat (1) huruf a sampai dengan huruf c; atau
b. dukungan reasuransi otomatis tidak mencukupi untuk
risiko yang diterima oleh Perusahaan.
(2) Dukungan reasuransi fakultatif sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) bagi Perusahaan Asuransi Umum wajib
diperoleh paling sedikit dari 2 (dua) reasuradur di dalam
negeri.
(3) Dukungan reasuransi fakultatif sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) bagi Perusahaan Asuransi Jiwa wajib
diperoleh paling sedikit dari 1 (satu) reasuradur di dalam
negeri.
(4) Dalam hal dukungan reasuransi fakultatif di dalam negeri
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) tidak
diperoleh, dukungan reasuransi fakultatif dapat diperoleh
dari reasuradur di luar negeri.
(5) Dalam hal dukungan reasuransi fakultatif sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diperoleh dari reasuradur di luar
negeri, Perusahaan wajib memperoleh dukungan
reasuradur luar negeri yang paling kurang memiliki
peringkat BBB atau yang setara dari perusahaan
pemeringkat yang diakui secara internasional.
(6) Dalam hal peringkat reasuradur di luar negeri
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diterbitkan oleh lebih
dari satu perusahaan pemeringkat, peringkat yang
digunakan adalah peringkat yang paling rendah.
Pasal 26
(1) Dalam hal dukungan reasuransi otomatis sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) dan/atau dukungan
reasuransi fakultatif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 25 ayat (1) dinilai oleh Kepala Biro Perasuransian,
Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
- 22 -
dapat membahayakan dan/atau memperburuk kondisi
kesehatan keuangan Perusahaan atau dapat menjadikan
Perusahaan tidak melaksanakan fungsi sebagai
Perusahaan Asuransi atau sebagai Perusahaan
Reasuransi, Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan
Lembaga Keuangan dapat memerintahkan Perusahaan
untuk mengubah program dukungan reasuransi yang
dimilikinya agar lebih sesuai dengan kondisi Perusahaan,
berupa:
a. perubahan reasuransi fakultatif menjadi reasuransi
otomatis, atau sebaliknya;
b. perubahan reasuransi nonproporsional menjadi
reasuransi proporsional, atau sebaliknya; dan/atau
c. perubahan lainnya.
(2) Perusahaan wajib melaksanakan perintah Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 27
Ketentuan lebih lanjut mengenai dukungan reasuransi
otomatis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 dan
reasuransi fakultatif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25
diatur dengan Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
dan Lembaga Keuangan.
Bagian Kedua
Retensi Sendiri
Pasal 28
(1) Perusahaan wajib memiliki retensi sendiri untuk setiap
risiko yang dikelola sesuai dengan batas retensi sendiri
minimum dan batas retensi sendiri maksimum yang
ditetapkan.
(2) Penetapan batas retensi sendiri minimum dan batas
retensi sendiri maksimum sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib didasarkan pada profil risiko dan kerugian
(risk and loss profile) yang dibuat secara tertib, teratur,
relevan, dan akurat.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai batas retensi sendiri
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur
dengan Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan
Lembaga Keuangan.
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
- 23 -
BAB IV
PRODUK ASURANSI YANG DIKAITKAN
DENGAN INVESTASI
Pasal 29
(1) Perusahaan Asuransi Jiwa yang memasarkan Produk
Asuransi Yang Dikaitkan Dengan Investasi wajib
memisahkan pencatatan dana investasi dan Liabilitas yang
bersumber dari Produk Asuransi Yang Dikaitkan Dengan
Investasi dengan aset dan Liabilitas yang bersumber dari
produk asuransi jiwa lainnya.
(2) Aset yang bersumber dari Produk Asuransi yang Dikaitkan
Dengan Investasi tidak diperhitungkan sebagai Aset Yang
Diperkenankan.
Pasal 30
(1) Penempatan atas dana investasi yang bersumber dari
Produk Asuransi Yang Dikaitkan Dengan Investasi wajib
dilakukan pada:
a. deposito berjangka pada Bank, termasuk deposit on call
dan deposito yang berjangka waktu kurang dari atau
sama dengan 1 (satu) bulan;
b. sertifikat deposito yang tidak dapat diperdagangkan
(non negotiable certificate deposit) pada Bank;
c. saham yang diperdagangkan di bursa efek;
d. surat utang korporasi;
e. sukuk korporasi;
f. surat berharga yang diterbitkan oleh Negara Republik
Indonesia;
g. surat berharga yang diterbitkan oleh negara selain
Negara Republik Indonesia;
h. surat berharga yang diterbitkan oleh Bank Indonesia;
i. surat berharga yang diterbitkan oleh lembaga
multinasional yang Negara Republik Indonesia menjadi
salah satu anggota atau pemegang sahamnya;
j. reksa dana;
k. efek beragun aset yang diterbitkan berdasarkan
kontrak investasi kolektif efek beragun aset; dan/atau
l. emas murni.
(2) Jenis investasi yang bersumber dari Produk Asuransi Yang
Dikaitkan Dengan Investasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib disesuaikan dengan deskripsi produk yang
dilaporkan kepada Menteri dan yang dijanjikan kepada
calon pemegang polis.
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
- 24 -
Pasal 31
Penempatan atas dana investasi yang bersumber dari Produk
Asuransi Yang Dikaitkan Dengan Investasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) wajib memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 7.
Pasal 32
(1) Penempatan investasi di luar negeri atas dana investasi
yang bersumber dari Produk Asuransi Yang Dikaitkan
Dengan Investasi untuk masing-masing subdana (fund)
wajib paling tinggi 20% (dua puluh per seratus) dari
besarnya masing-masing subdana (fund).
(2) Subdana (fund) sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan pengelompokan Produk Asuransi Yang
Dikaitkan Dengan Investasi berdasarkan strategi
investasinya.
BAB V
TRANSAKSI DERIVATIF
Pasal 33
(1) Perusahaan dilarang melakukan transaksi derivatif atau
memiliki instrumen derivatif, kecuali:
a. untuk keperluan lindung nilai; dan
b. dilakukan dengan pihak lain (counterpart) yang paling
kurang memiliki peringkat BBB atau yang setara dari
perusahaan pemeringkat yang telah memperoleh izin
dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan atau dari perusahaan pemeringkat yang
diakui secara internasional.
(2) Transaksi derivatif untuk keperluan lindung nilai
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a wajib
mendapat persetujuan direksi.
(3) Instrumen derivatif untuk keperluan lindung nilai
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, berupa:
a. kontrak opsi jual saham atas saham yang dimiliki;
b. kontrak lindung nilai mata uang; dan/atau
c. kontrak lindung nilai tingkat bunga.
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
- 25 -
Pasal 34
(1) Perusahaan wajib melaporkan setiap transaksi derivatif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 kepada Ketua
Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan
paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal transaksi.
(2) Laporan transaksi derivatif sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) paling kurang dilampiri dengan:
a. hasil kajian tentang perlunya lindung nilai;
b. perjanjian transaksi derivatif;
c. bukti peringkat pihak lain (counterpart) sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) huruf b; dan
d. bukti persetujuan direksi.
BAB VI
DANA JAMINAN
Bagian Kesatu
Pembentukan Dana Jaminan
Pasal 35
(1) Perusahaan wajib membentuk Dana Jaminan paling
rendah 20% (dua puluh persen) dari modal sendiri
minimum yang dipersyaratkan sebagaimana dimaksud
dalam peraturan perundang-undangan di bidang
perasuransian.
(2) Jumlah Dana Jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) wajib disesuaikan dengan perkembangan volume usaha
Perusahaan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. bagi Perusahaan Asuransi Jiwa wajib membentuk
Dana Jaminan sebesar 2% (dua per seratus) dari
cadangan premi untuk Produk Asuransi Yang
Dikaitkan Dengan Investasi ditambah 5% (lima per
seratus) dari cadangan premi untuk produk selain
Produk Asuransi Yang Dikaitkan Dengan Investasi dan
cadangan atas premi yang belum merupakan
pendapatan.
b. bagi Perusahaan Asuransi Umum dan Perusahaan
Reasuransi wajib membentuk Dana Jaminan sebesar
1% (satu per seratus) dari Premi Neto ditambah 0,25%
(nol koma dua lima per seratus) dari premi reasuransi.
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
- 26 -
(3) Dalam hal Dana Jaminan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) lebih besar daripada jumlah Dana Jaminan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Dana Jaminan
tersebut wajib dibentuk sejumlah Dana Jaminan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Dalam hal jumlah Dana Jaminan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) sama dengan atau lebih kecil daripada
jumlah Dana Jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), Dana Jaminan tersebut wajib dibentuk sejumlah Dana
Jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
Pasal 36
(1) Jumlah cadangan premi termasuk cadangan atas premi
yang belum merupakan pendapatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2) huruf a serta Premi Neto
dan premi reasuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
35 ayat (2) huruf b, diperoleh dari laporan keuangan
per 31 Desember terakhir yang telah diaudit oleh auditor
independen.
(2) Dalam hal Dana Jaminan kurang daripada jumlah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) atau
ayat (2), Perusahaan wajib menambah Dana Jaminan yang
dimilikinya paling lama 5 (lima) hari kerja setelah tanggal
30 April tahun berjalan.
(3) Dalam hal Dana Jaminan yang telah dimiliki lebih besar
daripada jumlah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35
ayat (1) dan ayat (2), Perusahaan dapat mengurangi Dana
Jaminan yang dimilikinya setelah terlebih dahulu
mendapat persetujuan dari Ketua Badan Pengawas Pasar
Modal dan Lembaga Keuangan.
(4) Dana Jaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35
ayat (1) dan ayat (2) wajib ditempatkan dalam jenis:
a. deposito, dengan perpanjangan otomatis pada Bank
yang bukan merupakan Afiliasi dari Perusahaan;
dan/atau
b. surat berharga yang diterbitkan oleh Negara Republik
Indonesia, yang pada saat penempatan sebagai Dana
Jaminan memiliki sisa jangka waktu sampai dengan
jatuh tempo paling singkat 1 (satu) tahun.
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
- 27 -
Bagian Kedua
Penatausahaan Dana Jaminan
Pasal 37
(1) Seluruh Dana Jaminan wajib ditatausahakan pada Bank
Kustodian.
(2) Bank Kustodian sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
bukan merupakan Afiliasi dari Perusahaan, kecuali
hubungan Afiliasi tersebut terjadi karena kepemilikan atau
penyertaan modal Negara Republik Indonesia.
Pasal 38
Penatausahaan Dana Jaminan pada Bank Kustodian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) wajib
didasarkan pada perjanjian antara Perusahaan dan Bank
Kustodian yang paling kurang memuat:
a. pendelegasian atau pemberian kuasa oleh Perusahaan
kepada Bank Kustodian untuk mencairkan,
memindahkan, atau menyerahkan Dana Jaminan setelah
memperoleh persetujuan Menteri atau pejabat yang
mendapat pendelegasian;
b. kewajiban Bank Kustodian untuk menempatkan dana
yang diperoleh dari pencairan Dana Jaminan dalam
bentuk surat berharga yang diterbitkan oleh Negara
Republik Indonesia yang telah jatuh tempo ke dalam
bentuk deposito berjangka 1 (satu) bulan pada Bank atas
nama Perusahaan, dalam hal Perusahaan belum
melakukan penggantian Dana Jaminan yang telah jatuh
tempo dimaksud;
c. ketentuan bahwa Bank Kustodian tidak dapat
menjalankan instruksi dari Perusahaan maupun pihak
lain untuk melakukan pencairan, pemindahan, dan
penyerahan deposito atau surat berharga yang diterbitkan
oleh Negara Republik Indonesia yang digunakan sebagai
Dana Jaminan kecuali telah mendapat persetujuan
Menteri atau pejabat yang mendapat pendelegasian; dan
d. ketentuan bahwa Bank Kustodian wajib menyampaikan
laporan bulanan penatausahaan Dana Jaminan yang
dimiliki oleh Perusahaan kepada Ketua Badan Pengawas
Pasar Modal dan Lembaga Keuangan u.p. Kepala Biro
Perasuransian paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya
yang paling kurang memuat:
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
- 28 -
1) nama Perusahaan pemilik Dana Jaminan;
2) jenis Dana Jaminan;
3) nomor bilyet dan Bank penerbit untuk deposito;
4) seri dari surat berharga yang diterbitkan oleh Negara
Republik Indonesia;
5) nilai nominal Dana Jaminan; dan
6) tanggal jatuh tempo.
Bagian Ketiga
Perubahan Dana Jaminan
Pasal 39
(1) Pembentukan atau penambahan Dana Jaminan dapat
dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. penempatan baru deposito dan/atau surat berharga
yang diterbitkan oleh Negara Republik Indonesia
sebagai Dana Jaminan;
b. penempatan deposito yang semula bukan Dana
Jaminan menjadi Dana Jaminan; dan/atau
c. penempatan surat berharga yang diterbitkan oleh
Negara Republik Indonesia yang semula bukan Dana
Jaminan menjadi Dana Jaminan.
(2) Perusahaan dapat melakukan penggantian Dana Jaminan
dengan ketentuan sebagai berikut:
a. dari deposito menjadi surat berharga yang diterbitkan
oleh Negara Republik Indonesia atau sebaliknya;
b. mengubah jangka waktu deposito pada Bank;
c. mengubah Bank tempat penempatan deposito;
dan/atau
d. menukarkan surat berharga yang diterbitkan oleh
Negara Republik Indonesia dengan surat berharga yang
diterbitkan oleh Negara Republik Indonesia lainnya.
(3) Dalam hal Perusahaan akan melakukan penggantian Dana
Jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
Perusahaan wajib menempatkan terlebih dahulu Dana
Jaminan pengganti paling sedikit sebesar nilai Dana
Jaminan yang akan diganti.
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
- 29 -
(4) Dalam hal terdapat Dana Jaminan dalam bentuk surat
berharga yang diterbitkan oleh Negara Republik Indonesia
yang akan jatuh tempo, Perusahaan wajib menempatkan
terlebih dahulu Dana Jaminan baru paling sedikit sebesar
nilai surat berharga yang diterbitkan oleh Negara Republik
Indonesia yang akan jatuh tempo dimaksud, paling lama
1 (satu) hari sebelum tanggal jatuh tempo.
Pasal 40
(1) Menteri dapat memerintahkan Perusahaan untuk
menambah jumlah Dana Jaminan paling tinggi sebesar
jumlah cadangan teknis, dalam hal:
a. Perusahaan tidak dapat memenuhi ketentuan
mengenai Tingkat Solvabilitas dan sedang dikenai
sanksi pembatasan kegiatan usaha; atau
b. Perusahaan memiliki Tingkat Solvabilitas kurang dari
40% (empat puluh per seratus).
(2) Perusahaan wajib menambah jumlah Dana Jaminan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 1 (satu)
bulan sejak diperintahkan untuk menambah jumlah Dana
Jaminan.
BAB VII
PELAPORAN
Bagian Kesatu
Penyusunan Laporan
Pasal 41
(1) Perusahaan wajib menyusun:
a. laporan keuangan tahunan nonkonsolidasi untuk
periode 1 Januari sampai dengan 31 Desember
berdasarkan standar akuntansi keuangan yang
berlaku di Indonesia;
b. laporan keuangan tahunan nonkonsolidasi untuk
periode 1 Januari sampai dengan 31 Desember
berdasarkan peraturan perundang-undangan di
bidang perasuransian;
c. laporan keuangan triwulanan nonkonsolidasi yang
berakhir pada 31 Maret, 30 Juni, 30 September, dan
31 Desember berdasarkan peraturan perundang-
undangan di bidang perasuransian;
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
- 30 -
d. laporan program reasuransi untuk kegiatan tahun
berjalan;
e. laporan Dana Jaminan secara triwulanan yang
berakhir pada 31 Maret, 30 Juni, 30 September, dan
31 Desember; dan
f. laporan aktuaris tahunan untuk periode 1 Januari
sampai dengan 31 Desember.
(2) Dalam hal Perusahaan Asuransi Jiwa memasarkan Produk
Asuransi Yang Dikaitkan Dengan Investasi, laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib ditambah
dengan:
a. laporan dana investasi atas Produk Asuransi Yang
Dikaitkan Dengan Investasi secara tahunan untuk
periode 1 Januari sampai dengan 31 Desember;
b. laporan dana investasi atas Produk Asuransi Yang
Dikaitkan Dengan Investasi secara triwulanan yang
berakhir pada 31 Maret, 30 Juni, 30 September, dan
31 Desember.
(3) Laporan keuangan tahunan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a dan ayat (2) huruf a wajib diaudit oleh
auditor independen.
(4) Laporan keuangan tahunan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b wajib mendapat pernyataan auditor
independen mengenai kesesuaian laporan dimaksud
dengan peraturan perundang-undangan di bidang
perasuransian.
(5) Bagi Perusahaan yang menyelenggarakan sebagian
usahanya dengan prinsip syariah, laporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b sampai dengan huruf e
tidak termasuk laporan yang terkait dengan unit syariah
dari Perusahaan dimaksud.
(6) Laporan aktuaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf f merupakan laporan yang menggambarkan
perkiraan kemampuan Perusahaan untuk memenuhi
kewajibannya di masa depan.
(7) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f
harus ditandatangani oleh aktuaris Perusahaan.
(8) Bagi Perusahaan Asuransi Umum, penandatanganan
laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dapat
dilakukan oleh aktuaris dari perusahaan konsultan
aktuaria yang tidak terafiliasi dengan Perusahaan paling
lama untuk laporan aktuaris tahun 2014.
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
- 31 -
(9) Laporan aktuaris tahunan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf f wajib ditelaah (di-review) dan dinilai
kewajaran penyajiannya oleh aktuaris dari perusahaan
konsultan aktuaria yang tidak terafiliasi dengan
perusahaan paling kurang 1 (satu) kali dalam 3 (tiga)
tahun.
(10) Ketentuan mengenai bentuk serta susunan laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b sampai
dengan huruf f diatur dengan Peraturan Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan.
Pasal 42
Dalam laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41
ayat (1), setiap aset dan Liabilitas dalam satuan mata uang
asing wajib disajikan dalam mata uang rupiah berdasarkan
nilai kurs tengah yang ditetapkan oleh Bank Indonesia pada
tanggal laporan.
Bagian Kedua
Pengumuman Laporan
Pasal 43
(1) Perusahaan wajib mengumumkan ringkasan atas laporan
keuangan tahunan yang telah diaudit sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 41 ayat (3) dan ayat (4) pada
website Perusahaan paling lambat tanggal 30 April tahun
berikutnya.
(2) Perusahaan wajib mengumumkan laporan keuangan
triwulanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1)
huruf c pada website Perusahaan paling lama 1 (satu)
bulan setelah berakhirnya triwulan yang bersangkutan.
(3) Jangka waktu pengumuman sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) wajib dilakukan sampai dengan
terbitnya laporan tahunan atau laporan triwulanan
berikutnya.
(4) Ketentuan mengenai bentuk serta susunan ringkasan atas
laporan keuangan tahunan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan.
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
- 32 -
Pasal 44
Dalam hal terdapat bagian yang perlu dikoreksi dalam laporan
yang telah diumumkan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 43 ayat (1) dan ayat (2), Perusahaan wajib mengoreksi
laporan tersebut dan mengumumkan kembali pada website
Perusahaan.
Pasal 45
(1) Perusahaan wajib mengumumkan ringkasan atas laporan
keuangan tahunan yang telah diaudit sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 41 ayat (3) dan ayat (4) paling
sedikit pada 1 (satu) surat kabar harian di Indonesia yang
memiliki peredaran nasional paling lambat tanggal 30 April
tahun berikutnya.
(2) Bukti pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib disampaikan kepada Kepala Biro Perasuransian,
Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan
paling lambat tanggal 30 April.
(3) Dalam hal tanggal 30 April adalah hari libur, batas akhir
penyampaian bukti pengumuman sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) adalah hari kerja pertama setelah tanggal
30 April dimaksud.
(4) Ketentuan mengenai bentuk serta susunan ringkasan atas
laporan keuangan tahunan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dengan Peraturan Ketua Badan Pengawas
Pasar Modal dan Lembaga Keuangan.
Bagian Ketiga
Penyampaian Laporan
Pasal 46
(1) Perusahaan wajib menyampaikan:
a. laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41
ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf f paling lambat
tanggal 30 April tahun berikutnya;
b. laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41
ayat (1) huruf c dan huruf e paling lama 1 (satu) bulan
setelah berakhirnya triwulan yang bersangkutan; dan
c. laporan program reasuransi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 41 ayat (1) huruf d paling lambat tanggal
15 Januari tahun berikutnya,
kepada Menteri.
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
- 33 -
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan
huruf b wajib dilengkapi dengan surat pernyataan direksi
yang menyatakan bertanggung jawab atas kebenaran
laporan yang disampaikan.
(3) Dalam hal batas waktu terakhir penyampaian laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah hari libur,
batas akhir penyampaian laporan adalah hari kerja
pertama setelah batas waktu terakhir dimaksud.
BAB VIII
RENCANA PENYEHATAN KEUANGAN
Pasal 47
Perusahaan yang tidak memenuhi target Tingkat Solvabilitas
minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3):
a. wajib menyampaikan rencana penyehatan keuangan; dan
b. dilarang membagikan dividen atau memberikan imbalan
dalam bentuk apapun kepada pemegang saham.
Pasal 48
Dalam hal Tingkat Solvabilitas Perusahaan kurang dari 40%
(empat puluh per seratus), Perusahaan:
a. dikenakan sanksi peringatan pertama dan terakhir;
b. wajib menyampaikan rencana penyehatan keuangan;
dan/atau
c. dilarang membagikan dividen atau memberikan imbalan
dalam bentuk apapun kepada pemegang saham.
Pasal 49
(1) Rencana penyehatan keuangan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 47 huruf a wajib disampaikan kepada Menteri
paling lama 1 (satu) bulan sejak kondisi keuangan
Perusahaan tidak memenuhi kriteria sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3).
(2) Rencana penyehatan keuangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), paling kurang memuat langkah penyehatan
keuangan yang disertai dengan jangka waktu tertentu
yang dibutuhkan untuk memenuhi ketentuan target
Tingkat Solvabilitas minimum sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (3).
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
- 34 -
(3) Langkah penyehatan keuangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), paling kurang memuat rencana tindak
sebagai berikut:
a. restrukturisasi aset dan/atau Liabilitas;
b. penambahan modal disetor;
c. pemberian pinjaman subordinasi;
d. peningkatan tarif premi;
e. pengalihan sebagian atau seluruh portofolio
pertanggungan; dan/atau
f. penggabungan badan usaha.
(4) Rencana penyehatan keuangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus ditandatangani oleh seluruh direksi
dan dewan komisaris.
(5) Rencana penyehatan keuangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus terlebih dahulu disetujui oleh rapat
umum pemegang saham dalam hal rencana penyehatan
dimaksud memuat rencana tindak penambahan modal
disetor atau rencana tindak penggabungan badan usaha.
(6) Rencana penyehatan keuangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) wajib memperoleh pernyataan tidak
keberatan dari Menteri.
(7) Dalam hal rencana penyehatan keuangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dinilai Menteri tidak cukup untuk
mengatasi permasalahan, Perusahaan wajib melakukan
perbaikan atas rencana penyehatan keuangan tersebut.
(8) Menteri memberikan pernyataan tidak keberatan atas
rencana penyehatan keuangan yang disampaikan oleh
Perusahaan dengan memperhatikan kondisi permasalahan
yang dihadapi oleh Perusahaan paling lama 14 (empat
belas) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya
rencana penyehatan keuangan secara lengkap.
(9) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada
ayat (8) Menteri tidak memberikan pernyataan tidak
keberatan atau tanggapan, Perusahaan dapat
melaksanakan rencana penyehatan keuangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 50
(1) Perusahaan wajib menyampaikan kepada Menteri laporan
pelaksanaan rencana penyehatan keuangan dan laporan
keuangan bulanan paling lambat tanggal 15 bulan
berikutnya.
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
- 35 -
(2) Dalam hal tanggal 15 adalah hari libur, batas akhir
penyampaian laporan pelaksanaan rencana penyehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah hari kerja
pertama setelah tanggal 15.
Pasal 51
(1) Dalam hal Perusahaan memperkirakan Tingkat
Solvabilitas Perusahaan tidak akan terpenuhi dalam
jangka waktu sebagaimana telah ditetapkan di dalam
rencana penyehatan keuangan, Perusahaan dapat
melakukan perubahan atas rencana penyehatan
keuangan.
(2) Perubahan atas rencana penyehatan keuangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib terlebih dahulu
memperoleh pernyataan tidak keberatan dari Menteri.
(3) Menteri memberikan pernyataan tidak keberatan atas
perubahan rencana penyehatan keuangan yang
disampaikan oleh Perusahaan paling lama 14 (empat
belas) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya
perubahan rencana penyehatan keuangan secara lengkap.
(4) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) Menteri tidak memberikan pernyataan tidak
keberatan atau tanggapan, Perusahaan dapat
melaksanakan perubahan rencana penyehatan keuangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 52
Menteri dapat memerintahkan kepada Perusahaan untuk
melakukan pemindahan sebagian atau seluruh portofolio
pertanggungan kepada Perusahaan lain, dalam hal:
a. Perusahaan tidak dapat memenuhi ketentuan mengenai
Tingkat Solvabilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1) dan sedang dikenai sanksi pembatasan kegiatan
usaha; atau
b. Perusahaan memiliki Tingkat Solvabilitas kurang dari 40%
(empat puluh per seratus) dan sedang dikenai sanksi
peringatan.
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
- 36 -
BAB IX
LARANGAN
Pasal 53
(1) Perusahaan
dilarang mengembalikan pinjaman
subordinasi atau membayar dividen kepada pemegang
saham apabila hal tersebut akan menyebabkan tidak
terpenuhinya ketentuan target Tingkat Solvabilitas
minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3).
(2) Perusahaan dilarang membayar dividen kepada pemegang
saham apabila hal tersebut akan menyebabkan
berkurangnya jumlah modal sendiri di bawah ketentuan
modal sendiri yang dipersyaratkan.
(3) Perusahaan dilarang melakukan segala bentuk pengalihan
aset kepada pemegang saham atau pihak terafiliasi dengan
Perusahaan kecuali melalui transaksi yang wajar
(arm’s length transaction).
Pasal 54
(1) Perusahaan dilarang menempatkan:
a. investasi pada pihak yang terafiliasi dengan
Perusahaan melebihi batasan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10 ayat (1);
b. investasi pada satu pihak yang terafiliasi namun satu
pihak tersebut tidak terafiliasi dengan Perusahaan
melebihi batasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
10 ayat (3); dan
c. investasi di luar negeri atas dana investasi yang
bersumber dari Produk Asuransi Yang Dikaitkan
Dengan Investasi
dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1).
(2) Dalam hal jumlah investasi melebihi batasan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) disebabkan adanya kenaikan nilai
investasi tersebut, Perusahaan wajib menyesuaikan
kembali jumlah investasi sesuai ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) dan ayat (3) serta
Pasal 32 ayat (1) dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga)
bulan sejak diketahui adanya kenaikan nilai investasi
dimaksud.
Pasal 55
(1) Perusahaan dilarang memiliki investasi di luar negeri,
kecuali dalam jenis investasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (2).
melebihi batasan sebagaimana
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
- 37 -
(2) Perusahaan dilarang menempatkan investasi di luar negeri
melebihi 20% (dua puluh per seratus) dari jumlah
investasi.
(3) Dalam hal jumlah investasi di luar negeri melebihi batasan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang disebabkan
adanya kenaikan nilai investasi tersebut, Perusahaan
wajib menyesuaikan kembali jumlah investasi sesuai
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam
jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak diketahui
adanya kenaikan nilai investasi dimaksud.
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 56
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:
a. Pasal 21, Pasal 22, Pasal 28, dan Pasal 31 Keputusan
Menteri Keuangan Nomor 422/KMK.06/2003 tentang
Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Asuransi dan
Perusahaan Reasuransi;
b. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 424/KMK.06/2003
tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan
Perusahaan Reasuransi sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 158/PMK.010/2008;
c. Pasal 18 Keputusan Menteri Keuangan Nomor
426/KMK.06/2003 tentang Perizinan Usaha dan
Kelembagaan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan
Reasuransi; dan
d. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 504/KMK.06/2004
tentang Kesehatan Keuangan bagi Perusahaan Asuransi
yang Berbentuk Badan Hukum Bukan Perseroan Terbatas,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 57
(1) Peraturan Menteri ini tidak berlaku bagi Perusahaan yang
menyelenggarakan seluruh usahanya dengan prinsip
syariah atau bagi unit syariah dari Perusahaan yang
menyelenggarakan sebagian usahanya dengan prinsip
syariah.
(2) Ketentuan kesehatan keuangan bagi Perusahaan yang
menyelenggarakan seluruh usahanya dengan prinsip
syariah atau bagi unit syariah dari Perusahaan yang
menyelenggarakan sebagian usahanya dengan prinsip
syariah diatur dengan Peraturan Menteri tersendiri.
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
- 38 -
Pasal 58
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari
2013.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya
dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 3 April 2012
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
AGUS D.W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 3 April 2012
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA,
ttd.
AMIR SYAMSUDIN
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2012 NOMOR 375
Salinan sesuai dengan aslinya
"," PER-MEN
53/PMK.010/2012|PER-MENKEU/2012
KESEHATAN KEUANGAN PERUSAHAAN ASURANSI DAN PERUSAHAAN REASURANSI
3 April 2012
1 Januari 2013
3 April 2012
'504/KMK.06/2004|KEP-MENKEU/2004', '424/KMK.06/2003|KEP-MENKEU/2003', '426/KMK.06/2003|KEP-MENKEU/2003 | Pasal 18', '158/PMK.010/2008|PER-MENKEU/2008', '422/KMK.06/2003|KEP-MENKEU/2003 | Pasal 21, Pasal 22, Pasal 28, dan Pasal 31'
'73/PP/1992', '81/PP/2008', '426/KMK.06/2003|KEP-MENKEU/2003', '422/KMK.06/2003|KEP-MENKEU/2003', '2/UU/1992'
"
" PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 4 TAHUN 2008
TENTANG
JARING PENGAMAN SISTEM KEUANGAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a.
bahwa dalam upaya menghadapi ancaman krisis
keuangan yang berpotensi membahayakan stabilitas
sistem keuangan dan perekonomian nasional atau
menghadapi krisis keuangan, perlu ditetapkan suatu
landasan hukum yang kuat dalam rangka pencegahan
dan penanganan krisis;
b.
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Jaring
Pengaman Sistem Keuangan;
Mengingat
: 1.
2. Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha
Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1992 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3467);
3.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998
Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3790);
4.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana
Pensiun (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1992 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3477);
5. Undang-Undang . . .
- 2 -
5.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3608);
6.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3843), sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 142, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4901);
7.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat
Utang Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2002 Nomor 110, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4236);
8.
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang
Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286);
9.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4355);
10. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang
Lembaga Penjamin Simpanan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 96, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4420),
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2008 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor
24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 143, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4902);
11. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867);
12. Undang-Undang . . .
- 3 -
12. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat
Berharga Syariah Negara (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 70, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4852);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-
UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG JARING
PENGAMAN SISTEM KEUANGAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini
yang dimaksud dengan:
1. Jaring Pengaman Sistem Keuangan adalah suatu
mekanisme pengamanan sistem keuangan dari Krisis
yang mencakup pencegahan dan penanganan Krisis.
2. Krisis adalah suatu kondisi sistem keuangan yang
sudah gagal secara efektif menjalankan fungsi dan
perannya dalam perekonomian nasional.
3. Lembaga Keuangan Bukan Bank, yang selanjutnya
disebut LKBB, adalah perusahaan asuransi,
perusahaan reasuransi, dana pensiun, lembaga
pembiayaan, lembaga penjaminan, dan perusahaan
efek sebagaimana dimaksud dalam peraturan
perundang-undangan.
4. Berdampak Sistemik adalah suatu kondisi sulit yang
ditimbulkan oleh suatu bank, LKBB, dan/atau gejolak
pasar keuangan yang apabila tidak diatasi dapat
menyebabkan kegagalan sejumlah bank dan/atau
LKBB lain sehingga menyebabkan hilangnya
kepercayaan terhadap sistem keuangan dan
perekonomian nasional.
5. Fasilitas Pembiayaan Darurat, yang selanjutnya disebut
FPD, adalah fasilitas pembiayaan dari Bank Indonesia
yang dijamin oleh Pemerintah kepada bank yang
mengalami kesulitan likuiditas yang Berdampak
Sistemik dan berpotensi Krisis namun masih
memenuhi tingkat solvabilitas.
6. Surat . . .
- 4 -
6. Surat Berharga Negara, yang selanjutnya disebut SBN,
adalah surat utang negara sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang tentang Surat Utang Negara
dan surat berharga syariah negara sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang tentang Surat
Berharga Syariah Negara.
7. Bank Indonesia adalah Bank Sentral Republik
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang tentang Bank Indonesia.
8. Lembaga Penjamin Simpanan, yang selanjutnya disebut
LPS, adalah lembaga penjamin simpanan sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang tentang Lembaga
Penjamin Simpanan.
9. Bank Gagal adalah bank yang mengalami kesulitan
keuangan dan membahayakan kelangsungan usahanya
serta dinyatakan tidak dapat lagi disehatkan oleh Bank
Indonesia sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya.
BAB II
TUJUAN DAN RUANG LINGKUP
Pasal 2
Jaring Pengaman Sistem Keuangan bertujuan untuk
menciptakan dan memelihara stabilitas sistem keuangan
melalui pencegahan dan penanganan Krisis.
Pasal 3
Ruang lingkup Jaring Pengaman Sistem Keuangan
meliputi pencegahan dan penanganan Krisis.
Pasal 4
(1) Pencegahan Krisis sebagaimana dimaksud dalam Pasal
3 meliputi tindakan mengatasi permasalahan:
a. Bank yang mengalami kesulitan likuiditas yang
Berdampak Sistemik;
b. Bank yang mengalami permasalahan solvabilitas
atau kegagalan pelunasan FPD yang Berdampak
Sistemik; dan
c. LKBB yang mengalami kesulitan likuiditas dan
masalah solvabilitas yang Berdampak Sistemik.
(2)
Penanganan . . .
- 5 -
(2) Penanganan Krisis sebagaimana dimaksud dalam Pasal
3 meliputi tindakan mengatasi permasalahan:
a. Bank yang mengalami kesulitan likuiditas dan/atau
solvabilitas yang secara individu Berdampak
Sistemik atau bank yang secara individu tidak
Berdampak Sistemik tetapi secara bersama-sama
dengan bank lain Berdampak Sistemik, pada
kondisi Krisis; dan
b. LKBB yang mengalami permasalahan solvabilitas
yang Berdampak Sistemik.
BAB III
KOMITE STABILITAS SISTEM KEUANGAN
Bagian Kesatu
Pembentukan
Pasal 5
Untuk mencapai tujuan Jaring Pengaman Sistem
Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2,
dibentuk Komite Stabilitas Sistem Keuangan, yang
selanjutnya disebut KSSK yang keanggotaannya terdiri
dari Menteri Keuangan sebagai Ketua merangkap Anggota
dan Gubernur Bank Indonesia sebagai Anggota.
Bagian Kedua
Fungsi dan Tugas
Pasal 6
KSSK berfungsi menetapkan kebijakan dalam rangka
pencegahan dan penanganan Krisis.
Pasal 7
Dalam rangka melaksanakan fungsi penetapan kebijakan
pencegahan dan penanganan Krisis sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6, KSSK mempunyai tugas:
a. mengevaluasi skala dan dimensi permasalahan
likuiditas dan/atau solvabilitas bank/LKBB yang
ditengarai Berdampak Sistemik;
b. menetapkan . . .
- 6 -
b. menetapkan permasalahan likuiditas dan/atau
masalah solvabilitas bank/LKBB Berdampak Sistemik
atau tidak Berdampak Sistemik; dan
c. menetapkan langkah-langkah penanganan masalah
bank/LKBB yang dipandang perlu dalam rangka
pencegahan dan penanganan Krisis.
Pasal 8
(1) Dalam rangka mendukung pelaksanaan tugas KSSK
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, KSSK dibantu
oleh sekretariat.
(2) Anggaran sekretariat dapat berasal dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara, Bank Indonesia,
dan/atau LPS.
(3) Struktur organisasi dan tugas sekretariat ditetapkan
dengan keputusan KSSK.
Pasal 9
KSSK menyampaikan laporan mengenai pencegahan dan
penanganan Krisis kepada Presiden.
Bagian Ketiga
Mekanisme Rapat KSSK
Pasal 10
(1) Rapat KSSK diselenggarakan sekurang-kurangnya 4
(empat) kali dalam 1 (satu) tahun.
(2) Pengambilan keputusan dalam rapat KSSK dilakukan
berdasarkan mufakat.
(3) Dalam hal tidak tercapai mufakat, Ketua KSSK
menetapkan keputusan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai mekanisme rapat
KSSK ditetapkan dengan keputusan KSSK.
BAB IV . . .
- 7 -
BAB IV
PENCEGAHAN KRISIS
Bagian Kesatu
Penanganan Kesulitan Likuiditas Bank
Yang Berdampak Sistemik
Pasal 11
(1) Dalam hal terdapat bank yang mengalami kesulitan
likuiditas yang ditengarai Berdampak Sistemik oleh
Bank Indonesia, KSSK memutuskan kondisi bank
tersebut Berdampak Sistemik atau tidak Berdampak
Sistemik.
(2) Dalam hal bank diputuskan Berdampak Sistemik,
KSSK memutuskan pemberian FPD oleh Bank
Indonesia kepada bank, penetapan pagu, jangka
waktu, suku bunga, dan kriteria umum agunan FPD,
berdasarkan rekomendasi Gubernur Bank Indonesia.
(3) Pemberian FPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
hanya dapat diberikan kepada bank yang mengajukan
permohonan FPD dan memenuhi kriteria solvabilitas
sesuai ketentuan Bank Indonesia.
(4) Jangka waktu pemberian FPD paling lama 90
(sembilan puluh) hari kalender sejak penandatanganan
perjanjian pemberian FPD dan dapat diperpanjang 1
(satu) kali dalam jangka waktu paling lama 90
(sembilan puluh) hari kalender.
(5) Dalam hal KSSK memutuskan bank yang mengalami
kesulitan likuiditas tidak Berdampak Sistemik, atau
Berdampak Sistemik namun tidak mengajukan
permohonan FPD, Bank Indonesia menetapkan bank
dimaksud sebagai Bank Gagal.
Pasal 12
Dengan diberikannya FPD kepada bank sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2), Bank Indonesia
berwenang:
a. mengambil alih hak dan wewenang Rapat Umum
Pemegang Saham (RUPS) untuk mengganti sebagian
atau seluruh direksi dan komisaris bank;
b. menempatkan pihak yang mewakili Bank Indonesia
sebagai direksi dan/atau komisaris bank; dan
c. menempatkan . . .
- 8 -
c. menempatkan bank dimaksud dalam status
pengawasan khusus.
Pasal 13
(1) Pemberian FPD dituangkan dalam perjanjian antara
bank dan Bank Indonesia yang dilengkapi dengan:
a. daftar aset bank dengan nilai taksasi sementara
yang menjadi agunan FPD; dan
b. rencana kerja bank dalam menyelesaikan
permasalahan yang dihadapi.
(2) Pengikatan aset bank yang menjadi agunan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a,
dilakukan Bank Indonesia setelah dokumen agunan
lengkap.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian
FPD termasuk kriteria aset bank yang dapat menjadi
agunan FPD diatur dalam Peraturan Bank Indonesia.
Pasal 14
Bank penerima FPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal
11 ayat (2) dilarang membagikan dividen dan manfaat
finansial lainnya kepada pemegang saham sebelum bank
melunasi FPD.
Pasal 15
(1) Menteri Keuangan atas nama Pemerintah memberikan
jaminan secara tertulis atas FPD yang diberikan oleh
Bank Indonesia.
(2) Jaminan pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) berupa penggantian dana FPD yang belum dilunasi
oleh bank kepada Bank Indonesia dalam hal:
a. bank tidak melunasi FPD dalam jangka waktu yang
ditetapkan KSSK; atau
b. bank dinyatakan sebagai Bank Gagal sebelum
berakhirnya jangka waktu FPD.
Pasal 16
Apabila bank tidak dapat melunasi FPD dalam jangka
waktu yang ditetapkan KSSK, Bank Indonesia menyatakan
bank dimaksud sebagai Bank Gagal dan meminta KSSK
untuk memutuskan kebijakan penanganan Bank Gagal
dimaksud.
Pasal 17 . . .
- 9 -
Pasal 17
(1) Dalam hal bank penerima FPD dinyatakan sebagai
Bank Gagal, berdasarkan keputusan KSSK:
a. Pemerintah mengganti dana FPD yang belum
dilunasi oleh bank penerima FPD kepada Bank
Indonesia;
b. Bank Indonesia menyerahkan piutang FPD dan
agunannya kepada Menteri Keuangan melalui
Perjanjian Pengalihan Hak Atas Piutang beserta
seluruh dokumen yang telah dicek kelengkapannya
oleh Bank Indonesia; dan
c. LPS melakukan penyelesaian atau penanganan
Bank Gagal.
(2) Dalam hal kondisi keuangan LPS tidak mencukupi
untuk penanganan Bank Gagal sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c, Pemerintah dapat
memberikan pinjaman kepada LPS.
Bagian Kedua
Penanganan Masalah Solvabilitas Bank
Yang Berdampak Sistemik
Pasal 18
(1) Dalam hal bank dinyatakan sebagai Bank Gagal yang
ditengarai Berdampak Sistemik oleh Bank Indonesia,
KSSK memutuskan Bank Gagal tersebut Berdampak
Sistemik atau tidak Berdampak Sistemik.
(2) Penyelesaian atau penanganan Bank Gagal
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
LPS.
(3) Dalam hal kondisi keuangan LPS tidak mencukupi
untuk penanganan Bank Gagal sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), Pemerintah dapat
memberikan pinjaman kepada LPS.
Bagian Ketiga . . .
- 10 -
Bagian Ketiga
Penanganan Kesulitan Likuiditas dan/atau
Masalah Solvabilitas LKBB
Pasal 19
(1) Dalam hal terdapat LKBB yang mengalami kesulitan
likuiditas dan/atau masalah solvabilitas yang
ditengarai Berdampak Sistemik oleh Departemen
Keuangan, KSSK memutuskan kondisi LKBB tersebut
Berdampak Sistemik atau tidak Berdampak Sistemik.
(2) Dalam hal LKBB sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diputuskan Berdampak Sistemik, KSSK memutuskan
kebijakan penanganan LKBB dimaksud.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kebijakan dan tata
cara penanganan kesulitan likuiditas dan/atau
masalah solvabilitas LKBB yang Berdampak Sistemik
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB V
PENANGANAN KRISIS
Pasal 20
(1) Dalam hal terjadi keadaan yang dinilai membahayakan
stabilitas sistem keuangan dan perekonomian
nasional, KSSK menetapkan:
a. langkah-langkah penanganan Krisis termasuk
perkiraan kebutuhan biaya penanganan Krisis;
b. pemberian FPD kepada bank yang mengalami
kesulitan likuiditas oleh Bank Indonesia yang
pembiayaannya dari Pemerintah;
c. pemberian bantuan likuiditas kepada LKBB yang
mengalami kesulitan likuiditas oleh Pemerintah;
dan
d. penambahan modal berupa penyertaan modal
sementara kepada bank/LKBB yang mengalami
masalah solvabilitas yang pelaksanaannya
dilakukan oleh LPS/Pemerintah.
(2) Pendanaan untuk pelaksanaan penanganan Krisis
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d menjadi
beban Pemerintah.
Pasal 21 . . .
- 11 -
Pasal 21
(1) Pemberian FPD kepada bank Berdampak Sistemik
dalam kondisi Krisis dituangkan dalam perjanjian
antara bank dan Bank Indonesia yang bertindak
untuk dan atas nama Pemerintah, yang dilengkapi
dengan:
a. daftar aset bank dengan nilai taksasi sementara
yang menjadi agunan FPD; dan
b. rencana kerja bank dalam menyelesaikan
permasalahan yang dihadapi.
(2) Rencana kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b harus disampaikan paling lambat 14 (empat
belas) hari kerja setelah pemberian FPD.
(3) Pengikatan aset bank yang menjadi agunan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a,
dilakukan oleh Bank Indonesia setelah dokumen
agunan lengkap.
Pasal 22
Bank penerima FPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal
20 ayat (1) huruf b, dilarang membagikan dividen dan
manfaat finansial lainnya kepada pemegang saham
sebelum bank melunasi FPD.
Pasal 23
Apabila bank tidak dapat melunasi FPD sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) huruf b dalam jangka
waktu yang ditetapkan KSSK, Bank Indonesia menyatakan
bank dimaksud sebagai Bank Gagal dan meminta KSSK
untuk memutuskan kebijakan penanganan Bank Gagal
dimaksud.
Pasal 24
(1) Dalam hal menurut penilaian KSSK kondisi Krisis
dapat membahayakan perekonomian nasional, apabila
diperlukan, KSSK berdasarkan rekomendasi Gubernur
Bank Indonesia mengusulkan kepada Presiden
membentuk badan khusus sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 37A Undang-Undang tentang Perbankan.
(2) Pelaksanaan . . .
- 12 -
(2) Pelaksanaan penambahan modal berupa penyertaan
modal sementara kepada bank/LKBB yang mengalami
masalah solvabilitas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 20 ayat (1) huruf d dapat dilakukan oleh badan
khusus berdasarkan penunjukan KSSK.
Pasal 25
LPS dan/atau badan khusus untuk dan atas nama
Pemerintah menjual saham dari penyertaan modal
sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1)
huruf d sesuai dengan jangka waktu yang ditetapkan KSSK.
BAB VI
INSENTIF DAN FASILITAS
UNTUK PENANGANAN SEKTOR PRIVAT
Pasal 26
Pemerintah dan Bank Indonesia dapat memberikan
insentif dan/atau fasilitas dalam rangka mempercepat
penyelesaian masalah likuiditas dan/atau solvabilitas
bank/LKBB yang Berdampak Sistemik yang dilakukan
oleh sektor privat yang dilaksanakan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
BAB VII
SUMBER PENDANAAN
Pasal 27
(1) Sumber pendanaan Pemerintah untuk pencegahan dan
penanganan Krisis berasal dari Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara melalui penerbitan SBN atau tunai.
(2) Menteri . . .
- 13 -
(2) Menteri Keuangan menetapkan ketentuan dan
persyaratan penerbitan SBN sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) berdasarkan hasil rapat antara Menteri
Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia dengan
mempertimbangkan sustainabilitas Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara, tingkat kesehatan
neraca Bank Indonesia, dan efektivitas kebijakan
moneter.
(3) Pemerintah dapat melakukan penerbitan SBN
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melebihi pagu
yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara tahun yang bersangkutan yang
selanjutnya diusulkan dalam Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara Perubahan dan/atau disampaikan
dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat.
(4) Penerbitan SBN sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikecualikan dari ketentuan tujuan penerbitan SBN
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang
Surat Utang Negara dan tujuan penerbitan surat
berharga syariah negara sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang tentang Surat Berharga Syariah
Negara.
(5) Bank Indonesia dapat membeli SBN sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) di pasar primer dalam rangka
pencegahan dan penanganan Krisis.
(6) Penggunaan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara untuk pencegahan dan penanganan Krisis
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus terlebih
dahulu mendapat persetujuan dari Dewan Perwakilan
Rakyat.
(7) Menteri Keuangan melaporkan penerbitan SBN
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Dewan
Perwakilan Rakyat paling lambat 30 hari kalender sejak
penerbitan SBN.
BAB VIII . . .
- 14 -
BAB VIII
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 28
Dalam rangka pengadaan barang dan jasa, pengerahan
sumber daya manusia, serta pengelolaan dan
pertanggungjawaban uang dan/atau barang pada saat
pencegahan dan penanganan Krisis, Departemen Keuangan
serta lembaga yang ditunjuk dan/atau badan khusus yang
dibentuk menetapkan ketentuan dan tata cara tersendiri.
Pasal 29
Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia, dan/atau pihak
yang melaksanakan tugas sesuai Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang ini tidak dapat dihukum karena
telah mengambil keputusan atau kebijakan yang sejalan
dengan tugas dan wewenangnya sebagaimana dimaksud
dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini.
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 30
Pada saat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan
yang mengatur mengenai atau terkait dengan FPD
dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan
dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
ini.
Pasal 31
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini mulai
berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar . . .
- 15 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 15 Oktober 2008
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 15 Oktober 2008
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 149
Salinan sesuai dengan aslinya
SEKRETARIAT NEGARA REPUBLIK INDONESIA
Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan
Bidang Perekonomian dan Industri,
SETIO SAPTO NUGROHO
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 4 TAHUN 2008
TENTANG
JARING PENGAMAN SISTEM KEUANGAN
I. UMUM
Dalam rangka menghadapi ancaman Krisis keuangan global yang dapat
membahayakan stabilitas sistem keuangan dan perekonomian nasional,
perlu dibuat suatu landasan hukum yang kuat sehingga mekanisme
koordinasi antar lembaga yang terkait dalam pembinaan sistem keuangan
nasional, serta mekanisme pengambilan keputusan dalam tindakan
pencegahan dan penanganan krisis dapat dilakukan secara terpadu,
efisien dan efektif.
Landasan hukum dimaksud ditetapkan dalam bentuk Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Jaring Pengaman Sistem
Keuangan. Adapun tujuan Jaring Pengaman Sistem Keuangan untuk
menciptakan dan memelihara stabilitas sistem keuangan.
Dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini diatur
mengenai ruang lingkup Jaring Pengaman Sistem Keuangan yang
meliputi pencegahan dan penanganan Krisis. Pencegahan krisis
dilakukan melalui penanganan kesulitan likuiditas dan penanganan
masalah solvabilitas dari bank dan Lembaga Keuangan Bukan Bank
(LKBB) yang berdampak sistemik, yaitu antara lain dengan memberikan
Fasilitas Pembiayaan Darurat (FPD) bagi bank atau bantuan likuiditas
bagi LKBB yang mengalami kesulitan likuiditas. Selain itu, pencegahan
krisis dapat pula dilakukan dengan menambah modal berupa penyertaan
modal sementara terhadap bank dan LKBB yang mengalami masalah
solvabilitas.
Penanganan Krisis pada dasarnya dilakukan dengan cara yang sama
seperti pencegahan Krisis, namun penanganan Krisis dilakukan pada
saat kondisi sistem keuangan dalam keadaan Krisis yang membahayakan
stabilitas sistem keuangan dan perekonomian nasional.
Dalam . . .
- 2 -
Dalam rangka pelaksanaan Jaring Pengaman Sistem Keuangan,
berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini
dibentuk Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang beranggotakan
Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia. KSSK berfungsi
menetapkan kebijakan dalam rangka pencegahan dan penanganan Krisis
di sistem keuangan.
Sumber pendanaan untuk pencegahan dan penanganan krisis berasal
dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang diberikan
Pemerintah melalui penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) atau secara
tunai. Untuk memberikan fleksibilitas agar Krisis dapat dicegah atau
ditangani segera, penerbitan SBN dikecualikan dari ketentuan tujuan
penerbitan SBN sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang
Surat Utang Negara dan Undang-Undang tentang Surat Berharga Syariah
Negara. Bertindak sebagai pembeli SBN di pasar primer adalah Bank
Indonesia. Dalam rangka akuntabilitas, Menteri Keuangan melaporkan
penerbitan SBN tersebut kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Penggunaan
dana APBN untuk pencegahan dan penanganan krisis harus mendapat
persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Jaring Pengaman Sistem Keuangan secara umum ditujukan untuk
menciptakan dan memelihara stabilitas sistem keuangan melalui
pengaturan dan pengawasan lembaga keuangan dan sistem
pembayaran, penyediaan fasilitas lender of last resort, program
penjaminan simpanan, serta pencegahan dan penanganan Krisis.
Namun demikian, mengingat pengaturan dan pengawasan lembaga
keuangan dan sistem pembayaran, penyediaan fasilitas lender of last
resort, serta program penjaminan simpanan telah diatur dalam
Undang-Undang tersendiri maka Undang-Undang ini hanya
mengatur masalah pencegahan dan penanganan Krisis.
Pasal 3
Pencegahan dan penanganan Krisis meliputi penanganan kesulitan
likuiditas dan masalah solvabilitas bank dan LKBB yang Berdampak
Sistemik.
Pasal 4 . . .
- 3 -
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Keanggotaan Menteri Keuangan dalam KSSK adalah dalam rangka
menjalankan fungsinya sebagai otoritas fiskal dan menjaga stabilitas
ekonomi. Sedangkan keanggotaan Gubernur Bank Indonesia dalam
KSSK adalah dalam rangka menjalankan fungsinya menjaga
stabilitas moneter dan sistem keuangan.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Yang dimaksud dengan langkah-langkah dalam rangka pencegahan
krisis antara lain melonggarkan peraturan sistem keuangan seperti
penurunan giro wajib minimum dan ketentuan pelaksanaan
buyback oleh perusahaan go public.
Yang dimaksud dengan langkah-langkah dalam rangka penanganan
krisis antara lain melakukan komunikasi mengenai langkah yang
telah dan akan diambil oleh Pemerintah dan Bank Indonesia,
koordinasi dengan pihak-pihak terkait untuk memulihkan
kepercayaan masyarakat, dan perumusan regulasi yang diperlukan
untuk penanganan Krisis.
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Dalam keputusan KSSK diatur juga mengenai keanggotaan
sekretariat yang berasal dari Departemen Keuangan, Bank
Indonesia, LPS, dan kalangan profesional sesuai kebutuhan.
Pasal 9
Laporan oleh KSSK antara lain meliputi kondisi stabilitas sistem
keuangan dan tindakan yang dilakukan dalam rangka pencegahan
dan penanganan Krisis.
Pasal 10 . . .
- 4 -
Pasal 10
Ayat (1)
Rapat KSSK diselenggarakan secara rutin untuk melakukan
pembahasan perkembangan kondisi stabilitas sistem keuangan.
Dalam kondisi tertentu, rapat dapat diselenggarakan sewaktu-
waktu atas permintaan dari Menteri Keuangan atau Gubernur
Bank Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Dalam rapat KSSK untuk memutuskan kondisi bank
Berdampak Sistemik atau tidak Berdampak Sistemik, Bank
Indonesia menyampaikan informasi mengenai permasalahan
likuiditas bank dan tindakan yang telah dilakukan untuk
mengatasi permasalahan kesulitan likuiditas tersebut oleh bank
sebagaimana diminta oleh Bank Indonesia sesuai dengan
kewenangannya berdasarkan Undang-Undang tentang Bank
Indonesia dan Undang-Undang tentang Perbankan dan Undang-
Undang tentang Perbankan Syariah.
Ayat (2)
Pagu FPD tidak harus didasarkan pada nilai taksasi agunan
yang diajukan oleh bank, mengingat FPD diberikan untuk
mengatasi dampak sistemik sehingga tidak dapat diperlakukan
sebagai normal lending. Suku bunga FPD ditetapkan sebesar BI
Rate ditambah dengan margin tertentu yang ditetapkan oleh
KSSK.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 12 . . .
- 5 -
Pasal 12
Huruf a
Pengambilalihan hak dan wewenang Rapat Umum Pemegang
Saham (RUPS) tidak dimaksudkan untuk mengambil alih
kepemilikan bank namun hanya untuk RUPS penggantian
direksi dan komisaris saja.
Huruf b
Bank Indonesia dapat menunjuk pihak lain seperti profesional
yang memiliki kompetensi pengelolaan bank penerima FPD
dimaksud.
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal 13
Ayat (1)
Perjanjian pemberian FPD adalah perjanjian utang piutang
antara bank dengan Bank Indonesia yang mengatur syarat dan
ketentuan pemberian dan pelunasan FPD.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Ayat (1)
Nilai jaminan Pemerintah terhadap FPD yang diberikan oleh Bank
Indonesia sebesar adalah pokok dan bunga FPD.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19 . . .
- 6 -
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Penyampaian rencana kerja dapat dilakukan setelah pemberian
FPD agar penanganan masalah bank segera teratasi.
Ayat (3)
Pengikatan agunan dapat dilakukan terhadap sebagian aset yang
sudah lengkap dokumennya tanpa harus menunggu kelengkapan
dokumen seluruh agunan.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Yang dimaksud dengan penyelesaian oleh sektor privat (private sector
solution) adalah penanganan penyelesaian yang dilakukan oleh pihak-
pihak yang terkait atau tidak terkait dengan usaha kegiatan
bank/LKBB dimaksud termasuk antara lain badan usaha milik
negara, badan usaha milik daerah, dan badan usaha swasta.
Insentif yang dimaksud pada ayat ini antara lain insentif fiskal dan
fasilitas relaksasi peraturan perundangan.
Pasal 27
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2) . . .
- 7 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Pembelian SBN di pasar primer oleh Bank Indonesia adalah
ditujukan untuk membiayai kebijakan pencegahan dan
penanganan Krisis melalui:
a. Pemberian FPD;
b. Pemberian pinjaman Pemerintah kepada LPS; dan/atau
c. Pemberian pinjaman atau penyertaan modal sementara
Pemerintah kepada LKBB.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4907
"," PERPPU
4/PERPPU/2008
JARING PENGAMAN SISTEM KEUANGAN
15 Oktober 2008
15 Oktober 2008
15 Oktober 2008
'UUD 1945 | Pasal 22 ayat (1)', '21/UU/2008', '17/UU/2003', '19/UU/2008', '23/UU/1999', '24/UU/2004', '2/PERPPU/2008', '1/UU/2004', '3/PERPPU/2008', '8/UU/1995', '11/UU/1992', '7/UU/1992', '2/UU/1992', '24/UU/2004', '10/UU/1998'
"
" PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 19 TAHUN 2005
TENTANG
PEMBIAYAAN SEKUNDER PERUMAHAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:
a. bahwa dalam rangka meningkatkan kegiatan pembangunan di bidang perumahan
sebagai salah satu upaya penyediaan perumahan yang layak dan terjangkau oleh
masyarakat, perlu diupayakan tersedianya dana yang memadai melalui pembiayaan
sekunder perumahan;
b. bahwa untuk mendukung upaya penyediaan dana pembangunan perumahan secara
lebih efektif dan efisien, perlu diatur ketentuan mengenai pembiayaan sekunder
perumahan;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagimana simaksud dalam huruf a dan huruf b,
perlu menetapkan Peraturan Presiden tentang Pembiayaan Sekunder Perumahan;
Mengingat:
1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (Lembaga Negara
Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3587);
3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambaahan Negara Republik Indonesia
Nomor 3608);
4. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara No 3472)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Nomor
182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790);
5. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 70, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4297);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 12 tahun 1998 tentang Perusahaan Perseroan
(PERSERO) (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1998 Nomor 15,
Tambahan Lembaran Negara Republik Nomor 3731) sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2001 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2001 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4101);
7. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2003 tentang Pelimpahan Kedudukan, tugas,
dan kewenangan Menteri Keuangan Pada Perusahaan
Perseroan (PERSERO),
Perusahaan Umum (PERUM), dan Perusahaan Jawatan (PERJAN) kepada Menteri
Negara Badan Usaha Milik Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2003 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4305);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
PERATURAN PRESIDEN TENTANG PEMBIAYAAN SEKUNDERPERUMAHAN
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Presiden ini yang dimaksud dengan:
1. Administrator Transaksi adalah pihak yang mewakili dan melindungi kepentingan
pemegang Efek Beragun Aset ;
2. Aset Keuangan adalah piutang yang diperoleh dari penerbitan KPR, termasuk hak
agunan yang melekat padanya.
3. Bank adalah bank sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Perbankan.
4. Dokumen Transaksi adalah seluruh dokumen yang dibuat oleh para pihak dalam
proses Sekuritisasi.
5. Efek Beragun Aset adalah surat berharga yang dapat berupa Surat Utang atau Surat
Partisipasi yang diterbitkan oleh Penerbit yang pembayarannya terutama bersumber
dari Kumpulan Piutang.
6. Kredit Pemilikan Rumah (KPR) adalah fasilitas kredit yang diterbitkan oleh Kreditor
Asal untuk membeli rumah siap huni.
7. Kreditor Asal adalah setiap Bank atau lembaga keuangan yang mempunyai Aset
Keuangan.
8. Kunpulan Piutang adalah keseluruhan Aset Keuangan yang dibeli oleh Penerbit dari
Kreditor Asal.
9. Kustodian adalah lembaga sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Pasar
Modal.
10. Menteri adalah Menteri Keuangan.
11. Pembiayaan Sekunder Perumahan adalah penyelenggaraan kegiatan penyaluran dana
jangka menengah dan/atau panjang kepada Kreditor Asal dengan melakukan
Sekuritisasi.
12. Pemodal adalah orang atau badan Efek Beragun Aset.
13. Penerbit adalah perusahaan yang melaksanakan kegiatan Pembiayaan Sekunder
Perumahan atau SPV.
14. Sekuritisasi adalah transformasi aset yang tidak liquid menjadi liquid dengan cara
pembelian Aset Keuangan dari Kreditor Asal dan penerbit Efek Beragun Aset.
15. Special Purpose Vehicle (SPV) adalah perseroan terbatas yang ditunjuk oleh lembaga
keuangan yang melaksanakan kegiatan Pembiayaan Sekunder Perumahan yang
khusus didirikan untuk membeli Aset Keuangan dan sekaligus menerbitkan Efek
Beragun Aset.
16. Surat Partisipasi adalah bukti pemilikan secara proporsiaonal atas Kumpulan Piutang
yang dimiliki bersama oleh sejumlah Pemodal yang diterbitkan oleh Penerbit.
17. Surat Utang adalah bukti utang yang dikeluarkakn oleh Penerbit yang memberikan
hak kepada pemegangnya untuk memperoleh pembayaran sebagai Pemodal.
18. Wali Amanat adalah wali amanat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Pasar Modal.
BAB II
PEMBIAYAAN SEKUNDER PERUMAHAN
Pasal 2
Pembiayaan Sekunder Perumahan bertujuan memberikan fasilitas pembiayaan dalam
rangka meningkatkan kapasitas dan kesinambungan pembiayaan perumahan yang
terjangkau oleh masyarakat.
Pasal 3
Pembiayaan Sekunder Perumahan dilakukan oleh suatu lembaga keuangan yang didirikan
khusus untuk itu.
BAB III
MEKANISME PEMBIAYAAN SEKUNDER PERUMAHAN
Pasal 4
(1) Pembiayaan Sekunder Perumahan dilakukan dengan cara pembelian kumpulan Aset
Keuangan dari Kreditor Asal dan sekaligus penerbitan Efek Beragun Aset.
(2) Efek Beragun Aset dapat berbentuk Surat Utang atau Surat Partisipasi.
(3) Efek Beragun Aset harus diperingkat oleh lembaga pemeringkat.
(4) Surat Utang atau Surat Partisipasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat
diterbitkan atas unjuk atau atas bawa.
Pasal 5
Pembelian kumpulan Aset Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)
setinggi-tingginya 80% (delapan puluh persen) dari total Aset Keuangan.
Pasal 6
(1) Dalan hal Efek Beragun Aset berbentuk Surat Utang, lembaga keuangan sebagaimana
simaksud dalam Pasal 3 menunjuk SPV untuk membeli k umpulan Aset Keuangan
dari Kreditor Asal dan sekaligus menerbitkan Surat Utang.
(2) Dalam ha Efek Beragun Aset berbrntuk Surat Partisispasi, lembaga keuangan
sebagaimana dimaksud Pasal 3 membeli kumpulan Aset keuangnan dari Kreditor
Asal dan sekaligus menerbitkan Surat Partisipasi.
(3) Hak dan kewajiban SPV sebagai Penerbit diatur dalam perjanjian antara lembaga
keuangan yang melaksanakan kegiatan Pembiayaan Sekunder Perumahan dengan
SPV.
Pasal 7
(1) Dalam hal Efek Beragun Aset berbentuk Surat Utang, Kumpulan Piutang merupakan
agunannya.
(2) Dalam hal Efek Beragun Aset berbentuk Surat Partisipasi, Kumpulan Piutang
merupakan milik bersama Pemodal yang tidak terbagi.
Pasal 8
Pembelian kumpulan Aset Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)
hanya dapat dilakukan atas Aset Keuangan yang sekurang-kurangnya memenuhi
persyaratan standardisasi desain, standardisasi dokumen KPR, pedoman analisa risiko,
dan pedoman penilaian real estat yang dtetapkan oleh lembaga keuangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3.
Pasal 9
Dana yang diperoleh dari pembelian kumpulan Aset Keuangan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (1) hanya dapat digunakan oleh Kreditor Asal untuk pemberian KPR.
Pasal 10
(1) Pembayaran atas Efek Beragun Aset kepada Pemodal terutama bersumber dari arus
kas yang diperoleh dari Kumpulan Piutang.
(2) Dalam hal arus kas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mencukupi,
pembayaran kekurangannya bersumber dari Pendukung Kredit.
(3) Pembayaran atas Efek Beragun Aset sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2), dilaksanakan oleh Wali Amanat, Administrator Transaksi, Kustodian atau pihak
lain yang ditunjuk oleh para pihak dalam Dokumen Transaksi.
Pasal 11
Lembaga keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dapat menunjuk penata
sekuritisasi untuk mengatur dan menyiapkan proses Sekuritisasi.
Pasal 12
Pihak-pihak dalam Sekuritisasi terdiri dari Kreditor Asal, Penerbit, Pemodal Penata
Sekuritisasi, Wali Amanat, Administrator Transaksi, Kustodian, Pendukung Kredit, dan
Pemberi Jasa.
BAB IV
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 13
Pembinaan dan pengawasan terhadap kegiatan Pembiayaan Sekunder Perumahan
dilakukan oleh Menteri.
Pasal 14
Lembaga keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 wajib menyampaikan laporan
kepada Menteri, berupa:
a. Laporan keuangan triwulanan;
b. Laporan kegiatan usaha semesteran;
c. Laporan keuangan tahunan yang telah diaudit Akuntan Publik.
BAB V
PENDIRIAN PERUSAHAAN
Pasal 15
(1) Dalam rangka pelaksanaan kegiatan Pembiayaan Sekunder Perumahan, Pemerintah
mendirikan perusahaan Pembiayaan Sekunder Perumahan sebagai lembaga keuangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.
(2) Perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbadan hukum perseroan terbatas.
Pasal 16
Pendirian dan penyertaan modal negara untuk pendirian perusahaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15, dilakukan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 17
Dalam melakukan kegiatan usahanya, perusahaan wajib menerapkan prinsip pengelolaan
usaha yang sehat, meliputi tingkat kewajaran, transparansi, akuntabilitas, dan
pertanggungjawaban.
Pasal 18
Perusahaan dilarang:
a. Melakukan penyertaan langsung;
b. Melakukan pembelian saham perusahaan melalui pasar modal.
Pasal 19
Perusahaan dapat menempatkan dana dalam bentuk Surat Utang Negara, Sertifikat Bank
Indonesia dan/atau instrumen keuangan lainnya yang ditetapkan oleh Menteri.
BAB VI
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 20
(1) Dalam hal sebagian dari KPR yang diterbitkan oleh Kreditor Asal pada saat
perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 beroperasi belum memenuhi
persyaratan untuk dibeli perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, sehingga
masih tersedia sejumlah dana pada perusahaan, maka perusahaan dapat memberikan
fasilitas pinjaman kepada Kreditor Asal dengan jaminan Aset Keuangan.
(2) Perjanjian antara Perusahaan dengan Kreditor Asal mengenai pemberian fasilitas
pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dengan mewajibkan
Kreditor Asal untuk mengganti Aset Keuangan yang pembayarannya tidak lancar
dengan Aset Keuangan yang pembayarannya lancar.
(3) Pemberian fasilitas pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat
dilakukan paling lama 3 (tiga) tahun sejak perusahaan berdiri.
(4) Jatuh tempo pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak melampaui jangka
waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
Pasal 21
(1) Dalam mendukung kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1),
perusahaan dapat menerbitkan Surat Utang.
(2) Jatuh tempo Surat Utang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak melampaui
batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3).
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 22
Pada saat Peraturan Presiden ini mulai berlaku, semua peraturan pelaksanaan yang
mengatur tentang Perusahaan Fasilitas Pembiayaan Sekunder Perumahan, dinyatakan
tidak berlaku.
Pasal 23
Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan bagi pelaksanaan Peraturan Presiden ini
ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan.
Pasal 24
Peraturan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Presiden ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 7 Februari 2005
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
Dr.H.SUSILO BAMBANG YODHOYONO
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 7 Februari 2005
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
ttd.
Dr. HAMID AWALUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2005 NOMOR 21.
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 19 TAHUN 2005
TENTANG
PEMBIAYAAN SEKUNDER PERUMAHAN
UMUM
Kepemilikan rumah merupakan kebutuhan dasar manusia yang mutlak harus dipenuhi
oleh setiap keluarga. Pada kenyataannya, tidak setiap keluarga mampu membeli rumah
secara tunai. Oleh karena itu, peran lembaga keuangan yang dapat membantu penyediaan
fasilitas pendanaan mutlak dibutuhkan oleh masyarakat.
Selama ini, Bank merupakan lembaga keuangan yang berperan dalam membantu
masyarakat untuk memiliki rumah secara kredit.
Dalam prakteknya, dana perbankan untuk penyediaan rumah secara kredit melalui
penerbitan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) yang berjangka panjang pada umumnya
berasal dari tabungan, giro dan deposito yang merupakan dana jangka pendek. Apabila
bank menerbitkan KPR secara terus menerus dengan pembiayaan bersumber pada dana
jangka pendek, maka bank akan mengalami kesenjangan antara sumber dan penggunaan
dana (mismatch funding).
Untuk mengatasi permasalahan tersebut perlu dilakukan mobilisasi dana jangka panjang
guna memenuhi kebutuhan pembiayaan perumahan yang berjangka panjang pula. Sejalan
dengan program Pemerintah untuk meningkatkan kegiatan pembangunan di bidang
perumahan sebagai salah satu upaya penyediaan perumahan yang layak dan terjangkau
oleh masyaraka, perlu diupayakan tersedianya dana yang memadai melalui pembiayaan
sekunder perumahan. Untuk melakukan kegiatan pembiayaan dimaksud, didirikan
perusahaan pembiayaan sekunder perumahan. Sumber pembiayaan sekunder perumahan
di samping berasal dari modal sendiri, juga diperoleh dari penerbit Efek Beragun Aset
dalam bentuk Surat Utang dan Surat Partisipasi.
Dalam rangka penerbitan Efek Beragun Aset diperlukan adanya Special Purpose Vehicle
(SPV) yang mekanisme pendiriannya dilakukan sesuai peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Cukup jelas
Pasal 3
Cukup jelas
Pasal 4
Cukup jelas
Pasal 5
Pembatasan pembelian kumpulan Aset Keuangan dimaksudkan untuk memenuhi prinsip
kehati-hatian.
Pasal 6
Ayat (1)
Dalam hal Efek Beragun Aset yang diterbitkan berupa Surat Utang, maka kepemilikan
Kumpulan Piutang tersebut berpindah kepada Penerbit (SPV). Dalam operasionalnya,
SPV dibatasi pada satu transaksi sekuritisasi tertentu saja dan dilarang melakukan
kegiatan atau transaksi lainnya. Dengan demikian, lembaga keuangan tersebut dalam
melakukan transaksi sekuritisasi yang merupakan kegiatan Pembiayaan Sekunder
Perumahan telah memenuhi Bankcruptcy remote terhadap Kreditor Asal.
Ayat (2)
Dalam proses penerbitan Efek Beragun Aset, kepemilikan Kumpulan Piutang yang
tadinya berada pada Kreditor Asal harus berpindah kepada Penerbit atau Pemodal. Dalam
hal Penerbit menerbitkan Efek Beragun Aset berupa Surat Partsisipasi, maka kepemilikan
Kumpulan Piutang tersebut berpindah kepada Pemodal.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Masing-masing pembeli/pemilik Surat Partisipasi dalam melaksanakan haknya terikat
pada ketentuan dalam Dokumen Transaksi yang mengatur pelaksanaan hak secara
bersama, sebagai konsekuensi kepemilikan bersama, juga melaksanakan hak tagih/hak
eksekusi secara bersama.
Pasal 8
Penetapan persyaratan bagi Aset Keuangan yang akan dibeli dari Kreditur Asal
ditetapkan oleh Lembaga Keuangan yang dibentuk untuk melaksanakan kegiatan
Pembiayaan Sekunder Perumahan dalam perjanjian pembelian.
Pasal 9
Pembelian Kumpulan Aset Keuangan dituangkan dalam perjanjian. Perjanjian tersebut
harus memuat klausul yang mewajibkan Kreditor Asal menggunakan dana yang
diperoleh hanya untuk penerbitan KPR baru.
Pasal 10
Cukup jelas
Pasal 11
Cukup jelas
Pasal 12
Pendukung Kredit adalah Kreditor Asal atau pihak lain yaitu Perusahaan Asuransi, Bank
dan Perusahaan Efek yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas Aset Keuangnan.
Peningkatan kualitas Aset Keuangan tersebut harus tercermin pada hasil pemeringkatan
kredit. Pemberi jasa adalah pihak yang ditunjuk oleh Wali Amanat atau Administrator
Transaksi untuk mengurus Aset Keuangan.
Pemberi Jasa bertugas :
a. Mengatur, memproses, memantau, dan menagih Aset Keuangan;
b. Meneruskan hasil tagihan sebagaimana dimaksud pada huruf a kepada Wali Amanat
atau Administrator Transaksi atau Kustodian;
c. Melaksanakan eksekusi agunan yang melekat pada Aset Keuangan; dan
d. Melaksanakan hal-hal lain sebagaimana dimuat dalam Dokumen Transaksi.
Dalam hal Pemberi Jasa tidak dapat melaksanakan tugasnya, maka tugas-tugas tersebut
dilakukan oleh Pemberi Jasa Cadangan yang ditunjuk oleh Penerbit atau Wali Amanat
atau Administrator Transaksi yang peunjukannya dimuat dalam Dokumen Transaksi.
Pasal 13
Cukup jelas
Pasal 14
Cukup jelas
Pasal 15
Cukup jelas
Pasal 16
Cukup jelas
Pasal 17
Cukup jelas
Pasal 18
Cukup jelas
Pasal 19
Penempatan dana dalam Pasal ini dimaksudkan dalam rangka manajemen likuiditas pada
instrumen keuangan yang aman.
Pasal 20
Ayat (1)
Pada saat ini, belum semua KPR yang diterbitkan Kreditor Asal dapat memenuhi
standardisasi dokumen, seperti belum adanya klausul yang memberikan hak untuk
mengalihkan kepada pihak lain.
Ayat (2)
Untuk menjaga kesinambungan arus kas perusahaan untuk pembayaran Surat Utang yang
diterbitkan, maka dalam perjanjian pemberian pinjaman antara perusahaan dan Kreditor
Asal wajib dicantumkan klausul yang menyatakan bahwa apabila terdapat Aset Keuangan
yang tidak lancar, maka Kreditor Asal wajib mengganti dengan Aset Keuangan yang
lancar.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 21
Cukup jelas
Pasal 22
Cukup jelas
Pasal 23
Cukup jelas
Pasal 24
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4479
"," PERPRES
19/PERPRES/2005
PEMBIAYAAN SEKUNDER PERUMAHAN
7 Februari 2005
7 Februari 2005
7 Februari 2005
'UUD 1945 | Pasal 4 ayat (1)', '1/UU/1995', '8/UU/1995', '7/UU/1992', '10/UU/1998', '19/UU/2003', '12/PP/1998', '45/PP/2001', '41/PP/2003'
"
"KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
SALINAN
PERATURAN KETUA BADAN PENGAWAS
PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
NOMOR: PER-02/BL/2011
TENTANG
PEDOMAN PEMERIKSAAN
LEMBAGA PEMBIAYAAN EKSPOR INDONESIA
KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN,
Menimbang : bahwa dalam rangka efektivitas pelaksanaan pemeriksaan Lembaga
Pembiayaan Ekspor Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal
71 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 140/PMK.010/2009 tentang
Pembinaan dan Pengawasan Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 161/PMK.010/2010, dipandang perlu menetapkan Peraturan
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan tentang
Pedoman Pemeriksaan Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia;
Merghngt : 1. Undang-Undang Nomor 2 lahun 2009
Pembiayaan Ekspor Indonesia (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4957);
2. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 45/M Tahun
2006;
3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 140/PMK.010/2009 tentang
Pembinaan dan Pengawasan Lembaga Pembiayaan Ekspor
Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 161/PMK.010/2010;
4. Peraturan Menteri Keuiangan Nomor 184/PMK.01/2010 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KBUANGAN TENTANG PEDOMAN
PEMERIKSAAN LEMBAGA PEMBIAYAAN EKSPOR
INDONESIA.
Pasal 1
Pedoman pemeriksaan Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia
ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Lampiran yang tidak
terpisahkan dari Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan
Lembaga Keuangan ini.
End of Page 1
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
-2-
Pasal 2
Pedoman pemeriksaan Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia
digunakan sebagai acuan dalam pelaksanaan pemeriksaan Lembaga
Pembiayaan Ekspor Indonesia.
Pasal 3
Peraturan Kelua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
dan Lembaga Keuangan,
NIP 19541111 1981121 001
Salian sesuai dengan aslinya
Kepala Bakian Umum
7
SEKRETARIAT
aBiasetyd Wahyu Adi Suryo
NIP 19571028 198512 1 001
End of Page 2
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
LAMPIRAN
PERATURAN KETUA BADAN PENGAWAS
PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
NOMOR PER- 02/BL/2011
TENTANG
PEDOMAN PEMERIKSAAN LEMBAGA PEMBIAYAAN EKSPOR INDONESIA
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-02/BL/2011
Tanggal : 20 Januari 2011
PEDOMAN PEMERIKSAAN LEMBAGA PEMBIAYAAN EKSPOR INDONESIA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Dalam rangka mendorong pengembangan ekspor nasional, Pemerintah dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat telah membentuk Lembaga Pembiayaan
Ekspor Indonesia (LPEI) dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2009 tentang
Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (UU LPEI). Tugas LPEI adalah mendukung
pembiayaan ekspor nasional melalui pemberian pembiayaan, penjaminan, dan
asuransi. LPEI sebagai agen Pemerintah, diharapkan dapat membantu memberikan
pembiayaan di area yang tidak dimasuki oleh bank atau lembaga keuangan lainnya
(fill the market gap) dan menyediakan pembiayaan untuk transaksi atau proyek yang
secara komersial sulit dilaksanakan tetapi dinilai perlu oleh Pemerintah untuk
menunjang kebijakan atau program ekspor nasional. Untuk mendukung peran
strategis LPEI tersebut, diperlukan pembinaan dan pengawasan yang efektif.
Sesuai dengan UU LPEI, pembinaan dan pengawasan terhadap LPEI dilakukan oleh
Menteri Keuangan. Dalam rangka melaksanakan pembinaan dan pengawasan LPEI,
berdasarkan Pasal 71 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan Nomor
140/PMK.010/2009 tentang Pembinaan dan Pengawasan Lembaga Pembiayaan
Ekspor Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 161/PMK.010/2010, Menteri Keuangan melakukan pemeriksaan terhadap
LPEI. Selanjutnya, berdasarkan Pasal 71 ayat (3) dinyatakan bahwa pemeriksaan LPEI
dilakukan oleh Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Ketua
Bapepam dan LK) atau pihak lain yang ditunjuk oleh Ketua Bapepam dan LK.
Berdasarkan Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan Nomor KEP-487/BL/2010 tentang Pelimpahan Wewenang Kepada Kepala
Biro Pembiayaan Dan Penjaminan Untuk Dan Atas Nama Ketua Badan Pengawas
Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Menandatangani Surat Dan Atau Keputusan
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan, Ketua Bapepam dan
LK mendelegasikan kewenangan Pemeriksaan terhadap LPEI kepada Kepala Biro
Pembiayaan dan Penjaminan.
B. Maksud dan Tujuan
1. Maksud
Pedoman Pemeriksaan Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia dimaksudkan
sebagai acuan dalam melaksanakan pemeriksaan LPEI. Pedoman pemeriksaan
ini mencakup pedoman standar dalam melakukan perencanaan, persiapan,
pemeriksaan lapangan, penyusunan laporan, tindak lanjut, dokumentasi, dan
pengendalian atas kegiatan pemeriksaan yang dilakukan terhadap LPEI.
Dalam melakukan pemeriksaan, pemeriksa dapat menggunakan pertimbangan
profesional (professional judgement) dalam menentukan prosedur pemeriksaan
yang akan diambil untuk mencapai tujuan pemeriksaan.
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-02/BL/2011
Tanggal : 20 Januari 2011
-2-
2. Tujuan
Tujuan pemeriksaan adalah untuk memperoleh keyakinan yang memadai atas
kebenaran laporan periodik dan menilai kepatuhan terhadap ketentuan undang-
undang yang mengatur tentang LPEI dan peraturan pelaksanaannya serta
peraturan perundang-undangan lain yang terkait dengan kegiatan LPEI.
C. Ruang Lingkup
Ruang lingkup Pedoman Pemeriksaan Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia
meliputi organisasi pemeriksaan, proses pemeriksaan, dokumentasi pemeriksaan dan
pengendalian pemeriksaan.
1. Organisasi Pemeriksaan
Dalam setiap pemeriksaan, dibentuk Tim Pemeriksaan yang akan melakukan
proses pemeriksaan secara keseluruhan. Organisasi pemeriksaan meliputi
Penanggung Jawab Pemeriksaan, Penyelia Pemeriksaan, Ketua Tim Pemeriksaan
dan Anggota Tim Pemeriksaan.
2. Proses Pemeriksaan
Proses pemeriksaan merupakan seluruh kegiatan yang berkaitan dengan
pelaksanaan pemeriksaan terhadap LPEI. Proses pemeriksaan meliputi
perencanaan pemeriksaan, persiapan pemeriksaan, pelaksanaan pemeriksaan
lapangan, penyusunan laporan hasil pemeriksaan, dan tindak lanjut hasil
pemeriksaan
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-02/BL/2011
Tanggal : 20 Januari 2011
-3-
Bagan Arus Kegiatan Pemeriksaan secara keseluruhan adalah sebagai berikut:
Keterangan:
*) Pengenaan sanksi terhadap pegawai LPEI dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
yang mengatur sistem kepegawaian LPEI.
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-02/BL/2011
Tanggal : 20 Januari 2011
-4-
3. Dokumentasi Pemeriksaan
Seluruh data, informasi, dan kegiatan pemeriksaan harus didokumentasikan
dengan baik untuk selanjutnya dokumen-dokumen tersebut disimpan dengan
cara yang sistematis sehingga mudah diperoleh kembali apabila diperlukan.
4. Pengendalian Pemeriksaan
Untuk memastikan agar tujuan kegiatan pemeriksaan dapat tercapai, perlu
dilakukan pengendalian terhadap kegiatan-kegiatan yang dilakukan selama
proses pemeriksaan, mulai dari penyusunan rencana pemeriksaan sampai
dengan kegiatan tindak lanjut hasil pemeriksaan.
D. Dasar Hukum Pemeriksaan
Dasar hukum yang digunakan dalam pelaksanaan pemeriksaan terhadap Lembaga
Pembiayaan Ekspor Indonesia adalah:
1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan Ekspor
Indonesia; dan
2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 140/PMK.010/2009 tentang Pembinaan
dan Pengawasan Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 161/PMK.010/2010.
E. Pengertian Umum
Pengertian umum dalam pedoman ini meliputi hal-hal sebagai berikut:
1. Definisi Pemeriksaan
Sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 140/PMK.010/2009 tentang
Pembinaan dan Pengawasan Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
161/PMK.010/2010, pemeriksaan adalah rangkaian kegiatan mengumpulkan,
mencari, mengolah, dan mengevaluasi data dan informasi mengenai kegiatan
LPEI, yang bertujuan untuk memperoleh keyakinan atas kebenaran laporan
periodik, menilai kepatuhan terhadap ketentuan yang berlaku serta memastikan
bahwa laporan periodik sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.
2. Jenis Pemeriksaan
Sesuai dengan Pasal 72 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 140/PMK.010/2009
tentang Pembinaan dan Pengawasan Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
161/PMK.010/2010, pemeriksaan terdiri dari 2 (dua) jenis, yaitu:
a. Pemeriksaan Berkala
Pemeriksaan Berkala adalah pemeriksaan yang dilakukan secara berkala
paling kurang sekali dalam 3 (tiga) tahun dan bersifat lengkap yang meliputi
kebenaran aspek substansi laporan periodik dan kepatuhan terhadap
ketentuan undang-undang yang mengatur tentang LPEI beserta peraturan
pelaksanaannya.
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-02/BL/2011
Tanggal : 20 Januari 2011
-5-
b. Pemeriksaan Setiap Waktu
Pemeriksaan Setiap Waktu adalah pemeriksaan bersifat khusus dan
dilakukan apabila:
1) berdasarkan hasil analisis atas laporan periodik, patut diduga bahwa
penyelenggaraan kegiatan LPEI menyimpang dari ketentuan undang-
undang yang mengatur mengenai LPEI dan peraturan pelaksanaannya
serta peraturan perundang-undangan lain yang berlaku; dan/atau
2) berdasarkan penelitian atas keterangan yang didapat atau surat
pengaduan yang diterima oleh Menteri Keuangan, patut diduga bahwa
penyelenggaraan kegiatan LPEI menyimpang dari ketentuan undang-
undang yang mengatur mengenai LPEI dan peraturan pelaksanaannya
serta peraturan perundang-undangan lain yang berlaku.
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-02/BL/2011
Tanggal : 20 Januari 2011
-6-
BAB II
ORGANISASI PEMERIKSAAN
Dalam setiap pemeriksaan, dibentuk Tim Pemeriksaan yang akan melakukan proses
pemeriksaan secara keseluruhan. Organisasi Tim Pemeriksaan terdiri dari Penanggung
Jawab Pemeriksaan, Penyelia Pemeriksaan, Ketua Tim Pemeriksaan, dan Anggota Tim
Pemeriksaan yang masing-masing mempunyai tanggung jawab, wewenang, dan tugas.
Selain itu, Ketua Tim Pemeriksaan dan Anggota Tim Pemeriksaan juga harus memenuhi
beberapa persyaratan yang diperlukan untuk memperlancar pelaksanaan pemeriksaan.
Adapun uraian tanggung jawab, wewenang, dan tugas organisasi Tim Pemeriksaan
sebagai berikut:
1. Penanggung Jawab Pemeriksaan
Penanggung Jawab Pemeriksaan adalah Kepala Biro Pembiayaan dan Penjaminan,
Bapepam dan LK.
Tanggung jawab, wewenang, dan tugas Penanggung Jawab Pemeriksaan adalah
sebagai berikut:
a. Tanggung Jawab
Penanggung Jawab Pemeriksaan bertanggung jawab atas terselenggaranya
pemeriksaan terhadap LPEI sesuai dengan tujuan pemeriksaan.
b. Wewenang
Untuk melaksanakan tanggung jawab tersebut di atas, Penanggung Jawab
Pemeriksaan berwenang untuk melakukan hal-hal sebagai berikut:
1) menjabarkan kebijakan yang berhubungan dengan pemeriksaan;
2) menetapkan Rencana Kegiatan Pemeriksaan Berkala atau Pemeriksaan
Setiap Waktu;
3) menetapkan Penyelia Pemeriksaan, Ketua Tim Pemeriksaan, dan Anggota
Tim Pemeriksaan atas nama Ketua Bapepam dan LK;
4) menetapkan dan menandatangani Surat Perintah Pemeriksaan, Surat
Pemberitahuan Pemeriksaan, Surat Perintah Perjalanan Dinas, Surat
Penunjukan Pihak Lain, dan Surat Konfirmasi atas nama Ketua Bapepam dan
LK;
5) menetapkan dan menandatangani Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara
dan Laporan Hasil Pemeriksaan Final atas nama Ketua Bapepam dan LK;
6) menerima atau menolak tanggapan atas Laporan Hasil Pemeriksaan
Sementara yang diajukan oleh LPEI;
7) menghentikan proses pemeriksaan;
8) melakukan perpanjangan waktu pemeriksaan lapangan apabila diperlukan;
9) menetapkan pelaksanaan tindak lanjut atas Laporan Hasil Pemeriksaan
Final; dan
10) menetapkan Laporan Pelaksanaan Kegiatan Pemeriksaan Berkala atau
Pemeriksaan Setiap Waktu terhadap LPEI.
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-02/BL/2011
Tanggal : 20 Januari 2011
-7-
c. Tugas
Dengan kewenangan tersebut di atas, Penanggung Jawab Pemeriksaan
melakukan tugas-tugas sebagai berikut:
1) membahas konsep Rencana Kegiatan Pemeriksaan Berkala atau
Pemeriksaan Setiap Waktu bersama Penyelia Pemeriksaan;
2) memberikan petunjuk kepada Penyelia Pemeriksaan mengenai hal-hal yang
berhubungan dengan pengambilan keputusan/kebijakan dalam
hubungannya dengan pemeriksaan;
3) membahas konsep Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara dan Laporan
Hasil Pemeriksaan Final dengan Penyelia Pemeriksaan, Ketua Tim
Pemeriksaan, dan Anggota Tim Pemeriksaan;
4) membahas tanggapan atas Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara dengan
LPEI;
5) menyampaikan Laporan Pelaksanaan Kegiatan Pemeriksaan Berkala atau
Pemeriksaan Setiap Waktu terhadap LPEI kepada Ketua Bapepam dan LK;
dan
6) melakukan pengawasan dan evaluasi terhadap pelaksanaan seluruh
kegiatan pemeriksaan.
2. Penyelia Pemeriksaan
Penyelia Pemeriksaan adalah Kepala Bagian Lembaga Pembiayaan Khusus.
Tanggung jawab, wewenang, dan tugas Penyelia Pemeriksaan adalah sebagai
berikut:
a. Tanggung Jawab
Penyelia Pemeriksaan bertanggung jawab atas kelancaran penyelenggaraan
seluruh kegiatan pemeriksaan terhadap LPEI sesuai dengan Rencana Kegiatan
Pemeriksaan Berkala atau Pemeriksaan Setiap Waktu.
b. Wewenang
Untuk melaksanakan tanggung jawab tersebut, Penyelia Pemeriksaan berwenang
untuk melakukan hal-hal sebagai berikut:
1) mengusulkan Rencana Kegiatan Pemeriksaan Berkala atau Pemeriksaan
Setiap Waktu ;
2) mengusulkan Ketua Tim Pemeriksaan dan Anggota Tim Pemeriksaan;
3) mengusulkan perubahan susunan Ketua Tim Pemeriksaan dan Anggota Tim
Pemeriksaan, apabila diperlukan;
4) mengambil kebijakan yang diperlukan untuk mengatasi permasalahan yang
timbul dalam proses pemeriksaan;
5) melakukan wawancara dengan LPEI;
6) mengusulkan untuk menghentikan pemeriksaan;
7) mengusulkan untuk memperpanjang waktu pemeriksaan lapangan, apabila
diperlukan;
8) menandatangani Berita Acara Pembahasan Laporan Hasil Pemeriksaan
Sementara; dan
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-02/BL/2011
Tanggal : 20 Januari 2011
-8-
9) menandatangani Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara dan Laporan Hasil
Pemeriksaan Final.
c. Tugas
Dengan kewenangan tersebut, Penyelia Pemeriksaan melakukan tugas-tugas
sebagai berikut:
1) menyusun konsep Rencana Pemeriksaan Berkala atau Pemeriksaan Setiap
Waktu dan menyampaikannya kepada Penanggung Jawab Pemeriksaan;
2) menentukan ruang lingkup pemeriksaan;
3) menentukan pengalokasian waktu pemeriksaan;
4) mengajukan konsep Surat Perintah Pemeriksaan, Surat Pemberitahuan
Pemeriksaan, Surat Perintah Perjalanan Dinas, Surat Penunjukan Pihak Lain,
dan Surat Konfirmasi (jika diperlukan) kepada Penanggung Jawab
Pemeriksaan;
5) menelaah persiapan pemeriksaan sebelum pelaksanaan pemeriksaan
lapangan;
6) memberikan arahan kepada Ketua Tim Pemeriksaan dan Anggota Tim
Pemeriksaan mengenai hal-hal yang harus mendapat perhatian khusus
dalam pemeriksaan untuk efektifitas dan efisiensi pelaksanaan tugas
pemeriksaan;
7) memantau/mengawasi kelancaran pelaksanaan pemeriksaan dan
kesesuaiannya dengan Pedoman Pemeriksaan LPEI;
8) memastikan ketaatan Tim Pemeriksaan terhadap Pedoman Pemeriksaan
LPEI;
9) memberikan petunjuk dan solusi kepada Ketua Tim Pemeriksaan dan
Anggota Tim Pemeriksaan apabila mengalami kesulitan/kendala dalam
proses pemeriksaan lapangan;
10) memaraf Lembar Kerja Pemeriksa;
11) menelaah dan menyetujui Kertas Kerja Pemeriksaan;
12) memastikan laporan hasil pemeriksaan disusun berdasarkan Kertas Kerja
Pemeriksaan;
13) memeriksa konsep Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara dan Laporan
Hasil Pemeriksaan Final;
14) membahas konsep Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara dan/atau
Laporan Hasil Pemeriksaan Final dengan Penanggung Jawab Pemeriksaan,
Ketua Tim Pemeriksaan, dan Anggota Tim Pemeriksaan, apabila
Penanggung Jawab Pemeriksaan membutuhkan penjelasan untuk dapat
menyetujui atau menolak laporan-laporan tersebut;
15) memberikan masukan kepada Penanggung Jawab Pemeriksaan dalam
menetapkan kebijakan guna menindaklanjuti tanggapan LPEI atas Laporan
Hasil Pemeriksaan Sementara;
16) membahas tanggapan atas Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara dengan
LPEI;
17) memantau dan mengusulkan pelaksanaan tindak lanjut atas Laporan Hasil
Pemeriksaan Final;
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-02/BL/2011
Tanggal : 20 Januari 2011
-9-
18) melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan seluruh kegiatan pemeriksaan
dan melaporkan hasil evaluasi tersebut kepada Penanggung Jawab
Pemeriksaan; dan
19) menyampaikan konsep Laporan Pelaksanaan Kegiatan Pemeriksaan Berkala
atau Pemeriksaan Setiap Waktu terhadap LPEI kepada Penanggung Jawab
Pemeriksaan.
3. Ketua Tim Pemeriksaan
Ketua Tim Pemeriksaan adalah Kepala Subbagian Lembaga Pembiayaan Khusus III
atau pihak lain yang ditunjuk oleh Kepala Biro Pembiayaan dan Penjaminan atas
nama Ketua Bapepam dan LK.
Tanggung jawab, wewenang, tugas, dan persyaratan Ketua Tim Pemeriksaan adalah
sebagai berikut:
a. Tanggung Jawab
Ketua Tim Pemeriksaan bertanggung jawab atas pelaksanaan seluruh kegiatan
pemeriksaan oleh Tim Pemeriksaan yang diketuainya.
b. Wewenang
Untuk melaksanakan tanggung jawab tersebut, Ketua Tim Pemeriksaan
berwenang untuk melakukan hal-hal sebagai berikut:
1) melakukan pembagian tugas Anggota Tim Pemeriksaan;
2) melakukan koordinasi atas pelaksanaan tugas Anggota Tim Pemeriksaan;
3) melakukan wawancara dengan LPEI;
4) menentukan dokumen-dokumen yang berhubungan dengan pemeriksaan
untuk dipinjam dan/atau diminta;
5) menandatangani Berita Acara Penolakan Pemeriksaan/Berita Acara
Penolakan Membantu Kelancaran Pemeriksaan;
6) menandatangani Berita Acara Penundaan Pemeriksaan;
7) menandatangani Berita Acara Pemeriksaan;
8) menandatangani Berita Acara Penolakan Penandatanganan Berita Acara
Pemeriksaan;
9) mengusulkan kepada Penyelia Pemeriksaan untuk menghentikan atau
memperpanjang waktu pemeriksaan lapangan apabila diperlukan;
10) memaraf Lembar Kerja Pemeriksa;
11) memaraf Kertas Kerja Pemeriksaan;
12) menandatangani Berita Acara Pembahasan Laporan Hasil Pemeriksaan
Sementara; dan
13) menandatangani Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara dan Laporan
Hasil Pemeriksaan Final.
c. Tugas
Dengan kewenangan tersebut, Ketua Tim Pemeriksaan melakukan tugas-tugas
sebagai berikut:
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-02/BL/2011
Tanggal : 20 Januari 2011
-10-
1) memastikan ketaatan Anggota Tim Pemeriksaan terhadap Pedoman
Pemeriksaan LPEI;
2) ikut aktif melakukan pemeriksaan;
3) melakukan koordinasi atas pelaksanaan tugas Anggota Tim Pemeriksaan;
4) bersama dengan Anggota Tim Pemeriksaan menentukan besarnya sampel
yang akan diambil dalam pemeriksaan;
5) memantau setiap perkembangan pemeriksaan;
6) menelaah dan memeriksa Kertas Kerja Pemeriksaan yang dibuat Anggota
Tim Pemeriksaan;
7) membuat Lembar Kerja Pemeriksa;
8) mengajukan konsep Surat Konfirmasi (bila diperlukan) kepada Penyelia;
9) membuat konsep Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara dan Laporan Hasil
Pemeriksaan Final;
10) memastikan Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara dan Laporan Hasil
Pemeriksaan Final dibuat tepat waktu;
11) membahas tanggapan atas Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara dengan
LPEI; dan
12) memastikan semua dokumen yang berhubungan dengan pemeriksaan telah
diarsip dengan rapi.
d. Persyaratan
Persyaratan yang harus dipenuhi untuk dapat ditunjuk sebagai Ketua Tim
Pemeriksaan adalah sebagai berikut:
1) mampu mengkoordinasikan Anggota Tim Pemeriksaan dalam pelaksanaan
pemeriksaan;
2) memiliki pengetahuan yang cukup dalam bidang pemeriksaan;
3) memiliki pengetahuan yang cukup mengenai Peraturan Perundang-
undangan LPEI dan peraturan pelaksanaannya;
4) memiliki pengetahuan yang cukup tentang kegiatan usaha yang dilakukan
LPEI, meliputi pembiayaan, penjaminan, dan asuransi;
5) mampu melakukan analisis atas laporan keuangan dan laporan kegiatan
usaha LPEI; dan
6) bertanggung jawab dan dapat bekerja sama dengan Penyelia Pemeriksaan.
4. Anggota Tim Pemeriksaan
Anggota Tim Pemeriksaan adalah pegawai di lingkungan Bapepam dan LK atau
pihak lain yang ditunjuk oleh Kepala Biro Pembiayaan dan Penjaminan atas nama
Ketua Bapepam dan LK.
Tanggung jawab, wewenang, tugas, dan persyaratan Anggota Tim Pemeriksaan
adalah sebagai berikut:
a. Tanggung Jawab
Anggota Tim Pemeriksaan bertanggung jawab atas isi Lembar Kerja Pemeriksa
dan Kertas Kerja Pemeriksaan.
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-02/BL/2011
Tanggal : 20 Januari 2011
-11-
b. Wewenang
Untuk melaksanakan tanggung jawab tersebut, Anggota Tim Pemeriksaan
berwenang untuk melakukan hal-hal sebagai berikut:
1) melakukan wawancara dengan LPEI;
2) meminta dan/atau meminjam dokumen-dokumen/data pendukung
pemeriksaan;
3) melakukan pengembangan hasil temuan untuk lebih memperoleh
keyakinan; dan
4) menandatangani Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara dan Laporan Hasil
Pemeriksaan Final.
c. Tugas
Dengan kewenangan tersebut, Anggota Tim Pemeriksaan melakukan tugas-
tugas sebagai berikut:
1) membuat analisis pendahuluan dan kuesioner pemeriksaan;
2) melaksanakan seluruh proses pemeriksaan sesuai dengan Pedoman
Pemeriksaan LPEI;
3) menyiapkan dokumen-dokumen dan data-data yang diperlukan dalam
proses pemeriksaan;
4) mengusulkan kepada Ketua Tim Pemeriksaan untuk meminta dan/atau
meminjam dokumen-dokumen/data pendukung pemeriksaan;
5) bersama dengan Ketua Tim Pemeriksaan menentukan besarnya sampel
yang akan diambil dalam pemeriksaan;
6) membuat Lembar Kerja Pemeriksa;
7) membuat dan memaraf Kertas Kerja Pemeriksaan;
8) membuat konsep Surat Konfirmasi bila diperlukan;
9) membantu Ketua Tim Pemeriksaan menyusun konsep Laporan Hasil
Pemeriksaan Sementara dan Laporan Hasil Pemeriksaan Final secara tepat
waktu;
10) membahas tanggapan atas Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara bersama
LPEI; dan
11) melakukan pengarsipan atas semua dokumen yang berhubungan dengan
Pemeriksaan dengan rapi.
d. Persyaratan
Persyaratan yang harus dipenuhi untuk dapat ditunjuk sebagai Anggota Tim
Pemeriksaan adalah sebagai berikut:
1) memiliki pengetahuan yang cukup dalam bidang pemeriksaan;
2) memiliki pengetahuan yang cukup mengenai Peraturan Perundang-
undangan LPEI dan peraturan pelaksanaannya;
3) memiliki pengetahuan yang cukup tentang kegiatan usaha yang dilakukan
LPEI, meliputi pembiayaan, penjaminan, dan asuransi;
4) mampu melakukan analisis atas laporan keuangan dan laporan kegiatan
usaha LPEI; dan
5) bertanggung jawab dan dapat bekerja sama dengan Ketua Tim dan Anggota
Tim Pemeriksaan lainnya.
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-02/BL/2011
Tanggal : 20 Januari 2011
-12-
BAB III
PROSES PEMERIKSAAN
A. Proses Kegiatan Pemeriksaan
Kegiatan pemeriksaan LPEI perlu direncanakan dengan baik agar pelaksanaan
kegiatan pemeriksaan terhadap LPEI dapat berjalan dengan efektif dan efisien.
Untuk itu, pengalokasian sumber daya manusia, anggaran, dan waktu perlu
dilakukan dengan cermat agar tujuan kegiatan pemeriksaan dapat dicapai. Proses
pemeriksaan merupakan seluruh kegiatan yang berkaitan dengan pelaksanaan
pemeriksaan terhadap LPEI yang terdiri dari perencanaan pemeriksaan, persiapan
pemeriksaan, pelaksanaan pemeriksaan lapangan, penyusunan laporan hasil
pemeriksaan, dan tindak lanjut hasil pemeriksaan.
1. Perencanaan Pemeriksaan
Perencanaan pemeriksaan mencakup penyusunan Rencana Kegiatan
Pemeriksaan Berkala LPEI untuk suatu tahun tertentu dan/atau Rencana
Kegiatan Pemeriksaan Setiap Waktu, penentuan ruang lingkup pemeriksaan,
penentuan Tim Pemeriksaan, penentuan jangka waktu pemeriksaan, pembuatan
Surat Perintah Pemeriksaan (SPrint), dan pembuatan Surat Pemberitahuan
Pemeriksaan (SPP)
a. Rencana Kegiatan Pemeriksaan
Rencana Kegiatan Pemeriksaan Berkala untuk suatu tahun tertentu sudah
harus selesai disusun 1 (satu) bulan sebelum tahun kalender dimulai
sedangkan Rencana Kegiatan Pemeriksaan Setiap Waktu sudah harus
selesai disusun 1 (satu) minggu sebelum pemeriksaan dimulai. Penanggung
Jawab Pemeriksaan menetapkan Rencana Kegiatan Pemeriksaan Berkala
LPEI untuk suatu tahun tertentu atau Rencana Kegiatan Pemeriksaan
Setiap Waktu yang diajukan oleh Penyelia Pemeriksaan.
Rencana Kegiatan Pemeriksaan LPEI berfungsi sebagai berikut:
1) pedoman penetapan ruang lingkup pemeriksaan.
2) pedoman penggunaan sumber daya manusia, anggaran dan waktu
untuk kegiatan pemeriksaan.
Rencana Kegiatan Pemeriksaan Berkala LPEI untuk suatu tahun tertentu
atau Rencana Kegiatan Pemeriksaan Setiap Waktu paling kurang
mencakup:
1) jenis dan latar belakang pemeriksaan
Berisi antara lain mengenai jenis pemeriksaan berkala atau setiap
waktu, hasil analisis atas laporan periodik, ketaatan terhadap
peraturan perundangan yang berlaku, dan/atau penelitian atas
keterangan yang didapat atau surat pengaduan yang diterima terkait
LPEI.
2) hasil pemantauan atas pelaksanaan tindak lanjut hasil pemeriksaan
sebelumnya (jika ada).
3) tujuan dan ruang lingkup pemeriksaan.
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-02/BL/2011
Tanggal : 20 Januari 2011
-13-
4) perkiraan waktu pemeriksaan.
5) kebutuhan sumber daya manusia dan anggaran pemeriksaan.
Contoh format Rencana Kegiatan Pemeriksaan terdapat dalam Formulir I.
b. Pertimbangan Dalam Melakukan Pemeriksaan
Pemeriksaan terhadap LPEI baik Pemeriksaan Berkala maupun
Pemeriksaan Setiap Waktu dilakukan dengan mempertimbangkan hal-hal
sebagai berikut:
1) Pemeriksaan Berkala
Pemeriksaan Berkala dilakukan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 3
(tiga) tahun. Pemeriksaan Berkala yang dilakukan dalam waktu
kurang dari 3 (tiga) tahun mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
a)
b)
hasil analisis atas laporan periodik atau informasi lainnya terkait
perkembangan kegiatan usaha LPEI.
hasil pemantauan atas pelaksanaan tindak lanjut hasil
pemeriksaan sebelumnya.
2) Pemeriksaan Setiap Waktu
Pemeriksaan Setiap Waktu dilakukan terhadap aspek tertentu
berdasarkan hal-hal sebagai berikut:
a) Informasi Pihak Ketiga
Informasi dari pihak ketiga dapat dijadikan sebagai dasar
dilakukannya Pemeriksaan Setiap Waktu. Informasi ini dapat
berupa laporan pengaduan secara tertulis maupun tidak tertulis.
Informasi dari pihak ketiga ini perlu dilakukan check dan cross
check agar dapat diketahui tingkat kebenaran dan keakuratannya,
sehingga dapat dipakai
sebagai
dilakukannya Pemeriksaan Setiap Waktu.
b) Hasil Analisis
Hasil analisis merupakan informasi yang diperoleh dari analisis
atas laporan periodik LPEI yang dilakukan oleh Bagian Lembaga
Pembiayaan Khusus. Pemeriksaan Setiap Waktu dapat dilakukan
apabila dari hasil analisis patut diduga bahwa penyelenggaraan
kegiatan LPEI menyimpang dari ketentuan undang-undang yang
mengatur tentang LPEI serta peraturan pelaksanaannya serta
peraturan perundang-undangan lain yang berlaku.
c. Tata Cara Penentuan Tim Pemeriksaan
Tim Pemeriksaan dibentuk untuk setiap akan dilakukan pemeriksaan
terhadap LPEI di mana Ketua Tim Pemeriksaan dan Anggota Tim
Pemeriksaan dapat terdiri dari sebagai berikut:
1) Ketua Tim Pemeriksaan dan Anggota Tim Pemeriksaan seluruhnya
adalah pegawai di lingkungan Bapepam dan LK; atau
2) Ketua Tim Pemeriksaan dan Anggota Tim Pemeriksaan merupakan
gabungan dari pegawai di lingkungan Bapepam dan LK dan pihak
lain yang ditunjuk oleh Kepala Biro Pembiayaan dan Penjaminan atas
nama Ketua Bapepam dan LK.
dasar pertimbangan
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-02/BL/2011
Tanggal : 20 Januari 2011
-14-
Keanggotaan Tim Pemeriksaan ditetapkan oleh Penanggung Jawab
Pemeriksaan atas nama Ketua Bapepam dan LK berdasarkan pertimbangan
antara lain sebagai berikut:
1)
jenis pemeriksaan;
2) ruang lingkup pemeriksaan;
3) keahlian spesifik yang diperlukan untuk pemeriksaan; dan
4) ketersediaan sumberdaya manusia, anggaran, dan waktu
pemeriksaan.
d. Tata Cara Penentuan Waktu Pemeriksaan
Jumlah hari pelaksanaan pemeriksaan ditentukan dengan memperhatikan
jenis pemeriksaan, ruang lingkup pemeriksaan, dan hasil analisis
pendahuluan. Waktu yang diperlukan dalam rangka pemeriksaan terhadap
LPEI baik untuk Pemeriksaan Berkala maupun Pemeriksaan Setiap Waktu
adalah sebagai berikut:
1) persiapan pemeriksaan telah selesai dilakukan paling lama pada saat
pengajuan Surat Perintah Pemeriksaan.
2) pelaksanaan pemeriksaan lapangan:
a) kantor pusat, paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja.
b) kantor cabang/perwakilan, paling lama 5 (lima) hari kerja untuk
setiap kantor cabang/perwakilan.
c) dalam keadaan tertentu jangka waktu pemeriksaan dapat
diperpanjang.
3) penyampaian Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara kepada Direktur
Eksekutif LPEI paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja setelah
berakhirnya pelaksanaan pemeriksaan.
4) Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara akan menjadi Laporan Hasil
Pemeriksaan Final apabila:
a) dalam jangka waktu paling lama 15 (lima belas) hari kerja setelah
diterimanya Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara, LPEI tidak
menyampaikan tanggapan; atau
b) LPEI menyampaikan tanggapan yang isinya menyetujui Laporan
Hasil Pemeriksaan Sementara.
5) dalam hal LPEI menyampaikan tanggapan yang berisi keberatan atas
Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara, dilakukan pembahasan
Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara dengan LPEI paling lama
selama 10 (sepuluh) hari kerja sejak keberatan diterima Bapepam dan
LK.
6) penyusunan Laporan Hasil Pemeriksaan Final paling lama 10
(sepuluh) hari kerja sejak ditandatanganinya Berita Acara
Pembahasan Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara.
e. Surat Pemberitahuan Pemeriksaan dan Surat Perintah Pemeriksaan
Sebelum dilakukan pemeriksaan terhadap LPEI, Penanggung Jawab
Pemeriksaan atas nama Ketua Bapepam dan LK menerbitkan Surat Perintah
Pemeriksaan dan Surat Pemberitahuan Pemeriksaan.
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-02/BL/2011
Tanggal : 20 Januari 2011
-15-
Biro Pembiayaan dan Penjaminan akan memberitahukan kepada LPEI
tentang rencana pemeriksaan dimaksud dengan mengirimkan Surat
Pemberitahuan Pemeriksaan. Surat tersebut sudah harus diterima oleh LPEI
paling lambat 1 (satu) hari sebelum pelaksanaan pemeriksaan. Untuk
Pemeriksaan Setiap Waktu, pemeriksaan dapat dilakukan tanpa terlebih
dahulu menyampaikan Surat Pemberitahuan Pemeriksaan apabila diduga
bahwa penyampaian Surat Pemberitahuan Pemeriksaan memungkinkan
dilakukannya tindakan untuk mengaburkan keadaan yang sebenarnya atau
tindakan untuk menyembunyikan data, keterangan, atau laporan yang
diperlukan dalam pelaksanaan pemeriksaan.
Contoh format Surat Pemberitahuan Pemeriksaan terdapat dalam
Formulir II.
Dalam melakukan pemeriksaan, Tim Pemeriksaan dilengkapi dengan Surat
Perintah Pemeriksaan (SPrint) dan Tanda Pengenal Pegawai. LPEI dapat
menolak dilakukannya pemeriksaan, jika Tim Pemeriksaan tidak dapat
menunjukkan Surat Perintah Pemeriksaan (SPrint) tersebut.
Contoh format Surat Perintah Pemeriksaan terdapat dalam Formulir III.
2. Persiapan Pemeriksaan
Persiapan pemeriksaan dilakukan sebelum melakukan pemeriksaan lapangan.
Pada tahap ini dilakukan analisis pendahuluan melalui penelaahan dokumen
laporan periodik dan informasi lainnya untuk memperoleh pemahaman
mengenai LPEI dan untuk mengetahui aspek-aspek pemeriksaan yang perlu
mendapatkan perhatian khusus. Dalam tahap ini, kegiatan yang dilakukan
adalah sebagai berikut:
a. Mengumpulkan data, informasi, dan dokumen yang diperlukan dalam
analisis pendahuluan antara lain:
1) laporan keuangan bulanan dan laporan kegiatan usaha semesteran
LPEI;
2)
3)
laporan keuangan tahunan LPEI yang telah diaudit kantor akuntan
publik;
laporan terkait pelaksanaan manajemen risiko seperti laporan profil
risiko;
4) laporan terkait pelaksanaan prinsip-prinsip tata kelola yang baik;
5)
hasil analisis atas laporan periodik;
6) kebijakan, manual, dan SOP terkait kegiatan usaha LPEI;
7) Pedoman Pelaksanaan Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (P4MN)
perusahaan;
8)
informasi dan laporan terkait LPEI yang diperoleh dari pihak lain
serta hasil analisis Biro Pembiayaan dan Penjaminan terhadap
informasi atau laporan yang diterima; dan
9) data atau dokumen dari sumber lain yang dianggap perlu.
b. Membuat analisis dari data dan informasi yang diperoleh dalam bentuk
Hasil Analisis Pendahuluan.
Contoh format Hasil Analisis Pendahuluan terdapat dalam Formulir IV.
c. Menentukan pembagian kerja atau tugas pemeriksaan atas Tim
Pemeriksaan.
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-02/BL/2011
Tanggal : 20 Januari 2011
-16-
d. Membuat daftar pertanyaan atau kuesioner yang akan disampaikan kepada
LPEI. Kuesioner yang telah diisi LPEI ditandatangani oleh pemeriksa dan
wakil dari LPEI.
e. Membuat Kertas Kerja Pemeriksaan awal secara umum sebagai pendukung
hasil analisis pendahuluan yang mencakup aspek-aspek pemeriksaan
sebagai berikut:
1)
2)
3)
4)
tata kelola perusahaan yang baik;
manajemen risiko;
operasional; dan
keuangan.
f. Mempersiapkan kelengkapan dokumen-dokumen yang dibutuhkan selama
pemeriksaan antara lain:
1)
2)
3)
4)
5)
Surat Perintah Pemeriksaan dan Surat Pemberitahuan Pemeriksaan;
Hasil Analisis Pendahuluan;
Berita Acara Pemeriksaan, Berita Acara Penolakan Pemeriksaan dan
Berita Acara Penundaan Pemeriksaan;
Kertas Kerja Pemeriksaan; dan
daftar pertanyaan (kuesioner).
3. Pelaksanaan Pemeriksaan Lapangan
Pemeriksaan lapangan adalah pemeriksaan yang dilakukan oleh Tim
Pemeriksaan di kantor atau tempat LPEI melaksanakan kegiatannya.
Pemeriksaan lapangan merupakan tahapan pemeriksaan yang dilakukan untuk
memperoleh keyakinan yang memadai atas kebenaran aspek-aspek substansi
laporan periodik LPEI dan ketaatan terhadap peraturan terkait LPEI.
Pemeriksaan dilakukan terhadap 4 (empat) aspek, yaitu
a. Aspek Tata Kelola Perusahaan Yang Baik
Aspek ini digunakan untuk menilai apakah manajemen telah
melaksanakan tata kelola perusahaan yang baik sesuai dengan ketentuan
peraturan yang berlaku. Penilaian atas aspek ini antara lain dilakukan
terhadap objek-objek pemeriksaan sebagai berikut:
1)
2)
pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Dewan Direktur, Direktur
Eksekutif, dan Direktur Pelaksana;
kelengkapan dan pelaksanaan tugas komite-komite;
3) penanganan benturan kepentingan;
4)
penerapan fungsi audit intern dan audit ekstern;
5) transparansi kondisi keuangan dan non keuangan; dan
6) pengadaan barang dan jasa.
Tujuan dan petunjuk pemeriksaan untuk menilai aspek tata kelola
perusahaan yang baik tercantum dalam Modul I.
b. Aspek Manajemen Risiko
Aspek ini digunakan untuk menilai apakah manajemen telah menerapkan
manajemen risiko yang memadai sesuai dengan ketentuan peraturan
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-02/BL/2011
Tanggal : 20 Januari 2011
-17-
perundangan yang berlaku. Penilaian atas aspek ini antara lain dilakukan
terhadap objek-objek pemeriksaan sebagai berikut:
1) pengawasan aktif Dewan Direktur dan Direktur Eksekutif;
2) kecukupan kebijakan, prosedur, dan penetapan limit risiko;
3) kecukupan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan
pengendalian risiko serta sistem informasi manajemen risiko;
4)
sistem pengendalian intern yang menyeluruh dalam penerapan
manajeman risiko.
Tujuan dan petunjuk pemeriksaan untuk menilai aspek manajemen risiko
tercantum dalam Modul II.
c. Aspek Operasional
Aspek ini digunakan untuk meyakinkan bahwa penyelenggaraan kegiatan
usaha (operasional) LPEI sesuai dengan peraturan terkait LPEI yang
berlaku. Penilaian atas aspek ini antara lain dilakukan terhadap objek-objek
pemeriksaan sebagai berikut:
1) kegiatan pembiayaan/pembiayaan berdasarkan prinsip syariah LPEI;
2)
kegiatan asuransi LPEI;
3) kegiatan penjaminan LPEI;
4) kegiatan penempatan dana LPEI;
5) kegiatan penyertaan modal LPEI;
6) sumber pendanaan, transaksi derivatif, tagihan akseptasi, rekening
administratif, batas minimum kecukupan modal (CAR), dan posisi
devisa neto LPEI; dan
7) pelaksanaan prinsip mengenal nasabah LPEI.
Tujuan dan petunjuk pemeriksaan untuk menilai aspek operasional
tercantum dalam Modul III.
d. Aspek Keuangan
Aspek ini digunakan untuk memperoleh keyakinan atas kebenaran
substansi laporan periodik LPEI. Penilaian atas aspek ini antara lain
dilakukan terhadap objek-objek seperti akun-akun Neraca, Laporan Laba
Rugi, Rekening Administratif, dan laporan periodik lainnya.
Tujuan dan petunjuk pemeriksaan untuk menilai aspek keuangan
tercantum dalam Modul IV.
4. Penyusunan Laporan Hasil Pemeriksaan
Laporan Hasil Pemeriksaan terdiri dari 2 (dua) jenis, yaitu Laporan Hasil
Pemeriksaan Sementara (LHPS) dan Laporan Hasil Pemeriksaan Final (LHPF).
LHPS disusun setelah pemeriksaan lapangan selesai dilakukan. Berdasarkan
LHPS tersebut kemudian disusun LHPF setelah mempertimbangkan tanggapan
dari LPEI. Dalam hal LPEI tidak menyampaikan tanggapan atas LHPS, maka
LHPS tersebut langsung ditetapkan menjadi LHPF.
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-02/BL/2011
Tanggal : 20 Januari 2011
-18-
Hasil Pemeriksaan disusun berdasarkan data atau keterangan yang diperoleh
selama proses Pemeriksaan berlangsung yang dituangkan dalam Kertas Kerja
Pemeriksaan.
Hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud di atas, dituangkan dalam LHPS
yang ditetapkan oleh Kepala Biro Pembiayaan dan Penjaminan atas nama Ketua
Bapepam dan LK dan wajib disampaikan kepada Direktur Eksekutif LPEI
paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja setelah berakhirnya pelaksanaan
Pemeriksaan.
Hasil-hasil pemeriksaan yang dituangkan dalam LHPS dapat disanggah oleh
LPEI melalui surat tanggapan atas LHPS.
Apabila LPEI tidak mengajukan tanggapan atau mengajukan tanggapan yang
isinya menyetujui LHPS dalam jangka waktu 15 (lima belas) hari kerja sejak
LHPS diterima oleh LPEI, maka LHPS ditetapkan menjadi LHPF.
Dalam hal LPEI mengajukan tanggapan yang berisi keberatan atas LHPS dalam
jangka waktu 15 (lima belas) hari kerja sejak LHPS diterima LPEI, maka
dilakukan pembahasan dengan LPEI. Pembahasan LHPS dengan LPEI tersebut
dilakukan paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak keberatan diterima Bapepam
dan LK.
Hasil pembahasan LHPS dengan LPEI tersebut dituangkan dalam Berita Acara
Pembahasan Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara. Penyusunan LHPF paling
lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak ditandatanganinya Berita Acara Pembahasan
Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara.
5. Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan
Pelaksanaan tindak lanjut hasil pemeriksaan dilakukan berdasarkan hasil
temuan atau rekomendasi yang dituangkan dalam Laporan Hasil Pemeriksaan.
Tindak lanjut hasil pemeriksaan dapat dibagi menjadi 2 (dua) berdasarkan jenis
temuan dan rekomendasi yang disampaikan dalam LHPF, yaitu:
a. Tindak lanjut atas temuan adanya pelanggaran
Dalam hal berdasarkan hasil Pemeriksaan ditemukan adanya pelanggaran
yang dilakukan oleh LPEI terhadap ketentuan peraturan perundang-
undangan yang mengatur LPEI, maka terhadap LPEI dikenakan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan yang mengatur LPEI. Dalam hal pelanggaran
tersebut dilakukan oleh pegawai LPEI, maka pengenaan sanksi
administratif dilakukan atas rekomendasi yang tertuang dalam LHPF dan
sesuai dengan ketentuan yang mengatur sistem kepegawaian LPEI.
b. Tindak lanjut atas rekomendasi berupa saran perbaikan atau
penyempurnaan
Rekomendasi yang dituangkan dalam LHPF dapat berupa saran perbaikan
atau penyempurnaan. Untuk itu perlu dilakukan monitoring terhadap
pelaksanaan rekomendasi hasil pemeriksaan tersebut.
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-02/BL/2011
Tanggal : 20 Januari 2011
-19-
B. Contoh-contoh Formulir dan Modul
1. Contoh Formulir
a. FORMULIR I : FORMAT RENCANA KEGIATAN PEMERIKSAAN
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
GEDUNG SUMITRO DJOJOHADIKUSUMO, JALAN LAPANGAN BANTENG TIMUR NOMOR 1-4,
JAKARTA 10710, TELEPON 0213858001, FAKSIMILI 0213857917, SITUS www.bapepam.go.id
RENCANA PEMERIKSAAN LEMBAGA PEMBIAYAAN EKSPOR INDONESIA (LPEI)
TAHUN ……
A. Jenis dan Latar Belakang Pemeriksaan
(Bagian ini memuat informasi mengenai jenis pemeriksaan yang akan dilakukan
(pemeriksaan berkala atau pemeriksaan setiap waktu) dan alasan dilakukannya
pemeriksaan terhadap LPEI yang antara lain berisi hasil analisis atas laporan periodik,
ketaatan terhadap peraturan perundangan yang berlaku, dan/atau penelitian atas
keterangan yang didapat atau surat pengaduan yang diterima terkait LPEI.)
B. Hasil pemantauan atas pelaksanaan tindak lanjut hasil pemeriksaan sebelumnya (jika
ada)
(Bagian ini memuat informasi mengenai hasil pemantauan atas rekomendasi-
rekomendasi yang disampaikan kepada LPEI pada pemeriksaan-pemeriksaan
sebelumnya.)
C. Tujuan dan Ruang Lingkup Pemeriksaan
(Bagian ini memuat informasi mengenai tujuan dilakukannya pemeriksaan terhadap
LPEI serta ruang lingkup pemeriksaan yang akan dilaksanakan.)
D. Periode Pemeriksaan, Jumlah Pemeriksa, dan Anggaran
(Bagian ini memuat informasi mengenai kapan dan berapa lama waktu dilakukannya
pemeriksaan lapangan, jumlah keanggotaan Tim Pemeriksaan, dan jumlah alokasi
anggaran yang dibutuhkan untuk melaksanakan pemeriksaan lapangan.)
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-02/BL/2011
Tanggal : 20 Januari 2011
-20-
b. FORMULIR II : FORMAT SURAT PEMBERITAHUAN PEMERIKSAAN
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
GEDUNG SUMITRO DJOJOHADIKUSUMO, JALAN LAPANGAN BANTENG TIMUR NOMOR 1-4,
JAKARTA 10710, TELEPON 0213858001, FAKSIMILI 0213857917, SITUS www.bapepam.go.id
Nomor
Sifat
Hal
Yth.
Direktur Eksekutif
Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia
(alamat) …………
Sesuai dengan Pasal 71 dan Pasal 72 Peraturan Menteri Keuangan Nomor
140/PMK.010/2009 tentang Pembinaan dan Pengawasan Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia
(LPEI) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
161/PMK.010/2010, dengan ini kami beritahukan bahwa Kementerian Keuangan selaku Pembina
dan Pengawas LPEI akan melakukan pemeriksaan terhadap LPEI.
Adapun nama-nama yang akan melakukan pemeriksaan adalah sebagai berikut:
1. ........................ / NIP ................ selaku Penyelia;
2. ........................ / NIP ................ selaku Ketua Tim;
3. ........................ / NIP ................ selaku Anggota Tim;
4. ........................ / NIP ................ selaku Anggota Tim;
5. dst.
Jangka waktu pemeriksaan terhitung dari tanggal ............ s.d. .................. Sehubungan
dengan pelaksanaan pemeriksaan tersebut maka kami minta agar Saudara dapat
menunjuk/menugaskan beberapa pejabat/pegawai LPEI untuk membantu kelancaran jalannya
pemeriksaan.
Demikian agar Saudara maklum.
a.n. Ketua
Kepala Biro Pembiayaan dan Penjaminan,
:
S- …………
: ……………
: Pemberitahuan Pemeriksaan
(tanggal)………….
................................
NIP ........................
Tembusan:
1. Ketua;
2. Sekretaris Badan.
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-02/BL/2011
Tanggal : 20 Januari 2011
-21-
c. FORMULIR III : FORMAT SURAT PERINTAH PEMERIKSAAN
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
GEDUNG SUMITRO DJOJOHADIKUSUMO, JALAN LAPANGAN BANTENG TIMUR NOMOR 1-4,
JAKARTA 10710, TELEPON 0213858001, FAKSIMILI 0213857917, SITUS www.bapepam.go.id
SURAT PERINTAH PEMERIKSAAN
NOMOR PRIN-…./BL/…………………
Kepala Biro Pembiayaan dan Penjaminan selaku Penanggung Jawab Pemeriksaan dengan
ini menugaskan:
1. Nama / NIP
Pangkat / Golongan
Jabatan
2. Nama / NIP
Pangkat / Golongan
Jabatan
3. Nama / NIP
Pangkat / Golongan
Jabatan
4. Nama / NIP
Pangkat / Golongan
Jabatan
Tanggal Berangkat
Tanggal Kembali
Penugasan
: ……………… /………………….
:
:
....................................
....................................
: ……………… /………………….
:
:
....................................
....................................
: ……………… /………………….
:
:
....................................
....................................
: ……………… /………………….
:
:
....................................
....................................
: …………………..
: …………………..
: Melakukan pemeriksaan terhadap Lembaga Pembiayaan Ekspor
Indonesia atas kebenaran aspek substansi laporan periodik,
kepatuhan terhadap peraturan perundangan, dan/atau dugaan
penyimpangan dalam ………………. di ……………….
Demikian untuk dimaklumi dan dilaksanakan sebagaimana mestinya.
Jakarta, ……………….
a.n. Ketua
Kepala Biro Pembiayaan dan Penjaminan,
……………………….
NIP …………………
Tembusan:
1. Ketua;
2. Sekretaris Badan.
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-02/BL/2011
Tanggal : 20 Januari 2011
-22-
d. FORMULIR IV : FORMAT HASIL ANALISIS PENDAHULUAN
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
GEDUNG SUMITRO DJOJOHADIKUSUMO, JALAN LAPANGAN BANTENG TIMUR NOMOR 1-4,
JAKARTA 10710, TELEPON 0213858001, FAKSIMILI 0213857917, SITUS www.bapepam.go.id
HASIL ANALISIS PENDAHULUAN
LEMBAGA PEMBIAYAAN EKSPOR INDONESIA
A. INFORMASI UMUM LPEI
(Bagian ini memuat informasi umum terkait LPEI seperti struktur organisasi, susunan pejabat
LPEI, perkembangan kegiatan usaha, perkembangan kinerja keuangan secara umum, dan
informasi umum lainnya terkait LPEI baik yang diperoleh secara langsung oleh Biro
Pembiayaan dan Penjaminan maupun informasi yang diperoleh dari pihak lain.)
B. HASIL MONITORING ATAS KEPATUHAN TERHADAP PERATURAN
(Bagian ini memuat hasil monitoring atas kepatuhan LPEI terhadap Undang-Undang LPEI
dan peraturan pelaksanaannya, yaitu antara lain mengenai ketepatan waktu penyampaian
laporan-laporan, batas maksimum pemberian pembiayaan, rasio kecukupan modal, posisi
devisa neto, dan lain sebagainya yang penegakannya berada di bawah wewenang Biro
Pembiayaan dan Penjaminan.)
C. HASIL ANALISIS LAPORAN PERIODIK
(Bagian ini memuat hasil analisis yang lebih terperinci atas informasi-informasi yang termuat
dalam laporan-laporan periodik yang disampaikan LPEI kepada Bapepam dan LK yaitu
antara lain mengenai hasil analisis atas kegiatan pembiayaan termasuk pembiayaan
berdasarkan prinsip syariah, penempatan dana, kegiatan asuransi dan penjaminan, sumber
pendanaan, profil risiko LPEI, laba rugi, pendapatan dan beban operasional yang berguna
dalam menentukan fokus pemeriksaan lapangan.)
D. LAIN-LAIN
(Bagian ini memuat berbagai informasi dan hasil analisis lainnya yang akan berguna dalam
menentukan fokus pemeriksaan lapangan.)
E. KESIMPULAN
(Bagian ini memuat kesimpulan atas berbagai hal yang dituangkan dalam butir A s.d. D di
atas.)
F. OBJEK PEMERIKSAAN, TIM PEMERIKSAAN, DAN JANGKA WAKTU PELAKSANAAN
PEMERIKSAAN
(Bagian ini antara lain memuat Objek Pemeriksaan, pembagian tugas anggota tim
pemeriksaan, dan jangka waktu pelaksanaan pemeriksaan serta hal-hal yang perlu menjadi
perhatian khusus bagi pemeriksan selama melaksanakan pemeriksaan lapangan terhadap
LPEI.)
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-02/BL/2011
Tanggal : 20 Januari 2011
-23-
2. Contoh Modul
a. MODUL I : PROGRAM PEMERIKSAAN TATA KELOLA LPEI
Objek Pemeriksaan 1
Tujuan Pemeriksaan
: Pelaksanaan Tugas dan Tanggung Jawab Dewan Direktur.
: 1. Menilai efektivitas pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Dewan
Direktur.
2. Menilai efektivitas penyelenggaraan rapat Dewan Direktur.
3. Menilai kecukupan aspek pengungkapan kepemilikan saham,
hubungan keuangan, dan hubungan keluarga anggota Dewan
Direktur.
Petunjuk Pemeriksaan:
No
(1)
1.
Petunjuk Pemeriksaan
(2)
Minta dokumen-dokumen yang terkait dengan
pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Dewan
Direktur kepada LPEI, antara lain yaitu:
struktur organisasi LPEI;
Surat Keputusan Pengangkatan setiap
anggota Dewan Direktur;
Daftar Riwayat Hidup setiap anggota
Dewan Direktur;
Uraian tugas (Job Description) setiap anggota
Dewan Direktur;
Peraturan/Kebijakan yang dikeluarkan oleh
Dewan Direktur berikut risalah rapat terkait.
Daftar pelaksanaan dan agenda rapat
Dewan Direktur.
Risalah rapat Dewan Direktur terkait
pengawasan atas pelaksanaan tugas dan
tanggung jawab Direktur Eksekutif;
Risalah rapat/Keputusan/kebijakan Dewan
Direktur dalam rangka menindaklanjuti
hasil audit dari Satuan Kerja Audit Intern
(SKAI), auditor ekstern, Menteri Keuangan,
dan otoritas lain.
Keputusan dan risalah rapat Dewan
Direktur dalam rangka pembentukan
Komite Audit, Komite Pemantau Risiko,
Komite Remunerasi dan Nominasi, dan
pengangkatan anggota komite-komite
tersebut;
Pedoman dan tata tertib kerja Dewan
Direktur;
Daftar hadir rapat-rapat Dewan Direktur;
Bukti/Daftar kepemilikan saham Dewan
Direktur pada perusahaan lain dan bukti
hubungan keuangan/kekerabatan antar
Dewan Direktur;
Keputusan/kebijakan/risalah rapat dan
dokumen-dokumen lainnya yang
diperlukan dalam rangka menilai
pelaksanaan tugas dan tanggung jawab
Dewan Direktur.
Dilaksanakan/
Diselesaikan
Oleh:
Paraf Tanggal
(3)
(4)
Index Kertas
Kerja/
Dokumen
Pendukung
(5)
Keterangan
(6)
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-02/BL/2011
Tanggal : 20 Januari 2011
-24-
2.
Lakukan analisis/review/konfirmasi atas
dokumen-dokumen terkait untuk menilai hal-
hal sebagai berikut:
Independensi Dewan Direktur;
Kesesuaian kebijakan/keputusan/ pedoman
yang ditetapkan Dewan Direktur dengan
Undang-Undang LPEI dan peraturan
pelaksanaannya;
Efektivitas pengawasan Dewan Direktur
atas penerapan prinsip tata kelola yang baik,
kinerja komite-komite, dan pelaksanaan
tugas dan tanggung jawab Direktur
Eksekutif;
Efektivitas pengawasan Dewan Direktur
atas pelaksanaan tindak lanjut hasil audit
dan rekomendasi SKAI, auditor ekstern,
Menteri Keuangan, dan otoritas lain;
Kesesuaian prosedur pembentukan komite-
komite;
Efektivitas waktu yang disediakan Dewan
Direktur dalam melaksanakan tugas dan
tanggung jawabnya.
3.
Telaah daftar hadir dan risalah-risalah rapat
Dewan Direktur untuk menilai efektivitas
penyelenggaraan rapat, pengambilan
keputusan, dan penggunaan hak suara oleh
Dewan Direktur.
4.
Telaah/konfirmasi bukti kepemilikan saham,
bukti hubungan kekerabatan, keputusan,
kebijakan, risalah rapat, dan dokumen-
dokumen terkait lainnya untuk menilai
transparansi/kecukupan pengungkapan oleh
Dewan Direktur.
5.
Buat kesimpulan, tanggapan, dan rekomendasi
hasil pemeriksaan serta mintakan tanggapan
dari LPEI.
Objek Pemeriksaan 2
Tujuan Pemeriksaan
: Pelaksanaan Tugas dan Tanggung Jawab Direktur Eksekutif dan Direktur
Pelaksana.
: 1. Menilai efektivitas pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Direktur
Eksekutif dan Direktur Pelaksana.
2. Menilai kecukupan aspek pengungkapan kepemilikan saham,
hubungan keuangan, dan hubungan keluarga Direktur Eksekutif dan
Direktur Pelaksana.
Petunjuk Pemeriksaan:
No
(1)
1.
Petunjuk Pemeriksaan
(2)
Minta dokumen-dokumen yang terkait dengan
pelaksanaan tugas dan tanggung jawab
Direktur Eksekutif dan Direktur Pelaksana
kepada LPEI, antara lain yaitu:
struktur organisasi LPEI;
Surat Keputusan dan dokumen lain (seperti
Dilaksanakan/
Diselesaikan
Oleh:
Paraf Tanggal
(3)
(4)
Index Kertas
Kerja/
Dokumen
Pendukung
(5)
Keterangan
(6)
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-02/BL/2011
Tanggal : 20 Januari 2011
-25-
surat usulan nama-nama calon Direktur
Pelaksana) terkait pengangkatan Direktur
Eksekutif dan Direktur Pelaksana;
Daftar Riwayat Hidup Direktur Eksekutif
dan setiap Direktur Pelaksana;
Uraian tugas (Job Description) Direktur
Eksekutif dan setiap Direktur Pelaksana;
Bukti kepemilikan saham Direktur Eksekutif
dan setiap Direktur Pelaksana pada
perusahaan lain dan bukti hubungan
keuangan/kekerabatan antar Direktur
Pelaksana atau dengan Dewan Direktur;
Surat kuasa yang pernah dibuat oleh
Direktur Eksekutif dan setiap Direktur
Pelaksana kepada pihak lain;
Surat/kebijakan/keputusan Direktur
Eksekutif dan dokumen pendukung lain
terkait pelaksanaan tata kelola yang baik,
pembentukan Satuan Kerja Audit Intern
(SKAI), pembentukan Komite Manajemen
Risiko, pembentukan Satuan Kerja
Manajemen Risiko, kepegawaian,
penunjukan konsultan, dan penyampaian
laporan-laporan kepada Dewan Direktur
dan Menteri Keuangan;
Laporan pelaksanaan tindak lanjut hasil
audit dari SKAI, auditor ekstern, Menteri
Keuangan, dan otoritas lain;
Pedoman dan tata tertib kerja Direktur
Eksekutif dan Direktur Pelaksana;
Keputusan/kebijakan/surat/risalah rapat
dan dokumen-dokumen lainnya yang
diperlukan dalam rangka menilai
pelaksanaan tugas dan tanggung jawab
Direktur Eksekutif dan Direktur Pelaksana.
2.
Teliti/telaah/konfirmasi atas dokumen-
dokumen terkait untuk menilai kesesuaian
dengan ketentuan yang berlaku terkait hal-hal
sebagai berikut:
Prosedur pengangkatan dan pemberhentian
Direktur Pelaksana;
Larangan rangkap jabatan oleh Direktur
Eksekutif dan Direktur Pelaksana;
Kepemilikan saham Direktur Eksekutif dan
Direktur Pelaksana pada perusahaan lain;
Larangan adanya hubungan kekeluargaan
antar sesama Direktur Pelaksana dan/atau
dengan anggota Dewan Direktur;
Larangan pemberian kuasa umum oleh
Direktur Eksekutif dan Direktur Pelaksana
kepada pihak lain.
3.
Lakukan analisis/review/konfirmasi/uji
sampel atas dokumen-dokumen terkait
dan/atau lakukan observasi/wawancara
untuk menilai hal-hal sebagai berikut:
Apakah keputusan-keputusan yang diambil
oleh Direktur Eksekutif dan Direktur
Pelaksana telah sesuai dengan tugas,
wewenang, dan tanggung jawabnya;
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-02/BL/2011
Tanggal : 20 Januari 2011
-26-
Apakah keputusan-keputusan yang diambil
Direktur Eksekutif dan Direktur Pelaksana
didasarkan sumber data/analisa yang
memadai, didukung bukti-
bukti/dokumentasi yang cukup, serta bebas
dari benturan kepentingan;
Apakah struktur dan keanggotaan SKAI,
Komite Manajemen Risiko, dan Satuan Kerja
Manajemen Risiko telah memadai sesuai
dengan lingkup organisasi;
Apakah Direktur Eksekutif dan Direktur
Pelaksana telah menindaklanjuti dan
melaksanakan berbagai rekomendasi hasil
audit;
Apakah data dan informasi yang
disampaikan Direktur Eksekutif kepada
Dewan Direktur akurat, relevan, dan tepat
waktu;
Apakah para pegawai LPEI telah memahami
berbagai kebijakan strategis di bidang
kepegawaian dan memperoleh perlakuan
yang sama terkait pengambangan diri,
pemberian penghargaan, dan penegakan
disiplin;
Apakah kebijakan/keputusan/ pedoman
yang ditetapkan Direktur Eksekutif telah
sesuai dengan Undang-Undang LPEI dan
peraturan pelaksanaannya.
4.
Buat kesimpulan, tanggapan, dan rekomendasi
hasil pemeriksaan serta mintakan tanggapan
dari LPEI.
Objek Pemeriksaan 3
Tujuan Pemeriksaan
: Kelengkapan dan Pelaksanaan Tugas Komite.
: 1. Untuk menilai kecukupan struktur, komposisi, independensi, dan
kompetensi Komite.
2. Untuk menilai efektivitas pelaksanaan tugas dan tanggung jawab
Komite.
3. Untuk menilai efektivitas pelaksanaan rapat Komite.
Petunjuk Pemeriksaan:
No
(1)
1.
Petunjuk Pemeriksaan
(2)
Minta dokumen-dokumen yang terkait dengan
kelengkapan dan pelaksanaan tugas komite-
komite kepada LPEI, antara lain yaitu:
Keputusan pembentukan komite-komite
seperti Komite Audit, Komite Pemantau
Risiko, Komite Remunerasi dan Nominasi,
dan pengangkatan anggota komite-komite
tersebut;
Daftar riwayat hidup setiap anggota komite;
Standard Operating Procedures (SOP) dan
uraian jabatan komite-komite;
Risalah rapat/laporan/rekomendasi/ hasil
evaluasi komite-komite;
Dilaksanakan/
Diselesaikan
Oleh:
Paraf Tanggal
(3)
(4)
Index Kertas
Kerja/
Dokumen
Pendukung
(5)
Keterangan
(6)
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-02/BL/2011
Tanggal : 20 Januari 2011
-27-
Daftar hadir rapat komite-komite;
Dokumen-dokumen lain yang diperlukan
dalam rangka menilai kelengkapan dan
pelaksanaan tugas komite-komite.
2.
Telaah struktur dan komposisi komite-komite
apakah telah sesuai dengan Undang-Undang
LPEI dan peraturan pelaksanaannya.
3.
Telaah keputusan-keputusan komite, dan/atau
minta Surat Pernyataan terkait kepemilikan
saham, hubungan kekerabatan, hubungan
keuangan dan pengungkapan lainnya setiap
anggota komite untuk menilai independensi
dan/atau kompetensi setiap anggota komite-
komite.
4.
Lakukan analisis/review/konfirmasi atas
dokumen-dokumen terkait rapat komite-
komite untuk menilai:
Efektivitas pelaksanaan rapat dan
pengambilan keputusan komite-komite;
Kesesuaian dan efektivitas rekomendasi-
rekomendasi yang disampaikan oleh
komite-komite dengan tugas dan tanggung
jawab komite, permasalahan yang dihadapi
LPEI, kebijakan LPEI, dan Undang-Undang
LPEI serta peraturan pelaksanaannya;
5.
Buat kesimpulan, tanggapan, dan rekomendasi
hasil pemeriksaan serta mintakan tanggapan
dari LPEI.
Objek Pemeriksaan 4
Tujuan Pemeriksaan
Petunjuk Pemeriksaan:
No
(1)
1.
: Penanganan Benturan Kepentingan.
: Untuk menilai efektivitas pengelolaan benturan kepentingan.
Petunjuk Pemeriksaan
(2)
Minta dokumen-dokumen yang terkait dengan
penanganan benturan kepentingan kepada
LPEI, antara lain yaitu:
kebijakan, sistem, dan prosedur
penyelesaian mengenai benturan
kepentingan LPEI;
Bukti kepemilikan saham, hubungan
keuangan/kekerabatan/kepentingan Dewan
Direktur, Direktur Eksekutif, Direktur
Pelaksana dan pegawai LPEI pada
perusahaan lain;
Bukti hubungan keuangan/
kekerabatan/kepentingan antar Dewan
Direktur, Direktur Eksekutif, Direktur
Pelaksana dan pegawai LPEI;
Dilaksanakan/
Diselesaikan
Oleh:
Paraf Tanggal
(3)
(4)
Index Kertas
Kerja/
Dokumen
Pendukung
(5)
Keterangan
(6)
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-02/BL/2011
Tanggal : 20 Januari 2011
-28-
Dokumen-dokumen lain yang diperlukan
dalam rangka menilai penanganan benturan
kepentingan.
2.
Telaah kebijakan, sistem, dan prosedur
penyelesaian mengenai benturan kepentingan
LPEI apakah telah lengkap dan efektif sesuai
prinsip tata kelola yang baik.
3.
Lakukan analisis/review/konfirmasi atas
dokumen-dokumen terkait untuk memastikan
bahwa segala keputusan/kebijakan/
persetujuan/hasil analisis/hasil review telah
bebas dari benturan kepentingan.
4.
Buat kesimpulan, tanggapan, dan rekomendasi
hasil pemeriksaan serta mintakan tanggapan
dari LPEI.
Objek Pemeriksaan 5
Tujuan Pemeriksaan
Petunjuk Pemeriksaan:
No
(1)
1.
: Penerapan Fungsi Audit Intern.
: 1. Untuk menilai efektivitas pelaksanaan fungsi audit intern LPEI.
2. Untuk menilai pelaksanaan tugas Satuan Kerja Audit Intern.
Petunjuk Pemeriksaan
(2)
Minta dokumen-dokumen yang terkait dengan
penerapan fungsi audit intern kepada LPEI,
antara lain yaitu:
Standard Operating Procedures (SOP) SKAI;
Daftar riwayat hidup setiap anggota SKAI;
Risalah rapat/laporan/rekomendasi/ hasil
analisis/hasil review SKAI terkait
pelaksanaan audit;
Dokumen-dokumen lain yang diperlukan
dalam rangka menilai penerapan fungsi
audit intern.
2.
Telaah SOP/Risalah rapat/laporan/
rekomendasi/ hasil analisis/hasil review SKAI
terkait pelaksanaan audit untuk menilai
efektivitas pelaksanaan fungsi audit intern.
3.
Lakukan observasi/wawancara dengan SKAI
dan auditee untuk menilai efektivitas
pelaksanaan audit dan rekomendasi SKAI.
4.
Buat kesimpulan, tanggapan, dan rekomendasi
hasil pemeriksaan serta mintakan tanggapan
dari LPEI.
Dilaksanakan/
Diselesaikan
Oleh:
Paraf Tanggal
(3)
(4)
Index Kertas
Kerja/
Dokumen
Pendukung
(5)
Keterangan
(6)
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-02/BL/2011
Tanggal : 20 Januari 2011
-29-
Objek Pemeriksaan 6
Tujuan Pemeriksaan
: Penerapan Fungsi Audit Ekstern.
: 1. Untuk menilai kesesuaian penunjukan kantor akuntan publik
terhadap Kebijakan LPEI, Undang-Undang LPEI serta peraturan
pelaksanaannya.
2. Untuk menilai pelaksanaan audit oleh kantor akuntan publik.
Petunjuk Pemeriksaan:
No
(1)
1.
Petunjuk Pemeriksaan
(2)
Minta dokumen-dokumen yang terkait dengan
penerapan fungsi audit ekstern kepada LPEI,
antara lain yaitu:
Standard Operating Procedures (SOP)
penunjukkan auditor ekstern;
Risalah rapat penunjukan auditor ekstern
dan pembahasan hasil audit;
Surat penunjukkan auditor ekstern;
Laporan sementara/ laporan final/
rekomendasi hasil audit oleh auditor
ekstern;
Management letter;
Hasil assessment LPEI atas kinerja auditor
ekstern;
Dokumen-dokumen lain yang diperlukan
dalam rangka menilai penerapan fungsi
audit ekstern.
2.
Telaah apakah proses penunjukan kantor
akuntan publik tersebut dilakukan sesuai
dengan prosedur dan kebijakan LPEI, Undang-
Undang LPEI serta peraturan pelaksanaannya.
3.
Lakukan pengecekan apakah kantor akuntan
publik yang ditunjuk adalah kantor akuntan
publik yang terdaftar di Bapepam dan LK.
4.
Periksa apakah kantor akuntan publik telah
menyampaikan hasil audit dan management
letter secara tepat waktu.
5.
Lakukan review atas hasil assessment LPEI atas
kinerja auditor ekstern untuk menilai antara
lain apakah sesuai dengan perjanjian kerja,
ruang lingkup yang ditetapkan, dan telah
bekerja sesuai dengan standar profesional
akuntan publik.
6.
Buat kesimpulan, tanggapan, dan rekomendasi
hasil pemeriksaan serta mintakan tanggapan
dari LPEI.
Dilaksanakan/
Diselesaikan
Oleh:
Paraf Tanggal
(3)
(4)
Index Kertas
Kerja/
Dokumen
Pendukung
(5)
Keterangan
(6)
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-02/BL/2011
Tanggal : 20 Januari 2011
-30-
Objek Pemeriksaan 7
Tujuan Pemeriksaan
: Transparansi Kondisi Keuangan dan Non Keuangan.
: 1. Untuk menilai ketepatan waktu, akurasi, dan cakupan transparansi
informasi keuangan dan non keuangan yang disampaikan kepada
pemangku kepentingan dan pelaporan intern.
2. Untuk menilai kecukupan informasi mengenai produk pembiayaan,
penjaminan, dan asuransi.
3. Untuk menilai cakupan laporan pelaksanaan prinsip-prinsip tata
kelola yang baik.
Petunjuk Pemeriksaan:
No
(1)
1.
Petunjuk Pemeriksaan
(2)
Minta dokumen-dokumen yang terkait dengan
transparansi kondisi keuangan dan non
keuangan, laporan pelaksanaan prinsip tata
kelola yang baik, dan pelaporan intern kepada
LPEI, antara lain yaitu:
Kebijakan pengungkapan informasi kondisi
keuangan dan non-keuangan LPEI;
Kebijakan/manual produk pembiayaan,
penjaminan, dan asuransi;
Kebijakan mengenai pelaporan internal
LPEI;
Laporan tahunan LPEI;
Laporan pelaksanaan prinsip-prinsip tata
kelola yang baik;
Laporan/hasil analisis/hasil review internal
LPEI beserta dokumen pendukungnya;
Dokumen-dokumen lain yang diperlukan
dalam rangka menilai transparansi kondisi
keuangan dan non keuangan, laporan
pelaksanaan prinsip tata kelola yang baik,
dan pelaporan intern.
2.
Telaah laporan-laporan kepada pihak ekstern;
dan laporan/hasil analisis/hasil review intern
apakah telah akurat, transparan, dan tepat
waktu.
3.
Telaah informasi mengenai produk-produk
pembiayaan, penjaminan dan asuransi LPEI
apakah telah mengungkapkan risiko-risiko
yang melekat pada produk-produk tersebut.
4.
Observasi/wawancara dengan pengelola IT
system untuk menilai keandalan, akurasi,
ketepatan waktu, dan keamanan informasi
yang dihasilkan dan lakukan pengujian untuk
membuktikan keandalan, ketepatan waktu,
dan keamanan informasi.
5.
Buat kesimpulan, tanggapan, dan rekomendasi
hasil pemeriksaan serta mintakan tanggapan
dari LPEI.
Dilaksanakan/
Diselesaikan
Oleh:
Paraf Tanggal
(3)
(4)
Index Kertas
Kerja/
Dokumen
Pendukung
(5)
Keterangan
(6)
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-02/BL/2011
Tanggal : 20 Januari 2011
-31-
Objek Pemeriksaan 8
Tujuan Pemeriksaan
: Pengadaan Barang dan Jasa.
: 1. Untuk memastikan adanya pedoman pengadaan barang dan jasa.
2. Untuk menilai tingkat kepatuhan pelaksanaan pengadaan barang dan
jasa terhadap pedoman yang telah ditetapkan.
Petunjuk Pemeriksaan:
No
(1)
1.
Petunjuk Pemeriksaan
(2)
Minta dokumen-dokumen yang terkait dengan
pengadaan barang dan jasa kepada LPEI,
antara lain yaitu:
Kebijakan/pedoman pengadaan barang dan
jasa LPEI;
Dokumen-dokumen lainnya yang terkait
dengan pengadaan barang dan jasa.
2.
Lakukan analisis atas dokumen-dokumen
terkait pengadaan barang dan jasa apakah
telah memadai dan sesuai dengan
kebijakan/pedoman yang berlaku.
3.
Lakukan observasi barang dan jasa yang
diperoleh LPEI apakah telah sesuai dengan
spesifikasi yang diminta.
4.
Buat kesimpulan, tanggapan, dan rekomendasi
hasil pemeriksaan serta mintakan tanggapan
dari LPEI.
Dilaksanakan/
Diselesaikan
Oleh:
Paraf Tanggal
(3)
(4)
Index Kertas
Kerja/
Dokumen
Pendukung
(5)
Keterangan
(6)
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-02/BL/2011
Tanggal : 20 Januari 2011
-32-
b. MODUL II : PROGRAM PEMERIKSAAN MANAJEMEN RISIKO LPEI
Objek Pemeriksaan 1 : Pengawasan aktif Dewan Direktur dan Direktur Eksekutif.
Tujuan Pemeriksaan
: 1. Memastikan bahwa LPEI telah menetapkan wewenang dan tanggung
jawab yang jelas pada setiap jenjang jabatan terkait dengan penerapan
Manajemen Risiko.
2. Memastikan bahwa Dewan Direktur LPEI telah melaksanakan tugas
dan tanggung jawabnya secara efektif terkait dengan penerapan
Manajemen Risiko LPEI.
3. Memastikan bahwa Direktur Eksekutif LPEI telah melaksanakan tugas
dan tanggung jawabnya secara efektif terkait dengan penerapan
Manajemen Risiko LPEI.
Petunjuk Pemeriksaan:
No
(1)
1.
Petunjuk Pemeriksaan
(2)
Minta dokumen-dokumen yang
terkait dengan pengawasan aktif
Dewan Direktur dan Direktur
Eksekutif terkait penerapan
manajemen risiko kepada LPEI, antara
lain yaitu:
struktur organisasi LPEI terkait
manajemen risiko seperti struktur
keanggotaan komite pemantau
risiko, komite manajemen risiko,
satuan kerja manajemen risiko;
Uraian tugas (Job Description)komite
pemantau risiko, komite
manajemen risiko, satuan kerja
manajemen risiko, dan pihak-pihak
lain yang bertanggung jawab dalam
penerapan manajemen risiko;
Kebijakan/Manual/Keputusan/ri-
salah rapat terkait penerapan
manajemen risiko;
Daftar Riwayat Hidup pihak-pihak
yang bertanggung jawab dalam
penerapan manajemen risiko;
Hasil evaluasi dan kaji ulang
berkala atas kebijakan dan
pelaksanaan kebijakan manajemen
risiko;
Daftar pelatihan dan laporan hasil
pelatihan terkait manajemen risiko;
Keputusan/kebijakan/risalah rapat
dan dokumen-dokumen lainnya
yang diperlukan dalam rangka
menilai pengawasan aktif Dewan
Direktur dan Direktur Eksekutif
terkait penerapan manajemen risiko
kepada LPEI.
2.
Telaah kebijakan manajemen risiko
LPEI apakah telah menetapkan secara
Dilaksanakan/
Diselesaikan Oleh:
Paraf
(3)
Tanggal
(4)
Index Kertas
Kerja/
Dokumen
Pendukung
(5)
Keterangan
(6)
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-02/BL/2011
Tanggal : 20 Januari 2011
-33-
jelas dan memadai wewenang dan
tanggung jawab setiap jenjang jabatan
terkait manajemen risiko.
3.
Telaah dan analisa persetujuan dan
evaluasi Dewan Direktur atas
kebijakan dan pelaksanaan kebijakan
manajemen risiko apakah telah
memadai dan sesuai dengan kebijakan
LPEI,Undang-Undang LPEI, dan
peraturan pelaksanaannya.
4.
Ambil/pilih sampel
keputusan/peraturan/ kebijakan
terkait manajemen risiko dan
eksposur risiko untuk
produk/aktivitas tertentu dan
bandingkan dengan implementasinya
berdasarkan risalah rapat/keputusan
Direktur Eksekutif terkait.
5.
Ambil/pilih sampel risalah
rapat/keputusan/ persetujuan
Direktur Eksekutif untuk beberapa
aktivitas/produk yang membutuhkan
persetujuan Direktur Eksekutif dan
bandingkan dengan kebijakan LPEI,
Undang-Undang LPEI, dan peraturan
pelaksanaannya.
6.
Telaah hasil training/pelatihan terkait
manajemen risiko yang diikuti oleh
pegawai LPEI untuk menilai
efektivitasnya.
7.
Ambil/pilih sampel rekomendasi
yang dibuat oleh unit yang
melaksanakan fungsi manajemen
risiko dan bandingkan dengan
keputusan yang diambil terkait
dengan rekomendasi tersebut untuk
menilai independensi fungsi
manajemen risiko.
8.
Telaah hasil kaji ulang terkait
keakuratan metodologi penilaian
Risiko, kecukupan implementasi
sistem informasi manajemen, dan
ketepatan kebijakan, prosedur, dan
penetapan limit Risiko.
9.
Buat kesimpulan, tanggapan, dan
rekomendasi hasil pemeriksaan serta
mintakan tanggapan dari LPEI.
Objek Pemeriksaan 2
Tujuan Pemeriksaan
: Kecukupan Kebijakan, Prosedur, dan Penetapan Limit Risiko.
: 1. Memastikan bahwa Kebijakan Manajemen Risiko LPEI telah memuat
jenis risiko, metode pengukuran risiko, limit dan toleransi risiko,
penilaian peringkat risiko, contingency plan, dan sistem pengendalian
intern.
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-02/BL/2011
Tanggal : 20 Januari 2011
-34-
2. Memastikan bahwa Prosedur dan Penetapan Limit Risiko telah sesuai
dengan tingkat risiko yang akan diambil (risk appetite) LPEI.
Petunjuk Pemeriksaan:
No
(1)
1.
Petunjuk Pemeriksaan
(2)
Minta Keputusan/Peraturan Dewan
Direktur terkait Kebijakan Manajemen
Risiko LPEI dan cek apakah telah memuat
hal-hal sebagai berikut:
a. penetapan Risiko yang terkait dengan
produk dan transaksi;
b. penetapan penggunaan metode
pengukuran dan sistem informasi
Manajemen Risiko;
c. penentuan limit dan penetapan
toleransi Risiko;
d. penetapan penilaian peringkat Risiko;
e. penyusunan rencana darurat
(contingency plan) dalam kondisi
terburuk (worst case scenario);
f. penetapan sistem pengendalian intern
dalam penerapan Manajemen Risiko.
2.
Minta Keputusan/Peraturan Dewan
Direktur terkait prosedur dan penetapan
limit Risiko dan cek apakah:
a. prosedur dan penetapan limit Risiko
telah disesuaikan dengan tingkat
Risiko yang akan diambil (risk appetite)
LPEI;
b. prosedur dan penetapan limit Risiko
telah memuat hal-hal sebagai berikut:
akuntabilitas dan jenjang delegasi
wewenang yang jelas;
pelaksanaan kaji ulang terhadap
prosedur dan penetapan limit
secara berkala;
pendokumentasian atas kegiatan
pelaksanaan kaji ulang secara
memadai;
c. penetapan limit Risiko telah
mencakup limit secara keseluruhan,
limit per jenis Risiko, dan limit per
aktivitas tertentu yang memiliki
eksposur Risiko.
3.
Buat kesimpulan, tanggapan, dan
rekomendasi hasil pemeriksaan serta
mintakan tanggapan dari LPEI.
Objek Pemeriksaan 3
Tujuan Pemeriksaan
: Kecukupan Proses Identifikasi, Pengukuran, Pemantauan, Pengendalian,
dan Sistem Informasi Manajemen Risiko.
: 1. Memastikan bahwa LPEI telah melakukan proses identifikasi,
pengukuran, pemantauan, dan pengendalian manajemen risiko
terhadap seluruh faktor risiko (risk factors) yang bersifat material.
Dilaksanakan/
Diselesaikan Oleh:
Paraf
(3)
Tanggal
(4)
Index Kertas
Kerja/
Dokumen
Pendukung
(5)
Keterangan
(6)
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-02/BL/2011
Tanggal : 20 Januari 2011
-35-
2. Memastikan bahwa LPEI memiliki Sistem Informasi Manajemen
Risiko yang tepat waktu dan laporan yang akurat dan informatif
mengenai kondisi keuangan, kinerja, dan eksposur risiko LPEI.
3. Memastikan apakah LPEI telah menerapkan ALMA atau yang lebih
baik dalam melaksanakan pengendalian risiko pasar dan risiko
likuiditas.
4. Memastikan bahwa laporan hasil Sistem Informasi Manajemen Risiko
telah
mencakup
eksposur
risiko,
kepatuhan
terhadap
kebijakan/prosedur/penetapan limit, dan realisasi pelaksanaan
terhadap target yang ditetapkan.
5. Memastikan bahwa laporan hasil Sistem Informasi Manajemen Risiko
dilaporkan secara rutin oleh Direktur Eksekutif kepada Dewan
Direktur.
Petunjuk Pemeriksaan:
No
(1)
1.
Petunjuk Pemeriksaan
(2)
Minta dan teliti laporan/dokumen hasil
identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan
pengendalian manajemen risiko.
2. Minta manual Sistem Informasi Manajemen
Risiko LPEI dan teliti laporan yang
dihasilkan apakah telah akurat, tepat waktu,
dan cukup informatif menggambarkan
kondisi keuangan, kinerja, dan eksposur
risiko LPEI serta mencakup kepatuhan
terhadap kebijakan/prosedur/penetapan
limit, dan realisasi terhadap target yang
ditetapkan.
3.
Minta dan teliti laporan/dokumen hasil
analisis ALMA terkait risiko pasar dan
likuiditas.
4.
Minta dan teliti dokumen/surat/notulen
rapat terkait penyampaian laporan hasil
Sistem Informasi Manajemen Risiko dari
Direktur Eksekutif kepada Dewan Direktur.
5.
Buat kesimpulan, tanggapan, dan
rekomendasi hasil pemeriksaan serta
mintakan tanggapan dari LPEI.
Objek Pemeriksaan 4
Tujuan Pemeriksaan
: Sistem Pengendalian Intern terkait Manajemen Risiko.
: 1. Memastikan bahwa Sistem Pengendalian Intern LPEI dalam
Penerapan Manajemen Risiko sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan yang mengatur LPEI.
2. Memastikan bahwa Satuan Kerja Audit Intern (SKAI) melakukan
penilaian terhadap sistem pengendalian intern dalam penerapan
Manajemen Risiko.
3. Memastikan bahwa LPEI memiliki Organisasi dan Fungsi Manajemen
Risiko yang memadai sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan yang mengatur LPEI.
Dilaksanakan/
Diselesaikan
Oleh:
Paraf Tanggal
(3)
(4)
Index Kertas
Kerja/
Dokumen
Pendukung
(5)
Keterangan
(6)
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-02/BL/2011
Tanggal : 20 Januari 2011
-36-
4. Memastikan bahwa LPEI memiliki kebijakan dan prosedur
pengelolaan risiko pada produk dan aktivitas yang dilakukannya.
Petunjuk Pemeriksaan:
No
(1)
1.
Petunjuk Pemeriksaan
(2)
Lakukan penilaian/review terhadap struktur
organisasi, kebijakan dan prosedur,
pelaporan, dokumentasi, dan hasil kaji ulang
LPEI terkait Sistem Pengendalian Intern
dalam penerapan manajemen risiko sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan
yang mengatur LPEI.
2.
Minta Keputusan Dewan Direktur/Direktur
Eksekutif terkait pembentukan Komite
Pemantau Risiko, Komite Manajemen Risiko,
dan Satuan Kerja Manajemen Risiko
kemudian review keanggotaan, tugas, fungsi,
dan tanggung jawab masing-masing
komite/satuan Kerja.
3.
Minta dan review Manual/ Keputusan
terkait kebijakan dan prosedur pengelolaan
risiko untuk setiap produk dan aktivitas yang
dilakukan LPEI.
4.
Minta dan review
dokumen/laporan/notulen rapat hasil
penilaian SKAI terhadap sistem
pengendalian intern dalam penerapan
manajemen risiko serta tindak lanjut atas
rekomendasi/hasil penilaian yang diberikan.
5.
Minta dan review
dokumen/laporan/rekomendasi/risalah
rapat Satuan Kerja Manajemen Risiko terkait
penerapan manajemen risiko serta tindak
lanjut atas rekomendasi/hasil penilaian yang
diberikan.
6.
Buat kesimpulan, tanggapan, dan
rekomendasi hasil pemeriksaan serta
mintakan tanggapan dari LPEI.
Dilaksanakan/
Diselesaikan
Oleh:
Paraf Tanggal
(3)
(4)
Index Kertas
Kerja/
Dokumen
Pendukung
(5)
Keterangan
(6)
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-02/BL/2011
Tanggal : 20 Januari 2011
-37-
c. MODUL III: PROGRAM PEMERIKSAAN OPERASIONAL LPEI
Objek Pemeriksaan 1
Tujuan Pemeriksaan
: Kegiatan Pembiayaan/Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah LPEI.
: 1. Memastikan bahwa pelaksanaan kegiatan pembiayaan termasuk
pembiayaan berdasarkan prinsip syariah yang dilakukan LPEI telah
sesuai dengan kebijakan LPEI, Undang-Undang LPEI dan peraturan
pelaksanaannya.
2. Memastikan bahwa LPEI senantiasa memenuhi ketentuan mengenai
Batas Maksimum Pemberian Pembiayaan terkait pembiayaan dan
pembiayaan berdasarkan prinsip syariah sesuai Undang-Undang
LPEI dan peraturan pelaksanaannya.
3. Memastikan bahwa LPEI telah melaksanakan penilaian dan
penetapan kualitas piutang pembiayaan termasuk piutang
pembiayaan berdasarkan prinsip syariah serta penghitungan
pencadangan sesuai dengan kebijakan LPEI, Undang-Undang LPEI
dan peraturan pelaksanaannya.
Petunjuk Pemeriksaan:
No
(1)
1.
Petunjuk Pemeriksaan
(2)
Minta dan review kebijakan dan prosedur
pemberian, pencairan, pemantauan,
penyelesaian dan/atau restrukturisasi
pembiayaan dan pembiayaan berdasarkan
prinsip syariah apakah telah sesuai dengan
Undang-Undang LPEI dan peraturan
pelaksanaannya serta telah menerapkan tata
kelola yang baik, manajemen risiko, dan
prinsip mengenal nasabah secara memadai.
2.
Pastikan apakah LPEI telah memiliki unit
kerja khusus, mengalokasikan modal
tersendiri, melakukan pembukuan secara
terpisah, membentuk Dewan Pengawas
Syariah (DPS), dan tunduk pada fatwa DSN-
MUI dalam melakukan kegiatan pembiayaan
berdasarkan prinsip syariah.
3.
Lakukan review atas keputusan/risalah
rapat DPS apakah DPS telah melaksanakan
tugas, fungsi, dan wewenang secara
memadai termasuk dalam memastikan
kesesuaian kegiatan usaha syariah LPEI telah
sesuai dengan prinsip syariah.
4.
Minta daftar debitur LPEI dan lakukan uji
sampling atas dokumen-dokumen terkait
persetujuan, pencairan, pemantauan,
penyelesaian dan/atau restrukturisasi
pembiayaan dan pembiayaan berdasarkan
prinsip syariah untuk memastikan apakah
pemberian pembiayaan kepada debitur-
debitur tersebut telah sesuai dengan
kebijakan LPEI, Undang-Undang LPEI dan
peraturan pelaksanaannya serta
Dilaksanakan/
Diselesaikan
Oleh:
Paraf
(3)
Tanggal
(4)
Index Kertas
Kerja/
Dokumen
Pendukung
(5)
Keterangan
(6)
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-02/BL/2011
Tanggal : 20 Januari 2011
-38-
memperhatikan penerapan tata kelola yang
baik, manajemen risiko, dan prinsip
mengenal nasabah secara memadai.
5.
Lakukan pengecekan atas pemenuhan
ketentuan Batas Maksimum Pemberian
Pembiayaan atas setiap debitur dan pastikan
apakah telah akurat dan sesuai dengan
Undang-Undang LPEI dan peraturan
pelaksanaannya.
6.
Minta keputusan/risalah rapat/hasil analisis
terkait penilaian dan penetapan kualitas
piutang pembiayaan dan piutang
pembiayaan berdasarkan prinsip syariah dan
teliti apakah telah sesuai dengan Undang-
Undang LPEI dan peraturan pelaksanaannya.
7.
Lakukan review atas metodologi dan hasil
penghitungan pencadangan terkait
pembiayaan dan pembiayaan berdasarkan
prinsip syariah.
8.
Buat kesimpulan, tanggapan, dan
rekomendasi hasil pemeriksaan serta
mintakan tanggapan dari LPEI.
Objek Pemeriksaan 2
Tujuan Pemeriksaan
: Kegiatan Asuransi LPEI.
: 1. Memastikan bahwa pelaksanaan kegiatan asuransi yang dilakukan
LPEI telah sesuai dengan kebijakan LPEI, Undang-Undang LPEI dan
peraturan pelaksanaannya.
2. Memastikan bahwa LPEI senantiasa memenuhi ketentuan mengenai
Batas Maksimum Retensi Sendiri terkait asuransi sesuai Undang-
Undang LPEI dan peraturan pelaksanaannya.
3. Memastikan bahwa LPEI telah membentuk cadangan terkait
kegiatan asuransi sesuai dengan kebijakan LPEI, Undang-Undang
LPEI dan peraturan pelaksanaannya.
Petunjuk Pemeriksaan:
No
(1)
1.
Petunjuk Pemeriksaan
(2)
Minta dan review kebijakan dan prosedur
penutupan, penerimaan premi, pemantauan,
dan penyelesaian klaim asuransi apakah
telah sesuai dengan Undang-Undang LPEI
dan peraturan pelaksanaannya dan telah
menerapkan tata kelola yang baik,
manajemen risiko, dan prinsip mengenal
nasabah secara memadai.
2.
Minta daftar kegiatan asuransi yang telah
dilakukan dan lakukan uji sampling atas
dokumen-dokumen terkait penutupan,
penerimaan premi, pemantauan,
penyelesaian klaim terkait asuransi untuk
Dilaksanakan/
Diselesaikan
Oleh:
Paraf
(3)
Tanggal
(4)
Index Kertas
Kerja/
Dokumen
Pendukung
(5)
Keterangan
(6)
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-02/BL/2011
Tanggal : 20 Januari 2011
-39-
memastikan apakah telah sesuai dengan
kebijakan LPEI, Undang-Undang LPEI dan
peraturan pelaksanaannya serta
memperhatikan penerapan tata kelola yang
baik, manajemen risiko, dan prinsip
mengenal nasabah secara memadai.
3.
Lakukan pengecekan atas Batas Maksimum
Retensi Sendiri kegiatan asuransi dan
pastikan apakah telah sesuai dengan
Undang-Undang LPEI dan peraturan
pelaksanaannya.
4.
Lakukan penghitungan ulang atas cadangan
terkait kegiatan asuransi apakah sesuai
dengan Undang-Undang LPEI dan peraturan
pelaksanaannya.
5.
Buat kesimpulan, tanggapan, dan
rekomendasi hasil pemeriksaan serta
mintakan tanggapan dari LPEI.
Objek Pemeriksaan 3
Tujuan Pemeriksaan
: Kegiatan Penjaminan LPEI.
: 1. Memastikan bahwa pelaksanaan kegiatan penjaminan yang
dilakukan LPEI telah sesuai dengan kebijakan LPEI, Undang-
Undang LPEI dan peraturan pelaksanaannya.
2. Memastikan bahwa LPEI senantiasa memenuhi ketentuan mengenai
Batas Maksimum Retensi Sendiri terkait penjaminan sesuai Undang-
Undang LPEI dan peraturan pelaksanaannya.
3. Memastikan bahwa LPEI telah membentuk cadangan terkait
kegiatan penjaminan sesuai dengan kebijakan LPEI, Undang-Undang
LPEI dan peraturan pelaksanaannya.
Petunjuk Pemeriksaan:
No
(1)
1.
Petunjuk Pemeriksaan
(2)
Minta dan review kebijakan dan prosedur
pemberian, penerimaan fee, pemantauan, dan
penyelesaian klaim penjaminan apakah telah
sesuai dengan Undang-Undang LPEI dan
peraturan pelaksanaannya dan telah
menerapkan tata kelola yang baik,
manajemen risiko, dan prinsip mengenal
nasabah secara memadai.
2.
Minta daftar kegiatan penjaminan yang telah
dilakukan dan lakukan uji sampling
dokumen-dokumen terkait pemberian,
penerimaan fee, pemantauan, penyelesaian
klaim terkait penjaminan untuk memastikan
apakah telah sesuai dengan kebijakan LPEI,
Undang-Undang LPEI dan peraturan
pelaksanaannya serta memperhatikan
penerapan tata kelola yang baik, manajemen
risiko, dan prinsip mengenal nasabah secara
memadai.
Dilaksanakan/
Diselesaikan
Oleh:
Paraf
(3)
Tanggal
(4)
Index Kertas
Kerja/
Dokumen
Pendukung
(5)
Keterangan
(6)
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-02/BL/2011
Tanggal : 20 Januari 2011
-40-
3.
Lakukan pengecekan atas Batas Maksimum
Retensi Sendiri kegiatan penjaminan dan
pastikan apakah telah sesuai dengan
Undang-Undang LPEI dan peraturan
pelaksanaannya.
4.
Lakukan penghitungan ulang atas cadangan
terkait kegiatan penjaminan apakah sesuai
dengan Undang-Undang LPEI dan peraturan
pelaksanaannya.
5.
Buat kesimpulan, tanggapan, dan
rekomendasi hasil pemeriksaan serta
mintakan tanggapan dari LPEI.
Objek Pemeriksaan 4
Tujuan Pemeriksaan
: Kegiatan Penempatan Dana LPEI.
: 1. Memastikan bahwa pelaksanaan kegiatan penempatan dana yang
dilakukan LPEI telah sesuai dengan kebijakan LPEI, Undang-
Undang LPEI dan peraturan pelaksanaannya.
2. Memastikan bahwa LPEI senantiasa memenuhi ketentuan mengenai
Batas Maksimum penempatan dana dalam surat berharga termasuk
surat berharga berdasarkan prinsip syariah sesuai Undang-Undang
LPEI dan peraturan pelaksanaannya.
3. Memastikan bahwa LPEI telah melaksanakan penilaian dan
penetapan kualitas serta penghitungan pencadangan atas
penempatan dana dalam bentuk simpanan dan surat berharga
termasuk simpanan dan surat berharga berdasarkan prinsip syariah
sesuai dengan kebijakan LPEI, Undang-Undang LPEI dan peraturan
pelaksanaannya.
Petunjuk Pemeriksaan:
No
(1)
1.
Petunjuk Pemeriksaan
(2)
Minta dan review kebijakan dan prosedur
kegiatan penempatan dana dan penempatan
dana pada surat berharga berdasarkan
prinsip syariah apakah telah sesuai dengan
Undang-Undang LPEI dan peraturan
pelaksanaannya.
2.
Minta daftar penempatan dana LPEI dan
lakukan uji sampling atas dokumen-dokumen
terkait kegiatan penempatan dana untuk
memastikan apakah telah sesuai dengan
kebijakan LPEI, Undang-Undang LPEI dan
peraturan pelaksanaannya serta
memperhatikan penerapan tata kelola yang
baik dan manajemen risiko.
3.
Lakukan pengecekan atas pemenuhan
ketentuan Batas Maksimum penempatan
dana pada surat berharga apakah telah
akurat dan sesuai dengan Undang-Undang
LPEI dan peraturan pelaksanaannya.
Dilaksanakan/
Diselesaikan
Oleh:
Paraf
(3)
Tanggal
(4)
Index Kertas
Kerja/
Dokumen
Pendukung
(5)
Keterangan
(6)
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-02/BL/2011
Tanggal : 20 Januari 2011
-41-
4.
Minta keputusan/risalah rapat/hasil analisis
terkait penilaian dan penetapan kualitas
surat berharga dan surat berharga
berdasarkan prinsip syariah dan teliti apakah
telah sesuai dengan Undang-Undang LPEI
dan peraturan pelaksanaannya.
5.
Lakukan review atas metodologi dan hasil
penghitungan pencadangan terkait
penempatan dana dan penempatan dana
pada surat berharga berdasarkan prinsip
syariah.
6.
Buat kesimpulan, tanggapan, dan
rekomendasi hasil pemeriksaan serta
mintakan tanggapan dari LPEI.
Objek Pemeriksaan 5
Tujuan Pemeriksaan
: Kegiatan Penyertaan Modal LPEI.
: 1. Memastikan bahwa pelaksanaan kegiatan penyertaan modal,
termasuk penyertaan modal dalam rangka restrukturisasi
pembiayaan yang dilakukan LPEI telah sesuai dengan kebijakan
LPEI, Undang-Undang LPEI dan peraturan pelaksanaannya.
2. Memastikan bahwa LPEI telah melaksanakan penilaian dan
penetapan kualitas serta penghitungan pencadangan atas
penyertaan modal, termasuk penyertaan modal dalam rangka
restrukturisasi pembiayaan sesuai dengan kebijakan LPEI, Undang-
Undang LPEI dan peraturan pelaksanaannya.
Petunjuk Pemeriksaan:
No
(1)
1.
Petunjuk Pemeriksaan
(2)
Minta dan review kebijakan dan prosedur
kegiatan penyertaan modal apakah telah
sesuai dengan Undang-Undang LPEI dan
peraturan pelaksanaannya.
2.
Minta daftar penyertaan modal yang
dilakukan LPEI dan periksa dokumen-
dokumen terkait kegiatan penyertaan modal
untuk memastikan apakah telah sesuai
dengan kebijakan LPEI, Undang-Undang
LPEI dan peraturan pelaksanaannya serta
memperhatikan penerapan tata kelola yang
baik dan manajemen risiko secara memadai.
3.
Minta keputusan/risalah rapat/hasil analisis
terkait penilaian dan penetapan kualitas
penyertaan modal dan teliti apakah telah
sesuai dengan Undang-Undang LPEI dan
peraturan pelaksanaannya.
4.
Lakukan review atas metodologi dan hasil
penghitungan pencadangan terkait
penyertaan modal.
Dilaksanakan/
Diselesaikan
Oleh:
Paraf
(3)
Tanggal
(4)
Index Kertas
Kerja/
Dokumen
Pendukung
(5)
Keterangan
(6)
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-02/BL/2011
Tanggal : 20 Januari 2011
-42-
5.
Buat kesimpulan, tanggapan, dan
rekomendasi hasil pemeriksaan serta
mintakan tanggapan dari LPEI.
Objek Pemeriksaan 6
Tujuan Pemeriksaan
: Sumber Pendanaan, Transaksi Derivatif, Tagihan Akseptasi, Rekening
Administratif, Rasio Kecukupan Modal, dan Posisi Devisa Neto LPEI.
: 1. Memastikan bahwa sumber pendanaan LPEI telah sesuai dengan
Undang-Undang LPEI dan peraturan pelaksanaannya.
2. Memastikan bahwa pelaksanaan transaksi derivatif yang dilakukan
LPEI telah sesuai dengan Undang-Undang LPEI dan peraturan
pelaksanaannya yaitu antara lain menerapkan prinsip kehati-hatian,
dilakukan dalam rangka lindung nilai, dan tidak melampaui batas
maksimum transaksi derivatif.
3. Memastikan bahwa LPEI telah melakukan penghitungan Rasio
Kecukupan Modal dan posisi devisa neto sesuai Undang-Undang
LPEI dan peraturan pelaksanaannya dan memastikan bahwa Rasio
Kecukupan Modal dan posisi devisa neto LPEI untuk neraca dan
keseluruhan tidak melanggar Undang-Undang LPEI dan peraturan
pelaksanaannya.
4. Memastikan bahwa penilaian dan penetapan kualitas tagihan
derivatif, tagihan akseptasi, dan transaksi rekening administratif
sesuai
dengan Undang-Undang
pelaksanaannya.
5. Memastikan bahwa LPEI senantiasa memenuhi ketentuan mengenai
Batas Maksimum tagihan akseptasi dan transaksi rekening
administratif sesuai Undang-Undang LPEI dan peraturan
pelaksanaannya.
Petunjuk Pemeriksaan:
No
(1)
1.
Petunjuk Pemeriksaan
(2)
Minta dan review kebijakan dan prosedur
terkait persetujuan sumber pendanaan,
transaksi derivatif, dan tagihan akseptasi.
2.
Minta dokumen/perjanjian terkait
pendanaan yang diterima LPEI dan periksa
apakah telah sesuai kebijakan LPEI, Undang-
Undang LPEI dan peraturan
pelaksanaannya.
3.
Minta dokumen/perjanjian/risalah rapat
terkait transaksi derivatif dan periksa apakah
telah memenuhi prinsip kehati-hatian,
dilakukan dalam rangka lindung nilai, dan
tidak terjadi pelampauan batas maksimum
transaksi derivatif sesuai Undang-Undang
LPEI dan peraturan pelaksanaannya.
4.
Lakukan penghitungan ulang atas Rasio
Kecukupan Modal dan Posisi Devisa Neto
(Neraca dan Keseluruhan) beserta unsur-
unsur pembentuknya dan pastikan apakah
sesuai dengan Undang-Undang LPEI dan
peraturan pelaksanaannya.
Dilaksanakan/
Diselesaikan
Oleh:
Paraf
(3)
Tanggal
(4)
Index Kertas
Kerja/
Dokumen
Pendukung
(5)
Keterangan
(6)
LPEI
dan
peraturan
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-02/BL/2011
Tanggal : 20 Januari 2011
-43-
5.
Lakukan pengecekan terhadap posisi
struktural dalam penghitungan Posisi Devisa
Neto.
6.
Minta keputusan/risalah rapat/hasil analisis
terkait penilaian dan penetapan kualitas
tagihan derivatif, tagihan akseptasi, dan
transaksi rekening administratif dan teliti
apakah telah sesuai dengan Undang-Undang
LPEI dan peraturan pelaksanaannya.
7.
Lakukan pengecekan/penghitungan ulang
atas pemenuhan ketentuan Batas Maksimum
tagihan akseptasi dan transaksi rekening
administratif apakah telah akurat dan sesuai
dengan Undang-Undang LPEI dan peraturan
pelaksanaannya.
8.
Buat kesimpulan, tanggapan, dan
rekomendasi hasil pemeriksaan serta
mintakan tanggapan dari LPEI.
Objek Pemeriksaan 7 : Pelaksanaan Prinsip Mengenal Nasabah LPEI.
Tujuan Pemeriksaan : 1. Memastikan bahwa LPEI telah menetapkan kebijakan penerimaan
nasabah, kebijakan dan prosedur identifikasi nasabah, kebijakan
dan prosedur pemantauan terhadap rekening dan transaksi
nasabah, dan kebijakan dan prosedur manajemen risiko terkait
penerapan prinsip mengenal nasabah sesuai dengan Undang-
Undang LPEI dan peraturan pelaksanaannya.
2. Memastikan bahwa LPEI telah menerapkan prinsip mengenal
nasabah sesuai dengan kebijakan LPEI, Undang-Undang LPEI dan
peraturan pelaksanaannya.
3. Memastikan bahwa LPEI telah memberikan pengetahuan dan/atau
pelatihan yang memadai bagi pegawai mengenai penerapan prinsip
mengenal nasabah.
Petunjuk Pemeriksaan:
No
(1)
1.
Petunjuk Pemeriksaan
(2)
Minta dokumen-dokumen terkait penerapan
prinsip mengenal nasabah antara lain yaitu:
Kebijakan dan prosedur/pedoman terkait
pelaksanaan penerapan prinsip mengenal
nasabah;
Surat Keputusan pembentukan unit khusus
atau petugas yang bertanggung jawab atas
pelaksanaan prinsip mengenal nasabah;
Laporan-laporan yang pernah disampaikan
ke PPATK terkait pelaksanaan penerapan
prinsip mengenal nasabah dan daftar
nasabah yang melakukan transaksi
mencurigakan;
Daftar nasabah LPEI;
Dilaksanakan/
Diselesaikan
Oleh:
Paraf Tanggal
(3)
(4)
Index
Kertas
Kerja/
Dokumen
Pendukung
(5)
(6)
Keterangan
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-02/BL/2011
Tanggal : 20 Januari 2011
-44-
Daftar pelatihan/sosialisasi terkait
pelaksanaan penerapan prinsip mengenal
nasabah
Dokumen-dokumen pendukung lainnya
terkait penerapan prinsip mengenal
nasabah.
2.
Lakukan review atas kebijakan dan
prosedur/pedoman terkait pelaksanaan
penerapan prinsip mengenal nasabah dan
periksa kesesuaiannya dengan Undang-
Undang LPEI dan peraturan pelaksanaannya.
3.
Periksa apakah LPEI telah memiliki sistem
informasi yang dapat mengidentifikasi,
menganalisa, memantau, dan menyediakan
laporan mengenai karakteristik transaksi
yang dilakukan oleh nasabah secara handal
dan tepat waktu.
4.
Lakukan uji sampel atas data dan rekening
nasabah untuk memastikan apakah
penerimaan dan identifikasi nasabah,
pemantauan rekening dan transaksi nasabah,
pemeliharaan profil nasabah, dan pelaporan
transaksi mencurigakan telah sesuai dengan
kebijakan LPEI, Undang-Undang LPEI dan
peraturan pelaksanaannya.
5.
Telaah hasil pelatihan dan/sosialisasi yang
telah dilakukan terkait pelaksanaan
penerapan prinsip mengenal nasabah untuk
menilai efektivitasnya.
6.
Buat kesimpulan, tanggapan, dan
rekomendasi hasil pemeriksaan dan
mintakan tanggapan dari LPEI.
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-02/BL/2011
Tanggal : 20 Januari 2011
-45-
d. MODUL IV: Program Pemeriksaan Keuangan LPEI
Objek Pemeriksaan
Tujuan Pemeriksaan
Petunjuk Pemeriksaan:
No
(1)
1.
: Akun-akun Neraca, Laporan Laba Rugi, dan Rekening Administratif.
: Menilai kebenaran substansi akun-akun Neraca, Laporan Laba Rugi, dan
Rekening Administratif
Petunjuk Pemeriksaan
(2)
Minta kebijakan akuntansi, manual sistem
informasi akuntansi LPEI dan Standard
Operating Procedures (SOP) pencatatan
transaksi akun-akun Neraca, Laporan Laba
Rugi, dan Rekening Administratif.
2.
Lakukan review atas kebijakan akuntansi,
manual sistem informasi akuntansi LPEI dan
Standard Operating Procedures (SOP)
pencatatan transaksi akun-akun Neraca,
Laporan Laba Rugi, dan Rekening
Administratif terutama untuk memastikan
pengendalian intern.
3.
Lakukan uji petik (sampel) untuk menilai
pencatatan transaksi apakah telah sesuai
dengan kebijakan akuntansi, manual sistem
informasi akuntansi LPEI dan Standard
Operating Procedures (SOP) pencatatan
transaksi akun-akun Neraca, Laporan Laba
Rugi, dan Rekening Administratif.
4.
Periksa akurasi jumlah, validitas,
kelengkapan, dan klasifikasi akun-akun
Neraca, Laporan Laba Rugi, dan Rekening
Administratif.
5.
Buat kesimpulan, tanggapan, dan
rekomendasi hasil pemeriksaan serta
mintakan tanggapan dari LPEI.
Dilaksanakan/
Diselesaikan
Oleh:
Paraf
(3)
Tanggal
(4)
Index Kertas
Kerja/
Dokumen
Pendukung
(5)
Keterangan
(6)
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-02/BL/2011
Tanggal : 20 Januari 2011
-46-
BAB IV
DOKUMENTASI PEMERIKSAAN
A. Klasifikasi Berkas Pemeriksaan
Berkas pemeriksaan merupakan data, kertas kerja, laporan pemeriksaan dan semua
dokumen yang berhubungan dengan kegiatan pemeriksaan. Dokumen tersebut
merupakan bukti otentik pelaksanaan pemeriksaan dan sebagai dasar dalam
pembuatan laporan hasil pemeriksaan. Agar berkas pemeriksaan mudah diperoleh
kembali, penyimpanannya harus dilakukan dengan tertib dan teratur.
Berkas Pemeriksaan dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Berkas umum
Berkas umum merupakan dokumen-dokumen administratif yang dibuat dalam
rangka pelaksanaan kegiatan pemeriksaan. Berkas umum mencakup:
a. Surat Pemberitahuan Pemeriksaan
Surat Pemberitahuan Pemeriksaan adalah surat pemberitahuan yang dikeluarkan
Penanggung Jawab Pemeriksaan atas nama Ketua Bapepam dan LK yang
disampaikan kepada LPEI. Tembusan Surat Pemberitahuan Pemeriksaan
dikirimkan kepada Ketua dan Sekretaris Bapepam dan LK.
b. Surat Perintah Pemeriksaan
Surat Perintah Pemeriksaan merupakan surat yang dikeluarkan Penanggung
Jawab Pemeriksaan atas nama Ketua Bapepam dan LK yang digunakan
pemeriksa sebagai dasar untuk melakukan Pemeriksaan. Tembusan Surat
Perintah Pemeriksaan dikirimkan kepada Ketua dan Sekretaris Bapepam dan LK.
c. Surat Perintah Perjalanan Dinas
Surat Perintah Perjalanan Dinas dibuat untuk keperluan administratif guna
mendapatkan penggantian biaya perjalanan dinas dari Sekretariat Bapepam dan
LK. Untuk pemeriksaan kantor pusat LPEI di Jakarta cukup digunakan Surat
Perintah Pemeriksaan, sementara untuk pemeriksaan LPEI di kota-kota lain
digunakan juga Surat Perintah Perjalanan Dinas selain Surat Perintah
Pemeriksaan.
d. Daftar Permintaan dan Peminjaman Data/Dokumen
Daftar ini merupakan daftar permintaan dan peminjaman data/ dokumen yang
dibutuhkan oleh Tim Pemeriksaan dan disampaikan kepada LPEI. Daftar ini
berisi rincian data/dokumen yang dibutuhkan, tanggal diberikan atau
kesanggupan LPEI memberikan data, dan tanggal pengembalian data. Daftar ini
dibuat 2 (dua) rangkap (satu untuk Tim Pemeriksaan dan satu lagi untuk LPEI)
dan ditandatangani oleh Ketua Tim Pemeriksaan.
Contoh format Daftar Permintaan dan Peminjaman Data/Dokumen terdapat
dalam Formulir V.
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-02/BL/2011
Tanggal : 20 Januari 2011
-47-
e. Berita Acara Penolakan Pemeriksaan/Penolakan Membantu Kelancaran
Pemeriksaan dan Berita Acara Penundaan Pemeriksaan
Berita Acara Penolakan Pemeriksaan/Penolakan Membantu Kelancaran
Pemeriksaan merupakan dokumen yang berisi pernyataan bahwa LPEI menolak
dilakukan pemeriksaan atau menolak membantu kelancaran pemeriksaan.
Dalam hal LPEI menolak dilakukannya pemeriksaan atau menolak membantu
kelancaran Pemeriksaan, wakil LPEI dan Ketua Tim Pemeriksaan harus
menandatangani Berita Acara Penolakan Pemeriksaan/Penolakan Membantu
Kelancaran Pemeriksaan.
Contoh format Berita Acara Penolakan Pemeriksaan/Penolakan Membantu
Kelancaran Pemeriksaan terdapat dalam Formulir VI.
Berita Acara Penundaan Pemeriksaan merupakan dokumen yang berisi
pernyataan bahwa LPEImengajukan penundaan Pemeriksaan.
Dalam hal LPEI mengajukan penundaan dilakukannya pemeriksaan, wakil LPEI
dan Ketua Tim Pemeriksaan harus menandatangani Berita Acara Penundaan
Pemeriksaan.
Contoh format Berita Acara Penundaan Pemeriksaan terdapat dalam
Formulir VII.
f. Berita Acara Pemeriksaan dan Berita Acara Penolakan Penandatanganan Berita
Acara Pemeriksaan.
Berita Acara Pemeriksaan merupakan dokumen yang menyatakan bahwa telah
dilakukan pemeriksaan terhadap LPEI. Berita Acara ini ditandatangani oleh
Ketua Tim Pemeriksaan dan pihak yang mewakili LPEI setelah berakhirnya
pemeriksaan di kantor LPEI.
Contoh format Berita Acara Pemeriksaan terdapat dalam Formulir VIII.
Berita Acara Penolakan Penandatanganan Berita Acara Pemeriksaan dibuat
apabila pihak yang mewakili LPEI menolak untuk menandatangani Berita Acara
Pemeriksaan. Berita Acara ini ditandatangani oleh Ketua Tim Pemeriksaan dan
pihak yang mewakili LPEI setelah berakhirnya pemeriksaan di kantor LPEI.
Contoh format Berita Acara Penolakan Penandatanganan Berita Acara
Pemeriksaan terdapat dalam Formulir IX.
g. Surat Pengantar Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara dan Laporan Hasil
Pemeriksaan Final
Surat pengantar Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara maupun surat pengantar
Laporan Hasil Pemeriksaan Final ditandatangani oleh Penanggung Jawab
Pemeriksaan atas nama Ketua Bapepam dan LK dan ditujukan kepada Direktur
Eksekutif LPEI. Dalam surat pengantar, Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara
harus diberitahukan tentang jangka waktu penyampaian tanggapan terhadap
laporan dimaksud dan kemungkinan diadakannya pembahasan apabila
Direktur Eksekutif LPEI keberatan terhadap temuan hasil pemeriksaan yang
tertuang dalam Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara.
Contoh format Surat Pengantar Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara terdapat
dalam Formulir X.
Contoh format Surat Pengantar Laporan Hasil Pemeriksaan Final (Tanpa
Tanggapan) terdapat dalam Formulir XI.
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-02/BL/2011
Tanggal : 20 Januari 2011
-48-
Contoh format Surat Pengantar Laporan Hasil Pemeriksaan Final (Dengan
Tanggapan) terdapat dalam Formulir XII.
h. Berita Acara Pembahasan Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara
Berita Acara Pembahasan Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara dibuat apabila
dilakukan pembahasan dengan LPEI yang keberatan terhadap temuan hasil
pemeriksaan yang tertuang dalam Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara.
Berita Acara Pembahasan Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara ditandatangani
Penyelia dan Ketua Tim Pemeriksaan dan wakil dari LPEI pada akhir acara
pembahasan.
Contoh format Berita Acara Pembahasan Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara
terdapat dalam Formulir XIII.
i. Nota Dinas Pengantar Laporan Hasil Pemeriksaan kepada Ketua Bapepam dan
LK
Nota dinas pengantar Laporan Hasil Pemeriksaan disampaikan oleh Penangung
Jawab Pemeriksaan kepada Ketua Bapepam dan LK dan berisi laporan mengenai
pemeriksaan terhadap LPEI beserta hasil-hasilnya. Nota dinas ini dilampiri
ringkasan hasil-hasil pemeriksaan. Nota dinas tersebut dibuat untuk
pemeriksaan yang bersifat setiap waktu dan pemeriksaan berkala. Bentuk nota
dinas ini sesuai dengan bentuk baku yang telah diterapkan di lingkungan
Bapepam dan LK.
j. Lembar Kerja Pemeriksa
Lembar ini berisi tentang pekerjaan yang telah dilakukan setiap pemeriksa,
tanggal penyelesaian pekerjaan tersebut, dan kertas kerja yang dihasilkan.
Lembar Kerja Pemeriksa diisi oleh pemeriksa, dan diparaf oleh Ketua Tim
Pemeriksaan dan Penyelia Pemeriksaan.
Contoh format Lembar Kerja Pemeriksa terdapat dalam Formulir XIV.
k. Surat dari LPEI atau Pihak Lain
Surat dari LPEI merupakan semua surat yang berhubungan dengan pemeriksaan
dan berasal dari LPEI, misalnya Surat Tanggapan atas Laporan Hasil
Pemeriksaan Sementara. Sedangkan surat yang berasal dari pihak lain misalnya
adalah balasan surat konfirmasi.
2. Kertas Kerja Pemeriksaan (KKP)
Kertas Kerja Pemeriksaan merupakan kertas kerja yang dibuat pemeriksa selama
melakukan kegiatan pemeriksaan.
Kertas kerja tersebut diberi nomor indeks dan diparaf oleh Ketua dan Anggota Tim
Pemeriksaan yang membuat kertas kerja. Kertas kerja selanjutnya digunakan sebagai
dasar dalam membuat Laporan Hasil Pemeriksaan. Dengan demikian semua yang
tertuang dalam Laporan Hasil Pemeriksaan didukung dengan Kertas Kerja
Pemeriksaan. Secara garis besar Kertas Kerja Pemeriksaan mencakup:
a. Kertas Kerja Pemeriksaan awal, mencakup:
1) Hasil analisis pendahuluan; dan
2) Kuesioner.
b. Kertas Kerja Pemeriksaan untuk aspek tata kelola perusahaan yang baik.
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-02/BL/2011
Tanggal : 20 Januari 2011
-49-
c. Kertas Kerja Pemeriksaan untuk aspek manajemen risiko.
d. Kertas Kerja Pemeriksaan untuk aspek operasional.
e. Kertas Kerja Pemeriksaan untuk aspek Keuangan.
3. Dokumen Pendukung Kertas Kerja Pemeriksaan
Kelompok berkas ini berisi dokumen-dokumen yang diperoleh pemeriksa dari LPEI
dan/atau pihak lain untuk mendukung Kertas Kerja Pemeriksaan. Dokumen
pendukung Kertas Kerja Pemeriksaan yang diarsip hanyalah dokumen pendukung
yang relevan dengan Kertas Kerja Pemeriksaan.
4. Laporan Hasil Pemeriksaan
Laporan Hasil Pemeriksaan yang terdiri dari Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara
maupun Laporan Hasil Pemeriksaan Final memuat hasil-hasil pemeriksaan yang
mencakup semua aspek yang diperiksa. Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara dan
Laporan Hasil Pemeriksaan Final ditetapkan oleh Penanggung Jawab Pemeriksaan
atas nama Ketua Bapepam dan LK.
Contoh format dan sistematika Laporan Hasil Pemeriksaan terdapat dalam Formulir
XV.
B. Prosedur Penyimpanan Dokumen
Setelah pemeriksaan terhadap LPEI selesai dilakukan (Laporan Hasil Pemeriksaan telah
dikirim), pemeriksa wajib melakukan pengarsipan seluruh berkas pemeriksaan dengan
cara yang sistematis, sehingga berkas pemeriksaan tersebut mudah ditemukan kembali
apabila diperlukan. Dokumen-dokumen elektronik dari satu pemeriksaan harus
disimpan dalam satu direktori yang tidak bercampur dengan dokumen lain pada
jaringan komputer. Berkas pemeriksaan yang berupa dokumen kertas harus disimpan
dalam dua bundel yang terpisah, yaitu:
1. Bundel 1 berisi berkas Umum, Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara, dan Laporan
Hasil Pemeriksaan Final.
Bundel 1 disusun dengan urutan sebagai berikut:
a. Daftar Isi;
b. Surat Perintah Pemeriksaan;
c. Surat Pemberitahuan Pemeriksaan;
d. Surat Perintah Perjalanan Dinas atau copy Surat Perintah Perjalanan Dinas;
e. Daftar Permintaan dan Peminjaman Data/Dokumen;
f. Berita Acara Penolakan Pemeriksaan/Penolakan Membantu Kelancaran
Pemeriksaan atau Berita Acara Penundaan Pemeriksaan (jika ada);
g. Berita Acara Pemeriksaan atau Berita Acara Penolakan Penandatanganan Berita
Acara Pemeriksaan (jika ada);
h. Berita Acara Pembahasan Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara (jika ada);
i. Lembar Kerja Pemeriksa;
j. Surat dari LPEI atau Pihak Lain (jika ada);
k. Nota Dinas Pengantar Laporan Hasil Pemeriksaan kepada Ketua Bapepam dan
LK;
l. Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara dan surat pengantarnya;
m. Laporan Hasil Pemeriksaan Final dan surat pengantarnya.
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-02/BL/2011
Tanggal : 20 Januari 2011
-50-
2. Bundel 2 berisi Kertas Kerja Pemeriksaan dan dokumen pendukung Kertas Kerja
Pemeriksaan.
Bundel 2 disusun sesuai dengan urutan nomor indeks Kertas Kerja Pemeriksaan.
C. Contoh Formulir
1. FORMULIR V : FORMAT DAFTAR PERMINTAAN DAN PEMINJAMAN
DATA/DOKUMEN
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
GEDUNG SUMITRO DJOJOHADIKUSUMO, JALAN LAPANGAN BANTENG TIMUR NOMOR 1-4,
JAKARTA 10710, TELEPON 0213858001, FAKSIMILI 0213857917, SITUS www.bapepam.go.id
DAFTAR PERMINTAAN DAN PEMINJAMAN DATA/DOKUMEN
Berikut ini adalah data dan dokumen yang dibutuhkan dalam rangka pemeriksaan langsung
terhadap Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia:
Diserahkan
Nama
No.
Dokumen/
Data
Jumlah
Dokumen/
Data
Status *)
Oleh (nama
& paraf)
Kepada
(nama &
paraf)
Oleh
Tanggal
(nama &
paraf)
Kepada
(nama &
paraf)
Tanggal
Dikembalikan
Ketua Tim Pemeriksaan,
..........................................
NIP
Keterangan:
*) diisi angka 1 apabila dokumen diminta dan angka 2 apabila dokumen dipinjam
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-02/BL/2011
Tanggal : 20 Januari 2011
-51-
2. FORMULIR VI : FORMAT BERITA ACARA PENOLAKAN PEMERIKSAAN/
PENOLAKAN MEMBANTU KELANCARAN PEMERIKSAAN
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
GEDUNG SUMITRO DJOJOHADIKUSUMO, JALAN LAPANGAN BANTENG TIMUR NOMOR 1-4,
JAKARTA 10710, TELEPON 0213858001, FAKSIMILI 0213857917, SITUS www.bapepam.go.id
BERITA ACARA PENOLAKAN PEMERIKSAAN/
PENOLAKAN MEMBANTU KELANCARAN PEMERIKSAAN
Pada hari ini ........., tanggal ......... berdasarkan Surat Perintah Pemeriksaan Nomor .........
tanggal ........., kami:
Nama
NIP
: .........
: .........
Ketua Tim Pemeriksaan pada Biro Pembiayaan dan Penjaminan, ditugaskan untuk melakukan
pemeriksaan terhadap Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) dengan alamat ………..
Sehubungan dengan pemeriksaan tersebut, LPEI, dalam hal ini diwakili oleh:
Nama
Jabatan
Alamat
: .........
: .........
: .........
telah menolak untuk dilakukan pemeriksaan/membantu kelancaran pemeriksaan*), dengan
alasan:
.........................................................................................................................................
Demikian Berita Acara Penolakan Pemeriksaan/Penolakan Membantu Kelancaran
Pemeriksaan*) ini dibuat dengan sebenarnya.
Jakarta, .........
Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia,
Ketua Tim Pemeriksaan,
…………………...................
Jabatan
:…………....
*) coret yang tidak perlu
………………….................
NIP .....................................
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-02/BL/2011
Tanggal : 20 Januari 2011
-52-
3. FORMULIR VII: FORMAT BERITA ACARA PENUNDAAN PEMERIKSAAN
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
GEDUNG SUMITRO DJOJOHADIKUSUMO, JALAN LAPANGAN BANTENG TIMUR NOMOR 1-4,
JAKARTA 10710, TELEPON 0213858001, FAKSIMILI 0213857917, SITUS www.bapepam.go.id
BERITA ACARA PENUNDAAN PEMERIKSAAN
Pada hari ini
........., tanggal ......... berdasarkan Surat Perintah Pemeriksaan
Nomor……….tanggal………, LPEI dan Tim pemeriksaan sepakat untuk melakukan
penundaan pemeriksaan dengan alasan:
.......................................................................................................................................................
Demikian Berita Acara Penundaan Pemeriksaan ini dibuat dengan sebenarnya.
Jakarta, ................
Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia,
Ketua Tim Pemeriksaan,
……………………….. ……
Jabatan
:…………...
......................................
NIP ..............................
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-02/BL/2011
Tanggal : 20 Januari 2011
-53-
4. FORMULIR VIII : FORMAT BERITA ACARA PEMERIKSAAN
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
GEDUNG SUMITRO DJOJOHADIKUSUMO, JALAN LAPANGAN BANTENG TIMUR NOMOR 1-4,
JAKARTA 10710, TELEPON 0213858001, FAKSIMILI 0213857917, SITUS www.bapepam.go.id
BERITA ACARA PEMERIKSAAN
Nomor:……………………
Pada hari ini, ……….. tanggal …………………, Tim Pemeriksaan Biro Pembiayaan dan
Penjaminan berdasarkan Surat Perintah Pemeriksaan Nomor ………………..tanggal
……………… telah melaksanakan pemeriksaan terhadap Lembaga Pembiayaan Ekspor
Indonesia, dengan alamat ……………………......
Kepada Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia telah ditunjukkan Surat Perintah
Pemeriksaan dan dijelaskan tentang tujuan pemeriksaan yaitu untuk memperoleh keyakinan
yang memadai atas kebenaran laporan periodik dan menilai kepatuhan terhadap ketentuan
undang-undang yang mengatur tentang Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia dan
peraturan pelaksanaannya serta peraturan perundang-undangan lain yang terkait dengan
kegiatan LPEI.
Pemeriksaan telah dilaksanakan dari tanggal .............. s.d. .................
Demikian berita acara ini dibuat dan ditandatangani oleh Ketua Tim Pemeriksaan dan pihak
yang mewakili Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia.
Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia,
Jakarta, …………………
Ketua Tim Pemeriksaan,
.........………………………
Jabatan: ………………….
…………………………..
NIP ……………………
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-02/BL/2011
Tanggal : 20 Januari 2011
-54-
5. FORMULIR IX: FORMAT BERITA ACARA PENOLAKAN
PENANDATANGANAN BERITA ACARA PEMERIKSAAN
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
GEDUNG SUMITRO DJOJOHADIKUSUMO, JALAN LAPANGAN BANTENG TIMUR NOMOR 1-4,
JAKARTA 10710, TELEPON 0213858001, FAKSIMILI 0213857917, SITUS www.bapepam.go.id
BERITA ACARA PENOLAKAN PENANDATANGANAN
BERITA ACARA PEMERIKSAAN
Pada hari ini ........., tanggal ......... berdasarkan Surat Perintah Pemeriksaan Nomor .........
tanggal ......... Tim Pemeriksaan pada Biro Pembiayaan dan Penjaminan telah melakukan
pemeriksaan terhadap Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia, dengan alamat
…………………...........
Sehubungan dengan pemeriksaan tersebut, Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia, dalam
hal ini diwakili oleh:
Nama
Jabatan
Alamat
: .........
: .........
: .........
telah menolak untuk menandatangani Berita Acara Pemeriksaan, dengan alasan:
...............................................................
Demikian Berita Acara Penolakan Penandatanganan Berita Acara Pemeriksaan ini dibuat
dengan sebenarnya.
Jakarta, .........
Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia,
Ketua Tim Pemeriksaan,
………………………
Jabatan: ……………..
………..........................
NIP ..............................
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-02/BL/2011
Tanggal : 20 Januari 2011
-55-
6. FORMULIR X : FORMAT SURAT PENGANTAR LAPORAN HASIL
PEMERIKSAAN SEMENTARA
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
GEDUNG SUMITRO DJOJOHADIKUSUMO, JALAN LAPANGAN BANTENG TIMUR NOMOR 1-4,
JAKARTA 10710, TELEPON 0213858001, FAKSIMILI 0213857917, SITUS www.bapepam.go.id
Nomor :
.............
Lampiran : 1 (satu) berkas
Hal
Yth.
Direktur Eksekutif
Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia
(alamat) .................................
Sehubungan dengan telah dilaksanakan pemeriksaan terhadap Lembaga Pembiayaan
Ekspor Indonesia berdasarkan Surat Perintah Pemeriksaan Nomor ............. tanggal .............,
bersama ini kami sampaikan Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara. Saudara dapat
menyampaikan tanggapan atas hasil pemeriksaan dimaksud paling lama 15 (lima belas) hari
kerja setelah diterimanya surat ini untuk dilakukan pembahasan lebih lanjut jika diperlukan
atas tanggapan yang Saudara sampaikan. Jika dalam jangka waktu tersebut tidak ada
tanggapan yang berisi keberatan dari Saudara, maka Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara
akan ditetapkan sebagai Laporan Hasil Pemeriksaan Final.
Demikian agar Saudara maklum.
a.n. Ketua
Kepala Biro Pembiayaan dan
Penjaminan,
: Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara
(tanggal) ..........................
…………………...........
NIP ……………...........
Tembusan:
1. Ketua;
2. Sekretaris Badan;
3. Dewan Direktur Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia.
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-02/BL/2011
Tanggal : 20 Januari 2011
-56-
7. FORMULIR XI : FORMAT SURAT PENGANTAR LAPORAN HASIL
PEMERIKSAAN FINAL (TANPA TANGGAPAN)
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
GEDUNG SUMITRO DJOJOHADIKUSUMO, JALAN LAPANGAN BANTENG TIMUR NOMOR 1-4,
JAKARTA 10710, TELEPON 0213858001, FAKSIMILI 0213857917, SITUS www.bapepam.go.id
Nomor :
.............
Lampiran : 1 (satu) berkas
Hal
Yth.
Direktur Eksekutif
Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia
(alamat) …..............
Sehubungan dengan telah disampaikan Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara
kepada Saudara dengan surat Nomor ............. tanggal ............., dan sampai dengan jangka
waktu 15 (lima belas) hari kerja terhitung sejak tanggal Laporan Hasil Pemeriksaan
Sementara diterima tidak ada tanggapan dari Saudara, maka Laporan Hasil Pemeriksaan
Sementara dimaksud ditetapkan menjadi Laporan Hasil Pemeriksaan Final.
Berkenaan dengan hasil Pemeriksaan, diharapkan Saudara memperhatikan dan
segera melaksanakan rekomendasi yang terdapat dalam Bab ....................................... dari
Laporan Hasil Pemeriksaan Final *).
Demikian agar Saudara maklum.
a.n. Ketua
Kepala Biro Pembiayaan dan
Penjaminan
: Laporan Hasil Pemeriksaan Final
(tanggal) ...........................
…....................................
NIP ……………............
Tembusan:
1. Ketua;
2. Sekretaris Badan;
3. Dewan Direktur Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia.
*) Paragraf ini hanya dicantumkan jika terdapat rekomendasi.
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-02/BL/2011
Tanggal : 20 Januari 2011
-57-
8. FORMULIR XII : FORMAT SURAT PENGANTAR LAPORAN HASIL
PEMERIKSAAN FINAL (DENGAN TANGGAPAN)
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
GEDUNG SUMITRO DJOJOHADIKUSUMO, JALAN LAPANGAN BANTENG TIMUR NOMOR 1-4,
JAKARTA 10710, TELEPON 0213858001, FAKSIMILI 0213857917, SITUS www.bapepam.go.id
Nomor :
.............
Lampiran : 1 (satu) berkas
Hal
Yth.
Direktur Eksekutif
Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia
(alamat) …………….............
Berita
Sehubungan dengan surat Saudara Nomor ............. tanggal ............. hal ...................dan
Pembahasan
Acara
Laporan
Hasil
Pemeriksaan
: Laporan Hasil Pemeriksaan Final
(tanggal).............................
Sementara
Nomor………….tanggal………….., maka bersama ini kami sampaikan Laporan Hasil
Pemeriksaan Final yang disusun berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara yang
telah disesuaikan.
Berkenaan dengan hasil Pemeriksaan, diharapkan Saudara memperhatikan dan
segera melaksanakan rekomendasi yang terdapat dalam Bab ........................................ dari
Laporan Hasil Pemeriksaan Final*).
Demikian agar Saudara maklum.
a.n. Ketua
Kepala Biro Pembiayaan dan
Penjaminan,
............................................
NIP ………………...........
Tembusan:
1. Ketua;
2. Sekretaris Badan;
3. Dewan Direktur Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia.
*) Paragraf ini hanya dicantumkan jika terdapat rekomendasi.
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-02/BL/2011
Tanggal : 20 Januari 2011
-58-
9. FORMULIR XIII : FORMAT BERITA ACARA PEMBAHASAN LAPORAN
HASIL PEMERIKSAAN SEMENTARA
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
GEDUNG SUMITRO DJOJOHADIKUSUMO, JALAN LAPANGAN BANTENG TIMUR NOMOR 1-4,
JAKARTA 10710, TELEPON 0213858001, FAKSIMILI 0213857917, SITUS www.bapepam.go.id
BERITA ACARA
PEMBAHASAN LAPORAN HASIL PEMERIKSAAN SEMENTARA
Pada hari ini, ……….. tanggal …………………bertempat di ............. telah dilakukan
pembahasan keberatan Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia atas Laporan Hasil
Pemeriksaan Sementara. Pembahasan dimaksud akan digunakan sebagai bahan
pertimbangan oleh Tim Pemeriksaan dalam menyusun Laporan Hasil Pemeriksaan Final.
Hadir dalam pembahasan tersebut ..... orang dari Biro Pembiayaan dan Penjaminan dan ......
orang dari Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (daftar hadir terlampir).
Hasil pembahasan tersebut adalah sebagai berikut:
1. .........................................
2. ........................................
3. ........................................
4. ........................................
Demikian Berita Acara ini dibuat dengan sebenarnya.
Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia,
Jakarta, …………………
Penyelia Pemeriksaan,
………………………………
Jabatan: ………………….....
...................................
NIP ...........................
Ketua Tim Pemeriksaan,
……………………….......
NIP...........................
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-02/BL/2011
Tanggal : 20 Januari 2011
-59-
10. FORMULIR XIV : FORMAT LEMBAR KERJA PEMERIKSA
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
GEDUNG SUMITRO DJOJOHADIKUSUMO, JALAN LAPANGAN BANTENG TIMUR NOMOR 1-4,
JAKARTA 10710, TELEPON 0213858001, FAKSIMILI 0213857917, SITUS www.bapepam.go.id
LEMBAR KERJA PEMERIKSA
Nama Pemeriksa :…………………….
Ketua Tim
Penyelia
:…………………….
:…………………….
Tanggal Pemeriksaan :…………………….
No
Objek/Tugas
Pemeriksaan
Tanggal
selesai
KKP
No.
Index
Jenis
Kesimpulan
Paraf Ketua
Tim
Keterangan
Paraf Penyelia:
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-02/BL/2011
Tanggal : 20 Januari 2011
-60-
11. FORMULIR XV: FORMAT LAPORAN HASIL PEMERIKSAAN
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
BIRO PEMBIAYAAN DAN PENJAMINAN
LAPORAN HASIL PEMERIKSAAN
LEMBAGA PEMBIAYAAN EKSPOR INDONESIA
Nomor Laporan
Tanggal Laporan
Jenis Pemeriksaan
:
:
:
Periode Pemeriksaan :
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-02/BL/2011
Tanggal : 20 Januari 2011
-61-
Isi Laporan Hasil Pemeriksaan secara garis besar terdiri dari:
LAPORAN SINGKAT HASIL PEMERIKSAAN LPEI
TAHUN...................
Disajikan secara ringkas yang terdiri dari:
1. Paragraf Pendahuluan, berisi:
Nomor dan Tanggal Surat Perintah Pemeriksaan, ruang lingkup pemeriksaan, periode
pemeriksaan, jenis pemeriksaan, dan maksud dan tujuan pemeriksaan.
2. Paragraf Isi, berisi:
Penjelasan ringkas tentang hasil pemeriksaan yang telah dilaksanakan.
3. Paragraf Penutup, berisi:
Pernyataan bahwa hasil pemeriksaan selengkapnya ada dalam laporan ini.
Jakarta, tanggal, bulan, tahun
TIM PEMERIKSAAN
1. Penyelia / NIP
2. Ketua / NIP
3. Anggota / NIP
4. Anggota / NIP
5. Anggota / NIP
6. …….
Ditetapkan,
a.n. Ketua
Kepala Biro Pembiayaan dan Penjaminan,
TANDA TANGAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.
...................................................
NIP...........................................
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-02/BL/2011
Tanggal : 20 Januari 2011
-62-
LAPORAN HASIL PEMERIKSAAN LPEI
TAHUN.......................
I. Informasi Umum
(Bagian ini memuat informasi umum terkait pemeriksaan terhadap LPEI antara lain dasar
hukum dilakukannya pemeriksaan, jenis pemeriksaan, Nomor Surat Perintah
Pemeriksaan, komposisi tim pemeriksaan, tujuan pemeriksaan, ruang lingkup
pemeriksaan, pedoman pemeriksaan, kondisi umum LPEI, dan informasi umum lainnya
terkait pemeriksaan yang telah dilaksanakan terhadap LPEI.)
II. Hasil Pemeriksaan
A. Aspek Tata Kelola Perusahaan Yang Baik
(Bagian ini memuat hasil-hasil pemeriksaan terhadap aspek tata kelola perusahaan
yang baik LPEI antara lain mengenai kriteria/ketentuan yang berlaku dan kondisi
yang ada pada LPEI.)
B. Aspek Manajemen Risiko
(Bagian ini memuat hasil-hasil pemeriksaan terhadap aspek manajemen risikoLPEI
antara lain mengenai kriteria/ketentuan yang berlaku dan kondisi yang ada pada
LPEI.)
C. Aspek Operasional
(Bagian ini memuat hasil-hasil pemeriksaan terhadap aspek operasional LPEI antara
lain mengenai kriteria/ketentuan yang berlaku dan kondisi yang ada pada LPEI.)
D. Aspek Keuangan
(Bagian ini memuat hasil-hasil pemeriksaan terhadap aspek keuangan LPEI antara
lain mengenai kriteria dan kondisi yang ada pada LPEI.)
E. Lain-lain
Hal-hal yang belum tercakup pada point A s.d. D (jika ada).
III. Kesimpulan
IV. Saran dan Rekomendasi (hanya untuk Laporan Final)
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-02/BL/2011
Tanggal : 20 Januari 2011
-63-
BAB V
PENGENDALIAN PEMERIKSAAN
Pengendalian pemeriksaan bertujuan untuk memastikan agar proses pemeriksaan LPEI
dilakukan sesuai dengan Pedoman Pemeriksaan LPEI dan memastikan seluruh tujuan
pemeriksaan dapat tercapai secara efisien dan efektif. Pengendalian pemeriksaan
merupakan kegiatan penilaian kinerja mulai dari penyusunan rencana pemeriksaan sampai
dengan tindak lanjut atas rekomendasi dalam laporan hasil pemeriksaan. Objek
pengendalian pemeriksaan adalah pemeriksa dan setiap kegiatan yang berkaitan dengan
pemeriksaan. Pengendalian tersebut terdiri dari pengendalian terhadap pelaksanaan
rencana pemeriksaan dan pengendalian perhadap pelaksanaan pemeriksaan.
1. Pengendalian Terhadap Rencana Pemeriksaan
Pengendalian terhadap rencana pemeriksaan dilakukan oleh Penanggung Jawab
Pemeriksaan dan Penyelia Pemeriksaan antara lain terhadap aspek-aspek sebagai berikut:
a. penyusunan rencana pemeriksaan.
b. penggunaan waktu kerja dan jumlah pemeriksa yang diperlukan untuk
menyelesaikan kegiatan pemeriksaan.
c. pencapaian target pemeriksaan.
Penanggung Jawab Pemeriksaan dan Penyelia Pemeriksaan secara berkala mengevaluasi
rencana kegiatan pemeriksaan. Jika terjadi penyimpangan yang signifikan atau potensi
penyimpangan rencana pemeriksaan teridentifikasi, Penanggung Jawab Pemeriksaan dan
Penyelia Pemeriksaan harus segera mengambil tindakan untuk melakukan perbaikan atas
penyimpangan tersebut.
Penyelia Pemeriksaan harus menyusun Laporan Pelaksanaan Kegiatan Pemeriksaan LPEI
yang telah dilaksanakan dan selanjutnya Penanggung Jawab Pemeriksaan menyampaikan
Laporan tersebut kepada Ketua Bapepam dan LK dan/atauMenteri Keuangan.
Contoh format Laporan Kegiatan Pemeriksaan LPEI terdapat dalam Formulir XVI.
2. Pengendalian Terhadap Pelaksanaan Pemeriksaan
Pengendalian terhadap pelaksanaan pemeriksaan dilakukan terhadap seluruh proses
pemeriksaan setelah tahapan perencanaan pemeriksaan selesai dilakukan, yaitu mulai dari
persiapan pemeriksaan, pemeriksaan lapangan, penyusunan laporan hasil pemeriksaan
hingga tindak lanjut hasil pemeriksaan. Pengendalian terhadap pelaksanaan pemeriksaan
tersebut dilakukan oleh Penanggung Jawab Pemeriksaan, Penyelia Pemeriksaan, dan Ketua
Tim Pemeriksaan antara lain terhadap aspek-aspek sebagai berikut:
a. persiapan pemeriksaan sebelum pemeriksaan lapangan dilaksanakan;
b. prosedur pemeriksaan yang telah dilaksanakan Tim Pemeriksaan, data dan
informasi yang diperoleh Tim Pemeriksaan, atau Kertas Kerja Pemeriksaan;
c. hasil pemeriksaan dan penuangannya dalam konsep LHPS dan LHPF; dan
d. pelaksanaan tindak lanjut hasil pemeriksaan.
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-02/BL/2011
Tanggal : 20 Januari 2011
-64-
Jika terjadi penyimpangan yang signifikan atau potensi penyimpangan pelaksanaan
pemeriksaan teridentifikasi, harus segera diambil tindakan untuk melakukan perbaikan
atas penyimpangan tersebut. Dalam hal ini, Ketua Tim Pemeriksaan harus selalu
berkonsultasi dengan Penyelia Pemeriksaan yang selanjutnya membahas tindakan koreksi
atau perbaikan yang akan dilakukan.
FORMULIR XVI : FORMAT LAPORAN PELAKSANAAN KEGIATAN
PEMERIKSAAN TAHUNAN
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
GEDUNG SUMITRO DJOJOHADIKUSUMO, JALAN LAPANGAN BANTENG TIMUR NOMOR 1-4,
JAKARTA 10710, TELEPON 0213858001, FAKSIMILI 0213857917, SITUS www.bapepam.go.id
LAPORAN PELAKSANAAN KEGIATAN PEMERIKSAAN
LEMBAGA PEMBIAYAAN EKSPOR INDONESIA (LPEI)
TAHUN.....................
I. Executive Summary
II. Laporan Kegiatan Pemeriksaan Berkala/Setiap Waktu LPEI
UMUM
A. Dasar Hukum
B. Tujuan Pemeriksaan
C. Ruang Lingkup Pemeriksaan
D. Periode Pemeriksaan
E. Komposisi Tim Pemeriksaan
PELAKSANAAN PEMERIKSAAN
A. Persiapan Pemeriksaan
B. Temuan Hasil Pemeriksaan
KENDALA PEMERIKSAAN
A. Faktor Internal
B. Faktor Eksternal
REKOMENDASI DAN RENCANA TINDAK LANJUT
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-02/BL/2011
Tanggal : 20 Januari 2011
BAB VI
PENUTUP
Pedoman Pemeriksaan Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia agar dijadikan acuan dalam
penyelengaraan Pemeriksaan oleh Tim Pemeriksaan.
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
dan Lembaga Keuangan,
A. Fuad Rahmany
NIP 195411111981121001
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-02/BL/2011
Tanggal : 20 Januari 2011
-2-
"," PERTA-BAPEPAM-LK
PER-02/BL/2011|PERTA-BAPEPAM-LK/2011
PEDOMAN PEMERIKSAAN LEMBAGA PEMBIAYAAN EKSPOR INDONESIA
20 Januari 2011
20 Januari 2011
'45/M|KEPPRES/2006', '161/PMK.010/2010|PER-MENKEU/2010', '184/PMK.01/2010|PER-MENKEU/2010', '140/PMK.010/2009|PER-MENKEU/2009', '2/UU/2009'
"
"KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
SALINAN
PERATURAN KETUA BADAN PENGAWAS
PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
NOMOR: PER-02/BL/2012
TENTANG
PEDOMAN PEMERIKSAAN
PERUSAHAAN PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR
KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN,
Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 30 ayat (3)
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 100/PMK 010/2009
menetapkan Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
dan Lembaga Keuangan tentang Pedoman Pemeriksaan
Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur;,
Mengingat : 1. Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009 tentang Lembaga
2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 100/PMK.010/2009
tentang Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur,
MEMUTUSKAN
PERATURAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN
Menetapkan : PERATURAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN
LEMBAGA KEUANGAN TENTANG PEDOMAN PEMERIKSAAN
PERUSAHAAN PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR
BAB 1
TUJUAN PEMERIKSAAN
Pasal 1
Pemeriksaan merupakan rangkaian kegiatan yang secara
langsung mengumpulkan, mencari, mengolah, dan
mengevaluasi data dan informasi mengenai kegiatan
perusahaan pembiayaan infrastruktur.
Pasal 2
Pemeriksaan perusahaan pembiayaan infrastruktur bertujuan
untuk
a menilai Repatuhan terhadap ketentuan
perundang -undangan di bidang perusahaan pembiayaan
infrastruktur; dan
b. memperoleh keyakinan yang memadai atas kebenaran
End of Page 1
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
2-
BAB II
JENIS DAN RUANG LINGKUP PEMERIKSAAN
Pasal 3
Pemeriksaan perusahaan pembiayaan infrastruktut dilakukan
a. secara berkala paling sedikit satu pemeriksaan dalam 3
(tiga) tahun; dan/atau
b. setiap waktu bila diperlukan.
Pasal 4
(1) Pemeriksaan berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
huruf a dilakukan terhadap
a. scluruh aspek penyelenggaraan usaha perusahaan
pembiayaan infrastruktur; atau
. aspek tertentu dari penyelenggaraan usaha perusahaan
pembiayaan infrastruktur.
(2) Pemeriksaan terhadap seluruh aspek penyelenggaraan
usaha perusahaan pembiayaan infrastruktur sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi
a. aspek kelembagaan;
b. aspek operasional; dan
c. aspek keuangan.
(3) Pemeriksaan setiap waktu sebagaimana dimaksud dalam
dari penyelenggaraan usaha perusahaan | pembiayaan
infrastruktur sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Pemerilesaan setiap waktu sebagaimana dimaksud pade
ayat (3) antara lain didasarkan atas hasil analisis laporan
keuangan dan laporan kegiatan usaha atau informasi yang
diperoleh Biro Pembiayaan dan Penjaminan patut diduga
penyelenggaraan usaha perusahaan | pembiayaan
infrastruktur menyimpang dari ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang perusahaan pembiayaan
infrastruktur.
BAB III
PERENCANAAN DAN PELAPORAN PEMERIKSAAN
Pasal 5
(1) Dalam rangka pemeriksaan perusahaan | pembiayaan
menyampaikan kepada Ketua Badan Pengawas Pasar
Modal dan Lembaga Keuangan:
a. rencana pemeriksaan berkala; dan
b. laporan pelaksanaan kegiatan pemeriksaan.
End of Page 2
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
3-
(2) Rencana pemeriksaan berkala sebagaimaria dimaksud
pada ayat (1) huruf a untuk tahun berikutnya(disampaikan
paling lambat setiap tanggal 15 Desember.
3) Laporan pelaksanaan kegiatan pemeriksaan (sebagaimana
tanggal 28 Februari tahun berikutnya.
BAB IV
TAHAPAN PEMERIKSAAN
Pasal 6
(1) Pemeriksaan dilakukan melalui tahapan sebagai berikut
a. persiapan pemeriksaan;
b. pelaksanaan pemeriksaan lapangan, dan
c. penyusunan laporan hasil pemeriksaan.
(1) huruf a dilakukan untuk menghasilkan program
pemeriksaan yang didasarkan pada semua informasi yang
tersedia termasuk hasil analisis laporan keuangan dan
laporan kegiatan usaha.
(3) Pelaksanaan pemeriksaan lapangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan di kantor
perusahaan pembiayaan infrastruktur yang diperiksa atau
tempat perusahaan pembiayaan infrastruktur
dapat dilakukan konfirmasi kepada pihak ketiga yang
terkait dengan perusahaan yang diperiksa.
(4) Penyusunan laporan hasil pemeriksaan isebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c dilakukan berdasarkan
data atau keterangan yang diperoleh selama proses
pemeriksaan berlangsung dan selanjutnya dituangkan
dalam kertas kerja pemeriksaan setelah pelaksanaan
pemeriksaan lapangan berakhir.
Pasal 7
Biro Pembiayaan dan Penjaminan melakukan | pengawasan
untuk memastikan bahwa perusahaan | pembiayaan
infrastruktur yang diperiksa telah melaksanakan hal-hal yang
direkomendasikan dalam laporan hasil pemeriksaan final.
BAB V
TATA CARA PEMERIKSAAN
Pasal 8
1) Pemeriksaan dilaksanakan oleh pemeriksa | berdasarkan
surat perintah pemeriksaan dan surat pemberitahuan
pemeriksaan.
End of Page 3
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
(2) Surat perintah pemeriksaan dan surat pembcritahuan
pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditandatangani oleh Kepala Biro Pembiayaan dan
Penjaminan atas nama Ketua Badan Pengawas Pasar
Modal dan Lembaga Keuangan.
(3) Surat pemberitahuan pemeriksaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) disampaikan kepada porusahaan pembiayaan
paling lama satu hari kerja sebelum dilaksanakan
pemeriksaan lapangan.
(4) Pemeriksaan dapat dilakukan tanpa terlebih dahulu
menyampaikan surat pemberitahuan pemeriksaan apabila
penyampaian surat pemberitahuan pemcriksaan diduga
mengakibatkan perusahaan pembiayaan infrastruktur
akan melakukan;
a. tindakan untuk mengaburkan keadaan yang
sebenarnya; dan/atau
b. tindakan untuk menyembunyikan data, keterangan,
atau laporan yang diperlukan dalam pelaksanaan
pemeriksaan.
Pasal 9
(1) Dalam hal pemeriksaan dilakukan dengan penyampaian
terlebih dahulu surat pemberitahuan (pemeriksaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3), pemeriksa
harus menunjukkan surat perintah pemneriksaan pada saat
dimulainya pemeriksaan lapangan.
(2) Dalam hal pemeriksaan dilakukan tanpa penyampaian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4), pemeriksa
sukkan surat pemberitahuan pemeriksan
dan surat perintah pemeriksaan pada saat dimulainya
pemeriksaan lapangan.
pemeriksaan lapangan.
3) Dalam hal pemeriksa tidak dapat memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2),
perusahaan pembiayaan infrastruktur yang akan diperiksa
berhak untuk menolak dilakukan pemeriksaan.
(4) Pemeriksa harus memberikan penjelasan kepada
perusahaan pembiayaan infrastruktur yang diperiksa
mengenai maksud dan tujuan pemeriksaan pada saat
dimulainya pemeriksaan lapangan.
(5) Dalam melakukan pemeriksaan, pemeriksa berhak
dokumen pendukungnya termasuk keluaran (output)
dari pengolahan data atau media komputer dan
perangkat elektronik pengolah data lainnya;
b. mendapatkan keterangan lisan dan/atau) tertulis dari
perusahaan pembiayaan infrastruktur yang diperiksa;
End of Page 4
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
-5-
memesuikt tempat atau ruangan yang diduga
merupakan tempat menyimpan dokumen, atau barang
yang dapat memberikan petunjuk tentang keadaan
perusahaan pembiayaan infrastruktur yang diperiksa;
dan *
d. mendapatkan keterangan dan/atau | data yang
diperlukan dari pihak ketiga yang mempunyai
hubungan dengan perusahaan
hubungan dengan perusahaan pembiayaan
infrastruktur yang diperiksa.
6) Pemeriksa harus merahasiakan data dan/ atau keterangan
yang diperoleh selama pemeriksaan terhadap pihak yang
tidak berhak.
Pasal 10
1) Perusahaan pembiayaan infrastruktur yang diperiksa
dilarang menolak dan/atau menghambat kelancaran
proses pemeriksaan.
menghambat kelancaran proses pemeriksaan apabila
a. Perusahaan pembiayaan infrastruktur tidak bersedia
1. memenuhi permintaan untuk memberikan atau
meminjamkan buku, catatan, dan dokumen yang
diperlukan untuk kelancaran pemeriksaan;
2. memberikan keterangan yang diperlukan secara
tertulis dan/atau lisan,
3. memberi kesempatan kepada pemeriksa untuk
memasuki tempat atau ruangan yarig dipandang
perlu;
4. memberikan keterangan dan/ atau | data yang
diperlukan dari pihak ketiga yang| mempunyai
hubungan dengan perusahaan | pembiayaan
infrastruktur yang diperiksa; dan/atau
b. meminjamkan buku, memberikan catatan, dokumen
atau keterangan yang tidak benar.
Pasal 11
(1) Pemeriksaan dilaksanakan berdasarkan pedoman
pemeriksaan yang paling kurang memuat:
a. penentuan objek pemeriksaan;
penyusunan kertas kerja pemeriksaan;
d. pelaporan pemeriksaan;,
e. pengendalian pemeriksaan; dan
f. tindak lanjut pemeriksaan.
End of Page 5
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
-6-
(2) Pedoman pemeriksaan perusahaan | pembiayaan
infrastruktur ditetapkan scbagaimana dimaksud dalam
Lampiran yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar
Modal dan Lembaga Keuangan ini.
BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 12
Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal ditetaplcan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 29 Februari 2012
a Badan Pengawas Pasar Motal
Nurhaida
NIP 195906271989022001
Kepu Bagian Umum
gis
NHP 195710281985121001
End of Page 6
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
LAMPIRAN
PERATURAN KETUA BADAN PENGAWAS
PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
NOMOR: PER-02/BL/2012
TENTANG
PEDOMAN PEMERIKSAAN
PERUSAHAAN PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR
End of Page 7
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-02/BL/2012
Tanggal , : 29 Februari 2012
PEDOMAN PEMERIKSAAN
PERUSAHAAN PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Dalam rangka mempercepat pelaksanaan pembangunan infrastruktur di
Indonesia, Pemerintah mendorong peran serta pihak swasta termasuk
Jembaga keuangan multilateral dalam pembangunan infrastrulttur melalui
mekanisme Kerjasama Pemerintah dan Swasta (Public Priuate Partnership).
Peran serta pihak swasta tersebut diperlukan untuk memobilisasi sumber-
sumber pendanaan untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan
pembangunan proyek infrastruktur.
Untuk mendukung keterlibatan pihak swasta dalam pembiayaan
pembangunan proyek infrastruktur tersebut, Pemeriritah telah
menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009 tentang Lembaga
Pembiayaan yang merupakan penyempurnaan dari Keputusan Presiden
Nomor 61 Tahun 1988 tentang Lembaga Pembiayaan. Selanjutnya, Menteri
Keuangan pada tanggal 27 Mei 2009 telah menerbitkan Peraturan Menteri
Kcuangan Nomor 100/PMK.010/2009 tentang Perusahaan Pembiayaan
Infrastruktur yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Peraturan
Presiden Nomor 9 Tahun 2009.
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 100/PMK.010/2009
tersebut, kegiatan usaha perusahaan pembiayaan infrastruktur meliputi
. pemberian pinjaman langsung (direct lending) untuk pembiayaan
infrastruktur;
b. refinancing atas infrastruktur yang telah dibiayai pihak lain, dan/atau
c. pemberian pinjaman subordinasi (subordinated loans) yang berkaitan
dengan pembiayaan infrastruktur.
Selain itu, untuk mendukung kegiatan usaha tersebut di atas, perusahaan
pembiayaan infrastruktur dapat pula melakukan:
a. pemberian dukungan kredit (credit enhancement),| termasuk
penjaminan untuk pembiayaan infrastruktur,
b. pemberian jasa konsultasi (aduisory seruices);
c. penyertaan modal (equity inpestment);
d. upaya mencarikan suap market yang
infrastruktur; dan/atau
kegiatan atau pemberian fasilitas lain yang terkait dengan pembiayaan
infrastrulktur setelah memperoleh persetujuan Menteri Keuangan.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 30 Peraturan Menteri Keuangan Nomo
100/PMK.010/2009, pembinaan dan pengawasan terhadap perusahaan
pembiayaan infrastruktur dilakukan oleh Menteri Keuangan. Dalam rangka
melaksanakan pembinaan dan pengawasan tersebut, Menteri Keuangan
melakukan pemeriksaan terhadap perusahaan pembiayaan infrastruktur.
Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 218/KMK.01/2010
tatang Pembaham AtasKeputusan Menteri Reuangait
End of Page 8
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-02/BL/2012
Tanggal. : 29 Februari 2012
Keuangan Menandatangani Surat dan atau Keputusan Menteri Keuangan,
pemeriksaan terhadap perusahaan pembiayaan infrastruktur dilimpahkan
kepada Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan
(Bapepam dan LK). Selanjutnya berdasarkan Keputusan Ketua Bapepam
dan LK Nomor KEP.487/BL/2010 tentang Pelimpahan Wewenang Kepada
Kepala Biro Pembiayaan dan Penjaminan Untuk dan Atas Nama Ketua
Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Menandatangani
Surat dan atau Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan
Lembaga Keuangan, Ketua Bapepam dan LK mendelegasikan kewenangan
pemeriksaan terhadap Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur kepada
Kepala Biro Pembiayaan dan Penjaminan.
B. Maksud dan Tujuan
1. Maksud
Pedoman Pemeriksaan Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur
(Pedoman Pemeriksaan) dimaksudkan sebagai acuan dalam
mmelaksanakan pemeriksaan perusahaan memhiavoonsott...
Pedoman Pemeriksaan ini mnencakup pedoman standar dalam
melakukan perencanaan, persiapan, pemeriksaan lapangan,
penyusunan laporan, tindak lanjut, dokumentasi, dan pengendalian
Pembiayaan Infrastruktur (PPI).
Dalam melakukan pemeriksaan, pemeriksa dapat menggunakan
pertimbangan profesional (professional judgerrient) dalam menentukan
pemeriksaan.
2. Tujuan
Tujuan Pemeriksaan adalah untuk menilai kepatuhan PPI terhadap
ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Perusahaan
Pembiayaan Infrastruktur dan memperoleh keyakinan yang memadai
atas kebenaran substansi laporan keuangan dan laporan kegiatan
usaha.
C. Ruang Lingkup
Ruang lingkup Pedoman Pemeriksaan meliputi Organisasi Pemeriksaan,
Proses Pemeriksaan, Dokumentasi Pemeriksaan, dan Pengendalian
Pemeriksaan.
1. Organisasi Pemeriksaan
Organisasi Pemeriksaan meliputi Penanggung Jawab Pemetiksaan dan
Tim Pemeriksa Lapangan yang terdiri dari Penyelia Pemeriksaan, Ketua
Tim Pemeriksaan, dan Anggota Tim Pemeriksaan, yang masing-masing
mempunyai tanggung jawab, wewenang, dan tugas.
2. Proses Pemeriksaan
Proses Pemeriksaan merupakan seluruh kegiatan yang berkaitan
dengan pelaksanaan pemeriksaan terhadap PPI. Proses Pemeriksaan
mdliputi Perencanaan Pemeniksaan, Persiapat
Pelaksanaan Pemeriksaan Lapangan, Penyusunan Laporan Hasil
Pemeriksaan, dan Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan.
End of Page 9
LAMPIRAN
a Bapepam dan lk
Nomor : PER-02/BL/2012
Tanggal :29 Februari 2012
-3 -
Bagan arus kegiatan pemeriksaan secara keseluruhan adalah sebagai
berikut
MULAI
0Heanoan
GGREON 0 00000
1
Gokumen:dokumen
Melakukan analsls
atas Laporan Periodik
ntormas lain yang, 5
aperoleh BapepamLk
eryuanue
Haoit Anaticte 2 30 nankena
LPS
Menyampaikan den
PPT
PPI
on Pec15 hari kera
(RP)%
Pembaliasab tHPs
Ada PembahasantHPs
Surat Pemberitahuan
0:
Melakukan Perslapan
Pengenaan Sanka
rekomendasi
End of Page 10
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepain dan LK
Nomor : PER-02/BL/2012
Tanggal : 29 Februari 2012
3. Dokumentasi Pemeriksaan
didokumentasikan dengan baik untuk selanjutnya dokumen-dokumen
tersebut disimpan dengan cara yang sistematis sehingga mudah
diperoleh kembali apabila diperlukan.
4. Pengendalian Pemeriksaan
Untuk memastikan agar tujuan kegiatan pemeriksaan dapat tereapai,
perlu dilakukan pengendalian terhadap kegiatan-kegjatan yang
dilakukan sclama proses pemeriksaan, mulai dari penyusunan
rencana pemeriksaan sampai dengan kegiatan tindak lanjut hasil
pemeriksaan.
D. Dasar Hukum Pemeriksaan
Dasar hukum yang digunakan dalam pelaksanaan pemeriksaan terhadap
PPI adalah:
Pembiayaan; dan
2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 100/PMK.010/2009 tentang
Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur.
End of Page 11
LAMPIRAN
ketua Bapepam dan lk
Nomor : PER-02/BL/2012
Tanggal : 29 Februari 2012
BAB II
ORGANISASI PEMERIKSAAN
Organisasi Pemeriksaan meliputi Penanggung Jawab Pemeriksaan dan Tim
Pemeriksa Lapangan yang terdiri dari Penyelia Pemeriksaan, | Ketua Tim
Pemeriksaan, dan Anggota Tim Pemeriksaan, yang masing-masing mempunyai
tanggung jawab, wewenang, dan tugas. Selain itu Ketua Tim Pemeriksaan dan
Anggota Tim Pemeriksaan juga harus memenuhi beberapa persyaratan yang
tanggung jawab, wewenang, dan tugas Organisasi Pemeriksaan adalah sebagai
berikut
. Penanggung Jawab Pemeriksaan
Penjaminan, Bapepam dan LK.
Tanggung jawab, wewenang, dan tugas Penanggung Jawab Pemeriksaan
adalah sebagai berikut:
a. Tanggung Jawab
Penanggung Jawab Pemeriksaan bertanggung, jawab atas
terselenggaranya pemeriksaan terhadap PPI sesuai dengan Tujuan
Pemeriksaan.
b. Wewenang
Untuk melaksanakan tanggung jawab tersebut di atas, Penanggung
Jawab Pemeriksaan berwenang untuk melakukan hal-hal scbagai
berikut
1) menjabarkan kebijakan yang berhubungan dengan pemeriksaan;
) menetapkan Rencana Kegiatan Pemeriksaan untuk 1 (satu) tahu
(berkala) dan/atau Rencana Kegiatan Pemeriksaan setiap waktu
3) menetapkan susunan Penyelia Pemeriksaan, Ketua Tim
Pemeriksaan, dan Anggota Tim Pemeriksaan atas nama Ketua
Bapepam dan LK, termasuk perubahannya,
cctpka dan menandatangani Surat Periatah Pemerlsas
Surat Pemberitahuan Pemeriksaan, Surat Perintah Perjalanar
Dinas, dan surat konfirmasi atas nama Ketua Bapepam dan LK,
5) menetapkan dan menandatangani Laporan Hasil Pemeriksaar
Sementara dan Laporan Hasil Pemeriksaan Final atas nama Ketua
Bapepam dan LK,
) menerima atau menolak tanggapan atas Laporan Hasil
Pemeriksaan Sementara yang diajukan oleh PPI;
7) menghentikan Proses Pemeriksaan,
8) melakukan perpanjangan waktu pemeriksaan lapangan apabila
diperlukan,
) menetapkan pelaksanaan tindak lanjut atas Laporan Hasil
Pemeriksaan Final; dan
10) menetapkan laporan pelaksanaan kegiatan pemeriksaan berkala
atau pemeriksaan setiap waktu.
End of Page 12
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-02/BL/2012
Tanggal : 29 Februari 2012
Tugas
Dengan kewenangan tersebut di atas, Penanggung Jawab Pemeriksaan
melakukan tugas-tugas sebagai berikut
1) membahas konsep Rencana Kegiatan Pemeriksaan untuk satu
tahun (berkala) dan/atau Rencana Kegiatan Pemeriksaan setiap
waktu bersama Penyelia Pemeriksaan;
memberikan petunjuk kepada Penyelia Pemeriksaan mengenai
hal-hal yang berhubungan dengan pengambilan keputusan atau
kebijakan dalam hubungannya dengan pemeriksaan,
membahas konsep Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara dan
Laporan Hasil Pemeriksaan Final dengan Penyelia Pemeriksaan,
Ketua Tim Pemeriksaan, dan Anggota Tim Pemeriksaan:
dengan PPI;
5) menyampaikan laporan pelaksanaan . kegiatan pemeriksaan
berkala atau pemeriksaan setiap waktu kepada Ketua Bapepam
dan LK; dan
6) melakukan pengawasan dan evaluasi , terhadap pelaksanaan
seluruh kegiatan pemeriksaan
. Tim Pemeriksa Lapangan
Tim Pemeriksa Lapangan terdiri dari Penyelia Pemeriksaan, Ketua Tim
Pemeriksaan, dan Anggota Tim Pemeriksaan, yang masing-masing
mempunyai tanggung jawab, wewenang, dan tugas.
a. Penyelia Pemeriksaan
Khusus. Tanggung jawab, wewenang, dan tugas Penyelia Pemeriksaan
adalah sebagai berikut
1) Tanggung Jawab
Penyelia Pemeriksaan bertanggung jawab atas kelancaran
penyelenggaraan seluruh kegiatan pemeriksaan terhadap PPI
sesuai dengan Rencana Kegiatan Pemeriksaan untuk satu tahun,
(berkala) dan/atau Rencana Kegiatan Pemeriksaan setiap waktu.
2) Wewenang
Untuk melaksanakan tanggung jawab tersebut, Penyelia
Pemeriksaan berwenang untuk melakukan hal-hal sebagai
berikut
a) mengusulkan Rencana Kegiatan Pemeriksaan untuk satu
tahun (berkala) dan/atau Rencana Kegiatan Pemeriksaan
b) mengusulkan Ketua Tim Pemeriksaan dan Amggota Tim
mengusulkan perubahan susunan Ketua Tim Pemeriksaan
dan Anggota Tim Pemcriksaan, apabila diperlukan;
permasalahan yang timbul dalam proses pemeriksaan;
End of Page 13
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-02/BL/2012
Tanggal : 29 Februari 2012
e) melakukan wawancara dengan PPI,
mengusulkan untuk menghentikan pemeriksaan;
g) mengusulkan untuk memperpanjang wale
) mengusulkan untuk memperpanjang waktu pemeriksaan
lapangan, apabila diperlukan;
) menandatangani Berita Acara Pembahasan Laporan Hasil
Pemeriksaan Sementara; dar #
menandetangani Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara dan
Laporan Hasil Pemeriksaan Final.
3) Tugas
Dengan kewenangan tersebut, Penyelia Pemeriksaan melakukan
Dengan kewenangan tersebut, Penyelia
tugas-tugas sebagai berikut
a) menyusun konsep Rencana Kegiatan Pemeriksaan untuk satu
tahun (berkala) dan/atau Rencana' Kegiatan Pemeriksaan
setiap waktu;
b) menyampaikan konsep Rencana Kegiatan Pemeriksaan untuk
satu tahun (berkala) dan/atau Rencana Kegiatan Remeriksaa
setiap waktu kepada Penanggung Jawab Pemeriksaan;
) menentukan ruang lingkup pemeriksaan,
d) menentukan pengalokasian waktu pemeriksaan
mengajukan konsep Surat Perintah Pemeriksaan, Surat
Pemberitahuan Pemeriksaan, Surat Perintah Perjalanan
Dinas, dan jika diperiukan dapat mengajukan surat
konfirmasi kepada Penanggung Jawab Pemeriksaan;
1) menelaah Persiapan Pemeriksaan sebelum Pelaksanaan
Pemeriksaan Lapangan;
g) memberikan arahan kepada Ketua Tim Pemeriksaan dan
Anggota Tim Pemeriksaan mengenai hal-hal yang harus
mendapat perhatian khusus dalam pemeriksaan untu
efektifitas dan efisiensi pelaksanaan tugas pemeriksaan
h) memantau dan mengawasi kelancaran Proses Remeri
) memantau dan mengawasi kelancaran Proses Pemeriksaan
dan kesesuaiannya dengan Pedoman Pemeriksaan;
memastikan ketaatan Tim Pemeriksa Lapangah terhadap
memberikan petunjuk dan solusi, kepada Ketua Tim
Pemeriksaan dan Anggota Tim Pemeriksaan apabila
mengalami kesulitan dan kendala dalam Proses Pemcriksaan;
k) memaraf Lembar Kerja Pemeriksa,
1) menelaah dan menyetujui Kertas Kerja Pemeriksaan
memastikan Laporan Hasil Pemeriksaan disusun berdasarkan
Kertas Kerja Pemeriksaan;
) memeriksa konsep Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara dan
Laporan Hasil Pemeriksaan Final;
dan] atau Laporan Hasil Pemeriksaan Final dengan
Penanggung Jawab Pemeriksaan, Ketua Tim Pemeriksaan,
End of Page 14
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Tanggal : 29 Februari 2012
Pemeriksaan membutuhkan penjelasan untuk dapat
menyetujui atau menolak laporan-laporan tersebut,
memberikan masukan kepada : Penanggung Jawal
Pemeriksaan dalam menetapkan kebjakan guna
menindaklanjuti tanggapan PPI iatas Laporan Hasil
Pemeriksaan Sementara;
membahas tanggapan atas Laporan Hasil Pemeriksaan
Sementara dengan PPI:
memantau dan mengusulkan pelaksanaan tindak lanjut atas
Laporan Hasil Pemeriksaan Pinal
) melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan seluruh Proses
Pemeriksaan dan melaporkan hasil evaluasi tersebut kepada
Penanggung Jawab Pemeriksaan, dan
pemeriksaan berkala atau kegiatan pemeriksaan sctiap waktu
kepada Penanggung Jawab Pemeriksaan.
b. Ketua Tim Pemeriksaan
Ketua Tim Pemeriksaan adalah Kepala Subbagian Lembaga
Pembiayaan Khusus II atau Kepala Subbagian lain di Reci
Pembiayaan Khusus yang ditunjuk oleh Kepala Biro Pembiayaan dan
Penjaminan atas nama Ketua Bapepam dan LK, selaku Penanggung
Jawab Pemeriksaan.
Tanggung jawab, wewenang, tugas, dan persyaratan Ketua Tim
Pemeriksaan adalah sebagai berikut
1) Tanggung Jawab
Ketua Tim Pemeriksaan bertanggung jawab atas pelaksanaan
seluruh kegiatan pemeriksaan oleh Tim Pemeriksaan yang
diketuainya.
2) Wewenang
Untuk melaksanakan tanggung jawab tersebut, Ketua Tim
Pemeriksaan berwenang untuk melakukan bal-hal sebagai berikut.
a) melakukan pembagian tugas Anggota Tim Pemeriksaan,
b) melakukan wawancara dengan PPI;
menentukan dokumen-dokumen yang berhubungan dengan
pemeriksaan untuk dipinjam dan/atau diminta;
menandatangani Berita Acara Penolakan Pemeriksaan / Berita
Acara Penolakan Membantu Kelancaran Pemeriksaan;
) menandatangani Berita Acara Penundaan Pemeriksaar
1) menandatangani Berita Acara Pemeriksaan,
s) menandatangani Berita Acara Penolakan Penandatanganan
ihenendatangani Berita Acara Penolakan
Berita Acara Pemeriksaan,:
menghendkan atau memperpanjang waktu Pelaksanaan
Pemeriksaan Lapangan, apabila diperlukan;
1) memaraf Lembar Kerja Pemeriksa;
End of Page 15
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Tanggal : 29 Februari 2012
memaraf Kertas Kerja Pemeriksaan;
menandatangani Berita Acara Pembahasan Laporan Hasil
Pemeriksaan Sementara; dan
menandatangani Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara dan
aporan Hasil Pemeriksaan Final.
3) Tugas
Dengan kewenangan tersebut, Ketua Tim Pemeriksaan melakukan
tugas-tugas sebagai berikut
a) memastikan ketaatan Anggota Tim Pemeriksaan terhadap
Pedoman Pemeriksaan;
b) ikut aktif melakukan pemeriksaan;
c) melakukan koordinasi atas pelaksanaan tugas Anggota Tim
Pemeriksaan,
bersama dengan Anggota Tim Pemeriksaan menentukan
besarnya sampel yang akan diambil dalam pemeriksaan;
e) memantau setiap perkembangan pemeriksaan;
menelaah dan memeriksa Kertas Kerja Pemeriksaan yang
dibuat Anggota Tim Pemeriksaan;
g) membuat Lembar Kerja Pemeriksa;
h) mengajukan konsep surat konfirmasi (bila diperlukan) kepada
Penyelia Pemeriksaan;
membuat lconsep Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara da
Laporan Hasil Pemeriksaan Final secara tepat waktu;,
membahas tanggapan atas Laporan Hasil Pemeriksaa
Sementara dengan PPl; dan
k) memastikan semua dokumen yang berhubungan dengan
pemeriksaan telah diarsip dengan rapi.
Persyaratan yang harus dipenuhi untuk dapat ditunjuk sebagai
Ketua Tim Pemeriksaan adalah sebagai berikcut
a) mampu mengkoordinasikan Anggota Tim Pemeriksaan dalam
pelaksanaan pemeriksaan;
b) memiliki pengetahuan yang cukup dalam bidang
b) memiliki pengetahuan yang cukup
pemeriksaan,
memiliki pengetahuan yang cukup mengenai ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang Perusahaan
Pembiayaan Infrastruktur,
d) memiliki pengetahuan yang cukup tentang penyelengearaan
usaha yang dilakukan PPl:
mampu.melakukan analisis atas laporan keuangan dan
Japoran kegiatan usaha PPI; dan
1 bertanggung jawab dan dapat bekerja sama dengan Penyelia
Pemeriksaan.
End of Page 16
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-02/BL/2012
Tanggal : 29 Februari 2012
- 10 -
c. Anggota Tim Pemeriksaan
Anggota Tim Pemeriksaan adalah pegawai Biro Pembiayaan dan
Penjaminan atau pihak lain yang ditunjuk oleh Kepala Biro
Pembiayaan dan Penjaminan atas nama Ketua Bapepam dan LK,
selaku Penanggung Jawab Pemeriksaan.
Jdwa wewenang, tugas, dan persyaratan Anggpla Tim
Pemeriksaan adalah sebagai berikut:
1) Tanggung Jawab
Anggota Tim Pemeriksaan bertanggung jawab atas isi Lembar Kerja
Pemeriksa dan Kertas Kerja Pemeriksaan.
:
2) Wewenang
Untuk melaksanakan tanggung jawab ,tersebut, Anggota Tim
Pemeriksaan berwenang untuk melakukan hal-hal sebagai berikut:
a) melakukan wawancara dengan PPl;
) meminta dan/atau meminjam dokumen-dokumen dan/atau
data pendukung Pelaksanaan Pemeriksaan Lapangan
melakukan pengembangan hasil temuan untuk lebi
memperoleh keyakinan atas temuan tersebut; dan
menandatangani Laporan Hasil Pemeriksaan Senientara dan
Laporan Hasil Pemeriksaan Final.
3) Tugas
Dengan kewenangan tersebut, Anggota Tim Pemeriksaan
melakukan tugas-tugas sebagai berikut
a) membuat analisis pendahuluan dan kuesioner pemeriksaan;
b) melaksanakan pemeriksaan sesuai dengan Pedoman
Pemeriksaan;
menyiapkan dokumen-dokumen dan/atau data pendukung
yang diperlukan dalam Proses Pemeriksaan;
) mengusulkan kepada Ketua Tim Pemeriksaan untuk meminta
dan/atau meminjam dokumen-dokumen dan/atau data
pendukung Pelaksanaan Pemeriksaan Lapangan,
bersama dengan Ketua Tim Pemeriksaan menentukan
besarnya sampel yang akan diambil dalam pemeriksaan;
1) membuat Lembar Kerja Pemeriksa,
g) membuat dan memaraf Kertas Kerja Pemeriksaan;
h) membuat konsep surat konfirmasi bila diperlukan;
) membantu Ketua Tim Pemeriksaan menyusun konsep
Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara dan Laporan Hasil
Pemeriksaan Final secara tepat waktu;
membahas tanggapan atas Laporan Hasil Pemeriksaan
j) membahas tanggapan atas Lapora
Sementara bersama PPl; dan
dan/atau data pendukung yang berhubungan dengan
pemeriksaan dengan rapi.
End of Page 17
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-02/BL/2012
Tanggal : 29 Februari 2012
4) Persyaratan
Persyaratan yang harus dipenuhi untuk dapat ditunjuk sebagai
Anggota Tim Pemeriksaan adalah sebagai berikut
) memiliki pengetahuan yang cukup dalam bidang
pemeriksaan;
b) memiliki pengetahuan yang cukup mengenai| ketentuan
perundang-undangan di bidang Perusahaan Pembiayaan
Infrastruktur;
) memilild pengetahuan yang cukup tentang penyelenggaraan
mampu melakukan analisis atas laporan keuangan dan
laporan kegiatan usaha PPI; dan
bertanggung jawab dan dapat bekerja sama dengan Ketua Tim
Pemeriksaan dan Anggota Tim Pemeriksaan lainnya.
End of Page 18
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor .: PER-02/BL/2012
Tanggal , : 29 Februari 2012
12
BAB II
PROSES PEMERIKSAAN
A. Proses Kegiatan Pemeriksaan
Proses Pemeriksaan merupakan seluruh kegiatan yang berkaitan dengan
pelaksanaan pemeriksaan terhadap PPI yang terdiri dari Perencanaan
Pemeriksaan, Persiapan Pemeriksaan, Pelaksanaan Pemeriksaani Lapangan,
Penyusunan Laporan Hasil Pemeriksaan, dan! Tindak Lanjut Hasil
Pemeriksaan.
1. Perencanaan Pemeriksaan
Kegiatan pemeriksaan PPI perlu direncanakan dengan | baik agar
pelaksanaan kegiatan pemeriksaan terhadap PPl dapat berjalan dengan
efisien dan efektif. Untuk itu, pengalokasian sumber daya manusia,
anggaran, dan waktu perlu dilakukan dengan cermat agar tujuan
kegiatan pemeriksaan dapat dicapai.
Perencanaan Pemeriksaan mencakup penyusunan Rencaria Kegiatan
Pemeriksaan berkala PPI untuk satu tahun tertentu dan/atau Rencana
Kegiatan Pemeriksaan setiap waktu, penentuan Objek Pemeriksaan,
penentuan Tim Pemeriksa Lapangan, penentuan Jangka waktu
pemeriksaan, pembuatan Surat Perintah Pemeriksaan, dan pembuatan
Surat Pemberitahuan Pemeriksaan.
a. Rencana Kegiatan Pemeriksaan
Kepala Biro Pembiayaan dan Penjaminan atas nama Ketua
Bapepam dan LK menetapkan Rencana Kegiatan Pemeriksaan
untuk satu tahun (berkala) dan/atau Rencana Kegiatan
Pemeriksaan setiap waktu yang diajukan oleh Penyelia
Rencana Kegiatan Pemeriksaan untuk satu tahun (berikutnya
sudah harus selesai disusun dan disampaikan oleh Kepala Biro
Pembiayaan dan Penjaminan kepada Ketua Bapepam dan LK paling
lambat tanggal 15 Desember. Sementara itu, Rencana Kegiatan
Pemeriksaan setiap waktu sudah harus selesai disusun 5 (lima)
hari kerja sebelum pemeriksaan dimulai.
Rencana Kegiatan Pemeriksaan PPI berfungsi sebagai
1) pedoman pemilihan objek Pemeriksaan,
2) pedoman penetapan ruang lingkup pemeriksaan; dan
3) pedoman penggunaan sumber daya manusia, anggaran, dan
S) pedoman penggunaan sumber daya
waktu untuk kegiatan pemeriksaan.
Rencana Kegiatan Pemeriksaan berkala PPI untuk satu tahun
tertentu atau Rencana Kegiatan Pemeriksaan setiap waktu
mencakup antara lain
1) perusahaan yang akan diperiksa;
2) hasil pemantauan atas pelaksanaan tindak lanjut hasil
pemeriksaan;
3) perkiraan waktu pemeriksaan; dan
End of Page 19
L.AMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Tanggal : 29 Februari 2012
13
4) kebutuhan sumber daya manusia dan anggaran perheriksaan.
Contoh format Rencana Kegiatan Pemeriksaan terdapat dalam
Formulir
b. Tata Cara Penentuan Objek Pemeriksaan
Objek Pemeriksaan adalah semua PPI. Penentuan Objek
Pemeriksaan untuk satu tahun tertentu mempertimbangkan hal-
hal sebagai berikut
1) Pemeriksaan Berkala
a) ketersediaan jumlah pemeriksa.
b) tingkat risiko yang dihadapi oleh PPI. Pertimbangan
mengenai tingkat risiko tersebut antara lain diperoleh dari
usaha PPI serta informasi lain yang diperoleh dari hasil
pemeriksaan periode sebelumnya.
c) penetapan Objek Pemeriksaan oleh Penanggung Jawab
Pemeriksaan yang disertai dengan pertimbangan tingkat
urgensinya.
d) hasil pemantauan atas pelaksanaan Tindak Lanjut Hasil
Pemeriksaan.
2) Pemeriksaan Setiap Waktu
Pemeriksaan setiap waktu dilakukan terhadap aspek tertentu
dari penyelenggaraan usaha PPI berdasarkan pertimbangan
sebagai berikut:
a) Informasi Pihak Ketiga
Informasi dari pihak ketiga dapat dijadikan sebagai dasar
dilakukannya pemeriksaan sctiap waktu. Informasi ini
dapat berupa laporan pengaduan secara tertulis maupun
tidak tertulis atas PPI, dan informasi yang berasal dari
media massa cetak maupun elektronik terkait PPL.
(check dan cross check) agar dapat diketahui tingkat
kebenaran dan keakuratannya.
b) Hasil Analisis
Hasil analisis merupakan informasi yang diperoleh dari
analisis atas laporan keuangan triwulanan, laporan
keuangan tahunan yang telah diaudit oleh akuntan publik,
dan laporan kegiatan usaha PPT yang dilakukan olch
Bagian Lembaga Pembiayaan Khusus.
Pemeriksaan setiap waktu dapat dilakukan apabila dari hasil
analisis terhadap informasi pihak ketiga maupun laporan
keuangan triwulanan, laporan keuangan tahunan yang telah
diaudit oleh akuntan publik, dan laporan kegiatan usaha patut
ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang
Porusahaan Pembiayaan Infrastruktur.
End of Page 20
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Tanggal : 29 Februari 2012
C. Tata Cara Penentuan Tim Pemeriksa Lapangari
Tim Pemeriksa Lapangan dibentuk setiap akan | dilakukan
pemeriksaan terhadap PPI. Keanggotaan Tim Pemeriksa Lapangan
ditetapkan oleh Kepala Biro Pembiayaan : dan Penjaminan atas
nama Ketua Bapepam dan LK, Selaku Penanggung Jawab
Pemeriksaan berdasarkan pertimbangan antara lain
1) jenis pemeriksaan;,
2) ruang lingkup pemeriksaan; dan
) ketersediaan sumberdaya manusia, anggaran, dan waktu
pemeriksaan.
d. Tata Cara Penentuan Waktu Pemeriksaan
Jumlah hari pelaksanaan pemeriksaan ditentukan dengan
memperhatikan jenis pemeriksaan, ruang lingkup pameriksaan,
dan hasil analisis pendahuluan. Penentuan waktu yang diperlukan
dalam Tangka pemeriksaan terhadap PPl baik
berkala maupun pemeriksaan setiap waktu mempertimbangkan
hal-hal sebagai berikut
1) Persiapan Pemeriksaan telah selesai dilakukan paling lama
pada saat pengajuan Surat Perintah Pemeriksaan.
2) Pelaksanaan Pemeriksaan Lapangan
a) kantor pusat, paling lama 15 (lima belas) hari kerja,
p) kantor cabang, paling lama 5 (lima) hari kerja untuk setiap
kantor cabang;
) dalam keadaan tertentu jangka waktu pemeriksaan dapat
diperpanjang.
3) Penyampaian Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara kepada
direksi atau pengurus PPI paling lama 30 (tiga puluh) hari
kerja setelah berakhirnya Pelaksanaan Pemeriksaan Lapangan.
4) Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara akan menjadi Laporan
Hasil Pemeriksaan Final apabila
a) dalam jangka waktu paling lama 15 (lima belas) hari kerja
setelah diterimanya Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara,
PPI tidak menyampaikan tanggapan; atau
b) PPI menyampaikan tanggapan yang isinya imenyetujui
Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara.
5) Dalam hal PPI menyampaikan tanggapan yang berisi keberatan
pembahasan Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara dengan
PPI paling lama selama 10 (sepuluh) hari kerja sejak keberatan
diterima Bapepam dan LK.
6) Penyusunan Laporan Hasil Pemeriksaan Final paling lama 10
(sepuluh) hari kerja sejak ditandatanganinya Berita Acara
Pembahasan Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara.
End of Page 21
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-02/HL/2012
Tanggal : 29 Februari 2012
- 15 -
c. Surat Pemberitahuan Pemeriksaan dan Surat Perintah Pemeriksaan
Sebelum Pelaksanaan Pemeriksaan Lapangan terhadap PPI, Kepala
Biro Pembiayaan dan Penjaminan selaku Penanggung Jawab
Pemeriksaan menerbitkan Surat Pemberitahuan Pemeriksaan dan
Surat Perintah Pemeriksaan atas nama Ketua Bapepam dan LK
Contoh format Surat Pemberitahuan Pemeriksaan terdapat dalam
Formulir IL.
Contoh format Surat Perintah Pemeriksaan terdapat dalam
Formulir III.
2. Persiapan Pemeriksaan
Persiapan Pemeriksaan dilakukan sebelum relaksanaa
Lapangan. Pada tahap ini dilakukan analisis pendahuluan melalui
penelaahan dokumen laporan keuangan triwulanan, laporan kegiatan
usaha, laporan keuangan tahunan yang telah diaudit, dan informasi
lainnya untuk memperoleh pemahaman mengenai PPI dan untuk
mengetahui aspck-aspek pemeriksaan yang perha mendapatkan
perhatian khusus. Dalam tahap ini, kegiatan yang dilakuktan adalah
sebagai berikut
a. mengumpulkan data, informasi, dan dokumen yang dipertukan
dalam analisis pendahuluan antara lain
1) data perizinan, susunan direksi/ pengurus dan dewan
komisaris/ pengawas, alamat PPl, pemegang saham/anggota,
dan data sanksi;
2) laporan keuangan triwulanan dan laporan kegiatan usaha PPI,
3) laporan keuangan tahunan PPI yang telah diaudit kantor
akuntan publik;
4) hasil analisis atas laporan keuangan triwulanan, laporan
kegiatan usaha, dan laporan keuangan tahunan PPlyang telah
5) Pedoman Pelaksanaan Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah
hasil analisis atas informasi dan laporan terkait PPI yang
diperoleh dari pihak lain.
. menentukan pembagian kerja atau tugas pemeriksaan atas Tim
Pemeriksaan.
. membuat analisis dari data dan informasi yang diperoleh dalam
bentuk Hasil Analisis Pendahuluan.
Contoh format Hasil Analisis Pendahuluan terdapat dalam Formulir
IV.
. membuat daftar pertanyaan atau kuesioner yang akan disampaikan
kepada PPI. Kuesioner yang telah diisi PPI ditandatangani oleh
pemeriksa dan wakil dari PPI.
e. membuat Kertas Kerja Pemeriksaan awal secara umum sebagai
pendukung Hasil Analisis Pendahuluan yang (mencakup
pemeriksaan:
End of Page 22
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-02/BL/2012
9eba2012
-16-
1) aspek kelembagaan
2) aspek operasional; dan
3) aspek keuangan.
. mempersiapkan kelengkapan dokumen-dokumen yang dibutuhkan
selama pemeriksaan antara lain:
1) Surat Perintah Pemeriksaan dan Surat Pemberitahuan
Pemcriksaan;
2) Hasil Analisis Pendahuluan;
3) Berita Acara Pemeriksaan, Berita Acara Penolakan
Pemeriksaan, dan Berita Acara Penundaan Pemeriksaan,
4) Kertas Kerja Pemeriksaan; dan
S) Daftar Pertanyaan (kuesioner).
3. Pelaksanaan Pemeriksaan Lapangan
Pelaksanaan Pemeriksaan Lapangan dilakukan oleh Tim Pemeriksa
Tapangan di kantor PPI atau tempat PPl melakoonobn
Apabila dianggap perlu dapat dilakukan konfirmasi kepada pihak
ketiga yang terkait dengan PPI yang diperiksa. Pemeriksaan dilakukan
terhadap 3 (tiga) aspek, yaitu
a. Aspck Kelembagaan
Aspek ini digunakan untuk menilai apakah manajemen telah
mengelola PPI dari sisi kelembagaan dengan baik sesuai dengan
andi bidang Perusahan
Pembiayaan Infrastruktur. Penilaian aspek kelembagaan dilakukan
antara lain terhadap
1) anggaran dasar;
2) izin usaha;
3) kepengurusan;
4) sistem dan prosedur kerja
5) struktur organisasis;
6) sumber daya manusia; dan
7) pengendalian internal.
Tujuan pemeriksaan, prosedur pemeriksaan, dan dokumen yang
dipethikan untuk menilai aspek kelembaaaani
berikut:
|Tujuan : 1. Untuk memastikan bahwa anggaran dasar PPI telah |
disusun sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang Perusahaan
Pembiayaan Infrastruktur dan setiap perubahan
anggaran dasar telah dilaporkan kepada Menteri
Keulangan.
2. Untuk memastikan bahwa PPI telah melaporkan
setiap pembukaan/penutupan kantor cabang dan
perubahan nama dan alamat kantor kepada Menteri
Keuangan.
End of Page 23
LAMPIRAN
Nomor : PER-02/BL/2012
Tanggal 1* : 29 Februari 2012
3. Untuk memastikan bahwa kepengurusari PPI telah
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan di bidang Perusahaan Pembiayaan
Infrastruktur.
4. Untuk memastikan bahwa kegiatan usaha PPL telah
didukung oleh adanya struktur organisasi, sistem,
prosedur kerja, dan sumber daya manusia yang
memadai dan mencerminkan adanya sistem
pengendalian internal.
Anggaran |1. Minta akta notaris * Akta pendirian.
asar pendirian dan anggaran . Anggaran
dasar PPI, serta dasar PPI serta
perubahan anggaran perubahan-
dasar. perube
dasar. perubahannye
perubahannya
2. Teliti anggaran dasar PPI |+ Bukd
untuk mengetahui pengesahan
tentang : | atau
tentang atau
pernyataan
a. maksud dan tujuan pencatatan
perusahaan,/ d
perusahaan;
b. modal disetor
b. modal disetor Kementerian
Hukum dan
perusahaan,: Hukum dan
c. pengesahan anggaran
dasar dari
Kementerian Hukum
dan HAM dan
pemuatan dalam:
Lembaran Berita
Negara;dan :
Negara;dan
d. perubahan-
perubahan anggaran
dasar.
3. Pastikan seluruh
perubahan anggaran
dasar telah dilaporkan
kepada Menteri
Keuangan.
4. Buat Kertas Kerja
Pemeriksaan
Izin usaha | 1. Minta daftar kantor
dan cabang. cabang.
|dan cabang.
| pelaporan |2. Pastikan seluruh|. Anggaran
pembukaan/penutupan dasarPPlserta
7penutupan kantor cabang, / perubahan
perubahan nama, dan perubahanny
| perubahan| kantor telah dilaporkar
kantor telah dilaporkan
End of Page 24
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Tanggal -: :29 Februari 2012
18 -
nama, dan| kepada Menteri
perubahan Keuangan.
alamat|3. Buat Kertas Kerja
kantor Pemeriksaan.
Direksi/ | 1. Minta daftar - Daftar direksi/
pengurus direksi/pengurus dan pengurus dan
dan dewan dewan
|komisaris/ komisaris/ pengawas. komisaris/
|pengawas |2. Dalam hal terjadi
pengawas |2. Dalam hal terjadi pengawas.
perbedaan dengan daftar | Anggaran
direksi / pengurus dan dasat PPI serta
dewan perubahan-
perubahan-
komisaris/ pengawas perubahannya.
yang dimiliki pemeriksa, |. Bukti
minta akta notaris atas pelanorar
pengangkatan dan bukcti | perubaban
pelaporan kepada direksi/
instansi berwenang. pengurus dan
instansi berwenang. pengur
3. Cek kepengurusan PPI dewan
apakah telah sesuai komisaris
dengan ketentuan pengBses
peraturan perundang- kepada instansi
undangan di bidang berwenang.
Perusahaan Pembiayaan| Daftar riwayat
Infrastruktur hidup anggota
a. terdapat paling direksi/
sedikit satu orang pengtrus dan
anggota dewan
direksi/pengurus.. komisaris/
yang bepengalaman pengawas.
di bidang jasa
keuangan paling
kurang 2 tahun;
b. direksi/ pengurus PPI
menetap di Indonesia,
tidak melakukan
sebagai
d. direksi/ pengurus dan
dewan
komisaris/pengawas
perangkapan jabatan
sebagai
komisaris/pengawas
End of Page 25
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-02/BL/2012
Tanggal : 29 Februari 2012
- 19 -
yang bergerak dalam
proyek infrastruktur.
4. Buat Kertas Kerja
Pemeriksaan.
Sistem dan
pedoman internal yang
internal PPl.
dimiliki PPI terkait
Persetujuan
dengan
pemberian pinjaman
langsung (direct
lending)
kegiatan atau
refinancing:
pemberian pinjaman
subordinasi;
pemberian dukungan
pengendalian internal
yang memadai.
|3. Buat Kertas Kerja
Pemeriksaan.
End of Page 26
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-02/BL/2012
Tanggal : 29 Februari 2012
20 -
5. | Struktur |1. Minta dan pelajari |* Struktur
Minta dan pelajari |* Struktur
struktur organisasi ( orgahisasi PPl.
PPl; dan /, Uraian tugas
uraian tugas,| wewenang, dan
Wewenang, dan / 1
pembagian kerja. kerja.
. Cek apakah struktur
organisasi telah
disi/ dilengkapi dengan
pejabat di masing-
masing unit yang ada.
Telaah apakah struktur
organisasi telah
memperhatikan
pengendalian internal.
. Buat Kertas Kerja
Pemeriksaan.
daya personalia. anggaran biaya
pengembangan
anggaran biaya SDM
anggaran biaya
pengembangan sumber| Data tentang
daya manusia (jangka| pendidikan,
pendek maupun jangka pelatihan,
panjang). :. seminar,
3. Minta data tentang kursus, yang
seminar, kursus yang oleh pejabat/
selama 1 tahun terakhir.
4. Buat Kertas Kerja
Pemeriksaan.
b. Aspek Operasional
Aspek ini digunakan untuk menilai apakah penyelenggaraan usaha
PPI telah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
di bidang Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur. Penilaian atas
aspek ini dilakukan terhadap Objek Pemeriksaan antara lain
1) pemberian pinjaman langsung (direct tending) untuk
pembiayaan infrastruktur;
2) refinancing atas infrastruktur yang telah dibiayai pihak lain,
3) pemberian pinjaman subordinasi (subordinated loans) yang
berkaitan dengan pembiayaan infrastruktur,
) pemberian dukungan kredit (credit enhancement), termasuk
penjaminan untuk pembiayaan infrastruktur,
5) pemberian jasa konsultasi (aduisory seruices);
End of Page 27
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-02/BL/2012
Tanggal : 29 Februari 2012
21 -
6) penyertaan modal (equity investment);
7) upaya mencarikan suap market yang berkaitan dengan
pembiayaan infrastruktur;
8) kegiatan atau pemberian fasilitas lain yang terkait dengan
pembiayaan infrastruktur (jika ada);
9) penempatan dana;
10) kegiatan pendanaan; dan
11) pelaksanaan prinsip mengenal nasabah.
Tujuan pemeriksaan, prosedur pemeriksaan, dan dokumen yang
diperlukan untuk menilai aspek operasional meliputi
Tujuan : 1. Untuk memastikan bahwa kegiatan usaha yang
dilakukan PPI telah sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang
Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur dan
pedoman internal PPI.
2. Untuk memastikan bahwa PPI telah menerapkan
prinsip mengenal nasabah sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
pinjaman langsung
secara sampel atau
populasi debitur.
Daftar rincian
pinjaman langsung
apakah telah sesuai
dengan ketentuan
peraturan perundang-
undangan di bidang
Perusahaan Pembiayaan
Infrastruktur dan
pedoman internal PPI.
. Buat Kertas Kerja
Pemeriksaan.
atas debitur refinancing.
debitur refinaneing.
infrastruktur
infrastruktur |2. Minta dokumen
Yang telali pembiayaan refinancing
secara sampel atau
populasi debitur. d
|3. Uji proses pemberian refinancing.
refinancing apakah telah
sesuai dengan
End of Page 28
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Tanggal : 29 Februari 2012
- 22 -
ketentuan peraturan |+ Dokumen
ketentuan peraturan
perundang-undangan di
perundang-undangan di| refinancing
bidang Perusahaan
Pembiayaan
Infrastruktur dan
pedoman internal PPI.
4. Buat Kertas Kerja
Pemeriksaan.
11. Minta daftar rincian
pinjaman debitur pinjaman :
internal PPI
|subordinasi| subordinasi.
2. Minta dokumen pembenan
pemberian pinjaman | pinjaman
subordinasi secara
Daftar rincian
debitur. &:. debitur
3. Uji proses pemberiani pinjaman
pinjaman subordinasi| subordinasi.
apakah telah sesuai | Dokumen
dengan ketentuan pinjaman
peraturan perundang- subordinasi.
undangan di bidang
Perusahaan Pembiayaan
Infrastruktur dan
pedoman internal PPI.
4. Buat Kertas Kerja
Pemeriksaan.
Pemberian | 1. Minta daftar rincian Pedoman
asabahyang| intemal P
kredit (credit| memperoleh dukungan | mengenai
enhancement) kredit dari PPI. / pemberian
2. Minta dokumen
pemberian dukungan kredit.
kredit secara sampel|. Daftar rincian
atau populasi nasabah.| nasabah yang
3. Uji proses pemberian| memiperoleh
dukungan kredit dukunga
apakah telah sesuai kredit.
dengan ketentuan :|. Dokumen
peraturan perundang. pemberian
undangan di bidang dukungan
pedoman intemal PPI.
4. Buat Kertas Kerja
Pemeriksaan.
internal PPI
jasa konsultasi.
mengenai
End of Page 29
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-02/BL/2012
Tanggal : 29 Februari 2012
23
2. Minta dokumen jasa
pemberian jasa| konsultasi.
sampel atau populasi| Daitar hncian
masabah. / t07,1100
3. Uji proses pemberian.Dol
3. Uji proses pemberian
Rakmasulasi apakah
telah sesuai dengan pemberan
ketentuan peraturan Jas
perundang-undangan di | Konsutasl.
perundang-undangan di
bidang Perusahaan:
Pembiayaan
Infrastruktur dan
pedoman internal PPI.
Buat Kertas Kerja
Pemeriksaan.
Pemeriksaan.
Minta dokumen
6. | Penyertaan
Anggaran
penyertaan modal.
| modal (equitg
dasar
inuestmerit)
perusahaan
modal apakah telah
sesuai dengan
ketentuan peraturan
perundang-undangan di
bidang Perusahaan
Pembiayaan
3. Lakukan pengecekan
apakah investee adalah
PPI atau perusahaan
yang bergerak di bidang
infrastruktur.
4. Buat Kertas Kerja
Pemeriksaan.
Kegiatan | 1. Minta dokumen terkait / , Pedoman
mencarikan kegiatan mencarikan| internal PPI
suap market | suap market.| mengenai
yang |2. Uji proses kegiatan, kegiatan
berkaitan| mencarikan suap mencarikan
dengan market apakah telah| swap market.
casesuai dengan /, Dokumen
rastrketentuan peraturan| terkaie
perundang-undangan di
bidang Perusahaan
Pembiayaan
Infrastruktur dan
pedoman internal PPI.
|3. Buat Kertas Kerja
Pemeriksaan.
End of Page 30
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-02/BL/2012
Tanggal : 29 Februari 2012
- 24 -
|8. | Kegiatan atau | 1. Pastikan apakah ada
pemberian kegiatan atau
internal PPI
fasilitas lain pemberian fasilitas lain
|yang terkait| yang terkait dengazz
dengan pembiayaan
engan pembiayaan pemberian
pembiayaan infrastruktur yang perlu| fasilitas lain
infrastruktur mendapat persetujuan| yang terkait
infrastruktur 1 mendapat persetujuan
(ika ada)| Menteri Keuangan.. dengan
dengan |2. Minta dokumen terkait pembiayaan
persetujuan kegiatan atau infrastruktur.
Menteri pemberian fasilitas lain. Dokumen
Keuangan yang terkait dengan| terkait
pembiayaan
pembiayaan kegiatan atau
infrastruktur. . / periberian
3. Uji kegiatan atau :| fasilitas lain
pemberian fasilitas lain yang terkait
yang terkait dengan dengan
pembiayaan H pembiayaa
infrastruktur apakah infrastruktur.
telah sesuai dengan
ketentuan peraturan
perundang-undangan di
bidang Perusahaan
Pembiayaan
Infrastruktur dan
pedoman internal PPI.
4. Buat Kertas Kerja
Pemeriksaan.
dokumen penempatan
dana.
dana.
mengenai
2. Uji proses penempatan
sesuai dengan
Daftar rincian
ketentuan peraturan
penempatan
bidang Perusahaan
Pembiayaan| * Dokumen
Infrastruktur dan terkai
pendanaan apakah
telah sesuai dengan
ketentuan peraturan
perundang-undangah
di bidang Perusahaan
Pembiayaan terkait
End of Page 31
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-02/BL/2012
Tanggal : 29 Februari 2012
- 25-
Infrastruktur dan penerbitan
pedoman internal PPI.| surat
3. Buat Kertas Kerja berharga,.
hibah.
hibah.
Minta dokumen terkait | Pedoman
penerapan prinsip Pelaksanaan
mengenal nasabah. Penerapan
Cek apakah telah Prinsip
dibentuk unit kerja | Mengenal
khusus atau ditunjuk Nasabah.
petugas khusus yang|Surat
bertanggung jawab atas
pelaksanaan penerapan
pelaksanaan penerapan| pembentukan
pembentukan
prinsip mengenal
rinsip mengenal unit khusus
nasabah.
3. Periksa apakah PPI
telah memiliki sistem
bertanggung
informasi yang dapat
mengidentifikasi,
pelaksanaan
memastikan apakah
penerimaan dan mengenal
identifikasi nasabah, | nasabah dan
pemantauan rekening daftar
dan transaksi nasabah, | nasabah yang
pemeliharaan profil, .| melakukan
nasabah, dan pelaporan | tansaksi
transaksi mencurigakan | mencurigakan
telah sesuai dengan/ dikal ada).
Pedoman Pelaksanaan|. Daftar
Penerapan Prinsip |' Daltar
Penerapan Prinsip pelatihan/sos
Mengenal Nasabah. alisdsi terkait
5. Minta rincian pelatihan pelaksanaan
dan/atau sosialisasi penerapan
yang akan dan telah prinsi
dilakukan terkait : mengenal
pelaksanaan penerapan | nasabah.
prinsip mengenal
nasabah. .
6. Buat Kertas Kerja
Pemeriksaan.
End of Page 32
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor PER-02/BL/2012
Tanggal : 29 Februari 2012
C. Aspek Keuangan
Aspek ini digunakan untuk memperoleh keyakinan atas kebenaran
substansi laporan keuangan dan laporan kegiatan usaha PPI.
atas aspek ini antara lain dilakukan terhadap pbiek-objek
seperti akun-akun Neraca, Laporan Arus Kas, Laporan Laba Rugi,
dan Rekening Administratif. Tujuan pemeriksaan, prosedur
pemeriksaan, dan dokumen yang diperlukan untuk menilai aspek
ini meliputi
Tujuan : Menilai kebenaran substansi akun-akun Neraca,
Laporan Arus Kas, Laporan Laba Rugi, dan Rekening
Administratif.
Minta dan pelajari pedoman | Pedoman
internal PPI terkait 3 | internal terkait
pencatatan transaksi akun-| pencatatan
akun Neraca, Laporan Arus | transaksi akun
Kas, Laporan Laba Rugi, dan | akun.
Rekening Administratif.
Piutang |1. Minta daftar piutang
(pinjaman rincian dan total piutang
yang pembiayaan tersebut.
diberikan) | 2. Periksa akurasi jumlah,
validitas, kelengkapan,
dan klasifikasi akun
keuangan.
piutang pembiayaan.
dan buku
Pemeriksaan.
besar
pembantu.
33. Penyertaan | 1. Minta daftar penyertaa
modal| modal dan laporan
keuangan audit terakhir
inuestee.
|2. Periksa akurasi jumlah,
validitas, kelengkapan,
dan lclasifikasi akun triwulanan
3. Cekjumlah penyertaan|' Laporan
modal apakah telah tahunan vang
sesuai dengan ketentuan telah diaudit.
undangan di bidang * Buku besar.
Infrastruktur 7 / dasar
jumlah seluruh investee.
tidak melebihi 75%
(tujuh puluh lima per
End of Page 33
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-02/BL/2012
Tanggal : 29 Februari 2012
- 27 -
seratus) dari modal
sendiri PPI; dan
jumlah penyertaan modal
(empat puluh lima per
seratus) dari modal
disetor investee.
|4. Buat Kertas Kerja
Pemeriksaan.
Penempatan | 1. Minta rincian
pada bank. penempatan pada bank.
2. Periksa akurasi jumlah,
validitas, kelengkapan,
dan klasifikasi akun
penempatan pada bank.
3. Buat Kertas Kerja
Pemeriksaan.
Surat 11. Minta rincian surat
berharga| berharga yang dimiliki
berharga yang
3. Buat Kertas Kerja
Pemeriksaan.
keuangan.
Buku besar
dan buku
besa
pembantu
.Minta rincian surat | Prospektus
berharga yang : penerbitan
diterbitkan. surel
. Periksa akurasi jumlah, berharga.
validitas, kelengkapan, |. Lapotan
dan klasifikasi akun surat | keuangan
dan klasifikasi akun surat
berharga yang .Buku besar
diterbitkan. dan buku
. Buat Kertas Kerja besar
Pemeriksaan. pembantu.
1. Minta rincian pinjaman Perjanjian
yang diterima. pinjaman.
End of Page 34
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-02/BL/2012
Tanggal : 29 Februati 2012
- 28 -
|2. Periksa akurasi jumlah,| - Laporan
validitas, kelengkapan, keuahgan.
dan klasifikasi akun T. Buku besar
dan klasifikasi akun
pinjaman. / dan buku
|3. Cekjumlah pinjaman / besar
apakah telah sesuai pembantu.
dengan ketentuan
peraturan perundang-
undangan di bidang
Perusahaan Pembiayaan
Infrastruktur
jumlah pinjaman tidak
melebihi 10 (sepuluh)
kali dari jumlah modal
sendiri dan pinjaman
subordinasis dan
yang diperhitungkan
dalam perhitungan
jumlah pinjaman tidak
melebihi 509 (lima
puluh per seratus)
dari modal disetor.
4. Buat Kertas Kerja
Pemeriksaan.
disetor dalam neraca dan
bandingkan dengan
disetor telah dilakukan
sesuai dengan business
plan PPI:
End of Page 35
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapegam dan LK
Tanggal : 29 Februari 2012
- 29 -
paling sedikit 50%
(lima puluh per
seratus) dari modal
disetor PPl; dan
kepemilikan saham
oleh badan usaha asing
(ika ada) tidak
melebihi 85 (delapan
puluh lima per seratus)
dari modal disetor PPI.
5. Buat Kertas Kerja
Pemeriksaan.
dan kontinjensi.| keuangan
2. Cek nilai penjaminan /. Dokumen
yang dilakukan dan pendukung
pastikan nilai penjaminan / terkai
tidak melebihi jumlah | rekening
modal sendiri dikurangi| administratif.
penyertaan modal.
3. Buat Kertas Kerja
Pemeriksaan.
Cek kebenaran klasifikasi | . Laporan
/Pendapatan
pendapatan operasional. keuangan.
2. Periksa akurasi saldo
2. Periksa akurasi saldo |.Buku Besar.
pendapatan operasional
dan cocokkan total
pendapatan operasional
yang dilaporkan dalam
pendapatan operasional
hasil pemeriksaan.
3. Buat Kertas Kerja
Pemeriksaan.
.Cek kebenaran klasifikasi
.Pendapatan
| non pendapatan non :
operasional| operasional.
. Periksa akurasi saldo
pendapatan non
operasional dan cocokkan
total pendapatan non
operasional yang
End of Page 36
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-02/BL/2012
Tanggal ;: : 29 Februari 2012
30
|12. | Beban |1. Cek kebenaran klasifikasi
keuangan.
operasional beban operasional
|2. Periksa akurasi saldd.
beban operasional dan
cocokkan total bebani
operasional yang
dilaporkan dalam lapore
dengan total beban :
operasional hasil
pemeriksaan.
pemeriksaai.
3. Buat Kertas Kerja
Pemeriksaan.
Beban non 11. Cek kebenaran klasifikas
| operasional| beban non operasional.
2. Periksa akurasi saldo
beban non operasional
dan cocokkan total beban
non operasional yang
dilaporkan dalam laporan
dengan total beban non
operasional hasil
Penyusunan Laporan Hasil Pemeriksaan
Hasil Pemeriksaan Sementara (LHPS) dan Laporan Hasil Pemeriksaan
Rinal (LHPF) yang ditetapkan oleh Kepala Biro Pembiayaan dan
Penjaminan atas nama Ketua Bapepam dan LK.
LHPS disusun setelah pemeriksaan lapangan selesai dilakukan
berdasarkan dokumen, data dan/atau keterangan yang diperoleh
selama Proses Pemeriksaan berlangsung yang dituangkan dalam Kertas
Kerja Pemeriksaan. LHPS wajib disampaikan olch Biro Pembiayaan dan
Penjaminan kepada direksi/pengurus PPI paling lama 30 (tiga puluh
hari kerja setelah berakhirnya Pelaksanaan Pemeriksaan Lapangan.
Hasil-hasil pemeriksaan yang dituangkan dalam LHPS dapat disanggah
hari kerja sejak LHPS diterima oleh PPI. Dalam hal PPI mengajukan
surat tanggapan atas LHPS yang berisi keberatan atas LHPS, maka.
dilakukan pembahasan dengan PPI. Pembahasan LHPS dengan PPI
tersebut dilakukan paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak keberatan
diterima Bapepam dan LK. Hasil pembahasan LHPS dengan PPI
tersebut dituangkan dalam Berita Acara Pembahasan Laporan Hasil
Pemeriksaan Sementara. Penyusunan LHPF paling lama 10 (scpuluh)
hari kerja sejak ditandatanganinya Berita Acara Pembahasan Laporan
Hasil Pemeriksaan Sementara.
Dalam hal PPI tidak mengajukan tanggapan atau mengajukan
End of Page 37
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan
-31 -
belas) hari kerja sejak LHPS diterima oleh PPI, maka LHPS ditetapkan
menjadi LHPF.
Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan
Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan dibagi menjadi 2 (dua) berdasarkan
temuan dan rekomendasi yang dituangkan, dalam Laporan Hasil
Pemeriksaan, yaitu
a. Tindak lanjut atas temuan adanya pelanggaran
Dalam hal berdasarkan hasil pemeriksaan ditemukan adanya
pelanggaran yang dilakukan oleh PPI terhadap ketentuan peraturan
perundang-undangan di . bidang Perusahaan Pembiayaan
Infrastruktur, maka terhadap PPI dikenakan sanksi sebagaimana
diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang
Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur.
Tindak lanjut atas rekomendasi berupa saran perbaikan atau
penyempurnaan
Rekomendasi yang dituangkan dalam LHPF dapat berupa saran
perbaikan atau penvempumnaan Untul
pengawasan terhadap pelaksanaan rekomendasi hasil pemeriksaan
tersebut.
End of Page 38
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-02/BL/2012
Tanggal : 29 Februari 2012
B. Contoh Formulir
FORMULIR I FORMAT RENCANA KEGIATAN PEMERIKSAAN
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
0ONDO PESNN CEANRGANAOU 021 3847.07 STUS TANCANANTA
BIRO PEMBIAYAAN DAN PENJAMINAN
TAHUN .
MANUSIA
Pemeriksaan
Pemeriksaan
Kantor Cabang
ml| Kantor Pusat
Nama Jml Kantor Pusat
Perusahaan / Cabang | Jml
hari
.Pesai
B. MONITORING ATAS HASIL PEMERIKSAAN SEBELUMNYA (dibagi per
perusahaan)
C. KEBUTUHAN ANGGARAN
Kepala Biro Pembiayaan dan
Penjaminan
End of Page 39
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-02/BL/2012
Tanggal : : 29 Februari 2012
33
FORMULIR II: FORMAT SURAT PEMBERITAHUAN PEMERIKSAAN
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
DUNG SUNNITRO DJOJOHADIKUSUMO, JALAN LAPANGAN BANTENG TIMUR NOMOR 1 4 AARTA 107
(tanggal)..
Nomor : S-
Hal : Pemberitahuan Pemeriksaan
Yth.
Pengurus/Direksi
Koperasi/PT.
(alamat)
(alamat) .............
Sesuai dengan Pasal 30 Peraturan Menteri Keuangan Nomor
100/PMK.010/2009 tentang Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur, dengan
ini kami beritahukan bahwa Menteri Keuangan selaku pembina dan
pengawas perusahaan pembiayaan infrastruktur akan melakukan
| pemeriksaan terhadap Koperasi/PT
Adapun nama-nama yang akan melakukan pemeriksaain adalah
sebagai berikut
1. ......................./ NIP ...............selaku Penyelia;
2. ...................... / NIP ...............selaku Ketua Tim;
**.................../ NIP .............. selaku Anggota Tim;
/ NIP ............ selaku Anggota Tim;
4. .................../ NIP ............. selaku Anggota Tim;
|5. dst.
Jangka waktu pemeriksaan terhitung dari tanggal ............s.d.
Sehubungan dengan pelaksanaan pemeriksaan tersebut maka
kami minta agar Saudara dapat menunjuk/menugaskan beberapa
pejabat/pegawai Koperasi/PT ....... untuk membantii kelancaran jalannya |
pemeriksaan.
Demikcian agar Saudara maklum.
a.n.Ketua
Kepala Biro Pembiayaan dan
Penjaminan,
Tembusan:
1. Ketua,
|2. Sekretaris Badan.
End of Page 40
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-02/BL/2012
Tanggal : : 29 Februari 2012
- 34 -
FORMULIR III: FORMAT SURAT PERINTAH PEMERIKSAAN
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
EDUNG SUMITRO DJOJOHADIKUSUMO JAL AN LAPANGAN BANTEIN TIMAUR NOMOR 1-4,JAKARTA 1071
SURAT PERINTAH PEMERIKSAAN
NOMOR
Kepala Biro Pembiayaan dan Penjaminan selaku Penanggung Jawab
| Pemeriksaan dengan ini menugaskan
Pangkat / Golongan
Jabatan : ....................................
Nama / NIP : ..................1.
Pangkat / Golongan
Pangkat / Golongan : ....................................
Jabatan
Jabatan : ************************************
***********************************
. Nama / NIP : ***************** /
Pangkat / Golongan
Jabatan : .................................
Nama / NIP : ****************** /.
Pangkat / Golongan
Pangkat / Golongan : .*****.............................
Jabatan : ****....
Jabatan : ********************************
5. Dst
Tanggal Berangkat :
Tanggal Berangkat : ***********************
Penugasan : Melakukan pemeriksaan terhadap Koperasi/PT
atas kebenaran aspek substansi laporan
keuangan dan laporan (' kegiatan | usaha,
kepatuhan terhadap ketentuan peraturan
Jakarta,
a.n.Ketua
Kepala Biro Pembiayaan dah
Penjaminan,
Tembusan:
1. Ketua,
2. Sekretaris Badan.
End of Page 41
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-02/BL/2012
Tanggal : : 29 Februari 2012
35 - 1
FORMULIR IV: FORMAT HASIL ANALISIS PENDAHULUAN
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
DUNG SUMTRO DJOJOHADIKUSUMO, JALAN LAPANGAN BANTENG TIMUR NOMOR 1-4,JAKARTA 1
ANALISIS PENDAHULUAN
PT.
A. INFORMASI PERUSAHAAN
Nama :
Alamat : *************************************
Alamat
Alamat :
************..........***************
Nomor Izin Usaha
Jumlah karyawan : ************************************
Jumlah karyawan
******************************************
Komisaris Utama
Komisaris : ***************************************
Direktur Utama
Direktur : ****************
Direktur
Pemegang Saham
B. HASIL ANALISIS LAPORAN KEUANGAN
A |ASET
1. | Kas
2. | Penempatan pada bank
3. | Surat berharga yang dimiliki
Pendapatan yang masih akan
diterima
Pinjaman yang diberikan
b. refinancing
c. pinjaman subordinasi
d.lain-lain
6. | Penyertaan modal
Cadangan kerugian
penurunan nilai
a, penempatan pada bank -/-
End of Page 42
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : : PER-02/BL/2012
Tanggal : : 29 Februati 2012
-36- 5N
|b. surat berharga yang
dimiliki -/-
0
c. pinjaman yang diberikan -/-
*******
d. lain-lain -/ -
********
*******
0
Aset tidak berwujud
*******
Akumulasi amortisasi
****
Aset tetap
******* IL *******
Akumulasi penyusutan
********
Aset pajak tangguhan
Aset lain-lain
TOTAL ASET
B | LIABILITAS
1. | Beban yang masih harus
dibayar
| Utang pajak
Pendapatan diterima dimuka
Liabilitas lancar lainnya
Surat berharga yang
a. Pemerintah Republik
Indonesia
b. pemerintah asing
c. lembaga multilateral
*********** *******
* *******
*******
**************
/Modal ******
a. modal disetor| ******
c. disagio -/- / *******
End of Page 43
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-02/BL/2012
Tanggal : 29 Februari 2012
- 37 -
Cadangan
a. cadangan umum
b. cadangan tujuan
c. cadangan lainnya
|Hibah
4. | Saldo laba/(rugi)
5. | Laba (rugi) tahun berjalan
Pendapatan komprehensif
6. | lainnya
TOTAL EKUITAS
4**** *******
| TOTAL LIABILITAS DAN
EKUITAS
FINANCIAL RATIO
| Pendapatan dan beban
operasional
1. Pendapatan
operasional
a. Pendapatan
bunga/provisi/ fee
1) pinjaman
langsung
2) refinancing
3) pinjaman
subordinasi
4) lainnya
b. pendapatan fee
penjaminan
End of Page 44
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor PER-02/BL/2012
Tanggal. : 29 Februari 2012
38
c. pendapatan jasa
konsultasi
d. pendapatan deviden
e. pendapatan bunga
investasi
f. keuntungan dari
penyertaan modal
dengan metode
ekuitas
g. pendapatan
operasional lainnya
Jumlah pendapatan
operasional
2. Beban operasional
bunga/provisi/ fee
1) bunga pinjaman
2) beban provisi
dan fee
b. beban klaim
penjaminan
kerugian dari
penyertaan modal
dengan metode
ekuitas
d. beban penurunan
nilai aset keuangan
1) penempatan
pada bank|..... | ......
2) surat berharga
3) pinjaman yang
diberikan ****** *******
4) lainnya***** *******.
e. beban gaji dan
tunjangan
1. beban
pengembangan
usaha
dan amortisasi
h. beban umum dan
administrasi
i. beban operasional
lainnya
Jumlah beban
operasional
End of Page 45
LAMPIRAN
Peraturan Kelua Bapepam dan LK
Nomor : PER-02/BL/2012
- 39
/ Laba/(rugi) operasional
Pendapatan dan beban
non operasional
|1. Pendapatan non
operasional
|2. Beban non operasional
Pendapatan/ (beban) non
operasional
| Laba/(rugi) sebelum pajak
penghasilan
V| Pajak penghasilan
Taksiran pajak
penghasilan
Pajak tangguhan
VI | Laba/(rugi) bersih
C. KESIMPULAN HASIL ANALISIS LAPORAN KEUANGAN
Penyelia
Ketua Tim
Anggota
Anggota : .......
. JANGKA WAKTU PELAKSANAAN PEMERIKSAAN
Tanggal ...... s.d .....
Tanggal
PROSEDUR PEMERIKSAAN
*******
*************
Catatan
karakteristik koperasi.
End of Page 46
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapegam dan LK
Nomor : PER-02/BBL/2012
Tanggal : 29 Februari 2012
-40-
BAB IV
DOKUMENTASI PEMERIKSAAN
A. Klasifikasi Berkas Pemeriksaan
Berkas Pemeriksaan merupakan data, kertas kerja, laporan pemeriksaan,
dan semua dokumen yang berhubungan dengan kegiatan pemeriksaan.
Dokumen terscbut merupakan bukti otentik pelaksanaan pemeriksaan
berkas pemeriksaan mudah diperoleh kembali, penyimpanannya harus
dilakukan dengan tertib dan teratur.
Berkas Pemeriksaan dapat diklasifikasikan scbagai berikut:
1. Berkas Umum
Berkas umum merupakan dokumen-dokumen adininistratif yang dibuat
dalam rangka pelaksanaan kegiatan pemeriksaan. Berkas umum
mencakup
a. Surat Pemberitahuan Pemeriksaan (SPP)
Pembiayaan dan Penjaminan atas nama Ketua Bapepam dan LK,
selaku Penanggung Jawab Pemeriksaan yang selanjutnya
disampaikan kepada PPI. Tembusan SPP dildirimkan kepada Ketua
dan Sekretaris Bapepam dan LK.
Surat Perintah Pemeriksaan (Sprint)
Sprint merupakan surat yang dikeluarkan Kepala Biro Pembiayaan
dan Penjaminan atas nama Ketua Bapepam dan LK, selaku
Penanggung Jawab Pemeriksaan yang digunakan pemeriksa sebagai
dasar untuk melakukan pemeriksaan. Tembusan Sprint dikirimkan
kepada Ketua dan Sekretaris Bapepam dan LK.
c. Surat Perintah Perjalanan Dinas
Surat Perintah Perjalanan Dinas dibuat untuk| keperluan
administratif guna mendapatkan penggantian biaya perjalanan dinas
dari Bapepam dan LK. Untuk pemeriksaan di kantor pusat PPI di
Jakarta cukcup digunakan Sprint, sementara untuk pemeriksaan PPI
di kota-kota lain digunakan juga Surat Perintah Perjalanan Dinas
selain Sprint.
d. Daftar Permintaan dan Pemninjaman Data dan/ atau Dokumen
Daftar ini merupakan daftar permintaan dan peminjaman data
dan/atau dokumen yang dibutuhkan oleh pemeriksa dan
disampaikan kepada PPl. Daftar ini berisi rincian data dan/atau
dokumen yang dibutuhkan, tanggal diberikan atau kesanggupan PPI
memberikan data, dan tanggal pengembalian data. Daftar ini dibuat 2
(dua) rangkap (satu untuk pemeriksa dan satu lagi untuk PPI) dan
ditandatangani oleh Ketua Tim Pemeriksaan.
Contoh format Daftar Permintaan dan Peminjaman Data dan/atau
Dokumen terdapat dalam Formulir V.
End of Page 47
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Tanggal : 29 Februari 2012
e. Berita Acara Penolakan Pemeriksaan/Penolakan Membantu
Kelancaran Pemeriksaan dan Berita Acara Penundaan Pemeriksaan
Berita Acara Penolakan Pemeriksaan/Penolakan Membantu
Kelancaran Pemeriksaan merupakan dokumen yang berisi
pemayjatan bahwa PPl mepolak dilakukan
menolak membantu kelancaran pemeriksaan.
Dalam hal PPI menolak dilakukannya pemeriksaan atau menolak
membantu kelancaran pemeriksaan, wakail PPI dan Ketua Tim
Pemeriksaan harus menandatangani Berita Acara Penolakan
Pemeriksaan / Penolakan Membantu Kelancaran Pemeriksaan
Contoh format Berita Acara Penolakan Pemeriksaan/Penolakat
Membantu Kelancaran Pemeriksaan terdapat dalam Formulir V.
Berita Acara Penundaan Pemeriksaan merupakan dokumen yang
berisi pernyataan bahwa PPl mengajukan penundaan pemeriksaan.
Dalam hal PPI mengajukan penundaan dilakukannya pemeriksaan,
wakil PPI dan Ketua Tim Pemeriksaan harus menandatangani Berita
Acara Penundaan Pemeriksaan.
Contoh format Berita Acara Penundaan Pemcriksaan terdapat dalam
Formulir VII.
f. Berita Acara Pemeriksaan dan Berita Acara | Penolakan
Penandatanganan Berita Acara Pemeriksaan
Berita Acara Pemeriksaan merupakan dokumen yang menyatakan
ditandatangani oleh Ketua Tim Pemeriksaan dan pihak yang mewakili
PPI setelah berakhirnya pemeriksaan di kantor PPI.
Contoh format Berita Acara Pemeriksaan terdapat dalam Formulir
Berita Acara Penolakan Penandatanganan Berita Acara Pemeriksaan
dibuat apabila pihak yang mewalcili PPI menolak untuk
menandatangani Berita Acara Pemeriksaan. Berita Acara ini
ditandatangani olch Ketua Tim Pemeriksaan dan pihak yang mewakili
PPI setelah berakhirnya pemeriksaan di kantor PPI.
Contoh format Berita Acara Penolakan Penandatanganan Berita
Acara Pemeriksaan terdapat dalam Formulir IX.
8 Surat Pengantar Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara dan Laporan
Hasil Pemeriksaan Final
Surat Pengantar Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara maupun
Surat Pengantar Laporan Hasil Pemeriksaan Final ditandatangani
oleh Kepala Biro Pembiayaan dan Penjaminan atas riama Ketua
Bapepam dan LK dan ditujukan kepada direksi/penigurus PPL.
Dalam Surat Pengantar Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara harus
diberitahukan tentang jangka waktu penyampaian | tanggapan
tefhadap laporan dimaksud dan keminokinon diol
pembahasan apabila direksi/pengurus PPI keberatan terhadap
temuan hasil pemeriksaan yang tertuang dalam LHPS.
Contoh format Surat Pengantar Laporan Hasil Pemeriksaan
Sementara terdapat dalam Formulir X.
End of Page 48
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-02/BL/2012
Tanggal : 29 Februari 2012
Contoh format Surat Pengantar Laporan Hasil Pemcriksaan Final
(Tanpa Tanggapan) terdapat dalam Formulir XT.
Contoh format Surat Pengantar Laporan Hasil Pemeriksaan Final
(Dengan Tanggapan) terdapat dalam Formulir XII.
h. Berita Acara Pembahasan Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara
Berita Acara Pembahasan Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara
dibuat apabila dilakukan pembahasan dengan PPI yang) keberatar
terhadap temuan hasil pemeriksaan yang tertuang dalam LHPS
Berita Acara Pembahasan Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara
ditandatangani Penyelia Pemeriksaan dan Ketua Tim Pemeriksaan
dan wakil dari PPl pada akhir acara pembahasan.
Contoh format Berita Acara Pembahasan Laporan Hasil Pemeriksaan
Sementara terdapat dalam Formulir XIII.
. Nota Dinas Pengantar Laporan Pelaksanaan Kegiatan Pemeriksaan
kepada Ketua Bapepam dan LK
Nota Dinas pengantar Laporan Pelaksanaan Kegiatan Pemeriksaan
disampaikan oleh Kepala Biro Pembiayaan dan Penjaminan kepada
Ketua Bapepam dan LK dan berisi laporan mengenai pemeriksaan
terhadap PPI beserta hasil-hasilnya. Nota Dinas ini dilampiri
ringkasan hasil-hasil pemeriksaan. Nota Dinas tersebut dibuat untuk
pemeriksaan berkala dan pemeriksaan setiap waktu. Bentuk Nota
Dinas ini sesuai dengan bentuk baku yang telah diterapkan di
Jingkungan Bapepam dan LK.
j. Lembar Kerja Pemeriksa
Lembar ini berisi tentang pekerjaan yang telah dilakukan setiap
pemeriksa, tanggal penyelesaian pekerjaan tersebut, dan kertas kerja
yang dihasilkan. Lembar Kerja Pemeriksa diisi oleh pemeriksa, dan
diparaf oleh Ketua Tim Pemeriksaan dan Penyelia Pemeriksaan,
Contoh format Lembar Kerja Pemeriksa terdapat dalam Formulir XIV.
k. Surat dari PPI atau Pihak Lain
Surat dari PPI merupakan semua surat yang berhubungan dengan
pemeriksaan dan berasal dari PPI, misalnya Surat Tanggapan atas
LHPS. Sedangkan surat yang berasal dari pihak lain misalnya adalah
balasan surat konfirmasi.
2. Kertas Kerja Pemeriksaan (KKP)
Kertas Kerja Pemeriksaan merupakan kertas kerja yahg dibuat
pemeriksa selama melakukan kegiatan pemeriksaan.
Kertas kerja tersebut diberi nomor indeks dan diparaf oleh Ketua Tim
Pemeriksaan dan Anggota Tim Pemeriksaan yang membuat kertas kerja.
Kertas kerja selanjutnya digunakan sebagai dasar dalam membuat
Laporan Hasil Pemeriksaan. Dengan demikian semua yang tertuang
dalam Laporan Hasil Pemeriksaan didukung dengan KKP. Secara garis
besar KKP mencakup
End of Page 49
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-02/BL/2012
Tanggal : 29 Februari 2012
43-
a. KKP awal, mencakup
1) Hasil Analisis Pendahuluan; dan
2) Kuesioner.
b. KKP untuk aspek kelembagaan, mencakup
1) KKP anggaran dasar,
2) KKP izin usaha dan pelaporan pembukaan/penutupan kantor
cabang, perubahan nama perusahaan, dan perubahan alamat
kantor;
3) KKP direksi/ pengurus dan dewan komisaris/ pengawas;
4) KKP sistem dan prosedur kerja,
5) KKP struktur organisasi;
6) KKP sumber daya manusia; dan
7) KKP aspek kelembagaan lainnya.
c. KKP untuk aspek operasional, mencakup
1) KKP pemberian pinjaman langsung
2) KKP refinancing atas infrastruktur yang tclah dibiayai pihak
lain;
3) KKP pemberian pinjaman subordinasi;
4) KKP pemberian dukungan kredit (credit enhancement)
5) KKP kegiatan pemberian jasa konsultasi;
6) KKP penyertaan modal (equity investment);
7) KKP kegiatan mencarikan suap market yang | berkaitan
dengan pembiayaan infrastruktur;
8) KKP penempatan dana;
9) KKP kegiatan pendanaan;
10) KKP Pelaksanaan Prinsip Mengenal Nasabah; dan
11) KKP aspek operasional lainnya.
d. KKP untuk aspek keuangan, mencakup
1) KKP piutang pembiayaan;
2) KKP penyertaan modal;
3) KKP penempatan pada bank;
4) KKP surat berharga yang dimiliki
5) KKP surat berharga yang diterbitkan;
6) KKP pinjaman yang diterima,
7) KKP permodalan;
8) KKP rekening administratif;
9) KKP pendapatan operasional;
10) KKP pendapatan non operasional;
11) KKP beban operasional;
12) KKP beban non operasional; dan
13) KKP aspek keuangan lainnya.
End of Page 50
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-02/BL/2012
Tanggal : 29 Februari 2012
44
3. Dokumen Pendukung KKP
Kelompok berkas ini berisi dokumen-dokumen yang diperoleh pemeriksa
dari PPI dan/atau pihak lain untuk mendukung KKP. Dokumen
pendukung KKP yang diarsip hanyalah dokumen pendukung yang
relevan dengan KKP.
4. Laporan Hasil Pemeriksaan
Laporan Hasil Pemeriksaan yang terdiri dari LHPS maupun LHPF
memuat hasil-hasil pemeriksaan yang mencakup semua aspek yang
diperiksa. LHPS dan LHPF ditetapkan oleh Kepala Biro Pembiayaan dan
Penjaminan atas nama Ketua Bapepam dan LK.
Contoh format dan sistematika Laporan Hasil Pemeriksaan terdapat
dalam Formulir XV.
B. Prosedur Penyimpanan Dokumen
Setelah pemeriksaan terhadap PPI selesai dilakukan (Laporan Hasil
Pemeriksaan telah dikirim), pemeriksa wajib melakukan pengarsipan seluruh
berkas pemeriksaan dengan cara yang sistematis, sehingga berkas
pemeriksaan tersebut mudah ditemukan kembali apabila diperlukan.
Dokumen-dokumen elektronik dari satu pemeriksaan harus disimpan dalam
Satui dfektori jang tidak bercampur dengan dokumen lain
kompuiter. Berkas pemeriksaan yang berupa dokumen kertas harus
disimpan dalam 2 (dua) bundel yang terpisah, yaitu
Bundel 1 berisi Berkas Umum, LHPS, dan LHPF.
Bundel 1 disusun dengan urutan sebagai berikut:
a. Daftar Tsi;
b. Sprint;
c. SPP,
d. Surat Perintah Perjalanan Dinas atau copy Surat Perintah
Perjalanan Dinas,
. Daftar Permintaan dan Peminjaman Data dan/ atau Dokumen;
f. Berita Acara Penolakan Pemeriksaan/Penolakan Membantu
Kelancaran Pemeriksaan atau Berita Acara Penundaan Pemeriksaan
dika ada);
Berita Acara Pemeriksaan atau Berita Acara Penolakan
Penandatanganan Berita Acara Pemeriksaan (jika ada);
. Berita Acara Pembahasan Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara
(ika ada);
i. Lembar Kerja Pemeriksa,
j. Surat dari PPI atau pihak lain (ika ada);
. Nota Dinas Pengantar Laporan Pelaksanaan Kegiatan Pemeriksaan
kepada Ketua Bapepam dan LK,
1. LHPS dan surat pengantamya; dan
m. LHPF dan surat pengantamya.
2. Bundel 2 berisi KKP dan Dokumen Pendukung KKP.
Bundel 2 disusun sesuai dengan urutan nomor indeks KKP.
End of Page 51
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Tanggal : 29 Februari 2012
45
FORMULIR V. FORMAT DAFTAR PERMINTAAN DAN PEMINJAMAN DATA
DAN/ATAU DOKUMEN
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
PE ERAONA EO PAERANAN EAKSINAU 021)3840 STS
DAFTAR PERMINTAAN DAN PEMINJAMAN DATA DAN/ATAU DOKUMEN
Ketua Tim Pemeriksaan,
NIP
) disi angka 1 apabila dokumen diminta dan angka 2 apabila dokumen
dipinjam
End of Page 52
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-02/BL/2012
Tanggal : 29 Februari 2012
46
FORMULIR VI FORMAT BERITA ACARA PENOLAKAN PEMERIKSAAN/
PENOLAKAN MEMBANTU KELANCARAN PEMERIKSAAN
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
GEDUNGSUNIRO DLOJOHADKUSUNO,JALAN LAPANGAN BANTE T
TELEPON (021) 3858001, FAKSIMAL (021) 3847437, SITUS www.bapepam go.id
BERITA ACARA PENOLAKAN PEMERIKSAAN,
PENOLAKAN MEMBANTU KELANCARAN PEMERIKSAAN
:
Pada hari ini .......,. tanggal ........ berdasarkan Surat Perintah
| Pemeriksaan Nomor ........ tanggal ........, kami
Nama :
Nama : *******
NIP :
NIP : *********
|Ketua Tim Pemeriksaan pada Biro Pembiayaan dan Penjaminan, ditugaskan
|untuk melakukan pemeriksaan terhadap Koperasi/Pl
alamat .
Sehubungan dengan pemeriksaan tersebut, Koperasi/PT
| dalam hal ini diwakili oleh:
Nama :.
Nama : *******
Jabatan :.*******
Alamat
Alamat :......
|telah menolak untuk dilakukan pemeriksaan/membantu kelancaran
| pemeriksaan', dengan alasan:
Demikian Berita Acara Penolakan Pemeriksaan/Penolakan Membantu
|Kelancaran Pemeriksaan' ini dibuat dengan sebenarnya.
Jakarta,
Ketua Tim Pemeriksaan,
NIP ...................*****:**
| Jabatan .................
) coret yang tidak perlu
End of Page 53
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Tanggal. : 29 Februari 2012
:
:
FORMULIR VII FORMAT BERITA ACARA PENUNDAAN PEMERIKSAAN
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
GEDUNG SUNDITRO DJOJOHADIKUSUNIO , JALAN LAPANGAN BANTENG TIMUR NOMOR 1-4, JAKARTA 10710
BERITA ACARA PENUNDAAN PEMERIKSAAN
Pada hari ini .......,, tanggal ........ berdasarkan Surat Perintah
Pemeriksaan Nomor.........tanggal........ Koperasi/PT ...........|dan Tim
Pemeriksaan sepakat untuk melakukan penundaan pemeriksaan dengan
alasan
Demikian Berita Acara Penundaan Pemeriksaan ini dibuat dengan
|sebenarnya.
Jakarta,
|Koperasi/PT........ Ketua Tim Pemeriksaan,
ahata...... NIP...........................
**************************************
NIP -****:*.........................
End of Page 54
LAMPIRAN
Nomor * :: PER-02/BL/2012
Tanggal : 29 Februari 2012
- 48 -
FORMULIR VIII FORMAT BERITA ACARA PEMERIKSAAN
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
010 TELEPON 0210366800, PAKS 020 7,U
0
BERITA ACARA PEMERIKSAAN
Nomor:
Pada hari ini, .......... tanggal .................., Tim Pemeriksaan Biro
Pembiayaan dan Penjaminan berdasarkan Surat Perintah Pemeriksaan
| Nomor .................. tanggal ................ telah melaksanakan pemeriksaan
| terhadap Koperasi/PT
|terhadap Koperasi/PT ................, dengan alan
Kepada Koperasi/PT .......... telah ditunjukkan Surat Perintah
Pemeriksaan dan dijelaskan tentang tujuan pemeriksaan yaitu untuk
memperoleh keyakinan yang memadai atas kebenaran laporan keuangan
dan laporan kegiatan usaha dan menilai kepatuhan terhadap ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang Perusahaan Pembiayaan
| Infrastruktur serta ketentuan peraturan perundang-undangan lain yang|
Pemeriksaan telah dilaksanakan dari tanggal ......... s.d.
Demikian berita acara ini dibuat dan ditandatangani oleh Ketua Tim
Pemeriksaan dan pihak yang mewakili Koperasi/PT
Jakarta,
Koperasi/PT.............. Ketua Tim Pemeriksaan,
Ketua Tim Pemeriksaan,
| Jabata.................... NIP .......................
End of Page 55
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : : PER-02/BL/2012
Tanggal. : 29 Februari 2012
49
FORMULIR IX: FORMAT BERITA ACARA PENOLAKAN PENANDATANGANAN
BERITA ACARA PEMERIKSAAN
9
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
GEDUNG SUNTT E O A 001 ANL (021) 3847.37, srus w bapapangald
55010000 300 N ANOAUNAUE
BERITA ACARA PENOLAKAN PENANDATANGANAN
BERITA ACARA PEMERIKSAAN
Pada bari ini ....., tanggal ....... berdasarkan suat
Pemeriksaan Nomor ......... tanggal ........Tim Pemeriksaan pada Biro
Pembiayaan dan Penjaminan telah melakukan pemeriksaan terhadap
|Koperasi/PT ..........., dengan alamat
dalam hal ini diwakili oleh
Jabatan :...........
Jabatan
Alamat :.........
Alamat
|telah menolak untuk menandatangani Berita Acara Pemeriksaan, dengan
alasan:
Demikian Berita Acara Penolakan Penandatanganan Berita Acara
Pemeriksaan ini dibuat dengan sebenarnya.
Jakarta, ........
Ketua.Tim Pemeriksaan,
Jabatan.................NP................
End of Page 56
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-02/BL/2012
Tanggal : 29 Februari 2012
FORMULIR X FORMAT SURAT PENGANTAR LAPORAN HASIL PEMERIKSAAN
SEMENTARA
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
JAKARTA 10710, TELEPON (021) 3868001, FAKSIALI (021 3847437.,51US wwwibapopan aio
(tanggal)
|Nomor *************
(tanggal) ........................
| Lampiran satu berkas
|Hal : Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara
Yth.
Pengurus/Direksi
|Koperasi/PT
| (alamat)
Sehubungan dengan telah dilaksanakan pemeriksaan terhadap
|Koperasi/PT ........... berdasarkan Surat Perintah Pemeriksaan Nomor
bersama ini kami sampaikan Laporan Hasil
Pemeriksaan Sementara. Saudara dapat menyampaikan tanggapan atas
hasil pemeriksaan dimaksud paling lama 15 (lima belas) hari kerja setelah
diterimanya surat ini. Selanjutnya, jika diperlukan akan dilakukan
pembahasan lebih lanjut atas tanggapan yang Saudara sampaikan, Jika
|dalam jangka waktu tersebut tidak ada tanggapan yang berisi keberatan
atau terdapat tanggapan yang berisi persetujuan' atas Laporan Hasil
Pemeriksaan Sementara, maka Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara akan
ditetapkan sebagai Laporan Hasil Pemeriksaan Final...
Demikian agar Saudara maklum.
a.n. Ketua
Kepala Biro Pembiayaan dan
Penjaminan,
NIP ......................
NIP
Tembusan:
1. Ketua;
|2. Sekretaris Badan;
|3. Pengawas/Dewan Komisaris Koperasi/PT
End of Page 57
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapegam dan LK
Nomor : PER-02/BL/2012
Tanggal 3i : 29 Februari 2012
FORMULIR XI FORMAT SURAT PENGANTAR LAPORAN HASIL PEMERIKSAAN
FINAL (TANPA TANGGAPAN)
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
0146,TELEPC1 (02138500014, F AKSINALI/021) 3847437,SITUS wwnv.bapapangald
(tanggal)
| Lampiran : satu berkas
|Hal : Laporan Hasil Pemeriksaan Final
Yth.
| Pengurus/Direksi
|Koperasi/PT .............
|Koperasi/PT
(alamat).
|(alamat) ....................
Sehubungan dengan telah disampaikan Laporan Hasil Pemneriksaan
|dan sampai dengan jangka waktu 15 (lima belas) hari kerja terhitiang sejak
tanggal Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara diterima tidak ada tanggapan
|dari Saudara, maka Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara dimaksud
ditetapkan menjadi Laporan Hasil Pemeriksaan Final.
Berkenaan dengan hasil Pemeriksaan, diharapkan Saudara
memperhatikan dan segera melaksanakan rekomendasi yang terdapat dalam
Pelaksanaan atas rekomendasi agar disampaikan kepada kami
| paling lambat ....... disertai dengan dokumen peridukung pelaksanaan
| rekomendasi tersebut ').
Demikian agar Saudara maklum
a.n.Ketua
Kepala Biro Pembiayaan dan
Penjaminan
NIP ..........................
NIP ..
Tembusan:
1. Ketua;
|2. Sekretaris Badan;
3. Pengawas/Dewan Komisaris Koperasi/P
*) Paragraf ini hanya dicantumkan jika terdapat rekomendasi.
End of Page 58
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-02/BL/2012
Tanggal 1 : 29 Februari 2012
FORMULIR XII : FORMAT SURAT PENGANTAR LAPORAN HASIL PEMERIKSAAN
FINAL (DENGAN TANGGAPAN)
4
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
SEDUNG SUNITRO DJOJOHADIKUSUNO, JALAN LAPANGAN BANTENG TMUR NOMOR 1-4, JAKARTA 1071
GEDUNG SUNTRELEPON /021) 3858001, FAKSIML 021) 3847437, SITUSWAv bapapangoi
(tanggal)..
(tanggal)..........................
Nomor
Lampiran : satu berkas
Hal : Laporan Hasil Pemeriksaan Final
Yth.
Pengurus/ Direksi
|Koperasi/PT
(alamat).
/ (alamat) .*************************
Sehubungan dengan surat Saudara Nomor ........... tanggal
hal..............dan Berita Acara Pembahasan Laporan Hasil
Pemeriksaan Sementara Nomor...........tanggal..........., maka bersama ini
kami sampaikan Laporan Hasil Pemeriksaan Final yang disusun
berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara yang telah disesuaikan.
Berkenaan dengan hasil Pemeriksaan, diharapkan Saudara
perhatikan dan segera melaksanakan rekomendasi yang terdabat dalam
memperhatikan dan segera melaksanakan rekomendasi yang terdapat dalam
|Bab..........................dari Laporan Hasil Pemeriksaan Final').
.dari Laporan Hasil Pemeriksaan Final').
Pelaksanaan atas rekomendasi agar disampaikan kepada kami
paling lambat ....... disertai dengan dokumen pendukung pelaksanaan
rekomendasi tersebut').
Demikian agar Saudara maklum
a.n.Ketua
Kepala. Biro Pembiayaan dan
Penjaminan,
NIP
NIP ..........................
Tembusan:
1. Ketua,
|2. Sekretaris Badan;
3. Pengawas/Dewan Komisaris Koperasi/PT
9) Paragraf ini hanya dicantumkan jika terdapat rekomendasi.
End of Page 59
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-02/BL/2012
Tanggal /i : 29 Februari 2012
FORMULIR XIII: FORMAT BERITA ACARA PEMBAHASAN LAPORAN HASIL
PEMERIKSAAN SEMENTARA
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
GEDUNG SUMITRO DJOJOHADIKUSUMAO,JALAN LAPANGAN BANTENG TINUR NOMOR 1-4,JAKARTA 10710,
BERITA ACARA
PEMBAHASAN LAPORAN HASIL PEMERIKSAAN SEMENTARA
Pada hari ini, ...... tanggal ............b070001 01.
Hasil Pemeriksaan Sementara. Pembahasan dimaksud akan digunakan
sebagai bahan pertimbangan oleh Tim Pemeriksaan dalam menyusun
Laporan Hasil Pemeriksaan Final. Hadir dalam pembahasan tersebut ...
orang dari Biro Pembiayaan dan Penjaminan dan ...... orang dari
|Koperasi/PT ........... (daftar hadir terlampir).
Hasil pembahasan tersebut adalah sebagaimana terlampir.
Demikian Berita Acara ini dibuat dengan sebenarnya.
Jakarta,
Penyelia Pemeriksaan,
|Koperasi/PT.......... Penyelia Pemeriksaan,
End of Page 60
LAMPIRAN
Nomor : PER-02/BL/2012
Tanggal : 29 Februari 2012
- 54 -
FORMULIR XIV: FORMAT LEMBAR KERJA PEMERIKSA
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
GEDUNG SUNN TRO DO 0A3858001, FAKSIMLI (021) 3847437, SITUS www.bapopamgo.id
UN
LEMBAR KERJA PEMERIKSA
Nama Pemeriksa
Nama Pemeriksa : ***********************
Ketua Tin : **********************
Penyelia : **********...............
*************************
Tanggal Pemeriksaan
Paraf Penyelia
End of Page 61
AMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-02/BL/2012
Tanggal : 29 Februari 2012
- 55 -
FORMULIR XV. FORMAT LAPORAN HASIL PEMERIKSAAN
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
BIRO PEMBIAYAAN DAN PENJAMINAN
LAPORAN HASIL PEMERIKSAAN
KOPERASI/PT
KOPERASI/PT......................
Nomor Laporan
Tanggal Laporan
Jenis Pemeriksaan
Periode Pemeriksaan
End of Page 62
LAMPIRAN
Peraturari Ketua Bapegam dan LK
Nomor : PER-02/BL/2012
Tanggal : 29 Februari 2012
-56 -
|Isi Laporan Hasil Pemeriksaan secara garis besar terdiri dari:
LAPORAN SINGKAT HASIL PEMERIKSAAN
KOPERASI/PT
TAHUN
Disajikan secara ringkas yang terdiri dari:
1. Paragraf Pendahuluan, berisi
Nomor dan Tanggal Surat Perintah Pemeriksaan, ruang lingkup
pemeriksaan, periode pemeriksaan, jenis pemeriksaan, dan maksud dan
tujuan pemeriksaan.
Paragraf Isi, berisi
Penjelasan ringkas tentang hasil pemeriksaan yang telah dilaksanakan.
3. Paragraf Penutup, berisi:
Pernyataan bahwa hasil pemeriksaan selengkapnya ada dalam laporan ini.
Jakarta, tanggal, bulan, tahun
TIM PEMERIKSAAN TANDA TANGAN
1. Penyelia / NIP
4. Anggota / NIP 4.
5. Anggota / NIP
6. dst.
Ditetapkan,
a.n. Ketua
Kepala Biro Pembiayaan dan
Penjaminan,
NIP.......................................
End of Page 63
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Tanggal : 29 Februari 2012
57
LAPORAN HASIL PEMERIKSAAN KOPERASI/PT ...............
TAHUN.
Informasi Umum
(Bagian ini memuat informasi umum terkait pemeriksaan terhadap
perusahaan pembiayaan infrastruktur antara lain dasar hukum
dilakukannya pemeriksaan, jenis pemeriksaan, Nomor Surat Perintah
Pemeriksaan, komposisi tim pemeriksaan, tujuan pemeriksaan, ruang
Jingkup pemeriksaan, pedoman pemeriksaan, kondisi umum perusahaan
pembiayaan infrastruktur, dan informasi umum lainnya terkait pemeriksaan
yang telah dilaksanakan terhadap perusahaan pembiayaan infrastruktur.)
II. Hasil Pemeriksaan
A. Aspek Kelembagaan
(Bagian ini memuat hasil-hasil pemeriksaan terhadap aspek kelembagaan
perusahaan pembiayaan infrastruktur yang antara lain | mengenai
kriteria/ketentuan yang berlaku dan kondisi yang ada pada perusahaan
pembiayaan infrastruktur.)
B. Aspek Operasional
(Bagian ini memuat hasil-hasil pemeriksaan terhadap aspek operasional
perusahaan pembiayaan infrastruktur yang antara lain mengenai
kriteria/ketentuan yang berlaku dan kondisi yang ada pada perusahaan
pembiayaan infrastruktur.)
C. Aspek Keuangan
(Bagian ini memuat hasil-hasil pemeriksaan terhadap aspel keuangan
perusahaan pembiayaan infrastruktur yang antara lain mengenai kriteria
dan kondisi yang ada pada perusahaan pembiayaan infrastruktur.)
D. Lain-lain
Hal-hal yang belum tercakup pada point A s.d. C (ika. ada).
III. Kesimpulan
|IV.Saran dan Rekomendasi
End of Page 64
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Tanggal : 29 Februari 2012
BAB V
PENGENDALIAN PEMERIKSAAN
Pengendalian pemeriksaan bertujuan untuk memastikan agar Proses
Pemeriksaan PPI dilakukan sesuai dengan Pedoman Pemeriksaan dan
memastikan seluruh Tujuan Pemeriksaan dapat tercapai secara efisien dan
efektif. Pengendalian pemeriksaan merupakan kegiatan penilaian kinerja mulai
dari penyusunan rencana pemeriksaan sampai dengan tindak lanjut atas
rekomendasi dalam Laporan Hasil Pemeriksaan. Objek pengendalian
pemeriksaan adalah pemeriksa dan setiap kegiatan yang berkaitan dengan
pemeriksaan. Pengendalian tersebut terdiri dari pengendalian terhadap
pelaksanaan rencana pemeriksaan dan pengendalian perhadap pelaksanaan
pemeriksaan.
. Pengendalian Terhadap Rencana Pemeriksaan
Pengendalian terhadap rencana pemeriksaan dilakukan oleh Penanggung
Jawab Pemeriksaan dan Penyelia Pemeriksaan antara lain terhadap aspeke-
aspek sebagai berikut
a. penyusunan rencana pemeriksaan;
o. penggunaan waktu kerja dan jumlah pemeriksa yang diperluikan untuk
menyelesaikan kegiatan pemeriksaan; dan
c. pencapaian target pemeriksaan.
Penanggung Jawab Pemeriksaan dan Penyelia Pemeriksaan secara berkala
mengevaluasi Rencana Kegiatan Pemeriksaan. Jika terjadi penyimpangan yang
signifikan atai potensi penyimpangan rencana pemeriksaan teridentifikasi,
Penanggung Jawab Pemeriksaan dan Penyelia Pemeriksaan harus segera
mengambil tindakan untuk melakukan perbaikan atas penyimpangan
tersebut.
Selanjutnya, Penanggung Jawab Pemeriksaan menyampaikan laporan
pelaksanaan kegiatan pemeriksaan PPI kepada Ketua Bapepam dan LK paling
lambat tanggal 28 Februari tahun berikutnya.
Contoh format Laporan Pelaksanaan Kegiatan Pemeriksaan Perusahaan
Pembiayaan Infrastruktur terdapat dalam Formulir XVI.
2. Pengendalian Terhadap Pelaksanaan Pemeriksaan
Proses Pemeriksaan setelah tahapan Perencanaan Pemeriksaan selesai
dilalaana gaitu mulai dari Persiapan Pemeriksaan, Pelaksanaa
Lapangan, Penyusunan Laporan Hasil Pemeriksaan hingga Tindak Lanjut Hasil
Pemeriksaan. Pengendalian terhadap pelaksanaan pemeriksaan tersebut
dilakukan oleh Penanggung Jawab Pemeriksaan, Penyelia Pemeriksaan, dan
Ketua Tim Pemeriksaan antara lain tcrhadap aspek-aspek sebagai berikut
a. persiapan pemeriksaan sebelum pemeriksaan lapangan dilaksanakan;
b. prosedur pemeriksaan yang telah dilaksanakan Tim Pemeriksaan, data
dan. informasi yang diperolch Tim Pemeriksaan, atau KKP,
. hasil pemeriksaan dan penuangannya dalam konsep LHPS dan LHPF,
dan
d. pelaksanaan Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan.
End of Page 65
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-02/BL/2012
Tanggal : 29 Februari 2012
- 59 -
Jika terjadi penyimpangan yang signifikan atau potensi penyimpangan
pelaksanaan pemeriksaan teridentifikasi, harus segera diambil tindakan untuk
melakukan perbaikan atas penyimpangan tersebut. Dalam hal ini, Ketua Tim
Pemeriksaan harus selalu berkonsultasi dengan Penyelia Pemeriksaan yang
sclanjutnya membahas tindakan koreksi atau perbaikan yang akan dilakukan.
End of Page 66
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-02/BL/2012
Tanggal : 29 Februari 2012
- 60 -
FORMULIR XVI FORMAT LAPORAN PELAKSANAAN KEGIATAN PEMERIKSAAN
TAHUNAN
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
NO SUN E E N 0 10 365601, FAKSINIL (021)3847437, SUs www.bapepamgold
LAPORAN PELAKSANAAN KEGIATAN PEMERIKSAAN
PERUSAHAAN PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR
TAHUN......................
T. Executive Summary
Jl. Laporan Kegiatan Pemeriksaan Berkala/Setiap Waktu
A. UMUM
1. Dasar Hukum
2. Tujuan Pemeriksaan
3. Ruang Lingkup Pemeriksaan
4. Periode Pemeriksaan
5. Komposisi Tim Pemeriksaan
B. PELAKSANAAN PEMERIKSAAN
1. Persiapan Pemeriksaan
2. Temuan Hasil Pemeriksaan
C. KENDALA PEMERIKSAAN
1. Faktor Internal
2. Faktor Eksternal
D. REKOMENDASI DAN RENCANA TINDAK LANJUT
End of Page 67
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-02/BL/2012
Tanggal : 29 Februari 2012
-61 -
BAB VI
PENUTUP
Pedoman Pemeriksaan Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur agar dijadikan
acuan dalam penyelengaraan Pemeriksaan oleh Tim Pemeriksaan.
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
dan Lembaga Keuangan,
ttd.
Nurhaida
NIP 195906271989022001
sesual dengan aslinya
Dagian Umum
NIP 195710281985121001
End of Page 68
"," PERTA-BAPEPAM-LK
PER-02/BL/2012|PERTA-BAPEPAM-LK/2012
PEDOMAN PEMERIKSAAN PERUSAHAAN PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR
29 Februari 2012
29 Februari 2012
'9/PERPRES/2009', '100/PMK.010/2009|PER-MENKEU/2009'
"
" OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 72 /POJK.05/2016
TENTANG
KESEHATAN KEUANGAN PERUSAHAAN ASURANSI DAN
PERUSAHAAN REASURANSI DENGAN PRINSIP SYARIAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : Bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 19 ayat (4),
Pasal 20 ayat (5), Pasal 21 ayat (4), dan Pasal 22 ayat (5)
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang
Perasuransian, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan
Asuransi dan Perusahaan Reasuransi dengan Prinsip
Syariah;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang
Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253);
2. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang
Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5618);
- 2 -
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
KESEHATAN KEUANGAN PERUSAHAAN ASURANSI DAN
PERUSAHAAN REASURANSI DENGAN PRINSIP SYARIAH.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang
dimaksud dengan:
1. Perusahaan adalah perusahaan asuransi syariah,
perusahaan reasuransi syariah, dan unit syariah.
2. Perusahaan Asuransi Syariah adalah perusahaan
asuransi umum syariah dan perusahaan asuransi jiwa
syariah, sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian.
3. Unit Syariah adalah unit kerja di kantor pusat
perusahaan asuransi atau perusahaan reasuransi yang
berfungsi sebagai kantor induk dari kantor di luar
kantor pusat yang menjalankan usaha berdasarkan
prinsip syariah.
4. Perusahaan Asuransi Umum Syariah
perusahaan
yang
menyelenggarakan
adalah
usaha
pengelolaan risiko berdasarkan prinsip syariah guna
saling menolong dan melindungi dengan memberikan
penggantian kepada peserta atau pemegang polis
karena kerugian, kerusakan, biaya yang timbul,
kehilangan keuntungan, atau tanggung jawab hukum
kepada pihak ketiga yang mungkin diderita peserta
atau pemegang polis karena terjadinya suatu peristiwa
yang tidak pasti.
5. Perusahaan Asuransi Jiwa Syariah adalah perusahaan
yang menyelenggarakan usaha pengelolaan risiko
berdasarkan prinsip syariah guna saling menolong dan
melindungi dengan memberikan pembayaran yang
didasarkan pada meninggal atau hidupnya peserta,
- 3 -
atau pembayaran lain kepada peserta atau pihak lain
yang berhak pada waktu tertentu yang diatur dalam
perjanjian, yang besarnya telah ditetapkan dan/atau
didasarkan pada hasil pengelolaan dana.
6. Perusahaan Reasuransi Syariah adalah perusahaan
yang menyelenggarakan usaha pengelolaan risiko
berdasarkan prinsip syariah atas risiko yang dihadapi
oleh Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan
penjaminan syariah, atau Perusahaan Reasuransi
Syariah lainnya, termasuk Unit Syariah dari
perusahaan reasuransi.
7. Pihak adalah orang atau badan usaha, baik yang
berbentuk badan hukum maupun yang tidak
berbentuk badan hukum sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang
Perasuransian.
8. Dewan Pengawas Syariah adalah bagian dari organ
perusahaan perasuransian yang menyelenggarakan
kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah yang
melakukan fungsi pengawasan atas penyelenggaraan
usaha asuransi dan reasuransi agar sesuai dengan
prinsip syariah.
9. Produk Asuransi Yang Dikaitkan Dengan Investasi
yang selanjutnya disebut PAYDI adalah produk
asuransi yang paling sedikit memberikan perlindungan
terhadap risiko kematian dan memberikan manfaat
yang mengacu pada hasil investasi dari kumpulan
dana yang khusus dibentuk untuk produk asuransi
baik yang dinyatakan dalam bentuk unit maupun
bukan unit.
10. Liabilitas adalah kewajiban sebagaimana dimaksud
dalam peraturan perundang-undangan di bidang
perasuransian.
11. Akad adalah perjanjian tertulis yang memuat
kesepakatan tertentu, beserta hak dan kewajiban para
Pihak sesuai prinsip syariah.
- 4 -
12. Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam
kegiatan perasuransian berdasarkan fatwa yang
dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan
dalam penetapan fatwa di bidang syariah sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun
2014 tentang Perasuransian.
13. Surplus Underwriting adalah selisih lebih total
kontribusi pemegang polis atau peserta ke dalam dana
tabarru’ ditambah total recovery klaim dari reasuradur
dikurangi pembayaran santunan/klaim/manfaat,
kontribusi reasuransi, dan kenaikan penyisihan teknis,
dalam satu periode tertentu.
14. Dana Tabarru’ adalah kumpulan dana yang berasal
dari kontribusi para pemegang polis atau peserta, yang
mekanisme penggunaannya sesuai dengan perjanjian
asuransi syariah atau perjanjian reasuransi syariah
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor
40 Tahun 2014 tentang Perasuransian.
15. Dana Tanahud adalah kumpulan dana yang berasal
dari kontribusi para pemegang polis atau peserta
anuitas program pensiun syariah, qardh dari dana
perusahaan, dan/atau Dana Tanahud dari reasuransi
atas produk anuitas program pensiun syariah, beserta
hasil investasinya, yang penggunaannya sesuai dengan
perjanjian anuitas syariah untuk program pensiun
atau perjanjian reasuransi syariah atas anuitas syariah
untuk program pensiun.
16. Dana Perusahaan adalah kumpulan dana yang dikelola
Perusahaan, selain Dana Tabarru’, Dana Tanahud, dan
dana investasi peserta.
17. Dana Investasi Peserta adalah dana investasi yang
berasal dari kontribusi pemegang polis atau peserta
pada PAYDI, yang dikelola Perusahaan Asuransi
Syariah atau Unit Syariah sesuai dengan perjanjian
asuransi syariah.
18. Aset Yang Diperkenankan adalah aset yang
diperhitungkan dalam perhitungan tingkat solvabilitas.
- 5 -
19. Qardh adalah pinjaman dana dari Perusahaan kepada
Dana Tabarru’ dan/atau Dana Tanahud dalam rangka
menanggulangi ketidakcukupan aset Dana Tabarru’
untuk membayar santunan/klaim/manfaat kepada
pemegang polis atau peserta.
20. Aset Yang Tersedia Untuk Qardh adalah bagian dari
Aset Yang Diperkenankan dari Dana Perusahaan yang
disediakan untuk memberi Qardh kepada Dana
Tabarru’ dan/atau Dana Tanahud.
21. Modal Minimum Berbasis Risiko yang selanjutnya
disingkat MMBR adalah jumlah dana yang dibutuhkan
untuk mengantisipasi risiko kerugian yang mungkin
timbul sebagai akibat dari deviasi dalam pengelolaan
aset dan Liabilitas dari Dana Perusahaan.
22. Dana Tabarru’ dan Dana Tanahud Minimum Berbasis
Risiko yang selanjutnya disingkat DTMBR adalah
jumlah dana yang dibutuhkan untuk mengantisipasi
risiko kerugian yang mungkin timbul sebagai akibat
dari deviasi dalam pengelolaan aset dan Liabilitas dari
Dana Tabarru’ dan Dana Tanahud.
23. Tingkat Solvabilitas Dana Tabarru’ dan Dana Tanahud
adalah selisih antara jumlah Aset Yang Diperkenankan
dari Dana Tabarru’ dan Dana Tanahud dikurangi
dengan Liabilitas dari pengelolaan Dana Tabarru’ dan
Dana Tanahud.
24. Tingkat Solvabilitas Dana Perusahaan adalah selisih
antara jumlah Aset Yang Diperkenankan dari Dana
Perusahaan dikurangi dengan Liabilitas
pengelolaan Dana Perusahaan.
dari
25. Ekuitas adalah ekuitas berdasarkan standar akuntansi
keuangan yang berlaku di Indonesia.
26. Medium Term Notes Syariah yang selanjutnya disebut
MTN Syariah adalah surat berharga syariah yang
diterbitkan oleh perusahaan dan memiliki jangka
waktu satu sampai dengan lima tahun.
27. Kontribusi Neto adalah kontribusi yang dialokasikan
untuk Dana Tabarru’ dikurangi kontribusi tabarru’
- 6 -
reasuransi keluar ditambah kontribusi tabarru’
reasuransi diterima.
28. Dana Jaminan adalah aset Perusahaan Asuransi
Syariah atau Perusahaan Reasuransi Syariah yang
merupakan jaminan terakhir dalam rangka melindungi
kepentingan pemegang polis atau peserta, dalam hal
Perusahaan Asuransi Syariah atau Perusahaan
Reasuransi Syariah dilikuidasi.
29. Manajer
Investasi
adalah
manajer
investasi
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor
8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal.
30. Bank Umum Syariah adalah bank syariah yang dalam
kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas
pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah.
31. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah yang selanjutnya
disingkat BPRS adalah bank pembiayaan rakyat
syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
32. Bank Kustodian adalah bank umum yang telah
mendapatkan persetujuan Otoritas Jasa Keuangan
sebagai kustodian.
33. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat
OJK adalah lembaga yang independen yang
mempunyai fungsi, tugas dan wewenang pengaturan,
pengawasan,
pemeriksaan
dan
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor
21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
BAB II
PEMISAHAN ASET DAN LIABILITAS
Pasal 2
(1) Aset dan Liabilitas yang terkait dengan hak pemegang
polis atau peserta wajib dipisahkan dari aset dan
Liabilitas yang lain dari Perusahaan.
penyidikan
- 7 -
(2) Pemisahan aset dan Liabilitas sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) terdiri dari Dana Tabarru’, Dana
Tanahud, Dana Perusahaan, dan Dana Investasi
Peserta.
(3) Perusahaan wajib membuat pencatatan terpisah
untuk Dana Tabarru’, Dana Tanahud, Dana
Perusahaan, dan Dana Investasi Peserta.
Pasal 3
(1) Aset dan Liabilitas Dana Tabarru’ dan Dana Tanahud
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2)
merupakan aset dan Liabilitas para pemegang polis
atau peserta secara kolektif.
(2) Perusahaan dapat membentuk Dana Tabarru’ untuk
setiap lini usaha.
(3) Perusahaan harus mempertahankan Aset Yang
Diperkenankan dalam Dana Tabarru’ dan Dana
Tanahud dengan nilai paling sedikit sebesar Liabilitas
Dana Tabarru’ dan Dana Tanahud.
(4) Dalam hal pembentukan Dana Tabarru’ untuk setiap
lini usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) belum
memenuhi hukum jumlah bilangan besar, Perusahaan
dapat membentuk Dana Tabarru’ secara gabungan
dari beberapa lini usaha.
(5) Penggabungan Dana Tabarru’ sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) wajib diinformasikan oleh Perusahaan
kepada pemegang polis atau peserta dan dimuat di
dalam polis.
(6) Pembentukan Dana Tabarru’ sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dan/atau penggabungan Dana Tabarru’
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) wajib terlebih
dahulu memperoleh persetujuan dari Dewan
Pengawas Syariah dan aktuaris Perusahaan.
Pasal 4
(1) Dalam hal Perusahaan membentuk lebih dari satu
Dana Tabarru’, setiap penerimaan dan beban Dana
- 8 -
Tabarru’ harus dibukukan pada masing-masing Dana
Tabarru’.
(2) Perusahaan hanya dapat menggunakan Dana Tabarru’
untuk:
a. pembayaran santunan/klaim/manfaat kepada
pemegang polis atau peserta yang mengalami
musibah atau Pihak lain yang berhak
berdasarkan polis asuransi syariah;
b. pembayaran
reasuradur;
kontribusi
tabarru’
kepada
c. pembayaran kembali Qardh kepada Perusahaan;
d. pengembalian Dana Tabarru’; dan/atau
e. biaya terkait pengelolaan aset Dana Tabarru’.
(3) Pengembalian Dana Tabarru’ sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf d dapat dilakukan sebagai akibat
dari:
a. pembatalan polis dalam tenggang waktu yang
diperkenankan (freelook period);
b. penghentian polis oleh pemegang polis atau
peserta sebelum masa asuransi berakhir;
c. penghentian polis oleh Perusahaan sebelum masa
asuransi berakhir; dan/atau
d. pembayaran kontribusi Dana Tabarru’ yang lebih
besar dari seharusnya.
(4) Pengembalian Dana Tabarru’ sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf d dan kondisi penyebab
pengembalian Dana Tabarru’ sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) wajib dimuat di dalam polis.
Pasal 5
(1) Aset dan Liabilitas Dana Investasi
Peserta
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2)
pemegang polis atau peserta merupakan aset dan
Liabilitas masing-masing pemegang polis atau peserta
secara individu.
(2) Perusahaan wajib membentuk Dana Investasi Peserta
yang diklasifikasikan berdasarkan jenis Akad
- 9 -
pengelolaan investasi yang digunakan dan jenis
portofolio investasi.
(3) Dalam hal Perusahaan akan menawarkan jenis
portofolio
investasi
baru,
Perusahaan wajib
menginformasikan kepada pemegang polis atau
peserta mengenai pembentukan Dana Investasi
Peserta untuk jenis portofolio investasi baru
dimaksud.
BAB III
SURPLUS UNDERWRITING
Pasal 6
(1) Surplus Underwriting dapat didistribusikan dengan
pilihan sebagai berikut:
a. seluruhnya ditambahkan ke dalam Dana
Tabarru’;
b. sebagian ditambahkan ke dalam Dana Tabarru’
dan sebagian dibagikan kepada pemegang polis
atau peserta; atau
c. sebagian ditambahkan ke dalam Dana Tabarru’,
sebagian dibagikan kepada pemegang polis atau
peserta, dan sebagian dibagikan kepada
Perusahaan.
(2) Pendistribusian Surplus Underwriting sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus terlebih dahulu
memperoleh:
a. rekomendasi dari aktuaris Perusahaan atau
tenaga ahli Perusahaan; dan
b. persetujuan Dewan Pengawas Syariah.
(3) Pertimbangan Dewan Pengawas Syariah dalam
memberikan persetujuan pendistribusian Surplus
Underwriting sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf b kepada Dana Perusahaan harus disajikan
dalam laporan pengawasan Dewan Pengawas Syariah.
(4) Pemegang polis atau peserta yang menerima Surplus
Underwriting sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
- 10 -
huruf b dan huruf c, harus memenuhi persyaratan
sebagai berikut:
a.
b. tidak sedang dalam proses penyelesaian klaim;
c.
telah membayar kontribusi untuk periode
perhitungan Surplus Underwriting;
tidak pernah menerima pembayaran klaim yang
melebihi jumlah kontribusi yang dialokasikan ke
Dana Tabarru’; dan
(5) Pilihan
d. tidak menghentikan polis (inforce) pada periode
perhitungan Surplus Underwriting.
pendistribusian
Surplus
Underwriting
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan proporsi
pendistribusian Surplus Underwriting sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c hanya dapat diubah
dengan ketentuan sebagai berikut:
a. untuk meningkatkan solvabilitas Dana Tabarru;
dan
b. tidak mengurangi proporsi bagian pemegang polis
atau peserta.
(6) Surplus Underwriting yang dapat didistribusikan
dihitung berdasarkan pendapatan yang telah diterima
secara kas pada tanggal penghitungan Surplus
Underwriting.
(7) Dalam hal pendistribusian Surplus Underwriting
kepada pemegang polis atau peserta secara ekonomis
membutuhkan biaya yang lebih besar daripada bagian
yang akan didistribusikan, Perusahaan wajib
mendistribusikan Surplus Underwriting dengan pilihan
sebagai berikut:
a. menambahkannya ke dalam Dana Tabarru’;
b. memperhitungkannya
untuk
mengurangi
kontribusi pemegang polis atau peserta periode
berikutnya; atau
c. memanfaatkannya untuk dana sosial.
(8) Pilihan dan persyaratan pendistribusian Surplus
Underwriting sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
ayat (5), dan ayat (7) serta persyaratan pemegang polis
- 11 -
atau peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
wajib dimuat di dalam polis.
Pasal 7
(1) Perusahaan dilarang melakukan pendistribusian
Surplus Underwriting kepada pemegang polis atau
peserta atau Perusahaan dalam hal:
a. masih terdapat Qardh di dalam Liabilitas Dana
Tabarru’;
b. Tingkat Solvabilitas Dana Tabarru’ lebih kecil dari
target Tingkat Solvabilitas Dana Tabarru’ internal;
c.
tidak memenuhi tingkat kecukupan investasi;
atau
d. pendistribusian Surplus Underwriting dapat
mengakibatkan terjadinya kondisi sebagaimana
dimaksud pada huruf b atau huruf c.
(2) Dalam hal terjadi kondisi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), seluruh Surplus Underwriting harus
ditambahkan ke dalam Dana Tabarru’.
(3) Ketentuan
syarat
pendistribusian
Surplus
Underwriting sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) wajib dimuat di dalam polis.
BAB IV
QARDH
Pasal 8
(1) Perusahaan setiap saat wajib memiliki kemampuan
untuk memberikan Qardh.
(2) Perusahaan wajib menyediakan Aset Yang Tersedia
Untuk Qardh pada Dana Perusahaan dalam hal:
a.
Tingkat Solvabilitas Dana Tabarru’ dan Dana
Tanahud lebih kecil dari target Tingkat
Solvabilitas Dana Tabarru’ dan Dana Tanahud
internal;
b. Jumlah
investasi
dalam
Aset
Yang
Diperkenankan dari Dana Tabarru’ lebih kecil
- 12 -
dari jumlah penyisihan teknis dan Liabilitas
pembayaran santunan/klaim/manfaat retensi
sendiri dari Dana Tabarru’ dan Dana Tanahud;
c.
terjadi defisit underwriting Dana Tabarru’;
dan/atau
d. Dana Tabarru’ dan Dana Tanahud tidak cukup
untuk membayar santunan/klaim/manfaat
kepada pemegang polis atau peserta.
(3) Aset Yang Tersedia Untuk Qardh sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diperhitungkan sebagai:
a. penambah Aset Yang Diperkenankan Dana
Tabarru’ dan Dana Tanahud dalam perhitungan
Tingkat Solvabilitas Dana Tabarru’ dan Dana
Tanahud;
b. penambahan Aset yang Diperkenankan Dana
Tabarru’ dan Dana Tanahud dalam penghitungan
kecukupan investasi Aset Yang Diperkenankan
dalam bentuk investasi dan bukan investasi; dan
c. pengurang Aset Yang Diperkenankan dari Dana
Perusahaan dalam penghitungan Tingkat
Solvabilitas Dana Perusahaan.
(4) Aset Yang Tersedia Untuk Qardh sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) paling besar sejumlah:
a. nilai yang diperlukan agar Tingkat Solvabilitas
Dana Tabarru’ dan Dana Tanahud memenuhi
target Tingkat Solvabilitas Dana Tabarru’ dan
Dana Tanahud internal; dan/atau
b. nilai yang diperlukan agar Dana Tabarru’ dan
Dana Tanahud memenuhi ketentuan mengenai
kecukupan investasi Aset Yang Diperkenankan
dalam bentuk investasi dan bukan investasi.
(5) Penyediaan Aset Yang Tersedia Untuk Qardh
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus
memperoleh persetujuan direksi atau yang setara.
(6) Dalam hal Dana Tabarru’ dan/atau Dana Tanahud
tidak
cukup
untuk
membayar
santunan/klaim/manfaat kepada pemegang polis atau
- 13 -
peserta atau total aset Dana Tabarru’ dan/atau Dana
Tanahud lebih kecil dari total Liabilitas Dana Tabarru’
dan Dana Tanahud, Perusahaan wajib menyetorkan
Qardh secara tunai/kas kepada Dana Tabarru’ untuk
membayar
syariah.
santunan/klaim/manfaat
asuransi
(7) Pengembalian Qardh kepada Dana Perusahaan
dilakukan dari Dana Tabarru’ dan/atau Dana
Tanahud.
(8) Perusahaan dilarang membayar dividen atau
memberikan imbalan dalam bentuk apapun kepada
pemegang saham atau yang setara apabila hal
tersebut akan menyebabkan Perusahaan tidak
memiliki kemampuan untuk memberikan Qardh.
BAB V
KESEHATAN KEUANGAN
Bagian Kesatu
Ruang Lingkup Kesehatan Keuangan
Pasal 9
(1) Perusahaan wajib setiap waktu memenuhi persyaratan
tingkat kesehatan keuangan.
(2) Pengukuran tingkat kesehatan keuangan Perusahaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. Tingkat Solvabilitas Dana Tabarru’ dan Dana
Tanahud;
b. Tingkat Solvabilitas Dana Perusahaan;
c. penyisihan teknis;
d. kecukupan investasi;
e. Ekuitas;
f. Dana Jaminan; dan
g. ketentuan-ketentuan lain yang berhubungan
dengan kesehatan keuangan.
- 14 -
Bagian Kedua
Tingkat Solvabilitas Dana Tabarru’ dan Dana Tanahud
serta Tingkat Solvabilitas Dana Perusahaan
Pasal 10
(1) Perusahaan setiap saat wajib memenuhi:
a. Tingkat Solvabilitas Dana Tabarru’ dan Dana
Tanahud paling rendah sebesar 100% (seratus
persen) dari DTMBR; dan
b. Tingkat Solvabilitas Dana Perusahaan paling
rendah sebesar 100% (seratus persen) dari
MMBR.
(2) Perusahaan setiap tahun wajib menetapkan target
Tingkat Solvabilitas Dana Tabarru’ dan Dana Tanahud
internal serta target Tingkat Solvabilitas Dana
Perusahaan internal.
(3) Target Tingkat Solvabilitas Dana Tabarru’ dan Dana
Tanahud internal serta target Tingkat Solvabilitas
Dana Perusahaan internal sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) ditetapkan paling rendah masing-masing
sebesar 120% (seratus dua puluh persen) dari DTMBR
dan 120% (seratus dua puluh persen) dari MMBR
dengan memperhitungkan profil
risiko
setiap
Perusahaan serta mempertimbangkan hasil simulasi
skenario perubahan (stress test).
(4) OJK dapat memerintahkan kepada Perusahaan untuk
meningkatkan dan memenuhi target Tingkat
Solvabilitas Dana Tabarru’ dan Dana Tanahud internal
serta target Tingkat Solvabilitas Dana Perusahaan
internal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dengan
mempertimbangkan profil risiko Perusahaan serta
mempertimbangkan
perubahan (stress test).
hasil
simulasi
skenario
(5) Perusahaan setiap saat harus memenuhi Target
Tingkat Solvabilitas Dana Tabarru’ dan Dana Tanahud
internal dan target Tingkat Solvabilitas Dana
- 15 -
Perusahaan internal sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) dan ayat (4).
(6) Perusahaan dilarang membayar dividen atau
memberikan imbalan dalam bentuk apapun kepada
pemegang saham atau yang setara apabila hal
tersebut akan menyebabkan tidak tercapainya target
Tingkat Solvabilitas Dana Tabarru’ dan Dana Tanahud
internal serta target Tingkat Solvabilitas Dana
Perusahaan
internal
yang
dipersyaratkan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4).
Pasal 11
Batasan Tingkat Solvabilitas Dana Tabarru’ dan Dana
Tanahud serta Tingkat Solvabilitas Dana Perusahaan
internal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1)
dan ayat (3) diberlakukan dengan tahapan sebagai berikut:
a. paling lambat 31 Desember 2017, Perusahaan wajib:
1) memiliki Tingkat Solvabilitas Dana Tabarru’ dan
Dana Tanahud serta Tingkat Solvabilitas Dana
Perusahaan masing-masing paling sedikit 60%
(enam puluh persen) dari DTMBR dan 60% (enam
puluh persen) dari MMBR; dan
2) menetapkan Tingkat Solvabilitas Dana Tabarru’
dan Dana Tanahud internal serta Tingkat
Solvabilitas Dana Perusahaan internal masing-
masing paling sedikit 80% (delapan puluh persen)
dari DTMBR dan 80% (delapan puluh persen) dari
MMBR.
b. paling lambat 31 Desember 2018, Perusahaan wajib:
1) memiliki Tingkat Solvabilitas Dana Tabarru’ dan
Dana Tanahud serta Tingkat Solvabilitas Dana
Perusahaan masing-masing paling sedikit 80%
(delapan puluh persen) dari DTMBR dan 80%
(delapan puluh persen) dari MMBR; dan
2) menetapkan Tingkat Solvabilitas Dana Tabarru’
dan Dana Tanahud internal serta Tingkat
Solvabilitas Dana Perusahaan internal masing-
- 16 -
masing paling sedikit 100% (seratus persen) dari
DTMBR dan 100% (seratus persen) dari MMBR.
c. paling lambat 31 Desember 2019, Perusahaan wajib:
1) memiliki Tingkat Solvabilitas Dana Tabarru’ dan
Dana Tanahud serta Tingkat Solvabilitas Dana
Perusahaan masing-masing paling sedikit 100%
(seratus persen) dari DTMBR dan 100% (seratus
persen) dari MMBR; dan
2) menetapkan Tingkat Solvabilitas Dana Tabarru’
dan Dana Tanahud internal serta Tingkat
Solvabilitas Dana Perusahaan internal masing-
masing paling sedikit 120% (seratus dua puluh
persen) dari DTMBR dan 120% (seratus dua
puluh persen) dari MMBR.
Pasal 12
(1) Perhitungan DTMBR sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10 ayat (1) huruf a harus memperhitungkan
risiko paling sedikit terdiri dari:
a. risiko kredit;
b. risiko likuiditas;
c. risiko pasar;
d. risiko asuransi; dan
e. risiko operasional.
(2) Perhitungan MMBR sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10 ayat (1) huruf b harus memperhitungkan
risiko paling sedikit terdiri dari:
a. risiko kredit;
b. risiko likuiditas;
c. risiko pasar; dan
d. risiko operasional.
(3) Dalam hal Perusahaan Asuransi Syariah memasarkan
PAYDI, MMBR sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
wajib ditambah sebesar persentase tertentu dari dana
investasi yang bersumber dari PAYDI.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai perhitungan jumlah
DTMBR dan MMBR sebagaimana dimaksud pada ayat
- 17 -
(1) sampai dengan ayat (3) diatur dalam Surat Edaran
OJK.
Bagian Ketiga
Aset Yang Diperkenankan Dalam Bentuk Investasi
Pasal 13
(1) Perusahaan wajib menerapkan prinsip kehati-hatian
dalam penempatan investasi.
(2) Aset Yang Diperkenankan dari Dana Tabarru’, Dana
Tanahud, dan Dana Perusahaan dalam bentuk
investasi harus ditempatkan pada jenis:
a. deposito berjangka pada Bank Umum Syariah,
unit usaha syariah pada bank umum, atau BPRS,
termasuk deposit on call dan deposito yang
berjangka waktu kurang dari atau sama dengan 1
(satu) bulan;
b.
sertifikat deposito pada Bank Umum Syariah
atau unit usaha syariah pada bank umum;
c. saham syariah yang tercatat di bursa efek;
d. sukuk atau obligasi syariah yang tercatat di
bursa efek;
e. MTN Syariah;
f.
surat berharga syariah yang diterbitkan oleh
Negara Republik Indonesia;
g. surat berharga syariah yang diterbitkan oleh
negara selain Negara Republik Indonesia;
h. surat berharga syariah yang diterbitkan oleh
Bank Indonesia;
i.
j.
surat berharga syariah yang diterbitkan oleh
lembaga multinasional yang Negara Republik
Indonesia menjadi salah satu anggota atau
pemegang sahamnya;
reksa dana syariah;
k. efek beragun aset syariah;
l. dana investasi real estat syariah berbentuk
kontrak investasi kolektif;
- 18 -
m. transaksi surat berharga syariah melalui
Repurchase Agreement (REPO);
n. pembiayaan syariah melalui mekanisme kerja
sama dengan pihak lain dalam bentuk kerja sama
pemberian pembiayaan syariah (executing);
dan/atau
o. emas murni.
(3) Selain jenis investasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), Aset Yang Diperkenankan dari Dana
Perusahaan dalam bentuk investasi dapat juga
ditempatkan pada:
a. penyertaan langsung pada perusahaan yang
sahamnya tidak tercatat di bursa efek;
b. tanah, bangunan dengan hak strata (strata title),
atau tanah dengan bangunan, untuk investasi;
dan/atau
c. pembiayaan syariah dengan hak tanggungan.
(4) Aset Yang Diperkenankan dalam bentuk investasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3)
yang dapat ditempatkan di luar negeri harus dalam
jenis:
a. saham syariah yang tercatat di bursa efek;
b. sukuk atau obligasi syariah yang tercatat di
bursa efek;
c. surat berharga syariah yang diterbitkan oleh
negara selain Negara Republik Indonesia;
d. surat berharga syariah yang diterbitkan oleh
lembaga multinasional yang Negara Republik
Indonesia menjadi salah satu anggota atau
pemegang sahamnnya;
e. reksa dana syariah; dan/atau
f.
penyertaan langsung pada perusahaan yang
sahamnya tidak tercatat di bursa efek.
(5) Ketentuan mengenai dasar penilaian setiap jenis
investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai
dengan ayat (4) diatur dalam Surat Edaran OJK.
- 19 -
Pasal 14
(1) Penempatan atas Aset Yang Diperkenankan dalam
bentuk investasi berupa saham syariah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) huruf c di dalam
negeri, harus termasuk dalam daftar efek syariah yang
diterbitkan oleh OJK atau pihak yang telah
memperoleh persetujuan OJK untuk menerbitkan
daftar efek syariah.
(2) Penempatan atas Aset Yang Diperkenankan dalam
bentuk investasi berupa sukuk atau obligasi syariah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) huruf
d harus dilakukan pada sukuk atau obligasi syariah
yang memiliki peringkat investment grade dari
perusahaan pemeringkat efek yang telah diakui oleh
OJK.
(3) Penempatan atas Aset Yang Diperkenankan dalam
bentuk investasi dalam MTN Syariah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) huruf e harus
memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. MTN Syariah terdaftar di Kustodian Sentral Efek
Indonesia;
b. MTN Syariah memiliki agen monitoring yang
mendapatkan izin sebagai wali amanat dari OJK;
dan
c. MTN Syariah memiliki peringkat investment grade
yang dikeluarkan oleh perusahaan pemeringkat
efek yang diakui oleh OJK.
(4) Penempatan atas Aset Yang Diperkenankan dalam
bentuk investasi berupa surat berharga syariah yang
diterbitkan oleh lembaga multinasional yang Negara
Republik Indonesia menjadi salah satu anggota atau
pemegang sahamnya sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 ayat (2) huruf i harus memenuhi ketentuan
sebagai berikut:
a. memiliki peringkat investment grade dari
perusahaan pemeringkat efek yang diakui secara
internasional;
- 20 -
b. dijual melalui penawaran umum; dan
c. informasi mengenai transaksinya dapat diakses
di Indonesia.
(5) Penempatan atas Aset Yang Diperkenankan dalam
bentuk investasi berupa reksa dana syariah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) huruf
j, harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. bagi reksa dana syariah yang dilakukan melalui
penawaran umum, telah mendapat pernyataan
efektif dari OJK; dan
b. bagi reksa dana penyertaan terbatas syariah,
telah tercatat di OJK.
(6) Penempatan atas Aset Yang Diperkenankan dalam
bentuk investasi berupa efek beragun aset syariah dan
dana investasi real estat syariah berbentuk kontrak
investasi kolektif sebagaimana dimaksud dalam Pasal
13 ayat (2) huruf k dan huruf l harus memenuhi
ketentuan sebagai berikut:
a. telah mendapat pernyataan efektif dari OJK;
b. memiliki peringkat investment grade dari
perusahaan pemeringkat efek yang diakui oleh
OJK; dan
c. dilakukan melalui penawaran umum
sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang pasar modal.
(7) Perusahaan yang melakukan investasi pada bentuk
investasi berupa REPO sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 ayat (2) huruf m harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
a. tingkat risiko Perusahaan berdasarkan penilaian
yang dilakukan oleh OJK adalah sedang rendah
atau rendah;
b. menggunakan
kontrak
terstandarisasi oleh OJK;
perjanjian
yang
- 21 -
c. transaksi dalam bentuk beli surat berharga
syariah dengan janji jual kembali pada waktu dan
harga yang telah ditetapkan;
d.
jenis jaminan terbatas pada surat berharga
syariah yang diterbitkan oleh Negara Republik
Indonesia dan/atau surat berharga syariah yang
diterbitkan oleh Bank Indonesia;
e. jangka waktu tidak melebihi 90 (sembilan puluh)
hari;
f.
nilai REPO paling tinggi 80% (delapan puluh
persen) dari nilai pasar surat berharga syariah
yang dijaminkan; dan
g. transaksi REPO terdaftar di Kustodian Sentral
Efek Indonesia atau Bank Indonesia Scriptless
Securities Settlement System (BI-S4).
(8) Penempatan atas Aset Yang Diperkenankan dalam
bentuk investasi berupa pembiayaan syariah melalui
mekanisme kerja sama dengan pihak lain dalam
bentuk kerja sama pemberian pembiayaan syariah
(executing) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
ayat (2) huruf n harus memenuhi ketentuan sebagai
berikut:
a. merupakan perusahaan pembiayaan syariah yang
telah memperoleh izin usaha dari OJK;
b. perusahaan pembiayaan syariah dimaksud tidak
sedang dikenai sanksi administratif berupa
pembatasan kegiatan usaha atau pembekuan
kegiatan usaha oleh OJK pada saat dimulainya
kerja sama;
c.
d. memenuhi
tingkat risiko perusahaan pembiayaan syariah
berdasarkan penilaian yang dilakukan oleh OJK
adalah sedang rendah atau rendah; dan
tingkat
ketentuan
kesehatan
keuangan berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang pembiayaan
syariah, pada saat dimulainya kerja sama.
- 22 -
(9) Penempatan atas Aset Yang Diperkenankan dalam
bentuk investasi berupa emas murni sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) huruf o, harus
memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. memenuhi
persyaratan
spesifikasi
yang
ditetapkan oleh bursa komoditi yang telah
memperoleh izin dari instansi yang berwenang;
dan
b. disimpan di Bank Kustodian atau pihak lain yang
memperoleh izin atau persetujuan dari instansi
yang berwenang untuk menyelenggarakan jasa
penitipan.
(10) Penempatan atas Aset Yang Diperkenankan dalam
bentuk investasi berupa tanah, bangunan dengan hak
strata (strata title), atau tanah dengan bangunan,
untuk investasi, sebagaimana dimaksud dalam Pasal
13 ayat (3) huruf b harus memenuhi ketentuan
sebagai berikut:
a.
dimiliki dan dikuasai oleh Perusahaan yang
dibuktikan dengan sertipikat hak atas tanah
dan/atau bangunan atas nama Perusahaan; dan
b. tidak ditempatkan pada tanah, bangunan, atau
tanah dengan bangunan yang sedang diagunkan,
dalam sengketa, atau diblokir pihak lain.
(11) Penempatan atas Aset Yang Diperkenankan dalam
bentuk investasi berupa pembiayaan syariah dengan
hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
13 ayat (3) huruf c harus memenuhi ketentuan
sebagai berikut:
a. pembiayaan syariah tersebut diberikan kepada
perorangan;
b. pembiayaan syariah tersebut dijamin dengan hak
tanggungan pertama;
c. pembiayaan syariah tersebut dilakukan sesuai
dengan
ketentuan
undangan;
peraturan
perundang-
- 23 -
d.
sertipikat hak atas tanah yang telah dibubuhi
catatan pembebanan hak tanggungan disimpan
oleh Perusahaan; dan
e. besarnya setiap pembiayaan syariah paling tinggi
75% (tujuh puluh lima persen) dari nilai jaminan
yang terkecil diantara nilai yang ditetapkan oleh
lembaga penilai yang terdaftar pada instansi yang
berwenang dan nilai jual objek pajak (NJOP).
Pasal 15
Dalam hal sukuk atau obligasi syariah dan/atau MTN
Syariah yang diterbitkan oleh perusahaan pembiayaan
syariah tidak memiliki tingkat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) dan/atau
ayat (3) huruf c penempatan dapat dilakukan sepanjang:
a. memiliki peringkat 1 (satu) tingkat di bawah
investment grade; dan
b. perusahaan pembiayaan syariah yang menerbitkan
sukuk atau obligasi syariah dan/atau MTN Syariah
memenuhi ketentuan tingkat kesehatan keuangan
berdasarkan
ketentuan
investment grade
peraturan perundang-
undangan di bidang pembiayaan syariah pada saat
penempatan.
Pasal 16
(1) Penempatan atas Aset Yang Diperkenankan dalam
bentuk investasi di luar negeri berupa saham syariah
yang tercatat di bursa efek sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13 ayat (4) huruf a harus memenuhi
ketentuan sebagai berikut:
a. termasuk dalam kategori saham syariah di
tempat saham tersebut dicatatkan;
b. termasuk dalam kategori saham yang aktif
diperdagangkan pada bursa efek di tempat saham
syariah tersebut dicatatkan berdasarkan kriteria
yang ditetapkan oleh bursa efek dimaksud; dan
- 24 -
c. informasi mengenai emiten dan transaksi saham
syariah tersebut dapat diakses di Indonesia.
(2) Penempatan atas Aset Yang Diperkenankan dalam
bentuk investasi di luar negeri berupa sukuk atau
obligasi syariah yang tercatat di bursa efek, surat
berharga syariah yang diterbitkan oleh negara selain
Negara Republik Indonesia, dan surat berharga
syariah yang diterbitkan oleh lembaga multinasional
yang Negara Republik Indonesia menjadi salah satu
anggota atau pemegang sahamnya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 ayat (4) huruf b sampai
dengan huruf d harus memenuhi ketentuan sebagai
berikut:
a. memiliki peringkat investment grade dari
perusahaan pemeringkat efek yang diakui secara
internasional;
b.
dijual melalui penawaran umum; dan
c. informasi mengenai transaksinya dapat diakses
di Indonesia.
(3) Penempatan atas Aset Yang Diperkenankan dalam
bentuk investasi di luar negeri berupa reksa dana
syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat
(4) huruf e harus memenuhi ketentuan sebagai
berikut:
a.
dikelola oleh Manajer Investasi di luar negeri yang
telah mendapatkan izin dari otoritas pasar modal
di negara tempat Manajer Investasi berdomisili;
b. telah mendapatkan izin/persetujuan/pendaftaran
dari otoritas pasar modal di negara tempat
Manajer Investasi dimaksud berdomisili dan
dilakukan melalui penawaran umum;
c.
dikelola oleh Manajer Investasi di luar negeri yang
tidak sedang dikenai sanksi administratif berupa
pembatasan kegiatan usaha atau pembekuan
kegiatan usaha oleh otoritas di negara tempat
Manajer Investasi dimaksud berdomisili; dan
- 25 -
d. informasi mengenai reksa dana dapat diakses di
Indonesia.
Pasal 17
(1) Dalam hal Aset Yang Diperkenankan dalam bentuk
investasi berupa saham syariah dan/atau sukuk atau
obligasi syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal
13 ayat (2) huruf c dan d yang tercatat di bursa efek di
dalam negeri dan/atau di luar negeri dan emitennya
merupakan badan hukum asing, dikategorikan
sebagai investasi di luar negeri.
(2) Dalam hal Aset Yang Diperkenankan dalam bentuk
investasi berupa saham syariah dan/atau sukuk atau
obligasi syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal
13 ayat (2) huruf c dan d yang dicatatkan di bursa
efek di dalam negeri dan/atau di luar negeri dan
emitennya merupakan badan hukum Indonesia,
dikategorikan sebagai investasi di dalam negeri.
(3) Dalam hal Aset Yang Diperkenankan dalam bentuk
investasi berupa sukuk atau obligasi syariah yang
tercatat di bursa efek sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 ayat (2) huruf d yang diterbitkan oleh badan
hukum asing yang lebih dari 50% (lima puluh persen)
sahamnya dimiliki oleh badan hukum Indonesia,
dikategorikan sebagai investasi di dalam negeri.
(4) Aset Yang Diperkenankan dalam bentuk investasi
berupa sukuk atau obligasi syariah sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) harus memenuhi
ketentuan sebagai berikut:
a. memiliki peringkat investment grade dari
perusahaan pemeringkat efek yang telah diakui
oleh OJK atau memiliki peringkat investment
grade dari perusahaan pemeringkat efek yang
diakui secara internasional; dan
b. dijual melalui penawaran umum.
(5) Dalam hal Aset Yang Diperkenankan dalam bentuk
investasi berupa saham syariah dan/atau sukuk atau
- 26 -
obligasi syariah yang tercatat di bursa efek yang
diterbitkan oleh lembaga multinasional yang Negara
Republik Indonesia menjadi salah satu anggota atau
pemegang sahamnya sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 ayat (2) huruf c dan d berdenominasi rupiah,
dikategorikan sebagai investasi di dalam negeri.
Pasal 18
(1) Perusahaan dilarang memiliki investasi di luar negeri,
kecuali dalam jenis investasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13 ayat (4).
(2) Perusahaan dilarang menempatkan investasi di luar
negeri masing-masing melebihi 20% (dua puluh
persen) dari jumlah investasi Dana Tabarru’ dan Dana
Tanahud dan 20% (dua puluh persen) dari jumlah
investasi Dana Perusahaan yang dikelola Perusahaan.
(3) Dalam hal jumlah investasi di luar negeri melebihi
batasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang
disebabkan adanya kenaikan nilai investasi tersebut,
Perusahaan wajib menyesuaikan kembali jumlah
investasi sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga)
bulan sejak diketahui adanya kenaikan nilai investasi.
Pasal 19
(1) Pembatasan atas Aset Yang Diperkenankan dalam
bentuk investasi untuk masing-masing Dana Tabarru’
dan Dana Tanahud serta Dana Perusahaan yang
dikelola Perusahaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 adalah sebagai berikut:
a.
investasi berupa deposito berjangka pada Bank
Umum Syariah atau unit usaha syariah pada
bank umum, termasuk deposit on call dan
deposito yang berjangka waktu kurang dari atau
sama dengan 1 (satu) bulan, untuk setiap Bank
Umum Syariah atau unit usaha syariah pada
- 27 -
bank umum paling tinggi 20% (dua puluh persen)
dari jumlah investasi;
b. investasi berupa deposito berjangka, untuk setiap
BPRS paling tinggi 1% (satu persen) dari jumlah
investasi dan seluruhnya paling tinggi 5% (lima
persen) dari jumlah investasi;
c.
investasi berupa sertifikat deposito untuk setiap
Bank Umum Syariah atau unit usaha syariah
pada bank umum paling tinggi 50% (lima puluh
persen) dari total investasi berupa deposito
berjangka pada Bank Umum Syariah atau unit
usaha syariah pada bank umum sebagaimana
dimaksud pada huruf a;
d. investasi berupa saham syariah yang tercatat di
bursa efek, untuk setiap emiten paling tinggi 10%
(sepuluh persen) dari jumlah investasi, dan
seluruhnya paling tinggi 40% (empat puluh
persen) dari jumlah investasi;
e.
investasi berupa sukuk atau obligasi syariah
yang tercatat di bursa efek untuk setiap emiten
masing-masing paling tinggi 20% (dua puluh
persen) dari jumlah investasi, dan seluruhnya
paling tinggi 50% (lima puluh persen) dari
jumlah investasi;
f.
investasi berupa MTN Syariah dan surat berharga
syariah
yang
diterbitkan
oleh
multinasional yang Negara Republik Indonesia
menjadi salah satu anggota atau pemegang
sahamnya untuk setiap penerbit paling tinggi
20% (dua puluh persen) dari jumlah investasi dan
seluruhnya paling tinggi 40% (empat puluh
persen) dari jumlah investasi;
g.
investasi berupa surat berharga syariah yang
diterbitkan oleh negara selain Negara Republik
Indonesia untuk setiap penerbit paling tinggi 10%
(sepuluh persen) dari jumlah investasi;
lembaga
- 28 -
h. investasi berupa reksa dana syariah untuk setiap
Manajer Investasi paling tinggi 20% (dua puluh
persen) dari jumlah investasi, dan seluruhnya
paling tinggi 50% (lima puluh persen) dari jumlah
investasi;
i.
investasi berupa efek beragun aset syariah, untuk
setiap Manajer Investasi paling tinggi 10%
(sepuluh persen) dari jumlah investasi, dan
seluruhnya paling tinggi 20% (dua puluh persen)
dari jumlah investasi;
j.
investasi berupa dana investasi real estat syariah
berbentuk kontrak investasi kolektif, untuk
setiap Manajer Investasi paling tinggi 10%
(sepuluh persen) dari jumlah investasi dan
seluruhnya paling tinggi 20% (dua puluh persen)
dari jumlah investasi;
k. investasi berupa REPO, untuk setiap counterparty
paling tinggi 2% (dua persen) dari jumlah
investasi dan seluruhnya paling tinggi 10%
(sepuluh persen) dari jumlah investasi;
l.
investasi berupa pembiayaan syariah melalui
mekanisme kerjasama dengan pihak lain dalam
bentuk kerjasama pemberian pembiayaan syariah
(executing), untuk setiap pihak paling tinggi 10%
(sepuluh persen) dari jumlah investasi, dan
seluruhnya paling tinggi 20% (dua puluh persen)
dari jumlah investasi;
m. investasi berupa emas murni, seluruhnya paling
tinggi 10% (sepuluh persen) dari jumlah investasi;
n. investasi berupa penyertaan langsung (saham
yang tidak tercatat di bursa efek), seluruhnya
paling tinggi 10% (sepuluh persen) dari jumlah
investasi;
o.
investasi berupa tanah, bangunan dengan hak
strata (strata title), atau tanah dengan bangunan,
untuk investasi, seluruhnya paling tinggi 20%
(dua puluh persen) dari jumlah investasi;
- 29 -
p. investasi berupa tanah untuk investasi,
seluruhnya paling tinggi 1/3 (satu per tiga) dari
jumlah investasi sebagaimana dimaksud pada
huruf o; dan/atau
q.
investasi berupa pembiayaan syariah dengan hak
tanggungan, seluruhnya paling tinggi 10%
(sepuluh persen) dari jumlah investasi.
(2) Penempatan atas Aset Yang Diperkenankan dalam
bentuk investasi berupa reksa dana syariah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) huruf
j, yang underlying asetnya seluruhnya berupa
investasi surat berharga syariah yang diterbitkan oleh
Negara Republik Indonesia
dikecualikan dari
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
h.
(3) Penempatan atas Aset Yang Diperkenankan dalam
bentuk investasi berupa reksa dana syariah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) huruf
j dalam bentuk kontrak investasi kolektif penyertaan
terbatas untuk setiap Manajer Investasi paling tinggi
10% (sepuluh persen) dari jumlah investasi dan
seluruhnya paling tinggi 20% (dua puluh persen) dari
jumlah investasi.
(4) Penempatan atas Aset Yang Diperkenankan dalam
bentuk investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf d sampai dengan huruf k, jumlah seluruhnya
paling tinggi 80% (delapan puluh persen) dari jumlah
investasi.
Pasal 20
(1) Penempatan atas Aset Yang Diperkenankan dalam
bentuk investasi pada pihak yang terafiliasi dengan
Perusahaan masing-masing paling tinggi 25% (dua
puluh lima persen) dari jumlah investasi Dana
Tabarru’ ditambah Dana Tanahud dan 25% (dua
puluh Lima persen) dari Dana Perusahaan.
- 30 -
(2) Penempatan atas Aset Yang Diperkenankan dalam
bentuk investasi pada satu pihak atau beberapa pihak
yang terafiliasi namun pihak tersebut tidak terafiliasi
dengan Perusahaan, masing-masing paling tinggi 25%
(dua puluh lima persen) dari jumlah investasi Dana
Tabarru’ ditambah Dana Tanahud dan 25% (dua
puluh lima persen) dari Dana Perusahaan.
(3) Dalam hal Perusahaan akan melakukan penempatan
investasi yang melebihi batasan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) serta dalam Pasal
19 ayat (1) huruf n Perusahaan wajib mendapat
persetujuan dari OJK.
(4) Dalam hal Perusahaan akan melakukan penempatan
investasi yang melebihi batasan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) huruf n,
persetujuan OJK sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
hanya dapat diberikan untuk penyertaan langsung
pada lembaga jasa keuangan yang telah mendapat izin
dari OJK.
(5) Ketentuan lebih
lanjut mengenai penempatan
investasi yang melebihi batasan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) diatur dalam
Surat Edaran OJK.
Pasal 21
(1) Pihak yang terafiliasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) adalah pihak yang
memiliki hubungan dengan satu atau lebih pihak lain,
sedemikian rupa sehingga salah satu pihak dapat
mempengaruhi pengelolaan atau kebijakan dari pihak
yang lain atau sebaliknya.
(2) Hubungan yang dapat mempengaruhi pengelolaan
atau kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dalam bentuk:
a. salah satu pihak memiliki satu atau lebih
direktur atau pejabat setingkat di bawah direktur
atau komisaris, yang juga menjabat sebagai
- 31 -
direktur atau pejabat setingkat di bawah direktur
atau komisaris pada pihak lain;
b. salah satu pihak memiliki satu atau lebih
direktur, komisaris, atau pemegang saham
pengendali, yang memiliki hubungan keluarga
karena perkawinan atau keturunan sampai
derajat kedua, baik secara horizontal maupun
vertikal yang menjabat sebagai direktur,
komisaris, atau pemegang saham pengendali
pada pihak lain;
c. salah satu pihak memiliki paling sedikit 25% (dua
puluh lima persen) saham pihak lain;
d. salah satu pihak merupakan pemegang saham
terbesar dari pihak lain;
e. para pihak dikendalikan oleh pengendali yang
sama; atau
f.
salah satu pihak mempunyai hak suara pada
pihak lain yang lebih dari 50% (lima puluh
persen) berdasarkan suatu perjanjian.
(3) Hubungan afiliasi dan/atau hubungan hukum lainnya
dengan pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) tidak termasuk hubungan karena
kepemilikan atau penyertaan modal oleh Negara
Republik Indonesia.
Pasal 22
(1) Perusahaan dilarang melakukan segala bentuk
pengalihan aset Dana Tabarru’, Dana Tanahud, Dana
Perusahaan, dan Dana Investasi Peserta kepada
pemegang saham atau pihak terafiliasi dengan
Perusahaan kecuali melalui transaksi yang wajar
(arm’s length transaction).
(2) Perusahaan dilarang menjaminkan aset Dana
Tabarru’, Dana Tanahud, Dana Perusahaan, dan
Dana Investasi Peserta kepada pihak lain.
- 32 -
(3) Perusahaan dilarang memberikan pinjaman kepada
pemegang saham atau pihak terafiliasi dengan
Perusahaan.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak
berlaku dalam hal pinjaman dalam bentuk investasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3).
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
berlaku dalam hal pinjaman atau penempatan untuk
Aset Yang Diperkenankan dalam bentuk investasi dan
Aset Yang Diperkenankan dalam bentuk bukan
investasi.
Pasal 23
Jumlah investasi yang digunakan sebagai dasar
perhitungan pembatasan atas Aset Yang Diperkenankan
dalam bentuk investasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 19 dihitung dari:
a.
total investasi Dana Tabarru’ ditambah Dana Tanahud
untuk penghitungan batasan Aset Yang
Diperkenankan pada Dana Tabarru’ dan Dana
Tanahud; atau
b.
total investasi Dana Perusahaan untuk penghitungan
batasan Aset Yang Diperkenankan pada Dana
Perusahaan.
Bagian Keempat
Aset Yang Diperkenankan Dalam Bentuk
Bukan Investasi
Pasal 24
(1) Aset Yang Diperkenankan dalam bentuk bukan
investasi untuk ditempatkan Dana Tabarru’ dan Dana
Tanahud harus dalam jenis:
a. kas dan bank;
b. tagihan kontribusi tabarru’ penutupan langsung,
termasuk tagihan kontribusi koasuransi yang
menjadi bagian Perusahaan;
- 33 -
c. tagihan kontribusi reasuransi;
d. aset reasuransi tabarru’;
e. aset reasuransi tanahud;
f.
tagihan klaim koasuransi;
g. tagihan klaim reasuransi;
h. tagihan investasi; dan/atau
i.
tagihan hasil investasi.
(2) Aset Yang Diperkenankan dalam bentuk bukan
investasi untuk Dana Perusahaan harus dalam jenis:
a. kas dan bank;
b. tagihan ujrah penutupan langsung, termasuk
tagihan kontribusi koasuransi yang menjadi
bagian Perusahaan;
c. tagihan ujrah reasuransi;
d. aset reasuransi Dana Perusahaan;
e.
f.
tagihan investasi;
tagihan hasil investasi;
g. bangunan dengan hak strata (strata title) atau
tanah dengan bangunan, untuk dipakai sendiri;
dan/atau
h. biaya akuisisi yang ditangguhkan (deferred
acquisition cost).
(3) Pembatasan atas Aset Yang Diperkenankan dalam
bentuk bukan investasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) harus dilakukan dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. kas dan bank, dengan ketentuan kas dan bank di
luar negeri yang diperkenankan seluruhnya
paling tinggi 1% (satu persen) dari Ekuitas
periode berjalan;
b. tagihan kontribusi tabarru’ dan ujrah penutupan
langsung, termasuk tagihan kontribusi
koasuransi yang menjadi bagian Perusahaan,
dengan umur tagihan paling lama 2 (dua) bulan
dihitung sejak tanggal:
1. pertanggungan dimulai bagi polis dengan
pembayaran kontribusi tunggal; atau
- 34 -
2. jatuh tempo pembayaran kontribusi bagi
polis dengan pembayaran kontribusi cicilan;
c. tagihan kontribusi reasuransi dan tagihan ujrah
reasuransi, dengan umur tagihan paling lama 2
(dua) bulan dihitung sejak tanggal jatuh tempo
pembayaran;
d. aset reasuransi, terdiri dari:
1. aset reasuransi pada Dana Tabarru’ dan
Dana Tanahud yang bersumber dari nilai
estimasi pemulihan klaim atas porsi
pertanggungan ulang; dan
2. aset reasuransi pada Dana Perusahaan yang
bersumber dari perjanjian kontrak jangka
panjang (longterm contract) program
reasuransi dukungan modal (capital oriented
reinsurance) dengan ketentuan:
a) hanya untuk setiap PAYDI baru yang
biaya akusisinya dibayarkan terlebih
dahulu oleh Perusahaan (back end
loading);
b) Perusahaan yang telah mengakui aset
yang timbul dari perjanjian program
reasuransi dukungan modal (capital
oriented reinsurance) untuk satu PAYDI
maka tidak diperkenankan mengakui
aset biaya akuisisi yang ditangguhkan
(deferred acquisition cost) atas PAYDI
yang sama; dan
c) untuk setiap perjanjian program
reasuransi dukungan modal (capital
oriented reinsurance) harus terlebih
dahulu mendapat persetujuan dari
OJK;
e. tagihan klaim koasuransi, dengan umur tagihan
paling lama 2 (dua) bulan dihitung sejak tanggal
pembayaran klaim kepada pemegang polis atau
peserta;
- 35 -
f.
tagihan klaim reasuransi, dengan umur tagihan
paling lama 2 (dua) bulan dihitung sejak tanggal
jatuh tempo pembayaran;
g. tagihan investasi, dengan umur tagihan paling
lama 1 (satu) bulan dihitung sejak tanggal jatuh
tempo pembayaran;
h. tagihan hasil investasi, dengan umur tagihan
paling lama 1 (satu) bulan dihitung sejak tanggal
jatuh tempo pembayaran;
i. bangunan dengan hak strata (strata title) atau
tanah dengan bangunan, yang dipakai sendiri,
dengan nilai seluruhnya paling tinggi 25% (dua
puluh lima persen) dari Ekuitas periode berjalan;
dan/atau
j.
biaya akuisisi yang ditangguhkan (deferred
acquisition cost), dengan ketentuan:
1. hanya dapat dilakukan untuk PAYDI yang
biaya akuisisinya dibayarkan terlebih
dahulu oleh Perusahaan (back-end loading);
2. Perusahan yang telah mengakui aset biaya
akuisisi yang ditangguhkan atas PAYDI
maka tidak diperkenankan mengakui aset
yang timbul dari perjanjian program
reasuransi dukungan modal (capital oriented
reinsurance) untuk satu produk PAYDI yang
sama; dan
3. setiap pembentukan biaya akuisisi yang
ditangguhkan (deferred acquisition cost)
untuk masing-masing produk PAYDI harus
terlebih dahulu mendapat persetujuan dari
OJK.
(4) Ketentuan mengenai dasar penilaian setiap jenis
bukan investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) serta tata cara permohonan untuk
mendapatkan
persetujuan OJK sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) huruf d angka 2 huruf c) dan
huruf j angka 3) diatur dalam Surat Edaran OJK.
- 36 -
Bagian Kelima
Status Aset Yang Diperkenankan
Pasal 25
Aset Yang Diperkenankan dalam bentuk investasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan Aset Yang
Diperkenankan dalam bentuk bukan investasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 harus:
a.
dimiliki dan dikuasai oleh Perusahaan, yang
dibuktikan dengan bukti kepemilikan atas nama
Perusahaan dari instansi yang berwenang;
b. tidak dalam sengketa;
c. tidak sedang dijadikan jaminan; dan
d. tidak sedang diblokir oleh pihak yang berwenang.
Bagian Keenam
Liabilitas
Pasal 26
(1) Liabilitas yang diperhitungkan dalam penetapan
perhitungan Tingkat Solvabilitas Dana Tabarru’ dan
Dana Tanahud wajib meliputi semua Liabilitas Dana
Tabarru’ dan Dana Tanahud termasuk Liabilitas dalam
bentuk penyisihan teknis Dana Tabarru’ dan Dana
Tanahud.
(2) Liabilitas yang diperhitungkan dalam penetapan
perhitungan Tingkat Solvabilitas Dana Perusahaan
wajib meliputi semua Liabilitas Dana Perusahaan
termasuk Liabilitas dalam bentuk penyisihan teknis
Dana Perusahaan.
(3) Perusahaan wajib membentuk penyisihan teknis
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
sesuai dengan jenis produk asuransi.
(4) Pembentukan penyisihan teknis
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan oleh
aktuaris Perusahaan.
- 37 -
Pasal 27
(1) Liabilitas dalam bentuk penyisihan teknis Dana
Tabarru’ dan Dana Tanahud sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 26 ayat (1) meliputi:
a. penyisihan kontribusi tabarru’ dan tanahud:
1. untuk produk yang berjangka waktu lebih
dari 1 (satu) tahun yang syarat dan kondisi
polisnya tidak dapat diperbaharui kembali
(non renewable) pada setiap ulang tahun
polis; dan
2. untuk produk yang berjangka waktu lebih
dari 1 (satu) tahun yang syarat dan kondisi
polisnya dapat
(renewable);
b. penyisihan kontribusi tabarru’ yang belum
menjadi pendapatan atau hak atau produk yang
berjangka waktu sampai dengan 1 (satu) tahun
atau berjangka waktu lebih dari 1 (satu) tahun
yang syarat dan kondisi polisnya dapat
diperbaharui kembali (renewable) pada setiap
ulang tahun polis;
c. penyisihan klaim; dan
d. penyisihan atas risiko bencana (catastrophic
reserve).
(2) Pembentukan
penyisihan
kontribusi
tabarru’
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a wajib
memperhitungkan penerimaan dan pengeluaran pada
Dana Tabarru’ dan Dana Tanahud yang dapat terjadi
di masa yang akan datang dengan menggunakan
asumsi estimasi sentral ditambah dengan marjin
risiko.
(3) Pembentukan penyisihan atas kontribusi tabarru’
yang belum merupakan pendapatan atau hak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b wajib
dihitung berdasarkan kontribusi tabarru’ dengan
memperhitungkan penyisihan atas seluruh risiko yang
belum dijalani (unexpired risk reserve).
diperbaharui kembali
- 38 -
(4) Penyisihan klaim sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c meliputi:
a. penyisihan klaim dalam proses penyelesaian;
b. penyisihan klaim yang sudah terjadi namun
belum dilaporkan (incurred but not reported atau
IBNR); dan
c. penyisihan klaim atas klaim yang telah disetujui
dan pembayaran manfaatnya tidak sekaligus.
(5) Penyisihan atas risiko bencana sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf d dihitung berdasarkan
manfaat asuransi retensi sendiri dengan
memperhitungkan kemungkinan terjadinya risiko
bencana.
(6) Liabilitas dalam bentuk penyisihan teknis Dana
Perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26
ayat (2) meliputi:
a. penyisihan ujrah; dan
b. penyisihan atas PAYDI yang memberikan garansi
atas pokok investasi.
(7) Liabilitas dalam bentuk penyisihan teknis Dana
Perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26
ayat (2) diperhitungkan dalam penghitungan Tingkat
Solvabilitas Dana Perusahaan dengan tahapan sebagai
berikut:
a. mulai tanggal 1 Januari 2018 sebesar 20% dari
total penyisihan teknis Dana Perusahaan;
b. mulai tanggal 1 Januari 2019 sebesar 40% dari
total penyisihan teknis Dana Perusahaan;
c. mulai tanggal 1 Januari 2020 sebesar 60% dari
total penyisihan teknis Dana Perusahaan;
d. mulai tanggal 1 Januari 2021 sebesar 80% dari
total penyisihan teknis Dana Perusahaan; dan
e. mulai tanggal 1 Januari 2022 sebesar 100% dari
total penyisihan teknis Dana Perusahaan.
- 39 -
Pasal 28
(1) Dalam hal ditemukan ketidakwajaran penyisihan
teknis atau bagian dari penyisihan teknis yang
dibentuk oleh Perusahaan, OJK dapat:
a. meminta Perusahaan untuk melakukan valuasi
ulang atas jumlah penyisihan teknis atau atas
bagian dari penyisihan teknis yang dianggap
tidak wajar; atau
b. meminta dilakukan penelaahan (review) atas
penyisihan teknis atau atas bagian dari
penyisihan teknis tersebut oleh pihak independen
atas beban Perusahaan.
(2) Perusahaan wajib menunjuk pihak independen paling
lama 1 (satu) bulan setelah permintaan untuk
dilakukan penelaahan (review) sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b.
Pasal 29
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyisihan teknis
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 diatur dalam Surat
Edaran OJK.
Bagian Ketujuh
Qardh Subordinasi
Pasal 30
Dalam rangka perhitungan Tingkat Solvabilitas Dana
Perusahaan, Qardh subordinasi tidak diperlakukan sebagai
unsur Liabilitas apabila Qardh subordinasi tersebut
memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. digunakan untuk memenuhi ketentuan batas Tingkat
Solvabilitas Dana Perusahaan; dan
b. dituangkan dalam perjanjian notariil yang paling
sedikit memuat:
1. pembayaran pokok pinjaman tersebut hanya
dapat dilakukan apabila tidak menyebabkan
Perusahaan tidak memenuhi target Tingkat
Solvabilitas Dana Perusahaan internal; dan
- 40 -
2. jangka waktu pelunasan pinjaman tidak dibatasi.
Pasal 31
Perusahaan dilarang mengembalikan Qardh subordinasi
apabila hal tersebut akan menyebabkan tidak
terpenuhinya ketentuan target Tingkat Solvabilitas Dana
Perusahaan internal sebagaimana dimaksud dalam Pasal
10 ayat (3) dan ayat (4).
Bagian Kedelapan
Kecukupan Investasi
Pasal 32
(1) Perusahaan wajib memiliki Aset Yang Diperkenankan
dalam bentuk investasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 ayat (2) ditambah Aset Yang Diperkenankan
dalam bentuk bukan investasi berupa kas dan bank
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) huruf
a, paling sedikit sebesar jumlah penyisihan teknis
Dana Tabarru’ dan Dana Tanahud retensi sendiri,
ditambah Liabilitas pembayaran klaim retensi sendiri,
dan Liabilitas lain kepada pemegang polis atau
peserta.
(2) Liabilitas pembayaran klaim retensi sendiri
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
Liabilitas pembayaran atas klaim yang telah
disepakati tetapi belum dibayar dikurangi dengan
beban klaim yang menjadi bagian dari reasuradur.
BAB VI
DANA INVESTASI PESERTA
Pasal 33
(1) Aset Dana Investasi Peserta dalam bentuk investasi
wajib ditempatkan pada jenis:
a.
deposito berjangka pada Bank Umum Syariah,
unit usaha syariah pada bank umum, atau BPRS,
- 41 -
termasuk deposit on call dan deposito yang
berjangka waktu kurang dari atau sama dengan 1
(satu) bulan;
b. sertifikat deposito pada Bank Syariah;
c. saham syariah yang tercatat di bursa efek;
d. sukuk atau obligasi syariah yang tercatat di
bursa efek;
e. MTN Syariah;
f.
g.
surat berharga syariah yang diterbitkan oleh
Negara Republik Indonesia;
surat berharga syariah yang diterbitkan oleh
negara selain Negara Republik Indonesia;
h. surat berharga syariah yang diterbitkan oleh
Bank Indonesia;
i.
j.
surat berharga syariah yang diterbitkan oleh
lembaga multinasional yang Negara Republik
Indonesia menjadi salah satu anggota atau
pemegang sahamnya;
reksa dana syariah;
k. efek beragun aset syariah;
l.
m. emas murni.
(2) Aset Dana Investasi Peserta dalam bentuk bukan
investasi harus dalam jenis:
a. kas dan bank;
b. tagihan kontribusi Dana Investasi Peserta
penutupan langsung;
c. tagihan investasi; dan/atau
d. tagihan hasil investasi.
(3) Jenis investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib disesuaikan dengan deskripsi produk yang
dilaporkan kepada OJK dan yang dijanjikan kepada
calon pemegang polis atau peserta.
(4) Aset yang bersumber dari PAYDI yang tidak digaransi
tidak diperhitungkan sebagai Aset Yang
Diperkenankan.
transaksi surat berharga syariah melalui
Repurchase Agreement (REPO); dan/atau
- 42 -
(5) Ketentuan mengenai dasar penilaian setiap jenis
investasi atas Dana Investasi Peserta sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam
Surat Edaran OJK.
Pasal 34
Penempatan atas Dana Investasi Peserta sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) wajib memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam 14 sampai
dengan 17.
Pasal 35
Penempatan investasi di luar negeri atas Dana Investasi
Peserta paling tinggi 20% (dua puluh persen) dari total
Dana Investasi Peserta.
Pasal 36
(1) Perusahaan wajib menatausahakan seluruh dana
yang bersumber dari PAYDI pada Bank Kustodian.
(2) Bank Kustodian sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilarang mempunyai hubungan afiliasi dengan
Perusahaan, kecuali hubungan afiliasi tersebut terjadi
karena kepemilikan atau penyertaan modal Negara
Republik Indonesia.
BAB VII
EKUITAS
Pasal 37
(1) Perusahaan wajib memiliki Ekuitas paling sedikit
sebesar:
a. Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah),
bagi Perusahaan Asuransi Syariah;
b. Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah),
bagi Perusahaan Reasuransi Syariah.
- 43 -
(2) Unit Syariah dari perusahaan asuransi dan
perusahaan reasuransi wajib memiliki Ekuitas paling
sedikit sebesar:
a. Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar
rupiah) bagi Unit Syariah dari perusahaan
asuransi;
b. Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah)
bagi Unit Syariah dari perusahaan reasuransi.
Pasal 38
(1) Perusahaan dilarang membayar dividen atau
memberikan imbalan dalam bentuk apapun kepada
pemegang saham atau yang setara apabila hal
tersebut akan menyebabkan berkurangnya jumlah
Ekuitas di bawah ketentuan Ekuitas yang
dipersyaratkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
37.
(2) Pembayaran dividen atau pemberian imbalan dalam
bentuk apapun kepada pemegang saham atau yang
setara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
BAB VIII
DANA JAMINAN
Bagian Kesatu
Pembentukan Dana Jaminan
Pasal 39
(1) Perusahaan wajib membentuk Dana Jaminan paling
rendah 20% (dua puluh persen) dari Ekuitas
minimum
yang
dipersyaratkan
dimaksud dalam Pasal 37.
(2) Jumlah Dana Jaminan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib disesuaikan dengan perkembangan
sebagaimana
- 44 -
volume usaha Perusahaan dengan ketentuan sebagai
berikut:
a. bagi Perusahaan Asuransi Jiwa Syariah wajib
membentuk Dana Jaminan sebesar 2% (dua
persen) dari penyisihan atas PAYDI yang
memberikan garansi pokok investasi ditambah
5% (lima persen) dari penyisihan kontribusi
tabarru’ dan tanahud, dan penyisihan kontribusi
tabarru’ yang belum merupakan pendapatan;
b. bagi Perusahaan Asuransi Umum Syariah atau
Perusahaan
Reasuransi
Syariah
wajib
membentuk Dana Jaminan sebesar 1% (satu
persen) dari Kontribusi Neto ditambah 0,25% (nol
koma dua lima persen) dari kontribusi tabarru’
reasuransi ditambah 2% (dua persen) dari
penyisihan atas PAYDI yang memberikan garansi
pokok investasi;
c. bagi Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi
Jiwa wajib membentuk Dana Jaminan sebesar
2% (dua persen) dari penyisihan atas PAYDI yang
memberikan garansi pokok investasi ditambah
5% (lima persen) dari penyisihan kontribusi
tabarru’ yang belum merupakan pendapatan;
d. bagi Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi
Umum atau Perusahaan Reasuransi wajib
membentuk Dana Jaminan sebesar 1% (satu
persen) dari Kontribusi Neto ditambah 0,25% (nol
koma dua lima persen) dari kontribusi tabarru’
reasuransi ditambah 2% (dua persen) dari
penyisihan atas PAYDI.
(3) Pembentukan Dana Jaminan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) bersumber dari Dana
Perusahaan.
(4) Perusahaan wajib membentuk Dana Jaminan sebesar
jumlah terbesar antara hasil perhitungan jumlah
Dana Jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
- 45 -
dengan jumlah Dana Jaminan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2).
(5) Dana Jaminan bagi Unit Syariah sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf c dan huruf d wajib
dipisahkan dari Dana Jaminan yang dibentuk oleh
perusahaan asuransi atau perusahaan reasuransi
untuk usaha asuransi atau reasuransi yang tidak
berdasarkan Prinsip Syariah.
Pasal 40
(1) Jumlah penyisihan kontribusi tabarru’ dan tanahud,
penyisihan kontribusi tabarru’ yang belum merupakan
pendapatan, penyisihan atas PAYDI yang memberikan
garansi pokok investasi, Kontribusi Neto, dan
kontribusi tabarru’ reasuransi keluar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 39 ayat (2) huruf a sampai
dengan huruf d diperoleh dari laporan keuangan per
31 Desember yang telah diaudit oleh akuntan publik
yang terdaftar di OJK.
(2) Dalam hal Dana Jaminan kurang dari jumlah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (4),
Perusahaan wajib menambah Dana Jaminan yang
dimilikinya paling lama 5 (lima) hari kerja setelah
tanggal 30 April tahun berjalan.
(3) Dalam hal Dana Jaminan yang telah dimiliki lebih
besar dari jumlah sebagaimana dimaksud dalam Pasal
39 ayat (4), Perusahaan dapat mengurangi Dana
Jaminan yang dimilikinya setelah terlebih dahulu
mendapat persetujuan dari OJK.
(4) Dana Jaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39
ayat (1) dan ayat (2) wajib ditempatkan dalam bentuk:
a. deposito dengan perpanjangan otomatis pada
Bank Umum Syariah atau unit usaha syariah
pada bank umum yang bukan merupakan afiliasi
dari Perusahaan; dan/atau
b. surat berharga syariah yang diterbitkan oleh
Negara Republik Indonesia yang pada saat
- 46 -
penempatan sebagai Dana Jaminan memiliki sisa
jangka waktu sampai dengan jatuh tempo paling
singkat 1 (satu) tahun.
(5) Dana Jaminan sebagaimana dimaksud pada Pasal 39
ayat (1) dan ayat (2) dilarang diagunkan atau dibebani
dengan hak apa pun.
Bagian Kedua
Penatausahaan Dana Jaminan
Pasal 41
(1) Perusahaan wajib menatausahakan seluruh Dana
Jaminan pada Bank Kustodian.
(2) Bank Kustodian sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
bukan merupakan afiliasi dari Perusahaan, kecuali
hubungan afiliasi tersebut terjadi karena kepemilikan
atau penyertaan modal Negara Republik Indonesia.
Pasal 42
Penatausahaan Dana Jaminan pada Bank Kustodian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) wajib
didasarkan pada perjanjian antara Perusahaan dan Bank
Kustodian yang paling sedikit memuat:
a. pendelegasian atau pemberian kuasa oleh Perusahaan
kepada Bank Kustodian untuk mencairkan,
memindahkan, atau menyerahkan Dana Jaminan
setelah memperoleh persetujuan dari OJK;
b. kewajiban Bank Kustodian untuk menempatkan dana
yang diperoleh dari pencarian Dana Jaminan dalam
bentuk surat berharga syariah yang diterbitkan oleh
Negara Republik Indonesia yang telah jatuh tempo ke
dalam bentuk deposito berjangka 1 (satu) bulan pada
Bank Umum Syariah atau unit usaha syariah pada
bank umum atas nama Perusahaan, dalam hal
Perusahaan belum melakukan penggantian Dana
Jaminan yang telah jatuh tempo dimaksud;
c. ketentuan bahwa Bank Kustodian tidak dapat
menjalankan instruksi dari Perusahaan maupun
- 47 -
pihak lain untuk melakukan pencairan, pemindahan,
dan penyerahan deposito atau surat berharga syariah
yang diterbitkan oleh Negara Republik Indonesia yang
digunakan sebagai Dana Jaminan, kecuali telah
mendapat persetujuan OJK; dan
d. ketentuan
bahwa
Bank
Kustodian
wajib
menyampaikan laporan bulanan penatausahaan Dana
Jaminan yang dimiliki oleh Perusahaan kepada OJK
paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya yang paling
sedikit memuat:
1. nama Perusahaan pemilik Dana Jaminan;
2.
jenis Dana Jaminan;
3. nomor bilyet dan Bank Umum Syariah atau unit
usaha syariah pada bank umum penerbit untuk
deposito;
4.
5.
seri dari surat berharga syariah yang diterbitkan
oleh Negara Republik Indonesia;
nilai nominal Dana Jaminan; dan
6. tanggal jatuh tempo.
Bagian Ketiga
Perubahan Dana Jaminan
Pasal 43
(1) Perusahaan dapat melakukan perubahan Dana
Jaminan berupa
pembentukan, penambahan,
penggantian, pemindahan, dan/atau pencairan Dana
Jaminan.
(2) Pembentukan atau penambahan Dana Jaminan dapat
dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. penempatan baru deposito pada Bank Umum
Syariah atau unit usaha syariah pada bank
umum dan/atau surat berharga syariah yang
diterbitkan oleh Negara Republik Indonesia
sebagai Dana Jaminan;
b. penempatan deposito pada Bank Umum Syariah
atau unit usaha syariah pada bank umum yang
- 48 -
semula bukan Dana Jaminan menjadi Dana
Jaminan; dan/atau
c. penempatan surat berharga syariah yang
diterbitkan oleh Negara Republik Indonesia yang
semula bukan Dana Jaminan menjadi Dana
Jaminan.
(3) Perusahaan dapat melakukan pemindahan atau
penggantian Dana Jaminan dengan ketentuan sebagai
berikut:
a. dari deposito pada Bank Umum Syariah atau unit
usaha syariah pada bank umum menjadi surat
berharga syariah yang diterbitkan oleh Negara
Republik Indonesia atau sebaliknya;
b. mengubah jangka waktu deposito pada Bank
Umum Syariah atau unit usaha syariah pada
bank umum;
c. mengubah Bank Umum Syariah atau unit usaha
syariah pada bank umum tempat penempatan
deposito; dan/atau
d. menukarkan surat berharga syariah yang
diterbitkan oleh Negara Republik Indonesia
dengan surat berharga syariah yang diterbitkan
oleh Negara Republik Indonesia lainnya.
(4) Dalam hal Perusahaan akan melakukan pemindahan
atau penggantian Dana Jaminan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), Perusahaan wajib
menempatkan terlebih dahulu Dana Jaminan
pengganti paling sedikit sebesar nilai Dana Jaminan
yang akan dipindah atau diganti.
(5) Dalam hal terdapat Dana Jaminan dalam bentuk
surat berharga syariah yang diterbitkan oleh Negara
Republik Indonesia yang akan jatuh tempo,
Perusahaan wajib menempatkan terlebih dahulu Dana
Jaminan baru paling sedikit sebesar nilai surat
berharga syariah yang diterbitkan oleh Negara
Republik Indonesia yang akan jatuh tempo dimaksud,
paling lama 1 (satu) hari sebelum tanggal jatuh tempo.
- 49 -
(6) Perusahaan dapat mencairkan Dana Jaminan dalam
hal jumlah Dana Jaminan telah melebihi dari jumlah
minimum
yang
dipersyaratkan
dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2).
(7) Jumlah Dana Jaminan yang dapat dicairkan
sebagaimana dimaksud pada ayat (6) adalah selisih
lebih dari jumlah minimum yang dipersyaratkan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1) dan
ayat (2).
(8) Perusahaan hanya dapat melakukan pemindahan
atau pencairan Dana Jaminan setelah memperoleh
persetujuan OJK.
(9) Pemindahan atau pencairan Dana Jaminan dilakukan
dengan menyampaikan dokumen permohonan yang
paling sedikit memuat:
a. alasan pemindahan atau pencairan Dana
Jaminan;
b. persetujuan direksi atau yang setara atas
pemindahan atau pencairan Dana Jaminan; dan
c. dokumen pendukung yang membuktikan alasan
pemindahan atau pencairan Dana Jaminan.
Pasal 44
(1) OJK dapat memerintahkan Perusahaan untuk
menambah jumlah Dana Jaminan paling tinggi
sebesar jumlah penyisihan teknis, dalam hal:
a. Perusahaan tidak dapat memenuhi ketentuan
mengenai tingkat solvabilitas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1); dan
b. Perusahaan sedang dikenai sanksi pembatasan
kegiatan usaha.
(2) Perusahaan wajib menambah jumlah Dana Jaminan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 1
(satu) bulan sejak diperintahkan untuk menambah
jumlah Dana Jaminan.
sebagaimana
- 50 -
BAB IX
PENYAMPAIAN LAPORAN BERKALA
Bagian Kesatu
Penyusunan Laporan
Pasal 45
(1) Perusahaan wajib menyusun:
a. laporan keuangan tahunan untuk periode 1
Januari
sampai
dengan
31
Desember
berdasarkan standar akuntansi keuangan yang
berlaku di Indonesia;
b. laporan keuangan tahunan untuk periode 1
Januari
sampai
dengan
31
Desember
berdasarkan peraturan perundang-undangan di
bidang perasuransian;
c. laporan keuangan triwulanan yang berakhir pada
31 Maret, 30 Juni, 30 September, dan 31
Desember berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang perasuransian;
d. laporan keuangan bulanan untuk periode tanggal
1 sampai dengan akhir bulan berjalan; dan
e. laporan aktuaris tahunan untuk periode 1
Januari sampai dengan 31 Desember.
(2) Laporan keuangan tahunan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a wajib diaudit oleh akuntan
publik yang terdaftar di OJK.
(3) Laporan keuangan tahunan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b wajib ditelaah dan dinilai
kesesuaiannya
dengan
peraturan
undangan di bidang kesehatan keuangan perusahaan
perasuransian oleh aktuaris Perusahaan atau
akuntan publik yang terdaftar di OJK.
(4) Laporan aktuaris sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf e merupakan laporan yang menggambarkan
perkiraan kemampuan Perusahaan untuk memenuhi
kewajibannya di masa depan.
perundang-
- 51 -
(5) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e
harus ditandatangani oleh aktuaris Perusahaan.
(6) Laporan aktuaris tahunan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf e wajib ditelaah dan dinilai
kewajaran penyajiannya oleh konsultan aktuaria yang
terdaftar di OJK paling sedikit 1 (satu) kali dalam 3
(tiga) tahun.
(7) Laporan keuangan tahunan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b dan laporan keuangan
triwulanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c paling sedikit memuat:
a. profil Perusahaan;
b. surat pernyataan direksi atau yang setara;
c. surat pernyataan Dewan Pengawas Syariah;
d.
laporan posisi keuangan;
e. laporan laba/rugi komprehensif;
f.
laporan arus kas;
g.
laporan perubahan Ekuitas;
h. laporan Tingkat Solvabilitas;
i. perhitungan aset dan Liabilitas;
j.
k.
l.
laporan Dana Investasi Peserta;
laporan keuangan gabungan; dan
laporan tambahan.
(8) Ketentuan mengenai bentuk serta susunan laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b sampai
dengan huruf e diatur dalam Surat Edaran OJK.
Pasal 46
Perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi yang
menyelenggarakan sebagian usahanya dengan Prinsip
Syariah wajib menyusun laporan keuangan tahunan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) huruf a
secara terpisah dari laporan keuangan tahunan untuk
usaha asuransi atau usaha reasuransi yang tidak
berdasarkan Prinsip Syariah.
- 52 -
Pasal 47
Dalam laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45
ayat (1), setiap aset dan Liabilitas dalam satuan mata uang
asing wajib disajikan dalam mata uang rupiah berdasarkan
nilai kurs tengah yang ditetapkan oleh Bank Indonesia
pada tanggal laporan.
Bagian Kedua
Penyampaian Laporan
Pasal 48
(1) Perusahaan wajib menyampaikan kepada OJK:
a.
laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45
ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf e, paling
lambat 30 April tahun berikutnya;
b.
laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45
ayat (1) huruf c, paling lama 1 (satu) bulan
setelah berakhirnya triwulan yang bersangkutan;
dan
c.
laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45
ayat (1) huruf d paling lambat tanggal 10 bulan
berikutnya.
(2) Apabila batas waktu terakhir penyampaian laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah hari
libur, batas akhir penyampaian laporan adalah hari
kerja pertama setelah batas waktu terakhir dimaksud.
(3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
dan huruf b wajib dilengkapi dengan pernyataan
Dewan Pengawas Syariah bahwa pengelolaan aset dan
Liabilitas telah dilakukan sesuai dengan Prinsip
Syariah.
(4) Ketentuan mengenai tata cara penyampaian laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam
Surat Edaran OJK.
- 53 -
Bagian Ketiga
Pengumuman Laporan
Pasal 49
(1) Perusahaan wajib mengumumkan ringkasan laporan
keuangan tahunan yang telah diaudit sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) pada situs web
Perusahaan dan surat kabar harian berbahasa
Indonesia yang beredar secara nasional paling lama 1
(satu) bulan setelah batas waktu penyampaian
laporan keuangan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 48 ayat (1) huruf a.
(2) Bukti pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) wajib disampaikan kepada OJK paling lama 2 (dua)
hari kerja setelah pengumuman pada surat kabar.
(3) Perusahaan wajib mengumumkan ringkasan laporan
keuangan triwulanan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 45 ayat (1) huruf c pada situs web Perusahaan
paling lama 1 (satu) bulan setelah berakhirnya
triwulan yang bersangkutan.
(4) Ketentuan mengenai bentuk dan susunan ringkasan
laporan keuangan tahunan dan laporan keuangan
triwulanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (3) diatur dalam Surat Edaran OJK.
Pasal 50
Dalam hal terdapat bagian yang perlu dikoreksi dalam
laporan yang telah diumumkan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 49 ayat (1) dan ayat (3), Perusahaan wajib
mengoreksi laporan tersebut dan mengumumkan kembali
pada situs web Perusahaan.
BAB X
RENCANA PENYEHATAN KEUANGAN
Pasal 51
Perusahaan yang tidak memenuhi target Tingkat
Solvabilitas Dana Tabarru’ dan Dana Tanahud internal
- 54 -
dan/atau target Tingkat Solvabilitas Dana Perusahaan
internal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3)
dan ayat (4):
a. wajib menyampaikan rencana penyehatan keuangan;
dan
b. dilarang membagikan dividen atau memberikan
imbalan dalam bentuk apapun kepada pemegang
saham.
Pasal 52
(1) Rencana
penyehatan
keuangan
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 51 huruf a wajib disampaikan
kepada OJK paling lama 1 (satu) bulan sejak
diketahui tidak dipenuhinya Target Solvabilitas
internal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat
(5).
(2) Rencana
penyehatan
keuangan
sebagaimana
(3) Langkah
dimaksud pada ayat (1), paling sedikit memuat
langkah penyehatan keuangan yang disertai dengan
jangka waktu tertentu yang dibutuhkan untuk
memenuhi ketentuan target Tingkat Solvabilitas Dana
Tabarru’ dan Dana Tanahud internal serta Tingkat
Solvabilitas Dana Perusahaan internal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10 ayat (5).
penyehatan
keuangan
sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), memuat rencana tindak
sebagai berikut:
a. penambahan seluruh Surplus Underwriting ke
dalam Dana Tabarru’;
b. restrukturisasi aset dan/atau Liabilitas;
c. penambahan modal disetor atau modal kerja;
d. pemberian Qardh subordinasi;
e. peningkatan tarif kontribusi;
f.
pengalihan sebagian atau seluruh portofolio
kepesertaan;
g. penggabungan badan usaha atau unit usaha;
dan/atau
- 55 -
h. tindakan lain.
(4) Rencana
penyehatan
keuangan
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus ditandatangani oleh
seluruh direksi dan dewan komisaris atau yang
setara.
(5) Rencana
penyehatan
keuangan
sebagaimana
(6) Dalam
dimaksud pada ayat (1) harus terlebih dahulu
disetujui oleh rapat umum pemegang saham atau
yang setara dalam hal rencana penyehatan dimaksud
memuat rencana tindak penambahan modal disetor
atau rencana tindak penggabungan badan usaha.
penyehatan
hal
rencana
keuangan
(7) Rencana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinilai OJK tidak
cukup untuk mengatasi permasalahan, Perusahaan
wajib melakukan perbaikan atas rencana penyehatan
keuangan tersebut paling lama 1 (satu) bulan sejak
pemberitahuan dari OJK.
penyehatan
keuangan
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (6) wajib memperoleh
pernyataan tidak keberatan dari OJK.
(8) OJK memberikan pernyataan tidak keberatan atas
rencana penyehatan keuangan yang disampaikan oleh
Perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (7)
dengan memperhatikan kondisi permasalahan yang
dihadapi oleh Perusahaan paling lama 14 (empat
belas) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya
rencana penyehatan keuangan secara lengkap.
(9) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud
pada ayat (8) OJK tidak memberikan pernyataan tidak
keberatan atau tanggapan, Perusahaan dapat
melaksanakan rencana
penyehatan keuangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (6).
Pasal 53
(1) Perusahaan wajib menyampaikan kepada OJK laporan
pelaksanaan rencana penyehatan keuangan paling
lambat tanggal 15 bulan berikutnya.
- 56 -
(2) Laporan pelaksanaan rencana penyehatan keuangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit
memuat:
a. laporan keuangan bulanan yang disusun sesuai
bentuk dan susunan laporan keuangan
triwulanan;
b.
realisasi rencana tindak yang terdiri dari:
1. rencana penyehatan keuangan yang telah
dilaksanakan sesuai dengan target waktu
yang ditetapkan;
2. rencana penyehatan keuangan yang tidak
dapat dilaksanakan sesuai dengan target
waktu yang ditetapkan; dan
3. alasan tidak dapat dilaksanakannya rencana
penyehatan sesuai target waktu yang telah
ditetapkan; dan
c. dokumen pendukung yang membuktikan
tindakan
penyehatan
dilaksanakan.
(3) Apabila tanggal 15 adalah hari libur, batas akhir
penyampaian
laporan
pelaksanaan
rencana
penyehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
adalah hari kerja pertama setelah tanggal 15.
Pasal 54
(1) Dalam hal Perusahaan memperkirakan Tingkat
Solvabilitas Dana Tabarru’ dan Dana Tanahud atau
Tingkat Solvabilitas Dana Perusahaan tidak akan
terpenuhi dalam jangka waktu sebagaimana telah
ditetapkan di dalam rencana penyehatan keuangan,
Perusahaan dapat melakukan perubahan atas
rencana penyehatan keuangan.
(2) Perubahan atas rencana penyehatan keuangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib terlebih
dahulu memperoleh persetujuan dari OJK.
(3) OJK memberikan pernyataan tidak keberatan atas
perubahan rencana penyehatan keuangan yang
keuangan
telah
- 57 -
disampaikan oleh Perusahaan paling lama 14 (empat
belas) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya
perubahan rencana penyehatan keuangan secara
lengkap.
(4) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) OJK tidak memberikan pernyataan tidak
keberatan atau tanggapan, Perusahaan dapat
melaksanakan perubahan rencana penyehatan
keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 55
OJK dapat memerintahkan kepada Perusahaan untuk
melakukan pemindahan sebagian atau seluruh portofolio
pertanggungan kepada Perusahaan lain, dalam hal:
a. Perusahaan tidak dapat memenuhi ketentuan
mengenai tingkat solvabilitas sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a dan/atau huruf b;
dan/atau
b. sedang dikenai sanksi pembatasan kegiatan usaha.
BAB XI
SANKSI
Pasal 56
(1) Perusahaan yang tidak memenuhi ketentuan dalam
Pasal 2 ayat (1), dan ayat (3), Pasal 3 ayat (5), dan ayat
(6), Pasal 4 ayat (2) dan ayat (4), Pasal 5 ayat (2), ayat
(3), Pasal 6, ayat (5), ayat (7), dan ayat (8), Pasal 7 ayat
(1), dan ayat (3), Pasal 8 ayat (1), ayat (2), ayat (6), dan
ayat (8), Pasal 9 ayat (1), Pasal 10 ayat (1), ayat (2),
dan ayat (6), Pasal 11, Pasal 12 ayat (3), Pasal 13 ayat
(1), Pasal 18, Pasal 20 ayat (3), Pasal 22 ayat (1), ayat
(2), dan ayat (3), Pasal 26 ayat (1), ayat (2), dan ayat
(3), Pasal 27 ayat (2), dan ayat (3), Pasal 28 ayat (2),
Pasal 31, Pasal 32 ayat (1), Pasal 33 ayat (1), dan ayat
(3), Pasal 34, Pasal 36, Pasal 37 ayat (1), dan ayat (2),
Pasal 38 ayat (1), dan ayat (2), Pasal 39 ayat (1), ayat
(2), ayat (4), dan ayat (5), Pasal 40 ayat (2), ayat (4),
- 58 -
dan ayat (5), Pasal 41 ayat (1), Pasal 42, Pasal 43 ayat
(4), ayat (5), dan ayat (8), Pasal 44 ayat (2), Pasal 45
ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (6), Pasal 46, Pasal
47, Pasal 48 ayat (1), dan ayat (3), Pasal 49 ayat (1),
ayat (2), dan ayat (3), Pasal 50, Pasal 51, Pasal 52 ayat
(1), ayat (6), dan ayat (7), Pasal 53 ayat (1), Pasal 54
ayat (2), dikenakan sanksi administratif berupa:
a. peringatan tertulis;
b. pembatasan kegiatan usaha, untuk sebagian
atau seluruh kegiatan usaha; dan/atau
c. pencabutan izin usaha atau izin pembentukan
Unit Syariah.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dilakukan secara bertahap.
(3) Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), OJK dapat menambahkan sanksi
tambahan berupa:
a. larangan untuk memasarkan produk asuransi
untuk lini usaha tertentu;
b. penilaian kembali kemampuan dan kepatutan
bagi pengendali, direksi, atau dewan komisaris
atau yang setara pada Perusahaan;
c. larangan bagi Perusahaan untuk menjadi
pemegang saham, pengendali atau yang setara
dengan pemegang saham dan/atau pengendali
pada badan hukum berbentuk koperasi atau
usaha
bersama,
perasuransian; dan/atau
d. larangan bagi pemegang saham, pengendali,
direksi, dan/atau dewan komisaris, atau yang
setara dengan pemegang saham, direksi,
dan/atau dewan komisaris Perusahaan untuk
menjadi pemegang saham, pengendali, direksi,
dan/atau dewan komisaris, atau yang setara
dengan pemegang saham, direksi, dan/atau
dewan komisaris pada badan hukum berbentuk
pada
perusahaan
- 59 -
koperasi atau usaha bersama, pada perusahaan
perasuransian.
Pasal 57
OJK dapat mengenakan sanksi pencabutan izin usaha:
a. tanpa didahului pengenaan sanksi administratif yang
lain; atau
b. tanpa didahului pengenaan sanksi administrasi secara
bertahap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat
(2),
dalam hal Perusahaan memiliki Tingkat Solvabilitas Dana
Tabbaru’ dan Dana Tanahud atau Tingkat Solvabilitas
Dana Perusahaan kurang dari 40% (empat puluh persen)
dan berdasarkan hasil pengawasan OJK dinilai
membahayakan bagi pemegang polis atau peserta.
Pasal 58
(1) Perusahaan yang melanggar ketentuan Pasal 48 ayat
(1) huruf a atau huruf b dikenakan sanksi tambahan
berupa denda administratif sebesar Rp1.000.000,00
(satu juta rupiah) per hari keterlambatan dan paling
banyak sebesar Rp360.000.000,00 (tiga ratus enam
puluh juta rupiah) untuk setiap laporan.
(2) Perusahaan yang melanggar ketentuan Pasal 49 ayat
(1) dikenakan sanksi tambahan berupa denda
administratif sebesar Rp2.500.000,00 (dua juta lima
ratus ribu rupiah) per hari dan paling banyak sebesar
Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
BAB XII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 59
Penilaian terhadap Liabilitas dalam bentuk penyisihan
teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) dan
penandatanganan laporan aktuaris sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 45 ayat (5) bagi Perusahaan Asuransi Umum
Syariah dapat dilakukan oleh:
- 60 -
a. pegawai Perusahaan yang memiliki sertifikat analis
asuransi umum (certified non-life analyst) dari
Persatuan Aktuaris Indonesia; atau
b. konsultan aktuaria yang terdaftar di OJK dan tidak
terafiliasi dengan Perusahaan,
paling lambat sampai dengan tanggal 31 Desember 2017.
Pasal 60
(1) Setiap sanksi administratif yang telah dikenakan
terhadap Perusahaan berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan
Republik
Indonesia
11/PMK.010/2011 tentang Kesehatan Keuangan
Usaha Asuransi dan Usaha Reasuransi Dengan
Prinsip Syariah dinyatakan tetap sah dan berlaku.
(2) Perusahaan yang belum dapat mengatasi penyebab
dikenakannya sanksi administratif sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi lanjutan
sesuai dengan Peraturan OJK ini.
BAB XIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 61
Pada saat Peraturan OJK ini mulai berlaku, ketentuan
mengenai kesehatan keuangan Perusahaan Asuransi
Syariah dan Perusahaan Reasuransi Syariah tunduk pada
Peraturan OJK ini.
Pasal 62
Ketentuan mengenai bentuk dan susunan laporan,
perhitungan jumlah DTMBR dan MMBR, dasar penilaian
investasi dan bukan investasi, dan pembentukan
penyisihan teknis dinyatakan masih tetap berlaku
sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam
Peraturan OJK ini.
Pasal 63
Peraturan OJK ini mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 2017.
Nomor
- 61 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan OJK ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 23 Desember 2016
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 28 Desember 2016
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 305
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
"," POJK
72/POJK.05/2016
KESEHATAN KEUANGAN PERUSAHAAN ASURANSI DAN PERUSAHAAN REASURANSI DENGAN PRINSIP SYARIAH
23 Desember 2016
1 Juli 2017
28 Desember 2016
'40/UU/2014', '21/UU/2011'
'BAB XI'
"
" - 1 -
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 25 /POJK.03/2015
TENTANG
PENYAMPAIAN INFORMASI NASABAH ASING TERKAIT PERPAJAKAN KEPADA
NEGARA MITRA ATAU YURISDIKSI MITRA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka menjaga stabilitas sistem keuangan,
pemerintah Indonesia bersama-sama dengan instansi
terkait perlu melakukan koordinasi secara regional
maupun global;
b. bahwa Otoritas Jasa Keuangan sesuai dengan tugas dan
kewenangannya merupakan salah satu instansi yang
perlu mendukung koordinasi dalam rangka mewujudkan
sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan
stabil serta mampu melindungi kepentingan konsumen
dan masyarakat;
c. bahwa salah satu bentuk koordinasi sebagaimana
dimaksud pada huruf a adalah tukar menukar informasi
keuangan dengan negara atau yurisdiksi lain dalam
rangka mendukung program pencegahan penghindaran
pajak;
d. bahwa dalam rangka tukar menukar informasi untuk
pencegahan penghindaran pajak, dilakukan perjanjian
antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah negara
atau yurisdiksi lain;
- 2 -
e. bahwa salah satu perjanjian sebagaimana dimaksud
dalam huruf d adalah perjanjian pertukaran informasi
secara otomatis yang menimbulkan konsekuensi bagi
lembaga jasa keuangan tertentu untuk menyampaikan
informasi keuangan nasabah asing tertentu kepada
negara mitra atau yurisdiksi mitra melalui otoritas pajak
Indonesia secara berkala;
f. bahwa penyampaian informasi keuangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf e harus mematuhi ketentuan
peraturan perundang-undangan;
g. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d,
huruf e, dan huruf f, perlu menetapkan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan tentang Penyampaian Informasi
Nasabah Asing Terkait Perpajakan kepada Negara Mitra
atau Yurisdiksi Mitra;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998
Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995
Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3608);
3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4867);
4. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
- 3 -
5. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang
Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5618);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
PENYAMPAIAN INFORMASI NASABAH ASING TERKAIT
PERPAJAKAN KEPADA NEGARA MITRA ATAU YURISDIKSI
MITRA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud
dengan:
1. Lembaga Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat
LJK, adalah LJK sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa
Keuangan, yang memenuhi kriteria dalam perjanjian
pertukaran informasi secara otomatis antara pemerintah
Indonesia dengan pemerintah negara mitra atau
yurisdiksi mitra.
2. Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra adalah negara atau
yurisdiksi yang terikat dengan negara Indonesia dalam
konvensi tentang bantuan administratif bersama di
bidang perpajakan, persetujuan antar pemerintah
(Intergovernmental Agreement/IGA) di bidang perpajakan,
atau perjanjian bilateral maupun multilateral lainnya di
bidang perpajakan.
- 4 -
3. Pertukaran Informasi secara Otomatis adalah pertukaran
informasi berkenaan dengan keperluan perpajakan
antara Pemerintah Indonesia dengan pemerintah Negara
Mitra atau Yurisdiksi Mitra yang dilakukan secara
berkala pada waktu tertentu, sistematis, dan
berkesinambungan yang jenis dan tata cara pertukaran
informasinya diatur berdasarkan perjanjian antara
negara Indonesia dengan Negara Mitra atau Yurisdiksi
Mitra.
4. Perusahaan Asing adalah:
a. badan hukum yang didirikan atau berkedudukan di
Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra;
b. kantor cabang atau kantor perwakilan dari badan
hukum yang didirikan, atau berkedudukan di
Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra;
c. badan hukum yang didirikan atau berkedudukan di
Indonesia atau di luar Indonesia yang bukan Negara
Mitra atau Yurisdiksi Mitra, yang dimiliki oleh wajib
pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra berupa
perorangan atau badan hukum paling sedikit
sebesar persentase tertentu yang tercantum dalam
perjanjian Pertukaran Informasi secara Otomatis;
atau
d. kantor cabang atau kantor perwakilan dari badan
hukum yang didirikan atau berkedudukan di
Indonesia atau di luar Indonesia yang bukan Negara
Mitra atau Yurisdiksi Mitra, yang dimiliki oleh wajib
pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra berupa
perorangan atau badan hukum paling sedikit
sebesar persentase tertentu yang tercantum dalam
perjanjian Pertukaran Informasi secara Otomatis.
- 5 -
5. Nasabah Asing adalah:
a. bagi Bank Umum adalah nasabah perorangan atau
Perusahaan Asing yang memenuhi kriteria tertentu
sebagaimana diatur dalam perjanjian Pertukaran
Informasi secara Otomatis, yang memiliki rekening
dan/atau menggunakan jasa di Bank Umum atau
Bank Umum yang melakukan kegiatan usaha
berdasarkan Prinsip Syariah;
b. bagi Perusahaan Efek dan Bank Kustodian adalah
nasabah perorangan atau Perusahaan Asing yang
memenuhi kriteria tertentu sebagaimana diatur
dalam perjanjian Pertukaran Informasi secara
Otomatis, yang memiliki rekening efek pada
dan/atau menggunakan jasa Perusahaan Efek dan/
atau Bank Kustodian secara langsung (direct
customer);
c. bagi Perusahaan Asuransi Jiwa dan Perusahaan
Asuransi Jiwa Syariah adalah pemegang polis atau
peserta berupa perorangan atau Perusahaan Asing
yang memenuhi kriteria tertentu sebagaimana diatur
dalam perjanjian Pertukaran Informasi secara
Otomatis; dan/atau
d. bagi LJK selain angka 5 huruf a, huruf b, dan huruf
c, adalah nasabah yang memenuhi kriteria sesuai
perjanjian terkait perpajakan antara pemerintah
Indonesia dengan pemerintah Negara Mitra atau
Yurisdiksi Mitra yang akan diatur lebih lanjut dalam
Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan,
yang merupakan wajib pajak Negara Mitra atau
Yurisdiksi Mitra.
- 6 -
BAB II
PELAPORAN
Pasal 2
(1) Dalam rangka penerapan perjanjian Pertukaran
Informasi secara Otomatis, LJK wajib menyampaikan
laporan kepada otoritas pajak Indonesia berupa informasi
Nasabah Asing terkait perpajakan untuk diteruskan
kepada otoritas pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan laporan mengenai informasi Nasabah Asing
yang memiliki saldo rekening atau nilai rekening paling
sedikit sesuai dengan perjanjian Pertukaran Informasi
secara Otomatis.
(3) Informasi Nasabah Asing sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) paling sedikit meliputi:
a.
b.
Informasi nasabah; dan
Informasi keuangan nasabah.
Pasal 3
Dalam rangka penyampaian laporan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1), LJK wajib:
a. melakukan identifikasi terhadap:
1. nasabah; atau
2. calon nasabah,
untuk memastikan bahwa nasabah atau calon nasabah
dimaksud memenuhi kriteria Nasabah Asing atau calon
Nasabah Asing;
b. meminta informasi dan/atau dokumen yang diperlukan
dalam rangka verifikasi bahwa nasabah atau calon
nasabah memenuhi kriteria Nasabah Asing atau calon
Nasabah Asing;
- 7 -
c. meminta Nasabah Asing dan/atau calon Nasabah Asing
untuk menyampaikan pernyataan persetujuan, instruksi
atau pemberian kuasa secara tertulis dan sukarela
kepada LJK untuk memberikan informasi Nasabah Asing
dan/atau calon Nasabah Asing kepada otoritas pajak
Indonesia untuk diteruskan kepada otoritas pajak Negara
Mitra atau Yurisdiksi Mitra; dan
d. melakukan penyaringan Nasabah Asing yang memiliki
saldo rekening atau nilai paling sedikit sesuai dengan
yang ditetapkan dalam perjanjian Pertukaran Informasi
secara Otomatis.
Pasal 4
Dalam hal calon Nasabah Asing tidak bersedia menyampaikan
pernyataan persetujuan,
instruksi, pemberian kuasa
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c, LJK wajib:
a. menjelaskan ketentuan terkait Pertukaran Informasi
secara Otomatis; dan
b. menolak melakukan hubungan usaha dengan calon
Nasabah Asing tersebut.
Pasal 5
(1) Dalam hal Nasabah Asing tidak bersedia menyampaikan
pernyataan persetujuan, instruksi, pemberian kuasa
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c, LJK wajib:
a. menjelaskan konsekuensi bagi Nasabah Asing
apabila tidak bersedia memberikan informasi sesuai
Perjanjian Pertukaran Informasi secara Otomatis;
b. meminta Nasabah Asing menyampaikan pernyataan
keberatan secara tertulis, dan
c.
tidak melayani transaksi baru terkait rekening
Nasabah Asing tersebut.
(2) Penghentian layanan transaksi baru sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c dikecualikan bagi
transaksi:
- 8 -
a. untuk pemenuhan kewajiban yang telah
diperjanjikan sebelumnya antara Nasabah Asing
dengan LJK;
b. untuk penutupan rekening;
c. untuk pemenuhan kewajiban berdasarkan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 6
Penyampaian laporan informasi Nasabah Asing oleh LJK
kepada otoritas pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
dapat dilakukan:
a. melalui Otoritas Jasa Keuangan; atau
b. langsung kepada otoritas pajak.
Pasal 7
(1) Penyampaian laporan informasi Nasabah Asing
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a,
disampaikan paling lambat 60 hari sebelum batas waktu
pelaporan kepada otoritas pajak Negara Mitra atau
Yurisdiksi Mitra berdasarkan perjanjian Pertukaran
Informasi secara Otomatis.
(2) Dalam hal batas waktu pelaporan informasi Nasabah
Asing jatuh pada hari libur, maka pelaporan dilakukan
pada hari kerja setelahnya.
Pasal 8
Dalam rangka penyampaian laporan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a, LJK wajib menyampaikan
kepada Otoritas Jasa Keuangan nama pejabat yang
bertanggung jawab (responsible officer) atas pelaporan
informasi Nasabah Asing.
- 9 -
Pasal 9
(1) LJK dapat mendelegasikan pelaksanaan pelaporan
kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 kepada
LJK lain yang menjadi selling agent dan/atau kustodian.
(2) Pendelegasian pelaksanaan pelaporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan
kesepakatan tertulis.
(3) Pendelegasian pelaksanaan pelaporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak meniadakan tanggung
jawab LJK yang mendelegasikan pelaksanaan pelaporan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3.
BAB III
SANKSI
Pasal 10
LJK yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan/atau Pasal 8 dikenakan
sanksi administratif berupa teguran atau peringatan tertulis.
BAB IV
PENUTUP
Pasal 11
Ketentuan lebih lanjut dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
ini diatur dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan.
- 10 -
Pasal 12
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 4 Desember 2015
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 11 Desember 2015
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 291
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Sudarmaji
- 1 -
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 25 /POJK.03/2015
TENTANG
PENYAMPAIAN INFORMASI NASABAH ASING TERKAIT PERPAJAKAN KEPADA
NEGARA MITRA ATAU YURISDIKSI MITRA
I. UMUM
Dalam rangka menjaga stabilitas sistem keuangan dilakukan
koordinasi dengan negara lain baik secara regional maupun global. Salah
satu koordinasi tersebut dimaksudkan untuk mendukung upaya
pencegahan penghindaran pajak (tax avoidance), pengelakan pajak (tax
evasion), dan untuk meningkatkan kepatuhan warga negara Indonesia
yang berdomisili di negara lain terhadap pemenuhan ketentuan pajak
Indonesia, dan sebaliknya. Bentuk koordinasi yang dilakukan untuk
mendukung upaya pencegahan penghindaran pajak tersebut adalah
berupa kegiatan tukar menukar informasi keuangan wajib pajak dengan
negara lain.
Kegiatan dimaksud diawali dengan perjanjian antara pemerintah
Indonesia dengan pemerintah Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra yaitu
pemerintah dari negara yang telah berkomitmen untuk mencegah
penghindaran pajak oleh wajib pajak baik melalui perjanjian bilateral
maupun multilateral. Komitmen pemerintah Indonesia terhadap upaya
penghindaran dan pengelakan pajak telah disahkan dengan Peraturan
Presiden Republik Indonesia Nomor 159 Tahun 2014 tanggal 17 Oktober
2014 tentang Pengesahan Convention on Mutual Administrative Assistance
in Tax Matters (Konvensi tentang Bantuan Administratif Bersama di
Bidang perpajakan).
- 2 -
Perjanjian negara untuk mendukung penghindaran pajak
mewajibkan masing-masing otoritas pajak negara dimaksud melakukan
penyampaian informasi atas wajib pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi
Mitra yang berada di negaranya. Salah satu pihak yang berperan penting
dalam penyampaian informasi tersebut adalah Lembaga Jasa Keuangan
(LJK) yang menjadi tempat penyimpanan atau investasi dan pelayanan
jasa keuangan nasabah yang merupakan wajib pajak Negara Mitra atau
Yurisdiksi Mitra.
Pertukaran informasi antara pemerintah Indonesia dengan otoritas
pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra yang dilakukan oleh pejabat
berwenang atau competent authority di Indonesia dilaksanakan
berdasarkan komitmen pemerintah Indonesia antara lain pada: Konvensi
Bantuan Administratif Bersama di Bidang Perpajakan, Persetujuan antar
Pemerintah (Intergovernmental Agreement/IGA) di Bidang Perpajakan, atau
Perjanjian Bilateral maupun Multilateral lainnya di Bidang Perpajakan.
Pertukaran informasi tersebut meliputi 3 (tiga) jenis yaitu Pertukaran
informasi yang dilakukan berdasarkan permintaan, secara spontan, dan
secara otomatis. Persamaan dari ketiga jenis Pertukaran Informasi
tersebut adalah adanya perjanjian negara yang mendasari, sedangkan
perbedaannya yaitu pada:
1. pertukaran informasi berdasarkan permintaan, terdapat permintaan
atas wajib pajak tertentu terlebih dahulu,
2. pertukaran secara spontan, salah satu negara mempunyai inisiatif
untuk melaporkan wajib pajak tertentu,
3. pertukaran informasi secara otomatis, penyampaian informasi
keuangan wajib pajak yang tidak berdasarkan permintaan ataupun
insiatif, melainkan berdasarkan pemenuhan kriteria wajib pajak
dalam perjanjian antar negara yang dilakukan melalui sistem yang
telah
disepakati, disampaikan secara
berkala dan
berkesinambungan.
Lebih lanjut, Pertukaran Informasi secara Otomatis yaitu pertukaran
informasi keuangan nasabah LJK yang merupakan wajib pajak Negara
Mitra atau Yurisdiksi Mitra yang berada di Indonesia untuk disampaikan
kepada otoritas pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra dimaksud, dan
dapat berlaku sebaliknya bagi wajib pajak Indonesia yang merupakan
nasabah LJK di Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra yang akan
disampaikan informasi keuangannya kepada Otoritas Pajak di Indonesia.
- 3 -
Pertukaran Informasi secara Otomatis dapat dilakukan dengan
adanya surat pernyataan sukarela dari nasabah wajib pajak Negara Mitra
atau Yurisdiksi Mitra. Perjanjian negara dalam rangka melakukan
Pertukaran Informasi secara Otomatis meliputi antara lain: tata cara
melakukan due diligence, jenis informasi yang dipertukarkan, periode
laporan (berkala), dan waktu penyampaian laporan. Penyampaian
informasi keuangan dilakukan melalui sistem yang telah disepakati dan
dilakukan secara berkesinambungan.
Pemerintah telah menetapkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
125/PMK.010/2015 tanggal 7 Juli 2015 yang memungkinkan LJK
menyampaikan informasi keuangan nasabah yang merupakan wajib pajak
Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra kepada otoritas pajak di Indonesia dan
otoritas pajak di Negara Mitra berdasarkan persetujuan tertulis secara
sukarela dari Nasabah wajib pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra
dimaksud, kepada LJK.
Untuk mendukung pemerintah dan LJK dalam proses penyampaian
informasi nasabah LJK yang merupakan wajib pajak Negara Mitra atau
Yurisdiksi Mitra agar tetap mematuhi peraturan perundang-undangan,
maka diperlukan pengaturan mengenai penyampaian informasi nasabah
dimaksud dalam rangka perjanjian Pertukaran Informasi Terkait
Perpajakan antara Indonesia dengan Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “otoritas pajak Indonesia” adalah
Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan nilai rekening antara lain nilai tunai
kontrak asuransi, atau nilai anuitas atau surrender value.
- 4 -
Ayat (3)
Huruf a
Informasi nasabah termasuk antara lain informasi
mengenai nama dan nomor rekening.
Nomor rekening antara lain berupa:
1) rekening bagi Bank;
2)
polis asuransi bagi Perusahaan Asuransi Jiwa dan
Perusahaan Asuransi Jiwa Syariah; dan/atau
3) nomor sub rekening efek bagi Perusahan Efek dan
Bank Kustodian.
Huruf b
Cukup jelas.
Pasal 3
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Informasi dan/atau dokumen yang diminta antara lain adalah
alamat korespondensi di Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra,
nomor identitas pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra, dan
informasi dan/atau dokumen lainnya sesuai perjanjian
Pertukaran Informasi secara Otomatis yang akan diatur lebih
lanjut dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan.
Huruf c
Pernyataan persetujuan/instruksi/pemberian kuasa tertulis
Nasabah Asing perlu diperoleh agar pemberian informasi kepada
otoritas pajak sesuai dengan peraturan perundang-undangan
terkait kerahasiaan data nasabah.
Huruf d
Yang dimaksud dengan nilai termasuk nilai tunai kontrak
asuransi, atau nilai anuitas atau surrender value.
Pasal 4
Ketentuan terkait Pertukaran Informasi secara Otomatis antara lain:
a. penyampaian informasi Nasabah Asing kepada Negara Mitra
atau Yurisdiksi Mitra;
- 5 -
b. pentingnya pernyataan persetujuan/instruksi/pemberian kuasa
untuk dapat menyampaikan informasi Nasabah Asing kepada
Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra.
Pasal 5
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “transaksi” adalah transaksi keuangan,
termasuk:
a. setoran, penarikan, transfer, pembukaan rekening atau
pembuatan kontrak bagi nasabah perbankan;
b. pembukaan rekening, transaksi beli atau pengalihan bagi
nasabah pasar modal;
c. penutupan polis baru bagi perusahaan asuransi jiwa dan
perusahaan asuransi jiwa syariah.
Ayat (2)
Huruf a
Contoh pemenuhan kewajiban yang telah diperjanjikan
sebelumnya antara lain:
1) pembayaran premi asuransi;
2) pembayaran angsuran kredit.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Contoh pemenuhan kewajiban berdasarkan peraturan
perundang-undangan antara lain:
1) pemenuhan kewajiban pajak;
2) pelaksanaan eksekusi atas putusan pengadilan.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
- 6 -
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Yang dimaksud ketentuan lebih lanjut antara lain mengenai:
a. penunjukan responsible officer;
b. tata cara pelaporan informasi Nasabah Asing;
c. informasi Nasabah Asing yang harus dilaporkan.
Pasal 12
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5773
"," POJK
25/POJK.03/2015
PENYAMPAIAN INFORMASI NASABAH ASING TERKAIT PERPAJAKAN KEPADA NEGARA MITRA ATAU YURISDIKSI MITRA
4 Desember 2015
11 Desember 2015
11 Desember 2015
'21/UU/2008', '21/UU/2011', '40/UU/2014', '8/UU/1995', '7/UU/1992', '10/UU/1998'
'BAB III'
"
" ITAS JASA K
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN INDONESIA
SA
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 11/POJK.03/2015
TENTANG
KETENTUAN KEHATI-HATIAN DALAM RANGKA
STIMULUS PEREKONOMIAN NASIONAL BAGI BANK UMUM
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN
Menimbang: a. bahwa saat ini terjadi perlambatan pertumbuhan ekonomi
Indonesia yang dapat memengaruhi kinerja dan kondisi
industri perbankan sehingga berpotensi mengganggu stabilitas
sistem keuangan;
b. bahwa untuk merespons kondisi melambatnya pertumbuhan
perekonomian,
diperlukan
kebijakan yang bersifat
countercyclical dan bersifat sementara untuk mendorong
optimalisasi fungsi intermediasi perbankan dan pertumbuhan
ekonomi dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian;
c. bahwa sejalan dengan kebijakan sebagaimana dimaksud dalam
huruf b, diperlukan kebijakan untuk mendukung program
pemerintah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan
pertumbuhan ekonomi terutama yang berpihak kepada usaha
mikro, kecil, dan menengah;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Ketentuan Kehati-
hatian Dalam Rangka Stimulus Perekonomian Nasional Bagi
Bank Umum;
Mengingat...
- 2 -
Mengingat:
1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor
31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa
Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5253);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
KETENTUAN KEHATI-HATIAN DALAM RANGKA STIMULUS
PEREKONOMIAN NASIONAL BAGI BANK UMUM.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, termasuk kantor cabang dari bank
yang berkedudukan di luar negeri, yang melaksanakan kegiatan usaha secara
konvensional.
2. Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan
dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam
antara Bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk
melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga,
termasuk:
a. cerukan (overdraft), yaitu saldo negatif pada rekening giro nasabah yang
tidak dapat dibayar lunas pada akhir hari;
b. pengambilalihan tagihan dalam rangka kegiatan anjak piutang; dan
c. pengambilalihan atau pembelian kredit dari pihak lain.
3. Risiko...
- 3 -
3. Risiko Kredit adalah risiko akibat kegagalan debitur dan/atau pihak lain
dalam memenuhi kewajiban kepada Bank.
4. Restrukturisasi Kredit adalah upaya perbaikan yang dilakukan Bank dalam
kegiatan perkreditan terhadap debitur yang mengalami kesulitan untuk
memenuhi kewajibannya, yang dilakukan antara lain melalui:
a. penurunan suku bunga Kredit;
b. perpanjangan jangka waktu Kredit;
c. pengurangan tunggakan bunga Kredit;
d. pengurangan tunggakan pokok Kredit;
e. penambahan fasilitas Kredit; dan/atau
f. konversi Kredit menjadi penyertaan modal sementara.
5. Penyertaan Modal adalah penanaman dana Bank dalam bentuk saham pada
perusahaan yang bergerak di bidang keuangan, termasuk penanaman dalam
bentuk surat utang konversi wajib (mandatory convertible bonds) atau jenis
transaksi tertentu yang berakibat Bank memiliki atau akan memiliki saham
pada perusahaan yang bergerak di bidang keuangan.
6. Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah yang selanjutnya disebut UMKM adalah
UMKM sebagaimana diatur dalam Undang-Undang mengenai usaha mikro,
kecil, dan menengah.
Pasal 2
(1) Dalam menerapkan kebijakan yang mendukung stimulus pertumbuhan
ekonomi, Bank tetap menerapkan prinsip kehati-hatian.
(2) Kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap:
a. perhitungan Aset Tertimbang Menurut Risiko (ATMR) untuk Risiko Kredit
dengan menggunakan pendekatan standar bagi:
1. Kredit beragun rumah tinggal; dan
2. Kredit kepada UMKM yang dijamin oleh lembaga penjaminan atau
asuransi Kredit berstatus Badan Usaha Milik Daerah (BUMD);
b. penilaian dan penetapan kualitas aset bagi:
1. Kredit dan penyediaan dana lainnya dalam jumlah kecil; dan
2. Kredit yang direstrukturisasi;
c. Penyertaan Modal.
BAB II...
- 4 -
BAB II
PERHITUNGAN ASET TERTIMBANG MENURUT RISIKO (ATMR) UNTUK RISIKO
KREDIT DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN STANDAR
Bagian Kesatu
Bobot Risiko Kredit Beragun Rumah Tinggal
Pasal 3
Bobot risiko Kredit beragun rumah tinggal ditetapkan sebagai berikut:
a. paling rendah 35% (tiga puluh lima perseratus) untuk Kredit konsumsi dalam
rangka kepemilikan rumah tinggal atau apartemen atau Kredit konsumsi
yang dijamin dengan agunan berupa rumah tinggal atau apartemen yang
memenuhi seluruh kriteria sebagai berikut:
1. diberikan kepada debitur perorangan;
2. agunan diikat dengan hak tanggungan atau fidusia sehingga memberikan
kedudukan yang diutamakan (hak preferensi) kepada Bank; dan
3. Bank memiliki sistem dan prosedur yang memadai untuk menilai dan
memantau nilai agunan secara berkala;
b. paling rendah 20% (dua puluh perseratus) untuk Kredit konsumsi dalam
rangka kepemilikan rumah tinggal yang merupakan program Pemerintah
Indonesia yang memenuhi seluruh kriteria sebagai berikut:
1. dilakukan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan
2. dijamin 100% (seratus perseratus) oleh lembaga penjaminan atau
asuransi Kredit berstatus Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang
memenuhi persyaratan garansi yang merupakan teknik mitigasi risiko
kredit sebagaimana diatur dalam ketentuan mengenai pedoman
perhitungan ATMR untuk Risiko Kredit dengan menggunakan pendekatan
standar.
Bagian Kedua
Bobot Risiko Kredit kepada UMKM yang Dijamin oleh Lembaga Penjaminan
atau Asuransi Kredit Berstatus BUMD
Pasal 4
(1) Bobot risiko Kredit kepada UMKM yang dijamin oleh lembaga penjaminan
atau asuransi Kredit berstatus BUMD ditetapkan sebesar 50% (lima puluh
perseratus) sepanjang memenuhi persyaratan yang ditetapkan.
(2) Persyaratan...
- 5 -
(2) Persyaratan lembaga penjaminan atau asuransi Kredit berstatus BUMD
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebagai berikut:
a. memiliki peringkat dari lembaga pemeringkat yang diakui oleh Otoritas
Jasa Keuangan setara BBB-; atau
b. mendapatkan rekomendasi dalam bentuk tertulis dari Otoritas Jasa
Keuangan untuk melakukan program penjaminan.
(3) Selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
pengakuan penjaminan atau asuransi Kredit, skema penjaminan atau
asuransi Kredit, dan lembaga penjaminan atau asuransi Kredit berstatus
BUMD, tetap memenuhi persyaratan:
a. pengakuan garansi dalam teknik mitigasi Risiko Kredit;
b. skema penjaminan atau asuransi Kredit; dan
c. lembaga penjaminan atau asuransi Kredit berstatus bukan BUMN,
sebagaimana diatur dalam ketentuan mengenai pedoman perhitungan ATMR
untuk Risiko Kredit dengan menggunakan pendekatan standar.
Pasal 5
Bobot risiko Kredit kepada UMKM yang dijamin oleh lembaga penjaminan atau
asuransi Kredit berstatus BUMD yang:
a. memiliki peringkat lebih tinggi dari BBB-; dan
b. pengakuan penjaminan atau asuransi Kredit, skema penjaminan atau
asuransi Kredit, dan lembaga penjaminan atau asuransi Kredit berstatus
BUMD memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3),
didasarkan pada peringkat lembaga penjaminan atau asuransi Kredit berstatus
BUMD sesuai kategori portofolio tagihan kepada entitas sektor publik
sebagaimana diatur dalam ketentuan mengenai pedoman perhitungan ATMR
untuk Risiko Kredit dengan menggunakan pendekatan standar.
BAB III
PENILAIAN DAN PENETAPAN KUALITAS ASET BANK UMUM
Bagian Kesatu
Kredit dan Penyediaan Dana Lainnya dalam Jumlah Kecil
Pasal 6...
- 6 -
Pasal 6
(1) Penetapan kualitas Kredit dan penyediaan dana lainnya dapat hanya
didasarkan atas ketepatan pembayaran pokok dan/atau bunga, untuk:
a. Kredit dan penyediaan dana lainnya yang diberikan oleh setiap Bank
kepada 1 (satu) debitur atau 1 (satu) proyek dengan jumlah kurang dari
atau sama dengan Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah);
b. Kredit dan penyediaan dana lainnya yang diberikan oleh setiap Bank
kepada debitur UMKM dengan jumlah:
1. Lebih dari Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) sampai dengan
Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah) bagi Bank yang
memenuhi kriteria sebagai berikut:
a) memiliki predikat penilaian kecukupan Kualitas Penerapan
Manajemen Risiko (KPMR) untuk Risiko Kredit sangat memadai;
b) memiliki rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM)
paling rendah sesuai ketentuan yang berlaku; dan
c) memiliki Peringkat Komposit tingkat kesehatan Bank paling
rendah 3 (PK-3).
2. Lebih dari Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) sampai dengan
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) bagi Bank yang
memenuhi kriteria sebagai berikut:
a) memiliki predikat penilaian kecukupan KPMR untuk Risiko Kredit
memadai;
b) memiliki rasio KPMM paling rendah sesuai ketentuan yang
berlaku; dan
c) memiliki Peringkat Komposit tingkat kesehatan Bank paling
rendah 3 (PK-3).
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak diberlakukan
untuk Kredit dan penyediaan dana lainnya yang diberikan kepada 1 (satu)
debitur UMKM dengan jumlah lebih dari Rp5.000.000.000,00 (lima miliar
rupiah) yang merupakan:
a. Kredit yang direstrukturisasi; dan/atau
b. Penyediaan dana kepada 50 (lima puluh) debitur terbesar Bank.
Bagian...
- 7 -
Bagian Kedua
Penetapan Kualitas Kredit yang Direstrukturisasi
Pasal 7
(1) Kualitas Kredit setelah dilakukan restrukturisasi ditetapkan sebagai berikut:
a. paling tinggi Kurang Lancar untuk Kredit yang sebelum dilakukan
restrukturisasi tergolong Diragukan atau Macet;
b. tetap atau tidak berubah untuk Kredit yang sebelum dilakukan
restrukturisasi tergolong Lancar, Dalam Perhatian Khusus, atau Kurang
Lancar.
(2) Kualitas Kredit setelah dilakukan restrukturisasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat menjadi Lancar, apabila tidak terdapat tunggakan selama
3 (tiga) kali periode pembayaran angsuran pokok dan/atau bunga secara
berturut-turut sesuai dengan perjanjian Restrukturisasi Kredit.
(3) Dalam hal debitur tidak memenuhi kriteria dan/atau persyaratan dalam
perjanjian Restrukturisasi Kredit, penilaian kualitas Kredit ditetapkan sesuai
ketentuan yang berlaku yang didasarkan atas:
a. ketepatan pembayaran pokok dan/atau bunga untuk Kredit yang
direstrukturisasi sampai dengan jumlah Rp5.000.000.000,00 (lima miliar
rupiah); atau
b. prospek usaha, kinerja (performance) debitur, dan kemampuan membayar
untuk Kredit yang direstrukturisasi dengan jumlah lebih dari
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(4) Dalam hal periode pembayaran angsuran pokok dan/atau bunga kurang dari
1 (satu) bulan, peningkatan kualitas menjadi Lancar sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dapat dilakukan paling singkat 3 (tiga) bulan sejak dilakukan
Restrukturisasi Kredit.
Pasal 8
Kualitas Kredit yang direstrukturisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat
(2) huruf a ditetapkan sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.
Pasal...
- 8 -
Pasal 9
(1) Kredit yang direstrukturisasi dengan pemberian tenggang waktu pembayaran
pokok, ditetapkan memiliki kualitas sebagai berikut:
a. paling tinggi Kurang Lancar untuk Kredit yang sebelum dilakukan
restrukturisasi tergolong Diragukan atau Macet;
b. tetap atau tidak berubah untuk Kredit yang sebelum dilakukan
restrukturisasi tergolong Lancar, Dalam Perhatian Khusus, atau Kurang
Lancar.
(2) Kualitas Kredit selama masa pemberian tenggang waktu pembayaran pokok
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat:
a. menjadi Lancar, apabila tidak terdapat tunggakan pembayaran bunga
selama 3 (tiga) kali periode pembayaran berturut-turut sesuai perjanjian
Restrukturisasi Kredit; atau
b. sesuai kualitas Kredit yang lebih buruk antara kualitas Kredit
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau kualitas Kredit yang
sebenarnya, apabila terdapat tunggakan pembayaran bunga atau tidak
memenuhi kriteria dan/atau persyaratan dalam perjanjian
Restrukturisasi Kredit.
(3) Kualitas Kredit setelah masa pemberian tenggang waktu pembayaran pokok
didasarkan atas:
a. ketepatan pembayaran pokok dan/atau bunga untuk Kredit yang
direstrukturisasi sampai dengan jumlah Rp5.000.000.000,00 (lima miliar
rupiah); atau
b. prospek usaha, kinerja (performance) debitur, dan kemampuan membayar
untuk Kredit yang direstrukturisasi dengan jumlah lebih dari
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
BAB IV
PENYERTAAN MODAL BANK
Pasal 10
(1) Penyertaan Modal dalam rangka:
a. pendirian perusahaan yang akan mengambil alih aset Kredit bermasalah
dari Bank yang melakukan penyertaan dengan kepemilikan Bank paling
tinggi 20% (dua puluh perseratus) dari modal perusahaan dan Bank tidak
menjadi pengendali; atau
b. tambahan...
- 9 -
b. tambahan penyertaan untuk penyelamatan perusahaan anak berupa
bank,
dapat dilakukan apabila Bank memiliki Peringkat Komposit tingkat kesehatan
Bank terakhir sebelum melakukan penyertaan paling rendah 3 (PK-3) dan
mempunyai prospek peningkatan Peringkat Komposit menjadi lebih baik.
(2) Persyaratan lain dalam rangka Penyertaan Modal sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), mengacu pada ketentuan yang berlaku mengenai prinsip
kehati-hatian dalam kegiatan Penyertaan Modal.
BAB V
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 11
Permohonan persetujuan Penyertaan Modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal
10 yang diajukan kepada Otoritas Jasa Keuangan sebelum ketentuan ini berlaku,
disesuaikan dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 12
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini berlaku:
a. Kualitas Kredit yang direstrukturisasi dan masih dalam periode 3 (tiga) kali
kewajiban pembayaran pokok dan/atau bunga setelah penandatanganan
perjanjian Restrukturisasi Kredit; atau
b. Kualitas Kredit yang direstrukturisasi dan masih dalam masa pemberian
tenggang waktu pembayaran pokok setelah penandatanganan perjanjian
Restrukturisasi Kredit,
ditetapkan sesuai Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 13
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, ketentuan dalam:
a. Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/15/PBI/2012 tentang Penilaian Kualitas
Aset Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor
202, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5354);
b. Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/11/PBI/2013 tentang Prinsip Kehati-
Hatian dalam Kegiatan Penyertaan Modal (Lembaran Negara Republik
Indonesia...
- 10 -
Indonesia Tahun 2013 Nomor 187, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5466);
c. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 13/6/DPNP tanggal 18 Februari 2011
perihal Pedoman Perhitungan Aset Tertimbang Menurut Risiko untuk Risiko
Kredit dengan Menggunakan Pendekatan Standar,
dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan
dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 14
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini berlaku sampai dengan 2 (dua) tahun sejak
tanggal diundangkan.
Pasal 15
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 21 Agustus 2015
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 24 Agustus 2015
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Sudarmaji
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 197
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 11 /POJK.03/2015
TENTANG
KETENTUAN KEHATI-HATIAN DALAM RANGKA
STIMULUS PEREKONOMIAN NASIONAL BAGI BANK UMUM
I. UMUM
Dalam rangka menstimulus pertumbuhan perekonomian nasional,
diperlukan upaya untuk mendorong fungsi intermediasi perbankan melalui
kebijakan-kebijakan yang bersifat countercyclical antara lain terkait dengan
ketentuan mengenai perhitungan Aset Tertimbang Menurut Risiko untuk
Risiko Kredit dengan menggunakan pendekatan standar, penilaian kualitas
aset, dan prinsip kehati-hatian dalam melakukan Penyertaan Modal.
Kebijakan countercyclical dimaksud ditujukan untuk menjaga
stabilitas sistem keuangan, mendorong fungsi intermediasi dalam rangka
meningkatkan potensi ekspansi Kredit Bank yang dilakukan secara terukur
dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian serta mencegah
terjadinya moral hazard.
Kebijakan countercyclical ini bersifat sementara (temporary policy)
sehingga seiring dengan membaiknya kinerja dan kondisi keuangan Bank
dan pertumbuhan ekonomi, kebijakan dimaksud perlu disesuaikan kembali.
Kebijakan countercyclical
ini difokuskan untuk mendorong
pertumbuhan Kredit kepada UMKM dan Kredit beragun rumah tinggal serta
meningkatkan kinerja dan kondisi Bank. Selain itu, kebijakan ini sejalan
dengan program pemerintah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan
dan pertumbuhan ekonomi khususnya dalam program pembiayaan rumah
bagi masyarakat berpenghasilan rendah serta penyaluran Kredit kepada
UMKM.
Sehubungan dengan pertimbangan di atas, diperlukan kebijakan
berupa Ketentuan Kehati-Hatian Dalam Rangka Stimulus Perekonomian
Nasional bagi Bank Umum dalam suatu Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
II. PASAL...
- 2 -
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Huruf a
Yang dimaksud rumah tinggal atau apartemen adalah rumah tapak
atau rumah susun namun tidak termasuk rumah toko dan rumah
kantor.
Huruf b
Yang dimaksud Pemerintah Indonesia adalah Pemerintah Pusat
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur
mengenai pemerintahan daerah.
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Kriteria lembaga penjaminan atau asuransi Kredit yang berstatus
BUMD yang mendapatkan rekomendasi dari Otoritas Jasa
Keuangan antara lain memiliki kinerja keuangan yang baik.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal...
- 3 -
Pasal 6
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “penyediaan dana lainnya” adalah penerbitan
jaminan dan/atau pembukaan letter of credit.
Termasuk sebagai Kredit dan penyediaan dana lainnya adalah semua
jenis Kredit atau penyediaan dana lainnya yang diberikan kepada
semua golongan debitur.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan 50 (lima puluh) debitur terbesar adalah 50 (lima
puluh) debitur terbesar Bank secara individu.
Aset Produktif yang diberikan oleh Bank dengan jumlah lebih dari
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) sampai dengan
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) kepada 1 (satu) debitur
yang merupakan 50 (lima puluh) debitur terbesar Bank tidak
dipengaruhi oleh kualitas Aset Produktif yang diberikan oleh Bank lain
kepada debitur atau proyek yang sama dengan jumlah kurang dari atau
sama dengan Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Faktor penilaian prospek usaha, kinerja (performance) debitur, dan
kemampuan membayar mengacu pada ketentuan mengenai
penilaian kualitas aset bank umum.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal...
- 4 -
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “kualitas Kredit yang sebenarnya” adalah
penilaian kualitas Kredit yang didasarkan atas:
a. ketepatan pembayaran pokok dan/atau bunga untuk Kredit
yang
direstrukturisasi sampai dengan jumlah
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah);
b. prospek usaha, kinerja (performance) debitur, dan kemampuan
membayar untuk Kredit yang direstrukturisasi dengan jumlah
lebih dari Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5734
"," POJK
11/POJK.03/2015
KETENTUAN KEHATI-HATIAN DALAM RANGKA STIMULUS PEREKONOMIAN NASIONAL BAGI BANK UMUM
21 Agustus 2015
24 Agustus 2015
24 Agustus 2015
'21/UU/2011', '7/UU/1992', '10/UU/1998'
"
" SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 59 /POJK.03/2017
TENTANG
PENERAPAN TATA KELOLA DALAM PEMBERIAN REMUNERASI BAGI
BANK UMUM SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa untuk menghadapi dinamika perekonomian
global, industri perbankan syariah perlu meningkatkan
ketahanan;
b. bahwa peningkatan ketahanan tersebut dilakukan
melalui peningkatan tata kelola dalam pemberian
remunerasi;
c. bahwa peningkatan tata kelola dalam pemberian
remunerasi bertujuan untuk mendorong dilakukannya
prudent risk taking sehingga kelangsungan usaha bank
dapat terjaga;
d. bahwa untuk menciptakan disiplin pasar dan sesuai
dengan perkembangan standar internasional diperlukan
transparansi informasi mengenai pemberian remunerasi
baik yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif;
- 2 -
e. bahwa dalam pemberian remunerasi bagi bank umum
syariah dan unit usaha syariah
harus
f. bahwa
mempertimbangkan kesesuaian dengan prinsip syariah;
berdasarkan
pertimbangan
sebagaimana
dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf e, perlu
menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang
Penerapan Tata Kelola dalam Pemberian Remunerasi bagi
Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4867);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
PENERAPAN TATA KELOLA DALAM PEMBERIAN
REMUNERASI BAGI BANK UMUM SYARIAH DAN UNIT USAHA
SYARIAH.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud
dengan:
1. Bank adalah Bank Umum Syariah sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008
tentang Perbankan Syariah.
2. Unit Usaha Syariah adalah unit usaha syariah
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
- 3 -
3. Direksi adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas.
4. Dewan Komisaris adalah dewan komisaris sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas.
5. Dewan Pengawas Syariah yang selanjutnya disingkat DPS
adalah dewan yang bertugas memberikan nasihat dan
saran kepada Direksi serta mengawasi kegiatan Bank
agar sesuai dengan prinsip syariah.
6. Pegawai Bank yang selanjutnya disebut Pegawai adalah
orang yang bekerja pada Bank berdasarkan perjanjian
untuk melaksanakan suatu pekerjaan dalam jabatan
atau kegiatan tertentu dengan memperoleh imbalan,
termasuk Pegawai dengan perjanjian kerja waktu
tertentu.
7. Remunerasi adalah imbalan yang ditetapkan dan
diberikan kepada anggota Direksi, anggota Dewan
Komisaris, anggota DPS, dan/atau Pegawai baik yang
bersifat tetap maupun variabel dalam bentuk tunai
maupun tidak tunai sesuai dengan tugas, wewenang, dan
tanggung jawabnya.
8. Remunerasi yang Bersifat Tetap adalah Remunerasi yang
tidak dikaitkan dengan kinerja dan risiko, antara lain gaji
pokok, fasilitas, tunjangan perumahan, tunjangan
kesehatan, tunjangan pendidikan, tunjangan hari raya,
dan pensiun.
9. Remunerasi yang Bersifat Variabel adalah Remunerasi
yang dikaitkan dengan kinerja dan risiko, antara lain
bonus atau bentuk lain yang dipersamakan dengan itu.
10. Malus adalah kebijakan yang mengizinkan Bank
berdasarkan kriteria tertentu menunda pembayaran
sebagian atau seluruh dari Remunerasi yang Bersifat
Variabel yang ditangguhkan.
11. Clawback adalah suatu perjanjian antara Bank dengan
anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, atau Pegawai
dimana anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, atau
- 4 -
Pegawai setuju untuk mengembalikan Remunerasi yang
Bersifat Variabel yang diterima sepanjang memenuhi
kriteria tertentu sebagaimana ditetapkan oleh Bank.
Pasal 2
(1) Bank wajib menerapkan tata kelola dalam pemberian
Remunerasi.
(2) Penerapan tata kelola dalam pemberian Remunerasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit
mencakup:
a. tugas dan tanggung jawab Direksi dan Dewan
Komisaris;
b. tugas dan tanggung jawab komite Remunerasi;
c. penerapan prinsip kehati-hatian dalam pemberian
Remunerasi;
d. penerapan prinsip syariah dalam pemberian
Remunerasi; dan
e. pengungkapan Remunerasi.
(3) Bank umum konvensional yang memiliki Unit Usaha
Syariah wajib menerapkan tata kelola dalam pemberian
Remunerasi yang terkait dengan DPS.
BAB II
TUGAS DAN TANGGUNG JAWAB
DIREKSI DAN DEWAN KOMISARIS
Pasal 3
Bank wajib memiliki kebijakan Remunerasi secara tertulis
bagi Direksi, Dewan Komisaris, DPS, dan Pegawai.
Pasal 4
(1) Direksi wajib menyusun kebijakan Remunerasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.
(2) Kebijakan Remunerasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) paling sedikit memuat:
a. struktur Remunerasi yang paling sedikit mencakup:
- 5 -
1. skala Remunerasi berdasarkan tingkat dan
jabatan; dan
2. komponen Remunerasi; dan
b. metode dan mekanisme penetapan Remunerasi.
Pasal 5
Penyusunan kebijakan Remunerasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 wajib paling sedikit mempertimbangkan:
a. terciptanya manajemen risiko yang efektif;
b. stabilitas keuangan Bank;
c. kecukupan dan penguatan permodalan Bank;
d. kebutuhan likuiditas jangka pendek dan jangka panjang;
e. potensi pendapatan Bank di masa yang akan datang; dan
f.
kesesuaian dengan prinsip syariah.
Pasal 6
Dewan Komisaris wajib paling sedikit melaksanakan:
a. pengawasan terhadap penerapan kebijakan Remunerasi;
dan
b. evaluasi secara berkala terhadap kebijakan Remunerasi
atas dasar hasil pengawasan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a.
BAB III
TUGAS DAN TANGGUNG JAWAB KOMITE REMUNERASI
Pasal 7
(1) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6, Dewan Komisaris wajib membentuk
komite Remunerasi.
(2) Komite Remunerasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib paling sedikit beranggotakan:
a. 1 (satu) orang komisaris independen;
b. 1 (satu) orang komisaris; dan
c. 1 (satu) orang pejabat eksekutif yang membawahkan
sumber daya manusia atau 1 (satu) orang
perwakilan Pegawai.
- 6 -
(3) Komite Remunerasi wajib diketuai oleh komisaris
independen.
(4) Anggota Direksi dilarang menjadi anggota komite
Remunerasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(5) Dalam hal anggota komite Remunerasi ditetapkan lebih
dari 3 (tiga) orang, anggota komisaris independen wajib
berjumlah paling sedikit 2 (dua) orang.
(6) Komite Remunerasi dapat dibentuk terpisah dari komite
nominasi atau digabung dengan komite nominasi sebagai
komite Remunerasi dan nominasi.
Pasal 8
Komite Remunerasi wajib melaksanakan tugas dan tanggung
jawab secara independen.
Pasal 9
Komite Remunerasi wajib melaksanakan tugas dan tanggung
jawab paling sedikit:
a. melakukan evaluasi terhadap kebijakan Remunerasi yang
didasarkan atas kinerja, risiko, kewajaran dengan peer
group, sasaran dan strategi jangka panjang Bank,
pemenuhan cadangan sebagaimana diatur dalam
ketentuan peraturan perundang-undangan, serta potensi
pendapatan Bank di masa yang akan datang;
b. menyampaikan hasil evaluasi dan rekomendasi kepada
Dewan Komisaris mengenai:
1. kebijakan Remunerasi bagi Direksi, Dewan
Komisaris, dan DPS untuk disampaikan kepada
rapat umum pemegang saham; dan
2. kebijakan Remunerasi bagi Pegawai secara
keseluruhan untuk disampaikan kepada Direksi;
c. memastikan bahwa kebijakan Remunerasi telah sesuai
dengan ketentuan; dan
d. melakukan evaluasi secara berkala terhadap penerapan
kebijakan Remunerasi.
- 7 -
BAB IV
PENERAPAN PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM PEMBERIAN
REMUNERASI
Pasal 10
Dalam menerapkan tata kelola sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2, Bank wajib memperhatikan prinsip kehati-hatian
dalam pemberian Remunerasi baik Remunerasi yang Bersifat
Tetap maupun Remunerasi yang Bersifat Variabel.
Bagian Kesatu
Remunerasi yang Bersifat Tetap
Pasal 11
Kebijakan Remunerasi yang Bersifat Tetap wajib paling sedikit
memperhatikan:
a. skala usaha, kompleksitas usaha, peer group, tingkat
inflasi, kondisi dan kemampuan keuangan, serta sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
b. perbedaan (gap) Remunerasi antar tingkat jabatan.
Bagian Kedua
Remunerasi yang Bersifat Variabel
Pasal 12
Kebijakan Remunerasi yang Bersifat Variabel wajib:
a. paling sedikit memperhatikan skala usaha, kompleksitas
usaha, peer group, tingkat inflasi, kondisi dan
kemampuan keuangan, serta sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan; dan
b. mendorong dilakukannya prudent risk taking.
Pasal 13
Komite Remunerasi wajib berkoordinasi dengan satuan kerja
manajemen risiko dalam melakukan evaluasi terhadap
kebijakan Remunerasi yang Bersifat Variabel sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12.
- 8 -
Pasal 14
Pemberian Remunerasi yang Bersifat Variabel bagi Direksi,
Dewan Komisaris, DPS, dan/atau Pegawai wajib
mempertimbangkan:
a. kinerja, yaitu:
1. kinerja Direksi, Dewan Komisaris, DPS, atau
Pegawai;
2. kinerja unit bisnis; dan
3. kinerja Bank; dan
b.
risiko.
Pasal 15
Bank menentukan metode pengukuran kinerja dan jenis risiko
dalam menetapkan pemberian Remunerasi yang Bersifat
Variabel sesuai skala dan kompleksitas usaha Bank.
Pasal 16
(1) Remunerasi yang Bersifat Variabel dapat diberikan dalam
bentuk:
a. tunai; dan/atau
b. saham atau instrumen yang berbasis saham yang
diterbitkan Bank.
(2) Remunerasi yang Bersifat Variabel yang diberikan oleh
Bank berstatus perseroan terbuka (go public) wajib dalam
bentuk saham atau instrumen yang berbasis saham yang
diterbitkan Bank sebesar persentase tertentu dari
Remunerasi yang Bersifat Variabel.
(3) Pemberian Remunerasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) berlaku paling sedikit untuk seluruh anggota
Direksi, anggota Dewan Komisaris, dan material risk
takers.
Pasal 17
Remunerasi yang Bersifat Variabel dalam bentuk saham atau
instrumen yang berbasis saham yang diterbitkan Bank bagi
komisaris independen dikonversi dan diberikan dalam bentuk
tunai.
- 9 -
Pasal 18
Dalam hal Bank mengalami kerugian, Bank dapat:
a. tidak membagikan; atau
b. membagikan dengan nilai yang relatif kecil,
Remunerasi yang Bersifat Variabel kepada Direksi, Dewan
Komisaris, DPS, dan/atau Pegawai.
Pasal 19
Pemberian Remunerasi yang Bersifat Variabel bagi Pegawai
pada unit pengawasan dilakukan sesuai dengan kinerja
dengan tetap memperhatikan objektivitas dan independensi.
Pasal 20
(1) Bank dilarang menjamin tanpa syarat pemberian besaran
tertentu Remunerasi yang Bersifat Variabel kepada
Direksi, Dewan Komisaris, DPS, dan/atau Pegawai.
(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
berlaku untuk tahun pertama sejak Direksi, Dewan
Komisaris, DPS, dan/atau Pegawai bekerja pada Bank.
Bagian Ketiga
Material Risk Takers
Pasal 21
(1) Bank wajib menetapkan pihak yang menjadi material risk
takers, yang paling sedikit memenuhi kriteria sebagai
berikut:
a. Direksi dan/atau Pegawai yang karena tugas dan
tanggung jawabnya mengambil keputusan yang
berdampak signifikan terhadap profil risiko Bank;
atau
b. Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau Pegawai yang
memperoleh Remunerasi yang Bersifat Variabel
dengan nilai yang besar.
(2) Penetapan pihak yang menjadi material risk takers
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam
- 10 -
Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 22
(1) Bank wajib menangguhkan pembayaran Remunerasi
yang Bersifat Variabel bagi pihak yang menjadi material
risk takers sebesar persentase tertentu.
(2) Besaran persentase penangguhan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) disesuaikan dengan tingkat
jabatan.
(3) Penangguhan Remunerasi yang Bersifat Variabel bagi
pihak yang menjadi material risk takers sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran II
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 23
(1) Jangka waktu penangguhan pembayaran Remunerasi
yang Bersifat Variabel sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 22 ayat (1) paling singkat 3 (tiga) tahun.
(2) Penetapan jangka waktu penangguhan pembayaran
Remunerasi yang Bersifat Variabel sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat menjadi lebih panjang
sesuai dengan jangka waktu risiko (time horizon of risks).
Pasal 24
Pembayaran Remunerasi yang Bersifat Variabel yang
ditangguhkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1)
wajib diberikan secara prorata sesuai dengan jangka waktu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23.
Pasal 25
(1) Bank dapat menerapkan Malus dan/atau Clawback
kepada pihak yang menjadi material risk takers dalam
kondisi tertentu.
(2) Bank menetapkan kondisi tertentu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
- 11 -
(3) Penerapan Malus dan/atau Clawback kepada pihak yang
menjadi material risk takers sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tercantum dalam Lampiran III yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini.
Pasal 26
Pihak yang menjadi material risk takers dilarang melakukan
lindung nilai atas Remunerasi yang Bersifat Variabel yang
ditangguhkan.
BAB V
PENERAPAN PRINSIP SYARIAH DALAM PEMBERIAN
REMUNERASI
Pasal 27
Dalam menerapkan tata kelola sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2, Bank wajib memperhatikan prinsip syariah dalam
pemberian Remunerasi.
BAB VI
PENGUNGKAPAN (DISCLOSURE)
Pasal 28
(1) Bank wajib mengungkapkan informasi kebijakan
Remunerasi dalam laporan pelaksanaan tata kelola
sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan mengenai pelaksanaan good
corporate governance bagi bank umum syariah dan unit
usaha syariah.
(2) Informasi kebijakan Remunerasi yang wajib diungkapkan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit
mencakup:
a. komite Remunerasi antara lain:
1. nama anggota, komposisi, tugas, dan tanggung
jawab;
2. jumlah rapat yang dilakukan; dan
- 12 -
3. Remunerasi yang telah dibayarkan kepada
anggota komite Remunerasi selama 1 (satu)
tahun;
b. proses penyusunan kebijakan Remunerasi yang
meliputi:
1. tinjauan mengenai latar belakang dan tujuan
kebijakan Remunerasi;
2. pelaksanaan kaji ulang atas kebijakan
Remunerasi pada tahun sebelumnya, beserta
perbaikan atas kebijakan Remunerasi pada
tahun sebelumnya; dan
3. mekanisme untuk memastikan bahwa
Remunerasi bagi Pegawai di unit pengawasan
bersifat independen dari unit kerja yang
diawasinya;
c. cakupan kebijakan Remunerasi dan implementasi
kebijakan Remunerasi per unit bisnis, per wilayah,
dan pada perusahaan anak atau kantor cabang yang
berlokasi di luar negeri;
d. Remunerasi dikaitkan dengan risiko yang meliputi:
1.
2.
jenis risiko utama (key risk) yang digunakan
dalam menerapkan Remunerasi;
kriteria untuk menentukan jenis risiko utama,
termasuk untuk risiko yang sulit diukur;
3. dampak penetapan risiko utama terhadap
kebijakan Remunerasi yang Bersifat Variabel,
termasuk dampak penetapan risiko utama
terhadap kebijakan Remunerasi yang Bersifat
Tetap apabila ada; dan
4. perubahan penentuan jenis risiko utama
dibandingkan dengan tahun lalu beserta alasan
perubahan apabila ada, termasuk perubahan
kriteria yang digunakan untuk menentukan
jenis risiko utama selama periode laporan
beserta alasan dan dampak perubahan
terhadap kebijakan Remunerasi;
- 13 -
e. pengukuran kinerja dikaitkan dengan Remunerasi
yang meliputi:
1. tinjauan mengenai kebijakan Remunerasi yang
dikaitkan dengan penilaian kinerja;
2. metode dalam mengaitkan Remunerasi individu
dengan kinerja Bank, kinerja unit bisnis, dan
kinerja individu; dan
3. uraian mengenai metode yang digunakan Bank
untuk menyatakan bahwa kinerja yang
disepakati tidak dapat tercapai sehingga perlu
dilakukan penyesuaian atas Remunerasi dan
besaran penyesuaian Remunerasi dalam hal
kondisi tersebut terjadi;
f.
penyesuaian Remunerasi dikaitkan dengan kinerja
dan risiko yang meliputi:
1. kebijakan mengenai Remunerasi yang Bersifat
Variabel yang ditangguhkan, besaran, dan
kriteria untuk menetapkan besaran Remunerasi
yang Bersifat Variabel yang ditangguhkan; dan
2. kebijakan Bank mengenai Malus dan/atau
Clawback sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 25;
g. nama konsultan ekstern dan tugas konsultan terkait
kebijakan Remunerasi, dalam hal Bank
menggunakan jasa konsultan ekstern;
h. paket Remunerasi dan fasilitas yang diterima oleh
Direksi, Dewan Komisaris, dan DPS yang mencakup
struktur Remunerasi dan rincian jumlah nominal;
i. paket Remunerasi yang dikelompokkan dalam
tingkat penghasilan yang diterima oleh Direksi,
Dewan Komisaris, dan DPS dalam 1 (satu) tahun;
j.
Remunerasi yang Bersifat Variabel, meliputi:
1. bentuk Remunerasi yang Bersifat Variabel dan
alasan pemilihan bentuk tersebut; dan
2.
penjelasan dalam hal terdapat perbedaan
pemberian Remunerasi yang Bersifat Variabel
diantara anggota Direksi, anggota Dewan
- 14 -
Komisaris, anggota DPS, dan/atau Pegawai,
termasuk penjelasan faktor yang menentukan
perbedaan tersebut
pertimbangan;
beserta dasar
k. jumlah Direksi, Dewan Komisaris, DPS, dan Pegawai
yang menerima Remunerasi yang Bersifat Variabel
selama 1 (satu) tahun dan total nominal Remunerasi
yang Bersifat Variabel yang diterima;
l.
jabatan dan jumlah pihak yang menjadi material risk
takers;
m. shares option yang dimiliki Direksi, Dewan
Komisaris, DPS, dan pejabat eksekutif;
n. rasio gaji tertinggi dan terendah;
o. jumlah penerima dan jumlah total Remunerasi yang
Bersifat Variabel yang dijamin tanpa syarat akan
diberikan oleh Bank kepada calon Direksi, calon
Dewan Komisaris, calon DPS, dan/atau calon
Pegawai selama 1 (satu) tahun pertama bekerja
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2);
p. jumlah Pegawai yang terkena pemutusan hubungan
kerja dan total nominal pesangon yang dibayarkan;
q. jumlah total Remunerasi yang Bersifat Variabel yang
ditangguhkan dalam bentuk tunai dan/atau saham
atau instrumen yang berbasis saham yang
diterbitkan Bank;
r. jumlah total Remunerasi yang Bersifat Variabel yang
ditangguhkan yang dibayarkan selama 1 (satu)
tahun;
s.
rincian jumlah Remunerasi yang diberikan dalam 1
(satu) tahun meliputi:
1. Remunerasi yang Bersifat Tetap dan
Remunerasi yang Bersifat Variabel;
2. Remunerasi yang ditangguhkan dan
Remunerasi yang tidak ditangguhkan; dan
3. Remunerasi yang diberikan dalam bentuk
tunai dan/atau saham atau instrumen yang
berbasis saham yang diterbitkan Bank; dan
- 15 -
t.
informasi kuantitatif mengenai:
1.
total sisa Remunerasi yang masih ditangguhkan
baik yang terekspos penyesuaian implisit
maupun eksplisit;
2.
total pengurangan Remunerasi yang disebabkan
karena penyesuaian eksplisit selama periode
laporan; dan
3.
total pengurangan Remunerasi yang disebabkan
karena penyesuaian implisit selama periode
laporan.
(3) Bank umum konvensional yang memiliki Unit Usaha
Syariah wajib mengungkapkan informasi kebijakan
Remunerasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang
terkait dengan DPS dalam laporan pelaksanaan tata
kelola sebagaimana diatur dalam ketentuan Otoritas Jasa
Keuangan mengenai penerapan tata kelola bagi bank
umum.
Pasal 29
(1) Bank menyajikan informasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 28 ayat (2) dalam bentuk:
a. tabel atau grafik; dan/atau
b. perbandingan dengan periode laporan 1 (satu) tahun
sebelumnya.
(2) Penyajian informasi dalam bentuk tabel sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a paling sedikit tercantum
dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
BAB VII
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 30
(1) Otoritas Jasa Keuangan melakukan pengawasan atas
implementasi kebijakan Remunerasi Bank sesuai dengan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
- 16 -
(2) Dalam hal Bank dinilai belum mengimplementasikan
kebijakan Remunerasi sesuai dengan Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan ini, Otoritas Jasa Keuangan berwenang
memerintahkan Bank untuk melakukan langkah
perbaikan.
Pasal 31
(1) Dalam kondisi tertentu, Otoritas Jasa Keuangan
berwenang untuk:
a. melakukan kaji ulang terhadap besaran Remunerasi
yang Bersifat Variabel bagi Direksi, Dewan
Komisaris, DPS, dan/atau Pegawai; dan/atau
b. memerintahkan Bank untuk melakukan
penyesuaian kebijakan Remunerasi yang Bersifat
Variabel.
(2) Otoritas Jasa Keuangan berwenang menunjuk pihak
independen untuk melakukan kaji ulang sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a.
Pasal 32
(1) Bank wajib menerapkan dan memantau pelaksanaan
kebijakan Remunerasi sesuai dengan Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan ini kepada jaringan kantor Bank di luar
negeri.
(2) Dalam hal ketentuan Remunerasi di negara tempat
kedudukan jaringan kantor Bank sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berbeda dengan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini, Bank wajib menerapkan
kebijakan Remunerasi paling sedikit sesuai dengan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
(3) Otoritas Jasa Keuangan berwenang melakukan
koordinasi dalam rangka home-host supervision untuk
memastikan penerapan kebijakan Remunerasi.
- 17 -
BAB VIII
SANKSI
Pasal 33
Bank yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1), Pasal 2 ayat (3), Pasal 3, Pasal 4
ayat (1), Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7 ayat (1), Pasal 7 ayat (2),
Pasal 7 ayat (3), Pasal 7 ayat (4), Pasal 7 ayat (5), Pasal 8,
Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14,
Pasal 16 ayat (2), Pasal 20 ayat (1), Pasal 21 ayat (1), Pasal 22
ayat (1), Pasal 24, Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28 ayat (1),
Pasal 28 ayat (3), Pasal 32 ayat (1), dan/atau Pasal 32 ayat (2),
dikenakan sanksi administratif antara lain berupa:
a.
teguran tertulis; dan/atau
b. penurunan peringkat faktor good corporate governance
dalam penilaian tingkat kesehatan.
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 34
Bagi Bank yang belum memiliki atau telah memiliki kebijakan
Remunerasi namun belum sesuai dengan kebijakan
Remunerasi sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan ini melakukan penyesuaian kebijakan
Remunerasi dengan mengacu pada Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun
sejak Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini berlaku.
Pasal 35
Ketentuan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33
mulai berlaku sejak tanggal:
a. 1 Januari 2019, bagi Bank BUKU 3 dan BUKU 4; dan
b. 1 Januari 2020, bagi Bank BUKU 1 dan BUKU 2.
- 18 -
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 36
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai
berlaku:
a. Pasal 62 ayat (2) huruf f dan huruf g, Pasal 62 ayat (3),
serta Pasal 76 ayat (3) huruf d Peraturan Bank Indonesia
Nomor 11/33/PBI/2009 tentang Pelaksanaan Good
Corporate Governance bagi Bank Umum Syariah dan Unit
Usaha Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 175, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5085); dan
b. Bagian G. Laporan Pelaksanaan Good Corporate
Governance bagi Bank Umum Syariah angka 2 huruf l
dan huruf m serta Bagian H. Laporan Pelaksanaan Good
Corporate Governance bagi Unit Usaha Syariah angka 2
huruf d Surat Edaran Bank Indonesia No. 12/13/DPbS
perihal Pelaksanaan Good Corporate Governance bagi
Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah,
dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 37
Pengaturan komite Remunerasi dan nominasi sebagaimana
dimaksud dalam:
a. Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/33/PBI/2009
tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance bagi
Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 175,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5085); dan
b. Surat Edaran Bank Indonesia No. 12/13/DPbS perihal
Pelaksanaan Good Corporate Governance bagi Bank
Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah,
dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan
dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
- 19 -
Pasal 38
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal:
a. 1 Januari 2018 bagi Bank BUKU 3 dan BUKU 4; dan
b. 1 Januari 2019 bagi Bank BUKU 1 dan BUKU 2.
- 20 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 18 Desember 2017
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
WIMBOH SANTOSO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 18 Desember 2017
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 278
Salinan ini sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 59 /POJK.03/2017
TENTANG
PENERAPAN TATA KELOLA DALAM PEMBERIAN REMUNERASI BAGI
BANK UMUM SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH
I. UMUM
Salah satu faktor yang berkontribusi terhadap terjadinya krisis
ekonomi dunia tahun 2007 adalah pemberian bonus yang tinggi karena
pencapaian target yang ditetapkan dengan mengabaikan risiko yang akan
timbul di masa yang akan datang sehingga membahayakan kondisi
keuangan Bank apabila Bank tidak mampu menyerap kerugian tersebut.
Tindakan perbaikan untuk mengoreksi praktik pemberian bonus yang
tidak sehat tersebut kemudian menjadi agenda dalam program reformasi
sistem keuangan global dan pada tanggal 25 September 2009 Financial
Stability Board menerbitkan Principles for Sound Compensation Practices.
Program reformasi tersebut bertujuan untuk (i) mencegah timbulnya
moral hazard dan mengedepankan unsur prudensial dalam pengelolaan
Bank; (ii) menjaga kesehatan Bank secara individual; dan (iii) memitigasi
adanya excessive risk taking yang dilakukan oleh para pengambil
keputusan. Indonesia sebagai salah satu anggota G-20 berkomitmen
untuk mengadopsi prinsip-prinsip tersebut dalam bentuk regulasi.
Sejalan dengan penerapan Basel II khususnya Pilar 3 (Market
Discipline), Bank dituntut mengungkapkan informasi yang lebih
transparan kepada publik dan pelaku pasar khususnya terkait dengan
Remunerasi untuk mendorong disiplin dan agar pemangku kepentingan
dapat memberikan penilaian yang wajar.
- 2 -
Namun demikian, pengungkapan informasi ini dilakukan dengan
tetap menjaga keunggulan bersaing Bank. Oleh karena itu, perlu diatur
cakupan informasi baik yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif yang
wajib diungkapkan sehingga kompetisi antar Bank tetap terjaga.
Sistem Remunerasi berdasarkan prinsip syariah bertujuan untuk
menciptakan lingkungan kerja yang kondusif dan produktif, serta untuk
mengharapkan keselamatan dunia dan akhirat.
Sehubungan dengan itu, perlu diatur mengenai penerapan tata kelola
dalam pemberian Remunerasi bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha
Syariah dalam suatu Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “kecukupan dan penguatan permodalan
Bank” adalah bahwa kebijakan Remunerasi dapat menjaga
kelangsungan usaha Bank agar mampu hidup dan berkembang,
serta mampu bersaing di pasar global dan di dalam peer group-
nya.
- 3 -
Kecukupan permodalan Bank meliputi kecukupan permodalan
dalam rangka pemenuhan regulatory capital maupun Internal
Capital Adequacy Assessment Process (ICAAP).
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Yang dimaksud dengan “independen” adalah pelaksanaan tugas
secara objektif serta bebas dari tekanan dan kepentingan pihak
manapun.
Pasal 9
Huruf a
Yang dimaksud dengan “kinerja” adalah kinerja keuangan,
kinerja Bank, kinerja unit bisnis, dan kinerja individu.
Yang dimaksud dengan “cadangan” antara lain cadangan
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Evaluasi terhadap kebijakan dan penerapan kebijakan
Remunerasi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
ruang lingkup manajemen risiko Bank.
- 4 -
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Tujuan Bank memperhatikan perbedaan (gap) Remunerasi antar
tingkat jabatan yaitu untuk mengurangi potensi terjadinya
konflik internal dan risiko operasional seperti fraud atau risiko
operasional lain dalam menetapkan kebijakan pemberian
Remunerasi yang Bersifat Tetap.
Pasal 12
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “prudent risk taking” adalah
pengambilan risiko dalam melakukan kegiatan usaha dilakukan
secara terukur dan mengacu pada ketentuan peraturan
perundang-undangan mengenai manajemen risiko.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “risiko” meliputi risiko yang telah terjadi
maupun risiko yang mungkin terjadi. Jenis-jenis risiko mengacu
pada ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur
mengenai penerapan manajemen risiko bagi bank umum syariah
dan unit usaha syariah.
Dalam menetapkan risiko yang dikaitkan dengan Remunerasi
yang Bersifat Variabel, Bank memperhatikan risiko yang paling
berpengaruh dalam kegiatan usaha sebagai risiko utama
- 5 -
mengacu pada ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang
mengatur mengenai penilaian tingkat kesehatan bank umum
syariah dan unit usaha syariah.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “saham” adalah berupa saham baru
yang diterbitkan Bank atau saham Bank yang dibeli di
bursa dengan menggunakan uang Bank.
Ayat (2)
Persentase pemberian Remunerasi dalam bentuk saham atau
instrumen yang berbasis saham yang diterbitkan Bank dapat
diberikan berbeda pada setiap tingkat jabatan dengan
memperhatikan antara lain peran dan tanggung jawab yang
bersangkutan dalam pengelolaan Bank.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Yang dimaksud dengan “kerugian” adalah Bank tidak memperoleh
laba dalam tahun buku yang menjadi dasar perhitungan pemberian
Remunerasi yang Bersifat Variabel.
Bank tidak membagikan atau membagikan dengan nilai yang relatif
kecil Remunerasi yang Bersifat Variabel karena Bank mengalami
kerugian, didasarkan atas prinsip kehati-hatian dalam pemberian
Remunerasi.
Huruf a
Cukup jelas.
- 6 -
Huruf b
Yang dimaksud dengan “nilai yang relatif kecil” adalah
pemberian Remunerasi yang Bersifat Variabel dengan nilai yang
lebih kecil dibandingkan pada periode terakhir Bank
memperoleh laba atau ditetapkan lebih kecil sesuai proporsi
penurunan laba Bank. Pemberian Remunerasi yang Bersifat
Variabel tersebut merupakan bentuk apresiasi bagi beberapa
orang yang mempunyai kinerja atau prestasi yang layak
diberikan Remunerasi yang Bersifat Variabel walaupun Bank
mengalami kerugian.
Pasal 19
Yang termasuk dalam unit pengawasan antara lain satuan kerja
manajemen risiko, fungsi kepatuhan, dan satuan kerja audit intern.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “disesuaikan dengan tingkat jabatan”
adalah semakin tinggi jabatan, semakin besar persentase
Remunerasi yang Bersifat Variabel yang ditangguhkan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 23
Ayat (1)
Penetapan jangka waktu paling singkat 3 (tiga) tahun telah
memperhitungkan risiko yang akan terjadi.
- 7 -
Ayat (2)
Contoh:
Pegawai A termasuk kategori material risk takers telah
memutuskan pembiayaan valuta asing dalam jumlah besar
untuk pelunasan dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun.
Bank menilai terdapat potensi risiko kegagalan pengembalian
pembiayaan valuta asing karena penguatan nilai valuta asing.
Oleh karena itu, pemberian Remunerasi Pegawai A dapat
ditangguhkan oleh Bank lebih dari 3 (tiga) tahun misalnya 4
(empat) tahun.
Pasal 24
Contoh:
Pegawai A termasuk pihak yang menjadi material risk takers. Pada
bulan Januari 2018, A telah diputuskan menerima bonus
tahun 2017 sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Sesuai
kebijakan Bank, pembayaran bonus dilakukan akhir bulan
Januari 2018 dan persentase bonus yang ditangguhkan sebesar 60%
(enam puluh persen). Pada akhir bulan Januari 2018, A menerima
40% (empat puluh persen) atau sebesar Rp400.000.000,00 (empat
ratus juta rupiah). Sisanya sebesar 60% (enam puluh persen) atau
sebesar Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) ditangguhkan
selama 3 (tiga) tahun dan akan dibayarkan dalam 3 (tiga) tahun yaitu
tahun 2018 (setelah bulan Januari), tahun 2019, dan tahun 2020
secara prorata, yaitu masing-masing Rp200.000.000,00 (dua ratus
juta rupiah) per tahun.
Pasal 25
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “kondisi tertentu” antara lain Bank
mengalami kerugian, terjadi risiko yang berdampak negatif
terhadap keuangan Bank, atau terjadi fraud yang dilakukan oleh
pihak yang menjadi material risk takers yang merugikan Bank.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
- 8 -
Pasal 26
Contoh lindung nilai antara lain mengasuransikan Remunerasi yang
Bersifat Variabel yang ditangguhkan.
Pasal 27
Yang dimaksud dengan “prinsip syariah” adalah prinsip syariah yang
berlaku umum dalam muamalah, antara lain:
a. bersikap adil (‘adalah) yaitu pemberian Remunerasi harus
mempertimbangkan kewajaran dengan harga pasar di industri
yang sama (peer group) dan sesuai dengan kompetensi dan
kinerja Pegawai;
b. saling rida (antaradimminkum) yaitu pemberian Remunerasi
harus tertuang ke dalam sebuah kontrak kerja yang juga
menganut asas konsensus (kesepakatan bersama di awal);
c. dapat dipercaya (amanah) yaitu pemberian Remunerasi harus
didasari kesadaran bersama bahwa bekerja merupakan bagian
dari mengejar rida Allah sehingga timbul kepercayaan satu sama
lain; dan
d. memperhatikan beban kerja dan risiko (al ghunmu bil ghurmi)
yaitu pemberian Remunerasi harus mempertimbangkan beban
kerja yang diberikan kepada Pegawai, disertai dengan potensi
risiko yang dihadapi pada pekerjaan yang dilakukan.
Pasal 28
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
- 9 -
Huruf f
Angka 1)
Kebijakan mengenai Remunerasi yang Bersifat Variabel
yang ditangguhkan antara lain:
a) kebijakan pembayaran (vesting) atas penangguhan
yang dilakukan antara lain jangka waktu
pembayaran; dan
b) pengungkapan faktor yang menentukan
perbedaan Remunerasi yang Bersifat Variabel
yang ditangguhkan diantara Pegawai atau
kelompok Pegawai, apabila ada.
Angka 2)
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Angka 1)
Yang dimaksud dengan “bentuk Remunerasi yang
Bersifat Variabel” adalah tunai dan/atau saham atau
instrumen berbasis saham yang diterbitkan Bank.
Angka 2)
Perbedaan dalam pemberian Remunerasi yang Bersifat
Variabel dapat berupa perbedaan komposisi dalam
bentuk tunai dan/atau saham atau instrumen yang
berbasis saham yang diterbitkan Bank maupun
persentase besaran Remunerasi yang Bersifat Variabel.
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf l
Cukup jelas.
Huruf m
Yang dimaksud dengan “shares option” adalah opsi untuk
membeli saham oleh anggota Direksi, anggota Dewan
- 10 -
Komisaris, anggota DPS, dan/atau pejabat eksekutif yang
dilakukan melalui penawaran saham atau penawaran opsi
saham dalam rangka pemberian kompensasi yang diberikan
kepada anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, anggota
DPS, dan/atau pejabat eksekutif, dan yang telah
diputuskan dalam rapat umum pemegang saham dan/atau
anggaran dasar Bank.
Pengungkapan mengenai shares option paling sedikit
mencakup:
1. kebijakan dalam pemberian shares option;
2. jumlah saham yang telah dimiliki masing-masing
anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, anggota
DPS, dan pejabat eksekutif sebelum diberikan shares
option;
3.
jumlah shares option yang diberikan;
4. jumlah shares option yang telah dieksekusi sampai
dengan akhir masa pelaporan;
5. harga opsi yang diberikan; dan
6. jangka waktu berlakunya eksekusi shares option.
Huruf n
Yang dimaksud dengan “rasio gaji tertinggi dan terendah”
mencakup:
1. rasio gaji Direksi yang tertinggi dan terendah;
2. rasio gaji Dewan Komisaris yang tertinggi dan
terendah;
3. rasio gaji DPS yang tertinggi dan terendah;
4. rasio gaji pegawai yang tertinggi dan terendah; dan
5. rasio gaji Direksi tertinggi dan pegawai tertinggi.
Yang dimaksud dengan “gaji” yaitu hak anggota Direksi,
anggota Dewan Komisaris, anggota DPS, dan pegawai yang
diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai
imbalan dari Bank kepada anggota Direksi, anggota Dewan
Komisaris, anggota DPS, dan pegawai yang ditetapkan dan
dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan,
atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan
bagi anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, anggota
- 11 -
DPS, dan pegawai beserta keluarganya atas suatu
pekerjaan dan/atau jasa yang telah dilakukan.
Gaji yang diperbandingkan dalam rasio gaji adalah imbalan
yang diterima oleh Direksi, Dewan Komisaris, DPS, dan
pegawai per bulan.
Pegawai dalam hal ini adalah pegawai tetap Bank sampai
dengan tingkat pegawai pelaksana.
Huruf o
Cukup jelas.
Huruf p
Yang dimaksud dengan “pemutusan hubungan kerja” yaitu
pemutusan hubungan kerja yang terjadi bukan karena
permintaan dari Direksi, Dewan Komisaris, DPS, dan/atau
Pegawai namun karena kebijakan Bank seperti
penggabungan, peleburan, pengambilalihan,
atau
perampingan struktur organisasi Bank.
Tidak termasuk dalam pengertian pemutusan hubungan
kerja yaitu pemutusan hubungan kerja yang disebabkan
karena pelanggaran ketentuan atau fraud.
Huruf q
Cukup jelas.
Huruf r
Cukup jelas.
Huruf s
Cukup jelas.
Huruf t
Penyesuaian implisit merupakan penyesuaian yang terjadi
dikarenakan faktor di luar kekuasaan Bank seperti
pergerakan harga saham, sedangkan penyesuaian eksplisit
merupakan penyesuaian yang secara langsung dipengaruhi
oleh Bank seperti pengurangan pembayaran Remunerasi
karena tidak tercapainya target tertentu.
Ayat (3)
Cukup jelas.
- 12 -
Pasal 29
Ayat (1)
Penyajian dalam bentuk tabel atau grafik dan/atau
perbandingan dengan periode laporan 1 (satu) tahun
sebelumnya dimaksudkan antara lain untuk mengetahui tren
perkembangan yang terjadi dan untuk meningkatkan kejelasan
informasi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 30
Ayat (1)
Pengawasan atas implementasi kebijakan Remunerasi Bank
dilakukan antara lain dalam ruang lingkup manajemen risiko
Bank.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 31
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “kondisi tertentu” antara lain Bank
dalam pengawasan khusus atau Bank dalam pengawasan
intensif sesuai dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
mengenai penetapan status dan tindak lanjut pengawasan bank
umum.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
- 13 -
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6148
"," POJK
59/POJK.03/2017
PENERAPAN TATA KELOLA DALAM PEMBERIAN REMUNERASI BAGI BANK UMUM SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH
18 Desember 2017
1 Januari 2018, 1 Januari 2019
18 Desember 2017
'11/33/PBI/2009', '12/13/DPbS|SE-BI'
'21/UU/2008', '21/UU/2011'
'BAB VIII'
"
" - 2 -
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 12 /POJK.03/2016
TENTANG
KEGIATAN USAHA DAN WILAYAH JARINGAN KANTOR
BANK PERKREDITAN RAKYAT BERDASARKAN MODAL INTI
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka mendukung pertumbuhan
ekonomi Indonesia secara optimal dan
berkesinambungan, perlu meningkatkan ketahanan
dan daya saing industri perbankan nasional;
b. bahwa untuk meningkatkan peran dan kontribusi
industri Bank Perkreditan Rakyat terhadap ekonomi
daerah sesuai dengan kapasitas permodalan Bank
Perkreditan Rakyat, perlu dilakukan penataan
cakupan kegiatan usaha dan wilayah jaringan kantor
Bank Perkreditan Rakyat berdasarkan modal inti;
c. berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan huruf b perlu menetapkan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Kegiatan
Usaha dan Wilayah Jaringan Kantor Bank Perkreditan
Rakyat Berdasarkan Modal Inti;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara
- 2 -
Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah
diubah
dengan Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang
Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253);
3. Peraturan
Otoritas
Jasa
Keuangan
Nomor 20/POJK.03/2014 tentang Bank Perkreditan
Rakyat (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2014 Nomor 351, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5629);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
KEGIATAN USAHA DAN WILAYAH JARINGAN KANTOR
BANK PERKREDITAN RAKYAT BERDASARKAN MODAL
INTI.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang
dimaksud dengan:
1. Bank Perkreditan Rakyat, yang selanjutnya disingkat
BPR, adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha
secara konvensional yang dalam kegiatannya tidak
memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998.
- 3 -
2. Modal Inti adalah modal inti sebagaimana dimaksud
dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai
kewajiban penyediaan modal minimum dan
pemenuhan modal inti minimum BPR.
3. Kegiatan Usaha adalah kegiatan usaha BPR
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998 dan kegiatan lainnya untuk mendukung
kegiatan usaha BPR, yang mencakup produk dan
aktivitas BPR.
4. BPR berdasarkan Kegiatan Usaha, yang selanjutnya
disingkat BPRKU, adalah pengelompokan BPR
berdasarkan Kegiatan Usaha BPR yang disesuaikan
dengan Modal Inti yang dimiliki.
5. Jaringan Kantor adalah kantor BPR yang meliputi
kantor cabang, kantor kas, kegiatan pelayanan kas,
dan perangkat perbankan elektronis sebagaimana
dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
mengenai BPR.
6. Pembukaan Jaringan Kantor adalah pembukaan
Jaringan Kantor BPR termasuk pembukaan kantor
yang berasal dari pemindahan alamat atau perubahan
status kantor BPR.
7. Rencana Bisnis adalah dokumen tertulis yang
menggambarkan rencana kegiatan BPR jangka pendek
(satu tahun) dan jangka menengah (tiga tahun)
termasuk rencana untuk meningkatkan kinerja usaha,
serta strategi untuk merealisasikan rencana tersebut
sesuai dengan target dan waktu yang ditetapkan,
dengan tetap memperhatikan pemenuhan ketentuan
kehati-hatian dan penerapan manajemen risiko.
- 4 -
8. Uang Elektronik adalah uang elektronik sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai
uang elektronik.
9. Electronic Banking adalah kegiatan BPR yang
menggunakan sarana elektronik antara lain berupa
phone banking, SMS banking, mobile banking, dan
internet banking.
10. Kartu Automated Teller Machine (ATM) adalah alat
pembayaran menggunakan kartu yang dapat
digunakan untuk melakukan penarikan tunai
dan/atau pemindahan dana dimana kewajiban
pemegang kartu dipenuhi seketika dengan mengurangi
secara langsung simpanan pemegang kartu pada BPR
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank
Indonesia mengenai alat pembayaran dengan
menggunakan kartu.
11. Kartu Debet adalah alat pembayaran dengan
menggunakan kartu yang dapat digunakan untuk
melakukan pembayaran atas kewajiban yang timbul
dari suatu kegiatan ekonomi, termasuk transaksi
pembelanjaan, dimana kewajiban pemegang kartu
dipenuhi seketika dengan mengurangi secara langsung
simpanan pemegang kartu pada BPR sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai
alat pembayaran dengan menggunakan kartu.
Pasal 2
BPR hanya dapat melakukan Kegiatan Usaha dan
Pembukaan Jaringan Kantor dalam cakupan wilayah
sesuai dengan Modal Inti.
Pasal 3
Berdasarkan Modal Inti, BPR dikelompokkan menjadi
3 (tiga) BPRKU, yaitu:
a. BPRKU 1 adalah BPR dengan Modal Inti kurang dari
Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah);
- 5 -
b. BPRKU 2 adalah BPR dengan Modal Inti paling sedikit
Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah)
sampai dengan kurang dari Rp50.000.000.000,00
(lima puluh miliar rupiah); dan
c. BPRKU 3 adalah BPR dengan Modal Inti paling sedikit
Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).
BAB II
KEGIATAN USAHA BPR
Pasal 4
Kegiatan Usaha yang dapat dilakukan BPR adalah:
a. penghimpunan dana dalam bentuk:
1) simpanan berupa deposito berjangka, tabungan,
dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan
dengan itu;
2) pinjaman yang diterima;
b. penyaluran dana;
c. penempatan dana dalam bentuk:
1)
giro, deposito berjangka, sertifikat deposito,
dan/atau tabungan pada bank umum dan bank
umum syariah;
2) deposito berjangka, dan/atau tabungan pada BPR
dan bank pembiayaan rakyat syariah;
3) Sertifikat Bank Indonesia;
d. kegiatan usaha penukaran valuta asing;
e. kegiatan lainnya untuk mendukung kegiatan usaha
BPR dalam bentuk:
1) kegiatan sebagai penyelenggara dan agen layanan
keuangan tanpa kantor dalam rangka keuangan
inklusif (Laku Pandai);
2) penyediaan layanan Electronic Banking;
3) layanan pembayaran gaji bagi nasabah BPR;
- 6 -
4) kegiatan kerjasama dalam rangka transfer dana
yang terbatas pada penerimaan atas pengiriman
uang dari luar negeri;
5) kegiatan sebagai penerbit Kartu ATM,
6) kegiatan sebagai penerbit Kartu Debet,
7) kegiatan sebagai penerbit Uang Elektronik dan
kegiatan pemasaran Uang Elektronik dari
penerbit lain;
8) pemindahan dana baik untuk kepentingan sendiri
maupun kepentingan nasabah melalui rekening
BPR di bank umum;
9) kegiatan kerja sama dengan perusahaan asuransi
untuk mereferensikan produk asuransi kepada
nasabah yang terkait dengan produk BPR; dan
10) menerima titipan dana dalam rangka pelayanan
jasa pembayaran tagihan seperti pembayaran
tagihan listrik, telepon, air, dan pajak.
Pasal 5
(1) BPR wajib melakukan Kegiatan Usaha sesuai dengan
kelompok BPRKU.
(2) Kegiatan Usaha BPR sesuai dengan kelompok BPRKU
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk:
a. BPRKU 1:
1) penghimpunan dana dalam bentuk:
a) simpanan berupa deposito berjangka,
tabungan, dan/atau bentuk lainnya
yang dipersamakan dengan itu; dan
b) pinjaman yang diterima;
2) penyaluran dana;
3) penempatan dana dalam bentuk:
a)
giro, deposito berjangka, sertifikat
deposito, dan/atau tabungan pada bank
umum dan bank umum syariah;
- 7 -
b) deposito berjangka, dan/atau tabungan
pada BPR dan bank pembiayaan rakyat
syariah; dan
c)
Sertifikat Bank Indonesia;
4) kegiatan lainnya untuk mendukung kegiatan
usaha BPR dalam bentuk:
a) kegiatan agen layanan keuangan tanpa
kantor dalam rangka keuangan inklusif
(Laku Pandai);
b) layanan pembayaran gaji bagi nasabah
BPR;
c) kegiatan kerjasama dalam rangka
transfer dana yang terbatas pada
penerimaan atas pengiriman uang dari
luar negeri;
d) kegiatan pemasaran Uang Elektronik
dari penerbit lain;
e) pemindahan dana baik untuk
kepentingan
kepentingan nasabah melalui rekening
BPR di bank umum;
f)
kegiatan kerja sama dengan perusahaan
asuransi untuk mereferensikan produk
asuransi kepada nasabah yang terkait
dengan produk BPR;
g) menerima titipan dana dalam rangka
pelayanan jasa pembayaran tagihan
seperti pembayaran tagihan listrik,
telepon, air, dan pajak; dan
h) kegiatan sebagai penerbit Kartu ATM,
bagi BPRKU 1 yang memiliki modal inti
minimum sebesar Rp6.000.000.000,00
(enam miliar rupiah).
sendiri maupun
- 8 -
b. BPRKU 2:
1) Kegiatan Usaha yang dapat dilakukan oleh
BPRKU 1;
2) kegiatan usaha penukaran valuta asing; dan
3) kegiatan lainnya untuk mendukung kegiatan
usaha BPR dalam bentuk:
a) kegiatan sebagai penerbit Kartu Debet;
dan
b) kegiatan
Elektronik.
c. BPRKU 3:
1) Kegiatan Usaha yang dapat dilakukan oleh
BPRKU 2; dan
2) kegiatan lainnya untuk mendukung kegiatan
usaha BPR dalam bentuk:
a) penyediaan layanan Electronic Banking;
dan
b) kegiatan sebagai penyelenggara layanan
keuangan tanpa kantor dalam rangka
keuangan inklusif (Laku Pandai).
Pasal 6
(1) Kegiatan Usaha BPR sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 berupa:
a. penghimpunan dana dalam bentuk lainnya yang
dipersamakan dengan bentuk simpanan berupa
deposito berjangka dan/atau tabungan;
b. kegiatan usaha penukaran valuta asing;
c. kegiatan sebagai penyelenggara layanan
keuangan tanpa kantor dalam rangka keuangan
inklusif (Laku Pandai);
d. penyediaan layanan Electronic Banking;
e. kegiatan kerjasama dalam rangka transfer dana
yang terbatas pada penerimaan atas pengiriman
uang dari luar negeri;
f.
kegiatan sebagai penerbit Kartu ATM;
sebagai penerbit Uang
- 9 -
g. kegiatan sebagai penerbit Kartu Debet; dan
h. kegiatan sebagai penerbit Uang Elektronik,
wajib memperoleh izin dan/atau persetujuan terlebih
dahulu dari Otoritas Jasa Keuangan dan/atau Bank
Indonesia, sesuai dengan tugas dan wewenang yang
dimiliki oleh masing-masing lembaga.
(2) Kegiatan Usaha BPR sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 berupa:
a. kegiatan agen layanan keuangan tanpa kantor
dalam rangka keuangan inklusif (Laku Pandai);
b. layanan pembayaran gaji bagi nasabah BPR;
c. kegiatan pemasaran Uang Elektronik dari
penerbit lain;
d. pemindahan dana baik untuk kepentingan sendiri
maupun kepentingan nasabah melalui rekening
BPR di bank umum;
e. kegiatan kerja sama dengan perusahaan asuransi
untuk mereferensikan produk asuransi kepada
nasabah yang terkait dengan produk BPR; dan
f. menerima titipan dana dalam rangka pelayanan
jasa pembayaran tagihan seperti pembayaran
tagihan listrik, telepon, air, dan pajak,
wajib dilaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 7
Kegiatan Usaha BPR merupakan suatu Kegiatan Usaha
baru atau kegiatan pendukung usaha baru dalam hal
memenuhi kriteria:
a. tidak pernah dilaksanakan sebelumnya oleh BPR yang
bersangkutan; atau
b. telah dilaksanakan sebelumnya oleh BPR yang
bersangkutan, namun dilakukan pengembangan yang
mengubah risiko tertentu atau seluruh risiko BPR
yang bersangkutan.
- 10 -
Pasal 8
(1) Untuk memperoleh persetujuan Otoritas Jasa
Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
ayat (1), BPR mengajukan permohonan rencana
pelaksanaan Kegiatan Usaha baru dengan memenuhi
persyaratan:
a. rencana pelaksanaan Kegiatan Usaha baru telah
dicantumkan dalam Rencana Bisnis;
b. tingkat kesehatan tergolong sehat selama 12 (dua
belas) bulan terakhir;
c. memiliki rasio Kewajiban Penyediaan Modal
Minimum (KPMM) paling sedikit 12% (dua belas
persen) selama 6 (enam) bulan terakhir;
d. memiliki rasio Non Performing Loan (NPL) gross
paling tinggi 5% (lima persen) selama 6 (enam)
bulan terakhir;
e.
tidak dalam keadaaan rugi baik tahun lalu
maupun tahun berjalan;
f. memiliki teknologi informasi yang memadai;
g. memenuhi kesiapan operasional berupa
kelengkapan organisasi dan sumber daya
manusia dengan kompetensi yang memadai
mengenai teknologi informasi serta layanan dan
pengaduan nasabah;
h. menerapkan manajemen risiko paling sedikit
untuk risiko kredit, risiko operasional, risiko
kepatuhan, dan risiko likuiditas sebagaimana
diatur dalam ketentuan yang mengatur mengenai
penerapan manajemen risiko bagi BPR; dan
i.
tidak terdapat pelanggaran ketentuan terkait
dengan BPR.
(2) Pengajuan permohonan rencana pelaksanaan Kegiatan
Usaha baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus dilengkapi dengan dokumen paling sedikit
memuat informasi dan penjelasan mengenai:
a.
jenis dan deskripsi umum Kegiatan Usaha baru;
b. waktu pelaksanaan Kegiatan Usaha baru;
- 11 -
c. tujuan Kegiatan Usaha baru;
d. keterkaitan Kegiatan Usaha baru dengan strategi
bisnis BPR;
e.
f.
risiko atas pelaksanaan Kegiatan Usaha baru; dan
mitigasi risiko atas pelaksanaan Kegiatan Usaha
baru.
Pasal 9
(1) Otoritas Jasa Keuangan memberikan persetujuan atau
penolakan atas permohonan rencana pelaksanaan
Kegiatan Usaha paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja
sejak permohonan berikut dokumen yang
dipersyaratkan diterima secara lengkap.
(2) Dalam rangka memberikan persetujuan atau
penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Otoritas Jasa Keuangan melakukan:
a. penelitian pemenuhan persyaratan; dan
b. penelitian atas kelengkapan dokumen.
Pasal 10
(1) BPR yang melaksanakan Kegiatan Usaha baru
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) harus
menyampaikan laporan pelaksanaan Kegiatan Usaha
baru dengan melampirkan dokumen pendukung
paling sedikit memuat informasi dan penjelasan
mengenai:
a. jenis dan deskripsi umum Kegiatan Usaha baru;
b. waktu pelaksanaan Kegiatan Usaha baru;
c. tujuan Kegiatan Usaha baru; dan
d. keterkaitan Kegiatan Usaha baru dengan strategi
bisnis BPR.
(2) Laporan pelaksanaan
Kegiatan Usaha baru
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling
lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal
pelaksanaan kegiatan.
- 12 -
(3) Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan menemukan
penyimpangan atas pelaksanaan Kegiatan Usaha baru
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2),
Otoritas Jasa Keuangan berwenang meminta kepada
BPR untuk melakukan penyesuaian atau penghentian
terhadap pelaksanaan Kegiatan Usaha tersebut.
BAB III
WILAYAH JARINGAN KANTOR BPR
Pasal 11
(1) BPR wajib memperoleh izin dari Otoritas Jasa
Keuangan untuk melakukan pembukaan kantor
cabang.
(2) Mekanisme pemberian izin pembukaan kantor cabang
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai BPR.
Pasal 12
(1) BPR wajib menyampaikan laporan
rencana
pembukaan kantor kas untuk memperoleh penegasan
dari Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Mekanisme pelaporan rencana pembukaan kantor kas
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai BPR.
Pasal 13
(1) BPRKU 1 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
huruf a hanya dapat melakukan Pembukaan Jaringan
Kantor BPR dalam 1 (satu) wilayah kabupaten atau
kota yang sama dengan kabupaten atau kota lokasi
kantor pusat BPR.
(2) BPRKU 1 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
memiliki Jaringan Kantor BPR berupa kantor cabang
paling banyak 20 (dua puluh) kantor.
(3) Khusus bagi BPRKU 1 yang telah memenuhi Modal
Inti paling sedikit Rp6.000.000.000,00 (enam miliar
- 13 -
rupiah) dapat melakukan Pembukaan Jaringan Kantor
BPR di kabupaten atau kota yang sama dengan lokasi
kantor pusat BPR dan/atau kabupaten atau kota yang
berbatasan langsung dengan kabupaten atau kota
lokasi kantor pusat BPR, dalam 1 (satu) wilayah
provinsi yang sama.
(4) Jaringan Kantor BPR berupa kantor cabang yang
dapat dimiliki oleh BPRKU 1 sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) paling banyak 30 (tiga puluh) kantor.
Pasal 14
(1) BPRKU 2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
huruf b hanya dapat melakukan Pembukaan Jaringan
Kantor BPR di kabupaten atau kota yang sama dengan
lokasi kantor pusat BPR dan/atau kabupaten atau
kota yang berbatasan langsung dengan kabupaten
atau kota lokasi kantor pusat BPR, dalam 1 (satu)
wilayah provinsi yang sama.
(2) Jaringan Kantor BPR berupa kantor cabang yang
dapat dimiliki oleh BPRKU 2 sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) paling banyak 40 (empat puluh) kantor.
Pasal 15
(1) BPRKU 3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
huruf c dapat melakukan Pembukaan Jaringan Kantor
BPR di provinsi lokasi kantor pusat BPR dan di
kabupaten atau kota pada provinsi lain yang
berbatasan langsung dengan provinsi lokasi kantor
pusat BPR.
(2) Jaringan Kantor BPR berupa kantor cabang yang
dapat dibuka oleh BPRKU 3 sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) paling banyak 70 (tujuh puluh) kantor.
(3) Kantor cabang BPRKU 3 sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) yang dapat dibuka di provinsi lain paling
banyak 20% (dua puluh persen) dari jumlah kantor
cabang yang dimiliki oleh BPRKU 3.
- 14 -
Pasal 16
(1) Wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Kabupaten
atau Kota Bogor, Kota Depok, Kabupaten atau Kota
Tangerang, Kota Tangerang Selatan, dan Kabupaten
atau Kota Bekasi dikelompokkan berdasarkan wilayah
pemerintahan:
a. seluruh kota di Provinsi Daerah Khusus Ibukota
Jakarta dan Kabupaten Kepulauan Seribu
merupakan wilayah Provinsi Daerah Khusus
Ibukota Jakarta;
b. Kabupaten atau Kota Bogor, Kota Depok, dan
Kabupaten atau Kota Bekasi merupakan bagian
dari Provinsi Jawa Barat; dan
c. Kabupaten atau Kota Tangerang, dan Kota
Tangerang Selatan merupakan bagian dari
Provinsi Banten.
(2) BPR yang berada dalam wilayah provinsi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat melakukan Pembukaan
Jaringan Kantor dengan batasan wilayah yang
mengacu pada Pasal 13, Pasal 14, dan Pasal 15.
Pasal 17
Pemindahan alamat terhadap Jaringan Kantor BPRKU 1
dan BPRKU 2 yang telah ada sebelum Peraturan ini berlaku
dapat dilakukan pada:
a. kabupaten atau kota yang sama dengan Jaringan
Kantor yang melakukan pemindahan alamat; atau
b. dalam batas wilayah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 dan Pasal 14.
Pasal 18
BPR hanya dapat melakukan pembukaan kantor kas dalam
wilayah kabupaten atau kota yang sama dengan kabupaten
atau kota lokasi kantor induk dari kantor kas sebagaimana
diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai
BPR.
- 15 -
Pasal 19
(1) Dalam hal terjadi pemekaran wilayah yang
menyebabkan kantor cabang dan kantor pusat BPR
berada di wilayah provinsi yang berbeda, Jaringan
Kantor BPR tetap dapat beroperasi di wilayah semula,
kecuali BPR mengalami perubahan kelompok BPRKU
yang lebih rendah yang mengakibatkan penyesuaian
terhadap wilayah Jaringan Kantor.
(2) Pembukaan Jaringan Kantor BPR yang dilakukan
setelah terjadi pemekaran wilayah mengacu pada
batasan wilayah sebagaimana diatur dalam Pasal 13,
Pasal 14, dan Pasal 15.
BAB IV
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 20
(1) Dalam hal Modal Inti BPR mengalami peningkatan
selama 6 (enam) bulan berturut-turut sehingga
memenuhi persyaratan Modal Inti BPRKU yang lebih
tinggi, BPR dikelompokkan dalam BPRKU yang lebih
tinggi.
(2) BPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
melakukan Kegiatan Usaha dan/atau Pembukaan
Jaringan Kantor sesuai dengan jenis Kegiatan Usaha
dan wilayah Jaringan Kantor BPRKU yang lebih tinggi
jika memenuhi persyaratan untuk melaksanakan
Kegiatan Usaha dan/atau Pembukaan Jaringan
Kantor BPR.
Pasal 21
(1) Dalam hal Modal Inti BPR mengalami penurunan
selama 6 (enam) bulan berturut-turut sehingga tidak
memenuhi persyaratan jumlah Modal Inti pada BPRKU
semula, BPR dikelompokkan dalam BPRKU yang lebih
rendah.
- 16 -
(2) BPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang telah
melakukan Kegiatan Usaha dan/atau Pembukaan
Jaringan Kantor sesuai BPRKU semula, wajib
menyampaikan rencana tindak (action plan) kepada
Otoritas Jasa Keuangan dalam rangka pemenuhan
persyaratan jumlah Modal Inti pada BPRKU semula,
paling lambat pada bulan ke-8 sejak terjadinya
penurunan Modal Inti.
(3) BPR wajib memperoleh persetujuan dari Otoritas Jasa
Keuangan atas rencana tindak (action plan)
sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) BPR wajib melaksanakan penyelesaian rencana tindak
(action plan) sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
paling lama 1 (satu) tahun sejak persetujuan Otoritas
Jasa Keuangan.
(5) Dalam hal BPR tidak dapat menyelesaikan rencana
tindak (action plan) sebagaimana dimaksud pada
ayat (4), BPR wajib menyesuaikan seluruh Kegiatan
Usaha dan/atau wilayah Jaringan Kantor dengan
kegiatan BPRKU sesuai tingkat yang lebih rendah
dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.
(6) Selama jangka waktu penyesuaian sebagaimana
dimaksud pada ayat (5), BPR wajib segera
menghentikan penawaran, penjualan dan/atau
perjanjian atau transaksi baru atas Kegiatan Usaha
yang diperkenankan untuk dilakukan oleh BPRKU
sebelum mengalami penurunan Modal Inti.
Pasal 22
Otoritas Jasa Keuangan berwenang menetapkan jumlah
kantor cabang individual BPR yang berbeda dengan jumlah
sebagaimana diatur dalam Pasal 13, Pasal 14, dan Pasal 15
berdasarkan pertimbangan tertentu.
- 17 -
BAB V
SANKSI
Pasal 23
BPR yang melanggar ketentuan sebagaimana dalam Pasal 5
ayat (1), Pasal 6, Pasal 11 ayat (1), Pasal 12 ayat (1),
Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 ayat (1) atau Pasal 28 ayat (2)
masing-masing dikenakan sanksi kewajiban membayar
berupa denda sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah)
dan sanksi administratif lain berupa:
a. teguran tertulis;
b. penurunan peringkat tingkat kesehatan BPR;
c. larangan pembukaan Jaringan Kantor;
d. penghentian sementara sebagian kegiatan usaha BPR;
dan/atau
e. pencantuman pengurus BPR dalam daftar pihak-pihak
yang memperoleh predikat tidak lulus melalui
mekanisme uji kemampuan dan kepatutan.
Pasal 24
BPR yang melanggar ketentuan dalam Pasal 10 ayat (2),
Pasal 21 ayat (2) atau Pasal 29 ayat (1) dikenakan sanksi
administratif berupa teguran tertulis dan kewajiban
membayar sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per
hari kerja keterlambatan dengan jumlah paling banyak
sebesar Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah).
Pasal 25
BPR yang melanggar ketentuan dalam Pasal 21 ayat (3),
Pasal 21 ayat (4), Pasal 21 ayat (5), Pasal 21 ayat (6) atau
Pasal 29 ayat (2) dikenakan sanksi administratif berupa:
a. teguran tertulis;
b. penurunan peringkat tingkat kesehatan BPR;
c. larangan pembukaan Jaringan Kantor; dan/atau
d. penghentian sementara sebagian kegiatan usaha BPR.
- 18 -
BAB VI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 26
Penentuan BPR dalam kelompok BPRKU untuk pertama
kali didasarkan pada posisi Modal Inti BPR pada akhir
bulan Desember 2015.
Pasal 27
(1) Bagi BPR yang sebelum berlakunya Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan ini telah melakukan Kegiatan Usaha
yang tidak sesuai dengan kelompok BPRKU
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 wajib
meningkatkan Modal Inti agar sesuai dengan Modal
Inti kelompok BPRKU yang seharusnya paling lambat
3 (tiga) tahun sejak berlakunya Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan ini.
(2) Selama jangka waktu pemenuhan kewajiban
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), BPR dilarang
melakukan penawaran, penjualan dan/atau transaksi
baru serta perpanjangan atas Kegiatan Usaha yang
tidak sesuai dengan kelompok BPRKU yang
bersangkutan.
Pasal 28
(1) Bagi BPR yang telah melakukan Kegiatan Usaha
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1)
sebelum berlakunya Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini namun belum memperoleh izin dan/atau
persetujuan terlebih dahulu dari Otoritas Jasa
Keuangan, wajib mengajukan permohonan izin kepada
Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 6 (enam) bulan
sejak berlakunya POJK ini.
(2) Bagi BPR yang telah melakukan Kegiatan Usaha
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2)
sebelum berlakunya Peraturan Otoritas Jasa
- 19 -
Keuangan ini namun belum menyampaikan laporan
Kegiatan Usaha kepada Otoritas Jasa Keuangan, wajib
menyampaikan laporan kepada Otoritas Jasa
Keuangan paling lambat 6 (enam) bulan sejak
berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 29
(1) Dalam rangka memenuhi kewajiban sesuai jangka
waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1),
BPR wajib menyampaikan rencana tindak (action plan)
kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 6
(enam) bulan sejak Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
ini diberlakukan.
(2) BPR wajib memperoleh persetujuan dari Otoritas Jasa
Keuangan atas rencana tindak (action plan)
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 30
Jaringan Kantor BPR yang pada saat berlakunya Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini berlokasi di luar wilayah yang
diperkenankan menurut BPRKU tetap dapat beroperasi
tanpa harus menyesuaikan wilayah Jaringan Kantor BPR,
kecuali BPR mengalami penurunan kelompok BPRKU yang
lebih rendah.
Pasal 31
Permohonan Pembukaan Jaringan Kantor BPR yang telah
diajukan sebelum berlakunya Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini dan belum memperoleh izin, diproses
berdasarkan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
Nomor 20/POJK.03/2014 tentang Bank Perkreditan
Rakyat.
- 20 -
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 32
Ketentuan lebih lanjut dari Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini diatur dengan Surat Edaran Otoritas Jasa
Keuangan.
Pasal 33
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai
berlaku:
a. ketentuan mengenai batasan wilayah pembukaan
kantor dalam wilayah provinsi yang sama dengan
provinsi kantor pusat BPR sebagaimana diatur dalam
Pasal 37 ayat (1) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
Nomor 20/POJK.03/2014 tentang Bank Perkreditan
Rakyat;
b. ketentuan mengenai wilayah Daerah Khusus Ibukota
Jakarta, Kabupaten atau Kota Bogor, Kota Depok,
Kabupaten atau Kota Tangerang, Kota Tangerang
Selatan, dan Kabupaten atau Kota Bekasi yang
dinyatakan sebagai satu wilayah provinsi untuk
keperluan perizinan pembukaan Kantor Cabang
sebagaimana diatur dalam Pasal 37 ayat (2) Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan Nomor 20/POJK.03/2014
tentang Bank Perkreditan Rakyat;
c. ketentuan mengenai kewajiban BPR untuk menutup
atau memindahkan kantor cabang BPR atau
memindahkan kantor pusat BPR, ke dalam provinsi
yang sama dalam hal terjadi pemekaran wilayah yang
menyebabkan kantor cabang dan kantor pusat BPR
berada dalam wilayah provinsi yang berbeda
sebagaimana diatur dalam Pasal 37 ayat (4) Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan Nomor 20/POJK.03/2014
tentang Bank Perkreditan Rakyat;
- 21 -
d. ketentuan mengenai persyaratan bagi BPR yang
mengajukan permohonan persetujuan kegiatan
layanan dengan menggunakan kartu ATM dan/atau
kartu Debet sebagaimana diatur dalam Pasal 50
ayat (2) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
Nomor 20/POJK.03/2014 tentang Bank Perkreditan
Rakyat; dan
e. ketentuan mengenai pengenaan sanksi yang terkait
dengan izin pembukaan kantor cabang sebagaimana
diatur dalam Pasal 84 Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan Nomor 20/POJK.03/2014 tentang Bank
Perkreditan Rakyat,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 34
Dalam hal BPR telah memiliki peringkat profil risiko,
tingkat risiko operasional dan risiko kepatuhan sesuai
ketentuan yang mengatur mengenai penerapan manajemen
risiko bagi BPR, ketentuan yang mengatur mengenai
persyaratan bank penyelenggara Laku Pandai bagi BPR
sebagaimana diatur dalam Pasal 12 Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan Nomor 19/POJK.03/2014 tentang Layanan
Keuangan Tanpa Kantor dalam rangka Keuangan Inklusif
(Laku Pandai) dinyatakan tidak berlaku bagi BPR.
Pasal 35
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
saat diundangkan.
- 22 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 9 Februari 2016
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 17 Februari 2016
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 34
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
- 2 -
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 12 /POJK.03/2016
TENTANG
KEGIATAN USAHA DAN WILAYAH JARINGAN KANTOR
BANK PERKREDITAN RAKYAT BERDASARKAN MODAL INTI
I. UMUM
Dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi regional dan
peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal, diperlukan peran dan
kontribusi BPR yang lebih besar dalam memberikan layanan perbankan
di seluruh penjuru wilayah, terutama di remote area. Agar dapat
berkontribusi lebih besar, diperlukan upaya untuk mendorong
penguatan permodalan BPR, sehingga dapat berkinerja secara lebih
produktif, dan memenuhi perubahan kebutuhan dan tuntutan
masyarakat akan produk dan layanan yang berkualitas.
Untuk dapat mencapai tujuan tersebut, perlu dilakukan penataan
cakupan kegiatan usaha dan wilayah jaringan kantor BPR berdasarkan
modal inti. Penataan industri BPR menurut kapasitas permodalan
tersebut dilakukan agar BPR dapat fokus pada kegiatan usaha dan
penyediaan produk dan layanan yang disesuaikan dengan kemampuan
permodalan dan pengelolaan risiko, sehingga setiap BPR dapat
berkembang dan berperan optimal menurut kelompok permodalannya.
Upaya mendorong penguatan permodalan BPR juga ditujukan untuk
meningkatkan daya saing BPR melalui perbaikan kualitas sumber daya
manusia, kelengkapan infrastruktur, teknologi informasi, dan
ketersediaan sarana dan prasarana yang mendukung peningkatan
kualitas layanan BPR.
- 2 -
Selain menyangkut jenis kegiatan usaha yang dapat disediakan
oleh BPR berdasarkan kapasitas permodalan, batasan wilayah jaringan
kantor BPR juga perlu disesuaikan dengan kemampuan BPR dalam
menjalankan fungsi intermediasi dalam wilayah tertentu. Dengan
berlakunya POJK ini, masing-masing BPR dapat memposisikan pada
kelompoknya yang diperhitungkan berdasarkan jumlah modal inti.
Semakin tinggi strata BPR, semakin beragam jenis kegiatan usaha dan
kegiatan lainnya yang mendukung operasional BPR, serta semakin luas
jangkauan wilayah Pembukaan Jaringan Kantor BPR.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Pembagian Kegiatan Usaha dan pembatasan wilayah Pembukaan
Jaringan Kantor BPR ditetapkan menurut kemampuan Modal Inti
BPR agar BPR dapat melayani masyarakat sesuai dengan
kapasitas permodalan dan kemampuan pengelolaan risiko serta
mendorong upaya penguatan BPR guna meningkatkan daya saing
BPR.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
- 3 -
Huruf d
Kegiatan usaha penukaran valuta asing dilakukan oleh
pedagang valuta asing bank sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia mengenai pedagang valuta asing.
Huruf e
Angka 1)
Pelaksanaan kegiatan sebagai penyelenggara dan agen
layanan keuangan tanpa kantor dalam rangka keuangan
inklusif (Laku Pandai) mengacu pada ketentuan Otoritas
Jasa Keuangan yang mengatur mengenai layanan
keuangan tanpa kantor dalam rangka keuangan inklusif
(Laku Pandai).
Angka 2)
Termasuk dalam cakupan Electronic Banking antara lain
berupa:
a. phone banking yaitu layanan untuk bertransaksi
perbankan melalui telepon dengan menghubungi
nomor layanan BPR;
b. SMS banking yaitu layanan informasi atau transaksi
perbankan yang dapat diakses langsung melalui
telepon seluler dengan menggunakan media Short
Message Service (SMS);
c. mobile banking yaitu layanan untuk melakukan
transaksi perbankan melalui telepon seluler; dan
d.
internet banking yaitu layanan untuk melakukan
transaksi perbankan melalui jaringan internet bagi
BPR yang menjadi bank penyelenggara Laku Pandai.
Angka 3)
Cukup jelas.
Angka 4)
Cukup jelas.
Angka 5)
Cukup jelas.
Angka 6)
Cukup jelas
- 4 -
Angka 7)
Penyelenggaraan alat pembayaran berupa Uang
Elektronik mengacu pada ketentuan Bank Indonesia
mengenai uang elektronik.
Angka 8)
Cukup jelas.
Angka 9)
Cukup jelas.
Angka 10)
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Pemenuhan persyaratan tingkat kesehatan didasarkan
pada hasil penilaian yang dilakukan oleh Otoritas Jasa
keuangan dengan merujuk pada laporan terakhir yang
diterima Otoritas Jasa Keuangan.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
- 5 -
Huruf f
Teknologi informasi yang memadai dalam hal ini
menyangkut sistem yang mampu melakukan
pembukuan transaksi pada saat transaksi berlangsung
(real time), disertai dengan mekanisme pengamanan
mulai dari sistem, data, dan jaringan, serta terdapat
mekanisme pemantauan dan evaluasi terhadap sarana
teknologi informasi untuk penyelenggaraan layanan
kepada nasabah.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Yang dimaksud dengan “pelanggaran ketentuan terkait
dengan BPR” antara lain pelanggaran atas ketentuan:
1. larangan rangkap jabatan dan hubungan keluarga
atau semenda serta kewajiban minimum jumlah
anggota direksi dan anggota dewan komisaris;
2. kewajiban BPR memiliki paling kurang 1 (satu)
pemegang saham dengan persentase kepemilikan
saham tertentu; dan/atau
3. kewajiban pemenuhan modal inti minimum.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
- 6 -
Pasal 13
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan kabupaten atau kota adalah wilayah
administratif pemerintahan kabupaten atau pemerintahan
kota.
Ayat (2)
Jaringan Kantor BPR paling banyak 20 (dua puluh) kantor
meliputi baik kantor cabang yang telah ada maupun yang
akan dibuka oleh BPR.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Jaringan Kantor BPR paling banyak 30 (tiga puluh) kantor
meliputi baik kantor cabang yang telah ada maupun yang
akan dibuka oleh BPR.
Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Jaringan Kantor BPR paling banyak 40 (empat puluh) kantor
meliputi baik kantor cabang yang telah ada maupun yang
akan dibuka oleh BPR.
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Jaringan Kantor BPR paling banyak 70 (tujuh puluh)
kantor meliputi baik kantor cabang yang telah ada maupun
yang akan dibuka oleh BPR.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
- 7 -
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Ayat (1)
Contoh:
BPRKU 2 dapat melakukan kegiatan usaha dan memperluas
wilayah Jaringan Kantor sebagaimana diperkenankan bagi
BPRKU 3 jika memenuhi Modal Inti pada kelompok BPRKU 3
selama 6 (enam) bulan berturut-turut paling sedikit
Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 21
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan penurunan Modal Inti termasuk
penurunan Modal
Inti menjadi kurang dari
Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) atau kurang dari
Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Contoh:
BPR yang semula berada dalam kelompok BPRKU 2, namun
mengalami penurunan Modal Inti sehingga tidak memenuhi
persyaratan Modal Inti sebagai BPRKU 2 dan tidak dapat
- 8 -
menyelesaikan rencana tindak (action plan) dalam jangka
waktu paling lama 1 (satu) tahun, wajib menyesuaikan
seluruh Kegiatan Usaha dan/atau wilayah Jaringan Kantor
BPRKU 1.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 22
Yang dimaksud dengan “pertimbangan tertentu” adalah
pertimbangan untuk menetapkan jumlah kantor cabang yang
berbeda yang didasarkan pada kemampuan rentang kendali,
persaingan yang sehat, perluasan akses keuangan bagi
masyarakat berpenghasilan rendah dan produktif (financial
inclusion), upaya pemerataan pembangunan di daerah, dan/atau
kelangsungan pengembangan kegiatan usaha individual BPR ke
depan sehingga dapat beroperasi secara berkesinambungan.
Pasal 23
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Pencantuman pengurus BPR dalam daftar pihak-pihak yang
memperoleh predikat tidak lulus dilaksanakan melalui proses
uji kemampuan dan kepatutan sesuai dengan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan mengenai uji kemampuan dan
kepatutan.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
- 9 -
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Dengan tidak berlakunya Pasal 12 Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan Nomor 19/POJK.03/2014 tentang Layanan Keuangan
Tanpa Kantor dalam rangka Keuangan Inklusif (Laku Pandai),
persyaratan yang harus dipenuhi oleh BPR yang akan mengajukan
permohonan menjadi penyelenggara Laku Pandai mengacu pada
persyaratan yang diatur pada ketentuan mengenai layanan
keuangan tanpa kantor dalam rangka keuangan inklusif (Laku
Pandai).
- 10 -
Pasal 35
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5849
"," POJK
12/POJK.03/2016
KEGIATAN USAHA DAN WILAYAH JARINGAN KANTOR BANK PERKREDITAN RAKYAT BERDASARKAN MODAL INTI
9 Februari 2016
17 Februari 2016
17 Februari 2016
'20/POJK.03/2014 | Pasal 37 ayat (1)', '20/POJK.03/2014 | Pasal 37 ayat (2)', '20/POJK.03/2014 | Pasal 37 ayat (4)', '20/POJK.03/2014 | Pasal 50 ayat (2)', '20/POJK.03/2014 | Pasal 84', '19/POJK.03/2014 | Pasal 12'
'21/UU/2011', '7/UU/1992', '10/UU/1998', '20/POJK.03/2014'
'BAB V'
"
" OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 6/POJK.05/2014
TENTANG
PENYELENGGARAAN USAHA LEMBAGA PENJAMINAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang
:
a. bahwa untuk menumbuhkembangkan Lembaga
Penjaminan yang mampu memberikan manfaat jasa
penjaminan bagi masyarakat yang dinamis,
diperlukan peraturan yang lebih komprehensif
dengan tetap memenuhi prinsip kehati-hatian
(prudential principle) khususnya terkait dengan
aktifitas penyelenggaraan usaha;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud pada huruf a perlu menetapkan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang
Penyelenggaraan Usaha Lembaga Penjaminan;
Mengingat
:
1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang
Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5253);
2. Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Lembaga Penjaminan;
MEMUTUSKAN
Menetapkan
: PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
PENYELENGGARAAN USAHA LEMBAGA PENJAMINAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang
dimaksud dengan:
1. Penjaminan adalah kegiatan pemberian jaminan
atas pemenuhan kewajiban finansial Terjamin.
2. Penjaminan…
-2-
2. Penjaminan Ulang adalah kegiatan pemberian
jaminan atas pemenuhan kewajiban finansial
Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan
Penjaminan Syariah yang telah menjamin
pemenuhan kewajiban finansial Terjamin.
3. Lembaga Penjaminan adalah Perusahaan
Penjaminan, Perusahaan Penjaminan Syariah,
Perusahaan Penjaminan Ulang, dan Perusahaan
Penjaminan Ulang Syariah.
4. Perusahaan Penjaminan adalah badan hukum yang
bergerak di bidang keuangan dengan kegiatan
usaha melakukan Penjaminan.
5. Perusahaan Penjaminan Syariah adalah badan
hukum yang bergerak dibidang keuangan dengan
kegiatan usaha melakukan Penjaminan
berdasarkan Prinsip Syariah.
6. Perusahaan Penjaminan Ulang adalah badan
hukum yang bergerak di bidang keuangan dengan
kegiatan usaha melakukan Penjaminan Ulang.
7. Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah adalah
badan hukum yang bergerak di bidang keuangan
dengan kegiatan usaha melakukan Penjaminan
Ulang berdasarkan Prinsip Syariah.
8. Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang
dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan
persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam
antara Lembaga Keuangan dengan pihak lain yang
mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi
utangnya dalam jangka waktu tertentu dengan
pemberian bunga.
9. Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah adalah
pembiayaan berdasarkan prinsip syariah yang
diberikan oleh Lembaga Keuangan berdasarkan
persetujuan atau kesepakatan antara Lembaga
Keuangan dengan pihak lain.
10. Prinsip Syariah adalah ketentuan hukum Islam
berdasarkan fatwa atau pernyataan kesesuaian
syariah dari Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama
Indonesia.
11. Unit…
-3-
11. Unit Usaha Syariah adalah unit kerja kantor pusat
Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan
Penjaminan Ulang yang berfungsi sebagai kantor
pusat dari kantor cabang dan/atau kantor selain
kantor cabang yang menjalankan kegiatan usaha
Penjaminan atau Penjaminan Ulang berdasarkan
Prinsip Syariah.
12. Usaha Produktif adalah kegiatan untuk
menghasilkan barang dan/atau jasa yang
memberikan nilai tambah dan meningkatkan
pendapatan bagi Terjamin.
13. Gearing Ratio adalah batasan yang ditetapkan
untuk mengukur kemampuan Lembaga Penjaminan
dalam melakukan kegiatan Penjaminan atau
Penjaminan Ulang.
14. Lembaga Keuangan adalah bank dan lembaga
keuangan bukan bank.
15. Kantor Cabang adalah kantor Lembaga Penjaminan
yang secara langsung bertanggung jawab kepada
kantor pusat.
16. Penerima Jaminan adalah Lembaga Keuangan atau
di luar Lembaga Keuangan yang telah memberikan
fasilitas finansial kepada Terjamin.
17. Terjamin adalah pihak yang telah memperoleh
fasilitas finansial dari Lembaga Keuangan atau di
luar Lembaga Keuangan yang dijamin oleh
Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan
Penjaminan Syariah baik perorangan, badan usaha,
perseroan terbatas, unit usaha suatu yayasan,
koperasi dan usaha mikro, kecil dan menengah
(UMKM).
18. Sertifikat Penjaminan adalah bukti persetujuan
Penjaminan dari Perusahaan Penjaminan atau
Perusahaan Penjaminan Syariah kepada Penerima
Jaminan atas kewajiban finansial Terjamin.
19. Imbal Jasa Penjaminan, yang selanjutnya disingkat
IJP, adalah sejumlah uang yang diterima oleh
Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan
Penjaminan Syariah dari Terjamin dalam rangka
kegiatan usaha Penjaminan.
20. Imbal…
-4-
20. Imbal Jasa Penjaminan Ulang, yang selanjutnya
disingkat IJPU, adalah sejumlah uang yang diterima
oleh Perusahaan Penjaminan Ulang atau
Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah dari
Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan
Penjaminan Syariah dalam rangka kegiatan usaha
Penjaminan Ulang.
21. Klaim adalah tuntutan pembayaran oleh Penerima
Jaminan kepada Perusahaan Penjaminan atau
Perusahaan Penjaminan Syariah diakibatkan
Terjamin tidak dapat memenuhi kewajibannya
sesuai dengan perjanjian atau tuntutan
pembayaran Perusahaan Penjaminan atau
Perusahaan Penjaminan Syariah kepada
Perusahaan Penjaminan Ulang atau Perusahaan
Penjaminan Ulang Syariah, yang telah membayar
kewajiban finansial Terjamin kepada Penerima
Jaminan.
22. Otoritas Jasa Keuangan adalah lembaga yang
independen dan bebas dari campur tangan pihak
lain yang mempunyai fungsi, tugas dan wewenang
pengaturan, pengawasan, pemeriksaan dan
penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang mengenai Otoritas Jasa Keuangan.
BAB II
KEGIATAN USAHA
Pasal 2
(1) Kegiatan usaha Perusahaan Penjaminan atau
Perusahaan Penjaminan Syariah adalah melakukan
Penjaminan dengan menanggung pembayaran atas
kewajiban finansial Terjamin kepada Penerima
Jaminan apabila Terjamin tidak dapat memenuhi
kewajibannya berdasarkan perjanjian yang telah
disepakati.
(2) Kegiatan usaha Perusahaan Penjaminan Ulang
atau Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah adalah
melakukan Penjaminan Ulang dengan menanggung
pembayaran atas kewajiban finansial Perusahaan
Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Syariah
kepada...
-5-
kepada Penerima Jaminan apabila Terjamin tidak
dapat memenuhi kewajibannya berdasarkan
perjanjian yang telah disepakati dan Perusahaan
Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Syariah
telah membayar pemenuhan kewajiban finansial
Terjamin.
Pasal 3
(1) Kegiatan usaha Penjaminan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) antara lain:
a. Penjaminan Kredit atau Pembiayaan
Berdasarkan Prinsip Syariah yang disalurkan
oleh Lembaga Keuangan;
b. Penjaminan Kredit dan/atau pinjaman atau
Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah yang
disalurkan oleh koperasi simpan pinjam kepada
anggotanya;
c. Penjaminan kredit dan/atau pinjaman atau
Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah
program kemitraan yang disalurkan oleh badan
usaha milik negara dalam rangka program
kemitraan dan bina lingkungan (PKBL);
dan/atau
d. Penjaminan atas surat utang.
(2) Selain melakukan kegiatan usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Perusahaan Penjaminan
atau Perusahaan Penjaminan Syariah dapat
melakukan kegiatan lainnya, yaitu:
a. Penjaminan transaksi dagang;
b. Penjaminan pengadaan barang dan/atau jasa
(surety bond);
c. Penjaminan bank garansi (kontra bank garansi);
d. Penjaminan surat kredit berdokumen dalam
negeri (SKBDN);
e. Penjaminan letter of credit (L/C);
f. Penjaminan kepabeanan (custom bond);
g. Penjaminan lainnya setelah memperoleh
persetujuan Otoritas Jasa Keuangan;
h. Jasa konsultasi manajemen terkait dengan
kegiatan usaha Penjaminan; dan/atau
i. Penyediaan…
-6-
i. Penyediaan informasi/database Terjamin terkait
dengan kegiatan usaha Penjaminan.
(3) Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan
Penjaminan Syariah yang akan melakukan
kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e,
huruf f, dan huruf gwajib terlebih dahulu
melaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan
dengan prosedur sebagai berikut:
a. menyampaikan proposal terkait kegiatan
penjaminan yang akan dijalankan dengan
disertai uraian paling sedikit mengenai produk,
manfaat, mekanisme klaim,sertahak dan
kewajiban para pihak;
b. berdasarkan pelaporan tersebut Otoritas Jasa
Keuangan akan mengeluarkan surat terkait
pencatatan kegiatan penjaminan tersebut
sebagai salah satu kegiatan yang dijalankan
Lembaga Penjaminan dimaksud dalam
administrasi Otoritas Jasa Keuangan paling
lambat 30 (tiga puluh) hari setelah proposal
sebagaimana dimaksud huruf a diterima.
(4) Kegiatan usaha Penjaminan Ulangsebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) antara lain:
a. Penjaminan Kredit atau Pembiayaan
Berdasarkan Prinsip Syariah yang disalurkan
oleh Lembaga Keuangan;
b. Penjaminan Kredit dan/atau pinjaman atau
Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah yang
disalurkan oleh koperasi simpan pinjam kepada
anggotanya;
c. Penjaminan Kredit dan/atau pinjaman atau
Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah
program kemitraan yang disalurkan oleh badan
usaha milik negara dalam rangka program
kemitraan dan bina lingkungan (PKBL);
dan/atau
d. Penjaminan atas surat utang.
(5) Perusahaan Penjaminan Ulang atau Perusahaan
Penjaminan Ulang Syariah dapat melakukan
kegiatan…
-7-
kegiatan usaha lainnya sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) kecuali huruf h dan huruf i.
(6) Perusahaan Penjaminan Ulang atau Perusahaan
Penjaminan Ulang Syariah yang akan melakukan
kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat
(5), wajib terlebih dahulu melaporkan kepada
Otoritas Jasa Keuangan dengan prosedur
sebagaimana dimaksud dalam ayat (3).
Pasal 4
(1) Dalam melakukan kegiatan usahanya, Perusahaan
Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Syariah
dapat menggunakan jasa agen penjamin.
(2) Agen penjamin sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan perseorangan atau badan hukum yang
melakukan pemasaran kegiatan usaha Penjaminan
untuk dan atas nama Perusahaan Penjaminan atau
Perusahaan Penjaminan Syariah.
(3) Agen penjamin sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) harus tercatat di asosiasi perusahaan
penjaminan Indonesia.
(4) Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan
Penjaminan Syariah harus memiliki perjanjian
keagenan dengan agen penjamin yang melakukan
pemasaran untuk dan atas nama Perusahaan
Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Syariah.
(5) Semua tindakan agen penjamin yang berkaitan
dengan transaksi Penjaminan menjadi tanggung
jawab Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan
Penjaminan Syariah yang diageni.
(6) Dalam perjanjian keagenan sebagaimana dimaksud
pada ayat (4), Perusahaan Penjaminan atau
Perusahaan Penjaminan Syariah harus
mencantumkan klausula pemberian komisi kepada
agen Penjamin paling tinggi sebesar 20% (dua puluh
per seratus) dari IJP.
Pasal 5
Perusahaan Penjaminan dan Perusahaan Penjaminan
Syariah harus menjadi anggota asosiasi perusahaan
penjaminan Indonesia.
Pasal 6…
-8-
Pasal 6
(1) Lembaga Penjaminan wajib menjaga likuiditasnya.
(2) Rasio likuiditas Lembaga Penjaminan ditetapkan
paling sedikit 150% (seratus lima puluh per
seratus).
(3) Rasio likuiditas sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dihitung dengan menggunakan current ratio yaitu
perbandingan antara aset lancar dengan utang
lancar.
Pasal 7
(1) Perusahaan Penjaminanhanya dapat melakukan
investasi dalam bentuk:
a. deposito pada bank;
b. surat berharga negara dan/atau surat berharga
syariah negara;
c. surat berharga dan/atau surat berharga syariah
yang diterbitkan oleh Bank Indonesia;
d. obligasi korporasi dan/atau sukuk korporasi
yang masuk peringkat investasi (investment
grade) dari lembaga pemeringkat efek yang telah
memiliki izin usaha di Otoritas Jasa Keuangan;
e. saham yang tercatat di Bursa Efek Indonesia;
f. reksa dana dan/atau reksa dana syariah;
g. efek beragun aset yang tercatat di Bursa Efek
Indonesia;dan/atau
h. penyertaan langsungpada perusahaan di sektor
jasa keuangan di Indonesia.
(2) Perusahaan Penjaminan Ulang hanya dapat
melakukan investasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a sampai dengan huruf g.
(3) Pembatasan atas investasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) adalah sebagai berikut:
a. investasi dalam bentuk deposito adalah:
1. pada setiap bank umum ditetapkan paling
tinggi 25% (dua puluh lima per seratus) dari
jumlah investasi;
2. pada setiap bank perkreditan rakyat
ditetapkan…
-9-
ditetapkan paling tinggi sebesar nilai
penjaminan dari
Lembaga
Penjamin
Simpanan atas simpanan atau deposito
setiap nasabah bank perkreditan rakyat
dimaksud;
3. bagi Perusahaan Penjaminan yang dimiliki
oleh Pemerintah Daerah dan lingkup
operasional di tingkat provinsi, maka
ketentuan sebagaimana dimaksud angka 1
tidak berlaku.
b. investasi dalam bentuk surat berharga negara
dan/atau surat berharga syariah negara
ditetapkan paling tinggi 50% (lima puluh per
seratus) dari jumlah investasi;
c. investasi dalam bentuk surat berharga dan/atau
surat berharga syariah yang diterbitkan oleh
Bank Indonesia ditetapkan paling tinggi 50%
(lima puluh per seratus) dari jumlah investasi;
d. investasi dalam bentuk obligasi korporasi
dan/atau sukuk korporasi yang masuk peringkat
investasi (investment grade) pada saat
penempatan ditetapkan paling tinggi 10%
(sepuluh per seratus) untuk setiap penerbit dan
seluruhnya paling tinggi 20% (dua puluh per
seratus) dari jumlah investasi;
e. investasi dalam bentuk saham yang tercatat di
Bursa Efek Indonesia ditetapkan paling tinggi 5%
(lima per seratus) dari jumlah investasi untuk
setiap emiten dan seluruhnya paling tinggi 20%
(dua puluh per seratus) dari jumlah investasi;
f. investasi dalam bentuk reksadana dan/atau
reksadana syariah ditetapkan paling tinggi 5%
(lima per seratus) dari jumlah investasi untuk
setiap manajer investasi dan seluruhnya paling
tinggi 20% (dua puluh per seratus) dari jumlah
investasi;
g. investasi dalam bentuk efek beragun aset yang
tercatat di Bursa Efek Indonesia, paling tinggi 5%
(lima per seratus) dari jumlah investasi untuk
setiap manajer investasi atau penerbit dan
seluruhnya paling tinggi sebesar 20% (dua puluh
per seratus) dari jumlah investasi; dan/atau
h. investasi…
-10-
h. investasi dalam bentuk penyertaan langsung
pada perusahaan di sektor jasa keuangan di
Indonesia ditetapkan paling tinggi sebesar 10%
(sepuluh per seratus) dari jumlah investasi.
(4) Bagi Perusahaan Penjaminan yang mendapatkan
penugasan khusus dari Pemerintah, investasi dalam
bentuk penyertaan langsung pada sektor jasa
keuangan di Indonesia dapat melebihi 10% (sepuluh
per seratus) dari jumlah investasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) huruf h dan paling tinggi
sebesar 15% (lima belas per seratus) dari jumlah
investasi.
(5) Investasi dalam bentuk penyertaan langsung pada
perusahaan di sektor jasa keuangan di Indonesia
bagi Perusahaan Penjaminan yang mendapatkan
penugasan khusus dari Pemerintah sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) wajib terlebih dahulu
mendapatkan persetujuan dari Otoritas Jasa
Keuangan.
(6) Jumlah seluruh penempatan investasi pada obligasi
korporasi dan/atau sukuk korporasi, saham yang
tercatat di Bursa Efek Indonesia, reksadana
dan/atau reksadana syariah, efek beragun aset yang
tercatat di Bursa Efek Indonesia, dan penyertaan
langsung pada perusahaan di sektor keuangan di
Indonesia, paling tinggi 60% (enam puluh per
seratus) dari jumlah investasi.
(7) Jumlah seluruh investasi Lembaga Penjaminan
yang ditempatkan pada pihak yang terafiliasi tidak
termasuk penyertaan langsung, paling tinggi
sebesar 10% (sepuluh perseratus) dari jumlah
investasi.
(8) Penempatan investasi pada pihak yang terafiliasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (7), tidak
termasuk hubungan karena kepemilikan atau
penyertaan modal oleh pemerintah pusat atau
pemerintah daerah.
Pasal 8
(1) Perusahaan Penjaminan Syariahhanya dapat
melakukan investasi dalam bentuk:
a. deposito…
-11-
a. deposito pada bank umum syariah dan bank
pembiayaanrakyat syariah;
b. surat berharga syariah negara;
c. surat berharga syariah yang diterbitkan oleh
Bank Indonesia;
d. sukuk korporasi yang masuk peringkat investasi
(investment grade) dari lembaga pemeringkat efek
yang telah memiliki izin dari Otoritas Jasa
Keuangan;
e. saham yang tercatat di bursa efek Indonesia dan
masuk dalam daftar efek syariah yang ditetapkan
oleh Otoritas Jasa Keuangan;
f. reksadana syariah;
g. efek beragun aset syariah yang tercatat di Bursa
Efek Indonesia; dan/atau
h. penyertaan langsung pada perusahaan di sektor
keuangan di Indonesia.
(2) Perusahaan Penjaminan Ulang Syariahhanya dapat
melakukan investasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a sampai dengan huruf g.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada Pasal 7
ayat (3), ayat (6), ayat (7), dan ayat (8)mutatis
mutandis berlaku bagi investasi Perusahaan
Penjaminan Syariah dan Perusahaan Penjaminan
Ulang Syariah.
Pasal 9
Lembaga Penjaminan wajib memiliki cadangan Klaim
paling sedikit 0,25% (nol koma dua puluh lima per
seratus) dari nilai Penjaminan yang ditanggung oleh
Lembaga Penjaminan.
Pasal 10
(1) Lembaga Penjaminan wajib memiliki cadangan
umum paling sedikit 25% (dua puluh lima per
seratus) dari laba bersih atau selisih hasil usaha
pada tiap akhir periode laporan tahunan.
(2) Cadangan umum sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) hanya dapat dipergunakan untuk menutup
kerugian.
BAB III…
-12-
BAB III
PEMBATASAN
Pasal 11
(1) Lembaga Penjaminan dilarang:
a. memberikan pinjaman; atau
b. menerima pinjaman.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a dikecualikan bagi Perusahaan Penjaminan
dan Perusahaan Penjaminan Syariah dalam rangka
melakukan restrukturisasi penjaminan bagi usaha
mikro, kecil, dan menengah.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b dikecualikan bagi Perusahaan Penjaminan
dan Perusahaan Penjaminan Syariah yang
menerima pinjaman dengan menerbitkan obligasi
wajib konversi (mandatory convertible bonds).
BAB IV
PERSYARATAN PEMBERIAN JASA PENJAMINAN
Pasal 12
(1) Pemberian jasa Penjaminan paling sedikitmemenuhi
persyaratan:
a. Penjaminan langsung:
1. telah dilakukan analisis kelayakan calon
Terjamin yang dilakukan oleh calon Penerima
Jaminan;
2. terdapat permohonan Penjaminan dari calon
Terjamin kepada Perusahaan Penjaminan
atau Perusahaan Penjaminan Syariah;
3. terdapat surat penegasan permintaan
Penjaminan dari calon Penerima Jaminan
kepada
Perusahaan
Perusahaan Penjaminan Syariah;
4. telah dilakukan analisis kelayakan calon
Terjamin yang dilakukan oleh Perusahaan
Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan
Syariah;
5. telah dilakukan pembayaran IJP kepada
Perusahaan…
Penjaminan atau
-13-
Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan
Penjaminan Syariah; dan
6. telah diterbitkan Sertifikat Penjaminan.
b. Penjaminan tidak langsung:
1. telah dilakukan analisis kelayakan calon
Terjamin yang dilakukan oleh calon Penerima
Jaminan;
2. terdapat permohonan Penjaminan dari calon
Terjamin melalui Penerima Jaminan;
3. terdapat perjanjian kerja sama antara
Penerima Jaminan dan Perusahaan
Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan
Syariah;
4. telah dilakukan pembayaran IJP kepada
Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan
Penjaminan Syariah; dan
5. telah diterbitkan Sertifikat Penjaminan.
(2) Dalam hal kegiatan Penjaminan dilakukan dalam
bentuk Penjaminan bersama (co-guarantee),
persyaratan penerbitan Sertifikat Penjaminan hanya
dipersyaratkan bagi salah satu Perusahaan
Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Syariah.
(3) Mekanisme Penjaminan bersama (co-guarantee)
sebagaimana dimaksud pada ayat (2)harus
dituangkan dalam perjanjian antara para pihak
sebagai Penjamin yang paling sedikit memuat:
a. Identitas para pihak sebagai Penjamin.
b. Proporsi pendapatan IJP antara pihak selaku
Penjamin;
c. Proporsi klaim yang harus dibayarkan kepada
penerima jaminan antara pihak selaku Penjamin
dalam hal terjadi klaim;
d. Tanggung jawab dan kewajiban masing-masing
pihak dalam proses persetujuan penjaminan; dan
e. Tanggung jawab dan kewajiban masing-masing
pihak dalam proses verifikasi atas pengajuan
klaim dari penerima jaminan.
(4) Pembayaran IJP sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dapat dilakukan setelah diterbitkannya
Sertifikat…
-14-
Sertifikat Penjaminan bagi Penjaminan program
Pemerintah.
Pasal 13
(1) Sertifikat Penjaminan sebagaimana dimaksud Pasal
12 ayat(1) huruf a angka 6 dan Pasal 12 ayat (1)
huruf b angka 5 harus memuat paling kurang
ketentuan mengenai:
a. nama dan alamat Perusahaan Penjaminan,
Penerima Jaminan, danTerjamin;
b. uraian manfaat Penjaminan;
c. jenis Penjaminan;
d. nilai Penjaminan;
e.
f.
nilai IJP; dan
jangka waktu Penjaminan.
(2) Lampiran yang berisi dokumen pendukung dari
Sertifikat Penjaminan merupakan satu kesatuan
yang tidak terpisah dari Sertifikat Penjaminan.
Pasal 14
Perjanjian kerja sama sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12 ayat (1) huruf b angka 3 harus memuat paling
kurang:
a. nama dan alamat Perusahaan Penjaminan atau
Perusahaan Penjaminan Syariah, dan Penerima
Jaminan;
b. uraian manfaat Penjaminan;
c. hak dan kewajiban Perusahaan Penjaminan atau
Perusahaan Penjaminan Syariah, Penerima
Jaminan, danTerjamin;
d. cara pembayaran IJP;
e. waktu yang diakui sebagai saat diterimanya
pembayaran IJP;
f. pembatalan kontrak perjanjian Penjaminan, baik
dari pihak Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan
Penjaminan Syariahmaupun Penerima Jaminan,
termasuk syarat dan penyebabnya;
g. syarat dan tatacara pengajuan Klaim, termasuk
bukti pendukung yang diperlukan dalam pengajuan
Klaim;
h. tata…
-15-
h. tata cara pelaksanaan peralihan hak tagih setelah
Klaim dibayar oleh Perusahaan Penjaminanatau
Perusahaan Penjaminan Syariah;
i. pemilihan tempat penyelesaian perselisihan; dan
j. bahasa yang dijadikan acuan dalam hal terjadi
sengketa atau beda pendapat untuk sertifikat
penjaminan yang dicetak dalam 2 (dua) bahasa atau
lebih.
Pasal 15
(1) Penjaminan dapat dibatalkan, apabila:
a. Penerima Jaminan atau Terjamin terbukti
memberikan informasi, data, atau dokumen
palsu;
b. Penerima Jaminan atau Terjamin secara nyata
menyembunyikan informasi, data atau dokumen
yang tidak sesuai dengan ketentuan
Penjaminan; atau
c. Penerima Jaminan atau Terjamin terbukti
melanggar ketentuan yang diatur dalam
perjanjian kerjasama.
(2) Penjaminan Ulang dapat dibatalkan dalam hal
terjadi pembatalan Penjaminan yang disebabkan
terpenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).
Pasal 16
(1) Penjaminan tidak dapat diberikan, apabila calon
Terjamin tercatat dalam daftar Kredit/pembiayaan
macet perbankan atau lembaga keuangan bukan
bank.
(2) Penjaminan bagi Usaha Produktif hanya dapat
diberikan, apabila calon Terjamin memenuhi
persyaratan:
a. usaha perseorangan oleh warga negara
Indonesia, badan hukum Indonesia atau bentuk
usaha lain yang diakui oleh peraturan
perundang-undangan yang berlaku yang dimiliki
warga negara Indonesia;
b. memiliki lokasi usaha atau domisili usaha yang
tetap di wilayah Republik Indonesia; dan
c. penggunaan...
-16-
c. penggunaan Kredit dan/atau pembiayaan yang
akan dijamin untuk kegiatan usaha di wilayah
Republik Indonesia.
BAB V
IMBAL JASA PENJAMINAN
Pasal 17
(1) Dalam
melaksanakan kegiatan usahanya,
Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan
Penjaminan Syariah menerima IJP dan Perusahaan
Penjaminan Ulang atau Perusahaan Penjaminan
Ulang Syariah menerima IJPU.
(2) Besarnya tarif IJP dan IJPU ditetapkan dengan
pertimbangan, antara lain:
a. risiko yang dijamin yang dihitung berdasarkan
antara lain:
1. rasio klaim;
2. jenis kredit atau pembiayaan;
3. cakupan Penjaminan; dan
4. jangka waktu Penjaminan;
b. biaya administrasi umum, operasional dan
pemasaran; dan
c. keuntungan.
(3) KetentuanIJP sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2), tidak berlaku bagi penjaminan program
pemerintah.
BAB VI
KLAIM DAN PERALIHAN HAK TAGIH
Bagian Kesatu
Klaim
Pasal 18
(1) Pengajuan Klaim oleh Penerima Jaminan kepada
Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan
Penjaminan Syariah dapat dilakukan, apabila
Terjamin gagal memenuhi kewajibannya.
(2) Pengajuan KlaimolehPerusahaan Penjaminan atau
Perusahaan
Penjaminan
Syariah
kepada
Perusahaan…
-17-
Perusahaan Penjaminan Ulang atau Perusahaan
Penjaminan Ulang Syariah dilakukan setelah
Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan
Penjaminan Syariah membayar kewajiban finansial
Terjamin kepada Penerima Jaminan.
Pasal 19
(1) Lembaga Penjaminan dilarang melakukan tindakan
yang dapat memperlambat penyelesaian atau
pembayaran Klaim, atau tidak melakukan tindakan
yang seharusnya dilakukan yang dapat
mengakibatkan kelambatan penyelesaian atau
pembayaran Klaim.
(2) LembagaPenjaminan
wajib
memberikan
persetujuan atau penolakan atas permohonan
pembayaran Klaim paling lambat 14 (empat belas)
hari sejak diterimanya secara lengkap permohonan
pembayaran Klaim.
(3) LembagaPenjaminan wajib membayar Klaim dalam
jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari
setelah Klaim disetujui.
Bagian Kedua
Peralihan Hak Tagih
Pasal 20
(1) Sejak Klaim dibayar oleh Perusahaan Penjaminan
atau Perusahaan Penjaminan Syariah, hak tagih
Penerima Jaminan kepada Terjamin beralih menjadi
hak tagih Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan
Penjaminan Syariah (subrogasi).
(2) Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan
Penjaminan Syariahdapat membuat perjanjian
dengan Penerima Jaminan agar Penerima Jaminan
melakukan upaya penagihan atas hak tagih
Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan
Penjaminan Syariah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) untuk dan atas nama Perusahaan
Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Syariah.
(3) Perusahaan Penjaminan, Perusahaan Penjaminan
Syariah, Perusahaan Penjaminan Ulang dan
Perusahaan…
-18-
Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah memperoleh
hasil penagihan secara proporsional.
BAB VII
RETENSI SENDIRI
Pasal 21
(1) Perusahaan Penjaminan dan Perusahaan
Penjaminan Syariah wajib memiliki retensi sendiri
untuk setiap risiko Penjaminan.
(2) Retensi sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) adalah bagian dari jumlah uang Penjaminan
untuk setiap risiko yang menjadi tanggungan
sendiri Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan
Penjaminan Syariah tanpa dukungan Perusahaan
Penjaminan Ulang atau Perusahaan Penjaminan
Ulang Syariah.
(3) Retensi sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) paling tinggi:
a) 5% (lima per seratus) per Terjamin dari ekuitas
Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan
Penjaminan Syariah
untuk Terjamin
perorangan, badan usaha, perseroan terbatas,
dan unit usaha milik yayasan.
b) 10% (sepuluh per seratus) per Terjamin dari
ekuitas Perusahaan Penjaminan atau
Perusahaan Penjaminan Syariah
Terjamin kelompok dan koperasi.
(4) Dalam hal Perusahaan Penjaminan dan Perusahaan
Penjaminan Syariah memberikan penjaminan
melebihi batas maksimum sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) wajib mendapat dukungan
Perusahaan Penjaminan Ulang atau Perusahaan
Penjaminan Ulang Syariah.
(5) Dalam hal dukungan penjaminan ulang dari
Perusahaan Penjaminan Ulang atau Perusahaan
Penjaminan Ulang Syariah sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) tidak diperoleh, dukungan Penjaminan
Ulang dapat diperoleh dari Perusahaan Penjaminan
atau Perusahaan Penjaminan Syariah lain atau
perusahaan asuransi.
(6) Nilai Penjaminan Ulang yang dapat dilaksanakan
oleh Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan
Penjaminan Syariah sebagaimana dimaksud pada
ayat (5) paling tinggi 30% (tiga puluh perseratus)
dari total nilai Penjaminan.
BAB VIII...
untuk
-19-
BAB VIII
GEARING RATIO DAN NILAI PENJAMINAN
BAGI USAHA PRODUKTIF
Pasal 22
(1) Dalam rangka menyelenggarakan usaha
Penjaminan atau Penjaminan Ulang yang sehat,
Lembaga Penjaminan wajib menjaga Gearing Ratio.
(2) Gearing Ratio sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan perbandingan antara total nilai
Penjaminan atau Penjaminan Ulang yang
ditanggung sendiri dengan ekuitas Lembaga
Penjaminan pada waktu tertentu.
(3) Ekuitas Lembaga Penjaminan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) merupakan:
a. penjumlahan dari modal disetor, cadangan, dan
laba, dikurangi kerugian, dalam hal Lembaga
Penjaminan berbentuk badan hukum perseroan
terbatas, perusahaan umum, perusahaan
perseroan dan perusahaan daerah; atau
b. penjumlahan dari setoran pokok, sertifikat
modal dan sisa hasil usaha, dikurangi
penyertaan dan kerugian, dalam hal Lembaga
Penjaminan berbentuk badan hukum koperasi.
(4) Gearing Ratio untuk Penjaminan atau Penjaminan
Ulang bagi Usaha Produktif ditetapkan paling tinggi
10 (sepuluh) kali.
(5) Total Gearing Ratio bagi Lembaga Penjaminan
ditetapkan paling tinggi 40 (empat puluh) kali.
Pasal 23
(1) Otoritas Jasa Keuangan akan menyampaikan
pemberitahuan secara tertulis dalam hal terdapat
Lembaga Penjaminan yang tidak memenuhi
ketentuan Gearing Ratio Usaha Produktif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (4) dan
total Gearing Ratio sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 22 ayat (5).
(2) Lembaga Penjaminan yang tidak memenuhi
ketentuan Gearing Ratio
Usaha
Produktif
sebagaimana...
-20-
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (4) dan
total Gearing Ratio sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 22 ayat (5), diberikan jangka waktu paling
lambat 6 (enam) bulan setelah tanggal surat
pemberitahuan kepada Lembaga Penjaminan untuk
memenuhi ketentuan Gearing Ratio.
(3) Lembaga Penjaminan yang tidak memenuhi
ketentuan Gearing Ratio sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan (2) wajib menyampaikan rencana
pemenuhan Gearing Ratio yang telah disetujui oleh
Dewan Komisariskepada Otoritas Jasa Keuangan.
(4) Rencana pemenuhan Gearing Ratio memuat
langkah-langkah antara lain:
a. restrukturisasi Penjaminan atau Penjaminan
Ulang;
b. penghentian pemberian Penjaminan atau
Penjaminan Ulang baru;
c. penambahan modal atau setoran pokok dan
sertifikat modal oleh pemegang saham;
dan/atau
d. penggabungan badan usaha.
(5) Rencana pemenuhan Gearing Ratio sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) disampaikan paling lambat
1 (satu) bulan sejak tanggal surat pemberitahuan
kepada Lembaga Penjaminan.
(6) Dalam hal jangka waktu 6 (enam) bulan sejak
tanggal surat pemberitahuan dari Otoritas Jasa
Keuangan telah lewat dan Lembaga Penjaminan
belum dapat memenuhi ketentuan tingkat Gearing
Ratio yang dipersyaratkan, maka Lembaga
Penjaminan dikenakan sanksi administratif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32.
Pasal 24
(1) Perusahaan Penjaminan dan Perusahaan
Penjaminan Syariah wajib memiliki nilai
Penjaminan bagi Usaha Produktif paling sedikit
20% (dua puluh per seratus) dari total nilai
Penjaminan.
(2) Nilai…
-21-
(2) Nilai
Penjaminan
bagi
Usaha Produktif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
dipenuhi dalam jangka waktu paling lambat 2 (dua)
tahun sejak mendapatkan izin usaha.
BAB IX
KEGIATAN PENJAMINAN DAN PENJAMINAN ULANG
BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH
Pasal 25
Perusahaan
Penjaminan Syariah,
Perusahaan
Penjaminan Ulang Syariah dan Unit Usaha Syariah
wajib menerapkan prinsip dasar sebagai berikut:
a. dipenuhinya prinsip keadilan ('adl), dapat dipercaya
(amanah), keseimbangan (tawazun), kemaslahatan
(maslahah), dan keuniversalan (syumul); dan
b. tidak mengandung hal-hal yang diharamkan, seperti
ketidakpastian/ketidakjelasan (gharar), perjudian
(maysir),bunga (riba), penganiayaan (zhulum), suap
(risywah), maksiat, dan obyek haram.
Pasal 26
(1) Perjanjian Penjaminan dan perjanjian Penjaminan
Ulang dengan Prinsip Syariah wajib menggunakan
akad kafalah bil ujrah.
(2) Akad kafalah bil ujrah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) paling sedikitmemuat:
a. Obyek yang dijamin dapat seluruh atau sebagian
dari :
1. kewajiban bayar (dayn) yang timbul
daritransaksi syariah; dan
2. hal lain yang dapat dijamin berdasarkan
Prinsip Syariah.
b. Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh
para pihak untuk menunjukkan kehendak
mereka dalam mengadakan kontrak (akad).
c. Besaran IJP harus ditetapkan dalam akad
berdasarkan kesepakatan.
d. Kafalah bil ujrah bersifat mengikat dan tidak
boleh dibatalkan secara sepihak.
Pasal 27
Perusahaan Penjaminan dan Perusahaan Penjaminan
Ulang…
-22-
Ulang, dapat menyelenggarakan sebagian kegiatan
usahanya berdasarkan Prinsip Syariah dengan
membentuk Unit Usaha Syariah.
BAB X
LAPORAN
Pasal 28
(1) Lembaga Penjaminan wajib menyampaikan laporan
bulanan secara lengkap dan benar kepada Otoritas
Jasa Keuangan.
(2) Ketentuan mengenai bentuk, susunan dan
penyampaian laporan bulanan diatur dalam
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai
Laporan Bulanan Industri Keuangan Non Bank.
Pasal 29
(1) Lembaga Penjaminan wajib menyampaikan laporan
keuangan tahunan yang telah diaudit oleh akuntan
publik secara lengkap dan benar kepada Otoritas
Jasa Keuangan paling lambat 4 (empat) bulan
setelah tahun buku berakhir.
(2) Tahun buku sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berdasarkan tahun takwim.
(3) Laporan keuangan tahunan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) disusun berdasarkan standar
akuntansi yang berlaku.
(4) Laporan keuangan tahunan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) disusun dalam mata uang Rupiah.
(5) Laporan keuangan tahunan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) disampaikan secara tertulis kepada
Otoritas Jasa Keuangan dengan alamat
sebagaimana tertera pada laman resmi Otoritas
Jasa Keuangan.
(6) Dalam hal batas akhir penyampaian laporan jatuh
pada hari libur, batas akhir penyampaian laporan
adalah hari kerja pertama berikutnya.
(7) Lembaga Penjaminanyang
menyampaikan
pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
namun telah lewat dari jangka waktu pelaporan,
dikenakan…
-23-
dikenakan sanksi administratif peringatan dan
berakhir dengan sendirinya.
Pasal 30
Dalam hal Lembaga Penjaminan memperoleh izin
usaha kurang dari 6 (enam) bulan hingga tahun
takwim berakhir, kewajiban penyampaian laporan
keuangan tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
29 mulai berlaku pada tahun takwim berikutnya.
BAB XI
PENGUMUMAN LAPORAN KEUANGAN
Pasal 31
(1) Lembaga Penjaminan wajib mengumumkan neraca
dan perhitungan laba rugi singkat paling lambat 4
(empat) bulan setelah tahun buku berakhir, paling
sedikit pada 1 (satu) surat kabar harian di
Indonesia yang memiliki peredaran luas di lingkup
wilayah operasional.
(2) Lembaga Penjaminan wajib melaporkan
pelaksanaan pengumuman sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) secara tertulis kepada Otoritas Jasa
Keuangan paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah
pelaksanaan pengumuman, dilampiri dengan bukti
pengumuman.
(3) Lembaga Penjaminanyang
pengumuman serta
pelaporan
menyampaikan
sebagaimana
dimaksud dalamayat (1) dan (2), namun telah lewat
dari jangka waktu penyampaian, dikenakan sanksi
administratif peringatan dan berakhir dengan
sendirinya.
BAB XII
SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 32
(1) Lembaga Penjaminan yang tidak memenuhi
ketentuan Pasal 3 ayat (3), Pasal 3 ayat (6), Pasal 6
ayat (2), Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 ayat (1),
Pasal 11, Pasal 19, Pasal 21 ayat (1), Pasal 21 ayat
(4), Pasal 23 ayat (3), Pasal 23 ayat (5), Pasal 24,
Pasal 25…
-24-
Pasal 25, dan Pasal 26 Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini, dikenakan sanksi administratif
berupa:
a. surat peringatan;
b. pembekuan kegiatan usaha; atau
c. pencabutan izin usaha.
(2) Sanksi administratif berupa surat peringatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a,
diberikan secara tertulis paling banyak 3 (tiga) kali
berturut-turut dengan masa berlaku masing-
masing 60 (enam puluh) hari.
(3) Dalam hal sebelum berakhirnya masa berlaku surat
peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
Lembaga Penjaminan telah memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa
Keuangan mencabut sanksi peringatan.
(4) Dalam hal masa berlaku sanksi surat peringatan
ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
berakhir serta Lembaga Penjaminan tetap tidak
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan mengenakan
sanksi administratif berupa pembekuan kegiatan
usaha.
(5) Sanksi pembekuan kegiatan usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) diberikan secara tertulis
dan berlaku selama jangka waktu 6 (enam) bulan
sejak surat sanksi pembekuan kegiatan usaha
diterbitkan.
(6) Selama masa berlaku sanksi pembekuan kegiatan
usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (4),
Lembaga Penjaminan:
a. dilarang melakukan Penjaminan atau
Penjaminan Ulang baru; dan
b. tetap bertanggung jawab untuk menyelesaikan
segala kewajiban termasuk kewajiban
Penjaminan atau Penjaminan Ulang yang telah
dilakukan sebagaimana tercantum dalam
sertifikat penjaminan dan/atau perjanjian kerja
sama.
(7) Dalam...
-25-
(7) Dalam hal masa berlaku sanksi peringatan
dan/atau sanksi pembekuan kegiatan usaha
berakhir pada hari libur, sanksi peringatan
dan/atau sanksi pembekuan kegiatan usaha
berlaku hingga hari kerja pertama berikutnya.
(8) Dalam hal sebelum berakhirnya masa berlaku
sanksi pembekuan kegiatan usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (5), Lembaga Penjaminan telah
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan mencabut sanksi
pembekuan kegiatan usaha dimaksud.
(9) Dalam hal sampai dengan berakhirnya jangka waktu
sanksi pembekuan kegiatan usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (5), Lembaga Penjaminan tidak
juga memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan mencabut izin
usaha Lembaga Penjaminan yang bersangkutan.
BAB XIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 33
(1) Setiap sanksi administratif yang telah dikenakan
terhadap Lembaga Penjaminan berdasarkan
Peraturan
222/PMK.010/2008
tentang
Penjaminan Kredit dan Perusahaan Penjaminan
Ulang Kredit dan Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 99/PMK.010/2011 tentang Perubahan atas
Peraturan
222/PMK.010/2008
tentang
Penjaminan Kredit dan Perusahaan Penjaminan
Ulang Kredit, dinyatakan tetap sah dan berlaku.
(2) Lembaga Penjaminan yang belum dapat mengatasi
penyebab dikenakannya sanksi administratif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan
sanksi lanjutan sesuai dengan Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan ini.
Pasal 34
Bagi Lembaga Penjaminan yang telah memperoleh izin
usaha sebelum berlakunya Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan…
Menteri Keuangan Nomor
Perusahaan
Menteri Keuangan Nomor
Perusahaan
-26-
Keuangan ini wajib memenuhi ketentuan mengenai
investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dan
Pasal 8 dalam jangka waktu paling lambat 2 (dua)
tahun sejak berlakunya Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini.
BAB XIV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 35
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai
berlaku, ketentuan mengenai penyelenggaraan usaha
Lembaga Penjaminan tunduk pada Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan ini.
Pasal 36
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku
pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 7 April 2014
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN
ttd.
Ttd.
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 8 April 2014
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
AMIR SYAMSUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 73
Salinan sesuai dengan aslinya
KEPALA BAGIAN BANTUAN HUKUM
DIREKTORAT HUKUM,
Ttd.
MUFLI ASMAWIDJAJA
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 6/POJK.05/2014
TENTANG
PENYELENGGARAAN USAHA LEMBAGA PENJAMINAN
I. UMUM
Lembaga Penjaminan adalah sebagai salah satu lembaga keuangan non
bank yang diharapkan mampu untuk menjembatani akses UMKM pada
fasilitas pembiayaan perbankan, sehingga diharapkan dengan tumbuhnya
sektor UMKM dapat berdampak pada pertumbuhan ekonomi nasional.
Untuk itu diperlukan pengelolaan kegiatan usaha yang efektif dan efisien
yang dilaksanakan oleh Lembaga Penjaminan guna mewujudkan tujuan
dimaksud yang meliputi aturan mengenai investasi, persyaratan pemberian
penjaminan, pembentukan cadangan, tingkat retensi serta tingkat gearing
ratio yang diperkenankan.
Disamping itu dengan telah disahkannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan pada tanggal 22 November 2011,
maka tugas pengawasan atas Lembaga Penjaminan beralih kepada Otoritas
Jasa Keuangan sejak tanggal 31 Desember 2012, tentunya dibutuhkan
landasan hukum bagi Otoritas Jasa Keuangan dalam menjalankan fungsi
dan kewenangannya dalam mengawasi Lembaga Penjaminan sekaligus
menyempurnakan aturan yang sebelumnya sudah ada.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka Otoritas Jasa Keuangan
menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Penyelenggaraan
Usaha Lembaga Penjaminan.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Cukup jelas
Pasal 3
Cukup jelas
Pasal 4…
-2-
Pasal 4
Cukup jelas
Pasal 5
Cukup jelas
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Aset lancar dan utang lancar yang dimaksud dalam ayat ini
diperhitungkan berdasarkan standar akuntansi yang berlaku secara
umum.
Pasal 7
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Efek Beragun Aset meliputi Efek Beragun Aset kontrak investasi kolektif
(KIK-EBA) dan Efek Beragun Aset yang diterbitkan oleh PT Sarana
Multigriya Finansial (Persero)
Huruf h
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)…
-3-
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Yang dimaksud dengan pihak terafiliasi adalah :
a. Hubungan keluarga karena perkawinan dan keturunan sampai
derajat kedua, baik secara horizontal maupun vertikal;
b. Hubungan antara pihak dengan pegawai, direktur, atau
komisaris dari pihak tersebut;
c. Hubungan antara 2 (dua) perusahaan dimana terdapat satu
atau lebih anggota direksi atau dewan komisaris yang sama;
d. Hubungan antara perusahaan dan pihak, baik langsung
maupun tidak langsung, mengendalikan atau dikendalikan oleh
perusahaan tersebut;
e. hubunganantara 2 (dua) perusahaan yang dikendalikan, baik
langsung maupun tidak langsung, oleh pihak yang sama; atau
f. hubungan antara perusahaan dan pemegang saham utama.
Ayat (8)
Cukup jelas
Pasal 8
Cukup jelas
Pasal 9
Cukup jelas
Pasal 10
Cukup jelas
Pasal 11
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud memberikan pinjaman adalah bentuk kegiatan
pemberian pinjaman yang mengakibatkan Lembaga Penjaminan
memiliki lini bisnis sebagai pemberi pinjaman (kreditur) dengan orientasi
untuk mendapatkan keuntungan dari kegiatan dimaksud.
Huruf b…
-4-
Huruf b
Yang dimaksud menerima pinjaman adalah bentuk kegiatan
menerima pinjaman dalam bantuk uang tunai yang
mengakibatkan Lembaga Penjaminan memiliki kewajiban hutang
pinjaman dalam laporan posisi keuangan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan Penjaminan bersama adalah bentuk kegiatan
Penjaminan yang dilakukan oleh 2 (dua) atau lebih Lembaga Penjaminan
atau dapat juga berbentuk aliansi bisnis/konsorsium antara Lembaga
Penjaminan dan Perusahaan Asuransi untuk melakukan kegiatan
Penjaminan atas kewajiban financial Terjamin.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 13
Cukup jelas
Pasal 14
Cukup jelas
Pasal 15
Cukup jelas
Pasal 16
Cukup jelas
Pasal 17
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Rasio klaim diukur berdasarkan perbandingan antara jumlah klaim
dengan jumlah nilai pertanggungan dalam jangka waktu paling kurang 3
(tiga)tahun.
Ayat (3)…
-5-
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 18
Cukup jelas
Pasal 19
Cukup jelas
Pasal 20
Cukup jelas
Pasal 21
Cukup jelas
Pasal 22
Cukupjelas
Pasal 23
Cukup jelas
Pasal 24
Cukup jelas
Pasal 25
Cukup jelas
Pasal 26
Cukup jelas
Pasal 27
Cukupjelas
Pasal 28
Cukup jelas
Pasal 29
Ayat (1)
Cukupjelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)…
-6-
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Yang dimaksud dengan dikenakan sanksi administratif peringatan dan
berakhir dengan sendirinya adalah Lembaga Penjaminan menyampaikan
laporan keuangan tahunan pada tanggal 10 Mei, sementara ketentuan
penyampaian laporan keuangan tahunan adalah paling lambat tanggal
30 April, sehingga pelanggaran keterlambatan penyampaian laporan
dimaksud dikenakan sanksi peringatan pertama, namun dikarenakan
laporan dimaksud telah diterima oleh Otoritas Jasa Keuangan, maka
terhadap Lembaga Penjaminan dimaksud dikenakan sanksi
administratif peringatan pertama dan berakhir dengan sendirinya.
Pasal 30
Cukup jelas
Pasal 31
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan dikenakan sanksi administratif peringatan dan
berakhir dengan sendirinya adalah Lembaga Penjaminan menyampaikan
laporan bahwa telah mengumumkan neraca dan perhitungan laba rugi
singkat namun lewat dari ketentuan yang ditetapkan, sehingga
pelanggaran keterlambatan penyampaian laporan dan mengumumkan
neraca dan perhitungan laba rugi singkat dimaksud dikenakan sanksi
peringatan pertama, namun dikarenakan pengumuman telah dilakukan
dan pelaporannya telah diterima oleh Otoritas Jasa Keuangan, maka
terhadap Lembaga Penjaminan dimaksud dikenakan sanksi
administratif peringatan pertama dan berakhir dengan sendirinya.
Pasal 32
Cukup jelas
Pasal 33
Cukup jelas
Pasal 34…
-7-
Pasal 34
Cukup jelas
Pasal 35
Cukup jelas
Pasal 36
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5528
"," POJK
6/POJK.05/2014
PENYELENGGARAAN USAHA LEMBAGA PENJAMINAN
7 April 2014
8 April 2014
8 April 2014
'21/UU/2011', '2/PERPRES/2008'
'BAB XII'
"
" OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 15 /POJK.03/2017
TENTANG
PENETAPAN STATUS DAN TINDAK LANJUT PENGAWASAN BANK UMUM
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka mendukung terciptanya stabilitas
sistem keuangan, diperlukan sistem perbankan yang
sehat;
b. bahwa sebagai bagian dari upaya penyehatan perbankan,
permasalahan yang timbul dalam bank perlu diatasi
secara dini, dengan meningkatkan langkah pengawasan
terhadap bank sejak dalam pengawasan normal yang
kemudian berpotensi menjadi pengawasan intensif;
c. bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 9
Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis
Sistem Keuangan, perlu penyempurnaan ketentuan
mengenai penetapan status dan tindak lanjut pengawasan
bank umum;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a sampai dengan huruf c perlu menetapkan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Penetapan
Status dan Tindak Lanjut Pengawasan Bank Umum;
- 2 -
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992
Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga
Penjamin Simpanan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 96, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4420) sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7
Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2008 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004
tentang Lembaga Penjamin Simpanan Menjadi
Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4963);
3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4867);
4. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
5. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang
Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016
Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5872);
- 3 -
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
PENETAPAN STATUS DAN TINDAK LANJUT PENGAWASAN
BANK UMUM.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud
dengan:
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan,
dan Bank Umum Syariah sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah, termasuk kantor cabang dari bank
yang berkedudukan di luar negeri.
2. Lembaga Penjamin Simpanan yang selanjutnya disingkat
LPS adalah Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004
tentang Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang
Lembaga Penjamin Simpanan Menjadi Undang-Undang.
3. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat OJK
adalah lembaga yang independen, yang mempunyai
fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan,
pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang
Otoritas Jasa Keuangan.
4. Bank Sistemik adalah Bank yang karena ukuran aset,
modal, dan kewajiban; luas jaringan atau kompleksitas
- 4 -
transaksi atas jasa perbankan; serta keterkaitan dengan
sektor keuangan lain dapat mengakibatkan gagalnya
sebagian atau keseluruhan Bank lain atau sektor jasa
keuangan, baik secara operasional maupun finansial, jika
Bank tersebut mengalami gangguan atau gagal.
5. Bank Penerima adalah Bank selain bank perantara yang
menerima pengalihan aset dan/atau kewajiban dari bank
asal.
6. Pemegang Saham Pengendali bagi Bank yang selanjutnya
disingkat PSP adalah badan hukum, orang perseorangan,
dan/atau kelompok usaha yang:
a. memiliki saham perusahaan atau Bank sebesar 25%
(dua puluh lima persen) atau lebih dari jumlah saham
yang dikeluarkan dan mempunyai hak suara; atau
b. memiliki saham perusahaan atau Bank kurang
dari 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah saham
yang dikeluarkan dan mempunyai hak suara namun
yang bersangkutan dapat dibuktikan telah
melakukan pengendalian perusahaan atau Bank,
baik secara langsung maupun tidak langsung.
7. Direksi adalah:
a. bagi Bank berbentuk badan hukum Perseroan
Terbatas adalah direksi sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas;
b. bagi Bank berbentuk badan hukum Perusahaan
Umum Daerah atau Perusahaan Perseroan Daerah
adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah sebagaimana telah beberapa
kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah;
c. bagi Bank berbentuk badan hukum Koperasi adalah
pengurus sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang
Perkoperasian;
- 5 -
d. bagi kantor cabang dari bank yang berkedudukan di
luar negeri adalah pimpinan kantor cabang dari bank
yang berkedudukan di luar negeri yaitu pemimpin
kantor cabang dan pejabat satu tingkat di bawah
pemimpin kantor cabang.
8. Dewan Komisaris adalah:
a. bagi Bank berbentuk badan hukum Perseroan
Terbatas adalah dewan komisaris sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas;
b. bagi Bank berbentuk badan hukum Perusahaan
Umum Daerah adalah dewan pengawas sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015
tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah;
c. bagi Bank berbentuk badan hukum Perusahaan
Perseroan Daerah adalah komisaris sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015
tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah;
d. bagi Bank berbentuk badan hukum Koperasi adalah
pengawas sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang
Perkoperasian.
9. Giro Wajib Minimum yang selanjutnya disingkat GWM
adalah giro wajib minimum sebagaimana diatur dalam
ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai giro
wajib minimum.
- 6 -
Pasal 2
(1) Status pengawasan Bank ditetapkan oleh OJK.
(2) Status pengawasan Bank sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) terdiri atas:
a. pengawasan normal;
b. pengawasan intensif; atau
c. pengawasan khusus.
Pasal 3
(1) Bank dalam pengawasan intensif ditetapkan oleh OJK
dalam hal Bank dinilai memiliki potensi kesulitan yang
membahayakan kelangsungan usaha.
(2) Bank dinilai memiliki potensi kesulitan yang
membahayakan kelangsungan usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) jika memenuhi satu atau lebih
kriteria:
a.
rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM)
sama dengan atau lebih besar dari 8% (delapan
persen) namun kurang dari rasio KPMM sesuai profil
risiko Bank yang wajib dipenuhi oleh Bank;
b. rasio modal inti (tier 1) kurang dari persentase
tertentu yang ditetapkan oleh OJK;
c.
rasio GWM dalam rupiah sama dengan atau lebih
besar dari rasio yang ditetapkan untuk GWM dalam
rupiah yang wajib dipenuhi oleh Bank, namun
berdasarkan penilaian OJK Bank memiliki
permasalahan likuiditas mendasar;
d. rasio kredit bermasalah secara neto (Non Performing
Loan/NPL net) atau rasio pembiayaan bermasalah
secara neto (Non Performing Financing/NPF net) lebih
dari 5% (lima persen) dari total kredit atau total
pembiayaan;
e.
tingkat kesehatan Bank dengan peringkat
komposit 4 (empat) atau peringkat komposit 5 (lima);
dan/atau
f.
tingkat kesehatan Bank dengan peringkat komposit
3 (tiga) dan tata kelola dengan peringkat faktor tata
- 7 -
kelola 4 (empat) atau peringkat faktor tata
kelola 5 (lima).
Pasal 4
(1) Bank dalam pengawasan intensif sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ditetapkan oleh OJK untuk jangka waktu
paling lama 1 (satu) tahun sejak tanggal surat
pemberitahuan OJK.
(2) Jangka waktu pengawasan intensif sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang oleh OJK
paling banyak 1 (satu) kali dan paling lama 1 (satu) tahun
hanya untuk Bank dalam pengawasan intensif yang
memenuhi kriteria:
a.
rasio kredit bermasalah secara neto (NPL net) atau
rasio pembiayaan bermasalah secara neto (NPF net)
lebih dari 5% (lima persen) dari total kredit atau total
pembiayaan, dan penyelesaiannya bersifat kompleks;
b. tingkat kesehatan Bank dengan peringkat
komposit 4 (empat) atau peringkat komposit 5 (lima);
dan/atau
c.
tingkat kesehatan Bank dengan peringkat
komposit 3 (tiga) dan tata kelola dengan peringkat
faktor tata kelola 4 (empat) atau peringkat faktor tata
kelola 5 (lima).
(3) Perpanjangan jangka waktu Bank dalam pengawasan
intensif karena kriteria sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf b atau huruf c disertai peningkatan
tindakan pengawasan.
Pasal 5
(1) Bank ditetapkan oleh OJK dalam pengawasan khusus
dalam hal Bank yang ditetapkan dalam pengawasan
intensif atau Bank dalam pengawasan normal, dinilai
mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan
usaha.
- 8 -
(2) Bank dinilai mengalami kesulitan yang membahayakan
kelangsungan usaha sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dalam hal memenuhi satu atau lebih kriteria:
a.
rasio KPMM kurang dari 8% (delapan persen);
dan/atau
b. rasio GWM dalam rupiah kurang dari rasio yang
ditetapkan untuk GWM dalam rupiah yang wajib
dipenuhi oleh Bank, dan berdasarkan penilaian OJK:
1. Bank mengalami permasalahan likuiditas
mendasar; atau
2. Bank mengalami perkembangan likuiditas yang
memburuk dalam waktu singkat.
(3) Bank ditetapkan oleh OJK dalam pengawasan khusus
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk jangka waktu
paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal surat
pemberitahuan OJK.
BAB II
BANK SELAIN BANK SISTEMIK
Bagian Kesatu
Bank selain Bank Sistemik dalam Pengawasan Normal yang
Dinilai Memiliki Permasalahan Signifikan
Pasal 6
(1) Dalam hal Bank selain Bank Sistemik dalam pengawasan
normal dinilai memiliki permasalahan signifikan, Bank
selain Bank Sistemik wajib menyampaikan rencana tindak
(action plan) kepada OJK.
(2) Tata cara penyampaian rencana tindak (action plan) dan
langkah perbaikan yang akan dilaksanakan oleh Bank
selain Bank Sistemik yang dimuat dalam rencana tindak
(action plan) sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengacu pada ketentuan OJK mengenai penilaian tingkat
kesehatan bank umum dan ketentuan OJK mengenai
penilaian tingkat kesehatan bank umum syariah dan unit
usaha syariah.
- 9 -
Bagian Kedua
Bank selain Bank Sistemik dalam Pengawasan Intensif
Pasal 7
(1) Bank selain Bank Sistemik ditetapkan oleh OJK dalam
pengawasan intensif dalam hal memenuhi kriteria
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.
(2) Bank selain Bank Sistemik yang ditetapkan dalam
pengawasan intensif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberitahukan secara tertulis oleh OJK mengenai:
a. penetapan Bank selain Bank Sistemik dalam
pengawasan intensif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3; atau
b. penetapan perpanjangan jangka waktu Bank selain
Bank Sistemik dalam pengawasan intensif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2),
disertai dengan alasan penetapan serta langkah atau
tindakan pengawasan yang wajib dilakukan oleh Bank
selain Bank Sistemik.
Pasal 8
(1) Bank selain Bank Sistemik dalam pengawasan intensif
wajib melaksanakan tindakan pengawasan yang
diperintahkan oleh OJK.
(2) Tindakan pengawasan yang diperintahkan oleh OJK
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu:
a. menghapusbukukan kredit atau pembiayaan atau
penyaluran dana yang tergolong macet dan
memperhitungkan kerugian Bank selain Bank
Sistemik dengan modal Bank selain Bank Sistemik;
b. membatasi pembayaran remunerasi atau bentuk lain
yang dipersamakan dengan itu kepada anggota
Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau dewan
pengawas syariah, atau imbalan kepada pihak
terkait;
- 10 -
c.
tidak melakukan pembayaran kembali atau
pelunasan instrumen modal inti tambahan atau
instrumen modal pelengkap;
d. tidak melakukan atau menunda distribusi laba;
e. memperkuat atau menambah modal Bank selain
Bank Sistemik termasuk melalui setoran modal;
f.
tidak melakukan transaksi tertentu dengan pihak
terkait dan/atau pihak lain yang ditetapkan oleh
OJK;
g. membatasi pelaksanaan rencana penerbitan produk
dan/atau pelaksanaan aktivitas baru;
h. tidak melakukan atau membatasi pertumbuhan aset,
penyertaan, dan/atau penyediaan dana baru;
i.
menjual sebagian atau seluruh harta dan/atau
kewajiban Bank selain Bank Sistemik kepada bank
dan/atau pihak lain;
j.
tidak melakukan ekspansi jaringan kantor;
k. tidak melakukan kegiatan usaha tertentu;
l. menutup jaringan kantor Bank selain Bank Sistemik;
m. tidak melakukan transaksi antar bank;
n. melakukan penggabungan (merger) atau peleburan
(konsolidasi) dengan bank lain;
o. mengganti Direksi dan/atau Dewan Komisaris Bank
selain Bank Sistemik;
p. menyerahkan pengelolaan seluruh atau sebagian
kegiatan Bank selain Bank Sistemik kepada pihak
lain;
q. menjual Bank selain Bank Sistemik kepada pembeli
yang bersedia mengambil alih seluruh kewajiban
Bank selain Bank Sistemik;
r. menempatkan pengelola statuter; dan/atau
s. tindakan pengawasan lain.
Pasal 9
(1) Bank selain Bank Sistemik dalam pengawasan intensif
wajib:
a. menyampaikan rencana tindak (action plan) sesuai
permasalahan yang dihadapi;
- 11 -
b. menyampaikan realisasi rencana tindak (action plan);
c. menyampaikan daftar pihak terkait secara lengkap;
dan
d. melakukan tindakan lain dan/atau melaporkan
hal-hal tertentu yang ditetapkan oleh OJK.
(2) Dalam hal Bank selain Bank Sistemik ditetapkan dalam
pengawasan intensif karena permasalahan permodalan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf a dan
huruf b, selain wajib memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Bank selain Bank Sistemik
dan/atau PSP wajib menyampaikan rencana perbaikan
permodalan (capital restoration plan) guna mengatasi
permasalahan permodalan Bank selain Bank Sistemik.
Pasal 10
Bank selain Bank Sistemik wajib menyampaikan rencana
tindak (action plan) sesuai dengan permasalahan yang dihadapi
dan menyampaikan daftar pihak terkait secara lengkap
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a dan
huruf c paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak Bank selain
Bank Sistemik ditetapkan dalam pengawasan intensif.
Pasal 11
(1) Rencana tindak (action plan) sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a paling sedikit memuat
rencana perbaikan sesuai dengan permasalahan yang
dihadapi Bank selain Bank Sistemik disertai jangka waktu
penyelesaian.
(2) Rencana tindak (action plan) sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dievaluasi oleh OJK paling lama 5 (lima) hari kerja
sejak rencana tindak (action plan) diterima secara lengkap.
(3) Dalam hal rencana tindak (action plan) yang disampaikan
ditolak oleh OJK, Bank selain Bank Sistemik wajib
mengajukan revisi rencana tindak (action plan) paling lama
5 (lima) hari kerja sejak tanggal pemberitahuan penolakan.
- 12 -
Pasal 12
(1) Bank selain Bank Sistemik dan/atau PSP wajib
menyampaikan rencana perbaikan permodalan (capital
restoration plan) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
ayat (2) kepada OJK paling lama 10 (sepuluh) hari kerja
sejak Bank selain Bank Sistemik ditetapkan dalam
pengawasan intensif.
(2) Rencana perbaikan permodalan (capital restoration plan)
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus
menggambarkan kemampuan Bank selain Bank Sistemik
untuk mencapai dan memelihara rasio KPMM yang
ditetapkan oleh OJK dalam jangka waktu yang ditentukan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1).
(3) Rencana perbaikan permodalan (capital restoration plan)
Bank selain Bank Sistemik dinilai oleh OJK paling
lama 5 (lima) hari kerja sejak rencana perbaikan
permodalan (capital restoration plan) diterima secara
lengkap.
(4) Dalam hal rencana perbaikan permodalan (capital
restoration plan) Bank selain Bank Sistemik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditolak, Bank selain Bank Sistemik
wajib mengajukan revisi rencana perbaikan permodalan
(capital restoration plan) paling lama 5 (lima) hari kerja
sejak tanggal penolakan.
Pasal 13
(1) Bank selain Bank Sistemik wajib menyampaikan kepada
OJK realisasi rencana tindak (action plan) sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf b dan/atau
realisasi rencana perbaikan permodalan (capital
restoration plan) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
ayat (2), setiap akhir bulan paling lama pada hari kerja
ketujuh bulan berikutnya.
(2) Realisasi rencana tindak (action plan) dan/atau realisasi
rencana perbaikan permodalan (capital restoration plan)
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat paling
sedikit:
- 13 -
a. permasalahan Bank selain Bank Sistemik;
b. tindakan perbaikan yang telah dilakukan oleh Bank
selain Bank Sistemik; dan
c. waktu pelaksanaan perbaikan.
Pasal 14
(1) Bank selain Bank Sistemik ditetapkan tidak lagi berada
dalam pengawasan intensif dalam hal kondisi Bank selain
Bank Sistemik membaik dan tidak memenuhi kriteria
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.
(2) Penetapan sebagai Bank selain Bank Sistemik yang tidak
lagi berada dalam pengawasan intensif diberitahukan
secara tertulis oleh OJK kepada Bank selain Bank
Sistemik.
Bagian Ketiga
Bank selain Bank Sistemik dalam Pengawasan Khusus
Pasal 15
(1) Bank selain Bank Sistemik ditetapkan oleh OJK dalam
pengawasan khusus dalam hal memenuhi kriteria
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5.
(2) Penetapan Bank selain Bank Sistemik dalam pengawasan
khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberitahukan secara tertulis oleh OJK.
(3) Selain pemberitahuan kepada Bank selain Bank Sistemik
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penetapan status
dalam pengawasan khusus diberitahukan oleh OJK
kepada LPS.
(4) Pemberitahuan kepada Bank selain Bank Sistemik
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memuat penetapan
Bank selain Bank Sistemik dalam pengawasan khusus
disertai dengan alasan penetapan serta langkah atau
tindakan pengawasan yang wajib dilakukan oleh Bank
selain Bank Sistemik.
- 14 -
Pasal 16
(1) Bank selain Bank Sistemik dalam pengawasan khusus
wajib melakukan penambahan modal untuk memenuhi
rasio KPMM dan/atau kewajiban pemenuhan GWM sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Penambahan modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib dipenuhi oleh Bank selain Bank Sistemik dalam
jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
ayat (3).
Pasal 17
(1) Bank selain Bank Sistemik dalam pengawasan khusus
wajib
melakukan
tindakan pengawasan yang
diperintahkan oleh OJK.
(2) Tindakan pengawasan yang diperintahkan oleh OJK
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu:
a. melarang Bank selain Bank Sistemik menjual atau
menurunkan jumlah aset tanpa persetujuan OJK
kecuali untuk Sertifikat Bank Indonesia, Sertifikat
Bank Indonesia Syariah, Sertifikat Deposito Bank
Indonesia, Surat Berharga Bank Indonesia Valuta
Asing, giro pada Bank Indonesia, tagihan antar Bank,
dan/atau Surat Berharga Negara;
b. melarang Bank selain Bank Sistemik mengubah
kepemilikan bagi:
1. pemegang saham yang memiliki saham Bank
selain Bank Sistemik sebesar 10% (sepuluh
persen) atau lebih; dan/atau
2. PSP termasuk pihak
yang melakukan
pengendalian terhadap Bank selain Bank
Sistemik dalam struktur kelompok usaha Bank
selain Bank Sistemik,
kecuali telah memperoleh persetujuan OJK; dan/atau
c. memerintahkan Bank selain Bank Sistemik untuk
melaporkan setiap perubahan kepemilikan saham
Bank selain Bank Sistemik kurang dari 10% (sepuluh
persen) kepada OJK.
- 15 -
Pasal 18
(1) Selain tindakan pengawasan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 16 dan Pasal 17, OJK berwenang
memerintahkan Bank selain Bank Sistemik dalam
pengawasan khusus untuk melakukan tindakan
pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
ayat (2).
(2) Tindakan pengawasan yang ditetapkan pada saat Bank
selain Bank Sistemik dalam pengawasan intensif
dinyatakan tetap berlaku.
Pasal 19
(1) Bank selain Bank Sistemik dalam pengawasan khusus
wajib menyampaikan kepada OJK:
a. laporan keuangan terkini berupa neraca dan laporan
laba rugi serta rekening administratif;
b. rincian aset produktif terkini yang dikelompokkan
berdasarkan kualitas;
c. peringkat komposit tingkat kesehatan Bank selain
Bank Sistemik yang terkini;
d. informasi dan dokumen mengenai:
1. daftar terkini simpanan nasabah secara agregat
yang dikelompokkan berdasarkan nilai nominal;
2. daftar terkini rincian tagihan dan kewajiban
Bank selain Bank Sistemik kepada pihak terkait;
dan
3. informasi lain yang diperlukan OJK;
e. laporan keuangan terkini dari perusahaan yang
memperoleh penyertaan modal dari Bank selain Bank
Sistemik selain penyertaan modal sementara dalam
rangka restrukturisasi kredit atau pembiayaan;
f.
laporan struktur terkini kelompok usaha terkait Bank
selain Bank Sistemik, termasuk badan hukum
pemegang saham Bank selain Bank Sistemik sampai
dengan ultimate shareholders; dan
g. laporan proyeksi arus kas untuk jangka waktu
1 (satu) bulan mendatang atau berdasarkan periode
- 16 -
laporan lain, yang terinci secara harian dan dengan
frekuensi sesuai dengan yang ditetapkan oleh OJK.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
disampaikan kepada OJK paling lama 3 (tiga) hari kerja
sejak Bank selain Bank Sistemik ditetapkan dalam
pengawasan khusus.
Pasal 20
(1) OJK membatasi kegiatan usaha tertentu Bank selain Bank
Sistemik dalam pengawasan khusus paling lama 1 (satu)
bulan dalam periode pengawasan khusus, apabila:
a. OJK menilai kondisi Bank selain Bank Sistemik
semakin memburuk; dan/atau
b.
terjadi pelanggaran ketentuan perbankan yang
dilakukan oleh Direksi, Dewan Komisaris, dewan
pengawas syariah dan/atau PSP.
(2) Pembatasan kegiatan usaha tertentu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diberitahukan oleh OJK kepada
Bank selain Bank Sistemik dan LPS.
Pasal 21
(1) Bank selain Bank Sistemik dalam pengawasan khusus
yang dikenakan pembatasan kegiatan usaha tertentu
dapat diumumkan oleh OJK pada situs OJK.
(2) Pengumuman Bank selain Bank Sistemik dalam
pengawasan khusus sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) disertai dengan:
a. alasan pembatasan kegiatan usaha tertentu; dan
b. tindakan perbaikan yang wajib dilakukan oleh Bank
selain Bank Sistemik dan/atau larangan yang
diperintahkan oleh OJK sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 16 dan Pasal 17.
(3) Bank selain Bank Sistemik sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) yang telah melakukan perbaikan sehingga tidak
memenuhi kriteria Bank selain Bank Sistemik dalam
pengawasan khusus sebagaimana diatur dalam Pasal 5,
diumumkan oleh OJK pada situs OJK.
- 17 -
Pasal 22
(1) Bank selain Bank Sistemik sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 21 wajib memberitahukan kepada seluruh jaringan
kantor mengenai kegiatan usaha tertentu yang dikenakan
pembatasan dan perintah yang ditetapkan OJK
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dan Pasal 17.
(2) Pemberitahuan kepada seluruh jaringan kantor
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan
pada tanggal diterimanya pemberitahuan pembatasan
kegiatan usaha tertentu dari OJK sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 20 ayat (2).
Pasal 23
Bank selain Bank Sistemik dalam pengawasan khusus
ditetapkan oleh OJK tidak dapat disehatkan, apabila:
a. jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
ayat (3) belum terlampaui namun kondisi Bank selain
Bank Sistemik menurun sehingga:
1. rasio KPMM sama dengan atau kurang dari 4%
(empat persen) dan dinilai tidak dapat ditingkatkan
menjadi 8% (delapan persen); dan/atau
2. rasio GWM dalam rupiah sama dengan 0% (nol
persen) dan dinilai tidak dapat diselesaikan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
atau
b. jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
ayat (3) terlampaui dan:
1. rasio KPMM Bank selain Bank Sistemik kurang
dari 8% (delapan persen); dan/atau
2. rasio GWM dalam rupiah kurang dari rasio yang
ditetapkan untuk GWM dalam rupiah yang wajib
dipenuhi oleh Bank selain Bank Sistemik.
Pasal 24
Dalam hal Bank selain Bank Sistemik dalam pengawasan
khusus memenuhi kriteria sebagai Bank selain Bank Sistemik
- 18 -
yang tidak dapat disehatkan, OJK memberitahukan secara
tertulis kepada:
a. Bank selain Bank Sistemik dalam pengawasan khusus
yang ditetapkan tidak dapat disehatkan; dan
b. LPS untuk memperoleh keputusan terhadap penyelesaian
Bank selain Bank Sistemik sebagaimana dimaksud dalam
huruf a.
Pasal 25
(1) Bank selain Bank Sistemik sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 24 yang diselamatkan oleh LPS, tetap wajib
melaksanakan tindakan pengawasan yang telah
ditetapkan oleh OJK.
(2) Bank selain Bank Sistemik sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 24 yang diselamatkan oleh LPS, dikecualikan dari
penetapan sebagai Bank selain Bank Sistemik dalam
pengawasan intensif atau Bank selain Bank Sistemik
dalam pengawasan khusus.
Pasal 26
Dalam hal LPS memutuskan untuk tidak melakukan
penyelamatan terhadap Bank selain Bank Sistemik, OJK
melakukan pencabutan izin usaha Bank selain Bank Sistemik
setelah memperoleh pemberitahuan keputusan dari LPS.
BAB III
BANK SISTEMIK
Bagian Kesatu
Bank Sistemik dalam Pengawasan Normal yang Dinilai
Memiliki Permasalahan Signifikan
Pasal 27
(1) Dalam hal Bank Sistemik dalam pengawasan normal
dinilai memiliki permasalahan signifikan, Bank Sistemik
wajib:
- 19 -
a. menerapkan rencana aksi (recovery plan) untuk
permasalahan keuangan; dan/atau
b. menyampaikan rencana tindak (action plan) kepada
OJK untuk permasalahan selain permasalahan
keuangan.
(2) Tata cara penyampaian rencana tindak (action plan) dan
langkah perbaikan yang akan dilaksanakan oleh Bank
Sistemik yang dimuat dalam rencana tindak (action plan)
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada
ketentuan OJK yang mengatur mengenai penilaian tingkat
kesehatan bank umum atau ketentuan OJK yang
mengatur mengenai penilaian tingkat kesehatan bank
umum syariah dan unit usaha syariah.
Bagian Kedua
Bank Sistemik dalam Pengawasan Intensif
Pasal 28
(1) Bank Sistemik ditetapkan dalam pengawasan intensif
dalam hal memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3.
(2) Bank Sistemik yang ditetapkan dalam pengawasan
intensif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberitahukan secara tertulis oleh OJK mengenai:
a. penetapan Bank Sistemik dalam pengawasan intensif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3; atau
b. penetapan perpanjangan jangka waktu Bank
Sistemik dalam pengawasan intensif sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2),
disertai dengan alasan penetapan serta langkah atau
tindakan pengawasan yang wajib dilakukan oleh Bank
Sistemik.
Pasal 29
(1) Bank Sistemik yang ditetapkan dalam pengawasan
intensif, wajib:
a. menerapkan rencana aksi (recovery plan) untuk
mengatasi permasalahan keuangan; dan/atau
- 20 -
b. menyampaikan rencana tindak (action plan) untuk
mengatasi selain permasalahan keuangan.
(2) Bank Sistemik yang ditetapkan dalam pengawasan intensif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga wajib
menyampaikan daftar pihak terkait secara lengkap.
(3) Ketentuan mengenai penyampaian rencana tindak (action
plan) dan laporan realisasi rencana tindak (action plan)
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, wajib
mengacu pada ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11 dan Pasal 13.
Pasal 30
Bank Sistemik yang ditetapkan dalam pengawasan intensif
selain menerapkan rencana aksi (recovery plan) dan rencana
tindak (action plan), wajib melaksanakan tindakan pengawasan
yang diperintahkan oleh OJK sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 ayat (2).
Pasal 31
(1) Dalam rangka persiapan penanganan permasalahan
solvabilitas, OJK memberitahukan penetapan Bank
Sistemik yang ditetapkan dalam pengawasan intensif
kepada LPS.
(2) Dalam rangka persiapan penanganan permasalahan
solvabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
penilaian aset dan/atau kewajiban (due diligence) Bank
Sistemik dalam pengawasan intensif dilakukan oleh LPS
setelah berkoordinasi dengan OJK.
Pasal 32
(1) Bank Sistemik ditetapkan tidak lagi berada dalam
pengawasan intensif dalam hal kondisi Bank Sistemik
membaik dan tidak memenuhi kriteria sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3.
(2) Penetapan sebagai Bank Sistemik yang tidak lagi berada
dalam pengawasan intensif diberitahukan secara tertulis
oleh OJK kepada Bank Sistemik yang bersangkutan.
- 21 -
(3) Pemberitahuan penetapan sebagai Bank Sistemik yang
tidak lagi berada dalam pengawasan intensif sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) karena permasalahan solvabilitas
disampaikan juga kepada LPS.
Bagian Ketiga
Bank Sistemik dalam Pengawasan Khusus
Pasal 33
Bank Sistemik ditetapkan oleh OJK dalam pengawasan khusus
apabila memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5.
Pasal 34
Bank Sistemik yang ditetapkan dalam pengawasan khusus
wajib menerapkan rencana aksi (recovery plan) untuk
mengatasi permasalahan keuangan.
Pasal 35
(1) Penetapan Bank Sistemik dalam pengawasan khusus
diberitahukan secara tertulis oleh OJK kepada Bank
Sistemik yang bersangkutan.
(2) Pemberitahuan kepada Bank Sistemik yang ditetapkan
dalam pengawasan khusus sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) disertai dengan alasan penetapan serta langkah
atau tindakan pengawasan yang wajib dilaksanakan oleh
Bank Sistemik.
(3) Selain pemberitahuan kepada Bank Sistemik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), penetapan Bank Sistemik dalam
pengawasan khusus diberitahukan oleh OJK kepada LPS.
Pasal 36
(1) Dalam hal Bank Sistemik ditetapkan dalam pengawasan
khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33, OJK
meminta LPS untuk meningkatkan intensitas persiapan
penanganan permasalahan solvabilitas Bank Sistemik
- 22 -
yang ditetapkan sebagai Bank Sistemik dalam
pengawasan khusus.
(2) Dalam rangka peningkatan intensitas persiapan
penanganan permasalahan solvabilitas sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), LPS dapat melakukan langkah
yang diperlukan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan, setelah berkoordinasi dengan OJK.
Pasal 37
(1) Bank Sistemik dalam pengawasan khusus wajib
melakukan penambahan modal untuk memenuhi rasio
KPMM dan/atau kewajiban pemenuhan GWM sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Penambahan modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib dipenuhi dalam jangka waktu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3).
Pasal 38
(1) Bank Sistemik dalam pengawasan khusus wajib
melakukan tindakan pengawasan yang diperintahkan oleh
OJK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dan Pasal 18.
(2) Bank Sistemik yang ditetapkan dalam pengawasan
khusus wajib menyampaikan laporan, data atau informasi
kepada OJK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19.
Pasal 39
(1) OJK meminta penyelenggaraan Rapat Komite Stabilitas
Sistem Keuangan (KSSK) dalam hal Bank Sistemik dalam
pengawasan khusus memenuhi kriteria:
a. jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
ayat (3) belum terlampaui namun:
1. rasio KPMM sama dengan atau lebih dari 4%
(empat persen) namun kurang dari 8% (delapan
persen) dan OJK menilai Bank Sistemik sudah
tidak dapat disehatkan; dan/atau
2. rasio GWM dalam rupiah sama dengan 0% (nol
persen) dan dinilai tidak dapat diselesaikan
- 23 -
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan; atau
b. jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
ayat (3) terlampaui dan:
1. rasio KPMM Bank Sistemik kurang dari 8%
(delapan persen); dan/atau
2. rasio GWM dalam rupiah kurang dari rasio yang
ditetapkan untuk GWM dalam rupiah yang wajib
dipenuhi oleh Bank Sistemik.
(2) OJK meminta penyelenggaraan Rapat KSSK untuk
menetapkan langkah penanganan permasalahan Bank
Sistemik dalam pengawasan khusus yang memenuhi
kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 40
Dalam hal Bank Sistemik dalam pengawasan khusus
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (2) diputuskan
oleh KSSK diserahkan kepada LPS untuk dilakukan
penanganan
berdasarkan Undang-Undang mengenai
pencegahan dan penanganan krisis sistem keuangan dan
Undang-Undang mengenai lembaga penjamin simpanan, OJK
memberitahukan kepada Bank Sistemik mengenai keputusan
KSSK tersebut.
BAB IV
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 41
Penyampaian laporan dan informasi sebagaimana diatur dalam
Peraturan OJK ini disampaikan kepada OJK dengan alamat:
a. Departemen Pengawasan Bank, Departemen Pengawasan
Perbankan Syariah atau Kantor Regional OJK di Jakarta,
bagi Bank yang berkantor Pusat di wilayah Daerah Khusus
Ibukota Jakarta; atau
b. Kantor Regional atau Kantor OJK setempat, bagi Bank
yang berkantor pusat di luar wilayah Daerah Khusus
Ibukota Jakarta.
- 24 -
BAB V
SANKSI
Pasal 42
Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 ayat (1), Pasal 8 ayat (1), Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11
ayat (3), Pasal 12 ayat (1), Pasal 12 ayat (4), Pasal 13 ayat (1),
Pasal 16, Pasal 17 ayat (1), Pasal 19 ayat (1), Pasal 19 ayat (2),
Pasal 22, Pasal 25 ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 29, Pasal 30,
Pasal 34, Pasal 37 ayat (1), Pasal 37 ayat (2) dan/atau Pasal 38
dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 52 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan atau
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, berupa:
a. teguran tertulis; dan/atau
b. pemberhentian anggota Direksi dan/atau anggota Dewan
Komisaris Bank.
BAB VI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 43
Pada saat Peraturan OJK ini mulai berlaku, jangka waktu bagi
Bank yang sebelumnya telah ditetapkan dalam pengawasan
intensif dan jangka waktu Bank yang telah ditetapkan dalam
pengawasan khusus tetap mengacu pada jangka waktu yang
telah ditetapkan sebelumnya oleh OJK.
- 25 -
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 44
Dengan berlakunya Peraturan OJK ini:
a. Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/3/PBI/2011 tentang
Penetapan Status dan Tindak Lanjut Pengawasan Bank
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5190); dan
b. Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/2/PBI/2013 tentang
Penetapan Status dan Tindak Lanjut Pengawasan Bank
Umum Konvensional (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2013 Nomor 93, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5417),
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 45
Peraturan OJK ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
- 26 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan OJK ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 4 April 2017
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 7 April 2017
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 65
Salinan ini sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 15 /POJK.03/2017
TENTANG
PENETAPAN STATUS DAN TINDAK LANJUT PENGAWASAN BANK UMUM
I. UMUM
Sistem perbankan yang sehat merupakan salah satu prasyarat untuk
mendukung terciptanya stabilitas sistem keuangan, pertumbuhan
perekonomian nasional serta terpeliharanya kepercayaan masyarakat
terhadap industri perbankan.
Oleh karena itu setiap permasalahan Bank perlu diselesaikan dengan
cepat agar tidak mengganggu stabilitas sistem keuangan dan menurunnya
tingkat kepercayaan masyarakat.
Penanganan terhadap permasalahan Bank dilakukan bukan hanya
pada saat Bank ditetapkan dalam pengawasan intensif namun sejak saat
Bank dalam pengawasan normal memiliki permasalahan signifikan dan
berpotensi ditetapkan menjadi Bank dalam pengawasan intensif. Hal
tersebut merupakan langkah preventif yang bertujuan untuk mengatasi
permasalahan Bank sedini mungkin sehingga tidak akan mengganggu
kelangsungan usaha Bank dan stabilitas sistem keuangan.
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang
Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan, Komite Stabilitas
Sistem Keuangan (KSSK) dibentuk. KSSK menyelenggarakan pencegahan
dan penanganan krisis sistem keuangan untuk melaksanakan kepentingan
dan ketahanan negara di bidang perekonomian. Setiap anggota KSSK,
bertindak untuk dan atas nama lembaga yang dipimpinnya sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
- 2 -
Oleh karena itu diperlukan penyempurnaan mekanisme tindak lanjut
penanganan permasalahan Bank Sistemik (systemically important bank)
melalui perubahan peraturan mengenai penetapan status dan tindak lanjut
pengawasan bank umum.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “pengawasan normal” adalah
pengawasan terhadap Bank yang tidak memenuhi kriteria
sebagai Bank yang dinilai memiliki potensi kesulitan yang
membahayakan kelangsungan usaha atau tidak memenuhi
kriteria sebagai Bank yang dinilai mengalami kesulitan yang
membahayakan kelangsungan usaha.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “pengawasan intensif” adalah suatu
peningkatan proses pengawasan terhadap Bank yang
sebelumnya berada dalam pengawasan normal dengan
tujuan untuk mengembalikan kondisi Bank.
Tindakan untuk mengembalikan kondisi Bank dilakukan
dengan menetapkan tindakan pengawasan (supervisory
actions) yang sesuai dengan permasalahan Bank.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “pengawasan khusus” adalah suatu
peningkatan proses pengawasan terhadap Bank yang
sebelumnya berada dalam pengawasan normal atau intensif
dengan tujuan untuk mengembalikan kondisi Bank.
Tindakan untuk mengembalikan kondisi Bank dilakukan
dengan menetapkan tindakan pengawasan (supervisory
actions) yang sesuai dengan permasalahan Bank.
- 3 -
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Kewajiban Bank untuk memiliki rasio KPMM sesuai dengan
profil risiko Bank mengacu pada ketentuan peraturan
perundang-undangan mengenai kewajiban penyediaan
modal minimum bank umum dan ketentuan OJK yang
mengatur mengenai kewajiban penyediaan modal minimum
bank umum syariah.
Huruf b
Perhitungan rasio modal inti (tier 1) sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai
kewajiban penyediaan modal minimum bank umum dan
ketentuan OJK yang mengatur mengenai kewajiban
penyediaan modal minimum bank umum syariah.
Modal inti (tier 1) bagi kantor cabang dari bank yang
berkedudukan di luar negeri adalah dana usaha yang telah
dialokasikan menjadi Capital Equivalency Maintained Assets
(CEMA) sebagaimana dimaksud dalam ketentuan OJK yang
mengatur mengenai kewajiban penyediaan modal minimum
bank umum.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “GWM dalam rupiah” adalah GWM
primer bagi bank umum dan GWM dalam rupiah bagi bank
umum syariah.
Ketentuan mengenai GWM dalam rupiah sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
mengenai giro wajib minimum.
Yang dimaksud dengan “permasalahan likuiditas mendasar”
adalah:
1. perubahan posisi Bank di pasar uang dari posisi
pemberi pinjaman (net lender) menjadi posisi penerima
pinjaman (net borrower);
- 4 -
2.
posisi arus kas yang semakin buruk sebagai akibat
maturity mismatch yang besar, terutama pada skala
waktu jangka pendek;
3. upaya Bank untuk memperoleh dana di pasar uang
dengan suku bunga atau tingkat imbalan yang lebih
tinggi dari suku bunga wajar atau suku bunga pasar;
4. ketergantungan pada agunan untuk memperoleh dana;
5. peningkatan pencairan deposito sebelum jatuh tempo;
dan/atau
6. permasalahan likuiditas mendasar lain.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “kredit bermasalah (NPL) atau
pembiayaan bermasalah (NPF)” adalah kredit atau
pembiayaan yang memiliki kualitas kurang lancar,
diragukan, atau macet sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai
penilaian kualitas aset bank umum dan ketentuan OJK
mengenai penilaian kualitas aset bank umum syariah dan
unit usaha syariah.
Formula perhitungan rasio kredit bermasalah secara neto
(NPL net) adalah:
Kredit Bermasalah - Cadangan Kerugian Penurunan
Nilai (CKPN) Kredit Bermasalah
Total Kredit
Formula perhitungan rasio pembiayaan bermasalah secara
neto (NPF net) adalah:
Pembiayaan Bermasalah – CKPN Pembiayaan Bermasalah
Total Pembiayaan
Huruf e
Yang dimaksud dengan “peringkat komposit tingkat
kesehatan Bank” adalah sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan OJK yang mengatur mengenai penilaian tingkat
kesehatan bank umum dan ketentuan OJK yang mengatur
mengenai penilaian tingkat kesehatan bank umum syariah
dan unit usaha syariah.
- 5 -
Huruf f
Yang dimaksud dengan “peringkat faktor tata kelola” adalah
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan OJK mengenai
penerapan tata kelola bagi bank umum dan ketentuan
peraturan perundang-undangan mengenai pelaksanaan
good corporate governance bagi bank umum syariah dan unit
usaha syariah.
Pasal 4
Ayat (1)
Perhitungan jangka waktu Bank dalam pengawasan intensif
paling lama 1 (satu) tahun termasuk jangka waktu penyusunan
dan revisi rencana tindak (action plan).
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “penyelesaian bersifat kompleks”
antara lain penyelesaian kredit bermasalah (NPL) atau
pembiayaan bermasalah (NPF) untuk kredit sindikasi atau
pembiayaan sindikasi dan/atau kredit atau pembiayaan
yang direstrukturisasi secara menyeluruh yang mencakup
kegiatan usaha dari hulu sampai dengan hilir.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “peringkat komposit tingkat
kesehatan Bank” adalah sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan OJK yang mengatur mengenai penilaian tingkat
kesehatan bank umum dan ketentuan OJK yang mengatur
mengenai penilaian tingkat kesehatan bank umum syariah
dan unit usaha syariah.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “peringkat faktor tata kelola” adalah
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan OJK yang
mengatur mengenai penerapan tata kelola bagi bank umum
dan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai
pelaksanaan good corporate governance bagi bank umum
syariah dan unit usaha syariah.
- 6 -
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “peningkatan tindakan pengawasan”
adalah peningkatan jumlah tindakan pengawasan dan/atau
penerapan tindakan pengawasan yang berdampak lebih berat
bagi Bank dari tindakan pengawasan yang ditetapkan
sebelumnya.
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “rasio KPMM” adalah rasio
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan mengenai kewajiban penyediaan
modal minimum bank umum dan ketentuan OJK yang
mengatur mengenai kewajiban penyediaan modal minimum
bank umum syariah.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “rasio GWM dalam rupiah” adalah
rasio sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan mengenai giro wajib minimum.
Angka 1
Yang dimaksud dengan “permasalahan likuiditas
mendasar” adalah:
a) perubahan posisi Bank di pasar uang dari posisi
pemberi pinjaman (net lender) menjadi posisi
penerima pinjaman (net borrower);
b) posisi arus kas yang semakin buruk sebagai akibat
maturity mismatch yang besar, terutama pada skala
waktu jangka pendek;
c) upaya Bank untuk memperoleh dana di pasar uang
dengan suku bunga atau tingkat imbalan yang
lebih tinggi dari suku bunga wajar atau suku
bunga pasar;
d) ketergantungan pada agunan untuk memperoleh
dana;
- 7 -
e) peningkatan pencairan deposito sebelum jatuh
tempo; dan/atau
f) permasalahan likuiditas mendasar lain.
Angka 2
Yang dimaksud dengan “Bank mengalami
perkembangan likuiditas yang memburuk” adalah
apabila kecenderungan dari rasio GWM Bank semakin
menurun.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 6
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “Bank selain Bank Sistemik dalam
pengawasan normal dinilai memiliki permasalahan signifikan”
adalah Bank yang memperoleh penilaian tingkat kesehatan
dengan peringkat komposit 3 (tiga) namun berpotensi ditetapkan
dalam pengawasan intensif sebagaimana diatur dalam
ketentuan OJK mengenai penilaian tingkat kesehatan bank
umum dan ketentuan OJK mengenai penilaian tingkat
kesehatan bank umum syariah dan unit usaha syariah. Rencana
tindak (action plan) memuat langkah perbaikan yang akan
dilaksanakan oleh Bank selain Bank Sistemik dalam rangka
mengatasi permasalahan signifikan yang dihadapi beserta target
waktu penyelesaian permasalahan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Tindakan pengawasan yang diperintahkan oleh OJK disesuaikan
dengan permasalahan Bank selain Bank Sistemik.
- 8 -
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Bagi Bank selain Bank Sistemik umum konvensional, yang
dimaksud dengan “remunerasi” adalah remunerasi
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan OJK mengenai tata
kelola dalam pemberian remunerasi bagi bank umum.
Bagi Bank selain Bank Sistemik umum syariah, yang
dimaksud dengan “remunerasi” adalah imbalan yang
ditetapkan dan diberikan kepada anggota Direksi, anggota
Dewan Komisaris, anggota dewan pengawas syariah
dan/atau pegawai baik yang bersifat tetap maupun variabel
dalam bentuk tunai maupun tidak tunai sesuai dengan
tugas, wewenang, dan tanggung jawabnya.
Yang dimaksud dengan “pihak terkait” adalah pihak terkait
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan
mengenai batas maksimum
pemberian kredit bagi bank umum.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “distribusi laba“ antara lain berupa
pembayaran dividen dan pembayaran bonus kepada Direksi
dan/atau Dewan Komisaris.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “transaksi tertentu“ antara lain
pencairan dana, pemberian fasilitas penyediaan dana seperti
kredit atau pembiayaan, surat berharga, letter of credit,
standby letter of credit, atau yang sejenis dengan itu.
Yang dimaksud dengan “pihak terkait” adalah pihak terkait
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan
mengenai batas maksimum
pemberian kredit bagi bank umum.
- 9 -
Yang dimaksud dengan “pihak lain” adalah orang
perseorangan atau badan hukum tertentu yang bukan pihak
terkait.
Huruf g
Yang dimaksud dengan “penerbitan produk dan/atau
pelaksanaan aktivitas“ antara lain penerbitan surat utang,
sekuritisasi aset, dan kerjasama pemasaran.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Yang dimaksud dengan “kegiatan usaha” adalah usaha bank
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai
perbankan dan Undang-Undang mengenai perbankan
syariah.
Huruf l
Cukup jelas.
Huruf m
Cukup jelas.
Huruf n
Cukup jelas.
Huruf o
Penggantian Direksi dan/atau Dewan Komisaris Bank selain
Bank Sistemik dapat dilakukan sebagian atau seluruh
anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris.
Huruf p
Cukup jelas.
Huruf q
Cukup jelas.
Huruf r
Yang dimaksud dengan “pengelola statuter” adalah pengelola
statuter sebagaimana dimaksud dalam ketentuan OJK yang
mengatur mengenai tata cara penetapan pengelola statuter
pada lembaga jasa keuangan.
- 10 -
Huruf s
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Contoh tindakan lainnya antara lain mengkinikan rencana
bisnis (business plan).
Ayat (2)
Rencana perbaikan permodalan (capital restoration plan) dapat
merupakan bagian dari rencana tindak (action plan).
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
- 11 -
Pasal 16
Ayat (1)
Penambahan modal Bank selain Bank Sistemik dapat dilakukan
baik oleh pemegang saham Bank selain Bank Sistemik maupun
dari investor baru.
Yang dimaksud dengan “ketentuan
perundang-undangan” adalah ketentuan
peraturan
peraturan
perundang-undangan mengenai kewajiban penyediaan modal
minimum bank umum, ketentuan OJK yang mengatur mengenai
kewajiban penyediaan modal minimum bank umum syariah, dan
ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai giro wajib
minimum.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 17
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Angka 1
Yang dimaksud dengan “memiliki” adalah:
a. pemegang saham yang secara sendiri atau
bersama-sama dengan pemegang saham terkait
lain;
b. pemegang saham yang bertindak atas nama
pemegang saham lain yang menyebabkan
pemegang saham tersebut; atau
c. pemegang saham yang memiliki hak opsi atau hak
lain untuk memiliki saham yang apabila
digunakan akan menyebabkan pemegang saham
tersebut,
mempunyai saham Bank selain Bank Sistemik
sebesar 10% (sepuluh persen) atau lebih. Termasuk
pemegang saham yang secara bersama-sama dengan
- 12 -
pemegang saham terkait lain sebagaimana dimaksud
dalam huruf a adalah pemegang saham yang
mempunyai keterkaitan dengan pemegang saham lain
dalam bentuk hubungan kepemilikan, hubungan
keluarga sampai dengan derajat kedua, dan/atau
melakukan kerjasama untuk mencapai tujuan bersama
dalam mengendalikan Bank selain Bank Sistemik
(acting in concert).
Angka 2
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Laporan struktur kelompok usaha memuat orang
perseorangan dan/atau badan hukum pemegang saham
Bank selain Bank Sistemik sampai dengan ultimate
shareholders.
Huruf g
Yang dimaksud dengan “laporan proyeksi arus kas” adalah
laporan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan OJK
mengenai penerapan manajemen risiko bagi bank umum.
- 13 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 20
Ayat (1)
Tindakan membatasi kegiatan usaha tertentu dimaksudkan
antara lain untuk meminimalisasi dampak kerugian, memberikan
perlindungan kepada nasabah, dan/atau meminimalisasi
gangguan terhadap stabilitas sistem keuangan.
Yang dimaksud dengan “kegiatan usaha Bank” adalah kegiatan
usaha Bank sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
mengenai perbankan atau Undang-Undang mengenai perbankan
syariah.
Huruf a
Yang dimaksud dengan “kondisi Bank semakin memburuk”
yaitu:
1)
rasio KPMM Bank selain Bank Sistemik menurun
dengan cepat dan dinilai tidak dapat ditingkatkan
menjadi 8% (delapan persen); dan/atau
2) GWM dalam rupiah Bank selain Bank Sistemik
menurun dengan cepat dan tidak dapat diselesaikan
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan
mengenai giro wajib minimum.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
- 14 -
Pasal 23
Huruf a
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Yang dimaksud dengan
“ketentuan
peraturan
perundang-undangan” adalah ketentuan peraturan
perundang-undangan mengenai giro wajib minimum.
Huruf b
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Ayat (1)
Pilihan bentuk penyelamatan oleh LPS dilakukan dengan
mengacu pada Undang-Undang mengenai pencegahan dan
penanganan krisis sistem keuangan dan Undang-Undang
mengenai lembaga penjamin simpanan, seperti penyertaan modal
sementara, pengalihan sebagian atau seluruh aset dan/atau
kewajiban Bank selain Bank Sistemik kepada Bank Penerima,
atau pengalihan sebagian atau seluruh aset dan/atau kewajiban
Bank selain Bank Sistemik kepada bank perantara.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “Bank Sistemik dalam pengawasan
normal dinilai memiliki permasalahan signifikan” adalah Bank
Sistemik yang memperoleh penilaian tingkat kesehatan dengan
peringkat komposit 3 (tiga) namun berpotensi ditetapkan dalam
pengawasan intensif sebagaimana diatur dalam ketentuan OJK
- 15 -
yang mengatur mengenai penilaian tingkat kesehatan bank
umum dan ketentuan OJK yang mengatur mengenai penilaian
tingkat kesehatan bank umum syariah dan unit usaha syariah.
Huruf a
Penerapan rencana aksi (recovery plan) mengacu kepada
ketentuan OJK mengenai rencana aksi (recovery plan) bagi
Bank Sistemik.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “permasalahan selain permasalahan
keuangan” adalah permasalahan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (2) huruf e dan huruf f.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Ayat (1)
Huruf a
Penerapan rencana aksi (recovery plan) untuk mengatasi
permasalahan terkait kesulitan keuangan bertujuan agar
Bank Sistemik dalam status pengawasan intensif dapat
kembali menjadi Bank Sistemik dalam status pengawasan
normal.
Huruf b
Rencana tindak (action plan) memuat langkah perbaikan
untuk mengatasi permasalahan yang tidak terkait dengan
kesulitan keuangan dan bertujuan agar Bank Sistemik
dalam status pengawasan intensif dapat kembali dalam
pengawasan normal.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “pihak terkait” adalah pihak terkait
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
peraturan
perundang-undangan mengenai batas maksimum pemberian
kredit bagi bank umum.
- 16 -
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Ayat (1)
Persiapan penanganan permasalahan solvabilitas antara lain
berupa pelaksanaan penilaian aset dan/atau kewajiban Bank
Sistemik (due diligence).
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Ayat (1)
Penambahan modal Bank Sistemik dapat dilakukan oleh
pemegang saham Bank Sistemik atau dari investor baru.
Ayat (2)
Cukup jelas.
- 17 -
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Ayat (1)
Huruf a
Angka 1
Bank Sistemik dinilai sudah tidak dapat disehatkan
apabila penerapan rencana aksi (recovery plan) selama
jangka waktu Bank Sistemik dalam pengawasan
khusus sudah tidak memungkinkan lagi untuk
meningkatkan rasio KPMM menjadi paling sedikit
sesuai profil risiko.
Angka 2
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
- 18 -
Pasal 45
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6039
"," POJK
15/POJK.03/2017
PENETAPAN STATUS DAN TINDAK LANJUT PENGAWASAN BANK UMUM
4 April 2017
7 April 2017
7 April 2017
'15/2/PBI/2013', '13/3/PBI/2011'
'21/UU/2008', '21/UU/2011', '24/UU/2004', '9/UU/2016', '7/UU/2009', '3/PERPPU/2008', '7/UU/1992', '10/UU/1998'
'BAB V'
"
" - 1 -
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 59 /POJK.04/2016
TENTANG
DIREKSI DAN DEWAN KOMISARIS
LEMBAGA KLIRING DAN PENJAMINAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : bahwa dalam rangka meningkatkan tata kelola Lembaga
Kliring dan Penjaminan yang baik dan berdaya saing global,
serta meningkatkan kompetensi dan integritas Direksi dan
Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan, perlu
menyempurnakan peraturan mengenai Direksi dan Dewan
Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan dengan
menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang
Direksi dan Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan
Penjaminan;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995
Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3608);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
- 2 -
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG DIREKSI
DAN DEWAN KOMISARIS LEMBAGA KLIRING DAN
PENJAMINAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud
dengan:
1. Direksi adalah organ Lembaga Kliring dan Penjaminan
yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas
pengurusan Lembaga Kliring dan Penjaminan untuk
kepentingan Lembaga Kliring dan Penjaminan, sesuai
dengan maksud dan tujuan Lembaga Kliring dan
Penjaminan serta mewakili Lembaga Kliring dan
Penjaminan, baik di dalam maupun di luar pengadilan
sesuai dengan ketentuan anggaran dasar.
2. Dewan Komisaris adalah organ Lembaga Kliring dan
Penjaminan yang bertugas melakukan pengawasan
secara umum dan/atau khusus sesuai dengan anggaran
dasar serta memberi nasihat kepada Direksi.
3. Lembaga Kliring dan Penjaminan adalah Pihak yang
menyelenggarakan jasa kliring dan penjaminan
penyelesaian Transaksi Bursa.
4. Anggota Kliring adalah Anggota Bursa Efek atau pihak
lain, yang memenuhi persyaratan untuk mendapatkan
layanan jasa Kliring dan Penjaminan Penyelesaian
Transaksi Bursa berdasarkan peraturan Lembaga Kliring
dan Penjaminan.
5. Komite Remunerasi adalah komite ad hoc yang dibentuk
oleh dan bertanggung jawab kepada Dewan Komisaris
dalam membantu melaksanakan fungsi dan tugas Dewan
Komisaris untuk mengkaji dan mengusulkan gaji dan
manfaat lain bagi anggota Direksi, serta honorarium
- 3 -
termasuk metode penentuannya, bagi anggota Dewan
Komisaris.
6. Komite Penilaian Kemampuan Dan Kepatutan adalah
komite ad hoc yang dibentuk oleh Kepala Eksekutif
Pengawas Pasar Modal Otoritas Jasa Keuangan untuk
melakukan penilaian kemampuan dan kepatutan calon
anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris Lembaga
Kliring dan Penjaminan.
7. Rapat Umum Pemegang Saham, yang selanjutnya
disingkat RUPS, adalah organ Lembaga Kliring dan
Penjaminan yang mempunyai wewenang yang tidak
diberikan kepada Direksi atau Dewan Komisaris dalam
batas yang ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan/atau
anggaran dasar.
BAB II
DIREKSI LEMBAGA KLIRING DAN PENJAMINAN
Bagian Kesatu
Keanggotaan Direksi
Pasal 2
(1) Lembaga Kliring dan Penjaminan wajib mempunyai
paling sedikit 2 (dua) orang anggota Direksi.
(2) Satu di antara anggota Direksi Lembaga Kliring dan
Penjaminan wajib ditetapkan sebagai direktur utama
Lembaga Kliring dan Penjaminan dengan tugas utama
paling sedikit:
1. mengambil keputusan yang bersifat final jika rapat
Direksi tidak dapat mengambil keputusan; dan
2. melakukan koordinasi kegiatan di Lembaga Kliring
dan Penjaminan, kegiatan hubungan masyarakat,
kegiatan hukum dan peraturan, dan kegiatan
pemeriksaan internal.
(3) Anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan selain
direktur utama wajib ditetapkan sebagai anggota Direksi
- 4 -
Lembaga Kliring dan Penjaminan yang paling sedikit
bertanggung jawab terhadap 1 (satu) atau lebih kegiatan
sebagai berikut:
a.
kliring;
b. penjaminan dan pengelolaan risiko;
c. riset dan pengembangan;
d. teknologi informasi;
e. hukum; dan
f. keuangan dan sumber daya manusia serta
administrasi umum.
Pasal 3
(1) Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan wajib
menyampaikan jadwal dan agenda RUPS dalam rangka
pengangkatan anggota Direksi Lembaga Kliring dan
Penjaminan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling
lambat 121 (seratus dua puluh satu) hari sebelum RUPS
pengangkatan anggota Direksi Lembaga Kliring dan
Penjaminan.
(2) Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan
menelaah jumlah kebutuhan dan jabatan anggota Direksi
Lembaga Kliring dan Penjaminan serta mengajukan
kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 116
(seratus enam belas) hari sebelum RUPS pengangkatan
anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan.
(3) Dalam menelaah jumlah kebutuhan dan jabatan anggota
Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan, Dewan
Komisaris dapat membentuk komite dengan atau tanpa
melibatkan pihak lain, dengan berpedoman pada
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, peraturan
perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang
mengatur mengenai Perizinan Lembaga Kliring dan
Penjaminan dan struktur organisasi Lembaga Kliring dan
Penjaminan.
(4) Dalam menentukan jabatan anggota Direksi Lembaga
Kliring dan Penjaminan, Dewan Komisaris wajib
memperhatikan kegiatan yang menjadi tanggung jawab
- 5 -
masing-masing jabatan anggota Direksi Lembaga Kliring
dan Penjaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (2) dan ayat (3).
(5) Apabila dalam batas waktu pengajuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), Dewan Komisaris belum
mengajukan jumlah kebutuhan dan jabatan anggota
Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan, Otoritas Jasa
Keuangan berwenang menetapkan langsung jumlah
kebutuhan dan jabatan anggota Direksi Lembaga Kliring
dan Penjaminan.
(6) Otoritas Jasa Keuangan berwenang menetapkan jumlah
kebutuhan dan jabatan anggota Direksi Lembaga Kliring
dan Penjaminan paling lambat 106 (seratus enam) hari
sebelum RUPS pengangkatan anggota Direksi Lembaga
Kliring dan Penjaminan.
(7) Apabila sampai dengan batas waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (6), Otoritas Jasa Keuangan belum
menetapkan jumlah kebutuhan dan jabatan anggota
Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan, berlaku jumlah
kebutuhan dan jabatan anggota Direksi Lembaga Kliring
dan Penjaminan periode sebelumnya.
Pasal 4
Dengan memperhatikan perkembangan kegiatan dan
kebutuhan operasional Lembaga Kliring dan Penjaminan,
Otoritas Jasa Keuangan dapat menambah anggota Direksi
Lembaga Kliring dan Penjaminan dalam Direksi Lembaga
Kliring dan Penjaminan yang sedang menjabat.
Bagian Kedua
Persyaratan Anggota Direksi dan Susunan Direksi
Pasal 5
Anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan wajib
memenuhi persyaratan:
a. integritas meliputi:
- 6 -
1. orang perseorangan warga negara Indonesia dan
cakap melakukan perbuatan hukum;
2. memiliki akhlak dan moral yang baik;
3. tidak pernah dinyatakan pailit atau menjadi anggota
Dewan Komisaris dan/atau anggota Direksi yang
dinyatakan bersalah atau turut bersalah
menyebabkan suatu perusahaan dinyatakan pailit;
4. tidak pernah dihukum karena terbukti melakukan
tindak pidana dalam jangka waktu tertentu sebelum
dicalonkan;
5. tidak pernah melakukan perbuatan tercela yang
dibuktikan dengan menyampaikan paling sedikit
Surat Keterangan Catatan Kepolisian dimana jangka
waktu tanggal diterbitkannya sampai dengan
diajukan ke Otoritas Jasa Keuangan tidak lebih dari
6 (enam) bulan atau sesuai dengan masa berlaku
yang diberikan dari kepolisian jika kurang dari 6
(enam) bulan;
6. tidak pernah melakukan pelanggaran yang material
atas ketentuan peraturan perundang-undangan di
sektor jasa keuangan; dan
7. mempunyai komitmen terhadap pengembangan
Lembaga Kliring dan Penjaminan dan Pasar Modal
Indonesia; dan
b. kompetensi meliputi:
1. mempunyai pemahaman terhadap peraturan
perundang-undangan di bidang Pasar Modal dan
pengetahuan yang luas tentang Pasar Modal
termasuk perkembangan Pasar Modal internasional;
2. memahami prinsip tata kelola perusahaan yang baik
dan prinsip pengelolaan risiko; dan
3. memiliki latar belakang dan/atau pengalaman yang
cukup.
- 7 -
Pasal 6
Berdasarkan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 huruf b angka 3, anggota Direksi Lembaga Kliring dan
Penjaminan wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. paling sedikit seorang anggota Direksi Lembaga Kliring
dan Penjaminan wajib mempunyai pengalaman dalam
posisi manajerial pada bidang pengelolaan risiko
dan/atau pengelolaan investasi pada perusahaan yang
bergerak di bidang keuangan, atau posisi manajerial yang
membawahi jasa kustodian paling rendah 1 (satu) tingkat
di bawah anggota Direksi pada Bank Kustodian, paling
singkat 5 (lima) tahun;
b. anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan lainnya
wajib berpengalaman pada:
1.
posisi anggota Direksi pada perusahaan yang
bergerak di bidang keuangan paling singkat
5 (lima) tahun;
2.
posisi manajerial pada bidang teknologi informasi
paling singkat 3 (tiga) tahun dan memiliki
pengetahuan yang cukup mengenai sistem informasi
perusahaan yang bergerak di bidang keuangan;
3.
posisi manajerial paling sedikit 1 (satu) tingkat di
bawah direktur atau jabatan yang setara pada
institusi pengawas Pasar Modal dan/atau organisasi
yang diberi kewenangan oleh Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal untuk
mengatur pelaksanaan kegiatannya, paling singkat 3
(tiga) tahun; dan/atau
4. mempunyai pengalaman sebagai profesional di
bidang hukum, akuntansi, atau keuangan yang
berpraktik secara aktif dalam bidang Pasar Modal,
paling singkat 5 (lima) tahun; dan
c.
jangka waktu atau masa pengalaman anggota Direksi
Lembaga Kliring dan Penjaminan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan huruf b dihitung sampai dengan
tanggal pelaksanaan RUPS pengangkatan anggota Direksi
Lembaga Kliring dan Penjaminan.
- 8 -
Pasal 7
Anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan yang
diajukan sebagai direktur utama Lembaga Kliring dan
Penjaminan, wajib mempunyai jiwa kepemimpinan yang kuat.
Bagian Ketiga
Tata Cara Pencalonan dan Pengajuan Anggota Direksi
Pasal 8
(1) Pencalonan dan pengajuan calon anggota Direksi
Lembaga Kliring dan Penjaminan dilakukan oleh
pemegang saham atau kelompok pemegang saham
Lembaga Kliring dan Penjaminan yang memiliki paling
sedikit 20% (dua puluh persen) dari saham Lembaga
Kliring dan Penjaminan yang telah dikeluarkan dan
mempunyai hak suara.
(2) Dalam pencalonan anggota Direksi Lembaga Kliring dan
Penjaminan, pemegang saham atau kelompok pemegang
saham yang memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) secara bersama-sama
bertanggung jawab untuk:
a. mencari dan menyeleksi calon anggota Direksi
Lembaga Kliring dan Penjaminan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2;
b. meneliti bahwa setiap calon anggota Direksi tersebut
mempunyai keahlian, pengalaman, dan tanggung
jawab untuk setiap jabatan dan kegiatan yang
menjadi tugas jabatannya sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2, Pasal 5, dan Pasal 6; dan
c. merekomendasikan gaji serta manfaat lain bagi
setiap calon anggota Direksi Lembaga Kliring dan
Penjaminan dengan mempertimbangkan usulan
Komite Remunerasi (jika ada).
(3) Calon anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan
wajib diajukan kepada Otoritas Jasa Keuangan oleh
pemegang saham atau kelompok pemegang saham
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam 1 (satu)
- 9 -
kesatuan paket calon Direksi Lembaga Kliring dan
Penjaminan, dengan memenuhi ketentuan jabatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 5, Pasal 6,
dan Pasal 7.
(4) Pengajuan secara paket sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) tidak berlaku untuk pengajuan calon anggota
Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan untuk mengisi
jabatan anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan
yang lowong atau untuk menambah calon anggota
Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan.
Pasal 9
(1) Dalam pengajuan calon anggota Direksi Lembaga Kliring
dan Penjaminan kepada Otoritas Jasa Keuangan,
pemegang saham atau kelompok pemegang saham
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) wajib
melampirkan dalam rangkap 2 (dua) dokumen sebagai
berikut:
a. riwayat hidup calon anggota Direksi Lembaga Kliring
dan Penjaminan;
b. fotokopi Kartu Tanda Penduduk calon anggota
Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan;
c.
fotokopi ijazah dan sertifikat keahlian yang
menunjukkan keahlian dari calon anggota Direksi
Lembaga Kliring dan Penjaminan (jika ada);
d. surat pernyataan dari setiap Pihak yang diajukan
sebagai calon anggota Direksi Lembaga Kliring dan
Penjaminan yang memuat paling sedikit:
1. menyatakan bahwa yang bersangkutan telah
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 7;
2. menyatakan tentang ada tidaknya hubungan
Afiliasi calon anggota Direksi Lembaga Kliring
dan Penjaminan dengan calon anggota Direksi
lain dari Lembaga Kliring dan Penjaminan,
anggota Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan
- 10 -
Penjaminan, Perusahaan Efek dan/atau
Anggota Kliring dalam paket yang diajukan;
3. bersedia tanpa syarat mengikuti proses
penilaian kemampuan dan kepatutan yang
dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan dan
bersedia dipilih menjadi calon anggota Direksi
Lembaga Kliring dan Penjaminan oleh Otoritas
Jasa Keuangan untuk jabatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) dan ayat (3),
yang berbeda dengan jabatan yang diajukan
oleh pemegang saham atau kelompok pemegang
saham Lembaga Kliring dan Penjaminan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1);
4. bersedia untuk diangkat menjadi anggota
Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan oleh
RUPS yang bertanggung jawab untuk kegiatan
yang menjadi tugasnya dan untuk bekerja sama
sebaik-baiknya
dengan
anggota Dewan
Komisaris dan anggota Direksi lain dari
Lembaga Kliring dan Penjaminan dalam rangka
pelaksanaan kegiatan Lembaga Kliring dan
Penjaminan yang teratur, wajar, dan efisien;
5. menyatakan tidak melakukan perangkapan
jabatan sebagai anggota direksi, anggota dewan
komisaris, atau pegawai pada perusahaan atau
institusi lain, apabila yang bersangkutan
terpilih sebagai anggota Direksi Lembaga Kliring
dan Penjaminan;
6. menyatakan bahwa calon anggota Direksi
Lembaga Kliring dan Penjaminan setelah
menjadi anggota Direksi Lembaga Kliring dan
Penjaminan tidak akan menggunakan aset
Lembaga Kliring dan Penjaminan atau
melakukan transaksi dan memberi manfaat
dalam bentuk apapun kepada Afiliasi dari calon
anggota Direksi Lembaga Kliring dan
Penjaminan, anggota Direksi lain dari Lembaga
- 11 -
Kliring dan Penjaminan, Afiliasi dari anggota
Direksi lain Lembaga Kliring dan Penjaminan,
anggota Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan
Penjaminan, dan/atau Afiliasi dari anggota
Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan
Penjaminan; dan
7. menyatakan paling sedikit:
a) kesediaan untuk tidak memiliki saham
atau sebagai pengendali baik langsung
atau tidak langsung Perusahaan Efek
dan/atau Anggota Kliring selama menjabat
sebagai anggota Direksi Lembaga Kliring
dan Penjaminan paling lambat 6 (enam)
bulan sejak RUPS pengangkatan anggota
Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan
dan dalam jangka waktu tersebut yang
bersangkutan bersedia untuk tidak
memiliki hak suara dalam RUPS;
b) kesediaan untuk tidak mengendalikan baik
langsung atau tidak langsung Emiten atau
Perusahaan Publik; dan/atau
c) kesediaan untuk tidak mentransaksikan
saham Emiten atau Perusahaan Publik
yang dimilikinya sampai dengan 6 (enam)
bulan setelah masa jabatannya berakhir.
e. Surat Keterangan Catatan Kepolisian;
f.
jawaban atas pertanyaan sebagaimana tercantum
dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
ini;
g. pasfoto berwarna terbaru ukuran 10x15 cm dengan
latar belakang berwarna merah sebanyak 3 (tiga)
lembar;
h. surat keterangan mengenai proses mencari,
menyeleksi dan meneliti calon anggota Direksi
Lembaga Kliring dan Penjaminan dari pemegang
saham atau kelompok pemegang saham Lembaga
- 12 -
Kliring dan Penjaminan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 ayat (1), termasuk rekomendasi
mengenai gaji dan manfaat lain apabila calon
anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan
diangkat menjadi anggota Direksi Lembaga Kliring
dan Penjaminan, yang menyatakan bahwa proses
tersebut telah dilakukan secara profesional dan
tidak
terdapat
kepentingan lain termasuk
kepentingan karena hubungan Afiliasi, melainkan
hanya untuk kepentingan Lembaga Kliring dan
Penjaminan khususnya dan Pasar Modal pada
umumnya; dan
i.
rencana strategis calon anggota Direksi Lembaga
Kliring dan Penjaminan yang sejalan dengan visi dan
misi Lembaga Kliring dan Penjaminan.
(2) Pengajuan nama calon anggota Direksi Lembaga Kliring
dan Penjaminan oleh pemegang saham atau kelompok
pemegang saham Lembaga Kliring dan Penjaminan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dan
ayat (3) beserta dokumen pendukung sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi syarat dan
diterima secara lengkap oleh Otoritas Jasa Keuangan
paling lambat 56 (lima puluh enam) hari sebelum RUPS
pengangkatan anggota Direksi Lembaga Kliring dan
Penjaminan.
Bagian Keempat
Penilaian Kemampuan dan Kepatutan Calon Anggota Direksi
Pasal 10
(1) Setiap calon anggota Direksi Lembaga Kliring dan
Penjaminan yang diajukan wajib menjalani penilaian
kemampuan dan kepatutan yang dilakukan oleh Komite
Penilaian Kemampuan Dan Kepatutan.
(2) Anggota Komite Penilaian Kemampuan Dan Kepatutan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari 5 (lima)
orang, yaitu Deputi Komisioner sebagai ketua merangkap
- 13 -
anggota, dan 4 (empat) pejabat paling rendah setingkat
direktur sebagai anggota.
(3) Setiap pelaksanaan penilaian kemampuan dan kepatutan
wajib dihadiri paling sedikit 3 (tiga) orang anggota Komite
Penilaian Kemampuan Dan Kepatutan.
(4) Komite Penilaian Kemampuan Dan Kepatutan melakukan
penilaian kemampuan dan kepatutan calon anggota
Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan paling sedikit
melalui penelitian administratif dan wawancara,
dan/atau permintaan presentasi yang paling sedikit
meliputi rencana strategis pengembangan Lembaga
Kliring dan Penjaminan ke depan.
(5) Komite Penilaian Kemampuan Dan Kepatutan melakukan
penilaian kemampuan dan kepatutan atas setiap calon
anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan secara
individual sesuai dengan jabatan yang diusulkan.
(6) Dalam hal diperlukan, Komite Penilaian Kemampuan Dan
Kepatutan dapat melakukan penilaian kemampuan dan
kepatutan terhadap calon anggota Direksi Lembaga
Kliring dan Penjaminan sebagaimana dimaksud pada
ayat (5) untuk jabatan anggota Direksi Lembaga Kliring
dan Penjaminan yang lain.
(7) Dalam melakukan penilaian kemampuan dan kepatutan
calon anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan,
Komite Penilaian Kemampuan Dan Kepatutan dapat
dibantu oleh narasumber dengan keahlian tertentu yang
berasal dari luar Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 11
(1) Penilaian kemampuan dan kepatutan dilakukan untuk
menentukan dan menilai bahwa calon anggota Direksi
Lembaga Kliring dan Penjaminan memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sampai dengan
Pasal 7, serta merupakan calon terbaik untuk
menduduki setiap jabatan anggota Direksi Lembaga
Kliring dan Penjaminan.
- 14 -
(2) Komite Penilaian Kemampuan Dan Kepatutan dalam
melakukan penilaian kemampuan dan kepatutan calon
anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan untuk
setiap jabatan wajib memperhatikan komposisi calon
anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan
sebagaimana dimaksud Pasal 6.
Pasal 12
Otoritas Jasa Keuangan berwenang untuk menghentikan
proses pencalonan atas calon anggota Direksi Lembaga Kliring
dan Penjaminan apabila calon tersebut menjalani proses
hukum.
Pasal 13
Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal menetapkan calon
anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan untuk setiap
jabatan dengan memperhatikan hasil penilaian kemampuan
dan kepatutan yang dilakukan oleh Komite Penilaian
Kemampuan Dan Kepatutan.
Pasal 14
Berdasarkan hasil penilaian kemampuan dan kepatutan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (4), ayat (5), dan
ayat (6), Otoritas Jasa Keuangan dapat menentukan posisi
jabatan calon anggota Direksi yang berbeda dengan posisi
jabatan yang diajukan oleh pemegang saham atau kelompok
pemegang saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
ayat (1).
Pasal 15
(1) Dalam hal tidak terdapat calon anggota Direksi Lembaga
Kliring dan Penjaminan yang terpilih dari hasil penilaian
kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10 ayat (4) untuk 1 (satu) atau lebih jabatan
anggota Direksi, Otoritas Jasa Keuangan menyampaikan
kepada setiap pemegang saham atau kelompok pemegang
saham sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 ayat (1)
- 15 -
untuk mengajukan calon anggota Direksi Lembaga
Kliring dan Penjaminan lain untuk posisi jabatan yang
calonnya belum terpilih oleh Otoritas Jasa Keuangan
dalam proses penilaian kemampuan dan kepatutan,
paling lambat 35 (tiga puluh lima) hari setelah
permohonan memenuhi syarat dan diterima secara
lengkap oleh Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Pemegang saham atau kelompok pemegang saham
Lembaga Kliring dan Penjaminan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 ayat (1) dapat mengajukan kembali calon
anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan lain
untuk posisi jabatan yang calonnya belum terpilih oleh
Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 14
(empat belas hari) sebelum RUPS pengangkatan anggota
Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan, dengan
memenuhi ketentuan dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7,
Pasal 8, dan Pasal 9 ayat (1).
(3) Otoritas Jasa Keuangan melakukan penilaian
kemampuan dan kepatutan terhadap calon anggota
Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan lain
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 16
(1) Apabila semua dokumen sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 ayat (1) sudah lengkap dan calon anggota Direksi
telah memenuhi persyaratan, Otoritas Jasa Keuangan
menyampaikan daftar calon anggota Direksi Lembaga
Kliring dan Penjaminan terpilih untuk setiap jabatan
anggota Direksi beserta fotokopi dokumen calon anggota
Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan kepada Direksi
Lembaga Kliring dan Penjaminan paling lambat 7 (tujuh)
hari sebelum RUPS pengangkatan anggota Direksi
Lembaga Kliring dan Penjaminan.
(2) Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan wajib
menyampaikan kepada semua pemegang saham, daftar
calon anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan
- 16 -
beserta fotokopi dokumen lengkap sebagaimana
dimaksud pada ayat (1)
paling lambat
1 (satu) hari kerja setelah diterimanya daftar calon
anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan dari
Otoritas Jasa Keuangan.
(3) Daftar calon anggota Direksi Lembaga Kliring dan
Penjaminan beserta fotokopi dokumen lengkap
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tersebut wajib
tersedia dan dapat diakses oleh pemegang saham dan
publik.
Bagian Kelima
RUPS dan Tata Cara Pengangkatan Anggota Direksi
Pasal 17
(1) Pengumuman mengenai akan diadakannya pemanggilan
RUPS pengangkatan anggota Direksi Lembaga Kliring dan
Penjaminan dilakukan paling lambat 14 (empat belas)
hari sebelum dilakukannya pemanggilan RUPS, dengan
memuat paling sedikit rencana pengangkatan anggota
Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan.
(2) Pemanggilan RUPS Lembaga Kliring dan Penjaminan
untuk mengangkat anggota Direksi Lembaga Kliring dan
Penjaminan dilakukan paling lambat 14 (empat belas)
hari sebelum RUPS dimaksud, dengan tidak
memperhitungkan tanggal pemanggilan dan tanggal
RUPS, dengan memuat paling sedikit rencana
pengangkatan anggota Direksi Lembaga Kliring dan
Penjaminan.
Pasal 18
(1) Pengangkatan anggota Direksi Lembaga Kliring dan
Penjaminan dilakukan oleh RUPS berdasarkan calon
anggota Direksi yang dipilih oleh Otoritas Jasa Keuangan
sesuai dengan jabatannya masing-masing sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1).
- 17 -
(2) Prosedur pengangkatan calon anggota Direksi Lembaga
Kliring dan Penjaminan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) berlaku pula untuk pengangkatan calon anggota
Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan untuk mengisi
jabatan anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan
yang lowong atau untuk menambah calon anggota
Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan.
(3) RUPS untuk mengangkat anggota Direksi Lembaga
Kliring dan Penjaminan wajib dipimpin oleh komisaris
utama atau salah satu anggota Dewan Komisaris dalam
hal komisaris utama berhalangan.
Pasal 19
(1) Pada saat RUPS pengangkatan anggota Direksi Lembaga
Kliring dan Penjaminan, calon anggota Direksi Lembaga
Kliring dan Penjaminan yang telah ditetapkan oleh
Otoritas Jasa Keuangan wajib menjelaskan rencana
strategis kepada pemegang saham.
(2) Penjelasan dapat juga disampaikan dalam forum lainnya
sebelum RUPS yang memungkinkan pemegang saham
melakukan interaksi dengan calon anggota Direksi
Lembaga Kliring dan Penjaminan.
Pasal 20
RUPS menyetujui dan menetapkan gaji dan manfaat lain bagi
anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan yang
diajukan oleh pemegang saham atau kelompok pemegang
saham Lembaga Kliring dan Penjaminan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1).
Bagian Keenam
Larangan Anggota Direksi
Pasal 21
(1) Anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan
dilarang mempunyai hubungan Afiliasi dengan anggota
Direksi lain dari Lembaga Kliring dan Penjaminan
- 18 -
dan/atau anggota Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan
Penjaminan.
(2) Anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan
dilarang memiliki saham atau sebagai pengendali baik
langsung atau tidak langsung Perusahaan Efek.
(3) Dalam hal anggota Direksi Lembaga Kliring dan
Penjaminan memiliki saham atau sebagai pengendali
baik langsung atau tidak langsung Perusahaan Efek,
saham tersebut wajib dialihkan paling lambat 6 (enam)
bulan sejak RUPS pengangkatan anggota Direksi
Lembaga Kliring dan Penjaminan, dan dalam jangka
waktu tersebut yang bersangkutan dilarang
menggunakan hak suara dalam RUPS Perusahaan Efek
dimaksud.
(4) Anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan
dilarang mengendalikan baik langsung atau tidak
langsung Emiten atau Perusahaan Publik dan/atau
dilarang mentransaksikan saham Emiten atau
Perusahaan Publik.
(5) Dalam hal anggota Direksi Lembaga Kliring dan
Penjaminan diangkat oleh RUPS telah memiliki saham
Emiten atau Perusahaan Publik, saham tersebut tidak
dapat ditransaksikan sampai dengan 6 (enam) bulan
setelah masa jabatannya berakhir.
(6) Anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan
dilarang melakukan perangkapan jabatan sebagai
anggota direksi, anggota dewan komisaris, atau pegawai
pada perusahaan atau institusi lain dalam jabatan
apapun.
Bagian Ketujuh
Jabatan Anggota Direksi
Pasal 22
(1) Masa jabatan anggota Direksi Lembaga Kliring dan
Penjaminan adalah 3 (tiga) tahun terhitung sejak RUPS
pengangkatan anggota Direksi Lembaga Kliring dan
- 19 -
Penjaminan sampai dengan penutupan RUPS tahun
ketiga dan hanya dapat diangkat kembali untuk
1 (satu) kali masa jabatan, dengan ketentuan sebagai
berikut:
a. apabila seorang anggota Direksi Lembaga Kliring dan
Penjaminan diangkat untuk mengisi jabatan anggota
Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan yang
lowong atau untuk menambah calon anggota Direksi
Lembaga Kliring dan Penjaminan, masa jabatan
anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan
tersebut berlaku selama sisa masa jabatan anggota
Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan yang
sedang menjabat;
b. penghitungan 1 (satu) kali masa jabatan bagi
seorang anggota Direksi Lembaga Kliring dan
Penjaminan adalah jika yang bersangkutan
menjabat selama paling sedikit 2/3 (dua per tiga)
dari masa jabatan Direksi Lembaga Kliring dan
Penjaminan; dan
c. keseluruhan masa jabatan anggota Direksi pada
Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, serta
Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian paling
banyak 3 (tiga) kali masa jabatan.
(2) Berakhirnya masa jabatan Direksi Lembaga Kliring dan
Penjaminan wajib diatur berbeda dengan berakhirnya
masa jabatan Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan
Penjaminan.
Pasal 23
(1) Dalam hal anggota Direksi Lembaga Kliring dan
Penjaminan
tidak lagi memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sampai dengan
Pasal 7, berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan
tersebut wajib diganti dalam jangka waktu paling
lambat 3 (tiga) bulan sejak yang bersangkutan
- 20 -
dinyatakan oleh Otoritas Jasa Keuangan tidak lagi
memenuhi syarat;
b. pemegang saham atau kelompok pemegang saham
Lembaga Kliring dan Penjaminan yang memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
ayat (1) wajib segera mengajukan calon pengganti
anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan
kepada Otoritas Jasa Keuangan sesuai dengan
prosedur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dan
Pasal 9; dan
c. calon anggota Direksi Lembaga Kliring dan
Penjaminan pengganti tersebut wajib memenuhi
Pasal 5 sampai dengan Pasal 7.
(2) Dalam hal terdapat jabatan anggota Direksi Lembaga
Kliring dan Penjaminan yang lowong, berlaku ketentuan
sebagai berikut:
a. jabatan anggota Direksi Lembaga Kliring dan
Penjaminan tersebut wajib diisi dalam jangka waktu
paling lambat 3 (tiga) bulan sejak jabatan anggota
Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan dimaksud
lowong; dan
b. pemegang saham atau kelompok pemegang saham
Lembaga Kliring dan Penjaminan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) wajib segera
mengajukan calon anggota Direksi Lembaga Kliring
dan Penjaminan yang akan mengisi jabatan lowong
kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5,
Pasal 6, Pasal 7, dan Pasal 9.
(3) Dalam hal terjadi:
a.
jabatan direktur utama Lembaga Kliring dan
Penjaminan lowong, salah satu anggota Direksi
Lembaga Kliring dan Penjaminan wajib ditunjuk
berdasarkan keputusan Direksi Lembaga Kliring dan
Penjaminan yang bertindak sebagai pejabat
sementara untuk melaksanakan tugas dan
wewenang direktur utama yang lowong tersebut
- 21 -
sampai dengan diangkatnya pengganti, setelah
mendapat persetujuan Dewan Komisaris;
b.
jabatan anggota Direksi Lembaga Kliring dan
Penjaminan selain direktur utama lowong, tugas dan
wewenang anggota Direksi tersebut berdasarkan
keputusan rapat Direksi Lembaga Kliring dan
Penjaminan wajib dialihkan kepada anggota Direksi
Lembaga Kliring dan Penjaminan yang lain sampai
dengan diangkatnya pengganti, setelah mendapat
persetujuan Dewan Komisaris; dan
c. penunjukan sementara direktur utama Lembaga
Kliring dan Penjaminan atau pengalihan tugas dan
wewenang anggota Direksi Lembaga Kliring dan
Penjaminan wajib dilaporkan oleh Direksi Lembaga
Kliring dan Penjaminan kepada Otoritas Jasa
Keuangan paling lambat 2 (dua) hari setelah
penunjukan atau pengalihan.
(4) Otoritas Jasa Keuangan dapat menetapkan jabatan
anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan yang
lowong sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak wajib
diisi setelah mempertimbangkan perkembangan kegiatan
dan operasional Lembaga Kliring dan Penjaminan.
(5) Batas waktu penggantian dan/atau pengisian anggota
Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat ditentukan
lain oleh Otoritas Jasa Keuangan.
(6) Dalam hal terdapat jabatan anggota Direksi Lembaga
Kliring dan Penjaminan yang lowong atau dalam hal
adanya pengunduran diri anggota Direksi Lembaga
Kliring dan Penjaminan, Direksi Lembaga Kliring dan
Penjaminan wajib melaporkan kepada Otoritas Jasa
Keuangan paling lambat 5 (lima) hari kerja sejak
diketahui atau diterimanya surat pengunduran diri oleh
Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan.
(7) Dalam pengisian jabatan anggota Direksi Lembaga Kliring
dan Penjaminan yang lowong dan/atau diperlukannya
- 22 -
tambahan anggota Direksi Lembaga Kliring dan
Penjaminan, berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. pengisian dan/atau penambahan anggota Direksi
Lembaga Kliring dan Penjaminan wajib memenuhi
ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 5 sampai
dengan Pasal 9;
b. calon anggota Direksi Lembaga Kliring dan
Penjaminan yang akan diajukan wajib bersedia
bekerja sama dengan anggota Direksi Lembaga
Kliring dan Penjaminan yang ada; dan
c. penambahan anggota Direksi Lembaga Kliring dan
Penjaminan yang baru wajib memperhatikan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4,
dan pelaksanaannya wajib memenuhi ketentuan
Pasal 5 sampai dengan Pasal 9.
Pasal 24
Masa jabatan anggota Direksi Lembaga Kliring dan
Penjaminan berakhir dengan sendirinya apabila:
a. kehilangan kewarganegaraan Indonesia;
b. tidak cakap melakukan perbuatan hukum;
c. dinyatakan pailit atau menjadi anggota Dewan Komisaris
dan/atau anggota Direksi yang dinyatakan bersalah atau
turut bersalah menyebabkan suatu perusahaan
dinyatakan pailit;
d. dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana;
e. berhalangan tetap;
f. meninggal dunia; dan/atau
g. masa jabatan berakhir.
Pasal 25
(1) Anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan dapat
diberhentikan dari jabatannya oleh Otoritas Jasa
Keuangan apabila:
a. tidak memiliki akhlak dan moral yang baik;
b. melakukan perbuatan tercela di sektor jasa
keuangan;
- 23 -
c. melakukan pelanggaran yang cukup material atas
ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor
jasa keuangan;
d. tidak mempunyai komitmen terhadap
pengembangan Lembaga Kliring dan Penjaminan;
dan/atau
e. gagal atau tidak cakap menjalankan tugas.
(2) Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan memberhentikan
sementara dan/atau terjadi kekosongan atas seluruh
anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan, Kepala
Eksekutif Pengawas Pasar Modal Otoritas Jasa Keuangan
dapat menunjuk dan menetapkan Dewan Komisaris
Lembaga Kliring dan Penjaminan untuk melaksanakan
fungsi Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan hingga
diangkatnya anggota Direksi yang baru oleh RUPS.
(3) Dalam hal tidak terdapat anggota Dewan Komisaris
Lembaga Kliring dan Penjaminan yang dapat
melaksanakan fungsi Direksi Lembaga Kliring dan
Penjaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
berdasarkan usulan Kepala Eksekutif Pengawas Pasar
Modal, Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan dapat
menunjuk dan menetapkan pihak lain sebagai
manajemen sementara Direksi Lembaga Kliring dan
Penjaminan.
Pasal 26
(1) Pembagian tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (2) dan ayat (3) wajib ditetapkan dalam struktur
organisasi Lembaga Kliring dan Penjaminan dan uraian
jabatan Lembaga Kliring dan Penjaminan.
(2) Penetapan dan/atau perubahan struktur organisasi
Lembaga Kliring
1 (satu) tingkat di bawah anggota Direksi wajib mendapat
persetujuan Otoritas Jasa Keuangan.
dan Penjaminan sampai
- 24 -
Pasal 27
Dalam hal Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan
menganggap anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan
yang bertanggung jawab dan menjalankan tugas atas
beberapa kegiatan sebagaimana ditetapkan pada saat yang
bersangkutan diangkat, tidak dapat melaksanakan sebagian
tugasnya, berdasarkan keputusan rapat Direksi, sebagian
tugasnya dapat dialihkan kepada anggota Direksi Lembaga
Kliring dan Penjaminan lain yang dianggap mampu untuk
menjalankan tugas setelah mendapatkan persetujuan Dewan
Komisaris dan Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 28
Anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan yang tidak
lagi menjabat sebagai anggota Direksi Lembaga Kliring dan
Penjaminan karena sebab apapun, tidak berhak menerima
gaji dan manfaat lainnya dari Lembaga Kliring dan
Penjaminan kecuali hak atas uang kompensasi atau jasa
penghargaan sepanjang disetujui oleh RUPS dengan
ketentuan jumlah kompensasi atau jasa penghargaan
dimaksud tidak lebih besar dari jumlah gaji dari sisa masa
jabatan.
BAB III
DEWAN KOMISARIS LEMBAGA KLIRING DAN PENJAMINAN
Bagian Kesatu
Keanggotaan Dewan Komisaris
Pasal 29
(1) Lembaga Kliring dan Penjaminan wajib mempunyai paling
sedikit 2 (dua) orang anggota Dewan Komisaris.
(2) Satu di antara anggota Dewan Komisaris Lembaga Kliring
dan Penjaminan wajib ditetapkan sebagai komisaris utama.
- 25 -
Pasal 30
(1) Direksi Lembaga Kliring Dan Penjaminan wajib
menyampaikan jadwal dan agenda RUPS dalam rangka
pengangkatan anggota Dewan Komisaris Lembaga Kliring
Dan Penjaminan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling
lambat 60 (enam puluh) hari sebelum RUPS pengangkatan
anggota Dewan Komisaris Lembaga Kliring Dan
Penjaminan.
(2) Otoritas Jasa Keuangan berwenang menetapkan jumlah
kebutuhan anggota Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan
Penjaminan paling lambat 50 (lima puluh) hari sebelum
RUPS pengangkatan anggota Dewan Komisaris Lembaga
Kliring dan Penjaminan.
(3) Apabila sampai dengan batas waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) Otoritas Jasa Keuangan belum
menetapkan jumlah kebutuhan anggota Dewan Komisaris
Lembaga Kliring dan Penjaminan, berlaku jumlah
kebutuhan anggota Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan
Penjaminan periode sebelumnya.
(4) Dengan memperhatikan perkembangan kegiatan dan
kebutuhan operasional Lembaga Kliring dan Penjaminan,
Otoritas Jasa Keuangan dapat menambah anggota Dewan
Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan dalam Dewan
Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan yang sedang
menjabat.
Bagian Kedua
Persyaratan Anggota Dewan Komisaris dan Susunan Dewan
Komisaris
Pasal 31
Anggota Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan
wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a.
integritas meliputi:
1. orang perseorangan warga negara Indonesia dan cakap
melakukan perbuatan hukum;
2. memiliki akhlak dan moral yang baik;
- 26 -
3. tidak pernah dinyatakan pailit atau menjadi anggota
Dewan Komisaris dan/atau anggota Direksi yang
dinyatakan
bersalah
atau
turut
bersalah
menyebabkan suatu perusahaan dinyatakan pailit;
4. tidak pernah dihukum karena terbukti melakukan
tindak pidana dalam jangka waktu tertentu sebelum
dicalonkan;
5. tidak pernah melakukan perbuatan tercela yang
dibuktikan dengan menyampaikan paling sedikit
Surat Keterangan Catatan Kepolisian dimana jangka
waktu tanggal diterbitkannya sampai dengan diajukan
ke Otoritas Jasa Keuangan tidak lebih dari 6 (enam)
bulan atau sesuai dengan masa berlaku yang
diberikan dari kepolisian
6 (enam) bulan;
jika kurang dari
6. tidak pernah melakukan pelanggaran yang material
atas ketentuan peraturan perundang-undangan di
sektor jasa keuangan; dan
7. mempunyai komitmen terhadap pengembangan
Lembaga Kliring dan Penjaminan dan Pasar Modal
Indonesia; dan
b. kompetensi meliputi:
1. mempunyai pemahaman terhadap
peraturan
perundang-undangan di bidang Pasar Modal dan
pengetahuan yang luas tentang Pasar Modal;
2. memahami prinsip tata kelola perusahaan yang baik
dan prinsip-prinsip pengelolaan risiko; dan
3. memiliki latar belakang dan/atau pengalaman yang
cukup.
Pasal 32
(1) Berdasarkan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 31 huruf b angka 3, anggota Dewan Komisaris
Lembaga Kliring dan Penjaminan wajib memenuhi
ketentuan sebagai berikut:
- 27 -
a. berpengalaman pada posisi anggota Direksi pada
perusahaan yang bergerak di bidang Pasar Modal atau
keuangan paling singkat 2 (dua) tahun;
b. berpengalaman pada posisi manajemen pada institusi
Pasar Modal paling singkat 5 (lima) tahun atau pernah
menjadi pimpinan pada institusi pengawas jasa
keuangan;
c. berpengalaman pada posisi direktur pada organisasi
yang diberi kewenangan oleh Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1995 tentang Pasar Modal untuk mengatur
pelaksanaan kegiatannya paling singkat 2 (dua) tahun;
atau
d. merupakan profesional di bidang hukum, akuntansi,
atau keuangan yang berpraktik secara aktif dalam
bidang Pasar Modal paling singkat 5 (lima) tahun.
(2) Komposisi Dewan Komisaris diatur sebagai berikut:
a. dalam hal jumlah anggota Dewan Komisaris terdiri dari
4 (empat) orang atau kurang, maka komposisi anggota
Dewan Komisaris wajib mempunyai latar belakang
dan/atau pengalaman yang berbeda; dan
b. dalam hal jumlah anggota Dewan Komisaris terdiri dari
5 (lima) orang atau lebih, paling sedikit komposisi
anggota Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud
dalam huruf a tetap wajib dipenuhi.
(3) Dua atau lebih anggota Dewan Komisaris Lembaga Kliring
dan Penjaminan dilarang berasal dari perusahaan yang
sama atau berasal dari 2 (dua) atau lebih perusahaan yang
dikendalikan baik langsung maupun tidak langsung oleh
Pihak yang sama.
(4) Jangka waktu atau masa pengalaman calon anggota Dewan
Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dihitung sampai dengan tanggal
pelaksanaan RUPS pengangkatan anggota Direksi Lembaga
Kliring dan Penjaminan.
- 28 -
Bagian Ketiga
Tata Cara Pencalonan dan Pengajuan Anggota Dewan Komisaris
Pasal 33
(1) Pencalonan dan pengajuan calon anggota Dewan
Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan dilakukan
oleh pemegang saham atau kelompok pemegang saham
Lembaga Kliring dan Penjaminan yang memiliki paling
sedikit 20% (dua puluh persen) dari saham Lembaga
Kliring dan Penjaminan yang telah dikeluarkan dan
mempunyai hak suara.
(2) Dalam pencalonan anggota Dewan Komisaris Lembaga
Kliring dan Penjaminan, pemegang saham atau kelompok
pemegang saham sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
secara bersama-sama bertanggung jawab untuk:
a. mencari dan menyeleksi calon anggota Dewan
Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30; dan
b. meneliti tingkat keahlian, pengalaman dan tanggung
jawab sebagai anggota Dewan Komisaris sesuai
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini;
c. merekomendasikan honorarium bagi setiap calon
anggota Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan
Penjaminan dengan mempertimbangkan usulan
Komite Remunerasi (jika ada).
(3) Calon anggota Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan
Penjaminan wajib diajukan kepada Otoritas Jasa
Keuangan oleh pemegang saham atau kelompok
pemegang saham Lembaga Kliring dan Penjaminan dalam
1 (satu) kesatuan paket calon anggota Dewan Komisaris.
(4) Pengajuan secara paket sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) tidak berlaku untuk pengajuan calon anggota
Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan untuk
mengisi jabatan anggota Dewan Komisaris Lembaga
Kliring dan Penjaminan yang lowong atau untuk
menambah calon anggota Dewan Komisaris Lembaga
Kliring dan Penjaminan.
- 29 -
Pasal 34
(1) Dalam pengajuan calon anggota Dewan Komisaris
Lembaga Kliring dan Penjaminan kepada Otoritas Jasa
Keuangan, pemegang saham atau kelompok pemegang
saham Lembaga Kliring dan Penjaminan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) wajib melampirkan
dalam rangkap 2 (dua) dokumen sebagai berikut:
a. riwayat hidup calon anggota Dewan Komisaris
Lembaga Kliring dan Penjaminan;
b. fotokopi Kartu Tanda Penduduk calon anggota
Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan;
c.
fotokopi ijazah dan sertifikat keahlian yang
menunjukkan tingkat keahlian dari calon anggota
Dewan Komisaris (jika ada);
d. surat pernyataan dari setiap pihak yang diajukan
sebagai calon anggota Dewan Komisaris yang
memuat paling sedikit:
1. menyatakan bahwa calon anggota Dewan
Komisaris
telah
memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 dan
Pasal 32;
2. menyatakan tentang ada tidaknya hubungan
Afiliasi calon anggota Dewan Komisaris dengan
Anggota Bursa Efek yang merupakan Anggota
Kliring Lembaga Kliring dan Penjaminan;
3. bersedia tanpa syarat mengikuti proses
penilaian kemampuan dan kepatutan yang
dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan; dan
4. bersedia untuk dipilih menjadi anggota Dewan
Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan dan
untuk bekerja sama sebaik-baiknya dengan
anggota Dewan Komisaris lain dan anggota
Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan dalam
rangka pelaksanaan kegiatan Lembaga Kliring
dan Penjaminan yang teratur, wajar, dan
efisien.
e. Surat Keterangan Catatan Kepolisian;
- 30 -
f. jawaban atas pertanyaan sebagaimana tercantum
dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
ini;
g. pasfoto berwarna terbaru ukuran 10x15 cm dengan
latar belakang berwarna merah sebanyak 3 (tiga)
lembar; dan
h. surat keterangan mengenai proses mencari,
menyeleksi dan meneliti calon anggota Dewan
Komisaris dari pemegang saham atau kelompok
pemegang saham Lembaga Kliring dan Penjaminan
termasuk rekomendasi mengenai honorarium
apabila calon anggota Dewan Komisaris diangkat
menjadi
anggota Dewan Komisaris, yang
menyatakan bahwa proses tersebut telah dilakukan
secara profesional dan tidak ada kepentingan lain
termasuk kepentingan karena hubungan Afiliasi,
selain hanya untuk kepentingan Lembaga Kliring
dan Penjaminan khususnya dan Pasar Modal pada
umumnya.
(2) Pengajuan nama calon anggota Dewan Komisaris oleh
pemegang saham atau kelompok pemegang saham
Lembaga Kliring dan Penjaminan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 33 ayat (1) dan ayat (3) beserta dokumen
pendukung sebagaimana
dimaksud
pada
ayat (1) wajib memenuhi syarat dan diterima secara
lengkap oleh Otoritas Jasa keuangan paling lambat
35 (tiga puluh lima hari) hari sebelum RUPS
pengangkatan anggota Dewan Komisaris Lembaga Kliring
dan Penjaminan.
Bagian Keempat
Penilaian Kemampuan dan Kepatutan Calon Anggota Dewan
Komisaris
Pasal 35
(1) Setiap calon anggota Dewan Komisaris Lembaga Kliring
dan Penjaminan yang diajukan wajib menjalani penilaian
- 31 -
kemampuan dan kepatutan yang dilakukan oleh Komite
Penilaian Kemampuan Dan Kepatutan.
(2) Anggota Komite Penilaian Kemampuan Dan Kepatutan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari 5 (lima)
orang, yaitu Deputi Komisioner sebagai Ketua merangkap
anggota, dan 4 (empat) pejabat paling rendah setingkat
direktur sebagai anggota.
(3) Setiap pelaksanaan penilaian kemampuan dan kepatutan
wajib dihadiri paling sedikit 3 (tiga) orang anggota Komite
Penilaian Kemampuan Dan Kepatutan.
(4) Komite Penilaian Kemampuan Dan Kepatutan melakukan
penilaian kemampuan dan kepatutan calon anggota
Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan paling
sedikit melalui penelitian administratif dan wawancara,
dan/atau permintaan presentasi.
(5) Dalam melakukan penilaian kemampuan dan kepatutan
calon anggota Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan
Penjaminan, Komite Penilaian Kemampuan Dan
Kepatutan dapat dibantu oleh narasumber dengan
keahlian tertentu yang berasal dari luar Otoritas Jasa
Keuangan.
Pasal 36
(1) Penilaian kemampuan dan kepatutan dilakukan untuk
menilai bahwa calon anggota Dewan Komisaris
memenuhi persyaratan integritas dan kompetensi
sebagaimana dimaksud dalam 31 dan Pasal 32.
(2) Komite Penilaian Kemampuan Dan Kepatutan dalam
melakukan penilaian kemampuan dan kepatutan calon
anggota Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan
Penjaminan wajib memperhatikan komposisi calon
anggota Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan
Penjaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32.
Pasal 37
Otoritas Jasa Keuangan berwenang untuk menghentikan
proses pencalonan atas calon anggota Dewan Komisaris
- 32 -
Lembaga Kliring dan Penjaminan apabila calon tersebut
menjalani proses hukum.
Pasal 38
Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal menetapkan calon
anggota Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan
dengan memperhatikan hasil penilaian kemampuan dan
kepatutan yang dilakukan oleh Komite Penilaian Kemampuan
Dan Kepatutan.
Pasal 39
(1) Dalam hal tidak terdapat calon anggota Dewan Komisaris
Lembaga Kliring dan Penjaminan yang terpilih dari hasil
penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 35 ayat (4), untuk
1 (satu) atau lebih jabatan anggota Dewan Komisaris,
Otoritas Jasa Keuangan menyampaikan kepada setiap
pemegang saham atau kelompok pemegang saham
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) untuk
mengajukan calon anggota Dewan Komisaris Lembaga
Kliring dan Penjaminan lain untuk posisi jabatan yang
calonnya belum terpilih oleh Otoritas Jasa Keuangan
dalam proses penilaian kemampuan dan kepatutan,
paling lambat 14 (empat belas) hari setelah permohonan
memenuhi syarat dan diterima secara lengkap oleh
Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Pemegang saham atau kelompok pemegang saham
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) dapat
mengajukan kembali calon anggota Dewan Komisaris
Lembaga Kliring dan Penjaminan lain untuk posisi
jabatan yang calonnya belum terpilih oleh Otoritas Jasa
Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada
Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 14 (empat belas
hari) sebelum RUPS pengangkatan anggota Dewan
Komisaris, dengan memenuhi ketentuan dalam Pasal 31,
Pasal 32, Pasal 33, dan Pasal 34 ayat (1).
- 33 -
(3) Otoritas Jasa Keuangan melakukan penilaian
kemampuan dan kepatutan terhadap calon anggota
Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan lain
sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
Pasal 40
(1) Apabila semua dokumen sebagaimana dimaksud Pasal
34 ayat (1) sudah lengkap dan telah memenuhi semua
persyaratan, Otoritas Jasa Keuangan menyampaikan
daftar calon anggota Dewan Komisaris Lembaga Kliring
dan Penjaminan terpilih beserta fotokopi dokumen calon
anggota Dewan Komisaris kepada Direksi Lembaga
Kliring dan Penjaminan paling lambat 7 (tujuh) hari
sebelum RUPS pengangkatan anggota Dewan Komisaris
Lembaga Kliring dan Penjaminan.
(2) Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan wajib
menyampaikan kepada semua pemegang saham daftar
calon anggota Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan
Penjaminan beserta fotokopi dokumen lengkap paling
lambat 1 (satu) hari kerja setelah diterimanya daftar
calon anggota Dewan Komisaris dari Otoritas Jasa
Keuangan.
(3) Daftar calon anggota Dewan Komisaris beserta fotokopi
dokumen lengkap sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
wajib tersedia dan dapat diakses oleh pemegang saham
dan publik.
Bagian Kelima
RUPS dan Tata Cara Pengangkatan Anggota Dewan Komisaris
Pasal 41
(1) Pengumuman mengenai akan diadakannya pemanggilan
RUPS pengangkatan anggota Dewan Komisaris Lembaga
Kliring dan Penjaminan dilakukan paling lambat
14 (empat belas) hari sebelum dilakukannya pemanggilan
RUPS, dengan memuat paling sedikit rencana
- 34 -
pengangkatan anggota Dewan Komisaris Lembaga Kliring
dan Penjaminan.
(2) Pemanggilan RUPS pengangkatan anggota Dewan
Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan dilakukan
paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum RUPS
dimaksud, dengan tidak memperhitungkan tanggal
pemanggilan dan tanggal RUPS, dengan memuat paling
sedikit rencana pengangkatan anggota Dewan Komisaris
Lembaga Kliring dan Penjaminan.
Pasal 42
(1) Pengangkatan anggota Dewan Komisaris Lembaga Kliring
dan Penjaminan dilakukan oleh RUPS berdasarkan calon
anggota Dewan Komisaris yang dipilih oleh Otoritas Jasa
Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40
ayat (1).
(2) Prosedur pengangkatan calon anggota Dewan Komisaris
Lembaga Kliring dan Penjaminan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) berlaku pula untuk pengangkatan calon
anggota Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan
Penjaminan untuk mengisi jabatan anggota Dewan
Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan yang lowong
atau untuk menambah calon anggota Dewan Komisaris
Lembaga Kliring dan Penjaminan.
(3) RUPS untuk mengangkat anggota Dewan Komisaris
Lembaga Kliring dan Penjaminan wajib dipimpin oleh
direktur utama atau salah satu anggota Direksi dalam
hal direktur utama berhalangan.
Bagian Keenam
Jabatan Anggota Dewan Komisaris
Pasal 43
Masa jabatan anggota Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan
Penjaminan adalah 3 (tiga) tahun terhitung sejak RUPS
pengangkatan anggota Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan
Penjaminan sampai dengan penutupan RUPS tahun ketiga
- 35 -
dan hanya dapat diangkat kembali
untuk
1 (satu) kali masa jabatan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. apabila seorang anggota Dewan Komisaris diangkat
karena menggantikan jabatan anggota Dewan Komisaris
Lembaga Kliring dan Penjaminan yang lowong dan/atau
ada tambahan anggota Dewan Komisaris Lembaga Kliring
dan Penjaminan baru, masa jabatan anggota Dewan
Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan tersebut
berlaku selama sisa masa jabatan anggota Dewan
Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan yang sedang
menjabat;
b. penghitungan 1 (satu) kali masa jabatan bagi seorang
anggota Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan
Penjaminan adalah jika yang bersangkutan menjabat
selama paling sedikit 2/3 (dua per tiga) dari masa jabatan
Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan; dan
c. keseluruhan masa jabatan anggota Dewan Komisaris
pada Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, serta
Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian paling banyak
3 (tiga) kali masa jabatan.
Pasal 44
(1) Dalam hal anggota Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan
Penjaminan tidak lagi memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 dan Pasal 32,
berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. anggota Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan
Penjaminan tersebut wajib diganti dalam jangka
waktu paling lambat 3 (tiga) bulan sejak yang
bersangkutan dinyatakan oleh Otoritas Jasa
Keuangan tidak lagi memenuhi syarat;
b. pemegang saham atau kelompok pemegang saham
Lembaga Kliring dan Penjaminan yang memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33
ayat (1) wajib segera mengajukan calon pengganti
anggota Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan
Penjaminan kepada Otoritas Jasa Keuangan sesuai
- 36 -
dengan prosedur sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 33 dan Pasal 34; dan
c. calon anggota Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan
Penjaminan pengganti tersebut wajib memenuhi
ketentuan Pasal 31 dan Pasal 32.
(2) Dalam hal terdapat jabatan anggota Dewan Komisaris
Lembaga Kliring dan Penjaminan yang lowong, Direksi
Lembaga Kliring dan Penjaminan wajib melaporkan
kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 5 (lima)
hari kerja sejak diketahui oleh Direksi Lembaga Kliring
dan Penjaminan.
(3) Dalam pengisian jabatan anggota Dewan Komisaris
Lembaga Kliring dan Penjaminan untuk menggantikan
anggota Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan
Penjaminan yang lowong dan/atau diperlukannya
tambahan anggota Dewan Komisaris baru, berlaku
ketentuan sebagai berikut:
a. penggantian atau penambahan anggota Dewan
Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan wajib
memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam
Pasal 31 sampai dengan Pasal 34;
b. calon anggota Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan
Penjaminan yang akan diajukan wajib bersedia
bekerja sama dengan dan tidak memperoleh
keberatan dari anggota Dewan Komisaris yang ada;
dan
c. Penambahan anggota Dewan Komisaris Lembaga
Kliring dan Penjaminan baru wajib memperhatikan
ketentuan Pasal 31 dan pelaksanaannya wajib
memenuhi ketentuan Pasal 32 sampai dengan
Pasal 35.
(4) Otoritas Jasa Keuangan dapat menetapkan jabatan
anggota Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan
Penjaminan yang lowong sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) tidak wajib diisi setelah mempertimbangkan
perkembangan kegiatan dan operasional Lembaga Kliring
dan Penjaminan.
- 37 -
(5) Batas waktu penggantian anggota Dewan Komisaris
Lembaga Kliring dan Penjaminan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat ditentukan lain oleh Otoritas Jasa
Keuangan.
Pasal 45
Masa jabatan anggota Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan
Penjaminan berakhir dengan sendirinya apabila:
a. kehilangan kewarganegaraan Indonesia;
b. tidak cakap melakukan perbuatan hukum;
c. dinyatakan pailit atau menjadi anggota Dewan Komisaris
atau anggota Direksi yang dinyatakan bersalah atau
turut bersalah menyebabkan suatu perusahaan
dinyatakan pailit;
d. dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana;
e. berhalangan tetap;
f. meninggal dunia; dan/atau
g. masa jabatan berakhir.
Pasal 46
Anggota Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan
dapat diberhentikan dari jabatannya oleh Otoritas Jasa
Keuangan apabila:
a. tidak memiliki akhlak dan moral yang baik;
b. melakukan perbuatan tercela di sektor jasa keuangan;
c. melakukan pelanggaran yang cukup material atas
ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa
keuangan;
d. tidak mempunyai komitmen terhadap pengembangan
Lembaga Kliring dan Penjaminan; dan/atau
e. gagal atau tidak cakap menjalankan tugas.
Pasal 47
Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan wajib
mengadakan rapat paling sedikit 1 (satu) bulan sekali yang
dipimpin oleh komisaris utama atau salah satu anggota
Dewan Komisaris dalam hal komisaris utama berhalangan.
- 38 -
Pasal 48
Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan dalam
melaksanakan tugasnya dapat membentuk komite audit dan
Komite Remunerasi, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. ketua komite audit dan ketua Komite Remunerasi adalah
salah seorang anggota Dewan Komisaris Lembaga Kliring
dan Penjaminan;
b. komite audit bertugas untuk memberikan pendapat
profesional yang independen kepada Dewan Komisaris
Lembaga Kliring dan Penjaminan terhadap laporan atau
hal yang disampaikan oleh Direksi kepada Dewan
Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan serta
mengidentifikasikan hal yang memerlukan perhatian
Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan; dan
c. anggota komite audit wajib memiliki keahlian dan
pengalaman di bidang hukum, akuntansi, atau
keuangan.
Pasal 49
Anggota Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan
diberi honorarium yang jumlahnya diusulkan atau
direkomendasikan oleh pemegang saham atau kelompok
pemegang saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat
(2) huruf c dengan mempertimbangkan usulan Komite
Remunerasi (jika ada), sebelum pelaksanaan RUPS
pengangkatan anggota Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan
Penjaminan.
Pasal 50
Honorarium bagi anggota Dewan Komisaris Lembaga Kliring
dan Penjaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 wajib
mendapat persetujuan dan ditetapkan oleh RUPS.
Pasal 51
Anggota Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan
yang tidak lagi menjabat sebagai anggota Dewan Komisaris
Lembaga Kliring dan Penjaminan karena sebab apapun, tidak
- 39 -
berhak menerima honorarium dari Lembaga Kliring dan
Penjaminan, kecuali hak atas uang kompensasi atau jasa
penghargaan sepanjang disetujui oleh RUPS dengan
ketentuan jumlah kompensasi atau jasa penghargaan
dimaksud tidak lebih besar dari jumlah honorarium dari sisa
masa jabatan.
BAB IV
KETENTUAN SANKSI
Pasal 52
(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang
Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang
mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak
yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini, termasuk pihak yang
menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut berupa:
a. peringatan tertulis;
b. denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah
uang tertentu;
c. pembatasan kegiatan usaha;
d. pembekuan kegiatan usaha;
e. pencabutan izin usaha;
f. pembatalan persetujuan; dan
g. pembatalan pendaftaran.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau
huruf g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului
pengenaan sanksi administratif berupa peringatan
tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a.
(3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara
tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g.
- 40 -
Pasal 53
Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 52 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan
tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan
pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
BAB V
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 54
Dalam hal terdapat pengajuan pengisian jabatan anggota
Direksi dan anggota Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan
Penjaminan untuk mengganti seluruhnya, mengisi jabatan
anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris yang lowong
atau tidak memenuhi syarat, menambah anggota Direksi dan
anggota Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan
sebelum berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini,
tata cara pengajuan anggota Direksi dan anggota Dewan
Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan mengikuti
ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor Pasar
Modal yang mengatur mengenai Direksi dan Dewan Komisaris
Lembaga Kliring dan Penjaminan yang berlaku pada saat
pengajuan.
BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 55
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai
berlaku:
1. Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan
Lembaga Keuangan Nomor Kep-13/BL/2009 tanggal 30
Januari 2009 tentang Direktur Lembaga Kliring dan
Penjaminan, beserta Peraturan Nomor III.B.3 yang
merupakan lampirannya; dan
- 41 -
2. Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan
Lembaga Keuangan Nomor Kep-107/BL/2008 tanggal 10
April 2008 tentang Komisaris Lembaga Kliring dan
Penjaminan, beserta Peraturan Nomor III.B.8 yang
merupakan lampirannya,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 56
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 20 Desember 2016
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 28 Desember 2016
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H.LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 313
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
- 2 -
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 59 /POJK.04/2016
TENTANG
DIREKSI DAN DEWAN KOMISARIS
LEMBAGA KLIRING DAN PENJAMINAN
I. UMUM
Bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011
tentang Otoritas Jasa Keuangan yang menetapkan kewenangan
pengaturan dan pengawasan kegiatan di bidang jasa keuangan termasuk
Pasar Modal beralih dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan ke Otoritas Jasa Keuangan, Otoritas Jasa Keuangan
berkepentingan untuk menjaga agar Pasar Modal tetap terselenggara
secara teratur, wajar, transparan dan efisien.
Untuk mewujudkan hal tersebut perlu dilakukan penyempurnaan
terhadap ketentuan yang berlaku bagi
setiap Pihak yang
menyelenggarakan kegiatan di bidang Pasar Modal salah satunya adalah
Lembaga Kliring Dan Penjaminan yang didirikan untuk menyelenggarakan
jasa kliring dan penjaminan penyelesaian Transaksi Bursa.
Dalam rangka meningkatkan tata kelola Lembaga Kliring dan
Penjaminan yang baik dan berdaya saing global, diperlukan Direksi dan
Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan yang memiliki kompetensi dan
integritas yang tinggi serta memenuhi persyaratan sebagaimana
dipersyaratkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pengaturan mengenai Direktur Lembaga Kliring Dan Penjaminan saat
ini telah diatur dalam Peraturan Badan Pengawas Pasar Modal dan
Lembaga Keuangan Nomor III.B.3 tentang Direktur Lembaga Kliring Dan
Penjaminan, Lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
- 2 -
Nomor Kep-13/BL/2009 tanggal 30 Januari 2009 (Peraturan Nomor
III.B.3 tentang Direktur Lembaga Kliring Dan Penjaminan), sedangkan
pengaturan mengenai Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan diatur
dalam Peraturan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan
Nomor III.B.8 tentang Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan,
Lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan Nomor Kep-107/BL/2008 tanggal 10 April 2008 (Peraturan
Nomor III.B.8 tentang Komisaris Lembaga Kliring Dan Penjaminan).
Memperhatikan hal tersebut perlu untuk dilakukan perubahan dan
penggabungan terhadap Peraturan Badan Pengawas Pasar Modal dan
Lembaga Keuangan Nomor III.B.3 tentang Direktur Lembaga Kliring dan
Penjaminan dan Peraturan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan Nomor III.B.8 tentang Komisaris Lembaga Kliring dan
Penjaminan dengan menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
tentang Direksi Dan Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “keputusan yang bersifat final” adalah
keputusan yang ditetapkan direktur utama Lembaga Kliring dan
Penjaminan dalam hal terdapat perbedaan pendapat antara
anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan sehingga rapat
Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan tidak dapat mengambil
keputusan, maka keputusan akan ditentukan oleh direktur
utama. Keputusan yang ditetapkan oleh direktur utama adalah
salah satu dari dua atau lebih pendapat yang disampaikan
dalam rapat Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
- 3 -
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku,
peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang
mengatur mengenai Perizinan Lembaga Kliring dan Penjaminan
yang berlaku adalah Peraturan Nomor III.B.1, lampiran
Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor Kep-
07/PM/1996 tanggal 17 Januari 1996 tentang Perizinan
Lembaga Kliring dan Penjaminan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Huruf a
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Cukup jelas.
Angka 4
Yang dimaksud dengan dengan “tindak pidana” adalah :
1.
tindak pidana di bidang keuangan, yaitu tindak pidana
di bidang Perbankan, tindak pidana di bidang Pasar
- 4 -
Modal, dan tindak pidana di bidang Industri Keuangan
Non Bank yang terbukti dilakukan dalam waktu 20
(dua puluh) tahun terakhir sebelum dicalonkan;
2.
tindak pidana khusus, yaitu tindak pidana selain yang
diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
dengan ancaman hukuman pidana penjara 1 (satu)
tahun atau lebih, paling sedikit: korupsi;
narkotika/psikotropika; penyelundupan; kepabeanan;
cukai; perdagangan orang; perdagangan senjata gelap;
terorisme; pemalsuan uang; di bidang perpajakan; di
bidang kehutanan; di bidang lingkungan hidup; di
bidang kelautan dan perikanan yang terbukti
dilakukan dalam waktu 20 (dua puluh) tahun terakhir
sebelum dicalonkan; dan
3.
tindak pidana kejahatan, yaitu tindak pidana yang
tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana dengan ancaman hukuman pidana penjara 1
(satu) tahun atau lebih yang terbukti dilakukan dalam
waktu 10 (sepuluh) tahun terakhir sebelum
dicalonkan.
Penilaian terhadap kriteria pada angka ini dilakukan paling
sedikit berdasarkan informasi yang diperoleh Otoritas Jasa
Keuangan atau informasi yang diketahui oleh umum,
bahwa yang bersangkutan pernah dihukum karena
melakukan tindak pidana di bidang keuangan atau tindak
pidana khusus dalam waktu 20 (dua puluh) tahun terakhir
sebelum dicalonkan atau pernah dihukum karena
melakukan tindak pidana kejahatan dalam waktu
10 (sepuluh) tahun terakhir sebelum dicalonkan.
Yang dimaksud dengan “sebelum dicalonkan” adalah
terhitung sejak tanggal permohonan pengajuan nama calon
anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan diterima
secara lengkap oleh Otoritas Jasa Keuangan.
Angka 5
Cukup jelas.
Angka 6
Cukup jelas.
- 5 -
Angka 7
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Pasal 6
Huruf a
Dalam hal calon Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan terdiri
dari 4 (empat) orang dan setelah komposisi Direksi Lembaga
Kliring dan Penjaminan memenuhi persyaratan pengalaman
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a, maka calon
anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan lainnya tetap
wajib memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 huruf a.
Huruf b
Dalam hal calon Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan terdiri
dari 5 (lima) orang dan setelah komposisi direksi Lembaga
Kliring dan Penjaminan memenuhi persyaratan pengalaman
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b, maka calon
anggota Direksi lainnya tetap wajib memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 huruf b.
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
- 6 -
Huruf c
Rekomendasi gaji dan manfaat lain bagi calon anggota
Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan ditentukan
berdasarkan kelayakan yang berlaku pada umumnya untuk
masing-masing jabatan anggota Direksi Lembaga Kliring
dan Penjaminan sesuai dengan tugas dan tanggung
jawabnya berdasarkan keahlian, dan pengalaman masing-
masing calon anggota Direksi Lembaga Kliring dan
Penjaminan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Yang dimaksud dengan proses hukum pada ayat ini adalah proses
penyidikan atau peradilan (termasuk banding dan kasasi) dalam
perkara tindak pidana yang meliputi:
1.
tindak pidana di bidang keuangan, yaitu tindak pidana di bidang
Perbankan, di bidang Pasar Modal dan di bidang Industri
Keuangan Non Bank;
2.
tindak pidana khusus, yaitu tindak pidana selain yang diatur
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan ancaman
hukuman pidana penjara 1 (satu) tahun atau lebih, paling
sedikit: korupsi; narkotika/psikotropika; penyelundupan;
kepabeanan; cukai; perdagangan orang; perdagangan senjata
gelap; terorisme; pemalsuan uang; di bidang perpajakan; di
- 7 -
bidang kehutanan; di bidang lingkungan hidup; dibidang
kelautan dan perikanan; dan
3.
tindak pidana kejahatan, yaitu tindak pidana yang tercantum
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan ancaman
hukuman pidana penjara 1 (satu) tahun atau lebih.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
- 8 -
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Pembuktian pailit didasarkan pada keputusan pengadilan niaga.
Huruf d
Yang dimaksud dengan dengan “tindak pidana” adalah:
1.
tindak pidana di bidang keuangan, yaitu tindak pidana di
bidang Perbankan, tindak pidana di bidang Pasar Modal,
dan tindak pidana di bidang Industri Keuangan Non Bank;
2.
tindak pidana khusus, yaitu tindak pidana selain yang
diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan
ancaman hukuman pidana penjara 1 (satu) tahun atau
lebih, paling sedikit: korupsi; narkotika/psikotropika;
penyelundupan; kepabeanan; cukai; perdagangan orang;
perdagangan senjata gelap; terorisme; pemalsuan uang; di
bidang perpajakan; di bidang kehutanan; di bidang
lingkungan hidup; di bidang kelautan dan perikanan; dan
3.
tindak pidana kejahatan, yaitu tindak pidana yang
tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
dengan ancaman hukuman pidana penjara 1 (satu) tahun
atau lebih.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “berhalangan tetap” paling sedikit sakit
permanen yang mengakibatkan tidak dapat melakukan aktivitas
pekerjaan yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
- 9 -
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Huruf a
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Cukup jelas.
Angka 4
Yang dimaksud dengan dengan “tindak pidana” adalah:
1.
tindak pidana di bidang keuangan, yaitu tindak pidana
di bidang Perbankan, tindak pidana di bidang Pasar
Modal, dan tindak pidana di bidang Industri Keuangan
Non Bank yang terbukti dilakukan dalam waktu 20
(dua puluh) tahun terakhir sebelum dicalonkan;
2.
tindak pidana khusus, yaitu tindak pidana selain yang
diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
dengan ancaman hukuman pidana penjara 1 (satu)
tahun atau lebih, paling sedikit: korupsi;
- 10 -
narkotika/psikotropika; penyelundupan; kepabeanan;
cukai; perdagangan orang; perdagangan senjata gelap;
terorisme; pemalsuan uang; di bidang perpajakan; di
bidang kehutanan; di bidang lingkungan hidup; di
bidang kelautan dan perikanan yang terbukti
dilakukan dalam waktu 20 (dua puluh) tahun terakhir
sebelum dicalonkan; dan
3. tindak pidana kejahatan, yaitu tindak pidana yang
tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana dengan ancaman hukuman pidana penjara 1
(satu) tahun atau lebih yang terbukti dilakukan dalam
waktu 10 (sepuluh) tahun terakhir sebelum
dicalonkan.
Penilaian terhadap kriteria pada huruf ini dilakukan paling
sedikit berdasarkan informasi yang diperoleh Otoritas Jasa
Keuangan atau informasi yang diketahui oleh umum,
bahwa yang bersangkutan pernah dihukum karena
melakukan tindak pidana di bidang keuangan dan tindak
pidana khusus dalam waktu 20 (dua puluh) tahun terakhir
sebelum dicalonkan atau pernah dihukum karena
melakukan tindak pidana kejahatan dalam waktu
10 (sepuluh) tahun terakhir sebelum dicalonkan.
Yang dimaksud dengan “sebelum dicalonkan” adalah
terhitung sejak tanggal permohonan pengajuan nama calon
anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan diterima
secara lengkap oleh Otoritas Jasa Keuangan.
Angka 5
Cukup jelas.
Angka 6
Cukup jelas.
Angka 7
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
- 11 -
Pasal 33
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Rekomendasi honorarium bagi calon anggota Dewan
Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan wajib
ditentukan berdasarkan kelayakan yang berlaku pada
umumnya untuk masing-masing anggota Dewan Komisaris
Lembaga Kliring dan Penjaminan sesuai dengan tugas dan
tanggung jawabnya berdasarkan keahlian, dan pengalaman
masing-masing calon anggota Dewan Komisaris Lembaga
Kliring dan Penjaminan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
- 12 -
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan dengan “tindak pidana” adalah:
1.
tindak pidana di bidang keuangan, yaitu tindak pidana di
bidang Perbankan, tindak pidana di bidang Pasar Modal,
dan tindak pidana di bidang Industri Keuangan Non Bank;
2. tindak pidana khusus, yaitu tindak pidana selain yang
diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan
ancaman hukuman pidana penjara 1 (satu) tahun atau
lebih, paling sedikit: korupsi; narkotika/ psikotropika;
penyelundupan; kepabeanan; cukai; perdagangan orang;
perdagangan senjata gelap; terorisme; pemalsuan uang; di
- 13 -
bidang perpajakan; di bidang kehutanan; di bidang
lingkungan hidup; di bidang kelautan dan perikanan; dan
3. tindak pidana kejahatan, yaitu tindak pidana yang
tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
dengan ancaman hukuman pidana penjara 1 (satu) tahun
atau lebih.
Huruf e
Yang dimaksud “berhalangan tetap” paling sedikit sakit
permanen yang mengakibatkan tidak dapat melakukan aktivitas
pekerjaan yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
- 14 -
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Pada saat peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku,
peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur
mengenai Direksi dan Dewan Komisaris yang berlaku yang berlaku
adalah:
1. Peraturan Nomor III.B.3, lampiran Keputusan Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor
Kep-13/BL/2009 tanggal 30 Januari 2009 tentang Direktur
Lembaga Kliring dan Penjaminan; dan
2. Peraturan Nomor III.B.8, lampiran Keputusan Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor Kep-
107/BL/2008 tanggal 10 April 2008 tentang Komisaris Lembaga
Kliring dan Penjaminan.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6001
"," POJK
59/POJK.04/2016
DIREKSI DAN DEWAN KOMISARIS LEMBAGA KLIRING DAN PENJAMINAN
20 Desember 2016
28 Desember 2016
28 Desember 2016
'Kep-13/BL/2009|KEPTA-BAPEPAM-LK/2009', 'Kep-107/BL/2008|KEPTA-BAPEPAM-LK/2008', 'Kep-13/BL/2009|KEPTA-BAPEPAM-LK/2009 | Lampiran Peraturan Nomor III.B.3', 'Kep-107/BL/2008|KEPTA-BAPEPAM-LK/2008 | Lampiran Peraturan Nomor III.B.8'
'21/UU/2011', '8/UU/1995'
'BAB IV'
"
" - 1 -
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 47 /POJK.04/2015
TENTANG
PEDOMAN PENGUMUMAN HARIAN NILAI AKTIVA BERSIH
REKSA DANA TERBUKA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan maka sejak
tanggal 31 Desember 2012 pengaturan dan pengawasan
kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal termasuk
pengumuman harian nilai aktiva bersih Reksa Dana
terbuka beralih dari Badan Pengawas Pasar Modal dan
Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa Keuangan;
b. bahwa dalam rangka memberikan kejelasan dan kepastian
mengenai pengaturan atas pengumuman harian nilai
aktiva bersih Reksa Dana terbuka perlu mengganti
peraturan mengenai Pedoman Pengumuman Harian Nilai
Aktiva Bersih Reksa Dana terbuka yang diterbitkan
sebelum terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan dengan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan huruf b perlu menetapkan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan tentang Pedoman Pengumuman
Harian Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana terbuka;
- 2 -
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1995 Nomor 64 Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3608);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan(Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111 Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
PEDOMAN PENGUMUMAN HARIAN NILAI AKTIVA BERSIH
REKSA DANA TERBUKA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud
dengan:
1. Reksa Dana Pasar Uang adalah Reksa Dana yang hanya
melakukan investasi pada:
a. instrumen pasar uang dalam negeri; dan/atau
b. Efek bersifat utang yang:
1) diterbitkan dengan jangka waktu tidak lebih dari
1 (satu) tahun; dan/atau
2) sisa jatuh temponya tidak lebih dari dari 1 (satu)
tahun.
2. Reksa Dana Pendapatan Tetap adalah Reksa Dana yang
melakukan investasi paling sedikit 80% (delapan puluh
persen) dari Nilai Aktiva Bersih dalam bentuk Efek bersifat
utang.
3. Reksa Dana Saham adalah Reksa Dana yang melakukan
investasi paling sedikit 80% (delapan puluh persen) dari
Nilai Aktiva Bersih dalam bentuk Efek bersifat ekuitas.
- 3 -
4. Reksa Dana Campuran adalah Reksa Dana yang
melakukan investasi pada Efek bersifat ekuitas, Efek
bersifat utang, dan/atau instrumen pasar uang dalam
negeri yang masing-masing paling banyak 79% (tujuh
puluh sembilan persen) dari Nilai Aktiva Bersih, dimana
dalam portofolio Reksa Dana tersebut wajib terdapat Efek
bersifat ekuitas dan Efek bersifat utang.
BAB II
PENGELOLAAN REKSA DANA
Bagian Kesatu
Reksa Dana Pasar Uang
Pasal 2
Reksa Dana Pasar Uang hanya dapat melakukan investasi
pada:
a. instrumen pasar uang dalam negeri; dan/atau
b. Efek bersifat utang yang:
1. diterbitkan dengan jangka waktu tidak lebih dari 1
(satu) tahun; dan/atau
2. sisa jatuh temponya tidak lebih dari 1 (satu) tahun.
Pasal 3
Reksa Dana Pasar Uang dilarang memungut biaya penjualan
dan biaya pembelian kembali Unit Penyertaan.
Bagian Kedua
Reksa Dana Pendapatan Tetap
Pasal 4
Reksa Dana Pendapatan Tetap wajib melakukan investasi
paling sedikit 80% (delapan puluh persen) dari Nilai Aktiva
Bersih dalam bentuk Efek bersifat utang.
- 4 -
Bagian Ketiga
Reksa Dana Saham
Pasal 5
Reksa Dana Saham wajib melakukan investasi paling sedikit
80% (delapan puluh persen) dari Nilai Aktiva Bersih dalam
bentuk Efek bersifat ekuitas.
Bagian Keempat
Reksa Dana Campuran
Pasal 6
(1) Reksa Dana Campuran wajib melakukan investasi pada
Efek bersifat ekuitas, Efek bersifat utang, dan/atau
instrument pasar uang dalam negeri.
(2) Investasi pada Efek dan/atau pasar uang dalam negeri
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) masing-masing
paling banyak 79% (tujuh puluh sembilan persen) dari
Nilai Aktiva Bersih, dimana dalam portofolio Reksa Dana
tersebut wajib terdapat Efek bersifat ekusitas dan Efek
bersifat utang.
BAB III
PEDOMAN PENGHITUNGAN HARIAN NILAI AKTIVA BERSIH
REKSA DANA TERBUKA
Pasal 7
(1) Bank Kustodian Reksa Dana Terbuka wajib menghitung
pada setiap hari bursa:
a.
Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana per Unit Penyertaan
atau per saham;
b. Hasil investasi Reksa Dana dalam 30 (tiga puluh) hari
terakhir, dihitung sesuai dengan peraturan
perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang
mengatur mengenai Informasi Dalam Ikhtisar
Keuangan Singkat Reksa Dana;
- 5 -
c.
Hasil investasi Reksa Dana dalam 1 (satu) tahun
terakhir, dihitung sesuai dengan peraturan
perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang
mengatur mengenai Informasi Dalam Ikhtisar
Keuangan Singkat Reksa Dana; dan
d. Hasil investasi riil dalam 1 (satu) tahun terakhir
setelah memperhitungkan biaya penjualan dan biaya
pembelian kembali Unit Penyertaan atau saham,
dihitung sesuai dengan peraturan perundang-
undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur
mengenai Informasi Dalam Ikhtisar Keuangan
Singkat Reksa Dana.
(2) Besarnya biaya penjualan dan pembelian kembali yang
dibebankan dalam perhitungan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf d sesuai dengan yang ditetapkan
dalam Kontrak Investasi Kolektif dan Prospektus.
Pasal 8
Penghitungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 wajib:
a. disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan
menggunakan format sebagaimana tercantum dalam
Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, paling lambat
pukul 10.00 WIB hari bursa berikutnya; dan
b. diumumkan kepada masyarakat melalui paling sedikit
1 (satu) surat kabar harian berbahasa Indonesia yang
berperedaran nasional paling lambat pada hari bursa
berikutnya.
BAB IV
KETENTUAN SANKSI
Pasal 9
(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang
Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang
mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak
yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan
- 6 -
Otoritas Jasa Keuangan ini, termasuk pihak-pihak yang
menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut berupa:
a. Peringatan tertulis;
b. Denda, yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah
uang tertentu;
c. Pembatasan kegiatan usaha;
d. Pembekuan kegiatan usaha;
e. Pencabutan izin usaha;
f. Pembatalan persetujuan; dan
g. Pembatalan pendaftaran.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g
dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului pengenaan
sanksi administratif berupa peringatan tertulis
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a.
(3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara
tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g.
Pasal 10
Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal
9 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan tindakan
tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran
ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 11
Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat
(1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal
10 kepada masyarakat.
- 7 -
BAB V
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 12
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku,
Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan Nomor: Kep-516/BL/2012 tanggal 21 September
2012, tentang Pedoman Pengumuman Harian Nilai Aktiva
Bersih Reksa Dana Terbuka beserta Peraturan Nomor IV.C.3
yang merupakan lampirannya, dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku.
Pasal 13
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 23 Desember 2015
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 29 Desember 2015
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 398
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Sudarmaji
- 2 -
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 47 /POJK.04/2015
TENTANG
PEDOMAN PENGUMUMAN HARIAN NILAI AKTIVA BERSIH
REKSA DANA TERBUKA
I. UMUM
Bahwa sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas, dan wewenang
pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal,
Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa
Keuangan Lainnya beralih dari Menteri Keuangan dan Badan Pengawas
Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa Keuangan.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, perlu dilakukan penataan
kembali struktur Peraturan yang ada, khususnya yang terkait sektor Pasar
Modal dengan cara melakukan konversi Peraturan Bapepam dan LK terkait
sektor Pasar Modal menjadi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Penataan
dimaksud dilakukan agar terdapat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
terkait sektor Pasar Modal yang selaras dengan Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan sektor lainnya.
Berdasarkan latar belakang pemikiran dan aspek tersebut, perlu
mengganti Peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang
mengatur mengenai Pedoman Pengumuman Harian Nilai Aktiva Bersih
Reksa Dana Terbuka, yaitu Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor:
KEP- 516/BL/2012 tanggal 21 September 2012, tentang Pedoman
Pengumuman Harian Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana Terbuka beserta
Peraturan Bapepam dan LK Nomor IV.C.3 sebagai lampirannya menjadi
- 2 -
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Pedoman Pengumuman Harian
Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana Terbuka.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mlai berlaku,
peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang
mengatur mengenai Informasi Dalam Ikhtisar Keuangan Singkat
Reksa Dana yang berlaku adalah Peraturan Nomor VIII.G.9,
lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor
KEP-99/PM/1996 tanggal 28 Mei 1996 tentang Informasi Dalam
Ikhtisar Keuangan Singkat Reksa Dana.
Huruf c
Cukup jelas.
- 3 -
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5816
- 2 -
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
LAMPIRAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 47 /POJK.04/2015
TENTANG
PEDOMAN PENGUMUMAN HARIAN NILAI AKTIVA BERSIH
REKSA DANA TERBUKA
- 2 -
NILAI AKTIVA BERSIH REKSA DANA TERBUKA
Tanggal: …………………..
Nama Jenis
Nilai Aktiva
Bersih per unit
(Rp)
Hasil investasi
dalam 30 hari
terakhir
(%)
Hasil
investasi
dalam 1
tahun
terakhir
(%)
Hasil
investasi riil
dalam 1
tahun
terakhir
(%)
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 23 Desember 2015
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN
ttd
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Sudarmaji
MULIAMAN D. HADAD
"," POJK
47/POJK.04/2015
PEDOMAN PENGUMUMAN HARIAN NILAI AKTIVA BERSIH REKSA DANA TERBUKA
23 Desember 2015
29 Desember 2015
29 Desember 2015
'Kep-516/BL/2012|KEPTA-BAPEPAM-LK/2012', 'Kep-516/BL/2012|KEPTA-BAPEPAM-LK/2012 | Lampiran Peraturan Nomor IV.C.3'
'21/UU/2011', '8/UU/1995'
'BAB IV'
"
" - 2 -
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 39 /POJK.04/2016
TENTANG
TATA CARA PERMOHONAN IZIN USAHA REKSA DANA BERBENTUK
PERSEROAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, sejak
tanggal 31 Desember 2012 pengaturan dan pengawasan
kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal termasuk
Reksa Dana Berbentuk Perseroan beralih dari Badan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke
Otoritas Jasa Keuangan;
b. bahwa dalam rangka memberikan kejelasan dan
kepastian mengenai pengaturan terhadap tata cara
permohonan izin usaha Reksa Dana berbentuk Perseroan
perlu mengganti peraturan mengenai Tata Cara
Permohonan Izin Usaha Reksa Dana Berbentuk
Perseroan yang diterbitkan sebelum terbentuknya
Otoritas Jasa Keuangan dengan Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan;
- 2 -
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Tata Cara
Permohonan Izin Usaha Reksa Dana Berbentuk
Perseroan;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995
Nomor 64 Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3608);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111 Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG TATA
CARA PERMOHONAN IZIN USAHA REKSA DANA BERBENTUK
PERSEROAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud
dengan Reksa Dana Berbentuk Perseroan adalah Emiten yang
kegiatan usahanya menghimpun dana dengan menjual
saham, dan selanjutnya dana dari penjualan saham tersebut
diinvestasikan pada berbagai jenis Efek yang diperdagangkan
di Pasar Modal dan pasar uang.
BAB II
TATA CARA PERMOHONAN IZIN USAHA REKSA DANA
BERBENTUK PERSEROAN
Pasal 2
Permohonan izin usaha sebagai Reksa Dana Berbentuk
Perseroan dilakukan dengan cara sebagai berikut:
- 3 -
a. mengisi formulir permohonan izin usaha yang bentuk
dan isinya sesuai dengan format surat Permohonan Izin
Usaha Reksa Dana Berbentuk Perseroan sebagaimana
tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini;
b. menyertakan dokumen sebagai berikut:
1. anggaran dasar Reksa Dana Berbentuk Perseroan
yang telah mendapat pengesahan dan persetujuan
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia;
2. kontrak pengelolaan Reksa Dana Berbentuk
Perseroan;
3. kontrak antara Reksa Dana Berbentuk Perseroan
dengan Bank Kustodian;
4. penunjukan Konsultan Hukum; dan
5. penunjukan Akuntan;
c. menyertakan dokumen tentang anggota direksi Reksa
Dana Berbentuk Perseroan:
1.
riwayat hidup;
2. bukti kewarganegaraan; dan
3.
fotokopi ijazah terakhir;
d. menyertakan dokumen tentang Manajer Investasi:
1.
rencana pemasaran dan operasional;
2. struktur organisasi;
3. pengalaman sebagai Manajer Investasi;
4.
fotokopi
izin orang perseorangan pegawai
penanggung jawab yang ditunjuk sebagai Wakil
Manajer Investasi; dan
5.
fotokopi izin usaha Perusahaan Efek yang
melakukan kegiatan sebagai Manajer Investasi;
e. menyertakan dokumen tentang Bank Kustodian:
1.
rencana operasional berkenaan dengan Reksa Dana
Berbentuk Perseroan; dan
2. nama dan nomor telepon penanggung jawab Bank
Kustodian; dan
f. menyertakan neraca pembukaan.
- 4 -
Pasal 3
Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 diajukan
kepada Otoritas Jasa Keuangan dalam rangkap 4 (empat).
Pasal 4
Dalam hal permohonan izin usaha sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 tidak memenuhi syarat, Otoritas Jasa
Keuangan memberikan surat pemberitahuaan kepada
pemohon yang menyatakan bahwa:
a. permohonannya tidak lengkap; atau
b. permohonannya ditolak.
Pasal 5
Dalam hal permohonan izin usaha sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 memenuhi syarat, Otoritas Jasa Keuangan
memberikan surat izin usaha kepada pemohon.
Pasal 6
Reksa Dana Berbentuk Perseroan yang telah mendapat izin
usaha dapat dicabut izin usahanya.
Pasal 7
Reksa Dana Berbentuk Perseroan yang telah mendapat izin
usaha dari Otoritas Jasa Keuangan harus menyampaikan
Pernyataan Pendaftaran untuk melakukan Penawaran Umum
dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal ditetapkan.
BAB III
KETENTUAN SANKSI
Pasal 8
(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang
Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang
mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak
yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini, termasuk pihak yang
menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut, berupa:
a. peringatan tertulis;
b. denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah
uang tertentu;
- 5 -
c. pembatasan kegiatan usaha;
d. pembekuan kegiatan usaha;
e. pencabutan izin usaha;
f. pembatalan persetujuan; dan
g. pembatalan pendaftaran.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau
huruf g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului
pengenaan sanksi administratif berupa peringatan
tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a.
(3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara
tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g.
Pasal 9
Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan
tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan
pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 10
Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 kepada masyarakat.
BAB IV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 11
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai
berlaku, Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
Nomor: Kep-17/PM/1996 tanggal 17 Januari 1996 tentang
Tata Cara Permohonan Izin Usaha Reksa Dana Berbentuk
- 6 -
Perseroan beserta Peraturan Nomor IV.A.1 yang merupakan
lampirannya, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 12
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
Agar
setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 2 Desember 2016
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 7 Desember 2016
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 268
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
- 2 -
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 39 /POJK.04/2016
TENTANG
TATA CARA PERMOHONAN IZIN USAHA REKSA DANA BERBENTUK
PERSEROAN
I. UMUM
Bahwa sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas, dan
wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor
Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan
Lembaga Jasa Keuangan Lainnya beralih dari Menteri Keuangan dan
Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa
Keuangan.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, perlu dilakukan penataan
kembali struktur peraturan yang ada, khususnya yang terkait sektor
Pasar Modal dengan cara melakukan konversi Peraturan Badan Pengawas
Pasar Modal dan Lembaga Keuangan terkait sektor Pasar Modal menjadi
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Penataan dimaksud dilakukan agar
terdapat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan terkait sektor Pasar Modal
yang selaras dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan sektor lainnya.
Berdasarkan latar belakang pemikiran dan aspek tersebut, perlu
mengganti peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang
mengatur mengenai Tata Cara Permohonan Izin Usaha Reksa Dana
Berbentuk Perseroan yaitu Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar
Modal Nomor: KEP-17/PM/1996 tanggal 17 Januari 1996 tentang Tata
Cara Permohonan Izin Usaha Reksa Dana Berbentuk Perseroan beserta
Peraturan Nomor IV.A.1 yang merupakan lampirannya, menjadi Peraturan
- 2 -
Otoritas Jasa Keuangan tentang Tata Cara Permohonan Izin Usaha Reksa
Dana Berbentuk Perseroan.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
- 3 -
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5694
- 2 -
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
LAMPIRAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 39 /POJK.04/2016
TENTANG
TATA CARA PERMOHONAN IZIN USAHA REKSA DANA BERBENTUK
PERSEROAN
- 2 -
PERMOHONAN IZIN USAHA REKSA DANA BERBENTUK PERSEROAN
Nomor
:
Lampiran :
Perihal
: Permohonan Izin Usaha
Reksa Dana Berbentuk
Perseroan.
Yth.
…………........................20...
KEPADA
Kepala Eksekutif Pengawas
Pasar Modal
Otoritas Jasa Keuangan
di –
Jakarta
Dengan ini kami mengajukan permohonan izin usaha untuk
mendirikan Reksa Dana. Sebagai bahan pertimbangan, bersama ini kami
sampaikan data sebagai berikut:
1. Nama Pemohon
: ................................................................
2. Alamat Pemohon
: ................................................................
......................... (Nama Jalan & Nomor)
…………………… - Kota & Kode
Pos)
3. Nama Reksa Dana
4. Alamat Reksa Dana
: ................................................................
: ................................................................
.......................... (Nama Jalan & Nomor)
……………… - Kota & Kode Pos)
5. Nomor Telepon Reksa Dana : ..........................................................
6. Nomor Pokok Wajib Pajak : ...-
7. Anggota direksi Reksa Dana :
N a m a
Kewarganegaraan
a.
b.
c.
d.
e.
Alamat
- 3 -
8.
a. Nomor dan tanggal akta
pendirian
: ................................................................
beserta
perubahan anggaran
dasar
b. Nomor dan tanggal
pengesahan
persetujuan
Kehakiman
9. Reksa Dana terbuka /
tertutup
10. Struktur permodalan:
a. Modal dasar
b. Modal ditempatkan dan
disetor penuh
11. Jenis saham yang
diterbitkan
12. Dalam hal ini kami
menunjuk:
a. Manajer Investasi
1) N a m a
2) A l a m a t
3) Nomor Pokok Wajib
Pajak perusahaan
4) Anggota direksi dan
anggota dewan
komisaris:
N a m a
a.
b.
c.
d.
e.
: ................................................................
: ................................................................
dan
Menteri
: ...............................................................
: ...............................................................
: ................................................................
: ...............................................................
: ...............................................................
: ...............................................................
: ...............................................................
Kewarganegaraan
Alamat
- 4 -
b. Bank Kustodian
1) N a m a
2) A l a m a t
3) Nomor Pokok Wajib
Pajak perusahaan
4) Anggota direksi dan
anggota dewan
komisaris:
N a m a
a.
b.
c.
d.
e.
c. Akuntan
1) N a m a
2) A l a m a t
3) Nomor Pokok Wajib
Pajak
4) Nomor pendaftaran
di Otoritas Jasa
Keuangan
d. Konsultan Hukum
1) N a m a
2) A l a m a t
3) Nomor Pokok Wajib
Pajak
4) Nomor pendaftaran
di Otoritas Jasa
Keuangan
: ................................................................
: ................................................................
: ................................................................
: ................................................................
Kewarganegaraan
Alamat
: ................................................................
: ................................................................
: ................................................................
: ................................................................
: ................................................................
: ................................................................
: ................................................................
: ................................................................
- 5 -
Melengkapi permohonan ini, kami lampirkan dokumen-dokumen
sebagai berikut:
a. anggaran dasar Reksa Dana Berbentuk Perseroan yang telah mendapat
pengesahan dan persetujuan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia;
b. kontrak pengelolaan Reksa Dana Berbentuk Perseroan;
c. kontrak antara Reksa Dana Berbentuk Perseroan dengan Bank
Kustodian;
d. penunjukan Konsultan Hukum;
f. penunjukan Akuntan;
g. dokumen tentang anggota direksi Reksa Dana Berbentuk Perseroan:
1)
riwayat hidup;
2) bukti kewarganegaraan;
3) fotokopi ijazah;
h. dokumen tentang Manajer Investasi :
1)
rencana pemasaran dan operasional;
2) struktur organisasi;
3) pengalaman sebagai Manajer Investasi;
4) fotokopi izin orang perseorangan pegawai penanggung jawab yang
ditunjuk sebagai Wakil Manajer Investasi;
5) fotokopi izin usaha Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan
sebagai Manajer Investasi;
i. dokumen tentang Bank Kustodian:
1)
rencana operasional berkenaan dengan Reksa Dana Berbentuk
Perseroan;
2) fotokopi persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan;
3) nama dan nomor telepon Penanggung jawab Bank Kustodian;
j.
jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang terdapat pada Daftar
Pertanyaan dan Daftar Afiliasi direksi dan setiap Pihak yang
melakukan pengendalian atas perusahaan (Daftar A) serta penjelasan
atas jawaban “ya” (Daftar B); dan
k. neraca pembukaan.
- 6 -
Demikian permohonan kami ajukan dan atas perhatiannya kami
ucapkan terima kasih.
Pemohon,
meterai
.......................................
(nama lengkap)
- 7 -
DAFTAR PERTANYAAN
I. PETUNJUK DALAM MENJAWAB PERTANYAAN:
1. Semua pertanyaan wajib dijawab oleh setiap anggota direksi dan
Pihak yang melakukan pengendalian atas perusahaan.
2. Berilah tanda √ dalam kotak di depan kata “ya”, jika jawaban
Saudara “Ya”, atau berilah tanda √ dalam kotak di depan kata
“tidak” jika jawaban atas pertanyaan berikut adalah “Tidak”.
Untuk setiap jawaban ""ya"" setiap anggota direksi dan Pihak yang
melakukan pengendalian atas perusahaan wajib memberikan
jawaban secara rinci dan jelas dalam Daftar B, antara lain memuat:
a. perusahaan dan pihak-pihak yang terkait;
b. kasus dan tanggal dari tindakan yang dilakukan;
c. pengadilan atau lembaga yang mengambil tindakan; dan
d. tindakan dan sanksi yang dikenakan.
II. INTEGRITAS SETIAP ANGGOTA DIREKSI DAN SETIAP PIHAK YANG
MELAKUKAN PENGENDALIAN ATAS PERUSAHAAN.
Definisi:
Investasi adalah kegiatan atas Efek, perbankan, asuransi, atau usaha
perumahan/real estat, termasuk kegiatan baik langsung atau tidak
langsung berhubungan dengan Perusahaan Efek, Penasihat Investasi,
dan perusahaan lain yang bergerak di bidang keuangan
Jawablah pertanyaan dibawah ini:
1. Dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun terakhir, apakah Saudara
pernah dihukum atau mengaku bersalah atau tidak membantah
atas tuduhan:
a. Tindak pidana atau kejahatan melibatkan Investasi atau
usaha berhubungan dengan Investasi, penipuan, pernyataan
palsu atau penggelapan, penyuapan, pemalsuan, atau
pemerasan?
ya
tidak
b. Atau kejahatan lain?
ya
tidak
- 8 -
2. Apakah pengadilan :
a. Pernah memutuskan Saudara bangkrut?
ya
tidak
b. Dalam 10 (sepuluh) tahun terakhir ini melarang Saudara
dalam kegiatan yang berhubungan dengan Investasi?
ya
tidak
c. Pernah memutuskan bahwa Saudara menyebabkan suatu
usaha yang berhubungan dengan Investasi, izin usahanya
atau izin untuk menjalankan usahanya ditolak, dibekukan,
dicabut atau dibatasi?
ya
tidak
3. Apakah Otoritas Jasa Keuangan pernah:
a. Menemukan Saudara membuat pernyataan palsu atau
melakukan kelalaian?
ya
tidak
b. Menemukan Saudara terlibat dalam pelanggaran peraturan
perundang-undangan yang berlaku?
ya
tidak
c. Menemukan Saudara menyebabkan ditolaknya,
dibekukannya, dicabutnya atau dibatasinya izin usaha
Saudara atau izin menjalankan usaha Saudara yang
berhubungan dengan Investasi?
ya
tidak
d. Menolak, menghentikan untuk sementara atau mencabut izin
usaha Saudara, memberi sanksi dengan membatasi kegiatan
Saudara?
ya
tidak
4. Apakah lembaga/instansi lain yang berwenang di Indonesia atau
negara lain pernah:
a. Mendapatkan Saudara membuat pernyataan palsu atau tidak
menyatakan fakta yang benar atau tidak jujur, tidak adil atau
tidak etis?
ya
tidak
- 9 -
b. Menemukan Saudara terlibat dalam pelanggaran peraturan
Investasi, atau peraturan perundang-undangan yang berlaku?
ya
tidak
5. Apakah suatu Bursa Efek pernah:
a. Menemukan Saudara membuat pernyataan palsu atau tidak
menyatakan fakta yang sebenarnya.
ya
tidak
b. Menemukan Saudara terlibat dalam pelanggaran peraturan
perundang-undangan yang berlaku?
ya
tidak
c. Menemukan Saudara menyebabkan Izin Usaha atau
persetujuan untuk menjalankan usaha suatu Reksa Dana
yang berhubungan dengan Investasi yang menyebabkan
dibekukan, dicabut atau dibatasi?
ya
tidak
d. Mengambil tindakan disipliner terhadap Saudara dengan
mengeluarkan atau membekukan dari keanggotaan, dengan
mencegah atau membekukan hubungannya dengan anggota
lain, atau dengan membatasi kegiatannya?
ya
tidak
6. Apakah pengadilan dari negara lain, badan peraturan, atau Bursa
Efek memerintahkan diambilnya tindakan terhadap Saudara
sehubungan dengan Investasi atau penipuan?
ya
tidak
7. Apakah Saudara sedang menghadapi perkara dalam sidang
pengadilan?
ya
tidak
8. Apakah suatu perusahaan asuransi pernah menolak membayar
kepada atau mencabut pertanggungan Saudara?
ya
tidak
- 10 -
9. Apakah Saudara mempunyai kewajiban atas dasar keputusan
pengadilan atau perikatan lain yang dibuatnya dengan pihak lain
yang tidak dapat dilaksanakan?
ya
tidak
10. Apakah Saudara pernah menjadi anggota direksi dan atau anggota
dewan komisaris Perusahaan Efek, Penasihat Investasi Perorangan
atau Pihak yang melakukan pengendalian atas Perusahaan Efek
yang dinyatakan bangkrut?
ya
tidak
.............................., ..............
Yang membuat pernyataan
..........................................
(nama lengkap)
- 11 -
DAFTAR A
AFILIASI DIREKSI
Daftar ini memuat keterangan tentang Afiliasi dari semua anggota direksi
dengan:
1. Reksa Dana itu sendiri selain sebagai anggota direksi;
2. Perusahaan Efek yang bertindak sebagai Manajer Investasi-nya;
3. Bank Kustodian;
4. Akuntan atau Konsultan Hukum yang akan atau memberikan jasa
profesional kepada Reksa Dana dan/atau Afiliasi dari profesi dimaksud;
5. Perusahaan Efek lain; dan
6. Orang perseorangan yang mempunyai hubungan usaha penting dan
relevan atau hubungan profesi dengan Reksa Dana dimaksud, Manajer
Investasi Reksa Dana atau dengan Reksa Dana lain.
Beri tanda √ apabila ada afiliasi
Nama Lengkap
Anggota
Direksi/Pihak
yang melakukan
pengendalian
1
Afiliasi sebagaimana dijelaskan di atas dengan angka
2
3
4
5
6
- 12 -
DAFTAR B
PENJELASAN ATAS JAWABAN ""YA""
Daftar pertanyaan Nomor 1 sampai dengan 10.
Diisi dengan penjelasan rinci terhadap ""ya"" atas pertanyaan nomor 1 sampai
dengan 10.
No
Nomor Pertanyaan/Daftar
Penjelasan
..............., ......................... 20..
Yang membuat pernyataan
meterai
..............................................
(Nama Lengkap)
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 2 Desember 2016
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
MULIAMAN D. HADAD
- 13 -
"," POJK
39/POJK.04/2016
TATA CARA PERMOHONAN IZIN USAHA REKSA DANA BERBENTUK PERSEROAN
2 Desember 2016
7 Desember 2016
7 Desember 2016
'Kep-17/PM/1996|KEPTA-BAPEPAM/1996', 'Kep-17/PM/1996|KEPTA-BAPEPAM/1996 | Lampiran Peraturan Nomor IV.A.1'
'8/UU/1995', '21/UU/2011'
'BAB III'
"
" OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 73 /POJK.05/2016
TENTANG
TATA KELOLA PERUSAHAAN YANG BAIK BAGI
PERUSAHAAN PERASURANSIAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 11 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang
Perasuransian, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan tentang Tata Kelola Perusahaan Yang Baik Bagi
Perusahaan Perasuransian;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
2. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang
Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5618);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG TATA
KELOLA PERUSAHAAN YANG BAIK BAGI PERUSAHAAN
PERASURANSIAN.
- 2 -
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud
dengan:
1. Perusahaan Perasuransian adalah perusahaan asuransi,
perusahaan asuransi syariah, perusahaan reasuransi,
perusahaan reasuransi syariah, perusahaan pialang
asuransi, perusahaan pialang reasuransi, dan perusahaan
penilai kerugian asuransi sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang
Perasuransian.
2. Asuransi adalah perjanjian antara dua pihak, yaitu
perusahaan asuransi dan pemegang polis, yang menjadi
dasar bagi penerimaan premi oleh perusahaan asuransi
sebagai imbalan untuk:
a. memberikan penggantian kepada tertanggung atau
pemegang polis karena kerugian, kerusakan, biaya
yang timbul, kehilangan keuntungan, atau tanggung
jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin
diderita tertanggung atau pemegang polis karena
terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti; atau
b. memberikan pembayaran yang didasarkan pada
meninggalnya tertanggung atau pembayaran yang
didasarkan pada hidupnya tertanggung dengan
manfaat yang besarnya telah ditetapkan dan/atau
didasarkan pada hasil pengelolaan dana,
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2014 tentang Perasuransian.
3. Asuransi Syariah adalah kumpulan perjanjian, yang
terdiri atas perjanjian antara perusahaan asuransi syariah
dan pemegang polis dan perjanjian di antara para
pemegang polis, dalam rangka pengelolaan kontribusi
berdasarkan prinsip syariah guna saling menolong dan
melindungi dengan cara:
- 3 -
a. memberikan penggantian kepada peserta atau
pemegang polis karena kerugian, kerusakan, biaya
yang timbul, kehilangan keuntungan, atau tanggung
jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin
diderita peserta atau pemegang polis karena
terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti; atau
b. memberikan pembayaran yang didasarkan pada
meninggalnya peserta atau pembayaran yang
didasarkan pada hidupnya peserta dengan manfaat
yang besarnya telah ditetapkan dan/atau
didasarkan pada hasil pengelolaan dana,
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2014 tentang Perasuransian.
4. Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam
kegiatan perasuransian berdasarkan fatwa yang
dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan
dalam penetapan fatwa di bidang syariah sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014
tentang Perasuransian.
5. Usaha Perasuransian adalah segala usaha menyangkut
jasa pertanggungan atau pengelolaan risiko,
pertanggungan ulang risiko, pemasaran dan distribusi
produk asuransi atau produk asuransi syariah, konsultasi
dan keperantaraan asuransi, asuransi syariah,
reasuransi, atau reasuransi syariah, atau penilaian
kerugian asuransi atau asuransi syariah sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014
tentang Perasuransian.
6. Usaha Asuransi Umum adalah usaha jasa pertanggungan
risiko yang memberikan penggantian kepada tertanggung
atau pemegang polis karena kerugian, kerusakan, biaya
yang timbul, kehilangan keuntungan, atau tanggung
jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita
tertanggung atau pemegang polis karena terjadinya suatu
peristiwa yang tidak pasti sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang
Perasuransian.
- 4 -
7. Usaha
Asuransi Jiwa adalah usaha yang
menyelenggarakan jasa penanggulangan risiko yang
memberikan pembayaran kepada pemegang polis,
tertanggung, atau pihak lain yang berhak dalam hal
tertanggung meninggal dunia atau tetap hidup, atau
pembayaran lain kepada pemegang polis, tertanggung,
atau pihak lain yang berhak pada waktu tertentu yang
diatur dalam perjanjian, yang besarnya telah ditetapkan
dan/atau didasarkan pada hasil pengelolaan dana
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2014 tentang Perasuransian.
8. Usaha Reasuransi adalah usaha jasa pertanggungan
ulang terhadap risiko yang dihadapi oleh perusahaan
asuransi, perusahaan penjaminan, atau perusahaan
reasuransi lainnya sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang
Perasuransian.
9. Usaha Asuransi Umum Syariah adalah usaha pengelolaan
risiko berdasarkan Prinsip Syariah guna saling menolong
dan melindungi dengan memberikan penggantian kepada
peserta atau pemegang polis karena kerugian, kerusakan,
biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, atau tanggung
jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita
peserta atau pemegang polis karena terjadinya suatu
peristiwa yang tidak pasti sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang
Perasuransian.
10. Usaha Asuransi Jiwa Syariah adalah usaha pengelolaan
risiko berdasarkan Prinsip Syariah guna saling menolong
dan melindungi dengan memberikan pembayaran yang
didasarkan pada meninggal atau hidupnya peserta, atau
pembayaran lain kepada peserta atau pihak lain yang
berhak pada waktu tertentu yang diatur dalam perjanjian,
yang besarnya telah ditetapkan dan/atau didasarkan
pada hasil pengelolaan dana sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang
Perasuransian.
- 5 -
11. Usaha Reasuransi Syariah adalah usaha pengelolaan
risiko berdasarkan Prinsip Syariah atas risiko yang
dihadapi oleh perusahaan asuransi syariah, perusahaan
penjaminan syariah, atau perusahaan reasuransi syariah
lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian.
12. Perusahaan Asuransi Umum adalah perusahaan yang
menyelenggarakan Usaha Asuransi Umum.
13. Perusahaan Asuransi Jiwa adalah perusahaan yang
menyelenggarakan Usaha Asuransi Jiwa.
14. Perusahaan Reasuransi adalah perusahaan yang
menyelenggarakan Usaha Reasuransi.
15. Perusahaan Asuransi Umum Syariah adalah perusahaan
yang menyelenggarakan Usaha Asuransi Umum Syariah.
16. Perusahaan Asuransi Jiwa Syariah adalah perusahaan
yang menyelenggarakan Usaha Asuransi Jiwa Syariah.
17. Perusahaan Reasuransi Syariah adalah perusahaan yang
menyelenggarakan Usaha Reasuransi Syariah.
18. Perusahaan Asuransi adalah Perusahaan Asuransi Umum
dan Perusahaan Asuransi Jiwa sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang
Perasuransian.
19. Perusahaan Asuransi Syariah adalah Perusahaan
Asuransi Umum Syariah dan Perusahaan Asuransi Jiwa
Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian.
20. Perusahaan Pialang Asuransi adalah perusahaan yang
menyelenggarakan usaha jasa konsultasi dan/atau
keperantaraan dalam penutupan asuransi atau asuransi
syariah serta penanganan penyelesaian klaimnya dengan
bertindak untuk dan atas nama pemegang polis,
tertanggung, atau peserta.
21. Perusahaan Pialang Reasuransi adalah perusahaan yang
menyelenggarakan usaha jasa konsultasi dan/atau
keperantaraan dalam penempatan reasuransi atau
penempatan reasuransi syariah serta penanganan
penyelesaian klaimnya dengan bertindak untuk dan atas
- 6 -
nama perusahaan asurani, perusahaan asuransi syariah,
perusahaan penjaminan, perusahaan penjaminan syariah,
perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi
syariah yang melakukan penempatan reasuransi atau
reasuransi syariah.
22. Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi adalah perusahaan
yang menyelenggarakan usaha jasa penilaian klaim
dan/atau jasa konsultasi atas objek asuransi.
23. Perusahaan adalah Perusahaan Asuransi, Perusahaan
Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan
Perusahaan Reasuransi Syariah.
24. Agen Asuransi adalah orang yang bekerja sendiri atau
bekerja pada badan usaha, yang bertindak untuk dan
atas nama Perusahaan Asuransi atau Perusahaan
Asuransi Syariah dan memenuhi persyaratan untuk
mewakili Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi
Syariah memasarkan produk asuransi atau produk
asuransi syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian.
25. Tata Kelola Perusahaan Yang Baik Bagi Perusahaan
Perasuransian yang selanjutnya disebut Tata Kelola
Perusahaan Yang Baik, adalah struktur dan proses yang
digunakan dan diterapkan organ Perusahaan
Perasuransian untuk meningkatkan pencapaian sasaran
hasil usaha dan mengoptimalkan nilai Perusahaan
Perasuransian bagi seluruh pemangku kepentingan
khususnya pemegang polis, tertanggung, peserta,
dan/atau pihak yang berhak memperoleh manfaat, secara
akuntabel dan berlandaskan peraturan perundang-
undangan serta nilai-nilai etika.
26. Organ Perusahaan Perasuransian adalah rapat umum
pemegang saham, direksi, dewan komisaris, dan dewan
pengawas syariah bagi Perusahaan Perasuransian yang
berbentuk badan hukum perseroan terbatas atau yang
setara dengan rapat umum pemegang saham, direksi, dan
dewan komisaris bagi Perusahaan Perasuransian yang
berbentuk badan hukum koperasi.
- 7 -
27. Pemangku Kepentingan adalah pihak yang memiliki
kepentingan terhadap Perusahaan Perasuransian, baik
langsung maupun tidak langsung, meliputi pemegang
polis, tertanggung, peserta, pihak yang berhak
memperoleh manfaat, pemegang saham atau yang setara,
pegawai, kreditur, penyedia jasa, dan/atau pemerintah.
28. Rapat Umum Pemegang Saham yang selanjutnya
disingkat RUPS, adalah rapat umum pemegang saham
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas bagi Perusahaan
Perasuransian yang berbentuk badan hukum perseroan
terbatas atau yang setara dengan RUPS bagi Perusahaan
Perasuransian yang berbentuk badan hukum koperasi.
29. Direksi adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas bagi Perusahaan Perasuransian yang berbentuk
badan hukum perseroan terbatas atau yang setara dengan
Direksi bagi Perusahaan Perasuransian yang berbentuk
badan hukum koperasi.
30. Dewan Komisaris adalah dewan komisaris sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas bagi Perusahaan
Perasuransian yang berbentuk badan hukum hukum
perseroan terbatas atau yang setara dengan Dewan
Komisaris bagi Perusahaan Perasuransian yang berbentuk
badan hukum koperasi.
31. Komisaris Independen adalah anggota Dewan Komisaris
yang tidak terafiliasi dengan pemegang saham atau yang
setara, anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris lainnya
dan/atau anggota dewan pengawas syariah, yaitu tidak
memiliki hubungan keuangan, kepengurusan,
kepemilikan saham, dan/atau hubungan keluarga dengan
pemegang saham atau yang setara, anggota Direksi,
anggota Dewan Komisaris lainnya dan/atau anggota
dewan pengawas syariah atau hubungan lain yang dapat
mempengaruhi kemampuannya untuk bertindak
independen.
- 8 -
32. Dewan Pengawas Syariah yang selanjutnya disingkat DPS
adalah bagian dari organ Perusahaan yang mempunyai
tugas dan fungsi pengawasan terhadap penyelenggaraan
kegiatan usaha Perusahaan agar sesuai dengan Prinsip
Syariah.
33. Afiliasi adalah hubungan antara seseorang atau badan
hukum dengan satu orang atau lebih, atau badan hukum
lain, sedemikian rupa sehingga salah satu dari mereka
dapat mempengaruhi pengelolaan atau kebijakan dari
orang yang lain atau badan hukum yang lain atau
sebaliknya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian.
34. Benturan Kepentingan adalah keadaan dimana terdapat
konflik antara kepentingan ekonomis Perusahaan
Perasuransian dan kepentingan ekonomis pribadi
pemegang saham atau yang setara, anggota Direksi,
anggota Dewan Komisaris, anggota DPS, dan/atau
pegawai Perusahaan Perasuransian.
35. Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat OJK,
adalah lembaga yang independen yang mempunyai fungsi,
tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan,
pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang
Otoritas Jasa Keuangan.
36. Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Dana Pensiun,
Lembaga Pembiayaan dan Lembaga Jasa Keuangan
Lainnya, yang selanjutnya disebut Kepala Eksekutif,
adalah anggota Dewan Komisioner OJK yang bertugas
memimpin pelaksanaan pengawasan kegiatan lembaga
jasa keuangan non-bank.
BAB II
PENERAPAN TATA KELOLA PERUSAHAAN YANG BAIK
Pasal 2
(1) Perusahaan Perasuransian wajib menerapkan prinsip Tata
Kelola Perusahaan Yang Baik dalam setiap kegiatan
usahanya pada seluruh tingkatan atau jenjang organisasi.
- 9 -
(2) Prinsip Tata Kelola Perusahaan Yang Baik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. keterbukaan (transparency), yaitu keterbukaan dalam
proses pengambilan keputusan dan keterbukaan
dalam pengungkapan dan penyediaan informasi yang
relevan mengenai Perusahaan Perasuransian, yang
mudah diakses oleh Pemangku Kepentingan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di
bidang perasuransian serta standar, prinsip, dan
praktik penyelenggaraan Usaha Perasuransian yang
sehat;
b. akuntabilitas (accountability), yaitu kejelasan fungsi
dan pelaksanaan
pertanggungjawaban Organ
Perusahaan Perasuransian sehingga kinerja
Perusahaan Perasuransian, dapat berjalan secara
transparan, wajar, efektif, dan efisien;
c. pertanggungjawaban (responsibility), yaitu kesesuaian
pengelolaan Perusahaan Perasuransian dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang
perasuransian dan nilai-nilai etika serta standar,
prinsip, dan praktik penyelenggaraan Usaha
Perasuransian yang sehat;
d. kemandirian (independency), yaitu keadaan
Perusahaan Perasuransian yang dikelola secara
mandiri dan profesional serta bebas dari Benturan
Kepentingan dan pengaruh atau tekanan dari pihak
manapun yang tidak sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan
perasuransian dan nilai-nilai etika serta standar,
prinsip, dan praktik penyelenggaraan Usaha
Perasuransian yang sehat; dan
e. kesetaraan dan kewajaran (fairness), yaitu
kesetaraan, keseimbangan, dan keadilan di dalam
memenuhi hak-hak Pemangku Kepentingan yang
timbul berdasarkan perjanjian, ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang perasuransian, dan
di bidang
- 10 -
nilai-nilai etika serta standar, prinsip, dan praktik
penyelenggaraan Usaha Perasuransian yang sehat.
Pasal 3
Penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik bertujuan untuk:
a. mengoptimalkan nilai Perusahaan Perasuransian bagi
Pemangku Kepentingan khususnya pemegang polis,
tertanggung, peserta, dan/atau pihak yang berhak
memperoleh manfaat;
b. meningkatkan pengelolaan Perusahaan Perasuransian
secara profesional, efektif, dan efisien;
c. meningkatkan kepatuhan Organ Perusahaan
Perasuransian dan DPS serta jajaran dibawahnya agar
dalam membuat keputusan dan menjalankan tindakan
dilandasi pada etika yang tinggi, kepatuhan terhadap
peraturan perundang-undangan, dan kesadaran atas
tanggung jawab sosial Perusahaan Perasuransian
terhadap Pemangku Kepentingan maupun kelestarian
lingkungan;
d. mewujudkan Perusahaan Perasuransian yang lebih sehat,
dapat diandalkan, amanah, dan kompetitif; dan
e. meningkatkan kontribusi Perusahaan Perasuransian
dalam perekonomian nasional.
Pasal 4
Pelaksanaan prinsip Tata Kelola Perusahaan Yang Baik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) wajib
dituangkan dalam suatu pedoman yang paling sedikit harus
diwujudkan dalam:
a. pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Direksi, Dewan
Komisaris, dan DPS;
b. pelaksanaan tugas satuan kerja dan komite yang
menjalankan fungsi pengendalian internal Perusahaan
Perasuransian;
c. penerapan fungsi kepatuhan, auditor internal, dan auditor
eksternal;
- 11 -
d. penerapan manajemen risiko, termasuk sistem
pengendalian internal dan penerapan tata kelola teknologi
informasi;
e. penerapan kebijakan remunerasi;
f.
rencana strategis Perusahaan Perasuransian; dan
g. transparansi kondisi keuangan dan non keuangan
Perusahaan Perasuransian.
BAB III
RAPAT UMUM PEMEGANG SAHAM
Pasal 5
(1) RUPS Perusahaan Perasuransian wajib diselenggarakan
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan dan
anggaran dasar Perusahaan Perasuransian yang
transparan dan dapat dipertanggungjawabkan.
(2) Dalam mengambil keputusan, RUPS harus berupaya
menjaga keseimbangan kepentingan semua pihak,
khususnya kepentingan pemegang polis, tertanggung,
peserta, pihak yang berhak memperoleh manfaat, dan
kepentingan pemegang saham minoritas.
(3) Setiap penyelenggaraan RUPS wajib dibuatkan risalah
RUPS yang paling sedikit memuat waktu, agenda, peserta,
pendapat yang berkembang dalam RUPS, dan keputusan
RUPS.
BAB IV
DIREKSI
Pasal 6
(1) Perusahaan wajib memiliki anggota Direksi paling sedikit
3 (tiga) orang.
(2) Paling sedikit separuh dari jumlah anggota Direksi
Perusahaan harus memiliki pengetahuan dan pengalaman
di bidang pengelolaan risiko sesuai dengan bidang usaha
Perusahaan.
(3) Perusahaan Pialang Asuransi dan Perusahaan Pialang
Reasuransi wajib memiliki anggota Direksi paling sedikit 2
(dua) orang.
- 12 -
(4) Seluruh anggota Direksi Perusahaan Perasuransian harus
memiliki pengetahuan sesuai dengan bidang usaha
perusahaan yang relevan dengan jabatannya.
(5) Perusahaan Perasuransian yang seluruh pemiliknya
warga Negara Indonesia dan/atau badan hukum
Indonesia yang seluruh atau mayoritas pemiliknya warga
negara Indonesia, seluruh anggota Direksi harus warga
negara Indonesia.
(6) Anggota Direksi Perusahaan Perasuransian yang di
dalamnya terdapat penyertaan langsung pihak asing
harus warga negara Indonesia dan warga negara asing,
atau seluruhnya warga negara Indonesia.
Pasal 7
(1) Perusahaan wajib memiliki seorang direktur kepatuhan
paling lambat 3 (tiga) tahun sejak Peraturan OJK ini
diundangkan.
(2) Direktur kepatuhan Perusahaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilarang merangkap fungsi lain.
Pasal 8
(1) Dalam hal Perusahaan belum memiliki direktur
kepatuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1)
maka Perusahaan wajib menunjuk anggota Direksi yang
membawahkan fungsi kepatuhan.
(2) Anggota Direksi yang membawahkan fungsi kepatuhan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat
dirangkap oleh anggota Direksi yang membawahkan
fungsi teknik asuransi, fungsi keuangan, atau fungsi
pemasaran.
Pasal 9
(1) Perusahaan wajib memiliki satuan kerja atau pegawai
yang melaksanakan fungsi kepatuhan.
(2) Satuan kerja atau pegawai sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) bertugas membantu Direksi dalam memastikan
kepatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-
- 13 -
undangan di bidang Usaha Perasuransian dan peraturan
perundang-undangan lainnya.
(3) Satuan kerja atau pegawai sebagaimana dimaksud pada
ayat (1)
bertanggungjawab kepada direktur
kepatuhan/anggota Direksi yang membawahkan fungsi
kepatuhan.
Pasal 10
Anggota Direksi Perusahaan Perasuransian wajib memenuhi
kriteria sebagai berikut:
a. telah mendapat persetujuan dari OJK;
b. berdomisili di Indonesia;
c. mampu untuk bertindak dengan itikad baik, jujur, dan
profesional;
d. mampu bertindak untuk kepentingan Perusahaan
Perasuransian dan pemegang polis, tertanggung, peserta,
dan/atau pihak yang berhak memperoleh manfaat;
e. mendahulukan kepentingan Perusahaan Perasuransian
dan pemegang polis, tertanggung, peserta, dan/atau pihak
yang berhak memperoleh manfaat dari pada kepentingan
pribadi;
f. mampu mengambil keputusan berdasarkan penilaian
independen dan objektif untuk kepentingan Perusahaan
Perasuransian dan pemegang polis, tertanggung, peserta,
dan/atau pihak yang berhak memperoleh manfaat; dan
g. mampu menghindarkan penyalahgunaan kewenangannya
untuk mendapatkan keuntungan pribadi yang tidak
semestinya atau menyebabkan kerugian bagi Perusahaan
Perasuransian.
Pasal 11
Direksi Perusahaan Perasuransian wajib:
a. menjamin pengambilan keputusan yang efektif, tepat, dan
cepat serta dapat bertindak secara independen, tidak
mempunyai kepentingan yang dapat mengganggu
- 14 -
kemampuannya untuk melaksanakan tugas secara
mandiri, dan kritis.
b. mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan,
anggaran dasar, dan peraturan internal lain dari
Perusahaan Perasuransian dalam melaksanakan
tugasnya;
c. mengelola Perusahaan Perasuransian sesuai dengan
kewenangan dan tanggung jawabnya;
d. memastikan pelaksanaan dan penerapan Tata Kelola
Perusahaan Yang Baik;
e. mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugasnya kepada
RUPS;
f. memastikan agar Perusahaan Perasuransian
memperhatikan kepentingan semua pihak, khususnya
kepentingan pemegang polis, tertanggung, peserta,
dan/atau pihak yang berhak memperoleh manfaat;
g. memastikan agar informasi mengenai Perusahaan
Perasuransian diberikan kepada Dewan Komisaris dan
DPS secara tepat waktu dan lengkap; dan
h. membantu memenuhi kebutuhan DPS dalam
menggunakan anggota komite investasi, pegawai
Perusahaan, dan tenaga ahli profesional yang struktur
organisasinya berada di bawah Direksi.
Pasal 12
(1) Anggota Direksi Perusahaan Perasuransian dilarang
merangkap jabatan pada perusahaan lain kecuali sebagai
anggota Dewan Komisaris pada 1 (satu) Perusahaan
Perasuransian lain yang memiliki bidang usaha yang
berbeda.
(2) Tidak termasuk rangkap jabatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) apabila anggota Direksi selain direktur
utama yang bertanggung jawab terhadap pengawasan atas
penyertaan pada anak perusahaan, menjalankan tugas
fungsional menjadi anggota Dewan Komisaris pada anak
perusahaan yang dikendalikan oleh Perusahaan
- 15 -
Perasuransian, sepanjang perangkapan jabatan tersebut
tidak mengakibatkan yang bersangkutan mengabaikan
pelaksanaan tugas dan wewenang sebagai anggota Direksi
Perusahaan Perasuransian.
(3) Direktur utama Perusahaan Perasuransian dilarang
merangkap jabatan sebagai anggota Dewan Komisaris
pada anak perusahaan yang dikendalikan oleh
Perusahaan Perasuransian yang bersangkutan.
Pasal 13
(1) Perusahaan Perasuransian dilarang mengangkat anggota
Direksi yang berasal dari pegawai atau pejabat aktif OJK.
(2) Perusahaan Perasuransian dilarang mengangkat anggota
Direksi yang berasal dari mantan pegawai atau pejabat
OJK apabila yang bersangkutan berhenti bekerja dari OJK
kurang dari 1 (satu) tahun.
Pasal 14
Perusahaan Perasuransian dilarang mengangkat anggota
Direksi yang pernah menjadi anggota Direksi, anggota Dewan
Komisaris, atau anggota DPS yang dinyatakan bersalah atau
lalai menyebabkan:
a. suatu Perusahaan Perasuransian dikenai sanksi
pembatasan kegiatan usaha dalam jangka waktu 3 (tiga)
tahun terakhir sebelum pengangkatannya;
b. suatu perusahaan di bidang jasa keuangan dicabut izin
usahanya karena melakukan pelanggaran dalam jangka
waktu 3 (tiga) tahun terakhir sebelum pengangkatannya;
dan/atau
c. suatu perusahaan di bidang jasa keuangan atau di bidang
non jasa keuangan dinyatakan pailit berdasarkan putusan
pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dalam
jangka waktu 5 (lima) tahun terakhir sebelum
pengangkatannya.
- 16 -
Pasal 15
(1) Direksi
Perusahaan
Perasuransian
wajib
menyelenggarakan rapat Direksi secara berkala paling
sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) bulan.
(2) Hasil rapat Direksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib dituangkan dalam risalah rapat Direksi dan
didokumentasikan dengan baik.
(3) Perbedaan pendapat (dissenting opinions) yang terjadi
dalam keputusan rapat Direksi wajib dicantumkan secara
jelas dalam risalah rapat Direksi disertai alasan
perbedaan pendapat (dissenting opinions) tersebut.
(4) Anggota Direksi Perusahaan Perasuransian yang hadir
maupun yang tidak hadir dalam rapat Direksi berhak
menerima salinan risalah rapat Direksi.
(5) Jumlah rapat Direksi yang telah diselenggarakan dan
jumlah kehadiran masing-masing anggota Direksi
Perusahaan Perasuransian harus dimuat dalam laporan
penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik.
Pasal 16
Anggota Direksi Perusahaan Perasuransian wajib
mengungkapkan mengenai:
a. kepemilikan sahamnya yang mencapai 5% (lima persen)
atau lebih pada Perusahaan Perasuransian tempat
anggota Direksi dimaksud menjabat dan/atau pada
perusahaan lain yang berkedudukan di dalam dan di luar
negeri; dan
b. hubungan keuangan dan hubungan keluarga dengan
anggota Direksi lain, anggota Dewan Komisaris, anggota
DPS, dan/atau pemegang saham atau yang setara
Perusahaan Perasuransian tempat anggota Direksi
dimaksud menjabat,
kepada Perusahaan Perasuransian tempat anggota Direksi
dimaksud menjabat dan dicantumkan dalam laporan
penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik.
- 17 -
Pasal 17
Anggota Direksi Perusahaan Perasuransian dilarang:
a. melakukan transaksi yang mempunyai Benturan
Kepentingan dengan kegiatan Perusahaan Perasuransian
tempat anggota Direksi dimaksud menjabat;
b. memanfaatkan jabatannya pada Perusahaan
Perasuransian tempat anggota Direksi dimaksud menjabat
untuk kepentingan pribadi, keluarga, dan/atau pihak lain
yang dapat merugikan atau mengurangi keuntungan
Perusahaan Perasuransian tempat anggota Direksi
dimaksud menjabat;
c. mengambil dan/atau menerima keuntungan pribadi dari
Perusahaan Perasuransian tempat anggota Direksi
dimaksud menjabat, selain remunerasi dan fasilitas yang
ditetapkan berdasarkan keputusan RUPS; dan
d. memenuhi permintaan pemegang saham yang terkait
dengan kegiatan operasional Perusahaan Perasuransian
tempat anggota Direksi dimaksud menjabat, selain yang
telah ditetapkan dalam RUPS.
Pasal 18
Direksi wajib memastikan bahwa aset dan lokasi usaha serta
fasilitas Perusahaan Perasuransian memenuhi ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang pelestarian
lingkungan, kesehatan, dan keselamatan kerja.
BAB V
DEWAN KOMISARIS
Pasal 19
(1) Perusahaan wajib memiliki anggota Dewan Komisaris
paling sedikit 3 (tiga) orang.
(2) Paling sedikit separuh dari jumlah anggota Dewan
Komisaris Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi
Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
Komisaris Independen.
- 18 -
(3) Perusahaan Pialang Asuransi dan Perusahaan Pialang
Reasuransi wajib memiliki anggota Dewan Komisaris
paling sedikit 2 (dua) orang.
(4) Pengangkatan Komisaris Independen Perusahaan
Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah dilakukan
oleh RUPS dan harus dinyatakan secara jelas dalam akta
notaris yang memuat keputusan RUPS mengenai
pengangkatan tersebut.
(5) Perusahaan Perasuransian yang seluruh pemiliknya
warga negara Indonesia dan/atau badan hukum
Indonesia yang seluruh atau mayoritas pemiliknya warga
negara Indonesia, seluruh anggota Dewan Komisaris
harus warga negara Indonesia.
(6) Anggota Dewan Komisaris Perusahaan Perasuransian
yang di dalamnya terdapat penyertaan langsung pihak
asing harus warga negara Indonesia dan warga negara
asing, atau seluruhnya warga negara Indonesia.
Pasal 20
(1) Paling sedikit separuh dari jumlah anggota Dewan
Komisaris Perusahaan Perasuransian wajib berdomisili di
Indonesia.
(2) Anggota Dewan Komisaris Perusahaan Perasuransian
wajib memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. telah mendapat persetujuan dari OJK;
b. memiliki pengetahuan sesuai dengan bidang usaha
Perusahaan yang relevan dengan jabatannya;
c. mampu untuk bertindak dengan itikad baik, jujur
dan profesional;
d. mampu bertindak untuk kepentingan Perusahaan
Perasuransian dan pemegang polis, tertanggung,
peserta, dan/atau pihak yang berhak memperoleh
manfaat;
e. mendahulukan
kepentingan
Perusahaan
Perasuransian dan pemegang polis, tertanggung,
peserta, dan/atau pihak yang berhak memperoleh
manfaat daripada kepentingan pribadi;
- 19 -
f. mampu mengambil keputusan berdasarkan penilaian
independen dan objektif untuk kepentingan
Perusahaan Perasuransian dan pemegang polis,
tertanggung, peserta, dan/atau pihak yang berhak
memperoleh manfaat; dan
g. mampu menghindarkan
penyalahgunaan
kewenangannya untuk mendapatkan keuntungan
pribadi yang tidak semestinya atau menyebabkan
kerugian bagi Perusahaan Perasuransian.
Pasal 21
Dewan Komisaris Perusahaan Perasuransian wajib:
a. menjamin pengambilan keputusan yang efektif, tepat, dan
cepat serta dapat bertindak secara independen, tidak
mempunyai kepentingan yang dapat mengganggu
kemampuannya untuk melaksanakan tugas secara
mandiri dan kritis;
b. melaksanakan tugas pengawasan dan pemberian nasihat
kepada Direksi;
c. mengawasi Direksi dalam menjaga keseimbangan
kepentingan semua pihak, khususnya kepentingan
pemegang polis, tertanggung, peserta, dan/atau pihak
yang berhak memperoleh manfaat;
d. menyusun laporan kegiatan Dewan Komisaris yang
merupakan bagian dari laporan penerapan Tata Kelola
Perusahaan Yang Baik;
e. memantau efektifitas penerapan Tata Kelola Perusahaan
Yang Baik; dan
f. membantu memenuhi kebutuhan DPS dalam
menggunakan anggota komite yang struktur
organisasinya berada dibawah Dewan Komisaris.
Pasal 22
Anggota Dewan Komisaris Perusahaan Perasuransian berhak
memperoleh informasi dari Direksi mengenai Perusahaan
Perasuransian secara lengkap dan tepat waktu.
- 20 -
Pasal 23
Anggota Dewan Komisaris Perusahaan Perasuransian dilarang
merangkap jabatan sebagai anggota Dewan Komisaris, anggota
Direksi, atau anggota DPS pada Perusahaan Perasuransian
yang memiliki bidang usaha yang sama.
Pasal 24
(1) Perusahaan Perasuransian dilarang mengangkat anggota
Dewan Komisaris yang berasal dari pegawai atau pejabat
aktif OJK.
(2) Perusahaan Perasuransian dilarang mengangkat anggota
Dewan Komisaris yang berasal dari mantan pegawai atau
pejabat OJK apabila yang bersangkutan berhenti bekerja
dari OJK kurang dari 6 (enam) bulan.
Pasal 25
Perusahaan Perasuransian dilarang mengangkat anggota
Dewan Komisaris yang pernah menjadi anggota Direksi,
anggota Dewan Komisaris, atau anggota DPS yang dinyatakan
bersalah atau lalai menyebabkan:
a. suatu Perusahaan Perasuransian dikenai sanksi
pembatasan kegiatan usaha dalam jangka waktu 3 (tiga)
tahun terakhir sebelum pengangkatannya;
b. suatu perusahaan di bidang jasa keuangan dicabut izin
usahanya karena melakukan pelanggaran dalam jangka
waktu 3 (tiga) tahun terakhir sebelum pengangkatannya;
dan/atau
c. suatu perusahaan di bidang jasa keuangan atau di bidang
non jasa keuangan dinyatakan pailit berdasarkan putusan
pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dalam
jangka waktu 5 (lima) tahun terakhir sebelum
pengangkatannya.
Pasal 26
(1) Dewan Komisaris Perusahaan Perasuransian wajib
menyelenggarakan rapat Dewan Komisaris secara berkala
paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) bulan.
- 21 -
(2) Rapat Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dalam periode 1 (satu) tahun dilakukan dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. paling sedikit 4 (empat) kali rapat diantaranya
dilakukan dengan mengundang Direksi; dan
b. paling sedikit 1 (satu) kali rapat diantaranya
dilakukan dengan mengundang auditor eksternal.
(3) Anggota Dewan Komisaris Perusahaan Perasuransian
wajib menghadiri rapat Dewan Komisaris paling sedikit
80% (delapan puluh persen) dari jumlah rapat Dewan
Komisaris dalam periode 1 (satu) tahun.
(4) Rapat Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) wajib dihadiri oleh seluruh anggota Dewan Komisaris
secara fisik paling sedikit 4 (empat) kali dalam 1 (satu)
tahun.
(5) Hasil rapat Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib dituangkan dalam risalah rapat Dewan
Komisaris dan didokumentasikan dengan baik.
(6) Perbedaan pendapat (dissenting opinions) yang terjadi
dalam keputusan rapat Dewan Komisaris wajib
dicantumkan secara jelas dalam risalah rapat Dewan
Komisaris disertai alasan perbedaan pendapat (dissenting
opinions) tersebut.
(7) Anggota Dewan Komisaris Perusahaan Perasuransian
yang hadir maupun yang tidak hadir dalam rapat Dewan
Komisaris berhak menerima salinan risalah rapat Dewan
Komisaris.
(8) Jumlah rapat Dewan Komisaris yang telah
diselenggarakan dan jumlah kehadiran masing-masing
anggota Dewan Komisaris harus dimuat dalam laporan
penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik.
Pasal 27
Anggota Dewan Komisaris Perusahaan Perasuransian wajib
mengungkapkan mengenai:
a. kepemilikan sahamnya yang mencapai 5% (lima persen)
atau lebih pada Perusahaan Perasuransian tempat
- 22 -
anggota Dewan Komisaris dimaksud menjabat dan/atau
pada perusahaan lain yang berkedudukan di dalam dan di
luar negeri; dan
b. hubungan keuangan dan hubungan keluarga dengan
anggota Dewan Komisaris lain, anggota Direksi, anggota
DPS, dan/atau pemegang saham atau yang setara
Perusahaan Perasuransian tempat anggota Dewan
Komisaris dimaksud menjabat,
kepada Perusahaan Perasuransian tempat anggota Dewan
Komisaris dimaksud menjabat dan dicantumkan dalam
laporan penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik.
Pasal 28
Anggota Dewan Komisaris Perusahaan Perasuransian dilarang:
a. melakukan transaksi yang mempunyai Benturan
Kepentingan dengan kegiatan Perusahaan Perasuransian
tempat anggota Dewan Komisaris dimaksud menjabat;
b. memanfaatkan jabatannya pada Perusahaan
Perasuransian tempat anggota Dewan Komisaris
dimaksud menjabat untuk kepentingan pribadi, keluarga,
dan/atau pihak lain yang dapat merugikan atau
mengurangi keuntungan Perusahaan Perasuransian
tempat anggota Dewan Komisaris dimaksud menjabat;
c. mengambil dan/atau menerima keuntungan pribadi dari
Perusahaan Perasuransian tempat anggota Dewan
Komisaris dimaksud menjabat, selain remunerasi dan
fasilitasi yang ditetapkan berdasarkan keputusan RUPS;
dan
d. mencampuri kegiatan operasional Perusahaan
Perasuransian yang menjadi tanggung jawab Direksi.
Pasal 29
Komisaris Independen mempunyai tugas pokok melakukan
fungsi pengawasan untuk menyuarakan kepentingan
pemegang polis, tertanggung, peserta, dan/atau pihak yang
berhak memperoleh manfaat.
- 23 -
Pasal 30
Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah
dilarang memberhentikan Komisaris Independen karena
tindakan Komisaris Independen dalam melaksanakan tugas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29.
Pasal 31
Komisaris Independen Perusahaan Asuransi dan Perusahaan
Asuransi Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat
(2) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. tidak mempunyai hubungan Afiliasi dengan anggota
Direksi, anggota Dewan Komisaris lainnya, anggota DPS,
atau pemegang saham atau yang setara pada Perusahaan
Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah, dalam
Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah
yang sama;
b. tidak pernah menjadi anggota Direksi, anggota Dewan
Komisaris, anggota DPS atau menduduki jabatan 1 (satu)
tingkat dibawah Direksi pada Perusahaan Asuransi dan
Perusahaan Asuransi Syariah yang sama atau perusahaan
lain yang memiliki hubungan Afiliasi dengan Perusahaan
Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah tersebut
dalam jangka waktu 6 (enam) bulan terakhir;
c. memahami peraturan perundang-undangan di bidang
perasuransian dan peraturan perundang-undangan lain
yang relevan;
d. memiliki pengetahuan yang baik mengenai kondisi
keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi
Syariah tempat Komisaris Independen dimaksud
menjabat;
e. memiliki pengetahuan yang baik mengenai kepentingan
pemegang polis, tertanggung, peserta, dan/atau pihak
yang berhak memperoleh manfaat;
berkewarganegaraan Indonesia; dan
f.
g. berdomisili di Indonesia.
- 24 -
Pasal 32
(1) Dalam hal Komisaris Independen menilai terdapat
kebijakan atau tindakan anggota Direksi yang merugikan
atau berpotensi merugikan kepentingan pemegang polis,
tertanggung, peserta, dan/atau pihak yang berhak
memperoleh manfaat, Komisaris Independen wajib
mengusulkan penyelenggaraan rapat Dewan Komisaris.
(2) Rapat Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diselenggarakan dalam rangka membahas hasil
penilaian Komisaris Independen atas kebijakan atau
tindakan anggota Direksi yang merugikan atau berpotensi
merugikan kepentingan pemegang polis, tertanggung,
peserta, dan/atau pihak yang berhak memperoleh
manfaat.
(3) Dalam hal anggota Dewan Komisaris lainnya tidak
bersedia menerima usul penyelenggaraan rapat Dewan
Komisaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Komisaris Independen wajib melaporkan secara lengkap
dan komprehensif kepada Kepala Eksekutif dan
ditembuskan kepada Direksi paling lama 7 (tujuh) hari
kerja sejak anggota Dewan Komisaris lainnya tidak
bersedia menerima usul penyelenggaraan rapat Dewan
Komisaris.
(4) Dalam hal hasil keputusan rapat Dewan Komisaris
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menolak atau tidak
setuju dengan hasil penilaian Komisaris Independen atas
kebijakan atau tindakan anggota Direksi yang merugikan
atau berpotensi merugikan kepentingan pemegang polis,
tertanggung, peserta, dan/atau pihak yang berhak
memperoleh manfaat, Komisaris Independen wajib
melaporkan secara lengkap dan komprehensif kepada
Kepala Eksekutif dan ditembuskan kepada Direksi paling
lama 7 (tujuh) hari kerja sejak hasil keputusan rapat
Dewan Komisaris.
- 25 -
Pasal 33
Komisaris Independen dilarang merangkap jabatan sebagai
anggota Komisaris Independen pada Perusahaan Asuransi dan
Perusahaan Asuransi Syariah yang memiliki bidang usaha
yang sama.
Pasal 34
(1) Komisaris Independen wajib membuat laporan tahunan
mengenai pelaksanaan tugasnya terkait dengan
perlindungan kepentingan pemegang polis, tertanggung,
peserta, dan/atau pihak yang berhak memperoleh
manfaat, baik menyangkut pelayanan maupun
penyelesaian klaim, termasuk laporan mengenai
perselisihan yang sedang dalam proses penyelesaian pada
badan mediasi, badan arbitrase, atau badan peradilan.
(2) Laporan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
menjadi bagian dari laporan Dewan Komisaris dan
dicantumkan dalam laporan penerapan Tata Kelola
Perusahaan Yang Baik.
BAB VI
DEWAN PENGAWAS SYARIAH
Pasal 35
(1) Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi
Syariah, dan Perusahaan Asuransi atau Perusahaan
Reasuransi yang menyelenggarakan sebagian usahanya
berdasarkan Prinsip Syariah wajib memiliki DPS.
(2) DPS terdiri atas 1 (satu) orang ahli syariah atau lebih yang
diangkat oleh RUPS atas rekomendasi Dewan Syariah
Nasional Majelis Ulama Indonesia
(3) DPS harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. telah mendapat persetujuan dari OJK;
b. mampu untuk bertindak dengan itikad baik, jujur
dan profesional;
- 26 -
c. mampu bertindak untuk kepentingan Perusahaan
Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi Syariah,
dan Perusahaan Asuransi atau Perusahaan
Reasuransi yang menyelenggarakan sebagian
usahanya berdasarkan Prinsip Syariah dan pemegang
polis, tertanggung, peserta, dan/atau pihak yang
berhak memperoleh manfaat;
d. mendahulukan kepentingan Perusahaan Asuransi
Syariah, Perusahaan Reasuransi Syariah, dan
Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi
yang menyelenggarakan sebagian usahanya
berdasarkan Prinsip Syariah dan pemegang polis,
tertanggung, peserta, dan/atau pihak yang berhak
memperoleh manfaat dari pada kepentingan pribadi;
e. mampu mengambil keputusan berdasarkan penilaian
independen dan objektif untuk kepentingan
Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan
Reasuransi Syariah, dan Perusahaan Asuransi atau
Perusahaan Reasuransi yang menyelenggarakan
sebagian usahanya berdasarkan Prinsip Syariah dan
pemegang polis, tertanggung, peserta, dan/atau
pihak yang berhak memperoleh manfaat; dan
f. mampu menghindarkan
penyalahgunaan
kewenangannya untuk mendapatkan keuntungan
pribadi yang tidak semestinya atau menyebabkan
kerugian bagi Perusahaan Asuransi Syariah,
Perusahaan Reasuransi Syariah, dan Perusahaan
Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang
menyelenggarakan sebagian usahanya berdasarkan
Prinsip Syariah.
(4) Pengangkatan DPS sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
harus dinyatakan secara jelas dalam akta notaris.
Pasal 36
Paling sedikit separuh dari jumlah anggota DPS wajib
berdomisili di Indonesia.
- 27 -
Pasal 37
DPS wajib menjamin pengambilan keputusan yang efektif,
tepat, dan cepat serta dapat bertindak secara independen,
tidak mempunyai kepentingan yang dapat mengganggu
kemampuannya untuk melaksanakan tugas secara mandiri
dan krisis.
Pasal 38
(1) DPS wajib melaksanakan tugas pengawasan dan
pemberian nasihat dan saran kepada Direksi agar
kegiatan usaha sesuai dengan Prinsip Syariah.
(2) Pelaksanaan tugas pengawasan dan pemberian nasihat
dan saran yang dilakukan DPS sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan terhadap:
a. kegiatan dalam pengelolaan kekayaan dan kewajiban,
baik dana tabbaru’, dana tanahud, dana perusahaan,
maupun dana investasi peserta;
b. produk asuransi syariah yang dipasarkan; dan
c. praktik pemasaran produk asuransi syariah.
Pasal 39
(1) Dalam pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 38, DPS dapat menggunakan bantuan dari:
a. anggota komite yang struktur organisasinya berada
di bawah Dewan Komisaris; dan/atau
b. anggota komite, pegawai, dan tenaga ahli profesional
Perusahaan Asuransi
Syariah, Perusahaan
Reasuransi Syariah, dan Perusahaan Asuransi atau
Perusahaan Reasuransi yang menyelenggarakan
sebagian usahanya berdasarkan Prinsip Syariah yang
struktur organisasinya berada dibawah Direksi.
(2) Penggunaan bantuan dari anggota komite, pegawai, dan
tenaga ahli profesional Perusahaan Asuransi Syariah,
Perusahaan Reasuransi Syariah, dan Perusahaan
Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang
menyelenggarakan sebagian usahanya berdasarkan
Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
- 28 -
harus terlebih dahulu diberitahukan secara tertulis oleh
DPS kepada Direksi dan/atau Dewan Komisaris.
Pasal 40
Anggota DPS berhak memperoleh informasi dari Direksi
mengenai Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan
Reasuransi Syariah, dan Perusahaan Asuransi atau
Perusahaan Reasuransi yang menyelenggarakan sebagian
usahanya berdasarkan Prinsip Syariah secara lengkap dan
tepat waktu.
Pasal 41
(1) Anggota DPS dilarang merangkap sebagai anggota Direksi
atau anggota Dewan Komisaris pada Perusahaan Asuransi
Syariah, Perusahaan Reasuransi Syariah, dan Perusahaan
Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang
menyelenggarakan sebagian usahanya berdasarkan
Prinsip Syariah yang sama.
(2) Anggota DPS hanya dapat merangkap jabatan sebagai
anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, atau anggota
DPS paling banyak pada 4 (empat) lembaga jasa keuangan
lainnya.
Pasal 42
Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi
Syariah, dan Perusahaan Asuransi atau Perusahaan
Reasuransi yang menyelenggarakan sebagian usahanya
berdasarkan Prinsip Syariah dilarang mengangkat anggota DPS
yang pernah menjadi anggota Direksi, anggota Dewan
Komisaris, atau anggota DPS yang dinyatakan bersalah atau
lalai menyebabkan:
a. suatu Perusahaan Perasuransian dikenai sanksi
pembatasan kegiatan usaha dalam jangka waktu 3 (tiga)
tahun terakhir sebelum pengangkatannya;
b. suatu perusahaan di bidang jasa keuangan dicabut izin
usahanya karena melakukan pelanggaran dalam jangka
- 29 -
waktu 3 (tiga) tahun terakhir sebelum pengangkatannya;
dan/atau
c. suatu perusahaan di bidang jasa keuangan atau di bidang
non jasa keuangan dinyatakan pailit berdasarkan putusan
pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dalam
jangka waktu 5 (lima) tahun terakhir sebelum
pengangkatannya.
Pasal 43
(1) DPS wajib menyelenggarakan rapat DPS secara berkala
paling sedikit 6 (enam) kali dalam 1 (satu) tahun.
(2) Hasil rapat DPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib dituangkan dalam risalah rapat DPS dan
didokumentasikan dengan baik.
(3) Perbedaan pendapat (dissenting opinions) yang terjadi
dalam keputusan rapat DPS wajib dicantumkan secara
jelas dalam risalah rapat DPS disertai alasan perbedaan
pendapat (dissenting opinions) tersebut.
(4) Anggota DPS yang hadir maupun yang tidak hadir dalam
rapat DPS berhak menerima salinan risalah rapat DPS.
(5) Jumlah rapat DPS yang telah diselenggarakan dan jumlah
kehadiran masing-masing anggota DPS harus dimuat
dalam laporan penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang
Baik.
Pasal 44
Anggota DPS dilarang:
a. melakukan transaksi yang mempunyai Benturan
Kepentingan dengan kegiatan Perusahaan Asuransi
Syariah, Perusahaan Reasuransi Syariah, dan Perusahaan
Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang
menyelenggarakan sebagian usahanya berdasarkan
Prinsip Syariah tempat anggota DPS dimaksud menjabat;
b. memanfaatkan jabatannya untuk kepentingan pribadi,
keluarga, dan/atau pihak lain yang dapat merugikan atau
mengurangi keuntungan Perusahaan Asuransi Syariah,
Perusahaan Reasuransi Syariah, dan Perusahaan
- 30 -
Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang
menyelenggarakan sebagian usahanya berdasarkan
Prinsip Syariah tempat anggota DPS dimaksud menjabat;
dan
c. mengambil dan/atau menerima keuntungan pribadi dari
Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi
Syariah, dan Perusahaan Asuransi atau Perusahaan
Reasuransi yang menyelenggarakan sebagian usahanya
berdasarkan Prinsip Syariah tempat anggota DPS
dimaksud menjabat, selain remunerasi dan fasilitas
lainnya yang ditetapkan berdasarkan keputusan RUPS.
Pasal 45
(1) Dalam hal DPS menilai terdapat kebijakan atau tindakan
anggota Direksi yang terkait dengan hal-hal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) yang tidak sesuai
dengan Prinsip Syariah, DPS wajib meminta penjelasan
kepada anggota Direksi atas kebijakan anggota Direksi
yang tidak sesuai dengan Prinsip Syariah.
(2) Dalam hal Direksi menolak hasil penilaian DPS
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), DPS wajib
melaporkan secara lengkap dan komprehensif kepada
Kepala Eksekutif dan ditembuskan kepada Direksi paling
lama 7 (tujuh) hari kerja sejak penjelasan anggota Direksi
diterima oleh DPS.
(3) Dalam hal Direksi menerima hasil penilaian DPS
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), DPS meminta
Direksi untuk melakukan perbaikan terhadap kebijakan
atau tindakan anggota Direksi tersebut agar sesuai
dengan Prinsip Syariah.
(4) Dalam hal anggota Direksi tidak melakukan perbaikan
terhadap kebijakan atau tindakan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3), DPS wajib segera melaporkan secara
lengkap dan komprehensif kepada Kepala Eksekutif dan
ditembuskan kepada Direksi paling lama 7 (tujuh) hari
kerja sejak diketahui anggota Direksi tidak melakukan
upaya perbaikan dimaksud.
- 31 -
BAB VII
PEMEGANG SAHAM
Pasal 46
Pemegang saham atau yang setara pada Perusahaan
Perasuransian melalui RUPS berupaya memastikan
Perusahaan Perasuransian dijalankan berdasarkan praktik
Usaha Perasuransian yang sehat dan mendahulukan
pemenuhan kewajiban yang terkait dengan kepentingan
pemegang polis, tertanggung, peserta, dan/atau pihak yang
berhak memperoleh manfaat.
Pasal 47
(1) Pemegang saham atau yang setara pada Perusahaan
Perasuransian dilarang mencampuri kegiatan operasional
Perusahaan Perasuransian yang menjadi tanggung jawab
Direksi sesuai dengan ketentuan anggaran dasar
Perusahaan Perasuransian dan ketentuan peraturan
perundang-undangan, kecuali dalam rangka
melaksanakan hak dan kewajiban selaku RUPS.
(2) Pemegang saham atau yang setara pada Perusahaan
Perasuransian yang menjabat sebagai anggota Direksi,
anggota Dewan Komisaris, atau anggota DPS pada
Perusahaan Perasuransian yang sama wajib
mendahulukan kepentingan Perusahaan Perasuransian
dan pemegang polis, tertanggung, peserta, dan/atau pihak
yang berhak memperoleh manfaat dari kepentingannya
sebagai pemegang saham atau yang setara.
Pasal 48
(1) Pemegang saham atau yang setara pada Perusahaan
Perasuransian harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. tidak terlibat sebagai pihak yang dilarang menjadi
pemegang saham atau yang setara perusahaan di
bidang
jasa keuangan dan/atau pengurus
perusahaan di bidang jasa keuangan;
- 32 -
b. tidak pernah melanggar komitmen yang telah
disepakati dengan OJK;
c. tidak sedang dalam pengenaan sanksi dari OJK;
d. tidak tercatat dalam daftar kredit macet;
e. memiliki sumber dana yang tidak berasal dari tindak
pidana kejahatan sebagaimana dimaksud dalam
undang-undang mengenai tindak pidana pencucian
uang;
f.
memiliki komitmen terhadap pengembangan
operasional Perusahaan Perasuransian;
g. memiliki komitmen untuk mematuhi ketentuan
peraturan perundang-undangan; dan
h. memiliki reputasi yang baik
(2) Ketentuan mengenai kriteria pemegang saham atau yang
setara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku bagi
Perusahaan Perasuransian yang melakukan perubahan
pemegang saham atau yang setara dan/atau Perusahaan
Perasuransian yang mengajukan permohonan izin usaha.
BAB VIII
KOMITE DAN AUDITOR EKSTERNAL
Pasal 49
(1) Direksi Perusahaan wajib membentuk komite investasi.
(2) Anggota komite investasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) adalah sebagai berikut:
a. bagi Perusahaan Asuransi Jiwa dan Perusahaan
Asuransi Jiwa Syariah paling sedikit terdiri atas:
1. anggota Direksi yang membawahkan fungsi
pengelolaan investasi; dan
2. aktuaris perusahaan;
b. bagi Perusahaan Asuransi Umum, Perusahaan
Asuransi Umum Syariah, Perusahaan Reasuransi,
dan Perusahaan Reasuransi Syariah paling sedikit
terdiri atas:
1. anggota Direksi yang membawahkan fungsi
pengelolaan investasi; dan
- 33 -
2. aktuaris perusahaan atau tenaga ahli
perusahaan.
(3) Komite investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
bertugas membantu Direksi dalam merumuskan
kebijakan investasi dan mengawasi pelaksanaan
kebijakan investasi yang telah ditetapkan.
Pasal 50
(1) Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah
wajib memiliki satuan kerja atau komite pengembangan
produk asuransi.
(2) Satuan kerja atau komite sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) melakukan tugas:
a. menyusun rencana strategis pengembangan dan
pemasaran produk asuransi sebagai bagian dari
rencana strategis kegiatan usaha Perusahaan;
b. mengevaluasi kesesuaian produk asuransi baru yang
akan dipasarkan dengan rencana strategis
pengembangan dan pemasaran produk asuransi; dan
c. mengevaluasi kinerja produk asuransi dan
mengusulkan perubahan atau penghentian
pemasarannya.
(3) Satuan kerja atau komite sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) bertanggungjawab kepada anggota Direksi yang
membawahkan fungsi pengembangan produk asuransi.
Pasal 51
(1) Dalam rangka mendukung efektifitas pelaksanaan tugas
dan tanggung jawabnya, Dewan Komisaris Perusahaan
wajib membentuk:
a. komite audit; dan
b. komite pemantau risiko.
(2) Salah seorang anggota komite pada Perusahaan Asuransi
dan Perusahaan Asuransi Syariah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) adalah Komisaris Independen yang sekaligus
berkedudukan sebagai ketua komite.
- 34 -
(3) Salah seorang anggota komite audit sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah pihak lain di luar
Perusahaan yang tidak memiliki hubungan keuangan,
kepengurusan, kepemilikan saham dan/atau hubungan
keluarga dengan Dewan Komisaris, Direksi dan/atau
pemegang saham pengendali atau hubungan lain yang
dapat mempengaruhi kemampuannya untuk bertindak
independen.
(4) Selain komite sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Dewan Komisaris Perusahaan dapat membentuk komite
lain guna menunjang pelaksanaan tugas Dewan
Komisaris.
Pasal 52
(1) Komite audit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat
(1) huruf a bertugas membantu Dewan Komisaris dalam
memantau dan memastikan efektifitas sistem
pengendalian internal dan pelaksanaan tugas auditor
internal dan auditor eksternal dengan melakukan
pemantauan dan evaluasi atas perencanaan dan
pelaksanaan audit dalam rangka menilai kecukupan
pengendalian internal termasuk proses pelaporan
keuangan.
(2) Komite pemantau risiko sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 51 ayat (1) huruf b bertugas membantu Dewan
Komisaris dalam memantau pelaksanaan manajemen
risiko yang disusun oleh Direksi serta menilai toleransi
risiko yang dapat diambil oleh Perusahaan.
Pasal 53
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan, susunan
keanggotaan, dan masa kerja komite sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 51 diatur dalam Surat Edaran OJK.
- 35 -
Pasal 54
(1) Auditor eksternal Perusahaan wajib ditunjuk oleh RUPS
dari calon auditor eksternal yang diajukan oleh Dewan
Komisaris berdasarkan usulan komite audit.
(2) Auditor eksternal Perusahaan Pialang Asuransi dan
Perusahaan Pialang Reasuransi wajib ditunjuk oleh RUPS
dari calon auditor eksternal yang diajukan oleh Dewan
Komisaris.
(3) Pencalonan auditor eksternal sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) wajib disertai:
a. alasan pencalonan dan besarnya honorarium atau
imbal jasa yang diusulkan untuk auditor eksternal
tersebut; dan
b. pernyataan kesanggupan yang ditandatangani oleh
auditor eksternal, untuk bebas dari pengaruh
Direksi, Dewan Komisaris, DPS, dan pihak yang
berkepentingan di perusahaan dan kesediaan untuk
memberikan informasi terkait dengan hasil auditnya
kepada Kepala Eksekutif.
(4) Perusahaan Perasuransian wajib menyediakan semua
catatan akuntansi dan data penunjang yang diperlukan
bagi auditor eksternal sehingga memungkinkan auditor
eksternal memberikan pendapatnya tentang kewajaran,
ketaatan, dan kesesuaian laporan keuangan Perusahaan
Perasuransian dengan standar audit yang berlaku.
BAB IX
PRAKTIK DAN KEBIJAKAN REMUNERASI
Pasal 55
(1) Perusahaan Perasuransian wajib menerapkan kebijakan
remunerasi bagi anggota Direksi, anggota Dewan
Komisaris, DPS, dan pegawai yang mendorong perilaku
berdasarkan prinsip kehati-hatian (prudent behaviour)
yang sejalan dengan kepentingan jangka panjang
Perusahaan Perasuransian dan perlakuan adil terhadap
- 36 -
pemegang polis, tertanggung, peserta, dan/atau pihak
yang berhak memperoleh manfaat.
(2) Kebijakan remunerasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) harus memperhatikan paling sedikit;
a.
kinerja keuangan dan pemenuhan kewajiban
Perusahaan Perasuransian sebagaimana diatur
dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku;
b. prestasi kerja individual;
c. kewajaran dengan peer group; dan
d. pertimbangan sasaran dan strategi jangka panjang
Perusahaan Perasuransian.
BAB X
TATA KELOLA INVESTASI
Pasal 56
(1) Perusahaan wajib menyusun kebijakan dan strategi
investasi secara tertulis.
(2) Ketaatan terhadap kebijakan dan strategi investasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dievaluasi secara
berkala, paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun.
(3) Kebijakan dan strategi investasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) paling sedikit memuat;
a. profil kekayaan dan kewajiban Perusahaan;
b. kesesuaian antara durasi kekayaan dan durasi
kewajiban Perusahaan;
c. tujuan investasi;
d. sasaran tingkat hasil investasi yang diharapkan,
termasuk tolak ukur hasil investasi (yield’s
benchmark) yang digunakan;
e. dasar penilaian dan batasan kualitatif untuk setiap
jenis aset investasi;
f.
batas maksimum alokasi investasi untuk setiap jenis
aset investasi;
g. batas maksimum proporsi kekayaan Perusahaan
yang dapat ditempatkan pada satu pihak;
- 37 -
h. batas maksimum jumlah aset yang tidak
ditempatkan (idle assets) dalam bentuk investasi;
i.
j.
objek investasi yang dilarang untuk penempatan
investasi;
tingkat likuiditas minimum portofolio investasi
Perusahaan untuk mendukung ketersediaan dana
guna pembayaran manfaat asuransi;
k. sistem pengawasan dan pelaporan pelaksanaan
pengelolaan investasi;
l.
ketentuan mengenai penggunaan manajer investasi,
penasihat investasi, tenaga ahli, dan penyedia jasa
lain yang digunakan dalam pengelolaan investasi;
m. ketentuan penggunaan instrumen derivatif dan
produk keuangan terstruktur lainnya untuk tujuan
lindung nilai;
n. pembatasan wewenang transaksi investasi untuk
setiap level manajemen dan pertanggungjawabannya;
dan
o. tindakan yang akan diterapkan kepada Direksi atas
pelanggaran kebijakan investasi.
(4) Kebijakan dan strategi investasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) wajib:
a. ditetapkan oleh Direksi;
b. disosialisasikan kepada pegawai yang terlibat dalam
pengelolaan investasi; dan
c. disampaikan kepada Kepala Eksekutif paling lama 1
(satu) bulan setelah ditetapkan oleh Direksi.
Pasal 57
(1) Direksi Perusahaan wajib menyusun rencana pengelolaan
investasi tahunan yang paling sedikit memuat:
a. rencana komposisi jenis investasi;
b. perkiraan tingkat hasil investasi untuk setiap jenis
investasi; dan
c. pertimbangan yang mendasari rencana komposisi
jenis investasi.
- 38 -
(2) Rencana pengelolaan investasi tahunan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus mencerminkan kebijakan
dan strategi investasi.
Pasal 58
Dalam mengelola investasi, Direksi Perusahaan wajib
melakukan:
a.
analisis terhadap risiko investasi yang antara lain meliputi
risiko pasar, risiko likuiditas, dan risiko operasional serta
rencana penanggulangannya dalam
peningkatan risiko investasi; dan
b. kajian yang memadai dan terdokumentasi dalam
menempatkan, mempertahankan, dan melepaskan
investasi.
Pasal 59
Direksi Perusahaan wajib mengambil keputusan investasi
secara profesional dan mengoptimalkan nilai Perusahaan bagi
Pemangku Kepentingan khususnya pemegang polis,
tertanggung, peserta, dan/atau pihak yang berhak memperoleh
manfaat.
Pasal 60
Perusahaan wajib memiliki satuan kerja atau pegawai yang
melaksanakan fungsi pengelolaan investasi yang memenuhi
ketentuan sebagai berikut:
a. menyelenggarakan fungsi analisis dan melaksanakan,
memantau, dan melaporkan pengelolaan investasi;
b. memiliki dan menerapkan sistem dan prosedur
pengendalian internal untuk memastikan bahwa investasi
dilakukan sesuai dengan kebijakan dan strategi investasi
serta tidak melanggar ketentuan peraturan perundang-
undangan; dan
c. memiliki integritas dan keahlian serta pengalaman di
bidang investasi.
hal terjadi
- 39 -
Pasal 61
(1) Perusahaan yang menempatkan investasi pada instrumen
investasi pasar modal wajib menatausahakan efek pada
pihak yang tidak memiliki hubungan Afiliasi dengan
Perusahaan.
(2) Perusahaan yang memiliki investasi dalam bentuk saham
yang diperdagangkan di bursa efek harus memiliki akses
informasi yang memungkinkan secara langsung
memonitor mutasi portofolio investasinya.
(3) Perusahaan yang memiliki paling sedikit 50% (lima puluh
persen) dari portofolio investasi yang dikelolanya sendiri
dalam bentuk saham, surat utang korporasi, dan/atau
sukuk korporasi, wajib memiliki tenaga ahli bidang
investasi yang telah lulus ujian sebagai wakil manajer
investasi.
Pasal 62
(1) Perusahaan dapat melakukan alih daya pengelolaan
investasinya kepada pihak lain.
(2) Pengalihdayaan pengelolaan investasi kepada pihak lain
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi
ketentuan sebagai berikut:
a. pihak lain tersebut telah memiliki izin usaha sebagai
perusahaan efek yang melakukan kegiatan usaha
sebagai manajer investasi dari OJK;
b. pihak lain tersebut tidak sedang dikenakan sanksi
administratif berupa pembatasan kegiatan usaha
atau pembekuan kegiatan usaha oleh OJK, pada saat
perjanjian pengalihdayaan pengelolaan investasi
berlaku;
c. pihak lain tersebut memiliki wakil manajer investasi
yang berpengalaman mengelola dana paling sedikit
Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah)
pada saat penunjukan sebagai pengelola investasi
perusahaan; dan
d. wakil manajer investasi sebagaimana dimaksud pada
huruf c tidak sedang atau tidak pernah dikenai
- 40 -
sanksi administratif oleh OJK dalam jangka waktu 5
(lima) tahun terakhir.
(3) Pengalihdayaan pengelolaan investasi kepada pihak lain
wajib memenuhi ketentuan mengenai jenis, batasan, dan
penilaian investasi sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang
kesehatan keuangan Perusahaan.
(4) Perusahaan dilarang mengalihdayakan pengelolaan
investasi kepada pihak lain yang terafiliasi dengan
Perusahaan apabila anggota Direksi, anggota Dewan
Komisaris, atau anggota DPS Perusahaan yang
bersangkutan merangkap jabatan sebagai anggota Direksi,
anggota Dewan Komisaris, atau anggota DPS pada pihak
lain dimaksud.
Pasal 63
(1) Pengalihdayaan pengelolaan investasi kepada pihak lain
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) wajib
dituangkan dalam perjanjian tertulis dalam bentuk akta
notaris.
(2) Perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib memuat ketentuan paling sedikit mengenai:
a. hak dan kewajiban masing-masing pihak;
b. jenis dan batasan instrumen investasi;
c. besarnya biaya yang dibebankan;
d.
jenis dan laporan rutin atas pengelolaan investasi
dimaksud;
e. adanya hak perusahaan untuk mendapatkan
informasi dan dokumen lain yang terkait dengan
pengelolaan investasi dimaksud;
f.
ganti kerugian dalam hal pihak lain melanggar
ketentuan kerjasama atau terjadi kelalaian pihak lain
yang mengakibatkan Perusahaan mengalami
kerugian;
- 41 -
g. penatausahaan kekayaan yang dikelola pihak lain
pada kustodian yang tidak memiliki hubungan
Afiliasi dengan Perusahaan dan pihak lain tersebut;
h. penyelesaian perselisihan dan pengakhiran
perjanjian; dan
i.
kesediaan para pihak memberikan informasi terkait
dengan pengelolaan investasi Perusahaan kepada
OJK.
Pasal 64
(1) Direksi Perusahaan wajib mengetahui portofolio
penempatan investasi yang dilakukan oleh pihak lain.
(2) Pengalihdayaan pengelolaan investasi kepada pihak lain
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) tidak
mengurangi tanggung jawab Direksi dalam pengelolaan
investasi.
BAB XI
TATA KELOLA TEKNOLOGI INFORMASI
Pasal 65
(1) Perusahaan Perasuransian wajib menerapkan tata kelola
teknologi informasi yang efektif
(2) Tata kelola teknologi informasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) paling sedikit memuat:
a. struktur organisasi sistem informasi;
b. pedoman penggunaan sistem informasi yang
dilengkapi dengan instruksi atau perintah kerja
untuk setiap fungsi (standard operating prosedure);
dan
c. pedoman manajemen pengamanan data dan
pedoman manajemen insiden (disaster recovery plan).
- 42 -
BAB XII
MANAJEMEN RISIKO DAN PENGENDALIAN INTERNAL
Pasal 66
(1) Perusahaan Perasuransian wajib menerapkan manajemen
risiko dengan mengidentifikasi, menilai, memantau dan
mengelola risiko usaha secara efektif.
(2) Manajemen risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus disesuaikan dengan tujuan, kebijakan usaha,
ukuran dan kompleksitas usaha serta kemampuan
Perusahaan Perasuransian.
(3) Perusahaan Perasuransian wajib memiliki fungsi
manajemen risiko untuk memantau penerapan
manajemen risiko pada Perusahaan Perasuransian.
Pasal 67
(1) Direksi Perusahaan Perasuransian wajib menetapkan
pengendalian internal yang efektif dan efisien untuk
memberikan keyakinan yang memadai bahwa kegiatan
usaha dijalankan sesuai dengan sasaran dan strategi
bisnis serta anggaran dasar dan aturan internal lain
Perusahaan Perasuransian, dan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(2) Pengendalian internal sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) paling sedikit mencakup hal-hal sebagai berikut:
a. lingkungan pengendalian internal dalam Perusahaan
Perasuransian yang disiplin dan terstruktur;
b. pengkajian dan pengelolaan risiko usaha, yaitu suatu
proses untuk mengidentifikasi, menganalisis, menilai,
dan mengelola risiko usaha;
c.
aktivitas pengendalian, yaitu tindakan yang
dilakukan dalam suatu proses pengendalian terhadap
kegiatan Perusahaan Perasuransian pada setiap
tingkat dan unit dalam struktur organisasi
Perusahaan Perasuransian, antara lain mengenai
kewenangan, otorisasi, verifikasi, rekonsiliasi,
- 43 -
penilaian atas prestasi kerja, pembagian tugas dan
keamanan terhadap aset Perusahaan Perasuransian;
d. sistem informasi dan komunikasi, yaitu suatu proses
penyajian laporan mengenai kegiatan operasional,
finansial, dan ketaatan atas peraturan perundang-
undangan di bidang usaha perasuransian;
e.
tata cara monitoring, yaitu proses penilaian terhadap
kualitas sistem pengendalian internal termasuk
fungsi internal audit pada setiap tingkat dan unit
struktur organisasi Perusahaan Perasuransian,
sehingga dapat dilaksanakan secara optimal; dan
f. mekanisme pelaporan kepada Direksi dengan
tembusan kepada komite audit, dalam hal terjadi
penyimpangan kualitas sistem pengendalian internal
termasuk fungsi internal audit pada setiap tingkat
dan unit struktur organisasi Perusahaan
Perasuransian.
BAB XIII
RENCANA STRATEGIS PERUSAHAAN ASURANSI DAN
PERUSAHAAN REASURANSI
Pasal 68
(1) Perusahaan wajib menyusun rencana strategis dalam
bentuk:
a.
rencana korporasi (corporate plan) yang mencakup
rumusan mengenai tujuan dan sasaran yang hendak
dicapai oleh Perusahaan dalam jangka waktu 5 (lima)
tahun; dan
b. rencana bisnis (business plan) yang menggambarkan
rencana kegiatan usaha Perusahaan dalam jangka
waktu 1 (satu) tahun dan 3 (tiga) tahun.
(2) Rencana korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a paling sedikit memuat:
a. evaluasi pelaksanaan rencana korporasi periode
sebelumnya;
b. posisi Perusahaan saat ini;
- 44 -
c. asumsi yang digunakan dalam menyusun rencana
korporasi; dan
d. tujuan, sasaran, dan strategi pencapaiannya.
(3) Rencana bisnis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b paling sedikit meliputi:
a. ringkasan eksekutif;
b. kebijakan dan strategi manajemen;
c. penerapan manajemen risiko dan kepatuhan;
d. kinerja Perusahaan saat ini;
e. proyeksi laporan keuangan beserta asumsi yang
digunakan;
f.
proyeksi rasio-rasio dan pos-pos tertentu lainnya;
g. rencana permodalan;
h. rencana investasi;
i.
rencana reasuransi;
j.
rencana pengembangan produk dan pemasaran
produk;
k. rencana pengembangan dan/atau perubahan
jaringan kantor;
l.
rencana pengembangan organisasi dan sumber daya
manusia (SDM); dan
m. informasi lainnya.
(4) Perusahaan wajib menyampaikan rencana korporasi dan
rencana bisnis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
kepada OJK paling lambat pada tanggal 31 Oktober.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk, susunan dan
tata cara penyusunan serta penyampaian rencana
korporasi dan rencana bisnis sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (4) diatur dalam Surat Edaran OJK.
BAB XIV
KETERBUKAAN INFORMASI
Pasal 69
(1) Perusahaan Perasuransian wajib memberikan informasi
kepada OJK secara lengkap, tepat waktu dan dengan cara
yang efisien.
- 45 -
(2) Perusahaan wajib memiliki sistem pelaporan keuangan
yang dapat diandalkan untuk keperluan pengawasan dan
Pemangku Kepentingan lain.
Pasal 70
(1) Perusahaan Perasuransian wajib mengungkapkan kepada
OJK mengenai hal-hal penting, paling sedikit meliputi:
a. pengunduran diri atau pemberhentian auditor
eksternal;
b. transaksi material dengan pihak terkait;
c. klaim material yang diajukan oleh dan/atau terhadap
Perusahaan Perasuransian;
d. Benturan Kepentingan yang sedang berlangsung
dan/atau yang mungkin akan terjadi; dan
e. informasi material lain mengenai Perusahaan
Perasuransian.
(2) Pengungkapan hal-hal penting sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dimuat dalam laporan penerapan Tata Kelola
Perusahaan Yang Baik.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengungkapan hal-hal
penting sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam
Surat Edaran OJK.
BAB XV
HUBUNGAN DENGAN PEMANGKU KEPENTINGAN
Pasal 71
(1) Perusahaan Perasuransian, wajib melindungi kepentingan
pemegang polis, tertanggung, peserta, dan/atau pihak
yang berhak memperoleh manfaat, agar pemegang polis,
tertanggung, peserta, dan/atau pihak yang berhak
memperoleh manfaat tersebut dapat menerima haknya
sesuai polis asuransi.
(2) Dalam rangka melindungi hak dan kepentingan pemegang
polis, tertanggung, peserta, dan/atau pihak yang berhak
memperoleh manfaat sebagaimana dimaksud pada ayat
- 46 -
(1), Perusahaan Perasuransian wajib melakukan hal-hal
sebagai berikut:
a. bagi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi
Syariah memenuhi kewajiban sesuai yang
diperjanjikan dengan pemegang polis, tertanggung,
peserta, dan/atau pihak yang berhak memperoleh
manfaat;
b. bagi Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi
Syariah, dan Perusahaan Pialang Asuransi
mengevaluasi kebutuhan pemegang
tertanggung, atau peserta dan/atau pihak yang
memperoleh manfaat;
c.
bagi Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi
Syariah, dan Perusahaan Pialang Asuransi
mengungkapkan informasi yang material dan relevan
bagi pemegang polis, tertanggung, peserta, dan/atau
pihak yang berhak memperoleh manfaat; dan
d. bagi Perusahaan Perasuransian bertindak dengan
integritas, kompetensi, serta utmost good faith.
Pasal 72
Perusahaan Perasuransian wajib:
a. menghormati hak Pemangku Kepentingan; dan
b. melaksanakan kewajiban yang timbul berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan dan/atau
perjanjian yang dibuat dengan pegawai, pemegang polis,
tertanggung, peserta, dan/atau Pemangku Kepentingan
lainnya.
BAB XVI
ETIKA BISNIS
Pasal 73
(1) Direksi, Dewan Komisaris, DPS, dan pegawai Perusahaan
Perasuransian dilarang menawarkan atau memberikan
sesuatu, baik langsung maupun tidak langsung kepada
pihak lain, untuk mempengaruhi pengambilan keputusan
polis,
- 47 -
yang terkait dengan transaksi asuransi, dengan melanggar
ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Direksi, Dewan Komisaris, DPS, dan pegawai Perusahaan
Perasuransian dilarang menerima sesuatu untuk
kepentingan pribadinya dengan melanggar ketentuan
perundang-undangan yang berlaku, baik langsung
maupun tidak langsung, dari siapapun, yang dapat
mempengaruhi pengambilan keputusan yang terkait
dengan transaksi asuransi.
Pasal 74
Perusahaan Perasuransian wajib membuat pedoman tentang
perilaku etis, yang memuat nilai etika berusaha, sebagai
panduan bagi Organ Perusahaan Perasuransian dan seluruh
pegawai Perusahaan Perasuransian.
Pasal 75
(1) Perusahaan Perasuransian dapat memberikan donasi
untuk tujuan amal dalam batas kepatutan dan kewajaran
serta tidak mengganggu kesehatan keuangan Perusahaan
Perasuransian.
(2) Perusahaan Perasuransian dapat memberikan donasi
selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sepanjang
tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan serta tidak mengganggu kesehatan
keuangan Perusahaan Perasuransian.
BAB XVII
PENILAIAN SENDIRI (SELF ASSESSMENT) DAN LAPORAN
PENERAPAN TATA KELOLA PERUSAHAAN YANG BAIK
Pasal 76
(1) Perusahaan Perasuransian wajib melakukan penilaian
sendiri (self assessment) atas penerapan Tata Kelola
Perusahaan Yang Baik secara berkala.
(2) Penilaian sendiri (self assessment) atas penerapan Tata
Kelola Perusahaan Yang Baik sebagaimana dimaksud
- 48 -
pada ayat (1) dilakukan berdasarkan pedoman Tata Kelola
Perusahaan Yang Baik dan checklist penilaian sendiri (self
assessment) yang berlaku.
Pasal 77
(1) Perusahaan Perasuransian wajib menyusun laporan
penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik pada setiap
akhir tahun buku.
(2) Laporan penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit terdiri
dari:
a. transparansi penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang
Baik yang paling sedikit meliputi pengungkapan
seluruh aspek pelaksanaan prinsip Tata Kelola
Perusahaan Yang Baik sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4;
b. penilaian sendiri (self assessment) atas penerapan
Tata Kelola Perusahaan Yang Baik sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 76; dan
c. rencana tindak (action plan) yang meliputi tindakan
korektif (corrective action) yang diperlukan dan waktu
penyelesaian
serta
kendala/hambatan
penyelesaiannya, apabila masih terdapat kekurangan
dalam penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk susunan dan tata
cara penyampaian laporan penerapan Tata Kelola
Perusahaan Yang Baik sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur dalam Surat Edaran OJK.
Pasal 78
(1) Perusahaan Perasuransian wajib menyampaikan laporan
penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik kepada
Kepala Eksekutif dalam bentuk hasil cetak komputer
(hard copy) dan elektronik (soft copy).
- 49 -
(2) Laporan penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan
paling lambat tanggal 28 Februari tahun berikutnya.
(3) Apabila tanggal 28 Februari sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) adalah hari libur, maka batas akhir penyampaian
laporan adalah hari kerja pertama setelah tanggal 28
Februari dimaksud.
BAB XVIII
MONITORING DAN EVALUASI PENERAPAN TATA KELOLA
PERUSAHAAN YANG BAIK
Pasal 79
OJK melakukan monitoring dan evaluasi terhadap laporan
penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik yang
disampaikan oleh Perusahaan Perasuransian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 78.
BAB XIX
SANKSI
Pasal 80
(1) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1), Pasal 4, Pasal 5 ayat (1) dan ayat
(3), Pasal 6 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 7, Pasal 8 ayat (1),
Pasal 9 ayat (1), Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12 ayat (1) dan
ayat (3), Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15 ayat (1), ayat (2) dan
ayat (3), Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19 ayat (1) dan
ayat (3), Pasal 20, Pasal 21, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25,
Pasal 26 ayat (1), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6),
Pasal 27, Pasal 28, Pasal 30, Pasal 32 ayat (1), ayat (3),
dan ayat (4), Pasal 33, Pasal 34 ayat (1), Pasal 35 ayat (1),
Pasal 36, Pasal 37, Pasal 38 ayat (1), Pasal 41 ayat (1) dan
ayat (2), Pasal 42, Pasal 43 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3),
Pasal 44, Pasal 45 ayat (1), ayat (2), dan (4), Pasal 47,
- 50 -
Pasal 48 ayat (1), Pasal 49 ayat (1), Pasal 50 ayat (1),
Pasal 51 ayat (1), Pasal 54, Pasal 55 ayat (1), Pasal 56 ayat
(1) dan ayat (4), Pasal 57 ayat (1), Pasal 58, Pasal 59, Pasal
60, Pasal 61 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 62 ayat (2), ayat
(3), dan ayat (4), Pasal 63, Pasal 64 ayat (1), Pasal 65 ayat
(1), Pasal 66 ayat (1) dan (3), Pasal 67 ayat (1), Pasal 68
ayat (1) dan ayat (4), Pasal 69, Pasal 70 ayat (1), Pasal 71,
Pasal 72, Pasal 73, Pasal 74, Pasal 76 ayat (1), Pasal 77
ayat (1), dan Pasal 78 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan OJK
ini dikenakan sanksi administratif;
a. peringatan tertulis;
b. pembatasan kegiatan usaha untuk sebagian/seluruh
kegiatan usaha; atau
c. pencabutan izin usaha.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan secara bertahap.
(3) Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), OJK dapat mengenakan sanksi tambahan berupa
larangan menjadi pemegang saham, pengendali, direksi,
dewan komisaris, atau yang setara dengan pemegang
saham, pengendali, direksi, dan dewan komisaris, atau
menduduki jabatan eksekutif di bawah direksi, atau yang
setara dengan jabatan eksekutif di bawah direksi, pada
perusahaan perasuransian
(4) Prosedur dan tata cara pengenaan sanksi diatur dalam
Peraturan OJK mengenai prosedur dan tata cara
pengenaan sanksi administratif.
(5) Dalam hal Peraturan OJK mengenai prosedur dan tata
cara pengenaan sanksi administratif belum diundangkan,
ketentuan mengenai prosedur dan tata cara pengenaan
sanksi administratif tunduk pada Peraturan Pemerintah
Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha
Perasuransian sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun
2008.
- 51 -
BAB XX
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 81
Bagi
Perusahaan
Perasuransian
yang
merupakan
perusahaan terbuka, selain ketentuan dalam Peraturan OJK
ini berlaku juga ketentuan peraturan perundang-undangan
di bidang pasar modal.
BAB XXI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 82
Bagi
Perusahaan yang telah memperoleh izin usaha
sebelum Peraturan OJK ini diundangkan dan belum
memenuhi ketentuan anggota komite audit sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 51 ayat (3) harus melakukan
penyesuaian paling lama 3 (tiga) tahun sejak Peraturan
OJK ini diundangkan.
BAB XXII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 83
Pada saat Peraturan OJK ini mulai berlaku ketentuan
mengenai tata
Perusahaan Perasuransian
kelola perusahaan yang baik bagi
berbentuk badan hukum
perseroan terbatas dan koperasi tunduk pada Peraturan
OJK ini.
Peraturan OJK ini
Pasal 84
mulai
berlaku pada tanggal
diundangkan, kecuali ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 76 ayat (1) dan Pasal 77 ayat (2) huruf b bagi
perusahaan penilai kerugian asuransi mulai berlaku sejak
ditetapkannya Pedoman Tata Kelola Perusahaan Yang Baik
- 52 -
bagi Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi dan checklist
penilaian sendiri (self assessment) oleh komite yang
dibentuk oleh pemerintah yang bertugas menyusun
kebijakan tata kelola.
Pasal 85
(1) Dengan berlakunya Peraturan OJK ini, ketentuan
dalam Peraturan OJK Nomor 2/POJK.05/2014 tanggal
28 Maret 2014 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2014 Nomor 71) tentang Tata Kelola Perusahaan
Yang Baik Bagi Perusahaan Perasuransian yang
berlaku bagi Perusahaan Perasuransian berbentuk
badan hukum perseroan terbatas dan koperasi dicabut
dan dinyatakan tidak berlaku.
(2) Dengan berlakunya Peraturan OJK ini, ketentuan
dalam Peraturan OJK Nomor 2/POJK.05/2014 tanggal
28 Maret 2014 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2014 Nomor 71) tentang Tata Kelola Perusahaan
Yang Baik Bagi Perusahaan Perasuransian yang
berlaku bagi Perusahaan Perasuransian berbentuk
badan hukum usaha bersama dicabut dan dinyatakan
tidak berlaku sejak berlakunya Peraturan Pemerintah
mengenai Perusahaan Perasuransian berbentuk usaha
bersama.
(3) Peraturan
pelaksanaan
Peraturan OJK Nomor
2/POJK.05/2014 tanggal 28 Maret 2014 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 71)
tentang Tata Kelola Perusahaan Yang Baik Bagi
Perusahaan Perasuransian dinyatakan masih tetap
berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan
OJK ini.
Peraturan OJK ini
diundangkan.
Pasal 86
mulai
berlaku pada tanggal
- 53 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan OJK ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 23 Desember 2016
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 28 Desember 2016
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 306
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
"," POJK
73/POJK.05/2016
TATA KELOLA PERUSAHAAN YANG BAIK BAGI PERUSAHAAN PERASURANSIAN
23 Desember 2016
28 Desember 2016
28 Desember 2016
'2/POJK.05/2014'
'40/UU/2014', '21/UU/2011'
'BAB XIX'
"
" OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 13 /POJK.05/2014
TENTANG
PENYELENGGARAAN USAHA LEMBAGA KEUANGAN MIKRO
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 15, Pasal 21
ayat (4), Pasal 32, dan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro,
perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
tentang Penyelenggaraan Usaha Lembaga Keuangan Mikro;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga
Keuangan Mikro (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2013 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5394);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 89 Tahun 2014 tentang
Suku Bunga Pinjaman atau Imbal Hasil Pembiayaan dan
Luas Cakupan Wilayah Usaha Lembaga Keuangan
Mikro) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2014 Nomor 321, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5616);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
PENYELENGGARAAN USAHA LEMBAGA KEUANGAN
MIKRO.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang
dimaksud dengan:
1. Lembaga...
-2-
1. Lembaga Keuangan Mikro yang selanjutnya disingkat
LKM adalah lembaga keuangan yang khusus didirikan
untuk memberikan jasa pengembangan usaha dan
pemberdayaan masyarakat, baik melalui pinjaman atau
pembiayaan dalam usaha skala mikro kepada anggota
dan masyarakat, pengelolaan simpanan, maupun
pemberian jasa konsultasi pengembangan usaha yang
tidak semata-mata mencari keuntungan.
2. Pinjaman adalah penyediaan dana oleh LKM kepada
masyarakat yang harus dikembalikan sesuai dengan
yang diperjanjikan.
3. Pembiayaan adalah penyediaan dana oleh LKM kepada
masyarakat yang harus dikembalikan sesuai dengan
yang diperjanjikan dengan prinsip syariah.
4. Simpanan adalah dana yang dipercayakan oleh
masyarakat kepada LKM dalam bentuk tabungan
dan/atau deposito berdasarkan perjanjian penyimpanan
dana.
5. Penyimpan adalah pihak yang menempatkan dananya
pada LKM berdasarkan perjanjian.
6. Prinsip Syariah adalah ketentuan hukum Islam
berdasarkan fatwa atau pernyataan kesesuaian syariah
dari Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia
(DSN MUI).
7. Direksi:
a. bagi LKM berbentuk badan hukum Perseroan
Terbatas adalah direksi sebagaimana dimaksud
dalam peraturan perundang-undangan mengenai
perseroan terbatas;
b. bagi LKM berbentuk badan hukum Koperasi adalah
pengurus sebagaimana dimaksud dalam peraturan
perundang-undangan mengenai perkoperasian.
8. Dewan Komisaris:
a. bagi LKM berbentuk badan hukum Perseroan
Terbatas adalah dewan komisaris sebagaimana
dimaksud dalam peraturan perundang-undangan
mengenai perseroan terbatas;
b. bagi...
-3-
b. bagi LKM berbentuk badan hukum Koperasi adalah
pengawas sebagaimana dimaksud dalam peraturan
perundang-undangan mengenai perkoperasian.
9. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat OJK
adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur
tangan pihak lain yang mempunyai fungsi, tugas dan
wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan dan
penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang mengenai OJK.
BAB II
KEGIATAN USAHA
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 2
(1) Kegiatan usaha LKM meliputi jasa pengembangan usaha
dan pemberdayaan masyarakat, baik melalui Pinjaman
atau Pembiayaan dalam usaha skala mikro kepada
anggota dan masyarakat, pengelolaan Simpanan,
maupun pemberian jasa konsultasi pengembangan
usaha.
(2) Kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat dilakukan secara konvensional atau berdasarkan
Prinsip Syariah.
Bagian Kedua
Penyaluran Pinjaman atau Pembiayaan
Pasal 3
(1) Dalam menjalankan kegiatan usaha penyaluran
Pinjaman atau Pembiayaan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1), LKM wajib melakukan analisis
atas kelayakan penyaluran Pinjaman atau Pembiayaan.
(2) Penyaluran Pinjaman atau Pembiayaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam rangka
pengembangan usaha dan pemberdayaan masyarakat.
Pasal 4
(1) Dalam menjalankan kegiatan penyaluran Pinjaman atau
Pembiayaan kepada anggota atau masyarakat, LKM
menetapkan...
-4-
menetapkan suku bunga maksimum Pinjaman atau
imbal hasil maksimum Pembiayaan yang akan
diterapkan, sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
(2) LKM wajib melaporkan suku bunga maksimum
Pinjaman atau imbal hasil maksimum Pembiayaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada OJK setiap
4 (empat) bulan.
(3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib
disampaikan paling lambat minggu terakhir bulan April,
bulan Agustus, dan bulan Desember sesuai dengan
format dalam Lampiran I yang merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini.
(4) Dalam hal LKM bermaksud menaikkan suku bunga
maksimum Pinjaman atau imbal hasil maksimum
Pembiayaan sebelum periode pelaporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) berakhir, LKM wajib terlebih
dahulu melaporkan kepada OJK sesuai dengan format
dalam Lampiran II yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Peraturan OJK ini.
(5) LKM dilarang menerapkan suku bunga Pinjaman atau
imbal hasil Pembiayaan melebihi suku bunga
maksimum Pinjaman atau imbal hasil maksimum
Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (4).
Pasal 5
LKM wajib mengumumkan suku bunga maksimum
Pinjaman atau imbal hasil maksimum Pembiayaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 melalui surat kabar
harian lokal atau papan pengumuman di kantor LKM yang
mudah diketahui oleh masyarakat.
Pasal 6
(1) Batas Pinjaman atau Pembiayaan terendah yang dilayani
oleh LKM sebesar Rp50.000,- (lima puluh ribu Rupiah).
(2) LKM dilarang menolak batas Pinjaman atau Pembiayaan
terendah sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 7...
-5-
Pasal 7
(1) LKM setiap saat wajib memenuhi batas maksimum
pemberian Pinjaman atau Pembiayaan kepada setiap
nasabah.
(2) Batas maksimum pemberian Pinjaman atau Pembiayaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebagai
berikut:
a. paling tinggi 10% (sepuluh persen) dari modal LKM
untuk nasabah kelompok;
b. paling tinggi 5% (lima persen) dari modal LKM untuk
1 (satu) nasabah.
(3) Modal LKM sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dihitung dari:
a. penjumlahan dari modal disetor, tambahan modal
disetor, cadangan, hibah, dan saldo laba atau rugi
dalam hal LKM berbentuk badan hukum perseroan
terbatas; atau
b. penjumlahan dari simpanan pokok, simpanan wajib,
dana cadangan, hibah, dan sisa hasil usaha, dalam
hal LKM berbentuk badan hukum koperasi.
Pasal 8
(1) LKM wajib melakukan penilaian kualitas Pinjaman atau
Pembiayaan yang disalurkan.
(2) Penilaian kualitas Pinjaman atau Pembiayaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan menjadi
3 (tiga) kelompok yaitu:
a. lancar;
b. diragukan; dan
c. macet.
(3) Ketentuan mengenai parameter pengukuran kualitas
Pinjaman atau Pembiayaan sebagaimana tercantum
dalam Lampiran III yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Peraturan OJK ini.
Pasal 9
LKM wajib membentuk penyisihan penghapusan Pinjaman
atau Pembiayaan paling kurang:
a. 0%...
-6-
a. 0% (nol persen) dari Pinjaman atau Pembiayaan
dengan kualitas lancar;
b. 50% (lima puluh persen) dari Pinjaman atau
Pembiayaan dengan kualitas diragukan; dan
c. 100% (seratus persen) dari Pinjaman atau
Pembiayaan dengan kualitas macet.
Bagian Ketiga
Pengelolaan Simpanan
Pasal 10
Dalam menjalankan kegiatan pengelolaan Simpanan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), LKM wajib
mengadministrasikan Simpanan Penyimpan dan
memberikan tanda bukti Simpanan.
Pasal 11
(1) LKM dilarang menolak batas nilai minimum untuk
layanan pembukaan Simpanan.
(2) Batas nilai minimum sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) ditetapkan sebesar Rp5.000,- (lima ribu Rupiah).
BAB III
SUMBER PENDANAAN
Pasal 12
(1) Sumber pendanaan LKM hanya dapat berasal dari:
a. ekuitas;
b. Simpanan;
c. pinjaman; dan/atau
d. hibah.
(2) LKM dilarang menerima pinjaman sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c kecuali dari warga
negara Indonesia dan/atau badan usaha yang didirikan
dan beroperasi di wilayah Republik Indonesia
berdasarkan perjanjian pinjam meminjam.
BAB IV...
-7-
BAB IV
AKAD YANG DIGUNAKAN DALAM KEGIATAN USAHA DAN
SUMBER PENDANAAN BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH
Pasal 13
(1) LKM yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan
Prinsip Syariah wajib menggunakan akad yang sesuai
dengan Prinsip Syariah.
(2) Akad yang sesuai dengan Prinsip Syariah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. kegiatan usaha penghimpunan Simpanan dilakukan
dengan menggunakan akad wadiah, mudharabah,
atau akad lain yang tidak bertentangan dengan
Prinsip Syariah serta disetujui oleh OJK.
b. kegiatan usaha penyaluran Pembiayaan dilakukan
dengan menggunakan akad mudharabah,
musyarakah, murabahah, ijarah, salam, istishna,
ijarah muntahiah bit tamlik atau akad lain yang tidak
bertentangan dengan Prinsip Syariah serta disetujui
oleh OJK.
c. kegiatan
jasa pemberian konsultasi dan
pengembangan usaha dilakukan dengan
menggunakan akad ijarah, ju’alah atau akad lain
yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah
serta disetujui oleh OJK.
d. kegiatan pendanaan melalui penerimaan pinjaman
dilakukan dengan menggunakan akad qordh,
mudharabah, musyarakah atau akad lain yang tidak
bertentangan dengan Prinsip Syariah serta disetujui
oleh OJK.
(3) Untuk dapat memperoleh persetujuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), LKM mengajukan permohonan
kepada OJK dengan melampirkan fatwa DSN MUI.
(4) Selain melakukan kegiatan usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), LKM yang
melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah
dapat melakukan pengelolaan dana sosial berupa zakat,
infak, dan sodaqoh.
(5) Pembukuan...
-8-
(5) Pembukuan atas pengelolaan dana sosial sebagaimana
dimaksud pada ayat (4), dilakukan secara terpisah.
Pasal 14
Ketentuan lebih lanjut mengenai akad-akad sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 diatur dengan Surat Edaran OJK.
BAB V
KESEHATAN LKM
Pasal 15
LKM wajib memelihara tingkat kesehatan melalui
pemenuhan rasio likuiditas dan solvabilitas.
Pasal 16
(1) Rasio likuiditas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15
dihitung dengan menggunakan cash ratio yang
membandingkan kas dan setara kas yang dimiliki
dengan liabilitas lancar.
(2) Bagi LKM yang menyelenggarakan kegiatan usaha
berdasarkan Prinsip Syariah, rasio likuiditas
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan
menggunakan cash ratio yang membandingkan kas dan
setara kas yang dimiliki dengan dana pihak ketiga sesuai
dengan standar akuntansi keuangan syariah yang
berlaku umum.
(3) LKM wajib menjaga rasio likuiditas paling kurang 3%
(tiga persen).
Pasal 17
(1) Rasio solvabilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal
15 dihitung dengan membandingkan total aset dengan
total liabilitas.
(2) LKM wajib menjaga rasio solvabilitas sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) paling kurang 110% (seratus
sepuluh persen).
BAB VI
PENEMPATAN DANA
Pasal 18
(1) LKM hanya dapat menempatkan kelebihan dana yang
dimilikinya pada:
a. tabungan...
-9-
a. tabungan pada bank; dan/atau
b. deposito berjangka dan/atau sertifikat deposito pada
bank.
(2) Bagi LKM yang menyelenggarakan kegiatan usaha
berdasarkan Prinsip Syariah, kelebihan dana dalam
bentuk tabungan, deposito berjangka dan/atau sertifikat
deposito wajib ditempatkan pada bank umum syariah,
unit usaha syariah dan/atau bank pembiayaan rakyat
syariah.
(3) Dalam hal bank umum syariah, unit usaha syariah
dan/atau bank pembiayaan rakyat syariah tidak
terdapat dalam wilayah usaha LKM, maka LKM dapat
menempatkan kelebihan dana yang dimilikinya pada
bank konvensional.
BAB VII
TATA CARA MEMPEROLEH INFORMASI TENTANG
PENYIMPAN DAN SIMPANAN PADA LKM
Pasal 19
LKM dilarang mengungkapkan informasi mengenai data
Penyimpan dan Simpanan kecuali diberikan untuk
kepentingan:
a. perpajakan;
b. peradilan dalam perkara pidana;
c. peradilan dalam perkara perdata; atau
d. permintaan informasi dari ahli waris yang sah dalam hal
Penyimpan meninggal dunia.
Pasal 20
(1) Permohonan pembukaan informasi terkait data
Penyimpan dan Simpanan sehubungan dengan
kepentingan perpajakan diajukan berdasarkan
permintaan tertulis dari Kementerian/instansi yang
membawahi perpajakan kepada OJK dengan
menyebutkan:
a. nama dan jabatan pejabat pajak;
b. nama Penyimpan selaku wajib pajak;
c. nama...
-10-
c. nama LKM tempat Penyimpan memiliki Simpanan;
dan
d. keterangan yang diminta beserta alasan
diperlukannya keterangan.
(2) Permintaan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan oleh kepala kantor pajak setempat.
(3) Persetujuan atau penolakan permohonan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh OJK dalam
jangka waktu paling lambat 15 (lima belas) hari kerja
setelah surat permintaan diterima secara lengkap dan
benar.
Pasal 21
(1) Permohonan pembukaan informasi terkait data
Penyimpan dan Simpanan sehubungan dengan
kepentingan peradilan dalam perkara pidana diajukan
berdasarkan permintaan tertulis dari Kejaksaan,
Kepolisian atau Pengadilan, kepada OJK dengan
menyebutkan:
a. nama dan jabatan jaksa, polisi, atau hakim;
b. nama Penyimpan selaku saksi, tersangka atau
terdakwa;
c. nama LKM tempat Penyimpan memiliki Simpanan;
d. keterangan yang diminta; dan
e. hubungan perkara pidana yang bersangkutan
dengan keterangan yang diperlukan serta alasan
diperlukannya keterangan.
(2) Permintaan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan oleh pimpinan kejaksaan, kepala
kepolisian, dan ketua pengadilan.
(3) Persetujuan atau penolakan permohonan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh OJK dalam
jangka waktu paling lambat 15 (lima belas) hari kerja
setelah surat permintaan diterima secara lengkap dan
benar.
(4) Khusus untuk perkara pidana berat seperti terorisme
dan tindak pidana korupsi, pemberian perintah atau izin
tertulis membuka informasi dilaksanakan oleh OJK
dalam jangka waktu paling lambat 10(sepuluh)hari kerja
setelah...
-11-
setelah surat permintaan diterima secara lengkap dan
benar.
Pasal 22
Pembukaan informasi terkait data Penyimpan dan
Simpanan untuk kepentingan peradilan dalam perkara
perdata, LKM tidak memerlukan perintah atau izin tertulis
dari OJK.
Pasal 23
Permohonan informasi terkait data Penyimpan dan
Simpanan yang berasal dari ahli waris yang sah dalam hal
Penyimpan telah meninggal dunia, LKM tidak memerlukan
izin dari OJK.
Pasal 24
LKM dilarang memberikan informasi Penyimpan dan
Simpanan tanpa persetujuan OJK, kecuali dalam hal
permintaan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
22 dan Pasal 23 Peraturan OJK ini.
BAB VIII
PELAPORAN BERKALA
Pasal 25
(1) LKM wajib menyampaikan laporan keuangan secara
berkala setiap 4 (empat) bulan untuk periode yang
berakhir pada tanggal 30 April, 31 Agustus, dan 31
Desember kepada OJK.
(2) Penyampaian laporan keuangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan paling lambat pada akhir bulan
berikutnya.
(3) Dalam hal LKM memperoleh izin usaha kurang dari 4
(empat) bulan dari kewajiban penyampaian pelaporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kewajiban
penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) mulai berlaku untuk periode penyampaian laporan
keuangan berikutnya.
(4) Dalam hal batas akhir penyampaian laporan keuangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) jatuh pada hari
libur, batas akhir penyampaian laporan adalah hari
kerja pertama berikutnya.
Pasal 26...
-12-
Pasal 26
(1) Dalam rangka menerapkan prinsip keterbukaan, LKM
wajib mengumumkan laporan posisi keuangan dan
laporan kinerja keuangan singkat untuk setiap periode
tahun takwim melalui surat kabar harian lokal atau
pada papan pengumuman di kantor LKM yang
bersangkutan yang mudah diketahui oleh masyarakat
paling lambat 4 (empat) bulan setelah tahun takwim
berakhir.
(2) Dalam hal LKM memperoleh izin usaha kurang dari 6
(enam) bulan hingga tahun takwim berakhir, kewajiban
pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mulai berlaku pada tahun takwim berikutnya.
(3) Bukti pengumuman laporan posisi keuangan dan
laporan kinerja keuangan singkat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib dilaporkan kepada OJK
paling lambat 20 (dua puluh) hari kerja setelah tanggal
pengumuman.
Pasal 27
Ketentuan mengenai laporan keuangan LKM sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 25 diatur dengan Surat Edaran OJK.
BAB IX
LARANGAN
Pasal 28
Dalam melakukan kegiatan usaha, LKM dilarang:
a. menerima Simpanan berupa giro dan ikut serta dalam
lalu lintas pembayaran;
b. melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing;
c. melakukan usaha perasuransian sebagai penanggung;
d. bertindak sebagai penjamin;
e. memberi Pinjaman atau Pembiayaan kepada LKM lain,
kecuali dalam rangka mengatasi kesulitan likuiditas bagi
LKM lain dalam wilayah kabupaten/kota yang sama;
f. melakukan penyaluran Pinjaman atau Pembiayaan di
luar cakupan wilayah usaha; dan/atau
g. melakukan usaha di luar kegiatan usaha sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 Peraturan OJK ini.
BAB X...
-13-
BAB X
PROSEDUR PENYEHATAN LKM
Pasal 29
(1) Dalam hal LKM mengalami kesulitan likuiditas dan
solvabilitas yang membahayakan keberlangsungan
usahanya, OJK dapat melakukan tindakan agar:
a. pemegang saham atau anggota menambah modal;
b. pemegang saham atau rapat anggota mengganti
Direksi dan/atau Dewan Komisaris LKM;
c. LKM menghapusbukukan Pinjaman atau
Pembiayaan yang macet dan memperhitungkan
kerugian LKM dengan modalnya;
d. LKM melakukan penggabungan atau peleburan
dengan LKM lain;
e. kepemilikan LKM dialihkan kepada pihak lain yang
bersedia mengambil alih seluruh kewajiban;
f. LKM menyerahkan pengelolaan seluruh atau
sebagian kegiatan LKM kepada pihak lain; dan/atau
g. LKM menjual sebagian atau seluruh harta dan/atau
kewajiban LKM kepada LKM lain atau pihak lain.
(2) Likuiditas dan solvabilitas yang dinilai membahayakan
keberlangsungan usaha LKM sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) apabila rasio likuiditas kurang dari 3%
(tiga persen) dan rasio solvabilitas kurang dari 100%
(seratus persen).
(3) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dalam jangka waktu paling lama 6 (enam)
bulan terhitung sejak tanggal pemberitahuan dari OJK
untuk melakukan tindakan penyehatan.
(4) OJK dapat memperpanjang jangka waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) sebanyak 1 (satu) kali untuk
jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan.
(5) Dalam hal tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) tidak dapat mengatasi kesulitan likuiditas dan
solvabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (2), OJK
mencabut izin usaha LKM yang bersangkutan dan
memerintahkan Direksi LKM untuk segera
menyelenggarakan...
-14-
menyelenggarakan rapat umum pemegang saham atau
rapat anggota guna membubarkan badan hukum LKM
dan membentuk tim likuidasi.
(6) Ketentuan mengenai pembubaran LKM dan
pembentukan tim likudasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (5) diatur tersendiri dalam Peraturan OJK mengenai
Perizinan Usaha dan Kelembagaan LKM.
BAB XI
SANKSI
Pasal 30
(1) LKM yang tidak memenuhi ketentuan dalam Pasal 3 ayat
(1), Pasal 4 ayat (2), Pasal 4 ayat (3), Pasal 4 ayat (4),
Pasal 4 ayat (5), Pasal 5, Pasal 6 ayat (2), Pasal 7 ayat
(1), Pasal 8 ayat (1), Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11 ayat (1),
Pasal 13 ayat (1), Pasal 26 ayat (3), dan Pasal 28
Peraturan OJK ini, dikenakan sanksi administratif
berupa peringatan tertulis.
(2) Sanksi peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), diberikan paling banyak 3 (tiga) kali berturut-
turut dengan masa berlaku masing-masing 40 (empat
puluh) hari kerja.
(3) Dalam hal sebelum berakhirnya masa berlaku sanksi
peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
LKM telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), OJK atau Pemerintah Kabupaten/Kota
setempat atau pihak lain yang ditunjuk oleh OJK
mencabut sanksi peringatan tertulis.
(4) Dalam hal masa berlaku peringatan tertulis ketiga
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berakhir dan LKM
tetap tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), OJK meminta pemegang saham atau rapat
anggota koperasi untuk mengganti Direksi LKM dalam
jangka waktu paling lambat 6 (enam) bulan sejak
pemberitahuan dari OJK.
(5) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) berakhir dan rapat umum pemegang saham atau
rapat anggota tidak mengganti Direksi LKM dimaksud,
OJK...
-15-
OJK memberhentikan Direksi LKM dan selanjutnya
menunjuk serta mengangkat pengganti sementara
sampai rapat umum pemegang saham atau rapat
anggota Koperasi mengangkat pengganti yang tetap
dengan persetujuan OJK.
Pasal 31
(1) LKM yang tidak memenuhi ketentuan dalam Pasal 25
ayat (1) Peraturan OJK ini, dikenakan sanksi
administratif berupa denda.
(2) Pengenaan sanksi administratif berupa denda
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberlakukan
dengan ketentuan:
a. bagi LKM yang cakupan wilayah usahanya pada 1
(satu) desa/kelurahan dikenakan denda sebesar
Rp10.000,00 (sepuluh ribu rupiah) untuk setiap hari
keterlambatan dan paling banyak Rp 500.000,00
(lima ratus ribu rupiah);
b. bagi LKM yang cakupan wilayah usahanya pada 1
(satu) kecamatan dikenakan denda sebesar
Rp20.000,00 (dua puluh ribu rupiah) untuk setiap
hari keterlambatan dan
paling banyak
Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah);
c. bagi LKM yang cakupan wilayah usahanya pada
1(satu) Kabupaten/Kota dikenakan denda sebesar
Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) untuk setiap
hari keterlambatan dan paling banyak
Rp2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah);
(3) Dalam rangka pengenaan sanksi administratif berupa
denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tanggal
penyampaian laporan adalah:
a. tanggal penerimaan oleh OJK atau Pemerintah
Kabupaten/Kota setempat atau pihak lain yang
ditunjuk oleh OJK, apabila laporan diserahkan
langsung; atau
b. tanggal pengiriman dalam tanda bukti pengiriman
melalui kantor pos atau perusahaan jasa
pengiriman...
-16-
pengiriman/titipan, apabila laporan tidak diserahkan
secara langsung.
(4) Denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib
disetor ke OJK.
(5) Dalam hal LKM belum membayar denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), denda tersebut dinyatakan
sebagai utang LKM kepada OJK dan harus dicantumkan
dalam laporan keuangan LKM yang bersangkutan.
Pasal 32
(1) Dalam hal LKM tidak dapat memenuhi ketentuan dalam
Pasal 12 ayat (2), Pasal 16 ayat (3), Pasal 17 ayat (2),
Pasal 18 ayat (1) dan Pasal 18 ayat (2) Peraturan OJK ini,
OJK menyampaikan pemberitahuan tertulis kepada LKM
untuk memenuhi ketentuan dimaksud dalam jangka
waktu paling lama 40 (empat puluh) hari kerja terhitung
sejak tanggal pemberitahuan dari OJK.
(2) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) telah berakhir dan LKM tidak dapat memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat
(2), Pasal 18 ayat (1) dan Pasal 18 ayat (2) Peraturan OJK
ini, maka LKM yang bersangkutan dikenakan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30
Peraturan OJK ini.
BAB XII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 33
Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 30 dan Pasal 31 Peraturan OJK ini bagi Bank Desa,
Lumbung Desa, Bank Pasar, Bank Pegawai, Badan Kredit
Desa (BKD), Badan Kredit Kecamatan (BKK), Kredit Usaha
Rakyat Kecil (KURK), Lembaga Perkreditan Kecamatan (LPK),
Bank Karya Produksi Desa (BKPD), Badan Usaha Kredit
Pedesaan (BUKP), Baitul Maal wa Tamwil (BMT), Baitul
Tamwil Muhammadiyah (BTM), dan/atau lembaga-lembaga
lainnya yang dipersamakan dengan itu dan telah beroperasi
sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013
tentang...
-17-
tentang Lembaga Keuangan Mikro serta telah mendapatkan
izin usaha dari OJK, mulai berlaku setelah 3 (tiga) tahun
terhitung sejak tanggal berlakunya Peraturan OJK ini.
BAB XIII
PENUTUP
Pasal 34
Peraturan OJK ini mulai berlaku pada tanggal 8 Januari
2015.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan OJK ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 31 Oktober 2014
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
Ttd.
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 11 Nopember 2014
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 343
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum,
Ttd.
Tini Kustini
"," POJK
13/POJK.05/2014
PENYELENGGARAAN USAHA LEMBAGA KEUANGAN MIKRO
31 Oktober 2014
8 Januari 2015
11 Nopember 2014
'21/UU/2011', '1/UU/2013', '89/PP/2014'
'BAB XI'
"
" OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 31 /POJK.05/2016
TENTANG
USAHA PERGADAIAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan inklusi keuangan
bagi masyarakat menengah ke bawah dan usaha
mikro, kecil, dan menengah, perlu memperluas
layanan jasa keuangan melalui penyelenggaraan
usaha pergadaian;
b. bahwa dalam rangka penyelenggaraan usaha
pergadaian yang memberikan kemudahan akses
terhadap pinjaman, khususnya bagi masyarakat
menengah ke bawah dan usaha mikro, kecil, dan
menengah, perlu adanya landasan hukum bagi
Otoritas Jasa Keuangan dalam mengawasi usaha
pergadaian di Indonesia;
c. bahwa landasan hukum untuk pengawasan usaha
pergadaian diperlukan untuk menciptakan usaha
pergadaian yang sehat, memberikan kepastian hukum
bagi pelaku usaha pergadaian, dan perlindungan
kepada konsumen;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu
- 2 -
menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang
Usaha Pergadaian;
Mengingat
: Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
USAHA PERGADAIAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang
dimaksud dengan:
1. Usaha Pergadaian adalah segala usaha menyangkut
pemberian pinjaman dengan jaminan barang bergerak,
jasa titipan, jasa taksiran, dan/atau jasa lainnya,
termasuk yang diselenggarakan berdasarkan prinsip
syariah.
2. Perusahaan
Pergadaian adalah perusahaan
pergadaian swasta dan perusahaan pergadaian
pemerintah yang diatur dan diawasi oleh Otoritas Jasa
Keuangan.
3. Perusahaan Pergadaian Swasta adalah badan hukum
yang melakukan Usaha Pergadaian.
4. Perusahaan Pergadaian Pemerintah adalah PT
Pegadaian (Persero) sebagaimana dimaksud dalam
Staatsblad Tahun 1928 Nomor 81 tentang Pandhuis
Regleement dan Peraturan Pemerintah Nomor 51
Tahun 2011 tentang Perubahan Bentuk Badan
Hukum Perusahaan Umum (Perum) Pegadaian
menjadi Perusahaan Perseroan (Persero).
- 3 -
5. Prinsip Syariah adalah ketentuan hukum Islam
berdasarkan fatwa dan/atau pernyataan kesesuaian
syariah dari Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama
Indonesia.
6. Direksi:
a. bagi Perusahaan Pergadaian yang berbentuk
badan hukum perseroan terbatas adalah direksi
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas; atau
b. bagi Perusahaan Pergadaian yang berbentuk
badan hukum koperasi adalah pengurus
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian.
7. Dewan Komisaris:
a. bagi Perusahaan Pergadaian yang berbentuk
badan hukum perseroan terbatas adalah dewan
komisaris sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas; atau
b. bagi Perusahaan Pergadaian yang berbentuk
badan hukum koperasi adalah pengawas
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian.
8. Dewan Pengawas Syariah yang selanjutnya disingkat
DPS adalah bagian dari organ Perusahaan Pergadaian
yang mempunyai tugas dan fungsi pengawasan
terhadap penyelenggaraan kegiatan usaha agar sesuai
dengan Prinsip Syariah.
9. Modal Disetor:
a. bagi Perusahaan Pergadaian yang berbentuk
badan hukum perseroan terbatas adalah modal
disetor sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas; atau
b. bagi Perusahaan Pergadaian yang berbentuk
badan hukum koperasi adalah simpanan pokok
- 4 -
dan simpanan wajib sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992
tentang Perkoperasian.
10. Gadai adalah suatu hak yang diperoleh Perusahaan
Pergadaian atas suatu barang bergerak, yang
diserahkan kepadanya oleh nasabah atau oleh
kuasanya, sebagai jaminan atas pinjamannya, dan
yang memberi wewenang kepada Perusahaan
Pergadaian untuk mengambil pelunasan pinjaman
dari barang itu dengan mendahului kreditur-kreditur
lain, dengan pengecualian biaya untuk melelang atau
menjual barang tersebut dan biaya untuk
menyelamatkan barang tersebut yang dikeluarkan
setelah barang itu diserahkan sebagai gadai, biaya-
biaya mana harus didahulukan.
11. Uang Pinjaman adalah uang yang dipinjamkan oleh
Perusahaan Pergadaian kepada nasabah.
12. Barang Jaminan adalah setiap barang bergerak yang
dijadikan jaminan oleh nasabah kepada Perusahaan
Pergadaian.
13. Penaksir adalah orang yang memiliki sertifikat
keahlian untuk melakukan penaksiran atas nilai
Barang Jaminan dalam transaksi Gadai.
14. Surat Bukti Gadai adalah surat tanda bukti perjanjian
pinjam meminjam uang dengan jaminan yang
ditandatangani oleh Perusahaan Pergadaian dan
nasabah.
15. Nasabah adalah orang perseorangan atau badan
usaha yang menerima Uang Pinjaman dengan jaminan
berupa Barang Jaminan dan/atau memanfaatkan
layanan lainnya yang tersedia di Perusahaan
Pergadaian.
16. Lelang adalah penjualan Barang Jaminan yang
terbuka untuk umum dengan penawaran harga secara
tertulis dan/atau lisan yang semakin meningkat atau
menurun untuk mencapai harga tertinggi yang
didahului pengumuman lelang.
- 5 -
17. Uang Kelebihan adalah selisih lebih dari hasil
penjualan Barang Jaminan dikurangi dengan jumlah
Uang Pinjaman, bunga/jasa simpan, biaya untuk
melelang, dan biaya menyelamatkan barang tersebut.
18. Pemeriksaan adalah rangkaian kegiatan mencari,
mengumpulkan, mengolah, dan mengevaluasi data
dan/atau keterangan, serta untuk menilai dan
memberikan kesimpulan mengenai penyelenggaraan
usaha pada Perusahaan Pergadaian.
19. Pemeriksa adalah pegawai Otoritas Jasa Keuangan
atau pihak lain yang ditunjuk oleh Otoritas Jasa
Keuangan untuk melakukan Pemeriksaan.
20. Hari adalah hari kerja.
21. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat
OJK adalah Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
BAB II
BENTUK BADAN HUKUM, KEPEMILIKAN,
DAN PERMODALAN
Pasal 2
(1) Bentuk badan hukum Perusahaan Pergadaian adalah:
a. perseroan terbatas; atau
b. koperasi.
(2) Perusahaan Pergadaian yang berbentuk badan hukum
perseroan terbatas sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a, sahamnya hanya dapat dimiliki oleh:
a. negara Republik Indonesia;
b. pemerintah daerah;
c. warga negara Indonesia; dan/atau
d. badan hukum Indonesia.
(3) Ketentuan kepemilikan untuk Perusahaan Pergadaian
yang berbentuk badan hukum koperasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b mengikuti ketentuan
- 6 -
peraturan perundang-undangan di bidang
perkoperasian.
Pasal 3
Perusahaan Pergadaian dilarang dimiliki baik secara
langsung maupun tidak langsung oleh warga negara asing
dan/atau badan usaha yang sebagian atau seluruhnya
dimiliki oleh warga negara asing atau badan usaha asing,
kecuali kepemilikan langsung maupun tidak langsung
tersebut dilakukan melalui bursa efek.
Pasal 4
(1) Modal Disetor Perusahaan Pergadaian ditetapkan
berdasarkan lingkup wilayah usaha yaitu
kabupaten/kota atau provinsi.
(2) Jumlah Modal Disetor Perusahaan Pergadaian
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
paling sedikit:
a. Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah), untuk
lingkup wilayah usaha kabupaten/kota; atau
b. Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta
rupiah), untuk lingkup wilayah usaha provinsi.
(3) Modal Disetor sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
harus disetor secara tunai dan penuh atas nama
Perusahaan Pergadaian pada salah satu bank umum
atau bank umum syariah di Indonesia.
BAB III
PENDAFTARAN DAN PERIZINAN USAHA
Bagian Kesatu
Pendaftaran
Pasal 5
(1) Bagi pelaku Usaha Pergadaian yang telah melakukan
kegiatan Usaha Pergadaian sebelum Peraturan OJK ini
- 7 -
diundangkan,
dapat mengajukan permohonan
pendaftaran kepada OJK.
(2) Bagi pelaku Usaha Pergadaian yang akan mengajukan
permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dikecualikan dari ketentuan bentuk badan
hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1),
ketentuan lingkup wilayah usaha sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), dan ketentuan
permodalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (2).
(3) Permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diajukan kepada OJK paling lama 2 (dua)
tahun sejak Peraturan OJK ini diundangkan.
(4) Permohonan pendaftaran oleh pelaku Usaha
Pergadaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan kepada Kepala Eksekutif Pengawas
Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan,
dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya.
(5) Bagi pelaku Usaha Pergadaian sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) yang mengajukan permohonan
pendaftaran
harus menggunakan format
1
sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Peraturan OJK ini dan dilampiri dengan:
a. akta pendirian badan usaha termasuk anggaran
dasar berikut perubahannya (jika ada) yang telah
disahkan/disetujui oleh instansi yang berwenang
atau diberitahukan kepada instansi yang
berwenang dan/atau surat bukti usaha dari
instansi yang berwenang;
b. bukti identitas diri dan daftar riwayat hidup yang
dilengkapi dengan pas foto berwarna yang terbaru
berukuran 4x6 cm dari:
1. pemilik kecuali koperasi;
2. anggota Direksi; dan
3. anggota Dewan Komisaris;
- 8 -
c. surat keterangan domisili perusahaan dari
instansi yang berwenang;
d. bukti telah melakukan kegiatan usaha; dan
e.
foto unit layanan (outlet) berukuran 4R/5R.
(6) OJK memberikan persetujuan atas permohonan
pendaftaran paling lama 10 (sepuluh) Hari sejak
diterimanya dokumen permohonan pendaftaran secara
lengkap dan sesuai dengan persyaratan dalam
Peraturan OJK ini.
(7) OJK menetapkan pendaftaran pelaku Usaha
Pergadaian berupa tanda bukti terdaftar.
(8) Tanda bukti terdaftar sebagaimana dimaksud pada
ayat (7) harus dicantumkan pada setiap kantor atau
unit layanan (outlet).
Pasal 6
(1) Pelaku Usaha Pergadaian yang telah terdaftar, dapat
membuka unit layanan (outlet).
(2) Pembukaan unit layanan (outlet) sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib dilaporkan kepada OJK
melalui laporan berkala.
Pasal 7
(1) Pelaku Usaha Pergadaian yang telah terdaftar wajib
menyampaikan laporan secara berkala setiap 3 (tiga)
bulan untuk periode yang berakhir pada tanggal 31
Maret, 30 Juni, 30 September, dan 31 Desember
kepada OJK paling sedikit berupa:
a.
profil pelaku Usaha Pergadaian;
b. laporan keuangan; dan
c. laporan operasional.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk, susunan, dan
tata cara penyampaian laporan berkala sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Surat Edaran
OJK.
- 9 -
Pasal 8
(1) Bagi pelaku Usaha Pergadaian yang telah terdaftar
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (7), wajib
mengajukan permohonan izin usaha sebagai
Perusahaan
Pergadaian dalam jangka waktu
paling lama 3 (tiga) tahun sejak Peraturan OJK ini
diundangkan.
(2) Pelaku Usaha Pergadaian yang telah terdaftar, pada
saat mengajukan izin usaha harus memenuhi
ketentuan dalam Peraturan OJK ini.
(3) Pelaku Usaha Pergadaian yang telah terdaftar dan
berbentuk perseroan terbatas atau koperasi, pada saat
mengajukan izin usaha dikecualikan dari ketentuan
Modal Disetor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (2).
(4) Ketentuan permodalan bagi pelaku Usaha Pergadaian
yang telah terdaftar dan berbentuk perseroan terbatas
atau koperasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
pada saat mengajukan izin usaha harus memenuhi
Ekuitas sebesar:
a. Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah), untuk
lingkup wilayah usaha kabupaten/kota; atau
b. Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta
rupiah), untuk lingkup wilayah usaha provinsi.
(5) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) telah berakhir dan pelaku Usaha Pergadaian
yang
telah
terdaftar
belum menyampaikan
permohonan izin usaha, pendaftaran dinyatakan batal
dan tidak berlaku.
Bagian Kedua
Perizinan Usaha Perusahaan Pergadaian
Pasal 9
(1) Perusahaan Pergadaian melakukan kegiatan usaha
setelah memperoleh izin usaha dari OJK.
- 10 -
(2) Untuk memperoleh izin usaha sebagai Perusahaan
Pergadaian dari OJK sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), Direksi Perusahaan Pergadaian harus mengajukan
permohonan izin usaha kepada OJK dengan
menggunakan format 2 sebagaimana tercantum dalam
Lampiran yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Peraturan OJK ini dan harus dilampiri
dokumen berupa:
a. akta pendirian perseroan terbatas atau koperasi
yang telah disahkan oleh instansi yang
berwenang, yang paling sedikit harus memuat:
1. nama, tempat kedudukan, dan lingkup
wilayah usaha;
2. kegiatan
Pergadaian;
3. permodalan;
4. kepemilikan; dan
5. wewenang, tanggung jawab, masa jabatan
Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau DPS,
dan perubahan anggaran dasar terakhir (jika ada)
disertai dengan bukti pengesahan, persetujuan,
dan/atau surat penerimaan pemberitahuan dari
instansi berwenang;
b. data anggota Direksi, Dewan Komisaris,
dan/atau DPS meliputi:
1. fotokopi tanda pengenal berupa Kartu Tanda
Penduduk (KTP) yang masih berlaku;
2. fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)
yang masih berlaku;
3. daftar riwayat hidup dengan dilengkapi pas
foto berwarna yang terbaru berukuran 4x6
cm; dan
4. surat pernyataan bermeterai dari masing-
masing anggota Direksi, Dewan Komisaris,
dan/atau DPS yang menyatakan:
a) tidak tercatat dalam daftar kredit macet
di sektor jasa keuangan;
usaha
sebagai
Perusahaan
- 11 -
b) tidak tercantum dalam daftar tidak
lulus (DTL) di sektor jasa keuangan;
pernah
c)
tidak
dihukum
karena
d) tidak
melakukan tindak pidana di bidang jasa
keuangan dan/atau perekonomian
berdasarkan putusan pengadilan yang
telah mempunyai kekuatan hukum
tetap dalam 5 (lima) tahun terakhir;
pernah
dihukum
karena
melakukan tindak pidana kejahatan
berdasarkan putusan pengadilan yang
telah mempunyai kekuatan hukum
tetap dalam 5 (lima) tahun terakhir;
e)
tidak pernah dinyatakan pailit atau
dinyatakan
bersalah menyebabkan
suatu badan usaha dinyatakan pailit
berdasarkan putusan pengadilan yang
telah mempunyai kekuatan hukum
tetap dalam 5 (lima) tahun terakhir; dan
f)
tidak pernah menjadi pemegang saham,
direksi, dewan komisaris, atau dewan
pengawas syariah pada perusahaan jasa
keuangan yang dicabut izin usahanya
karena melakukan pelanggaran dalam 5
(lima) tahun terakhir;
c. data pemegang saham atau anggota pendiri:
1. dalam hal pemegang saham atau anggota
pendiri adalah warga negara Indonesia,
dokumen yang dilampirkan berupa:
a)
fotokopi surat pemberitahuan pajak
terhutang (SPT) untuk 1 (satu) tahun
terakhir;
b) dokumen sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf b angka 1, angka 2, dan
angka 3; dan
c) surat pernyataan bermeterai dari yang
bersangkutan yang menyatakan bahwa:
- 12 -
1) setoran modal tidak berasal dari
pinjaman;
2) setoran modal tidak berasal dari
dan
untuk
tindak
pencucian uang (money laundering)
dan kejahatan keuangan;
3) tidak tercatat dalam daftar kredit
macet di sektor jasa keuangan;
4) tidak tercantum dalam daftar tidak
lulus (DTL)
keuangan;
di
sektor
5) tidak pernah dihukum karena
melakukan tindak pidana di bidang
jasa
keuangan
perekonomian
dan/atau
berdasarkan
putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap
dalam 5 (lima) tahun terakhir;
6) tidak pernah dihukum karena
melakukan
tindak
pidana
kejahatan berdasarkan putusan
pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap dalam 5
(lima) tahun terakhir;
7) tidak pernah dinyatakan pailit atau
dinyatakan bersalah menyebabkan
suatu badan usaha dinyatakan
pailit
berdasarkan
putusan
pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap dalam 5
(lima) tahun terakhir; dan
8)
tidak pernah menjadi pemegang
saham, direksi, dewan komisaris,
atau dewan pengawas syariah pada
perusahaan jasa keuangan yang
dicabut izin usahanya karena
jasa
pidana
- 13 -
melakukan pelanggaran dalam 5
(lima) tahun terakhir;
2. dalam hal pemegang saham atau anggota
pendiri adalah badan hukum Indonesia,
dokumen yang dilampirkan berupa:
a) akta pendirian termasuk anggaran
dasar berikut perubahan yang terakhir
(jika ada) yang telah disahkan/disetujui
oleh instansi yang berwenang atau
diberitahukan kepada instansi yang
berwenang;
b) laporan keuangan tahunan dan laporan
keuangan bulanan terakhir;
c) dokumen sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf b angka 1, angka 2, dan
angka 3 bagi direksi; dan
d) surat pernyataan bermeterai dari
direksi yang menyatakan bahwa:
1) setoran modal tidak berasal dari
pinjaman;
2) setoran modal tidak berasal dari
dan
untuk
tindak
pencucian uang (money laundering)
dan kejahatan keuangan;
3) tidak terdapat kepemilikan asing
baik secara langsung maupun
tidak langsung;
4) tidak tercatat dalam daftar kredit
macet di sektor jasa keuangan;
5) tidak tercantum dalam daftar tidak
lulus (DTL) di sektor jasa keuangan;
6) tidak pernah dihukum karena
melakukan tindak pidana di bidang
jasa
keuangan
perekonomian
dan/atau
berdasarkan
putusan pengadilan yang telah
pidana
- 14 -
mempunyai kekuatan hukum tetap
dalam 5 (lima) tahun terakhir;
7) tidak pernah dihukum karena
melakukan
tindak
pidana
kejahatan berdasarkan putusan
pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap dalam 5
(lima) tahun terakhir;
8) tidak pernah dinyatakan pailit atau
dinyatakan bersalah menyebabkan
suatu badan usaha dinyatakan
pailit
berdasarkan
putusan
pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap dalam 5
(lima) tahun terakhir; dan
9) tidak pernah menjadi pemegang
saham, direksi, dewan komisaris,
atau dewan pengawas syariah pada
perusahaan jasa keuangan yang
dicabut izin usahanya karena
melakukan pelanggaran dalam 5
(lima) tahun terakhir;
3. dalam hal pemegang saham adalah negara
Republik
Indonesia,
dokumen
yang
dilampirkan berupa Peraturan Pemerintah
mengenai penyertaan modal negara Republik
Indonesia untuk pendirian Perusahaan
Pergadaian; dan/atau
4. dalam hal pemegang saham adalah
pemerintah
daerah,
dokumen
dilampirkan berupa Peraturan Daerah
mengenai penyertaan modal daerah untuk
pendirian Perusahaan Pergadaian;
d. fotokopi bukti pelunasan Modal Disetor, berupa:
1.
slip setoran dari pemegang saham atau
anggota pendiri ke rekening tabungan atau
giro atas nama Perusahaan Pergadaian; dan
yang
- 15 -
2. rekening koran Perusahaan Pergadaian
periode mulai dari tanggal penyetoran modal
sampai dengan tanggal surat permohonan
izin usaha;
e. struktur organisasi yang memuat susunan
personalia yang paling sedikit memiliki fungsi
pemutus
pinjaman,
f.
Penaksir,
Nasabah, dan administrasi;
rencana kerja untuk 1 (satu) tahun pertama yang
paling sedikit memuat:
1. gambaran mengenai kegiatan usaha yang
akan dilakukan;
2. target dan langkah-langkah yang dilakukan
untuk mewujudkan target dimaksud; dan
3. proyeksi laporan keuangan untuk 1 (satu)
tahun ke depan;
g. bukti kesiapan operasional antara lain berupa:
1. bukti kepemilikan atau penguasaan gedung
dan ruangan kantor atau unit layanan
(outlet), berupa fotokopi sertipikat hak milik,
hak guna bangunan, atau hak pakai atas
nama Perusahaan Pergadaian,
atau
perjanjian sewa gedung/ruangan disertai
foto tampak luar gedung dan foto dalam
ruangan serta tata letak (lay-out) ruangan;
2. daftar inventaris dan peralatan kantor; dan
3. contoh Surat Bukti Gadai dan/atau formulir
yang akan digunakan;
h. fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atas
nama Perusahaan Pergadaian;
i.
j.
bukti setor pelunasan biaya perizinan;
bukti sertifikat Penaksir yang diterbitkan oleh
lembaga sertifikasi profesi atau pihak lain yang
ditunjuk OJK sebagai lembaga penerbit sertifikasi
Penaksir;
k. surat rekomendasi DPS dari Dewan Syariah
Nasional
Majelis Ulama Indonesia,
bagi
pelayanan
- 16 -
Perusahaan
Pergadaian
yang
akan
menyelenggarakan kegiatan usaha berdasarkan
Prinsip Syariah; dan
l. pedoman penerapan anti pencucian uang dan
pencegahan pendanaan terorisme.
(3) OJK memberikan persetujuan atau penolakan atas
permohonan izin usaha sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) paling lama 10 (sepuluh) Hari sejak
permohonan izin usaha dan dokumen diterima secara
lengkap serta sesuai dengan persyaratan dalam
Peraturan OJK ini.
(4) OJK menyampaikan pernyataan lengkap atau
permintaan kelengkapan dokumen kepada pemohon
paling lama 10 (sepuluh) Hari setelah permohonan
diterima.
(5) Dalam hal permohonan izin usaha yang disampaikan
tidak lengkap, pemohon harus menyampaikan
kekurangan dokumen tersebut paling lama 10
(sepuluh) Hari sejak tanggal surat permintaan
kelengkapan dokumen dari OJK.
(6) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada
ayat (5) telah berakhir dan pemohon tidak
menyampaikan kelengkapan dokumen, permohonan
izin usaha dinyatakan batal.
(7) Penolakan atas permohonan izin usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) disertai dengan alasan
penolakan.
(8) Dalam hal permohonan izin usaha disetujui, OJK
menetapkan keputusan pemberian izin usaha sesuai
lingkup wilayah usaha sebagai:
a. perusahaan pergadaian,
bagi
Perusahaan
Pergadaian yang menjalankan kegiatan usaha
secara konvensional; atau
b. perusahaan pergadaian syariah, bagi Perusahaan
Pergadaian yang menjalankan seluruh kegiatan
usaha berdasarkan Prinsip Syariah.
- 17 -
(9) Ketentuan lebih
lanjut mengenai tata cara
permohonan izin usaha Perusahaan Pergadaian
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam
Surat Edaran OJK.
Pasal 10
Nama Perusahaan Pergadaian harus dicantumkan secara
jelas dalam anggaran dasar sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 ayat (2) huruf a angka 1 yang dimulai dengan
bentuk badan hukum dan memuat kata:
a. Gadai atau kata yang mencirikan kegiatan Gadai, bagi
Perusahaan Pergadaian yang menjalankan kegiatan
usaha secara konvensional; atau
b. Gadai atau kata yang mencirikan kegiatan Gadai
diikuti dengan kata syariah, bagi Perusahaan
Pergadaian yang menjalankan seluruh kegiatan usaha
berdasarkan Prinsip Syariah.
Pasal 11
(1) Perusahaan Pergadaian yang telah memperoleh izin
usaha dari OJK wajib melakukan kegiatan usaha
paling lama 30 (tiga puluh) Hari sejak tanggal izin
usaha ditetapkan.
(2) Perusahaan Pergadaian wajib menyampaikan laporan
pelaksanaan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) kepada OJK paling lama 15 (lima belas)
Hari sejak tanggal dimulainya kegiatan usaha.
(3) Laporan pelaksanaan kegiatan usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) harus dilakukan dengan
menggunakan format 3 sebagaimana tercantum dalam
Lampiran yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Peraturan OJK ini dengan dilampiri
fotokopi Surat Bukti Gadai.
Pasal 12
(1) Perusahaan Pergadaian dilarang membuka atau
memindahkan alamat unit layanan (outlet) di luar
- 18 -
wilayah usaha yang ditetapkan dalam keputusan
pemberian izin usaha dari OJK.
(2) Ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara
pembukaan atau pemindahan alamat unit layanan
(outlet) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dalam Surat Edaran OJK.
BAB IV
PENYELENGGARAAN USAHA
Pasal 13
(1) Kegiatan usaha Perusahaan Pergadaian meliputi:
a. penyaluran Uang Pinjaman dengan jaminan
berdasarkan hukum Gadai;
b. penyaluran Uang Pinjaman dengan jaminan
berdasarkan fidusia;
c. pelayanan jasa
dan/atau
titipan barang berharga;
d. pelayanan jasa taksiran.
(2) Selain melakukan kegiatan usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Perusahaan Pergadaian
dapat melakukan kegiatan usaha lainnya, yaitu:
a. kegiatan lain yang tidak
komisi
terkait Usaha
Pergadaian yang memberikan pendapatan
berdasarkan
(fee based income)
sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan di bidang jasa keuangan;
dan/atau
b. kegiatan usaha lain dengan persetujuan OJK.
(3) Kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) dapat dilakukan secara konvensional
atau berdasarkan Prinsip Syariah.
(4) Pelaksanaan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip
Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (3), wajib
menggunakan akad dengan ketentuan:
- 19 -
a. memenuhi prinsip keadilan (‘adl), keseimbangan
(tawazun), kemaslahatan
universalisme (alamiyah);
b. tidak mengandung gharar, maysir, riba, zhulm,
risywah, dan objek haram; dan
c.
tidak bertentangan dengan ketentuan hukum
Islam berdasarkan fatwa dan/atau pernyataan
kesesuaian syariah dari Dewan Syariah Nasional
Majelis Ulama Indonesia.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan usaha lain
dengan persetujuan OJK sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf b diatur dalam Surat Edaran
OJK.
Pasal 14
(1) Perusahaan Pergadaian yang akan melakukan
kegiatan usaha lain sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 ayat (2) huruf b, harus tidak sedang
dikenakan sanksi oleh OJK.
(2) Perusahaan Pergadaian yang akan melakukan
kegiatan usaha lain sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), wajib mengajukan permohonan kepada OJK
dan harus melampirkan dokumen yang berisi uraian
paling sedikit mengenai:
a. kegiatan usaha yang akan dilakukan; dan
b. hak dan kewajiban para pihak.
(3) OJK melakukan analisis atas dokumen sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dan mengeluarkan surat
persetujuan atau penolakan paling lama 20 (dua
puluh) Hari setelah permohonan diterima secara
lengkap dan sesuai dengan persyaratan dalam
Peraturan OJK ini.
Pasal 15
Perusahaan Pergadaian yang menyelenggarakan kegiatan
usaha penyaluran Uang Pinjaman dengan jaminan
berdasarkan fidusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal
(maslahah), dan
- 20 -
13 ayat (1) huruf b wajib melakukan mitigasi risiko, yang
dapat dilakukan dengan:
a. mengalihkan risiko usaha melalui mekanisme
asuransi kredit atau penjaminan kredit;
b. mengalihkan risiko atas barang yang menjadi agunan
melalui mekanisme asuransi; dan/atau
c. melakukan pendaftaran jaminan fidusia atas barang
yang menjadi jaminan dari kegiatan usaha.
Pasal 16
Perusahaan
Pergadaian
wajib
mencantumkan
keterangan/informasi secara jelas di setiap kantor atau
unit layanan (outlet) hal sebagai berikut:
a. nama dan/atau logo Perusahaan Pergadaian;
b. nomor dan tanggal izin usaha dan pernyataan bahwa
Perusahaan Pergadaian diawasi oleh OJK;
hari dan jam operasional; dan
c.
d. tingkat bunga pinjaman atau imbal jasa/imbal hasil
bagi Perusahaan Pergadaian yang menyelenggarakan
kegiatan usahanya berdasarkan Prinsip Syariah, dan
biaya administrasi.
Pasal 17
(1) Perusahaan Pergadaian wajib menetapkan Barang
Jaminan yang dapat diterima sebagai jaminan.
(2) Penetapan Barang Jaminan yang dapat diterima
sebagai jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) wajib dilakukan sesuai dengan kriteria Barang
Jaminan.
(3) Ketentuan mengenai kriteria Barang Jaminan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam
Surat Edaran OJK.
Pasal 18
Perusahaan Pergadaian yang menyalurkan Uang Pinjaman
berdasarkan hukum Gadai dilarang untuk:
a. menggunakan Barang Jaminan;
- 21 -
b. menyimpan Barang Jaminan di tempat Nasabah;
c. memiliki Barang Jaminan; dan/atau
d. menggadaikan kembali Barang Jaminan kepada
pihak lain.
Pasal 19
(1) Perusahaan Pergadaian wajib memiliki paling sedikit
1 (satu) orang Penaksir untuk melakukan penaksiran
atas Barang Jaminan pada setiap unit pelayanan
(outlet).
(2) Dalam melakukan penaksiran, Penaksir wajib
dilengkapi pedoman tertulis yang ditetapkan oleh
Perusahaan Pergadaian.
(3) Penaksir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
lulus sertifikasi penaksiran Barang Jaminan.
Pasal 20
(1) Perusahaan Pergadaian wajib memberikan nilai
taksiran atas setiap Barang Jaminan kepada
Nasabah.
(2) Dalam rangka memenuhi kualitas penaksiran Barang
Jaminan, Perusahaan Pergadaian wajib:
a. menyediakan alat penaksir; dan
b. menetapkan daftar harga pasar Barang Jaminan
yang wajar.
Pasal 21
(1) Perusahaan Pergadaian wajib memenuhi nilai
minimum perbandingan antara Uang Pinjaman dan
nilai taksiran Barang Jaminan dalam memberikan
Uang Pinjaman kepada Nasabah, kecuali apabila
Nasabah menyatakan secara tertulis menghendaki
Uang Pinjaman yang lebih rendah.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai nilai minimum
perbandingan antara Uang Pinjaman dan nilai
taksiran Barang Jaminan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dalam Surat Edaran OJK.
- 22 -
Pasal 22
(1) Perusahaan Pergadaian wajib memiliki tempat
penyimpanan Barang Jaminan berdasarkan hukum
Gadai dan barang titipan yang memenuhi
persyaratan keamanan dan keselamatan.
(2) Perusahaan Pergadaian wajib memiliki pedoman
tertulis dalam menjaga keamanan dan keselamatan
Barang Jaminan berdasarkan hukum Gadai dan
barang titipan.
(3) Perusahaan Pergadaian wajib mengasuransikan
Barang Jaminan berdasarkan hukum Gadai dan
barang titipan dalam rangka memitigasi risiko.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan tempat
penyimpanan Barang Jaminan berdasarkan hukum
Gadai dan barang titipan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dalam Surat Edaran OJK.
Pasal 23
(1) Perusahaan Pergadaian wajib menyerahkan Surat
Bukti Gadai kepada Nasabah pada saat menerima
Barang Jaminan.
(2) Surat Bukti Gadai sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) wajib disusun dengan memenuhi ketentuan
perjanjian sebagaimana diatur dalam Peraturan OJK
mengenai perlindungan konsumen sektor jasa
keuangan.
(3) Perusahaan Pergadaian wajib menyimpan paling
sedikit 1 (satu) salinan Surat Bukti Gadai untuk
setiap transaksi.
Pasal 24
(1) Jangka waktu pinjaman kepada Nasabah dengan
jaminan berdasarkan hukum Gadai paling lama 4
(empat) bulan.
(2) Dalam hal Uang Pinjaman dengan jaminan
berdasarkan hukum Gadai belum dilunasi sampai
- 23 -
dengan tanggal jatuh tempo, Perusahaan Pergadaian
dapat melelang Barang Jaminan.
(3) Sebelum pelaksanaan Lelang sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), berdasarkan kesepakatan antara
Perusahaan Pergadaian dengan Nasabah, Barang
Jaminan dapat dijual dengan cara:
a. Nasabah menjual sendiri Barang Jaminannya;
atau
b. Nasabah memberikan kuasa kepada Perusahaan
Pergadaian
untuk
Jaminannya.
(4) Dalam hal Perusahaan Pergadaian bersepakat
dengan Nasabah untuk melakukan cara penjualan
sebagaimana dimaksud pada ayat
menjualkan
Barang
(3), maka
penjualan dimaksud dilaksanakan paling lama 20
(dua puluh) Hari setelah tanggal jatuh tempo.
(5) Kesepakatan antara Perusahaan Pergadaian dengan
Nasabah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus
dimuat dalam Surat Bukti Gadai.
(6) Penjualan Barang Jaminan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) huruf b dilakukan apabila nilai
penjualan dapat memenuhi kewajiban Nasabah
terhadap Perusahaan Pergadaian.
(7) Barang Jaminan yang dijual oleh Nasabah sebelum
tanggal Lelang, dilarang dibeli secara langsung
maupun tidak langsung oleh Perusahaan Pergadaian
atau pegawainya.
(8) Perusahaan Pergadaian wajib memiliki pedoman
tertulis untuk melakukan penjualan Barang Jaminan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
Pasal 25
(1) Dalam hal Nasabah telah melunasi Uang Pinjaman
beserta bunga pinjaman atau imbal jasa/imbal hasil
bagi Perusahaan Pergadaian yang menyelenggarakan
kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah,
Perusahaan Pergadaian wajib mengembalikan Barang
- 24 -
Jaminan kepada Nasabah dalam kondisi fisik yang
sama seperti saat penyerahan Barang Jaminan.
(2) Dalam hal Barang Jaminan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) hilang atau rusak, Perusahaan
Pergadaian wajib menggantinya dengan:
a. uang atau barang yang nilainya sama atau
setara dengan nilai Barang Jaminan pada saat
Barang Jaminan tersebut hilang atau rusak,
untuk Barang Jaminan berupa perhiasan; atau
b. uang atau barang yang nilainya sama atau
setara dengan nilai Barang Jaminan pada saat
Barang Jaminan tersebut dijaminkan, untuk
Barang Jaminan selain perhiasan.
Pasal 26
Syarat dan tata cara penjualan Barang Jaminan
berdasarkan hukum Gadai dengan cara Lelang
berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Pasal 27
(1) Perusahaan Pergadaian wajib mengembalikan Uang
Kelebihan dari hasil penjualan Barang Jaminan
dengan cara Lelang sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 26 atau berdasarkan kuasa menjual
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (3)
huruf b kepada Nasabah.
(2) Perusahaan Pergadaian wajib mencatat secara
terpisah Uang Kelebihan dari hasil penjualan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Ketentuan lebih
pengembalian
Uang
lanjut mengenai tata cara
Kelebihan
dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Surat Edaran
OJK.
sebagaimana
- 25 -
Pasal 28
(1) Perusahaan
Pergadaian
wajib
memiliki dan
melaksanakan mekanisme penanganan pengaduan dan
penyelesaian sengketa bagi Nasabah.
(2) Mekanisme penanganan pengaduan dan penyelesaian
sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
dicantumkan dalam Surat Bukti Gadai.
(3) Ketentuan mengenai penanganan pengaduan dan
penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud ayat (1)
berpedoman pada Peraturan OJK mengenai
perlindungan konsumen sektor jasa keuangan dan
Peraturan OJK mengenai lembaga alternatif
penyelesaian
sengketa
pelaksanaannya.
Pasal 29
(1) Perusahaan Pergadaian yang menyelenggarakan
kegiatan usaha berdasarkan Prinsip
Syariah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3) wajib
mengangkat paling sedikit 1 (satu) orang DPS.
(2) DPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
diangkat dalam rapat umum pemegang saham atau
rapat anggota setelah memperoleh rekomendasi Dewan
Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia.
(3) Bagi Perusahaan Pergadaian yang berbentuk badan
hukum koperasi, pengangkatan DPS sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dapat pula dilakukan setelah
memperoleh sertifikasi pelatihan DPS dari Dewan
Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia.
(4) DPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
diangkat oleh 1 (satu) atau beberapa Perusahaan
Pergadaian secara bersama-sama.
(5) DPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai
tugas pengawasan dan pemberian nasihat kepada
Direksi agar kegiatan usahanya sesuai dengan Prinsip
Syariah.
beserta
peraturan
- 26 -
(6) Tugas
pengawasan dan pemberian nasihat
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) paling sedikit
dilakukan terhadap:
a. kegiatan operasional Perusahaan Pergadaian;
b. pedoman operasional dan produk yang dipasarkan;
dan
c. pengembangan, pengkajian, dan rekomendasi
kegiatan usaha Perusahaan Pergadaian yang
antara lain mencakup produk, operasional, dan
pemasaran.
Pasal 30
(1) Perusahaan Pergadaian dapat menyelenggarakan
sebagian kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3) dengan
wajib terlebih dahulu memperoleh persetujuan dari OJK.
(2) Perusahaan Pergadaian yang menyelenggarakan
sebagian kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah,
wajib:
a. mempunyai pembukuan terpisah untuk kegiatan
usaha berdasarkan Prinsip Syariah dari kegiatan
usaha konvensional; dan
b. menunjuk pegawai yang bertanggung jawab atas
pelaksanaan kegiatan usaha yang dilakukan
berdasarkan Prinsip Syariah.
Pasal 31
(1) Untuk memperoleh persetujuan menyelenggarakan
sebagian kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1), Direksi
Perusahaan
Pergadaian
harus
mengajukan
permohonan persetujuan kepada OJK dengan
menggunakan format 4 sebagaimana tercantum dalam
Lampiran yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Peraturan OJK ini dan harus dilampiri
dokumen:
- 27 -
a. surat rekomendasi DPS dari Dewan Syariah
Nasional Majelis Ulama Indonesia atau bukti
sertifikasi pelatihan DPS dari Dewan Syariah
Nasional Majelis Ulama Indonesia;
b. daftar riwayat hidup pegawai yang bertanggung
jawab atas kegiatan usaha yang dilakukan
berdasarkan Prinsip Syariah, dilengkapi dengan
pas foto berwarna yang terbaru berukuran 4x6 cm;
dan
c. contoh Surat Bukti Gadai dan/atau formulir
berdasarkan Prinsip
digunakan.
Syariah yang akan
(2) OJK memberikan persetujuan atau penolakan atas
permohonan persetujuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) paling lama 10 (sepuluh) Hari sejak
permohonan persetujuan dan dokumen diterima secara
lengkap serta sesuai dengan persyaratan dalam
Peraturan OJK ini.
(3) OJK menyampaikan pernyataan lengkap atau
permintaan kelengkapan dokumen kepada pemohon
paling lama 10 (sepuluh) Hari setelah permohonan
diterima.
(4) Dalam hal permohonan persetujuan menyelenggarakan
sebagian kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah
yang disampaikan tidak lengkap, pemohon harus
menyampaikan kekurangan dokumen tersebut paling
lama 10 (sepuluh) Hari sejak tanggal surat permintaan
kelengkapan dokumen dari OJK.
(5) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) telah berakhir dan pemohon tidak
menyampaikan kelengkapan dokumen, permohonan
persetujuan dinyatakan batal.
(6) Penolakan atas permohonan persetujuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) disertai dengan alasan
penolakan.
(7) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) disetujui, OJK menetapkan surat persetujuan
- 28 -
penyelenggaraan sebagian kegiatan usaha berdasarkan
Prinsip Syariah.
BAB V
PELAPORAN
Bagian Kesatu
Perubahan Modal Disetor, Perubahan Alamat Kantor Pusat,
dan Perubahan Nama Perusahaan Pergadaian
Pasal 32
(1) Perusahaan Pergadaian wajib melaporkan perubahan
Modal Disetor secara tertulis kepada OJK paling lama
15 (lima belas) Hari setelah diterbitkannya persetujuan
atau surat penerimaan pemberitahuan dari instansi
yang berwenang, atau disetujui oleh rapat anggota.
(2) Pelaporan perubahan Modal Disetor sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan oleh Direksi
Perusahaan Pergadaian dengan menggunakan format 5
sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Peraturan OJK ini dengan dilampiri dokumen:
a. perubahan anggaran dasar yang disertai dengan
bukti persetujuan dari instansi berwenang bagi
Perusahaan Pergadaian yang berbentuk badan
hukum perseroan terbatas;
b. akta risalah rapat anggota dan/atau perubahan
anggaran dasar bagi Perusahaan Pergadaian yang
berbentuk badan hukum koperasi; dan
c. surat pernyataan bahwa setoran modal tidak
berasal dari pinjaman dan/atau tindak pidana
pencucian uang.
Pasal 33
(1) Perusahaan Pergadaian wajib melaporkan perubahan
alamat kantor pusat secara tertulis kepada OJK paling
- 29 -
lama 10 (sepuluh) Hari terhitung sejak tanggal
pemindahan.
(2) Pelaporan
perubahan
alamat
kantor
sebagaimana dimaksud pada ayat
pusat
(1) harus
disampaikan oleh Direksi Perusahaan Pergadaian
dengan menggunakan format 6 sebagaimana
tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini dengan
dilampiri dokumen:
a. bukti penguasaan gedung atas kantor pusat yang
baru; dan
b. fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) yang
telah mencantumkan alamat kantor pusat yang
baru.
Pasal 34
(1) Perusahaan Pergadaian yang melakukan perubahan
nama wajib melaporkan perubahan nama paling lama
15 (lima belas) Hari setelah diterbitkannya persetujuan
dari instansi berwenang, atau disetujui oleh rapat
anggota.
(2) Laporan perubahan nama sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus disampaikan oleh Direksi Perusahaan
Pergadaian
sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Peraturan OJK ini dengan dilampiri dokumen:
a. perubahan anggaran dasar yang disertai dengan
bukti persetujuan dari instansi berwenang bagi
Perusahaan Pergadaian yang berbentuk badan
hukum perseroan terbatas;
b. akta risalah rapat anggota dan/atau perubahan
anggaran dasar bagi Perusahaan Pergadaian yang
berbentuk badan hukum koperasi; dan
c. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atas nama
Perusahaan Pergadaian yang baru.
dengan menggunakan format 7
- 30 -
Bagian Kedua
Pelaporan Perusahaan Pergadaian
Pasal 35
(1) Perusahaan Pergadaian wajib menyampaikan laporan
secara berkala setiap 3 (tiga) bulan untuk periode
yang berakhir pada tanggal 31 Maret, 30 Juni, 30
September, dan 31 Desember kepada OJK.
(2) Selain laporan berkala sebagaimana dimaksud pada
ayat
(1),
menyampaikan
Perusahaan
laporan
diperlukan oleh OJK.
(3) Perusahaan Pergadaian yang menyelenggarakan
sebagian kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah
wajib menyampaikan laporan kegiatan usaha yang
dilakukan berdasarkan Prinsip Syariah dalam
laporan berkala sebagaimana dimaksud pada ayat
(1).
(4) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
disampaikan kepada OJK paling lambat pada akhir
bulan berikutnya.
(5) Apabila
batas
akhir
penyampaian
laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) jatuh pada hari
libur, batas akhir penyampaian laporan adalah hari
kerja pertama berikutnya.
(6) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan oleh Perusahaan Pergadaian berupa:
a.
b.
c.
profil Perusahaan Pergadaian;
laporan keuangan; dan
laporan operasional.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk, susunan,
dan tata cara penyampaian laporan berkala
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam
Surat Edaran OJK.
Pergadaian
sewaktu-waktu
wajib
bila
- 31 -
BAB VI
PENGGABUNGAN, PELEBURAN,
PENGAMBILALIHAN, DAN PEMISAHAN
Pasal 36
(1) Perusahaan
Pergadaian
yang
melakukan
penggabungan atau peleburan wajib menyampaikan
laporan penggabungan atau peleburan kepada OJK
paling lama 15 (lima belas) Hari terhitung sejak
tanggal diterimanya persetujuan atau pengesahan
perubahan anggaran dasar dari instansi berwenang.
(2) Laporan penggabungan atau peleburan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan oleh
Direksi Perusahaan Pergadaian dengan menggunakan
format 8 sebagaimana tercantum dalam Lampiran
yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Peraturan OJK ini dengan dilampiri dengan
dokumen:
a.
risalah rapat umum pemegang saham atau
rapat anggota;
b. akta hasil penggabungan atau peleburan yang
telah disetujui atau disahkan oleh instansi yang
berwenang;
c. akta pendirian atas Perusahan Pergadaian hasil
peleburan yang telah disahkan oleh instansi
berwenang; dan
d. data
pemegang
saham
atau
anggota
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2)
huruf c, dalam hal terdapat pemegang saham
baru atau anggota baru.
(3) Berdasarkan laporan penggabungan atau peleburan
sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), OJK
menetapkan:
a. pencabutan izin usaha Perusahaan Pergadaian
yang menggabungkan diri atau yang melakukan
peleburan; dan/atau
- 32 -
b. pemberian izin usaha kepada Perusahaan
Pergadaian hasil peleburan.
(4) Sebelum pemberian izin usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) huruf b diberikan,
Perusahaan Pergadaian hasil peleburan dilarang
menjalankan kegiatan usaha.
Pasal 37
(1) Perusahaan Pergadaian yang diambil alih wajib
menyampaikan laporan pengambilalihan kepada OJK
paling lama 15 (lima belas) Hari sejak tanggal akta
pengambilalihan yang dibuat di hadapan notaris.
(2) Laporan pengambilalihan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus disampaikan oleh Direksi
Perusahaan Pergadaian dengan menggunakan format
9 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Peraturan OJK ini dengan dilampiri dokumen:
a.
risalah rapat umum pemegang saham atau
rapat anggota;
b. akta pengambilalihan; dan
c. data pemegang saham atau anggota pendiri
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2)
huruf c.
Pasal 38
(1) Perusahaan Pergadaian yang melakukan pemisahan
wajib menyampaikan laporan pemisahan kepada OJK
paling lama 15 (lima belas) Hari terhitung sejak
tanggal akta pemisahan yang dibuat di hadapan
notaris.
(2) Pemisahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat dilakukan dengan cara:
a. pemisahan murni; atau
b. pemisahan tidak murni.
(3) Pemisahan murni sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) huruf a mengakibatkan seluruh aset dan liabilitas
- 33 -
Perusahaan Pergadaian beralih karena hukum
kepada 2 (dua) Perusahaan Pergadaian lain atau
lebih yang menerima peralihan dan Perusahaan
Pergadaian yang melakukan pemisahan tersebut
berakhir karena hukum.
(4) Pemisahan tidak murni sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf b mengakibatkan sebagian aset dan
liabilitas Perusahaan Pergadaian beralih karena
hukum kepada 1 (satu) Perusahaan Pergadaian lain
atau lebih yang menerima peralihan dan Perusahaan
Pergadaian yang melakukan pemisahan tersebut
tetap ada.
(5) Laporan pemisahan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus disampaikan oleh Direksi Perusahaan
Pergadaian dengan menggunakan format 10
sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Peraturan OJK ini dengan dilampiri dengan
dokumen:
a.
b. akta pemisahan.
(6) Berdasarkan
laporan pemisahan sebagaimana
dimaksud pada ayat (5), OJK mencabut izin usaha
Perusahaan Pergadaian yang melakukan pemisahan
murni sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
Pasal 39
Perusahaan Pergadaian yang melakukan penggabungan,
peleburan, pengambilalihan, dan pemisahan wajib
memenuhi ketentuan dalam peraturan OJK ini dan
peraturan
penggabungan,
pemisahan.
perundang-undangan
peleburan,
lain
pengambilalihan,
risalah rapat umum pemegang saham atau rapat
anggota; dan
mengenai
dan
- 34 -
BAB VII
ASOSIASI PERUSAHAAN PERGADAIAN
Pasal 40
(1) Dalam hal telah terbentuk asosiasi yang menaungi
Perusahaan Pergadaian di Indonesia, Perusahaan
Pergadaian wajib terdaftar sebagai anggota asosiasi
dengan ketentuan sebagai berikut:
a. bagi Perusahaan Pergadaian yang telah
mendapatkan izin usaha sebelum terbentuknya
asosiasi, paling lama 3 (tiga) bulan sejak
asosiasi terbentuk;
b. bagi Perusahaan Pergadaian yang mendapatkan
izin usaha setelah asosiasi terbentuk, paling
lama 3 (tiga) bulan sejak mendapatkan izin
usaha.
(2) Asosiasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
mendapat persetujuan dari OJK.
(3) Asosiasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mempunyai tugas paling sedikit:
a. mengkoordinasikan penyusunan standar praktik
dan kode etik Perusahaan Pergadaian; dan
b. mengadakan pendidikan dan pelatihan yang
berkelanjutan.
(4) Pelaksanaan tugas asosiasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) dilaporkan kepada OJK.
BAB VIII
PENGAWASAN DAN PEMERIKSAAN
Bagian Kesatu
Pengawasan Perusahaan Pergadaian
Pasal 41
(1) Pengawasan terhadap
dilakukan oleh OJK.
Perusahaan
Pergadaian
- 35 -
(2) Pengawasan terhadap
Perusahaan
Pergadaian
dilakukan berdasarkan Peraturan OJK ini dan
peraturan pelaksanaannya.
Bagian Kedua
Pemeriksaan Perusahaan Pergadaian
Pasal 42
(1) Dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1), OJK
berwenang
melakukan
Perusahaan Pergadaian.
(2) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh tim Pemeriksa yang dapat terdiri dari:
a. pegawai OJK yang ditugaskan untuk melakukan
Pemeriksaan;
b. pihak lain yang ditunjuk oleh OJK; atau
c. gabungan antara pegawai OJK dan pihak lain
yang ditunjuk oleh OJK.
Pasal 43
Pelaksanaan Pemeriksaan terhadap setiap Perusahaan
Pergadaian dilakukan:
a. secara berkala sesuai dengan rencana Pemeriksaan
tahunan yang ditetapkan oleh OJK; dan/atau
b. setiap waktu bila diperlukan.
Pasal 44
(1) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43
dilaksanakan oleh Pemeriksa berdasarkan surat
perintah Pemeriksaan dan surat pemberitahuan
Pemeriksaan.
(2) Sebelum dilakukan Pemeriksaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) terlebih dahulu disampaikan
surat
pemberitahuan
Perusahaan Pergadaian.
Pemeriksaan
kepada
Pemeriksaan
terhadap
- 36 -
(3) Surat pemberitahuan Pemeriksaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) memuat informasi sebagai
berikut:
a. nomor dan tanggal surat perintah Pemeriksaan;
b. nama Pemeriksa;
c. tujuan Pemeriksaan;
d. jangka waktu Pemeriksaan;
e. dokumen yang diperlukan untuk Pemeriksaan;
dan
f.
batas waktu penyampaian dokumen kepada
Pemeriksa.
(4) Surat pemberitahuan Pemeriksaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) disampaikan paling lambat 3
(tiga) Hari sebelum tanggal pelaksanaan kegiatan
Pemeriksaan.
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dikecualikan
apabila
pemberitahuan
Pemeriksaan
penyampaian
diduga
surat
akan
mempersulit atau menghambat proses Pemeriksaan
atau akan memungkinkan dilakukannya tindakan
untuk mengaburkan keadaan yang sebenarnya atau
menyembunyikan
atau
menghilangkan
data,
keterangan, atau laporan, yang diperlukan dalam
pelaksanaan kegiatan Pemeriksaan.
Pasal 45
(1) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43
dilakukan melalui tahapan sebagai berikut:
a. persiapan Pemeriksaan;
b. pelaksanaan kegiatan Pemeriksaan; dan
c. pelaporan hasil Pemeriksaan.
(2) Persiapan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a dibuat berdasarkan hasil analisis
laporan berkala dan data lain yang mendukung.
(3) Pelaksanaan kegiatan Pemeriksaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan dengan
cara Pemeriksaan di Perusahaan Pergadaian,
- 37 -
Pemeriksaan di kantor OJK, atau Pemeriksaaan di
tempat lain yang ditentukan oleh OJK.
Pasal 46
(1) Pada saat akan dimulai Pemeriksaan, Pemeriksa
menunjukkan surat perintah Pemeriksaan dan tanda
pengenal Pemeriksa.
(2) Dalam hal Pemeriksa tidak dapat memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Perusahaan Pergadaian yang akan diperiksa dapat
menolak dilakukannya Pemeriksaan.
(3) Pemeriksa wajib merahasiakan data, dokumen,
dan/atau keterangan yang diperoleh selama
Pemeriksaan terhadap pihak yang tidak berhak,
kecuali dalam rangka pelaksanaan fungsi, tugas, dan
wewenangnya berdasarkan keputusan OJK atau
diwajibkan oleh undang-undang.
(4) Ketentuan lebih
lanjut mengenai tata cara
Pemeriksaan diatur dalam Surat Edaran OJK.
Pasal 47
(1) Dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 46 ayat (2), Perusahaan
Pergadaian yang diperiksa dilarang menolak dan/atau
menghambat kelancaran proses Pemeriksaan.
(2) Dalam pelaksanaan
Pemeriksaan, Perusahaan
Pergadaian yang diperiksa wajib untuk:
a. memenuhi permintaan untuk memberikan atau
meminjamkan buku, berkas, catatan, disposisi,
memorandum, dokumen, data
termasuk salinannya;
elektronik,
b. memberikan keterangan dan penjelasan yang
berkaitan dengan aspek yang diperiksa baik lisan
maupun tertulis;
c. memberi kesempatan kepada Pemeriksa untuk
memasuki dan memeriksa tempat atau ruangan
yang dipandang perlu;
- 38 -
d. memberi kesempatan kepada Pemeriksa untuk
meneliti keberadaan dan penggunaan sarana fisik
yang berkaitan dengan aspek yang diperiksa;
dan/atau
e. menghadirkan pihak ketiga termasuk auditor
independen untuk memberikan data, dokumen,
dan/atau keterangan kepada Pemeriksa terkait
dengan Pemeriksaan.
(3) Perusahaan Pergadaian yang diperiksa dinyatakan
menghambat kelancaran proses Pemeriksaan apabila
tidak
melaksanakan
kewajiban
dimaksud pada ayat (2) atau meminjamkan buku,
memberikan catatan, dokumen, atau keterangan yang
tidak benar.
Pasal 48
(1) Setelah pelaksanaan Pemeriksaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) huruf b berakhir,
Pemeriksa menyusun laporan hasil Pemeriksaan.
(2) Laporan hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) terdiri dari:
a. laporan hasil Pemeriksaan sementara; dan
b. laporan hasil Pemeriksaan final.
(3) Pemeriksa menyampaikan laporan hasil Pemeriksaan
sementara kepada Perusahaan Pergadaian paling
lama 30 (tiga puluh) Hari setelah berakhirnya
pelaksanaan Pemeriksaan.
(4) Dalam hal hasil Pemeriksaan terdapat rekomendasi
OJK yang harus dilakukan oleh Perusahaan
Pergadaian, maka Perusahaan Pergadaian wajib
melakukan rekomendasi tersebut.
(5) Perusahaan Pergadaian wajib melakukan langkah-
langkah tindak lanjut sesuai rekomendasi yang
terdapat
dalam
(6) Perusahaan
pelaksanaan
laporan
hasil
sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
Pergadaian
wajib
langkah-langkah
Pemeriksaan
tindak
melaporkan
lanjut
sebagaimana
- 39 -
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) kepada OJK
paling sedikit setiap bulan atau sesuai laporan hasil
Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(7) Kewajiban melakukan rekomendasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) berakhir dalam hal OJK
menilai bahwa Perusahaan Pergadaian
melakukan rekomendasi tersebut.
(8) Penilaian OJK sebagaimana dimaksud pada ayat (7)
disampaikan kepada Perusahaan Pergadaian melalui
surat.
(9) Perusahaan Pergadaian yang diperiksa dapat
mengajukan
tanggapan
atas
laporan
hasil
Pemeriksaan sementara sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) kepada OJK paling lambat 20 (dua puluh)
Hari setelah tanggal ditetapkannya laporan hasil
Pemeriksaan sementara.
(10) Apabila setelah lewat jangka waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (9) Perusahaan Pergadaian tidak
memberikan
tanggapan
atas
Pemeriksaan sementara secara
laporan
hasil
tertulis, OJK
menetapkan laporan hasil Pemeriksaan sementara
menjadi laporan hasil Pemeriksaan final paling
lambat 15 (lima belas) Hari setelah jangka waktu
sebagaimana dimaksud ayat (9) berakhir.
(11) Dalam hal Perusahaan Pergadaian menyampaikan
tanggapan yang tidak memuat sanggahan atas
laporan hasil Pemeriksaan sementara yang telah
disampaikan sehingga tidak diperlukan adanya
pembahasan, OJK menetapkan laporan hasil
Pemeriksaan sementara menjadi laporan hasil
Pemeriksaan final paling lambat 15 (lima belas) Hari
setelah diterimanya tanggapan dari Perusahaan
Pergadaian yang diperiksa.
(12) Dalam hal Perusahaan Pergadaian menyampaikan
tanggapan yang memuat sanggahan atas laporan
hasil Pemeriksaan sementara yang telah disampaikan
dan diperlukan adanya pembahasan atas laporan
telah
- 40 -
hasil Pemeriksaan sementara, maka OJK dapat
mengundang
Perusahaan
Pergadaian
yang
bersangkutan guna melakukan pembahasan atas
tanggapan yang disampaikan.
(13) Proses pembahasan atas tanggapan laporan hasil
Pemeriksaan sementara sebagaimana dimaksud pada
ayat (12) paling lambat 15 (lima belas) Hari sejak
diterimanya surat tanggapan.
(14) Berdasarkan
hasil
pembahasan
sebagaimana
dimaksud pada ayat (13), OJK menetapkan laporan
hasil Pemeriksaan sementara menjadi laporan hasil
Pemeriksaan final paling lambat 15 (lima belas) Hari
setelah selesainya pembahasan bersama Perusahaan
Pergadaian yang diperiksa.
(15) Laporan hasil Pemeriksaan final sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf b bersifat rahasia.
(16) Ketentuan lebih lanjut mengenai laporan hasil
Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dalam Surat Edaran OJK.
Bagian Ketiga
Kerja Sama Dengan Pihak Tertentu
Pasal 49
(1) OJK dapat bekerja sama dengan pihak tertentu untuk
dan atas nama OJK melaksanakan sebagian fungsi
pengawasan Perusahaan Pergadaian.
(2) Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan berdasarkan kesepakatan antara OJK
dengan pihak tertentu yang menerima kerja sama.
(3) Pihak tertentu yang melakukan kerja sama harus
melaporkan rencana dan pelaksanaan sebagian tugas
pengawasan Perusahaan Pergadaian sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) kepada OJK.
(4) Ketentuan mengenai kerja sama OJK dengan pihak
tertentu untuk melaksanakan sebagian fungsi
pengawasan Perusahaan Pergadaian sebagaimana
- 41 -
dimaksud pada ayat (1) dan pelaporan rencana serta
pelaksanaan pengawasan Perusahaan Pergadaian
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur lebih
lanjut dalam Surat Edaran OJK.
BAB IX
PENCABUTAN IZIN USAHA
Pasal 50
(1) Pencabutan izin usaha Perusahaan Pergadaian
dilakukan oleh OJK.
(2) Pencabutan izin usaha sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan dalam hal Perusahaan Pergadaian:
a. bubar karena pailit;
b. bubar karena keputusan rapat umum pemegang
saham atau rapat anggota, atau menurut
anggaran dasar jangka waktunya berakhir;
c. bubar karena penggabungan, peleburan, atau
pemisahan;
d. melakukan perubahan kegiatan usaha sehingga
tidak lagi menjadi Perusahaan Pergadaian; atau
e. dikenakan
sanksi
pencabutan izin usaha.
(3) Sebelum pencabutan izin usaha ditetapkan oleh OJK,
Perusahaan Pergadaian wajib melakukan penyelesaian
kewajibannya kepada Nasabah.
penyelesaian
(4) Prosedur
dimaksud pada ayat (3) wajib dilakukan berdasarkan
peraturan perundang-undangan dan memperhatikan
kepentingan Nasabah.
Pasal 51
(1) Perusahaan Pergadaian yang dinyatakan pailit wajib
menyampaikan laporan kepada OJK paling lama 20
(dua puluh) Hari sejak ditetapkannya putusan pailit.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
disampaikan oleh Direksi Perusahaan Pergadaian
administratif
berupa
kewajiban sebagaimana
- 42 -
dengan menggunakan format 11 sebagaimana
tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini dengan
dilampiri dokumen:
a. dokumen yang menjadi dasar ditetapkannya
putusan pailit atau penetapan pembubaran; dan
izin usaha sebagai Perusahaan
b. fotokopi
Pergadaian.
(3) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), OJK mencabut izin usaha Perusahaan
Pergadaian.
Pasal 52
(1) Perusahaan Pergadaian yang akan melakukan
pembubaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50
ayat (2) huruf b atau melakukan perubahan kegiatan
usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2)
huruf d, wajib mendapatkan persetujuan dari OJK.
pembubaran
(2) Permohonan
persetujuan
atau
perubahan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus disampaikan oleh Direksi
Perusahaan Pergadaian dengan menggunakan format
12 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Peraturan OJK ini dengan dilampiri dokumen:
a. rancangan akta pembubaran atau rancangan
akta perubahan anggaran dasar yang memuat
rencana kegiatan usaha yang baru; dan
b. rencana penyelesaian hak dan kewajiban.
(3) Perusahaan Pergadaian yang telah memperoleh
persetujuan pembubaran atau perubahan kegiatan
usaha dari OJK sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib melaporkan pembubaran atau perubahan
kegiatan usaha paling lama 20 (dua puluh) Hari sejak
tanggal ditetapkannya akta pembubaran atau sejak
perubahan anggaran dasar disahkan oleh instansi
berwenang, dengan menggunakan format 13
- 43 -
sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Peraturan OJK ini dengan dilampiri dokumen:
a.
risalah rapat umum pemegang saham atau rapat
anggota;
b. perubahan anggaran dasar yang telah disahkan
oleh instansi berwenang; dan
c. bukti penyelesaian hak dan kewajiban.
Pasal 53
Perusahaan Pergadaian yang telah dicabut izin usahanya
dilarang untuk menggunakan kata Gadai atau kata yang
mencirikan kegiatan Gadai dalam nama perusahaan.
Pasal 54
OJK dapat mengumumkan pelaku usaha yang telah
terdaftar atau memiliki izin usaha dari OJK.
BAB X
PERUSAHAAN PERGADAIAN PEMERINTAH
Pasal 55
(1) Perusahaan Pergadaian Pemerintah dinyatakan telah
memperoleh izin usaha dari OJK berdasarkan
Peraturan OJK ini.
(2) Permodalan Perusahaan Pergadaian Pemerintah
mengacu pada peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
(3) Perusahaan Pergadaian Pemerintah dikecualikan dari
ketentuan Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8,
Pasal 9, Pasal 11, Pasal 12, dan Pasal 19 ayat (3)
Peraturan OJK ini.
Pasal 56
(1) Untuk memperoleh persetujuan menyelenggarakan
kegiatan usaha berdasarkan Prinsip
Syariah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1),
- 44 -
Perusahaan Pergadaian Pemerintah wajib membentuk
unit usaha syariah.
(2) Unit usaha syariah sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) merupakan unit kerja dari kantor pusat
Perusahaan Pergadaian Pemerintah yang berfungsi
sebagai kantor induk dari kantor yang melaksanakan
kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah.
Pasal 57
(1) Perusahaan Pergadaian Pemerintah yang mempunyai
unit usaha syariah wajib memenuhi ketentuan:
a. mempunyai modal kerja yang disisihkan untuk
kegiatan unit usaha syariah;
b. mempunyai pimpinan unit usaha syariah yang
bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan
usaha yang dilakukan berdasarkan Prinsip
Syariah; dan
c. mempunyai pembukuan terpisahkan untuk unit
usaha syariah.
(2) Pimpinan unit usaha syariah Perusahaan Pergadaian
Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b wajib memenuhi ketentuan:
a. diangkat oleh Direksi Perusahaan Pergadaian
Pemerintah; dan
b. tidak melakukan rangkap jabatan pada fungsi
lain selain pada fungsi yang bertujuan untuk
mendukung pelaksanaan
kegiatan usaha
berdasarkan Prinsip Syariah.
Pasal 58
Untuk membentuk unit usaha syariah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1), Direksi Perusahaan
Pergadaian Pemerintah harus mengajukan permohonan
izin unit usaha syariah kepada OJK dengan dilampiri:
a. anggaran dasar Perusahaan Pergadaian Pemerintah
yang memuat maksud dan tujuan melakukan kegiatan
usaha berdasarkan Prinsip Syariah;
- 45 -
b. surat keputusan dari rapat umum pemegang saham
atau Direksi, yang membuktikan adanya modal kerja
yang disisihkan untuk unit usaha syariah;
c. dokumen DPS, meliputi:
1. keputusan rapat umum pemegang saham
mengenai pengangkatan DPS; dan
2. surat rekomendasi DPS dari Dewan Syariah
Nasional Majelis Ulama Indonesia;
d. dokumen pimpinan unit usaha syariah meliputi:
1. surat keputusan Direksi Perusahaan Pergadaian
Pemerintah mengenai pengangkatan pimpinan
unit usaha syariah;
2. surat pernyataan dari pimpinan unit usaha
syariah dan diketahui oleh Direksi Perusahaan
Pergadaian Pemerintah yang menyatakan bahwa
pimpinan unit usaha syariah tidak rangkap
jabatan pada fungsi lain selain pada fungsi yang
bertujuan untuk mendukung pelaksanaan
kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah; dan
3. daftar riwayat hidup pimpinan unit usaha
syariah, dilengkapi dengan pas foto berwarna
yang terbaru berukuran 4x6 cm; dan
e. contoh Surat Bukti Gadai dan/atau formulir
berdasarkan Prinsip Syariah yang akan digunakan.
Pasal 59
(1) Laporan berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal
35 ayat (1) bagi Perusahaan Pergadaian Pemerintah
berupa laporan unit usaha syariah dalam hal
Perusahaan Pergadaian Pemerintah telah memiliki izin
pembukaan unit usaha syariah.
(2) Selain laporan berkala sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 35 ayat (1), Perusahaan Pergadaian Pemerintah
wajib menyampaikan kepada OJK:
a. laporan keuangan tahunan yang telah diaudit
oleh akuntan publik paling lambat 4 (empat)
bulan setelah tahun buku berakhir; dan
- 46 -
b. laporan bulanan sesuai peraturan perundang-
undangan.
BAB XI
SANKSI
Pasal 60
(1) Perusahaan Pergadaian yang tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
(2), Pasal 3, Pasal 11 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 12
ayat (1), Pasal 13 ayat (4), Pasal 14 ayat (2), Pasal 15,
Pasal 16, Pasal 17 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 18, Pasal
19 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2),
Pasal 21 ayat (1), Pasal 22 ayat (1), ayat (2), dan ayat
(3), Pasal 23 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 24
ayat (7) dan ayat (8), Pasal 25 ayat (1) dan ayat (2),
Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28 ayat (1) dan
ayat (2), Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 30 ayat
(1) dan ayat (2), Pasal 32 ayat (1), Pasal 33 ayat (1),
Pasal 34 ayat (1), Pasal 35 ayat (1), ayat (2), ayat (3),
dan ayat (4), Pasal 36 ayat (1) dan ayat (4), Pasal 37
ayat (1), Pasal 38 ayat (1), Pasal 39, Pasal 40 ayat (1),
Pasal 47 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 48 ayat (4), ayat
(5), dan ayat (6), Pasal 50 ayat (3) dan ayat (4), Pasal
51 ayat (1), Pasal 52 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 56
ayat (1), Pasal 57 ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 59
ayat (2) Peraturan OJK ini dikenakan sanksi
administratif berupa:
a. peringatan;
b. pembekuan kegiatan usaha;
c. pembatalan
persetujuan penyelenggaraan
sebagian kegiatan usaha berdasarkan Prinsip
Syariah;
d. pencabutan izin unit usaha syariah bagi
Perusahaan Pergadaian Pemerintah; dan/atau
e. pencabutan izin usaha.
- 47 -
(2) Peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
a diberikan paling banyak 3 (tiga) kali berturut-turut
dengan jangka waktu paling lama masing-masing 40
(empat puluh) Hari.
(3) Dalam hal sebelum berakhirnya jangka waktu sanksi
peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
Perusahaan Pergadaian telah memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK mencabut
sanksi peringatan.
(4) Dalam hal masa berlaku peringatan ketiga
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berakhir dan
Perusahaan Pergadaian tetap tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK
mengenakan sanksi pembekuan kegiatan usaha.
(5) Sanksi pembekuan kegiatan usaha diberikan secara
tertulis dan berlaku sejak ditetapkan untuk jangka
waktu paling lama 6 (enam) bulan.
(6) Dalam hal sebelum berakhirnya jangka waktu
pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud
pada ayat (5), Perusahaan Pergadaian telah memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK
mencabut sanksi pembekuan kegiatan usaha.
(7) Dalam hal sampai dengan berakhirnya jangka waktu
pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud
pada ayat (5), Perusahaan Pergadaian tidak juga
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), OJK melakukan:
a. pembatalan
persetujuan penyelenggaraan
sebagian kegiatan usaha berdasarkan Prinsip
Syariah;
b. pencabutan izin unit usaha syariah bagi
Perusahaan Pergadaian Pemerintah; atau
c. pencabutan izin usaha.
Pasal 61
(1) Bagi pelaku Usaha Pergadaian yang telah terdaftar di
OJK dan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
- 48 -
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 7 ayat (1)
Peraturan OJK ini dikenakan sanksi berupa
peringatan paling banyak 2 (dua) kali berturut-turut
dengan jangka waktu paling lama masing-masing 1
(satu) bulan.
(2) Dalam hal sebelum berakhirnya jangka waktu sanksi
peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
pelaku Usaha Pergadaian telah memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK mencabut
sanksi peringatan.
(3) Dalam hal masa berlaku peringatan kedua
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakhir dan
pelaku Usaha Pergadaian tetap tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK
membatalkan pendaftaran.
BAB XII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 62
Perusahaan Pergadaian Pemerintah harus menyesuaikan
kegiatan usahanya sebagaimana diatur dalam Pasal 13
ayat (1) dan ayat (2) paling lambat 2 (dua) tahun sejak
Peraturan OJK ini diundangkan.
Pasal 63
Kegiatan usaha Perusahaan Pergadaian Pemerintah yang
telah mendapat persetujuan OJK sebelum Peraturan OJK
ini diundangkan, dinyatakan tetap berlaku.
Pasal 64
Permohonan izin pembukaan unit usaha syariah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 harus diajukan
oleh Perusahaan Pergadaian Pemerintah kepada OJK
paling lambat 1 (satu) tahun sejak Peraturan OJK ini
diundangkan.
- 49 -
BAB XIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 65
Peraturan OJK ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan OJK ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 29 Juli 2016
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 29 Juli 2016
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 152
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
"," POJK
31/POJK.05/2016
USAHA PERGADAIAN
29 Juli 2016
29 Juli 2016
29 Juli 2016
'21/UU/2011'
'BAB XI'
"
" OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 53 /POJK.04/2016
TENTANG
PEMELIHARAAN DOKUMEN OLEH BIRO ADMINISTRASI EFEK DAN EMITEN
YANG MENYELENGGARAKAN ADMINISTRASI EFEK SENDIRI
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, sejak
tanggal 31 Desember 2012 fungsi, tugas, dan wewenang
pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di
sektor Pasar Modal termasuk Biro Administrasi Efek
beralih dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan ke Otoritas Jasa Keuangan;
b. bahwa dalam rangka memberikan kejelasan dan
kepastian mengenai pengaturan terhadap pemeliharaan
dokumen oleh Biro Administrasi Efek dan Emiten yang
menyelenggarakan administrasi Efek sendiri, peraturan
mengenai Pemeliharaan Dokumen oleh Biro Administrasi
Efek dan Emiten yang Menyelenggarakan Administrasi
Efek Sendiri, yang diterbitkan sebelum terbentuknya
Otoritas Jasa Keuangan perlu diubah ke dalam
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan;
- 2 -
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Pemeliharaan
Dokumen oleh Biro Administrasi Efek dan Emiten yang
Menyelenggarakan Administrasi Efek Sendiri;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995
Nomor 64 Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3608);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111 Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
PEMELIHARAAN DOKUMEN OLEH BIRO ADMINISTRASI
EFEK DAN EMITEN YANG MENYELENGGARAKAN
ADMINISTRASI EFEK SENDIRI.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, yang dimaksud
dengan:
1. Biro Administrasi Efek adalah Pihak yang berdasarkan
kontrak dengan Emiten melaksanakan pencatatan
pemilikan Efek dan pembagian hak yang berkaitan
dengan Efek.
2. Emiten adalah Pihak yang melakukan Penawaran Umum.
3. Perusahaan Publik adalah Perseroan yang memenuhi
kriteria jumlah pemegang saham dan modal disetor
sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1995 tentang Pasar Modal.
- 3 -
BAB II
PEMELIHARAAN DOKUMEN
Bagian Kesatu
Biro Administrasi Efek
Pasal 2
Biro Administrasi Efek wajib mengadministrasikan,
menyimpan, dan memelihara catatan, pembukuan, data, dan
keterangan dalam bentuk cetak dan elektronik yang
berhubungan dengan:
a. Emiten yang Efek-nya diadministrasikan oleh Biro
Administrasi Efek;
b. jasa administrasi Efek yang diberikan; dan
c. manajemen Biro Administrasi Efek.
Pasal 3
Dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a
paling sedikit terdiri dari:
a. anggaran dasar Emiten beserta semua perubahannya;
dan
b. kontrak pengelolaan administrasi Efek Emiten.
Pasal 4
Dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b
paling sedikit terdiri dari:
a. salinan laporan kegiatan operasional Biro Administrasi
Efek yang terdiri dari laporan kegiatan registrasi, daftar
komposisi denominasi surat Efek, dan daftar penyebaran
Efek;
b. buku daftar pemegang saham dan dokumen
pendukungnya;
c. notulen Rapat Umum Pemegang Saham dan notulen
rapat yang berkaitan dengan jasa administrasi Efek
lainnya;
- 4 -
d. pembagian dividen, saham bonus, Hak Memesan Efek
Terlebih Dahulu, dan hak atas Efek lainnya; dan
e.
registrasi kepemilikan 5% (lima persen) atau lebih saham
dan setiap perubahan kepemilikan saham Emiten atau
Perusahaan Publik.
Pasal 5
Dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c
paling sedikit terdiri dari:
a. anggaran dasar beserta perubahannya;
b. catatan kegiatan Biro Administrasi Efek termasuk catatan
mengenai pelanggaran yang pernah dilakukan; dan
c. dokumen lain termasuk surat menyurat, memorandum,
makalah, buku, pemberitahuan pengumuman, edaran,
dan catatan lain yang dibuat atau diterima oleh Biro
Administrasi Efek sehubungan dengan pelaksanaan
kegiatan usahanya.
Pasal 6
Dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, dan
Pasal 4 wajib tersedia setiap saat untuk kepentingan
pemeriksaan Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 7
Biro Administrasi Efek wajib menjaga setiap Efek maupun
catatan pembukuan dalam pengelolaannya dan wajib
membuat salinan dari catatan pembukuan yang disimpan di
tempat yang terpisah dan aman.
Pasal 8
Dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 wajib
disimpan paling singkat selama 5 (lima) tahun.
- 5 -
Bagian Kedua
Emiten Yang Menyelenggarakan Administrasi Efek Sendiri
Pasal 9
(1) Emiten yang menyelenggarakan administrasi Efek sendiri
seperti registrasi Efek, pembagian dividen, Saham Bonus,
Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu, pembagian hak atas
Efek lainnya, dan penyelenggaraan administrasi lainnya
wajib mengadministrasikan, menyimpan dan memelihara
catatan, pembukuan, data, dan keterangan dalam bentuk
cetak dan dalam bentuk elektronik yang berhubungan
dengan pengelolaan administrasi Efek tersebut.
(2) Dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
tersedia setiap saat untuk kepentingan pemeriksaan
Otoritas Jasa Keuangan.
BAB III
KETENTUAN SANKSI
Pasal 10
(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang
Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang
mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak
yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini, termasuk pihak yang
menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut, berupa:
a. peringatan tertulis;
b. denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah
uang tertentu;
c. pembatasan kegiatan usaha;
d. pembekuan kegiatan usaha;
e. pencabutan izin usaha;
f. pembatalan persetujuan; dan
g. pembatalan pendaftaran.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau
huruf g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului
- 6 -
pengenaan sanksi administratif berupa peringatan
tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a.
(3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara
tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g.
Pasal 11
Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan
tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan
pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 12
Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10
ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11 kepada masyarakat.
BAB IV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 13
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai
berlaku, Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
Nomor Kep-76/PM/1996 tanggal 17 Januari 1996 tentang
Pemeliharaan Dokumen Oleh Biro Administrasi Efek dan
Emiten Yang Menyelenggarakan Administrasi Efek Sendiri,
beserta Peraturan Nomor X.H.2 yang merupakan lampirannya,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
- 7 -
Pasal 14
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
Agar
setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 2 Desember 2016
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 7 Desember 2016
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 282
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 53 /POJK.04/2016
TENTANG
PEMELIHARAAN DOKUMEN OLEH BIRO ADMINISTRASI EFEK DAN EMITEN
YANG MENYELENGGARAKAN ADMINISTRASI EFEK SENDIRI
I. UMUM
Bahwa sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas, dan
wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor
Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan
Lembaga Jasa Keuangan Lainnya beralih dari Menteri Keuangan dan
Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa
Keuangan.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, perlu dilakukan penataan
kembali struktur peraturan yang ada, khususnya yang terkait sektor
Pasar Modal dengan cara melakukan konversi Peraturan Badan Pengawas
Pasar Modal dan Lembaga Keuangan terkait sektor Pasar Modal menjadi
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Penataan dimaksud dilakukan agar
terdapat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan terkait sektor Pasar Modal
yang selaras dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan sektor lainnya.
Berdasarkan latar belakang pemikiran dan aspek tersebut, perlu
untuk mengganti peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal
yang mengatur mengenai Pemeliharaan Dokumen Oleh Biro Administrasi
Efek dan Emiten Yang Menyelenggarakan Administrasi Efek Sendiri yaitu
Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor: Kep-76/PM/1996
tanggal 17 Januari 1996 tentang Pemeliharaan Dokumen Oleh Biro
Administrasi Efek dan Emiten Yang Menyelenggarakan Administrasi Efek
Sendiri, beserta Peraturan Nomor X.H.2 yang merupakan lampirannya,
- 2 -
menjadi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Pemeliharaan
Dokumen Oleh Biro Administrasi Efek dan Emiten Yang
Menyelenggarakan Administrasi Efek Sendiri.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Catatan, pembukuan, data, dan keterangan yang berhubungan
dengan manajemen Biro Administrasi Efek antara lain:
a. peraturan kepegawaian;
b. standar operasional prosedur (SOP) kegiatan operasional;
c. struktur organisasi;
d. uraian tugas Dewan Komisaris, Direksi, dan pegawai;
e. daftar pegawai perusahaan; dan
f.
surat keterangan domisili.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Dokumen notulen Rapat Umum Pemegang Saham dapat
berupa berita acara Rapat Umum Pemegang Saham, akta
Rapat Umum Pemegang Saham atau risalah rapat Rapat
Umum Pemegang Saham.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
- 3 -
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5978
"," POJK
53/POJK.04/2016
PEMELIHARAAN DOKUMEN OLEH BIRO ADMINISTRASI EFEK DAN EMITEN YANG MENYELENGGARAKAN ADMINISTRASI EFEK SENDIRI
2 Desember 2016
7 Desember 2016
7 Desember 2016
'Kep-76/PM/1996|KEPTA-BAPEPAM/1996', 'Kep-76/PM/1996|KEPTA-BAPEPAM/1996 | Lampiran Peraturan Nomor X.H.2'
'21/UU/2011', '8/UU/1995'
'BAB III'
"
" OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 18 /POJK.03/2016
TENTANG
PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO BAGI BANK UMUM
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa situasi lingkungan eksternal dan internal
perbankan mengalami perkembangan pesat yang akan
diikuti oleh semakin kompleksnya risiko bagi kegiatan
usaha perbankan tersebut;
b. bahwa semakin kompleksnya risiko bagi kegiatan
usaha perbankan akan meningkatkan kebutuhan
praktek tata kelola yang baik (good governance) serta
fungsi identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan
pengendalian risiko bank;
c. bahwa peningkatan fungsi identifikasi, pengukuran,
pemantauan, dan pengendalian risiko dimaksudkan
agar aktivitas usaha yang dilakukan oleh bank tidak
menimbulkan kerugian yang melebihi kemampuan
bank atau yang dapat mengganggu kelangsungan
usaha bank;
d. bahwa pengelolaan setiap aktivitas fungsional bank
harus sedapat mungkin terintegrasi ke dalam suatu
sistem dan proses pengelolaan risiko yang akurat dan
komprehensif;
- 2 -
e. bahwa dalam rangka menciptakan prakondisi dan
infrastruktur pengelolaan risiko, bank wajib
mengambil langkah-langkah persiapan pelaksanaan
pengelolaan risikonya;
f. bahwa transparansi merupakan salah satu aspek yang
perlu diperhatikan dalam pengendalian risiko yang
dihadapi bank;
g. bahwa peningkatan kualitas penerapan manajemen
risiko akan mendukung efektivitas kerangka
pengawasan bank berbasis risiko;
h. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d,
huruf e, huruf f, dan huruf g perlu menetapkan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Penerapan
Manajemen Risiko Bagi Bank Umum;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang
Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO BAGI BANK UMUM.
- 3 -
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang
dimaksud dengan:
1. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, termasuk
kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar
negeri, yang melaksanakan kegiatan usaha secara
konvensional.
2. Risiko adalah potensi kerugian akibat terjadinya suatu
peristiwa tertentu.
3. Manajemen Risiko adalah serangkaian metodologi dan
prosedur yang digunakan untuk mengidentifikasi,
mengukur, memantau, dan mengendalikan Risiko
yang timbul dari seluruh kegiatan usaha Bank.
4. Risiko Kredit adalah Risiko akibat kegagalan pihak
lain dalam memenuhi kewajiban kepada Bank,
termasuk Risiko Kredit akibat kegagalan debitur,
Risiko konsentrasi kredit, counterparty credit risk, dan
settlement risk.
5. Risiko Pasar adalah Risiko pada posisi neraca dan
rekening administratif, termasuk transaksi derivatif,
akibat perubahan secara keseluruhan dari kondisi
pasar, termasuk Risiko perubahan harga option.
6. Risiko Likuiditas adalah Risiko akibat
ketidakmampuan Bank untuk memenuhi kewajiban
yang jatuh tempo dari sumber pendanaan arus kas
dan/atau dari aset likuid berkualitas tinggi yang dapat
diagunkan, tanpa mengganggu aktivitas dan kondisi
keuangan Bank.
- 4 -
7. Risiko Operasional adalah Risiko akibat
ketidakcukupan dan/atau tidak berfungsinya proses
internal, kesalahan manusia, kegagalan sistem,
dan/atau adanya kejadian-kejadian eksternal yang
mempengaruhi operasional Bank.
8. Risiko Kepatuhan adalah Risiko akibat Bank tidak
mematuhi dan/atau tidak melaksanakan peraturan
perundang-undangan dan ketentuan.
9. Risiko Hukum adalah Risiko akibat tuntutan hukum
dan/atau kelemahan aspek yuridis.
10. Risiko Reputasi adalah Risiko akibat menurunnya
tingkat kepercayaan
pemangku kepentingan
(stakeholder) yang bersumber dari persepsi negatif
terhadap Bank.
11. Risiko Stratejik adalah Risiko akibat ketidaktepatan
dalam pengambilan dan/atau pelaksanaan suatu
keputusan stratejik serta kegagalan dalam
mengantisipasi perubahan lingkungan bisnis.
12. Direksi:
a. bagi Bank berbentuk badan hukum Perseroan
Terbatas adalah direksi sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas;
b. bagi Bank berbentuk badan hukum:
1) Perusahaan Umum Daerah atau Perusahaan
Perseroan Daerah adalah direksi
sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah sebagaimana telah
diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 2015;
2) Perusahaan Daerah adalah direksi pada
Bank yang belum berubah bentuk menjadi
Perusahaan Umum Daerah atau Perusahaan
Perseroan Daerah sesuai Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
- 5 -
Daerah sebagaimana telah diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor
Tahun 2015;
9
c. bagi Bank berbentuk badan hukum Koperasi
adalah pengurus sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang
Perkoperasian;
d. bagi Bank yang berstatus sebagai kantor cabang
dari bank yang berkedudukan di luar negeri
adalah pemimpin kantor cabang dan pejabat satu
tingkat di bawah pemimpin kantor cabang.
13. Dewan Komisaris:
a. bagi Bank berbentuk badan hukum Perseroan
Terbatas adalah dewan komisaris sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas;
b. bagi Bank berbentuk badan hukum:
1) Perusahaan Umum Daerah adalah dewan
pengawas sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana
telah diubah terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 9 Tahun 2015;
2) Perusahaan Perseroan Daerah adalah
komisaris sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana
telah diubah terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 9 Tahun 2015;
3) Perusahaan Daerah adalah pengawas pada
Bank yang belum berubah bentuk menjadi
Perusahaan Umum Daerah atau Perusahaan
Perseroan Daerah sesuai Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah sebagaimana telah diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 9
Tahun 2015;
- 6 -
c. bagi Bank berbentuk badan hukum Koperasi
adalah pengawas sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang
Perkoperasian;
d. bagi Bank yang berstatus sebagai kantor cabang
dari bank yang berkedudukan di luar negeri
adalah pihak yang ditunjuk untuk melaksanakan
fungsi pengawasan.
14. Perusahaan Anak adalah badan hukum atau
perusahaan yang dimiliki dan/atau dikendalikan oleh
Bank secara langsung maupun tidak langsung, baik di
dalam maupun di luar negeri yang melakukan
kegiatan usaha di bidang keuangan, yang terdiri atas:
a. perusahaan subsidiari (subsidiary company) yaitu
Perusahaan Anak dengan kepemilikan Bank lebih
dari 50% (lima puluh persen);
b. perusahaan partisipasi (participation company)
adalah Perusahaan Anak dengan kepemilikan
Bank 50% (lima puluh persen) atau kurang,
namun Bank memiliki pengendalian terhadap
perusahaan;
c. perusahaan dengan kepemilikan Bank lebih dari
20% (dua puluh persen) sampai dengan 50% (lima
puluh persen) yang memenuhi persyaratan yaitu:
1) kepemilikan Bank dan para pihak lainnya
pada Perusahaan Anak adalah masing-
masing sama besar; dan
2) masing-masing pemilik melakukan
pengendalian secara bersama terhadap
Perusahaan Anak;
d. entitas lain yang berdasarkan standar akuntansi
keuangan harus dikonsolidasikan.
- 7 -
BAB II
RUANG LINGKUP MANAJEMEN RISIKO
Pasal 2
(1) Bank wajib menerapkan Manajemen Risiko secara
efektif, baik untuk Bank secara individu maupun
untuk Bank secara konsolidasi dengan Perusahaan
Anak.
(2) Penerapan Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) paling sedikit mencakup:
a. pengawasan aktif Direksi dan Dewan Komisaris;
b. kecukupan kebijakan dan prosedur Manajemen
Risiko serta penetapan limit Risiko;
c. kecukupan proses identifikasi, pengukuran,
pemantauan, dan pengendalian Risiko, serta
sistem informasi Manajemen Risiko; dan
d. sistem pengendalian intern yang menyeluruh.
Pasal 3
Penerapan Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 wajib disesuaikan dengan tujuan, kebijakan
usaha, ukuran dan kompleksitas usaha, serta kemampuan
Bank.
Pasal 4
(1) Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
mencakup:
a. Risiko Kredit;
b. Risiko Pasar;
c.
Risiko Likuiditas;
d. Risiko Operasional;
e. Risiko Hukum;
f.
Risiko Reputasi;
g.
Risiko Stratejik; dan
h. Risiko Kepatuhan.
(2) Bank wajib menerapkan Manajemen Risiko untuk
seluruh Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
- 8 -
BAB III
PENGAWASAN AKTIF DIREKSI DAN DEWAN KOMISARIS
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 5
Bank wajib menetapkan wewenang dan tanggung jawab
yang jelas pada setiap jenjang jabatan yang terkait dengan
penerapan Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2.
Bagian Kedua
Wewenang dan Tanggung Jawab Direksi
Pasal 6
(1) Wewenang dan tanggung jawab sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 bagi Direksi paling sedikit:
a. menyusun kebijakan dan strategi Manajemen
Risiko secara tertulis dan komprehensif;
b. bertanggung jawab atas pelaksanaan kebijakan
Manajemen Risiko dan eksposur Risiko yang
diambil oleh Bank secara keseluruhan;
c. mengevaluasi dan memutuskan transaksi yang
memerlukan persetujuan Direksi;
d. mengembangkan budaya Manajemen Risiko pada
seluruh jenjang organisasi;
e. memastikan peningkatan kompetensi sumber
daya manusia yang terkait dengan Manajemen
Risiko;
f. memastikan bahwa fungsi Manajemen Risiko
telah beroperasi secara independen; dan
g. melaksanakan kaji ulang secara berkala untuk
memastikan:
1. keakuratan metodologi penilaian Risiko;
2. kecukupan implementasi sistem informasi
Manajemen Risiko; dan
- 9 -
3. ketepatan kebijakan dan prosedur
Manajemen Risiko serta penetapan limit
Risiko.
(2) Dalam rangka melaksanakan wewenang dan tanggung
jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direksi
harus memiliki pemahaman yang memadai mengenai
Risiko yang melekat pada seluruh aktivitas fungsional
Bank dan mampu mengambil tindakan yang
diperlukan sesuai dengan profil Risiko Bank.
Bagian Ketiga
Wewenang dan Tanggung Jawab Dewan Komisaris
Pasal 7
Wewenang dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 bagi Dewan Komisaris paling sedikit:
a. menyetujui dan mengevaluasi kebijakan Manajemen
Risiko;
b. mengevaluasi pertanggungjawaban Direksi atas
pelaksanaan kebijakan
sebagaimana dimaksud pada huruf a; dan
c. mengevaluasi dan memutuskan permohonan Direksi
yang berkaitan dengan transaksi yang memerlukan
persetujuan Dewan Komisaris.
BAB IV
KEBIJAKAN DAN PROSEDUR MANAJEMEN RISIKO
SERTA PENETAPAN LIMIT RISIKO
Bagian Kesatu
Kebijakan Manajemen Risiko
Pasal 8
Kebijakan Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (2) huruf b paling sedikit memuat:
a. penetapan Risiko yang terkait dengan produk dan
transaksi perbankan;
Manajemen Risiko
- 10 -
b. penetapan penggunaan metode pengukuran dan
sistem informasi Manajemen Risiko;
c. penentuan limit dan penetapan toleransi Risiko;
d. penetapan penilaian peringkat Risiko;
e. penyusunan rencana darurat (contingency plan) dalam
kondisi terburuk (worst case scenario); dan
f.
penetapan sistem pengendalian intern dalam
penerapan Manajemen Risiko.
Bagian Kedua
Prosedur Manajemen Risiko dan Penetapan Limit Risiko
Pasal 9
(1) Prosedur Manajemen Risiko dan penetapan limit
Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2)
huruf b wajib disesuaikan dengan tingkat Risiko yang
akan diambil (risk appetite) terhadap Risiko Bank.
(2) Prosedur Manajemen Risiko dan penetapan limit
Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling
sedikit memuat:
a. akuntabilitas dan jenjang delegasi wewenang yang
jelas;
b. pelaksanaan kaji ulang terhadap prosedur
Manajemen Risiko dan penetapan limit Risiko
secara berkala; dan
c. dokumentasi prosedur Manajemen Risiko dan
penetapan limit Risiko secara memadai.
(3) Penetapan limit Risiko sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) wajib mencakup:
a. limit secara keseluruhan;
b. limit per jenis Risiko; dan
c.
limit per aktivitas fungsional tertentu yang
memiliki eksposur Risiko.
- 11 -
BAB V
PROSES IDENTIFIKASI, PENGUKURAN, PEMANTAUAN,
DAN PENGENDALIAN RISIKO SERTA SISTEM INFORMASI
MANAJEMEN RISIKO
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 10
(1) Bank wajib melakukan proses identifikasi,
pengukuran, pemantauan, dan pengendalian Risiko
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf c
terhadap faktor-faktor Risiko (risk factors) yang
bersifat material.
(2) Pelaksanaan proses identifikasi, pengukuran,
pemantauan, dan pengendalian Risiko sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib didukung oleh:
a. sistem informasi manajemen yang tepat waktu;
dan
b. laporan yang akurat dan informatif mengenai
kondisi keuangan, kinerja aktivitas fungsional,
dan eksposur Risiko Bank.
Bagian Kedua
Proses Identifikasi, Pengukuran, Pemantauan, dan
Pengendalian Risiko
Pasal 11
(1) Dalam rangka melaksanakan proses identifikasi
Risiko, Bank wajib melakukan analisis paling sedikit
terhadap:
a. karakteristik Risiko yang melekat pada Bank; dan
b. Risiko dari produk dan kegiatan usaha Bank.
(2) Dalam rangka melaksanakan pengukuran Risiko,
Bank wajib paling sedikit melakukan:
- 12 -
a. evaluasi secara berkala terhadap kesesuaian
asumsi, sumber data, dan prosedur yang
digunakan untuk mengukur Risiko; dan
b. penyempurnaan terhadap sistem pengukuran
Risiko dalam hal terdapat perubahan kegiatan
usaha Bank, produk, transaksi dan faktor Risiko,
yang bersifat material.
(3) Dalam rangka melaksanakan pemantauan Risiko,
Bank wajib paling sedikit melakukan:
a. evaluasi terhadap eksposur Risiko; dan
b. penyempurnaan proses pelaporan dalam hal
terdapat perubahan kegiatan usaha, produk,
transaksi, faktor Risiko, teknologi informasi, dan
sistem informasi Manajemen Risiko Bank yang
bersifat material.
(4) Bank wajib melaksanakan proses pengendalian Risiko
untuk mengelola Risiko tertentu yang dapat
membahayakan kelangsungan usaha Bank.
(5) Dalam melaksanakan fungsi pengendalian Risiko suku
bunga, Risiko nilai tukar, dan Risiko Likuiditas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b
dan huruf c, Bank paling sedikit menerapkan Assets
and Liabilities Management (ALMA).
Bagian Ketiga
Sistem Informasi Manajemen Risiko
Pasal 12
(1) Sistem informasi Manajemen Risiko sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf c, mencakup
laporan atau informasi paling sedikit mengenai:
a. eksposur Risiko;
b. kepatuhan terhadap kebijakan dan prosedur
Manajemen Risiko serta penetapan limit Risiko
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dan
Pasal 9; dan
- 13 -
c.
realisasi pelaksanaan Manajemen Risiko
dibandingkan dengan target yang ditetapkan.
(2) Laporan atau informasi yang dihasilkan dari sistem
informasi Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) wajib disampaikan secara rutin kepada
Direksi.
BAB VI
SISTEM PENGENDALIAN INTERN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 13
Bank wajib melaksanakan sistem pengendalian intern
secara efektif terhadap pelaksanaan kegiatan usaha dan
operasional pada seluruh jenjang organisasi Bank.
Pasal 14
(1) Pelaksanaan sistem pengendalian intern sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 paling sedikit mampu secara
tepat waktu mendeteksi kelemahan dan
penyimpangan yang terjadi.
(2) Sistem pengendalian intern sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) wajib memastikan:
a. kepatuhan terhadap peraturan dan perundang-
undangan serta kebijakan atau ketentuan intern
Bank;
b. tersedianya informasi keuangan dan manajemen
yang lengkap, akurat, tepat guna, dan tepat
waktu;
c.
d.
efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan
operasional; dan
efektivitas budaya Risiko (risk culture) pada
organisasi Bank secara menyeluruh.
- 14 -
Bagian Kedua
Sistem Pengendalian Intern dalam
Penerapan Manajemen Risiko
Pasal 15
(1) Sistem pengendalian intern dalam penerapan
Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (2) huruf d paling sedikit mencakup:
a. kesesuaian sistem pengendalian intern dengan
jenis dan tingkat Risiko yang melekat pada
kegiatan usaha Bank;
b. penetapan wewenang dan tanggung jawab untuk
pemantauan kepatuhan kebijakan dan prosedur
Manajemen Risiko, serta penetapan limit Risiko
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dan
Pasal 9;
c. penetapan jalur pelaporan dan pemisahan fungsi
yang jelas dari satuan kerja operasional kepada
satuan kerja yang melaksanakan fungsi
pengendalian;
d. struktur organisasi yang menggambarkan secara
jelas kegiatan usaha Bank;
e. pelaporan keuangan dan kegiatan operasional
yang akurat dan tepat waktu;
f. kecukupan prosedur untuk memastikan
kepatuhan Bank terhadap ketentuan dan
perundang-undangan;
g.
kaji ulang yang efektif, independen, dan obyektif
terhadap prosedur penilaian kegiatan operasional
Bank;
h. pengujian dan kaji ulang yang memadai terhadap
sistem informasi Manajemen Risiko;
i.
dokumentasi secara lengkap dan memadai
terhadap prosedur operasional, cakupan, dan
temuan audit, serta tanggapan pengurus Bank
berdasarkan hasil audit; dan
- 15 -
j.
verifikasi dan kaji ulang secara berkala dan
berkesinambungan terhadap penanganan
kelemahan Bank yang bersifat material dan
tindakan pengurus Bank untuk memperbaiki
penyimpangan yang terjadi.
(2) Penilaian terhadap sistem pengendalian intern dalam
penerapan Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) wajib dilakukan oleh satuan kerja audit
intern.
BAB VII
ORGANISASI DAN FUNGSI MANAJEMEN RISIKO
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 16
Dalam rangka pelaksanaan proses dan sistem Manajemen
Risiko yang efektif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2,
Bank wajib membentuk:
a. komite Manajemen Risiko; dan
b. satuan kerja Manajemen Risiko.
Bagian Kedua
Komite Manajemen Risiko
Pasal 17
(1) Komite Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 16 huruf a paling sedikit terdiri atas:
a. mayoritas Direksi; dan
b. pejabat eksekutif terkait.
(2) Wewenang dan tanggung jawab komite Manajemen
Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
memberikan rekomendasi kepada direktur utama,
yang paling sedikit mencakup:
a. penyusunan kebijakan, strategi, dan pedoman
penerapan Manajemen Risiko;
- 16 -
b. perbaikan atau penyempurnaan pelaksanaan
Manajemen Risiko berdasarkan hasil evaluasi
pelaksanaan Manajemen Risiko; dan
c. penetapan hal-hal yang terkait dengan keputusan
bisnis yang menyimpang dari prosedur normal.
Bagian Ketiga
Satuan Kerja Manajemen Risiko
Pasal 18
(1) Struktur organisasi satuan kerja Manajemen Risiko
Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf b
disesuaikan dengan ukuran dan kompleksitas usaha
Bank serta Risiko yang melekat pada Bank.
(2) Satuan kerja Manajemen Risiko sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus independen terhadap
satuan kerja operasional (risk-taking unit) dan
terhadap satuan kerja yang melaksanakan fungsi
pengendalian intern.
(3) Satuan kerja Manajemen Risiko sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) bertanggung jawab langsung
kepada direktur utama atau kepada direktur yang
ditugaskan secara khusus.
(4) Wewenang dan tanggung jawab satuan kerja
Manajemen Risiko meliputi:
a. pemantauan pelaksanaan strategi Manajemen
Risiko yang telah disetujui oleh Direksi;
b. pemantauan posisi Risiko secara keseluruhan
(composite), per jenis Risiko, dan per jenis
aktivitas fungsional serta melakukan stress
testing;
c.
kaji ulang secara berkala terhadap proses
Manajemen Risiko;
d. pengkajian usulan aktivitas dan/atau produk
baru;
e.
evaluasi terhadap akurasi model dan validitas
data yang digunakan untuk mengukur Risiko,
- 17 -
bagi Bank yang menggunakan model untuk
keperluan intern (internal model);
f. memberikan rekomendasi kepada satuan kerja
operasional (risk-taking unit) dan/atau kepada
komite Manajemen Risiko, sesuai kewenangan
yang dimiliki; dan
g. menyusun dan menyampaikan laporan profil
Risiko kepada direktur utama atau direktur yang
ditugaskan secara khusus dan komite Manajemen
Risiko secara berkala.
Bagian Keempat
Hubungan Satuan Kerja Operasional dengan Satuan Kerja
Manajemen Risiko
Pasal 19
Satuan kerja operasional (risk-taking unit) sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) wajib menginformasikan
eksposur Risiko yang melekat pada satuan kerja yang
bersangkutan kepada satuan kerja Manajemen Risiko
secara berkala.
BAB VIII
PENGELOLAAN RISIKO PRODUK DAN AKTIVITAS BARU
Pasal 20
(1) Bank wajib memiliki kebijakan dan prosedur secara
tertulis untuk mengelola Risiko yang melekat pada
produk atau aktivitas baru Bank.
(2) Kebijakan dan prosedur sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) paling sedikit mencakup:
a. sistem dan prosedur (standard operating
procedures) serta kewenangan dalam pengelolaan
produk dan aktivitas baru;
b.
identifikasi seluruh Risiko yang melekat pada
produk atau aktivitas baru, baik yang terkait
dengan Bank maupun nasabah;
- 18 -
c. masa uji coba metode pengukuran dan
pemantauan Risiko terhadap produk dan
aktivitas baru;
d. sistem informasi akuntansi untuk produk dan
aktivitas baru;
e.
f.
analisa aspek hukum untuk produk dan aktivitas
baru; dan
transparansi informasi kepada nasabah.
(3) Produk atau aktivitas Bank merupakan suatu produk
baru atau aktivitas baru jika memenuhi kriteria:
a. tidak pernah diterbitkan atau dilakukan
sebelumnya oleh Bank; atau
b. telah diterbitkan atau dilaksanakan sebelumnya
oleh Bank namun dilakukan pengembangan yang
mengubah atau meningkatkan eksposur Risiko
tertentu pada Bank.
Pasal 21
Bank dilarang menugaskan atau menyetujui pengurus
dan/atau pegawai Bank untuk memasarkan produk atau
melaksanakan aktivitas yang bukan merupakan produk
atau aktivitas Bank dengan menggunakan sarana atau
fasilitas Bank.
Pasal 22
Bank wajib menerapkan transparansi informasi produk
atau aktivitas Bank kepada nasabah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) huruf f, baik secara
tertulis maupun lisan.
- 19 -
BAB IX
PELAPORAN
Bagian Kesatu
Laporan Profil Risiko serta Laporan Produk dan
Aktivitas Baru
Pasal 23
(1) Bank wajib menyampaikan laporan profil Risiko
kepada Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Laporan profil Risiko sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) yang disampaikan oleh satuan kerja
Manajemen Risiko, wajib memuat substansi yang
sama dengan laporan profil Risiko yang disampaikan
oleh satuan kerja Manajemen Risiko kepada direktur
utama dan komite Manajemen Risiko.
(3) Laporan profil Risiko sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) disampaikan secara triwulanan untuk posisi
bulan Maret, bulan Juni, bulan September, dan
bulan Desember.
(4) Laporan profil Risiko sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) disampaikan paling lambat 15 (lima belas) hari
kerja setelah akhir bulan laporan.
(5) Dalam hal diperlukan, Otoritas Jasa Keuangan dapat
meminta Bank menyampaikan laporan profil Risiko
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di luar jangka
waktu yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada
ayat (3).
Pasal 24
(1) Bank wajib menyampaikan laporan produk atau
aktivitas baru kepada Otoritas Jasa Keuangan, yang
terdiri atas:
a. Laporan rencana penerbitan produk atau
pelaksanaan aktivitas baru; dan
b. Laporan realisasi penerbitan produk atau
pelaksanaan aktivitas baru.
- 20 -
(2) Laporan rencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a wajib disampaikan paling lambat 60 (enam
puluh) hari sebelum penerbitan atau pelaksanaan
produk atau aktivitas baru.
(3) Laporan realisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b wajib disampaikan paling lambat 7 (tujuh) hari
kerja setelah produk atau aktivitas baru dilakukan.
(4) Selain memenuhi ketentuan pelaporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), rencana penerbitan produk
atau pelaksanaan aktivitas baru yang memenuhi
kriteria dalam Pasal 20 ayat (3) huruf a wajib
dicantumkan dalam rencana bisnis Bank.
(5) Berdasarkan hasil evaluasi terhadap laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, Otoritas
Jasa Keuangan dapat melarang Bank untuk
menerbitkan produk atau melaksanakan aktivitas
baru yang direncanakan.
(6) Dalam hal dikemudian hari berdasarkan evaluasi
Otoritas Jasa Keuangan, produk yang diterbitkan atau
aktivitas yang dilaksanakan memenuhi kondisi:
a. tidak sesuai dengan rencana penerbitan produk
atau aktivitas baru yang dilaporkan kepada
Otoritas Jasa Keuangan;
b. berpotensi menimbulkan kerugian yang signifikan
terhadap kondisi keuangan Bank; dan/atau
c. tidak sesuai dengan ketentuan,
Otoritas Jasa Keuangan dapat memerintahkan Bank
untuk menghentikan produk yang diterbitkan atau
aktivitas yang dilaksanakan.
(7) Laporan rencana dan realisasi atas penerbitan produk
atau pelaksanaan aktivitas tertentu diatur secara
tersendiri dalam Surat Edaran Otoritas Jasa
Keuangan.
- 21 -
Bagian Kedua
Laporan Lain
Pasal 25
(1) Bank wajib menyampaikan laporan lain kepada
Otoritas Jasa Keuangan selain sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 23, dalam hal terdapat kondisi yang
berpotensi menimbulkan kerugian yang signifikan
terhadap kondisi keuangan Bank.
(2) Bank wajib menyampaikan kepada Otoritas Jasa
Keuangan laporan lain yang terkait dengan penerapan
Manajemen Risiko dan/atau terkait dengan penerbitan
produk atau pelaksanaan aktivitas tertentu secara
berkala atau sewaktu-waktu dalam hal diperlukan.
(3) Format dan tata cara pelaporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur tersendiri dalam Surat
Edaran Otoritas Jasa Keuangan.
Bagian Ketiga
Batas Waktu Penyampaian Laporan
Pasal 26
Bank dianggap terlambat menyampaikan laporan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 dan Pasal 24
apabila laporan disampaikan melampaui batas waktu
penyampaian.
Bagian Keempat
Alamat Penyampaian
Pasal 27
Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23, Pasal 24,
dan Pasal 25 disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan
dengan alamat:
a. Departemen Pengawasan Bank terkait, bagi Bank yang
berkantor pusat atau kantor cabang dari bank yang
berkedudukan di luar negeri yang berada di wilayah
Daerah Khusus Ibukota Jakarta; atau
- 22 -
b. Kantor Regional Otoritas Jasa Keuangan atau Kantor
Otoritas Jasa Keuangan setempat sesuai wilayah
tempat kedudukan kantor pusat Bank.
BAB X
KETENTUAN LAIN-LAIN
Bagian Kesatu
Penilaian Penerapan Manajemen Risiko
Pasal 28
Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan penilaian
terhadap penerapan Manajemen Risiko pada Bank.
Pasal 29
Bank wajib menyediakan data dan informasi yang
berkaitan dengan penerapan Manajemen Risiko kepada
Otoritas Jasa Keuangan.
Bagian Kedua
Aspek Pengungkapan Kinerja dan Kebijakan Manajemen
Risiko
Pasal 30
(1) Bank wajib melakukan pengungkapan Manajemen
Risiko dalam laporan publikasi tahunan Bank.
(2) Pengungkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
paling sedikit mencakup kinerja Manajemen Risiko
dan arah kebijakan Manajemen Risiko.
- 23 -
BAB XI
SANKSI
Pasal 31
(1) Bank yang terlambat menyampaikan laporan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1),
Pasal 24 ayat (1) huruf b, Pasal 24 ayat (3), Pasal 24
ayat (7) atau Pasal 25 ayat (2), dikenakan sanksi
administratif berupa denda sebesar Rp1.000.000,00
(satu juta rupiah) per hari keterlambatan per laporan.
(2) Bank yang belum menyampaikan laporan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1),
Pasal 24 ayat (1) huruf b, Pasal 24 ayat (3), Pasal 24
ayat (7) atau Pasal 25 ayat (2) setelah 1 (satu) bulan
sejak batas akhir waktu penyampaian laporan,
dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar
Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) per laporan.
(3) Bank yang belum menyampaikan laporan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1),
Pasal 24 ayat (1) huruf b, Pasal 24 ayat (3), Pasal 24
ayat (7) atau Pasal 25 ayat (2) dan telah dikenakan
sanksi administratif berupa denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), tetap wajib menyampaikan
laporan kepada Otoritas Jasa Keuangan.
(4) Bank yang tidak menyampaikan laporan rencana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1)
huruf a dikenakan sanksi administratif berupa denda
sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(5) Bank yang menyampaikan laporan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1), Pasal 24 ayat (1)
huruf b, Pasal 24 ayat (3), Pasal 24 ayat (7) atau Pasal
25 ayat (2), namun:
a. dinilai tidak lengkap secara signifikan; dan/atau
b. tidak dilampiri dengan dokumen dan informasi
yang material,
sesuai dengan format yang ditentukan, dikenakan
sanksi
administratif
berupa denda
Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
sebesar
- 24 -
(6) Bank dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud pada
ayat (5) setelah:
a. Bank diberikan 2 (dua) kali surat teguran oleh
Otoritas Jasa Keuangan dengan tenggang waktu
7 (tujuh) hari kerja untuk setiap surat teguran;
dan
b. Bank tidak memperbaiki laporan dalam jangka
waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah
surat teguran terakhir.
Pasal 32
Bank yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana
ditetapkan dalam Pasal 2 ayat (1), Pasal 3, Pasal 4 ayat (2),
Pasal 5, Pasal 9 ayat (1), Pasal 9 ayat (3), Pasal 10, Pasal 11
ayat (1), Pasal 11 ayat (2), Pasal 11 ayat (3), Pasal 11
ayat (4), Pasal 12 ayat (2), Pasal 13, Pasal 14 ayat (2),
Pasal 15 ayat (2), Pasal 16, Pasal 19, Pasal 20 ayat (1),
Pasal 21, Pasal 22, Pasal 29 atau Pasal 30 ayat (1)
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dan ketentuan
pelaksanaan terkait lainnya dapat dikenakan sanksi
administratif berupa:
a. teguran tertulis;
b. penurunan tingkat kesehatan Bank;
c. pembekuan kegiatan usaha tertentu;
d. pencantuman anggota pengurus, pegawai Bank,
dan/atau pemegang saham dalam daftar pihak-pihak
yang mendapat predikat Tidak Lulus dalam penilaian
kemampuan dan kepatutan atau dalam catatan
administrasi Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana
diatur dalam ketentuan Otoritas Jasa Keuangan;
dan/atau
e. pemberhentian pengurus Bank.
- 25 -
BAB XII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 33
Ketentuan lebih lanjut mengenai penerapan Manajemen
Risiko bagi Bank Umum diatur dalam Surat Edaran
Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 34
(1) Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai
berlaku:
a. Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003
tanggal 19 Mei 2003 tentang Penerapan
Manajemen Risiko Bagi Bank Umum (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor
56, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4292); dan
b. Peraturan
Bank
Indonesia
Nomor 11/25/PBI/2009 tanggal 1 Juli 2009
tentang Perubahan atas Peraturan Bank
Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003 tentang
Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum
(Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 103, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5029),
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
(2) Peraturan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia
Nomor 5/8/PBI/2003 tanggal 19 Mei 2003 tentang
Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum dan
Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/25/PBI/2009
tanggal 1 Juli 2009 tentang Perubahan atas Peraturan
Bank Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003 tentang
Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum
dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dengan Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini.
- 26 -
(3) Dengan berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
ini, pengaturan yang sebelumnya mengacu pada
ketentuan Bank Indonesia mengenai penerapan
Manajemen Risiko bagi bank umum menjadi mengacu
pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 35
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 16 Maret 2016
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 22 Maret 2016
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 53
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 18 /POJK.03/2016
TENTANG
PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO BAGI BANK UMUM
I. UMUM
Kegiatan usaha Bank senantiasa dihadapkan pada risiko-risiko
yang berkaitan erat dengan fungsinya sebagai lembaga intermediasi
keuangan. Pesatnya perkembangan lingkungan eksternal dan internal
perbankan juga menyebabkan semakin kompleksnya risiko kegiatan
usaha perbankan. Oleh karena itu, agar mampu beradaptasi dalam
lingkungan bisnis perbankan, Bank dituntut untuk menerapkan
Manajemen Risiko. Dalam kaitan ini, prinsip-prinsip Manajemen Risiko
yang akan dianut dan diterapkan pada perbankan Indonesia diarahkan
sejalan dengan rekomendasi yang dikeluarkan oleh Bank for
International Settlements melalui Basel Committee on Banking
Supervision. Prinsip-prinsip tersebut pada dasarnya merupakan
standar bagi dunia perbankan untuk dapat beroperasi secara lebih
berhati-hati dalam ruang lingkup perkembangan kegiatan usaha dan
operasional perbankan yang sangat pesat dewasa ini.
Melalui penerapan Manajemen Risiko, Bank diharapkan dapat
mengukur dan mengendalikan Risiko yang dihadapi dalam melakukan
kegiatan usahanya dengan lebih baik. Selanjutnya, penerapan
Manajemen Risiko yang dilakukan perbankan akan mendukung
efektivitas kerangka pengawasan Bank berbasis Risiko yang dilakukan
oleh Otoritas Jasa Keuangan.
- 2 -
Upaya penerapan Manajemen Risiko dimaksud tidak hanya
ditujukan bagi kepentingan Bank tetapi juga bagi kepentingan
nasabah. Salah satu aspek penting dalam melindungi kepentingan
nasabah dan dalam rangka pengendalian Risiko adalah transparansi
informasi terkait produk atau aktivitas Bank.
Penerapan Manajemen Risiko dapat bervariasi antara satu Bank
dengan Bank lain sesuai dengan tujuan, kebijakan usaha, ukuran dan
kompleksitas usaha, kemampuan keuangan, infrastruktur pendukung
serta kemampuan sumber daya manusia.
Otoritas Jasa Keuangan menetapkan ketentuan ini sebagai
standar minimal yang harus dipenuhi oleh perbankan Indonesia dalam
menerapkan Manajemen Risiko. Dengan ketentuan ini, Bank
diharapkan mampu melaksanakan seluruh aktivitasnya secara
terintegrasi dalam suatu sistem pengelolaan Risiko yang akurat dan
komprehensif.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Termasuk dalam cakupan penerapan Manajemen Risiko
adalah penerapan program Anti Pencucian Uang dan
Pencegahan Pendanaan Terorisme.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 3
Kompleksitas usaha antara lain keragaman dalam jenis transaksi,
produk atau jasa, dan jaringan usaha.
Kemampuan Bank antara lain kemampuan keuangan,
infrastruktur pendukung, dan kemampuan sumber daya manusia.
- 3 -
Pasal 4
Ayat (1)
Huruf a
Termasuk dalam kelompok Risiko Kredit adalah Risiko
konsentrasi kredit, counterparty credit risk, dan
settlement risk.
Risiko konsentrasi kredit merupakan Risiko yang timbul
akibat terkonsentrasinya penyediaan dana kepada
1 (satu) pihak atau sekelompok pihak, industri, sektor,
dan/atau area geografis tertentu yang berpotensi
menimbulkan kerugian cukup besar yang dapat
mengancam kelangsungan usaha Bank.
Counterparty credit risk merupakan Risiko yang timbul
akibat terjadinya kegagalan pihak lawan dalam
memenuhi kewajibannya dan timbul dari jenis transaksi
yang memiliki karakteristik tertentu, misalnya transaksi
yang dipengaruhi oleh pergerakan nilai wajar atau nilai
pasar.
Settlement risk merupakan Risiko yang timbul akibat
kegagalan penyerahan kas dan/atau instrumen
keuangan pada tanggal penyelesaian (settlement date)
yang telah disepakati dari transaksi penjualan dan/atau
pembelian instrumen keuangan.
Huruf b
Risiko Pasar meliputi antara lain Risiko suku bunga,
Risiko nilai tukar, Risiko komoditas, dan Risiko ekuitas.
Yang dimaksud dengan “Risiko suku bunga” adalah
Risiko akibat perubahan harga instrumen keuangan dari
posisi trading book atau akibat perubahan nilai ekonomis
dari posisi banking book, yang disebabkan oleh
perubahan suku bunga.
Dalam kategori Risiko suku bunga termasuk pula Risiko
suku bunga dari posisi banking book yang antara lain
meliputi repricing risk, yield curve risk, basis risk, dan
optionality risk.
Yang dimaksud dengan “Risiko nilai tukar” adalah Risiko
akibat perubahan nilai posisi trading book dan banking
- 4 -
book yang disebabkan oleh perubahan nilai tukar valuta
asing atau perubahan harga emas.
Yang dimaksud dengan “Risiko komoditas” adalah Risiko
akibat perubahan harga instrumen keuangan dari posisi
trading book dan banking book yang disebabkan oleh
perubahan harga komoditas.
Yang dimaksud dengan “Risiko ekuitas” adalah Risiko
akibat perubahan harga instrumen keuangan dari posisi
trading book yang disebabkan oleh perubahan harga
saham.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Risiko Hukum timbul antara lain karena ketiadaan
peraturan perundang-undangan yang mendukung atau
kelemahan perikatan seperti tidak dipenuhinya syarat
sahnya kontrak atau pengikatan agunan yang tidak
sempurna.
Huruf f
Risiko Reputasi timbul antara lain karena adanya
pemberitaan media dan/atau rumor mengenai Bank
yang bersifat negatif, serta adanya strategi komunikasi
Bank yang kurang efektif.
Huruf g
Risiko Stratejik timbul antara lain karena Bank
menetapkan strategi yang kurang sejalan dengan visi
dan misi Bank, melakukan analisis lingkungan stratejik
yang tidak komprehensif, dan/atau terdapat
ketidaksesuaian rencana stratejik (strategic plan) antar
level stratejik. Selain itu, Risiko Stratejik juga timbul
karena kegagalan dalam mengantisipasi perubahan
lingkungan bisnis mencakup kegagalan dalam
mengantisipasi perubahan teknologi, perubahan kondisi
ekonomi makro, dinamika kompetisi di pasar, dan
perubahan kebijakan otoritas terkait.
- 5 -
Huruf h
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Ayat (1)
Huruf a
Termasuk dalam kebijakan dan strategi Manajemen
Risiko adalah penetapan dan persetujuan limit Risiko
baik Risiko secara keseluruhan (composite), per jenis
Risiko, maupun per aktivitas fungsional.
Kebijakan dan strategi Manajemen Risiko disusun paling
sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun atau frekuensi
yang lebih tinggi dalam hal terdapat perubahan
faktor-faktor yang mempengaruhi kegiatan usaha Bank
secara signifikan.
Huruf b
Termasuk tanggung jawab atas pelaksanaan kebijakan
Manajemen Risiko adalah:
1. mengevaluasi dan memberikan arahan berdasarkan
laporan yang disampaikan oleh satuan kerja
Manajemen Risiko; dan
2. penyampaian laporan pertanggungjawaban kepada
Dewan Komisaris secara triwulanan.
Huruf c
Transaksi yang memerlukan persetujuan Direksi antara
lain transaksi yang telah melampaui kewenangan pejabat
Bank satu tingkat di bawah Direksi, sesuai dengan
kebijakan dan prosedur intern Bank yang berlaku.
Huruf d
Pengembangan budaya Manajemen Risiko antara lain
meliputi komunikasi yang memadai kepada seluruh
jenjang organisasi tentang pentingnya pengendalian
intern yang efektif.
- 6 -
Huruf e
Peningkatan kompetensi sumber daya manusia antara
lain melalui program pendidikan dan pelatihan secara
berkesinambungan mengenai penerapan Manajemen
Risiko.
Huruf f
Yang dimaksud dengan independen antara lain adanya
pemisahan fungsi antara satuan kerja Manajemen Risiko
yang melakukan identifikasi, pengukuran, dan
pemantauan Risiko dengan satuan kerja yang
melakukan dan menyelesaikan transaksi.
Huruf g
Kaji ulang secara berkala antara lain dimaksudkan
untuk mengantisipasi jika terjadi perubahan faktor
eksternal dan faktor internal.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 7
Huruf a
Evaluasi kebijakan Manajemen Risiko dilakukan oleh Dewan
Komisaris paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun
atau frekuensi yang lebih tinggi dalam hal terdapat
perubahan faktor-faktor yang mempengaruhi kegiatan usaha
Bank secara signifikan.
Huruf b
Evaluasi pertanggungjawaban Direksi atas pelaksanaan
kebijakan Manajemen Risiko dilakukan oleh Dewan Komisaris
paling sedikit secara triwulanan.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “transaksi yang memerlukan
persetujuan Dewan Komisaris” adalah transaksi yang telah
melampaui kewenangan Direksi untuk memutuskan
transaksi, sesuai dengan kebijakan dan prosedur intern Bank
yang berlaku.
- 7 -
Pasal 8
Kebijakan Manajemen Risiko ditetapkan antara lain dengan cara
menyusun strategi Manajemen Risiko untuk memastikan bahwa:
a. Bank tetap mempertahankan eksposur Risiko sesuai
kebijakan dan prosedur intern Bank dan peraturan
perundang-undangan serta ketentuan lain; dan
b. Bank dikelola oleh sumber daya manusia yang memiliki
pengetahuan, pengalaman, dan keahlian di bidang
Manajemen Risiko sesuai kompleksitas usaha Bank.
Penyusunan strategi Manajemen Risiko dilakukan dengan
mempertimbangkan kondisi keuangan Bank, organisasi Bank, dan
Risiko yang timbul sebagai akibat perubahan faktor eksternal dan
faktor internal.
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Toleransi Risiko merupakan potensi kerugian yang dapat
diserap oleh permodalan Bank.
Huruf d
Penetapan penilaian peringkat Risiko merupakan dasar bagi
Bank untuk mengategorikan peringkat Risiko Bank.
Peringkat Risiko bagi Bank dikategorikan menjadi 5 (lima)
peringkat, yaitu:
1. Peringkat 1 (Low);
2. Peringkat 2 (Low to Moderate);
3. Peringkat 3 (Moderate);
4. Peringkat 4 (Moderate to High); dan
5. Peringkat 5 (High).
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
- 8 -
Pasal 9
Ayat (1)
Tingkat
Risiko yang akan diambil (risk appetite)
memperhatikan pengalaman yang dimiliki Bank dalam
mengelola Risiko.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Pengertian secara berkala paling sedikit 1 (satu) kali
dalam 1 (satu) tahun atau frekuensi yang lebih tinggi,
sesuai jenis Risiko, kebutuhan, dan perkembangan
Bank.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “dokumentasi yang memadai”
adalah dokumentasi yang tertulis, lengkap, dan
memudahkan untuk dilakukan jejak audit (audit trail)
untuk keperluan pengendalian intern Bank.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “faktor-faktor Risiko” adalah berbagai
parameter yang mempengaruhi eksposur Risiko.
Yang dimaksud dengan “faktor-faktor Risiko (risk factors)
yang bersifat material” adalah faktor-faktor Risiko baik
kuantitatif maupun kualitatif yang berpengaruh secara
signifikan terhadap kondisi keuangan Bank.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Proses identifikasi Risiko antara lain dapat didasarkan pada
pengalaman kerugian Bank yang pernah terjadi.
- 9 -
Ayat (2)
Untuk memperkirakan Risiko, Bank dapat menggunakan
berbagai pendekatan, baik kualitatif maupun kuantitatif,
disesuaikan dengan tujuan usaha, kompleksitas usaha, dan
kemampuan Bank.
Huruf a
Pengertian secara berkala paling sedikit secara
triwulanan atau frekuensi yang lebih tinggi, sesuai
dengan perkembangan usaha Bank dan kondisi
eksternal yang langsung mempengaruhi kondisi Bank.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “perubahan yang bersifat
material” adalah perubahan kegiatan usaha Bank,
produk, transaksi, dan/atau faktor Risiko, yang dapat
mempengaruhi kondisi keuangan Bank.
Ayat (3)
Huruf a
Evaluasi terhadap eksposur Risiko dilakukan dengan
cara pemantauan dan pelaporan Risiko yang bersifat
material atau yang berdampak kepada kondisi
permodalan Bank, yang antara lain didasarkan atas
penilaian potensi Risiko dengan menggunakan historical
trend.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (4)
Pengendalian Risiko dapat dilakukan antara lain dengan cara
lindung nilai, metode mitigasi Risiko, dan penambahan modal
untuk menyerap potensi kerugian.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Huruf a
Laporan atau informasi eksposur Risiko mencakup
eksposur kuantitatif dan kualitatif, secara keseluruhan
- 10 -
(composite) maupun rincian per jenis Risiko dan per jenis
aktivitas fungsional.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Laporan atau informasi yang disampaikan kepada Direksi
dapat ditingkatkan frekuensinya sesuai kebutuhan Bank.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Informasi keuangan dan manajemen yang lengkap,
akurat, tepat guna, dan tepat waktu diperlukan dalam
rangka pengambilan keputusan yang tepat dan dapat
dipertanggungjawabkan, serta dikomunikasikan kepada
pihak yang berkepentingan.
Huruf c
Efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan operasional
antara lain diperlukan untuk melindungi aset dan
sumber daya Bank lainnya dari Risiko terkait.
Huruf d
Efektivitas budaya Risiko (risk culture) dimaksudkan
untuk mengidentifikasi kelemahan dan penyimpangan
secara lebih dini dan menilai kembali kewajaran
kebijakan dan prosedur yang ada pada Bank secara
berkesinambungan.
- 11 -
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Huruf a
Komite Manajemen Risiko harus bersifat non-struktural.
Huruf b
Satuan kerja Manajemen Risiko harus bersifat struktural.
Pasal 17
Ayat (1)
Keanggotaan komite Manajemen Risiko dapat berupa
keanggotaan tetap dan tidak tetap, sesuai kebutuhan Bank.
Huruf a
Salah satu anggota dari mayoritas Direksi dalam komite
Manajemen Risiko adalah direktur yang membawahkan
fungsi kepatuhan.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “pejabat eksekutif” adalah
pejabat yang bertanggung jawab langsung kepada
Direksi atau mempunyai pengaruh yang signifikan
terhadap kebijakan atau operasional Bank.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Termasuk dalam keputusan bisnis yang menyimpang
dari prosedur normal antara lain pelampauan ekspansi
usaha yang signifikan dibandingkan rencana bisnis Bank
dan pengambilan posisi atau eksposur Risiko yang
menyimpang dari limit yang telah ditetapkan.
- 12 -
Pasal 18
Ayat (1)
Pengaturan ini dimaksudkan agar Bank dapat menentukan
struktur organisasi yang tepat dan sesuai kondisi Bank,
termasuk kemampuan keuangan dan sumber daya manusia.
Ayat (2)
Pengertian independen antara lain tercermin dari adanya:
a. pemisahan fungsi dan tugas antara satuan kerja
Manajemen Risiko dengan satuan kerja operasional (risk-
taking unit) dan satuan kerja yang melaksanakan fungsi
pengendalian intern; dan
b. proses pengambilan keputusan yang tidak memihak atau
menguntungkan satuan kerja operasional tertentu atau
mengabaikan satuan kerja operasional lainnya.
Ayat (3)
Mengingat ukuran dan kompleksitas usaha Bank yang
berbeda, satuan kerja Manajemen Risiko dapat bertanggung
jawab langsung kepada direktur yang ditugaskan secara
khusus oleh Bank seperti direktur yang membawahkan fungsi
kepatuhan atau direktur Manajemen Risiko.
Istilah direktur utama dapat dipersamakan dengan presiden
direktur.
Ayat (4)
Wewenang dan tanggung jawab satuan kerja Manajemen
Risiko disesuaikan dengan tujuan usaha, kompleksitas
usaha, dan kemampuan Bank.
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Stress testing dilakukan guna mengetahui dampak dari
implementasi kebijakan dan strategi Manajemen Risiko
terhadap kinerja dan pendapatan masing-masing satuan
kerja operasional atau aktivitas fungsional Bank.
Huruf c
Kaji ulang antara lain dilakukan berdasarkan temuan
audit intern dan/atau perkembangan praktek-praktek
Manajemen Risiko yang berlaku secara internasional.
- 13 -
Huruf d
Termasuk dalam pengkajian adalah penilaian
kemampuan Bank untuk melakukan aktivitas dan/atau
produk baru dan kajian usulan perubahan sistem dan
prosedur.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Rekomendasi antara lain memuat rekomendasi yang
terkait dengan besaran atau maksimum eksposur Risiko
yang wajib dipelihara oleh Bank.
Huruf g
Profil Risiko merupakan gambaran secara menyeluruh
atas besarnya potensi Risiko yang melekat pada seluruh
portofolio atau eksposur Bank.
Frekuensi penyampaian laporan ditingkatkan dalam hal
kondisi pasar berubah dengan cepat. Untuk eksposur
Risiko yang berubah relatif lama, seperti Risiko Kredit,
penyampaian laporan disampaikan paling sedikit 1 (satu)
kali dalam 1 (satu) bulan.
Pasal 19
Frekuensi penyampaian informasi eksposur Risiko disesuaikan
dengan karakteristik jenis Risiko.
Termasuk dalam definisi satuan kerja operasional (risk-taking unit)
antara lain satuan kerja perkreditan, treasuri, dan pendanaan.
Pasal 20
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “produk Bank” adalah instrumen
keuangan yang diterbitkan oleh Bank.
Yang dimaksud dengan “aktivitas Bank” adalah jasa yang
disediakan oleh Bank kepada nasabah, antara lain jasa
keagenan dan/atau kustodian.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
- 14 -
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Masa uji coba dimaksudkan untuk memastikan bahwa
metode pengukuran dan pemantauan Risiko telah teruji.
Huruf d
Sistem
informasi
akuntansi paling kurang
menggambarkan profil Risiko dan tingkat keuntungan
maupun kerugian untuk produk atau aktivitas baru
secara akurat.
Huruf e
Analisa aspek hukum mencakup kemungkinan adanya
Risiko Hukum yang ditimbulkan oleh produk atau
aktivitas baru serta kesesuaian dengan ketentuan dan
peraturan perundang-undangan.
Huruf f
Aspek-aspek dalam menerapkan transparansi informasi
kepada nasabah memperhatikan paling sedikit:
1. informasi yang disampaikan lengkap, benar, dan
tidak menyesatkan nasabah;
2. informasi yang berimbang antara potensi manfaat
yang mungkin diperoleh dengan Risiko yang
mungkin timbul bagi nasabah; dan
3. informasi yang disampaikan tidak menyamarkan,
mengurangi, atau menutupi hal-hal yang penting
terkait dengan Risiko yang mungkin timbul.
Ayat (3)
Huruf a
Termasuk dalam kriteria tidak pernah diterbitkan atau
dilakukan sebelumnya adalah produk atau aktivitas yang
telah diterbitkan atau dilakukan oleh Bank lain namun
belum pernah diterbitkan atau dilakukan oleh Bank yang
bersangkutan.
Huruf b
Perubahan eksposur Risiko dalam pengaturan ini tidak
mencakup perubahan eksposur Risiko yang terkait
produk atau aktivitas konvensional seperti giro,
- 15 -
tabungan, deposito, kredit, produk derivatif yang bersifat
plain vanilla, dan aktivitas kustodian.
Pasal 21
Termasuk dalam kategori tindakan menyetujui adalah mengetahui
namun tidak melarang atau membiarkan terjadinya pemasaran
produk atau aktivitas yang bukan merupakan produk atau
aktivitas Bank dengan menggunakan sarana atau fasilitas Bank
oleh pengurus dan/atau pegawai.
Pasal 22
Cakupan transparansi informasi yang perlu diungkapkan kepada
nasabah mengacu pada ketentuan yang mengatur mengenai
transparansi informasi produk Bank. Selain itu transparansi
informasi juga mencakup prosedur, skim, dan materi yang perlu
diungkapkan, seperti karakteristik produk atau aktivitas, Risiko,
serta hak dan kewajiban nasabah.
Pasal 23
Ayat (1)
Laporan profil Risiko memuat antara lain informasi tentang
tingkat dan tren seluruh eksposur Risiko.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Laporan profil Risiko disajikan secara komparatif dengan
posisi triwulan sebelumnya.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 24
Ayat (1)
Cukup jelas.
- 16 -
Ayat (2)
Produk atau aktivitas baru yang wajib dilaporkan mencakup
seluruh produk atau aktivitas baru sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 20 ayat (3).
Laporan rencana penerbitan produk atau pelaksanaan
aktivitas baru paling sedikit memuat hal-hal yang ditetapkan
dalam Pasal 20 ayat (2).
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Rencana penerbitan produk atau pelaksanaan aktivitas baru
dicantumkan dalam rencana bisnis Bank untuk tahun yang
sama dengan rencana penerbitan produk atau pelaksanaan
aktivitas baru.
Ayat (5)
Evaluasi Otoritas Jasa Keuangan mencakup antara lain aspek
kesiapan Bank, penerapan Manajemen Risiko, transparansi
informasi produk, dan perlindungan nasabah.
Ayat (6)
Huruf a
Ketidaksesuaian tersebut meliputi antara lain prosedur,
skim, karakteristik produk atau aktivitas, Risiko serta
hak dan kewajiban nasabah.
Huruf b
Kondisi yang berpotensi menimbulkan kerugian yang
signifikan terhadap kondisi keuangan Bank antara lain
dapat disebabkan oleh Risiko Reputasi dan Risiko Pasar
dari penerbitan produk atau pelaksanaan aktivitas Bank.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 25
Ayat (1)
Cukup jelas.
- 17 -
Ayat (2)
Laporan terkait penerapan Manajemen Risiko meliputi antara
lain laporan proyeksi arus kas dan laporan profil maturitas
dalam rangka penerapan Manajemen Risiko untuk Risiko
Likuiditas.
Laporan terkait aktivitas tertentu meliputi antara lain laporan
pelaksanaan keagenan reksadana dan/atau laporan
pelaksanaan kegiatan bancassurance.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Penilaian terhadap Manajemen Risiko Bank termasuk penilaian
Risiko yang melekat (inherent risk) dan kecukupan sistem
pengendalian Risiko (risk control system).
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Kinerja Manajemen Risiko merupakan hasil penerapan
Manajemen Risiko untuk periode awal tahun (bulan Januari)
sampai dengan akhir tahun (bulan Desember) termasuk profil
Risiko, sedangkan arah kebijakan Manajemen Risiko
merupakan arah dan strategi Manajemen Risiko periode
1 (satu) tahun ke depan.
- 18 -
Pasal 31
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “hari” adalah hari kerja.
Ayat (2)
Bank yang telah dikenakan sanksi administratif berupa
denda dalam ayat ini tidak dikenakan sanksi keterlambatan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Bank yang telah dikenakan sanksi administratif berupa
denda pada ayat ini tidak dikenakan sanksi keterlambatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5861
"," POJK
8/POJK.03/2016
PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM MELAKSANAKAN AKTIVITAS KEAGENAN PRODUK KEUANGAN LUAR NEGERI OLEH BANK UMUM
26 Januari 2016
27 Januari 2016
27 Januari 2016
'12/9/PBI/2010'
'21/UU/2011', '10/UU/1998', '7/UU/1992'
'BAB IX'
"
" OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 41 /POJK.05/2015
TENTANG
TATA CARA PENETAPAN PENGELOLA STATUTER
PADA LEMBAGA JASA KEUANGAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan tugas pengaturan dan
pengawasan kegiatan sektor jasa keuangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 huruf g serta Pasal 9 huruf e
dan huruf f Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011
tentang Otoritas Jasa Keuangan, Otoritas Jasa Keuangan
mempunyai wewenang menetapkan peraturan mengenai
tata cara penetapan pengelola statuter pada lembaga jasa
keuangan serta melakukan penunjukan dan menetapkan
penggunaan pengelola statuter;
b. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 62 ayat (6)
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang
Perasuransian, perlu mengatur mengenai penetapan,
tugas, masa tugas, dan pemberhentian pengelola
statuter, serta hak dan kewajiban direksi, dewan
komisaris, dan/atau dewan pengawas syariah nonaktif;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan tentang Tata Cara Penetapan
Pengelola Statuter pada Lembaga Jasa Keuangan;
- 2 -
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
2. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang
Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5618);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG TATA
CARA PENETAPAN PENGELOLA STATUTER PADA LEMBAGA
JASA KEUANGAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
1. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat OJK
adalah Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang
Otoritas Jasa Keuangan.
2. Pengelola Statuter adalah orang perseorangan atau badan
hukum yang ditetapkan OJK untuk melaksanakan
kewenangan OJK sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa
Keuangan.
3. Lembaga Jasa Keuangan adalah lembaga jasa keuangan
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
4. Dewan Komisioner adalah dewan komisioner sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011
tentang Otoritas Jasa Keuangan.
5. Direksi adalah organ lembaga jasa keuangan yang
melakukan fungsi pengurusan sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas bagi Lembaga Jasa Keuangan
- 3 -
berbentuk badan hukum perseroan terbatas atau yang
setara dengan Direksi bagi Lembaga Jasa Keuangan yang
berbentuk badan hukum koperasi, usaha bersama, dana
pensiun, perusahaan daerah, perusahaan umum daerah,
atau perusahaan perseroan daerah.
6. Dewan Komisaris adalah organ Lembaga Jasa Keuangan
yang melakukan fungsi pengawasan dan pemberian
nasihat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas bagi
Lembaga Jasa Keuangan yang berbentuk badan hukum
perseroan terbatas atau yang setara dengan Dewan
Komisaris bagi Lembaga Jasa Keuangan yang berbentuk
badan hukum koperasi, usaha bersama, dana pensiun,
perusahaan daerah, perusahaan umum daerah, atau
perusahaan perseroan daerah.
7. Dewan Pengawas Syariah adalah bagian dari organ
Lembaga Jasa Keuangan yang menyelenggarakan
kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, yang
melakukan fungsi pengawasan atas penyelenggaraan
usaha Lembaga Jasa Keuangan agar sesuai dengan
prinsip syariah.
8. Konsumen adalah konsumen sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang
Otoritas Jasa Keuangan.
BAB II
PENETAPAN PENGELOLA STATUTER
Pasal 2
(1) OJK dapat melakukan penunjukan dan menetapkan
penggunaan Pengelola Statuter untuk mengambil alih
seluruh wewenang dan fungsi Direksi, Dewan Komisaris,
dan/atau Dewan Pengawas Syariah Lembaga Jasa
Keuangan.
- 4 -
(2) Penunjukan dan penetapan penggunaan Pengelola
Statuter dilakukan berdasarkan ketentuan undang-
undang di sektor jasa keuangan.
(3) Penunjukan dan penetapan penggunaan Pengelola
Statuter selain dilakukan berdasarkan ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dapat pula
dilakukan apabila berdasarkan penilaian OJK, Lembaga
Jasa Keuangan memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. kondisi keuangan Lembaga Jasa Keuangan dapat
membahayakan kepentingan Konsumen, sektor jasa
keuangan, dan/atau pemegang saham;
b. penyelenggaraan kegiatan usaha Lembaga Jasa
Keuangan tidak sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan di sektor jasa keuangan;
c. Lembaga Jasa Keuangan telah dikenai sanksi
pembatasan kegiatan usaha;
d. Lembaga Jasa Keuangan dimanfaatkan oleh pihak
tertentu untuk memfasilitasi dan/atau melakukan
tindak pidana di sektor jasa keuangan;
e. pemegang saham, Direksi, Dewan Komisaris,
dan/atau Dewan Pengawas Syariah Lembaga Jasa
Keuangan diduga melakukan tindak pidana di
sektor jasa keuangan yang dapat mengganggu
operasional pada Lembaga Jasa Keuangan yang
bersangkutan;
f.
Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau Dewan
Pengawas Syariah Lembaga Jasa Keuangan dinilai
tidak mampu mengatasi permasalahan yang terjadi di
Lembaga Jasa Keuangan; dan/atau
g. Lembaga Jasa Keuangan tidak memenuhi perintah
tertulis untuk mengganti Direksi, Dewan Komisaris,
dan/atau Dewan Pengawas Syariah.
(4) Penunjukan dan penetapan penggunaan Pengelola
Statuter sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
oleh Dewan Komisioner berdasarkan usulan dari kepala
eksekutif masing-masing sektor jasa keuangan.
- 5 -
(5) Penunjukan dan penetapan penggunaan Pengelola
Statuter untuk Lembaga Jasa Keuangan yang secara
khusus dibentuk berdasarkan peraturan perundang-
undangan atau dibentuk oleh Pemerintah hanya
dilakukan setelah terlebih dahulu berkoordinasi dengan
Pemerintah.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria penunjukan
dan penetapan penggunaan
Pengelola Statuter
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Surat
Edaran OJK.
Pasal 3
(1) Pada saat penunjukan dan penetapan penggunaan
Pengelola Statuter dilakukan oleh OJK maka:
a. Pengelola Statuter mengambil alih seluruh wewenang
dan fungsi Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau Dewan
Pengawas Syariah Lembaga Jasa Keuangan; dan
b. Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau Dewan
Pengawas Syariah Lembaga Jasa Keuangan
dinyatakan nonaktif.
(2) Sejak pengambilalihan wewenang dan fungsi Direksi,
Dewan Komisaris, dan/atau Dewan Pengawas Syariah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a,
Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau Dewan Pengawas
Syariah:
a. dilarang menjalankan wewenang dan fungsi selaku
Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau Dewan
Pengawas Syariah.
b. wajib membantu Pengelola Statuter dalam
menjalankan wewenang, fungsi, dan tugasnya.
(3) Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau Dewan Pengawas
Syariah nonaktif dilarang mengundurkan diri selama
wewenang dan fungsinya diambil alih oleh Pengelola
Statuter.
- 6 -
(4) OJK dapat mengaktifkan kembali sebagian atau seluruh
Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau Dewan Pengawas
Syariah nonaktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b setelah penggunaan Pengelola Statuter berakhir.
(5) Dalam hal OJK mengaktifkan kembali sebagian Direksi,
Dewan Komisaris, dan/atau Dewan Pengawas Syariah
setelah penggunaan Pengelola Statuter berakhir, OJK
memberikan perintah tertulis kepada Lembaga Jasa
Keuangan untuk menyelenggarakan rapat umum
pemegang saham untuk menunjuk Direksi, Dewan
Komisaris, dan/atau Dewan Pengawas Syariah.
(6) Dalam hal OJK tidak mengaktifkan kembali seluruh
Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau Dewan Pengawas
Syariah, OJK memberikan perintah tertulis kepada
Pengelola Statuter untuk menyelenggarakan rapat umum
pemegang saham untuk menunjuk Direksi, Dewan
Komisaris, dan/atau Dewan Pengawas Syariah yang baru
sebelum penggunaan Pengelola Statuter berakhir.
Pasal 4
(1) Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau Dewan Pengawas
Syariah nonaktif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
ayat (1) huruf b berhak memperoleh remunerasi yang
besarannya ditetapkan oleh rapat umum pemegang
saham dengan mempertimbangkan kondisi keuangan
Lembaga Jasa Keuangan, paling tinggi sebesar 50% (lima
puluh persen) dari remunerasi yang diterima sebelum
Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau Dewan Pengawas
Syariah dinonaktifkan.
(2) Dalam hal Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau Dewan
Pengawas Syariah nonaktif ditunjuk menjadi Pengelola
Statuter maka remunerasi bagi Direksi, Dewan Komisaris,
dan/atau Dewan Pengawas Syariah dimaksud berlaku
ketentuan remunerasi bagi Pengelola Statuter.
- 7 -
BAB III
PIHAK YANG DITUNJUK SEBAGAI PENGELOLA STATUTER
Pasal 5
(1) OJK menunjuk orang perseorangan atau badan hukum
sebagai Pengelola Statuter.
(2) Orang perseorangan yang dapat menjadi Pengelola
Statuter sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus:
a. memenuhi persyaratan yang setara dengan Direksi,
Dewan Komisaris, dan/atau Dewan Pengawas
Syariah Lembaga Jasa Keuangan sesuai dengan
wewenang dan fungsi yang diambil alih, berdasarkan
penilaian OJK; dan
b. tidak memiliki benturan kepentingan dengan
Lembaga Jasa Keuangan yang akan dikelola,
pemegang saham, Direksi, Dewan Komisaris,
dan/atau Dewan Pengawas Syariah dari Lembaga
Jasa Keuangan yang akan dikelola.
(3) Direksi, Dewan Komisaris, Dewan Pengawas Syariah,
dan/atau pegawai Lembaga Jasa Keuangan yang tidak
menyebabkan Lembaga Jasa Keuangan bermasalah dapat
ditunjuk sebagai Pengelola Statuter.
(4) Badan hukum yang dapat menjadi Pengelola Statuter
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Lembaga
Jasa Keuangan sejenis dan tidak memiliki benturan
kepentingan dengan pemegang saham, Direksi, Dewan
Komisaris, dan/atau Dewan Pengawas Syariah dari
Lembaga Jasa Keuangan yang akan dikelola.
(5) Dalam hal Pengelola Statuter berbentuk badan hukum,
anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, anggota
Dewan Pengawas Syariah, dan/atau pegawai badan
hukum yang ditugaskan untuk menjalankan wewenang,
fungsi, dan tugas Pengelola Statuter harus memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a
dan huruf b.
- 8 -
BAB IV
TUGAS, WEWENANG, HAK, DAN TANGGUNG JAWAB
PENGELOLA STATUTER
Pasal 6
(1) Pengelola Statuter memiliki seluruh wewenang dan fungsi
Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau Dewan Pengawas
Syariah.
(2) Pengelola Statuter yang telah ditetapkan oleh OJK
mempunyai tugas:
a. menyelamatkan kekayaan dan/atau kumpulan dana
Lembaga Jasa Keuangan dan/atau Konsumen;
b. mengendalikan dan mengelola kegiatan usaha dari
Lembaga Jasa Keuangan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan;
c. menyusun rencana kerja yang paling sedikit memuat
langkah-langkah penyelamatan yang akan dilakukan
apabila Lembaga Jasa Keuangan tersebut masih
dapat diselamatkan;
d. mengajukan usulan agar OJK mencabut izin usaha
Lembaga Jasa Keuangan apabila Lembaga Jasa
Keuangan tersebut dinilai tidak dapat diselamatkan;
e. memenuhi ketentuan peraturan perundang-
undangan di sektor jasa keuangan;
f. mematuhi setiap perintah tertulis dari OJK mengenai
pengendalian dan pengelolaan kegiatan usaha dari
Lembaga Jasa Keuangan;
g. mencegah dan mengurangi kerugian Konsumen,
masyarakat, dan sektor jasa keuangan;
h. memberantas kejahatan keuangan yang dilakukan
pihak tertentu di sektor jasa keuangan; dan
melaporkan kegiatannya kepada OJK.
i.
(3) Dalam melaksanakan wewenang, fungsi, dan tugas
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2),
Pengelola Statuter dapat menempuh langkah-langkah:
a. menyelamatkan kelangsungan usaha Lembaga Jasa
Keuangan tertentu;
- 9 -
b. membatalkan atau mengakhiri perjanjian yang dibuat
oleh Lembaga Jasa Keuangan dengan pihak ketiga
yang merugikan dan/atau menurut Pengelola
Statuter dapat merugikan kepentingan Lembaga Jasa
Keuangan dan/atau Konsumen;
c. melakukan pengalihan sebagian atau seluruh
portofolio kekayaan atau usaha dan/atau kumpulan
dana dari Lembaga Jasa Keuangan yang menurut
Pengelola Statuter dapat mencegah kerugian yang
lebih besar bagi Lembaga Jasa Keuangan; dan/atau
d. melakukan pengalihan sebagian atau seluruh
portofolio kekayaan dan/atau kumpulan dana dari
Konsumen yang menurut Pengelola Statuter dapat
mencegah kerugian yang lebih besar bagi Konsumen.
Pasal 7
(1) Pengelola Statuter dapat meminta pihak yang sedang atau
pernah menjabat sebagai anggota Direksi, anggota Dewan
Komisaris, anggota Dewan Pengawas Syariah, pegawai
dari Lembaga Jasa Keuangan, dan/atau pihak lain yang
memiliki informasi dan/atau dokumen tertentu yang
berkaitan dengan kegiatan usaha Lembaga Jasa
Keuangan untuk memberikan informasi dan/atau
dokumen dimaksud kepada Pengelola Statuter.
(2) Pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib
memberikan informasi dan/atau dokumen tertentu yang
berkaitan dengan kegiatan usaha Lembaga Jasa
Keuangan kepada Pengelola Statuter.
Pasal 8
(1) Pengelola Statuter berhak atas remunerasi.
(2) Besaran remunerasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan oleh OJK dengan mempertimbangkan antara
lain kewajaran, kompleksitas permasalahan pada
Lembaga Jasa Keuangan, dan ukuran aset dari Lembaga
Jasa Keuangan.
- 10 -
Pasal 9
(1) Pengelola Statuter menyampaikan laporan bulanan
Pengelola Statuter kepada OJK paling lambat tanggal 10
bulan berikutnya.
(2) Apabila batas waktu penyampaian laporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) jatuh pada hari libur, maka batas
akhir penyampaian adalah hari kerja berikutnya.
(3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling
sedikit berisi informasi mengenai:
a. hal-hal yang telah dilakukan selama periode
pelaporan;
b. perkembangan kesehatan keuangan Lembaga Jasa
Keuangan selama periode pelaporan;
c. permasalahan yang dihadapi dalam melaksanakan
tugasnya;
d. langkah-langkah strategis yang akan dilakukan
setelah periode pelaporan; dan
e. rekomendasi kepada OJK.
(4) Dalam hal diperlukan, OJK dapat meminta Pengelola
Statuter untuk menyampaikan laporan di luar laporan
bulanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 10
Pengelola Statuter mempertanggungjawabkan segala
keputusan dan tindakannya dalam melaksanakan wewenang,
fungsi, dan tugasnya kepada OJK.
BAB V
BIAYA PENGELOLA STATUTER
Pasal 11
(1) Biaya penyelenggaraan usaha Lembaga Jasa Keuangan
selama masa penggunaan Pengelola Statuter dibebankan
kepada Lembaga Jasa Keuangan.
(2) Biaya remunerasi Pengelola Statuter sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dibebankan kepada
Lembaga Jasa Keuangan.
- 11 -
(3) Dalam hal biaya remunerasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) tidak mencukupi, OJK dapat menetapkan
tambahan remunerasi dan/atau penghasilan lain
Pengelola Statuter yang menjadi beban OJK.
BAB VI
PENGAKHIRAN PENGELOLA STATUTER
Pasal 12
(1) Penggunaan Pengelola Statuter pada Lembaga Jasa
Keuangan berakhir apabila:
a. OJK memutuskan penggunaan Pengelola Statuter
tidak diperlukan lagi; atau
b. Lembaga Jasa Keuangan telah dicabut izin usahanya.
(2) OJK berwenang untuk melakukan penggantian Pengelola
Statuter apabila dinilai bahwa Pengelola Statuter
melakukan kecurangan, tidak jujur, lalai, tidak mampu,
dan/atau tidak mematuhi ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengakhiran Pengelola
Statuter sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
penggantian Pengelola Statuter sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) diatur dalam Surat Edaran OJK.
Pasal 13
(1) Dalam hal penggunaan Pengelola Statuter telah berakhir
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1), Pengelola
Statuter menyampaikan laporan pertanggungjawaban
kepada OJK.
(2) Penyampaian laporan pertanggungjawaban sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling lambat 30
(tiga puluh) hari kerja sejak berakhirnya penggunaan
Pengelola Statuter.
(3) Laporan pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) paling sedikit berisi informasi mengenai:
a. hal-hal yang telah dilakukan selama menjalankan
tugas sebagai Pengelola Statuter;
- 12 -
b. perkembangan kesehatan keuangan Lembaga Jasa
Keuangan selama menjalankan tugas sebagai
Pengelola Statuter;
c. permasalahan yang dihadapi dalam melaksanakan
tugasnya; dan
(4) Dalam
d. rekomendasi kepada OJK.
hal OJK
telah menyetujui
laporan
pertanggungjawaban Pengelola Statuter sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), Lembaga Jasa Keuangan wajib
menerima laporan pertanggungjawaban Pengelola Statuter
yang telah disetujui oleh OJK tersebut.
BAB VII
SANKSI
Pasal 14
(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana sebagaimana
diatur dalam Pasal 53 dan Pasal 54 Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan,
OJK berwenang menetapkan sanksi administratif kepada
pihak yang melanggar ketentuan dalam Pasal 3 ayat (3),
ayat (4), Pasal 7 ayat (2), dan Pasal 13 ayat (4) Peraturan
OJK ini berupa:
a.
b.
teguran tertulis; dan/atau
larangan menjadi pemegang saham, pengendali,
Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau Dewan
Pengawas Syariah paling lama 5 (lima) tahun di
sektor jasa keuangan.
(2) Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), OJK dapat menetapkan sanksi administratif
tambahan atau tindakan tertentu sebagaimana diatur
dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di
sektor jasa keuangan kepada pihak yang melakukan
pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
- 13 -
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 15
Peraturan OJK ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan OJK ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 21 Desember 2015
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 28 Desember 2015
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 368
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Sudarmaji
"," POJK
41/POJK.05/2015
TATA CARA PENETAPAN PENGELOLA STATUTER PADA LEMBAGA JASA KEUANGAN
21 Desember 2015
28 Desember 2015
28 Desember 2015
'21/UU/2011', '40/UU/2014'
'BAB VII'
"
" OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 44 /POJK.04/2016
TENTANG
LAPORAN LEMBAGA PENYIMPANAN DAN PENYELESAIAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, sejak
tanggal 31 Desember 2012 fungsi, tugas, dan wewenang
pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di
sektor Pasar Modal termasuk terkait dengan pengaturan
mengenai Laporan Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian beralih dari Badan Pengawas Pasar Modal
dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa Keuangan;
b. bahwa dalam rangka memberikan kejelasan dan
kepastian mengenai pengaturan terhadap laporan
Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, peraturan
mengenai
laporan Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian yang diterbitkan sebelum terbentuknya
Otoritas Jasa Keuangan perlu diubah ke dalam Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Laporan
Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian;
- 2 -
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995
Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3608);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111 Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
LAPORAN LEMBAGA PENYIMPANAN DAN PENYELESAIAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud
dengan:
1. Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian adalah Pihak
yang menyelenggarakan kegiatan Kustodian sentral bagi
Bank Kustodian, Perusahaan Efek, dan Pihak lain.
2. Transaksi Bursa adalah kontrak yang dibuat oleh
Anggota Bursa Efek sesuai dengan persyaratan yang
ditentukan oleh Bursa Efek mengenai jual beli Efek,
pinjam meminjam Efek, atau kontrak lain mengenai Efek
atau harga Efek.
BAB II
JENIS LAPORAN
Pasal 2
Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian wajib
menyampaikan laporan kegiatan kepada Otoritas Jasa
Keuangan yang meliputi:
a. laporan harian mengenai mutasi penyimpanan dan
penyelesaian Transaksi Bursa;
- 3 -
b. laporan bulanan yang memuat:
1. rekapitulasi kegiatan selama periode tersebut
dilengkapi dengan statistik perkembangan volume
penyimpanan dan penyelesaian;
2. laporan mengenai jumlah Emiten yang pencatatan
Efek-nya pada buku daftar pemegang saham Emiten
diwakili oleh Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian; dan
3. kegiatan pemakai jasa Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian;
c. laporan keuangan tengah tahunan dan laporan keuangan
tahunan yang telah diaudit oleh Akuntan yang terdaftar
di Otoritas Jasa Keuangan disertai pendapat dari
Akuntan tersebut;
d. laporan realisasi anggaran dan penggunaan laba;
e. laporan penyelenggaraan Rapat Umum Pemegang Saham;
f.
laporan mengenai perubahan status pemakai jasa
Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian;
g. laporan mengenai pengenaan sanksi oleh Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian terhadap pemakai jasa
Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian;
h. laporan mengenai peristiwa khusus seperti kesulitan
keuangan pemakai jasa Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian; dan
i.
laporan posisi rekening Efek nasabah atas kepemilikan
5% (lima persen) atau lebih saham dan setiap perubahan
kepemilikan atas saham Emiten atau Perusahaan Publik
dimaksud pada rekening Efek pada Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian, yang paling sedikit
memuat:
1. nama pemegang rekening Efek;
2. nama nasabah (pemegang sub rekening Efek),
domisili (jika ada), dan kewarganegaraan (untuk
badan hukum sebutkan nama negara dimana badan
hukum tersebut didirikan);
3. nama Emiten atau Perusahaan Publik penerbit
saham;
- 4 -
4. persentase kepemilikan saham terakhir sebelum
perubahan, setelah perubahan dan perubahannya
pada saat dilaporkan dari total saham yang
diterbitkan Emiten atau Perusahaan Publik; dan
5. tanggal pemindahbukuan pada sub rekening Efek
atau tanggal pertama kali tercatat pada sub rekening
Efek untuk saham yang baru tercatat dalam
penitipan kolektif pada Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian.
BAB III
PENYAMPAIAN LAPORAN LEMBAGA PENYIMPANAN DAN
PENYELESAIAN
Bagian Kesatu
Dokumen Elektronik
Pasal 3
Penyampaian laporan kegiatan oleh Lembaga Penyimpanan
dan Penyelesaian kepada Otoritas Jasa Keuangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dapat dilakukan secara
melalui dokumen cetak atau dalam bentuk dokumen
elektronik.
Pasal 4
Penerimaan Otoritas Jasa Keuangan terhadap laporan
kegiatan yang disampaikan oleh Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan
Pasal 3 dihitung berdasarkan waktu diterimanya laporan
tersebut oleh Otoritas Jasa Keuangan dalam bentuk dokumen
cetak atau dalam bentuk dokumen elektronik.
- 5 -
Bagian Kedua
Jangka Waktu Penyampaian dan Pengumuman Laporan
Pasal 5
Laporan harian mengenai mutasi penyimpanan dan
penyelesaian Transaksi Bursa sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 huruf a wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa
Keuangan paling lambat pada hari kerja berikutnya.
Pasal 6
(1) Laporan bulanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
huruf b meliputi jumlah dan jenis Efek yang dimutasikan
serta keterangan lain yang diminta oleh Otoritas Jasa
Keuangan yang berkaitan dengan fungsinya sebagai
Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian.
(2) Laporan bulanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling
lambat pada hari ke-12 (dua belas) bulan berikutnya.
Pasal 7
(1) Laporan keuangan tengah tahunan wajib disampaikan
kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 60 (enam
puluh) hari sejak tanggal akhir periode.
(2) Laporan keuangan tahunan wajib disampaikan kepada
Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 90 (sembilan
puluh) hari sejak tanggal akhir tahun buku.
(3) Laporan keuangan tengah tahunan dan laporan
keuangan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) wajib diumumkan paling sedikit dalam
2 (dua) surat kabar harian berbahasa Indonesia yang
1 (satu) diantaranya berperedaran nasional dalam waktu
30 (tiga puluh) hari sejak tanggal laporan Akuntan yang
bersangkutan.
(4) Dalam hal Akuntan memberikan pendapat selain wajar
tanpa pengecualian terhadap laporan keuangan tengah
tahunan dan laporan keuangan tahunan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Otoritas Jasa
- 6 -
Keuangan dapat memanggil anggota Direksi dan/atau
melakukan pemeriksaan untuk memperoleh keterangan
lebih lanjut.
Pasal 8
Laporan realisasi anggaran dan penggunaan laba
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf d wajib disusun
secara triwulanan dan disampaikan kepada Otoritas Jasa
Keuangan melalui dewan komisaris, dengan ketentuan bahwa
laporan tersebut disampaikan secara kumulatif triwulanan
dan diterima oleh Otoritas Jasa Keuangan paling lambat pada
hari ke-12 (dua belas) setelah berakhirnya triwulan yang
bersangkutan.
Pasal 9
Laporan penyelenggaraan Rapat Umum Pemegang Saham
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf e wajib
disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat
2 (dua) hari kerja setelah tanggal penyelenggaraan Rapat
Umum Pemegang Saham Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian.
Pasal 10
Laporan mengenai perubahan status pemakai jasa Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 huruf f wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa
Keuangan paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah adanya
perubahan tersebut.
Pasal 11
Laporan mengenai pengenaan sanksi oleh Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian terhadap pemakai jasa
Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian serta laporan
mengenai peristiwa khusus sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 huruf g dan huruf h wajib disampaikan kepada
Otoritas Jasa Keuangan paling lambat pada hari kerja
berikutnya.
- 7 -
Pasal 12
Laporan mengenai kepemilikan dan setiap perubahan
kepemilikan saham Emiten atau Perusahaan Publik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf i wajib
disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan
tembusan kepada Bursa Efek di Indonesia dimana saham
tersebut dicatatkan dan kepada Lembaga Kliring dan
Penjaminan paling lambat pada hari kerja berikutnya setelah
pemindahbukuan atau setelah pencatatan untuk saham yang
pertama kali dicatat pada sub rekening Efek pada Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian.
Pasal 13
Bursa Efek wajib mengumumkan laporan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 pada sistem pelaporan elektronik
Bursa Efek yang dapat diakses setiap saat oleh masyarakat
paling lambat pada hari bursa berikutnya setelah Bursa Efek
menerima tembusan laporan tersebut.
Pasal 14
Dalam hal batas waktu penyampaian laporan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2), dan
Pasal 8 jatuh pada hari libur, laporan tersebut wajib
disampaikan pada hari kerja berikutnya.
BAB IV
KETENTUAN SANKSI
Pasal 15
(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang
Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang
mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak
yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini, termasuk pihak yang
menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut berupa:
a. peringatan tertulis;
- 8 -
b. denda, yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah
uang tertentu;
c. pembatasan kegiatan usaha;
d. pembekuan kegiatan usaha;
e. pencabutan izin usaha;
f. pembatalan persetujuan; dan
g. pembatalan pendaftaran.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau
huruf g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului
pengenaan sanksi administratif berupa peringatan
tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a.
(3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara
tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g.
Pasal 16
Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 15 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan
tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan
pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 17
Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15
ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 16 kepada masyarakat.
BAB V
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 18
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai
berlaku, Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan
Lembaga Keuangan Nomor Kep-182/BL/2009 tanggal 30 Juni
- 9 -
2009 tentang Laporan Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian, beserta Peraturan Nomor X.C.1 yang
merupakan lampirannya, dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku.
Pasal 19
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
Agar
setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 2 Desember 2016
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 7 Desember 2016
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 273
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 44 /POJK.04/2016
TENTANG
LAPORAN LEMBAGA PENYIMPANAN DAN PENYELESAIAN
I. UMUM
Bahwa sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas, dan
wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor
Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan
Lembaga Jasa Keuangan Lainnya beralih dari Menteri Keuangan dan
Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa
Keuangan.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, perlu dilakukan penataan
kembali struktur peraturan yang ada, khususnya yang terkait sektor
Pasar Modal dengan cara melakukan konversi Peraturan Badan Pengawas
Pasar Modal dan Lembaga Keuangan terkait sektor Pasar Modal menjadi
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Penataan dimaksud dilakukan agar
terdapat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan terkait sektor Pasar Modal
yang selaras dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan sektor lainnya.
Berdasarkan latar belakang pemikiran dan aspek tersebut, perlu
untuk mengganti Peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal
yang mengatur mengenai Laporan Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian yaitu Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan
Lembaga Keuangan Nomor Kep-182/BL/2009 tanggal 30 Juni 2009
tentang Laporan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian beserta
Peraturan Nomor X.C.1 yang merupakan lampirannya menjadi Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan tentang Laporan Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian.
- 2 -
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
- 3 -
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5969
"," POJK
44/POJK.04/2016
LAPORAN LEMBAGA PENYIMPANAN DAN PENYELESAIAN
2 Desember 2016
7 Desember 2016
7 Desember 2016
'Kep-182/BL/2009|KEPTA-BAPEPAM-LK/2009', 'Kep-182/BL/2009|KEPTA-BAPEPAM-LK/2009 | lampiran Peraturan Nomor X.C.1'
'21/UU/2011', '8/UU/1995'
'BAB IV'
"
" OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 16 /POJK.03/2017
TENTANG
BANK PERANTARA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka mewujudkan stabilitas sistem
keuangan diperlukan upaya pencegahan dan
penanganan bank bermasalah;
b. bahwa salah satu bentuk tindak lanjut atas
penanganan permasalahan bank dapat dilakukan
melalui pendirian bank perantara;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu
menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
tentang Bank Perantara.
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan (Lembaran Negara Repulik Indonesia
Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang
- 2 -
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867);
3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang
Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253);
4. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang
Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016
Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5872);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG BANK
PERANTARA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang
dimaksud dengan:
1. Bank adalah Bank sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan, dan Bank Syariah sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 21 tentang Perbankan
Syariah.
- 3 -
2. Bank Umum Konvensional adalah bank umum yang
menjalankan kegiatan usaha secara konvensional
dalam kegiatan memberikan jasa dalam lalu lintas
pembayaran.
3. Bank Umum Syariah adalah bank umum yang
menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip
syariah dalam kegiatan memberikan jasa dalam lalu
lintas pembayaran.
4. Bank Perantara adalah bank umum yang didirikan
oleh Lembaga Penjamin Simpanan untuk digunakan
sebagai sarana resolusi dengan menerima pengalihan
sebagian atau seluruh aset dan/atau kewajiban bank
yang ditangani Lembaga Penjamin Simpanan,
selanjutnya menjalankan kegiatan usaha perbankan,
dan akan dialihkan kepemilikannya kepada pihak lain.
5. Bank Asal adalah Bank yang sebagian atau seluruh
aset dan/atau kewajibannya dialihkan kepada Bank
Perantara.
6. Unit Usaha Syariah adalah unit kerja dari kantor
pusat Bank Umum Konvensional yang berfungsi
sebagai kantor induk dari kantor atau unit yang
melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip
syariah.
7. Lembaga Penjamin Simpanan yang selanjutnya
disingkat LPS adalah Lembaga Penjamin Simpanan
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin
Simpanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga
Penjamin Simpanan Menjadi Undang-Undang.
8. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat
OJK adalah lembaga yang independen, yang
mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan,
pengawasan, pemeriksaan,
dan penyidikan
- 4 -
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor
21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 2
Bank Perantara hanya dapat didirikan dan melakukan
kegiatan usaha setelah mendapat izin dari OJK.
Pasal 3
Bentuk badan hukum Bank Perantara adalah perseroan
terbatas.
Pasal 4
Menurut jenisnya, Bank Perantara terdiri atas:
a. Bank Perantara yang melakukan kegiatan usaha
sebagai Bank Umum Konvensional;
b. Bank Perantara yang melakukan kegiatan usaha
sebagai Bank Umum Syariah.
BAB II
PENDIRIAN BANK PERANTARA
Pasal 5
(1) Bank Perantara hanya dapat didirikan dan dimiliki
oleh LPS.
(2) Dalam pendirian Bank Perantara oleh LPS
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak berlaku:
a. ketentuan yang mewajibkan perseroan terbatas
didirikan oleh 2 (dua) orang atau lebih
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
mengenai perseroan terbatas; dan
b. batas
maksimum
kepemilikan saham
sebagaimana diatur dalam ketentuan OJK
mengenai kepemilikan saham bank umum.
Pasal 6
Pemberian izin Bank Perantara sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 dilakukan melalui 2 (dua) tahap, yaitu:
- 5 -
a. persetujuan prinsip untuk melakukan persiapan
pendirian Bank Perantara; dan
b.
izin usaha untuk melakukan kegiatan usaha Bank
Perantara setelah persiapan pendirian Bank Perantara
sebagaimana dimaksud dalam huruf a selesai
dilakukan.
Bagian Pertama
Persetujuan Prinsip
Pasal 7
Permohonan persetujuan prinsip pendirian Bank Perantara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a diajukan
oleh LPS.
Pasal 8
(1) Modal dasar untuk mendapatkan persetujuan prinsip
paling sedikit sebesar modal dasar untuk pendirian
perseroan terbatas.
(2) Modal dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
seluruhnya harus ditempatkan dan disetor penuh.
Pasal 9
Permohonan untuk mendapatkan persetujuan prinsip
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a diajukan
oleh LPS kepada OJK, disertai dengan dokumen:
a. anggaran dasar yang paling sedikit memuat:
1. nama dan tempat kedudukan;
2. kegiatan usaha sebagai Bank;
3. permodalan;
4. kepemilikan;
5. wewenang, tanggung jawab, dan masa jabatan
anggota direksi dan anggota dewan komisaris,
serta anggota dewan pengawas syariah bagi Bank
Perantara yang melakukan kegiatan usaha
sebagai Bank Umum Syariah; dan
- 6 -
6. persyaratan bahwa pengangkatan anggota direksi
dan anggota dewan komisaris, serta anggota
dewan pengawas syariah bagi Bank Perantara
yang melakukan kegiatan usaha sebagai Bank
Umum Syariah harus memperoleh persetujuan
OJK terlebih dahulu;
b. bukti setoran modal; dan
c. struktur organisasi dan sumber daya manusia,
pedoman manajemen risiko, tata kelola perusahaan
yang baik, prosedur kerja, rencana sistem teknologi
informasi yang akan digunakan, rencana bisnis, dan
proyeksi neraca, laba rugi, serta laporan arus kas
bulanan.
Pasal 10
Persyaratan dokumen permohonan untuk mendapatkan
persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
huruf c dapat diganti dengan surat pernyataan dari LPS
yang menyatakan bahwa persyaratan dokumen akan
dipenuhi dengan menggunakan data dan/atau dokumen
calon Bank Asal yang akan dialihkan sebagian atau
seluruh aset dan/atau kewajiban pada saat pengajuan
permohonan izin usaha Bank Perantara.
Pasal 11
(1) Dalam rangka memberikan persetujuan prinsip
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a, OJK
melakukan penilaian atas kelengkapan dokumen.
(2) Berdasarkan hasil penilaian atas kelengkapan
dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK
dapat meminta LPS untuk melengkapi dan/atau
melakukan perbaikan dokumen permohonan untuk
mendapatkan persetujuan prinsip.
Pasal 12
Persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
huruf a diberikan oleh OJK paling lama 30 (tiga puluh) hari
- 7 -
kerja setelah dokumen permohonan untuk mendapatkan
persetujuan prinsip diterima secara lengkap.
Pasal 13
Persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12 berlaku paling lama sampai dengan persetujuan
izin usaha diberikan oleh OJK.
Pasal 14
Bank Perantara hanya dapat melakukan kegiatan usaha
setelah memperoleh izin usaha dari OJK.
Bagian Kedua
Izin Usaha
Pasal 15
Pengajuan permohonan izin usaha pendirian Bank
Perantara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b
dilakukan dalam hal calon Bank Asal telah ditetapkan
sebagai Bank dalam pengawasan khusus.
Pasal 16
(1) Modal disetor untuk mendapatkan izin usaha
pendirian Bank Perantara adalah sebesar permodalan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan mengenai kewajiban penyediaan modal
minimum.
(2) Jumlah modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
seluruhnya harus ditempatkan dan disetor penuh
pada saat pengajuan permohonan izin usaha Bank
Perantara.
Pasal 17
Permohonan untuk mendapatkan izin usaha Bank
Perantara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b
diajukan oleh LPS kepada OJK, disertai dengan dokumen:
- 8 -
a. bukti pelunasan modal disetor sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 16 ayat (2);
b. susunan direksi, dewan komisaris, dan dewan
pengawas syariah bagi Bank Perantara yang
melakukan kegiatan usaha sebagai Bank Umum
Syariah;
c. rencana tindak (action plan) paling sedikit meliputi
cara dan jadwal pengalihan, pemenuhan dan
pengelolaan sumber daya manusia, serta migrasi
infrastruktur Bank Perantara;
d. dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
huruf c dalam hal dokumen belum dipenuhi pada saat
permohonan untuk mendapatkan persetujuan prinsip
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10;
e. bukti kesiapan operasional; dan
f. dokumen administratif yang diperlukan dalam rangka
penilaian kemampuan dan kepatutan calon anggota
direksi dan calon anggota dewan komisaris.
Pasal 18
(1) Dalam rangka memberikan persetujuan atas
permohonan izin usaha, OJK melakukan:
a.
penilaian atas kelengkapan dokumen; dan
b. penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap
calon anggota direksi dan calon anggota dewan
komisaris, serta wawancara terhadap calon
anggota dewan pengawas syariah bagi Bank
Perantara yang melakukan kegiatan usaha
sebagai Bank Umum Syariah.
(2) Berdasarkan hasil penilaian atas kelengkapan
dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK
dapat meminta LPS untuk melengkapi dan/atau
melakukan perbaikan dokumen, dan/atau
mengajukan calon anggota direksi, calon anggota
dewan komisaris dan/atau calon anggota dewan
pengawas syariah
bagi
Bank Perantara
- 9 -
yang melakukan kegiatan usaha sebagai Bank Umum
Syariah.
Pasal 19
OJK memberikan persetujuan atas permohonan izin usaha
Bank Perantara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15
setelah terdapat keputusan
yang menetapkan
penyelamatan Bank Asal dilakukan melalui pendirian Bank
Perantara.
Pasal 20
(1) Bank Perantara yang telah mendapat izin usaha dari
OJK harus melaksanakan kegiatan usaha perbankan
paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak
izin usaha diberikan oleh OJK.
(2) Pelaksanaan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus dilaporkan oleh direksi Bank
Perantara kepada OJK paling lama 10 (sepuluh) hari
kerja setelah tanggal pelaksanaan kegiatan
operasional.
(3) Berdasarkan permintaan LPS, OJK dapat memberikan
persetujuan untuk memperpanjang jangka waktu
pelaksanaan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).
Pasal 21
Dalam kondisi tertentu, LPS dapat mengajukan
permohonan persetujuan prinsip dan izin usaha Bank
Perantara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 pada
waktu yang sama.
Pasal 22
Permohonan persetujuan prinsip dan izin usaha Bank
Perantara pada waktu yang sama sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21 disertai dengan kelengkapan dokumen
- 10 -
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a dan huruf c,
serta Pasal 17 huruf a, huruf b, huruf c, huruf e,
dan huruf f.
Pasal 23
Pemberian persetujuan atas permohonan pendirian Bank
Perantara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21
diberikan oleh OJK berupa:
a. persetujuan prinsip; dan
b. izin usaha,
yang diterbitkan secara bersamaan.
Pasal 24
Dalam rangka memberikan persetujuan atas permohonan
pendirian Bank Perantara sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 23, OJK melakukan langkah-langkah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11, Pasal 18, dan Pasal 19.
BAB III
KEGIATAN USAHA DAN JARINGAN KANTOR
Pasal 25
Bank Perantara dapat menggunakan sebagian atau seluruh
sarana dan prasarana Bank Asal.
Bagian Pertama
Pengalihan Aset dan/atau Kewajiban
Pasal 26
(1) Bank Perantara menerima pengalihan aset dan/atau
kewajiban dari 1 (satu) Bank Asal.
(2) Dalam kondisi tertentu, 1 (satu) Bank Perantara dapat
digunakan untuk menerima pengalihan aset dan/atau
kewajiban lebih dari 1 (satu) Bank Asal.
- 11 -
Pasal 27
(1) Bank Perantara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
huruf a:
a. menerima pengalihan aset dan/atau kewajiban
dari 1 (satu) atau lebih Bank Asal berupa Bank
yang melakukan kegiatan usaha secara
konvensional; dan/atau
b. menerima pengalihan aset dan/atau kewajiban
selain aset dan/atau kewajiban Unit Usaha
Syariah pada 1 (satu) atau lebih Bank Asal yang
melakukan kegiatan usaha sebagai Bank Umum
Konvensional yang memiliki Unit Usaha Syariah.
(2) Bank Perantara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
huruf b:
a. menerima pengalihan aset dan/atau kewajiban
dari 1 (satu) atau lebih Bank Asal berupa Bank
yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan
prinsip syariah; dan/atau
b. menerima pengalihan aset dan/atau kewajiban
Unit Usaha Syariah pada 1 (satu) atau lebih Bank
Asal yang melakukan kegiatan usaha sebagai
Bank Umum Konvensional yang memiliki Unit
Usaha Syariah.
Pasal 28
Bank Perantara hanya dapat menerima pengalihan
sebagian atau seluruh aset dan/atau kewajiban Bank Asal
yang memiliki kriteria tertentu.
Pasal 29
(1) Dalam hal terdapat sebagian atau seluruh aset
dan/atau kewajiban Bank Asal lain yang akan
dialihkan kepada Bank Perantara yang telah
melakukan kegiatan usaha, Bank Perantara paling
sedikit harus menyampaikan perubahan:
a. rencana bisnis;
- 12 -
b. rencana tindak (action plan) paling sedikit
meliputi cara dan jadwal pengalihan, pemenuhan
dan pengelolaan sumber daya manusia, serta
migrasi infrastruktur dari Bank Asal yang akan
dialihkan kepada Bank Perantara; dan
c. rencana kebutuhan modal,
kepada OJK paling lama 5 (lima) hari sebelum
peralihan dilakukan.
(2) Dalam hal diperlukan peningkatan modal sebagai
akibat penambahan pengalihan aset dari Bank Asal
lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank
Perantara harus meningkatkan permodalan terlebih
dahulu paling lambat pada saat pengalihan.
Pasal 30
OJK dapat meminta LPS untuk mengganti anggota direksi,
anggota dewan komisaris, dan/atau anggota dewan
pengawas syariah Bank Perantara yang telah melakukan
kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29,
dalam hal menurut OJK anggota direksi, anggota dewan
komisaris, dan/atau anggota dewan pengawas syariah
Bank Perantara dimaksud dinilai tidak lagi memenuhi
persyaratan kompetensi akibat penambahan pengalihan
sebagian atau seluruh aset dan kewajiban.
Bagian Kedua
Operasional Bank Perantara
Pasal 31
(1) Bank Perantara dapat menjalankan produk dan
kegiatan usaha yang dilakukan oleh Bank Asal.
(2) Perizinan untuk menjalankan produk dan kegiatan
usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang
dimiliki oleh Bank Asal demi hukum beralih kepada
Bank Perantara sejak akta pengalihan sebagian atau
seluruh aset dan/atau kewajiban ditandatangani.
- 13 -
Pasal 32
Bank Perantara wajib memenuhi seluruh ketentuan
peraturan perundang-undangan bagi Bank Umum
Konvensional dan/atau Bank Umum Syariah kecuali diatur
lain dalam Peraturan OJK ini.
Pasal 33
(1) Bank Perantara wajib memenuhi persyaratan modal
inti sesuai dengan kegiatan usaha yang dilakukan oleh
Bank Perantara paling lama 1 (satu) tahun sejak Bank
Perantara memulai kegiatan usaha.
(2) Dalam hal Bank Perantara tidak dapat memenuhi
persyaratan modal inti sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Bank Perantara wajib menyesuaikan kegiatan
usaha Bank sesuai dengan modal inti yang dimiliki,
paling lama 1 (satu) tahun sejak berakhirnya jangka
waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Bagian Ketiga
Jaringan Kantor
Pasal 34
(1) Bank Perantara dapat melakukan pembukaan jaringan
kantor baru untuk mendukung operasional Bank
Perantara.
(2) Pembukaan jaringan kantor sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus didukung oleh ketersediaan
alokasi modal inti.
(3) Dalam menghitung ketersediaan alokasi modal inti
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), jaringan kantor
yang berasal dari Bank Asal tidak termasuk dalam
perhitungan ketersediaan alokasi modal inti.
- 14 -
BAB IV
PENGAKHIRAN BANK PERANTARA
Pasal 35
Bank Perantara sudah tidak lagi menjadi Bank Perantara
dalam hal LPS:
a. menjual saham Bank Perantara kepada pihak lain;
atau
b. setelah mengalihkan seluruh aset dan/atau kewajiban
Bank Perantara kepada Bank atau pihak lain.
Pasal 36
(1) Dalam hal LPS melakukan penjualan saham Bank
Perantara kepada pihak lain sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 35 huruf a:
a. penjualan saham wajib memenuhi persyaratan
jumlah pemegang saham sebagaimana diatur
dalam ketentuan peraturan perundang-
undangan;
b. pihak yang membeli saham Bank Perantara yang
telah dijual dapat memiliki saham Bank melebihi
batas
maksimum
sebagaimana pemegang saham yang memiliki
Bank dalam penanganan atau penyelamatan oleh
LPS sebagaimana diatur dalam ketentuan OJK
mengenai kepemilikan saham bank umum; dan
c. dalam hal pada saat beralihnya sebagian atau
seluruh kepemilikan Bank Perantara dari LPS
kepada pemegang saham baru masih terdapat
kewajiban keuangan yang harus dipenuhi,
kewajiban keuangan harus dipenuhi oleh
pemegang saham baru pada saat kepemilikan
Bank Perantara beralih.
(2) Pihak yang membeli saham Bank Perantara yang
melebihi batas maksimum kepemilikan saham
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b hanya
dapat memiliki saham Bank melebihi batas maksimum
kepemilikan saham
- 15 -
kepemilikan saham paling lama 20 (dua puluh) tahun
sejak pembelian saham Bank Perantara dari LPS.
Pasal 37
Dalam hal LPS mengalihkan seluruh aset dan/atau
kewajiban Bank Perantara kepada Bank atau pihak lain
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf b,
pengalihan seluruh aset dan/atau kewajiban dapat
dilakukan secara sekaligus atau secara bertahap.
Pasal 38
(1) LPS mengajukan permohonan pencabutan izin usaha
Bank Perantara kepada OJK paling lama 30 (tiga
puluh) hari kerja sejak pengalihan seluruh aset
dan/atau kewajiban kepada Bank atau pihak lain
selesai dilakukan.
(2) Tata cara pencabutan izin usaha Bank Perantara
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada
ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai
pencabutan izin usaha atas permintaan pemegang
saham bank umum.
Pasal 39
LPS membubarkan badan hukum Bank Perantara setelah
dilakukan pencabutan izin usaha oleh OJK.
BAB V
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 40
(1) LPS mengajukan permohonan pencabutan izin usaha
Bank Asal kepada OJK paling lama 5 (lima) hari kerja
sejak pengalihan aset dan/atau kewajiban selesai
dilakukan.
(2) LPS melakukan proses likuidasi dan pembubaran
badan hukum Bank Asal setelah dilakukan
pencabutan izin usaha oleh OJK.
- 16 -
(3) Berdasarkan permintaan LPS, OJK dapat memberikan
persetujuan untuk memperpanjang jangka waktu
permohonan pencabutan izin usaha Bank Asal
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 41
(1) Bank Perantara dikecualikan dari status pengawasan
sebagai bank dalam pengawasan intensif atau bank
dalam pengawasan khusus.
(2) Bank Perantara sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tetap berkewajiban
pengawasan yang diperintahkan oleh OJK.
BAB VI
SANKSI
Pasal 42
Bank Perantara yang tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32, Pasal 33, dan
Pasal 36 ayat (1) huruf a dikenakan sanksi administratif
berupa:
a. teguran tertulis;
b. larangan melakukan ekspansi kegiatan usaha;
c. larangan pembukaan jaringan kantor;
d. pembekuan kegiatan usaha tertentu; dan/atau
e. pencantuman anggota direksi, anggota dewan
komisaris, dan/atau pejabat eksekutif dalam daftar
pihak yang mendapat predikat Tidak Lulus dalam uji
kemampuan dan kepatutan sebagaimana diatur dalam
ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai
uji kemampuan dan kepatutan (fit and proper test).
melaksanakan tindakan
- 17 -
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 43
Peraturan OJK ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan OJK ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 4 April 2017
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 7 April 2017
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 66
Salinan ini sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
- 2 -
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 16 /POJK.03/2017
TENTANG
BANK PERANTARA
I. UMUM
Krisis keuangan tahun 1997-1998 memberikan pembelajaran bagi
pihak terkait dalam menangani stabilitas sistem keuangan. Upaya
perbaikan dilakukan untuk mengantisipasi gagalnya sistem keuangan
khususnya pada perbankan.
Semangat dari penerbitan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016
tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan adalah
penanganan permasalahan Bank dengan menggunakan sumber daya
Bank itu sendiri dan pendekatan bisnis tanpa menggunakan anggaran
negara. Bank yang tidak mampu menyelesaikan permasalahan yang
dihadapi maka akan diambil alih oleh Lembaga Penjamin Simpanan
untuk dilakukan penanganan. Salah satu pilihan penyelesaian
penanganan Bank bermasalah adalah melalui pembentukan Bank
Perantara.
Pembentukan Bank Perantara merupakan sarana untuk
memisahkan aset dan kewajiban Bank bermasalah yang dinilai
mempunyai kualitas yang baik dengan aset dan kewajiban yang dinilai
buruk. Dengan pemisahan tersebut, Bank Perantara akan menerima
pengalihan aset dan kewajiban yang mempunyai kualitas baik dan
selanjutnya Bank Perantara menjalankan kegiatan usaha perbankan
dan akan dialihkan kepemilikannya kepada pihak lain.
- 2 -
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Jumlah modal dasar untuk pendirian perseroan terbatas
mengacu pada Undang-Undang mengenai perseroan terbatas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 9
Huruf a
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Cukup jelas.
- 3 -
Angka 3
Cukup jelas.
Angka 4
Cukup jelas.
Angka 5
Wewenang, tanggung jawab, dan masa jabatan anggota
dewan pengawas syariah disampaikan dalam hal Bank
Perantara berupa Bank Perantara yang melakukan
kegiatan usaha sebagai Bank Umum Syariah.
Angka 6
Persyaratan dan tata cara pengangkatan calon anggota
direksi dan calon anggota dewan komisaris mengacu
pada ketentuan OJK yang mengatur mengenai penilaian
kemampuan dan kepatutan.
Persyaratan bahwa anggota dewan pengawas syariah
harus memperoleh persetujuan OJK terlebih dahulu,
dipenuhi dalam hal Bank Perantara yang melakukan
kegiatan usaha sebagai Bank Umum Syariah.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
- 4 -
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Yang dimaksud dengan “Bank dalam pengawasan khusus” adalah
status pengawasan bank sebagaimana diatur dalam Peraturan
OJK mengenai penetapan status dan tindak lanjut pengawasan
bank umum.
Pasal 16
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “sebesar permodalan sesuai dengan
ketentuan
peraturan perundang-undangan mengenai
kewajiban penyediaan modal minimum” adalah pemenuhan
kewajiban penyediaan modal minimum sesuai dengan profil
risiko.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 17
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Susunan dewan pengawas syariah disampaikan dalam hal
Bank Perantara yang melakukan kegiatan usaha sebagai
Bank Umum Syariah.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Dokumen harus disampaikan pada saat pengajuan izin usaha
karena dokumen dimaksud telah digantikan dengan surat
pernyataan dari LPS dalam pengajuan persetujuan prinsip.
Huruf e
Bukti kesiapan operasional antara lain:
1) daftar aktiva tetap dan inventaris; dan
2) formulir atau warkat yang akan digunakan untuk
operasional Bank Perantara.
- 5 -
Huruf f
Cukup jelas.
Pasal 18
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap calon
anggota direksi dan calon anggota dewan komisaris
dilakukan dengan mengacu pada ketentuan OJK yang
mengatur mengenai penilaian kemampuan dan
kepatutan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas
Pasal 21
Yang dimaksud dengan “kondisi tertentu” adalah kondisi krisis
sistem keuangan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
mengenai pencegahan dan penanganan krisis sistem keuangan.
Pasal 22
Pemenuhan persyaratan pelunasan modal disetor untuk
memperoleh izin usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17
huruf a termasuk pula pemenuhan persyaratan bukti setoran
modal dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1).
Pasal 23
Cukup jelas.
- 6 -
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Yang dimaksud dengan “sarana dan prasarana Bank Asal” antara
lain jaringan kantor, sumber daya manusia, sistem teknologi
informasi, dan/atau prosedur kerja.
Pasal 26
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “kondisi tertentu” adalah kondisi yang
berdasarkan pertimbangan LPS, 1 (satu) Bank Perantara
dapat digunakan untuk menerima pengalihan aset dan/atau
kewajiban lebih dari 1 (satu) Bank Asal.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Kriteria aset dan kewajiban tertentu yang dapat dialihkan
mengacu pada Undang-Undang mengenai pencegahan dan
penanganan krisis sistem keuangan.
Pasal 29
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Rencana kebutuhan modal diperlukan dalam rangka
peningkatan permodalan Bank untuk menyerap
peningkatan risiko dari aset yang diterima dari Bank
Asal lain.
- 7 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Ayat (1)
Ketentuan kegiatan usaha sesuai dengan modal inti mengacu
pada ketentuan OJK yang mengatur mengenai kegiatan
usaha dan jaringan kantor berdasarkan modal inti.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Ayat (1)
Huruf a
Ketentuan peraturan perundang-undangan antara lain
Undang-Undang mengenai perbankan, Undang-Undang
mengenai perseroan terbatas, Undang-Undang mengenai
perbankan syariah, dan ketentuan peraturan perundang-
undangan mengenai bank umum.
Huruf b
Cukup jelas.
- 8 -
Huruf c
Kewajiban keuangan antara lain mengenai kewajiban
tambahan modal sebagai penyangga (buffer) dalam
bentuk capital conservation buffer, countercyclical buffer,
dan/atau capital surcharge bagi bank sistemik.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6040
"," POJK
16/POJK.03/2017
BANK PERANTARA
4 April 2017
7 April 2017
7 April 2017
'21/UU/2008', '21/UU/2011', '9/UU/2016', '7/UU/1992', '10/UU/1998'
'BAB VI'
"
" - 1 -
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 28 /POJK.04/2017
TENTANG
PEMELIHARAAN DOKUMEN OLEH WALI AMANAT
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor
21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, sejak
tanggal 31 Desember 2012 fungsi, tugas, dan wewenang
pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di
sektor pasar modal termasuk pengaturan mengenai
pemeliharaan dokumen oleh wali amanat beralih dari
Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke
Otoritas Jasa Keuangan;
b. bahwa untuk memberikan kejelasan dan kepastian
mengenai pengaturan terhadap pemeliharaan dokumen
oleh wali amanat, ketentuan peraturan perundang-
undangan di sektor pasar modal mengenai pemeliharaan
dokumen oleh wali amanat yang diterbitkan sebelum
terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan perlu diubah ke
dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Pemeliharaan
Dokumen oleh Wali Amanat;
- 2 -
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995
Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3608);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
PEMELIHARAAN DOKUMEN OLEH WALI AMANAT.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud
dengan:
1. Wali Amanat adalah pihak yang mewakili kepentingan
pemegang efek yang bersifat utang.
2. Emiten adalah pihak yang melakukan Penawaran Umum.
3. Efek adalah surat berharga, yaitu surat pengakuan
utang, surat berharga komersial, saham, obligasi, tanda
bukti utang, unit penyertaan kontrak investasi kolektif,
kontrak berjangka atas Efek, dan setiap derivatif dari
Efek.
4. Sukuk adalah Efek syariah berupa sertifikat atau bukti
kepemilikan yang bernilai sama dan mewakili bagian
yang tidak terpisahkan atau tidak terbagi
(syuyu’/undivided share), atas aset yang mendasarinya.
5. Kontrak Perwaliamanatan adalah perjanjian antara
Emiten dan Wali Amanat dalam rangka penerbitan Efek
bersifat utang dan/atau Sukuk yang dibuat dalam
bentuk akta notariil.
- 3 -
BAB II
PEMELIHARAAN DOKUMEN
Pasal 2
Setiap Wali Amanat wajib mengadministrasikan, menyimpan,
dan memelihara catatan, pembukuan, data, dan keterangan
tertulis yang berhubungan dengan Emiten yang menggunakan
jasa Wali Amanat.
Pasal 3
(1) Dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 wajib
disimpan di tempat yang aman dan terpisah dari kegiatan
bank lainnya dan wajib tersedia setiap saat untuk
kepentingan pemeriksaan Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 wajib
disimpan paling singkat untuk jangka waktu 5 (lima)
tahun sejak seluruh kewajiban Emiten terhadap
pemegang Efek bersifat utang dan/atau Sukuk telah
dipenuhi.
BAB III
KETENTUAN SANKSI
Pasal 4
(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang
pasar modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang
mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak
yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini, termasuk pihak yang
menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut, berupa:
a. peringatan tertulis;
b. denda, yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah
uang tertentu;
c. pembatasan kegiatan usaha;
d. pembekuan kegiatan usaha;
e. pencabutan izin usaha;
- 4 -
f. pembatalan persetujuan; dan/atau
g. pembatalan pendaftaran.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau
huruf g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului
pengenaan sanksi administratif berupa peringatan
tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a.
(3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara
tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g.
Pasal 5
Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan
tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan
pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 6
Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 kepada masyarakat.
BAB IV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 7
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai
berlaku, Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
Nomor Kep-78/PM/1996 tentang Pemeliharaan Dokumen oleh
Wali Amanat, beserta Peraturan Nomor X.I.2 yang merupakan
lampirannya, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
- 5 -
Pasal 8
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
Agar
setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 21 Juni 2017
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 22 Juni 2017
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 128
Salinan ini sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 28 /POJK.04/2017
TENTANG
PEMELIHARAAN DOKUMEN OLEH WALI AMANAT
I. UMUM
Bahwa sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas, dan
wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor
pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan
lembaga jasa keuangan lainnya beralih dari Menteri Keuangan dan Badan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa
Keuangan.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, perlu dilakukan penataan
kembali struktur peraturan yang ada, khususnya yang terkait sektor
pasar modal dengan cara melakukan konversi Peraturan Badan Pengawas
Pasar Modal dan Lembaga Keuangan terkait sektor pasar modal menjadi
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Penataan dimaksud dilakukan agar
terdapat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan terkait sektor pasar modal
yang selaras dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan sektor lainnya.
Berdasarkan latar belakang pemikiran dan aspek tersebut, perlu
mengganti ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor pasar
modal yang mengatur mengenai pemeliharaan dokumen oleh Wali Amanat
yaitu Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor Kep-
78/PM/1996 tentang Pemeliharaan Dokumen oleh Wali Amanat, beserta
Peraturan Nomor X.I.2 yang merupakan lampirannya, menjadi Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan tentang Pemeliharaan Dokumen oleh Wali
Amanat.
- 2 -
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Catatan, pembukuan, data, dan keterangan tertulis yang wajib
diadministrasikan, disimpan, dan dipelihara antara lain:
a. Kontrak Perwaliamanatan;
b. kontrak yang berkaitan dengan pemberian jaminan dan bukti
pemilikan atau penguasaan atas harta yang dijaminkan;
c.
catatan, risalah, dan/atau laporan mengenai jumlah dan jenis
Efek bersifat utang dan/atau Sukuk yang masih beredar dan
yang telah dilunasi;
d. catatan, risalah, dan/atau laporan mengenai pelaksanaan
pengawasan terhadap Emiten termasuk tindakan yang
dilakukan oleh Wali Amanat karena tidak dipenuhinya
persyaratan Kontrak Perwaliamanatan, antara lain tidak
dibayarnya pokok dan bunga, atau adanya pelanggaran
terhadap peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal
yang dilakukan oleh Emiten;
e.
f.
catatan, risalah, dan/atau laporan mengenai rapat umum
pemegang Efek bersifat utang dan/atau Sukuk;
catatan, risalah, dan/atau laporan mengenai jumlah dan jenis
Efek bersifat utang dan/atau Sukuk yang dapat dikonversikan
menjadi saham;
g. daftar Emiten yang menggunakan jasa Wali Amanat; dan
h. buku pedoman operasional Wali Amanat.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
- 3 -
Pasal 5
Yang dimaksud dengan “tindakan tertentu” antara lain berupa
perintah untuk menyalin atau melakukan dokumentasi ulang atas
dokumen yang rusak.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6075
"," POJK
8/POJK.04/2017
BENTUK DAN ISI PROSPEKTUS DAN PROSPEKTUS RINGKAS DALAM RANGKA PENAWARAN UMUM EFEK BERSIFAT EKUITAS
14 Maret 2017
14 Maret 2017
14 Maret 2017
'Kep-51/PM/1996|KEPTA-BAPEPAM/1996', 'SE-05/BL/2006|SE-BAPEPAM/2006', 'Kep-43/PM/2000|KEPTA-BAPEPAM/2000', 'Kep-51/PM/1996|KEPTA-BAPEPAM/1996 | Lampiran Peraturan Nomor IX.C.3'
'21/UU/2011', ' 8/UU/1995'
'BAB VII'
"
" OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 56 /POJK.03/2016
TENTANG
KEPEMILIKAN SAHAM BANK UMUM
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka menghadapi dinamika
perkembangan perekonomian regional dan global,
industri perbankan nasional perlu meningkatkan
ketahanan;
b. bahwa peningkatan ketahanan perbankan dilakukan
melalui peningkatan penerapan prinsip kehati-hatian
dan tata kelola;
c. bahwa untuk meningkatkan pelaksanaan prinsip
kehati-hatian dan tata kelola, diperlukan penataan
struktur kepemilikan saham bank;
d. bahwa penataan struktur kepemilikan saham bank
dilakukan melalui penerapan batas maksimum
kepemilikan saham sehingga dapat mengurangi
dominasi kepemilikan yang dapat berdampak negatif
terhadap operasional bank;
e. bahwa penerapan batas maksimum kepemilikan
saham juga akan berdampak positif untuk mendorong
konsolidasi perbankan dalam rangka memperkuat
ketahanan industri perbankan nasional;
- 2 -
f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf
e, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan tentang Kepemilikan Saham Bank
Umum;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867);
3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang
Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
KEPEMILIKAN SAHAM BANK UMUM.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang
dimaksud dengan:
1. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998 dan bank umum
- 3 -
syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah, tidak termasuk kantor cabang dari bank yang
berkedudukan di luar negeri.
2. Tata Kelola adalah tata kelola sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan yang mengatur mengenai penerapan
tata kelola bagi bank umum, bank umum syariah, dan
unit usaha syariah.
3. Tingkat Kesehatan Bank adalah tingkat kesehatan
bank sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang
mengatur mengenai penilaian tingkat kesehatan bank
umum, bank umum syariah, dan unit usaha syariah.
4. Modal adalah modal disetor Bank.
BAB II
BATAS MAKSIMUM KEPEMILIKAN SAHAM
Pasal 2
(1) Dalam rangka penataan struktur kepemilikan,
Otoritas Jasa Keuangan menetapkan batas maksimum
kepemilikan saham pada Bank berdasarkan:
a. kategori pemegang saham; dan
b. keterkaitan antar pemegang saham.
(2) Batas maksimum kepemilikan saham pada Bank bagi
setiap kategori pemegang saham ditetapkan:
a. 40% (empat puluh persen) dari Modal Bank,
untuk kategori pemegang saham berupa badan
hukum lembaga keuangan bank dan lembaga
keuangan bukan bank;
b. 30% (tiga puluh persen) dari Modal Bank, untuk
kategori pemegang saham berupa badan hukum
bukan lembaga keuangan; dan
c. 20% (dua puluh persen) dari Modal Bank, untuk
kategori pemegang saham perorangan.
- 4 -
(3) Batas maksimum kepemilikan saham sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf c pada bank umum
syariah adalah sebesar 25% (dua puluh lima persen)
dari Modal Bank.
(4) Lembaga keuangan bukan bank sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf a adalah lembaga
keuangan bukan bank yang memenuhi kriteria:
a. dalam pendiriannya sesuai peraturan perundang-
undangan dimungkinkan melakukan kegiatan
penyertaan dalam jangka panjang; dan
b. diawasi dan diatur oleh otoritas lembaga
keuangan.
(5) Lembaga keuangan bukan bank yang tidak memenuhi
kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (4),
diperlakukan sebagai badan hukum bukan lembaga
keuangan yang hanya dapat memiliki saham dengan
batas maksimum kepemilikan saham pada Bank
sebesar 30% (tiga puluh persen) dari Modal Bank.
Pasal 3
Batas maksimum kepemilikan saham tidak berlaku bagi:
a. Pemerintah Pusat; dan
b. lembaga yang memiliki fungsi melakukan penanganan
dan/atau penyelamatan Bank.
Pasal 4
(1) Keterkaitan antar pemegang saham Bank sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b didasarkan
pada:
a. adanya hubungan kepemilikan;
b. adanya hubungan keluarga sampai dengan
derajat kedua; dan/atau
c. adanya kerjasama atau tindakan yang sejalan
untuk mencapai tujuan bersama dalam
mengendalikan Bank (acting in concert) dengan
atau tanpa perjanjian tertulis sehingga secara
bersama-sama mempunyai hak opsi atau hak
- 5 -
lainnya untuk memiliki saham Bank.
(2) Pemegang saham yang memiliki keterkaitan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
sebagai 1 (satu) pihak.
(3) Batas maksimum kepemilikan saham bagi pemegang
saham yang ditetapkan sebagai 1 (satu) pihak
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah:
a. jumlah keseluruhan kepemilikan saham dalam 1
(satu) pihak sebesar batas kepemilikan yang
tertinggi dari kategori pemegang saham dalam
satu pihak; dan
b. komposisi kepemilikan masing-masing pemegang
saham dalam 1 (satu) pihak paling tinggi sebesar
batas maksimum kepemilikan sesuai kategori
pemegang saham.
Pasal 5
(1) Pemegang saham Bank yang memenuhi kriteria
sebagai pemegang saham pengendali selain tunduk
pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, juga
tunduk pada ketentuan yang mengatur mengenai
pemegang saham pengendali.
(2) Calon pemegang saham pengendali yang merupakan
warga negara asing dan/atau badan hukum yang
berkedudukan di luar negeri, di samping tunduk pada
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus
memenuhi persyaratan:
a. memiliki komitmen untuk mendukung
pengembangan perekonomian Indonesia melalui
Bank yang dimiliki;
b. memperoleh rekomendasi dari otoritas
pengawasan dari negara asal bagi badan hukum
lembaga keuangan; dan
c. memiliki peringkat paling rendah:
1. 1 (satu) tingkat (notch) di atas peringkat
investasi terendah bagi badan hukum
lembaga keuangan bank;
- 6 -
2. 2 (dua) tingkat (notch) di atas peringkat
investasi terendah bagi badan hukum
lembaga keuangan bukan bank; atau
3. 3 (tiga) tingkat (notch) di atas peringkat
investasi terendah bagi badan hukum bukan
lembaga keuangan.
Pasal 6
(1) Badan hukum lembaga keuangan bank dapat memiliki
saham Bank lebih dari 40% (empat puluh persen) dari
Modal Bank sepanjang memperoleh persetujuan
Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Badan hukum lembaga keuangan bank sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan:
a. memperoleh penilaian Tingkat Kesehatan Bank
dengan Peringkat Komposit 1 atau Peringkat
Komposit 2 atau peringkat Tingkat Kesehatan
Bank yang setara bagi lembaga keuangan bank
yang berkedudukan di luar negeri;
b. memenuhi ketentuan Kewajiban Penyediaan
Modal Minimum sesuai profil risiko;
c. memiliki modal inti (tier 1) paling sedikit sebesar
6% (enam persen);
d. mendapatkan rekomendasi dari otoritas
pengawasan lembaga keuangan bank, bagi
lembaga keuangan bank yang berkedudukan di
luar negeri;
e. merupakan lembaga keuangan bank yang telah
berbentuk perseroan terbuka (go public);
f.
berkomitmen untuk memenuhi kewajiban
membeli surat utang bersifat ekuitas yang
diterbitkan oleh Bank yang akan dimiliki;
g. berkomitmen untuk memiliki Bank paling kurang
dalam jangka waktu tertentu; dan
h. berkomitmen untuk mendukung pengembangan
perekonomian Indonesia melalui Bank yang
dimiliki.
- 7 -
Pasal 7
Bank yang dapat dimiliki oleh badan hukum lembaga
keuangan bank dengan jumlah lebih dari 40% (empat
puluh persen) dari Modal Bank sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 paling sedikit memenuhi kriteria:
a. harus melakukan go public untuk mencapai
kepemilikan publik paling sedikit sebesar 20% (dua
puluh persen) dari Modal Bank, yang dilakukan paling
lambat 5 (lima) tahun sejak badan hukum lembaga
keuangan bank memiliki saham sesuai persetujuan
Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 ayat (1); dan
b. harus memiliki persetujuan untuk menerbitkan surat
utang yang bersifat ekuitas.
Pasal 8
(1) Badan hukum lembaga keuangan bank yang akan
menjadi pemegang saham Bank dan telah memperoleh
persetujuan Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dapat melakukan
pembelian saham Bank dengan tahapan:
a. melakukan pembelian saham sampai dengan
batas maksimum kepemilikan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4; dan
b. dapat meningkatkan saham Bank sesuai dengan
batas kepemilikan yang telah disetujui Otoritas
Jasa Keuangan dalam hal Bank yang dimiliki
memperoleh penilaian Tingkat Kesehatan Bank
dan penilaian Tata Kelola peringkat 1 (satu) atau
2 (dua) selama 3 (tiga) periode penilaian berturut-
berturut dalam periode 5 (lima) tahun, terhitung
sejak persetujuan Otoritas Jasa Keuangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1).
(2) Selama Bank yang dimiliki tidak dapat memperoleh
penilaian Tingkat Kesehatan Bank dan penilaian Tata
Kelola sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,
badan hukum lembaga keuangan bank hanya
dapat memiliki saham sampai dengan batas
- 8 -
maksimum sebesar 40% (empat puluh persen) dari
Modal Bank.
Pasal 9
Tahapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 tidak
berlaku bagi badan hukum lembaga keuangan bank yang
telah memiliki saham Bank sebelum tanggal 13 Juli 2012
dan telah memperoleh persetujuan Otoritas Jasa Keuangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1).
BAB III
KEWAJIBAN PENERAPAN BATAS MAKSIMUM
KEPEMILIKAN SAHAM
Pasal 10
(1) Pemegang saham yang memiliki saham Bank lebih
dari batas maksimum kepemilikan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4, wajib
menyesuaikan dengan batas maksimum kepemilikan
saham apabila:
a. Bank mengalami penurunan penilaian Tingkat
Kesehatan Bank dan/atau penilaian Tata Kelola
menjadi Peringkat 3, Peringkat 4 atau Peringkat 5
selama 3 (tiga) periode penilaian berturut-
berturut; atau
b. pemegang saham atas inisiatif sendiri melakukan
penjualan saham yang dimiliki.
(2) Pemegang saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib menyesuaikan dengan batas maksimum
kepemilikan saham dalam jangka waktu paling lama
5 (lima) tahun setelah periode penilaian terakhir atau
penjualan saham yang dimiliki.
Pasal 11
(1) Pemegang saham yang akan memiliki:
a. Bank dalam penanganan atau penyelamatan oleh
Lembaga Penjamin Simpanan;
b. Bank dalam pengawasan khusus; atau
- 9 -
c. Bank dalam pengawasan intensif,
dapat memiliki saham Bank lebih dari batas
maksimum kepemilikan saham sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4 dalam jangka
waktu tertentu.
(2) Pemegang saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib menyesuaikan dengan batas maksimum
kepemilikan saham sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 dan Pasal 4 dengan jangka waktu:
a. paling lama 20 (dua puluh) tahun sejak membeli:
1. Bank dalam penanganan atau penyelamatan
oleh Lembaga Penjamin Simpanan; atau
2. Bank dalam pengawasan khusus; atau
b. paling lama 15 (lima belas) tahun sejak membeli
Bank dalam pengawasan intensif.
Pasal 12
(1) Pemegang saham pada Bank yang melakukan
penggabungan atau peleburan dapat memiliki saham
Bank hasil penggabungan atau peleburan lebih dari
batas maksimum kepemilikan saham sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4 dalam jangka
waktu tertentu.
(2) Bagi pemegang saham pada Bank hasil penggabungan
atau peleburan yang berasal dari Bank yang
memperoleh penilaian Tingkat Kesehatan Bank dan
penilaian Tata Kelola dengan Peringkat 1 atau
Peringkat 2 wajib menyesuaikan dengan batas
maksimum kepemilikan saham sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4 paling lama 10
(sepuluh) tahun sejak:
a. penurunan peringkat Tingkat Kesehatan Bank
dan/atau penilaian Tata Kelola Bank hasil
penggabungan atau peleburan menjadi Peringkat
3, Peringkat 4 atau Peringkat 5 selama 3 (tiga)
periode berturut-turut; atau
b. penjualan saham atas inisiatif sendiri,
- 10 -
yang terjadi dalam periode paling lama 10 (sepuluh)
tahun setelah penggabungan atau peleburan.
(3) Bagi pemegang saham pada Bank hasil penggabungan
atau peleburan yang berasal dari Bank yang
memperoleh penilaian Tingkat Kesehatan Bank
dan/atau penilaian Tata Kelola dengan Peringkat 3,
Peringkat 4 atau Peringkat 5 wajib menyesuaikan
dengan batas maksimum kepemilikan saham
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4
paling lama 20 (dua puluh) tahun sejak penggabungan
atau peleburan.
Pasal 13
Bagi pemegang saham pada bank umum syariah hasil
pemisahan (spin off) unit usaha syariah, diatur sebagai
berikut:
a. dapat memiliki saham lebih dari batas maksimum
kepemilikan saham; dan
b. wajib menyesuaikan kepemilikan saham dengan batas
maksimum kepemilikan saham sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4 paling lama akhir
Desember 2028.
Pasal 14
Bagi Pemerintah Daerah yang telah memiliki saham bank
pembangunan daerah dapat menyesuaikan dengan batas
maksimum kepemilikan saham.
Pasal 15
Dalam hal bank pembangunan daerah memperoleh
penilaian Tingkat Kesehatan Bank dan/atau penilaian Tata
Kelola dengan Peringkat 3, Peringkat 4 atau Peringkat 5
dan memerlukan tambahan modal maka:
a. penambahan modal diutamakan berasal dari investor
yang tidak terkait dengan Pemerintah Daerah; dan
b. Pemerintah Daerah dapat tetap mempertahankan
kepemilikan Pemerintah Daerah sebagai pemegang
saham mayoritas.
- 11 -
Pasal 16
(1) Bank yang dimiliki oleh pemegang saham yang wajib
menyesuaikan dengan batas maksimum kepemilikan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, wajib
menyusun rencana tindak dalam rangka
menyesuaikan dengan batas maksimum kepemilikan
saham.
(2) Rencana tindak dalam rangka menyesuaikan dengan
batas maksimum kepemilikan saham sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib mendapatkan
persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)
dan disampaikan paling lambat 4 (empat) bulan sejak
timbulnya kewajiban menyesuaikan dengan batas
maksimum kepemilikan saham untuk memperoleh
persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan.
(3) Rencana tindak dalam rangka menyesuaikan dengan
batas maksimum kepemilikan saham sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) paling sedikit memuat cara
penyesuaian batas maksimum kepemilikan saham,
tahapan pelaksanaan, dan jangka waktu.
(4) Bank wajib menyampaikan laporan pelaksanaan
rencana tindak dalam rangka menyesuaikan dengan
batas maksimum kepemilikan saham sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) kepada Otoritas Jasa
Keuangan paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja sejak
realisasi rencana tindak atau sesuai dengan tahapan
rencana tindak.
(5) Penyampaian rencana tindak dan laporan pelaksanaan
rencana tindak dalam rangka menyesuaikan dengan
batas maksimum kepemilikan saham sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (4) ditujukan kepada:
a. Departemen Pengawasan Bank
terkait,
Departemen Perbankan Syariah atau Kantor
Regional Otoritas Jasa Keuangan di Jakarta, bagi
Bank yang berkantor pusat di wilayah Provinsi
Daerah Khusus Ibukota Jakarta; atau
- 12 -
b. Kantor Regional Otoritas Jasa Keuangan atau
Kantor Otoritas Jasa Keuangan setempat, bagi
Bank yang berkantor pusat di luar wilayah
Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
BAB IV
KONSEKUENSI KEWAJIBAN PEMENUHAN
BATAS MAKSIMUM KEPEMILIKAN
Pasal 17
(1) Pemegang saham yang tidak memenuhi kewajiban
penyesuaian dengan batas maksimum kepemilikan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1),
Pasal 10 ayat (2), Pasal 11 ayat (2), Pasal 12 ayat (2),
Pasal 12 ayat (3), dan/atau Pasal 13 huruf b,
dikenakan pembatasan berupa:
a. hak yang bersangkutan dalam perhitungan
kuorum dan pengambilan keputusan dalam RUPS
hanya diperhitungkan paling tinggi sebesar batas
maksimum kepemilikan saham Bank
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal
4; dan
b. pembayaran dividen untuk kelebihan saham yang
dimiliki ditunda sampai dengan yang
bersangkutan melakukan penyesuaian dengan
batas maksimum kepemilikan saham.
(2) Selain pembatasan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), terhadap pemegang saham yang tidak memenuhi
kewajiban penyesuaian batas maksimum kepemilikan
saham dapat dilakukan penilaian kembali kemampuan
dan kepatutan.
(3) Pembatasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak menghilangkan kewajiban pemegang saham
untuk melakukan penyesuaian kepemilikan dengan
batas maksimum kepemilikan saham.
- 13 -
Pasal 18
Bank yang dimiliki oleh pemegang saham yang tidak
memenuhi kewajiban penyesuaian batas maksimum
kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat
(1), Pasal 10 ayat (2), Pasal 11 ayat (2), Pasal 12 ayat (2),
Pasal 12 ayat (3), dan/atau Pasal 13 huruf b:
a. wajib mencatat hak yang bersangkutan selaku
pemegang saham paling tinggi sebesar batas
maksimum kepemilikan saham sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4;
b. wajib memastikan penggunaan hak suara bagi yang
bersangkutan dan perhitungan kuorum dalam RUPS
paling tinggi sebesar batas maksimum kepemilikan
saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan
Pasal 4;
c. wajib menunda pembayaran dividen bagi kelebihan
saham yang dimiliki pemegang saham yang
bersangkutan sampai dengan yang bersangkutan
melakukan penyesuaian dengan batas maksimum
kepemilikan saham; dan
d.
dilarang memberikan atau memperpanjang jangka
waktu fasilitas penyediaan dana kepada pemegang
saham yang bersangkutan, termasuk kepada pihak
terkait dengan pemegang saham.
BAB V
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 19
Otoritas Jasa Keuangan berdasarkan pertimbangan
tertentu dapat memberikan persetujuan kepada pemegang
saham untuk memiliki saham Bank melebihi batas
maksimum kepemilikan saham sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 dan Pasal 4 untuk jangka waktu tertentu.
- 14 -
Pasal 20
Otoritas Jasa Keuangan dapat memerintahkan pemegang
saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 agar Bank
yang dimiliki melakukan penggabungan atau peleburan.
BAB VI
SANKSI
Pasal 21
(1) Bank yang melanggar kewajiban sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1), Pasal 16 ayat (2),
Pasal 16 ayat (4), dan/atau Pasal 18 dikenakan sanksi
administratif berupa:
a. teguran tertulis;
b. larangan pembukaan jaringan kantor baru;
dan/atau
c. pembekuan kegiatan usaha tertentu.
(2) Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan penilaian
kembali kemampuan dan kepatutan terhadap anggota
direksi dan/atau anggota dewan komisaris pada Bank
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 22
(1) Pemegang saham yang telah mempunyai kewajiban
untuk melakukan penyesuaian dengan batas
maksimum kepemilikan saham pada Bank yang
berdasarkan hasil penilaian Tingkat Kesehatan Bank
dan/atau penilaian Tata Kelola memperoleh Peringkat
3, Peringkat 4 atau Peringkat 5 pada posisi penilaian
akhir bulan Desember 2013, tetap harus melakukan
penyesuaian kepemilikan saham dengan batas
maksimum kepemilikan saham
dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4 paling lambat
pada tanggal 1 Januari 2019.
sebagaimana
- 15 -
(2) Pemegang saham yang telah mempunyai kewajiban
untuk melakukan penyesuaian dengan batas
maksimum kepemilikan saham pada Bank yang
berdasarkan penilaian Tingkat Kesehatan Bank
dan/atau penilaian Tata Kelola memperoleh Peringkat
1 atau Peringkat 2 pada posisi penilaian akhir bulan
Desember 2013, namun sejak tanggal 1 Januari 2014
sampai dengan sebelum berlakunya Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini:
a. Bank mengalami penurunan penilaian Tingkat
Kesehatan Bank dan/atau penilaian Tata Kelola
menjadi Peringkat 3, Peringkat 4 atau Peringkat 5
selama 3 (tiga) periode penilaian berturut-turut;
atau
b. pemegang saham atas inisiatif sendiri melakukan
penjualan saham yang dimiliki,
tetap harus melakukan penyesuaian kepemilikan
saham dengan batas maksimum kepemilikan saham
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4
paling lama 5 (lima) tahun setelah periode penilaian
terakhir atau penjualan saham yang dimiliki.
(3) Bank yang dimiliki oleh pemegang saham yang wajib
melakukan penyesuaian dengan batas maksimum
kepemilikan saham sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2), harus menyusun dan
menyampaikan rencana tindak dan laporan
pelaksanaan rencana tindak dalam rangka
menyesuaikan dengan batas maksimum kepemilikan
saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16.
(4) Pemegang saham yang tidak memenuhi kewajiban
penyesuaian dengan batas maksimum kepemilikan
saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) dikenakan konsekuensi kewajiban pemenuhan
batas maksimum kepemilikan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 17.
(5) Bank yang dimiliki oleh pemegang saham yang tidak
memenuhi kewajiban penyesuaian dengan batas
- 16 -
maksimum kepemilikan saham sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus melakukan
tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18.
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 23
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai
berlaku, Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/8/PBI/2012
tanggal 13 Juli 2012 tentang Kepemilikan Saham Bank
Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012
Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5327) dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku.
Pasal 24
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
- 17 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 7 Desember 2016
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 9 Desember 2016
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 287
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 56 /POJK.03/2016
TENTANG
KEPEMILIKAN SAHAM BANK UMUM
I. UMUM
Krisis keuangan global yang dipicu oleh kegagalan penerapan Tata
Kelola pada Bank menyebabkan Basel Committee on Banking
Supervision (BCBS) menerbitkan pedoman bertajuk Principles for
Enhancing Corporate Governance, yang mewajibkan otoritas pengawas
mengambil langkah-langkah guna memastikan bahwa struktur
kepemilikan tidak menjadi penghalang terwujudnya Tata Kelola yang
baik. Seiring dengan rencana integrasi sektor keuangan Association of
South-East Asian Nations (ASEAN) pada tahun 2020 yang
memungkinkan bank-bank dengan kualifikasi tertentu (Qualified
ASEAN Banks) bebas beroperasi di kawasan ASEAN, perbankan
nasional perlu meningkatkan ketahanan, daya saing, dan efisiensi.
Di samping itu, dengan memperhatikan dan mempelajari beberapa
kasus Bank bermasalah di Indonesia pasca krisis keuangan tahun
1997, diindikasikan bahwa dominasi kepemilikan oleh 1 (satu) pihak
pada Bank berkaitan erat dan berhubungan negatif dengan penerapan
Tata Kelola di perbankan.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Otoritas Jasa Keuangan
memandang perlu untuk mengatur struktur kepemilikan Bank dengan
menetapkan batas maksimum kepemilikan saham guna meningkatkan
ketahanan perbankan melalui penerapan prinsip kehati–hatian dan
kualitas penerapan Tata Kelola pada Bank sehingga diharapkan
- 2 -
dapat mendorong konsolidasi perbankan yang pada akhirnya dapat
memperkuat ketahanan perbankan nasional.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “badan hukum” adalah badan
hukum Indonesia atau badan hukum asing.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “badan hukum” adalah badan
hukum Indonesia atau badan hukum asing.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “perorangan” adalah orang
perseorangan baik warga negara Indonesia atau warga
negara asing.
Ayat (3)
Penetapan batas maksimum kepemilikan saham pada ayat ini
sesuai dengan Undang-Undang mengenai Perbankan Syariah.
Yang dimaksud dengan “perorangan” adalah orang
perseorangan baik warga negara Indonesia atau warga negara
asing.
Ayat (4)
Contoh lembaga keuangan bukan bank yang memenuhi
kriteria ayat ini antara lain perusahaan pembiayaan,
perusahaan asuransi, dan dana pensiun.
Ayat (5)
Contoh lembaga keuangan bukan bank antara lain special
purpose vehicle, pengelola dana keuangan (fund management),
dan hedge fund.
- 3 -
Pasal 3
Huruf a
Pemerintah Pusat yaitu Pemerintah Republik Indonesia.
Kepemilikan saham Pemerintah Pusat pada Bank dapat
berupa kepemilikan secara langsung maupun tidak langsung
melalui badan hukum yang dikendalikan langsung oleh
Pemerintah Pusat.
Kepemilikan Pemerintah Pusat pada Bank yang dapat
melebihi batas maksimum kepemilikan saham dimaksudkan
untuk mendukung pencapaian tujuan meningkatkan
kesejahteraan umum.
Huruf b
Lembaga yang memiliki fungsi melakukan penanganan
dan/atau penyelamatan Bank antara lain Lembaga Penjamin
Simpanan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
mengenai Lembaga Penjamin Simpanan.
Pasal 4
Ayat (1)
Huruf a
Hubungan kepemilikan terjadi dalam hal antara
pemegang saham:
1. perorangan dengan badan hukum; atau
2. badan hukum dengan badan hukum,
mempunyai keterkaitan kepemilikan pada badan hukum
tersebut dengan jumlah kepemilikan paling kurang
memenuhi batas sebagai pemegang saham pengendali.
Penelusuran hubungan kepemilikan dilakukan sampai
dengan ultimate shareholder.
Contoh:
Sdr. A memiliki saham Bank X sebesar 10% dari Modal
Bank X.
PT B berupa badan hukum bukan lembaga keuangan
memiliki saham Bank X sebesar 25% dari Modal Bank X.
Sdr. A memiliki PT B sebesar 30% dari modal PT B
maka antara Sdr. A dan PT B terdapat keterkaitan
karena hubungan kepemilikan.
- 4 -
Huruf b
Yang dimaksud dengan “memiliki hubungan keluarga
sampai dengan derajat kedua” adalah sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan yang mengatur mengenai
batas maksimum pemberian kredit.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
PT A berupa badan hukum lembaga keuangan memiliki
saham Bank X sebesar 60% dari Modal Bank X.
PT B berupa badan hukum bukan lembaga keuangan
memiliki saham Bank X sebesar 20% dari Modal Bank X.
PT A dan PT B memiliki pemegang saham pengendali yang
sama yaitu Sdr. Z maka PT A dan PT B merupakan 1 (satu)
pihak.
Sesuai dengan kategori pemegang saham, batas maksimum
kepemilikan saham PT A adalah 40% dari Modal Bank X dan
PT B adalah 30% dari Modal Bank X.
Dengan demikian batas maksimum kepemilikan saham PT A
dan PT B pada Bank X secara bersama-sama sebagai 1 (satu)
pihak adalah sebesar 40% dari Modal Bank X, dengan
batasan kepemilikan saham PT B paling tinggi sebesar 30%.
Contoh kemungkinan komposisi antara lain sebagai berikut:
a.
jika PT A memiliki saham 40% dari Modal Bank X, maka
kepemilikan saham PT B pada Bank X adalah 0%;
b.
c.
jika PT A memiliki saham 30% dari Modal Bank X, maka
kepemilikan saham PT B pada Bank X adalah 10%; atau
jika PT A memiliki saham 10% dari Modal Bank X, maka
kepemilikan saham PT B pada Bank X adalah 30%.
Pasal 5
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “ketentuan yang mengatur mengenai
pemegang saham pengendali” adalah ketentuan yang
mengatur mengenai bank umum, bank umum syariah, serta
- 5 -
penilaian kemampuan dan kepatutan bagi pihak utama
lembaga jasa keuangan.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Rekomendasi dimaksud paling
sedikit memuat
keterangan mengenai reputasi yang baik dan tidak
pernah melakukan perbuatan tercela di bidang
perbankan.
Huruf c
Peringkat yang digunakan adalah hasil penilaian
lembaga pemeringkat yang diakui oleh Otoritas Jasa
Keuangan.
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “Kewajiban Penyediaan Modal
Minimum” adalah kewajiban penyediaan modal
minimum sebagaimana diatur dalam ketentuan Otoritas
Jasa Keuangan mengenai kewajiban penyediaan modal
minimum bagi Bank atau ketentuan serupa yang diatur
oleh otoritas pengawasan lembaga keuangan bank di
tempat kedudukan bank tersebut.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “modal inti” adalah modal inti
sebagaimana diatur dalam ketentuan Otoritas Jasa
Keuangan mengenai kewajiban penyediaan modal
minimum bagi Bank atau ketentuan serupa yang diatur
oleh otoritas pengawasan lembaga keuangan bank di
tempat kedudukan bank tersebut.
- 6 -
Huruf d
Rekomendasi dari otoritas pengawasan lembaga
keuangan bank paling sedikit memuat keterangan
mengenai reputasi yang baik dan tidak pernah
melakukan perbuatan tercela di bidang perbankan.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “surat utang yang bersifat
ekuitas” adalah surat utang yang dapat dikonversi
menjadi saham atau yang mengandung hak opsi untuk
memperoleh saham.
Huruf g
Penetapan jangka waktu tertentu untuk memiliki Bank
ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
Huruf h
Yang dimaksud dengan “pengembangan perekonomian”
adalah pengembangan perekonomian pada sektor yang
menjadi prioritas Pemerintah Republik Indonesia dan
menunjang pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Pasal 7
Huruf a
Go public dapat dilakukan melalui penawaran umum atau
tanpa penawaran umum.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “surat utang yang bersifat ekuitas”
adalah surat utang yang dapat dikonversi menjadi saham
atau yang mengandung hak opsi untuk memperoleh saham.
Persetujuan untuk menerbitkan surat utang yang bersifat
ekuitas dilakukan setelah badan hukum lembaga keuangan
bank merealisasikan pembelian saham lebih dari 40% (empat
puluh persen) sesuai persetujuan Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 8
Cukup jelas.
- 7 -
Pasal 9
Tanggal 13 Juli 2012 merupakan tanggal pertama kali
diberlakukannya ketentuan yang mengatur mengenai batas
maksimum kepemilikan saham.
Pasal 10
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “3 (tiga) periode penilaian
berturut-turut” adalah periode penilaian Tingkat
Kesehatan Bank dan/atau penilaian Tata Kelola
termasuk periode penilaian Tingkat Kesehatan Bank
dan/atau penilaian Tata Kelola sebelum berlakunya
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Contoh:
Bank A memperoleh penilaian Tingkat Kesehatan Bank
dan/atau penilaian Tata Kelola pada 2 (dua) periode
penilaian sebelum berlakunya Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini masing-masing Peringkat 3 atau Peringkat
4 untuk masing-masing periode. Dengan demikian
apabila Bank A memperoleh penilaian Tingkat Kesehatan
Bank dan/atau penilaian Tata Kelola untuk 1 (satu)
periode penilaian masing-masing Peringkat 3 atau
Peringkat 4 setelah Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini
berlaku maka pemegang saham yang mempunyai saham
melebihi batas maksimum kepemilikan saham pada
Bank A dimaksud wajib melakukan penyesuaian sesuai
dengan batas maksimum kepemilikan saham.
Huruf b
Kewajiban melakukan penyesuaian dengan batas
maksimum kepemilikan saham hanya untuk pemegang
saham yang melakukan penjualan saham.
Ayat (2)
Cukup jelas.
- 8 -
Pasal 11
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “Bank dalam pengawasan
khusus” adalah Bank dalam pengawasan khusus
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang mengatur
mengenai penetapan status dan tindak lanjut
pengawasan bank.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “Bank dalam pengawasan
intensif” adalah Bank dalam pengawasan intensif
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang mengatur
mengenai penetapan status dan tindak lanjut
pengawasan bank.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Apabila kondisi pada huruf a atau huruf b terjadi dalam
periode lebih dari 10 (sepuluh) tahun setelah penggabungan
atau peleburan, maka pemegang saham Bank dimaksud
menyesuaikan batas maksimum kepemilikan saham dalam
jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun setelah periode
penilaian terakhir atau penjualan saham yang dimiliki
sebagaimana diatur dalam Pasal 10.
Huruf a
Contoh 1:
Bank A (Tingkat Kesehatan Bank Peringkat 1 dan Tata
Kelola Peringkat 2), melakukan penggabungan dengan
Bank B (Tingkat Kesehatan Bank Peringkat 1 dan Tata
Kelola Peringkat 1), menjadi Bank A pada bulan Oktober
2016.
- 9 -
Selanjutnya Bank A (hasil penggabungan) mengalami
penurunan Tingkat Kesehatan Bank dan/atau Tata
Kelola pada posisi penilaian bulan Desember 2024, bulan
Juni 2025, dan bulan Desember 2025 menjadi Peringkat
3, Peringkat 4 atau Peringkat 5. Dengan demikian
pemegang saham Bank A yang memiliki saham di atas
batas maksimum kepemilikan saham wajib
menyesuaikan dengan batas maksimum kepemilikan
saham paling lama pada bulan Desember 2035.
Contoh 2:
Bank A (Tingkat Kesehatan Bank Peringkat 1 dan Tata
Kelola Peringkat 2) melakukan penggabungan dengan
Bank B (Tingkat Kesehatan Bank Peringkat 1 dan Tata
Kelola Peringkat 1) menjadi Bank A pada bulan Oktober
2016.
Selanjutnya Bank A (hasil penggabungan) mengalami
penurunan Tingkat Kesehatan Bank dan/atau Tata
Kelola pada posisi penilaian bulan Desember 2026, bulan
Juni 2027, dan bulan Desember 2027 menjadi Peringkat
3, Peringkat 4 atau Peringkat 5.
Mengingat penurunan Tingkat Kesehatan Bank dan/atau
Tata Kelola terjadi setelah melewati 10 (sepuluh) tahun
sejak penggabungan maka tidak ada perpanjangan
waktu.
Dengan demikian, pemegang saham Bank A yang
memiliki saham di atas batas maksimum kepemilikan
saham wajib menyesuaikan dengan batas maksimum
kepemilikan saham dalam jangka waktu paling lama 5
(lima) tahun yaitu paling lama pada bulan Desember
2032.
Huruf b
Kewajiban melakukan penyesuaian dengan batas
maksimum kepemilikan saham hanya untuk pemegang
saham yang melakukan penjualan saham.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “Bank yang memperoleh penilaian
Tingkat Kesehatan Bank dan/atau penilaian Tata Kelola
- 10 -
dengan Peringkat 3, Peringkat 4 atau Peringkat 5” adalah
salah satu Bank atau beberapa Bank atau semua Bank yang
melakukan penggabungan atau peleburan.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Pemerintah Daerah yaitu Pemerintah Provinsi, Pemerintah
Kabupaten atau Pemerintah Kota di wilayah Negara Republik
Indonesia.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Posisi timbulnya kewajiban menyesuaikan dengan batas
maksimum kepemilikan saham Bank terhitung sejak posisi
penilaian Tingkat Kesehatan Bank dan/atau penilaian Tata
Kelola terakhir.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Huruf a
Yang dimaksud dengan “hak selaku pemegang saham” adalah
hak untuk menghadiri dan mengeluarkan suara dalam RUPS
- 11 -
atau hak untuk menerima dividen yang dibagikan.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “penyediaan dana” adalah penyediaan
dana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang
mengatur mengenai penilaian kualitas aset bank umum.
Yang dimaksud dengan “pihak terkait” adalah pihak terkait
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang mengatur
mengenai batas maksimum pemberian kredit.
Pasal 19
Pertimbangan tertentu antara lain untuk mendukung stabilitas
sistem keuangan dan/atau mendorong perkembangan
perekonomian nasional.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Termasuk pengertian pembekuan kegiatan usaha
tertentu yaitu larangan penambahan produk dan/atau
aktivitas baru.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
- 12 -
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5981
"," POJK
56/POJK.03/2016
KEPEMILIKAN SAHAM BANK UMUM
7 Desember 2016
9 Desember 2016
9 Desember 2016
'14/8/PBI/2012'
'21/UU/2008', '21/UU/2011', '7/UU/1992', '10/UU/1998'
'BAB VI'
"
" OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 35 /POJK.04/2014
TENTANG
SEKRETARIS PERUSAHAAN EMITEN ATAU PERUSAHAAN PUBLIK
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka mendorong kinerja Emiten
atau Perusahaan Publik, melindungi kepentingan
pemangku kepentingan dan meningkatkan
kepatuhan terhadap peraturan perundang-
undangan, diperlukan penerapan tata kelola
perusahaan yang baik;
b. bahwa dalam rangka meningkatkan keterbukaan,
layanan, dan komunikasi kepada para pemangku
kepentingan sebagai penerapan prinsip tata kelola
perusahaan yang baik oleh Emiten atau
Perusahaan Publik, kualifikasi dan peran
sekretaris perusahaan perlu ditingkatkan melalui
penyempurnaan peraturan mengenai sekretaris
perusahaan Emiten atau Perusahaan Publik;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan b perlu menetapkan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang
Sekretaris Perusahaan Emiten atau Perusahaan
Publik;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang
Pasar...
-2-
Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3608);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang
Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5253);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
SEKRETARIS PERUSAHAAN EMITEN ATAU
PERUSAHAAN PUBLIK.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang
dimaksud dengan:
1.
Sekretaris Perusahaan adalah orang perseorangan
atau penanggung jawab dari unit kerja yang
menjalankan fungsi sekretaris perusahaan.
2.
Situs Web adalah kumpulan halaman web yang
memuat informasi atau data yang dapat diakses
melalui suatu sistem jaringan internet.
Pasal 2
(1) Emiten atau Perusahaan Publik wajib memiliki
fungsi sekretaris perusahaan.
(2) Fungsi sekretaris perusahaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh:
a.
b.
orang perseorangan; atau
unit kerja.
(3) Unit...
-3-
(3) Unit kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf b dipimpin oleh seorang penanggung jawab.
Pasal 3
(1) Sekretaris Perusahaan diangkat dan
diberhentikan berdasarkan keputusan Direksi.
(2) Sekretaris Perusahaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat dirangkap oleh seorang
anggota Direksi.
(3) Sekretaris Perusahaan dilarang merangkap
jabatan apapun di Emiten atau Perusahaan Publik
lain.
Pasal 4
(1) Dalam hal terjadi kekosongan Sekretaris
Perusahaan, Emiten atau Perusahaan Publik wajib
menunjuk penggantinya dalam jangka waktu
paling lama 60 (enam puluh) hari sejak terjadinya
kekosongan Sekretaris Perusahaan.
(2) Selama terjadi kekosongan Sekretaris Perusahaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Sekretaris
Perusahaan dirangkap oleh seorang anggota
Direksi atau orang perseorangan yang ditunjuk
sebagai Sekretaris Perusahaan sementara tanpa
memperhatikan
persyaratan
Sekretaris
Perusahaan sebagaimana diatur dalam Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini.
BAB II
TUGAS DAN TANGGUNG JAWAB
Pasal 5
Fungsi sekretaris perusahaan melaksanakan tugas
paling kurang:
a.
mengikuti perkembangan Pasar Modal khususnya
peraturan...
-4-
peraturan perundang-undangan yang berlaku di
bidang Pasar Modal;
b. memberikan masukan kepada Direksi dan Dewan
Komisaris Emiten atau Perusahaan Publik untuk
mematuhi ketentuan peraturan perundang-
undangan di bidang Pasar Modal;
c. membantu Direksi dan Dewan Komisaris dalam
pelaksanaan tata kelola perusahaan yang
meliputi:
1. keterbukaan informasi kepada masyarakat,
termasuk ketersediaan informasi pada Situs
Web Emiten atau Perusahaan Publik;
2. penyampaian laporan kepada Otoritas Jasa
Keuangan tepat waktu;
3.
4.
penyelenggaraan dan dokumentasi Rapat
Umum Pemegang Saham;
penyelenggaraan dan dokumentasi rapat
Direksi dan/atau Dewan Komisaris; dan
5. pelaksanaan program orientasi terhadap
perusahaan bagi Direksi dan/atau Dewan
Komisaris.
d.
sebagai penghubung antara Emiten atau
Perusahaan Publik dengan pemegang saham
Emiten atau Perusahaan Publik, Otoritas Jasa
Keuangan, dan pemangku kepentingan lainnya.
Pasal 6
(1) Sekretaris Perusahaan dan pegawai dalam unit
kerja yang menjalankan fungsi sekretaris
perusahaan wajib menjaga kerahasiaan dokumen,
data dan informasi yang bersifat rahasia kecuali
dalam rangka memenuhi kewajiban sesuai dengan
peraturan perundang-undangan atau ditentukan
lain dalam peraturan perundang-undangan.
(2) Sekretaris...
-5-
(2) Sekretaris Perusahaan dan pegawai dalam unit
kerja yang menjalankan fungsi sekretaris
perusahaan dilarang mengambil keuntungan
pribadi baik secara langsung maupun tidak
langsung, yang merugikan Emiten atau
Perusahaan Publik.
Pasal 7
Dalam rangka meningkatkan pengetahuan dan
pemahaman untuk membantu pelaksanaan tugasnya,
Sekretaris Perusahaan harus mengikuti pendidikan
dan/atau pelatihan.
Pasal 8
(1) Sekretaris Perusahaan bertanggung jawab kepada
Direksi.
(2) Setiap informasi yang disampaikan oleh sekretaris
perusahaan kepada masyarakat merupakan
informasi resmi dari Emiten atau Perusahaan
Publik.
BAB III
PERSYARATAN SEKRETARIS PERUSAHAAN
Pasal 9
(1) Sekretaris Perusahaan harus
memenuhi
persyaratan paling kurang:
a. cakap melakukan perbuatan hukum;
b.
memiliki pengetahuan dan pemahaman di
bidang hukum, keuangan, dan tata kelola
perusahaan;
c. memahami kegiatan usaha Emiten atau
Perusahaan Publik;
d. dapat berkomunikasi dengan baik; dan
e.
berdomisili di Indonesia.
(2) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib…
-6-
wajib dipenuhi Sekretaris Perusahaan selama
menjabat.
BAB IV
PELAPORAN DAN PENGUNGKAPAN
Pasal 10
(1) Emiten atau Perusahaan Publik wajib:
a. menyampaikan laporan kepada Otoritas Jasa
Keuangan mengenai pengangkatan dan
pemberhentian Sekretaris Perusahaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat
(1);
b. memuat dalam Situs Web Emiten atau
Perusahaan Publik mengenai pengangkatan
dan pemberhentian sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (1) dan kekosongan
Sekretaris Perusahaan
dimaksud dalam Pasal 4,
dengan disertai informasi pendukung.
(2) Pelaporan kepada Otoritas Jasa Keuangan dan
pemuatan informasi
dalam
Situs Web
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dalam waktu paling lambat 2 (dua) hari kerja
setelah
terjadinya pengangkatan
pemberhentian.
Pasal 11
(1) Sekretaris Perusahaan wajib membuat laporan
secara berkala paling kurang 1 (satu) kali dalam 1
(satu) tahun mengenai pelaksanaan fungsi
sekretaris perusahaan kepada Direksi dan
ditembuskan kepada Dewan Komisaris.
(2) Emiten atau Perusahaan Publik wajib
mengungkapkan uraian singkat pelaksanaan
fungsi sekretaris perusahaan dan informasi
mengenai...
dan
sebagaimana
-7-
mengenai pendidikan dan/atau pelatihan yang
diikuti
dimaksud dalam Pasal 7 dalam laporan tahunan
Emiten atau Perusahaan Publik.
BAB V
KETENTUAN SANKSI
Pasal 12
(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di
bidang Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan
berwenang mengenakan sanksi administratif
terhadap setiap pihak
yang melakukan
pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini, termasuk pihak-pihak yang
menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut,
berupa:
a.
peringatan tertulis;
b. denda yaitu kewajiban untuk membayar
sejumlah uang tertentu;
c.
pembatasan kegiatan usaha;
d. pembekuan kegiatan usaha;
e.
pencabutan izin usaha;
f.
g.
pembatalan persetujuan; dan
pembatalan pendaftaran.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f,
atau huruf g dapat dikenakan dengan atau tanpa
didahului pengenaan sanksi administratif berupa
peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a.
(3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan
secara tersendiri atau secara bersama-sama
dengan pengenaan sanksi
Sekretaris Perusahaan sebagaimana
administratif
sebagaimana...
-8-
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c,
huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g.
Pasal 13
Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 12 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat
melakukan tindakan tertentu terhadap setiap pihak
yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 14
Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan
pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 12 ayat (1) dan tindakan tertentu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 kepada
masyarakat.
BAB VI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 15
Emiten atau Perusahaan Publik wajib menyesuaikan
dengan ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
ini paling lambat 6 (enam) bulan sejak diundangkannya
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 16
Ketentuan peraturan perundang-undangan lain terkait
sekretaris perusahaan tetap berlaku bagi Emiten atau
Perusahaan Publik sepanjang tidak bertentangan
dengan ketentuan dalam Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini.
Pasal 17
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai
berlaku, Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar
Modal Nomor: KEP-63/PM/1996 tanggal 17 Januari
1996...
-9-
1996 tentang Pembentukan Sekretaris Perusahaan
beserta Peraturan Nomor IX.I.4 yang merupakan
lampirannya dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 18
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku
pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 8 Desember 2014
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
Ttd.
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 8 Desember 2014
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 377
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum,
Ttd.
Tini Kustini
"," POJK
35/POJK.04/2014
SEKRETARIS PERUSAHAAN EMITEN ATAU PERUSAHAAN PUBLIK
8 Desember 2014
8 Desember 2014
8 Desember 2014
'KEP-63/PM/1996|KEPTA-BAPEPAM/1996', 'KEP-63/PM/1996|KEPTA-BAPEPAM/1996 | Lampiran Peraturan Nomor IX.I.4'
'8/UU/1995', '21/UU/2011'
'BAB V'
"
" - 1 -
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 25 /POJK.03/2015
TENTANG
PENYAMPAIAN INFORMASI NASABAH ASING TERKAIT PERPAJAKAN KEPADA
NEGARA MITRA ATAU YURISDIKSI MITRA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka menjaga stabilitas sistem keuangan,
pemerintah Indonesia bersama-sama dengan instansi
terkait perlu melakukan koordinasi secara regional
maupun global;
b. bahwa Otoritas Jasa Keuangan sesuai dengan tugas dan
kewenangannya merupakan salah satu instansi yang
perlu mendukung koordinasi dalam rangka mewujudkan
sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan
stabil serta mampu melindungi kepentingan konsumen
dan masyarakat;
c. bahwa salah satu bentuk koordinasi sebagaimana
dimaksud pada huruf a adalah tukar menukar informasi
keuangan dengan negara atau yurisdiksi lain dalam
rangka mendukung program pencegahan penghindaran
pajak;
d. bahwa dalam rangka tukar menukar informasi untuk
pencegahan penghindaran pajak, dilakukan perjanjian
antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah negara
atau yurisdiksi lain;
- 2 -
e. bahwa salah satu perjanjian sebagaimana dimaksud
dalam huruf d adalah perjanjian pertukaran informasi
secara otomatis yang menimbulkan konsekuensi bagi
lembaga jasa keuangan tertentu untuk menyampaikan
informasi keuangan nasabah asing tertentu kepada
negara mitra atau yurisdiksi mitra melalui otoritas pajak
Indonesia secara berkala;
f. bahwa penyampaian informasi keuangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf e harus mematuhi ketentuan
peraturan perundang-undangan;
g. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d,
huruf e, dan huruf f, perlu menetapkan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan tentang Penyampaian Informasi
Nasabah Asing Terkait Perpajakan kepada Negara Mitra
atau Yurisdiksi Mitra;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998
Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995
Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3608);
3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4867);
4. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
- 3 -
5. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang
Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5618);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
PENYAMPAIAN INFORMASI NASABAH ASING TERKAIT
PERPAJAKAN KEPADA NEGARA MITRA ATAU YURISDIKSI
MITRA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud
dengan:
1. Lembaga Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat
LJK, adalah LJK sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa
Keuangan, yang memenuhi kriteria dalam perjanjian
pertukaran informasi secara otomatis antara pemerintah
Indonesia dengan pemerintah negara mitra atau
yurisdiksi mitra.
2. Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra adalah negara atau
yurisdiksi yang terikat dengan negara Indonesia dalam
konvensi tentang bantuan administratif bersama di
bidang perpajakan, persetujuan antar pemerintah
(Intergovernmental Agreement/IGA) di bidang perpajakan,
atau perjanjian bilateral maupun multilateral lainnya di
bidang perpajakan.
- 4 -
3. Pertukaran Informasi secara Otomatis adalah pertukaran
informasi berkenaan dengan keperluan perpajakan
antara Pemerintah Indonesia dengan pemerintah Negara
Mitra atau Yurisdiksi Mitra yang dilakukan secara
berkala pada waktu tertentu, sistematis, dan
berkesinambungan yang jenis dan tata cara pertukaran
informasinya diatur berdasarkan perjanjian antara
negara Indonesia dengan Negara Mitra atau Yurisdiksi
Mitra.
4. Perusahaan Asing adalah:
a. badan hukum yang didirikan atau berkedudukan di
Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra;
b. kantor cabang atau kantor perwakilan dari badan
hukum yang didirikan, atau berkedudukan di
Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra;
c. badan hukum yang didirikan atau berkedudukan di
Indonesia atau di luar Indonesia yang bukan Negara
Mitra atau Yurisdiksi Mitra, yang dimiliki oleh wajib
pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra berupa
perorangan atau badan hukum paling sedikit
sebesar persentase tertentu yang tercantum dalam
perjanjian Pertukaran Informasi secara Otomatis;
atau
d. kantor cabang atau kantor perwakilan dari badan
hukum yang didirikan atau berkedudukan di
Indonesia atau di luar Indonesia yang bukan Negara
Mitra atau Yurisdiksi Mitra, yang dimiliki oleh wajib
pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra berupa
perorangan atau badan hukum paling sedikit
sebesar persentase tertentu yang tercantum dalam
perjanjian Pertukaran Informasi secara Otomatis.
- 5 -
5. Nasabah Asing adalah:
a. bagi Bank Umum adalah nasabah perorangan atau
Perusahaan Asing yang memenuhi kriteria tertentu
sebagaimana diatur dalam perjanjian Pertukaran
Informasi secara Otomatis, yang memiliki rekening
dan/atau menggunakan jasa di Bank Umum atau
Bank Umum yang melakukan kegiatan usaha
berdasarkan Prinsip Syariah;
b. bagi Perusahaan Efek dan Bank Kustodian adalah
nasabah perorangan atau Perusahaan Asing yang
memenuhi kriteria tertentu sebagaimana diatur
dalam perjanjian Pertukaran Informasi secara
Otomatis, yang memiliki rekening efek pada
dan/atau menggunakan jasa Perusahaan Efek dan/
atau Bank Kustodian secara langsung (direct
customer);
c. bagi Perusahaan Asuransi Jiwa dan Perusahaan
Asuransi Jiwa Syariah adalah pemegang polis atau
peserta berupa perorangan atau Perusahaan Asing
yang memenuhi kriteria tertentu sebagaimana diatur
dalam perjanjian Pertukaran Informasi secara
Otomatis; dan/atau
d. bagi LJK selain angka 5 huruf a, huruf b, dan huruf
c, adalah nasabah yang memenuhi kriteria sesuai
perjanjian terkait perpajakan antara pemerintah
Indonesia dengan pemerintah Negara Mitra atau
Yurisdiksi Mitra yang akan diatur lebih lanjut dalam
Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan,
yang merupakan wajib pajak Negara Mitra atau
Yurisdiksi Mitra.
- 6 -
BAB II
PELAPORAN
Pasal 2
(1) Dalam rangka penerapan perjanjian Pertukaran
Informasi secara Otomatis, LJK wajib menyampaikan
laporan kepada otoritas pajak Indonesia berupa informasi
Nasabah Asing terkait perpajakan untuk diteruskan
kepada otoritas pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan laporan mengenai informasi Nasabah Asing
yang memiliki saldo rekening atau nilai rekening paling
sedikit sesuai dengan perjanjian Pertukaran Informasi
secara Otomatis.
(3) Informasi Nasabah Asing sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) paling sedikit meliputi:
a.
b.
Informasi nasabah; dan
Informasi keuangan nasabah.
Pasal 3
Dalam rangka penyampaian laporan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1), LJK wajib:
a. melakukan identifikasi terhadap:
1. nasabah; atau
2. calon nasabah,
untuk memastikan bahwa nasabah atau calon nasabah
dimaksud memenuhi kriteria Nasabah Asing atau calon
Nasabah Asing;
b. meminta informasi dan/atau dokumen yang diperlukan
dalam rangka verifikasi bahwa nasabah atau calon
nasabah memenuhi kriteria Nasabah Asing atau calon
Nasabah Asing;
- 7 -
c. meminta Nasabah Asing dan/atau calon Nasabah Asing
untuk menyampaikan pernyataan persetujuan, instruksi
atau pemberian kuasa secara tertulis dan sukarela
kepada LJK untuk memberikan informasi Nasabah Asing
dan/atau calon Nasabah Asing kepada otoritas pajak
Indonesia untuk diteruskan kepada otoritas pajak Negara
Mitra atau Yurisdiksi Mitra; dan
d. melakukan penyaringan Nasabah Asing yang memiliki
saldo rekening atau nilai paling sedikit sesuai dengan
yang ditetapkan dalam perjanjian Pertukaran Informasi
secara Otomatis.
Pasal 4
Dalam hal calon Nasabah Asing tidak bersedia menyampaikan
pernyataan persetujuan,
instruksi, pemberian kuasa
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c, LJK wajib:
a. menjelaskan ketentuan terkait Pertukaran Informasi
secara Otomatis; dan
b. menolak melakukan hubungan usaha dengan calon
Nasabah Asing tersebut.
Pasal 5
(1) Dalam hal Nasabah Asing tidak bersedia menyampaikan
pernyataan persetujuan, instruksi, pemberian kuasa
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c, LJK wajib:
a. menjelaskan konsekuensi bagi Nasabah Asing
apabila tidak bersedia memberikan informasi sesuai
Perjanjian Pertukaran Informasi secara Otomatis;
b. meminta Nasabah Asing menyampaikan pernyataan
keberatan secara tertulis, dan
c.
tidak melayani transaksi baru terkait rekening
Nasabah Asing tersebut.
(2) Penghentian layanan transaksi baru sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c dikecualikan bagi
transaksi:
- 8 -
a. untuk pemenuhan kewajiban yang telah
diperjanjikan sebelumnya antara Nasabah Asing
dengan LJK;
b. untuk penutupan rekening;
c. untuk pemenuhan kewajiban berdasarkan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 6
Penyampaian laporan informasi Nasabah Asing oleh LJK
kepada otoritas pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
dapat dilakukan:
a. melalui Otoritas Jasa Keuangan; atau
b. langsung kepada otoritas pajak.
Pasal 7
(1) Penyampaian laporan informasi Nasabah Asing
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a,
disampaikan paling lambat 60 hari sebelum batas waktu
pelaporan kepada otoritas pajak Negara Mitra atau
Yurisdiksi Mitra berdasarkan perjanjian Pertukaran
Informasi secara Otomatis.
(2) Dalam hal batas waktu pelaporan informasi Nasabah
Asing jatuh pada hari libur, maka pelaporan dilakukan
pada hari kerja setelahnya.
Pasal 8
Dalam rangka penyampaian laporan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a, LJK wajib menyampaikan
kepada Otoritas Jasa Keuangan nama pejabat yang
bertanggung jawab (responsible officer) atas pelaporan
informasi Nasabah Asing.
- 9 -
Pasal 9
(1) LJK dapat mendelegasikan pelaksanaan pelaporan
kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 kepada
LJK lain yang menjadi selling agent dan/atau kustodian.
(2) Pendelegasian pelaksanaan pelaporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan
kesepakatan tertulis.
(3) Pendelegasian pelaksanaan pelaporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak meniadakan tanggung
jawab LJK yang mendelegasikan pelaksanaan pelaporan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3.
BAB III
SANKSI
Pasal 10
LJK yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan/atau Pasal 8 dikenakan
sanksi administratif berupa teguran atau peringatan tertulis.
BAB IV
PENUTUP
Pasal 11
Ketentuan lebih lanjut dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
ini diatur dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan.
- 10 -
Pasal 12
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 4 Desember 2015
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 11 Desember 2015
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 291
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Sudarmaji
- 1 -
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 25 /POJK.03/2015
TENTANG
PENYAMPAIAN INFORMASI NASABAH ASING TERKAIT PERPAJAKAN KEPADA
NEGARA MITRA ATAU YURISDIKSI MITRA
I. UMUM
Dalam rangka menjaga stabilitas sistem keuangan dilakukan
koordinasi dengan negara lain baik secara regional maupun global. Salah
satu koordinasi tersebut dimaksudkan untuk mendukung upaya
pencegahan penghindaran pajak (tax avoidance), pengelakan pajak (tax
evasion), dan untuk meningkatkan kepatuhan warga negara Indonesia
yang berdomisili di negara lain terhadap pemenuhan ketentuan pajak
Indonesia, dan sebaliknya. Bentuk koordinasi yang dilakukan untuk
mendukung upaya pencegahan penghindaran pajak tersebut adalah
berupa kegiatan tukar menukar informasi keuangan wajib pajak dengan
negara lain.
Kegiatan dimaksud diawali dengan perjanjian antara pemerintah
Indonesia dengan pemerintah Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra yaitu
pemerintah dari negara yang telah berkomitmen untuk mencegah
penghindaran pajak oleh wajib pajak baik melalui perjanjian bilateral
maupun multilateral. Komitmen pemerintah Indonesia terhadap upaya
penghindaran dan pengelakan pajak telah disahkan dengan Peraturan
Presiden Republik Indonesia Nomor 159 Tahun 2014 tanggal 17 Oktober
2014 tentang Pengesahan Convention on Mutual Administrative Assistance
in Tax Matters (Konvensi tentang Bantuan Administratif Bersama di
Bidang perpajakan).
- 2 -
Perjanjian negara untuk mendukung penghindaran pajak
mewajibkan masing-masing otoritas pajak negara dimaksud melakukan
penyampaian informasi atas wajib pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi
Mitra yang berada di negaranya. Salah satu pihak yang berperan penting
dalam penyampaian informasi tersebut adalah Lembaga Jasa Keuangan
(LJK) yang menjadi tempat penyimpanan atau investasi dan pelayanan
jasa keuangan nasabah yang merupakan wajib pajak Negara Mitra atau
Yurisdiksi Mitra.
Pertukaran informasi antara pemerintah Indonesia dengan otoritas
pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra yang dilakukan oleh pejabat
berwenang atau competent authority di Indonesia dilaksanakan
berdasarkan komitmen pemerintah Indonesia antara lain pada: Konvensi
Bantuan Administratif Bersama di Bidang Perpajakan, Persetujuan antar
Pemerintah (Intergovernmental Agreement/IGA) di Bidang Perpajakan, atau
Perjanjian Bilateral maupun Multilateral lainnya di Bidang Perpajakan.
Pertukaran informasi tersebut meliputi 3 (tiga) jenis yaitu Pertukaran
informasi yang dilakukan berdasarkan permintaan, secara spontan, dan
secara otomatis. Persamaan dari ketiga jenis Pertukaran Informasi
tersebut adalah adanya perjanjian negara yang mendasari, sedangkan
perbedaannya yaitu pada:
1. pertukaran informasi berdasarkan permintaan, terdapat permintaan
atas wajib pajak tertentu terlebih dahulu,
2. pertukaran secara spontan, salah satu negara mempunyai inisiatif
untuk melaporkan wajib pajak tertentu,
3. pertukaran informasi secara otomatis, penyampaian informasi
keuangan wajib pajak yang tidak berdasarkan permintaan ataupun
insiatif, melainkan berdasarkan pemenuhan kriteria wajib pajak
dalam perjanjian antar negara yang dilakukan melalui sistem yang
telah
disepakati, disampaikan secara
berkala dan
berkesinambungan.
Lebih lanjut, Pertukaran Informasi secara Otomatis yaitu pertukaran
informasi keuangan nasabah LJK yang merupakan wajib pajak Negara
Mitra atau Yurisdiksi Mitra yang berada di Indonesia untuk disampaikan
kepada otoritas pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra dimaksud, dan
dapat berlaku sebaliknya bagi wajib pajak Indonesia yang merupakan
nasabah LJK di Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra yang akan
disampaikan informasi keuangannya kepada Otoritas Pajak di Indonesia.
- 3 -
Pertukaran Informasi secara Otomatis dapat dilakukan dengan
adanya surat pernyataan sukarela dari nasabah wajib pajak Negara Mitra
atau Yurisdiksi Mitra. Perjanjian negara dalam rangka melakukan
Pertukaran Informasi secara Otomatis meliputi antara lain: tata cara
melakukan due diligence, jenis informasi yang dipertukarkan, periode
laporan (berkala), dan waktu penyampaian laporan. Penyampaian
informasi keuangan dilakukan melalui sistem yang telah disepakati dan
dilakukan secara berkesinambungan.
Pemerintah telah menetapkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
125/PMK.010/2015 tanggal 7 Juli 2015 yang memungkinkan LJK
menyampaikan informasi keuangan nasabah yang merupakan wajib pajak
Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra kepada otoritas pajak di Indonesia dan
otoritas pajak di Negara Mitra berdasarkan persetujuan tertulis secara
sukarela dari Nasabah wajib pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra
dimaksud, kepada LJK.
Untuk mendukung pemerintah dan LJK dalam proses penyampaian
informasi nasabah LJK yang merupakan wajib pajak Negara Mitra atau
Yurisdiksi Mitra agar tetap mematuhi peraturan perundang-undangan,
maka diperlukan pengaturan mengenai penyampaian informasi nasabah
dimaksud dalam rangka perjanjian Pertukaran Informasi Terkait
Perpajakan antara Indonesia dengan Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “otoritas pajak Indonesia” adalah
Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan nilai rekening antara lain nilai tunai
kontrak asuransi, atau nilai anuitas atau surrender value.
- 4 -
Ayat (3)
Huruf a
Informasi nasabah termasuk antara lain informasi
mengenai nama dan nomor rekening.
Nomor rekening antara lain berupa:
1) rekening bagi Bank;
2)
polis asuransi bagi Perusahaan Asuransi Jiwa dan
Perusahaan Asuransi Jiwa Syariah; dan/atau
3) nomor sub rekening efek bagi Perusahan Efek dan
Bank Kustodian.
Huruf b
Cukup jelas.
Pasal 3
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Informasi dan/atau dokumen yang diminta antara lain adalah
alamat korespondensi di Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra,
nomor identitas pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra, dan
informasi dan/atau dokumen lainnya sesuai perjanjian
Pertukaran Informasi secara Otomatis yang akan diatur lebih
lanjut dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan.
Huruf c
Pernyataan persetujuan/instruksi/pemberian kuasa tertulis
Nasabah Asing perlu diperoleh agar pemberian informasi kepada
otoritas pajak sesuai dengan peraturan perundang-undangan
terkait kerahasiaan data nasabah.
Huruf d
Yang dimaksud dengan nilai termasuk nilai tunai kontrak
asuransi, atau nilai anuitas atau surrender value.
Pasal 4
Ketentuan terkait Pertukaran Informasi secara Otomatis antara lain:
a. penyampaian informasi Nasabah Asing kepada Negara Mitra
atau Yurisdiksi Mitra;
- 5 -
b. pentingnya pernyataan persetujuan/instruksi/pemberian kuasa
untuk dapat menyampaikan informasi Nasabah Asing kepada
Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra.
Pasal 5
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “transaksi” adalah transaksi keuangan,
termasuk:
a. setoran, penarikan, transfer, pembukaan rekening atau
pembuatan kontrak bagi nasabah perbankan;
b. pembukaan rekening, transaksi beli atau pengalihan bagi
nasabah pasar modal;
c. penutupan polis baru bagi perusahaan asuransi jiwa dan
perusahaan asuransi jiwa syariah.
Ayat (2)
Huruf a
Contoh pemenuhan kewajiban yang telah diperjanjikan
sebelumnya antara lain:
1) pembayaran premi asuransi;
2) pembayaran angsuran kredit.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Contoh pemenuhan kewajiban berdasarkan peraturan
perundang-undangan antara lain:
1) pemenuhan kewajiban pajak;
2) pelaksanaan eksekusi atas putusan pengadilan.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
- 6 -
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Yang dimaksud ketentuan lebih lanjut antara lain mengenai:
a. penunjukan responsible officer;
b. tata cara pelaporan informasi Nasabah Asing;
c. informasi Nasabah Asing yang harus dilaporkan.
Pasal 12
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5773
"," POJK
5/POJK.03/2015
KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM DAN PEMENUHAN MODAL INTI MINIMUM BANK PERKREDITAN RAKYAT
31 Maret 2015
1 April 2015
1 April 2015
'8/18/PBI/2006 | kecuali Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4 dan Pasal 5 dinyatakan tetap berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 2019.'
'21/UU/2011', '7/UU/1992', '10/UU/1998'
'BAB V'
"
" OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 62 /POJK.05/2015
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 13/POJK.05/2014 TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA
LEMBAGA KEUANGAN MIKRO
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka mendorong pengembangan
lembaga keuangan mikro, perlu melakukan
penyempurnaan terhadap ketentuan mengenai
penyelenggaraan usaha lembaga keuangan mikro;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Perubahan
atas Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
13/POJK.05/2014 tentang Penyelenggaraan Usaha
Lembaga Keuangan Mikro;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang
Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253);
2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang
Lembaga Keuangan Mikro (Lembaran Negara Republik
- 2 -
Indonesia Tahun 2013 Nomor 12, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5394);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 89 Tahun 2014 tentang
Suku Bunga Pinjaman atau Imbal Hasil Pembiayaan
dan Luas Cakupan Wilayah Usaha Lembaga Keuangan
Mikro (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2014 Nomor 321, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5616);
4. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
13/POJK.05/2014 tentang Penyelenggaraan Usaha
Lembaga Keuangan Mikro (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 343, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5622);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA
KEUANGAN NOMOR 13/POJK.05/2014 TENTANG
PENYELENGGARAAN USAHA LEMBAGA KEUANGAN
MIKRO.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan Nomor 13/POJK.05/2014
tentang
Penyelenggaraan Usaha Lembaga Keuangan Mikro
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor
343, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5622) diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 2 ditambah 1 (satu) ayat baru, yaitu
ayat (2a), sehingga Pasal 2 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 2
(1) Kegiatan usaha LKM meliputi jasa pengembangan
usaha dan pemberdayaan masyarakat, baik
melalui Pinjaman atau Pembiayaan dalam usaha
skala mikro kepada anggota dan masyarakat,
- 3 -
pengelolaan Simpanan, maupun pemberian jasa
konsultasi pengembangan usaha.
(2) Kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dapat dilakukan secara konvensional atau
berdasarkan Prinsip Syariah.
(2a) Selain kegiatan usaha sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), LKM dapat melakukan kegiatan
berbasis fee sepanjang tidak bertentangan dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan di
sektor jasa keuangan.
2. Ketentuan dalam Pasal 7 ayat (2) tetap dengan
perubahan Penjelasan Pasal 7 ayat (2) menjadi
sebagaimana diterapkan dalam penjelasan pasal demi
pasal Peraturan OJK ini.
3. Ketentuan ayat (4) dan ayat (5) Pasal 13 diubah,
sehingga Pasal 13 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 13
(1) LKM yang melakukan kegiatan usaha
berdasarkan Prinsip Syariah wajib menggunakan
akad yang sesuai dengan Prinsip Syariah.
(2) Akad yang sesuai dengan Prinsip Syariah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. kegiatan usaha penghimpunan Simpanan
dilakukan dengan menggunakan akad
wadiah, mudharabah, atau akad lain yang
tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah
serta disetujui oleh OJK.
b. kegiatan usaha penyaluran Pembiayaan
dilakukan dengan menggunakan akad
mudharabah, musyarakah, murabahah,
ijarah, salam, istishna, ijarah muntahiah bit
tamlik, atau akad lain yang tidak
bertentangan dengan Prinsip Syariah serta
disetujui oleh OJK.
- 4 -
c. kegiatan jasa pemberian konsultasi dan
pengembangan usaha dilakukan dengan
menggunakan akad ijarah, ju’alah atau akad
lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip
Syariah serta disetujui oleh OJK.
d. kegiatan pendanaan melalui penerimaan
pinjaman dilakukan dengan menggunakan
akad qordh, mudharabah, musyarakah, atau
akad lain yang tidak bertentangan dengan
Prinsip Syariah serta disetujui oleh OJK.
(3) Untuk dapat memperoleh persetujuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), LKM
mengajukan permohonan kepada OJK dengan
melampirkan fatwa DSN MUI.
(4) Selain melakukan kegiatan usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), LKM yang
melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip
Syariah dapat melakukan pengelolaan dana sosial
dan kebajikan berupa zakat, infak, sedekah, dan
wakaf sesuai ketentuan peraturan perundangan
yang berlaku.
(5) Pembukuan atas pengelolaan dana sosial dan
kebajikan sebagaimana dimaksud pada ayat (4),
dilakukan secara terpisah.
4. Ketentuan Pasal 17 ditambah 1 (satu) ayat baru, yaitu
ayat (1a), sehingga Pasal 17 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 17
(1) Rasio solvabilitas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 15 dihitung dengan membandingkan total
aset dengan total liabilitas.
(1a) Bagi LKM yang menyelenggarakan kegiatan usaha
berdasarkan Prinsip Syariah, rasio solvabilitas
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung
dengan membandingkan total aset dengan total
liabilitas dan dana syirkah temporer sesuai
- 5 -
dengan standar akuntansi keuangan syariah yang
berlaku.
(2) LKM wajib menjaga rasio solvabilitas
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling
kurang 110% (seratus sepuluh persen).
Pasal II
Peraturan OJK ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan OJK ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 23 Desember 2015
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 29 Desember 2015
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 413
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Sudarmaji
"," POJK
62/POJK.05/2015
PERUBAHAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 13/POJK.05/2014 TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA LEMBAGA KEUANGAN MIKRO
23 Desember 2015
29 Desember 2015
29 Desember 2015
'13/POJK.05/2014'
'13/POJK.05/2014', '21/UU/2011', '1/UU/2013', '89/PP/2014'
"
" PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 77 TAHUN 1992
TENTANG
DANA PENSIUN LEMBAGA KEUANGAN
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Menimbang : a. bahwa dalam rangka pelaksanaan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang
Dana Pensiun diperlukan adanya ketentuan yang mengatur mengenai pembentukan
Dana Pensiun Lembaga Keuangan dan penyelenggaraan Program Pensiun;
b. bahwa untuk penyelenggaraan Program Pensiun oleh Dana Pensiun Lembaga
Keuangan diperlukan ketentuan mengenai kepengurusan, pengelolaan kekayaan
Dana Pensiun, penyediaan Manfaat Pensiun yang berkesinambungan, dan jaminan
atas hak-hak Peserta termasuk dalam hal terjadi penggabungan, konsolidasi dan
likuidasi Dana Pensiun;
c. bahwa sehubungan dengan itu, dipandang perlu untuk menetapkan Peraturan
Pemerintah tentang Dana Pensiun Lembaga Keuangan.
Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun (Lembaran Negara
Tahun 1992 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3477);
MEMUTUSKAN
Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG DANA
PENSIUN LEMBAGA KEUANGAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Yang dimaksud dalam Peraturan Pemerintah ini dengan :
1. Dana Pensiun adalah Dana Pensiun Lembaga Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Undang-
undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun;
2. Perusahaan Asuransi Jiwa adalah perusahaan asuransi jiwa sebagaimana dimaksud dalam
Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian;
3. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan;
4. Janda/duda adalah istri/suami yang sah dari Peserta atau pensiunan yang meninggal dunia, yang
telah terdaftar pada Dana Pensiun Lembaga Keuangan sebelum peserta meninggal dunia atau
pensiun;
5. Anak adalah semua anak yang sah dari Peserta atau pensiunan, yang telah terdaftar pada Dana
Pensiun Lembaga Keuangan sebelum Peserta meninggal dunia atau pensiun;
6. Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia.
BAB II
PENGESAHAN DANA PENSIUN
Bagian Pertama
Persyaratan Dan Tata Cara Pengesahan
Pasal 2
(1) Pendirian Dana Pensiun dapat dilakukan oleh Bank atau Perusahaan Asuransi Jiwa.
(2) Pendirian Dana Pensiun harus mendapat pengesahan Menteri.
Pasal 3
(1) Permohonan pengesahan Dana Pensiun diajukan oleh Bank atau Perusahaan Asuransi Jiwa
dengan menggunakan formulir yang ditetapkan Menteri.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilengkapi dengan Peraturan Dana Pensiun
serta program kerja yang diperlukan untuk bertindak sebagai Pengurus.
Bagian Kedua
Peraturan Dana Pensiun
Pasal 4
(1) Peraturan Dana Pensiun ditetapkan oleh Pendiri dan sekurang-kurangnya memuat ketentuan
sebagai berikut :
a. tanggal pembentukan Dana Pensiun dan nama Dana Pensiun yang secara jelas menunjukkan
nama Bank atau Perusahaan Asuransi Jiwa yang menjadi Pendiri;
b. pembentukan kekayaan Dana Pensiun yang terpisah dari kekayaan Bank atau Perusahaan
Asuransi yang menjadi pendiri;
c. persyaratan untuk menjadi Peserta;
d. hak Peserta untuk menentukan usia pensiun;
e. hak dan kewajiban pengurus;
f. hak Peserta untuk menetapkan pilihan jenis investasi yang tersedia;
g. pilihan jenis investasi yang tersedia bagi peserta, serta tata cara pemilihan dan perubahannya;
h. tata cara penentuan nilai kekayaan tiap-tiap Peserta yang harus dilakukan oleh Pengurus;
i. hak peserta untuk memilih bentuk anuitas seumur hidup, dan memilih Perusahaan Asuransi
Jiwa dalam rangka pembayaran Manfaat Pensiun, beserta tata caranya;
j. tata cara penarikan suatu jumlah dana tertentu oleh Peserta apabila dimungkinkan,
pembayaran Manfaat Pensiun sekaligus dan pengalihan kepesertaan ke Dana Pensiun
Lembaga Keuangan lain;
k. tata penunjukan dan penggantian pihak yang berhak atas Manfaat Pensiun apabila Peserta
meninggal dunia;
l. biaya yang dapat dipungut dari Peserta, atau dibebankan pada rekening Peserta;
m. tata cara perubahan Peraturan Dana Pensiun;
(2) Kekayaan Dana Pensiun sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b dihimpun dari :
a. iuran Peserta;
b. hasil investasi;
c. pengalihan dari Dana Pensiun lain.
(3) Pilihan jenis investasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf g ditetapkan oleh Pendiri dan
harus memenuhi ketentuan investasi yang ditetapkan Menteri.
Pasal 5
Peraturan Dana Pensiun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) menjadi dasar
penyelenggaraan Program Pensiun Iuran Pasti.
Bagian Ketiga
Perubahan Peraturan Dana Pensiun
Pasal 6
(1) Perubahan Peraturan Dana Pensiun dilakukan oleh Pendiri.
(2) Perubahan Peraturan Dana Pensiun harus mendapat pengesahan Menteri.
Pasal 7
(1) Untuk mendapat pengesahan Menteri sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (2), Pendiri
mengajukan permohonan tertulis kepada Menteri yang memuat uraian tentang latar belakang dan
tujuan perubahan Peraturan Dana Pensiun, serta dilengkapi dengan :
a. Peraturan Dana Pensiun yang baru;
b. dokumen lain yang dapat ditetapkan menteri.
(2) Dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak diterimanya permohonan
pengesahan perubahan peraturan Dana Pensiun secara lengkap dan memenuhi ketentuan
Undang-undang Dana Pensiun dan peraturan pelaksanaannya, maka peraturan Perubahan
Peraturan Dana pensiun tersebut wajib disahkan Menteri dan dicatat dalam Buku Daftar Umum
yang disediakan untuk itu.
(3) Dalam hal permohonan ditolak, Menteri wajib menyampaikan surat pemberitahuan penolakan
yang disertai alasan penolakan, dalam jangka waktu sebagai mana dimaksud dalam ayat (2).
(4) Perubahan Peraturan Dana Pensiun berlaku sejak tanggal pengesahan Menteri.
(5) Pengurus mengumumkan pengesahan sebagaimana dimaksud dalam
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Pasal 8
Perubahan Peraturan Dana Pensiun yang menyebabkan kenaikan biaya sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (1) huruf l tidak dapat berlaku surut.
BAB III
KEPENGURUSAN DANA PENSIUN
Pasal 9
Pendiri Dana Pensiun bertindak sebagai Pengurus Dana Pensiun dan bertanggung jawab atas
pengelolaan dan investasi Dana Pensiun.
Pasal 10
(1) Pengurus wajib mengelola dana Pensiun dengan mengutamakan kepentingan peserta dan pihak
lain yang berhak.
(2) Pengurus wajib memelihara buku, catatan dan dokumen yang diperlukan dalm rangka kegiatan
Dana Pensiun.
(3) Pengurus wajib bertindak teliti, terampil, bijaksana dan cermat dalam melaksanakan tanggung
jawabnya mengelola Dana pensiun.
(4) Pengurus wajib merahasiakan keterangan pribadi yang menyangkut masing-masing peserta.
Pasal 11
Pengurus wajib menyampaikan laporan berkala kepada Menteri, yang terdiri dari :
a. Laporan teknis;
b. Laporan keuangan yang telah diaudit oleh akuntan publik, menurut bentuk, susunan, dan waktu
yang ditetapkan oleh Menteri.
ayat (2) dengan
Pasal 12
(1) Untuk kepentingan Peserta, Pengurus wajib memberikan informasi mengenai kemungkinan
timbulnya risiko kerugian atas pilihan investasi yang dilakukan oleh peserta melalui Dana
Pensiun.
(2) Pengurus wajib menyampaikan keterangan kepada peserta mengenai :
a. neraca dan perhitungan hasil usaha menurut bentuk, susunan dan waktu yang ditetapkan
menteri;
b. hal-hal yang timbul dalam rangka kepesertaan dalam bentuk dan waktu yang ditetapkan
Menteri;
c. setiap perubahan Peraturan Dana Pensiun.
Pasal 13
Selambat-lambatnya 30 (tigapuluh) hari setelah berakhirnya tahun takwim, pengurus wajib
menyerahkan kepada Peserta :
a. Posisi dana pada akhir tahun takwim bersangkutan;
b. tanda bukti penarikan dana oleh Peserta yang bersangkutan beserta pajak yang telah dipungut dari
penarikan dana dimaksud dalam 1 (satu) tahun takwim.
Pasal 14
Pengurus bertanggung jawab atas segala kerugian yang timbul pada kekayaan Dana Pensiun akibat
tindakan Pengurus yang melanggar atau melalaikan tugas dan/atau kewajibannya sebagaimana
ditetapkan dalam Peraturan Dana Pensiun dan peraturan perundang-undangan tentang Dana Pensiun,
serta wajib mengembalikan kepada Dana Pensiun segala kenikmatan yang diperoleh atas atau dari
kekayaan Dana Pensiun secara melawan hukum.
Pasal 15
Dewan komisaris atau yang setara dengan itu dari Pendiri Dana Pensiun bertindak sebagai Dewan
Pengawas dan bertanggung jawab mengawasi pengelolaan dan investasi Dana Pensiun.
Pasal 16
Tugas dan wewenang Dewan Pengawas :
a. melakukan pengawasan atas pengelolaan Dana Pensiun oleh Pengurus;
b. menyampaikan laporan tahunan secara tertulis atas hasil pengawasannya;
c. menunjuk akuntan publik untuk mengaudit laporan keuangan Dana Pensiun.
BAB IV
IURAN DANA PENSIUN
Pasal 17
Besarnya iuran maksimum Peserta ditetapkan Menteri.
Pasal 18
(1) Pemberi Kerja dapat membayar iuran kepada Dana Pensiun untuk dan atas nama karyawan.
(2) Dalam hal Pemberi Kerja membayar iuran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka Pemberi
Kerja wajib menyatakan secara tertulis kewajibannya untuk membayar seluruh iuran secara
tunai.
(3) Pernyataan tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) sekurang-kurangnya memuat
ketentuan mengenai :
a. besarnya iuran;
b. saat jatuh tempo iuran.
(4) Perubahan pernyataan tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) yang menyebabkan
penurunan besarnya iuran tidak dapat berlaku surut.
(5) Pernyataan tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan perubahan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (4), disampaikan kepada Menteri serta diumumkan kepada karyawan yang berhak.
BAB V
HAK PESERTA
Pasal 19
(1) Dalam hal peserta meninggal dunia, manfaat pensiun dibayarkan kepada Janda/Duda atau Anak.
(2) Manfaat Pensiun bagi Janda/Duda dibayarkan seumur hidup.
(3) Dalam hal tidak ada Janda/Duda yang sah, atau Janda/Duda kawin lagi, Manfaat Pensiun
dibayarkan kepada Anak.
(4) Manfaat Pensiun kepada Anak wajib dibayarkan sampai Anak tersebut mencapai usia sekurang-
kurangnya 21 (dua puluh satu) tahun.
Pasal 20
(1) Dalam hal tidak ada Janda/Duda yang sah, atau Janda/Duda meninggal dunia, atau Janda/Duda
kawin lagi, Manfaat Pensiun dibayarkan kepada Anak.
(2) Pembayaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara sekaligus.
Pasal 21
(1) Pengurus atas permintaan Peserta pada saat pensiun, membeli anuitas seumur hidup dari
Perusahaan Asuransi Jiwa yang dipilihnya, dengan syarat :
a. anuitas yang dipilihnya menyediakan Manfaat Pensiun bagi Janda/Duda atau Anak sekurang-
kurangnya 60% dan sebanyak-banyaknya 100% dari Manfaat Pensiun yang diterima Peserta;
b. anuitas yang dipilih memenuhi ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang Dana Pensiun dan
peraturan pelaksanaannya serta Peraturan Dana Pensiun.
(2) Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a tidak berlaku dalam hal pembelian
anuitas didasarkan pada permintaan dan pilihan Janda/Duda atau Anak.
Pasal 22
Apabila pembayaran Manfaat Pensiun berakhir, dan ternyata jumlah seluruh Manfaat Pensiun yang
telah dibayarkan kurang dari jumlah haknya pada saat dimulainya pembayaran Manfaat Pensiun,
maka Perusahaan Asuransi Jiwa wajib membayarkan selisihnya sekaligus kepada ahli waris yang sah
dari Peserta.
BAB VI
LIKUIDASI DANA PENSIUN
Pasal 23
Dalam hal Dana Pensiun bubar, maka likuidator mengalihkan dana yang merupakan hak Peserta ke
Dana Pensiun lain.
BAB VII
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 24
(1) Dalam hal 2 (dua) atau lebih Bank atau Perusahaan Asuransi Jiwa yang menyelenggarakan Dana
Pensiun menggabungkan diri, maka Dana Pensiun yang diselenggarakan Bank atau Perusahaan
Asuransi jiwa yang menggabungkan diri wajib bergabung ke Dana Pensiun dari Bank atau
Perusahaan Asuransi Jiwa yang menerima penggabungan.
(2) Dalam hal terjadi penggabungan Dana Pensiun sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka
kepesertaan, kewajiban dan kekayaan Dana Pensiun yang menggabungkan diri beralih ke Dana
Pensiun dari Bank atau Perusahaan Asuransi Jiwa yang menerima penggabungan.
Pasal 25
(1) Dalam hal 2 (dua) atau lebih Bank atau Perusahaan Asuransi Jiwa yang menyelenggarakan Dana
Pensiun melakukan konsolidasi, maka Dana Pensiun dari Bank atau Perusahaan Asuransi Jiwa
wajib digabungkan menjadi 1 (satu) Dana Pensiun.
(2) Pada saat terbentuknya Bank atau Perusahaan Asuransi Jiwa hasil konsolidasi, maka terbentuk
pula Dana Pensiun yang menerima dan bertanggung jawab atas pengalihan kepesertaan,
kewajiban dan kekayaan dari Dana Pensiun yang menggabungkan diri.
(3) Bank atau Perusahaan Asuransi Jiwa hasil konsolidasi selaku Pendiri Dana Pensiun sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) wajib mengajukan permohonan pengesahan Peraturan Dana Pensiun.
Pasal 26
Ketentuan Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 25 ayat (2) tidak mengurangi hak peserta untuk mengalihkan
kepesertaannya ke Dana Pensiun lain.
Pasal 27
Pelaksanaan lebih lanjut ketentuan Pasal 24 dan Pasal 25 ditetapkan oleh Menteri.
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 28
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 30 November 1992
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd.
S O E H A R T O
Diundangkan di Jakarta pada tanggal 30 November 1992
MENTERI SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
ttd.
M O E R D I O N O
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1992 NOMOR 127
Salinan sesuai dengan aslinya
SEKRETARIAT KABINET RI
Ketua Biro Hukum
dan Perundang-undangan
ttd.
Bambang Kuswoyo, S.S., LL.M.
"," 77/PP/1992
DANA PENSIUN LEMBAGA KEUANGAN
30 November 1992
30 November 1992
30 November 1992
'11/UU/1992', 'UUD 1945 | Pasal 5 Ayat (2)'
"
" PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 76 TAHUN 1992
TENTANG
DANA PENSIUN PEMBERI KERJA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Menimbang : a. bahwa dalam rangka pelaksanaan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang
Dana Pensiun diperlukan adanya ketentuan yang mengatur mengenai pembentukan
Dana Pensiun Pemberi Kerja dan penyelengaraan Program Pensiun;
b. bahwa untuk penyelengaraan Program Pensiun oleh Dana Pensiun Pemberi Kerja
diperlukan ketentuan mengenai kepengurusan, pengelolaan kekayaan Dana
Pensiun, penyediaan Manfaat Pensiun secara berkesinambungan, dan jaminan atas
hak-hak Peserta termasuk dalan hal terjadi penangguhan pemupukan Manfaat
Pensiun, pemisahan dan penggabungan serta likuidasi Dana Pensiun Pemberi
Kerja;
c. bahwa sehubungan dengan itu, dipandang perlu untuk menetapkan Peraturan
Pemerintah tentang Dana Pensiun Pemberi Kerja;
Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun (Lembaran Negara
Tahun 1992 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3477);
MEMUTUSKAN
Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG DANA
PENSIUN PEMBERI KERJA
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
1. Dana Pensiun adalah Dana Pensiun Pemberi Kerja sebagaimana dimaksud dalam Undang-
undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun;
2. Penerima Titipan adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 7
Tahun 1992 tentang Perbankan;
3. Janda/Duda adalah istri/suami yang sah dari Peserta atau pensiunan yang meninggal dunia, yang
telah terdaftar pada Dana Pensiun sebelum Peserta meninggal dunia atau pensiun;
4. Anak adalah semua anak yang sah dari Peserta atau pensiunan, yang telah terdaftar pada Dana
Pensiun sebelum Peserta meninggal dunia atau pensiun;
5. Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia.
BAB II
PENGESAHAN DANA PENSIUN
Bagian Pertama
Persyaratan Dan Tata Cara Pengesahan
Pasal 2
Setiap pembentukan Dana Pensiun oleh Pemberi Kerja wajib mendapat pengesahan Menteri.
Pasal 3
(1) Permohonan pengesahan Dana Pensiun diajukan oleh Pendiri dengan menggunakan formulir
yang ditetapkan Menteri, dengan melampirkan:
a. Peraturan Dana Pensiun;
b. pernyataan tertulis Pendiri dan Mitra Pendiri bila ada;
c. surat penunjukan Pengurus, Dewan Pengawas, dan Penerima Titipan;
d. arahan investasi;
e. laporan aktuaris, apabila Dana Pensiun menyelenggarakan Program Pensiun Manfaat Pasti;
f. surat perjanjian antara Pengurus dengan Penerima Titipan.
(2) Ketentuan pelaksanan mengenai tata cara permohonan pengesahan Dana Pensiun sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan Menteri.
Bagian Kedua Peraturan Dana Pensiun
Pasal 4
Peraturan Dana Pensiun sekurang-kurangnya memuat ketentuan sebagai berikut :
a. nama Dana Pensiun;
b. nama Pendiri;
c. karyawan atau kelompok karyawan yang berhak menjadi Peserta;
d. nama Mitra Pendiri, apabila ada
e. tanggal pembentukan Dana Pensiun;
f. maksud dan tujuan pembentukan Dana Pensiun;
g. pembentukan kekayaan Dana Pensiun yang terpisah dari kekayaan Pemberi kerja;
h. tata cara penunjukan, penggantian dan penunjukan kembali Pengurus dan Dewan Pengawas;
i. masa jabatan Pengurus dan Dewan Pengawas;
j. pedoman penggunaan jasa Penerima Titipan;
k. syarat untuk menjadi Peserta;
l. hak, kewajiban dan tanggung jawab Pengurus, Dewan Pengawas, Peserta dan Pemberi Kerja,
termasuk kewajiban Pemberi Kerja untuk membayar iuran;
m. besar iuran untuk Program Pensiun;
n. rumus Manfat Pensiun dan faktor-faktor yang mempengaruhi perhitungannya;
o. tata cara pembayaran Manfaat Pensiun dan manfaat lainnya;
p. tata cara penunjukan dan penggantian pihak yang berhak atas Manfaat Pensiun apabila Peserta
meninggal dunia;
q. biaya yang merupakan beban Dana Pensiun;
r . tata cara perubahan Peraturan Dana Pensiun;
s. tata cara pembubaran dan penyelesaian Dana Pensiun.
Pasal 5
Peraturan Dana Pensiun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 hanya dapat menjadi dasar
penyelenggaraan 1 (satu) jenis Program Pensiun.
Bagian Ketiga
Pernyataan Tertulis Pendiri
Dan Mitra Pendiri
Pasal 6
Pernyataan tertulis Pendiri dan pernyataan tertulis Mitra Pendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal
3 ayat (1) huruf b harus disetujui oleh pemilik perusahaan, atau rapat umum pemegang saham, atau
yang setara dengan itu, serta memuat :
a. ringkasan Peraturan Dana Pensiun;
b. kesediaan untuk membiayai penyelenggaraan Dana Pensiun dan peraturan pelaksanannya serta
Peraturan Dana Pensiun.
Bagian Keempat
Penitipan Kekayaan Dana Pensiun
Pasal 7
(1) Perjanjian penitipan kekayaan Dana Pensiun antar Pengurus dan Penerima Titipan sekurang-
kurangnya memuat ketentuan:
a. tugas, wewenang dan tanggung jawab Penerima Titipan;
b. biaya penitipan yang dibebankan kepada Dana Pensiun;
c. pernyataan Penerima Titipan untuk memberikan informasi dan menyediakan buku, catatan,
dan dokumen yang berkenaan dengan kekayaan Dana Pensiun yang dititipkan dalam rangka
pemeriksaan, baik yang dilakukan oleh Menteri, atau oleh akuntan publik dan atau oleh
aktuaris yang ditunjuk Menteri atau oleh Dewan Pengawas maupun auditor yang ditunjuk
Dewan Pengawas.
(2) Perubahan perjanjian penitipan dan atau perubahan penunjukan Penerima Titipan wajib
dilaporkan kepada Menteri selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja sebelum berlakunya
perubahan.
Pasal 8
(1) Penerima Titipan bertanggung jawab atas pengamanan kekayaan Dana Pensiun sesuai dengan
ketentuan Undang-undang Dana Pensiun dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Penerima Titipan wajib mencatat dan membukukan kekayaan Dana Pensiun secara terpisah dari
kekayaan Penerima Titipan.
(3) Kekayaan Dana Pensiun yang ditittipkan dikecualikan dari setiap tuntutan hukum terhadap
kekayaan Penerima Titipan
Bagian Kelima
Perubahan Peraturan Dana Pensiun
Pasal 9
(1) Perubahan Peraturan Dana Pensiun dilakukan oleh Pendiri, dan harus mendapatkan pengesahan
Menteri.
(2) Pengesahan Menteri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak diperlukan dalam hal
penangguhan dan pengakhiran penangguhan kepesertaan karyawan Mitra Pendiri.
(3) Perubahan Peraturan Dana Pensiun sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pemberlakuannya
harus dinyatakan dalam pernyataan tertulis Pendiri.
(4) Dalam hal perubahan Peraturan Dana Pensiun dimaksud mengakibatkan perubahan atas
pendanaan dan atau besarnya Manfaat Pensiun, maka pernyataan Pendiri sebagaimana
dimaksud dalam ayat (3) harus mendapat persetujuan pemilik perusahaan atau rapat umum
pemegang saham atau yang setara dengan itu.
Pasal 10
(1) Untuk mendapat pengesahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), Pendiri
mengajukan permohonan tertulis kepada Menteri yang memuat uraian tentang latar belakang
dan tujuan perubahan Peraturan Dana Pensiun, serta dilengkapi dengan:
a. Peraturan Dana Pensiun yang baru;
b. pernyataan tertulis Pendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) atau ayat (4);
c. laporan aktuaris, apabila perubahan Peraturan Dana Pensiun mengakibatkan perubahan
dalam hal pendanaan dan Manfaat Pensiun, bagi Dana Pensiun yang menyelenggarakan
Program Pensiun Manfaat Pasti.
(2) Dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak diterimanya permohonan
pengesahan perubahan Peraturan Dana Pensiun secara lengkap dan memenuhi ketentuan
Undang-undang Dana Pensiun dan Peraturan Pemerintah ini serta peraturan pelaksanaannya,
maka Peraturan Dana Pensiun tersebut wajib disahkan Menteri dan dicatat dalam Buku Daftar
Umum yang disediakan untuk itu.
(3) Dalam hal permohonan ditolak, Menteri wajib menyampaikan surat pemberitahuan penolakan
yang disertai alasan penolakan, dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
(4) Perubahan Peraturan Dana Pensiun berlaku sejak tanggal pengesahan Menteri.
(5) Pengurus wajib mengumumkan pengesahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Bagian Keenam
Penangguhan Pembayaran Iuran
Pasal 11
(1) Atas permohonan Pendiri, Menteri dapat memberikan persetujuan untuk menangguhkan
pembayaran iuran dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal
persetujuan.
(2) Atas permohonan Pendiri, Menteri dapat menetapkan tanggal mulai berlakunya penangguhan
sebelum tanggal persetujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), paling lama sejak tanggal
pengiriman permohonan.
(3) Penangguhan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan apabila Pendiri
mengalami kerugian selama 3 (tiga) tahun berturut-turut.
(4) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diajukan secara tertulis kepada
Menteri dan dilampiri bukti-bukti yang mendukung adanya kerugian sebagaimana dimaksud
dalam ayat (3).
Pasal 12
(1) Iuran sampai dengan tanggal mulai berlakunya penangguhan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11 ayat (1) atau ayat (2) harus tetap dibayarkan kepada Dana Pensiun.
(2) Selama masa penangguhan, ketentuan-ketentuan lain dari Peraturan Dana Pensiun, termasuk
ketentuan tentang pembayaran Manfaat Pensiun, tetap berlaku.
Pasal 13
(1) Pada masa penangguhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) atau ayat (2), Pendiri
dapat mengakhiri penangguhan pembayaran iuran dengan cara menyetor iuran kepada Dana
Pensiun.
(2) Berakhirnya penangguhan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaporkan kepada Menteri
dengan melampirkan bukti pembayaran iuran.
Pasal 14
Apabila masa penangguhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) atau ayat (2) berakhir,
ternyata Pendiri tetap tidak dapat membayar iuran, maka Dana Pensiun dimaksud harus dibubarkan
dengan memenuhi ketentuan tentang pembubaran sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang
Dana Pensiun dan peraturan pelaksanaannya.
BAB III
KEPENGURUSAN
Bagian Pertama
Pengurus
Pasal 15
(1) Dalam rangka pengelolaan Dana Pensiun, Pendiri menunjuk Pengurus.
(2) Pengurus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bertanggung jawab kepada Pendiri.
(3) Pengurus ditunjuk untuk masa jabatan paling lama 5 (lima) tahun dan dapat ditunjuk kembali.
Pasal 16
(1) Penunjukan Pengurus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) ditetapkan dengan surat
penunjukkan.
(2) Surat penunjukkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya memuat:
a. nama orang atau badan usaha yang ditunjuk sebagai Pengurus;
b. masa jabatan Pengurus.
(3) Surat penunjukkan Pengurus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilampiri pernyataan tertulis
Pengurus tentang kesediaannya untuk ditunjuk sebagai Pengurus, dan mengelola Dana Pensiun
sesuai dengan Peraturan Dana Pensiun dan Undang-undang Dana Pensiun serta peraturan
pelaksanaannya.
Pasal 17
(1) Pengurus wajib mengelola Dana Pensiun dengan mengutamakan kepentingan Peserta dan pihak
lain yang berhak atas Manfaat Pensiun.
(2) Pengurus wajib memelihara buku, catatan dan dokumen yang diperlukan dalam rangka
pengelolaan Dana Pensiun.
(3) Pengurus wajib bertindak teliti, terampil, bijaksana dan cermat dalam melaksanakan tanggung
jawabnya mengelola Dana Pensiun.
(4) Pengurus wajib merahasiakan keterangan pribadi yang menyangkut masing-masing Peserta.
Pasal 18
(1) Pengurus wajib menyampaikan secara berkala kepada Menteri:
a. laporan keuangan yang telah diaudit oleh akuntan publik.
b. laporan teknis yang disusun oleh Pengurus atau oleh Pengurus dan aktuaris sesuai ketentuan
yang ditetapkan Menteri;
c. laporan aktuaris sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun sekali.
(2) Pengurus wajib menyampaikan keterangan kepada Peserta mengenai:
a. neraca dan perhitungan hasil usaha menurut bentuk, susunan dan waktu yang ditetapkan
Menteri;
b. hal-hal yang timbul dalam rangka kepesertaan dalam bentuk dan waktu yang ditetapkan
Menteri;
c. setiap perubahan Peraturan Dana Pensiun.
Pasal 19
Perubahan Pengurus dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dan
wajib dilaporkan kepada Menteri selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja sebelum berlakunya
perubahan.
Pasal 20
Jabatan anggota Pengurus berakhir apabila :
a. masa jabatan berakhir; atau
b. meninggal dunia; atau
c. mengundurkan diri; atau
d. diberhentikan oleh Pendiri; atau
e. dijatuhi hukuman pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Pasal 21
Pengurus, masing-masing atau bersama-sama, bertanggung jawab secara pribadi atas segala kerugian
yang timbul pada kekayaan Dana Pensiun akibat tindakan Pengurus yang melanggar atau melalaikan
tugas dan/atau kewajibannya sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Dana Pensiun dan peraturan
perundang-undangan tentang Dana Pensiun, serta wajib mengembalikan kepada Dana Pensiun segala
kenikmatan yang diperoleh atas atau dari kekayaan Dana Pensiun secara melawan hukum.
Bagian Kedua
Dewan Pengawas
Pasal 22
(1) Dalam rangka pengawasan pengelolaan Dana Pensiun, Pendiri menunjuk anggota Dewan
Pengawas.
(2) Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bertanggungjawab kepada Pendiri.
(3) Anggota Dewan Pengawas ditunjuk untuk masa jabatan paling lama 5 (lima) tahun dan dapat
ditunjuk kembali.
Pasal 23
(1) Penunjukan anggota Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1),
ditetapkan dengan surat penunjukan.
(2) Surat penunjukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), sekurang-kurangnya memuat:
a. nama dan alamat anggota Dewan Pengawas ;
b. masa jabatan anggota Dewan Pengawas.
(3) Surat penunjukan anggota Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilampiri
dengan pernyataan tertulis anggota Dewan Pengawas tentang kesediaannya untuk ditunjuk
sebagai anggota Dewan Pengawas guna melakukan pengawasan pengelolaan Dana Pensiun.
Pasal 24
(1) Anggota Dewan Pengawas yang mewakili Peserta adalah karyawan yang menjadi Peserta dan
atau pensiunan.
(2) Dalam hal anggota Dewan Pengawas yang mewakili peserta lebih dari 1 (satu) orang, sekurang-
kurangnya 1 (satu) orang diantaranya adalah pensiunan, apabila jumlah pensiunan lebih dari 50
(lima puluh) orang.
(3) Direksi atau pejabat yang setingkat dengan itu dari Pemberi Kerja, tidak dapat ditunjuk sebagai
wakil Peserta dalam Dewan Pengawas.
(4) Anggota Dewan Pengawas yang mewakili Pemberi Kerja dapat berasal dari karyawan atau
bukan karyawan.
(5) Wakil Peserta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan oleh Peserta.
Pasal 25
Tugas dan Wewenang Dewan Pengawas:
a. melakukan pengawasan atas pengelolaan Dana Pensiun oleh Pengurus;
b. menyampaikan laporan tahunan secara tertulis atas hasil pengawasannya kepada Pendiri dan
salinannya diumumkan kepada Peserta;
c. menunjuk akuntan publik untuk mengaudit laporan keuangan Dana Pensiun
d. menunjuk aktuaris untuk menyusun laporan aktuaris bagi Dana Pensiun yang menyelenggarakan
Program Pensiun Manfaat Pasti;
e. menetapkan arahan investasi bersama Pendiri, dalam hal Dana Pensiun menyelenggarakan
Program Pensiun Iuran Pasti.
Pasal 26
Perubahan anggota Dewan Pengawas dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 23 dan 24 serta wajib dilaporkan kepada Menteri dalam jangka waktu selambat-
lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja setelah tanggal perubahaannya.
Pasal 27
Jabatan anggota Dewan Pengawas berakhir apabila:
a. masa jabatan berakhir; atau
b. meninggal dunis; atau
c. mengundurkan diri; atau
d. diberhentikan oleh Pendiri; atau
e. dijatuhi hukuman pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; atau
f. wakil Peserta yang bersangkutan berhenti bekerja bukan karena pensiun.
BAB IV
HAK PESERTA
Pasal 28
(1) Peserta berhak atas Manfaat Pensiun berdasarkan Peraturan Dana Pensiun.
(2) Peserta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri dari karyawan, pensiunan dan bekas
karyawan yang masih berhak atas Manfaat Pensiun.
Pasal 29
(1) Dalam hal Peserta meninggal dunia, Manfaat Pensiun dibayarkan kepada Janda/Duda atau
Anak.
(2) Manfaat Pensiun bagi Janda/Duda dibayarkan seumur hidup.
(3) Dalam hal tidak ada Janda/Duda yang sah, atau Janda/Duda meninggal dunia, atau Janda/Duda
kawin lagi, Manfaat Pensiun dibayarkan kepada Anak.
(4) Manfaat Pensiun kepada Anak wajib dibayarkan sampai Anak tersebut mencapai usia sekurang-
kurangnya 21 (dua puluh satu) tahun.
Pasal 30
(1) Dalam hal Peserta meninggal dunia dan tidak ada Janda/Duda atau Anak, maka dana yang
merupakan hak Peserta dibayarkan kepada pihak yang ditunjuk oleh Peserta.
(2) Pembayaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara sekaligus.
Pasal 31
(1) Pengurus Dana Pensiun yang menyelenggarakan Program Pensiun Iuran Pasti, atas permintaan
dan pilihan Peserta, membeli anuitas seumur hidup dari Perusahaan Asuransi Jiwa, dengan
syarat:
a. anuitas yang dipilih menyediakan Manfaat Pensiun bagi Janda/Duda atau Anak sekurang-
kurangnya 60% dan sebanyak-banyaknya 100% dari Manfaat Pensiun yang diterima
Peserta;
b. anuitas yang dipilih memenuhi ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang Dana Pensiun
dan peraturan pelaksanaannya serta Peraturan Dana Pensiun.
(2) Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a tidak berlaku bagi pembelian anuitas
berdasarkan permintaan dan pilihan Janda/Duda atau Anak.
Pasal 32
(1) Pada Dana Pensiun yang menyelenggarakan Program Pensiun Manfaat Pasti, apabila
pembayaran Manfaat Pensiun berakhir, dan ternyata jumlah seluruh Manfaat Pensiun yang telah
dibayarkan kurang dari himpunan iuran Peserta beserta hasil pengembangannya sampai dengan
saat dimulainya pembayaran Manfaat Pensiun, maka Pengurus wajib membayarkan selisihnya
sekaligus kepada ahli waris yang sah dari Peserta.
(2) Pada Program Pensiun Iuran Pasti, apabila pembayaran Manfaat Pensiun berakhir, dan ternyata
jumlah seluruh Manfaat Pensiun yang telah dibayarkan kurang dari jumlah haknya pada saat
dimulainya pembayaran Manfaat Pensiun, maka Perusahaan Asuransi Jiwa wajib membayarkan
selisihnya sekaligus kepada ahli waris yang sah dari Peserta.
BAB V
PENANGGUHAN ATAU PENGAKHIRAN
KEPESERTAAN KARYAWAN MITRA PENDIRI
Pasal 33
(1) Penangguhan kepesertaan karyawan Mitra Pendiri dapat dilakukan oleh Pendiri untuk jangka
waktu paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak Mitra Pendiri telah 3 (tiga) bulan berturut-turut
tidak membayar iuran, dengan melakukan perubahan Peraturan Dana Pensiun.
(2) PerubahanPeraturan Dana Pensiun sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilaporkan
kepada Menteri dengan melampirkan pernyataan tertulis Pendiri tentang penangguhan
kepesertaan Mitra Pendiri dan bukti yang menunjukkan bahwa Mitra Pendiri tidak membayar
iuran.
(3) Apabila sebelum jangka waktu penangguhan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berakhir
ternyata Mitra Pendiri telah membayar iurannya, maka Pendiri mengakhiri penangguhan
kepesertaan karyawan Mitra Pendiri dengan melakukan perubahan Peraturan Dana Pensiun.
(4) Perubahan Peraturan Dana Pensiun dalam rangka pengakhiran penangguhan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (3), wajib dilaporkan kepada Menteri dengan melampirkan pernyataan
tertulis Pendiri tentang pengakhiran penangguhan kepesertaan Mitra Pendiri dam bukti
pembayaran iuran Mitra Pendiri.
(5) Selama masa penangguhan, ketentuan-ketentuan lain dari Peraturan Dana Pensiun, termasuk
ketentuan tentang pembyaran Manfaat Pensiun, tetap berlaku.
Pasal 34
Dalam hal jangka waktu penangguhan kepesertaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1)
berakhir dan ternyata Mitra Pendiri tetap tidak membayar iuran, Pendiri wajib mengakhiri
kepesertaan karyawan Mitra Pendiri dengan melakukan perubahan Peraturan Dana Pensiun.
Pasal 35
(1) Dalam hal Pendiri mengakhiri kepasertaan karyawan Mitra Pendiri, Pendiri wajib:
a. mengajukan permohonan pengesahan perubahan Peraturan Dana Pensiun; dan
b. memerintahkan Pengurus mengalaihkan kekayaan, kewajiban, dan kelompok karyawan
Mitra Pendiri, berdasarkan pilihan Peserta kepada Dana Pensiun lembaga Keuangan atau
Dana Pensiun Pemberi Kerja lain.
(2) Bagi pensiunan,Janda/Duda atau Anak yang telah menerima pembayaran Manfaat Pensiun dan
bagi Peserta yang telah berhak menerima pembayaran Manfaat Pensiun, pengalihan pembayaran
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dilakukan dengan membelai anuitas dari
Perusahaan Asuransi Jiwa.
(3) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dilengkapi pula dengan:
a. pernyataan tertulis Pendiri tentang berakhirnya kepesertaan karyawan Mitra Pendiri;
b. bukti yang menunjukkan bahwa Mirtra Pendiri tidak membayar iuran;
c. laporan keuangan sebelum dan sesudah berakhirnya kepesertaan karyawan Mitra Pendiri,
yang telah diaudit oleh akuntan publik;
d. laporan aktuaris sebelum dan sesudah berakhirnya kepesertaan karyawan Mitra Pendiri,
apabila Dana Pensiun menyelenggarkan Program Pensiun Manfaat Pasti.
(4) Biaya yang timbul sebagai akibat pengalihan kekayaan dan kewajiban sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) huruf c dan huruf d menjadi tanggung jawab Mitra Pendiri.
BAB VI
PENGGABUNGAN ATAU PEMISAHAN DANA PENSIUN
Pasal 36
(1) Penggabungan Dana Pensiun hanya dapat dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Dana Pensiun yang melakukan penggabungan memiliki Program Pensiun yang sama, dan
b. harus ada Pemberi Kerja yang bertanggung jawab atas kewajiban yang berkaitan dengan
masa kerja Peserta, sebagaimana detetapkan dalam Peraturan Dana Pensiun sebelum
berlakunya pengabungan.
(2) Penggabungan Dana Pensiun sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus mendapat
pengesahan atau persetujuan Menteri.
Pasal 37
(1) Dalam hal penggabungan Dana Pensiun menyebabkan perubahan Perturan Dana Pensiun dari
Dana Pensiun yang menerima penggabungan, maka Pendiri dana Pensiun yang menerima
penggabungan mengajukan permohonanpengesahan perubahan Peraturan Dana Pensiun dan
Pendiri Dana Pensiun yang menggabungkan diri mengajukan permohonan pembubaran Dna
Pensiun, yang diajukan secara bersama-bersama.
(2) Dalam hal penggabungan Dana Pensiun tidak menyebabkan perubahan Peraturan Dana Pensiun
dari Dana Pensiun yang menerima penggabungan, maka Pendiri Dana Pensiun yang menerima
penggabungan mengajukan permohonan persetujuan atas penggabungan Dana Pensiun dan
Pendiri Dana Pensiun yang menggabungkan diri mengajukan permohonan pembubaran Dana
Pensiun, yang diajukan secara bersama-bersama.
(3) Permohonan persetujuan penggabungan Dana Pensiun sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
harus dilengkapi dengan:
a. pernyataan tertulis Pendiri dari Dana Pen siun yang menerima penggabungan tentang
kesediaannya untuk menerima kepesertaan, kekayaan dan kewajiban dari Dana Pensiun
yang menggabungkan diri;
b. laporan keuangan dari Dana Pensiun yang menerima penggabungan sebelum dan sesudah
penggabungan serta laporan keuangan dari Dana Pensiun yang menggabungkan diri pada
saat penggabungan, yang telah diaudit oleh akuntan publik;
c. laporan aktuaris dari Dana Pensiun yang menerima penggabungan sebelum dan sesudah
penggabungan serta laporan aktuaris dari Dana Pensiun yang menggabungkan diri pada saat
penggabungan, bagi Dana Pensiun yang menyelenggarakan Program Pensiun Manfaat Pasti.
Pasal 38
(1) Permohonan pengesahan penggabungan Dana Pensiun sebagimana dimaksud dalam Pasal 37
ayat (1) dilakukan berdasarkan tata cara sebagimana dimaksud dalam Pasal 9 dan Pasal 10 serta
dilengkapi pula dengan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (3).
(2) Dalam rangka penggabungan sebagaimana dimaksud dala Pasal 37 ayat (1) atau ayat (2),
Menteri menetapkan pada tanggal yang sama keputusan pengesahan perubahan Peraturan Dana
Pensiun atau persetujuan penggabungan Dana Pensiun dan keputusan pembubaran Dana
Pensiun yang menggabungkan diri.
Pasal 39
(1) Pengurus Dana Pensiun yang menerima penggabungan mengumumkan pembubaran Dana
Pensiun yang menggabungkan diri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
(2) Status badan hukum Dana Pensiun yang menggabungkan diri berakhir sejak pengumuman
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 40
Sejak tanggal pengesahan atau persetujuan Menteri atas penggabungan Dana Pensiun, maka seluruh
kepesertaan, kekayaan dan kewajiban Dana Pensiun yang menggabungkan diri beralih ke Dana
Pensiun yang menerima penggabungan.
Pasal 41
(1) Pemisahan Dana Pensiun hanya dapat dilakukan apabila ada Pemberi Kerja yang bertanggung
jawab atas kewajiban yang berkaitan dengan masa kerja Peserta sebagaimana ditetapkan dalam
Peraturan Dana Pensiun sebelum berlakunya pemisahan.
(2) Pemisahan Dana Pensiun sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus mendapat pengesahan
atau persetujuan Menteri.
Pasal 42
(1) Dalam hal pemisahan Dana Pensiun menyebabkan perubahan Peraturan Dana Pensiun dari
Dana Pensiun yang melakukan pemisahan, maka Pendiri Dana Pensiun yang melakukan
pemisahan mengajukan permohonan pengesahan perubahan Peraturan Dana Pensiun dan
Pendiri Dana Pensiun yang baru mengajukan permohonan pendirian Dana Pensiun, yang
diajukan secara bersama-sama.
(2) Dalam hal pemisahan Dana Pensiun tidak menyebabkan perubahan Peraturan Dana Pensiun,
maka pendiri Dana Pensiun melakukan pemisahan Dana Pensiun dan Pensiri Dana Pensiun yang
baru mengajukan permohonan pendirian Dana Pensiun, yang diajukan secara bersama-sama.
(3) Permohonan persetujuan pemisahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus dilengkapi
dengan:
a. Pernyataan tertulis Pendiri dari Dana Pensiun yang melakukan pemisahan tentang
kesediaannya untuk memisahkan sebagian kepesertaan, kekayaan, dan kewajiban ke Dana
Pensiun yang baru;
b. Pernyataan tertulis Pendiri dari Dana Pensiun baru tentang kesediaannya untuk menerima
sebagian kepesertaan, kekayaan dan kewajiban dari Dana Pensiun yang melakukan
pemisahan; menjadi kepesertaan, kekayaan, kekayaan dan kewajiban awal Dana
Pensiunnya.
c. laporan keuangan dari Dana Pensiun yang melakukan pemisahan sebelum dan sesudah
pemisahan serta laporan keuangan dari Dana Pensiun yang baru, yang telah diaudit oleh
akuntan publik;
d. laporan aktuaris dari Dana Pensiun yang melakukan pemisahan sebelum dan sesudah
pemisahan serta laporan aktuaris dari Dana Pensiun yang baru, apabila Dana Pensiun
menyelenggarakan Program Pensiun Manfaat Pasti.
Pasal 43
(1) Permohonan pengesahan pemisahan Dana Pensiun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat
(1) dilakukan berdasarkan tata cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan Pasal 10 dan
dilengkapi pula dengan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (3).
(2) Dalam rangka pemisahan sebagaimana dimaksud dlam Pasal 42 ayat (1) atau ayat (2), Menteri
menetapkan pada tanggal yang sama keputusan pengesahanperubahan Peraturan Dana Pensiun
dan pengesahan atau pembentukan Dana Pensiun baru.
(3) Pengurus wajib mengumumkan pengesahan Menteri atas perubahan Peraturan Dana Pensiun
dan pembentukan Dana Pensiun baru sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Pasal 44
Sejak tanggal pengesahan atau persetujuan Menteri atas pemisahan Dana Pensiun,maka sebagian
kepesertaan, kekayaan dan kewajiban dari Dana Pensiun yang melakukan pemisahan beralih ke
Dana Pensiun yang baru.
Pasal 45
Penggabungan dan pemisahan Dana Pensiun tidak boleh menyebabkan berkurangnya hak Peserta
sampai pada saat pengesahan atau persetujuan Menteri.
BAB VII
PENGALIHAN KEPESERTAAN
Pasal 46
(1) Pengalihan Peserta dari suatu Dana Pensiun ke Dana Pensiun yang lain, yang merupakan
kebijaksanaan Pemberi Kerja, hanya dapat dilakukan dengan ketentuan :
a kedua Dana Pensiun memiliki Program Pensiun yang sama;
b harus ada Pemberi Kerja yang bertanggung jawab atas kewajiban yang berkaitan dengan
masa kerja kelompok karyawan yang dialihkan sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan
Dana Pesniun sebelum berlakunya pengalihan.
(2) Dalam hal pengalihan Peserta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan pengalihan
kelompok Peserta yang ditetapkan dalam Peraturan Dana Pensiun atau pengalihan Mitra
Pendiri, maka pengalihan harus dilakukan dengan merubah Peraturan Dana Pensiun.
Pasal 47
(1) Pendiri Dana Pensiun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (2) mengajukan permohonan
pengesahan atas perubahan Peraturan Dana Pensiun dengan memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 dan Pasal 10.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilampiri dengan :
a Pernyataan tertulis Pendiri dari Dana Pensiun yang mengalihkan tentang kesediaannya
untuk melakukan pengalihan kelompok Peserta atau Mitra Pendiri;
b pernyataan tertulis Pendiri atau Mitra Pendiri dari Dana Pensiun yang menerima pengalihan
tentang kesediaannya untuk menerima pengalihan.
c laporan keuangan sebelum dan sesudah pengalihan dari Dana Pensiun yang melakukan
pengalihan dan Dana Pensiun yang menerima pengalihan, yang telah diaudit oleh akuntan
publik;
d laporan aktuaris sebelum dan sesudah pengalihan dari Dana Pensiun yang melakukan
pengalihan dan Dana Pensiun yang menerima pengalihan, apabila Dana Pensiun
menyelenggarakan Program Pensiun Manfaat Pasti;
(3) Dalam hal Pemberi Kerja dari kelompok Peserta yang dialihkan atau Mitra Pendiri yang
dialihkan menjadi Mitra Pendiri dari Dana Pensiun yang menerima pengalihan, maka
permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus delengkapi dengan pernyataan
tertulisnya selaku Mitra Pendiri, tentang kesediaannya untuk tunduk pada Peraturan Dana
Pensiun dari Dana Pensiun yang menerima pengalihan, serta pemberian kuasa penuh kepada
Pendiri untuk melaksanakan Peraturan Dana Pensiun.
Pasal 48
(1) Dalam hal pengalihan mengakibatkan perubahan Peraturan Dana Pensiun yang melakukan
pengalihan dan perubahan Peraturan Dana Pensiun yang menerima pengalihan, maka Menteri
menetapkan pada tanggal yang sama keputusan pengesahan perubahan Peraturan Dana Pensiun
dari Dana Pensiun yang menerima pengalihan dan perubahan Peraturan Dana Pensiun dari Dana
Pensiun yang melakukan pengalihan.
(2) Dengan pengesahan Menteri tentang perubahan Peraturan Dana Pensiun, maka seluruh
kepesertaan dan kewajiban serta kekayaan dari kelompok peserta yang dialihkan beralih ke
Dana Pensiun yang menerima pengalihan.
Pasal 49
Pengalihan kepesertaan tidak boleh menyebabkan berkurangnya hak Peserta sampai pada saat
pengalihan.
BAB VIII
PEMBAGIAN KEKAYAAN DANA PENSIUN
YANG DILIKUIDASI
Pasal 50
(1) Pembagian kekayaan Dana Pensiun yang dilikuidasi dilakukan dengan urutan sebagai berikut :
a Peserta, pensiunan, Janda/Duda, Anak, dan pihak lain yang berhak atas Manfaat Pensiun;
d Pihak-pihak selain pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf a
(2) Pembagian kekayaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan setelah dipenuhi
kewajiban kepada negara.
Pasal 51
(1) Pada Dana Pensiun yang menyelenggarakan Program Pensiun Manfaat Pasti, dalam hal masih
terdapat kelebihan kekayaan setelah seluruh kewajiban kepada pihak-pihak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 50 diselesaikan, maka kelebihan dimaksud wajib dipergunakan untuk
meningkatkan Manfaat Pensiun bagi Peserta, pensiunan, Janda/Duda, Anak dan pihak lain yang
berhak sampai batas maksimum yang ditetapkan Menteri.
(2) Dalam hal masih terdapat kelebihan kekayaan setelah dilakukan peningkatan Manfaat Pensiun
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka kelebihan dimaksud wajib dibagikan secara
sekaligus kepada Peserta, pensiunan, Janda/Duda, Anak dan pihak lain yang berhak atas
Manfaat Pensiun, secara berimbang sebanding dengan besar Manfaat Pensiun yang menjadi hak
masing-masing pihak.
(3) Dalam rangka peningkatan Manfaat Pensiun sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Peserta
yang memiliki masa kepesertaan kurang dari 3 (tiga) tahun berhak atas Manfaat Pensiun
berdasarkan rumus Manfaat Pensiun yang ditetapkan dalam Peraturan Dana Pensiun.
Pasal 52
Pada Dana Pensiun yang menyelenggarakan Program Pensiun Manfaat Pasti, dalam hal sisa
kekayaan tidak cukup untuk memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1)
huruf a, maka Manfaat Pensiun bagi Peserta, pensiunan, Janda/Duda, Anak dan pihak lain yang
berhak dikurangi secara berimbang, sehingga jumlah seluruh kewajiban terhadap pihak-pihak
tersebut sama dengan sisa kekayaan Dana Pensiun.
Pasal 53
(1) Bagi Peserta yang belum berhak menerima pembayaran Manfaat Pensiun dari Dana Pensiun
yang dilikuidasi, haknya dialihkan ke Dana Pensiun Lembaga Keuangan.
(2) Bagi Pensiunan, Janda/Duda atau Anak yang telah menerima pembayaran Manfaat Pensiun dan
bagi Peserta yang telah berhak menerima pembayaran Manfaat Pensiun dari Dana Pensiun yang
dilikuidasi, haknya dibagikan dengan membeli anuitas dari Peresahaan Asuransi jiwa
berdasarkan pilihan Peserta atau pihak yang berhak.
(3) Dalam hal pembagian hak Peserta, pensiunan, Janda/Duda atau anak atau pihak lain yang
berhak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) menghasilkan Manfaat Pensiun yang lebih kecil
dari jumlah tertentu yang ditetapkan oleh Menteri berdasarkan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 25 ayat (3) Undang-undang Dana Pensiun, maka nilai sekarang Manfaat
Pensiun tersebut dapat dibayarkan sekaligus.
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 54
(1) Setiap Yayasan Dana Pensiun yang dinyatakan telah mendapatkan pengesahan sebagai Dana
Pensiun berdasarkan Undang-undang Dana Pensiun, wajib menyesuaikan diri dengan ketentuan
Undang-undang Dana Pensiun dan peraturan pelaksanaannya.
(2) Penyesuaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh Pendiri dengan mengajukan
permohonan kepada Menteri.
(3) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilampiri dengan ;
a. Peraturan Dana Pensiun yang baru;
b. anggaran Dasar dan peraturan pensiun Yayasan Dana Pensiun yang berlaku sampai dengan
tangggal 20 April 1992;
c. pernyataan tertulis Pendiri dan pernyataan tertulis Mitra Pendiri bila ada;
d. surat penunjukan Pengurus, Dewan Pengawas, dan Penerima Titipan;
e. arahan investasi,
f. Laporan aktuaris per tanggal 31 desember 1991 apabila Yayasan dana Pensiun
menyelenggarakan Program Pensiun Manfaat Pasti;
g. surat perjanjian antara Pengurus dan Penerima titipan;
h. Laporan Keuangan per tanggal 31 Desember 1991 yang telah diaudit oleh akuntan Publik;
i. Rekapitulasi Peserta bagi Dana Pensiun yang menyelenggarakan pembayaran uang secara
sekaligus;
j. Nomor Pokok Wajib Pajak Dana Pensiun.
(4) Pernyataan tertulis Pendiri dan Mitra Pendiri sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf c
harus memenuhi ketentuan Pasal 6 dan memuat pernyataan tentang pemberlakuan Peraturan
Dana Pensiun.
Pasal 55
(1) Dana Pensiun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 tetap dapat melanjutkan Program Pensiun
yang menjanjikan pembayaran uang sekaligus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (4)
Undang-undang dana Pensiun bagi karyawan yang telah menjadi Peserta sebelum tanggal 20
April 1992.
(2) Dalam hall dana Pensiun sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) menyelenggarakan Program
Pensiun bagi karyawan yang menjadi Peserta setelah tanggal 20 April 1992, maka Program
Pensiun yang diselenggarakan harus berdasarkan Undang-undang Dana Pensiun dan perturan
pelaksanaannya.
(3) Peserta Program Pensiun sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat beralih menjadi Pesertta
ke Program Pensiun sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
(4) Bagi Peserta yang beralih kepesertaannya sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), pada saat
pensiun, dapat memilih untuk menerima pembayaran Manfaat Pensiun secara sekaligus sampai
sebanyak-banyak 20% (dua puluh per seratus) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (4)
Undang-undang Dana Pensiun, atau sebesar yang seharusnya diterima pada tanggal 20 April
1992 berdasarkan Program Pensiun sebagaiman dimaksud dlam ayat (1).
Pasal 56
Dana Pensiun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, yang sebelum tanggal 20 April 1992 telah
menetapkan Manfaat Pensiun secara berkala melebihi Manfaat Pensiun maksimum sebagaimana
ditetapkan Menteri berdasarkan ketentuan Pasal 18 ayat (2) Undang-undang Dana Pensiun, tetap
dapat melanjutkan pembayaran dimaksud sampai diselesaikannya seluruh kewajiban bagi karyawan
yang telah menjadi Peserta sebelum tanggal 20 April 1992.
BAB X
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 57
(1) Setiap orang atau badan usaha yang telah menjalankan program yang menjanjikan pembayaran
sejumlah uang yang dikaitkan dengan pencapaian usia tertentu sebelum tanggal 20 April 1992,
dengan nama apapun baik dengan atau tanpa iuran, apabila tetap melanjutkan program tersebut
wajib mengajukan permohonan pengesahan pembentukan Dana Pensiun kepada Menteri
selambat-lambatnya sebelau tanggal 20 April 1993.
(2) Permohonan pengesahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan oleh Pendiri dengan
memenuhi persyaratan dan tata cara pengesahan dalam Peraturan Pemerintah ini.
(3) Persyaratan sebagimana dimaksud dalam ayat (2) dilengkapi pula dengan :
a. Dokumen yang menunjukkan Program Pensiun telah diselenggarakan sebelum tanggal 20
April 1992;
b. rekapitulasi Peserta bagi yang menyelenggarakan pembayaran uang secara sekaligus.
(4) Ketentuan mengenai penyesuaian investasi, pembayaran Manfaat Pensiun sekaligus, dan
pembayaran Manfaat Pensiun maksimum secara berkala, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61
ayat (3) Undang-undang Dana Pensiun, serta ketentuan Pasal 55 dan Pasal 56 Peraturan
Pemerintah ini berlaku pula bagi Dana Pensiun yang mendapat pengesahan Menteri berdasarkan
ketentuan dalam ayat (1), ayat (2) dan ayat (3).
Pasal 58
Terhitung sejak tanggal 1 Januari 1993, Perusahaan Asuransi Jiwa dilarang menjual program yang
didalamnya terkandung janji Pemberi Kerja kepada karyawannya untuk membayarkan sejumlah
uang yang pembayarannya dikaitkan dengan pencapaian usia tertentu.
Pasal 59
Perusahaan Asuransi Jiwa yang telah menjual program sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58
sebelum tanggal 1 Januari 1993 tetap dapat melanjutkan program tersebut sampai berakhirnya
perjanjian pertanggungan dimaksud.
BAB XI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 60
Peraturan Pemerintah ihi mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 30 Nopember 1992
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd.
S O E H A R T O
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 30 Nopember 1992
MENTERI/SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
ttd.
M O E R D I O N O
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1992 NOMOR 120
Salinan sesuai dengan aslinya
SEKRETARIAT KABINET RI
Kepala Biro Hukum
dan Perundang-undangan
Kasowo, S.H. LL.M.
"," 76/PP/1992
DANA PENSIUN PEMBERI KERJA
30 Nopember 1992
30 Nopember 1992
30 Nopember 1992
'UUD 1945 | Pasal 5 ayat (2)', '11/UU/1992'
"
" No.18 /34/ DPPK
Jakarta, 13 Desember 2016
S U R A T E D A R A N
Kepada
SEMUA BANK UMUM DEVISA
DI INDONESIA
Perihal
: Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah antara Bank
dengan Pihak Domestik
Sehubungan dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/18/PBI/2016
tentang Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak
Domestik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 183,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5926), yang
selanjutnya disebut PBI, perlu mengatur ketentuan pelaksanaan mengenai
Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak Domestik
dalam Surat Edaran Bank Indonesia sebagai berikut:
I. TRANSAKSI
1. Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah untuk kepentingan sendiri
maupun untuk kepentingan pihak domestik atas dasar suatu kontrak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) PBI diatur sebagai
berikut:
a. Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah untuk kepentingan
sendiri adalah apabila Bank berperan sebagai counterparty
dalam bertransaksi dengan pihak domestik, dimana kedudukan
Bank dan pihak domestik setara.
Contoh:
Bank A melakukan Transaksi Spot USD/IDR sebesar
USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat) dengan
Nasabah X. Dalam hal ini, posisi Bank A sebagai counterparty
dari Nasabah X.
b. Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah untuk kepentingan
pihak domestik adalah apabila Bank bertransaksi atas nama
pihak …
2
pihak domestik, dimana Bank bertindak sebagai pihak yang
mewakili kepentingan pihak domestik.
Contoh:
Nasabah A meminta kepada Bank B untuk mewakili Nasabah A
tersebut untuk melakukan transaksi dengan Bank X Ltd di luar
negeri. Dalam hal ini, transaksi yang terjadi adalah antara
Nasabah A dengan Bank X Ltd, dimana posisi Bank B hanya
merupakan perantara.
c. Kontrak yang digunakan dalam Transaksi Valuta Asing
Terhadap Rupiah berupa:
1) konfirmasi tertulis berupa kontrak transaksi valuta asing
(derivatif) yang lazim digunakan oleh pelaku pasar dan/atau
diterbitkan oleh asosiasi terkait; dan/atau
2) konfirmasi tertulis yang menunjukkan terjadinya transaksi
yang antara lain berupa dealing conversation atau print out
dari Society of Worldwide Interbank Financial
Telecommunication (SWIFT).
d. Kontrak yang digunakan dalam Transaksi Valuta Asing
Terhadap Rupiah yang dilakukan Bank untuk kepentingan
sendiri paling kurang berisi:
1) nomor kontrak;
2)
tanggal transaksi dan tanggal valuta;
3) nilai nominal transaksi;
4) nama counterparty;
5) mata uang (denominasi); dan
6)
rekening bank koresponden.
e. Kontrak yang digunakan dalam Transaksi Valuta Asing
Terhadap Rupiah yang dilakukan Bank untuk kepentingan
Nasabah paling kurang berisi:
1) nomor kontrak;
2) hak dan kewajiban dari kedua belah pihak (Bank dan
Nasabah) dalam hal Bank diberi kewenangan untuk
mewakili Nasabah;
3)
tanggal transaksi dan tanggal valuta;
4) nilai nominal transaksi;
5) pagu Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah;
6) jenis …
3
6)
7)
jenis valuta yang diperjualbelikan;
jenis transaksi yang digunakan;
8) besarnya komisi; dan
9)
rekening bank koresponden.
f. Kontrak transaksi valuta asing (derivatif) yang digunakan oleh
pelaku pasar dapat berupa perjanjian induk derivatif Indonesia
sebagaimana contoh kontrak transaksi valuta asing (derivatif)
yang tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini.
g. Penggunaan kontrak sebagaimana dimaksud pada huruf f dalam
Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah merupakan tanggung
jawab masing-masing pihak yang melakukan transaksi.
h. Dalam hal kontrak yang digunakan Bank dalam Transaksi
Valuta Asing Terhadap Rupiah sebagaimana dimaksud dalam
huruf d dan huruf e mencantumkan penggunaan acuan kurs
dalam penyelesaian transaksi pada saat jatuh waktu, Bank
harus mengacu pada kurs yang diterbitkan Bank Indonesia.
i. Kurs yang diterbitkan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam huruf h yang selanjutnya disebut Jakarta Interbank Spot
Dollar Rate (JISDOR) merupakan representasi harga Spot Dolar
Amerika Serikat (US Dollar) terhadap Rupiah dari transaksi
antar-Bank di pasar domestik termasuk transaksi Bank dengan
bank di luar negeri, yang dilaporkan Bank melalui Sistem
Monitoring Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah
(SISMONTAVAR).
j.
JISDOR yang diterbitkan Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam huruf i diatur sebagai berikut:
1) Bank Indonesia menerbitkan JISDOR setiap hari kerja
melalui website Bank Indonesia dan/atau media lainnya.
2) Penggunaan JISDOR berlaku untuk transaksi US Dollar
terhadap Rupiah.
2. Bank wajib memberikan edukasi tentang Transaksi Derivatif Valuta
Asing Terhadap Rupiah kepada Nasabah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (2) huruf c PBI antara lain melalui seminar,
workshop, Focus Group Discussion (FGD), dan kegiatan sejenis yang
bertujuan …
4
bertujuan untuk memberikan pemahaman kepada Nasabah mengenai
manfaat dan risiko Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah.
3. Dalam melakukan Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah dengan
Nasabah, Bank wajib menggunakan kuotasi harga (kurs) valuta asing
terhadap Rupiah yang ditetapkan oleh Bank sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (3) PBI.
Contoh:
Bank A melakukan Transaksi Spot USD/IDR dengan Nasabah B.
Dalam hal ini, Bank A wajib menggunakan kuotasi harga USD/IDR
yang ditetapkan oleh Bank A, dan bukan berasal dari Nasabah B.
4. Transaksi yang dilakukan oleh Bank dengan Kegiatan Usaha
Penukaran Valuta Asing (KUPVA) berupa pembelian valuta asing
terhadap Rupiah oleh KUPVA dengan Underlying Transaksi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 PBI diatur sebagai berikut:
a. Underlying Transaksi berupa kegiatan usaha jual beli Uang
Kertas Asing (UKA) oleh Kegiatan Usaha Penukaran Valuta Asing
(KUPVA) Bank dan KUPVA bukan Bank yang memiliki izin dari
Bank Indonesia yang masih berlaku untuk memenuhi
kebutuhan Nasabah KUPVA;
b. Bank dapat memenuhi kebutuhan pembelian valuta asing
terhadap Rupiah yang dilakukan KUPVA hanya dalam bentuk
UKA;
c.
Penyerahan UKA dalam penyelesaian transaksi pembelian valuta
asing terhadap Rupiah dari Bank kepada KUPVA harus
dilakukan secara fisik;
d. Penyerahan dana Rupiah dalam penyelesaian transaksi
pembelian valuta asing terhadap Rupiah dapat dilakukan
melalui pemindahbukuan rekening.
5. Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah meliputi transaksi
pembelian dan penjualan dalam denominasi seluruh valuta asing
terhadap Rupiah.
6. Untuk pembelian dan penjualan valuta asing terhadap Rupiah, selain
US Dollar terhadap Rupiah sebagaimana dimaksud dalam angka 5
(misalnya Yen terhadap Rupiah, Euro terhadap Rupiah), perhitungan
jumlah tertentu (threshold) kewajiban Underlying Transaksi adalah
sebagai berikut :
Keterangan …
5
(𝑘𝑢𝑟𝑠 𝑏𝑒𝑙𝑖 𝑈𝑆𝐷+𝑘𝑢𝑟𝑠 𝑗𝑢𝑎𝑙 𝑈𝑆𝐷)
2
(𝑘𝑢𝑟𝑠 𝑏𝑒𝑙𝑖 𝑛𝑜𝑛 𝑈𝑆𝐷+𝑘𝑢𝑟𝑠 𝑗𝑢𝑎𝑙 𝑛𝑜𝑛 𝑈𝑆𝐷)
2
x threshold dalam USD
Keterangan: Kurs pada rumus adalah terhadap Rupiah
7. Kurs sebagaimana dimaksud dalam angka 6 merupakan kurs
penutupan Bank Indonesia pada 1 (satu) hari kerja sebelumnya (H-1),
yang tersedia pada sistem Laporan Harian Bank Umum (LHBU).
8. Pembelian dan penjualan valuta asing terhadap Rupiah dapat
dilakukan untuk:
a.
b.
jenis valuta asing yang sama dengan yang tercantum dalam
dokumen Underlying Transaksi; atau
jenis valuta asing yang berbeda dengan dokumen Underlying
Transaksi apabila disertai dengan dokumen yang dapat
menjelaskan alasan perbedaan tersebut.
9. Pembelian valuta asing terhadap Rupiah oleh Nasabah kepada Bank
tanpa Underlying Transaksi hanya dapat dilakukan paling banyak:
a.
sebesar USD25,000.00 (dua puluh lima ribu dolar Amerika
Serikat) atau ekuivalennya per bulan per Nasabah melalui
Transaksi Spot;
b.
sebesar USD100,000.00 (seratus ribu dolar Amerika Serikat)
atau ekuivalennya per bulan per Nasabah melalui Transaksi
Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah yang standar (plain
vanilla).
10. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka 9 huruf a berlaku pula
untuk pembelian valuta asing terhadap Rupiah yang dilakukan dalam
rangka transaksi swap jual (Spot beli pada near leg).
Contoh:
Perusahaan A melakukan transaksi swap jual valuta asing terhadap
Rupiah dengan nominal sebesar USD30,000.00 (tiga puluh ribu dolar
Amerika Serikat). Atas transaksi dimaksud, Perusahaan A wajib
menyampaikan dokumen Underlying Transaksi karena terdapat
pembelian valuta asing terhadap Rupiah pada near leg (Spot) sebesar
USD30,000.00 (tiga puluh ribu dolar Amerika Serikat).
11. Dokumen …
6
11. Dokumen Underlying Transaksi untuk transaksi swap jual
sebagaimana dimaksud pada angka 10 dapat menggunakan
Underlying Transaksi dari transaksi swap jual dimaksud, termasuk
Underlying Transaksi berupa penjualan valuta asing terhadap Rupiah.
12. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka 9 huruf b berlaku pula
untuk pembelian valuta asing terhadap Rupiah yang dilakukan dalam
rangka transaksi swap beli (forward beli pada far leg).
Contoh:
Perusahaan B melakukan transaksi swap jual valuta asing terhadap
Rupiah dengan nominal sebesar USD150,000.00 (seratus lima puluh
ribu dolar Amerika Serikat). Atas transaksi dimaksud, Perusahaan B
wajib menyampaikan dokumen Underlying Transaksi karena terdapat
pembelian valuta asing terhadap Rupiah pada far leg (forward) sebesar
USD150,000.00 (seratus lima puluh ribu dolar Amerika Serikat).
13. Pembelian valuta asing terhadap Rupiah oleh Nasabah kepada Bank
dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Perhitungan 1 (satu) bulan didasarkan pada bulan kalender,
yaitu sejak tanggal permulaan bulan kalender sampai dengan
tanggal berakhirnya bulan kalender.
Contoh:
Pada tanggal 2 November 20xx, Nasabah melakukan pembelian
valuta asing terhadap Rupiah melalui Transaksi Spot sebesar
USD10,000.00 (sepuluh ribu dolar Amerika Serikat). Pada
tanggal 4 November 20xx, Nasabah kembali melakukan
pembelian valuta asing terhadap Rupiah melalui Transaksi Spot
sebesar USD15,000.00 (lima belas ribu dolar Amerika Serikat)
dan melalui transaksi forward sebesar USD30,000.00 (tiga
puluh ribu dolar Amerika Serikat). Selanjutnya pada tanggal 6
November 20xx, Nasabah kembali melakukan pembelian valuta
asing terhadap Rupiah melalui transaksi forward sebesar
USD70,000.00 (tujuh puluh ribu dolar Amerika Serikat).
Seluruh transaksi tersebut telah mencapai batas maksimum
yang diperhitungkan sebagai transaksi pembelian valuta asing
terhadap Rupiah tanpa Underlying Transaksi pada bulan
November 20xx, yaitu Transaksi Spot sebesar USD25,000.00
(dua puluh lima ribu dolar Amerika Serikat) dan Transaksi
Derivatif …
7
Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah sebesar USD100,000.00
(seratus ribu dolar Amerika Serikat).
Nasabah dapat kembali melakukan pembelian valuta asing
terhadap Rupiah tanpa Underlying Transaksi melalui Transaksi
Spot dan Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah
paling banyak sebesar threshold pada bulan berikutnya.
b. Perhitungan nominal transaksi didasarkan pada tanggal
transaksi.
Contoh:
Pada tanggal 11 November 20xx, Nasabah melakukan pembelian
valuta asing terhadap Rupiah melalui Transaksi Spot beli
sebesar USD5,000.00 (lima ribu dolar Amerika Serikat).
Kemudian, Nasabah kembali melakukan Transaksi Spot beli
valuta asing terhadap Rupiah pada tanggal 30 November 20xx
sebesar USD10,000.00 (sepuluh ribu dolar Amerika Serikat).
Perhitungan transaksi pembelian valuta asing terhadap Rupiah
oleh Nasabah sampai dengan tanggal 30 November 20xx adalah
sebesar USD15,000.00 (lima belas ribu dolar Amerika Serikat).
c.
Perhitungan nominal transaksi pembelian valuta asing terhadap
Rupiah didasarkan pada jenis transaksi (Transaksi Spot dan
Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah).
Contoh:
Pada tanggal 11 November 20xx, Nasabah melakukan pembelian
valuta asing terhadap Rupiah melalui Transaksi Spot sebesar
USD10,000.00 (sepuluh ribu dolar Amerika Serikat). Kemudian
Nasabah melakukan pembelian valuta asing terhadap Rupiah
melalui transaksi forward pada tanggal 17 November 20xx
sebesar USD20,000.00 (dua puluh ribu dolar Amerika Serikat).
Pada tanggal 18 November 20xx, Nasabah kembali melakukan
pembelian valuta asing terhadap Rupiah melalui Transaksi Spot
sebesar USD15,000.00 (lima belas ribu dolar Amerika Serikat)
dan melalui transaksi option sebesar USD40,000.00 (empat
puluh ribu dolar Amerika Serikat). Perhitungan transaksi
pembelian valuta asing terhadap Rupiah oleh Nasabah pada
akhir bulan November 20xx adalah sebesar USD25,000.00 (dua
puluh lima ribu dolar Amerika Serikat) melalui Transaksi Spot
dan …
d P hi
8
dan sebesar USD60,000.00 (enam puluh ribu dolar Amerika
Serikat) melalui Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap
Rupiah (forward dan option).
d. Perhitungan nominal transaksi didasarkan pada akumulasi
seluruh transaksi dalam 1 (satu) bulan kalender yang dilakukan
oleh masing-masing Nasabah baik secara tunai maupun non
tunai dalam bentuk simpanan valuta asing.
Contoh:
Nasabah A melakukan pembelian valuta asing terhadap Rupiah
di Bank X melalui Transaksi Spot sebesar USD5,000.00 (lima
ribu dolar Amerika Serikat) pada tanggal 11 November 20xx.
Kemudian, pada tanggal 13 November 20xx Nasabah A
melakukan konversi simpanan Rupiah menjadi simpanan valuta
asing dalam US Dollar dengan cara pembelian valuta asing
terhadap Rupiah melalui Transaksi Spot di Bank X sebesar
USD20,000.00 (dua puluh ribu dolar Amerika Serikat).
Selanjutnya, pada tanggal 14 November 20xx Nasabah A
melakukan lagi konversi simpanan Rupiah menjadi simpanan
valuta asing dalam US Dollar dengan cara pembelian valuta
asing terhadap Rupiah melalui transaksi forward di Bank X
sebesar USD30,000.00 (tiga puluh ribu dolar Amerika Serikat).
Perhitungan kumulatif transaksi Nasabah A pada akhir bulan
November 20xx adalah sebesar USD25,000.00 (dua puluh lima
ribu dolar Amerika Serikat) untuk pembelian melalui Transaksi
Spot dan sebesar USD30,000.00 (tiga puluh ribu dolar Amerika
Serikat) untuk pembelian melalui Transaksi Derivatif Valuta
Asing Terhadap Rupiah (forward).
e. Untuk Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah melalui
rekening gabungan (joint account) yang dimiliki lebih dari 1 (satu)
Nasabah, jumlah nominal Transaksi Valuta Asing Terhadap
Rupiah dihitung per rekening gabungan (joint account).
Contoh:
Nasabah A dan Nasabah B memiliki joint account. Pada tanggal
11 November 20xx, Nasabah A melakukan Transaksi Spot
pembelian valuta asing terhadap Rupiah melalui joint account
sebesar …
9
sebesar USD15,000.00 (lima belas ribu dolar Amerika Serikat).
Atas transaksi tersebut, Nasabah A tidak wajib menyampaikan
dokumen Underlying Transaksi. Pada tanggal 24 November 20xx,
Nasabah B melakukan Transaksi Spot pembelian valuta asing
terhadap Rupiah melalui joint account yang sama sebesar
USD20,000.00 (dua puluh ribu dolar Amerika Serikat). Atas
pembelian valuta asing tersebut, Nasabah B wajib
menyampaikan dokumen Underlying Transaksi dan dokumen
pendukung paling lambat pada tanggal 26 November 20xx
karena jumlah pembelian valuta asing terhadap Rupiah yang
dilakukan melalui joint account pada bulan November 20xx telah
melebihi USD25,000.00 (dua puluh lima ribu dolar Amerika
Serikat), yaitu sebesar USD35,000.00 (tiga puluh lima ribu dolar
Amerika Serikat).
14. Penjualan valuta asing terhadap Rupiah melalui Transaksi Derivatif
Valuta Asing Terhadap Rupiah oleh Nasabah kepada Bank tanpa
Underlying Transaksi hanya dapat dilakukan paling banyak:
a.
sebesar USD5,000,000.00 (lima juta dolar Amerika Serikat) atau
ekuivalennya per transaksi per Nasabah melalui transaksi
forward;
b.
sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat) atau
ekuivalennya per transaksi per Nasabah melalui transaksi
option.
II. UNDERLYING TRANSAKSI
1. Underlying Transaksi berupa pemberian kredit atau pembiayaan Bank
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf c PBI diatur
sebagai berikut:
a. Fasilitas pemberian kredit termasuk pemberian kredit
antarnasabah yang belum ditarik, tidak dapat menjadi
Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat
(5) huruf c PBI.
b. Underlying Transaksi berupa kredit termasuk pemberian kredit
antarnasabah baik dalam bentuk tunai maupun barang yang
telah ditarik, nominal Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah
paling banyak sama dengan nominal kredit yang telah ditarik.
Contoh: …
10
Contoh:
Pada tanggal 10 Januari 20xx, PT B mendapatkan komitmen
kredit valuta asing sebesar USD50,000,000.00 (lima puluh juta
dolar Amerika Serikat) dari C Ltd. di luar negeri yang merupakan
perusahaan afiliasi PT B. Kredit valuta asing tersebut diberikan
dalam bentuk tunai dan barang.
Pada tanggal 1 Februari 20xx, PT B melakukan penarikan
pinjaman dari C Ltd. dalam bentuk tunai sebesar
USD10,000,000.00 (sepuluh juta dolar Amerika Serikat) dan
dalam bentuk barang sebesar USD5,000,000.00 (lima juta dolar
Amerika Serikat).
Atas penarikan kredit ini, PT B dapat melakukan pembelian
valuta asing terhadap Rupiah melalui transaksi forward untuk
kepentingan lindung nilai kredit tersebut paling banyak sebesar
jumlah dari kredit yang ditarik dalam bentuk tunai dan barang,
yaitu USD15,000,000.00 (lima belas juta dolar Amerika Serikat).
c. Underlying Transaksi berupa kredit termasuk pemberian kredit
antarnasabah yang telah ditarik, jatuh waktu Transaksi Valuta
Asing Terhadap Rupiah paling lama sama dengan jatuh waktu
pelunasan kredit yang ditarik tersebut.
Contoh:
Pada tanggal 2 Januari 20xx, PT A melakukan penarikan kredit
valuta asing dari Bank X sebesar USD2,000,000.00 (dua juta
dolar Amerika Serikat) dengan jatuh waktu pelunasan kredit
pada tanggal 30 Juni 20xx.
PT A dapat melakukan pembelian valuta asing terhadap Rupiah
melalui transaksi
forward paling banyak sebesar
USD2,000,000.00 (dua juta dolar Amerika Serikat) dengan jatuh
waktu transaksi forward paling lama sama dengan tanggal
pelunasan kredit yaitu tanggal 30 Juni 20xx.
d. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan
huruf c berlaku pula untuk pembiayaan Bank berdasarkan
prinsip Syariah.
2. Underlying Transaksi berupa kegiatan jual beli UKA oleh KUPVA
sebagaimana dimaksud dalam butir I.4.a diatur sebagai berikut:
a. merupakan …
11
a. merupakan jumlah kebutuhan pembelian valuta asing terhadap
Rupiah yang dihitung berdasarkan besarnya selisih antara total
penjualan valuta asing dengan total pembelian valuta asing (net
jual) KUPVA kepada Nasabah selama 1 (satu) bulan terakhir dari
bulan dilakukannya pembelian valuta asing terhadap Rupiah
oleh KUPVA kepada Bank;
Contoh:
Tanggal 10 November 20xx, KUPVA XYZ melakukan pembelian
valuta asing kepada Bank ABC sebesar USD300,000.00 (tiga
ratus ribu dolar Amerika Serikat) dengan menggunakan
dokumen Underlying Transaksi berupa data net jual KUPVA XYZ
kepada Nasabah bulan Oktober 20xx sebesar USD559,000.00
(lima ratus lima puluh sembilan ribu dolar Amerika Serikat).
Tanggal 24 November 20xx, KUPVA XYZ melakukan pembelian
valuta asing lagi kepada Bank ABC sebesar USD150,000.00
(seratus lima puluh ribu dolar Amerika Serikat) dengan tetap
menggunakan dokumen Underlying Transaksi berupa data net
jual KUPVA XYZ kepada Nasabah bulan Oktober 20xx sebesar
USD559,000.00 (lima ratus lima puluh sembilan ribu dolar
Amerika Serikat).
Sampai dengan akhir bulan November 20xx, KUPVA XYZ masih
dapat melakukan pembelian valuta asing kepada Bank
sepanjang tidak melampaui sisa plafon dokumen Underlying
Transaksi berupa data net jual KUPVA XYZ kepada Nasabah
pada bulan Oktober 20xx, yaitu sebesar USD109,000.00
(seratus sembilan ribu dolar Amerika Serikat).
b. perhitungan net jual sebagaimana dimaksud dalam huruf a,
tidak memperhitungkan transaksi jual beli UKA KUPVA dengan
Bank dan/atau KUPVA lainnya.
Contoh perhitungan jumlah kebutuhan pembelian valuta asing
terhadap Rupiah oleh KUPVA kepada Bank tercantum dalam
Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Surat Edaran Bank Indonesia ini;
3. Underlying Transaksi penjualan valuta asing terhadap Rupiah melalui
transaksi forward berupa kepemilikan dana valuta asing di dalam
negeri …
12
negeri dan/atau di luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat 6 PBI diatur sebagai berikut:
a. Nominal paling banyak sebesar saldo dan/atau jumlah
kepemilikan dana valuta asing di dalam negeri dan/atau di luar
negeri.
Contoh:
Nasabah A memiliki deposito valuta asing di Bank X sebesar
USD20,000,000.00 (dua puluh juta dolar Amerika Serikat).
Berdasarkan Underlying Transaksi berupa deposito valuta asing
tersebut, Nasabah A dapat melakukan penjualan valuta asing
terhadap Rupiah melalui transaksi forward paling banyak sebesar
USD20,000,000.00 (dua puluh juta dolar Amerika Serikat).
b. Dalam hal dana valuta asing ditempatkan pada instrumen yang
memiliki tanggal jatuh waktu antara lain berupa deposito
dan/atau Negotiable Certificate of Deposit (NCD), jatuh waktu
penjualan valuta asing terhadap Rupiah melalui transaksi forward
paling lama sama dengan jatuh waktu penempatan dana tersebut.
Contoh:
Nasabah A memiliki deposito dalam valuta asing yang akan jatuh
waktu tanggal 31 Maret 20xx. Atas kepemilikan deposito dalam
valuta asing tersebut, Nasabah A dapat melakukan penjualan
dalam valuta asing terhadap Rupiah melalui transaksi forward
dengan jatuh waktu paling lama tanggal 31 Maret 20xx.
c. Dalam hal dana valuta asing ditempatkan pada instrumen yang
tidak memiliki tanggal jatuh waktu antara lain berupa tabungan
atau giro, jatuh waktu penjualan valuta asing terhadap Rupiah
melalui transaksi forward tidak dibatasi.
Contoh:
Pada tanggal 2 Januari 20xx, Nasabah A memiliki rekening valuta
asing dalam bentuk tabungan sebesar USD20,000,000.00 (dua
puluh juta dolar Amerika Serikat). Atas kepemilikan dana valuta
asing tersebut, pada tanggal 2 Januari 20xx, Nasabah A dapat
melakukan penjualan valuta asing terhadap Rupiah melalui
transaksi forward sebesar USD12,000,000.00 (dua belas juta dolar
Amerika Serikat) yang jatuh waktu pada tanggal 2 Februari 20xx
dan …
13
dan sebesar USD8,000,000.00 (delapan juta dolar Amerika
Serikat) yang jatuh waktu pada tanggal 2 Juni 20xx.
d. Dalam hal kepemilikan dana valuta asing berupa instrumen yang
tidak memiliki tanggal jatuh waktu sebagaimana dimaksud dalam
butir c, saldo rekening valuta asing pada instrumen tersebut paling
kurang sama dengan nominal penjualan valuta asing terhadap
Rupiah melalui transaksi forward untuk sepanjang waktu
transaksi forward dimaksud.
Contoh:
Pada tanggal 5 Februari 20xx, PT B memiliki tabungan dalam
valuta asing sebesar USD6,000,000.00 (enam juta dolar Amerika
Serikat). Pada tanggal yang sama, PT B melakukan penjualan
valuta asing terhadap Rupiah melalui transaksi forward sebesar
USD6,000,000.00 (enam juta dolar Amerika Serikat) dengan
jangka waktu 1 (satu) bulan. PT B harus memiliki saldo tabungan
valuta asing dengan jumlah paling kurang USD6,000,000.00
(enam juta dolar Amerika Serikat) selama 1 (satu) bulan ke depan
sampai dengan transaksi forward tersebut jatuh waktu.
4. Dalam hal nilai nominal Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 ayat (3) PBI tidak dalam kelipatan USD5,000.00 (lima
ribu dolar Amerika Serikat) maka terhadap nilai nominal Underlying
Transaksi dimaksud dapat dilakukan pembulatan ke atas dalam
kelipatan USD5,000.00 (lima ribu dolar Amerika Serikat).
Contoh 1:
Perusahaan A memiliki kewajiban kepada vendor di luar negeri
sebesar USD73,500.00 (tujuh puluh tiga ribu lima ratus dolar
Amerika Serikat). Atas dasar Underlying Transaksi dimaksud,
Perusahaan A dapat melakukan Transaksi Spot beli sebesar
USD75,000.00 (tujuh puluh lima ribu dolar Amerika Serikat).
Contoh 2:
Perusahaan B memiliki kewajiban kepada vendor di luar negeri
sebesar USD61,000.00 (enam puluh satu ribu dolar Amerika Serikat).
Atas dasar Underlying Transaksi dimaksud, Perusahaan A dapat
melakukan Transaksi Spot beli sebesar USD65,000.00 (enam puluh
lima ribu dolar Amerika Serikat).
5. Dalam …
14
5. Dalam hal nilai nominal Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud
pada Pasal 6 ayat (5) PBI tidak dalam kelipatan USD10,000.00
(sepuluh ribu dolar Amerika Serikat) maka terhadap nilai nominal
Underlying Transaksi dimaksud dapat dilakukan pembulatan ke atas
dalam kelipatan USD10,000.00 (sepuluh ribu dolar Amerika Serikat).
Contoh:
Perusahaan B memiliki utang dalam valuta asing dengan nominal
sebesar USD1,432,500.00 (satu juta empat ratus tiga puluh dua ribu
lima ratus dolar Amerika Serikat). Perusahaan B dapat melakukan
lindung nilai dengan melakukan transaksi forward beli sebesar
USD1,440,000.00 (satu juta empat ratus empat puluh ribu dolar
Amerika Serikat).
III. PENYELESAIAN TRANSAKSI
1. Kewajiban penyelesaian Transaksi Spot dengan pemindahan dana
pokok secara penuh (full movement of fund) sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 12 ayat (1) PBI diatur sebagai berikut:
a. pemindahan dana pokok secara penuh (full movement of fund)
dilakukan secara riil atas nilai pokok masing-masing transaksi
jual dan/atau transaksi beli yang disepakati pada awal transaksi
tersebut;
b. pemindahan dana pokok secara penuh (full movement of fund)
tersebut didukung oleh tersedianya sejumlah dana riil yang
cukup untuk membiayai transaksi dimaksud (good fund), dan
bukan didasarkan pada aspek pencatatan dalam pembukuan
(akuntansi); dan
c. dana pokok tersebut digunakan untuk proses penyelesaian
Transaksi Spot pada tanggal valuta, dan tercatat pada sistem
treasury Bank, yang dapat dibuktikan dari urutan waktu
penyelesaian transaksi.
Contoh:
Nasabah A melakukan transaksi pembelian Spot US Dollar
terhadap Rupiah dengan Bank B sebesar USD1,000,000.00
(satu juta dolar Amerika Serikat) pada kurs Spot USD/IDR
13.000,00. Pada tanggal valuta, Nasabah A wajib melakukan
penyerahan dana Rupiah melalui pemindahan dana pokok
secara …
15
secara penuh (full movement of fund)
sebesar
Rp13.000.000.000,00 (tiga belas miliar rupiah) secara riil pada
saat proses penyelesaian transaksi tersebut dilakukan, dan
tercatat pada sistem treasury Bank yang dapat dibuktikan
berdasarkan urutan waktu penyelesaian transaksi. Bank B wajib
melakukan penyerahan dana US Dollar melalui pemindahan
dana pokok secara penuh (full movement of fund) sebesar
USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat) secara riil
pada saat proses penyelesaian transaksi tersebut dilakukan, dan
tercatat pada sistem treasury Bank, yang dapat dibuktikan
berdasarkan urutan waktu penyelesaian transaksi.
2.
Penyelesaian Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah
antara Bank dengan Nasabah dan antar-Bank yang dapat dilakukan
secara netting hanya berlaku untuk perpanjangan transaksi (roll over),
percepatan penyelesaian transaksi (early termination), dan
pengakhiran transaksi (unwind) sebagaimana dimaksud dalam Pasal
12 ayat (2) dan ayat (3) PBI.
3. Kewajiban pemindahan dana pokok secara penuh (full movement of
fund) untuk penyelesaian penjualan valuta asing terhadap Rupiah
oleh Nasabah kepada Bank melalui transaksi forward dengan nominal
transaksi paling banyak sebesar jumlah tertentu (threshold)
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (4) dan ayat (5) PBI diatur
sebagai berikut:
a. Kewajiban penyelesaian dengan pemindahan dana pokok secara
penuh (full movement of fund) dilakukan pada saat jatuh waktu
transaksi forward jual.
b. Dalam hal sebelum berakhirnya kontrak transaksi forward jual
awal dilakukan perpanjangan transaksi (roll over) atau
percepatan penyelesaian transaksi (early termination), kewajiban
penyelesaian dengan pemindahan dana pokok secara penuh (full
movement of fund) dilakukan pada saat berakhirnya kontrak
perpanjangan transaksi (roll over) atau kontrak percepatan
penyelesaian transaksi (early termination).
c.
Penyelesaian penjualan valuta asing terhadap Rupiah melalui
transaksi forward paling banyak sejumlah threshold tidak dapat
dilakukan melalui pengakhiran transaksi (unwind) karena tidak
terdapat …
16
terdapat pemindahan dana pokok secara penuh (full movement
of fund).
d. Perpanjangan transaksi (roll over) atau percepatan penyelesaian
transaksi (early termination) sebagaimana dimaksud dalam
huruf b dapat dilakukan sepanjang didukung oleh Underlying
Transaksi dari transaksi forward jual awal.
Contoh 1:
Perpanjangan transaksi (roll over) penjualan valuta asing
terhadap Rupiah melalui transaksi forward dengan nominal
transaksi paling banyak sebesar threshold.
Nasabah A merupakan eksportir barang-barang kerajinan. Pada
tanggal 15 Januari 20xx, Nasabah A melakukan ekspor dengan
nilai sebesar USD4,000,000.00 (empat juta dolar Amerika
Serikat) yang akan dibayar pada saat barang diterima yaitu pada
tanggal 15 April 20xx. Atas penerimaan tersebut, pada tanggal
15 Januari 20xx Nasabah A melakukan transaksi forward jual
USD/IDR kepada Bank B sebesar USD4,000,000.00 (empat juta
dolar Amerika Serikat) dengan forward rate USD/IDR 13.000,00
dan jangka waktu 3 (tiga) bulan (jatuh waktu pada tanggal 15
April 20xx) tanpa menyerahkan dokumen Underlying Transaksi.
Nasabah A mengalami kesulitan dalam produksi sehingga terjadi
keterlambatan pengiriman barang yang berdampak terhadap
keterlambatan pembayaran dari importir di luar negeri.
Pembayaran baru akan diterima pada tanggal 15 Mei 20xx. Atas
keterlambatan tersebut, pada tanggal 13 April 20xx Nasabah A
meminta kepada Bank B untuk melakukan perpanjangan (roll
over) transaksi forward jual awal selama 1 (satu) bulan dengan
jatuh waktu pada tanggal 15 Mei 20xx. Nasabah A
memperpanjang transaksi forward jual awal dengan cara
membuka transaksi swap buy-sell kepada Bank sebesar
USD4,000,000.00 (empat juta dolar Amerika Serikat) dengan
swap rate USD/IDR 13.300,00. Kurs Spot USD/IDR tanggal 13
April 20xx adalah Rp13.100,00.
Atas transaksi swap buy-sell dalam rangka perpanjangan (roll
over) tersebut, Nasabah A wajib menyerahkan dokumen
Underlying …
17
Underlying Transaksi dari Transaksi Derivatif Valuta Asing
Terhadap Rupiah awal.
Pada saat perpanjangan transaksi (roll over) dilakukan, Nasabah
A membayar selisih kurs kepada Bank B sebesar
Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah) yang berasal dari
perhitungan ((Rp13.100,00-Rp13.000,00) x USD4,000,000.00).
Pada tanggal 15 Mei 20xx (yang merupakan tanggal jatuh waktu
kontrak perpanjangan transaksi forward), Nasabah A
menyerahkan USD4,000,000.00 (empat juta dolar Amerika
Serikat), kepada Bank B untuk penyelesaian kontrak dan
menerima Rupiah sebesar Rp53.200.000.000,00 (lima puluh tiga
miliar dua ratus juta rupiah) yang berasal dari perhitungan
(Rp13.300,00 x USD4,000,000.00).
Contoh 2:
Percepatan penyelesaian transaksi (early termination) penjualan
valuta asing terhadap Rupiah melalui transaksi forward dengan
nominal transaksi paling banyak sebesar threshold.
PT C merupakan eksportir kerajinan. Pada tanggal 10 Januari
20xx, PT C melakukan ekspor barang ke luar negeri dengan nilai
nominal sebesar USD2,000,000.00 (dua juta dolar Amerika
Serikat) yang pembayarannya akan diterima 3 (tiga) bulan
kemudian yaitu pada tanggal 10 April 20xx. Pada tanggal yang
sama, PT C melakukan lindung nilai dengan transaksi forward
jual valuta asing terhadap Rupiah kepada Bank D sebesar
USD2,000,000.00 (dua juta dolar Amerika Serikat) dengan
forward …
18
forward rate USD/IDR 13.000,00 tanpa menyerahkan dokumen
Underlying Transaksi.
Pada awal Maret 20xx, lini produksi PT C melakukan percepatan
produksi sehingga dapat melakukan pengiriman barang 1 (satu)
bulan lebih cepat sehingga pembayaran dapat diterima lebih
cepat menjadi tanggal 10 Maret 20xx.
Dengan mempertimbangkan percepatan penerimaan tersebut,
pada tanggal 8 Maret 20xx, PT C meminta Bank D untuk
melakukan percepatan penyelesaian transaksi
(early
termination) sebesar USD2,000,000.00 (dua juta dolar Amerika
Serikat) dengan melakukan transaksi swap sell-buy dengan kurs
Spot Rp13.100 dan swap rate Rp13.200,00. Atas transaksi swap
tersebut, PT C wajib menyerahkan dokumen Underlying
Transaksi atas transaksi forward jual awal.
Pada tanggal 10 Maret 20xx, PT C menyerahkan dana valuta
asing sebesar USD2,000,000.00 (dua juta dolar Amerika Serikat)
kepada Bank D dan menerima dana Rupiah sebesar
Rp26.200.000.000,00 (dua puluh enam miliar dua ratus juta
rupiah) yang berasal dari perhitungan (Rp13.100,00 x
USD2,000,000.00) yang diselesaikan dengan pemindahan dana
pokok secara penuh (full movement of fund).
Pada tanggal 10 April 20xx dimana transaksi forward jual jatuh
waktu, PT C menyerahkan dana Rupiah kepada Bank D sebesar
Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah) yang berasal dari
perhitungan ((Rp13.200,00 – Rp13.000,00) x USD2,000,000.00).
Contoh 3:
Penyelesaian penjualan valuta asing terhadap Rupiah melalui
transaksi forward paling banyak sejumlah threshold tidak dapat
dilakukan …
19
dilakukan melalui pengakhiran transaksi (unwind) karena tidak
terdapat pemindahan dana pokok secara penuh (full movement
of fund).
Nasabah A melakukan transaksi forward jual dengan tenor 1
(satu) bulan sebesar USD2,000,000.00 (dua juta dolar Amerika
Serikat) pada tanggal 15 Januari 20xx kepada Bank C dengan
forward rate USD/IDR 13.000,00 dan hanya menyampaikan
dokumen pendukung.
Setelah transaksi berjalan 2 (dua) minggu, nilai tukar Rupiah
melemah hingga mencapai kurs Spot USD/IDR 13.500,00,
Nasabah A ingin melakukan pengakhiran transaksi (unwind)
atas transaksi tersebut tanpa melakukan pemindahan dana
pokok secara penuh (full movement of fund). Hal tersebut tidak
dapat dilakukan.
4.
Penyelesaian transaksi secara netting atas perpanjangan transaksi
(roll over), percepatan penyelesaian transaksi (early termination), dan
pengakhiran transaksi (unwind) tidak dapat dilakukan untuk
transaksi forward jual valuta asing terhadap Rupiah oleh Nasabah
kepada Bank dengan menggunakan Underlying Transaksi berupa
kepemilikan dana valuta asing di dalam negeri dan di luar negeri
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (7) PBI.
Contoh:
Nasabah A melakukan transaksi forward jual dengan tenor 1 (satu)
bulan sebesar USD10,000,000.00 (sepuluh juta dolar Amerika
Serikat) pada tanggal 15 Januari 20xx kepada Bank C dengan forward
rate USD/IDR 13.000,00. Atas transaksi tersebut, Nasabah A
menggunakan simpanan valuta asing pada Bank sebagai Underlying
Transaksi.
Setelah transaksi berjalan 2 (dua) minggu, nilai tukar Rupiah
melemah hingga mencapai kurs spot USD/IDR 13.500,00, Nasabah A
ingin melakukan pengakhiran transaksi (unwind) atas transaksi
tersebut secara netting. Penyelesaian secara netting atas transaksi
tersebut tidak dapat dilakukan.
5.
Penyelesaian Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah oleh
Nasabah kepada Bank atas perpanjangan transaksi (roll over),
percepatan penyelesaian transaksi (early termination), dan
pengakhiran …
20
pengakhiran transaksi (unwind) untuk Transaksi Derivatif Valuta
Asing Terhadap Rupiah yang standar (plain vanilla) dengan nilai
nominal paling banyak sebesar threshold sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2) PBI dapat dilakukan secara netting
sepanjang didukung dengan Underlying Transaksi Derivatif Valuta
Asing Terhadap Rupiah awal.
IV. TRANSAKSI STRUCTURED PRODUCT
1. Bank dilarang melakukan transaksi structured product valuta asing
terhadap Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) PBI.
2.
Larangan transaksi structured product sebagaimana dimaksud pada
angka 1 dikecualikan untuk structured product valuta asing terhadap
Rupiah berupa Call Spread Option yang didukung oleh Underlying
Transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) PBI.
3. Yang dimaksud dengan Call Spread Option sebagaimana dimaksud
dalam angka 2 adalah gabungan beli call option dan jual call option
yang dilakukan secara simultan dalam satu kontrak transaksi dengan
strike price yang berbeda dan nominal yang sama.
Contoh:
Atas kewajiban valuta asing yang dimilikinya sebesar
USD5,000,000.00 (lima juta dolar Amerika Serikat), Nasabah A
melakukan transaksi Call Spread Option yaitu dengan cara
melakukan pembelian Call Option dengan strike price 1 sebesar
Rp13.000,00 dan penjualan Call Option dengan strike price 2 sebesar
Rp14.000,00 yang dilakukan secara simultan dengan nominal
USD5,000,000.00 (lima juta dolar Amerika Serikat).
4. Bank yang melakukan transaksi structured product valuta asing
terhadap Rupiah berupa Call Spread Option dengan Nasabah diatur
sebagai berikut:
a. Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah dalam bentuk
structured product valuta asing terhadap Rupiah berupa Call
Spread Option wajib memiliki Underlying Transaksi.
Contoh …
21
Contoh:
Nasabah A melakukan transaksi Call Spread Option dengan
Bank B sebesar USD10,000.00 (sepuluh ribu dolar Amerika
Serikat) dengan tenor 2 (dua) tahun, maka transaksi dimaksud
wajib memiliki Underlying Transaksi paling sedikit sebesar
USD10,000.00 (sepuluh ribu dolar Amerika Serikat).
b. Nominal transaksi structured product valuta asing terhadap
Rupiah berupa Call Spread Option tidak melebihi nominal
Underlying Transaksi.
Contoh:
PT X melakukan transaksi Call Spread Option valuta asing
terhadap Rupiah dengan menggunakan Underlying Transaksi
berupa utang luar negeri sebesar USD100,000.00 (seratus ribu
dolar Amerika Serikat) maka transaksi Call Spread Option dapat
dilakukan sepanjang tidak melebihi nominal Underlying
Transaksi, yaitu sebesar USD100,000.00 (seratus ribu dolar
Amerika Serikat).
c.
Jangka waktu transaksi structured product valuta asing terhadap
Rupiah berupa Call Spread Option tidak melebihi jangka waktu
Underlying Transaksi.
Contoh:
PT C memiliki Underlying Transaksi berupa pinjaman dengan
jangka waktu 2 (dua) tahun maka transaksi Call Spread Option
dapat dilakukan paling lama 2 (dua) tahun.
d. Transaksi Call Spread Option valuta asing terhadap Rupiah
merupakan satu kesatuan transaksi yang dilakukan secara
simultan sehingga perhitungan nominal transaksi tidak dihitung
2 (dua) kali.
Contoh:
Nasabah B melakukan transaksi Call Spread Option sebesar
USD200,000.00 (dua ratus ribu dolar Amerika Serikat).
Meskipun transaksi Call Spread Option merupakan gabungan
dari 2 (dua) transaksi Call Option (beli dan jual) maka nominal
tetap dihitung sebesar USD200,000.00 (dua ratus ribu dolar
Amerika Serikat) dan bukan USD400,000.00 (empat ratus ribu
dolar Amerika Serikat).
5. Transaksi …
22
5.
Transaksi structured product valuta asing terhadap Rupiah berupa
Call Spread Option wajib dilakukan secara dynamic hedging
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) PBI.
6. Dynamic hedging sebagaimana dimaksud dalam angka 5 diatur
sebagai berikut:
a. Dynamic hedging dilakukan untuk memastikan pelaku transaksi
Call Spread Option tidak terekspos pada risiko nilai tukar akibat
kurs pasar melampaui kisaran kurs Call Spread Option awal.
Contoh:
Nasabah A melakukan transaksi Call Spread Option dengan
Bank B dengan strike price 1 sebesar USD/IDR 13.000,00 dan
strike price 2 sebesar USD/IDR 15.000,00, dengan tenor 3 (tiga)
tahun dengan Underlying Transaksi berupa utang luar negeri.
Apabila pada tahun ke 2 (dua) Nasabah A menilai bahwa nilai
tukar Rupiah akan lebih besar daripada strike price 2 sebesar
USD/IDR 15.000,00, maka Nasabah A melakukan transaksi Call
Spread Option berikutnya (dynamic hedging) dengan strike price
3 sama dengan strike price 2 sebesar USD/IDR 15.000,00 dan
strike price 4 sebesar USD/IDR 16.000,00.
b. Dynamic hedging wajib dilakukan dengan persyaratan sebagai
berikut:
1) Kisaran kurs tidak overlap dengan kisaran kurs transaksi
Call Spread Option awal.
Contoh:
Nasabah A melakukan transaksi Call Spread Option dengan
Bank B dengan strike price 1 sebesar USD/IDR 13.000,00
dan strike price 2 sebesar USD/IDR 15.000,00 dengan
tenor 3 (tiga) tahun dengan Underlying Transaksi berupa
utang luar negeri. Apabila pada tahun ke 2 (dua) nilai tukar
Rupiah ditransaksikan mencapai USD/IDR 15.100,00
sehingga melampaui strike price 2 yaitu USD/IDR
15.000,00, maka Nasabah A melakukan transaksi Call
Spread Option berikutnya dengan strike price 3 sebesar
USD/IDR 14.500,00 dan strike price 4 sebesar USD/IDR
16.500,00 (overlap). Hal tersebut bukan merupakan
dynamic hedging karena terjadi overlap, sehingga transaksi
tersebut …
23
tersebut dianggap sebagai kontrak Call Spread Option yang
berbeda dan tidak dapat menggunakan Underlying
Transaksi yang sama dengan transaksi Call Spread Option
awal.
2) Kisaran kurs tidak memiliki gap dengan kisaran kurs
transaksi Call Spread Option awal.
Contoh:
PT X melakukan transaksi Call Spread Option dengan Bank
C dengan strike price 1 sebesar USD/IDR 14.000,00 dan
strike price 2 sebesar USD/IDR 16.000,00 dengan tenor 4
(empat) tahun dengan Underlying Transaksi berupa
pinjaman. Apabila pada tahun ke 2 (dua) nilai tukar Rupiah
ditransaksikan mencapai USD/IDR 16.500,00 sehingga
melampaui strike price 2 yaitu USD/IDR 16.000,00, maka
PT X melakukan transaksi Call Spread Option berikutnya
dengan strike price 3 sebesar USD/IDR 16.500,00 dan
strike price 4 sebesar USD/IDR 17.500,00 (gap). Hal
tersebut bukan merupakan dynamic hedging karena terjadi
gap, sehingga transaksi tersebut dianggap sebagai kontrak
Call Spread Option yang berbeda dan tidak dapat
menggunakan Underlying Transaksi yang sama dengan
transaksi Call Spread Option awal.
3) Menggunakan Underlying Transaksi yang sama dan belum
jatuh waktu.
Contoh:
Nasabah A melakukan transaksi Call Spread Option dengan
Bank B dengan strike price 1 sebesar USD/IDR 13.000,00
dan strike price 2 sebesar USD/IDR 15.000,00, dengan
tenor 3 (tiga) tahun dan Underlying Transaksi berupa utang
luar negeri. Apabila pada tahun ke 2 (dua) nilai tukar
Rupiah mencapai USD/IDR 15.500,00 sehingga
melampaui strike price 2 yaitu USD/IDR 15.000,00, maka
Nasabah A melakukan transaksi Call Spread Option
berikutnya dengan strike price 3 sebesar USD/IDR
15.000,00 dan strike price 4 sebesar USD/IDR 16.000,00.
Hal …
24
Hal tersebut merupakan dynamic hedging dan dapat
menggunakan Underlying Transaksi yang sama dengan
transaksi Call Spread Option awal.
4) Nominal tidak bersifat kumulatif.
Contoh:
Pada tanggal 1 Februari 20xx, PT A melakukan transaksi
lindung nilai atas utang valuta asing yang dimilikinya
sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat)
melalui Call Spread Option dengan strike price 1 sebesar
USD/IDR 13.000,00 dan strike price 2 sebesar USD/IDR
14.000,00, dengan nominal sebesar USD1,000,000.00
(satu juta dolar Amerika Serikat). Pada tanggal 1 Agustus
20xx, nilai tukar Rupiah melemah menjadi sebesar
USD/IDR 14.100,00 sehingga PT A melakukan dynamic
hedging dengan melakukan transaksi Call Spread Option
berikutnya pada strike price 3 sebesar USD/IDR 14.000,00
dan strike price 4 sebesar USD/IDR 15.000,00, dengan
nominal sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar
Amerika Serikat). Nominal transaksi Call Spread Option
tersebut dihitung bukan kumulatif namun mengacu
kepada nominal transaksi Call Spread Option awal sebesar
USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat).
5) Memiliki jangka waktu paling kurang 6 (enam) bulan untuk
transaksi Call Spread Option awal yang memiliki sisa jatuh
waktu 6 (enam) bulan atau lebih.
Contoh:
Pada tanggal 1 Februari 20xx, PT B melakukan transaksi
lindung nilai atas utang valuta asing yang dimilikinya
sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat)
melalui Call Spread Option dengan strike price 1 sebesar
USD/IDR 13.000,00 dan strike price 2 sebesar USD/IDR
14.000,00 dengan nominal sebesar USD1,000,000.00 (satu
juta dolar Amerika Serikat), dengan jangka waktu selama 2
(dua) tahun. Pada tanggal 1 April 20xx, nilai tukar Rupiah
melemah menjadi sebesar USD/IDR 14.100,00 sehingga PT
B wajib melakukan dynamic hedging dengan melakukan
pembelian …
25
pembelian Call Spread Option pada strike price 3 sebesar
USD/IDR 14.000,00 dan strike price 4 sebesar USD/IDR
15.000,00, dengan nominal sebesar USD1,000,000.00
(satu juta dolar Amerika Serikat) dengan jangka waktu
minimal sampai dengan 1 Oktober 20xx atau minimal 6
(enam) bulan.
6) Mengikuti sisa jatuh waktu transaksi Call Spread Option
awal untuk transaksi Call Spread Option awal yang
memiliki sisa jatuh waktu kurang dari 6 (enam) bulan.
Contoh:
Pada tanggal 1 Maret 20xx, PT C melakukan transaksi Call
Spread Option sebesar USD2,000,000.00 (dua juta dolar
Amerika Serikat) dengan strike price 1 sebesar USD/IDR
14.000,00 dan strike price 2 sebesar USD/IDR 15.000,00
dengan jangka waktu 3 (tiga) bulan atau tanggal 1 Juni
20xx. Pada tanggal 10 April 20xx nilai tukar Rupiah
melemah menjadi sebesar USD/IDR 15.200,00. Atas dasar
hal tersebut PT C wajib melakukan dynamic hedging
dengan melakukan transaksi Call Spread Option yang
kedua pada strike price 3 sebesar USD/IDR 15.000,00 dan
strike price 4 sebesar USD/IDR 16.000,00 dengan jangka
waktu paling lama sampai dengan jatuh waktu transaksi
Call Spread Option awal, yaitu pada tanggal 1 Juni 20xx.
7) Dilakukan paling lambat 1 (satu) hari kerja apabila kurs
pasar melampaui kisaran kurs Call Spread Option awal.
Contoh:
Pada tanggal 1 Januari 20xx, Nasabah Y melakukan
transaksi Call Spread Option dengan Bank Z dengan strike
price 1 sebesar USD/IDR 13.000,00 dan strike price 2
sebesar USD/IDR 15.000,00 dengan tenor 3 (tiga) tahun
dan Underlying Transaksi berupa utang luar negeri.
Apabila pada tanggal 1 September 20xx kurs pasar (kurs
penutupan Bank Indonesia hari yang sama dalam LHBU)
melampaui strike price 2 yaitu sebesar USD/IDR 15.200,00
maka Nasabah Y wajib melakukan transaksi Call Spread
Option berikutnya (dynamic hedging) dengan strike price 3
sebesar …
26
sebesar USD/IDR 15.000,00 dan strike price 4 sebesar
USD/IDR 16.500,00 (dynamic hedging) paling lambat pada
1 (satu) hari kerja berikutnya yaitu pada tanggal 2
September 20xx.
8) Kurs pasar sebagaimana dimaksud pada butir 7) adalah
kurs penutupan Bank Indonesia hari yang sama dalam
LHBU (setelah pukul 16.00); atau acuan kurs lain yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia.
7. Transaksi Spot yang dilakukan dalam rangka transaksi structured
product valuta asing terhadap Rupiah berupa Call Spread Option dapat
menggunakan Underlying Transaksi yang sama dengan transaksi Call
Spread Option awal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 PBI.
Contoh 1:
Perusahaan A melakukan transaksi Call Spread Option USD/IDR
dengan tenor 1 (satu) tahun, nominal sebesar USD2,000,000.00 (dua
juta dolar Amerika Serikat), dengan strike price 1 sebesar USD/IDR
13.000,00 dan strike price 2 sebesar USD/IDR 15.000,00, dan
Underlying Transaksi berupa pinjaman sebesar USD2,000,000.00
(dua juta dolar Amerika Serikat). Pada saat transaksi Call Spread
Option jatuh waktu, kurs pasar berada pada level USD/IDR 13.500,00
sehingga perusahaan A melakukan eksekusi (exercise) transaksi Call
Spread Option dan melakukan pembelian valuta asing terhadap
Rupiah melalui Transaksi Spot pada strike price 1 sebesar USD/IDR
13.000,00.
Contoh 2:
PT X melakukan transaksi Call Spread Option USD/IDR dengan tenor
1 (satu) tahun, nominal sebesar USD3,000,000.00 (tiga juta dolar
Amerika Serikat), dengan strike price 1 sebesar USD/IDR 12.000,00
dan strike price 2 sebesar USD/IDR 14.000,00, dan Underlying
Transaksi berupa pinjaman sebesar USD3,000,000.00 (tiga juta dolar
Amerika Serikat). Pada saat transaksi Call Spread Option, jatuh waktu
kurs pasar berada pada level USD/IDR 11.500,00 dan PT X tidak
melakukan eksekusi (exercise) transaksi Call Spread Option tersebut,
dan melakukan pembelian valuta asing terhadap Rupiah melalui
Transaksi Spot beli pada kurs pasar yaitu USD/IDR 11.500,00 dengan
nominal sebesar USD3,000,000.00 (tiga juta dolar Amerika Serikat).
PT X…
27
PT X dapat menggunakan Underlying Transaksi yang sama dengan
Underlying Transaksi Call Spread Option awal berupa pinjaman untuk
melakukan Transaksi Spot dimaksud.
Contoh 3:
PT X melakukan transaksi Call Spread Option USD/IDR dengan tenor
1 (satu) tahun, nominal sebesar USD3,000,000.00 (tiga juta dolar
Amerika Serikat), dengan strike price 1 sebesar USD/IDR 13.000,00
dan strike price 2 sebesar USD/IDR 14.000,00, dan Underlying
Transaksi berupa pinjaman sebesar USD3,000,000.00 (tiga juta dolar
Amerika Serikat). Pada saat transaksi Call Spread Option jatuh waktu,
kurs pasar melemah dan berada pada level USD/IDR 14.200,00. PT X
dapat melakukan pembelian valuta asing terhadap Rupiah melalui
Transaksi Spot pada kurs USD/IDR 13.200,00 (dari perhitungan
Rp14.200,00-(Rp14.000,00-Rp13.000,00)) dengan nominal sebesar
USD3,000,000.00 (tiga juta dolar Amerika Serikat). PT X dapat
menggunakan Underlying Transaksi yang sama dengan Underlying
Transaksi Call Spread Option awal berupa pinjaman untuk melakukan
Transaksi Spot dimaksud.
V. PENGATURAN UNDERLYING DAN TRANSAKSI VALUTA ASING TERHADAP
RUPIAH DALAM RANGKA TAX AMNESTY
Underlying Transaksi berupa investasi dan/atau transaksi yang dilakukan
dalam rangka pelaksanaan kebijakan Pemerintah terkait perpajakan
berupa tax amnesty diatur sebagai berikut:
1. Underlying Transaksi berupa kebijakan tax amnesty yang dapat
digunakan dalam rangka Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah
adalah yang mengakibatkan adanya pengalihan harta ke wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia (repatriasi dana) dan didukung
oleh dokumen repatriasi dana dalam rangka tax amnesty.
Contoh:
Wajib Pajak A (Nasabah Domestik) melakukan deklarasi dana sebesar
USD50,000,000.00 (lima puluh juta dolar Amerika Serikat) dan
repatriasi dana valuta asing dalam rangka kebijakan tax amnesty
sebesar USD10,000,000.00 (sepuluh juta dolar Amerika Serikat). Maka
Wajib …
28
Wajib Pajak A dapat menggunakan bukti repatriasi dana sebesar
USD10,000,000.00 (sepuluh juta dolar Amerika Serikat) sebagai
Underlying Transaksi dalam melakukan Transaksi Valuta Asing
Terhadap Rupiah.
2. Dokumen repatriasi dana dalam rangka tax amnesty dapat digunakan
sebagai Underlying Transaksi pada saat wajib pajak melakukan
lindung nilai terhadap investasi dana repatriasi di pasar domestik,
antara lain investasi saham, obligasi, dan penempatan dana pada
Bank.
Contoh:
Wajib Pajak B melakukan repatriasi dana valuta asing dalam rangka
kebijakan tax amnesty sebesar USD100,000,000.00 (seratus juta dolar
Amerika Serikat). Dana valuta asing tersebut kemudian dijual untuk
memperoleh Rupiah (konversi dari valuta asing ke Rupiah) untuk
diinvestasikan sebesar ekuivalen USD40,000,000.00 (empat puluh
juta dolar Amerika Serikat) pada surat berharga negara,
USD40,000,000.00 (empat puluh juta dolar Amerika Serikat) pada
saham, dan USD20,000,000.00 (dua puluh juta dolar Amerika Serikat)
pada deposito Rupiah. Wajib Pajak B kemudian melakukan lindung
nilai terhadap investasi dimaksud melalui transaksi forward beli total
sebesar USD100,000,000.00 (seratus juta dolar Amerika Serikat).
Wajib Pajak B menggunakan Underlying Transaksi berupa dokumen
repatriasi dana dalam rangka tax amnesty.
3. Dokumen repatriasi dana dalam rangka tax amnesty digunakan
sebagai Underlying Transaksi paling singkat 3 (tiga) tahun
sebagaimana diatur dalam ketentuan Pemerintah yang mengatur
mengenai pengampunan pajak (dalam masa periode kewajiban
menginvestasikan dana repatriasi di dalam negeri).
Contoh:
Wajib Pajak C melakukan repatriasi dana dalam rangka kebijakan tax
amnesty sebesar ekuivalen Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar
rupiah). Dana yang direpatriasi tersebut diinvestasikan dalam
portofolio saham selama 4 (empat) tahun. Bukti dokumen repatriasi
dana dalam rangka kebijakan tax amnesty tersebut dapat dijadikan
dokumen Underlying Transaksi, dalam masa periode kewajiban
menginvestasikan …
29
menginvestasikan dana repatriasi di dalam negeri yaitu selama 4
(empat) tahun.
4. Underlying Transaksi berupa dokumen repatriasi dana dalam rangka
tax amnesty hanya dapat digunakan 1 (satu) kali pada saat terjadinya
konversi dana masuk (dari valuta asing ke Rupiah) dan 1 (satu) kali
pada saat terjadinya konversi dana keluar (dari Rupiah ke valuta
asing).
Contoh 1 (dokumen disampaikan 1 (satu) kali pada saat konversi):
Wajib Pajak D melakukan repatriasi dana valuta asing dalam rangka
kebijakan tax amnesty sebesar USD10,000,000.00 (sepuluh juta dolar
Amerika Serikat). Dana valuta asing tersebut kemudian dijual untuk
memperoleh Rupiah untuk diinvestasikan dalam aset-aset Rupiah
ekuivalen sebesar USD10,000,000.00 (sepuluh juta dolar Amerika
Serikat). Wajib Pajak D hanya bisa menggunakan Underlying Transaksi
berupa dokumen repatriasi dana dalam rangka tax amnesty 1 (satu)
kali, yaitu pada saat wajib pajak D melakukan konversi dana keluar
sebesar USD10,000,000.00 (sepuluh juta dolar Amerika Serikat).
Contoh 2 (Penggunaan dokumen di akhir periode kebijakan tax
amnesty):
Wajib pajak E melakukan repatriasi dana tax amnesty dan melakukan
konversi dana masuk (valuta asing ke Rupiah) sebesar
USD15,000,000.00 (lima belas juta dolar Amerika Serikat). Dalam
masa periode kewajiban menginvestasikan dana repatriasi di dalam
negeri, dana repatriasi tersebut diinvestasikan/ditempatkan dalam
aset-aset Rupiah. Dengan demikian, wajib pajak E dapat
menggunakan Underlying Transaksi berupa dokumen repatriasi dana
dalam rangka tax amnesty untuk melakukan konversi dana keluar
(Rupiah ke valuta asing) sebesar ekuivalen USD15,000,000.00 (lima
belas juta dolar Amerika Serikat) dari hasil likuidasi aset Rupiah pada
akhir periode kewajiban menginvestasikan dana repatriasi di dalam
negeri.
5. Dalam hal wajib pajak menggunakan dokumen repatriasi dana dalam
rangka tax amnesty sebagai Underlying Transaksi pada saat dilakukan
konversi dana keluar sebelum periode kewajiban menginvestasikan
dana repatriasi di dalam negeri berakhir, maka hasil konversi tersebut
hanya dapat diinvestasikan dalam mata uang valuta asing hingga
periode …
30
periode kewajiban menginvestasikan dana repatriasi di dalam negeri
berakhir.
Contoh (penggunaan dokumen dalam masa periode kebijakan tax
amnesty):
Pada tanggal 1 Desember 2016, wajib pajak F melakukan repatriasi
dana dengan melakukan konversi dari valuta asing ke Rupiah sebesar
USD5,000,000.00 (lima juta dolar Amerika Serikat), dan dilakukan
investasi pada aset Rupiah. Pada tanggal 1 Juni 2017, sebelum
berakhirnya periode kewajiban menginvestasikan dana repatriasi di
dalam negeri, dana tersebut dikonversi dari Rupiah ke valuta asing
dengan menggunakan Underlying Transaksi berupa dokumen
repatriasi dana dalam rangka tax amnesty. Selanjutnya, wajib pajak F
hanya dapat melakukan investasi dalam mata uang valuta asing di
pasar keuangan domestik sejak 1 Juni 2017 hingga berakhirnya
periode kewajiban menginvestasikan dana repatriasi di dalam negeri.
6. Wajib pajak dapat melakukan konversi dana keluar dilakukan secara
bertahap, dengan menggunakan Underlying Transaksi berupa
dokumen repatriasi dana dalam rangka tax amnesty, dengan tidak
melampaui nominal Underlying Transaksi dana repatriasi.
Contoh (pembelian secara bertahap bertahap):
Pada tanggal 1 Desember 2016, wajib pajak F melakukan repatriasi
dana dengan melakukan konversi dari valuta asing ke Rupiah sebesar
USD50,000,000.00 (lima puluh juta dolar Amerika Serikat), dan
dilakukan investasi pada aset Rupiah. Pada tanggal 1 Maret 2017,
sebelum berakhirnya periode kewajiban menginvestasikan dana
repatriasi di dalam negeri, dana tersebut dikonversi sebagian dari
Rupiah ke valuta asing sebesar ekuivalen USD20,000,000 (dua puluh
juta dolar Amerika Serikat) dengan menggunakan Underlying
Transaksi berupa dokumen repatriasi dana dalam rangka tax amnesty,
maka wajib pajak F hanya bisa melakukan investasi dana tersebut
dalam mata uang asing.
Pada tanggal 1 Desember 2017, wajib pajak F kembali melakukan
konversi sebagian dari Rupiah ke valuta asing sebesar ekuivalen
USD10,000,000.00 (sepuluh juta dolar Amerika Serikat), maka wajib
pajak dapat menggunakan Underlying Transaksi berupa dokumen
repatriasi dana dalam rangka tax amnesty yang sama, namun wajib
pajak F …
31
pajak F hanya bisa melakukan investasi dana tersebut dalam mata
uang asing.
Pada tanggal 1 Desember 2018, wajib pajak F kembali melakukan
konversi sebagian dari Rupiah ke valuta asing sebesar ekuivalen
USD15,000,000.00 (lima belas juta dolar Amerika Serikat), maka wajib
pajak dapat kembali menggunakan Underlying Transaksi berupa
dokumen repatriasi dana dalam rangka tax amnesty yang sama, dan
hanya dapat diinvestasikan dalam mata uang asing hingga
berakhirnya periode kewajiban menginvestasikan dana repatriasi di
dalam negeri.
7. Kewajiban memiliki Underlying Transaksi berupa repatriasi dana
untuk Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah oleh wajib pajak tidak
berlaku untuk perpanjangan transaksi (roll over) atau pengakhiran
transaksi (unwind) dalam rangka penyelesaian Transaksi Derivatif
Valuta Asing Terhadap Rupiah dalam rangka lindung nilai.
Contoh 1 (perpanjangan transaksi lindung nilai (roll over)):
Pada tanggal 1 Desember 2016, Wajib Pajak G melakukan transaksi
forward beli USD/IDR sebesar USD10,000,000.00 (sepuluh juta dolar
Amerika Serikat) dengan tenor selama 1 (satu) tahun dan jatuh waktu
tanggal 1 Desember 2017, dengan menggunakan Underlying Transaksi
berupa dokumen repatriasi dana dalam rangka tax amnesty. Pada saat
transaksi forward tersebut akan jatuh waktu, Wajib Pajak F
melakukan perpanjangan transaksi (roll over) selama 1 (satu) tahun
dan jatuh waktu pada tanggal 1 Desember 2018. Wajib Pajak G
melakukan transaksi swap beli USD/IDR (sell buy) kepada Bank yang
sama sebesar USD10,000,000.00 (sepuluh juta dolar Amerika Serikat).
Atas perpanjangan transaksi (roll over) tersebut, Wajib Pajak G tidak
wajib menyerahkan dokumen Underlying Transaksi baru.
Contoh 2 (pengakhiran transaksi lindung nilai (unwind)):
Pada tanggal 1 Januari 20xx, Wajib Pajak H melakukan transaksi
forward beli USD/IDR sebesar USD20,000,000.00 (dua puluh juta
dolar Amerika Serikat) dengan tenor 9 (sembilan) bulan dan jatuh
waktu tanggal 1 Oktober 20xx, dengan menggunakan Underlying
Transaksi berupa dokumen repatriasi dana dalam rangka tax amnesty.
Pada bulan ke-6 (enam) yaitu tanggal 1 Juli 20xx, Wajib Pajak H
melakukan pengakhiran transaksi (unwind) atas transaksi forward
dimaksud …
32
dimaksud. Wajib Pajak H melakukan Transaksi Spot jual USD/IDR
sebesar USD20,000,000.00 (dua puluh juta dolar Amerika Serikat)
dengan Bank yang sama. Atas pengakhiran transaksi (unwind)
tersebut, Wajib Pajak H tidak wajib menyerahkan dokumen Underlying
Transaksi baru.
8. Dalam hal dilakukan percepatan penyelesaian transaksi (early
termination) atas Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah
yang menggunakan Underlying Transaksi berupa dokumen repatriasi
dana dalam rangka tax amnesty, maka hasil konversi dana keluar
(Rupiah ke valuta asing) tersebut hanya dapat diinvestasikan dalam
mata uang valuta asing hingga berakhirnya periode kewajiban
menginvestasikan dana repatriasi di dalam negeri.
Contoh:
Pada tanggal 1 Januari 20xx, wajib pajak AA melakukan transaksi
forward beli USD/IDR sebesar USD20,000,000.00 (dua puluh juta
dolar Amerika Serikat) dengan tenor 9 (sembilan) bulan dan jatuh
waktu tanggal 1 Oktober 20xx, dengan menggunakan Underlying
Transaksi berupa dokumen repatriasi dana dalam rangka tax amnesty.
Pada bulan ke-6 (enam) yaitu tanggal 1 Juli 20xx, wajib pajak AA
melakukan percepatan penyelesaian transaksi (early termination) atas
transaksi forward dimaksud. Wajib pajak AA melakukan transaksi
swap jual USD/IDR (buy sell) kepada Bank yang sama sebesar
USD20,000,000.00 (dua puluh juta dolar Amerika Serikat). Atas
percepatan penyelesaian transaksi (early termination) tersebut, wajib
pajak AA tidak wajib menyerahkan dokumen Underlying Transaksi
baru. Namun demikian, dana valuta asing hasil konversi sebesar
USD20,000,000.00 (dua puluh juta dolar Amerika Serikat) tersebut
hanya dapat diinvestasikan dalam instrumen valuta asing di pasar
keuangan domestik sejak 1 Juli 20xx hingga berakhirnya periode
kewajiban menginvestasikan dana repatriasi di dalam negeri.
9. Dalam hal dilakukan pengakhiran transaksi (unwind) terhadap
Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah menggunakan
Underlying Transaksi berupa dokumen repatriasi dana dalam rangka
tax amnesty, maka wajib pajak dapat menggunakan dokumen
repatriasi dana dalam rangka tax amnesty yang sama paling banyak 1
(satu) …
33
(satu) kali untuk Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah dalam masa
periode kewajiban menginvestasikan dana repatriasi di dalam negeri.
Contoh:
Pada tanggal 1 Januari 20xx, wajib pajak X melakukan transaksi
forward beli USD/IDR sebesar USD20,000,000.00 (dua puluh juta
dolar Amerika Serikat) dengan tenor 9 (sembilan) bulan dan jatuh
waktu tanggal 1 Oktober 20xx, dengan menggunakan Underlying
Transaksi berupa dokumen repatriasi dana dalam rangka tax amnesty.
Pada bulan ke-6 (enam) yaitu tanggal 1 Juli 20xx, wajib pajak X
melakukan pengakhiran transaksi (unwind) atas transaksi forward
dimaksud. Wajib pajak X hanya dapat kembali menggunakan
Underlying Transaksi yang sama sebanyak 1 (satu) kali untuk
melakukan transaksi valuta asing terhadap Rupiah.
10. Underlying Transaksi berupa dokumen repatriasi dana dalam rangka
tax amnesty sebagaimana dimaksud dalam angka 1 sampai dengan
angka 9 diatur sebagai berikut:
a. gateway awal (Bank), dokumen berupa Surat Keterangan
Pengampunan Pajak (SKPP) dalam rangka pengalihan harta untuk
menampung pengalihan dana wajib pajak dalam rangka
Pengampunan Pajak;
b. gateway tujuan (Bank), antara lain berupa surat keterangan
mengenai riwayat investasi;
c. Penyampaian dokumen Underlying Transaksi pada huruf a dan b
disertai dengan dokumen pendukung berupa pernyataan tertulis
bermeterai cukup yang ditandatangani oleh wajib pajak atau
pernyataan tertulis yang authenticated dari wajib pajak yang
memuat informasi mengenai:
a) keaslian dan kebenaran dokumen Underlying Transaksi;
b) penggunaan dokumen Underlying Transaksi hanya
digunakan untuk pembelian valuta asing terhadap Rupiah
paling banyak sebesar nominal Underlying Transaksi dalam
rangka tax amnesty dalam sistem perbankan di Indonesia;
c) hanya digunakan paling banyak 1 (satu) kali di seluruh
sistem perbankan di Indonesia untuk tujuan konversi dana
keluar.
VI. DOKUMEN …
34
VI. DOKUMEN TRANSAKSI
1. Bank wajib memastikan Nasabah memiliki Underlying Transaksi yang
dibuktikan dengan penyampaian dokumen Underlying Transaksi
Valuta Asing Terhadap Rupiah dan dokumen pendukung untuk:
a. transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah di atas jumlah tertentu
(threshold); atau
b. transaksi structured product valuta asing terhadap Rupiah berupa
Call Spread Option.
2.
Penilaian atas kewajaran atau kelaziman nominal Underlying
Transaksi yang diajukan oleh Nasabah dilakukan oleh Bank.
3. Bank harus menerapkan prosedur dan sistem pengendalian dokumen
(document control/procedure) untuk memastikan agar:
a. dokumen yang telah digunakan Nasabah sebagai Underlying
Transaksi dari Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah
tertentu dapat digunakan untuk Transaksi Valuta Asing
Terhadap Rupiah yang lain sepanjang tidak melampaui nominal
Underlying Transaksi.
Contoh:
Pada bulan Januari 20xx, Nasabah X melakukan pembelian
valuta asing terhadap Rupiah melalui transaksi forward sebesar
USD5,000,000.00 (lima juta dolar Amerika Serikat) kepada Bank
A. Atas transaksi tersebut, Nasabah X menyerahkan dokumen
Underlying Transaksi berupa dokumen pembayaran lisensi
kepada principal di luar negeri sebesar USD7,000,000.00 (tujuh
juta dolar Amerika Serikat). Transaksi dilakukan di kantor
cabang Bank A di Jakarta.
Pada bulan Februari 20xx, Nasabah X kembali berencana untuk
melakukan pembelian valuta asing terhadap Rupiah melalui
kantor cabang Bank A di Surabaya. Nasabah X dapat melakukan
transaksi forward beli sebesar USD2,000,000.00 (dua juta dolar
Amerika Serikat) karena transaksi forward tersebut belum
melebihi nominal Underlying Transaksi.
b. Apabila dalam satu rangkaian aktivitas ekonomi terdapat
beberapa jenis dokumen Underlying Transaksi maka yang
digunakan sebagai dokumen untuk Transaksi Valuta Asing
Terhadap …
35
Terhadap Rupiah adalah salah satu dari dokumen Underlying
Transaksi tersebut. Dalam hal Nasabah telah melakukan
pembelian valuta asing terhadap Rupiah dengan menggunakan
salah satu dokumen Underlying Transaksi tersebut maka
Nasabah tidak dapat melakukan pembelian valuta asing
terhadap Rupiah dengan menggunakan dokumen Underlying
Transaksi lainnya yang berasal dari satu rangkaian kegiatan
ekonomi yang sama.
Contoh:
Pada bulan Februari 20xx, Nasabah Y yang merupakan importir
makanan dan minuman memesan barang dan menerbitkan
purchase order kepada eksportir di luar negeri. Nasabah Y
melakukan pembelian valuta asing terhadap Rupiah dengan
menggunakan dokumen Underlying Transaksi berupa purchase
order tersebut.
Atas pembelian barang tersebut, Nasabah Y memperoleh invoice
yang diterbitkan eksportir di luar negeri. Atas invoice tersebut,
Nasabah Y bermaksud melakukan pembelian valuta asing
terhadap Rupiah meskipun sebelumnya telah melakukan
pembelian dengan menggunakan dokumen Underlying
Transaksi berupa purchase order. Nasabah Y tidak dapat
menggunakan invoice dari kegiatan ekonomi yang sama untuk
melakukan pembelian valuta asing terhadap Rupiah.
4. Dalam hal Underlying Transaksi berupa kegiatan perdagangan barang
dan jasa di dalam dan di luar negeri yang bersifat final, dokumen
Underlying Transaksi antara lain berupa fotokopi invoice, list of
invoices, Letter of Credit (L/C), atau fotokopi kontrak jasa konsultan.
5. Dalam hal dokumen Underlying Transaksi atas kegiatan perdagangan
dan investasi berupa list of invoices, Bank harus memastikan
ketersediaan invoices yang terdapat dalam list of invoices.
6. Dalam hal Underlying Transaksi berupa kegiatan perdagangan barang
dan jasa di dalam dan di luar negeri yang berupa perkiraan maka
dokumen Underlying Transaksi antara lain berupa perkiraan
kebutuhan biaya sekolah, perkiraan kebutuhan biaya berobat,
proforma invoice yang dilengkapi dengan invoice final pada saat invoice
diterbitkan, atau proyeksi arus kas untuk kegiatan ekspor impor yang
berisi …
36
berisi paling kurang rincian sumber penerimaan dan pengeluaran
valuta asing yang menunjukkan selisih bersih kekurangan atau
kelebihan valuta asing secara bulanan.
7. Dalam hal dokumen Underlying Transaksi merupakan bukti tagihan
atas kegiatan pembelian barang dari luar negeri (impor), Bank harus
memastikan Nasabah menyampaikan dokumen yang menunjukkan
bahwa barang dimaksudkan untuk masuk dan diterima di wilayah
pabean Indonesia.
8. Rincian dokumen Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud pada
angka 4, angka 5, angka 6, dan angka 7 tercantum dalam Lampiran
III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank
Indonesia ini.
9. Dalam hal Underlying Transaksi adalah kegiatan investasi berupa
direct investment, portfolio investment, pinjaman, modal, dan investasi
lainnya di dalam dan di luar negeri yang bersifat final, dokumen
Underlying Transaksi antara lain berupa surat perjanjian jual beli
surat berharga atau surat permintaan penyetoran rekening saldo oleh
otoritas yang berwenang.
10. Dalam hal Underlying Transaksi adalah kegiatan investasi di dalam
dan di luar negeri berupa perkiraan maka dokumen Underlying
Transaksi berupa proyeksi arus kas yang terkait dengan proyek
tertentu.
11. Dokumen Underlying Transaksi atas kepemilikan dana valuta asing di
dalam negeri dan di luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal
4 ayat (6) PBI antara lain berupa buku tabungan, giro (rekening
koran), bilyet deposito, dan bukti kepemilikan sertifikat deposito
(negotiable certificate of deposit).
12. Rincian dokumen Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud pada
angka 9, angka 10, dan angka 11 tercantum dalam Lampiran IV yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank
Indonesia ini.
13. Dokumen tagihan dalam valuta asing dari transaksi yang
dikecualikan dari kewajiban penggunaan Rupiah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) PBI dapat dijadikan sebagai
dokumen Underlying Transaksi dengan melampirkan fotokopi
persetujuan …
37
persetujuan pengecualian kewajiban penggunaan Rupiah dari Bank
Indonesia.
14. Untuk transaksi pembelian valuta asing terhadap Rupiah di atas
jumlah tertentu (threshold) dan transaksi structured product valuta
asing terhadap Rupiah berupa Call Spread Option, dokumen yang
disampaikan berupa:
a. dokumen
Underlying
Transaksi
yang dapat
dipertanggungjawabkan baik yang bersifat final maupun berupa
perkiraan;
b. dokumen pendukung berupa:
1)
fotokopi dokumen identitas Nasabah dan fotokopi Nomor
Pokok Wajib Pajak (NPWP); dan
2) pernyataan tertulis bermeterai cukup yang ditandatangani
oleh pihak yang berwenang dari Nasabah atau pernyataan
tertulis yang authenticated dari Nasabah yang memuat
informasi mengenai:
a) keaslian dan kebenaran dokumen Underlying
Transaksi sebagaimana dimaksud pada huruf a;
b) penggunaan dokumen Underlying Transaksi hanya
digunakan untuk pembelian valuta asing terhadap
Rupiah paling banyak sebesar nominal Underlying
Transaksi dalam sistem perbankan di Indonesia; dan
c)
jumlah kebutuhan, tujuan penggunaan, dan tanggal
penggunaan valuta asing, dalam hal dokumen
Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud pada
huruf a berupa perkiraan.
c. Dalam hal dokumen Underlying Transaksi dimiliki oleh Nasabah
yang berbentuk badan usaha selain Bank, pernyataan tertulis
ditandatangani oleh pejabat yang berwenang dari badan usaha
selain Bank.
Yang dimaksud dengan pejabat yang berwenang dari badan
usaha selain Bank adalah:
1) pejabat yang memiliki kewenangan berdasarkan anggaran
dasar badan usaha dimaksud; atau
2) pihak …
38
2) pihak yang diberi kewenangan melalui surat kuasa oleh
pejabat sebagaimana dimaksud pada angka 1).
Surat kuasa ini diperlukan untuk menandatangani pernyataan
tertulis yang terkait dengan Transaksi Valuta Asing Terhadap
Rupiah dengan Bank.
Contoh pernyataan tertulis yang authenticated untuk pembelian
valuta asing terhadap Rupiah di atas threshold dan transaksi
structured product valuta asing terhadap Rupiah berupa Call
Spread Option sebagaimana tercantum dalam Lampiran V yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank
Indonesia ini.
Contoh surat kuasa sebagaimana tercantum dalam Lampiran VII
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran
Bank Indonesia ini.
d. Dalam hal dokumen Underlying Transaksi dimiliki oleh Nasabah
perorangan maka yang dimaksud dengan pihak yang berwenang
adalah dirinya sendiri atau pihak yang diberi kuasa oleh
Nasabah perorangan dimaksud.
15. Untuk transaksi penjualan valuta asing terhadap Rupiah melalui
transaksi forward atau option di atas threshold, dokumen yang
disampaikan berupa:
a. dokumen
Underlying
Transaksi
yang dapat
dipertanggungjawabkan, baik yang bersifat final maupun berupa
perkiraan; dan
b. dokumen pendukung berupa pernyataan tertulis bermeterai
cukup yang ditandatangani oleh pihak yang berwenang dari
Nasabah atau pernyataan tertulis yang authenticated dari
Nasabah yang memuat informasi mengenai keaslian dan
kebenaran dokumen Underlying Transaksi sebagaimana
dimaksud pada huruf a dan dokumen Underlying Transaksi
hanya digunakan untuk penjualan valuta asing terhadap Rupiah
paling banyak sebesar nominal Underlying Transaksi dalam
sistem perbankan di Indonesia.
c. Dalam hal dokumen Underlying Transaksi sebagaimana
dimaksud pada huruf a berupa perkiraan maka di dalam
pernyataan tertulis sebagaimana dimaksud pada huruf b
ditambahkan ...
39
ditambahkan informasi terkait sumber, jumlah, dan waktu
penerimaan valuta asing.
d. Dalam hal dokumen Underlying Transaksi dimiliki oleh Nasabah
yang berbentuk badan usaha selain Bank maka pernyataan
tertulis ditandatangani oleh pejabat yang berwenang dari badan
usaha selain Bank.
Yang dimaksud dengan pejabat yang berwenang dari badan
usaha selain Bank adalah:
1) pejabat yang memiliki kewenangan berdasarkan anggaran
dasar badan usaha dimaksud; atau
2) pihak yang diberi kewenangan melalui surat kuasa oleh
pejabat sebagaimana dimaksud pada angka 1).
Surat kuasa ini diperlukan untuk menandatangani
pernyataan tertulis yang terkait dengan Transaksi Valuta
Asing Terhadap Rupiah dengan Bank.
Contoh pernyataan tertulis yang authenticated untuk penjualan
valuta asing terhadap Rupiah melalui transaksi forward atau
option di atas threshold sebagaimana tercantum dalam Lampiran
VI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran
Bank Indonesia ini.
Contoh surat kuasa sebagaimana tercantum dalam Lampiran VII
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran
Bank Indonesia ini.
e. Dalam hal dokumen Underlying Transaksi dimiliki oleh Nasabah
perorangan maka yang dimaksud dengan pihak yang berwenang
adalah dirinya sendiri atau pihak yang diberi kuasa oleh
Nasabah perorangan dimaksud.
16. Untuk pembelian valuta asing terhadap Rupiah paling banyak sebesar
threshold, pernyataan tertulis bermeterai cukup yang ditandatangani
oleh Nasabah yang bersangkutan untuk Nasabah perorangan atau
pihak yang berwenang dari Nasabah badan usaha selain Bank, atau
pernyataan tertulis yang authenticated dari Nasabah berisi informasi
bahwa pembelian valuta asing terhadap Rupiah tidak melebihi
threshold per bulan per Nasabah dalam sistem perbankan di
Indonesia.
Yang …
40
Yang dimaksud dengan pejabat yang berwenang dari badan usaha
selain Bank adalah:
a. pejabat yang memiliki kewenangan berdasarkan anggaran dasar
badan usaha dimaksud; atau
b. pihak yang diberi kewenangan melalui surat kuasa oleh pejabat
sebagaimana dimaksud pada huruf a.
Surat kuasa ini diperlukan untuk menandatangani pernyataan
tertulis yang terkait dengan Transaksi Valuta Asing Terhadap
Rupiah dengan Bank.
Contoh pernyataan tertulis yang authenticated untuk pembelian
valuta asing terhadap Rupiah paling banyak sebesar threshold
sebagaimana tercantum dalam Lampiran X yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini.
17. Pernyataan tertulis yang authenticated sebagaimana dimaksud dalam
angka 14, angka 15, dan angka 16 dapat berupa surat elektronik
resmi (official email), SWIFT message, negative confirmation, atau
sistem business internet banking.
18. Untuk Transaksi Spot, dokumen Underlying Transaksi dan/atau
dokumen pendukung dilampirkan untuk setiap transaksi pada
tanggal transaksi. Dalam hal dokumen Underlying Transaksi
dan/atau dokumen pendukung tidak dapat diterima pada tanggal
transaksi maka dokumen Underlying Transaksi dan/atau dokumen
pendukung wajib diterima oleh Bank paling lambat pada tanggal
valuta.
19. Untuk Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah yang
standar (plain vanilla) dan transaksi structured product valuta asing
terhadap Rupiah berupa Call Spread Option, dokumen Underlying
Transaksi dan/atau dokumen pendukung dilampirkan untuk setiap
transaksi pada tanggal transaksi. Dalam hal dokumen Underlying
Transaksi dan/atau dokumen pendukung tidak dapat diterima pada
tanggal transaksi maka dokumen Underlying Transaksi dan/atau
dokumen pendukung wajib diterima oleh Bank paling lambat pada 5
(lima) hari kerja setelah tanggal transaksi.
Contoh 1:
Perusahaan A merupakan eksportir, dan akan melakukan transaksi
forward jual USD/IDR sebesar USD30,000,000.00 (tiga puluh juta
dolar …
41
dolar Amerika Serikat) pada tanggal 2 Desember 20xx dengan tenor 3
(tiga) bulan. Pada saat transaksi forward dilakukan, Perusahaan A
wajib menyampaikan dokumen Underlying Transaksi dan dokumen
pendukung paling lambat pada tanggal 7 Desember 20xx (5 (lima) hari
kerja), baik apabila akan diselesaikan secara netting maupun
diselesaikan dengan pemindahan dana pokok secara penuh (full
movement of fund).
Contoh 2:
Individu B merupakan importir dan akan melakukan transaksi
forward beli USD/IDR sebesar USD80,000.00 (delapan puluh ribu
dolar Amerika Serikat) pada tanggal 9 Januari 20xx dengan tenor 2
(dua) bulan (jatuh waktu tanggal 9 Maret 20xx) dan tidak wajib
menyampaikan dokumen Underlying Transaksi. Pada tanggal 9
Februari 20xx, individu B memutuskan untuk melakukan unwind
posisi forward beli di atas dengan melakukan transaksi forward jual
dengan tenor 1 (satu) bulan, jatuh waktu 9 Maret 20xx. Untuk
penyelesaian transaksi ini, individu B wajib menyampaikan dokumen
Underlying Transaksi dan dokumen pendukung paling lambat tanggal
16 Februari 20xx (5 (lima) hari kerja setelah tanggal transaksi forward
yang kedua). Dalam hal sampai dengan tanggal 16 Februari 20xx
individu B tidak dapat menyampaikan dokumen Underlying Transaksi
dan dokumen pendukung maka penyelesaian transaksi forward beli
dan forward jual dilakukan dengan pemindahan dana pokok secara
penuh (full movement of fund).
20. Dalam hal Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah memiliki
jatuh waktu kurang dari 5 (lima) hari kerja setelah tanggal transaksi
maka penyampaian dokumen Underlying Transaksi dan/atau
dokumen pendukung Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap
Rupiah dilakukan paling lambat pada tanggal jatuh waktu.
Contoh:
Individu C melakukan transaksi forward beli USD/IDR sebesar
USD80,000.00 (delapan puluh ribu dolar Amerika Serikat) pada
tanggal 12 Januari 20xx dengan tenor 2 (dua) bulan (jatuh waktu
tanggal 12 Maret 20xx) dan tidak wajib menyampaikan dokumen
Underlying Transaksi. Pada tanggal 9 Maret 20xx, individu C
bermaksud untuk melakukan unwind transaksi dan diselesaikan
secara …
42
secara netting melalui transaksi forward jual 3 (tiga) hari (jatuh
waktunya sama dengan jatuh waktu transaksi forward awal). Individu
C wajib menyampaikan dokumen Underlying Transaksi dan dokumen
pendukung paling lambat tanggal jatuh waktu transaksi forward,
yaitu tanggal 12 Maret 20xx. Dalam hal sampai dengan tanggal 12
Maret 20xx individu C tidak dapat menyampaikan dokumen
Underlying Transaksi dan dokumen pendukung maka penyelesaian
transaksi forward beli dan forward jual dilakukan dengan
pemindahan dana pokok secara penuh (full movement of fund).
21. Dalam hal Nasabah melakukan pembelian valuta asing terhadap
Rupiah secara berangsur (bertahap) sehingga melebihi threshold yaitu
USD25,000.00 (dua puluh lima ribu dolar Amerika Serikat) untuk
Transaksi Spot dan USD100,000.00 (seratus ribu dolar Amerika
Serikat) untuk Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah
dalam 1 (satu) bulan yang sama maka dokumen Underlying Transaksi
disampaikan untuk pembelian valuta asing terhadap Rupiah yang
melebihi threshold.
Contoh 1:
Pada tanggal 10 November 20xx, Nasabah melakukan pembelian
valuta asing terhadap Rupiah melalui Transaksi Spot sebesar
USD5,000.00 (lima ribu dolar Amerika Serikat). Kemudian pada
tanggal 14 November 20xx, Nasabah yang sama melakukan pembelian
valuta asing terhadap Rupiah melalui Transaksi Spot sebesar
USD10,000.00 (sepuluh ribu dolar Amerika Serikat). Selanjutnya,
pada tanggal 19 November 20xx, Nasabah kembali melakukan
pembelian valuta asing terhadap Rupiah melalui Transaksi Spot
sebesar USD32,500.00 (tiga puluh dua ribu lima ratus dolar Amerika
Serikat). Pembelian valuta asing terhadap Rupiah melalui Transaksi
Spot yang dilakukan pada tanggal 19 November 20xx tersebut telah
melampaui batas maksimal pembelian valuta asing terhadap Rupiah
melalui Transaksi Spot
tanpa Underlying Transaksi sebesar
USD25,000.00 (dua puluh lima ribu dolar Amerika Serikat). Dengan
demikian untuk pembelian valuta asing terhadap Rupiah melalui
Transaksi Spot yang dilakukan pada tanggal 19 November 20xx
tersebut, Bank wajib meminta Nasabah untuk menyediakan dokumen
Underlying …
43
Underlying Transaksi sebesar USD32,500.00 (tiga puluh dua ribu lima
ratus dolar Amerika Serikat).
Contoh 2:
Pada tanggal 12 November 20xx, Nasabah melakukan pembelian
valuta asing terhadap Rupiah melalui transaksi forward sebesar
USD40,000.00 (empat puluh ribu dolar Amerika Serikat).
Kemudian, pada tanggal 17 November 20xx, Nasabah yang sama
melakukan pembelian valuta asing terhadap Rupiah melalui transaksi
Call Spread Option sebesar USD50,000.00 (lima puluh ribu dolar
Amerika Serikat).
Selanjutnya, pada tanggal 21 November 20xx, Nasabah kembali
melakukan pembelian valuta asing terhadap Rupiah melalui transaksi
forward sebesar USD22,500.00 (dua puluh dua ribu lima ratus dolar
Amerika Serikat). Pembelian yang dilakukan pada tanggal 21
November 20xx tersebut telah melampaui batas maksimal pembelian
valuta asing terhadap Rupiah melalui Transaksi Derivatif Valuta Asing
Terhadap Rupiah tanpa Underlying Transaksi sebesar USD100,000.00
(seratus ribu dolar Amerika Serikat).
Dengan demikian untuk pembelian melalui transaksi forward yang
dilakukan pada tanggal 21 November 20xx tersebut, Bank wajib
meminta Nasabah untuk menyampaikan dokumen Underlying
Transaksi sebesar USD22,500.00 (dua puluh dua ribu lima ratus
dolar Amerika Serikat).
22. Penyampaian dokumen Underlying Transaksi dan dokumen
pendukung Transaksi Derivatif Valuta Asing terhadap Rupiah paling
banyak sebesar threshold yang akan diselesaikan secara netting, wajib
diterima oleh Bank paling lambat pada:
a.
b. 5 (lima) hari kerja setelah tanggal transaksi, dalam hal
perpanjangan transaksi (roll over), percepatan penyelesaian
transaksi (early termination), dan pengakhiran transaksi
(unwind) dilakukan melalui Transaksi Derivatif Valuta Asing
Terhadap Rupiah; atau
c.
tanggal jatuh waktu, dalam hal perpanjangan transaksi (roll
over), percepatan penyelesaian transaksi (early termination), dan
pengakhiran …
tanggal valuta, dalam hal pengakhiran transaksi (unwind)
dilakukan melalui Transaksi Spot;
44
pengakhiran transaksi (unwind) dilakukan melalui Transaksi
Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah yang memiliki jatuh
waktu kurang dari 5 (lima) hari kerja setelah tanggal transaksi.
23. Untuk pembelian valuta asing terhadap Rupiah melalui Transaksi
Derivatif paling banyak sebesar threshold yang akan diselesaikan
secara netting, dokumen pendukung mengacu pada dokumen
pendukung sebagaimana dimaksud dalam angka 14 huruf b.
Contoh pernyataan tertulis yang authenticated untuk pembelian
derivatif valuta asing terhadap Rupiah paling banyak sebesar
threshold yang akan diselesaikan secara netting sebagaimana
tercantum dalam Lampiran VIII yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini.
24. Untuk penjualan valuta asing terhadap Rupiah melalui transaksi
forward atau option paling banyak sebesar threshold yang akan
diselesaikan secara netting, dokumen pendukung mengacu pada
dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam angka 15 huruf
b.
25. Contoh pernyataan tertulis yang authenticated untuk transaksi
forward atau option penjualan valuta asing terhadap Rupiah paling
banyak sebesar threshold yang akan diselesaikan secara netting
sebagaimana tercantum dalam Lampiran IX yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini. Bank dapat
menerima dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam angka
14 huruf b dan angka 15 huruf b secara berkala paling kurang 1 (satu)
kali dalam 1 (satu) tahun kalender apabila :
a. dokumen Underlying Transaksi bersifat final; dan
b. Bank telah mengetahui track record Nasabah dengan baik antara
lain dari Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah yang
dilakukan Nasabah secara reguler dari waktu ke waktu.
Contoh:
PT A melakukan pembelian valuta asing terhadap Rupiah kepada
Bank X pada tanggal 19 November 2016 sebesar USD120,000.00
(seratus dua puluh ribu dolar Amerika Serikat). Atas pembelian ini
Bank X wajib memastikan PT A menyampaikan dokumen Underlying
Transaksi dan dokumen pendukung berupa fotokopi dokumen
identitas Nasabah dan fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP),
serta …
45
serta pernyataan tertulis bermeterai cukup atau pernyataan tertulis
yang authenticated.
Pada tanggal 15 Desember 2016, PT A melakukan pembelian valuta
asing terhadap Rupiah kepada Bank X sebesar USD150,000.00
(seratus lima puluh ribu dolar Amerika Serikat). Atas pembelian ini,
Bank X wajib memastikan PT A menyampaikan dokumen Underlying
Transaksi.
Pada tanggal 20 Januari 2017, PT A kembali melakukan pembelian
valuta asing terhadap Rupiah kepada Bank X sebesar USD130,000.00
(seratus tiga puluh ribu dolar Amerika Serikat). Atas pembelian ini
Bank X wajib memastikan PT A menyampaikan dokumen Underlying
Transaksi dan dokumen pendukung berupa fotokopi dokumen
identitas Nasabah dan fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP),
serta pernyataan tertulis bermeterai cukup atau pernyataan tertulis
yang authenticated.
26. Nasabah yang melakukan pembelian valuta asing terhadap Rupiah
paling banyak sebesar threshold yaitu USD25,000.00 (dua puluh lima
ribu dolar Amerika Serikat) untuk Transaksi Spot dan USD100,000.00
(seratus ribu dolar Amerika Serikat) untuk Transaksi Derivatif Valuta
Asing Terhadap Rupiah per bulan per Nasabah, dokumen pendukung
berupa pernyataan tertulis bermeterai cukup atau pernyataan tertulis
yang authenticated disampaikan paling kurang 1 (satu) kali dalam 1
(satu) bulan kalender.
Contoh:
Nasabah B melakukan pembelian valuta asing terhadap Rupiah
melalui Transaksi Spot kepada Bank Y pada tanggal 19 November
20xx sebesar USD5,000.00 (lima ribu dolar Amerika Serikat). Atas
pembelian ini, Bank Y wajib meminta Nasabah B untuk
menyampaikan dokumen berupa pernyataan tertulis bermeterai
cukup atau pernyataan tertulis yang authenticated.
Selanjutnya, pada tanggal 26 November 20xx, Nasabah B melakukan
pembelian valuta asing terhadap Rupiah melalui Transaksi Spot
kepada Bank Y sebesar USD3,000.00 (tiga ribu dolar Amerika Serikat).
Atas pembelian ini, Nasabah B tidak wajib menyampaikan kepada
Bank Y dokumen berupa pernyataan tertulis bermeterai cukup atau
pernyataan …
46
pernyataan tertulis yang authenticated karena telah disampaikan
pada transaksi sebelumnya (19 November 20xx).
Pada tanggal 16 Desember 20xx, Nasabah B melakukan pembelian
valuta asing terhadap Rupiah melalui Transaksi Spot kepada Bank Y
sebesar USD5,000.00 (lima ribu dolar Amerika Serikat). Atas
pembelian ini, Bank Y wajib memastikan Nasabah B menyampaikan
kembali dokumen berupa pernyataan tertulis bermeterai cukup atau
pernyataan tertulis yang authenticated mengingat transaksi dilakukan
dalam bulan yang berbeda.
27. Penyampaian dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam
angka 25 dan angka 26 dilakukan pada transaksi pertama.
28. Dalam hal terdapat jenis dokumen selain sebagaimana tercantum
dalam Lampiran III dan Lampiran IV, Bank dapat:
a. mengajukan terlebih dahulu jenis dokumen tersebut kepada
Indonesia Foreign Exchange Market Committee (IFEMC) untuk
dikonsultasikan kepada Bank Indonesia; atau
b. mengajukan secara tertulis kepada Bank Indonesia, cq.
Departemen Pengembangan Pasar Keuangan.
VII. LARANGAN KREDIT KEPADA NASABAH
Larangan pemberian kredit atau pembiayaan dalam valuta asing dan/atau
Rupiah kepada Nasabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 PBI diatur
sebagai berikut:
a. Larangan pemberian kredit atau pembiayaan dalam valuta asing
dan/atau Rupiah kepada Nasabah hanya untuk kredit atau
pembiayaan yang diberikan Bank secara khusus untuk membiayai
kegiatan Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah kepada
Nasabah.
b. Pemberian kredit atau pembiayaan Bank dalam valuta asing dan/atau
dalam Rupiah untuk kegiatan perdagangan dan investasi, dapat
menjadi Underlying Transaksi dari Transaksi Derivatif Valuta Asing
Terhadap Rupiah dalam rangka lindung nilai.
Contoh:
Nasabah mengajukan permintaan kredit kepada Bank A sebesar
USD100,000,000.00 (seratus juta dolar Amerika Serikat) untuk
tujuan …
47
tujuan investasi berupa pembangunan pabrik. Bank menyetujui
permohonan kredit Nasabah dengan perjanjian kredit sebagai berikut:
1) Kredit diberikan dalam USD.
2) Bunga kredit berupa variable rate yaitu 6 Months USD LIBOR +
300 bps dengan repricing date setiap 6 (enam) bulan sekali.
3) Jangka waktu kredit selama 5 (lima) tahun dengan mekanisme
pembayaran prinsipal kredit secara balloon payment pada akhir
tahun ke-5 (lima) dan pembayaran bunga secara semesteran.
Dalam rangka memenuhi kewajiban pembayaran bunga kredit berupa
variable rate tersebut, Nasabah memiliki kebutuhan untuk menerima
dana pencairan kredit dalam mata uang Rupiah dan membayar bunga
kredit dalam fixed rate.
Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, Nasabah melakukan kontrak
Cross-Currency Swap (CCS) valuta asing terhadap Rupiah yang
berjangka waktu 5 (lima) tahun dengan Bank A sesuai mekanisme
sebagai berikut:
a) Pada awal kontrak, Nasabah memberikan prinsipal sebesar
USD100,000,000.00 (seratus juta dolar Amerika Serikat),
sedangkan Bank A memberikan sejumlah nominal tertentu
dalam Rupiah yang ekuivalen dengan USD100,000,000.00
(seratus juta dolar Amerika Serikat), sesuai dengan kurs yang
berlaku saat itu kepada Nasabah.
b) Setiap 6 (enam) bulan sampai akhir kontrak, Nasabah (fixed
payer) membayar 10% dalam mata uang Rupiah kepada Bank A,
sedangkan Bank A (variable payer) membayar 6 months LIBOR +
300 bps dalam mata uang USD kepada Nasabah.
c) Pada akhir kontrak, Nasabah memberikan nominal tertentu
dalam Rupiah yang ekuivalen dengan USD100,000,000.00
(seratus juta dolar Amerika Serikat), sesuai dengan kurs yang
disepakati kepada Bank A, sedangkan Bank A menyerahkan
USD100,000,000.00 (seratus juta dolar Amerika Serikat),
kepada Nasabah.
d) Dalam hal ini, kredit yang diberikan oleh Bank A kepada
Nasabah bukan ditujukan untuk melakukan Transaksi Derivatif
Valuta Asing Terhadap Rupiah melainkan untuk pembangunan
pabrik. Selanjutnya, pada saat Nasabah melakukan kontrak
derivatif …
48
derivatif Cross-Currency Swap (CCS) valuta asing terhadap
Rupiah dengan Bank A, kredit yang didapatkan dari Bank A
dijadikan Underlying Transaksi dalam kontrak derivatif dengan
Bank A.
VIII. PELAPORAN
1. Bank menyampaikan laporan Transaksi Valuta Asing Terhadap
Rupiah, termasuk transaksi structured product valuta asing terhadap
Rupiah berupa Call Spread Option, melalui sistem pelaporan Bank
Indonesia, yaitu Laporan Harian Bank Umum (LHBU).
2. Mekanisme pelaporan Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah
mengacu kepada ketentuan yang mengatur mengenai Laporan Harian
Bank Umum (LHBU).
IX. TATA CARA PENGENAAN SANKSI
1. Dalam hal Bank dikenakan sanksi berupa teguran tertulis
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) dan Pasal 23 ayat (1)
PBI maka teguran tertulis tersebut disampaikan oleh Bank Indonesia
kepada Bank yang bersangkutan, dengan tembusan kepada Otoritas
Jasa Keuangan.
2. Dalam mengenakan sanksi kewajiban membayar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) PBI berlaku ketentuan sebagai
berikut:
a. Besarnya kewajiban membayar adalah 1% (satu persen) dari
nilai nominal transaksi yang dilanggar untuk setiap pelanggaran
dengan jumlah sanksi paling sedikit sebesar Rp10.000.000,00
(sepuluh juta rupiah) dan paling banyak sebesar
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Contoh 1:
Pada tanggal 5 September 20xx, Nasabah A melakukan
pembelian valuta asing terhadap Rupiah melalui Transaksi Spot
sebesar USD15,000.00 (lima belas ribu dolar Amerika Serikat).
Kemudian, pada tanggal 15 September 20xx, Nasabah A
melakukan pembelian valuta asing terhadap Rupiah melalui
Transaksi Spot sebesar USD15,000.00 (lima belas ribu dolar
Amerika Serikat). Total pembelian valuta asing terhadap Rupiah
Nasabah …
49
Nasabah A pada bulan September 20XX adalah sebesar
USD30,000.00 (tiga puluh ribu dolar Amerika Serikat).
Pembelian valuta asing terhadap Rupiah pada tanggal 15
September 20xx, tidak didukung dengan dokumen Underlying
Transaksi, sehingga terdapat pelanggaran karena total
Transaksi Spot melebihi threshold sebesar USD5,000.00 (lima
ribu dolar Amerika Serikat) tanpa didukung dengan dokumen
Underlying Transaksi.
Kurs JISDOR tanggal 15 September 20xx adalah USD/IDR
10.000,00.
Atas pelanggaran tersebut, Bank dikenakan sanksi berupa
teguran tertulis dan kewajiban membayar dari nilai nominal
USD5,000.00 x 1% x Rp10.000,00 yaitu sebesar Rp500.000,00
(lima ratus ribu rupiah). Namun demikian, karena dalam PBI
diatur bahwa sanksi kewajiban membayar paling sedikit sebesar
Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) maka Bank dikenakan
sanksi kewajiban membayar sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh
juta rupiah).
Contoh 2:
Pada tanggal 12 September 20xx, Nasabah melakukan
pembelian valuta asing terhadap Rupiah melalui transaksi
forward 1 (satu) bulan sebesar USD160,000.00 (seratus enam
puluh ribu dolar Amerika Serikat). Sampai dengan 5 (lima) hari
kerja setelah tanggal transaksi, yaitu tanggal 17 September
20xx, Nasabah tidak menyampaikan dokumen Underlying
Transaksi dan dokumen pendukung, sehingga terdapat
pelanggaran karena total transaksi forward melebihi threshold
sebesar USD60,000.00 (enam puluh ribu dolar Amerika Serikat)
tanpa didukung dengan dokumen Underlying Transaksi.
Kurs JISDOR tanggal 17 September 20xx adalah USD/IDR
10.000,00.
Atas pelanggaran tersebut, Bank dikenakan sanksi berupa
teguran tertulis dan kewajiban membayar dari nilai nominal
USD60,000.00 x 1% x Rp10.000,00 yaitu sebesar
Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah). Namun demikian, karena
dalam PBI diatur bahwa sanksi kewajiban membayar paling
sedikit …
50
sedikit sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) maka
Bank dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar
Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
b. Untuk pelanggaran terhadap larangan pemberian kredit atau
pembiayaan, besarnya kewajiban membayar adalah 1% (satu
persen) dari nilai persetujuan kredit atau pembiayaan yang
digunakan untuk Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap
Rupiah dengan jumlah sanksi paling sedikit sebesar
Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak
sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Contoh:
Pada tanggal 13 September 20xx, Bank B memberikan kredit
kepada Nasabah A sebesar USD10,000,000.00 (sepuluh juta
dolar Amerika Serikat) yang digunakan untuk membiayai
kegiatan Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah
Nasabah A yang tidak terkait dengan kegiatan ekspor dan/atau
impor. Kurs JISDOR tanggal 13 September 20xx adalah
Rp11.000,00. Dalam hal ini, Bank B telah melakukan
pelanggaran larangan pemberian kredit untuk membiayai
kegiatan Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah dan
dikenakan sanksi berupa teguran tertulis dan kewajiban
membayar sebesar Rp1.100.000.000,00 (satu miliar seratus juta
rupiah) yang berasal dari perhitungan (USD10,000,000.00 x 1%
x Rp11.000,00), dengan pembayaran sanksi paling banyak
sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
c. Untuk pelanggaran terhadap larangan pemberian cerukan
dan/atau fasilitas lain yang dapat dipersamakan dengan
cerukan, besarnya kewajiban membayar adalah 1% (satu persen)
dari nilai cerukan dan/atau fasilitas lain yang dapat
dipersamakan dengan cerukan yang diberikan oleh Bank kepada
Nasabah dengan jumlah sanksi paling sedikit sebesar
Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak
sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Contoh:
PT X tidak memiliki rekening valuta asing maupun rekening
Rupiah di Bank Y. Pada tanggal 15 September 20xx, PT X
melakukan …
51
melakukan transaksi forward jual USD/IDR 1 (satu) bulan
dengan Bank Y sebesar USD2,000,000.00 (dua juta dolar
Amerika Serikat) pada kurs USD/IDR 11.500,00. Untuk itu
Bank Y melakukan penyerahan dana Rupiah terlebih dahulu
kepada PT X sebesar Rp23.000.000.000,00 (dua puluh tiga
miliar rupiah), dengan harapan pada akhir hari tanggal valuta
PT X akan menyerahkan dana sebesar USD2,000,000.00 (dua
juta dolar Amerika Serikat). Namun demikian, sampai dengan
akhir hari tanggal 15 Oktober 20xx waktu penyelesaian
transaksi US Dollar PT X tidak dapat memenuhi janjinya
menyerahkan dana sebesar USD2,000,000.00 (dua juta dolar
Amerika Serikat). Dengan demikian, Bank Y telah memberikan
cerukan senilai USD2,000,000.00 (dua juta dolar Amerika
Serikat) kepada PT X dalam rangka Transaksi Valuta Asing
Terhadap Rupiah. Kurs JISDOR tanggal 15 Oktober 20xx adalah
Rp11.000,00. Atas pelanggaran dimaksud, Bank Y dikenakan
sanksi berupa teguran tertulis dan kewajiban membayar sebesar
Rp220.000.000,00 (dua ratus dua puluh juta rupiah) yang
berasal dari perhitungan (USD2,000,000.00 x 1% x
Rp11.000,00).
d. Pengenaan sanksi kewajiban membayar dilakukan oleh Bank
Indonesia dengan cara mendebet rekening giro Rupiah Bank
yang bersangkutan di Bank Indonesia.
X. PENUTUP
1.
Pada saat Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku:
a. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 16/14/DPM tanggal 17
September 2014 perihal Transaksi Valuta Asing terhadap Rupiah
antara Bank dengan Pihak Domestik;
b. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/15/DPM tanggal 12
Juni 2015 perihal Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia
Nomor 16/14/DPM tanggal 17 September 2014 perihal Transaksi
Valuta Asing terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak
Domestik;
c. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/20/DPM tanggal 28
Agustus 2015 perihal Perubahan Kedua atas Surat Edaran Bank
Indonesia …
52
Indonesia Nomor 16/14/DPM tanggal 17 September 2014 perihal
Transaksi Valuta Asing terhadap Rupiah antara Bank dengan
Pihak Domestik;
d. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/23/DPM tanggal 30
September 2015 perihal Perubahan Ketiga atas Surat Edaran
Bank Indonesia Nomor 16/14/DPM tanggal 17 September 2014
perihal Transaksi Valuta Asing terhadap Rupiah antara Bank
dengan Pihak Domestik; dan
e. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/49/DPM tanggal 21
Desember 2015 perihal Perubahan Keempat atas Surat Edaran
Bank Indonesia Nomor 16/14/DPM tanggal 17 September 2014
perihal Transaksi Valuta Asing terhadap Rupiah antara Bank
dengan Pihak Domestik,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
2. Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 13
Desember 2016.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat
Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita Negara
Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA,
NANANG HENDARSAH
KEPALA DEPARTEMEN
PENGEMBANGAN PASAR KEUANGAN
"," SE-BI
18/34/DPPK|SE-BI/2016
Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak Domestik
13 Desember 2016
13 Desember 2016
'16/14/DPM|SE-BI/2014', '17/23/DPM|SE-BI/2015', '17/15/DPM|SE-BI/2015', '17/20/DPM|SE-BI/2015', '17/49/DPM|SE-BI/2015'
'18/18/PBI/2016'
'Romawi IX'
"
" No.13/32/DASP
Jakarta, 23 Desember 2011
SURAT EDARAN
Kepada
SEMUA BANK UMUM DAN
LEMBAGA KUSTODIAN BUKAN BANK DI INDONESIA
Perihal : Perizinan, Pelaporan, dan Pengawasan Sub-Registry
-----------------------------------------------------------------
Sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor
10/2/PBI/2008 tentang Bank Indonesia–Scripless Securities Settlement
System (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 11,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4809)
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor
12/12/PBI/2010 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010
Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5146), Bank Indonesia melaksanakan kegiatan Penatausahaan Surat
Berharga. Kegiatan Penatausahaan Surat Berharga tersebut mencakup
pencatatan kepemilikan, kliring, setelmen dan pembayaran kupon
(bunga) atau imbalan dan nilai pokok/nominal Surat Berharga.
Pelaksanaan Penatausahaan Surat Berharga dilakukan secara two-tier
system, yang terdiri dari Central Registry yang dilaksanakan oleh Bank
Indonesia dan Sub-Registry yang dilaksanakan oleh Bank dan
Kustodian yang memenuhi persyaratan dan mendapat persetujuan dari
Bank Indonesia. Central Registry melakukan penatausahaan Rekening
Surat Berharga untuk Bank, Sub-Registry dan pihak lain pemilik
Rekening Surat Berharga di Bank Indonesia–Scripless Securities
Settlement System. Sedangkan Sub-Registry melakukan penatausahaan
Rekening Surat Berharga untuk kepentingan nasabah Sub-Registry.
Pencatatan ...
2
Pencatatan Rekening Surat Berharga Sub-Registry di Central Registry
bersifat global (omnibus account), sedangkan pencatatan individual
Rekening Surat Berharga nasabah dilakukan oleh Sub-Registry dengan
menggunakan sistem yang dimiliki Sub-Registry.
Untuk mengatur terselenggaranya sistem Penatausahaan Surat
Berharga yang efisien, aman, dan terpercaya, Bank Indonesia sebagai
Central Registry memandang perlu untuk mengatur kembali tata cara
perizinan, pelaporan dan pengawasan Sub-Registry sebagai berikut:
I. KETENTUAN UMUM
Dalam Surat Edaran ini yang dimaksud dengan:
1. Kustodian adalah pihak yang memberikan jasa penitipan efek
dan harta lain yang berkaitan dengan efek serta jasa lainnya,
termasuk menerima deviden, bunga dan hak-hak lain,
menyelesaikan transaksi efek, dan mewakili pemegang
rekening yang menjadi nasabahnya sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang tentang Pasar Modal.
2. Bank Kustodian adalah bank umum yang telah memperoleh
persetujuan dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan (Bapepam-LK) untuk menjalankan usaha sebagai
Kustodian.
3. Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, yang selanjutnya
disebut sebagai LPP, adalah pihak yang menyelenggarakan
kegiatan Kustodian sentral bagi Bank Kustodian, perusahaan
efek dan pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang tentang Pasar Modal.
4. Perusahaan Efek adalah pihak yang melakukan kegiatan
usaha sebagai penjamin emisi efek, perantara pedagang efek,
dan/atau manajer investasi sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang tentang Pasar Modal.
5. Surat Berharga adalah surat berharga yang diterbitkan oleh
Bank Indonesia, pemerintah dan/atau lembaga lain, yang
ditatausahakan ...
3
ditatausahakan dalam Bank Indonesia–Scripless Securities
Settlement System.
6. Bank Indonesia–Scripless Securities Settlement System, yang
selanjutnya disingkat BI-SSSS, adalah sarana Transaksi
dengan Bank Indonesia termasuk penatausahaannya dan
Penatausahaan Surat Berharga secara elektronik dan
terhubung langsung antara Peserta, Penyelenggara dan
Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement.
7. Penatausahaan Surat Berharga adalah kegiatan yang
mencakup pencatatan kepemilikan, kliring dan setelmen serta
pembayaran kupon (bunga) atau imbalan dan nilai pokok
nominal Surat Berharga.
8. Penyelenggara BI-SSSS, yang selanjutnya disebut
Penyelenggara, adalah pihak pengelola BI-SSSS yang
menyelenggarakan kegiatan Transaksi Dengan Bank
Indonesia dan penatausahaannya serta Penatausahaan Surat
Berharga.
9. Peserta BI-SSSS, yang selanjutnya disebut Peserta, adalah
pengguna BI-SSSS yang memenuhi persyaratan dan/atau
disetujui oleh Bank Indonesia untuk melakukan kegiatan
Transaksi Dengan Bank Indonesia dan/atau Penatausahaan
Surat Berharga.
10. Central Registry adalah Bank Indonesia yang melakukan
fungsi Penatausahaan Surat Berharga untuk kepentingan
Peserta yang memiliki Rekening Surat Berharga di BI-SSSS.
11. Sub-Registry adalah Bank dan lembaga yang melakukan
kegiatan Kustodian yang memenuhi persyaratan dan disetujui
oleh Bank Indonesia melakukan fungsi Penatausahaan Surat
Berharga untuk kepentingan nasabah.
12. Pengurus Sub-Registry adalah Direksi dan Dewan Komisaris
dari Bank dan lembaga yang melakukan kegiatan Sub-
Registry.
13. Pengelola ...
4
13. Pengelola Sub-Registry adalah pejabat yang bertanggung
jawab dalam pelaksanaan operasional Sub-Registry.
14. Sistem Informasi BI-SSSS yang selanjutnya disingkat SI BI-
SSSS adalah sistem yang disediakan oleh Bank Indonesia
bagi Sub-Registry sebagai sarana pelaporan dan rekonsiliasi
data BI-SSSS terkait penatausahaan individual nasabah.
15. Guest Bank SI BI-SSSS adalah perangkat SI BI-SSSS di Bank
Indonesia yang dapat digunakan oleh Sub-Registry untuk
melakukan download dan upload laporan dalam kondisi SI
BI-SSSS pada Sub-Registry tidak dapat digunakan.
II. PERSYARATAN SUB-REGISTRY
Pihak yang dapat disetujui sebagai Sub-Registry yaitu Bank,
LPP dan Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan Kustodian,
yang memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. berkedudukan di wilayah hukum Indonesia;
2.
tidak sedang dalam proses likuidasi atau kepailitan;
3. memiliki izin usaha yang masih berlaku dari Bapepam-LK;
4.
telah mempunyai pengalaman paling kurang 3 (tiga) tahun
dalam kegiatan penatausahaan Surat Berharga dan/atau
paling kurang 3 (tiga) tahun dalam kegiatan penyimpanan
Surat Berharga sejak memperoleh izin usaha dari Bapepam-
LK;
5. memenuhi persyaratan permodalan sebagai berikut :
a. bagi Bank, yang selanjutnya disebut Bank Kustodian
harus memenuhi persyaratan Kewajiban Penyediaan
Modal Minimum yang selanjutnya disebut KPMM sesuai
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
KPMM;
b. bagi LPP dan Perusahaan Efek yang selanjutnya disebut
lembaga Kustodian bukan Bank, harus memiliki modal
disetor paling sedikit Rp25.000.000.000,00 (dua puluh
lima miliar Rupiah);
6. memiliki ...
5
6. memiliki sistem penatausahaan surat berharga yang
terintegrasi dengan dan antar kantor cabang yang dimiliki di
dalam negeri;
7. memiliki sistem penatausahaan surat berharga tanpa warkat
(scripless) secara book-entry yang aman, akurat, dan
terpercaya yang paling kurang dapat menatausahakan
transaksi outright, repo, dan pengagunan;
8. Pengurus Sub-Registry tidak termasuk dalam Daftar Hitam
Nasional (DHN), Daftar Kredit Macet dan Daftar Tidak Lulus
Fit and Proper Test;
9. Pengelola Sub-Registry tidak termasuk dalam DHN dan
Daftar Kredit Macet;
10. memiliki unit kerja terpisah yang khusus menangani kegiatan
Kustodian dengan manajemen dan staf yang profesional di
bidang penatausahaan dan/atau penyimpanan Surat
Berharga;
11. Surat Berharga yang dicatat dan/atau disimpan paling sedikit
telah mencapai nilai nominal rata-rata bulanan
Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun Rupiah) dalam 6 (enam)
bulan terakhir, terdiri dari Surat Berharga yang dapat
diperdagangkan di pasar uang dan/atau pasar modal;
12. memenuhi persyaratan sebagai peserta BI-SSSS sesuai
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai BI-SSSS;
13. menyediakan Jaringan Komunikasi berupa leased line atau
dial up untuk mengakses SI BI-SSSS.
Dalam hal menggunakan leased line, Sub-Registry dapat
menggunakan jaringan yang digunakan untuk
menyampaikan Laporan Harian Bank Umum (LHBU) atau
Laporan Berkala Bank Umum (LBBU).
III. TATA ...
6
III. TATA CARA PENGAJUAN PERMOHONAN DAN PERSETUJUAN
SEBAGAI SUB-REGISTRY
A. Tata Cara Permohonan
1. Kustodian yang memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam angka II dapat mengajukan surat
permohonan sebagaimana contoh pada Lampiran I yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran
Bank Indonesia ini, kepada :
BANK INDONESIA
Direktorat Akunting dan Sistem Pembayaran
c.q. Bagian Penyelenggaraan Setelmen
Gedung D Lantai 3
Jl. M.H. Thamrin No. 2, Jakarta 10350.
2. Penyampaian Surat permohonan sebagai Sub-Registry
sebagaimana dimaksud dalam angka 1, dilakukan
bersamaan dengan surat permohonan sebagai peserta
BI-SSSS.
3. Surat permohonan sebagai Sub-Registry dan
permohonan akses ke SI BI-SSSS dilengkapi dengan
dokumen sebagai berikut:
a.
fotokopi surat persetujuan sebagai Bank Kustodian
atau izin usaha sebagai Kustodian untuk lembaga
Kustodian bukan Bank dari Bapepam-LK;
b. keterangan mengenai posisi KPMM terakhir untuk
Bank Kustodian, atau jumlah modal disetor untuk
lembaga Kustodian bukan Bank;
c. keterangan mengenai fasilitas jaringan usaha
pencatatan dan/atau penyimpanan surat berharga
yang terintegrasi dengan dan antar kantor cabang
yang dimiliki di dalam negeri;
d.
fotokopi bukti hasil pemeriksaan oleh auditor
independen mengenai keamanan sistem pencatatan
surat ...
7
surat berharga secara scripless;
e.
riwayat pekerjaan atau keahlian di bidang
Kustodian dari Pengurus dan Pengelola dalam hal
calon Sub-Registry merupakan non bank, atau
riwayat pekerjaan atau keahlian di bidang
Kustodian dari Pengelola dalam hal calon Sub-
Registry merupakan Bank Kustodian;
f. data mengenai jumlah dan nilai nominal transaksi
pencatatan dan/atau penyimpanan surat berharga
dalam 6 (enam) bulan terakhir; dan
g.
laporan keuangan tahunan terakhir yang telah
diaudit oleh akuntan publik.
B. Persetujuan Sebagai Sub-Registry
1. Dalam hal dokumen telah diterima lengkap, Bank
Indonesia dapat melakukan peninjauan langsung ke
tempat kedudukan calon Sub-Registry dalam rangka
meneliti kebenaran persyaratan sebagaimana dimaksud
pada angka II.
2. Dalam hal dokumen tidak lengkap, Bank Indonesia
memberitahukan kepada pemohon secara tertulis untuk
melengkapi dokumen yang belum disampaikan.
3. Bank Indonesia memberitahukan persetujuan atau
penolakan untuk menjadi Sub-Registry kepada pemohon
paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja setelah dokumen
sebagaimana dimaksud pada butir A.3 diterima lengkap
oleh Bank Indonesia.
4. Dalam hal pemohon telah disetujui menjadi Sub-Registry,
Bank Indonesia akan memberikan:
a. Surat persetujuan sebagai Sub-Registry dan
pemberian akses ke SI BI-SSSS yang disampaikan
bersamaan dengan surat persetujuan sebagai
peserta BI-SSSS, dengan dilampiri:
1) User-ID ...
8
1) user-ID dan password untuk login ke jaringan
Bank Indonesia bagi akses yang dilakukan
melalui dial up; dan
2) user-ID dan password administrator lokal SI-BI-
SSSS yang terdiri dari Administrator1 dan
Administrator2;
b. Surat pemberitahuan tanggal efektif kepersertaan
BI-SSSS dengan dilampiri Surat Perjanjian
Penggunaan BI-SSSS sebagaimana diatur dalam
ketentuan Bank Indonesia mengenai BI-SSSS; dan
c. Pelatihan SI BI-SSSS dan BI-SSSS.
IV. KEGIATAN OPERASIONAL SUB-REGISTRY
A. Tugas dan Kewajiban Sub-Registry
1. Tugas Sub-Registry
a. Memelihara rekening Surat Berharga atas nama
nasabah sesuai Peraturan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai BI-SSSS.
b. Melaksanakan setelmen transaksi Surat Berharga
untuk dan atas nama nasabah.
c. Melakukan pencatatan Surat Berharga pada saat
penerbitan atas nama nasabah.
d. Mencatat kepemilikan dan perubahan kepemilikan
Surat Berharga atas nama nasabah secara terpisah
dari aset Sub-Registry.
e. Menyampaikan bukti pencatatan Surat Berharga
kepada nasabah yang antara lain berisi saldo akhir
Rekening Surat Berharga yang memuat masing-
masing seri Surat Berharga dan perubahan
pencatatan kepemilikan Surat Berharga, termasuk
pencatatan Surat Berharga yang ditransaksikan
secara repo dan diagunkan kepada pihak lain.
f. Menyampaikan bukti pencatatan agunan bagi pihak
penerima ...
9
penerima agunan.
g. Melakukan pembayaran kupon (bunga) atau
imbalan dan nilai pokok/nominal Surat Berharga
pada saat jatuh waktu kepada nasabah pemilik
Surat Berharga sesuai pencatatan pada sistem
internal Sub-Registry.
h. Melakukan pemotongan dan administrasi pajak atas
diskonto, capital gain dan kupon (bunga) atau
imbalan Surat Berharga atas nama nasabah sesuai
peraturan pajak yang berlaku.
2. Kewajiban Sub-Registry
a. Menjamin kebenaran penatausahaan dan laporan
kepemilikan Surat Berharga atas nama seluruh
nasabah sesuai dengan saldo keseluruhan pada
Rekening Surat Berharga (omnibus account) di
Central Registry.
b. Menyelesaikan masalah perbedaan pencatatan
kepemilikan Surat Berharga antara Sub-Registry
dengan nasabah.
c. Memenuhi
jumlah minimum pencatatan
kepemilikan Surat Berharga rata-rata bulanan
paling sedikit sebesar Rp500.000.000.000,00 (lima
ratus miliar Rupiah) dalam 12 (dua belas) bulan
terakhir.
d. Menjaga agar posisi KPMM bagi Bank Kustodian
atau modal disetor bagi lembaga Kustodian bukan
Bank tidak kurang dari posisi KPMM atau modal
disetor sesuai ketentuan yang berlaku selama 3
(tiga) bulan berturut-turut.
e. Menjaga pemenuhan persyaratan sebagai Sub-
Registry sebagaimana dimaksud pada angka II,
kecuali butir II.4 dan II.11.
f. Melaporkan ...
10
f. Melaporkan data nasabah secara lengkap dan benar
yang meliputi informasi: account identifier data
(AID), nama nasabah, alamat nasabah, status
residensial dan jenis usaha/tipe investor, dengan
tata cara pengisian sebagaimana Lampiran IV yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat
Edaran Bank Indonesia ini.
g. Menjaga keamanan SI BI-SSSS dan kerahasiaan
data termasuk user administrator lokal yang
disampaikan oleh Bank Indonesia.
h. Menyediakan Ketentuan dan Prosedur Tertulis,
minimal mencakup penatausahaan Surat Berharga
dan penggunaan SI BI-SSSS di internal Sub-Registry
antara lain mengenai pemberian akses dan
pengamanan penggunaan aplikasi SI BI-SSSS dari
pihak yang tidak berwenang.
i. Menyampaikan laporan kepada Central Registry
dengan benar dan tepat waktu melalui sarana BI-
SSSS Terminal (ST), SI BI-SSSS dan atau sarana
lain.
j. Melakukan rekonsiliasi secara harian antara data
setelmen yang dilaporkan kepada Central Registry
dengan data setelmen transaksi yang terjadi di Sub-
Registry untuk menjamin kebenaran data laporan
yang disampaikan kepada Central Registry.
k. Melakukan koreksi data pelaporan melalui SI BI-
SSSS, dalam hal terdapat kesalahan laporan :
1)
2)
laporan harian;
laporan hasil transaksi penerbitan Surat
Berharga dan transaksi
switching; dan/atau
3)
laporan bulanan posisi kepemilikan Surat
Berharga ...
buyback/debt
11
Berharga atas nama nasabah individual Sub-
Registry.
B. Pelaporan oleh Sub-Registry
Sehubungan dengan kewajiban pelaporan oleh Sub-Registry
sebagaimana tercantum pada butir A.2.i, maka diatur
mengenai jenis, periode, tata cara pelaporan dan penggunaan
sarana SI BI-SSSS sebagai berikut:
1. Jenis, periode dan tata cara pelaporan
Sub-Registry wajib menyampaikan beberapa jenis
laporan kepada Bank Indonesia - Central Registry,
dengan menggunakan sarana BI-SSSS, SI BI-SSSS, atau
surat yang dapat disampaikan terlebih dahulu melalui
sarana lainnya misalnya faksimili, dengan pengaturan
sebagai berikut :
a. Laporan harian mengenai informasi setelmen
transaksi Surat Berharga yang memuat perubahan
pencatatan kepemilikan Surat Berharga antar
nasabah individual dalam Sub-Registry yang sama
(in house transfer). Laporan ini disampaikan melalui
BI-SSSS pada hari yang sama dengan tanggal
perubahan pencatatan kepemilikan individual
dalam sistem pencatatan Sub-Registry.
b. Laporan hasil transaksi penerbitan surat berharga
negara (SBN) dan transaksi buyback/debt switching
yang lelang atau transaksinya tidak dilakukan
melalui BI-SSSS. Penerbitan SBN yang transaksinya
tidak dilakukan melalui BI-SSSS antara lain
penerbitan obligasi ritel Indonesia (ORI), penerbitan
Sukuk Ritel, penerbitan SBN dalam rangka buyback
debt/switching, penerbitan SBN dalam rangka
transaksi private placement, transaksi SBN secara
langsung ...
12
langsung dengan Pemerintah, dan transaksi
peminjaman SBN untuk Primary Dealer.
Penyampaian laporan dilakukan pada hari
pelaksanaan setelmen dan Sub-Registry dapat
mengetahui status pelaporan dimaksud melalui SI
BI-SSSS dengan contoh format dan tata cara
penyampaian laporan pada Lampiran IV yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat
Edaran Bank Indonesia ini.
c. Laporan Bulanan Posisi Kepemilikan Surat Berharga
atas nama nasabah individual Sub-Registry
disampaikan melalui SI BI-SSSS paling lambat 2
(dua) hari kerja pada bulan berikutnya sesuai
dengan window time yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia dengan tata cara dan contoh format pada
Lampiran IV yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini.
d. Laporan Tahunan berupa laporan rencana bisnis
(bussiness plan) Sub-Registry pada tahun
berikutnya, yang memuat antara lain :
1)
2)
3)
target volume penatausahaan Surat Berharga;
rencana program peningkatan pelayanan;
rencana pengembangan sistem penatausahaan
internal.
Laporan ini disampaikan paling lama 1 (satu) bulan
setelah berakhir tahun kalender.
e. Laporan perubahan Pengurus Sub-Registry
dan/atau Pengelola Sub-Registry yang disampaikan
paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah terjadi
perubahan.
f. Laporan hasil pemeriksaan auditor independen
mengenai keamanan sistem internal pencatatan
Surat ...
13
Surat Berharga secara scripless yang disampaikan
paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal laporan.
g. Laporan hasil audit (berupa fotokopi) dari otoritas
pengawas Kustodian mengenai keamanan sistem
pencatatan Surat Berharga secara scripless, dalam
hal tidak terdapat pemeriksaan oleh auditor
independen selama periode tahun yang
bersangkutan disampaikan paling lama 1 (satu)
bulan sejak tanggal laporan; dan
h. Laporan lainnya sesuai permintaan Bank Indonesia
sesuai jangka waktu yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia.
Laporan sebagaimana huruf d sampai dengan huruf h
disampaikan melalui surat yang dapat disampaikan
terlebih dahulu dengan menggunakan sarana lain
misalnya faksimili, yang ditujukan kepada:
BANK INDONESIA
Bagian Penyelenggaraan Setelmen
Direktorat Akunting dan Sistem Pembayaran
Gedung D Lantai 3
Jl. M.H. Thamrin No. 2, Jakarta 10350
2. Pengiriman Laporan melalui SI BI-SSSS
a. Penggunaan SI BI-SSSS
SI BI-SSSS digunakan oleh Sub-Registry untuk :
1) penyampaian laporan sebagaimana dimaksud
pada butir 1.b dan butir 1.c; dan
2) penyampaian data laporan harian sebagaimana
dimaksud pada butir 1.a dalam hal tidak dapat
dilakukan melalui ST Client.
b. Dalam hal Sub-Registry tidak dapat menyampaikan
Laporan melalui SI BI-SSSS sebagaimana dimaksud
pada huruf a, Sub-Registry dapat menyampaikan
Laporan ...
14
Laporan dimaksud melalui Guest Bank SI BI-SSSS
di Bank Indonesia – Central Registry dengan
pemberitahuan secara tertulis kepada Bank
Indonesia. Pemberitahuan secara tertulis tersebut
disampaikan sebelumnya melalui faksimili dan/atau
sarana lainnya dengan menjelaskan alasan yang
menyebabkan laporan tidak dapat disampaikan
melalui SI BI-SSSS.
c. Pengelolaan dan kewenangan Pengguna SI BI-SSSS
1) Pengelolaan user-ID dan password akses ke
jaringan Bank Indonesia dan akses aplikasi SI
BI-SSSS level Administrator lokal Sub-Registry
dilakukan oleh Bank Indonesia.
2) Administrator Lokal merupakan pengguna SI
BI-SSSS pada masing-masing Sub-Registry
yang berwenang untuk:
a) Membuat user setingkat Administrator
Lokal (cloning); dan
b) Melakukan kegiatan menambah (insert),
menghapus (delete), reset password untuk
user dan user group.
3) Pengelolaan user ID dan password user untuk
akses ke aplikasi SI BI-SSSS dilakukan oleh
masing-masing Sub-Registry.
4) Dalam hal Sub-Registry tidak dapat melakukan
akses ke jaringan Bank Indonesia atau
Administrator Lokal Sub-Registry tidak dapat
melakukan akses ke aplikasi SI BI-SSSS yang
diakibatkan karena kesalahan password, Sub-
Registry dapat menyampaikan permintaan reset
password kepada Bank Indonesia. Permintaan
reset password sebagaimana dimaksud pada
butir ...
15
butir 1), disampaikan Sub-Registry secara
tertulis yang ditandatangani oleh Pengelola
Sub-Registry dan dapat didahului melalui
faksimili kepada:
BANK INDONESIA
Bagian Penyelenggaraan Setelmen
Direktorat Akunting dan Sistem Pembayaran
Gedung D Lantai 3
Jl. M.H. Thamrin No. 2, Jakarta 10350,
d. Waktu pelaporan pada SI BI-SSSS
1) Waktu penyampaian laporan melalui SI BI-
SSSS dengan ketentuan sebagai berikut :
WINDOW TIME
PELAPORAN SUB-REGISTRY
JENIS LAPORAN
DARI SAMPAI
Distribusi Allotment Perdana 10.00 14.00
Transaksi
buyback/debtswitching
Transaksi Koreksi
Laporan Bulanan
Transaksi secara batch
08.00 12.00
07.00 20.00
Permintaan Sub-
Registry
2) Dalam hal Sub-Registry tidak dapat
menyampaikan laporan Distribusi Allotment
Perdana dan Laporan Transaksi
buyback/debtswitching pada window time yang
ditentukan pada angka 1), maka Sub-Registry
dapat mengajukan perpanjangan waktu melalui
surat kepada Central Registry dan menjelaskan
penyebab laporan tidak dapat disampaikan
pada waktu yang ditentukan. Surat dimaksud
dapat disampaikan terlebih dahulu melalui
sarana ...
10.00 12.00
16
sarana lainnya misalnya faksimili kepada :
BANK INDONESIA
Bagian Penyelenggaraan Setelmen
Direktorat Akunting dan Sistem Pembayaran
Gedung D Lantai 3
Jl. M.H. Thamrin No. 2, Jakarta 10350
e. Status laporan pada SI BI-SSSS
Dalam penyampaian laporan melalui SI BI-SSSS,
Sub-Registry perlu memperhatikan status hasil
upload laporan bulanan pada Aplikasi SI BI-SSSS,
serta melakukan tindak lanjut yang diperlukan
sesuai dengan waktu yang ditentukan. Status hasil
upload laporan bulanan pada SI BI-SSSS adalah
sebagai berikut :
1) Status “Diterima” yaitu pengiriman laporan
dalam batas waktu yang ditentukan dan
kebenaran isi laporan diterima dengan benar.
2) Status “Koreksi” yaitu pengiriman laporan
dalam batas waktu yang ditentukan dan
kebenaran isi laporan tidak benar.
3) Status “Diterima Terlambat” yaitu pengiriman
laporan melewati batas waktu yang ditentukan
dan kebenaran isi laporan diterima dengan
benar.
4) Status “Koreksi Terlambat” yaitu pengiriman
laporan melewati batas waktu yang ditentukan
dan kebenaran isi laporan tidak benar.
Tindak lanjut yang harus dilakukan oleh Sub-
Registry pada status angka 2) atau 4), mengacu
pada Lampiran II yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini.
V. PENGAWASAN ...
17
V. PENGAWASAN SUB-REGISTRY
1. Bank Indonesia – Central Registry berwenang melakukan
pengawasan terhadap Sub-Registry dengan ruang lingkup
pengawasan, yaitu:
a. pengawasan terhadap pelaksanaan tugas dan kewajiban
sebagaimana dimaksud dalam butir IV.A; dan
b. pengawasan terhadap pelaporan oleh Sub-Registry
sebagaimana dimaksud dalam butir IV.B.
2. Metode pengawasan sebagaimana dimaksud pada angka 1
dapat dilakukan dengan cara:
a. Pengawasan tidak langsung melalui laporan yang
disampaikan kepada Bank Indonesia. Dalam hal
diperlukan, Bank Indonesia dapat meminta
data/informasi kepada Sub-Registry.
b. Pengawasan langsung dengan melakukan pemeriksaan
terhadap Sub-Registry.
3. Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam butir 2.b
dilakukan sewaktu-waktu oleh Bank Indonesia.
4. Dalam rangka pengawasan terhadap Sub-Registry, Bank
Indonesia dapat berkoordinasi dengan otoritas pengawas
Kustodian.
5. Dalam rangka pelaksanaan pengawasan, Sub-Registry wajib
memberikan informasi yang lengkap dan benar sesuai
permintaan Bank Indonesia.
6. Dalam hal berdasarkan hasil pengawasan terdapat hasil
temuan yang wajib ditindaklanjuti oleh Sub-Registry, Bank
Indonesia menyampaikan hasil temuan dimaksud melalui
surat dan/atau melalui sarana lainnya.
7. Berdasarkan hasil pengawasan, Sub-Registry wajib
melakukan tindak lanjut terhadap hasil temuan sebagai
berikut :
a. Sub-Registry ...
18
a. Sub-Registry yang belum memenuhi kewajiban dan/atau
melakukan kesalahan dalam melaksanakan tugas
dan/atau pelaporan sebagaimana dimaksud dalam butir
IV.A dan/atau IV.B, wajib :
1) memenuhi kewajiban pelaporan dengan data yang
benar atau melakukan koreksi kesalahan dengan
data yang benar terhadap Laporan Harian
sebagaimana dimaksud dalam butir IV.B.1.a dan
laporan hasil transaksi penerbitan Surat Berharga
dan transaksi buyback/debt switching yang
transaksinya tidak dilakukan melalui BI-SSSS
sebagaimana dimaksud dalam butir IV.B.1.b, paling
lama 2 (dua) hari kerja sejak tanggal pemberitahuan
hasil temuan oleh Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam angka 6;
2) memenuhi kewajiban pelaksanaan tugas
sebagaimana dimaksud dalam butir IV.A.1, atau
memenuhi kewajiban pelaporan dengan data yang
benar sebagaimana dimaksud dalam butir IV.B.1;
3) melakukan koreksi kesalahan atas laporan harian
paling lama 2 (dua) hari kerja sejak tanggal
pemberitahuan hasil temuan oleh Bank Indonesia;
4) melakukan koreksi kesalahan atas laporan
dimaksud dalam butir IV.B.1.b, butir IV.B.1.d dan
butir IV.B.1.h paling lama 5 (lima) hari kerja sejak
tanggal pemberitahuan hasil temuan oleh Bank
Indonesia; dan/atau
5) melakukan koreksi kesalahan atas laporan dengan
data yang benar terhadap Laporan Bulanan dengan
status ”koreksi” atau ”koreksi terlambat” dengan
mekanisme sebagai berikut :
a) Apabila Sub-Registry menyampaikan laporan
dalam ...
19
dalam periode waktu yang ditetapkan
sebagaimana dimaksud pada butir IV.B.1.c,
maka koreksi kesalahan laporan dilakukan
paling lama 1(satu) hari kerja sejak batas
waktu yang ditetapkan.
b) Apabila Sub-Registry menyampaikan laporan
melewati batas waktu yang ditetapkan
sebagaimana dimaksud pada butir IV.B.1.c,
maka koreksi kesalahan laporan dilakukan
paling lama 1 (satu) hari kerja sejak laporan
tersebut disampaikan.
b. Sub-Registry yang tidak memenuhi persyaratan
pemenuhan jumlah minimum pencatatan kepemilikan
Surat Berharga rata-rata bulanan paling sedikit
Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar Rupiah) dalam
12 (dua belas) bulan terakhir sebagaimana dimaksud
dalam butir IV.A.2.c wajib membuat rencana tindakan
(action plan) dalam rangka memenuhi kewajiban
dimaksud, dengan ketentuan sebagai berikut:
1) Rencana tindakan disampaikan kepada Bank
Indonesia-Central Registry paling lama 10 (sepuluh)
hari kerja sejak tanggal surat pemberitahuan hasil
temuan oleh Bank Indonesia.
2) Rencana tindakan sebagaimana dimaksud dalam
butir 1) wajib dipenuhi sesuai dengan batas waktu
pemenuhan yang diusulkan Sub-Registry paling
lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal surat penyampaian
rencana tindakan Sub-Registry, termasuk apabila
terdapat perubahan.
VI. SANKSI TERHADAP SUB-REGISTRY
A. Teguran tertulis
Dalam hal Sub-Registry tidak melakukan kewajiban pelaporan
sebagaimana ...
20
sebagaimana dimaksud pada butir IV.B dan V.7 maka
pengenaan sanksi dilakukan dengan prosedur sebagai
berikut:
1.
2.
teguran tertulis pertama;
teguran tertulis kedua, dilakukan 7 (tujuh) hari kerja
sejak tanggal teguran tertulis pertama dalam hal Sub-
Registry tidak memenuhi kewajibannya;
3.
teguran tertulis ketiga, dilakukan 6 (enam) hari kerja
sejak tanggal teguran tertulis kedua dalam hal Sub-
Registry tidak memenuhi kewajibannya.
B. Pencabutan Persetujuan Sebagai Sub-Registry
1. Persetujuan Bank Kustodian dan lembaga Kustodian
bukan Bank sebagai Sub-Registry dapat dicabut oleh
Bank Indonesia apabila:
a.
izin usaha sebagai Kustodian dicabut oleh
Bapepam-LK;
b. posisi KPMM Bank Kustodian atau modal disetor
lembaga Kustodian bukan Bank kurang dari
persyaratan yang ditentukan sesuai ketentuan yang
berlaku selama 3 (tiga) bulan berturut-turut;
c. Sub-Registry tetap tidak dapat memenuhi
kewajibannya dalam jangka waktu 5 (lima) hari
kerja setelah teguran tertulis ketiga;
d.
terdapat keputusan atau surat permintaan dari
otoritas pengawas terkait untuk mencabut
persetujuan Bank Kustodian dan lembaga
Kustodian bukan Bank sebagai Sub-Registry;
e.
terdapat putusan pailit dari pengadilan niaga yang
telah berkekuatan hukum tetap atas lembaga
Kustodian bukan Bank;
f.
status Sub-Registry sebagai Peserta dicabut oleh
Penyelenggara;
g. terdapat ...
21
g.
terdapat permohonan tertulis dari Sub-Registry yang
bersangkutan sepanjang Sub-Registry tersebut telah
menyelesaikan seluruh kewajiban yang terkait
dengan Penatausahaan Surat Berharga kepada
nasabah, dengan menggunakan contoh surat
sebagaimana Lampiran III.
2. Bank Indonesia menyampaikan surat pemberitahuan
mengenai pencabutan sebagai Sub-Registry kepada Sub-
Registry.
3. Sub-Registry yang dicabut persetujuannya sebagai Sub-
Registry sebagaimana dimaksud dalam butir 1.a sampai
dengan butir 1.f, harus menyelesaikan pencatatan
perpindahan kepemilikan Surat Berharga individual
nasabah kepada Sub-Registry lainnya yang ditunjuk oleh
nasabah paling lama 5 (lima) hari kerja setelah tanggal
pemberitahuan pencabutan sebagai Sub-Registry.
4. Bank Indonesia mengumumkan pencabutan persetujuan
Sub-Registry melalui sarana BI-SSSS dan/atau sarana
informasi lainnya.
VII. KETENTUAN PENUTUP
Pada saat Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku :
1. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 10/29/DPM tanggal 2
September 2008 perihal Tata Cara Pengajuan, Pelaporan dan
Pengawasan Sub-Registry;
2. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/14/DPM tanggal 18
Mei 2009 perihal perubahan atas Surat Edaran Bank
Indonesia No.10/29/DPM tanggal 2 September 2008 perihal
Tata cara pengajuan, Pelaporan dan Pengawasan Sub-
Registry; dan
3. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 12/5/DASP tanggal 1
Februari 2010 perihal Perubahan Kedua atas Surat Edaran
Bank ...
22
Bank Indonesia No. 10/29/DPM tanggal 2 September 2008
perihal Tata Cara Pengajuan, Pelaporan dan Pengawasan Sub-
Registry, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada
tanggal 23 Desember 2011.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengumuman Surat Edaran Bank Indonesia ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA,
RONALD WAAS
DIREKTUR AKUNTING DAN
SISTEM PEMBAYARAN
"," SE-BI
13/32/DASP|SE-BI/2011
Perizinan, Pelaporan, dan Pengawasan Sub-Registry
23 Desember 2011
23 Desember 2011
'10/29/DPM|SE-BI/2008', '11/14/DPM|SE-BI/2009', '12/5/DASP|SE-BI/2010'
'10/2/PBI/2008', '12/12/PBI/2010'
'Romawi VI'
"
" No. 5/ 6 /DPM
Jakarta, 21 Maret 2003
SURAT EDARAN
Perihal:
Tata Cara Penatausahaan Surat Utang Negara
Sehubungan dengan ditetapkannya Peraturan Bank Indonesia Nomor
5/4/PBI/2003 tanggal 21 Maret 2003 tentang Penerbitan, Penjualan dan
Pembelian serta Penatausahaan Surat Utang Negara (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2003 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4278),
maka dipandang perlu untuk menetapkan petunjuk pelaksanaan mengenai Tata
Cara Penatausahaan Surat Utang Negara.
I. Ketentuan Umum
Bank Indonesia menatausahakan Surat Utang Negara yang selanjutnya
disebut SUN, dengan menggunakan Bank Indonesia Sistem Kliring,
Registrasi, Informasi dan Penatausahaan (BI–SKRIP) yang terdiri dari
pencatatan kepemilikan SUN, kliring dan setelmen transaksi SUN baik di
Pasar Perdana maupun di Pasar Sekunder, serta pembayaran bunga (kupon)
dan pokok SUN.
1. Pencatatan kepemilikan SUN.
a. Pencatatan kepemilikan SUN dilakukan oleh:
1) Central Registry, yaitu Bank Indonesia cq. Bagian
Penyelesaian Transaksi Pasar Uang, Direktorat Pengelolaan
Moneter yang selanjutnya disebut Bagian PTPU-DPM, yang
melakukan fungsi pencatatan kepemilikan surat
berharga
termasuk SUN untuk kepentingan Bank, Sub-Registry, dan
pihak …
pihak lain yang disetujui oleh Bank Indonesia untuk memiliki
rekening surat berharga di Central Registry;
2)
Sub-Registry, yaitu Bank dan lembaga kustodian yang
ditunjuk Bank Indonesia untuk melakukan pencatatan
kepemilikan surat berharga termasuk SUN untuk kepentingan
nasabah.
b. Rekening surat berharga di Central Registry terdiri dari:
1) rekening investasi untuk menampung pencatatan kepemilikan
SUN yang diterbitkan Pemerintah dalam rangka program
rekapitalisasi perbankan dan belum diperdagangkan oleh
pemilik rekening surat berharga;
2) rekening perdagangan untuk
menampung
kepemilikan SUN yang dapat diperdagangkan; dan
3) rekening agunan untuk menampung pencatatan kepemilikan
SUN yang diagunkan dan tidak dapat diperdagangkan selama
jangka waktu agunan belum berakhir.
c. Rekening surat berharga di Sub-Registry terdiri dari rekening
perdagangan dan rekening agunan.
2. Kliring dan Setelmen transaksi SUN
a. Setelmen transaksi SUN baik di Pasar Perdana maupun di Pasar
Sekunder dilakukan oleh Bank Indonesia dan Sub-Registry.
b. Setelmen transaksi SUN terdiri dari setelmen surat berharga
(securities settlement) dan setelmen dana (fund settlement).
c. Setelmen surat berharga dilakukan oleh Central Registry, secara
setelmen gross dengan memindahkan kepemilikan SUN pada
rekening surat berharga antar para pihak yang bertransaksi di
Central Registry melalui sistem Book Entry Registry yang
selanjutnya disebut BER.
d. Setelmen …
pencatatan
d. Setelmen dana dilakukan oleh Bank Indonesia cq. Bagian PTPU-
DPM, secara setelmen gross atau net dengan melakukan
pemindahan dana antar rekening giro Rupiah Bank di Bank
Indonesia melalui Sistem Bank Indonesia Real Time Gross
Settlement yang selanjutnya disebut Sistem BI-RTGS.
e. Sub-Registry dan pihak lain pemilik rekening surat berharga di
Central Registry yang tidak memiliki rekening giro Rupiah di Bank
Indonesia, wajib menunjuk Bank untuk melakukan setelmen dana
dalam rangka transaksi SUN dan untuk menampung penerimaan
dana dari Central Registry dalam rangka pembayaran kupon
(bunga) serta pokok SUN pada saat jatuh waktu.
f.
Bank, Sub-Registry dan pihak lain pemilik rekening surat berharga
di Central Registry yang melakukan transaksi SUN wajib memiliki
saldo SUN yang mencukupi pada rekening surat berharga di
Central Registry untuk memenuhi kewajiban setelmen surat
berharga.
g. Bank yang melakukan transaksi SUN atau Bank yang ditunjuk
untuk melakukan setelmen dana wajib memiliki saldo yang
mencukupi pada rekening giro Rupiah Bank di Bank Indonesia
untuk memenuhi kewajiban setelmen dana.
h. Setelmen transaksi SUN dapat dilakukan secara :
1) Free of Payment (FoP)
yaitu setelmen surat berharga dan setelmen dana dilakukan
secara tidak bersamaan atau tanpa setelmen dana. Setelmen
surat berharga dilakukan di Central Registry, sedangkan
setelmen dana dapat dilakukan di Bank Indonesia, Bank, tunai
antar para pihak, atau dengan cara lain.
2) Delivery …
2) Delivery Versus Payment (DVP)
yaitu setelmen surat berharga dan setelmen dana dilakukan
secara bersamaan di Bank Indonesia.
3. Pembayaran bunga (kupon) dan pokok SUN
a. Bank Indonesia melakukan pembayaran bunga (kupon) dan pokok
SUN atas beban Pemerintah pada saat jatuh waktu berdasarkan
pencatatan kepemilikan SUN di Central Registry, sesuai dengan
ketentuan dan persyaratan (terms
and
conditions)
Menteri
Keuangan Republik Indonesia dan berdasarkan surat dari Menteri
Keuangan Republik Indonesia.
b. Dalam hal Pemerintah melakukan :
1) pembelian kembali SUN dalam rangka pelunasan sebelum
jatuh waktu (redemption/buy back), dan atau
2) pembelian/penjualan SUN di pasar sekunder dalam rangka
pengelolaan utang (debt portfolio management).
maka pembayaran pokok SUN dilakukan atas beban Pemerintah
dan berdasarkan surat dari Menteri Keuangan Republik Indonesia.
II. Tata Cara Pencatatan Kepemilikan SUN
A. Tata Cara Pembukaan Rekening Surat Berharga
1. Sub-Registry wajib membuka rekening surat berharga di Central
Registry.
2. Bank dan pihak lain yang disetujui oleh Bank Indonesia untuk
memiliki rekening surat berharga di Central Registry yang akan
melakukan transaksi SUN wajib membuka
berharga di Central Registry.
rekening
surat
3. Bank …
3. Bank dan pihak lain yang akan melakukan transaksi SUN melalui
Sub-Registry wajib membuka rekening surat berharga di Sub-
Registry.
4. Permohonan pembukaan rekening surat berharga
di Central
Registry diajukan kepada Central Registry dengan alamat :
Bank Indonesia – Direktorat Pengelolaan Moneter
cq. Bagian Penyelesaian Transaksi Pasar Uang
Gedung B Lantai 11, Jl. MH. Thamrin No.2
Jakarta 10010.
Khusus bagi Bank, Sub-Registry, dan pihak lain yang disetujui
oleh Bank Indonesia untuk memiliki rekening surat berharga di
Central Registry yang berkedudukan di luar wilayah kerja Kantor
Pusat Bank Indonesia (di luar wilayah DKI Jakarta, Depok,
Serang, Pandeglang, Lebak, Tangerang, Bogor, Karawang dan
Bekasi) wajib menyampaikan tembusan permohonan tersebut
kepada Kantor Bank Indonesia setempat.
5. Surat permohonan sebagaimana dimaksud dalam angka 4 wajib
dilengkapi dengan:
a. informasi pemohon dengan menggunakan formulir BER-01
sebagaimana contoh Lampiran 1;
b. contoh stempel Perusahaan dan contoh specimen tandatangan
pejabat Perusahaan yang berwenang, sekurang-kurangnya 2
(dua) orang, untuk melakukan pemindahan kepemilikan SUN
pada rekening surat berharga, dengan menggunakan formulir
BER-02 sebagaimana contoh Lampiran 2;
c. contoh specimen tanda tangan pejabat Bank yang berwenang,
sekurang-kurangnya 2 (dua) orang, untuk melakukan
pendebetan rekening giro Rupiah Bank di Bank Indonesia
dalam rangka setelmen dana untuk transaksi pembelian SUN
baik …
baik untuk dan atas nama sendiri maupun untuk dan atas nama
pihak lain, dengan menggunakan formulir BER-03
sebagaimana contoh Lampiran 3.
6. Pembukaan rekening surat berharga di Sub-Registry mengikuti
prosedur yang berlaku di masing-masing Sub-Registry.
B. Tata Cara Pencatatan Kepemilikan SUN
1. Pencatatan kepemilikan SUN dilakukan tanpa warkat (scripless)
dan secara book entry dalam sistem BER.
2. Pencatatan kepemilikan SUN dalam sistem BER mencakup
seluruh jumlah SUN yang dimiliki oleh pihak yang memiliki
rekening surat berharga di Central Registry dan di Sub-Registry.
3. Catatan kepemilikan SUN di Central Registry dan di Sub-Registry
merupakan bukti kepemilikan yang sah.
4. Sebagai bukti pencatatan kepemilikan SUN, Central Registry dan
Sub-Registry menerbitkan Konfirmasi Pencatatan Surat Berharga
yang selanjutnya disebut KPS, yang terdiri dari :
a. KPS harian, yaitu KPS yang diterbitkan pada akhir hari dalam
hal terjadi perubahan pencatatan kepemilikan SUN. KPS
harian memuat saldo rekening surat berharga.
b. KPS bulanan, yaitu KPS yang diterbitkan setiap akhir bulan
yang memuat saldo akhir dari masing-masing seri SUN yang
dimiliki pemilik rekening surat berharga.
5. KPS harian dapat diambil oleh pemilik rekening SUN pada 1
(satu) hari kerja setelah tanggal setelmen, sedangkan KPS bulanan
dapat diambil pada 2 (dua) hari kerja setelah akhir bulan.
6. KPS harian yang diterbitkan oleh Central Registry menggunakan
formulir BER-04 sebagaimana contoh Lampiran 4 sedangkan KPS
bulanan …
bulanan menggunakan formulir BER-05 sebagaimana contoh
Lampiran 5.
7. KPS harian dan KPS bulanan yang diterbitkan oleh Sub-Registry
menggunakan format yang ditetapkan oleh masing-masing Sub-
Registry.
8. Dalam hal terdapat perbedaan pencatatan kepemilikan SUN antara
Central Registry dengan pemilik rekening surat berharga di
Central Registry maka pemilik rekening surat berharga tersebut
wajib melaporkan perbedaan dimaksud kepada Central Registry
dengan menggunakan formulir BER-06 sebagaimana contoh
Lampiran 6, paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah tanggal
penerbitan KPS harian dan atau 3 (tiga) hari kerja setelah tanggal
penerbitan KPS bulanan.
9. Dalam hal pemilik rekening surat berharga di Central Registry
telah melaporkan perbedaan pencatatan sebagaimana dimaksud
dalam angka 8, Central Registry Bank Indonesia cq. Bagian
PTPU-DPM memberikan keputusan final
terhadap perbedaan
pelaporan selambat-lambatnya 2 (dua) hari kerja setelah tanggal
penerimaan laporan.
10. Apabila setelah jangka waktu sebagaimana ditetapkan dalam
angka 8, pemilik rekening surat berharga di Central Registry tidak
melaporkan perbedaan pencatatan kepemilikan SUN, maka
pencatatan kepemilikan SUN yang dianggap
final
adalah
pencatatan di Central Registry, kecuali ada pembuktian lain dari
pemilik rekening surat berharga di Central Registry yang dapat
diterima oleh Central Registry.
C. Tata …
C. Tata Cara Pemindahan Pencatatan SUN dari Rekening Investasi
ke Rekening Perdagangan
1. Dalam hal Bank peserta program rekapitalisasi perbankan akan
melakukan perdagangan SUN yang masih tercatat di rekening
investasi, Bank tersebut wajib memindahkan pencatatan SUN dari
rekening investasi ke rekening perdagangan dan melaporkan
kepada Central Registry dengan formulir BER-07 sebagaimana
contoh Lampiran 7.
2. Pada tanggal diterimanya laporan sebagaimana dimaksud dalam
angka 1, Central Registry memindahkan pencatatan SUN dari
rekening investasi ke rekening perdagangan.
3. SUN yang telah dipindahkan pencatatannya oleh Central Registry
sebagaimana dimaksud dalam
angka 2, efektif
diperdagangkan pada 1 (satu) hari kerja berikutnya.
4. Pada akhir hari, Central Registry menerbitkan KPS harian sebagai
bukti perpindahan pencatatan SUN dari rekening investasi ke
rekening perdagangan.
D. Tata Cara Pencatatan Agunan SUN
1. Pencatatan Agunan SUN di Central Registry
a. Pemilik rekening surat berharga di Central Registry yang akan
mengagunkan SUN, menyampaikan Permohonan Penerbitan
Surat Keterangan Surat Berharga Diagunkan yang selanjutnya
disebut PP-SKSD dengan menggunakan formulir BER-08
sebagaimana contoh Lampiran 8.
b. Permohonan pencatatan agunan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1) Pengisian data lengkap dan benar;
2) Tanda tangan sesuai dengan specimen;
3) SUN …
dapat
3) SUN yang akan diagunkan tidak sedang diagunkan;
4) Jumlah SUN yang akan diagunkan tidak melebihi saldo
SUN pada rekening perdagangan;
5) Pada saat agunan jatuh waktu, sisa jangka waktu SUN
sekurang-kurangnya 2 (dua) hari kerja.
c. Dalam hal formulir sebagaimana dimaksud dalam huruf b
belum diisi secara lengkap dan atau tidak benar, maka Central
Registry mengembalikan kepada pemohon.
d. Central Registry menerima pengajuan formulir sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan perbaikannya dari pukul 08.00
WIB sampai dengan pukul 16.00 WIB.
e. Berdasarkan data formulir PP-SKSD, Central Registry
melakukan pemindahan pencatatan SUN dari
perdagangan ke rekening agunan.
rekening
f. Central Registry menerbitkan Surat Keterangan Surat
Berharga Diagunkan yang selanjutnya disebut SKSD dengan
formulir BER-09 sebagaimana contoh Lampiran 9, dan dapat
diambil oleh pemberi agunan pada hari yang sama dengan
tanggal pengagunan.
g. Pada akhir hari, Central Registry menerbitkan KPS sebagai
bukti pemindahan SUN dari rekening perdagangan ke
rekening agunan, dan dapat diambil oleh pemilik rekening
SUN pada 1 (satu) hari kerja setelah tanggal pencatatan
pemindahan.
h. Pada saat periode SKSD
berakhir, Central Registry
melakukan penglepasan agunan secara otomatis pada sistem
BER yang pelaksanaannya dilakukan pada awal hari kerja
berikutnya setelah tanggal jatuh waktu SKSD, dengan
memindahkan …
memindahkan pencatatan SUN yang diagunkan dari rekening
agunan ke rekening perdagangan.
i. Pemilik rekening surat berharga di Central Registry dapat
mengajukan permohonan penglepasan agunan SUN sebelum
jatuh waktu SKSD kepada Central Registry dari pukul 08.00
WIB sampai dengan pukul 16.00 WIB dengan persyaratan
sebagai berikut:
1) Pemberi agunan menyampaikan surat permohonan
penglepasan agunan SUN yang dilampiri dengan SKSD
asli yang telah diterbitkan; atau
2)
Penerima agunan menyampaikan surat permohonan
penglepasan agunan dan pemindahan kepemilikan SUN
yang dilampiri dengan SKSD asli, Surat Permohonan
Perpindahan Registrasi Free of Payment yang selanjutnya
disebut SPPR-FoP dari pihak pemberi agunan, dan surat
kuasa yang ditandatangani oleh kedua belah pihak untuk
memindahkan kepemilikan SUN (baik sebagian atau
seluruhnya) dari pemberi agunan kepada penerima
agunan.
2. Pencatatan Agunan SUN dalam rangka Fasilitas Bank
Indonesia
a. Pencatatan agunan SUN oleh Bank dalam rangka pengajuan
permohonan Fasilitas Likuiditas Intrahari, Fasilitas Pendanaan
Jangka Pendek atau fasilitas
Bank
Indonesia
dilakukan sesuai dengan prosedur pencatatan agunan
Central Registry sebagaimana dimaksud dalam angka 1.
lainnya,
di
b. Persyaratan SUN yang dapat diagunkan dalam rangka fasilitas
Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam huruf a, tunduk
pada …
pada ketentuan yang berlaku mengenai masing-masing
fasilitas dimaksud.
3. Pencatatan Agunan SUN di Sub-Registry
a. Pemilik rekening surat berharga di Sub-Registry yang akan
mengagunkan SUN, menyampaikan PP-SKSD kepada Sub-
Registry.
b. Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud dalam huruf
a, Sub-Registry menerbitkan SKSD.
c. Sub-Registry wajib menyampaikan laporan mengenai posisi
pencatatan agunan (dilampiri dengan fotokopi SKSD yang
telah diterbitkan) kepada Central Registry, pada hari kerja
yang sama dengan tanggal penerbitan SKSD.
d. Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud dalam huruf c,
Central Registry memindahkan SUN yang diagunkan dari
rekening perdagangan ke rekening agunan Sub Registry.
e. Pada saat periode SKSD berakhir, apabila Sub-Registry tidak
melaporkan perpanjangan SKSD, Central Registry melakukan
penglepasan agunan secara otomatis pada sistem BER yang
pelaksanaannya dilakukan pada awal hari kerja berikutnya
setelah tanggal jatuh waktu SKSD, dengan memindahkan
pencatatan SUN yang diagunkan dari rekening agunan ke
rekening perdagangan Sub-Registry.
III. Tata Cara Setelmen Transaksi SUN
A. Prinsip-prinsip Setelmen Transaksi SUN
1. Bank Indonesia melakukan setelmen transaksi SUN untuk
transaksi penjualan di Pasar Perdana, transaksi Outright dan Repo
di Pasar …
di Pasar Sekunder, pemindahan kepemilikan lainnya dalam rangka
hibah, warisan, dan pelunasan kewajiban/utang.
2. Setelmen transaksi SUN di Pasar Perdana dilakukan secara FoP
dan DVP.
3. Setelmen transaksi Outright dan Repo SUN di Pasar Sekunder
dilakukan secara DVP.
4. Setelmen transaksi SUN dalam rangka, hibah, warisan, dan
pelunasan kewajiban/utang dilakukan secara FoP.
5. Bank Indonesia melakukan setelmen hasil lelang SUN di Pasar
Perdana dengan ketentuan sebagai berikut :
a. setelmen hasil lelang Surat Perbendaharaan Negara yang
selanjutnya disebut SPN dilakukan pada hari kerja berikutnya
setelah hari pelaksanaan lelang (T+1);
b. setelmen hasil lelang Obligasi Negara yang selanjutnya
disebut ON dilakukan selambat-lambatnya 5 (lima) hari kerja
setelah pengumuman hasil pemenang lelang Obligasi Negara
(T+5).
6. Bank Indonesia cq. Bagian PTPU-DPM melakukan setelmen
transaksi SUN di Pasar Sekunder pada hari yang sama (same day
settlement) atau pada tanggal valuta yang ditetapkan untuk
transaksi titipan.
Tanggal valuta transaksi titipan maksimum 3 (tiga) hari kerja
setelah tanggal diterimanya permohonan transaksi titipan (T+3).
7. Setelmen transaksi SUN secara Repo yang ditatausahakan oleh
Central Registry adalah transaksi Repo yang dilakukan antar
pemilik rekening surat berharga di Central Registry.
8. Dalam hal pemilik rekening surat berharga di Central Registry
yang melakukan setelmen transaksi SUN secara DVP tidak
memiliki …
memiliki rekening giro Rupiah di
Bank
Indonesia,
yang
bersangkutan wajib menunjuk Bank untuk melakukan setelmen
dana.
9. Setelmen transaksi SUN di Pasar Sekunder dilakukan oleh Bank
Indonesia sebagai berikut :
a. untuk setelmen transaksi secara DVP dilakukan berdasarkan
Surat Permohonan Perpindahan Registrasi-Delivery Versus
Payment yang selanjutnya disebut SPPR-DVP yang diajukan
oleh penjual dan Surat Perintah Penyelesaian Pembayaran-
Delivery Versus Payment yang selanjutnya disebut SPPP-
DVP yang diajukan oleh pembeli.
b. untuk setelmen secara FoP dilakukan berdasarkan SPPR-FoP
yang diajukan penjual SUN.
c.
untuk transaksi Repo dilakukan berdasarkan Surat
Permohonan Perpindahan Registrasi Repo yang selanjutnya
disebut SPPR-Repo yang diajukan penjual dan Surat Perintah
Penyelesaian Pembayaran Repo yang selanjutnya
disebut
SPPP-Repo yang diajukan oleh pembeli atau Bank yang
ditunjuk untuk melakukan setelmen dana.
B. Tata Cara Setelmen Transaksi SUN di Pasar Perdana
1. Pencatatan Penerbitan SUN
Bank Indonesia melakukan pencatatan penerbitan SUN dalam
sistem BER di Central Registry, sesuai ketentuan dan persyaratan
(terms
and conditions) yang ditetapkan Menteri
Republik Indonesia.
Keuangan
2. Setelmen …
2. Setelmen Hasil Lelang SUN secara DVP
a. Berdasarkan keputusan hasil Lelang SUN oleh
Menteri
Keuangan Republik Indonesia, Bank Indonesia cq. Bagian
PTPU-DPM melakukan setelmen Lelang SUN kepada
pemenang lelang dengan cara sebagai berikut :
1) Setelmen dana
Setelmen dana dilakukan dengan mendebet rekening giro
Rupiah di Bank Indonesia milik pemenang lelang atau
Bank yang ditunjuk oleh pemenang lelang untuk setelmen
dana, dan mengkredit rekening giro Rupiah Pemerintah di
Bank Indonesia sebesar harga setelmen SUN. Pendebetan
dan pengkreditan dilakukan melalui Sistem BI-RTGS
secara netting untuk masing-masing Bank pembayar.
2) Setelmen surat berharga
Setelmen surat berharga dilakukan dengan mengkredit
rekening surat berharga pada rekening
pemenang lelang di Central Registry sebesar nilai
nominal SUN yang dimenangkan. Setelmen
perdagangan
surat
berharga dilakukan setelah setelmen dana sebagaimana
dimaksud dalam angka 1) berhasil dilakukan.
Selanjutnya pada tanggal setelmen yang sama, setelmen
surat berharga bagi nasabah Sub-Registry dilakukan oleh
Sub-Registry dengan mengkredit rekening surat berharga
pada rekening perdagangan nasabah sebesar nilai nominal
SUN yang dimenangkan oleh masing-masing nasabah.
b. Dalam hal saldo rekening giro Rupiah Bank di Bank
Indonesia tidak mencukupi untuk setelmen dana sampai
dengan …
dengan pukul 17.00 WIB atau saat cut-off warning Sistem BI-
RTGS, sistem
secara otomatis membatalkan
transaksi SUN dimaksud.
c. Akibat batalnya transaksi hasil Lelang SUN sebagaimana
dimaksud dalam huruf b, jumlah
berkurang sebesar nilai nominal SUN yang batal.
3. Setelmen Hasil Penjualan dan Penempatan SUN secara FoP
a. Berdasarkan surat Menteri Keuangan Republik Indonesia
mengenai setelmen hasil penjualan SUN atau penempatan
lainnya dalam rangka program Pemerintah, Bank Indonesia
cq. Central Registry melakukan setelmen SUN secara FoP
kepada pembeli atau penerima SUN dengan mengkredit
rekening surat berharga pembeli atau penerima di Central
Registry sebesar nilai nominal SUN.
b. Dalam hal penjualan SUN sebagaimana dimaksud dalam
huruf a tidak dalam rangka program rekapitalisasi perbankan
maka pengkreditan rekening surat berharga dilakukan pada
rekening perdagangan.
C.
Tata Cara Setelmen Transaksi SUN di Pasar Sekunder
1. Setelmen Transaksi Outright secara DVP
a. Pemilik rekening surat berharga di Central Registry yang
menjual SUN, menyerahkan SPPR-DVP kepada Central
Registry dari pukul 08.00 WIB sampai dengan pukul 16.00
WIB dengan menggunakan formulir BER-10 sebagaimana
contoh Lampiran 10.
penerbitan SUN akan
setelmen
b. Pemilik …
b. Pemilik rekening surat berharga di Central Registry yang
membeli SUN menyerahkan SPPP-DVP kepada Bagian
PTPU-DPM, dari pukul 08.00 WIB sampai dengan pukul
16.00 WIB dengan menggunakan
sebagaimana contoh Lampiran 11.
formulir
BER-11
c. SPPP-DVP sebagaimana dimaksud dalam huruf b
yang
disampaikan oleh Sub-Registry dan pihak lain yang tidak
memiliki rekening giro Rupiah di Bank Indonesia, wajib
ditandatangani oleh Bank yang ditunjuk untuk melakukan
setelmen dana dengan cara membubuhkan tandatangan
pejabat Bank yang berwenang untuk melakukan pendebetan
rekening giro Rupiah Bank di Bank Indonesia dan stempel
Bank pada formulir SPPP-DVP.
d. Permohonan setelmen transaksi SUN sebagaimana dimaksud
pada huruf a dan huruf b wajib memenuhi persyaratan sebagai
berikut:
1) pengisian data lengkap dan benar;
2) tanda tangan sesuai dengan specimen;
3) SUN yang ditransaksikan tidak sedang diagunkan;
4) sisa jangka waktu SUN sekurang-kurangnya 2 (dua) hari
kerja pada saat setelmen dilakukan.
e. Dalam hal formulir sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan
huruf b belum diisi secara lengkap dan atau tidak benar, maka
formulir dimaksud dikembalikan kepada pihak yang
mengajukan, untuk disampaikan kembali setelah diperbaiki
selambat-lambatnya pukul 16.00 WIB.
f. Berdasarkan data formulir SPPR-DVP dan SPPP-DVP yang
telah diinput ke dalam sistem BER, secara otomatis sistem
akan melakukan pencocokan data.
g. Dalam …
g. Dalam hal data SPPR-DVP dengan SPPP-DVP tidak cocok,
setelmen transaksi SUN dimaksud tidak dapat diteruskan ke
Sistem BI-RTGS untuk setelmen dana.
h. Dalam hal data SPPR-DVP dengan SPPP-DVP telah cocok,
Bagian PTPU-DPM melakukan setelmen dana melalui Sistem
BI-RTGS dengan mendebet rekening giro Rupiah di Bank
Indonesia milik pembeli atau Bank yang ditunjuk oleh
pembeli, dan mengkredit rekening giro Rupiah Bank di Bank
Indonesia milik penjual atau Bank yang ditunjuk oleh penjual
sebesar nilai transaksi SUN.
i. Dalam hal setelmen dana di Sistem BI-RTGS sebagaimana
huruf h berhasil dilakukan, sistem BER secara otomatis
melakukan setelmen surat berharga dengan mendebet
rekening surat berharga milik penjual dan mengkredit
rekening surat berharga milik pembeli di Central Registry
sebesar nilai nominal SUN yang ditransaksikan.
j. Dalam hal saldo rekening surat berharga milik penjual SUN di
Central Registry tidak mencukupi untuk setelmen surat
berharga dan atau saldo rekening giro Rupiah di Bank
Indonesia milik pembeli atau Bank yang ditunjuk oleh
pembeli tidak mencukupi untuk setelmen dana sampai dengan
pukul 17.00 WIB atau saat cut-off warning Sistem BI-RTGS,
maka sistem secara otomatis membatalkan setelmen transaksi
SUN dimaksud.
k. Dalam hal setelmen transaksi SUN batal sebagaimana
dimaksud dalam
huruf j, penjual dan pembeli dapat
mengambil formulir setelmen yang telah dicap “BATAL”
pada 1 (satu) hari kerja setelah hari pembatalan setelmen
transaksi SUN.
l. Pada …
l. Pada akhir hari, Central Registry menerbitkan KPS sebagai
bukti perpindahan pencatatan kepemilikan SUN bagi penjual
dan pembeli SUN.
2. Setelmen Transaksi Repo secara DVP
a. Pemilik rekening surat berharga di Central Registry yang
menjual SUN secara Repo, menyerahkan SPPR-Repo kepada
Central Registry dari pukul 08.00 WIB sampai dengan pukul
16.00 WIB dengan menggunakan formulir BER-12
sebagaimana contoh Lampiran 12.
b. Pemilik rekening surat berharga di Central Registry yang
membeli SUN secara Repo, menyerahkan SPPP-Repo dengan
menggunakan formulir BER-13 sebagaimana contoh
Lampiran 13 kepada Bagian PTPU-DPM, dari pukul 08.00
WIB sampai dengan pukul 16.00 WIB.
c. SPPP-Repo sebagaimana dimaksud dalam huruf b yang
disampaikan oleh Sub-Registry dan pihak lain yang tidak
memiliki rekening giro Rupiah di Bank Indonesia, wajib
ditandatangani oleh Bank yang ditunjuk untuk melakukan
setelmen dana dengan cara membubuhkan tandatangan
pejabat Bank yang berwenang untuk melakukan pendebetan
rekening giro Rupiah Bank di Bank Indonesia dan stempel
Bank pada formulir SPPP-Repo.
d.
Permohonan setelmen transaksi SUN secara Repo
sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b wajib memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
1) pengisian data lengkap dan benar;
2) tanda tangan sesuai dengan specimen;
3) SUN yang direpokan tidak sedang diagunkan;
4) pada …
4) pada saat Repo jatuh waktu, SUN yang direpokan masih
mempunyai sisa jangka waktu sekurang-kurangnya 2
(dua) hari kerja.
e. Dalam hal formulir sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan
huruf b belum diisi secara lengkap dan atau tidak benar, maka
formulir dimaksud dikembalikan kepada pihak
yang
mengajukan, untuk disampaikan kembali setelah diperbaiki
selambat-lambatnya pukul 16.00 WIB.
f. Berdasarkan data formulir SPPR-Repo dan SPPP-Repo yang
telah diinput ke dalam sistem BER, secara otomatis sistem
akan melakukan pencocokan data.
g. Dalam hal data SPPR-Repo dengan SPPP-Repo tidak cocok,
setelmen transaksi SUN dimaksud tidak dapat diteruskan ke
Sistem RTGS untuk setelmen dana.
h. Dalam hal data SPPR-Repo dengan SPPP-Repo telah cocok,
Bagian PTPU-DPM melakukan setelmen dana melalui Sistem
BI-RTGS dengan mendebet rekening giro Rupiah di Bank
Indonesia milik pembeli Repo atau Bank yang ditunjuk oleh
pembeli Repo, dan mengkredit rekening giro Rupiah di Bank
Indonesia milik penjual Repo atau Bank yang ditunjuk oleh
penjual Repo sebesar nilai transaksi Repo.
i. Dalam hal setelmen dana di Sistem BI-RTGS sebagaimana
dimaksud dalam huruf h berhasil dilakukan, sistem BER
secara otomatis melakukan setelmen surat berharga dengan
mendebet rekening surat berharga milik penjual Repo dan
mengkredit rekening surat berharga milik pembeli Repo di
Central Registry sebesar nilai nominal
SUN
ditransaksikan.
j. Dalam …
yang
j. Dalam hal saldo rekening surat berharga milik penjual SUN di
Central Registry tidak mencukupi untuk setelmen surat
berharga dan atau saldo rekening giro Rupiah di Bank
Indonesia milik pembeli SUN atau Bank yang ditunjuk oleh
pembeli SUN tidak mencukupi untuk setelmen dana sampai
dengan pukul 17.00 WIB atau saat cut-off warning Sistem BI-
RTGS, maka sistem secara otomatis membatalkan setelmen
transaksi SUN dimaksud.
k. Dalam
hal setelmen transaksi SUN batal
sebagaimana
dimaksud dalam huruf j, penjual dan pembeli Repo dapat
mengambil formulir setelmen yang telah dicap “BATAL”
pada 1 (satu) hari kerja setelah hari pembatalan setelmen
transaksi SUN.
l. Pada akhir hari, Central Registry menerbitkan KPS sebagai
bukti perpindahan pencatatan kepemilikan SUN bagi penjual
dan pembeli Repo
m. Pada saat Repo jatuh waktu, berlaku ketentuan
sebagai
berikut:
1) Setelmen transaksi repo saat jatuh waktu dilakukan secara
otomatis pada awal hari setelah sistem BER dibuka.
2) Dalam hal saldo SUN pada rekening surat berharga
pembeli SUN tidak mencukupi, setelmen transaksi Repo
jatuh waktu tidak dapat diteruskan ke Sistem BI-RTGS
untuk setelmen dana.
3) Dalam hal saldo SUN pada rekening surat berharga
pembeli Repo mencukupi, setelmen dana melalui Sistem
BI-RTGS dilakukan dengan mendebet rekening giro
Rupiah penjual Repo atau Bank yang ditunjuk oleh
penjual Repo dan mengkredit rekening giro Rupiah
pembeli …
pembeli Repo atau Bank yang ditunjuk oleh pembeli
Repo, sebesar nilai transaksi Repo jatuh waktu.
4)
Dalam
hal setelmen dana di
sebagaimana dimaksud dalam
Sistem
BI-RTGS
angka 3) berhasil
dilakukan, sistem BER secara otomatis melakukan
setelmen surat berharga dengan mendebet rekening surat
berharga milik pembeli Repo dan mengkredit rekening
surat berharga milik penjual Repo di Central Registry
sebesar nilai nominal Repo jatuh waktu.
5) Dalam hal saldo rekening surat berharga milik pembeli
Repo di Central Registry tidak mencukupi untuk setelmen
surat berharga dan atau saldo rekening giro Rupiah Bank
penjual Repo atau Bank yang ditunjuk penjual Repo tidak
mencukupi untuk setelmen dana sampai dengan pukul
17.00 WIB atau saat cut-off warning Sistem BI-RTGS,
maka sistem secara otomatis membatalkan setelmen
transaksi Repo jatuh waktu.
6) Dalam hal setelmen transaksi Repo jatuh waktu batal
sebagaimana dimaksud dalam angka 5), maka setelmen
transaksi Repo dimaksud dianggap sebagai setelmen
transaksi Outright.
7) Pada akhir hari, Central Registry menerbitkan KPS
sebagai bukti perpindahan pencatatan kepemilikan SUN
bagi pembeli dan penjual Repo.
8) Dalam hal setelmen Repo jatuh waktu akan dilakukan
sebelum tanggal jatuh waktu, maka berlaku ketentuan
sebagai berikut:
a) terdapat kesepakatan antara penjual dan pembeli
Repo;
b) Penjual …
b) Penjual dan pembeli Repo menyampaikan
surat
permohonan perubahan setelmen Repo jatuh waktu
dengan menggunakan formulir BER-14 sebagaimana
contoh Lampiran 14 dan formulir BER-15
sebagaimana contoh Lampiran 15, dari pukul 08.00
WIB sampai dengan pukul 16.00 WIB.
3. Setelmen Pemindahan Kepemilikan Lainnya secara FoP
a. Pemilik rekening surat berharga di Central Registry yang akan
memindahkan kepemilikan SUN menyerahkan SPPR-FoP
dengan menggunakan formulir BER-16 sebagaimana contoh
Lampiran 16 kepada Central Registry dari pukul 08.00 WIB
sampai dengan pukul 16.00 WIB.
b. Permohonan setelmen transaksi SUN sebagaimana dimaksud
dalam huruf a wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1) pengisian data lengkap dan benar;
2) tanda tangan sesuai dengan specimen;
3) SUN yang ditransaksikan tidak sedang diagunkan;
4) sisa jangka waktu SUN sekurang-kurangnya 2 (dua) hari
kerja pada saat setelmen dilakukan.
c. Dalam hal formulir sebagaimana dimaksud dalam huruf b
belum diisi secara lengkap dan atau tidak
benar, maka
formulir dimaksud dikembalikan kepada pihak yang
mengajukan, untuk disampaikan kembali setelah diperbaiki
selambat-lambatnya pukul 16.00 WIB.
d. Berdasarkan data formulir SPPR-FoP yang telah diinput ke
dalam sistem BER, setelmen surat berharga dilakukan secara
otomatis oleh sistem BER dengan mendebet rekening surat
berharga pemberi SUN dan mengkredit rekening surat
berharga …
berharga penerima SUN sebesar nilai nominal SUN yang
dipindahkan.
e. Dalam hal saldo rekening surat berharga milik pemberi SUN
di Central Registry tidak mencukupi sampai dengan pukul
17.00 WIB atau saat cut-off warning Sistem BI-RTGS, maka
sistem secara otomatis membatalkan setelmen transaksi SUN
dimaksud.
f. Dalam hal setelmen transaksi SUN batal sebagaimana
dimaksud alam huruf f, pemberi SUN dapat mengambil
formulir setelmen yang telah dicap “BATAL” pada 1 (satu)
hari kerja setelah hari pembatalan setelmen transaksi SUN.
g. Pada akhir hari, Central Registry menerbitkan KPS sebagai
bukti perpindahan pencatatan kepemilikan SUN bagi pemberi
dan penerima SUN.
IV. Tata Cara Pembayaran Bunga (Kupon) Dan Pelunasan Pokok Sun
A. Tata Cara Pembayaran Bunga (Kupon) Sebelum Jatuh Waktu
1. Berdasarkan surat Menteri Keuangan Republik Indonesia, Bank
Indonesia melakukan pembayaran accrued interest atas bunga
(kupon) Obligasi Negara yang dilunasi Pemerintah sebelum jatuh
waktu, dengan mengkredit :
a. rekening giro Rupiah Bank sebagai pemilik Obligasi Negara
pada Bank Indonesia; dan atau
b.
rekening giro Rupiah Bank di Bank Indonesia, bagi Bank
yang ditunjuk oleh Sub-Registry dan pihak lain pemilik
Obligasi Negara yang tidak memiliki rekening giro Rupiah di
Bank Indonesia.
2. Sub-Registry …
2. Sub-Registry pada hari yang sama wajib melakukan pembayaran
accrued interest dengan mengkredit rekening dana nasabah
sebesar nilai accrued interest yang menjadi hak nasabah.
B. Tata Cara Pembayaran Bunga (Kupon) Saat Jatuh Waktu
1. Pembayaran bunga (kupon) Obligasi Negara didasarkan pada
posisi pencatatan kepemilikan Obligasi Negara di Central
Registry pada 2 (dua) hari kerja sebelum tanggal jatuh waktu
pembayaran kupon Obligasi Negara (T-2).
2. Central Registry dan Sub-Registry menerbitkan surat konfirmasi
jatuh waktu bunga (kupon) Obligasi Negara bagi pemilik Obligasi
Negara yang tercatat pada masing-masing Registry pada akhir hari
(T-2) dengan menggunakan formulir BER-17 sebagaimana contoh
Lampiran 17.
3. Surat konfirmasi sebagaimana dimaksud dalam angka 2 dapat
diambil di Central Registry pada 1 (satu) hari kerja sebelum jatuh
waktu pembayaran bunga (kupon) Obligasi Negara (T-1).
4. Dalam hal terdapat perbedaan perhitungan bunga (kupon)
Obligasi Negara antara Central Registry dengan pemilik rekening
surat berharga di Central Registry, maka perbedaan tersebut wajib
dilaporkan kepada Central Registry dengan menggunakan
formulir BER-06 sebagaimana contoh Lampiran 6, selambat-
lambatnya pada pukul 12.00 WIB pada 1 (satu) hari kerja sebelum
tanggal jatuh waktu pembayaran bunga (kupon) (T-1).
5. Apabila setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam angka
4, pemilik rekening surat berharga di Central Registry tidak
melaporkan perbedaan perhitungan bunga
perhitungan bunga (kupon) yang
dianggap
(kupon), maka
final
adalah
perhitungan bunga (kupon) pada Central Registry, kecuali ada
pembuktian …
pembuktian lain dari pihak-pihak selain pemilik rekening surat
berharga di Central Registry yang dapat diterima oleh Central
Registry.
6. Bank Indonesia cq. Bagian PTPU-DPM selaku agen pembayar
melakukan pembayaran bunga (kupon) pada tanggal jatuh waktu
(T-0), dengan mengkredit :
a. rekening giro Rupiah di Bank Indonesia pemilik Obligasi
Negara; dan atau
b. rekening giro Rupiah Bank di Bank Indonesia, bagi Bank
yang ditunjuk oleh Sub-Registry dan pihak lain pemilik
Obligasi Negara yang tidak memiliki rekening giro Rupiah di
Bank Indonesia.
7. Sub-Registry pada hari yang sama (T-0) wajib melakukan
pembayaran bunga (kupon) dengan mengkredit rekening nasabah
sebesar nilai bunga (kupon) yang menjadi hak nasabah.
C. Tata Cara Pelunasan Pokok SUN Sebelum Jatuh Waktu
1. Bank Indonesia atas permintaan Pemerintah sebagai penerbit SUN
dapat melakukan pelunasan SUN
sebelum
jatuh
waktu
sebagaimana diatur dalam ketentuan dan persyaratan (terms and
conditions) yang ditetapkan Menteri Keuangan
Indonesia atas beban Pemerintah.
2. Tata cara pelunasan SUN sebelum jatuh waktu :
a. Berdasarkan surat Menteri Keuangan Republik Indonesia,
pelunasan SUN dilakukan oleh Bank Indonesia berdasarkan
tanggal dan harga pasar yang telah ditetapkan
Keuangan Republik Indonesia.
Republik
Menteri
b. Setelmen pembelian kembali SUN dilakukan secara DVP atau
FoP.
c. Pemilik …
c. Pemilik rekening surat berharga di Central Registry yang akan
menjual SUN sebelum jatuh waktu, menyerahkan SPPR-DVP
dengan menggunakan formulir BER-10 sebagaimana contoh
Lampiran 10 atau SPPR-FoP kepada Central Registry dengan
atau formulir BER-16 sebagaimana contoh Lampiran 16.
d. Central Registry melakukan pelunasan SUN sebelum jatuh
waktu dengan mendebet rekening surat berharga penjual
sebesar nilai nominal SUN yang dibeli kembali oleh
Pemerintah.
e.
Bank Indonesia cq. Bagian PTPU-DPM selaku agen
pembayar melakukan pembayaran pokok SUN pada tanggal
pelunasan yang telah ditetapkan oleh Menteri Keuangan
Republik Indonesia, dengan mendebet rekening giro
Pemerintah di Bank Indonesia dan mengkredit :
1) rekening giro Rupiah di Bank Indonesia pemilik SUN;
dan atau
2) rekening giro Rupiah Bank di Bank Indonesia, bagi Bank
yang ditunjuk oleh Sub-Registry dan pihak lain pemilik
SUN yang tidak memiliki rekening giro Rupiah di Bank
Indonesia.
sebesar nilai pokok SUN yang ditetapkan
f. Sub-Registry pada hari yang sama (T-0) wajib melakukan
pembayaran pokok SUN dengan mengkredit rekening dana
nasabah sebesar nilai pokok SUN yang menjadi hak nasabah.
3. Bank Indonesia akan mengumumkan SUN yang telah
dibeli
kembali oleh Pemerintah pada hari kerja pertama minggu
berikutnya melalui Pusat Informasi Pasar Uang (PIPU).
D. Tata …
D. Tata Cara Pelunasan Pokok SUN Pada Saat Jatuh Waktu
1. Pada saat jatuh waktu, SUN dilunasi sebesar seratus persen dari
nilai nominal SUN.
2. Pembayaran pelunasan pokok SUN didasarkan pada posisi
pencatatan kepemilikan SUN di Central Registry pada 2 (dua) hari
kerja sebelum tanggal jatuh waktu pembayaran pokok (T-2).
3. Central Registry menerbitkan surat konfirmasi jatuh waktu pokok
SUN untuk pemilik rekening surat berharga di Central Registry
pada akhir hari (T-2) dengan menggunakan formulir BER-17
sebagaimana contoh Lampiran 17.
4. Surat konfirmasi tersebut dapat diambil di Central Registry pada 1
(satu) hari kerja sebelum tanggal jatuh waktu pembayaran pokok
SUN (T-1).
5. Dalam hal terdapat perbedaan perhitungan pokok SUN antara
Central Registry dengan pemilik rekening surat berharga di
Central Registry, maka perbedaan tersebut wajib dilaporkan
kepada Central Registry dengan menggunakan formulir BER-06
sebagaimana contoh Lampiran 6, selambat-lambatnya pada pukul
12.00 WIB, 1 (satu) hari kerja sebelum tanggal jatuh waktu
pembayaran pokok (T-1).
6. Apabila setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam angka
5, pemilik rekening surat berharga di Central Registry tidak
melaporkan perbedaan perhitungan pokok jatuh waktu, maka
perhitungan pokok yang dianggap final adalah yang tercatat pada
Central Registry, kecuali ada pembuktian lain dari pihak-pihak
selain pemilik rekening surat berharga di Central Registry yang
dapat diterima oleh Central Registry.
7. Bank …
7. Bank Indonesia selaku agen pembayar melakukan pembayaran
pokok SUN pada tanggal jatuh waktu (T-0), dengan mendebet
rekening giro Pemerintah di Bank Indonesia dan mengkredit:
a. Rekening giro Rupiah Bank sebagai pemilik SUN pada Bank
Indonesia; dan
b. Rekening giro Rupiah Bank di Bank Indonesia, bagi Bank
yang ditunjuk oleh Sub-Registry dan pihak lain pemilik SUN
yang tidak memiliki rekening giro Rupiah di Bank Indonesia.
sebesar nilai pokok SUN
8. Sub-Registry pada hari yang sama (T-0) wajib melakukan
pembayaran pokok SUN dengan mengkredit rekening nasabah
sebesar nilai pokok SUN yang menjadi hak nasabah.
VI. Kondisi Diluar Tanggung Jawab Bank Indonesia
Bank Indonesia sebagai Central Registry tidak bertanggung jawab atas
tidak terlaksananya transaksi dan atau kerugian yang mungkin timbul yang
disebabkan antara lain namun tidak terbatas pada:
1. Keterlambatan informasi atau ketidakakuratan data yang diterima oleh
Bank Indonesia mengenai pejabat yang berwenang untuk melakukan
perintah setelmen transaksi SUN.
2. Ketidakmampuan atau keterlambatan pengisian dana oleh Pemerintah
pada rekening giro Pemerintah di Bank Indonesia yang mengakibatkan
tidak terbayar atau keterlambatan atas pembayaran bunga (kupon) atau
pokok SUN pada saat jatuh waktu.
3. Keadaan bencana alam, kebakaran, banjir, tidak berfungsinya sistem
kelistrikan secara nasional/regional, taufan, pemogokan, embargo,
perang, invasi, huru-hara, revolusi, terorisme, dan berbagai gangguan
alam …
alam serta kemasyarakatan lainnya yang dapat mengganggu jalannya
transaksi SUN, penyelesaian administrasi dan sistem pembayaran.
Dengan diberlakukannya Surat Edaran ini maka
Surat
Edaran Bank
Indonesia No. 3/24/DPM tanggal 16 November 2001 perihal Tata Cara
Penatausahaan Obligasi Pemerintah dinyatakan tidak berlaku.
Ketentuan dalam Surat Edaran ini berlaku sejak tanggal 21 Maret 2003.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman
Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA
Ttd
TARMIDEN SITORUS
DIREKTUR PENGELOLAAN MONETER
Surat
Lampiran Surat Edaran Bank Indonesia No.5/ 6 /DPM tanggal 21 Maret 2003
Lampiran 1
BI-SKRIP
Informasi Pemohon Rekening Surat Berharga
Nomor:
X Rekening Baru
Perubahan Rekening (Diisi bila ada perubahan data peserta)
Nama Pemegang Rekening Surat Berharga
(Nama peserta pemegang rekening)
No. Rekening Surat Berharga
(Diisi bila ada perubahan data)
Contact Person / No. Telepon/No. fax :
Orang ygdapat dihubungi
JENIS PESERTA
x Bank
TIPE REKENING
Investasi (diisi oleh peserta bank rekap)
Sub Registry (Apabila ditunjuk/disetujui oleh BI) x Perdagangan
Lainnya
Alamat Baru
x Agunan / Collateral
ALAMAT SURAT MENYURAT (harap melengkapi kedua kotak untuk perubahan alamat)
Alamat Lama (atau alamat semula jika merupakan rkg baru)
(Diisi alamat sekarang)
(Diisi apabila ada perubahan alamat)
INSTRUKSI BANK PEMBAYAR / PENERIMA
Nama Bank / Peserta
Nama Bank yang ditunjuk Sub-Reg / peserta non bank
Kode/No. Rek. Giro Bank di BI-RTGS
Nama Rekening di bank yang ditunjuk
Nomor Rekening di bank yang ditunjuk
PEJABAT BERWENANG (untuk konfirmasi transaksi lebih lanjut)
Nama
Jabatan
Nomor telepon
TANDA TANGAN
Tanda tangan Pejabat Berwenang
Meterai + Stempel Perusahaan
Nama Bank yg ditunjuk untuk menerima pembayaran bunga OP dan
menerima/membayar transaksi OP
Tanggal:
BER-01
Lampiran Surat Edaran Bank Indonesia No.5/ 6 /DPM tanggal 21 Maret 2003
Lampiran 2
BI-SKRIP
Contoh Tandatangan dan Stempel Perusahaan
Untuk Setelmen Surat Berharga
Nomor :
Contoh tanda tangan pejabat yang berwenang
Tambahan contoh tanda tangan pejabat yang berwenang
Nama Pemilik Rekening Surat Berharga
Nomor Rekening Surat Berharga
Daftar pejabat yang berwenang melakukan perintah atas pemindahan kepemilikan Rekening
Surat Berharga pada:
N a m a
Jabatan Resmi
Contoh Tanda
Tangan
Penandatanganan dilakukan oleh : “……..orang” (diisi sesuai dengan kebijakan
perusahaan) dari pejabat yang berwenang di atas, yang bertindak atas nama perusahaan
sesuai dengan stempel perusahaan sebagaimana dicontohkan di bawah.
Contoh Stempel Perusahaan
Tanda Tangan Pejabat yang Berwenang :
BER-02
Lampiran Surat Edaran Bank Indonesia No.5/ 6 /DPM tanggal 21 Maret 2003
Lampiran 3
BI-SKRIP
Contoh Tandatangan dan Stempel Perusahaan
Untuk Setelmen Dana di Rekening Giro BI-RTGS
Nomor :
Contoh tanda tangan pejabat yang berwenang
Tambahan contoh tanda tangan pejabat yang berwenang
Nama Bank Pemegang Rekening Giro di Bank Indonesia (peserta BI-RTGS)
Kode/Nomor Rekening Giro di BI-RTGS
Daftar pejabat yang berwenang melakukan perintah atas pendebetan Rekening Giro BI-RTGS
di Bank Indonesia di atas sehubungan dengan transaksi pembelian Surat Berharga :
N a m a
Jabatan Resmi
Contoh Tanda
Tangan
Penandatanganan dilakukan oleh : “……..orang” (isi sesuai kebijakan perusahaan) dari
pejabat yang berwenang di atas, yang bertindak atas nama perusahaan sesuai dengan
stempel perusahaan sebagaimana dicontohkan di bawah
Contoh Stempel Perusahaan
Tanda Tangan Pejabat yang Berwenang :
BER-03
Lampiran Surat Edaran Bank Indonesia No.5/ 6 /DPM tanggal 21 Maret 2003
Lampiran 4
Bank Indonesia
Central Registry
KONFIRMASI PENCATATAN SURAT BERHARGA (Harian)
Kepada : (Nama dan alamat pemegang rekening)
Nomor Rekening Surat Berharga :
Mohon mengkutip
nomor
rekening ini pada seluruh
transaksi, surat-menyurat dan apabila membutuhkan
konfirmasi
[Nama Pemegang Rekening Surat Berharga]
[Tipe Rekening]
Saldo surat berharga di bawah ini dicatat atas nama pemegang rekening tersebut di atas pada [tanggal]
Rincian Surat Berharga
Rujukan
No Deskripsi
Transaksi
Seri ……
Seri …….
Tingkat
Kupon
Jatuh
Waktu
Saldo
Transaksi Awal
Mutasi
Saldo
Debit Kredit Akhir
Total
Jakarta,………
Central Registry
Bagian Penyelesaian Transaksi Pasar Uang
Bank Indonesia
BER-04
Lampiran Surat Edaran Bank Indonesia No.5/ 6 /DPM tanggal 21 Maret 2003
Lampiran 5
Bank Indonesia
Central Registry
KONFIRMASI PENCATATAN SURAT BERHARGA (Bulanan)
Kepada: [Nama dan alamat pemegang rekening ]
Nomor Rekening Surat Berharga:
Mohon mengkutip nomor rekening
ini
pada semua
transaksi, surat menyurat dan jika membutuhkan
konfirmasi
[Nama Pemegang Rekening Surat Berharga]
[Tipe Rekening]
Saldo surat berharga di bawah ini dicatat atas nama pemegang rekening tersebut di atas pada [tanggal]
Rincian Surat Berharga
Saldo
No. Seri Tingkat Kupon Jatuh Waktu
Rp xx.xxx.xxx.xx
Rp xx.xxx.xxx.xx
Rp xx.xxx.xxx.xx
T O T A L
Rp xx.xxx.xxx.xx
Jakarta,………
Central Registry
Bagian Penyelesaian Transaksi Pasar Uang
Bank Indonesia
BER-05
Lampiran Surat Edaran Bank Indonesia No.5/ 6 /DPM tanggal 21 Maret 2003
Lampiran 6
Nama Sub Registry
HASIL REKONSILIASI POSISI
ANTARA CENTRAL REGISTRY DENGAN NASABAH
Kepada: Central Registry
[Nama]
[Nomor Rekening Surat Berharga]
[Tipe Rekening]
Rekonsiliasi Saldo Rekening
Rekonsiliasi Pembayaran Kupon / Pokok Jatuh Waktu
Berdasarkan atas
KPS Bulanan (BER-05) tanggal : ________ dengan saldo Rp___________
Konfirmasi kupon / pokok (BER-18) tanggal : ________ dengan saldo Rp___________
dibandingkan dengan laporan pencatatan kami pada tanggal yang sama menunjukkan saldo
sebesar Rp_____________, sehingga terdapat perbedaan sebesar Rp ________________,
pada rincian rekening berikut (jika ada):
Tanggal Referensi
Keterangan/Transaksi
Jumlah
Total Rp
Jakarta,………
[TTD Pejabat Berwenang]
BER-06
Lampiran Surat Edaran Bank Indonesia No.5/ 6 /DPM tanggal 21 Maret 2003
BI-SKRIP
Pemberitahuan Pemindahan Surat Berharga
dari Portofolio Investasi ke Portofolio Perdagangan
Nomor _________
Kepada :
Saya/Kami:
PEMILIK
Nama Pemegang Rekening Surat Berharga
(pemilik rekening di central registry)
Alamat :
Contact Person :
Nomor Rekening Surat Berharga Investasi
Nomor Rekening Surat Berharga Perdagangan
No. Telp/Fax :
Dengan ini memberitahukan kepada Central Registry untuk memindahkan surat
berharga kami dari rekening Investasi ke rekening Perdagangan, dengan perincian
sebagai berikut:
Seri Tgl. Terbit Tgl. Jatuh Waktu
VR0001
VR0002
VR0005
dst
FR0001
FR0002
FR0003
FR0004
FR0005
dst
Jumlah Rekening Portofolio Perdagangan
Yang Telah Dipindahkan Tambahan Total Telah Dipindahkan
Central Registry cq. Bagian PTPU
Lampiran 7
Total
Prosentase yang diperdagangkan
Tanggal Setelmen :
Tanda tangan Pejabat yang Berwenang :
Meterai + Stempel Perusahaan
Tanggal Pengajuan Formulir:
BER-07
Lampiran Surat Edaran Bank Indonesia No.5/ 6 /DPM tanggal 21 Maret 2003
Lampiran 8
Permohonan Penerbitan Surat Keterangan Surat Berharga yang
Diagunkan (PP-SKSD)
Nomor _________
Kepada :
Central Registry cq. Bag. PTPU
Saya/Kami:
PIHAK PEMBERI AGUNAN
Nama Pemegang Rekening Surat Berharga
(Nama Peserta Bank/Sub Reigistry di Central Registry)
Nomor Rekening Surat Berharga
Contact Person / Nomor Telp/Fax
Dengan ini mengajukan permohonan kepada Central Registry untuk menerbitkan
Surat Keterangan Surat Berharga yang Diagunkan (SKSD), untuk diagunkan kepada
pihak penerima agunan sebagai berikut:
PIHAK PENERIMA AGUNAN
Nama
Alamat
Dan untuk memindahkan seluruh kepemilikan Saya/Kami dari rekening perdagangan
ke rekening collateral, atas surat berharga sebagai berikut :
Jenis Surat Berharga
Seri Surat Berharga
Tanggal Jatuh Waktu
(Obligasi Pemerintah)
(FR/VR)
Nilai nominal yang diagunkan
Tanggal Jatuh Waktu SKSD
Tanggal Penerbitan SKSD
Tanda tangan Pejabat yang Berwenang :
Meterai + Stempel Perusahaan
(Tanggal jatuh waktu surat berharga)
Rp
(Khusus FLI tgl.jatuh waktu min.10 hk setelah digunakan)
(Tanggal settlemen)
Tanggal Pengajuan Formulir:
BER-08
Lampiran Surat Edaran Bank Indonesia No.5/ 6 /DPM tanggal 21 Maret 2003
Lampiran 9
SURAT KETERANGAN SURAT BERHARGA YANG DIAGUNKAN (SKSD)
Nomor
Kepada
(“Penerima Agunan”)
[Nama Pemegang Rekening Surat Berharga]
No. Rek. Surat Berharga :
Mohon mengkutip nomor rekening ini pada
semua transaksi, surat menyurat
dan jika
membutuhkan informasi
Surat ini menunjukkan bahwa nilai nominal surat berharga telah diagunkan oleh pemilik rekening
sejak [tanggal] sampai dengan dan termasuk [tanggal] untuk untung Penerima Agunan. Jika terdapat
tuntutan yang berkaitan dengan Agunan ini, maka tuntutan harus diajukan kepada Registry sebelum
berakhirnya masa berlaku SKSD. Surat ini dinyatakan tidak berlaku setelah jatuh waktu SKSD.
Rincian Surat Berharga
Seri Surat Berharga
Tingkat kupon
:
:
Tanggal Jatuh Tempo :
Jumlah Nominal
Rp xx.xxx.xxx.xx
Jakarta, .......
Central Registry
Bagian Penyelesaian Transaksi Pasar Uang
Bank Indonesia
Catatan:
1. Dokumen ini adalah dokumen berharga. Harus dipelihara dengan aman.
2. Dalam hal lembaran asli dikembalikan kepada Registry sebelum tanggal berakhir SKSD oleh Pemegang
Rekening, maka Surat Berharga harus diserahkan kembali kepada Pemegang Rekening.
3. Dalam hal lembaran asli dikembalikan kepada Registry sebelum tanggal berakhir SKSD oleh Penerima Agunan
dengan Surat Kuasa pengalihan hak kepemilikan dari Pemegang Rekening, maka kepemilikan Surat Berharga
akan beralih kepada Penerima Agunan.
4. Hak untuk menerima pembayaran kupon akan tetap berada pada Pemegang Rekening selama masa berlakunya
SKSD ini.
5. Dokumen ini tidak dapat diperdagangkan.
BER-09
Lampiran Surat Edaran Bank Indonesia No.5/ 6 /DPM tanggal 21 Maret 2003
Lampiran 10
BI-SKRIP
Surat Permohonan Perpindahan Registrasi – DVP
Nomor :
Kepada :
Saya/Kami:
Central Registry cq. Bagian PTPU
PENJUAL
Nama Pemegang Rekening Surat Berharga di Central Registry :
(Nama peserta /SR )
Nama Nasabah di Sub Registry :
(Nama pemegang rekening surat berharga)
Dengan ini memindahkan kepemilikan Surat Berharga kepada
PEMBELI
Nama Pemegang Rekening Surat Berharga di Central Registry :
(Nama peserta/ SR )
Nama Nasabah di Sub-Registry :
(Nama pemegang rekening surat berharga)
Seluruh kepemilikan saya/kami dan hak penerimaan pembayaran kupon atas surat berharga
berikut :
Jenis Surat Berharga
Seri Surat Berharga
Tanggal Jatuh Waktu
(Obligasi Pemerintah)
(FR/VR)
Nilai Nominal
Nilai Transaksi
Tgl Setelmen
Tgl.Transaksi
(Tgl.jatuh waktu Obligasi Pemerintah)
Rp
Rp
Accrued Interest Rp
Tgl.Pemindahan Kepemilikan OP di Central Registry
Dengan syarat bahwa surat berharga tidak akan dipindahtangankan, kecuali pihak pembeli telah
melunasi pembayaran sesuai dengan persyaratan sebagai berikut :
Jumlah Pembayaran
Rp (jlh yg.dibayarkan melalui BI-RTGS)
Bank Penerima Pembayaran
No. Rek. Giro Bank Penerima di BI
Tanda Tangan Pejabat yang Berwenang :
Meterai + Stempel Perusahaan
(Bank yg.ditunjuk utk menerima / membayar transaksi)
Nomor
Rekening
Surat
Berharga di Central Registry :
Contact Person / Telepon/Fax :
Nomor
Rekening
Surat
Berharga di Central Registry:
Tanggal Pengajuan Formulir:
BER-10
Lampiran Surat Edaran Bank Indonesia No.5/ 6 /DPM tanggal 21 Maret 2003
Lampiran 11
BI-SKRIP
Surat Perintah Penyelesaian Pembayaran – DVP
Nomor :
Kepada :
Saya/Kami :
Bagian PTPU
PEMBELI / PIHAK PEMBAYAR
Nama Bank Pembayar / Pemegang Rekening Giro di BI-RTGS :
(Nama peserta bank atau Sub Registry di Central Registry)
Nama Pembeli / Sub Registry Pembeli Surat Berharga :
(Nama pemilik rekening surat berharga)
Dengan ini memindahkan dana kepada
PENJUAL / PIHAK PENERIMA DANA
Nama Penjual
Bank Penerima
)No. Rek Surat Berharga di Central Registry
Kode/Nomor Rekening Giro di BI-RTGS
Jumlah (dalam huruf)
(jlh yg dibayarkan melalui BI-RTGS dalam huruf)
Kode/Nomor Rek.Giro di BI-
RTGS :
Contact Person / Telepon/Fax :
(Pemilik surat berharga)
(Bank yg ditunjuk untuk menerima pembayaran transaksi)
Rp.
Dengan syarat bahwa pembayaran tidak akan dilakukan kecuali surat berharga telah diserahkan
ke rekening surat berharga Saya/Kami :
Nama Pembeli
Nama Registry
Nomor Rekening Surat Berharga
Untuk surat berharga sebagai berikut :
Jenis Surat Berharga
Seri Surat Berharga
Tanggal Jatuh Waktu
Nilai Nominal
Nilai Transaksi
Tgl Setelmen
Tgl.Transaksi
(diisi Central Registry atau nama Sub Registry)
No. rek. surat berharga di Central Registry
(Obligasi Pemerintah)
(FR/VR)
(Tgl.jatuh waktu Obligasi Pemerintah)
Rp
Rp
Accrued Interest
Tgl.Pemindahan Kepemilikan OP di Central Registry
Rp
PENGESAHAN BANK YANG DITUNJUK
MELAKUKAN PEMBAYARAN :
Tanda Tangan Pejabat Berwenang :
Meterai + Stempel Perusahaan
(Khusus
ditandatangani bila
pejabat yang
berwenang
melakukan pemindahan Portofolio dan pembayaran berbeda)
untuk
Tanda Tangan Pejabat Berwenang :
Meterai + Stempel Perusahaan
Tanggal Pengajuan Formulir :
BER-11
Lampiran Surat Edaran Bank Indonesia No.5/ 6 /DPM tanggal 21 Maret 2003
Lampiran 16
BI-SKRIP
Surat Permohonan Perpindahan Registrasi – Free of Payment
Nomor :
Kepada :
Saya/Kami :
Central Registry cq. Bag. PTPU
PENJUAL/PEMBERI HIBAH/PEWARIS
Nama Pemegang Rekening Surat Berharga di Central Registry :
(Nama peserta Bank atau Sub Registry di Central Registry)
Nama Nasabah di Sub Registry
(Nama pemegang rekening Surat Berharga)
Dengan ini memindahkan surat berharga kepada
PEMBELI/PENERIMA HIBAH/WARISAN
Nama Pemegang Rekening Surat Berharga di Central Registry
(Nama peserta Bank atau Sub Registry di Central Registry)
Nama Nasabah di Sub Registry :
(Nama pembeli Surat Berharga)
Seluruh kepemilikan Saya/Kami atas, dan hak penerimaan pembayaran kupon atas
surat berharga sebagai berikut :
Jenis Surat Berharga
Seri Surat Berharga
Tanggal Jatuh Waktu
(Obligasi Pemerintah)
(FR/VR)
Nilai Nominal
Nilai Transaksi
Jenis Transaksi
Tgl Setelmen
(Tgl.jatuh waktu Obligasi Pemerintah)
Rp
Rp
Tgl.Transaksi
Tanda Tangan Pejabat yang Berwenang :
Meterai + Stempel Perusahaan
Accrued Interest Rp
outright / repo/ hibah / warisan / pelunasan kewajiban / ............................
(diisi sesuai dengan dasar transaksi)
Tgl.Pemindahan Kepemilikan OP di Central Registry
Nomor Rekening
Central Registry :
Surat Berharga
Contact Person / Telepon/Fax :
di
Nomor Rekening
Central Registry :
Surat Berharga
di
Tanggal Pengajuan Formulir:
BER-16
Lampiran Surat Edaran Bank Indonesia No.5/ 6 /DPM tanggal 21 Maret 2003
BI-SKRIP
Surat Permohonan Perpindahan Registrasi – Repo
Nomor :
Kepada :
Central Registry cq. Bag. PTPU
Saya/Kami :
PENJUAL
Nama Pemegang Rekening Surat Berharga di Central Registry :
(Nama peserta bank atau Sub Registry di Central Registry/pemilik rekening Surat Berharga )
Dengan ini memindahkan kepemilikan Surat Berharga kepada
PEMBELI
Nama Pemegang Rekening Surat Berharga di Central Registry :
(Nama peserta bank atau sub Registry di Central Registry/ pemilik rekening Surat Berharga)
Lampiran 12
Nomor
Rekening
Surat
Berharga di Central Registry :
Nomor
Rekening
Surat
Berharga di Central Registry :
Seluruh kepemilikan saya/kami dan hak penerimaan pembayaran kupon atas surat
berharga sebagai berikut :
Jenis Surat Berharga
Seri Surat Berharga
Tanggal Jatuh Waktu
(Obligasi Pemerintah)
(FR/VR)
Nilai Nominal
Nilai Transaksi
Tgl Setelmen
Tgl.Transaksi
(Tgl.jatuh waktu Obligasi Pemerintah)
Rp
Rp
Accrued
Interest
Tgl.Pemindahan Kepemilikan OP di Central Registry
Dengan syarat bahwa surat berharga tidak akan dipindahtangankan, kecuali Pihak
Pembeli telah melunasi pembayaran (dengan Prinsip DVP) sebagai berikut :
Jumlah Pembayaran
Rp (jlh yg dibayarkan melalui BI-RTGS)
Bank Penerima Pembayaran
No. Rek. Giro Bank Penerima di BI-RTGS
Selanjutnya Saya/Kami mohon pembalikan transaksi ini atas dasar prinsip DVP dengan
mendebet rekening giro bank Saya/Kami di BI sebesar jumlah tersebut di bawah dan
mengkredit rekening surat berharga Saya/Kami sebesar jumlah nominal surat berharga
di atas, sebagai berikut :
Tanggal Setelmen Pembalikan
Bank Pembayar
(Tgl.pelunasan repo)
(Bank yg ditunjuk utk melaksanakan pembayaran)
No. Rek. Giro Bank Pembayar di BI-RTGS
Jumlah Pembayaran
Rp (Jlh yg.disepakati utk melakukan pembayaran
kembali)
Dalam hal pada saat jatuh waktu repo saldo rekening giro Bank Saya/Kami di BI dan atau saldo
rekening surat berharga counterparty tidak mencukupi sehingga tidak dapat dilakukan setelmen,
maka Saya/Kami sepakat menganggap sebagai setelmen outright.
PENGESAHAN BANK YANG DITUNJUK
MELAKUKAN PEMBAYARAN :
Tanda Tangan Pejabat Berwenang :
Meterai + Stempel Perusahaan
Tanda Tangan Pejabat Berwenang :
Meterai + Stempel Perusahaan
(Bank yg ditunjuk utk menerima pembayaran transaksi)
Tanggal Pengajuan Formulir:
BER-12
Lampiran Surat Edaran Bank Indonesia No.5/ 6 /DPM tanggal 21 Maret 2003
Lampiran 13
BI-SKRIP
Surat Perintah Penyelesaian Pembayaran – Repo
Nomor :
Kepada :
Saya/Kami :
Bagian PTPU
PEMBELI / PIHAK PEMBAYAR
Nama Bank Pembeli / Pemegang Rekening Giro di BI-RTGS :
(Nama peserta bank atau Sub Registry/pemilik rekening surat berharga)
Contact Person / Telepon/Fax :
(Personil yang mudah dihubungi)
Dengan ini memindahkan kepada
PENJUAL / PIHAK PENERIMA DANA
Nama Bank Penjual
No. Rek. Surat Berharga
Kode/Nomor Rekening Giro di BI-RTGS
Jumlah (dalam huruf)
Kode/Nomor Rek.Giro di
BI-RTGS:
(Jlh.yg.diteima melalui BI RTGS dalam huruf)
Rp.
Dengan syarat bahwa pembayaran tidak akan dilakukan kecuali surat berharga telah
diserahkan ke rekening surat berharga Saya/Kami :
Nama Bank Pembeli
Nama Registry
Central Registry
Nomor Rekening Surat Berharga
Untuk surat berharga sebagai berikut :
Jenis Surat Berharga
Seri Surat Berharga
Tanggal Jatuh Waktu
Nilai Nominal
Nilai Transaksi
Repo rate (%)
Tgl Setelmen
No. rek. surat berharga di Central Registry
(Obligasi Pemerintah)
(FR/VR)
Tgl.jatuh waktu Obligasi Pemerintah
Rp
Rp
Accrued
Interest
Rp
Tgl.Pemindahan Kepemilikan OP di Central Registry
Tgl.Transaksi
Selanjutnya saya/kami mohon pembalikan transaksi ini atas dasar prinsip DVP dengan
mendebet rekening surat berharga Saya/Kami sebesar jumlah nominal tersebut di atas
setelah rekening giro bank saya/kami di BI dikredit sebagai berikut :
Tanggal Setelmen Pembalikan
(Tgl.pelunasan Repo)
Bank Penerima
No. Rek. Giro Bank di BI-RTGS
Jumlah Pembayaran
(Bank yg.ditunjuk untuk menerima pembayran kembali)
Rp. (Jlh yg.disepakati utk.melakukan pembayaran kembali)
Dalam hal pada saat jatuh waktu repo saldo rekening surat berharga Saya/Kami dan atau saldo
rekening giro counterparty di BI tidak mencukupi sehingga tidak dapat dilakukan setelmen, maka
saya/kami sepakat menganggap sebagai setelmen outright.
PENGESAHAN BANK
UNTUK MELAKUKAN PEMBAYARAN
Tanda Tangan Pejabat yang berwenang :
Meterai + Stempel Perusahaan
Tanggal Pengajuan Formulir:
BER-13
Tanda Tangan Pejabat yang Berwenang :
Meterai + stempel perusahaan
Lampiran Surat Edaran Bank Indonesia No.5/ 6 /DPM tanggal 21 Maret 2003
BI-SKRIP
Nomor :
Kepada :
Central Registry cq. Bag. PTPU
Saya/Kami :
PENJUAL
Nama Pemegang Rekening Surat Berharga di Central Registry :
(Nama peserta Bank atau Sub Registry/pemilik rekening surat berharga)
Contact Person / Telepon /Fax:
Sesuai dengan SPPR-Repo kami No…………..tanggal …………….dengan pihak :
PEMBELI
Nama Pemegang Rekening Surat Berharga di Central Registry :
(Nama peserta bank atau sub registry/pemilik rekeninh surat berharga)
Nomor
Dengan transaksi repo sebagai berikut :
Jenis Surat Berharga
Seri Surat Berharga
Tanggal Jatuh Waktu
Nilai Nominal
Nilai Transaksi Pembalikan
Tanggal Setelmen Pembalikan
(Obligasi Pemerintah)
(FR/VR)
(Tgl. Jatuh waktu Obligasi Pemerintah)
Rp
Rp
Saya/Kami mohon perubahan atas setelemen pembalikan tersebut di atas sesuai prinsip
DVP dengan mendebet rekening giro bank Saya/Kami di BI sebesar jumlah tersebut di
bawah dan mengkredit rekening surat berharga Saya/Kami sebesar jumlah nominal surat
berharga di atas, sehingga menjadi sebagai berikut :
Tanggal Setelmen Pembalikan
Bank Pembayar
No. Rek. Giro Bank Pembayar di BI -RTGS
Jumlah Pembayaran
Rp
PENGESAHAN BANK UNTUK
MELAKUKAN PEMINDAHBUKUAN
Tanda Tangan Pejabat Berwenang :
Meterai + Stempel Perusahaan
Tanda Tangan Pejabat Berwenang :
Meterai + Stempel Perusahaan
Lampiran 14
Surat Permohonan Setelmen Kepemilikan Obligasi Repo Sebelum
Jatuh Waktu
Nomor
Rekening
Surat
Berharga di Central Registry :
Rekening
Surat
Berharga di Central Registry :
Tanggal Pengajuan Formulir:
BER-14
Lampiran Surat Edaran Bank Indonesia No.5/ 6 /DPM tanggal 21 Maret 2003
Lampiran 15
BI-SKRIP
Surat Permohonan Setelmen Dana Obligasi Repo
Sebelum Jatuh Waktu
Nomor :
Kepada :
Saya/Kami :
Bagian PTPU
PEMBELI / PIHAK PEMBAYAR
Nama Bank Pembayar / Pemegang Rekening Giro di BI :
Contact Person / Telepon/Fax :
Sesuai dengan SPPP-Repo kami No…………..tanggal …………….dengan pihak :
PENJUAL
Nama Pemegang Rekening Surat Berharga di Central Registry :
Nomor
Nama Nasabah di Sub Registry :
Dengan transaksi repo sebagai berikut :
Jenis Surat Berharga
Seri Surat Berharga
Tanggal Jatuh Waktu
Nilai Nominal
Nilai Transaksi Pembalikan
Tgl Setelmen Pembalikan
Rp
Rp
Saya/Kami mohon perubahan atas setelmen tersebut di atas sesuai prinsip DVP dengan
mendebet rekening surat berharga Saya/Kami sebesar jumlah nominal tersebut di atas
setelah rekening giro bank Saya/Kami di BI dikredit, sehingga menjadi sebagai berikut :
Tanggal Setelmen Pembalikan
Bank Penerima
No. Rek. Giro Bank di BI-RTGS
Jumlah Pembayaran
Kode/Nomor Rek.Giro di BI :
Rekening
Surat
Berharga di Central Registry :
Rp.
PENGESAHAN BANK
UNTUK MELAKUKAN PEMBAYARAN
Tanda Tangan Pejabat yang berwenang :
Meterai + Stempel Perusahaan
Tanda Tangan Pejabat yang Berwenang :
Meterai + stempel perusahaan
Tanggal Pengajuan Formulir:
BER-15
Lampiran Surat Edaran Bank Indonesia No.5/ 6 /DPM tanggal 21 Maret 2003
Lampiran 17
Bank Indonesia
Central Registry
PEMBERITAHUAN KUPON / POKOK SURAT BERHARGA
JATUH WAKTU
Kepada: [Nama dan alamat pemegang rekening ]
Nomor Rekening Surat Berharga:
Mohon mengkutip nomor rekening ini pada semua
transaksi, surat menyurat dan jika membutuhkan
konfirmasi
[Nama Pemegang Rekening Surat Berharga]
[Tipe Rekening]
Pembayaran kupon/pokok Surat Berharga akan dilakukan pada [tanggal] dengan cara pengkreditan
pada rekening bank berikut :
Nama Bank
Kode/ No. Rek. Giro di BI
Untuk untung Rekening
Nomor Rekening
Nama pemegang rekening di bank yang ditunjuk di atas
Nomor rekening di bank yang ditunjuk di atas
Rincian Surat Berharga
No. Seri Tingkat Kupon Jatuh Waktu
Rp xx.xxx.xxx.xx
Rp xx.xxx.xxx.xx
Rp xx.xxx.xxx.xx
Saldo Kupon/ Pokok Jatuh Waktu
T O T A L
Rp xx.xxx.xxx.xx
Jakarta,………
Central Registry
Bagian Penyelesaian Transaksi Pasar Uang
Bank Indonesia
BER-17
"," SE-BI
5/6/DPM|SE-BI/2003
Tata Cara Penatausahaan Surat Utang Negara
21 Maret 2003
21 Maret 2003
'3/24/DPM|SE-BI/2001'
'5/4/PBI/2003'
"
" No. 9/14/DPbS
Jakarta, 21 Juni 2007
S U R A T E D A R A N
Kepada
SEMUA BANK PERKREDITAN RAKYAT
BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH
DI INDONESIA
Perihal : Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor
8/26/DPbS tanggal 14 November 2006 perihal Kewajiban
Penyediaan Modal Minimum Bagi Bank Perkreditan Rakyat
Berdasarkan Prinsip Syariah
Sehubungan dengan telah dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia
Nomor 8/22/PBI/2006 tanggal 5 Oktober 2006 tentang Kewajiban Penyediaan
Modal Minimum bagi Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 79, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4648) dan Peraturan Bank
Indonesia Nomor 8/24/PBI/2006 tanggal 5 Oktober 2006 tentang Penilaian
Kualitas Aktiva Bagi Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 81, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4650), perlu dilakukan beberapa
perubahan terhadap Surat Edaran Bank Indonesia No.8/26/DPbS tanggal 14
November 2006 perihal Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bagi Bank
Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah sebagai berikut :
1. Ketentuan …
1. Ketentuan angka I. UMUM butir 2 diubah, sehingga berbunyi sebagai
berikut :
2. Kewajiban penyediaan modal minimum bagi BPRS didasarkan pada
risiko aktiva dalam arti luas, baik aktiva yang tercantum dalam neraca
maupun aktiva yang bersifat administratif sebagaimana tercermin pada
kewajiban yang bersifat komitmen yang disediakan oleh BPRS bagi pihak
ketiga. Secara teknis, kewajiban penyediaan modal minimum diukur dari
persentase tertentu terhadap Aktiva Tertimbang Menurut Risiko (ATMR).
2. Ketentuan angka III. TATA CARA PERHITUNGAN KEBUTUHAN
MODAL MINIMUM butir 1 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut :
1. Dasar Perhitungan Kebutuhan Modal Minimum
a. Perhitungan kebutuhan modal minimum didasarkan pada ATMR
dengan memperhitungkan risiko kredit dari pembiayaan (credit risk).
Pengertian aktiva dalam perhitungan ATMR ini mencakup baik aktiva
yang tercantum dalam neraca maupun pos tertentu dalam aktiva yang
bersifat administratif yang masih bersifat komitmen yang disediakan
oleh BPRS bagi pihak ketiga.
b. Dalam menghitung ATMR dengan memperhitungkan risiko kredit dari
pembiayaan (credit risk), terhadap masing-masing pos aktiva neraca
diberikan bobot risiko yang besarnya didasarkan pada kadar risiko
yang terkandung pada aktiva itu sendiri, golongan nasabah, golongan
penjamin, sifat agunan serta jenis sumber dana.
c. Penghitungan ATMR untuk aktiva produktif dibedakan sebagai
berikut:
1) Penyediaan dana dan/atau tagihan dalam berbagai bentuk aktiva
produktif yang sumber dananya berasal dari dana pihak ketiga
dengan prinsip Mudharabah Mutlaqah berdasarkan sistem bagi
untung …
untung (profit sharing/net profit sharing) diberikan bobot sebesar
1% (satu perseratus);
2) Penyediaan dana dan/atau tagihan dalam berbagai bentuk aktiva
produktif yang sumber dananya berasal dari modal sendiri dan/atau
dana pihak ketiga dengan prinsip Wadiah, Qardh dan Mudharabah
Mutlaqah berdasarkan sistem bagi pendapatan (net revenue
sharing/gross profit sharing) yang dibedakan sebagai berikut:
a) Penempatan pada Bank Indonesia, atau diberikan kepada atau
dijamin oleh pemerintah (termasuk yang dijamin oleh
Lembaga Penjamin Simpanan) diberikan bobot sebesar 0% (nol
perseratus);
b) Diberikan kepada bank lain atau dijamin oleh bank umum lain
diberikan bobot sebesar 20% (dua puluh perseratus). Yang
dimaksud bank umum lain disini termasuk bank umum
konvensional;
c) Diberikan kepada atau dijamin oleh pemerintah daerah
diberikan bobot sebesar 20% (dua puluh perseratus);
d) Diberikan kepada atau dijamin oleh BUMN/BUMD, diberikan
bobot sebesar 50% (lima puluh perseratus).
Dalam hal dijamin oleh BUMD, hanya dapat diakui bobot
risiko sebesar 50% (lima puluh perseratus) apabila BUMD
tersebut telah melakukan kerjasama penjaminan pembiayaan
dengan BUMN.
3) Penyediaan dana dalam bentuk piutang untuk kepemilikan rumah
yang bertujuan untuk dihuni dan dijamin oleh hak tanggungan
pertama serta sumber dananya berasal dari modal sendiri dan/atau
dana pihak ketiga dengan prinsip Wadiah, Qardh dan Mudharabah
Mutlaqah berdasarkan sistem bagi pendapatan (net revenue
sharing …
sharing/gross profit sharing) diberikan bobot sebesar 35% (tiga
puluh lima perseratus);
4) Penyediaan dana dan/atau tagihan dalam berbagai bentuk aktiva
produktif kepada pegawai/pensiunan di luar kepemilikan rumah
serta usaha mikro dan kecil (UMK) yang sumber dananya berasal
dari modal sendiri dan/atau dana pihak ketiga dengan prinsip
Wadiah, Qardh dan Mudharabah Muthlaqah berdasarkan sistem
bagi pendapatan (net revenue sharing/gross profit sharing)
diberikan bobot sebesar 50% (lima puluh perseratus), dengan
persyaratan sebagai berikut :
a) Plafon penyediaan dana keseluruhan maksimum Rp.
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) per pegawai/pensiunan;
b) 1. Pegawai/pensiunan dijamin dengan asuransi jiwa dari
perusahaan asuransi yang berstatus sebagai BUMN atau
perusahaan asuransi swasta yang memenuhi persyaratan
kesehatan keuangan perusahaan asuransi sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan yang berlaku; atau
2. Penyediaan dana kepada pegawai/pensiunan yang
penyediaan dananya dijamin oleh perusahaan BUMN
penjaminan pembiayaan atau perusahaan BUMD
penjaminan pembiayaan yang telah melakukan kerjasama
penjaminan pembiayaan dengan BUMN.
c) Pembayaran angsuran/pelunasan atas penyediaan dana
bersumber dari gaji/pensiun berdasarkan Surat Kuasa
Memotong Gaji/Pensiun kepada BPRS pemberi penyediaan
dana. Dalam hal pembayaran gaji/pensiun dilakukan melalui
bank lain atau BUMN lain, maka BPRS pemberi penyediaan
dana harus memiliki perjanjian kerja sama dengan bank lain
atau BUMN lain pembayar gaji/pensiun tersebut; dan
d) BPRS…
d) BPRS menyimpan asli surat pengangkatan pegawai atau surat
keputusan pensiun atau Kartu Registrasi Induk Pensiun
(KARIP) dan polis pertanggungan asuransi jiwa debitur, atau
dokumen yang dapat dipersamakan dengan itu untuk
penjaminan oleh perusahaan BUMN/BUMD penjaminan
pembiayaan .
Yang dimaksud “Pegawai” adalah pegawai negeri sipil (PNS),
anggota TNI/POLRI, pegawai lembaga negara dan pegawai
Badan Usaha Milik Negara/Daerah.
5) Penyediaan dana dan/atau tagihan kepada usaha mikro dan usaha
kecil (UMK) yang sumber dananya berasal dari modal sendiri
dan/atau dana pihak ketiga dengan prinsip Wadiah, Qardh dan
Mudharabah Muthlaqah berdasarkan sistem bagi pendapatan (net
revenue sharing/gross profit sharing) diberikan bobot sebesar 85%
(delapan puluh lima perseratus).
Penyediaan dana dan/atau tagihan kepada usaha mikro adalah
penyediaan dana dan/atau tagihan kepada usaha mikro dengan
plafon sampai dengan Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Penyediaan dana dan/atau tagihan kepada usaha kecil adalah
penyediaan dana dan/atau tagihan kepada usaha kecil dengan
plafon lebih besar dari Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)
sampai dengan Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
6) Penyediaan dana dan/atau tagihan dalam berbagai bentuk aktiva
produktif yang berdasarkan sistem bagi untung (profit sharing/net
profit sharing) yang sumber dananya dari modal sendiri dan/atau
dana pihak ketiga dengan prinsip Wadiah, Qardh, dan Mudharabah
Mutlaqah berdasarkan sistem bagi pendapatan (net revenue
sharing/gross profit sharing) diberikan bobot sebesar 150%
(seratus lima puluh perseratus).
3. Ketentuan …
3. Ketentuan angka III. TATA CARA PERHITUNGAN KEBUTUHAN
MODAL MINIMUM butir 2 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut :
2. Dengan memperhatikan prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud pada
angka 1, maka rincian bobot risiko untuk semua aktiva Neraca adalah
sebagai berikut:
0% : 1. Kas
2. Emas dan mata uang emas
3. Commemorative coins
4. Penempatan pada Bank Indonesia
5. Penyediaan dana dan/atau tagihan kepada atau dijamin
oleh Pemerintah Pusat atau bank sentral dalam bentuk
penempatan pada bank lain, pembiayaan Mudharabah dan
Musyarakah, piutang Murabahah, piutang Salam, piutang
Istishna’, piutang Qardh serta Ijarah
6. Penyediaan dana dan/atau tagihan dalam bentuk
pembiayaan Mudharabah dan Musyarakah, piutang
Murabahah, piutang Salam, piutang Istishna’, piutang
Qardh, Ijarah, piutang transaksi multijasa yang dijamin
uang kas, uang kertas asing, emas, mata uang emas,
deposito, dan tabungan pada BPRS yang bersangkutan
sebesar nilai dari jaminan tersebut.
1% : Penyediaan dana dan/atau tagihan dalam bentuk penempatan
pada bank lain, pembiayaan Mudharabah dan Musyarakah,
piutang Murabahah, piutang Salam, piutang Istishna’, Ijarah,
piutang transaksi multijasa yang sumber dananya berasal dari
dana pihak ketiga dengan prinsip Mudharabah Mutlaqah
berdasarkan sistem bagi untung (profit sharing/net profit
sharing).
20%…
20%: Penyediaan dana dan/atau tagihan kepada bank
lain/Pemerintah Daerah atau dijamin oleh bank umum
lain/Pemerintah Daerah dalam bentuk penempatan pada bank
lain, pembiayaan Mudharabah dan Musyarakah, piutang
Murabahah, piutang Salam, piutang Istishna’, piutang Qardh
serta Ijarah, yang sumber dananya berasal dari modal sendiri
dan/atau dana pihak ketiga dengan prinsip Wadiah, Qardh dan
Mudharabah Mutlaqah berdasarkan sistem bagi pendapatan
(net revenue sharing/gross profit sharing);
35%: Penyediaan dana dan/atau tagihan dalam bentuk piutang untuk
kepemilikan rumah yang dijamin oleh hak tanggungan
pertama dan bertujuan untuk dihuni yang sumber dananya
berasal dari modal sendiri dan/atau dana pihak ketiga dengan
prinsip Wadiah, Qardh dan Mudharabah Mutlaqah
berdasarkan sistem bagi pendapatan (net revenue
sharing/gross profit sharing);
50%: Penyediaan dana dan/atau tagihan kepada atau dijamin
BUMN/BUMD dalam bentuk pembiayaan Mudharabah dan
Musyarakah, piutang Murabahah, piutang Salam, piutang
Istishna’, piutang Qardh serta Ijarah yang sumber dananya
berasal dari modal sendiri dan/atau dana pihak ketiga dengan
prinsip Wadiah, Qardh dan Mudharabah Mutlaqah
berdasarkan sistem bagi pendapatan (net revenue
sharing/gross profit sharing);
50%: Penyediaan dana dan/atau tagihan kepada pegawai/pensiunan
di luar kepemilikan rumah serta usaha mikro dan kecil (UMK)
dalam bentuk pembiayaan Mudharabah dan Musyarakah,
piutang Murabahah, piutang Salam, piutang Istishna’, piutang
Qardh, Ijarah, piutang transaksi multijasa yang sumber
dananya …
dananya berasal dari modal sendiri dan/atau dana pihak ketiga
dengan prinsip Wadiah, Qardh dan Mudharabah Mutlaqah
berdasarkan sistem bagi pendapatan (net revenue
sharing/gross profit sharing);
85%: Penyediaan dana atau tagihan yang diberikan kepada usaha
mikro dan usaha kecil (UMK) dalam bentuk pembiayaan
Mudharabah dan Musyarakah, piutang Murabahah, piutang
Salam, piutang Istishna’, piutang Qardh serta Ijarah yang
sumber dananya berasal dari modal sendiri dan/atau dana
pihak ketiga dengan prinsip Wadiah, Qardh dan Mudharabah
Mutlaqah berdasarkan sistem bagi pendapatan (net revenue
sharing/gross profit sharing);
100%: 1. Persediaan
2. Aktiva tetap dan inventaris (nilai buku).
3. Rupa-rupa aktiva.
4. Lainnya.
yang sumber dananya berasal dari modal sendiri dan/atau
dana pihak ketiga dengan prinsip Wadiah, Qardh dan
Mudharabah Mutlaqah berdasarkan sistem bagi pendapatan
(net revenue sharing/gross profit sharing);
150%: Penyediaan dana dalam berbagai bentuk aktiva produktif
yang berdasarkan sistem bagi untung (profit sharing/net
profit sharing) yang sumber dananya dari modal sendiri
dan/atau dana pihak ketiga dengan prinsip Wadiah, Qardh,
dan Mudharabah Mutlaqah berdasarkan sistem bagi
pendapatan (net revenue sharing/gross profit sharing).
4. Ketentuan…
4. Ketentuan angka III. TATA CARA PERHITUNGAN KEBUTUHAN
MODAL MINIMUM butir 3 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut :
3. Bobot Risiko Aktiva Administratif
3.1. Aktiva administratif yang diperjanjikan untuk dapat dibatalkan
sewaktu-waktu tanpa syarat atau dibatalkan secara otomatis oleh
bank apabila kondisi nasabah mengalami penurunan kualitas
menjadi Kurang Lancar atau Diragukan atau Macet, tidak perlu
dihitung bobot risikonya.
3.2. Perhitungan bobot risiko untuk aktiva administratif hanya dilakukan
terhadap fasilitas pembiayaan Mudharabah dan Musyarakah yang
belum digunakan yang disediakan kepada nasabah sampai dengan
akhir tahun takwim yang berjalan, melalui 2 (dua) tahap
3.2.1. Tahap pertama
Aktiva Administratif terlebih dahulu ditetapkan faktor
konversinya, yaitu faktor tertentu yang digunakan untuk
mengkonversikan aktiva administratif ke dalam aktiva
neraca yang menjadi padanannya yang didasarkan pada
kemungkinan menjadi aktiva yang efektif. Faktor konversi
aktiva administratif, ditetapkan sebesar 50% (lima puluh
perseratus).
3.2.2. Tahap Kedua
Bobot risiko aktiva administratif dihitung dengan
mengalikan faktor konversi dengan bobot risiko aktiva
neraca padanannya.
3.3. Atas dasar perhitungan sebagaimana dimaksud pada angka 3.2.,
maka pengelompokan besarnya bobot risiko masing-masing aktiva
administratif menjadi sebagai berikut:
0% : 1. Fasilitas pembiayaan Mudharabah dan Musyarakah yang
belum digunakan oleh nasabah sampai dengan akhir
tahun …
tahun takwim yang berjalan, kepada atau dijamin oleh
pemerintah pusat atau bank sentral.
2. Fasilitas pembiayaan Mudharabah dan Musyarakah yang
belum digunakan oleh nasabah sampai dengan akhir
tahun takwim yang berjalan, yang dijamin dengan uang
kas, uang kertas asing, emas, mata uang emas, serta giro,
deposito dan tabungan pada BPRS yang bersangkutan
sebesar nilai jaminannya.
0,5% : Fasilitas pembiayaan Mudharabah dan Musyarakah yang
belum digunakan oleh nasabah sampai dengan akhir tahun
takwim yang berjalan yang sumber dananya berasal dari
dana pihak ketiga dengan prinsip Mudharabah Mutlaqah
berdasarkan sistem bagi untung (profit sharing/net profit
sharing)
10 % : Fasilitas pembiayaan Mudharabah dan Musyarakah yang
belum digunakan oleh nasabah sampai dengan akhir tahun
takwim yang berjalan, yang sumber dananya berasal dari
modal sendiri dan/atau dana pihak ketiga dengan prinsip
Wadiah, Qardh dan Mudharabah Mutlaqah berdasarkan
sistem bagi pendapatan (net revenue sharing/gross profit
sharing), kepada bank lain/pemerintah daerah atau
dijamin bank umum lain/pemerintah daerah.
25 % : Fasilitas pembiayaan Mudharabah dan Musyarakah yang
belum digunakan oleh nasabah sampai dengan akhir tahun
takwim yang berjalan, yang sumber dananya berasal dari
modal sendiri dan/atau dana pihak ketiga dengan prinsip
Wadiah, Qardh dan Mudharabah Mutlaqah berdasarkan
sistem bagi pendapatan (net revenue sharing/gross profit
sharing), kepada atau dijamin BUMN/BUMD.
25% …
25 % : Fasilitas pembiayaan Mudharabah dan Musyarakah yang
belum digunakan oleh nasabah sampai dengan akhir tahun
takwim yang berjalan, yang sumber dananya berasal dari
modal sendiri dan/atau dana pihak ketiga dengan prinsip
Wadiah, Qardh dan Mudharabah Mutlaqah berdasarkan
sistem bagi pendapatan (net revenue sharing/gross profit
sharing), kepada pegawai/pensiunan diluar kepemilikan
rumah serta usaha mikro dan kecil (UMK).
42,5% : Fasilitas pembiayaan Mudharabah dan Musyarakah yang
belum digunakan oleh nasabah sampai dengan akhir tahun
takwim yang berjalan, yang sumber dananya berasal dari
modal sendiri dan/atau dana pihak ketiga dengan prinsip
Wadiah, Qardh dan Mudharabah Mutlaqah berdasarkan
sistem bagi pendapatan (net revenue sharing/gross profit
sharing), kepada usaha mikro dan usaha kecil (UMK).
50% : Fasilitas pembiayaan Mudharabah dan Musyarakah yang
belum digunakan oleh nasabah sampai dengan akhir tahun
takwim yang berjalan, yang sumber dananya berasal dari
modal sendiri dan/atau dana pihak ketiga dengan prinsip
Wadiah, Qardh dan Mudharabah Mutlaqah berdasarkan
sistem bagi pendapatan (net revenue sharing/gross profit
sharing), kepada atau dijamin oleh pihak lainnya.
75 % : Fasilitas pembiayaan Mudharabah dan Musyarakah yang
belum digunakan oleh nasabah sampai dengan akhir tahun
takwim yang berjalan, yang berdasarkan sistem bagi
untung (profit sharing/net profit sharing) dan sumber
dananya dari modal sendiri dan/atau dana pihak ketiga
dengan prinsip Wadiah, Qardh dan Mudharabah
Mutlaqah …
Mutlaqah berdasarkan sistem bagi pendapatan (net
revenue sharing/gross profit sharing).
5. Ketentuan angka III. TATA CARA PERHITUNGAN KEBUTUHAN
MODAL MINIMUM butir 4 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut :
4. Kebutuhan modal minimum BPRS dihitung dengan cara sebagai berikut:
4.1. Dengan melakukan penjumlahan ATMR, yaitu:
a. ATMR aktiva neraca yang diperoleh dengan cara mengalikan
nilai nominal aktiva yang bersangkutan dengan bobot risiko
tersebut pada angka III.2;
b. ATMR aktiva administratif yang diperoleh dengan cara
mengalikan nilai nominal rekening administratif yang
bersangkutan dengan bobot risiko tersebut pada angka III.3.3.;
4.2. Jumlah kewajiban penyediaan modal minimum BPRS adalah 8%
(delapan perseratus) dari jumlah ATMR pada angka 4.1.
4.3. Dihitung jumlah modal inti dan modal pelengkap.
4.4. Dengan membandingkan jumlah modal pada angka 4.3. dengan
kewajiban penyediaan modal minimum tersebut pada angka 4.2.,
dapat diketahui kelebihan atau kekurangan modal dari BPRS yang
bersangkutan.
Formulir perhitungan kebutuhan modal minimum BPRS adalah seperti
contoh pada Lampiran Surat Edaran Bank Indonesia ini.
6. Ketentuan angka IV. PENYAMPAIAN LAPORAN ditambahkan angka 4,
yang berbunyi sebagai berikut :
4. Pelaporan perhitungan dan penyampaian laporan kewajiban penyediaan
modal minimum sebagaimana dimaksud pada angka 1 sampai dengan
angka 3, ditetapkan sebagai berikut :
a. apabila …
a. apabila disampaikan langsung kepada Bank Indonesia, maka tanggal
penerimaan Bank Indonesia dianggap sebagai tanggal penyampaian
laporan. Dalam hal laporan dikirim melalui pos, maka tanggal
stempel pos dianggap sebagai tanggal penyampaian laporan.
b. apabila tanggal 21 jatuh pada hari libur atau hari Sabtu, maka laporan
tersebut disampaikan pada hari kerja sebelumnya.
PENUTUP
Ketentuan dalam Surat Edaran ini mulai berlaku sejak tanggal 21 Juni
2007.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat
Edaran Bank Indonesia dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik
Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA,
SITI CH. FADJRIJAH
DEPUTI GUBERNUR
"," SE-BI
9/14/DPbS|SE-BI/2007
Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 8/26/DPbS tanggal 14 November 2006 perihal Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bagi Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah
21 Juni 2007
21 Juni 2007
'8/26/DPbS|SE-BI/2006'
'8/22/PBI/2006', '8/26/DPbS|SE-BI/2006', '8/24/PBI/2006'
"
" No.16/3 /DPTP
Jakarta, 3 Maret 2014
S U R A T E D A R A N
Kepada
SEMUA BANK UMUM DI INDONESIA DAN
PT. PERMODALAN NASIONAL MADANI (PERSERO)
Perihal : Pelaksanaan Pengalihan Pengelolaan Kredit Likuiditas Bank
Indonesia Dalam Rangka Kredit Program
Sehubungan dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor
5/20/PBI/2003 tentang Pengalihan Pengelolaan Kredit Likuiditas Bank
Indonesia Dalam Rangka Kredit Program (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2003 Nomor 105, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4322) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Bank Indonesia Nomor 14/19/PBI/2012 tentang Perubahan Atas
Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/20/PBI/2003 tentang Pengalihan
Pengelolaan Kredit Likuiditas Bank Indonesia Dalam Rangka Kredit
Program (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 262,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5370), perlu
diatur ketentuan pelaksanaan mengenai pengalihan pengelolaan Kredit
Likuiditas Bank Indonesia dalam Surat Edaran Bank Indonesia sebagai
berikut:
I. UMUM
A. Pengalihan pengelolaan Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI)
dalam rangka kredit program dari Bank Indonesia kepada
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang ditunjuk Pemerintah,
yaitu:
1. PT...
2
1. PT. Bank Tabungan Negara (Persero), Tbk, untuk selanjutnya
disebut PT. BTN; dan
2. PT. Permodalan Nasional Madani (Persero), untuk selanjutnya
disebut PT. PNM,
dilakukan dengan Perjanjian Pengalihan Pengelolaan KLBI.
Perjanjian Pengalihan Pengelolaan KLBI dapat diubah secara
tertulis sesuai kesepakatan antara Bank Indonesia dengan
masing-masing BUMN yang ditunjuk antara lain disebabkan
oleh perubahan kebijakan, wewenang dan tanggung jawab,
serta batas waktu penyampaian laporan.
B. KLBI yang dialihkan pengelolaannya meliputi baki debet dan
kelonggaran tarik posisi tanggal 16 November 1999 berdasarkan
hasil rekonsiliasi antara Bank Indonesia dan Bank Pelaksana.
Yang dimaksud dengan baki debet adalah jumlah KLBI pada
posisi tertentu yang telah ditarik Bank Pelaksana dan masih
tercatat dalam rekening pinjaman Bank Pelaksana di Bank
Indonesia.
C. Bank Indonesia tetap memiliki hak tagih atas KLBI yang telah
dialihkan kepada BUMN dan memiliki hak tagih atas angsuran
KLBI yang telah dikelola oleh BUMN, sampai dengan KLBI
dimaksud jatuh tempo dan dilunasi atau dilunasi sebelum KLBI
jatuh tempo.
Yang dimaksud dengan jatuh tempo KLBI adalah tanggal jatuh
tempo pembayaran angsuran terakhir atau pelunasan KLBI
sebagaimana disepakati dalam Surat Persetujuan Kredit (SPK).
Dalam hal terdapat SPK individual maka yang menjadi acuan
untuk penetapan tanggal jatuh tempo KLBI adalah SPK
individual antara Bank Indonesia dengan Bank Pelaksana.
D. Bunga atas KLBI yang masih berjalan dan telah dialihkan
pengelolaannya kepada BUMN tetap merupakan hak Bank
Indonesia dan tetap dihitung dan dibebankan kepada Bank
Pelaksana sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia.
E. Ketentuan...
3
E. Ketentuan KLBI untuk masing-masing skim kredit atau proyek
yang berjalan tetap berlaku sampai dengan KLBI jatuh tempo
dan dilunasi atau dilunasi sebelum KLBI jatuh tempo.
F. Terhadap KLBI yang dialihkan pengelolaannya, Bank Indonesia
berwenang untuk:
a. memberikan keputusan atas permohonan pencairan
kelonggaran tarik yang diajukan oleh Bank Pelaksana melalui
BUMN, dengan memperhatikan ketersediaan kelonggaran
tarik dan kesesuaian dengan SPK proyek yang bersangkutan
serta ketentuan yang berlaku;
b. memberitahukan keputusan atas permohonan pencairan
kelonggaran tarik yang diajukan oleh Bank Pelaksana;
c. mengadministrasikan KLBI;
d. menghitung dan membebankan bunga KLBI yang menjadi
hak Bank Indonesia;
e. mendebet rekening Bank Pelaksana pada saat jatuh tempo
angsuran KLBI dan memindahbukukan angsuran KLBI
dimaksud untuk untung rekening BUMN;
f. menarik kembali KLBI yang jatuh tempo, KLBI yang dilunasi
dan KLBI yang tidak sesuai dengan ketentuan, baik dari
Bank Pelaksana maupun BUMN;
g. melakukan pengawasan dan pemeriksaan terhadap
pelaksanaan pengelolaan KLBI oleh BUMN dan penyaluran
KLBI oleh Bank Pelaksana, termasuk melakukan
pemeriksaan langsung terhadap proyek yang dibiayai dengan
KLBI maupun proyek yang dibiayai dengan KLBI yang
disalurkan oleh BUMN;
h. mengenakan sanksi dan/atau denda kepada Bank Pelaksana
dan atau BUMN dalam hal terjadi pelanggaran atas ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur kredit program dan
pelaksanaan pengalihan; dan
i. menyediakan kelonggaran tarik KLBI sesuai SPK dari Bank
Indonesia kepada Bank Pelaksana.
G. BUMN...
4
G. BUMN wajib mengembalikan KLBI pada saat jatuh tempo,
sehingga tidak dimungkinkan adanya perpanjangan jangka
waktu KLBI.
H. Bank Pelaksana wajib mengembalikan angsuran terakhir KLBI
kepada Bank Indonesia pada saat jatuh tempo sebagaimana
diperjanjikan dalam SPK dan Akte F.
II. WEWENANG DAN TANGGUNG JAWAB BUMN DALAM
PENGELOLAAN KLBI
Dalam rangka pengelolaan atas KLBI yang masih berjalan dan
pengelolaan hasil angsuran pokok KLBI, BUMN memiliki wewenang
dan tanggung jawab sebagai berikut:
1. menerima permohonan pencairan kelonggaran tarik dari Bank
Pelaksana;
2. menganalisa persyaratan teknis dan finansial terhadap
permohonan yang diajukan oleh Bank Pelaksana sesuai SPK dan
ketentuan masing-masing skim kredit dan bertanggung jawab
atas hasil analisis dimaksud.
Permohonan dapat berupa permohonan pencairan kelonggaran
tarik, perubahan jadwal pembayaran angsuran, penggantian
debitur, dan hal-hal lain yang dapat mengubah SPK dan/atau
Akte F yang telah disetujui oleh Bank Indonesia;
3. membuat rekomendasi untuk Bank Indonesia atas permohonan
pencairan kelonggaran tarik yang diajukan oleh Bank Pelaksana
sebagai dasar analisis sebagaimana dimaksud dalam angka 1;
4. untuk dan atas nama Bank Indonesia menerbitkan perubahan
SPK dan Akte F dan/atau perubahan jadwal angsuran KLBI
dalam hal terjadi pelunasan dini atau terjadi penggantian
debitur (novasi) untuk skim KKPA bertahap (multi years) dan PIR
Trans Pasca Konversi;
5. memberitahukan keputusan atas permohonan pencairan
kelonggaran tarik kepada Bank Pelaksana;
6. mengadministrasikan kelonggaran tarik KLBI yang dikelolanya;
7. melaksanakan...
5
7. melaksanakan pengawasan dan pemantauan atas penyaluran
KLBI di masing-masing Bank Pelaksana, sehingga penyaluran
KLBI dimaksud mencapai sasaran yang telah ditentukan;
8. melakukan koordinasi dengan Bank Pelaksana, sehingga
penyaluran KLBI dimaksud mencapai sasaran akhir secara
efektif dan efisien;
9. mengelola hasil angsuran pokok KLBI yang diterima dari
masing-masing Bank Pelaksana untuk disalurkan kembali
(relending) melalui Bank Pelaksana sampai dengan jatuh tempo
KLBI.
Penyaluran kembali KLBI dimaksud harus sesuai dengan skim
KLBI yang dialihkan kepada masing-masing BUMN dan sesuai
dengan ketentuan KLBI masing-masing skim kredit, kecuali
ketentuan yang mengatur tata cara penyediaan plafon,
pelimpahan, pelunasan, pengenaan sanksi dan pelaporan.
Dalam hal BUMN bermaksud melakukan penyesuaian terhadap
ketentuan KLBI diluar hal-hal yang telah disebutkan, BUMN
harus mengajukan permohonan kepada Bank Indonesia.
Keputusan atas permohonan dimaksud disampaikan oleh Bank
Indonesia secara tertulis kepada BUMN;
10. mengupayakan agar Bank Pelaksana dapat memenuhi
kewajibannya kepada Bank Indonesia sesuai jangka waktu yang
telah ditetapkan, termasuk upaya penagihan terhadap KLBI
yang belum dilunasi pada saat jatuh tempo;
11. mengembalikan dana angsuran KLBI yang dikelola pada saat
jatuh tempo KLBI.
Untuk keperluan tersebut, BUMN wajib menyediakan dana pada
rekening giro di Bank Indonesia minimal sebesar kumulatif
angsuran KLBI yang telah diterima dan jatuh tempo, pada saat
jatuh tempo KLBI;
12. menyampaikan laporan perkembangan penerimaan angsuran,
penyesuaian baki debet, penyaluran kembali dan pelunasan
KLBI;
13. melakukan...
6
13. melakukan pengamanan kredit dan melakukan konsultasi
mengenai hal tersebut kepada Bank Indonesia; dan
14. mengadministrasikan dana KLBI yang telah dialihkan dari Bank
Indonesia kepada Bank Pelaksana dan penyaluran KLBI yang
dilaksanakan oleh masing-masing Bank Pelaksana.
III. TATA CARA PEMBAYARAN ANGSURAN KLBI
A. Skim Kredit Dengan Pola Channeling
1. Bank Pelaksana wajib menyampaikan laporan angsuran
KLBI kepada Bank Indonesia sesuai dengan ketentuan yang
berlaku untuk masing-masing skim KLBI.
2. Bank Indonesia mendebet rekening giro Bank Pelaksana
atas dasar laporan sebagaimana dimaksud dalam angka 1
untuk mengurangi baki debet pinjaman KLBI Bank
Pelaksana.
B. Skim Kredit dengan Pola Executing
1. Bank Indonesia mendebet rekening giro Bank Pelaksana
yang ada di Bank Indonesia sesuai dengan jadwal angsuran.
2. Bank Indonesia memindahbukukan angsuran KLBI untuk
untung rekening giro BUMN di Bank Indonesia bagi KLBI
yang belum jatuh tempo.
3. Untuk pelunasan KLBI yang telah jatuh tempo, hasil
pendebetan rekening giro Bank Pelaksana untuk untung
Bank Indonesia.
4. Bank Indonesia mendebet rekening giro Bank Pelaksana
sebagaimana dimaksud dalam angka 1 untuk mengurangi
baki debet pinjaman KLBI Bank Pelaksana.
C. BUMN dapat mengajukan permintaan secara tertulis untuk
mendapatkan dokumen berupa fotokopi warkat pembukuan
mutasi transaksi KLBI kepada Bank Indonesia untuk keperluan
administrasi kantor BUMN.
IV. TATA...
7
IV. TATA CARA PEMBAYARAN BUNGA KLBI
A. Skim Kredit dengan Pola Channeling
1. Bank Pelaksana wajib menyampaikan laporan penerimaan
bunga dari nasabah kepada Bank Indonesia sesuai dengan
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur masing-masing
skim KLBI.
2. Bank Indonesia mendebet rekening giro Bank Pelaksana di
Bank Indonesia sebesar bunga yang menjadi hak Bank
Indonesia berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud
dalam angka 1.
3. Dalam hal masih terdapat bunga yang belum dilunasi sejak
jatuh tempo dan berdasarkan laporan Bank Pelaksana
terdapat penerimaan bunga dari nasabah maka Bank
Indonesia akan menarik bunga KLBI yang menjadi hak
Bank Indonesia.
B. Skim Kredit dengan Pola Executing
1. Bank Indonesia mendebet rekening giro Bank Pelaksana
sebesar bunga yang harus dibayarkan oleh Bank Pelaksana
sesuai dengan ketentuan yang mengatur masing-masing
skim KLBI yang berlaku.
2. Penghitungan dan pembebanan bunga KLBI menggunakan
tanggal valuta yang sama dengan tanggal pembukuan.
V. TATA CARA PELUNASAN KLBI
A. Skim Kredit dengan Pola Channeling
1. Pada saat jatuh tempo KLBI, Bank Pelaksana wajib
menyampaikan laporan pembayaran pelunasan dari
nasabah yang telah diterima namun belum disetor kepada
Bank Indonesia.
2. Bank Indonesia mendebet rekening giro Bank Pelaksana di
Bank Indonesia berdasarkan laporan sebagaimana
dimaksud dalam angka 1.
3. Dalam...
8
3. Dalam hal masih terdapat KLBI yang belum dilunasi pada
saat jatuh tempo, Bank Indonesia akan menarik sisa KLBI
tersebut berdasarkan laporan pembayaran pelunasan dari
nasabah yang disampaikan oleh Bank Pelaksana sampai
dengan KLBI tersebut lunas sesuai dengan ketentuan Bank
Indonesia mengenai masing-masing skim kredit program.
Dalam hal ini tidak perlu dilakukan penyesuaian SPK dan
Surat Perjanjian Penerusan Kredit (SPPK).
B. Skim Kredit dengan Pola Executing
1. Pada saat jatuh tempo KLBI, Bank Indonesia langsung
mendebet rekening giro Bank Pelaksana sebesar saldo baki
debet yang masih terutang.
2. Pada hari yang sama Bank Indonesia mendebet rekening
giro BUMN sebesar jumlah angsuran KLBI yang telah
diterima oleh BUMN.
C. Pelunasan KLBI Lebih Cepat
1. Pelunasan KLBI lebih cepat oleh debitur dan/atau Bank
Pelaksana
a. Dalam hal debitur dan/atau Bank Pelaksana melunasi
KLBI sebelum tanggal jatuh tempo maka Bank
Pelaksana harus melaporkan pelunasan tersebut
kepada Bank Indonesia dengan tembusan kepada
BUMN, paling lambat 14 (empat belas) hari kalender
terhitung sejak tanggal pelunasan dimaksud.
b. Laporan pelunasan KLBI lebih cepat dimaksud paling
kurang memuat informasi mengenai tanggal pelunasan,
nama skim, nama proyek, nomor SPK, dan jumlah KLBI
yang dilunasi.
c. Untuk skim KIK Pasca Konversi PIR-Trans, laporan
pelunasan KLBI lebih cepat sebagaimana dimaksud
dalam huruf b ditambahkan informasi mengenai
jumlah petani, tahap konversi, dan tahun tanam.
d. Atas...
9
d. Atas dasar laporan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a, Bank Indonesia mendebet rekening giro Bank
Pelaksana sebesar baki debet KLBI yang dilunasi lebih
cepat.
e. Jumlah angsuran pokok KLBI yang telah diterima oleh
BUMN akan didebet oleh Bank Indonesia pada saat
jatuh tempo KLBI.
2. Pelunasan KLBI lebih cepat karena pembatalan SPK atau
hal lain yang dapat membatalkan SPK
a. Dalam hal proyek yang dibiayai oleh KLBI dibatalkan
oleh Bank Indonesia karena adanya pelanggaran
ketentuan atau hal lain yang dapat menyebabkan
batalnya SPK maka Bank Indonesia mendebet rekening
giro Bank Pelaksana sebesar baki debet KLBI yang
dibatalkan.
b. Jumlah angsuran pokok KLBI yang telah diterima oleh
BUMN didebet oleh Bank Indonesia pada saat jatuh
tempo KLBI.
Atas dana angsuran KLBI yang telah dikelola BUMN untuk skim
KLBI yang dipercepat pelunasannya sebagaimana dimaksud
dalam angka 1 dan angka 2 maka Bank Indonesia menerbitkan
Surat Penegasan kepada BUMN untuk mengelola angsuran
KLBI yang telah diterima BUMN sebelum percepatan pelunasan
sebagaimana dimaksud dalam angka 1 dan angka 2, sampai
dengan jatuh tempo KLBI sesuai dengan masing-masing SPK.
Surat Penegasan dimaksud memuat paling kurang:
a. nomor SPK;
b. Bank Pelaksana;
c. skim Kredit;
d. nama debitur;
e. jumlah angsuran KLBI yang telah diterima BUMN; dan
f. tanggal jatuh tempo KLBI sesuai dengan masing-masing
SPK.
VI. PENYALURAN...
10
VI. PENYALURAN KEMBALI (RELENDING) ANGSURAN KLBI OLEH
BUMN
A. BUMN wajib menyampaikan rencana penyaluran kembali
(relending) angsuran pokok KLBI yang dikelolanya kepada Bank
Indonesia untuk 1 (satu) tahun anggaran berikutnya
berdasarkan besarnya angsuran KLBI yang akan diterima dan
dapat dikelola selama 1 (satu) tahun anggaran tersebut.
Rencana dimaksud paling kurang menyebutkan rencana
besarnya KLBI yang akan disalurkan kembali.
B. Rencana penyaluran kembali KLBI dihitung dari jumlah
angsuran KLBI yang akan diterima oleh BUMN pada tahun
anggaran berikutnya, setelah memperhitungkan pelunasan KLBI
pada tahun berikutnya dan saldo angsuran KLBI pada tahun
sebelumnya.
Contoh:
Jumlah angsuran KLBI yang akan diterima oleh BUMN A pada
tahun 2013 adalah sebesar Rp100.000.000.000,00 (seratus
miliar rupiah), sedangkan jumlah pelunasan KLBI yang jatuh
tempo pada tahun 2013 sebesar Rp20.000.000.000,00 (dua
puluh miliar rupiah). Saldo angsuran KLBI pada tahun 2012
adalah Rp0,00.
Berdasarkan data tersebut, maka rencana penyaluran kembali
KLBI yang harus disampaikan oleh BUMN A adalah sebagai
berikut:
(Angsuran yang akan diterima pada tahun 2013) – (pelunasan
KLBI tahun 2013) + (saldo angsuran KLBI tahun 2012)
Dengan demikian, rencana penyaluran angsuran KLBI adalah:
= Rp100.000.000.000,00 – Rp20.000.000.000,00 + Rp0,00
= Rp80.000.000.000,00.
C. Dalam hal BUMN merencanakan penyaluran kembali kurang
dari perhitungan sebagaimana dimaksud dalam huruf B maka:
1. BUMN...
11
1. BUMN menyampaikan rencana penyaluran kembali KLBI
kepada Bank Indonesia disertai dengan alasan yang
mendasari rencana penyaluran kembali KLBI dimaksud
untuk mendapatkan persetujuan Bank Indonesia.
2. Dalam hal Bank Indonesia menyetujui permohonan BUMN
sebagaimana dimaksud dalam angka 1 maka BUMN hanya
akan memperoleh dana kelolaan sebesar rencana penyaluran
KLBI.
D. Laporan rencana penyaluran kembali KLBI sebagaimana
dimaksud dalam huruf A disampaikan kepada Bank Indonesia
paling lambat pada akhir bulan November tahun berjalan.
E. Dalam hal akhir bulan November jatuh pada hari libur,
penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam huruf D
dilaksanakan pada hari kerja sebelumnya.
F. Laporan rencana penyaluran kembali KLBI sebagaimana
dimaksud dalam huruf A dapat diubah paling banyak 1 (satu)
kali dan paling lambat harus diterima oleh Bank Indonesia 6
(enam) bulan sebelum berakhirnya tahun anggaran berjalan.
G. Penyaluran kembali KLBI oleh BUMN kepada Bank Pelaksana
harus sesuai dengan rencana penyaluran yang disampaikan oleh
BUMN kepada Bank Indonesia.
H. Bank Indonesia akan mengevaluasi realisasi penyaluran kembali
KLBI yang dilakukan oleh BUMN untuk posisi akhir tahun atas
dasar kompilasi laporan bulanan BUMN.
I. BUMN dilarang menyalurkan kembali angsuran KLBI yang
dikelolanya selain untuk tujuan kredit atau pembiayaan.
J. Ketentuan penyaluran kembali KLBI harus sesuai dengan
ketentuan masing-masing skim KLBI. BUMN dapat menetapkan
ketentuan mengenai tata cara penyediaan plafon, tata cara
pelimpahan, tata cara pelunasan, pengenaan sanksi, dan
pelaporan, berbeda dengan ketentuan skim KLBI.
K. Perubahan atau penyesuaian ketentuan pemberian KLBI di luar
skim KLBI sebagaimana dimaksud dalam huruf J tidak
menunda...
12
menunda pelaksanaan pembayaran kembali KLBI kepada Bank
Indonesia pada saat jatuh tempo KLBI.
L. Dalam hal diperlukan penyesuaian ketentuan pemberian KLBI di
luar skim KLBI sebagaimana dimaksud dalam huruf J, BUMN
harus mengajukan permohonan penyesuaian skim KLBI kepada
Bank Indonesia. Atas dasar permohonan tersebut, Bank
Indonesia menyampaikan persetujuan atau penolakan kepada
BUMN.
M. Pada saat jatuh tempo KLBI, Bank Indonesia akan mendebet
rekening giro BUMN yang ada di Bank Indonesia sebesar jumlah
KLBI yang dikelola oleh BUMN. Untuk keperluan tersebut,
BUMN wajib menyediakan dana pada rekening giro yang ada di
Bank Indonesia minimal sebesar kumulatif angsuran KLBI yang
dikelola dan jatuh tempo.
N. Dalam hal KLBI jatuh tempo pada hari libur, kewajiban
penyediaan dana pada rekening giro BUMN yang ada di Bank
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam huruf M dilakukan
pada hari kerja sebelumnya.
VII. PELAPORAN
A. Bank Pelaksana wajib menyampaikan laporan kepada Bank
Indonesia sesuai dengan ketentuan yang berlaku untuk masing-
masing skim kredit program, dengan tembusan kepada BUMN.
B. Kantor Pusat BUMN wajib menyampaikan laporan secara
bulanan kepada Bank Indonesia cq. Departemen Pengelolaan
Pinjaman dan Transaksi Pemerintah yang memuat informasi
mengenai penerimaan angsuran, penyesuaian baki debet,
penyaluran kembali, dan pelunasan KLBI, paling lambat tanggal
15 bulan berikutnya. Dalam hal tanggal 15 jatuh pada hari
libur, penyampaian laporan dilaksanakan pada hari kerja
sebelumnya.
C. Laporan sebagaimana dimaksud dalam huruf B disusun dengan
mengacu pada format sebagaimana dimaksud dalam Lampiran I
dan Lampiran II untuk PT. BTN, serta Lampiran III dan
Lampiran...
13
Lampiran IV untuk PT. PNM, yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini.
VIII. TATA CARA PENGENAAN SANKSI
A. BUMN yang terlambat menyampaikan rencana penyaluran
kembali sebagaimana dimaksud dalam butir VI.D dikenakan
sanksi kewajiban membayar sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta
rupiah) untuk setiap keterlambatan.
B. BUMN yang menyalurkan kembali angsuran pokok KLBI yang
tidak sesuai dengan rencana penyaluran yang disampaikan
kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam butir VI.G
dikenakan sanksi berupa tidak dilimpahkannya angsuran KLBI
yang diterima dari Bank Pelaksana kepada BUMN sebesar
jumlah KLBI yang tidak disalurkan sesuai dengan rencana
penyaluran.
Contoh:
BUMN B menyampaikan rencana penyaluran kembali KLBI
tahun 2013 kepada Bank Indonesia sebesar
Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah). Atas dasar
evaluasi yang dilakukan Bank Indonesia, realisasi penyaluran
kembali KLBI yang dilakukan BUMN B selama tahun 2013
ternyata hanya mencapai Rp75.000.000.000,00 (tujuh puluh
lima miliar rupiah). Atas pelanggaran tersebut, BUMN B
dikenakan sanksi berupa tidak dilimpahkannya angsuran KLBI
yang diterima dari Bank Pelaksana sebesar
Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah).
C. BUMN yang menyalurkan kembali angsuran KLBI yang tidak
sesuai dengan tujuan kredit atau pembiayaan sebagaimana
dimaksud dalam butir VI.I dikenakan sanksi berupa:
1. penarikan kembali angsuran KLBI yang disalurkan oleh
BUMN di luar tujuan kredit atau pembiayaan dengan cara
mendebet rekening giro BUMN yang ada di Bank Indonesia
sebesar angsuran KLBI yang disalurkan oleh BUMN di luar
tujuan kredit atau pembiayaan; dan
2. kewajiban…
14
2. kewajiban membayar sebesar suku bunga Jakarta Interbank
Offered Rate (JIBOR) overnight ditambah 200 bps dikalikan
jumlah angsuran KLBI yang disalurkan di luar tujuan kredit
atau pembiayaan, dan dihitung selama pelanggaran.
Contoh 1:
Berdasarkan pemeriksaan Bank Indonesia pada tanggal 1
Februari 2013, diketahui bahwa BUMN A telah melakukan
pelanggaran berupa penggunaan angsuran KLBI sebesar
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) yang ditempatkan
dalam bentuk deposito terhitung sejak tanggal 3 Desember
2012. Atas temuan Bank Indonesia tersebut, BUMN A
menghentikan penempatan deposito pada tanggal 1 Februari
2013 dan Bank Indonesia telah melakukan penarikan
angsuran KLBI pada tanggal 20 Februari 2013. Atas
pelanggaran tersebut, BUMN A dikenakan sanksi sebagai
berikut:
a. penarikan kembali angsuran KLBI dengan cara mendebet
rekening giro BUMN A yang ada di Bank Indonesia pada
tanggal 20 Februari 2013 sebesar Rp1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah); dan
b. kewajiban membayar sebesar:
((suku bunga JIBOR overnight tanggal 3 Desember 2012 +
200 bps)/360) X jumlah hari pelanggaran (sejak tanggal 3
Desember 2012 s.d tanggal 1 Februari 2013 (61 hari)) X
Rp1.000.000.000,00
Dengan demikian, perhitungan sanksi adalah:
( Suku bunga JIBOR overnight + 200 bps
360
) X jumlah hari X nominal
= ((4,16840%+2%)/360) X 61 X Rp1.000.000.000,00
= Rp10.452.011,11
Contoh 2:
Berdasarkan pemeriksaan Bank Indonesia pada tanggal
1 Februari 2013, diketahui bahwa BUMN B telah
melakukan pelanggaran berupa penggunaan angsuran
KLBI…
15
KLBI sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)
yang ditempatkan dalam bentuk deposito terhitung sejak
tanggal 3 Desember 2012. Atas temuan tersebut, BUMN B
tidak menghentikan penempatan deposito dan Bank
Indonesia melakukan penarikan angsuran KLBI pada
tanggal 20 Februari 2013. Atas pelanggaran tersebut,
BUMN B dikenakan sanksi sebagai berikut:
a. penarikan kembali angsuran KLBI dengan cara
mendebet rekening giro BUMN B yang ada di Bank
Indonesia pada tanggal 20 Februari 2013 sebesar
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah); dan
b. kewajiban membayar sebesar:
((suku bunga JIBOR overnight tanggal 3 Desember
2012 + 200 bps)/360) X jumlah hari pelanggaran
(sejak tanggal 1 Desember 2012 sampai dengan
tanggal 20 Februari 2013 (80
Rp1.000.000.000,00
Dengan demikian, perhitungan sanksi adalah:
( Suku bunga JIBOR overnight + 200 bps
360
hari)) X
) X jumlah hari X nominal
= ((4,16840%+2%)/360) X 80X Rp1.000.000.000,00
= Rp13.707.555,56
D. BUMN yang menyalurkan kembali angsuran KLBI tidak sesuai
dengan ketentuan skim KLBI sebagaimana dimaksud dalam
butir VI.J. dikenakan sanksi berupa tidak dilimpahkannya
angsuran KLBI dari Bank Pelaksana yang seharusnya dapat
dikelola oleh BUMN sebesar jumlah KLBI yang disalurkan tidak
sesuai dengan ketentuan skim KLBI.
Contoh:
Berdasarkan pemeriksaan Bank Indonesia pada tanggal 1
Februari 2013, diketahui bahwa BUMN A telah melakukan
pelanggaran berupa penggunaan angsuran KLBI sebesar
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) yang disalurkan untuk
pemberian kredit konsumsi kepada karyawan sehingga tidak
sesuai…
16
sesuai dengan skim KLBI yang ditetapkan. Atas pelanggaran
tersebut, BUMN A dikenakan sanksi berupa angsuran KLBI
sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dari Bank
Pelaksana tidak dilimpahkan kepada BUMN A.
E. BUMN yang tidak dapat menyediakan dana pada rekening giro
yang ada di Bank Indonesia sebesar kumulatif angsuran KLBI
yang terutang sebagaimana dimaksud dalam butir VI. M.
dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar suku bunga
JIBOR overnight ditambah 200 bps dikalikan jumlah KLBI
terutang, yang dihitung selama pelanggaran.
Contoh:
Skim KLBI jatuh tempo pada tanggal 31 Januari 2013 sebesar
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Pada tanggal tersebut,
saldo rekening giro BUMN B hanya sebesar Rp700.000.000,00
(tujuh ratus juta rupiah). BUMN B baru dapat menyediakan
kekurangan dana sebesar Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta
rupiah) pada tanggal 28 Februari 2013. Atas pelanggaran
tersebut, BUMN B dikenakan sanksi kewajiban membayar
sebesar:
((suku bunga JIBOR overnight tanggal 31 Januari 2013 + 200
bps)/360) X jumlah hari pelanggaran (sejak tanggal 31 Januari
2013 sampai dengan tanggal 28 Februari 2013 (29 hari)) X
Rp300.000.000,00.
Dengan demikian, perhitungan sanksi adalah:
( Suku bunga JIBOR overnight + 200 bps
360
) X jumlah hari X nominal
= ((4,18960% + 2%)/360) X 29 X Rp300.000.000,00
= Rp1.495.820,00
F. Bank Pelaksana yang tidak melaporkan pelunasan KLBI lebih
cepat sebagaimana dimaksud dalam butir V.C.1 dikenakan
sanksi kewajiban membayar sebesar suku bunga JIBOR
overnight ditambah 200 bps dikalikan jumlah angsuran KLBI
yang dilunasi lebih cepat, dan dihitung selama pelanggaran.
Contoh…
17
Contoh:
Bank Pelaksana A tidak melaporkan pelunasan lebih cepat
untuk skim KLBI yang debiturnya melakukan pelunasan lebih
cepat pada tanggal 3 Desember 2012 sebesar Rp100.000.000,00
(seratus juta rupiah). Bank Pelaksana A baru melaporkan
pelunasan kepada Bank Indonesia pada tanggal 1 Februari
2013. Atas pelanggaran tersebut, Bank Pelaksana A dikenakan
sanksi kewajiban membayar sebesar:
((suku bunga JIBOR overnight tanggal 3 Desember 2012 + 200
bps)/360) X (jumlah hari pelanggaran yang dihitung sejak
tanggal 3 Desember 2012 sampai dengan tanggal 1 Februari
2013 (61 hari)) X Rp100.000.000,00.
Dengan demikian, perhitungan sanksi adalah:
( Suku bunga JIBOR overnight + 200 bps
360
) X jumlah hari X nominal
= ((4,16840% + 2%)/360) X 61 X Rp100.000.000,00
= Rp1.045.201,11
G. BUMN yang terlambat menyampaikan laporan yang memuat
informasi mengenai penerimaan angsuran, penyesuaian baki
debet, penyaluran kembali, dan pelunasan KLBI sebagaimana
dimaksud dalam butir VII.B dikenakan sanksi kewajiban
membayar sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk
setiap keterlambatan.
H. Pengenaan sanksi kewajiban membayar dilakukan oleh Bank
Indonesia cq. Departemen Pengelolaan Pinjaman dan Transaksi
Pemerintah dengan cara mendebet rekening giro masing-masing
BUMN atau Bank Pelaksana di Bank Indonesia.
IX. PENUTUP
Dengan berlakunya Surat Edaran Bank Indonesia ini maka
Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 5/30/BKr tanggal
18 November 2003 sebagaimana telah diubah dengan Surat Edaran
Bank Indonesia Nomor 6/28/BKr tanggal 9 Juli 2004 perihal
Perubahan Atas Surat Edaran Bank Indonesia No.5/30/BKr
Tanggal 18 November 2003 Perihal Pelaksanaan Pengalihan
Pengelolaan…
18
Pengelolaan Kredit Likuiditas Bank Indonesia Dalam Rangka Kredit
Program, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada
tanggal 3 Maret 2014
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengumuman Surat Edaran Bank Indonesia ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA,
HILZAHRA PHENI
KEPALA DEPARTEMEN PENGELOLAAN
PINJAMAN DAN TRANSAKSI PEMERINTAH
"," SE-BI
16/3/DPTP|SE-BI/2014
Pelaksanaan Pengalihan Pengelolaan Kredit Likuiditas Bank Indonesia Dalam Rangka Kredit Program
3 Maret 2014
3 Maret 2014
'5/30/BKr|SE-BI/2003', '6/28/BKr|SE-BI/2004'
'14/19/PBI/2012', '5/20/PBI/2003'
'Romawi VIII'
"
" No 18/35/DPPK
Jakarta, 13 Desember 2016
S U R A T E D A R A N
Kepada
SEMUA BANK UMUM DEVISA
DI INDONESIA
Perihal
: Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah antara Bank
dengan Pihak Asing
Sehubungan dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/19/PBI/2016
tentang Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak
Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 184,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5927), yang
selanjutnya disebut PBI, perlu mengatur ketentuan pelaksanaan mengenai
Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak Asing
dalam Surat Edaran Bank Indonesia sebagai berikut:
I.
TRANSAKSI
1. Badan hukum asing atau lembaga asing yang memiliki kegiatan
yang bersifat nirlaba sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 4
huruf c PBI antara lain ASEAN Secretary, World Bank, Asian
Development Bank, dan lembaga asing lainnya yang memenuhi
kriteria sebagai lembaga multilateral yang bersifat nirlaba.
2. Bank dapat melakukan Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah
dengan Pihak Asing atas dasar suatu kontrak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) PBI.
3. Kontrak yang digunakan dalam Transaksi Valuta Asing Terhadap
Rupiah berupa:
a. konfirmasi tertulis berupa kontrak transaksi valuta asing
(derivatif) yang lazim digunakan oleh pelaku pasar dan/atau
diterbitkan oleh asosiasi terkait; dan/atau
b. konfirmasi tertulis yang menunjukkan terjadinya transaksi yang
antara lain berupa dealing conversation atau print out dari
Society …
2
Society of Worldwide Interbank Financial Telecommunication
(SWIFT).
4. Kontrak yang digunakan dalam Transaksi Valuta Asing Terhadap
Rupiah yang dilakukan Bank untuk kepentingan sendiri paling
kurang berisi:
a. nomor kontrak;
b.
tanggal transaksi dan tanggal valuta;
c. nilai nominal transaksi;
d. nama counterparty;
e. mata uang (denominasi); dan
f.
rekening bank koresponden.
5. Kontrak yang digunakan dalam Transaksi Valuta Asing Terhadap
Rupiah yang dilakukan Bank untuk kepentingan Pihak Asing paling
kurang berisi:
a. nomor kontrak;
b. hak dan kewajiban dari kedua belah pihak (Bank dan Pihak
Asing) dalam hal Bank diberi kewenangan untuk mewakili
Pihak Asing;
c.
tanggal transaksi dan tanggal valuta;
d. nilai nominal transaksi;
e.
f.
g.
h. besarnya komisi; dan
i.
pagu Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah;
jenis valuta yang diperjualbelikan;
jenis transaksi yang digunakan;
rekening bank koresponden.
6. Kontrak transaksi valuta asing (derivatif) yang digunakan oleh
pelaku pasar dapat berupa perjanjian induk derivatif Indonesia
sebagaimana contoh kontrak transaksi valuta asing (derivatif) yang
tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini.
7. Penggunaan kontrak sebagaimana dimaksud pada angka 6 dalam
Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah merupakan tanggung
jawab masing-masing pihak yang melakukan transaksi.
8. Dalam hal kontrak yang digunakan Bank dalam Transaksi Valuta
Asing Terhadap Rupiah sebagaimana dimaksud dalam angka 4 dan
angka 5 mencantumkan penggunaan acuan kurs dalam
penyelesaian …
3
penyelesaian transaksi pada saat jatuh waktu, Bank harus
mengacu kepada kurs yang diterbitkan Bank Indonesia.
9. Kurs yang diterbitkan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam angka 8 yang selanjutnya disebut Jakarta Interbank Spot
Dollar Rate (JISDOR) merupakan representasi harga Spot Dolar
Amerika Serikat (US Dollar) terhadap Rupiah dari transaksi antar-
Bank di pasar domestik termasuk transaksi Bank dengan bank di
luar negeri, yang dilaporkan Bank melalui Sistem Monitoring
Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah (SISMONTAVAR).
10. JISDOR yang diterbitkan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam angka 9 diatur sebagai berikut:
a. Bank Indonesia menerbitkan JISDOR setiap hari kerja melalui
website Bank Indonesia dan/atau media lainnya.
b. Penggunaan JISDOR berlaku untuk transaksi US Dollar
terhadap Rupiah.
11. Dalam melakukan Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah dengan
Pihak Asing, Bank wajib menggunakan kuotasi harga (kurs) valuta
asing terhadap Rupiah yang ditetapkan oleh Bank sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) PBI.
Contoh:
Bank A melakukan Transaksi Spot USD/IDR dengan Pihak Asing B.
Dalam hal ini, Bank A wajib menggunakan kuotasi harga USD/IDR
yang ditetapkan oleh Bank A, dan bukan berasal dari Pihak Asing
B.
12. Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah meliputi transaksi
pembelian dan penjualan dalam denominasi seluruh valuta asing
terhadap Rupiah.
13. Untuk pembelian dan penjualan valuta asing terhadap Rupiah,
selain US Dollar terhadap Rupiah sebagaimana dimaksud dalam
angka 12 (misalnya Yen terhadap Rupiah, Euro terhadap Rupiah),
perhitungan jumlah tertentu (threshold) kewajiban Underlying
Transaksi adalah sebagai berikut :
(𝑘𝑢𝑟𝑠 𝑏𝑒𝑙𝑖 𝑈𝑆𝐷+𝑘𝑢𝑟𝑠 𝑗𝑢𝑎𝑙 𝑈𝑆𝐷)
2
(𝑘𝑢𝑟𝑠 𝑏𝑒𝑙𝑖 𝑛𝑜𝑛 𝑈𝑆𝐷+𝑘𝑢𝑟𝑠 𝑗𝑢𝑎𝑙 𝑛𝑜𝑛 𝑈𝑆𝐷)
2
x threshold dalam USD
Keterangan: Kurs pada rumus adalah terhadap Rupiah
14. Kurs …
4
14. Kurs sebagaimana dimaksud dalam angka 13 merupakan kurs
penutupan Bank Indonesia pada 1 (satu) hari kerja sebelumnya
(H-1), yang tersedia pada sistem Laporan Harian Bank Umum
(LHBU).
15. Pembelian valuta asing terhadap Rupiah dapat dilakukan untuk:
a.
b.
jenis valuta asing yang sama dengan yang tercantum dalam
dokumen Underlying Transaksi; atau
jenis valuta asing yang berbeda dengan dokumen Underlying
Transaksi apabila disertai dengan dokumen yang dapat
menjelaskan alasan perbedaan tersebut.
16. Pembelian valuta asing terhadap Rupiah oleh Pihak Asing kepada
Bank tanpa Underlying Transaksi hanya dapat dilakukan paling
banyak:
a.
sebesar USD25,000.00 (dua puluh lima ribu dolar Amerika
Serikat) atau ekuivalennya per bulan per Pihak Asing melalui
Transaksi Spot;
b.
sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat)
atau ekuivalennya per transaksi per Pihak Asing maupun per
posisi (outstanding) per Bank melalui Transaksi Derivatif
Valuta Asing Terhadap Rupiah yang standar (plain vanilla)
melalui transaksi forward, option, dan swap termasuk cross
currency swap (CCS).
17. Pembelian valuta asing terhadap Rupiah oleh Pihak Asing melalui
Transaksi Spot kepada Bank tanpa Underlying Transaksi dilakukan
dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Perhitungan 1 (satu) bulan didasarkan pada bulan kalender,
yaitu sejak tanggal permulaan bulan kalender sampai dengan
tanggal berakhirnya bulan kalender.
Contoh:
Jika pada bulan November 20xx, Pihak Asing hanya
melakukan pembelian valuta asing terhadap Rupiah tanpa
Underlying Transaksi 1 (satu) kali pada tanggal 25 November
20xx sebesar USD25,000.00 (dua puluh lima ribu dolar
Amerika Serikat) maka hal tersebut diperhitungkan sebagai
jumlah paling banyak yang telah digunakan dalam bulan
November 20xx. Pihak Asing dapat kembali menggunakan
jumlah …
5
jumlah paling banyak sebesar ekuivalen USD25,000.00 (dua
puluh lima ribu dolar Amerika Serikat) tersebut selama periode
Desember 20xx.
b. Perhitungan nominal transaksi didasarkan pada tanggal
transaksi.
Contoh:
Pada tanggal 11 November 20xx, Pihak Asing melakukan
pembelian valuta asing terhadap Rupiah melalui Transaksi
Spot beli sebesar USD5,000.00 (lima ribu dolar Amerika
Serikat). Kemudian, Pihak Asing kembali melakukan Transaksi
Spot beli valuta asing terhadap Rupiah pada tanggal 30
November 20xx sebesar USD10,000.00 (sepuluh ribu dolar
Amerika Serikat). Perhitungan transaksi pembelian valuta
asing terhadap Rupiah oleh Pihak Asing sampai dengan
tanggal 30 November 20xx adalah sebesar USD15,000.00 (lima
belas ribu dolar Amerika Serikat).
c. Perhitungan nominal transaksi pembelian valuta asing
terhadap Rupiah didasarkan pada jenis transaksi (Transaksi
Spot dan Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah).
Contoh:
Pada tanggal 11 November 20xx, Pihak Asing A melakukan
pembelian valuta asing terhadap Rupiah melalui Transaksi
Spot sebesar USD10,000.00 (sepuluh ribu dolar Amerika
Serikat). Kemudian Pihak Asing A melakukan pembelian
valuta asing terhadap Rupiah melalui transaksi forward pada
tanggal 17 November 20xx sebesar USD20,000.00 (dua puluh
ribu dolar Amerika Serikat). Pada tanggal 18 November 20xx,
Pihak Asing A kembali melakukan pembelian valuta asing
terhadap Rupiah melalui Transaksi Spot
sebesar
USD15,000.00 (lima belas ribu dolar Amerika Serikat) dan
melalui transaksi option sebesar USD40,000.00 (empat puluh
ribu dolar Amerika Serikat). Perhitungan transaksi pembelian
valuta asing terhadap Rupiah oleh Pihak Asing A pada akhir
bulan November 20xx adalah sebesar USD25,000.00 (dua
puluh lima ribu dolar Amerika Serikat) melalui Transaksi Spot
dan sebesar USD60,000.00 (enam puluh ribu dolar Amerika
Serikat) …
6
Serikat) melalui Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap
Rupiah (forward dan option).
d. Perhitungan nominal transaksi didasarkan pada akumulasi
seluruh transaksi dalam 1 (satu) bulan kalender yang
dilakukan oleh masing-masing Pihak Asing secara individual
baik secara tunai maupun non-tunai dalam bentuk simpanan
valuta asing.
Contoh:
Pihak Asing X melakukan pembelian valuta asing terhadap
Rupiah di Bank Y secara tunai sebesar USD5,000.00 (lima
ribu dolar Amerika Serikat) pada tanggal 11 November 20xx.
Kemudian, pada tanggal 15 November 20xx Pihak Asing X
melakukan konversi simpanan Rupiah menjadi simpanan
valuta asing dalam US Dollar di Bank Y sebesar USD10,000.00
(sepuluh ribu dolar Amerika Serikat). Perhitungan kumulatif
transaksi yang dilakukan oleh Pihak Asing X dalam periode
bulan November 20xx adalah sebesar USD15,000.00 (lima
belas ribu dolar Amerika Serikat).
e. Untuk Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah melalui
rekening gabungan (joint account) yang dimiliki lebih dari 1
(satu) Pihak Asing, Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah
tanpa Underlying Transaksi hanya dapat dilakukan paling
banyak sebesar threshold per rekening gabungan (joint
account).
Contoh:
Pihak Asing A dan B memiliki joint account. Pada tanggal 10
November 20xx, Pihak Asing A melakukan Transaksi Spot
pembelian valuta asing terhadap Rupiah melalui joint account
sebesar USD20,000.00 (dua puluh ribu dolar Amerika Serikat).
Atas transaksi tersebut Pihak Asing A wajib menyampaikan
dokumen pendukung paling lambat pada tanggal 12 November
20xx. Pada tanggal 24 November 20xx, Pihak Asing B
melakukan Transaksi Spot pembelian valuta asing terhadap
Rupiah melalui joint account sebesar USD30,000.00 (tiga
puluh ribu dolar Amerika Serikat). Atas pembelian valuta asing
tersebut, Pihak Asing B wajib menyampaikan dokumen
Underlying …
7
Underlying Transaksi dan dokumen pendukung paling lambat
pada tanggal 26 November 20xx karena jumlah pembelian
valuta asing terhadap Rupiah yang dilakukan melalui joint
account pada bulan November 20xx telah melebihi threshold
USD25,000.00 (dua puluh lima ribu dolar Amerika Serikat),
yaitu sebesar USD50,000.00 (lima puluh ribu dolar Amerika
Serikat).
18. Penjualan valuta asing terhadap Rupiah melalui Transaksi Derivatif
Valuta Asing Terhadap Rupiah oleh Pihak Asing kepada Bank tanpa
Underlying Transaksi hanya dapat dilakukan paling banyak:
a.
sebesar USD5,000,000.00 (lima juta dolar Amerika Serikat)
atau ekuivalennya per transaksi per Pihak Asing melalui
transaksi forward;
b.
sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat)
atau ekuivalennya per transaksi per Pihak Asing maupun per
posisi (outstanding) per Bank melalui transaksi option dan
swap.
II. UNDERLYING TRANSAKSI
1. Underlying Transaksi berupa pemberian kredit sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (5) huruf c PBI diatur sebagai berikut:
a. Fasilitas pemberian kredit termasuk pemberian kredit
antarnasabah yang belum ditarik, tidak dapat menjadi
Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (5) huruf c PBI.
b. Fasilitas pemberian kredit antarnasabah yang telah ditarik
dapat menjadi Underlying Transaksi sepanjang kredit
antarnasabah merupakan kredit yang diberikan oleh Pihak
Asing kepada nasabah di dalam negeri.
c. Underlying Transaksi berupa kredit termasuk pemberian kredit
antarnasabah baik dalam bentuk tunai maupun barang yang
telah ditarik, nominal Transaksi Valuta Asing Terhadap
Rupiah paling banyak sama dengan nominal kredit yang telah
ditarik.
Contoh 1: …
8
Contoh 1:
Pada tanggal 18 Januari 20xx, Pihak Asing di luar negeri
berencana memberikan kredit kepada PT A sebesar
Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah) dimana
sumber Rupiah tersebut diperoleh dari hasil penjualan valuta
asing terhadap Rupiah. Dalam pelaksanaannya, realisasi
penarikan kredit oleh PT A adalah sebesar
Rp140.000.000.000,00 (seratus empat puluh miliar rupiah).
Sehingga, pembelian derivatif valuta asing terhadap Rupiah
melalui transaksi forward untuk kepentingan lindung nilai
kredit tersebut oleh pihak kreditur (Pihak Asing di luar negeri)
paling banyak dilakukan sebesar
ekuivalen
Rp140.000.000.000,00 (seratus empat puluh miliar rupiah).
Contoh 2:
Pada tanggal 10 Januari 20xx, C Ltd. yang merupakan Pihak
Asing memberikan kredit dalam bentuk barang modal
ekuivalen sebesar Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar
rupiah) kepada PT B yang merupakan perusahaan afiliasi dari
C Ltd.
Pada tanggal 1 Februari 20xx, PT B melakukan penarikan
kredit dari C Ltd. dalam bentuk barang senilai
Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).
Atas penarikan kredit ini, C Ltd. melakukan pembelian valuta
asing terhadap Rupiah melalui transaksi forward paling
banyak sebesar ekuivalen Rp50.000.000.000,00 (lima puluh
miliar rupiah).
d. Underlying Transaksi berupa kredit termasuk pemberian kredit
antarnasabah yang telah ditarik, jatuh waktu Transaksi Valuta
Asing Terhadap Rupiah paling lama sama dengan jatuh waktu
pelunasan kredit yang ditarik tersebut.
Contoh:
Pada tanggal 2 Januari 20xx, Z Ltd. sebagai head office (Pihak
Asing) dari PT A memberikan kredit dalam mata uang Rupiah
kepada PT A sebesar Rp14.000.000.000,00 (empat belas miliar
rupiah) yang Rupiahnya diperoleh melalui penjualan valuta
asing terhadap Rupiah, dan jatuh waktu pelunasan kredit
pada …
9
pada tanggal 30 Juni 20xx. Z Ltd. dapat melakukan pembelian
valuta asing terhadap Rupiah melalui transaksi forward untuk
kepentingan lindung nilai kredit tersebut paling banyak
sebesar ekuivalen Rp14.000.000.000,00 (empat belas miliar
rupiah) dengan jatuh waktu transaksi forward paling lama
sama dengan tanggal pelunasan kredit yaitu tanggal 30 Juni
20xx.
2. Underlying Transaksi penjualan valuta asing terhadap Rupiah
melalui transaksi forward dan transfer Rupiah berupa kepemilikan
dana valuta asing di dalam negeri dan/atau di luar negeri
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (6) PBI diatur sebagai
berikut:
a. Nominal transaksi penjualan valuta asing terhadap Rupiah
melalui transaksi forward paling banyak sebesar saldo
dan/atau jumlah kepemilikan dana valuta asing Pihak Asing
di dalam negeri dan/atau di luar negeri.
Contoh:
Perusahaan A Ltd. yang merupakan Pihak Asing memiliki
deposito valuta asing di Bank X sebesar USD10,000,000.00
(sepuluh juta dolar Amerika Serikat). Berdasarkan Underlying
Transaksi berupa deposito valuta asing tersebut, Perusahaan
A Ltd. dapat melakukan penjualan valuta asing terhadap
Rupiah melalui transaksi forward paling banyak sebesar
USD10,000,000.00 (sepuluh juta dolar Amerika Serikat).
b. Transfer Rupiah ke rekening Pihak Asing dengan Underlying
Transaksi berupa kepemilikan dana valuta asing Pihak Asing
di dalam negeri dan/atau di luar negeri merupakan transfer
Rupiah yang berasal dari penjualan valuta asing terhadap
Rupiah melalui Transaksi Spot.
Contoh:
Corporation B Ltd. yang merupakan Pihak Asing memiliki
deposit on-call
valuta asing di Bank X senilai
USD15,000,000.00 (lima belas juta dolar Amerika Serikat).
Atas Underlying Transaksi berupa deposit on-call valuta asing
ini, Corporation B Ltd. dapat menerima transfer Rupiah ke
rekening Corporation B Ltd. paling banyak sebesar ekuivalen
USD15,000,000.00 …
10
USD15,000,000.00 (lima belas juta dolar Amerika Serikat)
yang berasal dari hasil penjualan deposit on-call valuta asing
dan memperoleh Rupiah melalui Transaksi Spot.
c. Dalam hal dana valuta asing ditempatkan pada instrumen
yang memiliki tanggal jatuh waktu antara lain berupa deposito
dan/atau Negotiable Certificate of Deposit (NCD), jatuh waktu
penjualan valuta asing terhadap Rupiah melalui transaksi
forward paling lama sama dengan jatuh waktu penempatan
dana.
Contoh:
Perusahaan A Ltd. memiliki NCD dalam valuta asing yang
akan jatuh waktu pada tanggal 31 Maret 20xx. Atas
kepemilikan NCD dalam valuta asing tersebut, Perusahaan A
Ltd. dapat melakukan penjualan valuta asing terhadap Rupiah
melalui transaksi forward dengan jatuh waktu paling lama
tanggal 31 Maret 20xx.
d. Dalam hal dana valuta asing ditempatkan pada instrumen
yang tidak memiliki tanggal jatuh waktu antara lain berupa
tabungan atau giro, jatuh waktu penjualan valuta asing
terhadap Rupiah melalui transaksi forward tidak dibatasi.
Contoh:
Pada tanggal 2 Januari 20xx, A Ltd. memiliki rekening valuta
asing dalam bentuk giro sebesar USD20,000,000.00 (dua
puluh juta dolar Amerika Serikat). Atas kepemilikan dana
valuta asing tersebut, pada tanggal 2 Januari 20xx, A Ltd.
melakukan penjualan valuta asing terhadap Rupiah melalui
transaksi forward sebesar USD14,000,000.00 (empat belas
juta dolar Amerika Serikat) yang jatuh waktu pada tanggal 2
Februari 20xx dan sebesar USD6,000,000.00 (enam juta dolar
Amerika Serikat) yang jatuh waktu pada tanggal 2 Juni 20xx.
e. Dalam hal kepemilikan dana valuta asing berupa instrumen
yang tidak memiliki tanggal jatuh waktu sebagaimana
dimaksud dalam huruf d, saldo rekening valuta asing pada
instrumen tersebut paling kurang sama dengan nominal
penjualan valuta asing terhadap Rupiah melalui transaksi
forward untuk sepanjang waktu transaksi forward dimaksud.
Contoh: …
11
Contoh:
Pada tanggal 5 Februari 20xx, B Ltd. memiliki tabungan dalam
valuta asing sebesar USD6,000,000.00 (enam juta dolar
Amerika Serikat). Pada tanggal yang sama, B Ltd. melakukan
penjualan valuta asing terhadap Rupiah melalui transaksi
forward sebesar USD6,000,000.00 (enam juta dolar Amerika
Serikat) dengan jangka waktu 1 (satu) bulan. B Ltd. harus
memiliki saldo tabungan valuta asing dengan jumlah tidak
kurang dari USD6,000,000.00 (enam juta dolar Amerika
Serikat) selama 1 (satu) bulan ke depan sampai dengan
transaksi forward tersebut jatuh waktu.
3. Dalam hal nilai nominal Underlying Transaksi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) PBI tidak dalam kelipatan
USD5,000.00 (lima ribu dolar Amerika Serikat) maka terhadap nilai
nominal Underlying Transaksi dimaksud dapat dilakukan
pembulatan ke atas dalam kelipatan USD5,000.00 (lima ribu dolar
Amerika Serikat).
Contoh 1:
Perusahaan A memiliki kewajiban kepada vendor di luar negeri
sebesar USD73,500.00 (tujuh puluh tiga ribu lima ratus dolar
Amerika Serikat). Atas dasar Underlying Transaksi dimaksud,
Perusahaan A dapat melakukan Transaksi Spot beli sebesar
USD75,000.00 (tujuh puluh lima ribu dolar Amerika Serikat).
Contoh 2:
Perusahaan B memiliki kewajiban kepada vendor di luar negeri
sebesar USD61,000.00 (enam puluh satu ribu dolar Amerika
Serikat). Atas dasar Underlying Transaksi dimaksud, Perusahaan A
dapat melakukan Transaksi Spot beli sebesar USD65,000.00 (enam
puluh lima ribu dolar Amerika Serikat).
4. Dalam hal nilai nominal Underlying Transaksi sebagaimana
dimaksud pada Pasal 6 ayat (4) PBI tidak dalam kelipatan
USD10,000.00 (sepuluh ribu dolar Amerika Serikat) maka terhadap
nilai nominal Underlying Transaksi dimaksud dapat dilakukan
pembulatan ke atas dalam kelipatan USD10,000.00 (sepuluh ribu
dolar Amerika Serikat).
Contoh: …
12
Contoh:
Perusahaan B memiliki utang dalam valuta asing dengan nominal
sebesar USD1,432,500.00 (satu juta empat ratus tiga puluh dua
ribu lima ratus dolar Amerika Serikat). Perusahaan B dapat
melakukan untuk kepentingan lindung nilai kredit tersebut dengan
melakukan transaksi forward beli sebesar USD1,440,000.00 (satu
juta empat ratus empat puluh ribu dolar Amerika Serikat).
5. Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah atas investasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 PBI, diatur sebagai berikut:
a. Dalam hal Underlying Transaksi dari Transaksi Derivatif
Valuta Asing Terhadap Rupiah berupa realisasi investasi:
1)
telah terjadi aliran dana dari Pihak Asing untuk
penyelesaian transaksi kegiatan investasi dimaksud;
2) nilai Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah
untuk investasi paling banyak sebesar nilai realisasi
investasi yang tercantum dalam dokumen Underlying
Transaksi; dan
3)
jangka waktu Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap
Rupiah paling lama sama dengan sisa jangka waktu
Underlying Transaksi.
b. Untuk Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah atas
investasi yang masih dalam proses:
1)
2) Pihak Asing yang bersangkutan telah tercatat sebagai
investor atas investasi dimaksud;
3) nilai Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah
paling banyak sebesar nilai rencana investasi yang
tercantum dalam dokumen Underlying Transaksi; dan
4)
jangka waktu Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap
Rupiah paling lama sama dengan sisa jangka waktu
Underlying Transaksi.
Contoh 1:
Pihak Otoritas Bursa Efek Indonesia (BEI) akan
menyelenggarakan Initial Public Offering (IPO) saham PT
JKL dengan tanggal penawaran 17 sampai dengan 21
November …
telah terjadi aliran dana dari Pihak Asing atas rencana
investasi dimaksud;
13
November 20xx dan tanggal penyetoran dana tunai 25
November 20xx.
Pada tanggal penawaran, para investor dipersyaratkan
untuk membuktikan komitmen berupa jaminan aset
saham yang tercatat pada underwriter IPO atau
penyetoran dana Rupiah sebesar nilai penawaran yang
diajukan.
Berdasarkan informasi IPO tersebut, pada tanggal 21
November 20xx Pihak Asing memasukkan penawaran
saham PT JKL sebesar Rp250.000.000,00 (dua ratus lima
puluh juta rupiah). Selanjutnya pada tanggal 22
November 20xx, Pihak Asing melakukan Transaksi
Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah dengan Bank
yaitu transaksi forward jual USD/IDR Bank kepada
Pihak Asing sebesar ekuivalen Rp250.000.000,00 (dua
ratus lima puluh juta rupiah) dengan tujuan Pihak Asing
dapat memperoleh dana Rupiah pada tanggal 25
November 20xx untuk keperluan penyetoran dana pada
underwriter IPO. Dalam hal ini, Transaksi Derivatif
Valuta Asing Terhadap Rupiah dilakukan pada tanggal
22 November 20xx dengan tanggal jatuh waktu 25
November 20xx, dimana tanggal jatuh waktu tersebut
merupakan tanggal penyelesaian transaksi pembelian
saham tersebut.
Contoh 2:
Pihak Asing melakukan pembelian Obligasi Negara tenor
5 (lima) tahun sebesar Rp150.000.000,00 (seratus lima
puluh juta rupiah) pada tanggal transaksi 10 November
20xx dengan tanggal penyelesaian transaksi pembelian
Obligasi Negara pada 13 November 20xx dan akan
dimiliki sampai dengan tanggal 10 Desember 20xx. Atas
kepemilikan Obligasi Negara tersebut, Pihak Asing
berencana untuk melakukan Transaksi Derivatif Valuta
Asing Terhadap Rupiah. Bank dapat memenuhi
kebutuhan Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap
Rupiah dengan Pihak Asing atas pembelian Obligasi
Negara …
14
Negara tersebut melalui transaksi swap jual USD/IDR
Bank kepada Pihak Asing (Bank beli USD/IDR pada first
leg dan jual USD/IDR pada second leg) sebesar ekuivalen
Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).
Dalam hal ini, transaksi dapat dilakukan pada tanggal 11
November 20xx dengan tanggal valuta (first leg) pada 13
November 20xx dan tanggal jatuh waktu (second leg)
pada 10 Desember 20xx yang akan digunakan untuk
repatriasi. Dana Rupiah yang diperoleh pada tanggal 13
November 20xx dipergunakan untuk melakukan
penyelesaian transaksi Obligasi Negara tersebut.
III. PENYELESAIAN TRANSAKSI
1.
Kewajiban penyelesaian Transaksi Spot dengan pemindahan dana
pokok secara penuh (full movement of fund) sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13 ayat (1) PBI diatur sebagai berikut:
a. pemindahan dana pokok secara penuh (full movement of fund)
dilakukan secara riil atas nilai pokok masing-masing
transaksi jual dan/atau transaksi beli yang disepakati pada
awal transaksi tersebut;
b. pemindahan dana pokok secara penuh (full movement of fund)
tersebut didukung oleh tersedianya sejumlah dana riil yang
cukup untuk membiayai transaksi dimaksud (good fund), dan
bukan didasarkan pada aspek pencatatan dalam pembukuan
(akuntansi); dan
c. dana pokok tersebut digunakan untuk proses penyelesaian
Transaksi Spot pada tanggal valuta, dan tercatat pada sistem
treasury Bank, yang dapat dibuktikan dari urutan waktu
penyelesaian transaksi.
Contoh:
Pihak Asing melakukan transaksi pembelian Spot USD
terhadap Rupiah dengan Bank B sebesar USD1,000,000.00
(satu juta dolar Amerika Serikat) pada kurs spot USD/IDR
11.000,00. Pada tanggal valuta, Pihak Asing wajib melakukan
penyerahan dana Rupiah melalui pemindahan dana pokok
secara penuh (full movement of fund)
sebesar
Rp11.000.000.000,00 …
15
Rp11.000.000.000,00 (sebelas miliar rupiah) secara riil pada
saat proses penyelesaian transaksi tersebut dilakukan, dan
tercatat pada sistem treasury Bank, yang dapat dibuktikan
berdasarkan urutan waktu penyelesaian transaksi. Bank B
wajib melakukan penyerahan dana US Dollar melalui
pemindahan dana pokok secara penuh (full movement of fund)
sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat)
secara riil pada saat proses penyelesaian transaksi tersebut
dilakukan, dan tercatat pada sistem treasury Bank, yang
dapat dibuktikan berdasarkan urutan waktu penyelesaian
transaksi.
2.
Penyelesaian Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah
antara Bank dengan Pihak Asing yang dapat dilakukan secara
netting hanya berlaku untuk perpanjangan transaksi (roll over),
percepatan penyelesaian transaksi (early termination), dan
pengakhiran transaksi (unwind) sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 ayat (2) dan ayat (3) PBI.
3.
Kewajiban pemindahan dana pokok secara penuh (full movement of
fund) untuk penyelesaian penjualan valuta asing terhadap Rupiah
oleh Pihak Asing kepada Bank melalui transaksi forward dengan
nominal transaksi paling banyak sebesar jumlah tertentu
(threshold) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (4) dan
ayat (5) PBI diatur sebagai berikut:
a. Kewajiban penyelesaian dengan pemindahan dana pokok
secara penuh (full movement of fund) dilakukan pada saat
jatuh waktu transaksi forward jual.
b. Dalam hal sebelum berakhirnya kontrak transaksi forward
jual awal dilakukan perpanjangan transaksi (roll over) atau
percepatan penyelesaian transaksi (early termination),
kewajiban penyelesaian dengan pemindahan dana pokok
secara penuh (full movement of fund) dilakukan pada saat
berakhirnya kontrak perpanjangan transaksi (roll over) atau
kontrak percepatan penyelesaian transaksi (early termination).
c. Penyelesaian penjualan valuta asing terhadap Rupiah melalui
transaksi forward paling banyak sejumlah threshold tidak
dapat dilakukan melalui pengakhiran transaksi (unwind)
karena …
16
karena tidak terdapat pemindahan dana pokok secara penuh
(full movement of fund).
d. Perpanjangan transaksi
(roll over) atau percepatan
penyelesaian transaksi (early termination) sebagaimana
dimaksud dalam huruf b dapat dilakukan sepanjang
didukung oleh Underlying Transaksi dari transaksi forward
jual awal.
Contoh 1:
Perpanjangan transaksi (roll over) penjualan valuta asing
terhadap Rupiah melalui transaksi forward dengan nominal
transaksi paling banyak sebesar threshold.
Pada tanggal 15 Januari 20xx, Pihak Asing A melakukan
ekspor dari Indonesia dengan nilai sebesar USD4,000,000.00
(empat juta dolar Amerika Serikat) yang akan dibayar pada
saat barang diterima yaitu pada tanggal 15 April 20xx. Atas
rencana penerimaan valuta asing tersebut, pada tanggal 15
Januari 20xx Pihak Asing A melakukan transaksi forward jual
USD/IDR kepada Bank B sebesar USD4,000,000.00 (empat
juta dolar Amerika Serikat) dengan forward rate USD/IDR
13.000,00 dan jangka waktu 3 (tiga) bulan (jatuh waktu pada
tanggal 15 April 20xx) dengan hanya menyerahkan dokumen
pendukung.
Karena pengapalan mengalami keterlambatan yang
berdampak terhadap penerimaan barang oleh importir
sehingga pembayaran importir
juga mengalami
keterlambatan. Penerimaan hasil ekspor baru akan diterima
pada tanggal 15 Mei 20xx.
Atas hal tersebut, pada tanggal 13 April 20xx, Pihak Asing A
meminta kepada Bank B untuk melakukan perpanjangan (roll
over) transaksi forward jual selama 1 (satu) bulan dengan
jatuh waktu pada tanggal 15 Mei 20xx. Pihak Asing A
memperpanjang transaksi forward jual dengan cara membuka
transaksi swap buy-sell kepada Bank B sebesar
USD4,000,000.00 (empat juta dolar Amerika Serikat) dengan
swap rate USD/IDR 13.300,00. Kurs Spot USD/IDR tanggal
13 April 20xx adalah Rp13.100,00.
Atas …
17
Atas transaksi swap buy-sell dalam rangka perpanjangan
transaksi (roll over) tersebut, Pihak Asing A wajib
menyerahkan dokumen Underlying Transaksi dari Transaksi
Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah awal.
Pada saat perpanjangan transaksi (roll over) dilakukan (15
April 20xx), Pihak Asing A membayar selisih kurs kepada
Bank B sebesar Rp400.000.000,00 (empat ratus juta Rupiah)
yang berasal dari perhitungan ((Rp13.100,00-Rp13.000,00) x
USD4,000,000.00).
Pada tanggal 15 Mei 20xx yang merupakan tanggal jatuh
waktu kontrak perpanjangan transaksi forward, Pihak Asing
A menyerahkan USD4,000,000.00 (empat juta dolar Amerika
Serikat) kepada Bank B untuk penyelesaian kontrak dan
menerima Rupiah sebesar Rp53.200.000.000,00 (lima puluh
tiga miliar dua ratus juta rupiah) yang berasal dari
perhitungan (Rp13.300,00 x USD4,000,000.00).
Contoh 2:
Percepatan penyelesaian transaksi (early termination)
penjualan valuta asing terhadap Rupiah melalui transaksi
forward dengan nominal transaksi paling banyak sebesar
threshold.
Pada tanggal 10 Januari 20xx, Pihak Asing C melakukan
ekspor barang ke luar negeri dengan nilai nominal sebesar
USD2,000,000.00 (dua juta dolar Amerika Serikat) yang
pembayarannya akan diterima 3 (tiga) bulan kemudian yaitu
pada tanggal 10 April 20xx. Pada tanggal yang sama, Pihak
Asing …
18
Asing C melakukan lindung nilai dengan transaksi forward
jual valuta asing terhadap Rupiah kepada Bank D sebesar
USD2,000,000.00 (dua juta dolar Amerika Serikat) dengan
forward rate USD/IDR 13.000,00, dengan hanya
menyerahkan dokumen pendukung.
Pada awal Maret 20xx, lini produksi Pihak Asing C melakukan
percepatan produksi sehingga dapat melakukan pengiriman
barang 1 (satu) bulan lebih cepat sehingga pembayaran dapat
diterima lebih cepat menjadi tanggal 10 Maret 20xx.
Dengan mempertimbangkan percepatan penerimaan tersebut,
pada tanggal 8 Maret 20xx, Pihak Asing C meminta Bank D
untuk melakukan percepatan penyelesaian transaksi (early
termination) sebesar USD2,000,000.00 (dua juta dolar
Amerika Serikat). Pihak Asing C melakukan percepatan
penyelesaian transaksi
(early termination) dengan cara
melakukan swap sell-buy dengan Bank D dengan kurs Spot
Rp13.100,00 dan swap rate Rp13.200,00. Atas transaksi
swap dalam rangka early termination tersebut, Pihak Asing C
wajib menyerahkan dokumen Underlying Transaksi penjualan
forward awal.
Pada tanggal 10 Maret 20xx, Pihak Asing C menyerahkan
dana valuta asing sebesar USD2,000,000.00 (dua juta dolar
Amerika Serikat) kepada Bank D dan menerima dana Rupiah
sebesar Rp26.200.000.000,00 (dua puluh enam miliar dua
ratus juta rupiah) yang berasal dari perhitungan
(Rp13.100,00 x USD2,000,000.00) yang diselesaikan dengan
pemindahan dana pokok secara penuh (full movement of
fund).
Pada tanggal 10 April 20xx dimana transaksi forward jual dan
far leg swap sell-buy jatuh waktu, Pihak Asing C
menyerahkan dana Rupiah kepada Bank D sebesar
Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah) yang berasal dari
perhitungan ((Rp13.200,00
USD2,000,000.00).
–
Rp13.000,00) x
Contoh 3: …
19
Contoh 3:
Penyelesaian penjualan valuta asing terhadap Rupiah melalui
transaksi forward paling banyak sejumlah threshold tidak
dapat dilakukan melalui pengakhiran transaksi (unwind)
karena tidak terdapat pemindahan dana pokok secara penuh
(full movement of fund).
Investor A melakukan transaksi forward jual dengan tenor 1
(satu) bulan sebesar USD2,000,000.00 (dua juta dolar
Amerika Serikat) pada tanggal 15 Januari 20xx kepada Bank
C dengan forward rate USD/IDR 13.000,00, dan hanya
menyampaikan dokumen pendukung.
Setelah transaksi berjalan 2 (dua) minggu, nilai tukar Rupiah
melemah hingga mencapai kurs Spot USD/IDR 13.500,00,
Pihak Asing A ingin melakukan pengakhiran transaksi
(unwind) atas transaksi tersebut tanpa melakukan
pemindahan dana pokok secara penuh (full movement of
fund). Hal tersebut tidak dapat dilakukan.
4.
Penyelesaian transaksi secara netting atas perpanjangan transaksi
(roll over), percepatan penyelesaian transaksi (early termination),
dan pengakhiran transaksi (unwind) tidak dapat dilakukan untuk
transaksi forward jual valuta asing terhadap Rupiah oleh Pihak
Asing kepada Bank dengan menggunakan Underlying Transaksi
berupa kepemilikan dana valuta asing di dalam negeri dan di luar
negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (7) PBI.
Contoh:
A Ltd. yang merupakan Pihak Asing melakukan transaksi forward
jual dengan tenor 1 (satu) bulan sebesar USD10,000,000.00
(sepuluh …
20
(sepuluh juta dolar Amerika Serikat) pada tanggal 15 Januari 20xx
kepada Bank C dengan forward rate USD/IDR 13.000,00. Atas
transaksi tersebut, A Ltd. menggunakan simpanan valuta asing
pada Bank sebagai Underlying Transaksi.
Setelah transaksi berjalan 2 (dua) minggu, nilai tukar Rupiah
melemah hingga mencapai kurs Spot USD/IDR 13.500,00, A Ltd.
ingin melakukan pengakhiran transaksi (unwind) atas transaksi
tersebut dengan penyelesaian secara netting. Penyelesaian secara
netting atas transaksi tersebut tidak dapat dilakukan.
5.
Penyelesaian Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah
oleh Pihak Asing kepada Bank atas perpanjangan transaksi (roll
over), percepatan penyelesaian transaksi (early termination), dan
pengakhiran transaksi (unwind) untuk Transaksi Derivatif Valuta
Asing Terhadap Rupiah yang standar (plain vanilla) dengan nilai
nominal paling banyak sebesar threshold sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14 ayat (1) PBI dapat dilakukan secara netting
sepanjang didukung dengan Underlying Transaksi Derivatif Valuta
Asing Terhadap Rupiah awal.
IV. TRANSAKSI STRUCTURED PRODUCT
1. Bank dilarang melakukan transaksi structured product valuta asing
terhadap Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1)
PBI.
2. Larangan transaksi structured product sebagaimana dimaksud pada
angka 1 dikecualikan untuk structured product valuta asing
terhadap Rupiah berupa Call Spread Option yang didukung oleh
Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat
(3) PBI.
3. Yang dimaksud dengan Call Spread Option sebagaimana dimaksud
dalam angka 2 adalah gabungan beli call option dan jual call option
yang dilakukan secara simultan dalam satu kontrak transaksi
dengan strike price yang berbeda dan nominal yang sama.
Contoh: …
21
Contoh:
Atas kewajiban valuta asing yang dimilikinya sebesar
USD5,000,000.00 (lima juta dolar Amerika Serikat), Pihak Asing A
melakukan transaksi Call Spread Option yaitu dengan cara
melakukan pembelian Call Option dengan strike price 1 sebesar
Rp13.000,00 dan penjualan Call Option dengan strike price 2
sebesar Rp14.000,00 yang dilakukan secara simultan dengan
nominal USD5,000,000.00 (lima juta dolar Amerika Serikat).
4. Bank yang melakukan transaksi structured product valuta asing
terhadap Rupiah berupa Call Spread Option dengan Pihak Asing
diatur sebagai berikut:
a. Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah dalam
bentuk structured product valuta asing terhadap Rupiah
berupa Call Spread Option wajib memiliki Underlying
Transaksi.
Contoh:
Pihak Asing A melakukan transaksi Call Spread Option dengan
Bank B sebesar USD10,000.00 (sepuluh ribu dolar Amerika
Serikat) dengan tenor 2 (dua) tahun, maka transaksi dimaksud
wajib memiliki Underlying Transaksi paling sedikit sebesar
USD10,000.00 (sepuluh ribu dolar Amerika Serikat).
b. Nominal transaksi structured product valuta asing terhadap
Rupiah berupa Call Spread Option tidak melebihi nominal
Underlying Transaksi.
Contoh:
X Ltd melakukan transaksi Call Spread Option valuta asing
terhadap Rupiah dengan menggunakan Underlying Transaksi
berupa obligasi sebesar USD100,000.00 (seratus ribu dolar
Amerika Serikat) maka transaksi Call Spread Option dapat
dilakukan sepanjang tidak melebihi nominal Underlying
Transaksi …
22
Transaksi, yaitu sebesar USD100,000.00 (seratus ribu dolar
Amerika Serikat).
c.
Jangka waktu transaksi structured product valuta asing
terhadap Rupiah berupa Call Spread Option tidak melebihi
jangka waktu Underlying Transaksi.
Contoh:
C Ltd. memiliki Underlying Transaksi berupa pinjaman dengan
jangka waktu 2 (dua) tahun, maka transaksi Call Spread
Option dapat dilakukan paling lama 2 (dua) tahun.
d. Transaksi Call Spread Option valuta asing terhadap Rupiah
merupakan satu kesatuan transaksi yang dilakukan secara
simultan sehingga perhitungan nominal transaksi tidak
dihitung 2 (dua) kali.
Contoh:
Z Ltd. melakukan transaksi Call Spread Option sebesar
USD200,000.00 (dua ratus ribu dolar Amerika Serikat).
Meskipun transaksi Call Spread Option merupakan gabungan
dari 2 (dua) transaksi Call Option (beli dan jual) maka nominal
tetap dihitung sebesar USD200,000.00 (dua ratus ribu dolar
Amerika Serikat) dan bukan USD400,000.00 (empat ratus ribu
dolar Amerika Serikat)
5. Transaksi structured product valuta asing terhadap Rupiah berupa
Call Spread Option wajib dilakukan secara dynamic hedging
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) PBI.
6. Dynamic hedging sebagaimana dimaksud dalam angka 5 diatur
sebagai berikut:
a. Dynamic hedging dilakukan untuk memastikan pelaku
transaksi Call Spread Option tidak terekspos pada risiko nilai
tukar akibat kurs pasar melampaui kisaran kurs Call Spread
Option awal.
Contoh:
A Ltd. melakukan transaksi Call Spread Option dengan Bank B
dengan strike price 1 sebesar USD/IDR 13.000,00 dan strike
price 2 sebesar USD/IDR 15.000,00, dengan tenor 3 (tiga)
tahun dengan Underlying Transaksi berupa pinjaman. Apabila
pada tahun ke 2 (dua) A Ltd. Menilai bahwa nilai tukar Rupiah
akan …
23
akan lebih besar strike price 2 sebesar USD/IDR 15.000,00,
maka A Ltd. melakukan transaksi Call Spread Option
berikutnya (dynamic hedging) dengan strike price 3 sama
dengan strike price 2 sebesar USD/IDR 15.000,00 dan strike
price 4 sebesar USD/IDR 16.000,00.
b. Dynamic hedging wajib dilakukan dengan persyaratan sebagai
berikut:
1) Kisaran kurs tidak overlap dengan kisaran kurs transaksi
Call Spread Option awal.
Contoh:
A Ltd. melakukan transaksi Call Spread Option dengan
Bank B dengan strike price 1 sebesar USD/IDR 13.000,00
dan strike price 2 sebesar USD/IDR 15.000,00 dengan
tenor 3 (tiga) tahun dengan Underlying Transaksi berupa
pinjaman. Apabila pada tahun ke 2 (dua) nilai tukar
Rupiah ditransaksikan mencapai USD/IDR 15.100,00
sehingga melampaui strike price 2 yaitu USD/IDR
15.000,00, maka A Ltd. melakukan transaksi Call Spread
Option berikutnya dengan strike price 3 sebesar USD/IDR
14.500,00 dan strike price 4 sebesar USD/IDR 16.500,00
(overlap). Hal tersebut bukan merupakan dynamic
hedging karena terjadi overlap, sehingga transaksi
tersebut dianggap sebagai kontrak Call Spread Option
yang berbeda dan tidak dapat menggunakan Underlying
Transaksi yang sama dengan transaksi Call Spread
Option awal.
2) Kisaran kurs tidak memiliki gap dengan kisaran kurs
transaksi Call Spread Option awal.
Contoh:
X Ltd. melakukan transaksi Call Spread Option dengan
Bank C dengan strike price 1 sebesar USD/IDR 14.000,00
dan strike price 2 sebesar USD/IDR 16.000,00 dengan
tenor 4 (empat) tahun dengan Underlying Transaksi
berupa pinjaman. Apabila pada tahun ke 2 (dua) nilai
tukar Rupiah ditransaksikan mencapai USD/IDR
16.500,00 sehingga melampaui strike price 2 yaitu
USD/IDR …
24
USD/IDR 16.000,00, maka A Ltd. melakukan transaksi
Call Spread Option berikutnya dengan strike price 3
sebesar USD/IDR 16.500,00 dan strike price 4 sebesar
USD/IDR 17.500,00 (gap). Hal tersebut bukan
merupakan dynamic hedging karena terjadi gap, sehingga
transaksi tersebut dianggap sebagai kontrak Call Spread
Option yang berbeda dan tidak dapat menggunakan
Underlying Transaksi yang sama dengan transaksi Call
Spread Option awal.
3) Menggunakan Underlying Transaksi yang sama dan
belum jatuh waktu.
Contoh:
A Ltd. melakukan transaksi Call Spread Option dengan
Bank B dengan strike price 1 sebesar USD/IDR 13.000,00
dan strike price 2 sebesar USD/IDR 15.000,00, dengan
tenor 3 (tiga) tahun dengan Underlying Transaksi berupa
obligasi. Apabila pada tahun ke 2 (dua) nilai tukar
Rupiah mencapai USD/IDR 15.500,00 sehingga
melampaui strike price 2 yaitu USD/IDR 15.000,00, maka
A Ltd. melakukan transaksi Call Spread Option
berikutnya dengan strike price 3 sebesar USD/IDR
15.000,00 dan strike price 4 sebesar USD/IDR 16.000,00.
Hal tersebut merupakan dynamic hedging dan dapat
menggunakan Underlying Transaksi yang sama dengan
transaksi Call Spread Option awal.
4) Nominal tidak bersifat kumulatif.
Contoh:
Pada tanggal 1 Februari 20xx, A Ltd. melakukan
transaksi lindung nilai atas kewajiban valuta asing yang
dimilikinya sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar
Amerika Serikat) melalui Call Spread Option dengan strike
price 1 sebesar USD/IDR 13.000,00 dan strike price 2
sebesar USD/IDR 14.000,00 dengan nominal sebesar
USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat). Pada
tanggal 1 Agustus 20xx, nilai tukar Rupiah melemah
menjadi sebesar USD/IDR 14.100,00 sehingga A Ltd.
melakukan …
25
melakukan dynamic hedging dengan melakukan
transaksi Call Spread Option berikutnya pada strike price
3 sebesar USD/IDR 14.000,00 dan strike price 4 sebesar
USD/IDR 15.000,00, dengan nominal
sebesar
USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat).
Nominal transaksi Call Spread Option tersebut dihitung
bukan kumulatif namun mengacu kepada nominal
transaksi Call Spread Option awal
USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat).
sebesar
5) Memiliki jangka waktu paling kurang 6 (enam) bulan
untuk transaksi Call Spread Option awal yang memiliki
sisa jatuh waktu 6 (enam) bulan atau lebih.
Contoh:
Pada tanggal 1 Februari 20xx, Pihak Asing B melakukan
transaksi lindung nilai atas investasi yang dimilikinya
sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika
Serikat) melalui Call Spread Option dengan strike price 1
sebesar USD/IDR 13.000,00 dan strike price 2 sebesar
USD/IDR 14.000,00 dengan nominal sebesar
USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat),
dengan jangka waktu selama 2 (dua) tahun. Pada tanggal
1 April 20xx, nilai tukar Rupiah melemah menjadi
sebesar USD/IDR 14.100,00 sehingga Pihak Asing B
melakukan dynamic hedging dengan melakukan
pembelian Call Spread Option pada strike price 3 sebesar
USD/IDR 14.000,00 dan strike price 4 sebesar USD/IDR
15.000,00, dengan nominal sebesar USD1,000,000.00
(satu juta dolar Amerika Serikat) dengan jangka waktu
minimal sampai dengan 1 Oktober 20xx atau minimal 6
(enam) bulan.
6) Mengikuti sisa jatuh waktu transaksi Call Spread Option
awal untuk transaksi Call Spread Option awal yang
memiliki sisa jatuh waktu kurang dari 6 (enam) bulan.
Contoh:
Pada tanggal 1 Maret 20xx, Pihak Asing C melakukan
transaksi Call Spread Option sebesar USD2,000,000.00
(dua …
26
(dua juta dolar Amerika Serikat) dengan strike price 1
sebesar USD/IDR 14.000,00 dan strike price 2 sebesar
USD/IDR 15.000,00 dengan jangka waktu 3 (tiga) bulan
atau tanggal 1 Juni 20xx. Pada tanggal 10 April 20xx,
nilai tukar Rupiah melemah menjadi sebesar USD/IDR
15.200,00. Atas dasar hal tersebut Pihak Asing C
melakukan dynamic hedging dengan melakukan
transaksi Call Spread Option yang kedua pada strike price
3 sebesar USD/IDR 15.000,00 dan strike price 4 sebesar
USD/IDR 16.000,00 dengan jangka waktu paling lama
sampai dengan jatuh waktu transaksi Call Spread Option
awal, yaitu pada tanggal 1 Juni 20xx.
7) Dilakukan paling lambat 1 (satu) hari kerja apabila kurs
pasar melampaui kisaran kurs Call Spread Option awal.
Contoh:
Pada tanggal 1 Januari 20xx, Y Ltd. melakukan transaksi
Call Spread Option dengan Bank Z dengan strike price 1
sebesar USD/IDR 13.000,00 dan strike price 2 sebesar
USD/IDR 15.000,00 dengan tenor 3 (tiga) tahun dengan
Underlying Transaksi berupa utang. Apabila pada tanggal
1 September 20xx kurs pasar (kurs penutupan Bank
Indonesia hari yang sama dalam LHBU) melampaui strike
price 2 yaitu sebesar USD/IDR 15.200,00 maka Y Ltd.
wajib melakukan transaksi Call Spread Option berikutnya
(dynamic hedging) dengan strike price 3 sebesar USD/IDR
15.000,00 dan strike price 4 sebesar USD/IDR 16.500,00
(dynamic hedging) paling lambat pada 1 (satu) hari kerja
berikutnya yaitu pada tanggal 2 September 20xx.
8) Kurs pasar sebagaimana dimaksud pada butir 7) adalah
kurs penutupan Bank Indonesia hari yang sama dalam
LHBU (setelah pukul 16.00); atau acuan kurs lain yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia.
7. Transaksi Spot yang dilakukan dalam rangka transaksi structured
product valuta asing terhadap Rupiah berupa Call Spread Option
dapat menggunakan Underlying Transaksi yang sama dengan
transaksi …
27
transaksi Call Spread Option awal sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12 PBI.
Contoh 1:
Pihak Asing A melakukan transaksi Call Spread Option USD/IDR
dengan tenor 1 (satu) tahun dengan nominal sebesar
USD2,000,000.00 (dua juta dolar Amerika Serikat) dengan strike
price 1 sebesar USD/IDR 13.000,00 dan strike price 2 sebesar
USD/IDR 15.000,00, dengan Underlying Transaksi berupa pinjaman
sebesar USD2,000,000.00 (dua juta dolar Amerika Serikat). Pada
saat transaksi Call Spread Option jatuh waktu, kurs pasar berada
pada level USD/IDR 13.500,00 sehingga Pihak Asing A melakukan
eksekusi (exercise) transaksi Call Spread Option, dan melakukan
pembelian valuta asing terhadap Rupiah melalui Transaksi Spot
pada kurs pasar yaitu sebesar USD/IDR 13.000,00, dengan nominal
sebesar USD2,000,000.00 (dua juta dolar Amerika Serikat).
Contoh 2:
Pihak Asing X melakukan transaksi Call Spread Option USD/IDR
dengan tenor 1 (satu) tahun dengan nominal sebesar
USD2,000,000.00 (dua juta dolar Amerika Serikat) dengan strike
price 1 sebesar USD/IDR 12.000,00 dan strike price 2 sebesar
USD/IDR 14.000,00, dengan Underlying Transaksi berupa pinjaman
sebesar USD2,000,000.00 (dua juta dolar Amerika Serikat). Pada
saat transaksi Call Spread Option jatuh waktu, kurs pasar berada
pada level USD/IDR 11.500,00 dan Pihak Asing X tidak melakukan
eksekusi (exercise) transaksi Call Spread Option tersebut, dan
melakukan pembelian valuta asing terhadap Rupiah melalui
Transaksi Spot beli pada kurs pasar yaitu USD/IDR 11.500,00
dengan nominal sebesar USD2,000,000.00 (dua juta dolar Amerika
Serikat). Pihak Asing X dapat menggunakan Underlying Transaksi
yang sama dengan Underlying Transaksi Call Spread Option awal
berupa pinjaman untuk melakukan Transaksi Spot dimaksud.
Contoh 3:
X Ltd. melakukan transaksi Call Spread Option USD/IDR dengan
tenor 1 (satu) tahun, nominal sebesar USD3,000,000.00 (tiga juta
dolar Amerika Serikat), dengan strike price 1 sebesar USD/IDR
13.000,00 dan strike price 2 sebesar USD/IDR 14.000,00, dan
Underlying …
28
Underlying Transaksi berupa pinjaman sebesar USD3,000,000.00
(tiga juta dolar Amerika Serikat). Pada saat transaksi Call Spread
Option jatuh waktu, kurs pasar melemah dan berada pada level
USD/IDR 14.200,00. X Ltd. dapat melakukan pembelian valuta
asing terhadap Rupiah melalui Transaksi Spot pada kurs USD/IDR
13.200,00 (dari perhitungan Rp14.200,00-(Rp14.000,00-
Rp13.000,00)) dengan nominal sebesar USD3,000,000.00 (tiga juta
dolar Amerika Serikat). X Ltd. dapat menggunakan Underlying
Transaksi yang sama dengan Underlying Transaksi Call Spread
Option awal berupa pinjaman untuk melakukan Transaksi Spot
dimaksud.
V. PENGATURAN UNDERLYING DAN TRANSAKSI VALUTA ASING
TERHADAP RUPIAH DALAM RANGKA TAX AMNESTY
Underlying Transaksi berupa investasi dan/atau transaksi yang
dilakukan dalam rangka pelaksanaan kebijakan Pemerintah terkait
perpajakan berupa tax amnesty diatur sebagai berikut:
1. Underlying Transaksi berupa kebijakan tax amnesty yang dapat
digunakan dalam rangka Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah
adalah yang mengakibatkan adanya pengalihan harta ke wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia (repatriasi dana) dan didukung
oleh dokumen repatriasi dana dalam rangka tax amnesty.
Contoh:
Wajib Pajak A (Pihak Asing) melakukan deklarasi dana sebesar
USD50,000,000.00 (lima puluh juta dolar Amerika Serikat) dan
repatriasi dana valuta asing dalam rangka kebijakan tax amnesty
sebesar USD10,000,000.00 (sepuluh juta dolar Amerika Serikat).
Maka Wajib Pajak A dapat menggunakan bukti repatriasi dana
sebesar USD10,000,000.00 (sepuluh juta dolar Amerika Serikat)
sebagai Underlying Transaksi dalam melakukan Transaksi Valuta
Asing Terhadap Rupiah.
2. Dokumen repatriasi dana dalam rangka tax amnesty dapat
digunakan sebagai Underlying Transaksi pada saat wajib pajak
melakukan lindung nilai terhadap investasi dana repatriasi di pasar
domestik, antara lain investasi saham, obligasi, dan penempatan
dana pada Bank.
Contoh: …
29
Contoh:
Wajib Pajak B melakukan repatriasi dana valuta asing dalam
rangka kebijakan tax amnesty sebesar USD100,000,000.00 (seratus
juta dolar Amerika Serikat). Dana valuta asing tersebut kemudian
dijual untuk memperoleh Rupiah (konversi dari valuta asing ke
Rupiah) untuk diinvestasikan sebesar ekuivalen USD40,000,000.00
(empat puluh juta dolar Amerika Serikat) pada surat berharga
negara, USD40,000,000.00 (empat puluh juta dolar Amerika
Serikat) pada saham, dan USD20,000,000.00 (dua puluh juta dolar
Amerika Serikat) pada deposito Rupiah. Wajib Pajak B kemudian
melakukan lindung nilai terhadap investasi dimaksud melalui
transaksi forward beli total sebesar USD100,000,000.00 (seratus
juta dolar Amerika Serikat). Wajib Pajak B menggunakan Underlying
Transaksi berupa dokumen repatriasi dana dalam rangka tax
amnesty.
3. Dokumen repatriasi dana dalam rangka tax amnesty digunakan
sebagai Underlying Transaksi paling singkat 3 (tiga) tahun
sebagaimana diatur dalam ketentuan Pemerintah yang mengatur
mengenai pengampunan pajak (dalam masa periode kewajiban
menginvestasikan dana repatriasi di dalam negeri).
Contoh:
Wajib Pajak C melakukan repatriasi dana dalam rangka kebijakan
tax amnesty sebesar ekuivalen Rp500.000.000.000,00 (lima ratus
miliar rupiah). Dana yang direpatriasi tersebut diinvestasikan dalam
portofolio saham selama 4 (empat) tahun. Bukti dokumen repatriasi
dana dalam rangka kebijakan tax amnesty tersebut dapat dijadikan
dokumen Underlying Transaksi, dalam masa periode kewajiban
menginvestasikan dana repatriasi di dalam negeri yaitu selama 4
(empat) tahun.
4. Underlying Transaksi berupa dokumen repatriasi dana dalam
rangka tax amnesty hanya dapat digunakan 1 (satu) kali pada saat
terjadinya konversi dana masuk (dari valuta asing ke Rupiah) dan 1
(satu) kali pada saat terjadinya konversi dana keluar (dari Rupiah
ke valuta asing).
Contoh 1 …
30
Contoh 1 (dokumen disampaikan 1 (satu) kali pada saat konversi):
Wajib Pajak D melakukan repatriasi dana valuta asing dalam
rangka kebijakan tax amnesty sebesar USD10,000,000.00 (sepuluh
juta dolar Amerika Serikat). Dana valuta asing tersebut kemudian
dijual untuk memperoleh Rupiah untuk diinvestasikan dalam aset-
aset Rupiah ekuivalen sebesar USD10,000,000.00 (sepuluh juta
dolar Amerika Serikat). Wajib Pajak D hanya bisa menggunakan
Underlying Transaksi berupa dokumen repatriasi dana dalam
rangka tax amnesty 1 (satu) kali, yaitu pada saat wajib pajak D
melakukan konversi dana keluar sebesar USD10,000,000.00
(sepuluh juta dolar Amerika Serikat).
Contoh 2 (Penggunaan dokumen di akhir periode kebijakan tax
amnesty):
Wajib pajak E melakukan repatriasi dana tax amnesty dan
melakukan konversi dana masuk (valuta asing ke Rupiah) sebesar
USD15,000,000.00 (lima belas juta dolar Amerika Serikat). Dalam
masa periode kewajiban menginvestasikan dana repatriasi di dalam
negeri, dana repatriasi tersebut diinvestasikan/ditempatkan dalam
aset-aset Rupiah. Dengan demikian, wajib pajak E dapat
menggunakan Underlying Transaksi berupa dokumen repatriasi
dana dalam rangka tax amnesty untuk melakukan konversi dana
keluar (Rupiah ke
valuta asing)
sebesar
ekuivalen
USD15,000,000.00 (lima belas juta dolar Amerika Serikat) dari hasil
likuidasi aset Rupiah pada
menginvestasikan dana repatriasi di dalam negeri.
5. Dalam hal wajib pajak menggunakan dokumen repatriasi dana
dalam rangka tax amnesty sebagai Underlying Transaksi pada saat
dilakukan konversi dana keluar sebelum periode kewajiban
menginvestasikan dana repatriasi di dalam negeri berakhir, maka
hasil konversi tersebut hanya dapat diinvestasikan dalam mata
uang valuta asing hingga periode kewajiban menginvestasikan dana
repatriasi di dalam negeri berakhir.
Contoh (penggunaan dokumen dalam masa periode kebijakan tax
amnesty):
Pada tanggal 1 Desember 2016, wajib pajak F melakukan repatriasi
dana dengan melakukan konversi dari valuta asing ke Rupiah
sebesar …
akhir periode kewajiban
31
sebesar USD5,000,000.00 (lima juta dolar Amerika Serikat), dan
dilakukan investasi pada aset Rupiah. Pada tanggal 1 Juni 2017,
sebelum berakhirnya periode kewajiban menginvestasikan dana
repatriasi di dalam negeri, dana tersebut dikonversi dari Rupiah ke
valuta asing dengan menggunakan Underlying Transaksi berupa
dokumen repatriasi dana dalam rangka tax amnesty. Selanjutnya,
wajib pajak F hanya dapat melakukan investasi dalam mata uang
valuta asing di pasar keuangan domestik sejak 1 Juni 2017 hingga
berakhirnya periode kewajiban menginvestasikan dana repatriasi di
dalam negeri.
6. Wajib pajak dapat melakukan konversi dana keluar dilakukan
secara bertahap, dengan menggunakan Underlying Transaksi
berupa dokumen repatriasi dana dalam rangka tax amnesty, dengan
tidak melampaui nominal Underlying Transaksi dana repatriasi.
Contoh (pembelian secara bertahap bertahap):
Pada tanggal 1 Desember 2016, wajib pajak F melakukan repatriasi
dana dengan melakukan konversi dari valuta asing ke Rupiah
sebesar USD50,000,000.00 (lima puluh juta dolar Amerika Serikat),
dan dilakukan investasi pada aset Rupiah. Pada tanggal 1 Maret
2017, sebelum berakhirnya periode kewajiban menginvestasikan
dana repatriasi di dalam negeri, dana tersebut dikonversi sebagian
dari Rupiah ke valuta asing sebesar ekuivalen USD20,000,000 (dua
puluh juta dolar Amerika Serikat) dengan menggunakan Underlying
Transaksi berupa dokumen repatriasi dana dalam rangka tax
amnesty, maka wajib pajak F hanya bisa melakukan investasi dana
tersebut dalam mata uang asing.
Pada tanggal 1 Desember 2017, wajib pajak F kembali melakukan
konversi sebagian dari Rupiah ke valuta asing sebesar ekuivalen
USD10,000,000.00 (sepuluh juta dolar Amerika Serikat), maka
wajib pajak dapat menggunakan Underlying Transaksi berupa
dokumen repatriasi dana dalam rangka tax amnesty yang sama,
namun wajib pajak F hanya bisa melakukan investasi dana tersebut
dalam mata uang asing.
Pada tanggal 1 Desember 2018, wajib pajak F kembali melakukan
konversi sebagian dari Rupiah ke valuta asing sebesar ekuivalen
USD15,000,000.00 (lima belas juta dolar Amerika Serikat), maka
wajib …
32
wajib pajak dapat kembali menggunakan Underlying Transaksi
berupa dokumen repatriasi dana dalam rangka tax amnesty yang
sama, namun wajib pajak F hanya bisa melakukan investasi dana
tersebut dalam mata uang asing hingga berakhirnya periode
kewajiban menginvestasikan dana repatriasi di dalam negeri.
7. Kewajiban memiliki Underlying Transaksi berupa repatriasi dana
untuk Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah oleh wajib pajak
tidak berlaku untuk perpanjangan transaksi (roll over) atau
pengakhiran transaksi (unwind) dalam rangka penyelesaian
Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah dalam rangka
lindung nilai.
Contoh 1 (perpanjangan transaksi lindung nilai (roll over)):
Pada tanggal 1 Desember 2016, Wajib Pajak G melakukan transaksi
forward beli USD/IDR sebesar USD10,000,000.00 (sepuluh juta
dolar Amerika Serikat) dengan tenor selama 1 (satu) tahun dan
jatuh waktu tanggal 1 Desember 2017, dengan menggunakan
Underlying Transaksi berupa dokumen repatriasi dana dalam
rangka tax amnesty. Pada saat transaksi forward tersebut akan
jatuh waktu, Wajib Pajak F melakukan perpanjangan transaksi (roll
over) selama 1 (satu) tahun dan jatuh waktu pada tanggal 1
Desember 2018. Wajib Pajak G melakukan transaksi swap beli
USD/IDR (sell buy) kepada Bank yang sama sebesar
USD10,000,000.00 (sepuluh juta dolar Amerika Serikat). Atas
perpanjangan transaksi (roll over) tersebut, Wajib Pajak G tidak
wajib menyerahkan dokumen Underlying Transaksi baru.
Contoh 2 (pengakhiran transaksi lindung nilai (unwind)):
Pada tanggal 1 Januari 20xx, Wajib Pajak H melakukan transaksi
forward beli USD/IDR sebesar USD20,000,000.00 (dua puluh juta
dolar Amerika Serikat) dengan tenor 9 (sembilan) bulan dan jatuh
waktu tanggal 1 Oktober 20xx, dengan menggunakan Underlying
Transaksi berupa dokumen repatriasi dana dalam rangka tax
amnesty. Pada bulan ke-6 (enam) yaitu tanggal 1 Juli 20xx, Wajib
Pajak H melakukan pengakhiran transaksi (unwind) atas transaksi
forward dimaksud. Wajib Pajak H melakukan Transaksi Spot jual
USD/IDR sebesar USD20,000,000.00 (dua puluh juta dolar Amerika
Serikat) dengan Bank yang sama. Atas pengakhiran transaksi
(unwind) …
33
(unwind) tersebut, Wajib Pajak H tidak wajib menyerahkan
dokumen Underlying Transaksi baru.
8. Dalam hal dilakukan percepatan penyelesaian transaksi (early
termination) atas Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah
yang menggunakan Underlying Transaksi berupa dokumen
repatriasi dana dalam rangka tax amnesty, maka hasil konversi
dana keluar (Rupiah ke valuta asing) tersebut hanya dapat
diinvestasikan dalam mata uang valuta asing hingga berakhirnya
periode kewajiban menginvestasikan dana repatriasi di dalam
negeri.
Contoh:
Pada tanggal 1 Januari 20xx, wajib pajak AA melakukan transaksi
forward beli USD/IDR sebesar USD20,000,000.00 (dua puluh juta
dolar Amerika Serikat) dengan tenor 9 (sembilan) bulan dan jatuh
waktu tanggal 1 Oktober 20xx, dengan menggunakan Underlying
Transaksi berupa dokumen repatriasi dana dalam rangka tax
amnesty. Pada bulan ke-6 (enam) yaitu tanggal 1 Juli 20xx, wajib
pajak AA melakukan percepatan penyelesaian transaksi (early
termination) atas transaksi forward dimaksud. Wajib pajak AA
melakukan transaksi swap jual USD/IDR (buy sell) kepada Bank
yang sama sebesar USD20,000,000.00 (dua puluh juta dolar
Amerika Serikat). Atas percepatan penyelesaian transaksi (early
termination) tersebut, wajib pajak AA tidak wajib menyerahkan
dokumen Underlying Transaksi baru. Namun demikian, dana valuta
asing hasil konversi sebesar USD20,000,000.00 (dua puluh juta
dolar Amerika Serikat) tersebut hanya dapat diinvestasikan dalam
instrumen valuta asing di pasar keuangan domestik sejak 1 Juli
20xx hingga berakhirnya periode kewajiban menginvestasikan dana
repatriasi di dalam negeri.
9. Dalam hal dilakukan pengakhiran transaksi (unwind) terhadap
Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah menggunakan
Underlying Transaksi berupa dokumen repatriasi dana dalam
rangka tax amnesty, maka wajib pajak dapat menggunakan
dokumen repatriasi dana dalam rangka tax amnesty yang sama
paling banyak 1 (satu) kali untuk Transaksi Valuta Asing Terhadap
Rupiah …
34
Rupiah dalam masa periode kewajiban menginvestasikan dana
repatriasi di dalam negeri.
Contoh:
Pada tanggal 1 Januari 20xx, wajib pajak X melakukan transaksi
forward beli USD/IDR sebesar USD20,000,000.00 (dua puluh juta
dolar Amerika Serikat) dengan tenor 9 (sembilan) bulan dan jatuh
waktu tanggal 1 Oktober 20xx, dengan menggunakan Underlying
Transaksi berupa dokumen repatriasi dana dalam rangka tax
amnesty. Pada bulan ke-6 (enam) yaitu tanggal 1 Juli 20xx, wajib
pajak X melakukan pengakhiran transaksi (unwind) atas transaksi
forward dimaksud. Wajib pajak X hanya dapat kembali
menggunakan Underlying Transaksi yang sama sebanyak 1 (satu)
kali untuk melakukan transaksi valuta asing terhadap Rupiah.
10. Underlying Transaksi berupa dokumen repatriasi dana dalam
rangka tax amnesty sebagaimana dimaksud dalam angka 1 sampai
dengan angka 9 diatur sebagai berikut:
a. gateway awal (Bank), dokumen berupa Surat Keterangan
Pengampunan Pajak (SKPP) dalam rangka pengalihan harta
untuk menampung pengalihan dana wajib pajak dalam rangka
Pengampunan Pajak;
b. gateway tujuan (Bank), antara lain berupa surat keterangan
mengenai riwayat investasi;
c. Penyampaian dokumen Underlying Transaksi pada huruf a dan
b disertai dengan dokumen pendukung berupa pernyataan
tertulis bermeterai cukup yang ditandatangani oleh wajib pajak
atau pernyataan tertulis yang authenticated dari wajib pajak
yang memuat informasi mengenai:
a) keaslian dan kebenaran dokumen Underlying Transaksi;
b) penggunaan dokumen Underlying Transaksi hanya
digunakan untuk pembelian valuta asing terhadap Rupiah
paling banyak sebesar nominal Underlying Transaksi dalam
rangka tax amnesty dalam sistem perbankan di Indonesia;
c) hanya digunakan paling banyak 1 (satu) kali di seluruh
sistem perbankan di Indonesia untuk tujuan konversi dana
keluar.
VI. CERUKAN …
35
VI. CERUKAN INTRAHARI RUPIAH DAN VALUTA ASING
1. Persyaratan untuk cerukan intrahari Rupiah dan valuta asing
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf e PBI, diatur sebagai
berikut:
a.
cerukan intrahari diberikan kepada penerima dana yang
tercantum dalam dokumen konfirmasi dan dilaksanakan pada
tanggal valuta pembayaran yang tercantum dalam konfirmasi
dimaksud;
b. nilai dana yang akan diterima yang tercantum pada dokumen
konfirmasi dimaksud, ditambah dengan saldo rekening
penerima dana sekurang-kurangnya sama atau lebih besar
dari nilai transaksi pembayaran yang dilaksanakan;
c.
transaksi pembayaran dilakukan setelah dokumen konfirmasi
sebagaimana dimaksud dalam huruf b diterima terlebih
dahulu; dan
d. penerimaan dana sebagaimana tercantum dalam dokumen
konfirmasi harus direalisasikan pada tanggal pembayaran
dilaksanakan.
VII. TRANSFER RUPIAH KEPADA PIHAK ASING
1. Bank dapat melakukan Transfer Rupiah ke rekening yang dimiliki
Pihak Asing dan/atau yang dimiliki secara gabungan (joint account)
antara Pihak Asing dengan bukan Pihak Asing pada Bank di dalam
negeri dengan nominal di atas ekuivalen USD1,000,000.00 (satu
juta dolar Amerika Serikat) per hari per Pihak Asing sepanjang
didukung Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
19 ayat (1) dan ayat (2) PBI.
2. Bank penerima dari suatu Transfer Rupiah yang ditujukan kepada
Pihak Asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) PBI
adalah Bank yang menerima dana Rupiah (rekening Pihak Asing di-
kredit-kan). Dalam hal ini Bank dimaksud wajib melakukan
verifikasi terhadap status pihak penerima dana Rupiah dan
dokumen Underlying Transaksi.
Contoh:
Pihak Asing A yang memiliki rekening pada Bank C melakukan
penjualan USD/IDR melalui
transaksi Spot
sebesar
USD1,500,000.00 …
36
USD1,500,000.00 (satu juta lima ratus ribu dolar Amerika Serikat)
dengan Bank X. Pihak Asing A melakukan transfer USD ke Bank X
dan Bank X melakukan transfer Rupiah ke rekening Pihak Asing A
pada Bank C. Atas penambahan Rupiah pada rekening Pihak Asing
tersebut, Bank C wajib melakukan verifikasi terhadap status
penerima dana (Pihak Asing A) dan dokumen Underlying Transaksi.
3. Perhitungan nilai ekuivalen valuta asing ke dalam nilai Rupiah
untuk nominal Transfer Rupiah ke rekening yang dimiliki Pihak
Asing dan/atau yang dimiliki secara gabungan (joint account)
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) huruf a PBI
menggunakan kurs JISDOR.
VIII. DOKUMEN TRANSAKSI
1. Bank wajib memastikan Pihak Asing memiliki Underlying Transaksi
yang dibuktikan dengan penyampaian dokumen Underlying
Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah dan dokumen pendukung
untuk:
a. Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah di atas jumlah
tertentu (threshold); atau
b.
transaksi structured product valuta asing terhadap Rupiah
berupa Call Spread Option.
2. Penilaian atas kewajaran atau kelaziman nominal Underlying
Transaksi yang diajukan oleh Pihak Asing dilakukan oleh Bank.
3. Bank harus menerapkan prosedur dan sistem pengendalian
dokumen (document control/procedure) untuk memastikan agar:
a. dokumen yang telah digunakan Pihak Asing sebagai
Underlying Transaksi dari Transaksi Valuta Asing Terhadap
Rupiah tertentu dapat digunakan untuk Transaksi Valuta
Asing Terhadap Rupiah yang lain sepanjang tidak melampaui
nominal Underlying transaksi.
Contoh:
Pada bulan Januari 20xx, Pihak Asing X melakukan pembelian
valuta asing terhadap Rupiah melalui transaksi forward
sebesar USD1,500,000.00 (satu juta lima ratus ribu dolar
Amerika Serikat) kepada Bank A. Atas transaksi tersebut,
Pihak Asing X menyerahkan dokumen Underlying Transaksi
berupa …
37
berupa hasil investasi di pasar saham sebesar ekuivalen
USD2,000,000.00 (dua juta dolar Amerika Serikat) yang
diterimanya di Indonesia. Transaksi dilakukan di kantor
cabang Bank A di Jakarta.
Pada bulan Februari 20xx, Pihak Asing X kembali berencana
untuk melakukan pembelian valuta asing terhadap Rupiah
melalui transaksi forward dengan Underlying Transaksi yang
sama melalui kantor cabang Bank A di Surabaya. Pihak Asing
X dapat melakukan transaksi forward beli sebesar
USD500,000.00 (lima ratus ribu dolar Amerika Serikat) karena
transaksi forward tersebut tidak melebihi nominal Underlying
Transaksi.
b. Apabila dalam satu rangkaian aktivitas ekonomi terdapat
beberapa jenis dokumen Underlying Transaksi maka yang
digunakan sebagai dokumen untuk Transaksi Valuta Asing
Terhadap Rupiah adalah salah satu dari dokumen Underlying
Transaksi tersebut. Dalam hal Pihak Asing telah melakukan
pembelian valuta asing terhadap Rupiah dengan
menggunakan salah satu dokumen Underlying Transaksi
tersebut maka Pihak Asing tidak dapat melakukan pembelian
valuta asing terhadap Rupiah dengan menggunakan dokumen
Underlying Transaksi lainnya yang berasal dari satu rangkaian
kegiatan ekonomi yang sama.
Contoh:
Pada bulan Januari 20xx, Y Ltd. sebagai Pihak Asing
melakukan ekspansi pabrik dengan melakukan impor barang
modal. Untuk itu Y Ltd. melakukan pembelian valuta asing
terhadap Rupiah sebesar USD20,000,000.00 (dua puluh juta
dolar Amerika Serikat) melalui transaksi forward dengan
menggunakan dokumen Underlying Transaksi berupa
purchase order. Pada bulan Februari 20xx, Y Ltd. memperoleh
invoice dari eksportir di luar negeri. Atas invoice dimaksud, Y
Ltd. melakukan pembelian valuta asing sebesar
USD20,000,000.00 (dua puluh juta dolar Amerika Serikat),
meskipun sebelumnya telah melakukan pembelian dengan
menggunakan dokumen Underlying Transaksi berupa
purchase …
38
purchase order. Y Ltd. tidak dapat menggunakan invoice dari
kegiatan ekonomi yang sama untuk melakukan pembelian
valuta asing terhadap Rupiah
4. Dalam hal Underlying Transaksi adalah kegiatan perdagangan
barang dan jasa di dalam dan di luar negeri yang bersifat final maka
dokumen Underlying Transaksi antara lain berupa fotokopi invoice,
list of invoices, atau fotokopi tax invoice.
5. Dalam hal dokumen Underlying Transaksi atas kegiatan
perdagangan dan investasi berupa list of invoices, Bank harus
memastikan ketersediaan invoices yang terdapat dalam list of
invoices.
6. Dalam hal Underlying Transaksi adalah kegiatan perdagangan
barang dan jasa di dalam dan di luar negeri berupa perkiraan maka
dokumen Underlying Transaksi antara lain berupa proyeksi arus
kas yang dikeluarkan oleh Pihak Asing untuk tujuan pembayaran
biaya operasional dari representative office Badan Hukum Asing.
7. Rincian dokumen Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud
pada angka 4, angka 5, dan angka 6 tercantum dalam Lampiran II
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank
Indonesia ini.
8. Dalam hal Underlying Transaksi adalah kegiatan investasi berupa
foreign direct investment, portfolio investment, pinjaman, modal, dan
investasi lainnya di dalam dan di luar negeri yang bersifat final,
dokumen Underlying Transaksi antara lain berupa bukti konfirmasi
penjualan dan pembelian Surat Berharga, bukti perjanjian kredit,
atau bukti pendukung keikutsertaan Pihak Asing dalam tender dan
penyediaan jaminan/bank garansi dalam mata uang Rupiah.
9. Dalam hal Underlying Transaksi adalah kegiatan investasi di dalam
dan di luar negeri yang berupa perkiraan maka dokumen
Underlying Transaksi antara lain Memorandum of Understanding
dan/atau Agreement untuk pembelian dan penjualan aset di dalam
negeri dalam rangka merger dan/atau akuisisi sesuai dengan
ketentuan yang berlaku, dan dokumen estimasi mengenai dividen
yang akan diterima.
10. Dokumen Underlying Transaksi atas kepemilikan dana valuta asing
di dalam negeri dan di luar negeri sebagaimana dimaksud dalam
Pasal …
39
Pasal 4 ayat (6) PBI antara lain berupa buku tabungan, giro
(rekening koran), bilyet deposito, dan bukti kepemilikan sertifikat
deposito (negotiable certificate of deposit).
11. Rincian dokumen Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud
pada angka 8, angka 9, dan angka 10 tercantum dalam Lampiran III
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank
Indonesia ini.
12. Dokumen tagihan dalam valuta asing dari transaksi yang
dikecualikan dari kewajiban penggunaan Rupiah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) PBI dapat dijadikan sebagai
dokumen Underlying Transaksi dengan melampirkan fotokopi
persetujuan pengecualian kewajiban penggunaan Rupiah dari Bank
Indonesia.
13. Untuk transaksi pembelian valuta asing terhadap Rupiah melalui
Transaksi Spot dengan nilai nominal di atas USD25,000.00 (dua
puluh lima ribu dolar Amerika Serikat), dokumen yang disampaikan
Pihak Asing kepada Bank berupa:
a. Dokumen
Underlying
Transaksi
yang dapat
dipertanggungjawabkan, baik yang bersifat final maupun
berupa perkiraan; dan
b. dokumen pendukung berupa pernyataan tertulis yang
authenticated dari Pihak Asing yang memuat informasi
mengenai:
1) keaslian dan kebenaran dokumen Underlying Transaksi
sebagaimana dimaksud pada huruf a;
2) penggunaan dokumen Underlying Transaksi hanya untuk
Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah paling
banyak sebesar nominal Underlying Transaksi dalam
sistem perbankan di Indonesia; dan
3)
jumlah kebutuhan, tujuan penggunaan, dan tanggal
penggunaan valuta asing, dalam hal dokumen Underlying
Transaksi sebagaimana dimaksud pada huruf a berupa
perkiraan.
Contoh pernyataan tertulis yang authenticated untuk
pembelian valuta asing terhadap Rupiah melalui Transaksi
Spot di atas USD25,000.00 (dua puluh lima ribu dolar Amerika
Serikat) …
40
Serikat) adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran
Bank Indonesia ini.
14. Untuk pembelian valuta asing melalui Transaksi Spot paling banyak
sebesar USD25,000.00 (dua puluh lima ribu dolar Amerika Serikat),
pernyataan tertulis yang authenticated dari Pihak Asing memuat
informasi bahwa pembelian valuta asing terhadap Rupiah tidak
melebihi USD25,000.00 (dua puluh lima ribu dolar Amerika Serikat)
per bulan per Pihak Asing dalam sistem perbankan di Indonesia.
Contoh pernyataan tertulis yang authenticated untuk pembelian
valuta asing terhadap Rupiah melalui Transaksi Spot paling banyak
sebesar USD25,000.00 (dua puluh lima ribu dolar Amerika Serikat)
adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran V yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini.
15. Untuk Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah yang
standar (plain vanilla) dengan nilai nominal di atas
USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat) dan transaksi
structured product valuta asing terhadap Rupiah berupa Call Spread
Option maka dokumen yang disampaikan Pihak Asing kepada Bank
berupa:
a. Dokumen
Underlying
Transaksi
yang dapat
dipertanggungjawabkan, baik yang bersifat final maupun yang
berupa perkiraan; dan
b. dokumen pendukung berupa pernyataan tertulis yang
authenticated dari Pihak Asing yang memuat informasi
mengenai:
1) keaslian dan kebenaran dokumen Underlying Transaksi
sebagaimana dimaksud pada huruf a;
2) penggunaan dokumen Underlying Transaksi hanya untuk
Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah paling
banyak sebesar nominal Underlying Transaksi dalam
sistem perbankan di Indonesia;
3)
jumlah kebutuhan, tujuan penggunaan, dan tanggal
penggunaan valuta asing, dalam hal dokumen Underlying
Transaksi sebagaimana dimaksud pada huruf a berupa
perkiraan pembelian valuta asing terhadap Rupiah; dan
4) sumber …
41
4)
sumber, jumlah, dan waktu penerimaan valuta asing,
dalam hal dokumen Underlying Transaksi sebagaimana
dimaksud pada huruf a berupa perkiraan penjualan
valuta asing terhadap Rupiah.
Contoh pernyataan tertulis yang authenticated untuk
Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah yang
standar (plain vanilla) dengan nilai nominal di atas
USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat) dan
transaksi structured product valuta asing terhadap Rupiah
berupa Call Spread Option adalah sebagaimana tercantum
dalam Lampiran VI dan Lampiran VII yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini.
16. Untuk Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah paling
banyak sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat)
yang diselesaikan secara netting maka dokumen pendukung
mengacu pada dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada
angka 15.
Contoh dokumen pendukung berupa pernyataan tertulis yang
authenticated untuk Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap
Rupiah paling banyak sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar
Amerika Serikat) yang diselesaikan secara netting adalah
sebagaimana tercantum dalam Lampiran VIII dan Lampiran IX yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank
Indonesia ini.
17. Pernyataan tertulis yang authenticated sebagaimana dimaksud pada
angka 13, angka 14, angka 15, dan angka 16 dapat berupa surat
elektronik resmi (official email), SWIFT message, negative
confirmation, atau sistem business internet banking.
18. Untuk Transaksi Spot di atas USD25,000.00 (dua puluh lima ribu
dolar Amerika Serikat), dokumen Underlying Transaksi dan
dokumen pendukung dilampirkan untuk setiap transaksi pada
tanggal transaksi. Apabila dokumen Underlying Transaksi dan
dokumen pendukung tidak dapat diterima pada tanggal transaksi
maka dokumen Underlying Transaksi dan dokumen pendukung
wajib diterima oleh Bank paling lambat pada tanggal valuta.
19. Dalam …
42
19. Dalam hal Pihak Asing melakukan pembelian valuta asing terhadap
Rupiah melalui Transaksi Spot paling banyak sebesar
USD25,000.00 (dua puluh lima ribu dolar Amerika Serikat) secara
berangsur (bertahap) mencapai nilai di atas USD25,000.00 (dua
puluh lima ribu dolar Amerika Serikat) atau ekuivalennya dalam 1
(satu) bulan yang sama maka dokumen Underlying Transaksi
dilampirkan untuk pembelian valuta asing terhadap Rupiah yang
melebihi USD25,000.00 (dua puluh lima ribu dolar Amerika Serikat)
atau ekuivalennya.
Contoh:
Pada tanggal 10 November 20xx, Pihak Asing melakukan pembelian
valuta asing terhadap Rupiah sebesar USD10,000.00 (sepuluh ribu
dolar Amerika Serikat). Kemudian pada tanggal 14 November 20xx,
Pihak Asing yang sama melakukan pembelian valuta asing terhadap
Rupiah sebesar USD15,000.00 (lima belas ribu dolar Amerika
Serikat). Selanjutnya pada tanggal 19 November 20xx, Pihak Asing
kembali melakukan pembelian valuta asing terhadap Rupiah
sebesar USD60,000.00 (enam puluh ribu dolar Amerika Serikat)
maka transaksi pembelian yang dilakukan pada tanggal 19
November 20xx tersebut telah melampaui USD25,000.00 (dua
puluh lima ribu dolar Amerika Serikat). Dengan demikian untuk
pembelian yang dilakukan pada tanggal 19 November 20xx tersebut,
Pihak Asing menyediakan dokumen Underlying Transaksi sebesar
USD60,000.00 (enam puluh ribu dolar Amerika Serikat).
20. Untuk Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah yang
standar (plain vanilla) di atas USD1,000,000.00 (satu juta dolar
Amerika Serikat) dan transaksi structured product valuta asing
terhadap Rupiah berupa Call Spread Option, dokumen Underlying
Transaksi dan dokumen pendukung dilampirkan pada tanggal
transaksi. Dalam hal dokumen Underlying Transaksi dan/atau
dokumen pendukung tidak dapat diterima pada tanggal transaksi
maka dokumen Underlying Transaksi dan/atau dokumen
pendukung wajib diterima oleh Bank paling lambat pada 5 (lima)
hari kerja setelah tanggal transaksi.
Contoh: …
43
Contoh:
Pihak Asing akan melakukan investasi penyertaan langsung dan
akan melakukan transaksi forward jual USD/IDR dengan Bank
sebesar USD30,000,000.00 (tiga puluh juta dolar Amerika Serikat)
pada tanggal 18 November 20xx dengan tenor 3 (tiga) bulan. Pada
saat transaksi forward dilakukan, Bank wajib memastikan bahwa
Pihak Asing menyampaikan dokumen Underlying Transaksi dan
dokumen pendukung paling lambat pada tanggal 25 November
20xx, baik Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah akan
diselesaikan secara netting maupun diselesaikan dengan
pemindahan dana pokok secara penuh (full movement of fund).
21. Dalam hal Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah
memiliki Underlying Transaksi dengan jatuh waktu kurang dari 5
(lima) hari kerja setelah tanggal transaksi, dokumen Underlying
Transaksi dan/atau dokumen pendukung Transaksi Derivatif
Valuta Asing Terhadap Rupiah wajib diterima oleh Bank paling
lambat pada tanggal jatuh waktu.
Contoh:
C Ltd. melakukan transaksi forward beli USD/IDR sebesar
USD80,000.00 (delapan puluh ribu dolar Amerika Serikat) pada
tanggal 12 Desember 2016 dengan tenor 2 (dua) bulan (jatuh waktu
tanggal 12 Februari 2017) dan tidak wajib menyampaikan dokumen
Underlying Transaksi. Pada tanggal 9 Februari 2017, C Ltd.
bermaksud untuk melakukan unwind transaksi dan diselesaikan
secara netting melalui transaksi forward jual 3 (tiga) hari (jatuh
waktunya sama dengan jatuh waktu forward awal). C Ltd. wajib
menyampaikan dokumen Underlying Transaksi dan dokumen
pendukung paling lambat tanggal jatuh waktu transaksi forward,
yaitu tanggal 12 Februari 2017. Dalam hal sampai dengan tanggal
12 Februari 2017 C Ltd. tidak dapat menyampaikan dokumen
Underlying Transaksi dan dokumen pendukung maka penyelesaian
transaksi forward beli dan forward jual dilakukan dengan
pemindahan dana pokok secara penuh (full movement of fund).
22. Penyampaian dokumen Underlying Transaksi dan dokumen
pendukung Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah
paling banyak sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika
Serikat) …
44
Serikat) yang akan diselesaikan secara netting, wajib diterima oleh
Bank paling lambat pada:
a.
tanggal valuta, dalam hal perpanjangan transaksi (roll over),
percepatan penyelesaian transaksi (early termination), dan
pengakhiran transaksi (unwind) dilakukan melalui Transaksi
Spot;
b. 5 (lima) hari kerja setelah tanggal transaksi, dalam hal
perpanjangan transaksi (roll over), percepatan penyelesaian
transaksi (early termination), dan pengakhiran transaksi
(unwind) dilakukan melalui Transaksi Derivatif Valuta Asing
Terhadap Rupiah; atau
c.
tanggal jatuh waktu, dalam hal perpanjangan transaksi (roll
over), percepatan penyelesaian transaksi (early termination),
dan pengakhiran transaksi (unwind) dilakukan melalui
Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah yang
memiliki jatuh waktu kurang dari 5 (lima) hari kerja setelah
tanggal transaksi.
Contoh:
Pihak Asing melakukan transaksi forward beli USD/IDR
sebesar USD800,000.00 (delapan ratus ribu dolar Amerika
Serikat) pada tanggal 19 November 2016 dengan tenor 1 (satu)
bulan (jatuh waktu tanggal 19 Desember 2016) dan tidak wajib
menyampaikan dokumen Underlying Transaksi. Pada tanggal
16 Desember 2016, Pihak Asing bermaksud untuk melakukan
unwind transaksi dan diselesaikan secara netting melalui
transaksi forward jual 3 (tiga) hari (jatuh waktunya sama
dengan jatuh waktu forward awal yaitu tanggal 19 Desember
2016). Bank wajib memastikan Pihak Asing untuk
menyampaikan dokumen Underlying Transaksi atas forward
beli USD/IDR sebesar USD800,000.00 (delapan ratus ribu
dolar Amerika Serikat) dan dokumen pendukung paling lambat
pada tanggal jatuh waktu transaksi forward yaitu 19
Desember 2016. Dalam hal Bank tidak menerima dokumen
Underlying Transaksi dan dokumen pendukung dari Pihak
Asing, penyelesaian transaksi forward beli dan forward jual
dilakukan …
45
dilakukan dengan pemindahan dana pokok secara penuh (full
movement of fund).
23. Bank dapat menerima dokumen pendukung secara berkala
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 PBI untuk Transaksi Valuta
Asing Terhadap Rupiah oleh Pihak Asing apabila:
a. dokumen Underlying Transaksi bersifat final; dan
b. Bank telah mengetahui track record Pihak Asing dengan baik
antara lain dari Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah yang
dilakukan Pihak Asing secara reguler dari waktu ke waktu.
Bank yang melakukan fungsi kustodian dapat menerima dokumen
pendukung dari Pihak Asing paling kurang 1 (satu) kali dalam 1
(satu) tahun kalender.
Contoh:
Pihak Asing ABC Ltd. melakukan penjualan valuta asing terhadap
Rupiah kepada Bank X yang merupakan bank kustodian pada
tanggal 13 November 2016 sebesar USD1,200,000.00 (satu juta dua
ratus ribu dolar Amerika Serikat). Atas transaksi ini Bank X wajib
memastikan ABC Ltd. menyampaikan dokumen Underlying
Transaksi dan dokumen pendukung pernyataan tertulis yang
authenticated. Pada tanggal 19 Desember 2016 ABC Ltd. melakukan
penjualan valuta asing terhadap Rupiah kepada Bank X sebesar
USD1,500,000.00 (satu juta lima ratus ribu dolar Amerika Serikat).
Atas penjualan ini, Bank X wajib memastikan ABC Ltd.
menyampaikan dokumen Underlying Transaksi. Pada tanggal 20
Januari 2017, ABC Ltd. kembali melakukan penjualan valuta asing
terhadap Rupiah kepada Bank X sebesar USD1,300,000.00 (satu
juta tiga ratus ribu dolar Amerika Serikat). Atas penjualan ini Bank
X wajib memastikan ABC Ltd. menyampaikan dokumen Underlying
Transaksi dan dokumen pendukung berupa pernyataan tertulis
yang authenticated.
24. Bank yang tidak melakukan fungsi kustodian dapat menerima
dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam angka 13
huruf b dan angka 15 huruf b dari Pihak Asing paling kurang 1
(satu) kali dalam 1 (satu) bulan kalender apabila:
a. dokumen Underlying Transaksi bersifat final; dan
b. Bank …
46
b. Bank telah mengetahui track record Pihak Asing dengan baik
antara lain dari Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah yang
dilakukan Pihak Asing secara reguler dari waktu ke waktu.
25. Pihak Asing yang melakukan pembelian valuta asing terhadap
Rupiah melalui Transaksi Spot paling banyak sebesar
USD25,000.00 (dua puluh lima ribu dolar Amerika Serikat) per
bulan, dokumen pendukung disampaikan paling kurang 1 (satu)
kali dalam 1 (satu) bulan kalender.
Contoh:
Pihak Asing C melakukan pembelian valuta asing terhadap Rupiah
melalui Transaksi Spot kepada Bank Y pada tanggal 19 November
20xx sebesar USD10,000.00 (sepuluh ribu dolar Amerika Serikat).
Atas pembelian ini Bank Y wajib memastikan Pihak Asing C
menyampaikan dokumen berupa pernyataan tertulis yang
authenticated. Pada tanggal 26 November 20xx Pihak Asing C
melakukan pembelian valuta asing terhadap Rupiah melalui
Transaksi Spot kepada Bank Y sebesar USD5,000.00 (lima ribu
dolar Amerika Serikat). Atas pembelian ini, Pihak Asing C tidak
wajib menyampaikan dokumen berupa pernyataan tertulis yang
authenticated. Pada tanggal 16 Desember 20xx Pihak Asing C
melakukan pembelian valuta asing terhadap Rupiah melalui
Transaksi Spot kepada Bank Y sebesar USD20,000.00 (dua puluh
ribu dolar Amerika Serikat). Atas pembelian ini, Bank Y wajib
memastikan Pihak Asing C menyampaikan dokumen berupa
pernyataan tertulis yang authenticated.
26. Penyampaian dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada
angka 23, angka 24, dan angka 25 dilakukan pada transaksi
pertama.
27. Dalam hal terdapat jenis dokumen selain sebagaimana tercantum
dalam Lampiran II dan Lampiran III, Bank dapat:
a. mengajukan terlebih dahulu jenis dokumen tersebut kepada
Indonesia Foreign Exchange Market Committee (IFEMC) untuk
dikonsultasikan kepada Bank Indonesia; atau
b. mengajukan secara tertulis kepada Bank Indonesia cq.
Departemen Pengembangan Pasar Keuangan.
IX. PELAPORAN …
47
IX. PELAPORAN
1.
Bank menyampaikan laporan Transaksi Valuta Asing Terhadap
Rupiah termasuk transaksi structured product valuta asing
terhadap Rupiah berupa Call Spread Option melalui sistem
pelaporan Bank Indonesia, yaitu Laporan Harian Bank Umum
(LHBU).
2. Mekanisme pelaporan Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah
mengacu kepada ketentuan yang mengatur mengenai Laporan
Harian Bank Umum (LHBU).
X. TATA CARA PENGENAAN SANKSI
1. Dalam hal Bank dikenakan sanksi berupa teguran tertulis
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 dan Pasal 29 ayat (1) PBI
maka surat teguran tertulis tersebut disampaikan oleh Bank
Indonesia kepada Bank yang bersangkutan, dengan tembusan
kepada Otoritas Jasa Keuangan.
2. Dalam mengenakan sanksi kewajiban membayar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) PBI berlaku ketentuan sebagai
berikut:
a. Besarnya kewajiban membayar adalah 1% (satu persen) dari
nilai nominal transaksi yang dilanggar untuk setiap
pelanggaran dengan jumlah sanksi paling sedikit sebesar
Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak
sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Contoh:
Pada tanggal 5 September 20xx, Pihak Asing melakukan
pembelian valuta asing terhadap Rupiah melalui Transaksi
Spot sebesar USD60,000.00 (enam puluh ribu dolar Amerika
Serikat) di Bank A. Atas pembelian valuta asing terhadap
Rupiah tanggal 5 September 20xx, Bank A tidak meminta
Pihak Asing untuk memberikan dokumen Underlying
Transaksi, dan dengan demikian terdapat pelanggaran yang
melebihi threshold sebesar USD35,000.00 (tiga puluh lima
ribu dolar Amerika Serikat). Atas pelanggaran tersebut, Bank
A dikenakan sanksi berupa teguran tertulis dan kewajiban
membayar …
48
membayar yang dihitung dari nilai nominal USD35,000.00 x
1%, yaitu USD350.00 (jika kurs JISDOR pada tanggal 15
September 20XX adalah sebesar USD/IDR 10.000,00 maka
ekuivalen perhitungan sanksi adalah Rp3.500.000,00) tetapi
minimal sanksi yang harus dibayar adalah sebesar
Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
b. Pengenaan sanksi kewajiban membayar dilakukan oleh Bank
Indonesia dengan cara mendebet rekening giro Rupiah Bank
yang bersangkutan di Bank Indonesia.
XI. PENUTUP
1.
Pada saat Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku:
a. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 16/15/DPM tanggal 17
September 2014 perihal Transaksi Valuta Asing Terhadap
Rupiah antara Bank dengan Pihak Asing;
b. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/16/DPM tanggal 12
Juni 2015 perihal Perubahan atas Surat Edaran Bank
Indonesia Nomor 16/15/DPM tanggal 17 September 2014
perihal Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah antara Bank
dengan Pihak Asing;
c. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/21/DPM tanggal 28
Agustus 2015 perihal Perubahan Kedua atas Surat Edaran
Bank Indonesia Nomor 16/15/DPM tanggal 17 September
2014 perihal Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah antara
Bank dengan Pihak Asing; dan
d. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/50/DPM tanggal 21
Desember 2015 perihal Perubahan Ketiga atas Surat Edaran
Bank Indonesia Nomor 16/15/DPM tanggal 17 September
2014 perihal Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah antara
Bank dengan Pihak Asing,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
2.
Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 13
Desember 2016.
Agar …
49
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat
Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita Negara
Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA,
NANANG HENDARSAH
KEPALA DEPARTEMEN
PENGEMBANGAN PASAR KEUANGAN
"," SE-BI
18/35/DPPK|SE-BI/2016
Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak Asing
13 Desember 2016
13 Desember 2016
'17/50/DPM|SE-BI/2015', '17/21/DPM|SE-BI/2015', '16/15/DPM|SE-BI/2014', '17/16/DPM|SE-BI/2015'
'18/19/PBI/2016'
'Romawi X'
"
" 1
No. 17/35/DPSP
Jakarta, 13 November 2015
S U R A T E D A R A N
Kepada
SEMUA PESERTA SISTEM BANK INDONESIA-REAL TIME GROSS
SETTLEMENT DAN SISTEM KLIRING NASIONAL BANK INDONESIA
Perihal : Batas Nilai Nominal Transfer Dana Melalui Sistem Bank
Indonesia-Real Time Gross Settlement dan Sistem Kliring
Nasional Bank Indonesia
Sehubungan dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia Nomor
17/9/PBI/2015 tentang Penyelenggaraan Transfer Dana dan Kliring
Berjadwal Oleh Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2015 Nomor 122, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5704) dan Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/18/PBI/2015
tentang Penyelenggaraan Transaksi, Penatausahaan Surat Berharga, dan
Setelmen Dana Seketika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2015 Nomor 273, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5762) serta dalam rangka menjaga kelancaran kegiatan
operasional Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement dalam
masa awal implementasi penyempurnaan Sistem Bank Indonesia-Real
Time Gross Settlement, perlu diatur ketentuan pelaksanaan mengenai
batas nilai nominal transfer dana melalui Sistem Bank Indonesia-Real
Time Gross Settlement dan Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia dalam
Surat Edaran Bank Indonesia sebagai berikut:
I. KETENTUAN UMUM
Dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan termasuk
kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri dan
Bank...
2
Bank Umum Syariah termasuk Unit Usaha Syariah sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai
perbankan syariah.
2. Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement yang selanjutnya
disebut Sistem BI-RTGS adalah infrastruktur yang digunakan
sebagai sarana transfer dana elektronik yang setelmennya dilakukan
seketika per transaksi secara individual.
3. Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia yang selanjutnya
disingkat SKNBI adalah infrastruktur yang digunakan oleh Bank
Indonesia dalam Penyelenggaraan Transfer Dana dan Kliring
Berjadwal untuk memproses Data Keuangan Elektronik pada
Layanan Transfer Dana, Layanan Kliring Warkat Debit, Layanan
Pembayaran Reguler, dan Layanan Penagihan Reguler.
4. Penyelenggara adalah Bank Indonesia sebagai penyelenggara
Sistem BI-RTGS dan penyelenggara SKNBI.
5. Peserta Sistem BI-RTGS adalah pihak yang telah memenuhi
persyaratan dan telah memperoleh persetujuan dari
Penyelenggara sebagai peserta dalam penyelenggaraan Sistem BI-
RTGS.
6. Peserta SKNBI adalah pihak yang telah memenuhi persyaratan
dan telah memperoleh persetujuan dari Penyelenggara sebagai
peserta dalam penyelenggaraan SKNBI.
7. Setelmen Dana adalah proses penyelesaian akhir transaksi
keuangan melalui pendebitan dan pengkreditan Rekening
Setelmen Dana, Rekening Surat Berharga, dan/atau rekening
lainnya di Bank Indonesia.
II. BATAS NILAI NOMINAL TRANSFER DANA MELALUI SISTEM BI-RTGS
A. Penyelenggara menetapkan batas nilai nominal transfer dana
antar Bank Peserta Sistem BI-RTGS untuk kepentingan nasabah.
B. Batas nilai nominal transfer dana sebagaimana dimaksud dalam
huruf A berlaku untuk transaksi single credit dan transaksi
multiple credit.
C. Batas...
3
C. Batas nilai nominal transfer dana sebagaimana dimaksud dalam
huruf B diatur sebagai berikut:
1. Terhitung sejak tanggal 16 November 2015 sampai dengan
tanggal 30 Juni 2016, batas nilai nominal transfer dana
adalah di atas Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)
per instruksi Setelmen Dana.
2. Terhitung sejak tanggal 1 Juli 2016, batas nilai nominal
transfer dana adalah di atas Rp100.000.000,00 (seratus juta
rupiah) per instruksi Setelmen Dana.
III. BATAS NILAI NOMINAL TRANSFER DANA MELALUI SKNBI
A. Penyelenggara menetapkan batas nilai nominal transfer dana
antar Peserta SKNBI yang dapat diperhitungkan dalam layanan
transfer dana.
B. Batas nilai nominal transfer dana sebagaimana dimaksud dalam
huruf A diatur sebagai berikut:
1. Terhitung sejak tanggal 16 November 2015 sampai dengan
tanggal 30 Juni 2016, nilai nominal transfer dana tidak
dibatasi.
2. Terhitung sejak tanggal 1 Juli 2016, nilai nominal transfer
dana dibatasi paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus
juta rupiah) per transaksi.
IV. PENGUMUMAN
A. Seluruh Peserta Sistem BI-RTGS dan Peserta SKNBI harus
mengumumkan batas nilai nominal transfer dana melalui Sistem
BI-RTGS dan SKNBI kepada nasabah.
B. Pengumuman sebagaimana dimaksud dalam huruf A harus
diletakkan di setiap kantor Peserta Sistem BI-RTGS dan Peserta
SKNBI pada tempat yang mudah dilihat oleh nasabah.
V. KETENTUAN PENUTUP
Pada saat Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku maka:
A. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 7/47/DASP tanggal 13
Oktober 2005 perihal Batasan Nilai Nominal Per Transaksi Antar
Bank...
4
Bank untuk Kepentingan Nasabah melalui Sistem Bank
Indonesia-Real Time Gross Settlement Sehubungan dengan Hari
Libur Nasional Tertentu; dan
B. ketentuan mengenai batas nilai nominal transfer dana yang
dapat diperhitungkan dalam layanan transfer dana melalui
SKNBI sebagaimana dimaksud dalam butir VI.A.5 Surat Edaran
Bank Indonesia Nomor 17/13/DPSP tanggal 5 Juni 2015 perihal
Penyelenggaraan Transfer Dana dan Kliring Berjadwal Oleh Bank
Indonesia,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 16
November 2015
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman
Surat Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita
Negara Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA,
BRAMUDIJA HADINOTO
KEPALA DEPARTEMEN PENYELENGGARAAN
SISTEM PEMBAYARAN
"," SE-BI
17/35/DPSP|SE-BI/2015
Batas Nilai Nominal Transfer Dana Melalui Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement dan Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia
13 November 2015
16 November 2015
'17/13/DPSP|SE-BI/2015 | butir VI.A.5', '7/47/DASP|SE-BI/2005'
'17/9/PBI/2015', '17/18/PBI/2015'
"
" No. 14/ 5 /DSM
Jakarta, 27 Januari 2012
S U R A T E D A R A N
Kepada
SEMUA BANK UMUM
DI INDONESIA
Perihal : Perubahan Kedua atas Surat Edaran Bank Indonesia
Nomor 11/2/DSM tanggal 22 Januari 2009 perihal
Laporan Bulanan Bank Umum
Sehubungan dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor
10/40/PBI/2008 tentang Laporan Bulanan Bank Umum (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 205, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4950) sebagaimana telah
diubah beberapa kali, terakhir dengan Peraturan Bank Indonesia
Nomor 12/2/PBI/2010 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2010 Nomor 40, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5113) dan dalam rangka menyelaraskan ketentuan Bank
Indonesia dengan standar akuntansi keuangan yang berlaku di
Indonesia, perlu dilakukan perubahan atas Surat Edaran Bank
Indonesia Nomor 11/2/DSM tanggal 22 Januari 2009 sebagaimana
telah diubah dengan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 12/7/DSM
tanggal 10 Maret 2010 sebagai berikut:
1. Ketentuan ...
1. Ketentuan dalam angka II mengenai format Laporan dan tata cara
pelaporan dalam Pedoman Penyusunan Laporan Bulanan Bank
Umum (LBU) 2008 diubah sehingga Pedoman Penyusunan Laporan
Bulanan Bank Umum (LBU) 2008 menjadi sebagaimana terlampir
yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Surat Edaran
Bank Indonesia ini.
2. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka 1 mulai berlaku
sejak pelaporan data bulan Januari 2012 yang disampaikan pada
bulan Februari 2012.
Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal
27 Januari 2012
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman
Surat Edaran Bank Indonesia dengan penempatannya dalam Berita
Negara Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA,
HARTADI A. SARWONO
DEPUTI GUBERNUR
"," SE-BI
14/5/DSM|SE-BI/2012
Perubahan Kedua atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/2/DSM tanggal 22 Januari 2009 perihal Laporan Bulanan Bank Umum
27 Januari 2012
27 Januari 2012
'11/2/DSM|SE-BI/2009'
'12/7/DSM|SE-BI/2010'
'10/40/PBI/2008', '12/2/PBI/2010', '12/7/DSM|SE-BI/2010', '11/2/DSM|SE-BI/2009'
"
" No. 7/16/DPM
Jakarta, 31 Mei 2005
SURAT EDARAN
Perihal : Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 7/7/DPM
tanggal 29 Maret 2005 perihal Laporan Harian Bank Umum
---------------------------------------------------------------------------------
Sehubungan dengan diperlukannya perpanjangan masa peralihan yang lebih
memadai dari sistem Pusat Informasi Pasar Uang ke sistem Laporan Harian Bank
Umum maka Surat Edaran Nomor 7/7/DPM tanggal 29 Maret 2005 tentang Laporan
Harian Bank Umum, yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Peraturan Bank
Indonesia Nomor 7/10/PBI/2005 tentang Laporan Harian Bank Umum (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 25, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia
Nomor 4483) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Bank Indonesia Nomor 7/12/PBI/2005 tanggal 31 Mei 2005 (Lembaran Negara
Tahun 2005 Nomor 45, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4499), perlu dilakukan perubahan sebagai berikut:
1. Ketentuan butir V.E.1 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Penyampaian dan atau koreksi LHBU oleh Bank Pelapor dilakukan setiap Hari
Kerja.
2. Ketentuan angka VI.4 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
4. Untuk penambahan setiap user id, Bank Pelapor dikenakan biaya yang terdiri
dari biaya lisensi sistem LHBU dan biaya pemeliharaan sistem LHBU yang
masing-masing besarnya ditetapkan dalam surat edaran Bank Indonesia yang
mengatur mengenai biaya LHBU dan biaya PIPU.
3. Ketentuan angka VI ditambah 1 angka, yakni angka 5 yang berbunyi sebagai
berikut:
5. Dalam hal Bank Pelapor menambah fasilitas user id sebagaimana dimaksud
pada angka 3, Bank Pelapor mengajukan permohonan secara tertulis kepada
Bank Indonesia cq. Satuan kerja yang membidangi Manajemen Informasi, Jl.
M.H. Thamrin No.2, Jakarta, 10110.
4. Lampiran ...
2
4. Lampiran 4 sebagaimana dimaksud pada butir VII.1.d diubah sehingga menjadi
sebagaimana contoh terlampir.
5. Ketentuan angka VII.3 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
3. a. Dalam rangka perolehan informasi hasil olahan LHBU sebagaimana
dimaksud pada angka 2, Pelanggan PIPU dikenakan biaya PIPU yang
dituangkan dalam Perjanjian Penggunaan PIPU.
b. Biaya PIPU sebagaimana dimaksud pada huruf a terdiri dari biaya lisensi
sistem LHBU, biaya pemeliharaan sistem LHBU dan biaya perolehan
informasi hasil olahan LHBU yang masing-masing besarnya ditetapkan
dalam surat edaran Bank Indonesia yang mengatur mengenai biaya
LHBU dan biaya PIPU.
6. Ketentuan angka X diubah sehingga berbunyi sebagai berikut :
Dengan diberlakukannya Surat Edaran ini maka sejak tanggal 26 Agustus 2005
Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 5/28/DPM tanggal 17 November 2003
perihal Tata Cara Penyelenggaraan Pusat Informasi Pasar Uang, dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.
Ketentuan dalam Surat Edaran ini mulai berlaku pada tanggal 31 Mei 2005.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat
Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Demikian agar maklum.
BANK INDONESIA,
BUDI MULYA
DIREKTUR PENGELOLAAN MONETER
"," SE-BI
7/16/DPM|SE-BI/2005
Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 7/7/DPM tanggal 29 Maret 2005 perihal Laporan Harian Bank Umum
31 Mei 2005
31 Mei 2005
'7/7/DPM|SE-BI/2005'
'5/28/DPM|SE-BI/2003'
'7/12/PBI/2005', '7/7/DPM|SE-BI/2005', '7/10/PBI/2005'
"
" No. 11/ 5 /DPNP
Jakarta, 28 Januari 2009
SURAT EDARAN
Kepada
SEMUA BANK UMUM
DI INDONESIA
Perihal : Bank Umum
Dengan telah diterbitkannya Peraturan Bank Indonesia Nomor
11/1/PBI/2009 tentang Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4976) dan mempertimbangkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003
tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4292), maka perlu untuk mengatur lebih lanjut
ketentuan pelaksanaan mengenai Bank Umum dalam Surat Edaran yang
mencakup hal-hal sebagai berikut :
I. UMUM
1. Kondisi persaingan yang semakin tajam memaksa perbankan nasional
aktif dalam menciptakan peluang-peluang yang dapat meningkatkan
pelayanan kepada nasabah antara lain melalui perluasan produk/jasa,
pasar dan jaringan.
2. Sebagai …
2. Sebagai regulator, Bank Indonesia berkepentingan untuk melindungi
nasabah dan memelihara kelangsungan usaha Bank. Sehubungan
dengan hal tersebut Bank diwajibkan untuk menyampaikan
permohonan izin atau laporan kepada Bank Indonesia sebelum
dan/atau setelah Bank melakukan perluasan produk/jasa, pasar dan
jaringan.
3. Pengajuan permohonan izin atau rencana dan/atau penyampaian
laporan oleh Bank kepada Bank Indonesia tersebut di atas dilakukan
dengan menggunakan format pada lampiran, yang merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari Surat Edaran ini.
II. MANAJEMEN RISIKO
Perluasan jaringan kantor Bank selain memberikan peluang dalam
memperluas pelayanan Bank kepada nasabah juga berpotensi menimbulkan
risiko yang dapat merugikan Bank maupun nasabah.
Dalam melakukan perluasan jaringan kantor, Bank harus melakukan
pengkajian terhadap risiko yang mungkin timbul dari pembukaan jaringan
kantor tersebut. Untuk itu Bank harus memperhatikan kondisi keuangan
Bank, tingkat kejenuhan jumlah kantor Bank, tingkat persaingan Bank yang
sehat, tingkat pemerataan pembangunan ekonomi nasional, dan pelayanan
terhadap nasabah.
III. PEJABAT EKSEKUTIF
Pengangkatan, pemberhentian atau penggantian Pejabat Eksekutif wajib
dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia.
Apabila …
Apabila berdasarkan penelitian dan penilaian Bank Indonesia, Pejabat
Eksekutif dimaksud memiliki rekam jejak negatif, maka Bank wajib segera
membatalkan pengangkatan dan mengganti pejabat yang bersangkutan.
Dalam rangka penelitian dan penilaian dimaksud, apabila dipandang perlu
Bank Indonesia dapat melakukan wawancara untuk klarifikasi dan
konfirmasi guna memastikan kelayakan yang bersangkutan.
IV. KANTOR WILAYAH DAN KANTOR FUNGSIONAL YANG
MELAKUKAN KEGIATAN OPERASIONAL
Kegiatan operasional adalah kegiatan penghimpunan dan/atau penyaluran
dana dengan melakukan satu atau lebih kegiatan di bawah ini:
a. penerimaan nasabah;
b. penerimaan/pengeluaran kas;
c. pemrosesan permohonan penyaluran/penghimpunan dana; atau
d. memberikan keputusan atas permohonan penyaluran/penghimpunan
dana.
V. KEGIATAN PAMERAN
Kegiatan pameran yang dilakukan dalam rangka promosi, tidak bersifat
permanen, dan hanya menerima setoran awal/titipan kas sesuai persyaratan
setoran minimal pembukaan rekening tidak termasuk dalam Kegiatan
Pelayanan Kas sehingga tidak perlu dilaporkan kepada Bank Indonesia.
Dengan demikian, seandainya persyaratan setoran awal minimal dalam
pembukaan rekening tabungan adalah sebesar Rp.500.000,00 (lima ratus
ribu Rupiah), maka setoran awal yang boleh diterima Bank adalah sebesar
Rp.500.000,00 (lima ratus ribu Rupiah). Apabila Bank menerima setoran
awal …
awal lebih dari Rp.500.000,00 (lima ratus ribu Rupiah) maka kegiatan
tersebut tidak dapat digolongkan sebagai kegiatan pameran, tetapi sebagai
Kegiatan Pelayanan Kas.
Dalam hal kegiatan pameran dilaksanakan dalam jangka waktu lebih dari
30 (tiga puluh) hari maka kegiatan tersebut tidak dapat digolongkan sebagai
kegiatan pameran, tetapi sebagai Kegiatan Pelayanan Kas.
VI. PERUBAHAN NAMA BANK
Perubahan nama Bank wajib dilakukan mengikuti ketentuan perundang-
undangan yang berlaku, termasuk ketentuan yang dikeluarkan oleh instansi
di luar Bank Indonesia antara lain Departemen Perindustrian dan
Perdagangan, serta Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia. Dalam hal
instansi terkait sebagaimana dimaksud di atas mengeluarkan dokumen
persetujuan perubahan nama Bank, maka dokumen persetujuan dimaksud
disampaikan kepada Bank Indonesia bersamaan dengan pengajuan
permohonan perubahan nama Bank sebagaimana diatur dalam Peraturan
Bank Indonesia tentang Bank Umum.
VII. RENCANA PERUBAHAN JARINGAN KANTOR DALAM RENCANA
BISNIS BANK
1. Bank yang akan melaksanakan pembukaan, perubahan status,
pemindahan alamat, dan/atau penutupan jaringan kantor Bank yang
meliputi Kantor Wilayah, Kantor Cabang, Kantor Cabang Pembantu,
Kantor Fungsional, Kantor Kas dan/atau Kegiatan Pelayanan Kas
wajib mencantumkan rencana dimaksud dalam Rencana Bisnis Bank
pada bagian Rencana Perubahan Jaringan Kantor.
2. Rencana ...
2. Rencana alamat lokasi pembukaan, perubahan status, pemindahan
alamat, dan/atau penutupan Kantor Wilayah, Kantor Cabang, Kantor
Cabang Pembantu, Kantor Fungsional, Kantor Kas dan/atau Kegiatan
Pelayanan Kas sebagaimana dimaksud pada angka 1 dilaporkan
sebagai berikut:
a) dalam hal rencana lokasi kantor berada di wilayah propinsi DKI
Jakarta, paling kurang menyebutkan nama propinsi DKI Jakarta.
b) dalam hal rencana lokasi kantor berada di luar wilayah propinsi
DKI Jakarta maka paling kurang menyebutkan nama kabupaten/
kotamadya dimana lokasi kantor akan dibuka dan/atau
dipindahkan.
VIII. LAPORAN PELAKSANAAN PERUBAHAN JARINGAN KANTOR
DALAM LAPORAN REALISASI RENCANA BISNIS BANK
TRIWULANAN
1. Bank yang telah melaksanakan pembukaan, perubahan status,
pemindahan alamat, dan/atau penutupan jaringan kantor Bank yang
meliputi Kantor Wilayah, Kantor Cabang, Kantor Cabang Pembantu,
Kantor Fungsional, Kantor Kas dan/atau Kegiatan Pelayanan Kas
wajib mencantumkan pelaksanaan dimaksud dalam Laporan Realisasi
Rencana Bisnis Bank triwulanan.
2.
Informasi pelaksanaan perubahan jaringan kantor Bank dalam
Laporan Realisasi Rencana Bisnis Bank triwulanan wajib
menyebutkan alamat lengkap lokasi:
a) pembukaan Kantor Kas dan/atau Kegiatan Pelayanan Kas;
b) pemindahan …
b) pemindahan Kantor Wilayah, Kantor Kas, Kegiatan Pelayanan
Kas, dan/atau Kantor Fungsional yang tidak melakukan kegiatan
operasional; dan/atau
c) penutupan Kantor Wilayah, Kantor Kas, dan/atau Kegiatan
Pelayanan Kas.
IX. FORMAT SURAT PERMOHONAN IZIN ATAU RENCANA DAN
LAPORAN
1. Pengajuan permohonan izin atau rencana dan/atau penyampaian
laporan sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia tersebut
wajib diajukan oleh Bank kepada Bank Indonesia dengan
menggunakan format sebagaimana dalam Lampiran 1 sampai dengan
Lampiran 31.a sesuai jenis peruntukannya dengan berpedoman kepada
tata cara penyampaian surat dan tembusan sebagaimana diatur dalam
Lampiran A.
2. Dalam hal format lampiran tidak diatur secara khusus dalam Surat
Edaran ini, maka format penyampaian pengajuan permohonan atau
rencana dan/atau penyampaian laporan diserahkan kepada masing-
masing Bank.
X. PENYAMPAIAN PERMOHONAN IZIN ATAU RENCANA DAN
LAPORAN
1. Penyampaian permohonan izin yang diajukan kepada Gubernur Bank
Indonesia/Pimpinan Bank Indonesia, Up. Direktorat Perizinan dan
Informasi Perbankan (DPIP), dialamatkan ke Jl. M.H. Thamrin No.2
Jakarta 10350.
2. Penyampaian …
2. Penyampaian laporan pelaksanaan yang diajukan kepada Bank
Indonesia, Up. Direktorat Pengawasan Bank (DPB), dialamatkan ke
Jl. M.H. Thamrin No.2 Jakarta 10350, kecuali laporan pengangkatan,
pemberhentian, penggantian, atau pengangkatan sementara Pejabat
Eksekutif disampaikan kepada alamat sebagaimana angka 1.
3. Penyampaian permohonan izin dan laporan pelaksanaan yang
diajukan kepada Pimpinan Bank Indonesia dan/atau Bank Indonesia,
Up. Kantor Bank Indonesia, bagi Bank yang berkantor pusat di luar
wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia dialamatkan dengan
mengacu kepada pembagian wilayah kerja kantor Bank Indonesia
pada Lampiran B.
4. Penyampaian rencana yang diajukan kepada Bank Indonesia
Up. Direktorat Perizinan dan Informasi Perbankan (DPIP)
dialamatkan ke Jl.M.H. Thamrin No.2 Jakarta 10350, bagi Bank yang
berkantor pusat di wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia atau
Kantor Bank Indonesia setempat bagi Bank yang berkantor pusat di
luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia dengan mengacu
kepada pembagian wilayah kerja kantor Bank Indonesia pada
Lampiran B.
5. Penyampaian permohonan izin dan laporan lainnya selain
sebagaimana dimaksud dalam angka IX.1, dialamatkan kepada Bank
Indonesia Up. Direktorat Pengawasan Bank (DPB), Jl. M.H. Thamrin
No.2 Jakarta 10350, bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja
Kantor Pusat Bank Indonesia, atau Kantor Bank Indonesia setempat
bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah kerja Kantor Pusat
Bank Indonesia dengan mengacu kepada pembagian wilayah kerja
kantor Bank Indonesia pada Lampiran B.
XI. PERALIHAN …
XI. PERALIHAN KANTOR KAS
Sebagaimana telah diatur dalam Pasal 1 angka 5 PBI tentang Bank Umum
yang dimaksud dengan Kantor Kas adalah kantor Bank yang semata-mata
melakukan kegiatan pelayanan kas dengan alamat tempat usaha yang jelas
dimana Kantor Kas tersebut melakukan usahanya, termasuk memberikan
pelayanan kepada nasabah baru. Bagi Kantor Kas yang melakukan kegiatan
usaha tidak sesuai dengan pengertian tersebut, wajib menyesuaikan
kegiatannya paling lambat akhir tahun 2009 sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 87 PBI tentang Bank Umum. Penyesuaian tersebut dapat berupa
memindahkan aktivitas yang tidak termasuk kegiatan Kantor Kas ke kantor
lain atau meningkatkan status Kantor Kas tersebut menjadi sekurang-
kurangnya Kantor Cabang Pembantu.
XII. PENUTUP
Dengan berlakunya Surat Edaran ini maka:
1. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 3/8/DPNP tanggal 16 Maret
2001 tentang Bank Umum; dan
2. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 3/17/DPNP tanggal 27 Juli 2001
tentang Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia No.3/8/DPNP
tanggal 16 Maret 2001 tentang Bank Umum;
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Ketentuan dalam Surat Edaran ini mulai berlaku sejak tanggal
28 Januari 2009.
Agar …
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat
Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA,
HALIM ALAMSYAH
DIREKTUR PENELITIAN DAN
PENGATURAN PERBANKAN
"," SE-BI
11/5/DPNP|SE-BI/2009
Bank Umum
28 Januari 2009
28 Januari 2009
'3/17/DPNP|SE-BI/2001', '3/8/DPNP|SE-BI/2001'
'11/1/PBI/2009', '5/8/PBI/2003'
"
" No. 11/ 30 /DPNP
Jakarta, 30 Oktober 2009
S U R A T E D A R A N
Kepada
SEMUA BANK UMUM
DI INDONESIA
Perihal : Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor
10/19/DPNP tentang Lembaga Pemeringkat dan Peringkat yang
Diakui Bank Indonesia
Sehubungan dengan penyempurnaan daftar peringkat yang diterbitkan
oleh Lembaga Pemeringkat yang diakui Bank Indonesia dan penutupan kegiatan
operasional PT Moody’s Indonesia, maka dipandang perlu untuk mencabut dan
mengganti Lampiran 1, Lampiran 2, dan Lampiran 3 dalam Surat Edaran Bank
Indonesia Nomor 10/19/DPNP tanggal 30 April 2008 tentang Lembaga
Pemeringkat dan Peringkat yang Diakui Bank Indonesia dengan Lampiran 1,
Lampiran 2, dan Lampiran 3 pada Surat Edaran ini.
Ketentuan dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak
tanggal 30 Oktober 2009.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat
Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita Negara
Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA,
HALIM ALAMSYAH
DIREKTUR PENELITIAN DAN
PENGATURAN PERBANKAN
Lampiran Surat Edaran Bank Indonesia No. 11/30/DPNP tanggal 30 Oktober 2009
Lampiran 1
Lembaga Pemeringkat dan Peringkat yang Diakui Bank Indonesia
Lembaga Pemeringkat
Moody’s
Peringkat Jangka
Pendek
Peringkat Jangka Menengah
dan Jangka Panjang
P-1; P-2; P-3; NP Aaa; Aa1; Aa2; Aa3; A1; A2;
A3; Baa1; Baa2; Baa3; Ba1;
Ba2; Ba3; B1; B2; B3; Caa1;
Caa2; Caa3; Ca; C
Standard and Poor’s A-1; A-2; A-3; B;
B-1; B-2; B-3; C; D
Fitch Ratings
PT. Pemeringkat Efek
Indonesia (Pefindo)
PT. Fitch Ratings
Indonesia
F1+; F1; F2; F3; B;
C; D
idA1; idA2; idA3;
idA4; idB; idC; idSD;
idD
F1+(idn); F1(idn);
F2(idn); F3(idn);
B(idn); C(idn);
D(idn)
AAA; AA+; AA; AA-; A+; A;
A-; BBB+; BBB; BBB-; BB+;
BB; BB-; B+; B; B-; CCC+;
CCC; CCC-; CC; C; D
AAA; AA+; AA; AA-; A+; A;
A-; BBB+; BBB; BBB-; BB+;
BB; BB-; B+; B; B-; CCC;
CC; C; RD; D
idAAA; idAA+; idAA; idAA-;
idA+; idA; idA-; idBBB+;
idBBB; idBBB-; idBB+; idBB;
idBB-; idB+; idB; idB-; idCCC;
idSD; idD
AAA(idn); AA+(idn);
AA(idn); AA-(idn); A+(idn);
A(idn); A-(idn); BBB+(idn);
BBB(idn); BBB-(idn);
BB+(idn); BB(idn); BB-(idn);
B+(idn); B(idn); B-(idn);
CCC(idn); CC(idn); C(idn);
DDD(idn); DD(idn); D(idn); E
Lampiran Surat Edaran Bank Indonesia No. 11/30/DPNP tanggal 30 Oktober 2009
Lampiran 2
Lembaga Pemeringkat dan Peringkat Investasi Minimum (Investment Grade)
Dalam Rangka Menggolongkan Surat Berharga yang Dimiliki Bank
dalam Kategori Kualifikasi (Qualifying) atau Dinilai Lancar
Peringkat Investasi Minimum
Lembaga Pemeringkat
Moody’s
Standard and Poor’s
Fitch Ratings
PT. Pemeringkat Efek
Indonesia (Pefindo)
PT. Fitch Ratings Indonesia
Surat Berharga
Jangka Pendek
P-3
A-3
F3
idA4
F3(idn)
Surat Berharga
Jangka Menengah dan
Jangka Panjang
Baa3
BBB-
BBB-
idBBB-
BBB- (idn)
Lampiran Surat Edaran Bank Indonesia No. 11/30/DPNP tanggal 30 Oktober 2009
Lampiran 3
Lembaga Pemeringkat dan Peringkat Minimum
Dalam Rangka Menggolongkan Surat Berharga yang Dimiliki Bank
yang Dinilai Kurang Lancar
Peringkat Minimum
Lembaga Pemeringkat
Moody’s
Standard and Poor’s
Fitch Ratings
PT. Pemeringkat Efek
Indonesia (Pefindo)
PT. Fitch Ratings Indonesia
Surat Berharga
Jangka Pendek
NP
B
B
idB
B (idn)
Surat Berharga
Jangka Menengah dan
Jangka Panjang
Ba1
BB+
BB+
idBB+
BB+ (idn)
"," SE-BI
11/30/DPNP|SE-BI/2009
Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 10/19/DPNP tentang Lembaga Pemeringkat dan Peringkat yang Diakui Bank Indonesia
30 Oktober 2009
30 Oktober 2009
'10/19/DPNP|SE-BI/2008'
'10/19/DPNP|SE-BI/2008'
"
" No. 16/ 17 /DSta
Jakarta, 22 Oktober 2014
S U R A T E D A R A N
Kepada
SEMUA BANK
Perihal : Perubahan Keempat atas Surat Edaran Bank Indonesia
Nomor 13/3/DPM tanggal 4 Februari 2011 perihal Laporan
Harian Bank Umum
Sehubungan dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor
13/8/PBI/2011 tentang Laporan Harian Bank Umum (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 15, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5194) dan Peraturan Bank Indonesia Nomor
7/1/PBI/2005 tentang Pinjaman Luar Negeri Bank (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4467) sebagaimana telah diubah beberapa kali,
terakhir dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/7/PBI/2014
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 68, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5523) maka perlu dilakukan
perubahan keempat atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 13/3/DPM
tanggal 4 Februari 2011 perihal Laporan Harian Bank Umum sebagai
berikut:
1. Mengubah cakupan informasi yang harus disampaikan oleh Bank
dalam Form 407 pada angka II Penjelasan Formulir dan Cakupan
Informasi Yang Dilaporkan – Lampiran 1 Pedoman Penyusunan
Laporan Harian Bank Umum, menjadi sebagaimana tercantum dalam
Lampiran 1.
2. Menambahkan sandi jenis pengecualian Pinjaman Luar Negeri (PLN)
yaitu sandi 70 sampai dengan 75 dalam Form 407 pada angka III
Penjelasan Pengisian Field atau Kolom – Lampiran 1 Pedoman
Penyusunan Laporan Harian Bank Umum, menjadi sebagaimana
tercantum…
2
tercantum dalam Lampiran 1.
3. Menambahkan sandi yang divalidasi di kolom jenis PLN yaitu sandi 70
sampai dengan 75 dalam Form 407 pada Bab 2 Sistem Validasi –
Lampiran 2 Petunjuk Teknis Aplikasi Laporan Harian Bank Umum,
menjadi sebagaimana tercantum dalam Lampiran 2.
4. Menambahkan sandi jenis PLN yang dikecualikan yaitu sandi 70
sampai dengan 75 dalam Form 407 pada Bab 5 – Template dan
Spesifikasi – Lampiran 2 Petunjuk Teknis Aplikasi Laporan Harian
Bank Umum, menjadi sebagaimana tercantum dalam Lampiran 2.
5. Lampiran 1 sebagaimana dimaksud pada angka 1 dan angka 2 serta
Lampiran 2 sebagaimana dimaksud pada angka 3 dan angka 4
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank
Indonesia ini.
Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal
3 November 2014.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman
Surat Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita
Negara Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA,
HENDY SULISTIOWATY
KEPALA DEPARTEMEN STATISTIK
"," SE-BI
16/17/DSta|SE-BI/2014
Perubahan Keempat atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 13/3/DPM tanggal 4 Februari 2011 perihal Laporan Harian Bank Umum
22 Oktober 2014
3 November 2014
'13/3/DPM|SE-BI/2011'
'13/3/DPM|SE-BI/2011', '7/1/PBI/2005', '13/8/PBI/2011', '16/7/PBI/2014'
"
" No. 18/28/DPU
Oktober 2016
Jakarta, 24 November 2016
S U R A T E D A R A N
Perihal : Tata Cara Klarifikasi atas Uang Rupiah yang Diragukan
Keasliannya
Sehubungan dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor
14/7/PBI/2012 tentang Pengelolaan Uang Rupiah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 138, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5323), perlu mengatur ketentuan
mengenai klarifikasi atas Uang Rupiah yang diragukan keasliannya
dalam Surat Edaran Bank Indonesia sebagai berikut:
I. KETENTUAN UMUM
A. Definisi
Dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini yang dimaksud
dengan:
1. Uang Rupiah adalah Rupiah sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai mata
uang.
2. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan
dan Bank Umum Syariah sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan
syariah.
B. Pihak yang Meminta Klarifikasi atas Uang Rupiah yang
Diragukan Keasliannya
1. Masyarakat dapat meminta klarifikasi kepada Bank
Indonesia tentang Uang Rupiah yang diragukan
keasliannya.
2. Masyarakat sebagaimana dimaksud dalam angka 1
meliputi:
a. Bank . . .
a. Bank atau pihak lain yang ditunjuk oleh Bank
untuk melakukan pengolahan Uang Rupiah; dan
b. pihak selain Bank.
3. Yang dimaksud dengan pihak selain Bank sebagaimana
dimaksud dalam butir 2.b antara lain sebagai berikut:
a. perseorangan;
b. badan hukum; dan
c.
lembaga yang melakukan fungsi penyelidikan dan
penyidikan.
II. TATA CARA MEMPERLAKUKAN UANG RUPIAH YANG DIRAGUKAN
KEASLIANNYA
A. Bank atau Pihak Lain yang Ditunjuk oleh Bank untuk
Melakukan Pengolahan Uang Rupiah
1. Bank yang menerima atau menemukan Uang Rupiah
yang diragukan keasliannya harus melakukan hal
sebagai berikut:
a. dalam hal Uang Rupiah yang diragukan keasliannya
diperoleh dari kegiatan layanan kas (front office),
Bank harus:
1) menahan Uang Rupiah yang diragukan
keasliannya yang diterima dari nasabah;
2) mencatat identitas lengkap nasabah yang
menyerahkan, menyetorkan, atau menukarkan
Uang Rupiah yang diragukan keasliannya, dan
memberikan tanda terima atas Uang Rupiah
yang diragukan keasliannya kepada nasabah;
3) menginformasikan kepada nasabah bahwa
Uang Rupiah yang diragukan keasliannya tidak
dikembalikan untuk keperluan klarifikasi
kepada Bank Indonesia, dan akan diberikan
penggantian sebesar nilai nominal apabila
dinyatakan asli oleh Bank Indonesia; dan
4) menjaga kondisi fisik Uang Rupiah yang
diragukan keasliannya dengan tidak merusak
fisik Uang Rupiah yang diragukan keasliannya
tersebut seperti merobek, memotong, dan
mencoret-coret;
b. dalam . . .
b. dalam hal Uang Rupiah yang diragukan keasliannya
diperoleh dari kegiatan pengolahan Uang Rupiah
atau berasal dari pihak lain yang ditunjuk oleh Bank
untuk melakukan kegiatan pengolahan Uang Rupiah
(back office) sebagaimana dimaksud dalam angka 2
maka Bank harus menjaga kondisi fisik Uang
Rupiah yang diragukan keasliannya dengan tidak
merusak fisik Uang Rupiah yang diragukan
keasliannya tersebut seperti merobek, memotong,
dan mencoret-coret; dan
c.
selain langkah sebagaimana dimaksud dalam
huruf a dan huruf b, Bank juga harus menjaga agar
Uang Rupiah yang diragukan keasliannya tidak
diedarkan kembali.
2. Pihak lain yang ditunjuk oleh Bank untuk melakukan
pengolahan Uang Rupiah, yang menemukan Uang
Rupiah yang diragukan keasliannya harus melakukan
langkah sebagai berikut:
a. menjaga agar Uang Rupiah yang diragukan
keasliannya tidak disetorkan kepada Bank
Indonesia;
b. menjaga kondisi fisik Uang Rupiah yang diragukan
keasliannya dengan tidak merusak fisik Uang
Rupiah yang diragukan keasliannya tersebut seperti
merobek, memotong, dan mencoret-coret;
c. melaporkan kepada Bank mengenai penemuan Uang
Rupiah yang diragukan keasliannya; dan
d. menyerahkan fisik Uang Rupiah yang diragukan
keasliannya kepada Bank atau meminta klarifikasi
kepada Bank Indonesia atas persetujuan Bank.
B. Pihak selain Bank
Pihak selain Bank yang menemukan Uang Rupiah yang
diragukan keasliannya harus melakukan langkah sebagai
berikut:
1. menjaga . . .
a. menjaga kondisi fisik Uang Rupiah yang diragukan
keasliannya dengan tidak merusak fisik Uang Rupiah
yang diragukan keasliannya tersebut seperti merobek,
memotong, dan mencoret-coret; dan
b. menjaga agar Uang Rupiah yang diragukan keasliannya
tidak diedarkan kembali.
III. PERMINTAAN KLARIFIKASI ATAS UANG RUPIAH YANG
DIRAGUKAN KEASLIANNYA
A. Permintaan klarifikasi oleh Bank atau pihak lain yang
ditunjuk oleh Bank untuk melakukan pengolahan Uang
Rupiah dilakukan dengan cara:
1. menyampaikan surat permintaan klarifikasi yang
ditandatangani oleh pejabat yang berwenang dengan
mengacu pada Lampiran I yang merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini,
disertai dokumen digital (softcopy) yang berisi rincian
Uang Rupiah yang dimintakan klarifikasi;
2. menyampaikan fisik Uang Rupiah yang diragukan
keasliannya sebagai lampiran dari surat permintaan
klarifikasi sebagaimana dimaksud dalam angka 1;
3. menandatangani berita acara serah terima fisik Uang
Rupiah yang diragukan keasliannya oleh petugas Bank
atau pihak lain yang ditunjuk oleh Bank untuk
melakukan pengolahan Uang Rupiah dalam rangkap
2 (dua) dengan mengacu pada Lampiran II yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Surat
Edaran Bank Indonesia ini; dan
4. menerima salinan berita acara serah terima fisik Uang
Rupiah yang diragukan keasliannya sebagaimana
dimaksud dalam angka 3.
B. Permintaan klarifikasi oleh pihak selain Bank sebagaimana
dimaksud dalam butir I.B.3 dilakukan dengan cara:
1. menyampaikan secara langsung kepada Bank Indonesia
surat permintaan klarifikasi yang ditandatangani oleh
pihak yang meminta klarifikasi dengan mengacu pada
Lampiran III yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini;
2. menyampaikan . . .
2. menyampaikan fisik Uang Rupiah yang diragukan
keasliannya sebagai lampiran dari surat permintaan
klarifikasi sebagaimana dimaksud dalam angka 1;
3. menandatangani berita acara serah terima fisik Uang
Rupiah yang diragukan keasliannya dalam rangkap 2
(dua) dengan mengacu pada Lampiran II; dan
4. menerima salinan berita acara serah terima fisik Uang
Rupiah yang diragukan keasliannya sebagaimana
dimaksud dalam angka 3.
C. Dalam hal permintaan klarifikasi tidak disampaikan secara
langsung, sehingga berita acara serah terima fisik Uang
Rupiah yang diragukan keasliannya sebagaimana dimaksud
dalam butir B.3 tidak dapat dibuat, Bank Indonesia mencatat
surat permintaan klarifikasi beserta dengan fisik Uang Rupiah
yang diragukan keasliannya sesuai dengan yang diterima oleh
Bank Indonesia. Bukti pencatatan dimaksud disampaikan
kepada pihak yang meminta klarifikasi bersamaan dengan
hasil penelitian.
D. Alamat Permintaan Klarifikasi atas Uang Rupiah yang
Diragukan Keasliannya
Permintaan klarifikasi terhadap Uang Rupiah yang diragukan
keasliannya oleh masyarakat sebagaimana dimaksud dalam
butir III.A dan butir III.B disampaikan kepada:
1. Departemen Pengelolaan Uang
Kompleks Perkantoran Bank Indonesia Gedung C lantai 7
Jalan M. H. Thamrin No. 2
Jakarta 10350,
bagi masyarakat yang berada di wilayah DKI Jakarta,
Kota Tangerang Selatan, Kabupaten/Kota Bekasi,
Kabupaten/Kota Bogor, Kabupaten Karawang, dan Kota
Depok; atau
2. Kantor Perwakilan Bank Indonesia Dalam Negeri
setempat, bagi masyarakat yang berada di luar wilayah
sebagaimana dimaksud dalam angka 1, dengan alamat
Kantor Perwakilan Bank Indonesia Dalam Negeri
mengacu pada website Bank Indonesia.
IV. PENELITIAN . . .
IV. PENELITIAN ATAS UANG RUPIAH YANG DIRAGUKAN
KEASLIANNYA
A. Bank Indonesia melakukan penelitian terhadap Uang Rupiah
yang diragukan keasliannya yang dimintakan klarifikasi oleh
masyarakat.
B. Berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud dalam
huruf A, Bank Indonesia menyatakan:
1. Uang Rupiah yang dimintakan klarifikasi dinyatakan
sebagai Uang Rupiah asli; atau
2. Uang Rupiah yang dimintakan klarifikasi dinyatakan
sebagai Uang Rupiah tidak asli.
V. TINDAK LANJUT HASIL PENELITIAN
A.
Informasi Hasil Penelitian atas Uang Rupiah yang Diragukan
Keasliannya
1. Bank Indonesia menyampaikan informasi hasil penelitian
atas Uang Rupiah yang diragukan keasliannya kepada
masyarakat paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak
Bank Indonesia menerima permintaan klarifikasi
sebagaimana dimaksud dalam angka III.
2.
Informasi hasil penelitian sebagaimana dimaksud dalam
angka 1 ditembuskan kepada kantor pusat Bank dalam
hal permintaan klarifikasi diajukan oleh kantor Bank.
3. Penyampaian informasi hasil penelitian dapat melampaui
batas waktu sebagaimana dimaksud dalam angka 1
apabila dalam melakukan penelitian atas Uang Rupiah
yang diragukan keasliannya diperlukan pemeriksaan
laboratorium secara mendalam, dengan pemberitahuan
secara tertulis kepada pihak yang mengajukan
permintaan klarifikasi.
4. Bank harus menginformasikan hasil penelitian atas Uang
Rupiah yang diragukan keasliannya dari Bank Indonesia
kepada nasabah sebagaimana dimaksud dalam
butir II.A.1.a.
5. Pihak lain yang ditunjuk oleh Bank untuk melakukan
pengolahan Uang Rupiah harus menginformasikan hasil
penelitian . . .
penelitian atas Uang Rupiah yang diragukan keasliannya
dari Bank Indonesia kepada Bank sebagaimana
dimaksud dalam butir II.A.2.
B. Penggantian Uang Rupiah yang Dinyatakan Asli
1. Berdasarkan hasil penelitian atas Uang Rupiah yang
diragukan keasliannya, Bank Indonesia memberikan
penggantian atas Uang Rupiah yang dinyatakan asli
sebagaimana dimaksud dalam butir IV.B.1, sebesar nilai
nominal.
2. Dalam hal Uang Rupiah yang dinyatakan asli
sebagaimana dimaksud dalam angka 1 dalam kondisi
lusuh, cacat, atau rusak sebagian maka besarnya
penggantian mengacu pada ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai penukaran Uang Rupiah.
3. Penggantian sebagaimana dimaksud dalam angka 1
dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. penggantian secara tunai atau transfer, dalam hal
pihak yang meminta klarifikasi adalah pihak selain
Bank atau pihak lain yang ditunjuk oleh Bank
untuk melakukan pengolahan Uang Rupiah; atau
b. penggantian dengan cara mengkredit rekening Bank
yang bersangkutan, dalam hal pihak yang meminta
klarifikasi adalah Bank.
4. Dalam hal Uang Rupiah sebagaimana dimaksud dalam
butir IV.B.1 merupakan milik nasabah Bank
sebagaimana dimaksud dalam butir II.A.1.a maka Bank
yang mengajukan klarifikasi harus memberikan
penggantian dari Bank Indonesia kepada nasabah yang
bersangkutan.
C. Tindak Lanjut Terhadap Uang Rupiah yang Dinyatakan
Tidak Asli
1. Dalam hal Uang Rupiah dinyatakan tidak asli
sebagaimana dimaksud dalam butir IV.B.2, Bank
Indonesia:
a.
tidak memberikan penggantian sebagaimana
dimaksud dalam butir V.B; dan
b. tidak . . .
b.
tidak mengembalikan fisik Uang Rupiah yang
dinyatakan tidak asli.
2. Terhadap fisik Uang Rupiah sebagaimana dimaksud
dalam angka 1, Bank Indonesia melakukan langkah
sebagai berikut:
a. melakukan klasifikasi terhadap Uang Rupiah tidak
asli;
b. menatausahakan Uang Rupiah tidak asli sampai
dengan penyerahan kepada Kepolisian Negara
Republik Indonesia; dan
c. memberikan tanda terhadap fisik Uang Rupiah tidak
asli tersebut.
3. Bank Indonesia menyerahkan fisik Uang Rupiah tidak
asli yang telah diberikan tanda sebagaimana dimaksud
dalam butir 2.c kepada kantor Kepolisian Negara
Republik Indonesia setempat sebagai berikut:
a. penyerahan fisik Uang Rupiah tidak asli dilakukan
setiap bulan paling lama tanggal 15 bulan
berikutnya;
b. dalam hal tanggal 15 jatuh pada hari libur maka
penyerahan fisik Uang Rupiah tidak asli tersebut
dilakukan pada hari kerja berikutnya;
c. penyerahan fisik Uang Rupiah tidak asli
sebagaimana dimaksud dalam huruf a dilakukan
dengan berita acara serah terima yang
ditandatangani oleh pejabat atau pegawai Bank
Indonesia dan petugas Kepolisian Negara Republik
Indonesia.
4. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam butir 1.b,
butir 2.c, dan angka 3 tidak berlaku apabila permintaan
klarifikasi diajukan oleh lembaga yang melakukan fungsi
penyelidikan dan penyidikan.
VI. LAIN-LAIN
A. Ketentuan mengenai tata cara klarifikasi terhadap Uang
Rupiah yang diragukan keasliannya, dalam rangka membawa
masuk Uang Rupiah dari luar wilayah pabean Republik
Indonesia tunduk pada ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur . . .
mengatur mengenai persyaratan dan tata cara membawa
Uang Rupiah keluar atau masuk wilayah pabean Republik
Indonesia, kecuali ketentuan mengenai tindak lanjut bagi
Uang Rupiah yang dinyatakan tidak asli tunduk pada
ketentuan sebagaimana diatur dalam butir V.C.1, butir V.C.2,
dan butir V.C.3 Surat Edaran Bank Indonesia ini.
B. Ketentuan mengenai tata cara klarifikasi terhadap Uang
Rupiah yang diragukan keasliannya bagi kantor cabang bank
asing mengacu pada ketentuan mengenai tata cara klarifikasi
terhadap Uang Rupiah yang diragukan keasliannya yang
berlaku bagi Bank.
VII. KETENTUAN PENUTUP
Dengan berlakunya Surat Edaran Bank Indonesia ini maka Surat
Edaran Bank Indonesia Nomor 6/49/DPU tanggal 14 Desember
2004 perihal Permintaan Klarifikasi oleh Masyarakat dan Bank
atas Uang yang Diragukan Keasliannya dan Laporan Penemuan
Uang Palsu oleh Bank, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada
tanggal 24 November 2016
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman
Surat Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita
Negara Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA,
SUHAEDI
KEPALA DEPARTEMEN PENGELOLAAN UANG
"," SE-BI
18/28/DPU|SE-BI/2016
Tata Cara Klarifikasi atas Uang Rupiah yang Diragukan Keasliannya
24 November 2016
24 November 2016
'6/49/DPU|SE-BI/2004'
'14/7/PBI/2012'
"
" No.15/25/DPNP
Jakarta, 9 Juli 2013
S U R A T E D A R A N
Kepada
SEMUA BANK UMUM
DI INDONESIA
Perihal : Pencabutan Beberapa Surat Edaran Bank Indonesia
Sehubungan dengan kedudukan dan kewenangan Bank Indonesia
untuk menetapkan peraturan berdasarkan Undang-Undang Nomor 23
Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir
dengan Undang-Undang Nomor6 Tahun 2009 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-UndangNomor2Tahun 2008
tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962)dan telah
dicabutnyaperaturanyang mendasari penerbitan beberapa Surat Edaran
Bank Indonesia,sertadengan telah diterbitkannya beberapa ketentuan
Bank Indonesia,beberapa Surat Edaran Bank Indonesiasebagai berikut:
1.
Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 5/87/UPPB/PbB tanggal
13 September 1972 perihal Kerjasama antara Bank Pemerintah -
Bank Swasta Nasional dan antara Bank Swasta Nasional - Bank
Asing;
2.
Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 12/4/UPPB tanggal 25 Juli
1979 perihal Informasi mengenai Tingkat Kesehatan Bank dalam
rangka Kerjasama (Joint Financing) antara Bank Pemerintah, Bank
Swasta Nasional dan Bank Pembangunan Daerah;
3. Surat...
3.
4.
Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 18/54/UPPB tanggal 25 Maret
1986 perihal Kegiatan Kas di Luar Kantor Bank;
Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 25/4/BPPP tanggal 26
Februari 1993 perihal Peraturan Pemerintah dan Keputusan Menteri
Keuangan tentang Bank Umum;
5.
Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 27/4/UPPB tanggal 25
Januari 1995 tentang Kriteria Perbuatan Tercela Orang-orang yang
Dilarang Menjadi Pemegang Saham dan/atau Pengurus Bank;
6.
Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 27/8/UPPB tanggal 31 Maret
1995 perihal Kewajiban Bank Umum untuk Menerapkan Standar
Pelaksanaan Fungsi Audit Intern Bank; dan
7.
Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 31/9/UPPB tanggal 12
November 1998 tentang Perubahan Surat Keputusan Direksi Bank
Indonesia Nomor 26/20/KEP/DIR tanggal 29 Mei 1993 tentang
Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Surat Edaran Bank Indonesia ini mulaiberlaku pada tanggal 9 Juli
2013
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman
Surat Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita
Negara Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA,
JONI SWASTANTO
KEPALA DEPARTEMEN
PENELITIAN DAN PENGATURAN PERBANKAN
"," SE-BI
15/25/DPNP|SE-BI/2013
Pencabutan Beberapa Surat Edaran Bank Indonesia
9 Juli 2013
9 Juli 2013
'27/4/UPPB|SE-BI/1995', '25/4/BPPP|SE-BI/1993', '18/54/UPPB|SE-BI/1986', '12/4/UPPB|SE-BI/1979', '5/87/UPPB/PbB|SE-BI/1972', '27/8/UPPB|SE-BI/1995', '31/9/UPPB|SE-BI/1998', '26/20/KEP/DIR|SKDIR-BI/1993'
'23/UU/1999', '6/UU/2009', '2/PERPPU/2008'
"
" No. 15/16/DInt
Jakarta, 29 April 2013
SURAT EDARAN
Perihal : Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Berupa Realisasi dan
Posisi Utang Luar Negeri
Sehubungan dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor
14/21/PBI/2012 tentang Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 273, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5377) diperlukan pengaturan
mengenai pelaporan kegiatan Lalu Lintas Devisa berupa realisasi dan
posisi Utang Luar Negeri yang dimaksudkan untuk memperoleh informasi
mengenai Utang Luar Negeri untuk penyusunan statistik, terutama
statistik Neraca Pembayaran Indonesia, Posisi Investasi Internasional
Indonesia, dan Statistik Utang Luar Negeri Indonesia untuk mendukung
perumusan kebijakan, baik di bidang moneter, perbankan, maupun
sistem pembayaran. Dengan demikian perlu diatur ketentuan
pelaksanaan mengenai pelaporan kegiatan Lalu Lintas Devisa berupa
realisasi dan posisi Utang Luar Negeri dalam Surat Edaran Bank
Indonesia sebagai berikut:
I. UMUM
Dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini, yang dimaksud dengan:
1. Pelapor Utang Luar Negeri yang selanjutnya disebut Pelapor ULN
adalah Penduduk yang memiliki kewajiban utang luar negeri kepada
bukan Penduduk.
2. Utang Luar Negeri yang selanjutnya disebut ULN adalah utang
Penduduk kepada bukan Penduduk, dalam valuta asing dan/atau
Rupiah, termasuk di dalamnya pembiayaan berdasarkan prinsip
syariah.
3. Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah adalah pembiayaan
berdasarkan prinsip hukum Islam berdasarkan fatwa yang
dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam
penetapan …
penetapan fatwa di bidang syariah sebagaimana dimaksud dalam
peraturan perundang-undangan mengenai perbankan syariah.
4. Perjanjian Kredit (Loan Agreement) adalah perjanjian tertulis yang
berisi syarat dan kondisi pinjaman yang antara lain mengatur
besarnya plafon kredit, suku bunga, jangka waktu, dan cara-cara
pelunasannya.
5. Surat Utang (Debt Securities) adalah surat pengakuan utang yang
dapat diperdagangkan di pasar uang atau pasar modal di dalam
maupun di luar negeri.
6. Utang Dagang (Trade Credits) adalah utang yang timbul dalam
rangka kredit yang diberikan oleh supplier atas transaksi barang
dan/atau jasa.
7. Utang Lainnya (Other Loans) yaitu seluruh utang yang tidak
termasuk utang berdasarkan Perjanjian Kredit (Loan Agreement),
Surat Utang (Debt Securities), dan Utang Dagang (Trade Credits)
antara lain berupa pembayaran klaim asuransi dan deviden yang
sudah ditetapkan namun belum dibayar.
8. Laporan Utang Luar Negeri yang selanjutnya disebut Laporan ULN
adalah laporan kegiatan Lalu Lintas Devisa yang meliputi
keterangan dan data mengenai profil, realisasi, dan posisi Kewajiban
Finansial Luar Negeri dalam bentuk ULN.
II. PELAPOR ULN
A. Pelapor ULN meliputi:
1. Berdasarkan jenis usaha:
a. lembaga keuangan:
1) Bank;
2) lembaga keuangan bukan Bank.
b. bukan lembaga keuangan.
2. Berdasarkan kepemilikan usaha:
a. badan usaha milik negara;
b. badan usaha milik daerah;
c. badan usaha milik swasta;
d. badan lainnya yang bukan merupakan badan usaha baik
berbentuk badan hukum maupun tidak berbentuk badan
hukum, …
hukum, antara lain yayasan, koperasi, lembaga swadaya
masyarakat, dan lembaga pendidikan yang didirikan oleh
pemerintah atau masyarakat;
e. perseorangan.
B. Dalam hal Pelapor ULN adalah badan usaha, pelaporan dilakukan
oleh kantor pusat badan usaha yang bersangkutan.
C. Dalam hal Pelapor ULN adalah perseorangan, pelaporan dilakukan
oleh perseorangan yang bersangkutan.
D. Dalam hal Pelapor ULN mempunyai kantor cabang luar negeri,
utang kantor cabang luar negeri tersebut dilaporkan oleh kantor
pusat Pelapor ULN.
E. Pendaftaran Profil Pelapor ULN
1. Pelapor ULN yang baru pertama kali melaporkan ULN harus
mengisi data Profil Pelapor ULN.
2. Data Profil Pelapor ULN disampaikan dengan menyertakan
dokumen pendukung yang terdiri atas fotokopi Nomor Pokok
Wajib Pajak (NPWP), fotokopi Anggaran Dasar, dan Surat
Penunjukan penanggung jawab Laporan ULN sebagaimana
dimaksud pada Lampiran I yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini. Khusus
untuk Pelapor ULN perseorangan cukup menyampaikan fotokopi
NPWP.
3. Dalam hal terdapat perubahan atas data Profil Pelapor ULN,
maka Pelapor ULN harus menyampaikan perubahan data
tersebut kepada Bank Indonesia.
4. Perubahan data Profil Pelapor ULN disampaikan kepada Bank
Indonesia dengan menyertakan dokumen pendukung perubahan
data sebagaimana dimaksud dalam Formulir Pendaftaran Profil
Pelapor ULN pada halaman 1 Lampiran III yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini.
5. Dalam hal pelaporan dilakukan oleh pihak lain, dokumen
pendukung yang disampaikan sebagaimana dimaksud pada
huruf b juga disertakan dengan Surat Kuasa kepada pihak lain
yang ditunjuk untuk menyampaikan Laporan ULN sebagaimana
dimaksud pada Lampiran II yang merupakan bagian tidak
terpisahkan …
terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini. Surat Kuasa
tersebut sekaligus berfungsi sebagai Surat Penunjukan.
F. Sandi Pelapor
1. Pelapor ULN yang baru pertama kali melapor mengajukan surat
permohonan untuk memperoleh Sandi Pelapor dengan
melampirkan fotokopi NPWP, fotokopi Anggaran Dasar, dan
Surat Penunjukan penanggung jawab Laporan ULN. Khusus
untuk Pelapor ULN perseorangan cukup menyampaikan fotokopi
E-KTP dan NPWP.
2. Surat permohonan sebagaimana dimaksud pada huruf a
disampaikan kepada Bank Indonesia.
3. Berdasarkan surat permohonan sebagaimana dimaksud pada
huruf b, Bank Indonesia memberitahukan secara tertulis kepada
Pelapor ULN mengenai Sandi Pelapor.
4. Pelapor ULN yang telah menerima Sandi Pelapor dari Bank
Indonesia menyampaikan Laporan ULN dengan menggunakan
Sandi Pelapor tersebut.
III. CAKUPAN DAN JENIS LAPORAN ULN
A. Cakupan Laporan ULN
1. ULN yang wajib dilaporkan meliputi:
a. ULN berdasarkan Perjanjian Kredit (Loan Agreement);
b. ULN berdasarkan Surat Utang (Debt Securities), yang meliputi
antara lain Letter of Credit (LC) impor yang diakseptasi oleh
Bank (Banker’s Acceptance), Obligasi, Commercial Papers (CP),
Promissory Notes (PN), Medium Term Notes (MTN), dan Floating
Rate Notes (FRN);
c. ULN berdasarkan Utang Dagang (Trade Credits);
d. ULN berdasarkan Utang Lainnya (Other Loans).
2. ULN lembaga keuangan dan bukan lembaga keuangan wajib
dilaporkan seluruhnya tanpa batasan minimum.
3. ULN perseorangan yang wajib dilaporkan meliputi:
a. ULN dengan nominal paling sedikit USD200.000,00 (dua ratus
ribu dollar Amerika Serikat) atau ekuivalen dengan mata uang
lain …
lain dengan kurs yang berlaku pada saat dokumen utang
ditandatangani atau diterbitkan; dan/atau
b. ULN yang apabila
dijumlahkan
telah
mencapai
USD200.000,00 (dua ratus ribu dollar Amerika Serikat) atau
ekuivalen dengan mata uang lain dengan kurs yang berlaku
pada saat dokumen ULN ditandatangani atau diterbitkan,
sebagaimana dijelaskan pada Lampiran III.
4. ULN yang dilaporkan tidak termasuk penerusan pinjaman utang
pemerintah (two step loan), giro, tabungan, dan deposito.
B. Jenis Laporan ULN
Jenis Laporan ULN meliputi:
1. Laporan Data Pokok ULN dan/atau perubahannya merupakan
laporan yang berisi profil ULN yang disampaikan apabila terdapat
perjanjian ULN baru dan/atau perubahannya dan didasarkan
pada:
a. penandatanganan Perjanjian Kredit (Loan Agreement);
b. penerbitan Surat Utang (Debt Securities);
c. pengakuan atas Utang Dagang (Trade Credits); dan/atau
d. Utang Lainnya (Other Loans).
2. Laporan Data Rekapitulasi ULN merupakan laporan yang berisi
transaksi penarikan dan/atau pembayaran ULN sehingga
mencerminkan realisasi dan posisi ULN yang disampaikan secara
bulanan.
3. Laporan ULN sebagaimana dimaksud pada angka 1 dan angka 2
disampaikan sesuai Lampiran III.
IV. PETUGAS DAN PENANGGUNG JAWAB LAPORAN ULN
A. Pelapor ULN menunjuk petugas dan/atau penanggung jawab untuk
menyusun, memverifikasi dan menyampaikan Laporan ULN. Contoh
Surat Penunjukan sebagaimana dimaksud pada Lampiran I.
B. Pelapor ULN dapat memberikan kuasa kepada pihak lain untuk
melakukan pelaporan ULN. Contoh Surat Kuasa sebagaimana
dimaksud pada Lampiran II.
C. Nama petugas dan/atau penanggung jawab yang ditunjuk untuk
menyusun dan menyampaikan laporan ULN harus selalu dikinikan.
D. Pengkinian …
D. Pengkinian dilakukan dengan menyampaikan pemberitahuan secara
tertulis kepada Bank Indonesia.
V. FORMAT LAPORAN ULN DAN TATA CARA PENGISIAN LAPORAN
ULN
Format Laporan ULN dan tata cara pengisian Laporan ULN diatur lebih
lanjut pada Lampiran III.
VI. PENYAMPAIAN LAPORAN ULN DAN/ATAU KOREKSI LAPORAN ULN
A. Tata Cara Penyampaian Laporan ULN
1. Pelapor ULN Bank, lembaga keuangan bukan Bank, dan bukan
lembaga keuangan:
a. ULN atas dasar Perjanjian Kredit (Loan Agreement) dengan
nominal komitmen paling sedikit USD200.000,00 (dua ratus
ribu dollar Amerika Serikat) atau ekuivalen dengan mata uang
lain dengan kurs yang berlaku pada saat Perjanjian Kredit
(Loan Agreement) ditandatangani, dilaporkan per ULN.
b. ULN atas dasar Perjanjian Kredit (Loan Agreement) dengan
nominal komitmen di bawah USD200.000,00 (dua ratus ribu
dollar Amerika Serikat) atau ekuivalen dengan mata uang lain
dengan kurs yang berlaku pada saat Perjanjian Kredit (Loan
Agreement)
ditandatangani, dapat dilaporkan secara
gabungan. Penggabungan dilakukan dengan syarat memiliki
kesamaan informasi valuta, negara kreditur, status kreditur,
dan jangka waktu (original maturity).
c. ULN atas dasar Surat Utang (Debt Securities) yang berjumlah
paling sedikit USD200.000,00 (dua ratus ribu dollar Amerika
Serikat) atau ekuivalen dengan mata uang lain dengan kurs
yang berlaku pada saat Surat Utang (Debt Securities)
diterbitkan, dilaporkan per ULN.
d. ULN atas dasar Surat Utang (Debt Securities) yang memiliki
jumlah di bawah USD200.000,00 (dua ratus ribu dollar
Amerika Serikat) atau ekuivalen dengan mata uang lain
dengan kurs yang berlaku pada saat Surat Utang (Debt
Securities) diterbitkan, dapat digabungkan. Penggabungan
dilakukan …
dilakukan dengan syarat memiliki kesamaan informasi valuta,
negara kreditur, status kreditur, dan jangka waktu (original
maturity).
e. ULN atas dasar Utang Dagang (Trade Credits) yang berjumlah
paling sedikit USD200.000,00 (dua ratus ribu dollar Amerika
Serikat) atau ekuivalen dengan mata uang lain dengan kurs
yang berlaku pada saat Utang Dagang (Trade Credits) diakui,
dilaporkan per ULN.
f. ULN atas dasar Utang Dagang (Trade Credits) yang memiliki
jumlah di bawah USD200.000,00 (dua ratus ribu dollar
Amerika Serikat) atau ekuivalen dengan mata uang lain
dengan kurs yang berlaku pada saat Utang Dagang (Trade
Credits) diakui, dapat digabungkan. Penggabungan dilakukan
dengan syarat memiliki kesamaan informasi valuta, negara
kreditur, status kreditur, dan jangka waktu (original maturity).
g. ULN atas dasar Utang Lainnya (Other Loans) yang berjumlah
paling sedikit USD200.000,00 (dua ratus ribu dollar Amerika
Serikat) atau ekuivalen dengan mata uang lain dengan kurs
yang berlaku pada saat Utang Lainnya (Other Loans) diakui,
dilaporkan per ULN.
h. ULN atas dasar Utang Lainnya (Other Loans) yang memiliki
jumlah di bawah USD200.000,00 (dua ratus ribu dollar
Amerika Serikat) atau ekuivalen dengan mata uang lain
dengan kurs yang berlaku pada saat Utang Lainnya (Other
Loans) diakui, dapat digabungkan. Penggabungan dilakukan
dengan syarat memiliki kesamaan informasi valuta, negara
kreditur, status kreditur, dan jangka waktu (original maturity).
2. Pelapor ULN Perseorangan:
a. ULN atas dasar Perjanjian Kredit (Loan Agreement) dengan
nominal komitmen paling sedikit USD200.000,00 (dua ratus
ribu dollar Amerika Serikat) atau ekuivalen dengan mata
uang lain dengan kurs yang berlaku pada saat Perjanjian
Kredit (Loan Agreement) ditandatangani, dilaporkan per ULN.
b. ULN atas dasar Perjanjian Kredit (Loan Agreement) yang per
ULN berjumlah di bawah USD200.000,00 (dua ratus ribu
dollar …
dollar Amerika Serikat) atau ekuivalen dengan mata uang lain
dengan kurs yang berlaku pada saat Perjanjian Kredit (Loan
Agreement) ditandatangani, dilaporkan setelah total nominal
per ULN tersebut mencapai USD200.000,00 (dua ratus ribu
dollar Amerika Serikat) atau ekuivalen dengan mata uang lain
dengan kurs yang berlaku pada saat Perjanjian Kredit (Loan
Agreement) ditandatangani, dan dapat dilaporkan secara
gabungan. Penggabungan dilakukan dengan syarat memiliki
kesamaan informasi negara kreditur dan jangka waktu
(original maturity).
c. ULN atas dasar Surat Utang (Debt Securities) yang berjumlah
paling sedikit USD200.000,00 (dua ratus ribu dollar Amerika
Serikat) atau ekuivalen dengan mata uang lain dengan kurs
yang berlaku pada saat Surat Utang (Debt Securities)
diterbitkan, dilaporkan per ULN.
d. ULN atas dasar Surat Utang (Debt Securities) yang per ULN
berjumlah di bawah USD200.000,00 (dua ratus ribu dollar
Amerika Serikat) atau ekuivalen dengan mata uang lain
dengan kurs yang berlaku pada saat Surat Utang (Debt
Securities) diterbitkan, dilaporkan setelah total nominal per
ULN tersebut mencapai USD200.000,00 (dua ratus ribu dollar
Amerika Serikat) atau ekuivalen dengan mata uang lain
dengan kurs yang berlaku pada saat Surat Utang (Debt
Securities) diterbitkan, dan dapat dilaporkan secara
gabungan. Penggabungan dilakukan dengan syarat memiliki
kesamaan informasi negara kreditur dan jangka waktu
(original maturity).
e. ULN atas dasar Utang Dagang (Trade Credits) yang berjumlah
paling sedikit USD200.000,00 (dua ratus ribu dollar Amerika
Serikat) atau ekuivalen dengan mata uang lain dengan kurs
yang berlaku pada saat Utang Dagang (Trade Credits) diakui,
dilaporkan per ULN.
f. ULN atas dasar Utang Dagang (Trade Credits) yang per ULN
berjumlah di bawah USD200.000,00 (dua ratus ribu dollar
Amerika …
Amerika Serikat) atau ekuivalen dengan mata uang lain
dengan kurs yang berlaku pada saat Utang Dagang (Trade
Credits) diakui, dilaporkan setelah total nominal per ULN
tersebut mencapai USD200.000,00 (dua ratus ribu dollar
Amerika Serikat) atau ekuivalen dengan mata uang lain
dengan kurs yang berlaku pada saat Utang Dagang (Trade
Credits) diakui, dan dapat dilaporkan secara gabungan.
Penggabungan dilakukan dengan syarat memiliki kesamaan
informasi negara kreditur dan jangka waktu (original
maturity).
g. ULN atas dasar Utang Lainnya (Other Loans), yang berjumlah
paling sedikit USD200.000,00 (dua ratus ribu dollar Amerika
Serikat) atau ekuivalen dengan mata uang lain dengan kurs
yang berlaku pada saat Utang Lainnya (Other Loans) diakui,
dilaporkan per ULN.
h. ULN atas dasar Utang Lainnya (Other Loans) yang per ULN
berjumlah di bawah USD200.000,00 (dua ratus ribu dollar
Amerika Serikat) atau ekuivalen dengan mata uang lain
dengan kurs yang berlaku pada saat Utang Lainnya (Other
Loans) diakui, dilaporkan setelah total nominal per ULN
tersebut mencapai USD200.000,00 (dua ratus ribu dollar
Amerika Serikat) atau ekuivalen dengan mata uang lain
dengan kurs yang berlaku pada saat Utang Lainnya (Other
Loans) diakui, dan dapat dilaporkan secara gabungan.
Penggabungan dilakukan dengan syarat memiliki kesamaan
informasi negara kreditur dan jangka waktu (original
maturity).
B. Media Penyampaian Laporan ULN
Penyampaian Laporan ULN dan/atau koreksi Laporan ULN kepada
Bank Indonesia dilakukan secara online dengan menggunakan
media internet pada website Pelaporan Realisasi ULN di Bank
Indonesia dengan alamat https://www.bi.go.id/lkpbuv2. Tata Cara
Pelaporan mengacu pada Petunjuk Teknis Aplikasi Pelaporan Utang
Luar …
Luar Negeri sebagaimana terdapat dalam website Pelaporan
https://www.bi.go.id/lkpbuv2.
C. Jangka Waktu Penyampaian Laporan ULN
1. Laporan Data Pokok ULN dan/atau Perubahannya
Batas akhir penyampaian Laporan Data Pokok ULN dan/atau
perubahannya adalah:
a. Laporan Data Pokok ULN dan/atau perubahannya
disampaikan kepada Bank Indonesia paling lambat tanggal 15
bulan berikutnya pukul 14.00 WIB setelah penandatanganan
Perjanjian Kredit (Loan Agreement), penerbitan Surat Utang
(Debt Securities), pengakuan utang atas Utang Dagang (Trade
Credits), dan/atau pengakuan utang atas Utang Lainnya
(Other Loans).
Contoh:
Laporan Data Pokok ULN atas Perjanjian Kredit (Loan
Agreement) yang ditandatangani pada tanggal 5 Oktober 2014
disampaikan kepada Bank Indonesia paling lambat pada
tanggal 15 November 2014 pukul 14.00 WIB.
b. Dalam hal penarikan ULN atas dasar Perjanjian Kredit (Loan
Agreement)
telah
dilakukan sebelum tanggal
penandatanganan Perjanjian Kredit (Loan Agreement), Laporan
Data Pokok ULN dan/atau perubahannya disampaikan
kepada Bank Indonesia paling lambat tanggal 15 bulan
berikutnya pukul 14.00 WIB setelah tanggal penarikan ULN
atas dasar Perjanjian Kredit (Loan Agreement).
Contoh:
Laporan Data Pokok ULN atas Perjanjian Kredit (Loan
Agreement) yang ditandatangani pada tanggal 1 November
2014 tetapi penarikannya dilakukan pada tanggal 28 Oktober
2014 maka disampaikan kepada Bank Indonesia paling
lambat tanggal 15 November 2014 pukul 14.00 WIB.
c. Dalam hal batas akhir pelaporan tersebut jatuh pada hari
Sabtu, Minggu, hari libur, dan/atau cuti bersama yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia, Laporan Data Pokok ULN
dan/atau perubahannya disampaikan pada Hari berikutnya.
Contoh: …
Contoh:
Batas akhir penyampaian Laporan Data Pokok periode
Oktober 2014 seharusnya pada tanggal 15 November 2014,
namun karena tanggal tersebut jatuh pada hari Sabtu, maka
batas akhir penyampaian Laporan Data Pokok ULN menjadi
hari Senin tanggal 17 November 2014.
d. Dalam hal terjadi gangguan teknis di Bank Indonesia pada
tanggal batas akhir penyampaian Laporan Data Pokok ULN,
Laporan Data Pokok ULN disampaikan pada Hari berikutnya.
Contoh:
Gangguan teknis terjadi pada hari Rabu tanggal 15 Oktober
2014. Gangguan teknis baru dapat diatasi setelah melewati
pukul 14.00 WIB, maka batas waktu penyampaian Laporan
Data Pokok ULN periode September 2014 berakhir pada hari
Kamis tanggal 16 Oktober 2014.
2. Laporan Data Rekapitulasi ULN
Batas akhir penyampaian Laporan Data Rekapitulasi ULN
adalah:
a. Laporan Data Rekapitulasi ULN disampaikan secara bulanan
kepada Bank Indonesia paling lambat tanggal 15 bulan
berikutnya pukul 24.00 WIB.
Contoh:
Perusahaan “A” memiliki ULN atas dasar Perjanjian Kredit
(Loan Agreement) yang ditandatangani dan ditarik pada
tanggal 2 Juni 2014 sebesar ekuivalen Rp150.000.000,00
(seratus lima puluh juta rupiah). Laporan Data Rekapitulasi
ULN dilaporkan kepada Bank Indonesia paling lambat pukul
24.00 WIB tanggal 15 Juli 2014 dan disampaikan setiap
bulan sampai jangka waktu pinjaman berakhir.
b. Dalam hal hari terakhir penyampaian Laporan Data
Rekapitulasi ULN jatuh pada hari Sabtu, Minggu, hari libur,
dan/atau cuti bersama yang ditetapkan oleh Bank Indonesia,
maka batas akhir penyampaian Laporan Data Rekapitulasi
ULN adalah pada Hari berikutnya.
Contoh: …
Contoh:
Batas akhir penyampaian Laporan Data Rekapitulasi ULN
periode Oktober 2014 seharusnya pada tanggal 15 November
2014, namun karena tanggal tersebut jatuh pada hari Sabtu,
maka batas akhir penyampaian Laporan Data Rekapitulasi
ULN menjadi hari Senin tanggal 17 November 2014.
c. Dalam hal terjadi gangguan teknis pada batas akhir
penyampaian Laporan Data Rekapitulasi ULN, Pelapor ULN
harus menyampaikan Laporan Data Rekapitulasi ULN pada
Hari berikutnya secara offline.
d. Pelapor ULN yang tidak dapat menyampaikan Laporan Data
Rekapitulasi ULN karena keadaan memaksa (force majeure)
harus segera memberitahukan secara tertulis disertai
penjelasan mengenai penyebab terjadinya keadaan memaksa
(force majeure) yang ditandatangani oleh pejabat Pelapor ULN
yang berwenang dengan melampirkan surat keterangan dari
penguasa atau pejabat dari instansi terkait di daerah
setempat yang ditujukan kepada Bank Indonesia.
3. Koreksi Laporan ULN
Batas akhir penyampaian koreksi Laporan ULN adalah:
a. Koreksi Laporan Data Pokok ULN disampaikan kepada Bank
Indonesia paling lambat tanggal 20 pukul 14.00 WIB pada
bulan penyampaian Laporan ULN.
Contoh:
Perusahaan “A” memiliki ULN atas dasar Perjanjian Kredit
(Loan Agreement) yang ditandatangani dan ditarik pada
tanggal 2 Juni 2014 sebesar ekuivalen Rp150.000.000,00
(seratus lima puluh juta rupiah). Koreksi Laporan Data Pokok
ULN dilaporkan paling lambat tanggal 20 Juli 2014 pukul
14.00 WIB.
b. Koreksi Laporan Data Rekapitulasi ULN disampaikan kepada
Bank Indonesia paling lambat tanggal 20 pukul 24.00 WIB
pada bulan penyampaian Laporan ULN.
Contoh: …
Contoh:
Perusahaan “B” memiliki ULN atas dasar Perjanjian Kredit
(Loan Agreement) yang melakukan realisasi pembayaran
bunga dan pokok pada bulan Juni 2014. Laporan Data
Rekapitulasi ULN telah disampaikan pada tanggal 1 Juli
2014. Koreksi Laporan Data Rekapitulasi ULN dilaporkan
paling lambat tanggal 20 Juli 2014 pukul 24.00 WIB.
c. Dalam hal hari terakhir penyampaian koreksi Laporan ULN
jatuh pada hari Sabtu, Minggu, hari libur, dan/atau cuti
bersama yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, maka batas
akhir penyampaian koreksi Laporan ULN adalah pada Hari
berikutnya.
Contoh:
Perusahaan “C” memiliki ULN atas dasar Perjanjian Kredit
(Loan Agreement) yang ditandatangani dan ditarik pada
tanggal 2 Juni 2014 sebesar ekuivalen Rp150.000.000,00
(seratus lima puluh juta rupiah). Koreksi Laporan Data Pokok
ULN dilaporkan paling lambat tanggal 20 Juli 2014. Apabila
tanggal 20 Juli 2014 jatuh pada hari Minggu maka batas
akhir penyampaian koreksi Laporan Data Pokok ULN menjadi
hari Senin tanggal 21 Juli 2014 pada pukul 24.00 WIB.
D. Gangguan Teknis
Dalam hal terjadi gangguan teknis di Bank Indonesia pada hari
terakhir penyampaian Laporan ULN dan/atau koreksi Laporan ULN,
Laporan ULN dan/atau koreksi Laporan ULN disampaikan pada
Hari berikutnya secara:
1. online jika gangguan teknis telah dapat diatasi; atau
2. offline dalam jam kerja kantor Bank Indonesia jika gangguan
teknis belum dapat diatasi.
Contoh:
1. Gangguan teknis terjadi pada hari Rabu tanggal 15 Oktober
2014. Pada pada hari Kamis tanggal 16 Oktober 2014 gangguan
teknis sudah dapat diatasi, maka Laporan Data Rekapitulasi
ULN dan/atau koreksi Laporan Data Rekapitulasi ULN periode
September …
September 2014 tetap disampaikan secara online paling lambat
tanggal 16 Oktober 2014.
2. Gangguan teknis terjadi pada hari Rabu tanggal 15 Oktober
2014. Pada pada hari Kamis tanggal 16 Oktober 2014 gangguan
teknis belum dapat diatasi, maka Laporan Data Rekapitulasi
ULN dan/atau koreksi Laporan Data Rekapitulasi ULN periode
September 2014 tetap disampaikan secara offline paling lambat
tanggal 16 Oktober 2014.
E. Penerimaan Laporan ULN, Perubahan Laporan ULN dan/atau
Koreksi Laporan ULN
1. Laporan ULN, perubahan Laporan ULN dan/atau koreksi
Laporan ULN secara online dinyatakan diterima oleh Bank
Indonesia apabila seluruh Laporan ULN, perubahan Laporan
ULN, dan/atau koreksi Laporan ULN lolos verifikasi yang
dibuktikan dengan adanya tanda terima dari sistem Bank
Indonesia.
2. Laporan ULN, perubahan Laporan ULN dan/atau koreksi
Laporan ULN secara offline dinyatakan diterima oleh Bank
Indonesia apabila softcopy seluruh Laporan ULN, perubahan
Laporan ULN dan/atau koreksi Laporan ULN berhasil di-upload
dan lolos verifikasi yang dibuktikan dengan adanya tanda terima
dari sistem Bank Indonesia.
F. Penelitian Kebenaran Laporan ULN
1. Bank Indonesia dapat melakukan penelitian terhadap kebenaran
Laporan ULN dan/atau koreksi Laporan ULN yang disampaikan
Pelapor ULN.
2. Penelitian sebagaimana dimaksud pada huruf a dapat dilakukan
melalui kerja sama dengan pihak lain.
3. Bank Indonesia dapat menyampaikan surat permintaan
informasi, bukti pembukuan, catatan, dan dokumen lain.
4. Pelapor ULN harus menyampaikan informasi, bukti pembukuan,
catatan, dan dokumen lain yang diperlukan sebagaimana
dimaksud …
dimaksud pada huruf c paling lama 14 (empat belas) Hari sejak
tanggal diterimanya surat permintaan.
5. Dalam hal Pelapor ULN tidak menindaklanjuti surat permintaan
dengan penyampaian bukti-bukti sesuai jangka waktu
sebagaimana dimaksud pada huruf d maka laporan ULN yang
disampaikan oleh Pelapor ULN kepada Bank Indonesia
dinyatakan tidak benar.
VII. SANKSI
Bank Indonesia memberitahukan secara tertulis kepada Pelapor ULN
mengenai pelanggaran yang dilakukan dan besarnya sanksi
administratif berupa denda yang dikenakan sebagai berikut:
1. Denda Atas Keterlambatan Penyampaian Laporan Data Rekapitulasi
ULN
a. Pelapor ULN dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan Data
Rekapitulasi ULN apabila penyampaian Laporan Data
Rekapitulasi ULN melampaui batas akhir sebagaimana
dimaksud dalam butir VI.3 sampai dengan akhir bulan setelah
berakhirnya bulan
bersangkutan.
Laporan
Rekapitulasi ULN yang
b. Pelapor ULN yang terlambat menyampaikan Laporan Data
Rekapitulasi ULN sebagaimana dimaksud pada huruf a
dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar
Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) per Hari keterlambatan
dengan denda paling banyak sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta
rupiah).
Contoh:
Perusahaan “A” menyampaikan Laporan Data Rekapitulasi ULN
selama bulan Agustus 2014 ke Bank Indonesia pada tanggal 17
September 2014. Batas akhir penyampaian Laporan Data
Rekapitulasi ULN untuk bulan Agustus 2014 seharusnya pada
tanggal 15 September 2014.
Terkait dengan kasus ini, maka perusahaan “A” dikenakan sanksi
administratif berupa denda sebagai berikut:
Sanksi …
Sanksi administratif berupa denda atas keterlambatan penyampaian
Laporan Data Rekapitulasi ULN: 2 (dua) hari x Rp500.000,00 (lima
ratus ribu rupiah) = Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah).
2. Denda Atas Tidak Menyampaikan Laporan Data Rekapitulasi ULN
a. Pelapor ULN dinyatakan tidak menyampaikan Laporan Data
Rekapitulasi ULN apabila Bank Indonesia belum menerima
Laporan Data Rekapitulasi ULN setelah melampaui akhir bulan
penyampaian Laporan Data Rekapitulasi ULN yang
bersangkutan.
b. Pelapor ULN yang dinyatakan tidak menyampaikan Laporan
Data Rekapitulasi ULN sebagaimana dimaksud pada huruf a
dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar
Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) per Laporan Data
Rekapitulasi ULN.
Contoh:
Perusahaan “B” memiliki ULN atas dasar Perjanjian Kredit (Loan
Agreement) yang ditandatangani pada tanggal 2 Juni 2014 sebesar
ekuivalen Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).
Laporan Data Rekapitulasi ULN wajib disampaikan kepada Bank
Indonesia pada tanggal 15 Juli 2014. Perusahaan “B” sampai
dengan tanggal 31 Juli 2014 (akhir bulan periode Laporan Data
Rekapitulasi ULN Juni) tidak menyampaikan Laporan Data
Rekapitulasi ULN atas dasar Perjanjian Kredit (Loan Agreement)
tersebut kepada Bank Indonesia, maka Perusahaan “B” dikenakan
sanksi administratif berupa denda sebesar Rp10.000.000,00
(sepuluh juta rupiah).
3. Denda Atas Ketidaklengkapan dan/atau Ketidakbenaran Laporan
Data Rekapitulasi ULN
a. Pelapor ULN wajib menyusun dan menyampaikan Laporan Data
Rekapitulasi ULN kepada Bank Indonesia secara benar, lengkap,
dan tepat waktu.
b. Pelapor ULN bertanggung jawab atas kebenaran dan
kelengkapan isi Laporan Data Rekapitulasi ULN serta ketepatan
waktu …
waktu penyampaian Laporan Data Rekapitulasi ULN
sebagaimana dimaksud pada huruf a.
c. Pelapor ULN yang menyampaikan Laporan Data Rekapitulasi
ULN secara tidak benar dan/atau tidak lengkap, dikenakan
sanksi administratif berupa denda sebesar Rp50.000,00 (lima
puluh ribu rupiah) untuk setiap baris (record) yang tidak benar
dan/atau tidak lengkap dan paling banyak seluruhnya sebesar
Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) per Laporan Data
Rekapitulasi ULN.
Contoh:
Perusahaan “C” melakukan penarikan ULN sebesar USD10.000 dan
dilaporkan ke Bank Indonesia sebesar USD100.000. Dari Laporan
Data Rekapitulasi ULN yang disampaikan ada ketidakbenaran
dalam pelaporan nilai nominal ULN.
Terkait ketidakbenaran Laporan Data Rekapitulasi ULN di atas
maka Perusahaan “C” dikenakan sanksi administratif berupa denda
sebesar:
1 (satu) record x Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) =
Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah).
4. Tata Cara Pengenaan Sanksi
a. Bank Indonesia akan menyampaikan Surat Pemberitahuan
sanksi administratif berupa denda kepada Pelapor ULN yang
melanggar ketentuan pelaporan sebagaimana dimaksud dalam
butir VII. Surat tersebut antara lain mencantumkan jenis
pelanggaran, menetapkan sanksi administratif berupa denda,
besarnya denda yang harus dibayar, dan rekening tujuan
pembayaran sanksi denda.
b. Pembayaran sanksi administratif berupa denda sebagaimana
dimaksud dalam butir VII.1, butir VII.2, dan butir VII.3
disetorkan ke Bank Indonesia
c. Pembayaran sanksi administratif berupa denda sebagaimana
dimaksud dalam butir VII.1, butir VII.2, dan butir VII.3
dilakukan paling lambat 1 (satu) bulan setelah Pelapor ULN
menerima …
menerima Surat Pemberitahuan sanksi administratif berupa
denda dari Bank Indonesia.
d. Pelapor ULN harus menyampaikan bukti pembayaran sanksi
denda sebagaimana dimaksud pada huruf c kepada Bank
Indonesia paling lambat 1 (satu) bulan setelah Surat
Pemberitahuan sanksi administratif berupa denda diterima oleh
Pelapor ULN.
Contoh:
Perusahaan
terlambat menyampaikan
Laporan
Data
Rekapitulasi ULN untuk September 2014 yaitu pada tanggal 17
Oktober 2014. Atas keterlambatan tersebut, Bank Indonesia
menyampaikan Surat Pemberitahuan sanksi administratif
berupa denda yang diterima Pelapor ULN pada tanggal 5
November 2014. Pelapor ULN harus menyetor sanksi denda
keterlambatan ke rekening Bank Indonesia dan menyampaikan
tembusan bukti penyetoran denda tersebut ke Bank Indonesia
paling lambat tanggal 5 Desember 2014.
VIII. KEADAAN MEMAKSA (FORCE MAJEURE)
A. Pelapor ULN yang mengalami keadaan memaksa (force majeure)
selama satu periode penyampaian Laporan ULN atau lebih,
dikecualikan dari kewajiban menyampaikan Laporan ULN dan/atau
koreksi Laporan ULN sebagaimana dimaksud dalam butir VI.
B. Pelapor ULN yang mengalami keadaan memaksa (force majeure)
kurang dari 1 (satu) periode penyampaian Laporan ULN
dikecualikan dari kewajiban menyampaikan Laporan ULN dan/atau
koreksi Laporan ULN dalam batas akhir sebagaimana dimaksud
dalam butir VI.
C. Pelapor ULN sebagaimana dimaksud pada angka 2 wajib
menyampaikan Laporan ULN dan/atau koreksi Laporan ULN
sebagaimana dimaksud dalam butir VI setelah Pelapor ULN kembali
melakukan kegiatan operasional secara normal.
D. Pelapor ULN yang mengalami keadaan memaksa (force majeure)
sebagaimana dimaksud pada angka 1 dan angka 2 wajib
menyampaikan permohonan untuk memperoleh pengecualian
secara …
secara tertulis kepada Bank Indonesia dengan disertai penjelasan
mengenai keadaan memaksa (force majeure) yang dialami.
E. Pengecualian sebagaimana dimaksud pada angka 1 dan angka 2
berlaku setelah Pelapor ULN memperoleh persetujuan dari Bank
Indonesia.
IX. ALAMAT SURAT MENYURAT DAN HELP DESK
A. Penyampaian surat menyurat dan komunikasi dengan Bank
Indonesia terkait pelaksanaan Surat Edaran Bank Indonesia ini,
serta pertanyaan yang berkaitan dengan teknis dan cara pelaporan,
program data entry, serta materi Laporan ditujukan kepada:
Bank Indonesia
Departemen Internasional
c.q. Divisi Penatausahaan dan Publikasi Pinjaman Luar Negeri
Menara Sjafruddin Prawiranegara Lt.5
Jalan MH. Thamrin No. 2
Jakarta 10350
E-mail: aplnsiul@bi.go.id
Telepon: 021-3818126, 021-3818127, 021-3500401 - 405, 021-
2310108 ext. 4077, 4124, 4219, 4556, 4572, 4657, 4658, 4926
B. Dalam hal terjadi perubahan alamat surat menyurat dan
komunikasi akan diberitahukan melalui surat dan/atau media
lainnya.
X. PERALIHAN
Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 13/1/DInt tanggal 20 Januari
2011 tentang Kewajiban Pelaporan Utang Luar Negeri tetap berlaku
sampai dengan pelaporan data bulan Juni 2013 yang disampaikan
pada bulan Juli 2013.
XI. PENUTUP
A. Sanksi administratif berupa denda sebagaimana diatur dalam
Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/21/PBI/2012 tanggal 21
Desember 2012 tentang Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa
mulai berlaku sejak pelaporan data bulan Januari 2014 yang
disampaikan pada bulan Februari 2014.
B. Surat…
B. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 13/1/DInt tanggal 20 Januari
2011 perihal Kewajiban Pelaporan Utang Luar Negeri dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku sejak pelaporan data bulan Juli 2013 yang
disampaikan pada bulan Agustus 2013.
Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 29
April 2013.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman
Surat Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita
Negara Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA,
JEFFREY KAIRUPAN
KEPALA DEPARTEMEN INTERNASIONAL
"," SE-BI
15/16/DInt|SE-BI/2013
Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Berupa Realisasi dan Posisi Utang Luar Negeri
29 April 2013
29 April 2013
'13/1/DInt|SE-BI/2011'
'14/21/PBI/2012'
'Romawi VII'
"
" No.11/ 14 /DPM
Jakarta, 18 Mei 2009
SURAT EDARAN
Kepada
SEMUA BANK UMUM
DAN
LEMBAGA KUSTODIAN BUKAN BANK
DI INDONESIA
Perihal : Perubahan Atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor
10/29/DPM tanggal 2 September 2008 perihal Tata Cara
Pengajuan Permohonan, Pelaporan, dan Pengawasan Sub-
Registry
Sehubungan dengan implementasi sistem informasi Bank Indonesia -
Scripless Securities Settlement System, perlu dilakukan perubahan terhadap Surat
Edaran Bank Indonesia Nomor 10/29/DPM Tanggal 2 September 2008 Perihal
Tata Cara Pengajuan Permohonan, Pelaporan, dan Pengawasan Sub-Registry
yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia Nomor
10/2/PBI/2008 tanggal 4 Februari 2008 tentang Bank Indonesia - Scripless
Securities Settlement System (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4809)
sebagai berikut :
1. Ketentuan Bab I diubah dengan menambah 1 (satu) butir, yakni butir I.14
yang berbunyi sebagai berikut :
14. Sistem Informasi BI-SSSS adalah sistem yang disediakan oleh Bank
Indonesia bagi Sub-Registry sebagai sarana pelaporan dan rekonsiliasi
data BI-SSSS terkait penatausahaan individual nasabah.
2. Ketentuan …
2
2. Ketentuan butir IV.A. diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
A. Pelaksanaan Tugas Sub-Registry
1. Melaksanakan setelmen transaksi Surat Berharga untuk dan atas nama
nasabah;
2. Mencatat kepemilikan dan perubahan kepemilikan Surat Berharga
atas nama nasabah secara terpisah dari aset Sub-Registry;
3. Memelihara Rekening Surat Berharga selain untuk dan atas nama diri
sendiri, Pengurus Sub-Registry, dan Pengelola Sub-Registry;
4. Menyampaikan bukti pencatatan Surat Berharga kepada nasabah yang
antara lain berisi saldo akhir Rekening Surat Berharga yang memuat
masing-masing seri Surat Berharga dan perubahan pencatatan
kepemilikan Surat Berharga, termasuk pencatatan Surat Berharga
yang ditransaksikan secara repo dan diagunkan kepada pihak lain;
5. Menyampaikan bukti pencatatan agunan bagi pihak penerima agunan;
6. Melakukan pencatatan Surat Berharga pada saat penerbitan atas nama
nasabah;
7. Melakukan pembayaran kupon (bunga) atau imbalan dan nilai
pokok/nominal Surat Berharga pada saat jatuh waktu kepada nasabah
pemilik Surat Berharga sesuai pencatatan pada sistem internal Sub-
Registry;
8. Melakukan pemotongan dan administrasi pajak atas diskonto, capital
gain dan kupon (bunga) atau imbalan Surat Berharga atas nama
nasabah sesuai peraturan pajak yang berlaku;
9. Menjamin kebenaran pencatatan dan laporan kepemilikan Surat
Berharga atas nama seluruh nasabah sesuai dengan saldo keseluruhan
pada Rekening Surat Berharga (omnibus account) di Central Registry;
10. Menyelesaikan masalah perbedaan pencatatan kepemilikan Surat
Berharga antara Sub-Registry dengan nasabah;
11. Memenuhi …
3
11. Memenuhi jumlah minimum pencatatan kepemilikan Surat Berharga
rata-rata bulanan paling sedikit sebesar Rp500.000.000.000,00 (lima
ratus miliar Rupiah) dalam 12 (dua belas) bulan terakhir;
12. Menjaga agar posisi KPMM bagi Bank Kustodian atau modal disetor
bagi lembaga Kustodian bukan Bank tidak kurang dari posisi KPMM
atau modal disetor sesuai ketentuan yang berlaku selama 3 (tiga)
bulan berturut-turut.
3. Ketentuan butir IV.B diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut :
B. Kewajiban Pelaporan
1. Jenis Laporan
Sub-Registry wajib menyampaikan laporan-laporan kepada Bank
Indonesia - Central Registry, sebagai berikut :
a) Laporan Harian mengenai informasi setelmen transaksi Surat
Berharga yang memuat perubahan pencatatan kepemilikan Surat
Berharga antar nasabah individual dalam Sub-Registry yang sama;
b) Laporan hasil transaksi penerbitan Surat Berharga dan transaksi
buyback/debt switching yang transaksinya tidak dilakukan melalui
BI-SSSS;
c) Laporan Bulanan Posisi Kepemilikan Surat Berharga atas nama
nasabah individual Sub-Registry sebagaimana contoh Lampiran
2;
d) Laporan Tahunan berupa laporan rencana bisnis (bussiness plan)
Sub-Registry pada tahun berikutnya, yang memuat antara lain
target volume Penatausahaan Surat Berharga, rencana program
peningkatan pelayanan, dan rencana pengembangan sistem
penatausahaan internal;
e) Laporan perubahan Pengurus Sub-Registry dan/atau Pengelola
Sub-Registry;
f) Laporan hasil pemeriksaan auditor independen mengenai
keamanan sistem pencatatan Surat Berharga secara scripless;
g) Laporan …
4
g) Laporan hasil audit (berupa fotokopi) dari otoritas pengawas
Kustodian mengenai keamanan sistem pencatatan Surat Berharga
secara scripless, dalam hal tidak terdapat pemeriksaan oleh
auditor independen selama periode tahun yang bersangkutan; dan
h) Laporan lainnya sesuai permintaan Bank Indonesia.
2. Tata Cara Penyampaian Laporan
Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam butir 1 ditujukan
kepada :
Bank Indonesia-Direktorat Pengelolaan Moneter
cq. Bagian Penyelesaian Transaksi Pengelolaan Moneter
Menara Sjafruddin Prawiranegara Lantai 11
Jl. M.H. Thamrin No. 2
Jakarta 10350
dengan ketentuan sebagai berikut :
a) Laporan Harian disampaikan melalui BI-SSSS pada hari yang
sama dengan tanggal perubahan pencatatan kepemilikan
individual dalam sistem pencatatan Sub-Registry.
Tata cara penyampaian Laporan Harian mengacu pada Pedoman
Penyampaian Laporan Sub-Registry sebagaimana Lampiran 3.
Dalam hal Sub-Registry tidak dapat menyampaikan Laporan
Harian melalui BI-SSSS, Sub-Registry dapat menyampaikan
Laporan Harian melalui Sistem Informasi BI-SSSS atau sarana
lainnya dengan pemberitahuan sebelumnya secara tertulis kepada
Bank Indonesia dengan menjelaskan penyebab laporan tidak
dapat disampaikan melalui BI-SSSS.
b) Laporan hasil transaksi penerbitan Surat Berharga dan transaksi
buyback/debt switching yang transaksinya tidak dilakukan melalui
BI-SSSS disampaikan pada hari yang sama dengan tanggal
setelmen transaksi melalui Sistem Informasi BI-SSSS.
c) Laporan …
5
c) Laporan Bulanan disampaikan paling lambat 2 (dua) hari kerja
setelah akhir bulan melalui sarana surat elektronis (e-mail) dengan
alamat Sub_Reg_BI-SSSS@bi.go.id.
d) Laporan Tahunan yang merupakan laporan rencana bisnis
(bussiness plan) Sub-Registry pada tahun berikutnya disampaikan
paling lambat 1 (satu) bulan setelah berakhir tahun kalender.
e) Laporan Perubahan Pengurus Sub-Registry dan/atau Pengelola
Sub-Registry disampaikan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja
setelah terjadi perubahan.
f) Laporan hasil pemeriksaan auditor independen mengenai
keamanan sistem pencatatatan Surat Berharga secara scripless
disampaikan paling lambat 1 (satu) bulan sejak tanggal laporan.
g) Fotokopi laporan hasil audit dari otoritas pengawas Kustodian
mengenai keamanan sistem pencatatan Surat Berharga secara
scripless disampaikan paling lambat 1 (satu) bulan sejak tanggal
laporan.
h) Laporan lainnya disampaikan sesuai jangka waktu yang akan
ditetapkan dalam surat pemberitahuan Bank Indonesia.
3. Tata Cara Penggunaan Sistem Informasi BI-SSSS
a) Persyaratan Penggunaan Sistem Informasi BI-SSSS
Dalam hal permohonan untuk menjadi Sub-Registry disetujui dan
telah menjadi Peserta, Sub-Registry mengajukan permintaan
untuk dapat menggunakan Sistem Informasi BI-SSSS dengan
prosedur sebagai berikut :
1) Sub-Registry harus menyediakan jaringan komunikasi berupa
leased line atau dial up untuk dapat mengakses Sistem
Informasi BI-SSSS.
2) Dalam hal jaringan komunikasi berupa leased line, Sub-
Registry dapat menggunakan leased line yang digunakan
untuk pelaporan ke Bank Indonesia (ekstra net) misalnya
Laporan …
6
Laporan Harian Bank Umum (LHBU) atau Laporan Berkala
Bank Umum (LBBU).
3) Sub-Registry menyampaikan surat permohonan akses ke
Sistem Informasi BI-SSSS kepada Bank Indonesia dengan
alamat sebagai berikut :
Bank Indonesia-Direktorat Pengelolaan Moneter
cq. Bagian Penyelenggaraan Transaksi Pengelolaan Moneter
Menara Sjafruddin Prawiranegara, Lantai 11
Jl. M.H. Thamrin No.2
Jakarta 10350
4) Surat permohonan sebagaimana dimaksud pada butir 3)
disertai dengan data pengguna yang akan diberikan akses
untuk menggunakan aplikasi Sistem Informasi BI-SSSS.
5) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada butir
3), Bank Indonesia memberikan akses kepada Sub-Registry
dengan ketentuan sebagai berikut :
(a) user-ID berikut password pengamanan untuk login ke
jaringan Bank Indonesia bagi akses yang dilakukan
melalui dial up; dan
(b) paling sedikit 2 (dua) user-ID Operator dan 2 (dua) user-
ID Supervisor berikut password pengamanan untuk
menggunakan aplikasi Sistem Informasi BI-SSSS.
b) Penggunaan Sistem Informasi BI-SSSS
1) Sub-Registry bertanggung jawab atas penggunaan dan
pengamanan Sistem Informasi BI-SSSS.
2) Sub-Registry menyediakan ketentuan internal mengenai
penggunaan Sistem Informasi BI-SSSS antara lain pemberian
akses dan pengamanan penggunaan aplikasi Sistem Informasi
BI-SSSS dari pihak yang tidak berwenang.
3) Sub-Registry …
7
3) Sub-Registry melakukan rekonsiliasi secara harian antara data
setelmen yang telah dilaporkan kepada Central Registry
dengan data setelmen transaksi yang terjadi di Sub-Registry
untuk menjamin kebenaran data laporan yang disampaikan
kepada Central Registry.
4) Sub-Registry melakukan koreksi data pelaporan melalui
Sistem Informasi BI-SSSS, dalam hal terdapat kesalahan
laporan sebagaimana dimaksud pada butir 1.a) dan butir 1.b).
c) Pengelolaan Pengguna
1) Pengelolaan user-ID dan password akses jaringan Bank
Indonesia dan akses aplikasi Sistem Informasi BI-SSSS
dilakukan oleh Bank Indonesia.
2) Dalam hal terjadi perubahan pengguna yang akan mengakses
jaringan Bank Indonesia dan aplikasi Sistem Informasi BI-
SSSS, Sub-Registry menyampaikan perubahan dimaksud
kepada Bank Indonesia melalui surat untuk melakukan
perubahan user-ID dan password.
3) Dalam hal Sub-Registry tidak dapat melakukan akses ke
jaringan Bank Indonesia atau aplikasi Sistem Informasi BI-
SSSS yang diakibatkan kesalahan password, Sub-Registry
dapat menyampaikan permintaan reset password kepada
Bank Indonesia.
4) Permintaan perubahan user-ID, password dan/atau reset
password sebagaimana dimaksud pada butir 2) dan butir 3),
disampaikan Sub-Registry secara tertulis kepada :
Bank Indonesia -Direktorat Pengelolaan Moneter
cq. Bagian Penyelesaian Transaksi Pengelolaan Moneter
Menara Sjafruddin Prawiranegara, Lantai 11
Jl. M.H. Thamrin No.2
Jakarta 10350
4. Ketentuan …
8
4. Ketentuan butir V.7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut :
7. Berdasarkan hasil pengawasan, Sub-Registry wajib melakukan tindak
lanjut terhadap hasil temuan sebagai berikut :
a. Sub-Registry yang belum memenuhi kewajiban dan/atau melakukan
kesalahan dalam melaksanakan tugas dan/atau pelaporan sebagaimana
dimaksud dalam butir IV.A dan butir IV.B, wajib :
1) memenuhi kewajiban pelaporan dengan data yang benar atau
melakukan koreksi kesalahan dengan data yang benar terhadap
Laporan Harian sebagaimana dimaksud dalam butir IV.B.1.a) dan
laporan hasil transaksi penerbitan Surat Berharga dan transaksi
buyback/debt switching yang transaksinya tidak dilakukan melalui
BI-SSSS sebagaimana dimaksud dalam butir IV.B.1.b), paling
lambat 2 (dua) hari kerja sejak tanggal pemberitahuan hasil
temuan oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam butir
6; dan/atau
2) memenuhi kewajiban pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud
dalam butir IV.A.1 sampai dengan butir IV.A.10, atau memenuhi
kewajiban pelaporan dengan data yang benar sebagaimana
dimaksud dalam butir IV.B.1.c) sampai dengan butir IV.B.1.h),
paling lambat 5 (lima) hari kerja sejak tanggal pemberitahuan
hasil temuan oleh Bank Indonesia; dan/atau
3) melakukan koreksi kesalahan atas laporan dengan data yang benar
terhadap Laporan Bulanan, dan laporan lainnya sesuai permintaan
Bank Indonesia, paling lambat 5 (lima) hari kerja sejak tanggal
pemberitahuan hasil temuan oleh Bank Indonesia.
b. Sub-Registry yang tidak memenuhi persyaratan pemenuhan jumlah
minimum pencatatan kepemilikan Surat Berharga rata-rata bulanan
paling sedikit Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar Rupiah) dalam
12 (dua belas) bulan terakhir sebagaimana dimaksud dalam butir
IV.A.11 dan pemenuhan persyaratan sebagai Sub-Registry
sebagaimana …
9
sebagaimana dimaksud dalam butir IV.C terkait dengan persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam butir II.6 sampai dengan butir II.9,
wajib membuat rencana tindakan (action plan) dalam rangka
memenuhi persyaratan dimaksud, dengan ketentuan sebagai berikut :
1) Rencana tindakan disampaikan kepada Bank Indonesia-Central
Registry paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal surat
pemberitahuan hasil temuan oleh Bank Indonesia.
2) Rencana tindakan sebagaimana dimaksud dalam butir 1) wajib
dipenuhi sesuai dengan batas waktu pemenuhan yang diusulkan
Sub-Registry paling lambat 3 (tiga) bulan sejak tanggal surat
penyampaian rencana tindakan Sub-Registry, termasuk apabila
terdapat perubahan.
5. Lampiran 3 diubah sebagaimana tercantum dalam Lampiran 3 yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Surat Edaran ini.
Ketentuan dalam Surat Edaran ini mulai berlaku pada tanggal 18 Mei 2009.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat
Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA,
EDDY SULAEMAN YUSUF
DIREKTUR PENGELOLAAN MONETER
"," SE-BI
11/14/DPM|SE-BI/2009
Perubahan Atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 10/29/DPM tanggal 2 September 2008 perihal Tata Cara Pengajuan Permohonan, Pelaporan, dan Pengawasan Sub-Registry
18 Mei 2009
18 Mei 2009
'10/29/DPM|SE-BI/2008'
'10/2/PBI/2008', '10/29/DPM|SE-BI/2008'
"
" 1
No. 10/ 6 /DSM
Jakarta, 13 Februari 2008
S U R A T E D A R A N
Kepada
SEMUA BANK UMUM
DI INDONESIA
Perihal : Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 5/31/DSM
tanggal 1 Desember 2003 perihal Laporan Bulanan Bank
Umum Syariah
Sehubungan dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia Nomor
10/3/PBI/2008 tanggal 4 Februari 2008 tentang Laporan Kantor Pusat Bank
Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 12,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4810), perlu dilakukan
perubahan terhadap Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 5/31/DSM tanggal
1 Desember 2003 perihal Laporan Bulanan Bank Umum Syariah sebagai berikut:
1. Ketentuan Bab III Laporan per Kantor Bank Pelapor Butir III.39.1 mengenai
Daftar Kegiatan Kustodian (Form-39) pada Lampiran Surat Edaran berupa
Buku Pedoman Penyusunan Laporan Bulanan Bank Umum Syariah dihapus.
2. Ketentuan Bab III Laporan per Kantor Bank Pelapor Butir III.39.2 mengenai
Sandi Daftar Kegiatan Kustodian pada Lampiran Surat Edaran berupa Buku
Pedoman Penyusunan Laporan Bulanan Bank Umum Syariah dihapus.
3. Ketentuan Bab III Laporan per Kantor Bank Pelapor Butir III.39.3 mengenai
Penjelasan Daftar Kegiatan Kustodian pada Lampiran Surat Edaran berupa
Buku Pedoman Penyusunan Laporan Bulanan Bank Umum Syariah dihapus.
Ketentuan …
2
Ketentuan dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada
tanggal 13 Februari 2008.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat
Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita Negara
Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA,
HARTADI A. SARWONO
DEPUTI GUBERNUR
"," SE-BI
10/6/DSM|SE-BI/2008
Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 5/31/DSM tanggal 1 Desember 2003 perihal Laporan Bulanan Bank Umum Syariah
13 Februari 2008
13 Februari 2008
'5/31/DSM|SE-BI/2003'
'5/31/DSM|SE-BI/2003', '10/3/PBI/2008'
"
" No. 8/12/DASP
Jakarta, 11 April 2006
S U R A T E D A R A N
Kepada
SEMUA PESERTA
SISTEM BANK INDONESIA REAL TIME GROSS SETTLEMENT (BI-RTGS)
DI INDONESIA
Perihal : Penetapan Biaya Penggunaan Sistem Bank Indonesia Real Time
Gross Settlement Selama Periode Uji Coba Treasury Single
Account Pemerintah Melalui Mekanisme Rekening Pengeluaran
Kuasa Bendahara Umum Negara Pusat/Daerah pada Bank Umum
Dalam rangka melakukan pengelolaan keuangan negara yang lebih efektif
dan efisien (cash management), Pemerintah merencanakan untuk menerapkan
Treasury Single Account (TSA). Dalam rangka memperlancar penerapan TSA
dimaksud, Pemerintah memerlukan uji coba penerapan TSA (Uji Coba TSA)
dengan melibatkan beberapa Bank Peserta Sistem Bank Indonesia Real Time
Gross Settlement (Sistem BI-RTGS). Pelaksanaan Uji Coba TSA dilakukan
antara lain melalui mekanisme Rekening Pengeluaran Kuasa Bendahara Umum
Negara Pusat/Daerah (RPK-BUN-P) pada Bank Umum.
Sehubungan dengan hal tersebut, sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia
(PBI) No.6/8/PBI/2004 tanggal 11 Maret 2004 (Lembaran Negara Republik
Indonesia tahun 2004 Nomor 28, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4373) tentang Sistem Bank Indonesia Real Time Gross
Settlement sebagaimana telah diubah dengan PBI No.6/13/PBI/2004 tanggal
9 Juni 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2004 Nomor 49,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4387), perlu diatur
penetapan …
penetapan biaya penggunaan Sistem BI-RTGS selama periode Uji Coba TSA
Pemerintah sebagai berikut:
I. BANK PESERTA UJI COBA TSA
1. Pemerintah menetapkan beberapa Bank Peserta Sistem BI-RTGS yang
merupakan mitra kerja Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara
(KPPN) sebagai Bank Peserta Uji Coba TSA.
2. Penetapan Bank sebagai Peserta Uji Coba TSA oleh Pemerintah
diberitahukan secara tertulis oleh Bank yang ditetapkan tersebut
kepada Bank
Indonesia c.q Direktorat Akunting dan Sistem
Pembayaran, Jl. M.H. Thamrin No.2 Jakarta, mengenai hal-hal sebagai
berikut:
a.
penetapan sebagai Bank Peserta Uji Coba TSA dengan
melampirkan surat penetapan dari Pemerintah; dan
b.
nama kantor bank yang ditunjuk untuk menangani Uji Coba
TSA.
II. JENIS TRANSAKSI DAN PENGGUNAAN TRANSACTION
REFERENCE NUMBER (TRN) DALAM UJI COBA TSA
Jenis transaksi Uji Coba TSA dan TRN yang digunakan diatur sebagai
berikut:
1. Pemindahan dana dari RPK-BUN-P yang berada di Kantor Bank
Peserta Uji Coba TSA di wilayah tertentu kepada rekening
bendaharawan gaji di Bank lain, menggunakan TRN IFTSA000;
2.
Pelimpahan penerimaan pajak yang dilakukan setiap hari pada setiap
hari kerja dari Bank Persepsi di wilayah Uji Coba TSA kepada
rekening KPPN peserta Uji Coba TSA di Kantor Bank Indonesia yang
mewilayahi KPPN tersebut, menggunakan TRN BIRSA501;
3. Pemindahan kelebihan dana dari RPK-BUN-P yang berada di Kantor
Bank Peserta Uji Coba TSA kepada rekening nomor 502.000000
”Bendahara Umum Negara” di Bank Indonesia, menggunakan TRN
BIRSA502;
4. Pemindahan…
4. Pemindahan dana dari rekening KPPN yang berada di Kantor Bank
Peserta Uji Coba TSA di wilayah tertentu kepada rekening rekanan
KPPN yang berada di Bank lain, menggunakan TRN IFT00000;
5. Dalam pelaksanaan transaksi sebagaimana dimaksud pada angka
1 sampai dengan 3, Bank Peserta Uji Coba TSA harus mencantumkan
keterangan ”Transaksi dalam rangka Uji Coba TSA di wilayah KPPN
............. (nama wilayah)” pada field Payment Detail.
6. Dalam pelaksanaan transaksi sebagaimana dimaksud pada angka
1 dan 3, Bank Peserta Uji Coba TSA harus mencantumkan keterangan
nomor dan nama RPK-BUN-P pada field Originating Party.
7. Dalam hal pelimpahan pajak belum dilakukan setiap hari pada setiap
hari kerja sebagaimana dimaksud dalam angka 2 namun dilakukan
pada hari kerja tertentu maka pelimpahan pajak tetap menggunakan
TRN sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia No.
7/62/DASP tanggal 30 Desember 2005 perihal Sistem Bank Indonesia
Real Time Gross Settlement dan dikenakan biaya sebagaimana diatur
dalam Surat Edaran Bank Indonesia No.4/14/DASP tanggal 24
September 2002 perihal Biaya Dalam Penggunaan Sistem Bank
Indonesia Real Time Gross Settlement.
III. PENGENAAN BIAYA TRANSAKSI DALAM UJI COBA TSA
Pengenaan biaya transaksi dalam Uji Coba TSA diatur sebagai berikut :
1. Untuk transaksi sebagaimana dimaksud pada butir II.1, II.2, dan II.3,
Bank Peserta Uji Coba TSA dikenakan biaya transaksi sebesar Rp 0,00
(nol rupiah) per transaksi.
2. Untuk transaksi sebagaimana dimaksud pada butir II.4, Bank Peserta
Uji Coba TSA dikenakan biaya transaksi sebagaimana diatur pada
Surat Edaran Bank Indonesia No.4/14/DASP tanggal 24 September
2002 perihal Biaya Dalam Penggunaan Sistem BI-RTGS.
3. Bank …
3. Bank Peserta Sistem BI-RTGS yang menggunakan TRN Uji Coba
TSA diluar kepentingan Uji Coba TSA Pemerintah dikenakan biaya
sebesar Rp 100.000,00 (seratus ribu rupiah) per transaksi.
IV. PENUTUP
1. Ketentuan dalam Surat Edaran ini mulai berlaku pada saat dilakukan
Uji Coba TSA oleh Pemerintah sampai dengan berakhirnya masa Uji
Coba TSA.
2. Waktu pelaksanaan dan berakhirnya Uji Coba TSA sebagaimana
dimaksud pada angka 1 diumumkan oleh Bank Indonesia melalui
sarana administrative message Sistem BI-RTGS.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat
Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA,
EDI SISWANTO
DIREKTUR AKUNTING DAN
SISTEM PEMBAYARAN
DASP
"," SE-BI
8/12/DASP|SE-BI/2006
Penetapan Biaya Penggunaan Sistem Bank Indonesia Real Time Gross Settlement Selama Periode Uji Coba Treasury Single Account Pemerintah Melalui Mekanisme Rekening Pengeluaran Kuasa Bendahara Umum Negara Pusat/Daerah pada Bank Umum
11 April 2006
pada saat dilakukan Uji Coba TSA oleh Pemerintah
'6/8/PBI/2004', '6/13/PBI/2004'
"
" No.17/ 25 /DKMP
Jakarta, 12 Oktober 2015
S U R A T E D A R A N
Kepada
SEMUA BANK UMUM, BANK UMUM SYARIAH
DAN UNIT USAHA SYARIAH
DI INDONESIA
Perihal :
Rasio Loan to Value atau Rasio Financing to Value untuk
Kredit atau Pembiayaan Properti dan Uang Muka untuk
Kredit atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor.
Sehubungan dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor
17/10/PBI/2015 tentang Rasio Loan to Value atau Rasio Financing to
Value untuk Kredit atau Pembiayaan Properti dan Uang Muka untuk
Kredit atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2015 Nomor 141, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5706), perlu diatur ketentuan pelaksanaan mengenai
rasio Loan to Value atau rasio Financing to Value untuk Kredit atau
Pembiayaan Properti dan Uang Muka untuk Kredit atau Pembiayaan
Kendaraan Bermotor dalam Surat Edaran Bank Indonesia sebagai berikut:
I. KETENTUAN UMUM
Dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang yang mengatur mengenai perbankan, termasuk kantor
cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri dan Bank
Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang
mengatur mengenai perbankan syariah.
2. Bank ...
2
2. Bank Umum adalah Bank yang melaksanakan kegiatan usaha
secara konvensional.
3. Bank Umum Syariah yang selanjutnya disingkat BUS adalah bank
syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas
pembayaran.
4. Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disingkat UUS adalah unit
kerja dari kantor pusat Bank Umum konvensional yang berfungsi
sebagai kantor induk dari kantor atau unit yang melaksanakan
kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, atau unit kerja di
kantor cabang dari suatu Bank yang berkedudukan di luar negeri
yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang
berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang pembantu
syariah dan/atau unit usaha syariah.
5. Kredit adalah kredit sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang yang mengatur mengenai perbankan.
6. Pembiayaan adalah pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah.
7. Properti adalah Rumah Tapak, Rumah Susun, dan Rumah Kantor
atau Rumah Toko.
8. Rumah Tapak adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat
tinggal yang merupakan kesatuan antara tanah dan bangunan
dengan bukti kepemilikan berupa surat keterangan, sertifikat, atau
akta yang dikeluarkan oleh lembaga atau pejabat yang berwenang.
9. Rumah Susun adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun
dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang
distrukturkan secara fungsional baik dalam arah horizontal
maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan yang masing-
masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, antara lain
griya tawang, kondominium, apartemen, dan flat.
10. Rumah Kantor atau Rumah Toko adalah tanah berikut bangunan
yang izin pendiriannya sebagai rumah tinggal sekaligus untuk
tujuan komersial antara lain perkantoran, pertokoan, atau gudang.
11. Kredit Properti yang selanjutnya disingkat KP adalah kredit
konsumsi yang terdiri atas:
a. Kredit ...
3
a. Kredit yang diberikan Bank untuk pembelian Rumah Tapak,
termasuk Kredit konsumsi beragun Rumah Tapak, yang
selanjutnya disebut KP Rumah Tapak;
b. Kredit yang diberikan Bank untuk pembelian Rumah Susun,
termasuk Kredit konsumsi beragun Rumah Susun, yang
selanjutnya disebut KP Rusun; dan
c. Kredit yang diberikan Bank untuk pembelian Rumah Toko
dan/atau Rumah Kantor, termasuk Kredit konsumsi beragun
Rumah Toko dan/atau Rumah Kantor, yang selanjutnya
disebut KP Ruko atau KP Rukan.
12. Pembiayaan Properti yang selanjutnya disebut KP Syariah adalah
Pembiayaan konsumsi yang terdiri atas:
a. Pembiayaan yang diberikan Bank untuk pembelian Rumah
Tapak, termasuk Pembiayaan konsumsi beragun Rumah
Tapak, yang selanjutnya disebut KP Rumah Tapak Syariah;
b. Pembiayaan yang diberikan Bank untuk pembelian Rumah
Susun, termasuk Pembiayaan konsumsi beragun Rumah
Susun, yang selanjutnya disebut KP Rusun Syariah; dan
c. Pembiayaan yang diberikan Bank untuk pembelian Rumah
Toko dan/atau Rumah Kantor, termasuk Pembiayaan
konsumsi beragun Rumah Toko dan/atau Rumah Kantor, yang
selanjutnya disebut KP Ruko Syariah atau KP Rukan Syariah.
13. Akad Murabahah adalah akad pembiayaan suatu barang dengan
menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli
membayarnya dengan harga yang lebih sebagai keuntungan yang
disepakati.
14. Akad Istishna’ adalah akad pembiayaan barang dalam bentuk
pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan
persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan atau pembeli
(mustashni’) dan penjual atau pembuat (shani’).
15. Musyarakah Mutanaqisah yang selanjutnya disingkat MMQ adalah
musyarakah atau syirkah dalam rangka kepemilikan Properti
antara Bank dengan nasabah dengan kondisi penyertaan
kepemilikan Properti oleh Bank akan berkurang disebabkan
pembelian ...
4
pembelian secara bertahap oleh nasabah.
16. Akad Ijarah Muntahiya Bittamlik yang selanjutnya disebut Akad
IMBT adalah akad penyediaan dana dalam rangka memindahkan
hak guna atau manfaat dari suatu barang atau jasa berdasarkan
transaksi sewa dengan opsi pemindahan kepemilikan barang.
17. Akad Qardh adalah akad pinjaman dana kepada nasabah dengan
ketentuan bahwa nasabah wajib mengembalikan dana yang
diterimanya pada waktu yang telah disepakati.
18. Uang Jaminan yang selanjutnya disebut Deposit adalah uang yang
harus diserahkan oleh nasabah kepada Bank dalam rangka
kepemilikan Properti yang dilakukan dengan Akad IMBT.
19. Rasio Loan to Value yang selanjutnya disebut Rasio LTV adalah
angka rasio antara nilai Kredit yang dapat diberikan oleh Bank
terhadap nilai agunan berupa Properti pada saat pemberian Kredit
berdasarkan harga penilaian terakhir.
20. Rasio Financing to Value yang selanjutnya disebut Rasio FTV
adalah angka rasio antara nilai Pembiayaan yang dapat diberikan
oleh Bank terhadap nilai agunan berupa Properti pada saat
pemberian Pembiayaan berdasarkan harga penilaian terakhir.
21. Kredit atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor yang selanjutnya
disebut KKB atau KKB Syariah adalah Kredit atau Pembiayaan
yang diberikan Bank untuk pembelian kendaraan bermotor.
22. Uang Muka adalah pembayaran di muka sebesar persentase
tertentu dari harga pembelian Properti atau kendaraan bermotor
yang sumber dananya berasal dari debitur atau nasabah.
23. Laporan Bulanan Bank Umum yang selanjutnya disebut LBU
adalah Laporan Bulanan Bank Umum sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan
bulanan bank umum.
24. Laporan Stabilitas Moneter dan Sistem Keuangan Bulanan Bank
Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disebut
LSMK adalah Laporan Stabilitas Moneter dan Sistem Keuangan
Bulanan Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur ...
5
mengatur mengenai laporan stabilitas moneter dan sistem
keuangan bulanan bank umum syariah dan unit usaha syariah.
II. FASILITAS KREDIT, NILAI AGUNAN, DAN PENILAIAN AGUNAN
A. Perhitungan Kredit dan Nilai Agunan untuk Bank Umum
Perhitungan Kredit dan nilai agunan dalam perhitungan Rasio LTV
untuk Bank Umum ditetapkan sebagai berikut:
1. Kredit ditetapkan berdasarkan plafon Kredit yang diterima oleh
debitur sebagaimana tercantum dalam perjanjian Kredit; dan
2. nilai agunan ditetapkan berdasarkan nilai taksiran yang
dilakukan penilai intern Bank atau penilai independen
terhadap Properti yang menjadi agunan.
B. Perhitungan Pembiayaan dan Nilai Agunan untuk BUS dan UUS
Perhitungan Pembiayaan dan nilai agunan dalam perhitungan
Rasio FTV untuk BUS dan UUS ditetapkan sebagai berikut:
1. Pembiayaan ditetapkan berdasarkan jenis akad yang
digunakan, yaitu:
a. Pembiayaan berdasarkan Akad Murabahah atau Akad
Istishna’ ditetapkan berdasarkan harga pokok Pembiayaan
yang diberikan kepada nasabah sebagaimana tercantum
dalam akad Pembiayaan;
b. Pembiayaan berdasarkan Akad MMQ ditetapkan
berdasarkan penyertaan Bank dalam rangka kepemilikan
Properti sebagaimana tercantum dalam akad Pembiayaan;
dan
c. Pembiayaan berdasarkan Akad IMBT ditetapkan
berdasarkan hasil pengurangan harga Properti dengan
Deposit sebagaimana tercantum dalam akad Pembiayaan.
2. Nilai agunan ditetapkan berdasarkan nilai taksiran yang
dilakukan penilai intern Bank atau penilai independen
terhadap Properti yang menjadi agunan.
C. Tata ...
6
C. Tata Cara Penilaian Agunan
1. Tata cara penilaian agunan ditetapkan sebagai berikut:
a. Apabila Kredit atau Pembiayaan untuk 1 (satu) atau
beberapa debitur atau nasabah secara keseluruhan pada
proyek yang sama sampai dengan Rp5.000.000.000,00
(lima miliar rupiah) maka nilai agunan didasarkan pada
taksiran yang dilakukan oleh penilai intern Bank atau
penilai independen; dan
b. Apabila Kredit atau Pembiayaan untuk 1 (satu) atau
beberapa debitur atau nasabah secara keseluruhan pada
proyek yang sama di atas Rp5.000.000.000,00 (lima miliar
rupiah) maka nilai agunan didasarkan pada taksiran yang
dilakukan oleh penilai independen.
2. Proyek yang sama sebagaimana dimaksud dalam angka 1
adalah properti yang berada pada area yang sama dan
dibangun oleh pengembang yang sama, yaitu Rumah Tapak,
Rumah Susun, Rumah Kantor atau Rumah Toko, dihitung
untuk masing-masing unit.
Contoh:
a. Bank memberikan Kredit atau Pembiayaan kepada 3 (tiga)
orang debitur atau nasabah untuk pembelian Rumah Tapak
dalam satu cluster yang merupakan KP pertama, masing-
masing dengan nilai Kredit atau Pembiayaan sebesar
Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). Penilaian agunan
tersebut didasarkan pada taksiran yang dilakukan oleh
penilai intern Bank atau penilai independen.
b. Bank memberikan Kredit atau Pembiayaan kepada 1 (satu)
orang debitur atau nasabah untuk pembelian 1 (satu)
Rumah Tapak yang merupakan KP pertama dengan nilai
Kredit atau Pembiayaan sebesar Rp6.000.000.000,00 (enam
miliar rupiah). Penilaian agunan tersebut didasarkan pada
taksiran yang dilakukan oleh penilai independen.
c. Bank ...
7
c. Bank memberikan Kredit atau Pembiayaan kepada 1 (satu)
orang debitur atau nasabah untuk pembelian 3 (tiga)
Rumah Tapak yang telah tersedia secara utuh masing-
masing dengan nilai Kredit atau Pembiayaan sebesar
Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). Penilaian agunan
tersebut didasarkan pada taksiran yang dilakukan oleh
penilai intern Bank atau penilai independen.
3. Penetapan nilai taksiran sebagaimana dimaksud dalam angka 1
mengacu pada metode dan prinsip yang berlaku umum dalam
penilaian agunan yang ditetapkan oleh asosiasi dan/atau
institusi yang berwenang.
III. TATA CARA PERHITUNGAN RASIO LTV ATAU RASIO FTV UNTUK
KREDIT ATAU PEMBIAYAAN PROPERTI
Tata cara perhitungan Rasio LTV atau Rasio FTV untuk Kredit atau
Pembiayaan Properti ditetapkan sebagai berikut:
A. Rasio LTV atau Rasio FTV untuk KP dan KP Syariah
1. Rasio LTV atau Rasio FTV untuk KP dan KP Syariah pertama
ditetapkan paling tinggi sebesar:
a. 90% (sembilan puluh persen) untuk KP Rusun dan KP
Rusun Syariah dengan luas bangunan 22m2 (dua puluh dua
meter persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter
persegi);
b. 85% (delapan puluh lima persen) untuk KP Rumah Tapak
Syariah dan KP Rusun Syariah berdasarkan akad MMQ
atau Akad IMBT, dengan luas bangunan di atas 70m2 (tujuh
puluh meter persegi); dan
c. 80% (delapan puluh persen) untuk KP Rusun, KP Rumah
Tapak, KP Rusun Syariah, dan KP Rumah Tapak Syariah
berdasarkan Akad Murabahah atau Akad Istishna’, dengan
luas bangunan di atas 70m2 (tujuh puluh meter persegi).
2. Rasio LTV atau Rasio FTV untuk KP dan KP Syariah kedua
diatur sebagai berikut:
a. Untuk ...
8
a. Untuk KP kedua ditetapkan paling tinggi sebesar:
1) 80% (delapan puluh persen) untuk KP Rumah Tapak
dengan luas bangunan 22m2 (dua puluh dua meter
persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter
persegi);
2) 80% (delapan puluh persen) untuk KP Rusun dengan
luas bangunan sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter
persegi);
3) 80% (delapan puluh persen) untuk KP Ruko atau KP
Rukan; dan
4) 70% (tujuh puluh persen) untuk KP Rumah Tapak dan
KP Rusun dengan luas bangunan di atas 70m2 (tujuh
puluh meter persegi).
b. Untuk KP Syariah kedua berdasarkan Akad Murabahah
atau Akad Istishna’ ditetapkan paling tinggi sebesar:
1) 80% (delapan puluh persen) untuk KP Rumah Tapak
Syariah dengan luas bangunan 22m2 (dua puluh dua
meter persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter
persegi);
2) 80% (delapan puluh persen) untuk KP Rusun Syariah
dengan luas bangunan sampai dengan 70m2 (tujuh
puluh meter persegi);
3) 80% (delapan puluh persen) untuk KP Ruko Syariah
atau KP Rukan Syariah; dan
4) 70% (tujuh puluh persen) untuk KP Rumah Tapak
Syariah dan KP Rusun Syariah dengan luas bangunan
di atas 70m2 (tujuh puluh meter persegi).
c. Untuk KP Syariah kedua berdasarkan akad MMQ dan Akad
IMBT ditetapkan paling tinggi sebesar:
1) 80% (delapan puluh persen) untuk KP Rumah Tapak
Syariah dengan luas bangunan 22m2 (dua puluh dua
meter persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter
persegi);
2) 80% ...
9
2) 80% (delapan puluh persen) untuk KP Rusun Syariah
dengan luas bangunan sampai dengan 70m2 (tujuh
puluh meter persegi);
3) 80% (delapan puluh persen) untuk KP Ruko Syariah
atau KP Rukan Syariah; dan
4) 75% (tujuh puluh lima persen) untuk KP Rumah Tapak
Syariah dan KP Rusun Syariah dengan luas bangunan
di atas 70m2 (tujuh puluh meter persegi).
3. Rasio LTV atau Rasio FTV untuk KP dan KP Syariah ketiga dan
seterusnya diatur sebagai berikut:
a. Untuk KP ketiga dan seterusnya ditetapkan paling tinggi
sebesar:
1) 70% (tujuh puluh persen) untuk KP Rumah Tapak
dengan luas bangunan 22m2 (dua puluh dua meter
persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter
persegi);
2) 70% (tujuh puluh persen) untuk KP Rusun dengan luas
bangunan sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter
persegi);
3) 70% (tujuh puluh persen) untuk KP Ruko atau KP
Rukan; dan
4) 60% (enam puluh persen) untuk KP Rumah Tapak dan
KP Rusun dengan luas bangunan di atas 70m2 (tujuh
puluh meter persegi).
b. Untuk KP Syariah ketiga dan seterusnya berdasarkan Akad
Murabahah atau Akad Istishna’ ditetapkan paling tinggi
sebesar:
1) 70% (tujuh puluh persen) untuk KP Rumah Tapak
Syariah dengan luas bangunan 22m2 (dua puluh dua
meter persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter
persegi);
2) 70% ...
10
2) 70% (tujuh puluh persen) untuk KP Rusun Syariah
dengan luas bangunan sampai dengan 70m2 (tujuh
puluh meter persegi);
3) 70% (tujuh puluh persen) untuk KP Ruko Syariah atau
KP Rukan Syariah; dan
4) 60% (enam puluh persen) untuk KP Rumah Tapak
Syariah dan KP Rusun Syariah dengan luas bangunan
di atas 70m2 (tujuh puluh meter persegi).
c. Untuk KP Syariah ketiga dan seterusnya berdasarkan akad
MMQ dan Akad IMBT ditetapkan paling tinggi sebesar:
1) 70% (tujuh puluh persen) untuk KP Rumah Tapak
Syariah dengan luas bangunan 22m2 (dua puluh dua
meter persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter
persegi);
2) 70% (tujuh puluh persen) untuk KP Rusun Syariah
dengan luas bangunan sampai dengan 70m2 (tujuh
puluh meter persegi);
3) 70% (tujuh puluh persen) untuk KP Ruko Syariah atau
KP Rukan Syariah; dan
4) 65% (enam puluh lima persen) untuk KP Rumah Tapak
Syariah dan KP Rusun Syariah dengan luas bangunan
di atas 70m2 (tujuh puluh meter persegi).
4. Penetapan Rasio LTV atau Rasio FTV sebagaimana dimaksud
dalam angka 1, angka 2, dan angka 3 berlaku apabila Bank
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. rasio Kredit atau Pembiayaan bermasalah dari total Kredit
atau Pembiayaan secara bruto (gross) kurang dari 5% (lima
persen); dan
b. rasio KP atau KP Syariah bermasalah dari total KP atau KP
Syariah secara bruto (gross) kurang dari 5% (lima persen).
5. Bagi Bank yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam angka 4, maka Rasio LTV atau Rasio FTV
diatur sebagai berikut:
a. Rasio ...
11
a. Rasio LTV atau Rasio FTV untuk KP dan KP Syariah
pertama ditetapkan paling tinggi sebesar:
1) 90% (sembilan puluh persen) untuk KP Rusun Syariah
berdasarkan akad MMQ atau Akad IMBT dengan luas
bangunan 22m2 (dua puluh dua meter persegi) sampai
dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi);
2) 80% (delapan puluh persen) untuk KP Rusun dengan
luas bangunan 22m2 (dua puluh dua meter persegi)
sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi);
3) 80% (delapan puluh persen) untuk KP Rumah Tapak
Syariah dan KP Rusun Syariah berdasarkan akad MMQ
atau Akad IMBT dengan luas bangunan di atas 70m2
(tujuh puluh meter persegi); dan
4) 70% (tujuh puluh persen) untuk KP Rumah Tapak, KP
Rusun, KP Rumah Tapak Syariah, dan KP Rusun
Syariah berdasarkan Akad Murabahah atau Akad
Istishna’ dengan luas bangunan di atas 70m2 (tujuh
puluh meter persegi).
b. Rasio LTV atau Rasio FTV untuk KP dan KP Syariah kedua
diatur sebagai berikut:
1) Untuk KP kedua ditetapkan paling tinggi sebesar:
a) 70% (tujuh puluh persen) untuk KP Rumah Tapak
dengan luas bangunan 22m2 (dua puluh dua meter
persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter
persegi);
b) 70% (tujuh puluh persen) untuk KP Rusun dengan
luas bangunan sampai dengan 70m2 (tujuh puluh
meter persegi);
c) 70% (tujuh puluh persen) untuk KP Ruko atau KP
Rukan; dan
d) 60% (enam puluh persen) untuk KP Rumah Tapak
dan KP Rusun dengan luas bangunan di atas 70m2
(tujuh puluh meter persegi).
2) Untuk...
12
2) Untuk KP Syariah kedua berdasarkan Akad Murabahah
atau Akad Istishna’ ditetapkan paling tinggi sebesar:
a) 70% (tujuh puluh persen) untuk KP Rumah Tapak
Syariah dengan luas bangunan 22m2 (dua puluh
dua meter persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh
puluh meter persegi);
b) 70% (tujuh puluh persen) untuk KP Rusun Syariah
dengan luas bangunan sampai dengan 70m2 (tujuh
puluh meter persegi);
c) 70% (tujuh puluh persen) untuk KP Ruko Syariah
atau KP Rukan Syariah; dan
d) 60% (enam puluh persen) untuk KP Rumah Tapak
Syariah dan KP Rusun Syariah dengan luas
bangunan di atas 70m2 (tujuh puluh meter persegi).
3) Untuk KP Syariah kedua berdasarkan akad MMQ dan
Akad IMBT ditetapkan paling tinggi sebesar:
a) 80% (delapan puluh persen) untuk KP Rumah Tapak
Syariah dengan luas bangunan 22m2 (dua puluh
dua meter persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh
puluh meter persegi);
b) 80% (delapan puluh persen) untuk KP Rusun
Syariah dengan luas bangunan sampai dengan 70m2
(tujuh puluh meter persegi);
c) 80% (delapan puluh persen) untuk KP Ruko Syariah
atau KP Rukan Syariah; dan
d) 75% (tujuh puluh lima persen) untuk KP Rumah
Tapak Syariah dan KP Rusun Syariah dengan luas
bangunan di atas 70m2 (tujuh puluh meter persegi).
c. Rasio LTV atau Rasio FTV untuk KP dan KP Syariah ketiga
dan seterusnya diatur sebagai berikut:
1) Untuk KP ketiga dan seterusnya ditetapkan paling tinggi
sebesar:
a) 60% (enam puluh persen) untuk KP Rumah Tapak
dengan luas bangunan 22m2 (dua puluh dua meter
persegi) ...
13
persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter
persegi);
b) 60% (enam puluh persen) untuk KP Rusun dengan
luas bangunan sampai dengan 70m2 (tujuh puluh
meter persegi);
c) 60% (enam puluh persen) untuk KP Ruko atau KP
Rukan; dan
d) 50% (lima puluh persen) untuk KP Rumah Tapak
dan KP Rusun dengan luas bangunan di atas 70m2
(tujuh puluh meter persegi).
2) Untuk KP Syariah ketiga dan seterusnya berdasarkan
Akad Murabahah atau Akad Istishna’ ditetapkan paling
tinggi sebesar:
a) 60% (enam puluh persen) untuk KP Rumah Tapak
Syariah dengan luas bangunan 22m2 (dua puluh
dua meter persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh
puluh meter persegi);
b) 60% (enam puluh persen) untuk KP Rusun Syariah
dengan luas bangunan sampai dengan 70m2 (tujuh
puluh meter persegi);
c) 60% (enam puluh persen) untuk KP Ruko Syariah
atau KP Rukan Syariah; dan
d) 50% (lima puluh persen) untuk KP Rumah Tapak
Syariah dan KP Rusun Syariah dengan luas
bangunan di atas 70m2 (tujuh puluh meter persegi).
3) Untuk KP Syariah ketiga dan seterusnya berdasarkan
akad MMQ dan Akad IMBT ditetapkan paling tinggi
sebesar:
a) 70% (tujuh puluh persen) untuk KP Rumah Tapak
Syariah dengan luas bangunan 22m2 (dua puluh
dua meter persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh
puluh meter persegi);
b) 70% (tujuh puluh persen) untuk KP Rusun Syariah
dengan luas bangunan sampai dengan 70m2 (tujuh
puluh ...
14
puluh meter persegi);
c) 70% (tujuh puluh persen) untuk KP Ruko Syariah
atau KP Rukan Syariah; dan
d) 60% (enam puluh persen) untuk KP Rumah Tapak
Syariah dan KP Rusun Syariah dengan luas
bangunan di atas 70m2 (tujuh puluh meter persegi).
6. Bank dilarang memberikan Kredit atau Pembiayaan untuk
pemenuhan Uang Muka dalam rangka KP dan KP Syariah
kepada debitur atau nasabah. Termasuk pengertian debitur
atau nasabah antara lain debitur yang merupakan karyawan
Bank yang bersangkutan.
7. Penentuan urutan KP atau KP Syariah sebagaimana dimaksud
angka 1, angka 2, angka 3, dan angka 5 dilakukan dengan
memperhitungkan seluruh KP dan/atau KP Syariah yang telah
diterima debitur atau nasabah di Bank yang sama maupun
Bank lainnya, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. berdasarkan urutan tanggal perjanjian KP dan/atau akad
KP Syariah; dan
b. dalam hal terdapat tanggal perjanjian KP dan/atau akad KP
Syariah yang sama maka penentuan urutan diawali dari KP
atau KP Syariah dengan nilai agunan paling rendah.
B. Perhitungan Rasio Kredit Bermasalah atau Rasio Pembiayaan
Bermasalah dan Perhitungan Rasio KP Bermasalah atau Rasio KP
Syariah Bermasalah
1. Perhitungan rasio Kredit bermasalah atau rasio Pembiayaan
bermasalah sebagaimana dimaksud dalam butir A.4.a
dilakukan dengan membagi hasil penjumlahan Kredit atau
Pembiayaan dengan kualitas kurang lancar (KL), diragukan (D),
dan macet (M) kepada pihak ketiga bukan Bank terhadap total
Kredit atau Pembiayaan kepada pihak ketiga bukan Bank.
Formula perhitungan rasio Kredit bermasalah adalah sebagai
berikut:
Kredit kualitas KL + Kredit kualitas D + Kredit kualitas M
Total Kredit
x 100%
Formula ...
15
Formula perhitungan rasio Pembiayaan bermasalah adalah
sebagai berikut:
Pembiayaan kualitas KL + Pembiayaan kualitas D +
Pembiayaan kualitas M
Total Pembiayaan
x 100%
2. Perhitungan Rasio KP bermasalah atau Rasio KP Syariah
bermasalah
a. Perhitungan rasio KP bermasalah sebagaimana dimaksud
dalam butir A.4.b dilakukan dengan membandingkan
antara hasil penjumlahan Kredit kepada sektor rumah
tangga untuk kepemilikan perumahan dan jumlah Kredit
konsumsi lainnya yang beragun Properti dengan kualitas
kurang lancar (KL), diragukan (D), dan macet (M) terhadap
total Kredit kepada sektor rumah tangga untuk kepemilikan
perumahan dan Kredit konsumsi lainnya yang beragun
Properti.
Formula perhitungan rasio KP bermasalah adalah sebagai
berikut:
KP kualitas KL + KP kualitas D + KP kualitas M
Total KP
x 100%
b. Rasio KP Syariah bermasalah dihitung sebagai berikut:
1) Membagi hasil penjumlahan Pembiayaan kepada sektor
rumah tangga untuk kepemilikan perumahan dan
jumlah Pembiayaan konsumsi lainnya yang beragun
properti dengan kualitas kurang lancar (KL), diragukan
(D) dan macet (M) terhadap total Pembiayaan kepada
sektor rumah tangga untuk kepemilikan perumahan
dan Pembiayaan konsumsi lainnya yang beragun
Properti.
2) Pembiayaan yang diperhitungkan sebagaimana dalam
angka 1) adalah pembiayaan yang menggunakan Akad
Murabahah, Akad Istishna’, akad MMQ, dan Akad IMBT.
Formula ...
16
Formula perhitungan rasio KP Syariah bermasalah adalah
sebagai berikut:
KP Syariah kualitas KL + KP Syariah kualitas D + KP Syariah kualitas M
Total KP Syariah
x 100%
3. Bagi Bank Umum yang memiliki UUS, perhitungan rasio Kredit
bermasalah dan rasio KP bermasalah bagi Bank Umum dan
perhitungan rasio Pembiayaan bermasalah dan rasio KP
Syariah bermasalah bagi UUS, dilakukan secara terpisah.
C. Sumber Data dan Nilai yang digunakan
1. Penetapan masing-masing komponen dalam perhitungan rasio
Kredit bermasalah atau rasio Pembiayaan bermasalah dan
perhitungan rasio KP bermasalah atau rasio KP Syariah
bermasalah dilakukan berdasarkan LBU atau LSMK periode 2
(dua) bulan sebelum tanggal perjanjian Kredit atau akad
Pembiayaan ditandatangani.
2. Nilai Kredit bermasalah berasal dari LBU form 11 (Daftar
Rincian Kredit Yang Diberikan) yaitu hasil penjumlahan nilai
dalam bulan laporan (Kolom XXIV) untuk golongan debitur
dengan sandi pihak ketiga bukan bank (Kolom IV) dengan
kualitas KL, D, dan M.
3. Nilai total Kredit berasal dari LBU form 11 (Daftar Rincian
Kredit Yang Diberikan) yaitu hasil penjumlahan nilai dalam
bulan laporan (Kolom XXIV) untuk golongan debitur dengan
sandi pihak ketiga bukan bank (Kolom IV).
4. Nilai Pembiayaan bermasalah berasal dari LSMK untuk
golongan nasabah dengan sandi pihak ketiga bukan bank
(kolom II) yaitu penjumlahan dari:
a. saldo harga pokok (Kolom XIX) pada form 10 (Daftar Rincian
Piutang Murabahah) untuk Akad Murabahah;
b. saldo harga pokok (Kolom XVIII) pada form 11 (Daftar
Rincian Piutang Istishna’) untuk Akad Istishna’;
c. jumlah bulan laporan (Kolom XVIII b) pada form 12 (Daftar
Rincian Piutang Qardh) untuk Akad Qardh;
d. jumlah ...
17
d. jumlah bulan laporan (Kolom XXI B) pada form 13 (Daftar
Rincian Bagi Hasil) untuk akad bagi hasil;
e. hasil penjumlahan dari harga perolehan (Kolom XVII B. 3)
dikurangi dengan akumulasi penyusutan/amortisasi
(Kolom XXII) dan cadangan kerugian penurunan nilai aset
Ijarah (Kolom XXIII) dan ditambahkan dengan tunggakan
pokok (Kolom XXIV B) pada form 14 (Daftar Rincian
Pembiayaan Sewa) untuk akad sewa, dengan formula
sebagai berikut:
Harga Perolehan - (Akumulasi Penyusutan/Amortisasi + Cadangan
Kerugian Penurunan Nilai Aset Ijarah) + Tunggakan Pokok;
dan
jumlah bulan laporan (Kolom XI) pada form 18 (Daftar
Rincian Pembiayaan Salam) untuk akad salam,
dengan kualitas KL, D, dan M.
f.
5. Nilai Pembiayaan berasal dari LSMK untuk golongan nasabah
dengan sandi pihak ketiga bukan bank (kolom II) yaitu
penjumlahan dari:
a. saldo harga pokok (Kolom XIX) pada form 10 (Daftar Rincian
Piutang Murabahah) untuk Akad Murabahah;
b. saldo harga pokok (Kolom XVIII) pada form 11 (Daftar
Rincian Piutang Istishna’) untuk Akad Istishna’;
c. jumlah bulan laporan (Kolom XVIII b) pada form 12 (Daftar
Rincian Piutang Qardh) untuk Akad Qardh;
d. jumlah bulan laporan (Kolom XXI B) pada form 13 (Daftar
Rincian Bagi Hasil) untuk akad bagi hasil;
e. hasil penjumlahan dari harga perolehan (Kolom XVII B. 3)
dikurangi dengan akumulasi penyusutan/amortisasi
(Kolom XXII) dan cadangan kerugian penurunan nilai aset
Ijarah (Kolom XXIII) dan ditambahkan dengan tunggakan
pokok (Kolom XXIV B) pada form 14 (Daftar Rincian
Pembiayaan Sewa) untuk akad sewa, dengan formula
sebagai berikut:
Harga Perolehan - (Akumulasi Penyusutan/Amortisasi + Cadangan
Kerugian Penurunan Nilai Aset Ijarah) + Tunggakan Pokok;
dan ...
18
dan
f.
jumlah bulan laporan (Kolom XI) pada form 18 (Daftar
Rincian Pembiayaan Salam) untuk akad salam,
6. Mengingat LBU dan LSMK belum dapat memberikan informasi
yang diperlukan untuk menghitung rasio KP bermasalah dan
rasio KP Syariah bermasalah sebagaimana dimaksud dalam
angka 1, Bank menyampaikan laporan offline mengenai KP/KP
Syariah kepada Bank Indonesia sampai dengan batas waktu
yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
7. Penyampaian laporan offline sebagaimana dimaksud dalam
angka 6 diatur dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Periode penyampaian laporan:
1) Untuk laporan bulan April s.d. Oktober 2015
diserahkan paling lambat tanggal 20 November 2015.
2) Untuk laporan bulan November 2015 dan seterusnya
diserahkan masing-masing paling lambat tanggal 20
bulan berikutnya.
3) Dalam hal tanggal 20 jatuh pada hari libur maka Bank
menyampaikan laporan pada hari kerja berikutnya.
b. Laporan offline dan petunjuk pengisian mengacu pada
format sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran
Bank Indonesia ini.
c. Laporan offline disampaikan kepada Bank Indonesia c.q.
Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan. Khusus
untuk Bank yang berkantor pusat di luar wilayah kerja
Kantor Pusat Bank Indonesia, laporan offline juga
ditembuskan kepada Kantor Perwakilan Bank Indonesia
setempat.
Penyampaian laporan offline kepada Kantor Pusat Bank
Indonesia dan tembusan kepada Kantor Perwakilan
dilakukan melalui email sesuai dengan daftar alamat email
penyampaian laporan offline sebagaimana tercantum dalam
Lampiran ...
19
Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Surat Edaran Bank Indonesia ini.
d. Tata cara penyampaian laporan offline melalui email diatur
sebagai berikut:
1) Bank mengirimkan 2 (dua) email kepada Bank Indonesia
setiap bulan sebagai berikut:
a) Email berisi file terenkripsi sebagaimana format yang
tercantum dalam Lampiran I yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank
Indonesia ini; dan
b) Email berisi password yang disampaikan setelah
melakukan pengiriman file.
2) Subjek email disamakan dengan nama file sebagaimana
tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini.
e. Dalam hal penyampaian laporan offline melalui email tidak
dapat dilakukan, Bank menyampaikan laporan dalam
bentuk soft copy dan hard copy kepada:
Bank Indonesia
c.q. Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan
Divisi Pengelolaan dan Pengawasan 1
Jl. M. H. Thamrin No. 2
Jakarta 10350.
Khusus untuk Bank yang berkantor pusat di luar wilayah
kerja Kantor Pusat Bank Indonesia, tembusan laporan
offline dalam bentuk soft copy dan hard copy juga
disampaikan kepada Kantor Perwakilan Bank Indonesia
setempat.
f. Batas waktu penyampaian laporan sebagaimana dimaksud
dalam huruf e mengikuti ketentuan sebagaimana diatur
dalam huruf a.
g. Dalam hal Bank tidak menyampaikan laporan offline sesuai
periode dan format sebagaimana dimaksud dalam huruf a
dan huruf b, maka Bank Indonesia dapat melakukan
tindakan ...
20
tindakan misalnya meminta Bank untuk menyampaikan
laporan offline atau melakukan koordinasi dengan otoritas
pengawasan Bank.
h. Bank harus menyampaikan secara tertulis mengenai nama
petugas dan penanggung jawab yang ditunjuk untuk
menyusun dan menyampaikan laporan offline, serta alamat
email pengirim laporan sebagaimana dimaksud dalam
angka 3, termasuk apabila terdapat perubahannya kepada:
1) Bank Indonesia c.q. Departemen Pengelolaan dan
Kepatuhan Laporan;
2) Khusus untuk Bank yang berkantor pusat di luar
wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia, nama
petugas dan penanggungjawab serta alamat email
pengirim laporan yang ditunjuk Bank juga ditembuskan
kepada Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat.
i. Untuk pertama kali, nama petugas dan penanggungjawab
yang ditunjuk serta alamat email pengirim laporan
sebagaimana dimaksud dalam huruf h disampaikan paling
lambat tanggal 20 Oktober 2015.
D. Kewajiban Administratif
Dalam rangka penetapan Rasio LTV dan/atau Rasio FTV, Bank
wajib:
1. Memperlakukan debitur atau nasabah suami dan istri sebagai
1 (satu) debitur atau nasabah kecuali terdapat perjanjian
pemisahan harta yang dibuktikan dengan fotokopi perjanjian
yang disahkan/dilegalisir oleh notaris;
2. Meminta surat pernyataan dari calon debitur atau nasabah
yang paling kurang memuat keterangan mengenai KP dan/atau
KP Syariah yang masih berjalan (outstanding) dan/atau yang
sedang dalam proses pengajuan permohonan, baik pada Bank
yang sama maupun pada Bank yang lain; dan
3. Menolak permohonan KP dan/atau KP Syariah yang diajukan
apabila calon debitur atau nasabah tidak bersedia
menyerahkan ...
21
menyerahkan surat pernyataan sebagaimana dimaksud dalam
angka 2.
E. Contoh Perhitungan dan Penetapan Rasio LTV atau Rasio FTV
untuk Kredit atau Pembiayaan Properti
Perhitungan dan penetapan Rasio LTV atau Rasio FTV untuk KP
atau KP Syariah adalah sebagaimana contoh yang tercantum dalam
Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat
Edaran Bank Indonesia ini.
IV. TATA CARA PERHITUNGAN RASIO LTV ATAU RASIO FTV UNTUK
TAMBAHAN KREDIT ATAU PEMBIAYAAN (TOP UP) DAN UNTUK
KREDIT ATAU PEMBIAYAAN YANG DIAMBIL ALIH (TAKE OVER)
A. Tambahan Kredit atau Pembiayaan (Top Up)
Dalam hal Bank memberikan tambahan Kredit atau Pembiayaan
(top up) dengan agunan berupa Properti yang masih menjadi
agunan dari KP atau KP Syariah sebelumnya, berlaku ketentuan
sebagai berikut:
1. Tambahan Kredit atau Pembiayaan (top up) tersebut
diperlakukan sebagai Kredit atau Pembiayaan baru.
2. Yang dimaksud dengan diperlakukan sebagai Kredit atau
Pembiayaan baru adalah tambahan Kredit atau Pembiayaan
tersebut diperhitungkan sebagai KP atau KP Syariah yang
berikutnya.
3. Urutan Kredit atau Pembiayaan dan besaran Rasio LTV atau
Rasio FTV Kredit atau Pembiayaan sebagaimana dimaksud
dalam angka 1 mengacu pada Rasio LTV atau Rasio FTV
sebagaimana dimaksud dalam butir III.A.
4. Jumlah tambahan Kredit atau Pembiayaan (top up) yang
diberikan oleh Bank wajib memperhitungkan jumlah baki debet
Kredit atau Pembiayaan sebelumnya yang menggunakan
agunan yang sama.
5. Mekanisme tambahan Kredit atau Pembiayaan (top up)
sebagaimana dimaksud dalam angka 1 mengikuti ketentuan
terkait ...
22
terkait yang dikeluarkan oleh pihak yang berwenang.
B. Kredit atau Pembiayaan yang Diambil Alih (Take Over)
Dalam hal Bank memberikan Kredit atau Pembiayaan dengan cara
mengambil alih (take over) Kredit atau Pembiayaan dari Bank lain
berlaku ketentuan sebagai berikut:
1. Pengambilalihan Kredit atau Pembiayaan yang hanya ditujukan
untuk pelunasan Kredit atau Pembiayaan sebelumnya di Bank
lain tidak diperlakukan sebagai Kredit atau Pembiayaan baru;
atau
2. Pengambilalihan Kredit atau Pembiayaan yang disertai dengan
tambahan Kredit atau Pembiayaan (top up) diperlakukan
sebagai Kredit atau Pembiayaan baru sebagaimana dimaksud
dalam huruf A.
3. Mekanisme pengambilalihan Kredit atau Pembiayaan (take over)
sebagaimana dimaksud dalam angka 1 dan angka 2 mengikuti
ketentuan terkait yang dikeluarkan oleh pihak yang berwenang.
C. Contoh Perhitungan dan Penetapan Rasio LTV atau Rasio FTV
untuk tambahan Kredit atau Pembiayaan (Top Up) dan
pengambilalihan Kredit atau Pembiayaan (Take Over)
Perhitungan dan penetapan Rasio LTV atau Rasio FTV untuk
tambahan Kredit atau Pembiayaan (top up) dan pengambilalihan
Kredit atau Pembiayaan (take over) adalah sebagaimana contoh
yang tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini.
V. TATA CARA PERHITUNGAN RASIO LTV ATAU RASIO FTV UNTUK
PEMBERIAN KP ATAU KP SYARIAH JIKA PROPERTI YANG AKAN
DIBIAYAI BELUM TERSEDIA SECARA UTUH
A. Persyaratan KP atau KP Syariah dengan Properti yang Belum
Tersedia Secara Utuh
1. Dalam hal Bank akan memberikan KP atau KP Syariah dengan
Properti yang akan dibiayai belum tersedia secara utuh maka
berlaku persyaratan sebagai berikut:
a. Kredit ...
23
a. Kredit atau Pembiayaan merupakan KP atau KP Syariah
urutan pertama dari seluruh KP dan KP Syariah yang telah
diterima debitur atau nasabah di Bank yang sama maupun
Bank lainnya;
b. Terdapat perjanjian kerjasama antara Bank dengan
pengembang yang paling kurang memuat kesanggupan
pengembang untuk menyelesaikan Properti sesuai dengan
yang diperjanjikan dengan debitur atau nasabah; dan
c. Terdapat jaminan yang diberikan oleh pengembang kepada
Bank baik yang berasal dari pengembang sendiri atau pihak
lain yang dapat digunakan untuk menyelesaikan kewajiban
pengembang apabila Properti tidak dapat diselesaikan
dan/atau tidak dapat diserahterimakan sesuai perjanjian.
2. Jaminan yang diberikan oleh pengembang kepada Bank dapat
berupa aset tetap, aset bergerak, bank guarantee, standby letter
of credit, dan/atau dana yang dititipkan dan/atau disimpan
dalam escrow account di Bank pemberi Kredit atau
Pembiayaan.
3. Dana yang dititipkan dan/atau disimpan dalam escrow account
di Bank pemberi Kredit atau Pembiayaan sebagaimana
dimaksud dalam angka 2 adalah dana yang ditahan di Bank
atas nama pengembang yang digunakan untuk menyelesaikan
pembangunan Properti.
4. Nilai jaminan yang diberikan oleh pengembang paling kurang
sebesar selisih antara komitmen Kredit atau Pembiayaan
dengan pencairan yang telah dilakukan oleh Bank.
5. Jaminan yang diberikan oleh pihak lain dapat berbentuk
corporate guarantee, stand by letter of credit, atau bank
guarantee.
6. Bank harus dapat memastikan bahwa jaminan sebagaimana
dimaksud dalam butir 1.c dapat dieksekusi dalam hal
pengembang tidak dapat menyelesaikan kewajibannya, yang
paling kurang tertuang dalam perjanjian kerjasama antara
pengembang dengan Bank.
B. Laporan ...
24
B. Laporan Perkembangan Pembangunan Properti
1. Dalam hal Bank memberikan KP atau KP Syariah sebagaimana
dimaksud dalam huruf A maka pencairan KP atau KP Syariah
dimaksud hanya dapat dilakukan secara bertahap sesuai
perkembangan pembangunan Properti yang dibiayai.
2. Perkembangan pembangunan Properti yang dibiayai
didasarkan atas laporan perkembangan pembangunan Properti
yang berasal dari:
a. pengembang, apabila Kredit atau Pembiayaan untuk 1
(satu) atau beberapa debitur atau nasabah secara
keseluruhan pada proyek yang sama bernilai sampai
dengan Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); atau
b. penilai independen, apabila Kredit atau Pembiayaan untuk
1 (satu) atau beberapa debitur atau nasabah secara
keseluruhan pada proyek yang sama bernilai di atas
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
3. Proyek yang sama sebagaimana dimaksud dalam angka 2
adalah Properti yang berada pada area yang sama dan
dibangun oleh pengembang yang sama, yaitu Rumah Tapak,
Rumah Susun, Rumah Kantor atau Rumah Toko, dihitung
untuk masing-masing unit.
Contoh:
a. Bank memberikan Kredit atau Pembiayaan kepada 3 (tiga)
orang debitur atau nasabah untuk pembelian Rumah Tapak
dalam satu cluster yang merupakan KP pertama, masing-
masing dengan nilai Kredit atau Pembiayaan sebesar
Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). Untuk penilaian
perkembangan pembangunan Properti, digunakan laporan
perkembangan pembangunan Properti dari pengembang.
b. Bank memberikan Kredit atau Pembiayaan kepada 1 (satu)
orang debitur atau nasabah untuk pembelian 1 (satu)
Rumah Tapak yang merupakan KP pertama dengan nilai
Kredit atau Pembiayaan sebesar Rp6.000.000.000,00 (enam
miliar rupiah). Untuk penilaian perkembangan
pembangunan ...
25
pembangunan Properti, digunakan laporan perkembangan
pembangunan Properti dari penilai independen.
C. Contoh Perhitungan dan Penetapan Rasio LTV atau Rasio FTV
untuk Properti yang Dibiayai Belum Tersedia Secara Utuh
Perhitungan dan penetapan Rasio LTV atau Rasio FTV untuk
Properti yang dibiayai belum tersedia secara utuh adalah
sebagaimana contoh yang tercantum dalam Lampiran V yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank
Indonesia ini.
VI. TATA CARA PERHITUNGAN UANG MUKA KKB ATAU KKB SYARIAH
A. Uang Muka KKB atau KKB Syariah
1. Uang Muka yang harus dipenuhi oleh debitur atau nasabah
dalam rangka KKB atau KKB Syariah ditetapkan sebagai
berikut:
a. paling rendah 20% (dua puluh persen) untuk pembelian
kendaraan bermotor roda dua;
b. paling rendah 20% (dua puluh persen) untuk pembelian
kendaraan bermotor roda tiga atau lebih dalam rangka
keperluan produktif apabila memenuhi salah satu syarat
sebagai berikut:
1) merupakan kendaraan yang memiliki izin untuk
angkutan orang atau barang yang dikeluarkan oleh
pihak berwenang; atau
2) diajukan oleh perorangan atau badan hukum yang
memiliki izin usaha tertentu yang dikeluarkan oleh
pihak berwenang dan digunakan untuk mendukung
kegiatan operasional dari usaha yang dimilikinya; dan
c. paling rendah 25% (dua puluh lima persen) untuk
pembelian kendaraan bermotor roda tiga atau lebih yang
tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam
huruf b.
2. Ketentuan mengenai Uang Muka sebagaimana dimaksud dalam
angka 1 yang harus dipenuhi oleh debitur atau nasabah
berlaku ...
26
berlaku apabila Bank memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. rasio Kredit atau Pembiayaan bermasalah dari total Kredit
atau Pembiayaan secara bruto (gross) kurang dari 5% (lima
persen); dan
b. rasio KKB atau KKB Syariah bermasalah dari total KKB
atau KKB Syariah secara bruto (gross) kurang dari 5% (lima
persen).
3. Bagi Bank yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam angka 2 maka Uang Muka yang harus
dipenuhi oleh debitur atau nasabah dalam rangka KKB atau
KKB Syariah ditetapkan sebagai berikut:
a. paling rendah 25% (dua puluh lima persen) untuk
pembelian kendaraan bermotor roda dua;
b. paling rendah 20% (dua puluh persen) untuk pembelian
kendaraan bermotor roda tiga atau lebih untuk keperluan
produktif apabila memenuhi salah satu syarat sebagai
berikut:
1) merupakan kendaraan yang memiliki izin untuk
angkutan orang atau barang yang dikeluarkan oleh
pihak berwenang; atau
2) diajukan oleh perorangan atau badan hukum yang
memiliki izin usaha tertentu yang dikeluarkan oleh
pihak berwenang dan digunakan untuk mendukung
kegiatan operasional dari usaha yang dimilikinya; dan
c. paling rendah 30% (tiga puluh persen) untuk pembelian
kendaraan bermotor roda tiga atau lebih yang tidak
memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam
huruf b.
B. Bank dilarang memberikan Kredit atau Pembiayaan untuk
pemenuhan Uang Muka dalam rangka KKB dan KKB Syariah
kepada debitur atau nasabah. Termasuk pengertian debitur atau
nasabah antara lain debitur yang merupakan karyawan bank yang
bersangkutan.
C. Perhitungan ...
27
C. Perhitungan Rasio Kredit atau Pembiayaan Bermasalah dan
Perhitungan Rasio KKB atau KKB Syariah Bermasalah
1. Perhitungan rasio Kredit bermasalah atau rasio Pembiayaan
bermasalah mengacu pada perhitungan sebagaimana
dimaksud dalam butir III.B.1.
2. Perhitungan rasio KKB bermasalah atau rasio KKB Syariah
bermasalah dilakukan dengan membandingkan antara jumlah
Kredit atau Pembiayaan kepada sektor rumah tangga untuk
kepemilikan kendaraan bermotor dengan kualitas kurang
lancar (KL), diragukan (D), dan macet (M) terhadap total Kredit
atau Pembiayaan kepada sektor rumah tangga untuk
kepemilikan kendaraan bermotor.
Formula perhitungan rasio KKB bermasalah adalah sebagai
berikut:
KKB kualitas KL + KKB kualitas D + KKB kualitas M
Total KKB
x 100%
Formula perhitungan rasio KKB Syariah bermasalah adalah
sebagai berikut:
KKB Syariah kualitas KL + KKB Syariah kualitas D + KKB Syariah kualitas M
x 100%
Total KKB Syariah
D. Sumber Data dan Nilai yang Digunakan
1. Penetapan masing-masing komponen dalam perhitungan rasio
Kredit bermasalah atau rasio Pembiayaan bermasalah dan
perhitungan rasio KKB bermasalah atau rasio KKB Syariah
bermasalah dilakukan berdasarkan LBU atau LSMK periode 2
(dua) bulan sebelum tanggal perjanjian kredit atau akad
pembiayaan ditandatangani.
2. Perhitungan nilai Kredit bermasalah dan nilai total Kredit
mengacu pada ketentuan sebagaimana dimaksud dalam butir
III.C.2 dan butir III.C.3.
3. Nilai Pembiayaan bermasalah dan nilai Pembiayaan mengacu
pada ketentuan sebagaimana dimaksud dalam butir III.C.4 dan
III.C.5.
4. Nilai ...
28
4. Nilai KKB bermasalah dan KKB untuk Bank Umum
a. Mengingat LBU belum dapat memberikan informasi yang
diperlukan untuk menghitung rasio KKB bermasalah
sebagaimana dimaksud dalam angka 1, Bank
menyampaikan laporan offline mengenai KKB kepada Bank
Indonesia sampai dengan batas waktu yang ditetapkan oleh
Bank Indonesia.
b. Penyampaian laporan offline sebagaimana dimaksud dalam
huruf a mengacu pada ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam butir III.C.7.
5. Nilai KKB Syariah bermasalah dan KKB Syariah untuk BUS
dan UUS
a. Nilai KKB Syariah bermasalah berasal dari hasil
penjumlahan angka dalam:
1) form 10 untuk Akad Murabahah, golongan nasabah
dengan sandi pihak ketiga bukan bank (Kolom II) yaitu
hasil penjumlahan saldo harga pokok (Kolom XIX)
dengan sektor ekonomi (Kolom XIII) sandi 002100,
002200, 002300, dan 002900 untuk kualitas KL, D, dan
M;
2) form 11 untuk Akad Istishna’, golongan nasabah dengan
sandi pihak ketiga bukan bank (Kolom II) yaitu hasil
penjumlahan saldo harga pokok (Kolom XVIII) dengan
sektor ekonomi (Kolom XIII) sandi 002100, 002200,
002300, dan 002900 untuk kualitas KL, D, dan M;
3) form 12 untuk Akad Qardh, golongan nasabah dengan
sandi pihak ketiga bukan bank (Kolom II) yaitu hasil
penjumlahan jumlah bulan laporan (Kolom XVIII b)
dengan sektor ekonomi (Kolom XIII) sandi 002100,
002200, 002300, dan 002900 untuk kualitas KL, D, dan
M;
4) form ...
29
4) form 13 untuk akad bagi hasil, golongan nasabah
dengan sandi pihak ketiga bukan bank (Kolom II) yaitu
hasil penjumlahan jumlah bulan laporan (Kolom XXI B)
dengan sektor ekonomi (Kolom XIII) sandi 002100,
002200, 002300, dan 002900 untuk kualitas KL, D, dan
M; dan
5) form 14 untuk akad sewa, golongan nasabah dengan
sandi pihak ketiga bukan bank (Kolom II) yaitu hasil
penjumlahan dari harga perolehan (Kolom XVII B.3)
dikurangi dengan akumulasi penyusutan/amortisasi
(Kolom XXII) dan cadangan kerugian penurunan nilai
aset ijarah (Kolom XXIII) dan ditambahkan dengan
tunggakan pokok (Kolom XXIV B), dengan formula
sebagai berikut:
Harga Perolehan - (Akumulasi Penyusutan/Amortisasi +
Cadangan Kerugian Penurunan Nilai Aset Ijarah) + Tunggakan
Pokok
Penjumlahan di atas dilakukan untuk sektor ekonomi
(Kolom XIII) dengan sandi sektor 002100, 002200,
002300, dan 002900 untuk kualitas KL, D, dan M.
b. Nilai KKB Syariah berasal dari hasil penjumlahan angka
dalam:
1) form 10 untuk Akad Murabahah, golongan nasabah
dengan sandi pihak ketiga bukan bank (Kolom II) yaitu
hasil penjumlahan saldo harga pokok (Kolom XIX)
dengan sektor ekonomi (Kolom XIII) sandi 002100,
002200, 002300, dan 002900;
2) form 11 untuk Akad Istishna’, golongan nasabah dengan
sandi pihak ketiga bukan bank (Kolom II) yaitu hasil
penjumlahan saldo harga pokok (Kolom XVIII) dengan
sektor ekonomi (Kolom XIII) sandi 002100, 002200,
002300, dan 002900;
3) form 12 untuk Akad Qardh, golongan nasabah dengan
sandi pihak ketiga bukan bank (Kolom II) yaitu hasil
penjumlahan jumlah bulan laporan (Kolom XVIII b)
dengan ...
30
dengan sektor ekonomi (Kolom XIII) sandi 002100,
002200, 002300, dan 002900;
4) form 13 untuk akad bagi hasil, golongan nasabah
dengan sandi pihak ketiga bukan bank (Kolom II) yaitu
hasil penjumlahan jumlah bulan laporan (Kolom XXI B)
dengan sektor ekonomi (Kolom XIII) sandi 002100,
002200, 002300, dan 002900; dan
5) form 14 untuk akad sewa, golongan nasabah dengan
sandi pihak ketiga bukan bank (Kolom II) yaitu hasil
penjumlahan dari harga perolehan (Kolom XVII B.3)
dikurangi dengan akumulasi penyusutan/amortisasi
(Kolom XXII) dan cadangan kerugian penurunan nilai
aset ijarah (Kolom XXIII) dan ditambahkan dengan
tunggakan pokok (Kolom XXIV B), dengan formula
sebagai berikut:
Harga Perolehan - (Akumulasi Penyusutan/Amortisasi +
Cadangan Kerugian Penurunan Nilai Aset Ijarah) +
Tunggakan Pokok
Penjumlahan di atas dilakukan untuk sektor ekonomi
(Kolom XIII) dengan sandi sektor 002100, 002200,
002300, dan 002900.
c. Sandi sektor 002100, 002200, 002300, dan 002900
sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b
mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai laporan stabilitas moneter dan sistem keuangan
bulanan bank umum syariah dan unit usaha syariah, yaitu
sebagai berikut:
Sandi Sektor
002100
Sektor
002200
002300
002900
Rumah Tangga untuk Pemilikan Mobil Roda Empat
Rumah Tangga untuk Pemilikan Sepeda Bermotor
Rumah Tangga untuk Pemilikan Truk dan Kendaraan
Bermotor Roda Enam atau lebih
Rumah Tangga untuk Pemilikan Kendaraan Bermotor
lainnya
6. Contoh ...
31
6. Contoh Perhitungan dan Penetapan Uang Muka KKB atau KKB
Syariah
Perhitungan dan penetapan Uang Muka KKB atau KKB Syariah
adalah sebagaimana contoh yang tercantum dalam Lampiran VI
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran
Bank Indonesia ini.
VII. TATA CARA PENGENAAN SANKSI KEWAJIBAN MEMBAYAR
A. Bank yang melanggar ketentuan mengenai besaran Rasio LTV atau
Rasio FTV dan Uang Muka KKB atau KKB Syariah, pemberian
Kredit atau Pembiayaan untuk Uang Muka, pemberian Kredit atau
Pembiayaan untuk Properti yang dibiayai belum tersedia secara
utuh dan tidak menyampaikan dan/atau tidak melaksanakan
action plan dikenakan sanksi kewajiban membayar sebagaimana
tercantum dalam Pasal 22 Peraturan Bank Indonesia Nomor
17/10/PBI/2015 tentang Rasio Loan to Value atau Rasio Financing
to Value untuk Kredit atau Pembiayaan Properti dan Uang Muka
untuk Kredit atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor.
B. Perhitungan sanksi kewajiban membayar bagi Bank yang
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf A,
dilakukan dengan formula sebagai berikut:
1. Pelanggaran besaran Rasio LTV sebagaimana dimaksud dalam
butir III.A.1, butir III.A.2, butir III.A.3, dan butir III.A.5:
1% x (Plafon KP yang diberikan – Plafon KP yang seharusnya).
2. Pelanggaran besaran Rasio FTV sebagaimana dimaksud dalam
butir III.A.1, butir III.A.2, butir III.A.3, dan butir III.A.5:
1% x (Plafon KP Syariah yang diberikan – Plafon KP Syariah yang
seharusnya).
3. Pelanggaran larangan pemberian Kredit untuk Uang Muka
pembelian Properti sebagaimana dimaksud dalam butir III.A.6:
1% x Uang Muka yang diberikan.
4. Pelanggaran ...
32
4. Pelanggaran larangan pemberian Pembiayaan untuk Uang
Muka pembelian Properti sebagaimana dimaksud dalam butir
III.A.6:
1% x Uang Muka yang diberikan.
5. Pelanggaran pemberian Kredit untuk Properti yang belum
tersedia secara utuh sebagaimana dimaksud dalam butir V.A:
1% x Plafon KP untuk Properti yang belum tersedia secara utuh.
6. Pelanggaran pemberian Pembiayaan untuk Properti yang belum
tersedia secara utuh sebagaimana dimaksud dalam butir V.A:
1% x Plafon KP Syariah untuk Properti yang belum tersedia secara utuh.
7. Pelanggaran besaran Uang Muka KKB sebagaimana dimaksud
dalam butir VI.A.1 dan butir VI.A.3:
1% x (Plafon KKB yang diberikan – Plafon KKB yang seharusnya).
8. Pelanggaran besaran Uang Muka KKB Syariah sebagaimana
dimaksud dalam butir VI.A.1 dan butir VI.A.3:
1% x (Plafon KKB Syariah yang diberikan – Plafon KKB Syariah yang
seharusnya).
9. Pelanggaran larangan pemberian Kredit untuk Uang Muka KKB
sebagaimana dimaksud dalam butir VI.B:
1% x Uang Muka yang diberikan.
10. Pelanggaran larangan pemberian Pembiayaan untuk Uang
Muka KKB Syariah sebagaimana dimaksud dalam butir VI.B:
1% x Uang Muka yang diberikan.
11. Pelanggaran kewajiban penyampaian dan/atau pelaksanaan
action plan atas pelanggaran KP dan KKB:
1% x Plafon Kredit untuk setiap Kredit yang melanggar ketentuan
Sanksi tersebut dikenakan setiap akhir bulan untuk periode
paling lama 12 (dua belas) bulan.
12. Pelanggaran tidak menyampaikan dan/atau tidak
melaksanakan action plan atas pelanggaran KP Syariah dan
KKB Syariah:
1% x Plafon Pembiayaan untuk setiap Pembiayaan yang melanggar
ketentuan.
Sanksi ...
33
Sanksi tersebut dikenakan setiap akhir bulan untuk periode
paling lama 12 (dua belas) bulan.
C. Contoh Perhitungan Sanksi Kewajiban Membayar
Perhitungan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud
dalam huruf B adalah sebagaimana contoh yang tercantum dalam
Lampiran VII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat
Edaran Bank Indonesia ini.
VIII. PENUTUP
Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal
12 Oktober 2015.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman
Surat Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita
Negara Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA,
ERWIN RIJANTO
DEPUTI GUBERNUR
"," SE-BI
17/25/DKMP|SE-BI/2015
Rasio Loan to Value atau Rasio Financing to Value untuk Kredit atau Pembiayaan Properti dan Uang Muka untuk Kredit atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor.
12 Oktober 2015
12 Oktober 2015
'17/10/PBI/2015'
'Romawi VII'
"
" No.13/ 3 /DPM
Jakarta, 4 Februari 2011
SURAT EDARAN
Perihal : Laporan Harian Bank Umum
Sehubungan dengan diterbitkannya Peraturan Bank Indonesia Nomor
13/ 8 /PBI/2011 tanggal 4 Februari 2011 tentang Laporan Harian Bank Umum
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 15 , Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5194), perlu diatur kembali
ketentuan pelaksanaan mengenai Laporan Harian Bank Umum dalam Surat
Edaran Bank Indonesia sebagai berikut :
I. KETENTUAN UMUM
Dalam rangka meningkatkan efektifitas dan efisiensi penyelenggaraan
sistem Laporan Harian Bank Umum guna menghasilkan informasi yang
lebih utuh, komprehensif, dan berkualitas, perlu dilakukan perluasan
cakupan kandungan informasi yang dilaporkan, penyempurnaan sistem dan
tata cara pelaporan Laporan Harian Bank Umum. Terkait dengan perluasan
cakupan kandungan informasi tersebut, perlu dilakukan penyempurnaan
terhadap Pedoman Penyusunan LHBU (yang selanjutnya disebut Pedoman)
sebagaimana tercantum dalam Lampiran 1 dan Petunjuk Teknis Aplikasi
LHBU sebagaimana tercantum dalam Lampiran 2 yang merupakan satu
kesatuan dan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran ini.
II. BANK PELAPOR
Bank Pelapor terdiri dari :
1. Kantor pusat Bank yang berbadan hukum Indonesia, yaitu:
a. Kantor ...
2
a. Kantor pusat dari Bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara
konvensional.
b. Kantor pusat dari Bank yang melaksanakan kegiatan usaha
berdasarkan prinsip syariah.
2. Kantor Cabang Bank Asing.
3. Unit Usaha Syariah.
III. RUANG LINGKUP DATA LHBU
Jenis data yang wajib disampaikan oleh Bank Pelapor kepada Bank
Indonesia terdiri dari:
A. Data Transaksional
1. Pasar Uang Antar Bank (PUAB), terdiri dari:
a. PUAB pagi rupiah;
b. PUAB sore rupiah;
c. PUAB valuta asing; dan
d. PUAB luar negeri.
2. Pasar Uang Antar Bank berdasarkan Prinsip Syariah (PUAS).
3. Perdagangan surat berharga di pasar sekunder yang meliputi
transaksi Sertifikat Bank Indonesia, Sertifikat Deposito, dan
Commercial Paper.
4. Transaksi valuta asing, terdiri dari :
a.
transaksi tod/tom/spot;
b. transaksi derivatif berupa forward, swap, option; dan
c.
transaksi derivatif lainnya selain sebagaimana dimaksud pada
huruf b.
B. Data Non Transaksional
1. Posisi akhir hari transaksi derivatif jual valuta asing bukan
investasi dengan pihak asing.
2. Posisi ...
3
2. Posisi akhir hari transaksi derivatif beli valuta asing bukan
investasi dengan pihak asing.
3. Posisi rekapitulasi transaksi derivatif.
4. Posisi Devisa Neto (PDN) untuk posisi akhir hari, terdiri dari:
a. data gabungan yang mencakup kantor-kantor Bank Pelapor di
dalam negeri; dan
b. data gabungan yang mencakup kantor-kantor Bank Pelapor di
dalam negeri dan di luar negeri.
Dalam hal Bank Pelapor sebagaimana dimaksud pada huruf b tidak
memiliki kantor di luar negeri maka Bank Pelapor tetap
mengirimkan form header.
5. Pos-Pos Tertentu Neraca, terdiri dari:
a. data posisi pos-pos tertentu dari neraca gabungan kantor-kantor
Bank Pelapor dalam negeri; dan
b. data posisi pos-pos tertentu dari neraca gabungan kantor-kantor
Bank Pelapor dalam negeri dan luar negeri.
Dalam hal Bank Pelapor sebagaimana dimaksud dalam huruf b
tidak memiliki kantor di luar negeri maka Bank Pelapor tetap
mengirimkan form header.
6. Proyeksi arus kas, terdiri dari:
a. proyeksi arus kas rupiah; dan
b. proyeksi arus kas valuta asing.
7. Suku bunga penawaran rupiah dan valuta asing (USD).
8. Tingkat imbalan deposito investasi mudharabah Bank syariah
dalam rupiah.
9. Suku bunga dasar kredit rupiah dan valuta asing (USD).
10. Suku bunga kredit rupiah dan valuta asing (USD).
11. Suku
...
4
11. Suku bunga deposito berjangka rupiah dan valuta asing (USD),
diskonto sertifikat deposito rupiah dan valuta asing (USD), dan
suku bunga tabungan rupiah.
12. Posisi saldo harian pinjaman luar negeri jangka pendek Bank.
13. Posisi harian dana usaha kantor cabang bank asing.
IV.
JENIS LAPORAN
A. Jenis Form LHBU
1. Data transaksional LHBU disampaikan dengan menggunakan jenis
form sebagai berikut:
a. Form 101 (PUAB);
b. Form 102 (PUAS);
c. Form 201 (Transaksi Tod/Tom/Spot);
d. Form 202 (Transaksi Forward/Swap/Option);
e. Form 203 (Transaksi Derivatif Lainnya); dan
f. Form 301 (Perdagangan Surat Berharga di Pasar Sekunder),
sebagaimana dimaksud dalam Pedoman sebagaimana Lampiran 1.
2. Data non transaksional LHBU disampaikan dengan menggunakan
jenis form sebagai berikut:
a. Form 204 (Posisi Akhir Hari Transaksi Derivatif Jual Valuta
Asing Bukan Investasi dengan Pihak Asing);
b. Form 205 (Posisi Akhir Hari Transaksi Derivatif Beli Valuta
Asing Bukan Investasi dengan Pihak Asing);
c. Form 206 (Rekapitulasi Transaksi Derivatif);
d. Form 401 (PDN Gabungan Kantor Dalam Negeri);
e. Form 402 (PDN Gabungan Kantor Dalam Negeri dan Luar
Negeri);
f. Form ...
5
f. Form 403 (Pos-Pos tertentu Neraca Gabungan Kantor Dalam
Negeri);
g. Form 404 (Pos-pos tertentu Neraca Gabungan Kantor Dalam
Negeri dan Luar Negeri);
h. Form 405 (Laporan Proyeksi Arus Kas Rupiah);
i. Form 406 (Laporan Proyeksi Arus Kas Valuta Asing);
j. Form 407 (Laporan Saldo Harian Pinjaman Luar Negeri
Jangka Pendek Bank);
k. Form 408 (Laporan Posisi Harian Dana Usaha Kantor Cabang
Bank Asing);
l. Form 501 (Suku Bunga Penawaran);
m. Form 601 (Suku Bunga Dasar Kredit);
n. Form 602 (Suku Bunga Kredit);
o. Form 603 (Suku Bunga Deposito Berjangka, Suku Bunga
Tabungan dan Diskonto Sertifikat Deposito); dan
p. Form 604 (Tingkat Imbalan Deposito Investasi Mudharabah
Bank Syariah),
sebagaimana dimaksud dalam Pedoman sebagaimana Lampiran 1.
B. Jenis Form LHBU yang disampaikan oleh Bank Pelapor
1. Penyampaian jenis form LHBU bagi kantor pusat Bank dan kantor
cabang bank asing yang melaksanakan kegiatan usaha secara
konvensional diatur sebagai berikut:
a. Bank yang berstatus Bank devisa wajib menyampaikan form
101, form 102, form 201, form 202, form 203, form 204, form
205, form 206, form 301, form 401, form 402, form 403, form
404, form 405, form 406, form 407, form 501, form 601, form
602, dan form 603.
Selain ...
6
Selain jenis-jenis form di atas, kantor cabang bank asing wajib
menyampaikan form 408.
Bank Pelapor yang tidak memiliki kantor di luar negeri tetap
wajib menyampaikan form header untuk form 402 dan form
404.
b. Bank yang berstatus Bank non devisa wajib menyampaikan
form 101, form 102, form 301, form 403, form 405, form 407,
form 501, form 601, form 602, dan form 603.
2. Penyampaian jenis form LHBU bagi kantor pusat Bank dan kantor
cabang bank asing yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan
prinsip syariah diatur sebagai berikut:
a. Bank yang berstatus Bank devisa wajib menyampaikan form
102, form 201, form 401, form 402, form 403, form 404, form
405, form 406, form 407, dan form 604.
Selain jenis-jenis form di atas, kantor cabang bank asing
berdasarkan prinsip syariah wajib menyampaikan form 408.
Bank Pelapor yang tidak memiliki kantor di luar negeri tetap
wajib menyampaikan form header untuk form 402 dan form
404.
b. Bank yang berstatus Bank non devisa wajib menyampaikan
form 102, form 403, form 405, form 407 dan form 604.
3. Jenis laporan yang wajib disampaikan oleh Unit Usaha Syariah
adalah form 102, form 201, dan form 604.
V.
PENYAMPAIAN DATA LHBU DAN KOREKSI LHBU
Penyampaian data LHBU dan koreksi LHBU diatur sebagai berikut:
A. Penyampaian data
1. Data Transaksional
Bank ...
7
Bank Pelapor wajib menyampaikan data transaksional berikut form
header setiap Hari Kerja secara on-line dan real time atau segera
setelah terjadinya transaksi pada tanggal laporan.
2. Data Non Transaksional
Bank Pelapor wajib menyampaikan data non transaksional berikut
form header setiap Hari Kerja secara on-line diatur sebagai berikut:
a. Data posisi akhir hari transaksi derivatif jual valuta asing bukan
investasi dengan pihak asing yang disampaikan adalah data
pada posisi tanggal laporan.
Contoh:
Data posisi akhir hari transaksi derivatif jual valuta asing bukan
investasi dengan pihak asing pada tanggal 7 Februari 2011
wajib disampaikan oleh Bank Pelapor dan diterima oleh Bank
Indonesia pada tanggal tersebut (7 Februari 2011) paling lama
pukul 23.59 WIB.
b. Data posisi akhir hari transaksi derivatif beli valuta asing bukan
investasi dengan pihak asing yang disampaikan adalah data
pada posisi tanggal laporan.
Contoh:
Data posisi akhir hari transaksi derivatif beli valuta asing bukan
investasi dengan pihak asing pada tanggal 7 Februari 2011
wajib disampaikan oleh Bank Pelapor dan diterima oleh Bank
Indonesia pada tanggal tersebut (7 Februari 2011) paling lama
pukul 23.59 WIB.
c. Data posisi devisa neto yang disampaikan adalah data pada
posisi 2 (dua) hari kerja sebelumnya (H-2).
Contoh:
Data ...
8
Data posisi devisa neto yang disampaikan pada tanggal 9
Februari 2011 adalah data untuk posisi tanggal 7 Februari
2011. Data ini wajib disampaikan oleh Bank Pelapor dan
diterima oleh Bank Indonesia paling lama pukul 23.59 WIB.
d. Data pos-pos tertentu neraca yang disampaikan adalah data
pada posisi 2 (dua) hari kerja sebelumnya (H-2).
Contoh:
Data pos-pos tertentu neraca yang disampaikan pada tanggal 9
Februari 2011 adalah data untuk posisi tanggal 7 Februari
2011. Data ini wajib disampaikan oleh Bank Pelapor dan
diterima oleh Bank Indonesia paling lama pukul 23.59 WIB.
e. Data posisi rekapitulasi transaksi derivatif yang disampaikan
adalah data pada posisi 2 (dua) hari kerja sebelumnya (H-2).
Contoh:
Data posisi rekapitulasi transaksi derivatif yang disampaikan
pada tanggal 9 Februari 2011 adalah data untuk posisi tanggal
7 Februari 2011. Data ini wajib disampaikan oleh Bank Pelapor
dan diterima oleh Bank Indonesia paling lama pukul 23.59
WIB.
f. Data posisi saldo harian pinjaman luar negeri jangka pendek
Bank yang disampaikan adalah data pada posisi 2 (dua) hari
kerja sebelumnya (H-2).
Contoh:
Data posisi saldo harian pinjaman luar negeri jangka pendek
Bank yang disampaikan pada tanggal 9 Februari 2011 adalah
data untuk posisi tanggal 7 Februari 2011. Data ini wajib
disampaikan oleh Bank Pelapor dan diterima oleh Bank
Indonesia paling lama pukul 23.59 WIB.
g. Data ...
9
g. Data posisi harian dana usaha kantor cabang bank asing yang
disampaikan adalah data pada posisi 2 (dua) hari kerja
sebelumnya (H-2).
Contoh:
Data posisi harian dana usaha kantor cabang bank asing yang
disampaikan pada tanggal 9 Februari 2011 adalah data untuk
posisi tanggal 7 Februari 2011. Data ini wajib disampaikan
oleh Bank Pelapor dan diterima oleh Bank Indonesia paling
lama pukul 23.59 WIB
h. Data proyeksi arus kas yang disampaikan mencakup proyeksi
penerimaan dan pengeluaran dalam rupiah dan valuta asing
atas pos-pos sebagaimana diatur dalam Pedoman dalam
Lampiran 1, selama 3 (tiga) bulan mendatang dan
dikelompokkan menjadi 4 (empat) periode sebagai berikut:
1) periode I berisi proyeksi arus kas harian 14 (empat belas)
hari kalender sejak tanggal laporan;
2) periode II berisi proyeksi arus kas secara kumulatif
terhitung sejak hari ke-15 (lima belas) sampai dengan hari
ke-21 (duapuluh satu);
3) periode III berisi proyeksi arus kas secara kumulatif sejak
hari ke-22 (dua puluh dua) sampai dengan hari ke-28 (dua
puluh delapan); dan
4) periode IV berisi proyeksi arus kas secara kumulatif bulan
ke-2 (dua) dan ke-3 (tiga) sejak hari ke-29 (dua puluh
sembilan) sampai dengan hari ke-90 (sembilan puluh).
Proyeksi arus kas dalam valuta asing selain USD dikonversi
terlebih dahulu ke dalam mata uang USD. Pelaporan proyeksi
arus kas dalam valuta asing yang telah dikonversi tersebut
digabungkan ...
10
digabungkan secara keseluruhan dengan arus kas dalam mata
uang USD.
Contoh:
Data proyeksi arus kas yang dilaporkan pada tanggal 31 Januari
2011 adalah perkiraan penerimaan dan pengeluaran untuk:
1) tanggal 1 Februari 2011 sampai dengan 14 Februari 2011;
2) tanggal 15 Februari 2011 sampai dengan 21 Februari 2011
secara kumulatif untuk minggu ke-3 (tiga);
3) tanggal 22 Februari 2011 sampai dengan 28 Februari 2011
secara kumulatif untuk minggu ke-4 (empat); dan
4) tanggal 1 Maret 2011 sampai dengan 2 Mei 2011 secara
kumulatif untuk bulan ke-2 (dua) dan ke-3 (tiga).
Data proyeksi arus kas tersebut wajib disampaikan oleh Bank
Pelapor dan diterima oleh Bank Indonesia pada tanggal 31
Januari 2011 paling lama pukul 23.59 WIB.
i. Data suku bunga penawaran dalam rupiah dan valuta asing
(USD) wajib disampaikan oleh Bank Pelapor pada tanggal
laporan.
Contoh:
Data suku bunga penawaran pada tanggal 7 Februari 2011
wajib disampaikan oleh Bank Pelapor dan diterima oleh Bank
Indonesia pada tanggal tersebut (7 Februari 2011) paling lama
pukul 10.30 WIB.
j. Data suku bunga dasar kredit dalam rupiah dan valuta asing
(USD), suku bunga kredit dalam rupiah dan valuta asing
(USD), suku bunga deposito berjangka dalam rupiah dan valuta
asing (USD), diskonto sertifikat deposito dalam rupiah dan
valuta asing (USD), suku bunga tabungan dalam rupiah dan
tingkat ...
11
tingkat imbalan deposito investasi mudharabah Bank syariah
dalam rupiah yang disampaikan adalah data yang berlaku pada
tanggal laporan.
Contoh:
Data suku bunga kredit atau tingkat imbalan deposito investasi
mudharabah Bank syariah pada tanggal 7 Februari 2011 wajib
disampaikan oleh Bank Pelapor dan diterima oleh Bank
Indonesia pada tanggal 7 Februari 2011 paling lama pukul
18.00 WIB.
B. Tata Cara Penyampaian LHBU
Tata cara penyampaian LHBU diatur sebagai berikut:
1. Sebelum data disampaikan, Bank Pelapor harus melakukan validasi
teknis sesuai dengan spesifikasi yang telah ditetapkan pada
Pedoman sebagaimana dimaksud pada Lampiran 1 dan Petunjuk
Teknis Aplikasi LHBU sebagaimana dimaksud pada Lampiran 2.
2. Setelah data disampaikan, Bank Pelapor harus memastikan bahwa
status data transaksional dengan Bank Pelapor lain sebagai lawan
transaksi/counterpart telah cocok/matching, melalui laporan
absensi LHBU.
3. Bank Pelapor wajib mengirim seluruh form sesuai dengan jenis
laporan dan status Bank sebagaimana dimaksud pada butir IV.B.
4. Dalam hal Bank Pelapor tidak memiliki data transaksional (tidak
melakukan transaksi) dan/atau tidak memiliki data non
transaksional, kewajiban penyampaian LHBU tetap berlaku dengan
cara mengirimkan form header.
5. Dalam hal Bank Pelapor melakukan merger atau konsolidasi
dengan Bank Pelapor lain, masing-masing wajib menyampaikan
data LHBU sampai dengan hari terakhir sebelum tanggal
dilakukannya ...
12
dilakukannya merger atau konsolidasi secara operasional masing-
masing Bank Pelapor.
Contoh :
Apabila pada tanggal 8 Februari 2011 Bank X dimerger atau
dikonsolidasi dengan Bank Y, maka masing-masing Bank peserta
merger atau konsolidasi wajib menyampaikan LHBU untuk data
posisi tanggal 7 Februari 2011.
6. Dalam hal Bank Pelapor melakukan transaksi PUAB rupiah over
weekend dan/atau transaksi PUAB rupiah dengan jangka waktu
melewati hari libur nasional maka transaksi dimaksud tetap
diperlakukan sebagai laporan PUAB rupiah overnight.
Contoh :
Transaksi yang dilakukan pada tanggal transaksi/valuta hari Senin
tanggal 14 Februari 2011 dan jatuh waktu pelunasan pada hari
Rabu tanggal 16 Februari 2011 karena hari Selasa tanggal 15
Februari 2011 merupakan hari libur nasional, diperlakukan sebagai
transaksi overnight.
C. Batas Waktu Penyampaian LHBU
Batas waktu penyampaian LHBU ditetapkan sebagai berikut:
1. Pukul 07.00 WIB sampai dengan pukul 10.30 WIB untuk data suku
bunga penawaran dalam rupiah dan valuta asing.
2. Pukul 07.00 WIB sampai dengan pukul 12.00 WIB untuk data
PUAB pagi rupiah.
3. Pukul 12.01 WIB sampai dengan pukul 18.00 WIB untuk data
PUAB sore rupiah.
4. Pukul 07.00 WIB sampai dengan pukul 18.00 WIB untuk data:
a. PUAB valuta asing;
b. PUAS;
c. perdagangan ...
13
c. perdagangan surat berharga di pasar sekunder;
d. tingkat imbalan deposito investasi mudharabah Bank syariah
dalam rupiah;
e. suku bunga dasar kredit dalam rupiah dan valuta asing (USD);
f. suku bunga kredit dalam rupiah dan valuta asing (USD); dan
g. suku bunga deposito berjangka dalam rupiah dan valuta asing
(USD), diskonto sertifikat deposito dalam rupiah dan valuta
asing (USD), serta suku bunga tabungan dalam rupiah.
5. Pukul 07.00 WIB sampai dengan pukul 23.59 WIB untuk data:
a. PUAB luar negeri;
b. transaksi valuta asing;
c. posisi akhir hari transaksi derivatif jual valuta asing bukan
investasi dengan pihak asing;
d. posisi akhir hari transaksi derivatif beli valuta asing bukan
investasi dengan pihak asing;
e. rekapitulasi posisi transaksi derivatif;
f. posisi devisa neto;
g. pos-pos tertentu neraca;
h. proyeksi arus kas;
i. posisi saldo harian pinjaman luar negeri jangka pendek Bank;
dan
j. posisi harian dana usaha kantor cabang bank asing.
D. Tata Cara dan Batas Waktu Koreksi LHBU
1. Dalam hal terjadi kesalahan atas data suku bunga penawaran yang
disampaikan, Bank Pelapor wajib menyampaikan koreksi terhadap
data dimaksud pada tanggal pelaporan paling lama pukul 11.00
WIB pada hari kerja yang sama.
Contoh ...
14
Contoh:
Dalam hal terjadi kesalahan atas data suku bunga penawaran yang
disampaikan pada tanggal 7 Februari 2011 maka koreksi atas
kesalahan data tersebut wajib disampaikan oleh Bank Pelapor pada
tanggal 7 Februari 2011 paling lama pukul 11.00 WIB.
2. Dalam hal terjadi kesalahan atas data yang disampaikan:
a. PUAB pagi rupiah;
b. PUAB sore rupiah;
c. PUAB valuta asing;
d. PUAS;
e. perdagangan surat berharga di pasar sekunder;
f. PDN gabungan kantor dalam negeri;
g. PDN gabungan kantor dalam negeri dan luar negeri;
h. pos-pos tertentu neraca gabungan kantor dalam negeri;
i. pos-pos tertentu neraca gabungan kantor dalam negeri dan luar
negeri;
j. proyeksi arus kas rupiah;
k. proyeksi arus kas valuta asing;
l.
tingkat imbalan deposito investasi mudharabah Bank syariah
dalam rupiah;
m. suku bunga dasar kredit rupiah dan valuta asing (USD);
n. suku bunga kredit rupiah dan valuta asing (USD); dan
o. suku bunga deposito berjangka rupiah dan valuta asing (USD),
diskonto sertifikat deposito rupiah dan valuta asing (USD), dan
suku bunga tabungan rupiah.
Bank Pelapor wajib menyampaikan koreksi segera setelah
diketahui adanya kesalahan dan tetap dalam batas waktu
penyampaian sebagaimana dimaksud pada huruf C.
Contoh ...
15
Contoh :
Dalam hal terjadi kesalahan atas data transaksi PUAB pagi rupiah
pada tanggal 7 Februari 2011 maka koreksi atas kesalahan data
tersebut disampaikan oleh Bank Pelapor sejak tanggal 7 Februari
2011 paling lama pukul 12.00 WIB.
3. Dalam hal terjadi kesalahan atas data yang disampaikan:
a. PUAB luar negeri;
b. transaksi tod/tom/spot;
c.
transaksi derivatif berupa forward, swap, option;
d. transaksi derivatif lainnya;
e. posisi akhir hari transaksi derivatif jual valuta asing bukan
investasi dengan pihak asing;
f. posisi akhir hari transaksi derivatif beli valuta asing bukan
investasi dengan pihak asing;
g. posisi rekapitulasi transaksi derivatif;
h. posisi saldo harian pinjaman luar negeri jangka pendek Bank;
dan
i. posisi harian dana usaha kantor cabang bank asing.
Bank Pelapor wajib menyampaikan koreksi terhadap data
dimaksud paling lama pukul 16.00 WIB pada hari kerja berikutnya.
Contoh :
Dalam hal terjadi kesalahan atas data transaksi valuta asing pada
tanggal 7 Februari 2011 maka koreksi atas kesalahan data tersebut
disampaikan oleh Bank Pelapor sejak tanggal 7 Februari 2011
sampai dengan tanggal 8 Februari 2011 paling lama pukul 16.00
WIB.
E. Gangguan ...
16
E. Gangguan Teknis dan Keadaan Memaksa (Force Majeure)
1. Dalam hal Bank Pelapor mengalami gangguan teknis sehingga
tidak dapat menyampaikan data dan/atau koreksi LHBU secara on-
line, Bank Pelapor memberitahukan secara lisan kepada Bank
Indonesia c.q. Unit Khusus Manajemen Informasi segera setelah
mengalami gangguan sebelum batas waktu laporan dan wajib
ditegaskan secara tertulis pada Hari Kerja yang sama.
2. Pemberitahuan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada angka 1,
ditandatangani oleh pejabat yang berwenang dan disampaikan
kepada Bank Indonesia c.q. Unit Khusus Manajemen Informasi, Jl.
M.H. Thamrin Nomor 2 Jakarta 10350.
3. Dalam hal Bank Pelapor tidak menyampaikan pemberitahuan
secara tertulis sebagaimana dimaksud pada angka 2, Bank Pelapor
dianggap tidak menyampaikan LHBU baik secara on-line maupun
secara off-line.
4. Bagi Bank Pelapor yang berada di luar wilayah kerja kantor Pusat
Bank Indonesia, selain menyampaikan pemberitahuan sebagaimana
dimaksud pada angka 2, juga wajib menyampaikan tembusan
pemberitahuan dimaksud kepada Kantor Bank Indonesia yang
mewilayahi Bank Pelapor.
5. Bank Pelapor yang tidak dapat menyampaikan data dan/atau
koreksi LHBU secara on-line karena gangguan teknis atau
gangguan lainnya pada sistem dan/atau jaringan komunikasi di
Bank Pelapor maupun di Bank Indonesia wajib menyampaikan data
dan/atau koreksi LHBU secara off-line kepada:
a. Bank Indonesia c.q. Unit Khusus Manajemen Informasi, Jl.
M.H. Thamrin Nomor 2 Jakarta 10350, bagi Bank Pelapor
yang berada di wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia atau
yang ...
17
yang memiliki kantor cabang di wilayah kerja Kantor Pusat
Bank Indonesia.
b. Kantor Bank Indonesia yang mewilayahi, bagi Bank Pelapor
yang berada di luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud pada huruf a.
6. Penyampaian data dan/atau koreksi LHBU sebagaimana dimaksud
pada angka 5 diatur sebagai berikut:
a. Paling lambat 2 (dua) jam setelah batas waktu pelaporan pada
Hari Kerja yang sama untuk data atau koreksi data sebagai
berikut:
1) PUAB pagi rupiah;
2) PUAB sore rupiah;
3) PUAB valuta asing;
4) PUAS;
5) perdagangan surat berharga di pasar sekunder;
6) tingkat imbalan deposito investasi mudharabah Bank
syariah dalam rupiah;
7) suku bunga dasar kredit rupiah dan valuta asing (USD);
8) suku bunga kredit rupiah dan valuta asing (USD); dan
9) suku bunga deposito berjangka rupiah dan valuta asing
(USD), diskonto sertifikat deposito rupiah dan valuta asing
(USD), dan suku bunga tabungan rupiah.
b. Paling lama pukul 10.00 WIB pada Hari Kerja berikutnya
untuk data atau koreksi data sebagai berikut:
1) PUAB luar negeri;
2) transaksi tod/tom/spot;
3) transaksi derivatif berupa forward, swap, option;
4) transaksi derivatif lainnya;
5) posisi ...
18
5) posisi akhir hari transaksi derivatif jual valuta asing bukan
investasi dengan pihak asing;
6) posisi akhir hari transaksi derivatif beli valuta asing bukan
investasi dengan pihak asing;
7) posisi rekapitulasi transaksi derivatif;
8) PDN gabungan kantor dalam negeri;
9) PDN gabungan kantor dalam negeri dan luar negeri;
10) pos-pos tertentu neraca gabungan kantor dalam negeri;
11) pos-pos tertentu neraca gabungan kantor dalam negeri dan
luar negeri;
12) proyeksi arus kas rupiah;
13) proyeksi arus kas valuta asing;
14) posisi saldo harian pinjaman luar negeri jangka pendek
Bank; dan
15) posisi harian dana usaha kantor cabang bank asing.
c. Paling lama pukul 11.00 WIB pada Hari Kerja yang sama
untuk data atau koreksi data suku bunga penawaran.
7. Bank Pelapor yang tidak dapat menyampaikan data atau koreksi
LHBU karena terjadi keadaan memaksa (force majeure) harus
segera memberitahukan secara tertulis disertai penjelasan mengenai
penyebab terjadinya keadaan memaksa (force majeure).
8. Pemberitahuan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada angka 5
ditandatangani oleh pejabat dan/atau instansi yang berwenang dan
disampaikan kepada:
a. Bank Indonesia c.q. Unit Khusus Manajemen Informasi, Jl.
M.H. Thamrin Nomor 2 Jakarta 10350 bagi Bank Pelapor yang
berada di wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia atau yang
memiliki ...
19
memiliki kantor cabang di wilayah kerja Kantor Pusat Bank
Indonesia.
b. Kantor Bank Indonesia yang mewilayahi, bagi Bank Pelapor
yang berada di luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud pada huruf a.
F. Penyampaian dan/atau Koreksi LHBU Setelah Batas Waktu
1. Bank Pelapor yang dianggap tidak menyampaikan LHBU dan/atau
koreksi LHBU sampai dengan batas waktu yang ditetapkan
sebagaimana dimaksud pada huruf C dan huruf D tetap wajib
menyampaikan secara on-line data LHBU dan/atau koreksi data
LHBU sebagai berikut:
a. paling lama 1 (satu) jam setelah batas waktu penyampaian
koreksi secara on-line, untuk data PUAB pagi rupiah, PUAB
sore rupiah, PUAB valuta asing, dan PUAS.
b. paling lama pukul 16.00 WIB pada 5 (lima) Hari Kerja setelah
tanggal penyampaian koreksi untuk data:
1) PUAB luar negeri;
2) transaksi valuta asing;
3) posisi akhir hari transaksi derivatif jual valuta asing bukan
investasi dengan pihak asing;
4) posisi akhir hari transaksi derivatif beli valuta asing bukan
investasi dengan pihak asing;
5) posisi rekapitulasi transaksi derivatif;
6) posisi devisa neto;
7) pos-pos tertentu neraca;
8) proyeksi arus kas;
9) posisi saldo harian pinjaman luar negeri jangka pendek
Bank; dan
10) posisi ...
20
10) posisi harian dana usaha kantor cabang bank asing.
2. Dalam hal Bank Pelapor tidak dapat menyampaikan LHBU
dan/atau koreksi LHBU secara on-line dalam jangka waktu
sebagaimana dimaksud pada angka 1 karena gangguan teknis atau
gangguan lainnya, Bank Pelapor tetap wajib menyampaikan LHBU
dan/atau koreksi dimaksud secara off-line dengan tata cara
sebagaimana dimaksud pada butir E.5.
VI. HASIL OLAHAN DAN PENGGUNA LHBU
1. LHBU yang disampaikan oleh Bank Pelapor diproses oleh Bank
Indonesia menjadi hasil olahan LHBU berupa:
a.
informasi yang disediakan oleh LHBU dalam bentuk agregat,
termasuk Data JIBOR; dan
b. data individual Bank Pelapor
2. Bank Pelapor dapat memperoleh hasil olahan LHBU sebagaimana
dimaksud pada angka 1 (satu) termasuk data individual tertentu Bank
Pelapor lainnya yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
3. Dalam rangka memperoleh hasil olahan LHBU sebagaimana dimaksud
pada angka 2, Bank Pelapor mendapatkan hak akses terhadap sistem
LHBU di Bank Indonesia tanpa dikenakan biaya paling banyak 2 (dua)
fasilitas user id untuk Bank devisa dan 1 (satu) fasilitas user id untuk
Bank non devisa.
4. Dalam hal Bank Pelapor bermaksud menambah user id sebagaimana
dimaksud pada angka 3, Bank Pelapor dikenakan biaya untuk setiap
penambahan user id tersebut yang terdiri dari biaya lisensi sistem
LHBU dan biaya pemeliharaan sistem LHBU yang masing-masing
besarnya ditetapkan dalam Surat Edaran Bank Indonesia yang
mengatur mengenai biaya LHBU.
5. Untuk ...
21
5. Untuk penambahan user id sebagaimana dimaksud pada angka 4, Bank
Pelapor mengajukan permohonan secara tertulis yang ditujukan kepada
Bank Indonesia c.q. Unit Khusus Manajemen Informasi, Jl. M.H.
Thamrin No.2, Jakarta 10350.
VII. Data JIBOR
1. Bank Indonesia menetapkan Data JIBOR berdasarkan data suku bunga
penawaran pada setiap Hari Kerja pada tanggal laporan.
2. Bank Indonesia menetapkan Bank-Bank Pelapor yang datanya
digunakan dalam perhitungan data JIBOR.
3. Penetapan Bank Pelapor sebagaimana dimaksud pada angka 2
disampaikan melalui surat.
4. Penetapan Bank Pelapor sebagaimana dimaksud pada angka 2
didasarkan antara lain pada keaktifan transaksi Bank di PUAB.
5. Bank Indonesia melakukan review secara berkala setiap 1 (satu) tahun
sekali terhadap daftar Bank Pelapor yang datanya digunakan dalam
perhitungan data JIBOR.
6. Dalam hal diperlukan, sewaktu-waktu Bank Indonesia dapat melakukan
review terhadap daftar Bank Pelapor yang datanya digunakan dalam
perhitungan data JIBOR.
7. Berdasarkan review sebagaimana dimaksud pada angka 5 dan angka 6,
Bank Indonesia dapat melakukan antara lain penambahan, pengurangan
dan/atau penggantian Bank-Bank Pelapor yang datanya digunakan
dalam perhitungan data JIBOR.
VIII. PELANGGAN LHBU
1. Tata cara menjadi Pelanggan LHBU diatur sebagai berikut:
a. Calon ...
22
a. Calon Pelanggan LHBU mengajukan permohonan menjadi
Pelanggan LHBU secara tertulis kepada Bank Indonesia
sebagaimana contoh pada Lampiran 3.
b. Permohonan menjadi Pelanggan LHBU sebagaimana dimaksud
pada huruf a disampaikan kepada Bank Indonesia c.q. Unit Khusus
Manajemen Informasi, Jl. M.H. Thamrin No.2, Jakarta, 10350.
c. Bank Indonesia memberitahukan secara tertulis kepada calon
Pelanggan LHBU mengenai disetujui atau tidak disetujuinya
permohonan sebagaimana dimaksud pada huruf a dalam jangka
waktu 10 (sepuluh) Hari Kerja setelah permohonan diterima secara
lengkap.
d. Dalam hal permohonan disetujui oleh Bank Indonesia, calon
Pelanggan LHBU harus menandatangani Perjanjian Penggunaan
LHBU dengan Bank Indonesia sebagaimana contoh pada Lampiran
4.
2. Pelanggan LHBU dapat memperoleh hasil olahan LHBU dalam bentuk
agregat dan data individual tertentu Bank Pelapor sebagaimana
dimaksud pada butir VI.1.
3. Dalam rangka memperoleh informasi hasil olahan LHBU sebagaimana
dimaksud pada angka 2, Pelanggan LHBU dikenakan biaya LHBU
sebagaimana dituangkan dalam Perjanjian Penggunaan LHBU.
4. Biaya LHBU sebagaimana dimaksud pada angka 3 terdiri dari biaya
lisensi sistem LHBU, biaya pemeliharaan sistem LHBU dan biaya
perolehan informasi hasil olahan LHBU yang masing-masing besarnya
ditetapkan dalam Surat Edaran Bank Indonesia yang mengatur
mengenai biaya LHBU.
IX. PENGAWASAN ...
23
IX. PENGAWASAN
1. Bank Indonesia melakukan pengawasan atas pelaporan LHBU oleh
Bank Pelapor .
2. Dalam rangka pengawasan sebagaimana dimaksud pada angka 1, Bank
Indonesia dapat:
a. meminta keterangan dan/atau data yang terkait kepada Bank
Pelapor; dan/atau
b. melakukan pemeriksaan (on site supervison) terhadap Bank
Pelapor .
X. TATA CARA PENGENAAN SANKSI
Tata cara pengenaan sanksi kewajiban membayar diatur sebagai berikut:
1. Bank Pelapor yang tidak menyampaikan secara on-line atau off-line
data transaksional yaitu PUAB, PUAS dan perdagangan surat berharga
di pasar sekunder, dalam batas waktu yang ditetapkan dalam Surat
Edaran Bank Indonesia ini, dikenakan sanksi kewajiban membayar
sebesar Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) untuk setiap
data transaksional yang tidak disampaikan dengan sanksi kewajiban
membayar paling banyak sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) per
hari untuk keseluruhan data.
Contoh;
a. Pada tanggal 7 Februari 2011, Bank A dan Bank B melakukan:
- PUAB pagi rupiah (form 101) sebanyak 7 (tujuh) kali transaksi;
- PUAB sore rupiah (form 101) sebanyak 7 (tujuh) kali transaksi;
- PUAB valuta asing (form 101) sebanyak 7 (tujuh) kali
transaksi; dan
- Perdagangan Surat Berharga di Pasar Sekunder (form 301)
sebanyak 7 (tujuh) kali transaksi.
b. Sampai ...
24
b. Sampai dengan batas waktu penyampaian laporan untuk masing-
masing transaksi tersebut, Bank B tidak menyampaikan seluruh
laporan transaksi tersebut di atas.
c. Atas kesalahan tidak menyampaikan seluruh data transaksi
tersebut, Bank B dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar
Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) dan bukan sebesar 28 (dua puluh
delapan) x Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) atau
sebesar Rp7.000.000,00 (tujuh juta rupiah).
2. Bank Pelapor yang tidak menyampaikan secara on-line atau off-line
data transaksional yaitu transaksi valuta asing dalam batas waktu yang
ditetapkan dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini, dikenakan sanksi
kewajiban membayar sebesar Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu
rupiah) untuk setiap data transaksional yang tidak disampaikan dan
paling banyak Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) per hari untuk
keseluruhan data.
Contoh:
Tanggal 7 Februari 2011, Bank A tidak menyampaikan:
- Transaksi Tod/Tom/Spot (form 201) sebanyak 10 (sepuluh) kali
transaksi;
- Transaksi Forward, Swap, Option (form 202) sebanyak 7 (tujuh)
kali transaksi; dan
- Transaksi Derivatif Lainnya (form 203) sebanyak 7 (tujuh) kali
transaksi.
Sampai dengan batas waktu penyampaian laporan untuk masing-
masing transaksi tersebut, Bank A tidak menyampaikan seluruh laporan
transaksi tersebut di atas.
Atas kesalahan tidak menyampaikan seluruh data transaksi tersebut,
Bank A dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar
Rp5.000.000,00 ...
25
Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) dan bukan sebesar 24 (dua puluh
empat) xRp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) atau sebesar
Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah).
3. Bank pelapor yang tidak menyampaikan secara on-line atau off-line
data non transaksional sebagaimana dimaksud pada butir III.B dalam
batas waktu yang ditetapkan dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini,
dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp250.000,00 (dua
ratus lima puluh ribu rupiah) untuk setiap data non transaksional yang
tidak disampaikan.
Contoh:
a. Suku Bunga Dasar Kredit (form 601)
Sebagai dasar dalam pengenaan sanksi, suku bunga dasar kredit
memiliki paling banyak 2 (dua) jenis data yang wajib disampaikan
yaitu (1) suku bunga dasar kredit dalam rupiah, dan (2) suku bunga
dasar kredit dalam USD.
Misalnya: Pada tanggal 7 Februari 2011, Bank A tidak
menyampaikan data suku bunga dasar kredit sampai dengan batas
waktu pelaporan. Berdasarkan penelitian Bank Indonesia, Bank A
pada tanggal tersebut memiliki data suku bunga dasar kredit, baik
dalam rupiah maupun USD. Karena memiliki data suku bunga
dasar kredit namun tidak disampaikan kepada Bank Indonesia
maka Bank A dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar 2
(dua) x Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) =
Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).
Apabila pada tanggal tersebut Bank A ternyata hanya memiliki
salah satu dari 2 (dua) jenis data dimaksud maka Bank A dikenakan
sanksi kewajiban membayar sebesar 1 (satu) x Rp250.000,00 (dua
ratus ...
26
ratus lima puluh ribu rupiah) = Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh
ribu rupiah).
b. Suku Bunga Kredit Rupiah dan USD (form 602)
Sebagai dasar dalam pengenaan sanksi, suku bunga kredit rupiah
dan valas (USD) memiliki paling banyak 6 (enam) jenis data yang
wajib disampaikan yaitu (1) suku bunga kredit modal kerja dalam
rupiah, (2) suku bunga kredit modal kerja dalam USD, (3) suku
bunga kredit investasi dalam rupiah, (4) suku bunga kredit investasi
dalam USD, (5) suku bunga kredit konsumsi dalam rupiah, dan (6)
suku bunga kredit konsumsi dalam USD.
Misalnya: Pada tanggal 7 Februari 2011, Bank A tidak
menyampaikan data suku bunga kredit sampai dengan batas waktu
pelaporan. Berdasarkan penelitian Bank Indonesia, Bank A pada
tanggal tersebut memiliki data suku bunga kredit (6 jenis). Karena
memiliki data suku bunga kredit secara lengkap namun tidak
disampaikan kepada Bank Indonesia maka Bank A dikenakan
sanksi kewajiban membayar sebesar 6 (enam) x Rp250.000,00 (dua
ratus lima puluh ribu rupiah) = Rp1.500.000,00 (satu juta lima ratus
ribu rupiah).
Apabila pada tanggal tersebut Bank A ternyata hanya memiliki 4
(empat) jenis data suku bunga kredit maka Bank A dikenakan
sanksi kewajiban membayar sebesar 4 (empat) x Rp250.000,00
(dua ratus lima puluh ribu rupiah) = Rp1.000.000,00 (satu juta
rupiah).
c. Suku Bunga Deposito Berjangka, Sertifikat Deposito dan Tabungan
(form 603)
Sebagai dasar dalam pengenaan sanksi, suku bunga deposito
berjangka, sertifikat deposito dan tabungan memiliki paling banyak
5 (lima) ...
27
5 (lima) jenis data yang wajib disampaikan yaitu (1) suku bunga
deposito berjangka dalam Rupiah, (2) suku bunga deposito
berjangka dalam USD, (3) suku bunga sertifikat deposito dalam
rupiah, (4) suku bunga sertifikat deposito dalam USD, dan (5) suku
bunga tabungan dalam rupiah.
Misalnya: Pada tanggal 7 Februari 2011, Bank A tidak
menyampaikan data suku bunga deposito berjangka, sertifikat
deposito dan tabungan sampai dengan batas waktu pelaporan.
Berdasarkan penelitian Bank Indonesia, Bank A pada tanggal
tersebut memiliki data suku bunga deposito berjangka, sertifikat
deposito dan tabungan (5 jenis). Karena memiliki data suku bunga
deposito secara lengkap namun tidak disampaikan kepada Bank
Indonesia maka Bank A dikenakan sanksi kewajiban membayar
sebesar 5 (lima) x Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah)
= Rp1.250.000,00 (satu juta dua ratus lima puluh ribu rupiah).
Apabila pada tanggal tersebut Bank A ternyata hanya memiliki 3
(tiga) jenis data suku bunga deposito berjangka, sertifikat deposito
dan tabungan maka Bank A dikenakan sanksi kewajiban membayar
sebesar 3 (tiga) x Rp250.000,00 (tujuh ratus lima puluh ribu rupiah)
= Rp750.000,00 (tujuh ratus lima puluh ribu rupiah).
d. Suku Bunga Penawaran (form 501)
Pada tanggal 7 Februari 2011 Bank devisa A melaporkan suku
bunga penawaran (Form 501). Sampai dengan batas waktu
penyampaian, Bank A tidak mengirimkan data suku bunga
penawaran rupiah dan USD. Atas kesalahan tidak menyampaikan
data, Bank A dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar 2
(dua) x Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) atau
sebesar Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah)
4. Bank ...
28
4. Bank Pelapor yang tidak menyampaikan secara on-line atau off-line
form header LHBU dalam batas waktu yang ditetapkan, dikenakan
sanksi kewajiban membayar sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah)
untuk setiap form header yang tidak disampaikan.
Contoh:
Pada tanggal 7 Februari 2011 Bank A tidak mempunyai data suku
bunga kredit (form 602) dan Bank A tidak menyampaikan form header
dimaksud sampai batas waktu penyampaian form pukul 18.00 WIB,
maka Bank A dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar
Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) karena tidak menyampaikan form
header tersebut.
5. Bank Pelapor yang menyampaikan data transaksional dan non
transaksional LHBU secara tidak benar untuk data-data:
a. PUAB;
b. PUAS;
c. perdagangan surat berharga di pasar sekunder;
d. posisi devisa neto;
e. pos-pos tertentu neraca;
f. proyeksi arus kas;
g. suku bunga penawaran;
h. tingkat imbalan deposito investasi mudharabah Bank syariah dalam
rupiah;
i. suku bunga dasar kredit rupiah dan valuta asing;
j. suku bunga kredit rupiah dan valuta asing;
k. suku bunga deposito berjangka rupiah dan valuta asing (USD)
diskonto sertifikat deposito rupiah dan valuta asing (USD), dan
suku bunga tabungan rupiah;
l. posisi ...
29
l. posisi saldo harian pinjaman luar negeri jangka pendek Bank;
dan/atau
m. posisi harian dana usaha kantor cabang bank asing,
dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp50.000,00 (lima
puluh ribu rupiah) untuk setiap butir (item) kesalahan dengan sanksi
kewajiban membayar paling banyak sebesar Rp2.000.000,00 (dua juta
rupiah) setiap form per hari.
Contoh:
a. Untuk data transaksional :
Tanggal 7 Februari 2011 Bank A melakukan 30 (tiga puluh)
transaksi PUAB dengan informasi sebagai berikut:
1. PUAB pagi rupiah (form 101) sebanyak 10 (sepuluh) kali
transaksi;
2. PUAB sore rupiah (form 101) sebanyak 10 (sepuluh) kali
transaksi
3. PUAB valas (form 101) sebanyak 10 (sepuluh) kali transaksi
Berdasarkan hasil penelitian Bank Indonesia, terdapat 42 (empat
puluh dua) item data tidak benar untuk form 101 yang disampaikan.
Atas ketidakbenaran data dimaksud Bank A dikenakan sanksi
kewajiban membayar sebesar Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah) dan
bukan sebesar 42 (empat puluh dua) xRp50.000,00 (lima puluh
ribu rupiah) atau sebesar Rp2.100.000,00 (dua juta seratus ribu
rupiah).
b. Untuk data non transaksional :
Pada tanggal 7 Februari 2011, Bank A menyampaikan data secara
tidak benar form 603 (suku bunga deposito berjangka, sertifikat
deposito dan tabungan) sampai dengan batas waktu pelaporan.
Berdasarkan penelitian Bank Indonesia, Bank A pada tanggal
tersebut ...
30
tersebut memiliki 5 jenis data dan 42 item yang terdiri dari suku
bunga deposito berjangka (USD dan IDR), sertifikat deposito (USD
dan IDR) dan tabungan (IDR). Karena memiliki data secara
lengkap dan seluruh data yang disampaikan pada LHBU tidak
benar, maka Bank A dikenakan sanksi kewajiban membayar
sebesar Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah) dan bukan sebesar 42
(empat puluh dua) x Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) atau
sebesar Rp2.100.000,00 (dua juta seratus ribu rupiah).
c. Untuk data transaksional dan non transaksional:
Tanggal 7 Februari 2011 Bank A menyampaikan:
- form 101 dengan jumlah transaksi sebanyak 15 (lima belas)
transaksi;
- form 401;
- form 402;
- form 403;
- form 404;
- form 405; dan
- form 406.
Berdasarkan hasil penelitian Bank Indonesia, terdapat 50 (lima
puluh) item data tidak benar untuk seluruh form yang disampaikan
sebagai berikut:
-
-
-
-
-
-
-
sebanyak 20 (dua puluh) item tidak benar pada form 101;
sebanyak 5 (lima) item tidak benar pada form 401;
sebanyak 5 (lima) item tidak benar pada form 402;
sebanyak 5 (lima) item tidak benar pada form 403;
sebanyak 5 (lima) item tidak benar pada form 404;
sebanyak 5 (lima) item tidak benar pada form 405; dan
sebanyak 5 (lima) item tidak benar pada form 406.
Atas ...
31
Atas ketidakbenaran data dimaksud Bank A akan dikenakan sanksi
kewajiban membayar sebesar Rp2.500.000,00 (50 item x
Rp50.000,00) karena nilai kesalahan yang dilakukan oleh Bank A
untuk data transaksional dan data non transaksional tersebut di atas.
6. Bank Pelapor yang menyampaikan data transaksional dan non
transaksional LHBU secara tidak benar untuk data-data:
a.
transaksi valuta asing;
b. posisi akhir hari transaksi derivatif jual valuta asing bukan investasi
dengan pihak asing;
c. posisi akhir hari transaksi derivatif beli valuta asing bukan investasi
dengan pihak asing; dan/atau
d. rekapitulasi transaksi derivatif,
dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp50.000,00 (lima
puluh ribu rupiah) untuk setiap butir (item) kesalahan dan paling
banyak sebesar Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah) per hari.
Contoh:
a. Tanggal 7 Februari 2011 Bank A melakukan transaksi spot (form
201) USD/IDR dengan nasabahnya dengan kurs Rp9.300,00
(sembilan ribu tiga ratus rupiah) dan volume USD1.000.000,00
(satu juta US dollar). Namun demikian, Bank A melaporkan kurs
sebesar Rp3.900,00 (tiga ribu sembilan ratus rupiah). Atas
kesalahan pelaporan kurs tersebut, Bank A dikenakan sanksi
sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) karena kesalahan
menyampaikan 1 (satu) item data pada kolom kurs.
b. Pada tanggal 7 Februari 2011, Bank A menyampaikan :
- form 201 dengan jumlah transaksi sebanyak 15 (lima belas)
transaksi;
- form ...
32
- form 202 dengan jumlah transaksi sebanyak 10 (sepuluh)
transaksi;
- form 203 dengan jumlah transaksi sebanyak 15 (lima belas)
transaksi;
- form 204;
- form 205; dan
- form 206.
Berdasarkan hasil penelitian Bank Indonesia, terdapat 48 (empat
puluh delapan) item data tidak benar untuk data transaksional yang
meliputi kurs, volume, nama penjual dan jangka waktu masing-
masing sebagai berikut:
-
-
-
sebanyak 20 (dua puluh) item tidak benar pada form 201;
sebanyak 10 (sepuluh) item tidak benar pada form 202; dan
sebanyak 15 (lima belas) item tidak benar pada form 203.
Sementara itu, untuk data non transaksional juga terdapat data tidak
benar untuk posisi yang dilaporkan sebagai berikut:
-
-
-
sebanyak 1 (satu) item tidak benar pada form 204;
sebanyak 1(satu) item tidak benar pada form 205; dan
sebanyak 1(satu) item tidak benar pada form 206.
Atas ketidakbenaran data dimaksud Bank A akan dikenakan sanksi
kewajiban membayar sebesar Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah)
karena nilai kesalahan yang dilakukan oleh Bank A untuk data
transaksional dan data non transaksional tersebut di atas telah
melebihi sanksi kewajiban membayar paling banyak sebesar
Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah).
7. Dalam hal Bank Pelapor tidak menyampaikan form header dan terdapat
transaksi yang wajib disampaikan Bank Pelapor sesuai dengan Surat
Edaran Bank Indonesia ini maka Bank Pelapor dikenakan sanksi tidak
menyampaikan ...
33
menyampaikan form header sebagaimana dimaksud pada angka 4 dan
sanksi tidak menyampaikan data sebagaimana dimaksud pada angka 1,
angka 2 dan/atau angka 3.
Contoh:
a. Untuk data transaksional:
1. Tanggal 7 Februari 2011, Bank A dan Bank B melakukan
transaksi PUAB pagi (form 101) sebanyak 10 (sepuluh) kali
transaksi, PUAB sore (form 101) sebanyak 10 (sepuluh) kali
transaksi, PUAS (form 102) dan transaksi pasar sekunder surat
berharga (form 301) sebanyak 10 (sepuluh) kali transaksi.
2. Sampai dengan batas waktu penyampaian laporan untuk
masing-masing transaksi tersebut, Bank B tidak menyampaikan
seluruh laporan transaksi tersebut diatas.
3. Atas kesalahan tidak menyampaikan seluruh data transaksi
tersebut, Bank B dikenakan sanksi kewajiban membayar
sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) dan bukan sebesar
30 (tiga puluh) x Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu
rupiah) atau sebesar Rp7.500.000,00 (tujuh juta lima ratus ribu
rupiah).
4. Disamping itu, Bank B dikenakan pula sanksi tidak
menyampaikan form header (form 101, 102 dan 301) sehingga
dikenakan kewajiban membayar Rp3.000.000,00 (tiga juta
rupiah).
5. Jumlah seluruh kewajiban yang harus dibayar oleh Bank B
adalah Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) + Rp3.000.000,00
(tiga juta rupiah) = Rp8.000.000,00 (delapan juta rupiah).
b. Untuk ...
34
b. Untuk data non transaksional:
1. Tanggal 7 Februari 2011 Bank A wajib menyampaikan form
data non transaksional suku bunga kredit (form 602) yang
seluruhnya berisi 6 (enam) data yaitu terdiri dari data suku
bunga kredit modal kerja dalam rupiah dan valuta asing, suku
bunga kredit investasi dalam rupiah dan valuta asing, dan suku
bunga kredit konsumsi dalam rupiah dan valuta asing, namun
tidak menyampaikan 6 (enam) data tersebut maka Bank A
dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar 6 (enam) x
Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) =
Rp1.500.000,00 (satu juta lima ratus ribu rupiah).
2. Disamping itu, Bank A dikenakan pula sanksi tidak
menyampaikan form header sehingga dikenakan kewajiban
membayar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah).
3. Jumlah seluruh kewajiban yang harus dibayar oleh Bank A
adalah Rp1.500.000,00 (satu juta lima ratus ribu Rupiah +
Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) = Rp2.500.000,00 (dua juta
lima ratus ribu rupiah).
8. Bank Indonesia memberitahukan secara tertulis kepada Bank Pelapor
mengenai pelanggaran yang dilakukan oleh Bank Pelapor dan besarnya
sanksi kewajiban membayar yang dikenakan.
9. Pengenaan sanksi kewajiban membayar dilakukan dengan cara
mendebet rekening giro rupiah Bank Pelapor pada Bank Indonesia.
10. Tata cara pengenaan sanksi terhadap Pelanggan LHBU diatur dalam
Perjanjian Penggunaan LHBU sebagaimana dimaksud dalam Lampiran
4.
11. Bank Pelapor yang melakukan pelanggaran terhadap butir V.F.1 dan
butir V.F.2, dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis.
XI. PENYAMPAIAN ...
35
XI. PENYAMPAIAN PERTANYAAN
Apabila dalam pelaksanaan penyusunan dan penyampaian LHBU terdapat
hal-hal yang kurang jelas, Bank Pelapor dapat menyampaikan pertanyaan
yang berkaitan dengan sistem, materi, dan ketentuan LHBU kepada
Helpdesk Bank Indonesia, Jl. M.H. Thamrin Nomor 2 Jakarta 10350, Telp
021-3818000 (hunting), email address: helpdesk@bi.go.id.
XII. LAIN-LAIN
Lampiran 1 sampai dengan Lampiran 4 merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini.
XIII. PENUTUP ...
36
XIII. PENUTUP
Dengan berlakunya Surat Edaran Bank Indonesia ini maka Surat
Edaran Bank Indonesia Nomor 9/2/DPM tanggal 5 Maret 2007 perihal
Laporan Harian Bank Umum dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Ketentuan dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada
tanggal 7 Februari 2011.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat
Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita Negara
Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA,
HENDAR
DIREKTUR PENGELOLAAN MONETER
"," SE-BI
13/3/DPM|SE-BI/2011
Laporan Harian Bank Umum
4 Februari 2011
7 Februari 2011
'9/2/DPM|SE-BI/2007'
'13/8/PBI/2011'
'Romawi X'
"
" No.12/ 22 /DPM
Jakarta, 2 Agustus 2010
SURAT EDARAN
Kepada
SEMUA BANK UMUM
DAN
BANK UMUM SYARIAH
DI INDONESIA
Perihal : Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor
12/12/DPD tanggal 8 April 2010 perihal Transaksi Repurchase
Agreement Chinese Yuan terhadap Surat Berharga Rupiah
Bank kepada Bank Indonesia
Sehubungan dengan dilakukannya penyempurnaan organisasi di Bank
Indonesia, khususnya yang terkait dengan pengelolaan nilai tukar, perlu untuk
melakukan perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 12/12/DPD
tanggal 8 April 2010 perihal Transaksi Repurchase Agreement Chinese Yuan
terhadap Surat Berharga Rupiah Bank kepada Bank Indonesia sebagai berikut :
1. Ketentuan Romawi I angka 1 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
1. Pengajuan rencana kebutuhan CNY Bank kepada Bank Indonesia dilakukan
melalui Reuters Monitoring Dealing System (RMDS) dan ditujukan kepada
Direktorat Pengelolaan Moneter cq. Biro Operasi Moneter - Tim Operasi
Moneter Valas (DPM cq. BOpM-Tim OMV), pada setiap hari Rabu pukul
09.00 WIB sampai dengan 11.00 WIB, dengan dealing code BIRU.
2. Ketentuan …
2
2. Ketentuan Romawi II angka 3 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
3. Haircut Surat Berharga mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai kriteria dan persyaratan surat berharga, peserta dan
lembaga perantara dalam operasi moneter.
Ketentuan dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada
tanggal 2 Agustus 2010.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat
Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik
Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA,
HENDAR
DIREKTUR PENGELOLAAN MONETER
"," SE-BI
12/22/DPM|SE-BI/2010
Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 12/12/DPD tanggal 8 April 2010 perihal Transaksi Repurchase Agreement Chinese Yuan terhadap Surat Berharga Rupiah Bank kepada Bank Indonesia
2 Agustus 2010
2 Agustus 2010
'12/12/DPD|SE-BI/2010'
'12/12/DPD|SE-BI/2010'
"
" No. 8/20/DASP
Jakarta, 11 Oktober 2006
S U R A T E D A R A N
Kepada
SEMUA PESERTA
SISTEM BANK INDONESIA REAL TIME GROSS SETTLEMENT (BI-RTGS)
DAN SISTEM KLIRING NASIONAL BANK INDONESIA (SKNBI)
DI INDONESIA
Perihal : Penetapan Biaya Penggunaan Sistem Bank Indonesia Real Time
Gross Settlement dan Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia
Dalam Rangka Pelaksanaan Uji Coba Treasury Single Account
Pemerintah
Dalam rangka melakukan pengelolaan keuangan negara (cash
management) yang lebih efektif dan efisien, Pemerintah akan menerapkan
Treasury Single Account (TSA). Berkenaan dengan hal tersebut, untuk
memperlancar penerapan TSA dimaksud, Pemerintah melibatkan Peserta Sistem
Bank Indonesia Real Time Gross Settlement (Sistem BI-RTGS) dan Peserta
Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI) untuk melakukan transaksi
dalam rangka uji coba TSA melalui Sistem BI-RTGS dan SKNBI.
Sehubungan dengan hal tersebut, sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia
(PBI) No.6/8/PBI/2004 tentang Sistem Bank Indonesia Real Time Gross
Settlement (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2004 Nomor 28,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4373) sebagaimana
telah diubah dengan PBI
No.6/13/PBI/2004 (Lembaran Negara Republik
Indonesia tahun 2004 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4387) dan PBI No. 7/18/PBI/2005 tentang Sistem Kliring
Nasional Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2005
Nomor …
Nomor 65, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4516), perlu
diatur penetapan biaya penggunaan Sistem BI-RTGS dan SKNBI selama periode
uji coba TSA Pemerintah sebagai berikut:
I. PELAKSANA UJI COBA TSA
1. Pemerintah c.q. Direktorat Jenderal Perbendaharaan, Departemen
Keuangan Republik Indonesia, menetapkan Bank dan Pihak Selain
Bank yang merupakan mitra kerja Kantor Pelayanan Perbendaharaan
Negara (KPPN) sebagai pelaksana uji coba TSA.
2. Penetapan Bank dan Pihak Selain Bank sebagai pelaksana uji coba
TSA sebagaimana dimaksud dalam angka 1 diberitahukan secara
tertulis oleh Pemerintah c.q. Direktorat Jenderal Perbendaharaan,
Departemen Keuangan Republik Indonesia, kepada Bank Indonesia.
3. Dalam pelaksanaan uji coba TSA, Pemerintah c.q. Direktorat Jenderal
Perbendaharaan, Departemen Keuangan Republik Indonesia
melibatkan Peserta Sistem BI – RTGS dan/atau Peserta SKNBI
sebagai berikut :
a.
Kantor Pusat Peserta Sistem BI – RTGS dan/atau Kantor Pusat
Peserta SKNBI yang menjadi mitra kerja KPPN;
b. Kantor Cabang Peserta Sistem BI – RTGS dan/atau Kantor
Cabang Peserta SKNBI
yang menjadi mitra kerja KPPN
sebagaimana dimaksud dalam huruf a; dan
c.
Kantor lainnya dari Peserta Sistem BI – RTGS dan/atau Kantor
lainnya dari Peserta SKNBI yang melakukan transaksi terkait uji
coba TSA.
II. JENIS TRANSAKSI, PENGGUNAAN TRANSACTION REFERENCE
NUMBER (TRN) DAN SANDI TRANSAKSI DALAM UJI COBA TSA
1. Jenis transaksi, penggunaan TRN, dan sandi transaksi dalam rangka uji
coba TSA diatur sebagaimana tercantum pada Lampiran Surat Edaran
ini.
2. Peserta Sistem BI – RTGS yang melakukan transaksi dalam rangka uji
coba TSA harus menggunakan TRN serta mengisi payment detail yang
telah …
telah ditetapkan oleh Bank Indonesia sebagaimana tercantum pada
Lampiran Surat Edaran ini.
3. Peserta SKNBI yang melakukan transaksi dalam rangka uji coba TSA
harus menggunakan sandi transaksi serta mengisi keterangan yang
telah ditetapkan oleh Bank Indonesia sebagaimana tercantum pada
Lampiran Surat Edaran ini.
4. Khusus untuk TRN IFTSA001 hanya digunakan untuk transaksi
dengan nilai nominal paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta
rupiah), sedangkan untuk transaksi dengan nilai nominal dibawah
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) harus melalui SKNBI.
III. PENGENAAN BIAYA TRANSAKSI DALAM UJI COBA TSA
Pengenaan biaya transaksi dalam uji coba TSA diatur sebagai berikut :
1. Peserta Sistem BI-RTGS atau Peserta SKNBI yang melakukan
transaksi dengan menggunakan TRN atau sandi transaksi dalam
rangka uji coba TSA sebagaimana dimaksud pada butir II.1 dikenakan
biaya transaksi sebesar Rp0,00 (nol rupiah) per transaksi.
2. Dalam hal Peserta Sistem BI-RTGS atau Peserta SKNBI sebagaimana
dimaksud dalam angka 1 menggunakan TRN atau sandi transaksi
selain TRN atau sandi transaksi yang tercantum pada Lampiran Surat
Edaran ini, maka Peserta Sistem BI-RTGS atau Peserta SKNBI
tersebut dikenakan biaya transaksi melalui Sistem BI-RTGS dan
SKNBI sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai biaya dalam penggunaan Sistem BI-RTGS dan
biaya dalam penyelenggaraan SKNBI.
3. Peserta Sistem BI-RTGS atau Peserta SKNBI yang menggunakan
TRN atau sandi transaksi uji coba TSA selain untuk transaksi uji coba
TSA dikenakan biaya sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per
transaksi.
4. Pengenaan biaya sebagaimana dimaksud pada angka 3 dilakukan
dengan cara mendebet Rekening Giro Peserta Sistem BI-RTGS atau
Peserta SKNBI
di Bank Indonesia pada saat Bank Indonesia
mengetahui …
mengetahui adanya kesalahan penggunaan TRN dan/atau sandi
transaksi.
IV. MASA TRANSISI SISTEM
1. Khusus untuk transaksi uji coba TSA yang dilakukan melalui SKNBI,
mekanisme pembebanan biaya transaksi Rp0,00 (nol rupiah) dilakukan
sebagai berikut :
a.
Indonesia
yang mengatur mengenai
biaya
Bank yang melakukan transaksi uji coba TSA melalui SKNBI
dikenakan biaya transaksi kliring kredit sesuai dengan ketentuan
Bank
penyelenggaraan SKNBI.
b. Bank Indonesia mengembalikan biaya transaksi kliring kredit
sebagaimana dimaksud dalam huruf a kepada Bank yang
dilakukan pada awal bulan berikutnya.
2. Mekanisme sebagaimana dimaksud dalam angka 1 dilakukan sampai
dengan akhir Desember 2007
3. Dalam hal pelimpahan pajak belum dilakukan setiap hari namun
dilakukan pada hari kerja tertentu maka TRN BIRSA501 belum dapat
digunakan sehingga pelimpahan pajak tetap menggunakan TRN
sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia
No. 7/62/DASP tanggal 30 Desember 2005 perihal Sistem Bank
Indonesia Real Time Gross Settlement serta dikenakan
biaya
sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia
No. 4/14/DASP tanggal 24 September 2002 perihal Biaya Dalam
Penggunaan Sistem Bank Indonesia Real Time Gross Settlement.
V. PENUTUP
Dengan berlakunya Surat Edaran ini, maka Surat Edaran Bank
Indonesia No.8/12/DASP tanggal 11 April 2006 perihal Penetapan Biaya
Penggunaan Sistem Bank Indonesia Real Time Gross Settlement Selama
Periode Uji Coba Treasury Single Account Pemerintah Melalui Mekanisme
Rekening Pengeluaran Kuasa Bendahara Umum Negara Pusat/Daerah pada
Bank Umum dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Ketentuan …
dalam
Ketentuan dalam Surat Edaran ini mulai berlaku pada tanggal
11 Oktober 2006.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman
Surat Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik
Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA,
EDI SISWANTO
DIREKTUR AKUNTING DAN
SISTEM PEMBAYARAN
DASP
"," SE-BI
8/20/DASP|SE-BI/2006
Penetapan Biaya Penggunaan Sistem Bank Indonesia Real Time Gross Settlement dan Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia Dalam Rangka Pelaksanaan Uji Coba Treasury Single Account Pemerintah
11 Oktober 2006
11 Oktober 2006
'8/12/DASP|SE-BI/2006'
'6/8/PBI/2004', '7/18/PBI/2005', '6/13/PBI/2004'
"
" No. 18/33/DKSP
Jakarta, 2 Desember 2016
S U R A T E D A R A N
Perihal : Perubahan Keempat atas Surat Edaran Bank Indonesia
Nomor 11/10/DASP tanggal 13 April 2009 perihal
Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan
Menggunakan Kartu
Sehubungan dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor
11/11/PBI/2009 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran
dengan Menggunakan Kartu (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5000) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor
14/2/PBI/2012 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor
11, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5275) dan
dalam rangka menyelaraskan dengan kondisi ekonomi terkini, mendorong
efisiensi dan akseptasi masyarakat terhadap Kartu Kredit, serta
meningkatkan penerapan perlindungan konsumen Pemegang Kartu Kredit
dan penerapan manajemen risiko operasional oleh Penerbit Kartu Kredit,
perlu melakukan perubahan keempat atas Surat Edaran Bank Indonesia
Nomor 11/10/DASP tanggal 13 April 2009 perihal Penyelenggaraan
Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu sebagaimana telah
diubah beberapa kali dengan Surat Edaran Bank Indonesia:
a. Nomor 14/17/DASP tanggal 7 Juni 2012;
b. Nomor 16/25/DKSP tanggal 31 Desember 2014; dan
c. Nomor 17/51/DKSP tanggal 30 Desember 2015,
sebagai berikut:
1. Ketentuan butir VII.A.5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
5. Penerbit Kartu Kredit wajib:
a. menerapkan batas maksimum suku bunga Kartu Kredit
dengan ketentuan sebagai berikut:
1) batas …
2
1) batas maksimum suku bunga Kartu Kredit ditetapkan
sebesar 2,25% (dua koma dua puluh lima persen) per
bulan atau 26,95% (dua puluh enam koma sembilan
puluh lima persen) per tahun;
2) batas maksimum suku bunga Kartu Kredit
sebagaimana dimaksud dalam angka 1) wajib
diterapkan oleh Penerbit Kartu Kredit untuk transaksi
pembelanjaan maupun transaksi tarik tunai; dan
3) Bank Indonesia dapat melakukan peninjauan kembali
(review) atas besarnya batas maksimum suku bunga
Kartu Kredit sebagaimana dimaksud dalam angka 1);
b. melakukan penghitungan bunga yang timbul atas transaksi
Kartu Kredit dengan ketentuan sebagai berikut:
1) penghitungan hari bunga atas utang Kartu Kredit
didasarkan dan dimulai dari tanggal pembukuan
(posting) Penerbit Kartu Kredit yang merupakan tanggal
riil Penerbit Kartu Kredit melakukan pembayaran
kepada Acquirer atas transaksi pembelanjaan Pemegang
Kartu Kredit, atau melakukan pembayaran kepada
penyelenggara ATM atas transaksi tarik tunai
menggunakan Kartu Kredit;
2) penghitungan bunga Kartu Kredit untuk tagihan
berikutnya dilakukan berdasarkan jumlah sisa tagihan
Kartu Kredit atas transaksi pembelanjaan dan/atau
tarik tunai yang belum terbayar (outstanding);
3) biaya terutang, denda terutang, bunga terutang, dan
tagihan yang belum jatuh tempo, dilarang digunakan
sebagai komponen penghitungan bunga Kartu Kredit;
4) untuk transaksi pembelanjaan, bunga dibebankan
apabila Pemegang Kartu Kredit:
a)
tidak melakukan pembayaran;
b) melakukan …
3
b) melakukan pembayaran kurang dari total tagihan
Kartu Kredit (pembayaran tidak penuh); atau
c) melakukan pembayaran penuh setelah tanggal
jatuh tempo pembayaran.
Bunga dari transaksi pembelanjaan tidak dibebankan
apabila Pemegang Kartu Kredit telah melakukan
pembayaran penuh paling lambat pada tanggal jatuh
tempo, atau pada kelonggaran waktu pembayaran yang
diberikan oleh Penerbit Kartu Kredit;
5) untuk transaksi tarik tunai, bunga dibebankan dan
dihitung mulai dari tanggal pembukuan (posting)
sampai dengan tanggal dilakukannya pembayaran
secara penuh oleh Pemegang Kartu Kredit, dengan
contoh penghitungan mengacu pada contoh 3 dalam
Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Surat Edaran Bank Indonesia ini; dan
6) penetapan bunga harian didasarkan pada perhitungan
jumlah hari kalender dalam setahun yaitu 365 (tiga
ratus enam puluh lima) hari.
2. Ketentuan butir VII.A.12 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
12. Dalam rangka pengakhiran dan/atau penutupan fasilitas Kartu
Kredit atas permintaan Pemegang Kartu Kredit, berlaku
ketentuan sebagai berikut:
a. permohonan pengakhiran dan/atau penutupan fasilitas
Kartu Kredit oleh Pemegang Kartu Kredit dilakukan secara
tertulis. Termasuk permohonan tertulis dalam hal ini adalah
permohonan tertulis yang disampaikan melalui faksimili
atau e-mail, serta permohonan melalui pembicaraan telepon
yang dituangkan dalam catatan resmi Penerbit Kartu Kredit
yang bersangkutan dan telah dikonfirmasikan kepada
Pemegang Kartu Kredit;
b) Penerbit …
4
b. Penerbit Kartu Kredit dilarang menghambat keinginan
Pemegang Kartu Kredit untuk melakukan pengakhiran
dan/atau penutupan fasilitas Kartu Kredit, antara lain
dengan:
1) memberlakukan persyaratan batas waktu minimal
penggunaan Kartu Kredit untuk dapat diakhiri, seperti
penetapan persyaratan pengakhiran dan/atau
penutupan penggunaan Kartu Kredit yang hanya dapat
dilakukan oleh Pemegang Kartu Kredit setelah
Pemegang Kartu Kartu Kredit menggunakan Kartu
Kredit paling kurang 3 (tiga) tahun atau lebih; dan/atau
2) menunda proses permohonan pengakhiran dan/atau
penutupan fasilitas Kartu Kredit yang diajukan
Pemegang Kartu Kredit dengan berbagai alasan;
c. Penerbit Kartu Kredit wajib melakukan pemblokiran Kartu
Kredit sejak menerima permohonan pengakhiran dan/atau
penutupan fasilitas Kartu Kredit yang diajukan Pemegang
Kartu Kredit sebagaimana dimaksud dalam huruf a;
d.
terhadap Kartu Kredit yang telah diblokir sebagaimana
dimaksud dalam huruf c, Penerbit dilarang mengenakan
biaya dan denda tambahan selain biaya dan denda terkait
dengan transaksi yang telah dilakukan oleh Pemegang Kartu
Kredit sebelum dilakukannya pemblokiran, atau biaya dan
denda terkait dengan kewajiban yang belum dipenuhi oleh
Pemegang Kartu Kredit;
e.
setelah melakukan pemblokiran sebagaimana dimaksud
dalam huruf c, Penerbit Kartu Kredit harus melakukan
pengakhiran dan/atau penutupan fasilitas Kartu Kredit
dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja terhitung
sejak:
1)
tanggal diterimanya permohonan dalam hal Pemegang
Kartu Kredit tidak memiliki kewajiban kepada Penerbit
Kartu Kredit; atau
1) tanggal …
5
2)
tanggal diterimanya pelunasan seluruh kewajiban
Pemegang Kartu Kredit oleh Penerbit Kartu Kredit,
dalam hal Pemegang Kartu Kredit masih memiliki
kewajiban kepada Penerbit Kartu Kredit;
f. dalam hal terdapat saldo kredit, Penerbit Kartu Kredit harus
mengembalikan saldo kredit kepada Pemegang Kartu Kredit
paling lambat pada tanggal dilakukannya pengakhiran
dan/atau penutupan fasilitas Kartu Kredit oleh Penerbit
Kartu Kredit. Pengembalian saldo kredit wajib dilakukan
melalui transfer ke rekening simpanan yang ditentukan oleh
Pemegang Kartu Kredit. Pengembalian saldo kredit berlaku
apabila saldo kredit tersebut berjumlah lebih besar dari biaya
transfer pengembalian. Biaya transfer saldo kredit menjadi
beban Pemegang Kartu Kredit yang dapat dibebankan pada
saldo kredit tersebut;
g. pengakhiran dan/atau penutupan fasilitas Kartu Kredit
dapat dilakukan untuk kartu utama dan/atau kartu
tambahan dengan ketentuan sebagai berikut:
1) pengakhiran dan/atau penutupan fasilitas Kartu Kredit
untuk kartu utama dilakukan terhadap kartu utama
dan kartu tambahan apabila ada;
2) pengakhiran dan/atau penutupan fasilitas Kartu Kredit
untuk kartu tambahan dilakukan hanya terhadap kartu
tambahan;
h. Penerbit Kartu Kredit wajib memberikan pernyataan
penutupan (closing statement) Kartu Kredit kepada Pemegang
Kartu Kredit, yang paling sedikit memuat pernyataan bahwa:
1)
fasilitas Kartu Kredit yang diberikan kepada Pemegang
Kartu Kredit telah diakhiri dan/atau ditutup;
2) Pemegang …
6
2) Pemegang Kartu Kredit telah menyelesaikan seluruh
kewajibannya kepada Penerbit Kartu Kredit
sehubungan dengan fasilitas Kartu Kredit yang telah
diakhiri dan/atau ditutup; dan
3) Pemegang Kartu Kredit tidak akan dikenakan biaya
dalam bentuk apapun di kemudian hari sehubungan
dengan fasilitas Kartu Kredit yang telah diakhiri
dan/atau ditutup;
i. dalam hal terdapat alasan yang cukup bagi Penerbit Kartu
Kredit untuk menutup Kartu Kredit, maka Penerbit Kartu
Kredit dapat menutup Kartu Kredit dengan tetap wajib
menyampaikan pernyataan penutupan (closing statement),
dengan dilengkapi informasi paling sedikit mengenai alasan
pengakhiran dan/atau penutupan Kartu Kredit, serta
informasi terkait mekanisme pemenuhan kewajiban yang
masih harus diselesaikan oleh Pemegang Kartu Kredit; dan
j. pernyataan penutupan (closing statement) sebagaimana
dimaksud dalam huruf h dan huruf i disampaikan dalam
bentuk surat dan/atau surat elektronik yang harus sudah
sampai pada alamat Pemegang Kartu Kredit paling lambat
10 (sepuluh) hari kerja setelah tanggal dilakukannya
pengakhiran dan/atau penutupan fasilitas Kartu Kredit.
Pada saat Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku, Surat
Edaran Bank Indonesia Nomor 14/34/DASP tanggal 27 November 2012
perihal Batas Maksimum Suku Bunga Kartu Kredit, dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.
Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku setelah 6 (enam)
bulan terhitung sejak tanggal diterbitkan.
Agar …
7
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman
Surat Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita
Negara Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA,
ENI V. PANGGABEAN
KEPALA DEPARTEMEN KEBIJAKAN DAN
PENGAWASAN SISTEM PEMBAYARAN
"," SE-BI
18/33/DKSP|SE-BI/2016
Perubahan Keempat atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/10/DASP tanggal 13 April 2009 perihal Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu
2 Desember 2016
setelah 6 (enam) bulan terhitung sejak 2 Desember 2016
'11/10/DASP|SE-BI/2009'
'14/17/DASP|SE-BI/2012', '16/25/DKSP|SE-BI/2014', '17/51/DKSP|SE-BI/2015'
'14/34/DASP|SE-BI/2012'
'11/10/DASP|SE-BI/2009', '14/2/PBI/2012', '11/11/PBI/2009', '14/17/DASP|SE-BI/2012', '16/25/DKSP|SE-BI/2014', '17/51/DKSP|SE-BI/2015'
"
" No.18/1/DPSP
Jakarta, 5 Januari 2016
S U R A T E D A R A N
Perihal : Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor
17/32/DPSP tanggal 13 November 2015 perihal Tata Cara
Lelang Surat Berharga Negara di Pasar Perdana dan
Penatausahaan Surat Berharga Negara
Sehubungan dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor
10/13/PBI/2008 tentang Lelang dan Penatausahaan Surat Berharga Negara
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 123, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4888) sebagaimana telah
diubah beberapa kali, terakhir dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor
17/19/PBI/2015 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor
274, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5763) dan
Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/18/PBI/2015 tentang Penyelenggaraan
Transaksi, Penatausahaan Surat Berharga, dan Setelmen Dana Seketika
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 273, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5762) serta Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 203/PMK.08/2015 tentang Perubahan atas Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 43/PMK.08/2013 tentang Lelang Surat Utang
Negara Dalam Mata Uang Rupiah dan Valuta Asing di Pasar Perdana
Domestik, perlu melakukan perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia
Nomor 17/32/DPSP tanggal 13 November 2015 perihal Tata Cara Lelang
Surat Berharga Negara di Pasar Perdana dan Penatausahaan Surat Berharga
Negara sebagai berikut:
1. Ketentuan butir II.A.1.g.2) diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
2) Pengajuan penawaran Lelang SBN dalam Rupiah dilakukan
dengan ketentuan sebagai berikut:
a) Lelang SUN dalam Rupiah
Dalam hal Dealer Utama mengajukan penawaran Lelang
SUN dalam Rupiah untuk dan atas nama diri sendiri atau
untuk ...
2
untuk dan atas nama pihak lain selain Bank Indonesia dan
LPS, maka pengajuan penawaran dilakukan dengan tata
cara sebagai berikut:
(1) pengajuan penawaran pada lelang Obligasi Negara
dilakukan dengan cara Penawaran Pembelian
Kompetitif (Competitive Bidding) dan/atau Penawaran
Pembelian Nonkompetitif (Non-competitive Bidding);
(2) pengajuan penawaran pada lelang SPN dilakukan
dengan cara Penawaran Pembelian Kompetitif
(Competitive Bidding).
b) Lelang SBSN dalam Rupiah
(1) Dalam hal Peserta Lelang mengajukan penawaran
Lelang SBSN dalam Rupiah untuk dan atas nama diri
sendiri dan/atau melalui Peserta Lelang lain maka
penawaran hanya dapat dilakukan dengan cara
Penawaran Pembelian Kompetitif (Competitive Bidding).
(2) Dalam hal Peserta Lelang mengajukan penawaran Lelang
SBSN dalam Rupiah untuk dan atas nama pihak lain
selain Bank Indonesia dan LPS maka pengajuan
penawaran dilakukan dengan tata cara sebagai berikut:
(a) pengajuan penawaran pada lelang SBSN jangka
pendek dilakukan dengan cara Penawaran
Pembelian Kompetitif (Competitive Bidding);
(b) pengajuan penawaran pada lelang SBSN jangka
panjang dilakukan dengan cara Penawaran
Pembelian Kompetitif (Competitive Bidding)
dan/atau Penawaran Pembelian Nonkompetitif
(Non-competitive Bidding).
2. Ketentuan butir II.B.1.e.1)d) diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
d) Pengajuan penawaran dibatasi paling banyak sebesar
Penawaran Pembelian Nonkompetitif (Non-competitive Bidding)
dalam lelang SUN pada masing-masing seri SUN yang
ditawarkan.
3. Ketentuan ...
3
3. Ketentuan butir II.C.1.i diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
i. Lelang SUN dalam valuta asing dilakukan dengan ketentuan
sebagai berikut:
1) Penawaran lelang SUN dalam valuta asing dilakukan
dengan mengajukan Penawaran Pembelian Kompetitif
(Competitive Bidding) dan/atau Penawaran Pembelian
Nonkompetitif (Non-competitive Bidding) dalam suatu
periode waktu (window time) penawaran yang telah
ditentukan dan diumumkan sebelumnya.
2) Dalam hal Dealer Utama mengajukan penawaran lelang
SUN dalam valuta asing untuk dan atas nama diri sendiri
atau untuk dan atas nama pihak lain selain Bank Indonesia
dan LPS, maka pengajuan penawaran dilakukan dengan
tata cara sebagai berikut:
a) penawaran pada lelang Obligasi Negara dalam valuta
asing dilakukan dengan cara Penawaran Pembelian
Kompetitif (Competitive Bidding) dan/atau Penawaran
Pembelian Nonkompetitif (Non-competitive Bidding);
b) penawaran pada lelang SPN dalam valuta asing
dilakukan dengan cara Penawaran Pembelian
Kompetitif (Competitive Bidding).
3) LPS dapat mengajukan penawaran lelang SUN dalam valuta
asing berupa SPN dan Obligasi Negara dalam valuta asing
dengan tata cara sebagai berikut:
a) penawaran dilakukan secara langsung tanpa melalui
Dealer Utama; dan
b) penawaran hanya untuk Penawaran Pembelian
Nonkompetitif (Non-competitive Bidding).
4) Lelang SUN dalam valuta asing dilaksanakan pada hari
Senin antara pukul 09.00 WIB sampai dengan pukul 11.00
WIB atau pada hari kerja dan waktu lain yang ditetapkan
Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko
untuk dan atas nama Menteri.
5) Dalam hal terdapat perubahan jadwal lelang SUN dalam
valuta asing, Bank Indonesia mengumumkan perubahan
jadwal ...
4
jadwal pelaksanaan lelang sebagaimana dimaksud dalam
angka 4) melalui Bloomberg, Sistem LHBU, dan/atau
sarana komunikasi lain yang digunakan Bank Indonesia.
6) Sarana yang digunakan untuk pengajuan penawaran lelang
SUN dalam valuta asing adalah terminal Bloomberg atau
sarana lain yang ditetapkan Bank Indonesia.
7) Dalam hal Bank mengajukan penawaran lelang SUN dalam
valuta asing melalui Dealer Utama, Bank yang
bersangkutan harus menetapkan Batas Paling Tinggi
Nominal Penawaran (Broker Bidding Limit) per hari untuk
lelang SUN dalam valuta asing bagi Dealer Utama.
8) Peserta Transaksi yang tidak memiliki Rekening Surat
Berharga yang mengajukan penawaran lelang SUN dalam
valuta asing harus menunjuk Sub-Registry untuk
pelaksanaan Setelmen hasil lelang SUN dalam valuta asing.
9) Sub-Registry yang ditunjuk untuk pelaksanaan Setelmen hasil
lelang SUN dalam valuta asing harus menetapkan Batas Paling
Tinggi Nominal Penawaran (Broker Bidding Limit) per hari
untuk lelang SUN dalam valuta asing bagi Peserta Transaksi
untuk kepentingan nasabah Sub-Registry.
10) Penetapan Batas Paling Tinggi Nominal Penawaran (Broker
Bidding Limit) per hari untuk lelang SUN dalam valuta asing
sebagaimana dimaksud dalam angka 7) dan angka 9) harus
diatur dalam suatu perjanjian antara Bank atau Sub-
Registry dengan Dealer Utama.
11) Peserta Transaksi harus menyampaikan penawaran lelang
SUN dalam valuta asing dengan informasi yang lengkap dan
benar berdasarkan dokumen instruksi transaksi.
12) Peserta Transaksi bertanggung jawab atas kebenaran data
penawaran pembelian lelang SUN dalam valuta asing.
4. Di antara angka III dan angka IV disisipkan 1 (satu) angka baru yakni
angka IIIA yang berbunyi sebagai berikut:
IIIA. LAIN-LAIN ...
5
IIIA. LAIN-LAIN
Dalam hal terdapat situasi atau kondisi yang terjadi akibat
adanya gangguan atau kerusakan pada perangkat keras,
perangkat lunak, jaringan komunikasi, aplikasi, maupun sarana
pendukung teknologi informasi yang ada pada Direktorat
Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko dan/atau Bank
Indonesia yang mempengaruhi kelancaran pelaksanaan Lelang
SBN dan/atau Lelang SBN Tambahan pada tahapan persiapan,
tahapan pelaksanaan, atau tahapan Setelmen maka Bank
Indonesia akan mengumumkan keputusan Direktur Jenderal
Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko untuk dan atas nama
Menteri terhadap pelaksanaan Lelang dan Setelmen melalui
Sistem LHBU dan/atau sarana komunikasi lain yang digunakan
Bank Indonesia.
Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal
5 Januari 2016.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman
Surat Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita
Negara Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA,
BRAMUDIJA HADINOTO
KEPALA DEPARTEMEN PENYELENGGARAAN
SISTEM PEMBAYARAN
"," SE-BI
18/1/DPSP|SE-BI/2016
Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/32/DPSP tanggal 13 November 2015 perihal Tata Cara Lelang Surat Berharga Negara di Pasar Perdana dan Penatausahaan Surat Berharga Negara
5 Januari 2016
5 Januari 2016
'17/32/DPSP|SE-BI/2015'
'203/PMK.08/2015|PER-MENKEU/2015', '17/32/DPSP|SE-BI/2015', '10/13/PBI/2008', '17/18/PBI/2015', '43/PMK.08/2013|PER-MENKEU/2013', '17/19/PBI/2015'
"
" No. 9/10/DASP
Jakarta, 9 April 2007
S U R A T E D A R A N
Kepada
SEMUA PESERTA
SISTEM KLIRING NASIONAL BANK INDONESIA
DI INDONESIA
Perihal: Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 7/26/DASP
tanggal 22 Juli 2005 perihal Sistem Kliring Nasional Bank
Indonesia
Dalam rangka lebih mendukung kelancaran penyelenggaraan Sistem
Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI), dipandang perlu untuk melakukan
perubahan terhadap beberapa ketentuan dalam Lampiran Surat Edaran Bank
Indonesia Nomor 7/26/DASP tanggal 22 Juli 2005 perihal Sistem Kliring
Nasional Bank Indonesia (SE SKNBI) yang berkaitan dengan penyelenggara,
kepesertaan, kewajiban Peserta, pendanaan awal (prefund), kondisi gangguan dan
Keadaan Darurat serta cara pengenaan sanksi sebagai berikut:
1. Ketentuan huruf A mengenai Tanggung Jawab PKN dan huruf B mengenai
Tanggung Jawab PKL pada Bab II tentang Penyelenggara;
2. Ketentuan mengenai tata cara pendaftaran menjadi Peserta dan penggantian
Tanda Pengenal Petugas Kliring (TPPK) di Wilayah Kliring yang
menggunakan proximity dalam hal terjadi perubahan nama Bank, perubahan
sebutan nama kantor Peserta, perubahan alamat Peserta, penggabungan
usaha (merger), peleburan usaha (konsolidasi), dan perubahan Bank
Konvensional menjadi Bank yang melaksanakan kegiatan usaha
berdasarkan prinsip syariah, pada Bab III tentang Kepesertaan;
3. Ketentuan …
3. Ketentuan butir A.1 mengenai penyediaan TPK Utama dan TPK Back-up
serta sarana pendukung yang ditetapkan Bank Indonesia pada Bab IV
tentang Kewajiban dan Tanggung Jawab Bank sebagai Peserta;
4. Ketentuan butir A.1 mengenai cara penghitungan pendanaan awal (prefund)
pada Bab VI tentang Pendanaan Awal (Prefund);
5. Ketentuan pada Bab XII tentang Kondisi Gangguan dan Keadaan Darurat;
6. Ketentuan huruf A mengenai cara pengenaan sanksi terkait penolakan
Warkat Debet dan DKE Debet pada Kliring pengembalian dalam kondisi
gangguan dan/atau Keadaan Darurat pada Bab XV tentang Sanksi;
7. Ketentuan mengenai jenis-jenis laporan yang didistribusikan kepada Peserta
dalam Kliring Debet pada Lampiran 7.4 tentang Jenis Laporan Kliring
Debet pada Bab VII tentang Penyelenggaraan Kliring Debet; dan
8. Ketentuan mengenai jenis-jenis laporan yang didistribusikan kepada Peserta
dalam Kliring Kredit pada Lampiran 8 tentang Jenis Laporan Kliring Kredit
pada Bab VIII tentang Penyelenggaraan Kliring Kredit,
diubah menjadi sebagaimana tercantum dalam lampiran Surat Edaran ini, yang
merupakan satu kesatuan dan bagian yang tidak terpisahkan dari Surat Edaran
ini.
Ketentuan dalam Surat Edaran ini berlaku sejak tanggal 23 April 2007.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat
Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA,
EDI SISWANTO
DIREKTUR AKUNTING DAN
SISTEM PEMBAYARAN
"," SE-BI
9/10/DASP|SE-BI/2007
Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 7/26/DASP tanggal 22 Juli 2005 perihal Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia
9 April 2007
23 April 2007
'7/26/DASP|SE-BI/2005'
'7/26/DASP|SE-BI/2005'
"
" No. 5/ 4 /DPM
Jakarta, 21 Maret 2003
SURAT EDARAN
Perihal: Tata Cara Lelang Surat Utang Negara di Pasar Perdana
Sehubungan dengan ditetapkannya Peraturan
Bank
Indonesia Nomor
5/4/PBI/2003 tanggal 21 Maret 2003 tentang Penerbitan, Penjualan dan Pembelian
serta Penatausahaan Surat Utang Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2003 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4278), maka
dipandang perlu untuk menetapkan petunjuk pelaksanaan mengenai Tata Cara
Lelang Surat Utang Negara di Pasar Perdana.
I. Ketentuan Umum
1. Surat Utang Negara yang selanjutnya disebut SUN yang diterbitkan dan
dijual dengan cara lelang di Pasar Perdana terdiri dari :
a. Surat Perbendaharaan Negara yang selanjutnya disebut SPN yaitu
SUN dalam mata uang Rupiah yang berjangka waktu sampai dengan
12 (dua belas) bulan, dengan pembayaran bunga secara diskonto; dan
b. Obligasi Negara yang selanjutnya disebut ON yaitu SUN dalam mata
uang Rupiah yang berjangka waktu lebih dari 12 (dua belas) bulan
dengan kupon dan atau dengan pembayaran bunga secara diskonto.
2. Pihak yang dapat membeli SUN di Pasar Perdana yaitu orang perorangan,
perusahaan, usaha bersama, asosiasi atau kelompok yang terorganisasi.
3. Pihak…
3. Pihak yang dapat mengikuti Lelang SUN di Pasar Perdana yang
selanjutnya disebut Peserta Lelang terdiri dari Bank, Perusahaan Pialang
Pasar Uang dan Perusahaan Efek yang telah ditunjuk oleh Menteri
Keuangan Republik Indonesia.
4. Pembeli yang bukan Peserta Lelang mengajukan penawaran pembelian
SUN melalui Peserta Lelang.
5. Penawaran pembelian lelang dapat dilakukan dengan cara Penawaran
Pembelian Kompetitif atau dengan cara kombinasi Penawaran Pembelian
Kompetitif dan Penawaran Pembelian Non-kompetitif.
6. Penawaran Pembelian Kompetitif (competitive bidding)
adalah
pengajuan penawaran pembelian dengan mencantumkan volume dan
tingkat imbal hasil (yield) yang diinginkan penawar.
7. Penawaran Pembelian Non-kompetitif (non-competitive bidding) adalah
pengajuan penawaran pembelian dengan mencantumkan volume tanpa
tingkat imbal hasil (yield) yang diinginkan penawar.
8.
Persentase untuk Penawaran Pembelian Kompetitif dan Penawaran
Pembelian Non-kompetitif ditentukan sebelum Lelang SUN. Dalam hal
Penawaran Pembelian Kompetitif melebihi target yang
ditetapkan
sedangkan Penawaran Pembelian Non-kompetitif lebih kecil dari target
yang ditetapkan, atau sebaliknya, alokasi persentase Penawaran
Pembelian Kompetitif dan Penawaran Pembelian Non-kompetitif dapat
disesuaikan untuk menyerap kelebihan atau kekurangan pada salah satu
jenis penawaran lelang.
9. Setelmen hasil Lelang SUN di Pasar Perdana dilakukan dengan ketentuan
sebagai berikut :
a. SPN…
a. SPN dilakukan pada satu hari kerja berikutnya
pelaksanaan lelang SPN (T+1);
setelah
hari
b. ON selambat-lambatnya dilakukan pada 5 hari kerja berikutnya
setelah pengumuman hasil pengumuman pemenang lelang ON (T+5).
10. Pihak pembeli SUN wajib memiliki :
a. Rekening surat berharga di Central Registry atau Sub-Registry untuk
melakukan setelmen hasil Lelang SUN;
b. Rekening giro Rupiah di Bank Indonesia atau menunjuk Bank untuk
melakukan setelmen dana.
11. Dalam rangka setelmen hasil Lelang SUN di Pasar Perdana, Bank
Indonesia berwenang melakukan pendebetan rekening giro Rupiah Bank
di Bank Indonesia milik pemenang Lelang SUN atau Bank yang ditunjuk
untuk setelmen dana.
12. Setelmen hasil Lelang SUN terdiri dari:
a. Setelmen surat berharga (securities settlement)
Setelmen surat berharga dilakukan oleh Central Registry secara gross
dengan cara mengkredit rekening surat berharga pembeli SUN di
Central Registry sebesar nilai nominal SUN.
b. Setelmen dana (fund settlement)
Setelmen dana dilakukan Bank Indonesia cq. Bagian Penyelesaian
Transaksi Pasar Uang, Direktorat Pengelolaan Moneter, yang
selanjutnya disebut Bagian PTPU-DPM secara gross atau netting
dengan mendebet rekening giro Rupiah di Bank Indonesia milik
pemenang Lelang SUN atau Bank yang ditunjuk, dan mengkredit
rekening giro Rupiah Pemerintah di Bank Indonesia melalui Sistem
Bank Indonesia Real Time Gross Settlement yang selanjutnya disebut
Sistem BI-RTGS sebesar harga setelmen Lelang SUN.
II. Tata…
II. Tata Cara Lelang SUN
A. Ketentuan dan Persyaratan
1.
Lelang SUN dilakukan berdasarkan target kuantitas dengan
memperhatikan tingkat diskonto atau yield dari penawaran yang
diterima.
2. Bank dan Perusahaan Efek dapat mengajukan penawaran Lelang SUN
untuk dan atas nama diri sendiri dan pihak lain yaitu orang perorangan,
perusahaan, usaha bersama, asosiasi atau kelompok yang terorganisasi.
3. Perusahaan Pialang Pasar Uang hanya dapat mengajukan penawaran
Lelang SUN untuk kepentingan pihak lain yaitu orang perorangan,
perusahaan, usaha bersama, asosiasi atau kelompok yang terorganisasi.
4. Dalam hal Peserta Lelang mengajukan penawaran pembelian SUN
untuk dan atas nama diri sendiri maka penawaran pembelian hanya
dapat dilakukan dengan cara Penawaran Pembelian Kompetitif.
5. Dalam hal Peserta Lelang mengajukan penawaran pembelian SUN
untuk dan atas nama pihak lain yaitu orang perorangan, perusahaan,
usaha bersama, asosiasi atau kelompok yang terorganisasi, maka
pengajuan penawaran dapat dilakukan dengan cara Penawaran
Pembelian Kompetitif dan atau Penawaran Pembelian Non-kompetitf.
6. Dalam hal Lelang SUN dilaksanakan, maka pelaksanaan dilakukan
pada hari Selasa, atau pada hari kerja lain apabila hari Selasa jatuh
pada hari libur. Setiap perubahan jadwal Lelang SUN diumumkan oleh
Bank Indonesia melalui Pusat Informasi Pasar Uang yang selanjutnya
disebut PIPU dan atau sarana lain yang ditetapkan Bank Indonesia.
7. Sarana yang digunakan untuk pengajuan penawaran Lelang SUN
adalah Automatic Bidding System yang selanjutnya disebut ABS,
Reuters Monitor Dealing System yang selanjutnya disebut RMDS, atau
sarana lain yang ditetapkan Bank Indonesia, dan diumumkan sebelum
pelaksanaan Lelang SUN.
8. Bank…
8. Bank Indonesia mengumumkan rencana target kuantitas lelang berupa
target indikatif selambat-lambatnya 1 (satu) hari kerja sebelum hari
pelaksanaan Lelang SUN melalui PIPU dan atau sarana lain yang
ditetapkan Bank Indonesia.
9. Dalam hal Lelang SUN menggunakan ABS, maka
persyaratan
administrasi bagi Peserta Lelang adalah sebagai berikut :
a. Peserta Lelang wajib menyampaikan sebanyak-banyaknya 3 (tiga)
nama pejabat yang berwenang (authorized dealer) untuk melakukan
transaksi Lelang SUN dan User Unique Identification yang
selanjutnya disebut UUID dari masing-masing
bersangkutan.
pejabat
yang
b. Persyaratan administrasi bagi Peserta Lelang tersebut disampaikan
kepada Bank Indonesia cq. Bagian Operasi Pasar Uang, Direktorat
Pengelolaan Moneter yang selanjutnya disebut Bagian OPU-DPM,
Gedung B Lantai 10, Jl. M.H. Thamrin No. 2, Jakarta 10010,
dengan menggunakan formulir sebagaimana contoh Lampiran 1.
c. Dalam hal terjadi perubahan pejabat yang berwenang (authorized
dealer) dan atau UUID sebagaimana dimaksud pada huruf a,
Peserta Lelang wajib melaporkan perubahan tersebut kepada Bank
Indonesia cq. Bagian OPU-DPM, dengan menggunakan formulir
sebagaimana contoh Lampiran 2. Laporan perubahan dimaksud
wajib disampaikan selambat-lambatnya 1 (satu) hari kerja sebelum
pejabat yang bersangkutan melakukan transaksi Lelang SUN.
d. Peserta Lelang wajib menjaga keamanan penggunaan UUID serta
bertanggung jawab penuh atas transaksi Lelang SUN yang diajukan
kepada Bank Indonesia.
e. Tata…
e. Tata cara pelaksanaan Lelang SUN dengan menggunakan sarana
ABS mengikuti mekanisme dalam Standard Operating Procedure
(SOP) ABS sebagaimana Lampiran 2a.
10. Dalam hal pelaksanaan Lelang SUN menggunakan sarana lelang lain,
persyaratan administrasi dan mekanisme lelang akan ditetapkan oleh
Bank Indonesia.
B. Tatacara Pelaksanaan Lelang SUN
1. Bank Indonesia mengumumkan target indikatif dan tanggal pelaksanaan
Lelang SUN melalui PIPU dan atau sarana lain yang ditetapkan Bank
Indonesia.
2. Pengumuman rencana Lelang SUN antara lain memuat:
a. waktu pelaksanaan lelang;
b. target indikatif yang ditawarkan;
c. jangka waktu SUN;
d. tanggal penerbitan dan tanggal jatuh tempo;
e. mata uang;
f. waktu pembukaan dan penutupan penawaran pembelian (bid);
g. waktu pengumuman hasil lelang;
h. tanggal setelmen;
i. alokasi untuk Penawaran Pembelian Non-kompetitif dalam hal
dilakukan kombinasi lelang kompetitif dan non-kompetitif;
j. sarana pengajuan penawaran lelang.
3. Pada hari pelaksanaan Lelang SUN, Peserta
Lelang mengajukan
penawaran kuantitas dan tingkat diskonto atau yield menurut jangka
waktu untuk Penawaran Pembelian Kompetitif atau penawaran
kuantitas untuk Penawaran Pembelian Non-kompetitif, dari pukul 10.00
WIB sampai dengan pukul 12.00 WIB.
4. Peserta…
4. Peserta Lelang mengajukan penawaran Lelang SUN kepada Bank
Indonesia cq. Bagian OPU-DPM, dengan ketentuan penyampaian
sebagai berikut :
a. Bank
Pengajuan penawaran dilakukan oleh :
1) Kantor Pusat Bank dalam hal :
a) berkedudukan di wilayah kerja Kantor Pusat
Indonesia yang selanjutnya disebut KPBI; atau
Bank
b) berkedudukan di wilayah kerja Kantor Bank Indonesia yang
selanjutnya disebut KBI dan tidak memiliki kantor cabang
di wilayah kerja KPBI.
2) Kantor cabang Bank yang berada di wilayah kerja KPBI dalam
hal Bank berkantor pusat di wilayah kerja KBI.
Penunjukan kantor cabang Bank dimaksud wajib disampaikan
kepada Bank Indonesia cq. Bagian OPU-DPM, selambat-
lambatnya 1 (satu) hari kerja sebelum transaksi Lelang SUN dan
tetap berlaku sampai dengan ada surat pencabutan penunjukan
dimaksud.
b. Perusahaan Pialang Pasar Uang dan Perusahaan Efek
Pengajuan penawaran dilakukan oleh kantor
Pialang Pasar Uang dan Perusahaan Efek.
pusat
Perusahaan
5. Penawaran Lelang SUN yang mencakup penawaran kuantitas dan
tingkat diskonto atau yield menurut jangka waktu diatur dengan
ketentuan sebagai berikut :
a. pengajuan penawaran kuantitas dari masing-masing
Lelang sekurang-kurangnya 1.000 (seribu)
unit
Peserta
atau
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar Rupiah), dan selebihnya dengan
kelipatan 100 (seratus) unit atau Rp100.000.000,00 (seratus juta
Rupiah);
b. penawaran…
b. penawaran yang diajukan oleh Perusahaan Pialang Pasar Uang
atau Perusahaan Efek, wajib disertai konfirmasi langsung dari
Bank yang ditunjuk sebagai Bank pembayar untuk melakukan
setelmen dana;
c.
Bank sebagaimana dimaksud dalam
huruf b, wajib
menyampaikan konfirmasi kepada Bank Indonesia cq. Bagian
OPU-DPM, selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) menit setelah
penutupan waktu Lelang SUN melalui RMDS atau telepon yang
ditegaskan dengan faksimili dengan menggunakan formulir
sebagaimana contoh Lampiran 3.
d. penawaran diskonto atau yield diajukan dengan kelipatan 0,01%
(satu per sepuluh ribu).
6. Peserta Lelang bertanggung jawab atas kebenaran data penawaran
pembelian yang diajukan.
7. Peserta Lelang yang telah mengajukan penawaran dilarang
membatalkan penawarannya.
C. Penentuan Pemenang Lelang SUN
1. Menteri Keuangan Republik Indonesia menetapkan
pemenang Lelang SUN di Pasar Perdana.
hasil
dan
2. Metode penentuan pemenang Lelang SUN dilakukan dengan sistem
Stop-out Rate yaitu penjualan SUN berdasarkan target indikatif
SUN yang akan dijual Pemerintah.
3. Stop-out Rate yang selanjutnya disebut SOR adalah tingkat diskonto
atau yield tertinggi yang dihasilkan dari penawaran Lelang SUN di
Pasar Perdana dalam rangka mencapai target indikatif SUN yang
akan dijual Pemerintah. SOR ditetapkan oleh Menteri Keuangan
Republik Indonesia.
4. Penentuan…
4. Penentuan harga pemenang Lelang SUN dilakukan dengan metode
harga beragam (multiple price) atau harga seragam (uniform price).
5. Penentuan harga dan kuantitas bagi masing-masing pemenang
lelang dilakukan sebagai berikut:
a. Metode harga beragam (multiple Price)
1) Penawaran Pembelian Kompetitif
i. Dalam hal penawaran tingkat diskonto atau yield lebih
rendah dari SOR, Peserta Lelang memperoleh seluruh
penawaran kuantitas SUN yang diajukan dengan tingkat
diskonto atau yield yang diajukan.
ii. Dalam hal penawaran tingkat diskonto atau yield sama
dengan SOR, Peserta Lelang dapat memperoleh seluruh
atau sebagian penawaran kuantitas SUN yang diajukan
berdasarkan perhitungan secara proporsional, dengan
tingkat diskonto atau yield yang diajukan.
Perhitungan penetapan pemenang Lelang SUN dengan
metode harga beragam (multiple price) sebagaimana
contoh Lampiran 4.
2) Penawaran Pembelian Non-kompetitif
i. Penetapan harga SUN bagi pemenang Lelang SUN
dihitung berdasarkan harga rata-rata tertimbang (weighted
average price) dari hasil lelang Penawaran Pembelian
Kompetitif.
ii. Penetapan kuantitas SUN bagi pemenang lelang dilakukan
sebagai berikut :
(1) Dalam hal jumlah penawaran lebih kecil dari alokasi
maksimum untuk lelang non-kompetitif,
Peserta
Lelang memperoleh seluruh kuantitas yang diajukan.
(2) Dalam…
(2) Dalam hal jumlah penawaran lebih besar dari alokasi
maksimum untuk lelang non-kompetitif, Peserta
Lelang memperoleh sebagian penawaran kuantitas
yang diajukan, berdasarkan perhitungan secara
proporsional.
b. Metode harga seragam (Uniform Price)
1) Penawaran Pembelian Kompetitif
i. Dalam hal penawaran tingkat diskonto atau yield lebih
rendah dari SOR, Peserta Lelang yang bersangkutan
memperoleh seluruh penawaran kuantitas SUN yang
diajukan.
ii. Dalam hal penawaran tingkat diskonto atau yield sama
dengan SOR, Peserta Lelang yang bersangkutan dapat
memperoleh seluruh penawaran kuantitas SUN sebesar
nilai rata-rata tertimbang (weighted average price) SOR
atau sebagian dari penawaran kuantitas SUN berdasarkan
perhitungan secara proporsional.
Perhitungan penetapan pemenang Lelang SUN dengan
metode harga seragam sebagaimana contoh Lampiran 5.
iii. Penetapan harga bagi seluruh pemenang Lelang SUN
adalah harga rata-rata tertimbang
(weighted
average
price) pemenang Lelang SUN pada Penawaran Pembelian
Kompetitif.
2) Penawaran Pembelian Non-kompetitif
i. Penetapan harga SUN bagi pemenang
Lelang SUN
dengan Penawaran Pembelian Non-kompetitif adalah
sebesar harga rata-rata tertimbang (weighted average
price) hasil lelang Penawaran Pembelian Kompetitif.
ii. Penetapan…
ii. Penetapan kuantitas SUN bagi pemenang Lelang SUN
dilakukan sebagai berikut :
1) Dalam hal jumlah penawaran lebih kecil dari alokasi
maksimum untuk lelang non-kompetitif, Peserta
Lelang memperoleh seluruh penawaran kuantitas
yang diajukan.
2) Dalam hal jumlah penawaran lebih besar dari alokasi
maksimum untuk lelang non-kompetitif, Peserta
Lelang memperoleh sebagian penawaran
yang
diajukan, berdasarkan perhitungan secara
proporsional.
6. Dalam hal penawaran yang diajukan menghasilkan tingkat diskonto
atau yield di luar batas kewajaran, Menteri Keuangan Republik
Indonesia dapat menyesuaikan realisasi kuantitas Lelang SUN atau
membatalkan seluruh pelaksanaan Lelang SUN.
D. Pengumuman Hasil Lelang SUN
1. Bank Indonesia mengumumkan hasil Lelang SUN melalui ABS,
PIPU dan atau sarana lain yang ditetapkan Bank Indonesia pada akhir
hari pelaksanaan Lelang SUN. Pengumuman sekurang-kurangnya
mencakup:
a. kuantitas lelang secara keseluruhan;
b. rata-rata tertimbang tingkat diskonto atau yield;
c. penawaran tingkat diskonto atau yield terendah dan tertinggi.
2. Bank Indonesia mengumumkan hasil lelang SUN berupa kuantitas
dan tingkat diskonto atau yield kepada Peserta Lelang yang
memenangkan Lelang SUN melalui ABS, RMDS, atau sarana lain
yang ditetapkan Bank Indonesia pada akhir hari pelaksanaan Lelang
SUN.
3. Dalam…
3. Dalam hal Menteri Keuangan Republik Indonesia menolak seluruh
atau sebagian penawaran pembelian Lelang SUN, Bank Indonesia
mengumumkan pembatalan dimaksud.
III. Perhitungan Harga Setelmen Hasil Lelang SUN
1. Jangka waktu SUN dinyatakan dalam jumlah hari dan dihitung dari
tanggal setelmen sampai dengan tanggal jatuh tempo.
2. Jumlah hari bunga (day count) untuk perhitungan accrued interest
menggunakan basis Actual per Actual (A/A).
3. Perhitungan harga setelmen dana dilakukan sebagai berikut:
a. Untuk SPN :
Harga setelmen = (Harga bersih per unit SPN yang sudah
dibulatkan) x (jumlah unit
dimenangkan)
SPN
yang
b. Untuk ON dengan sistem kupon :
Harga setelmen = (Harga bersih per unit ON yang sudah
dibulatkan ditambah accrued interest per unit
ON yang sudah dibulatkan) x (jumlah unit ON
yang dimenangkan)
c. Untuk ON dengan sistem diskonto (zero coupon bonds)
Harga setelmen = (Harga bersih per unit ON yang sudah
dibulatkan) x (jumlah unit
dimenangkan)
ON
Rumus harga per unit SPN dan ON sebagaimana contoh Lampiran 6.
IV. Tata Cara Setelmen dan Pencatatan Kepemilikan SUN
Tata cara setelmen Lelang SUN dan pencatatan kepemilikan SUN dilakukan
sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang berlaku mengenai tata cara
penatausahaan SUN.
V. Pembatalan…
yang
V. Pembatalan Transaksi Hasil Lelang
Dalam hal Peserta Lelang yang memenangkan Lelang SUN tidak melunasi
kewajibannya sampai dengan batas akhir waktu setelmen akibat Bank yang
melakukan setelmen dana tidak memiliki saldo yang mencukupi pada
rekening giro Rupiah Bank di Bank Indonesia maka seluruh hasil Lelang
SUN yang setelmennya dilakukan melalui Bank tersebut batal.
VI. Pengenaan Sanksi
1. Dalam hal Peserta Lelang melakukan Penawaran Pembelian Non-
kompetitif untuk dan atas nama diri sendiri, Peserta Lelang dikenakan
sanksi tidak boleh mengikuti Lelang SUN sebanyak 3 (tiga) kali berturut-
turut.
2. Terhadap setiap pembatalan penawaran lelang dan pembatalan transaksi
sebagaimana dimaksud dalam butir V, maka Peserta Lelang yang terkait
dengan pembatalan dimaksud dikenakan sanksi tidak boleh mengikuti
lelang SUN sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut.
Ketentuan dalam Surat Edaran ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat
Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA
Ttd
TARMIDEN SITORUS
DIREKTUR PENGELOLAAN MONETER
Lampiran Surat Edaran Bank Indonesia No. 5/
4
/DPM tanggal 21 Maret 2003
Lampiran 1
Daftar Pejabat Yang Berwenang Melakukan Transaksi Lelang Surat Utang
Negara Dengan Menggunakan Sarana Automatic Bidding System (ABS)
Nomor:……………..
Nama Bank/Perusahaan Pialang Pasar Uang/Perusahaan Efek
Daftar pejabat yang berwenang melakukan transaksi Lelang SUN dengan
menggunakan sarana ABS:
No. Nama
1.
2.
3.
Jabatan Resmi
UUID
Tanda tangan pejabat yang berwenang:
Formulir disahkan oleh pejabat yang
berwenang dan bertindak atas
nama
perusahaan sesuai AD/ART perusahaan
disertai stempel perusahaan
Lampiran Surat Edaran Bank Indonesia No. 5/
4
/DPM tanggal 21 Maret 2003
Lampiran 2
Perubahan Daftar Pejabat Yang Berwenang Melakukan Transaksi Lelang
Surat Utang Negara Dengan Menggunakan Sarana Automatic Bidding System
(ABS)
Nomor:……………..
Nama Bank/Perusahaan Pialang Pasar Uang/Perusahaan Efek
Daftar lama pejabat yang berwenang:
No. Nama
1.
2.
3.
Daftar baru pejabat yang berwenang:
No. Nama
1.
2.
3.
Jabatan Resmi
UUID
Jabatan Resmi
UUID
Tanda tangan pejabat yang berwenang:
Formulir disahkan oleh pejabat yang
berwenang dan bertindak atas
nama
perusahaan sesuai AD/ART perusahaan
disertai stempel perusahaan
Lampiran Surat Edaran Bank Indonesia No. 5/
4
/DPM tanggal 21 Maret 2003
Lampiran 3
Kepada :
Bank Indonesia – Direktorat Pengelolaan Moneter
cq. Bagian Operasi Pasar Uang
Gedung B, Lt. 10
Jl. M.H. Thamrin No.2 Jakarta 10010
Perihal
: Konfirmasi Penawaran Lelang Surat Utang Negara (SUN)
Dengan ini kami menyampaikan konfirmasi mengenai pengajuan
penawaran Lelang SUN melalui Bank/Perusahaan Pialang Pasar Uang/Perusahaan
Efek : (Diisi Nama Bank/Pialang) untuk Lelang SUN tanggal:
……………………… dan jumlah Rp ….. (terbilang …… Rupiah)
Apabila pengajuan penawaran kami diterima maka untuk setelmen lelang
SUN dapat dilakukan dengan mendebet rekening giro Rupiah kami di Bank
Indonesia no………... sejumlah penawaran lelang SUN yang dimenangkan.
Adapun perincian penawaran lelang SUN yang kami ajukan adalah sebagai
berikut:
No. Jenis SUN
Jangka
Waktu
Tingkat
Diskonto/Yield
Penawaran
Kompetitif
Penawaran
Non-
Kompetitif
Total
Penawaran
Jumlah:
Demikian kami sampaikan konfirmasi penawaran lelang SUN dan terima
kasih atas perhatiannya.
Jakarta, ……………………….
Nama Bank
(Materai secukupnya)
Tanda tangan
Nama pejabat yang berwenang.
Lampiran Surat Edaran Bank Indonesia No. 5/ 4
/DPM tanggal 21 Maret 2003
Lampiran 4
Contoh Perhitungan Hasil Lelang SUN
SOR dengan Multiple Price
• Target indikatif : Rp 10 Triliun
• Dengan alokasi Penawaran Pembelian Kompetitif 60% dan untuk Penawaran
Pembelian Non-Kompetitif 40%
Rincian Penawaran Pembelian Kompetitif (Tabel -1):
P E N A W A R A N
NO NOMINAL
(RP
MILIAR)
1 50 50
2 450 500
3 250 750
4 1.250 2.000
5 500
2.500
6 2.000 4.500
7 250
8 1.500 6.250
9 750
4.750
7.000
10 250 7.250
0,7
6,9
10,3
27,6
34,5
62,1
65,5
86,2
96,6
100,0
13,6250
13,7500
13,7500
14,0000
14,0000
14,0000
14,0000
14,2500
14,3750
KUMULATIF
(RP MILIAR)
KUMULATIF
(%)
DISKONTO
(%)
Rata-Rata
Tertimbang
(%)
13,6250
13,7380
13,7420
13,9030
13,9230
13,9570
13,9690
13,9990
14,0120
Weighted
average
pada
kumulatif
14,0000 13,9590 239
13,9673%
Rp 6 triliun
=
1.432
0
H A S I L
NOMINAL
DIMENANGKAN
(RP MILIAR)
50
450
250
1.193
477
1.909
KUMULATIF
(RP MILIAR)
50
500
750
1.943
2.420
4.330
4.568
6.000
6.000
0 6.000
Rincian Penawaran Pembelian Non-Kompetitif (Tabel -2):
P E N A W A R A N
H A S I L
NO NOMINAL
(RP
MILIAR)
1 375 375
2 400 775
3 450
4 500
5 525
6 550
7 575
8 600
9 625
10 650 5250
7.14
1225
1725
2250
2800
3375
3975
4600
14.76
23.33
32.86
42.86
53.33
64.29
75.71
87.62
100.00
KUMULATIF
(RP MILIAR)
KUMULATIF
(%)
NOMINAL
DIMENANGKAN
(RP MILIAR)
286
305
343
381
400
419
438
457
KUMULATIF
(RP MILIAR)
286
590
933
1314
1714
2133
2571
3029
476 3505
495
4000
Berdasarkan penawaran yang masuk, Menteri Keuangan Republik Indonesia
menetapkan SOR pada tingkat 14,0000%.
Jumlah penawaran yang masuk melebihi target indikatif sebesar Rp10 triliun,
dimana untuk Penawaran Pembelian Kompetitif sebesar 60% atau Rp6 triliun dan
Lampiran Surat Edaran Bank Indonesia No. 5/
4
/DPM tanggal 21 Maret 2003
Lanj. Lampiran 4
untuk Penawaran Pembelian Non-kompetitif sebesar 40% atau Rp4 triliun. Jumlah
penawaran yang masuk melebihi target indikatif baik pada Penawaran Pembelian
Kompetitif maupun Penawaran Pembelian Non-kompetitif, maka tidak semua
peserta memenangkan lelang. Pemenang lelang ditentukan sebagai berikut:
1. Untuk Peserta Lelang dengan Penawaran Pembelian Kompetitif
Pemenang lelang adalah Peserta Lelang yang mengajukan penawaran dengan
tingkat diskonto atau yield yang sama atau lebih kecil dari SOR (stop-out rate)
yaitu 14,0000%. Dengan demikian pemenang lelang adalah Peserta Lelang
yang mengajukan penawaran tingkat diskonto atau yield sama atau lebih kecil
dari 14,0000%, yaitu peserta 1 s.d. peserta 8.
Peserta 4 s.d. peserta 8 memenangkan lelang secara proposional sesuai bobot
jumlah penawaran masing-masing dibandingkan jumlah penawaran untuk
tingkat diskonto atau yield 14,0000%. Rincian jumlah yang dimenangkan
Peserta Lelang kompetitif secara proporsional dapat dilihat pada tabel kanan
atas (Tabel-1).
2. Untuk Peserta Lelang dengan Penawaran Pembelian Non-Kompetitif
Seluruh Peserta Lelang non-kompetitif memperoleh yield sebesar 13,9673%
atau sebesar rata-rata tertimbang (weighted average) yang diperoleh dari
pemenang lelang kompetitif. Kuantitas SUN yang diperoleh
berdasarkan
perhitungan secara proposional. Rincian jumlah yang dimenangkan untuk
Peserta Lelang non-kompetitif secara proporsional dapat dilihat pada tabel
kanan atas (Tabel 2).
Lampiran Surat Edaran Bank Indonesia No. 5/
4
/DPM tanggal 21 Maret 2003
Lampiran 5
Contoh Perhitungan Hasil Lelang SUN
SOR dengan Uniform Price
• Target indikatif : Rp 10 Triliun
• Dengan perbandingan Penawaran Pembelian Kompetitif 60% dan untuk
Penawaran Pembelian Non-Kompetitif 40%
Rincian Penawaran Pembelian Kompetitif (Tabel-1):
P E N A W A R A N
NO NOMINAL
(RP
MILIAR)
1
2
3
4
50 50
1.250 2.000
7 250
8
2.000 4.500
4.750
1.500 6.250
0,7
450 500 6,9
250 750
10,3
27,6
5 500 2.500 34,5
6
62,1
65,5
86,2
9 750 7.000 96,6
10 250 7.250 100,0
13,6250
13,7500
13,7500
14,0000
14,0000
14,0000
14,0000
14,2500
14,3750
KUMULATIF
(RP MILIAR)
KUMULATIF
(%)
DISKONTO
(%)
Rata-Rata
Tertimbang
(%)
13,6250
13,7380
13,7420
13,9030
13,9230
13,9570
13,9690
13,9990
14,0120
Weighted
average
pada
kumulatif
14,0000 13,9590 239
13,9673%
Rp 6 triliun
=
H A S I L
NOMINAL
DIMENANGKAN
(RP MILIAR)
KUMULATIF
(RP MILIAR)
50 50
450 500
250 750
1.193 1.943
477 2.420
1.909 4.330
4.568
1.432 6.000
0 6.000
0 6.000
Rincian Penawaran Pembelian Non-Kompetitif (Tabel-2):
P E N A W A R A N
H A S I L
NO NOMINAL
(RP
MILIAR)
1 375 375
2 400 775
3 450
4 500
5 525
6 550
7 575
8 600
9 625
10 650 5250
7.14
1225
1725
2250
2800
3375
3975
4600
14.76
23.33
32.86
42.86
53.33
64.29
75.71
87.62
100.00
KUMULATIF
(RP MILIAR)
KUMULATIF
(%)
NOMINAL
DIMENANGKAN
(RP MILIAR)
286
305
343
381
400
419
438
457
KUMULATIF
(RP MILIAR)
286
590
933
1314
1714
2133
2571
3029
476 3505
495
4000
Berdasarkan penawaran yang masuk, Menteri Keuangan Republik Indonesia
menetapkan SOR pada tingkat 14%.
Lampiran Surat Edaran Bank Indonesia No. 5/
4
/DPM tanggal 21 Maret 2003
Lanj. Lampiran 5
Jumlah penawaran yang masuk melebihi target indikatif sebesar Rp10 triliun,
dimana untuk Penawaran Pembelian Kompetitif sebesar 60% atau Rp6 triliun dan
untuk Penawaran Pembelilan Non-kompetitif sebesar 40% atau Rp4 triliun. Jumlah
penawaran yang masuk baik pada Penawaran Pembelian Kompetiitif maupun
Penawaran pembelian Non-kompetitif melebihi target indikatif, maka tidak semua
Peserta Lelang memenangkan lelang. Pemenang lelang ditentukan sebagai berikut:
1. Untuk Peserta Lelang dengan Penawaran Pembelian Kompetitif
Pemenang lelang adalah Peserta Lelang yang mengajukan penawaran dengan
tingkat diskonto atau yield yang sama atau lebih kecil dari SOR (stop-out rate)
yaitu 14,0000%. Dengan demikian pemenang lelang adalah Peserta Lelang
yang mengajukan penawaran tingkat diskonto atau yield sama atau lebih kecil
dari 14,0000%, yaitu peserta 1 s.d. peserta 8.
Namun besar tingkat diskonto atau yield yang dimenangkan adalah seragam
yang dihitung berdasarkan rata-rata tertimbang (weighted average) dari lelang
tersebut dengan kumulatif sebesar Rp6 triliun. Dalam hal ini, Peserta Lelang 1
s.d. peserta 8 memenangkan lelang dengan harga yang sama (uniform) sebesar
13,9673%. Rincian jumlah yang dimenangkan Peserta Lelang kompetitif secara
proporsional dapat dilihat pada tabel kanan atas (Tabel –1).
2. Untuk Peserta Lelang dengan Penawaran Pembelian Non-Kompetitif
Seluruh Peserta Lelang non-kompetitif memperoleh yield sebesar 13,9673%
atau sebesar rata-rata tertimbang (weighted average) yang diperoleh dari
peserta kompetitif. Besarnya SUN yang diperoleh berdasarkan perhitungan
secara proposional. Rincian jumlah yang dimenangkan untuk Peserta Lelang
non-kompetitif secara proporsional dapat dilihat pada tabel kanan atas (Tabel-
2).
Lampiran Surat Edaran Bank Indonesia No. 5/ 4
/DPM tanggal 21 Maret 2003
Lampiran 6
PERHITUNGAN HARGA SETELMEN SURAT PERBENDAHARAAN
NEGARA
Cara perhitungan Harga Setelmen per unit Surat Perbendaharaan Negara (SPN)
adalah sebagai berikut:
PSPN =
dimana,
PSPN
N
1 i+ ×
365
D
= Harga Setelmen per unit SPN;
N = nilai nominal SPN per unit;
i = Yield dalam persentase, sampai dengan 4 (empat) desimal;
D = jumlah hari sebenarnya (actual days) yang dihitung sejak 1 (satu) hari
sesudah tanggal Setelmen sampai dengan tanggal jatuh tempo.
Harga Setelmen dibulatkan ke dalam rupiah penuh, dengan ketentuan apabila
dibawah dan sama dengan 50 (lima puluh) sen dibulatkan menjadi nol, sedangkan
di atas 50 (lima puluh) sen dibulatkan menjadi Rp1,00 (satu rupiah).
Contoh Penghitungan Harga Setelmen SPN
Pada tanggal 19 Februari 2003, Pemerintah menerbitkan SPN dengan nilai nominal
per unit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah). SPN ini jatuh tempo pada tanggal 19
Maret 2003. Jika Yield yang disepakati sebesar 12,0000% (dua belas persen) dan
setelmen dilakukan pada tanggal 19 Februari 2003, maka Harga Setelmen per unit
SPN dihitung sebagai berikut:
N = Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah);
i = 12,00% (dua belas persen);
Lampiran Surat Edaran Bank Indonesia No. 5/ 4
/DPM tanggal 21 Maret 2003
Lanj. Lampiran 6
D = 28 (dua puluh delapan) hari, yaitu jumlah hari sebenarnya yang dihitung
sejak 1 (satu) hari sesudah tanggal setelmen (20 Februari 2003) sampai
dengan tanggal jatuh tempo (19 Maret 2003);
PSPN
=
1 12,00%×
+
Rp1.000.000,00
365
28
= Rp990.878,49
≈ Rp990.878,00
Jadi Harga Setelmen per unit SPN setelah dibulatkan adalah Rp990.878,00
(sembilan ratus sembilan puluh ribu delapan ratus tujuh puluh delapan
rupiah).
PERHITUNGAN HARGA SETELMEN OBLIGASI NEGARA
I. Harga Setelmen Obligasi Negara Dengan Kupon
Cara perhitungan Harga Setelmen per unit Obligasi Negara dengan kupon
adalah sebagai berikut:
Langkah 1 : Harga bersih (clean price) per unit dihitung sebagai berikut:
P
=
N
1+
n
i
F 1− +
E
d
= N ××
n
c
E
a
+ ∑
=
F
k 1
1+
N×
n
i
n
c
k 1− +
E
d
dimana bunga berjalan (accrued interest) per unit dihitung sebagai berikut:
AI
− × ×
N
n
c
E
a
Lampiran Surat Edaran Bank Indonesia No. 5/ 4
/DPM tanggal 21 Maret 2003
Lanj. Lampiran 6
Langkah 2 : Harga Setelmen per unit dihitung sebagai berikut:
PK
= P AI+
II. Harga Setelmen Obligasi Negara Tanpa Kupon (Zero Coupon Bonds)
Cara perhitungan Harga Setelmen per unit Obligasi Negara tanpa kupon
adalah sebagai berikut:
PZ
=
()i1
N
+
365
D
dimana,
PK = Harga Setelmen per unit Obligasi Negara dengan kupon;
PZ = Harga Setelmen per unit Obligasi Negara tanpa kupon;
P = harga bersih (clean price) per unit Obligasi Negara dengan kupon;
AI = bunga berjalan (accrued interest) per unit Obligasi Negara dengan
kupon;
N = nilai nominal Obligasi Negara per unit;
D = jumlah hari sebenarnya (actual days) yang dihitung sejak 1 (satu) hari
sesudah tanggal Setelmen sampai dengan tanggal jatuh tempo;
a = jumlah hari sebenarnya (actual days) dihitung dari 1 (satu)
hari
sesudah tanggal dimulainya periode kupon sampai dengan tanggal
Setelmen;
c = tingkat kupon (coupon rate);
d = jumlah hari sebenarnya (actual days) yang dihitung sejak 1 (satu) hari
sesudah tanggal Setelmen sampai dengan tanggal pembayaran kupon
berikutnya;
E = jumlah hari sebenarnya (actual days) yang dihitung sejak 1 (satu) hari
sesudah tanggal dimulainya periode kupon sampai dengan tanggal
pembayaran kupon berikutnya, dimana pelaksanaan Setelmen terjadi;
Lampiran Surat Edaran Bank Indonesia No. 5/ 4
/DPM tanggal 21 Maret 2003
Lanj. Lampiran 6
i = Imbal Hasil sampai jatuh tempo (yield to maturity) dalam persentase,
sampai dengan 2 (dua) desimal;
k = 1, 2, 3, …, F;
F = jumlah frekuensi pembayaran kupon yang tersisa dari tanggal
Setelmen sampai dengan tanggal jatuh tempo;
n = frekuensi pembayaran kupon dalam setahun.
Harga bersih (clean price) dan bunga berjalan (accrued interest) masing-
masing dibulatkan ke dalam rupiah penuh, dengan ketentuan apabila dibawah
dan sama dengan 50 (lima puluh) sen dibulatkan menjadi nol, sedangkan di
atas 50 (lima puluh) sen dibulatkan menjadi Rp1,00 (satu rupiah).
Lampiran Surat Edaran Bank Indonesia No. 5/ 4
/DPM tanggal 21 Maret 2003
Lanj. Lampiran 6
Contoh Penghitungan Harga Setelmen Obligasi Negara Dengan Kupon
Pada tanggal 19 Februari 2003, Pemerintah menerbitkan Obligasi Negara dengan
nilai nominal per unit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan dengan kupon sebesar
12,00% (dua belas persen) per tahun. Obligasi Negara ini jatuh tempo pada tanggal
15 Februari 2005 dan kupon dibayarkan di belakang pada tanggal 15 Februari dan
15 Agustus setiap tahunnya. Jika yield to maturity yang disepakati sebesar 12,50%
(dua belas koma lima nol persen) dan Setelmen dilakukan pada tanggal 19 Februari
2003, maka Harga Setelmen per unit Obligasi Negara dihitung dengan langkah-
langkah sebagai berikut:
N = Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah);
i = 12,50% (dua belas koma lima nol persen);
c = 12,00% (dua belas persen);
a = 4 (empat) hari, yaitu jumlah hari sebenarnya (actual days) yang dihitung
sejak 1 (satu) hari sesudah tanggal dimulainya periode kupon (16 Februari
2003) sampai dengan tanggal Setelmen (19 Februari 2003);
d = 177 (seratus tujuh puluh tujuh) hari, yaitu jumlah hari sebenarnya (actual
days) yang dihitung sejak 1 (satu) hari sesudah tanggal Setelmen (20
Februari 2003) sampai dengan tanggal pembayaran kupon berikutnya (15
Agustus 2003);
E = 181 (seratus delapan puluh satu) hari, yaitu jumlah hari sebenarnya (actual
days) yang dihitung sejak 1 (satu) hari sesudah tanggal dimulainya periode
kupon sampai dengan tanggal pembayaran kupon berikutnya, dimana
pelaksanaan Setelmen terjadi (16 Februari 2003 sampai dengan 15 Agustus
2003);
Lampiran Surat Edaran Bank Indonesia No. 5/ 4
/DPM tanggal 21 Maret 2003
Lanj. Lampiran 6
n = 2 (dua) kali dalam satu tahun (semiannually), yaitu setiap tanggal 15
Februari dan 15 Agustus;
F = 4 (empat) kali, yaitu jumlah pembayaran kupon yang terjadi dari tanggal
Setelmen sampai dengan tanggal jatuh tempo (19 Februari 2003 sampai
dengan 15 Februari 2005);
Langkah 1: Harga bersih (clean price) per unit dihitung sebagai berikut:
P =
Rp1.000.000,00
+
1+
12,50%
2
4 1− +
181
177
Rp1.000.000,00×
1+
12,50%
2
+
12,00%
2
2 1− +
181
177
Rp1.000.000,00×
+
1+
12,50%
2
12,00%
2
1 1− +
181
177
Rp1.000.000,00×
+
Rp1.000.000,00×
1+
12,50%
2
12,00%
2
4 1− +
181
177
= Rp785.716,91 + Rp206.998,81 – Rp1.325,97
= Rp991.389,75
≈ Rp991.390,00
Jadi harga bersih per unit Obligasi Negara setelah dibulatkan adalah Rp991.390,00
(sembilan ratus sembilan puluh satu ribu tiga ratus sembilan puluh rupiah).
− Rp1.000.000,00×
12,00%
2
×
181
4
1+
12,50%
2
12,00%
2
3 1− +
181
177
Lampiran Surat Edaran Bank Indonesia No. 5/ 4
/DPM tanggal 21 Maret 2003
Lanj. Lampiran 6
Dimana bunga berjalan (accrued interest) per unit dihitung sebagai berikut:
AI =
Rp1.000.000,00×
= Rp1.325,97
≈ Rp1.326,00
Jadi bunga berjalan per unit Obligasi Negara setelah dibulatkan adalah Rp1.326,00
(seribu tiga ratus dua puluh enam rupiah).
Langkah 2: Harga Setelmen per unit dihitung sebagai berikut:
PK = Rp991.390,00 + Rp1.326,00
= Rp992.716,00
Jadi Harga Setelmen per unit Obligasi Negara setelah
dibulatkan
12,00%
2
×
181
4
adalah
Rp992.716,00 (sembilan ratus sembilan puluh dua ribu tujuh ratus enam belas
rupiah).
Contoh Penghitungan Harga Setelmen Obligasi Negara Tanpa Kupon (Zero
Coupon Bonds)
Pada tanggal 19 Februari 2003, Pemerintah menerbitkan Obligasi Negara dengan
nilai nominal per unit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah). Obligasi Negara ini jatuh
tempo pada tanggal 15 Februari 2005. Jika yield to maturity yang disepakati
sebesar 12,50% (dua belas koma lima nol persen) dan Setelmen dilakukan pada
tanggal 19 Februari 2003, maka Harga Setelmen per unit Obligasi Negara dihitung
sebagai berikut:
N = Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah);
i = 12,50% (dua belas koma lima puluh persen);
Lampiran Surat Edaran Bank Indonesia No. 5/ 4
/DPM tanggal 21 Maret 2003
Lanj. Lampiran 6
D = 727 (tujuh ratus dua puluh tujuh) hari, yaitu jumlah hari sebenarnya (actual
days) yang dihitung sejak 1 (satu) hari sesudah tanggal Setelmen (20
Februari 2003) sampai dengan tanggal jatuh tempo (15 Februari 2005);
PZ =
Rp1.000.000,00
365
727
()
1+12,50%
= Rp790.888,73
≈ Rp790.889,00
Jadi Harga Setelmen per unit Obligasi Negara setelah
dibulatkan
adalah
Rp790.889,00 (tujuh ratus sembilan puluh ribu delapan ratus delapan puluh
sembilan rupiah).
"," SE-BI
5/4/DPM|SE-BI/2003
Tata Cara Lelang Surat Utang Negara di Pasar Perdana
21 Maret 2003
21 Maret 2003
'5/4/PBI/2003'
'Romawi VI'
"
" No. 16/1/DKSP
Jakarta, 10 Januari 2014
SURAT EDARAN
Kepada
SELURUH BADAN USAHA BERBADAN HUKUM INDONESIA BUKAN BANK
YANG MENYELENGGARAKAN KEGIATAN TRANSFER DANA
DI INDONESIA
Perihal : Laporan Penyelenggaraan Transfer Dana oleh Badan Usaha
Berbadan Hukum Indonesia Bukan Bank Secara On-Line
Sehubungan dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia Nomor
14/23/PBI/2012 tentang Transfer Dana (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2012 Nomor 283, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5381) dan dalam rangka mengatur pelaporan secara On-
Line sebagaimana diatur dalam Butir VII.C. Surat Edaran Bank Indonesia
Nomor 15/23/DASP tanggal 27 Juni 2013 perihal Penyelenggaraan
Transfer Dana, khususnya laporan berkala berupa laporan bulanan
transaksi kegiatan Transfer Dana, perlu diatur ketentuan pelaksanaan
mengenai laporan penyelenggaraan transfer dana oleh badan usaha
berbadan hukum Indonesia bukan Bank secara on-line dalam Surat
Edaran Bank Indonesia sebagai berikut:
I. UMUM
Dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Transfer Dana adalah rangkaian kegiatan yang dimulai dengan
perintah dari pengirim asal yang bertujuan memindahkan
sejumlah dana kepada penerima yang disebutkan dalam perintah
transfer dana sampai dengan diterimanya dana oleh penerima.
2. Pelapor adalah badan usaha berbadan hukum Indonesia bukan
Bank yang menyelenggarakan kegiatan Transfer Dana.
3. Laporan adalah laporan mengenai kegiatan Transfer Dana yang
disusun dan disampaikan oleh Pelapor secara berkala kepada
Bank ...
Bank Indonesia melalui Sistem Laporan Transfer Dana Bukan
Bank.
4. Sistem Laporan Transfer Dana Bukan Bank yang selanjutnya
disebut Sistem LTDBB adalah sistem penerimaan Laporan
(capturing) yang berbasis web yang disampaikan Pelapor melalui
jaringan internet.
5. Periode Pelaporan adalah tenggang waktu penyampaian Laporan
yang dimulai sejak tanggal 1 sampai dengan 5 (lima) Hari Kerja
setelah akhir bulan Laporan.
6. Penyampaian Laporan secara On-Line yang selanjutnya disebut
On-Line adalah penyampaian Laporan yang dilakukan secara
langsung dengan mengirim dan/atau mengisi data dalam bentuk
tampilan form melalui Sistem LTDBB.
7. Penyampaian Laporan secara Off-Line yang selanjutnya disebut
Off-Line adalah penyampaian Laporan yang dilakukan dengan
menyampaikan rekaman data dalam media perekaman data
elektronik kepada Bank Indonesia.
8. Hari Kerja adalah hari kerja Bank Indonesia yang mewilayahi
Pelapor.
II. RUANG LINGKUP LAPORAN DAN PENANGGUNG JAWAB LAPORAN
A. Ruang Lingkup Laporan
1. Pelapor wajib menyusun dan menyampaikan Laporan kepada
Bank Indonesia.
2. Dalam hal Pelapor memiliki kantor cabang, penyampaian
Laporan dilakukan oleh kantor pusat Pelapor.
3. Laporan sebagaimana dimaksud pada angka 1 adalah data
transaksi kegiatan Transfer Dana yang meliputi data:
a. transaksi Transfer Dana dari Indonesia ke luar negeri;
b. transaksi Transfer Dana dari luar negeri ke Indonesia; dan
c. transaksi Transfer Dana dalam wilayah Republik
Indonesia.
B. Penanggung Jawab Laporan
1. Pelapor harus menunjuk penanggung jawab untuk
penyusunan dan penyampaian Laporan.
2. Penunjukan ...
2. Penunjukan penanggung jawab sebagaimana dimaksud pada
angka 1 harus diberitahukan kepada Bank Indonesia secara
On-Line.
3. Penunjukan penanggung jawab sebagaimana dimaksud pada
angka 1 tidak mengurangi dan/atau menghilangkan tanggung
jawab Direksi bagi Pelapor berbentuk badan hukum Perseroan
Terbatas, Perusahaan Daerah, atau Perusahaan Umum, atau
Pengurus bagi Pelapor berbentuk badan hukum Koperasi.
4. Dalam hal terjadi perubahan penanggung jawab sebagaimana
dimaksud pada angka 1, Pelapor harus melaporkan
perubahan tersebut secara On-Line.
III. FORMAT LAPORAN
A. Penyusunan Laporan mengacu pada:
1. Buku Pedoman Penyusunan dan Penyampaian Laporan
sebagaimana Lampiran 1; dan
2. Petunjuk Teknis Aplikasi Laporan sebagaimana Lampiran 2,
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran
Bank Indonesia ini.
B. Laporan disusun dengan format sebagai berikut:
1. Form G0001 (Laporan Transaksi Transfer Dana Bukan Bank
dari Indonesia ke luar negeri);
2. Form G0002 (Laporan Transaksi Transfer Dana Bukan Bank
dari luar negeri ke Indonesia); dan
3. Form G0003 (Laporan Transaksi Transfer Dana Bukan Bank
dalam wilayah Republik Indonesia),
yang tercantum dalam Buku Pedoman Penyusunan dan
Penyampaian Laporan sebagaimana dimaksud pada butir A.1.
IV. PENYAMPAIAN LAPORAN
A. Batas Waktu Penyampaian Laporan
1. Laporan sebagaimana dimaksud pada butir III.B wajib
disampaikan paling lambat pada 5 (lima) Hari Kerja setelah
akhir bulan Laporan.
Contoh:
Laporan bulan Februari 2014 dilaporkan paling lambat
tanggal 7 Maret 2014.
2. Dalam ...
2. Dalam hal ditemukan kesalahan data pada Laporan yang
telah disampaikan kepada Bank Indonesia, koreksi Laporan
wajib disampaikan paling lambat sesuai batas waktu
sebagaimana dimaksud pada angka 1.
3. Dalam hal Pelapor tidak memiliki data sebagaimana dimaksud
pada butir III.B atau nihil, kewajiban penyampaian Laporan
tetap berlaku dengan cara mengirimkan form header paling
lambat sesuai batas waktu sebagaimana dimaksud pada
angka 1.
4. Pelapor dinyatakan telah menyampaikan Laporan, form
header, dan/atau koreksi Laporan setelah Bank Indonesia
menerima Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan
yang disampaikan Pelapor yang dibuktikan dengan tanda
terima dari Sistem LTDBB.
5. Pelapor dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan, form
header, dan/atau koreksi Laporan apabila Bank Indonesia
menerima Laporan, form header dan/atau koreksi Laporan
melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud pada angka
1.
Contoh:
Pelapor dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan, form
header, dan/atau koreksi Laporan data Transaksi Transfer
Dana dari Indonesia ke Luar Negeri untuk Laporan bulan
Februari 2014 apabila Laporan, form header, dan/atau
koreksi Laporan diterima oleh Bank Indonesia setelah tanggal
7 Maret 2014.
6. Pelapor yang terlambat menyampaikan Laporan, form header,
dan/atau koreksi Laporan sebagaimana dimaksud pada angka
5 tetap wajib menyampaikan Laporan, form header, dan/atau
koreksi Laporan yang belum disampaikan.
B. Tata Cara Penyampaian Laporan
1. Pelapor wajib menyusun dan menyampaikan Laporan kepada
Bank Indonesia secara tepat waktu, benar, akurat, dan
lengkap.
2. Pelapor wajib menyampaikan Laporan sesuai dengan format
sebagaimana dimaksud pada butir III.B.
3. Pelapor ...
3. Pelapor melakukan validasi teknis sesuai dengan spesifikasi
yang telah ditetapkan dalam Petunjuk Teknis Aplikasi
Laporan sebagaimana dimaksud pada butir III.A.2.
4. Dalam hal Pelapor melakukan penggabungan atau peleburan
dengan Pelapor atau badan usaha berbadan hukum Indonesia
bukan Bank lain, masing-masing Pelapor peserta
penggabungan atau peleburan tetap wajib menyampaikan
Laporan yang disusun secara bulanan untuk bulan Laporan
sebelum dilakukan penggabungan atau peleburan.
Contoh:
a. Apabila pada tanggal 3 Maret 2014 Pelapor X telah
mendapatkan izin penggabungan atau peleburan dengan
Pelapor Y, maka masing-masing Pelapor X dan Pelapor Y
wajib menyampaikan Laporan bulan Februari 2014 sampai
dengan terjadinya penggabungan atau peleburan secara
operasional. Sementara itu, laporan bulan Maret 2014
merupakan Laporan konsolidasi atau gabungan yang
dilaporkan oleh Pelapor hasil penggabungan atau
peleburan.
b. Apabila pada tanggal 3 Maret 2014 Pelapor X telah
mendapatkan izin penggabungan atau peleburan dengan
perusahaan B, maka Pelapor X wajib menyampaikan
Laporan bulan Februari 2014 sampai dengan terjadinya
penggabungan atau peleburan.
5. Dalam hal Pelapor melakukan pemisahan murni, Pelapor
tetap wajib menyampaikan Laporan yang disusun secara
bulanan untuk bulan Laporan sebelum dilakukannya
pemisahan.
Contoh:
Apabila pada tanggal 3 Maret 2014 Pelapor A secara
operasional telah melakukan pemisahan menjadi Pelapor B
dan Pelapor C, maka Pelapor A wajib menyampaikan Laporan
bulan Februari 2014. Sementara itu, laporan bulan Maret
2014 merupakan Laporan yang dilaporkan oleh Pelapor B dan
Pelapor C hasil pemisahan.
C. Cara ...
C. Cara Penyampaian Laporan, Form Header, dan/atau Koreksi
Laporan, Secara On-Line, Off-Line, dan Dalam Keadaan Memaksa
(Force Majeure)
1. Cara Penyampaian Laporan, Form Header, dan/atau Koreksi
Laporan Secara On-Line
a. Pelapor wajib menyampaikan Laporan, form header,
dan/atau koreksi Laporan secara On-Line.
b. Sistem LTDBB dibuka secara On-Line sampai dengan akhir
bulan periode penyampaian Laporan.
Contoh:
Pelapor menyampaikan Laporan, form header, dan/atau
koreksi Laporan bulan Februari 2014 secara On-Line
sampai dengan akhir bulan Maret 2014.
2. Cara Penyampaian Laporan, form header, dan/atau Koreksi
Laporan Secara Off-Line
a. Penyampaian Laporan, form header, dan/atau koreksi
Laporan secara Off-Line dilakukan apabila:
1) Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan yang
akan disampaikan telah melampaui batas waktu
penyampaian Laporan, form header, dan/atau koreksi
Laporan secara On-Line; dan/atau
2) terjadi gangguan teknis terhadap Sistem LTDBB di
Pelapor dan/atau Bank Indonesia.
b. Penyampaian Laporan, form header, dan/atau koreksi
Laporan yang melampaui batas waktu penyampaian
Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan secara
On-Line sebagaimana dimaksud pada butir C.1.b
dilakukan secara Off-Line.
Contoh:
Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan bulan
Februari 2014 disampaikan secara Off-Line, apabila
Pelapor menyampaikan Laporan, form header, dan/atau
koreksi Laporan dan diterima oleh Bank Indonesia setelah
akhir bulan Maret 2014.
c. Penyampaian ...
c. Penyampaian Laporan, form header, dan/atau koreksi
Laporan Secara Off-Line Karena Gangguan Teknis di
Pelapor dan/atau Bank Indonesia.
1) Gangguan Teknis di Pelapor
a) Dalam hal Pelapor mengalami gangguan teknis
pada Hari Kerja kelima bulan Laporan berikutnya,
Pelapor wajib menyampaikan pemberitahuan
secara tertulis yang ditandatangani pejabat Pelapor
yang berwenang mengenai gangguan teknis yang
dialami, pada hari yang sama.
b) Pemberitahuan secara tertulis sebagaimana
dimaksud pada huruf a), ditandatangani oleh
pejabat Pelapor yang berwenang dan disampaikan
kepada:
(1) Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan
Laporan Bank Indonesia, Jl. M.H. Thamrin
No.2 Jakarta 10350, bagi Pelapor yang
berkedudukan di wilayah DKI Jakarta,
Kabupaten/Kota Bogor, Kabupaten Karawang,
dan Kota Depok; atau
(2) Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan
Laporan Bank Indonesia, Jl. M.H. Thamrin
No.2 Jakarta 10350 dengan tembusan kepada
Kantor Perwakilan Bank Indonesia terdekat,
bagi Pelapor yang berkedudukan di luar
wilayah sebagaimana dimaksud pada angka
(1).
Dalam hal terjadi perubahan alamat surat
menyurat dan komunikasi, akan diberitahukan
melalui surat dan/atau media lainnya oleh Bank
Indonesia kepada Pelapor.
c) Dalam hal Pelapor tidak menyampaikan
pemberitahuan tertulis sebagaimana dimaksud
pada huruf a), Pelapor dinyatakan terlambat
menyampaikan Laporan, form header, dan/atau
koreksi Laporan.
d) Pelapor ...
d) Pelapor yang tidak dapat menyampaikan Laporan,
form header, dan/atau koreksi Laporan secara On-
Line karena gangguan teknis sebagaimana
dimaksud pada huruf a) wajib menyampaikan
Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan
secara Off-Line paling lambat pukul 12.00 waktu
setempat pada Hari Kerja berikutnya kepada:
(1) Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan
Laporan Bank Indonesia, Jl. M.H. Thamrin
No.2 Jakarta 10350, bagi Pelapor yang
berkedudukan di wilayah DKI Jakarta,
Kabupaten/Kota Bogor, Kabupaten Karawang,
dan Kota Depok; atau
(2) Kantor Perwakilan Bank Indonesia yang
mewilayahi Pelapor yang berkedudukan di luar
wilayah sebagaimana dimaksud pada angka
(1).
Dalam hal terjadi perubahan alamat surat
menyurat dan komunikasi, akan diberitahukan
melalui surat dan/atau media lainnya oleh Bank
Indonesia kepada Pelapor.
Contoh:
Pada tanggal 7 Maret 2014 Pelapor X mengalami
gangguan teknis sehingga tidak dapat
menyampaikan Laporan, form header, dan/atau
koreksi Laporan secara On-Line, Pelapor X wajib
menyampaikan Laporan, form header, dan/atau
koreksi Laporan secara Off-Line paling lambat
tanggal 10 Maret 2014 pukul 12:00 waktu
setempat.
2) Gangguan Teknis di Bank Indonesia
a) Dalam hal terjadi gangguan teknis di Bank
Indonesia, Bank Indonesia memberitahukan secara
tertulis dan/atau menggunakan sarana lainnya
kepada Pelapor.
b) Dalam ...
b) Dalam hal gangguan teknis terjadi pada Hari Kerja
kelima bulan Laporan berikutnya, Pelapor wajib
menyampaikan Laporan, form header, dan/atau
koreksi Laporan pada Hari Kerja berikutnya secara
Off-Line.
3. Keadaan Memaksa (Force Majeure)
a. Penyampaian Laporan, form header, dan/atau koreksi
Laporan sebagaimana dimaksud pada butir IV.C.1 dan
butir IV.C.2 tidak berlaku bagi Pelapor yang mengalami
keadaan memaksa (force majeure).
b. Pelapor yang tidak dapat menyampaikan Laporan, form
header, dan/atau koreksi Laporan karena keadaan
memaksa (force majeure) wajib segera memberitahukan
secara tertulis disertai penjelasan mengenai penyebab
terjadinya keadaan memaksa (force majeure) yang
ditandatangani oleh pejabat yang berwenang kepada:
1) Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan Bank
Indonesia, Jl. M.H. Thamrin No.2 Jakarta 10350, bagi
Pelapor yang berkedudukan di wilayah DKI Jakarta,
Kabupaten/Kota Bogor, Kabupaten Karawang, dan
Kota Depok; atau
2) Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan Bank
Indonesia, Jl. M.H. Thamrin No.2 Jakarta 10350
dengan tembusan kepada Kantor Perwakilan Bank
Indonesia setempat, bagi Pelapor yang berkedudukan
di luar wilayah sebagaimana dimaksud pada angka 1).
Dalam hal terjadi perubahan alamat surat menyurat dan
komunikasi, akan diberitahukan melalui surat dan/atau
media lainnya oleh Bank Indonesia kepada Pelapor.
c. Pelapor harus menyampaikan Laporan, form header,
dan/atau koreksi Laporan sebagaimana dimaksud dalam
butir III.B paling lambat 5 (lima) Hari Kerja setelah
keadaan memaksa (force majeure) dapat diatasi.
V. HAK ...
V. HAK AKSES
A. Dalam rangka penyusunan dan penyampaian Laporan, Bank
Indonesia memberikan hak akses berupa 1 (satu) user id dan
password terhadap Sistem LTDBB kepada setiap Pelapor tanpa
dikenakan biaya.
B. Pelapor bertanggung jawab atas hak akses terhadap Sistem
LTDBB yang diberikan oleh Bank Indonesia.
VI. PENYAMPAIAN PERTANYAAN
Pelapor dapat menyampaikan pertanyaan yang berkaitan dengan
sistem, materi, dan/ atau ketentuan Laporan kepada Bank Indonesia
sebagai berikut:
1. Departemen Kebijakan dan Pengawasan Sistem Pembayaran
mengenai materi dan ketentuan Laporan.
2. Departemen Pengelolaan Sistem Informasi mengenai aplikasi dan
otomasi sistem penyampaian Laporan.
3. Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan mengenai akses
Sistem LTDBB di Bank Indonesia.
Pertanyaan yang terkait dengan hal-hal tersebut di atas disampaikan
melalui Helpdesk Bank Indonesia dengan nomor telepon (021) 2981-
8000.
VII. TATA CARA PENGENAAN SANKSI
A. Pelapor yang terlambat menyampaikan Laporan dan/atau form
header sebagaimana dimaksud pada butir IV.A.5 dan butir
IV.C.2.c.1).c) dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar
Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) untuk setiap form per Hari
Kerja keterlambatan dan paling banyak sebesar Rp7.500.000,00
(tujuh juta lima ratus ribu rupiah) untuk setiap form.
B. Pelapor yang terlambat menyampaikan koreksi Laporan
sebagaimana dimaksud pada butir IV.A.5 namun masih dalam
periode On-Line sebagaimana dimaksud dalam butir IV.C.1
dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp50.000,00
(lima puluh ribu rupiah) untuk setiap form per Hari Kerja
keterlambatan dan paling banyak sebesar Rp750.000,00 (tujuh
ratus lima puluh ribu rupiah) untuk setiap form.
C. Pelapor ...
C. Pelapor yang menyampaikan koreksi Laporan melebihi periode
On-line sebagaimana dimaksud pada butir IV.C.1 dikenakan
sanksi kewajiban membayar sebesar Rp50.000,00 (lima puluh
ribu rupiah) untuk setiap item data dan paling banyak sebesar
Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk setiap form.
D. Pelapor dikenakan sanksi berupa teguran tertulis dalam hal:
1. belum menyampaikan Laporan dan/atau form header sampai
periode penyampaian Laporan berikutnya; dan/atau
2. tidak menyampaikan pemberitahuan tertulis perihal keadaan
memaksa (force majeure).
E. Bank Indonesia memberitahukan secara tertulis mengenai
pelanggaran, besarnya sanksi kewajiban membayar yang
dikenakan kepada Pelapor, dan nomor rekening dalam rangka
pengenaan sanksi kewajiban membayar.
F. Pelapor yang dikenakan sanksi kewajiban membayar
sebagaimana dimaksud dalam huruf A, huruf B dan/atau huruf C
wajib menyampaikan tanda bukti telah dilakukan kewajiban
membayar kepada:
1. Departemen Kebijakan dan Pengawasan Sistem Pembayaran,
Bank Indonesia, Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350, bagi
Pelapor yang berkedudukan di wilayah DKI Jakarta,
Kabupaten/Kota Bogor, Kabupaten Karawang, dan Kota
Depok; atau
2. Kantor Perwakilan Bank Indonesi a setempat, bagi Pelapor
yang berkedudukan di luar wilayah sebagaimana dimaksud
pada angka 1.
Dalam hal terjadi perubahan alamat surat menyurat dan
komunikasi, akan diberitahukan melalui surat dan/atau media
lainnya oleh Bank Indonesia kepada Pelapor.
VIII. PENUTUP
A. Dengan berlakunya Surat Edaran Bank Indonesia ini, ketentuan
butir IV.B.1.a.1) dan Contoh 5 dalam Lampiran Surat Edaran
Bank Indonesia Nomor 15/23/DASP tanggal 27 Juni 2013 perihal
Penyelenggaraan Transfer Dana dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku.
B. Ketentuan ...
B. Ketentuan mengenai pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud
dalam butir VII.A sampai dengan butir VII.E mulai berlaku untuk
Laporan bulan Juni 2014.
C. Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal
ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman
Surat Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita
Negara Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA,
ROSMAYA HADI
KEPALA DEPARTEMEN KEBIJAKAN DAN
PENGAWASAN SISTEM PEMBAYARAN
"," SE-BI
16/1/DKSP|SE-BI/2014
Laporan Penyelenggaraan Transfer Dana oleh Badan Usaha Berbadan Hukum Indonesia Bukan Bank Secara On-Line
10 Januari 2014
10 Januari 2014
'15/23/DASP|SE-BI/2013 | butir IV.B.1.a.1) dan Contoh 5 dalam Lampiran'
'15/23/DASP|SE-BI/2013 | Butir VII.C.', '14/23/PBI/2012'
'Romawi VII'
"
" No.9/26/DInt
Jakarta, 9 November 2007
S U R A T E D A R A N
Kepada
SEMUA BANK DEVISA
DI INDONESIA
Perihal :
Pencabutan Surat Edaran Bank Indonesia Terkait Dengan Cek,
Travellers Cheque, Blanko Cek, Deposito, Sertifikat Deposito,
Bilyet Deposito, Demand Draft, Time Demand Draft, Garansi
Bank, Promissory Note, Standby LC Dan Letter of Credit, Serta
Surat Konfirmasi Palsu Atau Hilang Dicuri.
--------------------------------------------------------------------------------
Sehubungan dengan tidak berlakunya materi yang diatur dalam beberapa
Surat Edaran Bank Indonesia yang berisi penerusan informasi dari bank
mengenai cek, travellers cheque, blanko cek, deposito, sertifikat deposito,
bilyet deposito, demand draft, time demand draft, garansi bank, promissory
note, letter of credit (LC), standby LC, dan surat konfirmasi palsu atau hilang
dicuri, serta dalam rangka tertib administrasi dan memberikan kejelasan status
atas Surat Edaran Bank Indonesia tersebut, dipandang perlu untuk mencabut 15
(lima belas) Surat Edaran Bank Indonesia.
Berdasarkan hal tersebut diatas, maka 15 (lima belas) Surat Edaran Bank
Indonesia sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan satu
kesatuan dan bagian yang tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia
ini, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Ketentuan dalam Surat Edaran ini mulai berlaku sejak tanggal 9
November 2007.
Agar ........
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat
Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA,
SJAMSUL ARIFIN
DIREKTUR INTERNASIONAL
"," SE-BI
9/26/DInt|SE-BI/2007
Pencabutan Surat Edaran Bank Indonesia Terkait Dengan Cek, Travellers Cheque, Blanko Cek, Deposito, Sertifikat Deposito, Bilyet Deposito, Demand Draft, Time Demand Draft, Garansi Bank, Promissory Note, Standby LC Dan Letter of Credit, Serta Surat Konfirmasi Palsu Atau Hilang Dicuri.
9 November 2007
9 November 2007
"
" No. 4/14/DASP
Jakarta, 24 September 2002
S U R A T E D A R A N
Kepada
SEMUA PESERTA SISTEM BI-RTGS
DI INDONESIA
Perihal : Biaya Dalam Penggunaan Sistem Bank Indonesia Real Time
Gross Settlement
Sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/24/PBI/2000 tanggal
17 November 2000 tentang Hubungan Rekening Giro Antara Bank Indonesia
Dengan Pihak Ekstern sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank
Indonesia No. 3/11/PBI/2001 tanggal 20 Juni 2001 tentang Perubahan atas
Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/24/PBI/2000 tentang Hubungan Rekening
Giro Antara Bank Indonesia Dengan Pihak Ekstern, penarikan Rekening Giro
dapat dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik dan akan diatur dalam
Surat Edaran Bank Indonesia. Adapun salah satu sarana elektronik yang
digunakan dalam penarikan Rekening Giro adalah melalui Sistem Bank
Indonesia Real Time Gross Settlement (BI-RTGS).
Sehubungan dengan hal tersebut di atas dan mengingat adanya penurunan
batas nominal warkat atau data keuangan elektronik yang dapat diselesaikan
melalui kliring, yang telah mengakibatkan pengalihan sebagian transaksi dari
sistem kliring ke Sistem BI-RTGS, maka perlu dilakukan penyesuaian
mengenai besarnya biaya dalam penggunaan Sistem BI-RTGS menjadi sebagai
berikut :
I. JENIS DAN BESARNYA BIAYA
A. Jenis biaya dalam penggunaan Sistem BI-RTGS terdiri dari :
1. Biaya transaksi;
2. Biaya perpanjangan Jam Operasional.
B. Besarnya…
B. Besarnya biaya transaksi adalah sebagai berikut :
1. Biaya single credit transaction
a. Untuk transaksi yang dikirim pada pukul 06.30 WIB sampai
dengan pukul 15.00 WIB, besarnya biaya transaksi adalah
Rp. 7.000,00 (tujuh ribu rupiah) per transaksi.
b. Untuk transaksi yang dikirim setelah pukul 15.00 WIB sampai
dengan cut off time, besarnya biaya transaksi adalah
Rp. 15.000,00 (lima belas ribu rupiah) per transaksi.
2. Biaya multiple credit transaction
a. Untuk transaksi yang dikirim pada pukul 06.30 WIB sampai
dengan pukul 15.00 WIB, besarnya biaya transaksi adalah
Rp. 35.000,00 (tiga puluh lima ribu rupiah) per transaksi.
b. Untuk transaksi yang dikirim setelah pukul 15.00 WIB sampai
dengan cut off time, besarnya biaya transaksi adalah
Rp. 50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) per transaksi.
3. Biaya pengiriman Administrative Message sebesar Rp. 2.500,00
(dua ribu lima ratus rupiah) per Administrative Message.
C. Besarnya biaya perpanjangan Jam Operasional adalah
Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah) untuk 30 (tiga puluh) menit
pertama dan Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk 30 (tiga
puluh) menit kedua, dan dikenakan kepada Peserta yang mengajukan
perpanjangan Jam Operasional.
D. Dalam hal terjadi Contingency Plan dimana Peserta membawa Cek
Bank Indonesia dan atau Bilyet Giro Bank Indonesia ke Bank
Indonesia dan Bank Indonesia melakukan construct atas nama Peserta
maka Peserta dikenakan biaya sebagaimana diatur dalam huruf B
dan C.
II. PENGHITUNGAN DAN PEMBEBANAN BIAYA
A. Biaya Transaksi
Bank Indonesia menghitung jumlah biaya transaksi sebagaimana
dimaksud dalam angka I huruf B pada setiap akhir hari dan
membebankan…
membebankan biaya tersebut paling lambat pada hari kerja
berikutnya.
B. Biaya Perpanjangan Jam Operasional
Bank Indonesia menghitung jumlah biaya perpanjangan Jam
Operasional sebagaimana dimaksud dalam angka I huruf C pada saat
terjadinya perpanjangan Jam Operasional dan membebankan biaya
tersebut paling lambat pada hari kerja berikutnya.
C. Biaya sehubungan dengan Contingency Plan
Bank Indonesia menghitung jumlah biaya sehubungan dengan
Contingency Plan sebagaimana dimaksud dalam angka I huruf D
pada saat terjadinya Contingency Plan dan membebankan biaya
tersebut paling lambat pada hari kerja berikutnya.
Pembebanan biaya-biaya tersebut di atas dilakukan dengan cara mendebet
Rekening Giro Peserta yang berada di Bank Indonesia.
III. PENGENAAN BIAYA OLEH PESERTA KEPADA NASABAH
Mengingat dalam penggunaan Sistem BI-RTGS Peserta dikenakan biaya
oleh Bank Indonesia maka untuk mendukung kelancaran pelaksanaan
sistem transfer dana secara elektronik melalui Sistem BI-RTGS, Peserta
dapat mengenakan biaya yang wajar kepada nasabahnya. Peserta wajib
mengumumkan besarnya biaya penggunaan Sistem BI-RTGS yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia dan besarnya biaya penggunaan Sistem
BI-RTGS yang dibebankan oleh Peserta kepada nasabahnya.
Pengumuman tersebut dilakukan secara tertulis di setiap kantor Peserta
pada tempat yang mudah terlihat oleh nasabah.
IV. PENUTUP
Dengan berlakunya Surat Edaran Bank Indonesia ini, maka :
1. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 2/25/DASP tanggal
17 November 2000 perihal Biaya Dalam Penggunaan Sistem Bank
Indonesia Real Time Gross Settlement;
2. Surat…
2. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 4/4/DASP tanggal 1 Maret 2002
perihal Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor
2/25/DASP tanggal 17 November 2000 perihal Biaya Dalam
Penggunaan Sistem Bank Indonesia Real Time Gross Settlement,
dinyatakan tidak berlaku.
Ketentuan dalam Surat Edaran ini berlaku sejak tanggal 1Oktober 2002.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat
Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA,
MOHAMAD ISHAK
DIREKTUR AKUNTING
DAN SISTEM PEMBAYARAN
"," SE-BI
4/14/DASP|SE-BI/2002
Biaya Dalam Penggunaan Sistem Bank Indonesia Real Time Gross Settlement
24 September 2002
1 Oktober 2002
'4/4/DASP|SE-BI/2002', '2/25/DASP|SE-BI/2000'
'3/11/PBI/2001', '2/24/PBI/2000'
"
" No.11/ 26 /DKBU
Jakarta, 5 Oktober 2009
SURAT EDARAN
Kepada
SEMUA BANK UMUM
DI INDONESIA
Perihal : Perubahan Atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor
31/17/UK tanggal 15 Januari 1999 perihal Kredit Usaha Tani
Sehubungan dengan hasil evaluasi terhadap ketentuan penyaluran skim
Kredit Usaha Tani (KUT), maka dipandang perlu untuk melakukan perubahan
atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 31/17/UK tanggal 15 Januari 1999
perihal Kredit Usaha Tani sebagai berikut :
1. Ketentuan butir III.B diubah sehingga berbunyi sebagai berikut :
B. PENARIKAN KEMBALI KLBI
1. Bank wajib mengembalikan pembayaran pelunasan pokok dan bunga
KUT yang diterima dari Koperasi/LSM kepada Bank Indonesia.
2. Pengembalian pembayaran pelunasan pokok dan bunga KUT tersebut
dilakukan dengan cara :
a. Bank menyampaikan Laporan Pelunasan KUT sebagaimana
formulir dalam Lampiran 2 Surat Edaran ini dan dapat
disampaikan melalui sarana faksimili atau surat.
b. Laporan sebagaimana dimaksud pada huruf a, paling lambat
diterima oleh Bank Indonesia pada setiap akhir bulan. Dalam hal
akhir bulan dimaksud jatuh pada hari libur maka laporan harus
sudah diterima oleh Bank Indonesia pada hari kerja berikutnya.
c. Atas…
c. Atas dasar laporan sebagaimana dimaksud pada huruf b tersebut,
Bank Indonesia akan mendebet rekening giro Bank di Bank
Indonesia.
3. Dalam hal pelunasan pokok dan bunga KUT dilaporkan oleh Bank
melewati batas waktu yang ditentukan sebagaimana dimaksud pada
butir 2b, maka atas jumlah pelunasan pokok dan bunga KUT akan
dikenakan suku bunga deposito tertinggi yang berlaku pada Bank
yang bersangkutan yang dihitung sejak tanggal diterima pelunasan
pokok dan bunga KUT oleh Bank sampai dengan tanggal diterimanya
Laporan Pelunasan KUT tersebut oleh Bank Indonesia.
4. Tingkat suku bunga deposito tertinggi sebagaimana dimaksud pada
angka 3 adalah tingkat suku bunga deposito tertinggi pada tanggal
diterimanya pelunasan pokok dan bunga KUT oleh Bank.
2. Lampiran 2 diubah menjadi sebagaimana lampiran Surat Edaran ini.
Ketentuan dalam Surat Edaran ini mulai berlaku pada tanggal 5 Oktober
2009.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat
Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA,
RATNA E. AMIATY
DIREKTUR KREDIT, BPR DAN UMKM
"," SE-BI
11/26/DKBU|SE-BI/2009
Perubahan Atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 31/17/UK tanggal 15 Januari 1999 perihal Kredit Usaha Tani
5 Oktober 2009
5 Oktober 2009
'31/17/UK|SE-BI/1999'
'31/17/UK|SE-BI/1999'
"
" BANK INDONESIA
---------------
SE No.31/11/UPPB
Jakarta, 12 November 1998
SURAT EDARAN
kepada
SEMUA BANK UMUM
DI INDONESIA
Perihal : Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif
---------------------------------------------------
./.
Bersama ini disampaikan kepada Saudara Surat Keputusan Direksi Bank
Indonesia Nomor 31/148/KEP/DIR tanggal 12 November 1998 tentang Kualitas
Aktiva Produktif.
Dengan dikeluarkannya Surat Edaran ini maka Surat Edaran Nomor
30/17/UPPB tanggal 27 Februari 1998 perihal Penyisihan Penghapusan Aktiva
Produktif dinyatakan tidak berlaku.
Demikian agar Saudara maklum.
URUSAN PENGATURAN
PENGEMBANGAN
PERBANKAN
DAN
Erman Munzir
Kepala Urusan
UPPB.
"," SE-BI
31/11/UPPB|SE-BI/1998
Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif
12 November 1998
'30/17/UPPB|SE-BI/1998'
"
" No. 8/14/DPNP
Jakarta, 1 Juni 2006
S U R A T E D A R A N
Kepada
SEMUA BANK DAN NASABAH BANK
DI INDONESIA
Perihal: Mediasi Perbankan
-----------------------
Sehubungan dengan telah dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia
Nomor 8/5/PBI/2006 tanggal 30 Januari 2006 tentang Mediasi Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4601) perlu diatur ketentuan
pelaksanaan dalam suatu Surat Edaran Bank Indonesia, dengan pokok-pokok
ketentuan sebagai berikut:
I. UMUM
1. Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/5/PBI/2006 tanggal 30 Januari 2006
tentang Mediasi Perbankan dan Surat Edaran ini merupakan kelanjutan
dari pengaturan tentang penyelesaian pengaduan nasabah sebagaimana
diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/7/PBI/2005 tanggal 20
Januari 2005 dan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 7/24/DPNP
tanggal 18 Juli 2005.
2. Ketentuan Mediasi perbankan selain dimaksudkan untuk membantu
menjaga reputasi Bank sebagai lembaga intermediasi juga dimaksudkan
untuk …
untuk memberikan alternatif penyelesaian sengketa kepada Nasabah,
khususnya bagi Nasabah kecil dan usaha mikro dan kecil (UMK), dalam
hal pengaduan yang mereka ajukan kepada Bank tidak mendapatkan
hasil penyelesaian yang memuaskan.
3. Penyelesaian Sengketa melalui Mediasi perbankan dilakukan secara
sederhana, murah, cepat dan efisien.
4. Dengan mempertimbangkan bahwa Nasabah berada pada posisi sebagai
penerima keputusan atas penyelesaian pengaduan Nasabah oleh Bank,
maka pengajuan penyelesaian Sengketa kepada pelaksana fungsi
Mediasi perbankan hanya dapat dilakukan oleh Nasabah atau Perwakilan
Nasabah.
5. Dalam melaksanakan fungsi Mediasi perbankan, Bank Indonesia tidak
memberikan keputusan dan atau rekomendasi penyelesaian Sengketa
kepada Nasabah dan Bank. Dalam hal ini, pelaksanaan Mediasi
perbankan dilakukan dengan cara memfasilitasi Nasabah dan Bank
untuk mengkaji kembali pokok permasalahan Sengketa secara mendasar
agar tercapai Kesepakatan.
6. Proses Mediasi dapat dilakukan di Kantor Bank Indonesia yang terdekat
dengan domisili Nasabah.
7. Pelaksanaan fungsi Mediasi perbankan oleh Bank Indonesia dilakukan
sampai dengan akhir tahun 2007 dan selanjutnya akan dilaksanakan oleh
lembaga mediasi perbankan independen yang dibentuk oleh asosiasi
perbankan.
II. PENGAJUAN PENYELESAIAN SENGKETA
1. Pengajuan penyelesaian Sengketa kepada pelaksana fungsi Mediasi
perbankan hanya dapat dilakukan oleh Nasabah atau Perwakilan
Nasabah, termasuk lembaga, badan hukum, dan atau bank lain yang
menjadi Nasabah Bank tersebut.
2. Sengketa …
2. Sengketa yang dapat diajukan penyelesaiannya kepada pelaksana fungsi
Mediasi perbankan adalah Sengketa keperdataan yang timbul dari
transaksi keuangan.
3.
Nilai tuntutan finansial dalam Mediasi perbankan diajukan dalam mata
uang Rupiah dengan batas paling banyak sebesar Rp500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah).
4. Jumlah maksimum nilai tuntutan finansial sebagaimana dimaksud pada
angka 3 dapat berupa nilai kumulatif dari kerugian finansial yang telah
terjadi pada Nasabah, potensi kerugian karena penundaan atau tidak
dapat dilaksanakannya transaksi keuangan Nasabah dengan pihak lain,
dan atau biaya-biaya yang telah dikeluarkan Nasabah untuk
mendapatkan penyelesaian Sengketa.
5. Pengajuan penyelesaian Sengketa dilakukan secara tertulis dengan
format sebagaimana tercantum dalam Lampiran 1 dengan menyertakan
dokumen berupa:
a. fotokopi surat hasil penyelesaian pengaduan yang diberikan Bank
kepada Nasabah;
b. fotokopi bukti identitas Nasabah yang masih berlaku;
c. surat pernyataan yang ditandatangani diatas meterai yang cukup
bahwa Sengketa yang diajukan tidak sedang
dalam proses atau
telah mendapatkan keputusan dari lembaga arbitrase, peradilan,
atau lembaga Mediasi lainnya dan belum pernah diproses dalam
Mediasi perbankan yang difasilitasi oleh Bank Indonesia;
d. fotokopi dokumen pendukung yang terkait dengan Sengketa yang
diajukan; dan
e. fotokopi surat kuasa, dalam hal pengajuan penyelesaian Sengketa
dikuasakan.
Formulir …
Formulir Pengajuan Penyelesaian Sengketa pada Mediasi perbankan
disediakan di setiap kantor Bank atau dapat dibuat sendiri oleh Nasabah
dengan berpedoman pada format sebagaimana tercantum dalam
Lampiran 1.
6. Pengajuan penyelesaian Sengketa sebagaimana dimaksud pada angka 2
dilakukan paling lama 60 (enam puluh) hari kerja, yang dihitung sejak
tanggal surat hasil penyelesaian pengaduan Nasabah dari Bank sampai
dengan tanggal diterimanya pengajuan penyelesaian Sengketa oleh
pelaksana fungsi Mediasi perbankan secara langsung dari Nasabah atau
tanggal stempel pos apabila disampaikan melalui pos.
Contoh: apabila tanggal surat hasil penyelesaian pengaduan Nasabah
dari Bank kepada Nasabah adalah pada tanggal 5 Juni 2006, maka
pengajuan penyelesaian Sengketa kepada pelaksana fungsi Mediasi
perbankan secara langsung dari Nasabah atau tanggal stempel pos
(apabila disampaikan melalui pos) dilakukan paling lambat pada tanggal
30 Agustus 2006.
7. Sengketa yang timbul dari hasil penyelesaian pengaduan Nasabah yang
telah dilakukan oleh Bank sesuai ketentuan penyelesaian pengaduan
nasabah sebelum tanggal 1 Juni 2006 dapat diajukan kepada pelaksana
fungsi Mediasi perbankan paling lambat tanggal 30 Juni 2006.
Contoh: Nasabah yang telah mengajukan pengaduan kepada Bank dan
mendapatkan surat hasil penyelesaian pengaduan dari Bank pada tanggal
1 Januari 2006 serta merasa tidak puas dengan hasil penyelesaian
pengaduan oleh Bank, dapat mengajukan penyelesaian Sengketa kepada
pelaksana fungsi Mediasi perbankan paling lambat tanggal 30 Juni 2006.
8. Pengajuan …
8. Pengajuan penyelesaian Sengketa oleh Nasabah ditujukan kepada
Direktorat Investigasi dan Mediasi Perbankan, Bank Indonesia, Menara
Radius Prawiro lantai 19, Jalan M.H. Thamrin No. 2, Jakarta 10110
dengan tembusan disampaikan kepada Bank yang bersangkutan.
9. Pelaksana fungsi Mediasi perbankan dapat menolak pengajuan
penyelesaian Sengketa yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud pada angka 1 sampai dengan angka 7 di atas.
III. PROSES BERACARA PADA MEDIASI PERBANKAN
1. Atas dasar pengajuan penyelesaian Sengketa oleh Nasabah, pelaksana
fungsi Mediasi perbankan dapat melakukan klarifikasi atau meminta
penjelasan kepada Nasabah dan Bank secara lisan dan atau tertulis.
2.
Klarifikasi atau permintaan penjelasan sebagaimana dimaksud pada
angka 1 dilakukan dalam rangka meminta informasi mengenai
permasalahan yang diajukan dan upaya-upaya penyelesaian yang telah
dilakukan oleh Bank.
3. Pelaksana fungsi Mediasi perbankan memanggil Nasabah dan Bank
untuk menjelaskan tata cara pelaksanaan Mediasi perbankan. Apabila
Nasabah dan Bank sepakat menggunakan Mediasi perbankan sebagai
alternatif penyelesaian Sengketa, Nasabah dan Bank
menandatangani perjanjian Mediasi (agreement to mediate).
wajib
4.
Perjanjian Mediasi sebagaimana dimaksud pada angka 3 memuat
pernyataan kesepakatan Nasabah dan Bank untuk menggunakan Mediasi
sebagai alternatif penyelesaian Sengketa dan persetujuan untuk patuh
dan tunduk pada aturan Mediasi.
5. Aturan Mediasi sebagaimana dimaksud pada angka 4 memuat kondisi-
kondisi yang terkait dengan proses Mediasi, yang paling kurang terdiri
dari hal-hal sebagai berikut:
a. Nasabah …
a. Nasabah dan Bank wajib menyampaikan dan mengungkapkan
seluruh informasi penting yang terkait dengan pokok Sengketa
dalam pelaksanaan Mediasi.
b. Seluruh informasi dari para pihak yang berkaitan dengan proses
Mediasi merupakan informasi yang bersifat rahasia dan tidak dapat
disebarluaskan untuk kepentingan pihak lain di luar pihak-pihak
yang terlibat dalam proses Mediasi, yaitu pihak-pihak selain
Nasabah, Bank, dan Mediator.
c. Mediator bersikap netral, tidak memihak dan berupaya membantu
para pihak untuk menghasilkan Kesepakatan.
d. Kesepakatan yang
dihasilkan dari proses Mediasi adalah
Kesepakatan secara sukarela antara Nasabah dengan Bank dan
bukan merupakan rekomendasi dan atau keputusan Mediator.
e. Nasabah dan Bank tidak dapat meminta pendapat hukum (legal
advice) maupun jasa konsultasi hukum (legal counsel) kepada
Mediator.
f. Nasabah dan Bank dengan alasan apapun tidak akan mengajukan
tuntutan hukum terhadap Mediator, pegawai maupun Bank
Indonesia sebagai pelaksana fungsi Mediasi perbankan, baik atas
kerugian yang mungkin timbul karena pelaksanaan atau eksekusi
Akta Kesepakatan, maupun oleh sebab-sebab lain yang terkait
dengan pelaksanaan Mediasi.
g. Nasabah dan Bank yang mengikuti proses Mediasi berkehendak
untuk menyelesaikan sengketa. Dengan demikian, Nasabah dan
Bank bersedia :
1) melakukan proses Mediasi dengan itikad baik;
2) bersikap koperatif dengan Mediator selama proses Mediasi
berlangsung; dan
3) menghadiri …
3) menghadiri pertemuan Mediasi sesuai dengan tanggal dan
tempat yang telah disepakati.
h. Dalam hal proses Mediasi mengalami kebuntuan dalam upaya
mencapai Kesepakatan, baik untuk sebagian maupun keseluruhan
pokok Sengketa, maka Nasabah dan Bank menyetujui tindakan-
tindakan yang dilakukan Mediator antara lain :
1) menghadirkan pihak lain sebagai narasumber atau sebagai
tenaga ahli untuk mendukung kelancaran Mediasi; atau
2) menangguhkan proses Mediasi sementara dengan tidak
melampaui batas waktu proses Mediasi; atau
3) menghentikan proses Mediasi.
i. Dalam hal Nasabah dan atau Bank melakukan upaya lanjutan
penyelesaian Sengketa melalui proses arbitrase atau peradilan,
Nasabah dan Bank sepakat untuk:
1) tidak melibatkan Mediator maupun Bank
Indonesia
sebagai pelaksana fungsi Mediasi perbankan untuk
memberi kesaksian dalam pelaksanaan arbitrase atau
peradilan dimaksud;
2) tidak meminta Mediator maupun Bank
Indonesia
menyerahkan sebagian atau seluruh dokumen Mediasi
yang ditatausahakan Bank Indonesia, baik berupa catatan,
laporan, risalah, laporan proses Mediasi dan atau berkas
lainnya yang terkait dengan proses Mediasi.
j. Dalam hal Nasabah dan Bank berinisiatif untuk menghadirkan
narasumber atau tenaga ahli tertentu, maka Nasabah dan Bank
sepakat untuk menanggung biaya narasumber atau tenaga ahli
dimaksud.
k. Proses …
k. Proses Mediasi berakhir dalam hal:
1) tercapainya kesepakatan;
2) berakhirnya jangka waktu Mediasi;
3) terjadi kebuntuan yang mengakibatkan dihentikannya
proses Mediasi;
4) Nasabah menyatakan mengundurkan diri
Mediasi; atau
dari
proses
5) salah satu pihak tidak mentaati perjanjian Mediasi
(agreement to mediate).
6. Dalam pelaksanaan proses Mediasi, baik Nasabah maupun Bank dapat
memberikan kuasa kepada pihak lain yang bertindak untuk dan atas
nama Nasabah atau Bank. Dalam hal ini pihak yang menerima kuasa
dapat berupa perseorangan, lembaga, atau badan hukum.
7. Pemberian kuasa sebagaimana dimaksud pada angka 6 di atas harus
dilakukan dengan surat kuasa khusus tanpa hak substitusi, bermaterai
cukup, dan paling kurang mencantumkan hal-hal sebagai berikut:
a. identitas pihak pemberi kuasa dan penerima kuasa, dengan
menyebutkan dasar kewenangannya; dan
b. pemberian kewenangan kepada penerima kuasa untuk mengikuti
proses Mediasi sesuai dengan aturan Mediasi, termasuk
pengambilan keputusan berupa kesepakatan.
Pemberian kuasa dapat pula mencakup kewenangan untuk
menandatangani dokumen-dokumen yang terkait dengan proses Mediasi,
antara lain perjanjian Mediasi (agreement to mediate) dan Akta
Kesepakatan.
8. Proses …
8. Proses Mediasi dilaksanakan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga
puluh) hari kerja yang
menandatangani perjanjian Mediasi (agreement to mediate) sampai
dengan penandatanganan Akta Kesepakatan.
9. Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada angka 8 dapat diperpanjang
sampai dengan 30 (tiga puluh) hari kerja berikutnya berdasarkan
Kesepakatan Nasabah dan Bank yang dituangkan secara tertulis.
10. Kesepakatan tertulis mengenai perpanjangan waktu pelaksanaan proses
Mediasi sebagaimana dimaksud pada angka 9 mencantumkan secara
jelas alasan dilakukannya perpanjangan waktu, antara lain untuk
menghadirkan narasumber tertentu yang memiliki keahlian dan
kompetensi sesuai masalah yang disengketakan.
Perpanjangan waktu dimaksud dapat dilakukan sepanjang memenuhi
persyaratan :
a. Para pihak memiliki itikad baik dengan mematuhi aturan Mediasi
dan perjanjian Mediasi (agreement to mediate); dan
b. Jangka waktu proses Mediasi hampir berakhir, namun menurut
penilaian Mediator masih terdapat prospek untuk tercapai
Kesepakatan.
11. Kesepakatan yang diperoleh dari proses Mediasi dituangkan dalam suatu
Akta Kesepakatan yang bersifat final dan mengikat bagi Nasabah dan
Bank.
Yang dimaksud dengan bersifat final adalah Sengketa tersebut tidak
dapat diajukan untuk dilakukan proses Mediasi ulang pada pelaksana
fungsi Mediasi perbankan. Yang dimaksud dengan mengikat adalah
Kesepakatan berlaku sebagai undang-undang bagi Nasabah dan Bank
yang harus dilaksanakan dengan itikad baik.
dihitung sejak Nasabah dan Bank
IV. PUBLIKASI …
IV. PUBLIKASI MEDIASI PERBANKAN
1. Bank wajib mempublikasikan adanya sarana alternatif penyelesaian
sengketa melalui Mediasi perbankan kepada Nasabah dengan cara:
a. menyediakan informasi dalam bentuk leaflet, booklet, poster
dan/atau bentuk publikasi lainnya, termasuk website bank. Leaflet,
booklet, dan/atau poster disediakan di setiap kantor Bank pada
lokasi yang mudah diakses oleh Nasabah; dan
2.
b. menyampaikan leaflet yang memuat informasi mengenai Mediasi
perbankan kepada Nasabah. Penyampaian leaflet tersebut
dilakukan bersama-sama dengan pengiriman dan/atau penyampaian
surat hasil penyelesaian pengaduan sebagaimana dimaksud pada
Peraturan Bank Indonesia nomor 7/7/PBI/2005 tanggal 20 Januari
2005 dan Surat Edaran Bank Indonesia nomor 7/24/DPNP tanggal
18 Juli 2005 tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah.
Informasi sebagaimana dimaksud
pada angka 1 yang wajib
dipublikasikan oleh Bank paling kurang memuat:
a. prosedur yang harus ditempuh Nasabah untuk dapat mengajukan
penyelesaian Sengketa;
b. persyaratan pengajuan penyelesaian Sengketa;
c. batas waktu pengajuan penyelesaian Sengketa;
d. nilai tuntutan finansial maksimal untuk setiap Sengketa, yaitu
berupa kerugian finansial yang telah terjadi pada nasabah, potensi
kerugian karena penundaan atau tidak dapat dilaksanakannya
transaksi keuangan Nasabah dengan pihak lain, dan atau biaya-
biaya yang telah dikeluarkan Nasabah untuk menyelesaikan
Sengketa; dan
e. cakupan nilai tuntutan finansial tidak termasuk nilai kerugian
immateriil.
3. Penyediaan …
3. Penyediaan informasi dalam bentuk leaflet, booklet dan atau poster di
setiap kantor Bank sebagaimana dimaksud pada angka 1 dilakukan
paling lambat tanggal 1 September 2006.
V. PENUTUP
Ketentuan dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak
tanggal 1 Juni 2006.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat
Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita Negara
Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA,
MAMAN H. SOMANTRI
DEPUTI GUBERNUR
"," SE-BI
8/14/DPNP|SE-BI/2006
Mediasi Perbankan
1 Juni 2006
1 Juni 2006
'8/5/PBI/2006'
"
" No.9/17/DPbS
Jakarta, 8 Agustus 2007
S U R A T E D A R A N
Kepada
SEMUA BANK PERKREDITAN RAKYAT SYARIAH
DI INDONESIA
Perihal : Perubahan Atas Surat Edaran No.7/13/DPbS tentang Laporan
Bulanan Bank Perkreditan Rakyat Syariah
Sehubungan dengan telah dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia Nomor
7/9/PBI/2005 tanggal 25 Januari 2005 tentang Laporan Bulanan Bank Perkreditan
Rakyat Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 19,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4478) dan Peraturan Bank
Indonesia Nomor 8/24/PBI/2006 tanggal 5 Oktober 2006 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 81, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4650) dan telah dikeluarkannya beberapa fatwa tentang produk
baru perbankan syariah, perlu dilakukan beberapa perubahan terhadap Surat Edaran
Bank Indonesia Nomor 7/13/DPbS tanggal 11 April 2005 perihal Laporan Bulanan
Bank Perkreditan Rakyat Syariah sebagai berikut :
1. Ketentuan angka I. UMUM butir 2 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut :
2. Dalam penyusunan Laporan Bulanan, BPRS berpedoman pada ketentuan
dalam buku Pedoman Penyusunan Laporan Bulanan Bank Perkreditan Rakyat
Syariah Tahun 2007.
2. Ketentuan angka III. FORMAT LAPORAN BULANAN DAN TATA CARA
PELAPORAN diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut :
III. FORMAT …
III. FORMAT LAPORAN BULANAN DAN TATA CARA PELAPORAN
1. Format Laporan Bulanan BPRS dan tata cara pelaporan diatur dalam
Pedoman Penyusunan Laporan Bulanan Bank Perkreditan Rakyat Syariah
Tahun 2007 yang merupakan lampiran dari Surat Edaran ini.
2. Prosedur pengoperasian aplikasi komputerisasi Laporan Bulanan BPRS
diatur dalam Buku Petunjuk Teknis Aplikasi Data Entry dan Petunjuk
Teknis Aplikasi Web Bank Perkreditan Rakyat Syariah Versi Tahun 2007
yang merupakan lampiran dari Surat Edaran ini.
Ketentuan dalam Surat Edaran ini mulai berlaku sejak tanggal 1 Desember
2007.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat
Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA,
SITI Ch. FADJRIJAH
DEPUTI GUBERNUR
"," SE-BI
9/17/DPbS|SE-BI/2007
Perubahan Atas Surat Edaran No.7/13/DPbS tentang Laporan Bulanan Bank Perkreditan Rakyat Syariah
8 Agustus 2007
1 Desember 2007
'7/13/DPbS|SE-BI/2005'
'7/13/DPbS|SE-BI/2005', '8/24/PBI/2006', '7/9/PBI/2005'
"
" No.13/ 11 /DPbS
Jakarta, 13 April 2011
S U R A T E D A R A N
Kepada
SEMUA BANK PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH
DI INDONESIA
Perihal: Penilaian Kualitas Aktiva Bagi Bank Pembiayaan Rakyat
Syariah.
Sehubungan dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia Nomor
13/14/PBI/2011 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bagi Bank Pembiayaan
Rakyat Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 41,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5206) perlu mengatur
kembali ketentuan pelaksanaan mengenai penilaian kualitas aktiva bagi Bank
Pembiayaan Rakyat Syariah, sebagai berikut:
I. UMUM
1. Sejalan dengan berkembangnya usaha, BPRS perlu menjaga
kelangsungan usahanya, antara lain dengan meningkatkan kemampuan
dan efektivitas BPRS dalam mengelola risiko kredit dan
meminimalkan potensi kerugian dari penyediaan dana.
2. Pengembangan industri perbankan syariah perlu didukung antara lain
dengan perangkat penilaian kualitas aktiva yang lebih
menggambarkan karakteristik usaha nasabah yang dibiayai dan produk
yang ditawarkan BPRS.
II. PENILAIAN ...
2
II. PENILAIAN KUALITAS AKTIVA PRODUKTIF DALAM BENTUK
PEMBIAYAAN
1. Kualitas Aktiva Produktif dalam bentuk Pembiayaan digolongkan
menjadi 4 (empat) golongan yaitu Lancar, Kurang Lancar, Diragukan,
dan Macet.
2. Penggolongan kualitas Aktiva Produktif dalam bentuk Pembiayaan
dilakukan berdasarkan pada ketepatan dan/atau kemampuan
membayar kewajiban oleh nasabah serta kelengkapan dokumentasi
dan ketersediaan informasi yang terkait dengan Pembiayaan.
3. Penilaian terhadap ketepatan dan/atau kemampuan membayar
kewajiban oleh nasabah serta kelengkapan dokumentasi dan
ketersediaan informasi sebagaimana dimaksud pada angka 2.
dilakukan dengan menggunakan unsur-unsur penilaian sebagaimana
dimaksud dalam Lampiran yang tidak terpisahkan dari Surat Edaran
Bank Indonesia ini.
4. Dalam hal terdapat 2 (dua) atau lebih parameter dari unsur–unsur
penilaian yang menunjukkan kualitas yang berbeda untuk 1 (satu)
rekening maka penggolongan kualitas Aktiva Produktif dalam bentuk
Pembiayaan menggunakan penilaian yang paling rendah.
III. PENUTUP
Dengan diberlakukannya Surat Edaran Bank Indonesia ini maka Surat
Edaran Bank Indonesia Nomor 8/24/DPbS tanggal 20 Oktober 2006 perihal
Penilaian Kualitas Aktiva bagi Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan
Prinsip Syariah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Ketentuan dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada
tanggal ditetapkan.
Agar ...
3
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat
Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita Negara
Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA,
HALIM ALAMSYAH
DEPUTI GUBERNUR
"," SE-BI
13/11/DPbS|SE-BI/2011
Penilaian Kualitas Aktiva Bagi Bank Pembiayaan Rakyat Syariah.
13 April 2011
13 April 2011
'8/24/DPbS|SE-BI/2006'
'13/14/PBI/2011'
"
" No.13/12/DPU
Jakarta, 29 April 2011
SURAT EDARAN
Perihal : Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 10/8/DPU
tanggal 28 Februari 2008 perihal Penukaran Uang Rupiah
Dalam rangka meningkatkan layanan penukaran uang rupiah rusak dan
menyempurnakan pedoman mengenai uang rupiah rusak yang tidak
mendapatkan penggantian dari Bank Indonesia, perlu dilakukan perubahan atas
Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 10/8/DPU tanggal 28 Februari 2008 perihal
Penukaran Uang Rupiah, sebagai berikut:
1. Ketentuan butir VI.2 diubah, sehingga menjadi berbunyi sebagai berikut:
2. Kerusakan Uang diduga dilakukan secara sengaja apabila tanda-tanda
kerusakan fisik Uang meyakinkan Bank Indonesia adanya dugaan
unsur kesengajaan, misalnya terdapat bekas potongan dengan alat
tajam atau alat lainnya, benang pengaman hilang seluruhnya atau
sebagian karena dirusak, dan/atau jumlah Uang yang ditukarkan relatif
banyak dengan pola kerusakan yang sama.
2. Di antara ...
2
2. Di antara bab VII dan bab VIII disisipkan 1 (satu) bab yaitu bab VIIA, yang
berbunyi sebagai berikut:
VIIA. UANG RUSAK YANG TIDAK MENDAPAT PENGGANTIAN
1. Bank Indonesia mengembalikan Uang Rusak yang tidak
mendapat penggantian kepada masyarakat pemilik Uang Rusak.
2. Bank Indonesia memberikan tanda pada Uang Rusak yang tidak
mendapat penggantian dengan mencantumkan frasa “TIDAK
DIGANTI” atau tanda lainnya sebelum dikembalikan kepada
pemilik Uang Rusak sebagaimana dimaksud pada angka 1.
3. Bank Indonesia dapat menahan Uang Rusak yang tidak
mendapat penggantian sebagaimana dimaksud pada angka 2
untuk selanjutnya dimusnahkan, sepanjang mendapat
persetujuan dari pemilik Uang Rusak dimaksud.
4. Dalam hal pemilik Uang Rusak sebagaimana dimaksud pada
angka 3 menyetujui Uang Rusak miliknya dimusnahkan oleh
Bank Indonesia, pemilik Uang Rusak dimaksud menandatangani
surat pernyataan yang antara lain berisi persetujuan bahwa Uang
Rusak miliknya dimusnahkan oleh Bank Indonesia.
Ketentuan ...
3
Ketentuan dalam Surat Edaran ini mulai berlaku pada tanggal 16 Mei 2011.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat
Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita Negara
Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA,
MOKHAMMAD DAKHLAN
DIREKTUR PENGEDARAN UANG
"," SE-BI
13/12/DPU|SE-BI/2011
Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 10/8/DPU tanggal 28 Februari 2008 perihal Penukaran Uang Rupiah
29 April 2011
16 Mei 2011
'10/8/DPU|SE-BI/2008'
'10/8/DPU|SE-BI/2008'
"
" No. 12/ 15 /DKBU
J a k a r t a , 1 1 J u n i 2 0 1 0
SURAT EDARAN
Kepada
SEMUA BANK PERKREDITAN RAKYAT
DI INDONESIA
Perihal : Perubahan Kedua atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor
8/7/DPBPR tanggal 23 Februari 2006 Perihal Laporan
Bulanan Bank Perkreditan Rakyat
Sehubungan dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4866), Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/20/PBI/2006
tentang Transparansi Kondisi Keuangan Bank Perkreditan Rakyat (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 77, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4646), Surat Edaran Nomor 11/37/DKBU
perihal Penetapan Standar Akuntansi Keuangan bagi Bank Perkreditan
Rakyat, dan Surat Edaran Nomor 12/14/DKBU perihal Pelaksanaan Pedoman
Akuntansi Bank Perkreditan Rakyat, serta dalam rangka meningkatkan
transparansi informasi keuangan kegiatan usaha Bank Perkreditan
Rakyat, dipandang perlu untuk
melakukan ...
melakukan perubahan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 8/7/DPBPR
tanggal 23 Februari 2006 Perihal Laporan Bulanan Bank Perkreditan Rakyat
sebagaimana telah diubah dengan Surat Edaran No.8/29/DPBPR tanggal 12
Desember 2006 sebagai berikut :
1. Seluruh lampiran Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 8/7/DPBPR tanggal
23 Februari 2006 Perihal Laporan Bulanan Bank Perkreditan Rakyat
sebagaimana telah diubah dengan Surat Edaran No.8/29/DPBPR tanggal 12
Desember 2006 diubah menjadi sebagaimana lampiran Surat Edaran ini.
2. Ketentuan dalam butir VI angka 1.a. diubah menjadi sebagai berikut :
“Direktorat Kredit, BPR dan UMKM cq. Bagian Informasi, Dokumentasi
dan Administrasi (IDAd), Jl. M.H. Thamrin No.2 Jakarta 10350, bagi BPR
pelapor yang berkedudukan di wilayah DKI Jakarta Raya, Provinsi Banten,
Bogor, Depok, Karawang, dan Bekasi.”
BPR wajib menyampaikan Laporan Bulanan dengan berpedoman pada
Pedoman Penyusunan Laporan Bulanan dan Petunjuk Teknis Aplikasi
Laporan Berkala Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana lampiran Surat
Edaran ini sejak periode laporan bulan Oktober 2010 yang disampaikan pada
bulan November 2010.
Dalam rangka persiapan penyampaian laporan bulanan untuk periode
bulan Oktober 2010, BPR melakukan uji coba penyampaian Laporan Bulanan
untuk periode laporan Juli, Agustus dan September 2010 yang disampaikan
paling lambat pada akhir bulan berikutnya, dengan berpedoman pada Pedoman
Penyusunan Laporan Bulanan dan Petunjuk Teknis Aplikasi Laporan Berkala
Bank Perkreditan Rakyat, sebagaimana lampiran yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Surat Edaran ini.
BPR ...
BPR tetap diwajibkan untuk menyampaikan Laporan Bulanan sesuai
dengan Surat Edaran Nomor 8/7/DPBPR Tahun 2006 sebagaimana telah
diubah dengan Surat Edaran Nomor 8/29/DPBPR Tahun 2006 perihal Laporan
Bulanan Bank Perkreditan Rakyat untuk laporan periode bulan Juli, Agustus,
dan September 2010.
Dengan berlakunya Surat Edaran ini, Surat Edaran Nomor 8/29/DPBPR
Tahun 2006 perihal Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor
8/7/DPBPR tanggal 23 Februari 2006 Perihal Laporan Bulanan Bank
Perkreditan Rakyat dinyatakan tidak berlaku terhitung sejak periode laporan
bulan Oktober 2010.
Surat Edaran ini mulai berlaku sejak tanggal 11 Juni 2010.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat
Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA,
RATNA E. AMIATY
DIREKTUR KREDIT, BPR dan UMKM
"," SE-BI
12/15/DKBU|SE-BI/2010
Perubahan Kedua atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 8/7/DPBPR tanggal 23 Februari 2006 Perihal Laporan Bulanan Bank Perkreditan Rakyat
11 Juni 2010
11 Juni 2010
'8/7/DPBPR|SE-BI/2006'
'8/29/DPBPR|SE-BI/2006'
'8/29/DPBPR|SE-BI/2006 | terhitung sejak periode laporan bulan Oktober 2010'
'12/14/DKBU|SE-BI', '20/UU/2008', '8/20/PBI/2006', '11/37/DKBU|SE-BI', '8/7/DPBPR|SE-BI/2006', '8/29/DPBPR|SE-BI/2006'
"
" No.11/ 22 /DPM
Jakarta, 12 Agustus 2009
SURAT EDARAN
Kepada
BANK, PERUSAHAAN EFEK, DEALER UTAMA
DAN LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN
Perihal : Tata Cara Lelang dan Penatausahaan Surat Berharga Syariah
Negara
Sehubungan dengan telah ditetapkannya Peraturan Bank Indonesia Nomor
10/13/PBI/2008 tanggal 21 Agustus 2008 tentang Lelang dan Penatausahaan Surat
Berharga Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 123,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4888), Peraturan Bank
Indonesia Nomor 10/2/PBI/2008 tanggal 4 Februari 2008 perihal Bank Indonesia-
Scripless Securities Settlement System (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4809), Keputusan
Menteri Keuangan Nomor 215/KMK.08/2008 tanggal 15
Agustus 2008 tentang Penunjukan Bank Indonesia Sebagai Agen Penata Usaha,
Agen Pembayar, dan Agen Lelang Surat Berharga Syariah Negara di Pasar Dalam
Negeri dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 11/PMK.08/2009 tanggal 2
Februari 2009 tentang Penerbitan dan Penjualan Surat Berharga Syariah Negara di
Pasar Perdana Dalam Negeri Dengan Cara Lelang, dipandang perlu mengatur tata
cara lelang dan penatausahaan Surat Berharga Syariah Negara dalam surat edaran
sebagai berikut:
2
I. KETENTUAN UMUM
Dalam Surat Edaran ini yang dimaksud dengan :
1. Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya disingkat SBSN, atau dapat
disebut Sukuk Negara, adalah surat berharga negara yang diterbitkan
berdasarkan prinsip syariah, dalam mata uang rupiah, sebagai bukti atas
bagian penyertaan terhadap aset SBSN.
2. SBSN Jangka Pendek atau dapat disebut Surat Perbendaharaan Negara
Syariah adalah SBSN yang berjangka waktu sampai dengan 12 (dua belas)
bulan dengan pembayaran imbalan berupa kupon dan/atau secara diskonto.
3. SBSN Jangka Panjang adalah SBSN yang berjangka waktu lebih dari 12
(dua belas) bulan dengan pembayaran imbalan berupa kupon dan/atau secara
diskonto.
4. Lelang SBSN adalah penjualan SBSN yang diikuti oleh :
a. Peserta lelang, Bank Indonesia, dan/atau Lembaga Penjamin Simpanan,
dalam hal lelang SBSN Jangka Pendek; atau
b. Peserta lelang dan/atau Lembaga Penjamin Simpanan, dalam hal lelang
SBSN Jangka Panjang,
cara mengajukan
dengan
Penawaran
Penawaran Pembelian Non-Kompetitif
Pembelian Kompetitif dan/atau
dalam suatu
penawaran yang telah ditentukan dan diumumkan sebelumnya, melalui
sistem yang disediakan agen yang melaksanakan Lelang SBSN.
5. Peserta Lelang adalah bank, perusahaan efek, dan anggota dealer utama yang
ditunjuk Menteri Keuangan sebagai peserta Lelang SBSN di pasar perdana
dalam negeri.
6. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 serta Bank Umum Syariah dan Unit
Usaha Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
periode waktu
3
7. Perusahaan Efek adalah perusahaan efek sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995
tentang
melakukan kegiatan usaha sebagai penjamin emisi efek.
8. Dealer Utama adalah Dealer Utama sebagaimana dimaksud dalam Peraturan
Menteri Keuangan tentang Sistem Dealer Utama.
9. Pihak adalah orang perseorangan, atau kumpulan orang dan/atau kekayaan
yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan
hukum, Bank Indonesia, atau Lembaga Penjamin Simpanan.
10. Lembaga Penjamin Simpanan yang selanjutnya disebut LPS adalah lembaga
yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang tentang Lembaga Penjamin
Simpanan.
11. Pasar Perdana adalah kegiatan penawaran dan penjualan SBSN untuk
pertama kali.
12. Pasar Sekunder adalah kegiatan perdagangan SBSN yang telah dijual di
Pasar Perdana.
13. Penawaran Pembelian Kompetitif (Competitive Bidding) adalah pengajuan
penawaran pembelian dengan mencantumkan :
a. volume dan tingkat imbal hasil (yield) yang diinginkan penawar, dalam
hal Lelang SBSN dengan pembayaran imbalan tetap (fixed coupon) atau
pembayaran imbalan secara diskonto; atau
b. volume dan harga (price) yang diinginkan penawar, dalam hal Lelang
SBSN dengan imbalan mengambang (floating coupon).
14. Penawaran Pembelian Non-Kompetitif (Non-Competitive Bidding) adalah
pengajuan penawaran pembelian dengan mencantumkan :
a. volume tanpa tingkat imbal hasil (yield) yang diinginkan penawar, dalam
hal Lelang SBSN dengan pembayaran imbalan tetap (fixed coupon) atau
pembayaran imbalan secara diskonto; atau
b. volume tanpa harga (price) yang diinginkan penawar, dalam hal Lelang
SBSN dengan pembayaran imbalan mengambang (floating coupon).
Pasar Modal, yang
4
15. Sistem Bank Indonesia – Real Time Gross Settlement yang selanjutnya
disebut dengan Sistem BI-RTGS adalah suatu sistem transfer dana elektronik
antar peserta Sistem BI-RTGS dalam mata uang rupiah yang
penyelesaiannya dilakukan secara seketika per transaksi secara individual.
16. Bank Indonesia – Scripless Securities Settlement System yang selanjutnya
disebut BI-SSSS adalah sarana transaksi dengan Bank Indonesia termasuk
penatausahaannya dan penatausahaan surat berharga secara elektronik dan
terhubung langsung antara peserta BI-SSSS, penyelenggara BI-SSSS dan
Sistem BI-RTGS.
17. Laporan Harian Bank Umum yang selanjutnya disebut LHBU adalah laporan
yang disusun dan disampaikan oleh Bank pelapor secara harian kepada Bank
Indonesia.
18. Sub-Registry adalah Bank dan lembaga yang melakukan kegiatan kustodian,
yang memenuhi persyaratan dan disetujui Bank Indonesia melakukan fungsi
penatausahaan surat berharga termasuk SBSN untuk kepentingan nasabah.
19. Harga Beragam (Multiple Price) adalah harga yang dibayarkan oleh masing-
masing pemenang Lelang SBSN sesuai dengan harga penawaran yang
diajukannya.
20. Harga Seragam (Uniform Price) adalah tingkat harga yang sama yang
dibayarkan oleh seluruh pemenang Lelang SBSN.
21. Harga Rata-rata Tertimbang (Weighted Average Price) adalah harga yang
dihitung dari hasil bagi antara jumlah dari perkalian masing-masing volume
SBSN dengan harga yang dimenangkan dan total volume SBSN yang terjual.
22. Imbalan adalah pembayaran yang dapat berupa sewa, bagi hasil atau marjin,
atau bentuk pembayaran lainnya sesuai dengan akad penerbitan SBSN, yang
diberikan kepada pemegang SBSN sampai dengan berakhirnya periode
SBSN.
23. Imbal Hasil (yield) adalah keuntungan yang diharapkan oleh investor dalam
persentase per tahun.
5
24. Nilai Nominal adalah nilai SBSN atas nama Bank dan/atau Sub-Registry
yang tercatat dalam BI-SSSS.
25. Hari Kerja adalah hari operasional sistem pembayaran yang diselenggarakan
oleh Bank Indonesia.
II. TATA CARA LELANG SBSN DI PASAR PERDANA
A. Ketentuan dan Persyaratan
1. Setiap Pihak dapat menyampaikan penawaran pembelian dalam Lelang
SBSN.
2. Pembelian SBSN secara lelang di Pasar Perdana oleh Pihak selain Bank
Indonesia dan LPS dilakukan melalui Peserta Lelang.
3. Bank Indonesia dapat membeli SBSN di Pasar Perdana hanya untuk
SBSN Jangka Pendek.
4. Pembelian SBSN Jangka Pendek oleh Bank Indonesia hanya untuk dan
atas nama dirinya sendiri.
5. LPS dapat membeli SBSN di Pasar Perdana untuk SBSN Jangka Pendek
maupun SBSN Jangka Panjang.
6. Pembelian SBSN oleh LPS hanya untuk dan atas nama dirinya sendiri.
7. Pihak selain Bank Indonesia dapat membeli di Pasar Perdana untuk
SBSN Jangka Pendek dan SBSN Jangka Panjang.
8. Pihak selain Bank Indonesia dan LPS menyampaikan penawaran
pembelian SBSN melalui Peserta Lelang kepada Bank Indonesia sebagai
agen lelang.
9. Pihak selain Bank Indonesia dan LPS menyampaikan penawaran
pembelian SBSN untuk dan atas nama diri sendiri dan/atau pihak lain.
10. Penawaran pembelian SBSN dapat dilakukan dengan cara Penawaran
Pembelian Kompetitif (Competitive Bidding) dan/atau Penawaran
Pembelian Non-Kompetitif (Non-Competitive Bidding).
6
11. Bank Indonesia dan LPS hanya dapat menyampaikan Penawaran
Pembelian Non-Kompetitif.
12. Peserta Lelang yang menyampaikan penawaran pembelian SBSN untuk
dan atas nama diri sendiri dan/atau melalui Peserta Lelang lain, hanya
dapat melakukan Penawaran Pembelian Kompetitif.
13. Peserta Lelang yang menyampaikan penawaran pembelian SBSN untuk
dan atas nama Pihak selain Bank Indonesia dan LPS menyampaikan
penawarannya dengan cara :
a. Penawaran Pembelian Kompetitif, dalam hal penawaran pembelian
SBSN Jangka Pendek; dan
b. Penawaran Pembelian Kompetitif dan/atau Penawaran Pembelian
Non-Kompetitif, dalam hal penawaran pembelian SBSN Jangka
Panjang.
14. Sarana yang digunakan untuk pengajuan penawaran Lelang SBSN
adalah BI-SSSS.
15. Dalam hal Bank mengajukan penawaran Lelang SBSN melalui Peserta
Lelang maka
Maksimum Nominal Penawaran (Broker Bidding Limit) per hari bagi
Peserta Lelang SBSN yang ditunjuk.
16. Peserta Lelang selain Bank yang mengajukan penawaran Lelang SBSN
harus menunjuk Sub-Registry untuk melakukan setelmen dan
penatausahaan hasil Lelang SBSN.
17. Sub-Registry sebagaimana dimaksud pada angka 16, harus menetapkan
Batas Maksimum Nominal Penawaran (Broker Bidding Limit) per hari
bagi Peserta Lelang untuk kepentingan nasabah Sub-Registry.
18. Bank Indonesia mengumumkan rencana Lelang SBSN paling lambat 1
(satu) hari kerja sebelum hari pelaksanaan lelang melalui BI-SSSS,
LHBU dan sarana lain yang ditetapkan Bank Indonesia.
Bank yang bersangkutan harus menetapkan Batas
7
19. Pengumuman rencana Lelang SBSN sebagaimana dimaksud pada angka
18 paling kurang memuat :
a. jenis dan seri;
b. Peserta Lelang;
c. waktu pelaksanaan lelang;
d. jumlah indikatif yang ditawarkan;
e. jangka waktu;
f. tanggal penerbitan;
g. tanggal setelmen;
h. tanggal jatuh waktu;
i. jenis mata uang; dan
j. waktu pengumuman hasil lelang.
B. Pelaksanaan Lelang
1. Penawaran Lelang SBSN dilakukan dari pukul 10.00 WIB sampai
dengan pukul 12.00 WIB atau waktu lain yang ditetapkan oleh Menteri
Keuangan cq. Direktur Jenderal Pengelolaan Utang.
2. Penawaran volume dan tingkat Imbal Hasil (yield) atau harga (price)
dalam Penawaran Pembelian Kompetitif dan Penawaran Pembelian Non-
Kompetitif dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. penawaran volume paling rendah 1.000 (seribu) unit atau Rp
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan selebihnya dengan
kelipatan 100 (seratus) unit atau Rp. 100.000.000,00 (seratus juta
rupiah); dan/atau
b. penawaran tingkat Imbal Hasil (yield) diajukan dengan kelipatan 1/32
(satu per tiga puluh dua) atau 0,03125 (tiga ribu seratus dua puluh
lima per seratus ribu) untuk Imbalan tetap (fixed coupon) dan SBSN
tanpa kupon (zero coupon bond), sedangkan penawaran harga (price)
diajukan dengan kelipatan 0,05% (lima per sepuluh ribu) untuk
Imbalan mengambang (floating coupon).
8
3. Peserta Lelang, LPS dan/atau Bank Indonesia bertanggung jawab atas
kebenaran data penawaran pembelian SBSN.
4. Peserta Lelang, LPS dan/atau Bank Indonesia yang telah mengajukan
penawaran tidak dapat membatalkan penawarannya.
C. Penentuan Pemenang Lelang
1. Menteri Keuangan menetapkan hasil Lelang SBSN di Pasar Perdana
yang mencakup Nilai Nominal yang dimenangkan, tingkat Imbalan
dan/atau diskonto, serta jenis dan nilai aset SBSN pada tanggal
pelaksanaan lelang.
2. Penetapan
hasil Lelang SBSN oleh Menteri Keuangan berupa
penerimaan seluruh atau sebagian, atau penolakan seluruh penawaran
Lelang SBSN yang masuk.
3. Penetapan harga SBSN bagi pemenang lelang dengan Penawaran
Pembelian Kompetitif (Competitive Bidding) dilakukan dengan metode
Harga Beragam (Multiple Price) atau dengan metode Harga Seragam
(Uniform Price).
4. Penetapan harga SBSN bagi pemenang lelang dengan Penawaran
Pembelian Non-Kompetitif
(Non-Competitive Bidding) dilakukan
berdasarkan Harga Rata-rata Tertimbang (Weighted Average Price) dari
hasil lelang Penawaran Pembelian Kompetitif.
D. Pengumuman Hasil Lelang
1. Berdasarkan penetapan hasil Lelang SBSN di Pasar Perdana dari
Menteri Keuangan, Bank Indonesia mengumumkan hasil Lelang SBSN
melalui BI-SSSS, LHBU dan sarana lain yang ditetapkan Bank
Indonesia pada akhir hari pelaksanaan Lelang SBSN.
2. Pengumuman hasil Lelang SBSN sebagaimana dimaksud pada angka 1
paling kurang memuat Nilai Nominal secara keseluruhan yang
9
dimenangkan dan rata-rata tertimbang tingkat Imbalan dan/atau
diskonto.
3. Bank Indonesia menyampaikan hasil Lelang SBSN kepada masing-
masing Peserta Lelang melalui BI-SSSS paling kurang memuat nama
pemenang, Nilai Nominal yang dimenangkan dan tingkat Imbalan
dan/atau diskonto.
4. Dalam hal Menteri Keuangan menolak seluruh penawaran pembelian
Lelang SBSN, Bank Indonesia mengumumkan penolakan dimaksud
melalui BI-SSSS, LHBU dan sarana lain yang ditetapkan Bank
Indonesia.
III. TATA CARA PENATAUSAHAAN SBSN
A. Setelmen Hasil Lelang SBSN di Pasar Perdana
Bank Indonesia melakukan setelmen hasil Lelang SBSN di Pasar Perdana
dengan ketentuan sebagai berikut :
1. Setelmen hasil Lelang SBSN di Pasar Perdana
dilakukan dengan
ketentuan sebagai berikut :
a. Setelmen hasil Lelang SBSN Jangka Pendek dilakukan paling lambat
2 (dua) Hari Kerja setelah tanggal pelaksanaan lelang (T+2);dan
b. Setelmen hasil Lelang SBSN Jangka Panjang dilakukan paling lambat
5 (lima) Hari Kerja setelah tanggal pelaksanaan lelang (T+5).
2. Dalam pelaksanaan setelmen hasil Lelang SBSN atas nama nasabah,
Sub-Registry harus menunjuk Bank pembayar yang memiliki rekening
giro rupiah di Sistem BI-RTGS untuk pelaksanaan setelmen dana.
3. Berdasarkan hasil pemenang Lelang SBSN yang ditetapkan oleh Menteri
Keuangan, Bank Indonesia melakukan setelmen hasil pemenang Lelang
SBSN.
10
4. Berdasarkan setelmen hasil pemenang Lelang SBSN sebagaimana
dimaksud
pada
penerbitan SBSN.
5. Pencatatan penerbitan SBSN sebagaimana dimaksud pada angka 4,
dilakukan sesuai ketentuan dan persyaratan (terms and conditions) yang
ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
6. Setelmen hasil pemenang Lelang SBSN sebagaimana dimaksud pada
angka 4 dilakukan sebagai berikut :
a. Setelmen Dana
Setelmen dana dilakukan melalui Sistem BI-RTGS dengan mendebet
rekening giro rupiah milik Bank dan/atau Bank pembayar yang
ditunjuk Sub-Registry di Bank Indonesia, serta mengkredit rekening
giro rupiah Pemerintah di Bank Indonesia sebesar nilai setelmen.
b. Setelmen SBSN
Setelmen SBSN dilakukan dengan mengkredit
rekening
surat
berharga Peserta BI-SSSS di Central Registry sebesar total Nilai
Nominal SBSN yang dimenangkan.
7. Bank dan Bank pembayar yang ditunjuk Sub-Registry harus menjamin
kecukupan dana pada
rekening giro rupiah Bank dan/atau Bank
pembayar di Bank Indonesia untuk pelaksanaan setelmen hasil lelang
SBSN.
8. Dalam hal kecukupan dana sebagaimana dimaksud pada angka 7 sampai
dengan batas waktu setelmen dana di Sistem BI-RTGS (cut-off warning)
tidak
dipenuhi maka setelmen transaksi hasil
Lelang SBSN yang
dilakukan melalui Bank dan/atau Bank pembayar tersebut dinyatakan
gagal.
9. Setelah pelaksanaan setelmen SBSN sebagaimana dimaksud pada angka
6 huruf b, pada hari yang sama Sub-Registry wajib mencatat kepemilikan
angka 3, Bank Indonesia melakukan pencatatan
11
SBSN atas nama nasabah pemenang SBSN secara individual pada sistem
Sub-Registry.
B. Pembayaran Imbalan SBSN dan/atau Nilai Nominal SBSN
1. Bank Indonesia melakukan pembayaran Imbalan dan/atau Nilai Nominal
SBSN berdasarkan posisi kepemilikan SBSN yang tercatat di BI-SSSS
pada 2 (dua) Hari Kerja sebelum tanggal jatuh waktu pembayaran
Imbalan dan/atau Nilai Nominal SBSN (T-2).
2. Pembayaran Imbalan dan/atau Nilai Nominal SBSN sebagaimana
dimaksud pada angka 1 dilakukan pada tanggal jatuh waktu atau pada
hari kerja berikutnya apabila tanggal jatuh waktu bertepatan dengan hari
libur dengan mendebet rekening giro rupiah milik Pemerintah di Bank
Indonesia dan mengkredit rekening giro rupiah milik Bank dan/atau Bank
pembayar yang ditunjuk Sub-Registry di Bank Indonesia sebesar Imbalan
dan/atau Nilai Nominal SBSN.
3. Pada hari yang sama dengan hari pembayaran Imbalan dan/atau Nilai
Nominal SBSN oleh Bank Indonesia, Sub-Registry wajib meneruskan
pembayaran Imbalan dan/atau Nilai Nominal SBSN kepada investor yang
tercatat di Sub-Registry.
C. Transaksi SBSN di Pasar Sekunder
1. Transaksi SBSN yang dilakukan di Pasar Sekunder antara lain transaksi
jual putus (outright), transaksi penjualan dengan janji untuk membeli
kembali (repurchase agreement atau repo), transaksi penjaminan SBSN
(agunan), atau transaksi peminjaman SBSN dengan jaminan surat
berharga lainnya (securities lending borrowing).
12
2. Prosedur setelmen transaksi SBSN di pasar sekunder sebagaimana
dimaksud pada angka 1 dilakukan sesuai ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai BI-SSSS yang berlaku.
IV. PENUTUP
Ketentuan dalam Surat Edaran ini mulai berlaku pada tanggal
12 Agustus 2009.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran
ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA,
HENDAR
DIREKTUR PENGELOLAAN MONETER
"," SE-BI
11/22/DPM|SE-BI/2009
Tata Cara Lelang dan Penatausahaan Surat Berharga Syariah Negara
12 Agustus 2009
12 Agustus 2009
'10/13/PBI/2008', '11/PMK.08/2009|PER-MENKEU/2009', '10/2/PBI/2008', '215/KMK.08/2008|KEP-MENKEU/2008'
"
" No.17/16/DPM
Jakarta, 12 Juni 2015
S U R A T E D A R A N
Kepada
SEMUA BANK UMUM DEVISA
DI INDONESIA
Perihal
: Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor
16/15/DPM perihal Transaksi Valuta Asing terhadap
Rupiah antara Bank dengan Pihak Asing
Sehubungan dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia Nomor
16/17/PBI/2014 tentang Transaksi Valuta Asing terhadap Rupiah antara
Bank dengan Pihak Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2014 Nomor 213, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5582), sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia
Nomor 17/7/PBI/2015 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia
Nomor 16/17/PBI/2014 tentang Transaksi Valuta Asing terhadap Rupiah
antara Bank dengan Pihak Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2015 Nomor 117, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5702), yang selanjutnya disebut PBI, perlu dilakukan perubahan
atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 16/15/DPM tanggal 17
September 2014 perihal Transaksi Valuta Asing terhadap Rupiah antara
Bank dengan Pihak Asing, sebagai berikut:
1. Ketentuan butir I.1 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
1. Badan hukum asing atau lembaga asing yang memiliki kegiatan
yang bersifat nirlaba sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
angka 4 huruf c PBI antara lain ASEAN Secretary, World Bank,
Asian Development Bank, dan lembaga asing lainnya yang
memenuhi ...
2
memenuhi kriteria sebagai lembaga multilateral yang bersifat
nirlaba.
2. Ketentuan butir I.3 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
3. Edukasi tentang Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap
Rupiah kepada Pihak Asing sebagaimana dimaksud di dalam
Pasal 2 ayat (2) huruf f PBI antara lain dilakukan melalui
seminar, workshop, Focus Group Discussion (FGD), dan kegiatan
sejenis yang bertujuan untuk memberikan pemahaman kepada
nasabah mengenai manfaat dan risiko Transaksi Derivatif Valuta
Asing Terhadap Rupiah.
3. Ketentuan butir I.11 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
11. Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah atas investasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 PBI, diatur sebagai
berikut:
a. Dalam hal Underlying Transaksi dari Transaksi Derivatif
Valuta Asing Terhadap Rupiah berupa realisasi investasi:
1)
telah terjadi aliran dana dari Pihak Asing untuk
penyelesaian transaksi kegiatan investasi dimaksud;
2) nilai Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah
untuk investasi paling banyak sebesar nilai realisasi
investasi yang tercantum dalam dokumen Underlying
Transaksi; dan
3)
jangka waktu Transaksi Derivatif Valuta Asing
Terhadap Rupiah paling lama sama dengan sisa jangka
waktu Underlying Transaksi.
b. Untuk Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah
atas investasi yang masih dalam proses:
1)
telah terjadi aliran dana dari Pihak Asing atas rencana
investasi dimaksud;
2) Pihak Asing yang bersangkutan telah tercatat sebagai
investor atas investasi dimaksud;
3) nilai ...
3
3) nilai Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah
paling banyak sebesar nilai rencana investasi yang
tercantum dalam dokumen Underlying Transaksi; dan
4)
jangka waktu Transaksi Derivatif Valuta Asing
Terhadap Rupiah paling lama sama dengan sisa jangka
waktu Underlying Transaksi.
Contoh 1:
Pihak Otoritas Bursa Efek Indonesia (BEI) akan
menyelenggarakan Initial Public Offering (IPO) saham PT JKL
dengan tanggal penawaran 17 sampai dengan 21 November
2014 dan tanggal penyetoran dana tunai 25 November
2014.
Pada tanggal penawaran, para investor dipersyaratkan
untuk membuktikan komitmen berupa jaminan aset saham
yang tercatat pada underwriter IPO atau penyetoran dana
Rupiah sebesar nilai penawaran yang diajukan.
Berdasarkan informasi IPO tersebut, pada tanggal 21
November 2014 Pihak Asing memasukkan penawaran
saham PT JKL sebesar Rp250.000.000,00. Selanjutnya
pada tanggal 22 November 2014, Pihak Asing melakukan
Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah dengan
Bank yaitu transaksi forward jual USD/IDR Bank kepada
Pihak Asing sebesar Rp250.000.000,00 dengan tujuan
Pihak Asing dapat memperoleh dana Rupiah pada tanggal
25 November 2014 untuk keperluan penyetoran dana pada
underwriter IPO. Dalam hal ini, Transaksi Derivatif Valuta
Asing Terhadap Rupiah dilakukan pada tanggal 22
November 2014 dengan tanggal jatuh waktu 25 November
2014, dimana tanggal jatuh waktu tersebut merupakan
tanggal penyelesaian transaksi pembelian saham tersebut.
Contoh 2:
Pihak Asing melakukan pembelian Obligasi Negara tenor 5
(lima) tahun sebesar Rp150.000.000,00 pada tanggal
transaksi ...
4
transaksi 10 November 2014 dengan tanggal setelmen
pembelian Obligasi Negara pada 13 November 2014 dan
akan dimiliki sampai dengan tanggal 10 Desember 2014.
Atas kepemilikan Obligasi Negara tersebut, Pihak Asing
berencana untuk melakukan Transaksi Derivatif Valuta
Asing Terhadap Rupiah. Bank dapat memenuhi kebutuhan
Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah Pihak
Asing atas pembelian Obligasi Negara tersebut melalui
transaksi swap jual USD/IDR Bank kepada Pihak Asing
(Bank beli USD/IDR pada first leg dan jual USD/IDR pada
second leg) sebesar Rp150.000.000,00. Dalam hal ini,
transaksi dapat dilakukan pada tanggal 11 November 2014
dengan tanggal valuta (first leg) pada 13 November 2014
dan tanggal jatuh waktu (second leg) pada 10 Desember
2014 yang akan digunakan untuk repatriasi. Dana Rupiah
yang diperoleh pada tanggal 13 November 2014
dipergunakan untuk melakukan setelmen Obligasi Negara
tersebut.
4. Ketentuan butir I.12 dihapus.
5. Ketentuan butir I.13 dihapus.
6. Ketentuan butir I.14 dihapus.
7. Ketentuan butir I.15 dihapus.
8. Ketentuan butir I.16 dihapus.
9. Ketentuan butir I.17 dihapus.
10. Ketentuan butir I.18 dihapus.
11. Ketentuan butir I.19 dihapus.
12. Ketentuan butir III.17 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
17. Dalam hal Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah
memiliki Underlying Transaksi yang memiliki jatuh waktu
kurang dari 5 (lima) hari kerja setelah tanggal transaksi,
dokumen Underlying Transaksi dan/atau dokumen pendukung
Transaksi ...
5
Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah wajib diterima
oleh Bank paling lambat pada tanggal jatuh waktu.
13. Ketentuan butir III.18 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
18. Penyampaian dokumen Underlying Transaksi dan dokumen
pendukung Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah
paling banyak sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar
Amerika Serikat) yang akan diselesaikan secara netting, wajib
diterima oleh Bank paling lambat:
a. pada tanggal valuta, dalam hal perpanjangan transaksi (roll
over), percepatan penyelesaian transaksi (early termination),
dan pengakhiran transaksi (unwind) dilakukan melalui
Transaksi Spot;
b. 5 (lima) hari kerja setelah tanggal transaksi, dalam hal
perpanjangan transaksi (roll over), percepatan penyelesaian
transaksi (early termination), dan pengakhiran transaksi
(unwind) dilakukan melalui Transaksi Derivatif Valuta Asing
Terhadap Rupiah; atau
c. pada tanggal jatuh waktu, dalam hal perpanjangan
transaksi (roll over), percepatan penyelesaian transaksi
(early termination), dan pengakhiran transaksi (unwind)
dilakukan melalui Transaksi Derivatif Valuta Asing
Terhadap Rupiah yang memiliki jatuh waktu kurang dari 5
(lima) hari kerja setelah tanggal transaksi.
Contoh:
Pihak Asing melakukan transaksi forward beli USD/IDR
sebesar USD800,000.00 pada tanggal 19 November 2014
dengan tenor 1 (satu) bulan (jatuh waktu tanggal 19
Desember 2014) dan tidak wajib menyampaikan dokumen
Underlying Transaksi. Pada tanggal 16 Desember 2014,
Pihak Asing bermaksud untuk melakukan unwind transaksi
dan diselesaikan secara netting melalui transaksi forward
jual 3 hari (jatuh waktunya sama dengan jatuh waktu
forward ...
6
forward awal yaitu tanggal 19 Desember 2014). Bank wajib
memastikan Pihak Asing untuk menyampaikan dokumen
Underlying Transaksi atas forward beli USD/IDR sebesar
USD800,000.00 dan dokumen pendukung paling lambat
pada tanggal jatuh waktu transaksi forward yaitu 19
Desember 2014. Dalam hal Bank tidak menerima dokumen
Underlying Transaksi dan dokumen pendukung dari Pihak
Asing, penyelesaian transaksi forward beli dan forward jual
dilakukan dengan pemindahan dana pokok secara penuh.
14. Ketentuan butir III.23 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
23. Dalam hal terdapat jenis dokumen selain sebagaimana
tercantum dalam Lampiran III dan Lampiran IV, Bank dapat:
a. mengajukan terlebih dahulu jenis dokumen tersebut
kepada Indonesia Foreign Exchange Market Committee
(IFEMC) untuk dikonsultasikan kepada Bank Indonesia;
atau
b. mengajukan secara tertulis kepada Bank Indonesia cq.
Pusat Program Transformasi Bank Indonesia–Program
Pendalaman Pasar Keuangan.
15. Lampiran IV diubah sehingga menjadi sebagaimana tercantum dalam
Lampiran IV yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Surat Edaran Bank Indonesia ini.
16. Menambah 1 (satu) lampiran tentang Contoh Pernyataan Tertulis
yang Authenticated mengenai Rencana Pembelian Surat Berharga
sebagaimana tercantum dalam Lampiran XI yang merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini.
Surat ...
7
Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 12 Juni
2015.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman
Surat Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita
Negara Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA,
MIRZA ADITYASWARA
DEPUTI GUBERNUR SENIOR
"," SE-BI
17/16/DPM|SE-BI/2015
Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 16/15/DPM perihal Transaksi Valuta Asing terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak Asing
12 Juni 2015
12 Juni 2015
'16/15/DPM|SE-BI/2014'
'17/7/PBI/2015', '16/15/DPM|SE-BI/2014', '16/17/PBI/2014'
"
" No. 10/10/DASP
Jakarta, 5 Maret 2008
S U R A T E D A R A N
Kepada
PESERTA SISTEM BANK INDONESIA REAL TIME GROSS SETTLEMENT
DI INDONESIA
Perihal : Pelaksanaan Transaksi Melalui Sistem Bank Indonesia Real Time Gross
Settlement (Sistem BI-RTGS) dalam rangka Perlindungan kepada
Nasabah Peserta Sistem BI-RTGS
Sehubungan dengan diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia Nomor
10/6/PBI/2008 tanggal 18 Februari 2008 tentang Sistem Bank Indonesia Real Time
Gross Settlement (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 32,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4820), perlu diatur lebih
lanjut mengenai tata cara pelaksanaan transaksi melalui Sistem Bank Indonesia Real
Time Gross Settlement (Sistem BI-RTGS) dalam rangka memberikan perlindungan
kepada nasabah Peserta Sistem BI-RTGS sebagai berikut:
A. Ketentuan Umum
Dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini, yang dimaksud dengan:
1. Sistem Bank Indonesia Real Time Gross Settlement, yang selanjutnya
disebut Sistem BI-RTGS, adalah suatu sistem transfer dana elektronik
antar Peserta dalam mata uang Rupiah yang penyelesaiannya dilakukan
secara seketika per transaksi secara individual.
2. Penyelenggara Sistem BI-RTGS, yang selanjutnya disebut
Penyelenggara, adalah Bank Indonesia c.q. Direktorat Akunting dan
Sistem Pembayaran (DASP).
3. Peserta Sistem BI-RTGS, yang selanjutnya disebut Peserta, adalah bank
dan pihak selain bank yang telah memenuhi persyaratan yang ditetapkan
oleh Penyelenggara, serta Bank Indonesia.
4. Rekening …
2
4. Rekening Giro adalah rekening Peserta dalam mata uang Rupiah yang
ditatausahakan di Bank Indonesia yang digunakan untuk penyelesaian
akhir transaksi.
5. Penyelesaian Akhir (settlement), yang selanjutnya disebut Penyelesaian
Akhir, adalah kegiatan pendebetan dan pengkreditan Rekening Giro
Peserta di Bank Indonesia.
B. Tata Cara Pengisian Instruksi Transfer
1. Peserta pengirim harus mensyaratkan kepada nasabahnya untuk mengisi
instruksi transfer secara lengkap dan benar serta memperhatikan
ketentuan yang berlaku, antara lain ketentuan yang mengatur mengenai
tindak pidana pencucian uang dan prinsip-prinsip mengenal nasabah
(know your customer principles).
2.
Instruksi transfer yang dibuat oleh nasabah pengirim paling kurang
memuat:
a.
b.
c.
d.
identitas nasabah pengirim;
identitas nasabah penerima dana;
identitas Peserta penerima; dan
jumlah dana yang ditransfer.
3.
Identitas nasabah pengirim dan nasabah penerima sebagaimana
dimaksud pada butir 2.a dan butir 2.b meliputi paling kurang nama dan
nomor rekening atau, jika nasabah pengirim atau nasabah penerima dana
tidak memiliki rekening pada bank Peserta, identitas tersebut meliputi
paling kurang nama dan alamat.
4.
Identitas Peserta penerima sebagaimana dimaksud pada butir 2.c.
meliputi paling kurang nama Peserta, nama kantor Peserta, dan lokasi
kantor Peserta.
C. Pelaksanaan Instruksi Transfer dari Nasabah Peserta Pengirim.
1. Peserta pengirim dapat menyetujui untuk meneruskan instruksi transfer
nasabah melalui Sistem BI-RTGS apabila instruksi transfer tersebut telah
memuat informasi yang lengkap dan diisi dengan benar serta telah
tersedia dana yang akan ditransfer.
2. Instruksi …
3
2.
Instruksi transfer yang diteruskan oleh Peserta pengirim sebagaimana
dimaksud pada angka 1 harus sesuai dengan instruksi transfer yang
diperintahkan oleh nasabahnya.
3. Dalam hal Peserta pengirim menyetujui untuk melaksanakan instruksi
transfer dari nasabahnya sebagaimana dimaksud pada angka 1, berlaku
ketentuan sebagai berikut:
a.
untuk instruksi transfer yang diterima paling lambat pada saat
berakhirnya jam pelayanan nasabah untuk transfer melalui Sistem
BI-RTGS yang ditetapkan Peserta pengirim, Peserta pengirim harus
dengan segera dan tanpa menunda meneruskan instruksi transfer
tersebut.
b. untuk instruksi transfer dari nasabah yang diterima setelah
berakhirnya jam pelayanan nasabah sebagaimana dimaksud pada
huruf a, paling lambat pada hari kerja berikutnya Peserta pengirim
harus meneruskan instruksi transfer dengan segera dan tanpa
menunda setelah Peserta berhasil melakukan log-on ke RCC,
dengan memperhatikan penyelesaian transaksi-transaksi lainnya
yang diprioritaskan, seperti transaksi bank dengan rekening Kantor
Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) dan transaksi Kas-
Penarikan Tunai.
4. Dalam hal terjadi kondisi sebagaimana dimaksud pada butir 3.b, maka
pendebetan rekening nasabah pengirim harus dilakukan pada tanggal
yang sama dengan tanggal penerusan instruksi transfer oleh Peserta
pengirim.
5. Dalam hal Peserta pengirim tidak melaksanakan instruksi transfer dari
nasabahnya sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka
3 dan angka 4, dan Peserta pengirim telah mendebet rekening
nasabahnya, maka:
a.
nasabah Peserta berhak atas bunga sesuai dengan bunga yang
berlaku untuk jenis rekening nasabah pengirim pada Peserta
pengirim terhitung sejak tanggal pendebetan rekening nasabah
pengirim …
4
pengirim sampai tanggal penerusan instruksi transfer. Peserta
pengirim harus memperhatikan terpenuhinya hak nasabah tersebut;
atau
b. Peserta pengirim harus melakukan reversal, yaitu mengkredit
kembali dana nasabah yang sudah didebet ke rekening nasabah
sesuai tanggal pendebetan.
6. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka 5 tidak berlaku untuk
transfer yang berasal dari setoran tunai.
7.
Instruksi transfer yang diterima oleh Peserta dengan amanat untuk
dilaksanakan pada tanggal tertentu (transaksi titipan), harus diteruskan
oleh Peserta pengirim pada tanggal yang sama dengan tanggal yang
diperintahkan oleh nasabah.
D. Kesesuaian Penulisan Instruksi Transfer
1. Peserta pengirim bertanggungjawab atas kesesuaian penulisan instruksi
transfer yang dikirim melalui Sistem BI-RTGS dengan instruksi yang
dibuat oleh nasabah pengirim.
2. Dalam hal Peserta pengirim mengirimkan instruksi transfer tidak sesuai
dengan instruksi transfer yang dibuat oleh nasabah pengirim, maka
Peserta pengirim harus, atas beban Peserta pengirim, menerbitkan
instruksi transfer baru sesuai dengan instruksi transfer nasabah pengirim
tanpa menunggu pengembalian dana dari Peserta penerima atau nasabah
penerima yang tidak berhak sesuai dengan prosedur sebagaimana diatur
dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
penyelenggaraan Sistem BI-RTGS.
3. Penerbitan instruksi transfer baru sebagaimana dimaksud pada angka 2
harus dilakukan:
a.
pada tanggal yang sama dengan tanggal diketahuinya
ketidaksesuaian sebagaimana dimaksud pada angka 2, apabila
ketidaksesuaian diketahui paling lambat 30 (tiga puluh) menit
sebelum berakhirnya batas waktu (window time) jenis transaksi
tersebut; atau
b. paling …
5
b. paling lambat pada hari kerja berikutnya dengan ketentuan harus
dengan segera dan tanpa menunda melakukan penerbitan instruksi
transfer baru setelah Peserta berhasil melakukan log-on ke dalam
RCC dengan memperhatikan penyelesaian transaksi-transaksi
lainnya yang diprioritaskan, apabila ketidaksesuaian diketahui
setelah batas waktu sebagaimana dimaksud pada huruf a.
4. Dalam hal terjadi kondisi sebagaimana dimaksud pada angka 3, nasabah
Peserta berhak atas bunga sesuai dengan bunga yang berlaku untuk jenis
rekening nasabah Peserta yang dibebani untuk transfer terkait, terhitung
sejak tanggal pendebetan rekening nasabah Peserta sampai tanggal
pelaksanaan instruksi transfer yang baru. Peserta pengirim harus
memperhatikan terpenuhinya hak nasabah tersebut.
5. Dalam hal Peserta pengirim telah melaksanakan ketentuan sebagaimana
dimaksud pada angka 2, maka dana yang salah terkirim dapat diminta
kembali oleh Peserta pengirim kepada Peserta penerima.
E. Penyampaian Dana kepada Nasabah Peserta Penerima
1. Peserta penerima harus menyampaikan dana kepada nasabah penerima
dana sebagaimana tercantum dalam confirmation advice yang
diterimanya dengan memperhatikan ketentuan yang berlaku, antara lain
ketentuan yang mengatur mengenai tindak pidana pencucian uang dan
prinsip-prinsip mengenal nasabah (know your customer principles), serta
pembatasan transaksi rupiah dan pemberian kredit valuta asing oleh
bank. Confirmation advice merupakan hasil olahan komputer (computer
print-out) yang tercetak di Peserta penerima, yang menunjukkan bahwa
Rekening Giro Peserta penerima di Bank Indonesia telah dikredit.
2. Peserta penerima harus menyampaikan dana yang ditujukan kepada
nasabah penerima dana segera setelah Penyelenggara mengkredit
Rekening Giro Peserta penerima di Bank Indonesia, yang dibuktikan
dengan confirmation advice, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Transfer untuk nasabah penerima dana yang memiliki rekening di
kantor Peserta penerima:
1) Untuk …
6
1) Untuk dana yang dikreditkan ke Rekening Giro Peserta
penerima di Bank Indonesia paling lambat pada saat
berakhirnya batas waktu penyelesaian transfer atas nama
nasabah, Peserta penerima harus dengan segera dan tanpa
menunda mengkredit dana tersebut ke rekening nasabah
penerima pada tanggal valuta yang sama dengan tanggal
pengkreditan Rekening Giro Peserta penerima di Bank
Indonesia.
2) Apabila Peserta penerima tidak dapat mengkredit dana ke
rekening nasabah penerima pada tanggal valuta yang sama
sebagaimana dimaksud pada angka 1), paling lambat pada hari
kerja berikutnya Peserta penerima harus dengan segera dan
tanpa menunda mengkredit dana tersebut ke rekening nasabah
penerima setelah Peserta berhasil melakukan log-on ke RCC,
dengan menggunakan tanggal valuta yang sama dengan
tanggal pengkreditan Rekening Giro Peserta penerima di Bank
Indonesia. Alasan yang dapat diterima untuk tidak mengkredit
rekening penerima pada tanggal valuta yang sama antara lain
karena sistem teknologi informasi di Peserta penerima belum
terintegrasi dan/atau kantor Peserta penerima berada di
wilayah dengan sarana komunikasi dan transportasi yang tidak
mendukung.
3) Dalam hal sistem internal Peserta penerima tidak
memungkinkan Peserta penerima untuk melakukan
pengkreditan pada hari kerja berikutnya dengan menggunakan
tanggal valuta yang sama dengan tanggal pengkreditan
Rekening Giro Peserta penerima sebagaimana dimaksud pada
angka 2), maka nasabah penerima berhak atas bunga sesuai
dengan bunga yang berlaku untuk jenis rekening nasabah
penerima pada Peserta penerima terhitung sejak tanggal
pengkreditan Rekening Giro Peserta penerima di Bank
Indonesia …
7
Indonesia sampai tanggal pengkreditan rekening nasabah
penerima. Peserta penerima harus memperhatikan
terpenuhinya hak nasabah tersebut.
4) Untuk dana yang dikreditkan ke Rekening Giro Peserta
penerima di Bank Indonesia setelah berakhirnya batas waktu
penyelesaian transfer atas nama nasabah atau pada periode
perpanjangan waktu penyelesaian transfer atas nama nasabah
yang ditetapkan Penyelenggara, paling lambat pada hari kerja
berikutnya Peserta penerima harus dengan segera dan tanpa
menunda mengkredit dana tersebut ke rekening nasabah
penerima setelah Peserta berhasil melakukan log-on ke RCC,
dengan menggunakan tanggal valuta 1 (satu) hari setelah
tanggal pengkreditan Rekening Giro Peserta penerima di Bank
Indonesia.
5) Apabila Peserta penerima tidak mengkredit dana ke rekening
nasabah penerima pada hari kerja berikutnya sebagaimana
dimaksud pada angka 2) dan angka 4), Peserta penerima harus
membayar kompensasi kepada nasabah penerima dana sesuai
bunga yang berlaku untuk jenis rekening tersebut ditambah
dengan tingkat kompensasi sebesar 200 (dua ratus) basis
points dengan ketentuan sebagai berikut:
a) untuk keterlambatan pengkreditan sebagaimana
dimaksud pada angka 2), kompensasi bunga dihitung
sejak tanggal valuta pengkreditan Rekening Giro Peserta
penerima di Bank Indonesia.
b) untuk keterlambatan pengkreditan sebagaimana
dimaksud pada angka 4), kompensasi bunga dihitung
sejak 1 (satu) hari setelah tanggal valuta pengkreditan
Rekening Giro Peserta penerima di Bank Indonesia.
6) Ketentuan kewajiban pembayaran tambahan kompensasi
sebagaimana dimaksud pada angka 5) tidak berlaku apabila
Peserta …
8
Peserta penerima menunda pelaksanaan pengkreditan atas
dasar permintaan pihak yang berwenang atau ketentuan yang
berlaku. Yang dimaksud dengan “pihak yang berwenang”
antara lain kepolisian, kejaksaan dan pengadilan. Yang
dimaksud “ketentuan yang berlaku” antara lain adalah
ketentuan Bank Indonesia mengenai penerapan prinsip-prinsip
mengenal nasabah (know your customer principles), ketentuan
Bank Indonesia mengenai pembatasan transaksi rupiah dan
pemberian kredit valuta asing oleh bank, serta Undang-
undang Republik Indonesia tentang Tindak Pidana Pencucian
Uang, khususnya yang terkait dengan pemantauan atas
transaksi yang mencurigakan (suspicious transaction).
b. Transfer untuk nasabah penerima dana yang tidak memiliki
rekening di Peserta penerima:
1) Peserta penerima harus mengirim surat pemberitahuan
mengenai telah tersedianya dana hasil transfer kepada nasabah
penerima dana pada tanggal yang sama dengan tanggal
pengkreditan Rekening Giro Peserta penerima di Bank
Indonesia atau paling lambat pada hari kerja berikutnya. Surat
pemberitahuan merupakan dasar bagi penerima dana untuk
mengambil dana di kantor Peserta penerima. Penyampaian
surat pemberitahuan pada hari kerja berikutnya dilakukan
apabila kantor Peserta penerima sudah tutup atau
pengkreditan Rekening Giro Peserta penerima dilakukan
dalam periode perpanjangan Jam Operasional.
2)
apabila berdasarkan pertimbangan tertentu Peserta penerima
tidak dapat mengirim surat pemberitahuan dalam jangka
waktu sebagaimana dimaksud pada angka 1), surat
pemberitahuan harus dikirim pada tanggal diterimanya
informasi transfer di Peserta penerima atau paling lambat hari
kerja berikutnya. Penyampaian surat pemberitahuan pada hari
diterimanya …
9
diterimanya informasi transfer di kantor Peserta penerima atau
paling lambat hari kerja berikutnya berlaku jika kantor Peserta
penerima berada di wilayah dengan sarana komunikasi dan
transportasi yang tidak mendukung.
3. Dalam hal Peserta pengirim telah melakukan instruksi transfer sesuai
dengan instruksi transfer dari nasabah pengirim namun Peserta penerima
melakukan pengkreditan dana kepada nasabah penerima dana yang
berbeda dari nasabah penerima dana yang tercantum dalam confirmation
advice, Peserta penerima harus menyampaikan dana kepada nasabah
penerima dana yang berhak pada tanggal yang sama dengan tanggal
diketahuinya kesalahan tanpa menunggu pengembalian dana dari
nasabah. Yang dimaksud dengan tanggal diketahuinya kesalahan adalah:
a.
apabila kesalahan diketahui oleh Peserta penerima, yaitu tanggal
yang sama dengan tanggal diketemukannya kesalahan tersebut.
b.
apabila kesalahan diberitahukan oleh Peserta pengirim, yaitu
tanggal pada saat Peserta penerima selesai melakukan verifikasi
dan rekonsiliasi dokumen terkait dengan tranfer dana tersebut.
4. Dalam hal terjadi kondisi sebagaimana dimaksud pada angka 3, Peserta
penerima harus membayar bunga kepada nasabah penerima yang berhak
sesuai dengan tingkat bunga yang berlaku untuk jenis rekening nasabah
penerima tersebut, terhitung sejak tanggal seharusnya rekening nasabah
penerima yang berhak dikredit sesuai dengan ketentuan pada angka 2,
sampai tanggal pelaksanaan pengkreditan pada rekening nasabah
penerima yang berhak.
5. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka 3 dan 4 hanya berlaku
untuk transfer yang ditujukan kepada nasabah penerima yang memiliki
rekening pada Peserta penerima.
F. Pengumuman Biaya Transfer dan Jam Pelayanan Nasabah Untuk Transfer
Melalui Sistem BI-RTGS
Peserta harus mengumumkan secara tertulis di setiap kantor Peserta tentang
informasi besarnya biaya transfer dan jam pelayanan nasabah untuk transfer
melalui …
10
melalui Sistem BI-RTGS yang ditetapkan Peserta. Informasi berupa
pengumuman besarnya biaya transfer dan jam pelayanan nasabah untuk
transfer melalui Sistem BI-RTGS tersebut diletakkan di setiap kantor Peserta
pada tempat yang mudah terlihat oleh nasabah.
Dalam menetapkan jam pelayanan nasabah untuk transfer melalui Sistem BI-
RTGS, Peserta harus mengacu pada batas waktu penyelesaian transfer atas
nama nasabah yang ditetapkan oleh Penyelenggara dan mempertimbangkan
waktu yang diperlukan Peserta untuk menyelesaikan proses penerusan
instruksi transfer dari nasabah.
G. Tata Cara Penghitungan Bunga dan Kompensasi
Tata cara penghitungan bunga dan kompensasi diatur sebagaimana dimaksud
pada Lampiran Surat Edaran ini.
H. Lain-Lain
1. Kewajiban Peserta untuk melakukan pembayaran bunga dan kompensasi
dalam Surat Edaran ini tidak berlaku bagi Bank Indonesia sebagai
Peserta.
2. Untuk bank syariah dan unit usaha syariah, ketentuan pengenaan bunga
dan kompensasi dalam Surat Edaran ini disesuaikan dengan prinsip
syariah yang berlaku.
I. Penutup
Ketentuan dalam Surat Edaran ini mulai berlaku pada tanggal
31 Maret 2008.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat
Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA,
DYAH N.K. MAKHIJANI
DIREKTUR AKUNTING DAN
SISTEM PEMBAYARAN
"," SE-BI
10/10/DASP|SE-BI/2008
Pelaksanaan Transaksi Melalui Sistem Bank Indonesia Real Time Gross Settlement (Sistem BI-RTGS) dalam rangka Perlindungan kepada Nasabah Peserta Sistem BI-RTGS
5 Maret 2008
31 Maret 2008
'10/6/PBI/2008'
"
" No. 9/32/DPNP
Jakarta, 12 Desember 2007
SURAT EDARAN
Kepada
SEMUA BANK UMUM
DI INDONESIA
Perihal : Kepemilikan Tunggal pada Perbankan Indonesia
Sehubungan dengan telah dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia
Nomor 8/16/PBI/2006 tanggal 5 Oktober 2006 tentang Kepemilikan Tunggal
Pada Perbankan Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006
Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4642) perlu
diatur ketentuan pelaksanaan dalam suatu Surat Edaran Bank Indonesia sebagai
berikut:
I. UMUM
A. Dalam rangka melaksanakan program konsolidasi perbankan, Bank
Indonesia antara lain melakukan penataan kembali struktur
kepemilikan pada perbankan Indonesia melalui penerapan kebijakan
kepemilikan tunggal sebagaimana tercantum dalam Peraturan Bank
Indonesia Nomor 8/16/PBI/2006 tentang Kepemilikan Tunggal Pada
Perbankan Indonesia (selanjutnya disebut PBI).
B. Penyesuaian struktur kepemilikan dimaksud dapat dilakukan melalui
beberapa cara yang telah ditentukan sebagaimana diatur dalam Pasal 3
ayat (1) PBI, sebagai berikut:
1. mengalihkan …
1. mengalihkan sebagian atau seluruh kepemilikan sahamnya pada
salah satu atau lebih Bank yang dikendalikannya kepada pihak
lain sehingga yang bersangkutan hanya menjadi Pemegang
Saham Pengendali (selanjutnya disebut PSP) pada 1 (satu) Bank;
2. melakukan merger atau konsolidasi atas Bank-Bank yang
dikendalikannya; atau
3. membentuk Perusahaan Induk di Bidang Perbankan
atau Bank Holding Company (BHC).
C. Dalam rangka pemenuhan kewajiban penyesuaian struktur
kepemilikan Bank dimaksud perlu diatur lebih lanjut mengenai tata
cara pelaksanaan penyesuaian struktur kepemilikan dalam suatu Surat
Edaran.
II. PENGALIHAN SAHAM KEPADA PIHAK LAIN
A. Dalam hal PSP yang memiliki 2 (dua) Bank atau lebih tidak
bermaksud untuk melaksanakan merger atau konsolidasi, atau
membentuk BHC bagi Bank-Bank di bawah pengendaliannya, maka
PSP dapat mengalihkan sebagian atau seluruh kepemilikan sahamnya
pada salah satu atau lebih Bank yang dikendalikannya kepada pihak
lain sehingga yang bersangkutan hanya menjadi PSP pada 1 (satu)
Bank.
B. Adapun yang dimaksud dengan pihak lain adalah pihak di luar
kelompok usaha dan/atau keluarga sampai dengan derajat kedua dari
PSP.
C. Pengalihan sebagian atau seluruh saham PSP kepada pihak lain
dimaksud dilakukan sesuai dengan ketentuan yang mengatur tentang
Persyaratan dan Tata Cara Merger, Konsolidasi, dan Akuisisi Bank
Umum atau ketentuan tentang Persyaratan dan Tata Cara Pembelian
Saham Bank Umum.
III. MERGER …
III. MERGER ATAU KONSOLIDASI
A. Salah satu cara yang dapat dipilih oleh PSP untuk melakukan
penyesuaian struktur kepemilikan Bank adalah dengan melakukan
merger atau konsolidasi atas Bank-Bank yang dikendalikannya.
B. Selain itu, Pasal 3 ayat (2) PBI juga telah menetapkan bahwa apabila
setelah PBI dimaksud berlaku,
pihak-pihak yang telah terkena
kewajiban untuk melakukan penyesuaian struktur kepemilikan karena
telah menjadi PSP pada lebih dari 1 (satu) Bank melakukan pembelian
saham Bank lain atau menerima pengalihan saham Bank lain sehingga
mengakibatkan yang bersangkutan memenuhi kriteria sebagai PSP
Bank yang dibeli atau diterima pengalihannya, maka yang
bersangkutan wajib melakukan merger atau konsolidasi atas Bank
dimaksud dengan Bank yang telah dimiliki sebelumnya. Termasuk
dalam pengertian ini adalah apabila seseorang atau badan hukum yang
sebelumnya bukan merupakan PSP namun karena satu dan lain hal
memenuhi kriteria sebagai PSP, maka yang bersangkutan wajib
melakukan merger atau konsolidasi atas Bank-Bank yang berada di
bawah pengendaliannya.
C. Dalam hal Bank akan melakukan merger atau konsolidasi, dimana
untuk melancarkan proses merger atau konsolidasi dimaksud perlu
didahului dengan akuisisi terhadap Bank yang akan dimerger atau
dikonsolidasi maka Bank Indonesia hanya dapat memberikan
persetujuan apabila Bank yang diakuisisi tersebut langsung dimerger
atau dikonsolidasi dengan Bank yang telah dikendalikan oleh PSP.
Dengan demikian, proses merger atau konsolidasi yang didahului
dengan akuisisi tersebut merupakan satu kesatuan proses tanpa jeda,
yang dalam hal ini tercermin dalam rencana pelaksanaan proses
dimaksud (action plan).
D. Dalam …
D. Dalam rangka memperlancar proses merger atau konsolidasi dimaksud
Bank Indonesia dapat tidak melakukan penilaian kemampuan dan
kepatutan (fit and proper test) terhadap PSP dan/atau pengurus Bank-
Bank yang melakukan proses tersebut di atas, apabila yang
bersangkutan telah memenuhi syarat penilaian kemampuan dan
kepatutan (fit and proper test).
IV. PERUSAHAAN INDUK DI BIDANG PERBANKAN
A. Sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c PBI, alternatif lain
untuk melakukan penyesuaian struktur kepemilikan Bank adalah
dengan membentuk Perusahaan Induk di Bidang Perbankan atau Bank
Holding Company (BHC), yang pembentukannya dapat dilakukan
dengan cara:
1. mendirikan badan hukum baru bukan bank yang akan bertindak
sebagai BHC; atau
2. menunjuk salah satu Bank yang dikendalikannya sebagai BHC.
B. BHC wajib memberikan arah strategis dan mengkonsolidasikan
laporan keuangan dari Bank-Bank yang menjadi anak perusahaannya.
Dengan demikian, maka BHC mempunyai tugas untuk:
1. menetapkan program kerja strategis BHC;
2. memberikan arah strategis untuk jangka waktu paling sedikit 3
(tiga) tahun ke depan, dan mengkonsolidasikan program kerja
Bank-Bank yang menjadi anak perusahaan;
3. menyetujui program kerja strategis Bank-Bank yang menjadi
anak perusahaan. Jangka waktu program kerja strategis tersebut
paling sedikit 3 (tiga) tahun ke depan;
4. mengawasi pelaksanaan program kerja strategis; dan
5. mengkonsolidasikan …
5. mengkonsolidasikan laporan keuangan anak perusahaan dengan
laporan keuangan BHC serta membuat laporan konsolidasi
lainnya sesuai Peraturan Bank Indonesia.
C. Pembentukan BHC Bukan Bank
1. Perusahaan yang akan bertindak sebagai BHC harus berbentuk
hukum Perseroan Terbatas yang didirikan dan berkedudukan di
Indonesia, sehingga tata cara pendiriannya mengikuti ketentuan
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Perseroan
Terbatas.
2. Jumlah modal disetor perusahaan tersebut paling kurang sebesar
jumlah seluruh nilai nominal saham yang ditanamkan PSP pada
Bank. Dalam hal pada saat pembentukan BHC jumlah modal
disetornya lebih kecil daripada jumlah seluruh nilai nominal
saham yang ditanamkan PSP pada Bank yang diwajibkan untuk
dilakukan penyesuaian struktur kepemilikannya, maka
penambahan modal disetor oleh PSP dapat dilakukan melalui
pengalihan saham PSP di Bank-Bank dimaksud kepada BHC.
Adapun kepemilikan saham Bank oleh BHC tersebut paling
tinggi sebesar modal sendiri bersih BHC. Yang dimaksud dengan
modal sendiri bersih adalah penjumlahan dari modal disetor,
cadangan dan laba, dikurangi penyertaan dan kerugian.
3. Prosedur pembentukan BHC dilakukan sebagai berikut:
a. PSP Bank, melalui pengurus Bank, melaporkan rencana
pembentukan BHC beserta rencana pengalihan saham Bank
kepada BHC dalam Rencana Bisnis masing-masing Bank
pada Sub Bab Kebijakan dan Strategi Manajemen.
b. Rencana pembentukan BHC tersebut di atas disampaikan
kepada Bank Indonesia c.q. Direktorat Perizinan dan
Informasi …
Informasi Perbankan dengan dilampiri dokumen pendukung
yang terdiri dari:
1)
2)
3)
4)
rancangan anggaran dasar BHC;
rancangan akta pengalihan saham Bank kepada BHC;
rencana susunan kepengurusan dan struktur organisasi
BHC;
5) daftar calon pengurus BHC, disertai dengan:
a) 1 (satu) buah pas foto 1 (satu) bulan terakhir
ukuran 4 x 6 cm;
b) fotocopy tanda pengenal yang masih berlaku
berupa Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau paspor;
riwayat hidup;
c)
d)
surat pernyataan pribadi yang menyatakan tidak
pernah melakukan tindakan tercela di bidang
perbankan, keuangan, dan usaha lainnya, tidak
pernah dihukum karena terbukti melakukan tindak
pidana kejahatan, dan tidak sedang dalam masa
pengenaan sanksi untuk dilarang menjadi PSP,
pemegang saham dan/atau pengurus pada bank
dan/atau Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana
diatur dalam ketentuan penilaian kemampuan dan
kepatutan (fit and proper test) yang ditetapkan
oleh Bank Indonesia; dan
e)
surat pernyataan pribadi yang menyatakan bahwa
yang bersangkutan tidak pernah dinyatakan pailit
dan …
risalah Rapat Umum Pemegang Saham masing-masing
Bank;
6)
dan tidak pernah menjadi pemegang saham, anggota
Direksi atau Komisaris yang dinyatakan bersalah
menyebabkan suatu perseroan dinyatakan pailit
berdasarkan ketetapan pengadilan dalam waktu 5
(lima) tahun sebelum tanggal pengajuan permohonan.
rancangan corporate plan BHC;
7) Daftar Isian Fit and Proper.
c. Laporan rencana pembentukan BHC dimaksud disampaikan
kepada Bank Indonesia paling lambat 60 (enam puluh) hari
kerja sebelum pembentukan BHC.
d. Bank Indonesia melakukan penilaian kemampuan dan
kepatutan (fit and proper test) terhadap calon pengurus BHC
dengan berpedoman kepada persyaratan dan tata cara
tentang penilaian kemampuan dan kepatutan (fit and
proper test).
e. Bank Indonesia akan memberikan:
1) penegasan atas rencana pembentukan BHC;
2) persetujuan atau penolakan atas rencana pengalihan
saham Bank kepada BHC; dan
3) persetujuan atau penolakan terhadap calon pengurus
BHC;
paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja setelah seluruh
dokumen yang dipersyaratkan dan informasi yang
diperlukan diterima secara lengkap dan benar.
f. Proses pembentukan BHC wajib dilakukan paling lambat
10 (sepuluh) hari kerja setelah diterimanya penegasan
pembentukan BHC sebagaimana dimaksud pada huruf e)
di atas.
4. Pengalihan …
4.
Pengalihan kepemilikan saham PSP pada Bank-Bank yang wajib
dilakukan penyesuaian struktur kepemilikannya kepada BHC
wajib dilakukan paling lambat 60 (enam puluh) hari kerja setelah
pembentukan BHC.
5. Perubahan komposisi kepemilikan saham BHC yang tidak
mengakibatkan perubahan pengendalian atas BHC, wajib
dilaporkan kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh)
hari kerja setelah pelaksanaan, disertai dengan:
a.
risalah Rapat Umum Pemegang Saham;
b. data kepemilikan Bank setelah perubahan komposisi saham;
c. apabila perubahan komposisi kepemilikan saham
disebabkan karena adanya penambahan modal disetor, maka
disertai dengan:
1) bukti penyetoran; dan
2) surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada butir
IV.C.3.b.5)d) dan butir IV.C.3.b.5)e).
6. Perubahan komposisi kepemilikan saham BHC yang
mengakibatkan beralihnya pengendalian atas BHC kepada pihak
lain, wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia paling lambat
30 (tiga puluh) hari kerja sebelum pelaksanaan perubahan
komposisi dilakukan. Dalam hal ini Bank wajib mengajukan
calon PSP dan Bank Indonesia akan melakukan penilaian
kemampuan dan kepatutan sebagaimana diatur dalam ketentuan
mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan (fit and
proper test).
7. Perubahan Pengurus BHC Bukan Bank
a. Calon pengurus BHC Bukan Bank wajib memperoleh
persetujuan dari Bank Indonesia sebelum diangkat dan
menduduki jabatannya.
b. Permohonan …
b. Permohonan untuk memperoleh persetujuan sebagaimana
dimaksud pada huruf a. diajukan kepada Bank Indonesia c.q.
Direktorat Perizinan dan Informasi Perbankan, disertai
dengan dokumen sebagaimana dimaksud pada butir
IV.C.3.b.5).
c. Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan atas
permohonan sebagaimana dimaksud pada huruf b., Bank
Indonesia melakukan penilaian kemampuan dan kepatutan
(fit and proper test). Penilaian kemampuan dan kepatutan
dilakukan untuk menilai bahwa calon pengurus memenuhi
persyaratan:
1)
Integritas, yang antara lain meliputi:
a) memiliki akhlak dan moral yang baik;
b) memiliki komitmen untuk mematuhi peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
c) memiliki komitmen yang tinggi terhadap
pengembangan operasional Bank yang sehat; dan
d) tidak termasuk dalam DTL.
2) Kompetensi, yang antara lain meliputi:
a) pengetahuan dan/atau pengalaman di bidang
perbankan, keuangan, atau hukum yang memadai;
dan
b) kemampuan untuk melakukan perencanaan
strategis dalam rangka pengembangan bank yang
sehat.
3) Reputasi keuangan, yang antara lain meliputi:
a) tidak mempunyai kredit macet; dan
b) tidak …
b) tidak pernah dinyatakan pailit atau menjadi
pengurus perusahaan yang dinyatakan bersalah
menyebabkan suatu perusahaan dinyatakan pailit,
dalam waktu 5 (lima) tahun sebelum dicalonkan.
d. Persetujuan atau penolakan atas pengajuan calon pengurus
diberikan paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja setelah
seluruh dokumen yang dipersyaratkan dan informasi yang
diperlukan diterima secara lengkap dan benar.
e. Pengangkatan pengurus BHC Bukan Bank wajib dilaporkan
kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja
setelah tanggal pengangkatan efektif, disertai dengan risalah
rapat umum pemegang saham.
D. Penunjukan Bank menjadi BHC
1. Pembentukan BHC dapat dilakukan dengan menunjuk salah satu
Bank yang dikendalikan oleh PSP menjadi BHC. BHC yang
berbentuk Bank akan menjadi perusahaan induk dan tetap
melakukan kegiatan operasional bank.
2. Jumlah modal disetor Bank yang ditunjuk sebagai BHC paling
kurang sebesar jumlah seluruh nilai nominal saham seluruh Bank
yang dikendalikannya. Dalam hal pada saat pembentukannya
jumlah modal disetor BHC lebih kecil daripada jumlah seluruh
nilai nominal saham yang ditanamkan PSP pada Bank yang
diwajibkan untuk dilakukan penyesuaian struktur kepemilikannya
maka penambahan modal disetor oleh PSP kepada BHC dapat
dilakukan melalui pengalihan saham PSP di Bank-Bank
dimaksud kepada BHC. Adapun kepemilikan Bank oleh
BHC tersebut paling tinggi sebesar modal sendiri bersih BHC.
Yang …
Yang dimaksud dengan modal sendiri bersih adalah penjumlahan
dari modal disetor, cadangan dan laba, dikurangi penyertaan dan
kerugian.
3. Prosedur dan tata cara penunjukan Bank menjadi BHC:
a. Rencana penunjukan salah satu Bank yang dikendalikan
oleh PSP untuk menjadi BHC dan rencana pengalihan
saham dalam rangka pembentukan BHC dilaporkan dalam
Rencana Bisnis masing-masing Bank pada Sub Bab
Kebijakan dan Strategi Manajemen.
b. Bank yang akan menjadi BHC maupun Bank yang menjadi
anak perusahaan BHC wajib melaporkan rencana
penunjukan dan pengalihan saham Bank kepada BHC
dengan melampirkan dokumen pendukung yang terdiri dari:
1)
2)
3)
rancangan perubahan anggaran dasar BHC; dan
rancangan akta pengalihan saham Bank kepada Bank
yang ditunjuk sebagai BHC.
c. Bank Indonesia akan memberikan penegasan atas rencana
penunjukan BHC dan memberikan persetujuan atau
penolakan atas rencana pengalihan saham Bank kepada
BHC paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja setelah seluruh
dokumen yang dipersyaratkan dan informasi yang
diperlukan diterima secara lengkap.
d. Pengalihan kepemilikan saham PSP pada Bank-Bank yang
wajib dilakukan penyesuaian struktur kepemilikannya
kepada BHC wajib dilakukan paling lambat 60 (enam puluh)
hari kerja setelah pembentukan BHC.
E. Penyertaan …
risalah Rapat Umum Pemegang Saham masing-masing
Bank;
E. Penyertaan saham PSP kepada BHC dapat dilakukan dengan cara
inbreng saham Bank yang dimiliki oleh PSP kepada BHC. Dengan
demikian, setelah inbreng saham maka pihak yang menjadi pemegang
saham Bank secara langsung adalah BHC.
V. PELAPORAN
A. Dalam Pasal 8 PBI diatur bahwa Bank-Bank dengan PSP yang sama
wajib menyusun rencana penyesuaian struktur kepemilikan dan
menyampaikan kepada Bank Indonesia paling lambat akhir Desember
2007. Dalam hal ini, PSP wajib menetapkan rencana penyesuaian
struktur kepemilikan Bank yang akan dipilih dari 3 (tiga) alternatif
sebagaimana diatur dalam PBI. Rencana penyesuaian struktur
kepemilikan yang memuat sekurang-kurangnya cara penyesuaian yang
dipilih, rencana tindak, dan jadwal waktu pelaksanaan tersebut
disampaikan melalui Bank dan diketahui oleh pengurus Bank kepada
Bank Indonesia c.q. Direktorat Pengawasan Bank terkait.
B. Rencana penyesuaian struktur kepemilikan tersebut wajib dilakukan
secara berkelanjutan dan mulai dimuat dalam Rencana Bisnis Bank
tahun 2008 dan dilaporkan perkembangan pelaksanaannya kepada
Bank Indonesia setiap triwulan dalam laporan Realisasi Rencana
Bisnis Bank. Dalam laporan tersebut dapat dimuat hal-hal yang
menjadi kendala dalam pelaksanaan penyesuaian struktur kepemilikan
dan rencana tindak untuk mengatasi kendala dimaksud, termasuk
jangka waktu target penyelesaiannya.
C. BHC wajib melaporkan kepada Bank Indonesia:
1. program kerja strategis BHC, yang disampaikan sekali dalam
setahun pada posisi akhir Desember yang disampaikan paling
lambat pada akhir Februari;
2. laporan …
2. laporan pengawasan BHC kepada bank, yang disampaikan setiap
semester, masing-masing untuk posisi bulan Juni dan Desember.
Untuk posisi Juni disampaikan paling lambat pada akhir Agustus
sedangkan untuk posisi Desember disampaikan paling lambat
pada akhir Maret; dan
3.
laporan lainnya sesuai Peraturan Bank Indonesia, antara lain
tentang transparansi kondisi keuangan bank dan ketentuan
tentang penerapan manajemen risiko secara konsolidasi bagi bank
yang melakukan pengendalian terhadap perusahaan anak.
VI. PENUTUP
Ketentuan dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku
sejak tanggal 12 Desember 2007
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman
Surat Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik
Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA,
HALIM ALAMSYAH
DIREKTUR DIREKTORAT
PENELITIAN DAN PENGATURAN PERBANKAN
"," SE-BI
9/32/DPNP|SE-BI/2007
Kepemilikan Tunggal pada Perbankan Indonesia
12 Desember 2007
12 Desember 2007
'8/16/PBI/2006'
"
" No. 7/5/DPbS
Jakarta, 8 Februari 2005
SURAT EDARAN
Kepada
SEMUA BANK UMUM YANG MELAKSANAKAN KEGIATAN USAHA
BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH
DI INDONESIA
Perihal : Bank Umum Yang
Melaksanakan Kegiatan Usaha
Berdasarkan Prinsip Syariah
Dengan telah dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia Nomor
6/24/PBI/2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 122,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4434) tanggal 14
Oktober 2004 tentang Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha
Berdasarkan Prinsip Syariah, perlu ditetapkan ketentuan pelaksanaan mengenai
Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah
(selanjutnya disebut Bank) dalam Surat Edaran yang mencakup hal-hal sebagai
berikut.
I. UMUM
1. Pengajuan permohonan izin atau rencana dan atau penyampaian laporan
sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia tersebut wajib
menggunakan format sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran Surat
Edaran ini.
2. Dalam…
2. Dalam hal format permohonan izin atau rencana dan atau laporan
pelaksanaan tidak diatur secara khusus dalam Surat Edaran ini maka
pembuatan format tersebut diserahkan kepada masing-masing Bank.
3. Laporan hasil pengawasan Dewan Pengawas Syariah kepada Direksi,
Komisaris, Dewan Syariah Nasional dan Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 27 Peraturan Bank Indonesia Nomor
6/24/PBI/2004 untuk periode Juni dan Desember wajib disampaikan
kepada Bank Indonesia masing-masing selambat-lambatnya 2 (dua) bulan
sejak berakhirnya periode laporan.
II. PERMOHONAN IZIN, RENCANA, DAN PENYAMPAIAN LAPORAN
1. Pengajuan permohonan izin kepada Gubernur Bank Indonesia meliputi :
a. Permohonan Persetujuan Prinsip Pendirian Bank, sebagaimana
dimaksud dalam Lampiran 1;
b. Permohonan Izin
Lampiran 2;
Usaha Bank, sebagaimana dimaksud dalam
c. Permohonan Persetujuan Pencairan Deposito Mudharabah,
sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 3;
d. Permohonan Persetujuan Calon Anggota Direksi, Dewan Komisaris
dan atau Dewan Pengawas Syariah Bank, sebagaimana dimaksud
dalam Lampiran 7.
e. Permohonan Izin Pembukaan Kantor Cabang Bank, sebagaimana
dimaksud dalam Lampiran 11.
f. Permohonan Izin Pembukaan Kantor Cabang, Kantor Operasional
Lainnya di Luar Negeri sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 17.
g. Permohonan Izin Pembukaan Kantor Perwakilan/Jenis-jenis Kantor
Yang Tidak Bersifat Operasional di Luar Negeri, sebagaimana
dimaksud…
dimaksud dalam Lampiran 18.
h. Permohonan Izin Pemindahan Alamat Kantor
Pusat atau Kantor
Cabang Bank, sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 20.
i. Permohonan Persetujuan Prinsip Perubahan Bentuk Badan Hukum
Bank, sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 28.
j. Permohonan Pengalihan Izin Usaha Bank dari Badan Hukum Lama
kepada Badan Hukum Baru, sebagaimana dimaksud dalam Lampiran
29.
k. Permohonan Persetujuan Prinsip Penutupan Kantor Cabang,
sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 31.
l. Permohonan Persetujuan Penutupan Kantor Cabang, sebagaimana
dimaksud dalam Lampiran 32.
m. Permohonan Izin Penutupan Kantor Cabang/Kantor Operasional
Lainnya di Luar Negeri, sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 38.
n. Permohonan Izin Penutupan Kantor Perwakilan/Jenis-jenis Kantor
Yang Tidak Bersifat Operasional di Luar Negeri, sebagaimana
dimaksud dalam Lampiran 39.
2. Pengajuan permohonan izin atau rencana dan atau laporan kepada Bank
Indonesia meliputi :
a. Laporan Pelaksanaan Kegiatan Usaha Bank, sebagaimana dimaksud
dalam Lampiran 4.
b. Laporan Perubahan Komposisi Kepemilikan Bank, sebagaimana
dimaksud dalam Lampiran 5.
c. Laporan Perubahan Modal Dasar Bank, sebagaimana dimaksud
dalam Lampiran 6.
d. Laporan …
d. Laporan Pengangkatan Direksi, Dewan Komisaris dan Dewan
Pengawas Syariah Bank, sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 8.
e. Laporan Hasil Pengawasan Dewan Pengawas Syariah Bank,
sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 9.
f. Laporan Pengangkatan Pejabat Eksekutif dan atau Pemimpin Kantor
Cabang Bank, sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 10.
g. Laporan Pelaksanaan Pembukaan Kantor Cabang Bank, sebagaimana
dimaksud dalam Lampiran 12.
h. Rencana Pembukaan Kantor dibawah Kantor Cabang, sebagaimana
dimaksud dalam Lampiran 13.
i. Laporan Pelaksanaan Pembukaan Kantor dibawah Kantor Cabang,
sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 14.
j. Rencana Pembukaan Kegiatan Kas di Luar Kantor Bank,
sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 15.
k. Laporan Pelaksanaan Kegiatan Kas di Luar Kantor Bank,
sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 16.
l. Laporan Pelaksanaan Pembukaan Kantor Cabang/Kantor
Operasional Lainnya/Kantor Perwakilan/Kantor Non Operasional,
sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 19.
m. Laporan Pelaksanaan Pemindahan Alamat Kantor Pusat/Kantor
Cabang Bank, sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 21.
n. Rencana Pemindahan Alamat Kantor dibawah Kantor
Cabang/Kegiatan Kas di Luar Kantor Bank, sebagaimana dimaksud
dalam Lampiran 22.
o. Laporan Pelaksanaan Pemindahan Alamat Kantor dibawah Kantor
Cabang/Kegiatan Kas di Luar Kantor Bank, sebagaimana dimaksud
dalam Lampiran 23.
p. Rencana …
p. Rencana Pemindahan Alamat Kantor Cabang/Kantor
Perwakilan/Jenis-jenis Kantor Lainnya di Luar Negeri, sebagaimana
dimaksud dalam Lampiran 24.
q. Laporan Pelaksanaan Pemindahan Alamat Kantor Cabang/Kantor
Perwakilan/Jenis-jenis Kantor Lainnya di Luar Negeri, sebagaimana
dimaksud dalam Lampiran 25.
r. Permohonan Perubahan Nama Bank, sebagaimana dimaksud dalam
Lampiran 26.
s. Laporan Pelaksanaan Perubahan Nama Bank, sebagaimana dimaksud
dalam Lampiran 27.
t. Laporan Pelaksanaan Pengalihan Izin Usaha Bank dari Badan
Hukum Lama ke Badan Hukum Baru, sebagaimana dimaksud dalam
Lampiran 30.
u. Laporan Pelaksanaan Penutupan Kantor Cabang Bank, sebagaimana
dimaksud dalam Lampiran 33.
v. Rencana Penutupan Kantor dibawah Kantor Cabang, sebagaimana
dimaksud dalam Lampiran 34.
w. Laporan Pelaksanaan Penutupan Kantor dibawah Kantor Cabang,
sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 35.
x. Rencana Penghentian Kegiatan Kas di Luar Kantor Bank,
sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 36.
y. Laporan Pelaksanaan Penghentian Kegiatan Kas di Luar Kantor
Bank, sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 37.
z. Laporan Pelaksanaan Penutupan Kantor Cabang/Kantor Operasional
Lainnya di Luar Negeri, sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 40.
aa. Laporan Pelaksanaan Penutupan Kantor Cabang/Kantor Yang Tidak
Bersifat Operasional Lainnya di Luar Negeri, sebagaimana dimaksud
dalam…
dalam lampiran 41.
3. Lampiran-lampiran sebagaimana dimaksud dalam angka 1 dan angka 2,
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Surat Edaran ini.
4. Perhitungan hari dalam hal penyampaian permohonan izin atau rencana
dan atau laporan sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia
tersebut didasarkan pada hari kalender.
5. Perhitungan jangka waktu pengajuan permohonan izin atau rencana dan
atau penyampaian laporan oleh Bank kepada Gubernur Bank Indonesia
dan atau Bank Indonesia dihitung sejak dokumen-dokumen tersebut
diterima secara lengkap oleh Bank Indonesia.
III. ALAMAT PENYAMPAIAN PERMOHONAN IZIN ATAU RENCANA
DAN ATAU LAPORAN
1. Penyampaian permohonan izin yang diajukan kepada Gubernur Bank
Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam angka II, dialamatkan ke
Direktorat Perbankan Syariah, ke Jl. M.H. Thamrin No.2 Jakarta 10110.
2. Penyampaian permohonan izin, atau rencana dan atau laporan yang
diajukan kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam angka II,
dialamatkan ke :
- Direktorat Perbankan Syariah, ke Jl. M.H. Thamrin No.2 Jakarta
10110, bagi Bank yang berlokasi di wilayah kerja kantor pusat Bank
Indonesia.
- Kantor Bank Indonesia setempat, bagi Bank yang berlokasi di wilayah
kerja Kantor Bank Indonesia setempat.
IV. PENUTUP…
IV. PENUTUP
Ketentuan dalam Surat Edaran ini berlaku sejak tanggal 8 Februari
2005.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman
Surat Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik
Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA,
HARISMAN
DIREKTUR PERBANKAN SYARIAH
"," SE-BI
7/5/DPbS|SE-BI/2005
Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah
8 Februari 2005
8 Februari 2005
'6/24/PBI/2004'
"
" No. 17/43/DPM
Jakarta, 16 November 2015
S U R A T E D A R A N
Kepada
SEMUA BANK UMUM SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH
DI INDONESIA
Perihal : Tata Cara Transaksi Fasilitas Simpanan Bank Indonesia
Syariah dalam Rupiah
Sehubungan dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor
16/12/PBI/2014 tentang Operasi Moneter Syariah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 178, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5567), dan dalam rangka upaya penguatan
infrastruktur transaksi Operasi Moneter Syariah, perlu diatur kembali
ketentuan pelaksanaan mengenai tata cara transaksi Fasilitas Simpanan
Bank Indonesia Syariah dalam Rupiah dalam Surat Edaran Bank
Indonesia sebagai berikut:
I. KETENTUAN UMUM
Dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah.
2. Bank Umum Syariah yang selanjutnya disingkat BUS adalah
Bank Umum Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah.
3. Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disingkat UUS adalah Unit
Usaha Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
yang mengatur mengenai perbankan syariah.
4. Operasi Moneter Syariah yang selanjutnya disingkat OMS adalah
pelaksanaan kebijakan moneter oleh Bank Indonesia dalam
rangka pengendalian moneter melalui kegiatan operasi pasar
terbuka …
2
terbuka dan penyediaan standing facilities berdasarkan prinsip
syariah.
5. Standing Facilities Syariah adalah fasilitas yang disediakan oleh
Bank Indonesia kepada Bank dalam rangka OMS.
6. Fasilitas Simpanan Bank Indonesia Syariah Dalam Rupiah yang
selanjutnya disebut FASBIS adalah fasilitas simpanan yang
disediakan oleh Bank Indonesia kepada Bank untuk
menempatkan dana di Bank Indonesia dalam rangka Standing
Facilities Syariah.
7. Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement yang
selanjutnya disebut Sistem BI-RTGS adalah infrastruktur yang
digunakan sebagai sarana transfer dana elektronik yang
setelmennya dilakukan seketika per transaksi secara individual
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai penyelenggaraan transaksi, penatausahaan
surat berharga, dan setelmen dana seketika.
8. Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System yang
selanjutnya disingkat BI-SSSS adalah infrastruktur yang
digunakan sebagai sarana penatausahaan transaksi dengan
Bank Indonesia dan transaksi pasar keuangan, serta
penatausahaan surat berharga, yang dilakukan secara
elektronik sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan transaksi,
penatausahaan surat berharga, dan setelmen dana seketika.
9. Sistem Bank Indonesia-Electronic Trading Platform yang
selanjutnya disebut Sistem BI-ETP adalah infrastruktur yang
digunakan sebagai sarana transaksi dengan Bank Indonesia dan
transaksi pasar keuangan yang dilakukan secara elektronik
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai penyelenggaraan transaksi, penatausahaan
surat berharga, dan setelmen dana seketika.
10. Rekening Giro adalah rekening giro milik Bank di Bank
Indonesia.
11. Rekening …
3
11. Rekening Surat Berharga adalah rekening Bank pada BI-SSSS
dalam mata uang Rupiah dan/atau valuta asing yang
ditatausahakan di Bank Indonesia dalam rangka pencatatan
kepemilikan dan setelmen atas transaksi surat berharga,
transaksi dengan Bank Indonesia dan/atau transaksi pasar
keuangan.
II. KARAKTERISTIK FASBIS
1. FASBIS merupakan instrumen yang digunakan Bank Indonesia
untuk absorbsi likuiditas perbankan syariah dalam rangka OMS.
2. FASBIS menggunakan akad wadiah (titipan).
3. FASBIS disediakan Bank Indonesia pada setiap hari kerja Bank
Indonesia, termasuk pada hari kerja terbatas Bank Indonesia.
4. FASBIS dilakukan dengan mekanisme nonlelang.
5. Pengajuan transaksi FASBIS dilakukan melalui Sistem BI-ETP.
6. FASBIS tidak dapat diperdagangkan, tidak dapat diagunkan,
dan tidak dapat dicairkan sebelum jatuh waktu.
7. Jangka waktu FASBIS paling lama 14 (empat belas) hari
kalender dihitung dari tanggal penyelesaian transaksi sampai
dengan tanggal jatuh waktu.
8. Jumlah hari dalam perhitungan imbalan FASBIS dihitung
berdasarkan hari kalender.
9. Window time transaksi FASBIS ditetapkan dari pukul 16.00 WIB
sampai dengan pukul 17.30 WIB atau waktu lain yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia.
10. Bank Indonesia mengumumkan transaksi FASBIS melalui
Sistem BI-ETP dan/atau sarana lainnya yang ditetapkan oleh
Bank Indonesia sebelum window time FASBIS.
11. Bank Indonesia dapat memberikan imbalan atas penempatan
dana Bank pada FASBIS.
12. Dalam hal Bank Indonesia memberikan imbalan FASBIS
sebagaimana dimaksud dalam angka 11 maka pemberian
imbalan dilaksanakan pada saat FASBIS jatuh waktu dengan
perhitungan sebagai berikut:
Imbalan …
4
13. Dalam hal terdapat perubahan window time dan tingkat imbalan
FASBIS, pengumuman dilakukan sebelum window time FASBIS.
14. Bank Indonesia dapat menutup window time FASBIS dan
mengumumkan penutupan tersebut melalui Sistem BI-ETP
dan/atau sarana lainnya yang ditetapkan oleh Bank Indonesia,
paling lambat 1 (satu) hari kerja sebelum penutupan window
time tersebut (T-1).
15. Peserta transaksi FASBIS adalah Bank.
16. Persyaratan Bank yang dapat mengajukan transaksi FASBIS
sebagai berikut:
a. berstatus aktif sebagai peserta Sistem BI-ETP, BI-SSSS, dan
Sistem BI-RTGS;
b.
tidak sedang dikenakan sanksi penghentian sementara
untuk mengikuti kegiatan OMS;
c. harus memiliki Rekening Giro di Bank Indonesia; dan
d. harus memiliki Rekening Surat Berharga pada BI-SSSS.
17. Bank bertanggung jawab atas kebenaran data penawaran
transaksi FASBIS yang disampaikan kepada Bank Indonesia.
18. Bank hanya dapat mengajukan penawaran transaksi FASBIS
untuk kepentingan diri sendiri.
19. Bank dilarang membatalkan pengajuan FASBIS yang telah
disampaikan kepada Bank Indonesia.
20. Bank wajib menyediakan dana di Rekening Giro Rupiah yang
mencukupi untuk memenuhi kewajiban setelmen FASBIS.
21. Dalam hal setelah terjadinya FASBIS, tanggal jatuh waktu
FASBIS ditetapkan sebagai hari libur oleh pemerintah,
pelaksanaan setelmen FASBIS dilakukan pada hari kerja
berikutnya tanpa memperhitungkan tambahan tingkat imbalan
FASBIS atas tambahan jangka waktu FASBIS.
22. Bank Indonesia menatausahakan FASBIS di BI-SSSS.
III. TATA …
5
III. TATA CARA PENGAJUAN PENAWARAN TRANSAKSI FASBIS
1. Bank Indonesia mengumumkan rencana transaksi FASBIS
melalui Sistem BI-ETP dan/atau sarana lainnya yang ditetapkan
oleh Bank Indonesia sebelum window time FASBIS.
2. Pengumuman rencana transaksi FASBIS mencakup antara lain:
a. sarana transaksi;
b.
jangka waktu;
c. window time;
d.
e.
tingkat imbalan; dan/atau
tanggal dan waktu setelmen.
3. Bank mengajukan transaksi FASBIS melalui Sistem BI-ETP
dalam window time yang ditetapkan dengan mencantumkan
penawaran nilai nominal FASBIS kepada Bank Indonesia.
4. Pengajuan penawaran nilai nominal transaksi FASBIS dari
setiap peserta transaksi FASBIS paling sedikit
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan selebihnya dengan
kelipatan Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
5. Setelah window time ditutup, Bank Indonesia mengumumkan
penawaran transaksi FASBIS dengan cara sebagai berikut:
a. secara individual kepada Bank melalui Sistem BI-ETP,
antara lain berupa nilai transaksi yang diterima dan tingkat
imbalan; dan
b. secara keseluruhan melalui Sistem BI-ETP, antara lain
berupa nilai nominal yang diterima dan tingkat imbalan.
IV. SETELMEN TRANSAKSI DAN PELUNASAN FASBIS
1. Bank Indonesia melakukan setelmen FASBIS pada tanggal
transaksi (same day settlement) pada awal periode pre cut-off
Sistem BI-RTGS.
2. Pada saat FASBIS jatuh waktu, setelmen FASBIS dilakukan
pada tanggal jatuh waktu sejak Sistem BI-RTGS dibuka sampai
dengan sebelum periode cut-off warning Sistem BI-RTGS.
3. Setelmen …
6
3. Setelmen FASBIS dilakukan melalui Sistem BI-RTGS dengan
mekanisme transaksi per transaksi (gross to gross) dengan
mendebet Rekening Giro Rupiah Bank yang bersangkutan
sebesar nilai nominal transaksi setiap penawaran FASBIS.
4. Dalam hal Bank tidak memiliki dana di Rekening Giro Rupiah
yang mencukupi untuk memenuhi seluruh kewajiban setelmen
FASBIS sehingga mengakibatkan kegagalan setelmen, BI-SSSS
secara otomatis membatalkan transaksi FASBIS.
5. Terkait dengan perhitungan jumlah batalnya transaksi FASBIS
dalam rangka pengenaan sanksi penghentian sementara
mengikuti kegiatan OMS, dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu)
kali kegagalan setelmen FASBIS dalam 1 (satu) hari maka
jumlah batalnya transaksi dihitung sebanyak 1 (satu) kali.
6. Bank Indonesia melakukan pelunasan transaksi FASBIS pada
saat transaksi FASBIS jatuh waktu sebesar nilai nominal dengan
mengkredit Rekening Giro Rupiah.
7. Dalam hal Bank Indonesia memberikan imbalan FASBIS
sebagaimana dimaksud dalam butir II.11 maka Bank Indonesia
melakukan pelunasan transaksi FASBIS pada saat transaksi
FASBIS jatuh waktu dengan mengkredit Rekening Giro Rupiah
sebesar nilai nominal dan tingkat imbalan FASBIS.
V. TATA CARA PENGENAAN SANKSI
1. Dalam hal transaksi FASBIS dinyatakan batal sebagaimana
dimaksud dalam butir IV.4, Bank dikenakan sanksi berupa:
a.
b. kewajiban membayar sebesar 0,01% (satu per sepuluh ribu)
dari nilai transaksi FASBIS yang dinyatakan batal, paling
sedikit sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan
paling banyak sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta
rupiah).
teguran tertulis, dengan tembusan kepada Otoritas Jasa
Keuangan; dan
2. Dengan …
7
2. Dengan tidak mengurangi sanksi sebagaimana dimaksud dalam
angka 1, dalam hal Bank melakukan transaksi OMS yang
dinyatakan batal sebanyak 3 (tiga) kali dalam kurun waktu 6
(enam) bulan, Bank dikenakan sanksi berupa penghentian
sementara untuk mengikuti kegiatan OMS selama 5 (lima) hari
kerja berturut-turut.
3. Penyampaian surat teguran tertulis sebagaimana dimaksud
dalam butir 1.a dan pemberitahuan sanksi penghentian
sementara untuk mengikuti kegiatan OMS sebagaimana
dimaksud dalam angka 2 dilakukan pada 1 (satu) hari kerja
setelah terjadinya pembatalan transaksi.
4. Pengenaan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud
dalam butir 1.b dilakukan dengan mendebet Rekening Giro
Rupiah Bank yang dikenakan sanksi pada 1 (satu) hari kerja
setelah terjadinya pembatalan transaksi FASBIS.
VI. KETENTUAN PENUTUP
Pada saat Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku maka:
1. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/8/DPM tanggal 27
Maret 2009 perihal Tata Cara Transaksi Fasilitas Simpanan
Bank Indonesia Syariah dalam Rupiah (FASBIS); dan
2. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 12/23/DPM tanggal 30
Agustus 2010 perihal Perubahan atas Surat Edaran Bank
Indonesia Nomor 11/8/DPM tanggal 27 Maret 2009 perihal Tata
Cara Transaksi Fasilitas Simpanan Bank Indonesia Syariah
dalam Rupiah (FASBIS),
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Surat …
8
Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 16
November 2015.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman
Surat Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam
Berita Negara Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA,
DODDY ZULVERDI
KEPALA DEPARTEMEN
PENGELOLAAN MONETER
"," SE-BI
17/43/DPM|SE-BI/2015
Tata Cara Transaksi Fasilitas Simpanan Bank Indonesia Syariah dalam Rupiah
16 November 2015
16 November 2015
'12/23/DPM|SE-BI/2010', '11/8/DPM|SE-BI/2008'
'16/12/PBI/2014'
'Romawi V'
"
" No. 10/ 3 /UKMI
Jakarta, 8 Februari 2008
S U R A T E D A R A N
Kepada
SEMUA BANK UMUM
DI INDONESIA
Perihal : Laporan Kantor Pusat Bank Umum
Sehubungan dengan ditetapkannya Peraturan Bank Indonesia Nomor
10/3/PBI/2008 tanggal 4 Februari 2008 tentang Laporan Kantor Pusat Bank
Umum (LKPBU) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 12,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4810), perlu diatur
ketentuan pelaksanaan dalam Surat Edaran yang mencakup hal-hal sebagai
berikut :
I. UMUM
Untuk menciptakan keseragaman dalam penyusunan dan penyampaian
LKPBU perlu ditetapkan suatu sistematika penyusunan LKPBU berupa
Pedoman Penyusunan LKPBU yang selanjutnya disebut Pedoman
sebagaimana tercantum dalam Lampiran 1 dan Petunjuk Teknis Aplikasi
LKPBU yang selanjutnya disebut Juknis sebagaimana tercantum dalam
Lampiran 2 yang merupakan satu kesatuan dan bagian tidak terpisahkan
dari Surat Edaran ini.
II. BANK PELAPOR
Bank Pelapor terdiri dari:
1. Kantor pusat Bank yang berbadan hukum Indonesia, yaitu:
a. kantor pusat dari Bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara
konvensional;
b. kantor …
2
b. kantor pusat dari Bank yang melaksanakan kegiatan usaha
berdasarkan prinsip syariah;
2. Kantor Cabang Bank Asing; dan
3. Unit Usaha Syariah.
III. RUANG LINGKUP DATA LKPBU
Jenis data yang wajib disampaikan oleh Bank Pelapor kepada Bank
Indonesia terdiri dari:
A. Kegiatan Kustodian;
B. Surat Kredit Berdokumen Dalam Negeri (SKBDN)
1. Transaksi SKBDN;
2. Pembelian Wesel SKBDN; dan
3. Penjualan wesel SKBDN;
C. Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan
Kartu (APMK) dan Instrumen Prabayar.
1. Penerbit APMK, termasuk UUS yang menyelenggarakan APMK;
2. Penerbit Instrumen Prabayar (Stored Value Card); dan/atau
3. Acquirer APMK dan/atau Instrumen Prabayar; dan
4. Fraud APMK dan/atau Instrumen Prabayar;
D. Remittance Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Luar Negeri;
E. Mutasi Rekening Pemerintah; dan/atau
F. Penanganan dan Penyelesaian Pengaduan Nasabah
1. Jenis Produk dan Permasalahan yang Diadukan;
2. Pengaduan yang Diselesaikan Dalam Masa Laporan;
3. Penyebab Pengaduan;
4. Publikasi Negatif; dan
5. Penyelesaian Sengketa.
IV. FORMAT …
3
IV. FORMAT DAN JENIS LAPORAN
A. Format LKPBU
Format LKPBU adalah sesuai dengan:
1. Form 101 (Kegiatan Kustodian);
2. Form 201 (Transaksi SKBDN);
3. Form 202 (Pembelian Wesel SKBDN);
4. Form 203 (Penjualan Wesel SKBDN);
5. Form 301 (Penerbit APMK);
6. Form 302 (Acquirer APMK dan Instrumen Prabayar);
7. Form 303 (Penerbit Instrumen Prabayar);
8. Form 304 (Fraud APMK dan Instrumen Prabayar);
9. Form 401 (Remittance Dari Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Luar
Negeri);
10. Form 501 (Mutasi Rekening Pemerintah);
11. Form 601 (Jenis Produk dan Permasalahan yang Diadukan);
12. Form 602 (Pengaduan yang Diselesaikan Dalam Masa Laporan);
13. Form 603 (Penyebab Pengaduan);
14. Form 604 (Publikasi Negatif); dan
15. Form 605 (Penyelesaian Sengketa).
sebagaimana dimaksud dalam Pedoman dan Juknis pada Lampiran 1 dan
Lampiran 2.
B. Jenis Laporan yang disampaikan
1. Jenis Laporan yang wajib disampaikan oleh Kantor Pusat Bank yang
melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional adalah sebagai
berikut:
a. Bank yang berstatus Bank devisa meliputi Form 101, Form 201,
Form 202, Form 203, Form 301, Form 302, Form 303, Form
304, Form 401, Form 501, Form 601, Form 602, Form 603,
Form 604 dan Form 605.
b. Bank …
4
b. Bank yang berstatus Bank non devisa meliputi Form 101, Form
201, Form 202, Form 203, Form 301, Form 302, Form 303,
Form 304, Form 501, Form 601, Form 602, Form 603, Form 604
dan Form 605.
2. Jenis Laporan yang wajib disampaikan oleh Kantor Pusat Bank yang
melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah adalah
sebagai berikut:
a. Bank yang berstatus Bank devisa meliputi Form 101, Form 201,
Form 202, Form 203, Form 301, Form 302, Form 303, Form
304, Form 401, Form 501, Form 601, Form 602, Form 603,
Form 604 dan Form 605.
b. Bank yang berstatus Bank non devisa meliputi Form 101, Form
201, Form 202, Form 203, Form 301, Form 302, Form 303,
Form 304, Form 501, Form 601, Form 602, Form 603, Form 604
dan Form 605.
3. Jenis Laporan yang wajib disampaikan oleh Kantor Cabang Bank
Asing yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional adalah
Form 101, Form 201, Form 202, Form 203, Form 301, Form 302,
Form 303, Form 304, Form 401, Form 501, Form 601, Form 602,
Form 603, Form 604 dan Form 605.
4. Jenis Laporan yang wajib disampaikan oleh Unit Usaha Syariah
adalah Form 301, Form 302, Form 303, dan Form 304.
5. Dalam hal Bank Pelapor tidak memiliki izin untuk melaksanakan
kegiatan kustodian atau Bank Pelapor tidak menyelenggarakan
Kegiatan APMK, Bank Pelapor tidak mengirimkan Form 101, dan
atau Form 301, Form 302, Form 303, dan Form 304.
V. PENYAMPAIAN…
5
V. PENYAMPAIAN DAN KOREKSI LKPBU
A. Bank Pelapor harus menyampaikan Laporan, form header, dan/atau
koreksi Laporan sebagaimana dimaksud pada butir III.A, butir III.B,
butir III.C, butir III. D, dan butir III. E secara On-Line setiap bulan.
B. Bank Pelapor harus menyampaikan Laporan, form header, dan/atau
koreksi Laporan sebagaimana dimaksud pada butir III.F secara On-Line
setiap triwulan.
C. Bank Pelapor wajib menyampaikan Laporan, form header, dan/atau
koreksi Laporan sebagaimana dimaksud pada huruf A paling lambat
tanggal 15 pada bulan laporan berikutnya. Dalam hal tanggal 15 jatuh
pada hari Sabtu, Minggu atau hari libur maka Laporan atau koreksi
Laporan disampaikan pada hari kerja berikutnya.
Contoh:
Laporan bulan Mei 2008 dilaporkan paling lambat tanggal 15 Juni 2008.
Mengingat tanggal 15 Juni 2008 jatuh pada hari Minggu, maka Laporan
tersebut paling lambat disampaikan pada hari Senin tanggal 16 Juni
2008.
D. Bank Pelapor wajib menyampaikan Laporan, form header, dan/atau
koreksi Laporan sebagaimana huruf B paling lambat tanggal 15 bulan
April untuk triwulan I, 15 Juli untuk triwulan II, 15 Oktober untuk
triwulan III dan 15 Januari untuk triwulan IV. Dalam hal tanggal
berakhirnya penyampaian Laporan jatuh pada hari Sabtu, Minggu atau
hari libur maka Laporan disampaikan pada Hari Kerja berikutnya.
Contoh:
Laporan Penanganan dan Penyelesaian Pengaduan Nasabah selama
triwulan II tahun 200X dilaporkan paling lambat tanggal 15 Juli 200X.
Apabila tanggal 15 Juli 200X jatuh pada hari Sabtu, maka Laporan
tersebut paling lambat disampaikan pada hari Senin tanggal 17 Juli
200X.
E. Dalam …
6
E. Dalam hal Bank Pelapor menyampaikan Laporan, form header, dan/atau
koreksi Laporan sebagaimana dimaksud pada huruf A melampaui
tanggal sebagaimana dimaksud pada huruf C, Bank Pelapor dinyatakan
terlambat menyampaikan Laporan, form header, dan/atau koreksi
Laporan.
Contoh:
Bank dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan, form header,
dan/atau koreksi Laporan data Kustodian untuk Laporan Bulan Maret
2008, apabila data disampaikan setelah tanggal 15 April 2008.
F. Dalam hal Bank Pelapor menyampaikan Laporan, form header, dan/atau
koreksi Laporan sebagaimana dimaksud pada huruf B melampaui
tanggal sebagaimana dimaksud pada huruf D, Bank Pelapor dinyatakan
terlambat menyampaikan Laporan, form header, dan/atau koreksi
Laporan.
Contoh:
Bank dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan, form header,
dan/atau koreksi Laporan data Jenis Produk dan Permasalahan yang
Diadukan untuk Periode Laporan triwulan III tahun 2008, apabila data
tersebut disampaikan setelah tanggal 15 Oktober 2008.
G. Tata Cara Penyampaian Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan
dilakukan sebagai berikut:
1. Sebelum Laporan disampaikan, Bank Pelapor harus melakukan
validasi teknis sesuai dengan spesifikasi yang telah ditetapkan dalam
Juknis sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 2.
2. Bank Pelapor wajib menyampaikan seluruh form sesuai dengan jenis
Laporan sebagaimana dimaksud pada butir IV.B. Dalam hal Bank
Pelapor tidak memiliki data yang wajib disampaikan selama periode
Laporan, kewajiban penyampaian Laporan tetap berlaku dengan cara
mengirimkan form header.
3. Pengecualian …
7
3. Pengecualian kewajiban menyampaikan form header sebagaimana
dimaksud pada angka 2 hanya berlaku bagi Bank Pelapor yang tidak
memiliki izin untuk melaksanakan Kegiatan Kustodian atau Bank
Pelapor tidak menyelenggarakan Kegiatan APMK.
4. Dalam hal Bank Pelapor melakukan merger atau konsolidasi dengan
Bank Pelapor lain, masing-masing Bank Pelapor peserta merger atau
konsolidasi tetap wajib menyampaikan Laporan yang disusun secara
bulanan untuk bulan Laporan sebelum dilakukan merger atau
konsolidasi secara operasional masing-masing Bank Pelapor.
Contoh :
Apabila pada tanggal 11 Juni 2008 Bank Pelapor X secara
operasional telah melakukan merger atau konsolidasi dengan Bank
Pelapor Y, maka masing-masing Bank Pelapor wajib menyampaikan
Laporan bulan Mei 2008. Sementara itu, Laporan bulan Juni 2008
merupakan Laporan konsolidasi atau gabungan yang dilaporkan oleh
Bank Pelapor hasil merger atau konsolidasi.
5. Dalam hal Bank Pelapor melakukan merger atau konsolidasi dengan
Bank Pelapor lain sebelum berakhirnya masa Laporan yang disusun
secara triwulanan, penyampaian Laporan untuk masa Laporan
tersebut dilaporkan oleh Bank Pelapor hasil merger atau konsolidasi.
Contoh :
Apabila pada tanggal 11 Juni 2008 Bank Pelapor X secara
operasional telah melakukan merger atau konsolidasi dengan Bank
Pelapor Y, maka Laporan triwulanan II tahun 2008 merupakan
Laporan konsolidasi atau gabungan yang dilaporkan oleh Bank
Pelapor hasil merger atau konsolidasi.
H. Sistem LKPBU secara On Line digunakan untuk penyampaian Laporan,
form header, dan/atau koreksi Laporan sampai dengan 1 (satu) bulan
setelah bulan Laporan dan 1(satu) bulan setelah masa Laporan.
Contoh …
8
Contoh:
1. Bank Pelapor menyampaikan Laporan, form header, dan/atau koreksi
Laporan bulan Maret 2008 secara On-Line sampai dengan akhir
bulan April 2008.
2. Bank Pelapor menyampaikan Laporan, form header, dan/atau koreksi
Laporan triwulan I tahun 2008 secara On-Line sampai dengan akhir
bulan April 2008.
Dalam hal Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan yang
disampaikan secara On-Line melebihi tanggal yang ditetapkan
sebagaimana dimaksud pada huruf C dan huruf D, Bank Pelapor
dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan, form header, dan/atau
koreksi Laporan sebagaimana dimaksud pada huruf A dan huruf B.
I. Penyampaian Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan yang
dilakukan melampaui waktu sebagaimana dimaksud pada huruf H
dilakukan secara Off-Line.
Contoh:
1. Laporan, form header dan/atau koreksi Laporan bulan Maret 2008
disampaikan secara Off-Line, apabila Bank Pelapor menyampaikan
dan diterima Bank Indonesia setelah akhir bulan April 2008.
2. Laporan, form header dan/atau koreksi Laporan triwulan I tahun
2008 disampaikan secara Off-Line, apabila Bank Pelapor
menyampaikan dan diterima Bank Indonesia setelah akhir bulan
April 2008.
J. Penyampaian LKPBU secara Off-Line
1. Dalam hal Bank Pelapor mengalami gangguan teknis pada akhir
Periode Pelaporan sebagaimana huruf C dan/atau huruf D, Bank
Pelapor wajib menyampaikan pemberitahuan secara tertulis
mengenai gangguan teknis yang dialami dan rencana penyampaian
Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan secara Off-Line.
2. Pemberitahuan …
9
2. Pemberitahuan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada angka 1,
ditandatangani oleh pejabat berwenang dan disampaikan kepada:
a. Unit Khusus Manajemen Informasi Bank Indonesia, Jl. M.H.
Thamrin No. 2 Jakarta 10350, bagi Bank Pelapor yang
berkedudukan di wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia;
atau
b. Unit Khusus Manajemen Informasi Bank Indonesia Jl. M.H.
Thamrin No. 2 Jakarta 10350 dengan tembusan kepada Kantor
Bank Indonesia setempat, bagi Bank Pelapor yang berkedudukan
di luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia.
3. Bank Pelapor yang tidak dapat menyampaikan Laporan, form
header, dan/atau koreksi Laporan secara On-Line karena gangguan
teknis sebagaimana dimaksud pada angka 1 wajib menyampaikan
Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan secara Off-Line
kepada Bank Indonesia dengan alamat:
a. Unit Khusus Manajemen Informasi Bank Indonesia, Jl. M.H.
Thamrin No. 2 Jakarta 10350 bagi Bank Pelapor yang berada di
wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia paling lambat pukul
10:00 WIB pada hari kerja berikutnya; atau
b. Kantor Bank Indonesia yang mewilayahi Bank Pelapor yang
berada di luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia paling
lambat pukul 10:00 waktu setempat pada hari kerja berikutnya.
Contoh:
Pada tanggal 15 April 2008 Bank Pelapor X mengalami gangguan
teknis sehingga tidak dapat menyampaikan Laporan, form header,
dan/atau koreksi Laporan secara On-Line, maka Bank Pelapor X
wajib menyampaikan Laporan, form header, dan/atau koreksi
Laporan secara Off-Line paling lambat tanggal 16 April 2008 pukul
10:00 waktu setempat.
4. Dalam …
10
4. Dalam hal terjadi gangguan teknis di Bank Indonesia, Bank
Indonesia akan memberitahukan secara tertulis dan/atau
menggunakan sarana lainnya kepada Bank Pelapor.
5. Dalam hal gangguan teknis sebagaimana pada angka 4 terjadi pada
batas akhir tanggal penyampaian Laporan, form header, dan/atau
koreksi Laporan sebagaimana huruf C dan/atau huruf D, Bank
Pelapor wajib menyampaikan Laporan, form header, dan/atau
koreksi Laporan pada hari kerja berikutnya secara Off-Line.
6. Bank Pelapor yang tidak dapat menyampaikan Laporan, form
header, dan/atau koreksi Laporan karena mengalami keadaan
memaksa (force majeure), wajib segera memberitahukan secara
tertulis disertai penjelasan mengenai penyebab terjadinya keadaan
memaksa (force majeure) yang ditandatangani oleh Pejabat yang
berwenang kepada Bank Indonesia dengan alamat:
a. Unit Khusus Manajemen Informasi Bank Indonesia, Jl. M.H.
Thamrin No. 2 Jakarta 10350, bagi Bank Pelapor yang
berkedudukan di wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia;
atau
b. Unit Khusus Manajemen Informasi Bank Indonesia Jl. M.H.
Thamrin No. 2 Jakarta 10350 dengan tembusan kepada Kantor
Bank Indonesia setempat, bagi Bank Pelapor yang berkedudukan
di luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia.
VI. HAK AKSES
1. Bank Indonesia menyediakan hak akses berupa user id Sistem LKPBU
sebanyak 1 (satu) fasilitas user id kepada setiap Bank Pelapor tanpa
dikenakan biaya, baik berupa biaya lisensi maupun biaya pemeliharaan.
2. Dalam …
11
2. Dalam hal Bank Pelapor meminta penambahan hak akses berupa user id
Sistem LKPBU, Bank Pelapor dikenakan biaya lisensi dan biaya
pemeliharaan Sistem LKPBU yang diatur sebagai berikut:
a. Biaya lisensi sebesar USD1,500 (seribu lima ratus US Dollar)
dikenakan 1 (satu) kali selama menggunakan hak akses Sistem
LKPBU untuk setiap 1 (satu) tambahan hak akses.
b. Biaya pemeliharaan sistem LKPBU sebesar USD300 (tiga ratus US
Dollar) setiap tahun dikenakan untuk setiap 1 (satu) tambahan hak
akses.
c. Pembayaran biaya sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b
dilakukan dalam ekuivalen mata uang Rupiah dengan menggunakan
kurs transaksi jual Bank Indonesia pada tanggal pembayaran biaya.
d. Pembayaran biaya sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b
dilakukan dengan mendebet rekening giro Rupiah Bank Pelapor pada
Bank Indonesia.
e. Dalam rangka pendebetan rekening giro Rupiah Bank Pelapor
sebagaimana dimaksud dalam huruf d, Bank Pelapor memberikan
surat kuasa pendebetan kepada Bank Indonesia c.q. Unit Khusus
Manajemen Informasi, sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 3.
VII. PENYAMPAIAN PERTANYAAN
Bank Pelapor dapat menyampaikan pertanyaan yang berkaitan dengan
sistem, materi, dan/atau ketentuan Laporan kepada Bank Indonesia sebagai
berikut:
1. Direktorat Statistik Ekonomi dan Moneter, Biro Neraca Pembayaran
mengenai materi Form 101 dan Form 401.
2. Direktorat Internasional, Biro Hubungan dan Studi Internasional
mengenai materi Form 201, Form 202 dan Form 203.
3. Direktorat …
12
3. Direktorat Akunting dan Sistem Pembayaran, Tim Manajemen
Informasi dan Administrasi mengenai materi Form 301, Form 302,
Form 303, dan Form 304.
4. Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter, Biro Kebijakan
Moneter mengenai materi Form 501.
5. Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan; dan Direktorat
Investigasi dan Mediasi Perbankan, Tim Mediasi Perbankan mengenai
materi Form 601, Form 602, Form 603, Form 604 dan Form 605.
6. Direktorat Teknologi Informasi, mengenai hal-hal yang berkaitan
dengan aplikasi dan sistem penyampaian Laporan.
7. Unit Khusus Manajemen Informasi, mengenai akses Sistem LKPBU di
Bank Indonesia.
melalui Helpdesk Bank Indonesia telepon (021) 381-8000.
VIII. SANKSI
1. Bank Indonesia memberitahukan secara tertulis kepada Bank Pelapor
mengenai pelanggaran yang dilakukan oleh Bank Pelapor dan besarnya
sanksi kewajiban membayar yang dikenakan.
2. Pengenaan sanksi kewajiban membayar dilakukan dengan cara
mendebet rekening giro Rupiah Bank Pelapor pada Bank Indonesia.
IX. PENUTUP
Ketentuan dalam Surat Edaran ini mulai berlaku pada tanggal 8 Februari
2008.
Agar …
13
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat
Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita Negara
Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA
RONALD WAAS
DIREKTUR UNIT KHUSUS MANAJEMEN INFORMASI
UKMI/DASP/DPNP/DINT/DSM
"," SE-BI
10/3/UKMI|SE-BI/2008
Laporan Kantor Pusat Bank Umum
8 Februari 2008
8 Februari 2008
'10/3/PBI/2008'
'Romawi VIII'
"
" No. 2/ 26 /DPM
Jakarta, 8 Desember 2000
SURAT EDARAN
Kepada
SEMUA BANK UMUM
DI INDONESIA
Perihal
: Penetapan
Obligasi
Pemerintah Seri FR0006, FR0007,
FR0008, FR0009 Untuk Diperdagangkan Di Pasar Sekunder
Serta Peningkatan Prosentase Portofolio Obligasi Pemerintah
Yang Dapat Diperdagangkan
Sehubungan dengan ditetapkannya Peraturan Bank Indonesia Nomor
1/10/PBI/1999 Tanggal 3 Desember 1999 tentang Portofolio Obligasi Pemerintah
Bagi Bank Umum Peserta Program Rekapitalisasi dan Peraturan Bank Indonesia
Nomor 2/10/PBI/2000 tanggal 29 Maret 2000 tentang Perubahan Peraturan Bank
Indonesia No. 1/10/PBI/2000 tentang Portofolio Obligasi Pemerintah Bagi Bank
Umum Peserta Program Rekapitalisasi, Bank Indonesia berwenang menetapkan dan
mengumumkan jenis dan seri Obligasi yang dapat diperdagangkan serta
meningkatkan prosentase Obligasi yang dapat diperdagangkan.
Dengan mempertimbangkan bahwa transasksi perdagangan obligasi di pasar
sekunder oleh perbankan (termasuk transaksi Repo) dewasa ini cenderung
meningkat dan guna mengantisipasi peningkatan kebutuhan perbankan untuk
menggunakan Obligasi Pemerintah dalam waktu dekat bagi keperluan-keperluan
sebagai berikut :
1. sebagai agunan dalam transaksi di Pasar Uang Antar Bank dan dalam rangka
memperoleh Fasilitas Likuiditas Intrahari (FLI),
2. untuk …
2
2. untuk melakukan pelunasan kewajiban dengan Obligasi Pemerintah (set-off
kewajiban),
3. untuk memindahkan high coupon stapled bonds ke portofolio perdagangan
dalam rangka memenuhi kebutuhan likuiditasnya dalam kaitannya dengan
pelaksanaan program “Bonds Exchange Offer”, maka dipandang perlu untuk
menambah seri Obligasi Pemerintah yang dapat diperdagangkan di pasar
sekunder dan meningkatkan prosentase Obligasi Pemerintah dengan ketentuan
sebagai berikut :
I. TAMBAHAN SERI OBLIGASI YANG DAPAT DIPERDAGANGKAN
1. Obligasi Pemerintah Seri FR0006, FR0007, FR0008, FR0009 dapat
diperdagangkan di pasar sekunder.
2. Bank wajib memindahbukukan Obligasi Pemerintah Seri FR0006, FR0007,
FR0008, FR0009 sebesar jumlah nominal yang akan diperdagangkan dari
portofolio investasi kedalam portofolio perdagangan.
II. JUMLAH DAN SERI OBLIGASI YANG DAPAT DIPERDAGANGKAN
1. Jumlah prosentase Obligasi yang dapat diperdagangkan yang semula
ditetapkan setinggi-tingginya sebesar 15% (lima belas perseratus)
ditingkatkan menjadi setinggi-tingginya 25% (dua puluh lima perseratus)
dari nilai keseluruhan Obligasi Pemerintah yang dibeli pada saat Bank
menerima penyertaan tunai dari Pemerintah sehubungan dengan Program
rekapitalisasi Bank Umum.
2. Bank wajib memindah-bukukan seluruh Obligasi Pemerintah yang akan
diperdagangkan dari portofolio investasi ke dalam portofolio perdagangan
sebesar jumlah nominalnya.
3. Obligasi …
3
3. Obligasi Pemerintah yang dapat dipindahkan kedalam portofolio
perdagangan adalah Obligasi Pemerintah yang telah dapat diperdagangkan
pada pasar sekunder yaitu seri FR0001, FR0002, FR0003, FR0004,
FR0005, FR0006, FR0007, FR0008, FR0009, VR0001, VR0002 dan
VR0005, sebagaimana ditetapkan oleh Bank Indonesia pada :
- Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 2/14/DPNP/2000 Tanggal 27 Juni
2000 tentang Penetapan Obligasi Pemerintah Seri FR0002 untuk
diperdagangkan di Pasar Sekunder.
- Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 2/16/DPNP/2000 Tanggal 25 Juli
2000 Tentang Penetapan Obligasi Pemerintah Seri FR0003, FR0004
dan FR0005 untuk Diperdagangkan di Pasar Sekunder.
III. TATA CARA PENGAJUAN PENAMBAHAN JUMLAH OBLIGASI
YANG DAPAT DIPERDAGANGKAN DI PASAR SEKUNDER
1. Bank wajib melaporkan secara tertulis kepada Bank Indonesia mengenai
seri dan tambahan jumlah dari Obligasi yang akan dipindahkan kedalam
portofolio perdagangan;
2. Surat pelaporan sebagaimana dimaksud dalam angka 1, wajib dilengkapi
dengan jumlah nominal yang akan diperdagangkan;
3. Surat pelaporan sebagaimana dimaksud dalam angka 1 dan angka 2
diajukan kepada Direktorat Pengelolaan Moneter - Bank Indonesia, Gedung
B – Lantai 11, Jl. M.H.Thamrin No. 2, Jakarta, dengan tembusan kepada
Direktorat Pengawasan Bank terkait.
IV. PENUTUP ……
4
IV. PENUTUP
Ketentuan dalam Surat Edaran ini berlaku sejak tanggal 8 Desember 2000. Agar
setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran ini
dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA
Tarmiden Sitorus
Deputi Direktur
DPM
"," SE-BI
2/26/DPM|SE-BI/2000
Penetapan Obligasi Pemerintah Seri FR0006, FR0007, FR0008, FR0009 Untuk Diperdagangkan Di Pasar Sekunder Serta Peningkatan Prosentase Portofolio Obligasi Pemerintah Yang Dapat Diperdagangkan
8 Desember 2000
8 Desember 2000
'1/10/PBI/2000', '1/10/PBI/1999', '2/10/PBI/2000'
"
" No. 7/29/DASP
Jakarta, 22 Juli 2005
SURAT EDARAN
Kepada
SEMUA BANK UMUM
DI INDONESIA
Perihal
: Pemberian Persetujuan Terhadap Penyelenggaraan Sistem Kliring
Nasional Bank Indonesia oleh Penyelenggara Kliring Lokal Selain
Bank Indonesia
Sehubungan dengan diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia
Nomor 7/18/PBI/2005 tanggal 22 Juli 2005 tentang Sistem Kliring Nasional
Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 65,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4516), perlu diatur
lebih lanjut mengenai tata cara pemberian persetujuan terhadap Bank yang akan
menjadi Penyelenggara Kliring Lokal Selain Bank Indonesia (PKL Selain BI)
dalam Surat Edaran Bank Indonesia sebagai berikut.
I.
PERSYARATAN DAN TATA CARA PEMBERIAN PERSETUJUAN
A. Persyaratan Penyelenggaraan Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia
Persyaratan penyelenggaraan Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia
(SKNBI) di wilayah dimana kantor-kantor Banknya tidak dapat
mengikuti kegiatan Kliring di Kantor Bank Indonesia terdekat karena
kondisi-kondisi tertentu, meliputi hal-hal sebagai berikut:
1. Kebutuhan Penyelenggaraan SKNBI
Penyelenggaraan SKNBI
kebutuhan kantor-kantor Bank
di suatu wilayah didasarkan pada
setempat untuk
diselenggarakannya …
2
diselenggarakannya Kliring antar Bank di wilayah tersebut.
Untuk itu kantor-kantor Bank di wilayah yang bersangkutan
terlebih dahulu harus mengadakan kesepakatan tertulis mengenai
pentingnya penyelenggaraan Kliring antar Bank di wilayah
tersebut dan kesepakatan mengenai kantor Bank yang diusulkan
menjadi PKL Selain BI. Kesepakatan dimaksud harus
ditandatangani oleh seluruh kantor Bank calon Peserta di wilayah
yang bersangkutan.
2. Jumlah minimum transaksi dan kantor Bank
Jumlah minimum transaksi dan jumlah minimum kantor Bank,
termasuk kantor cabang, kantor cabang pembantu, dan atau
kantor kas dari Bank yang berbeda, yang harus menandatangani
kesepakatan untuk mendukung penyelenggaraan SKNBI tidak
dibatasi, sepanjang seluruh kantor Bank tersebut secara bersama-
sama dapat membuktikan adanya kebutuhan penyelenggaraan
Kliring di wilayah tersebut.
3. Lokasi Kantor Bank yang Diusulkan Menjadi PKL Selain BI
Lokasi kantor Bank yang diusulkan menjadi PKL Selain BI harus
mudah dijangkau oleh seluruh kantor Bank lainnya sehingga
kegiatan SKNBI dapat berjalan sesuai dengan jadwal yang
ditetapkan.
B. Persyaratan Kantor Bank yang Diusulkan Menjadi PKL Selain BI
Kantor Bank yang dapat diusulkan untuk menjadi PKL Selain BI
harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1. mempunyai kesiapan dari segi organisasi yang memungkinkan
ditempatkannya kegiatan penyelenggaraan SKNBI ke dalam
suatu unit tersendiri dan dapat menyediakan sumber daya
manusia yang mempunyai pemahaman mengenai SKNBI serta
mempunyai sistem administrasi yang memadai;
2. menyediakan …
3
2. menyediakan perangkat keras Komputer Penyelenggara Kliring
(KPK) untuk penyelenggaraan SKNBI
sebagaimana diatur
dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai SKNBI;
3. memiliki ruangan dan peralatan yang mendukung untuk kegiatan
penyerahan DKE kepada PKL Selain BI dan pertukaran Warkat
Debet antar Peserta; dan
4. memiliki lokasi penyelenggaraan SKNBI yang mudah dijangkau
oleh Peserta sehingga penyelenggaraan SKNBI dapat dilakukan
sesuai dengan jadwal yang ditetapkan. Lokasi penyelenggaraan
SKNBI tersebut tidak harus berada pada lokasi yang sama
dengan lokasi kantor Bank yang ditunjuk sebagai PKL Selain
BI.
C. Tata Cara Permohonan Penyelenggaraan SKNBI
Dengan memperhatikan persyaratan sebagaimana dimaksud pada
huruf A dan huruf B, kantor Bank yang diusulkan sebagai PKL Selain
BI mengajukan permohonan untuk diadakan penyelenggaraan SKNBI
di wilayah yang bersangkutan dengan tata cara sebagai berikut:
1. Pengajuan permohonan secara tertulis oleh kantor Bank yang
diusulkan sebagai PKL Selain BI kepada PKL BI sebagai
berikut:
a.
untuk wilayah Serang, Pandeglang, Lebak, Tangerang,
Bogor, Karawang, dan Bekasi diajukan kepada Bagian
Kliring – Direktorat Akunting dan Sistem Pembayaran,
Gedung D Lantai 2, Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10110;
atau
b.
untuk wilayah di luar wilayah sebagaimana dimaksud pada
huruf a diajukan kepada Kantor Bank Indonesia setempat.
2. Permohonan …
4
2. Permohonan sebagaimana dimaksud pada angka 1 diajukan
dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam
Lampiran 1, dengan disertai dokumen sebagai berikut:
a.
kesepakatan tertulis dari kantor-kantor Bank calon Peserta
mengenai perlunya penyelenggaraan SKNBI di wilayah
tersebut; dan
b.
3.
usulan jadwal Kliring Debet yang mengacu pada ketentuan
Bank Indonesia mengenai jadwal penyelenggaraan SKNBI.
Berdasarkan permohonan yang diajukan, PKL BI sebagaimana
dimaksud pada angka 1 melakukan pengecekan atas kebenaran
permohonan tersebut, termasuk melakukan penelitian lapangan,
dengan memperhatikan persyaratan penyelenggaraan SKNBI
sebagaimana dimaksud pada huruf A.
4. Apabila PKL BI tidak mendukung permohonan penyelenggaraan
SKNBI di wilayah tersebut, PKL BI memberitahukan kepada
kantor Bank yang mengajukan permohonan penyelenggaraan
SKNBI mengenai penolakan
permohonan tersebut dengan
menyebutkan persyaratan yang belum dipenuhi. Selanjutnya
kantor Bank tersebut dapat mengajukan permohonan kembali
sebagai PKL Selain BI setelah memenuhi persyaratan yang
ditetapkan.
5. Apabila persyaratan sebagaimana dimaksud pada huruf A telah
dipenuhi dan PKL BI telah melakukan penelitian lapangan serta
PKL BI mendukung permohonan tersebut, PKL BI meneruskan
permohonan penyelenggaraan SKNBI
di wilayah tersebut
kepada PKN disertai dengan rekomendasi dari PKL BI.
6.
Berdasarkan rekomendasi yang diajukan oleh PKL BI, PKN
memberikan pemberitahuan tertulis kepada PKL BI sebagai
berikut:
a. Apabila …
5
a. Apabila PKN menyetujui permohonan penyelenggaraan
SKNBI di wilayah tersebut, PKN memberitahukan secara
tertulis kepada PKL BI disertai dengan pemberitahuan
mengenai persiapan teknis dan administratif yang perlu
dilakukan oleh kantor Bank yang diusulkan menjadi PKL
Selain BI dan seluruh kantor Bank calon Peserta SKNBI di
wilayah tersebut. Selanjutnya PKL BI meneruskan
pemberitahuan
tersebut kepada kantor Bank
mengajukan permohonan penyelenggaraan SKNBI.
b. Apabila PKN tidak menyetujui permohonan
penyelenggaraan SKNBI di wilayah tersebut, PKN
memberitahukan kepada PKL BI mengenai
penolakan
permohonan tersebut dengan menyebutkan persyaratan
yang belum dipenuhi. Selanjutnya PKL BI meneruskan
pemberitahuan
tersebut kepada kantor Bank
yang
yang
mengajukan permohonan penyelenggaraan SKNBI. Kantor
Bank tersebut dapat mengajukan permohonan kembali
penyelenggaraan SKNBI
di wilayah tersebut setelah
seluruh persyaratan penyelenggaraan SKNBI dipenuhi.
7.
Jangka waktu pemrosesan permohonan oleh PKL BI dan PKN
sampai dengan disampaikannya pemberitahuan oleh PKL BI
mengenai persetujuan atau penolakan sebagaimana dimaksud
pada angka 6 paling lambat 60 (enam puluh) hari kalender
setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap oleh PKL
BI.
D. Penetapan PKL Selain BI
Bersamaan dengan pengajuan permohonan penyelenggaraan SKNBI
sebagaimana dimaksud pada huruf C, kantor Bank yang diusulkan
sebagai …
6
sebagai PKL Selain BI mengajukan permohonan untuk ditetapkan
sebagai PKL Selain BI dengan tata cara sebagai berikut:
1. Pengajuan permohonan secara tertulis oleh kantor Bank yang
diusulkan sebagai PKL Selain BI kepada PKL BI sebagai
berikut:
a.
untuk wilayah Serang, Pandeglang, Lebak, Tangerang,
Bogor, Karawang, dan Bekasi diajukan kepada Bagian
Kliring – Direktorat Akunting dan Sistem Pembayaran,
Gedung D Lantai 2, Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10110;
atau
b.
untuk wilayah di luar wilayah sebagaimana dimaksud pada
huruf a diajukan kepada Kantor Bank Indonesia setempat.
2. Permohonan sebagaimana dimaksud pada angka 1 diajukan
dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam
Lampiran 2, dengan disertai dokumen sebagai berikut:
a.
kesepakatan tertulis dari kantor Bank calon Peserta
mengenai usulan kantor Bank yang akan menjadi PKL
Selain BI dengan memperhatikan persyaratan pada huruf
B; dan
b.
3.
rencana struktur organisasi dan persiapan lainnya dari
kantor Bank yang diusulkan menjadi PKL Selain BI.
Berdasarkan permohonan yang diajukan, PKL BI sebagaimana
dimaksud pada angka 1 melakukan pengecekan atas kebenaran
permohonan tersebut, termasuk melakukan penelitian lapangan,
dengan memperhatikan persyaratan PKL Selain BI sebagaimana
dimaksud pada huruf B.
4. Apabila persyaratan sebagaimana dimaksud pada huruf B telah
dipenuhi dan didukung oleh hasil penelitian lapangan yang
dilakukan …
7
dilakukan oleh PKL BI, PKL BI mengeluarkan keputusan
tentang penetapan sebagai PKL Selain BI yang memuat nama
kantor Bank sebagai PKL Selain BI, nama Wilayah Kliring, dan
tanggal dimulainya kegiatan SKNBI
persiapannya
termasuk
dengan memperhatikan kesiapan
persyaratan kepesertaan seluruh kantor Bank calon Peserta
SKNBI di wilayah tersebut.
5.
Keputusan tersebut disampaikan secara tertulis kepada kantor
Bank yang telah disetujui menjadi PKL Selain BI dengan
tembusan kepada kantor pusat Bank yang bersangkutan. Surat
tersebut juga memuat hal-hal sebagai berikut :
a.
persiapan yang harus dilakukan antara lain berkaitan
dengan instalasi aplikasi KPK dan instalasi Jaringan
Komunikasi Data (JKD);
b. kewajiban yang harus dipenuhi oleh PKL Selain BI
sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai SKNBI; dan
c.
jadwal pelatihan bagi PKL Selain BI dan Peserta mengenai
tata cara penyelenggaraan SKNBI.
6. PKL BI menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada
PKN mengenai penetapan PKL Selain BI sebagaimana
dimaksud pada angka 5 pada tanggal yang sama dengan tanggal
penetapan tersebut.
7. Apabila salah satu persyaratan sebagaimana dimaksud pada
huruf B tidak dipenuhi, PKL BI memberitahukan kepada kantor
Bank tersebut mengenai penolakan permohonan yang
bersangkutan dengan menyebutkan persyaratan yang belum
dipenuhi. Selanjutnya kantor Bank tersebut dapat mengajukan
permohonan …
jadwal
pemenuhan
8
permohonan kembali sebagai PKL Selain BI setelah memenuhi
persyaratan yang ditetapkan.
8.
Jangka waktu pemrosesan permohonan oleh PKL BI sampai
dengan dikeluarkannya pemberitahuan PKL BI mengenai
persetujuan sebagaimana dimaksud pada angka 4 atau penolakan
sebagaimana dimaksud pada angka 7 paling lambat 60 (enam
puluh) hari kalender setelah dokumen permohonan diterima
secara lengkap oleh PKL BI.
E. Bantuan Keuangan
Bank Indonesia memberikan bantuan keuangan kepada setiap PKL
Selain BI sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) per bulan.
Bantuan keuangan tersebut diberikan melalui kantor pusat Bank yang
kantornya menjadi PKL Selain BI dengan cara mengkredit rekening
giro Bank tersebut yang ada di Bank Indonesia setiap awal bulan.
Pendistribusian bantuan keuangan tersebut kepada setiap kantor Bank
yang menjadi PKL Selain BI merupakan kewenangan kantor pusat
masing-masing Bank.
F.
Jangka Waktu Penetapan Sebagai PKL Selain BI
Persetujuan PKL BI kepada kantor Bank yang ditetapkan sebagai
PKL Selain BI berlaku dalam jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung
sejak tanggal efektif keputusan tentang persetujuan penetapan sebagai
PKL Selain BI.
G. Perpanjangan Jangka Waktu Penetapan atau Penggantian PKL Selain
BI
1.
Paling
berakhirnya jangka waktu penetapan sebagai PKL Selain BI,
seluruh Peserta kembali mengadakan kesepakatan untuk :
a. mengusulkan …
lambat 90 (sembilan puluh) hari kalender sebelum
9
a. mengusulkan perpanjangan jangka waktu penetapan
sebagai PKL Selain BI; atau
b. mengusulkan penggantian PKL Selain BI yang lama dan
mengusulkan kantor Bank lain sebagai PKL Selain BI yang
baru.
2. Usulan untuk memperpanjang jangka waktu penetapan sebagai
PKL Selain BI atau usulan calon PKL Selain BI yang baru harus
didukung dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 75% (tujuh
puluh lima per seratus) dari jumlah Peserta serta harus
memperhatikan persyaratan sebagai PKL Selain BI sebagaimana
dimaksud pada huruf B.
3. Pengajuan permohonan perpanjangan atau penggantian PKL
Selain BI sebagaimana dimaksud pada angka 1 kepada PKL BI
dilakukan sesuai dengan mekanisme sebagaimana dimaksud
pada huruf D, dengan ketentuan sebagai berikut :
a. Permohonan diajukan paling lambat 60 (enam puluh) hari
kalender sebelum tanggal berakhirnya jangka waktu
penetapan sebagai PKL Selain BI dengan menggunakan
format sebagaimana tercantum dalam Lampiran 3 untuk
permohonan perpanjangan sebagai PKL Selain BI atau
menggunakan format sebagaimana tercantum
dalam
Lampiran 2 untuk permohonan penggantian PKL Selain BI
yang baru.
b.
Jangka waktu pemrosesan permohonan sebagaimana
dimaksud pada huruf a oleh PKL BI
sampai dengan
dikeluarkannya pemberitahuan PKL BI mengenai
persetujuan atau penolakan atas permohonan tersebut,
paling
lambat 30 (tiga puluh) hari kalender setelah
dokumen …
10
dokumen permohonan diterima secara lengkap oleh PKL
BI.
4. Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada butir 3.a
ditolak oleh PKL BI, maka kantor Bank yang diusulkan sebagai
PKL Selain BI mengajukan permohonan
kembali
dengan
mekanisme sebagaimana dimaksud pada huruf D. Apabila
sampai dengan akhir jangka waktu penetapan PKL Selain BI
yang telah ada belum ditetapkan PKL Selain BI untuk periode
berikutnya, maka PKL Selain BI yang telah ada otomatis tetap
menyelenggarakan SKNBI sampai dikeluarkannya persetujuan
oleh PKL BI mengenai penetapan PKL Selain BI untuk periode
berikutnya.
H. Pengunduran Diri Sebagai PKL Selain BI
1. PKL Selain BI dapat mengundurkan diri sebagai PKL Selain BI
dengan mengajukan permohonan kepada PKL BI disertai alasan
pengunduran diri dengan menggunakan format sebagaimana
tercantum dalam Lampiran 4 paling lambat 60 (enam puluh) hari
kalender sebelum tanggal rencana pengunduran diri sebagai
PKL Selain BI.
2. Pada saat yang bersamaan, apabila seluruh Peserta di Wilayah
Kliring tersebut masih memandang perlu diselenggarakannya
SKNBI, diajukan pula permohonan dari calon PKL Selain BI
baru sesuai dengan mekanisme sebagaimana dimaksud pada
huruf D paling lambat 60 (enam puluh) hari kalender sebelum
tanggal pengunduran diri sebagaimana dimaksud pada angka 1
berlaku efektif.
3.
Jangka waktu pemrosesan permohonan sebagaimana dimaksud
pada angka 2 oleh PKL BI sampai dengan dikeluarkannya
pemberitahuan PKL BI mengenai persetujuan atau penolakan
atas …
11
atas permohonan tersebut, paling lambat 30 (tiga puluh) hari
kalender setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap
oleh PKL BI.
4. Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada angka 2
ditolak oleh PKL BI, maka kantor Bank yang diusulkan sebagai
PKL Selain BI mengajukan permohonan
kembali
dengan
mekanisme sebagaimana dimaksud pada huruf D. Apabila
sampai dengan tanggal pengunduran diri PKL Selain BI yang
telah ada sebagaimana dimaksud pada angka 1 belum ditetapkan
PKL Selain BI yang baru, maka PKL Selain BI yang telah ada
tersebut otomatis tetap menyelenggarakan SKNBI
sampai
dikeluarkannya persetujuan oleh PKL BI mengenai penetapan
PKL Selain BI yang baru.
I.
Penghentian Sebagai PKL Selain BI
1. Apabila PKL Selain BI
tidak dapat menjalankan fungsinya
sebagaimana seharusnya, maka PKL BI dapat mencabut
penetapan yang bersangkutan sebagai PKL Selain BI.
2.
Dalam hal terjadi kondisi sebagaimana dimaksud pada angka 1
maka penyelenggaraan SKNBI untuk sementara dilaksanakan
oleh salah satu Peserta yang ditunjuk PKL BI sampai dengan
disetujuinya PKL Selain BI yang definitif. PKL Selain BI yang
menggantikan sementara dapat menggunakan KPK yang
sebelumnya digunakan oleh PKL Selain BI yang dihentikan
sepanjang KPK tersebut merupakan KPK yang disediakan oleh
Bank Indonesia dan memperoleh bantuan keuangan
sebagaimana dimaksud pada huruf E selama yang bersangkutan
menjadi PKL Selain BI sementara.
3. Penetapan PKL Selain BI definitif dilakukan sesuai dengan
mekanisme sebagaimana dimaksud pada huruf D.
4. Dengan …
12
4. Dengan dihentikannya PKL Selain BI sebagaimana dimaksud
pada angka 1, maka setelah tanggal efektif penghentian, PKL
Selain BI tersebut harus menyerahkan kepada PKL BI sarana
penyelenggaraan SKNBI yang merupakan hak milik Bank
Indonesia, dan merahasiakan serta menjamin bahwa seluruh
data, dokumen, dan hal-hal lain yang terkait langsung dengan
penyelenggaraan SKNBI
manapun.
tidak
J. Pembubaran Penyelenggaraan SKNBI di suatu Wilayah Kliring
1.
Penyelenggaraan SKNBI di suatu Wilayah Kliring
dapat
diusulkan untuk dibubarkan apabila seluruh Peserta di Wilayah
Kliring tersebut tidak
SKNBI.
2. Usulan pembubaran penyelenggaraan SKNBI sebagaimana
dimaksud pada angka 1 diajukan oleh PKL Selain BI kepada
PKL BI sebagai berikut :
a.
lagi membutuhkan penyelenggaraan
disalahgunakan oleh pihak
untuk wilayah Serang, Pandeglang, Lebak, Tangerang,
Bogor, Karawang, dan Bekasi diajukan kepada Bagian
Kliring – Direktorat Akunting dan Sistem Pembayaran,
Gedung D Lantai 2, Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10110;
atau
b.
untuk wilayah di luar wilayah sebagaimana dimaksud pada
huruf a diajukan kepada Kantor Bank Indonesia setempat.
3. Usulan pembubaran sebagaimana dimaksud pada angka 2
diajukan dengan menggunakan format sebagaimana tercantum
dalam Lampiran 5.
4. Dalam hal penyelenggaraan SKNBI diusulkan untuk dibubarkan
dan PKL BI mendukung usulan pembubaran tersebut, PKL BI
meneruskan usulan pembubaran kepada PKN.
5. Berdasarkan …
13
5.
Berdasarkan usulan sebagaimana dimaksud pada angka 4, PKN
menerbitkan keputusan mengenai pembubaran penyelenggaraan
SKNBI dan disampaikan kepada PKL BI untuk diteruskan
kepada PKL Selain BI. Keputusan tersebut memuat pula tanggal
pembubaran penyelenggaraan SKNBI. Tanggal pembubaran
ditetapkan paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender sejak
tanggal keputusan PKN.
6. PKL
Selain
BI
memberitahukan keputusan mengenai
pembubaran penyelenggaraan SKNBI kepada Peserta paling
lambat 3 (tiga) hari kerja setelah pemberitahuan dari PKN.
7. Dengan dibubarkannya penyelenggaraan SKNBI di suatu
Wilayah Kliring tertentu, PKL Selain BI di wilayah tersebut
harus menyerahkan kepada PKL BI sarana penyelenggaraan
SKNBI
yang merupakan
hak milik Bank
Indonesia,
dan
merahasiakan serta menjamin bahwa seluruh data, dokumen, dan
hal-hal lain yang terkait langsung dengan penyelenggaraan
SKNBI tidak disalahgunakan oleh pihak manapun.
K. Pemindahan Lokasi Penyelenggaraan SKNBI.
1. PKL Selain BI dapat memindahkan lokasi penyelenggaraan
SKNBI dengan ketentuan lokasi yang baru harus memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud pada huruf B.
2. PKL Selain BI mengajukan permohonan secara tertulis kepada
PKL BI, mengenai rencana pemindahan lokasi penyelenggaraan
SKNBI disertai dengan alasan pemindahan dengan
menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran 6,
paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender sebelum tanggal
pemindahan lokasi yang direncanakan.
3. Setelah menerima permohonan sebagaimana dimaksud pada
angka 2, PKL BI segera melakukan penilaian mengenai lokasi
baru …
14
baru sesuai dengan persyaratan sebagaimana dimaksud pada
butir B.4.
4. Apabila lokasi baru telah memenuhi syarat, PKL BI memberikan
persetujuan tertulis atas pemindahan lokasi tersebut paling
lambat 7 (tujuh) hari kalender setelah permohonan diterima
secara lengkap.
5. PKL Selain BI harus memberitahukan persetujuan pemindahan
lokasi sebagaimana dimaksud pada angka 4 kepada seluruh
Peserta paling
lambat 3 (tiga) hari kerja setelah tanggal
persetujuan PKL BI.
II.
LAIN-LAIN
A. Dalam hal terdapat kebutuhan penyelenggaraan Kliring di wilayah
tertentu namun Bank Indonesia yang mewilayahinya belum
mengimplementasikan SKNBI, maka permohonan penyelenggaraan
Kliring di wilayah tersebut tetap dapat diajukan sesuai dengan Surat
Edaran ini.
B. PKL Selain BI
dilarang mengenakan biaya yang terkait dengan
kegiatan SKNBI kepada Peserta, kecuali biaya pembuatan dan atau
penggantian Tanda Pengenal Petugas Kliring (TPPK) yang besarnya
diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai biaya dalam
penyelenggaraan SKNBI.
III. KETENTUAN PERALIHAN
A. Ketentuan mengenai :
1.
2.
3.
persyaratan penyelenggaraan SKNBI;
persyaratan kantor Bank yang diusulkan menjadi PKL Selain BI;
tata cara pemberian persetujuan penyelenggaraan SKNBI;
4. tata cara pemberian persetujuan kepada kantor Bank yang akan
menjadi PKL Selain BI;
5. jangka …
15
5.
6.
7.
8.
jangka waktu penetapan sebagai PKL Selain BI;
perpanjangan jangka waktu penetapan atau penggantian PKL
Selain BI;
pengunduran diri sebagai PKL Selain BI;
penghentian sebagai PKL Selain BI;
9. pembubaran penyelenggaraan SKNBI; dan
10. pemindahan lokasi penyelenggaraan SKNBI,
sebagaimana diatur dalam Surat Edaran ini berlaku juga untuk
wilayah tertentu dimana PKL BI
menerapkan SKNBI.
yang mewilayahinya belum
B. Ketentuan mengenai pemberian bantuan keuangan, pengenaan biaya
Kliring oleh PKL Selain BI kepada Peserta, dan sistem
penyelenggaraan Kliring lokal sebagaimana diatur dalam Surat
Edaran Bank Indonesia Nomor 1/4/DASP tanggal 29 November 1999
perihal Pemberian Persetujuan Terhadap Pihak Lain Untuk
Menyelenggarakan Kliring di Daerah yang Tidak Terdapat Kantor
Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Surat Edaran Bank
Indonesia Nomor 3/25/DASP tetap berlaku di Wilayah Kliring yang
belum menerapkan
menerapkan SKNBI.
SKNBI
sampai Wilayah Kliring
tersebut
C. PKL Selain BI di Wilayah Kliring yang belum menerapkan SKNBI
dan menggunakan sistem manual tidak dapat mengubah sistem
penyelenggaraan Kliring lokal di Wilayah Kliring tersebut menjadi
sistem semi otomasi, mengingat penerapan SKNBI akan dilakukan di
seluruh Wilayah Kliring secara bertahap.
IV. PENUTUP
Dengan berlakunya Surat Edaran Bank Indonesia ini, maka ketentuan
dalam Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 1/4/DASP tanggal 29
November 1999 perihal Pemberian Persetujuan Terhadap Pihak Lain Untuk
Menyelenggarakan …
16
Menyelenggarakan Kliring di Daerah yang Tidak Terdapat Kantor Bank
Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Surat Edaran Bank Indonesia
Nomor 3/25/DASP dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Ketentuan dalam Surat Edaran ini dilaksanakan sejak
tanggal
implementasi SKNBI di Wilayah Kliring yang bersangkutan sesuai dengan
pengumuman Bank Indonesia.
Ketentuan dalam Surat Edaran ini mulai berlaku pada tanggal 22 Juli
2005.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat
Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik
Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA,
MOHAMAD ISHAK
DIREKTUR AKUNTING DAN
SISTEM PEMBAYARAN
DASP
"," SE-BI
7/29/DASP|SE-BI/2005
Pemberian Persetujuan Terhadap Penyelenggaraan Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia oleh Penyelenggara Kliring Lokal Selain Bank Indonesia
22 Juli 2005
22 Juli 2005
'3/25/DASP|SE-BI', '1/4/DASP|SE-BI/1999'
'7/18/PBI/2005'
"
" No. 5/19/DPM
Jakarta, 19 September 2003
SURAT EDARAN
Perihal: Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 5/6/DPM
Tanggal 21 Maret 2003 Perihal Tata Cara Penatausahaan Surat
Utang Negara
Dalam rangka mendukung pelaksanaan pengagunan Surat Utang Negara
oleh Bank kepada Bank Indonesia dalam rangka permohonan Fasilitas
Pendanaan Jangka Pendek, perlu dilakukan perubahan mengenai waktu
penyampaian Permohonan Penerbitan Surat Keterangan Surat Berharga
Diagunkan. Berkaitan dengan hal tersebut, maka ketentuan dalam Surat Edaran
Bank Indonesia Nomor 5/6/DPM tanggal 21 Maret 2003 perihal Tata Cara
Penatausahaan Surat Utang Negara sebagaimana telah diubah dengan Surat
Edaran Nomor 5/8/DPM perihal Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia
Nomor 5/6/DPM Tanggal 21 Maret 2003 Perihal Tata Cara Penatausahaan Surat
Utang Negara tanggal 22 Mei 2003, diubah menjadi sebagai berikut:
Ketentuan butir II.D.1.d halaman 9 diubah, sehingga menjadi berbunyi sebagai
berikut:
“d. Central Registry menerima pengajuan formulir sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan perbaikannya dari pukul 08.00 WIB sampai dengan
pukul 17.00 WIB.”
Ketentuan dalam Surat Edaran ini berlaku sejak tanggal 19 September
2003.
Agar…
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat
Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA
Ttd.
BUDI MULYA
DIREKTUR PENGELOLAAN MONETER
"," SE-BI
5/19/DPM|SE-BI/2003
Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 5/6/DPM Tanggal 21 Maret 2003 Perihal Tata Cara Penatausahaan Surat Utang Negara
19 September 2003
19 September 2003
'5/6/DPM|SE-BI/2003'
'5/8/DPM|SE-BI/2003'
'5/8/DPM|SE-BI/2003', '5/6/DPM|SE-BI/2003'
"
" 8/34/DASP
Jakarta,22 Desember 2006
S U R A T E D A R A N
Perihal : Hubungan Rekening Giro Antara Bank Indonesia Dengan
Pihak Ekstern
--------------------------------------------------------------------------
Sehubungan dengan ditetapkannya Peraturan Bank Indonesia
No.2/24/PBI/2000 tanggal 17 November 2000 tentang Hubungan Rekening Giro
Antara Bank Dengan Pihak Ekstern (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2000 Nomor 205, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2000 Nomor 4025) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Bank
Indonesia No.7/48/PBI/2005 tanggal 16 November 2005 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 131, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 4570), selanjutnya disebut PBI
Hubungan Rekening Giro, perlu diatur kembali tata cara dan prosedur yang
berkaitan dengan hubungan rekening giro antara Bank Indonesia dengan pihak
ekstern sebagai berikut:
I. KETENTUAN UMUM
1. Rekening Giro adalah rekening pihak eksternal tertentu di Bank
Indonesia yang merupakan sarana bagi penatausahaan transaksi dari
simpanan yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat.
2. Rekening Giro Rupiah adalah Rekening Giro dalam mata uang rupiah
yang penarikannya dapat dilakukan dengan menggunakan Cek Bank
Indonesia, Bilyet Giro Bank Indonesia, atau sarana lainnya
sebagaimana ditetapkan dalam PBI Hubungan Rekening Giro.
3. Rekening Giro Valas adalah Rekening Giro dalam valuta asing yang
penarikannya dapat dilakukan dengan cara pemindahbukuan atau
sarana …
2
sarana lainnya sebagaimana ditetapkan dalam PBI Hubungan Rekening
Giro.
4. Rekening Giro Khusus adalah Rekening Giro yang persyaratan dan tata
cara pembukaan, penyetoran, penarikan dan penutupannya diatur secara
khusus, yang terdiri dari escrow account, special account (Rekening
Khusus atau Reksus) dan Rekening Giro Khusus Lainnya.
5. Escrow Account adalah rekening yang dibuka secara khusus untuk
tujuan tertentu guna menampung dana yang dipercayakan kepada Bank
Indonesia berdasarkan persyaratan tertentu sesuai dengan perjanjian
tertulis.
6. Special Account (Rekening Khusus atau Reksus) adalah Rekening Giro
yang digunakan khusus untuk menatausahakan pinjaman dan hibah luar
negeri Pemerintah yang penarikannya dilakukan secara langsung dari
rekening tersebut dan/atau melalui rekening Kantor Pelayanan
Perbendaharaan Negara (KPPN) di seluruh kantor Bank Indonesia.
7. Rekening Giro Khusus Lainnya adalah Rekening Giro di luar Escrow
Account dan Special Account, yang persyaratan dan tata cara
pembukaan, penyetoran, penarikan dan penutupannya diatur secara
khusus dalam surat atau perjanjian tertulis.
8. Pemegang Rekening Giro adalah pihak-pihak yang mempunyai
Rekening Giro di Bank Indonesia, yaitu:
a. Bank;
b.
c.
d.
instansi pemerintah;
lembaga keuangan internasional; dan
lembaga lain yang menurut Bank Indonesia dipandang perlu untuk
mempunyai Rekening Giro di Bank Indonesia.
9. Pejabat Yang Mewakili adalah pejabat yang berwenang mewakili
Pemegang Rekening Giro untuk melakukan penarikan dana,
penandatanganan surat dan/atau kegiatan yang terkait dengan
hubungan …
3
hubungan Rekening Giro dengan Bank Indonesia, yang dapat terdiri
dari Pimpinan, Pejabat Penerima Kuasa dengan Hak Substitusi, dan
Pejabat Penerima Kuasa Tanpa Hak Substitusi.
10. Pimpinan adalah direksi atau pejabat yang berwenang mewakili
Pemegang Rekening Giro sesuai dengan ketentuan yang berlaku bagi
masing-masing Pemegang Rekening Giro sebagai berikut:
a. Pimpinan untuk Bank adalah direksi
Dalam hal ini yang dimaksud dengan direksi adalah:
1) Bagi Bank berbentuk hukum Perseroan Terbatas, direksi
adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
angka 4 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang
Perseroan Terbatas;
2) Bagi Bank berbentuk hukum Perusahaan Daerah, direksi
adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan
Daerah;
3) Bagi Bank berbentuk hukum Koperasi, direksi adalah
pengurus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 Undang-
Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian;
4) Bagi Kantor Cabang Bank Asing, direksi adalah Pimpinan
Kantor Cabang, yaitu pemimpin Kantor Cabang dan
pejabat satu tingkat di bawah pemimpin Kantor Cabang
yang menerima surat kuasa atau power of attorney dari
Kantor Pusat dan/atau dari Pimpinan Kantor Cabang.
b. Pimpinan untuk instansi pemerintah:
1)
Instansi pemerintah pusat:
a) Departemen
Menteri …
4
Menteri atau pejabat di bawah Menteri yang
berwenang mewakili departemen, direktorat jenderal,
direktorat atau unit kerja lainnya misalnya KPPN.
b) Lembaga pemerintah non departemen
Pejabat yang berwenang mewakili lembaga
pemerintah non departemen.
c) Badan Usaha Milik Negara
Direksi atau yang dipersamakan dengan direksi.
2)
Instansi pemerintah daerah antara lain:
a) Pemerintah daerah propinsi Tingkat I adalah
Gubernur.
b) Pemerintah kota atau Pemerintah kabupaten adalah
Walikota atau Bupati.
c) Badan Usaha Milik Daerah adalah direksi atau yang
dipersamakan dengan itu.
c. Pimpinan untuk lembaga keuangan internasional adalah pejabat
yang diberi wewenang oleh kantor pusatnya.
d. Pimpinan untuk lembaga lain yang menurut Bank Indonesia
dipandang perlu untuk mempunyai Rekening Giro di Bank
Indonesia adalah direksi atau pejabat berwenang sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.
11. Pejabat Penerima Kuasa Dengan Hak Substitusi adalah pejabat yang
menerima kuasa khusus dengan satu kali hak substitusi dari Pimpinan
untuk melakukan kegiatan penarikan dana, penandatanganan surat
dan/atau kegiatan hubungan Rekening Giro lainnya dengan Bank
Indonesia.
12. Pejabat Penerima Kuasa Tanpa Hak Substitusi adalah pejabat yang
menerima kuasa khusus tanpa hak substitusi dari Pimpinan atau
Pejabat Penerima Kuasa dengan Hak Substitusi untuk melakukan
penarikan …
5
penarikan dana, penandatanganan surat dan/atau kegiatan yang terkait
dengan hubungan Rekening Giro dengan Bank Indonesia.
13. Petugas adalah pihak penerima kuasa dari Pejabat Yang Mewakili
untuk melakukan kegiatan hubungan Rekening Giro selain penarikan
dana dan penandatanganan surat yang ditujukan kepada Bank
Indonesia.
14. Penyetoran Rekening Giro Rupiah adalah setiap penambahan dana
pada Rekening Giro Rupiah yang dilakukan dengan cara penyetoran
tunai, pemindahbukuan atau transfer.
15. Penyetoran Rekening Giro Valas adalah setiap penambahan dana pada
Rekening Giro Valas yang dilakukan dengan cara pemindahbukuan
atau transfer.
16. Penarikan Rekening Giro Rupiah adalah setiap pengurangan dana pada
Rekening Giro Rupiah yang dilakukan oleh Pemegang Rekening Giro,
Bank Indonesia atau pihak yang diberi kuasa oleh Pemegang Rekening
Giro dengan cara penarikan tunai, pemindahbukuan atau transfer untuk
Rekening Giro Rupiah dan pemindahbukuan atau transfer untuk
Rekening Giro Valas.
17. Penarikan Rekening Giro Valas adalah setiap pengurangan dana pada
Rekening Giro Valas yang dilakukan oleh Pemegang Rekening Giro
atau pihak yang diberi kuasa oleh Pemegang Rekening Giro dengan
cara pemindahbukuan atau transfer.
18. Sarana Penarikan Rekening Giro Rupiah adalah Cek Bank Indonesia
(Cek BI), Bilyet Giro Bank Indonesia (Bilyet Giro BI atau BG BI),
sarana elektronik dan sarana lainnya.
19. Sarana Penarikan Rekening Giro Valas adalah SWIFT, Teleks dan
sarana lainnya.
20. Dokumen adalah Dokumen Bukan Keuangan dan Warkat Pembukuan.
21. Dokumen …
6
21. Dokumen Bukan Keuangan adalah dokumen tertulis yang dibuat oleh
pihak ekstern maupun intern Bank Indonesia untuk menyampaikan
berita, pendapat dan/atau pesan untuk dimaklumi dan/atau
dilaksanakan.
22. Warkat Pembukuan adalah dokumen tertulis yang bentuk dan
penggunaannya ditetapkan menurut aturan tertentu yang berfungsi
sebagai sarana penarikan atau sarana penyetoran Rekening Giro, dan
digunakan sebagai bukti transaksi keuangan.
II. PROSEDUR DAN TATA CARA HUBUNGAN REKENING GIRO
ANTARA BANK INDONESIA DENGAN PIHAK EKSTERN
Prosedur dan tata cara hubungan Rekening Giro antara Bank Indonesia
dengan pihak ekstern adalah sebagaimana tercantum dalam lampiran Surat
Edaran ini yang merupakan satu kesatuan dan bagian yang tidak
terpisahkan dari Surat Edaran ini sebagai berikut:
1. Pedoman Hubungan Rekening Giro Rupiah, sebagaimana dimaksud
pada Lampiran I; dan
2. Pedoman Hubungan Rekening Giro Valas, sebagaimana dimaksud
pada Lampiran II.
III. PRINSIP HUBUNGAN REKENING GIRO
1. Pemegang Rekening Giro dapat pula membuka Rekening Giro
Khusus, antara lain berupa Escrow Account.
2. Setiap Bank sebagaimana dimaksud pada Ketentuan Umum butir I.8.a
wajib memiliki 1 (satu) Rekening Giro Rupiah di Bank Indonesia.
3. Bank yang melakukan kegiatan dalam valuta asing wajib memiliki:
a. 1 (satu) Rekening Giro Rupiah sebagaimana dimaksud pada
angka 2; dan
b. 1 (satu) Rekening Giro Valas di Bank Indonesia.
4. Bank …
7
4. Bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional namun
juga melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, wajib
memiliki:
a. 1 (satu) Rekening Giro Rupiah sebagaimana dimaksud pada
angka 2; dan
b. 1 (satu) Rekening Giro Rupiah untuk melaksanakan kegiatan
usaha berdasarkan prinsip syariah.
5. Bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan
melakukan kegiatan dalam valuta asing serta melaksanakan kegiatan
usaha berdasarkan prinsip syariah, wajib memiliki:
a. 1 (satu) Rekening Giro Rupiah sebagaimana dimaksud pada
angka 2;
b. 1 (satu) Rekening Giro Valas sebagaimana dimaksud pada
butir 3.b;
c. 1 (satu) Rekening Giro Rupiah sebagaimana dimaksud pada
butir 4.b; dan
d. 1 (satu) Rekening Giro Valas untuk melaksanakan kegiatan usaha
berdasarkan prinsip syariah.
6. Pembukaan Rekening Giro Rupiah dan Rekening Giro Valas
sebagaimana dimaksud pada angka 2 sampai dengan angka 5
dilakukan oleh kantor pusat Bank yang bersangkutan.
7. Bagi Bank yang kantor pusatnya berkedudukan di luar negeri, kantor
Bank yang mengajukan permohonan pembukaan Rekening Giro
sebagaimana dimaksud pada angka 6 adalah kantor cabang Bank
tersebut di Indonesia.
8.
Instansi pemerintah sebagaimana dimaksud pada Ketentuan Umum
butir I.8.b meliputi pemerintah pusat dan pemerintah daerah,
sepanjang Rekening Giro yang bersangkutan digunakan untuk
menampung …
8
menampung dan/atau mengelola dana yang terkait dengan pelaksanaan
Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran
Penerimaan dan Belanja Daerah (APBD). Khusus untuk instansi
pemerintah pusat terdiri dari departemen dan lembaga pemerintah non
departemen serta Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Dalam
pengertian instansi pemerintah ini tidak termasuk bendaharawan rutin
dan bendaharawan proyek.
9. Lembaga keuangan internasional sebagaimana dimaksud pada
Ketentuan Umum butir I.8.c. adalah lembaga-lembaga yang tujuan
pembentukannya untuk meningkatkan kerja sama internasional di
bidang ekonomi dan atau keuangan dimana Pemerintah Republik
Indonesia atau Bank Indonesia menjadi anggota didalamnya, atau
lembaga keuangan tersebut memberi bantuan keuangan kepada
Pemerintah Republik Indonesia atau Bank Indonesia dan lembaga
tersebut mensyaratkan pembukaan rekening pada Bank Indonesia.
Pada saat ini lembaga keuangan internasional tersebut antara lain
International Monetary Funds (IMF), Asian Development Bank
(ADB), International Bank for Restructuring Development (IBRD)
dan International Development Agency (IDA).
10. Lembaga lain yang menurut Bank Indonesia dipandang perlu untuk
mempunyai Rekening Giro di Bank Indonesia sebagaimana dimaksud
pada Ketentuan Umum butir I.8.d. yaitu sepanjang memenuhi kriteria
sebagai berikut:
a.
diperlukan dalam rangka transisi tugas Bank Indonesia di bidang
perbankan, dan di bidang perkreditan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 74 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2004;
b. terkait …
9
b.
terkait dengan tugas Bank Indonesia dalam bidang moneter,
perbankan dan sistem pembayaran, seperti penyelenggara kliring
di luar bank umum, penyelenggara switching, dan instansi
pemerintah di luar angka 8.
11. Rekening Giro pada Bank Indonesia tidak dapat dibuka dalam bentuk
rekening gabungan (joint account). Yang dimaksud rekening
gabungan adalah rekening yang dimiliki oleh lebih dari 1 (satu) pihak,
misalnya 1 (satu) rekening dimiliki oleh 2 (dua) instansi pemerintah.
12. Dalam hal tertentu Bank Indonesia dapat memberikan jasa giro atas
Rekening Giro yang ditatausahakan di Bank Indonesia.
IV. LAIN-LAIN
1. Bagi pihak-pihak yang telah memiliki Rekening Giro sebelum
diberlakukannya Surat Edaran ini dan memenuhi persyaratan sebagai
pihak yang dapat menjadi Pemegang Rekening Giro berdasarkan Surat
Edaran ini, dianggap telah menjadi Pemegang Rekening Giro yang
sah.
2. Sarana Penarikan Rekening Giro Rupiah dan/atau Rekening Giro
Valas berupa surat masih dapat digunakan oleh Pemegang Rekening
Giro sebagai sarana penarikan paling lama 2 (dua) tahun sejak
berlakunya Peraturan Bank Indonesia No.7/48/PBI/2005 tanggal 16
November 2005 tentang Perubahan Ketiga Atas PBI
No.2/24/PBI/2000 tentang Hubungan Rekening Giro Antara Bank
Indonesia Dengan Pihak Ekstern.
3. Sarana Penarikan Rekening Giro Rupiah dan/atau Rekening Giro
Valas yang diterbitkan oleh pihak ekstern dan telah disetujui oleh
Bank Indonesia serta telah digunakan oleh Pemegang Rekening Giro
sebelum diberlakukannya Surat Edaran ini antara lain berupa Surat
Perintah Pencairan Dana (SP2D), Surat Perintah Pembebanan SP2D
(SPB-SP2D) …
10
(SPB-SP2D), dan Surat Perintah Pembukuan/Pengesahan (SP3) tetap
dapat digunakan oleh Pemegang Rekening Giro sebagai sarana
penarikan.
V. PENUTUP
Dengan berlakunya Surat Edaran ini, Surat Edaran Bank Indonesia
No.4/11/DASP tanggal 13 Agustus 2002 perihal Hubungan Rekening Giro
Antara Bank Indonesia Dengan Pihak Ekstern dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku lagi.
Ketentuan dalam Surat Edaran ini mulai berlaku sejak tanggal
1 Februari 2007.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman
Surat Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik
Indonesia.
BANK INDONESIA,
EDI SISWANTO
DIREKTUR AKUNTING DAN
SISTEM PEMBAYARAN
"," SE-BI
8/34/DASP|SE-BI/2006
Hubungan Rekening Giro Antara Bank Indonesia Dengan Pihak Ekstern
22 Desember 2006
1 Februari 2007
'4/11/DASP|SE-BI/2002'
'7/48/PBI/2005', '2/24/PBI/2000'
"
" No. 12/ 30 /DASP
Jakarta, 10 November 2010
SURAT EDARAN
Perihal
: Perubahan atas Surat Edaran Nomor 11/32/DPM tanggal 7
Desember 2009 perihal Tata Cara Lelang Surat Utang Negara di
Pasar Perdana dan Penatausahaan Surat Utang Negara
Sehubungan dengan dilakukannya penyempurnaan organisasi Bank Indonesia,
khususnya yang terkait dengan penyelenggaraan Bank Indonesia - Scripless
Securities Settlement System, perlu untuk melakukan perubahan terhadap Surat
Edaran Bank Indonesia Nomor 11/32/DPM tanggal 7 Desember 2009 sebagai
berikut:
I. Alamat penyampaian bukti pembayaran biaya peminjaman Surat Utang
Negara sebagaimana diatur dalam butir III.B.3.c.1)b) diubah menjadi
ditujukan kepada:
Bank Indonesia
Direktorat Akunting dan Sistem Pembayaran
Bagian Penyelenggaraan Setelmen
Gedung D Lantai 3
Jl. M.H.Thamrin No. 2
Jakarta-10350
Telepon: 021-381 7575 / 021-381 7923
Faksimili: 021-2311902
II. Semua penyebutan Departemen Keuangan sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan mengenai tata cara lelang Surat Utang Negara di pasar perdana dan
penatausahaan Surat Utang Negara yang sudah ada sebelum Surat Edaran
Bank Indonesia ini dibaca sebagai Kementerian Keuangan.
Ketentuan ...
2
Ketentuan dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada
tanggal 10 November 2010.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran
Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik
Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA,
RONALD WAAS
DIREKTUR AKUNTING DAN
SISTEM PEMBAYARAN
"," SE-BI
12/30/DASP|SE-BI/2010
Perubahan atas Surat Edaran Nomor 11/32/DPM tanggal 7 Desember 2009 perihal Tata Cara Lelang Surat Utang Negara di Pasar Perdana dan Penatausahaan Surat Utang Negara
10 November 2010
10 November 2010
'11/32/DPM|SE-BI/2009'
'11/32/DPM|SE-BI/2009'
"
" No. 10/7/DASP
Jakarta, 21 Februari 2008
S U R A T E D A R A N
Perihal : Pengawasan Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran
Dengan Menggunakan Kartu (APMK)
Sehubungan dengan diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia Nomor
7/52/PBI/2005 tanggal 28 Desember 2005 tentang Penyelenggaraan Kegiatan
Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2005 Nomor 148, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4583) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank
Indonesia Nomor 10/8/PBI/2008 tanggal 20 Februari 2008 tentang Perubahan
Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/52/PBI/2005 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 34, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4822), Peraturan Bank Indonesia Nomor
10/3/PBI/2008 tanggal 4 Februari 2008 tentang Laporan Kantor Pusat Bank
Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 12,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4810) dan Peraturan
Bank Indonesia Nomor 10/4/PBI/2008 tanggal 4 Februari 2008 tentang Laporan
Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu Oleh
Bank Perkreditan Rakyat dan Lembaga Selain Bank (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4811), dipandang perlu untuk mengatur kembali
ketentuan mengenai pengawasan penyelenggaraan kegiatan alat pembayaran
dengan menggunakan kartu dalam Surat Edaran Bank Indonesia sebagai berikut
:
I. PENGAWASAN …
2
I. PENGAWASAN PENYELENGGARAAN KEGIATAN ALAT
PEMBAYARAN DENGAN MENGGUNAKAN KARTU (APMK)
A. Obyek Pengawasan
Bank Indonesia c.q. Direktorat Akunting dan Sistem Pembayaran, Bagian
Pengawasan Sistem Pembayaran melakukan pengawasan terhadap:
1. Penyelenggaraan APMK (Prinsipal, Penerbit dan Acquirer);
2. Perusahaan Personalisasi;
3. Penyelenggara kegiatan kliring APMK;
4. Penyelenggara kegiatan penyelesaian akhir APMK; dan
5. Perusahaan Switching dalam hal Perusahaan Switching tersebut
bekerja sama dengan Penerbit dan/atau Financial Acquirer
B. Fokus Pengawasan
Pengawasan terhadap penyelenggaraan APMK difokuskan pada
kepatuhan terhadap ketentuan yang berlaku dalam penyelenggaraan
APMK antara lain meliputi:
1. penerapan aspek manajemen risiko dalam penyelenggaraan kegiatan
APMK;
2. kebenaran dan ketepatan penyampaian informasi dan laporan; dan
3. penerapan aspek perlindungan nasabah.
C. Tujuan Pengawasan
Pengawasan bertujuan untuk memastikan penyelenggaraan kegiatan
APMK dilakukan secara efisien, cepat, aman dan handal dengan
memperhatikan prinsip perlindungan nasabah.
D. Metode Pengawasan
Pengawasan terhadap penyelenggaraan kegiatan APMK dilakukan
terutama melalui pengawasan tidak langsung dan apabila diperlukan
dapat dilakukan pengawasan langsung.
1. Pengawasan …
3
1. Pengawasan Tidak Langsung
Pengawasan tidak langsung dilakukan melalui penelitian, analisis dan
evaluasi atas laporan berkala dan insidentil yang disampaikan oleh,
serta diskusi dengan pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada butir
I.A. Di samping itu, pengawasan tidak langsung dapat juga dilakukan
atas dasar data dan/atau informasi lainnya yang diperoleh Bank
Indonesia dari pihak lain.
2. Pengawasan Langsung
Pengawasan langsung dilakukan sewaktu-waktu apabila diperlukan
dengan cara melakukan pemeriksaan (on the spot) terhadap pihak-
pihak sebagaimana dimaksud pada butir I.A.
Dalam rangka pengawasan langsung, pihak-pihak sebagaimana
dimaksud pada butir I.A wajib memberikan:
a. keterangan, data transaksi dan data nasabah dalam bentuk hard
copy dan/atau soft copy;
b. kesempatan untuk melakukan pengawasan secara langsung
terhadap sarana fisik, sistem, aplikasi pendukung dan
database;dan/atau
c. hal-hal lain yang diperlukan
Bank Indonesia dapat menugaskan pihak lain untuk dan atas nama
Bank Indonesia melaksanakan pengawasan secara langsung.
II. LAPORAN PENYELENGGARAAN KEGIATAN APMK
Dalam rangka pengawasan tidak langsung, Penerbit, Acquirer,
Penyelenggara Kliring APMK, Penyelenggara Penyelesaian Akhir dan
Perusahaan Switching wajib menyampaikan laporan secara On-Line atas
penyelenggaraan kegiatan APMK kepada Bank Indonesia secara berkala dan
menyampaikan laporan insidentil secara tertulis. Sedangkan Prinsipal dan
Perusahaan Personalisasi wajib menyampaikan laporan tertulis kepada Bank
Indonesia.
A. Laporan …
4
A. Laporan Berkala
1. Laporan berkala merupakan laporan yang wajib disampaikan secara
benar, akurat dan tepat waktu oleh pihak-pihak sebagaimana
dimaksud pada butir I.A sesuai dengan periode masing-masing
laporan. Laporan berkala terdiri atas laporan bulanan, laporan
triwulanan, dan laporan tahunan. Laporan bulanan dan triwulanan
disampaikan secara On-Line. Sedangkan laporan tahunan disampaikan
secara tertulis dengan hard copy.
2. Jenis Laporan Berkala
Laporan berkala yang wajib disampaikan oleh pihak-pihak
sebagaimana dimaksud pada butir I.A meliputi :
a. Prinsipal Umum
Laporan Tahunan yang sekurang-kurangnya mencakup informasi:
1) rencana pengembangan produk;
2) target dan realisasinya;dan
3) anggota yang tergabung dalam jaringan Prinsipal Umum dan
biaya-biaya yang dikenakan kepada anggota.
b. Penerbit
1) Laporan Bulanan Penyelenggaraan Kegiatan APMK terdiri
dari:
a) Laporan Bulanan Penerbit Kartu Kredit;
b) Laporan Bulanan Penerbit Kartu ATM dan/atau Kartu
Debet;dan
c) Laporan Bulanan Penerbit Instrumen Prabayar.
2) Laporan Bulanan Fraud
3) Khusus untuk Penerbit Kartu Kredit Selain Bank di samping
menyampaikan laporan bulanan tersebut di atas, Penerbit wajib
menyampaikan:
a) Laporan …
5
a) Laporan Bulanan Kolektibilitas Kartu Kredit dengan
klasifikasi:
(1) Lancar, apabila pembayaran tepat waktu,
perkembangan rekening baik dan tidak ada tunggakan
serta sesuai dengan persyaratan kredit;
(2) Dalam Perhatian Khusus, apabila terdapat tunggakan
pembayaran pokok dan/atau bunga sampai dengan 90
(sembilan puluh) hari;
(3) Kurang Lancar, apabila terdapat tunggakan
pembayaran pokok dan/atau bunga yang telah
melampaui 90 (sembilan puluh) hari sampai dengan
120 (seratus dua puluh) hari;
(4) Diragukan, apabila terdapat tunggakan pembayaran
pokok dan/atau bunga yang telah melampaui 120
(seratus dua puluh) hari sampai dengan 180 (seratus
delapan puluh) hari;
(5) Macet, apabila terdapat tunggakan pokok dan/atau
bunga yang telah melampaui 180 (seratus delapan
puluh) hari.
b) Laporan Triwulanan Penanganan dan Penyelesaian
Pengaduan Nasabah
4) Untuk Penerbit Bank, penyampaian Laporan Bulanan
Kolektibilitas Kartu Kredit dilakukan sebagaimana diatur
dalam Surat Edaran Bank Indonesia mengenai penilaian
kualitas aktiva Bank Umum.
c. Acquirer
Laporan Bulanan Acquirer.
d. Perusahaan …
6
d. Perusahaan Personalisasi
Laporan Tahunan Perusahaan Personalisasi dengan format
sebagaimana dimaksud pada Lampiran 1.
e. Penyelenggara Kegiatan Kliring APMK dan/atau Kegiatan
Penyelesaian Akhir APMK
Laporan Triwulanan Penyelenggara Kegiatan Kliring APMK.
f. Perusahaan Switching
Laporan Triwulanan Perusahaan Switching.
3. Laporan tahunan Prinsipal Umum dan Perusahaan Personalisasi wajib
disampaikan kepada Bank Indonesia paling lambat akhir bulan
Februari tahun berikutnya. Apabila akhir bulan Februari jatuh pada
hari libur maka laporan harus sudah diterima pada hari kerja
berikutnya.
4. Tata cara pelaporan dan sanksi kewajiban membayar sebagaimana
dimaksud pada Angka 2 huruf b, huruf c, huruf e dan huruf f
berpedoman pada ketentuan tentang Laporan Kantor Pusat Bank
Umum dan ketentuan tentang Laporan Penyelenggaraan Kegiatan Alat
Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu oleh Bank Perkreditan
Rakyat Dan Lembaga Selain Bank
B. Laporan Insidentil
1. Laporan insidentil merupakan laporan tertulis yang wajib disampaikan
secara benar oleh pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada butir I.A
kepada Bank Indonesia baik atas permintaan Bank Indonesia maupun
atas inisiatif pihak-pihak tersebut di atas.
2. Jenis …
7
2. Jenis Laporan Insidentil
a. Laporan terkait dengan implementasi teknologi pengamanan
penyelenggaraan APMK antara lain laporan implementasi
penggunaan teknologi chip pada APMK.
b. Laporan terkait Kartu Kredit
Laporan terkait Kartu Kredit wajib disampaikan oleh pihak-pihak
sebagaimana dimaksud pada butir I.A. dengan pengaturan sebagai
berikut:
1) Penerbit Kartu Kredit
Penerbit Kartu Kredit menyampaikan hal-hal sebagai berikut:
a) Ketentuan pemberian Kartu Kredit meliputi:
(1) usia minimum Pemegang Kartu;
(2) pendapatan minimum Pemegang Kartu;
(3) batas maksimum kredit Pemegang Kartu;
(4) persentase minimum pembayaran oleh Pemegang
Kartu; dan
(5) kebijakan penetapan pemberian kartu kredit yang
dikategorikan sebagai “tanpa batas” (infinite)
sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Bank
Indonesia perihal prinsip perlindungan nasabah dan
kehati-hatian.
b) Standard Operating Procedure (SOP) meliputi:
(1) prosedur pemberian persetujuan kepada calon
pemegang kartu;
(2) prosedur otorisasi;
(3) prosedur pembukuan transaksi;
(4) prosedur penghitungan biaya bunga dan denda;
(5) prosedur pemberian penambahan limit kredit;
(6) prosedur persetujuan pelampauan batas limit kredit;
(7) prosedur …
8
(7) prosedur penagihan piutang, penanganan kredit macet
dan penghapusan piutang;
(8) prosedur pencantuman nasabah ke dalam Negative
List;
(9) prosedur pengamanan kartu (mulai dari pengawasan
pemesanan bahan kartu, pencetakan, proses
pengiriman dan personalisasi kartu);
(10) prosedur pemilihan dan penetapan merchant (termasuk
standar perjanjian);
(11) prosedur penunjukan agen pemasaran dan agen
penagihan atau debt collector (termasuk standar
perjanjian);
(12) prosedur pelaporan kepada manajemen dan
pengawasan internal;
(13) prosedur sistem deteksi dan penanganan fraud;
(14) prosedur perencanaan darurat (Disaster Recovery
Plan/DRP) dan kesinambungan usaha (Business
Continuity Plan/BCP); dan
(15) prosedur layanan konsumen antara lain meliputi:
(a) layanan informasi dan fasilitas; dan
(b) penanganan keluhan konsumen.
c) Informasi tertulis yang disampaikan Penerbit kepada
Pemegang Kartu sekurang-kurangnya meliputi:
(1) hak dan kewajiban Pemegang Kartu;
(2) persentase minimum pembayaran oleh Pemegang
Kartu;
(3) produk yang diterbitkan, antara lain informasi
mengenai prosedur dan tata cara penggunaan kartu,
fasilitas yang melekat pada kartu, tata cara
pembayaran …
9
pembayaran kartu dan risiko yang mungkin timbul dari
penggunaan produk tersebut;
(4) tata cara penghitungan bunga;
(5) tata cara penghitungan denda;
(6) tata cara pengajuan pengaduan atas kartu yang
diberikan dan perkiraan lamanya waktu penanganan
pengaduan tersebut;
(7) jenis dan besarnya biaya administrasi yang dikenakan;
dan
(8) formulir lembar penangihan (billing statement).
2) Financial Acquirer Kartu Kredit, wajib menyampaikan SOP
sekurang-kurangnya meliputi:
a) Prosedur mekanisme dan pembukuan transaksi serta
otorisasi;
b) Prosedur penyelesaian pembayaran;
c) Prosedur pemilihan dan penetapan merchant termasuk
standar perjanjian;
d) Prosedur pengendalian risiko keuangan dalam hal terjadi
kerugian akibat penggunaan kartu palsu;
e) Prosedur penyediaan sarana pengganti (back-up system)
dalam hal terjadi gangguan pada perangkat keras dan
jaringan komunikasi;
f) Prosedur penyediaan sarana back-up data transaksi;
g) Prosedur penatausahaan arsip; dan
h) Prosedur pelaporan kepada manajemen dan pengawasan
internal.
3) Technical Acquirer Kartu Kredit, wajib menyampaikan SOP
sekurang-kurangnya meliputi:
a) Prosedur …
10
a) Prosedur penyediaan sarana pengganti (back-up system)
dalam hal terjadi gangguan pada perangkat keras dan
jaringan komunikasi; dan
b) Prosedur penyediaan sarana back-up data transaksi.
4) Perusahaan Personalisasi Kartu Kredit, wajib menyampaikan
SOP sekurang-kurangnya meliputi:
a) Standar perjanjian kerjasama dengan Penerbit atau Prinsipal
b) SOP sekurang-kurangnya meliputi:
(1) Prosedur pengamanan kartu
(2) Prosedur operasional kegiatan personalisasi; dan
(3) Prosedur pengamanan kerahasiaan data.
5) Penyelenggara Kegiatan Kliring Kartu Kredit, wajib
menyampaikan SOP sekurang-kurangnya meliputi:
a) Persyaratan kepesertaaan;
b) Prosedur operasional kegiatan kliring;
c) Prosedur mekanisme dan pembukuan kliring;
d) Prosedur penyelesaian transaksi;
e) Prosedur DRP dan BCP; dan
f) Prosedur pelaporan kepada manajemen dan pengawasan
internal.
6) Perusahaan Switching Kartu Kredit, wajib menyampaikan SOP
sekurang-kurangnya meliputi:
a) Persyaratan kepesertaaan, penetapan penerbit dan standar
perjanjian dengan Penerbit;
b) SOP sekurang-kurangnya meliputi:
(1) Prosedur mekanisme dan pembukuan transaksi serta
otorisasi;
(2) Prosedur penyelesaian pembayaran;
(3) Prosedur DRP dan BCP; dan
(4) Prosedur …
11
(4) Prosedur pelaporan kepada manajemen dan
pengawasan internal
c. Laporan terkait Kartu ATM, kartu Debet dan Kartu Prabayar
1) Penerbit kartu ATM, kartu Debet dan Kartu Prabayar wajib
menyampaikan:
a) SOP sekurang-kurangnya meliputi:
(1) Ketentuan mengenai persyaratan calon pemegang
kartu;
(2) Prosedur pemberian kartu kepada calon pemegang
kartu, termasuk di dalamnya:
(3) Prosedur pengamanan kartu (mulai dari pengawasan
pemesanan bahan kartu, pencetakan, proses
pengiriman dan personalisasi kartu);
(4) Prosedur sistem deteksi dan penanganan fraud;
(5) Prosedur pelaporan kepada manajemen dan
pengawasan internal;
(6) Prosedur penunjukan merchant (termasuk lampiran
perjanjian); dan
(7) Prosedur layanan Prosedur layanan konsumen antara
lain meliputi:
(a) Layanan informasi dan fasilitas; dan
(b) Penanganan keluhan konsumen.
b) Perjanjian kerjasama dengan Perusahaan Switching
c) Perjanjian dengan Pemegang kartu
d) Informasi tertulis yang disampaikan penerbit kepada
pemegang kartu sekurang-kurangnya meliputi:
(1) Produk yang diterbitkan, antara lain informasi
mengenai prosedur dan tata cara penggunaan kartu,
fasilitas yang melekat pada kartu, tata cara
pembayaran …
12
pembayaran kartu dan risiko yang mungkin timbul dari
penggunaan produk tersebut;
(2) Tata cara pengajuan pengaduan atas produk yang
diberikan dan perkiraan lamanya waktu penanganan
pengaduan tersebut;
2) Financial Acquirer kartu ATM, kartu Debet dan Kartu
Prabayar wajib menyampaikan:
a) Prosedur mekanisme transaksi dan otorisasi;
b) Prosedur pembukuan transaksi;
c) Prosedur penyelesaian pembayaran;
d) Prosedur pemilihan dan penetapan merchant termasuk
lampiran perjanjian;
e) Prosedur penunjukan perusahaan Switching;
f) Prosedur pengaturan risiko keuangan dalam hal terjadi
kerugian akibat penggunaan kartu palsu;
g) Prosedur penyediaan sarana pengganti (back-up system)
dalam hal terjadi gangguan pada perangkat keras dan
jaringan komunikasi;
h) Prosedur penyediaan sarana back-up data transaksi; dan
i) Prosedur pelaporan kepada manajemen dan pengawasan
internal.
3) Technical acquirer kartu ATM, kartu Debet dan Kartu
Prabayar wajib menyampaikan:
a) Prosedur penyediaan sarana pengganti (back-up system)
dalam hal terjadi gangguan pada perangkat keras dan
jaringan komunikasi; dan
b) Prosedur penyediaan sarana back-up data transaksi.
4) Perusahaan Personalisasi kartu ATM, kartu Debet dan Kartu
Prabayar wajib menyampaikan:
a) Standar …
13
a) Standar perjanjian kerjasama dengan penerbit atau
prinsipal;
b) SOP sekurang-kurangnya meliputi:
(1) Prosedur pengamanan kartu;
(2) Prosedur operasional kegiatan personalisasi; dan
(3) Prosedur pengamanan kerahasiaan data.
5) Perusahaan Switching kartu ATM, kartu Debet dan Kartu
Prabayar wajib menyampaikan:
a) Persyaratan kepesertaaan, penetapan penerbit dan standar
perjanjian dengan Penerbit;
b) SOP sekurang-kurangnya meliputi:
(1) Prosedur mekanisme dan pembukuan transaksi serta
otorisasi;
(2) Prosedur penyelesaian pembayaran;
(3) Prosedur DRP dan BCP; dan
(4) Prosedur pelaporan kepada manajemen dan
pengawasan internal.
Laporan sebagaimana dimaksud pada butir 2.a wajib disampaikan setelah
implementasi teknologi pengamanan penyelenggaraan APMK
dilaksanakan, sedangkan laporan sebagaimana dimaksud pada butir 2.b
dan 2.c wajib disampaikan untuk pertama kali setelah mendapatkan
persetujuan sebagai penyelenggara dari Bank Indonesia, dan wajib
disampaikan kembali apabila terdapat perubahan atas laporan tersebut.
Bagi Penerbit, Acquirer, Perusahaan Personalisasi, Penyelenggara Kliring
dan Perusahaan Switching APMK yang telah menyampaikan laporan
sebagaimana dimaksud pada butir 2.b dan 2.c berdasarkan Surat Edaran
No. 7/61/DASP, maka yang bersangkutan tidak lagi diwajibkan untuk
menyampaikan laporan tersebut, kecuali jika terdapat perubahan.
C. Penyampaian …
14
C. Penyampaian Laporan Berkala Tahunan dan Insidentil wajib disampaikan
kepada:
Direktorat Akunting dan Sistem Pembayaran
Bank Indonesia, Gedung D Lantai 9
Jl. MH Thamrin No.2
Jakarta 10350
D. Untuk kepentingan pengawasan terkait dengan kegiatan penyelenggaraan
APMK, Bank Indonesia berwenang meminta data, informasi, dan atau
laporan di luar laporan-laporan sebagaimana dimaksud pada huruf A dan
B.
III. TATA CARA PENGENAAN SANKSI KEWAJIBAN MEMBAYAR
Dalam hal Bank Indonesia mengenakan sanksi kewajiban membayar
terhadap Bank terkait penyelenggaraan kegiatan APMK, sanksi kewajiban
membayar tersebut dilakukan Bank Indonesia dengan cara mendebet
rekening giro Bank di Bank Indonesia.
Sanksi kewajiban membayar yang dikenakan terhadap Lembaga Selain Bank
terkait dengan penyelenggaraan kegiatan APMK dilakukan Direktorat
Akunting dan Sistem Pembayaran dengan cara menyampaikan surat
pengenaan sanksi kewajiban membayar kepada Lembaga Selain Bank
tersebut yang antara lain berisi informasi jumlah sanksi kewajiban membayar
dimaksud dan tata cara pembayarannya kepada Bank Indonesia.
IV. PENUTUP
Dengan berlakunya Surat Edaran Bank Indonesia ini maka Surat Edaran
Bank Indonesia Nomor 7/61/DASP tanggal 30 Desember 2005 perihal
Pengawasan Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran Dengan
Menggunakan Kartu dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Ketentuan …
15
Ketentuan dalam Surat Edaran ini mulai berlaku pada tanggal 21 Februari
2008.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat
Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita Negara
Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA,
DYAH N.K MAKHIJANI
DIREKTUR AKUNTING DAN
SISTEM PEMBAYARAN
"," SE-BI
10/7/DASP|SE-BI/2008
Pengawasan Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu (APMK)
21 Februari 2008
21 Februari 2008
'7/61/DASP|SE-BI/2005'
'10/8/PBI/2008', '10/4/PBI/2008', '7/52/PBI/2005', '10/3/PBI/2008'
'Romawi III'
"
" 1
No. 16/10/DSta
Jakarta, 26 Mei 2014
SURAT EDARAN
Kepada:
SEMUA DEBITUR DEVISA UTANG LUAR NEGERI
DI INDONESIA
Perihal : PENARIKAN DEVISA UTANG LUAR NEGERI
Sehubungan dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia Nomor
16/10/PBI/2014 tentang Penerimaan Devisa Hasil Ekspor dan Penarikan
Devisa Utang Luar Negeri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2014 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5534) maka perlu diatur ketentuan pelaksanaan mengenai kewajiban
pelaporan penarikan Devisa Utang Luar Negeri dalam Surat Edaran Bank
Indonesia sebagai berikut:
A. UMUM
Dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini, yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, termasuk
kantor cabang bank asing di Indonesia, dan Bank Umum Syariah
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2008 tentang Perbankan Syariah.
2. Bank Devisa adalah Bank yang memperoleh persetujuan dari
otoritas yang berwenang untuk dapat melakukan kegiatan usaha
perbankan dalam valuta asing, termasuk kantor cabang bank asing
di Indonesia, namun tidak termasuk kantor cabang luar negeri dari
Bank yang berkantor pusat di Indonesia.
3. Penduduk adalah penduduk sebagaimana dimaksud dalam undang-
undang yang mengatur mengenai lalu lintas devisa dan sistem nilai
tukar.
4. Utang …
2
4. Utang Luar Negeri yang selanjutnya disingkat ULN adalah utang
Penduduk kepada bukan Penduduk, dalam valuta asing.
5. Debitur Utang Luar Negeri yang selanjutnya disebut Debitur ULN
adalah perorangan, badan hukum bukan bank, dan badan lainnya
yang memiliki ULN.
6. Devisa Utang Luar Negeri yang selanjutnya disingkat DULN adalah
devisa yang diperoleh Debitur ULN dari penarikan ULN.
7. Pelapor DULN adalah Debitur ULN.
8. Hari adalah hari kerja Bank Indonesia.
9. Dokumen Pendukung adalah dokumen yang dapat dipakai sebagai
bukti keterangan.
B. KEWAJIBAN PENARIKAN DULN
1. Setiap DULN wajib ditarik oleh Debitur ULN melalui Bank Devisa.
2. Kewajiban penarikan DULN oleh Debitur ULN sebagaimana diatur
pada angka 1 berlaku bagi DULN yang berbentuk dana tunai yang
berasal dari:
a. ULN berdasarkan Perjanjian Kredit (Loan Agreement) dalam
bentuk non revolving yang tidak digunakan untuk refinancing;
b. selisih fasilitas refinancing dengan jumlah ULN lama; dan
c. ULN berdasarkan surat utang (debt securities) dalam bentuk
Bonds, Medium Term Notes (MTN), Floating Rate Notes (FRN),
Promissory Notes (PN), dan Commercial Paper (CP).
3. Penarikan DULN sebagaimana dimaksud pada angka 1 harus
dilaporkan oleh Pelapor DULN kepada Bank Indonesia secara
lengkap, benar, dan tepat waktu.
4. Laporan penarikan DULN sebagaimana dimaksud pada angka 3
wajib disertai Dokumen Pendukung yang dapat membuktikan
bahwa penarikan DULN telah dilakukan melalui Bank Devisa.
5. Nilai akumulasi penarikan DULN harus sama dengan nilai
komitmen.
6. Dalam hal terdapat selisih kurang antara nilai akumulasi penarikan
DULN dengan nilai komitmen maka Pelapor DULN wajib
menyampaikan …
3
menyampaikan penjelasan tertulis dan Dokumen Pendukung yang
memadai.
7. Dokumen Pendukung sebagaimana dimaksud pada angka 6 dinilai
memadai apabila menurut Bank Indonesia dokumen yang
bersangkutan dapat membuktikan terjadinya selisih kurang antara
nilai akumulasi penarikan DULN dengan nilai komitmen ULN.
C. PENYAMPAIAN LAPORAN, DOKUMEN PENDUKUNG, DAN
PENJELASAN TERTULIS
1. Laporan penarikan DULN menggunakan laporan data rekapitulasi
ULN sebagaimana diatur dalam:
a. Peraturan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pelaporan
kegiatan lalu lintas devisa; dan
b. Surat Edaran Bank Indonesia yang mengatur mengenai
pelaporan kegiatan lalu lintas devisa berupa realisasi dan posisi
ULN.
2. Jangka waktu penyampaian Dokumen Pendukung adalah:
a. Laporan penarikan DULN sebagaimana dimaksud pada angka 1
wajib disertai Dokumen Pendukung yang dapat membuktikan
bahwa penarikan DULN telah dilakukan melalui Bank Devisa.
Batas waktu penyampaian Dokumen Pendukung ke Bank
Indonesia paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya. Contoh
Dokumen Pendukung penarikan DULN antara lain berupa
fotokopi bukti transfer masuk dan/atau SWIFT message.
b. Apabila tanggal batas waktu sebagaimana dimaksud pada huruf
a jatuh pada hari Sabtu atau hari libur, maka Dokumen
Pendukung penarikan DULN dapat disampaikan pada Hari
berikutnya.
Contoh 1:
Perusahaan AT melakukan penarikan DULN yang berasal dari
Perjanjian Kredit (Loan Agreement) pada tanggal 23 April 2014
dan telah dilakukan penarikan pada tanggal tersebut. Batas
waktu penyampaian Dokumen Pendukung penarikan DULN
tersebut seharusnya pada tanggal 15 Mei 2014, namun karena
tanggal 15 Mei 2014 jatuh pada hari libur nasional, maka batas
waktu …
4
waktu penyampaian Dokumen Pendukung penarikan DULN
menjadi tanggal 16 Mei 2014.
Contoh 2:
Perusahaan RH melakukan penarikan DULN yang berasal dari
Perjanjian Kredit (Loan Agreement) pada tanggal 5 Mei 2014 dan
telah dilakukan penarikan pada tanggal 28 Mei 2014. Batas
waktu penyampaian Dokumen Pendukung penarikan DULN
tersebut seharusnya pada tanggal 15 Juni 2014, namun karena
tanggal 15 Juni 2014 jatuh pada hari Minggu, maka batas waktu
penyampaian Dokumen Pendukung penarikan DULN menjadi
hari Senin tanggal 16 Juni 2014.
3. Penyampaian Dokumen Pendukung bukti penarikan DULN kepada
Bank Indonesia dapat menggunakan kurir, pos, faksimili, email,
atau media lainnya.
4. Dokumen Pendukung penarikan DULN yang memuat
data/informasi individual yang disampaikan kepada Bank Indonesia
bersifat rahasia.
5. Keterlambatan penyampaian Dokumen Pendukung
Dalam hal Pelapor DULN menyampaikan Dokumen Pendukung
penarikan DULN melampaui batas akhir penyampaian laporan
sebagaimana dimaksud dalam butir 2.a sampai dengan akhir bulan
yang bersangkutan, maka Pelapor DULN dianggap terlambat
menyampaikan Dokumen Pendukung penarikan DULN.
Contoh:
Perusahaan MQ melakukan penarikan DULN yang berasal dari
Perjanjian Kredit (Loan Agreement) pada tanggal 9 September 2014.
Batas waktu penyampaian Dokumen Pendukung penarikan DULN
tersebut seharusnya pada tanggal 15 Oktober 2014, namun
Perusahaan MQ baru menyampaikan Dokumen Pendukung
penarikan DULN kepada Bank Indonesia pada tanggal 20 Oktober
2014. Dengan demikian, maka perusahaan MQ terlambat
menyampaikan Dokumen Pendukung selama 3 (tiga) Hari.
6. Pelapor …
5
6. Pelapor DULN tidak menyampaikan Dokumen Pendukung:
a. Dalam hal Pelapor DULN tidak menyampaikan Dokumen
Pendukung penarikan DULN sampai dengan akhir bulan
penyampaian laporan terhitung sejak batas akhir penyampaian
laporan penarikan DULN sebagaimana dimaksud dalam butir
2.a, maka Pelapor DULN dianggap tidak melakukan penarikan
DULN melalui Bank Devisa.
Contoh:
Perusahaan HI melakukan penarikan DULN yang berasal dari
Perjanjian Kredit (Loan Agreement) tanggal 7 Oktober 2014 yang
ditarik pada tanggal tersebut. Batas akhir bulan penyampaian
Dokumen Pendukung penarikan DULN tersebut adalah tanggal 1
Desember 2014 karena tanggal 30 November 2014 merupakan
hari Minggu. Perusahaan HI baru menyampaikan Dokumen
Pendukung penarikan DULN kepada Bank Indonesia pada
tanggal 5 Desember 2014. Dengan demikian, Perusahaan HI
dianggap tidak melakukan penarikan DULN melalui Bank
Devisa, karena Perusahaan HI menyampaikan Dokumen
Pendukung penarikan DULN melebihi batas akhir bulan
penyampaian laporan penarikan DULN.
b. Dalam hal Pelapor DULN tidak dapat memberikan Dokumen
Pendukung penarikan DULN telah dilakukan melalui Bank
Devisa sampai dengan akhir bulan penyampaian laporan, maka
Pelapor DULN dianggap tidak melakukan penarikan DULN
melalui Bank Devisa.
Contoh:
Perusahaan DN melakukan realisasi penarikan Perjanjian Kredit
(Loan Agreement) pada tanggal 16 Juni 2014. Perusahaan DN
tidak menyampaikan Dokumen Pendukung penarikan DULN
kepada Bank Indonesia sampai dengan batas akhir bulan
penyampaian Dokumen Pendukung penarikan DULN. Dengan
demikian, Perusahaan DN dianggap tidak melakukan penarikan
DULN melalui Bank Devisa.
7. Penjelasan …
6
7. Penjelasan tertulis
a. Dalam hal terdapat selisih kurang antara nilai akumulasi
penarikan DULN dengan nilai komitmen ULN paling banyak
ekuivalen Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), maka
Debitur ULN tidak perlu menyampaikan penjelasan tertulis dan
Dokumen Pendukung yang memadai.
Contoh:
PT. AP memperoleh ULN dalam bentuk Perjanjian Kredit (Loan
Agreement) dari kreditur LK di Thailand dalam mata uang USD
sebesar ekuivalen Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta
rupiah). Total akumulasi penarikan DULN pada saat jatuh tempo
tercatat sebesar ekuivalen Rp225.000.000,00 (dua ratus dua
puluh lima juta rupiah). Dengan demikian terdapat selisih
kurang sebesar Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah)
antara nilai total akumulasi penarikan DULN dengan nilai
komitmen yang diberikan oleh kreditur. Perbedaan antara nilai
total akumulasi penarikan DULN dengan nilai komitmen tersebut
di bawah Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) maka DULN
dianggap sesuai dengan nilai komitmen ULN dan Debitur ULN
tidak perlu menyampaikan penjelasan tertulis dan Dokumen
Pendukung yang memadai kepada Bank Indonesia.
b. Dalam hal selisih kurang antara nilai akumulasi penarikan
DULN dengan nilai komitmen ULN lebih besar dari ekuivalen
Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), maka DULN yang
diterima dianggap sesuai dengan nilai komitmen ULN apabila
Debitur ULN menyampaikan penjelasan tertulis dan Dokumen
Pendukung yang memadai.
Contoh:
PT. SN memperoleh ULN dalam bentuk Perjanjian Kredit (Loan
Agreement) dari kreditur IH di Jepang dalam mata uang USD
sebesar ekuivalen Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Total akumulasi penarikan DULN pada saat jatuh tempo tercatat
sebesar ekuivalen Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
Dengan demikian terdapat selisih kurang sebesar ekuivalen
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) antara nilai total
akumulasi …
7
akumulasi penarikan DULN dengan nilai komitmen. Dalam hal
ini, penarikan DULN dianggap sesuai dengan nilai komitmen
ULN apabila Debitur ULN menyampaikan penjelasan tertulis dan
Dokumen Pendukung yang memadai kepada Bank Indonesia.
c. Dalam hal masih terdapat keraguan atas kebenaran penarikan
DULN yang disampaikan oleh Pelapor DULN, Bank Indonesia
dapat meminta penjelasan tambahan kepada Pelapor DULN
berupa pemberian keterangan secara tertulis dengan dilengkapi
bukti pembukuan, catatan, dan dokumen lain yang diperlukan.
d. Penjelasan tertulis dan Dokumen Pendukung yang memadai
sebagai dimaksud pada huruf b harus disampaikan kepada Bank
Indonesia paling lama sebelum berakhirnya jangka waktu
perjanjian ULN.
e. Dalam hal Pelapor DULN tidak menyampaikan penjelasan
tertulis dan Dokumen Pendukung yang memadai dalam jangka
waktu sebagaimana dimaksud pada huruf d, maka Pelapor DULN
dianggap tidak melakukan penarikan selisih kurang antara nilai
komitmen dan nilai akumulasi penarikan DULN melalui Bank
Devisa.
8. Dalam hal valuta DULN sesuai dengan valuta komitmen ULN, maka
besarnya selisih kurang antara nilai akumulasi penarikan DULN
dan nilai komitmen ULN dikonversikan ke rupiah menggunakan
kurs tengah Bank Indonesia pada batas akhir ULN.
Contoh:
Perusahaan AW mendapatkan pinjaman berupa Perjanjian Kredit
(Loan Agreement) pada tanggal 2 Juni 2014 sebesar SGD50,000.00
(lima puluh ribu dolar Singapura) dengan batas akhir ULN adalah
31 Desember 2014. Perusahaan AW melakukan penarikan DULN
sebanyak 2 (dua) kali pada tanggal 16 Juli 2014 dan 18 Agustus
2014 masing-masing sebesar SGD20,000.00 (dua puluh ribu dolar
Singapura). Dalam hal ini selisih kurang antara nilai akumulasi
penarikan DULN dan nilai komitmen ULN dengan menggunakan
kurs tengah Bank Indonesia tanggal 31 Desember 2014
(Rp9.000,00/SGD) adalah sebesar
((SGD50,000.00 X
Rp9.000/SGD) …
8
Rp9.000,00/SGD) – ((SGD20,000.00 X Rp9.000,00/SGD) +
(SGD20,000.00 X Rp9.000,00/SGD))) = Rp90.000.000,00. Dalam hal
ini, Perusahaan AW wajib menyampaikan penjelasan tertulis dan
Dokumen Pendukung yang memadai untuk selisih kurang tersebut.
9. Dalam hal terdapat perbedaan valuta antara DULN dan komitmen
ULN, maka besarnya selisih kurang antara nilai akumulasi
penarikan DULN dan nilai komitmen ULN dihitung setelah masing-
masing valuta dikonversikan ke rupiah dengan menggunakan kurs
tengah Bank Indonesia pada batas akhir ULN.
Contoh:
Perusahaan SM mendapatkan pinjaman berupa Perjanjian Kredit
(Loan Agreement) pada tanggal 9 Mei 2014 sebesar USD30,000.00
(tiga puluh ribu dolar Amerika Serikat) dengan batas akhir ULN
adalah 15 Oktober 2014. Perusahaan SM melakukan penarikan
DULN sebanyak 2 (dua) kali pada tanggal 20 Juni 2014 dan 10
September 2014 masing-masing sebesar EUR10,000.00 (sepuluh
ribu euro) dan AUD10,000.00 (sepuluh ribu dolar Australia). Dalam
hal ini selisih kurang antara nilai akumulasi penarikan DULN dan
nilai komitmen ULN dengan menggunakan kurs tengah Bank
Indonesia tanggal 15 Oktober 2014 (Rp12,000.00/USD,
Rp15.000,00/EUR dan Rp10.500,00/AUD) adalah sebesar
((USD30,000.00 X Rp12.000,00/USD) – ((EUR10,000.00 X
Rp15.000,00/EUR) + (AUD10,000.00 X Rp10.500,00/AUD))) =
Rp105.000.000,00. Dalam hal ini, Perusahaan SM wajib
menyampaikan penjelasan tertulis dan Dokumen Pendukung yang
memadai untuk selisih kurang tersebut.
D. PENGENAAN SANKSI
Bank Indonesia memberitahukan secara tertulis kepada Pelapor DULN
mengenai pelanggaran yang dilakukan dan besarnya sanksi
administratif berupa denda yang dikenakan sebagai berikut:
1. Debitur ULN yang tidak menarik DULN melalui Bank Devisa
dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar 0,25% (nol
koma dua puluh lima persen) dari setiap nilai nominal penarikan
DULN …
9
DULN yang tidak melalui Bank Devisa, dengan nominal paling
banyak sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Contoh:
Perusahaan TS memperoleh ULN dalam bentuk Perjanjian Kredit
(Loan Agreement) dengan jangka waktu 3 (tiga) tahun dari kreditur
DR di Malaysia sebesar USD50,000,000.00 (lima puluh juta dolar
Amerika Serikat). Diperjanjikan bahwa rencana penarikan ULN
tersebut dilakukan sebanyak 5 (lima) kali dengan masing-masing
penarikan sebesar USD10,000,000.00 (sepuluh juta dolar Amerika
Serikat) selama masa berlakunya Loan Agreement. Pada saat
penarikan ketiga, penarikan DULN dilakukan di Bank XY di
Singapura. Dengan demikian, Perusahaan TS dianggap tidak
melakukan penarikan DULN melalui Bank Devisa. Atas pelanggaran
tersebut, maka Perusahaan TS dikenakan sanksi administratif
berupa denda sebesar (0,25% x (USD10,000,000.00 x
Rp11.300,00/USD)) = Rp282.500.000,00. Mengingat maksimum
sanksi administratif berupa denda paling banyak sebesar
Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) maka perusahaan TS
hanya dikenakan denda maksimal sebesar Rp50.000.000,00 (lima
puluh juta rupiah).
2. Dalam hal terdapat selisih kurang antara nilai akumulasi penarikan
DULN dengan nilai komitmen ULN lebih besar ekuivalen
Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan tidak dapat
dijelaskan oleh Debitur ULN, maka Debitur ULN dikenakan sanksi
administratif berupa denda sebesar 0,25% (nol koma dua puluh
lima persen) dari nilai nominal selisih kurang penarikan DULN yang
tidak melalui Bank Devisa, dengan nominal paling banyak sebesar
Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Contoh:
Perusahaan UF memperoleh ULN dalam bentuk Perjanjian Kredit
(Loan Agreement) dari kreditur AK di Amerika Serikat dalam mata
uang USD sebesar ekuivalen Rp400.000.000,00 (empat ratus juta
rupiah). Sampai dengan jatuh tempo ternyata jumlah yang ditarik
tercatat sebesar ekuivalen Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta
rupiah). …
10
rupiah). Dengan demikian terdapat selisih kurang sebesar ekuivalen
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) antara nilai total akumulasi
penarikan DULN dengan nilai komitmen dan tidak dapat dijelaskan
oleh Debitur ULN. Dalam hal ini, Debitur ULN dikenakan sanksi
administratif berupa denda sebesar 0,25% x Rp100.000.000,00 =
Rp250.000,00.
3. Debitur ULN dikenakan denda atas keterlambatan penyampaian
Dokumen Pendukung penarikan DULN apabila:
a. Pelapor DULN yang dinyatakan terlambat menyampaikan
Dokumen Pendukung penarikan DULN apabila penyampaian
Laporan Penarikan DULN melampaui batas akhir sebagaimana
dimaksud dalam butir C.2.a, dikenakan sanksi administratif
berupa denda sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai penerimaan devisa hasil
ekspor dan penarikan devisa utang luar negeri.
b. Pelapor DULN yang terlambat menyampaikan Dokumen
Pendukung penarikan DULN sebagaimana dimaksud dalam butir
C.2.a, dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar
Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) setiap Hari keterlambatan.
Contoh 1:
Perusahaan CA melakukan penarikan DULN yang berasal dari
Perjanjian Kredit (Loan Agreement) pada tanggal 8 Agustus 2014.
Batas waktu penyampaian Dokumen Pendukung penarikan
DULN tanggal 15 September 2014. Perusahaan CA baru
menyampaikan Dokumen Pendukung penarikan DULN kepada
Bank Indonesia pada tanggal 19 September 2014. Dengan
demikian, maka Perusahaan CA terlambat selama 4 (empat) Hari
(tanggal 16 September 2014 sampai dengan tanggal 19
September 2014). Atas keterlambatan tersebut, Perusahaan CA
dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar 4 x
Rp500.000,00 = Rp2.000.000,00.
Contoh 2:
Perusahaan DU melakukan penarikan DULN yang berasal dari
Perjanjian Kredit (Loan Agreement) pada tanggal 12 September
2014 …
11
2014. Batas waktu penyampaian Dokumen Pendukung
penarikan DULN tersebut tanggal 15 Oktober 2014. Perusahaan
DU baru menyampaikan Dokumen Pendukung penarikan DULN
kepada Bank Indonesia pada tanggal 31 Oktober 2014. Dengan
demikian, maka perusahaan DU terlambat selama 12 (dua belas)
Hari. Atas keterlambatan tersebut, Perusahaan DU dikenakan
sanksi administratif berupa denda sebesar 12 x Rp500.000,00 =
Rp6.000.000,00.
4. Pengenaan sanksi administratif berupa denda tidak menggugurkan
kewajiban penarikan DULN ke Bank Devisa.
5. Tata Cara Pengenaan Sanksi
a. Bank Indonesia akan menyampaikan Surat Pemberitahuan
Pengenaan Sanksi Administratif Berupa Denda kepada Pelapor
DULN yang melanggar ketentuan pelaporan sebagaimana
dimaksud pada angka1, angka 2, dan/atau angka 3. Surat
tersebut antara lain mencantumkan jenis pelanggaran,
penetapan sanksi administratif berupa denda, besarnya denda
yang harus dibayar, dan rekening tujuan pembayaran sanksi
denda.
b. Pembayaran sanksi administratif berupa denda sebagaimana
dimaksud pada angka1, angka 2, dan/atau angka 3 disetorkan
ke Bank Indonesia.
c. Pembayaran sanksi administratif berupa denda sebagaimana
dimaksud pada angka1, angka 2, dan/atau angka 3, dilakukan
paling lambat akhir bulan berikutnya setelah tanggal penerbitan
Surat Pemberitahuan Pengenaan Sanksi Administratif Berupa
Denda dari Bank Indonesia.
d. Pelapor DULN harus menyampaikan bukti pembayaran sanksi
administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada huruf c
kepada Bank Indonesia paling lambat akhir bulan berikutnya
setelah tanggal penerbitan Surat Pemberitahuan Pengenaan
Sanksi Administratif Berupa Denda.
Contoh …
12
Contoh:
Perusahaan HI terlambat menyampaikan Dokumen Pendukung
realisasi penarikan DULN untuk laporan realisasi penarikan
DULN bulan Mei 2014 dan batas waktu penyampaian Dokumen
Pendukung penarikan DULN tersebut tanggal 15 Juni 2014.
Namun karena tanggal 15 Juni 2014 jatuh pada hari Minggu,
maka batas waktu penyampaian Dokumen Pendukung penarikan
DULN menjadi hari Senin tanggal 16 Juni 2014.
Perusahaan HI tersebut baru menyampaikan Dokumen
Pendukung penarikan DULN kepada Bank Indonesia pada
tanggal 23 Juni 2014. Atas keterlambatan tersebut, Bank
Indonesia menyampaikan Surat Pemberitahuan Sanksi
Administratif Berupa Denda pada tanggal 4 Juli 2014.
Perusahaan HI harus menyetor sanksi denda keterlambatan ke
rekening Bank Indonesia dan menyampaikan tembusan bukti
penyetoran denda tersebut ke Bank Indonesia paling lambat
tanggal 31 Agustus 2014.
e. Bukti pembayaran sanksi denda sebagaimana dimaksud pada
huruf d antara lain berupa fotokopi bukti transfer pembayaran
sanksi denda ke Bank Indonesia.
E. ALAMAT SURAT MENYURAT DAN HELP DESK
1. Penyampaian surat menyurat dan komunikasi dengan Bank
Indonesia terkait pelaksanaan Surat Edaran Bank Indonesia ini
ditujukan kepada:
Bank Indonesia
Departemen Pengolahan dan Kepatuhan Laporan
c.q. Divisi Pengelolaan dan Pengawasan Lalu Lintas Devisa
Menara Sjafruddin Prawiranegara Lt.16
Jalan MH. Thamrin No.2
Jakarta 10350
E-mail: LLDULN@bi.go.id
Telepon:
021-29818126, 021-29818127, 021-29818266, 021-29814077,
021-29814219, 021-29814556, 021-29814572, 021-29814656,
021-29814657 …
13
021-29814657, 021-29815174, 021-29815870, 021-29815871,
021-29815874, 021-29815875, 021-29815877, 021-29816036,
021- 29810000 ext : 2122, 2134, 2138, 2166.
2. Dalam hal terjadi perubahan alamat surat menyurat dan
komunikasi akan diberitahukan melalui surat dan/atau media
lainnya.
F. PERALIHAN
Penarikan DULN yang berasal dari perjanjian ULN yang
ditandatangani sebelum tanggal 2 Januari 2012 tidak wajib
dilakukan melalui Bank Devisa, kecuali untuk penarikan DULN
yang berasal dari penambahan plafon ULN karena adanya
perubahan perjanjian (amandemen) yang ditandatangani setelah
tanggal 2 Januari 2012.
G. PENUTUP
Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 26 Mei
2014.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat
Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita Negara
Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA,
PERRY WARJIYO
DEPUTI GUBERNUR
"," SE-BI
16/10/DSta|SE-BI/2014
PENARIKAN DEVISA UTANG LUAR NEGERI
26 Mei 2014
26 Mei 2014
'16/10/PBI/2014'
'Huruf D'
"
" No. 7/7/DPM
Jakarta, 29 Maret 2005
S U R A T E D A R A N
Perihal : Laporan Harian Bank Umum
Sehubungan dengan ditetapkannya Peraturan Bank Indonesia Nomor
7/10/PBI/2005 tanggal 9 Maret 2005 tentang Laporan Harian Bank Umum
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 25, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4483), perlu diatur ketentuan
pelaksanaan dalam Surat Edaran yang mencakup hal-hal sebagai berikut :
I. KETENTUAN UMUM
Untuk menciptakan keseragaman dalam penyusunan dan penyampaian Laporan
Harian Bank Umum (LHBU) perlu ditetapkan suatu sistematika penyusunan
LHBU berupa Pedoman Penyusunan LHBU (yang selanjutnya disebut Pedoman)
sebagaimana tercantum dalam Lampiran 1 dan Petunjuk Teknis Aplikasi LHBU
sebagaimana tercantum dalam Lampiran 2 yang merupakan satu kesatuan dan
bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran ini.
II. BANK PELAPOR
Bank Pelapor terdiri dari :
1. Kantor Pusat Bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional;
2. Kantor Pusat Bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip
syariah;
3. Kantor Cabang Bank Asing; dan
4. Unit Usaha Syariah.
III. RUANG LINGKUP DATA LHBU
Jenis data yang wajib disampaikan oleh Bank Pelapor kepada Bank Indonesia
terdiri dari data transaksional dan data non transaksional.
A. Data ...
2
A. Data Transaksional
1. Transaksi Pasar Uang Antar Bank (PUAB), terdiri dari data :
a. PUAB pagi dalam mata uang Rupiah;
b. PUAB sore dalam mata uang Rupiah;
c. PUAB dalam valuta asing; dan
d. PUAB luar negeri.
2. Transaksi Pasar Uang Antar Bank berdasarkan Prinsip Syariah (PUAS).
3. Transaksi Devisa, terdiri dari data :
a. transaksi tod/tom/spot dalam valuta asing;
b. transaksi forward, swap, option dalam valuta asing; dan
c.
transaksi Derivatif lainnya antara lain future untuk nilai tukar,
forward, swap, option yang merupakan turunan dari suku bunga, atau
turunan dari kombinasi instrumen pasar uang lainnya.
4. Perdagangan surat berharga pasar uang di pasar sekunder meliputi
transaksi Sertifikat Bank Indonesia, Sertifikat Deposito, dan Commercial
Paper.
B. Data Non Transaksional
1. Posisi akhir hari transaksi derivatif jual bukan investasi dengan pihak-
pihak tertentu.
2. Posisi Devisa Neto (PDN), terdiri dari:
a. data gabungan yang mencakup kantor-kantor cabang di dalam negeri;
dan
b. data gabungan yang mencakup seluruh kantor cabang dalam negeri
dan luar negeri,
untuk posisi akhir hari.
3. Pos-pos tertentu neraca, terdiri dari :
a. data posisi pos-pos tertentu neraca gabungan kantor dalam negeri; dan
b. data posisi pos-pos tertentu neraca gabungan kantor dalam negeri dan
luar negeri.
4. Proyeksi arus kas, terdiri dari :
a. proyeksi arus kas dalam mata uang Rupiah; dan
b. proyeksi ...
3
b. proyeksi arus kas dalam valuta asing.
5. Suku bunga penawaran (quotation) dalam mata uang Rupiah dan valuta
asing (USD).
6. Suku bunga dasar kredit dalam mata uang Rupiah dan valuta asing
(USD).
7. Suku bunga kredit dalam mata uang Rupiah dan valuta asing (USD).
8. Suku bunga deposito berjangka dalam mata uang Rupiah dan valuta asing
(USD), suku bunga tabungan dalam mata uang Rupiah, dan diskonto
sertifikat deposito dalam mata uang Rupiah dan valuta asing (USD).
9. Tingkat imbalan deposito investasi Mudharabah Bank syariah dalam mata
uang Rupiah.
IV. FORMAT DAN JENIS LAPORAN
A. Format LHBU
1. Format LHBU untuk data transaksional adalah sesuai dengan Form 101
(PUAB), 102 (PUAS), 201 (Transaksi Devisa Tod/Tom/Spot), 202
(Transaksi Devisa Forward/Swap/Option), 203 (Transaksi Derivatif
Lainnya), dan 301 (Pasar Sekunder Surat Berharga Pasar Uang)
sebagaimana dimaksud dalam Pedoman.
2. Format LHBU untuk data non transaksional adalah sesuai dengan Form
204 (Posisi akhir hari Transaksi Derivatif Jual bukan Investasi dengan
pihak-pihak tertentu), 401 (PDN gabungan kantor Dalam Negeri), 402
(PDN gabungan kantor Dalam Negeri dan Luar Negeri), 403 (Pos-pos
tertentu Neraca Gabungan kantor Dalam Negeri), 404 (Pos-pos tertentu
Neraca Gabungan kantor Dalam Negeri dan Luar Negeri), 405 (Laporan
Proyeksi Arus Kas Rupiah), 406 (Laporan Proyeksi Arus Kas Valuta
Asing), 501 (Suku Bunga Penawaran/Quotation), 601 (Suku Bunga Dasar
Kredit), 602 (Suku Bunga Kredit), 603 (Suku Bunga Deposito Berjangka,
Suku Bunga Tabungan dan Diskonto Sertifikat Deposito), dan 604
(Tingkat Imbalan Deposito Investasi Mudharabah Bank Syariah)
sebagaimana dimaksud dalam Pedoman.
B. Jenis ...
4
B. Jenis Laporan yang Disampaikan
1. Jenis laporan yang wajib disampaikan oleh Kantor Pusat Bank dan Kantor
Cabang Bank Asing yang melaksanakan kegiatan usaha secara
konvensional adalah sebagai berikut:
a. Bank yang berstatus Bank devisa meliputi form 101, 102, 201, 202,
203, 204, 301, 401, 402, 403, 404, 405, 406, 501, 601, 602, dan 603.
b. Bank yang berstatus Bank non devisa meliputi form 101, 102, 301,
403, 405, 501, 601, 602, dan 603.
2. Jenis laporan yang wajib disampaikan oleh Kantor Pusat Bank yang
melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah adalah sebagai
berikut:
a. Bank yang berstatus Bank devisa meliputi form 102, 201, 401, 402,
403, 404, 405, 406, dan 604.
b. Bank yang berstatus Bank non devisa meliputi form 102, 403, 405,
dan 604.
3. Jenis laporan yang wajib disampaikan oleh Unit Usaha Syariah adalah
form 102, 201, dan 604.
V. PENYAMPAIAN DAN KOREKSI LHBU
A. Data LHBU yang Disampaikan
1. Penyampaian Data Transaksional
Bank Pelapor wajib menyampaikan data transaksional berikut form
header setiap Hari Kerja secara real time atau segera setelah terjadinya
transaksi pada tanggal laporan.
2. Penyampaian Data Non Transaksional
Bank Pelapor wajib menyampaikan data non transaksional sebagai
berikut:
a. Data posisi akhir hari transaksi derivatif jual bukan investasi dengan
pihak-pihak tertentu yang disampaikan adalah data pada posisi tanggal
laporan.
Contoh ...
5
Contoh:
Data posisi akhir hari transaksi derivatif jual bukan investasi dengan
pihak-pihak tertentu pada tanggal 6 April 2005 wajib disampaikan
oleh Bank Pelapor dan diterima oleh Bank Indonesia selambat-
lambatnya pukul 24.00 WIB pada tanggal 6 April 2005.
a. Data Posisi Devisa Neto dan pos-pos tertentu neraca yang
disampaikan adalah data pada posisi 2 (dua) hari kerja sebelumnya
(H-2).
Contoh:
Data Posisi Devisa Neto pada tanggal 6 April 2005 wajib disampaikan
oleh Bank Pelapor dan diterima oleh Bank Indonesia selambat-
lambatnya pukul 24.00 WIB pada tanggal 8 April 2005.
b. Data proyeksi arus kas yang disampaikan adalah proyeksi penerimaan
dan pengeluaran dalam Rupiah dan valuta asing
atas pos-pos
sebagaimana diatur dalam Pedoman untuk periode 3 (tiga) bulan yang
meliputi data :
1) periode 14 (empat belas) hari kalender sejak tanggal laporan;
2) periode minggu ke-3 (tiga)
sejak hari ke-15 (lima belas) sampai
dengan hari ke-21 (duapuluh satu) secara kumulatif;
3) periode minggu ke-4 (empat) sejak hari ke-22 (dua puluh dua)
sampai dengan hari ke-28 (dua puluh delapan) secara kumulatif;
dan
4) periode bulan ke-2 (dua) dan ke-3 (tiga) sejak hari ke-29 (dua
puluh sembilan) sampai dengan hari ke-90 (sembilan puluh) secara
kumulatif.
Proyeksi arus kas dalam valuta asing selain USD dikonversi terlebih
dahulu ke dalam mata uang USD. Pelaporan proyeksi arus kas dalam
valuta asing yang telah dikonversi
tersebut digabungkan secara
keseluruhan dengan arus kas dalam mata uang USD.
Contoh ...
6
Contoh:
Data proyeksi arus kas yang dilaporkan pada tanggal 4 April 2005
adalah perkiraan penerimaan dan pengeluaran untuk:
1) tanggal 5 April 2005 sampai dengan 18 April 2005;
2) tanggal 19 April 2005 sampai dengan 25 April 2005 secara
kumulatif untuk minggu ke-3 (tiga);
3) tanggal 26 April 2005 sampai dengan 2 Mei 2005 secara kumulatif
untuk minggu ke-4 (empat); dan
4) tanggal 3 Mei sampai dengan 3 Juli 2005 secara kumulatif untuk
bulan ke-2 (dua) dan ke-3 (tiga).
Data proyeksi arus kas tersebut wajib disampaikan oleh Bank Pelapor
dan diterima oleh Bank Indonesia pada tanggal 4 April 2005 selambat-
lambatnya pukul 24.00 WIB.
c. Data suku bunga penawaran (quotation) wajib disampaikan segera
setiap terjadi penawaran pada tanggal laporan.
d. Data suku bunga dasar kredit, suku bunga kredit, suku bunga deposito
berjangka, diskonto sertifikat deposito, suku bunga tabungan dan
tingkat imbalan deposito investasi Mudharabah Bank syariah yang
disampaikan adalah data yang berlaku pada tanggal laporan.
Contoh:
Data suku bunga kredit atau tingkat imbalan deposito investasi
Mudharabah Bank
syariah pada tanggal 6 April 2005 wajib
disampaikan oleh Bank Pelapor dan diterima oleh Bank Indonesia
pada tanggal 6 April 2005 selambat-lambatnya pukul 17.00 WIB.
B. Tata Cara Penyampaian LHBU
Tata cara penyampaian LHBU dilakukan sebagai berikut:
1. Sebelum data disampaikan, Bank Pelapor harus melakukan validasi teknis
sesuai dengan spesifikasi yang
telah ditetapkan pada Pedoman
sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 1 dan Petunjuk Teknis Aplikasi
LHBU sebagaimana dimaksud pada Lampiran 2.
2. Setelah ...
7
2. Setelah data disampaikan, Bank Pelapor harus memastikan bahwa status
data transaksional dengan Bank
transaksi/counterpart telah cocok/matching, melalui rekapitulasi laporan
absensi LHBU.
3. Bank Pelapor wajib mengirim seluruh form sesuai dengan jenis laporan
dan status Bank sebagaimana dimaksud pada angka IV.B. Dalam hal
Bank Pelapor tidak melakukan transaksi dan atau tidak memiliki data non
transaksional, kewajiban penyampaian LHBU tetap berlaku dengan cara
mengirimkan form header.
4. Dalam hal Bank Pelapor merger atau konsolidasi dengan bank lain, Bank
Pelapor tetap wajib menyampaikan data LHBU sampai dengan hari
terakhir sebelum tanggal dilakukannya merger atau konsolidasi secara
operasional masing-masing Bank Pelapor.
Contoh :
Apabila pada tanggal 15 Juni 2005 Bank X dimerger atau dikonsolidasi
dengan Bank Y, maka masing-masing Bank wajib menyampaikan LHBU
untuk data posisi tanggal 14 Juni 2005.
C. Batas Waktu Penyampaian LHBU
Batas waktu penyampaian dan atau koreksi LHBU diatur sebagai berikut:
1. Pukul 07.00 WIB sampai dengan pukul 12.00 WIB untuk data PUAB pagi
Rupiah;
2. Setelah pukul 12.00 WIB sampai dengan pukul 18.00 WIB untuk data
PUAB sore Rupiah;
3. Pukul 07.00 WIB sampai dengan pukul 17.00 WIB untuk data
perdagangan surat berharga pasar uang di pasar sekunder, suku bunga
penawaran (quotation), suku bunga dasar kredit, suku bunga kredit, suku
bunga deposito berjangka, suku bunga tabungan, dan diskonto sertifikat
deposito, dan tingkat imbalan deposito investasi mudharabah bank
syariah;
Pelapor lain sebagai lawan
4. Pukul ...
8
4. Pukul 07.00 WIB sampai dengan pukul 18.00 WIB untuk data PUAB
valuta asing dan PUAS;
5. Pukul 07.00 WIB sampai dengan pukul 24.00 WIB untuk data PUAB luar
negeri, transaksi devisa, Posisi Devisa Neto, pos-pos tertentu neraca,
proyeksi arus kas, dan posisi akhir hari transaksi derivatif jual bukan
investasi dengan pihak-pihak tertentu.
D. Tata Cara Koreksi LHBU
Tata cara koreksi LHBU dilakukan sebagai berikut :
1. Dalam hal terjadi kesalahan atas data yang disampaikan pada huruf A.1
dan A.2, Bank Pelapor wajib menyampaikan koreksi terhadap data
dimaksud segera setelah diketahui adanya kesalahan dan diterima oleh
Bank Indonesia dalam batas waktu sebagaimana dimaksud pada huruf C.
Contoh :
Dalam hal terjadi kesalahan atas data transaksi PUAB pagi Rupiah pada
tanggal 6 April 2005 maka koreksi atas kesalahan data tersebut wajib
disampaikan oleh Bank Pelapor dan diterima oleh Bank Indonesia pada
tanggal 6 April 2005 selambat-lambatnya pukul 12.00 WIB.
2. Khusus penyampaian koreksi data transaksi devisa dapat dilakukan
selambat-lambatnya pada hari kerja berikutnya sampai dengan pukul
16.00 WIB.
Contoh :
Dalam hal terjadi kesalahan atas data transaksi devisa pada tanggal 6
April 2005 maka koreksi atas kesalahan data tersebut wajib disampaikan
oleh Bank Pelapor dan diterima oleh Bank Indonesia pada tanggal 7 April
2005 selambat-lambatnya pukul 16.00 WIB.
E. Periode Penyampaian dan atau Koreksi LHBU
1. Penyampaian dan atau koreksi LHBU oleh Bank Pelapor dilakukan
sebagai berikut :
a. sekurang- ...
9
a. sekurang-kurangnya 2 (dua) Hari Kerja dalam setiap minggu, sejak
ditetapkannya Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/10/PBI/2005
tanggal 9 Maret 2005 sampai dengan tanggal 13 Mei 2005;
b. setiap Hari Kerja sejak tanggal 16 Mei 2005.
2. Penetapan Hari Kerja penyampaian dan atau koreksi LHBU oleh Bank
Pelapor sebagaimana dimaksud dalam angka 1.a, diberitahukan oleh Bank
Indonesia melalui surat kepada Bank Pelapor.
F. Gangguan Teknis dan Keadaan Memaksa (Force Majeure)
1. Dalam hal Bank Pelapor mengalami gangguan teknis sehingga tidak dapat
menyampaikan data dan atau koreksi LHBU secara On-Line, Bank
Pelapor wajib menyampaikan pemberitahuan secara tertulis mengenai
gangguan teknis yang dialami segera setelah mengalami gangguan pada
Hari Kerja yang sama.
2. Pemberitahuan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada angka 1,
ditandatangani oleh Pejabat yang berwenang kepada Satuan Kerja yang
membidangi Manajemen Informasi, Jl. M.H. Thamrin Nomor 2 Jakarta
10110. Bagi Bank Pelapor yang berada di luar wilayah kerja kantor Pusat
Bank Indonesia, tembusan pemberitahuan dimaksud disampaikan kepada
Kantor Bank Indonesia yang mewilayahi Bank Pelapor.
3. Bank Pelapor yang tidak dapat menyampaikan data dan atau koreksi
LHBU secara On-Line karena gangguan teknis atau gangguan lainnya
pada sistem dan atau jaringan komunikasi di Bank Indonesia wajib
menyampaikan data dan atau koreksi LHBU secara Off-Line disertai hasil
cetak komputer (hard copy) pada Hari Kerja yang sama kepada :
a. Satuan Kerja yang membidangi Manajemen Informasi, Jl. M.H.
Thamrin Nomor 2 Jakarta 10110 bagi Bank Pelapor yang berada di
wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia;
b. Kantor Bank Indonesia yang mewilayahi bagi Bank Pelapor yang
berada di luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia.
4. Bank ...
10
4. Bank Pelapor yang tidak dapat menyampaikan data atau koreksi LHBU
karena mengalami keadaan memaksa
(force majeure) wajib segera
memberitahukan secara tertulis disertai penjelasan mengenai penyebab
terjadinya keadaan memaksa (force majeure) yang ditandatangani oleh
Pejabat yang berwenang kepada :
a. Satuan Kerja yang membidangi Manajemen Informasi, Jl. M.H.
Thamrin Nomor 2 Jakarta 10110 bagi Bank Pelapor yang berada di
wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia;
b. Kantor Bank Indonesia yang mewilayahi bagi Bank Pelapor yang
berada di luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia.
G. Penyampaian dan atau Koreksi LHBU Setelah Batas Waktu
1. Bank Pelapor yang dianggap tidak menyampaikan dan atau koreksi
LHBU sampai dengan batas waktu yang
ditetapkan sebagaimana
dimaksud pada huruf C dan huruf D.2 tetap wajib melakukan hal-hal
sebagai berikut :
a. menyampaikan LHBU untuk data transaksi devisa, proyeksi arus kas,
pos-pos tertentu neraca dan posisi devisa neto; dan atau
b. menyampaikan koreksi LHBU untuk data transaksi devisa,
secara On-Line selambat-lambatnya pukul 16.00 WIB pada 5 (lima) Hari
Kerja berikutnya setelah tanggal laporan.
2. Dalam hal Bank Pelapor tidak dapat menyampaikan dan atau koreksi
LHBU secara On-Line sebagaimana dimaksud pada angka 1, tata cara
penyampaian dan atau koreksi LHBU dilakukan dan dialamatkan
sebagaimana dimaksud pada huruf F.3.
VI. HASIL OLAHAN LHBU
1. LHBU yang disampaikan oleh Bank Pelapor diproses oleh Bank Indonesia
untuk menghasilkan hasil olahan LHBU berupa:
a. informasi yang disediakan oleh Pusat Informasi Pasar Uang (PIPU) dalam
bentuk agregat; dan
b. data ...
11
b. data individual Bank Pelapor yang ditetapkan oleh Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam angka III.
2. Bank Pelapor dapat memperoleh hasil olahan LHBU sebagaimana dimaksud
dalam angka 1.
3. Dalam rangka memperoleh hasil olahan LHBU sebagaimana dimaksud dalam
angka 2, Bank Pelapor mendapatkan hak akses terhadap sistem LHBU di
Bank Indonesia maksimal sebanyak 2 (dua) fasilitas user id untuk bank
devisa dan 1(satu) user id untuk bank non devisa.
4. Dalam hal Bank Pelapor menambah fasilitas user id sebagaimana dimaksud
dalam angka 3, Bank Pelapor mengajukan permohonan secara tertulis kepada
Bank Indonesia dan dikenakan biaya lisensi yang besarnya ditetapkan oleh
Bank Indonesia.
VII.PELANGGAN PIPU
1. Tata cara menjadi Pelanggan PIPU diatur sebagai berikut:
a. Calon Pelanggan PIPU mengajukan permohonan menjadi Pelanggan
PIPU secara tertulis kepada Bank Indonesia sebagaimana contoh pada
Lampiran 3.
b. Permohonan menjadi Pelanggan PIPU sebagaimana dimaksud dalam
huruf a disampaikan kepada Bank Indonesia cq. Satker yang membidangi
Manajemen Informasi, Jl. M.H. Thamrin No.2, Jakarta, 10110.
c. Bank Indonesia memberitahukan secara tertulis kepada calon Pelanggan
PIPU mengenai disetujui atau tidak disetujuinya permohonan
sebagaimana dimaksud dalam huruf a.
d. Dalam hal permohonan disetujui oleh Bank Indonesia, calon Pelanggan
PIPU harus menandatangani Perjanjian Penggunaan PIPU dengan Bank
Indonesia sebagaimana contoh pada Lampiran 4.
2. Pelanggan PIPU hanya dapat memperoleh hasil olahan LHBU berupa
informasi PIPU dalam bentuk agregat sebagaimana dimaksud dalam angka
VI.1.a.
3. Perolehan ...
12
3. Perolehan informasi hasil olahan LHBU sebagaimana dimaksud pada angka 2
dan biaya sehubungan dengan perolehan informasi oleh Pelanggan PIPU
diatur dalam Perjanjian Penggunaan PIPU.
VIII. SANKSI
1. Bank Indonesia memberitahukan secara tertulis kepada Bank Pelapor
mengenai pelanggaran yang dilakukan oleh Bank Pelapor dan sanksi yang
dikenakan.
2. Pengenaan sanksi terhadap Bank Pelapor sebagaimana dimaksud dalam
angka 1 dilakukan dengan cara mendebet rekening giro Rupiah Bank Pelapor
pada Bank Indonesia.
3. Tata cara pengenaan sanksi terhadap Pelanggan PIPU diatur dalam Perjanjian
Penggunaan PIPU.
IX.PENYAMPAIAN PERTANYAAN
Apabila dalam pelaksanaan penyusunan dan penyampaian LHBU terdapat hal-
hal yang kurang jelas, Bank Pelapor dapat menyampaikan pertanyaan yang
berkaitan dengan sistem, materi, dan ketentuan LHBU kepada Bank Indonesia
sebagai berikut:
1. Direktorat Pengelolaan Moneter, Bagian Penyelesaian Transaksi Pasar Uang
mengenai materi Form 101, 102, 301, 501, 601, 602, 603, dan 604.
2. Direktorat Pengelolaan Devisa, Tim Analisis Ekonomi dan Peraturan Devisa,
mengenai materi Form 201, 202, 203, dan 204.
3. Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan, Tim Pengaturan Perbankan,
mengenai materi Form 401, 402, 405, dan 406.
4. Direktorat Statistik Ekonomi dan Moneter, Bagian Statistik Moneter,
mengenai materi Form 403 dan 404.
5. Direktorat Teknologi Informasi, Helpdesk, mengenai hal-hal yang berkaitan
dengan aplikasi dan otomasi sistem penyampaian LHBU.
6. Satuan kerja yang membidangi Manajemen Informasi, mengenai
dalam sistem LHBU di Bank Indonesia.
akses ke
X. PENUTUP ...
13
X. PENUTUP
Dengan diberlakukannya Surat Edaran ini maka sejak tanggal 1 Juni 2005 :
1. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 5/28/DPM tanggal 17 November 2003
perihal Tata Cara Penyelenggaraan Pusat Informasi Pasar Uang; dan
2. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 5/34/DPD tanggal 24 Desember 2003
perihal Tata Cara Penyampaian Data Transaksi Devisa Melalui Pusat
Informasi Pasar Uang,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Ketentuan dalam Surat Edaran ini berlaku sejak tanggal 29 Maret 2005.
orang mengetahuinya, memerintahkan
Agar setiap
Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Demikian agar maklum.
BANK INDONESIA,
pengumuman Surat
BUDI MULYA
DIREKTUR PENGELOLAAN MONETER
"," SE-BI
7/7/DPM|SE-BI/2005
Laporan Harian Bank Umum
29 Maret 2005
29 Maret 2005
'5/34/DPD|SE-BI/2003', '5/28/DPM|SE-BI/2003'
'7/10/PBI/2005'
'Romawi VIII'
"
" 1
No. 18/20/DPSP
Jakarta, 23 September 2016
S U R A T E D A R A N
Perihal : Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor
17/31/DPSP tanggal 13 November 2015 perihal
Penyelenggaraan Penatausahaan Surat Berharga Melalui
Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System
Sehubungan dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor
17/18/PBI/2015 tentang Penyelenggaraan Transaksi, Penatausahaan Surat
Berharga, dan Setelmen Dana Seketika (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2015 Nomor 273, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5762), dan pelaksanaan tugas menatausahakan Surat
Berharga Negara dan surat berharga yang diterbitkan oleh Bank Indonesia,
Bank Indonesia mengatur penggunaan nomor tunggal identitas investor
untuk setiap investor Surat Berharga yang ditatausahakan di Bank
Indonesia-Scripless Securities Settlement System, meliputi Surat Berharga
Negara dan surat berharga yang diterbitkan oleh Bank Indonesia, sehingga
diperoleh informasi kepemilikan surat berharga yang terkonsolidasi. Oleh
karena itu, perlu melakukan perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia
Nomor 17/31/DPSP tanggal 13 November 2015 perihal Penyelenggaraan
Penatausahaan Surat Berharga Melalui Bank Indonesia-Scripless
Securities Settlement System sebagai berikut:
1. Ketentuan butir II.A.2 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
2. Kegiatan korespondensi terkait kegiatan penyelenggaraan BI-
SSSS ditujukan kepada Penyelenggara dengan ketentuan
sebagai berikut:
a. Kegiatan korespondensi terkait kepesertaan dan operasional
penyelenggaraan BI-SSSS ditujukan ke alamat:
Bank Indonesia
Departemen Penyelenggaraan Sistem Pembayaran
Divisi Setelmen Dana dan Penatausahaan Surat Berharga
Gedung ...
2
Gedung D Lantai 3
Jalan M.H. Thamrin No. 2
Jakarta 10350.
b. Kegiatan korespondensi terkait pemantauan kepatuhan
Peserta terhadap penyelenggaraan BI-SSSS ditujukan ke
alamat:
Bank Indonesia
Departemen Penyelenggaraan Sistem Pembayaran
Divisi Kepatuhan dan Informasi Sistem Pembayaran Bank
Indonesia
Gedung D Lantai 3
Jalan M.H. Thamrin No. 2
Jakarta 10350.
2. Ketentuan butir III.C.12.d diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
d. Surat permohonan dari pimpinan untuk membuat spesimen
tanda tangan bagi:
1) pimpinan atau pejabat yang berwenang; atau
2) pejabat yang diberi kuasa untuk melakukan kegiatan
sebagaimana dimaksud pada butir c.3),
dengan menggunakan format sebagaimana dimaksud pada
Contoh 8.A dalam Lampiran II.
3. Ketentuan butir III.C.12.f.2) dihapus.
4. Ketentuan butir III.D diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
D. Perubahan Data Kepesertaan
Ruang lingkup perubahan data kepesertaan meliputi:
1. Perubahan Participant Code
Perubahan participant code dapat disebabkan antara lain
karena Peserta yang bukan merupakan anggota Society for
Worldwide Interbank Financial Telecommunication (SWIFT)
berubah menjadi anggota Society for Worldwide Interbank
Financial Telecommunication (SWIFT) atau karena adanya
perubahan Society for Worldwide Interbank Financial
Telecommunication (SWIFT) Bank Identifier Code (BIC) dari
Peserta.
Perubahan ...
3
Perubahan participant code diatur sebagai berikut:
a. Peserta mengajukan surat permohonan perubahan
participant code kepada Penyelenggara dengan
melampirkan dokumen:
1) data kepesertaan sebagaimana dimaksud pada
Contoh 2 dalam Lampiran II; dan
2) dokumen pendukung yang menunjukkan sebagai
anggota Society for Worldwide Interbank Financial
Telecommunication
(SWIFT)
atau adanya
perubahan Society for Worldwide Interbank
Financial Telecommunication (SWIFT) Bank
Identifier Code (BIC) dari Peserta.
b. Surat permohonan sebagaimana dimaksud pada huruf
a ditandatangani oleh pejabat yang berwenang yang
telah memiliki spesimen tanda tangan di Penyelenggara
dan disampaikan kepada Penyelenggara dengan
ketentuan sebagai berikut:
1) surat disampaikan ke alamat sebagaimana
dimaksud pada butir II.A.2.a; dan
2) bagi Peserta yang berkedudukan di wilayah kerja
Kantor Perwakilan Bank Indonesia Dalam Negeri
(KPwDN), surat permohonan disampaikan dengan
tembusan kepada Kantor Perwakilan Bank
Indonesia Dalam Negeri (KPwDN)
mewilayahi.
yang
c. Penyelenggara menyampaikan persetujuan atau
penolakan perubahan participant code melalui surat
yang penyampaiannya dapat didahului dengan
faksimile kepada Peserta yang bersangkutan, paling
lama 14 (empat belas) hari kerja sejak surat
permohonan sebagaimana dimaksud dalam huruf a
diterima oleh Penyelenggara secara lengkap.
d. Dalam hal Penyelenggara menyetujui permohonan
perubahan participant code, diatur sebagai berikut:
1) Penyelenggara menyampaikan surat persetujuan
yang ...
4
yang memuat antara lain sebagai berikut:
a) nama Peserta;
b) participant code yang baru; dan
c) permintaan agar Peserta memenuhi
kelengkapan dokumen dalam rangka
permintaan Connected User dan Digital
Certificate untuk participant code baru.
2) Dalam rangka memenuhi permintaan
sebagaimana dimaksud pada butir 1)c), Peserta
menyampaikan surat kepada Penyelenggara yang
memuat informasi:
a) nama Peserta;
b) participant code baru; dan
c) Certificate Signing Request (CSR) yang
dihasilkan dan disimpan di media compact
disc (CD) yang bersifat read only.
3) Penyelenggara menyampaikan nama Connected
User dan Digital Certificate baru kepada Peserta
melalui sarana surat.
4) Penyelenggara memberitahukan tanggal efektif
perubahan participant code kepada:
a) Peserta yang bersangkutan melalui surat;
dan
b) seluruh Peserta melalui administrative
message atau sarana lainnya.
5) Peserta harus mengembalikan Digital Certificate
Hard Token lama, paling lama 7 (tujuh) hari kerja
sejak Peserta menerima surat sebagaimana
dimaksud dalam angka 1).
e. Dalam hal Penyelenggara menolak permohonan
perubahan
participant code, Penyelenggara
menyampaikan surat penolakan dengan disertai
alasannya.
2. Perubahan Nama Peserta
Perubahan nama Peserta diatur sebagai berikut:
a. Peserta mengajukan surat permohonan perubahan
nama ...
5
nama Peserta dalam BI-SSSS kepada Penyelenggara
dengan melampirkan dokumen:
1) data kepesertaan sebagaimana dimaksud pada
Contoh 2 dalam Lampiran II dengan
menggunakan nama yang tercantum dalam
perubahan anggaran dasar yang telah disetujui
oleh lembaga yang berwenang; dan
2) fotokopi dokumen yang telah dilegalisasi oleh
pejabat yang berwenang atau dinyatakan sesuai
asli oleh pimpinan yang telah memiliki spesimen
tanda tangan di Penyelenggara berupa:
a) akta perubahan anggaran dasar untuk badan
hukum Indonesia;
b) surat persetujuan perubahan anggaran dasar
dari lembaga yang berwenang; dan
c) surat keputusan dari lembaga yang
berwenang tentang perubahan nama, dalam
hal Peserta adalah Bank.
Bagi Bank yang berkantor pusat berkedudukan di
luar negeri cukup menyampaikan surat
keputusan sebagaimana dimaksud pada huruf c).
b. Surat permohonan sebagaimana dimaksud pada huruf
a ditandatangani oleh pejabat yang berwenang yang
telah memiliki spesimen tanda tangan di Penyelenggara
dengan ketentuan sebagai berikut:
1) surat disampaikan ke alamat sebagaimana
dimaksud dalam butir II.A.2.a; dan
2) bagi Peserta yang berkedudukan di wilayah kerja
Kantor Perwakilan Bank Indonesia Dalam Negeri
(KPwDN), surat permohonan disampaikan dengan
tembusan kepada Kantor Perwakilan Bank
Indonesia Dalam Negeri (KPwDN)
mewilayahi.
yang
c. Penyelenggara menyampaikan persetujuan atau
penolakan perubahan nama Peserta dalam BI-SSSS
melalui ...
6
melalui surat yang penyampaiannya dapat didahului
dengan faksimile kepada Peserta yang bersangkutan,
paling lama 14 (empat belas) hari kerja setelah surat
permohonan sebagaimana dimaksud pada huruf a
diterima oleh Penyelenggara secara lengkap.
d. Dalam hal Penyelenggara menyetujui permohonan
perubahan nama Peserta dalam BI-SSSS, Penyelenggara
memberitahukan kepada:
1) Peserta yang bersangkutan mengenai persetujuan
dan tanggal efektif perubahan nama Peserta; dan
2) seluruh Peserta mengenai perubahan nama Peserta
melalui administrative message atau sarana lain.
e. Dalam hal Penyelenggara menolak permohonan
perubahan nama Peserta
dalam
BI-SSSS,
Penyelenggara menyampaikan surat penolakan dengan
disertai alasannya.
3. Perubahan Kegiatan Usaha
Perubahan kegiatan usaha Peserta dari bank umum
konvensional menjadi bank umum syariah dapat
menyebabkan adanya perubahan data Peserta antara lain
nama Peserta, kegiatan usaha Peserta, dan/atau participant
code. Perubahan kegiatan usaha Peserta diatur sebagai
berikut:
a. Peserta mengajukan surat permohonan perubahan
kegiatan usaha Peserta dalam BI-SSSS kepada
Penyelenggara dengan menggunakan format
sebagaimana dimaksud pada Contoh 12 dalam
Lampiran II.
b. Surat permohonan sebagaimana dimaksud pada huruf
a, dilengkapi dengan fotokopi dokumen yang telah
dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang atau
dinyatakan sesuai asli oleh pimpinan yang telah
memiliki spesimen tanda tangan di Penyelenggara
berupa:
1) akta perubahan anggaran dasar;
2) surat ...
7
2) surat persetujuan perubahan anggaran dasar dari
instansi yang berwenang; dan
3) surat keputusan dari lembaga yang berwenang
mengenai izin perubahan kegiatan usaha Peserta
dari bank umum konvesional menjadi bank
umum syariah.
c. Dalam hal perubahan kegiatan usaha berdampak pada
perubahan participant code maka Peserta harus
mengajukan permohonan perubahan participant code
dengan mengacu pada ketentuan sebagaimana
dimaksud pada angka 1.
d. Surat permohonan sebagaimana dimaksud pada huruf
a ditandatangani oleh pejabat yang berwenang yang
telah memiliki spesimen tanda tangan di Penyelenggara
dan disampaikan kepada Penyelenggara dengan
ketentuan sebagai berikut:
1) surat disampaikan ke alamat sebagaimana
dimaksud pada butir II.A.2.a; dan
2) bagi Peserta yang berkedudukan di wilayah kerja
Kantor Perwakilan Bank Indonesia Dalam Negeri
(KPwDN), surat permohonan disampaikan dengan
tembusan kepada Kantor Perwakilan Bank
Indonesia Dalam Negeri (KPwDN)
mewilayahi.
yang
e. Penyelenggara menyampaikan persetujuan atau
penolakan perubahan kegiatan usaha Peserta dalam
BI-SSSS melalui surat yang penyampaiannya dapat
didahului dengan faksimile kepada Peserta yang
bersangkutan, paling lama 14 (empat belas) hari kerja
setelah surat permohonan dan dokumen pendukung
sebagaimana dimaksud pada huruf b diterima oleh
Penyelenggara secara lengkap.
f. Dalam hal Penyelenggara menyetujui permohonan
perubahan kegiatan usaha Peserta dalam BI-SSSS,
Penyelenggara memberitahukan kepada:
1) Peserta ...
8
1) Peserta yang bersangkutan mengenai persetujuan
dan tanggal efektif perubahan kegiatan usaha
Peserta; dan
2) seluruh Peserta mengenai perubahan kegiatan
usaha Peserta melalui administrative message
atau sarana lain.
g. Dalam hal Penyelenggara menolak permohonan
perubahan kegiatan usaha Peserta dalam BI-SSSS,
Penyelenggara menyampaikan surat penolakan dengan
disertai alasannya.
4. Perubahan Alamat Kantor Peserta
Perubahan data kepesertaan yang terkait dengan perubahan
alamat kantor pusat Peserta dan alamat kantor cabang dari
bank yang berkedudukan di luar negeri diatur sebagai
berikut:
a. Peserta mengajukan surat permohonan perubahan
alamat kantor Peserta kepada Penyelenggara dengan
melampirkan dokumen:
1) data kepesertaan sebagaimana dimaksud pada
Contoh 2 dalam Lampiran II; dan
2) fotokopi surat persetujuan atau penerimaan
pemberitahuan perubahan alamat kantor dari
lembaga yang berwenang yang telah dilegalisasi
oleh pimpinan yang telah memiliki spesimen
tanda tangan di Penyelenggara.
b. Surat permohonan sebagaimana dimaksud pada huruf
a ditandatangani oleh pejabat yang berwenang yang
telah memiliki spesimen tanda tangan di Penyelenggara
dengan ketentuan sebagai berikut:
1)
surat disampaikan ke alamat sebagaimana
dimaksud dalam butir II.A.2.a.; dan
2)
bagi Peserta yang berkedudukan di wilayah kerja
Kantor Perwakilan Bank Indonesia Dalam Negeri
(KPwDN), surat permohonan disampaikan dengan
tembusan kepada Kantor Perwakilan Bank
Indonesia ...
9
Indonesia Dalam Negeri (KPwDN)
mewilayahi.
c.
yang
Penyelenggara menyampaikan tanggapan tertulis
melalui surat yang penyampaiannya dapat didahului
dengan faksimile kepada Peserta yang bersangkutan
paling lama 14 (empat belas) hari kerja setelah surat
permohonan diterima oleh Penyelenggara mengenai:
1)
persetujuan perubahan alamat kantor Peserta
beserta tanggal efektif perubahan alamat kantor
Peserta; atau
2)
penolakan perubahan alamat kantor Peserta
beserta alasan penolakan.
5. Perubahan Lokasi SPP dan Pemindahan Jaringan
Komunikasi Data (JKD) Peserta
Perubahan lokasi SPP dan/atau pemindahan jaringan
komunikasi data (JKD) Peserta diatur sebagai berikut:
a. Peserta menyampaikan surat permohonan kepada
Penyelenggara mengenai perubahan lokasi SPP utama,
SPP cadangan, dan/atau pemindahan jaringan
komunikasi data (JKD), dengan melampirkan formulir
data kepesertaan dengan format sebagaimana
tercantum pada Contoh 2 dalam Lampiran II.
b. Surat permohonan sebagaimana dimaksud pada huruf
a ditandatangani oleh pejabat yang berwenang yang
telah memiliki spesimen tanda tangan di Penyelenggara
dengan ketentuan sebagai berikut:
1) surat disampaikan ke alamat sebagaimana
dimaksud pada butir II.A.2.a; dan
2) bagi Peserta yang berkedudukan di wilayah kerja
Kantor Perwakilan Bank Indonesia Dalam Negeri
(KPwDN), surat permohonan disampaikan dengan
tembusan kepada Kantor Perwakilan Bank
Indonesia Dalam Negeri (KPwDN)
mewilayahi.
yang
c. Penyelenggara menyampaikan persetujuan atau
penolakan ...
10
penolakan perubahan lokasi SPP utama, SPP
cadangan, dan/atau pemindahan jaringan komunikasi
data (JKD) melalui surat yang penyampaiannya dapat
didahului dengan faksimile kepada Peserta yang
bersangkutan, paling lama 14 (empat belas) hari kerja
setelah surat permohonan sebagaimana dimaksud
pada huruf a diterima oleh Penyelenggara secara
lengkap.
d. Dalam hal Penyelenggara menyetujui permohonan
perubahan lokasi SPP utama, SPP cadangan, dan/atau
pemindahan jaringan komunikasi data (JKD) Peserta,
Penyelenggara menyampaikan surat persetujuan yang
memuat antara lain sebagai berikut:
1) perubahan lokasi SPP utama dan/atau SPP
cadangan Peserta telah dicatat dalam tata usaha
Penyelenggara;
2) pelaksanaan pemindahan jaringan komunikasi
data (JKD); dan
3) kegiatan yang harus dilakukan oleh Peserta
terkait dengan perubahan lokasi SPP utama, SPP
cadangan, dan/atau jaringan komunikasi data
(JKD).
e. Dalam hal Penyelenggara menolak permohonan
perubahan lokasi SPP utama, SPP cadangan, dan/atau
pemindahan jaringan komunikasi data (JKD) Peserta,
Penyelenggara menyampaikan surat penolakan dengan
disertai alasannya.
6. Perubahan Data Pimpinan
Perubahan data pimpinan yang meliputi nama,
kewenangan, dan/atau jabatan pimpinan diatur sebagai
berikut:
a. Peserta mengajukan surat permohonan kepada
Penyelenggara mengenai
perubahan nama,
kewenangan, dan/atau jabatan pimpinan dengan
menggunakan format sebagaimana dimaksud pada
Contoh ...
11
Contoh 13 dalam Lampiran II.
b. Surat permohonan sebagaimana dimaksud pada huruf
a dilengkapi dengan dokumen pendukung yang telah
dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang atau
dinyatakan sesuai asli oleh pimpinan yang telah
memiliki spesimen tanda tangan di Penyelenggara
sebagai berikut:
1) fotokopi perubahan Anggaran Dasar mengenai
pengangkatan pimpinan, bagi Peserta yang
berbadan hukum Indonesia;
2) fokokopi bukti identitas diri pimpinan, berupa:
a) Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau Surat Izin
Mengemudi (SIM) atau paspor, bagi Warga
Negara Indonesia (WNI); atau
b) paspor, Keterangan Izin Tinggal Sementara
(KITAS), dan surat izin kerja dari otoritas
berwenang, bagi Warga Negara Asing (WNA),
yang masih berlaku.
3) Bagi pimpinan baru pada Peserta, selain
memenuhi kelengkapan sebagaimana dimaksud
pada angka 1) dan angka 2), harus melengkapi
persyaratan dokumen berupa:
a)
fotokopi surat dari lembaga yang berwenang
mengenai susunan pimpinan Peserta yang
tercatat pada tata usaha lembaga yang
berwenang atau persetujuan fit and proper
test dari lembaga pengawas yang berwenang
bagi calon Direksi Bank;
b) fotokopi surat kuasa (power of attorney) dari
kantor pusat Bank yang berkedudukan di
luar negeri kepada pimpinan kantor cabang
berikut terjemahannya dalam Bahasa
Indonesia yang dibuat oleh penerjemah
tersumpah, bagi kantor cabang Bank yang
kantor ...
12
kantor pusatnya berkedudukan di luar
negeri; dan
c)
fotokopi struktur organisasi yang masih
berlaku, bagi kantor cabang dari Bank yang
kantor pusatnya berkedudukan di luar
negeri.
c. Dalam hal terdapat perubahan nama, kewenangan,
dan/atau jabatan pimpinan, surat permohonan
perubahan data pimpinan sebagaimana dimaksud
pada huruf a dilengkapi dengan surat pernyataan tetap
diberlakukannya spesimen tanda tangan pimpinan
dengan menggunakan format sebagaimana dimaksud
pada Contoh 14 dalam Lampiran II.
d. Surat permohonan sebagaimana dimaksud pada huruf
a ditandatangani oleh pejabat yang berwenang yang
telah memiliki spesimen tanda tangan di Penyelenggara
dengan ketentuan sebagai berikut:
1) surat disampaikan ke alamat sebagaimana
dimaksud dalam butir II.A.2.a; dan
2) bagi Peserta yang berkedudukan di wilayah kerja
Kantor Perwakilan Bank Indonesia Dalam Negeri
(KPwDN), surat permohonan disampaikan dengan
tembusan kepada Kantor Perwakilan Bank
Indonesia Dalam Negeri
mewilayahi.
(KPwDN)
yang
e. Dalam hal perubahan data pimpinan mencakup
perubahan pimpinan baru maka pimpinan baru harus
membuat spesimen tanda tangan di hadapan pejabat
Penyelenggara atau pejabat Kantor Perwakilan Bank
Indonesia Dalam Negeri (KPwDN) setelah surat
permohonan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan
dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam
huruf b diterima oleh Penyelenggara secara lengkap.
f. Dalam hal Peserta yang mengajukan permohonan
perubahan data pimpinan merupakan peserta Sistem
BI-RTGS ...
13
BI-RTGS dan pimpinan baru telah memiliki spesimen
tanda tangan di Sistem BI-RTGS maka Peserta dapat
meminta penambahan kewenangan pimpinan pemilik
spesimen tanda tangan di Sistem BI-RTGS dengan
kewenangan dalam operasional BI-SSSS, dengan
menggunakan format sebagaimana dimaksud pada
Contoh 8.B dalam Lampiran II.
g. Penyelenggara memberikan persetujuan atau
penolakan perubahan data pimpinan melalui surat
yang penyampaiannya dapat didahului dengan
faksimile kepada Peserta yang bersangkutan, paling
lama 14 (empat belas) hari kerja setelah surat
permohonan sebagaimana dimaksud dalam huruf a
dan dokumen pendukung sebagaimana dimaksud
dalam huruf b diterima oleh Penyelenggara secara
lengkap.
h. Dalam hal Penyelenggara menyetujui permohonan
perubahan data pimpinan maka:
1) Penyelenggara
menyampaikan
surat
pemberitahuan mengenai:
a) pembuatan spesimen tanda tangan bagi
pimpinan baru; dan
b) tanggal efektif pencabutan kewenangan
pimpinan dalam hal terdapat perubahan
kewenangan pimpinan;
2) spesimen tanda tangan sebagaimana dimaksud
pada
angka 1)
berlaku efektif sejak
pemberitahuan dari Penyelenggara mengenai
tanggal efektif berlakunya spesimen tanda tangan
atau paling lama 5 (lima) hari kerja sejak tanggal
pembuatan spesimen tanda tangan.
3) data yang telah ditatausahakan di Penyelenggara
dianggap masih berlaku dan segala tindakan
hukum yang dilakukan oleh pimpinan
sebagaimana dimaksud dalam butir 1)b)
sepenuhnya ...
14
sepenuhnya menjadi tanggung jawab Peserta,
dalam hal Peserta tidak memberitahukan
perubahan data pimpinan kepada Penyelenggara.
i. Dalam hal Penyelenggara menolak permohonan
perubahan
data
pimpinan, Penyelenggara
menyampaikan surat penolakan dengan disertai
alasannya.
7. Perubahan Bank Pembayar
Perubahan Bank Pembayar diatur sebagai berikut:
a. Peserta mengajukan surat permohonan kepada
Penyelenggara dengan melampirkan dokumen sebagai
berikut:
1) surat penunjukan Bank Pembayar sebagaimana
dimaksud pada Contoh 9.A dalam Lampiran II;
dan
2) surat konfirmasi Bank Pembayar sebagaimana
dimaksud pada Contoh 9.B dalam Lampiran II.
b. Surat permohonan sebagaimana dimaksud pada huruf
a ditandatangani oleh pejabat yang berwenang yang
memiliki spesimen tanda tangan di Penyelenggara
dengan ketentuan sebagai berikut:
1) surat disampaikan ke alamat sebagaimana
dimaksud dalam butir II.A.2.a.; dan
2) bagi Peserta yang berkedudukan di wilayah kerja
Kantor Perwakilan Bank Indonesia Dalam Negeri
(KPwDN), surat permohonan disampaikan dengan
tembusan kepada Kantor Perwakilan Bank
Indonesia Dalam Negeri
mewilayahi.
(KPwDN)
yang
c. Penyelenggara menyampaikan tanggapan tertulis
melalui surat yang penyampaiannya dapat didahului
dengan faksimile kepada Peserta yang bersangkutan
paling lama 14 (empat belas) hari kerja setelah surat
permohonan diterima oleh Penyelenggara mengenai:
1) persetujuan perubahan Bank Pembayar beserta
tanggal efektif perubahan Bank Pembayar; atau
2) penolakan ...
15
2) penolakan perubahan Bank Pembayar beserta
alasan penolakan.
8. Perubahan Kuasa
Perubahan kuasa dilakukan dalam rangka penambahan,
pergantian, dan/atau pencabutan kuasa pejabat dan/atau
petugas.
Perubahan kuasa diatur sebagai berikut:
a. Peserta mengajukan surat permohonan perubahan
kuasa dengan ketentuan sebagai berikut:
1) Penambahan dan/atau pergantian kuasa pejabat,
dan/atau petugas serta permintaan pembuatan
spesimen tanda tangan menggunakan format
sebagaimana dimaksud pada Contoh 15 dalam
Lampiran II.
ketentuan, persyaratan, dan prosedur pemberian
kuasa berpedoman pada butir C.12.a dan butir
C.12.c.
2) Pencabutan seluruh atau sebagian kuasa kepada
pejabat penerima kuasa dan/atau petugas
penerima kuasa,
menggunakan format
sebagaimana dimaksud pada Contoh 16 dalam
Lampiran II.
3) Perubahan kewenangan menggunakan format
sebagaimana dimaksud pada Contoh 7 dalam
Lampiran II.
b. Surat permohonan sebagaimana dimaksud pada huruf
a ditandatangani oleh pejabat yang berwenang yang
telah memiliki spesimen tanda tangan di Penyelenggara
dengan ketentuan sebagai berikut:
1) surat disampaikan ke alamat sebagaimana
dimaksud pada butir II.A.2.a; dan
2) bagi Peserta yang berkedudukan di wilayah kerja
Kantor Perwakilan Bank Indonesia Dalam Negeri
(KPwDN), surat permohonan disampaikan dengan
tembusan kepada Kantor Perwakilan Bank
Indonesia ...
16
Indonesia Dalam Negeri (KPwDN) yang
mewilayahi.
c. Penyelenggara menyampaikan tanggapan tertulis
melalui surat yang penyampaiannya dapat didahului
dengan faksimile kepada Peserta yang bersangkutan
paling lama 5 (lima) hari kerja setelah surat
permohonan diterima oleh Penyelenggara secara
lengkap, mengenai:
1) persetujuan dan tanggal efektif penambahan
dan/atau pergantian kuasa pejabat dan/atau
petugas; atau
2) penolakan penambahan dan/atau pergantian
kuasa pejabat dan/atau petugas dengan disertai
alasannya.
d. Dalam hal Peserta tidak mengajukan permohonan
perubahan kewenangan Pejabat penerima kuasa
dan/atau petugas penerima kuasa kepada
Penyelenggara maka data yang telah ditatausahakan di
Penyelenggara dianggap masih berlaku dan segala
tindakan hukum yang dilakukan Pejabat penerima
kuasa dan/atau petugas penerima kuasa tersebut
sepenuhnya menjadi tanggung jawab Peserta.
9. Perubahan Penggunaan Infrastruktur
a. Perubahan penggunaan infrastruktur meliputi:
1) perubahan penggunaan infrastruktur yang
dikelola sendiri menjadi penggunaan infrastruktur
yang dikelola pihak lain;
2) perubahan penggunaan infrastruktur yang
dikelola oleh pihak lain menjadi penggunaan
infrastruktur yang dikelola sendiri; atau
3) perubahan penggunaan infrastruktur yang
dikelola oleh pihak lain yang berbeda.
b. Prosedur perubahan data kepesertaan terkait perubahan
penggunaan infrastruktur diatur sebagai berikut:
1) Peserta ...
17
1) Peserta menyampaikan surat permohonan
perubahan penggunaan infrastruktur kepada
Penyelenggara dengan melampirkan dokumen
sebagai berikut:
a) data kepesertaan sebagaimana dimaksud
pada Contoh 2 dalam Lampiran II;
b) surat pernyataan dari pimpinan yang
menyatakan kesiapan infrastruktur dan
memuat informasi spesifikasi infrastruktur
sebagaimana yang telah ditetapkan oleh
Penyelenggara sebagaimana dimaksud dalam
butir C.3.g; dan
c) dalam hal Peserta menggunakan
infrastruktur yang dikelola pihak lain maka
selain melampirkan dokumen sebagaimana
dimaksud pada huruf a) dan huruf b),
Peserta juga harus melengkapi dokumen
sebagaimana dimaksud dalam butir B.3.a
dan butir B.3.b.
2) Surat permohonan sebagaimana dimaksud pada
angka 1) ditandatangani oleh pejabat yang
berwenang yang telah memiliki spesimen tanda
tangan di Penyelenggara dan disampaikan kepada
Penyelenggara dengan ketentuan sebagai berikut:
a) surat disampaikan ke alamat sebagaimana
dimaksud dalam butir II.A.2.a; dan
b) bagi Peserta yang berkedudukan di wilayah
kerja Kantor Perwakilan Bank Indonesia
Dalam Negeri (KPwDN), surat permohonan
disampaikan dengan tembusan kepada
Kantor Perwakilan Bank Indonesia Dalam
Negeri (KPwDN) yang mewilayahi.
3) Penyelenggara dapat melakukan pemeriksaan ke
lokasi infrastruktur yang digunakan Peserta.
4) Penyelenggara ...
18
4) Penyelenggara menyampaikan tanggapan melalui
surat yang penyampaiannya dapat didahului
dengan faksimile kepada Peserta yang
bersangkutan mengenai:
a) persetujuan perubahan penggunaan
infrastruktur Peserta beserta tanggal efektif
perubahan penggunaan infrastruktur
Peserta; atau
b) penolakan
perubahan
infrastruktur Peserta
penolakan.
penggunaan
beserta alasan
10. Dalam hal Peserta merupakan peserta Sistem BI-RTGS dan
dokumen pendukung yang telah disampaikan kepada
Penyelenggara Sistem BI-RTGS sama dengan dokumen
pendukung di BI-SSSS, dokumen pendukung untuk
perubahan data kepesertaan sebagaimana dimaksud pada
angka 1 sampai dengan angka 9 dapat tidak disampaikan
kepada Penyelenggara.
11. Dalam hal terdapat perbedaan tanda tangan antara yang
tercantum pada identitas diri dengan yang tercantum pada
spesimen tanda tangan pejabat atau petugas penerima kuasa
yang ditatausahakan di Penyelenggara maka Peserta harus
menyampaikan surat pernyataan perbedaan tanda tangan
sebagaimana dimaksud pada Contoh 17 dalam Lampiran II.
5. Ketentuan butir III.F.2 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
2. Kewajiban Sub-Registry
a. Meneruskan hasil Setelmen atas transaksi Surat Berharga
kepada nasabah pada tanggal yang sama dengan tanggal
pelaksanaan Setelmen.
b. Meneruskan pembayaran kupon/bunga atau imbalan dan
pelunasan pokok/nominal Surat Berharga kepada nasabah
pemilik Surat Berharga pada tanggal yang sama dengan
tanggal Sub-Registry menerima pembayaran kupon/bunga
atau imbalan dan pelunasan pokok/nominal Surat
Berharga dari penerbit Surat Berharga.
c. Menjamin ...
19
c. Menjamin kebenaran penatausahaan dan laporan
kepemilikan Surat Berharga atas nama seluruh nasabah.
d. Menyelesaikan masalah perbedaan pencatatan kepemilikan
Surat Berharga antara Sub-Registry dengan nasabah, dalam
hal terdapat perbedaan pencatatan kepemilikan Surat
Berharga antara Sub-Registry dengan nasabah.
e. Memenuhi jumlah minimum pencatatan kepemilikan Surat
Berharga rata-rata bulanan paling sedikit sebesar
Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah) dalam 12
(dua belas) bulan terakhir, bagi Sub-Registry yang telah
melakukan kegiatan pencatatan kepemilikan Surat
Berharga di BI-SSSS lebih dari 12 (dua belas) bulan.
f. Menjaga agar posisi Kewajiban Pemenuhan Modal Minimum
(KPMM) bagi Bank kustodian atau modal disetor bagi
lembaga kustodian bukan Bank tidak kurang dari posisi
KPMM atau modal disetor sesuai ketentuan yang berlaku.
g. Mengelola dan melaporkan data nasabah secara lengkap
dan benar melalui SI BI-SSSS, dengan informasi dan tata
cara pengisian sebagaimana dimaksud dalam Lampiran IV.
h. Menjaga keamanan SI BI-SSSS dan kerahasiaan data
termasuk user administrator lokal yang disampaikan oleh
Penyelenggara.
i. Menyediakan KPT yang paling kurang mencakup
penatausahaan Surat Berharga dan penggunaan SI BI-
SSSS di internal Sub-Registry antara lain mengenai
pemberian akses dan pengamanan penggunaan aplikasi SI
BI-SSSS.
j. Menyampaikan laporan kepada Penyelenggara dengan
benar dan tepat waktu melalui SI BI-SSSS dan/atau sarana
lain.
k. Melakukan rekonsiliasi secara harian antara data Setelmen
pada SI BI-SSSS dengan data Setelmen transaksi yang
terjadi di Sub-Registry.
l. Melakukan koreksi data pelaporan melalui SI BI-SSSS,
dalam hal terdapat kesalahan dan menginformasikan
kepada Penyelenggara melalui surat.
m. Menginformasikan ...
20
m. Menginformasikan biaya yang akan dibebankan Peserta
kepada nasabah terkait Setelmen melalui BI-SSSS secara
transparan dan pada tempat yang mudah terlihat oleh
nasabah.
n. Melengkapi data nasabah sebagaimana dimaksud pada
huruf g dengan nomor tunggal identitas investor
sebagaimana Single Investor Identity yang digunakan di
pasar modal, dan menginformasikan nomor tunggal
identitas investor tersebut kepada nasabah yang
bersangkutan.
6. Ketentuan butir IV.A.6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
6. Instruksi setelmen dengan tanggal setelmen (tanggal valuta) yang
jatuh pada hari Penyelenggara tidak melakukan kegiatan
operasional tidak dapat dijalankan dan di-roll over ke hari kerja
berikutnya.
7. Ketentuan butir IV.D.3.c.3).a) diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
a) Penunjukan Bank Pembayar oleh Sub-Registry dan Peserta yang
tidak memiliki Rekening Setelmen Dana sebagaimana dimaksud
pada angka 2) dilakukan dengan mengajukan surat penunjukan
Bank Pembayar kepada Penyelenggara yang dilengkapi dengan
surat konfirmasi sebagai Bank Pembayar.
8. Ketentuan butir IV.G.4.g. diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
g. Pembatalan karena kondisi sebagaimana dimaksud dalam butir
f.1) diatur sebagai berikut:
1)
Peserta mengajukan surat permohonan kepada
Penyelenggara untuk pelaksanaan pembatalan Setelmen
second leg sebagaimana Contoh 10 dalam Lampiran II.
2)
Surat permohonan sebagaimana dimaksud pada angka 1)
dapat didahului dengan mengirimkan administrative
messages atau faksimile.
3)
Surat permohonan sebagaimana dimaksud pada angka 1),
dilengkapi dengan dokumen pendukung yaitu bukti
transaksi, surat kuasa dari Peserta lawan transaksi,
keputusan ...
21
keputusan lembaga berwenang, putusan pengadilan,
dan/atau putusan arbitrase yang mengakibatkan
transaksi Setelmen second leg harus dibatalkan.
4)
Berdasarkan surat permohonan sebagaimana dimaksud
pada angka 1), Penyelenggara melakukan pembatalan
Setelmen second leg (cancel second leg) atas transaksi
Peserta yang bersangkutan.
5)
Penyelenggara menyampaikan informasi pelaksanaan
pembatalan Setelmen second leg (cancel second leg) kepada
kedua belah pihak Peserta yang bertransaksi.
9. Ketentuan butir IV.I.4.a diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
a. Dalam rangka penatausahaan Surat Berharga nasabah, Sub-
Registry mempunyai kewajiban pelaporan dengan ketentuan
sebagai berikut:
1)
Laporan Harian
a) Dalam hal terdapat Transaksi, Sub-Registry wajib
menyampaikan laporan secara harian pada tanggal
Setelmen, yang terdiri atas:
(1) Laporan Setelmen transaksi antar nasabah
dalam Sub-Registry yang sama (inhouse transfer);
dan/atau
(2) Laporan informasi data nasabah atas Setelmen
transaksi Surat Berharga yang dilakukan melalui
BI-SSSS.
b) Laporan Harian disampaikan melalui SI BI-SSSS
dengan mengacu pada tata cara dan format laporan
sebagaimana dimaksud dalam Lampiran IV.
2)
Laporan Bulanan
a) Laporan Bulanan memuat informasi posisi
kepemilikan Surat Berharga nasabah Sub-Registry
pada akhir bulan.
b) Laporan Bulanan disampaikan melalui SI BI-SSSS
dengan mengacu pada tata cara dan format laporan
sebagaimana dimaksud dalam Lampiran IV.
3) Laporan ...
22
3)
Laporan Setelmen Transaksi Penerbitan Surat Berharga
a)
Laporan Setelmen Transaksi Penerbitan Surat
Berharga memuat informasi hasil Setelmen
transaksi penerbitan Surat Berharga atas nasabah
yang tercatat di Sub-Registry.
b)
Laporan Setelmen Transaksi Penerbitan Surat
Berharga sebagaimana dimaksud pada huruf a)
disampaikan melalui SI BI-SSSS dengan mengacu
pada tata cara dan format laporan sebagaimana
dimaksud dalam Lampiran IV.
4)
Laporan Setelmen Transaksi Buyback/Debt Switching
a)
Laporan Setelmen
Transaksi Buyback/Debt
b)
Switching memuat informasi hasil Setelmen
transaksi buyback/debt switching atas nasabah
yang tercatat di Sub-Registry.
Laporan
Setelmen
Switching sebagaimana dimaksud pada huruf a)
disampaikan melalui SI BI-SSSS dengan mengacu
pada tata cara dan format laporan sebagaimana
dimaksud dalam Lampiran IV.
5)
Laporan Data Nasabah
a)
Sub-Registry harus menyampaikan Laporan Data
Nasabah untuk pengisian database nasabah di SI
BI-SSSS, yang berisi:
(1) data nasabah baru; dan/atau
(2) perubahan data nasabah.
b)
Dalam hal nasabah tidak terdaftar dalam database
nasabah di SI BI-SSSS maka Sub-Registry dianggap
tidak menyampaikan Laporan Harian.
c)
Laporan sebagaimana dimaksud pada huruf a)
disampaikan melalui SI BI-SSSS dengan mengacu
pada tata cara dan format laporan sebagaimana
dimaksud dalam Lampiran IV.
Transaksi Buyback/Debt
6) Laporan ...
23
6)
Laporan lainnya
Dalam hal diperlukan, Bank Indonesia dapat meminta
Sub-Registry untuk menyampaikan laporan lainnya.
10. Ketentuan butir XI.4 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
4. Ketentuan mengenai kewajiban Peserta menyampaikan laporan
berkala berupa LHPK sebagaimana dimaksud pada butir
VIII.6.a.1) mulai berlaku untuk periode laporan tahun 2016.
11. Ketentuan butir XI.5 diubah sehingga menjadi sebagai berikut:
5. Ketentuan mengenai pengenaan sanksi administratif berupa
kewajiban membayar atas pelanggaran kewajiban penyampaian
laporan harian sebagaimana dimaksud pada butir IX.4.a, mulai
berlaku pada tanggal 1 April 2017.
12. Lampiran II, Lampiran IV, dan Lampiran VIII diubah sehingga
menjadi sebagaimana tercantum dalam Lampiran II, Lampiran IV,
dan Lampiran VIII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Surat Edaran Bank Indonesia ini.
Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 3
Oktober 2016.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman
Surat Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita
Negara Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA,
BRAMUDIJA HADINOTO
KEPALA DEPARTEMEN PENYELENGGARAAN
SISTEM PEMBAYARAN
"," SE-BI
18/20/DPSP|SE-BI/2016
Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/31/DPSP tanggal 13 November 2015 perihal Penyelenggaraan Penatausahaan Surat Berharga Melalui Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System
23 September 2016
3 Oktober 2016
'17/31/DPSP|SE-BI/2015'
'17/31/DPSP|SE-BI/2015', '17/18/PBI/2015'
"
" No.11/ 27 /DKBU
Jakarta, 5 Oktober 2009
SURAT EDARAN
Kepada
SEMUA BANK UMUM
DI INDONESIA
Perihal : Perubahan Atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 31/20/UK
tanggal 12 Februari 1999 perihal Kredit kepada Pengusaha Kecil
dan Pengusaha Mikro melalui Bank Umum.
Sehubungan dengan hasil evaluasi terhadap ketentuan penyaluran skim
Kredit kepada Pengusaha Kecil dan Pengusaha Mikro (KPKM) melalui Bank
Umum, maka dipandang perlu untuk melakukan perubahan atas Surat Edaran
Bank Indonesia Nomor 31/20/UK tanggal 12 Februari 1999 perihal Kredit kepada
Pengusaha Kecil dan Pengusaha Mikro (KPKM) melalui Bank Umum sebagai
berikut :
1. Ketentuan butir V.B diubah sehingga berbunyi sebagai berikut :
B. PENARIKAN KEMBALI KLBI
1. Bank wajib mengembalikan pembayaran bunga dan/atau pelunasan
KPKM yang diterima dari nasabah kepada Bank Indonesia.
2. Pengembalian pembayaran bunga dan/atau pelunasan KPKM kepada
Bank Indonesia tersebut dilakukan oleh Bank dengan cara :
a. Bank menyampaikan laporan sebagaimana formulir dalam
Lampiran 3 Surat Edaran ini dan dapat disampaikan melalui sarana
faksimili atau surat.
b. Laporan …
b. Laporan sebagaimana dimaksud pada huruf a paling lambat
diterima oleh Bank Indonesia pada setiap akhir bulan. Dalam hal
akhir bulan dimaksud jatuh pada hari libur maka laporan harus
sudah diterima oleh Bank Indonesia pada hari kerja berikutnya.
c. Atas dasar laporan sebagaimana dimaksud pada huruf b tersebut,
Bank Indonesia akan mendebet rekening giro Bank di Bank
Indonesia.
3. Dalam hal pembayaran bunga dan/atau pelunasan KPKM dilaporkan
oleh Bank melewati batas waktu yang ditentukan sebagaimana
dimaksud pada butir 2 b, maka atas jumlah pembayaran bunga dan/atau
pelunasan KPKM akan dikenakan suku bunga deposito tertinggi yang
berlaku pada Bank yang bersangkutan yang dihitung sejak tanggal
diterima pembayaran bunga dan/atau pelunasan KPKM oleh Bank
sampai dengan tanggal diterimanya laporan tersebut oleh Bank
Indonesia.
4. Tingkat suku bunga deposito tertinggi sebagaimana dimaksud pada
angka 3 adalah tingkat suku bunga deposito tertinggi pada tanggal
diterimanya pembayaran bunga dan/atau pelunasan KPKM oleh Bank.
2. Lampiran 3 diubah menjadi sebagaimana lampiran Surat Edaran ini.
Ketentuan dalam Surat Edaran ini mulai berlaku pada tanggal 5 Oktober
2009.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat
Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA,
RATNA E. AMIATY
DIREKTUR KREDIT, BPR DAN UMKM
Lampiran 3
LAPORAN PENERIMAAN BUNGA DAN ATAU PELUNASAN KPKM
PERIODE BULAN…………………….. TAHUN…………………..
NO. KETERANGAN
(1)
TA :….
I KREDIT MODAL
KERJA
-Nasabah Individual
-Nasabah Kelompok
II KREDIT
INVESTASI
-Nasabah Individual
-Nasabah Kelompok
TA :….
I KREDIT MODAL
KERJA
-Nasabah Individual
-Nasabah Kelompok
II KREDIT
INVESTASI
-Nasabah Individual
-Nasabah Kelompok
JUMLAH
Keterangan :
(1) Cukup jelas
(2) Tanggal pelunasan oleh debitur
(3) Jumlah pembayaran bunga yang diterima dari nasabah/debitur (sebelum dikurangi porsi bank)
(4) Jumlah pembayaran pokok kredit yang diterima dari nasabah/debitur
(5) Pembayaran pokok dan bunga kredit yang diterima dari nasabah/debitur
(6) Imbalan yang telah dibayarkan kepada bank
(7) Imbalan bagi kelompok (dalam hal KPKM diberikan kepada kelompok)
(8) Imbalan yang telah dibayarkan bank dan kelompok
(9) Jumlah pembayaran pokok kredit yang diterima dari nasabah/debitur
(10) Jumlah pembayaran bunga yang diterima dari nasabah/debitur (sebelum dikurangi porsi bank) dikurangi dengan imbalan yang
telah dibayarkan bank dan kelompok
(11) Jumlah pokok dan bunga yang disetorkan ke BI
(12)
……………… Tgl……... Bln……… Tahun……….
PT Bank …………..…
Kantor Cabang …..………
)
(…………………….)
TANGGAL
PELUNASAN
(2)
JML SETORAN NASABAH
BUNGA POKOK TOTAL
(3)
(4)
(5)=(3) +(4)
IMBALAN YANG TELAH DIBAYARKAN
BANK KELOMPOK TOTAL
(6)
(7)
(8)=(6)+(7)
JUMLAH DISETOR KE BI
POKOK BUNGA TOTAL
(9) = (4)
(10)= (3)-(8) (11)=(9)+(10)
"," SE-BI
11/27/DKBU|SE-BI/2009
Perubahan Atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 31/20/UK tanggal 12 Februari 1999 perihal Kredit kepada Pengusaha Kecil dan Pengusaha Mikro melalui Bank Umum.
5 Oktober 2009
5 Oktober 2009
'31/20/UK|SE-BI/1999'
'31/20/UK|SE-BI/1999'
"
" No.7/42/DPNP
Jakarta, 6 September 2005
S U R A T E D A R A N
Kepada
SEMUA BANK UMUM
YANG MELAKSANAKAN KEGIATAN KONVENSIONAL
DI INDONESIA
Perihal : Giro Wajib Minimum Bank Umum Pada Bank Indonesia
Dalam Rupiah Dan Valuta Asing
Sehubungan dengan ditetapkannya Peraturan Bank Indonesia Nomor
6/15/PBI/2004 tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum Pada Bank Indonesia
Dalam Rupiah Dan Valuta Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2004 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4390)
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor
7/29/PBI/2005 tanggal 6 September 2005 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2005 Nomor 80, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4529), dipandang perlu untuk menjelaskan lebih lanjut beberapa ketentuan dalam
Peraturan Bank Indonesia tersebut di atas sebagai berikut:
I. UMUM
Stabilitas moneter merupakan hal yang sangat diperlukan dalam rangka
menciptakan kondisi perekonomian yang kondusif dan stabil. Salah satu
piranti …
piranti moneter yang digunakan Bank Indonesia untuk mempertahankan
stabilitas moneter adalah melalui penerapan Giro Wajib Minimum (GWM)
kepada bank-bank di Indonesia.
Beberapa indikator perekonomian mengindikasikan perlunya dilakukan
perubahan dalam kebijakan Bank Indonesia yang terkait dengan pengaturan
likuiditas dalam rupiah, khususnya likuiditas rupiah dari sistem perbankan.
Berkenaan dengan hal tersebut, Bank Indonesia memandang perlu untuk
mengubah perhitungan tambahan GWM dalam rupiah berdasarkan besarnya
Dana Pihak Ketiga (DPK) dan Loan to Deposit Ratio (LDR). Sebagai
kompensasi atas perubahan perhitungan tambahan GWM, Bank Indonesia
memberikan jasa giro terhadap kewajiban memelihara tambahan GWM
dimaksud.
II. JASA GIRO
Sesuai dengan Pasal 11 ayat (1) Peraturan Bank Indonesia
Nomor 6/15/PBI/2004 tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum Pada
Bank Indonesia Dalam Rupiah Dan Valuta Asing sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/29/PBI/2005, Bank
Indonesia memberikan jasa giro terhadap bagian saldo Rekening Giro
Rupiah Bank yang diperuntukkan untuk pemenuhan kewajiban memelihara
tambahan GWM dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat
(3) dan ayat (4) sebesar 5,5% (lima setengah perseratus) pertahun.
Jasa giro dimaksud merupakan tingkat bunga efektif tahunan (effective
annual rate) yang ditentukan berdasarkan periode compounding harian
selama 360 (tiga ratus enam puluh) hari, dengan rumus sebagai berikut:
Tingkat bunga efektif tahunan =(1 + (
Tingkat bunga
tahunan
360 hari
Dengan …
))360 hari – 1
Dengan demikian, jasa giro yang diberikan terhadap bagian saldo Rekening
Giro Rupiah Bank yang diperuntukkan untuk pemenuhan kewajiban
memelihara tambahan GWM dalam rupiah adalah sebesar 0,0149%
perhari.
Jasa giro sebagaimana dimaksud di atas dihitung untuk setiap hari kerja
berdasarkan saldo Rekening Giro Rupiah Bank yang tercatat dan diperoleh
dari sistem
akunting Bank Indonesia. Pengkreditan jasa giro pada
Rekening Giro Rupiah Bank, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17
Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/15/PBI/2004 tentang Giro Wajib
Minimum Bank Umum Pada Bank Indonesia Dalam Rupiah Dan Valuta
Asing sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia
Nomor 7/29/PBI/2005, dilakukan sebagai berikut:
a. tanggal 8 bagi jasa giro periode tanggal 1 sampai dengan tanggal 7 bulan
yang sama;
b. tanggal 16 bagi jasa giro periode tanggal 8 sampai dengan tanggal 15
bulan yang sama;
c. tanggal 24 bagi jasa giro periode tanggal 16 sampai dengan tanggal 23
bulan yang sama;
d. tanggal 1 bulan berikutnya bagi jasa giro periode tanggal 24 sampai
dengan tanggal akhir bulan sebelumnya.
Pendebetan Rekening Giro Bank, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17
Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/15/PBI/2004 tentang Giro Wajib
Minimum Bank Umum Pada Bank Indonesia Dalam Rupiah Dan Valuta
Asing sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia
Nomor 7/29/PBI/2005, sebagai akibat pembebanan sanksi kekurangan
GWM, dilakukan pada hari kerja berikutnya setelah tanggal terjadinya
pelanggaran GWM.
Dalam …
Dalam hal tanggal-tanggal untuk pengkreditan jasa giro maupun tanggal
pendebetan Rekening Giro Bank jatuh pada hari libur, maka pengkreditan
maupun pendebetan saldo Rekening Giro Bank tersebut dilakukan oleh
Bank Indonesia pada hari kerja berikutnya.
Dalam hal terjadi kesalahan dalam pengkreditan maupun pendebetan yang
terkait dengan pemberian jasa giro maupun pengenaan sanksi pelanggaran
GWM oleh Bank Indonesia, Bank Indonesia dapat langsung mendebet atau
mengkredit rekening giro bank yang bersangkutan sebagaimana diatur
dalam ketentuan yang mengatur mengenai Bank Indonesia-Real Time Gross
Settlement.
Contoh perhitungan GWM, jasa giro dan sanksi pelanggaran GWM:
Bank A memiliki
rata-rata harian Dana Pihak Ketiga (DPK) dalam rupiah
dalam masa laporan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 bulan Januari
sebesar Rp55.000.000.000.000,00 (lima puluh lima triliun rupiah)
dan perhitungan besarnya LDR pada akhir masa laporan minggu kedua
adalah 80%.
GWM harian yang wajib dipelihara untuk masa laporan sejak tanggal 24
sampai dengan tanggal akhir bulan Januari adalah sebesar:
1. 5% (lima perseratus) dari Rp55.000.000.000.000,00 (lima puluh lima
triliun rupiah) yaitu sebesar Rp2.750.000.000.000,00 (dua triliun tujuh
ratus lima puluh miliar rupiah), sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
ayat (1) Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/15/PBI/2004 tentang Giro
Wajib Minimum Bank Umum Pada Bank Indonesia Dalam Rupiah
Dan Valuta Asing sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank
Indonesia Nomor 7/29/PBI/2005; ditambah dengan
2. 3% …
2. 3% (tiga perseratus) dari Rp55.000.000.000.000,00 (lima puluh lima
triliun rupiah) yaitu sebesar Rp1.650.000.000.000,00 (satu triliun
enam ratus lima puluh miliar rupiah), yang merupakan tambahan
GWM berdasarkan DPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
ayat (3) huruf d Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/15/PBI/2004
tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum Pada Bank Indonesia
Dalam Rupiah Dan Valuta Asing sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/29/PBI/2005; ditambah dengan
3.
1% (satu perseratus) dari Rp55.000.000.000.000,00 (lima puluh lima
triliun rupiah) yaitu sebesar Rp550.000.000.000,00 (lima ratus lima
puluh miliar rupiah), yang merupakan tambahan GWM berdasarkan
LDR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4) huruf b Peraturan
Bank Indonesia Nomor 6/15/PBI/2004 tentang Giro Wajib Minimum
Bank Umum Pada Bank Indonesia Dalam Rupiah Dan Valuta Asing
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia
Nomor 7/29/PBI/2005.
Saldo Rekening Giro Rupiah Bank A di Bank Indonesia pada:
tanggal 24 Januari adalah sebesar Rp4.950.000.000.000,00 (empat
triliun sembilan ratus lima puluh miliar rupiah) atau 9% dari DPK dalam
rupiah;
tanggal 25 Januari adalah sebesar Rp4.950.000.000.000,00 (empat
triliun sembilan ratus lima puluh miliar rupiah) atau 9% dari DPK dalam
rupiah;
tanggal 26 Januari adalah sebesar Rp4.565.000.000.000,00 (empat
triliun lima ratus enam puluh lima miliar rupiah) atau 8,3% dari DPK
dalam rupiah;
tanggal …
tanggal 27 Januari adalah sebesar Rp5.555.000.000.000,00 (lima triliun
lima ratus lima puluh lima miliar rupiah) atau 10,1% dari DPK dalam
rupiah;
tanggal 28 Januari adalah sebesar Rp7.051.000.000.000,00 (tujuh triliun
lima puluh satu miliar rupiah) atau 12,82% dari DPK dalam rupiah;
tanggal 29 Januari adalah sebesar Rp6.050.000.000.000,00 (enam triliun
lima puluh miliar rupiah) atau 11% dari DPK dalam rupiah;
tanggal 30 Januari adalah sebesar Rp4.950.000.000.000,00 (empat
triliun sembilan ratus lima puluh miliar rupiah) atau 9% dari DPK dalam
rupiah;
tanggal 31 Januari adalah sebesar Rp4.950.000.000.000,00 (empat
triliun sembilan ratus lima puluh miliar rupiah) atau 9% dari DPK dalam
rupiah.
Diasumsikan tanggal 24, 25, 31 Januari dan tanggal 1 Februari adalah hari
libur.
Rata-rata suku bunga jangka waktu 1 (satu) hari overnight dari JIBOR pada
tanggal 26 Januari adalah sebesar 8%.
Saldo Rekening Giro Rupiah pada tanggal 24, 25, dan 31 Januari tidak
diberikan jasa giro, karena tanggal-tanggal tersebut jatuh pada hari bukan
hari kerja. Perhitungan jasa giro untuk masing-masing tanggal 27, 28, 29
dan 30 Januari adalah sebagai berikut:
0,0149% x bagian saldo Rekening Giro Rupiah Bank yang merupakan
kewajiban pemeliharaan tambahan GWM; yaitu
0,0149% x Rp2.200.000.000.000,00 = Rp327.800.000,00
Sanksi …
Sanksi terhadap kekurangan pemenuhan GWM pada tanggal 26 Januari
dihitung sebagai berikut:
Rp385.000.000.000,00 x 1,25 x 8 x 1 hari
360 x 100
= Rp106.944.444,44
Pengkreditan jasa giro untuk masing-masing tanggal 27, 28, 29 dan 30
Januari dilakukan oleh Bank Indonesia pada Rekening Giro Rupiah Bank
pada tanggal 2 Februari, karena tanggal 1 Februari jatuh pada hari libur.
Jasa giro yang dikreditkan ke Rekening Giro Rupiah Bank pada tanggal
2 Februari adalah sebesar:
4 x Rp327.800.000,00= Rp1.311.200.000,00
Pendebetan Rekening Giro Rupiah Bank untuk sanksi atas kekurangan
GWM pada tanggal 26 Januari sebesar Rp106.944.444,44 dilakukan pada
hari kerja berikutnya, yaitu pada tanggal 27 Januari.
Pembulatan dalam rangka pendebetan atau pengkreditan Rekening Giro
Bank oleh Bank Indonesia dilakukan dengan memperhatikan sistem
akunting Bank Indonesia.
III. PENUTUP
Dengan berlakunya Surat Edaran Bank Indonesia ini maka Surat Edaran
Bank Indonesia Nomor 6/26/DPNP tanggal 30 Juni 2004 tentang Giro
Wajib Minimum Bank Umum Pada Bank Indonesia Dalam Rupiah Dan
Valuta Asing dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Ketentuan …
Ketentuan dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak
tanggal 8 September 2005.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman
Surat
Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita Negara
Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA,
MAMAN H. SOMANTRI
DEPUTI GUBERNUR
"," SE-BI
7/42/DPNP|SE-BI/2005
Giro Wajib Minimum Bank Umum Pada Bank Indonesia Dalam Rupiah Dan Valuta Asing
6 September 2005
8 September 2005
'6/26/DPNP|SE-BI/2004'
'7/29/PBI/2005', '6/15/PBI/2004'
"
" No.11/ 28 /DPbS
Jakarta, 5 Oktober 2009
SURAT EDARAN
Kepada
SEMUA UNIT USAHA SYARIAH
DI INDONESIA
Perihal: Unit Usaha Syariah
Dengan telah diterbitkannya Peraturan Bank Indonesia Nomor
11/10/PBI/2009 tanggal 19 Maret 2009 tentang Unit Usaha Syariah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4992), maka perlu diatur lebih lanjut peraturan
pelaksanaan mengenai Unit Usaha Syariah, dalam Surat Edaran yang mencakup
hal-hal sebagai berikut:
I. PEMBUKAAN UNIT USAHA SYARIAH (UUS)
1. Permohonan izin usaha UUS diajukan oleh Bank Umum Konvensional
(BUK) dengan menggunakan format surat sebagaimana dimaksud dalam
Lampiran 1 dan didukung dengan dokumen sebagai berikut:
a.
rancangan perubahan anggaran dasar, yang paling kurang memuat
kegiatan usaha UUS sebagaimana dimaksud dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
b.
identitas dan dokumen pendukung calon Direktur UUS dibedakan
sebagai berikut:
1) Dalam hal calon Direktur UUS bukan berasal dari salah satu
anggota Direksi BUK dan telah ditetapkan sejak awal hanya
bertugas ...
2
bertugas mengelola UUS.
a) pas foto 1 (satu) bulan terakhir ukuran 4 x 6 cm;
b)
c)
d)
fotokopi KTP atau paspor yang masih berlaku;
riwayat hidup (curriculum vitae);
surat pernyataan pribadi yang menyatakan tidak pernah
melakukan tindakan fraud (penipuan, penggelapan,
dan/atau kecurangan) di bidang perbankan, keuangan,
dan bidang usaha lainnya, tidak pernah dihukum karena
terbukti melakukan tindak pidana kejahatan;
e)
surat pernyataan pribadi yang menyatakan tidak pernah
dinyatakan pailit atau tidak pernah menjadi pemegang
saham, anggota Dewan Komisaris, atau anggota Direksi
dari perseroan dan/atau pengurus dari badan hukum
lainnya yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu
perseroan dan/atau badan hukum lainnya dinyatakan
pailit berdasarkan penetapan pengadilan dalam jangka
waktu 5 (lima) tahun terakhir sebelum tanggal pengajuan
permohonan;
f)
g)
surat pernyataan pribadi yang menyatakan tidak
memiliki hutang yang bermasalah;
surat pernyataan bahwa tidak melanggar ketentuan
rangkap jabatan sebagaimana diatur dalam Peraturan
Bank Indonesia mengenai Bank Umum Syariah;
h)
surat pernyataan yang menyatakan memiliki atau tidak
memiliki hubungan keluarga sampai dengan derajat
kedua dengan anggota Dewan Komisaris dan/atau
sesama anggota Direksi lainnya;
i)
surat pernyataan bahwa yang bersangkutan baik secara
sendiri-sendiri ...
3
sendiri-sendiri maupun bersama-sama tidak memiliki
saham melebihi 25% (dua puluh lima persen) dari modal
disetor pada perusahaan lain; dan
j)
surat keterangan atau sertifikat dari lembaga pendidikan
dan/atau pelatihan di bidang perbankan syariah yang
pernah diikuti.
2) Dalam hal calon Direktur UUS berasal dari salah satu anggota
Direksi BUK.
a) dokumen rapat umum pemegang saham atau surat
persetujuan Dewan Komisaris yang menyetujui
penunjukan atau penugasan sebagai Direktur UUS;
b)
rincian tugas dan tanggung jawab selaku Direksi BUK
selain sebagai pengelola dan penanggung jawab kegiatan
operasional UUS; dan
c)
surat keterangan atau sertifikat dari lembaga pendidikan
dan/atau pelatihan di bidang perbankan syariah yang
pernah diikuti.
c.
identitas calon Pejabat Eksekutif didukung dengan dokumen
sebagai berikut:
1) pas foto 1 (satu) bulan terakhir ukuran 4 x 6 cm;
2)
fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau paspor yang
masih berlaku;
3)
4)
riwayat hidup (curriculum vitae);
surat pernyataan pribadi yang menyatakan tidak pernah
melakukan tindakan fraud (penipuan, penggelapan, dan/atau
kecurangan) di bidang perbankan, keuangan, dan usaha
lainnya, tidak pernah dihukum karena terbukti melakukan
tindak pidana kejahatan; dan
5) surat ...
4
5)
surat keterangan atau sertifikat dari lembaga pendidikan
dan/atau pelatihan di bidang perbankan syariah yang pernah
diikuti.
d. daftar calon anggota Dewan Pengawas Syariah yang didukung
dengan dokumen sebagai berikut:
1) pas foto 1 (satu) bulan terakhir ukuran 4 x 6 cm;
2)
fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau paspor yang
masih berlaku;
3)
4)
riwayat hidup (curriculum vitae);
surat pernyataan pribadi yang menyatakan tidak pernah
melakukan tindakan fraud (penipuan, penggelapan, dan/atau
kecurangan) di bidang perbankan, keuangan, dan bidang
usaha lainnya, tidak pernah dihukum karena terbukti
melakukan tindak pidana kejahatan;
5)
surat pernyataan pribadi yang menyatakan bahwa yang
bersangkutan tidak pernah dinyatakan pailit atau tidak
pernah menjadi pemegang saham, anggota Dewan Komisaris,
atau anggota Direksi dari perseroan dan/atau pengurus dari
badan hukum lainnya yang dinyatakan bersalah menyebabkan
suatu perseroan dan/atau badan hukum lainnya dinyatakan
pailit berdasarkan penetapan pengadilan dalam jangka waktu
5 (lima) tahun terakhir sebelum tanggal pengajuan
permohonan;
6)
surat keterangan atau sertifikat dari lembaga pendidikan dan
pelatihan dan/atau Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama
Indonesia mengenai pendidikan dan/atau pelatihan di bidang
syariah mu’amalah dan di bidang perbankan dan/atau
keuangan secara umum yang pernah diikuti calon anggota
Dewan ...
5
Dewan Pengawas Syariah;
7)
surat pernyataan dari calon anggota Dewan Pengawas Syariah
bahwa yang bersangkutan tidak melanggar ketentuan rangkap
jabatan sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia
tentang Unit Usaha Syariah;
8)
e.
f.
g.
surat rekomendasi calon anggota Dewan Pengawas Syariah
dari Dewan Syariah Nasional - Majelis Ulama Indonesia;
surat pernyataan Direksi BUK mengenai alokasi dana dari BUK
untuk modal kerja UUS;
studi kelayakan mengenai peluang pasar dan potensi ekonomi;
rencana bisnis (business plan) UUS untuk tahun pertama dan
jangka menengah (tiga tahun) yang paling kurang memuat:
1)
rencana kegiatan usaha yang mencakup penghimpunan dan
penyaluran dana serta langkah-langkah kegiatan yang akan
dilakukan dalam mewujudkan rencana dimaksud; dan
2) proyeksi neraca dan laporan laba rugi;
h. bukti kesiapan operasional paling kurang berupa:
1) kesiapan gedung dan peralatan kantor termasuk foto gedung
kantor dan tata letak ruangan. Dalam hal ruangan yang
ditempati UUS menyatu dengan ruangan unit kerja BUK yang
lain, maka harus terdapat pemisahan yang jelas dengan cara
antara lain pembedaan warna ruangan, pembuatan sekat
(partisi) dan/atau pemisahan ruangan;
2) dokumen yang menunjukkan kesiapan teknologi sistem
informasi yang meliputi antara lain core banking system dan
jaringan telekomunikasi;
3) bukti kepemilikan atau dokumen penguasaan gedung kantor
antara lain berupa bukti hak atas tanah atau surat perjanjian
sewa ...
6
sewa; dan
4)
i.
j.
k.
l.
contoh formulir/warkat berlogo iB yang akan digunakan
untuk operasional UUS;
sistem dan prosedur kerja termasuk pedoman (manual) kegiatan
operasional UUS yang lengkap;
rencana struktur organisasi dan nama-nama calon Pejabat
Eksekutif;
surat pernyataan dari BUK mengenai kesanggupan untuk
menanggulangi kesulitan likuiditas yang dialami oleh UUS; dan
neraca intern BUK posisi bulan terakhir sebelum permohonan izin
usaha UUS yang ditandatangani oleh Direksi BUK dan diketahui
oleh Dewan Komisaris.
2. Pelaksanaan pembukaan kegiatan usaha UUS dilaporkan kepada Bank
Indonesia dengan menggunakan format surat sebagaimana dimaksud
dalam Lampiran 2.
II. PENUNJUKAN DAN/ATAU PENGGANTIAN DIREKTUR UNIT USAHA
SYARIAH
Penunjukan dan/atau penggantian Direktur UUS dilaporkan kepada Bank
Indonesia dengan menggunakan format surat sebagaimana dimaksud dalam
Lampiran 3 dan didukung dengan dokumen sebagaimana dimaksud dalam
butir I.1.b.
III. PENGANGKATAN, PEMBERHENTIAN DAN/ATAU PENGUNDURAN
DIRI ANGGOTA DEWAN PENGAWAS SYARIAH
1. Permohonan persetujuan calon anggota Dewan Pengawas Syariah
diajukan kepada Bank Indonesia dengan menggunakan format surat
sebagaimana ...
7
sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 4 dan didukung dengan
dokumen sebagaimana dimaksud pada butir I.1.d.
2. Pengangkatan anggota Dewan Pengawas Syariah dilaporkan kepada
Bank Indonesia dengan menggunakan format surat sebagaimana
dimaksud dalam Lampiran 5 dan didukung dengan fotokopi risalah rapat
umum pemegang saham atau keputusan Dewan Komisaris BUK
sepanjang telah diberikan kewenangan oleh rapat umum pemegang
saham.
3. Pemberhentian dan/atau pengunduran diri anggota Dewan Pengawas
Syariah dilaporkan kepada Bank Indonesia dengan menggunakan format
surat sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 6.
IV. PENGANGKATAN, PENGGANTIAN DAN/ATAU PEMBERHENTIAN
PEJABAT EKSEKUTIF
1. Pengangkatan, penggantian dan/atau pemberhentian Pejabat Eksekutif
dilaporkan kepada Bank Indonesia dengan menggunakan format surat
sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 7 dan didukung dengan
dokumen sebagai berikut:
a.
bukti pengangkatan, penggantian dan/atau pemberhentian sebagai
Pejabat Eksekutif dari Direksi atau pejabat yang berwenang;
b.
c.
identitas Pejabat Eksekutif sebagaimana dimaksud dalam butir
I.1.c.; dan
berita acara serah terima jabatan untuk penggantian dan
pemberhentian Pejabat Eksekutif.
2. Penilaian aspek integritas dan kompetensi terhadap Pejabat Eksekutif
UUS dilakukan melalui penelitian data dalam Daftar Kepatutan dan
Kelayakan (Daftar Tidak Lulus) dan Daftar Kredit Macet, serta dapat
juga dilakukan melalui wawancara, pengamatan dan pengujian
(interview ...
8
(interview, observation and test) pada saat pelaksanaan pemeriksaan
UUS.
V. KEGIATAN USAHA DI BIDANG DEVISA
Permohonan izin kegiatan usaha perbankan syariah di bidang devisa diajukan
kepada Bank Indonesia dengan menggunakan format surat sebagaimana
dimaksud dalam Lampiran 8 dan didukung dengan dokumen sebagai berikut:
a. dokumen yang menunjukkan kesiapan teknologi sistem informasi yang
mendukung kegiatan perbankan syariah di bidang devisa;
b. daftar nama pejabat dan/atau pegawai yang telah mengikuti pendidikan
dan/atau pelatihan mengenai aspek syariah dalam kegiatan usaha di
bidang devisa disertai dengan surat keterangan atau sertifikat; dan
c. daftar calon nasabah yang akan melakukan kegiatan devisa.
VI. PEMBUKAAN KANTOR UNIT USAHA SYARIAH
1. KANTOR CABANG SYARIAH (KCS)
a. Permohonan izin pembukaan KCS hanya dapat diajukan setelah
dipenuhinya persyaratan paling kurang sebagai berikut:
1) rencana pembukaan KCS telah dicantumkan dalam rencana
bisnis UUS;
2) peringkat komposit tingkat kesehatan UUS selama 2 (dua)
periode penilaian terakhir paling kurang 3 (tiga);
3) modal kerja UUS paling kurang Rp100.000.000.000,00
(seratus miliar rupiah);
4) tidak terdapat pelampauan dan/atau pelanggaran Batas
Maksimum Penyaluran Dana (BMPD);
5) rasio Non Performing Financing (NPF) netto paling tinggi
sebesar 5%; dan
6) UUS ...
9
6) UUS tidak dalam keadaan rugi yang semakin besar.
b. Permohonan izin pembukaan KCS diajukan kepada Bank Indonesia
dengan menggunakan format surat sebagaimana dimaksud dalam
Lampiran 9 dan didukung dengan dokumen sebagai berikut:
1) bukti persiapan operasional yang meliputi antara lain:
a)
struktur organisasi dan personalia;
b) kesiapan gedung dan peralatan kantor termasuk foto
gedung kantor dan tata letak ruangan.
Dalam hal KCS beralamat sama dengan KC atau KCP
BUK (co-location), maka harus terdapat pemisahan
kantor yang jelas dengan cara antara lain pembedaan
warna ruangan, pembuatan sekat (partisi) dan/atau
pemisahan ruangan;
c) dokumen yang menunjukkan kesiapan teknologi sistem
informasi dan jaringan telekomunikasi; dan
d) bukti kepemilikan atau dokumen penguasaan atas
gedung kantor antara lain berupa bukti hak atas tanah
atau surat perjanjian sewa;
2) hasil studi kelayakan yang paling kurang memuat potensi
ekonomi, peluang pasar dan tingkat kejenuhan jumlah kantor
BUS dan UUS; dan
3)
rencana penghimpunan dan penyaluran dana paling kurang
selama 12 (dua belas) bulan beserta penjelasannya.
c. Pelaksanaan pembukaan KCS dilaporkan kepada Bank Indonesia
dengan menggunakan format surat sebagaimana dimaksud dalam
Lampiran 10.
2. KANTOR ...
10
2. KANTOR DI BAWAH KANTOR CABANG SYARIAH
a. Permohonan pembukaan Kantor di bawah KCS berupa Kantor
Cabang Pembantu Syariah (KCPS) atau Kantor Kas Syariah (KKS)
hanya dapat diajukan setelah dipenuhinya persyaratan paling
kurang sebagai berikut:
1) rencana pembukaan Kantor di bawah KCS telah dicantumkan
dalam rencana bisnis UUS;
2) modal kerja UUS paling kurang Rp100.000.000.000,00
(seratus milyar rupiah);
3) lokasi Kantor di bawah KCS berada dalam satu wilayah kerja
kantor Bank Indonesia dimana lokasi KCS induknya berada;
dan
4) memiliki sistem teknologi informasi yang mampu
menggabungkan transaksi keuangan Kantor dibawah KCS
secara otomasi dan online ke dalam laporan keuangan KCS
induknya pada hari yang sama.
b. Permohonan pembukaan Kantor di bawah KCS diajukan kepada
Bank Indonesia dengan menggunakan format surat sebagaimana
dimaksud dalam Lampiran 11 dan didukung dengan dokumen
sebagai berikut:
1) bukti persiapan operasional yang meliputi antara lain:
a) kesiapan gedung dan peralatan kantor termasuk foto
gedung kantor dan tata letak ruangan.
Dalam hal Kantor di bawah KCS beralamat sama dengan
kantor BUK (co-location), maka harus terdapat
pemisahan yang jelas dengan cara antara lain pembedaan
warna ruangan, pembuatan sekat (partisi) dan/atau
pemisahan ruangan;
b) dokumen ...
11
b) dokumen yang menunjukkan kesiapan teknologi sistem
informasi dan jaringan telekomunikasi; dan
c) bukti kepemilikan atau dokumen penguasaan atas
gedung kantor antara lain berupa bukti hak atas tanah
atau surat perjanjian sewa; dan
2) hasil studi kelayakan yang paling kurang memuat potensi
ekonomi, peluang pasar, dan tingkat kejenuhan jumlah kantor
BUS dan UUS.
c. Pelaksanan pembukaan Kantor di bawah KCS dilaporkan kepada
Bank Indonesia dengan menggunakan format surat sebagaimana
dimaksud dalam Lampiran 12.
3. KEGIATAN PERBANKAN ELEKTRONIK
a. Permohonan pelaksanaan Kegiatan Perbankan Elektronik hanya
dapat diajukan setelah dipenuhinya persyaratan paling kurang
sebagai berikut:
1) Kegiatan Perbankan Elektronik telah dicantumkan dalam
rencana bisnis UUS;
2) didukung dengan sistem teknologi informasi yang
memungkinkan dilakukannya transaksi oleh nasabah secara
real time dan memiliki jaringan komunikasi yang memadai
dengan jangkauan luas; dan
3) didukung dengan sistem pengendalian risiko yang memadai.
b. Permohonan pelaksanaan Kegiatan Perbankan Elektronik diajukan
kepada Bank Indonesia dengan menggunakan format surat
sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 13 dan didukung dengan
dokumen sebagai berikut:
1) kesiapan ...
12
1) kesiapan sistem teknologi informasi yang memungkinkan
dilakukannya transaksi oleh nasabah secara real time dan
memiliki jaringan komunikasi yang memadai dengan
jangkauan luas; dan
2)
sistem pengendalian risiko atas Kegiatan Perbankan
Elektronik.
c. Pelaksanan Kegiatan Perbankan Elektronik dilaporkan kepada
Bank Indonesia dengan menggunakan format surat sebagaimana
dimaksud dalam Lampiran 14.
4. KEGIATAN PELAYANAN KAS SYARIAH
Pelaksanan Kegiatan Pelayanan Kas Syariah dilaporkan kepada Bank
Indonesia dengan menggunakan format surat sebagaimana dimaksud
dalam Lampiran 15.
5. LAYANAN SYARIAH
Pelaksanan kegiatan Layanan Syariah dilaporkan kepada Bank Indonesia
dengan menggunakan format surat sebagaimana dimaksud dalam
Lampiran 16.
6. KANTOR CABANG SYARIAH ATAU JENIS-JENIS KANTOR
LAINNYA DI LUAR NEGERI
a. Permohonan izin pembukaan KCS atau jenis-jenis kantor lainnya di
luar negeri hanya dapat diajukan setelah dipenuhinya persyaratan
paling kurang sebagai berikut:
1) rencana pembukaan kantor di luar negeri tercantum dalam
rencana bisnis UUS;
2) UUS ...
13
2) UUS telah memiliki izin untuk melakukan kegiatan usaha
perbankan syariah di bidang devisa;
3) peringkat komposit tingkat kesehatan UUS selama 2 (dua)
periode penilaian terakhir masing-masing paling kurang 3
(tiga);
4) modal kerja UUS paling kurang Rp100.000.000.000,00
(seratus miliar rupiah); dan
5) UUS memiliki profil risiko dengan peringkat Risiko
Komposit paling kurang moderate.
b. Permohonan izin pembukaan KCS atau jenis-jenis kantor lainnya di
luar negeri diajukan kepada Bank Indonesia dengan menggunakan
format surat sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 17 dan
didukung dengan dokumen sebagai berikut:
1) bukti persiapan operasional yang meliputi antara lain:
a)
struktur organisasi dan personalia; dan
b) kesiapan gedung kantor, termasuk foto gedung kantor;
2) hasil studi kelayakan yang paling kurang memuat potensi
ekonomi, peluang pasar; dan
3)
rencana kegiatan usaha paling kurang selama 12 (dua belas)
bulan beserta penjelasannya.
c. Pelaksanaan pembukaan KCS atau jenis-jenis kantor lainnya di luar
negeri dilaporkan kepada Bank Indonesia dengan menggunakan
format surat sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 18 dan
didukung dengan salinan/fotokopi izin pembukaan kantor dari
otoritas di negara setempat.
VII. PENURUNAN ...
14
VII. PENURUNAN STATUS KANTOR UNIT USAHA SYARIAH
Pelaksanaan penurunan status KCS menjadi Kantor di bawah KCS dilaporkan
kepada Bank Indonesia dengan menggunakan format surat sebagaimana
dimaksud dalam Lampiran 19.
VIII. PEMINDAHAN ALAMAT KANTOR UNIT USAHA SYARIAH
1. KANTOR UNIT USAHA SYARIAH
a. Permohonan izin pemindahan alamat kantor UUS diajukan kepada
Bank Indonesia dengan menggunakan format surat sebagaimana
dimaksud dalam Lampiran 20 dan didukung dengan bukti persiapan
operasional kantor UUS yang meliputi antara lain:
1) kesiapan gedung dan peralatan kantor termasuk foto gedung
kantor dan tata letak ruangan.
Dalam hal ruangan yang ditempati UUS menyatu dengan
ruangan unit kerja BUK yang lain, maka harus terdapat
pemisahan yang jelas dengan cara antara lain pembedaan
warna ruangan, pembuatan sekat (partisi) dan/atau pemisahan
ruangan;
2) dokumen yang menunjukkan kesiapan teknologi sistem
informasi dan jaringan telekomunikasi; dan
3) bukti kepemilikan atau dokumen penguasaan atas gedung
kantor antara lain berupa bukti hak atas tanah atau surat
perjanjian sewa.
b. Pelaksanaan pemindahan alamat kantor UUS dilaporkan kepada
Bank Indonesia dengan menggunakan format surat sebagaimana
dimaksud dalam Lampiran 21 dan didukung dengan guntingan
surat kabar yang memuat pengumuman rencana pemindahan alamat
tersebut.
2. KANTOR ...
15
2. KANTOR CABANG SYARIAH
a. Permohonan izin pemindahan alamat KCS diajukan kepada Bank
Indonesia dengan menggunakan format surat sebagaimana
dimaksud dalam Lampiran 22 dan didukung dengan dokumen
sebagai berikut:
1) bukti persiapan operasional yang meliputi antara lain:
a) kesiapan gedung dan peralatan kantor termasuk foto
gedung kantor dan tata letak ruangan.
Dalam hal KCS beralamat sama dengan KC atau KCP
BUK (co-location), maka harus terdapat pemisahan
kantor yang jelas dengan cara antara lain pembedaan
warna ruangan, pembuatan sekat (partisi) dan/atau
pemisahan ruangan;
b) dokumen yang menunjukkan kesiapan teknologi sistem
informasi dan jaringan telekomunikasi; dan
c) bukti kepemilikan atau dokumen penguasaan atas
gedung kantor antara lain berupa bukti hak atas tanah
atau surat perjanjian sewa;
2) hasil analisis mengenai komposisi penyebaran lokasi nasabah
dan langkah-langkah antisipatif yang akan dilakukan untuk
tetap mempertahankan kualitas pelayanan kepada nasabah;
dan
3) hasil analisis atas kinerja pada lokasi kantor lama dan studi
kelayakan usaha pada lokasi kantor yang baru.
b. Pelaksanaan pemindahan alamat KCS dilaporkan kepada Bank
Indonesia dengan menggunakan format surat sebagaimana
dimaksud dalam Lampiran 23 dan didukung dengan guntingan
surat ...
16
surat kabar yang memuat pengumuman rencana pemindahan alamat
tersebut.
3. KANTOR DIBAWAH KANTOR CABANG SYARIAH
a. Rencana pemindahan alamat Kantor di bawah KCS diajukan
kepada Bank Indonesia dengan menggunakan format surat
sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 24 dan didukung dengan
dokumen sebagai berikut:
1) bukti persiapan operasional Kantor di bawah KCS yang
meliputi antara lain:
a) kesiapan gedung dan peralatan kantor termasuk foto
gedung kantor dan tata letak ruangan.
Dalam hal Kantor dibawah KCS beralamat sama dengan
kantor BUK (co-location), maka harus terdapat
pemisahan yang jelas dengan cara antara lain pembedaan
warna ruangan, pembuatan sekat (partisi) dan/atau
pemisahan ruangan;
b) dokumen yang menunjukkan kesiapan teknologi sistem
informasi dan jaringan telekomunikasi; dan
c) bukti kepemilikan atau dokumen penguasaan atas
gedung kantor antara lain berupa bukti hak atas tanah
atau surat perjanjian sewa; dan
2) hasil analisis atas kinerja pada lokasi kantor lama dan studi
kelayakan usaha pada lokasi kantor yang baru.
b. Pelaksanaan pemindahan alamat Kantor di bawah KCS dilaporkan
kepada Bank Indonesia dengan menggunakan format surat
sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 25 dan didukung dengan
salinan pengumuman rencana pemindahan alamat tersebut.
4. KEGIATAN ...
17
4. KEGIATAN PELAYANAN KAS SYARIAH
Pelaksanaan pemindahan alamat Kegiatan Pelayanan Kas Syariah
dilaporkan kepada Bank Indonesia dengan menggunakan format surat
sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 26.
5. LAYANAN SYARIAH
Pelaksanaan pemindahan alamat kegiatan Layanan Syariah dilaporkan
kepada Bank Indonesia dengan menggunakan format surat sebagaimana
dimaksud dalam Lampiran 27.
6. KANTOR CABANG SYARIAH ATAU JENIS-JENIS KANTOR
LAINNYA DI LUAR NEGERI
Pelaksanaan pemindahan alamat KCS atau jenis-jenis kantor lainnya di
luar negeri dilaporkan kepada Bank Indonesia dengan menggunakan
format surat sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 28 dan didukung
dengan salinan/fotokopi izin dari otoritas di negara setempat.
IX. PENUTUPAN KANTOR UNIT USAHA SYARIAH
1. KANTOR CABANG SYARIAH
a. Permohonan izin penutupan KCS diajukan kepada Bank Indonesia
dengan menggunakan format surat sebagaimana dimaksud dalam
Lampiran 29.
b. Pelaksanaan penutupan alamat KCS dilaporkan kepada Bank
Indonesia dengan menggunakan format surat sebagaimana
dimaksud dalam Lampiran 30 dan didukung dengan dokumen
sebagai berikut:
1) bukti penyelesaian seluruh kewajiban KCS kepada nasabah
dan pihak lain; dan
2) guntingan ...
18
2) guntingan surat kabar yang memuat pengumuman rencana
penutupan KCS.
2. KANTOR DI BAWAH KANTOR CABANG SYARIAH
Pelaksanaan penutupan Kantor di bawah KCS dilaporkan kepada Bank
Indonesia dengan menggunakan format surat sebagaimana dimaksud
dalam Lampiran 31.
3. KEGIATAN PELAYANAN KAS SYARIAH
Pelaksanaan penutupan Kegiatan Pelayanan Kas Syariah dilaporkan
kepada Bank Indonesia dengan menggunakan format surat sebagaimana
dimaksud dalam Lampiran 32.
4. LAYANAN SYARIAH
Pelaksanaan penutupan kegiatan Layanan Syariah dilaporkan kepada
Bank Indonesia dengan menggunakan format surat sebagaimana
dimaksud dalam Lampiran 33.
5. KANTOR CABANG SYARIAH ATAU JENIS-JENIS KANTOR
LAINNYA DI LUAR NEGERI
Pelaksanaan penutupan KCS atau jenis-jenis kantor lainnya di luar negeri
dilaporkan kepada Bank Indonesia dengan menggunakan format surat
sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 34 dan didukung dengan
dokumen sebagai berikut:
a. bukti ...
19
a.
b.
bukti penyelesaian seluruh kewajiban KCS atau jenis-jenis kantor
lainnya di luar negeri kepada nasabah dan pihak lain; dan
salinan/fotokopi izin penutupan KCS atau jenis-jenis kantor lainnya
di luar negeri dari otoritas di negara setempat.
X. PEMISAHAN (SPIN-OFF) UUS DENGAN CARA PENDIRIAN BUS
BARU
1. Permohonan persetujuan prinsip pendirian BUS diajukan kepada Bank
Indonesia dengan menggunakan format surat sebagaimana dimaksud
dalam Lampiran 35 dan didukung dengan dokumen sebagai berikut:
a.
akta pendirian atau rancangan akta pendirian badan hukum
Perseroan Terbatas (PT), termasuk anggaran dasar atau rancangan
anggaran dasar yang paling kurang memuat:
1) nama dan tempat kedudukan;
2) kegiatan usaha BUS;
3) modal;
4) kepemilikan;
5)
aturan tentang pengangkatan anggota Dewan Komisaris,
anggota Direksi, dan anggota DPS yang harus memperoleh
persetujuan Bank Indonesia terlebih dahulu;
6)
aturan mengenai jumlah, kewenangan, tanggung jawab, tugas
dan persyaratan lainnya Dewan Komisaris, Direksi, dan DPS
yang harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan;
7)
aturan tentang rapat umum pemegang saham yang
menetapkan bahwa tugas manajemen, remunerasi Dewan
Komisaris dan Direksi, laporan pertanggungjawaban tahunan,
penunjukan dan biaya jasa akuntan publik, penggunaan laba,
dan ...
20
dan hal-hal lainnya yang harus sesuai dengan ketentuan Bank
Indonesia; dan
8)
aturan mengenai rapat umum pemegang saham yang harus
dipimpin oleh Presiden Komisaris atau Komisaris Utama.
b. daftar calon pemegang saham berikut rincian kepemilikan masing-
masing:
1) dalam hal calon pemegang saham adalah perorangan maka
harus dilampiri dokumen sebagai berikut:
a) pas foto 1 (satu) bulan terakhir ukuran 4 x 6 cm;
b)
c)
d)
riwayat hidup (curriculum vitae);
surat pernyataan pribadi yang menyatakan tidak pernah
melakukan tindakan fraud (penipuan, penggelapan,
dan/atau kecurangan) di bidang perbankan, keuangan,
dan usaha lainnya, serta tidak pernah dihukum karena
terbukti melakukan tindak pidana kejahatan;
e) dalam hal calon pemegang saham perorangan sebagai
PSP maka harus dilampiri tambahan dokumen sebagai
berikut:
i.
fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau paspor yang
masih berlaku;
surat pernyataan pribadi yang menyatakan bahwa
yang bersangkutan tidak pernah dinyatakan pailit
atau tidak pernah menjadi pemegang saham,
anggota Dewan Komisaris, atau anggota Direksi
dari perseroan dan/atau pengurus dari badan hukum
lainnya yang dinyatakan bersalah sehingga
menyebabkan suatu perseroan dan/atau badan
hukum lainnya dinyatakan pailit berdasarkan
penetapan ...
21
penetapan pengadilan dalam jangka waktu 5 (lima)
tahun terakhir sebelum tanggal pengajuan
permohonan;
ii.
surat pernyataan pribadi yang menyatakan bersedia
untuk mengatasi kesulitan modal maupun likuiditas
BUS;
iii. surat pernyataan pribadi yang menyatakan tidak
memiliki hutang bermasalah; dan
iv. daftar kekayaan dan sumber pendapatan serta
jumlah hutang yang dimiliki sesuai dengan laporan
pajak tahun terakhir;
2) dalam hal calon pemegang saham adalah badan hukum maka
harus dilampiri dokumen sebagai berikut:
a)
akta pendirian badan hukum, yang memuat anggaran
dasar berikut perubahan-perubahan yang telah mendapat
pengesahan dari instansi berwenang;
b) dokumen sebagaimana dimaksud pada butir 1) huruf a)
sampai dengan huruf d) dari:
i. masing-masing anggota Dewan Komisaris dan
anggota Direksi dalam hal bentuk badan hukum
adalah Perseroan Terbatas; atau
ii. masing-masing anggota pengurus dalam hal bentuk
badan hukum selain Perseroan Terbatas;
c) persetujuan dari otoritas yang berwenang di negara asal
bagi badan hukum asing;
d) daftar pemegang saham dan jumlah nominal
kepemilikannya;
e) laporan ...
22
e)
laporan keuangan badan hukum yang telah diaudit oleh
akuntan publik dengan posisi paling lama 6 (enam)
bulan sebelum tanggal pengajuan permohonan
persetujuan prinsip.
Dalam hal badan hukum tersebut masih dalam proses
audit maka laporan keuangan yang disampaikan adalah
laporan keuangan audited 1 (satu) tahun sebelumnya dan
laporan keuangan unaudited bulan terakhir;
f) dalam hal calon pemegang saham badan hukum sebagai
PSP maka harus dilampiri tambahan dokumen sebagai
berikut:
i.
informasi mengenai pemegang saham badan
hukum sampai dengan penanggung jawab terakhir
(ultimate shareholders);
ii.
surat pernyataan pribadi dari:
(1) masing-masing anggota Dewan Komisaris
dan anggota Direksi dari badan hukum
dimaksud dalam hal bentuk badan hukumnya
adalah Perseroan Terbatas; atau
(2) masing-masing anggota pengurus dari badan
hukum dimaksud dalam hal bentuk badan
hukumnya selain Perseroan Terbatas;
yang menyatakan bahwa masing-masing tidak
pernah dinyatakan pailit atau tidak pernah menjadi
pemegang saham, anggota Dewan Komisaris, atau
anggota Direksi dari perseroan dan/atau pengurus
dari badan hukum lainnya yang dinyatakan
bersalah sehingga menyebabkan suatu perseroan
dan/atau ...
23
dan/atau badan hukum lainnya dinyatakan pailit
berdasarkan penetapan pengadilan dalam jangka
waktu 5 (lima) tahun terakhir sebelum tanggal
pengajuan permohonan;
iii. surat pernyataan yang menyatakan bahwa badan
hukum tersebut bersedia untuk mengatasi kesulitan
modal maupun likuiditas BUS yang ditandatangani
oleh anggota Direksi atau pengurus yang
berwenang mewakili badan hukum yang
bersangkutan.
Dalam hal BUS merupakan bagian dari kelompok
usaha yang dimiliki oleh suatu badan hukum, maka
surat pernyataan dimaksud harus ditandatangani
pula oleh penanggung jawab terakhir dari badan
hukum tersebut (ultimate shareholders);
iv.
surat pernyataan bahwa badan hukum tidak
memiliki hutang yang bermasalah, yang
ditandatangani oleh anggota Direksi atau pengurus
dari badan hukum yang bersangkutan; dan
v. proyeksi laporan keuangan untuk jangka waktu
paling kurang 3 (tiga) tahun;
3) dalam hal calon pemegang saham adalah pemerintah pusat
atau pemerintah daerah, maka harus dilampiri dokumen
sebagai berikut:
a)
surat keterangan yang mencantumkan nama pejabat yang
berwenang mewakili pemerintah;
b) dokumen sebagaimana dimaksud pada butir b.1) huruf a)
dan huruf b) dari pejabat yang berwenang;
c) dokumen ...
24
c) dokumen yang menyebutkan mengenai sumber dana
untuk setoran modal dalam rangka pendirian BUS; dan
d) dalam hal calon pemegang saham pemerintah sebagai
PSP maka harus dilampiri tambahan dokumen yaitu
surat pernyataan dari pejabat yang berwenang yang
menyatakan bahwa pemerintah bersedia untuk mengatasi
kesulitan modal maupun likuiditas BUS.
c. daftar calon anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi, dan
anggota DPS disertai dengan dokumen sebagai berikut:
1) pas foto 1 (satu) bulan terakhir ukuran 4 x 6 cm;
2)
fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau paspor yang
masih berlaku;
3)
4)
riwayat hidup (curriculum vitae);
surat pernyataan pribadi dari masing-masing calon yang
menyatakan bahwa yang bersangkutan tidak pernah
melakukan fraud (penipuan, penggelapan, dan/atau
kecurangan) di bidang perbankan, keuangan, dan bidang
usaha lainnya, atau tidak pernah dihukum karena melakukan
tindak pidana kejahatan;
5)
surat pernyataan pribadi dari masing-masing calon yang
menyatakan bahwa yang bersangkutan tidak pernah
dinyatakan pailit atau tidak pernah menjadi pemegang saham,
anggota Dewan Komisaris, atau anggota Direksi dari
perseroan dan/atau pengurus dari badan hukum lainnya yang
dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perseroan dan/atau
badan hukum lainnya dinyatakan pailit berdasarkan penetapan
pengadilan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun terakhir
sebelum tanggal pengajuan permohonan;
6) surat ...
25
6)
surat pernyataan pribadi dari masing-masing calon anggota
Dewan Komisaris dan anggota Direksi yang menyatakan
bahwa masing-masing tidak memiliki hutang yang
bermasalah;
7)
surat keterangan atau sertifikat dari lembaga pendidikan dan
pelatihan dan/atau lembaga sertifikasi bahwa calon anggota
Dewan Komisaris atau anggota Direksi pernah mengikuti
pendidikan atau pelatihan, sesuai dengan persyaratan
kompetensi;
8)
surat keterangan atau sertifikat dari lembaga pendidikan dan
pelatihan dan/atau dari Dewan Syariah Nasional – Majelis
Ulama Indonesia mengenai pendidikan dan/atau pelatihan di
bidang syariah mu’amalah dan di bidang perbankan dan/atau
keuangan secara umum yang pernah diikuti calon anggota
DPS;
9)
surat pernyataan dari masing-masing calon anggota Dewan
Komisaris, calon anggota Direksi dan calon anggota DPS
bahwa yang bersangkutan tidak melanggar ketentuan rangkap
jabatan sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia
mengenai Bank Umum Syariah;
10) surat pernyataan dari masing-masing calon anggota Dewan
Komisaris dan calon anggota Direksi bahwa yang
bersangkutan memiliki atau tidak memiliki hubungan
keluarga dengan calon anggota Dewan Komisaris dan/atau
calon anggota Direksi lainnya sesuai ketentuan Bank
Indonesia mengenai pelaksanaan tata kelola perusahaan yang
baik (Good Corporate Governance);
11) surat ...
26
11) surat pernyataan dari anggota Direksi bahwa yang
bersangkutan baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-
sama tidak memiliki saham melebihi 25% (dua puluh lima
persen) dari modal disetor pada perusahaan lain; dan
12) surat rekomendasi dari Dewan Syariah Nasional - Majelis
Ulama Indonesia bagi calon anggota DPS.
d.
e.
f.
rencana struktur organisasi dan nama-nama calon Pejabat
Eksekutif;
studi kelayakan mengenai peluang pasar dan potensi ekonomi;
rencana bisnis (business plan) yang paling kurang memuat:
1)
rencana kegiatan usaha yang mencakup penghimpunan dan
penyaluran dana serta strategi pencapaiannya; dan
2) proyeksi neraca bulanan dan laporan laba rugi kumulatif
bulanan, selama 12 (dua belas) bulan yang dimulai sejak BUS
beroperasi;
g.
rencana korporasi (corporate plan) berupa rencana strategis jangka
menengah dan jangka panjang dalam rangka mencapai tujuan BUS;
h. pedoman manajemen risiko termasuk pedoman risk control system,
rencana sistem pengendalian intern, rencana sistem teknologi
informasi yang digunakan, dan pedoman mengenai pelaksanaan
tata kelola perusahaan yang baik (Good Corporate Governance);
i.
j.
sistem dan prosedur kerja yang lengkap dan komprehensif yang
digunakan dalam kegiatan operasional BUS;
surat pernyataan dari calon pemegang saham non bank (apabila
terdapat calon pemegang saham selain BUK) bahwa sumber dana
yang digunakan dalam rangka kepemilikan BUS:
1)
tidak berasal dari pinjaman atau fasilitas pembiayaan dalam
bentuk apapun dari bank dan/atau pihak lain; dan/atau
2) tidak ...
27
2)
tidak berasal dari dan untuk tujuan pencucian uang (money
laundering).
Dalam hal calon pemegang saham BUS berbentuk badan hukum,
maka surat pernyataan ditandatangani oleh pengurus yang
berwenang mewakili badan hukum yang bersangkutan;
k.
surat pernyataan dari calon PSP untuk mengupayakan peningkatan
modal disetor BUS secara bertahap menjadi paling kurang sebesar
Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah) dalam waktu paling
lambat 10 (sepuluh) tahun sejak izin usaha BUS diberikan;
l.
neraca proforma BUS sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan
yang berlaku;
m. neraca intern UUS posisi bulan terakhir sebelum permohonan izin
prinsip pendirian BUS yang ditandatangani oleh Direktur UUS;
status KCS, KCPS dan KKS dari UUS; dan
rancangan akta Pemisahan UUS dari BUK.
n.
o.
2. Permohonan izin usaha BUS diajukan kepada Bank Indonesia dengan
menggunakan format surat sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 36
dan didukung dengan dokumen sebagai berikut:
a.
akta pendirian badan hukum Perseroan Terbatas (PT), yang memuat
anggaran dasar, yang telah disahkan oleh instansi berwenang;
b. daftar pemegang saham sebagaimana dimaksud dalam angka 1
huruf b, dalam hal terjadi perubahan pemegang saham;
c. daftar calon anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi, dan
anggota DPS sebagaimana dimaksud dalam angka 1 huruf c, dalam
hal terjadi perubahan calon anggota Dewan Komisaris, Direksi
dan/atau DPS;
d.
fotokopi Kartu Izin Tinggal Terbatas (KITAS) atau Kartu Izin
Tinggal Tetap (KITAP) dari instansi berwenang bagi warga negara
asing ...
28
asing yang menjadi calon anggota Direksi dan/atau calon anggota
Dewan Komisaris dan bermaksud menetap di Indonesia;
e.
fotokopi surat izin bekerja dari instansi berwenang bagi warga
negara asing yang menjadi calon anggota Direksi dan/atau calon
anggota Dewan Komisaris;
f.
rencana susunan dan struktur organisasi, studi kelayakan, rencana
bisnis, rencana korporasi, pedoman-pedoman, serta sistem dan
prosedur kerja sebagaimana dimaksud dalam angka 1 huruf d
sampai dengan huruf i, dalam hal terjadi perubahan;
g. neraca intern UUS posisi bulan terakhir sebelum permohonan izin
usaha BUS yang ditandatangani oleh Direktur UUS yang
menunjukan terpenuhinya modal minimum pendirian BUS sebesar
Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah) dan/atau bukti
tambahan setoran modal dari calon pemegang saham.
Bukti tambahan setoran modal tersebut adalah berupa fotokopi
bilyet deposito iB dari Bank Umum Syariah atau Unit Usaha
Syariah di Indonesia atas nama “Dewan Gubernur Bank Indonesia
qq. calon pemegang saham”, yang telah dilegalisir oleh pejabat
bank penerbit deposito iB. Bilyet deposito iB tersebut harus
mencantumkan keterangan bahwa pencairannya hanya dapat
dilakukan setelah mendapat persetujuan tertulis dari Anggota
Dewan Gubernur Bank Indonesia;
h. bukti kesiapan operasional paling kurang berupa:
1) kesiapan gedung dan peralatan kantor termasuk foto gedung
kantor dan tata letak ruangan;
2) dokumen yang menunjukkan kesiapan teknologi sistem
informasi yang meliputi antara lain core banking system dan
informasi mengenai jaringan telekomunikasi;
3) bukti ...
29
3) bukti kepemilikan, atau dokumen penguasaan atas gedung
kantor antara lain berupa bukti hak atas tanah atau surat
perjanjian sewa; dan
4)
i.
contoh formulir/warkat berlogo iB yang akan digunakan
untuk operasional BUS; dan
akta Pemisahan UUS dari BUK.
3. Pelaksanaan pembukaan BUS dilaporkan kepada Bank Indonesia dengan
menggunakan format surat sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 37.
4. Permohonan pencabutan izin usaha UUS disampaikan kepada Bank
Indonesia dengan menggunakan format surat sebagaimana dimaksud
dalam Lampiran 38 dan didukung dengan dokumen sebagai berikut:
a.
guntingan surat kabar yang memuat pengumuman rencana
pengalihan hak dan kewajiban UUS kepada BUS;
b. bukti penyelesaian hak dan kewajiban UUS, apabila terdapat hak
dan kewajiban UUS yang tidak dialihkan kepada BUS; dan
c.
surat pernyataan dari Direksi BUK bahwa langkah-langkah
penyelesaian seluruh kewajiban UUS telah dilakukan dan apabila
terdapat tuntutan di kemudian hari menjadi tanggung jawab Direksi
untuk dan atas nama BUK.
XI. PEMISAHAN UUS (SPIN – OFF) DENGAN CARA PENGALIHAN HAK
DAN KEWAJIBAN KEPADA BUS YANG SUDAH ADA
1. Permohonan persetujuan pengalihan hak dan kewajiban UUS kepada
BUS diajukan kepada Bank Indonesia dengan menggunakan format surat
sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 39 dan didukung dengan
dokumen sebagai berikut:
a.
laporan keuangan proforma BUS berupa neraca dan rekening
administratif;
b. langkah-langkah ...
30
b.
langkah-langkah yang ditempuh dalam rangka penyelesaian seluruh
hak dan kewajiban UUS kepada nasabah dan pihak lainnya,
termasuk status KCS, KCPS dan KKS; dan
c.
rancangan akta Pemisahan UUS dari BUK.
Rancangan akta Pemisahan dibuat bersama-sama oleh BUK yang
memiliki UUS dan BUS.
2. Pelaksanaan pengalihan hak dan kewajiban UUS kepada BUS dilaporkan
kepada Bank Indonesia dengan menggunakan format surat sebagaimana
dimaksud dalam Lampiran 40 dan didukung dengan dokumen sebagai
berikut:
a.
akta Pemisahan UUS dari BUK; dan
b. guntingan surat kabar yang memuat pengumuman rencana
pengalihan hak dan kewajiban UUS kepada BUS.
3. Penerimaan pengalihan hak dan kewajiban UUS dilaporkan oleh BUS
kepada Bank Indonesia dengan menggunakan format surat sebagaimana
dimaksud dalam Lampiran 41 dan didukung dengan laporan keuangan
BUS.
4. Permohonan pencabutan izin usaha UUS diajukan kepada Bank
Indonesia dengan menggunakan format surat sebagaimana dimaksud
dalam Lampiran 42 dan didukung dengan dokumen sebagai berikut:
a.
b.
bukti penyelesaian hak dan kewajiban UUS; dan
surat pernyataan dari Direksi BUK terkait bahwa langkah-langkah
penyelesaian seluruh kewajiban UUS telah dilakukan dan apabila
terdapat tuntutan di kemudian hari menjadi tanggung jawab Direksi
untuk dan atas nama BUK.
XII. PENCABUTAN ...
31
XII. PENCABUTAN IZIN USAHA UNIT USAHA SYARIAH ATAS
PERMINTAAN BANK UMUM KONVENSIONAL
1. Permohonan persetujuan pencabutan izin usaha UUS diajukan kepada
Bank Indonesia dengan menggunakan format surat sebagaimana
dimaksud dalam Lampiran 43 dan didukung dengan dokumen sebagai
berikut:
a.
risalah rapat umum pemegang saham BUK yang memuat keputusan
mengenai rencana penutupan kegiatan usaha UUS;
b.
rencana penyelesaian seluruh kewajiban UUS, antara lain:
1)
2)
c.
jumlah dana pihak ketiga atau kewajiban lainnya yang akan
dialihkan kepada BUS dan/atau UUS lain; dan
jumlah kewajiban UUS yang dilunasi atau diselesaikan; dan
laporan keuangan UUS posisi bulan terakhir pada saat permohonan.
2. Pelaksanaan penghentian kegiatan usaha UUS dilaporkan kepada Bank
Indonesia dengan menggunakan format surat sebagaimana dimaksud
dalam Lampiran 44 dan didukung dengan dokumen sebagai berikut:
a.
bukti pengumuman dalam 2 (dua) surat kabar yang mengumumkan
rencana penghentian kegiatan usaha UUS;
b. bukti penyelesaian seluruh kewajiban UUS; dan
c.
surat pernyataan dari Direktur UUS bahwa langkah-langkah
penyelesaian kewajiban UUS telah dilakukan dan apabila terdapat
tuntutan di kemudian hari menjadi tanggung jawab BUK.
XIII. KANTOR UNIT USAHA SYARIAH TIDAK BEROPERASI PADA HARI
KERJA
Permohonan kantor UUS untuk tidak beroperasi pada hari kerja diajukan
kepada Bank Indonesia dengan menggunakan format surat sebagaimana
dimaksud dalam Lampiran 45.
XIV. ALAMAT ...
32
XIV. ALAMAT PERMOHONAN IZIN DAN/ATAU PENYAMPAIAN
LAPORAN
Permohonan izin atau rencana dan/atau penyampaian laporan diajukan kepada
Bank Indonesia dengan alamat sebagai berikut:
1. Direktorat Perbankan Syariah, Jl. M.H. Thamrin No.2, Jakarta 10350;
atau
2. Kantor Bank Indonesia setempat,
dengan berpedoman pada Lampiran 46.
XV. PENUTUP
Dengan berlakunya Surat Edaran ini maka Surat Edaran No.8/8/DPbS
tanggal 1 Maret 2006 perihal Perubahan Kegiatan Usaha Bank Umum
Konvensional Menjadi Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha
Berdasarkan Prinsip Syariah Dan Pembukaan Kantor Bank Yang
Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah Oleh Bank Umum
Konvensional dinyatakan tidak berlaku bagi Unit Usaha Syariah.
Ketentuan dalam Surat Edaran ini mulai berlaku pada tanggal 5
Oktober 2009.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat
Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA
MULIAMAN D. HADAD
DEPUTI GUBERNUR
DPbS
"," SE-BI
11/28/DPbS|SE-BI/2009
Unit Usaha Syariah
5 Oktober 2009
5 Oktober 2009
'8/8/DPbS|SE-BI/2006'
'11/10/PBI/2009'
"
" No. 9/16/DASP
Jakarta, 6 Agustus 2007
S U R A T E D A R A N
Kepada
SEMUA BANK UMUM
DI INDONESIA
Perihal : Perubahan Atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 7/28/DASP
tanggal 22 Juli 2005 perihal Biaya dalam Penyelenggaraan
Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia
Sehubungan dengan kemungkinan terjadinya kondisi gangguan dan/atau
Keadaan Darurat dalam penyelenggaraan Sistem Kliring Nasional Bank
Indonesia (SKNBI), perlu dilakukan perubahan terhadap ketentuan dalam Surat
Edaran Bank Indonesia Nomor 7/28/DASP tanggal 22 Juli 2005 perihal Biaya
dalam Penyelenggaraan Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia sebagai
berikut.
1. Ketentuan butir II.A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
A. Biaya proses Kliring Debet, biaya proses Kliring Kredit, dan biaya
Warkat Debet reject sebagaimana dimaksud pada butir I.A, I.B, dan
I.C dihitung dengan mekanisme sebagai berikut:
1. Biaya proses DKE Debet dan DKE Kredit dihitung oleh PKN
pada setiap akhir bulan atas dasar total DKE Debet dan total DKE
Kredit yang diterima dan diproses oleh PKN, baik yang berasal
dari PKL atau dari Peserta.
2. Biaya proses DKE Debet sebagaimana dimaksud pada angka 1
dapat dihitung oleh PKL atas dasar total DKE Debet yang
diterima dan diproses oleh PKL, dalam hal terjadi kondisi
gangguan dan/atau Keadaaan Darurat yang menyebabkan:
a. DKE …
a. DKE Debet penyerahan tidak dapat dikirim oleh PKL ke
Sistem Sentral Kliring (SSK); dan/atau
b. proses perhitungan akhir dilakukan secara lokal dan
Penyelesaian Akhir Kliring Debet penyerahan dilakukan oleh
PKL.
3. Dalam hal perhitungan biaya proses DKE Debet sebagaimana
dimaksud pada angka 2 dilakukan oleh PKL Selain BI, maka PKL
Selain BI melakukan hal-hal sebagai berikut:
a. Melalui aplikasi Komputer Penyelenggara Kliring (KPK),
mencetak Laporan Daftar Pembebanan Kewajiban Membayar
Atas Biaya Proses DKE Kliring Penyerahan (SKN-223102).
b. Menyampaikan Laporan Daftar Pembebanan Kewajiban
Membayar Atas Biaya Proses DKE Kliring Penyerahan
sebagaimana dimaksud pada huruf a kepada PKL BI yang
mewilayahi melalui sarana sebagai berikut:
1)
2)
3)
teleks;
i-teleks; atau
telepon dan faksimili, yang disertai dengan angka rahasia.
c. Laporan Daftar Pembebanan Kewajiban Membayar Atas
Biaya Proses DKE Kliring Penyerahan sebagaimana
dimaksud pada huruf b, disampaikan kepada PKL BI yang
mewilayahi paling lambat pada hari kerja pertama awal bulan
berikutnya.
4. Biaya proses Warkat Debet di Wilayah Kliring yang pemilahan
Warkat Debetnya dilakukan secara otomasi dihitung oleh PKL
pada setiap akhir bulan atas dasar total Warkat Debet yang
diserahkan oleh Peserta dan diproses oleh PKL.
5. Biaya tambahan untuk pemanfaatan fasilitas pemilahan Warkat
Debet di Wilayah Kliring yang pemilahan Warkat Debetnya
dilakukan secara otomasi dihitung oleh PKL pada setiap akhir
bulan atas dasar total Warkat Debet yang ditujukan kepada Peserta
yang memanfaatkan fasilitas tersebut.
6. Biaya …
6. Biaya proses Warkat Debet reject di Wilayah Kliring yang
pemilahan Warkat Debetnya dilakukan secara otomasi dihitung
oleh PKL pada setiap akhir bulan atas dasar total Warkat Debet
reject sesuai dengan ketentuan butir I.C.4.
7. Biaya sebagaimana dimaksud pada angka 1, angka 2, angka 4,
angka 5, dan angka 6 dibebankan ke rekening giro Bank Peserta di
Bank Indonesia paling lambat pada minggu pertama bulan
berikutnya.
2. Ketentuan butir III.B diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
B. PKL menerbitkan laporan rincian pembebanan biaya dalam
penyelenggaraan SKNBI sebagaimana dimaksud pada butir II.A.2,
butir II.A.4 butir II.A.5 dan butir II.A.6 per Peserta dan menyampaikan
laporan tersebut kepada masing-masing Peserta di Wilayah Kliring
yang bersangkutan.
Ketentuan dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak
tanggal 6 Agustus 2007.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat
Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA,
DYAH N. K. MAKHIJANI
DIREKTUR AKUNTING DAN
SISTEM PEMBAYARAN
"," SE-BI
9/16/DASP|SE-BI/2007
Perubahan Atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 7/28/DASP tanggal 22 Juli 2005 perihal Biaya dalam Penyelenggaraan Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia
6 Agustus 2007
6 Agustus 2007
'7/28/DASP|SE-BI/2005'
'7/28/DASP|SE-BI/2005'
"
" No.7/28/DASP
Jakarta, 22 Juli 2005
S U R A T E D A R A N
Kepada
SEMUA BANK UMUM
DI INDONESIA
Perihal : Biaya dalam Penyelenggaraan Sistem Kliring Nasional Bank
Indonesia
Sehubungan dengan diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia
Nomor 7/18/PBI/2005 tanggal 22 Juli 2005 tentang Sistem Kliring Nasional
Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 65,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4516), perlu diatur
mengenai
biaya dalam penyelenggaraan Sistem Kliring
Indonesia (SKNBI) dalam Surat Edaran Bank Indonesia sebagai berikut.
I.
Nasional Bank
JENIS DAN BESARNYA BIAYA
Biaya dalam penyelenggaraan SKNBI terdiri atas :
A. Biaya Proses Kliring Debet
Biaya Proses Kliring Debet penyerahan terdiri dari :
1. Biaya proses Kliring Debet penyerahan di Wilayah Kliring
yang pemilahan Warkat Debetnya dilakukan secara otomasi
adalah sebesar Rp1.500,00 (seribu lima ratus rupiah) per
transaksi dengan rincian sebagai berikut:
a. biaya …
2
a. biaya proses Data Keuangan Elektronik (DKE) Debet
sebesar Rp1.000,00 (seribu rupiah) per DKE Debet; dan
b. biaya proses Warkat Debet sebesar Rp500,00 (lima ratus
rupiah) per Warkat Debet.
2. Biaya proses Kliring Debet penyerahan di Wilayah Kliring
yang pemilahan Warkat Debetnya dilakukan secara manual
sebesar Rp1.000,00 (seribu rupiah) per transaksi yang
merupakan biaya proses DKE Debet.
3. Biaya tambahan yang dikenakan hanya kepada Peserta yang
memanfaatkan fasilitas pemilahan Warkat Debet berdasarkan
kantor asal Peserta penerima di Wilayah Kliring yang
pemilahan Warkat Debetnya dilakukan secara Otomasi sebesar
Rp100,00 (seratus rupiah) per Warkat Debet.
B. Biaya proses Kliring Kredit
Biaya proses Kliring Kredit adalah sebesar Rp1.000,00 (seribu
rupiah) per transaksi.
C. Biaya Warkat Debet Reject
1. Warkat Debet reject adalah Warkat Debet dalam Kliring
penyerahan yang diproses oleh PKL di Wilayah Kliring yang
pemilahan Warkat Debetnya dilakukan secara otomasi, yang
tertolak oleh mesin baca pilah.
2. Biaya Warkat Debet reject adalah sebesar Rp1.000,00 (seribu
rupiah) per Warkat Debet reject.
3. Biaya Warkat Debet reject dikenakan apabila total Warkat
Debet reject melebihi 2% (dua persen) dari total Warkat Debet
yang diserahkan oleh Peserta.
4. Dalam hal Warkat Debet reject melebihi 2% (dua persen),
perhitungan biaya Warkat Debet reject dilakukan terhadap
kelebihan persentase Warkat Debet reject tersebut.
5. Biaya …
3
5. Biaya Warkat Debet reject dikenakan kepada Peserta pengirim
atau Peserta penerima sesuai dengan alasan yang menyebabkan
Warkat Debet reject sebagaimana tercantum dalam Lampiran
Surat Edaran ini.
D. Biaya Pembuatan dan atau Penggantian Tanda Pengenal Petugas
Kliring (TPPK)
Peserta dikenakan biaya pembuatan dan atau penggantian TPPK
dengan ketentuan sebagai berikut:
1. Untuk TPPK Proximity, baik yang dilengkapi dengan magnetic
stripe maupun yang tidak dilengkapi dengan magnetic stripe,
dikenakan biaya sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per
TPPK.
2. Untuk TPPK tanpa Proximity yang dilengkapi dengan magnetic
stripe dikenakan biaya sebesar Rp17.500,00 (tujuh belas ribu
lima ratus rupiah) per TPPK.
3. Untuk TPPK tanpa Proximity yang tidak dilengkapi dengan
magnetic stripe dikenakan biaya sebesar Rp5.000,00 (lima ribu
rupiah).
E. Biaya Pemanfaatan Fasilitas Perekaman Data Hasil Kliring Dalam
Bentuk Compact Disk (Fasilitas CD Kliring)
Biaya pemanfaatan fasilitas CD Kliring di Wilayah Kliring yang
pemilahan Warkat Debetnya dilakukan secara otomasi diatur sebagai
berikut:
1. Pengguna tetap dikenakan biaya sebesar Rp20.000,00 (dua
puluh ribu rupiah) per CD.
2. Pengguna tidak tetap dikenakan biaya sebesar Rp25.000,00
(dua puluh lima ribu rupiah) per CD.
3. Permintaan perekaman ulang CD Kliring dikenakan biaya
sebesar Rp25.000,00 (dua puluh lima ribu rupiah) per CD.
II. PERHITUNGAN …
4
II. PERHITUNGAN DAN PEMBEBANAN BIAYA DALAM
PENYELENGGARAAN SKNBI
A. Biaya proses Kliring Debet, biaya proses Kliring Kredit, dan biaya
Warkat Debet reject sebagaimana dimaksud pada butir I.A, I.B, dan
I.C dihitung dengan mekanisme sebagai berikut:
1. Biaya proses DKE Debet dan DKE Kredit dihitung oleh PKN
pada setiap akhir bulan atas dasar total DKE Debet dan total
DKE Kredit yang diterima dan diproses oleh PKN, baik yang
berasal dari PKL atau dari Peserta.
2. Biaya proses Warkat Debet di Wilayah Kliring yang pemilahan
Warkat Debetnya dilakukan secara otomasi dihitung oleh PKL
pada setiap akhir bulan atas dasar total Warkat Debet yang
diserahkan oleh Peserta dan diproses oleh PKL.
3.
Biaya tambahan untuk pemanfaatan fasilitas pemilahan Warkat
Debet di Wilayah Kliring yang pemilahan Warkat Debetnya
dilakukan secara otomasi dihitung oleh PKL pada setiap akhir
bulan atas dasar total Warkat Debet yang ditujukan kepada
Peserta yang memanfaatkan fasilitas tersebut.
4. Biaya proses Warkat Debet reject di Wilayah Kliring yang
pemilahan Warkat Debetnya dilakukan secara otomasi dihitung
oleh PKL pada setiap akhir bulan atas dasar total Warkat Debet
reject sesuai dengan ketentuan butir I.C.4.
5. Biaya sebagaimana dimaksud pada angka 1 sampai dengan
angka 4 dibebankan ke rekening giro Bank Peserta di Bank
Indonesia paling
berikutnya.
lambat pada minggu pertama bulan
B. Biaya pembuatan dan penggantian TPPK sebagaimana dimaksud
pada butir I. D dihitung oleh PKL untuk setiap kali permohonan
pembuatan dan atau penggantian TPPK dan pembebanan atas biaya
tersebut …
5
tersebut dilakukan oleh PKL setiap kali terdapat permohonan, dengan
cara sebagai berikut:
1. dalam hal TPPK digunakan untuk mengikuti kegiatan SKNBI
di PKL BI, pembebanan dilakukan dengan cara pendebetan
rekening giro Bank Peserta di Bank Indonesia; atau
2. dalam hal TPPK digunakan untuk mengikuti kegiatan SKNBI
di PKL Selain BI, pembebanan dilakukan sesuai dengan
prosedur yang ditetapkan oleh PKL Selain BI.
C. Biaya fasilitas CD Kliring sebagaimana dimaksud pada butir I.E
dihitung oleh PKL untuk setiap kali permohonan fasilitas CD Kliring
dan pembebanan atas biaya tersebut dilakukan oleh PKL setiap kali
terdapat permohonan, dengan cara pendebetan rekening giro Bank
Peserta di Bank Indonesia.
III. LAPORAN PEMBEBANAN BIAYA DALAM PENYELENGGARAAN
SKNBI
A. PKN menerbitkan laporan rincian pembebanan biaya dalam
penyelenggaraan SKNBI sebagaimana dimaksud pada butir II.A.1
dan menyampaikan laporan tersebut kepada kantor pusat Bank.
B. PKL menerbitkan laporan rincian pembebanan biaya dalam
penyelenggaraan SKNBI sebagaimana dimaksud pada butir II.A.2,
butir II.A.3 dan butir II.A.4 per Peserta dan menyampaikan laporan
tersebut kepada masing-masing Peserta di Wilayah Kliring yang
bersangkutan.
IV. PENGUMUMAN PENGENAAN BIAYA
DALAM
PENYELENGGARAAN SKNBI
Untuk memberikan informasi kepada nasabah Bank Peserta, Bank wajib
mengumumkan besarnya biaya proses Kliring Debet dan Kliring Kredit
yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Pengumuman dilakukan secara
tertulis …
6
tertulis di setiap kantor Bank pada tempat yang mudah terlihat oleh
nasabah.
V. KETENTUAN PERALIHAN
Dengan berlakunya Surat Edaran Bank Indonesia ini, Surat Edaran Bank
Indonesia Nomor 6/39/DASP tanggal 16 September 2004 perihal Biaya
Kliring dinyatakan tetap berlaku untuk Wilayah Kliring yang belum
mengimplementasikan SKNBI
mengimplementasikan SKNBI.
sampai Wilayah Kliring
tersebut
VI. PENUTUP
Dengan berlakunya Surat Edaran Bank Indonesia ini, Surat Edaran
Bank Indonesia Nomor 6/39/DASP tanggal 16 September 2004 perihal
Biaya Kliring dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Ketentuan dalam Surat Edaran ini dilaksanakan sejak tanggal
implementasi SKNBI di Wilayah Kliring yang bersangkutan sesuai dengan
pengumuman Bank Indonesia.
Ketentuan dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada
tanggal 22 Juli 2005.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman
Surat Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik
Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA,
MOHAMAD ISHAK
DIREKTUR AKUNTING DAN
SISTEM PEMBAYARAN
DASP
"," SE-BI
7/28/DASP|SE-BI/2005
Biaya dalam Penyelenggaraan Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia
22 Juli 2005
22 Juli 2005
'6/39/DASP|SE-BI/2004'
'7/18/PBI/2005'
"
" No. 18/11/DEKS
Jakarta, 12 Mei 2016
S U R A T E D A R A N
Perihal : Transaksi Lindung Nilai Berdasarkan Prinsip Syariah
Sehubungan dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia Nomor
18/2/PBI/2016 tentang Transaksi Lindung Nilai Berdasarkan Prinsip
Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 36,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5850), perlu
mengatur ketentuan pelaksanaan mengenai Transaksi Lindung Nilai
Berdasarkan Prinsip Syariah dalam Surat Edaran Bank Indonesia sebagai
berikut:
I. KETENTUAN UMUM
Dalam Surat Edaran ini yang dimaksud dengan:
1. Bank Umum Konvensional yang selanjutnya disingkat BUK adalah
Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang
mengatur mengenai perbankan, termasuk kantor cabang dari
bank yang berkedudukan di luar negeri, yang melakukan kegiatan
usaha secara konvensional.
2. Bank Umum Syariah yang selanjutnya disingkat BUS adalah Bank
Umum Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
yang mengatur mengenai perbankan syariah.
3. Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disingkat UUS adalah Unit
Usaha Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
yang mengatur mengenai perbankan syariah.
4. Nasabah adalah:
a. Perorangan yang memiliki kewarganegaraan Indonesia; atau
b. Badan usaha selain Bank yang berbadan hukum Indonesia,
berdomisili di Indonesia termasuk Badan Usaha Milik Negara
(BUMN),
yang...
2
yang melaksanakan kegiatan usaha yang tidak bertentangan
dengan Prinsip Syariah.
5. Lindung Nilai Berdasarkan Prinsip Syariah (Al tahawwuth al-
Islami) yang selanjutnya disebut Lindung Nilai Syariah adalah cara
atau teknik lindung nilai atas risiko perubahan nilai tukar
berdasarkan Prinsip Syariah.
6. Transaksi Lindung Nilai Berdasarkan Prinsip Syariah yang
selanjutnya disebut Transaksi Lindung Nilai Syariah adalah
transaksi yang dilakukan berdasarkan pada Prinsip Syariah dalam
rangka memitigasi risiko perubahan nilai tukar atas mata uang
tertentu di masa yang akan datang.
7. Underlying Transaksi adalah kegiatan yang mendasari kebutuhan
untuk melakukan Transaksi Lindung Nilai Syariah, yang tidak
bertentangan dengan Prinsip Syariah.
8. Transaksi Spot adalah transaksi pembelian dan penjualan valuta
asing yang penyerahan dananya dilakukan paling lambat 2 (dua)
hari kerja setelah tanggal transaksi. Termasuk dalam pengertian
Transaksi Spot adalah transaksi dengan penyerahan valuta pada
hari yang sama (today) atau dengan penyerahan 1 (satu) hari kerja
setelah tanggal transaksi (tomorrow).
9. Forward Agreement (Al-muwa’adat li ‘aqd al-sharf al-fawri fi al-
mustaqbal) yang selanjutnya disebut Forward Agreement adalah
saling berjanji (muwa’adah) untuk melakukan Transaksi Spot
dalam jumlah tertentu di masa yang akan datang dengan nilai
tukar atau perhitungan nilai tukar yang disepakati pada saat
saling berjanji.
10. Pemohon Transaksi Lindung Nilai Syariah yang selanjutnya
disebut Pemohon adalah BUS, UUS, atau Nasabah yang memohon
Transaksi Lindung Nilai Syariah.
11. Pemberi Transaksi Lindung Nilai Syariah yang selanjutnya disebut
Pemberi adalah BUS, UUS atau BUK yang memberikan Transaksi
Lindung Nilai Syariah.
12. Prinsip Syariah adalah prinsip syariah sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan
syariah.
13. Transaksi...
3
13. Transaksi Lindung Nilai Syariah Sederhana (‘Aqd al-tahawwuth al-
basith) yang selanjutnya disebut Transaksi Lindung Nilai
Sederhana adalah transaksi lindung nilai dengan skema Forward
Agreement yang diikuti dengan Transaksi Spot.
14. Transaksi Lindung Nilai Syariah Kompleks (‘Aqd al-tahawwuth al-
murakkab) yang selanjutnya disebut Transaksi Lindung Nilai
Kompleks adalah transaksi lindung nilai dengan skema Rangkaian
Forward Agreement yang kemudian diikuti dengan Transaksi Spot.
15. Rangkaian Forward Agreement adalah Forward Agreement yang
didahului dengan Transaksi Spot.
II. KARAKTERISTIK DAN BATASAN TRANSAKSI LINDUNG NILAI SYARIAH
A. Transaksi Lindung Nilai Syariah memiliki karakteristik sebagai
berikut:
1. Didahului dengan saling berjanji (muwa’adah) antara
Pemohon dan Pemberi dalam bentuk Forward Agreement atau
Rangkaian Forward Agreement.
2. Dokumen dari Forward Agreement dalam mekanisme
Transaksi Lindung Nilai Syariah dilarang diperjualbelikan.
3. Dilakukan dengan:
a. Transaksi Lindung Nilai Sederhana; atau
b. Transaksi Lindung Nilai Kompleks.
4. Setiap Transaksi Lindung Nilai Syariah wajib memiliki
Underlying Transaksi.
B. Transaksi Lindung Nilai Syariah harus memenuhi batasan sebagai
berikut:
1. Dilakukan berdasarkan Prinsip Syariah untuk mengurangi
risiko nilai tukar di masa yang akan datang.
2. Dilakukan apabila terdapat kebutuhan nyata untuk
mengurangi risiko nilai tukar pada masa yang akan datang.
3. Memiliki Underlying Transaksi yang meliputi kegiatan:
a. perdagangan barang dan jasa di dalam dan di luar negeri;
dan/atau
b. investasi...
4
b. investasi berupa direct investment, portfolio investment,
pembiayaan, modal, dan investasi lainnya di dalam dan di
luar negeri;
4. Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud dalam angka 3
tidak termasuk :
a. penempatan dana pada BUS atau UUS berupa tabungan,
giro, deposito, NCD (Negotiable Certificate of Deposit);
b. kegiatan pengiriman uang oleh perusahaan transfer dana;
dan
c. fasilitas pembiayaan yang masih belum ditarik, antara lain
berupa standby financing dan undisbursed financing.
5. Underlying Transaksi wajib didukung dengan dokumen
Underlying Transaksi.
6.
Nilai nominal Transaksi Lindung Nilai Syariah paling banyak
sebesar nilai nominal Underlying Transaksi yang tercantum
dalam dokumen Underlying Transaksi.
7. Jangka waktu Transaksi Lindung Nilai Syariah paling lama
sama dengan jangka waktu Underlying Transaksi yang
tercantum dalam dokumen Underlying Transaksi.
8.
Nilai tukar dan perhitungan nilai tukar pada Transaksi
Lindung Nilai Syariah ditentukan pada saat Forward
Agreement dan tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah.
9. Pelaku Transaksi Lindung Nilai Syariah adalah:
a. Nasabah selaku Pemohon kepada BUS atau UUS selaku
Pemberi;
b. BUS atau UUS selaku Pemohon kepada BUS lainnya atau
UUS lainnya selaku Pemberi; atau
c. BUS atau UUS selaku Pemohon kepada BUK selaku
Pemberi.
10. Dalam hal pelaku Transaksi Lindung Nilai Syariah adalah
Nasabah selaku Pemohon kepada BUS atau UUS selaku
Pemberi, Pemberi wajib memastikan Pemohon untuk
menyampaikan dokumen sebagai berikut:
a. Dokumen Underlying Transaksi berupa:
1) dokumen yang bersifat final antara lain berupa:
a) fotokopi...
5
a) fotokopi kontrak jasa konsultan yang berdomisili di
luar negeri;
b) fotokopi perjanjian kerja antara tenaga kerja asing
yang berdomisili di luar negeri dengan Nasabah;
c) fotokopi perjanjian royalti dengan pihak asing yang
berdomisili di luar negeri;
d) fotokopi dokumen pembiayaan (direct investment
atau portfolio investment) valuta asing di luar negeri
atau pembiayaan di Indonesia oleh Nasabah, yang
dikecualikan dari kewajiban penggunaan Rupiah di
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
e) fotokopi dokumen perdagangan barang dan jasa di
luar negeri dalam valuta asing oleh Nasabah yang
menimbulkan tagihan atau kewajiban pembayaran
valuta asing ke luar negeri;
f) fotokopi dokumen perdagangan barang dan jasa
milik pihak asing di Indonesia yang menimbulkan
kewajiban pembayaran valuta asing ke luar negeri
oleh Nasabah;
2) Dokumen yang bersifat perkiraan antara lain berupa:
a) proyeksi arus kas (cash flow) terkait perdagangan
barang dan jasa; dan
b) dokumen perkiraan tagihan atas perdagangan barang
dan jasa; dan
a. Dokumen pendukung berupa:
1) fotokopi dokumen identitas Pemohon dan fotokopi
Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP); dan
2) pernyataan tertulis bermeterai cukup yang
ditandatangani oleh pihak yang berwenang dari
Pemohon atau pernyataan tertulis yang authenticated
dari Pemohon yang memuat informasi mengenai:
a) keaslian dan kebenaran dokumen Underlying
Transaksi dan penggunaan dokumen Underlying
Transaksi untuk Transaksi Lindung Nilai Syariah
paling banyak sebesar nominal Underlying
Transaksi...
6
Transaksi; dan
b) jumlah kebutuhan, tujuan penggunaan dan tanggal
penggunaan mata uang, dalam hal dokumen
Underlying Transaksi berupa perkiraan.
11. Dalam hal BUS atau UUS sebagai Pemohon kepada BUS
lainnya, UUS lainnya, atau BUK sebagai Pemberi, Pemberi
wajib memastikan Pemohon untuk menyampaikan dokumen
sebagai berikut:
a. dokumen Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud
dalam butir 10.a atau dokumen Underlying Transaksi
antara lain berupa:
1) pinjaman atau penyertaan modal dari bank induk atau
lembaga keuangan di luar negeri; dan
2) surat penunjukan sebagai bank penyedia layanan haji;
dan
b. Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam butir
10.b.
12. Apabila beberapa jenis dokumen Underlying Transaksi dan
dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam angka 10
dan angka 11 merupakan dokumen dari satu kesatuan
aktifitas atau transaksi, Pemohon menyampaikan semua
dokumen dimaksud kepada Pemberi dalam satu kesatuan.
III. MEKANISME TRANSAKSI LINDUNG SYARIAH SEDERHANA
1. Pemohon mengajukan permohonan secara tertulis kepada Pemberi
untuk melakukan Transaksi Lindung Nilai Sederhana.
2. Pemohon dan Pemberi menyepakati Forward Agreement secara
tertulis yang paling kurang mencakup:
a. mata uang asing dan Rupiah;
b. nilai nominal;
c. jangka waktu;
d. nilai tukar dan perhitungan nilai tukar; dan
e. ganti rugi (ta’widh).
3. Pemberi harus memastikan Pemohon untuk menyampaikan
dokumen Underlying Transaksi dan/atau dokumen pendukung
Transaksi...
7
Transaksi Lindung Nilai Sederhana pada saat Forward Agreement.
4. Dalam hal Pemberi telah mengetahui track record Pemohon dengan
baik dan Pemohon menyampaikan dokumen Underlying Transaksi
yang bersifat final, Pemberi dapat menerima dokumen pendukung
Transaksi Lindung Nilai Sederhana yang disampaikan Pemohon
secara berkala.
5. Pada waktu yang diperjanjikan dalam Forward Agreement,
Pemohon dan Pemberi melakukan Transaksi Lindung Nilai
Sederhana, diikuti dengan pemindahan dana pokok secara penuh
dari Pemberi kepada Pemohon.
6. Dalam hal tidak terjadi pemindahan dana pokok secara penuh
sebagaimana dimaksud dalam angka 5 maka Transaksi Lindung
Nilai Sederhana tersebut dinyatakan batal.
7. Pembatalan Transaksi Lindung Nilai Sederhana sebagaimana
dimaksud dalam angka 6, yang telah diikuti dengan pemindahan
dana, wajib dilakukan dengan pengembalian dana secara penuh
sejumlah dana yang telah dipindahkan.
8. Dalam hal Forward Agreement tidak dipenuhi atau terjadi
pembatalan Transaksi Lindung Nilai Sederhana maka pihak yang
tidak memenuhi atau membatalkan dapat dikenakan ganti rugi
(ta’widh) sesuai kesepakatan Pemohon dan Pemberi sebagaimana
dimaksud dalam angka 2.
IV. MEKANISME TRANSAKSI LINDUNG NILAI SYARIAH KOMPLEKS
1. Pemohon mengajukan permohonan secara tertulis kepada Pemberi
untuk melakukan Transaksi Lindung Nilai Kompleks.
2. Pemohon dan Pemberi menyepakati Rangkaian Forward Agreement
secara tertulis, dengan Forward Agreement yang paling kurang
mencakup:
a. mata uang asing dan Rupiah;
b. nilai nominal;
c. jangka waktu;
d. nilai tukar dan perhitungan nilai tukar; dan
e. ganti rugi (ta’widh).
3. Pemberi...
8
3. Pemberi harus memastikan Pemohon untuk menyampaikan
dokumen Underlying Transaksi dan/atau dokumen pendukung
Transaksi Lindung Nilai Kompleks pada saat Forward Agreement.
4. Dalam hal Pemberi telah mengetahui track record Pemohon dengan
baik dan Pemohon menyampaikan dokumen Underlying Transaksi
yang bersifat final, Pemberi dapat menerima dokumen pendukung
Transaksi Lindung Nilai Kompleks yang disampaikan Pemohon
secara berkala.
5. Pada waktu yang diperjanjikan dalam Rangkaian Forward
Agreement, Pemohon dan Pemberi melakukan Transaksi Lindung
Nilai Kompleks, diikuti dengan pemindahan dana pokok secara
penuh dari Pemberi kepada Pemohon.
6. Dalam hal tidak terjadi pemindahan dana pokok secara penuh
sebagaimana dimaksud dalam angka 5 maka Transaksi Lindung
Nilai Kompleks tersebut dinyatakan batal.
7. Pembatalan Transaksi Lindung Nilai Kompleks sebagaimana
dimaksud dalam angka 6 yang telah diikuti dengan pemindahan
dana, wajib dilakukan dengan pengembalian dana secara penuh
sejumlah dana yang telah dipindahkan.
8. Dalam hal Rangkaian Forward Agreement tidak dipenuhi atau
terjadi pembatalan Transaksi Lindung Nilai Kompleks maka pihak
yang tidak memenuhi atau membatalkan dapat dikenakan ganti
rugi (ta’widh) sesuai kesepakatan Pemohon dan Pemberi
sebagaimana dimaksud dalam angka 2.
V. PELAPORAN
1. BUS atau UUS sebagai Pemohon wajib melaporkan setiap
Transaksi Lindung Nilai Syariah kepada Bank Indonesia sesuai
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan
harian bank umum.
2. BUS, UUS, atau BUK sebagai Pemberi wajib melaporkan setiap
Transaksi Lindung Nilai Syariah kepada Bank Indonesia sesuai
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan
harian bank umum.
3. Kewajiban pelaporan sebagaimana dimaksud dalam angka 1 dan
angka...
9
angka 2 mulai berlaku pada tanggal 16 Mei 2016
VI. TATA CARA PENGENAAN SANKSI
1. BUS, UUS, dan BUK yang melakukan pelanggaran terhadap
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 5 ayat (3),
Pasal 6, Pasal 8 ayat (1) dan (2), Pasal 10 ayat (1) dan (3), Pasal 11
ayat (1) dan (2), Pasal 12, dan/atau Pasal 15 Peraturan Bank
Indonesia Nomor 18/2/PBI/2016 tentang Transaksi Lindung Nilai
Berdasarkan Prinsip Syariah dikenakan sanksi administratif
berupa teguran tertulis.
2. BUS atau UUS sebagai Pemohon yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 Peraturan Bank Indonesia
Nomor 18/2/PBI/2016 tentang Transaksi Lindung Nilai
Berdasarkan Prinsip Syariah dikenakan sanksi administratif
berupa teguran tertulis.
3. BUS atau UUS sebagai Pemberi kepada Nasabah yang melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 Peraturan Bank
Indonesia Nomor 18/2/PBI/2016 tentang Transaksi Lindung Nilai
Berdasarkan Prinsip Syariah dikenakan sanksi administratif
berupa teguran tertulis dan kewajiban membayar sebesar 1% (satu
persen) dari nilai nominal transaksi yang dilanggar untuk setiap
pelanggaran, dengan jumlah paling sedikit sebesar
Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak sebesar
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
4. Pengenaan sanksi kewajiban membayar oleh Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam angka 3 dilakukan dengan cara
mendebet rekening giro Rupiah BUS atau UUS yang ada di Bank
Indonesia.
5. BUS, UUS, atau BUK yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam angka V dikenakan sanksi sesuai dengan
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan
harian bank umum.
6. Bank Indonesia dapat menginformasikan pengenaan sanksi
sebagaimana dimaksud dalam angka 1, angka 2, dan angka 3
kepada....
10
kepada otoritas pengawasan bank.
VII. KORESPONDENSI
1. Penyampaian surat menyurat dan komunikasi dengan Bank
Indonesia terkait pelaksanaan Surat Edaran Bank Indonesia ini,
ditujukan kepada:
Bank Indonesia
Departemen Ekonomi dan Keuangan Syariah
Kompleks Perkantoran Bank Indonesia
Gedung C Lantai 3
Jl. M. H. Thamrin No. 2
Jakarta 10350
2. Dalam hal terdapat perubahan alamat surat menyurat dan
komunikasi, Bank Indonesia akan memberitahukan melalui surat
dan/atau media lainnya.
Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 16 Mei
2016
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman
Surat Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita
Negara Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA,
M. ANWAR BASHORI
KEPALA DEPARTEMEN EKONOMI DAN
KEUANGAN SYARIAH
"," SE-BI
18/11/DEKS|SE-BI/2016
Transaksi Lindung Nilai Berdasarkan Prinsip Syariah
12 Mei 2016
16 Mei 2016
'18/2/PBI/2016'
'Romawi VI'
"
" No.18/26/DSta
Jakarta, 22 November 2016
S UR A T ED A R A N
Kepada
SEMUA BANK UMUM
DI INDONESIA
Perihal : Perubahan Kedua atas Surat Edaran Bank Indonesia
Nomor 14/31/DPNP tanggal 31 Oktober 2012 perihal
Laporan Kantor Pusat Bank Umum
Sehubungan dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor
14/12/PBI/2012 tentang Laporan Kantor Pusat Bank Umum (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 190, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5349), Peraturan Bank Indonesia Nomor
11/12/PBI/2009 tentang Uang Elektronik (Electronic Money) (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 65, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5001) sebagaimana telah diubah
beberapa kali, terakhir dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor
18/17/PBI/2016 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Bank Indonesia
Nomor 11/12/PBI/2009 tentang Uang Elektronik (Electronic Money)
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 179, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5925), dan Peraturan Bank
Indonesia Nomor 11/11/PBI/2009 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat
Pembayaran dengan Menggunakan Kartu (APMK)
(Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5000) sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/2/PBI/2012 tentang Perubahan atas
Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/11/PBI/2009 tentang
Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu
(APMK) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 11,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5275) maka perlu
menetapkan …
2
menetapkan Surat Edaran Bank Indonesia perihal Perubahan Kedua atas
Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 14/31/DPNP tanggal 31 Oktober 2012
perihal Laporan Kantor Pusat Bank Umum, sebagai berikut:
1. Ketentuan dalam butir III.A.2.c diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
c. penyelenggaraan
kegiatan
Alat Pembayaran Dengan
Menggunakan Kartu (APMK) dan Uang Elektronik:
1) Penerbit kartu kredit menggunakan Form 301;
2) Penerbit selain kartu kredit menggunakan Form 302;
3) Acquirer menggunakan Form 303;
4)
infrastruktur menggunakan Form 304;
5) fraud APMK dan Uang Elektronik menggunakan Form 306;
6) perkembangan LKD menggunakan Form 314;
7)
transaksi LKD menggunakan Form 315;
8) Agen LKD menggunakan Form 316;
9) permasalahan LKD menggunakan Form 317;
10) kartu kredit per regional menggunakan Form 318;
11) kartu kredit per sektor usaha menggunakan Form 319;
12) kartu kredit per kelompok usia menggunakan Form 320;
13) kartu kredit per kelompok penghasilan pemegang kartu
kredit menggunakan Form 321;
14) kartu kredit per limit kartu kredit menggunakan Form 322;
15) kartu kredit berdasarkan jenis transaksi menggunakan Form
323; dan/atau
16) informasi nominal revolving rate menggunakan Form 324;
2. Ketentuan dalam butir III.B diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
1. Kantor Pusat Bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara
konvensional wajib menyampaikan Laporan dengan format
sebagai berikut: Form 101, Form 201, Form 202, Form 203, Form
301, Form 302, Form 303, Form 304, Form 305, Form 306, Form
314, Form 315, Form 316, Form 317, Form 318, Form 319, Form
320, Form 321, Form 322, Form 323, Form 324, Form 401, Form
402, Form 501, Form 601, Form 602, Form 603, Form 604, Form
605, Form 701, Form 702, Form 703, Form 704, Form 705, Form
706, Form 707, Form 801, Form 802, Form 803, Form 804, Form
805, Form 806, Form 807, Form 901, dan Form 902.
2. Kantor …
3
2. Kantor Pusat Bank yang melaksanakan kegiatan usaha
berdasarkan prinsip syariah wajib menyampaikan Laporan
dengan format sebagai berikut: Form 101, Form 201, Form 202,
Form 203, Form 301, Form 302, Form 303, Form 304, Form 305,
Form 306, Form 314, Form 315, Form 316, Form 317, Form 318,
Form 319, Form 320, Form 321, Form 322, Form 323, Form 324,
Form 401, Form 402, Form 501, Form 601, Form 602, Form 603,
Form 604, Form 605, Form 701, Form 702, Form 704, Form 707,
Form 801, Form 802, Form 803, Form 804, Form 805, Form 806,
Form 807, Form 901, dan Form 902.
3. Kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri yang
melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional wajib
menyampaikan Laporan dengan format sebagai berikut: Form
101, Form 201, Form 202, Form 203, Form 301, Form 302, Form
303, Form 304, Form 305, Form 306, Form 314, Form 315, Form
316, Form 317, Form 318, Form 319, Form 320, Form 321, Form
322, Form 323, Form 324, Form 401, Form 402, Form 501, Form
601, Form 602, Form 603, Form 604, Form 605, Form 701, Form
702, Form 703, Form 704, Form 705, Form 706, Form 707, Form
801, Form 802, Form 803, Form 804, Form 805, Form 806, Form
807, Form 901, dan Form 902.
4. UUS wajib menyampaikan Laporan dengan format sebagai
berikut: Form 301, Form 302, Form 303, Form 304, Form 305, Form
306, Form 314, Form 315, Form 316, Form 317, Form 318, Form
319, Form 320, Form 321, Form 322, Form 323, Form 324, dan
Form 902.
5. Kewajiban penggunaan Form 301, Form 302, Form 302, Form 304,
Form 305, Form 306, Form 314, Form 315, Form 316, Form 317,
Form 318, Form 319, Form 320, Form 321, Form 322, Form 323,
dan Form 324 sebagaimana dimaksud dalam angka 1, angka 2,
angka 3, dan angka 4 diatur sebagai berikut:
a. Bank Pelapor yang menyelenggarakan kegiatan sebagai
Penerbit kartu kredit wajib menyampaikan Form 301, Form
306, Form 318, Form 319, Form 320, Form 321, Form 322,
Form 323, dan Form 324.
b. Bank …
4
b. Bank Pelapor yang menyelenggarakan kegiatan sebagai
Penerbit kartu ATM/Debet wajib menyampaikan Form 302
dan Form 306.
c. Bank Pelapor yang menyelenggarakan kegiatan sebagai
Penerbit Uang Elektronik wajib menyampaikan Form 302,
Form 304, dan Form 306.
d. Bank Pelapor yang menyelenggarakan kegiatan sebagai
Acquirer kartu kredit wajib menyampaikan Form 303, Form
304, Form 306, Form 318, Form 319, Form 320, Form 321,
Form 322, dan Form 323.
e. Bank Pelapor yang menyelenggarakan kegiatan sebagai
Acquirer kartu ATM/Debet dan/atau Acquirer Uang
Elektronik wajib menyampaikan Form 303, Form 304, dan
Form 306.
f. Bank Pelapor yang menyelenggarakan kegiatan sebagai
Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian
Akhir wajib menyampaikan Form 305.
g. Bank Pelapor yang menyelenggarakan kegiatan Layanan
Keuangan Digital wajib menyampaikan Form 314, Form 315,
Form 316, dan Form 317.
3. Ketentuan dalam butir III.C diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
C. Bank Pelapor yang Tidak Perlu Menyampaikan Format Laporan
atas Kegiatan/Aktivitas Tertentu
1. Bank Pelapor yang tidak menyelenggarakan kegiatan
kustodian tidak menyampaikan Form 101.
2. Bank Pelapor yang tidak menyelenggarakan kegiatan APMK
dan Uang Elektronik tidak menyampaikan Form 301, Form
302, Form 303, Form 304, Form 305, Form 306, Form 314,
Form 315, Form 316, Form 317, Form 318, Form 319, Form
320, Form 321, Form 322, Form 323, dan Form 324.
3. Bank Pelapor yang belum memperoleh persetujuan dari
Bank Indonesia terhadap rencana penyelenggaraan kegiatan
LKD, tidak menyampaikan Form 314, Form 315, Form 316,
dan Form 317.
4. Bank Pelapor yang tidak menyelenggarakan aktivitas
bancassurance tidak menyampaikan Form 701.
5. Bank …
5
5. Bank Pelapor yang tidak menyelenggarakan aktivitas sebagai
agen penjual efek reksadana tidak menyampaikan Form 702.
6. Bank Pelapor yang tidak menyelenggarakan aktivitas
keagenan produk keuangan luar negeri tidak menyampaikan
Form 703.
7. Bank Pelapor yang tidak menyelenggarakan transaksi
perbankan melalui delivery channel e-banking tidak
menyampaikan Form 704.
8. Bank Pelapor yang tidak menyelenggarakan kegiatan
structured product tidak menyampaikan Form 705 dan Form
706.
4. Mengubah butir I.C dalam Lampiran 1 - Pedoman Penyusunan
Laporan Kantor Pusat Bank Umum dengan menambahkan Form 318
sampai dengan Form 324 sehingga butir I.C menjadi sebagaimana
tercantum dalam Lampiran 1 yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini.
5. Mengubah butir I.H dalam Lampiran 1 - Pedoman Penyusunan
Laporan Kantor Pusat Bank Umum dengan menambahkan frasa Form
318 sampai dengan Form 324 sehingga butir I.H menjadi sebagaimana
tercantum dalam Lampiran 1.
6. Mengubah butir II.III dalam Lampiran 1 - Pedoman Penyusunan
Laporan Kantor Pusat Bank Umum dengan menambahkan frasa Form
318 sampai dengan Form 324 sehingga butir II.III menjadi
sebagaimana tercantum dalam Lampiran 1.
7. Mengubah angka III dalam Lampiran 1 - Pedoman Penyusunan
Laporan Kantor Pusat Bank Umum dengan menambahkan penjelasan
pengisian field atau kolom Form 318 sampai dengan Form 324 dan
menyesuaikan sandi dan keterangan pada Form 804, Form 805, Form
901 dan Form 902 sehingga angka III menjadi sebagaimana tercantum
dalam Lampiran 1.
8. Mengubah Bab 2 - Sistem Validasi dalam Lampiran 2 - Petunjuk
Teknis Aplikasi Laporan Kantor Pusat Bank Umum dengan
menambahkan Form 318 sampai dengan Form 324 dan menambahkan
sandi pada Form 804 dan Form 805, sehingga Bab 2 menjadi
sebagaimana tercantum dalam Lampiran 2 yang merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini.
9. Mengubah …
6
9. Mengubah Bab 4 - Daftar Formulir LKPBU dalam Lampiran 2 -
Petunjuk Teknis Aplikasi Laporan Kantor Pusat Bank Umum dengan
menambahkan Form 318 sampai dengan Form 324 sehingga Bab 4
menjadi sebagaimana tercantum dalam Lampiran 2.
10. Mengubah Bab 5 – Spesifikasi Teknis dalam Lampiran 2 - Petunjuk
Teknis Aplikasi Laporan Kantor Pusat Bank Umum dengan
menambahkan Form 318 sampai dengan Form 324 dan menambahkan
sandi pada Form 804 dan Form 805 sehingga Bab 5 menjadi
sebagaimana tercantum dalam Lampiran 2.
11. Mengubah Lampiran 2b – Sandi Lokasi dalam Lampiran 2 - Petunjuk
Teknis Aplikasi Laporan Kantor Pusat Bank Umum, sehingga menjadi
sebagaimana tercantum dalam Lampiran 2.
12. Menambah 1 (satu) lampiran yaitu Lampiran 2g – Sandi Sektor Usaha
dalam Lampiran 2 – Petunjuk Teknis Aplikasi Laporan Kantor Pusat
Bank Umum sehingga Lampiran 2 menjadi sebagaimana Lampiran 2.
Kewajiban penyampaian laporan, form header, dan/atau koreksi
laporan secara On-line dan/atau Off-line pada Form 318 sampai dengan
Form 324 mulai berlaku untuk pelaporan data bulan November 2016 yang
disampaikan pada bulan Desember 2016.
Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 22
November 2016
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman
Surat Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita
Negara Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA,
HENDY SULISTIOWATY
KEPALA DEPARTEMEN STATISTIK
7
"," SE-BI
18/26/DSta|SE-BI/2016
Perubahan Kedua atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 14/31/DPNP tanggal 31 Oktober 2012 perihal Laporan Kantor Pusat Bank Umum
22 November 2016
22 November 2016
'14/31/DPNP|SE-BI/2012'
'14/12/PBI/2012', '14/31/DPNP|SE-BI/2012', '14/2/PBI/2012', '18/17/PBI/2016', '11/11/PBI/2009', '11/12/PBI/2009'
"
" No. 14/23 /DASP
Jakarta, 31 Agustus 2012
S U R A T E D A R A N
Perihal : Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor
13/22/DASP perihal Implementasi Teknologi Chip dan
Penggunaan Personal Identification Number pada
Kartu ATM dan/atau Kartu Debet yang diterbitkan di
Indonesia
Sehubungan dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor
11/11/PBI/2009 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran
dengan Menggunakan Kartu (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5000) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia
Nomor 14/2/PBI/2012 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2012 Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5275) dan dalam rangka mendukung kesiapan infrastruktur
penyelenggara Kartu ATM dan/atau Kartu Debet dalam proses migrasi ke
teknologi chip dan penggunaan Personal Identification Number paling
kurang 6 (enam) digit dalam mengakomodir kebutuhan masyarakat
terhadap penggunaan Kartu ATM dan/atau Kartu Debet, perlu untuk
melakukan perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor
13/22/DASP perihal Implementasi Teknologi Chip dan Penggunaan
Personal Identification Number pada Kartu ATM dan/atau Kartu Debet
yang diterbitkan di Indonesia sebagai berikut:
1. Ketentuan ...
1. Ketentuan bab V ditambah huruf C dan huruf D sebagai berikut:
C. Pihak yang memperoleh izin dari Bank Indonesia sebagai
Penyelenggara Kartu ATM dan/atau Kartu Debet setelah
berlakunya Surat Edaran Bank Indonesia ini, wajib
mengimplementasikan teknologi chip dan penggunaan PIN paling
kurang 6 (enam) digit paling lambat tanggal 31 Desember 2015.
D. Penyampaian permohonan izin, laporan dan surat menyurat
disampaikan kepada Bank Indonesia, dengan alamat sebagai
berikut:
Departemen Akunting dan Sistem Pembayaran
Kompleks Perkantoran Bank Indonesia
Gedung D Lantai 2
Jl MH. Thamrin No. 2
JAKARTA 10350
2. Bab VI dihapus.
Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal
diterbitkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengumuman Surat Edaran Bank Indonesia ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA,
BOEDI ARMANTO
KEPALA DEPARTEMEN AKUNTING
DAN SISTEM PEMBAYARAN
"," SE-BI
14/23/DASP|SE-BI/2012
Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 13/22/DASP perihal Implementasi Teknologi Chip dan Penggunaan Personal Identification Number pada Kartu ATM dan/atau Kartu Debet yang diterbitkan di,Indonesia
31 Agustus 2012
31 Agustus 2012
'13/22/DASP|SE-BI'
'13/22/DASP|SE-BI', '14/2/PBI/2012', '11/11/PBI/2009'
"
" No.13/ 8 /DPNP
Jakarta, 28 Maret 2011
S U R A T E D A R A N
Kepada
SEMUA BANK UMUM
DI INDONESIA
Perihal : Uji Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test)
Sehubungan dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia Nomor
12/23/PBI/2010 tentang Uji Kemampuan dan Kepatutan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 155, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5180), yang selanjutnya disebut PBI Uji Kemampuan
dan Kepatutan, perlu diatur kembali ketentuan pelaksanaan mengenai uji
kemampuan dan kepatutan, sebagai berikut:
I. UMUM
Sebagaimana diatur dalam PBI Uji Kemampuan dan Kepatutan, uji
kemampuan dan kepatutan dilakukan oleh Bank Indonesia terhadap:
1. Calon Pemegang Saham Pengendali (PSP), calon anggota Dewan
Komisaris dan calon anggota Direksi.
Uji kemampuan dan kepatutan dilakukan untuk menilai pemenuhan
persyaratan yang telah ditetapkan dalam rangka memperoleh
persetujuan Bank Indonesia sebelum yang bersangkutan menjadi PSP
atau menjabat sebagai anggota Dewan Komisaris atau anggota
Direksi.
2. PSP . . .
2. PSP, anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi, dan Pejabat
Eksekutif.
Uji kemampuan dan kepatutan dilakukan untuk menilai kembali
kemampuan dan kepatutan terhadap pihak-pihak yang menjadi PSP
atau yang sedang menjabat sebagai anggota Dewan Komisaris,
anggota Direksi, atau Pejabat Eksekutif.
3. Pihak-pihak yang sudah tidak menjadi atau menjabat sebagai pihak
sebagaimana dimaksud pada angka 2, namun yang bersangkutan
ditengarai terlibat atau bertanggung jawab terhadap perbuatan atau
tindakan yang sedang dalam proses uji kemampuan dan kepatutan
pada Bank atau Kantor Perwakilan Bank Asing.
Uji kemampuan dan kepatutan dilakukan untuk:
a. menilai kembali kemampuan dan kepatutan, dalam hal yang
bersangkutan telah menjadi pemegang saham atau bekerja pada
bank lain; atau
b. bahan penilaian pada saat yang bersangkutan mengajukan
permohonan kembali menjadi PSP, anggota Dewan Komisaris,
anggota Direksi, atau Pejabat Eksekutif pada bank.
II. UJI KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN TERHADAP CALON PSP,
CALON ANGGOTA DEWAN KOMISARIS, DAN CALON
ANGGOTA DIREKSI (NEW ENTRY)
A. Cakupan Uji Kemampuan dan Kepatutan
1. Faktor yang dinilai dalam uji kemampuan dan kepatutan
meliputi:
a.
Integritas dan kelayakan keuangan bagi calon PSP.
Calon . . .
Calon PSP wajib memenuhi persyaratan integritas dan
kelayakan keuangan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 dan
Pasal 8 PBI Uji Kemampuan dan Kepatutan. Terkait
dengan salah satu persyaratan integritas bagi calon PSP
yaitu memiliki komitmen terhadap pengembangan
operasional Bank yang sehat, calon PSP wajib
menyampaikan rencana pengembangan operasional Bank
yang sehat, yang paling kurang memuat arah dan strategi
pengembangan Bank, dan rencana penguatan permodalan
Bank untuk jangka waktu paling kurang 3 (tiga) tahun.
Dalam hal diperlukan, Bank Indonesia dapat meminta
pernyataan tertulis yang berisi komitmen untuk tidak
melakukan pengalihan kepemilikan sahamnya di Bank
dalam jangka waktu tertentu.
b.
Integritas, kompetensi dan reputasi keuangan bagi calon
anggota Dewan Komisaris dan calon anggota Direksi.
2. Pihak-pihak yang wajib mengikuti uji kemampuan dan kepatutan
adalah:
a. Calon PSP, meliputi:
1) orang dan/atau badan hukum yang akan melakukan
pembelian, menerima hibah, menerima hak waris atau
bentuk lain pengalihan hak atas saham Bank sehingga
yang bersangkutan akan menjadi PSP;
2) pemegang saham Bank yang tidak tergolong sebagai
PSP (non PSP) yang melakukan pembelian saham
Bank, menerima hibah saham Bank menerima hak
waris . . .
waris atau bentuk lain pengalihan hak atas saham
Bank, sehingga mengakibatkan yang bersangkutan
menjadi PSP;
3) non PSP yang melakukan penambahan setoran modal
sehingga mengakibatkan yang bersangkutan menjadi
PSP;
4) non PSP namun menurut Bank Indonesia dinilai
melakukan Pengendalian Bank;
5) orang dan/atau badan hukum yang digolongkan
sebagai pengendali Bank karena adanya perubahan
struktur kelompok usaha Bank;
6) orang dan/atau badan hukum yang akan menjadi PSP
pada “Bank hasil penggabungan” (merger);
7) orang dan/atau badan hukum yang akan menjadi PSP
“Bank hasil peleburan” (konsolidasi);
b. Calon anggota Dewan Komisaris atau calon anggota
Direksi, meliputi:
1) orang yang belum pernah menjadi anggota Dewan
Komisaris atau anggota Direksi Bank, yang
dicalonkan menjadi anggota Dewan Komisaris atau
anggota Direksi Bank;
2) orang yang sedang menjabat sebagai anggota Dewan
Komisaris atau anggota Direksi Bank, yang
dicalonkan menjadi anggota Dewan Komisaris atau
anggota Direksi, pada Bank lainnya;
3) orang yang pernah menjabat sebagai anggota Dewan
Komisaris dan/atau anggota Direksi Bank, yang
dicalonkan . . .
dicalonkan menjadi anggota Dewan Komisaris atau
anggota Direksi, pada Bank yang sama atau pada
Bank lainnya;
4)
anggota Dewan Komisaris Bank yang akan beralih
jabatan menjadi anggota Direksi pada Bank yang
sama;
5)
anggota Dewan Komisaris Bank yang akan beralih
jabatan menjadi Komisaris Independen pada Bank
yang sama;
6)
anggota Direksi Bank yang akan beralih jabatan
menjadi Direktur yang membawahkan Fungsi
Kepatuhan pada Bank yang sama;
7)
anggota Direksi Bank yang akan beralih jabatan
menjadi anggota Dewan Komisaris pada Bank yang
sama;
8)
anggota Dewan Komisaris atau anggota Direksi Bank
yang akan beralih jabatan ke jabatan yang lebih tinggi
pada Bank yang sama, antara lain meliputi:
a)
anggota Dewan Komisaris Bank yang akan
diangkat menjadi komisaris utama/wakil
komisaris utama atau yang setara dengan itu
pada Bank yang sama;
b)
anggota Direksi Bank yang akan diangkat
menjadi direktur utama/wakil direktur utama
atau yang setara dengan itu pada Bank yang
sama;
9) orang . . .
9) orang yang akan menjadi anggota Dewan Komisaris
atau anggota Direksi pada “Bank hasil
penggabungan” yang berasal dari “Bank yang
menggabungkan”;
10) orang yang akan menjadi anggota Dewan Komisaris
atau anggota Direksi pada “Bank hasil
penggabungan” yang berasal dari “Bank yang
menerima penggabungan” (surviving bank) termasuk
perpanjangan jabatan;
11) orang yang akan menjadi anggota Dewan Komisaris
atau anggota Direksi “Bank hasil peleburan” yang
berasal dari Bank yang melakukan peleburan;
12) orang yang dicalonkan menjadi pemimpin kantor
perwakilan bank asing;
13) orang yang dicalonkan menjadi pimpinan kantor
cabang bank asing.
Uji kemampuan dan kepatutan tidak dilakukan terhadap
perpanjangan jabatan bagi anggota Dewan Komisaris dan
anggota Direksi, kecuali perpanjangan jabatan sebagaimana
dimaksud pada angka 10). Termasuk dalam pengertian
perpanjangan jabatan adalah setiap penugasan kembali
dalam jabatan yang sama, baik sebelum maupun sesudah
masa jabatan yang bersangkutan berakhir. Perpanjangan
jabatan anggota Dewan Komisaris dan anggota Direksi
tersebut dilaporkan kepada Bank Indonesia dengan alamat
penyampaian sebagaimana diatur dalam angka III huruf D.
B. Persyaratan . . .
B. Persyaratan Administratif bagi Calon PSP
1. Permohonan Bank untuk memperoleh persetujuan atas calon
PSP disampaikan kepada Bank Indonesia dilengkapi dengan
dokumen persyaratan administratif sebagaimana diatur dalam
PBI Uji Kemampuan dan Kepatutan dan ketentuan lain yang
mengatur mengenai persyaratan pemegang saham Bank, yaitu:
a. Ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
persyaratan dan tata cara pembukaan kantor cabang, kantor
cabang pembantu, dan kantor perwakilan dari bank yang
berkedudukan di luar negeri;
b. Ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
persyaratan dan tata cara pembelian saham bank umum;
c. Ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
persyaratan dan tata cara merger, konsolidasi dan akuisisi
bank umum; dan
d. Ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai bank
umum.
Rincian dokumen persyaratan administratif dimaksud adalah
sebagaimana tercantum dalam Lampiran 1a dan Lampiran 1b.
2. Persyaratan laporan keuangan 3 (tiga) tahun buku terakhir dari
Bank dan badan hukum yang akan melakukan pengambilalihan
Bank sebagaimana tercantum dalam Lampiran 1a butir 2.c,
paling kurang terdiri dari laporan neraca dan perhitungan laba
rugi beserta penjelasannya yang telah diaudit oleh Akuntan
Publik. Laporan keuangan tersebut disusun sesuai dengan
Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku.
3. Selain . . .
3. Selain dokumen sebagaimana dimaksud dalam angka 1, Bank
juga menyampaikan Daftar Isian sebagaimana dimaksud dalam
Lampiran 1c dan Lampiran 1d yang telah diisi lengkap dan
ditandatangani oleh calon PSP atau calon Pemegang Saham
Pengendali Terakhir (PSPT).
C. Persyaratan Administratif bagi Calon Anggota Dewan Komisaris
dan Calon Anggota Direksi
Permohonan Bank untuk memperoleh persetujuan atas calon anggota
Dewan Komisaris dan calon anggota Direksi disampaikan kepada
Bank Indonesia dengan dilengkapi dokumen persyaratan administratif
sebagaimana diatur dalam PBI Uji Kemampuan dan Kepatutan dan
ketentuan lain yang mengatur mengenai persyaratan anggota Dewan
Komisaris, anggota Direksi, pimpinan kantor cabang bank asing dan
pemimpin kantor perwakilan bank asing, yaitu:
1. Ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai persyaratan
dan tata cara pembukaan kantor cabang, kantor cabang pembantu
dan kantor perwakilan dari bank yang berkedudukan di luar
negeri;
2. Ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pelaksanaan
fungsi kepatuhan bank umum;
3. Ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai bank
umum; dan
4. Ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pelaksanaan
good corporate governance bagi bank umum.
Rincian dokumen persyaratan administratif dimaksud adalah
sebagaimana tercantum dalam Lampiran 2a sampai dengan
Lampiran 2f.
D. Dokumen . . .
D. Dokumen Pendukung Persyaratan Administratif
Dalam hal menurut penilaian Bank Indonesia dianggap perlu, pihak
yang diuji wajib menyampaikan dokumen pendukung atas dokumen
persyaratan administratif yang dipersyaratkan sebagaimana dimaksud
dalam Lampiran 1a sampai dengan Lampiran 1d dan Lampiran 2a
sampai dengan Lampiran 2f.
Dokumen permohonan yang disampaikan Bank dinyatakan telah
diterima secara lengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dan
Pasal 25 PBI Uji Kemampuan dan Kepatutan, apabila dokumen
persyaratan administratif dan dokumen pendukungnya telah diterima
secara lengkap oleh Bank Indonesia.
E. Tata Cara dan Hasil Uji Kemampuan dan Kepatutan
1. Tata cara uji kemampuan dan kepatutan sebagaimana diatur
dalam Pasal 10 dan Pasal 22 PBI Uji Kemampuan dan Kepatutan
dilakukan terhadap:
a.
b.
calon PSP melalui penelitian administratif dan wawancara;
calon anggota Dewan Komisaris dan calon anggota Direksi
melalui:
1) penelitian administratif; dan
2) wawancara, apabila diperlukan.
2. Penelitian administratif:
a. Calon PSP
Dalam rangka menilai pemenuhan persyaratan integritas
dan kelayakan keuangan calon PSP dilakukan penelitian,
meliputi:
1) dokumen persyaratan administratif sebagaimana
dimaksud dalam Lampiran 1a sampai dengan
Lampiran 1d;
2) catatan . . .
2)
catatan administrasi Bank Indonesia antara lain
berupa rekam jejak, Daftar Tidak Lulus, dan Daftar
Kredit Macet; dan
3)
informasi lainnya yang diperoleh Bank Indonesia
dalam rangka pengawasan Bank.
b. Calon anggota Dewan Komisaris dan calon anggota
Direksi
Dalam rangka menilai pemenuhan persyaratan integritas,
reputasi keuangan dan kompetensi calon anggota Dewan
Komisaris dan calon anggota Direksi dilakukan penelitian,
meliputi:
1) dokumen persyaratan administratif sebagaimana
dimaksud dalam Lampiran 2a sampai dengan
Lampiran 2f;
2)
catatan administrasi Bank Indonesia antara lain
berupa rekam jejak, Daftar Tidak Lulus, dan Daftar
Kredit Macet; dan
3)
informasi lainnya yang diperoleh Bank Indonesia
dalam rangka pengawasan Bank.
3. Wawancara
Wawancara dilakukan dalam rangka konfirmasi atas informasi
yang telah diperoleh Bank Indonesia dan/atau untuk menggali
informasi lebih lanjut dari pihak yang diuji untuk memperoleh
keyakinan atas terpenuhinya persyaratan integritas, kelayakan
keuangan, reputasi keuangan, dan/atau kompetensi.
a. wawancara wajib dilakukan terhadap calon PSP.
b. wawancara terhadap calon anggota Dewan Komisaris dan
calon anggota Direksi dilakukan apabila:
1) pihak . . .
1) pihak yang diuji akan menjabat sebagai Direktur yang
membawahkan Fungsi Kepatuhan;
2) pihak yang diuji akan menjabat sebagai Komisaris
Independen; dan/atau
3) diperlukan klarifikasi atau penjelasan lebih lanjut dari
pihak yang diuji.
4. Hasil Penilaian
a. Calon PSP, calon anggota Dewan Komisaris dan/atau calon
anggota Direksi yang memperoleh predikat Lulus
dinyatakan memenuhi persyaratan untuk menjadi PSP,
anggota Dewan Komisaris dan/atau anggota Direksi pada
Bank yang mengajukan pencalonan.
b. Calon PSP, calon anggota Dewan Komisaris dan/atau calon
anggota Direksi yang memperoleh predikat Tidak Lulus
dinyatakan tidak memenuhi persyaratan untuk menjadi
PSP, anggota Dewan Komisaris dan/atau anggota Direksi
pada Bank yang mengajukan pencalonan.
c. Hasil uji kemampuan dan kepatutan berupa persetujuan
(predikat Lulus) atau penolakan (predikat Tidak Lulus) atas
permohonan calon PSP, calon anggota Dewan Komisaris
atau calon anggota Direksi disampaikan secara tertulis
kepada Bank yang mengajukan pencalonan.
Hasil uji kemampuan dan kepatutan dapat disampaikan
kepada pihak yang berkepentingan, antara lain Pemerintah,
Lembaga Penjamin Simpanan, pemegang saham bank atau
pihak lain yang dianggap perlu oleh Bank Indonesia.
d. Dalam . . .
d. Dalam hal calon PSP yang memperoleh predikat Tidak
Lulus telah memiliki saham bank sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14 ayat (2) PBI Uji Kemampuan dan
Kepatutan maka berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 36, Pasal 37, dan Pasal 38 PBI Uji
Kemampuan dan Kepatutan.
e. Dalam hal calon anggota Dewan Komisaris dan/atau calon
anggota Direksi yang memperoleh predikat Tidak Lulus
namun telah mendapat persetujuan dan diangkat sebagai
anggota Dewan Komisaris atau anggota Direksi Bank
sesuai keputusan RUPS sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 24 ayat (2) PBI Uji Kemampuan dan Kepatutan,
berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34
ayat (2) sampai dengan ayat (4) dan Pasal 40 Uji
Kemampuan dan Kepatutan, dengan ketentuan sebagai
berikut:
1)
calon anggota Dewan Komisaris atau calon anggota
Direksi yang memperoleh predikat Tidak Lulus yang
dilarang menjadi PSP atau memiliki saham pada
industri perbankan apabila predikat Tidak Lulus
disebabkan faktor integritas dan/atau reputasi
keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 dan
Pasal 20 PBI Uji Kemampuan dan Kepatutan.
2)
calon anggota Dewan Komisaris atau calon anggota
Direksi yang memperoleh predikat Tidak Lulus
namun berasal dari peralihan jabatan sebagaimana
dimaksud pada butir A.2.b.4) sampai dengan A.2.b.8),
yang bersangkutan masih dapat menjalankan tugas
dan . . .
dan fungsinya sebagai anggota Dewan Komisaris,
atau anggota Direksi pada Bank dimaksud sepanjang
tidak terdapat indikasi permasalahan integritas,
kelayakan keuangan, reputasi keuangan dan/atau
kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27
atau Pasal 28 PBI Uji Kemampuan dan Kepatutan.
3)
calon anggota Dewan Komisaris atau calon anggota
Direksi yang memperoleh predikat Tidak Lulus
yang berasal dari Pejabat Eksekutif yang sedang
menjabat pada Bank, yang bersangkutan masih dapat
menjalankan tugas dan fungsinya sebagai Pejabat
Eksekutif pada Bank dimaksud sepanjang tidak
terdapat indikasi permasalahan integritas, kelayakan
keuangan, reputasi keuangan dan/atau kompetensi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 PBI Uji
Kemampuan dan Kepatutan.
F. Penghentian Uji Kemampuan dan Kepatutan
1. Bank Indonesia menghentikan uji kemampuan dan kepatutan
calon PSP, calon anggota Dewan Komisaris, dan calon anggota
Direksi apabila pada saat penilaian dilakukan, calon tersebut
sedang menjalani proses hukum dan/atau sedang menjalani
proses uji kemampuan dan kepatutan pada suatu bank.
2. Yang dimaksud sedang menjalani proses hukum adalah apabila
calon PSP, calon anggota Dewan Komisaris, atau calon anggota
Direksi telah menyandang status tersangka atau terdakwa.
3. Yang dimaksud sedang menjalani proses uji kemampuan dan
kepatutan pada suatu bank adalah apabila calon PSP, calon
anggota Dewan Komisaris, atau calon anggota Direksi:
a. sedang
. . .
a.
sedang diajukan sebagai calon PSP, calon anggota Dewan
Komisaris, atau calon anggota Direksi pada bank lain.
Bank Indonesia menghentikan uji kemampuan dan
kepatutan terhadap pencalonan yang terakhir diajukan
Bank kepada Bank Indonesia.
b.
sedang menjalani uji kemampuan dan kepatutan yang
disebabkan karena yang bersangkutan diindikasikan
mempunyai permasalahan integritas, kelayakan keuangan,
reputasi keuangan dan/atau kompetensi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 27 atau Pasal 28 PBI Uji
Kemampuan dan Kepatutan.
Bank Indonesia menghentikan uji kemampuan dan
kepatutan terhadap pencalonan yang bersangkutan yang
diajukan Bank kepada Bank Indonesia.
4. Bank Indonesia memberitahukan penghentian uji kemampuan
dan kepatutan kepada Bank yang mengajukan pencalonan.
5. Calon PSP, calon anggota Dewan Komisaris, dan calon anggota
Direksi yang dihentikan uji kemampuan dan kepatutan, dapat
diajukan kembali kepada Bank Indonesia untuk menjadi calon
PSP, calon anggota Dewan Komisaris, dan calon anggota Direksi
apabila yang bersangkutan telah selesai menjalani:
a. proses hukum yang dibuktikan dengan adanya:
1) Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3); atau
2) Putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap yang menyatakan bahwa yang
bersangkutan tidak bersalah; atau
b. proses . . .
b. proses uji kemampuan dan kepatutan pada suatu bank yang
dibuktikan dengan adanya hasil akhir uji kemampuan dan
kepatutan dengan predikat Lulus dalam uji kemampuan dan
kepatutan existing.
G. Alamat Penyampaian
Surat permohonan berikut dokumen sebagaimana dimaksud pada
huruf B, C dan D di atas disampaikan oleh Bank kepada:
Direktorat Perizinan dan Informasi Perbankan,
Bank Indonesia
Jalan M. H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350;
dengan tembusan kepada:
1. Direktorat Pengawasan Bank terkait, Bank Indonesia, Jalan M.H.
Thamrin No. 2 Jakarta 10350, bagi Bank yang berkantor Pusat di
wilayah Jabodetabek; atau
2. Kantor Bank Indonesia setempat, bagi Bank yang berkantor
pusat di luar wilayah Jabodetabek.
III. UJI KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN BAGI PSP, ANGGOTA
DEWAN KOMISARIS, ANGGOTA DIREKSI, DAN PEJABAT
EKSEKUTIF (EXISTING)
A. Cakupan Uji Kemampuan dan Kepatutan
1. Uji kemampuan dan kepatutan terhadap pihak-pihak
sebagaimana dimaksud dalam butir I.2 dan butir I.3, meliputi:
a. Pihak-pihak yang menjadi PSP atau sedang menjabat
sebagai anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi, atau
Pejabat Eksekutif pada Bank, yang terindikasi memiliki
permasalahan integritas, kelayakan keuangan, reputasi
keuangan . . .
keuangan dan/atau kompetensi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 27 atau Pasal 28 PBI Uji Kemampuan dan
Kepatutan;
b. Pihak-pihak yang pada saat menjadi PSP atau menjabat
sebagai anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi atau
Pejabat Eksekutif pada suatu Bank, ditengarai terlibat atau
bertanggung jawab dalam permasalahan integritas,
kelayakan keuangan, reputasi keuangan dan/atau
kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 atau
Pasal 28 PBI Uji Kemampuan dan Kepatutan, namun pada
saat dilakukan uji kemampuan dan kepatutan, yang
bersangkutan:
1)
telah menjadi pemegang saham bank lain atau bekerja
pada bank lain; atau
2)
tidak lagi menjadi pemegang saham bank atau tidak
lagi bekerja pada bank.
2. Pelaksanaan uji kemampuan dan kepatutan dilakukan setiap saat
apabila berdasarkan bukti, data dan informasi yang diperoleh
dari hasil pengawasan (off site supervision dan/atau on site
supervision) maupun informasi lainnya, terdapat indikasi:
a. permasalahan integritas dan/atau kelayakan keuangan pada
PSP;
b. permasalahan integritas, reputasi keuangan dan/atau
kompetensi pada anggota Dewan Komisaris, anggota
Direksi, dan Pejabat Eksekutif; atau
c. pelanggaran atau penyimpangan kegiatan kantor
perwakilan bank asing yang dilakukan oleh pemimpin
kantor.
3. Permasalahan . . .
3. Permasalahan integritas, kelayakan keuangan, reputasi keuangan
dan/atau kompetensi adalah permasalahan yang terkait dengan:
a.
tindakan menyembunyikan dan/atau mengaburkan
pelanggaran dari suatu ketentuan atau kondisi keuangan
dan/atau transaksi yang sebenarnya, antara lain:
1) pencatatan palsu dan/atau transaksi fiktif baik yang
dilakukan pada sisi aktiva maupun pasiva Bank
termasuk transaksi pada rekening administratif;
2) penggelapan atau manipulasi;
3) praktek bank dalam bank;
4) praktek pembukuan dan/atau laporan keuangan Bank
yang tidak benar dan secara material berpengaruh
terhadap keadaan keuangan Bank sehingga
mengakibatkan penilaian yang keliru terhadap Bank
(window dressing);
5) pembobolan teknologi sistem informasi Bank;
dan/atau
6) menghilangkan atau merusak catatan pembukuan
dan/atau dokumen pendukung transaksi atau catatan
pembukuan Bank.
b.
tindakan memberikan keuntungan secara tidak wajar
kepada pemegang saham, anggota Dewan Komisaris,
anggota Direksi, pegawai, dan/atau pihak lain yang dapat
merugikan atau mengurangi keuntungan Bank, antara lain:
1) pemberian suku bunga pinjaman dibawah cost of
fund.
2)
transaksi valuta asing (termasuk derivasinya) yang
tidak wajar dan merugikan Bank dan/atau mengurangi
potensi keuntungan Bank;
3) penjualan . . .
3) penjualan dan/atau pembelian harta milik Bank
dengan harga yang tidak wajar dibandingkan harga
pasar; dan/atau
4) pemberian fasilitas yang tidak sesuai dengan
ketentuan yang berlaku kepada anggota Dewan
Komisaris, anggota Direksi, Pejabat Eksekutif dan
pegawai.
c.
tindakan melanggar prinsip kehati–hatian di bidang
perbankan dan/atau asas-asas perbankan yang sehat, antara
lain:
1) pemberian kredit yang tidak didasarkan pada prinsip
pemberian kredit yang sehat;
2) penyediaan dana yang melanggar Batas Maksimum
Pemberian Kredit (BMPK); dan/atau
3) penyediaan dana kepada pihak atau sektor atau
kegiatan yang dilarang oleh ketentuan.
Prinsip kehati-hatian di bidang perbankan dan/atau asas-
asas perbankan yang sehat termasuk namun tidak terbatas
pada ketentuan yang mengatur mengenai kewajiban
penyediaan modal minimum, posisi devisa neto, batas
maksimum pemberian kredit, kualitas aktiva dan giro wajib
minimum.
d.
terbukti melakukan Tindak Pidana Tertentu yang telah
diputus oleh pengadilan yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap (inkracht van gewisjde).
Tindak Pidana Tertentu adalah tindak pidana asal
yang disebut dalam Undang-Undang yang mengatur
mengenai
. . .
mengenai Tindak Pidana Pencucian Uang, yaitu
tindak pidana korupsi, penyuapan, narkotika/psikotropika,
penyelundupan tenaga kerja, penyelundupan imigran,
dibidang perbankan, dibidang pasar modal, dibidang
perasuransian, kepabeanan, cukai, perdagangan orang,
perdagangan senjata gelap, terorisme, penculikan,
pencurian, penggelapan, penipuan, pemalsuan uang,
perjudian, prostitusi, dibidang perpajakan, dibidang
kehutanan, dibidang lingkungan hidup, dibidang kelautan
dan perikanan atau tindak pidana lainnya yang diancam
dengan pidana 4 (empat) tahun atau lebih.
e.
terbukti menyebabkan Bank mengalami kesulitan yang
membahayakan kelangsungan usahanya atau dapat
membahayakan industri perbankan.
Yang dimaksud dengan menyebabkan Bank mengalami
kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya atau
dapat membahayakan industri perbankan, antara lain adalah
tindakan yang:
1) memanfaatkan Bank untuk membiayai kepentingan
sendiri dan/atau kelompok usahanya; dan/atau
2) melanggar ketentuan dan/atau komitmen kepada Bank
Indonesia atau Pemerintah,
yang menyebabkan Bank ditempatkan dalam pengawasan
intensif atau pengawasan
Pemerintah/Lembaga Penjamin Simpanan, dibekukan
kegiatan usahanya dan/atau dicabut ijin usahanya.
f. terbukti
khusus, diambilalih
. . .
f.
terbukti tidak melaksanakan perintah Bank Indonesia untuk
melakukan dan/atau tidak melakukan tindakan tertentu
(cease and desist order), dalam rangka perbaikan dan/atau
penyehatan Bank.
g.
terbukti memiliki kredit macet.
Khusus untuk kartu kredit, pengertian kredit macet tidak
termasuk tagihan yang berasal dari annual fee, biaya
administrasi dan/atau tagihan lainnya yang bukan berasal
dari transaksi pemakaian kartu kredit.
h.
terbukti dinyatakan pailit dan/atau menjadi pemegang
saham, anggota dewan komisaris atau anggota direksi yang
dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perseroan
dinyatakan pailit.
i. PSP tidak melakukan upaya-upaya yang diperlukan apabila
Bank menghadapi kesulitan permodalan maupun likuiditas,
misalnya tidak melakukan upaya penambahan setoran
modal Bank atau tidak melakukan upaya mencari investor
baru.
j.
anggota Dewan Komisaris atau anggota Direksi tidak
mampu melakukan pengelolaan strategis dalam rangka
pengembangan Bank yang sehat.
Penilaian didasarkan pada tugas dan tanggung jawab dari
setiap jabatan anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi,
sesuai uraian tugas yang ada pada Bank yang bersangkutan.
Yang dimaksud dengan kemampuan untuk melakukan
pengelolaan strategis antara lain adalah kemampuan untuk
menginterpretasikan visi dan misi Bank, mengantisipasi
perkembangan perekonomian, keuangan dan perbankan,
menganalisa . . .
menganalisa situasi industri perbankan dan sektor industri
yang dibiayai.
k. menolak memberikan komitmen dan/atau tidak memenuhi
komitmen yang telah disampaikan kepada Bank Indonesia
dan/atau instansi lain yang berwenang. Komitmen yang
dimaksud antara lain adalah:
1) komitmen dalam rangka penyehatan Bank;
2) komitmen untuk tidak mengulangi tindakan atau
perbuatan sebagaimana dimaksud dalam huruf a,
huruf b dan/atau huruf c; atau
3) komitmen untuk tidak melakukan dan/atau
mengulangi perbuatan dan/atau tindakan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 27 atau Pasal 28 PBI Uji
Kemampuan dan Kepatutan (bagi PSP, anggota
Dewan Komisaris, anggota Direksi, atau Pejabat
Eksekutif yang pernah memiliki predikat Tidak Lulus
dalam uji kemampuan dan kepatutan dan telah
menjalani masa sanksi sebagaimana dimaksud Pasal
35 ayat (1), Pasal 40 ayat (4) huruf a dan Pasal 40
ayat (5) PBI Uji Kemampuan dan Kepatutan).
4. Pelanggaran terhadap kegiatan usaha yang dilarang untuk Kantor
Perwakilan Bank Asing sesuai dengan ketentuan yang berlaku,
yang dilakukan atau melibatkan pemimpin kantor perwakilan
bank asing.
B. Tata Cara Pelaksanaan Uji Kemampuan dan Kepatutan
1. Pelaksanaan uji kemampuan dan kepatutan dilakukan setiap saat
dalam rangka penilaian kembali apabila berdasarkan bukti, data
dan/atau . . .
2 Uji
dan/atau informasi yang diperoleh dari hasil pengawasan
maupun informasi lainnya terdapat indikasi permasalahan
integritas, kelayakan keuangan, reputasi keuangan, dan/atau
kompetensi.
2. Uji kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud pada
angka 1, dilakukan dengan langkah-langkah:
a. klarifikasi bukti, data dan informasi kepada pihak-pihak
yang diuji;
b. penetapan dan penyampaian hasil sementara uji
kemampuan dan kepatutan kepada pihak-pihak yang diuji;
c.
tanggapan dari pihak-pihak yang diuji terhadap hasil
sementara uji kemampuan dan kepatutan; dan
d. penetapan dan pemberitahuan hasil akhir uji kemampuan
dan kepatutan kepada pihak-pihak yang diuji;
3. Penetapan hasil uji kemampuan dan kepatutan dilakukan
berdasarkan tingkat keterlibatan atau peranan pihak-pihak yang
diuji terhadap permasalahan atau tindakan pelanggaran yang
dilakukan, yang dikategorikan menjadi:
a. Pelaku
Yang dimaksud dengan Pelaku adalah:
1) orang yang memerintahkan, menyuruh melakukan
atau mengusulkan terjadinya perbuatan;
2) orang yang menyetujui, turut serta menyetujui, atau
menandatangani;
3) orang yang melakukan atau turut serta melakukan
suatu perbuatan berdasarkan perintah, baik dengan
atau tanpa tekanan, dan yang bersangkutan patut
mengetahui atau patut menduga bahwa perintah
tersebut
. . .
tersebut bertentangan dengan ketentuan yang berlaku;
atau
4) orang yang melakukan suatu perbuatan karena adanya
janji atau imbalan tertentu.
b. Pelaku Pembantu
Yang dimaksud dengan Pelaku Pembantu adalah Orang
yang karena melaksanakan tugas, jabatan dan/atau adanya
suatu perintah dari pihak lain, baik dengan atau tanpa
tekanan, melakukan atau turut serta melakukan suatu
perbuatan, dan yang bersangkutan patut mengetahui atau
patut menduga bahwa perbuatan atau perintah yang
dilakukan tersebut bertentangan dengan ketentuan yang
berlaku, namun yang bersangkutan telah berusaha untuk
menolak melakukan perbuatan atau perintah tersebut.
C. Hasil Uji Kemampuan dan Kepatutan beserta Konsekuensinya
1. Pihak-pihak yang ditetapkan dengan predikat Lulus memenuhi
persyaratan untuk tetap menjadi PSP, anggota Dewan Komisaris
anggota Direksi atau Pejabat Eksekutif.
2. Pihak-pihak yang dikategorikan sebagai Pelaku Pembantu dapat
ditetapkan predikat Lulus apabila yang bersangkutan
menyampaikan surat pernyataan yang berisi komitmen untuk
tidak mengulangi tindakan pelanggaran dimasa yang akan
datang.
Pelanggaran atas komitmen dimaksud menjadi dasar untuk
dilakukan uji kemampuan dan kepatutan kepada yang
bersangkutan.
3. Pihak-pihak yang ditetapkan dengan predikat Tidak Lulus
dilarang menjadi:
a. PSP . . .
a. PSP atau memiliki saham pada industri perbankan;
dan/atau
b.
anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi, atau Pejabat
Eksekutif pada industri perbankan.
sejak tanggal surat penetapan Bank Indonesia.
4.
Jangka waktu larangan terhadap pihak-pihak sebagaimana
dimaksud pada angka 3 tercantum dalam Lampiran 3a dan
Lampiran 3b.
5. Dalam hal pihak-pihak yang ditetapkan Tidak Lulus
sebagaimana dimaksud pada angka 3 juga merupakan pemegang
saham pada bank lain, yang bersangkutan juga wajib
mengalihkan kepemilikan sahamnya pada bank lain tersebut,
dengan ketentuan sebagai berikut:
a.
jika bank tersebut adalah Bank Umum maka yang
bersangkutan wajib mengalihkan seluruh kepemilikan
sahamnya pada bank tersebut dalam jangka waktu paling
lama 6 (enam) bulan sejak tanggal surat penetapan Tidak
Lulus oleh Bank Indonesia. Dalam hal tidak dialihkan
dalam jangka waktu dimaksud maka berlaku ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 dan Pasal 38 PBI
Uji Kemampuan dan Kepatutan;
b.
jika bank tersebut adalah Bank Umum Syariah atau Bank
Pembiayaan Rakyat Syariah maka yang bersangkutan wajib
mengalihkan kepemilikan sahamnya pada bank tersebut
dengan jumlah saham, jangka waktu, dan tata cara
pengalihan sesuai dengan yang diatur dalam ketentuan
mengenai uji kemampuan dan kepatutan yang berlaku bagi
Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat
Syariah;
c. jika . . .
c.
jika bank tersebut adalah Bank Perkreditan Rakyat maka
yang bersangkutan wajib mengalihkan kepemilikan
sahamnya pada Bank Perkreditan Rakyat tersebut dengan
jumlah saham, jangka waktu, dan tata cara pengalihan
sesuai dengan yang diatur dalam ketentuan mengenai uji
kemampuan dan kepatutan yang berlaku bagi Bank
Perkreditan Rakyat.
6. Dalam hal pihak-pihak yang ditetapkan dengan predikat Tidak
Lulus sebagaimana dimaksud pada angka 3 sudah menjabat
sebagai anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi, atau Pejabat
Eksekutif pada bank lain, maka yang bersangkutan berhenti dari
jabatannya sebagai anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi,
atau Pejabat Eksekutif pada bank lain tersebut, dengan ketentuan
sebagai berikut:
a.
jika bank tersebut adalah Bank Umum maka yang
bersangkutan berhenti dari jabatannya sebagai anggota
Dewan Komisaris, anggota Direksi atau Pejabat Eksekutif
pada bank lain tersebut sejak tanggal surat penetapan Tidak
Lulus oleh Bank Indonesia.
Bank Umum tersebut wajib menindaklanjuti pemberhentian
anggota Dewan Komisaris anggota Direksi, atau Pejabat
Eksekutif dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan
sejak tanggal pemberitahuan Bank Indonesia, berupa:
1) melaksanakan RUPS untuk memberhentikan
(pengukuhan) anggota Dewan Komisaris atau anggota
Direksi yang ditetapkan dengan predikat Tidak Lulus;
atau
2) menerbitkan . . .
2) menerbitkan surat keputusan pemberhentian bagi
Pejabat Eksekutif yang ditetapkan dengan predikat
Tidak Lulus.
b.
jika bank tersebut adalah Bank Umum Syariah atau Bank
Pembiayaan Rakyat Syariah maka tindaklanjut
pemberhentian bagi anggota Dewan Komisaris, anggota
Direksi, atau Pejabat Eksekutif dimaksud mengacu kepada
ketentuan yang mengatur mengenai uji kemampuan dan
kepatutan yang berlaku bagi Bank Umum Syariah dan
Bank Pembiayaan Rakyat Syariah.
c.
jika bank tersebut adalah Bank Perkreditan Rakyat
maka tindaklanjut pemberhentian bagi anggota Dewan
Komisaris, anggota Direksi, atau Pejabat Eksekutif
dimaksud mengacu kepada ketentuan yang mengatur
mengenai uji kemampuan dan kepatutan yang berlaku bagi
Bank Perkreditan Rakyat.
d.
jika bank tersebut adalah Bank Umum dan yang
bersangkutan menjabat sebagai Direktur atau Pejabat
Eksekutif yang hanya bertugas mengelola Unit Usaha
Syariah (UUS), maka tindaklanjut pemberhentian yang
bersangkutan mengacu pada ketentuan sebagaimana
dimaksud pada huruf b.
7. PSP yang ditetapkan dengan predikat Tidak Lulus dan tidak
mengalihkan seluruh kepemilikan sahamnya dalam jangka waktu
paling lama 6 (enam) bulan maka dalam jangka waktu paling
lama 7 (tujuh) hari kerja sejak berakhirnya batas waktu tersebut,
yang bersangkutan wajib menyerahkan surat kuasa menjual
saham kepada:
a. pihak . . .
a. pihak yang ditunjuk oleh PSP dengan persetujuan Bank
Indonesia;
b. pihak yang ditunjuk Bank Indonesia; atau
c. Bank Indonesia dengan hak substitusi.
8. Surat kuasa menjual sebagaimana dimaksud pada angka 7 dibuat
dalam bentuk akta notariil yang paling kurang memuat:
a. memberikan kuasa kepada penerima kuasa untuk menjual
atau mengalihkan saham kepada pihak lain;
b. menerima/menyetujui segala keputusan atas penjualan atau
pengalihan saham yang dilakukan oleh penerima kuasa;
c. membebaskan penerima kuasa atas segala akibat hukum
yang timbul dari penjualan atau pengalihan saham
dimaksud;
d. pemberi kuasa tidak akan mencabut surat kuasa menjual
yang telah diberikan kepada penerima kuasa; dan
e.
segala biaya yang timbul dalam rangka pelaksanaan surat
kuasa menjual, menjadi beban pemberi kuasa.
9. Hak PSP terhadap pembagian deviden, berlaku ketentuan
sebagai berikut :
a. yang bersangkutan masih berhak menerima pembagian
deviden untuk periode paling lama 6 (enam) bulan sejak
tanggal surat penetapan Tidak Lulus oleh Bank Indonesia
tersebut.
Dalam hal pembagian deviden untuk periode tersebut
dilakukan setelah 6 (enam) bulan sejak penetapan Tidak
Lulus maka yang bersangkutan hanya menerima
pembagian deviden setelah memperhitungkan biaya
pelaksanaan surat kuasa menjual.
b. apabila . . .
b.
apabila sampai dengan jangka waktu sebagaimana
dimaksud pada huruf a terlampaui dan PSP tidak
mengalihkan kepemilikan sahamnya atau mengalihkan
kepemilikan sahamnya kepada pihak yang memiliki
hubungan keluarga sampai dengan derajat kedua termasuk
kepada kelompok usahanya, maka pembayaran deviden
ditunda sampai dengan yang bersangkutan mengalihkan
kepemilikan sahamnya sesuai dengan ketentuan.
D. Alamat Penyampaian
Penyampaian klarifikasi dan tanggapan dari pihak-pihak yang diuji
dalam proses uji kemampuan dan kepatutan, penyampaian surat
pernyataan dan laporan Bank, disampaikan kepada:
1. Direktorat Pengawasan Bank terkait, Bank Indonesia,
Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350, bagi Bank yang berkantor
Pusat di wilayah Jabodetabek; atau
2. Kantor Bank Indonesia setempat, bagi Bank yang berkantor
pusat di luar wilayah Jabodetabek,
dengan tembusan kepada Direktorat Perizinan dan Informasi
Perbankan, Bank Indonesia, Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350.
IV. LAPORAN RENCANA PERUBAHAN STRUKTUR KELOMPOK
USAHA
Laporan rencana perubahan struktur kelompok usaha sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 54 PBI Uji Kemampuan dan Kepatutan mencakup
seluruh pihak yang terkait dengan Bank dari segi pengendalian sampai
dengan PSPT.
Contoh . . .
Contoh pelaporan rencana perubahan struktur kelompok usaha adalah
sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 4a dan Lampiran 4b. Laporan
rencana perubahan struktur kelompok usaha disampaikan kepada Bank
Indonesia dengan alamat sebagaimana pada butir III.D.
V. KETENTUAN LAIN-LAIN
Lampiran 1a sampai dengan Lampiran 4b merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini.
VI. KETENTUAN PERALIHAN
1. Hasil uji kemampuan dan kepatutan yang telah ditetapkan oleh
Bank Indonesia berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor
5/25/PBI/2003 tentang Penilaian Kemampuan dan Kepatutan (Fit and
Proper Test), dinyatakan tetap berlaku.
2. Terhadap uji kemampuan dan kepatutan bagi calon PSP atau PSP,
calon anggota Dewan Komisaris atau anggota Dewan Komisaris,
calon anggota Direksi atau anggota Direksi, dan/atau Pejabat
Eksekutif yang sedang dilakukan pada saat berlakunya PBI Uji
Kemampuan dan Kepatutan, maka:
a.
proses penilaian yang meliputi faktor yang dinilai dan tata cara
penilaian serta hasil penilaian, tetap mengacu kepada Peraturan
Bank Indonesia Nomor 5/25/PBI/2003 tentang Penilaian
Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test).
b. dalam hal hasil penilaian sebagaimana dimaksud pada huruf a
adalah Lulus Bersyarat, maka yang bersangkutan dinyatakan
Lulus setelah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 34 Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/25/PBI/2003
tentang Penilaian Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper
Test) dan perubahan hasil penilaian dimaksud diberitahukan
Bank Indonesia kepada yang bersangkutan.
c. dalam . . .
c. dalam hal hasil penilaian sebagaimana dimaksud pada huruf a
adalah Lulus maka konsekuensi hasil penilaian mengacu kepada
ketentuan dalam PBI Uji Kemampuan dan Kepatutan.
d. dalam hal hasil penilaian sebagaimana dimaksud pada huruf a
adalah Tidak Lulus, maka konsekuensi hasil penilaian termasuk
pengenaan jangka waktu larangan untuk menjadi PSP, anggota
Dewan Komisaris, anggota Direksi atau Pejabat Eksekutif
mengacu kepada ketentuan dalam PBI Uji Kemampuan dan
Kepatutan.
VII. PENUTUP
Dengan berlakunya Surat Edaran ini, maka Surat Edaran Bank Indonesia
Nomor 6/15/DPNP tanggal 31 Maret 2004 perihal Penilaian Kemampuan
dan Kepatutan (Fit and Proper Test), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Ketentuan di dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada
tanggal 28 Maret 2011.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat
Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita Negara
Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA,
WIMBOH SANTOSO
DIREKTUR PENELITIAN DAN
PENGATURAN PERBANKAN
"," SE-BI
13/8/DPNP|SE-BI/2011
Uji Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test)
28 Maret 2011
28 Maret 2011
'6/15/DPNP|SE-BI/2004'
'12/23/PBI/2010'
"
" 1
No.12/ 32 /DPbS
Jakarta, 18 November 2010
S U R A T E D A R A N
Kepada
SEMUA BANK UMUM SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH
DI INDONESIA
Perihal: Rencana Bisnis Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah
Sehubungan dengan diterbitkannya Peraturan Bank Indonesia Nomor
12/21/PBI/2010 tanggal 19 Oktober 2010 tentang Rencana Bisnis Bank
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 120, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5161), perlu diatur kembali
ketentuan pelaksanaan mengenai Rencana Bisnis untuk Bank Umum Syariah
(BUS) dan Unit Usaha Syariah (UUS) dalam suatu Surat Edaran Bank Indonesia
dengan pokok-pokok sebagai berikut:
I. UMUM
1. Dalam rangka mencapai tujuan usaha yang berpedoman kepada visi dan
misi yang telah ditetapkan, maka BUS dan UUS perlu menyusun
Rencana Bisnis dengan memperhatikan faktor eksternal dan internal,
prinsip kehati-hatian, penerapan manajemen risiko dan azas perbankan
yang sehat. Rencana Bisnis harus disusun secara matang, realistis dan
komprehensif sehingga lebih mencerminkan kompleksitas usaha dan
dapat menjadi arah kebijakan dan pengembangan usaha BUS dan UUS.
2. Rencana Bisnis adalah dokumen tertulis yang menggambarkan rencana
kegiatan usaha BUS dan UUS jangka pendek (1 tahun) dan jangka
menengah ...
2
menengah (3 tahun), termasuk rencana untuk meningkatkan kinerja
usaha serta strategi untuk merealisasikan rencana tersebut sesuai
dengan target dan waktu yang ditetapkan, dengan tetap memperhatikan
pemenuhan prinsip kehati-hatian dan penerapan manajemen risiko.
Penyusunan Rencana Bisnis dilakukan oleh Direksi dan harus
memperoleh persetujuan Dewan Komisaris BUS atau Dewan Komisaris
Bank Umum yang memiliki UUS. Selanjutnya, dalam rangka
mengimplementasikan Rencana Bisnis secara efektif, Direksi wajib
mengkomunikasikan Rencana Bisnis tersebut kepada pemegang saham
dan pegawai pada semua jenjang organisasi yang ada pada BUS dan
UUS.
3. Rencana Bisnis yang realistis diperlukan bagi Bank Indonesia selaku
Otoritas Moneter sebagai salah satu pertimbangan dalam menetapkan
kebijakan dan melakukan pengawasan makro prudential.
4. Rencana Bisnis UUS disusun secara tersendiri yang disajikan sebagai
lampiran dan merupakan satu kesatuan dari Rencana Bisnis Bank
Umum yang memiliki UUS. Dengan demikian, data keuangan dalam
Rencana Bisnis UUS harus dikonsolidasikan dengan Rencana Bisnis
Bank Umum yang memiliki UUS.
5. Laporan Realisasi Rencana Bisnis UUS disusun secara tersendiri yang
disajikan sebagai lampiran dan merupakan satu kesatuan dari Laporan
Realisasi Rencana Bisnis Bank Umum yang memiliki UUS. Dengan
demikian, data keuangan dalam Laporan Realisasi Rencana Bisnis UUS
harus dikonsolidasikan dengan Laporan Realisasi Bisnis Bank Umum
yang memiliki UUS.
6. Laporan Pengawasan Rencana Bisnis UUS disusun secara tersendiri
yang disajikan sebagai lampiran dan merupakan satu kesatuan dari
Laporan Pengawasan Rencana Bisnis Bank Umum yang memiliki
UUS. Dengan demikian, data keuangan dalam Laporan Pengawasan
Rencana ...
3
Rencana Bisnis UUS harus dikonsolidasikan dengan Laporan
Pengawasan Rencana Bisnis Bank Umum yang memiliki UUS.
II. CAKUPAN DAN PENYUSUNAN RENCANA BISNIS BANK
Sesuai dengan Pasal 5 Peraturan Bank Indonesia Nomor 12/21/PBI/2010,
Rencana Bisnis BUS dan Rencana Bisnis UUS paling kurang mencakup:
1. Ringkasan eksekutif;
2. Kebijakan dan strategi manajemen;
3. Penerapan manajemen risiko dan kinerja BUS dan UUS saat ini;
4. Proyeksi laporan keuangan beserta asumsi yang digunakan;
5. Proyeksi rasio-rasio dan pos-pos tertentu lainnya;
6. Rencana pendanaan;
7. Rencana penanaman dana;
8. Rencana permodalan;
9. Rencana pengembangan organisasi dan sumber daya manusia (SDM);
10. Rencana penerbitan produk dan/atau pelaksanaan aktivitas baru;
11. Rencana pengembangan dan/atau perubahan jaringan kantor; dan
12. Informasi lainnya.
Cakupan Rencana Bisnis yang ditetapkan Bank Indonesia bersifat minimum
sehingga BUS dan UUS dapat memperluas cakupan tersebut sesuai dengan
kebutuhan, dengan tetap memperhatikan hal-hal sebagaimana ditetapkan
pada angka I di atas.
1. Ringkasan Eksekutif
Ringkasan eksekutif ini berisi penjelasan umum, baik kuantitatif
maupun kualitatif mengenai hasil yang telah dicapai pada tahun
terakhir, antara lain aspek permodalan, rentabilitas, penilaian risiko
khususnya risiko kredit, risiko pasar dan risiko likuiditas, serta dana
pihak ketiga dan rasio keuangan. Selain itu ringkasan eksekutif juga
memuat ...
4
memuat target usaha BUS dan UUS dalam jangka pendek (1 tahun)
sampai dengan jangka menengah (3 tahun).
Ringkasan eksekutif disusun dengan format dan cakupan paling kurang
sebagai berikut:
a. Visi dan Misi
Bagian ini menguraikan visi dan misi yang menjadi tujuan BUS
dan UUS di masa mendatang.
b. Arah Kebijakan
Bagian ini memberikan penjelasan mengenai arah dan kebijakan
pengembangan usaha yang akan dilakukan BUS dan UUS (jangka
pendek maupun jangka menengah).
c. Langkah-langkah Strategis yang Akan Ditempuh
Bagian ini memberikan uraian mengenai langkah-langkah strategis
yang akan ditempuh BUS dan UUS untuk mencapai visi dan misi
BUS dan UUS sesuai dengan arah kebijakan BUS dan UUS ke
depan.
d. Indikator Keuangan Utama
Indikator keuangan utama antara lain memuat posisi aktual (per
posisi bulan September tahun penyusunan Rencana Bisnis) maupun
proyeksi.
Contoh tabel indikator keuangan utama Rencana Bisnis tahun 2011
adalah sebagai berikut:
Indikator
Aktual
Sep Des
2010
2010
Rasio Kewajiban
Penyediaan Modal
Minimum (KPMM)
Equity Coverage Ratio
(ECR)
Equity to Debt Ratio
(EDR)
Return on Asset (ROA)
Mar
Proyeksi
Tahun 2011
Jun
Des
Sep Des
2012
Des
2013
Return ...
5
Aktual
Indikator
Sep Des
2010
2010
Return on Equity (ROE)
Net Operating Margin
(NOM)
Income Generating Asset
(IGA)
Rasio Efisiensi Kegiatan
Operasional (REO)
Earning Asset Quality
(EAQ)
Rasio PPAP yang telah
dibentuk terhadap PPA
yang wajib dibentuk atas
aset produktif
Non Performing
Financing (NPF) Ratio-
Gross
Non Performing
Financing (NPF) Ratio-
Net
Rasio Pembiayaan
terhadap Total Aset
Produktif
Rasio Debitur Inti
terhadap Total
Pembiayaan
Rasio pembiayaan
kepada UMKM terhadap
total Pembiayaan
Short Term Mismatch
(STM)
Rasio Deposan Inti (RDI)
Financing to Deposit
Ratio (FDR)
e. Target Jangka Pendek dan Jangka Menengah
Bagian ini menguraikan target (fokus) kegiatan usaha BUS dan
UUS baik kuantitatif maupun kualitatif dalam jangka pendek
maupun jangka menengah, sesuai dengan visi dan misi BUS dan
UUS disertai dengan alasan pemilihan target, asumsi yang
digunakan dan strategi untuk mencapai target tersebut.
Target jangka pendek misalnya berupa target penurunan tingkat
NPF, peningkatan fungsi intermediasi dan peningkatan efisiensi.
Sementara itu, target jangka menengah misalnya target
Mar
Proyeksi
Tahun 2011
Jun
Des
Sep Des
2012
Des
2013
pengembangan ...
6
pengembangan perbankan Syariah dan target penerapan tata kelola
yang baik (good corporate governance).
2. Kebijakan dan Strategi Manajemen
Bagian ini berisi penjelasan mengenai kebijakan dan strategi
manajemen selama 1 (satu) tahun ke depan, yang paling kurang
memuat:
a. Analisis Posisi dalam Menghadapi Persaingan Usaha.
Uraian analisis posisi BUS dan UUS dalam menghadapi persaingan
usaha meliputi informasi mengenai posisi BUS dan UUS baik
dalam kelompok yang sama maupun secara industri, termasuk
informasi mengenai permasalahan dan hambatan yang dialami
BUS dan UUS. Dalam melakukan analisis posisi, BUS dan UUS
menggunakan pendekatan tertentu paling kurang berupa analisis
SWOT (strengths, weaknesses, opportunities dan threats).
b. Kebijakan Manajemen (Policy Statements)
Uraian kebijakan manajemen meliputi informasi umum kebijakan
BUS dan UUS yang ditetapkan oleh manajemen dalam
pengembangan usaha BUS dan UUS di waktu yang akan datang.
c. Kebijakan Manajemen Risiko dan Kepatuhan
Uraian mengenai kebijakan manajemen risiko dan kepatuhan
meliputi informasi mengenai langkah-langkah dalam menerapkan
manajemen risiko yang disusun berdasarkan evaluasi atas profil
risiko BUS dan UUS dan upaya-upaya perbaikan yang akan
ditempuh serta penjelasan mengenai kebijakan dalam
melaksanakan fungsi kepatuhan.
d. Strategi Pengembangan Bisnis
Uraian mengenai strategi pengembangan bisnis antara lain memuat
informasi langkah-langkah strategis untuk mencapai tujuan usaha
BUS ...
7
BUS dan UUS yang telah ditetapkan, termasuk penjelasan
mengenai strategi pengembangan organisasi dan teknologi sistem
informasi dan strategi untuk mengantisipasi perubahan kondisi
eksternal.
e. Strategi Pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) dan
Kebijakan Remunerasi (Remuneration Policies)
Uraian mengenai kebijakan remunerasi paling kurang meliputi
informasi mengenai kebijakan umum yang mengatur mengenai
pemberian gaji, bonus (benefits) dan fasilitas lain yang bersifat
keuangan kepada Dewan Komisaris dan Direksi BUS, Dewan
Pengawas Syariah (DPS) serta Direktur UUS, termasuk kepada
pegawai.
3. Penerapan Manajemen Risiko dan Kinerja Saat Ini
Bagian ini berisi penjelasan baik kuantitatif maupun kualitatif,
mengenai kondisi BUS dan UUS pada saat penyusunan Rencana Bisnis
BUS dan UUS dan menyoroti hal-hal utama yang perlu mendapat
perhatian atau permasalahan yang dihadapi serta hasil-hasil yang
telah dicapai BUS dan UUS.
Bagian ini paling kurang memuat uraian mengenai:
a. Penerapan Manajemen Risiko, termasuk profil risiko untuk seluruh
risiko
Uraian mengenai penerapan manajemen risiko meliputi evaluasi
dan hasil penerapan manajemen risiko untuk periode awal tahun
sampai dengan posisi akhir September tahun penyusunan Rencana
Bisnis BUS dan UUS.
Uraian mengenai penilaian profil risiko meliputi informasi
penilaian BUS dan UUS mengenai tingkat dan trend untuk seluruh
risiko.
Tata ...
8
Tata cara penyusunan profil risiko dan evaluasi penerapan
manajemen risiko berpedoman kepada ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai penerapan manajemen risiko bagi BUS
dan UUS.
Dalam uraian ini termasuk pula evaluasi efektivitas dan hasil
penerapan peraturan perundang-undangan yang mengatur
mengenai Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan
Terorisme (APU dan PPT) dan rencana kerja fungsi kepatuhan
BUS dan Bank Umum yang memiliki UUS terhadap ketentuan
yang berlaku dan komitmen kepada Bank Indonesia.
b. Penerapan Tata Kelola yang Baik
Uraian mengenai penilaian penerapan tata kelola yang baik
berpedoman kepada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai pelaksanaan good corporate governance bagi BUS dan
UUS.
c. Kinerja Keuangan, khususnya Permodalan dan Rentabilitas
Uraian mengenai kinerja keuangan BUS dan UUS termasuk hasil
pelaksanaan action plan dalam rangka memperbaiki kinerja BUS
dan UUS sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai sistem penilaian tingkat kesehatan bagi
BUS dan UUS.
Uraian mengenai kinerja permodalan mencakup paling kurang
kecukupan, komposisi dan proyeksi permodalan serta kemampuan
permodalan BUS dan UUS dalam meng-cover risiko dari aset
bermasalah, kemampuan BUS dan UUS untuk menambah modal
dari laba operasional BUS dan UUS, rencana permodalan BUS dan
UUS untuk mendukung pertumbuhan usaha, akses kepada sumber
permodalan dan kemampuan pemegang saham untuk meningkatkan
permodalan ...
9
permodalan BUS dan UUS.
Uraian mengenai kinerja rentabilitas BUS dan UUS mencakup
paling kurang pencapaian tingkat return yang diharapkan, proporsi
aktiva produktif yang menghasilkan pendapatan terhadap aktiva,
dan tingkat efisiensi.
d. Realisasi Pemberian Pembiayaan kepada Debitur Usaha Mikro,
Kecil dan Menengah (UMKM)
Uraian mengenai realisasi pemberian pembiayaan ini
mencerminkan peranan BUS dan UUS dalam mendukung
perkembangan UMKM.
Pengelompokan usaha mikro, kecil dan menengah mengacu pada
kriteria usaha berdasarkan undang-undang yang berlaku mengenai
Usaha Mikro, Kecil dan Menengah.
e. Penerapan Kepatuhan terhadap Prinsip Syariah
Uraian mengenai langkah-langkah yang akan dilakukan untuk
memastikan bahwa produk dan jasa yang dilakukan oleh BUS dan
UUS telah sesuai dengan prinsip syariah yang ditetapkan dalam
fatwa Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama Indonesia (DSN –
MUI).
4. Proyeksi Laporan Keuangan beserta Asumsinya
Dalam bagian ini diuraikan mengenai kondisi keuangan dan
pelaksanaan fungsi sosial BUS dan UUS posisi aktual (per posisi bulan
September tahun penyusunan Rencana Bisnis) dan proyeksi untuk
periode 3 (tiga) tahun ke depan. Proyeksi tahun pertama disajikan
secara triwulanan sedangkan proyeksi tahun kedua dan ketiga disajikan
secara tahunan (posisi akhir tahun).
Dalam bagian ini diuraikan juga mengenai asumsi makro dan mikro
yang digunakan dalam menyusun proyeksi keuangan dimaksud. Asumsi
makro ...
10
makro antara lain tingkat pertumbuhan ekonomi dan tingkat inflasi,
sedangkan asumsi mikro antara lain tingkat persaingan antar bank,
pertumbuhan pembiayaan industri perbankan syariah dan tingkat
imbalan pembiayaan dan dana pihak ketiga yang digunakan di dalam
menyusun Rencana Bisnis.
Proyeksi laporan keuangan ini disajikan dengan mengacu pada:
a. Lampiran 1 : Proyeksi Neraca
b. Lampiran 2 : Proyeksi Komitmen dan Kontinjensi
c. Lampiran 3 : Proyeksi Laba Rugi
d. Lampiran 4 : Perhitungan Distribusi Bagi Hasil
e. Lampiran 5 : Laporan Penghimpunan dan Penyaluran
Zakat, Infaq dan Shodaqoh (ZIS)
f. Lampiran 6 : Laporan Sumber dan Penggunaan Dana
Qardhul Hasan
g. Lampiran 7 : Asumsi Makro dan Mikro yang Digunakan
5. Proyeksi Rasio-rasio dan Pos-Pos Tertentu Lainnya
Dalam bagian ini diuraikan mengenai rasio keuangan dan posisi aktual
rasio tertentu lainnya (per posisi bulan September tahun penyusunan
Rencana Bisnis) dan proyeksi untuk periode 1 (satu) tahun ke depan
yang disajikan secara triwulanan, yaitu sebagai berikut:
a. Rasio Keuangan Pokok
Proyeksi rasio keuangan pokok meliputi rasio-rasio yang paling
kurang dapat memberikan informasi penilaian atas kondisi
permodalan, rentabilitas, risiko kredit, risiko pasar, dan risiko
likuiditas.
b. Rasio-rasio Tertentu Lainnya
Proyeksi ini meliputi proyeksi beberapa rasio terkait pembiayaan
kepada debitur UMKM, rasio dana pendidikan dan rasio aktiva
tetap ...
11
tetap yang tidak digunakan dalam operasional BUS dan UUS
terhadap modal.
Selain itu disajikan pula pos-pos tertentu yang memberikan informasi
mengenai penghimpunan dan penyaluran dana.
Proyeksi rasio keuangan pokok dan pos-pos tertentu lainnya disajikan
dengan mengacu pada Lampiran 8.
6. Rencana Pendanaan
Dalam bagian ini diuraikan mengenai posisi penghimpunan dana posisi
aktual (per posisi bulan September tahun penyusunan Rencana Bisnis)
dan rencana penghimpunan dana untuk periode 1 (satu) tahun ke depan
secara triwulanan. Dalam bagian ini diuraikan juga mengenai asumsi
yang digunakan dalam menyusun rencana dimaksud serta strategi BUS
dan UUS untuk merealisasikan rencana tersebut.
Rencana pendanaan ini disajikan dengan mengacu pada:
a. Lampiran 9 : Rencana Penghimpunan Dana Pihak Ketiga
b. Lampiran 10 : Rencana Penerbitan Surat Berharga
c. Lampiran 11 : Rencana Pendanaan Lainnya
7. Rencana Penanaman Dana
Dalam bagian ini diuraikan mengenai posisi penyaluran dana posisi
aktual (per posisi bulan September tahun penyusunan Rencana Bisnis)
dan rencana penyaluran dana untuk periode 1 (satu) tahun ke depan
secara triwulanan yang antara lain memberikan informasi rencana
penyediaan dana kepada pihak terkait, dan rincian rencana pemberian
pembiayaan, termasuk rencana pemberian pembiayaan kepada kegiatan
usaha tertentu. Jenis kegiatan usaha tertentu yang dicantumkan dalam
rincian pemberian pembiayaan mencerminkan fokus pembiayaan BUS
dan UUS berdasarkan jenis kegiatan usaha yang diprioritaskan dan/atau
signifikansi ...
12
signifikansi pangsa pembiayaan maupun jumlah debitur.
Dalam bagian ini diuraikan juga mengenai asumsi yang digunakan
dalam menyusun rencana dimaksud serta strategi BUS dan UUS untuk
merealisasikan rencana tersebut.
Rencana penyaluran dana ini disajikan dengan mengacu pada:
a.
Lampiran 12
b.
c.
d.
Lampiran 13 (a)
Lampiran 13 (b)
: Rencana Penyediaan Dana kepada Pihak
Terkait
: Rencana Pemberian Pembiayaan kepada
Debitur Inti
: Rencana Pemberian Pembiayaan
berdasarkan Kegiatan Usaha Tertentu
Lampiran 13 (c).1 : Rencana Pemberian Pembiayaan
berdasarkan Sektor Ekonomi/Lapangan
Usaha
Lampiran 13 (c).2 : Rencana Pemberian Pembiayaan
berdasarkan Jenis Penggunaan
Lampiran 13 (c).3 : Rencana Pemberian Pembiayaan
berdasarkan Propinsi
Lampiran 13 (c).4 : Rencana Pemberian Pembiayaan
berdasarkan Jenis Akad
e.
Lampiran 13 (d).1 : Rencana Pemberian Pembiayaan kepada
Debitur UMKM berdasarkan Sektor
Ekonomi/Lapangan Usaha
Lampiran 13 (d).2 : Rencana Pemberian Pembiayaan kepada
Debitur UMKM berdasarkan Jenis
Penggunaan
Lampiran 13 (d).3 : Rencana Pemberian Pembiayaan kepada
Debitur UMKM berdasarkan Propinsi
f.
Lampiran 14
g. Lampiran 15
h.
Lampiran 16
: Rencana Penanaman Dana dalam bentuk
Surat Berharga
: Rencana Penanaman Dana dalam bentuk
Penyertaan Modal
: Rencana Penanaman Dana Lainnya
8. Rencana ...
13
8. Rencana Permodalan
Dalam bagian ini diuraikan mengenai rencana permodalan paling
kurang meliputi :
a. Proyeksi pemenuhan Kewajiban Penyediaan Modal Minimum
(KPMM)
Proyeksi KPMM paling kurang meliputi proyeksi modal, proyeksi
Aktiva Tertimbang Menurut Risiko (ATMR) dan proyeksi rasio
KPMM selama 3 (tiga) tahun mendatang.
Proyeksi pemenuhan KPMM ini disajikan dengan mengacu pada
Lampiran 17.
b. Rencana perubahan modal
Rencana perubahan modal merupakan proyeksi perubahan modal
selama 3 (tiga) tahun mendatang baik terkait struktur permodalan
maupun jumlah modal.
Termasuk dalam rencana perubahan modal untuk BUS adalah
rencana penambahan modal dari pemegang saham lama (existing
share holders), rencana initial public offering (IPO), right issue,
penerbitan surat berharga yang bersifat ekuitas, dan rencana
penambahan modal lainnya, serta uraian mengenai rencana
perubahan atau penggantian kepemilikan (apabila ada).
Rencana perubahan modal untuk UUS adalah perubahan dana
bersih yang ditempatkan Bank Umum yang memiliki UUS pada
UUS setelah dikurangi dengan penempatan UUS pada Bank Umum
yang memiliki UUS sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank
Indonesia mengenai Unit Usaha Syariah.
Rencana perubahan modal ini disajikan dengan mengacu pada
Lampiran 18.
9. Rencana ...
14
9. Rencana Pengembangan Organisasi dan Sumber Daya Manusia (SDM)
Dalam bagian ini diuraikan informasi mengenai struktur organisasi dan
kondisi SDM terkini, rencana pengembangan organisasi dan SDM yang
sedang berlangsung maupun rencana pengembangan paling kurang
selama 1 (satu) tahun ke depan yang antara lain memuat:
a. Rencana Pengembangan Organisasi
Rencana pengembangan organisasi antara lain mencakup rencana
pembentukan/perubahan satuan kerja dan/atau komite, yang
disesuaikan dengan kemampuan, ukuran dan kompleksitas usaha
BUS dan UUS.
b. Rencana Pengembangan Sistem Informasi Manajemen
Rencana pengembangan sistem informasi manajemen antara lain
mencakup pengembangan teknologi informasi yang mendukung
sistem informasi untuk manajemen dan rencana pengembangan
sistem akuntansi, termasuk rencana anggaran yang dialokasikan.
c. Rencana Pengembangan Sumber Daya Manusia
Rencana pengembangan sumber daya manusia antara lain rencana
kebutuhan, pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia berikut
rencana biaya/anggaran pendidikan dan pelatihan baik untuk
pegawai, Direksi dan Komisaris BUS dan UUS.
Lampiran 19 (a) Tabel : Kondisi dan Rencana Kebutuhan SDM.
Lampiran 19 (b) Tabel : Rencana Pendidikan dan Pelatihan SDM.
d. Rencana Pemanfaatan Tenaga Kerja Asing dan Outsourcing
Rencana pemanfaatan tenaga kerja asing antara lain rencana
pemanfaatan tenaga kerja asing sebagaimana diatur dalam
ketentuan Bank Indonesia yang berlaku. Rencana pemanfaatan
tenaga outsourcing yang mengacu pada peraturan perundang-
undangan yang berlaku, antara lain mencakup rencana jumlah yang
akan digunakan dan rencana penempatan tenaga outsourcing
dimaksud ...
15
dimaksud.
Rencana Pemanfaatan Tenaga Kerja Asing dan Tenaga
Outsourcing disajikan dengan mengacu pada Lampiran 20.
10. Rencana Penerbitan Produk dan/atau Pelaksanaan Aktivitas Baru
Dalam bagian ini diuraikan rencana penerbitan produk dan/atau
pelaksanaan aktivitas baru yang tidak pernah diterbitkan atau
dilaksanakan sebelumnya oleh BUS dan UUS sebagaimana diatur
dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai produk dan
aktivitas baru bagi BUS dan UUS, paling kurang untuk periode 1 (satu)
tahun ke depan.
Dalam rencana penerbitan produk dan/atau pelaksanaan aktivitas baru
ini diuraikan juga rencana penelitian dan pengembangan produk
(product research and development) yang akan dilakukan BUS dan
UUS.
Rencana Penerbitan Produk dan/atau Pelaksanaan Aktivitas Baru
disajikan dengan mengacu pada Lampiran 21.
11. Rencana Pengembangan dan/atau Perubahan Jaringan Kantor
Rencana pengembangan dan/atau perubahan jaringan kantor meliputi
rencana pembukaan, penutupan, pemindahan alamat dan penurunan
atau peningkatan status kantor cabang syariah, kantor cabang pembantu
syariah, kantor kas syariah, layanan syariah, kegiatan perbankan
elektronik, kegiatan pelayanan kas syariah, dan kantor di luar negeri
serta jenis jaringan kantor atau layanan lainnya untuk periode 1 (satu)
tahun ke depan yang paling kurang mencantumkan lokasi
kabupaten/kota secara jelas, khusus untuk DKI Jakarta paling kurang
menyebutkan nama Propinsi DKI Jakarta.
Rencana ...
16
Rencana pengembangan dan/atau perubahan jaringan kantor ini
disajikan dengan mengacu pada Lampiran 22.
12. Informasi Lainnya
Informasi lainnya memuat rencana-rencana lain yang perlu diuraikan
(apabila ada), namun tidak termasuk dalam cakupan Rencana Bisnis
yang telah ditetapkan pada angka 1 sampai dengan angka 11, antara lain
langkah-langkah penyelesaian pembiayaan yang bermasalah termasuk
agunan yang diambil alih (AYDA), aktiva tetap yang tidak digunakan
dalam operasional BUS dan UUS, pengembangan pelayanan BUS dan
UUS dan/atau linkage program.
Pengembangan pelayanan mencakup antara lain informasi rencana
pengembangan sarana atau media informasi kepada nasabah dan
rencana upaya perlindungan nasabah.
Pengertian agunan yang diambil alih (AYDA) mengacu kepada
pengertian AYDA yang diatur ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai penilaian kualitas aktiva BUS dan UUS.
III. LAPORAN REALISASI DAN PENGAWASAN RENCANA BISNIS
1. Sesuai dengan Pasal 20 Peraturan Bank Indonesia Nomor
12/21/PBI/2010, Laporan Realisasi Rencana Bisnis wajib disampaikan
BUS dan UUS secara triwulanan, yaitu untuk posisi Maret, Juni,
September dan Desember. Laporan dimaksud paling kurang mencakup:
a. penjelasan mengenai pencapaian Rencana Bisnis dan perbandingan
antara rencana dengan realisasinya;
b. penjelasan mengenai deviasi atas realisasi Rencana Bisnis, seperti
penyebab dan kendala yang dihadapi;
c.
tindak lanjut atau upaya yang akan dilakukan untuk memperbaiki
pencapaian realisasi Rencana Bisnis;
d. rasio ...
17
d. rasio keuangan dan pos-pos tertentu;
e.
informasi lainnya, berisi penjelasan mengenai realisasi hal-hal
selain yang dijelaskan pada huruf a sampai dengan huruf d, antara
lain meliputi laporan realisasi perubahan jaringan kantor, laporan
realisasi Tenaga Kerja Asing dan Tenaga Outsourcing dan laporan
realisasi linkage program (apabila ada).
Laporan Realisasi Rencana Bisnis secara umum disajikan dengan
mengacu pada:
a. Lampiran 23 (a) : Laporan Realisasi Rencana Bisnis
b. Lampiran 23 (b) : Laporan Realisasi Rasio Keuangan Pokok dan
Pos-pos Tertentu Lainnya;
c. Lampiran 23 (c) : Laporan Realisasi Pengembangan dan/atau
Perubahan Jaringan Kantor;
d. Lampiran 23 (d) : Laporan Realisasi Pemanfaatan Tenaga Kerja
Asing dan Tenaga Outsourcing;
e. Lampiran 23 (e) : Laporan Realisasi Linkage Program.
2. Sesuai dengan Pasal 4 Peraturan Bank Indonesia Nomor
12/21/PBI/2010, Dewan Komisaris wajib melakukan pengawasan
terhadap pelaksanaan Rencana Bisnis. Hasil pengawasan tersebut
selanjutnya dituangkan dalam Laporan Pengawasan Rencana Bisnis
sebagaimana diwajibkan dalam Pasal 21 Peraturan Bank Indonesia
tersebut. Cakupan dalam laporan yang disusun Dewan Komisaris
tersebut paling kurang meliputi penilaian mengenai:
a. pelaksanaan Rencana Bisnis berupa penilaian aspek kuantitatif
maupun kualitatif terhadap realisasi Rencana Bisnis, termasuk
penerapan kepatuhan terhadap prinsip syariah;
b. faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja keuangan BUS dan UUS
secara umum, khususnya terkait faktor permodalan (capital),
rentabilitas ...
18
rentabilitas (earnings), kinerja profil risiko BUS dan UUS terutama
risiko kredit, risiko pasar dan risiko likuiditas; dan
c. upaya memperbaiki kinerja BUS dan UUS, dalam hal dari hasil
penilaian sebagaimana dimaksud pada huruf b di atas terjadi
penurunan kinerja.
Penilaian Dewan Komisaris pada huruf a sampai huruf c dapat
dilengkapi pula dengan penilaian atas faktor-faktor eksternal yang
mempengaruhi operasional BUS dan UUS.
Dalam kaitan dengan tugas Dewan Komisaris ini, BUS dan UUS harus
memiliki mekanisme internal dalam rangka penyusunan laporan
tersebut di atas.
Laporan Pengawasan Rencana Bisnis disajikan dengan mengacu pada
Lampiran 24.
IV. PERHITUNGAN JANGKA WAKTU PENYAMPAIAN LAPORAN DAN
SANKSI KEWAJIBAN MEMBAYAR
1. Rencana Bisnis, penyesuaian Rencana Bisnis, Laporan Realisasi
Rencana Bisnis, dan/atau Laporan Pengawasan Rencana Bisnis UUS
disampaikan kepada Bank Indonesia menyatu dengan penyampaian
laporan sejenis yang dilakukan oleh Bank Umum yang memiliki UUS.
2. Mengacu pada Pasal 22 dan Pasal 23 Peraturan Bank Indonesia Nomor
12/21/PBI/2010, BUS dinyatakan terlambat menyampaikan Rencana
Bisnis, penyesuaian Rencana Bisnis, Laporan Realisasi Rencana Bisnis,
dan/atau Laporan Pengawasan Rencana Bisnis apabila :
a. BUS menyampaikan Rencana Bisnis, Laporan Realisasi Rencana
Bisnis, dan/atau Laporan Pengawasan Rencana Bisnis setelah batas
akhir waktu penyampaian sampai dengan paling lama 30 (tiga
puluh) hari kerja; dan/atau
b. BUS menyampaikan penyesuaian Rencana Bisnis setelah batas
akhir ...
19
akhir waktu penyampaian sampai dengan paling lama 15 (lima
belas) hari kerja.
BUS dinyatakan tidak menyampaikan Rencana Bisnis, penyesuaian
Rencana Bisnis, Laporan Realisasi Rencana Bisnis, dan/atau Laporan
Pengawasan Rencana Bisnis apabila sampai dengan berakhirnya batas
waktu keterlambatan, BUS belum menyampaikan laporan dimaksud.
3.
Mengacu pada Pasal 27 ayat (1) Peraturan Bank Indonesia Nomor
12/21/PBI/2010, BUS yang terlambat menyampaikan:
a. Rencana Bisnis atau penyesuaiannya;
b. Laporan Realisasi Rencana Bisnis;
c. Laporan Pengawasan Rencana Bisnis,
masing-masing dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar
Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari kerja keterlambatan.
4. Mengacu pada Pasal 27 ayat (2) BUS yang dinyatakan tidak
menyampaikan :
a. Rencana Bisnis atau penyesuaiannya,
b. Laporan Realisasi Rencana Bisnis;
c. Laporan Pengawasan Rencana Bisnis
masing-masing dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar
Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
5. Contoh perhitungan jangka waktu keterlambatan penyampaian laporan
dan sanksi kewajiban membayar untuk penyampaian Rencana Bisnis
tahun 2012, sebagai berikut:
a. Hari Sabtu dan Minggu pada bulan Desember 2011 dan Januari
2012 jatuh pada tanggal 3 dan 4, 10 dan 11, 17 dan 18, 24 dan 25,
31 Desember 2011 dan 1 Januari 2012, serta 7 dan 8, 14 dan 15, 21
dan 22, 28 dan 29 Januari 2012. Hari libur nasional diasumsikan
jatuh pada tanggal 7 Desember 2011.
b. Apabila Rencana Bisnis tahun 2012 disampaikan oleh BUS pada
tanggal ...
20
tanggal 14 Desember 2011, maka BUS dinyatakan terlambat
menyampaikan laporan Rencana Bisnis selama 9 hari kerja, yaitu
sejak tanggal 1 Desember 2011 sampai dengan 14 Desember 2011
mengingat terdapat 5 hari libur (tanggal 3, 4, 7, 10, dan 11
Desember 2011). Dalam hal ini BUS akan dikenakan sanksi
kewajiban membayar sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1)
PBI sebesar 9 x Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah).
c. Apabila Rencana Bisnis tahun 2012 disampaikan oleh BUS pada
tanggal 27 Januari 2012, maka BUS dinyatakan tidak
menyampaikan karena BUS menyampaikan laporan Rencana
Bisnis melewati 30 (tiga puluh) hari kerja setelah batas waktu
penyampaian (akhir November 2011), yaitu tanggal 12 Januari
2012. Dalam hal ini BUS akan dikenakan sanksi kewajiban
membayar sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (2) PBI sebesar
Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
6. Contoh perhitungan jangka waktu keterlambatan dan sanksi kewajiban
membayar atas penyampaian laporan Rencana Bisnis pada angka 5
diatas dapat digunakan sebagai acuan dalam menghitung jangka waktu
keterlambatan dan sanksi kewajiban membayar atas penyampaian
penyesuaian Rencana Bisnis, Laporan Realisasi Rencana Bisnis dan
Laporan Pengawasan Rencana Bisnis.
V. LAIN-LAIN
Lampiran dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini merupakan contoh untuk
menyusun Rencana Bisnis Tahun 2011. Untuk penyusunan Rencana Bisnis
periode berikutnya, pencantuman tahun hendaknya disesuaikan. Lampiran-
lampiran tersebut merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Surat Edaran
Bank Indonesia ini.
VI. PERALIHAN ...
21
VI. PERALIHAN
Untuk Laporan Realisasi Rencana Bisnis dan Laporan Pengawasan Rencana
Bisnis sebelum berlakunya Surat Edaran ini, tetap mengacu pada Bab III
Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 6/44/DPNP tanggal 22 Oktober 2004
perihal rencana Bisnis Bank Umum, sampai dengan berakhirnya masa
pelaporan realisasi rencana bisnis dan pelaporan pengawasan rencana bisnis
tahun 2010.
VII. PENUTUP
Ketentuan dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada
tanggal 18 November 2010.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat
Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita Negara
Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA,
HALIM ALAMSYAH
DEPUTI GUBERNUR
"," SE-BI
12/32/DPbS|SE-BI/2010
Rencana Bisnis Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah
18 November 2010
18 November 2010
'12/21/PBI/2010'
'Romawi IV'
"
" No. 1/ 3 /DASP
Jakarta, 29 Oktober 1999
S U R A T E D A R A N
Kepada
SEMUA BANK
DI INDONESIA
Perihal : Penyempurnaan SE No.1/1/UASP tanggal 13 Agustus 1999
perihal Penyelenggaraan Kliring Lokal serta Penyelesaian Akhir
Transaksi Pembayaran Antar Bank atas Hasil Kliring Lokal dan
Transaksi Pasar Uang Antar Bank di Jakarta.
-------------------------------------------------------------------------------
./.
Berdasarkan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 1/1/UASP tanggal
13 Agustus 1999 perihal Penyelenggaraan Kliring Lokal serta Penyelesaian Akhir
Transaksi Pembayaran Antar Bank atas Hasil Kliring Lokal dan Transaksi Pasar
Uang Antar Bank di Jakarta, antara lain pada Lampiran 1 ditetapkan Jadwal Kliring
Lokal, Penyelesaian Akhir dan Transaksi PUAB di Jakarta.
Dengan Surat Edaran ini diberitahukan bahwa untuk selanjutnya khusus
pada setiap hari Jum'at, Penyerahan Warkat OKJ pada jadwal Kliring Penyerahan
Ritel di Jakarta sebagaimana terdapat pada Lampiran 1 dimaksud, yang semula
pukul 10.30 - 13.30 WIB diubah menjadi pukul 10.30 - 14.00 WIB.
Dengan adanya perubahan jadwal tersebut, maka Jadwal Kliring Lokal
Penyelesaian Akhir dan Transaksi PUAB di Jakarta menjadi sebagaimana
terlampir.
2
Dengan diberlakukannya ketentuan ini maka Lampiran 1 Surat Edaran Bank
Indonesia No. 1/1/UASP tanggal 13 Agustus 1999 dinyatakan tidak berlaku.
Ketentuan dalam Surat Edaran ini dinyatakan berlaku sejak tanggal
5 November 1999.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat
Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA
DESMI DEMAS
DIREKTUR AKUNTING DAN
SISTEM PEMBAYARAN
3
Lampiran SE No. 1/3/DASP tgl 29 Oktober 1999
Lampiran 1
JADWAL KLIRING LOKAL, PENYELESAIAN AKHIR DAN
TRANSAKSI PUAB DI JAKARTA
NO.
KEGIATAN*
1. KLIRING PENYERAHAN NOMINAL
BESAR
1. Penyerahan Warkat secara OKJ
2. Penyediaan Informasi
3. Penyelesaian Akhir ke Akunting
4. Distribusi Warkat dan laporan
2. KLIRING PENYERAHAN RITEL
1. Penyerahan Warkat OKJ**
2. Transmit DKE SKEJ
3. Penyerahan Warkat SKEJ
4. Penyediaan Informasi
5. Penyelesaian Akhir ke Akunting
6. Distribusi warkat & Laporan
3. PENGGUNAAN BGBI/BI-LINE
1. Transaksi PUAB Pagi
2. Penyetoran Pajak (Bank Persepsi)***
3. Transaksi Antar Kantor
4. Transaksi PUAB Sore
4. KLIRING PENGEMBALIAN NOMINAL
BESAR
1. Penyerahan Warkat & disket
2. Penyediaan Informasi
3. Penyelesaian Akhir ke Akunting
4. Distribusi Warkat & laporan
5. KLIRING PENGEMBALIAN UMUM
1. Penyerahan Warkat & disket
2. Penyediaan Informasi
3. Penyelesaian Akhir ke Akunting
4. Distribusi Warkat & laporan
* OKJ = Otomasi Kliring Jakarta
DKE = Data Keuangan Elektronik
T+0
08.30 – 10.30
12.00 – 13.00
12.00 – 13.00
13.15
10.30 - 13.30
10.30 - 15.00
14.00 - 16.00
16.30
16.30
18.00 - 19.00
08.00 - 09.00
08.00 - 12.00
08.00 - 15.00
13.00 - 17.30
14.30 - 16.00
16.30
16.30
18.00 - 19.00
-
-
-
-
** Khusus hari Jum'at jadwal T+0 menjadi pukul 10.30 - 14.00 WIB.
*** Setiap hari Selasa dan Jum'at
T+1
-
-
-
-
-
-
-
-
-
06.00 - 08.00
-
-
-
-
08.30 - 10.30
12.00 - 13.00
12.00 - 13.00
13.15
SKEJ = Sistem Kliring Elektronik Jakarta
4
"," SE-BI
1/3/DASP|SE-BI/1999
Penyempurnaan SE No.1/1/UASP tanggal 13 Agustus 1999 perihal Penyelenggaraan Kliring Lokal serta Penyelesaian Akhir Transaksi Pembayaran Antar Bank atas Hasil Kliring Lokal dan Transaksi Pasar Uang Antar Bank di Jakarta.
29 Oktober 1999
5 November 1999
'1/1/UASP|SE-BI/1999 | Lampiran 1'
'1/1/UASP|SE-BI/1999'
"
" No.13/ 9 /DPU
Jakarta, 5 April 2011
SURAT EDARAN
Kepada
SEMUA BANK UMUM
DI INDONESIA
Perihal : Penyetoran dan Penarikan Uang Rupiah oleh Bank Umum
di Bank Indonesia
Sehubungan dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia Nomor
6/14/PBI/2004 tentang Pengeluaran, Pengedaran, Pencabutan dan Penarikan serta
Pemusnahan Uang Rupiah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4388)
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor
9/10/PBI/2007 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 113,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4762) dan dalam
rangka meningkatkan efektifitas dan efisiensi manajemen kas perbankan serta
mengoptimalkan pengolahan uang oleh perbankan sehingga uang yang beredar di
masyarakat meningkat kualitasnya, perlu untuk mengatur kembali ketentuan
mengenai penyetoran dan penarikan uang rupiah oleh bank umum di Bank
Indonesia sebagai berikut:
I. KETENTUAN UMUM
Dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Uang adalah uang rupiah.
2. Bank …
2
2. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, termasuk
kantor cabang bank asing, dan Bank Umum Syariah sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah.
3. Pihak Lain adalah perusahaan yang ditunjuk oleh Bank berdasarkan
suatu perjanjian untuk mewakili Bank dalam melakukan kegiatan
penyetoran dan/atau penarikan Uang di Bank Indonesia.
4. Penyetoran Uang adalah kegiatan Bank melakukan penyetoran Uang ke
Bank Indonesia.
5. Penarikan Uang adalah kegiatan Bank melakukan penarikan Uang yang
masih layak edar (ULE) dari Bank Indonesia.
6. Uang Kertas yang selanjutnya disingkat UK adalah Uang dalam bentuk
lembaran yang terbuat dari bahan kertas atau bahan lainnya.
7. Uang Logam yang selanjutnya disingkat UL adalah Uang dalam bentuk
koin yang terbuat dari aluminium, aluminium bronze, kupronikel atau
bahan lainnya.
8. Uang Tidak Layak Edar yang selanjutnya disingkat UTLE adalah Uang
lusuh, Uang cacat, Uang rusak, dan Uang yang telah dicabut dan ditarik
dari peredaran.
9. Uang Lusuh adalah Uang yang ukuran fisiknya tidak berubah dari
ukuran aslinya tetapi kondisi Uang telah berubah yang disebabkan
antara lain karena jamur, minyak, bahan kimia, coretan-coretan.
10. Uang Cacat adalah Uang hasil cetak yang spesifikasi teknisnya tidak
sesuai dengan yang telah ditetapkan oleh Bank Indonesia.
11. Uang …
3
11. Uang Rusak adalah Uang yang ukuran atau fisiknya telah berubah dari
ukuran aslinya yang antara lain karena terbakar, berlubang, hilang
sebagian, atau Uang yang ukuran fisiknya tidak berubah dari ukuran
aslinya antara lain karena robek, atau Uang yang mengerut.
12. Uang Palsu adalah benda yang bentuknya menyerupai Uang dan tidak
memiliki tanda keaslian Uang sebagaimana ditetapkan oleh Bank
Indonesia.
13. Posisi Long adalah suatu kondisi dimana Bank mengalami kelebihan
likuiditas ULE dalam periode tertentu yang merupakan selisih antara
saldo kas Bank yang tersedia untuk setiap pecahan (denominasi)
tertentu dikurangi dengan kebutuhan kas Bank.
14. Posisi Short adalah suatu kondisi dimana Bank mengalami kekurangan
likuiditas ULE dalam periode tertentu yang merupakan selisih antara
saldo kas Bank yang tersedia untuk setiap pecahan (denominasi)
tertentu dikurangi dengan kebutuhan kas Bank.
15. Posisi Square adalah suatu kondisi dimana Bank tidak mengalami
Posisi Long atau Posisi Short.
16. Posisi Net Long adalah suatu kondisi dimana Posisi Long seluruh Bank
lebih besar dibandingkan dengan Posisi Short seluruh Bank untuk
pecahan (denominasi) tertentu, pada hari kerja yang sama di wilayah
kerja kantor Bank Indonesia setempat.
17. Posisi Net Short adalah suatu kondisi dimana Posisi Short seluruh Bank
lebih besar dibandingkan dengan Posisi Long seluruh Bank untuk
pecahan (denominasi) tertentu, pada hari kerja yang sama di wilayah
kerja kantor Bank Indonesia setempat.
18. Hari Kerja adalah hari kerja sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia.
19. Transaksi …
4
19. Transaksi Uang Kartal Antar Bank yang selanjutnya disingkat TUKAB
adalah kegiatan antar Bank yang meliputi permintaan, penawaran dan
penukaran ULE dalam rangka memenuhi kebutuhan jumlah nominal
dan/atau jenis pecahan Uang.
II. PRINSIP UMUM
1. Pelaksanaan Penyetoran Uang dan/atau Penarikan Uang diatur sebagai
berikut:
a. Penyetoran Uang dan/atau Penarikan Uang dilakukan oleh Bank
yang memiliki rekening giro di Bank Indonesia.
b. Bank hanya dapat melakukan 1 (satu) kali Penyetoran Uang
dan/atau 1 (satu) kali Penarikan Uang di Bank Indonesia dalam
1 (satu) Hari Kerja, dengan pengaturan sebagai berikut:
1) Penyetoran Uang yang masih layak edar dan Penarikan Uang
dapat dilakukan terhadap jenis pecahan yang berbeda.
Contoh: Bank A melakukan Penyetoran Uang pecahan 10.000
dalam kondisi layak edar dan melakukan Penarikan Uang
pecahan 20.000 dalam 1 (satu) Hari Kerja.
2) Penyetoran Uang dalam kondisi tidak layak edar dan Penarikan
Uang dapat dilakukan terhadap jenis pecahan yang sama atau
berbeda.
Contoh: Bank B melakukan Penyetoran Uang pecahan 10.000
dalam kondisi tidak layak edar dan melakukan Penarikan Uang
pecahan 10.000 dan/atau pecahan lainnya dalam 1 (satu) Hari
Kerja.
c. Penyetoran Uang dan/atau Penarikan Uang sebagaimana dimaksud
pada huruf a dilakukan di wilayah kerja kantor Bank Indonesia
setempat.
Contoh …
5
Contoh: 1 (satu) kantor cabang Bank A di Bandung mewakili
seluruh kantor cabang Bank A di Bandung melakukan Penyetoran
Uang dan/atau Penarikan Uang di kantor Bank Indonesia Bandung.
d. Bank melakukan Penyetoran Uang dan/atau Penarikan Uang
melalui kantor Bank yang ditunjuk sebagai koordinator Bank dalam
Bank yang sama.
Contoh: 1 (satu) kantor cabang Bank A mewakili seluruh kantor
cabang Bank A di dalam 1 (satu) wilayah kerja kantor Bank
Indonesia setempat untuk melakukan Penyetoran Uang dan/atau
Penarikan Uang di Bank Indonesia.
e. Bank dapat menunjuk Pihak Lain untuk melakukan Penyetoran
Uang dan/atau Penarikan Uang di Bank Indonesia, dengan
menyampaikan surat pemberitahuan berikut salinan perjanjian
kerjasama dengan Pihak Lain dan dokumen terkait lainnya kepada
kantor Bank Indonesia setempat.
f. Pihak Lain dapat melakukan Penyetoran Uang ke Bank Indonesia
dan/atau Penarikan Uang dari Bank Indonesia untuk lebih dari
1 (satu) Bank dengan memperhatikan batas waktu layanan kas di
Bank Indonesia yang ditetapkan oleh masing-masing kantor Bank
Indonesia.
g. Petugas Bank atau Pihak Lain dalam melakukan Penyetoran Uang
dan/atau Penarikan Uang di Bank Indonesia harus memperlihatkan
tanda pengenal dan surat tugas atau surat penunjukan kepada
petugas Bank Indonesia.
h. Bank dalam melakukan Penyetoran Uang dan/atau Penarikan Uang
di Bank Indonesia menggunakan alat transportasi khusus dengan
memenuhi aspek keamanan dan menyediakan jumlah petugas yang
memadai.
i. Bank …
6
i. Bank Indonesia tidak melayani kegiatan Penyetoran Uang dan/atau
Penarikan Uang, apabila Bank melakukan kegiatan tersebut
melampaui batas waktu layanan kas di Bank Indonesia yang
ditetapkan oleh masing-masing kantor Bank Indonesia.
j. Bank selama berada di dalam lingkungan kantor Bank Indonesia
tidak diperkenankan untuk melakukan pengumpulan Uang yang
akan disetorkan ke Bank Indonesia atau pembagian Uang yang
telah ditarik dari Bank Indonesia.
k. Bank Indonesia menetapkan standarisasi ULE dan UTLE yang
disampaikan kepada Bank sebagai pedoman untuk melakukan
penyortiran Uang antara lain untuk disetorkan kepada Bank
Indonesia atau untuk melaksanakan TUKAB.
2. Penyetoran Uang diatur sebagai berikut:
a. Bank yang memiliki Posisi Long hanya dapat melakukan
Penyetoran Uang ke Bank Indonesia setelah terlebih dahulu
mengoptimalkan TUKAB dengan Bank yang memiliki Posisi
Short, dan kondisi seluruh Bank di wilayah kerja kantor Bank
Indonesia setempat mengalami Posisi Net Long.
b. Bank dapat melakukan penyetoran ULE dan/atau UTLE dalam
1 (satu) kali kegiatan Penyetoran Uang.
c. Uang yang disetorkan oleh Bank kepada Bank Indonesia harus
terlebih dahulu dilakukan pemilahan dan penyortiran, berdasarkan
standarisasi ULE dan UTLE yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
d. Bank hanya dapat menyetorkan UTLE berupa Uang Lusuh dan/atau
Uang yang telah dicabut dan ditarik dari peredaran ke Bank
Indonesia.
e. Untuk …
7
e. Untuk Uang Rusak dan/atau Uang Cacat dilakukan melalui proses
penukaran Uang kepada Bank Indonesia dengan mengacu pada
ketentuan penukaran Uang rupiah yang berlaku.
f. Untuk UTLE berupa Uang yang telah dicabut dan ditarik dari
peredaran dengan jumlah kurang dari 1 (satu) brood dilakukan
penukaran di loket penukaran Uang di Bank Indonesia dengan
mengacu pada ketentuan yang mengatur mengenai penukaran Uang
rupiah yang berlaku.
g. Bank dalam melakukan Penyetoran Uang di Bank Indonesia,
menyerahkan warkat Penyetoran Uang paling lambat 30 (tiga
puluh) menit sebelum berakhirnya batas waktu layanan kas yang
ditetapkan oleh masing-masing kantor Bank Indonesia.
h. Dalam hal Bank melakukan penyetoran ULE dan UTLE dalam
1 (satu) kali kegiatan Penyetoran Uang sebagaimana dimaksud
pada huruf b, maka Bank harus menyerahkan 2 (dua) warkat
Penyetoran Uang masing-masing untuk penyetoran ULE dan
UTLE.
i. Bank dalam melakukan Penyetoran Uang ke Bank Indonesia harus
memenuhi jumlah tertentu sebagai berikut:
1) UK dalam kondisi masih layak edar paling sedikit dalam
jumlah kelipatan 10 (sepuluh) brood untuk setiap jenis
pecahan;
2) UK dalam kondisi tidak layak edar paling sedikit dalam jumlah
kelipatan 1 (satu) brood untuk setiap jenis pecahan;
3) UL dalam kondisi masih layak edar dalam jumlah paling
sedikit 10 (sepuluh) kantong plastik transparan untuk setiap
jenis pecahan;
4) UL …
8
4) UL dalam kondisi tidak layak edar paling sedikit dalam jumlah
kelipatan 1 (satu) kantong plastik transparan untuk setiap jenis
pecahan.
j. Dalam hal Bank yang menyetorkan UTLE sebagaimana dimaksud
pada huruf i juga mengalami Posisi Short, maka Bank tersebut
dapat pula melakukan Penarikan Uang dalam jenis pecahan yang
sama atau berbeda dalam 1 (satu) Hari Kerja.
3. Penarikan Uang diatur sebagai berikut:
a. Bank yang memiliki Posisi Short hanya dapat melakukan Penarikan
Uang ke Bank Indonesia setelah terlebih dahulu mengoptimalkan
TUKAB dengan Bank yang memiliki Posisi Long dan kondisi
seluruh Bank di wilayah kerja kantor Bank Indonesia setempat
mengalami posisi Net Short.
b. Bank Indonesia dapat menetapkan jumlah nominal dari masing-
masing jenis pecahan Uang yang dapat ditarik oleh Bank, dengan
memperhatikan Posisi Long Bank di dalam wilayah kerja kantor
Bank Indonesia setempat dan persediaan jenis pecahan Uang yang
ada di Bank Indonesia.
c. Bank dalam melakukan Penarikan Uang dari Bank Indonesia harus
memenuhi jumlah tertentu sebagai berikut:
1) UK paling sedikit dalam jumlah kelipatan 10 (sepuluh) brood
untuk setiap jenis pecahan;
2) UL paling sedikit dalam jumlah 10 (sepuluh) kantong plastik
atau dos untuk setiap jenis pecahan.
4. Bank harus melakukan pemilahan, penyortiran dan pengemasan Uang
yang akan disetorkan ke Bank Indonesia, dengan tata cara sebagai
berikut:
a) Pemilahan …
9
a. Pemilahan, penyortiran dan pengemasan UK
1) UK dipilah dan disortir menurut jenis pecahan dan tahun emisi,
serta disusun searah;
2) UK yang telah dipilah dan disortir, dalam jumlah 100 (seratus)
lembar dengan jenis pecahan dan tahun emisi yang sama diikat
menjadi 1 (satu) pak dengan menggunakan ban UK Bank yang
bersangkutan yang dibubuhi stempel nama Bank dan/atau
Pihak Lain, tanggal pengolahan UK dan paraf petugas Bank
dan/atau Pihak Lain;
3) UK yang telah diikat menjadi 1 (satu) pak, selanjutnya diikat
menjadi 1 (satu) brood yang terdiri dari 10 (sepuluh) pak
dengan jenis pecahan dan tahun emisi yang sama;
4) UK yang telah dipilah dan disortir, dalam jumlah 10 (sepuluh)
brood dengan jenis pecahan dan tahun emisi yang sama,
dikemas dalam kantong plastik transparan dan diberikan segel
serta label yang dibubuhkan stempel nama Bank dan/atau Pihak
Lain;
5) Dalam label Bank terdapat informasi nama Bank, tanggal
penyetoran UK, kode ULE dan/atau UTLE, jenis pecahan,
tahun emisi, jumlah nominal dan tanda tangan petugas Bank
dan/atau Pihak Lain.
b. Pemilahan, penyortiran dan pengemasan UL
1) UL dipilah dan disortir menurut jenis pecahan dan tahun emisi;
2) UL yang telah dipilah dan disortir, selanjutnya dikemas dalam
kantong plastik transparan yang berisi 500 (lima ratus) keping
dengan jenis pecahan dan tahun emisi yang sama dan diberikan
segel serta label yang dibubuhkan stempel nama Bank dan/atau
Pihak Lain;
3) Dalam …
10
3) Dalam label Bank terdapat informasi nama Bank, tanggal
penyetoran UL, kode ULE dan/atau UTLE, jenis pecahan,
tahun emisi, jumlah nominal dan tanda tangan petugas Bank
dan/atau Pihak Lain.
III. KEGIATAN PENYETORAN UANG
1. Rencana Penyetoran Uang
a. Penyampaian rencana Penyetoran Uang oleh Bank kepada Bank
Indonesia, diatur sebagai berikut:
1) wilayah Indonesia Bagian Barat
Bank yang berada di wilayah kerja kantor Bank Indonesia
tersebut, harus menyampaikan rencana Penyetoran Uang
kepada Bank Indonesia paling lama pukul 16.30 WIB pada
1 (satu) Hari Kerja sebelum Penyetoran Uang.
2) sebagian wilayah Indonesia Bagian Barat, wilayah Indonesia
Bagian Tengah dan wilayah Indonesia Bagian Timur
Bank yang berada di wilayah kerja kantor Bank Indonesia
tersebut, harus menyampaikan rencana Penyetoran Uang
kepada Bank Indonesia paling lama pukul 16.45 WIB atau
WITA atau WIT pada 1 (satu) Hari Kerja sebelum Penyetoran
Uang.
Tabel waktu dan pembagian wilayah kerja kantor Bank Indonesia
adalah sebagaimana tercantum pada Lampiran 1 yang merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia
ini.
b. Penyampaian rencana Penyetoran Uang sebagaimana dimaksud
pada huruf a dilakukan melalui faksimili atau sistem informasi yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia.
c. Dalam …
11
c. Dalam hal faksimili atau sistem informasi mengalami kerusakan
maka rencana Penyetoran Uang dapat disampaikan melalui sarana
lain yang dapat digunakan.
d. Format rencana Penyetoran Uang adalah sebagaimana contoh
tercantum pada Lampiran 2 yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini.
2. Kegiatan Penyetoran Uang
a. Bank dapat menyetorkan ULE dalam jenis pecahan dan jumlah
nominal tertentu ke Bank Indonesia, dengan pengaturan sebagai
berikut:
1) Bank yang telah menyetorkan ULE tidak dapat melakukan
penarikan ULE dalam jenis pecahan yang sama untuk 3 (tiga)
Hari Kerja setelah Bank tersebut melakukan penyetoran ULE.
Contoh: Bank A melakukan penyetoran ULE pecahan 100.000
pada tanggal 11 April 2011, maka Bank A tidak dapat
melakukan penarikan ULE pecahan 100.000 pada tanggal 12
sampai dengan tanggal 14 April 2011.
2) Dalam hal terdapat Bank yang melakukan penyetoran ULE,
maka pada hari yang sama Bank lain yang tidak menyetorkan
ULE tidak dapat melakukan Penarikan Uang untuk jenis
pecahan yang sama.
Contoh: Bank A melakukan penyetoran ULE pecahan 100.000
pada tanggal 11 April 2011, maka Bank lainnya tidak dapat
melakukan penarikan ULE pecahan 100.000 pada tanggal
11 April 2011.
3) Pembatasan Penarikan Uang selama 3 (tiga) Hari Kerja
sebagaimana dimaksud pada angka 1), hanya berlaku bagi
Bank …
12
Bank yang menyetorkan ULE, sehingga bagi Bank yang tidak
menyetorkan ULE dapat melakukan Penarikan Uang untuk
setiap jenis pecahan.
Contoh: Bank A melakukan penyetoran ULE pecahan 100.000
pada tanggal 11 April 2011, maka Bank lainnya dapat
melakukan penarikan ULE pecahan 100.000 dan/atau pecahan
lain pada tanggal 12 sampai dengan tanggal 14 April 2011.
3. Bank Indonesia menghitung Uang yang disetorkan oleh Bank secara
garis besar (per pak dan/atau per brood) untuk UK dan (per kantong
plastik) untuk UL di loket setoran Bank Indonesia.
4. Bank Indonesia melakukan kegiatan pengolahan Uang terhadap Uang
yang disetorkan oleh Bank antara lain dengan melakukan penghitungan
secara rinci dan mendeteksi keaslian Uang.
5. Dalam hal berdasarkan kegiatan penghitungan rinci terhadap Uang
setoran Bank ditemukan adanya campuran antara ULE dan UTLE lebih
dari 20% (dua puluh persen) dari jumlah Uang yang disetorkan oleh
Bank, maka:
a. Bank Indonesia akan memberikan pembinaan berupa surat
pembinaan tertulis dan dicatat dalam buku administrasi pembinaan
(log book).
b. Untuk Bank yang telah menerima surat pembinaan tertulis
sebagaimana dimaksud pada huruf a sebanyak 3 (tiga) kali pada
jenis pecahan Uang tertentu yang disetorkan, setelah diterbitkannya
surat pembinaan tertulis yang ketiga Bank Indonesia melakukan uji
petik dengan persentase tertentu terhadap jenis pecahan Uang
tertentu yang disetorkan oleh Bank di loket setoran Bank Indonesia.
Contoh …
13
Contoh: Pada tanggal 11 April 2011, Bank A telah menerima surat
pembinaan tertulis sebanyak 3 (tiga) kali terhadap pecahan
100.000, maka sejak tanggal 12 April 2011 Bank Indonesia
melakukan uji petik dengan persentase tertentu terhadap setoran
Uang pecahan 100.000 yang disetorkan oleh Bank A di loket
setoran Bank Indonesia.
c. Dalam hal berdasarkan uji petik di loket setoran Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud pada huruf b, ditemukan adanya campuran
antara ULE dan UTLE lebih dari 20% (dua puluh persen) dari
jumlah Uang pecahan tertentu yang disetorkan oleh Bank, maka
Bank Indonesia melakukan penolakan setoran Uang pecahan
tertentu yang disetorkan oleh Bank tersebut.
d. Pelaksanaan uji petik terhadap setoran Uang pecahan tertentu
sebagaimana dimaksud pada huruf b dan penolakan terhadap
setoran Uang Bank sebagaimana dimaksud pada huruf c, berlaku
untuk jangka waktu 6 (enam) bulan setelah Bank Indonesia
memberikan surat pembinaan tertulis ketiga kepada Bank.
Contoh: Pada tanggal 11 April 2011, Bank A telah menerima surat
pembinaan tertulis sebanyak 3 (tiga) kali terhadap pecahan
100.000, maka sejak tanggal 12 April 2011 sampai dengan tanggal
11 Oktober 2011, terhadap Uang pecahan 100.000 yang disetorkan
oleh Bank A dilakukan uji petik di loket setoran Bank Indonesia.
6. Bank Indonesia melakukan penghitungan ulang secara rinci atas Uang
yang disetorkan oleh Bank, yang dapat disaksikan oleh petugas Bank
dan/atau Pihak Lain atas permintaan Bank Indonesia atau atas
permintaan petugas Bank dan/atau Pihak Lain dengan mengajukan surat
permintaan terlebih dahulu dan disetujui oleh Bank Indonesia.
7. Petugas …
14
7. Petugas Bank dan/atau Pihak Lain yang akan menyaksikan
penghitungan ulang secara rinci atas Uang setoran sebagaimana
dimaksud pada angka 6, harus memenuhi ketentuan tata tertib di area
kas yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dan apabila petugas Bank
dan/atau Pihak Lain tidak memenuhi ketentuan tata tertib di area kas,
maka Bank Indonesia dapat menolak Petugas Bank dan/atau Pihak Lain
untuk menyaksikan penghitungan secara rinci atas Uang setoran
dimaksud.
8. Bank Indonesia akan memperhitungkan pada rekening giro Bank,
apabila dalam penghitungan ulang secara rinci atas Uang yang
disetorkan oleh Bank ditemukan adanya selisih, yang antara lain
disebabkan karena:
a.
jumlah lembar atau keping suatu pecahan kurang atau lebih;
b. terdapat pecahan (denominasi) lain;
c.
terdapat uang dicabut dan ditarik dari peredaran yang telah
melampaui jangka waktu penggantian;
d. terdapat uang rusak yang tidak mendapatkan penggantian; dan/atau
e. ditemukan Uang Palsu.
IV. KEGIATAN PENARIKAN UANG
1. Rencana Penarikan Uang
a. Penyampaian rencana Penarikan Uang oleh Bank kepada Bank
Indonesia, diatur sebagai berikut:
1) wilayah Indonesia Bagian Barat
Bank yang berada di wilayah kerja kantor Bank Indonesia
tersebut, harus menyampaikan rencana Penarikan Uang kepada
Bank Indonesia paling lama pukul 16.30 WIB pada 1 (satu)
Hari Kerja sebelum Penarikan Uang.
2) sebagian …
15
2) sebagian wilayah Indonesia Bagian Barat, wilayah Indonesia
Bagian Tengah dan wilayah Indonesia Bagian Timur
Bank yang berada di wilayah kerja kantor Bank Indonesia
tersebut, harus menyampaikan rencana Penarikan Uang kepada
Bank Indonesia paling lama pukul 16.45 WIB atau WITA atau
WIT pada 1 (satu) Hari Kerja sebelum Penarikan Uang.
Tabel waktu dan pembagian wilayah kerja kantor Bank Indonesia
adalah sebagaimana tercantum pada Lampiran 1.
b. Penyampaian rencana Penarikan Uang sebagaimana dimaksud pada
huruf a dilakukan melalui faksimili atau sistem informasi yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia.
c. Dalam hal faksimili atau sistem informasi mengalami kerusakan
maka rencana Penarikan Uang dapat disampaikan melalui sarana
lain yang dapat digunakan.
d. Format rencana Penarikan Uang adalah sebagaimana contoh yang
tercantum pada Lampiran 3 yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini.
2. Kegiatan Penarikan Uang
Jenis pecahan dan jumlah nominal Uang yang akan ditarik dituangkan
oleh Bank dalam rencana Penarikan Uang sebagaimana dimaksud pada
angka 1.
3. Bank Indonesia dapat melakukan pembayaran ULE yang diperoleh dari
setoran Bank, tanpa melalui proses hitung ulang secara rinci oleh Bank
Indonesia kepada Bank yang sama atau Bank yang berbeda dengan
kemasan Uang yang masih utuh dan tersegel serta masih terdapat label
Bank penyetor.
Contoh …
16
Contoh: setoran ULE Bank A di kantor Bank Indonesia Surabaya yang
belum dilakukan penghitungan ulang secara rinci, dapat dibayarkan
kepada Bank A atau Bank B yang berada di wilayah kerja kantor Bank
Indonesia Surabaya atau kantor Bank Indonesia lainnya.
4. Bank Indonesia menyampaikan informasi melalui surat, faksimili, atau
surat elektronik kepada Bank yang menyetorkan ULE bahwa
setorannya tersebut telah dibayarkan kepada Bank yang berbeda.
Contoh: setoran ULE dari Bank A di kantor Bank Indonesia Semarang
dibayarkan kepada Bank B, maka kantor Bank Indonesia Semarang
menginformasikan kepada Bank A mengenai pembayaran ULE hasil
setorannya dimaksud.
5. Bank dapat melakukan verifikasi atas kebenaran jumlah Uang yang
ditarik dari Bank Indonesia sebelum Uang tersebut dibawa keluar dari
loket bayaran Bank Indonesia.
6. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka 5 dikecualikan untuk
ULE hasil setoran dari Bank yang dibayarkan oleh Bank Indonesia
kepada Bank yang sama atau Bank yang berbeda tanpa melalui proses
hitung ulang secara rinci sebagaimana dimaksud pada angka 3.
7. Bank tidak dapat melakukan klaim atas kekurangan jumlah Uang yang
diterima dari Bank Indonesia, setelah Uang tersebut dibawa keluar dari
loket bayaran Bank Indonesia.
V. TRANSAKSI UANG KARTAL ANTAR BANK (TUKAB)
1. Bank harus melakukan TUKAB sepanjang masih tersedia ULE
di Bank lain dengan jenis pecahan yang sama di wilayah kerja kantor
Bank Indonesia.
2. Tata cara pelaksanaan TUKAB berpedoman pada kesepakatan tertulis
antar Bank (By Laws) TUKAB yang berlaku.
3. Dalam …
17
3. Dalam hal Bank yang menerima pembayaran ULE hasil setoran dari
Bank yang berbeda sebagaimana dimaksud pada butir IV.3 menemukan
adanya selisih pada waktu dilakukan penghitungan secara rinci, maka
penyelesaian adanya selisih tersebut berpedoman pada By Laws
TUKAB yang berlaku.
VI. PENYAMPAIAN LAPORAN DAN INFORMASI TERKAIT KEGIATAN
PENYETORAN DAN PENARIKAN UANG
1. Laporan
a. Laporan Proyeksi Cashflow secara bulanan
1) Bank menyampaikan Laporan Proyeksi Cashflow setiap bulan
kepada Bank Indonesia mengenai:
a) perkiraan jumlah ULE yang masuk dan kebutuhan Bank
terhadap ULE; dan
b) perkiraan jumlah UTLE yang masuk dan rencana
penyetoran UTLE ke Bank Indonesia,
yang dirinci dalam periode mingguan, melalui faksimili
dan/atau sistem informasi yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
2) Perkiraan jumlah ULE yang masuk dan kebutuhan Bank
terhadap ULE sebagaimana dimaksud pada butir 1).a), tidak
termasuk rencana Bank untuk melakukan Penyetoran Uang
dan/atau Penarikan Uang ke Bank Indonesia serta rencana Bank
untuk melakukan TUKAB.
3) Pelaporan sebagaimana dimaksud pada angka 1), disampaikan
kepada Bank Indonesia paling lama pada tanggal 25 setiap
bulannya untuk Laporan Proyeksi Cashflow bulan berikutnya.
4) Format …
18
4) Format Laporan Proyeksi Cashflow dan tata cara pengisian
laporan sebagaimana dimaksud pada angka 3) adalah
sebagaimana contoh yang tercantum pada Lampiran 4 yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Surat Edaran
Bank Indonesia ini.
5) Dalam hal tanggal 25 sebagaimana dimaksud pada angka 3)
jatuh pada hari Sabtu, Minggu, hari libur nasional atau hari
libur setempat yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah, maka
batas waktu penyampaian laporan dimajukan pada Hari Kerja
sebelumnya.
b. Laporan Realisasi TUKAB secara mingguan
1) Bank menyampaikan Laporan Realisasi TUKAB setiap
minggunya melalui faksimili dan/atau sistem informasi yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia.
2) Pelaporan sebagaimana dimaksud pada angka 1), disampaikan
kepada Bank Indonesia paling lama hari Selasa pada minggu
berikutnya.
3) Dalam hal hari Selasa minggu berikutnya sebagaimana
dimaksud pada angka 2) merupakan hari libur nasional atau
hari libur setempat yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah,
maka batas waktu penyampaian laporan menjadi Hari Kerja
berikutnya.
4) Format Laporan Realisasi TUKAB dan tata cara pengisian
laporan adalah sebagaimana contoh yang tercantum pada
Lampiran 5 yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Surat Edaran Bank Indonesia ini.
c. Dalam …
19
c. Dalam hal sarana faksimili atau sistem informasi yang ditetapkan
oleh Bank Indonesia dalam penyampaian laporan sebagaimana
dimaksud pada huruf a dan huruf b mengalami kerusakan, maka
penyampaian laporan dimaksud dapat disampaikan melalui sarana
tertulis lain.
2. Informasi Posisi Long, Posisi Short dan/atau Posisi Square
a. Bank harus menyampaikan informasi Posisi Long, Posisi Short
dan/atau Posisi Square kepada Bank Indonesia dalam jumlah
nominal untuk masing-masing pecahan pada setiap Hari Kerja
secara benar, lengkap dan sesuai dengan batas waktu yang
ditetapkan melalui sistem informasi yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia.
b. Dalam hal sistem informasi dalam penyampaian informasi Posisi
Long, Posisi Short dan/atau Posisi Square sebagaimana dimaksud
pada huruf a mengalami kerusakan maka penyampaian informasi
dapat disampaikan melalui faksimili atau sarana tertulis lain.
c. Waktu penyampaian informasi Posisi Long, Posisi Short dan/atau
Posisi Square sebagaimana dimaksud pada huruf a, diatur sebagai
berikut:
1) Tahap I
a) wilayah Indonesia Bagian Barat
Mulai pukul 07.10 WIB sampai dengan paling lama pukul
09.00 WIB.
b) sebagian wilayah Indonesia Bagian Barat, wilayah
Indonesia Bagian Tengah dan wilayah Indonesia Bagian
Timur
Mulai …
20
Mulai pukul 07.40 WIB atau WITA atau WIT sampai
dengan paling lama pukul 09.30 WIB atau WITA atau
WIT.
2) Tahap II
a) wilayah Indonesia Bagian Barat
Mulai pukul 09.00 WIB sampai dengan paling lama pukul
16.00 WIB, sepanjang Bank mengalami perubahan Posisi
Long, Posisi Short dan/atau Posisi Square pada tahap I.
b) sebagian wilayah Indonesia Bagian Barat, wilayah
Indonesia Bagian Tengah dan wilayah Indonesia Bagian
Timur
Mulai pukul 09.30 WIB atau WITA atau WIT sampai
dengan paling lama pukul 16.15 WIB atau WITA atau
WIT, sepanjang Bank mengalami perubahan Posisi Long,
Posisi Short dan/atau Posisi Square pada tahap I.
Tabel waktu penyampaian informasi Posisi Long, Posisi Short
dan/atau Posisi Square, dan pembagian wilayah kerja kantor Bank
Indonesia adalah sebagaimana tercantum pada Lampiran 1.
d. Bank yang tidak menyampaikan informasi Posisi Long, Posisi Short
dan/atau Posisi Square pada tahap I sebagaimana dimaksud pada
butir c.1) tidak dapat melakukan Penyetoran Uang dan/atau
Penarikan Uang di Bank Indonesia pada Hari Kerja berikutnya.
e. Bank Indonesia melakukan klarifikasi data sepanjang diperlukan
dan melakukan rekapitulasi atas Posisi Long, Posisi Short dan/atau
Posisi Square dalam jumlah nominal untuk masing-masing pecahan
yang diterima dari Bank dan menyampaikan hasil rekapitulasinya
kepada Bank melalui sistem informasi yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia pada:
1) Tahap …
21
1) Tahap I
a) wilayah Indonesia Bagian Barat
Hasil rekapitulasi informasi Posisi Long, Posisi Short
dan/atau Posisi Square disampaikan paling lama pada
pukul 09.30 WIB.
b) sebagian wilayah Indonesia Bagian Barat, wilayah
Indonesia Bagian Tengah dan wilayah Indonesia Bagian
Timur
Hasil rekapitulasi informasi Posisi Long, Posisi Short
dan/atau Posisi Square disampaikan paling lama pada
pukul 10.00 WIB atau WITA atau WIT.
2) Tahap II
a) wilayah Indonesia Bagian Barat
Hasil rekapitulasi informasi Posisi Long, Posisi Short
dan/atau Posisi Square (baik Bank yang menyampaikan
informasi Posisi Long, Posisi Short dan/atau Posisi Square
pada tahap I maupun Bank yang menyampaikan informasi
pada tahap II) disampaikan paling lama pada pukul 16.15
WIB.
b) sebagian wilayah Indonesia Bagian Barat, wilayah
Indonesia Bagian Tengah dan wilayah Indonesia Bagian
Timur
Hasil rekapitulasi informasi Posisi Long, Posisi Short
dan/atau Posisi Square (baik Bank yang menyampaikan
informasi Posisi Long, Posisi Short dan/atau Posisi Square
pada tahap I maupun Bank yang menyampaikan informasi
pada tahap II) disampaikan paling lama pada pukul 16.30
WIB atau WITA atau WIT.
Tabel …
22
Tabel waktu penyampaian informasi Posisi Long, Posisi Short
dan/atau Posisi Square, dan pembagian wilayah kerja kantor Bank
Indonesia adalah sebagaimana tercantum pada Lampiran 1.
f. Hasil rekapitulasi informasi Posisi Long dan Posisi Short pada
tahap I sebagaimana dimaksud pada butir e.1), menunjukkan
kondisi likuiditas ULE dari Bank di wilayah kerja kantor Bank
Indonesia, baik itu Posisi Net Long atau Posisi Net Short.
g. Berdasarkan hasil rekapitulasi informasi Posisi Long dan Posisi
Short pada tahap II sebagaimana dimaksud pada butir e.2), Bank
menyampaikan rencana Penyetoran Uang dan/atau rencana
Penarikan Uang melalui faksimili atau sistem informasi yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia, dengan pengaturan waktu
sebagaimana dimaksud dalam butir III.1.a dan butir IV.1.a.
h. Berdasarkan faksimili yang disampaikan oleh Bank sebagaimana
dimaksud pada huruf g, Bank Indonesia menyampaikan hasil
rekapitulasi rencana Penyetoran Uang dan/atau rencana Penarikan
Uang, dengan pengaturan sebagai berikut:
1) wilayah Indonesia Bagian Barat
Penyampaian rekapitulasi rencana Penyetoran Uang dan/atau
rencana Penarikan Uang dimulai sejak pukul 16.45 WIB.
2) sebagian wilayah Indonesia Bagian Barat, wilayah Indonesia
Bagian Tengah dan wilayah Indonesia Bagian Timur
Penyampaian rekapitulasi rencana Penyetoran Uang dan/atau
rencana Penarikan Uang dimulai sejak pukul 17.00 WIB atau
WITA atau WIT.
Tabel …
23
Tabel waktu penyampaian rekapitulasi rencana Penyetoran Uang
dan/atau rencana Penarikan Uang, dan pembagian wilayah kerja
kantor Bank Indonesia adalah sebagaimana tercantum pada
Lampiran 1.
i. Hasil rekapitulasi sebagaimana dimaksud pada huruf h
menunjukkan kondisi likuiditas ULE dari Bank di wilayah kerja
kantor Bank Indonesia setempat, baik itu Posisi Net Long maupun
Posisi Net Short yang menjadi dasar bagi Bank untuk melakukan
Penyetoran Uang dan/atau Penarikan Uang.
3. Dalam hal Bank melakukan perubahan rencana Penyetoran Uang
dan/atau Penarikan Uang, diatur sebagai berikut:
a. Bank yang telah menyampaikan rencana Penyetoran Uang dan/atau
rencana Penarikan Uang dapat menyampaikan perubahan rencana
Penyetoran Uang dan/atau rencana Penarikan Uang melalui
faksimili dan/atau sistem informasi yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia.
b. Bank hanya dapat melakukan perubahan rencana penyetoran UTLE
paling banyak sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah nominal
rencana penyetoran UTLE untuk masing-masing jenis pecahan
sebelumnya sebagaimana dimaksud pada butir 2.g.
c. Bank hanya dapat melakukan perubahan rencana penyetoran ULE
paling banyak sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah nominal
rencana penyetoran ULE untuk masing-masing jenis pecahan
sebelumnya sebagaimana dimaksud pada butir 2.g, setelah terlebih
dahulu mengoptimalkan TUKAB.
d. Dalam hal perubahan rencana Penyetoran Uang dan/atau rencana
Penarikan Uang sebagaimana dimaksud pada huruf a berdampak
pada …
24
pada terjadinya Penarikan Uang ke Bank Indonesia maupun
terdapat perubahan jumlah Penarikan Uang ke Bank Indonesia,
maka Bank harus menyampaikan permohonan melalui faksimili
dengan menyampaikan alasan yang dapat dipertanggungjawabkan
kepada Bank Indonesia.
e. Perubahan rencana Penarikan Uang sebagaimana dimaksud pada
huruf d ditetapkan paling banyak sebesar 20% (dua puluh persen)
dari jumlah nominal rencana Penarikan Uang untuk masing-masing
jenis pecahan sebelumnya sebagaimana dimaksud pada butir 2.g,
dan dilakukan setelah Bank terlebih dahulu mengoptimalkan
TUKAB.
f. Penyampaian perubahan rencana Penyetoran Uang dan/atau
Penarikan Uang kepada Bank Indonesia, diatur sebagai berikut:
1) wilayah Indonesia Bagian Barat
Perubahan rencana Penyetoran Uang dan/atau rencana
Penarikan Uang disampaikan paling lama pukul 08.00 WIB
pada Hari Kerja pelaksanaan Penyetoran Uang dan/atau
Penarikan Uang.
2) sebagian wilayah Indonesia Bagian Barat, wilayah Indonesia
Bagian Tengah dan wilayah Indonesia Bagian Timur
Perubahan rencana Penyetoran Uang dan/atau rencana
Penarikan Uang disampaikan paling lama pukul 08.30 WIB
atau WITA atau WIT pada Hari Kerja pelaksanaan Penyetoran
Uang dan/atau Penarikan Uang.
Tabel waktu penyampaian perubahan rencana Penyetoran Uang
dan/atau rencana Penarikan Uang, dan pembagian wilayah kerja
kantor Bank Indonesia adalah sebagaimana tercantum pada
Lampiran 1.
g. Ketentuan …
25
g. Ketentuan perubahan rencana Penyetoran Uang dan/atau rencana
Penarikan Uang sebagaimana dimaksud pada huruf a sampai
dengan huruf f tidak berlaku untuk Bank yang mengalami kondisi
tertentu dan/atau keadaan memaksa.
VII. PEMANTAUAN DAN PEMBINAAN ATAS KEGIATAN OPERASIONAL
KAS BANK
1. Bank Indonesia melakukan pemantauan dan pembinaan terhadap Bank
yang melakukan Penyetoran Uang dan/atau Penarikan Uang kepada
Bank Indonesia.
2. Pemantauan sebagaimana dimaksud pada angka 1 dilakukan atas
kegiatan operasional kas Bank dan/atau Pihak Lain yang ditunjuk oleh
Bank meliputi antara lain kegiatan pengolahan Uang dan sarana
operasional kas yang digunakan oleh Bank dan/atau Pihak Lain.
3. Bank Indonesia melakukan pembinaan dengan pengaturan sebagai
berikut:
a. Bank Indonesia memberikan pembinaan tertulis antara lain apabila:
1) Bank menyampaikan informasi tertulis secara tidak benar
mengenai terjadinya kondisi tertentu atau keadaan memaksa;
2) Bank melakukan pengumpulan Uang yang akan disetorkan
kepada Bank Indonesia atau pembagian Uang yang telah ditarik
dari Bank Indonesia di lingkungan perkantoran Bank
Indonesia;
3) Bank tidak menyampaikan atau terlambat menyampaikan
Laporan Proyeksi Cashflow dan/atau Laporan Realisasi
TUKAB.
b. Bank Indonesia melakukan penolakan terhadap Penyetoran Uang
atau Penarikan Uang antara lain apabila:
1) Petugas …
26
1) petugas Bank atau Pihak Lain tidak dapat memperlihatkan
tanda pengenal dan surat tugas atau surat penunjukan;
2) Bank tidak menyampaikan atau terlambat menyampaikan
rencana Penyetoran Uang atau Penarikan Uang dalam batas
waktu yang telah ditetapkan;
3) Bank melakukan penyetoran UTLE berupa Uang Cacat
dan/atau Uang Rusak;
4) Bank melakukan Penyetoran Uang atau Penarikan Uang tidak
sesuai dengan jumlah minimal Uang yang dapat disetor atau
ditarik;
5) terdapat selisih jumlah pak pada waktu dilakukan penghitungan
secara garis besar di loket setoran Bank Indonesia, dalam hal
ini penolakan dilakukan terhadap jenis pecahan dan tahun emisi
yang terdapat selisih jumlah pak, dan atas penolakan tersebut
dibuatkan Berita Acara Penolakan Setoran Uang;
6) Uang yang disetorkan oleh Bank dalam kondisi tercampur
dengan jenis pecahan yang berbeda, dalam hal ini penolakan
dilakukan terhadap jenis pecahan dan tahun emisi yang
tercampur, dan atas penolakan tersebut dibuatkan Berita Acara
Penolakan Setoran Uang;
7) dalam Uang yang disetorkan oleh Bank ditemukan adanya
Uang Rusak dan/atau Uang Cacat, dalam hal ini penolakan
dilakukan terhadap jenis pecahan dan tahun emisi yang
tercampur, dan atas penolakan tersebut dibuatkan Berita Acara
Penolakan Setoran Uang;
8) Bank …
27
8) Bank melakukan Penyetoran Uang dengan pecahan yang tidak
sesuai dengan rencana Penyetoran Uang, dalam hal ini
penolakan dilakukan terhadap Penyetoran Uang untuk pecahan
yang berbeda dengan rencana Penyetoran Uang, dan atas
penolakan tersebut dibuatkan Berita Acara Penolakan Setoran
Uang;
9) Bank melakukan Penarikan Uang dengan pecahan yang tidak
sesuai dengan rencana Penarikan Uang, dalam hal ini
penolakan dilakukan terhadap Penarikan Uang untuk pecahan
yang berbeda dengan rencana Penarikan Uang;
10) Bank melakukan Penarikan Uang dengan jumlah nominal yang
melampaui jumlah nominal dalam rencana Penarikan Uang,
dalam hal ini penolakan dilakukan terhadap Penarikan Uang
untuk kelebihan jumlah nominal dimaksud.
c. Bank Indonesia meminta Bank untuk melakukan koreksi terhadap
warkat Penyetoran Uang apabila dalam setorannya di loket setoran
Bank Indonesia ditemukan Uang Palsu.
d. Uang Palsu sebagaimana dimaksud pada huruf c tidak
dikembalikan kepada Bank dan diproses lebih lanjut oleh Bank
Indonesia sesuai ketentuan mengenai klarifikasi atas Uang yang
diragukan keasliannya.
VIII. LAIN-LAIN
1. Bagi Bank yang mengalami kondisi tertentu dan/atau keadaan memaksa
diatur sebagai berikut:
a. Dengan persetujuan Bank Indonesia, Bank yang mengalami kondisi
tertentu dan/atau keadaan memaksa dapat melakukan, antara lain:
1) Penyetoran …
28
1) Penyetoran Uang dan/atau Penarikan Uang di luar waktu
layanan kas di Bank Indonesia;
2) Penyetoran Uang dan/atau Penarikan Uang di Bank Indonesia
lebih dari 1 (satu) kali dalam 1 (satu) Hari Kerja;
3) Penarikan Uang dalam jenis pecahan yang sama dalam jangka
waktu 3 (tiga) hari setelah Bank melakukan penyetoran ULE;
4) Penarikan Uang dalam jenis pecahan yang sama pada Hari
Kerja dimana Bank melakukan penyetoran ULE.
b. Yang dimaksud dengan kondisi tertentu, antara lain adalah dalam
rangka pemenuhan Giro Wajib Minimum, Penarikan Uang secara
besar-besaran oleh nasabah (rush), penyetoran dana tunai terkait
prefund.
c. Yang dimaksud dengan keadaan memaksa (force majeure) adalah
keadaan yang secara nyata menyebabkan proses Penyetoran Uang
dan Penarikan Uang oleh Bank ke Bank Indonesia tidak dapat
berjalan normal dan di luar kemampuan Bank dan/atau Bank
Indonesia untuk mengatasinya yang antara lain disebabkan oleh
bencana alam, huru-hara, pemberontakan, perang, atau
dikeluarkannya Peraturan Pemerintah mengenai keadaan bahaya,
serta perubahan kebijakan Pemerintah.
2. Permohonan untuk melakukan Penyetoran Uang dan/atau Penarikan
Uang karena kondisi tertentu dan/atau keadaan memaksa sebagaimana
dimaksud pada angka 1, harus disampaikan oleh Bank secara tertulis
kepada Bank Indonesia.
3. Dalam hal Bank Indonesia mengalami keadaan memaksa maka Bank
dapat melakukan Penyetoran Uang ke Bank Indonesia dan/atau
melakukan Penarikan Uang dari Bank Indonesia dengan mekanisme
yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
IX. PENUTUP …
29
IX. PENUTUP
Ketentuan dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada
tanggal 18 April 2011.
Dengan berlakunya Surat Edaran ini maka Surat Edaran Bank
Indonesia Nomor 9/37/DPU tanggal 27 Desember 2007 tentang Penyetoran
dan Penarikan Uang Rupiah oleh Bank Umum di Bank Indonesia dicabut
dan dinyatakan tidak berlaku.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat
Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita Negara
Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA,
MOKHAMMAD DAKHLAN
DIREKTUR PENGEDARAN UANG
"," SE-BI
13/9/DPU|SE-BI/2011
Penyetoran dan Penarikan Uang Rupiah oleh Bank Umum di Bank Indonesia
5 April 2011
18 April 2011
'9/37/DPU|SE-BI/2007'
'9/10/PBI/2007', '6/14/PBI/2004'
"
" No.5/ 7 /DPM
Jakarta, 21 Maret 2003
SURAT EDARAN
Kepada
SEMUA BANK UMUM
DAN
LEMBAGA KUSTODIAN
DI INDONESIA
Perihal : Persyaratan dan Tata Cara Penunjukan Sub-Registry Untuk
Penatausahaan Surat Utang Negara
Sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor
5/4/PBI/2003 tanggal 21 Maret 2003 tentang Penerbitan, Penjualan dan
Pembelian serta Penatausahaan Surat Utang Negara (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2003 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4278),
Bank Indonesia melaksanakan kegiatan penatausahaan Surat Utang Negara.
Kegiatan penatausahaan Surat Utang Negara tersebut termasuk pencatatan
kepemilikan Surat Utang Negara yang dilakukan secara two tier system, yang
terdiri dari Central Registry yang diselenggarakan Bank Indonesia dan Sub-
Registry yang ditunjuk Bank Indonesia. Central Registry melakukan pencatatan
kepemilikan Surat Utang Negara atas nama Bank, Sub-Registry dan pihak lain
yang disetujui Bank Indonesia untuk memiliki rekening surat berharga di Central
Registry, sedangkan Sub-Registry melakukan pencatatan kepemilikan
Utang Negara atas nama nasabah.
Surat
Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia tersebut di atas, Bank Indonesia
berwenang menunjuk pihak lain dalam hal ini Sub-Registry, untuk mendukung
kegiatan Central Registry dalam pencatatan kepemilikan Surat Utang Negara.
Sehubungan…
Sehubungan dengan itu, maka perlu ditetapkan persyaratan dan tata cara bagi
Bank atau lembaga kustodian untuk dapat ditunjuk menjadi Sub-Registry.
I. Persyaratan Sub-Registry
1. Bank dan lembaga kustodian yang berkedudukan di dalam wilayah
hukum Indonesia.
2. Bank dan lembaga kustodian yang tidak sedang dalam proses kepailitan
di pengadilan.
3. Memiliki izin kegiatan kustodian yang masih
Pengawas Pasar Modal yang selanjutnya disebut Bapepam.
berlaku
dari Badan
4. Telah mempunyai pengalaman sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun dalam
kegiatan pencatatan surat berharga, dan atau sekurang-kurangnya 3
(tiga) tahun dalam
kegiatan penyimpanan surat berharga sejak
memperoleh izin kegiatan kustodian dari Bapepam.
5. Memiliki jaringan usaha pencatatan ke luar negeri dan
penyimpanan surat berharga ke luar negeri.
atau
6. Memiliki jaringan usaha pencatatan surat berharga secara on line di
dalam negeri.
7. Memiliki sistem pencatatan surat berharga tanpa warkat (scripless)
secara book entry yang aman, akurat dan terpercaya yang sekurang-
kurangnya dapat menatausahakan transaksi outright, repo, dan
pengagunan.
8. Pengurus tidak termasuk dalam Daftar Orang Tercela dan atau dalam
Daftar Kredit Macet.
9. Memiliki unit kerja terpisah yang khusus menangani kegiatan kustodian
dengan manajemen dan staf yang profesional di bidang pencatatan dan
atau penyimpanan surat berharga.
10. Bank…
10. Bank sebagai penyelenggara Sub-Registry wajib memenuhi persyaratan
Kewajiban Penyediaan Modal Minimum yang selanjutnya disebut
KPMM berdasarkan ketentuan Bank Indonesia.
11. Lembaga kustodian sebagai penyelenggara Sub-Registry wajib memiliki
modal disetor sekurang-kurangnya Rp25.000.000.000,00 (dua puluh
lima miliar Rupiah).
12. Surat berharga yang dicatat dan atau disimpan sekurang-kurangnya telah
mencapai nilai nominal rata-rata Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun
Rupiah) dalam 6 (enam) bulan terakhir.
II. Tata Cara Pengajuan Permohonan Sebagai Sub-Registry
1. Bank atau lembaga kustodian yang memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam angka I dapat mengajukan permohonan sebagaimana
contoh Lampiran 1, kepada :
Bank Indonesia - Direktorat Pengelolaan Moneter
cq. Tim Pengembangan Penatausahaan Surat Berharga
Gedung B Lantai 12
Jl. MH. Thamrin No. 2
Jakarta 10010
2. Surat permohonan sebagaimana dimaksud dalam angka
1
wajib
dilengkapi dengan dokumen sebagai berikut :
a. fotokopi surat izin melakukan kegiatan kustodian dari Bapepam;
b. fotokopi anggaran dasar perusahaan dan perubahannya;
c. keterangan mengenai fasilitas jaringan usaha pencatatan dan atau
penyimpanan surat berharga secara on line di dalam negeri dan atau
ke luar negeri;
d. fotokopi bukti hasil pemeriksaan oleh auditor independen mengenai
keamanan sistim pencatatan surat berharga secara scripless;
e. riwayat…
e. riwayat pekerjaan atau keahlian dari anggota Direksi serta tenaga ahli
di bidang pencatatan dan atau penyimpanan surat berharga;
f. keterangan mengenai posisi KPMM terakhir untuk Bank, atau jumlah
modal disetor untuk lembaga kustodian;
g. data mengenai jumlah dan nilai nominal transaksi pencatatan dan
atau penyimpanan surat berharga dalam 6 (enam) bulan terakhir; dan
h. laporan keuangan tahunan terakhir yang telah diaudit oleh akuntan
publik.
3. Bank Indonesia melakukan seleksi atas permohonan
sebagaimana
dimaksud dalam angka 1 dan memberitahukan penolakan atau
persetujuan kepada masing-masing pemohon selambat-lambatnya 2
(dua) minggu setelah permohonan diterima secara lengkap.
III. Tugas Sub-Registry
Dalam penatausahaan Surat Utang Negara, Bank dan lembaga kustodian
yang ditunjuk sebagai Sub-Registry wajib melakukan
hal-hal
sebagai
berikut :
1. Mencatat kepemilikan dan perubahan kepemilikan Surat Utang Negara
atas nama nasabah secara terpisah dari aset Sub-Registry.
2. Menyampaikan Konfirmasi Pencatatan Surat berharga (KPS) kepada
nasabah.
3. Melakukan pembayaran pokok dan bunga (kupon) Surat Utang Negara
pada saat jatuh waktu kepada nasabah pemilik Surat Utang Negara
sesuai pencatatan pada sistem book entry Sub-Registry.
4. Menjamin kebenaran pencatatan kepemilikan Surat Utang Negara atas
nama seluruh nasabah sesuai dengan saldo global Surat Utang Negara
di Central Registry.
5. Menyelesaikan masalah perbedaan pencatatan kepemilikan Surat Utang
Negara antara Sub-Registry dengan nasabah,
dengan memeriksa
kembali kebenaran pencatatan yang dilakukan atas nama nasabah yang
bersangkutan…
bersangkutan dan mengecek saldo global Surat Utang Negara yang
tercatat di Central Registry.
IV. Kewajiban Pelaporan Sub-Registry
1. Bank atau lembaga kustodian yang ditunjuk sebagai Sub-Registry wajib
membuat laporan antara lain sebagai berikut :
a. Laporan Bulanan Posisi Kepemilikan Surat Utang Negara atas nama
nasabah individual sebagaimana contoh Lampiran 2.
b. Laporan Harian dan Rekapitulasi Bulanan kegiatan setelmen
transaksi Surat Utang Negara yang memuat perubahan pencatatan
Surat Utang Negara nasabah individual di Sub-Registry
sebagaimana contoh Lampiran 3.
2. Laporan sebagaimana dimaksud dalam angka 1 wajib disampaikan
selambat-lambatnya 1 (satu) hari kerja setelah tanggal
pencatatan
perubahan kepemilikan untuk Laporan Harian dan selambat-lambatnya
5 (lima) hari kerja setelah berakhirnya bulan yang bersangkutan untuk
Laporan Bulanan, yang ditujukan kepada :
Bank Indonesia – Direktorat Pengelolaan Moneter
cq. Bagian Penyelesaian Transaksi Pasar Uang
Gedung B Lantai 11
Jl. MH. Thamrin No. 2
Jakarta 10010
V. Pengawasan
1. Bank Indonesia berwenang melakukan pengawasan terhadap Sub-Registry
atas kegiatan yang terkait dengan penatausahaan Surat Utang Negara.
2. Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam angka 1 dapat dilakukan secara
langsung dengan melakukan kunjungan ke lokasi usaha Sub-Registry,
maupun…
maupun tidak langsung melalui laporan yang diterima dan atau laporan
lain yang diminta oleh Bank Indonesia.
VI. Pencabutan Penunjukan Sebagai Sub-Registry
1. Penunjukan Bank atau lembaga kustodian sebagai Sub-Registry dapat
dicabut oleh Bank Indonesia dalam kondisi sebagai berikut :
a. Sub-Registry sudah tidak memenuhi
dimaksud dalam angka I.
persyaratan
sebagaimana
b. Sub-Registry melakukan pelanggaran terhadap ketentuan pasar modal
dan atau ketentuan Bank Indonesia yang berlaku.
2. Dalam hal pencabutan penunjukan sebagai Sub-Registry baik bersifat
sementara atau permanen, Bank Indonesia tidak berkewajiban untuk
memberikan alasan-alasan pencabutan.
Terhadap Sub-Registry yang telah ditunjuk Bank Indonesia sebelum
berlakunya Surat Edaran ini, dinyatakan telah memperoleh penunjukan sebagai
Sub-Registry sepanjang memenuhi ketentuan dan persyaratan sebagaimana diatur
dalam Surat Edaran ini.
Dengan diberlakukannya Surat Edaran ini maka Surat Edaran Bank
Indonesia No. 2/2/DPM tanggal 21 Januari 2000 perihal Persyaratan dan Tata
Cara Penunjukan Sub-Registry untuk Penatausahaan Obligasi Pemerintah
dinyatakan tidak berlaku.
Ketentuan dalam Surat Edaran ini berlaku sejak 21 Maret 2003.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat
Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA
Ttd
TARMIDEN SITORUS
DIREKTUR PENGELOLAAN MONETER
Lampiran Surat Edaran No. 5/ 7 /DPM tanggal 21 Maret 2003
Lampiran 1
Kepada :
Bank Indonesia – Direktorat Pengelolaan Moneter
cq. Tim Pengembangan Penatausahaan Surat Berharga
Gedung B Lantai 12
Jl. MH. Thamrin No. 2
Jakarta 10010
Perihal : Permohonan Sebagai Sub-Registry Surat Utang Negara
Dengan ini kami mengajukan permohonan untuk dapat dipertimbangkan
menjadi Sub-Registry dalam penatausahaan Surat Utang Negara. Sesuai dengan
persyaratan sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia No. 5/ /DPM
tanggal 21 Maret 2003, bersama ini kami lampirkan pula dokumen pendukung sebagai
berikut :
a. fotokopi surat izin melakukan kegiatan kustodian dari Bapepam;
b. fotokopi anggaran dasar perusahaan dan perubahannya;
c. keterangan mengenai fasilitas jaringan usaha pencatatan dan atau penyimpanan surat
berharga secara on line di dalam negeri dan atau ke luar negeri;
d. fotokopi bukti hasil pemeriksaan oleh auditor independen mengenai keamanan
sistim pencatatan surat berharga secara scripless;
e. riwayat pekerjaan atau keahlian dari anggota Direksi serta tenaga ahli di bidang
pencatatan dan atau penyimpanan surat berharga;
f. keterangan mengenai posisi KPMM terakhir atau modal disetor;
g. data mengenai jumlah dan nilai nominal transaksi pencatatan dan atau penyimpanan
surat berharga dalam 6 (enam) bulan terakhir; dan
h. laporan keuangan tahunan terakhir yang telah diaudit oleh akuntan publik.
Surat permohonan beserta lampiran tersebut di atas kami buat dengan sebenar-
benarnya dan apabila di kemudian hari diketahui terdapat hal-hal yang tidak benar maka
kami bersedia menerima risiko dan akibat dari tindakan yang diambil Bank Indonesia.
Demikian atas perhatian Saudara kami ucapkan terima kasih.
Jakarta,……………..
Nama Perusahaan
Tandatangan pejabat berwenang
Lampiran Surat Edaran No. 5/ 7 /DPM tanggal 21 Maret 2003
Lampiran 2
LAPORAN BULANAN
POSISI KEPEMILIKAN SURAT UTANG NEGARA
PER AKHIR BULAN …………
Nama Sub-Registry
Nama
Investor
:
Tanggal Posisi Laporan :
No.
Seri Surat
Utang
Negara
Nilai
Nominal
(Rp miliar)
I
A
Status Investor
Bidang
Usaha
Investor
Keterangan
Keterangan :
I = Indonesia / penduduk
A = Asing / non penduduk
Jenis Transaksi : Outright, Repo, Agunan
Jakarta,……………………...
Nama Sub-Registy dan
Tanda tangan pejabat berwenang
Lampiran Surat Edaran No. 5/ 7 /DPM tanggal 21 Maret
Lampiran 3
LAPORAN HARIAN / REKAPITULASI BULANAN
SETELMEN TRANSAKSI SURAT UTANG NEGARA (SUN)
Nama Sub-Registry
Tanggal (Periode) Laporan
:
:
Setelmen Transaksi Jual/Beli atas nama nasabah
No.
Seri SUN Jenis Transaksi *)
Nama Nasabah
Pembeli
Penjual
Nilai
Nominal
(Rp miliar)
Nilai
Transaksi
(Rp miliar)
Harga
**)
Status Investor ***)
I
A
Pihak lawan transaksi
****)
TOTAL
Keterangan :
*) Outright, Repo, Agunan, Hibah, Warisan, Pelunasan utang atau kewajiban
**) Harga clean price (tidak termasuk accrued interest)
***) I = Indonesia / penduduk
A = Asing / non penduduk
****) Tidak diisi dalam hal transaksi terjadi antar nasabah Sub-Registry sendiri (Bank, Sub-Registry lain dan pihak lain lainnya yang memiliki rekening surat berharga
di Central Registry
Jakarta,………………………..
Nama Sub-Registry
Tanda tangan pejabat berwenang
"," SE-BI
5/7/DPM|SE-BI/2003
Persyaratan dan Tata Cara Penunjukan Sub-Registry Untuk Penatausahaan Surat Utang Negara
21 Maret 2003
21 Maret 2003
'2/2/DPM|SE-BI/2000'
'5/4/PBI/2003'
"
" No. 9/5/DPM
Jakarta, 26 Maret 2007
SURAT EDARAN
Kepada
SEMUA BANK UMUM DAN PIALANG
Perihal : Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 7/1/DPM
Tanggal 3 Januari 2005 Perihal Pelaksanaan Transaksi Fine Tune
Operation Dalam Rangka Operasi Pasar Terbuka
Sehubungan dengan penyempurnaan penilaian underlying asset dalam
pelaksanaan transaksi Fine Tune Operation, dipandang perlu untuk mengubah
Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 7/1/DPM tanggal 3 Januari 2005 perihal
Pelaksanaan Transaksi Fine Tune Operation Dalam Rangka Operasi Pasar
Terbuka, sebagai berikut:
1. Ketentuan butir III.B.4.d diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
d. Harga perdagangan SUN yang digunakan dalam perhitungan Harga Repo
SUN sebagaimana dimaksud dalam huruf c, dilakukan dengan ketentuan
sebagai berikut:
1) Harga atas setiap seri SUN yang direpokan ditetapkan oleh Bank
Indonesia.
2) Harga SUN sebagaimana dimaksud pada angka 1) dihitung secara
otomatis oleh sarana BI-SSSS berdasarkan harga rata-rata tertimbang
transaksi perdagangan SUN sesuai serinya yang terjadi di pasar
sekunder atau berdasarkan harga teoritis dalam hal seri SUN tidak
memiliki data transaksi perdagangan di pasar sekunder.
2. Semua ....
2
2. Semua penyebutan unit kerja Bagian Operasi Pasar Uang (OPU) dan Bagian
Penyelesaian Transaksi Pasar Uang (PTPU) sebagaimana dimaksud dalam
aturan pelaksanaan transaksi Fine Tune Operation dalam rangka Operasi
Pasar Terbuka yang sudah ada sebelum Surat Edaran ini diberlakukan harus
dibaca menjadi Biro Operasi Moneter (BOpM) dan Bagian Penyelesaian
Transaksi Pengelolaan Moneter (PTPM).
Ketentuan dalam Surat Edaran ini berlaku sejak tanggal 26 Maret 2007.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat
Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA
EDDY SULAEMAN YUSUF
DIREKTUR PENGELOLAAN MONETER
"," SE-BI
9/5/DPM|SE-BI/2007
Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 7/1/DPM Tanggal 3 Januari 2005 Perihal Pelaksanaan Transaksi Fine Tune Operation Dalam Rangka Operasi Pasar Terbuka
26 Maret 2007
26 Maret 2007
'7/1/DPM|SE-BI/2005'
'7/1/DPM|SE-BI/2005'
"
" No.8/5/DPM
Jakarta, 7 Februari 2006
SURAT EDARAN
Kepada
SEMUA BANK UMUM DAN PIALANG
DI INDONESIA
Perihal : Transaksi Reverse Repo Surat Utang Negara Dengan Bank Indonesia
Dalam Rangka Operasi Pasar Terbuka
Dalam rangka pelaksanaan salah satu kegiatan Operasi Pasar Terbuka melalui
kegiatan jual beli surat berharga dalam bentuk Surat Utang Negara secara Reverse
Repo sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 4/9/PBI/2002
tanggal 18 November 2002 tentang Operasi Pasar Terbuka (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4243) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Bank
Indonesia Nomor 7/30/PBI/2005 tanggal 13 September 2005 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4533), dipandang perlu untuk menyusun ketentuan transaksi reverse
repo Surat Utang Negara dengan Bank Indonesia dalam rangka Operasi Pasar Terbuka
dalam suatu Surat Edaran Bank Indonesia sebagai berikut:
I. KETENTUAN UMUM
Yang dimaksud dalam Surat Edaran ini dengan:
1. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang …
2
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, yang melakukan kegiatan usaha
secara konvensional.
2. Pialang adalah perusahaan pialang pasar uang rupiah dan valuta asing, dan
perusahaan efek yang ditunjuk Menteri Keuangan Republik Indonesia sebagai
peserta lelang Surat Utang Negara di pasar perdana.
3. Operasi Pasar Terbuka yang selanjutnya disebut dengan OPT adalah kegiatan
transaksi di pasar uang yang dilakukan oleh Bank Indonesia dengan Bank dan
pihak lain dalam rangka pengendalian moneter.
4. Surat Utang Negara yang selanjutnya disebut SUN adalah surat berharga yang
berupa surat pengakuan utang dalam mata uang Rupiah maupun valuta asing
yang dijamin pembayaran bunga dan pokoknya oleh Negara Republik
Indonesia sesuai dengan masa berlakunya.
5. Peserta Lelang adalah Bank yang mengajukan penawaran untuk kepentingan
sendiri, dan atau Pialang yang mengajukan penawaran untuk kepentingan
Bank.
6. Transaksi Pembelian SUN Secara Bersyarat (Reverse Repo) yang selanjutnya
disebut RR-SUN adalah transaksi pembelian bersyarat SUN oleh Bank
kepada Bank Indonesia dengan kewajiban penjualan kembali sesuai dengan
harga dan jangka waktu yang disepakati.
7. Reverse Repo Rate yang selanjutnya disebut RR-Rate adalah tingkat suku
bunga yang dibayar Bank Indonesia atas transaksi pembelian SUN oleh Bank
secara Reverse Repo.
8. Sistem Bank Indonesia - Real Time Gross Settlement yang selanjutnya disebut
dengan Sistem BI-RTGS adalah suatu sistem transfer dana elektronik antar
peserta Sistem BI-RTGS dalam mata uang Rupiah sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan yang mengatur mengenai Sistem BI-RTGS.
9. Bank Indonesia - Scripless Securities Settlement System yang selanjutnya
disebut dengan BI-SSSS adalah sarana transaksi dengan Bank Indonesia dan
penatausahaan …
3
penatausahaan surat berharga secara elektronik sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan yang mengatur mengenai BI-SSSS.
10. Central Registry adalah Bank Indonesia yang melakukan
fungsi
penatausahaan surat berharga untuk kepentingan Bank, Sub-Registry dan
pihak lain yang disetujui oleh Bank Indonesia.
11. Setelmen Dana adalah perpindahan dana antara Bank Indonesia dengan Bank
pemilik rekening giro Rupiah di Bank Indonesia melalui Sistem BI-RTGS.
12. Setelmen Surat Berharga adalah perpindahan Surat Berharga antara Bank
Indonesia dengan Bank pemilik rekening Surat Berharga di Central Registry
melalui sarana BI-SSSS.
II. MEKANISME UMUM TRANSAKSI REVERSE REPO SUN
1. Bank Indonesia melakukan transaksi RR-SUN dalam rangka kontraksi
moneter dengan mekanisme lelang.
2. Transaksi RR-SUN sebagaimana dimaksud pada angka 1 dilakukan dengan
prinsip penjualan untuk dibeli kembali (sell and buyback) dengan pengaturan
sebagai berikut:
a. Pada saat RR-SUN ditransaksikan (first leg), Bank Indonesia
memindahkan pencatatan kepemilikan SUN yang ditransaksikan ke
rekening perdagangan surat berharga milik Bank pemenang lelang
(transfer of ownership).
b. Pada saat transaksi RR-SUN jatuh waktu (second leg), Bank sebagaimana
dimaksud pada huruf a wajib menjual kembali SUN ke Bank Indonesia.
c. Dalam hal Bank gagal menjual kembali SUN sebagaimana dimaksud pada
huruf b maka SUN yang gagal dijual kembali oleh Bank diperlakukan
sebagai transaksi pembelian secara outright (beli putus) oleh Bank.
3. Harga SUN yang ditransaksikan ditetapkan oleh Bank Indonesia dengan
mempertimbangkan harga pasar yang wajar.
4. Mekanisme …
4
4. Mekanisme lelang RR-SUN sebagaimana dimaksud pada angka 1 dapat
dilakukan melalui:
a. Metode lelang harga tetap (fixed rate tender)
Bank Indonesia menentukan RR-Rate untuk setiap jangka waktu
transaksi; atau,
b. Metode lelang harga beragam (variable rate tender)
Bank mengajukan penawaran RR-Rate untuk setiap penawaran kuantitas
dan jangka waktu transaksi, dengan kelipatan penawaran RR-Rate sebesar
0,0625% (enam ratus dua puluh lima per sepuluh ribu).
5. Jangka waktu transaksi
a. Transaksi RR-SUN dapat berjangka waktu 1 (satu) bulan dan 3 (tiga)
bulan, yang dinyatakan dalam jumlah hari kalender dan dihitung dari
tanggal penyelesaian transaksi sampai dengan tanggal jatuh waktu.
b. Dalam hal tanggal jatuh waktu transaksi bertepatan dengan hari libur
maka tanggal jatuh waktu transaksi sebagaimana dimaksud pada huruf a
ditetapkan pada hari kerja berikutnya.
6. Peserta Lelang dapat mengajukan penawaran lelang RR-SUN, kecuali Peserta
Lelang yang sedang dikenakan sanksi pemberhentian sementara untuk
mengikuti kegiatan OPT, dan atau sanksi diberhentikan sementara (suspend)
atau diberhentikan secara permanen (close) sebagai peserta BI-SSSS.
7. Setelmen lelang RR-SUN dilakukan pada 1 (satu) hari kerja setelah tanggal
lelang (one day settlement) melalui sarana BI-SSSS yang terhubung langsung
dengan Sistem BI-RTGS.
III. TATA ...
5
III. TATA CARA TRANSAKSI REVERSE REPO SUN
A. Pelaksanaan Lelang
1. Pelaksanaan lelang RR-SUN dilakukan pada setiap bulan. Apabila
diperlukan, Bank Indonesia dapat melakukan lelang RR-SUN pada setiap
minggu atau setiap dua minggu.
2. Lelang RR-SUN dilaksanakan pada hari Rabu atau pada hari kerja lain
yang ditetapkan.
3. Bank Indonesia cq. Direktorat Pengelolaan Moneter (DPM) - Biro Operasi
Moneter (BOpM) mengumumkan rencana lelang RR-SUN paling lambat
pada 1 (satu) hari kerja sebelum pelaksanaan lelang melalui sarana BI-
SSSS dan atau Pusat Informasi Pasar Uang (PIPU) dalam sarana Laporan
Harian Bank Umum (LHBU) dan atau sarana lain yang ditetapkan Bank
Indonesia.
4. Pengumuman rencana lelang RR-SUN sebagaimana dimaksud pada angka
3 antara lain meliputi:
a. Window time lelang;
b. Target indikatif dan jangka waktu transaksi;
c. Jenis, seri dan harga SUN sebagai underlying asset;
d. Metode lelang;
e. RR-Rate yang berlaku dalam hal lelang dilakukan dengan metode fixed
rate tender;
f. Tanggal setelmen.
5. Dalam window time yang ditetapkan, Peserta Lelang mengajukan
penawaran RR-SUN ke BOpM melalui sarana BI-SSSS antara lain
meliputi penawaran kuantitas, RR-Rate dan seri SUN.
6. Pengajuan penawaran kuantitas dari setiap Bank sebagai Peserta Lelang,
baik secara langsung atau melalui Pialang, dengan nominal paling sedikit
sebesar …
6
sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar Rupiah) dan selebihnya dengan
kelipatan Rp100.000.000,00 (seratus juta Rupiah).
B. Penetapan hasil lelang
1. Bank Indonesia mengumumkan hasil lelang RR-SUN segera setelah
window time lelang RR-SUN ditutup.
2. Hasil lelang RR-SUN yang dilaksanakan dengan metode fixed rate tender
ditetapkan dengan cara:
a. Penawaran kuantitas transaksi yang diajukan Peserta Lelang diterima
seluruhnya; atau
b. Perhitungan secara proporsional dengan pembulatan nominal terkecil
sebesar Rp 1.000.000,00 (satu juta Rupiah).
Contoh penerapan metode lelang fixed rate tender, penetapan pemenang
lelang dan nilai setelmen dapat dilihat pada Lampiran-1.
3. Hasil lelang RR-SUN yang dilaksanakan dengan metode variable rate
tender ditetapkan dengan cara:
a. Bank Indonesia menetapkan penawaran RR-Rate tertinggi yang dapat
diterima.
b. Kuantitas transaksi yang dimenangkan Bank dihitung sebagai berikut:
1) dalam hal penawaran RR-Rate yang diajukan Bank lebih rendah
dari RR-Rate yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada huruf a
maka Bank yang bersangkutan memperoleh seluruh penawaran
yang diajukan;
2) dalam hal penawaran RR-Rate yang diajukan Bank sama dengan
RR-Rate yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada huruf a
maka Bank yang bersangkutan
penawaran lelang yang diajukan atau
perhitungan secara proporsional.
dapat memperoleh seluruh
sebagian berdasarkan
Contoh …
7
Contoh penerapan metode lelang variable rate tender, penetapan
pemenang lelang dan nilai setelmen dapat dilihat pada Lampiran-2.
4. Bank Indonesia dapat menyesuaikan realisasi kuantitas hasil lelang RR-
SUN dibandingkan dengan target indikatif atau membatalkan lelang RR-
SUN.
IV. TATA CARA SETELMEN REVERSE REPO SUN
1. Bank Indonesia cq. Bagian Penyelesaian Transaksi Pengelolaan Moneter
(PTPM) melakukan setelmen
lelang RR-SUN melalui
BI-SSSS yang
terhubung dengan Sistem BI-RTGS pada 1 (satu) hari kerja setelah tanggal
lelang (one day settlement) dengan mekanisme penyelesaian transaksi per
transaksi (gross to gross).
2. Setelmen sebagaimana dimaksud pada angka 1 terdiri dari:
a. Setelmen hasil lelang RR-SUN (first leg) mencakup:
1) Setelmen Dana dengan cara mendebet rekening giro Rupiah Bank di
Bank Indonesia sebesar hasil perkalian antara kuantitas transaksi yang
dimenangkan Bank dengan harga SUN yang ditetapkan Bank
Indonesia.
2) Setelmen Surat Berharga dengan cara mengkredit rekening surat
berharga milik Bank di Central Registry sebesar nilai nominal SUN
yang dimenangkan Bank.
3) Dalam hal SUN yang ditransaksikan memiliki pembayaran kupon
dilakukan perhitungan sebagai berikut:
a) Nilai Setelmen Dana sebagaimana dimaksud pada angka 1)
ditambahkan dengan nilai accrued interest terhitung sejak tanggal
pembayaran kupon terakhir sampai dengan tanggal transaksi RR-
SUN.
b) Pembayaran …
8
b) Pembayaran kupon atas seri SUN yang ditransaksikan diterima oleh
Bank pemenang lelang sesuai dengan unit SUN yang dimenangkan
Bank. Contoh perhitungan kupon terlampir dalam Tabel 3 pada
Lampiran-1.
c) Nilai atas kupon sebagaimana dimaksud pada huruf b) mengurangi
kewajiban Bank Indonesia dalam rangka pelunasan transaksi RR-
SUN jatuh waktu (second leg) sejak tanggal pembayaran kupon.
d) Dalam hal Setelmen Dana pada saat first leg dilakukan sebelum
tanggal pemberitahuan pembayaran kupon sebagaimana
diinformasikan melalui BI-SSSS (laporan ex-date) maka kupon
diterima oleh Bank Indonesia dan tidak mengurangi nilai Setelmen
Dana dalam rangka pelunasan transaksi RR-SUN jatuh waktu.
4) Bank wajib menyediakan saldo rekening giro dalam Rupiah di Bank
Indonesia yang mencukupi untuk Setelmen Dana.
5) Dalam hal Bank tidak memiliki saldo rekening giro dalam Rupiah di
Bank Indonesia yang mencukupi sampai dengan waktu cut off warning
Sistem BI-RTGS maka sistem secara otomatis membatalkan transaksi
dan Bank dikenakan sanksi OPT.
b. Setelmen RR-SUN jatuh waktu (second leg) mencakup:
1) Setelmen Dana dengan cara mengkredit rekening giro Rupiah Bank di
Bank Indonesia sebesar nilai Setelmen Dana first leg jatuh waktu
setelah dikurangi kupon, apabila terdapat pembayaran kupon atas seri
SUN yang ditransaksikan, ditambah dengan nilai RR-Rate.
2) Setelmen Surat Berharga dengan cara mendebet rekening surat
berharga milik Bank di Central Registry sebesar nilai nominal SUN
yang ditransaksikan pada saat first leg.
3) Bank …
9
3) Bank wajib menyediakan seri SUN yang mencukupi dalam saldo
rekening surat berharga di Central Registry untuk Setelmen Surat
Berharga.
4) Dalam hal Bank tidak memiliki saldo rekening surat berharga yang
mencukupi sampai dengan cut-off warning Sistem BI-RTGS maka
sistem secara otomatis membatalkan setelmen RR-SUN jatuh waktu
dan Bank dikenakan sanksi OPT.
5) Atas kegagalan setelmen RR-SUN jatuh waktu sebagaimana dimaksud
pada angka 4), Bank tidak menerima RR-Rate dan seri SUN yang
ditransaksikan diberlakukan sebagai transaksi pembelian secara lepas
(outright buying) oleh Bank terhitung sejak tanggal RR-SUN jatuh
waktu.
6) Dalam rangka transaksi outright sebagaimana dimaksud pada angka 5),
Bank Indonesia memperhitungkan harga pasar yang wajar pada
tanggal second leg dan accrued interest terhitung sejak tanggal
transaksi RR-SUN (first leg) sampai dengan tanggal RR-SUN jatuh
waktu (second leg) apabila SUN dimaksud memiliki kupon.
7) Hasil perhitungan sebagaimana dimaksud pada angka 6) dibebankan
pada rekening giro Rupiah milik Bank di Bank Indonesia.
V. TATA CARA PENGENAAN SANKSI
1. Dalam hal terdapat ketidakcukupan dana sebagaimana dimaksud pada butir
IV.2.a.5) atau ketidakcukupan seri SUN sebagaimana dimaksud pada butir
IV.2.b.4), Bank dikenakan sanksi OPT berupa:
a. Teguran tertulis dengan tembusan kepada:
1) Direktorat Pengawasan Bank yang terkait, dalam hal sanksi diberikan
kepada Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja Kantor Pusat Bank
Indonesia (KPBI); atau
2) Tim …
10
2) Tim Pengawas Bank - Kantor Bank Indonesia (KBI) setempat, dalam
hal sanksi diberikan kepada Bank yang berkantor pusat di wilayah
kerja KBI, dan
b. Kewajiban membayar sebesar 10/00 (satu per seribu) dari nominal transaksi
yang dibatalkan atau paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar
Rupiah); dan
c. Pemberhentian sementara untuk mengikuti kegiatan OPT selama 5 (lima)
hari kerja dalam hal Bank dikenakan sanksi teguran tertulis dan sanksi
kewajiban membayar untuk ketiga kalinya dalam jangka waktu 6 (enam)
bulan karena pembatalan transaksi kegiatan OPT.
2. Penyampaian surat teguran tertulis sebagaimana dimaksud dalam butir 1.a.
dan pemberitahuan sanksi pemberhentian sementara untuk mengikuti kegiatan
OPT sebagaimana dimaksud dalam butir 1.c dilakukan pada 1 (satu) hari
kerja setelah terjadinya pembatalan transaksi.
3. Sistem BI-SSSS akan menghitung secara otomatis besarnya sanksi kewajiban
membayar sebagaimana dimaksud dalam butir 1.b. dan membebankannya
melalui rekening giro Rupiah milik Bank yang bersangkutan di Bank
Indonesia melalui Sistem BI-RTGS pada 1 (satu) hari kerja setelah terjadinya
pembatalan transaksi.
Ketentuan dalam Surat Edaran ini mulai berlaku sejak tanggal 7 Februari 2006.5.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran ini
dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA,
BUDI MULYA
DIREKTUR PENGELOLAAN MONETER
"," SE-BI
8/5/DPM|SE-BI/2006
Transaksi Reverse Repo Surat Utang Negara Dengan Bank Indonesia Dalam Rangka Operasi Pasar Terbuka
7 Februari 2006
7 Februari 2006
'7/30/PBI/2005', '4/9/PBI/2002'
'Romawi V', 'Romawi IV Angka 2 Huruf a Butir 5)', 'Romawi IV Angka 2 Huruf b Butir 4)'
"
" No. 17/26/DSta
Jakarta, 15 Oktober 2015
S U R A T E D A R A N
Kepada
SEMUA LEMBAGA BUKAN BANK
DI INDONESIA
Perihal: Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Selain Utang Luar
Negeri
Sehubungan dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia Nomor
16/22/PBI/2014 tentang Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa dan
Pelaporan Kegiatan Penerapan Prinsip Kehati-hatian Dalam Pengelolaan
Utang Luar Negeri Korporasi Nonbank (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 397, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5654) dan dalam rangka meningkatkan kualitas statistik
Lalu Lintas Devisa, perlu diatur ketentuan pelaksanaan mengenai
pelaporan kegiatan Lalu Lintas Devisa lembaga bukan bank selain Utang
Luar Negeri dalam Surat Edaran Bank Indonesia sebagai berikut:
I. UMUM
Dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Lalu Lintas Devisa yang selanjutnya disingkat LLD adalah lalu
lintas devisa sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang
mengatur mengenai lalu lintas devisa dan sistem nilai tukar.
2. Penduduk adalah penduduk sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai lalu lintas devisa dan
sistem nilai tukar.
3. Aset Finansial Luar Negeri yang selanjutnya disingkat AFLN adalah
aktiva Penduduk pada bukan Penduduk baik dalam Valuta Asing
maupun Rupiah, antara lain dalam bentuk kas Valuta Asing,
simpanan ...
2
simpanan, piutang dagang atau usaha, surat berharga, dan
penyertaan modal.
4. Kewajiban Finansial Luar Negeri yang selanjutnya disingkat KFLN
adalah pasiva Penduduk pada bukan Penduduk baik dalam Valuta
Asing maupun Rupiah, antara lain dalam bentuk Utang Luar
Negeri dan ekuitas dari bukan Penduduk.
5. Utang Luar Negeri yang selanjutnya disingkat ULN adalah utang
Penduduk kepada bukan Penduduk dalam Valuta Asing dan/atau
Rupiah, termasuk di dalamnya pembiayaan berdasarkan Prinsip
Syariah.
6. Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan
keuangan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang
memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah.
7. Lembaga Bukan Bank yang selanjutnya disingkat LBB adalah
lembaga selain bank yang berstatus Penduduk.
8. Nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa LBB yang
menjalankan kegiatan usaha sebagai perantara keuangan
sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
9. Laporan kegiatan LLD selain ULN yang selanjutnya disebut
Laporan adalah laporan atas kegiatan yang menimbulkan
perpindahan AFLN dan/atau KFLN selain ULN antara Penduduk
dan bukan Penduduk termasuk perpindahan AFLN dan/atau KFLN
selain ULN antar Penduduk.
10. Pelapor LLD adalah Penduduk yang melakukan kegiatan LLD, baik
untuk kepentingan Pelapor yang bersangkutan maupun pihak lain.
11. Periode Laporan yang selanjutnya disingkat PL adalah periode data
tanggal 1 sampai dengan akhir bulan yang bersangkutan yang
akan dilaporkan pada bulan berikutnya.
12. Batas Waktu Penyampaian Laporan yang selanjutnya disingkat
BWPL adalah tanggal paling lama disampaikannya Laporan.
13. Batas ...
3
13. Batas Waktu Penyampaian Koreksi Laporan yang selanjutnya
disingkat BWPKL adalah tanggal paling lama disampaikannya
koreksi Laporan.
14. Masa Keterlambatan Penyampaian Laporan yang selanjutnya
disingkat MKPL adalah periode waktu Pelapor LLD dinyatakan
terlambat menyampaikan Laporan.
15. Hari adalah hari kerja Bank Indonesia.
16. Jam Kerja adalah jam kerja kantor Bank Indonesia setempat
sesuai dengan kedudukan Pelapor LLD.
II. PELAPOR LLD
A. Pelapor LLD meliputi LBB sebagai berikut:
1. badan usaha milik negara;
2. badan usaha milik daerah yang memiliki ULN;
3.
lembaga keuangan bukan Bank;
4. perusahaan publik;
5. perusahaan yang bergerak di sektor pertambangan minyak
dan gas;
6. perusahaan yang memiliki kegiatan ekspor dan/atau impor
barang;
7. perusahaan yang bergerak di sektor jasa;
8. perusahaan penanaman modal asing;
9. badan usaha milik swasta yang memiliki ULN;
10. badan lainnya yang memiliki ULN; atau
11. Selain LBB sebagaimana dimaksud pada angka 1 sampai
dengan angka 10 yang memiliki total aset atau omset
penjualan bruto selama 1 (satu) tahun, jumlah yang lebih
dahulu dicapai, paling sedikit Rp100.000.000.000,00 (seratus
miliar rupiah).
B. Total aset atau omset sebagaimana dimaksud pada butir A.11
didasarkan pada laporan keuangan terakhir yang telah diaudit.
C. Dalam ...
4
C. Dalam hal laporan keuangan terakhir yang telah diaudit
sebagaimana dimaksud pada huruf B belum tersedia maka yang
digunakan adalah laporan keuangan terakhir yang belum diaudit.
D. Pelapor LLD wajib menyampaikan Laporan berdasarkan laporan
keuangan dan pembukuan seperti neraca dan laba rugi serta off
balance sheet Pelapor LLD.
E. Pelapor LLD sebagaimana dimaksud pada butir A.11 yang
mengalami penurunan total aset atau omset penjualan bruto
selama 1 (satu) tahun sehingga menjadi kurang dari
Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah), tetap wajib
menyampaikan Laporan sepanjang masih melakukan kegiatan LLD
selain ULN.
F. LBB yang tidak melakukan kegiatan LLD selain ULN harus
menyampaikan Surat Pernyataan Tidak Melakukan Kegiatan LLD
selain ULN bermeterai cukup sebagaimana format pada Lampiran I
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank
Indonesia ini disertai laporan keuangan LBB.
G. LBB sebagaimana dimaksud pada butir A.11 yang memiliki total
aset dan total omset penjualan bruto selama 1 (satu) tahun di
bawah Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah)
menyampaikan Surat Pernyataan Tidak Memenuhi Batasan Aset
dan Omset bermeterai cukup sebagaimana format pada Lampiran
II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran
Bank Indonesia ini disertai laporan keuangan LBB.
III. PROFIL ...
5
III. PROFIL PELAPOR LLD, JENIS LAPORAN, KOREKSI LAPORAN,
DAN FORMAT PELAPORAN
A. PROFIL PELAPOR LLD
1. Pelapor LLD yang baru pertama kali menyampaikan Laporan
harus menyampaikan surat permohonan sebagaimana
dimaksud dalam Lampiran III dan melengkapi data profil
Pelapor LLD sebagaimana dimaksud dalam Lampiran IV, yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Surat Edaran
Bank Indonesia ini.
2. Profil Pelapor LLD sebagaimana dimaksud pada angka 1
meliputi informasi mengenai identitas Pelapor LLD yang
terdiri atas:
a. Informasi Umum Pelapor LLD
Informasi yang disampaikan mencakup antara lain nama
Pelapor LLD, alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP),
penanggung jawab pelaporan, dan lokasi usaha Pelapor
LLD.
b. Informasi Keuangan
Informasi yang disampaikan mencakup antara lain total
ekuitas, aktiva lancar, dan kewajiban lancar.
3. Berdasarkan surat permohonan sebagaimana dimaksud
pada angka 1, Bank Indonesia akan memberitahukan
kepada Pelapor mengenai sandi, username dan password.
B. JENIS LAPORAN
1. Laporan yang wajib disampaikan oleh Pelapor LLD kepada
Bank Indonesia terdiri atas:
a. Laporan transaksi perdagangan barang, jasa, dan
transaksi lainnya antara Penduduk dan bukan
Penduduk.
Laporan meliputi seluruh transaksi penjualan dan/atau
pembelian barang dan/atau jasa dengan bukan
Penduduk, perolehan dan/atau pemberian hibah
dari/kepada bukan Penduduk, serta transaksi lainnya
dengan ...
6
dengan bukan Penduduk, sebagaimana tercatat pada
laporan keuangan dan pembukuan Pelapor LLD.
b. Laporan posisi dan perubahan AFLN
Laporan meliputi posisi dan perubahan yaitu
penambahan atau pengurangan dari seluruh aktiva yang
merupakan klaim terhadap bukan Penduduk
sebagaimana tercatat pada laporan keuangan dan
pembukuan Pelapor LLD yang meliputi:
1) rekening giro di bank luar negeri;
2) piutang dagang atau usaha kepada bukan Penduduk;
3) surat berharga yang diterbitkan oleh bukan
Penduduk yang tidak disimpan pada kustodian
dalam negeri, termasuk surat berharga yang
diterbitkan oleh bukan Penduduk yang dimiliki oleh
Pelapor LLD yang menyelenggarakan kegiatan usaha
sebagai kustodian;
4) penyertaan pada bukan Penduduk, antara lain
penyertaan modal, tagihan dividen, dan laba ditahan;
5) tanah dan/atau bangunan di luar negeri;
6) aset lainnya pada bukan Penduduk antara lain kas
dalam valuta asing, simpanan lainnya, pinjaman
yang diberikan, pembayaran di muka, dan tagihan
lainnya;
7) tagihan derivatif pada bukan Penduduk.
Termasuk di dalam pelaporan posisi dan perubahan
AFLN adalah kegiatan yang mengakibatkan nilai AFLN
menjadi negatif.
c.
Laporan posisi dan perubahan ekuitas dari bukan
Penduduk dan kewajiban lain yang terkait.
Laporan meliputi posisi dan penambahan atau
pengurangan ekuitas dari bukan Penduduk dan
kewajiban terkait antara lain modal disetor dari bukan
Penduduk ...
7
Penduduk, kewajiban dividen kepada bukan Penduduk,
dan laba ditahan dari bukan Penduduk sebagaimana
tercatat pada laporan keuangan dan pembukuan Pelapor
LLD.
d.
Laporan posisi dan perubahan kewajiban derivatif luar
negeri.
Laporan meliputi posisi dan penambahan atau
pengurangan kewajiban derivatif kepada bukan
Penduduk sebagaimana tercatat pada laporan keuangan
dan pembukuan Pelapor LLD.
e.
Laporan posisi komitmen dan kontinjensi luar negeri.
Laporan meliputi posisi yang menjadi tagihan dan/atau
kewajiban komitmen dan/atau kontinjensi kepada
bukan Penduduk yang tercatat pada off-balance sheet
Pelapor LLD antara lain posisi pembelian dan/atau
penjualan derivatif yang masih berjalan, garansi yang
diterima dan/atau diberikan, dan fasilitas pinjaman
kepada bukan Penduduk yang belum ditarik.
f.
Laporan posisi surat berharga milik Nasabah kustodian.
Laporan meliputi posisi surat berharga Penduduk yang
dimiliki bukan Penduduk dan/atau surat berharga
bukan Penduduk yang dimiliki Penduduk yang tercatat
pada Pelapor LLD yang menyelenggarakan kegiatan
usaha sebagai kustodian, beserta hasil investasi yang
diakui pada PL seperti bunga dan dividen.
2. Jenis Laporan yang disampaikan oleh Pelapor LLD
sebagaimana dimaksud pada angka 1 disesuaikan dengan
kegiatan LLD selain ULN yang dilakukan oleh Pelapor LLD.
C. KOREKSI LAPORAN
1. Dalam hal terdapat kesalahan Laporan yang telah
disampaikan oleh Pelapor LLD kepada Bank Indonesia,
Pelapor LLD harus menyampaikan koreksi atas kesalahan
Laporan yang telah disampaikan kepada Bank Indonesia.
2. Koreksi ...
8
2. Koreksi terhadap Laporan disampaikan secara lengkap untuk
setiap jenis Laporan yang dikoreksi.
Contoh:
Perusahaan pembiayaan telah menyampaikan Laporan
penyertaan pada bukan Penduduk sebanyak 4 (empat) baris
(record), namun terdapat kesalahan pengisian sandi negara
anak perusahaan (investee) pada baris ke-2 Laporan.
Berdasarkan hal tersebut, perusahaan pembiayaan wajib
menyampaikan kembali Laporan penyertaan pada bukan
Penduduk sebanyak 4 (empat) baris (record) dengan sandi
negara investee yang telah dikoreksi pada baris ke-2 Laporan.
3. Koreksi Laporan sebagaimana dimaksud pada angka 2 yang
terakhir diterima oleh Bank Indonesia merupakan Laporan
pengganti atas Laporan yang diterima sebelumnya.
D. FORMAT PELAPORAN
1. Format Laporan diatur dalam pedoman pelaporan
sebagaimana Lampiran V yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini.
2. Masing-masing Laporan terdiri dari 1 (satu) atau beberapa
baris (record) dan masing-masing baris memuat kolom (field)
keterangan dan data yang harus dilaporkan seperti sandi
transaksi dan sandi mitra transaksi.
Contoh:
Laporan transaksi perdagangan barang, jasa, dan transaksi
lainnya antara Penduduk dan bukan Penduduk memiliki 6
(enam) kolom (field) yaitu kolom tujuan transaksi, negara
mitra, hubungan keuangan, jenis valuta, nilai transaksi, dan
nomor referensi. Apabila dalam 1 (satu) PL Pelapor LLD
melakukan transaksi ekspor sebanyak 3 (tiga) kali maka
Pelapor LLD dapat menyampaikan Laporan transaksi
perdagangan barang, jasa, dan transaksi lainnya antara
Penduduk dan bukan Penduduk dalam 3 (tiga) baris (record).
IV. PENYAMPAIAN ...
9
IV. PENYAMPAIAN LAPORAN DAN/ATAU KOREKSI LAPORAN
A. TATA CARA PELAPORAN
1. Tata cara pelaporan mengacu pada Petunjuk Teknis Aplikasi
Pelaporan sebagaimana terdapat dalam website pelaporan di
Bank Indonesia.
2. Pelapor LLD melaporkan seluruh kegiatan LLD selain ULN
yang dilakukan selama PL.
3. Apabila dalam suatu PL tertentu Pelapor LLD tidak
melakukan kegiatan LLD selain ULN, Pelapor LLD tetap harus
menyampaikan laporan dengan baris (record) dikosongkan
sesuai tata cara sebagaimana dimaksud dalam Petunjuk
Teknis Aplikasi Pelaporan yang terdapat dalam website
pelaporan di Bank Indonesia.
4. Apabila Pelapor LLD tidak lagi melakukan kegiatan LLD selain
ULN, Pelapor LLD harus menyampaikan Surat Pernyataan
Tidak Lagi Melakukan Kegiatan LLD Selain ULN bermeterai
cukup sebagaimana format pada Lampiran VI yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank
Indonesia ini disertai laporan keuangan Pelapor LLD.
5. Dalam hal Pelapor LLD sebagaimana dimaksud pada angka 4
melakukan kegiatan LLD selain ULN kembali, Pelapor LLD
wajib menyampaikan Laporan sebagaimana dimaksud pada
butir III.B.
6. Bagi Pelapor LLD yang memiliki 1 (satu) atau lebih kantor
cabang, Laporan yang disampaikan merupakan Laporan
gabungan dari kantor pusat dan seluruh kantor cabang di
Indonesia.
Contoh:
Perusahaan perkebunan karet PT X yang berkantor pusat di
Medan memiliki 2 (dua) kantor cabang yaitu di Pekanbaru dan
Bandar Lampung. PT X menyampaikan 1 (satu) Laporan yang
merupakan gabungan dari kegiatan yang mempengaruhi
AFLN dan ekuitas dari bukan Penduduk yang dilakukan
kantor ...
10
kantor pusat Medan, kantor cabang Pekanbaru, dan kantor
cabang Bandar Lampung.
7. Bagi Pelapor LLD yang tergabung dalam 1 (satu) grup
perusahaan, Laporan disampaikan oleh Pelapor LLD secara
terpisah dari Laporan induk perusahaan.
Contoh:
Perusahaan pertambangan PT Y merupakan induk
perusahaan (holding company) yang memiliki 3 (tiga) anak
perusahaan yakni PT A, PT B, dan PT C. Laporan disampaikan
secara terpisah oleh induk perusahaan dan masing-masing
anak perusahaan.
8. Dalam hal kegiatan LLD yang dilakukan oleh Pelapor LLD
adalah untuk kepentingan Nasabah atau pihak lain, Pelapor
LLD dapat meminta keterangan dan data kepada Nasabah
atau pihak lain tersebut mengenai kegiatan LLD yang
dilakukan.
9. Nasabah atau pihak lain sebagaimana dimaksud pada angka
8 wajib memberikan keterangan dan data mengenai kegiatan
LLD yang diminta oleh Pelapor LLD.
B. MEDIA PENYAMPAIAN LAPORAN
1. Laporan dan/atau koreksi Laporan disampaikan kepada
Bank Indonesia secara online dengan menggunakan media
internet pada website pelaporan di Bank Indonesia dengan
alamat https://www.bi.go.id/lkpbuv2.
2. Dalam hal terdapat perubahan alamat penyampaian
Laporan dan/atau koreksi Laporan, Bank Indonesia akan
menginformasikan perubahan alamat tersebut melalui surat
atau media lainnya.
3.
Dalam hal pada hari terakhir penyampaian Laporan
dan/atau koreksi Laporan terjadi gangguan teknis di Bank
Indonesia yang mengakibatkan Pelapor LLD tidak dapat
menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan secara
online ...
11
online maka Laporan dan/atau koreksi Laporan dapat
disampaikan secara offline kepada Bank Indonesia pada Hari
berikutnya dengan menggunakan media antara lain e-mail
attachment, compact disk (CD), flash disk, dan/atau media
perekaman data elektronik lainnya yang disampaikan pada
Jam Kerja.
C. PERIODE LAPORAN
1. Laporan sebagaimana dimaksud dalam butir III.B
disampaikan secara berkala setiap bulan.
2. Laporan mencakup data kegiatan LLD selain ULN yang
dilakukan sejak tanggal 1 sampai dengan akhir bulan
dan/atau data posisi Laporan akhir bulan.
D. BATAS WAKTU PENYAMPAIAN LAPORAN DAN/ATAU BATAS
WAKTU PENYAMPAIAN KOREKSI LAPORAN
1. Batas Waktu Penyampaian Laporan
Laporan disampaikan sebagai berikut:
a. Laporan wajib disampaikan secara online paling lambat
tanggal 15.
b. Apabila hari terakhir penyampaian Laporan sebagaimana
dimaksud pada huruf a jatuh pada hari Sabtu, Minggu,
hari libur, dan/atau cuti bersama yang ditetapkan oleh
Bank Indonesia, BWPL jatuh pada Hari berikutnya.
c. Apabila terjadi gangguan teknis di Bank Indonesia pada
hari terakhir penyampaian Laporan sebagaimana
dimaksud pada huruf a sehingga Pelapor LLD tidak dapat
menyampaikan Laporan secara
online, Laporan
disampaikan pada Hari berikutnya secara:
1) online jika gangguan teknis telah dapat diatasi; atau
2) offline kepada Bank Indonesia selama Jam Kerja jika
gangguan teknis belum dapat diatasi.
Contoh: ...
12
Contoh:
Gangguan teknis di Bank Indonesia terjadi pada hari
Rabu tanggal 15 Juni 2016. Laporan wajib disampaikan
paling lambat pada hari Kamis tanggal 16 Juni 2016
secara online. Apabila gangguan teknis masih
berlangsung pada tanggal 16 Juni 2016, Laporan wajib
disampaikan oleh Pelapor LLD pada hari tersebut secara
offline dalam Jam Kerja.
d. Laporan secara online atau offline dinyatakan diterima oleh
Bank Indonesia apabila softcopy seluruh Laporan berhasil
di-upload dan lolos verifikasi yang dibuktikan dengan
adanya tanda terima dari sistem Bank Indonesia atau
bukti tanda terima.
e. Dalam hal Pelapor LLD menyampaikan Laporan secara
offline menggunakan e-mail, Pelapor LLD dapat melakukan
konfirmasi melalui telepon kepada petugas di Bank
Indonesia untuk memastikan bahwa e-mail yang berisi
softcopy Laporan telah diterima oleh Bank Indonesia.
2. Batas Waktu Penyampaian Koreksi Laporan
Koreksi terhadap Laporan disampaikan sebagai berikut:
a. Koreksi Laporan secara online harus disampaikan paling
lambat tanggal 20.
Contoh:
Perusahaan Sekuritas melaporkan kepemilikan deposito
pada bank di Singapura untuk PL Juni 2016 pada
tanggal 6 Juli 2016. Berdasarkan konfirmasi Bank
Indonesia, selain memiliki deposito, perusahaan juga
memiliki simpanan (pooling account) pada grup
perusahaan di Hong Kong yang belum dilaporkan.
Sehubungan dengan hal tersebut, pada tanggal 14 Juli
2016 perusahaan menyampaikan koreksi Laporan aset
lainnya pada bukan Penduduk. Selanjutnya karena
terdapat kesalahan pada pengisian jangka waktu
simpanan ...
13
simpanan (pooling account), pada tanggal 18 Juli 2016
perusahaan mengirimkan kembali koreksi Laporan
tersebut.
b. Apabila hari terakhir penyampaian koreksi Laporan
jatuh pada hari Sabtu, Minggu, hari libur, dan/atau cuti
bersama yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, BWPKL
adalah pada Hari berikutnya.
c. Apabila terjadi gangguan teknis di Bank Indonesia pada
hari terakhir penyampaian koreksi Laporan sebagaimana
dimaksud pada huruf a sehingga Pelapor LLD tidak dapat
menyampaikan koreksi Laporan secara online, koreksi
Laporan disampaikan pada Hari berikutnya secara:
1) online jika gangguan teknis telah dapat diatasi; atau
2) offline dalam Jam Kerja jika gangguan teknis belum
dapat diatasi.
Contoh:
Gangguan teknis di Bank Indonesia terjadi pada hari
Selasa tanggal 20 September 2016. Laporan wajib
disampaikan oleh Pelapor LLD di Provinsi Jawa Barat
paling lambat pada hari Rabu tanggal 21 September
2016 secara online. Apabila gangguan teknis masih
berlangsung pada tanggal 21 September 2016, pelaporan
wajib dilakukan oleh Pelapor LLD di Provinsi Jawa Barat
pada tanggal tersebut secara offline dalam Jam Kerja.
d. Koreksi Laporan secara online atau offline dinyatakan
diterima oleh Bank Indonesia apabila softcopy seluruh
koreksi Laporan berhasil di-upload dan lolos verifikasi
yang dibuktikan dengan adanya tanda terima dari sistem
Bank Indonesia atau bukti tanda terima.
e. Dalam hal Pelapor LLD menyampaikan koreksi Laporan
secara offline menggunakan e-mail, Pelapor LLD dapat
melakukan konfirmasi melalui telepon kepada petugas di
Bank Indonesia untuk memastikan bahwa e-mail yang
berisi ...
14
berisi softcopy koreksi Laporan telah diterima oleh Bank
Indonesia.
E. MASA KETERLAMBATAN PENYAMPAIAN LAPORAN
1. MKPL adalah masa setelah berakhirnya BWPL sebagaimana
dimaksud pada butir D.1 sampai dengan akhir bulan.
2. Apabila batas akhir MKPL jatuh pada hari Sabtu, Minggu, hari
libur, dan/atau cuti bersama yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia maka batas akhir MKPL tidak berubah.
Contoh:
Batas akhir MKPL untuk Pelapor LLD di Provinsi Lampung
untuk Laporan PL Juni 2016 adalah hari Sabtu tanggal 30
Juli 2016.
3. Apabila pada batas akhir MKPL terjadi gangguan teknis di
Bank Indonesia maka batas akhir MKPL berubah menjadi
pada Hari berikutnya, jika gangguan teknis belum dapat
diatasi sampai dengan pukul 17.00 WIB.
Contoh:
Gangguan teknis di Bank Indonesia terjadi pada hari Rabu
tanggal 31 Agustus 2016 sampai dengan pukul 17.00 WIB,
maka MKPL untuk Pelapor LLD di Provinsi Sumatera Utara
untuk PL Juli 2016 berakhir pada hari Kamis tanggal 1
September 2016.
4. Dalam hal batas akhir MKPL berubah menjadi pada Hari
berikutnya sebagaimana dimaksud pada angka 3 maka
penyampaian Laporan dilakukan secara offline dalam Jam
Kerja.
Contoh:
Dalam hal terjadi gangguan teknis di Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam contoh angka 3 maka
penyampaian Laporan PL Juli 2016 dilakukan secara offline
hari Kamis tanggal 1 September 2016 dalam Jam Kerja.
F. TIDAK ...
15
F. TIDAK MENYAMPAIKAN LAPORAN
1. Pelapor LLD dinyatakan tidak menyampaikan Laporan apabila
sampai dengan batas akhir MKPL sebagaimana dimaksud
pada huruf E, Bank Indonesia belum menerima Laporan dari
Pelapor LLD.
2. Pelapor LLD sebagaimana dimaksud pada angka 1 tetap harus
menyampaikan Laporan secara offline.
G. PENELITIAN KEBENARAN LAPORAN
1. Bank Indonesia dapat melakukan penelitian terhadap
kebenaran Laporan dan/atau koreksi Laporan Pelapor LLD.
2. Penelitian sebagaimana dimaksud pada angka 1 dapat
dilakukan melalui kerja sama dengan pihak lain.
3. Bank Indonesia dapat meminta informasi, bukti pembukuan,
catatan, dan/atau dokumen lain yang dilakukan melalui surat
permintaan.
4. Pelapor LLD harus menyampaikan informasi, bukti
pembukuan, catatan, dan/atau dokumen lain yang diminta
oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada angka 3
secara tertulis paling lama 15 (lima belas) Hari sejak tanggal
surat permintaan.
5. Dalam hal Pelapor LLD tidak menindaklanjuti surat
permintaan dengan penyampaian bukti sesuai jangka waktu
sebagaimana dimaksud pada angka 4 maka Laporan yang
disampaikan Pelapor LLD kepada Bank Indonesia dinyatakan
tidak benar.
H. PERUBAHAN ALAMAT PELAPOR LLD
1. Dalam hal Pelapor LLD pindah alamat dari wilayah kerja
Kantor Pusat Bank Indonesia (KPBI) ke wilayah kerja Kantor
Perwakilan Bank Indonesia (KPwBI) atau sebaliknya, Pelapor
LLD harus terlebih dahulu menyampaikan surat
pemberitahuan ke KPBI dengan tembusan kepada KPwBI
yang akan dituju atau ke KPwBI dengan tembusan kepada
KPBI ...
16
KPBI.
2. Dalam hal Pelapor LLD pindah alamat dari satu wilayah
kerja KPwBI ke wilayah kerja KPwBI lainnya, Pelapor LLD
harus terlebih dahulu menyampaikan surat pemberitahuan
ke KPwBI yang sebelumnya menerima Laporan dari Pelapor
LLD dengan tembusan kepada KPBI dan KPwBI yang akan
dituju.
3. Dalam hal Pelapor LLD pindah alamat namun tetap dalam
wilayah kerja KPBI atau KPwBI yang sama, Pelapor LLD
harus terlebih dahulu memberitahukan perubahan alamat
tersebut ke KPBI atau KPwBI setempat.
V. TATA CARA PENGENAAN SANKSI ADMINISTRATIF
A. LAPORAN TIDAK BENAR
1. Pelapor LLD yang menyampaikan Laporan tidak benar
dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar
Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) untuk setiap baris
(record) yang tidak benar dengan denda paling banyak sebesar
Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
2. Yang dimaksud dengan setiap baris (record) yang tidak benar
sebagaimana dimaksud pada angka 1 adalah jika pada baris
(record) yang bersangkutan terdapat satu atau lebih kolom
(field) yang diisi secara tidak lengkap dan/atau tidak akurat.
Contoh 1:
Dalam rangka impor, perusahaan C di Indonesia
menggunakan sarana transportasi laut milik Perusahaan
Australia dengan biaya senilai AUD100,000.00.
Perusahaan C menyampaikan laporan transaksi perdagangan
barang, jasa, dan transaksi lainnya antara Penduduk dan
bukan Penduduk meliputi sandi jenis transaksi (102501T-
Jasa penunjang transportasi laut), sandi negara mitra
transaksi (AU), sandi hubungan keuangan (41), jenis valuta
(USD), dan nilai transaksi (100000).
Sandi ...
17
Mitra
Sandi
Transaksi Negara
(1)
(2)
Hub.
Keu.
(3)
102501T AU 41
Jenis
Valuta
(4)
Nilai
(5)
USD 100000
Ref
(6)
1
Berdasarkan contoh tersebut terdapat kesalahan pengisian
yaitu:
a. sandi jenis transaksi yang diisi 102501T (Jasa penunjang
transportasi laut) seharusnya 202201T (Jasa transportasi
barang dalam rangka ekspor dan impor menggunakan
transportasi laut),
b. jenis valuta yang diisi USD seharusnya AUD.
Sandi
Mitra
Jenis
Transaksi Negara
(1)
(2)
Hub.
Keu.
(3)
202201T AU 41
Valuta
(4)
Nilai
(5)
AUD 100000
Ref
(6)
1
Laporan tersebut dinyatakan tidak benar sebanyak 1 (satu)
baris (record) transaksi dan dikenai sanksi administratif
berupa denda sebesar Rp50.000,00 untuk kesalahan tersebut.
Contoh 2:
Perusahaan Y di Indonesia membayar pembelian barang dari
Perusahaan X di India (IN) yang merupakan afiliasi pemegang
saham non Special Purpose Vehicle (SPV). Pembayaran
dilakukan melalui rekening giro perusahaan Y pada bank di
Singapura (SG) sebesar USD200,000.00 ke rekening
perusahaan X pada bank di India. Rekening giro perusahaan
menggunakan valuta USD dengan posisi awal rekening giro
pada bulan tersebut adalah USD2,000,000.00. Disamping itu,
perusahaan Y menambah saldo rekening giro di Singapura
dari rekeningnya di bank dalam negeri sebesar USD50,000.00.
Perusahaan Y menyampaikan Laporan sebagai berikut:
a. Laporan ...
18
a. Laporan rekening giro di luar negeri berupa negara
domisili (SG), jenis valuta (SGD), posisi awal (2000000),
dan posisi akhir (1850000).
Sandi
Rekening
Giro
(1)
Jenis
Negara
Valuta Domisili
(2)
(3)
Posisi
Awal
(4)
21111 SGD SG 2000000
Posisi Akhir
(5)
1850000
b. Transaksi Laporan rekening giro di luar negeri, berupa:
1) Sandi transaksi pembelian barang di dalam negeri
(209900T), sandi negara mitra transaksi (ID), sandi
hubungan keuangan (12), dan nilai transaksi (200000).
2) Sandi transaksi bertambahnya rekening giro atas
beban simpanan di bank domestik (125700T), sandi
negara mitra transaksi (ID), sandi hubungan keuangan
(41), dan nilai transaksi (50000).
Mitra
Sandi
Transaksi
(6)
Tanggal
Transaksi Negara
(7)
(8)
Negara
Hub.
Keu.
(8)
209900T 15062016 IN 12
125700T 15062016 ID 4I
Penerima/
Pembayar
(9)
IN
Nilai
Debet Kredit
(10)
(10)
200000
ID 50000
Berdasarkan contoh tersebut terdapat kesalahan pengisian
yaitu:
a. Jenis valuta pada Laporan rekening giro yang diisi SGD
seharusnya USD.
Sandi
Rekening
Giro
(1)
Jenis
Negara
Valuta Domisili
(2)
(3)
Posisi
Awal
(4)
Posisi
Akhir
(5)
21111 USD SG 2000000 1850000
b. Transaksi ...
19
b. Transaksi pembelian barang pada Laporan rekening giro:
1) Sandi transaksi yang diisi 209900T (Pembelian barang
di dalam wilayah Indonesia), seharusnya 201200T
(Pembelian barang dari luar wilayah Indonesia – impor
barang, f.o.b. (free on board)).
2) Negara mitra transaksi yang diisi ID seharusnya IN.
3) Negara Penerima/Pembayar yang diisi ID seharusnya
IN.
Sandi
Transaksi
(6)
Tanggal
(8)
Mitra
Transaksi Negara
(7)
Hub.
Keu.
(8)
201200T 15062016 IN 12
125700T 15062016 ID 4I
Negara
Penerima/
Pembayar
(9)
IN
Nilai
Debet Kredit
(10)
(10)
200000
ID 50000
Laporan tersebut dinyatakan tidak benar sebanyak 1 (satu)
baris (record) transaksi. Perusahaan Y dikenai sanksi
administratif berupa denda sebesar Rp50.000,00 untuk 1
(satu) kesalahan tersebut.
Contoh 3:
Perusahaan D di Indonesia melakukan ekspor dengan jangka
waktu pembayaran 16 (enam belas) bulan kepada perusahaan
E yang merupakan perusahaan satu grup di Thailand senilai
USD100,000.00. Kegiatan tersebut menyebabkan posisi
piutang berjangka waktu 16 bulan kepada buyer tersebut
menjadi USD925,000.00 dari posisi sebelumnya
USD825,000.00.
Perusahaan D menyampaikan Laporan sebagai berikut:
a. Posisi piutang dagang atau usaha dengan jangka waktu (2),
negara mitra (TH), sektor institusi (9500), hubungan
keuangan (31), jenis valuta (USD), dan nilai posisi akhir
(900000).
Jangka ...
20
Jangka
Waktu
(1)
2
Negara
(2)
Sektor
Institusi
(3)
Hub.
Keu.
(4)
Jenis
Valuta
(5)
TH 9500 31 USD
No.
Peb
(6)
Posisi
Awal
(7)
Posisi
Akhir
(8)
825000 900000
b. Transaksi piutang dagang atau usaha kepada bukan
Penduduk dengan nilai debit (75000).
Sandi
Transaksi
(9)
Ket
(10)
140001A -
Cara Penerimaan
Pembayaran
(11)
RLN
Tanggal
Transaksi
(12)
Nilai
Debet Kredit
(13)
(13)
30062016 75000
Jangka
Waktu
(1)
1
Berdasarkan contoh tersebut terdapat kesalahan pengisian
yaitu:
a. Jangka waktu piutang dagang atau usaha kepada bukan
Penduduk yang diisi (2) seharusnya (1), serta nilai posisi
saldo akhir yang diisi (900000) seharusnya (925000).
Jenis
Negara
(2)
Sektor
Inst.
(3)
Hub.
Keu.
(4)
No
Valuta
(5)
TH 9500 31 USD
PEB
(6)
Saldo
Awal
(7)
Saldo
Akhir
(8)
825000 925000
Sandi
b. Nilai debit transaksi piutang dagang atau usaha kepada
bukan Penduduk yang diisi (75000) seharusnya (100000).
Nilai
Cara
Transaksi
(9)
Ket
(10)
140001A -
Penerimaan
Pembayaran
(11)
RLN
Tanggal
Transaksi
(12)
Debet Kredit
(13)
(13)
30042012 100000
Laporan tersebut dinyatakan tidak benar sebanyak 1 (satu)
baris (record) posisi dan dikenai sanksi administratif berupa
denda sebesar Rp50.000,00 untuk kesalahan tersebut.
B. TERLAMBAT MENYAMPAIKAN LAPORAN
1. Pelapor LLD yang terlambat menyampaikan Laporan dikenai
sanksi administratif berupa denda sebesar Rp500.000,00
(lima ratus ribu rupiah) untuk setiap Hari keterlambatan
(lima ...
21
dengan denda paling banyak sebesar Rp5.000.000,00 (lima
juta rupiah).
2. Jumlah hari keterlambatan dihitung mulai dari Hari setelah
berakhirnya BWPL sampai dengan tanggal diterimanya
Laporan oleh Bank Indonesia dalam MKPL sebagaimana
dimaksud pada butir IV.E.
Contoh:
PT B menyampaikan Laporan kepemilikan tanah dan
bangunan di luar negeri untuk PL Juli 2016 yang diterima
Bank Indonesia pada hari Senin tanggal 22 Agustus 2016.
Mengingat BWPL jatuh pada tanggal 15 Agustus 2016 dan
tanggal 17 Agustus 2016 merupakan hari libur maka PT B
dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan selama 4
(empat) Hari dan dikenai sanksi administratif berupa denda
sebesar Rp2.000.000,00.
3. Dalam hal terjadi gangguan teknis di Bank Indonesia dan
Pelapor LLD menyampaikan Laporan secara offline, Laporan
yang disampaikan pada akhir BWPL setelah Jam Kerja
dianggap mengalami keterlambatan selama 1 (satu) Hari.
Contoh:
Terjadi gangguan teknis di Bank Indonesia pada hari Senin
tanggal 15 Agustus 2016 yang belum dapat diatasi sampai
dengan hari Selasa tanggal 16 Agustus 2016. PT C di Provinsi
Sulawesi Utara menyampaikan laporan transaksi perdagangan
barang dan jasa serta transaksi lainnya antara penduduk
dengan bukan penduduk untuk PL Juli 2016 secara offline
melalui CD yang diterima Bank Indonesia pada tanggal 16
Agustus 2016 pukul 19.00 WITA. Pelapor LLD dinyatakan
terlambat menyampaikan laporan selama 1 (satu) Hari karena
laporan diterima setelah Jam Kerja sehingga dikenai sanksi
administratif berupa denda sebesar Rp500.000,00.
C. TIDAK ...
22
C. TIDAK MENYAMPAIKAN LAPORAN
1. Pelapor LLD yang tidak menyampaikan Laporan sampai
dengan berakhirnya MKPL sebagaimana dimaksud pada butir
IV.E dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar
Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) per PL.
Contoh:
Laporan rekening giro di bank luar negeri milik Pelapor LLD di
Provinsi Kalimantan Selatan untuk PL Agustus 2016 belum
diterima Bank Indonesia sampai dengan tanggal 30 September
2016 maka Pelapor LLD dikenai sanksi administratif berupa
denda sebesar Rp10.000.000,00 .
2. Pelapor LLD yang tidak menyampaikan Laporan sebagaimana
dimaksud pada angka 1 tetap wajib menyampaikan Laporan
LLD yang belum disampaikan.
D. PENGENAAN SANKSI ADMINISTRATIF BERUPA DENDA
1. Pengenaan sanksi administratif berupa denda sebagaimana
dimaksud pada huruf A, huruf B, dan huruf C tidak berlaku
bagi Pelapor LLD yang baru pertama kali menyampaikan
Laporan (Pelapor LLD baru). Pengenaan sanksi dimaksud
mulai diberlakukan bagi Pelapor LLD baru setelah 3 (tiga) kali
masa pelaporan sejak penyampaian Laporan yang pertama.
Contoh:
PT D mulai menyampaikan Laporan transaksi perdagangan
barang, jasa, dan transaksi lainnya antara Penduduk dan
bukan Penduduk kepada Bank Indonesia untuk PL Juni 2016
yang disampaikan pada bulan Juli 2016. Pengenaan sanksi
administratif berupa denda untuk PT D mulai berlaku untuk
PL Oktober 2016 yang disampaikan pada bulan November
2016.
2. Pengenaan sanksi administratif berupa denda bagi Pelapor
LLD sebagaimana dimaksud pada huruf A, huruf B, dan huruf
C didahului dengan surat pemberitahuan sanksi administratif
berupa denda.
3. Pelapor ...
23
3. Pelapor LLD diberikan kesempatan untuk menyampaikan
keberatan atas pengenaan sanksi administratif berupa denda
dalam jangka waktu 15 (lima belas) Hari setelah tanggal surat
pemberitahuan sanksi administratif berupa denda.
4. Dalam hal Bank Indonesia menolak keberatan yang
disampaikan oleh Pelapor LLD, Bank Indonesia mengeluarkan
surat penetapan sanksi administratif berupa denda.
5. Surat penetapan sanksi administratif berupa denda
sebagaimana dimaksud pada angka 4 antara lain
mencantumkan jenis pelanggaran, besarnya denda yang
harus dibayar, dan rekening tujuan pembayaran sanksi
administratif berupa denda.
E. PEMBAYARAN SANKSI ADMINISTRATIF BERUPA DENDA
1. Pembayaran sanksi administratif berupa denda sebagaimana
dimaksud pada huruf A, huruf B, dan huruf C disetorkan ke
rekening Bank Indonesia.
2. Pelapor LLD harus memberikan bukti pembayaran sanksi
administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada
angka 1 kepada Bank Indonesia paling lama akhir bulan
berikutnya setelah tanggal penerbitan surat penetapan sanksi
administratif berupa denda untuk Laporan tidak benar,
Laporan terlambat, dan tidak menyampaikan Laporan.
Contoh:
Pelapor LLD menerima surat penetapan sanksi administratif
berupa denda dari Bank Indonesia pada tanggal 25 Oktober
2016. Untuk itu, Pelapor LLD harus menyetor sanksi
administratif berupa denda ketidakbenaran Laporan ke
rekening Bank Indonesia dan menyampaikan bukti
penyetoran denda tersebut ke Bank Indonesia paling lambat
tanggal 30 November 2016.
VI. PENYAMPAIAN ...
24
VI. PENYAMPAIAN LAPORAN DALAM KEADAAN MEMAKSA (FORCE
MAJEURE)
A. Pelapor LLD yang mengalami keadaan memaksa sehingga
menyebabkan keterangan dan data tidak tersedia, dikecualikan
dari kewajiban menyampaikan Laporan sebagaimana angka III
untuk PL dimana keterangan dan data tidak tersedia karena
terjadinya keadaan memaksa.
B. Pelapor LLD yang mengalami keadaan memaksa sehingga
menyebabkan terhambatnya penyampaian keterangan dan data
sebagaimana dimaksud dalam butir III.B dikecualikan dari
kewajiban menyampaikan Laporan dalam batas waktu
sebagaimana dimaksud dalam butir IV.D untuk PL dimana
keterangan dan data terhambat penyediaannya karena terjadinya
keadaan memaksa.
C. Pelapor LLD yang mengalami keadaan memaksa sebagaimana
dimaksud pada huruf A dan B harus segera menyampaikan
pemberitahuan secara tertulis kepada Bank Indonesia, dengan
disertai penjelasan mengenai keadaan memaksa yang dialami.
D. Penjelasan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada huruf C
paling kurang memuat:
1. jenis keadaan memaksa dengan melampirkan surat
keterangan yang dibenarkan oleh penguasa atau pejabat dari
instansi terkait di daerah setempat;
2. dampak terhadap pelaporan; dan
3. perkiraan lamanya keadaan memaksa.
E. Pelapor LLD dapat menyampaikan pemberitahuan secara tertulis
mengenai keadaan memaksa melalui kantor pusat Pelapor LLD,
kantor cabang Pelapor LLD, atau pihak lain yang ditunjuk Pelapor
LLD.
F. Pemberitahuan secara tertulis mengenai keadaan memaksa yang
terjadi selama 1 (satu) PL atau lebih, harus disampaikan untuk
setiap PL sampai dengan berakhirnya keadaan memaksa.
G. Pelapor ...
25
G. Pelapor LLD sebagaimana dimaksud pada huruf A dan huruf B
wajib menyampaikan Laporan setelah Pelapor LLD kembali
melakukan kegiatan operasional secara normal.
Contoh 1:
Pada bulan September 2016 wilayah tempat kedudukan Pelapor
LLD mengalami kebakaran yang menyebabkan keterangan dan
data tidak tersedia sehingga perusahaan tidak dapat menyusun
Laporan untuk PL September 2016. Dalam hal ini, Pelapor LLD
dikecualikan dari kewajiban menyampaikan Laporan untuk PL
September 2016. Atas kondisi tersebut, Pelapor LLD
menyampaikan pemberitahuan secara tertulis mengenai keadaan
memaksa kepada kantor Bank Indonesia setempat. Surat
pemberitahuan tersebut harus disampaikan setiap bulan selama
Pelapor LLD belum dapat menyampaikan Laporan.
Contoh 2:
Pada tanggal 11 sampai dengan 15 November 2016 terjadi aksi
demo seluruh karyawan Pelapor LLD yang mengakibatkan Pelapor
LLD terhambat menyampaikan Laporan untuk PL Oktober 2016
sehingga melewati BWPL. Atas kondisi tersebut, Pelapor LLD
menyampaikan pemberitahuan secara tertulis mengenai keadaan
memaksa kepada kantor Bank Indonesia setempat. Dalam hal ini,
Pelapor LLD dikecualikan dari kewajiban menyampaikan Laporan
untuk PL Oktober 2016. Pelapor LLD dapat menyampaikan
Laporan melewati BWPL dan tidak dikenai sanksi administratif
berupa denda.
VII. KORESPONDENSI DAN HELPDESK
A. Penyampaian Laporan dan/atau koreksi Laporan secara offline,
pertanyaan, surat, dan informasi lainnya berkaitan dengan
pelaporan diatur sebagai berikut:
1. Bagi Pelapor LLD yang berkedudukan di wilayah Jakarta,
Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, dan Karawang ditujukan
kepada:
Bank ...
26
Bank Indonesia
Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan
Grup Pengelolaan dan Pengawasan Laporan 2
Divisi Pengelolaan dan Pengawasan LLD
Menara Sjafruddin Prawiranegara, Lantai 16
Jl. M.H. Thamrin No. 2
Jakarta 10350
2. Bagi Pelapor LLD yang berkedudukan di luar wilayah Jakarta,
Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, dan Karawang, ditujukan
kepada Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat
sebagaimana tercantum dalam Lampiran V yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia
ini.
B. Helpdesk:
Telepon : 021-29817040, 021-29817041, 021-29817469,
021-29817062, 021-29817607, 021-29815354,
021-29815352, 021-29816921, 021-29814678,
021-3501969, 021-29810000 ext 2122,
0-800-1501969 (bebas pulsa)
Faksimili
Email
: 021-2311936
: lldperusahaan@bi.go.id
C. Dalam hal terjadi perubahan alamat surat menyurat dan
komunikasi, Bank Indonesia akan memberitahukan Pelapor LLD
melalui surat dan/atau media lainnya.
VIII. PENUTUP
Pada saat Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku, Surat
Edaran Bank Indonesia Nomor 15/5/DSM tanggal 7 Maret 2013 perihal
Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Selain Utang Luar Negeri dicabut
dan dinyatakan tidak berlaku.
Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak PL bulan Mei
2016 yang disampaikan pada bulan Juni 2016.
Agar ...
27
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman
Surat Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita
Negara Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA,
HENDY SULISTIOWATY
KEPALA DEPARTEMEN STATISTIK
"," SE-BI
17/26/DSta|SE-BI/2015
Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Selain Utang Luar Negeri
15 Oktober 2015
sejak PL bulan Mei 2016 yang disampaikan pada bulan Juni 2016
'15/5/DSM|SE-BI/2013'
'16/22/PBI/2014'
'Romawi V'
"
" Yth.
1. Direksi Perantara Pedagang Efek yang ditunjuk sebagai Gateway dalam
rangka pengampunan pajak;
2. Direksi PT Bursa Efek Indonesia;
3. Direksi PT Kliring Penjaminan Efek Indonesia; dan
4. Direksi PT Kustodian Sentral Efek Indonesia,
di tempat.
SALINAN
SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 8 /SEOJK.04/2017
TENTANG
TATA CARA PERHITUNGAN MODAL KERJA BERSIH DISESUAIKAN BAGI
PERANTARA PEDAGANG EFEK YANG DITUNJUK SEBAGAI GATEWAY YANG
MELAKUKAN TRANSAKSI EFEK UNTUK KEPENTINGAN NASABAH DALAM
RANGKA PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG
PENGAMPUNAN PAJAK
Dalam rangka mendukung tugas Perantara Pedagang Efek yang ditunjuk
sebagai gateway dalam pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016
tentang Pengampunan Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016
Nomor 131, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5899), perlu
diatur secara khusus mengenai tata cara perhitungan Modal Kerja Bersih
Disesuaikan pada akun Utang Lembaga Kliring Penjaminan dan akun Utang
Nasabah Pemilik Rekening yang timbul sebagai akibat transaksi nasabah
Perantara Pedagang Efek Gateway, dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan
sebagai berikut:
I. KETENTUAN UMUM
Dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini, yang dimaksud dengan:
1. Modal Kerja Bersih Disesuaikan yang selanjutnya disingkat MKBD
adalah jumlah aset lancar Perusahaan Efek dikurangi dengan seluruh
-2-
liabilitas Perusahaan Efek dan ranking liabilities, ditambah dengan utang
sub ordinasi, serta dilakukan penyesuaian lainnya.
2. Perantara Pedagang Efek Gateway yang selanjutnya disebut PPE
Gateway adalah Perantara Pedagang Efek yang ditunjuk oleh Menteri
Keuangan Republik Indonesia sebagai gateway untuk penempatan dan
pengelolaan dana Wajib Pajak pada instrumen investasi dalam rangka
pelaksanaan Pengampunan Pajak.
3. Sistem Pusat Pelaporan MKBD yang selanjutnya disingkat SPP-MKBD
adalah sistem yang dikelola oleh PT Kliring Penjaminan Efek Indonesia
yang digunakan untuk menyampaikan laporan MKBD oleh Perusahaan
Efek sebagaimana dimaksud dalam Surat Keputusan Nomor
Kep-22/BL/2012 tanggal 30 Januari 2012 tentang Penunjukan
PT Kliring Penjaminan Efek Indonesia sebagai Penerima Laporan Modal
Kerja Bersih Disesuaikan.
II. TATA CARA PERHITUNGAN MKBD TERKAIT TRANSAKSI NASABAH DALAM
RANGKA PELAKSANAAN PENGAMPUNAN PAJAK
1. Perusahaan Efek yang menjalankan kegiatan usaha sebagai Perantara
Pedagang Efek yang mengadministrasikan rekening Efek nasabah wajib
memiliki MKBD paling sedikit sebesar Rp25.000.000.000,00 (dua puluh
lima miliar rupiah) atau 6,25% (enam koma dua lima persen) dari total
liabilitas tanpa utang sub ordinasi dan utang dalam rangka penawaran
umum/penawaran terbatas ditambah ranking liabilities, mana yang lebih
tinggi.
2. Ketentuan tata cara perhitungan MKBD berdasarkan Surat Edaran
Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor
SE-07/BL/2011 tentang Pedoman Penyusunan Formulir-Formulir Modal
Kerja Bersih Disesuaikan tetap berlaku bagi PPE Gateway sepanjang
tidak diatur lain dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini.
3. Sub Akun Utang Transaksi Bursa dari Akun Utang Lembaga Kliring dan
Penjaminan (Baris 129) dan Sub-Sub Akun Transaksi Jual Efek dari Sub
Akun Utang Nasabah Pemilik Rekening Efek (Baris 133) sebagaimana
dimaksud dalam Formulir V.D.5-2 tentang Laporan Neraca Percobaan
Harian – Liabilitas dan Ekuitas yang merupakan lampiran dari Surat
Edaran Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor
SE-07/BL/2011 tentang Pedoman Penyusunan Formulir-Formulir Modal
Kerja Bersih Disesuaikan yang timbul sebagai akibat transaksi nasabah
-3-
PPE Gateway, tidak diperhitungkan dalam perhitungan 6,25% (enam
koma dua lima persen) dari total liabilitas tanpa utang sub ordinasi dan
utang dalam rangka penawaran umum/penawaran terbatas ditambah
ranking liabilities PPE Gateway pada saat verifikasi atas MKBD PPE
Gateway.
4. Ketentuan dalam angka 3 di atas hanya berlaku jika dana dan/atau Efek
nasabah PPE Gateway dalam rangka pelaksanaan pengampunan pajak
yang digunakan sebagai jaminan penyelesaian transaksi nasabah
tersebut disimpan di dalam sub rekening Efek dan/atau rekening dana
nasabah yang berada dalam pengendalian PPE Gateway.
III. VALIDASI DAN VERIFIKASI PELAPORAN MKBD PPE GATEWAY
1. Dalam hal validasi oleh SPP-MKBD atas laporan MKBD PPE Gateway
sebagaimana dimaksud dalam Surat Edaran Badan Pengawas Pasar
Modal dan Lembaga Keuangan Nomor 02/BL/2012 tentang Penjelasan
Tambahan atas SE Nomor 07/BL/2011 dan Validasi Pelaporan Modal
Kerja Bersih Disesuaikan menunjukan ketidakcukupan nilai MKBD yang
dilaporkan terhadap nilai MKBD yang dipersyaratkan dalam angka II
angka 1, PPE Gateway wajib menyampaikan kepada Bursa Efek dan
pengelola SPP-MKBD, dokumen dan catatan perhitungan yang
menunjukkan besaran nilai kewajiban (liabilitas) serta didukung dengan
rincian transaksi atas nilai liabilitas tersebut yang terjadi karena
transaksi nasabah PPE Gateway dalam rangka pelaksanaan
pengampunan pajak dengan memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud
dalam angka II angka 3.
2. Penyampaian dokumen dan catatan perhitungan atas ketidakcukupan
nilai MKBD sebagaimana dimaksud dalam angka 1 dilaksanakan dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. PPE Gateway melaporkan dokumen dan catatan perhitungan yang
menunjukkan besaran nilai kewajiban (liabilitas) nasabah PPE
Gateway dalam rangka pelaksanaan pengampunan pajak, yang
didukung dengan rincian transaksi yang dilakukan oleh nasabah
atas nilai liabilitas tersebut kepada Bursa Efek dan pengelola
SPP-MKBD sesuai dengan batas waktu pelaporan MKBD
sebagaimana diatur dalam Peraturan Nomor V.D.5, lampiran
Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan Nomor Kep-566/BL/2011 tanggal 31 Oktober 2011
-4-
tentang Pemeliharaan dan Pelaporan Modal Kerja Bersih
Disesuaikan.
b. Pengelola SPP-MKBD wajib melakukan verifikasi atas laporan
sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan berkoordinasi dengan
Bursa Efek terhadap nilai minimum MKBD PPE Gateway yang
disebabkan oleh transaksi nasabah PPE Gateway dalam rangka
pelaksanaan pengampunan pajak.
c. Dalam hal nilai MKBD dari PPE Gateway yang telah dilakukan
verifikasi berdasarkan laporan dokumen dan catatan atas total
liabilitas yang dilakukan nasabah dalam rangka pelaksanaan
pengampunan pajak tersebut masih di bawah nilai minimum MKBD
yang dipersyaratkan, maka PPE Gateway dimaksud dilarang
melakukan transaksi bursa oleh Bursa Efek sebagaimana diatur
dalam ketentuan angka 4 huruf d Peraturan Nomor V.D.5, lampiran
Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan Nomor Kep-566/BL/2011 tanggal 31 Oktober 2011
tentang Pemeliharaan Dan Pelaporan Modal Kerja Bersih
Disesuaikan.
d. Dalam hal PPE Gateway tidak menyampaikan dokumen dan catatan
perhitungan total liabilitas terkait transaksi nasabah dalam rangka
pelaksanaan pengampunan pajak sampai dengan batas waktu
sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perhitungan nilai MKBD
harian PPE Gateway sesuai dengan validasi SPP-MKBD.
IV. PENUTUP
Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal
ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 20 Februari 2017
KEPALA EKSEKUTIF
PENGAWAS PASAR MODAL,
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
ttd
NURHAIDA
"," SEOJK
8/SEOJK.04/2017
TATA CARA PERHITUNGAN MODAL KERJA BERSIH DISESUAIKAN BAGI PERANTARA PEDAGANG EFEK YANG DITUNJUK SEBAGAI GATEWAY YANG MELAKUKAN TRANSAKSI EFEK UNTUK KEPENTINGAN NASABAH DALAM RANGKA PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK
20 Februari 2017
20 Februari 2017
'11/UU/2016'
"
" Yth.
Direksi Bank Perkreditan Rakyat
di tempat.
SALINAN
SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 39 /SEOJK.03/2017
TENTANG
LAPORAN TAHUNAN DAN LAPORAN KEUANGAN PUBLIKASI
BANK PERKREDITAN RAKYAT
Sehubungan dengan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
Nomor 48/POJK.03/2017 tentang Transparansi Kondisi Keuangan Bank
Perkreditan Rakyat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017
Nomor 154 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6097) yang
selanjutnya disingkat POJK TKK BPR dan dalam rangka meningkatkan
pemantauan keadaan usaha Bank Perkreditan Rakyat oleh publik,
harmonisasi dengan ketentuan yang berlaku serta sehubungan dengan
beralihnya fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan jasa
keuangan di sektor perbankan dari Bank Indonesia ke Otoritas Jasa
Keuangan, perlu untuk mengatur kembali ketentuan pelaksanaan mengenai
Laporan Tahunan dan Laporan Keuangan Publikasi Bank Perkreditan Rakyat
dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan sebagai berikut:
I. KETENTUAN UMUM
1. Dalam rangka pemantauan keadaan usaha Bank Perkreditan Rakyat
(BPR) oleh publik, BPR diwajibkan untuk menyampaikan laporan
dan/atau informasi sesuai dengan jenis, waktu, cakupan, dan bentuk
yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
2. Jenis laporan dan/atau informasi yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa
Keuangan sebagaimana dimaksud pada angka 1 adalah Laporan
Tahunan dan Laporan Keuangan Publikasi.
- 2 -
3. Laporan Tahunan disusun untuk memberikan gambaran lengkap
mengenai kinerja BPR dalam kurun waktu 1 (satu) tahun yang antara
lain berisi Laporan Keuangan Tahunan dan informasi umum.
4. Laporan Keuangan Publikasi disusun untuk memberikan informasi
mengenai laporan keuangan, informasi lainnya, susunan Direksi dan
Dewan Komisaris, serta komposisi pemegang saham termasuk
pemegang saham pengendali secara triwulanan kepada berbagai
pihak yang berkepentingan dengan perkembangan usaha BPR.
5. Mengacu pada POJK TKK BPR, agar Laporan Tahunan dan Laporan
Keuangan Publikasi dapat diperbandingkan, penyajian laporan
tersebut wajib didasarkan pada standar akuntansi keuangan yang
berlaku bagi BPR dan Pedoman Akuntansi bagi BPR (PA BPR).
6. Mengacu pada Pasal 2 ayat (2) POJK TKK BPR, Laporan Tahunan dan
Laporan Keuangan Publikasi wajib disusun dalam Bahasa Indonesia.
7. Mengacu pada Pasal 5 ayat (1) POJK TKK BPR, Laporan Keuangan
Tahunan bagi BPR dengan total aset paling sedikit
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) wajib diaudit oleh
akuntan publik yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan.
8. Angka dalam Laporan Tahunan dan Laporan Keuangan Publikasi
disajikan dalam mata uang Rupiah dan dalam ribuan Rupiah.
9. Laporan Tahunan dan Laporan Keuangan Publikasi disampaikan oleh
kantor pusat BPR.
II. LAPORAN TAHUNAN
1. Laporan Tahunan paling sedikit memuat:
a.
Informasi Umum, yang meliputi antara lain:
1) susunan kepengurusan yang meliputi anggota Direksi,
anggota Dewan Komisaris, serta pejabat eksekutif, dengan
informasi mencakup jabatan dan ringkasan riwayat hidup;
2) kepemilikan, berupa nama pemegang saham termasuk
pemegang saham pengendali dan nominal serta persentase
kepemilikan saham;
3) perkembangan usaha BPR, memuat paling sedikit:
a) riwayat ringkas pendirian BPR meliputi paling sedikit:
(1) nomor dan tanggal akta pendirian serta
perubahan anggaran dasar terakhir, pengesahan
dari instansi yang berwenang;
- 3 -
(2) tanggal mulai beroperasi;
(3) bidang usaha sesuai anggaran dasar; dan
(4) tempat kedudukan dan lokasi utama kegiatan
usaha;
b)
ikhtisar data keuangan penting, paling sedikit meliputi
pendapatan dan beban operasional, pendapatan dan
beban non operasional, laba sebelum Pajak
Penghasilan (PPh), taksiran PPh dan laba bersih;
c)
rasio keuangan, disajikan paling sedikit meliputi KAP,
KPMM, NPL, PPAP, ROA, BOPO, cash ratio, dan LDR;
d) penjelasan mengenai NPL termasuk penyebab utama
NPL; dan
e) perkembangan usaha yang berpengaruh secara
signifikan terhadap BPR pada periode laporan seperti
penambahan atau pengurangan kegiatan usaha
dan/atau jaringan kantor.
4) strategi dan kebijakan manajemen dalam mengelola dan
mengembangkan usaha BPR, termasuk informasi mengenai
manajemen risiko yang paling sedikit meliputi identifikasi,
pengukuran, pemantauan dan pengendalian risiko;
5) laporan manajemen yang menyajikan informasi mengenai
pengelolaan BPR dalam rangka tata kelola yang baik, paling
sedikit meliputi:
a) struktur organisasi;
b) bidang usaha sesuai anggaran dasar dan kegiatan utama
pada periode pelaporan;
c) teknologi informasi, antara lain sistem operasional, sistem
keamanan, dan penyedia jasa teknologi informasi;
d) perkembangan dan target pasar;
e) jumlah, jenis, dan lokasi kantor;
f) kerjasama BPR dengan bank atau lembaga lain dalam
rangka pengembangan usaha;
g) kepemilikan oleh anggota Direksi, anggota Dewan
Komisaris dan pemegang saham dalam kelompok usaha
BPR, dan perubahan kepemilikan dari tahun sebelumnya,
jika ada;
- 4 -
h) keterkaitan antar pemegang saham, antar anggota Direksi
atau anggota Dewan Komisaris, antara anggota Direksi
dengan anggota Dewan Komisaris, dan/atau antara
pemegang saham dengan anggota Direksi dan/atau
anggota Dewan Komisaris;
i) sumber daya manusia (SDM), meliputi jumlah, tingkat
pendidikan, dan kegiatan pengembangan SDM selama
periode yang bersangkutan;
j) kebijakan pemberian gaji, tunjangan, dan fasilitas bagi
anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris termasuk
bonus, tantiem, dan fasilitas lain; dan
k) perubahan penting lain yang terjadi di BPR dan/atau di
kelompok usaha BPR yang mempengaruhi operasional
BPR dalam tahun yang bersangkutan.
b. Laporan Keuangan Tahunan yang disusun untuk 1 (satu) Tahun
Buku dan disajikan dengan perbandingan 1 (satu) Tahun Buku
sebelumnya paling sedikit terdiri atas:
1) neraca;
2) laporan laba rugi dari Tahun Buku yang bersangkutan;
3) laporan perubahan ekuitas;
4) laporan arus kas; dan
5) catatan atas laporan keuangan, termasuk informasi mengenai
komitmen dan kontinjensi.
c. Opini dari akuntan publik apabila Laporan Keuangan Tahunan
diaudit oleh akuntan publik.
d. Selain pengungkapan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan
huruf b, mengacu pada Pasal 3 ayat (1) huruf e POJK TKK BPR,
BPR wajib melakukan pengungkapan (disclosure) informasi lain
yang meliputi:
1) ikhtisar kebijakan akuntansi, mencakup:
a) pernyataan bahwa BPR menggunakan standar akuntansi
keuangan yang berlaku bagi BPR dan PA BPR;
b) dasar pengukuran dan penyusunan laporan keuangan;
dan
c) kebijakan akuntansi BPR yang antara lain meliputi
kebijakan konsep dasar pengukuran, kredit yang
diberikan, penyisihan kerugian kredit, investasi di
- 5 -
Sertifikat Bank Indonesia, agunan yang diambil alih, kas
dan setara kas, aset tetap dan inventaris serta
penyusutan, pengakuan pendapatan bunga, pengakuan
beban bunga, pajak penghasilan, dan imbalan kerja.
2) Penjelasan atas pos-pos laporan keuangan yang disusun
dengan memperhatikan urutan penyajian neraca, laporan
laba rugi, laporan arus kas, dan laporan perubahan ekuitas
serta informasi tambahan sesuai dengan ketentuan
pengungkapan pada setiap pos pada bagian yang terkait,
ditambah dengan pengungkapan mengenai:
a) transaksi hubungan istimewa, yang meliputi:
(1) rincian jumlah masing-masing pos aset, kewajiban,
penghasilan, dan beban kepada pihak yang memiliki
hubungan istimewa beserta persentasenya terhadap
total aset, kewajiban, penghasilan dan beban;
(2) penjelasan transaksi yang tidak berhubungan dengan
kegiatan usaha utama dan jumlah utang atau jumlah
piutang sehubungan dengan transaksi dengan pihak
yang memiliki hubungan istimewa;
(3) sifat hubungan, jenis, dan unsur transaksi dengan
pihak yang memiliki hubungan istimewa termasuk
pernyataan apakah BPR menerapkan kebijakan
persyaratan yang sama bagi pihak lain yang tidak
memiliki hubungan istimewa dengan BPR; dan
(4) alasan serta dasar pembentukan penyisihan kerugian
piutang yang terkait dengan pihak yang memiliki
hubungan istimewa.
b) perubahan akuntansi dan koreksi kesalahan, yang
meliputi:
(1) perubahan estimasi akuntansi:
(a) hakikat dan alasan perubahan estimasi akuntansi;
(b) jumlah perubahan estimasi yang mempengaruhi
periode berjalan; dan/atau
(c) pengaruh estimasi terhadap periode mendatang;
(2) perubahan kebijakan akuntansi, paling sedikit
meliputi:
- 6 -
(a) hakikat, alasan dan tujuan dilakukannya
perubahan kebijakan akuntansi;
(b) dampak perubahan kebijakan akuntansi terhadap
periode berjalan dan periode sebelumnya yang perlu
disajikan kembali secara komparatif; dan
(c) pernyataan bahwa informasi komparatif telah
dinyatakan kembali atau pernyataan bahwa
informasi komparatif tidak disajikan karena
dianggap tidak praktis.
(3) kesalahan:
(a) hakikat kesalahan;
(b) jumlah nilai koreksi untuk periode berjalan dan
periode-periode sebelumnya;
(c) jumlah nilai koreksi yang terkait dengan periode-
periode sebelum periode yang tercakup dalam
informasi komparatif; dan
(d) pernyataan bahwa informasi komparatif telah
dinyatakan kembali atau pernyataan bahwa
informasi komparatif tidak disajikan karena
dianggap tidak praktis.
3) komitmen dan kontinjensi, yang meliputi:
a) pengungkapan komitmen, terdiri atas:
(1) pengungkapan kontrak atau perjanjian yang
menimbulkan komitmen penggunaan dana pada masa
yang akan datang, misalnya perjanjian pemberian
kredit. Hal-hal yang perlu diungkapkan antara lain
terdiri dari komitmen kepada pihak yang terkait,
periode berlakunya komitmen, nilai keseluruhan dan
bagian yang telah terealisasi, serta sanksi; dan
(2) uraian mengenai sifat, jenis, jumlah, dan persyaratan
komitmen; dan
b) pengungkapan kontinjensi, terdiri atas:
(1) pengungkapan perkara atau sengketa hukum yang
berpotensi menimbulkan pengeluaran dana pada masa
yang akan datang. Hal-hal yang perlu diungkapkan
antara lain meliputi pihak yang terkait, nilai gugatan
(perkara atau sengketa), latar belakang perkara, pokok
- 7 -
dan status perkara, putusan pengadilan, dan
probabilitas risiko dari peristiwa kontinjensi yang
diungkapkan berdasarkan prinsip manajemen risiko;
(2) uraian singkat mengenai ketentuan peraturan
perundang-undangan yang mengikat dan dampaknya,
seperti masalah ketenagakerjaan; dan
(3) uraian kemungkinan kewajiban pajak tambahan yang
meliputi jenis ketetapan atau tagihan pajak, jenis
pajak, tahun pajak, jumlah pokok, denda, dan sikap
BPR terhadap ketetapan atau tagihan pajak, seperti
mengajukan keberatan, banding, dan lain-lain;
4) perkembangan terakhir standar akuntansi keuangan yang
berlaku bagi BPR dan PA BPR serta peraturan lainnya,
meliputi penjelasan mengenai standar akuntansi keuangan
yang berlaku bagi BPR dan PA BPR serta peraturan baru
yang akan diterapkan dan mempengaruhi aktivitas BPR serta
estimasi dampak penerapan standar akuntansi keuangan
yang berlaku bagi BPR dan PA BPR serta peraturan baru
tersebut;
5) reklasifikasi, terdiri dari sifat, jumlah dan alasan reklasifikasi
untuk setiap pos dalam Tahun Buku sebelum Tahun Buku
terakhir yang disajikan dalam rangka laporan keuangan
komparatif;
6) informasi penting lain, antara lain sifat, jenis, jumlah dan
dampak dari peristiwa atau keadaan tertentu yang
mempengaruhi kinerja BPR; dan
7) peristiwa setelah tanggal neraca (subsequent event), meliputi
urutan peristiwa serta jumlah moneter yang mempengaruhi
akun-akun laporan keuangan.
e. Surat Komentar (Management Letter) atas audit Laporan
Keuangan Tahunan BPR.
2. Pengungkapan sebagaimana dimaksud pada angka 1 huruf a, huruf
b, dan huruf d, berpedoman pada standar akuntansi keuangan yang
berlaku bagi BPR dan PA BPR.
- 8 -
III. LAPORAN KEUANGAN PUBLIKASI
1. Laporan Keuangan Publikasi yang diumumkan untuk laporan
keuangan posisi akhir bulan Maret, bulan Juni, bulan September,
dan bulan Desember disusun dengan mengacu pada Lampiran yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Otoritas Jasa
Keuangan ini.
2. Laporan Keuangan Publikasi merupakan gabungan dari laporan
kantor pusat BPR dan seluruh kantor cabang BPR yang
bersangkutan.
3. Mengacu pada Pasal 8 ayat (4) POJK TKK, Laporan Keuangan
Publikasi wajib disusun dan disajikan dalam bentuk perbandingan
dengan laporan pada periode yang sama tahun sebelumnya. Posisi
pembanding harus disajikan sesuai dengan format yang sama dengan
posisi Laporan Keuangan Publikasi yang diumumkan.
4. Khusus untuk perlakuan akuntansi yang baru diterapkan dalam
posisi Laporan, penyajian posisi pembanding mengacu pada pedoman
standar akuntansi keuangan mengenai kebijakan akuntansi,
perubahan estimasi akuntansi, dan kesalahan.
5. Untuk memenuhi aspek transparansi, Laporan Keuangan Publikasi
memuat pengungkapan sesuai dengan standar akuntansi keuangan
yang berlaku bagi BPR dan PA BPR.
Pengungkapan tersebut paling sedikit terdiri atas:
a. laporan keuangan yang meliputi neraca, laporan laba rugi, serta
laporan komitmen dan kontinjensi;
b.
informasi lainnya yang paling sedikit terdiri atas:
1) Kualitas Aset Produktif (KAP) untuk:
a) penempatan dana antar bank; dan
b) kredit yang diberikan, baik kepada pihak terkait maupun
pihak tidak terkait.
2) rasio keuangan, yang terdiri atas:
a) KPMM;
b) NPL (neto);
c) PPAP;
d) ROA;
e) BOPO;
- 9 -
f) Cash Ratio; dan
g) LDR.
c. susunan Direksi dan Dewan Komisaris serta komposisi
pemegang saham, termasuk pemegang saham pengendali; dan
d. kantor akuntan publik yang mengaudit dan nama akuntan
publik yang bertanggung jawab dalam audit BPR (partner in
charge), bagi BPR yang diaudit oleh akuntan publik.
6. Aplikasi Laporan Keuangan Publikasi terintegrasi dalam Aplikasi
Laporan Berkala BPR.
7. Prosedur pengoperasian aplikasi Laporan Keuangan Publikasi
berpedoman pada Petunjuk Teknis Aplikasi Laporan Berkala BPR,
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang mengatur mengenai
laporan bulanan BPR.
IV. TATA CARA PENGENAAN SANKSI ADMINISTRATIF BERUPA DENDA
1. Contoh perhitungan pengenaan sanksi administratif berupa denda
keterlambatan dan tidak menyampaikan laporan sebagai berikut:
a. Laporan Tahunan
1) BPR yang terlambat menyampaikan Laporan Tahunan
kepada Otoritas Jasa Keuangan dikenakan sanksi
administratif berupa denda sebesar Rp50.000,00 (lima puluh
ribu rupiah) per hari keterlambatan.
Contoh:
BPR wajib menyampaikan Laporan Tahunan posisi akhir
bulan Desember 2018 paling lambat pada tanggal 30 April
2019. Apabila BPR menyampaikan Laporan Tahunan
tersebut pada tanggal 10 Mei 2019, BPR dikenakan sanksi
administratif berupa denda keterlambatan selama 10
(sepuluh) hari sebesar Rp500.000,00 (lima ratus ribu
rupiah).
2) BPR yang tidak menyampaikan Laporan Tahunan kepada
Otoritas Jasa Keuangan, dikenakan sanksi administratif
berupa denda sebesar Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah).
Contoh:
BPR wajib menyampaikan Laporan Tahunan posisi akhir
bulan Desember 2018 paling lambat pada tanggal 30 April
2019. Apabila BPR menyampaikan Laporan Tahunan
- 10 -
tersebut setelah tanggal 31 Mei 2019, BPR dikenakan sanksi
administratif berupa denda sebesar Rp3.000.000,00 (tiga
juta rupiah).
3) BPR yang telah menyampaikan Laporan Tahunan, namun
penyusunan dan penyajiannya tidak sesuai dengan
peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai transparansi
kondisi keuangan BPR dikenakan sanksi administratif
berupa denda sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah)
apabila setelah diberi surat peringatan sebanyak 2 (dua) kali
oleh Otoritas Jasa Keuangan dengan tenggang waktu 2 (dua)
minggu untuk setiap surat peringatan, BPR tidak
memperbaiki dan tidak menyampaikan laporan dimaksud.
Contoh:
a) BPR menyampaikan Laporan Tahunan pada tanggal 30
April 2019, namun laporan dimaksud tidak menyajikan
perbandingan Laporan Keuangan Tahunan dengan
tahun sebelumnya dan tidak ditandatangani oleh
pejabat yang berwenang sesuai anggaran dasar. Apabila
setelah Otoritas Jasa Keuangan memberikan surat
peringatan sebanyak 2 (dua) kali dengan tenggang
waktu 2 (dua) minggu untuk setiap surat peringatan
untuk memperbaiki, namun tidak ditindaklanjuti
dengan perbaikan serta penyampaian Laporan
dimaksud, BPR yang bersangkutan dikenakan sanksi
administratif berupa denda sebesar Rp5.000.000,00
(lima juta rupiah).
b) BPR menyampaikan Laporan Tahunan pada tanggal 30
April 2019, namun laporan dimaksud tidak sesuai
dengan standar akuntansi keuangan yang berlaku bagi
BPR dan PA BPR. Apabila setelah Otoritas Jasa
Keuangan memberikan surat peringatan sebanyak 2
(dua) kali dengan tenggang waktu 2 (dua) minggu untuk
setiap surat peringatan untuk memperbaiki, namun
tidak ditindaklanjuti dengan perbaikan serta
penyampaian Laporan dimaksud, BPR yang
bersangkutan dikenakan sanksi administratif berupa
denda sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah).
- 11 -
b. Laporan Keuangan Publikasi
1) BPR yang terlambat mengumumkan Laporan Keuangan
Publikasi pada surat kabar harian lokal dan/atau
menempelkannya pada papan pengumuman atau media
lain, masing-masing dikenakan sanksi administratif berupa
denda sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) per hari
keterlambatan.
a) Untuk posisi Juni 2019, BPR wajib mengumumkan
Laporan Keuangan Publikasi paling lambat pada tanggal
31 Juli 2019. Apabila BPR mengumumkan Laporan
Keuangan Publikasi tersebut pada tanggal 7 Agustus
2019, BPR tersebut dikenakan sanksi administratif
berupa denda keterlambatan selama 7 (tujuh) hari
sebesar Rp350.000,00 (tiga ratus lima puluh ribu
rupiah).
b) Untuk posisi bulan Desember 2018, bagi BPR dengan
total aset paling sedikit Rp10.000.000.000,00 (sepuluh
miliar rupiah) wajib mengumumkan Laporan Keuangan
Publikasi pada surat kabar harian lokal dan
menempelkan pada papan pengumuman atau media
lain, paling lambat pada tanggal 30 April 2019. Apabila
BPR mengumumkan Laporan Keuangan Publikasi
tersebut pada tanggal 10 Mei 2019, BPR dikenakan
sanksi administratif berupa
denda
sebesar
Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah), dengan rincian
sebagai berikut:
(1) sanksi administratif berupa denda keterlambatan
mengumumkan pada papan pengumuman selama
10 (sepuluh) hari sebesar Rp500.000,00 (lima ratus
ribu rupiah); dan
(2) sanksi administratif berupa denda keterlambatan
mengumumkan pada surat kabar harian lokal
selama 10 (sepuluh) hari sebesar Rp500.000,00
(lima ratus ribu rupiah).
2) BPR yang tidak mengumumkan Laporan Keuangan Publikasi
pada surat kabar harian lokal dan/atau menempelkannya
pada papan pengumuman atau media lain, masing-masing
- 12 -
dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar
Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah).
Contoh:
a) Untuk posisi akhir bulan September 2018, BPR wajib
mengumumkan Laporan Keuangan Publikasi paling
lambat pada tanggal 31 Oktober 2018. Apabila BPR
mengumumkan Laporan Keuangan Publikasi tersebut
setelah tanggal 30 November 2018, BPR dikenakan
sanksi administratif berupa
Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah).
denda
sebesar
b) Untuk posisi akhir bulan Desember 2018, bagi BPR
dengan total aset paling sedikit Rp10.000.000.000,00
(sepuluh miliar rupiah) wajib mengumumkan Laporan
Keuangan Publikasi pada surat kabar harian lokal dan
papan pengumuman atau media lainnya, paling lambat
tanggal 30 April 2019. Apabila BPR mengumumkan
Laporan Keuangan Publikasi tersebut setelah tanggal 31
Mei 2019, BPR tersebut dikenakan sanksi administratif
berupa denda sebesar Rp6.000.000,00 (enam juta
rupiah), dengan rincian sebagai berikut:
(1) sanksi administratif berupa
denda
tidak
mengumumkan pada papan pengumuman sebesar
Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah); dan
(2) sanksi administratif berupa
denda
tidak
mengumumkan pada surat kabar harian lokal
sebesar Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah).
3) BPR yang terlambat menyampaikan bukti pengumuman
dan/atau rekaman data Laporan Keuangan Publikasi,
masing-masing dikenakan sanksi administratif berupa
denda sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) per hari
keterlambatan.
Contoh:
a) Untuk posisi akhir bulan September 2018, BPR wajib
menyampaikan guntingan halaman surat kabar harian
lokal dan/atau bukti pengumuman Laporan Keuangan
Publikasi pada papan pengumuman atau media lainnya
serta menyampaikan rekaman data paling lambat
- 13 -
tanggal 14 November 2018. Apabila BPR menyampaikan
bukti pengumuman Laporan Keuangan Publikasi atau
guntingan surat kabar dan rekaman data tanggal 21
November 2018, BPR tersebut dikenakan sanksi
administratif berupa denda keterlambatan selama 7
(tujuh) hari sebesar Rp700.000,00 (tujuh ratus ribu
rupiah), dengan rincian sebagai berikut:
(1) sanksi administratif berupa denda keterlambatan
penyampaian bukti pengumuman Laporan
Keuangan Publikasi selama 7 (tujuh) hari sebesar
Rp350.000,00 (tiga ratus lima puluh ribu rupiah);
dan
(2) sanksi administratif berupa denda keterlambatan
menyampaikan rekaman data selama 7 (tujuh) hari
sebesar Rp350.000,00 (tiga ratus lima puluh ribu
rupiah).
b) Untuk posisi akhir bulan Desember 2018, bagi BPR
dengan total aset paling sedikit Rp10.000.000.000,00
(sepuluh miliar rupiah) wajib menyampaikan guntingan
halaman surat kabar harian lokal dan bukti
pengumuman Laporan Keuangan Publikasi pada papan
pengumuman atau media lainnya serta menyampaikan
rekaman data, paling lambat tanggal 14 Mei 2019.
Apabila BPR menyampaikan guntingan halaman surat
kabar harian lokal, bukti pengumuman Laporan
Keuangan Publikasi pada papan pengumuman atau
media lain serta menyampaikan rekaman data tersebut
pada tanggal 24 Mei 2019, BPR dikenakan sanksi
administratif berupa denda keterlambatan selama 10
(sepuluh) hari sebesar Rp1.500.000,00 (satu juta lima
ratus ribu rupiah), dengan rincian sebagai berikut:
(1) sanksi administratif berupa denda keterlambatan
penyampaian guntingan halaman surat kabar
selama 10 hari senilai Rp500.000,00 (lima ratus
ribu rupiah);
(2) sanksi administratif berupa denda keterlambatan
penyampaian bukti pengumuman Laporan
- 14 -
Keuangan Publikasi selama 10 hari senilai
Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah); dan
(3) sanksi administratif berupa denda keterlambatan
menyampaikan rekaman data selama 10 hari
senilai Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).
c) BPR yang tidak menyampaikan bukti pengumuman
dan/atau rekaman data Laporan Keuangan Publikasi,
masing-masing dikenakan sanksi administratif berupa
denda sebesar Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah).
Contoh:
(1) Untuk posisi bulan September 2018, BPR wajib
menyampaikan guntingan halaman surat kabar
harian lokal atau bukti pengumuman Laporan
Keuangan Publikasi pada papan pengumuman atau
media lain serta menyampaikan rekaman data,
paling lambat tanggal 14 November 2018. Apabila
BPR menyampaikan guntingan halaman surat
kabar harian lokal atau bukti pengumuman
Laporan Keuangan Publikasi pada papan
pengumuman atau media lain serta menyampaikan
rekaman data setelah tanggal 14 Desember 2018,
BPR tersebut dikenakan sanksi administratif
berupa denda tidak menyampaikan guntingan
halaman surat kabar harian lokal atau bukti
pengumuman Laporan Keuangan Publikasi pada
papan pengumuman atau media lain serta
menyampaikan rekaman data
senilai
Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah), dengan rincian
sebagai berikut:
(a) sanksi administratif berupa denda tidak
menyampaikan bukti pengumuman Laporan
Keuangan Publikasi senilai Rp3.000.000,00
(tiga juta rupiah); dan
(b) sanksi administratif berupa denda tidak
menyampaikan rekaman data senilai
Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah).
- 15 -
(2) Untuk posisi akhir bulan Desember 2018, bagi BPR
dengan total
aset
paling sedikit
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) wajib
menyampaikan bukti pengumuman Laporan
Keuangan Publikasi paling lambat tanggal 14 Mei
2019. Apabila BPR menyampaikan bukti
pengumuman Laporan Keuangan Publikasi,
guntingan halaman surat kabar, dan rekaman
data setelah tanggal 14 Juni 2019, BPR tersebut
dikenakan sanksi administratif berupa denda
sebesar Rp9.000.000,00 (sembilan juta rupiah),
dengan rincian sebagai berikut:
(a) sanksi administratif berupa denda tidak
menyampaikan bukti pengumuman Laporan
Keuangan Publikasi sebesar Rp3.000.000,00
(tiga juta rupiah);
(b) sanksi administratif berupa denda tidak
menyampaikan guntingan halaman surat kabar
sebesar Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah); dan
(c) sanksi administratif berupa denda tidak
menyampaikan rekaman data sebesar
Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah).
V. ALAMAT PENYAMPAIAN LAPORAN
1. Laporan Tahunan dan bukti pengumuman Laporan Keuangan
Publikasi disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan u.p. Kantor
Regional atau Kantor Otoritas Jasa Keuangan yang membawahkan
wilayah kantor pusat BPR.
2. Laporan Keuangan Publikasi secara daring (online) disampaikan
sesuai format dan ketentuan yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa
Keuangan melalui sistem pelaporan Otoritas Jasa Keuangan.
3. Dalam hal penyampaian laporan melalui sistem pelaporan Otoritas
Jasa Keuangan belum dapat dilakukan, BPR pelapor menyampaikan
laporan secara daring (online) melalui Aplikasi Laporan Berkala BPR
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang mengatur mengenai
laporan bulanan BPR.
- 16 -
4. Dalam hal laporan disampaikan secara luring (offline) dalam bentuk
rekaman data berupa compact disc atau media perekam data
elektronik lain, laporan disampaikan kepada:
a. Otoritas Jasa Keuangan u.p. Kantor Regional atau Kantor
Otoritas Jasa Keuangan yang membawahkan wilayah kantor
pusat BPR; atau
b. Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang
mengatur mengenai laporan bulanan BPR dengan tembusan
kepada Otoritas Jasa Keuangan, dalam hal penyampaian
laporan melalui sistem pelaporan Otoritas Jasa Keuangan belum
dapat dilakukan.
VI. TATA CARA PEMBAYARAN SANKSI ADMINISTRATIF BERUPA DENDA
Pembayaran sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud
dalam Bab VI POJK TKK BPR mengacu pada Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan mengenai tata cara penagihan sanksi administratif berupa
denda di sektor jasa keuangan. Dalam hal penyampaian laporan secara
daring (online) melalui sistem pelaporan Otoritas Jasa Keuangan belum
dapat dilakukan, pembayaran sanksi administratif berupa denda atas
keterlambatan dan/atau tidak menyampaikan rekaman data Laporan
Keuangan Publikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 POJK TKK
BPR mengacu pada ketentuan yang mengatur mengenai laporan bulanan
BPR.
- 17 -
VII. PENUTUP
Pada saat Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, Surat
Edaran Bank Indonesia Nomor 15/29/DKBU perihal Laporan Keuangan
Tahunan dan Laporan Keuangan Publikasi Bank Perkreditan Rakyat dan
Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 15/43/DPNP perihal Perubahan atas
Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 15/29/DKBU perihal Laporan
Keuangan Tahunan dan Laporan Keuangan Publikasi Bank Perkreditan
Rakyat dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Ketentuan dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku
pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 19 Juli 2017
KEPALA EKSEKUTIF PENGAWAS PERBANKAN
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
NELSON TAMPUBOLON
Salinan ini sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
"," SEOJK
39/SEOJK.03/2017
LAPORAN TAHUNAN DAN LAPORAN KEUANGAN PUBLIKASI BANK PERKREDITAN RAKYAT
19 Juli 2017
19 Juli 2017
'15/29/DKBU|SE-BI', '15/43/DPNP|SE-BI'
'48/POJK.03/2017'
'Romawi IV'
"
" Yth.
1. Direksi Perusahaan Pembiayaan Syariah; dan
2. Direksi Perusahaan Pembiayaan yang mempunyai Unit Usaha Syariah,
di tempat.
SALINAN
SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 48 /SEOJK.05/2016
TENTANG
BESARAN UANG MUKA (DOWN PAYMENT/URBUN)
PEMBIAYAAN KENDARAAN BERMOTOR
UNTUK PEMBIAYAAN SYARIAH
Sehubungan dengan amanat ketentuan Pasal 12 ayat (3) Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan Nomor 31/POJK.05/2014 tentang Penyelenggaraan
Usaha Pembiayaan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014
Nomor 366, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5640) dan
dalam rangka mendorong pertumbuhan industri pembiayaan, perlu melakukan
penyempurnaan atas pengaturan mengenai ketentuan besaran uang muka
(down payment/urbun) pembiayaan kendaraan bermotor untuk pembiayaan
syariah dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan sebagai berikut:
I. KETENTUAN UMUM
Dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan:
1. Perusahaan Pembiayaan adalah badan usaha yang melakukan
kegiatan pembiayaan untuk pengadaan barang dan/atau jasa.
2. Perusahaan Pembiayaan Syariah adalah Perusahaan Pembiayaan yang
seluruh kegiatan usahanya melakukan pembiayaan syariah.
3. Pembiayaan Syariah adalah penyaluran pembiayaan yang dilakukan
berdasarkan prinsip syariah.
4. Prinsip Syariah adalah ketentuan hukum Islam berdasarkan fatwa
dan/atau pernyataan kesesuaian syariah dari Dewan Syariah Nasional
Majelis Ulama Indonesia.
- 2 -
5. Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disingkat UUS adalah unit kerja
dari kantor pusat Perusahaan Pembiayaan yang berfungsi sebagai
kantor induk dari kantor yang melaksanakan Pembiayaan Syariah.
6. Perusahaan Syariah adalah Perusahaan Pembiayaan Syariah dan
UUS.
7. Pembiayaan Jual Beli adalah pembiayaan dalam bentuk penyediaan
barang melalui transaksi jual beli sesuai dengan perjanjian
pembiayaan syariah yang disepakati oleh para pihak.
8. Perjanjian Pembiayaan Syariah adalah kesepakatan tertulis antara
Perusahaan Syariah dengan pihak lain yang memuat adanya hak dan
kewajiban bagi masing-masing pihak sesuai dengan Prinsip Syariah.
9. Uang Muka (Down Payment/Urbun) Pembiayaan Kendaraan Bermotor
adalah pembayaran di muka atau uang muka secara tunai yang
sumber dananya berasal dari konsumen (self financing) dalam rangka
Pembiayaan Jual Beli untuk kendaraan bermotor.
10. Konsumen adalah perusahaan atau orang perseorangan yang
melakukan Perjanjian Pembiayaan Syariah dengan Perusahaan
Syariah terkait dengan kegiatan usaha Perusahaan Syariah.
11. Aset Produktif Bermasalah adalah aset produktif dengan kualitas
kurang lancar, diragukan, dan/atau macet atas Pembiayaan Jual Beli
untuk kendaraan bermotor, setelah memperhitungkan cadangan
penyisihan penghapusan aset produktif.
12. Rasio Aset Produktif Bermasalah adalah perbandingan antara Aset
Produktif Bermasalah dengan total aset produktif atas Pembiayaan
Jual Beli untuk kendaraan bermotor.
II. BESARAN UANG MUKA (DOWN PAYMENT/URBUN) PEMBIAYAAN
KENDARAAN BERMOTOR BAGI PERUSAHAAN SYARIAH
1. Perusahaan Syariah yang mempunyai nilai Rasio Aset Produktif
Bermasalah lebih rendah atau sama dengan 1% (satu persen) wajib
menerapkan ketentuan besaran Uang Muka (Down Payment/Urbun)
Pembiayaan Kendaraan Bermotor kepada Konsumen, dengan
ketentuan:
a. bagi kendaraan bermotor roda dua atau tiga, paling rendah 5%
(lima persen) dari harga jual kendaraan yang bersangkutan;
- 3 -
b. bagi kendaraan bermotor roda empat atau lebih yang digunakan
untuk tujuan produktif, paling rendah 5% (lima persen) dari harga
jual kendaraan yang bersangkutan; atau
c.
bagi kendaraan bermotor roda empat atau lebih yang digunakan
untuk tujuan non-produktif, paling rendah 5% (lima persen) dari
harga jual kendaraan yang bersangkutan.
2. Perusahaan Syariah yang mempunyai nilai Rasio Aset Produktif
Bermasalah lebih tinggi dari 1% (satu persen) dan lebih rendah atau
sama dengan 3% (tiga persen) wajib menerapkan ketentuan besaran
Uang Muka (Down Payment/Urbun) Pembiayaan Kendaraan Bermotor
kepada Konsumen, dengan ketentuan:
a. bagi kendaraan bermotor roda dua atau tiga, paling rendah 5%
(lima persen) dari harga jual kendaraan yang bersangkutan;
b. bagi kendaraan bermotor roda empat atau lebih yang digunakan
untuk tujuan produktif, paling rendah 5% (lima persen) dari harga
jual kendaraan yang bersangkutan; atau
c.
bagi kendaraan bermotor roda empat atau lebih yang digunakan
untuk tujuan non-produktif, paling rendah 10% (sepuluh persen)
dari harga jual kendaraan yang bersangkutan.
3. Perusahaan Syariah yang mempunyai nilai Rasio Aset Produktif
Bermasalah lebih tinggi dari 3% (tiga persen) dan lebih rendah atau
sama dengan 5% (lima persen) wajib menerapkan ketentuan besaran
Uang Muka (Down Payment/Urbun) Pembiayaan Kendaraan Bermotor
kepada Konsumen, dengan ketentuan:
a. bagi kendaraan bermotor roda dua atau tiga, paling rendah
10% (sepuluh persen) dari harga jual kendaraan yang
bersangkutan;
b. bagi kendaraan bermotor roda empat atau lebih yang digunakan
untuk tujuan produktif, paling rendah 10% (sepuluh persen) dari
harga jual kendaraan yang bersangkutan; atau
c.
bagi kendaraan bermotor roda empat atau lebih yang digunakan
untuk tujuan non-produktif, paling rendah 15% (lima belas
persen) dari harga jual kendaraan yang bersangkutan.
4. Perusahaan Syariah yang mempunyai nilai Rasio Aset Produktif
Bermasalah lebih
tinggi
dari 5% (lima
persen)
wajib
menerapkan ketentuan besaran Uang Muka (Down Payment/Urbun)
- 4 -
Pembiayaan Kendaraan Bermotor kepada Konsumen, dengan
ketentuan:
a. bagi kendaraan bermotor roda dua atau tiga, paling rendah
15% (lima belas persen) dari harga jual kendaraan yang
bersangkutan;
b. bagi kendaraan bermotor roda empat atau lebih yang digunakan
untuk tujuan produktif, paling rendah 20% (dua puluh persen)
dari harga jual kendaraan yang bersangkutan; atau
c.
bagi kendaraan bermotor roda empat atau lebih yang digunakan
untuk tujuan non-produktif, paling rendah 25% (dua puluh lima
persen) dari harga jual kendaraan yang bersangkutan.
5. Pembiayaan kendaraan bermotor yang diberikan Perusahaan Syariah
kepada Konsumen dalam rangka program kepemilikan kendaraan
bermotor (car ownership program) dengan korporasi lain tidak wajib
menerapkan ketentuan besaran Uang Muka (Down Payment/Urbun)
Pembiayaan Kendaraan Bermotor kepada Konsumen sebagaimana
diatur pada butir 1 sampai dengan butir 4.
6. Program kepemilikan kendaraan bermotor (car ownership program)
sebagaimana dimaksud pada butir 5 harus dituangkan dalam
perjanjian kerja sama antara Perusahaan Syariah dengan korporasi
lain tersebut yang dapat memberikan kepastian tertagihnya piutang
Pembiayaan Syariah yang telah diberikan.
7. Kepastian tertagihnya piutang Pembiayaan Syariah yang telah
diberikan sebagaimana dimaksud pada butir 6 dapat berupa adanya:
a. pembayaran angsuran melalui mekanisme pemotongan gaji dari
pegawai korporasi yang bersangkutan; dan
b. penjaminan atas piutang Pembiayaan Syariah.
8. Yang dimaksud dengan penjaminan atas piutang Pembiayaan Syariah
sebagaimana dimaksud pada butir 7 huruf b adalah berupa:
a. penjaminan syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat
(2) huruf a Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
31/POJK.05/2014 tentang Penyelenggaraan Usaha Pembiayaan
Syariah; dan/atau
b. penjaminan atas piutang Pembiayaan Syariah dari korporasi yang
bersangkutan.
- 5 -
III. JANGKA WAKTU PEMBERLAKUAN BESARAN UANG MUKA (DOWN
PAYMENT/URBUN) PEMBIAYAAN KENDARAAN BERMOTOR
1. Penerapan besaran Uang Muka (Down Payment/Urbun) Pembiayaan
Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud dalam angka romawi II
dihitung berdasarkan laporan bulanan per 30 Juni dan 31 Desember.
2. Penerapan besaran Uang Muka (Down Payment/Urbun) Pembiayaan
Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud dalam angka romawi II
mulai berlaku pada tanggal 1 Agustus atau 1 Februari untuk jangka
waktu 6 (enam) bulan berikutnya.
Contoh:
Apabila berdasarkan laporan bulanan Perusahaan Syariah per 30 Juni
2017 Perusahaan Syariah memiliki nilai Rasio Aset Produktif
Bermasalah lebih tinggi dari 5% (lima persen), maka Perusahaan
Syariah tersebut mengenakan ketentuan besaran Uang Muka (Down
Payment/Urbun) Pembiayaan Kendaraan Bermotor sebagaimana
dimaksud dalam angka romawi II butir 4. Penerapan besaran Uang
Muka (Down Payment/Urbun) Pembiayaan Kendaraan Bermotor
dimaksud berlaku mulai tanggal 1 Agustus 2017 sampai dengan 31
Januari 2018.
Apabila berdasarkan laporan bulanan Perusahaan Syariah per 31
Desember 2017 Perusahaan Syariah memiliki nilai Rasio Aset
Produktif Bermasalah Perusahaan Syariah sebesar 4,5% (empat koma
lima persen), maka Perusahaan Syariah tersebut mengenakan
ketentuan besaran Uang Muka (Down Payment/Urbun) Pembiayaan
Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud dalam angka romawi II
butir 3. Penerapan besaran Uang Muka (Down Payment/Urbun)
Pembiayaan Kendaraan Bermotor dimaksud berlaku mulai tanggal 1
Februari 2018 sampai dengan 31 Juli 2018.
Apabila berdasarkan laporan bulanan Perusahaan Syariah per 30 Juni
2018 Perusahaan Syariah nilai Rasio Aset Produktif Bermasalah
Perusahaan Syariah sebesar dari 1,5% (satu koma lima persen), maka
Perusahaan Syariah tersebut mengenakan ketentuan besaran Uang
Muka (Down Payment/Urbun) Pembiayaan Kendaraan Bermotor
sebagaimana dimaksud dalam angka romawi II butir 2. Penerapan
besaran Uang Muka (Down Payment/Urbun) Pembiayaan Kendaraan
Bermotor dimaksud berlaku mulai tanggal 1 Agustus 2018 sampai
dengan 31 Januari 2019.
- 6 -
IV. TATA CARA PERHITUNGAN BESARAN UANG MUKA (DOWN
PAYMENT/URBUN) PEMBIAYAAN KENDARAAN BERMOTOR
1. Perhitungan besaran Uang Muka (Down Payment/Urbun) Pembiayaan
Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud dalam angka romawi II
dilakukan terhadap harga jual kendaraan setelah dikurangi potongan
harga (discount) dan potongan lainnya.
Contoh:
Harga kendaraan: Rp10.000.000,00
Potongan harga (discount) dan potongan lainnya yang diberikan:
Rp500.000,00
Harga jual kendaraan: Rp10.000.000,00 – Rp500.000,00 =
Rp9.500.000,00
Bagi Perusahaan Pembiayaan yang memenuhi kriteria sebagaimana
dimaksud dalam angka romawi II butir 3, Uang Muka (Down
Payment/Urbun) Pembiayaan Kendaraan Bermotor yang harus
dikenakan dan dibayar tunai sekaligus adalah 10% x Rp9.500.000,00
= Rp950.000,00
2. Perhitungan besaran Uang Muka (Down Payment/Urbun) Pembiayaan
Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud dalam angka romawi II
tidak termasuk angsuran pertama, biaya survei, provisi, asuransi,
penjaminan, fidusia, notaris, atau biaya lainnya.
Contoh 1 (Biaya asuransi, penjaminan, atau biaya lainnya yang
dibayar tunai oleh Konsumen):
Harga kendaraan: Rp10.000.000,00
Potongan harga (discount) dan potongan lainnya yang diberikan:
Rp500.000,00
Biaya asuransi, penjaminan, atau biaya lainnya yang dibayarkan oleh
Konsumen secara tunai: Rp1.000.000,00
Harga jual kendaraan: Rp10.000.000,00 – Rp500.000,00 =
Rp9.500.000,00
Bagi Perusahaan Pembiayaan yang memenuhi kriteria sebagaimana
dimaksud dalam angka romawi II butir 3, Uang Muka (Down
Payment/Urbun) Pembiayaan Kendaraan Bermotor yang harus
dikenakan dan dibayar tunai sekaligus adalah 10% x Rp9.500.000,00
= Rp950.000,00
- 7 -
Biaya yang dibayar oleh Konsumen secara tunai sekaligus (bila biaya
asuransi, penjaminan, atau biaya lainnya yang dibayar tunai oleh
Konsumen) = uang muka (Rp950.000,00) + biaya asuransi,
penjaminan, atau biaya lainnya (Rp1.000.000,00) = Rp1.950.000,00
Total pembiayaan oleh Perusahaan Pembiayaan kepada Konsumen =
harga jual kendaraan (Rp9.500.000,00) – uang muka (Rp950.000,00)
= Rp8.550.000,00
Contoh 2 (biaya asuransi, penjaminan atau biaya lainnya tidak dibayar
tunai (angsuran) oleh Konsumen):
Harga kendaraan: Rp10.000.000,00
Potongan harga (discount) dan potongan lainnya yang diberikan:
Rp500.000,00
Biaya asuransi, penjaminan, atau biaya lainnya: Rp1.000.000,00
Harga jual kendaraan: Rp10.000.000,00 – Rp500.000,00 =
Rp9.500.000,00
Uang Muka (Down Payment/Urbun) Pembiayaan Kendaraan Bermotor
yang harus dikenakan adalah 10% x Rp9.500.000,00 = Rp950.000,00
Dengan demikian, biaya yang dibayar oleh Konsumen bila biaya
asuransi/penjaminan atau biaya lainnya tidak dibayar tunai oleh
Konsumen atau dibayar secara angsuran = uang muka (Rp950.000,00)
Total Pembiayaan oleh Perusahaan Pembiayaan kepada Konsumen =
biaya asuransi/penjaminan atau biaya lainnya (Rp1.000.000,00) +
harga pembiayaan kendaraan bermotor (Rp8.550.000,00) =
Rp9.550.000,00
3. Biaya insentif yang diberikan oleh Perusahaan Syariah kepada pihak
ketiga terkait akuisisi Pembiayaan Syariah tidak dapat diperhitungkan
dalam perhitungan besaran Uang Muka (Down Payment/Urbun)
Pembiayaan Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud dalam
angka romawi II.
V. PENEGAKAN KEPATUHAN DAN SANKSI
Perusahaan Syariah yang tidak memenuhi ketentuan besaran Uang Muka
(Down Payment/Urbun) Pembiayaan Kendaraan Bermotor sebagaimana
dimaksud dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini dikenakan
ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 55 dan Pasal 57 Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan Nomor 31/POJK.05/2014 tentang
Penyelenggaraan Usaha Pembiayaan Syariah.
- 8 -
VI. PENUTUP
1. Ketentuan dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini mulai
berlaku pada tanggal ditetapkan.
2. Dengan ditetapkannya Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini,
maka Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor
20/SEOJK.05/2015 tentang Besaran Uang Muka (Down
Payment/Urbun) Pembiayaan Kendaraan Bermotor untuk Pembiayaan
Syariah, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 13 Desember 2016
KEPALA EKSEKUTIF PENGAWAS
PERASURANSIAN, DANA PENSIUN,
LEMBAGA PEMBIAYAAN, DAN
LEMBAGA JASA KEUANGAN LAINNYA
OTORITAS JASA KEUANGAN,
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
ttd
FIRDAUS DJAELANI
"," SEOJK
48/SEOJK.05/2016
BESARAN UANG MUKA (DOWN PAYMENT/URBUN) PEMBIAYAAN KENDARAAN BERMOTOR UNTUK PEMBIAYAAN SYARIAH
13 Desember 2016
13 Desember 2016
'20/SEOJK.05/2015'
'31/POJK.05/2014 | Pasal 12 ayat (3)'
"
" Yth.
Penyelenggara Inovasi Keuangan Digital
di tempat.
SALINAN
SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 22 /SEOJK.02/2019
TENTANG
PENUNJUKAN ASOSIASI PENYELENGGARA INOVASI KEUANGAN DIGITAL
Dalam rangka pelaksanaan ketentuan Pasal 21 Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan Nomor 13/POJK.02/2018 tentang Inovasi Keuangan Digital di
Sektor Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018
Nomor 135, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6238),
perlu mengatur mengenai penunjukan terhadap asosiasi Penyelenggara Inovasi
Keuangan Digital dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan sebagai berikut:
I. KETENTUAN UMUM
Dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini, yang dimaksud dengan:
1.
Inovasi Keuangan Digital yang selanjutnya disingkat IKD adalah
aktivitas pembaruan proses bisnis, model bisnis, dan instrumen
keuangan yang memberikan nilai tambah baru di sektor jasa
keuangan dengan melibatkan ekosistem digital.
2. Penyelenggara adalah setiap pihak yang menyelenggarakan IKD.
3. Asosiasi Penyelenggara Inovasi Keuangan Digital, yang selanjutnya
disebut Asosiasi Penyelenggara IKD, adalah badan hukum berbentuk
perkumpulan yang beranggotakan Penyelenggara IKD.
4. Anggota Asosiasi Penyelenggara IKD, yang selanjutnya disebut
Anggota adalah Penyelenggara IKD yang telah tercatat atau terdaftar
di Otoritas Jasa Keuangan dan mempunyai hak dan kewajiban sesuai
dengan anggaran dasar, anggaran rumah tangga, dan peraturan
internal Asosiasi Penyelenggara IKD.
-2-
II. PERSYARATAN ASOSIASI PENYELENGGARA INOVASI KEUANGAN
DIGITAL UNTUK MENDAPAT PENUNJUKAN DARI OTORITAS JASA
KEUANGAN
Untuk mendapat penunjukan Otoritas Jasa Keuangan, Asosiasi
Penyelenggara IKD memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1. telah mendapatkan pengesahan sebagai badan hukum perkumpulan
dari instansi Pemerintah yang berwenang;
2. memiliki kelengkapan organisasi, peraturan keanggotaan dan
database Anggota, serta rencana kegiatan Asosiasi Penyelenggara IKD;
dan
3. memiliki atau menguasai sarana dan prasarana yang memadai.
III. TATA CARA PERMOHONAN PENUNJUKAN ASOSIASI PENYELENGGARA
INOVASI KEUANGAN DIGITAL
1. Permohonan untuk mendapat penunjukan sebagai Asosiasi
Penyelenggara IKD diajukan oleh pemohon dalam bentuk dokumen
cetak kepada Otoritas Jasa Keuangan sesuai format permohonan
tercantum dalam Lampiran 1 yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini, dengan
dilengkapi dokumen dalam format digital yang disimpan dalam media
penyimpanan digital (flash disk) atau lainnya.
2. Permohonan untuk mendapat penunjukan sebagai Asosiasi
Penyelenggara IKD sebagaimana dimaksud dalam angka 1 harus
disertai kelengkapan dokumen sebagai berikut:
a. fotokopi dokumen pengesahan Asosiasi Penyelenggara IKD
sebagai badan hukum berbentuk perkumpulan dari instansi
Pemerintah yang berwenang, berikut perubahan anggaran dasar
terakhir yang telah memperoleh persetujuan atau telah
diterbitkan surat penerimaan pemberitahuan perubahan
anggaran dasar dari instansi yang berwenang (jika ada);
b. salinan kode etik Asosiasi Penyelenggara IKD;
c. salinan pedoman perilaku (code of conduct) model bisnis masing-
masing Anggota (jika ada);
d. kelengkapan organisasi Asosiasi Penyelenggara IKD yang
dilengkapi dengan dokumen:
1) struktur organisasi dan susunan pengurus sebagai berikut:
a) daftar riwayat hidup terbaru yang telah ditandatangani;
-3-
b) fotokopi Kartu Tanda Penduduk atau Paspor yang masih
berlaku;
c) pasfoto berwarna terbaru ukuran 4x6 cm dengan latar
belakang berwarna merah sebanyak 1 (satu) lembar;
dan
d) pernyataan integritas sesuai dengan format Surat
Pernyataan Integritas tercantum dalam Lampiran 2
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat
Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini;
2) struktur komite kerja Asosiasi Penyelenggara IKD yang
bertanggung jawab paling sedikit atas fungsi:
a) inovasi model bisnis;
b) pengawasan pasar;
c) pengawasan etik dan sanksi; dan
d) tata kelola dan audit;
3) standar prosedur operasional dan pengawasan berbasis
disiplin pasar, paling sedikit meliputi:
a) penanganan keluhan dan penerusan laporan;
b) penyusunan statistik keuangan dan pemantauan risiko
serta penelitian tentang isu keuangan makro dan mikro;
c) pemantauan kinerja Anggota, penetapan mekanisme
pengaturan diri dan sanksi atas pelanggaran Anggota
terhadap aturan dan kode etik;
d) pelaksanaan pengawasan pasar; dan
e) pelaksanaan edukasi dan perlindungan konsumen serta
kerja sama domestik dan internasional;
4) dokumen terkait sistem pengendalian internal yang
memadai, paling sedikit memuat:
a) pengawasan terhadap risiko benturan kepentingan
dalam pelaksanaan tugas dan fungsi Asosiasi
Penyelenggara IKD;
b) pengawasan terhadap Anggota dalam menjalankan kode
etik; dan
c) pengawasan dalam rangka pelaksanaan evaluasi secara
berkala dan berkesinambungan atas pelaksanaan
kegiatan Asosiasi Penyelenggara IKD;
-4-
e. salinan peraturan keanggotaan Asosiasi Penyelenggara IKD,
paling sedikit memuat:
1) persyaratan dan prosedur penerimaan dan pemberhentian
Anggota;
2) hak dan kewajiban Anggota;
3) kepengurusan dan keanggotaan Asosiasi Penyelenggara IKD;
4) pendanaan kegiatan Asosiasi Penyelenggara IKD;
5) biaya keanggotaan;
6) sanksi; dan
7) prosedur pengajuan keberatan Anggota kepada Asosiasi
Penyelenggara IKD atas sanksi yang ditetapkan oleh Asosiasi
Penyelenggara IKD;
f. dokumen terkait database Anggota, yang paling sedikit memuat:
1) nama Penyelenggara IKD;
2) alamat kantor pusat, alamat kantor di lokasi lain selain
kantor pusat, dan nomor telepon;
3) model bisnis Penyelenggara IKD; dan
4) nomor tanda tercatat dan/atau terdaftar Penyelenggara IKD;
g. rencana kegiatan Asosiasi Penyelenggara IKD yang sejalan dengan
fungsi komite kerja yang dimiliki sebagaimana dimaksud dalam
angka 2 huruf d butir 2);
h. surat keterangan domisili dari pengelola gedung atau instansi
berwenang;
i.
j.
salinan bukti kepemilikan atau perjanjian sewa atas kantor
Asosiasi Penyelenggara IKD;
bukti keberadaan pusat data dan pusat pemulihan bencana;
k. daftar sarana penunjang lainnya seperti komputer, telepon, email,
dan situs web dengan nama domain Indonesia yang berisi
informasi umum Asosiasi Penyelenggara IKD yang dapat diakses
masyarakat; dan
l.
daftar nama pegawai selain pengurus disertai fungsinya (jika ada).
3. Dalam rangka menilai kesiapan pemohon sebagai Asosiasi
Penyelenggara IKD, Otoritas Jasa Keuangan berwenang:
a. melakukan pemeriksaan di kantor Asosiasi Penyelenggara IKD;
b. meminta Asosiasi Penyelenggara IKD untuk memaparkan rencana
kegiatan operasional Asosiasi Penyelenggara IKD; dan/atau
c. meminta data dan informasi yang dibutuhkan.
-5-
4. Dalam hal permohonan untuk mendapat penunjukan sebagai Asosiasi
Penyelenggara IKD pada saat diterima tidak memenuhi syarat, Otoritas
Jasa Keuangan memberikan surat pemberitahuan kepada pemohon
yang menyatakan bahwa permohonan belum memenuhi persyaratan.
5. Dalam hal permohonan untuk mendapat penunjukan sebagai Asosiasi
Penyelenggara IKD belum memenuhi persyaratan, pemohon wajib
melengkapi kekurangan yang dipersyaratkan paling lambat 20 (dua
puluh) hari kerja setelah tanggal surat pemberitahuan.
6. Otoritas Jasa Keuangan melakukan proses permohonan penunjukan
sebagai Asosiasi Penyelenggara IKD setelah menerima dokumen secara
lengkap termasuk perubahan dokumen.
7. Pemohon yang tidak melengkapi kekurangan yang dipersyaratkan
dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam angka 5 dianggap
membatalkan permohonan.
8. Surat penunjukan diberikan paling lambat 21 (dua puluh satu) hari
kerja setelah dokumen dinyatakan lengkap.
9. Setelah Otoritas Jasa Keuangan melakukan penelaahan atas
permohonan penunjukan Asosiasi Penyelenggara IKD dan dinyatakan
memenuhi syarat maka penunjukan Asosiasi Penyelenggara IKD
disampaikan melalui surat penetapan yang ditandatangani oleh
anggota Dewan Komisioner yang membawahi Inovasi Keuangan
Digital.
IV. TUGAS, WEWENANG, DAN LARANGAN ASOSIASI PENYELENGGARA
INOVASI KEUANGAN DIGITAL
1. Tugas Asosiasi Penyelenggara IKD
Asosiasi Penyelenggara IKD yang telah mendapat penunjukan dari
Otoritas Jasa Keuangan mempunyai tugas sebagai berikut:
a. merumuskan aturan operasi sesuai dengan masing-masing model
bisnis IKD;
b. menyusun standar industri secara umum dan secara spesifik
untuk masing-masing model bisnis;
c. menyusun strategi dan pengembangan sumber daya manusia;
d. menyusun strategi dan pengembangan ekosistem IKD;
e. menerima dan meneruskan laporan serta menerima keluhan;
f. menyusun statistik keuangan dan pemantauan risiko serta
penelitian tentang isu makro dan mikro keuangan;
-6-
g. melakukan pembaharuan database Anggota jika terdapat
perubahan data Anggota;
h. menjadi penghubung antara Otoritas Jasa Keuangan dan Anggota
untuk meningkatkan dukungan pengaturan dan pertukaran
informasi;
i. melaksanakan pendidikan, pelatihan, edukasi dan perlindungan
konsumen serta kerja sama domestik dan internasional;
j. melakukan pemantauan kinerja Anggota dan pengawasan pasar;
k. menyusun evaluasi secara berkala setiap 6 (enam) bulan sekali
terhadap kegiatan operasional Asosiasi Penyelenggara IKD; dan
l. melakukan pengkinian data setiap terdapat perubahan antara
lain anggaran dasar, alamat kantor, atau data lainnya yang
disampaikan pada saat pengajuan pendaftaran Asosiasi kepada
Otoritas Jasa Keuangan.
2. Kewenangan Asosiasi Penyelenggara IKD
Asosiasi Penyelenggara IKD yang telah mendapat penunjukan dari
Otoritas Jasa Keuangan mempunyai wewenang sebagai berikut:
a. menetapkan mekanisme pengaturan diri dan sanksi atas
pelanggaran Anggota terhadap aturan dan kode etik;
b. menetapkan peraturan keanggotaan Asosiasi Penyelenggara IKD;
c. menegakkan kode etik bagi Anggota dan peraturan keanggotaan
Asosiasi Penyelenggara IKD;
d. memastikan status pencatatan atau pendaftaran Penyelenggara
IKD di Otoritas Jasa Keuangan sejalan dengan status
keanggotaan Penyelenggara IKD pada Asosiasi; dan
e. menetapkan hal lain yang menunjang kegiatan operasional
Asosiasi Penyelenggara IKD.
3. Larangan Asosiasi Penyelenggara IKD
Asosiasi Penyelenggara IKD yang telah mendapat penunjukan dari
Otoritas Jasa Keuangan dilarang:
a. memberikan perlakuan yang berbeda pada Anggota; dan/atau
b. melakukan tindakan yang bertentangan dengan tugas dan
kewenangannya sebagaimana dimaksud dalam Surat Edaran
Otoritas Jasa Keuangan ini, anggaran dasar, anggaran rumah
tangga, dan peraturan internal Asosiasi Penyelenggara IKD.
-7-
V. SUMBER PENDANAAN
1. Dalam rangka menunjang kegiatannya, Asosiasi Penyelenggara IKD
memperoleh pendanaan dari:
a. biaya pendaftaran dan iuran rutin keanggotaan; dan
b. sumber lain sepanjang ditetapkan dalam anggaran dasar,
anggaran rumah tangga, dan/atau peraturan internal Asosiasi
Penyelenggara IKD sepanjang tidak bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan.
2. Asosiasi Penyelenggara IKD wajib membuat laporan
pertanggungjawaban keuangan kepada Anggota paling sedikit 1 (satu)
kali dalam 1 (satu) tahun dan/atau pada saat terjadi pergantian
kepengurusan.
VI. PELAPORAN
1. Asosiasi Penyelenggara IKD yang telah mendapat penunjukan dari
Otoritas Jasa Keuangan menyampaikan laporan kepada Otoritas Jasa
Keuangan:
a. Rencana strategis 1 (satu) - sampai dengan 3 (tiga) tahun dan
rencana kerja tahunan;
b. Laporan kinerja berkala secara triwulanan, yang berakhir pada
bulan Maret, Juni, September, Desember, yang disampaikan
paling lambat pada setiap tanggal 10 bulan berikutnya dari setiap
akhir periode triwulan dimaksud;
c. Laporan hasil pengawasan Anggota secara triwulanan, termasuk
namun tidak terbatas pada jumlah Anggota, mapping Anggota,
kepatuhan Anggota (pelanggaran code of conduct dan code of
ethic), dan area bisnis Anggota yang berisiko, yang berakhir pada
bulan Maret, Juni, September, Desember, yang disampaikan
paling lambat pada setiap tanggal 10 bulan berikutnya dari setiap
akhir periode triwulan dimaksud;
d. Laporan rencana kegiatan operasional tahunan, paling lambat
pada setiap tanggal 31 Januari, sesuai dengan format Laporan
Rencana Kegiatan Operasional Tahunan tercantum dalam
Lampiran 3 yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat
Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini;
-8-
e. Laporan pengenaan sanksi kepada Anggota atas pelanggaran code
of conduct dan code of ethic, paling lambat 7 (tujuh) hari kerja
sejak terjadinya pengenaan sanksi kepada Anggota;
f. Laporan penerimaan dan/atau pemberhentian Anggota, paling
lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak terjadinya penerimaan dan/atau
pemberhentian Anggota, sesuai dengan format Laporan
Penerimaan dan/atau Pemberhentian Anggota, tercantum dalam
Lampiran 4 yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat
Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini;
g. Laporan realisasi pelaksanaan kegiatan operasional tengah
tahunan, paling lambat pada setiap tanggal 31 Januari dan 31
Juli sesuai dengan format Laporan Realisasi Pelaksanaan
Kegiatan Tengah Tahunan, tercantum dalam Lampiran 5 yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Otoritas
Jasa Keuangan ini;
h. Laporan perubahan alamat kantor Asosiasi Penyelenggara IKD
(jika ada), paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak terjadinya
perubahan; dan
i. Laporan perubahan anggaran dasar, anggaran rumah tangga,
susunan kepengurusan Asosiasi Penyelenggara IKD, dan/atau
komite kerja (jika ada), paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja
sejak terjadinya perubahan.
2. Dalam hal terdapat ketidaksesuaian, Otoritas Jasa Keuangan dapat
meminta Asosiasi Penyelenggara IKD untuk melakukan penyesuaian
terhadap laporan yang telah disampaikan sebagaimana dimaksud
dalam angka 1, termasuk tetapi tidak terbatas pada isi laporan.
3. Dalam hal batas akhir waktu penyampaian laporan sebagaimana
dimaksud dalam angka 1 jatuh pada hari libur, laporan tersebut
disampaikan paling lambat pada 1 (satu) hari kerja berikutnya.
4. Laporan sebagaimana dimaksud dalam angka 1 disampaikan kepada
Otoritas Jasa Keuangan dalam bentuk dokumen cetak dan dalam
format digital dengan menggunakan media penyimpanan digital (flash
disk) atau lainnya.
5. Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan telah menyediakan sistem
elektronik, pelaporan sebagaimana dimaksud dalam angka 1 dapat
disampaikan melalui sistem elektronik tersebut.
-9-
6. Otoritas Jasa Keuangan sewaktu-waktu dapat meminta Asosiasi
Penyelenggara IKD untuk menyampaikan laporan hasil pengendalian
internal sebagaimana dimaksud dalam romawi III angka 2 huruf d poin
4) kepada Otoritas Jasa Keuangan.
VII. PENCABUTAN PENUNJUKAN ASOSIASI PENYELENGGARA INOVASI
KEUANGAN DIGITAL
1. Surat penunjukan sebagai Asosiasi Penyelenggara IKD menjadi tidak
berlaku apabila:
a. badan hukum Asosiasi Penyelenggara IKD bubar; dan/atau
b. status badan hukum dari Asosiasi Penyelenggara IKD dicabut
oleh instansi Pemerintah yang berwenang.
2. Otoritas Jasa Keuangan dapat mencabut surat penunjukan Asosiasi
Penyelenggara IKD apabila
mengembalikan surat penunjukan Asosiasi Penyelenggara IKD yang
dimilikinya.
3. Dalam hal terdapat hal-hal sebagai berikut:
a. kantor Asosiasi Penyelenggara IKD tidak ditemukan;
b. Asosiasi Penyelenggara IKD melakukan pelanggaran atas
ketentuan dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini;
c.
Asosiasi Penyelenggara IKD tidak melaksanakan tugas selama 12
(dua belas) bulan berturut-turut; dan/atau
d. tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam
angka romawi III,
Otoritas Jasa Keuangan memberikan surat peringatan kepada
Asosiasi Penyelenggara IKD.
4. Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan telah menyampaikan 3 (tiga) kali
surat peringatan kepada Asosiasi Penyelenggara IKD dan asosiasi
dimaksud tidak memenuhi kewajiban dalam jangka waktu paling lama
30 (tiga puluh) hari kerja sejak diterbitkannya surat peringatan ketiga
dimaksud maka Otoritas Jasa Keuangan dapat mencabut surat
penunjukan Asosiasi Penyelenggara IKD.
Asosiasi Penyelenggara IKD
-10-
5. Dalam hal pencabutan surat penunjukan Asosiasi Penyelenggara IKD
disebabkan karena Asosiasi Penyelenggara IKD mengembalikan surat
penunjukan sebagaimana dimaksud dalam angka 2, Asosiasi
Penyelenggara IKD mengajukan surat permohonan pengembalian
surat penunjukan sebagai Asosiasi Penyelenggara IKD kepada Otoritas
Jasa Keuangan dengan disertai dokumen sebagai berikut:
a. keterangan mengenai alasan pengembalian surat penunjukan
tersebut;
b. surat penunjukan sebagai Asosiasi Penyelenggara IKD oleh
Otoritas Jasa Keuangan;
c. surat pernyataan pertanggungjawaban dari pengurus Asosiasi
Penyelenggara IKD atas kewajiban Asosiasi Penyelenggara IKD
kepada Anggota dan/atau pihak ketiga; dan
d. surat keputusan hasil rapat Anggota yang menyetujui
pengembalian surat penunjukan sebagai Asosiasi Penyelenggara
IKD oleh Otoritas Jasa Keuangan.
6. Dalam hal pencabutan surat penunjukan Asosiasi Penyelenggara IKD
disebabkan karena ketentuan sebagaimana dimaksud dalam angka 4,
Asosiasi Penyelenggara IKD menyelesaikan kewajibannya kepada
Anggota dan/atau pihak ketiga.
7. Tidak berlakunya surat penunjukan Asosiasi Penyelenggara IKD
sebagaimana dimaksud dalam angka 1 dan pencabutan surat
penunjukan Asosiasi Penyelenggara IKD oleh Otoritas Jasa Keuangan
sebagaimana dimaksud dalam angka 2 dan angka 4 diumumkan oleh
Otoritas Jasa Keuangan melalui laman resmi Otoritas Jasa Keuangan.
8. Dalam hal surat penunjukan Asosiasi Penyelenggara IKD menjadi
tidak berlaku atau dicabut sebagaimana dimaksud dalam angka 1,
angka 2, dan angka 4, Penyelenggara IKD dapat melakukan hal-hal
sebagai berikut:
a. mendaftar sebagai anggota Asosiasi lain yang telah mendapat
penunjukan dari Otoritas Jasa Keuangan; atau
b. membentuk Asosiasi baru yang selanjutnya dapat mengajukan
permohonan untuk memperoleh penunjukan dari Otoritas Jasa
Keuangan sebagai Asosiasi Penyelenggara IKD dengan tetap
mengikuti persyaratan dan kelengkapan dokumen sebagaimana
diatur dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini.
-11-
10. Dalam hal Penyelenggara IKD akan mengajukan keanggotaan sebagai
anggota Asosiasi sehubungan dengan syarat mengikuti proses
Regulatory Sandbox sebagaimana diatur dalam SEOJK tentang
Regulatory Sandbox namun Asosiasi yang ditunjuk Otoritas Jasa
Keuangan telah dicabut surat penunjukannya maka permohonan
keanggotaannya sebagai anggota Asosiasi menunggu sampai adanya
Asosiasi baru yang ditunjuk oleh Otoritas Jasa Keuangan.
11. Fungsi supervisi atas kewajiban pelaporan anggota Asosiasi yang
berada dibawah kewenangan Asosiasi Penyelenggara IKD beralih ke
Otoritas Jasa Keuangan hingga Penyelenggara membentuk Asosiasi
baru yang ditunjuk oleh Otoritas Jasa Keuangan.
12. Segala ketentuan Asosiasi yang mencakup pengaturan kepada
anggotanya meliputi kelengkapan organisasi, kode etik, dan pedoman
perilaku tetap berlaku dan pengawasannya diawasi oleh Otoritas Jasa
Keuangan hingga Penyelenggara membentuk Asosiasi baru yang
ditunjuk oleh Otoritas Jasa Keuangan.
VIII. KETENTUAN LAIN-LAIN
Keikutsertaan dalam Asosiasi bagi Penyelenggara yang telah memiliki
pengaturan di masing-masing sektor, tunduk pada ketentuan bagi masing-
masing Penyelenggara.
IX. KETENTUAN PENUTUP
Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal
ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 5 November 2019
WAKIL KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA,
Salinan ini sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
ttd
NURHAIDA
LAMPIRAN I
SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 22 /SEOJK.02/2019
TENTANG
PENUNJUKAN ASOSIASI PENYELENGGARA INOVASI KEUANGAN DIGITAL
-2-
PERMOHONAN PENUNJUKAN ASOSIASI PENYELENGGARA INOVASI
KEUANGAN DIGITAL
Nomor
:
Lampiran :
Perihal
Kepada
Yth. Wakil Ketua Dewan Komisioner
Otoritas Jasa Keuangan
di Jakarta
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
1. Nama
2. Alamat
:
:
..., ..................... 20...
: Permohonan Penunjukan Asosiasi Penyelenggara Inovasi
Keuangan Digital
................................................................................
................................................................................
................................................................................
(nama jalan dan nomor)
...................................................................... – ......
(kota dan kode pos)
3. Nomor Telepon
:
................................................................................
Dengan ini untuk dan atas nama*):
1. Nama Asosiasi
2. Alamat lengkap
:
:
................................................................................
...............................................................................
................................................................................
(nama jalan dan nomor)
...................................................................... – ......
(kota dan kode pos)
3. Nomor Telepon
4. Nomor dan tanggal
akta pendirian
berikut perubahan
anggaran dasar
:
:
................................................................................
................................................................................
................................................................................
................................................................................
................................................................................
-3-
5. Nomor dan tanggal
pengesahan
/persetujuan
/pemberitahuan
dari Menteri yang
menyelenggarakan
urusan
pemerintahan di
bidang hukum dan
hak asasi manusia
:
................................................................................
................................................................................
................................................................................
................................................................................
................................................................................
................................................................................
................................................................................
................................................................................
mengajukan permohonan penunjukan Asosiasi Penyelenggara Inovasi
Keuangan Digital. Untuk melengkapi permohonan ini, kami lampirkan
dokumen sebagaimana tercantum dalam Surat Edaran Otoritas Jasa
Keuangan ini.
Demikian permohonan ini kami ajukan dan atas perhatiannya kami
ucapkan terima kasih.
Ketua Asosiasi,
materai
...........................................
(nama jelas dan tanda
tangan)
Keterangan:
*) pihak yang berwenang mewakili Asosiasi atau kuasanya
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 5 November 2019
WAKIL KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA,
Salinan ini sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
ttd
NURHAIDA
LAMPIRAN II
SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR /SEOJK.02/2019
TENTANG
PENUNJUKAN ASOSIASI PENYELENGGARA INOVASI KEUANGAN DIGITAL
-2-
SURAT PERNYATAAN INTEGRITAS
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
1. Nama
2. Jabatan
3. Alamat
4. Nomor Telepon
:
:
:
................................................................................
................................................................................
................................................................................
(nama jalan dan nomor)
...................................................................... – ......
(kota dan kode pos)
:
................................................................................
dengan ini menyatakan bahwa saya:
1. memiliki akhlak dan moral yang baik;
2. cakap/tidak cakap*) melakukan perbuatan hukum;
3. pernah/tidak pernah*) melakukan perbuatan tercela dan/atau dihukum
karena terbukti melakukan tindak pidana di bidang jasa keuangan;
4. pernah/tidak pernah*) dikenakan sanksi pencabutan izin, pembatalan
persetujuan, dan/atau pembatalan pendaftaran oleh Otoritas Jasa
Keuangan selama 3 (tiga) tahun terakhir;
5. pernah/tidak pernah*) dinyatakan pailit atau menjadi pengurus yang
dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perusahaan dinyatakan pailit;
dan
6. memiliki komitmen yang tinggi untuk mematuhi peraturan
perundangundangan.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya agar dapat
dipergunakan sebagaimana mestinya.
........., ........................
20.......
(tempat dan tanggal)
Pemohon,
materai
...........................................
(nama jelas dan tanda
tangan)
Keterangan:
*) coret yang tidak perlu
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 5 November 2019
Salinan ini sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
WAKIL KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
NURHAIDA
LAMPIRAN III
SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 22 /SEOJK.02/2019
TENTANG
PENUNJUKAN ASOSIASI PENYELENGGARA INOVASI KEUANGAN DIGITAL
-2-
LAPORAN RENCANA KEGIATAN OPERASIONAL TAHUNAN
TAHUN....
Nomor
Kepada
Yth. Wakil Ketua Dewan Komisioner
Otoritas Jasa Keuangan
di Jakarta
Nama Asosiasi : ................................
Rencana kegiatan tahunan tahun .......... adalah sebagai berikut:
No
Rencana Kegiatan
:
Lampiran :
Perihal
..., ..................... 20...
: Laporan Rencana Kegiatan Operasional Tahunan Tahun....
Periode Pelaksanaan
........., ...................20.......
(tempat dan tanggal)
Ketua Asosiasi,
...........................................
(nama jelas dan tanda
tangan)
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 5 November 2019
WAKIL KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
Salinan ini sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
NURHAIDA
LAMPIRAN IV
SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 22 /SEOJK.02/2019
TENTANG
PENUNJUKAN ASOSIASI PENYELENGGARA INOVASI KEUANGAN DIGITAL
-2-
LAPORAN PENERIMAAN DAN/ATAU PEMBERHENTIAN ANGGOTA
Nama : ............................................................................
Periode : ............................................................................
Penerimaan Anggota
Asosiasi Penyelenggara IKD
Nama
No
Penyelenggara IKD
Tanda Tercatat
dan/atau Terdaftar
Penyelenggara IKD
No. Surat
Keputusan
Tanggal
Surat
Keputusan
Tanggal
menjadi
Anggota
Pemberhentian Anggota
Asosiasi Penyelenggara IKD
Nama
No
Penyelenggara IKD
Tanda Tercatat
dan/atau Terdaftar
Penyelenggara IKD
No. Surat
Keputusan
Tanggal
Surat
Keputusan
Tanggal
Berhenti
-3-
Jumlah anggota pemegang Tanda Tercatat dan/atau Terdaftar sebagai Penyelenggara IKD: ......
........., ........................ 20.......
(tempat dan tanggal)
Ketua Asosiasi,
..............................................
(nama jelas dan tanda tangan)
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 5 November 2019
Salinan ini sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
WAKIL KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
NURHAIDA
LAMPIRAN V
SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 22 /SEOJK.02/2019
TENTANG
PENUNJUKAN ASOSIASI PENYELENGGARA INOVASI KEUANGAN DIGITAL
-2-
LAPORAN REALISASI KEGIATAN TENGAH TAHUNAN
Nomor
:
Lampiran :
Perihal
Kepada
Yth. Wakil Ketua Dewan Komisioner
Otoritas Jasa Keuangan
di Jakarta
Nama Asosiasi : ................................
Realisasi pelaksanaan kegiatan tengah tahunan periode .......... adalah
sebagai berikut:
No Rencana Kegiatan
Realisasi Kegiatan
Tengah Tahunan
(Terpenuhi/Tidak
Terpenuhi)
Keterangan
..., ..................... 20...
: Laporan Realisasi Kegiatan Tengah Tahunan
........., ................... 20.......
(tempat dan tanggal)
Ketua Asosiasi,
...........................................
(nama jelas dan tanda
tangan)
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 5 November 2019
WAKIL KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
NURHAIDA
Salinan ini sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
"," SEOJK
22/SEOJK.02/2019
PENUNJUKAN ASOSIASI PENYELENGGARA INOVASI KEUANGAN DIGITAL
5 November 2019
5 November 2019
'13/POJK.02/2018 | Pasal 21'
"
" Yth.
Direksi Bank Umum Syariah
di tempat.
SALINAN
SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 34 /SEOJK.03/2015
TENTANG
PERHITUNGAN ASET TERTIMBANG MENURUT RISIKO
UNTUK RISIKO KREDIT DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN STANDAR
BAGI BANK UMUM SYARIAH
Sehubungan dengan berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
Nomor 21/POJK.03/2014 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum
Bank Umum Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014
Nomor 352, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5630),
selanjutnya disebut POJK KPMM BUS, perlu diatur lebih lanjut mengenai
pelaksanaan Perhitungan Aset Tertimbang Menurut Risiko (ATMR) untuk
Risiko Kredit dengan Menggunakan Pendekatan Standar bagi Bank Umum
Syariah dalam suatu Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan, sebagai berikut:
I. UMUM
1. Risiko Kredit adalah risiko akibat kegagalan nasabah atau pihak lain
dalam memenuhi kewajiban kepada Bank sesuai perjanjian yang
disepakati.
Risiko Kredit mencakup Risiko Kredit akibat kegagalan debitur,
Risiko Kredit akibat kegagalan pihak lawan (counterparty credit risk),
dan Risiko Kredit akibat kegagalan setelmen (settlement risk).
2. Risiko Kredit akibat kegagalan pihak lawan (counterparty credit risk)
timbul dari jenis transaksi yang secara umum memiliki karakteristik:
a. transaksi dipengaruhi oleh pergerakan nilai wajar atau nilai
pasar;
b.
nilai wajar dari transaksi dipengaruhi oleh pergerakan variabel
pasar tertentu;
c. transaksi...
- 2 -
c. transaksi menghasilkan pertukaran arus kas atau instrumen
keuangan; dan
d. karakteristik risiko bersifat bilateral yaitu (i) apabila nilai wajar
kontrak bernilai positif maka Bank terekspos Risiko Kredit dari
pihak lawan, sedangkan (ii) apabila nilai wajar kontrak bernilai
negatif maka pihak lawan terekspos Risiko Kredit dari Bank.
3. Risiko Kredit akibat kegagalan setelmen (settlement risk) timbul
akibat kegagalan penyerahan kas dan/atau instrumen keuangan
pada tanggal penyelesaian (settlement date) yang telah disepakati dari
transaksi penjualan dan/atau pembelian instrumen keuangan.
4. Sesuai POJK KPMM BUS, dalam menghitung Kewajiban Penyediaan
Modal Minimum (KPMM) baik secara individu maupun secara
konsolidasi dengan Perusahaan Anak, Bank wajib memperhitungkan
ATMR untuk Risiko Kredit. Dalam menghitung ATMR untuk Risiko
Kredit, Bank dapat menggunakan 2 (dua) jenis pendekatan, yaitu:
a. Pendekatan Standar (Standardized Approach); dan/atau
b. Pendekatan berdasarkan Internal Rating (Internal Rating Based
Approach).
Untuk penerapan tahap awal, Bank wajib melakukan perhitungan
ATMR untuk Risiko Kredit dengan menggunakan Pendekatan
Standar.
5. ATMR untuk Risiko Kredit dengan menggunakan Pendekatan
Standar, yang selanjutnya disebut ATMR Risiko Kredit-Pendekatan
Standar, secara umum perhitungan didasarkan pada hasil peringkat
yang diterbitkan oleh lembaga pemeringkat yang diakui Otoritas Jasa
Keuangan.
II. PERHITUNGAN ATMR RISIKO KREDIT-PENDEKATAN STANDAR
A. CAKUPAN PERHITUNGAN
Perhitungan ATMR Risiko Kredit-Pendekatan Standar yang wajib
dihitung oleh Bank sebagaimana dimaksud dalam butir I.4
mencakup:
1. Eksposur aset dalam neraca serta kewajiban komitmen dan
kontinjensi dalam transaksi rekening administratif, namun tidak
termasuk:
a. posisi...
- 3 -
a.
posisi Trading Book yang telah dihitung dalam ATMR Risiko
Pasar sesuai ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang
mengatur mengenai ATMR untuk Risiko Pasar;
b. penyertaan dan aset tidak berwujud yang telah
diperhitungkan sebagai faktor pengurang modal sesuai
ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur
mengenai KPMM Bank Umum Syariah;
c. tagihan yang akan diperhitungkan dalam eksposur
sebagaimana dimaksud pada angka 2, terdiri atas:
1) tagihan transaksi lindung nilai syariah dan kewajiban
komitmen yang timbul dari transaksi lindung nilai
syariah; dan
2) tagihan reverse repo;
d. tagihan yang timbul dari transaksi yang mengalami
kegagalan penyerahan kas dan/atau instrumen keuangan
yang akan diperhitungkan dalam eksposur sebagaimana
dimaksud pada angka 3.
2. Eksposur yang menimbulkan Risiko Kredit akibat kegagalan
pihak lawan (counterparty credit risk), antara lain transaksi
lindung nilai syariah over the counter (OTC) dan transaksi repo
atau reverse repo, baik atas posisi Trading Book maupun
Banking Book. Definisi Trading Book maupun Banking Book
mengacu pada POJK KPMM BUS; dan/atau
3. Eksposur transaksi penjualan atau pembelian instrumen
keuangan yang mengalami kegagalan penyerahan kas dan/atau
instrumen keuangan pada tanggal penyelesaian lebih dari 4
(empat) hari kerja, yang menimbulkan Risiko Kredit akibat
kegagalan setelmen (settlement risk). Contoh transaksi antara
lain transaksi penjualan atau pembelian surat berharga syariah
atau valuta asing. Meskipun ATMR hanya diperhitungkan atas
transaksi yang mengalami kegagalan setelmen lebih dari 4
(empat) hari kerja, Bank harus memantau Risiko Kredit akibat
kegagalan setelmen atas transaksi penjualan atau pembelian
instrumen keuangan sejak hari pertama terjadinya kegagalan
setelmen.
B. TATA...
- 4 -
B. TATA CARA PERHITUNGAN
1. ATMR Risiko Kredit-Pendekatan Standar merupakan hasil
perkalian antara tagihan bersih dengan bobot risiko atas
eksposur sebagaimana dimaksud dalam butir II.A.1 dan butir
II.A.2.
2. Tagihan bersih atas eksposur sebagaimana dimaksud pada
angka 1 mengacu pada penjelasan dalam butir II.C.
3. Bobot risiko sebagaimana dimaksud pada angka 1 ditetapkan:
a. berdasarkan peringkat terkini dari debitur atau pihak lawan
transaksi atau surat berharga syariah, untuk kategori
portofolio sebagaimana dimaksud dalam butir II.E.1, butir
II.E.2, butir II.E.3, butir II.E.4, butir II.E.9, butir
II.E.12.c.1), butir II.E.12.c.2), dan butir II.E.12.c.3);
b. sebesar persentase tertentu untuk kategori portofolio
sebagaimana dimaksud dalam butir II.E.5, butir II.E.6,
butir II.E.7, butir II.E.8, butir II.E.10, butir II.E.11, butir
II.E.12.c.4), dan butir II.E.13.
4. Penetapan bobot risiko berdasarkan peringkat terkini
sebagaimana dimaksud dalam butir 3.a mengacu pada Tabel 3,
Tabel 4, Tabel 5, Tabel 6, Tabel 7, Tabel 8, Tabel 9, dan Tabel 10.
5. Perhitungan Risiko Kredit dalam rangka perhitungan KPMM
untuk eksposur sebagaimana dimaksud dalam butir II.A.3 yaitu
eksposur transaksi penjualan atau pembelian instrumen
keuangan yang mengalami kegagalan penyerahan kas dan/atau
instrumen keuangan pada tanggal penyelesaian (settlement date)
lebih dari 4 (empat) hari kerja adalah:
a. untuk transaksi delivery versus payment (DvP), ATMR
Risiko Kredit-Pendekatan Standar diperhitungkan dengan
formula:
ATMR = selisih positif antara nilai wajar transaksi
dengan nilai kontrak (positive current exposure) x persentase
tertentu x 12,5.
Persentase tertentu ditetapkan berdasarkan jumlah hari
kerja pelampauan tanggal penyelesaian (settlement date)
yang mengacu pada Tabel 1 di bawah ini.
Tabel 1...
- 5 -
Tabel 1. Penetapan Persentase Tertentu Dalam
Perhitungan Risiko Kredit Akibat Kegagalan Setelmen
(Settlement Risk)
Jumlah hari kerja sejak
pelampauan tanggal
penyelesaian (settlement date)
5 s.d 15 hari kerja
16 s.d 30 hari kerja
31 s.d 45 hari kerja
Lebih dari 45 hari kerja
Persentase Tertentu
8%
50%
75%
100%
b. Untuk transaksi non delivery versus payment (non-DvP),
Risiko Kredit diperhitungkan sebagai faktor pengurang
modal sebesar nilai kas atau nilai wajar instrumen
keuangan yang telah diserahkan Bank.
C. TAGIHAN BERSIH
1. Tagihan bersih untuk eksposur aset dalam neraca sebagaimana
dimaksud dalam butir A.1 diperhitungkan dengan formula:
Tagihan Bersih = {Nilai tercatat aset + imbalan yang akan
diterima (jika ada)} – CKPN atau PPA Khusus.
Perhitungan Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN)
mengacu pada standar akuntansi yang berlaku dan Penyisihan
Penghapusan Aset Khusus (PPA Khusus) mengacu pada
ketentuan Otoritas Jasa Keuangan mengenai penilaian kualitas
aset bank umum syariah dan unit usaha syariah.
Khusus untuk CKPN yang dibentuk secara kolektif, yang
diperhitungkan hanya CKPN atas aset yang telah teridentifikasi
mengalami penurunan nilai.
2. Tagihan bersih untuk eksposur transaksi rekening administratif
sebagaimana dimaksud dalam butir A.1 diperhitungkan dengan
formula:
Tagihan Bersih = (nilai kewajiban komitmen atau kewajiban
kontinjensi – PPA Khusus) x Faktor Konversi
Kredit (FKK).
Perhitungan...
- 6 -
Perhitungan PPA Khusus mengacu pada ketentuan Otoritas
Jasa Keuangan yang mengatur mengenai penilaian kualitas aset
bank umum syariah dan unit usaha syariah.
FKK adalah sebagaimana dimaksud dalam butir D.
3. Tagihan bersih untuk eksposur yang menimbulkan Risiko Kredit
akibat kegagalan pihak lawan sebagaimana dimaksud dalam
butir A.2 diperhitungkan dengan formula:
a. Eksposur transaksi lindung nilai syariah OTC
1) Transaksi lindung nilai syariah dengan positif mark to
market
Tagihan Bersih = nilai tercatat tagihan + potensi
eksposur di masa depan (potential
future exposure).
2) Transaksi lindung nilai syariah dengan negatif mark to
market
Tagihan Bersih = potensi eksposur di masa depan.
Potensi eksposur di masa depan dihitung dari hasil
perkalian nilai notional transaksi lindung nilai syariah OTC
dengan persentase tertentu. Persentase tertentu ditetapkan
berdasarkan variabel yang mendasari (underlying variable)
dan sisa jangka waktu dari transaksi lindung nilai syariah
OTC yang mengacu pada Tabel 2 di bawah ini.
Tabel 2. Penetapan Persentase Tertentu Dalam
Perhitungan Risiko Kredit Akibat Kegagalan Pihak
Lawan (Counterparty Credit Risk) untuk Transaksi
Lindung Nilai Syariah OTC
Variabel yang Mendasari
(underlying variable)
Sisa Jangka
Waktu
≤1 tahun
> 1 tahun s.d.
≤ 5 tahun
> 5 tahun
Keterangan:
-
Sharia
Compliant
Profit Rate
Swap
0%
0,5%
1,5%
Sharia
Compliant
Foreign
Currency
Swaps
1%
5%
7,5%
Lainnya
10%
12%
15%
Untuk transaksi lindung nilai syariah OTC yang
terdapat beberapa pertukaran notional atau prinsipal,
potensi...
- 7 -
potensi eksposur di masa depan dari transaksi lindung
nilai syariah OTC dihitung berdasarkan penjumlahan
dari hasil perkalian antara masing-masing nilai
notional transaksi lindung nilai syariah OTC dengan
persentase tertentu yang ditetapkan berdasarkan sisa
jangka waktu dari masing-masing notional transaksi
dimaksud.
-
Untuk transaksi lindung nilai syariah OTC dengan
struktur nilai tagihan atau kewajiban diselesaikan
pada tanggal tertentu dan terdapat syarat dan
ketentuan transaksi lindung nilai syariah OTC
disesuaikan kembali sehingga nilai wajar dari transaksi
lindung nilai syariah OTC adalah nol pada tanggal
dimaksud, sisa jangka waktu transaksi lindung nilai
syariah OTC ditetapkan sama dengan jangka waktu
hingga tanggal penyesuaian berikutnya.
-
Transaksi lindung nilai syariah OTC dengan jenis
variabel yang mendasari yang tidak dinyatakan secara
spesifik dalam tabel di atas, diperlakukan sebagai
“Lainnya”.
b. Eksposur transaksi repo
Tagihan bersih merupakan selisih positif antara nilai
tercatat bersih surat berharga syariah yang menjadi
underlying transaksi repo dengan nilai tercatat kewajiban
repo.
Nilai tercatat bersih surat berharga syariah adalah nilai
tercatat surat berharga syariah setelah dikurangi dengan
CKPN atas surat berharga syariah tersebut sesuai standar
akuntansi yang berlaku. Khusus untuk CKPN yang
dibentuk secara kolektif, yang dapat diperhitungkan hanya
CKPN atas surat berharga syariah yang telah teridentifikasi
mengalami penurunan nilai.
Selain itu, Risiko Kredit dari penerbit surat berharga
syariah yang menjadi
diperhitungkan pula sebagai tagihan bersih untuk eksposur
aset dalam neraca, sebagaimana dimaksud dalam butir C.1.
c. Eksposur...
underlying transaksi repo
- 8 -
c. Eksposur transaksi reverse repo
Tagihan bersih merupakan nilai tercatat dari tagihan
reverse repo setelah dikurangi dengan CKPN atas tagihan
tersebut sesuai standar akuntansi.
Khusus untuk CKPN yang dibentuk secara kolektif, yang
diperhitungkan hanya CKPN atas tagihan yang telah
teridentifikasi mengalami penurunan nilai.
Untuk transaksi reverse repo, keberadaan agunan berupa
surat berharga syariah yang menjadi underlying dari
transaksi reverse repo dan/atau uang tunai diperhitungkan
sebagai bentuk mitigasi Risiko Kredit atas transaksi
dimaksud. Pengakuan agunan mengikuti Pendekatan
Komprehensif dalam teknik mitigasi Risiko Kredit-agunan
sebagaimana dimaksud dalam butir IV.B.6.
D. FAKTOR KONVERSI KREDIT UNTUK EKSPOSUR TRANSAKSI
REKENING ADMINISTRATIF
Dalam rangka menghitung tagihan bersih untuk eksposur transaksi
rekening administratif, penetapan FKK untuk transaksi rekening
administratif sebagaimana dimaksud dalam butir C.2 adalah:
1. Kewajiban komitmen yang memenuhi kriteria sebagai
uncommitted diberikan FKK sebesar 0% (nol persen).
2. Kewajiban komitmen dalam bentuk Letter of Credit (L/C) yang
masih berlaku namun tidak termasuk standby Letter of Credit
(L/C), baik terhadap Bank penerbit (issuing bank) maupun Bank
yang melakukan konfirmasi (confirming bank), diberikan FKK
sebesar 20% (dua puluh persen).
3. Kewajiban komitmen dengan jangka waktu perjanjian sampai
dengan 1 (satu) tahun, diberikan FKK sebesar 20% (dua puluh
persen).
4. Kewajiban komitmen dengan jangka waktu perjanjian lebih dari
1 (satu) tahun, diberikan FKK sebesar 50% (lima puluh persen).
5. Kewajiban kontinjensi dalam bentuk jaminan yang diterbitkan
bukan dalam rangka pemberian pembiayaan, seperti bid bonds,
performance bonds, atau advance payment bonds, diberikan FKK
sebesar 50% (lima puluh persen).
6. Kewajiban...
- 9 -
6. Kewajiban kontinjensi dalam bentuk:
a. jaminan yang diterbitkan dalam rangka pemberian
pembiayaan atau pengambilalihan risiko gagal bayar,
termasuk berupa bank garansi dan standby Letter of Credit
(L/C); atau
b. akseptasi, termasuk endosemen atau aval atas surat-surat
berharga;
diberikan FKK sebesar 100% (seratus persen).
7. Pos transaksi rekening administratif yang timbul dari transaksi
lindung nilai syariah tidak diberikan FKK dan perhitungan
tagihan bersih atas eksposur tersebut dilakukan sebagaimana
dimaksud dalam butir C.3.a.
E. BOBOT RISIKO
Dalam menentukan bobot risiko, Bank harus menggolongkan seluruh
eksposur sebagaimana dimaksud dalam butir A.1 dan butir A.2 ke
dalam kategori portofolio yang penetapannya didasarkan pada
debitur atau pihak lawan transaksi, yaitu:
1. Tagihan kepada Pemerintah
a. Tagihan kepada Pemerintah terdiri atas:
1) Tagihan kepada Pemerintah Indonesia yang mencakup
tagihan kepada:
a) Pemerintah Pusat Republik Indonesia;
b) Bank Indonesia;
c) badan-badan dan lembaga-lembaga pemerintah
lainnya yang seluruh pendanaan operasionalnya
berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN) Pemerintah Republik Indonesia;
2) Tagihan kepada pemerintah negara lain yang
mencakup tagihan kepada pemerintah pusat dan bank
sentral negara lain;
b. Bobot risiko Tagihan kepada Pemerintah Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam butir a.1), baik dalam
Rupiah maupun valuta asing adalah 0% (nol persen).
c. Bobot risiko Tagihan kepada pemerintah negara lain
sebagaimana dimaksud dalam butir a.2), baik dalam mata
uang...
- 10 -
uang negara tersebut maupun valuta asing, ditetapkan
sesuai peringkat internasional negara tersebut mengacu
pada Tabel 3 di bawah ini.
Tabel 3. Penetapan Bobot Risiko Tagihan Kepada
Pemerintah
Peringkat yang setara
Jenis
Tagihan
Tagihan
kepada
Pemerintah
Indonesia
Tagihan
kepada
pemerintah
negara lain
0%
AAA
s.d AA-
A+ s.d
A-
BBB+
s.d
BBB-
0%
BB+
s.d B-
Kurang
dari B-
Tanpa
peringkat
20% 50% 100% 150%
100%
2. Tagihan kepada Entitas Sektor Publik
a. Tagihan kepada Entitas Sektor Publik mencakup tagihan
kepada:
1) Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebagaimana
dimaksud dalam undang-undang mengenai BUMN,
kecuali BUMN berupa Bank;
2) Pemerintah daerah (provinsi, kota, dan kabupaten) di
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam undang-
undang mengenai pemerintahan daerah;
3) badan-badan atau lembaga-lembaga Pemerintah
Republik Indonesia yang tidak memenuhi kriteria
sebagai Tagihan kepada Pemerintah Indonesia.
b. Bobot risiko Tagihan kepada Entitas Sektor Publik
ditetapkan sesuai peringkat dengan mengacu pada Tabel 4
di bawah ini.
Tabel 4. Penetapan Bobot Risiko Tagihan Kepada Entitas
Sektor Publik
AAA
Bobot
Risiko
s.d AA-
20%
A+ s.d
A-
50%
Peringkat yang setara
BBB+
s.d BBB-
50%
BB+
s.d B-
Kurang
dari B-
100% 150%
Tanpa
peringkat
50%
3. Tagihan...
- 11 -
3. Tagihan kepada Bank Pembangunan Multilateral dan Lembaga
Internasional
a. Bank pembangunan multilateral merupakan lembaga
keuangan internasional yang antara lain memiliki
karakteristik khusus: (i) didirikan atau dimiliki oleh
beberapa negara; dan (ii) menyediakan pembiayaan jangka
panjang, hibah, dan/atau bantuan teknis dalam rangka
pembangunan.
b. Tagihan kepada bank pembangunan multilateral dan
lembaga internasional mencakup tagihan kepada:
1) Bank Pembangunan Multilateral yang terdiri atas:
a) Bank Pembangunan Multilateral tertentu yang
telah ditetapkan oleh Basel Committee on Banking
Supervision, yaitu World Bank Group yang terdiri
atas International Bank for Reconstruction and
Development (IBRD) dan International Finance
Corporation (IFC), Asian Development Bank (ADB),
African Development Bank (AfDB), European Bank
for Reconstruction and Development (EBRD), Inter-
American Development Bank (IADB), European
Investment Bank (EIB), European Investment Fund
(EIF), Nordic Investment Bank (NIB), Caribbean
Development Bank (CDB), Islamic Development
Bank (IDB), dan Council of Europe Development
Bank (CEDB).
b) Bank Pembangunan Multilateral lainnya.
2) Lembaga Internasional yaitu Bank for International
Settlements, International Monetary Fund (IMF), dan
European Central Bank.
c. Bobot risiko Tagihan kepada bank pembangunan
multilateral dan lembaga internasional mengacu pada Tabel
5 di bawah ini.
Tabel 5. Penetapan Bobot Risiko Tagihan Kepada Bank
Pembangunan Multilateral dan Lembaga Internasional
Jenis...
- 12 -
Peringkat yang setara
Jenis Tagihan
Bank
Pembangunan
Multilateral
tertentu dan
Lembaga
Internasional
Bank
Pembangunan
Multilateral
lainnya
20% 50%
50%
AAA
s.d
AA-
A+
s.d A-
BBB+
s.d
BBB-
BB+
s.d B-
Kurang
dari B-
Tanpa
peringkat
0%
100% 150%
50%
4. Tagihan kepada Bank
a. Tagihan kepada Bank mencakup tagihan kepada:
1) bank yang beroperasi di Indonesia, yang terdiri atas
bank umum syariah, bank umum konvensional, bank
pembiayaan rakyat syariah, dan bank perkreditan
rakyat, termasuk kantor cabang dari bank yang
berkedudukan di luar negeri;
2) bank yang beroperasi di luar Indonesia, yang terdiri
atas bank yang berbadan hukum asing dan kantor
cabang dari bank yang berkantor pusat di Indonesia;
3) Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam undang-undang mengenai lembaga
pembiayaan ekspor Indonesia.
b. Tagihan kepada Bank dibedakan menjadi:
1) tagihan jangka pendek yaitu tagihan dengan jangka
waktu perjanjian sampai dengan 3 (tiga) bulan,
termasuk tagihan yang tidak memiliki jangka waktu
jatuh tempo namun dapat ditarik sewaktu-waktu;
2) tagihan jangka panjang yaitu tagihan dengan jangka
waktu perjanjian lebih dari 3 (tiga) bulan.
Tagihan Kepada Bank dengan jangka waktu perjanjian
sampai dengan 3 (tiga) bulan namun dapat dipastikan
akan diperpanjang (roll-over) sehingga keseluruhan
jangka waktu menjadi lebih dari 3 (tiga) bulan, harus
digolongkan sebagai tagihan jangka panjang.
c. Bobot...
- 13 -
c. Bobot risiko Tagihan kepada Bank, baik tagihan jangka
pendek, tagihan jangka panjang, ditetapkan sesuai
peringkat dengan mengacu pada Tabel 6, Tabel 7 atau Tabel
8 di bawah ini.
Tabel 6. Penetapan Bobot Risiko Tagihan Kepada Bank
Dalam Bentuk Pembiayaan
Peringkat yang setara
Jenis
Tagihan
Tagihan
Jangka
Panjang
Tagihan
Jangka
Pendek
AAA
s.d AA-
20%
20%
50%
20%
A+ s.d A-
BBB+
s.d
BBB-
50%
20%
BB+
s.d B-
Kurang
dari B-
100% 150%
50%
150%
Tanpa
peringkat
50%
20%
Tabel 7. Penetapan Bobot Risiko Tagihan Kepada Bank
Dalam Bentuk Surat Berharga Syariah yang Memiliki
Peringkat Jangka Pendek
A-1
Bobot Risiko
20%
Peringkat yang setara
A-2
A-3
50%
100%
Kurang dari A-3
150%
Tabel 8. Penetapan Bobot Risiko Tagihan Kepada Bank
Dalam Bentuk Surat Berharga Syariah yang Tidak
Memiliki Peringkat Jangka Pendek
Peringkat yang setara
Jenis
Tagihan
Bobot
Risiko
AAA
s.d AA-
20%
50%
A+ s.d A-
BBB+
s.d
BBB-
50%
BB+
s.d B-
Kurang
dari B-
100% 150%
Tanpa
peringkat
50%
5. Pembiayaan Beragun Rumah Tinggal
a. Pembiayaan Beragun Rumah Tinggal mencakup:
1) pembiayaan konsumsi untuk kepemilikan rumah
tinggal atau apartemen atau pembiayaan konsumsi
yang dijamin dengan agunan berupa rumah tinggal
atau apartemen (tidak termasuk rumah toko dan
rumah kantor), serta memenuhi kriteria:
a) diberikan kepada debitur perorangan;
b) agunan diikat dengan hak tanggungan atau
fidusia...
- 14 -
fidusia sehingga memberikan kedudukan yang
diutamakan (hak preferensi) kepada Bank; dan
c) Bank memiliki sistem dan prosedur yang memadai
untuk menilai dan memantau nilai agunan secara
berkala.
2) pembiayaan konsumsi untuk kepemilikan rumah
tinggal dalam rangka program Pemerintah Indonesia
sesuai peraturan perundangan yang berlaku dan
dijamin 100% (seratus persen) oleh lembaga
penjaminan atau asuransi Pembiayaan berstatus
BUMN yang memenuhi persyaratan pengakuan garansi
dalam teknik Mitigasi Risiko Kredit (MRK) sebagaimana
dimaksud dalam butir IV.C.1.
b. Bobot risiko untuk Pembiayaan Beragun Rumah Tinggal
ditetapkan:
1) paling rendah 35% (tiga puluh lima persen) untuk
Pembiayaan Beragun Rumah Tinggal sebagaimana
dimaksud dalam butir a.1).
2) paling rendah 20% (dua puluh persen) untuk
Pembiayaan Beragun Rumah Tinggal sebagaimana
dimaksud dalam butir a.2).
6. Pembiayaan Beragun Properti Komersial
a. Pembiayaan Beragun Properti Komersial adalah pembiayaan
yang memenuhi kriteria:
1) diberikan kepada perorangan atau badan usaha;
2) tujuan penggunaan dana untuk pembiayaan
konstruksi atau pembangunan properti;
Contoh: pembangunan perumahan, apartemen, rumah
susun, ruang perkantoran, ruang komersial
multifungsi, ruang komersial yang disewa banyak
pihak atau pergudangan; dan
3) sumber utama pembayaran pembiayaan berasal dari
arus kas dari penyewaan atau penjualan properti
dimaksud.
b. Bobot risiko pembiayaan Beragun Properti Komersial adalah
100% (seratus persen).
7. Pembiayaan...
- 15 -
7. Pembiayaan Pegawai atau Pensiunan
a. Pembiayaan Pegawai atau Pensiunan adalah pembiayaan
yang memenuhi kriteria:
1) diberikan kepada pegawai atau pensiunan dari Pegawai
Negeri Sipil (PNS), anggota TNI atau POLRI, pegawai
lembaga negara, atau pegawai BUMN atau BUMD;
2)
total plafon pembiayaan adalah Rp500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah) untuk setiap pegawai atau
pensiunan;
3) pegawai atau pensiunan dijamin dengan asuransi jiwa
dari perusahaan asuransi yang berstatus BUMN
termasuk perusahaan asuransi
merupakan anak perusahaan dari perusahaan
asuransi yang berstatus BUMN atau perusahaan
asuransi swasta yang memiliki peringkat paling rendah
peringkat investasi dari lembaga pemeringkat yang
diakui oleh Otoritas Jasa Keuangan;
4) pembayaran angsuran atau pelunasan pembiayaan
bersumber dari gaji atau pensiun berdasarkan Surat
Kuasa Memotong Gaji atau Pensiun kepada Bank
pemberi pembiayaan. Dalam hal pembayaran gaji atau
pensiun dilakukan bank lain atau BUMN lain maka
Bank pemberi pembiayaan harus memiliki perjanjian
kerja sama dengan bank lain atau BUMN lain
pembayar gaji atau pensiun untuk melakukan
pemotongan gaji atau pensiun dalam rangka
pembayaran angsuran atau pelunasan pembiayaan;
dan
5) Bank pemberi pembiayaan menyimpan asli surat
pengangkatan pegawai atau surat keputusan jabatan
atau pangkat yang terakhir atau surat keputusan
pensiun atau Kartu Registrasi Induk Pensiun (KARIP)
dan polis pertanggungan asuransi jiwa debitur.
b. Bobot risiko Pembiayaan Pegawai atau Pensiunan adalah
50% (lima puluh persen).
syariah yang
8. Tagihan...
- 16 -
8. Tagihan Kepada Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Portofolio Ritel
a. Tagihan Kepada Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Portofolio
Ritel merupakan tagihan yang memenuhi kriteria:
1) diberikan kepada debitur yang merupakan (i) orang
perorangan atau badan usaha yang memenuhi kriteria
sebagai usaha mikro dan usaha kecil sebagaimana
dimaksud dalam undang-undang mengenai usaha
mikro, kecil, dan menengah, atau (ii) perorangan;
2) plafon pembiayaan kepada debitur paling tinggi
sebesar 0,2% (nol koma dua persen) dari hasil
penjumlahan plafon pembiayaan untuk seluruh
debitur yang merupakan (i) orang perorangan atau
badan usaha yang memenuhi kriteria sebagai usaha
mikro dan usaha kecil sebagaimana dimaksud dalam
undang-undang mengenai usaha mikro, kecil, dan
menengah dan (ii) perorangan;
3) plafon pembiayaan kepada debitur paling tinggi
sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Maksimal plafon Rp1.000.000.000,00 (satu milyar
rupiah) tersebut juga dihitung dari penjumlahan plafon
seluruh fasilitas yang diterima oleh 1 (satu) debitur
yang memenuhi kriteria sebagai usaha mikro dan
usaha kecil atau perorangan;
4) debitur tidak tergolong sebagai 50 (lima puluh) debitur
terbesar Bank;
5) tagihan tidak dalam bentuk surat berharga syariah;
dan
6) tagihan tidak memenuhi kriteria sebagai Pembiayaan
Beragun Rumah Tinggal, Pembiayaan Beragun Properti
Komersial, atau Pembiayaan Pegawai atau Pensiunan.
b. Bobot risiko Tagihan Kepada Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan
Portofolio Ritel ditetapkan sebesar 75% (tujuh puluh lima
persen).
c. Pembiayaan Kendaraan Bermotor Syariah (KKB Syariah)
merupakan salah satu pembiayaan yang dapat
dikategorikan sebagai Tagihan Kepada Usaha Mikro, Usaha
Kecil, dan Portofolio Ritel.
9. Tagihan...
- 17 -
9. Tagihan kepada Korporasi
a. Tagihan kepada Korporasi merupakan tagihan yang tidak
memenuhi kategori portofolio sebagaimana dimaksud dalam
angka 1 sampai dengan angka 8.
b. Bobot risiko Tagihan kepada Korporasi ditetapkan sesuai
peringkat dengan mengacu pada Tabel 9 atau Tabel 10 di
bawah ini.
Tabel 9. Penetapan Bobot Risiko Tagihan Kepada
Korporasi Dalam Bentuk Pembiayaan atau Dalam Bentuk
Surat Berharga yang Tidak Memiliki Peringkat Jangka
Pendek
Peringkat yang setara
Tanpa
AAA
Bobot Risiko
s.d AA-
20%
A+ s.d A- BBB+
s.d BB-
50%
100%
Kurang
dari BB-
150%
peringkat
100%
Tabel 10. Penetapan Bobot Risiko Tagihan Kepada
Korporasi Dalam Bentuk Surat Berharga yang Memiliki
Peringkat Jangka Pendek
A-1
Bobot Risiko
20%
Peringkat yang setara
A-2
A-3
50%
100%
Kurang dari
A-3
150%
10. Tagihan yang Telah Jatuh Tempo
a. Tagihan yang Telah Jatuh Tempo adalah seluruh tagihan
sebagaimana dimaksud dalam angka 1 sampai dengan
angka 9, yang telah jatuh tempo lebih dari 90 (sembilan
puluh) hari, baik atas pembayaran pokok dan/atau
pembayaran bagi hasil atau margin atau ujrah.
b. Bobot risiko Tagihan yang Telah Jatuh Tempo ditetapkan
paling rendah 100% (seratus persen).
11. Aset Lainnya
a. Aset berupa uang tunai, emas, dan commemorative coin,
diberikan bobot risiko sebesar 0% (nol persen).
b. Penyertaan yang bukan merupakan faktor pengurang modal
dalam POJK KPMM BUS diberikan bobot risiko 100%
(seratus persen).
c. Aset Istishna’ Dalam Penyelesaian setelah dikurangi Termin
Istishna’ diberikan bobot risiko 100% (seratus persen).
d. Perhitungan...
- 18 -
d. Perhitungan bobot risiko dan/atau faktor pengurang modal
terhadap tagihan atau transaksi rekening administratif
dalam bentuk eksposur sekuritisasi mengacu pada
ketentuan mengenai sekuritisasi aset.
Untuk tagihan eksposur sekuritisasi selain yang diatur
dalam ketentuan, maka penetapan bobot risiko didasarkan
pada peringkat tagihan eksposur sekuritisasi mengacu pada
Tabel 9. Khusus untuk tagihan eksposur sekuritisasi yang
tidak memiliki peringkat maka penetapan bobot risiko
ditetapkan secara konservatif yaitu bobot risiko paling
tinggi diantara bobot risiko dari aset yang mendasari dan
bobot risiko dari penerbit eksposur sekuritisasi.
e. Aset yang diambil alih (AYDA) diberikan bobot risiko 100%
(seratus persen).
f.
Aset lainnya, seperti persediaan, tanah, bangunan,
inventaris, dan aset tetap lainnya, setelah dikurangi dengan
akumulasi penyusutan diberikan bobot risiko 100%
(seratus persen).
12. Pembiayaan Bagi Untung (Profit Sharing)
a. Pembiayaan bagi untung (profit sharing) yang selanjutnya
disebut pembiayaan PS adalah pembiayaan dengan
pembagian hasil usaha dihitung dari pendapatan setelah
dikurangi modal dan biaya-biaya.
b. Pembiayaan PS dapat terdiri atas pembiayaan musyarakah
(profit and loss sharing modes) dan pembiayaan
mudharabah (profit sharing and loss bearing modes).
c. Jenis pembiayaan PS adalah:
1) Pembiayaan musyarakah mutanaqisah adalah
musyarakah atau syirkah yang kepemilikan aset
(barang) atau modal salah satu pihak (syarik)
berkurang disebabkan pembelian secara bertahap oleh
pihak lainnya. Tujuan pembiayaan ini adalah untuk
mengalihkan kepemilikan aset kepada nasabah. Aset
musyarakah mutanaqisah dapat diijarahkan kepada
nasabah atau pihak lain. Dengan demikian, bagi
untung pembiayaan musyarakah mutanaqisah dapat
berasal dari ujrah dari pembiayaan ijarah tersebut.
2) Pembiayaan...
- 19 -
2) Pembiayaan proyek yaitu Bank menyediakan dana
kepada nasabah yang bertindak sebagai pengelola
(mudharib) dalam proyek pembangunan dengan pihak
ketiga (ultimate customer). Ultimate customer akan
membayar sesuai tahapan pembangunan kepada
nasabah yang selanjutnya akan dibayarkan nasabah
kepada Bank. Peran utama dari Bank dalam struktur
ini adalah untuk menyediakan dana talangan kepada
nasabah. Bank mensyaratkan pembayaran dari
ultimate customer dilakukan melalui rekening nasabah
di Bank yang khusus diperuntukkan bagi pembiayaan
proyek (repayment account) dan nasabah tidak dapat
menarik dana dari rekening tersebut tanpa
persetujuan Bank.
3) Pembiayaan PS dengan sub kontrak yaitu pembiayaan
kepemilikan aset tetap (tangible fixed assets) seperti
mobil, mesin dan lain-lain. Aset tersebut kemudian
disewakan atau dijual kepada end user dengan akad
ijarah atau murabahah. Bagi untung Pembiayaan PS
berasal dari ujrah dari pembiayaan ijarah atau margin
dari pembiayaan murabahah.
4) Pembiayaan PS lainnya.
d. Bobot risiko Pembiayaan Bagi Untung ditetapkan:
1) berdasarkan peringkat terkini dari nasabah end user
atau ultimate customer atau 100% (seratus persen) jika
tanpa peringkat (unrated), untuk kategori portofolio
sebagaimana dimaksud dalam butir c.1), c.2), dan c.3);
2) sebesar 300% (tiga ratus persen) bagi nasabah berupa
perusahaan terbuka atau 400% (empat ratus persen)
bagi nasabah lainnya untuk kategori portofolio
sebagaimana dimaksud dalam butir c.4).
13. Aset Produktif dengan Sumber Dana Profit Sharing Investment
Account (PSIA)
a. PSIA adalah sumber dana dengan pembagian hasil usaha
dihitung dari pendapatan setelah dikurangi modal dan
biaya-biaya. Sumber dana ini tidak termasuk dana dengan
prinsip bagi hasil (net revenue sharing), yaitu bagi hasil
yang...
- 20 -
yang dihitung dari pendapatan setelah dikurangi modal.
b. bobot risiko Aset Produktif dengan Sumber Dana PSIA
ditetapkan sebesar 1% (satu persen).
III. PENGGUNAAN PERINGKAT
Untuk jenis kategori portofolio yang penetapan bobot risikonya didasarkan
pada peringkat maka penggunaan peringkat harus memenuhi ketentuan
sebagai berikut:
A. UMUM
1. Peringkat yang digunakan adalah peringkat terkini yang
dikeluarkan oleh lembaga pemeringkat yang diakui oleh Otoritas
Jasa Keuangan.
2. Dalam satu kelompok usaha, peringkat suatu perusahaan tidak
dapat digunakan untuk menetapkan bobot risiko dari
perusahaan lain dalam kelompok tersebut.
3. Bank harus:
a. memiliki pedoman dan prosedur untuk memastikan bahwa
peringkat yang digunakan untuk menghitung ATMR Risiko
Kredit-Pendekatan Standar adalah peringkat terkini; dan
b. memelihara dokumentasi terkait peringkat terkini yang
digunakan tersebut.
Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan menilai bahwa peringkat
yang digunakan Bank dalam penetapan bobot risiko
mencerminkan risiko yang lebih rendah dari kondisi terkini atas
debitur atau pihak lawan transaksi maka Otoritas Jasa
Keuangan berwenang untuk menetapkan bobot risiko yang lebih
tinggi dari yang digunakan Bank.
B. TATA CARA PENGGUNAAN PERINGKAT
1. Peringkat Domestik (local rating) dan Peringkat Internasional
(international rating)
a. Peringkat domestik digunakan untuk penetapan bobot
risiko tagihan dalam mata uang Rupiah.
b. Peringkat internasional digunakan untuk penetapan bobot
risiko tagihan dalam valuta asing.
2. Peringkat Surat Berharga Syariah (Issue Rating) dan Peringkat
Debitur (Issuer Rating)
a. Penetapan...
- 21 -
a. Penetapan bobot risiko atas tagihan dalam bentuk surat
berharga syariah didasarkan pada peringkat dari surat
berharga syariah dimaksud (issue rating).
Dalam hal surat berharga syariah tidak memiliki peringkat
maka penetapan bobot risiko didasarkan pada bobot risiko
dari tagihan tanpa peringkat.
b. Penetapan bobot risiko atas tagihan dalam bentuk selain
surat berharga syariah, didasarkan pada peringkat debitur
(issuer rating).
Dalam hal tagihan dalam bentuk selain surat berharga
syariah tidak memiliki peringkat maka penetapan bobot
risiko didasarkan pada bobot risiko dari tagihan tanpa
peringkat.
3. Peringkat Jangka Pendek dan Peringkat Jangka Panjang
a. Peringkat jangka pendek sebagaimana dimaksud pada
Tabel 7 dan Tabel 10 digunakan untuk penetapan bobot
risiko dari surat berharga syariah yang memiliki peringkat
jangka pendek dan diterbitkan oleh pihak yang termasuk
dalam cakupan Tagihan kepada Bank atau Tagihan kepada
Korporasi.
b. Penetapan bobot risiko untuk Tagihan kepada Bank yang
tergolong sebagai Tagihan Jangka Pendek sebagaimana
dimaksud dalam butir II.E.4.b.1) namun tidak memiliki
peringkat jangka pendek, mengacu pada peringkat jangka
panjang sesuai Tabel 6.
c. Penetapan bobot risiko untuk Tagihan kepada Korporasi
yang tidak memiliki peringkat jangka pendek, mengacu
pada Tabel 9.
4. Peringkat Tunggal dan Multi Peringkat
Dalam hal debitur, pihak lawan, atau instrumen keuangan:
a. hanya memiliki 1 (satu) peringkat maka Bank harus
menggunakan hasil peringkat dimaksud;
b. memiliki 2 (dua) peringkat dan masing-masing memberikan
bobot risiko yang berbeda maka Bank harus menggunakan
peringkat yang menghasilkan bobot risiko tertinggi;
c. memiliki 3 (tiga) peringkat atau lebih dan memberikan
bobot risiko yang berbeda maka Bank harus menggunakan
peringkat...
- 22 -
peringkat yang menghasilkan bobot risiko terendah kedua.
Contoh: Surat berharga syariah yang diterbitkan oleh
perusahaan X dan tergolong sebagai Tagihan Kepada
Korporasi memiliki peringkat AA-, A-, dan BBB+ sehingga
berturut-turut setara dengan bobot risiko 20% (dua puluh
persen), 50% (lima puluh persen), dan 100% (seratus
persen). Untuk perhitungan ATMR Risiko Kredit-
Pendekatan Standar, Bank harus menggunakan peringkat
A- yaitu peringkat yang menghasilkan bobot risiko terendah
kedua yaitu 50% (lima puluh persen).
IV. METODE DAN TEKNIK MITIGASI RISIKO KREDIT
A. UMUM
1. Dalam menghitung ATMR Risiko Kredit-Pendekatan Standar,
Bank dapat mengakui keberadaan agunan, garansi, dan/atau
penjaminan atau asuransi pembiayaan UMKM sebagai Teknik
Mitigasi Risiko Kredit, selanjutnya disebut Teknik MRK.
2. Teknik MRK sebagaimana dimaksud pada angka 1 mencakup:
a. Teknik MRK-Agunan;
b. Teknik MRK-Garansi; dan/atau
c. Teknik MRK-Penjaminan atau Asuransi Pembiayaan UMKM.
3. Prinsip utama dalam pengakuan Teknik MRK adalah:
a. Teknik MRK hanya diakui apabila ATMR Risiko Kredit dari
eksposur yang menggunakan Teknik MRK lebih rendah dari
ATMR Risiko Kredit dari eksposur tersebut yang tidak
menggunakan Teknik MRK.
Hasil perhitungan ATMR Risiko Kredit setelah
memperhitungkan dampak Teknik MRK paling rendah
sebesar nol.
b. Dampak keberadaan agunan, garansi,
dan/atau
penjaminan atau asuransi pembiayaan UMKM yang diakui
sebagai Teknik MRK tidak boleh diperhitungkan ganda
dalam perhitungan ATMR Risiko Kredit.
Contoh: Apabila peringkat surat berharga syariah telah
memperhitungkan dampak keberadaan agunan, garansi,
dan/atau penjaminan atau asuransi pembiayaan UMKM
maka...
- 23 -
maka perhitungan ATMR Risiko Kredit atas surat berharga
syariah dimaksud tidak boleh memperhitungkan kembali
keberadaan agunan, garansi, dan/atau penjaminan atau
asuransi pembiayaan UMKM yang sama.
c. Masa berlakunya pengikatan agunan, garansi, dan/atau
penjaminan atau asuransi pembiayaan UMKM paling
sedikit sama dengan sisa jangka waktu eksposur.
4. Selain harus memenuhi prinsip utama sebagaimana dimaksud
dalam angka 3, Teknik MRK juga harus memenuhi kriteria:
a. seluruh dokumen agunan, garansi, dan/atau penjaminan
atau asuransi pembiayaan UMKM yang digunakan dalam
Teknik MRK memenuhi persyaratan sesuai ketentuan
perundang-undangan;
b. Bank secara berkala melakukan reviu untuk memastikan
bahwa agunan, garansi, dan/atau penjaminan atau
asuransi pembiayaan UMKM tetap memenuhi kriteria
sebagaimana dimaksud pada huruf a; dan
c. dokumentasi yang digunakan dalam Teknik MRK harus
memuat klausula yang menetapkan jangka waktu yang
wajar untuk eksekusi atau pencairan agunan, garansi,
dan/atau penjaminan atau asuransi pembiayaan UMKM
yang didasarkan pada terjadinya kondisi yang
menyebabkan debitur tidak mampu melaksanakan
kewajibannya sesuai dengan perjanjian penyediaan dana.
5. Apabila persyaratan sebagaimana dimaksud pada angka 3 dan
angka 4 tidak dipenuhi maka keberadaan MRK tidak diakui
dalam perhitungan ATMR Risiko Kredit-Pendekatan Standar.
6. Dalam rangka mengoptimalkan penggunaan Teknik MRK, Bank
harus memiliki prosedur tertulis untuk mengidentifikasi,
mengukur, memantau, dan mengendalikan risiko yang timbul
dari penggunaan Teknik MRK, seperti risiko hukum, risiko
operasional, risiko likuiditas, dan risiko pasar, termasuk
prosedur untuk memastikan bahwa eksekusi agunan, garansi,
dan/atau penjaminan atau asuransi pembiayaan UMKM
dilakukan dalam jangka waktu yang wajar.
B. TEKNIK...
- 24 -
B. TEKNIK MRK-AGUNAN
1. Pendekatan Teknik MRK-Agunan
Pengakuan Teknik MRK-Agunan dapat menggunakan 2 (dua)
pendekatan, yaitu:
a. Pendekatan Sederhana (simple approach), untuk eksposur
sebagaimana dimaksud dalam butir II.A.1; atau
b. Pendekatan Komprehensif (comprehensive approach), untuk
eksposur sebagaimana dimaksud dalam butir II.A.2.
2. Persyaratan Pengakuan
a. Selain harus memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud pada butir A.3 dan butir A.4, agunan yang
digunakan dalam Teknik MRK-Agunan harus memenuhi
persyaratan:
1) agunan tidak diterbitkan oleh debitur atau pihak lawan
transaksi yang sama; dan
2) kualitas agunan tidak berkorelasi secara positif dengan
kualitas eksposur;
sehingga agunan dapat memberikan perlindungan yang
memadai apabila debitur atau pihak lawan transaksi tidak
mampu melaksanakan kewajibannya sesuai perjanjian
penyediaan dana.
Contoh:
Agunan berupa surat berharga yang diterbitkan oleh
perusahaan X yang memiliki keterkaitan arus kas secara
signifikan dengan perusahaan Y yang merupakan debitur
atau pihak lawan transaksi dari Bank, dianggap memiliki
korelasi positif sehingga surat berharga tersebut tidak
diakui dalam Teknik MRK – Agunan.
b. Apabila persyaratan sebagaimana dimaksud pada huruf a
tidak terpenuhi maka keberadaan agunan dalam Teknik
MRK-Agunan tidak diakui dalam perhitungan ATMR Risiko
Kredit-Pendekatan Standar.
3. Jenis Agunan Keuangan yang Diakui
a. Jenis agunan keuangan yang diakui (eligible financial
collateral) dalam Teknik MRK-Agunan baik pada
Pendekatan Sederhana maupun Pendekatan Komprehensif
adalah:
1) uang...
- 25 -
1) uang tunai yang disimpan pada Bank penyedia dana;
2)
giro, tabungan, atau deposito yang diterbitkan oleh
Bank penyedia dana;
3) emas yang disimpan pada Bank penyedia dana;
4) Surat Utang Negara (SUN) yang diterbitkan oleh
Pemerintah Republik Indonesia yang meliputi Obligasi
Negara dan Surat Perbendaharaan Negara
sebagaimana dimaksud dalam undang-undang
mengenai surat utang negara;
5) Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) sebagaimana
dimaksud dalam undang-undang mengenai surat
berharga syariah negara;
6)
Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan Sertifikat Bank
Indonesia Syariah (SBIS); dan/atau
7) surat-surat berharga yang diperingkat oleh lembaga
pemeringkat yang diakui oleh Otoritas Jasa Keuangan
dengan peringkat paling rendah:
a) setara dengan BBB- jika diterbitkan oleh pihak
yang termasuk dalam Tagihan kepada Pemerintah
Negara Lain sebagaimana dimaksud dalam butir
II.E.1.a.2);
b) setara dengan BBB- jika diterbitkan oleh pihak
yang termasuk dalam Tagihan kepada Entitas
Sektor Publik sebagaimana dimaksud dalam butir
II.E.2;
c)
setara dengan BBB- jika diterbitkan oleh pihak
yang termasuk dalam Tagihan kepada Bank
Pembangunan Multilateral
dan Lembaga
Internasional sebagaimana dimaksud dalam butir
II.E.3;
d) setara dengan BBB- jika diterbitkan oleh pihak
yang termasuk dalam Tagihan kepada Bank
sebagaimana dimaksud dalam butir II.E.4;
e)
setara dengan A- jika diterbitkan oleh pihak yang
termasuk dalam Tagihan kepada Korporasi
sebagaimana dimaksud dalam butir II.E.9;
f)
setara A-2 untuk surat berharga jangka pendek.
b. Instrumen...
- 26 -
b.
Instrumen yang mendasari (underlying) atau agunan dari
transaksi reverse repo dapat diakui sebagai bentuk MRK
atas transaksi reverse repo dimaksud sepanjang termasuk
sebagai jenis agunan sebagaimana dimaksud pada huruf a.
4. Penggunaan Nilai Agunan
a. Dalam mengakui dampak MRK dari jenis agunan
sebagaimana dimaksud pada angka 3 terhadap perhitungan
ATMR Risiko Kredit-Pendekatan Standar, Bank harus
menggunakan nilai agunan sebesar nilai yang lebih rendah
antara nilai pengikatan agunan dengan nilai wajar atau
nilai pasar agunan.
b. Dalam hal pengikatan agunan dilakukan atas beberapa
tagihan bersih maka nilai agunan yang dapat diakui sebagai
Teknik MRK-Agunan untuk seluruh tagihan bersih paling
tinggi sebesar nilai agunan dan tidak melebihi total seluruh
tagihan bersih.
Contoh:
Bank A memberikan pembiayaan kepada debitur X dan
debitur Y masing-masing sebesar Rp500.000.000,00 (lima
ratus juta rupiah) dan Rp800.000.000,00 (delapan ratus
juta rupiah) dengan agunan berupa deposito senilai
Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). Agunan tersebut
sebesar Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah) diikat
untuk pembiayaan kepada debitur X dan sebesar
Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) diikat untuk
pembiayaan kepada debitur Y. Dampak MRK atas agunan
berupa deposito dimaksud yang digunakan untuk
menghitung ATMR Risiko Kredit - Pendekatan Standar atas
debitur X adalah sebesar Rp400.000.000,00 (empat ratus
juta rupiah) dan atas debitur Y adalah sebesar
Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
5. Teknik MRK - Agunan pada Pendekatan Sederhana
Penggunaan Teknik MRK - Agunan pada Pendekatan Sederhana
harus dilakukan:
a. penilaian kembali terhadap nilai wajar atau nilai pasar
agunan harus dilakukan paling sedikit 1 (satu) bulan sekali;
dan
b. perhitungan...
- 27 -
b. perhitungan nilai agunan sebagaimana dimaksud dalam
butir a harus memperhitungkan pengurangan nilai (haircut)
atas nilai tukar (HFX) sebagai faktor pengurang sebesar 8%
(delapan persen) apabila:
1) tagihan dan agunan dalam mata uang yang berbeda;
atau
2) agunan dalam bentuk emas;
c. perhitungan ATMR Risiko Kredit–Pendekatan Standar atas
eksposur yang telah memperhitungkan Teknik MRK–
Agunan pada Pendekatan Sederhana dilakukan sebagai
berikut:
1) Dampak MRK diakui menggunakan prinsip substitusi
yaitu bobot risiko agunan menggantikan bobot risiko
eksposur, yaitu:
a) Bagian dari nilai
tagihan bersih yang
mendapatkan perlindungan dari agunan,
selanjutnya disebut bagian yang dijamin (secured
portion), dikenakan:
(1) bobot risiko sebesar 0% (nol persen), apabila
agunan dalam bentuk sebagaimana
dimaksud dalam butir 3.a.1) sampai dengan
butir 3.a.6);
(2) bobot risiko dari agunan, apabila agunan
dalam bentuk surat berharga sebagaimana
dimaksud dalam butir 3.a.7), dengan batas
bawah sebesar 20% (dua puluh persen).
b) Bagian dari nilai tagihan bersih yang tidak
mendapatkan perlindungan dari agunan,
selanjutnya disebut bagian yang tidak dijamin
(unsecured portion), dikenakan bobot risiko dari
eksposur sesuai kategori portofolio sebagaimana
dimaksud dalam butir II.E.
2) Apabila eksposur dijamin oleh beberapa jenis agunan
dengan bobot risiko yang berbeda dan nilai total
perlindungan agunan lebih tinggi dari nilai tagihan
bersih maka pengakuan agunan dalam Teknik MRK-
Agunan...
- 28 -
Agunan diprioritaskan menggunakan jenis agunan
dengan bobot risiko dari yang terendah.
3) ATMR Risiko Kredit-Pendekatan Standar atas eksposur
yang telah memperhitungkan Teknik MRK-Agunan
pada Pendekatan Sederhana merupakan penjumlahan
dari:
a)
hasil perkalian antara bagian tagihan bersih yang
dijamin (secured portion) dengan bobot risiko
agunan sebagaimana dimaksud dalam butir 1)a);
dan
b)
hasil perkalian antara bagian tagihan bersih yang
tidak dijamin (unsecured portion) dengan bobot
risiko sebagaimana dimaksud dalam butir 1)b).
6. Teknik MRK-Agunan pada Pendekatan Komprehensif
a. Jenis dan Besaran Pengurangan Nilai (Haircut)
1)
teknik MRK - Agunan pada Pendekatan Komprehensif,
dilakukan dengan cara mengurangi nilai tagihan bersih
dengan nilai agunan, setelah memperhitungkan
pengurangan nilai (haircut) untuk masing-masing nilai;
2) pengurangan nilai (haircut) sebagaimana dimaksud
pada angka 1) dilakukan:
a) pengurangan nilai (haircut) atas nilai tagihan
bersih (He) merupakan faktor penambah untuk
mengantisipasi peningkatan nilai tagihan bersih;
b) pengurangan nilai (haircut) atas nilai agunan (Hc)
merupakan faktor pengurang untuk
mengantisipasi penurunan nilai agunan;
yang disebabkan karena perubahan faktor pasar.
3) Pengurangan nilai (haircut) sebagaimana dimaksud
pada angka 2) mengacu pada Tabel 11 di bawah ini.
Tabel 11. Haircut untuk Teknik MRK-Agunan pada
Pendekatan Komprehensif
Peringkat...
- 29 -
Peringkat
Efek / Surat
Berharga*
AAA s.d AA-
atau A-1
Sisa
Jatuh
Tempo
< 1 tahun
> 1
tahun, <
5 tahun
A+ s.d BBB-
atau A-2
atau A-3
BB+ s.d BB-
> 5 tahun
< 1 tahun
> 1
tahun, <
5 tahun
> 5 tahun
Seluruhn
ya
Tunai dalam mata uang
yang sama
Diterbitkan
Pemerintah dan
Bank
Pembangunan
Multilateral
0,5 %
2%
4%
1%
3%
6%
15%
0%
Keterangan Tabel:
* Ilustrasi peringkat pada Tabel 1 menggunakan notasi
peringkat yang dikeluarkan oleh Lembaga Pemeringkat
Standard and Poor’s.
Asumsi untuk pengurangan nilai (haircut) di atas
adalah:
a) holding period 10 (sepuluh) hari kerja untuk
tagihan bersih; dan
b)
revaluasi dan/atau remargining atas tagihan
bersih dan agunan dilakukan secara harian.
4) Dalam hal eksposur dan agunan dalam mata uang
yang berbeda maka nilai agunan selain dikenakan
pengurangan nilai (haircut) sebagaimana dimaksud
pada butir 2)b), juga dikenakan pengurangan nilai
(haircut) atas nilai tukar (HFX) sebesar 8% (delapan
persen) dengan menggunakan asumsi:
a) holding period 10 (sepuluh) hari kerja untuk
tagihan bersih; dan
b)
revaluasi atas agunan dilakukan secara harian.
b. Penyesuaian pengurangan nilai (Haircut)
Apabila frekuensi revaluasi dan/atau remargining aktual
yang dilakukan Bank berbeda dengan asumsi sebagaimana
dimaksud...
Diterbitkan
oleh Pihak
Lainnya
1%
4%
8%
2%
6%
12%
25%
- 30 -
dimaksud dalam butir a.3)b) dan/atau butir a.4)b) maka
pengurangan nilai (haircut) pada Tabel 11 dan/atau butir
a.4), disesuaikan dengan formula sebagai berikut:
keterangan:
H
HM
NR
= penyesuaian pengurangan nilai (haircut).
= pengurangan nilai (haircut) berdasarkan Tabel
11 dan/atau butir a.4).
= periode
aktual pelaksanaan
revaluasi
dan/atau remargining (dinyatakan dalam hari
kerja).
TM
= asumsi holding period minimum yaitu 10
(dinyatakan dalam hari kerja).
c. Perhitungan ATMR Risiko Kredit-Pendekatan Standar atas
eksposur yang telah memperhitungkan Teknik MRK-
Agunan pada Pendekatan Komprehensif
1)
Perhitungan ATMR Risiko Kredit-Pendekatan Standar
atas eksposur yang telah memperhitungkan Teknik
MRK-Agunan pada Pendekatan Komprehensif adalah
hasil perkalian antara nilai tagihan bersih setelah
pengakuan MRK dengan bobot risiko.
2)
Nilai tagihan bersih setelah pengakuan MRK (E*)
sebagaimana dimaksud pada angka 1) dihitung
dengan formula:
E* = max{0,[E x (1+HE) – C x (1- HC – HFX)]}
keterangan:
E*
E
HE
C
HC
= nilai tagihan bersih setelah pengakuan
MRK.
= nilai
tagihan bersih
pengakuan MRK.
= pengurangan nilai (haircut) atas tagihan
bersih.
= nilai agunan.
= pengurangan nilai (haircut) atas nilai
agunan.
HFX...
sebelum
- 31 -
HFX
= pengurangan nilai (haircut) atas nilai
tukar.
3) Penetapan bobot risiko sebagaimana dimaksud dalam
angka 1) mengacu pada penetapan bobot risiko dari
eksposur sesuai dengan kategori portofolio
sebagaimana dimaksud dalam butir II.E.
C. TEKNIK MRK - GARANSI
1. Persyaratan Pengakuan
Selain harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud
dalam butir A.3 dan butir A.4, garansi yang diakui dalam Teknik
MRK - Garansi harus memenuhi persyaratan:
a. Bank memiliki hak tagih langsung kepada pihak pemberi
jaminan tanpa harus melakukan tindakan hukum terlebih
dahulu terhadap debitur dalam hal terjadi kondisi yang
menyebabkan debitur tidak mampu melaksanakan
kewajibannya sesuai perjanjian penyediaan dana;
b.
tagihan atau transaksi rekening administratif yang
diberikan garansi harus dinyatakan secara spesifik dan
jelas dalam perjanjian garansi;
c. perjanjian garansi bersifat tanpa syarat (unconditional) dan
tidak dapat dibatalkan (irrevocable);
d. garansi harus dicairkan dalam jangka waktu paling lambat
90 (sembilan puluh) hari sejak eksposur tergolong dalam
kategori portofolio Tagihan yang Telah Jatuh Tempo
sebagaimana dimaksud dalam butir II.E.10; dan
e. garansi yang diterbitkan oleh pihak pemberi jaminan telah
diakui sebagai kewajiban dalam pembukuan pihak pemberi
jaminan.
2. Penerbit Garansi yang Diakui
Dampak Teknik MRK-Garansi hanya diakui apabila pihak
pemberi garansi adalah:
a. pihak yang termasuk dalam cakupan kategori portofolio
Tagihan kepada Pemerintah Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam butir II.E.1.a.1);
b. pihak...
- 32 -
b. pihak yang termasuk dalam cakupan kategori portofolio
Tagihan kepada Pemerintah Negara Lain sebagaimana
dimaksud dalam butir II.E.1.a.2), apabila pihak tersebut
memiliki:
1) bobot risiko lebih rendah dari bobot risiko tagihan yang
dijamin; dan
2) peringkat paling rendah BBB- atau yang setara;
c. Bank umum yang berbadan hukum Indonesia, kantor
cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri, dan
Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia yang memiliki
bobot risiko lebih rendah dari bobot risiko tagihan yang
dijamin;
d. bank yang berbadan hukum asing yang tergolong sebagai
prime bank sebagaimana diatur dalam ketentuan mengenai
batas maksimum pemberian kredit; dan/atau
e. lembaga keuangan yang bergerak di bidang penjaminan
atau asuransi yang termasuk dalam cakupan kategori
portofolio Tagihan kepada Entitas Sektor Publik dan
Tagihan kepada Korporasi.
3. Perhitungan ATMR Risiko Kredit-Pendekatan Standar atas
eksposur yang telah memperhitungkan Teknik MRK-Garansi
a. Garansi yang diakui dalam Teknik MRK-Garansi untuk
perhitungan bobot risiko dari tagihan bersih dilakukan:
1) bagian dari tagihan bersih yang dijamin dengan
garansi atau disebut sebagai bagian yang dijamin
(secured portion) diberikan bobot risiko pihak penerbit
garansi sesuai dengan kategori portofolio sebagaimana
dimaksud dalam butir II.E; dan
2) bagian dari tagihan bersih yang tidak dijamin dengan
garansi atau disebut sebagai bagian yang tidak dijamin
(unsecured portion) diberikan bobot risiko dari
eksposur sesuai kategori portofolio sebagaimana
dimaksud dalam butir II.E.
b. Dalam hal eksposur dan garansi dalam mata uang yang
berbeda maka nilai garansi dikenakan pengurangan nilai
(haircut) atas nilai tukar (HFX) sebesar 8% (delapan persen)
dengan formula:
GA = G x (1 – HFX)...
...
- 33 -
GA = G x (1 – HFX)
keterangan:
GA
G
HFX
= nilai Garansi setelah memperhitungkan
pengurangan nilai (haircut) atas nilai tukar;
= nilai Garansi;
= pengurangan nilai (haircut) atas nilai tukar;
c. Penggunaan pengurangan nilai (haircut) atas nilai tukar
sebesar 8% (delapan persen) menggunakan asumsi 10
(sepuluh) hari kerja holding period dan revaluasi nilai pasar
secara harian.
Apabila frekuensi revaluasi aktual yang dilakukan Bank
berbeda dengan asumsi tersebut maka Bank harus
menyesuaikan pengurangan nilai (haircut) atas nilai tukar
dimaksud dengan formula sebagaimana dimaksud pada
butir B.6.b.
d. Apabila eksposur dijamin oleh beberapa penerbit garansi
dengan bobot risiko yang berbeda dan nilai total
perlindungan garansi lebih tinggi dari nilai tagihan bersih
maka pengakuan garansi dalam Teknik MRK-Garansi
diprioritaskan menggunakan garansi dari pihak penerbit
garansi dengan bobot risiko dari yang terendah.
e. ATMR Risiko Kredit-Pendekatan Standar atas eksposur
yang telah memperhitungkan Teknik MRK-Garansi
merupakan penjumlahan dari:
1)
hasil perkalian antara bagian yang dijamin (secured
portion) dengan bobot risiko dari pihak penerbit garansi
sesuai kategori portofolio sebagaimana dimaksud
dalam butir II.E; dan
2)
hasil perkalian antara bagian yang tidak dijamin
(unsecured portion) dengan bobot risiko dari eksposur
sesuai kategori portofolio sebagaimana dimaksud
dalam butir II.E.
D. TEKNIK MRK-PENJAMINAN ATAU ASURANSI PEMBIAYAAN UMKM
Pengakuan penjaminan atau asuransi pembiayaan UMKM sebagai
Teknik MRK dalam perhitungan ATMR Risiko Kredit-Pendekatan
Standar dilakukan sebagai berikut:
1. Persyaratan...
- 34 -
1. Persyaratan Pengakuan
Selain harus memenuhi persyaratan pengakuan Teknik MRK-
Garansi sebagaimana dimaksud dalam butir C.1, penjaminan
atau asuransi pembiayaan UMKM yang diakui dalam Teknik
MRK-Penjaminan atau Asuransi Pembiayaan UMKM harus
memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam angka 2
dan angka 3.
2. Penjaminan atau asuransi pembiayaan UMKM yang diterbitkan
oleh lembaga penjaminan atau perusahaan asuransi berstatus
BUMN termasuk lembaga penjaminan atau perusahaan asuransi
syariah yang merupakan anak perusahaan dari lembaga
penjaminan atau perusahaan asuransi berstatus BUMN harus
memenuhi persyaratan:
a. penjaminan atau asuransi pembiayaan diberikan terhadap
pembiayaan kepada usaha mikro, usaha kecil, dan usaha
menengah. Pengertian usaha mikro, usaha kecil, dan usaha
menengah mengacu pada undang-undang mengenai usaha
mikro, kecil, dan menengah;
b. skema penjaminan atau asuransi pembiayaan harus
memenuhi persyaratan:
1) pangsa penjaminan pembiayaan oleh lembaga
penjaminan atau perusahaan asuransi paling rendah
70% (tujuh puluh persen) dari pembiayaan yang
diberikan oleh Bank;
2) Bank harus mengajukan klaim kepada lembaga
penjaminan atau perusahaan asuransi paling lama 1
(satu) bulan sejak terjadi tunggakan pokok, bagi
hasil/margin/ujrah, dan/atau tagihan lainnya yang
menjadikan kualitas pembiayaan paling baik dinilai
“Diragukan” sesuai ketentuan Otoritas Jasa Keuangan
mengenai penilaian kualitas aset bank umum syariah
dan unit usaha syariah, walaupun pembiayaan belum
jatuh tempo;
3) pembayaran penjaminan atau asuransi pembiayaan
paling lambat 15 (lima belas) hari kerja setelah klaim
diajukan oleh Bank dan dokumen diterima secara
lengkap...
- 35 -
lengkap oleh lembaga penjaminan atau perusahaan
asuransi;
4) jangka waktu penjaminan atau asuransi pembiayaan
paling kurang sama dengan jangka waktu pembiayaan;
dan
5) penjaminan atau asuransi pembiayaan bersifat tanpa
syarat (unconditional) dan tidak dapat dibatalkan
(irrevocable);
Persyaratan pada angka 1) sampai dengan angka 5) harus
dicantumkan dalam perjanjian antara Bank dengan
lembaga penjaminan atau perusahaan asuransi;
c. lembaga penjaminan atau perusahaan asuransi berstatus
BUMN termasuk lembaga penjaminan atau perusahaan
asuransi syariah yang merupakan anak perusahaan dari
lembaga penjaminan atau perusahaan asuransi berstatus
BUMN memenuhi persyaratan:
1) didukung oleh dana penjaminan (modal) termasuk
setoran dana dari pemerintah dengan gearing ratio
yang mengacu pada ketentuan yang berlaku, paling
tinggi 10 (sepuluh) kali; dan
2) mematuhi ketentuan mengenai lembaga penjaminan
atau perusahaan asuransi yang diatur oleh Otoritas
Jasa Keuangan;
3. Penjaminan atau Asuransi Pembiayaan yang diterbitkan oleh
Lembaga Penjaminan atau Perusahaan Asuransi Berstatus
Bukan BUMN harus memenuhi persyaratan:
a. penjaminan atau asuransi pembiayaan diberikan terhadap
pembiayaan kepada usaha mikro, usaha kecil, dan usaha
menengah. Pengertian usaha mikro, usaha kecil, dan usaha
menengah mengacu pada undang-undang mengenai usaha
mikro, kecil, dan menengah;
b. skema penjaminan atau asuransi pembiayaan memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam butir 2.b;
c. lembaga penjaminan atau perusahaan asuransi berstatus
bukan BUMN tersebut harus memenuhi persyaratan:
1) pendirian...
- 36 -
1) pendirian lembaga penjaminan atau perusahaan
asuransi sesuai peraturan mengenai lembaga
penjaminan atau perusahaan asuransi;
2) memiliki peringkat dari lembaga pemeringkat yang
diakui Otoritas Jasa Keuangan paling rendah setara
dengan BBB-;
3) didukung oleh dana penjaminan (modal) dengan
gearing ratio yang mengacu pada ketentuan yang
berlaku, paling tinggi 10 (sepuluh) kali;
4) mematuhi ketentuan mengenai lembaga penjaminan
atau perusahaan asuransi yang diatur oleh Otoritas
Jasa Keuangan; dan
5) bukan merupakan pihak terkait dari Bank kecuali
keterkaitan tersebut karena hubungan kepemilikan
dengan Pemerintah Daerah.
Penentuan pihak terkait Bank didasarkan pada
hubungan kepemilikan, hubungan kepengurusan, dan
hubungan keuangan sebagaimana dalam ketentuan
yang mengatur mengenai batas maksimum pemberian
kredit.
4. Perhitungan ATMR Risiko Kredit-Pendekatan Standar atas
eksposur yang telah memperhitungkan Teknik MRK-Penjaminan
atau Asuransi Pembiayaan UMKM
a. Perhitungan ATMR Risiko Kredit-Pendekatan Standar atas
eksposur yang telah memperhitungkan Teknik MRK-
Penjaminan atau Asuransi Pembiayaan UMKM dan
memenuhi seluruh persyaratan pada angka 1, angka 2, dan
angka 3 adalah:
1) Bagian dari
tagihan bersih yang mendapat
perlindungan dari lembaga penjaminan atau
perusahaan asuransi, selanjutnya disebut bagian yang
dijamin (secured portion), dikenakan bobot risiko:
a) sebesar 20% (dua puluh persen) apabila dijamin
oleh lembaga penjaminan atau perusahaan
asuransi berstatus BUMN termasuk lembaga
penjaminan atau perusahaan asuransi syariah
yang merupakan anak perusahaan dari lembaga
penjaminan...
- 37 -
penjaminan atau perusahaan asuransi berstatus
BUMN dan memenuhi seluruh kriteria
sebagaimana dimaksud dalam angka 2;
b) sesuai bobot risiko lembaga penjaminan atau
perusahaan asuransi apabila dijamin oleh
lembaga penjaminan atau perusahaan asuransi
berstatus bukan BUMN dan memenuhi seluruh
kriteria sebagaimana dimaksud dalam angka 3.
Penetapan bobot risiko tersebut didasarkan pada
peringkat lembaga penjaminan/asuransi
pembiayaan sesuai kategori portofolio Tagihan
kepada Entitas Sektor Publik sebagaimana
dimaksud dalam butir II.E.2.
c) sebesar 50% (lima puluh persen) apabila dijamin
oleh lembaga penjaminan atau perusahaan
asuransi berstatus BUMD yang memiliki peringkat
dari lembaga pemeringkat yang diakui oleh
Otoritas Jasa Keuangan setara BBB- dan
mendapatkan rekomendasi dalam bentuk tertulis
dari Otoritas Jasa Keuangan untuk melakukan
program penjaminan serta memenuhi seluruh
kriteria sebagaimana dimaksud dalam angka 3.
2) Bagian dari tagihan bersih yang tidak mendapat
perlindungan dari lembaga penjaminan atau
perusahaan asuransi, selanjutnya disebut bagian yang
tidak dijamin (unsecured portion), dikenakan bobot
risiko eksposur sesuai kategori portofolio sebagaimana
dimaksud pada butir II.E.
3) ATMR Risiko Kredit-Pendekatan Standar atas eksposur
yang telah memperhitungkan Teknik MRK-Penjaminan
atau Asuransi Pembiayaan UMKM merupakan
penjumlahan dari:
a)
hasil perkalian antara bagian yang dijamin
(secured portion) dengan bobot risiko sebagaimana
dimaksud dalam butir 1)a), butir 1)b), atau butir
1)c); dan
b) hasil...
- 38 -
b)
hasil perkalian antara bagian yang tidak dijamin
(unsecured portion) dengan bobot risiko
sebagaimana dimaksud dalam angka 2).
b. Perhitungan ATMR Risiko Kredit-Pendekatan Standar atas
eksposur yang dijamin oleh lembaga penjaminan atau
perusahaan asuransi yang tidak memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam angka 1, angka 2, dan angka
3 namun memenuhi persyaratan garansi sebagaimana
dimaksud dalam butir C.1 dan butir C.2 dilakukan dengan
mengacu pada perhitungan sebagaimana dimaksud dalam
butir C.3.
E. PERHITUNGAN ATMR RISIKO KREDIT-PENDEKATAN STANDAR
ATAS EKSPOSUR YANG MENGGUNAKAN BEBERAPA JENIS TEKNIK
MRK
Dalam hal eksposur tagihan bersih memiliki beberapa jenis Teknik
MRK sebagaimana dimaksud dalam butir A.2, maka:
1. Perhitungan ATMR Risiko Kredit-Pendekatan Standar atas
eksposur yang menggunakan beberapa jenis teknik MRK
merupakan penjumlahan:
a. hasil perkalian antara (i) bagian tagihan bersih yang dijamin
(secured portion) dengan Teknik MRK-Agunan dengan (ii)
bobot risiko dari agunan sebagaimana dimaksud dalam
butir B.5.c.1)a) dan/atau hasil perkalian antara nilai
tagihan bersih setelah pengakuan MRK dengan bobot risiko
sebagaimana dimaksud dalam butir B.6.c.;
b. hasil perkalian antara (i) bagian tagihan bersih yang dijamin
(secured portion) dengan Teknik MRK-Garansi dengan (ii)
bobot risiko dari pihak penerbit garansi sebagaimana
dimaksud dalam butir C.3.a.1);
c. hasil perkalian antara (i) bagian tagihan bersih yang dijamin
(secured portion) dengan Teknik MRK-Penjaminan atau
Asuransi Pembiayaan UMKM dengan (ii) bobot risiko
sebagaimana dimaksud dalam butir D.4.a.1); dan
d.
hasil perkalian antara (i) bagian tagihan bersih yang tidak
dijamin (unsecured portion) dengan Teknik MRK dengan (ii)
bobot...
- 39 -
bobot risiko eksposur sesuai kategori portofolio
sebagaimana dimaksud dalam butir II.E.
2. Apabila nilai total perlindungan dari MRK lebih tinggi dari nilai
tagihan bersih maka perhitungan ATMR sebagaimana dimaksud
dalam angka 1 diprioritaskan menggunakan jenis Teknik MRK
dengan bobot risiko dari yang terendah.
V. PERHITUNGAN ATMR RISIKO KREDIT-PENDEKATAN STANDAR SECARA
KONSOLIDASI BAGI BANK YANG MEMILIKI PERUSAHAAN ANAK
Perhitungan ATMR Risiko Kredit-Pendekatan Standar secara konsolidasi
didasarkan pada laporan keuangan konsolidasi yaitu penjumlahan:
1. ATMR Risiko Kredit untuk Bank secara individu; dan
2. ATMR Risiko Kredit untuk Perusahaan Anak;
dengan cakupan eksposur yang diperhitungkan, tagihan bersih,
penetapan bobot risiko, dan pengakuan MRK sesuai pengaturan dalam
angka II, angka III, dan angka IV Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan
ini, setelah mengeliminasi (set-off) transaksi antar entitas dalam kelompok
usaha yang dikonsolidasi.
VI. PELAPORAN
1. Sesuai Pasal 42 POJK KPMM BUS, Bank wajib menyampaikan
laporan perhitungan KPMM baik secara individu maupun secara
konsolidasi yaitu:
a. laporan perhitungan ATMR Risiko Kredit untuk Bank secara
individu disampaikan setiap bulan untuk posisi akhir bulan; dan
b. laporan perhitungan ATMR Risiko Kredit untuk Bank secara
konsolidasi disampaikan setiap triwulan untuk posisi akhir
bulan Maret, Juni, September, dan Desember, bagi Bank yang
memiliki Perusahaan Anak;
dengan mengacu pada format dan pedoman pengisian dalam
Lampiran I dan Lampiran II Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan
ini.
2. Laporan perhitungan ATMR Risiko Kredit - Pendekatan Standar
sebagaimana dimaksud pada angka 1 disampaikan kepada Otoritas
Jasa Keuangan secara online melalui Laporan Berkala Bank Umum
Syariah. Tata cara penyampaian dan pengenaan sanksi mengacu
pada...
- 40 -
pada ketentuan yang mengatur mengenai laporan berkala bank
umum syariah.
3. Selama pelaporan secara online sebagaimana dimaksud dalam angka
2 belum dapat dilaksanakan maka Bank wajib menyampaikan
laporan secara offline paling lambat:
a. tanggal 21 (dua puluh satu) bulan berikutnya setelah bulan
laporan yang bersangkutan untuk laporan perhitungan ATMR
Risiko Kredit Bank secara individu sebagaimana dimaksud
dalam butir 1.a;
b. tanggal 21 (dua puluh satu) bulan berikutnya setelah akhir
masing-masing triwulan untuk laporan perhitungan ATMR
Risiko Kredit Bank secara konsolidasi, sebagaimana dimaksud
dalam butir 1.b;
4. Apabila tanggal penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam
angka 3 jatuh pada hari Sabtu, hari Minggu atau hari libur maka
laporan disampaikan pada hari kerja berikutnya.
5. Laporan sebagaimana dimaksud dalam angka 3 disampaikan kepada:
a. Departemen Perbankan Syariah, bagi Bank yang berkantor
pusat di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi
(Jabodetabek), serta Provinsi Banten; atau
b. Kantor Regional dan Kantor Otoritas Jasa Keuangan setempat,
bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah Jakarta, Bogor,
Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek), serta Provinsi
Banten.
6. Bank yang tidak menyampaikan laporan atau menyampaikan laporan
tidak sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam angka 3 dan
angka 4, dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam Pasal 47 POJK
KPMM BUS.
VII. LAIN-LAIN
Lampiran I dan Lampiran II merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini.
VIII. PENUTUP
Pada saat Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku:
1. Perhitungan ATMR Risiko Kredit dalam rangka perhitungan KPMM
secara konsolidasi sebagaimana dimaksud dalam butir III.B.1) Surat
Edaran...
- 41 -
Edaran Bank Indonesia Nomor 8/27/DPNP tanggal 27 November
2006 tentang Prinsip Kehati-hatian dan Laporan Dalam Rangka
Penerapan Manajemen Risiko Secara Konsolidasi Bagi Bank yang
Melakukan Pengendalian Terhadap Perusahaan Anak, mengikuti
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Surat Edaran Otoritas Jasa
Keuangan ini, sejak tanggal 1 Januari 2016.
2. BAB III angka 1, angka 2, angka 3, angka 5.1, dan BAB V Surat
Edaran Bank Indonesia Nomor 7/53/DPbS tanggal 22 November
2005 perihal Kewajiban Penyediaan Modal Minimum bagi Bank
Umum yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip
Syariah sebagaimana telah diubah dengan Surat Edaran Bank
Indonesia Nomor 8/10/DPbS tanggal 7 Maret 2006, dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.
3. BAB V angka 1 Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 13/6/DPNP
tanggal 18 Februari 2011 perihal Pedoman Perhitungan Aset
Tertimbang Menurut Risiko untuk Risiko Kredit dengan
Menggunakan Pendekatan Standar dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku bagi bank umum konvensional yang memiliki Unit Usaha
Syariah (UUS). Perhitungan ATMR Risiko Kredit untuk UUS
selanjutnya mengikuti perhitungan ATMR Risiko Kredit yang berlaku
bagi bank umum konvensional.
Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal 1
Januari 2016.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 21 Desember 2015
KEPALA EKSEKUTIF PENGAWAS PERBANKAN
OTORITAS JASA KEUANGAN,
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Sudarmaji
ttd
NELSON TAMPUBOLON
"," SEOJK
34/SEOJK.03/2015
PERHITUNGAN ASET TERTIMBANG MENURUT RISIKO UNTUK RISIKO KREDIT DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN STANDAR BAGI BANK UMUM SYARIAH
21 Desember 2015
1 Januari 2016
'13/6/DPNP|SE-BI/2011 | BAB V angka 1', '7/53/DPbS|SE-BI/2005', '8/10/DPbS|SE-BI/2006 | BAB III angka 1, angka 2, angka 3, angka 5.1, dan BAB V'
'21/POJK.03/2014'
"
" -1-
Yth.
Wakil Penjamin Emisi Efek dan Wakil Perantara Pedagang Efek
di tempat.
SALINANSALINAN
SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 17 /SEOJK.04/2016
TENTANG
PENGAKUAN TERHADAP ASOSIASI WAKIL PENJAMIN EMISI EFEK DAN
WAKIL PERANTARA PEDAGANG EFEK
Dalam rangka pelaksanaan ketentuan Pasal 19 ayat (3) Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan Nomor 27/POJK.04/2014 tentang Perizinan Wakil
Penjamin Emisi Efek dan Wakil Perantara Pedagang Efek (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 362, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5636), perlu mengatur mengenai pengakuan
terhadap asosiasi Wakil Penjamin Emisi Efek dan Wakil Perantara Pedagang
Efek dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan sebagai berikut:
I. KETENTUAN UMUM
Dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan:
1. Wakil Penjamin Emisi Efek adalah orang perseorangan yang
bertindak mewakili kepentingan Perusahaan Efek yang melakukan
kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek.
2. Wakil Perantara Pedagang Efek adalah orang perseorangan yang
bertindak mewakili kepentingan Perusahaan Efek yang melakukan
kegiatan usaha sebagai Perantara Pedagang Efek.
3.
Izin orang perseorangan sebagai Wakil Penjamin Emisi Efek, yang
selanjutnya disebut sebagai Izin Wakil Penjamin Emisi Efek, adalah
izin yang diberikan oleh Otoritas Jasa Keuangan kepada orang
perseorangan untuk bertindak mewakili kepentingan Perusahaan
Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek.
-2-
4.
Izin orang perseorangan sebagai Wakil Perantara Pedagang Efek,
yang selanjutnya disebut Izin Wakil Perantara Pedagang Efek, adalah
izin yang diberikan oleh Otoritas Jasa Keuangan kepada orang
perseorangan untuk bertindak mewakili kepentingan Perusahaan
Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Perantara Pedagang
Efek.
5. Asosiasi Wakil Penjamin Emisi Efek dan Wakil Perantara Pedagang
Efek, yang selanjutnya disebut Asosiasi, adalah badan hukum
berbentuk perkumpulan yang beranggotakan pemegang Izin Wakil
Penjamin Emisi Efek dan/atau Wakil Perantara Pedagang Efek.
6. Anggota Asosiasi, yang selanjutnya disebut Anggota, adalah orang
perseorangan yang memiliki izin Wakil Penjamin Emisi Efek
dan/atau Wakil Perantara Pedagang Efek dari Otoritas Jasa
Keuangan dan mempunyai hak dan kewajiban sesuai dengan
anggaran dasar, anggaran rumah tangga, dan peraturan internal
Asosiasi.
II. PERSYARATAN ASOSIASI UNTUK MENDAPAT PENGAKUAN DARI
OTORITAS JASA KEUANGAN
Untuk mendapat pengakuan Otoritas Jasa Keuangan, Asosiasi wajib
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1. telah mendapatkan pengesahan sebagai badan hukum perkumpulan
dari instansi Pemerintah yang berwenang;
2. memiliki Anggota paling sedikit 500 (lima ratus) orang pada saat
pengajuan kepada Otoritas Jasa Keuangan;
3. memiliki kode etik Asosiasi;
4. memiliki struktur organisasi Asosiasi;
5. memiliki susunan pengurus yang merupakan pemegang Izin Wakil
Penjamin Emisi Efek dan/atau Wakil Perantara Pedagang Efek,
paling sedikit terdiri dari ketua atau sebutan lain, sekretaris atau
sebutan lain, dan bendahara atau sebutan lain;
6. memiliki komite kerja yang bertanggung jawab paling sedikit atas
fungsi:
a. pengkajian dan pengembangan;
-3-
b. pengawasan etik; dan
c. pelaksanaan kegiatan Asosiasi;
7. memiliki prosedur operasi standar pelaksanaan kegiatan Asosiasi,
paling sedikit meliputi:
a. pelaksanaan pendidikan berkelanjutan bagi pemegang Izin
Wakil Penjamin Emisi Efek dan/atau Wakil Perantara Pedagang
Efek; dan
b. pelaksanaan pendidikan dan/atau pelatihan lainnya dalam
rangka peningkatan kompetensi Wakil Penjamin Emisi Efek
dan/atau Wakil Perantara Pedagang Efek;
8. memiliki peraturan keanggotaan yang paling sedikit memuat:
a. persyaratan dan prosedur penerimaan Anggota;
b. batasan keanggotaan pada Asosiasi sejenis dimana Anggota
hanya dapat menjadi anggota 1 (satu) Asosiasi;
c. hak dan kewajiban Anggota;
d. kepengurusan dan keanggotaan Asosiasi;
e. pendanaan kegiatan Asosiasi;
f. biaya keanggotaan; dan
g.
sanksi;
9. memiliki rencana kegiatan Asosiasi, paling sedikit:
a. program pendidikan berkelanjutan bagi pemegang Izin Wakil
Penjamin Emisi Efek dan/atau Wakil Perantara Pedagang Efek;
dan
b. rencana penyelenggaraan pendidikan dan/atau pelatihan
lainnya dalam rangka peningkatan kompetensi Wakil Penjamin
Emisi Efek dan/atau Wakil Perantara Pedagang Efek;
10. memiliki sistem pengendalian internal yang memadai, paling sedikit;
a. sistem pengawasan terhadap risiko benturan kepentingan
dalam pelaksanaan tugas dan fungsi Asosiasi;
b. sistem pengawasan terhadap Anggota dalam menjalankan kode
etik; dan
-4-
c. sistem pengawasan dalam rangka pelaksanaan evaluasi secara
berkala dan berkesinambungan atas pelaksanaan kegiatan
Asosiasi;
11. memiliki database Anggota yang paling sedikit memuat:
a. nama;
b. alamat;
c. nomor Izin Wakil Penjamin Emisi Efek dan/atau Wakil
Perantara Pedagang Efek;
d. tempat bekerja (jika ada); dan
e. nomor telepon; dan
12. memiliki atau menguasai sarana dan prasarana yang memadai,
paling sedikit terdiri dari:
a. bangunan atau ruangan sebagai lokasi kantor Asosiasi; dan
b. sarana penunjang lainnya seperti komputer, telepon dan fax.
III. TATA CARA PERMOHONAN PENGAKUAN ASOSIASI
1. Permohonan untuk mendapat pengakuan sebagai Asosiasi diajukan
oleh pemohon dalam bentuk dokumen cetak kepada Otoritas Jasa
Keuangan sesuai dengan format surat Permohonan Pengakuan
Asosiasi Wakil Penjamin Emisi Efek dan Wakil Perantara Pedagang
Efek sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan
ini.
2. Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan telah menyediakan sistem
elektronik, permohonan untuk mendapat pengakuan sebagai
Asosiasi dapat diajukan melalui sistem elektronik tersebut.
3. Permohonan untuk mendapat pengakuan sebagai Asosiasi
sebagaimana dimaksud pada angka 1 dan angka 2 wajib disertai
kelengkapan dokumen sebagai berikut:
a.
fotokopi dokumen pengesahan Asosiasi sebagai badan hukum
berbentuk perkumpulan dari instansi Pemerintah yang
berwenang;
-5-
b. data pemegang Izin Wakil Penjamin Emisi Efek dan/atau Wakil
Perantara Pedagang Efek sebagai Anggota paling sedikit
500 (lima ratus) orang pada saat pengajuan kepada Otoritas
Jasa Keuangan sesuai dengan format Data Pemegang Izin Wakil
Penjamin Emisi Efek dan/atau Wakil Perantara Pedagang Efek
Sebagai Anggota Asosiasi Wakil Penjamin Emisi Efek dan Wakil
Perantara Pedagang Efek sebagaimana tercantum dalam
Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat
Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini;
c. salinan kode etik Asosiasi;
d. struktur organisasi Asosiasi serta susunan pengurus dan
komite kerja Asosiasi yang dilengkapi dengan dokumen:
1) daftar riwayat hidup terbaru yang telah ditandatangani;
2) fotokopi Kartu Tanda Penduduk atau Paspor yang masih
berlaku;
3) fotokopi Izin Wakil Penjamin Emisi Efek dan/atau Wakil
Perantara Pedagang Efek yang masih berlaku;
4) pasfoto berwarna terbaru ukuran 4x6 cm dengan latar
belakang berwarna merah sebanyak 1 (satu) lembar; dan
5) pernyataan integritas sesuai dengan format Surat
Pernyataan Integritas sebagaimana tercantum dalam
Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini,
untuk masing-masing pengurus dan pimpinan komite kerja
Asosiasi;
e. prosedur operasi standar pelaksanaan kegiatan Asosiasi, paling
sedikit meliputi:
1) pelaksanaan pendidikan berkelanjutan bagi pemegang Izin
Wakil Penjamin Emisi Efek dan/atau Wakil Perantara
Pedagang Efek; dan
2) pelaksanaan pendidikan dan/atau pelatihan lainnya dalam
rangka peningkatan kompetensi Wakil Penjamin Emisi
Efek dan/atau Wakil Perantara Pedagang Efek;
-6-
f.
salinan peraturan keanggotaan Asosiasi;
g. rencana kegiatan Asosiasi, paling sedikit:
1) program pendidikan berkelanjutan bagi pemegang Izin
Wakil Penjamin Emisi Efek dan/atau Wakil Perantara
Pedagang Efek; dan
2) rencana penyelenggaraan pendidikan dan/atau pelatihan
lainnya dalam rangka peningkatan kompetensi Wakil
Penjamin Emisi Efek dan/atau Wakil Perantara Pedagang
Efek;
h. dokumen terkait sistem pengendalian internal yang memadai,
paling sedikit:
1) sistem pengawasan terhadap risiko benturan kepentingan
dalam pelaksanaan tugas dan fungsi Asosiasi;
2) sistem pengawasan terhadap Anggota dalam menjalankan
kode etik; dan
3) sistem pengawasan dalam rangka pelaksanaan evaluasi
secara berkala dan berkesinambungan atas pelaksanaan
kegiatan Asosiasi;
i. dokumen terkait database Anggota;
j.
surat keterangan domisili dari pengelola gedung atau instansi
berwenang; dan
k. fotokopi bukti kepemilikan atau perjanjian sewa atas kantor
Asosiasi.
4. Dalam hal permohonan untuk mendapat pengakuan diajukan oleh
pemohon dalam bentuk dokumen cetak kepada Otoritas Jasa
Keuangan sebagaimana dimaksud pada angka 1, dokumen
permohonan untuk mendapat pengakuan sebagai Asosiasi
sebagaimana dimaksud pada angka 3 wajib pula disiapkan dalam
format digital dan disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan
dengan menggunakan media digital cakram padat (compact disc)
atau lainnya.
-7-
5. Dalam rangka memproses permohonan pengakuan sebagai Asosiasi,
Otoritas Jasa Keuangan melakukan penelaahan atas kelengkapan
dokumen permohonan.
6. Dalam rangka menilai kesiapan pemohon sebagai Asosiasi, Otoritas
Jasa Keuangan berwenang:
a. melakukan pemeriksaan di kantor Asosiasi;
b. meminta Asosiasi untuk memaparkan rencana kegiatan
Asosiasi; dan/atau
c. meminta data dan informasi yang dibutuhkan.
7. Pengakuan Asosiasi diberikan Otoritas Jasa Keuangan paling lambat
20 (dua puluh) hari kerja sejak diterimanya permohonan pengakuan
Asosiasi yang memenuhi syarat.
8. Dalam hal permohonan untuk mendapat pengakuan sebagai
Asosiasi pada saat diterima tidak memenuhi syarat, paling lambat
20 (dua puluh) hari kerja sejak diterimanya permohonan Otoritas
Jasa Keuangan memberikan surat pemberitahuan kepada pemohon
yang menyatakan:
a. permohonan belum memenuhi persyaratan; atau
b. permohonan ditolak karena tidak memenuhi persyaratan.
9. Dalam hal permohonan untuk mendapat pengakuan sebagai
Asosiasi belum memenuhi persyaratan, pemohon wajib melengkapi
kekurangan yang dipersyaratkan dalam surat pemberitahuan
sebagaimana dimaksud pada angka 8 huruf a paling lambat
20 (dua puluh) hari kerja setelah tanggal surat pemberitahuan.
10. Penyampaian perubahan dokumen, tambahan informasi, dan/atau
kelengkapan kekurangan persyaratan sebagaimana dimaksud pada
angka 9 dianggap telah diterima oleh Otoritas Jasa Keuangan pada
tanggal diterimanya perubahan dokumen, tambahan informasi,
dan/atau kelengkapan kekurangan persyaratan tersebut.
11. Sejak diterimanya perubahan dokumen, tambahan informasi,
dan/atau kelengkapan kekurangan persyaratan sebagaimana
dimaksud pada angka 10, permohonan pengakuan sebagai Asosiasi
-8-
dianggap baru diterima oleh Otoritas Jasa Keuangan dan diproses
sebagaimana dimaksud pada angka 7.
12. Pemohon yang tidak melengkapi kekurangan yang dipersyaratkan
dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada angka 9 dianggap
membatalkan permohonan untuk mendapat pengakuan sebagai
Asosiasi yang sudah diajukan kepada Otoritas Jasa Keuangan.
IV. TUGAS, WEWENANG, DAN LARANGAN ASOSIASI
1. Asosiasi yang telah mendapat pengakuan dari Otoritas Jasa
Keuangan mempunyai tugas dan wewenang:
a. menyelenggarakan pendidikan berkelanjutan bagi pemegang
Izin Wakil Penjamin Emisi Efek dan/atau Wakil Perantara
Pedagang Efek sesuai dengan kurikulum yang telah ditetapkan;
b. menyelenggarakan pendidikan dan/atau pelatihan lainnya
dalam rangka peningkatan kompetensi Wakil Penjamin Emisi
Efek dan/atau Wakil Perantara Pedagang Efek;
c. menetapkan peraturan keanggotaan Asosiasi;
d. menegakkan kode etik bagi Anggota;
e. melakukan pengawasan terhadap Anggota dalam menjalankan
profesi sebagai Wakil Penjamin Emisi Efek dan/atau Wakil
Perantara Pedagang Efek dan memastikan Anggota mematuhi
peraturan keanggotaan Asosiasi serta kode etik Anggota;
f. melakukan pemantauan dan evaluasi secara berkala setiap
6 (enam) bulan sekali terhadap pelaksanaan kegiatan Asosiasi;
g. melakukan pembaharuan database Anggota secara berkala
setiap 1 (satu) bulan sekali;
h. memiliki situs web dengan nama domain Indonesia yang berisi
informasi umum Asosiasi yang dapat diakses masyarakat; dan
i. menetapkan hal lain yang menunjang kegiatan Asosiasi.
2. Penyelenggaraan pendidikan sebagaimana dimaksud pada angka
1 huruf a dan huruf b dapat dilakukan sendiri oleh Asosiasi atau
bekerja sama dengan pihak lain.
-9-
3. Asosiasi bertanggung jawab secara penuh terhadap penyelenggaraan
pendidikan bagi pemegang Izin Wakil Penjamin Emisi Efek dan/atau
Wakil Perantara Pedagang Efek dan pendidikan dan/atau pelatihan
lainnya dalam rangka peningkatan kompetensi Wakil Penjamin
Emisi Efek dan/atau Wakil Perantara Pedagang Efek yang dilakukan
oleh pihak lain yang melakukan kerja sama dengan Asosiasi.
4. Asosiasi yang telah mendapat pengakuan dari Otoritas Jasa
Keuangan dilarang:
a. memberikan perlakuan yang berbeda kepada anggotanya;
dan/atau
b. melakukan tindakan di luar tugas dan kewenangannya
sebagaimana dimaksud dalam Surat Edaran Otoritas Jasa
Keuangan ini, anggaran dasar, anggaran rumah tangga, dan
peraturan internal Asosiasi.
V. SUMBER PENDANAAN
1. Dalam rangka menunjang kegiatannya, Asosiasi dapat memperoleh
pendanaan dari:
a. biaya pendaftaran dan iuran rutin keanggotaan;
b. biaya pendidikan berkelanjutan bagi pemegang Izin Wakil
Penjamin Emisi Efek dan/atau Wakil Perantara Pedagang Efek;
c. biaya penyelenggaraan pendidikan dan/atau pelatihan lainnya
dalam rangka peningkatan kompetensi Wakil Penjamin Emisi
Efek dan/atau Wakil Perantara Pedagang Efek, seperti
lokakarya, seminar dan/atau pelatihan (training) terkait
penjaminan emisi Efek dan keperantaraan pedagang Efek; dan
d. sumber lain sepanjang
ditetapkan dalam anggaran
dasar/anggaran rumah tangga atau disepakati oleh Anggota.
2. Asosiasi wajib membuat laporan pertanggungjawaban keuangan
kepada Anggota paling sedikit 1 (satu) tahun sekali.
-10-
VI. PELAPORAN
1.
Asosiasi yang telah mendapat pengakuan dari Otoritas Jasa
Keuangan wajib menyampaikan laporan kepada Otoritas Jasa
Keuangan:
a. laporan rencana kegiatan dan anggaran tahunan, paling lambat
pada setiap tanggal 15 Desember tahun sebelumnya sesuai
dengan format Laporan Rencana Kegiatan Dan Anggaran
Tahunan sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran
Otoritas Jasa Keuangan ini;
b. laporan realisasi pelaksanaan kegiatan tengah tahunan, paling
lambat pada setiap tanggal 12 Januari dan 12 Juli sesuai
dengan format Laporan Realisasi Pelaksanaan Kegiatan Tengah
Tahunan sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran
Otoritas Jasa Keuangan ini;
c. laporan penerimaan dan/atau pemberhentian Anggota, paling
lambat pada setiap tanggal 12 Januari dan 12 Juli sesuai
dengan format Laporan Tengah Tahunan Penerimaan dan/atau
Pemberhentian Anggota Asosiasi Wakil Penjamin Emisi Efek
dan Wakil Perantara Pedagang Efek sebagaimana tercantum
dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini; dan
d. laporan perubahan anggaran dasar dan/atau susunan
kepengurusan Asosiasi, paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak
terjadinya perubahan (jika ada).
2. Dalam hal batas akhir waktu penyampaian laporan sebagaimana
dimaksud pada angka 1 huruf a, huruf b, dan huruf c jatuh pada
hari libur, laporan tersebut disampaikan paling lambat pada 1 (satu)
hari kerja berikutnya.
-11-
VII. PENCABUTAN PENGAKUAN ASOSIASI
1. Surat Pengakuan sebagai Asosiasi menjadi tidak berlaku apabila:
a. badan hukum pihak yang melakukan kegiatan sebagai Asosiasi
yang mewadahi Wakil Penjamin Emisi Efek dan Wakil Perantara
Pedagang Efek bubar; dan/atau
b. status badan hukum dari Asosiasi dicabut oleh instansi yang
berwenang.
2. Otoritas Jasa Keuangan dapat mencabut surat pengakuan Asosiasi
apabila terdapat hal sebagai berikut:
a. Asosiasi mengembalikan surat pengakuan Asosiasi yang
dimilikinya;
b. kantor Asosiasi tidak ditemukan;
c.
Asosiasi melakukan pelanggaran atas Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan Nomor 27/POJK.04/2014 tentang Perizinan Wakil
Penjamin Emisi Efek dan Wakil Perantara Pedagang Efek dan
Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini;
d. Asosiasi tidak melaksanakan tugas selama 12 (dua belas) bulan
berturut-turut;
e.
Asosiasi telah menerima 3 (tiga) kali surat peringatan namun
dalam waktu 1 (satu) bulan sejak diterbitkannya surat
peringatan ketiga tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
tercantum dalam isi surat peringatan tersebut; dan/atau
f.
tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada
angka II.
3. Dalam hal pencabutan surat pengakuan Asosiasi disebabkan karena
Asosiasi mengembalikan surat pengakuan sebagaimana dimaksud
pada angka 2 huruf a, Asosiasi wajib mengajukan surat permohonan
pengembalian surat pengakuan sebagai Asosiasi kepada Otoritas
Jasa Keuangan dengan disertai dokumen sebagai berikut:
a. keterangan mengenai alasan pengembalian surat pengakuan
tersebut;
-12-
b. surat pengakuan sebagai Asosiasi oleh Otoritas Jasa Keuangan;
dan
c. Surat pernyataan pertanggungjawaban dari pengurus Asosiasi
atas kewajiban Asosiasi kepada pihak ketiga dan/atau Anggota.
4. Dalam hal pencabutan surat pengakuan Asosiasi disebabkan karena
ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka 2 huruf b, huruf c,
huruf d, huruf e, dan huruf f, Asosiasi wajib menyelesaikan
kewajibannya kepada Anggota dan/atau pihak ketiga.
5. Tidak berlakunya surat pengakuan Asosiasi sebagaimana dimaksud
pada angka 1 dan pencabutan surat pengakuan Asosiasi
sebagaimana dimaksud pada angka 2 dapat diumumkan oleh
Otoritas Jasa Keuangan melalui media massa.
VIII. KETENTUAN PERALIHAN
Pemegang Izin Wakil Penjamin Emisi Efek dan/atau Wakil Perantara
Pedagang Efek yang masa berlaku izinnya akan berakhir kurang dari
3 (tiga) bulan setelah terdapat Asosiasi yang telah mendapat pengakuan
dari Otoritas Jasa Keuangan, dikecualikan dari kewajiban penyampaian
dokumen fotokopi kartu Anggota Asosiasi yang mewadahi Wakil Penjamin
Emisi Efek dan/atau Wakil Perantara Pedagang Efek sebagaimana
dimaksud pada pasal 10 ayat (3) huruf g Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan Nomor 27/POJK.04/2014 tentang Perizinan Wakil Penjamin
Emisi Efek dan Wakil Perantara Pedagang Efek.
IX. KETENTUAN PENUTUP
Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal
ditetapkan.
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 26 Mei 2016
KEPALA EKSEKUTIF
PENGAWAS PASAR MODAL,
ttd
NURHAIDA
"," SEOJK
17/SEOJK.04/2016
PENGAKUAN TERHADAP ASOSIASI WAKIL PENJAMIN EMISI EFEK DAN WAKIL PERANTARA PEDAGANG EFEK
26 Mei 2016
26 Mei 2016
'27/POJK.04/2014 | Pasal 19 ayat (3)'
"
" Yth.
Direksi Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan
di tempat.
SALINAN
SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 36 /SEOJK.03/2017
TENTANG
TATA CARA PENGGUNAAN JASA AKUNTAN PUBLIK DAN KANTOR AKUNTAN
PUBLIK DALAM KEGIATAN JASA KEUANGAN
Sehubungan dengan telah diterbitkannya Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan Nomor 13/POJK.03/2017 tentang Penggunaan Jasa Akuntan Publik
dan Kantor Akuntan Publik dalam Kegiatan Jasa Keuangan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 6036) yang selanjutnya disebut POJK AP dan KAP,
perlu diatur ketentuan pelaksanaan mengenai tata cara penggunaan jasa
akuntan publik dan kantor akuntan publik dalam kegiatan jasa keuangan
dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan, yang mencakup hal-hal sebagai
berikut:
I. KETENTUAN UMUM
1. Dalam rangka transparansi kondisi keuangan dan peningkatan
kualitas informasi keuangan, pihak yang melaksanakan kegiatan jasa
keuangan menggunakan jasa Akuntan Publik (AP) dan Kantor
Akuntan Publik (KAP) yang terdaftar pada Otoritas Jasa Keuangan.
2. Penyediaan informasi keuangan yang berkualitas tersebut merupakan
bagian dari penerapan tata kelola yang baik yang diantaranya
melibatkan peran dari Komite Audit dalam rangka mengawasi
efektivitas penyelenggaraan fungsi audit eksternal oleh AP dan KAP.
Otoritas Jasa Keuangan menyelenggarakan kegiatan administrasi
pengelolaan dalam rangka penyediaan daftar AP dan KAP yang dapat
- 2 -
dipergunakan oleh Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa
Keuangan.
3. Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan adalah pihak yang
melaksanakan kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan, Pasar
Modal, dan/atau Industri Keuangan Non-Bank (IKNB) yang diatur dan
diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang mengenai Otoritas Jasa Keuangan.
4. Menteri adalah menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang
keuangan.
5. Orang Dalam KAP adalah:
a. orang yang termasuk dalam penugasan audit, reviu, asurans
lainnya, dan/atau non asurans yaitu:
1) rekan;
2) pimpinan;
3) karyawan profesional; dan/atau
4) penelaah,
yang ikut serta dalam penugasan;
b. orang yang termasuk dalam rantai pelaksana atau perintah yaitu
pimpinan KAP dan semua orang yang:
1) mengawasi atau mempunyai tanggung jawab manajemen
secara langsung terhadap audit;
2) mengevaluasi kinerja atau merekomendasikan kompensasi
bagi rekan dalam penugasan audit; atau
3) menyediakan pengendalian mutu atau pengawasan lain atas
audit;
c.
setiap rekan lainnya, pimpinan, atau karyawan profesional
lainnya dari KAP dan afiliasi dari KAP yang telah memberikan jasa
audit, reviu, asurans lainnya, dan/atau non asurans kepada
Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan yang sedang
diaudit atau diperiksa (klien).
6. Karyawan Kunci adalah orang perseorangan yang mempunyai
wewenang dan tanggung jawab untuk merencanakan, memimpin, dan
mengendalikan kegiatan lembaga yang meliputi anggota dewan
komisaris, anggota direksi, dan pejabat dari perusahaan.
7. Anggota Keluarga Dekat adalah istri atau suami, orang tua, anak baik
di dalam maupun di luar tanggungan, dan saudara kandung.
- 3 -
II. PENUNJUKAN AP DAN/ATAU KAP SERTA PERAN KOMITE AUDIT
1. Penunjukan AP dan/atau KAP yang akan memberikan jasa audit atas
informasi keuangan historis tahunan diputuskan oleh Rapat Umum
Pemegang Saham Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan
dengan mempertimbangkan usulan dewan komisaris.
2. Usulan penunjukan AP dan/atau KAP yang diajukan oleh dewan
komisaris memperhatikan rekomendasi Komite Audit. Dalam
menyusun rekomendasi Komite Audit dapat mempertimbangkan:
a. independensi AP, KAP, dan Orang Dalam KAP;
b. ruang lingkup audit;
c. imbalan jasa audit;
d. keahlian dan pengalaman AP, KAP, dan Tim Audit dari KAP;
e. metodologi, teknik, dan sarana audit yang digunakan KAP;
f. manfaat fresh eye perspectives yang akan diperoleh melalui
penggantian AP, KAP, dan Tim Audit dari KAP;
g. potensi risiko atas penggunaan jasa audit oleh KAP yang sama
secara berturut-turut untuk kurun waktu yang cukup panjang;
dan/atau
h. hasil evaluasi terhadap pelaksanaan pemberian jasa audit atas
informasi keuangan historis tahunan oleh AP dan KAP pada
periode sebelumnya, apabila ada.
3. Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan melaporkan
penunjukan AP dan/atau KAP dalam rangka audit atas informasi
keuangan historis tahunan dengan menggunakan Formulir 1
sebagaimana pada Lampiran yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini.
4. Laporan penunjukan AP dan/atau KAP sebagaimana dimaksud pada
angka 3 dilampiri dengan:
a. dokumen penunjukan AP dan/atau KAP antara lain Ringkasan
Risalah Rapat Umum Pemegang Saham atau Risalah Rapat
Umum Pemegang Saham, Perjanjian Kerja antara Pihak yang
Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan dengan KAP; dan
b. rekomendasi Komite Audit dan pertimbangan yang digunakan
dalam memberikan rekomendasi penunjukan AP dan/atau KAP.
5. Komite Audit melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan pemberian
jasa audit atas informasi keuangan historis tahunan oleh AP dan/atau
KAP, yang paling sedikit mencakup:
a. kesesuaian pelaksanaan audit oleh AP dan/atau KAP dengan
standar audit yang berlaku;
- 4 -
b. kecukupan waktu pekerjaan lapangan;
c. pengkajian cakupan jasa yang diberikan dan kecukupan uji
petik; dan
d. rekomendasi perbaikan yang diberikan oleh AP dan/atau KAP.
6. Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan melaporkan hasil
evaluasi Komite Audit terhadap pelaksanaan pemberian jasa audit
atas informasi keuangan historis tahunan oleh AP dan/atau KAP,
dengan menggunakan Formulir 2 sebagaimana pada Lampiran yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Otoritas Jasa
Keuangan ini.
7. Laporan hasil evaluasi Komite Audit sebagaimana dimaksud pada
angka 6 ditandatangani oleh Komite Audit dan disampaikan oleh
direksi.
III. PERJANJIAN KERJA DAN RUANG LINGKUP AUDIT
1. Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan menggunakan
jasa AP dan/atau KAP untuk melaksanakan audit informasi keuangan
historis tahunan berdasarkan perjanjian kerja dengan KAP.
2. Sesuai dengan POJK AP dan KAP, perjanjian kerja dimaksud dapat
mencantumkan ruang lingkup audit. Khusus untuk bank, dalam
perjanjian kerja wajib dicantumkan ruang lingkup audit.
3. Ruang lingkup audit untuk Bank Umum atau Bank Umum Syariah
(BUS) paling sedikit meliputi:
a.
uji petik paling sedikit 70% (tujuh puluh persen) dari nilai
nominal setiap jenis aset keuangan dan mencakup minimal 25
(dua puluh lima) debitur terbesar atau berdasarkan hasil
komunikasi antara Otoritas Jasa Keuangan sektor Perbankan
dengan AP;
b. penggolongan Kualitas Aset Produktif dan perhitungan
Penyisihan Penghapusan Aset Produktif (PPAP) sebagaimana
diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
mengenai penilaian kualitas aset bank umum atau Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan mengenai Penilaian Kualitas Aset Bank
Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah;
c. penilaian terhadap Agunan Yang Diambil Alih (AYDA)
sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-
undangan mengenai penilaian kualitas aset bank umum atau
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai Penilaian Kualitas
Aset Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah;
- 5 -
d. penilaian terhadap rupa-rupa aset;
e. kewajaran transaksi dengan pihak-pihak berelasi maupun
transaksi yang dilakukan dengan perlakuan khusus;
jumlah dan kualitas penyediaan dana kepada pihak terkait;
f.
g.
rincian pelanggaran Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK)
atau Batas Maksimum Penyaluran Dana (BMPD) sebagaimana
diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
mengenai batas maksimum pemberian kredit bank umum, yang
meliputi nama debitur, kualitas penyediaan dana, persentase,
dan jumlah pelanggaran BMPK atau BMPD;
h. rincian pelampauan BMPK atau BMPD sebagaimana diatur
dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai
batas maksimum pemberian kredit bank umum yang meliputi
nama debitur, kualitas penyediaan dana, persentase, dan jumlah
pelampauan BMPK atau BMPD;
i. perhitungan Aset Tertimbang Menurut Risiko (ATMR)
sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
mengenai Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum
atau Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai Kewajiban
Penyediaan Modal Minimum Bank Umum Syariah, untuk
masing-masing risiko;
j. perhitungan Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM)
sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
mengenai Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum
atau Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai Kewajiban
Penyediaan Modal Minimum Bank Umum Syariah;
transaksi spot dan transaksi derivatif;
k.
l.
Rasio Posisi Devisa Neto (PDN) sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai posisi
devisa neto bank umum;
m. perhitungan sumber dan penyaluran dana zakat serta sumber
dan penggunaan dana kebajikan (khusus BUS dan Unit Usaha
Syariah (UUS);
n. kewajaran perhitungan distribusi bagi hasil (khusus BUS dan
UUS);
o. keandalan sistem informasi pelaporan bank;
p. hal-hal lain yang ditentukan berdasarkan hasil komunikasi
Otoritas Jasa Keuangan dengan KAP sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 19 POJK AP dan KAP; dan
- 6 -
q. hal-hal lain yang diatur dalam Standar Akuntansi Keuangan
(SAK) dan peraturan terkait akuntansi yang diterbitkan oleh
Otoritas Jasa Keuangan antara lain Pedoman Akuntansi
Perbankan Indonesia (PAPI) dan Pedoman Akuntansi Perbankan
Syariah Indonesia (PAPSI), termasuk catatan atas laporan
keuangan.
4. Ruang lingkup audit untuk Bank Perkreditan Rakyat (BPR) atau Bank
Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) paling sedikit meliputi:
a. penilaian atas penggolongan kualitas aset produktif dan
kecukupan penyisihan penghapusan aset produktif sebagaimana
diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
mengenai kualitas aset produktif dan pembentukan penyisihan
penghapusan aset produktif bank perkreditan rakyat atau
ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penilaian
kualitas aktiva bagi bank pembiayaan rakyat syariah, yang
dibentuk BPR atau BPRS;
b. penilaian terhadap aset lain-lain dan AYDA BPR atau BPRS
sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-
undangan mengenai kualitas aset produktif dan pembentukan
penyisihan penghapusan aset produktif bank perkreditan rakyat
atau ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai
penilaian kualitas aktiva bagi bank pembiayaan rakyat syariah;
c. kewajaran atas transaksi dengan pihak-pihak yang mempunyai
hubungan istimewa maupun transaksi yang dilakukan dengan
perlakuan khusus;
d. jumlah dan kualitas penyediaan dana kepada pihak terkait;
e.
rincian pelanggaran BMPK atau BMPD sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan peratuan perundang-undangan mengenai batas
maksimum pemberian kredit BPR atau ketentuan peraturan
perundang-undangan mengenai batas maksimum penyaluran
dana BPRS, yang meliputi nama nasabah, kualitas penyediaan
dana, persentase, dan jumlah pelanggaran BMPK atau BMPD;
f.
rincian pelampauan BMPK atau BMPD yang meliputi nama
nasabah, kualitas penyediaan dana, persentase, dan jumlah
pelanggaran BMPK atau BMPD;
g. perhitungan KPMM sebagaimana diatur dalam Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan mengenai Kewajiban Penyediaan Modal
Minimum dan Pemenuhan Modal Inti Minimum BPR atau
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai Kewajiban
- 7 -
Penyediaan Modal Minimum dan Pemenuhan Modal Inti
Minimum BPRS;
h. Loan to Deposit Ratio (LDR) bagi BPR atau Financing to Deposit
Ratio (FDR) bagi BPRS;
i. perbandingan jumlah kredit atau pembiayaan bermasalah
terhadap total kredit atau total pembiayaan yang diberikan serta
penyebab utamanya;
j. Return on Asset (ROA) dan Beban Operasional terhadap
Pendapatan Operasional (BOPO);
k. keandalan sistem informasi pelaporan BPR atau BPRS;
l.
hal-hal lain yang ditentukan berdasarkan hasil komunikasi
Otoritas Jasa Keuangan dengan KAP sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 19 POJK AP dan KAP; dan
m. hal-hal lain yang diatur dalam SAK yang berlaku serta peraturan
terkait akuntansi yang diterbitkan oleh Otoritas Jasa Keuangan
antara lain Pedoman Akuntansi BPR atau Pedoman Akuntansi
BPRS, termasuk catatan atas laporan keuangan.
5. Khusus untuk bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan
prinsip syariah, ruang lingkup audit juga mencantumkan bahwa
prosedur audit termasuk memperoleh bukti audit berupa pendapat
dari dewan pengawas syariah mengenai ketaatan bank terhadap
pelaksanaan prinsip syariah sebelum menerbitkan laporan audit atas
laporan keuangan bank.
6. Dewan pengawas syariah memberikan nasihat dan saran kepada
direksi serta mengawasi kegiatan bank agar sesuai dengan prinsip
syariah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang mengenai
Perbankan Syariah.
7. Sebagai bagian dari tugas pengawasan terhadap kegiatan bank agar
sesuai dengan prinsip syariah, dewan pengawas syariah memberikan
pendapat kepada AP dan KAP mengenai ketaatan bank terhadap
pelaksanaan prinsip syariah.
8. Dalam mengeluarkan pendapat mengenai ketaatan bank terhadap
pelaksanaan prinsip syariah, dewan pengawas syariah harus mengacu
pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur
mengenai tugas dan peran dewan pengawas syariah. Pendapat dari
dewan pengawas syariah tidak mempengaruhi AP dalam memberikan
opini.
- 8 -
IV. PROGRAM SERTIFIKASI DAN PENDIDIKAN PROFESIONAL
BERKELANJUTAN
1.
Sertifikasi
a. Program sertifikasi adalah program pendidikan bagi AP dalam
rangka meningkatkan kompetensi dan pengetahuan di bidang
jasa keuangan dan industri yang menggunakan jasa AP.
b. Materi yang dicakup dalam program sertifikasi per sektor jasa
keuangan adalah masing-masing sebanyak 16 (enam belas)
satuan kredit profesi, meliputi:
1) pengetahuan umum mengenai fungsi, tugas, dan wewenang
Otoritas Jasa Keuangan;
2) pengetahuan mengenai Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
yang terkait dengan AP, KAP, akuntansi, pengauditan, dan
jasa yang dapat diberikan kepada Pihak yang Melaksanakan
Kegiatan Jasa Keuangan; dan
3) pengetahuan mengenai Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
mengenai kewajiban dari Pihak yang Melaksanakan
Kegiatan Jasa Keuangan yang harus diungkapkan dalam
laporan keuangan.
2. Sertifikasi Akuntansi Syariah
a. Program sertifikasi akuntansi syariah adalah program pendidikan
bagi AP yang akan memberikan jasa bagi BUS dan BPRS dalam
rangka meningkatkan pengetahuan akuntansi syariah.
b. Materi yang dicakup paling sedikit mengenai standar akuntansi
keuangan syariah.
c. KAP yang memberikan jasa audit atas informasi keuangan
historis tahunan kepada Bank Umum yang memiliki UUS harus
memiliki paling sedikit 1 (satu) anggota tim audit yang memiliki
sertifikat program sertifikasi akuntansi syariah.
3. Pendidikan Profesional Berkelanjutan
a. Pendidikan Profesional Berkelanjutan (PPL) adalah suatu
pendidikan dan/atau pelatihan profesi bagi AP yang bersifat
berkelanjutan dan bertujuan untuk menjaga kompetensi
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-
undangan mengenai praktik akuntan publik.
b. Materi yang dicakup dalam PPL meliputi pengetahuan mengenai
peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan terkini,
masing-masing sebanyak 5 (lima) satuan kredit pendidikan
- 9 -
profesional berkelanjutan (SKP) setiap tahunnya untuk setiap
sektor jasa keuangan.
Sebagai contoh, AP yang terdaftar pada Otoritas Jasa Keuangan
sektor Perbankan dan sektor Pasar Modal harus memenuhi
kegiatan PPL sebanyak 10 (sepuluh) SKP setiap tahun, yaitu
5 (lima) SKP untuk sektor Perbankan dan 5 (lima) SKP untuk
sektor Pasar Modal.
c. AP yang terdaftar pada Otoritas Jasa Keuangan mengikuti PPL
mulai pada tahun terdaftar dengan jumlah SKP sebagaimana
dimaksud dalam huruf b.
4. Penyelenggaraan Program Sertifikasi dan Pendidikan Profesional
Berkelanjutan
a. Kegiatan program sertifikasi dan PPL diselenggarakan oleh
lembaga yang diakui oleh Otoritas Jasa Keuangan antara lain
Asosiasi Profesi Akuntan Publik yang ditetapkan oleh Menteri.
b. Kegiatan program sertifikasi akuntansi syariah diselenggarakan
oleh lembaga yang diakui oleh Otoritas Jasa Keuangan antara
lain Asosiasi Profesi Akuntan Publik dan asosiasi profesi akuntan
yang ditetapkan oleh Menteri.
c. Lembaga sebagaimana dimaksud dalam huruf a berkoordinasi
dengan Otoritas Jasa Keuangan dalam rangka penentuan:
1) materi dan jumlah SKP dari program sertifikasi dan PPL; dan
2) penyampaian data rekapitulasi peserta sertifikasi kepada
Otoritas Jasa Keuangan.
d. Lembaga sebagaimana dimaksud dalam huruf b berkoordinasi
dengan Otoritas Jasa Keuangan dalam rangka penentuan materi
dari program sertifikasi dan penyampaian data rekapitulasi
peserta sertifikasi kepada Otoritas Jasa Keuangan.
V. PENGELOLAAN ADMINISTRASI AP DAN/ATAU KAP
Aktivitas dalam pengelolaan administrasi AP dan/atau KAP terdaftar pada
Otoritas Jasa Keuangan meliputi kegiatan pendaftaran, perubahan ruang
lingkup jasa, penghentian jasa untuk sementara waktu, pengaktifan
kembali, dan pengunduran diri.
1. Pendaftaran AP dan/atau KAP
Sesuai dengan POJK AP dan KAP, sebelum memberikan jasa kepada
Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan, AP dan KAP wajib
terlebih dahulu terdaftar pada Otoritas Jasa Keuangan, dengan cara
sebagai berikut:
- 10 -
a. AP mengajukan surat permohonan pendaftaran yang
mencantumkan satu atau lebih pilihan sektor jasa keuangan,
dengan menggunakan Formulir 3.1 sebagaimana pada Lampiran
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran
Otoritas Jasa Keuangan ini dan disertai dokumen paling sedikit:
1) fotokopi izin yang masih berlaku dari Menteri;
2) daftar riwayat hidup terbaru yang ditandatangani di atas
meterai yang cukup. Daftar riwayat hidup antara lain
mencakup riwayat pendidikan dan pengalaman kerja
sebagai auditor, dilengkapi dengan penjelasan tentang
penugasan yang pernah diterima dalam 3 (tiga) tahun
terakhir pada KAP serta keterangan tentang nama
perusahaan yang diaudit, tahun penugasan, dan jenis
penugasan;
3) fotokopi Kartu Tanda Penduduk yang masih berlaku;
4) pas foto berwarna terbaru dengan ukuran 4x6 cm;
5)
6)
fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak;
fotokopi sertifikat program sertifikasi sesuai dengan sektor
yang dipilih yang diperoleh dalam 2 (dua) tahun terakhir;
7) fotokopi sertifikat program sertifikasi akuntansi syariah bagi
AP yang akan memberikan jasa kepada BUS dan BPRS yang
diperoleh dalam 2 (dua) tahun terakhir;
8) fotokopi perjanjian kerjasama yang disahkan oleh notaris
mengenai AP sebagai rekan pada KAP persekutuan atau izin
sebagai KAP berbadan usaha perseorangan yang terdaftar
pada Otoritas Jasa Keuangan;
9) surat pernyataan yang ditandatangani di atas meterai yang
cukup oleh AP dengan menggunakan Formulir 3.2
sebagaimana pada Lampiran yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini,
yang menyatakan bahwa AP:
a) tidak pernah dikenakan sanksi administratif berupa
pembatalan Surat Tanda Terdaftar (STTD) dari Otoritas
Jasa Keuangan atau otoritas sebelumnya;
b) tidak pernah melakukan perbuatan tercela, dihukum
karena terbukti melakukan tindak pidana di bidang
keuangan, dan/atau tidak tercantum dalam daftar
kredit atau pembiayaan macet; dan
c) tidak memiliki rangkap jabatan, yaitu:
- 11 -
(1) tidak bekerja pada KAP lain atau profesi penunjang
lain dalam kegiatan jasa keuangan yang terdaftar
pada Otoritas Jasa Keuangan; dan/atau
(2) tidak bekerja pada perusahaan klien maupun
kelompok usaha dari klien yang laporan
keuangannya akan dikonsolidasikan;
10) dokumen persyaratan lain yang diminta oleh Otoritas Jasa
Keuangan dalam hal diperlukan. Sebagai contoh, bukti
keikutsertaan PPL jika pendaftaran dilakukan pada
triwulan IV, surat keterangan lunas dari lembaga keuangan
jika AP tercantum dalam daftar kredit atau pembiayaan
macet, dan surat pengunduran diri dari jabatan sehingga
tidak memiliki rangkap jabatan lagi.
b. KAP mengajukan surat permohonan pendaftaran dengan
menggunakan Formulir 3.3 sebagaimana pada Lampiran yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Otoritas
Jasa Keuangan ini dan disertai dokumen paling sedikit:
1)
2)
fotokopi izin yang masih berlaku dari Menteri;
fotokopi akta pendirian KAP beserta perubahannya yang
terakhir;
3) fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak atas nama KAP;
4) fotokopi surat perjanjian kerjasama dengan KAP lain tentang
pengalihan tanggung jawab dalam hal AP yang bersangkutan
berhalangan untuk melaksanakan tugasnya, dengan
ketentuan bahwa KAP lain tersebut mempunyai Rekan AP
yang terdaftar pada Otoritas Jasa Keuangan, dalam hal KAP
hanya memiliki 1 (satu) orang Rekan AP yang terdaftar pada
Otoritas Jasa Keuangan;
5) fotokopi perjanjian kerjasama yang disahkan oleh notaris
bagi KAP yang berbentuk persekutuan;
6) fotokopi izin pendirian cabang dari Menteri bagi KAP yang
mempunyai cabang;
7) fotokopi surat persetujuan dari Menteri mengenai
pencantuman nama Kantor Akuntan Publik Asing (KAPA)
atau Organisasi Audit Asing (OAA), dalam hal KAP
bekerjasama dengan KAPA atau OAA;
8) surat pernyataan yang ditandatangani di atas meterai yang
cukup oleh pemimpin Rekan KAP dengan menggunakan
Formulir 3.4 sebagaimana pada Lampiran yang merupakan
- 12 -
bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Otoritas Jasa
Keuangan ini, yang menyatakan bahwa KAP:
a) tidak pernah dikenakan sanksi administratif berupa
pembatalan STTD dari Otoritas Jasa Keuangan atau
otoritas sebelumnya; dan
b) tidak pernah melakukan perbuatan tercela dan/atau
dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana di
bidang keuangan serta tidak tercantum dalam daftar
kredit atau pembiayaan macet; dan
9) dokumen persyaratan lain yang diminta oleh Otoritas Jasa
Keuangan dalam hal diperlukan.
c. KAP menyampaikan surat permohonan pendaftaran AP dan/atau
KAP kepada Otoritas Jasa Keuangan u.p. Kepala Eksekutif
Pengawas Pasar Modal secara daring (online) melalui sistem
pelaporan Otoritas Jasa Keuangan.
2. Perubahan Ruang Lingkup Pemberian Jasa AP pada Sektor Jasa
Keuangan
a. AP yang terdaftar pada Otoritas Jasa Keuangan dapat
mengajukan permohonan penambahan ruang lingkup pemberian
jasa pada sektor jasa keuangan lainnya di Otoritas Jasa
Keuangan. Sebagai contoh, AP telah terdaftar pada Otoritas Jasa
Keuangan sektor Pasar Modal maka AP dapat mengajukan
permohonan persetujuan penambahan ruang lingkup pemberian
jasa pada sektor Perbankan dan/atau sektor IKNB.
b. KAP menyampaikan surat permohonan penambahan ruang
lingkup pemberian jasa AP kepada Otoritas Jasa Keuangan
u.p. Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal secara daring
(online) melalui sistem pelaporan Otoritas Jasa Keuangan.
c. Surat permohonan dimaksud mencantumkan pilihan sektor jasa
keuangan, dengan menggunakan Formulir 4 sebagaimana pada
Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat
Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini dan disertai fotokopi sertifikat
program sertifikasi sesuai dengan sektor yang dipilih.
d. Dalam hal AP akan mengurangi ruang lingkup pemberian jasa,
KAP menyampaikan surat permohonan kepada Otoritas Jasa
Keuangan u.p. Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal secara
daring (online) melalui sistem pelaporan Otoritas Jasa Keuangan.
- 13 -
3. Penghentian Pemberian Jasa untuk Sementara Waktu oleh AP
a. AP yang terdaftar pada Otoritas Jasa Keuangan dapat
mengajukan permohonan penghentian pemberian jasa untuk
sementara waktu.
b. KAP menyampaikan surat permohonan persetujuan penghentian
pemberian jasa untuk sementara waktu AP kepada Otoritas Jasa
Keuangan u.p. Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal secara
daring (online) melalui sistem pelaporan Otoritas Jasa Keuangan
dengan menggunakan Formulir 5 sebagaimana pada Lampiran
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran
Otoritas Jasa Keuangan ini dan disertai dokumen dan informasi
paling sedikit:
1) surat rekomendasi dari KAP bagi AP yang menjadi Rekan
pada KAP;
2) alamat lengkap selama menjalani penghentian pemberian
jasa AP untuk sementara waktu;
3) surat pernyataan bahwa AP tidak sedang dalam perikatan
dengan Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan;
4) jangka waktu yang dimohonkan untuk menjalani
penghentian pemberian jasa AP untuk sementara waktu;
dan
5) alasan pengajuan permohonan penghentian pemberian jasa
AP untuk sementara waktu.
4. Pengaktifan Kembali bagi AP dan/atau KAP
a. AP dan/atau KAP yang tercatat dalam daftar AP dan KAP tidak
aktif sementara waktu sebagaimana dimaksud dalam POJK AP
dan KAP, dapat mengajukan permohonan pengaktifan kembali
bagi AP dan/atau KAP.
b. KAP menyampaikan surat permohonan persetujuan pengaktifan
kembali AP atau KAP dari daftar AP dan KAP yang tidak aktif
sementara waktu kepada Otoritas Jasa Keuangan u.p. Kepala
Eksekutif Pengawas Pasar Modal secara daring (online) melalui
sistem pelaporan Otoritas Jasa Keuangan, masing-masing
dengan menggunakan Formulir 6.1 dan Formulir 6.2
sebagaimana pada Lampiran yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini,
disertai dengan dokumen fotokopi sertifikat PPL sesuai jumlah
SKP yang wajib dipenuhi.
- 14 -
Contoh perhitungan jumlah SKP:
AP terdaftar di sektor Perbankan dan sektor Pasar Modal tercatat
dalam daftar AP tidak aktif sementara waktu sejak tanggal
1 Januari 2017 sampai dengan tanggal 31 Desember 2019 atau
3 (tiga) tahun sehingga kewajiban PPL yang harus dipenuhi
adalah sebanyak 15 (lima belas) SKP masing-masing untuk PPL
sektor Perbankan dan sektor Pasar Modal. Pelaksanaan PPL
dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara:
1) PPL per tahun, masing-masing sebanyak 5 (lima) SKP per
sektor yang dilakukan pada tahun 2017, tahun 2018, dan
tahun 2019; atau
2) PPL secara akumulasi
masing-masing sebanyak
15 (lima belas) SKP per sektor yang dilakukan diantara
tanggal 1 Januari 2018 sampai dengan tanggal 31 Desember
2019.
5. Pengunduran Diri AP dan/atau KAP
a. AP dan/atau KAP yang telah terdaftar pada Otoritas Jasa
Keuangan dapat mengajukan permohonan pengunduran diri.
b. KAP yang terdaftar pada Otoritas Jasa Keuangan atau AP yang
terdaftar pada Otoritas Jasa Keuangan yang tidak sedang
menjadi Rekan KAP yang terdaftar pada Otoritas Jasa Keuangan
menyampaikan surat permohonan pengunduran diri sebagai AP
dan/atau KAP yang terdaftar kepada Otoritas Jasa Keuangan
u.p. Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal secara daring
(online) melalui sistem pelaporan Otoritas Jasa Keuangan, dengan
menggunakan Formulir 7.1 atau Formulir 7.4 sebagaimana pada
Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat
Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini dengan disertai dokumen
pendukung paling sedikit:
1) surat keterangan dari KAP bagi AP yang menjadi Rekan KAP
yang terdaftar pada Otoritas Jasa Keuangan dengan
menggunakan Formulir 7.2 sebagaimana pada Lampiran
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat
Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini;
2) surat pernyataan bahwa AP dan/atau KAP tidak sedang
memberikan jasa kepada Pihak yang Melaksanakan
Kegiatan Jasa Keuangan dengan menggunakan Formulir 7.3
atau Formulir 7.5 sebagaimana pada Lampiran yang
- 15 -
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran
Otoritas Jasa Keuangan ini; dan
3) alasan pengunduran diri AP dan/atau KAP.
c. Dalam hal terdapat perubahan izin usaha KAP dari Menteri yang
disebabkan oleh pendirian atau perubahan nama KAP serta
perubahan komposisi AP tetapi KAP tidak lagi dikategorikan
sebagai KAP yang sama, KAP mengajukan permohonan
pengunduran diri atas KAP yang lama kepada Otoritas Jasa
Keuangan. Selanjutnya KAP mengajukan kembali permohonan
pendaftaran sesuai dengan angka 1 huruf b.
d. KAP dapat dikategorikan sebagai KAP yang sama sebagaimana
dimaksud dalam huruf c dalam hal:
1) nama KAP tidak berubah dan tidak terjadi perubahan
komposisi AP lebih dari 50% (lima puluh persen) atau lebih;
atau
2) terdapat pendirian atau perubahan nama KAP, namun
komposisi AP 50% (lima puluh persen) atau lebih berasal
dari KAP yang sebelumnya.
6. Perubahan Data AP dan/atau KAP
a. KAP menyampaikan setiap perubahan yang berkenaan dengan
data dan informasi dari AP dan/atau KAP kepada Otoritas Jasa
Keuangan u.p. Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal secara
daring (online) melalui sistem pelaporan Otoritas Jasa Keuangan,
yang mencakup informasi paling sedikit:
1) perpanjangan izin AP dari Menteri;
2) perubahan izin usaha KAP dari Menteri;
3) perpindahan AP ke KAP lain;
4) perubahan perjanjian kerjasama antar Rekan bagi KAP yang
berbentuk persekutuan;
5) perubahan nama KAP;
6) perubahan alamat domisili KAP dan/atau kantor cabang
KAP;
7) perubahan susunan Rekan KAP;
8) perubahan pemimpin KAP;
9) perubahan kerjasama KAP dengan KAP lain yang terdaftar
pada Otoritas Jasa Keuangan;
10) perubahan kerjasama KAP dengan KAPA atau OAA;
11) pembukaan atau penutupan cabang KAP;
- 16 -
12) permohonan penghentian pemberian jasa sementara waktu
kepada Menteri; dan/atau
13) permohonan pengunduran diri AP atau pencabutan izin
usaha KAP kepada Menteri.
b. Dalam hal terdapat perubahan izin usaha KAP dari Menteri
sebagaimana dimaksud dalam huruf a angka 2) disebabkan oleh
pendirian atau perubahan nama KAP serta perubahan komposisi
AP, tetapi KAP masih dikategorikan sebagai KAP yang sama
sebagaimana dimaksud pada angka 5 huruf d maka KAP
menyampaikan laporan perubahan data dimaksud kepada
Otoritas Jasa Keuangan.
VI. DAFTAR AP DAN KAP PADA OTORITAS JASA KEUANGAN
1.
Informasi AP dan/atau KAP yang telah diberikan STTD disajikan
dalam daftar AP dan KAP yang dipublikasikan pada situs web Otoritas
Jasa Keuangan.
2. Daftar AP dan KAP yang dipublikasikan pada situs web Otoritas Jasa
Keuangan berisi informasi paling sedikit:
a. AP dan KAP yang aktif;
b. AP dan KAP yang tidak aktif sementara waktu; dan
c. AP dan KAP yang tidak aktif tetap,
untuk masing–masing sektor jasa keuangan yaitu Perbankan, Pasar
Modal, dan IKNB.
3. Daftar AP dan KAP sebagaimana dimaksud angka 2 dikinikan paling
lama 5 (lima) hari kerja setelah STTD diterbitkan atau dinyatakan
tidak berlaku.
4. Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan menunjuk AP
sesuai dengan sektor jasa keuangan.
Contoh penunjukan AP:
a. PT Bank “ABC” Tbk. menunjuk AP dari daftar AP dan KAP yang
aktif yang paling sedikit terdaftar pada sektor Perbankan dan
sektor Pasar Modal.
b. PT Bank Syariah “DEF” menunjuk AP dari daftar AP dan KAP
yang aktif yang paling sedikit terdaftar pada sektor Perbankan
yang memiliki pengetahuan akuntansi syariah.
c. PT Bank “XYZ” yang memiliki UUS menunjuk:
1) AP dari daftar AP dan KAP yang aktif yang paling sedikit
terdaftar pada sektor Perbankan; dan
- 17 -
2) KAP yang memiliki paling sedikit 1 (satu) anggota tim audit
yang memiliki sertifikat program sertifikasi akuntansi
syariah yang melakukan pemeriksaan informasi keuangan
historis tahunan untuk UUS.
d. PT Asuransi “JKL” Tbk. menunjuk AP dari daftar AP dan KAP yang
aktif yang paling sedikit terdaftar pada sektor IKNB dan sektor
Pasar Modal.
VII.
INDEPENDENSI AP DAN KAP TERHADAP PIHAK YANG MELAKSANAKAN
KEGIATAN JASA KEUANGAN
Sesuai dengan POJK AP dan KAP diatur bahwa AP, KAP, dan Orang Dalam
KAP dalam memberikan jasa kepada Pihak yang Melaksanakan Kegiatan
Jasa Keuangan wajib memenuhi kondisi independen selama Periode Audit
dan Periode Penugasan Profesional. AP, KAP, maupun Orang Dalam KAP
independen apabila dalam pemberian jasa tersebut tidak terdapat kondisi:
1. kepentingan keuangan langsung atau tidak langsung yang material
kepada Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan yang
sedang diaudit atau diperiksa (klien), seperti:
a. memiliki investasi pada klien; dan/atau
b. memiliki kepentingan keuangan lain pada klien yang dapat
menimbulkan benturan kepentingan;
2. hubungan pekerjaan dengan klien, seperti:
a. merangkap sebagai Karyawan Kunci pada klien;
b. memiliki Anggota Keluarga Dekat yang bekerja pada klien sebagai
Karyawan Kunci dalam bidang akuntansi atau keuangan;
c. mempunyai mantan rekan dan/atau karyawan profesional dari
KAP yang bekerja pada klien sebagai Karyawan Kunci dalam
bidang akuntansi atau keuangan, kecuali setelah lebih dari
2 (dua) tahun tidak bekerja lagi pada KAP yang bersangkutan;
d. mempunyai rekan dan/atau karyawan profesional dari KAP yang
sebelumnya pernah bekerja pada klien sebagai Karyawan Kunci
dalam bidang akuntansi atau keuangan, kecuali yang
bersangkutan tidak ikut melaksanakan audit terhadap klien
tersebut dalam Periode Audit; dan/atau
e. memiliki jabatan di perusahaan klien maupun kelompok usaha
klien yang laporannya akan dikonsolidasikan;
3. hubungan usaha secara langsung atau tidak langsung yang material
dengan klien, atau dengan Karyawan Kunci yang bekerja pada klien,
atau dengan pemegang saham utama klien. Tidak termasuk
- 18 -
hubungan usaha dalam hal AP, KAP, atau Orang Dalam KAP
memberikan jasa audit, reviu, asurans lainnya, dan/atau
non asurans kepada klien, atau merupakan konsumen dari produk
barang atau jasa klien dalam rangka menunjang kegiatan rutin;
4. memberikan jasa non asurans kepada klien pada Periode Audit dan
Periode Penugasan Profesional yang sama, seperti:
a. pembukuan atau jasa lain yang berhubungan dengan catatan
akuntansi atau laporan keuangan klien;
b. desain sistem informasi keuangan dan implementasi;
c.
audit internal;
d. konsultasi manajemen;
e. konsultasi sumber daya manusia;
f.
penasihat keuangan;
g.
jasa perpajakan, kecuali telah memperoleh persetujuan terlebih
dahulu dari Komite Audit. Persetujuan Komite Audit tersebut
tidak termasuk jasa perpajakan untuk mewakili klien di dalam
maupun di luar pengadilan pajak dan/atau bertindak untuk dan
atas nama klien dalam perhitungan dan pelaporan perpajakan;
atau
h. jasa lain yang dapat menimbulkan benturan kepentingan;
5. memberikan jasa atau produk kepada klien dengan dasar fee kontinjen
atau komisi, atau menerima fee kontinjen atau komisi dari klien,
kecuali fee kontinjen yang ditetapkan oleh pengadilan sebagai hasil
penyelesaian hukum, temuan badan pengatur dan/atau perpajakan.
Yang dimaksud dengan fee kontinjen adalah fee yang ditetapkan untuk
pelaksanaan suatu jasa profesional yang hanya akan dibebankan
apabila ada temuan atau hasil tertentu di mana jumlah fee tergantung
pada temuan atau hasil tertentu tersebut;
6. memiliki sengketa hukum dengan klien; dan/atau
7. hal-hal lain yang dapat menimbulkan benturan kepentingan.
VIII. LAPORAN KEPADA OTORITAS JASA KEUANGAN
1. Laporan Kegiatan Pemberian Jasa KAP
a. KAP menyampaikan Laporan Berkala Kegiatan Pemberian Jasa
KAP selama 1 (satu) tahun kepada Otoritas Jasa Keuangan
u.p. Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal secara daring
(online) melalui sistem pelaporan Otoritas Jasa Keuangan dengan
menggunakan Formulir 8 sebagaimana pada Lampiran yang
- 19 -
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Otoritas
Jasa Keuangan ini.
b. Kegiatan pemberian jasa yang dilaporkan adalah kegiatan jasa
yang diberikan kepada Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa
Keuangan dalam kurun waktu 1 (satu) tahun yaitu sejak tanggal
1 April sampai dengan tanggal 31 Maret tahun berikutnya atau
sejak terdaftar pada Otoritas Jasa Keuangan sampai dengan
tanggal 31 Maret tahun berikutnya apabila terdaftar kurang dari
1 (satu) tahun.
2. Laporan Insidentil AP
a. AP menyampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan
u.p. Departemen Pengawasan terkait
sesuai dengan jenis
lembaga sektor jasa keuangan dengan menggunakan Formulir 9
sebagaimana pada Lampiran yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini, dalam
hal terdapat informasi mengenai:
1) pelanggaran signifikan terhadap peraturan perundang-
undangan yang dilakukan oleh Pihak yang Melaksanakan
Kegiatan Jasa Keuangan;
2) kelemahan yang signifikan dalam pengendalian proses
penyusunan dan penyajian laporan keuangan Pihak yang
Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan;
3) kelemahan yang signifikan dalam pengendalian intern Pihak
yang Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan;
4) kondisi atau perkiraan kondisi yang dapat membahayakan
kelangsungan usaha Pihak yang Melaksanakan Kegiatan
Jasa Keuangan; dan/atau
5) permintaan informasi lainnya apabila sewaktu-waktu
diminta oleh Otoritas Jasa Keuangan.
b. Contoh kondisi pelanggaran signifikan terhadap ketentuan
peraturan perundang-undangan yang dilakukan oleh Pihak yang
Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan adalah:
1) bagi bank, antara lain:
a) pelanggaran BMPK atau BMPD; atau
b) kekurangan Giro Wajib Minimum;
2) bagi Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan di
sektor Pasar Modal, antara lain:
- 20 -
a)
terindikasi melakukan pelanggaran pidana di bidang
Pasar Modal seperti penipuan, penggelapan, insider
trading, dan manipulasi pasar; atau
b) pengungkapan informasi yang menyesatkan para
pembaca dan pengguna laporan keuangan;
3) bagi Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan di
sektor IKNB, antara lain:
a) bagi perusahaan asuransi:
(1) pelanggaran terhadap persyaratan minimum
pemenuhan ekuitas; atau
(2) pembentukan dana jaminan dengan jumlah di
bawah persyaratan sebagaimana diatur dalam
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai
Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan
Perusahaan Reasuransi;
b) bagi dana pensiun:
(1) terdapat pembayaran manfaat pensiun yang tidak
sesuai dengan peraturan dana pensiun;
(2) penempatan investasi melebihi batasan
sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan mengenai Investasi Dana Pensiun; atau
(3) penempatan investasi pada jenis investasi yang
tidak diperkenankan sebagaimana diatur dalam
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai
Investasi Dana Pensiun;
c) bagi perusahaan pembiayaan, pelanggaran terhadap
batas maksimum pemberian pembiayaan,
non-performing financing, gearing ratio, financing to
asset ratio, dan memiliki tingkat kesehatan keuangan
kurang sehat atau tidak sehat sebagaimana diatur
dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai
Penyelenggaraan Usaha Pembiayaan;
d) bagi perusahaan modal ventura, pelanggaran terhadap
gearing ratio, investment and financing to asset ratio,
dan memiliki tingkat kesehatan keuangan kurang sehat
atau tidak sehat sebagaimana diatur dalam Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan mengenai Penyelenggaraan
Usaha Perusahaan Modal Ventura; dan
- 21 -
e) bagi lembaga penjaminan melanggar gearing ratio,
cadangan klaim, kewajiban pembayaran klaim, dan
rasio likuiditas sebagaimana diatur dalam Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan mengenai Penyelenggaraan
Usaha Lembaga Penjaminan.
c. Contoh kelemahan yang signifikan dalam pengendalian proses
penyusunan dan penyajian laporan keuangan Pihak yang
Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan adalah:
1) terdapat perbedaan yang material antara nilai yang disajikan
oleh Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan
dalam laporan keuangan sebelum diaudit atau diperiksa
dengan hasil pengujian AP;
2) terdapat kendala dalam pemberian jasa asurans yang
disebabkan oleh Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa
Keuangan;
3) konsistensi pemakaian dasar penilaian;
4) tambahan khusus bagi perusahaan asuransi, yaitu:
a) perusahaan tidak memberikan seluruh data polis
inforce untuk dilakukan perhitungan oleh aktuaris;
b) pencatatan transaksi keuangan khususnya dari sisi
liabilitas perusahaan belum dilakukan secara wajar,
terdapat ketidaksesuaian pencatatan cadangan teknis
dengan rincian yang diberikan;
c) perusahaan baru mencatat cadangan klaim dalam
proses apabila tertanggung telah melengkapi dokumen
pengajuan klaim atau tidak melakukan pencatatan
incurred but not reported;
d) terdapat perbedaan mengenai penetapan klaim yang
disetujui (claim settled) oleh kantor cabang dengan
penetapan klaim yang disetujui (claim settled) oleh
kantor pusat; dan
e)
tidak melakukan pencadangan atas permasalahan
klaim (dispute claims).
d. Contoh kelemahan yang signifikan dalam pengendalian intern
Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan antara lain
terdapat kecurangan (fraud) yang bernilai material.
e. Contoh kondisi atau perkiraan kondisi yang dapat
membahayakan kelangsungan usaha Pihak yang Melaksanakan
Kegiatan Jasa Keuangan adalah:
- 22 -
1) bagi bank, antara lain:
a) kekurangan KPMM; dan/atau
b)
rasio kredit atau pembiayaan bermasalah secara neto
lebih dari 5% (lima persen) dari total kredit atau total
pembiayaan;
2) bagi Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan di
sektor Pasar Modal, antara lain Modal Kerja Bersih
Disesuaikan (MKBD) Perusahaan Efek dan Manajer Investasi
kurang dari yang dipersyaratkan dalam peraturan
perundang-undangan;
3) bagi Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan di
sektor IKNB, antara lain:
a) bagi perusahaan asuransi:
(1) tingkat solvabilitas di bawah batas minimum yang
dipersyaratkan; dan
(2) ketidakcukupan pembentukan cadangan teknis;
b) bagi dana pensiun, pendanaan berada pada kualitas
tingkat 3 (tiga);
c) bagi
perusahaan
pembiayaan
memiliki
non-performing financing (NPF) lebih dari 5% (lima
persen) dan rasio ekuitas terhadap modal disetor
kurang dari 50% (lima puluh persen);
d) bagi
perusahaan modal ventura memiliki
gearing ratio lebih dari 10 kali dan rasio ekuitas
terhadap modal disetor kurang dari 30% (tiga puluh
persen); dan
e) bagi lembaga penjamin memiliki gearing ratio lebih dari
40 kali dan rasio likuiditas kurang dari 120% (seratus
dua puluh persen).
IX. ALAMAT PENYAMPAIAN LAPORAN
1. Dalam hal media penyampaian secara daring (online) melalui sistem
pelaporan Otoritas Jasa Keuangan belum tersedia atau mengalami
gangguan teknis atau terjadi keadaan kahar pada hari terakhir batas
waktu penyampaian permohonan dan/atau laporan, AP dan/atau KAP
menyampaikan permohonan atau laporan secara luring (offline)
kepada Otoritas Jasa Keuangan u.p. Kepala Eksekutif Pengawas Pasar
Modal.
- 23 -
2. Dalam hal terdapat penyampaian laporan kepada Otoritas Jasa
Keuangan u.p. Departemen Pengawasan terkait sesuai dengan jenis
lembaga sektor jasa keuangan, maka disampaikan sebagai berikut:
a. bagi bank, dengan alamat:
1) Departemen Pengawasan Bank atau Departemen Perbankan
Syariah terkait bagi Bank yang berkantor pusat atau kantor
cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri yang
berada di wilayah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta;
atau
2) Kantor Regional Otoritas Jasa Keuangan atau Kantor
Otoritas Jasa Keuangan setempat sesuai wilayah tempat
kedudukan kantor pusat bank;
b. bagi Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan di sektor
Pasar Modal, ditujukan kepada Departemen Pengawasan Pasar
Modal terkait; dan
c. bagi Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan di sektor
IKNB, ditujukan kepada Departemen Pengawasan IKNB terkait.
X. PENUTUP
Pada saat Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku:
1. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 3/32/DPNP perihal Hubungan
Antara Bank, Akuntan Publik dan Bank Indonesia; dan
2. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 7/57/DPbS perihal Hubungan
Antara Bank yang Melaksanakan Kegiatan Usaha berdasarkan Prinsip
Syariah, Kantor Akuntan Publik, Akuntan Publik, Dewan Pengawas
Syariah dan Bank Indonesia,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Ketentuan dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku
pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 11 Juli 2017
KEPALA EKSEKUTIF PENGAWAS PERBANKAN,
OTORITAS JASA KEUANGAN
Salinan ini sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
ttd
NELSON TAMPUBOLON
"," SEOJK
36/SEOJK.03/2017
TATA CARA PENGGUNAAN JASA AKUNTAN PUBLIK DAN KANTOR AKUNTAN PUBLIK DALAM KEGIATAN JASA KEUANGAN
11 Juli 2017
11 Juli 2017
'3/32/DPNP|SE-BI', '7/57/DPbS|SE-BI'
'13/POJK.03/2017'
"
" Yth.
Penyelenggara Inovasi Keuangan Digital
di tempat.
SALINAN
SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 21 /SEOJK.02/2019
TENTANG
REGULATORY SANDBOX
Dalam rangka pelaksanaan ketentuan Pasal 12 ayat (3) Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan Nomor 13/POJK.02/2018 tentang Inovasi Keuangan Digital di
Sektor Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018
Nomor 135, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6238),
perlu mengatur ketentuan pelaksanaan mengenai proses Regulatory Sandbox
dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan sebagai berikut:
I. KETENTUAN UMUM
Dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini, yang dimaksud dengan:
1.
Inovasi Keuangan Digital yang selanjutnya disingkat IKD adalah
aktivitas pembaruan proses bisnis, model bisnis, dan instrumen
keuangan yang memberikan nilai tambah baru di sektor jasa
keuangan dengan melibatkan ekosistem digital.
2. Penyelenggara adalah setiap pihak yang menyelenggarakan IKD.
3. Klaster adalah kelompok Penyelenggara yang memiliki model bisnis
yang sama secara umum, dimana pemetaan dan/atau
pengelompokannya ditentukan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
4. Regulatory Sandbox adalah mekanisme pengujian yang dilakukan oleh
Otoritas Jasa Keuangan untuk menilai keandalan proses bisnis, model
bisnis, instrumen keuangan, dan tata kelola Penyelenggara.
5. Prototype adalah Penyelenggara yang model bisnis dan proses
bisnisnya dijadikan sampel objek untuk diuji coba dalam Regulatory
Sandbox, yang selanjutnya dijadikan acuan untuk review model bisnis
yang sejenis.
-2-
6. Forum Panel adalah forum yang terdiri dari perwakilan berbagai
satuan kerja Otoritas Jasa Keuangan yang relevan dengan IKD.
II. TUJUAN REGULATORY SANDBOX
Otoritas Jasa Keuangan menyelenggarakan Regulatory Sandbox dengan
tujuan untuk memastikan IKD memenuhi kriteria sebagai berikut:
1. bersifat inovatif dan berorientasi ke depan;
2. menggunakan teknologi informasi dan komunikasi sebagai sarana
utama pemberian layanan kepada konsumen di sektor jasa keuangan;
3. mendukung inklusi dan literasi keuangan;
4. bermanfaat dan dapat dipergunakan secara luas;
5. dapat diintegrasikan pada layanan keuangan yang telah ada;
6. menggunakan pendekatan kolaboratif; dan
7. memperhatikan aspek perlindungan konsumen dan perlindungan
data.
III. MEKANISME KERJA REGULATORY SANDBOX
Penyelenggaraan Regulatory Sandbox dilakukan dengan mekanisme
sebagai berikut, yaitu:
1. penetapan Penyelenggara sebagai Prototype;
Penetapan Prototype objek Regulatory Sandbox ditetapkan
berdasarkan kesepakatan Forum Panel.
2. evaluasi dan eksperimen.
IV. PENETAPAN PENYELENGGARA UNTUK DIUJI COBA DALAM REGULATORY
SANDBOX
1. Penyelenggara yang akan dilakukan uji coba dalam Regulatory
Sandbox harus memenuhi persyaratan paling sedikit:
a.
tercatat sebagai IKD di Otoritas Jasa Keuangan atau berdasarkan
surat permohonan yang diajukan satuan kerja pengawas terkait
di Otoritas Jasa Keuangan;
b. merupakan model bisnis yang baru;
c. memiliki skala usaha dengan cakupan pasar yang luas;
d. terdaftar di asosiasi penyelenggara; dan
-3-
e.
kriteria lain yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan antara
lain terkait pemenuhan prinsip perlindungan konsumen,
dan/atau proses bisnis yang mendukung literasi dan inklusi
keuangan.
2. Otoritas Jasa Keuangan menetapkan Penyelenggara dari setiap Klaster
untuk menjadi Prototype.
3. Dalam menetapkan Penyelenggara sebagai Prototype, Otoritas Jasa
Keuangan memperhatikan kriteria sebagai berikut:
a. memiliki kompleksitas usaha paling tinggi;
b. memiliki skala bisnis terbesar;
c. memiliki eksposur risiko tertinggi; dan/atau
d. menggunakan teknologi tercanggih.
V. EVALUASI DAN EKSPERIMEN
1. Tahap Pendalaman
a. Penyelenggara yang telah mendapatkan penetapan sebagai
Prototype harus mempresentasikan kepada Otoritas Jasa
Keuangan paling sedikit hal-hal sebagai berikut:
1) model bisnis;
2)
inovasi teknologi;
3) proses bisnis;
4)
5)
strategi manajemen risiko; dan
rencana bisnis dan kesiapan operasional.
b. Dalam rangka mengetahui lebih detail informasi usaha dan
menilai kesiapan Penyelenggara, Otoritas Jasa Keuangan
berwenang:
1) meminta Penyelenggara untuk memaparkan kembali
rencana bisnisnya; dan/atau
2) meminta data dan informasi yang dibutuhkan paling sedikit
meliputi:
a) data dan informasi tentang profil Penyelenggara;
b) data dan informasi tentang produk, layanan, teknologi,
dan/atau model bisnis yang diuji coba, paling sedikit
memuat:
(1) unsur inovasi dalam produk, layanan, teknologi,
dan/atau model bisnis yang akan diuji coba;
(2) manfaat bagi konsumen dan/atau perekonomian;
-4-
(3) kerangka dan mekanisme kerja untuk penerapan
perlindungan konsumen;
(4) hasil identifikasi potensi risiko dan upaya mitigasi
risiko yang telah atau akan dilakukan;
(5) hal spesifik lainnya yang dimintakan uji coba (jika
ada); dan
(6) rencana yang akan dilakukan setelah uji coba
dalam Regulatory Sandbox.
c. Data dan informasi sebagaimana dimaksud pada huruf b angka
2) disampaikan melalui surat elektronik dan/atau melalui sistem
elektronik dalam laman Otoritas Jasa Keuangan.
d. Dalam hal sistem elektronik dalam laman Otoritas Jasa Keuangan
sebagaimana dimaksud pada huruf c belum tersedia,
Penyelenggara menyampaikan kelengkapan data dan informasi
melalui surat.
e. Data dan informasi harus disampaikan kepada Otoritas Jasa
Keuangan paling lambat 5 (lima) hari kerja sejak adanya
permintaan dari Otoritas Jasa Keuangan untuk melengkapi data
dan informasi.
2. Tahap Pengujian Skenario
a. Pengujian dapat dilakukan dengan pendekatan melalui sistem
elektronik dan/atau secara manual.
b. Prototype harus menyampaikan usulan skenario uji coba produk,
layanan, teknologi, dan/atau model bisnis kepada Otoritas Jasa
Keuangan dalam jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) hari
kerja setelah tanggal penetapan sebagai Prototype melalui surat
elektronik sesuai dengan format tercantum dalam Lampiran 1
yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Surat
Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini.
c. Usulan skenario berupa kejadian yang terjadi selama proses
bisnis berlangsung paling sedikit meliputi:
1) aktivitas bisnis seperti akuisisi konsumen, eksekusi
transaksi, pelaporan dan lainnya sesuai dengan model bisnis
yang ada;
2) pengujian akurasi dan error correction menggunakan data
dummy;
3) skenario pengujian manajemen risiko;
-5-
4) perlindungan data dan konsumen;
5) mitigasi risiko siber; dan
6) pengujian terhadap aspek kepatuhan lainnya antara lain
program anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan
terorisme.
d. Otoritas Jasa Keuangan menyampaikan pemberitahuan kepada
Prototype atas hasil evaluasi usulan skenario Regulatory Sandbox
melalui surat elektronik.
3. Tahap Pengujian dan Percobaan
a. Aspek yang dipertimbangkan dalam pengujian meliputi:
1)
legal dan tata kelola;
2) model dan proses bisnis;
3)
teknologi informasi;
4) manajemen risiko;
5) perlindungan konsumen;
6)
7)
rencana bisnis;
anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme;
dan
8) aspek lainnya yang diperlukan.
b. Penyelenggara memiliki perangkat yang dapat meningkatkan
efisiensi dan kepatuhan atas proses pemantauan yang akan
dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
c. Seluruh proses Regulatory Sandbox dilaksanakan di OJK
INFINITY atau tempat lain yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa
Keuangan.
d. Apabila diperlukan, Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan
observasi onsite ke pusat data dan/atau pusat pemulihan
bencana Penyelenggara.
e. Penyelenggara yang sudah melakukan kegiatan usaha dan sedang
menjalani periode pengujian Regulatory Sandbox, masih dapat
menjalankan operasional kegiatan usahanya, kecuali dalam hal:
1)
terdapat potensi merugikan konsumen;
2) bertentangan dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
yang berlaku; dan/atau
3) Penyelenggara belum memiliki mitigasi risiko yang memadai
atas operasional kegiatan usahanya.
-6-
4. Tahap Perbaikan
a. Prototype melakukan perbaikan atas aspek pengujian
sebagaimana dimaksud pada angka 3 huruf a sesuai permintaan
Otoritas Jasa Keuangan, dan menyampaikan kembali laporan
perbaikan yang dimintakan tersebut.
b. Penyelenggara yang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud
pada angka 3 huruf e harus menghentikan kegiatan usahanya
sementara sampai dengan terdapat persetujuan Otoritas Jasa
Keuangan atas penyelesaian perbaikan.
c. Kewajiban melakukan perbaikan sebagaimana dimaksud pada
huruf a berlaku juga untuk Penyelenggara yang bukan
merupakan Prototype.
d. Perbaikan yang dilakukan oleh Penyelenggara tidak melebihi
jangka waktu pelaksanaan Regulatory Sandbox.
e. Permohonan perpanjangan jangka waktu perbaikan sebagaimana
dimaksud pada huruf d dilakukan secara tertulis kepada Otoritas
Jasa Keuangan yang disampaikan melalui surat elektronik paling
lambat 1 (satu) bulan sebelum berakhirnya jangka waktu
pelaksanaan Regulatory Sandbox.
5. Tahap Penilaian
a. Hasil pelaksanaan Regulatory Sandbox terhadap Penyelenggara
dinyatakan dengan status:
1) direkomendasikan;
2) perbaikan; atau
3)
tidak direkomendasikan.
b. Otoritas Jasa Keuangan menyampaikan penetapan hasil dari
Regulatory Sandbox kepada Penyelenggara melalui surat.
c. Surat penetapan hasil Regulatory Sandbox sebagaimana
dimaksud pada huruf b ditandatangani oleh Deputi Komisioner
yang membawahkan fungsi IKD.
d. Dalam hal Penyelenggara berstatus direkomendasikan, Otoritas
Jasa Keuangan akan memberikan rekomendasi pendaftaran
sesuai dengan aktivitas usaha dari Penyelenggara.
-7-
e. Dalam hal Penyelenggara berstatus perbaikan, Otoritas Jasa
Keuangan dapat memberikan perpanjangan waktu paling lama 6
(enam) bulan sejak tanggal penetapan status kepada
Penyelenggara untuk melakukan perbaikan yang diperlukan
sepanjang masih terdapat jangka waktu proses Regulatory
Sandbox.
f. Permohonan perpanjangan jangka waktu sebagaimana dimaksud
pada huruf e dilakukan secara tertulis kepada Otoritas Jasa
Keuangan yang disampaikan melalui surat elektronik paling
lambat 1 (satu) bulan sebelum berakhirnya jangka waktu
pelaksanaan Regulatory Sandbox.
g. Dalam hal jangka waktu 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan
sebagaimana dimaksud dalam romawi X angka 1 berakhir dan
Penyelenggara masih dalam proses perbaikan sebagaimana status
yang diberikan Otoritas Jasa Keuangan maka Otoritas Jasa
Keuangan memberikan status direkomendasikan atau tidak
direkomendasikan atas proses Regulatory Sandbox.
h. Dalam hal Penyelenggara berstatus tidak direkomendasikan,
Penyelenggara tidak dapat mengajukan kembali IKD yang sama
dan dikeluarkan dari pencatatan sebagai Penyelenggara.
VI. PENYESUAIAN UNTUK STATUS DIREKOMENDASIKAN
1.
Penyelenggara dalam Klaster sama yang tidak ditetapkan sebagai
Prototype, memiliki hak yang sama untuk mengajukan permohonan
pendaftaran kepada Otoritas Jasa Keuangan, dengan terlebih dahulu
melakukan penyesuaian yang diperlukan sesuai hasil Regulatory
Sandbox untuk Klaster tersebut.
2. Otoritas Jasa Keuangan melakukan penelaahan terhadap
penyesuaian yang dilakukan oleh Penyelenggara sebagaimana
dimaksud pada angka 1 dengan mengacu pada hasil penelitian
terhadap Prototype sebelum memberikan rekomendasi pendaftaran.
3. Dalam hal diperlukan Otoritas Jasa Keuangan dapat meminta
dokumen dan penjelasan tambahan kepada Penyelenggara
sebagaimana dimaksud pada angka 2.
-8-
VII. EXITING PROCESS
1. Penyelenggara yang mendapat status tidak direkomendasikan dan
sudah memiliki kegiatan usaha harus menghentikan kegiatan
usahanya.
2. Dalam hal Penyelenggara mendapat status tidak direkomendasikan
sebagaimana dimaksud dalam angka 1 maka seluruh Penyelenggara
dalam Klaster yang sama harus menghentikan kegiatan usahanya.
3. Sebelum melakukan penghentian kegiatan usaha, Penyelenggara harus
menyelesaikan semua kewajibannya kepada konsumen dan pihak
lainnya dalam kurun waktu 6 (enam) bulan atau sisa jangka waktu
kontrak terpanjang sejak penetapan status hasil uji coba.
4. Apabila Penyelenggara tidak dapat memenuhi komitmen dalam
Regulatory Sandbox dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan,
proses Regulatory Sandbox akan dihentikan dan dihapus status
pencatatannya.
5. Apabila diperlukan, penyelenggaraan Regulatory Sandbox dapat
melakukan pergantian Prototype dengan Penyelenggara yang lain
sepanjang berada dalam 1 (satu) Klaster yang sama, dengan
pertimbangan antara lain Prototype yang sudah dipilih sebagai sampel
tidak lagi memenuhi kriteria sebagai Prototype atas Klaster sebagaimana
dimaksud pada romawi IV angka 3.
6. Pergantian Prototype tidak dapat dilakukan apabila masa uji coba telah
melewati 6 (enam) bulan sejak tanggal proses Regulatory Sandbox.
VIII. KERJA SAMA
1. Dalam rangka mendukung pelaksanaan Regulatory Sandbox, Otoritas
Jasa Keuangan dapat melakukan koordinasi dan/atau kerja sama
dengan pihak lain.
2. Otoritas Jasa Keuangan dapat bekerjasama dengan kementerian
dan/atau lembaga lain dalam hal berdasarkan hasil uji coba terdapat
keterkaitan dengan kewenangan kementerian dan/atau lembaga lain.
3. Dalam kerja sama sebagaimana dimaksud pada angka 1, Otoritas Jasa
Keuangan bertindak sebagai koordinator dalam hal inovasi yang
diajukan oleh Prototype di bidang sektor jasa keuangan.
4. Otoritas Jasa Keuangan dapat menginformasikan hasil uji coba
Regulatory Sandbox kepada instansi terkait sesuai dengan
kewenangannya.
-9-
IX. KEWAJIBAN PELAPORAN
1. Penyelenggara yang telah tercatat sebagai IKD di Otoritas Jasa
Keuangan, baik yang ditetapkan menjadi Prototype maupun yang tidak,
menyampaikan laporan kinerja berkala secara triwulanan kepada
Otoritas Jasa Keuangan sesuai dengan format tercantum dalam
Lampiran 2 yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Surat
Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini.
2. Laporan kinerja berkala secara triwulanan disampaikan kepada
satuan kerja yang melaksanakan fungsi IKD di Otoritas Jasa
Keuangan.
X. JANGKA WAKTU PELAKSANAAN REGULATORY SANDBOX
1. Regulatory Sandbox dilaksanakan dalam jangka waktu paling lama 1
(satu) tahun dan dapat diperpanjang selama 6 (enam) bulan apabila
diperlukan.
2. Perpanjangan Regulatory Sandbox dapat diberikan dengan
pertimbangan termasuk namun tidak terbatas pada:
a. kompleksitas model bisnis;
b. mitigasi risiko yang belum menyeluruh;
c. adanya pengaruh terhadap perlindungan konsumen; dan
d. adanya sistem keamanan yang belum memadai.
XI. KETENTUAN LAIN-LAIN
1. Penyelenggara harus mengajukan permohonan pendaftaran kepada
Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 6 (enam) bulan sejak penetapan
status direkomendasikan.
2. Dalam hal Penyelenggara tidak mengajukan permohonan pendaftaran
hingga melewati batas waktu pendaftaran yang diberikan maka status
rekomendasi pendaftaran dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
3. Penyelenggara yang sedang dalam proses Regulatory Sandbox dapat
memperoleh persetujuan Otoritas Jasa Keuangan untuk dikecualikan
sementara dari peraturan Otoritas Jasa Keuangan tertentu.
4. Pengecualian sementara sebagaimana dimaksud pada angka 3 dapat
dilakukan sepanjang memenuhi hal sebagai berikut:
a. selama Penyelenggara berada di dalam Regulatory Sandbox;
b. mendapat persetujuan satuan kerja pengawas terkait di Otoritas
Jasa Keuangan; dan
-10-
c. hanya berlaku terhadap Peraturan Otoritas Jasa Keuangan yang
bersifat non prudensial.
5. Untuk memperoleh persetujuan yang dimaksud pada angka 4 huruf b,
Penyelenggara mengajukan surat permohonan persetujuan kepada
satuan kerja pengawas terkait.
6. Dalam hal permohonan pengecualian sementara sebagaimana
dimaksud pada angka 5 disetujui maka satuan kerja pengawas terkait
akan menyampaikan surat persetujuan pengecualian sementara
kepada Penyelenggara.
7. Proses uji coba dalam Regulatory Sandbox bukan merupakan proses
perizinan yang dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
8. Selama pelaksanaan Regulatory Sandbox, Penyelenggara memenuhi
ketentuan sebagai berikut:
a. memberitahukan setiap perubahan IKD yang dimiliki;
b. berkomitmen untuk membuka setiap informasi yang berkaitan
dengan pelaksanaan Regulatory Sandbox;
c. mengikuti edukasi dan konseling yang diperlukan untuk
pengembangan bisnis sektor jasa keuangan;
d. mengikuti setiap pelaksanaan koordinasi dan kerja sama dengan
otoritas atau kementerian/lembaga lain; dan
e. berkolaborasi dengan lembaga jasa keuangan atau pihak yang
melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan.
9. Selama dalam proses Regulatory Sandbox, Penyelenggara bertanggung
jawab atas hal sebagai berikut, namun tidak terbatas pada:
a. kebenaran dan keakuratan data, informasi, dan dokumen yang
disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan;
b. keamanan dan keandalan sistem yang digunakan untuk
menjalankan produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnis;
c. perlindungan dan kerahasiaan data, serta perlindungan
konsumen; dan
d. penyelesaian hak dan kewajiban Penyelenggara IKD kepada
konsumen dan/atau pihak lain yang terkait.
10. Surat-menyurat dan komunikasi dengan Otoritas Jasa Keuangan
terkait pelaksanaan Regulatory Sandbox dapat disampaikan melalui
surat elektronik ke OJKInfinity@ojk.go.id atau ke Grup Inovasi
Keuangan Digital (GIKD) dengan alamat sebagai berikut:
-11-
Gedung Wisma Mulia 2 Lantai 20
Jalan Jenderal Gatot Subroto Kavling 42
Kuningan Barat, Mampang Prapatan
Jakarta Selatan, DKI Jakarta 12710
XII. KETENTUAN PERALIHAN
1.
Penyelenggara yang sedang dalam proses Regulatory Sandbox
sebelum berlakunya Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini
harus memenuhi ketentuan yang diatur dalam Surat Edaran
Otoritas Jasa Keuangan ini.
2.
Penyelenggara yang telah ditetapkan sebagai Prototype sebelum
berlakunya Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini harus
menyesuaikan dengan ketentuan yang diatur dalam Surat Edaran
Otoritas Jasa Keuangan ini.
XIII. KETENTUAN PENUTUP
Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku sejak tanggal
ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 5 November 2019
WAKIL KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
NURHAIDA
Salinan ini sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
LAMPIRAN 1
SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 21 /SEOJK.02/2019
TENTANG
REGULATORY SANDBOX
- 2 -
Formulir Usulan Skenario Uji Coba Regulatory Sandbox
Sesuai POJK No.13/POJK.02/2018
1. Informasi terkait Profil Perusahaan Saudara
a. Nama Perusahaan:
b. Nama Platform:
c. Alamat dan Nomor Telepon:
d. Email dan Website Perusahaan:
e. Klaster:
f. Nama dan Nomor HP Contact Person:
Hari/Tanggal:
Skenario 1: Legal dan Tata Kelola
Hal yang Diuji:
a.
Catatan:
Hari/Tanggal:
Skenario 2: Model dan Proses Bisnis
Hal yang Diuji:
a.
Catatan:
Hari/Tanggal:
Skenario 3: Teknologi Informasi
Hal yang Diuji:
a.
a. Penjelasan/Catatan
b. Kesimpulan
Hari/Tanggal:
Skenario 4: Manajemen Risiko
Hal yang Diuji:
a.
Catatan:
Hari/Tanggal:
Skenario 5: Perlindungan Konsumen
Hal yang Diuji:
a.
Catatan:
- 3 -
Hari/Tanggal:
Skenario 6: Rencana Bisnis
Hal yang Diuji:
a.
Catatan:
Hari/Tanggal:
Skenario 7: Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme
Hal yang Diuji:
a.
Catatan:
Hari/Tanggal:
Skenario 8: Aspek lainnya (contoh: Partnership, Revenue, Risiko lainnya, dll.)
Hal yang Diuji:
a.
Catatan:
Keterangan:
1. Usulan skenario dapat berupa kejadian yang terjadi selama proses bisnis
berlangsung paling sedikit meliputi:
• Aktivitas bisnis meliputi akuisisi konsumen, eksekusi transaksi,
pelaporan dan lainnya sesuai dengan model bisnis yang ada.
• Pengujian akurasi dan error correction menggunakan data dummy.
• Skenario pengujian manajemen risiko.
• Perlindungan data dan konsumen.
• Mitigasi risiko siber.
• Pengujian terhadap aspek kepatuhan lainnya antara lain program anti
pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 5 November 2019
WAKIL KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
ttd
NURHAIDA
Salinan ini sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
LAMPIRAN 2
SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 21 /SEOJK.02/2019
TENTANG
REGULATORY SANDBOX
- 2 -
Laporan Triwulanan Inovasi Keuangan Digital
Sesuai POJK No.13/POJK.02/2018
Kuartal [Keberapa]: [Bulan] [Tahun]
A. Informasi terkait Profil Perusahaan Saudara
1. Nama Perusahaan:
2. Nama Platform/Mobile Platform:
3. Alamat dan Nomor Telepon:
4. Email dan Website Perusahaan:
5. Klaster Regulatory Sandbox OJK:
6. Nama dan Nomor HP Contact Person:
B. Laporan Kinerja
Berapa total transaksi (IDR & QTY) dan pengguna (QTY), berdasarkan:
1 Wilayah (Dalam Negeri – Propinsi, Luar Negeri – Benua)
2 Agregat Gender (Laki-laki/Perempuan)
3 Agregat Usia (≤25, 26-45, >45)
4 Profesi (Wiraswasta, Pegawai, Pelajar, Tidak Bekerja)
C. Laporan Keuangan
1. Total Aset, Kewajiban, dan Ekuitas
2. Pendapatan
3. Beban Operasional
4. Laba/rugi
D. Laporan Kerjasama
1. Berapa jumlah partner?
2. Jelaskan profil partner dan bentuk kerja sama
E. Laporan Tenaga Kerja
1. Berapa jumlah karyawan?
2. Apakah terdapat pegawai Warga Negara Asing (WNA)?
Ya/Tidak (Coret yang tidak perlu)
3. Jika Ya:
i. Berapa total karyawan WNA?
ii. Apa posisi/jabatan WNA dimaksud?
F. Laporan Perlindungan Nasabah
1. Berapa banyak keluhan Nasabah?
2. Apa saja jenis keluhan Nasabah? Bagaimana penyelesaian keluhan
tersebut?
3. Berapa banyak keluhan yang terselesaikan?
4. Berapa banyak keluhan yang belum terselesaikan? Bagaimana
penyelesaian tahap selanjutnya?
- 3 -
G. Laporan Perlindungan Data
1. Apakah ada backup data?
2. Berapa frekuensi backup data?
3. Dimana lokasi data center?
4. Apakah ada disaster recovery plan?
H. Laporan Risiko Siber
1. Berapa frekuensi gagal sistem?
2. Berapa frekuensi terkena serangan siber?
3. Berapa jumlah konsumen yang menjadi korban serangan siber?
4. Berapa total nominal kerugian konsumen atas serangan siber?
I. Laporan Perubahan
1. Apakah dalam 3 (tiga) bulan ini telah melakukan perubahan /
penambahan terhadap model bisnis / proses bisnis / kelembagaan /
operasional / status hukum?
Ya/Tidak (Coret yang tidak perlu)
2. Jika Ya, jelaskan perubahan/penambahan apa saja yang dilakukan?
Saya menyatakan bahwa informasi yang saya cantumkan diatas adalah benar
dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.
Tempat, Tanggal
Tanda Tangan
dan
Stempel Perusahaan
Nama Lengkap
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 5 Oktober 2019
WAKIL KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
Salinan ini sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
NURHAIDA
"," SEOJK
21/SEOJK.02/2019
REGULATORY SANDBOX
5 November 2019
5 November 2019
'13/POJK.02/2018 | Pasal 12 ayat (3)'
"
" Yth.
1. Direksi Bank Umum Syariah; dan
2. Direksi Bank Umum Konvensional yang memiliki Unit Usaha Syariah;
di tempat.
SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 36/SEOJK.03/2015
TENTANG
PRODUK DAN AKTIVITAS BANK UMUM SYARIAH
DAN UNIT USAHA SYARIAH
Sehubungan dengan telah diterbitkannya Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan Nomor 24/POJK.03/2015 Tentang Produk dan Aktivitas Bank
Syariah dan Unit Usaha Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2015 Nomor 289, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5771) dan Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/26/PBI/2012 Tentang
Kegiatan Usaha dan Jaringan Kantor Berdasarkan Modal Inti Bank (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 286, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5384), perlu diatur ketentuan pelaksanaan
mengenai Produk dan Aktivitas Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah
dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan sebagai berikut:
I. UMUM
1. Kegiatan usaha yang dapat dilakukan oleh Bank Umum Syariah
(BUS) dan Unit Usaha Syariah (UUS), yang selanjutnya disebut
Bank, dikelompokkan berdasarkan modal inti, yang selanjutnya
disebut Bank Umum berdasarkan Kegiatan Usaha (BUKU).
Pengelompokan Bank berdasarkan kegiatan usaha dimaksud terdiri
dari 4 (empat) BUKU. Semakin tinggi modal inti Bank, maka semakin
tinggi BUKU Bank dan semakin luas cakupan kegiatan usaha yang
dapat dilakukan oleh Bank. Pengelompokan BUKU untuk UUS
didasarkan pada modal inti Bank Umum Konvensional yang menjadi
induknya. Klasifikasi BUKU mengacu pada ketentuan yang mengatur
mengenai kegiatan usaha dan jaringan kantor berdasarkan modal
inti bank.
2. Pelaksanaan...
- 2 -
2. Pelaksanaan kegiatan usaha Bank dilakukan antara lain dengan
menerbitkan Produk dan/atau melaksanakan Aktivitas tertentu
untuk memenuhi kebutuhan Bank dan/atau nasabah.
3. Dalam menerbitkan Produk dan/atau melaksanakan Aktivitas, Bank
perlu menerapkan Prinsip Syariah, prinsip kehati-hatian, dan prinsip
perlindungan nasabah. Selain itu, Bank perlu memiliki modal yang
cukup untuk mendukung penerbitan Produk dan/atau pelaksanaan
Aktivitas serta menerapkan manajemen risiko yang memadai untuk
memitigasi risiko yang ditimbulkan oleh Produk dan/atau Aktivitas
tersebut.
II. KEGIATAN USAHA BANK BERDASARKAN BUKU
1. Kegiatan usaha Bank yang meliputi Produk dan Aktivitas
dikelompokkan sebagai berikut:
a. Penghimpunan dana
Kegiatan penghimpunan dana meliputi:
1) simpanan (giro, tabungan);
2) investasi (giro, tabungan, deposito);
3) penerbitan sertifikat deposito syariah;
4) pembiayaan yang diterima;
5) penerbitan surat berharga syariah termasuk surat berharga
syariah dengan fitur ekuitas;
6) sekuritisasi aset; dan
7) kegiatan penghimpunan dana lainnya yang lazim dilakukan
oleh Bank sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan dan Prinsip Syariah.
b. Penyaluran dana
Kegiatan penyaluran dana meliputi:
1) pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah,
musyarakah, musyarakah mutanaqisah), prinsip sewa-
menyewa (ijarah, ijarah muntahiya bittamlik, multijasa),
prinsip jual beli (murabahah, istishna, salam), dan prinsip
pinjam-meminjam (qardh)
pembiayaan sindikasi;
termasuk dalam bentuk
2) pembiayaan ulang (refinancing);
3) pengalihan utang atau pembiayaan;
4) anjak piutang syariah;
5) pembelian...
- 3 -
5) pembelian surat berharga syariah;
6) penempatan pada Bank Indonesia;
7) penempatan pada bank lain; dan
8) kegiatan penyaluran dana lainnya yang lazim dilakukan oleh
Bank sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan dan Prinsip Syariah.
c. Pembiayaan perdagangan (trade finance)
Kegiatan pembiayaan perdagangan (trade finance) meliputi:
1) pembiayaan perdagangan melalui penerbitan dan penerimaan
Surat Kredit Berdokumen Dalam Negeri (SKBDN);
2) pembiayaan ekspor impor dengan menggunakan Letter of
Credit (L/C);
3) pembiayaan ekspor impor tanpa menggunakan L/C; dan
4) kegiatan pembiayaan perdagangan (trade finance) lainnya
yang lazim dilakukan oleh Bank sepanjang tidak
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan
Prinsip Syariah.
d. Kegiatan treasury
Kegiatan treasury meliputi:
1) jual beli uang kertas asing (banknotes);
2) transaksi tunai valuta asing yaitu transaksi spot;
3) transaksi lindung nilai atas nilai tukar berdasarkan Prinsip
Syariah; dan
4) kegiatan treasury lainnya yang lazim dilakukan oleh Bank
sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan dan Prinsip Syariah.
e. Kegiatan keagenan dan kerjasama
Kegiatan keagenan dan kerjasama meliputi:
1) agen penjual efek reksa dana syariah;
2) agen penjual surat berharga syariah yang diterbitkan
Pemerintah;
3) kerjasama pemasaran dengan perusahaan asuransi syariah
(bancassurance) model bisnis referensi, distribusi, dan
integrasi;
4) payment point; dan
5) kegiatan...
- 4 -
5) kegiatan keagenan atau kerjasama lainnya yang lazim
dilakukan oleh Bank sepanjang tidak bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan dan Prinsip Syariah.
f. Kegiatan sistem pembayaran dan electronic banking
Kegiatan sistem pembayaran dan electronic banking meliputi:
1) penyelenggara kliring;
2) penyelenggara penyelesaian akhir transaksi antar Bank
(settlement);
3) penyelenggara transfer dana;
4) penyelenggara alat pembayaran dengan menggunakan kartu
antara lain kartu Anjungan Tunai Mandiri (ATM), kartu debet,
dan kartu pembiayaan (sharia card);
5) penyelenggara uang elektronik (e-money);
6) phone banking;
7) sms banking;
8) mobile banking;
9) internet banking; dan
10) kegiatan sistem pembayaran dan electronic banking lainnya
yang lazim dilakukan oleh Bank sepanjang tidak
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan
Prinsip Syariah.
g. Kegiatan lainnya
Kegiatan berupa aktivitas lainnya meliputi:
1) penyediaan Safe Deposit Box (SDB);
2) Traveller’s Cheque (TC);
3) pembayaran gaji karyawan secara massal (payroll);
4) pengelolaan kas (cash management);
5) Layanan Nasabah Prima (LNP);
6) kustodian;
7) wali amanat;
8) penitipan dengan pengelolaan (trust);
9) virtual account;
10) cash pick up and delivery;
11) agen penampungan (escrow agent);
12) bank garansi;
13) Layanan Keuangan Tanpa Kantor Dalam Rangka Keuangan
Inklusif (Laku Pandai); dan
14) kegiatan...
- 5 -
14) kegiatan lainnya yang lazim dilakukan oleh Bank sepanjang
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
dan Prinsip Syariah.
2. Selain dapat melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada
angka 1, Bank dapat melakukan:
a. kegiatan penyertaan modal
Kegiatan penyertaan modal hanya dapat dilakukan oleh BUS.
Penyertaan modal adalah penanaman dana BUS dalam bentuk
saham pada bank syariah dan perusahaan di bidang keuangan
lainnya yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip
Syariah sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-
undangan, termasuk penanaman dalam bentuk surat investasi
konversi wajib (mandatory convertible sukuk) atau jenis transaksi
tertentu yang berakibat BUS memiliki atau akan memiliki saham
pada perusahaan yang bergerak di bidang keuangan yang
melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah.
b. kegiatan penyertaan modal sementara dalam rangka
penyelamatan pembiayaan
Kegiatan berupa penyertaan modal sementara oleh Bank pada
perusahaan nasabah untuk mengatasi kegagalan pembiayaan
(debt to equity swap) sebagaimana diatur dalam ketentuan
mengenai penyertaan modal Bank.
3. Bank dapat melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada
angka 1 dalam valuta asing sepanjang telah memperoleh persetujuan
dari Otoritas Jasa Keuangan.
III. KRITERIA PRODUK DAN AKTIVITAS BARU
Produk dan/atau Aktivitas baru merupakan Produk dan/atau Aktivitas
yang memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. belum pernah diterbitkan atau dilaksanakan sebelumnya oleh Bank
yang bersangkutan; atau
b. telah diterbitkan atau dilaksanakan sebelumnya oleh Bank namun
dilakukan pengembangan fitur atau karakteristik.
Yang dimaksud dengan pengembangan fitur atau karakteristik antara lain
penambahan dan/atau penggantian fitur atau karakteristik yang
menyebabkan perubahan atau peningkatan profil risiko Produk dan/atau
Aktivitas yang telah diterbitkan sebelumnya.
Contoh...
- 6 -
Contoh Produk yang mengalami pengembangan fitur atau karakteristik
tapi tidak menyebabkan perubahan atau peningkatan profil risiko adalah
Produk tabungan berjangka yang mengalami perubahan jangka waktu
dan/atau perubahan nominal.
Contoh Produk atau Aktivitas yang mengalami pengembangan fitur atau
karakteristik dan menyebabkan perubahan atau peningkatan profil risiko
antara lain:
1. Pembiayaan dengan akad musyarakah mutanaqisah untuk objek yang
sebelumnya ready stock menjadi ready stock dan inden.
2. Pengembangan dari Aktivitas kerjasama yang telah dilaksanakan
sebelumnya oleh Bank, misalnya Aktivitas pemasaran dengan
perusahaan asuransi syariah (bancassurance) model bisnis referensi
dikembangkan menjadi model bisnis distribusi atau integrasi sehingga
mengakibatkan perubahan pada profil risiko Aktivitas tersebut.
IV. PENCANTUMAN RENCANA PENERBITAN PRODUK DAN/ATAU
PELAKSANAAN AKTIVITAS BARU DALAM RENCANA BISNIS BANK
Rencana penerbitan Produk dan/atau pelaksanaan Aktivitas baru yang
dicantumkan dalam rencana bisnis Bank paling sedikit memuat informasi
dan penjelasan sebagai berikut:
1. jenis dan deskripsi umum Produk dan/atau Aktivitas baru;
2. waktu penerbitan Produk dan/atau pelaksanaan Aktivitas baru;
3. tujuan atau manfaat penerbitan Produk dan/atau pelaksanaan
Aktivitas baru;
4. keterkaitan Produk dan/atau Aktivitas baru dengan strategi bisnis
Bank;
5. risiko atas penerbitan Produk dan/atau pelaksanaan Aktivitas baru;
dan
6. mitigasi risiko atas penerbitan Produk dan/atau pelaksanaan
Aktivitas baru.
Pencantuman rencana penerbitan Produk dan/atau pelaksanaan
Aktivitas baru menggunakan format sebagaimana dimaksud pada
Lampiran I.
V. RUANG...
- 7 -
V. RUANG LINGKUP KEBIJAKAN DAN PROSEDUR DALAM RANGKA
PENGELOLAAN RISIKO
Ruang lingkup kebijakan dan prosedur dalam rangka pengelolaan risiko
Produk dan/atau Aktivitas baru paling sedikit mencakup:
1. Identifikasi seluruh risiko yang terkait dengan Produk dan/atau
Aktivitas baru;
2. Analisis aspek hukum dan aspek kepatuhan untuk Produk dan/atau
Aktivitas baru;
3. Sistem dan prosedur operasional serta kewenangan dalam
pengelolaan Produk dan/atau Aktivitas baru;
4. Sistem informasi akuntansi untuk Produk dan/atau Aktivitas baru;
5. Masa uji coba metode pengukuran dan pemantauan risiko terhadap
Produk dan/atau Aktivitas baru, dalam hal Produk dan/atau
Aktivitas baru memiliki risiko tinggi.
VI. PERIZINAN PRODUK DAN/ATAU AKTIVITAS BARU
1. Bank wajib memperoleh persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan
untuk menerbitkan Produk dan/atau melaksanakan Aktivitas baru
apabila Produk dan/atau Aktivitas baru tidak tercantum dalam
kodifikasi Produk dan Aktivitas Bank. Produk dan/atau Aktivitas
tersebut harus sesuai dengan klasifikasi BUKU dan telah tercantum
dalam rencana bisnis Bank apabila Produk dan/atau Aktivitas
tersebut belum pernah diterbitkan atau dilaksanakan sebelumnya
oleh Bank.
2. Bank menerbitkan Produk dan/atau melaksanakan Aktivitas baru
tanpa persetujuan Otoritas Jasa Keuangan dalam hal Produk
dan/atau Aktivitas baru telah:
a. tercantum dalam kodifikasi Produk dan Aktivitas Bank;
b. tercantum dalam rencana bisnis Bank;
c. sesuai dengan klasifikasi BUKU; dan
d. didukung dengan kesiapan operasional yang memadai.
3. Pencantuman Produk dan/atau Aktivitas baru dalam rencana bisnis
Bank sebagaimana dimaksud pada angka 2 huruf b berlaku untuk
Produk dan/atau Aktivitas baru karena memenuhi kriteria belum
pernah diterbitkan atau dilaksanakan sebelumnya oleh Bank.
4. Definisi...
- 8 -
4. Definisi atau karakteristik umum Produk dan Aktivitas Bank
sebagaimana dimaksud pada angka 1 dan angka 2 mengacu pada
Lampiran II.
5. Cakupan Produk dan Aktivitas Bank pada masing-masing BUKU
mengacu pada Lampiran III.
6. Kodifikasi Produk dan Aktivitas Bank mengacu pada Lampiran IV.
VII. PERMOHONAN PERSETUJUAN PENERBITAN PRODUK DAN/ATAU
PELAKSANAAN AKTIVITAS BARU
Permohonan persetujuan penerbitan Produk dan/atau pelaksanaan
Aktivitas baru diajukan oleh Bank kepada Otoritas Jasa Keuangan paling
lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sebelum penerbitan Produk dan/atau
pelaksanaan Aktivitas baru dengan menggunakan contoh format surat
sebagaimana dimaksud dalam Lampiran V.1 disertai dengan dokumen
pendukung yang paling sedikit memuat informasi dan penjelasan sebagai
berikut:
1. penjelasan umum mengenai Produk dan/atau Aktivitas baru meliputi:
a. jenis dan nama Produk dan/atau Aktivitas baru;
b. rencana waktu penerbitan Produk dan/atau pelaksanaan Aktivitas
baru; dan
c. informasi mengenai fitur atau karakteristik Produk yang akan
diterbitkan dan/atau Aktivitas yang akan dilaksanakan;
2. manfaat dan biaya bagi Bank;
3. manfaat dan risiko bagi nasabah;
4. standar operasional prosedur yang memuat antara lain definisi dan
skema; ketentuan yang terkait; karakteristik; target pasar atau
nasabah; alur proses (flowchart), unit kerja dan petugas yang terkait;
prosedur pelaksanaan sesuai alur proses; jurnal pembukuan;
kebijakan dalam rangka transparansi dan perlindungan nasabah; dan
penanganan nasabah bermasalah (dalam hal merupakan Produk
pembiayaan);
5. rencana kebijakan dan prosedur terkait dengan penerapan program
Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme (APU dan
PPT);
6. identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan pengendalian terhadap
risiko yang melekat pada Produk dan/atau Aktivitas baru;
7. hasil...
- 9 -
7. hasil analisis aspek hukum dan aspek kepatuhan atas Produk
dan/atau Aktivitas baru;
8. sistem informasi akuntansi termasuk penjelasan singkat mengenai
keterkaitan sistem informasi akuntansi tersebut dengan sistem
informasi akuntansi Bank secara menyeluruh, dan/atau sistem
pencatatan administrasi;
9. opini syariah dari Dewan Pengawas Syariah (DPS) terkait Produk
dan/atau Aktivitas baru paling sedikit meliputi:
a. Produk dan/atau Aktivitas baru mendasarkan pada fatwa Dewan
Syariah Nasional – Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI);
b. kesesuaian Produk dan/atau Aktivitas baru dengan fatwa DSN-
MUI paling sedikit mencakup:
1) akad yang digunakan dan pemenuhan unsur-unsur dalam
akad yang digunakan;
2) obyek transaksi dan tujuan penggunaan;
3) kesesuaian
penetapan
bonus/nisbah
bagi
hasil/margin/ujrah/fee dengan akad yang digunakan,
termasuk dalam hal diperlukan kaji ulang (review) terhadap
nisbah bagi hasil/margin/ujrah (untuk produk penyaluran
dana);
4) penetapan biaya administrasi; dan
5) penetapan hadiah, denda/sanksi dan/atau ganti rugi,
potongan, pelunasan dipercepat, dan perlakuan terhadap
agunan, apabila ada;
c. standar operasional prosedur Produk dan/atau Aktivitas baru
terkait dengan pemenuhan Prinsip Syariah; dan
d. hasil kaji ulang terhadap konsep akad/perjanjian/formulir
aplikasi Produk dan/atau Aktivitas baru terkait dengan
pemenuhan Prinsip Syariah.
10. konsep akad/perjanjian/formulir aplikasi paling sedikit meliputi:
a. identitas para pihak;
b. akad yang digunakan;
c. uraian secara rinci dan jelas mengenai nilai dan objek perjanjian;
d. hak dan kewajiban para pihak;
e. mekanisme pelaksanaan akad;
f. jangka waktu;
g. bonus/nisbah bagi hasil/margin/ujrah/fee;
h. objek...
- 10 -
h. objek jaminan, apabila ada;
i. rincian biaya yang terkait;
j. mekanisme
perselisihan/sengketa;
k. dalam perjanjian memuat pernyataan: “Perjanjian ini telah
disesuaikan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
termasuk ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan”,
dilampiri dengan pendapat dari satuan kerja yang membidangi hukum
yang menyatakan bahwa konsep akad/perjanjian/formulir aplikasi
telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku; dan
11. kesiapan operasional meliputi sumber daya manusia dan kesiapan
teknologi informasi.
Opini syariah dari DPS sebagaimana dimaksud pada angka 9
menggunakan contoh format sebagaimana dimaksud dalam Lampiran
V.2.
VIII. LAPORAN REALISASI PENERBITAN PRODUK DAN/ATAU PELAKSANAAN
AKTIVITAS BARU
1. Laporan realisasi penerbitan Produk dan/atau pelaksanaan Aktivitas
baru yang telah mendapat persetujuan Otoritas Jasa Keuangan
disampaikan oleh Bank kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat
7 (tujuh) hari kerja setelah penerbitan Produk dan/atau pelaksanaan
Aktivitas baru dengan menggunakan contoh format surat
sebagaimana dimaksud dalam Lampiran V.3 disertai dengan dokumen
pendukung berupa penjelasan mengenai kesesuaian Produk baru
yang diterbitkan atau Aktivitas baru yang dilaksanakan dengan
Produk dan/atau Aktivitas baru yang telah disetujui oleh Otoritas
Jasa Keuangan.
2. Laporan realisasi penerbitan Produk dan/atau pelaksanaan Aktivitas
baru yang tidak memerlukan persetujuan Otoritas Jasa Keuangan
disampaikan oleh Bank kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat
7 (tujuh) hari kerja setelah penerbitan Produk dan/atau pelaksanaan
Aktivitas baru dengan menggunakan contoh format surat
sebagaimana dimaksud dalam Lampiran V.4 disertai dengan dokumen
pendukung sebagai berikut:
a. ringkasan umum mengenai Produk dan/atau Aktivitas baru paling
sedikit meliputi:
1) jenis...
penyelesaian
perselisihan
apabila terjadi
- 11 -
1) jenis dan nama Produk dan/atau Aktivitas baru;
2) tanggal penerbitan Produk dan/atau pelaksanaan Aktivitas
baru;
3) kesesuaian Produk baru yang diterbitkan dan/atau Aktivitas
baru yang dilaksanakan dengan:
a) klasifikasi BUKU; dan
b) Kodifikasi Produk dan Aktivitas Bank;
4) manfaat dan biaya bagi Bank;
5) manfaat dan risiko bagi nasabah;
6) target pasar atau nasabah;
7) karakteristik Produk dan/atau Aktivitas;
8) alur proses (flowchart) dan prosedur pelaksanaan sesuai alur
proses Produk dan/atau Aktivitas;
9) jurnal pembukuan;
10) kebijakan dalam rangka transparansi dan perlindungan
nasabah; dan
11) penanganan nasabah bermasalah (dalam hal merupakan
Produk pembiayaan);
b. standar operasional prosedur yang memuat antara lain definisi
dan skema; ketentuan yang terkait; karakteristik; target pasar
atau nasabah; alur proses (flowchart), unit kerja dan petugas yang
terkait; prosedur pelaksanaan sesuai alur proses; jurnal
pembukuan; kebijakan dalam rangka transparansi dan
perlindungan nasabah; dan penanganan nasabah bermasalah
(dalam hal merupakan Produk pembiayaan); dan
3. Realisasi penerbitan Produk dan/atau pelaksanaan Aktivitas baru
dihitung sejak tanggal Produk dan/atau Aktivitas tersebut sudah
dapat dibeli atau dimanfaatkan oleh nasabah.
IX. LAPORAN RENCANA PENGHENTIAN PRODUK DAN/ATAU AKTIVITAS
BANK
Laporan rencana penghentian Produk dan/atau Aktivitas Bank
disampaikan oleh Bank kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 10
(sepuluh) hari kerja sebelum pelaksanaan penghentian Produk dan/atau
Aktivitas Bank dengan menggunakan contoh format surat sebagaimana
dimaksud dalam Lampiran V.5 disertai dengan dokumen pendukung
paling sedikit memuat:
1. alasan...
- 12 -
1. alasan penghentian;
2. surat pernyataan Direksi mengenai tanggung jawab atas keputusan
penghentian; dan
3. penjelasan mengenai langkah-langkah yang akan ditempuh dalam
rangka penyelesaian atau pengalihan seluruh kewajiban kepada
nasabah dan pihak lainnya.
X. LAPORAN REALISASI PENGHENTIAN PRODUK DAN/ATAU AKTIVITAS
ATAS INISIATIF BANK
Laporan realisasi penghentian Produk dan/atau Aktivitas Bank
disampaikan oleh Bank kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 7
(tujuh) hari kerja setelah penghentian Produk dan/atau Aktivitas Bank
mengacu pada format surat sebagaimana dimaksud dalam Lampiran V.6
disertai dengan dokumen pendukung paling sedikit memuat penjelasan
mengenai langkah-langkah yang telah dilakukan dalam rangka
penyelesaian atau pengalihan seluruh kewajiban kepada nasabah dan
pihak lainnya.
XI. LAPORAN REALISASI PENGHENTIAN SEMENTARA, LAPORAN
PENYEMPURNAAN, DAN LAPORAN REALISASI PENERBITAN KEMBALI
PRODUK DAN/ATAU PELAKSANAAN KEMBALI AKTIVITAS BANK ATAS
PERINTAH OTORITAS JASA KEUANGAN
1. Laporan realisasi penghentian sementara Produk dan/atau Aktivitas
Bank atas perintah Otoritas Jasa Keuangan disampaikan oleh Bank
kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja
setelah penghentian Produk dan/atau Aktivitas Bank dengan
menggunakan contoh format surat sebagaimana dimaksud dalam
Lampiran V.7.
2. Laporan penyempurnaan Produk dan/atau Aktivitas atas penghentian
sementara disampaikan oleh Bank kepada Otoritas Jasa Keuangan
sesuai jangka waktu yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan
dengan menggunakan contoh format surat sebagaimana dimaksud
dalam Lampiran V.8.
3. Laporan realisasi penerbitan kembali Produk dan/atau pelaksanaan
kembali Aktivitas Bank karena Otoritas Jasa Keuangan telah
mencabut penghentian sementara disampaikan oleh Bank kepada
Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah
penerbitan...
- 13 -
penerbitan kembali Produk dan/atau pelaksanaan kembali Aktivitas
dengan menggunakan contoh format surat sebagaimana dimaksud
dalam Lampiran V.9.
XII. LAPORAN REALISASI PENGHENTIAN PERMANEN DAN LAPORAN
RENCANA TINDAK PRODUK DAN/ATAU AKTIVITAS BANK ATAS
PERINTAH OTORITAS JASA KEUANGAN
1. Laporan realisasi penghentian permanen Produk dan/atau Aktivitas
Bank atas perintah Otoritas Jasa Keuangan disampaikan oleh Bank
kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja
setelah penghentian Produk dan/atau Aktivitas Bank dengan
menggunakan contoh format surat sebagaimana dimaksud dalam
Lampiran V.10.
2. Laporan rencana tindak atas penghentian permanen Produk dan/atau
Aktivitas Bank disampaikan oleh Bank kepada Otoritas Jasa
Keuangan paling lambat 20 (dua puluh) hari kerja setelah tanggal
surat penghentian Produk dan/atau Aktivitas dengan menggunakan
contoh format surat sebagaimana dimaksud dalam Lampiran V.11.
XIII. PENYAMPAIAN PENGAJUAN PERSETUJUAN DAN/ATAU PENYAMPAIAN
LAPORAN
1. Permohonan persetujuan dan/atau penyampaian laporan
disampaikan oleh Bank kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan
alamat sebagai berikut:
a. Departemen Perbankan Syariah, bagi Bank yang berkantor pusat
di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi
(Jabodetabek), serta Provinsi Banten; atau
b. Kantor Regional atau Kantor Otoritas Jasa Keuangan setempat
bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah Jakarta, Bogor,
Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek), serta Provinsi
Banten.
2. Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan telah menyediakan sistem
perizinan secara elektronik, pengajuan permohonan persetujuan
dan/atau penyampaian laporan disampaikan kepada Otoritas Jasa
Keuangan dengan mengacu pada mekanisme dan tata cara
sebagaimana dalam ketentuan yang mengatur mengenai perizinan
secara elektronik.
XIV. LAIN-LAIN...
- 14 -
XIV. LAIN-LAIN
Lampiran I, Lampiran II, Lampiran III, Lampiran IV, dan Lampiran V
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Otoritas Jasa
Keuangan ini.
XV. PENUTUP
Pada saat Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku:
1. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 10/31/DPbS tanggal 7 Oktober
2008 perihal Produk Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah;
2. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 14/7/DPbS tanggal 29 Februari
2012 perihal Produk Qardh Beragun Emas Bagi Bank Syariah dan
Unit Usaha Syariah; dan
3. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 14/16/DPbS tanggal 31 Mei
2012 perihal Produk Pembiayaan Kepemilikan Emas Bagi Bank
Syariah dan Unit Usaha Syariah,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku bagi BUS dan UUS.
Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal
ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 21 Desember 2015
KEPALA EKSEKUTIF PENGAWAS PERBANKAN
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
NELSON TAMPUBOLON
Salinan Sesuai Dengan Aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Sudarmaji
LAMPIRAN I
SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 36/SEOJK.03/2015
TENTANG
PRODUK DAN AKTIVITAS BANK UMUM SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH
- 2 -
RENCANA PENERBITAN PRODUK DAN/ATAU PELAKSANAAN AKTIVITAS BARU
BANK
:
TAHUN :
No.
Jenis dan
Nama
Produk
dan/atau
Aktivitas
Baru1)
Rencana Waktu
Penerbitan
Produk dan/atau
Pelaksanaan
Aktivitas Baru
Tujuan Penerbitan
Produk dan/atau
Pelaksanaan
Aktivitas Baru
Bagi
Bank
Bagi
Nasabah
Keterkaitan
Produk
dan/atau
Aktivitas
Baru
dengan
Strategi
Bank2)
Deskripsi
Umum
Produk
dan/atau
Aktivitas
Baru2)
Risiko yang
mungkin
timbul dari
Penerbitan
Produk
dan/atau
Aktivitas
Baru2)
Rencana
Mitigasi
Risiko
1) contoh penghimpunan dana – deposito mudharabah, penyaluran dana – pembiayaan musyarakah mutanaqisah, keagenan
dan kerjasama – bancassurance, sistem pembayaran dan electronic banking – internet banking.
2) penjelasan yang lebih rinci dapat disertakan dalam lembaran terpisah.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 21 Desember 2015
KEPALA EKSEKUTIF PENGAWAS PERBANKAN
OTORITAS JASA KEUANGAN,
Salinan Sesuai Dengan Aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Sudarmaji
ttd
NELSON TAMPUBOLON
LAMPIRAN II
SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 36/SEOJK.03/2015
TENTANG
PRODUK DAN AKTIVITAS BANK UMUM SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH
- 2 -
DEFINISI ATAU KARAKTERISTIK UMUM PRODUK DAN AKTIVITAS BANK
No.
Produk dan Aktivitas
1. PENGHIMPUNAN DANA
a. Simpanan (Wadi’ah)
1) Giro
2) Tabungan
b. Investasi (Mudharabah)
1) Giro
2) Tabungan
3) Deposito
c. Sertifikat
syariah
1) Tanpa
(scripless)
2) Dalam bentuk warkat
d. Pinjaman/pembiayaan
yang diterima
Pinjaman atau pembiayaan yang diterima dari bank atau pihak ketiga bukan bank
yang dapat berasal dari dalam negeri (domestik) atau dari luar negeri dalam bentuk
rupiah...
deposito
warkat
Definisi atau Karakteristik Umum
Simpanan nasabah pada Bank yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat
dengan menggunakan cek, bilyet giro, sarana perintah pembayaran lainnya, atau
dengan perintah pemindahbukuan.
Simpanan dana nasabah pada Bank yang penarikannya hanya dapat dilakukan
menurut syarat tertentu yang disepakati, tetapi tidak dapat ditarik dengan cek,
bilyet giro, dan/atau alat lainnya yang dipersamakan dengan itu.
Investasi dana nasabah pada Bank yang penarikannya dapat dilakukan sesuai
kesepakatan dengan menggunakan cek, bilyet giro, sarana perintah pembayaran
lainnya, atau dengan perintah pemindahbukuan.
Investasi dana nasabah pada Bank yang penarikannya hanya dapat dilakukan
menurut syarat tertentu yang disepakati, tetapi tidak dapat ditarik dengan cek,
bilyet giro, dan/atau alat lainnya yang dipersamakan dengan itu.
Investasi dana nasabah pada Bank yang penarikannya hanya dapat dilakukan
pada waktu tertentu yang disepakati berdasarkan akad antara nasabah penyimpan
dan Bank.
Simpanan dalam bentuk deposito yang berdasarkan Prinsip Syariah yang sertifikat
bukti penyimpanannya dapat dipindahtangankan dengan syarat-syarat tertentu.
- 3 -
No.
Produk dan Aktivitas
Definisi atau Karakteristik Umum
rupiah dan/atau valuta asing.
Untuk pinjaman luar negeri jangka panjang, Bank harus terlebih dahulu
memperoleh persetujuan masuk pasar dari Bank Indonesia.
e. Penerbitan surat
berharga syariah
f. Penerbitan surat
berharga syariah yang
memiliki fitur ekuitas
g. Sekuritisasi aset
h. Penghimpunan dana
lainnya
2. PENYALURAN DANA
a. Pembiayaan berdasarkan
prinsip bagi hasil
1) Pembiayaan
Mudharabah
2) Pembiayaan
Musyarakah
3) Pembiayaan
Musyarakah
Mutanaqisah (MMQ)
Surat berharga syariah yang diterbitkan oleh Bank baik yang diperjualbelikan di
pasar uang maupun di pasar modal, misalnya Medium Term Notes (MTN) dan
sukuk korporasi.
Surat berharga syariah atau pinjaman yang memiliki fitur ekuitas antara lain
berupa surat berharga syariah konversi (convertible securities), yaitu suatu jenis
surat berharga syariah yang dapat dikonversikan menjadi saham dari penerbit
surat berharga syariah dan biasanya pada rasio pertukaran yang sudah
ditentukan terlebih dahulu pada penerbitan surat berharga syariah tersebut.
Penerbitan surat berharga syariah oleh penerbit efek beragun aset yang didasarkan
pada pengalihan aset keuangan dari nasabah pembiayaan asal yang diikuti dengan
pembayaran yang berasal dari hasil penjualan efek beragun aset kepada pemodal.
Cukup jelas.
Penyediaan dana untuk kerja sama usaha antara dua pihak dimana pemilik dana
menyediakan seluruh dana, sedangkan pengelola dana bertindak selaku pengelola,
dan keuntungan dibagi di antara mereka sesuai dengan nisbah yang disepakati.
Penyediaan dana untuk kerja sama usaha tertentu yang masing-masing pihak
memberikan porsi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan akan dibagi sesuai
dengan nisbah yang disepakati, sedangkan kerugian ditanggung sesuai dengan
porsi dana masing-masing.
Pembiayaan musyarakah yang kepemilikan aset (barang) atau modal salah satu
pihak (syarik) berkurang disebabkan pembelian secara bertahap oleh pihak
lainnya.
b. Pembiayaan...
- 4 -
No.
Produk dan Aktivitas
b. Pembiayaan berdasarkan
prinsip sewa menyewa
1) Pembiayaan Ijarah
2) Pembiayaan
3) Pembiayaan
Multijasa
Ijarah
Muntahiyah Bittamlik
(IMBT)
Ijarah
4) Pembiayaan
pengurusan haji
c. Pembiayaan berdasarkan
prinsip jual beli
1) Pembiayaan
Murabahah
2) Pembiayaan
Kepemilikan Emas
(PKE)
Definisi atau Karakteristik Umum
Penyediaan dana dalam rangka pemindahan hak guna/manfaat atas suatu aset
dalam waktu tertentu dengan pembayaran sewa (ujrah) tanpa diikuti dengan
pemindahan kepemilikan aset itu sendiri.
Penyediaan dana dalam rangka memindahkan hak guna atau manfaat dari suatu
barang atau jasa berdasarkan transaksi sewa dengan opsi pemindahan
kepemilikan barang.
Penyediaan dana dalam rangka pemindahan manfaat atas jasa dalam waktu
tertentu dengan pembayaran sewa (ujrah).
Pembiayaan yang diberikan Bank untuk nasabah dalam rangka keperluan ibadah
haji.
Penyediaan dana atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu untuk
transaksi jual beli barang sebesar harga pokok ditambah margin berdasarkan
persetujuan atau kesepakatan antara Bank dengan nasabah yang mewajibkan
nasabah untuk melunasi hutang/kewajibannya.
Pembiayaan untuk kepemilikan emas.
3) Pembiayaan Istishna’ Penyediaan dana atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu untuk
transaksi jual beli barang dalam bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu
dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan atau
pembeli dan penjual atau pembuat.
4) Pembiayaan Salam
Penyediaan dana atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu untuk jual beli
barang pesanan dengan pengiriman barang di kemudian hari oleh penjual dan
pelunasannya dilakukan oleh pembeli pada saat akad disepakati sesuai dengan
syarat-syarat tertentu.
d. Pembiayaan...
- 5 -
No.
Produk dan Aktivitas
d. Pembiayaan berdasarkan
prinsip
pinjam
meminjam
1) Pembiayaan Qardh
2) Pembiayaan Qardh
Beragun Emas
e. Pembiayaan sindikasi
Penyediaan dana atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu berdasarkan
persetujuan atau kesepakatan antara peminjam dan pihak yang meminjamkan
yang mewajibkan peminjam melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu.
Pembiayaan qardh dengan agunan berupa emas yang diikat dengan akad rahn,
dimana emas yang diagunkan disimpan dan dipelihara oleh Bank selama jangka
waktu tertentu dengan membayar biaya penyimpanan dan pemeliharaan atas emas
sebagai objek rahn.
Pemberian pembiayaan bersama antara sesama Bank atau antara Bank dengan
bank konvensional kepada satu nasabah, yang jumlah pembiayaannya terlalu
besar apabila diberikan oleh satu Bank saja. Dalam suatu perjanjian pembiayaan
sindikasi, Bank dapat bertindak antara lain sebagai arranger, underwriter, agen,
atau partisipan.
f. Pembiayaan
(refinancing)
ulang
g. Pengalihan utang atau
pembiayaan
h. Anjak piutang syariah
i. Pembelian
berharga syariah
j. Penempatan pada Bank
Indonesia
surat
Pemberian fasilitas pembiayaan bagi nasabah yang telah memiliki aset sepenuhnya
atau nasabah yang belum melunasi pembiayaan sebelumnya.
Pemindahan utang nasabah dari lembaga keuangan konvensional ke Bank
dan/atau pemindahan pembiayaan nasabah dari lembaga keuangan syariah ke
Bank.
Pengalihan penyelesaian piutang atau tagihan jangka pendek dari nasabah yang
memiliki piutang atau tagihan kepada Bank yang kemudian menagih piutang
tersebut kepada pihak yang berutang atau pihak yang ditunjuk oleh pihak yang
berutang sesuai Prinsip Syariah.
Pembelian surat berharga syariah baik yang diterbitkan oleh pemerintah, Bank
Indonesia, atau korporasi.
Tagihan atau penempatan dana Bank pada Bank Indonesia dalam bentuk giro,
transaksi dalam rangka operasi pasar terbuka syariah, fasilitas penempatan Bank
peserta Pasar Uang Antar Bank Syariah (PUAS) pada Bank Indonesia dan jenis
tagihan atau penempatan Bank lainnya pada Bank Indonesia.
k. Penempatan...
Definisi atau Karakteristik Umum
- 6 -
No.
Produk dan Aktivitas
k. Penempatan pada Bank
lain
Definisi atau Karakteristik Umum
Penanaman dana Bank pada bank lain dalam bentuk giro, tabungan, deposito,
sertifikat deposito syariah, dan penanaman dana lainnya yang sejenis berdasarkan
Prinsip Syariah termasuk PUAS mengacu pada ketentuan yang mengatur mengenai
PUAS.
l. Penyaluran dana lainnya Cukup jelas
3. PEMBIAYAAN
PERDAGANGAN (TRADE
FINANCE)
a. Pembiayaan dengan
SKBDN
1) Penerbitan dan Pembiayaan dengan SKBDN: Janji tertulis berdasarkan
permintaan tertulis pemohon (applicant) yang mengikat Bank pembuka (issuing
bank) untuk:
a. melakukan pembayaran kepada penerima atau ordernya, atau mengaksep
dan membayar wesel yang ditarik oleh penerima;
b. memberi kuasa kepada bank lain untuk melakukan pembayaran kepada
penerima, mengaksep dan membayar wesel yang ditarik oleh penerima; atau
c. memberi kuasa kepada bank lain untuk menegosiasi wesel yang ditarik oleh
penerima,
atas penyerahan dokumen sepanjang persyaratan dan kondisi SKBDN
dipenuhi.
2) Penerimaan dan Pembiayaan dengan SKBDN: Surat pernyataan akan membayar
kepada penerima SKBDN yang diterbitkan oleh bank penerbit untuk
memfasilitasi perdagangan dengan pemenuhan persyaratan tertentu sesuai
dengan Prinsip Syariah.
b. Pembiayaan impor
dengan Letter of Credit
(L/C)
c. Pembiayaan ekspor
dengan Letter of Credit
(L/C)
Surat pernyataan akan membayar kepada eksportir (beneficiary) yang diterbitkan
oleh Bank (issuing bank) atas permintaan importir dengan pemenuhan persyaratan
tertentu.
Surat pernyataan akan membayar kepada eksportir yang diterbitkan oleh Bank
penerbit untuk memfasilitasi perdagangan ekspor dengan pemenuhan persyaratan
tertentu sesuai dengan Prinsip Syariah.
d. Pembiyaan ekspor/impor Penyediaan fasilitas pembiayaan oleh Bank kepada nasabah untuk ekspor-impor
tanpa...
- 7 -
No.
Produk dan Aktivitas
tanpa Letter of Credit
(L/C)
e. Pembiayaan
perdagangan (trade
finance) lainnya
4. TREASURY
a. Jual beli uang kertas
asing (banknotes)
b. Transaksi valuta asing
(spot)
c. Transaksi lindung nilai
syariah atas nilai tukar
1) Transaksi
tukar
sederhana
2) Transaksi
kompleks
3) Transaksi
syariah
d. Treasury lainnya
Cukup jelas.
5. KEGIATAN VALUTA ASING Cukup jelas.
6. PENYERTAAN MODAL
Penanaman dana Bank dalam bentuk saham pada perusahaan yang bergerak di
bidang keuangan syariah, termasuk penanaman dana dalam bentuk surat
berharga syariah yang dapat dikonversi menjadi saham (convertible securities) atau
jenis...
lindung
nilai syariah atas
nilai tukar - melalui
bursa
komoditi
Transaksi lindung nilai dengan skema berupa rangkaian transaksi jual beli
komoditi dalam mata uang rupiah yang diikuti dengan jual beli komoditi dalam
mata uang asing serta penyelesaiannya berupa serah terima mata uang pada saat
jatuh tempo.
lindung
nilai syariah atas
nilai
tukar
-
Transaksi lindung nilai dengan skema berupa rangkaian transaksi spot dan
forward agreement yang diikuti dengan transaksi spot pada saat jatuh tempo serta
penyelesaiannya berupa serah terima mata uang.
lindung
nilai syariah atas
nilai
-
tanpa L/C.
Cukup jelas.
Kegiatan penjualan atau pembelian banknotes atau Uang Kertas Asing (UKA).
Perjanjian jual/beli valuta asing secara tunai dengan penyerahan atau
penyelesaian transaksi tidak lebih dari 2 (dua) hari kerja.
Transaksi lindung nilai dengan skema forward agreement yang diikuti dengan
transaksi spot pada saat jatuh tempo serta penyelesaiannya berupa serah terima
mata uang.
Definisi atau Karakteristik Umum
- 8 -
No.
Produk dan Aktivitas
Definisi atau Karakteristik Umum
jenis transaksi tertentu berdasarkan Prinsip Syariah yang berakibat Bank memiliki
atau akan memiliki saham pada perusahaan yang bergerak di bidang keuangan
syariah.
7. PENYERTAAN
SEMENTARA
8. KEAGENAN
MODAL
DAN
KERJASAMA
a. Agen penjual efek reksa
dana syariah
Aktivitas Bank dalam rangka mewakili perusahaan efek sebagai manajer investasi
untuk menjual efek reksa dana syariah yang dilaksanakan oleh pegawai Bank yang
memiliki izin wakil agen penjual reksa dana syariah untuk menjual efek reksa
dana syariah. Bank yang akan bertindak sebagai agen penjual reksa dana syariah
wajib terlebih dahulu memperoleh izin sebagai sebagai Agen Penjual Reksa Dana
(APERD).
b. Agen penjual surat
berharga syariah yang
diterbitkan pemerintah
c. Bancassurance
bisnis referensi
model
Bank bertindak sebagai agen penjualan surat berharga syariah yang diterbitkan
oleh pemerintah kepada nasabahnya, antara lain penjualan Surat Berharga
Syariah Negara (SBSN) dan Surat Perbendaharaan Negara (SPN) Syariah.
Aktivitas kerjasama pemasaran produk asuransi syariah dengan Bank berperan
hanya mereferensikan atau merekomendasikan suatu produk asuransi syariah
kepada nasabah. Peran Bank dalam melakukan pemasaran terbatas sebagai
perantara dalam meneruskan informasi produk asuransi syariah dari perusahaan
asuransi mitra Bank kepada nasabah atau menyediakan akses kepada perusahaan
asuransi untuk menawarkan produk asuransi syariah kepada nasabah.
d. Bancassurance
bisnis distribusi
model
Aktivitas kerjasama pemasaran produk asuransi dengan Bank berperan
memasarkan produk asuransi dengan cara memberikan penjelasan mengenai
produk asuransi tersebut secara langsung kepada nasabah. Penjelasan dari Bank
dapat dilakukan melalui tatap muka dengan nasabah dan/atau dengan
menggunakan sarana komunikasi (telemarketing), termasuk melalui surat, media
elektronik, dan situs Bank.
e. Bancassurance
bisnis integrasi
model
Aktivitas kerjasama pemasaran produk asuransi dengan Bank berperan
memasarkan produk asuransi kepada nasabah dengan cara melakukan modifikasi
dan/atau...
Penyertaan modal oleh Bank dalam bentuk saham pada perusahaan nasabah
untuk mengatasi kegagalan pembiayaan.
- 9 -
No.
Produk dan Aktivitas
Definisi atau Karakteristik Umum
dan/atau menggabungkan produk asuransi dengan produk Bank. Aktivitas
kerjasama pemasaran ini dilakukan oleh Bank dengan cara menawarkan atau
menjual bundled product kepada nasabah melalui tatap muka dan/atau dengan
menggunakan sarana komunikasi, termasuk melalui surat, media elektronik, dan
situs Bank. Dengan demikian, peran Bank tidak hanya meneruskan dan
memberikan penjelasan yang terkait dengan produk asuransi kepada nasabah,
tetapi juga menindaklanjuti aplikasi nasabah atas bundled product, termasuk yang
terkait dengan produk asuransi kepada perusahaan asuransi mitra Bank.
f. Payment point
g. Keagenan dan kerjasama
lainnya
9. SISTEM PEMBAYARAN DAN
ELECTRONIC BANKING
a. Penyelenggara kliring
b. Penyelenggara
penyelesaian
akhir
transaksi antar bank
(settlement)
c. Penyelenggara transfer
dana
d. Penyelenggara
alat
pembayaran dengan
menggunakan kartu
selain kartu pembiayaan
(sharia card)
Aktivitas kerjasama Bank dengan pihak ketiga dalam rangka penerimaan tagihan
melalui setoran tunai maupun non tunai, antara lain untuk penerimaan
pembayaran tagihan listrik, air, telepon, telepon seluler, dan tagihan jasa internet.
Cukup jelas.
Penyelenggaraan pertukaran data keuangan elektronik dan/atau warkat antar
peserta kliring baik atas nama peserta maupun atas nama nasabah yang
perhitungannya diselesaikan pada waktu tertentu.
Kegiatan pendebetan dan pengkreditan rekening giro Bank di Bank Indonesia yang
dilakukan berdasarkan perhitungan hak dan kewajiban masing-masing bank yang
timbul dalam penyelenggaraan Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI).
Rangkaian kegiatan yang dimulai dengan perintah dari pengirim asal yang
bertujuan memindahkan sejumlah dana kepada penerima yang disebutkan dalam
perintah transfer dana sampai dengan diterimanya dana oleh penerima.
Penyelenggara Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu (APMK) berupa kartu
Anjungan Tunai Mandiri (ATM) dan/atau kartu debet.
e. Penyelenggara...
- 10 -
No.
Produk dan Aktivitas
e. Penyelenggara
alat
pembayaran dengan
menggunakan
pembiayaan (sharia card)
f. Penyelenggara uang
elektronik (e-money)
Penyelenggara alat pembayaran yang memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
a. diterbitkan atas dasar nilai uang yang disetor terlebih dahulu oleh pemegang
kepada penerbit;
b. nilai uang disimpan secara elektronik dalam suatu media seperti server atau
chip;
c. digunakan sebagai alat pembayaran kepada pedagang yang bukan merupakan
penerbit uang elektronik tersebut; dan
d. nilai uang elektronik yang disetor oleh pemegang dan dikelola oleh penerbit
bukan merupakan simpanan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang
yang mengatur mengenai perbankan.
g. Phone banking
h. SMS banking
i. Mobile banking
j. Internet banking
k. Sistem pembayaran dan
electronic
lainnya
10. KEGIATAN LAINNYA
a. Safe Deposit Box (SDB)
b. Traveller’s Cheque (TC)
c. Payroll
Jasa penyewaan kotak penyimpanan harta atau surat berharga dalam ruang
khasanah Bank.
Penerbitan cek perjalanan yang dapat digunakan sebagai alat pembayaran.
Layanan kepada nasabah untuk melakukan pembayaran gaji kepada
pegawai/karyawan secara massal.
d. Cash...
banking
Layanan untuk bertransaksi perbankan melalui telepon dengan menghubungi
nomor layanan pada Bank.
Layanan informasi atau transaksi perbankan yang dapat diakses langsung melalui
telepon seluler dengan menggunakan media SMS.
Layanan untuk melakukan transaksi perbankan melalui telepon seluler.
Layanan untuk melakukan transaksi perbankan melalui jaringan internet.
Cukup jelas.
kartu
Definisi atau Karakteristik Umum
Penyelenggara Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu (APMK) berupa kartu
pembiayaan (sharia card).
- 11 -
No.
Produk dan Aktivitas
d. Cash management
Definisi atau Karakteristik Umum
Jasa/layanan pengelolaan kas yang diberikan kepada nasabah yang memiliki
simpanan pada Bank, di mana setiap transaksi harus berdasarkan perintah
nasabah.
Contoh jasa/layanan cash management antara lain pendebetan atau
pemindahbukuan rekening nasabah dalam rangka pembayaran tagihan atau
kewajiban, transfer/pemindahbukuan dana dari satu rekening ke rekening lain
milik nasabah, konsolidasi (pooling) atau distribusi dana dari kantor-kantor
cabang/jaringan operasional perusahaan, dan jasa pembayaran gaji karyawan
secara massal (payroll).
Dalam kegiatan cash management, Bank hanya diperkenankan untuk bertindak
sebagai pihak yang melakukan pembayaran (paying agent) berdasarkan perintah
nasabah dan tidak bertindak sebagai agen investasi (investment agent) dana.
e. Layanan Nasabah Prima
(LNP)
h. Kustodian
Layanan terkait produk dan/atau aktivitas dengan keistimewaan tertentu bagi
nasabah prima.
Penitipan kolektif surat berharga (efek) seperti saham atau obligasi serta
melaksanakan tugas administrasi seperti menagih hasil penjualan, menerima
dividen, mengumpulkan informasi mengenai perusahaan acuan seperti misalnya
rapat umum pemegang saham tahunan, menyelesaikan transaksi penjualan dan
pembelian, melaksanakan transaksi dalam valuta asing apabila diperlukan, serta
menyajikan laporan atas seluruh Aktivitasnya sebagai kustodian kepada kliennya.
Bank yang akan bertindak sebagai Kustodian wajib terlebih dahulu memperoleh
persetujuan Otoritas Jasa Keuangan.
i. Wali Amanat
Jasa/layanan yang diberikan kepada para pemegang efek bersifat hutang atau
sukuk (investor) untuk menjadi wakil investor dalam penerbitan suatu efek bersifat
hutang atau sukuk tersebut. Sebagai wakil investor, Bank selaku Wali Amanat
turut serta dalam proses penerbitan sukuk dan memonitoring kewajiban emiten
terhadap ketentuan yang ada dalam perjanjian perwaliamanatan hingga sukuk
tersebut lunas. Bank yang akan bertindak sebagai Wali Amanat wajib terlebih
dahulu terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan untuk mendapatkan Surat Tanda
Terdaftar sebagai Wali Amanat.
j. Virtual...
- 12 -
No.
Produk dan Aktivitas
j. Virtual Account (VA)
k. Cash pick up and
delivery
l. Agen penampungan
(escrow agent)
m. Bank Garansi
n. Penitipan
dengan
pengelolaan (trust)
Definisi atau Karakteristik Umum
Layanan yang diberikan Bank kepada nasabah berupa fasilitas identifikasi
penerimaan pembayaran tagihan yang dimiliki nasabah kepada pihak lawan
(counterparty) nasabah.
Layanan penjemputan atau pengantaran uang tunai dari dan ke lokasi nasabah.
Layanan jasa yang diberikan oleh Bank yang bertindak sebagai agen penampungan
(escrow agent) untuk melaksanakan hak dan kewajiban yang ditetapkan dalam
perjanjian agen penampungan (escrow agent).
Kesanggupan tertulis yang diberikan oleh Bank kepada pihak penerima jaminan
bahwa Bank akan membayar sejumlah uang kepadanya pada waktu tertentu jika
pihak terjamin tidak dapat memenuhi kewajibannya.
Trust adalah kegiatan penitipan dengan pengelolaan.
Dalam kegiatan penitipan dengan pengelolaan terdapat 3 (tiga) pihak yang terlibat
yaitu (i) settlor sebagai pihak penitip yang memiliki harta/dana dan memberikan
kewenangan untuk mengelola dana kepada trustee; (ii) trustee (dalam hal ini Bank)
sebagai pihak yang diberi kewenangan oleh settlor/penitip untuk mengelola
harta/dana guna kepentingan penerima manfaat yaitu beneficiary; dan (iii)
beneficiary sebagai pihak penerima manfaat dari harta/dana tersebut. Kegiatan
trust mencakup kegiatan antara lain sebagai (i) agen pembayar (paying agent); (ii)
agen investasi (investment agent) dana berdasarkan Prinsip Syariah; dan/atau (iii)
agen pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah.
o. Laku Pandai
Kegiatan menyediakan layanan perbankan syariah dan/atau layanan keuangan
syariah lainnya yang dilakukan tidak melalui jaringan kantor, namun melalui kerja
sama dengan pihak lain dan perlu didukung dengan penggunaan sarana teknologi
informasi.
p. Kegiatan...
- 13 -
No.
Produk dan Aktivitas
p. Kegiatan lainnya
Cukup jelas.
Definisi atau Karakteristik Umum
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 21 Desember 2015
KEPALA EKSEKUTIF PENGAWAS PERBANKAN
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
NELSON TAMPUBOLON
Salinan Sesuai Dengan Aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Sudarmaji
LAMPIRAN III
SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 36/SEOJK.03/2015
TENTANG
PRODUK DAN AKTIVITAS BANK UMUM SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH
- 2 -
PRODUK DAN AKTIVITAS BUS DAN UUS BERDASARKAN KELOMPOK KEGIATAN USAHA
No.
Produk/Aktivitas
1. PENGHIMPUNAN DANA
a. Simpanan (Wadi’ah)
1) Giro
2) Tabungan
b. Investasi (Mudharabah)
1) Giro
2) Tabungan
3) Deposito
c. Sertifikat deposito syariah
1) Tanpa warkat (scripless)
2) Dalam bentuk warkat
d. Pinjaman/pembiayaan
yang diterimaa)
e. Penerbitan surat berharga
syariahb)
f. Penerbitan surat berharga
syariah yang memiliki fitur
ekuitas b)
g. Sekuritisasi aset b)
h. Penghimpunan
dana
lainnya
1) Diluar huruf a sampai
dengan huruf g.
2) Huruf a sampai dengan
huruf...
Tanpa persetujuan
Tanpa persetujuan
Tanpa persetujuan
Tanpa persetujuan
Tanpa persetujuan
Persetujuan
Tanpa persetujuan
Tanpa persetujuan
Tanpa persetujuan
Tanpa persetujuan
Tanpa persetujuan
Tanpa persetujuan
Persetujuan
Tanpa persetujuan
Persetujuan
Persetujuan
Dilarang
Persetujuan
Tanpa persetujuan
Tanpa persetujuan
Tanpa persetujuan
Tanpa persetujuan
Tanpa persetujuan
Persetujuan
Tanpa persetujuan
Persetujuan
Persetujuan
Persetujuan
Persetujuan
Persetujuan
Tanpa persetujuan
Tanpa persetujuan
Tanpa persetujuan
Tanpa persetujuan
Tanpa persetujuan
Persetujuan
Tanpa persetujuan
Tanpa Persetujuan Tanpa Persetujuan Tanpa Persetujuan Tanpa Persetujuan
Persetujuan
Persetujuan
Persetujuan
Persetujuan
Dilarang
Persetujuan
Persetujuan
BUKU 1
BUKU 2
BUKU 3
BUKU 4
- 3 -
No.
Produk/Aktivitas
huruf g dengan
keterangan
persetujuan”
tidak sesuai dengan
Kodifikasi Produk dan
Aktivitas Bank.
2. PENYALURAN DANA
a. Pembiayaan berdasarkan
prinsip bagi hasil
1) Pembiayaan
Mudharabah
2) Pembiayaan
Musyarakah
3) Pembiayaan
Musyarakah
Mutanaqisah (MMQ)
b. Pembiayaan berdasarkan
prinsip sewa menyewa
1) Pembiayaan Ijarah
2) Pembiayaan
3) Pembiayaan
Multijasa
Tanpa Persetujuan
Tanpa Persetujuan
Tanpa Persetujuan
Tanpa Persetujuan
Tanpa Persetujuan
Tanpa Persetujuan
Tanpa Persetujuan
Tanpa Persetujuan
Tanpa Persetujuan
Tanpa Persetujuan
Tanpa Persetujuan
Tanpa Persetujuan
“tanpa
namun
BUKU 1
BUKU 2
BUKU 3
BUKU 4
Tanpa Persetujuan
Ijarah Tanpa Persetujuan
Muntahiyah Bittamlik
(IMBT)
Ijarah
4) Pembiayaan pengurusan
haji
Tanpa Persetujuan
Tanpa Persetujuan
Tanpa Persetujuan
Tanpa Persetujuan
Tanpa Persetujuan
Tanpa Persetujuan
Tanpa Persetujuan
Tanpa Persetujuan
c. Pembiayaan berdasarkan
prinsip jual beli
1) Pembiayaan Murabahah Tanpa Persetujuan Tanpa Persetujuan Tanpa Persetujuan Tanpa Persetujuan
2) Pembiayaan...
Tanpa Persetujuan
Tanpa Persetujuan
Tanpa Persetujuan
Tanpa Persetujuan
Tanpa Persetujuan
Tanpa Persetujuan
- 4 -
No.
Produk/Aktivitas
2) Pembiayaan
Kepemilikan Emas (PKE)
3) Pembiayaan Istishna’
4) Pembiayaan Salam
d. Pembiayaan berdasarkan
prinsip pinjam meminjam
1) Pembiayaan Qardh
2) Pembiayaan
Beragun Emas
e. Pembiayaan sindikasi
f. Pembiayaan
(refinancing)
g. Pengalihan utang atau
pembiayaan
h. Anjak piutang syariah
i. Pembelian surat berharga
syariah
j. Penempatan pada Bank
Indonesia
l. Penyaluran dana lainnya
1) Diluar huruf a sampai
dengan huruf k
2) Huruf a sampai dengan
huruf k namun tidak
sesuai dengan Kodifikasi
Tanpa persetujuan
(partisipan)
ulang
Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan
Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan
Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan
Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan
Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan
Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan
k. Penempatan pada bank lain Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan
Persetujuan
Persetujuan
Persetujuan
Persetujuan
BUKU 1
Tanpa Persetujuan
Tanpa Persetujuan
Tanpa Persetujuan
Qardh
Tanpa Persetujuan
Tanpa Persetujuan
BUKU 2
Tanpa Persetujuan
Tanpa Persetujuan
Tanpa Persetujuan
Tanpa Persetujuan
Tanpa Persetujuan
BUKU 3
Tanpa Persetujuan
Tanpa Persetujuan
Tanpa Persetujuan
Tanpa Persetujuan
Tanpa Persetujuan
BUKU 4
Tanpa Persetujuan
Tanpa Persetujuan
Tanpa Persetujuan
Tanpa Persetujuan
Tanpa Persetujuan
Produk...
- 5 -
No.
Produk/Aktivitas
Produk dan Aktivitas
Bank.
3. PEMBIAYAAN PERDAGANGAN
(TRADE FINANCE)
a. Pembiayaan dengan
SKBDN
b. Pembiayaan impor dengan
Letter of Credit (L/C)
c. Pembiayaan ekspor dengan
Letter of Credit (L/C)
d. Pembiayaan ekspor-impor
tanpa Letter of Credit (L/C)
e. Pembiayaan perdagangan
(trade finance) lainnya
1) Diluar huruf a sampai
dengan huruf d
2) Huruf a sampai dengan
huruf d
keterangan
persetujuan”
4. TREASURY
a. Jual beli uang kertas asing
(banknotes)
b. Transaksi valuta asing
(spot)
Persetujuan
sebagai PVA
Dilarang
Tanpa
persetujuanc)
Tanpa
persetujuanc)
Tanpa
persetujuanc)
Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan
tidak sesuai dengan
Kodifikasi Produk dan
Aktivitas Bank.
dengan
“tanpa
namun
Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan
Dilarang
Dilarang
Dilarang
Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan
Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan
Persetujuan
Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan
Persetujuan
Persetujuan
Persetujuan
BUKU 1
BUKU 2
BUKU 3
BUKU 4
c. Transaksi...
- 6 -
No.
Produk/Aktivitas
c. Transaksi lindung nilai
syariah atas nilai tukar
1) Transaksi lindung nilai
syariah atas nilai tukar -
sederhana
2) Transaksi lindung nilai
syariah atas nilai tukar -
kompleks
3) Transaksi lindung nilai
syariah atas nilai tukar -
melalui bursa komoditi
syariah
d. Treasury lainnya
1) Di luar huruf a sampai
dengan huruf c
2) Huruf a sampai dengan
huruf c dengan
keterangan
persetujuan”
tidak sesuai dengan
Kodifikasi Produk dan
Aktivitas Bank.
5. KEGIATAN VALUTA ASING c)
6. PENYERTAAN MODAL
7. PENYERTAAN
SEMENTARA
Persetujuan
(Hanya sebagai
PVA)
Dilarang
Persetujuan
15% dari modal
Persetujuan
25% dari modal
Persetujuan
35% dari modal
MODAL Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan
Persetujuan
Persetujuan
Persetujuan
“tanpa
namun
BUKU 1
Dilarang
Dilarang
Dilarang
BUKU 2
Tanpa persetujuan
Persetujuan
Persetujuan
BUKU 3
BUKU 4
Tanpa persetujuan
Persetujuan
Persetujuan
Tanpa persetujuan
Persetujuan
Persetujuan
Dilarang
Persetujuan
Persetujuan
Persetujuan
8. KEAGENAN...
- 7 -
No.
Produk/Aktivitas
8. KEAGENAN DAN KERJASAMA
a. Agen penjual efek reksa
dana syariah
b. Agen penjual surat
berharga syariah yang
diterbitkan pemerintah
c. Bancassurance model
bisnis referensi
d. Bancassurance model
bisnis distribusi
e. Bancassurance model
bisnis integrasi
f. Payment point
g. Keagenan dan kerjasama
lainnya
1) Di luar huruf a sampai
dengan huruf f
2) Huruf a sampai dengan
huruf f
keterangan
persetujuan”
dengan
“tanpa
namun
tidak sesuai dengan
Kodifikasi Produk dan
Aktivitas Bank.
Dilarang
Persetujuan
Persetujuan
Persetujuan
Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan
Persetujuan
Dilarang
Dilarang
Persetujuan
Persetujuan
Persetujuan
Persetujuan
Persetujuan
Persetujuan
Persetujuan
Persetujuan
Persetujuan
Persetujuan
Persetujuan
Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan
Persetujuan
Persetujuan
BUKU 1
BUKU 2
BUKU 3
BUKU 4
9. SISTEM...
- 8 -
No.
9.
Produk/Aktivitas
SISTEM PEMBAYARAN DAN
ELECTRONIC BANKING
a. Penyelenggara kliring d)
b. Penyelenggara penyelesaian
akhir transaksi antar bank
(settlement) d)
c. Penyelenggara
dana d)
d. Penyelenggara
pembayaran
e. Penyelenggara
pembayaran
menggunakan
f. Penyelenggara
g. Phone banking e)
h. SMS banking e)
transfer
alat
dengan
menggunakan kartu selain
kartu pembiayaan (sharia
card)d)
alat
dengan
kartu
pembiayaan (sharia card)d)
uang
elektronik (e-money) d)
Persetujuan
Persetujuan
Persetujuan
i. Mobile banking e)
j. Internet banking e)
k. Sistem pembayaran d) dan
Persetujuan
Dilarangf)
Persetujuan
Persetujuan
Persetujuan
Persetujuan
Persetujuan
Persetujuan
Persetujuan
Persetujuan
Persetujuan
Persetujuan
Persetujuan
Persetujuan
Persetujuan
Persetujuan
Persetujuan
Persetujuan
Persetujuan
Persetujuan
Persetujuan
electronic...
Dilarang
Persetujuan
Persetujuan
Persetujuan
Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan
Persetujuan
Persetujuan
Persetujuan
Persetujuan
Persetujuan
Persetujuan
Persetujuan
Persetujuan
Persetujuan
Persetujuan
Persetujuan
Persetujuan
BUKU 1
BUKU 2
BUKU 3
BUKU 4
- 9 -
No.
Produk/Aktivitas
electronic banking lainnya
1) Diluar huruf a sampai
dengan huruf j.
2) Diluar huruf a sampai
dengan huruf j dengan
keterangan
persetujuan”
“tanpa
namun
tidak sesuai dengan
Kodifikasi Produk dan
Aktivitas Bank.
10. KEGIATAN LAINNYA
a. Safe Deposit Box (SDB)
b. Traveller’s Cheque (TC)
c. Payroll
d. Cash management
e. Layanan Nasabah Prima
(LNP)
h. Kustodianb)
i. Wali amanat b)
j. Virtual Account (VA)
k. Cash pick up and delivery
Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan
Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan
Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan
Dilarang g)
Persetujuan
Dilarang
Dilarang
Persetujuan
Persetujuan
Dilarang
Dilarang
Persetujuan
Persetujuan
Persetujuan
Persetujuan
Persetujuan
Persetujuan
Persetujuan
Persetujuan
Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan
Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan
BUKU 1
BUKU 2
BUKU 3
BUKU 4
l. Agen...
- 10 -
No.
Produk/Aktivitas
l. Agen
n. Penitipan
pengelolaan (trust)
o. Laku Pandai
p. Kegiatan lainnya
1) Diluar huruf a sampai
dengan huruf o.
2) Huruf a sampai dengan
huruf o
keterangan
persetujuan”
tidak sesuai dengan
Kodifikasi Produk dan
Aktivitas Bank.
Keterangan:
a)
b)
c)
d)
e)
dengan
“tanpa
namun
Persetujuan
Persetujuan
Persetujuan
Persetujuan
penampungan
(escrow agent)
m. Bank Garansi
dengan
BUKU 1
BUKU 2
BUKU 3
BUKU 4
Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan
Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan
Dilarang
Dilarang
Persetujuan
Persetujuan
Persetujuan
Persetujuan
Persetujuan
Persetujuan
: Pinjaman luar negeri jangka panjang harus memperoleh izin masuk pasar dari Bank Indonesia
: Persetujuan mengacu pada ketentuan perundang-undangan pasar modal termasuk ketentuan di bidang pasar
modal.
: Bank dapat melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing sepanjang telah memperoleh persetujuan dari
Otoritas Jasa Keuangan.
: Bank wajib memperoleh izin pelaksanaan dari Bank Indonesia setelah mendapatkan persetujuan dari Otoritas
Jasa Keuangan.
: Dalam hal bank umum konvensional induk UUS telah memiliki persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan maka
UUS hanya perlu melaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan menunjuk persetujuan yang telah dimiliki
oleh...
- 11 -
oleh bank umum konvensional induk UUS.
f)
g)
: Kecuali apabila dilakukan melalui kerja sama dengan bank lain.
: Kecuali cash management berupa jasa/layanan pembayaran gaji pegawai secara massal (payroll).
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 21 Desember 2015
KEPALA EKSEKUTIF PENGAWAS PERBANKAN
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
Salinan Sesuai Dengan Aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Sudarmaji
NELSON TAMPUBOLON
LAMPIRAN V
SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 36/SEOJK.03/2015
TENTANG
PRODUK DAN AKTIVITAS BANK UMUM SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH
- 2 -
Lampiran V.1
Nomor
Lampiran
Kepada
Otoritas Jasa Keuangan
Up. 1)
Perihal : Permohonan Persetujuan Penerbitan Produk/Pelaksanaan
Aktivitas2) Baru
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Sehubungan dengan perihal tersebut di atas, dengan ini kami
mengajukan permohonan persetujuan penerbitan Produk/pelaksanaan
Aktivitas2) baru dengan rincian sebagai berikut:
1. Jenis Produk/Aktivitas2) : ………………………………………………
2. Nama Produk/Aktivitas2) : ………………………………………………
3. Rencana penerbitan Produk/pelaksanaan Aktivitas2) : ……….
Sebagai bahan pertimbangan, bersama ini kami sampaikan dokumen
pendukung yang dipersyaratkan sebagaimana checklist terlampir. Apabila
terdapat pertanyaan atau hal-hal lainnya terkait surat permohonan ini,
Saudara dapat menghubungi pegawai kami yaitu ………melalui
telepon…….atau email……..
Demikian permohonan ini kami sampaikan, atas perhatiannya kami
ucapkan terima kasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
: ....................
: ....................
(Tempat), (Tanggal, Bulan, Tahun)
DIREKSI BANK
Tembusan: Departemen Perbankan Syariah3)
1) Departemen Perbankan Syariah, Kantor Regional, atau Kantor Otoritas Jasa Keuangan setempat yang
mewilayahi BUS atau UUS bersangkutan.
2) Coret yang tidak perlu.
3) Dalam hal merupakan permohonan persetujuan Produk baru dan BUS atau UUS berada diluar
wilayah kerja Departemen Perbankan Syariah.
CHECKLIST...
- 3 -
CHECKLIST DOKUMEN DALAM RANGKA PERMOHONAN PERSETUJUAN
PRODUK/AKTIVITAS1) BARU
No.
1.
Dokumen
Penjelasan umum
mengenai
Produk/Aktivitas1) baru.
a. jenis dan nama Produk/Aktivitas1)
baru;
b. rencana waktu penerbitan Produk/
pelaksanaan Aktivitas1) baru; dan
c. informasi mengenai fitur atau
karakteristik Produk yang akan
diterbitkan/Aktivitas yang akan
dilaksanakan1).
2. Manfaat dan biaya bagi Bank.
3. Manfaat dan risiko bagi nasabah.
4.
Standar operasional prosedur yang
memuat antara lain definisi dan skema;
ketentuan yang terkait; karakteristik;
target pasar atau nasabah; alur proses
(flowchart), unit kerja dan petugas yang
terkait; prosedur pelaksanaan sesuai alur
proses; jurnal pembukuan; kebijakan
dalam rangka transparansi dan
perlindungan nasabah; dan penanganan
nasabah bermasalah (dalam hal
merupakan Produk pembiayaan).
5.
6.
Rencana kebijakan dan prosedur terkait
dengan penerapan program APU dan PPT.
Identifikasi, pengukuran, pemantauan,
dan pengendalian terhadap risiko yang
melekat pada Produk/Aktivitas1) baru.
7. Hasil analisis aspek hukum dan aspek
kepatuhan atas Produk/Aktivitas1) baru.
8. Opini syariah dari DPS terkait
Produk/Aktivitas1) baru (terlampir).
9.
Konsep akad/perjanjian/formulir aplikasi
yang dilampiri dengan pendapat dari
satuan kerja yang membidangi hukum
yang menyatakan bahwa
konsep
akad/perjanjian/formulir aplikasi telah
sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
10. Kesiapan operasional meliputi sumber
daya manusia dan kesiapan teknologi
informasi.
Check
Keterangan
Demikian...
- 4 -
Demikian checklist ini telah disusun secara benar dan lengkap untuk
disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan dalam rangka permohonan
persetujuan Produk/Aktivitas1) baru.
(Tempat), (Tanggal, Bulan,Tahun)
DIREKSI BANK
1) Coret yang tidak perlu.
Lampiran...
- 5 -
Lampiran V.2
OPINI SYARIAH DEWAN PENGAWAS SYARIAH (DPS)
Nama Produk/Aktivitas1) Baru: ………………………
No
Keterangan
1. Produk/Aktivitas1) baru mendasarkan pada fatwa DSN-MUI
2. Kesesuaian Produk/Aktivitas1) baru dengan fatwa DSN-MUI
paling sedikit meliputi:
a. akad yang digunakan dan pemenuhan unsur-unsur
dalam akad yang digunakan;
b. obyek transaksi dan tujuan penggunaan;
c. kesesuaian
penetapan
bonus/nisbah
bagi
hasil/margin/ujrah/fee dengan akad yang digunakan,
termasuk dalam hal diperlukan kaji ulang (review)
terhadap nisbah bagi hasil/margin/ujrah (untuk produk
penyaluran dana);
d. penetapan biaya administrasi; dan
e. penetapan hadiah, denda/sanksi dan/atau ganti rugi,
potongan, pelunasan dipercepat, dan perlakuan terhadap
agunan, apabila ada.
3.
Standar operasional prosedur Produk/Aktivitas1) baru terkait
dengan pemenuhan Prinsip Syariah.
4. Hasil kaji ulang terhadap konsep akad/perjanjian/formulir
aplikasi Produk/Aktivitas1) baru terkait dengan pemenuhan
Prinsip Syariah.
Kesimpulan : ……………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………
……………………………………………………
(Tempat), (Tanggal, Bulan, Tahun)
(Dewan Pengawas Syariah)
(Dewan Pengawas Syariah)
Opini
1) coret yang tidak perlu
Lampiran...
- 6 -
Lampiran V.3
Nomor
: ....................
(Tempat), (Tanggal, Bulan, Tahun)
Lampiran : ....................
Kepada
Otoritas Jasa Keuangan
Up. 1)
Perihal : Laporan Realisasi Penerbitan Produk/Pelaksanaan Aktivitas2)
Baru
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Sehubungan dengan surat persetujuan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
...... tanggal ..... Hal ....., bersama ini kami laporkan bahwa telah dilaksanakan
penerbitan Produk/pelaksanaan Aktivitas2) baru sebagai berikut:
1. Jenis Produk/Aktivitas2)
2. Nama Produk/Aktivitas2)
3. Tanggal penerbitan Produk/pelaksanaan Aktivitas2)
: …….......................................
: …….......................................
: ……………
Untuk melengkapi laporan ini, terlampir kami sampaikan dokumen
pendukung berupa penjelasan mengenai kesesuaian Produk baru yang
diterbitkan/Aktivitas baru yang dilaksanakan2) dengan Produk/Aktivitas2)
baru yang telah disetujui oleh Otoritas Jasa Keuangan.
Demikian laporan ini kami sampaikan, atas perhatiannya kami ucapkan
terima kasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
DIREKSI BANK
1) Departemen Perbankan Syariah, Kantor Regional, atau Kantor Otoritas Jasa Keuangan setempat yang
mewilayahi BUS atau UUS bersangkutan.
2) Coret yang tidak perlu.
Lampiran...
- 7 -
Lampiran V.4
Nomor
: ....................
(Tempat), (Tanggal, Bulan, Tahun)
Lampiran : ....................
Kepada
Otoritas Jasa Keuangan
Up. 1)
Perihal : Laporan Realisasi Penerbitan Produk/Pelaksanaan Aktivitas2)
Baru
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Sehubungan dengan perihal tersebut diatas, bersama ini kami laporkan
bahwa telah dilaksanakan penerbitan Produk/pelaksanaan Aktivitas2) baru
sebagai berikut:
1. Jenis Produk/Aktivitas2)
2. Nama Produk/Aktivitas2)
3. Tanggal penerbitan Produk/pelaksanaan Aktivitas2)
: …….......................................
: …….......................................
: ……………
Untuk melengkapi laporan ini, bersama ini kami sampaikan dokumen
pendukung yang dipersyaratkan sebagaimana checklist terlampir.
Demikian laporan ini kami sampaikan, atas perhatiannya kami ucapkan
terima kasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
DIREKSI BANK
1) Departemen Perbankan Syariah, Kantor Regional, atau Kantor Otoritas Jasa Keuangan setempat yang
mewilayahi BUS atau UUS bersangkutan.
2) Coret yang tidak perlu.
CHECKLIST...
- 8 -
CHECKLIST DOKUMEN DALAM RANGKA REALISASI
PENERBITAN PRODUK/PELAKSANAAN AKTIVITAS1) BARU
No.
Dokumen
1. Ringkasan umum paling sedikit meliputi:
a. jenis dan nama Produk/Aktivitas1) baru;
b. tanggal penerbitan Produk/pelaksanaan
Aktivitas1) baru;
c. kesesuaian Produk
baru
yang
diterbitkan atau Aktivitas1) baru yang
dilaksanakan dengan:
d. klasifikasi BUKU;
e. Kodifikasi Produk dan Aktivitas Bank;
f. manfaat dan biaya bagi Bank;
g. manfaat dan risiko bagi nasabah;
h. target pasar atau nasabah;
i. karakteristik Produk/Aktivitas1);
j. alur proses (flowchart) dan prosedur
pelaksanaan sesuai alur proses Produk
atau Aktivitas;
k. jurnal pembukuan;
l. kebijakan dalam rangka transparansi
dan perlindungan nasabah; dan
m. penanganan nasabah bermasalah
(dalam hal merupakan Produk
pembiayaan).
2. Standar operasional prosedur
yang
memuat antara lain definisi dan skema;
ketentuan yang terkait; karakteristik;
target pasar atau nasabah; alur proses
(flowchart), unit kerja dan petugas yang
terkait; prosedur pelaksanaan sesuai alur
proses; jurnal pembukuan; kebijakan
dalam rangka transparansi dan
perlindungan nasabah; dan penanganan
nasabah bermasalah (dalam hal
merupakan Produk pembiayaan).
Demikian...
Check
Keterangan
- 9 -
Demikian checklist ini telah disusun secara benar dan lengkap untuk
disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan dalam rangka laporan realisasi
penerbitan Produk/pelaksanaan Aktivitas1) baru.
(Tempat), (Tanggal, Bulan, Tahun)
DIREKSI BANK
1) Coret yang tidak perlu.
Lampiran...
- 10 -
Lampiran V.5
Nomor
: ....................
(Tempat), (Tanggal, Bulan, Tahun)
Lampiran : ....................
Kepada
Otoritas Jasa Keuangan
Up. 1)
Perihal : Laporan Rencana Penghentian Produk/Aktivitas2)
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Sehubungan dengan perihal tersebut di atas, dengan ini kami
sampaikan laporan rencana penghentian Produk/Aktivitas2) sebagai berikut:
1. Jenis Produk/Aktivitas2)
2. Nama Produk/Aktivitas2)
: ……..................................................
: …….................................................
3. Rencana tanggal penghentian : ………………………………………………
Sebagai bahan pertimbangan, bersama ini kami sampaikan dokumen
pendukung yang dipersyaratkan sebagaimana checklist terlampir.
Demikian laporan ini kami sampaikan, atas perhatiannya kami ucapkan
terima kasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb
DIREKSI BANK
1) Departemen Perbankan Syariah, Kantor Regional, atau Kantor Otoritas Jasa Keuangan setempat yang
mewilayahi BUS atau UUS bersangkutan.
2) Coret yang tidak perlu.
CHECKLIST...
- 11 -
CHECKLIST DOKUMEN DALAM RANGKA RENCANA PENGHENTIAN
PRODUK/AKTIVITAS1)
No.
1.
2.
Dokumen
Alasan penghentian.
Surat pernyataan Direksi mengenai
tanggung jawab atas
penghentian.
3.
Penjelasan mengenai langkah-langkah
yang akan ditempuh dalam rangka
penyelesaian atau pengalihan seluruh
kewajiban kepada nasabah dan pihak
lainnya.
Demikian checklist ini telah disusun secara benar dan lengkap untuk
disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan dalam rangka laporan rencana
penghentian Produk/Aktivitas1).
(Tempat), (Tanggal, Bulan, Tahun)
keputusan
Check
Keterangan
DIREKSI BANK
1) Coret yang tidak perlu.
Lampiran...
- 12 -
Lampiran V.6
Nomor
: ....................
(Tempat), (Tanggal, Bulan, Tahun)
Lampiran : ....................
Kepada
Otoritas Jasa Keuangan
Up. 1)
Perihal : Laporan Realisasi Penghentian Produk/Aktivitas2)
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Sehubungan dengan surat Otoritas Jasa Keuangan Nomor ...... tanggal
..... Hal .....2)/Sehubungan dengan surat kami Nomor ...... tanggal ..... Perihal
.....3)4), dengan ini kami laporkan bahwa kami telah melaksanakan
penghentian Produk/Aktivitas4) sebagai berikut:
1. Jenis Produk/Aktivitas4)
: ……...........................................................
2. Nama Produk/Aktivitas4) : ……...........................................................
3. Tanggal penghentian Produk/Aktivitas4) : ………………………………
Untuk melengkapi laporan ini, bersama ini kami sampaikan dokumen
pendukung yang memuat penjelasan mengenai langkah-langkah yang telah
dilakukan dalam rangka penyelesaian atau pengalihan seluruh kewajiban
kepada nasabah dan pihak lainnya.
Demikian laporan ini kami sampaikan, atas perhatiannya kami ucapkan
terima kasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
DIREKSI BANK
1) Departemen Perbankan Syariah, Kantor Regional, atau Kantor Otoritas Jasa Keuangan setempat yang
mewilayahi BUS atau UUS bersangkutan.
2) dalam hal Otoritas Jasa Keuangan memberikan penegasan.
3) dalam hal Otoritas Jasa Keuangan tidak memberikan penegasan.
4) Coret yang tidak perlu.
Lampiran...
- 13 -
Lampiran V.7
Nomor
: ....................
(Tempat), (Tanggal, Bulan, Tahun)
Lampiran : ....................
Kepada
Otoritas Jasa Keuangan
Up. 1)
Perihal : Laporan Realisasi Penghentian Sementara Produk/Aktivitas2)
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Sehubungan dengan surat Otoritas Jasa Keuangan Nomor ...... tanggal
..... Hal ...., dengan ini kami laporkan bahwa kami telah melaksanakan
penghentian sementara Produk/Aktivitas2) sebagai berikut:
1. Jenis Produk/Aktivitas2)
: ……...........................................................
2. Nama Produk/Aktivitas2) : ……...........................................................
3. Tanggal penghentian sementara Produk/Aktivitas2) : …………………….
Demikian laporan ini kami sampaikan, atas perhatiannya kami ucapkan
terima kasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
DIREKSI BANK
1) Departemen Perbankan Syariah, Kantor Regional, atau Kantor Otoritas Jasa Keuangan setempat yang
mewilayahi BUS atau UUS bersangkutan.
2) Coret yang tidak perlu.
Lampiran...
- 14 -
Lampiran V.8
Nomor
: ....................
(Tempat), (Tanggal, Bulan, Tahun)
Lampiran : ....................
Kepada
Otoritas Jasa Keuangan
Up. 1)
Perihal : Laporan Penyempurnaan Produk/Aktivitas2)
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Sehubungan dengan surat Otoritas Jasa Keuangan Nomor ...... tanggal
..... Hal .... dan surat kami Nomor ...... tanggal ..... perihal Laporan Realisasi
Penghentian Sementara Produk/Aktivitas2, dengan ini kami laporkan bahwa
kami telah menyempurnakan Produk ..... /Aktivitas2)
...... sesuai dengan
permintaan Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana terlampir.
Demikian laporan ini kami sampaikan, atas perhatiannya kami ucapkan
terima kasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
DIREKSI BANK
1) Departemen Perbankan Syariah, Kantor Regional, atau Kantor Otoritas Jasa Keuangan setempat yang
mewilayahi BUS atau UUS bersangkutan.
2) Coret yang tidak perlu.
Lampiran...
- 15 -
Lampiran V.9
Nomor
: ....................
(Tempat), (Tanggal, Bulan, Tahun)
Lampiran : ....................
Kepada
Otoritas Jasa Keuangan
Up. 1)
Perihal : Laporan Realisasi Penerbitan Kembali Produk/Pelaksanaan
Kembali Aktivitas2)
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Sehubungan dengan surat Otoritas Jasa Keuangan Nomor ..........
tanggal ........ Hal............, bersama ini kami laporkan bahwa telah
dilaksanakan penerbitan kembali Produk/pelaksanaan kembali Aktivitas2)
sebagai berikut:
1. Jenis Produk/Aktivitas2)
2. Nama Produk/Aktivitas2)
: …….......................................
: …….......................................
3. Tanggal penerbitan kembali Produk/pelaksanaan kembali Aktivitas2): ..
Demikian laporan ini kami sampaikan, atas perhatiannya kami ucapkan
terima kasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
DIREKSI BANK
1) Departemen Perbankan Syariah, Kantor Regional, atau Kantor Otoritas Jasa Keuangan setempat yang
mewilayahi BUS atau UUS bersangkutan.
2) Coret yang tidak perlu.
Lampiran...
- 16 -
Lampiran V.10
Nomor
: ....................
(Tempat), (Tanggal, Bulan, Tahun)
Lampiran : ....................
Kepada
Otoritas Jasa Keuangan
Up. 1)
Perihal : Laporan Realisasi Penghentian Permanen Produk/Aktivitas2)
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Sehubungan dengan surat Otoritas Jasa Keuangan Nomor ...... tanggal
..... Hal ....., dengan ini kami laporkan bahwa kami telah melaksanakan
penghentian permanen Produk/Aktivitas2) sebagai berikut:
1. Jenis Produk/Aktivitas2)
: ……...........................................................
2. Nama Produk/Aktivitas2) : ……...........................................................
3. Tanggal penghentian permanen Produk/Aktivitas2) : ……………………..
Demikian laporan ini kami sampaikan, atas perhatiannya kami ucapkan
terima kasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
DIREKSI BANK
1) Departemen Perbankan Syariah, Kantor Regional, atau Kantor Otoritas Jasa Keuangan setempat yang
mewilayahi BUS atau UUS bersangkutan.
2) Coret yang tidak perlu.
Lampiran...
- 17 -
Lampiran V.11
Nomor
: ....................
(Tempat), (Tanggal, Bulan, Tahun)
Lampiran : ....................
Kepada
Otoritas Jasa Keuangan
Up. 1)
Perihal : Laporan Rencana Tindak Penghentian Produk/Aktivitas2)
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Sehubungan dengan surat Otoritas Jasa Keuangan Nomor .... tanggal ....
Hal ...., terlampir kami sampaikan rencana tindak atas penghentian permanen
Produk ......../Aktivitas .........2) yang telah dilaksanakan pada tanggal ..........
Demikian laporan kami sampaikan, atas perhatiannya kami ucapkan
terima kasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
DIREKSI BANK
1) Departemen Perbankan Syariah, Kantor Regional, atau Kantor Otoritas Jasa Keuangan setempat yang
mewilayahi BUS atau UUS bersangkutan.
2) Coret yang tidak perlu.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 21 Desember 2015
KEPALA EKSEKUTIF PENGAWAS PERBANKAN
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
NELSON TAMPUBOLON
Salinan Sesuai Dengan Aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Sudarmaji
"," SEOJK
36/SEOJK.03/2015
PRODUK DAN AKTIVITAS BANK UMUM SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH
21 Desember 2015
21 Desember 2015
'14/16/DPbS|SE-BI/2012', '14/7/DPbS|SE-BI/2012', '10/31/DPbS|SE-BI/2008'
'24/POJK.03/2015', '14/26/PBI/2012'
"
" Yth.
1. Direksi Perusahaan Penjaminan;
2. Direksi Perusahaan Penjaminan Syariah;
3. Direksi Perusahaan Penjaminan Ulang; dan
4. Direksi Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah,
di tempat.
SALINAN
SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 54 /SEOJK.05/2017
TENTANG
LAPORAN PENERAPAN TATA KELOLA PERUSAHAAN YANG BAIK
BAGI LEMBAGA PENJAMIN
Sehubungan dengan amanat ketentuan Pasal 58 ayat (6) Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan Nomor 3/POJK.05/2017 tentang Tata Kelola
Perusahaan Yang Baik Bagi Lembaga Penjamin (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2017 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 6015), perlu untuk mengatur mengenai bentuk, susunan
dan tata cara penyampaian laporan penerapan tata kelola perusahaan yang
baik bagi lembaga penjamin dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan
sebagai berikut:
I. KETENTUAN UMUM
1. Lembaga Penjamin adalah Perusahaan Penjaminan, Perusahaan
Penjaminan Syariah, Perusahaan Penjaminan Ulang, dan
Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah yang menjalankan kegiatan
penjaminan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor
1 Tahun 2016 tentang Penjaminan.
2. Perusahaan Penjaminan adalah badan hukum yang bergerak di
bidang keuangan dengan kegiatan usaha utama melakukan
Penjaminan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor
1 Tahun 2016 tentang Penjaminan.
- 2 -
-
2
-
3. Perusahaan Penjaminan Syariah adalah badan hukum yang
bergerak di bidang keuangan dengan kegiatan usaha utama
melakukan Penjaminan Syariah sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan.
4. Perusahaan Penjaminan Ulang adalah badan hukum yang bergerak
di bidang keuangan dengan kegiatan usaha melakukan Penjaminan
Ulang sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2016 tentang Penjaminan.
5. Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah adalah badan hukum yang
bergerak di bidang keuangan dengan kegiatan usaha melakukan
Penjaminan Ulang Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan.
6. Tata Kelola Perusahaan yang Baik adalah seperangkat proses yang
diberlakukan dalam Lembaga Penjamin untuk menentukan
keputusan dan pengelolaan Lembaga Penjamin dengan
menggunakan prinsip antara lain transparansi, akuntabilitas,
tanggung jawab, independensi, dan keadilan.
7. Rapat Umum Pemegang Saham yang selanjutnya disingkat RUPS
adalah rapat umum pemegang saham sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas bagi Lembaga Penjamin yang berbentuk badan hukum
perseroan terbatas atau yang setara dengan RUPS bagi Lembaga
Penjamin yang berbentuk badan hukum perusahaan umum atau
koperasi.
8. Direksi adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas bagi
Lembaga Penjamin yang berbentuk badan hukum perseroan
terbatas atau yang setara dengan Direksi bagi Lembaga Penjamin
yang berbentuk badan hukum perusahaan umum atau koperasi.
9. Dewan Komisaris adalah dewan komisaris sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas bagi Lembaga Penjamin yang berbentuk badan hukum
perseroan terbatas atau yang setara dengan Dewan Komisaris bagi
Lembaga Penjamin yang berbentuk badan hukum perusahaan
umum atau koperasi.
- 3 -
-
3
-
10. Dewan Pengawas Syariah yang selanjutnya disingkat DPS adalah
bagian dari organ Perusahaan Penjaminan Syariah, Perusahaan
Penjaminan Ulang Syariah, dan Perusahaan Penjaminan yang
memiliki unit usaha syariah yang mempunyai tugas dan fungsi
pengawasan terhadap penyelenggaraan kegiatan penjaminan syariah
dan penjaminan ulang syariah, agar sesuai dengan prinsip syariah.
11. Komisaris Independen adalah anggota Dewan Komisaris yang tidak
terafiliasi dengan pemegang saham, anggota Direksi, anggota
Dewan Komisaris lainnya dan/atau anggota DPS, yaitu tidak
memiliki hubungan keuangan, kepengurusan, kepemilikan saham
dan/atau hubungan keluarga dengan pemegang saham, anggota
Direksi, anggota Dewan Komisaris lainnya dan/atau anggota DPS
atau hubungan lain yang dapat mempengaruhi kemampuannya
untuk bertindak independen.
II. PENERAPAN TATA KELOLA PERUSAHAAN YANG BAIK
Prinsip Tata Kelola Perusahaan yang Baik meliputi:
1. transparansi, yaitu keterbukaan dalam proses pengambilan
keputusan dan keterbukaan dalam pengungkapan dan penyediaan
informasi yang relevan mengenai Lembaga Penjamin, yang mudah
diakses oleh pemangku kepentingan sesuai dengan peraturan
perundangan-undangan di bidang penjaminan serta standar,
prinsip, dan praktik penyelenggaraan usaha yang sehat;
kejelasan
2. akuntabilitas,
yaitu
fungsi
dan
pelaksanaan
pertanggungjawaban organ Lembaga Penjamin sehingga kinerja
penyelenggaraan usaha Lembaga Penjamin dapat berjalan secara
transparan, wajar, efektif, dan efisien;
3. tanggung jawab, yaitu kesesuaian pengelolaan Lembaga Penjamin
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang
penjaminan dan nilai etika serta standar, prinsip, dan praktik
penyelenggaraan usaha yang sehat;
4. independensi, yaitu keadaan Lembaga Penjamin yang dikelola
secara mandiri dan profesional serta bebas dari benturan
kepentingan dan pengaruh atau tekanan dari pihak manapun yang
tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di
bidang penjaminan dan nilai etika serta standar, prinsip, dan
praktik penyelenggaraan usaha yang sehat; dan
- 4 -
-
4
-
5. keadilan, yaitu kesetaraan dan keseimbangan di dalam memenuhi
hak-hak pemangku kepentingan yang timbul berdasarkan
perjanjian, ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang
penjaminan, dan nilai etika serta standar, prinsip, dan praktik
penyelenggaraan usaha yang sehat.
III. BENTUK DAN SUSUNAN LAPORAN PENERAPAN TATA KELOLA
PERUSAHAAN YANG BAIK
1. Lembaga Penjamin wajib menyusun laporan penerapan Tata Kelola
Perusahaan yang Baik pada setiap akhir tahun buku.
2. Laporan penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik sebagaimana
dimaksud pada angka 1 paling sedikit memuat:
a. transparansi penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik
paling
sedikit
meliputi pengungkapan seluruh aspek
pelaksanaan prinsip Tata Kelola Perusahaan yang Baik
sebagaimana dimaksud dalam Romawi II;
b. penilaian secara mandiri (self assessment) atas penerapan Tata
Kelola Perusahaan yang Baik; dan
c. rencana tindak (action plan) yang meliputi tindakan korektif
(corrective action) yang diperlukan dan waktu penyelesaian
serta kendala/hambatan penyelesaiannya, apabila masih
terdapat kekurangan dalam penerapan Tata Kelola Perusahaan
yang Baik.
3. Bentuk dan susunan laporan penerapan Tata Kelola Perusahaan
yang Baik adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran I,
Lampiran II, dan Lampiran III yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini.
IV. TRANSPARANSI PENERAPAN TATA KELOLA PERUSAHAAN YANG BAIK
1. Transparansi penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik
sebagaimana dimaksud dalam Romawi III angka 2 huruf a,
meliputi:
a. pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Direksi, Dewan
Komisaris, dan DPS;
b. kelengkapan dan pelaksanaan tugas:
1) komite audit bagi Lembaga Penjamin yang memiliki
lingkup wilayah operasional nasional atau provinsi, atau
- 5 -
-
5
-
terdapat kepemilikan asing; atau
2) fungsi yang membantu Dewan Komisaris bagi Lembaga
Penjamin yang memiliki lingkup wilayah operasional
kabupaten,
dalam memantau dan memastikan efektivitas sistem
pengendalian internal;
c. penerapan fungsi kepatuhan, auditor internal, dan auditor
eksternal;
d. penerapan manajemen risiko, sistem pengendalian internal, dan
tata kelola teknologi informasi;
e. penerapan kebijakan remunerasi dan fasilitas lain bagi anggota
Direksi, Dewan Komisaris, DPS, dan pegawai;
f.
transparansi kondisi keuangan dan non-keuangan Lembaga
Penjamin;
g. rencana jangka panjang serta rencana kerja dan anggaran
tahunan;
h. pengungkapan kepemilikan saham anggota Direksi, Dewan
Komisaris, dan DPS yang menjabat dan/atau pada badan
usaha lain yang berkedudukan di dalam dan di luar negeri
yang mencapai 5% (lima per seratus) atau lebih;
i. pengungkapan hubungan keuangan dan hubungan keluarga
anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, dan anggota DPS
dengan anggota Direksi lain, anggota Dewan Komisaris lain,
anggota DPS lain, dan/atau pemegang saham Lembaga
Penjamin tempat anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris,
dan anggota DPS dimaksud menjabat; dan
j. pengungkapan hal penting lainnya, meliputi:
1) pengunduran diri atau pemberhentian auditor eksternal;
2) transaksi material dengan pihak terkait;
3) benturan kepentingan yang sedang berlangsung dan/atau
yang mungkin akan terjadi;
4) informasi material lain mengenai Lembaga Penjamin;
5) pengunduran diri
Independen;
sertifikasi;
atau pemberhentian
6)
7) tenaga kerja asing;
8) jumlah penyimpangan internal (internal fraud);
Komisaris
- 6 -
-
6
-
9) permasalahan hukum; dan
10) etika bisnis Lembaga Penjamin.
2. Transparansi penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik
sebagaimana dimaksud dalam Romawi III angka 2 huruf a disusun
oleh Lembaga Penjamin berdasarkan format sebagaimana
tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini.
V. PENILAIAN SECARA MANDIRI (SELF ASSESSMENT) ATAS PENERAPAN
TATA KELOLA PERUSAHAAN YANG BAIK
1. Penilaian secara mandiri (self assessment) atas penerapan Tata
Kelola Perusahaan yang Baik sebagaimana dimaksud dalam
Romawi III angka 2 huruf b dilakukan oleh Lembaga Penjamin
berdasarkan pedoman Tata Kelola Perusahaan yang Baik.
2. Penilaian secara mandiri (self assessment) sebagaimana dimaksud
pada angka 1 dituangkan dalam kertas kerja penilaian secara
mandiri (self assessment) sebagaimana tercantum dalam Lampiran
II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran
Otoritas Jasa Keuangan ini.
3. Pengisian kertas kerja penilaian secara mandiri (self assessment)
dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:
a. menyusun analisis penilaian secara mandiri (self assessment),
dengan
cara
kriteria/indikator
membandingkan
dengan
pemenuhan
berdasarkan data dan informasi yang relevan;
b. berdasarkan hasil analisis tersebut ditetapkan peringkat
sebagai berikut:
1) peringkat 1:
hasil analisis penilaian secara mandiri (self assessment)
oleh Lembaga Penjamin menunjukkan bahwa pelaksanaan
Tata Kelola Perusahaan yang Baik sangat sesuai dengan
kriteria/indikator;
2) peringkat 2:
hasil analisis penilaian secara mandiri (self assessment)
oleh Lembaga Penjamin menunjukkan bahwa pelaksanaan
Tata Kelola Perusahaan yang Baik sesuai dengan
kriteria/indikator;
setiap
kondisi Lembaga Penjamin
- 7 -
-
7
-
3) peringkat 3:
hasil analisis penilaian secara mandiri (self assessment)
oleh Lembaga Penjamin menunjukkan bahwa pelaksanaan
Tata Kelola Perusahaan yang Baik cukup sesuai dengan
kriteria/indikator;
4) peringkat 4:
hasil analisis penilaian secara mandiri (self assessment)
oleh Lembaga Penjamin menunjukkan bahwa pelaksanaan
Tata Kelola Perusahaan yang Baik kurang sesuai dengan
kriteria/indikator; atau
5) peringkat 5:
hasil analisis penilaian secara mandiri (self assessment)
oleh Lembaga Penjamin menunjukkan bahwa pelaksanaan
Tata Kelola Perusahaan yang Baik tidak sesuai dengan
kriteria/indikator; dan
c. menyusun kesimpulan umum atas hasil penilaian secara
mandiri (self assessment).
4. Untuk setiap pernyataan atau pertanyaan dalam penilaian secara
mandiri (self assessment) diberi nilai sebagaimana tabel berikut:
Kriteria/Indikator Nilai
Ya
1
2
3
4
5
Tidak
5
5
4
3
2
1
1
5. Untuk mendapatkan nilai dari masing-masing faktor, Lembaga
Penjamin menggunakan rumus berikut:
Bobot masing-masing faktor ditetapkan sebagaimana tabel berikut:
- 8 -
-
8
-
a. bagi Perusahaan Penjaminan dan Perusahaan Penjaminan
Ulang
No.
Faktor
1. Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab
Direksi dan Dewan Komisaris.
2. Kelengkapan dan pelaksanaan tugas:
a. komite audit bagi Lembaga Penjamin
yang
memiliki
lingkup
wilayah
operasional nasional atau provinsi, atau
terdapat kepemilikan asing; atau
b. fungsi yang membantu Dewan Komisaris
bagi Lembaga Penjamin yang memiliki
lingkup wilayah operasional kabupaten,
dan memastikan
dalam
3. Penerapan
memantau
efektivitas sistem pengendalian internal.
fungsi
kepatuhan,
internal, dan auditor eksternal.
4. Penerapan manajemen risiko,
sistem
pengendalian internal, dan tata kelola
teknologi informasi.
5. Penerapan
kebijakan
remunerasi dan 2.50
fasilitas lain bagi anggota Direksi, Dewan
Komisaris, dan pegawai.
6. Transparansi kondisi keuangan dan non
keuangan Lembaga Penjamin.
7. Rencana jangka panjang serta rencana kerja
dan anggaran tahunan.
8. Pengungkapan kepemilikan saham anggota
Direksi dan Dewan Komisaris yang mencapai
5% (lima per seratus) atau lebih.
9. Pengungkapan hubungan keuangan dan
hubungan keluarga anggota Direksi dan
anggota Dewan Komisaris dengan anggota
Direksi lain dan anggota Dewan Komisaris
15.00
7.50
5.00
10.00
auditor
7.50
Bobot
30.00
5.00
5.00
- 9 -
-
9
-
lain, dan/atau pemegang saham Lembaga
Penjamin tempat anggota Direksi dan
anggota Dewan Komisaris
menjabat.
dimaksud
10. Pengungkapan hal penting lainnya.
TOTAL
12.50
100.00
b. bagi Perusahaan Penjaminan Syariah, Perusahaan Penjaminan
Ulang Syariah, dan Perusahaan Penjaminan yang memiliki unit
usaha syariah
No.
Faktor
1. Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab
Direksi, Dewan Komisaris, dan DPS.
2. Kelengkapan dan pelaksanaan tugas:
a. komite audit bagi Lembaga Penjamin
yang
memiliki
lingkup
wilayah
b. fungsi
operasional nasional atau provinsi, atau
terdapat kepemilikan asing; atau
membantu
yang
Dewan
Komisaris bagi Lembaga Penjamin yang
memiliki lingkup wilayah operasional
kabupaten,
dalam
memantau
3. Penerapan
dan memastikan
efektivitas sistem pengendalian internal.
fungsi
kepatuhan,
internal, dan auditor eksternal.
4. Penerapan manajemen risiko,
sistem
pengendalian internal, dan tata kelola
teknologi informasi.
5. Penerapan
kebijakan
remunerasi dan
fasilitas lain bagi anggota Direksi, dan Dewan
Komisaris, DPS.
6. Transparansi kondisi keuangan dan non
keuangan Lembaga Penjamin.
15.00
2.50
10.00
auditor
7.50
Bobot
35.00
5.00
- 10 -
-
1
0
-
7. Rencana jangka panjang serta rencana kerja
dan anggaran tahunan.
8. Pengungkapan kepemilikan saham anggota
Direksi, Dewan Komisaris, dan DPS yang
mencapai 5% (lima per seratus) atau lebih.
9. Pengungkapan hubungan keuangan dan
hubungan keluarga anggota Direksi, anggota
Dewan Komisaris, dan anggota DPS dengan
anggota Direksi
lain, anggota Dewan
Komisaris lain, anggota DPS lain, dan/atau
pemegang saham Lembaga Penjamin tempat
anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris,
dan anggota DPS dimaksud menjabat.
10. Pengungkapan hal penting lainnya.
TOTAL
6. Untuk mendapatkan nilai
10.00
100.00
komposit, Lembaga Penjamin
menjumlahkan nilai dari seluruh faktor. Berdasarkan nilai
komposit tersebut Lembaga Penjamin menetapkan nilai komposit
sebagaimana tabel berikut:
Nilai
Rangking
84-100
68-83
52-67
36-51
20-35
1
2
3
4
5
Predikat
Sangat Baik
Baik
Cukup Baik
Kurang Baik
Tidak Baik
7. Kertas kerja penilaian secara mandiri (self assessment) dan
dokumen pendukung penilaian secara mandiri (self assessment)
harus didokumentasikan dengan baik sehingga memudahkan
penelusuran oleh pihak yang berkepentingan.
VI. RENCANA TINDAK (ACTION PLAN)
1. Rencana tindak (action plan) disusun dalam rangka meningkatkan
atau menyempurnakan pelaksanaan Tata Kelola Perusahaan yang
7.50
2.50
5.00
- 11 -
-
1
1
-
Baik sebagai tindak lanjut atas hasil penilaian secara mandiri (self
assessment). Rencana tindak (action plan) dimaksud meliputi
tindakan korektif (corrective action) yang diperlukan, waktu
penyelesaian, dan kendala atau hambatan dalam penyelesaiaan
apabila masih terdapat kekurangan dalam penerapan Tata Kelola
Perusahaan yang Baik.
2. Rencana tindak (action plan) sebagaimana dimaksud dalam Romawi
III angka 2 huruf c disusun oleh Lembaga Penjamin sesuai format
sebagaimana tercantum dalam Lampiran III yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Otoritas Jasa
Keuangan ini.
VII. WAKTU PENYAMPAIAN LAPORAN PENERAPAN TATA KELOLA
PERUSAHAAN YANG BAIK
1. Lembaga Penjamin wajib menyampaikan laporan penerapan Tata
Kelola Perusahaan yang Baik kepada Otoritas Jasa Keuangan
paling lambat tanggal 30 April tahun berikutnya.
2. Apabila tanggal 30 April adalah hari libur, maka batas akhir
penyampaian laporan adalah hari kerja pertama setelah tanggal 30
April dimaksud.
VIII. TATA CARA PENYAMPAIAN LAPORAN PENERAPAN TATA KELOLA
PERUSAHAAN YANG BAIK
1. Lembaga Penjamin harus menyampaikan laporan penerapan Tata
Kelola Perusahaan yang Baik yang telah ditandatangani oleh
Direksi kepada Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Dana
Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan
Lainnya, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. surat pengantar penyampaian laporan penerapan Tata Kelola
Perusahaan yang Baik
ditandatangani
b.
oleh
disampaikan dalam bentuk cetak (hardcopy); dan
isi laporan penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik
disampaikan dalam bentuk elektronik (softcopy).
2. Alamat penyampaian laporan untuk Perusahaan Penjaminan dan
Perusahaan Penjaminan Ulang:
Direksi
- 12 -
-
1
2
-
Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga
Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya
Otoritas Jasa Keuangan
u.p. Direktur Pengawasan Lembaga Jasa Keuangan Khusus
Gedung Menara Merdeka Lantai 26
Jl. Budi Kemuliaan I Nomor 2
Jakarta 10110
3. Alamat penyampaian laporan untuk Perusahaan Penjaminan yang
memiliki unit usaha syariah, disampaikan kepada:
Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga
Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya
Otoritas Jasa Keuangan
u.p. Direktur Pengawasan Lembaga Jasa Keuangan Khusus
Gedung Menara Merdeka Lantai 26
Jl. Budi Kemuliaan I Nomor 2
Jakarta 10110;
dan ditembuskan kepada:
Direktur IKNB Syariah
Gedung Menara Merdeka Lantai 23
Jl. Budi Kemuliaan I Nomor 2
Jakarta 10110
4. Alamat penyampaian laporan untuk Perusahaan Penjaminan
Syariah dan Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah:
Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga
Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya
Otoritas Jasa Keuangan
u.p. Direktur IKNB Syariah
Gedung Menara Merdeka Lantai 23
Jl. Budi Kemuliaan I Nomor 2
Jakarta 10110
5. Dalam hal terdapat perubahan alamat kantor Otoritas Jasa
Keuangan untuk penyampaian laporan sebagaimana dimaksud
pada angka 2, angka 3, dan angka 4, Otoritas Jasa Keuangan akan
menyampaikan pemberitahuan mengenai perubahan alamat melalui
surat atau pengumuman.
- 13 -
-
1
3
-
IX. PENUTUP
Ketentuan dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini mulai
berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 12 Oktober 2017
KEPALA EKSEKUTIF PENGAWAS
PERASURANSIAN, DANA PENSIUN,
LEMBAGA
PEMBIAYAAN,
DAN
LEMBAGA JASA KEUANGAN LAINNYA
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
RISWINANDI
Salinan ini sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
LAMPIRAN I
SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 54 /SEOJK.05/2017
TENTANG
LAPORAN PENERAPAN TATA KELOLA PERUSAHAAN YANG BAIK
BAGI LEMBAGA PENJAMIN
- 1 -
TRANSPARANSI PENERAPAN TATA KELOLA PERUSAHAAN YANG BAIK
A. Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Direksi, Dewan Komisaris, dan
DPS
1. Jumlah, nama jabatan, tanggal lulus, dan nomor fit and proper test, tanggal
pengangkatan oleh RUPS, masa jabatan, kewarganegaraan, dan domisili
anggota Direksi, Dewan Komisaris, dan DPS
No. Nama Jabatan
Tanggal
Lulus dan
Nomor Fit
and
Proper
Test
1.
2.
Dst.
Data perizinan bagi Dewan Komisaris berkewarganegaraan asing
No.
KITAS
Nama Jabatan
Izin Kerja
1.
2.
Dst.
Masa
Berlaku
No. Izin
Tanggal
Pengangkatan
oleh RUPS
dan Masa
Jabatan
(tahun)
Kewarga-
negaraan
Domisili
IMTA
Masa
Berlaku
-Biodata singkat Direksi, riwayat kerja dalam lima tahun terakhir,
pendidikan, dan gelar profesi-
-Biodata singkat Dewan Komisaris, riwayat kerja dalam lima tahun
terakhir, pendidikan, dan gelar profesi-
- 2 -
-Biodata singkat DPS, riwayat kerja dalam lima tahun terakhir,
pendidikan, dan gelar profesi-
Dalam hal selama tahun pelaporan terdapat perubahan susunan anggota
Direksi, Dewan Komisaris, dan DPS harus dicantumkan susunan
keanggotaan Direksi, Dewan Komisaris, dan DPS sebelumnya dengan
tabel sebagai berikut:
Tanggal
No.
Nama Jabatan
Pengangkatan oleh
RUPS
Tanggal
Pemberhentian oleh
RUPS
2. Tugas dan tanggung jawab masing-masing Direksi, Dewan Komisaris, dan
DPS
-Uraian singkat-
3. Rangkap jabatan Direksi, Dewan Komisaris, dan DPS
a. Direksi
Nama
No. Nama
1.
Posisi di
Lembaga
Penjamin
Posisi di
Perusahaan
Lain
1.
2.
Dst.
Perusahaan
Lain
Dimaksud
Bidang
Usaha
- 3 -
2.
1.
2.
Dst.
Dst.
b. Dewan Komisaris
Nama
No. Nama
1.
Posisi di
Lembaga
Penjamin
Posisi di
Perusahaan
Lain
1.
2.
Dst.
2.
1.
2.
Dst.
Dst.
c. DPS
Nama
No. Nama
1.
Posisi di
Lembaga
Penjamin
Posisi di
Perusahaan
Lain
1.
2.
Dst.
2.
1.
2.
Dst.
Dst.
4. Pelatihan Direksi, Dewan Komisaris, dan DPS
Pelatihan yang terkait dengan peningkatan kemampuan Direksi, Dewan
Komisaris, dan DPS dalam mencapai visi dan misi Lembaga Penjamin.
Perusahaan
Lain
Dimaksud
Bidang
Usaha
Perusahaan
Lain
Dimaksud
Bidang
Usaha
- 4 -
a. Direksi
No Nama
1.
2.
Dst
b. Dewan Komisaris
No Nama
1.
2.
Dst
c. DPS
No Nama
1.
2.
Dst
5. Pelaksanaan kegiatan dan rekomendasi Dewan Komisaris dan DPS
Workshop/training/
seminar
Tanggal
Penyelenggara
Tempat
Workshop/training/
seminar
Tanggal
Penyelenggara
Tempat
Workshop/training/
seminar
Tanggal
Penyelenggara
Tempat
-Uraian singkat-
6. Pelaksanaan tugas Komisaris Independen
-Uraian singkat-
- 5 -
7. Frekuensi rapat Direksi, rapat Dewan Komisaris, dan rapat DPS yang
diselenggarakan dalam 1 (satu) tahun
a. Rapat Direksi
-Uraian singkat terkait pelaksanaan rapat termasuk jumlah rapat-
Jumlah Kehadiran
Nama
No.
1.
2.
Dst.
b. Rapat Dewan Komisaris
Fisik
Sarana Media
Elektronik
% Kehadiran
-Uraian singkat terkait pelaksanaan rapat termasuk jumlah rapat-
Jumlah Kehadiran
No.
1.
2.
Dst.
Nama
Fisik
Sarana Media
Elektronik
% Kehadiran
- 6 -
c. Rapat DPS
-Uraian singkat terkait pelaksanaan rapat termasuk jumlah rapat-
Jumlah Kehadiran
No.
1.
2.
Dst.
B. Kelengkapan dan pelaksanaan tugas:
1) komite audit bagi Lembaga Penjamin yang memiliki lingkup wilayah
operasional nasional atau provinsi, atau terdapat kepemilikan asing;
atau
2) fungsi yang membantu Dewan Komisaris bagi Lembaga Penjamin yang
memiliki lingkup wilayah operasional kabupaten,
dalam memantau dan memastikan efektivitas sistem pengendalian internal,
terdiri atas:
1. Struktur, keanggotaan, dan keahlian komite audit/fungsi yang membantu
Dewan Komisaris
Nama
Fisik
Sarana Media
Elektronik
% Kehadiran
-Uraian singkat-
2. Tugas dan tanggung jawab komite audit/fungsi yang membantu Dewan
Komisaris
-Uraian singkat-
- 7 -
3. Frekuensi rapat komite audit/fungsi yang membantu Dewan Komisaris
Nama Anggota
No.
1.
2.
Dst.
4. Program kerja komite audit/fungsi yang membantu Dewan Komisaris dan
realisasinya
Komite/fungsi yang
membantu Dewan
Komisaris
Rapat Komite audit/fungsi yang
membantu Dewan Komisaris
Jumlah Kehadiran % Kehadiran
-Uraian singkat-
5. Struktur komite lainnya
-Uraian singkat-
6. Program kerja terkait tugas dan tanggung jawab komite lainnya
-Uraian singkat-
C. Penerapan fungsi kepatuhan, auditor internal, dan auditor eksternal
1. Fungsi kepatuhan
a. Anggota Direksi yang membawahkan fungsi kepatuhan
-Uraian singkat-
- 8 -
b. Satuan kerja atau pegawai yang melaksanakan fungsi kepatuhan
-Uraian singkat-
c. Pelaksanaan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan
-Uraian singkat tugas satuan kerja fungsi kepatuhan dalam
memastikan kebijakan, ketentuan, sistem, dan prosedur, serta
kegiatan usaha yang dilakukan oleh Lembaga Penjamin sesuai
dengan peraturan perundang-undangan-
d. Tingkat kesehatan keuangan Lembaga Penjamin
-Uraian singkat terkait rasio likuiditas, gearing ratio, dan
retabilitas, hasil penilaian secara mandiri (self assessment)-
e. Kepemilikan unit kerja atau fungsi dalam menangani dan
menyelesaikan pengaduan yang diajukan konsumen
No.
Penanggung Jawab
Pimpinan Unit
Kerja/Pelaksana Fungsi
2. Fungsi auditor internal
Efektivitas dan cakupan pelaksanaan tugas auditor internal dalam menilai
seluruh aspek dan unsur kegiatan.
a. Ruang lingkup pekerjaan audit
-Uraian singkat-
- 9 -
b. Struktur atau kedudukan satuan kerja audit internal
-Uraian singkat-
c. Independensi auditor internal
-Uraian singkat-
d. Uraian tugas satuan kerja audit internal
-Uraian singkat-
e. Profil kepala satuan kerja audit internal
-Uraian singkat-
f. Jumlah pegawai pada satuan kerja audit internal
-Uraian singkat-
- 10 -
g. Laporan hasil pelaksanaan tugas audit internal
-Uraian singkat contohnya: audit kantor cabang, audit kantor pusat,
dan audit teknologi sistem informasi-
3. Fungsi auditor eksternal
Efektivitas pelaksanaan tugas auditor eksternal dan kepatuhan Lembaga
Penjamin terhadap ketentuan, antara lain mengenai penyediaan semua
catatan akuntansi dan data penunjang yang diperlukan bagi auditor
eksternal, sehingga memungkinkan auditor eksternal memberikan
pendapatnya tentang kewajaran, ketaatan, dan kesesuaian laporan
keuangan Lembaga Penjamin dengan standar audit yang berlaku.
-Uraian singkat-
Kantor akuntan publik yang melakukan audit laporan keuangan Lembaga
Penjamin selama 5 (lima) tahun terakhir
Tahun
Kantor
Akuntan
Publik
Nama Akuntan
(Perorangan) dan
Nomor Pendaftaran
di OJK
Biaya Auditor
Ekternal
D. Penerapan manajemen risiko, sistem pengendalian internal, dan tata kelola
teknologi informasi
1. Pengawasan aktif Direksi dan Dewan Komisaris
-Uraian singkat contohnya: memastikan bahwa Lembaga Penjamin
menerapkan Tata Kelola Perusahaan yang Baik-
- 11 -
2. Kecukupan kebijakan, prosedur, dan penggunaan teknologi informasi
-Uraian singkat-
3. Kecukupan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan dan
pengendalian risiko pemanfaatan teknologi informasi
-Uraian singkat-
4. Struktur organisasi sistem informasi
-Uraian singkat mengenai struktur organisasi sistem informasi-
5. Sistem pengendalian internal atas penggunaan teknologi informasi
-Uraian singkat terkait ketersediaan pedoman penggunaan sistem
informasi dan pedoman manajemen pengamanan data dan insiden-
6. Sistem pengendalian internal yang menyeluruh
-Uraian singkat-
- 12 -
E. Penerapan kebijakan remunerasi dan fasilitas lain bagi anggota Direksi,
Dewan Komisaris, DPS, dan pegawai
1. Pengungkapan mengenai kebijakan remunerasi dan fasilitas lain bagi
anggota Direksi, Dewan Komisaris, dan DPS
a. Remunerasi dalam bentuk non natura, termasuk gaji dan penghasilan
tetap lainnya, antara lain tunjangan (benefit), kompensasi berbasis
saham, tantiem dan bentuk remunerasi lainnya
-Uraian singkat-
b. Fasilitas lain dalam bentuk natura/non natura yaitu penghasilan tidak
tetap lainnya, termasuk tunjangan untuk perumahan, transportasi,
asuransi kesehatan dan fasilitas lainnya
-Uraian singkat-
2. Pengungkapan paket atau kebijakan remunerasi dalam 1 (satu) tahun
a. Paket atau kebijakan remunerasi dan fasilitas lain bagi anggota Direksi,
Dewan Komisaris, dan DPS yang ditetapkan RUPS
-Uraian singkat-
b. Remunerasi dan fasilitas lain bagi seluruh anggota Direksi, Dewan
Komisaris, dan DPS paling sedikit mencakup jumlah anggota Direksi,
jumlah anggota Dewan Komisaris, jumlah anggota DPS dan jumlah
seluruh kebijakan remunerasi dan fasilitas lain
-Uraian singkat-
- 13 -
Jumlah yang diterima dalam satu
tahun
Jumlah Direksi
Direksi
Nominal (Jutaan Rupiah)
Dewan
Komisaris
DPS
Nominal (Jutaan Rupiah)
Keterangan:
*) Termasuk gaji dan penghasilan tetap lainnya, antara lain
tunjangan (benefit), kompensasi berbasis saham, tantiem, dan
bentuk remunerasi lainnya dalam bentuk non natura
**) Perumahan, trasportasi, asuransi kesehatan, dan sebagainya.
c. Jumlah anggota Direksi, Dewan Komisaris, dan DPS yang menerima
paket remunerasi dalam 1 (satu) tahun yang dikelompokkan sesuai
tingkat penghasilan sebagai berikut:
Jumlah Remunerasi per Orang
dalam 1 (satu) tahun secara tunai
Jumlah
Direksi
Di atas Rp2.000.000.000,00 (dua
miliar rupiah)
Di atas Rp1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah) s.d
Rp2.000.000.000,00 (dua miliar
rupiah)
Di atas Rp500.000.000,00 (lima
ratus juta rupiah) s.d
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah)
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah) kebawah
Jumlah
Komisaris
Jumlah
DPS
Jumlah Dewan Komisaris
Nominal (Jutaan Rupiah)
Jumlah DPS
Remunerasi
*)
Fasilitas lain
dalam
bentuk
natura **)
- 14 -
-Uraian singkat-
3. Rasio gaji tertinggi dan terendah
Gaji yang diperbandingkan dalam rasio gaji adalah imbalan yang diterima
oleh anggota Direksi, Dewan Komisaris dan pegawai pada bulan terakhir
tahun pelaporan.
Rasio gaji tertinggi dan terendah, dalam skala perbandingan berikut:
1) rasio gaji pegawai yang tertinggi dan terendah;
2) rasio gaji anggota Direksi yang tertinggi dan terendah;
3) rasio gaji anggota Dewan Komisaris yang tertinggi dan terendah; dan
4) rasio gaji anggota Direksi tertinggi dan pegawai tertinggi.
-Uraian singkat-
F. Transparansi kondisi keuangan dan non keuangan Lembaga Penjamin
-Uraian singkat contohnya: pengungkapan hasil rating Lembaga Penjamin
yang dilakukan oleh lembaga rating, transparansi tentang jasa penjaminan
yang disajikan dalam bentuk brosur, leaflet dan media promosi lainnya serta
dalam website Lembaga Penjamin, transparansi tata cara pengaduan dan
penyelesaian sengketa kepada terjamin, dan pembelian kembali saham
(shares buy back)-
G. Rencana jangka panjang serta rencana kerja dan anggaran tahunan
1. Rencana jangka panjang dan rencana kerja
-Uraian singkat-
- 15 -
2. Anggaran tahunan
-Uraian singkat-
H. Pengungkapan kepemilikan saham anggota Direksi dan Dewan Komisaris
yang mencapai 5% (lima per seratus) atau lebih, yang meliputi jenis dan
jumlah lembar saham
Kategori
No.
Nama
Kepemilikan
Saham *)
1.
A
B
C
D
2.
A
B
C
D
Dst.
A
B
C
D
Keterangan:
A. Lembaga Penjamin yang bersangkutan;
B. Lembaga penjamin lain;
C. Perusahaan jasa keuangan selain lembaga penjamin; dan
D. Perusahaan lainnya yang berkedudukan di dalam maupun di luar negeri,
termasuk saham yang diperoleh melalui bursa efek.
Jumlah
Nominal
Kepemilikan
Saham
Persentase
Kepemilikan
Saham
- 16 -
I. Pengungkapan hubungan keuangan dan hubungan keluarga anggota
Direksi, anggota Dewan Komisaris, dan anggota DPS dengan anggota
Direksi lain, anggota Dewan Komisaris lain, anggota DPS lain, dan/atau
pemegang saham Lembaga Penjamin tempat anggota Direksi, anggota
Dewan Komisaris, dan anggota DPS dimaksud menjabat
1. Hubungan keuangan dan hubungan keluarga anggota Direksi dengan
anggota Direksi lain, anggota Dewan Komisaris, anggota DPS, dan/atau
pemegang saham Lembaga Penjamin tempat anggota Direksi dimaksud
menjabat
No. Nama
1.
Hubungan
dengan
Direksi
lainnya
Dewan
Komisaris
DPS
Pemegang
saham
2.
Direksi
lainnya
Dewan
Komisaris
DPS
Pemegang
saham
Dst.
Direksi
lainnya
Dewan
Komisaris
DPS
Pemegang
saham
2. Hubungan keuangan dan hubungan keluarga anggota Dewan Komisaris
dengan anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris lain, anggota DPS,
dan/atau pemegang saham Lembaga Penjamin tempat anggota Direksi
Bentuk Hubungan
Keuangan
Ya Tidak
Keluarga
Ya Tidak
Keterangan
- 17 -
dimaksud menjabat
No. Nama
1.
Hubungan
dengan
Direksi
Dewan
Komisaris
lainnya
DPS
Pemegang
saham
2.
Direksi
Dewan
Komisaris
lainnya
DPS
Pemegang
saham
Dst.
Direksi
Dewan
Komisaris
lainnya
DPS
Pemegang
saham
3. Hubungan keuangan dan hubungan keluarga anggota DPS dengan
anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, anggota DPS lain, dan/atau
pemegang saham Lembaga Penjamin tempat anggota Direksi dimaksud
menjabat
No. Nama
1.
Hubungan
dengan
Direksi
Dewan
Komisaris
Bentuk Hubungan
Keuangan
Ya Tidak
Keluarga
Ya Tidak
Keterangan
Bentuk Hubungan
Keuangan
Ya Tidak
Keluarga
Ya Tidak
Keterangan
- 18 -
No. Nama
Hubungan
dengan
DPS lainnya
Pemegang
saham
2.
Direksi
Dewan
Komisaris
DPS lainnya
Pemegang
saham
Dst.
Direksi
Dewan
Komisaris
DPS lainnya
Pemegang
saham
Keterangan:
Hubungan keuangan adalah apabila seseorang menerima penghasilan,
bantuan keuangan, atau pinjaman dari anggota Dewan Komisaris dan/atau
anggota Direksi Lembaga Penjamin, Lembaga Penjamin yang pemegang
saham pengendalinya adalah anggota Dewan Komisaris dan/atau
anggota Direksi Lembaga Penjamin, dan/atau pemegang saham
pengendali Lembaga Penjamin.
Hubungan keluarga adalah memiliki hubungan keluarga sampai dengan
derajat kedua baik hubungan vertikal maupun horizontal, termasuk mertua,
menantu dan ipar, sehingga yang dimaksud dengan keluarga meliputi orang
tua kandung/tiri/angkat, saudara kandung/tiri/angkat beserta suami
atau istrinya, anak kandung/tiri/angkat, kakek/nenek
kandung/tiri/angkat, cucu kandung/tiri/angkat,
saudara
kandung/tiri/angkat dari orang tua beserta suami atau istrinya, mertua,
besan, suami/istri dari anak kandung/tiri/angkat, kakek atau nenek
dari suami atau istri, suami/istri dari cucu kandung/tiri/angkat, dan
saudara kandung/tiri/angkat dari suami atau istri beserta suami atau
istrinya.
Bentuk Hubungan
Keuangan
Ya Tidak
Keluarga
Ya Tidak
Keterangan
- 19 -
J. Pengungkapan hal penting lainnya:
1. Pengunduran diri atau pemberhentian auditor eksternal
-Uraian singkat-
2. Transaksi material dengan pihak terkait
-Uraian singkat-
3. Benturan kepentingan yang sedang berlangsung dan/atau yang mungkin
akan terjadi
Contoh benturan kepentingan yang sedang berlangsung dan/atau yang
mungkin akan terjadi adalah pembelian aset Lembaga Penjamin oleh
anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, dan/atau pegawai Lembaga
Penjamin.
No.
Nama dan
Jabatan Pihak
yang Memiliki
Benturan
Kepentingan
1.
2.
Dst.
Keterangan:
*) Tidak sesuai sistem dan prosedur yang berlaku
Nama dan
Jabatan
Pengambil
Keputusan
Nilai
Jenis
Trans-
aksi
Transaksi
(jutaan
Rupiah)
Ketera-
ngan *)
-Uraian singkat terkait benturan kepentingan-
- 20 -
4. Informasi material lain mengenai Lembaga Penjamin
-Uraian singkat-
5. Pengunduran diri atau pemberhentian Komisaris Independen
-Uraian singkat-
6. Sertifikasi
No
1.
2.
Dst.
7. Tenaga kerja asing
No.
Nama Jabatan
1.
2.
Dst.
8. Jumlah penyimpangan internal (internal fraud)
Jumlah kasus yang dilakukan oleh
Penyimpangan
internal dalam 1
(satu) tahun
Anggota Dewan
Komisaris,
Anggota
Direksi, dan
Anggota DPS
Total penyimpangan
Materi Sertifikasi
Tempat/Tanggal
Penyelenggara
Nomor
Fit and
Proper
Test
KITAS
IMTA
Izin
Kerja
Masa
Berlaku
No. Izin Masa
Berlaku
Pegawai
Tetap
Pegawai
Tidak Tetap
- 21 -
Jumlah kasus yang dilakukan oleh
Penyimpangan
internal dalam 1
(satu) tahun
Anggota Dewan
Komisaris,
Anggota
Direksi, dan
Anggota DPS
Telah diselesaikan
Dalam proses
penyelesaian di
internal
Belum diupayakan
penyelesaian
Telah ditindaklajuti
melalui proses hukum
9. Permasalahan hukum
Jumlah Kasus
Permasalahan Hukum
Perdata
Telah mendapatkan putusan yang
mempunyai kekuatan hukum yang
tetap
a.
b.
Dalam proses penyelesaian di
pengadilan dan di lembaga alternatif
penyelesaian sengketa untuk kasus
perdata
a.
b.
Total
Pidana
Pegawai
Tetap
Pegawai
Tidak Tetap
- 22 -
10. Etika bisnis Lembaga Penjamin
-Uraian singkat terkait nilai etika bisnis Lembaga Penjamin yang
menjadi panduan bagi organ Lembaga Penjamin dan seluruh
karyawan-
Menyetujui,
DIREKSI
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 12 Oktober 2017
KEPALA EKSEKUTIF PENGAWAS
PERASURANSIAN, DANA PENSIUN,
LEMBAGA
PEMBIAYAAN,
DAN
LEMBAGA JASA KEUANGAN LAINNYA
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
RISWINANDI
Salinan ini sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
LAMPIRAN II
SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 54 /SEOJK.05/2017
TENTANG
LAPORAN PENERAPAN TATA KELOLA PERUSAHAAN YANG BAIK
BAGI LEMBAGA PENJAMIN
FORMAT 1
Penilaian secara mandiri (self assessment) atas Penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik
bagi Perusahaan Penjaminan dan Perusahaan Penjaminan Ulang
Pengantar:
1.
2.
3.
Sesuai dengan SE OJK No. XX/SEOJK.05/2017, kuesioner ini merupakan salah satu
ketentuan penilaian secara mandiri (self assessment ) atas Penerapan Tata Kelola Perusahaan
yang Baik bagi Lembaga Penjamin.
Kuesioner ini dilakukan oleh Lembaga Penjamin yaitu Perusahaan Penjaminan yang tidak
memiliki unit usaha syariah dan Perusahaan Penjaminan Ulang.
Mohon untuk dapat mengisi dan mengirimkan kuesioner ini sesuai dengan ketentuan dan
batas waktu yang telah ditetapkan.
Petunjuk Pengisian:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Sebelum mengisi kuesioner, bacalah petunjuk pengisian dengan cermat.
Berilah tanda silang (X) pada kolom 1 Sangat Sesuai, 2 Sesuai, 3 Cukup Sesuai, 4 Kurang
Sesuai dan 5 Tidak Sesuai atau pada kolom Ya dan Tidak sesuai dengan keadaan yang
sebenarnya.
Pengisian kuesioner
ini dilakukan dengan cara memberikan jawaban atas
pertanyaan/pernyataan di masing-masing faktor yang ada.
Kuesioner ini terdiri dari 10 faktor yang masing-masingnya memiliki pertanyaan/pernyataan
terkait penilaian atas faktor tersebut.
Format A sampai dengan Format J merupakan pengisian untuk masing-masing dari 10 faktor
sesuai dengan ketentuan, dan Format K merupakan kesimpulan umum atas hasil penilaian
sendiri (self assessment ).
Isilah kuesioner dengan benar, hati-hati, dan sesuai dengan kondisi Lembaga Penjamin
sebenarnya.
Rincian Nilai Bobot Indikator
No
Faktor
1 Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Direksi dan Dewan
Komisaris.
2
Kelengkapan dan pelaksanaan tugas:
a. komite audit bagi Lembaga Penjamin yang memiliki lingkup
wilayah operasional nasional atau provinsi, atau terdapat
kepemilikan asing; atau
b. fungsi yang membantu Dewan Komisaris bagi Lembaga
Penjamin yang memiliki lingkup wilayah operasional kabupaten,
dalam memantau dan memastikan efektivitas sistem
pengendalian internal.
3 Penerapan fungsi kepatuhan, auditor internal, dan auditor
eksternal.
4 Penerapan manajemen risiko, sistem pengendalian internal, dan
penerapan tata kelola teknologi informasi.
5 Penerapan kebijakan remunerasi dan fasilitas lain.
6 Transparansi kondisi keuangan dan non keuangan Lembaga
Penjamin.
7 Rencana jangka panjang serta rencana kerja dan anggaran
tahunan.
8 Pengungkapan kepemilikan saham.
7,50 Lihat ""Format C""
10,00 Lihat ""Format D""
2,50 Lihat ""Format E""
15,00 Lihat ""Format F""
7,50 Lihat ""Format G""
5,00 Lihat ""Format H""
5,00
Lihat ""Format B1""
atau ""Format B2""
(isi salah satu
sesuai ketentuan)
Bobot (%) Keterangan
30,00 Lihat ""Format A""
9 Pengungkapan hubungan keuangan dan hubungan keluarga
anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris dengan anggota
Direksi lain dan anggota Dewan Komisaris lain, dan/atau
pemegang saham Lembaga Penjamin tempat anggota Direksi dan
anggota Dewan Komisaris dimaksud menjabat.
10 Pengungkapan hal-hal penting lainnya.
JUMLAH
5,00 Lihat ""Format I""
12,50 Lihat ""Format J""
100,00
FORMAT 1
Dashboard Penilaian Self Assessment
Nilai
84-100
68-83
52-67
36-51
20-35
Ketentuan Penilaian
Rangking
1
2
3
4
5
Predikat
Sangat Baik
Baik
Cukup Baik
Kurang Baik
Tidak Baik
Faktor
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Hasil Penilaian
Sheet
A
B1
B2
C
D
E
F
G
H
I
J
Total Nilai
Predikat
Nilai
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Hasil Penilaian
0,20
0,40
0,60
0,80
1,00
-
A B1 B2 C D E
F G H I
J Total
Nilai
A. Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Direksi dan Dewan Komisaris
Kriteria/Indikator Penilaian
No
Pernyataan/Pertanyaan
1. Direksi
1
2
3
Direksi memiliki pengetahuan
yang relevan dengan jabatan
sebagai Direksi.
Direksi mampu bertindak dengan
itikad baik, jujur dan profesional.
Direksi bertindak untuk
kepentingan Lembaga Penjamin,
terjamin, dan/atau penerima
jaminan.
4
Direksi mendahulukan
kepentingan Lembaga Penjamin,
terjamin, dan/atau penerima
jaminan, daripada kepentingan
pribadi.
5
Direksi mampu mengambil
keputusan berdasarkan penilaian
independen dan objektif untuk
kepentingan Lembaga Penjamin,
terjamin, dan/atau penerima
jaminan.
6
Direksi mampu menghindarkan
penyalahgunaan kewenangan
untuk mendapatkan keuntungan
pribadi yang tidak semestinya
atau menyebabkan kerugian bagi
Lembaga Penjamin.
7
Direksi menjamin pengambilan
keputusan yang efektif, tepat, dan
cepat serta dapat bertindak secara
independen, tidak mempunyai
kepentingan yang dapat
mengganggu kemampuannya
untuk melaksanakan tugas secara
mandiri dan kritis.
8
Direksi mematuhi peraturan
perundang-undangan, anggaran
dasar, dan peraturan internal lain
dari Lembaga Penjamin dalam
melaksanakan tugasnya.
9
Direksi mengelola Lembaga
Penjamin sesuai dengan
kewenangan dan tanggung
jawabnya.
10
Direksi mampu
mempertanggungjawabkan
pelaksanaan tugasnya kepada
RUPS.
11
Direksi telah memastikan agar
Lembaga Penjamin
memperhatikan kepentingan
semua pihak, khususnya
kepentingan terjamin dan/atau
penerima jaminan.
12
Direksi telah menyampaikan
informasi secara tepat waktu dan
lengkap mengenai Lembaga
Penjamin kepada Dewan
Komisaris.
13
Direksi mampu menghindarkan
transaksi yang mempunyai
benturan kepentingan dengan
kegiatan Lembaga Penjamin
tempat anggota Direksi dimaksud
menjabat.
14
Direksi mampu untuk tidak
memanfaatkan jabatannya pada
Lembaga Penjamin tempat
anggota Direksi dimaksud
menjabat untuk kepentingan
pribadi, keluarga, dan/atau pihak
lain yang dapat merugikan atau
mengurangi keuntungan Lembaga
Penjamin tempat anggota Direksi
dimaksud menjabat.
0
0
0
1
Sangat
Sesuai
2
Sesuai
3
Cukup
Sesuai
4
Kurang
Sesuai
5
Tidak Sesuai
Skor
Ya
Tidak
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
A. Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Direksi dan Dewan Komisaris
Kriteria/Indikator Penilaian
No
Pernyataan/Pertanyaan
15
Direksi mampu untuk
menghindari perbuatan
mengambil dan/atau menerima
keuntungan pribadi dari Lembaga
Penjamin tempat anggota Direksi
dimaksud menjabat selain
remunerasi dan fasilitas yang
ditetapkan berdasarkan
keputusan RUPS.
16
Direksi mampu untuk menolak
permintaan pemegang saham
yang terkait dengan kegiatan
operasional Lembaga Penjamin
tempat anggota Direksi dimaksud
menjabat selain yang telah
ditetapkan dalam RUPS.
17
Hasil rapat Direksi secara rutin
telah dituangkan dalam risalah
rapat Direksi.
18
Risalah rapat yang merupakan
keputusan bersama seluruh
anggota Direksi telah
didokumentasikan dengan baik.
19
Keputusan Direksi telah
dituangkan ke dalam risalah
rapat, termasuk perbedaan
pendapat (dissenting opinions )
yang terjadi secara jelas.
20
Anggota Direksi Lembaga
Penjamin berdomisili di Indonesia.
21
Lembaga Penjamin yang
didalamnya terdapat kepemilikan
asing baik secara langsung
maupun tidak langsung memiliki
paling sedikit 50% (lima puluh per
seratus) anggota Direksi yang
merupakan warga negara
Indonesia.
22
Direksi berkewarganegaraan asing
memiliki surat izin menetap dari
instansi yang berwenang.
23
24
25
Direksi berkewarganegaraan asing
memiliki surat izin bekerja dari
instasi berwenang.
Direksi Lembaga Penjamin
memiliki komite investasi.
Anggota Direksi Lembaga
Penjamin tidak merangkap
jabatan pada Lembaga Penjamin
atau badan usaha lain.
26
Anggota Direksi tidak berasal dari
pegawai atau pejabat aktif
Otoritas Jasa Keuangan.
27
Direksi Lembaga Penjamin
menyelenggarakan rapat Direksi
secara berkala paling sedikit 1
(satu) kali dalam 1 (satu) bulan.
28
Direksi Lembaga Penjamin
menghadiri rapat Direksi paling
sedikit 50% (lima puluh per
seratus) dari jumlah rapat Direksi
dalam periode 1 (satu) tahun.
29
Jumlah rapat Direksi yang telah
diselenggarakan dan jumlah
kehadiran masing-masing anggota
Direksi perusahaan harus dimuat
dalam laporan penerapan Tata
Kelola Perusahaan yang Baik.
2. Dewan Komisaris
1
Dewan Komisaris mampu
melaksanakan tugas pengawasan
dan pemberian nasihat kepada
Direksi.
2
Dewan Komisaris mampu
mengawasi Direksi dalam menjaga
keseimbangan kepentingan semua
pihak.
0
1
Sangat
Sesuai
2
Sesuai
3
Cukup
Sesuai
4
Kurang
Sesuai
5
Tidak Sesuai
Skor
Ya
Tidak
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
A. Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Direksi dan Dewan Komisaris
Kriteria/Indikator Penilaian
No
Pernyataan/Pertanyaan
3
Dewan Komisaris mampu
memantau efektivitas penerapan
Tata Kelola Perusahaan yang
Baik.
4
Dewan Komisaris mampu
memastikan bahwa Direksi telah
menindaklanjuti temuan audit
dan rekomendasi dari satuan
kerja audit internal Lembaga
Penjamin, auditor eksternal, hasil
pengawasan Otoritas Jasa
Keuangan dan/atau hasil
pengawasan otoritas lain.
5
Anggota Dewan Komisaris mampu
untuk tidak melakukan transaksi
yang mempunyai benturan
kepentingan dengan kegiatan
Lembaga Penjamin tempat
anggota Dewan Komisaris
dimaksud menjabat.
6
Anggota Dewan Komisaris mampu
untuk tidak memanfaatkan
jabatannya pada Lembaga
Penjamin tempat anggota Dewan
Komisaris dimaksud menjabat
untuk kepentingan pribadi,
keluarga, dan/atau pihak lain
yang dapat merugikan atau
mengurangi keuntungan Lembaga
Penjamin tempat anggota Dewan
Komisaris dimaksud menjabat.
7
Anggota Dewan Komisaris mampu
untuk menghindari perbuatan
mengambil dan/atau menerima
keuntungan pribadi dari Lembaga
Penjamin tempat anggota Dewan
Komisaris dimaksud menjabat,
selain remunerasi dan fasilitas
yang ditetapkan berdasarkan
keputusan RUPS.
8
Anggota Dewan Komisaris mampu
untuk tidak mencampuri kegiatan
operasional Lembaga Penjamin
yang menjadi tanggung jawab
Direksi.
9
Hasil rapat Dewan Komisaris
dituangkan dalam risalah rapat
Dewan Komisaris.
10
Risalah rapat yang merupakan
keputusan bersama seluruh
anggota Dewan Komisaris telah
didokumentasikan dengan baik.
11
Keputusan Dewan Komisaris telah
dituangkan ke dalam risalah
rapat, termasuk perbedaan
pendapat (dissenting opinion) yang
terjadi secara jelas.
12
Dewan Komisaris mampu
menjamin pengambilan
keputusan yang efektif, tepat, dan
cepat serta dapat bertindak secara
independen dalam melaksanakan
tugas.
13
14
Lembaga Penjamin memiliki
paling sedikit 2 (dua) orang
anggota Dewan Komisaris.
Lembaga Penjamin memiliki
paling sedikit 1 (satu) Dewan
Komisaris yang berdomisili di
Indonesia.
15
Anggota Dewan Komisaris yang
berkewarganegaraan asing
memiliki surat izin bekerja dari
instansi berwenang.
16
Anggota Dewan Komisaris yang
berkewarganegaraan asing
memiliki surat izin menetap dari
instansi berwenang.
1
Sangat
Sesuai
2
Sesuai
3
Cukup
Sesuai
4
Kurang
Sesuai
5
Tidak Sesuai
Skor
Ya
Tidak
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
A. Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Direksi dan Dewan Komisaris
Kriteria/Indikator Penilaian
No
Pernyataan/Pertanyaan
17
Anggota Dewan Komisaris
Lembaga Penjamin tidak memiliki
rangkap jabatan sebagai anggota
Dewan Komisaris pada lebih dari
3 (tiga) Lembaga Penjamin atau
badan usaha lain.
18
Anggota Dewan Komisaris tidak
berasal dari pegawai atau pejabat
aktif Otoritas Jasa Keuangan.
19
Anggota Dewan Komisaris
menyusun laporan kegiatan
Dewan Komisaris yang
merupakan bagian dari laporan
penerapan Tata Kelola
Perusahaan yang Baik.
20
Anggota Dewan Komisaris
Lembaga Penjamin
menyelenggarakan rapat Dewan
Komisaris paling sedikit 1 (satu)
kali dalam 3 (tiga) bulan.
21
Anggota Dewan Komisaris
menghadiri rapat Dewan
Komisaris paling sedikit 75%
(tujuh puluh lima per seratus)
dari jumlah rapat Dewan
Komisaris dalam periode 1 (satu)
tahun.
22
Jumlah rapat Dewan Komisaris
yang telah diselenggarakan dan
jumlah kehadiran masing-masing
anggota Dewan Komisaris dimuat
dalam laporan penerapan Tata
Kelola Perusahaan yang Baik.
Jumlah Skor Indikator
Total Indikator
Bobot
Nilai Faktor
1
Sangat
Sesuai
2
Sesuai
3
Cukup
Sesuai
4
Kurang
Sesuai
5
Tidak Sesuai
Skor
Ya
Tidak
0
0
0
0
0
0
-
51
30,00
-
B.1. Kelengkapan dan pelaksanaan tugas komite audit atau fungsi yang membantu Dewan Komisaris
No
Pernyataan/Pertanyaan
1
Sangat
Sesuai
2
Sesuai
Kriteria/Indikator Penilaian
5
3
Cukup
Sesuai
4
Kurang
Sesuai
Tidak
Sesuai
Ya
Tidak
a. Bagi Lembaga Penjamin yang memiliki wilayah operasional nasional atau provinsi atau terdapat kepemilikan asing
1
Komisaris Independen tidak mempunyai
hubungan afiliasi dengan anggota Direksi,
anggota Dewan Komisaris, atau pemegang
saham Lembaga Penjamin, dalam Lembaga
Penjamin yang sama.
2
Komisaris Independen tidak pernah menjadi
anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, atau
menduduki jabatan 1 (satu) tingkat di bawah
Direksi pada Lembaga Penjamin yang sama atau
badan usaha lain yang memiliki hubungan
afiliasi dengan Lembaga Penjamin tersebut
dalam kurun waktu 6 (enam) bulan terakhir.
3
Komisaris Independen memahami peraturan
perundang-undangan di bidang penjaminan,
penjaminan syariah, penjaminan ulang,
dan/atau penjaminan ulang syariah dan
peraturan perundang-undangan lain yang
relevan.
4
Komisaris Independen memiliki pengetahuan
yang baik mengenai kondisi keuangan Lembaga
Penjamin tempat Komisaris Independen
dimaksud menjabat.
5
Komisaris Independen mampu menjalankan
tugas pokok melakukan fungsi pengawasan
untuk menyuarakan kepentingan terjamin,
penerima jaminan, dan pemangku kepentingan
lainnya.
6 Lembaga Penjamin memiliki komite audit.
7
8
9
Anggota komite audit memiliki keahlian dalam
pelaksanaan tugas.
Komite audit mampu membantu Dewan
Komisaris dalam memantau dan memastikan
efektivitas sistem pengendalian internal.
Komite audit mampu membantu Dewan
Komisaris dalam memantau dan memastikan
efektivitas pelaksanaan tugas auditor internal
dan auditor eksternal.
10
Komite audit mampu membantu Dewan
Komisaris dalam melakukan pemantauan dan
evaluasi atas perencanaan dan pelaksanaan
audit dalam rangka menilai kecukupan
pengendalian internal termasuk proses
pelaporan keuangan.
11 Komite audit secara rutin melakukan rapat.
12
Lembaga Penjamin memiliki Komisaris
Independen.
13
14
15
Komisaris Independen berkewarganegaraan
Indonesia.
Komisaris Independen berdomisili di Indonesia.
Komisaris Independen melaporkan kepada
Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 10
(sepuluh) hari kalender sejak ditemukannya
pelanggaran peraturan perundang-undangan di
bidang penjaminan.
16
17
18
19
Lembaga Penjamin mengungkapkan kepada
Otoritas Jasa Keuangan terkait pengunduran diri
Komisaris Independen.
Komisaris Independen yang mengundurkan diri
menyampaikan alasan terkait pengunduran diri
kepada Otoritas Jasa Keuangan.
Lembaga Penjamin mengungkapkan kepada
Otoritas Jasa Keuangan terkait pemberhentian
Komisaris Independen.
Lembaga Penjamin menyampaikan alasan
pemberhentian Komisaris Independen Kepada
Otoritas Jasa Keuangan.
20
Komisaris Independen melaporkan kepada
Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 10
(sepuluh) hari kalender sejak ditemukannya
keadaan atau perkiraan keadaan yang dapat
membahayakan kelangsungan usaha Lembaga
Penjamin.
21
Komisaris Independen merupakan ketua komite
audit.
22 Perusahaan memiliki struktur komite.
23 Komite audit memiliki program kerja komite.
Skor
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
B.1. Kelengkapan dan pelaksanaan tugas komite audit atau fungsi yang membantu Dewan Komisaris
No
24
Pernyataan/Pertanyaan
Komite audit melaporkan realisasi terkait
program kerja komite kepada Komisaris
Independen.
Jumlah Skor Indikator
Total Indikator
Bobot
Nilai Faktor
1
Sangat
Sesuai
2
Sesuai
Kriteria/Indikator Penilaian
5
3
Cukup
Sesuai
4
Kurang
Sesuai
Tidak
Sesuai
Ya
Tidak
0
-
24
5,00
-
Skor
B.2. Kelengkapan dan pelaksanaan tugas komite audit atau fungsi yang membantu Dewan Komisaris
No
Pernyataan/Pertanyaan
1
Sangat
Sesuai
2
Sesuai
Kriteria/Indikator Penilaian
5
4
Kurang
Sesuai
Tidak
Sesuai
Ya
Tidak
3
Skor
Cukup
Sesuai
b. Bagi Lembaga Penjamin yang memiliki wilayah operasional kabupaten
1
Satuan kerja atau pegawai yang
memantau pelaksanaan audit bersifat
independen.
2
Satuan kerja atau pegawai mampu
membantu Dewan Komisaris dalam
memantau dan memastikan efektivitas
sistem pengendalian internal.
3
Satuan kerja atau pegawai yang
mampu membantu Dewan Komisaris
dalam memantau dan memastikan
efektivitas pelaksanaan tugas auditor
internal dan auditor eksternal.
4
Satuan kerja atau pegawai mampu
membantu Dewan Komisaris dalam
melakukan pemantauan dan evaluasi
atas perencanaan dan pelaksanaan
audit dalam rangka menilai kecukupan
pengendalian internal termasuk proses
pelaporan keuangan.
5
6
7
8
9
Satuan kerja atau pegawai yang
memantau pelaksanaan audit secara
rutin melakukan rapat.
Lembaga Penjamin memiliki fungsi
yang membantu Dewan Komisaris
dalam memantau pelaksanaan audit.
Satuan kerja atau pegawai yang
memantau pelaksanaan audit memiliki
struktur.
Satuan kerja atau pegawai yang
memantau pelaksanaan audit memiliki
keahlian dalam pelaksanaan tugas.
Satuan kerja atau pegawai yang
memantau pelaksanaan audit memiliki
program kerja.
10
Satuan kerja atau pegawai yang
memantau pelaksanaan audit
melaporkan realisasi terkait program
kerja kepada Dewan Komisaris.
Jumlah Skor Indikator
Total Indikator
Bobot
Nilai Faktor
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
-
10
5,00
-
C. Penerapan fungsi kepatuhan, auditor internal, dan auditor eksternal
No
Pernyataan/Pertanyaan
1
Sangat
Sesuai
1
Anggota Direksi yang membawahkan fungsi kepatuhan mampu
memastikan bahwa kebijakan, ketentuan, sistem dan prosedur,
serta kegiatan usaha yang dilakukan oleh Lembaga Penjamin
telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
2
Anggota Direksi yang membawahkan fungsi kepatuhan mampu
memastikan kepatuhan Lembaga Penjamin terhadap komitmen
yang dibuat Lembaga Penjamin kepada Otoritas Jasa Keuangan
dan/atau otoritas pengawas lain yang berwenang.
3
Satuan kerja atau pegawai yang melaksanakan fungsi kepatuhan
membantu Direksi dalam memastikan kepatutan Lembaga
Penjamin terhadap peraturan perundang-undangan di bidang
usaha penjaminan dan peraturan perundang-undangan lainnya.
4
5
6
Satuan kerja atau pegawai yang melaksanakan fungsi kepatuhan
mampu mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugas kepada
anggota Direksi yang membawahkan fungsi kepatuhan.
Lembaga Penjamin memiliki anggota Direksi yang
membawahkan fungsi kepatuhan.
Perusahaan memiliki satuan kerja atau pegawai yang
melaksanakan fungsi kepatuhan.
2. Fungsi auditor internal
1 Perusahan memiliki auditor internal.
2 Auditor internal memiliki ruang lingkup pekerjaan audit.
3 Auditor internal memiliki struktur organisasi.
4 Auditor internal bersifat independen.
5
Auditor internal melaporkan hasil pelaksanaan tugas audit
internal.
3. Fungsi auditor eksternal
1 Perusahaan menggunakan jasa auditor eksternal.
2 Auditor eksternal diajukan oleh Dewan Komisaris.
3 Auditor eksternal ditunjuk oleh RUPS.
4 Auditor eksternal terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan.
5
Lembaga Penjamin menyediakan semua catatan akuntansi dan
data penunjang yang diperlukan bagi auditor eksternal.
6 Auditor eksternal bersifat independen.
7
Lembaga Penjamin membatasi penggunaan jasa audit atas
informasi keuangan historis tahunan dari auditor eksternal
yang sama paling lama untuk periode audit selama 3 (tiga) tahun
buku pelaporan secara berturut-turut.
Jumlah Skor Indikator
Total Indikator
Bobot
Nilai Faktor
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
2
Sesuai
Kriteria/Indikator Penilaian
4
Kurang
Sesuai
3
Cukup
Sesuai
1. Fungsi kepatuhan
0
5
Skor
Tidak Sesuai
Ya
Tidak
0
0
0
0
0
-
18
7,50
-
D. Penerapan manajemen risiko, sistem pengendalian internal, dan penerapan tata kelola teknologi informasi
No
Pertanyaan/Pernyataan
1
Sangat
Sesuai
1 Direksi dan Dewan Komisaris Lembaga Penjamin
memahami risiko yang dihadapi Lembaga
Penjamin.
2 Direksi dan Dewan Komisaris Lembaga Penjamin
memberikan arahan yang jelas terkait penerapan
manajemen risiko.
3 Direksi dan Dewan Komisaris Lembaga Penjamin
melakukan pengawasan dan mitigasi risiko secara
aktif.
4 Direksi dan Dewan Komisaris Lembaga Penjamin
mengembangkan budaya manajemen risiko di
Lembaga Penjamin.
5 Direksi dan Dewan Komisaris Lembaga Penjamin
memastikan ketersediaan struktur organisasi yang
memadai.
6 Direksi dan Dewan Komisaris Lembaga Penjamin
menetapkan tugas dan tanggung jawab yang jelas
pada masing-masing satuan kerja.
7 Direksi dan Dewan Komisaris Lembaga Penjamin
memastikan kecukupan kuantitas dan kualitas
sumber daya manusia untuk mendukung
penerapan manajemen risiko secara efektif.
2. Kecukupan kebijakan, prosedur, dan penetapan limit risiko
1 Penerapan manajemen risiko Lembaga Penjamin
sejalan dengan visi, misi, strategi bisnis Lembaga
Penjamin.
2 Penerapan manajemen risiko Lembaga Penjamin
memperhatikan kecukupan kebijakan dalam
pengelolaan risiko.
3 Lembaga Penjamin memiliki prosedur dan proses
untuk menerapkan kebijakan manajemen risiko.
4 Penerapan manajemen risiko Lembaga Penjamin
memperhatikan penetapan limit risiko dalam
pengelolaan risiko.
3. Kecukupan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan dan pengendalian risiko
1 Lembaga Penjamin melakukan identifikasi seluruh
risiko secara berkala.
2 Lembaga Penjamin memiliki metode atau sistem
untuk melakukan identifikasi risiko pada seluruh
kegiatan usaha dan aktivitas bisnis perusahaan.
3 Lembaga Penjamin melakukan pengukuran risiko
secara berkala.
4 Lembaga Penjamin memiliki sistem dan prosedur
pemantauan risiko.
5 Lembaga Penjamin memiliki metode pengendalian
atas risiko yang sesuai dengan eksposur risiko
maupun tingkat risiko yang akan diambil dan
toleransi risiko.
6 Penerapan manajemen risiko Lembaga Penjamin
memperhatikan kecukupan proses identifikasi
dalam pengelolaan risiko.
7 Penerapan manajemen risiko Lembaga Penjamin
memperhatikan pengukuran dalam pengelolaan
risiko.
8 Penerapan manajemen risiko Lembaga Penjamin
memperhatikan pemantauan dan pengendalian
risiko.
4. Sistem informasi manajemen risiko
1 Lembaga Penjamin memiliki sistem informasi
manajemen risiko yang sesuai dengan
karakteristik, kegiatan dan kompleksitas kegiatan
usaha perusahaan.
2 Sistem informasi manajemen risiko yang dimiliki
Lembaga Penjamin mampu mendukung
pelaksanaan proses identifikasi, pengukuran,
pemantauan, dan pengendalian risiko.
3 Sistem informasi manajemen risiko mampu
memastikan tersedianya informasi yang akurat,
lengkap, informatif, tepat waktu, dan dapat
diandalkan agar dapat digunakan Direksi, Dewan
Komisaris, dan satuan kerja yang terkait dalam
penerapan manajemen risiko.
4 Sistem informasi manajemen risiko mampu
memastikan efektivitas penerapan manajemen
risiko mencakup kebijakan, prosedur, dan
penetapan limit risiko.
5 Sistem informasi manajemen risiko mampu
memastikan tersedianya informasi tentang hasil
(realisasi) penerapan manajemen risiko
dibandingkan dengan target yang ditetapkan oleh
Lembaga Penjamin.
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
2
Sesuai
Kriteria/Indikator Penilaian
4
Kurang
Sesuai
3
Cukup
Sesuai
1. Pengawasan aktif Dewan Komisaris
0
0
0
0
0
0
5
Skor
Tidak Sesuai
Ya
Tidak
0
0
0
0
0
0
0
0
D. Penerapan manajemen risiko, sistem pengendalian internal, dan penerapan tata kelola teknologi informasi
No
Pertanyaan/Pernyataan
1
Sangat
Sesuai
2
Sesuai
Kriteria/Indikator Penilaian
4
Kurang
Sesuai
3
Cukup
Sesuai
5
Skor
Tidak Sesuai
5. Sistem pengendalian intern yang menyeluruh
1 Lembaga Penjamin melaksanakan sistem
pengendalian intern secara efektif dalam
penerapan manajemen risiko Lembaga Penjamin.
2 Sistem pengendalian intern yang menyeluruh
memperhatikan mekanisme pelaporan dalam hal
terjadi penyimpangan.
6. Tata kelola teknologi informasi
1 Lembaga Penjamin menerapkan tata kelola
teknologi informasi yang efektif.
2 Lembaga Penjamin memiliki struktur organisasi
sistem informasi.
3 Lembaga Penjamin memiliki pedoman penggunaan
sistem informasi yang dilengkapi dengan instruksi
atau perintah kerja untuk setiap fungsi.
4 Lembaga Penjamin memiliki pedoman manajemen
pengamanan data dan insiden (disaster recovery
plan).
Jumlah Skor Indikator
Total Indikator
Bobot
Nilai Faktor
0
0
0
0
0
Ya
Tidak
0
-
30
10,00
-
`
E. Penerapan kebijakan remunerasi dan fasilitas lain
Kriteria/Indikator Penilaian
No
Pertanyaan/Pernyataan
1
Sangat
Sesuai
1 Lembaga Penjamin menerapkan kebijakan
remunerasi bagi anggota Direksi, anggota Dewan
Komisaris, dan pegawai yang mendorong perilaku
berdasarkan prinsip kehati-hatian (prudent
behaviour) yang sejalan dengan kepentingan jangka
panjang Lembaga Penjamin dan perlakuan adil
terhadap terjamin, penjamin, penerima jaminan
dan/atau pemangku kepentingan lainnya.
2 Kebijakan remunerasi memperhatikan kinerja
keuangan dan pemenuhan kewajiban Lembaga
Penjamin sebagaimana diatur dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
3 Kebijakan remunerasi memperhatikan prestasi kerja
individual.
4 Kebijakan remunerasi memperhatikan kewajaran
dengan Lembaga Penjamin dan/atau level jabatan
yang setara (peer group ).
5 Kebijakan remunerasi memperhatikan pertimbangan
sasaran dan strategi jangka panjang Lembaga
Penjamin.
6 Anggota Direksi dan Dewan Komisaris menerima
remunerasi dalam bentuk non natura.
7 Anggota Direksi dan Dewan Komisaris menerima
remunerasi dalam bentuk natura.
2. Pengungkapan paket atau kebijakan remunerasi dalam 1 (satu) tahun
1 Paket atau kebijakan remunerasi dan fasilitas lain
bagi anggota Direksi dan Dewan Komisaris yang
ditetapkan RUPS.
2 Remunerasi dan fasilitas lain bagi seluruh anggota
Direksi dan Dewan Komisaris paling sedikit
mencakup jumlah anggota Direksi, jumlah anggota
Dewan Komisaris, dan jumlah seluruh kebijakan
remunerasi dan fasilitas lain.
3 Jumlah anggota Direksi, dan Dewan Komisaris yang
menerima paket remunerasi dalam 1 (satu) tahun
yang dikelompokkan sesuai tingkat penghasilan.
3. Rasio gaji tertinggi dan terendah
1 Perusahaan menyampaikan rasio perbandingan gaji
tertinggi dan terendah.
Jumlah Skor Indikator
Total Indikator
Bobot
Nilai Faktor
0
-
11
2,50
-
0
2
Sesuai
3
Cukup
Sesuai
4
Kurang
Sesuai
5
Tidak
Sesuai
Ya
Tidak
1. Pengungkapan mengenai kebijakan remunerasi dan fasilitas lain bagi anggota Direksi dan Dewan Komisaris
Skor
0
0
0
0
0
0
0
0
0
F. Transparansi kondisi keuangan dan non keuangan Perusahaan
No
Pertanyaan/Pernyataan
1 Lembaga Penjamin melaksanakan
transparansi kondisi keuangan dan
non keuangan kepada pemangku
kepentingan.
2 Lembaga Penjamin memberikan data
dan informasi kepada Otoritas Jasa
Keuangan secara lengkap dan tepat
waktu.
3 Lembaga Penjamin menjelaskan
perjanjian transaksi penjaminan serta
hak dan kewajiban pemangku
kepentingan dalam setiap transaksi
penjaminan.
4 Lembaga Penjamin memiliki sistem
pelaporan keuangan yang diandalkan
untuk keperluan pengawasan dan
pemangku kepentingan lain.
5 Lembaga Penjamin melakukan
promosi tentang jasa penjaminan.
6 Lembaga Penjamin secara transparan
menyampaikan tata cara pengaduan
dan penyelesaian sengketa kepada
pemangku kepentingan.
Jumlah Skor Indikator
Total Indikator
Bobot
Nilai Faktor
1
Sangat
Sesuai
2
Sesuai
Kriteria/Indikator Penilaian
5
3
Cukup
Sesuai
4
Kurang
Sesuai
Tidak
Sesuai
Ya
Tidak
0
Skor
0
0
0
0
0
-
6
15,00
-
G. Rencana jangka panjang serta rencana kerja dan anggaran tahunan
Kriteria/Indikator Penilaian
No
Pertanyaan/Pernyataan
1 Lembaga Penjamin menyusun
rencana jangka panjang Lembaga
Penjamin.
2 Lembaga Penjamin menyusun
rencana kerja Lembaga Penjamin.
3 Lembaga Penjamin menyusun
anggaran tahunan Lembaga
Penjamin.
4 Rencana jangka panjang serta
rencana kerja dan anggaran tahunan
Lembaga Penjamin disampaikan
kepada Otoritas Jasa Keuangan.
Jumlah Skor Indikator
Total Indikator
Bobot
Nilai Faktor
1
Sangat
Sesuai
2
Sesuai
3
Cukup
Sesuai
4
Kurang
Sesuai
5
Tidak
Sesuai
Ya
Tidak
0
0
0
Skor
0
-
4
7,50
-
H. Pengungkapan kepemilikan saham anggota Direksi dan Dewan Komisaris yang mencapai 5% (lima puluh per seratus) atau lebih
No
Pertanyaan/Pernyataan
1 Lembaga Penjamin melaporkan
kepemilikan saham anggota Direksi
dan Dewan Komisaris yang mencapai
5% (lima per seratus) atau lebih pada
Lembaga Penjamin.
2 Lembaga Penjamin melaporkan
kepemilikan saham anggota Direksi
dan Dewan Komisaris yang mencapai
5% (lima per seratus) atau lebih pada
Lembaga Penjamin lain.
3 Lembaga Penjamin melaporkan
kepemilikan saham anggota Direksi
dan Dewan Komisaris yang mencapai
5% (lima per seratus) atau lebih pada
perusahaan jasa keuangan selain
Lembaga Penjamin.
4 Lembaga Penjamin melaporkan
kepemilikan saham anggota Direksi
dan Dewan Komisaris yang mencapai
5% (lima per seratus) atau lebih pada
Lembaga Penjamin lainnya yang
berkedudukan di dalam maupun di
luar negeri, termasuk saham yang
diperoleh melalui bursa efek.
Jumlah Skor Indikator
Total Indikator
Bobot
Nilai Faktor
1
Sangat
Sesuai
2
Sesuai
Kriteria/Indikator Penilaian
5
4
Kurang
Sesuai
Tidak
Sesuai
Ya
Tidak
3
Skor
Cukup
Sesuai
0
0
0
0
-
4
5,00
-
I. Hubungan keuangan dan hubungan keluarga bagi Direksi dan Dewan Komisaris
No
Pertanyaan/Pernyataan
1 Lembaga Penjamin melaporkan
hubungan keuangan anggota Direksi
dengan anggota Direksi lain, anggota
Dewan Komisaris, dan/atau pemegang
saham Lembaga Penjamin tempat
anggota Direksi dimaksud menjabat.
2 Lembaga Penjamin melaporkan
hubungan keluarga anggota Direksi
dengan anggota Direksi lain, anggota
Dewan Komisaris, dan/atau pemegang
saham Lembaga Penjamin tempat
anggota Direksi dimaksud menjabat.
3 Lembaga Penjamin melaporkan
hubungan keuangan anggota Dewan
Komisaris dengan anggota Dewan
Komisaris lain, anggota Direksi,
dan/atau pemegang saham Lembaga
Penjamin tempat anggota Dewan
Komisaris dimaksud menjabat.
4 Lembaga Penjamin melaporkan
hubungan keluarga anggota Dewan
Komisaris dengan anggota Dewan
Komisaris lain, anggota Direksi,
dan/atau pemegang saham Lembaga
Penjamin tempat anggota Dewan
Komisaris dimaksud menjabat.
Jumlah Skor Indikator
Total Indikator
Bobot
Nilai Faktor
1
Sangat
Sesuai
2
Sesuai
Kriteria/Indikator Penilaian
5
3
Cukup
Sesuai
4
Kurang
Sesuai
Tidak
Sesuai
Ya
Tidak
Skor
0
0
0
0
-
4
5,00
-
J. Pengungkapan hal-hal penting lainnya kepada Otoritas Jasa Keuangan
No
Pertanyaan/Pernyataan
1 Lembaga Penjamin mengungkapkan
kepada Otoritas Jasa Keuangan terkait
pengunduran diri auditor eksternal.
2 Auditor eksternal yang mengundurkan
diri menyampaikan alasan terkait
pengunduran diri kepada Otoritas Jasa
Keuangan.
3 Lembaga Penjamin mengungkapkan
kepada Otoritas Jasa Keuangan terkait
pemberhentian auditor eksternal.
4 Lembaga Penjamin menyampaikan
alasan pemberhentian auditor
eksternal kepada Otoritas Jasa
Keuangan.
2. Transaksi material dengan pihak terkait
1 Lembaga Penjamin telah
mengungkapkan kepada Otoritas Jasa
Keuangan terkait transaksi material
dengan pihak lain.
3. Benturan kepentingan
1 Lembaga Penjamin telah
mengungkapkan kepada Otoritas Jasa
Keuangan terkait benturan
kepentingan yang sedang berlangsung
dengan pihak lain.
2 Lembaga Penjamin telah
mengungkapkan kepada Otoritas Jasa
Keuangan terkait transaksi Lembaga
Penjamin yang memiliki potensi
benturan kepentingan dengan
Lembaga Penjamin lain.
4. Informasi material lain mengenai Lembaga Penjamin yang terkait dengan Tata Kelola Perusahaan yang Baik
1 Tidak terdapat intervensi dari pemilik
Lembaga Penjamin.
2 Tidak terdapat perselisihan internal
dalam Lembaga Penjamin.
3 Tidak terdapat permasalahan yang
merupakan dampak dari kebijakan
remunerasi Lembaga Penjamin.
5. Penyimpangan intern
1 Penyelesaian penyimpangan internal
melibatkan proses hukum.
2 Tidak terdapat penyimpangan yang
dilakukan oleh anggota Dewan
Komisaris dan anggota Direksi.
3 Tidak terdapat penyimpangan yang
dilakukan oleh pegawai tetap.
4 Tidak terdapat penyimpangan yang
dilakukan oleh pegawai tidak tetap.
5 Lembaga Penjamin menyediakan
mediasi penyelesaian terkait
penyimpangan internal.
6. Permasalahan hukum
1 Lembaga Penjamin tidak memiliki
permasalahan hukum yang
merupakan kasus perdata.
2 Lembaga Penjamin tidak memiliki
permasalahan hukum yang
merupakan kasus pidana.
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
Sangat
Sesuai
2
Sesuai
Kriteria/Indikator Penilaian
5
3
Cukup
Sesuai
4
Kurang
Sesuai
Tidak
Sesuai
1. Pengunduran diri atau pemberhentian auditor eksternal
0
Ya
Tidak
Skor
0
0
0
0
J. Pengungkapan hal-hal penting lainnya kepada Otoritas Jasa Keuangan
No
Pertanyaan/Pernyataan
1
Sangat
Sesuai
1 Direksi, Dewan Komisaris, dan
karyawan Lembaga Penjamin mampu
untuk tidak menawarkan atau
memberikan sesuatu, baik langsung
maupun tidak langsung kepada pihak
lain, untuk mempengaruhi
pengambilan keputusan yang terkait
dengan transaksi penjaminan, dengan
melanggar ketentuan perundang-
undangan yang berlaku.
2 Direksi, Dewan Komisaris, dan
karyawan Perusahaan mampu untuk
tidak menerima sesuatu untuk
kepentingan pribadinya dengan
melanggar ketentuan perundang-
undangan yang berlaku, baik langsung
maupun tidak langsung, dari
siapapun, yang dapat mempengaruhi
pengambilan keputusan yang terkait
dengan transaksi pembiayaan.
3 Lembaga Penjamin memiliki pedoman
tentang perilaku etis, yang memuat
nilai etika berusaha sebagai panduan
bagi organ Lembaga Penjamin dan
seluruh karyawan Lembaga Penjamin.
Jumlah Skor Indikator
Total Indikator
Bobot
Nilai Faktor
2
Sesuai
Kriteria/Indikator Penilaian
5
3
Cukup
Sesuai
7. Etika bisnis
4
Kurang
Sesuai
Tidak
Sesuai
Ya
Tidak
Skor
0
0
0
-
20
12,50
-
K. Kesimpulan umum hasil penilaian secara mandiri (self assessment)
Uraian Kesimpulan Umum (Berdasarkan Hasil Skor Penilaian)
FORMAT 2
Penilaian secara mandiri (self assessment ) atas Penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik
bagi Perusahaan Penjaminan Syariah, Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah, dan Perusahaan
Penjaminan yang memiliki unit usaha syariah
Pengantar:
1.
2.
3.
Sesuai dengan SE OJK No. XX/SEOJK.05/2017, kuesioner ini merupakan salah satu
ketentuan penilaian secara mandiri (self assessment ) atas Penerapan Tata Kelola Perusahaan
yang Baik bagi Lembaga Penjamin.
Kuesioner ini dilakukan oleh Lembaga Penjamin yaitu Perusahaan Penjaminan Syariah,
Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah, dan Perusahaan Penjaminan yang memiliki unit usaha
syariah.
Mohon untuk dapat mengisi dan mengirimkan kuesioner ini sesuai dengan ketentuan dan
batas waktu yang telah ditetapkan.
Petunjuk Pengisian:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Sebelum mengisi kuesioner, bacalah petunjuk pengisian dengan cermat.
Berilah tanda silang (X) pada kolom 1 Sangat Sesuai, 2 Sesuai, 3 Cukup Sesuai, 4 Kurang
Sesuai dan 5 Tidak Sesuai atau pada kolom Ya dan Tidak sesuai dengan keadaan yang
sebenarnya.
Pengisian kuesioner
ini dilakukan dengan cara memberikan jawaban atas
pertanyaan/pernyataan di masing-masing faktor yang ada.
Kuesioner ini terdiri dari 10 faktor yang masing-masingnya memiliki pertanyaan/pernyataan
terkait penilaian atas faktor tersebut.
Format A sampai dengan Format J merupakan pengisian untuk masing-masing dari 10 faktor
sesuai dengan ketentuan, dan Format K merupakan kesimpulan umum atas hasil penilaian
sendiri (self assessment ).
Isilah kuesioner dengan benar, hati-hati, dan sesuai dengan kondisi Lembaga Penjamin
sebenarnya.
Rincian Nilai Bobot Indikator
No
Faktor
1 Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Direksi, Dewan
Komisaris, dan DPS.
2
Kelengkapan dan pelaksanaan tugas:
a. komite audit bagi Lembaga Penjamin yang memiliki lingkup
wilayah operasional nasional atau provinsi, atau terdapat
kepemilikan asing; atau
b. fungsi yang membantu Dewan Komisaris bagi Lembaga
Penjamin yang memiliki lingkup wilayah operasional kabupaten,
dalam memantau dan memastikan efektivitas sistem
pengendalian internal.
3 Penerapan fungsi kepatuhan, auditor internal, dan auditor
eksternal.
4 Penerapan manajemen risiko, sistem pengendalian internal, dan
tata kelola teknologi informasi.
5 Penerapan kebijakan remunerasi dan fasilitas lain.
6 Transparansi kondisi keuangan dan non keuangan Lembaga
Penjamin.
7 Rencana jangka panjang serta rencana kerja dan anggaran
tahunan.
8 Pengungkapan kepemilikan saham.
Bobot (%) Keterangan
35,00 Lihat ""Format A""
Lihat ""Format
B1"" atau
5,00
""Format B2""
(isi salah satu
sesuai
ketentuan)
7,50 Lihat ""Format C""
10,00 Lihat ""Format D""
2,50 Lihat ""Format E""
15,00 Lihat ""Format F""
7,50 Lihat ""Format G""
2,50 Lihat ""Format H""
9 Pengungkapan hubungan keuangan dan hubungan keluarga
anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, dan anggota DPS
dengan anggota Direksi lain, anggota Dewan Komisaris lain,
anggota DPS lain, dan/atau pemegang saham Lembaga Penjamin
tempat anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, dan anggota
DPS dimaksud menjabat.
10 Pengungkapan hal-hal penting lainnya.
JUMLAH
5,00 Lihat ""Format I""
10,00 Lihat ""Format J""
100,00
Dashboard Penilaian Self Assessment
Nilai
84-100
68-83
52-67
36-51
20-35
Ketentuan Penilaian
Rangking
1
2
3
4
5
Predikat
Sangat Baik
Baik
Cukup Baik
Kurang Baik
Tidak Baik
Faktor
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Hasil Penilaian
Format
A
B1
B2
C
D
E
F
G
H
I
J
Total Nilai
Predikat
Nilai
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Hasil Penilaian
0,20
0,40
0,60
0,80
1,00
-
A B1 B2 C D E
F G H I
J Total
Nilai
A. Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Direksi, Dewan Komisaris, dan DPS
Kriteria/Indikator Penilaian
No
1. Direksi
1
2
3
Direksi memiliki pengetahuan yang
relevan dengan jabatan sebagai
Direksi.
Direksi mampu bertindak dengan
itikad baik, jujur dan profesional.
Direksi bertindak untuk
kepentingan Lembaga Penjamin,
terjamin, dan/atau penerima
jaminan.
4
Direksi mendahulukan kepentingan
Lembaga Penjamin, terjamin,
dan/atau penerima jaminan,
daripada kepentingan pribadi.
5
Direksi mampu mengambil
keputusan berdasarkan penilaian
independen dan objektif untuk
kepentingan Lembaga Penjamin,
terjamin, dan/atau penerima
jaminan.
6
Direksi mampu menghindarkan
penyalahgunaan kewenangan
untuk mendapatkan keuntungan
pribadi yang tidak semestinya atau
menyebabkan kerugian bagi
Lembaga Penjamin.
7
Direksi menjamin pengambilan
keputusan yang efektif, tepat, dan
cepat serta dapat bertindak secara
independen, tidak mempunyai
kepentingan yang dapat
mengganggu kemampuannya
untuk melaksanakan tugas secara
mandiri dan kritis.
8
Direksi mematuhi peraturan
perundang-undangan, anggaran
dasar, dan peraturan internal lain
dari Lembaga Penjamin dalam
melaksanakan tugasnya.
9
Direksi mengelola Lembaga
Penjamin sesuai dengan
kewenangan dan tanggung
jawabnya.
10
Direksi mampu
mempertanggungjawabkan
pelaksanaan tugasnya kepada
RUPS.
11
Direksi telah memastikan agar
Lembaga Penjamin memperhatikan
kepentingan semua pihak,
khususnya kepentingan terjamin
dan/atau penerima jaminan.
12
Direksi telah menyampaikan
informasi secara tepat waktu dan
lengkap mengenai Lembaga
Penjamin kepada Dewan Komisaris
dan DPS.
13
Direksi telah membantu memenuhi
kebutuhan DPS dalam
menggunakan anggota komite,
karyawan Lembaga Penjamin, dan
tenaga ahli profesional yang
struktur organisasinya berada
dibawah Direksi.
14
Direksi mampu menghindarkan
transaksi yang mempunyai
benturan kepentingan dengan
kegiatan Lembaga Penjamin tempat
anggota Direksi dimaksud
menjabat.
15
Direksi mampu untuk tidak
memanfaatkan jabatannya pada
Lembaga Penjamin tempat anggota
Direksi dimaksud menjabat untuk
kepentingan pribadi, keluarga,
dan/atau pihak lain yang dapat
merugikan atau mengurangi
keuntungan Lembaga Penjamin
tempat anggota Direksi dimaksud
menjabat.
0
0
0
Pernyataan/Pertanyaan
1
Sangat
Sesuai
2
Sesuai
3
Cukup
Sesuai
4
Kurang
Sesuai
5
Tidak Sesuai
Skor
Ya
Tidak
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
A. Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Direksi, Dewan Komisaris, dan DPS
Kriteria/Indikator Penilaian
No
Pernyataan/Pertanyaan
16
Direksi mampu untuk menghindari
perbuatan mengambil dan/atau
menerima keuntungan pribadi dari
Lembaga Penjamin tempat anggota
Direksi dimaksud menjabat selain
remunerasi dan fasilitas yang
ditetapkan berdasarkan keputusan
RUPS.
17
Direksi mampu untuk menolak
permintaan pemegang saham yang
terkait dengan kegiatan operasional
Lembaga Penjamin tempat anggota
Direksi dimaksud menjabat selain
yang telah ditetapkan dalam RUPS.
18
19
Hasil rapat Direksi secara rutin
telah dituangkan dalam risalah
rapat Direksi.
Risalah rapat yang merupakan
keputusan bersama seluruh
anggota Direksi telah
didokumentasikan dengan baik.
20
Keputusan Direksi telah
dituangkan ke dalam risalah rapat,
termasuk perbedaan pendapat
(dissenting opinions ) yang terjadi
secara jelas.
21
Anggota Direksi Lembaga Penjamin
berdomisili di Indonesia.
22
Lembaga Penjamin yang
didalamnya terdapat kepemilikan
asing baik secara langsung maupun
tidak langsung memiliki paling
sedikit 50% (lima puluh per
seratus) anggota Direksi yang
merupakan warga negara
Indonesia.
23
Direksi berkewarganegaraan asing
memiliki surat izin menetap dari
instansi yang berwenang.
24
25
26
Direksi berkewarganegaraan asing
memiliki surat izin bekerja dari
instasi berwenang.
Direksi Lembaga Penjamin memiliki
komite investasi.
Anggota Direksi Lembaga Penjamin
tidak merangkap jabatan pada
Lembaga Penjamin atau badan
usaha lain.
27
Anggota Direksi tidak berasal dari
pegawai atau pejabat aktif Otoritas
Jasa Keuangan.
28
Direksi Lembaga Penjamin
menyelenggarakan rapat Direksi
secara berkala paling sedikit 1
(satu) kali dalam 1 (satu) bulan.
29
Direksi Lembaga Penjamin
menghadiri rapat Direksi paling
sedikit 50% (lima puluh per
seratus) dari jumlah rapat Direksi
dalam periode 1 (satu) tahun.
30
Jumlah rapat Direksi yang telah
diselenggarakan dan jumlah
kehadiran masing-masing anggota
Direksi perusahaan harus dimuat
dalam laporan penerapan Tata
Kelola Perusahaan yang Baik.
2. Dewan Komisaris
1
Dewan Komisaris mampu
melaksanakan tugas pengawasan
dan pemberian nasihat kepada
Direksi.
2
Dewan Komisaris mampu
mengawasi Direksi dalam menjaga
keseimbangan kepentingan semua
pihak.
3
Dewan Komisaris mampu
memantau efektivitas penerapan
Tata Kelola Perusahaan yang Baik.
0
1
Sangat
Sesuai
2
Sesuai
3
Cukup
Sesuai
4
Kurang
Sesuai
5
Tidak Sesuai
Skor
Ya
Tidak
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
A. Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Direksi, Dewan Komisaris, dan DPS
Kriteria/Indikator Penilaian
No
Pernyataan/Pertanyaan
4
Dewan Komisaris mampu
memberikan persetujuan dalam hal
DPS memerlukan bantuan anggota
komite yang struktur organisasinya
berada di bawah Dewan Komisaris.
5
Dewan Komisaris mampu
memastikan bahwa Direksi telah
menindaklanjuti temuan audit dan
rekomendasi dari satuan kerja
audit internal Lembaga Penjamin,
auditor eksternal, hasil pengawasan
Otoritas Jasa Keuangan dan/atau
hasil pengawasan otoritas lain.
6
Anggota Dewan Komisaris mampu
untuk tidak melakukan transaksi
yang mempunyai benturan
kepentingan dengan kegiatan
Lembaga Penjamin tempat anggota
Dewan Komisaris dimaksud
menjabat.
7
Anggota Dewan Komisaris mampu
untuk tidak memanfaatkan
jabatannya pada Lembaga Penjamin
tempat anggota Dewan Komisaris
dimaksud menjabat untuk
kepentingan pribadi, keluarga,
dan/atau pihak lain yang dapat
merugikan atau mengurangi
keuntungan Lembaga Penjamin
tempat anggota Dewan Komisaris
dimaksud menjabat.
8
Anggota Dewan Komisaris mampu
untuk menghindari perbuatan
mengambil dan/atau menerima
keuntungan pribadi dari Lembaga
Penjamin tempat anggota Dewan
Komisaris dimaksud menjabat,
selain remunerasi dan fasilitas yang
ditetapkan berdasarkan keputusan
RUPS.
9
Anggota Dewan Komisaris mampu
untuk tidak mencampuri kegiatan
operasional Lembaga Penjamin
yang menjadi tanggung jawab
Direksi.
10
11
Hasil rapat Dewan Komisaris
dituangkan dalam risalah rapat
Dewan Komisaris.
Risalah rapat yang merupakan
keputusan bersama seluruh
anggota Dewan Komisaris telah
didokumentasikan dengan baik.
12
Keputusan Dewan Komisaris telah
dituangkan ke dalam risalah rapat,
termasuk perbedaan pendapat
(dissenting opinion) yang terjadi
secara jelas.
13
Dewan Komisaris mampu
menjamin pengambilan keputusan
yang efektif, tepat, dan cepat serta
dapat bertindak secara independen
dalam melaksanakan tugas.
14
15
Lembaga Penjamin memiliki paling
sedikit 2 (dua) orang anggota
Dewan Komisaris.
Lembaga Penjamin memiliki paling
sedikit 1 (satu) Dewan Komisaris
yang berdomisili di Indonesia.
16
Anggota Dewan Komisaris yang
berkewarganegaraan asing memiliki
surat izin bekerja dari instansi
berwenang.
17
Anggota Dewan Komisaris yang
berkewarganegaraan asing memiliki
surat izin menetap dari instansi
berwenang.
1
Sangat
Sesuai
2
Sesuai
3
Cukup
Sesuai
4
Kurang
Sesuai
5
Tidak Sesuai
Skor
Ya
Tidak
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
A. Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Direksi, Dewan Komisaris, dan DPS
Kriteria/Indikator Penilaian
No
Pernyataan/Pertanyaan
18
Anggota Dewan Komisaris Lembaga
Penjamin tidak memiliki rangkap
jabatan sebagai anggota Dewan
Komisaris pada lebih dari 3 (tiga)
Lembaga Penjamin atau badan
usaha lain.
19
Anggota Dewan Komisaris tidak
berasal dari pegawai atau pejabat
aktif Otoritas Jasa Keuangan.
20
Anggota Dewan Komisaris
menyusun laporan kegiatan Dewan
Komisaris yang merupakan bagian
dari laporan penerapan Tata Kelola
Perusahaan yang Baik.
21
Anggota Dewan Komisaris Lembaga
Penjamin menyelenggarakan rapat
Dewan Komisaris paling sedikit 1
(satu) kali dalam 3 (tiga) bulan.
22
Anggota Dewan Komisaris
menghadiri rapat Dewan Komisaris
paling sedikit 75% (tujuh puluh
lima per seratus) dari jumlah rapat
Dewan Komisaris dalam periode 1
(satu) tahun.
23
Jumlah rapat Dewan Komisaris
yang telah diselenggarakan dan
jumlah kehadiran masing-masing
anggota Dewan Komisaris dimuat
dalam laporan penerapan Tata
Kelola Perusahaan yang Baik.
3. DPS
1
DPS mampu bertindak sebagai
wakil Perusahaan Penjaminan
Syariah, Perusahaan Penjaminan
Ulang Syariah, atau Perusahaan
Penjaminan yang memiliki unit
usaha syariah pada Dewan Syariah
Nasional - Majelis Ulama Indonesia.
2
DPS mampu bertindak dengan
itikad baik, jujur, dan profesional.
3
DPS mampu bertindak untuk
kepentingan Perusahaan
Penjaminan Syariah, Perusahaan
Penjaminan Ulang Syariah, atau
Perusahaan Penjaminan yang
memiliki unit usaha syariah
dan/atau pemangku kepentingan
lainnya.
4
DPS mampu mendahulukan
kepentingan Perusahaan
Penjaminan Syariah, Perusahaan
Penjaminan Ulang Syariah, atau
Perusahaan Penjaminan yang
memiliki unit usaha syariah
dan/atau pemangku kepentingan
lainnya daripada kepentingan
pribadi.
5
DPS mampu mengambil keputusan
berdasarkan penilaian yang
independen dan objektif untuk
kepentingan Perusahaan
Penjaminan Syariah, Perusahaan
Penjaminan Ulang Syariah, atau
Perusahaan Penjaminan yang
memiliki unit usaha syariah
dan/atau pemangku kepentingan
lainnya.
6
DPS mampu menghindarkan
penyalahgunaan kewenangan
untuk mendapat keuntungan
pribadi yang tidak semestinya atau
menyebabkan kerugian bagi
Perusahaan Penjaminan Syariah,
Perusahaan Penjaminan Ulang
Syariah, atau Perusahaan
Penjaminan yang memiliki unit
usaha syariah.
1
Sangat
Sesuai
2
Sesuai
3
Cukup
Sesuai
4
Kurang
Sesuai
5
Tidak Sesuai
Skor
Ya
Tidak
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
A. Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Direksi, Dewan Komisaris, dan DPS
Kriteria/Indikator Penilaian
No
Pernyataan/Pertanyaan
7
DPS mampu menjamin
pengambilan keputusan yang
efektif, tepat, dan cepat, serta
bertindak secara independen, tidak
mempunyai kepentingan yang
dapat mengganggu kemampuannya
untuk melaksanakan tugas secara
mandiri dan objektif.
8
DPS mampu melaksanakan tugas
pengawasan dan pemberian nasihat
serta saran kepada Direksi agar
kegiatan Perusahaan Penjaminan
Syariah, Perusahaan Penjaminan
Ulang Syariah, atau Perusahaan
Penjaminan yang memiliki unit
usaha syariah sesuai dengan
prinsip syariah.
9
Risalah rapat yang merupakan
keputusan bersama seluruh
anggota DPS telah
didokumentasikan dengan baik.
10
Keputusan DPS telah dituangkan
ke dalam risalah rapat, termasuk
perbedaan pendapat (dissenting
opinions ) yang terjadi secara jelas.
11
Anggota DPS mampu untuk tidak
melakukan transaksi yang
mempunyai benturan kepentingan
dengan kegiatan Perusahaan
Penjaminan Syariah, Perusahaan
Penjaminan Ulang Syariah, dan
unit usaha syariah tempat anggota
DPS dimaksud menjabat.
12
Anggota DPS mampu untuk tidak
memanfaatkan jabatannya untuk
kepentingan pribadi, keluarga,
dan/atau pihak lain yang
mengurangi aset atau mengurangi
keuntungan mengurangi
keuntungan Perusahaan
Penjaminan Syariah, Perusahaan
Penjaminan Ulang Syariah, dan
unit usaha syariah tempat dimana
anggota DPS dimaksud menjabat.
13
Anggota DPS tidak mengambil
dan/atau menerima keuntungan
pribadi dari Perusahaan
Penjaminan Syariah, Perusahaan
Penjaminan Ulang Syariah, dan
unit usaha syariah tempat dimana
anggota DPS dimaksud menjabat
selain remunerasi dan fasilitas
lainnya yang ditetapkan
berdasarkan RUPS.
14
DPS meminta penjelasan kepada
anggota Direksi atas kebijakan atau
tindakan anggota Direksi yang
tidak sesuai dengan Prinsip Syariah
menyangkut kegiatan Pembiayaan
Syariah, akad Pembiayaan Syariah
yang dipasarkan oleh Perusahaan
Penjaminan Syariah, Perusahaan
Penjaminan Ulang Syariah, dan
unit usaha syariah, dan praktik
pemasaran pembiayaan syariah
yang dilakukan oleh Perusahaan
Penjaminan Syariah, Perusahaan
Penjaminan Ulang Syariah, dan
unit usaha syariah.
1
Sangat
Sesuai
2
Sesuai
3
Cukup
Sesuai
4
Kurang
Sesuai
5
Tidak Sesuai
Skor
Ya
Tidak
0
0
0
0
0
0
0
0
A. Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Direksi, Dewan Komisaris, dan DPS
Kriteria/Indikator Penilaian
No
Pernyataan/Pertanyaan
15
DPS melaporkan secara lengkap
dan komprehensif kepada Otoritas
Jasa Keuangan dan ditembuskan
kepada Direksi sejak penjelasan
anggota Direksi diterima oleh DPS
terkait penolakan Direksi atas hasil
penilaian DPS terhadap penerapan
prinsip syariah oleh Direksi.
16
DPS dengan segera melaporkan
secara lengkap dan komprehensif
kepada Otoritas Jasa Keuangan
dan ditembuskan kepada Direksi
sejak diketahui anggota Direksi
tidak melakukan upaya perbaikan
sebagaimana yang dimintakan DPS
agar sesuai dengan prinsip syariah.
1
Sangat
Sesuai
2
Sesuai
3
Cukup
Sesuai
4
Kurang
Sesuai
5
Tidak Sesuai
Skor
Ya
Tidak
0
0
17
18
DPS diangkat oleh RUPS atas
rekomendasi Dewan Syariah
Nasional – Majelis Ulama Indonesia.
0
Pengangkatan DPS oleh RUPS
dituangkan dalam akta notaris.
19
Anggota DPS memberikan
rekomendasi terhadap pelaksanaan
tugas Direksi terkait aspek syariah
terhadap kegiatan operasional
Perusahaan Penjaminan Syariah,
Perusahaan Penjaminan Ulang
Syariah, dan unit usaha syariah.
20
Anggota DPS tidak memiliki
rangkap jabatan sebagai anggota
Direksi, anggota Dewan Komisaris,
atau anggota DPS pada lebih dari 4
(empat) lembaga keuangan syariah
lainnya.
21
DPS melaksanakan pengawasan
dan memberikan nasihat dan saran
terkait kegiatan kegiatan
penjaminan syariah dan
penjaminan ulang syariah.
22
DPS melaksanakan pengawasan
dan memberikan nasihat dan saran
terkait akad penjaminan syariah
dan penjaminan ulang syariah yang
dipasarkan oleh Perusahaan
Penjaminan Syariah, Perusahaan
Penjaminan Ulang Syariah, dan
unit usaha syariah.
23
DPS melaksanakan pengawasan
dan memberikan nasihat dan saran
terkait praktik pemasaran
penjaminan syariah dan
penjaminan ulang syariah yang
dilakukan oleh Perusahaan
Penjaminan Syariah, Perusahaan
Penjaminan Ulang Syariah, dan
unit usaha syariah.
24
Dalam pelaksanaan tugas, DPS
dibantu oleh anggota komite
dan/atau pegawai yang struktur
organisasinya berada di bawah
Dewan Komisaris dan/atau Direksi.
25
Anggota DPS memperoleh informasi
dari Direksi mengenai praktik
pemasaran penjaminan syariah dan
penjaminan ulang syariah yang
dilakukan oleh Perusahaan
Penjaminan Syariah, Perusahaan
Penjaminan Ulang Syariah, dan
unit usaha syariah secara lengkap
dan tepat waktu.
26
Anggota DPS menyelenggarakan
rapat secara berkala paling sedikit
4 (empat) kali dalam 1 (satu) tahun.
0
0
0
0
0
0
0
0
0
A. Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Direksi, Dewan Komisaris, dan DPS
Kriteria/Indikator Penilaian
No
Pernyataan/Pertanyaan
27
Hasil rapat anggota DPS
dituangkan dalam risalah rapat
DPS.
28
Jumlah rapat DPS yang telah
diselenggarakan dan jumlah
kehadiran masing-masing anggota
DPS dimuat dalam laporan
penerapan Tata Kelola Perusahaan
yang Baik.
Jumlah Skor Indikator
Total Indikator
Bobot
Nilai Faktor
1
Sangat
Sesuai
2
Sesuai
3
Cukup
Sesuai
4
Kurang
Sesuai
5
Tidak Sesuai
Skor
Ya
Tidak
0
0
-
81
35,00
-
B.1. Kelengkapan dan pelaksanaan tugas komite audit atau fungsi yang membantu Dewan Komisaris
No
Pernyataan/Pertanyaan
1
Sangat
Sesuai
2
Sesuai
Kriteria/ Indikator Penilaian
3
4
Cukup
Sesuai
Kurang
Sesuai
5
Tidak Sesuai
Ya
Tidak
a. Bagi Lembaga Penjamin yang memiliki wilayah operasional nasional atau provinsi atau terdapat kepemilikan asing
1
Komisaris Independen tidak mempunyai
hubungan afiliasi dengan anggota Direksi,
anggota Dewan Komisaris, anggota DPS, atau
pemegang saham Lembaga Penjamin, dalam
Lembaga Penjamin yang sama.
2
Komisaris Independen tidak pernah menjadi
anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris,
anggota DPS atau menduduki jabatan 1 (satu)
tingkat di bawah Direksi pada Lembaga Penjamin
yang sama atau badan usaha lain yang memiliki
hubungan afiliasi dengan Lembaga Penjamin
tersebut dalam kurun waktu 6 (enam) bulan
terakhir.
3
Komisaris Independen memahami peraturan
perundang-undangan di bidang penjaminan,
penjaminan syariah, penjaminan ulang, dan/atau
penjaminan ulang syariah dan peraturan
perundang-undangan lain yang relevan.
4
Komisaris Independen memiliki pengetahuan
yang baik mengenai kondisi keuangan Lembaga
Penjamin tempat Komisaris Independen dimaksud
menjabat.
5
Komisaris Independen mampu menjalankan tugas
pokok melakukan fungsi pengawasan untuk
menyuarakan kepentingan terjamin, penerima
jaminan, dan pemangku kepentingan lainnya.
6 Lembaga Penjamin memiliki komite audit.
7
8
9
Anggota komite audit memiliki keahlian dalam
pelaksanaan tugas.
Komite audit mampu membantu Dewan
Komisaris dalam memantau dan memastikan
efektivitas sistem pengendalian internal.
Komite audit mampu membantu Dewan
Komisaris dalam memantau dan memastikan
efektivitas pelaksanaan tugas auditor internal dan
auditor eksternal.
10
Komite audit mampu membantu Dewan
Komisaris dalam melakukan pemantauan dan
evaluasi atas perencanaan dan pelaksanaan audit
dalam rangka menilai kecukupan pengendalian
internal termasuk proses pelaporan keuangan.
11 Komite audit secara rutin melakukan rapat.
12
Lembaga Penjamin memiliki Komisaris
Independen.
13
14
15
Komisaris Independen berkewarganegaraan
Indonesia.
Komisaris Independen berdomisili di
Indonesia.
Komisaris Independen melaporkan kepada
Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 10
(sepuluh) hari kalender sejak ditemukannya
pelanggaran peraturan perundang-undangan di
bidang penjaminan.
16
17
18
19
Lembaga Penjamin mengungkapkan kepada
Otoritas Jasa Keuangan terkait pengunduran diri
Komisaris Independen.
Komisaris Independen yang mengundurkan diri
menyampaikan alasan terkait pengunduran diri
kepada Otoritas Jasa Keuangan.
Lembaga Penjamin mengungkapkan kepada
Otoritas Jasa Keuangan terkait pemberhentian
Komisaris Independen.
Lembaga Penjamin menyampaikan alasan
pemberhentian Komisaris Independen Kepada
Otoritas Jasa Keuangan.
20
Komisaris Independen melaporkan kepada
Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 10
(sepuluh) hari kalender sejak ditemukannya
keadaan atau perkiraan keadaan yang dapat
membahayakan kelangsungan usaha Lembaga
Penjamin.
21
Komisaris Independen merupakan ketua komite
audit.
22 Perusahaan memiliki struktur komite.
23 Komite audit memiliki program kerja komite.
24
Komite audit melaporkan realisasi terkait program
kerja komite kepada Komisaris Independen.
Jumlah Skor Indikator
Total Indikator
Bobot
Nilai Faktor
Skor
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
-
24
5,00
-
B.2. Kelengkapan dan pelaksanaan tugas komite audit atau fungsi yang membantu Dewan Komisaris
No
Pernyataan/Pertanyaan
1
Sangat
Sesuai
2
Sesuai
Kriteria/Indikator Penilaian
5
4
Kurang
Sesuai
Tidak
Sesuai
Ya
Tidak
3
Skor
Cukup
Sesuai
b. Bagi Lembaga Penjamin yang memiliki wilayah operasional kabupaten
1
Satuan kerja atau pegawai yang
memantau pelaksanaan audit bersifat
independen.
2
Satuan kerja atau pegawai mampu
membantu Dewan Komisaris dalam
memantau dan memastikan efektivitas
sistem pengendalian internal.
3
Satuan kerja atau pegawai yang
mampu membantu Dewan Komisaris
dalam memantau dan memastikan
efektivitas pelaksanaan tugas auditor
internal dan auditor eksternal.
4
Satuan kerja atau pegawai mampu
membantu Dewan Komisaris dalam
melakukan pemantauan dan evaluasi
atas perencanaan dan pelaksanaan
audit dalam rangka menilai kecukupan
pengendalian internal termasuk proses
pelaporan keuangan.
5
6
Satuan kerja atau pegawai yang
memantau pelaksanaan audit secara
rutin melakukan rapat.
Lembaga Penjamin memiliki fungsi
yang membantu Dewan Komisaris
dalam memantau pelaksanaan audit.
7
Satuan kerja atau pegawai yang
memantau pelaksanaan audit memiliki
struktur.
8
9
Satuan kerja atau pegawai yang
memantau pelaksanaan audit memiliki
keahlian dalam pelaksanaan tugas.
Satuan kerja atau pegawai yang
memantau pelaksanaan audit memiliki
program kerja.
10
Satuan kerja atau pegawai yang
memantau pelaksanaan audit
melaporkan realisasi terkait program
kerja kepada Dewan Komisaris.
Jumlah Skor Indikator
Total Indikator
Bobot
Nilai Faktor
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
-
10
5,00
-
C. Penerapan fungsi kepatuhan, auditor internal, dan auditor eksternal
No
Pernyataan/Pertanyaan
1
Sangat
Sesuai
1
Anggota Direksi yang membawahkan fungsi kepatuhan mampu
memastikan bahwa kebijakan, ketentuan, sistem dan prosedur,
serta kegiatan usaha yang dilakukan oleh Lembaga Penjamin
telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
2
Anggota Direksi yang membawahkan fungsi kepatuhan mampu
memastikan kepatuhan Lembaga Penjamin terhadap komitmen
yang dibuat Lembaga Penjamin kepada Otoritas Jasa Keuangan
dan/atau otoritas pengawas lain yang berwenang.
3
Satuan kerja atau pegawai yang melaksanakan fungsi
kepatuhan membantu Direksi dalam memastikan kepatutan
Lembaga Penjamin terhadap peraturan perundang-undangan di
bidang usaha penjaminan dan peraturan perundang-undangan
lainnya.
4
5
6
Satuan kerja atau pegawai yang melaksanakan fungsi
kepatuhan mampu mempertanggungjawabkan pelaksanaan
tugas kepada anggota direksi yang membawahkan fungsi
kepatuhan.
Lembaga Penjamin memiliki anggota Direksi yang
membawahkan fungsi kepatuhan.
Perusahaan memiliki satuan kerja atau pegawai yang
melaksanakan fungsi kepatuhan.
2. Fungsi auditor internal
1 Perusahan memiliki auditor internal.
2 Auditor internal memiliki ruang lingkup pekerjaan audit.
3 Auditor internal memiliki struktur organisasi.
4 Auditor internal bersifat independen.
5
Auditor internal melaporkan hasil pelaksanaan tugas audit
internal.
3. Fungsi auditor eksternal
1 Perusahaan menggunakan jasa auditor eksternal.
2 Auditor eksternal diajukan oleh Dewan Komisaris.
3 Auditor eksternal ditunjuk oleh RUPS.
4 Auditor eksternal terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan.
5
Lembaga Penjamin menyediakan semua catatan akuntansi dan
data penunjang yang diperlukan bagi auditor eksternal.
6 Auditor eksternal bersifat independen.
7
Lembaga Penjamin membatasi penggunaan jasa audit atas
informasi keuangan historis tahunan dari auditor eksternal
yang sama paling lama untuk periode audit selama 3 (tiga) tahun
buku pelaporan secara berturut-turut.
Jumlah Skor Indikator
Total Indikator
Bobot
Nilai Faktor
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
2
Sesuai
Kriteria/Indikator Penilaian
5
4
Kurang
Sesuai
Tidak
Sesuai
Ya
Tidak
3
Cukup
Sesuai
1. Fungsi kepatuhan
0
Skor
0
0
0
0
0
-
18
7,50
-
D. Penerapan manajemen risiko, sistem pengendalian internal, dan penerapan tata kelola teknologi informasi
No
Pertanyaan/Pernyataan
1
Sangat
Sesuai
1 Direksi dan Dewan Komisaris Lembaga Penjamin
memahami risiko yang dihadapi Lembaga
Penjamin.
2 Direksi dan Dewan Komisaris Lembaga Penjamin
memberikan arahan yang jelas terkait penerapan
manajemen risiko.
3 Direksi dan Dewan Komisaris Lembaga Penjamin
melakukan pengawasan dan mitigasi risiko secara
aktif.
4 Direksi dan Dewan Komisaris Lembaga Penjamin
mengembangkan budaya manajemen risiko di
Lembaga Penjamin.
5 Direksi dan Dewan Komisaris Lembaga Penjamin
memastikan ketersediaan struktur organisasi yang
memadai.
6 Direksi dan Dewan Komisaris Lembaga Penjamin
menetapkan tugas dan tanggung jawab yang jelas
pada masing-masing satuan kerja.
7 Direksi dan Dewan Komisaris Lembaga Penjamin
memastikan kecukupan kuantitas dan kualitas
sumber daya manusia untuk mendukung
penerapan manajemen risiko secara efektif.
2. Kecukupan kebijakan, prosedur, dan penetapan limit risiko
1 Penerapan manajemen risiko Lembaga Penjamin
sejalan dengan visi, misi, strategi bisnis Lembaga
Penjamin.
2 Penerapan manajemen risiko Lembaga Penjamin
memperhatikan kecukupan kebijakan dalam
pengelolaan risiko.
3 Lembaga Penjamin memiliki prosedur dan proses
untuk menerapkan kebijakan manajemen risiko.
4 Penerapan manajemen risiko Lembaga Penjamin
memperhatikan penetapan limit risiko dalam
pengelolaan risiko.
3. Kecukupan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan pengendalian risiko
1 Lembaga Penjamin melakukan identifikasi seluruh
risiko secara berkala.
2 Lembaga Penjamin memiliki metode atau sistem
untuk melakukan identifikasi risiko pada seluruh
kegiatan usaha dan aktivitas bisnis perusahaan.
3 Lembaga Penjamin melakukan pengukuran risiko
secara berkala.
4 Lembaga Penjamin memiliki sistem dan prosedur
pemantauan risiko.
5 Lembaga Penjamin memiliki metode pengendalian
atas risiko yang sesuai dengan eksposur risiko
maupun tingkat risiko yang akan diambil dan
toleransi risiko.
6 Penerapan manajemen risiko Lembaga Penjamin
memperhatikan kecukupan proses identifikasi
dalam pengelolaan risiko.
7 Penerapan manajemen risiko Lembaga Penjamin
memperhatikan pengukuran dalam pengelolaan
risiko.
8 Penerapan manajemen risiko Lembaga Penjamin
memperhatikan pemantauan dan pengendalian
risiko.
4. Sistem informasi manajemen risiko
1 Lembaga Penjamin memiliki sistem informasi
manajemen risiko yang sesuai dengan
karakteristik, kegiatan dan kompleksitas kegiatan
usaha perusahaan.
2 Sistem informasi manajemen risiko yang dimiliki
Lembaga Penjamin mampu mendukung
mendukung pelaksanaan proses identifikasi,
pengukuran, pemantauan, dan pengendalian
risiko.
3 Sistem informasi manajemen risiko mampu
memastikan tersedianya informasi yang akurat,
lengkap, informatif, tepat waktu, dan dapat
diandalkan agar dapat digunakan Direksi, Dewan
Komisaris, dan satuan kerja yang terkait dalam
penerapan manajemen risiko.
4 Sistem informasi manajemen risiko mampu
memastikan efektivitas penerapan manajemen
risiko mencakup kebijakan, prosedur, dan
penetapan limit risiko.
5 Sistem informasi manajemen risiko mampu
memastikan tersedianya informasi tentang hasil
(realisasi) penerapan manajemen risiko
dibandingkan dengan target yang ditetapkan oleh
Lembaga Penjamin.
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
2
Sesuai
Kriteria/Indikator Penilaian
4
Kurang
Sesuai
3
Cukup
Sesuai
1. Pengawasan aktif Dewan Komisaris
0
0
0
0
0
0
5
Skor
Tidak Sesuai
Ya
Tidak
0
0
0
0
0
D. Penerapan manajemen risiko, sistem pengendalian internal, dan penerapan tata kelola teknologi informasi
No
Pertanyaan/Pernyataan
1
Sangat
Sesuai
2
Sesuai
Kriteria/Indikator Penilaian
4
Kurang
Sesuai
3
Cukup
Sesuai
5
Skor
Tidak Sesuai
5. Sistem pengendalian intern yang menyeluruh
1 Lembaga Penjamin melaksanakan sistem
pengendalian intern secara efektif dalam
penerapan manajemen risiko Lembaga Penjamin.
2 Sistem pengendalian intern yang menyeluruh
memperhatikan mekanisme pelaporan dalam hal
terjadi penyimpangan.
6. Tata kelola teknologi informasi
1 Lembaga Penjamin menerapkan tata kelola
teknologi informasi yang efektif.
2 Lembaga Penjamin memiliki struktur organisasi
sistem informasi.
3 Lembaga Penjamin memiliki pedoman penggunaan
sistem informasi yang dilengkapi dengan instruksi
atau perintah kerja untuk setiap fungsi.
4 Lembaga Penjamin memiliki pedoman manajemen
pengamanan data dan insiden (disaster recovery
plan).
Jumlah Skor Indikator
Total Indikator
Bobot
Nilai Faktor
0
0
0
0
0
Ya
Tidak
0
-
30
10,00
-
`
E. Penerapan kebijakan remunerasi dan fasilitas lain
Kriteria/Indikator Penilaian
No
Pertanyaan/Pernyataan
1
Sangat
Sesuai
2
Sesuai
3
Cukup
Sesuai
4
Kurang
Sesuai
5
Tidak
Sesuai
Ya
Tidak
1. Pengungkapan mengenai kebijakan remunerasi dan fasilitas lain bagi anggota Direksi, Dewan Komisaris, dan DPS
1 Lembaga Penjamin menerapkan kebijakan
remunerasi bagi anggota Direksi, anggota Dewan
Komisaris, DPS, dan pegawai yang mendorong
perilaku berdasarkan prinsip kehati-hatian (prudent
behaviour) yang sejalan dengan kepentingan jangka
panjang Lembaga Penjamin dan perlakuan adil
terhadap terjamin, penjamin, penerima jaminan
dan/atau pemangku kepentingan lainnya.
2 Kebijakan remunerasi memperhatikan kinerja
keuangan dan pemenuhan kewajiban Lembaga
Penjamin sebagaimana diatur dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
3 Kebijakan remunerasi memperhatikan prestasi kerja
individual.
4 Kebijakan remunerasi memperhatikan kewajaran
dengan Lembaga Penjamin dan/atau level jabatan
yang setara (peer group ).
5 Kebijakan remunerasi memperhatikan pertimbangan
sasaran dan strategi jangka panjang Lembaga
Penjamin.
6 Anggota Direksi, Dewan Komisaris, dan DPS
menerima remunerasi dalam bentuk non natura.
7 Anggota Direksi, Dewan Komisaris, dan DPS
menerima remunerasi dalam bentuk natura.
2. Pengungkapan paket atau kebijakan remunerasi dalam 1 (satu) tahun
1 Paket atau kebijakan remunerasi dan fasilitas lain
bagi anggota Direksi, Dewan Komisaris, dan DPS
yang ditetapkan RUPS.
2 Remunerasi dan fasilitas lain bagi seluruh anggota
Direksi, Dewan Komisaris, dan DPS paling sedikit
mencakup jumlah anggota Direksi, jumlah anggota
Dewan Komisaris, jumlah anggota DPS, dan jumlah
seluruh kebijakan remunerasi dan fasilitas lain.
3 Jumlah anggota Direksi, Dewan Komisaris, dan DPS
yang menerima paket remunerasi dalam 1 (satu)
tahun yang dikelompokkan sesuai tingkat
penghasilan.
3. Rasio gaji tertinggi dan terendah
1 Perusahaan menyampaikan rasio perbandingan gaji
tertinggi dan terendah.
Jumlah Skor Indikator
Total Indikator
Bobot
Nilai Faktor
0
-
11
2,50
-
0
Skor
0
0
0
0
0
0
0
0
0
F. Transparansi kondisi keuangan dan non keuangan Perusahaan
No
Pertanyaan/Pernyataan
1 Lembaga Penjamin melaksanakan
transparansi kondisi keuangan dan
non keuangan kepada pemangku
kepentingan.
2 Lembaga Penjamin memberikan data
dan informasi kepada Otoritas Jasa
Keuangan secara lengkap dan tepat
waktu.
3 Lembaga Penjamin menjelaskan
perjanjian transaksi penjaminan serta
hak dan kewajiban pemangku
kepentingan dalam setiap transaksi
penjaminan.
4 Lembaga Penjamin memiliki sistem
pelaporan keuangan yang diandalkan
untuk keperluan pengawasan dan
pemangku kepentingan lain.
5 Lembaga Penjamin melakukan promosi
tentang jasa penjaminan.
6 Lembaga Penjamin secara transparan
menyampaikan tata cara pengaduan
dan penyelesaian sengketa kepada
pemangku kepentingan.
Jumlah Skor Indikator
Total Indikator
Bobot
Nilai Faktor
1
Sangat
Sesuai
2
Sesuai
Kriteria/Indikator Penilaian
5
4
Kurang
Sesuai
Tidak
Sesuai
Ya
Tidak
0
3
Cukup
Sesuai
Skor
0
0
0
0
0
-
6
15,00
-
G. Rencana jangka panjang serta rencana kerja dan anggaran tahunan
Kriteria/Indikator Penilaian
No
Pertanyaan/Pernyataan
1 Lembaga Penjamin menyusun rencana
jangka panjang Lembaga Penjamin.
2 Lembaga Penjamin menyusun rencana
kerja Lembaga Penjamin
3 Lembaga Penjamin menyusun
anggaran tahunan Lembaga Penjamin.
4 Rencana jangka panjang serta rencana
kerja dan anggaran tahunan Lembaga
Penjamin disampaikan kepada Otoritas
Jasa Keuangan.
Jumlah Skor Indikator
Total Indikator
Bobot
Nilai Faktor
1
Sangat
Sesuai
2
Sesuai
3
Cukup
Sesuai
4
Kurang
Sesuai
5
Tidak
Sesuai
Ya
Tidak
0
0
0
0
Skor
-
4
7,50
-
H. Pengungkapan kepemilikan saham anggota Direksi dan Dewan Komisaris yang mencapai 5% (lima per seratus) atau lebih
No
Pertanyaan/Pernyataan
1 Lembaga Penjamin melaporkan
kepemilikan saham anggota Direksi,
Dewan Komisaris, dan DPS yang
mencapai 5% (lima per seratus) atau
lebih pada Lembaga Penjamin.
2 Lembaga Penjamin melaporkan
kepemilikan saham anggota Direksi,
Dewan Komisaris, dan DPS yang
mencapai 5% (lima per seratus) atau
lebih pada Lembaga Penjamin lain.
3 Lembaga Penjamin melaporkan
kepemilikan saham anggota Direksi,
Dewan Komisaris, dan DPS yang
mencapai 5% (lima per seratus) atau
lebih pada perusahaan jasa keuangan
selain Lembaga Penjamin.
4 Lembaga Penjamin melaporkan
kepemilikan saham anggota Direksi,
Dewan Komisaris, dan DPS yang
mencapai 5% (lima per seratus) atau
lebih pada Lembaga Penjamin lainnya
yang berkedudukan di dalam maupun
di luar negeri, termasuk saham yang
diperoleh melalui bursa efek.
Jumlah Skor Indikator
Total Indikator
Bobot
Nilai Faktor
1
Sangat
Sesuai
2
Sesuai
Kriteria/Indikator Penilaian
5
4
Kurang
Sesuai
Tidak
Sesuai
Ya
Tidak
3
Cukup
Sesuai
0
Skor
0
0
0
-
4
2,50
-
I. Hubungan keuangan dan hubungan keluarga bagi Direksi, Dewan Komisaris, dan DPS
No
Pertanyaan/Pernyataan
1 Lembaga Penjamin melaporkan
hubungan keuangan anggota Direksi
dengan anggota Direksi lain, anggota
Dewan Komisaris, anggota DPS,
dan/atau pemegang saham Lembaga
Penjamin tempat anggota Direksi
dimaksud menjabat.
2 Lembaga Penjamin melaporkan
hubungan keluarga anggota Direksi
dengan anggota Direksi lain, anggota
Dewan Komisaris, anggota DPS,
dan/atau pemegang saham Lembaga
Penjamin tempat anggota Direksi
dimaksud menjabat.
3 Lembaga Penjamin melaporkan
hubungan keuangan anggota Dewan
Komisaris dengan anggota Dewan
Komisaris lain, anggota Direksi, DPS,
dan/atau pemegang saham Lembaga
Penjamin tempat anggota Dewan
Komisaris dimaksud menjabat.
4 Lembaga Penjamin melaporkan
hubungan keluarga anggota Dewan
Komisaris dengan anggota Dewan
Komisaris lain, anggota Direksi, DPS,
dan/atau pemegang saham Lembaga
Penjamin tempat anggota Dewan
Komisaris dimaksud menjabat.
5 Lembaga Penjamin melaporkan
hubungan keuangan anggota DPS
dengan anggota DPS lain, anggota
Direksi, anggota Dewan Komisaris,
dan/atau pemegang saham Lembaga
Penjamin tempat anggota DPS
dimaksud menjabat.
6 Lembaga Penjamin melaporkan
hubungan keluarga anggota DPS
dengan anggota DPS lain, anggota
Direksi, anggota Dewan Komisaris,
dan/atau pemegang saham Lembaga
Penjamin tempat anggota DPS
dimaksud menjabat.
Jumlah Skor Indikator
Total Indikator
Bobot
Nilai Faktor
1
Sangat
Sesuai
2
Sesuai
Kriteria/Indikator Penilaian
5
4
Kurang
Sesuai
Tidak
Sesuai
Ya
Tidak
3
Cukup
Sesuai
Skor
0
0
0
0
0
0
-
6
5,00
-
J. Pengungkapan hal-hal penting lainnya kepada Otoritas Jasa Keuangan
No
Pertanyaan/Pernyataan
1
Sangat
Sesuai
1 Lembaga Penjamin mengungkapkan
kepada Otoritas Jasa Keuangan terkait
pengunduran diri auditor eksternal.
2 Auditor eksternal yang mengundurkan
diri menyampaikan alasan terkait
pengunduran diri kepada Otoritas Jasa
Keuangan.
3 Lembaga Penjamin mengungkapkan
kepada Otoritas Jasa Keuangan terkait
pemberhentian auditor eksternal.
4 Lembaga Penjamin menyampaikan
alasan pemberhentian auditor
eksternal kepada Otoritas Jasa
Keuangan.
2. Transaksi material dengan pihak terkait
1 Lembaga Penjamin telah
mengungkapkan kepada Otoritas Jasa
Keuangan terkait transaksi material
dengan pihak lain.
3. Benturan kepentingan
1 Lembaga Penjamin telah
mengungkapkan kepada Otoritas Jasa
Keuangan terkait benturan
kepentingan yang sedang berlangsung
dengan pihak lain.
2 Lembaga Penjamin telah
mengungkapkan kepada Otoritas Jasa
Keuangan terkait transaksi Lembaga
Penjamin yang memiliki potensi
benturan kepentingan dengan Lembaga
Penjamin lain.
4. Informasi material lain mengenai Lembaga Penjamin yang terkait dengan Tata Kelola Perusahaan yang Baik
1 Tidak terdapat intervensi dari pemilik
Lembaga Penjamin.
2 Tidak terdapat perselisihan internal
dalam Lembaga Penjamin.
3 Tidak terdapat permasalahan yang
merupakan dampak dari kebijakan
remunerasi Lembaga Penjamin
5. Penyimpangan intern
1 Penyelesaian penyimpangan internal
melibatkan proses hukum.
2 Tidak terdapat penyimpangan yang
dilakukan oleh anggota Dewan
Komisaris dan anggota Direksi.
3 Tidak terdapat penyimpangan yang
dilakukan oleh pegawai tetap.
4 Tidak terdapat penyimpangan yang
dilakukan oleh pegawai tidak tetap.
5 Lembaga Penjamin menyediakan
mediasi penyelesaian terkait
penyimpangan internal.
6. Permasalahan hukum
1 Lembaga Penjamin tidak memiliki
permasalahan hukum yang merupakan
kasus perdata.
2 Lembaga Penjamin tidak memiliki
permasalahan hukum yang merupakan
kasus pidana.
7. Etika bisnis
1 Direksi, Dewan Komisaris, dan
karyawan Lembaga Penjamin mampu
untuk tidak menawarkan atau
memberikan sesuatu, baik langsung
maupun tidak langsung kepada pihak
lain, untuk mempengaruhi
pengambilan keputusan yang terkait
dengan transaksi penjaminan, dengan
melanggar ketentuan perundang-
undangan yang berlaku.
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
2
Sesuai
Kriteria/Indikator Penilaian
5
4
Kurang
Sesuai
Tidak
Sesuai
Ya
Tidak
3
Cukup
Sesuai
1. Pengunduran diri atau pemberhentian auditor eksternal
0
Skor
0
0
0
0
0
J. Pengungkapan hal-hal penting lainnya kepada Otoritas Jasa Keuangan
No
Pertanyaan/Pernyataan
2 Direksi, Dewan Komisaris, dan
karyawan perusahaan mampu untuk
tidak menerima sesuatu untuk
kepentingan pribadinya dengan
melanggar ketentuan perundang-
undangan yang berlaku, baik langsung
maupun tidak langsung, dari
siapapun, yang dapat mempengaruhi
pengambilan keputusan yang terkait
dengan transaksi pembiayaan.
3 Lembaga Penjamin memiliki pedoman
tentang perilaku etis, yang memuat
nilai etika berusaha sebagai panduan
bagi organ Lembaga Penjamin dan
seluruh karyawan Lembaga Penjamin.
Jumlah Skor Indikator
Total Indikator
Bobot
Nilai Faktor
1
Sangat
Sesuai
2
Sesuai
Kriteria/Indikator Penilaian
5
4
Kurang
Sesuai
Tidak
Sesuai
Ya
Tidak
3
Cukup
Sesuai
Skor
0
0
-
20
10,00
-
K. Kesimpulan umum hasil penilaian secara mandiri (self assessment )
Uraian Kesimpulan Umum (Berdasarkan Hasil Skor Penilaian)
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 12 Oktober 2017
KEPALA EKSEKUTIF PENGAWAS
PERASURANSIAN, DANA PENSIUN,
LEMBAGA
PEMBIAYAAN, DAN
Salinan ini sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
LEMBAGA JASA KEUANGAN LAINNYA
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
RISWINANDI
LAMPIRAN III
SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 54 /SEOJK.05/2017
TENTANG
LAPORAN PENERAPAN TATA KELOLA PERUSAHAAN YANG BAIK
BAGI LEMBAGA PENJAMIN
- 1 -
RENCANA TINDAK (ACTION PLAN)
No.
1.
2.
3.
Dst.
Tindakan
Korektif
Target Penyelesaian
Kendala
Penyelesaian
Keterangan
Menyetujui,
DIREKSI
DEWAN KOMISARIS
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 12 Oktober 2017
KEPALA EKSEKUTIF PENGAWAS
PERASURANSIAN,
PENSIUN,
DANA
LEMBAGA
PEMBIAYAAN, DAN LEMBAGA
JASA KEUANGAN LAINNYA
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
RISWINANDI
Salinan ini sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
"," SEOJK
54/SEOJK.05/2017
LAPORAN PENERAPAN TATA KELOLA PERUSAHAAN YANG BAIK BAGI LEMBAGA PENJAMIN
12 Oktober 2017
12 Oktober 2017
'3/POJK.05/2017 | Pasal 58 ayat (6)'
"
" Yth.
1. Direksi Bank;
2. Direksi Perusahaan Asuransi dan Reasuransi;
3. Direksi Perusahaan Efek; dan
4. Direksi Perusahaan Pembiayaan;
di tempat.
SALINAN
SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 14 /SEOJK.03/2015
TENTANG
PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO TERINTEGRASI
BAGI KONGLOMERASI KEUANGAN
Sehubungan dengan berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
Nomor 17/POJK.03/2014 tentang Penerapan Manajemen Risiko
Terintegrasi bagi Konglomerasi Keuangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 348, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5626), dan dalam rangka mendukung efektivitas
pelaksanaannya, perlu mengatur pedoman mengenai penerapan
manajemen risiko terintegrasi bagi konglomerasi keuangan dalam Surat
Edaran Otoritas Jasa Keuangan sebagai berikut:
I. KETENTUAN UMUM
1. Lembaga Jasa Keuangan yang selanjutnya disebut LJK adalah
lembaga yang melaksanakan kegiatan di sektor perbankan, pasar
modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan
Lembaga Jasa Keuangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang mengenai Otoritas Jasa Keuangan.
2. Konglomerasi Keuangan adalah LJK yang berada dalam satu grup
atau kelompok karena keterkaitan kepemilikan dan/atau
pengendalian.
3. Entitas Utama adalah LJK induk dari Konglomerasi Keuangan atau
LJK yang ditunjuk oleh pemegang saham pengendali Konglomerasi
Keuangan...
- 2 -
Keuangan.
4. Risiko adalah potensi kerugian akibat terjadinya suatu peristiwa
tertentu.
5. Manajemen Risiko adalah serangkaian metodologi dan prosedur
yang digunakan untuk mengidentifikasi, mengukur, memantau, dan
mengendalikan Risiko yang timbul dari seluruh kegiatan usaha
LJK.
6. Manajemen Risiko Terintegrasi adalah serangkaian metodologi dan
prosedur yang digunakan untuk mengidentifikasi, mengukur,
memantau, dan mengendalikan Risiko yang timbul dari seluruh
kegiatan usaha LJK yang tergabung dalam suatu Konglomerasi
Keuangan secara terintegrasi.
II. PEDOMAN PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO TERINTEGRASI
Konglomerasi Keuangan wajib menerapkan Manajemen Risiko
Terintegrasi secara komprehensif dan efektif, yang paling kurang
mencakup hal-hal sebagai berikut.
A. Pengawasan Direksi dan Dewan Komisaris Entitas Utama
Direksi dan Dewan Komisaris Entitas Utama bertanggung jawab
untuk memastikan penerapan Manajemen Risiko Terintegrasi dalam
Konglomerasi Keuangan. Untuk itu Direksi dan Dewan Komisaris
Entitas Utama harus memahami Risiko yang dihadapi Konglomerasi
Keuangan, mengembangkan budaya Risiko pada Konglomerasi
Keuangan, dan memastikan penerapan Manajemen Risiko pada
setiap LJK dalam Konglomerasi Keuangan.
B. Kecukupan Kebijakan, Prosedur, dan Penetapan Limit Manajemen
Risiko Terintegrasi
Penerapan Manajemen Risiko Terintegrasi yang efektif harus
didukung dengan kebijakan Manajemen Risiko Terintegrasi yang
ditetapkan secara jelas dengan memperhatikan tingkat Risiko yang
akan diambil (risk appetite) dan toleransi Risiko (risk tolerance) pada
Konglomerasi Keuangan.
C. Kecukupan Proses Identifikasi, Pengukuran, Pemantauan, dan
Pengendalian Risiko secara Terintegrasi, serta Sistem Informasi
Manajemen Risiko Terintegrasi
Identifikasi...
- 3 -
Identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan pengendalian Risiko
secara terintegrasi merupakan proses utama dari penerapan
Manajemen Risiko Terintegrasi.
Entitas Utama wajib melakukan proses identifikasi, pengukuran,
pemantauan, dan pengendalian Risiko terhadap seluruh faktor-
faktor Risiko (risk factors) yang bersifat material secara terintegrasi.
Pelaksanaan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan
pengendalian Risiko secara terintegrasi wajib didukung antara lain
oleh:
1. Sistem Informasi Manajemen Risiko Terintegrasi yang
memadai; dan
2. laporan mengenai kinerja, kondisi keuangan, dan eksposur
Risiko dari Konglomerasi Keuangan dan setiap LJK dalam
Konglomerasi Keuangan.
D. Sistem Pengendalian Intern yang Menyeluruh terhadap Penerapan
Manajemen Risiko Terintegrasi
Proses penerapan Manajemen Risiko Terintegrasi yang efektif harus
dilengkapi dengan sistem pengendalian intern yang menyeluruh.
Penerapan sistem pengendalian intern secara efektif diharapkan
dapat menjaga aset Konglomerasi Keuangan, menjamin tersedianya
pelaporan yang dapat dipercaya, meningkatkan kepatuhan terhadap
ketentuan dan peraturan perundang-undangan, serta mengurangi
Risiko terjadinya kerugian, penyimpangan dan pelanggaran aspek
kehati-hatian.
Uraian lebih lanjut mengenai Pedoman Penerapan Manajemen Risiko
Terintegrasi sebagaimana dimaksud pada Lampiran I.
III. PEDOMAN PENILAIAN PROFIL RISIKO TERINTEGRASI
A. Prinsip-prinsip Umum Penilaian Profil Risiko Terintegrasi
Dalam melakukan penilaian profil Risiko terintegrasi, perlu
memperhatikan prinsip-prinsip utama dalam proses penilaian
sebagai berikut:
1. Agregasi Risiko
Penilaian Risiko didasarkan pada Risiko yang terdapat dalam
Konglomerasi Keuangan secara menyeluruh (agregasi dari
Risiko...
- 4 -
Risiko yang ada) dengan memperhatikan dampak yang
ditimbulkan terhadap kondisi Konglomerasi Keuangan. Hal ini
dilakukan dengan cara mengidentifikasi faktor internal dan
eksternal yang dapat meningkatkan Risiko atau mempengaruhi
kondisi Konglomerasi Keuangan pada saat ini dan masa yang
akan datang.
2. Holistik
Penilaian Risiko dilakukan dengan melihat keterkaitan antara
satu faktor dengan faktor lainnya (holistik) sehingga diperoleh
kesimpulan yang memberikan gambaran mengenai Risiko
Konglomerasi Keuangan secara keseluruhan.
3. Signifikansi/Materialitas dan Proporsionalitas
Penilaian Risiko dilakukan dengan memperhatikan
signifikansi/materialitas Risiko secara proporsional pada
Konglomerasi Keuangan secara keseluruhan, termasuk pada
LJK dalam Konglomerasi Keuangan, dengan memperhatikan
struktur, karakteristik, dan kompleksitas dari Konglomerasi
Keuangan.
4. Komprehensif dan Terstruktur
Penilaian Risiko dilakukan dengan analisis mendalam dengan
memperhatikan faktor-faktor penilaian secara luas, lengkap,
dan utuh (komprehensif). Proses analisis untuk penilaian
dilakukan dengan didukung fakta-fakta yang relevan dan
pengaruhnya terhadap Risiko dan kondisi Konglomerasi
Keuangan dengan memperhatikan tingkat dan kecenderungan
permasalahan. Untuk kemudian diinformasikan secara
terstruktur dengan mengemukakan fakta, hasil analisis, dan
kesimpulan atas penilaian Risiko.
Proses penilaian profil Risiko terintegrasi merupakan penilaian
terhadap 10 (sepuluh) jenis Risiko berdasarkan Risiko inheren dan
Kualitas Penerapan Manajemen Risiko (KPMR) terintegrasi.
Kesepuluh jenis Risiko tersebut adalah Risiko kredit, Risiko pasar,
Risiko likuiditas, Risiko operasional, Risiko hukum, Risiko reputasi,
Risiko stratejik, Risiko kepatuhan, Risiko transaksi intra-grup, dan
Risiko asuransi. Risiko asuransi tidak wajib dikelola oleh
Konglomerasi ...
- 5 -
Konglomerasi Keuangan yang tidak memiliki perusahaan asuransi
dan/atau perusahaan reasuransi. Dari penilaian Risiko inheren dan
penilaian KPMR terintegrasi akan diperoleh peringkat profil Risiko
terintegrasi.
B. Langkah-langkah Penilaian Profil Risiko Terintegrasi
1. Penilaian dan Penetapan Tingkat Risiko Inheren
Penilaian Risiko inheren secara keseluruhan merupakan
penilaian atas Risiko yang melekat pada seluruh kegiatan
bisnis dari Konglomerasi Keuangan yang terutama bersumber
dari LJK dalam Konglomerasi Keuangan. Risiko inheren dapat
bersifat kuantitatif maupun kualitatif, yang berpotensi
mempengaruhi kondisi usaha dari Konglomerasi Keuangan
secara keseluruhan.
Karakteristik Risiko inheren dari suatu Konglomerasi Keuangan
dipengaruhi oleh faktor eksternal dan internal, antara lain
kondisi ekonomi makro, kondisi sektor industri dimana
Konglomerasi Keuangan melakukan aktivitas usaha, strategi
bisnis, dan kompleksitas produk/aktivitas dari LJK dalam
Konglomerasi Keuangan.
Dalam menilai tingkat Risiko inheren Konglomerasi Keuangan
harus memperhatikan faktor Risiko yang signifikan dari
perusahaan non keuangan dalam Konglomerasi Keuangan.
Risiko inheren dinilai sebelum mempertimbangkan KPMR
terintegrasi. Dengan demikian, untuk Konglomerasi Keuangan
dengan tingkat Risiko inheren yang sama, dapat memiliki
tingkat Risiko (net risk) yang berbeda sesuai dengan tingkat
KPMR terintegrasi Konglomerasi Keuangan.
Penilaian atas Risiko inheren dilakukan dengan
memperhatikan parameter/indikator yang bersifat kuantitatif
dan kualitatif. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam
melakukan penilaian Risiko inheren, antara lain:
a. Pemahaman mengenai Risiko Inheren
Karakteristik Risiko inheren dari suatu Konglomerasi
Keuangan ditentukan oleh faktor eksternal dan internal,
antara ...
- 6 -
antara lain strategi bisnis, karakteristik bisnis,
kompleksitas produk dan aktivitas dari LJK dalam
Konglomerasi Keuangan serta kondisi ekonomi makro.
Risiko inheren yang signifikan mempengaruhi profil Risiko
Konglomerasi Keuangan, umumnya terdapat pada bisnis
utama dari LJK yang memiliki eksposur Risiko terbesar.
Misalnya, apabila aktivitas bisnis utama LJK dalam
Konglomerasi Keuangan adalah bank maka eksposur
terbesar umumnya adalah perkreditan, dapat dikatakan
bahwa Risiko kredit akan signifikan mempengaruhi profil
Risiko Konglomerasi Keuangan. Apabila aktivitas utama
LJK dalam Konglomerasi Keuangan adalah asuransi maka
Risiko asuransi akan mempengaruhi secara signifikan
profil Risiko Konglomerasi Keuangan.
Pemahaman mengenai tingkat Risiko inheren harus
dilengkapi dengan informasi mengenai faktor eksternal
yang dapat mempengaruhi tingkat Risiko inheren, antara
lain perkembangan sektor industri, situasi ekonomi mikro
dan makro serta kebijakan Pemerintah yang dapat
mempengaruhi tingkat persaingan dan strategi LJK dalam
Konglomerasi Keuangan.
Penilaian Risiko inheren dilakukan paling sedikit dengan
menggunakan parameter yang ditetapkan untuk setiap
jenis Risiko, dan rasio atau indikator baik yang bersifat
kuantitatif maupun kualitatif.
1) Indikator Kuantitatif
Indikator kuantitatif umumnya digunakan untuk
menentukan eksposur atau volume, komposisi, dan
tren Risiko tertentu, khususnya Risiko yang dapat
dikuantifikasi seperti Risiko kredit, Risiko pasar,
Risiko likuiditas, Risiko operasional, Risiko asuransi,
dan Risiko transaksi intra-grup.
Pelaksanaan analisis dengan menggunakan indikator
kuantitatif harus dilengkapi dengan analisis indikator
kualitatif.
Indikator...
- 7 -
Indikator kuantitatif dapat bersifat ex-post dimana
permasalahan telah terjadi dan mengganggu kinerja
Konglomerasi Keuangan, maupun ex-ante dimana
permasalahan masih bersifat potensi dan apabila
tidak dimitigasi dapat menyebabkan permasalahan
aktual.
Analisis Risiko inheren harus dapat menggabungkan
berbagai indikator kuantitatif dari keseluruhan LJK
dalam
Konglomerasi Keuangan sehingga
menghasilkan agregasi dan kesimpulan yang akurat.
Dalam melakukan analisis dengan menggunakan
indikator kuantitatif berupa rasio, perlu
memperhatikan tingkat dan kecenderungan rasio
sehingga hasil analisis dapat menggambarkan Risiko
pada saat ini maupun Risiko pada masa yang akan
datang.
2) Indikator Kualitatif
Indikator kualitatif adalah aspek-aspek kualitatif yang
dapat berdampak pada tingkat Risiko inheren, antara
lain strategi bisnis, karakteristik bisnis dan produk,
kondisi dan perkembangan ekonomi makro, sektor
industri, atau indikator lainnya yang relevan dengan
Risiko yang dianalisis.
Indikator kualitatif lebih dominan digunakan pada
Risiko yang cenderung sulit dikuantifikasi, antara lain
Risiko stratejik, Risiko hukum, Risiko kepatuhan, dan
Risiko reputasi.
b. Penggunaan Parameter Penilaian Risiko Inheren
Dalam menilai Risiko inheren, Entitas Utama wajib
mengacu pada beberapa parameter minimum sebagaimana
diuraikan dibawah ini. Entitas Utama dapat menambah
parameter lain yang relevan dengan karakteristik dan
kompleksitas usaha Konglomerasi Keuangan dengan
memperhatikan prinsip proporsionalitas.
1) Risiko...
- 8 -
1) Risiko Kredit
Risiko kredit adalah Risiko akibat kegagalan debitur
dan/atau pihak lain dalam memenuhi kewajiban
kepada Konglomerasi Keuangan.
Untuk LJK yang melakukan kegiatan usaha
berdasarkan prinsip syariah, Risiko kredit mencakup
Risiko investasi. Yang dimaksud dengan Risiko
investasi (Equity Investment Risk) adalah Risiko akibat
LJK ikut menanggung kerugian usaha nasabah yang
dibiayai dalam pembiayaan berbasis bagi hasil baik
yang menggunakan metode net revenue sharing
maupun yang menggunakan metode profit and loss
sharing.
Dalam menilai Risiko inheren atas Risiko kredit,
parameter yang digunakan antara lain: a) Komposisi
Portofolio Aset dan Tingkat Konsentrasi; b) Kualitas
Penyediaan Dana dan Kecukupan Pencadangan; c)
Strategi Penyediaan Dana dan Sumber Timbulnya
Penyediaan Dana; dan d) Faktor Eksternal.
2) Risiko Pasar
Risiko pasar adalah Risiko akibat adanya pergerakan
variabel pasar (adverse movement) dari portofolio yang
dimiliki Konglomerasi Keuangan.
Yang dimaksud dengan “variabel pasar” adalah suku
bunga, nilai tukar, nilai komoditas, dan ekuitas.
Untuk LJK yang melakukan kegiatan usaha
berdasarkan prinsip syariah, Risiko pasar mencakup
pula Risiko imbal hasil.
Yang dimaksud dengan Risiko imbal hasil (rate of
return risk) adalah Risiko akibat perubahan tingkat
imbal hasil yang dibayarkan LJK kepada nasabah,
karena terjadi perubahan tingkat imbal hasil yang
diterima LJK dari penyaluran dana, yang dapat
mempengaruhi perilaku nasabah dana pihak ketiga
LJK.
Dalam...
- 9 -
Dalam menilai Risiko inheren atas Risiko pasar,
parameter yang digunakan antara lain: a) Volume dan
Komposisi Aset Trading, Derivatif, dan Fair Value
Option (FVO); dan b) Strategi dan Kebijakan Bisnis,
yang meliputi Karakteristik Trading, Kompleksitas
Instrumen/Produk, Volume dan Karakteristik Risiko
Suku Bunga pada Non-Trading Book.
3) Risiko Likuiditas
Risiko likuiditas adalah Risiko akibat
ketidakmampuan Konglomerasi Keuangan untuk
memenuhi kewajiban yang jatuh tempo dari sumber
pendanaan arus kas dan/atau dari aset likuid
berkualitas tinggi yang dapat diagunkan, tanpa
mengganggu aktivitas dan kondisi keuangan dari
Konglomerasi Keuangan tersebut.
Dalam menilai Risiko inheren atas Risiko likuiditas,
parameter yang digunakan antara lain: a) Komposisi
Aset, Kewajiban,
dan
c)
Transaksi Rekening
Administratif (TRA); b) Konsentrasi Aset dan
Kewajiban;
Kerentanan pada Kebutuhan
Pendanaan; dan d) Akses pada Sumber-sumber
Pendanaan.
4) Risiko Operasional
Risiko operasional adalah Risiko akibat
ketidakcukupan dan/atau tidak berfungsinya proses
internal, kesalahan manusia, kegagalan sistem,
dan/atau adanya kejadian-kejadian eksternal yang
mempengaruhi operasional Konglomerasi Keuangan.
Dalam menilai Risiko inheren atas Risiko operasional,
parameter yang digunakan antara lain: a)
Karakteristik dan Kompleksitas Bisnis; b) Sumber
Daya Manusia (SDM); c) Teknologi Informasi (TI) dan
Infrastruktur Pendukung; d) Fraud; dan e) Kejadian
Eksternal.
5) Risiko...
- 10 -
5) Risiko Hukum
Risiko hukum adalah Risiko akibat tuntutan hukum
dan/atau kelemahan aspek yuridis.
Kelemahan aspek yuridis antara lain disebabkan,
rendahnya pengetahuan/pemahaman atas hukum
dan/atau peraturan perundang-undangan, ketiadaan
peraturan perundang-undangan yang mendukung
atau kelemahan perikatan seperti tidak dipenuhinya
syarat sahnya perjanjian dan pengikatan agunan yang
tidak sempurna.
Dalam menilai Risiko inheren atas Risiko hukum,
parameter yang digunakan antara lain: a) Faktor
Litigasi; b) Faktor Kelemahan Perikatan; dan c) Faktor
Ketiadaan Peraturan Perundang-undangan.
6) Risiko Reputasi
Risiko reputasi adalah Risiko akibat menurunnya
tingkat kepercayaan
pemangku kepentingan
(stakeholder) yang bersumber dari persepsi negatif
baik terhadap LJK dalam Konglomerasi Keuangan
maupun terhadap Konglomerasi Keuangan secara
keseluruhan.
Dalam menilai Risiko inheren atas Risiko reputasi,
parameter yang digunakan antara lain: a) Pengaruh
Reputasi dari Pemilik Konglomerasi Keuangan berikut
Perusahaan-Perusahaan lainnya yang Memiliki
Hubungan Kepemilikan, Pengendalian dan/atau
Kepengurusan; b) Pelanggaran Etika Bisnis; c)
Kompleksitas Produk dan Kerjasama Bisnis LJK
dalam Konglomerasi Keuangan; d) Frekuensi,
Materialitas dan Eksposur Pemberitaan Negatif LJK
dalam Konglomerasi Keuangan; dan e) Frekuensi dan
Materialitas Keluhan Nasabah.
7) Risiko Stratejik
Risiko stratejik adalah Risiko akibat ketidaktepatan
dalam pengambilan dan/atau pelaksanaan suatu
keputusan...
- 11 -
keputusan stratejik serta
kegagalan dalam
mengantisipasi perubahan lingkungan bisnis.
Dalam menilai Risiko inheren atas Risiko stratejik,
parameter yang digunakan antara lain: a) Kesesuaian
Strategi dengan Kondisi Lingkungan Bisnis; b) Strategi
Bisnis LJK dalam Konglomerasi Keuangan; c) Posisi
Bisnis LJK dalam Konglomerasi Keuangan; dan d)
Pencapaian Rencana Bisnis LJK dalam Konglomerasi
Keuangan.
8) Risiko Kepatuhan
Risiko kepatuhan adalah Risiko akibat tidak
mematuhi dan/atau tidak melaksanakan ketentuan
dan peraturan perundang-undangan.
Dalam menilai Risiko inheren atas Risiko kepatuhan,
parameter yang digunakan antara lain: a) Jenis dan
Signifikansi Pelanggaran yang Dilakukan; b) Frekuensi
Pelanggaran yang Dilakukan atau Track Record
Kepatuhan; dan c) Pelanggaran terhadap Ketentuan
atas Transaksi Keuangan yang Sama.
9) Risiko Transaksi Intra-Grup
Risiko transaksi intra-grup adalah Risiko akibat
ketergantungan suatu entitas baik secara langsung
maupun tidak langsung terhadap entitas lainnya
dalam satu Konglomerasi Keuangan dalam rangka
pemenuhan kewajiban perjanjian tertulis maupun
perjanjian tidak tertulis yang diikuti perpindahan
dana dan/atau tidak diikuti perpindahan dana.
Dalam menilai Risiko inheren atas Risiko transaksi
intra-grup, parameter yang digunakan antara lain: a)
Komposisi Transaksi Intra-Grup dalam Konglomerasi
Keuangan; b) Dokumentasi dan Kewajaran Transaksi;
dan c) Informasi lainnya.
10) Risiko Asuransi
Risiko asuransi adalah Risiko akibat kegagalan
perusahaan asuransi memenuhi kewajiban kepada
pemegang...
- 12 -
pemegang polis sebagai akibat dari ketidakcukupan
proses seleksi Risiko (underwriting), penetapan premi
(pricing), penggunaan reasuransi, dan/atau
penanganan klaim.
Dalam menilai Risiko inheren atas Risiko asuransi,
parameter yang digunakan antara lain: a) Risiko
Teknikal; b) Dominasi Risiko Asuransi terhadap
Keseluruhan Lini Usaha; c) Bauran Risiko Produk dan
Jenis Manfaat; dan d) Struktur Reasuransi.
Entitas Utama dalam menilai Risiko inheren atas setiap
jenis Risiko tersebut di atas menggunakan parameter dan
contoh indikator Risiko inheren yang relevan dengan
berpedoman pada Matriks Jenis Risiko, Parameter dan
Indikator Penilaian Risiko Inheren sebagaimana dimaksud
pada Lampiran II.
c. Penetapan Tingkat Risiko Inheren
Dalam menetapkan tingkat Risiko inheren, Entitas Utama
harus melakukan analisis secara komprehensif dengan
menggunakan seluruh indikator kuantitatif dan kualitatif
yang relevan. Hasil analisis tersebut diharapkan dapat
secara obyektif menggambarkan tingkat Risiko inheren
pada Konglomerasi Keuangan.
Penetapan tingkat Risiko inheren untuk setiap jenis Risiko
dikategorikan dalam 5 (lima) Peringkat yaitu Peringkat 1
(Low), Peringkat 2 (Low to Moderate), Peringkat 3
(Moderate), Peringkat 4 (Moderate to High), dan Peringkat 5
(High). Penetapan tingkat Risiko inheren tersebut
berpedoman pada Matriks Penetapan Tingkat Risiko
Inheren sebagaimana dimaksud pada Lampiran III.
2. Penilaian dan Penetapan Tingkat Kualitas Penerapan
Manajemen Risiko (KPMR) Terintegrasi
Penilaian KPMR terintegrasi bertujuan untuk menilai efektivitas
penerapan Manajemen Risiko Konglomerasi Keuangan dengan
mengacu pada ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang berlaku
mengenai penerapan Manajemen Risiko Terintegrasi.
Penerapan...
- 13 -
Penerapan Manajemen Risiko Terintegrasi dari suatu
Konglomerasi Keuangan sangat bervariasi sesuai dengan
struktur, skala, kompleksitas, dan tingkat Risiko yang dapat
ditoleransi oleh Konglomerasi Keuangan. Dengan demikian,
penilaian KPMR terintegrasi perlu disesuaikan dengan struktur,
karakteristik, dan kompleksitas usaha Konglomerasi Keuangan.
Hal-hal yang harus diperhatikan Entitas Utama dalam
melakukan penilaian terhadap KPMR terintegrasi adalah
sebagai berikut:
a. Pemahaman KPMR Terintegrasi
Entitas Utama harus memahami penerapan keseluruhan
cakupan KPMR terintegrasi, yaitu: 1) Pengawasan Direksi
dan Dewan Komisaris Entitas Utama; 2) Kecukupan
Kebijakan, Prosedur, dan Penetapan Limit Manajemen
Risiko Terintegrasi; 3) Kecukupan Proses Identifikasi,
Pengukuran, Pemantauan, dan Pengendalian Risiko secara
Terintegrasi, serta Sistem Informasi Manajemen Risiko
Terintegrasi; dan 4) Sistem Pengendalian Intern yang
Menyeluruh terhadap Penerapan Manajemen Risiko
Terintegrasi.
b. Standar Kecukupan KPMR Terintegrasi
Kecukupan penerapan Manajemen Risiko Terintegrasi
sangat ditentukan oleh skala, kompleksitas, dan
karakteristik aktivitas Konglomerasi Keuangan serta
tingkat Risiko inheren Konglomerasi Keuangan. Semakin
kompleks suatu Konglomerasi Keuangan, penerapan
Manajemen Risiko Terintegrasi yang sederhana tidak
memadai lagi untuk memitigasi Risiko Konglomerasi
Keuangan. Pada umumnya, semakin besar dan kompleks
suatu Konglomerasi Keuangan, semakin tinggi standar
kecukupan KPMR terintegrasi bagi Konglomerasi
Keuangan tersebut.
c. Penetapan Tingkat KPMR Terintegrasi
Penetapan tingkat KPMR terintegrasi dilakukan secara
komprehensif dan mengidentifikasi keandalan ataupun
kelemahan-kelemahan utama pada keempat cakupan
sebagaimana...
- 14 -
sebagaimana pada huruf a.
Tingkat KPMR terintegrasi untuk setiap jenis Risiko
dikategorikan dalam 5 (lima) Peringkat yaitu Peringkat 1
(Strong); Peringkat 2 (Satisfactory); Peringkat 3 (Fair);
Peringkat 4 (Marginal); dan Peringkat 5 (Unsatisfactory).
Penetapan tingkat KPMR terintegrasi berpedoman pada
Matriks Penetapan Tingkat Kualitas Penerapan Manajemen
Risiko Terintegrasi sebagaimana dimaksud pada Lampiran
IV.
3. Penetapan Tingkat Risiko untuk Setiap Jenis Risiko
Entitas Utama menentukan tingkat Risiko yang merupakan
tingkat Risiko akhir setelah memperhitungkan tingkat KPMR
terhadap tingkat Risiko inheren. Hal ini dilakukan untuk setiap
jenis Risiko. Penetapan tingkat Risiko dilakukan dengan
mengacu pada Matriks Tingkat Risiko sebagaimana dimaksud
pada Lampiran V.
Dalam kondisi tertentu, untuk menetapkan tingkat Risiko,
Entitas Utama dapat menyesuaikan tingkat Risiko (lebih tinggi
atau lebih rendah dari tingkat Risiko sebagaimana terdapat
dalam Matriks Tingkat Risiko) dengan melakukan analisis
secara komprehensif dan terstruktur, dapat menggambarkan
tingkat Risiko yang sebenarnya.
4. Penetapan Tingkat Profil Risiko Terintegrasi
Penetapan tingkat profil Risiko terintegrasi dilakukan dengan
melakukan analisis tingkat Risiko secara keseluruhan dan
memperhatikan signifikansi tingkat Risiko untuk setiap jenis
Risiko sebagaimana dimaksud pada angka 3.
Penetapan tingkat profil Risiko terintegrasi dikategorikan dalam
5 (lima) Peringkat yaitu Peringkat 1, Peringkat 2, Peringkat 3,
Peringkat 4, dan Peringkat 5. Urutan peringkat profil Risiko
terintegrasi yang lebih kecil mencerminkan Risiko yang
semakin rendah. Penetapan tingkat profil Risiko terintegrasi
mengacu pada Peringkat Profil Risiko Terintegrasi sebagaimana
dimaksud pada Lampiran VI.
IV. PELAPORAN...
- 15 -
IV. PELAPORAN
A. Dalam rangka penerapan Manajemen Risiko Terintegrasi, Entitas
Utama wajib menyampaikan Laporan Profil Risiko Terintegrasi
secara semesteran untuk posisi akhir bulan Juni dan Desember,
yang disajikan secara komparatif dengan posisi semester
sebelumnya.
B. Laporan Profil Risiko Terintegrasi disampaikan paling lambat pada
tanggal 15 (lima belas) bulan kedua setelah berakhirnya bulan
laporan yang bersangkutan. Dengan demikian untuk laporan posisi
Juni disampaikan paling lambat tanggal 15 Agustus, sedangkan
untuk laporan posisi Desember disampaikan paling lambat tanggal
15 Februari.
C. Dalam hal tanggal 15 (lima belas) jatuh pada hari Sabtu atau
Minggu atau libur, Laporan Profil Risiko Terintegrasi disampaikan
pada hari kerja berikutnya.
D. Kewajiban penyampaian Laporan Profil Risiko Terintegrasi pertama
kali dilakukan untuk laporan sebagai berikut:
1. Posisi Juni 2015, untuk Entitas Utama yang merupakan Bank
Umum berdasarkan Kegiatan Usaha (BUKU) 4; dan
2. Posisi Desember 2015, untuk Entitas Utama berupa bank
selain Bank Umum berdasarkan Kegiatan Usaha (BUKU) 4 dan
bukan bank.
E. Laporan Profil Risiko Terintegrasi yang wajib disampaikan Entitas
Utama terdiri dari:
1. Matriks penilaian profil Risiko terintegrasi; dan
2. Penilaian analisis setiap jenis Risiko.
Penyusunan Laporan Profil Risiko Terintegrasi menggunakan format
sebagaimana dimaksud dalam Lampiran VII.
F. Laporan Profil Risiko Terintegrasi disampaikan kepada Otoritas Jasa
Keuangan dengan alamat:
1. Departemen Pengawasan yang bertanggung jawab mengawasi
LJK Entitas Utama, bagi Entitas Utama yang berkantor pusat
di wilayah kerja Kantor Pusat Otoritas Jasa Keuangan; atau
2. Kantor Regional atau Kantor Otoritas Jasa Keuangan setempat,
bagi LJK Entitas Utama yang berkantor pusat di luar wilayah
kerja...
- 16 -
kerja Kantor Pusat Otoritas Jasa Keuangan.
G. Bagi Entitas Utama berupa bank yang telah menyampaikan
Laporan Profil Risiko Terintegrasi secara berkala, bank dianggap
telah memenuhi kewajiban penyampaian Laporan Profil Risiko
Konsolidasi secara berkala sebagaimana diatur dalam ketentuan
mengenai penerapan Manajemen Risiko secara konsolidasi bagi
bank yang melakukan pengendalian terhadap perusahaan anak.
V. LAIN-LAIN
Lampiran I, Lampiran II, Lampiran III, Lampiran IV, Lampiran V,
Lampiran VI, dan Lampiran VII merupakan satu kesatuan yang tidak
terpisahkan dari Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini.
VI. PENUTUP
Ketentuan dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini mulai
berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat
Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam
Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 25 Mei 2015
KEPALA EKSEKUTIF PENGAWAS PERBANKAN
OTORITAS JASA KEUANGAN,
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum I
Departemen Hukum,
Ttd.
Ttd.
Sudarmaji
Ttd.
NELSON TAMPUBOLON
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 44 TANGGAL 1
JUNI 2015
"," SEOJK
14/SEOJK.03/2015
PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO TERINTEGRASI BAGI KONGLOMERASI KEUANGAN
25 Mei 2015
25 Mei 2015
'17/POJK.03/2014'
"
" Yth.
1. Direksi PT Penyelenggara Program Perlindungan Investor Efek Indonesia;
2. Direksi Bank Kustodian;
3. Direksi PT Bursa Efek Indonesia;
4. Direksi PT Kliring Penjaminan Efek Indonesia; dan
5. Direksi PT Kustodian Sentral Efek Indonesia,
di tempat.
SALINAN
SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 30/SEOJK.04/2015
TENTANG
IURAN KEANGGOTAN BANK KUSTODIAN
UNTUK DANA PERLINDUNGAN PEMODAL
Dalam rangka pengaturan besaran nilai iuran keanggotaan Bank
Kustodian pada Dana Perlindungan Pemodal sebagai pelaksanaan ketentuan
Pasal 5 huruf c Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor Kep-715/BL/2012
tanggal 28 Desember 2012 tentang Dana Perlindungan Pemodal, Otoritas Jasa
Keuangan perlu mengatur ketentuan mengenai iuran keanggotaan Bank
Kustodian Untuk Dana Perlindungan Pemodal dalam Surat Edaran Otoritas Jasa
Keuangan sebagai berikut:
I. KETENTUAN UMUM
Dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan:
1. Aset Pemodal adalah Efek dan harta lain yang berkaitan dengan Efek,
dan/atau dana milik Pemodal yang dititipkan pada Kustodian.
2. Dana Perlindungan Pemodal adalah kumpulan dana yang dibentuk
untuk melindungi Pemodal dari hilangnya Aset Pemodal.
3. Pemodal adalah nasabah dari Perantara Pedagang Efek yang
mengadministrasikan rekening Efek nasabah dan Bank Kustodian.
4. Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal adalah Perseroan yang telah
mendapatkan izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan untuk
menyelenggarakan dan mengelola Dana Perlindungan Pemodal.
5. Bank…
-2-
5. Bank Kustodian adalah Bank Umum yang telah mendapat persetujuan
Otoritas Jasa Keuangan untuk menyelenggarakan kegiatan sebagai
Kustodian.
6. Rasio Risiko adalah besaran risiko Bank Kustodian dibagi dengan
jumlah besaran risiko
mengadministrasikan rekening Efek nasabah dan besaran risiko Bank
Kustodian.
7. Bobot Risiko adalah persentase tingkat risiko kemungkinan
penggunaan Dana Perlindungan Pemodal untuk masing-masing jenis
risiko.
8. Faktor Risiko adalah salah satu unsur dalam penentuan besaran iuran
keanggotaan tahunan Bank Kustodian untuk Dana Perlindungan
Pemodal yang merupakan jumlah nilai risiko dikalikan dengan Bobot
Risiko.
II.
IURAN KEANGGOTAAN AWAL BANK KUSTODIAN
Iuran keanggotaan awal Bank Kustodian untuk Dana Perlindungan Pemodal
adalah sebesar Rp100.000.000,- (seratus juta rupiah) untuk masing-masing
Bank Kustodian.
III. IURAN KEANGGOTAAN TAHUNAN BANK KUSTODIAN
1. Iuran keanggotaan tahunan Bank Kustodian untuk Dana Perlindungan
Pemodal adalah jumlah seluruh Faktor Risiko dikalikan dengan 0,001%
(satu perseratus ribu) dari rata-rata bulanan total nilai Aset Pemodal
tahun sebelumnya yang dititipkan pada Bank Kustodian.
2. Besaran Faktor Risiko sebagaimana dimaksud pada angka 1 dihitung
berdasarkan jenis risiko sebagai berikut:
a. Risiko Pemodal, dihitung dengan mengalikan Nilai Risiko Pemodal
dengan Bobot risiko Pemodal.
b. Risiko Kustodian, dihitung dengan mengalikan Nilai Risiko
Kustodian dengan Bobot risiko Kustodian.
c. Risiko Aset Pemodal, dihitung dengan mengalikan Nilai Risiko Aset
Pemodal dengan Bobot risiko Aset Pemodal.
3. Penghitungan nilai risiko untuk masing-masing jenis risiko
dilaksanakan sebagai berikut:
a. Nilai risiko Pemodal merupakan rasio rata-rata bulanan jumlah
Pemodal di Bank Kustodian terhadap rata-rata bulanan jumlah
Pemodal…
Perantara Pedagang Efek yang
-3-
Pemodal di Perantara Pedagang Efek yang mengadministrasikan
rekening Efek nasabah dan Bank Kustodian.
b. Nilai risiko Kustodian merupakan rasio jumlah Bank Kustodian
terhadap
jumlah Perantara Pedagang Efek yang
mengadministrasikan rekening Efek nasabah dan Bank Kustodian.
c.
Nilai risiko Aset Pemodal merupakan rasio rata-rata bulanan nilai
Aset Pemodal di Bank Kustodian terhadap rata-rata bulanan nilai
Aset Pemodal di Perantara Pedagang Efek yang
mengadministrasikan rekening Efek nasabah dan Bank Kustodian.
4. Bobot risiko untuk masing-masing jenis risiko adalah sebagai berikut:
a. risiko Pemodal adalah sebesar 50% (lima puluh persen);
b. risiko Kustodian adalah sebesar 35% (tiga puluh lima persen); dan
c. risiko Aset Pemodal adalah sebesar 15% (lima belas persen).
5. Penghitungan Nilai Risiko menggunakan data pada tahun sebelum
tahun pembayaran iuran tahunan.
Untuk Nilai Risiko tahun 2016 menggunakan data tahun 2015, untuk
Nilai Risiko tahun 2017 menggunakan data tahun 2016, dan
seterusnya.
6. Penghitungan Nilai Risiko dilakukan hingga 2 angka di belakang koma
dengan pembulatan ke atas.
Contoh Pembulatan Dalam Penghitungan Nilai Risiko:
− Nilai Risiko sebesar 0,217 dibulatkan menjadi 0,22.
− Nilai Risiko sebesar 0,213 dibulatkan menjadi 0,22.
7. Besaran Faktor Risiko dihitung dan diterbitkan oleh Penyelenggara
Dana Perlindungan Pemodal.
8. Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal wajib menerbitkan besaran
Faktor Risiko paling lambat tanggal 15 Januari tahun berjalan.
9. Dalam hal tanggal 15 Januari sebagaimana dimaksud pada angka 8
jatuh pada hari libur, besaran Faktor Risiko wajib diterbitkan paling
lambat pada hari kerja berikutnya.
IV. PEMBAYARAN IURAN KEANGGOTAAN BANK KUSTODIAN
1. Iuran keanggotaan awal bagi Bank Kustodian sebagaimana dimaksud
pada ketentuan II wajib dibayar paling lambat tanggal 31 Januari 2016.
2. Iuran keanggotaan tahunan bagi Bank Kustodian sebagaimana
dimaksud pada ketentuan III wajib dibayar paling lambat tanggal 31
Januari tahun berjalan.
3. Iuran…
-4-
3. Iuran keanggotaan awal sebagaimana dimaksud pada ketentuan IV
angka 1 dibayar oleh Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, dan
Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian secara bersama-sama.
V. PENUTUP
Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal
ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 30 September 2015
KEPALA EKSEKUTIF PENGAWAS
PASAR MODAL,
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Sudarmaji
ttd
NURHAIDA
"," SEOJK
30/SEOJK.04/2015
IURAN KEANGGOTAN BANK KUSTODIAN UNTUK DANA PERLINDUNGAN PEMODAL
30 September 2015
30 September 2015
'KEP-715/BL/2012|KEPTA-BAPEPAM-LK/2012 | Pasal 5 huruf c'
"
" Yth.
Direksi Bank Umum Konvensional
di tempat.
SALINAN
SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 13 /SEOJK.03/2017
TENTANG
PENERAPAN TATA KELOLA BAGI BANK UMUM
Sehubungan dengan berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
Nomor 4/POJK.03/2016 tentang Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 16, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5840) dan Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan Nomor 55/POJK.03/2016 tentang Penerapan Tata Kelola Bagi
Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 286,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5980), perlu untuk
mengatur pelaksanaan Penerapan Tata Kelola Bagi Bank Umum dalam Surat
Edaran Otoritas Jasa Keuangan sebagai berikut:
I. KETENTUAN UMUM
1. Dalam rangka meningkatkan kinerja Bank, melindungi kepentingan
Pemangku Kepentingan, dan meningkatkan kepatuhan terhadap
peraturan perundang-undangan serta nilai etika yang berlaku umum
pada industri perbankan, Bank wajib melaksanakan kegiatan usaha
dengan berpedoman pada prinsip Tata Kelola yang baik sebagaimana
diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
55/POJK.03/2016 tentang Penerapan Tata Kelola Bagi Bank Umum,
yang selanjutnya disebut POJK Tata Kelola Bank Umum.
Penerapan Tata Kelola pada industri perbankan harus senantiasa
berlandaskan pada 5 (lima) prinsip dasar Tata Kelola yang baik
sebagai berikut:
a. Transparansi
(transparency)
yaitu
keterbukaan dalam
mengemukakan informasi yang material dan relevan serta
- 2 -
keterbukaan dalam melaksanakan proses pengambilan
keputusan.
b. Akuntabilitas (accountability) yaitu kejelasan fungsi dan
pelaksanaan pertanggungjawaban organ Bank sehingga
pengelolaannya berjalan secara efektif.
c. Pertanggungjawaban
(responsibility) yaitu kesesuaian
pengelolaan Bank dengan peraturan perundang-undangan dan
prinsip pengelolaan Bank yang sehat.
d.
Independensi (independency) yaitu pengelolaan Bank secara
profesional tanpa pengaruh atau tekanan dari pihak manapun.
e. Kewajaran (fairness) yaitu keadilan dan kesetaraan dalam
memenuhi hak-hak Pemangku Kepentingan yang timbul
berdasarkan perjanjian dan peraturan perundang-undangan.
2. Dalam rangka memastikan penerapan 5 (lima) prinsip dasar Tata
Kelola yang baik sebagaimana dimaksud pada angka 1, Bank harus
melakukan penilaian sendiri (self-assessment) secara berkala yang
paling sedikit meliputi 11 (sebelas) faktor penilaian penerapan Tata
Kelola yaitu:
a. pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Direksi;
b. pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Dewan Komisaris;
c. kelengkapan dan pelaksanaan tugas komite;
d. penanganan benturan kepentingan;
e. penerapan fungsi kepatuhan;
f.
penerapan fungsi audit intern;
g. penerapan fungsi audit ekstern;
h. penerapan manajemen risiko termasuk sistem pengendalian
intern;
i.
j.
penyediaan dana kepada pihak terkait (related party) dan
penyediaan dana besar (large exposure);
transparansi kondisi keuangan dan non keuangan Bank,
laporan pelaksanaan tata kelola dan pelaporan internal; dan
k. rencana strategis Bank.
- 3 -
Selain itu, perlu diperhatikan informasi lain yang terkait penerapan
Tata Kelola Bank di luar 11 (sebelas) faktor penilaian penerapan Tata
Kelola, seperti permasalahan yang timbul sebagai dampak kebijakan
remunerasi pada suatu Bank atau perselisihan intern Bank yang
mengganggu operasional dan/atau kelangsungan usaha Bank.
Sebagai contoh, penetapan bonus yang didasarkan pada pencapaian
target pada akhir tahun dengan penetapan target yang sangat tinggi
(ambisius) yang mengakibatkan dilakukan praktik tidak sehat oleh
manajemen atau pegawai Bank dalam pencapaian target tersebut.
3. Pengalaman dari krisis keuangan global mendorong perlunya
peningkatan efektivitas penerapan manajemen risiko dan Tata Kelola
agar Bank mampu mengidentifikasi permasalahan secara lebih dini,
melakukan tindak lanjut perbaikan yang tepat dan cepat, serta lebih
tahan dalam menghadapi krisis. Sehubungan dengan hal tersebut,
Otoritas Jasa Keuangan menyempurnakan metode penilaian Tingkat
Kesehatan Bank yaitu dengan menggunakan pendekatan risiko (Risk
Based Bank Rating/RBBR) baik secara individu maupun secara
konsolidasi yang antara lain mencakup penilaian faktor Tata Kelola.
Penilaian faktor Tata Kelola dalam penilaian Tingkat Kesehatan Bank
dengan menggunakan pendekatan risiko atau RBBR merupakan
pengganti dari penilaian terhadap faktor manajemen dalam penilaian
Tingkat Kesehatan Bank berdasarkan CAMELS rating.
4. Berdasarkan ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur
mengenai Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum dengan
menggunakan pendekatan risiko atau RBBR, penilaian terhadap
penerapan Tata Kelola yang berlandaskan pada 5 (lima) prinsip dasar
Tata Kelola yang baik dikelompokkan dalam suatu governance system
yang terdiri dari 3 (tiga) aspek governance, yaitu governance structure,
governance process, dan governance outcome.
5. Bank menerapkan prinsip Tata Kelola yang Baik dalam setiap
kegiatan usaha pada seluruh tingkatan atau jenjang organisasi yang
meliputi Direksi dan Dewan Komisaris sampai dengan pegawai
tingkat pelaksana.
6. Dalam penerapan Tata Kelola, diperlukan keberadaan Komisaris
Independen dan Pihak Independen untuk menghindari benturan
kepentingan (conflict of interest) dalam pelaksanaan tugas seluruh
- 4 -
tingkatan atau jenjang organisasi Bank, check and balance, serta
melindungi kepentingan Pemangku Kepentingan khususnya pemilik
dana dan pemegang saham non pengendali. Untuk mendukung
independensi dalam pelaksanaan tugas dimaksud, perlu pengaturan
mengenai masa tunggu (cooling off) bagi pihak yang akan menjadi
Pihak Independen.
7. Dalam upaya perbaikan dan peningkatan kualitas penerapan Tata
Kelola, Bank secara berkala melakukan penilaian sendiri (self-
assessment) secara komprehensif terhadap kecukupan penerapan
Tata Kelola sehingga Bank dapat segera menetapkan rencana tindak
(action plan), yang meliputi tindakan korektif (corrective action) yang
diperlukan dalam hal masih terdapat kekurangan dalam penerapan
Tata Kelola.
8. Dalam rangka penerapan prinsip transparansi (transparency)
sebagaimana dimaksud dalam butir 1.a., Bank menyampaikan
laporan pelaksanaan tata kelola dan menginformasikan pada situs
web Bank.
II. DIREKSI
1. Presiden direktur atau direktur utama berasal dari pihak yang
independen terhadap pemegang saham pengendali Bank.
Independensi presiden direktur atau direktur utama dapat dipenuhi
dalam hal yang bersangkutan tidak memiliki hubungan keuangan,
hubungan kepengurusan, hubungan kepemilikan, dan/atau
hubungan keluarga dengan pemegang saham pengendali Bank.
a. Yang dimaksud dengan pemegang saham pengendali adalah
badan hukum, orang perseorangan dan/atau kelompok usaha
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Otoritas Jasa
Keuangan yang mengatur mengenai penilaian kemampuan dan
kepatutan bagi pihak utama lembaga jasa keuangan.
Termasuk dalam pengertian pemegang saham pengendali Bank
adalah pemegang saham Bank sampai dengan ultimate
shareholders.
b. Yang dimaksud dengan memiliki hubungan keuangan adalah
dalam hal seseorang menerima penghasilan, bantuan keuangan,
dan/atau pinjaman dari pemegang saham pengendali Bank.
- 5 -
c. Yang dimaksud dengan memiliki hubungan kepengurusan
adalah dalam hal seseorang menduduki jabatan sebagai anggota
Direksi, anggota Dewan Komisaris, atau Pejabat Eksekutif pada
perusahaan pemegang saham pengendali Bank.
d. Yang dimaksud dengan memiliki hubungan kepemilikan adalah
dalam hal seseorang menjadi:
1) pemegang saham pada perusahaan pemegang saham
pengendali Bank; dan/atau
2) pemegang saham Bank bersama pemegang saham
pengendali Bank.
Kepemilikan saham Bank yang berasal dari Management Shares
Option Program (MSOP) yang besarnya tidak lebih dari 5% (lima
persen) dari modal disetor Bank, tidak termasuk dalam
hubungan kepemilikan dimaksud.
e. Yang dimaksud dengan memiliki hubungan keluarga adalah
memiliki hubungan keluarga sampai dengan derajat kedua baik
hubungan vertikal maupun hubungan horizontal, termasuk
mertua, menantu dan ipar, sehingga yang dimaksud dengan
keluarga meliputi:
1) orang tua kandung/tiri/angkat;
2) saudara kandung/tiri/angkat beserta suami atau istri;
3) anak kandung/tiri/angkat;
4) kakek atau nenek kandung/tiri/angkat;
5) cucu kandung/tiri/angkat;
6) saudara kandung/tiri/angkat dari orang tua beserta suami
atau istri;
7) suami atau istri;
8) mertua;
9) besan;
10) suami atau istri dari anak kandung/tiri/angkat;
11) kakek atau nenek dari suami atau istri;
12) suami atau istri dari cucu kandung/tiri/angkat; dan/atau
13) saudara kandung/tiri/angkat dari suami atau istri beserta
suami atau istri.
Dalam hal pemegang saham pengendali Bank berbentuk badan
hukum maka hubungan keluarga antara presiden direktur atau
- 6 -
direktur utama dengan pemegang saham pengendali Bank
dilihat dari hubungan keluarga antara seseorang dengan
pemegang saham pengendali dari badan hukum yang
merupakan pemegang saham pengendali Bank.
2. Direksi mengungkapkan kepada pegawai mengenai kebijakan Bank
yang bersifat strategis di bidang kepegawaian. Yang dimaksud dengan
kebijakan yang bersifat strategis di bidang kepegawaian, antara lain
kebijakan mengenai sistem perekrutan (recruitment), sistem promosi,
sistem remunerasi serta rencana Bank untuk melakukan efisiensi
melalui pengurangan pegawai. Pengungkapan mengenai kebijakan
tersebut harus dilakukan melalui sarana yang diketahui atau diakses
dengan mudah oleh pegawai.
3. Direksi dilarang memberikan kuasa umum kepada pihak lain yang
mengakibatkan pengalihan tugas dan fungsi Direksi sebagaimana
diatur dalam POJK Tata Kelola Bank Umum. Yang dimaksud dengan
pemberian kuasa umum adalah pemberian kuasa kepada 1 (satu)
orang karyawan atau lebih atau orang lain yang mengakibatkan
pengalihan tugas, wewenang, dan tanggung jawab Direksi secara
menyeluruh yaitu tanpa batasan ruang lingkup dan waktu.
4. Segala keputusan Direksi diambil sesuai dengan pedoman dan tata
tertib kerja, yang mengikat dan menjadi tanggung jawab seluruh
anggota Direksi. Dalam hal terjadi perbedaan pendapat (dissenting
opinion), dicantumkan secara jelas dalam risalah rapat Direksi
beserta alasan perbedaan pendapat. Terkait dengan hal tersebut,
salinan risalah rapat Direksi yang telah ditandatangani oleh seluruh
anggota Direksi yang hadir, harus didistribusikan kepada seluruh
anggota Direksi.
III. DEWAN KOMISARIS
1. Komisaris Independen ditetapkan paling sedikit 50% (lima puluh
persen) dari jumlah anggota Dewan Komisaris. Komisaris Independen
adalah anggota Dewan Komisaris yang tidak memiliki hubungan
keuangan, hubungan kepengurusan, hubungan kepemilikan,
dan/atau hubungan keluarga dengan anggota Direksi, anggota
Dewan Komisaris lain, dan/atau pemegang saham pengendali, atau
- 7 -
hubungan dengan Bank yang dapat mempengaruhi kemampuan
untuk bertindak independen.
Pengertian mengenai “memiliki hubungan keuangan, hubungan
kepengurusan, hubungan kepemilikan, dan/atau hubungan keluarga
dengan anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris lain, dan/atau
pemegang saham pengendali atau hubungan dengan Bank yang
dapat mempengaruhi kemampuan untuk bertindak independen”
adalah sebagai berikut:
a. Yang dimaksud dengan pemegang saham pengendali adalah
badan hukum, orang perseorangan, dan/atau kelompok usaha
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Otoritas Jasa
Keuangan yang mengatur mengenai penilaian kemampuan dan
kepatutan bagi pihak utama lembaga jasa keuangan.
Termasuk dalam pengertian pemegang saham pengendali Bank
adalah pemegang saham Bank sampai dengan ultimate
shareholders.
b. Yang dimaksud dengan memiliki hubungan keuangan adalah
dalam hal seseorang menerima penghasilan, bantuan keuangan,
atau pinjaman dari:
1) anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris Bank;
2) perusahaan yang pemegang saham pengendalinya adalah
anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris Bank;
dan/atau
3) pemegang saham pengendali Bank.
c. Yang dimaksud dengan memiliki hubungan kepengurusan
adalah dalam hal seseorang menduduki jabatan sebagai:
1) anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris pada
perusahaan yang anggota Dewan Komisarisnya menjadi
anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris Bank;
2) anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris pada
perusahaan yang pemegang saham pengendalinya adalah
anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris Bank;
dan/atau
- 8 -
3) anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, atau Pejabat
Eksekutif pada perusahaan pemegang saham pengendali
Bank.
d. Yang dimaksud dengan memiliki hubungan kepemilikan adalah
dalam hal seseorang menjadi pemegang saham pada:
1) perusahaan yang secara bersama-sama dimiliki oleh
anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, dan/atau
pemegang saham pengendali Bank sehingga bersama-sama
menjadi pemegang saham pengendali pada perusahaan
tersebut; dan/atau
2) perusahaan pemegang saham pengendali Bank.
e. Yang dimaksud dengan memiliki hubungan keluarga adalah
memiliki hubungan keluarga sampai dengan derajat kedua baik
hubungan vertikal maupun hubungan horizontal, termasuk
mertua, menantu dan ipar, sehingga yang dimaksud dengan
keluarga meliputi:
1) orang tua kandung/tiri/angkat;
2) saudara kandung/tiri/angkat beserta suami atau istri;
3) anak kandung/tiri/angkat;
4) kakek atau nenek kandung/tiri/angkat;
5) cucu kandung/tiri/angkat;
6) saudara kandung/tiri/angkat dari orang tua beserta suami
atau istri;
7) suami atau istri;
8) mertua;
9) besan;
10) suami atau istri dari anak kandung/tiri/angkat;
11) kakek atau nenek dari suami atau istri;
12) suami atau istri dari cucu kandung/tiri/angkat; dan/atau
13) saudara kandung/tiri/angkat dari suami atau istri beserta
suami atau istri.
Dalam hal pemegang saham pengendali Bank berbentuk badan
hukum maka hubungan keluarga antara Komisaris Independen
dengan pemegang saham pengendali Bank dilihat dari hubungan
keluarga antara seseorang dengan pemegang saham pengendali
- 9 -
dari badan hukum yang merupakan pemegang saham
pengendali Bank.
f. Yang dimaksud dengan hubungan dengan Bank yang dapat
mempengaruhi kemampuan seseorang untuk bertindak tidak
independen, adalah hubungan dalam bentuk:
1) kepemilikan saham Bank dengan jumlah kepemilikan lebih
dari 5% (lima persen) dari modal disetor Bank; dan/atau
2) menerima atau memberi penghasilan, bantuan keuangan,
atau pinjaman dari atau kepada Bank yang menyebabkan
pihak yang memberi penghasilan, bantuan keuangan atau
pinjaman memiliki kemampuan untuk mempengaruhi
(controlling influence) pihak yang menerima penghasilan,
bantuan keuangan atau pinjaman, seperti:
a) pihak terafiliasi yaitu pihak yang memberikan jasa
kepada Bank, antara lain akuntan publik, penilai,
konsultan hukum dan konsultan lain; dan/atau
b)
transaksi keuangan dengan Bank yang dapat
mempengaruhi kelangsungan usaha Bank dan/atau
pihak yang melakukan transaksi keuangan, antara lain
debitur inti, deposan inti, atau perusahaan yang
sebagian besar sumber pendanaannya diperoleh dari
Bank.
Yang dimaksud dengan debitur inti dan deposan inti
adalah debitur inti dan deposan inti sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan yang mengatur mengenai
laporan berkala bank umum.
2. Mantan anggota Direksi Bank atau mantan Pejabat Eksekutif Bank
atau pihak yang mempunyai hubungan dengan Bank, yang dapat
mempengaruhi kemampuan untuk bertindak independen, tidak
dapat menjadi Komisaris Independen pada Bank yang bersangkutan,
sebelum menjalani masa tunggu (cooling off) paling singkat 1 (satu)
tahun. Yang dimaksud dengan masa tunggu (cooling off) adalah
tenggang waktu antara berakhirnya jabatan yang bersangkutan
secara efektif yang dinyatakan secara tertulis sebagai anggota Direksi
Bank atau Pejabat Eksekutif Bank atau pihak lain yang mempunyai
- 10 -
hubungan dengan Bank, dengan pengangkatan yang bersangkutan
secara efektif sebagai Komisaris Independen.
3. Ketentuan masa tunggu (cooling off) untuk menjadi Komisaris
Independen sebagaimana dimaksud pada angka 2 tidak berlaku bagi
mantan anggota Direksi atau mantan Pejabat Eksekutif yang
memiliki tugas hanya melakukan fungsi pengawasan paling sedikit
1 (satu) tahun.
4. Permohonan penilaian kemampuan dan kepatutan untuk calon
Komisaris Independen diajukan paling cepat 30 (tiga puluh) hari
sebelum masa tunggu (cooling off) berakhir.
5. Perubahan status jabatan dari Komisaris menjadi Komisaris
Independen pada Bank yang sama harus mendapat persetujuan
Otoritas Jasa Keuangan. Untuk mendapatkan persetujuan, calon
Komisaris Independen antara lain harus menyampaikan surat
pernyataan independensi dengan format sebagaimana pada
Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat
Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini. Persetujuan Otoritas Jasa
Keuangan mengacu pada ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang
mengatur mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan bagi pihak
utama lembaga jasa keuangan.
6. Dewan Komisaris dilarang terlibat dalam pengambilan keputusan
kegiatan operasional Bank, kecuali untuk:
a. penyediaan dana kepada pihak terkait; dan
b. hal-hal yang diatur dalam Anggaran Dasar Bank atau peraturan
perundang-undangan.
Keterlibatan atau persetujuan Dewan Komisaris dalam pengambilan
keputusan kegiatan operasional sebagaimana pada huruf a dan
huruf b, merupakan bagian dari upaya pengawasan dini yang
dilakukan oleh Dewan Komisaris. Keterlibatan atau persetujuan
Dewan Komisaris tidak meniadakan tanggung jawab Direksi dalam
pelaksanaan kepengurusan Bank.
7. Dewan Komisaris memberitahukan kepada Otoritas Jasa Keuangan
paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak ditemukan:
a. pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang
keuangan dan perbankan; dan/atau
- 11 -
b. keadaan atau perkiraan keadaan yang dapat membahayakan
kelangsungan usaha Bank,
antara lain berdasarkan rekomendasi dari komite-komite yang
membantu efektivitas pelaksanaan tugas Dewan Komisaris. Hal yang
dilaporkan adalah temuan sebagaimana pada huruf a dan huruf b
yang belum atau tidak dilaporkan oleh Bank dan/atau oleh direktur
yang membawahkan fungsi kepatuhan kepada Otoritas Jasa
Keuangan.
8. Rapat Dewan Komisaris diselenggarakan secara berkala paling sedikit
4 (empat) kali dalam 1 (satu) tahun dan dihadiri oleh seluruh anggota
Dewan Komisaris secara fisik paling sedikit 2 (dua) kali dalam
1 (satu) tahun, diutamakan dalam rangka evaluasi atau penetapan
kebijakan strategis dan evaluasi realisasi rencana bisnis Bank. Dalam
hal Komisaris Non Independen tidak dapat menghadiri rapat Dewan
Komisaris secara fisik maka dapat menghadiri rapat Dewan
Komisaris dengan menggunakan sarana teknologi telekonferensi.
Dalam hal rapat Dewan Komisaris dilaksanakan dengan
menggunakan sarana teknologi telekonferensi, harus dilengkapi:
a. dasar keputusan penyelenggaraan rapat dengan menggunakan
sarana teknologi telekonferensi, antara lain seperti ketentuan
intern Bank dan risalah rapat Dewan Komisaris;
b. bukti rekaman penyelenggaraan rapat; dan
c.
risalah rapat perihal dimaksud yang ditandatangani oleh
seluruh peserta yang hadir secara fisik maupun melalui sarana
teknologi telekonferensi.
9. Salinan risalah rapat Dewan Komisaris yang telah ditandatangani
oleh seluruh anggota Dewan Komisaris yang hadir, harus
didistribusikan kepada seluruh anggota Dewan Komisaris.
IV. KOMITE-KOMITE
1. Dewan Komisaris membentuk paling sedikit komite audit, komite
pemantau risiko, serta komite remunerasi dan nominasi, dalam
rangka mendukung efektivitas pelaksanaan tugas dan tanggung
jawab Dewan Komisaris.
- 12 -
2. Keanggotaan komite audit paling sedikit terdiri dari 1 (satu) orang
Komisaris Independen yang merangkap sebagai ketua, 1 (satu) orang
Pihak Independen yang memiliki keahlian di bidang keuangan atau
bidang akuntansi, dan 1 (satu) orang Pihak Independen yang
memiliki keahlian di bidang hukum atau bidang perbankan.
Anggota komite audit yang berasal dari Pihak Independen dinilai
memiliki keahlian di bidang keuangan atau bidang akuntansi dalam
hal memenuhi kriteria:
a. memiliki pengetahuan di bidang keuangan dan/atau bidang
akuntansi; dan
b. memiliki pengalaman kerja paling sedikit 5 (lima) tahun
di bidang keuangan dan/atau bidang akuntansi.
Anggota komite audit yang berasal dari Pihak Independen dinilai
memiliki keahlian di bidang hukum atau bidang perbankan dalam
hal memenuhi kriteria:
a. memiliki pengetahuan di bidang hukum dan/atau bidang
perbankan; dan
b. memiliki pengalaman kerja paling sedikit 5 (lima) tahun di
bidang hukum dan/atau bidang perbankan.
3. Keanggotaan komite pemantau risiko paling sedikit terdiri dari
1 (satu) orang Komisaris Independen yang merangkap sebagai ketua,
1 (satu) orang Pihak Independen yang memiliki keahlian di bidang
keuangan, dan 1 (satu) orang Pihak Independen yang memiliki
keahlian di bidang manajemen risiko.
Anggota komite pemantau risiko yang berasal dari Pihak Independen
dinilai memiliki keahlian di bidang keuangan dalam hal memenuhi
kriteria:
a. memiliki pengetahuan di bidang ekonomi, bidang keuangan
dan/atau bidang perbankan; dan
b. memiliki pengalaman kerja paling sedikit 5 (lima) tahun di
bidang ekonomi, bidang keuangan, dan/atau bidang perbankan.
Anggota komite pemantau risiko yang berasal dari Pihak Independen
dinilai memiliki keahlian di bidang manajemen risiko dalam hal
memenuhi kriteria:
a. memiliki pengetahuan di bidang manajemen risiko; dan/atau
- 13 -
b. memiliki pengalaman kerja paling sedikit 2 (dua) tahun di bidang
manajemen risiko.
4. Keanggotaan komite remunerasi dan nominasi paling sedikit terdiri
dari 1 (satu) orang Komisaris Independen merangkap sebagai Ketua,
1 (satu) orang Komisaris Non Independen, dan 1 (satu) orang Pejabat
Eksekutif yang membawahkan sumber daya manusia atau 1 (satu)
orang perwakilan pegawai.
Pejabat Eksekutif yang membawahkan sumber daya manusia atau
perwakilan pegawai yang menjadi anggota komite harus memiliki
pengetahuan mengenai sistem remunerasi dan/atau nominasi serta
rencana suksesi (succession plan) Bank.
Dalam hal Bank membentuk komite remunerasi dan nominasi secara
terpisah maka Pejabat Eksekutif atau perwakilan pegawai yang
menjadi anggota komite remunerasi harus memiliki pengetahuan
mengenai sistem remunerasi Bank, dan Pejabat Eksekutif atau
perwakilan pegawai yang menjadi anggota komite nominasi harus
memiliki pengetahuan mengenai sistem nominasi dan rencana
suksesi (succession plan) Bank.
5. Pihak Independen adalah pihak di luar Bank yang tidak memiliki
hubungan keuangan, hubungan kepengurusan, hubungan
kepemilikan, dan/atau hubungan keluarga dengan anggota Direksi,
anggota Dewan Komisaris dan/atau pemegang saham pengendali,
atau hubungan dengan Bank, yang dapat mempengaruhi
kemampuan untuk bertindak independen.
Pengertian mengenai “memiliki hubungan keuangan, hubungan
kepengurusan, hubungan kepemilikan, dan/atau hubungan keluarga
dengan anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris lain, dan/atau
pemegang saham pengendali, yang dapat mempengaruhi kemampuan
untuk bertindak independen” adalah sebagaimana dimaksud dalam
butir III.1.
Adapun yang dimaksud dengan hubungan dengan Bank yang dapat
mempengaruhi kemampuan seseorang untuk bertindak tidak
independen, adalah hubungan dalam bentuk:
a. kepemilikan saham Bank dengan jumlah kepemilikan lebih dari
5% (lima persen) dari modal disetor Bank; dan/atau
- 14 -
b. menerima atau memberi penghasilan, bantuan keuangan, atau
pinjaman dari atau kepada Bank yang menyebabkan pihak yang
memberi penghasilan, bantuan keuangan atau pinjaman
memiliki kemampuan untuk mempengaruhi (controlling
influence) pihak yang menerima penghasilan, bantuan keuangan
atau pinjaman, seperti:
1) pihak terafiliasi yaitu pihak yang memberikan jasa kepada
Bank, antara lain akuntan publik, penilai, konsultan
hukum, dan konsultan lain;
2) menerima penghasilan dari Bank, kecuali penghasilan yang
diterima oleh Pihak Independen karena merangkap jabatan
sebagai anggota komite lain pada Bank yang sama;
dan/atau
3) transaksi keuangan dengan Bank yang dapat
mempengaruhi kelangsungan usaha Bank dan/atau pihak
yang melakukan transaksi keuangan, antara lain debitur
inti, deposan inti, atau perusahaan yang sebagian besar
sumber pendanaannya diperoleh dari Bank.
Yang dimaksud dengan debitur inti dan deposan inti adalah
debitur inti dan deposan inti sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan yang mengatur mengenai laporan berkala bank
umum.
6. Bank harus meneliti kebenaran seluruh dokumen atau data
pendukung pemenuhan persyaratan Pihak Independen, antara lain
surat pernyataan pribadi mengenai integritas Pihak Independen.
7. Ketua komite hanya dapat merangkap jabatan sebagai Ketua komite
paling banyak pada 1 (satu) komite lain pada Bank yang sama.
8. Anggota komite yang berasal dari Pihak Independen dapat merangkap
jabatan sebagai Pihak Independen anggota komite lain pada Bank
yang sama, Bank lain, dan/atau perusahaan lain, sepanjang:
a. memenuhi seluruh kompetensi yang dipersyaratkan;
b. memenuhi kriteria independensi;
c. mampu menjaga rahasia Bank;
d. memperhatikan kode etik yang berlaku; dan
- 15 -
e.
tidak mengabaikan pelaksanaan tugas dan tanggung jawab
sebagai anggota komite.
9. Anggota komite audit, komite pemantau risiko, serta komite
remunerasi dan nominasi dilarang berasal dari anggota Direksi, baik
pada Bank yang sama maupun pada Bank lain.
10. Mantan anggota Direksi Bank, mantan Pejabat Eksekutif Bank atau
pihak yang mempunyai hubungan dengan Bank yang dapat
mempengaruhi kemampuan untuk bertindak independen, tidak
dapat menjadi Pihak Independen dalam anggota komite audit
dan/atau anggota komite pemantau risiko pada Bank yang
bersangkutan, sebelum menjalani masa tunggu (cooling off) paling
singkat 6 (enam) bulan.
Yang dimaksud dengan masa tunggu (cooling off) adalah tenggang
waktu antara berakhirnya jabatan yang bersangkutan secara efektif
yang dinyatakan berhenti secara tertulis sebagai anggota Direksi atau
Pejabat Eksekutif atau pihak lain yang mempunyai hubungan dengan
Bank, dan pengangkatan yang bersangkutan secara efektif sebagai
Pihak Independen.
11. Ketentuan masa tunggu (cooling off) untuk menjadi Pihak Independen
sebagaimana pada angka 10 tidak berlaku bagi mantan anggota
Direksi Bank atau mantan Pejabat Eksekutif yang bertugas hanya
melakukan fungsi pengawasan paling singkat 6 (enam) bulan.
12. Dalam rangka pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya, komite
audit, komite pemantau risiko, serta komite remunerasi dan
nominasi harus memiliki kebijakan intern, yang paling sedikit
meliputi:
a. pedoman kerja, antara lain mekanisme kerja, uraian tugas serta
tanggung jawab yang jelas dari tiap anggota; dan
b. tata tertib kerja, antara lain pengaturan etika kerja, waktu kerja,
dan pengaturan rapat termasuk pengaturan hak suara,
yang harus diketahui dan bersifat mengikat bagi setiap anggota
komite.
13. Keputusan rapat komite dilakukan berdasarkan musyawarah untuk
mufakat. Dalam hal tidak terjadi musyawarah untuk mufakat,
pengambilan keputusan dilakukan berdasarkan suara terbanyak
dengan prinsip 1 (satu) orang 1 (satu) suara.
- 16 -
V. BENTURAN KEPENTINGAN
1. Dalam hal terjadi benturan kepentingan antara Bank dan pemilik
Bank, anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, Pejabat Eksekutif
dan/atau pihak lain yang terkait dengan Bank maka anggota Direksi,
anggota Dewan Komisaris, dan Pejabat Eksekutif dilarang mengambil
tindakan yang dapat merugikan atau mengurangi keuntungan Bank.
Anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, dan Pejabat Eksekutif
mengungkapkan benturan kepentingan dimaksud dalam setiap
keputusan.
2. Pengungkapan benturan kepentingan sebagaimana dimaksud pada
angka 1 dituangkan dalam risalah rapat yang paling sedikit
mencakup nama pihak yang memiliki benturan kepentingan,
masalah pokok benturan kepentingan, dan dasar pertimbangan
pengambilan keputusan.
3. Untuk menghindari pengambilan keputusan yang berpotensi
merugikan atau mengurangi keuntungan Bank, Bank harus memiliki
dan menerapkan kebijakan intern mengenai:
a. pengaturan penanganan benturan kepentingan yang mengikat
setiap pengurus dan pegawai Bank, antara lain tata cara
pengambilan keputusan; dan
b. administrasi pencatatan, dokumentasi, dan pengungkapan
benturan kepentingan dalam risalah rapat.
VI. PENERAPAN TATA KELOLA PADA KANTOR CABANG DARI BANK YANG
BERKEDUDUKAN DI LUAR NEGERI
1. Kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri
menerapkan Tata Kelola yang baik pada seluruh tingkatan atau
jenjang organisasi.
2. Pelaksanaan fungsi Dewan Komisaris dan pembentukan komite-
komite disesuaikan dengan struktur organisasi yang berlaku pada
kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri dan
kantor pusatnya.
3. Dalam hal struktur organisasi kantor cabang dari bank yang
berkedudukan di luar negeri dan kantor pusatnya tidak memiliki
fungsi Dewan Komisaris dan komite-komite, atau memiliki fungsi
Dewan Komisaris dan komite-komite namun belum sesuai dengan
- 17 -
ketentuan sebagaimana diatur dalam POJK Tata Kelola Bank Umum,
Otoritas Jasa Keuangan berwenang meminta penyesuaian struktur
organisasi kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri
untuk memastikan terlaksananya Tata Kelola yang baik sesuai
dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam POJK Tata Kelola Bank
Umum.
VII. PRINSIP UMUM PENILAIAN FAKTOR TATA KELOLA
1. Bank melakukan penilaian sendiri (self-assessment) atas tingkat
kesehatan bank dengan menggunakan pendekatan risiko atau RBBR,
baik secara individu maupun secara konsolidasi yang dilakukan
paling sedikit setiap semester untuk posisi akhir bulan Juni dan
akhir bulan Desember sebagaimana diatur dalam ketentuan Otoritas
Jasa Keuangan mengenai Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum.
Adapun salah satu faktor dalam penilaian Tingkat Kesehatan Bank
adalah faktor Tata Kelola. Sehubungan dengan itu, Bank melakukan
penilaian sendiri (self-assessment) terhadap penerapan Tata Kelola
sesuai periode penilaian Tingkat Kesehatan Bank.
2. Penilaian faktor Tata Kelola merupakan penilaian terhadap kualitas
manajemen Bank atas penerapan prinsip Tata Kelola yang baik,
dengan memperhatikan signifikansi atau materialitas suatu
permasalahan terhadap penerapan Tata Kelola pada Bank secara
bank-wide, sesuai skala, karakteristik, dan kompleksitas usaha
Bank. Dalam rangka memastikan penerapan 5 (lima) prinsip dasar
Tata Kelola yang baik sebagaimana dimaksud dalam butir I.1, Bank
melakukan penilaian sendiri (self-assessment) secara berkala paling
sedikit terhadap 11 (sebelas) faktor penilaian penerapan Tata Kelola
dan informasi lain yang terkait penerapan Tata Kelola Bank,
sebagaimana dimaksud dalam butir I.2. Penilaian sendiri (self-
assessment) tersebut dilakukan secara komprehensif dan terstruktur
yang diintegrasikan menjadi 3 (tiga) aspek governance yaitu
governance structure, governance process, dan governance outcome,
sebagai suatu proses yang berkesinambungan.
3. Penilaian governance structure bertujuan untuk menilai kecukupan
struktur dan infrastruktur Tata Kelola Bank agar proses penerapan
- 18 -
prinsip Tata Kelola yang baik menghasilkan outcome yang sesuai
dengan harapan Pemangku Kepentingan Bank.
Yang termasuk dalam struktur Tata Kelola Bank adalah Direksi,
Dewan Komisaris, komite-komite, dan satuan kerja pada Bank.
Adapun yang termasuk infrastruktur Tata Kelola Bank antara lain
kebijakan dan prosedur Bank, sistem informasi manajemen serta
tugas pokok dan fungsi masing-masing struktur organisasi.
4. Penilaian governance process bertujuan untuk menilai efektivitas
proses penerapan prinsip Tata Kelola yang baik yang didukung oleh
kecukupan struktur dan infrastruktur Tata Kelola Bank sehingga
menghasilkan outcome yang sesuai dengan harapan Pemangku
Kepentingan Bank.
5. Penilaian governance outcome bertujuan untuk menilai kualitas
outcome yang memenuhi harapan Pemangku Kepentingan Bank yang
merupakan hasil proses penerapan prinsip Tata Kelola yang baik
serta didukung oleh kecukupan struktur dan infrastruktur Tata
Kelola Bank.
Yang termasuk dalam outcome mencakup aspek kualitatif dan aspek
kuantitatif, antara lain:
a. kecukupan transparansi laporan;
b. kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan;
c. perlindungan konsumen;
d. objektivitas dalam melakukan penilaian (assessment) atau audit;
e.
f.
kinerja Bank seperti rentabilitas, efisiensi, dan permodalan;
dan/atau
peningkatan atau penurunan kepatuhan terhadap ketentuan
dan penyelesaian permasalahan yang dihadapi Bank, seperti
fraud, pelanggaran Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK),
dan pelanggaran ketentuan terkait laporan bank kepada Otoritas
Jasa Keuangan.
6. Hasil penilaian terhadap ketiga aspek governance yang paling sedikit
meliputi 11 (sebelas) faktor penilaian penerapan Tata Kelola dan
informasi lain yang terkait penerapan Tata Kelola Bank, dilakukan
berdasarkan kerangka analisis yang komprehensif dan terstruktur
ditetapkan dalam peringkat faktor Tata Kelola. Penilaian atas ketiga
aspek governance merupakan satu kesatuan sehingga dalam hal
- 19 -
salah satu aspek dinilai tidak memadai maka kelemahan pada salah
satu aspek dapat mempengaruhi peringkat faktor Tata Kelola.
7. Bagi Bank yang melakukan Pengendalian terhadap Perusahaan
Anak, dalam melakukan penilaian penerapan Tata Kelola dan
menetapkan peringkat faktor Tata Kelola secara konsolidasi, harus
memperhatikan hal sebagai berikut:
a. Penetapan Perusahaan Anak yang dikonsolidasikan mengacu
pada ketentuan yang mengatur mengenai penerapan manajemen
risiko secara konsolidasi bagi bank yang melakukan
pengendalian terhadap perusahaan anak.
b. Faktor penilaian penerapan Tata Kelola Bank secara individu
dapat digunakan oleh Bank pada saat menilai Tata Kelola secara
konsolidasi. Faktor penilaian penerapan Tata Kelola Perusahaan
Anak yang digunakan untuk penilaian penerapan Tata Kelola
secara konsolidasi ditetapkan dengan memperhatikan skala,
karakteristik, dan kompleksitas usaha Perusahaan Anak serta
didukung oleh data dan informasi yang memadai.
c. Penetapan peringkat faktor Tata Kelola Bank secara konsolidasi
dilakukan dengan memperhatikan:
1)
signifikansi dan materialitas pangsa Perusahaan Anak
terhadap Bank secara konsolidasi; dan/atau
2) permasalahan terkait dengan penerapan prinsip Tata Kelola
yang baik pada Perusahaan Anak yang berpengaruh secara
signifikan terhadap penerapan prinsip Tata Kelola yang baik
secara konsolidasi.
d. Penetapan signifikansi dan materialitas pangsa Perusahaan
Anak dapat ditentukan melalui perbandingan total aset
Perusahaan Anak terhadap total aset Bank secara konsolidasi,
atau signifikansi pos-pos tertentu pada Perusahaan Anak yang
mempengaruhi kinerja Bank secara konsolidasi.
8. Penetapan Peringkat faktor Tata Kelola dikategorikan ke dalam 5
(lima) Peringkat yaitu Peringkat 1, Peringkat 2, Peringkat 3,
Peringkat 4 dan Peringkat 5. Urutan Peringkat faktor Tata Kelola
yang lebih kecil mencerminkan penerapan Tata Kelola yang lebih
baik. Penetapan Peringkat faktor Tata Kelola dilakukan dengan
berpedoman pada matriks Peringkat faktor Tata Kelola sebagaimana
- 20 -
pada Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini.
VIII. PENILAIAN SENDIRI (SELF-ASSESSMENT) PENERAPAN TATA KELOLA
1. Bank melakukan penilaian sendiri (self-assessment) penerapan Tata
Kelola secara berkala sesuai dengan periode penilaian Tingkat
Kesehatan Bank.
Dalam hal diperlukan, Bank melakukan pengkinian penilaian sendiri
(self-assessment) penerapan Tata Kelola sebagaimana dalam
ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur mengenai
Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum.
2. Penilaian sendiri (self-assessment) penerapan Tata Kelola dilakukan
dengan menggunakan kertas kerja penilaian sendiri (self-assessment)
penerapan Tata Kelola sebagaimana pada Lampiran III yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Otoritas Jasa
Keuangan ini.
3. Dalam melakukan penilaian sendiri (self-assessment) sebagaimana
dimaksud pada angka 2, Bank terlebih dahulu harus memahami
tujuan penilaian penerapan Tata Kelola yang mencakup 3 (tiga) aspek
governance, yaitu governance structure, governance process, dan
governance outcome, serta kriteria atau indikator pada setiap faktor
penilaian.
4. Penilaian sendiri (self-assessment) penerapan Tata Kelola dilakukan
dengan menyusun analisis kecukupan dan efektivitas penerapan
prinsip Tata Kelola yang baik yang dituangkan dalam kertas kerja
penilaian sendiri (self-assessment) penerapan Tata Kelola, dengan
langkah-langkah sebagai berikut:
a. Mengumpulkan data dan informasi yang relevan untuk menilai
kecukupan dan efektivitas penerapan prinsip Tata Kelola yang
baik, seperti data kepengurusan, data kepemilikan, struktur
kelompok usaha, risalah rapat Direksi, risalah rapat Dewan
Komisaris, dan risalah rapat komite-komite serta laporan, antara
lain laporan tahunan, laporan khusus direktur yang
membawahkan fungsi kepatuhan, laporan yang berkaitan
dengan tugas satuan kerja audit intern, laporan akuntan publik
khususnya komentar mengenai keandalan sistem pengendalian
- 21 -
intern Bank, laporan hasil penilaian sendiri tingkat kesehatan
bank atau RBBR, laporan rencana bisnis dan laporan realisasi
rencana bisnis, laporan Dewan Komisaris, dan laporan lain yang
terkait dengan penerapan prinsip Tata Kelola.
b. Menilai kecukupan dan efektivitas penerapan prinsip Tata Kelola
yang baik yang dilakukan secara komprehensif dan terstruktur
atas ketiga aspek governance, yaitu governance structure,
governance process, dan governance outcome, dengan
memperhatikan prinsip signifikansi atau materialitas.
c. Menyimpulkan faktor positif dan faktor negatif dari masing-
masing aspek governance.
5. Dalam menyimpulkan faktor positif dan faktor negatif ketiga aspek
governance, perlu diperhatikan hal-hal antara lain sebagai berikut:
a. Penilaian perlu difokuskan pada substansi penerapan Tata
Kelola dan bukan hanya pada pemenuhan persyaratan formal
prosedural (normatif).
Dalam penilaian penerapan Tata Kelola juga perlu
memperhatikan antara lain kebijakan dan prosedur Tata Kelola
telah diimplementasikan dengan baik.
Dengan demikian, dalam melakukan penilaian penerapan Tata
Kelola, Bank tidak hanya menjawab pertanyaan dengan jawaban
“ya” atau “tidak”, namun perlu mengungkapkan substansi dari
jawaban Bank.
Sebagai contoh, dalam melakukan penilaian terhadap
pemenuhan kelengkapan organ pada struktur organisasi Bank,
perlu dinilai juga apakah organ tersebut telah berfungsi
sebagaimana mestinya.
b. Penilaian pada governance structure, governance process, dan
governance outcome merupakan satu rangkaian penilaian yang
terintegrasi, komprehensif, dan terstruktur sehingga kesimpulan
hasil penilaian governance outcome mencerminkan sejauh mana
penerapan governance process dan dukungan yang memadai
dari governance structure, yang perlu diuji dan dibuktikan lebih
lanjut.
- 22 -
Sebagai contoh, terdapat permasalahan pada governance
structure seperti tidak adanya direktur yang membawahkan
fungsi kepatuhan. Dengan tidak adanya direktur yang
membawahkan fungsi kepatuhan mengakibatkan timbulnya
kelemahan pada governance process dalam penerapan fungsi
kepatuhan Bank, yaitu tidak adanya tindakan pencegahan
terhadap kebijakan dan/atau keputusan Direksi Bank di bidang
perkreditan yang menyimpang dari ketentuan Otoritas Jasa
Keuangan. Selanjutnya, adanya kelemahan pada governance
process berdampak pada governance outcome berupa terjadinya
pelanggaran ketentuan BMPK.
c.
Penilaian pada governance outcome selain mencakup aspek
kualitatif juga meliputi aspek kuantitatif, antara lain:
1) kinerja Bank seperti rentabilitas, efisiensi, dan permodalan;
dan
2) peningkatan atau penurunan kepatuhan terhadap
ketentuan
peraturan perundang-undangan
dan
penyelesaian permasalahan yang dihadapi Bank, seperti
fraud, pelanggaran BMPK, dan pelanggaran ketentuan
terkait laporan Bank kepada Otoritas Jasa Keuangan.
Dalam hal ini Bank harus memperhatikan apakah pelanggaran
tersebut terjadi secara berulang dan/atau sifat materialitas atau
signifikansi permasalahan terhadap kinerja Bank baik saat ini
maupun pada masa datang.
Selain itu, Bank juga perlu memperhatikan bahwa penilaian
pada governance outcome telah mencakup tindak lanjut yang
perlu dilakukan oleh Bank untuk mengatasi permasalahan saat
ini dan mengantisipasi timbulnya permasalahan pada masa
datang.
d. Dalam penetapan Peringkat faktor Tata Kelola, Bank harus
memperhatikan kesesuaian penetapan Peringkat faktor Tata
Kelola dengan tingkat signifikansi permasalahan yang dihadapi
Bank sebagaimana hasil kesimpulan yang diperoleh dalam
penilaian penerapan Tata Kelola Bank.
- 23 -
e.
Penilaian pada governance structure, governance process, dan
governance outcome harus didukung oleh data atau informasi
dan dokumen yang memadai.
6. Berdasarkan kertas kerja penilaian sendiri (self-assessment)
penerapan Tata Kelola, Bank membuat kesimpulan umum hasil
penilaian sendiri (self-assessment) penerapan Tata Kelola dan
menetapkan Peringkat faktor Tata Kelola dengan mengacu pada
matriks Peringkat faktor Tata Kelola sebagaimana pada Lampiran II
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Otoritas
Jasa Keuangan ini.
Dalam melakukan penilaian penerapan Tata Kelola, Bank harus
memperhatikan penilaian kualitas penerapan manajemen risiko
dalam rangka penilaian profil risiko Bank, mengingat faktor Tata
Kelola secara umum memiliki keterkaitan dengan kualitas penerapan
manajemen risiko. Pada umumnya, penerapan Tata Kelola yang baik
akan memastikan manajemen risiko yang baik sebagaimana
tercermin pada penilaian kualitas penerapan manajemen risiko.
7. Selanjutnya Bank menyusun laporan penilaian sendiri (self-
asssessment) penerapan Tata Kelola sebagaimana pada Lampiran IV
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Otoritas
Jasa Keuangan ini, yang paling sedikit meliputi:
a. peringkat faktor Tata Kelola dan definisi peringkat; dan
b. analisis faktor Tata Kelola, antara lain terdiri dari:
1)
identifikasi permasalahan berupa kelemahan dan penyebab
permasalahan (root cause); dan
2) kekuatan penerapan Tata Kelola.
Dalam hal berdasarkan hasil penilaian sendiri (self-assessment)
penerapan Tata Kelola diperoleh Peringkat faktor Tata Kelola adalah
Peringkat 3, Peringkat 4 atau Peringkat 5, Bank menyusun dan
menyampaikan rencana tindak (action plan) yang memuat langkah
perbaikan secara komprehensif dan sistematis serta target waktu
pelaksanaan rencana tindak (action plan) kepada Otoritas Jasa
Keuangan.
8. Laporan penilaian sendiri (self-assessment) penerapan Tata Kelola
ditandatangani oleh Direksi Bank.
- 24 -
9. Bank menyampaikan laporan penilaian sendiri (self-assessment)
penerapan Tata Kelola Bank, baik secara individu maupun secara
konsolidasi kepada Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana pada
Lampiran IV, yang dilengkapi dengan kertas kerja penilaian sendiri
(self-assessment) penerapan Tata Kelola sebagaimana pada
Lampiran III, bersamaan dengan penyampaian hasil penilaian sendiri
(self-assessment) Tingkat Kesehatan Bank.
10. Otoritas Jasa Keuangan melakukan penilaian atau evaluasi terhadap
hasil penilaian sendiri (self-assessment) penerapan Tata Kelola yang
disampaikan oleh Bank. Dalam hal terdapat perbedaan hasil
penilaian sendiri (self-assessment) penerapan Tata Kelola Bank yang
material, yaitu mengakibatkan hasil peringkat faktor Tata Kelola
berbeda dengan hasil penilaian atau evaluasi yang dilakukan oleh
Otoritas Jasa Keuangan maka Bank harus melakukan revisi terhadap
hasil penilaian sendiri (self-assessment) penerapan Tata Kelola.
11. Selain itu, dalam hal hasil penilaian Peringkat faktor Tata Kelola oleh
Otoritas Jasa Keuangan tergolong lebih buruk yaitu Peringkat 3,
Peringkat 4 atau Peringkat 5, Otoritas Jasa Keuangan dapat meminta
Bank untuk menyampaikan rencana tindak (action plan) yang
memuat langkah perbaikan secara komprehensif dan sistematis serta
target waktu pelaksanaan rencana tindak (action plan).
12. Dalam hal diperlukan, Otoritas Jasa Keuangan dapat meminta Bank
untuk menyesuaikan rencana tindak (action plan) yang telah
disampaikan oleh Bank.
13. Rencana tindak (action plan) sebagaimana dimaksud dalam angka 11
dan angka 12 disampaikan sesuai dengan tata cara penyampaian
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Otoritas Jasa Keuangan
yang mengatur mengenai Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum.
Bank dapat menyampaikan rencana tindak (action plan) lebih awal,
bersamaan dengan penyampaian laporan penilaian sendiri (self-
assessment) penerapan Tata Kelola secara individu.
14. Laporan pelaksanaan rencana tindak (action plan) Tata Kelola berikut
waktu penyelesaian dan kendala atau hambatan penyelesaian
rencana tindak (action plan) (jika ada), disampaikan kepada Otoritas
Jasa Keuangan dengan mengacu pada tata cara penyampaian
laporan pelaksanaan rencana tindak (action plan) sebagaimana
- 25 -
dimaksud dalam ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur
mengenai Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum.
15. Dokumen yang terkait dengan penilaian sendiri (self-assessment)
penerapan Tata Kelola antara lain kertas kerja penilaian sendiri (self-
assessment) penerapan Tata Kelola dan laporan penilaian sendiri
(self-assessment) penerapan Tata Kelola harus ditatausahakan
dengan baik.
IX. TRANSPARANSI PENERAPAN TATA KELOLA
Transparansi penerapan Tata Kelola, paling sedikit meliputi
pengungkapan seluruh aspek penerapan prinsip Tata Kelola yang baik
yaitu:
1. Pengungkapan penerapan Tata Kelola paling sedikit meliputi:
a. Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Direksi dan Dewan
Komisaris, terdiri dari:
1) jumlah, komposisi, kriteria, serta independensi anggota
Direksi dan anggota Dewan Komisaris;
2) tugas dan tanggung jawab Direksi dan Dewan Komisaris;
dan
3) rekomendasi Dewan Komisaris.
b. Kelengkapan dan pelaksanaan tugas komite-komite, terdiri dari:
1) struktur, keanggotaan, keahlian, dan independensi anggota
komite;
2) tugas dan tanggung jawab komite;
3) frekuensi rapat komite; dan
4) program kerja komite dan realisasi program kerja komite.
c. Penerapan fungsi kepatuhan, audit intern, dan audit ekstern
Informasi yang diungkap adalah kinerja dari pelaksanaan fungsi
kepatuhan, audit intern, dan audit ekstern, antara lain:
1) Fungsi kepatuhan
Tingkat kepatuhan Bank terhadap seluruh ketentuan dan
peraturan perundang-undangan serta pemenuhan
komitmen dengan otoritas yang berwenang.
2) Fungsi audit intern
Efektivitas dan cakupan audit intern dalam menilai seluruh
aspek dan unsur kegiatan Bank.
- 26 -
3) Fungsi audit ekstern
Efektivitas pelaksanaan audit ekstern dan kepatuhan Bank
terhadap ketentuan mengenai hubungan antara Bank,
akuntan publik dan/atau kantor akuntan publik, dan
Otoritas Jasa Keuangan bagi Bank konvensional,
sebagaimana diatur dalam ketentuan yang mengatur
mengenai transparansi kondisi keuangan bank.
d. Penerapan manajemen risiko termasuk sistem pengendalian
intern.
Informasi yang diungkap mengenai penerapan manajemen risiko
termasuk sistem pengendalian intern meliputi:
1) pengawasan aktif Direksi dan Dewan Komisaris;
2) kecukupan kebijakan dan prosedur manajemen risiko serta
penetapan limit risiko;
3) kecukupan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan,
dan pengendalian risiko serta sistem informasi manajemen
risiko; dan
4) sistem pengendalian intern yang menyeluruh.
e. Penyediaan dana kepada pihak terkait (related party) dan
penyediaan dana besar (large exposure).
Informasi yang perlu diungkap adalah jumlah total baki debet
penyediaan dana kepada pihak terkait (related party) dan kepada
debitur inti (individu atau grup) per posisi laporan, sebagaimana
pada Lampiran V yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini.
f. Rencana strategis Bank meliputi:
1) rencana jangka panjang (corporate plan); dan
2) rencana jangka menengah dan pendek (business plan).
g. Transparansi kondisi keuangan dan non keuangan Bank yang
belum diungkap dalam laporan lain.
h. Informasi lain yang terkait dengan Tata Kelola Bank, antara lain
berupa intervensi pemilik, perselisihan
permasalahan yang timbul sebagai dampak kebijakan
remunerasi pada Bank.
intern atau
- 27 -
2. Kepemilikan saham anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris
yang mencapai 5% (lima persen) atau lebih dari modal disetor, yang
meliputi jenis dan jumlah lembar saham pada:
a. Bank yang bersangkutan;
b. bank lain;
c. lembaga keuangan bukan bank; dan
d. perusahaan lain,
yang berkedudukan baik di dalam maupun di luar negeri.
3. Hubungan keuangan dan hubungan keluarga anggota Direksi dan
anggota Dewan Komisaris dengan anggota Direksi lain, anggota
Dewan Komisaris lain, dan/atau pemegang saham pengendali Bank.
4. Frekuensi Rapat Dewan Komisaris
Pengungkapan mengenai frekuensi rapat Dewan Komisaris, paling
sedikit mencakup:
a. jumlah rapat yang diselenggarakan dalam 1 (satu) tahun;
b. jumlah rapat yang dihadiri secara fisik dan/atau melalui sarana
teknologi telekonferensi; dan
c. kehadiran masing-masing anggota pada setiap rapat.
5. Jumlah Penyimpangan (Internal Fraud)
Yang dimaksud dengan penyimpangan (internal fraud) adalah fraud
yang dilakukan oleh anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris,
pegawai tetap, pegawai tidak tetap (honorer), dan/atau tenaga kerja
alih daya (outsourcing). Adapun pengertian fraud mengacu pada
ketentuan mengenai penerapan strategi anti fraud bagi bank umum.
Nominal penyimpangan (internal fraud) yang diungkapkan adalah
penyimpangan bernilai lebih dari Rp100.000.000,00 (seratus juta
rupiah).
Pengungkapan mengenai penyimpangan (internal fraud) paling sedikit
mencakup:
a. jumlah penyimpangan (internal fraud) yang telah diselesaikan;
b. jumlah penyimpangan (internal fraud) yang sedang dalam proses
penyelesaian di internal Bank;
c. jumlah penyimpangan (internal fraud) yang belum diupayakan
penyelesaian di internal Bank; dan
d. jumlah penyimpangan (internal fraud) yang telah ditindaklanjuti
melalui proses hukum,
- 28 -
sebagaimana pada Lampiran V yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini.
6. Permasalahan Hukum
a. Yang dimaksud dengan permasalahan hukum adalah
permasalahan hukum perdata dan permasalahan hukum pidana
yang dihadapi Bank selama periode tahun laporan dan telah
diajukan melalui proses hukum.
b. Pengungkapan mengenai permasalahan hukum paling sedikit
mencakup:
1) jumlah permasalahan perdata dan permasalahan pidana
yang dihadapi dan telah mendapat putusan yang
mempunyai kekuatan hukum tetap; dan
2) jumlah permasalahan perdata dan permasalahan pidana
yang dihadapi dan masih dalam proses penyelesaian,
sebagaimana pada Lampiran V yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini.
7. Transaksi yang Mengandung Benturan Kepentingan
Pengungkapan mengenai transaksi yang mengandung benturan
kepentingan, paling sedikit mencakup nama dan jabatan pihak yang
memiliki benturan kepentingan, nama dan jabatan pengambil
keputusan transaksi yang mengandung benturan kepentingan, jenis
transaksi, nilai transaksi, dan keterangan, sebagaimana pada
Lampiran V yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat
Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini.
8. Pembelian Kembali (Buy Back) Saham dan/atau Obligasi Bank
a. Yang dimaksud dengan pembelian kembali (buy back) saham
atau obligasi Bank adalah upaya mengurangi jumlah saham
atau obligasi yang telah diterbitkan Bank dengan cara membeli
kembali saham atau obligasi tersebut dengan tata cara
pembayaran dilaksanakan sesuai ketentuan.
b. Pengungkapan pembelian kembali (buy back) saham atau
obligasi Bank paling sedikit mencakup:
1) kebijakan dalam melakukan pembelian kembali (buy back)
saham atau obligasi Bank;
- 29 -
2) jumlah lembar saham dan/atau obligasi yang dibeli
kembali;
3) harga pembelian kembali per lembar saham dan/atau
obligasi; dan
4) peningkatan laba per lembar saham dan/atau obligasi.
9. Pemberian Dana untuk Kegiatan Sosial dan/atau Kegiatan Politik
Selama Periode Pelaporan
Pengungkapan mengenai pemberian dana untuk kegiatan sosial
dan/atau kegiatan politik paling sedikit meliputi pihak penerima
dana dan jumlah dana yang diberikan.
X. LAPORAN PELAKSANAAN TATA KELOLA
1. Bank menyusun laporan pelaksanaan tata kelola pada setiap akhir
tahun buku.
2. Laporan pelaksanaan tata kelola paling sedikit terdiri dari:
a. Transparansi penerapan Tata Kelola Bank sebagaimana
dimaksud pada angka romawi IX; dan
b. Laporan penilaian sendiri (self-assessment) penerapan tata
kelola sesuai periode penilaian Tingkat Kesehatan Bank dalam
1 (satu) tahun terakhir dengan format sebagaimana pada
Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini.
c. Rencana tindak (action plan) dan pelaksanaan rencana tindak
(action plan) berikut waktu penyelesaian dan kendala atau
hambatan penyelesaian (jika ada).
3. Laporan pelaksanaan tata kelola dapat menjadi bab tersendiri dalam
laporan tahunan Bank atau disajikan secara terpisah dari laporan
tahunan Bank yang disampaikan bersamaan dengan laporan
tahunan Bank.
4. Otoritas Jasa Keuangan meminta Bank untuk melakukan revisi
terhadap laporan pelaksanaan tata kelola dalam hal berdasarkan
evaluasi yang dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan, laporan
dimaksud tidak sesuai dengan kondisi Bank yang sebenarnya. Revisi
laporan pelaksanaan tata kelola segera disampaikan secara lengkap
kepada Otoritas Jasa Keuangan dan dipublikasikan pada situs web
Bank.
- 30 -
5. Dalam hal terdapat perbedaan Peringkat faktor Tata Kelola hasil
penilaian sendiri (self-assessment) penerapan Tata Kelola Bank pada
laporan pelaksanaan tata kelola dengan hasil penilaian penerapan
Tata Kelola oleh Otoritas Jasa Keuangan maka Bank harus
melakukan revisi terhadap laporan pelaksanaan tata kelola terkait
dengan hasil penilaian sendiri (self-assessment) penerapan Tata
Kelola Bank tersebut. Revisi laporan pelaksanaan tata kelola
dimaksud:
a. segera disampaikan secara lengkap kepada Otoritas Jasa
Keuangan dan dipublikasikan pada situs web Bank;
b. segera dipublikasikan dalam laporan keuangan publikasi Bank
pada periode yang terdekat, paling sedikit meliputi Peringkat
faktor Tata Kelola disertai dengan penjelasan definisi Peringkat.
XI. ALAMAT PENYAMPAIAN LAPORAN
Penyampaian laporan kepada Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana
dimaksud dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini dialamatkan
kepada:
1. Departemen Pengawasan Bank terkait bagi Bank yang berkantor
pusat atau kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar
negeri yang berada di wilayah Provinsi Daerah Khusus Ibukota
Jakarta; atau
2. Kantor Regional Otoritas Jasa Keuangan atau Kantor Otoritas Jasa
Keuangan setempat sesuai wilayah tempat kedudukan kantor pusat
Bank.
XII. PENUTUP
Pada saat Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, Surat
Edaran Bank Indonesia Nomor 15/15/DPNP tanggal 29 April 2013 perihal
Pelaksanaan Good Corporate Governance Bagi Bank Umum dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.
- 31 -
Ketentuan dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku
pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 17 Maret 2017
KEPALA EKSEKUTIF PENGAWAS PERBANKAN
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
NELSON TAMPUBOLON
Salinan ini sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
"," SEOJK
13/SEOJK.03/2017
PENERAPAN TATA KELOLA BAGI BANK UMUM
17 Maret 2017
17 Maret 2017
'15/15/DPNP|SE-BI/2013'
'55/POJK.03/2016', '4/POJK.03/2016'
"
" Yth.
1. Direksi Perusahaan Asuransi Syariah;
2. Direksi Perusahaan Reasuransi Syariah;
3. Direksi Perusahaan Asuransi yang memiliki Unit Syariah; dan
4. Direksi Perusahaan Reasuransi yang memiliki Unit Syariah,
di tempat.
SALINAN
SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 25 /SEOJK.05/2017
TENTANG
PEDOMAN PERHITUNGAN JUMLAH DANA TABARRU’ DAN
DANA TANAHUD MINIMUM BERBASIS RISIKO DAN
MODAL MINIMUM BERBASIS RISIKO BAGI PERUSAHAAN ASURANSI DAN
PERUSAHAAN REASURANSI DENGAN PRINSIP SYARIAH
Sehubungan dengan amanat ketentuan Pasal 12 ayat (4) Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan Nomor 72/POJK.05/2016 tentang Kesehatan
Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi dengan
Prinsip Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor
305, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5995), perlu
untuk mengatur ketentuan pelaksanaan mengenai pedoman perhitungan
jumlah dana tabarru’ dan dana tanahud minimum berbasis risiko dan
modal minimum berbasis risiko bagi perusahaan asuransi dan perusahaan
reasuransi dengan prinsip syariah dalam Surat Edaran Otoritas Jasa
Keuangan sebagai berikut:
I. KETENTUAN UMUM
Dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud
dengan:
1. Perusahaan adalah perusahaan asuransi syariah, perusahaan
reasuransi syariah, dan unit syariah.
- 2 -
2. Unit Syariah adalah unit kerja di kantor pusat perusahaan
asuransi atau perusahaan reasuransi yang berfungsi sebagai
kantor induk dari kantor di luar kantor pusat yang menjalankan
usaha berdasarkan prinsip syariah.
3. Perusahaan Asuransi Syariah adalah perusahaan asuransi
umum syariah dan perusahaan asuransi jiwa
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun
2014 tentang Perasuransian.
4. Perusahaan Reasuransi Syariah adalah perusahaan yang
menyelenggarakan usaha pengelolaan risiko berdasarkan prinsip
syariah atas risiko yang dihadapi oleh Perusahaan Asuransi
Syariah, perusahaan penjaminan syariah, atau Perusahaan
Reasuransi Syariah lainnya, termasuk Unit Syariah dari
perusahaan reasuransi.
5. Pihak adalah orang atau badan usaha, baik yang berbentuk
badan hukum maupun yang tidak berbentuk badan hukum
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun
2014 tentang Perasuransian.
6. Produk Asuransi Yang Dikaitkan Dengan Investasi yang
selanjutnya disebut PAYDI adalah produk asuransi yang paling
sedikit memberikan perlindungan terhadap risiko kematian dan
memberikan manfaat yang mengacu pada hasil investasi
dari kumpulan dana yang khusus dibentuk untuk produk
asuransi baik yang dinyatakan dalam bentuk unit maupun
bukan unit.
7. Aset Yang Diperkenankan yang selanjutnya disingkat AYD
adalah aset yang diperhitungkan dalam perhitungan tingkat
solvabilitas.
8. Modal Minimum Berbasis Risiko yang selanjutnya disingkat
MMBR adalah jumlah dana yang dibutuhkan untuk
mengantisipasi risiko kerugian yang mungkin timbul sebagai
akibat dari deviasi dalam pengelolaan aset dan liabilitas dari
dana Perusahaan.
syariah
- 3 -
9. Dana Tabarru’ dan Dana Tanahud Minimum Berbasis Risiko
yang selanjutnya disingkat DTMBR adalah jumlah dana
yang dibutuhkan untuk mengantisipasi risiko kerugian yang
mungkin timbul sebagai akibat dari deviasi dalam pengelolaan
aset dan liabilitas dari dana tabarru’ dan dana tanahud.
10. Tingkat Solvabilitas Dana Tabarru’ dan Dana Tanahud adalah
selisih antara jumlah AYD dari dana tabarru’ dan dana tanahud
dikurangi dengan liabilitas dari pengelolaan dana tabarru’ dan
dana tanahud.
11. Tingkat Solvabilitas Dana Perusahaan adalah selisih antara
jumlah AYD dari dana Perusahaan dikurangi dengan liabilitas
dari pengelolaan dana Perusahaan.
12. Liabilitas adalah kewajiban sebagaimana dimaksud dalam
peraturan perundang-undangan di bidang perasuransian.
II. PERHITUNGAN DANA TABARRU’ MINIMUM BERBASIS RISIKO DAN
MODAL MINIMUM BERBASIS RISIKO
1. DTMBR dan MMBR bagi Perusahaan ditetapkan berdasarkan
besar risiko kerugian yang mungkin timbul sebagai akibat dari
deviasi dalam pengelolaan aset dan Liabilitas dari pengelolaan
dana tabarru’ dan dana perusahaan.
2. Perhitungan jumlah dana sebagaimana dimaksud pada angka 1
harus dilakukan berdasarkan pedoman sebagaimana dimaksud
dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini.
III. KETENTUAN PENUTUP
1. Ketentuan dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini mulai
berlaku pada tanggal 1 Juli 2017.
2. Pada saat Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini mulai
berlaku, Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan
Lembaga
Keuangan
Nomor
PER-07/BL/2011
Pedoman Perhitungan Jumlah Dana yang
tentang
Diperlukan
untuk Mengantisipasi Risiko Kerugian Pengelolaan Dana
Tabarru’ dan Perhitungan Jumlah Dana yang Harus
Disediakan Perusahaan untuk Mengantisipasi Risiko Kerugian
- 4 -
yang Mungkin Timbul dalam Penyelenggaraan Usaha Asuransi
dan Usaha Reasuransi dengan Prinsip Syariah, dicabut
dan dinyatakan tidak berlaku.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 13 Juni 2017
KEPALA EKSEKUTIF PENGAWAS
PERASURANSIAN, DANA PENSIUN,
LEMBAGA PEMBIAYAAN, DAN
LEMBAGA JASA KEUANGAN LAINNYA
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
FIRDAUS DJAELANI
Salinan ini sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
"," SEOJK
25/SEOJK.05/2017
PEDOMAN PERHITUNGAN JUMLAH DANA TABARRU’ DAN DANA TANAHUD MINIMUM BERBASIS RISIKO DAN MODAL MINIMUM BERBASIS RISIKO BAGI PERUSAHAAN ASURANSI DAN PERUSAHAAN REASURANSI DENGAN PRINSIP SYARIAH
13 Juni 2017
1 Juli 2017
'PER-07/BL/2011|PERTA-BAPEPAM-LK/2011'
'72/POJK.05/2016 | Pasal 12 ayat (4)'
"
" Yth.
PT Asabri (Persero)
di Tempat
SALINAN
SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 15/SEOJK.05/2013
TENTANG
LAPORAN BULANAN PT ASABRI (PERSERO)
Sehubungan dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
3/POJK.05/2013 tanggal 12 September 2013 tentang Laporan
Bulanan Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 150, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5443), maka perlu diatur
ketentuan pelaksanaan mengenai laporan bulanan PT Asabri
(Persero) dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan sebagai
berikut:
I. KETENTUAN UMUM
1. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat OJK
adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur
tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan
wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan
penyidikan, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
2. Laporan Bulanan adalah laporan keuangan yang disusun oleh
lembaga jasa keuangan non bank untuk kepentingan OJK,
yang meliputi periode tanggal 1 sampai dengan akhir bulan
berjalan dan disampaikan sesuai format dan menurut tata
cara yang ditentukan oleh OJK.
II. BENTUK...
-2-
II. BENTUK DAN SUSUNAN LAPORAN BULANAN
Bentuk dan susunan laporan bulanan bagi PT Asabri (Persero),
adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran OJK ini.
III. WAKTU PENYAMPAIAN LAPORAN BULANAN
1. PT Asabri (Persero) wajib menyampaikan Laporan Bulanan
kepada OJK paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya.
2. Dalam hal tanggal 10 sebagaimana dimaksud pada angka 1
jatuh pada hari libur, maka Laporan Bulanan wajib
disampaikan pada hari kerja berikutnya.
IV. TATA CARA PENYAMPAIAN
1. Penyampaian Laporan Bulanan dilakukan secara online
melalui sistem jaringan komunikasi data OJK.
2. Dalam hal sistem jaringan komunikasi data OJK belum
tersedia maka Laporan Bulanan disampaikan secara online
melalui surat elektronik (email) resmi perusahaan dengan
melampirkan softcopy laporan bulanan dalam format
spreadsheet ke LB.ASOS@ojk.go.id
3. Dalam hal Laporan Bulanan disampaikan secara offline,
penyampaian dilakukan melalui surat yang ditandatangani
oleh paling sedikit satu anggota direksi dan ditujukan kepada:
Otoritas Jasa Keuangan
u.p. Direktur Pengawasan Perasuransian
Gedung Sumitro Djojohadikusumo Lantai 14
Jl. Lapangan Banteng Timur Nomor 2-4
Jakarta 10710
4. Penyampaian...
-3-
4. Penyampaian Laporan Bulanan secara offline sebagaimana
dimaksud pada angka 3 dapat dilakukan dengan salah satu
cara sebagai berikut:
a. diserahkan langsung ke kantor OJK;
b. dikirim melalui kantor pos secara tercatat; atau
c. dikirim melalui perusahaan jasa pengiriman/titipan.
5. PT Asabri (Persero) dinyatakan telah menyampaikan laporan
bulanan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. untuk penyampaian secara online melalui email, dibuktikan
dengan email tanda terima dari OJK,
b. untuk penyampaian secara offline, dibuktikan dengan:
1) surat tanda terima dari OJK, apabila laporan
diserahkan langsung ke kantor OJK; atau
2) tanda terima pengiriman dari kantor pos atau
perusahaan jasa pengiriman/titipan, apabila laporan
dikirim melalui kantor pos atau perusahaan jasa
pengiriman/titipan.
6. Dalam hal terdapat perubahan alamat surat elektronik (email)
OJK sebagaimana dimaksud pada angka 2 dan/atau
perubahan alamat kantor OJK sebagaimana dimaksud pada
angka 3, OJK akan menyampaikan perubahan alamat melalui
surat atau pengumuman.
V. KETENTUAN SANKSI
1. OJK menetapkan sanksi administratif berupa teguran tertulis
pertama sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (3) Peraturan
OJK Nomor 3/POJK.05/2013 tentang Laporan Bulanan
Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank dengan jangka waktu
pemenuhan kewajiban penyampaian Laporan Bulanan paling
lama 30 (tiga puluh) hari sejak ditetapkannya sanksi
administratif berupa teguran tertulis pertama.
2. Apabila...
-4-
2. Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada
angka 1 kewajiban penyampaian Laporan Bulanan belum
dipenuhi, OJK menetapkan sanksi administratif berupa
teguran tertulis kedua sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat
(4) Peraturan OJK Nomor 3/POJK.05/2013 tentang Laporan
Bulanan Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank, dengan jangka
waktu pemenuhan kewajiban penyampaian Laporan Bulanan
paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak ditetapkannya sanksi
administratif berupa teguran tertulis kedua.
3. Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada
angka 2 kewajiban penyampaian Laporan Bulanan belum
dipenuhi, OJK menetapkan sanksi administratif berupa
teguran tertulis ketiga sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat
(4) Peraturan OJK Nomor 3/POJK.05/2013 tentang Laporan
Bulanan Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank, dengan jangka
waktu pemenuhan kewajiban penyampaian Laporan Bulanan
paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak ditetapkannya sanksi
administratif berupa teguran tertulis ketiga.
VI. KETENTUAN PERALIHAN
1. PT Asabri (Persero) wajib menyampaikan Laporan Bulanan
kepada OJK untuk periode laporan bulan September 2013
sampai dengan periode laporan bulan Agustus 2014 paling
lambat akhir bulan berikutnya.
2. Dalam hal akhir bulan berikutnya sebagaimana dimaksud
pada angka 1 jatuh pada hari libur, maka Laporan Bulanan
wajib disampaikan pada hari kerja berikutnya.
3. Selama periode laporan bulan September 2013 sampai dengan
periode laporan bulan Agustus 2014, PT Asabri (Persero) tidak
diwajibkan untuk menyampaikan laporan bulan September
2013, Desember 2013, Maret 2014, dan Juni 2014.
VII. PENUTUP...
-5-
VII. PENUTUP
Surat Edaran OJK ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman
Surat Edaran OJK ini dengan penempatannya dalam Berita
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 25 November 2013
KEPALA EKSEKUTIF PENGAWAS IKNB
OTORITAS JASA KEUANGAN,
Ttd.
FIRDAUS DJAELANI
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Bagian Bantuan Hukum
Direktorat Hukum
Ttd.
Mufli Asmawidjaja
"," SEOJK
15/SEOJK.05/2013
LAPORAN BULANAN PT ASABRI (PERSERO)
25 November 2013
25 November 2013
'3/POJK.05/2013'
'Romawi V'
"
" Yth.
PT Askes (Persero)
di Tempat
SALINAN
SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 17/SEOJK.05/2013
TENTANG
LAPORAN BULANAN PT ASKES (PERSERO)
Sehubungan dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
3/POJK.05/2013 tanggal 12 September 2013 tentang Laporan
Bulanan Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 150, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5443), maka perlu diatur
ketentuan pelaksanaan mengenai laporan bulanan PT Askes (Persero)
dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan sebagai berikut:
I. KETENTUAN UMUM
1. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat OJK
adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur
tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan
wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan
penyidikan, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
2. Laporan Bulanan adalah laporan keuangan yang disusun oleh
lembaga jasa keuangan non bank untuk kepentingan OJK,
yang meliputi periode tanggal 1 sampai dengan akhir bulan
berjalan dan disampaikan sesuai format dan menurut tata
cara yang ditentukan oleh OJK.
II. BENTUK DAN SUSUNAN LAPORAN BULANAN
Bentuk dan susunan laporan bulanan bagi PT Askes (Persero),
adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran OJK ini.
II. BENTUK...
-2-
III. WAKTU PENYAMPAIAN LAPORAN BULANAN
1. PT Askes (Persero) wajib menyampaikan Laporan Bulanan
kepada OJK paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya
2. Dalam hal tanggal 10 sebagaimana dimaksud pada angka 1
jatuh pada hari libur, maka Laporan Bulanan wajib
disampaikan pada hari kerja berikutnya.
IV. TATA CARA PENYAMPAIAN
1. Penyampaian Laporan Bulanan dilakukan secara online
melalui sistem jaringan komunikasi data OJK.
2. Dalam hal sistem jaringan komunikasi data OJK belum
tersedia maka Laporan Bulanan disampaikan secara online
melalui surat elektronik (email) resmi perusahaan dengan
melampirkan softcopy laporan bulanan dalam format
spreadsheet ke LB.ASOS@ojk.go.id
3. Dalam hal Laporan Bulanan disampaikan secara offline,
penyampaian dilakukan melalui surat yang ditandatangani
oleh direksi dan ditujukan kepada:
Otoritas Jasa Keuangan
u.p. Direktur Pengawasan Perasuransian
Gedung Sumitro Djojohadikusumo Lantai 14
Jl. Lapangan Banteng Timur Nomor 2-4
Jakarta 10710
4. Penyampaian Laporan Bulanan secara offline sebagaimana
dimaksud pada angka 3 dapat dilakukan dengan salah satu
cara sebagai berikut:
a. diserahkan...
-3-
a. diserahkan langsung ke kantor OJK;
b. dikirim melalui kantor pos secara tercatat; atau
c. dikirim melalui perusahaan jasa pengiriman/titipan.
5. PT Askes (Persero) dinyatakan telah menyampaikan Laporan
Bulanan dengan ketentuan sebagai beikut:
a. untuk penyampaian secara online melalui email,
dibuktikan dengan email tanda terima dari OJK,
b. untuk penyampaian secara offline, dibuktikan dengan:
1) surat tanda terima dari OJK, apabila laporan
diserahkan langsung ke kantor OJK; atau
2) tanda terima pengiriman dari kantor pos atau
perusahaan jasa pengiriman/titipan, apabila laporan
dikirim melalui kantor pos atau perusahaan jasa
pengiriman/titipan.
6. Dalam hal terdapat perubahan alamat surat elektronik
(email) OJK sebagaimana dimaksud pada angka 2 dan/atau
perubahan alamat kantor OJK sebagaimana dimaksud pada
angka 3, OJK akan menyampaikan perubahan alamat
melalui surat atau pengumuman.
V. KETENTUAN SANKSI
1. OJK menetapkan sanksi administratif berupa teguran tertulis
pertama sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (3) Peraturan
OJK Nomor 3/POJK.05/2013 tentang Laporan Bulanan
Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank dengan jangka waktu
pemenuhan kewajiban penyampaian Laporan Bulanan paling
lama 30 (tiga puluh) hari sejak ditetapkannya sanksi
administratif berupa teguran tertulis pertama.
2. Apabila...
-4-
2. Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada
angka 1 kewajiban penyampaian Laporan Bulanan belum
dipenuhi, OJK menetapkan sanksi administratif berupa
teguran tertulis kedua sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat
(4) Peraturan OJK Nomor 3/POJK.05/2013 tentang Laporan
Bulanan Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank, dengan jangka
waktu pemenuhan kewajiban penyampaian Laporan Bulanan
paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak ditetapkannya sanksi
administratif berupa teguran tertulis kedua.
3. Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada
angka 2 kewajiban penyampaian Laporan Bulanan belum
dipenuhi, OJK menetapkan sanksi administratif berupa
teguran tertulis ketiga sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat
(4) Peraturan OJK Nomor 3/POJK.05/2013 tentang Laporan
Bulanan Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank, dengan jangka
waktu pemenuhan kewajiban penyampaian Laporan Bulanan
paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak ditetapkannya sanksi
administratif berupa teguran tertulis ketiga.
VI. KETENTUAN PERALIHAN
1. PT Askes (Persero) wajib menyampaikan Laporan Bulanan
kepada OJK untuk periode tahun 2013 yaitu hanya bulan
Oktober 2013 dan November 2013 paling lambat akhir bulan
berikutnya.
2. Dalam hal akhir bulan berikutnya sebagaimana dimaksud
pada angka 1 jatuh pada hari libur, maka Laporan Bulanan
wajib disampaikan pada hari kerja berikutnya.
VII. PENUTUP...
-5-
VII. PENUTUP
Surat Edaran OJK ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman
Surat Edaran OJK ini dengan penempatannya dalam Berita
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 25 November 2013
KEPALA EKSEKUTIF PENGAWAS IKNB
OTORITAS JASA KEUANGAN,
FIRDAUS DJAELANI
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Bagian Bantuan Hukum
Direktorat Hukum
Ttd.
Mufli Asmawidjaja
"," SEOJK
17/SEOJK.05/2013
LAPORAN BULANAN PT ASKES (PERSERO)
25 November 2013
25 November 2013
'3/POJK.05/2013'
'Romawi V'
"
" Yth.
Direksi Perusahaan Pergadaian
di tempat.
SALINAN
SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 53 /SEOJK.05/2017
TENTANG
PENYELENGGARAAN USAHA PERUSAHAAN PERGADAIAN YANG
MENYELENGGARAKAN KEGIATAN USAHA BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH
Sehubungan dengan amanat ketentuan Pasal 13 ayat (5), Pasal 17 ayat
(3), Pasal 21 ayat (2), Pasal 22 ayat (4), dan Pasal 27 ayat (3) Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan Nomor 31/POJK.05/2016 tentang Usaha Pergadaian
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 152, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5913), perlu untuk mengatur
ketentuan pelaksanaan mengenai penyelenggaraan usaha perusahaan
pergadaian yang menyelenggarakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip
syariah dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan sebagai berikut:
I. KETENTUAN UMUM
1. Usaha Pergadaian adalah segala usaha menyangkut pemberian
pinjaman dengan jaminan barang bergerak, jasa titipan, jasa
taksiran, dan/atau jasa lainnya, termasuk yang diselenggarakan
berdasarkan prinsip syariah.
2. Usaha Pergadaian Syariah adalah Usaha Pergadaian yang
diselenggarakan berdasarkan prinsip syariah.
3. Perusahaan Pergadaian adalah perusahaan pergadaian swasta dan
perusahaan pergadaian pemerintah yang diatur dan diawasi oleh
Otoritas Jasa Keuangan.
4. Perusahaan adalah Perusahaan Pergadaian yang menyelenggarakan
kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah.
- 2 -
5. Direksi:
a. bagi Perusahaan Pergadaian yang berbentuk badan hukum
perseroan terbatas adalah direksi sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas; atau
b. bagi Perusahaan Pergadaian yang berbentuk badan hukum
koperasi adalah pengurus sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian.
6. Surat Bukti Gadai adalah surat tanda bukti perjanjian pinjam
meminjam uang dengan jaminan yang ditandatangani oleh
Perusahaan Pergadaian dan nasabah.
7. Uang Pinjaman adalah uang yang dipinjamkan oleh Perusahaan
Pergadaian kepada nasabah.
8. Barang Jaminan adalah setiap barang bergerak yang dijadikan
jaminan oleh nasabah kepada Perusahaan Pergadaian.
9. Uang Kelebihan adalah selisih lebih dari hasil penjualan Barang
Jaminan dikurangi dengan jumlah Uang Pinjaman, bunga/jasa
simpan, biaya untuk melelang, dan biaya menyelamatkan barang
tersebut.
10. Hari adalah hari kerja.
11. Nasabah adalah orang perseorangan atau badan usaha yang
menerima Uang Pinjaman dengan jaminan berupa Barang Jaminan
dan/atau memanfaatkan layanan lainnya yang tersedia di
Perusahaan Pergadaian.
12. Prinsip Syariah adalah ketentuan hukum Islam berdasarkan fatwa
dan/atau pernyataan kesesuaian syariah dari Dewan Syariah
Nasional Majelis Ulama Indonesia.
II. PENGGUNAAN AKAD DALAM PELAKSANAAN KEGIATAN USAHA
PERGADAIAN SYARIAH
1. Kegiatan Usaha Pergadaian Syariah meliputi:
a. penyaluran Uang Pinjaman dengan jaminan berdasarkan
hukum gadai;
b. penyaluran Uang Pinjaman dengan jaminan berdasarkan
fidusia;
c. pelayanan jasa titipan barang berharga; dan/atau
d. pelayanan jasa taksiran.
- 3 -
2. Kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada angka 1 dilaksanakan
dengan menggunakan akad:
a. rahn;
b. rahn tasjily;
c.
ijarah; dan/atau
d. akad lainnya dengan persetujuan Otoritas Jasa Keuangan.
3. Penyaluran Uang Pinjaman dengan jaminan berdasarkan hukum
gadai sebagaimana dimaksud pada angka 1 huruf a dapat
dilakukan dengan menggabungkan akad qardh dan ijarah.
III. KEGIATAN LAIN YANG TIDAK TERKAIT USAHA PERGADAIAN SYARIAH
YANG MEMBERIKAN PENDAPATAN BERDASARKAN KOMISI
BASED INCOME)
1. Perusahaan dapat melakukan kegiatan lain yang tidak terkait
Usaha Pergadaian Syariah yang memberikan pendapatan
berdasarkan komisi
(fee based income) sepanjang tidak
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di bidang
jasa keuangan.
2. Kegiatan lain yang tidak terkait Usaha Pergadaian Syariah yang
memberikan pendapatan berdasarkan komisi (fee based income)
sebagaimana dimaksud pada angka 1 antara lain:
a. pemasaran produk dari lembaga jasa keuangan yang telah
mendapat izin dari Otoritas Jasa Keuangan;
b. agen layanan keuangan tanpa kantor dalam rangka keuangan
inklusif; dan/atau
c. agen jasa pengiriman uang (remittance).
3. Pendapatan Perusahaan dari kegiatan lain yang tidak terkait Usaha
Pergadaian Syariah yang memberikan pendapatan berdasarkan
komisi (fee based income) paling tinggi sebesar 20% (dua puluh
persen) dari total aset Perusahaan.
Total aset yang digunakan untuk menghitung pendapatan
berdasarkan komisi
(fee based income) diperoleh dari neraca
laporan berkala terakhir Perusahaan dan tidak termasuk neraca
anak Perusahaan (non-konsolidasi).
(FEE
- 4 -
IV. KEGIATAN USAHA LAIN PERUSAHAAN DENGAN PERSETUJUAN
OTORITAS JASA KEUANGAN
A. KRITERIA KEGIATAN USAHA LAIN PERUSAHAAN DENGAN
PERSETUJUAN OTORITAS JASA KEUANGAN
1. Perusahaan dapat melakukan kegiatan usaha lain dengan
persetujuan Otoritas Jasa Keuangan.
2.
Kriteria kegiatan usaha lain sebagaimana dimaksud pada angka
1 dilakukan dalam rangka:
a. penugasan pemerintah;
b. pengembangan produk Usaha Pergadaian Syariah;
dan/atau
c. kerja sama dalam rangka perolehan bisnis.
3. Pengembangan produk Usaha Pergadaian Syariah sebagaimana
dimaksud pada angka 2 huruf b dilakukan dengan mengubah
atau memodifikasi fitur produk Usaha Pergadaian Syariah
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
4. Kerja sama dalam rangka perolehan bisnis sebagaimana
dimaksud pada angka 2 huruf c dilakukan dengan memenuhi
ketentuan:
a. dituangkan dalam perjanjian kerja sama tertulis;
b. tidak bertujuan untuk melakukan penguasaan pasar;
c.
tidak memiliki benturan kepentingan dengan pihak yang
melakukan kerja sama dengan Perusahaan; dan
d. menggunakan akad sebagaimana dimaksud pada romawi II
angka 2.
5. Permohonan persetujuan kegiatan usaha lain dengan kriteria
kerja sama dalam rangka perolehan bisnis sebagaimana
dimaksud pada angka 2 huruf c dapat dilakukan 1 (satu) kali
sepanjang skema kerja sama tidak berbeda meskipun kerja
sama dilakukan dengan pihak yang berbeda.
B. PERSYARATAN PERMOHONAN PERSETUJUAN KEGIATAN USAHA
LAIN PERUSAHAAN
1. Perusahaan yang akan melakukan kegiatan usaha lain
sebagaimana dimaksud dalam huruf A angka 1 harus memenuhi
persyaratan tidak sedang dikenakan sanksi oleh Otoritas Jasa
Keuangan.
- 5 -
2. Selain persyaratan sebagaimana dimaksud pada angka 1,
Perusahaan yang akan melakukan kegiatan usaha lain harus
memiliki:
a. sumber daya manusia yang memadai untuk melakukan
kegiatan usaha lain:
Sebagai contoh, Perusahaan yang akan menggunakan akad
lain berupa akad XYZ harus memiliki pegawai yang
memahami skema penggunaan akad XYZ tersebut;
b.
infrastruktur yang memadai untuk melakukan kegiatan
usaha lain;
c. metode penyelenggaraan kegiatan usaha lain (standard
operating procedure); dan
d. kondisi keuangan tidak merugi pada laporan berkala
terakhir.
C. PERMOHONAN PERSETUJUAN KEGIATAN USAHA LAIN
PERUSAHAAN
1. Permohonan persetujuan kegiatan usaha lain disampaikan
kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan disertai dokumen yang
berisi uraian paling sedikit mengenai:
a. kegiatan usaha lain yang akan dilakukan, termasuk
prosedur dan skema kegiatan usaha lain yang akan
dilakukan;
b. draf perjanjian yang akan digunakan dan mencerminkan
akad yang akan digunakan;
c. hak dan kewajiban para pihak;
d. analisis prospek kegiatan usaha lain yang akan dilakukan;
e.
mitigasi risiko atas kegiatan usaha
dilakukan; dan
f.
lain yang akan
opini dan/atau persetujuan dewan pengawas syariah
Perusahaan atas pemenuhan Prinsip Syariah untuk
kegiatan usaha lain yang akan dilakukan.
2. Penyampaian permohonan persetujuan kegiatan usaha lain
kepada Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada
angka 1 harus menggunakan:
a. format 1 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran
- 6 -
Otoritas Jasa Keuangan ini, yang ditujukan kepada Kepala
Eksekutif Pengawas Perasuransian, Dana Pensiun,
Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan
Lainnya u.p. Direktur IKNB Syariah, bagi Perusahaan yang
kantor pusatnya berkedudukan di wilayah DKI Jakarta dan
Banten; atau
b. format 2 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran
Otoritas Jasa Keuangan ini, yang ditujukan kepada Kepala
Eksekutif Pengawas Perasuransian, Dana Pensiun,
Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan
Lainnya u.p. Kepala Otoritas Jasa Keuangan Regional atau
Kepala Otoritas Jasa Keuangan sesuai dengan lokasi kantor
pusat Perusahaan dengan tembusan kepada Direktur IKNB
Syariah,
bagi Perusahaan yang kantor pusatnya
berkedudukan di luar wilayah DKI Jakarta dan Banten.
3. Penyampaian permohonan persetujuan kegiatan usaha lain
kepada Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada
angka 2 dilengkapi formulir sebagaimana tercantum dalam
format 3 Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini.
4. Penyampaian permohonan persetujuan kegiatan usaha lain
sebagaimana dimaksud pada angka 2 mengacu pada tata cara
penyampaian sesuai dengan ketentuan dalam Surat Edaran
Otoritas Jasa Keuangan ini.
D. PEMBERIAN PERSETUJUAN KEGIATAN USAHA LAIN PERUSAHAAN
1. Otoritas Jasa Keuangan memberikan persetujuan atau
penolakan atas permohonan persetujuan kegiatan usaha lain
paling lama 20 (dua puluh) Hari sejak dokumen permohonan
persetujuan kegiatan usaha lain diterima secara lengkap dan
sesuai dengan persyaratan dalam Surat Edaran Otoritas Jasa
Keuangan ini.
2. Jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) Hari sebagaimana
dimaksud pada angka 1 tidak termasuk waktu yang diberikan
kepada Perusahaan untuk melengkapi, menambah, dan/atau
memperbaiki dokumen yang dipersyaratkan.
- 7 -
3. Otoritas Jasa Keuangan memberikan persetujuan atau
penolakan atas permohonan persetujuan kegiatan usaha lain
sebagaimana dimaksud pada angka 1 berdasarkan:
a. penelitian atas kelengkapan dan kesesuaian dokumen;
b.
analisis kegiatan usaha lain yang akan dilakukan,
termasuk prosedur dan skema kegiatan usaha lain yang
akan dilakukan;
c.
analisis draf perjanjian yang akan digunakan dan
mencerminkan akad yang akan digunakan;
d. analisis atas hak dan kewajiban para pihak;
e. analisis prospek kegiatan usaha lain yang akan dilakukan;
f.
g.
analisis mitigasi risiko atas kegiatan usaha lain yang akan
dilakukan; dan
analisis atas opini dan/atau persetujuan dewan pengawas
syariah Perusahaan atas pemenuhan Prinsip Syariah untuk
kegiatan usaha lain yang akan dilakukan.
4. Apabila diperlukan, Otoritas Jasa Keuangan dapat meminta
keterangan lebih lanjut kepada Perusahaan mengenai kegiatan
usaha lain yang diajukan.
5. Penelitian atas kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud
pada angka 3 huruf a mencakup kelengkapan isi dan format
dokumen sesuai dengan format 1 atau format 2 persyaratan
pengajuan permohonan persetujuan kegiatan usaha lain
Perusahaan sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Surat Edaran
Otoritas Jasa Keuangan ini.
6. Dalam hal dokumen permohonan persetujuan kegiatan usaha
lain yang disampaikan dinilai telah lengkap dan kegiatan usaha
lain yang diajukan dinilai layak, Otoritas Jasa Keuangan
memberikan surat persetujuan kegiatan usaha lain yang dapat
dijalankan oleh Perusahaan.
7. Dalam hal dokumen permohonan persetujuan kegiatan usaha
lain yang disampaikan dinilai belum lengkap, Otoritas Jasa
Keuangan menyampaikan surat permintaan kelengkapan
dokumen kepada Perusahaan.
- 8 -
8. Perusahaan harus menyampaikan kelengkapan kekurangan
dokumen sebagaimana dimaksud pada angka 7 paling lambat
20 (dua puluh) Hari sejak tanggal surat permintaan kelengkapan
dokumen dari Otoritas Jasa Keuangan.
9. Dalam hal Perusahaan tidak dapat melengkapi kekurangan
dokumen dalam batas waktu sebagaimana dimaksud pada
angka 8, maka permohonan persetujuan kegiatan usaha lain
Perusahaan dinyatakan batal.
10. Perusahaan yang permohonan persetujuan kegiatan usaha
lainnya dinyatakan batal oleh Otoritas Jasa Keuangan
sebagaimana dimaksud pada angka 9 dapat menyampaikan
kembali permohonan persetujuan kegiatan usaha lain kepada
Otoritas Jasa Keuangan.
11. Dalam hal Perusahaan telah memenuhi kekurangan dokumen
dalam batas waktu sebagaimana dimaksud pada angka 8 dan
berdasarkan penilaian dari Otoritas Jasa Keuangan dokumen
permohonan persetujuan kegiatan usaha lain yang disampaikan
dinilai telah lengkap dan kegiatan usaha lain yang diajukan
dinilai layak, Otoritas Jasa Keuangan memberikan surat
persetujuan kegiatan usaha lain yang dapat dijalankan oleh
Perusahaan.
12. Otoritas Jasa Keuangan dapat menolak permohonan
persetujuan kegiatan usaha lain apabila penilaian terhadap
kegiatan usaha lain yang diajukan dinilai tidak layak meskipun
dokumen permohonan persetujuan kegiatan usaha lain yang
disampaikan telah lengkap dan sesuai dengan persyaratan
dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini.
E. PENYELENGGARAAN KEGIATAN USAHA LAIN PERUSAHAAN
1. Perusahaan harus menyelenggarakan kegiatan usaha lain paling
lama 20 (dua puluh) Hari sejak tanggal surat persetujuan
kegiatan usaha lain dari Otoritas Jasa Keuangan.
2. Perusahaan harus menyampaikan laporan pelaksanaan kegiatan
usaha lain sebagaimana dimaksud pada angka 1 kepada
Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 15 (lima belas) Hari sejak
tanggal dimulainya kegiatan usaha lain.
- 9 -
3. Penyampaian laporan pelaksanaan kegiatan usaha lain
sebagaimana dimaksud pada angka 2 harus menggunakan:
a. format 4 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran
Otoritas Jasa Keuangan ini, yang ditujukan kepada Kepala
Eksekutif Pengawas Perasuransian, Dana Pensiun,
Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan
Lainnya u.p. Direktur IKNB Syariah, bagi Perusahaan yang
kantor pusatnya berkedudukan di wilayah DKI Jakarta dan
Banten; atau
b. format 5 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran
Otoritas Jasa Keuangan ini, yang ditujukan kepada Kepala
Eksekutif Pengawas Perasuransian, Dana Pensiun,
Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan
Lainnya u.p. Kepala Otoritas Jasa Keuangan Regional atau
Kepala Otoritas Jasa Keuangan sesuai dengan lokasi kantor
pusat Perusahaan dengan tembusan kepada Direktur IKNB
Syariah, bagi Perusahaan yang kantor pusatnya
berkedudukan di luar wilayah DKI Jakarta dan Banten,
dan dilampiri dengan:
a. fotokopi perjanjian; dan
b. formulir sebagaimana tercantum dalam format 6 Lampiran
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat
Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini.
4. Penyampaian laporan pelaksanaan kegiatan usaha lain
sebagaimana dimaksud pada angka 3 mengacu pada tata cara
penyampaian yang sesuai dengan ketentuan dalam Surat
Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini.
F. TATA CARA PENYAMPAIAN PERMOHONAN PERSETUJUAN
KEGIATAN USAHA LAIN DAN LAPORAN PELAKSANAAN KEGIATAN
USAHA LAIN
1. Penyampaian permohonan persetujuan kegiatan usaha lain
sebagaimana dimaksud pada huruf C angka 4 dan laporan
pelaksanaan kegiatan usaha lain sebagaimana dimaksud pada
huruf E angka 4 disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan
- 10 -
secara dalam jaringan (online) melalui sistem jaringan
komunikasi data Otoritas Jasa Keuangan.
2. Dalam hal sistem jaringan komunikasi data Otoritas Jasa
Keuangan sebagaimana dimaksud pada angka 1 belum tersedia
atau terjadi gangguan teknis pada saat penyampaian
permohonan persetujuan kegiatan usaha lain atau laporan
pelaksanaan kegiatan usaha lain maka permohonan persetujuan
kegiatan usaha lain atau laporan pelaksanaan kegiatan usaha
lain dimaksud disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan
secara luar jaringan (offline), dengan salah satu cara sebagai
berikut:
a. diserahkan langsung kepada Otoritas Jasa Keuangan; atau
b. dikirim melalui perusahaan jasa pengiriman.
3. Dalam hal terjadi gangguan teknis sebagaimana dimaksud pada
angka 2, Otoritas Jasa Keuangan mengumumkan terjadinya
gangguan teknis dimaksud melalui situs web Otoritas Jasa
Keuangan.
4. Permohonan persetujuan kegiatan usaha lain atau laporan
pelaksanaan kegiatan usaha lain sebagaimana dimaksud pada
angka 2 harus disampaikan dalam bentuk cetak (hardcopy) atau
dalam bentuk data elektronik dengan menggunakan media
berupa compact disc (CD) atau media penyimpanan data
elektronik lainnya.
5. Dalam hal gangguan teknis telah berhasil diatasi dan sistem
jaringan komunikasi data Otoritas Jasa Keuangan telah kembali
normal maka permohonan persetujuan kegiatan usaha lain
atau laporan pelaksanaan kegiatan usaha lain disampaikan
kembali secara online.
6. Penyampaian permohonan persetujuan kegiatan usaha lain atau
laporan pelaksanaan kegiatan usaha lain sebagaimana
dimaksud pada angka 2 harus dilengkapi surat pengantar dalam
bentuk cetak (hardcopy) yang ditandatangani oleh Direksi
Perusahaan dan disampaikan secara tertulis oleh Direksi
Perusahaan.
7. Perusahaan dinyatakan telah menyampaikan permohonan
kegiatan usaha lain atau laporan pelaksanaan kegiatan usaha
lain dengan ketentuan sebagai berikut:
- 11 -
a. untuk penyampaian secara online melalui sistem jaringan
komunikasi data Otoritas Jasa Keuangan, dibuktikan
dengan tanda terima dari Otoritas Jasa Keuangan; atau
b. untuk penyampaian secara offline, dibuktikan dengan:
1) surat tanda terima dari Otoritas Jasa Keuangan,
apabila laporan diserahkan langsung sebagaimana
dimaksud pada angka 2 huruf a; atau
2) tanda terima pengiriman dari perusahaan jasa
pengiriman, apabila laporan dikirim melalui
perusahaan jasa pengiriman sebagaimana dimaksud
pada angka 2 huruf b.
V. BARANG JAMINAN
A. KRITERIA BARANG JAMINAN
1.
Kriteria barang yang dapat diterima sebagai Barang Jaminan
ditetapkan dalam pedoman Perusahaan.
2. Pedoman Perusahaan yang memuat kriteria Barang Jaminan
yang dapat diterima sebagaimana dimaksud pada angka 1
disusun sesuai dengan ketentuan dalam Surat Edaran Otoritas
Jasa Keuangan ini.
3.
Kriteria barang yang dapat diterima sebagai Barang Jaminan
sebagaimana dimaksud pada angka 1 meliputi:
a. memiliki nilai ekonomis; dan
b. tidak melanggar ketentuan peraturan perundang-
undangan.
4. Barang yang dapat diterima sebagai Barang Jaminan
sebagaimana dimaksud pada angka 3 antara lain:
a. barang perhiasan seperti emas, intan, permata, dan berlian;
b. kendaraan seperti mobil, sepeda motor, dan sepeda;
c. barang rumah tangga seperti perabotan rumah tangga,
gerabah, dan peralatan elektronik;
d. mesin yang dapat dipindahkan seperti traktor, pompa air,
generator, dan gergaji mesin (chainsaw);
e.
f.
tekstil seperti bahan pakaian, kain, sarung, sprei, dan
permadani/ambal;
aksesoris seperti jam tangan, tas, dompet, topi, sepatu, dan
kaca mata; dan/atau
- 12 -
g. surat berharga, surat bukti kepemilikan, surat penting, dan
surat lainnya yang mempunyai nilai ekonomis.
5. Perusahaan tidak dapat menerima Barang Jaminan dengan
kriteria antara lain:
a. barang milik pemerintah seperti perlengkapan Tentara
Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Negara Republik
Indonesia (POLRI);
b. barang yang mudah busuk, susut, dan/atau kadaluarsa,
seperti makanan, minuman, dan obat-obatan;
c. barang yang berbahaya dan mudah terbakar seperti korek
api, mercon (petasan), mesiu, bensin, minyak tanah, tabung
berisi gas, dan senjata api;
d. barang yang dilarang peredarannya seperti narkoba (ganja,
opium, heroin, sabu, dan sejenisnya); dan/atau
e. barang yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan dilarang untuk diperdagangkan.
6. Perusahaan dapat menetapkan barang lain yang dapat diterima
sebagai jaminan selain Barang Jaminan sebagaimana dimaksud
pada angka 4 sepanjang memenuhi kriteria sebagaimana
dimaksud pada angka 3.
7. Perusahaan yang akan menerima barang lain yang dapat
diterima sebagai jaminan sebagaimana dimaksud pada angka 6
harus terlebih dahulu memperhatikan kesiapan tempat
penyimpanan untuk dokumen kepemilikan yang memenuhi
standar tingkat keamanan dan keselamatan Barang Jaminan
sesuai dengan persyaratan dalam Surat Edaran Otoritas Jasa
Keuangan ini.
B. KEAMANAN DAN KESELAMATAN BARANG JAMINAN
1. Dalam menjaga keamanan dan keselamatan Barang Jaminan,
Perusahaan harus mengacu pada pedoman Perusahaan sesuai
dengan ketentuan dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan
ini.
2. Dalam menjaga keamanan dan keselamatan Barang Jaminan,
Perusahaan harus menjaga kebersihan dan melakukan
perawatan secara berkala terhadap Barang Jaminan sesuai
dengan karakteristik Barang Jaminan.
- 13 -
C. PERSYARATAN TEMPAT PENYIMPANAN BARANG JAMINAN
1. Persyaratan tempat penyimpanan Barang Jaminan ditetapkan
berdasarkan jenis Barang Jaminan sebagai berikut:
a. barang perhiasan seperti emas, intan, permata, dan berlian;
aksesoris seperti jam tangan, tas, dompet, topi, sepatu, dan
kaca mata; dan surat berharga, surat bukti kepemilikan,
surat penting, serta surat lainnya yang mempunyai nilai
ekonomis harus disimpan di ruangan tempat penyimpanan
(kluis) dan/atau lemari besi;
b. kendaraan seperti mobil, sepeda motor, dan sepeda dapat
disimpan di gedung dan/atau di luar gedung dengan
dilengkapi atap pelindung dan/atau penutup (cover)
kendaraan, dengan mempertimbangkan kerahasiaan
identitas Barang Jaminan; dan
c. barang rumah tangga seperti perabotan rumah tangga,
gerabah, dan peralatan elektronik; mesin yang dapat
dipindahkan seperti traktor, pompa air, generator, dan
gergaji mesin (chainsaw); dan tekstil seperti bahan pakaian,
kain, sarung, sprei, serta permadani/ambal harus disimpan
di gudang.
2. Tempat penyimpanan Barang Jaminan sebagaimana dimaksud
pada angka 1 huruf a dapat berupa ruangan yang dibuat dengan
memenuhi standar minimum keamanan dan keselamatan yang
memiliki paling sedikit:
a.
struktur bangunan yang tidak mudah diruntuhkan,
dihancurkan, dan didobrak;
b. tembok keliling yang dibangun secara permanen;
c.
pintu berupa pintu besi dengan menggunakan kunci
kombinasi; dan
d. sekat pembatas berupa dinding yang memisahkan tempat
penyimpanan Barang Jaminan dan tempat pelayanan
Nasabah, dalam hal tempat penyimpanan Barang Jaminan
berada di lokasi yang sama dengan tempat pelayanan
Nasabah.
3. Tempat penyimpanan Barang Jaminan sebagaimana dimaksud
pada angka 1 huruf b dan c dapat berupa ruangan yang dibuat
dengan memenuhi standar minimum tingkat keamanan dan
- 14 -
keselamatan yang mencakup paling sedikit yaitu dapat
melindungi Barang Jaminan dari bahaya cuaca dan risiko
pencurian.
4. Barang Jaminan sebagaimana dimaksud pada angka 1 sebelum
disimpan di ruangan tempat penyimpanan (kluis) dan/atau
lemari besi, harus terlebih dahulu ditempatkan dalam kantong
atau kotak dan harus dilengkapi pengamanan tambahan berupa
segel atau tanda pengaman.
5. Penyegelan Barang Jaminan dilakukan dengan cara meletakkan
atau menempelkan segel atau tanda pengaman pada kantong
atau kotak tempat penyimpanan Barang Jaminan.
6. Segel atau tanda pengaman sebagaimana dimaksud pada angka
5 dapat terbuat dari kertas, plastik, logam, lak, dan/atau bahan
lainnya dengan bentuk tertentu berupa lembaran, pita, kunci,
kancing, dan/atau bentuk lainnya yang dapat dilengkapi dengan
piranti elektronik.
7. Segel atau tanda pengaman sebagaimana dimaksud pada angka
5 terdiri dari:
a.
segel atau tanda pengaman kertas berupa lembaran kertas
berperekat atau tidak, dengan tanda atau lambang
Perusahaan dan nomor tanda terdaftar atau izin usaha dari
Otoritas Jasa Keuangan, dengan bentuk, warna, dan
ukuran tertentu yang ditetapkan Perusahaan;
b. segel atau tanda pengaman berupa jepitan kantong yang
terbuat dari aluminium yang jenis dan bentuknya
ditetapkan oleh Perusahaan;
c. segel atau tanda pengaman berupa pita yang terbuat dari
kertas atau plastik berperekat atau tidak, dengan tanda
atau lambang Perusahaan dan nomor tanda terdaftar atau
izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan, dengan bentuk,
warna, dan ukuran tertentu yang ditetapkan Perusahaan;
atau
d. segel atau tanda pengaman elektronik berupa barcode yang
terbuat dari kertas, pita, kancing, kunci, atau bentuk
lainnya yang tercetak barcode secara permanen.
- 15 -
8. Dalam rangka memenuhi standar tingkat keamanan dan
keselamatan Barang Jaminan, Perusahaan paling sedikit
menggunakan 2 (dua) kombinasi perlengkapan keamanan
sebagai berikut:
a. kunci tambahan;
b. alarm monitoring system;
c. closed circuit television (CCTV);
d. door contact; dan/atau
e. panic button.
9. Tempat penyimpanan Barang Jaminan sebagaimana dimaksud
pada angka 1 harus dilengkapi dengan tenaga pengamanan
sesuai dengan standar tenaga pengamanan berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
10. Dalam rangka perlindungan terhadap Barang Jaminan,
Perusahaan harus mengasuransikan Barang Jaminan paling
sedikit terhadap risiko kebongkaran dan kebakaran.
11. Perusahaan dapat menggunakan:
a. 1 (satu) tempat penyimpanan untuk menyimpan Barang
Jaminan yang berasal dari beberapa unit layanan (outlet)
(sistem clustering); atau
b. tempat penyimpanan Barang Jaminan yang disediakan oleh
pihak lain (outsourcing).
12. Penggunaan tempat penyimpanan Barang Jaminan sebagaimana
dimaksud pada angka 11 harus:
a. diatur dalam pedoman Perusahaan sesuai dengan
ketentuan dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini;
dan
b. memenuhi standar tingkat keamanan dan keselamatan
Barang Jaminan sebagaimana diatur dalam Surat Edaran
Otoritas Jasa Keuangan ini.
13. Dalam mengelola tempat penyimpanan Barang Jaminan,
Perusahaan harus mengacu pada pedoman Perusahaan sesuai
dengan ketentuan dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan
ini.
14. Dalam hal tempat penyimpanan Barang Jaminan berada di luar
unit layanan (outlet), Perusahaan harus memenuhi standar
tingkat keamanan dan keselamatan Barang Jaminan
- 16 -
sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Otoritas Jasa
Keuangan ini.
D. PERSYARATAN TEMPAT PENYIMPANAN JASA TITIPAN BARANG
BERHARGA
1. Perusahaan yang menyelenggarakan kegiatan usaha pelayanan
jasa titipan barang berharga sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 ayat (1) huruf c Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
Nomor 31/POJK.05/2016 tentang Usaha Pergadaian harus
memenuhi persyaratan tempat penyimpanan jasa titipan barang
berharga.
2. Persyaratan tempat penyimpanan jasa titipan barang berharga
mengacu pada ketentuan mengenai persyaratan tempat
penyimpanan Barang Jaminan sebagaimana dimaksud dalam
huruf C.
VI. NILAI MINIMUM PERBANDINGAN UANG PINJAMAN DAN NILAI TAKSIRAN
BARANG JAMINAN
1. Perusahaan wajib memenuhi nilai minimum perbandingan antara
Uang Pinjaman dan nilai taksiran Barang Jaminan dalam
memberikan Uang Pinjaman kepada Nasabah, kecuali apabila
Nasabah menyatakan secara tertulis menghendaki Uang Pinjaman
yang lebih rendah.
2. Perbandingan nilai minimum antara Uang Pinjaman dan nilai
taksiran Barang Jaminan sebagaimana dimaksud pada angka 1
ditetapkan sebagai berikut:
a. untuk Barang Jaminan berupa barang perhiasan, Uang
Pinjaman yang diberikan kepada Nasabah paling rendah 75%
(tujuh puluh lima persen) dari nilai taksiran Barang Jaminan
yang bersangkutan;
Sebagai contoh:
1) Barang Jaminan berupa emas 5 gram.
2)
Nilai taksiran Barang Jaminan emas = Rp2.000.000,00 (dua
juta rupiah).
3) Uang Pinjaman yang diberikan oleh Perusahaan kepada
Nasabah paling sedikit = 75% x Rp2.000.000,00 =
Rp1.500.000,00 (satu juta lima ratus ribu rupiah).
- 17 -
b. untuk Barang Jaminan berupa kendaraan bermotor, Uang
Pinjaman yang diberikan kepada Nasabah paling rendah 70%
(tujuh puluh persen) dari nilai taksiran Barang Jaminan yang
bersangkutan;
Sebagai contoh:
1) Barang Jaminan berupa motor.
2)
Nilai taksiran Barang Jaminan motor = Rp7.000.000,00
(tujuh juta rupiah).
3) Uang Pinjaman yang diberikan oleh Perusahaan kepada
Nasabah paling sedikit = 70% x Rp7.000.000,00 =
Rp4.900.000,00 (empat juta sembilan ratus ribu rupiah).
c. untuk Barang Jaminan berupa peralatan elektronik, Uang
Pinjaman yang diberikan kepada Nasabah paling rendah 60%
(enam puluh persen) dari nilai taksiran Barang Jaminan yang
bersangkutan;
Sebagai contoh:
1) Barang Jaminan berupa telepon genggam.
2)
Nilai taksiran Barang Jaminan telepon genggam =
Rp4.000.000,00 (empat juta rupiah).
3) Uang Pinjaman yang diberikan oleh Perusahaan kepada
Nasabah paling sedikit = 60% x Rp4.000.000,00 =
Rp2.400.000,00 (dua juta empat ratus ribu rupiah).
d. untuk Barang Jaminan selain Barang Jaminan sebagaimana
dimaksud huruf a, huruf b, dan huruf c, Uang Pinjaman
yang diberikan kepada Nasabah paling rendah 50% (lima
puluh persen) dari nilai taksiran Barang Jaminan yang
bersangkutan.
Sebagai contoh:
1) Barang Jaminan berupa kompor.
2)
Nilai taksiran Barang Jaminan kompor = Rp300.000,00
(tiga ratus ribu rupiah).
3) Uang Pinjaman yang diberikan oleh Perusahaan kepada
Nasabah paling sedikit = 50% x Rp300.000,00 =
Rp150.000,00 (seratus lima puluh ribu rupiah).
- 18 -
3. Dalam hal Nasabah sepakat, Perusahaan dapat memberikan Uang
Pinjaman lebih rendah dari nilai minimum perbandingan Uang
Pinjaman dengan nilai taksiran Barang Jaminan sebagaimana
dimaksud pada angka 2.
Sebagai contoh, Budi menggadaikan kendaraan bermotornya di
Perusahaan. Perusahaan menaksir kendaraan bermotor Budi
sebesar Rp8.000.000,00 (delapan juta rupiah). Sesuai ketentuan
dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini, Perusahaan
harus memberikan Uang Pinjaman kepada Budi paling rendah
sebesar 70% (tujuh puluh persen) dari nilai taksiran dengan
jumlah nominal sebesar Rp5.600.000,00 (lima juta enam ratus
ribu rupiah). Namun karena satu dan lain hal, Budi hanya
membutuhkan uang sebesar Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah) dan
menyampaikan kebutuhannya tersebut kepada Perusahaan.
Mengingat Nasabah menginginkan Uang Pinjaman yang lebih
rendah dari Uang Pinjaman yang ditetapkan Perusahaan dan
Perusahaan menyetujui, Perusahaan dapat memberikan Uang
Pinjaman kepada Budi yang lebih rendah dari Uang Pinjaman yang
telah ditetapkan.
4. Kesepakatan Nasabah untuk menerima Uang Pinjaman yang lebih
rendah
dari nilai minimum sebagaimana dimaksud angka 3
harus dicatat dalam Surat Bukti Gadai yang ditandatangani
Nasabah yang bersangkutan.
5. Dalam memberikan Uang Pinjaman, Perusahaan harus mengacu
pada pedoman Perusahaan mengenai nilai minimum pemberian
Uang Pinjaman berdasarkan perbandingan Uang Pinjaman dengan
nilai taksiran Barang Jaminan sesuai ketentuan dalam Surat
Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini.
VII. TATA CARA PENGEMBALIAN UANG KELEBIHAN
1. Perusahaan wajib mengembalikan Uang Kelebihan dari hasil
penjualan Barang Jaminan dengan cara lelang atau berdasarkan
kuasa menjual kepada Nasabah.
2. Dalam rangka pengembalian Uang Kelebihan, Perusahaan harus
memberitahukan nominal Uang Kelebihan kepada Nasabah paling
lama 10 (sepuluh) Hari setelah penjualan Barang Jaminan atau
proses lelang dengan dilampiri keterangan berupa:
- 19 -
a. nomor Surat Bukti Gadai;
b. nominal Uang Pinjaman;
c. sewa modal;
d.
e.
f.
hasil penjualan lelang atau penjualan Barang Jaminan;
biaya;
tata cara pengambilan Uang Kelebihan; dan
g. informasi jangka waktu Uang Kelebihan dinyatakan
kadaluarsa.
3. Pemberitahuan kepada Nasabah sebagaimana dimaksud pada
angka 2 harus dilakukan melalui papan pengumuman di unit
layanan (outlet)
tempat Nasabah menggadaikan yang mudah
dibaca oleh Nasabah dan ditempatkan selama paling singkat 20
(dua puluh) Hari.
4. Selain pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada angka 3,
Perusahaan dapat menyampaikan pemberitahuan melalui:
a. surat yang dikirimkan langsung ke alamat Nasabah atau
dikirimkan melalui perusahaan jasa pengiriman; dan/atau
b. media lainnya seperti telepon, short message service (SMS),
atau email.
5. Pengembalian Uang Kelebihan dapat dilakukan oleh Perusahaan
kepada Nasabah secara:
a.
tunai; atau
b. non-tunai, yang dilakukan dengan cara mengirimkan nominal
Uang Kelebihan ke rekening Nasabah.
6. Pengembalian Uang Kelebihan secara non-tunai sebagaimana
dimaksud pada angka 5 huruf b dilakukan paling lambat 20 (dua
puluh) Hari sejak pengumuman sebagaimana dimaksud pada
angka 3.
7. Biaya pemberitahuan dan pengiriman Uang Kelebihan kepada
Nasabah dapat diperhitungkan sebagai pengurang dari Uang
Kelebihan yang dikembalikan kepada Nasabah.
8. Pengenaan biaya pemberitahuan dan pengiriman Uang Kelebihan
oleh Perusahaan sebagaimana dimaksud pada angka 7 harus
dimuat di dalam Surat Bukti Gadai.
9. Perusahaan harus mengadministrasikan seluruh Uang Kelebihan
sesuai nomor urut Surat Bukti Gadai dari Barang Jaminan yang
dilelang atau dijual atas kuasa Nasabah pada periode tertentu.
- 20 -
10. Perusahaan harus mengadministrasikan pengembalian Uang
Kelebihan yang telah dikembalikan kepada Nasabah.
11. Dalam rangka pemberitahuan dan pengembalian Uang Kelebihan
kepada Nasabah, Perusahaan harus mengacu pada pedoman
Perusahaan sesuai dengan ketentuan dalam Surat Edaran Otoritas
Jasa Keuangan ini.
12. Uang Kelebihan dinyatakan kadaluarsa apabila telah melebihi
jangka waktu 1 (satu) tahun sejak tanggal pemberitahuan kepada
Nasabah sebagaimana dimaksud pada angka 3.
13. Dalam hal Nasabah menginginkan jangka waktu yang berbeda dari
jangka waktu sebagaimana dimaksud pada angka 12, Perusahaan
harus menyepakati jangka waktu yang diinginkan Nasabah.
Sebagai contoh, Putra menggadaikan jam tangan di Perusahaan.
Pada saat pengisian Surat Bukti Gadai, Putra menginginkan
jangka waktu Uang Kelebihan dinyatakan kadaluarsa apabila telah
melebihi jangka waktu 6 (enam) bulan sejak
tanggal
pemberitahuan kepada Nasabah melalui papan pengumuman di
unit layanan (outlet). Sesuai ketentuan dalam Surat Edaran
Otoritas Jasa Keuangan ini, Perusahaan harus menyepakati jangka
waktu yang diinginkan Putra.
14. Dalam hal Uang Kelebihan tidak dapat dikembalikan kepada
Nasabah atau kadaluarsa, Uang Kelebihan dapat disalurkan
kepada dana kepedulian sosial, dana kebajikan umat, atau
sejenisnya, sesuai kesepakatan dengan Nasabah yang dicantumkan
dalam Surat Bukti Gadai.
VIII. PEDOMAN PENYELENGGARAAN KEGIATAN USAHA PERGADAIAN
SYARIAH
1. Perusahaan harus menyusun dan melaksanakan pedoman
Perusahaan dalam menyelenggarakan kegiatan Usaha Pergadaian
Syariah.
2. Pedoman sebagaimana dimaksud pada angka 1 memuat:
a.
kriteria barang yang dapat diterima sebagai Barang Jaminan
sebagaimana dimaksud pada romawi V huruf A angka 3, yang
paling sedikit memuat:
1) barang yang dapat diterima; dan
2)
spesifikasi atau kriteria barang yang dapat diterima;
- 21 -
b. keamanan dan keselamatan Barang Jaminan sebagaimana
dimaksud pada romawi V huruf B angka 1, yang paling
sedikit memuat:
1) administrasi Barang Jaminan;
2) mekanisme perawatan secara berkala Barang Jaminan;
3) mekanisme pengambilan Barang Jaminan pelunasan;
4) mekanisme penanganan Barang Jaminan yang rusak,
hilang, dan/atau bermasalah;
5) mekanisme penanganan Barang Jaminan dalam proses
lelang; dan
c. pengelolaan
6) mekanisme pengambilan Barang Jaminan lelang;
penyimpanan
tempat
Barang
Jaminan
sebagaimana dimaksud pada romawi V huruf C angka 13,
yang paling sedikit memuat tentang:
1) mekanisme penyimpanan Barang Jaminan;
2) mekanisme pengamanan Barang Jaminan yang disimpan
di unit layanan (outlet);
3) mekanisme penggunaan tempat penyimpanan Barang
Jaminan, dalam hal Perusahaan menggunakan 1 (satu)
tempat penyimpanan untuk menyimpan Barang Jaminan
yang berasal dari beberapa unit layanan (outlet) (sistem
clustering) sebagaimana dimaksud pada romawi V huruf
C angka 11 huruf a;
4) mekanisme pengamanan Barang Jaminan ketika Barang
Jaminan dibawa dari unit layanan (outlet) ke tempat
penyimpanan
pihak lain
Barang Jaminan yang disediakan oleh
(outsourcing), dalam hal Perusahaan
menggunakan tempat penyimpanan Barang Jaminan
yang
disediakan
oleh
pihak
lain
(outsourcing)
sebagaimana dimaksud pada romawi V huruf C angka 11
huruf b;
5) mekanisme akses ke tempat penyimpanan Barang
Jaminan;
6) mekanisme pemantauan stock opname Barang Jaminan
pada tempat penyimpanan;
7) larangan penggunaan tempat penyimpanan selain untuk
Barang Jaminan; dan
- 22 -
8) mekanisme pengamanan oleh tenaga pengamanan;
d.
nilai minimum pemberian Uang Pinjaman berdasarkan
perbandingan Uang Pinjaman dengan nilai taksiran Barang
Jaminan sebagaimana dimaksud pada romawi VI angka 5,
yang paling sedikit memuat tentang:
1) tata cara perhitungan penaksiran Barang Jaminan;
2) tata cara perhitungan besaran Uang Pinjaman; dan
3) besaran nilai taksiran minimal dan maksimal; dan
e. mekanisme pemberitahuan dan pengembalian Uang Kelebihan
sebagaimana dimaksud pada romawi VII angka 11, yang
paling sedikit memuat tentang:
1) mekanisme pemberitahuan kepada Nasabah;
2) mekanisme pengembalian Uang Kelebihan kepada
Nasabah; dan
3) administrasi Uang Kelebihan.
3. Perusahaan dapat menerapkan mekanisme penilaian kembali
(review) terhadap pedoman Perusahaan sebagaimana dimaksud
pada angka 1 dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi dan
kemampuan Perusahaan.
IX. PENUTUP
Ketentuan dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku
pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 28 September 2017
KEPALA EKSEKUTIF PENGAWAS
PERASURANSIAN, DANA PENSIUN,
LEMBAGA PEMBIAYAAN, DAN
LEMBAGA JASA KEUANGAN LAINNYA
OTORITAS JASA KEUANGAN,
Salinan ini sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
ttd
RISWINANDI
"," SEOJK
53/SEOJK.05/2017
PENYELENGGARAAN USAHA PERUSAHAAN PERGADAIAN YANG MENYELENGGARAKAN KEGIATAN USAHA BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH
28 September 2017
28 September 2017
'31/POJK.05/2016 | Pasal 13 ayat (5), Pasal 17 ayat (3), Pasal 21 ayat (2), Pasal 22 ayat (4), dan Pasal 27 ayat (3)'
"
"No. 32/50/KEP/DIR
BARK INDONESIA
SURAT KEPUTUSAN
DIREKSI BANK INDONESIA
TENTANG
PERSYARATAN DAN TATA CARA PEMBELIAN
SAHAM BANK UMUM
DIREKSI BANK INDONESIA,
. bahwa dengan berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor
29 Tahun 1999 tentang Pembelian Saham Bank Umum
periu ditetapkan persyaratan dan tata cara pembelian
saham bank umum;
. bahwa oleh karena itu dipandang perlu untuk menetapkan
ketentuan tentang persyaratan dan tata cara pembelian
saham bank umum dalam Surat Keputusan Direksi Bank
indonesia;
. Undang-undang Nomor 13 Tahun 1968 tentang Bank
Sentral (Lembaran Negara Tahun 1968 Nomor 63,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 2865);
. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3472) scbagaimana- telah
diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998
(Lembaran Negara Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3790);
3. Undang 5 /
. DIREKSI Halaman . 2. .
BANK INDONESIA
. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan
Terbatas (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 13,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3587);
Ld
4. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 64,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3608);
wn
. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1999 tentang
Merger, Konsolidasi dan Akuisisi Bank (Lembaran
Negara Tahun 1999 Nomor 61, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3840);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1999 tentang
Pembelian Saham Bank Umum (Lembaran Negara Tahun
1999 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3841);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan © SURAT KEPUTUSAN DIREKSI BANK INDONESIA
TENTANG PERSYARATAN DAN TATA CARA
PEMBELIAN SAHAM BANK UMUM.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Yang dimaksud dalam Surat Keputusan ini dengan:
Ll. Bank adalah Bank Umum scbagaimana dimaksud dalam
Undang-undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan
scbagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor
10 Tahun 1998;
. Perorangan adalah orang perscorangan baik Warga
Negara Indonesia maupun Warga Negara Asing;
Badan Hukum adalah badan hukum Indonesia maupun
badan hukum yang berkedudukan di luar negeri dan
didirikan tidak berdasarkan hukum Indonesia;
4. Pembelian Saham Bank Melalui Bursa adalah pembelian
saham melalui penawaran umum baik pada pasar perdana
maupun melalui bursa efek.
Pasal 2
(1) Perorangan dan/atau Badan Hukum dapat membeli
saham Bank secara langsung maupun dengan Pembelian
Saham Bank Melalui Bursa.
(2) Perorangan dan/atan pemgnrus dan pemegang saham
Badan Hukum yang memiliki saham Bank wajib
memenuhi persyaratan kepemilikan Bank sebagaimana
diatur dalam ketentuan pendirian Bank yang ditetapkan
oleh Bank Indonesia.
Pasal 3
Jumlah kepemilikan saham Bank oleh Warga Negara Asing
dan/atau badan hukum asing yang diperoleh melalui
pembelian secara langsung maupun melalui bursa efek
sebanyak-banyaknya adalah 99% (sembilan puluh sembilan
perseratus) dari jumlah saham Bank yang bersangkutan.
Pasal 4
(1) Warga Negara Asing dan/atau badan hukum asing dapat
membeli saham melalui bursa efek sampai 100% (seratus
per scratus) dari jumlah saham Bank yang tercatat di
bursa efek.
(2) Bank hanya dapat mencatatkan sahamnya di bursa efek
scbanyak-banyaknya 99% (sembilan puluh sembilan per
seratus) dari jumlah saham Bank yang bersangkutan.
(3) Sekurang-kurangnya 1% (satu per seratus) dari saham
Bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) yang tidak
dicatatkan di bursa efek harus tetap dimiliki Warga
Negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia.
Pasal 5
(1) Kepemilikan Bank oleh badan hukum Indonesia
setinggi-tingginya sebesar modal sendiri bersih badan
hukum yang bersangkutan.
(2) Modal sendiri bersih sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan:
a. penjumlahan dari modal disetor, cadangan dan laba,
dikurangi penyertaan dan kerugian, bagi badan
hukum berbentuk Perseroan Terbatas/Perusahaan
Daerah; atau
b. penjumlahan dari simpanan pokok, simpanan wajib,
hibah, modal penyertaan, dana cadangan, dan sisa
hasil usaha, dikurangi penyertaan dan kerugian bagi
badan hukum berbentuk Koperasi.
Pasal 6
Sumber dana yang digunakan untuk pembelian saham Bank
dalam rangka kepemilikan, dilarang:
a. berasal dari pinjaman atau fasilitas pembiayaan dalam
bentuk apapun dari Bank dan/atau pihak lain di indonesia;
b. berasal dari dan unwk tujuan pencucian uang (money
laundering), dan
c. berasal dari dana yang diharamkan menurut Prinsip
Syariah bagi Bank yang melakukan kegiatan usaha
berdasarkan Prinsip Syariah.
Pasal 7
(1) Yang dapat menjadi pemilik Bank adalah pihak-pihak
yang:
a. tidak termasuk dalam daftar orang tercela di bidang
perbankan sesuai dengan yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia;
b. menurut penilaian Bank Indonesia yang bersangkutan
menmiliki integritas yang baik.
(2) Pemilik Bank yang memiliki - integritas yang baik
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, antara
lain adalah pihak-pihak yang:
a. memiliki akhiak dan moral yang baik;
b. mematuhi peraturan perundang-undangan yang
berlaku;
.c. memiliki - komitmen yang tinggi terhadap
pengembangan operasional Bank yang sehat;
. dinilai layak dar wajar:untuk menjadi pemegang
saham Bank.
Pasal 8
(1) Bank wajib mengadministrasikan dengan tertib:
a. daftar pemegang saham dan perubahannya bagi Bank
yang berbentuk hukum Persercan Terbatas/
Perusahaan Daerah; atau
b. buku daftar anggota dan perubahannya bagi Bank
yang berbentuk hukum Koperasi.
(2) Bagi Bank yang terdaftar di pasar modal, daftar
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a senantiasa
diperbarui. ’
BAB II
TATA CARA PEMBELIAN SAHAM BANK
Pasal 9
(1) Pembelian saham Bank secara langsung atau Pemnbelian
Saham Bank Melalui Bursa yang:
‘a. menyebabkan kepemilikan mencapai sebesar 25%
{dua puluh lima perseratus) atau lebih dari jumlah
saham Bank; atau
b. kepemilikan sahamnya karang dari 25% (dua puluh
lima perseratus) dari jumlah saham Bank namun
mengakibatkan beralihnya pengendalian Bank,
wajib terlebih - dahulu memperoleh izin dari Bank
Indonesia.
(2) Pembelian Saham Bank Melalui Bursa sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) yang tidak dimaksudkan untuk
dicatatkan dalam kepemilikan Bank, tidak memerlukan
izin Bank Indonesia:
(3) Permohonan untuk memperoleh izin pembelian saham
Bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
disampaikan oleh direksi Bank penerbit saham kepada
i 1 rm T amnivan
Bank nny stsunl dengan: foromt det Lampiean,
(4) Apabila calon pembeli adalah Perorangan, permohonan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) wajib dilampiri
dengan:
a. dokumen yang menyatakan identitas berupa fotokopi
paspor dan fotokopi Kartu Izin Menetap Sementara
(KIMS);
b. rancangan akta jual beli saham;
c. rencana komposisi pemegang saham Bank sctelah
pembelian saham;
d. surat pernyataan dari calon pembeli (personal
statement) ~mengenai hal-hal yang dilarang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6;
. surat pernyataan dari calon pembeli (personal
statement) bahwa vang bersangkutan tidak pernah
melakukan timdakan tercela di bidang perbankan,
keuangan dan usaha lainnya dan/atau tidak pernah
dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana
- kejahatan.
(5) Apabila calon pembeli saham adalah Badan Hukum,
pengajuan permohonan izin pembelian saham Bank
dilakukan oleh direksi Badan Hukum yang bersangkutan
dan wajib dilampiri dengan:
a.
b.
rancangan akta jual beli saham;
akta pendirian termasuk anggaran dasar badan hukum
berikut perubahannya yang telah mendapat
pengesahan dari instansi berwenang;
dokumen yang menyatakan identitas berupa fotokopi
- Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau paspor dari seluruh
anggota kornisdris dan direksi;
. daftar pemegang saham berikut besamya masing-
masing kepemilikan - saham Badan Hukum yang
bersangkutan;
neraca Badan Hukum yang telah diaudit oleh akuntan
publik independen paling lambat 6 (enam) bulan
sebelum tanggal pengajuan permohonan;
surat pernyataan dari direksi dan/atau komisaris
Badan Hukum yang bersangkutan (personal
statement) mengenai hal-hal yang dilarang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6; dan
. surat pernyataan dari calon pembeli (personal
statement) bahwa yang bersangkutan tidak pernah
melakukan tindakan tereela di bidang perbankan,
keuangan dan usaha lainnya dan/atau tidak pernah
dihukum Karena terbukti melakukan tindak pidana
kejahatan.
Pasal 10
(1) Persetujuan atau penmolakan atas permohonan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) diberikan
oleh Bank Indonesia selambat-lambatnya 30 (tiga puluh)
hari setelah dokumen permohonan diterima secara
lengkap.
(2) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan
atas permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
Bank Indonesia melakukan:
a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dolumen;
b. penelitian atas hal-hal yang dipersyaratkan dalam
kepemilikan Bank sesual dengan ketentuan yang
berlaku; dan
¢. wawancara terhadap calon pemilik Bank.
(3) Tembusan . izin - persetujuan atau penolakan atas
permohonan Pembelian Saham Bank Melalui Bursa
disampaikan oleh Bank Indonesia kepada Badan
Pengawas Pasar Modal.
Pasal 11
(1) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10 ayat (I) Bank Indonesia belum
memberikan . tanggapan atas permohonan dimaksud,
Bank Indonesia dianggap telah menyetujui permohonan
tersebut.
(2) Apabila permchonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditolak, Bank Indonesia akan memberitahukan sccara
tertulis kepada Bank beserta alasannya.
Pasal 12
(1) Apabila pihak yang membeli saham Bank tidak
- memenuhi persyaratan sebagal pemegang saham
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 7, maka
saham yang dibeli tersebut wajib dialihkan kepada pihak
lain yang memenuhi persyaratan sebagai pemegang
saham selambat-lambatnya dalam waktu 90 (sembilan
puluh) hari sejak pemberitahuan dari Bank Indonesia
kepada pembeli saham yang bersangkutan.
(2) Apabila dalam :jangka waktu sebagaimana dimaksud
dalam ayat (I) pihak yang membeli saham tidak
mengalihkan kepemilikan saham tersebut, maka pembeli
yang bersangkutan dilarang melakukan tindakan-tindakan
sebagai pemegang saham Bank.
(3) Bank yang sahamnya dibeli oleh pihak sebagaimana
dimalesud dalam ayat (1), dilarang melakukan pencatatan
atas pembelian saham tersebut dan/atau memberikan hak-
hak apapun sebagai pemegang saham kepada pembeii
sahamn dimaksud.
(4) Hak-hak = sebagai pemegang saham sebagaimana
dimaksud dalam ayat (3) antara lain adalah hak untuk
hadir dan memberikan suara dalam Rapat Umum
Pemegang Saham, dan hak untuk memperoleh dividen.
Pasal 13
(1) Pembelian saham Bank secara langsung yang
mengakibatkan kepemilikan menjadi sebesar kurang dari
25% (dua puluh lima perseratus) dari jumlah saham
Bank, wajib dilaporkan oleh direksi Bank kepada Bank
Indonesia selambat-lambatnya 10 (scpuluh) hari scjak
terjadinya pencatatan schagai kepemilikan pada Bank.
(2) Pembelian Saham Bank Melalui Bursa yang
mengakibatkan kepemilikan saham Bank sebesar 5%
(lima perseratus) sampai dengan kurang dari 25% (dua
puluh- lima perseratus) dari jumlah saham Bank, wajib
dilaporkan oleh direksi Bank kepada Rank Indonesia
selambat-lambataya 10 (sepuluh) hari sejak terjadinya
pencatatan sebagai kepemilikan pada Bank.
(3) Laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat
2. nama da;
b. tanggal pencatatan kepemilikan pada Bank;
¢. jumlah lembar dan nilai nominal saham yang dibeli;
d. persentase kepemilikan.
Pasal 14
Permohonan izin pembelian saham Bank sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) dan laporan pembelian
seham Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
disampaikan kepada :
a. Bank Indonesia Up. Urusan Pengawasan Bank, JI. M.H.
pusat di wilayah Jabotabek;
b.Bank Indonesia Up. Urusan Pengawasan Bank, JI. M.H.
Thamrin No.2, Jakarta 10110, dengan tembusan kepada
Kantor Bank Indonesia setempat, bagi Bank yang
berkantor pusat di luar wilayah Jabotabek.
BAB III
LAIN-LAIN
Pasal 15
Sepanjang tidak diatur secara khusus dalam . Surat
Keputusan ini, segala ketentuan yang berkaitan dengan
akuisisi Bank * scbagaimana diatur dalam Surat
Keputusan. Direksi Bank Indonesia tentang Persyaratan dan
Tata Cara Merger, Konsolidasi dan Akuisisi Bank Umum
berlaku pula untuk pembelian saham Bank Umum.
BAB IV
SANKSI
Pasal 16
Pelanggaran terhadap ketentuan dalam Pasal 8, Pasal 12 ayat (3), dan Pasal 13 Surat Keputusan ini dikenakan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan’
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10
Tahun 1998.
BAB V
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 17
Pembelian saham Bank oleh Warga Negara Asing atau
badan hukum asing déngan cara Pembelian Saham Melalui
Bursa yang telah dilakukan dan telah memperoleh izin
sebelum berlakunya Surat Keputusan ini, dianggap telah
memperoleh izin berdasarkan Surat Keputusan ini.
BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 18
Surat Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan ©
pengumuman Surat Keputusan ini dengan penempatannya
dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 14 Mei 1999
DIREKSI
BANK INDONESIA
Abr tp
Achwan Subarjo Joyosumarto
“Uren. 5/0
Lampiran SuratKeputusan Dirclisi Bank indonesia Nomor 32/50/KEE/DIR tanggal 14 Mei 1999
Lampiran
No. :
Lamp:
Kepada
Direksi Bank Indonesia
JI. M.H. Thamgzin No.2
JAKARTA 10110
Up. Urusan Pengawasan Bank
Perihal : Permohonan Izin Pembelian Saham Bank
Dengan ini -kami mengajukan permohonan untuk mendapatkan izin
pembelian saham Bank coon, oleh Lo. (calon
pembeli). s
Untuk melengkapi permohonan dimaksud bersama ini kami sampaikan:®)
Dafa salonmembell disertal dengnn dolormen denies yang dipersyaratkan.
Rancangan akta jual beli saham.
Rencana komposisi pemegeng saham Bank setelah pembelian saham.
Surat pernyataan dari calon pembeli tentang sumber dana untuk pembelian
saham Bank.
Surat pernyataan dari calon pembeli tentang tidak pernah melakukan tindakan
tercela di bidang perbankan, keuangan dan usaha lainnya dar/atau tidak
pemah dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana kejahatan.
Bw
Untuk melengkapi permohonan dimaksud bersama ini kami sampaikan:**)
1. Rarcangan akta jual beli saham.
2. Aka pendirian termasuk anggaraan dasar Badan Hukum beserta
perubahannya yang telah mendapat pengesahan dari instansi berwenang.
Daftar seluruh anggota komisaris dan direksi Badan Hukum yang
bersangkutan disertai dengan dengan dokumen identitas yang dipersyaratkan,
4. Daftar pemegang saham berikut besamnya masing-masing kepemilikan saham
Badan Hukum yang bersangkutan.
5.- Neraca Badan Hukum yang telah diaudit oleh akuntan publik independen
paling lambat 6 (cnam) bulan sebelum tanggal pengajuan permohonan. :
6. Surat pernyataan dari komisaris dan/atau direksi Badan Hukum yang
aren - nr daria vimtale cae be ala Arle
bersangkutan tentang sumber dana untuk pembelian saham Bank.
wl
Lampiren Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 32/S0/KEP/MDIR taniggal 14. Mei 1999
7. Surat pernyataan dad komisaris dan/atau direksi Badan Hukum yang
bersangkutan tentang tidak permnah melakukan tindakan tercela di bidang
perbankan, keuangan dan usaha lainnya dan/atau tidak pernah dihukum karena
terbuldti melakukan tindak pidana kejahatan.
Demikian permohonan kami.
DIREKSI
BANK ee,
ce: Kantor Bank Indonesia wens (bagi Bank yang berkantor pusat diluar
wilayah Jabotabek)
*) Bag calon pembeli Perorangan
**) Bagi calon pembeli Badan Hukum
"," SKDIR-BI
32/50/KEP/DIR|SKDIR-BI/1999
PERSYARATAN DAN TATA CARA PEMBELIAN SAHAM BANK UMUM
14 Mei 1999
14 Mei 1999
'13/UU/1968', '7/UU/1992', '10/UU/1998', '1/UU/1995', '8/UU/1995', '28/PP/1999', '29/PP/1999'
'BAB IV'
"
"DIREKSI
No. 32/52/KEP/DIR
BANK INDONESIA
SURAT KEPUTUSAN
DIREKSI BANK INDONESIA
TENTANG
PERSYARATAN DAN TATA CARA MERGER, KONSOLIDASI
DAN AKUISISI BANK PERKREDITAN RAKYAT
DIREKSI BANK INDONESIA,
bahwa dengan berlakunya Peraturan Pemerintah
Nomor 28 Tahun 1999 tentang Merger, Konsolidasi
dan Akuisisi Bank, terdapat beberapa ketentuan yang
memerlukan pengaturan lebih lanjut;
. bahwa berhubung dengan itu perlu untuk mengatur
lebih lanjut ketentuan tentang Persyaratan dan Tata
Cara Merger, Konsolidasi dan Akuisisi Bank
Perkreditan Rakyat dalam Surat Keputusan Direksi
Bank Indonesia;
Undang-undang Nomor 13 Tahun 1968 tentang Bank
Sentral (Lembaran Negara Tahun 1968 Nomor 63,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 2865);
. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 31,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3472)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang
Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Tahun
1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3790);
3. Undang \,
DIREKS!
BANK INDONESIA
Menetapkan :
ALANYA (4A. 190 +. 3. 0a we
Halaman . . ..
. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang
Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Tahun 1995
Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3587);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1998 tentang
Penggabungan, Peleburan, dan Pengambilalihan
Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Tahun 1998
Nomor 40, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3741);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1999 tentang
Merger, Konsolidasi dan Akuisisi Bank (Lembaran
Negara Tahun 1999 Nomor 61, Tambshan Lembaran
Negara Nomor 3840);
Ud
MEMUTUSKAN :
SURAT KEPUTUSAN DIREKSI BANK
INDONESIA TENTANG PERSYARATAN DAN
TATA CARA MERGER, KONSOLIDASI DAN
AKUISISI BANK PERKREDITAN RAKYAT.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Surat Keputusan ini yang dimaksud dengan:
a. Bank Perkreditan Rakyat yang selanjutnya disebut
BPR adalah Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 angka 4 Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang
Nomor 10 Tahun 1998;
b. Merger adalah penggabungan dari 2 (dua) BPR atau
lebih, dengan cara tetap mempertabankan berdirinya
salah satu BPR dan membubarkan BPR-BPR lainnya
tanpa melikuidasi terlebih dahulu;
¢. Konsolidasi adalah penggabungan dari 2 (dua) BPR
atau lebih, dengan cara mendirikan BPR baru dan
membubarkan BPR-BPR tersebut tanpa melikuidasi
terlebih dahulu;
d. Akuisisi adalah pengambilalihan kepemilikan suatu
BPR yang mengakibatkan beralihnya pengendalian
terhadap BPR; -
e. Pengendalian adalah kemampuan untuk menentukan,
baik secara langsung maupun tidak langsung dengan
cara apapun, pengelolaan dan/atau kebijaksanaan
BPR;
f. Saham BPR adalah bukti penyetoran modal atas
nama pemegangnya bagi BPR yang berbentuk
hukum Perseroan Terbatas atau Perusahaan Daerah
atau bentuk lain yang disamakan dengan saham bagi
BPR yang berbentuk hukum Koperasi;
Rapat Umum Pemegang Saham ""adalah organ
perseroan yang memegang kekuasaan tertinggi
dalam perseroan dan memegang segala wewenang
yang tidak diserahkan kepada direksi atau komisaris,
termasuk dalam pengertian ini adalah Rapat Anggota
bagi BPR yang berbentuk hukum Koperasi.
0
Pasal 2
(1) Merger, Konsolidasi dan Akuisisi BPR dapat
dilakukan atas:
a. inisiatif BPR yang bersangkutan; atau
b. peamintaan Bank Indonesia.
(2) Merger, Konsolidasi dan Akuisisi sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) huruf a wajib terlebih
dahulu memperoleh icin dari Direksi Bank
Indonesia.
Pasal 3
(1) Merger atau Konsolidasi hanya dapat dilakukan
antar BPR.
(2) Merger atau Konsolidasi antara BPR konvensional
dengan BPR berdasarkan prinsip Syariah hanya
dapat dilakukan apabila BPR hasil Merger atau
Konsolidasi dimaksud menjadi BPR Syariah.
Pasal 4
Merger atan Konsolidasi dapat dilakukan:
a. antar BPR yang berkedudukan dalam wilayah
propinsi yang sama; atau
b. antar BPR yang berkedudukan dalam wilayah
propinsi yang berbeda sepanjang kantor-kantor BPR
hasil Merger atau Konsolidasi berlokasi dalam
wilayah propinsi yang sama.
Pasal 5
Salah satu kantor BPR hasil Merger atau Konsolidasi
dijadikan kantor pusat dan kantor BPR lainnya dapat
menjadi kantor cabang.
BAB II
MERGER, KONSOLIDASI DAN AKUISISI
ATAS INISIATIF BPR
Bagian Pertama
Persyaratan dan Tata Cara Merger atau Konsolidasi
Pasal 6
Izin Merger atau Konsolidasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (2) dapat diberikan apabila dipenuhi
persyaratan sebagai berikut :
a. telah memperoleh persetujuan dari Rapat Umum
Pemegang Saham;
b. permodalan BPR hasil Merger atau Konsolidasi
memenuhi ketentuan rasio kewajiban pemenuhan
modal minimum yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia;
c. calon anggota dewan komisaris dan direksi BPR hasil
Merger atau . Konsolidasi memenuhi persyaratan
sebagaimana diatur dalam Surat Keputusan Direksi
Bank Indonesia tentang BPR yang mengatur
kepengurusan BPR; :
d. dalam hal BPR hasil Merger atau XKonsolidasi akan
menjadikan kantor ‘BPR lainnya sebagai kantor
cabang wajib memenuhi persyaratan modal disetor
untuk pembukaan kantor cabang BPR sebagaimana
diatur dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia
yang mengatur tentang pembukaan kantor cabang
BPR.
Pasal 7
(1) Direksi masing-masing BPR yang akan melakukan
Merger atau Konsolidasi, secara bersama-sama wajib
menyusun rancangan Merger atau Konsolidasi yang
sekurang-kurangnya memuat :
. nama dan tempat kedudukan BPR yang akan
melakukan Merger atau Konsolidasi;
. alasan dan penjelasan masing-masing direksi BPR
yang akan melakukan Merger atau Konsolidasi;
. tata cara konversi saham dari masing-masing BPR
vang akan melakukan Merger atau Konsolidasi
terhadap saham BPR hasil Merger atau
Konsolidasi;
. rancangan perubahan Anggaran Dasar BPR hasil
Merger atau rancangan Akta Pendirian BPR hasil
Konsolidasi;
. laporan keuangan 1 (satu) tahun buku terakhir dari
seluruh BPR yang akan melakukan Merger atau
Konsolidasi;
. rencana kerja BPR hasil Merger atau Konsolidasi
selama 12 (dua belas) bulan dalam rangka
memperbaiki tingkat kesehatannya;
. rencana status kantor-kantor BPR hasil Merger
atau Konsolidasi;
. nama pemegang saham, calon anggota dewan
komisaris dan direksi BPR hasil Merger atau
Kousolidasi;
i. penegasan dari BPR hasil Merger atau Konsolidasi
mengenai kesediaan untuk menerima pengalthan
hak dan kewajiban - dari BPR-BPR yang
melakukan Merger atau Konsolidasi;
j. hal-hal lain yang perfu diketahui oleh pemegang
saham masing-masing BPR, antara lain :
I. perkiraan neraca BPR hasil Merger atau
Konsolidasi sesuai dengan Standar Akuntansi
Keuangan yang berlaku;
to
. cara penyelesaian status karyawan BPR yang
akan melakukan Merger atau Konsolidasi;
Ww
. cara penyelesaian hak dan kewajiban BPR
kepada debitur dan kreditur;
BANK INDONESIA
4. cara penyclesaian hak-hak pemegang saham
minoritas;
5. perkiraan jangka waktu pelaksanaan Merger
atau Konsolidasi;
6. laporan mengenai kondisi dan permasalahan
selama tahun buku berjalan yang
mempengaruhi kegiatan BPR.
(2) Rancangan Merger atau Konsolidasi sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) wajib mendapat
persetujuan dari dewan komisaris masing-masing
BPR dan disusun konsep akta Merger atau
Konsolidasi.
Pasal 8
(1) Direksi BPR yang akan melakukan Merger atau
Konsolidasi wajib mengumumkan ringkasan
rancangan Merger atau Konsolidasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) yang sekurang-
kurangnya memuat :
a. nama dan tempat kedudukan BPR yang akan
melakukan Merger atau Konsolidasi;
b. rencana status kantor-kantor BPR hasil Merger
atau Konsolidasi;
¢. nama pemegang saham, calon anggota komisaris
dan direksi BPR hasil Merger atau Konsolidasi.
(2) Pengumuman sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
wajib dilakukan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh)
hari sebelum Rapat Umum Pemegang Saham.
(3) Pengumuman sebagaimana dimaksud ayat (2)
dilakukan :
a. dalam surat kabar harian setempat bagi BPR hasil
Merger atau Konsolidasi yang memiliki total aset
Rp.10.000.000.000,- (sepuluh milyar rupiah) atau
lebih; atau |
b. dengan menempeikan pada papan pengumuman
di kantor masing-masing BPR atau di kantor
kecamatan setempat, bagi BPR hasil Merger atau
Konsolidasi yang memiliki total aset kurang dari
Ryp.10.000.000.000,- (sepuluh milyar rupiah).
Pasal 9
(1) Keberatan atas pelaksanaan Merger atau Konsolidasi
oleh kreditur dan pemegang saham minoritas dapat
diajukan selambat-lambatnya 7 (fujuh) hari sebelum
pelaksanaan Rapat Umum Pemegang Saham.
(2) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) kreditur dan pemegang saham
minoritas tidak mengajukan keberatan, maka
kreditur dan pemegang saham minoritas dianggap
menyetujui Merger atau Konsolidasi.
(3) Keberatan oleh kieditus dau pemegang saham
minoritas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
disampaikan kepada masing-masing direksi BPR
untuk diselesaikan dalam Rapat Umum Pemegang
Saham.
(4) Selama penyelesaian sebagaimana dimaksud dalam
ayat (3) belum tercapai, Merger atau Konsolidasi
tidak dapat dilaksanakan.
Pasal 10
(1) Rancangan Merger atau Konsolidasi dan konsep
Akta Merger atau Konsolidasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 wajib dimintakan
persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham masing-
masing BPR yang akan meiakukan Merger atan
Konsolidasi.
(2) Konsep Akta Merger atau Konsolidasi yang telah
disetujui ‘Rapat Umum Pemegang Saham
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditsangkan
dalam Akta Merger atau Konsolidasi dan Akta
Perubahan Anggaran Dasar BPR hasil Merger atau
Akta Pendirian BPR hasil Konsolidasi.
Pasal 11
(1) Permohonan untuk memperoleh izin Merger atau
Konsolidasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (2) diajukan oleh direksi masing-masing BPR
yang akan melakukan Merger atau Koasolidasi
secara bersama-sama kepada Direksi Bank Indonesia
selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari setelah
Rapat Umum Pemegang Saham.
(2) Permohonan izin Merger atau Konsolidasi
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan
sesuai dengan format dalam Lampiran 1 dan wajib
dilampiri dengan:
a. notulen Rapat Umum Pemegang Saham;
b. Akta Merger atau Konsolidasi, dan Akta
Perubahun Anggaran Dasar BPR hasil Merger
atau Akta Pendirian BPR hasil Konsolidasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2);
c. bukti pengumuman ringkasan rancangan Merger
atau Konsolidasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
d. bukti pelunasan modal disetor bagi BPR yang
memerlukan penambahan modal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 huruf d, dalam bentuk
fotokopi bilyet deposito pada bank umum dj
Indonesia atas nama “Direksi Bank Indonesia q.q.
salah seorang pemilik BPR yang bersangkutan”
dengan mencantumkan keterangan bahwa
pencairannya hanya dapat dilakukan setelah
mendapat persetujuan tertulis dari Direksi Bank
Indonesia.
(3) Tembusan permohonan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) disampaikan kepada :
a. Menteri Kehakiman bagi BPR yang berbentuk
hukum Perseroan Terbatas; atau
b. Instansi yang berwenang yang menyetujui
perubahan Anggaran Dasar bagi BPR yang
berbentuk hukum Perusahaan Daerah atau
Koperasi. :
Pasal 12
Dalam memberikan persetujuan atau penolakan atas
penmohonan izin Merger atau Konsolidasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11, Bank Indonesia melakukan:
a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran
dokumen;
b. wawancara terhadap calon direksi dan dewan
Komisaris BPR hasil Merger atau Konsolidasi.
Pasal 13
(1) Persetujuan atau penolakan atas permohonan -izin
Merger atau Konsolidasi diberikan dalam jangka
waktu 30 (tiga puluh) hari setelah permohonan
diterima secara fengkap.
(2) Dalam hal permotionan ditolak maka Bank Indonesia
akan menjelaskan alasan penolakan secara tertulis.
(3) Tembusan persetujuan atau penolakan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) disampaikan oleh Bank
Indonesia kepada instansi yang berwenang.
Pasal 14
(1) Dalam hal perubahan Anggaran Dasar BPR hasil
Merger memerlukan persetujuan dari instansi yang
berwenang, direksi BPR hasil Merger wajib
mengajukan permohonan persetujuan atas perubahan
Anggaran Dasar kepada instansi yang berwenang
dan dilakukan bersamaan dengan pengajuan izin
Merger kepada Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1).
(2) Direksi BPR hasil Konsolidasi wajib mengajukan
* permohonan persetujuan Akta Pendirian BPR hasil
Konsolidasi kepada instamsi yang berwenang dan
dilakukan bersamaan dengan pengajuan izin
Konsolidasi kepada Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1).
Pasal 15
Izin Merger atau Konsolidasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13 bagi BPR yang berbentuk hukum
Perseroan Terbatas berlaku sejak:
a. tanggal persetujuan perubahan Anggaran Dasar atau
Akta Pendirian BPR oleh Menteri Kehakiman;
b. tanggal pendaftaran Akta Merger dan perubahan
Anggaran Dasar dalam daftar perusahaan apabila
perubahan Anggaran Dasar tidak memerlukan
persetujuan Menteri Kehakiman.
Pasal 16
Izin Merger atau Konsolidasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13 bagi BPR yang berbentuk hukum
Perusahaan Daerah atau Koperasi berlaku sejak :
a. tanggal persetujuan perubahan Anggaran Dasar atau
.Akta Pendirian dari instansi yang berwenang;
b. tanggal pendaftaran Akta Merger dalam Daftar
Perusahaan apabila perubahan Anggaran Dasar tidak
memeriukan persetujuan dari instansi yang
berwernang.
Pasal 17
BPR yang telah memperoleh izin Merger atau
Konsolidasi wajib :
a. menyusun neraca penutupan masing-masing BPR
yang melakukan Merger atau Konsolidasi;
b. menyusun neraca pembukaan BPR hasil Merger atau
Konsolidasi;
c. mengumumkan hasil Merger atau Konsolidasi
disertai dengan neraca pembukaan BPR hasil Merger
atau Konsolidasi selambat-lambatnya 30 (tiga puiuh)
hari sejak tanggal berlakunya izin Merger atau
Konsolidasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15
atau Pasal 16, pada :
1. surat kabar harian setempat bagi BPR hasil Merger
atau Konsolidasi yang memiliki total aset
Rp.10.000.000.000,- (sepuluh milyar rupiah) atau
lebih; atau
2. papan pengumuman di kantor masing-masing BPR
atau di kantor kecamatan setempat bagi BPR hasil
Merger atau Konsolidasi yang memiliki total aset
kurang dari Rp.10.000.000.000,- (sepuluh milyar
rupiah);
d. menyampaikan laporan pelaksanaan Merger atau
Konsolidasi kepada Bank Indonesia selambat-
lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah tanggal
pengumuman dan wajib dilampiri dengan:
1. fotokopi perubahan Anggaran Dasar dan/atau Akta
Pendivian yang telah mendapat persetujuan
instansi yang berwenang;
2. bukti pengumuman sebagaimana dimaksud dalam
hurufec.
Pasal 18
Akta Merger atau Konsolidasi dan Akta perubahan
Anggaran Dasar BPR hasil Merger atau Akta Pendirian
BPR hasil Konsolidasi wajib didaftarkan dalam daftar
perusahaan dan diumumkan dalam Tambahan Berita
Negara Republik Indonesia selambat-lambatnya 30 (tiga
puluh) hari sejak tanggal penerimaan laporan atau
tanggal persetujuan instansi yang berwenang. ‘
Bagian Kedua
Persyaratan dan Tata Cara Akuisisi
Pasal 19
(1) Akuisisi BPR dapat dilakukan oleh perorangan atau
badan hukum melalui pengambilalihan saham.
(2) Akuisisi BPR dilakukan dengan cara
pengambilalihan sefuruh atau sebagian jumiah saham
BPR yang mengakibatkan pihak yang mengakuisisi
memegang Pengendalian BPR.
(3) Pengambilalihan saham BPR dianggap
mengakibatkan beralibnya Pengendalian BPR
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) apabila
kepemilikan saham:
a. menjadi sebesar 25% (dua puluh {ima perseratus)
atau lebih dari modal disetor BPR; atau
b. kurang dari 25% (dua puluh lima perseratus) dari
modal disetor BPR namun mepentukan baik
langsung maupun tidak langsung pengelolaan
dan/atau kebijaksanaan BPR.
Pasal 20
Izin Akuisisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) dapat diberikan apabila dipennhi persyaratan sebagai
berikut:
a. telah memperoleh persetujuan Rapat Umum
Pemegang Saham BPR yang akan diakusisi;
b. pihak yang melakukan Akuisisi memenuhi
persyaratan sebagai pemilik BPR sebagaimana diatur
dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia
tentang BPR yang mengatur kepemilikan dan
permodalan BPR.
Pasal 21
(1) Direksi BPR yang akan diakuisisi dan pihak yang
akan mengakuisisi secara bersama-sama menyusun
rancangan Akuisisi yang sekurang-kurangnya
memuat:
a. nama dan alamat BPR yang akan diakuisisi dan
pihak yang akan mengakuisisi, disertai dengan
identitas pihak yang akan mengakuisisi;
b. laporan keuangan 1 (satu) tahun buku terakhir dari
badan hukum yang akan mengakuisisi;
¢. rancangan perubahan Anggaran Dasar BPR yang
diakuisisi, apabila ada perubahan;
d. jumiah dan nilai nominal saham yang akan
diakuisisi beserta komposisi pemegang saham
setelah dilakukan Akuisisi;
e. kesiapan pendanaan dari pihak yang akan
mengakuisisi;
f. perkiraan jangka waktu pelaksanaan Akuisisi.
(2) Rancangan Akuisisi sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) wajib mendapat persetujuan dari dewan
komisaris BPR.
Pasal 22
(1) Direksi BPR wajib mengumumkan ringkasan
rancangan Akuisisi sebapaimana dimaksud dalam
Pasal 21 yang sekurang-kurangnya memuat :
a.nama dan tempat kedudukan BPR yang akan
diakuisisi dan pihak yang akan mengakuisisi,
disertai dengan identitas pihak yang akan
mengakuisisi;
b. komposisi pemegang saham sebelum dan sesudah
dilakukan Akuisisi;
c. perkiraan jangka waktu pelaksanaan Akuisisi.
(2) Pengumuman sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
wajib dilakukan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh)
hari sebelum Rapat Umum Pemegang Saham.
(3) Pengumuman sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) dilakukan :
a. dalam surat kabar harian setempat bagi BPR yang
memiliki total aset Rp.10.000.000.000,- (sepuluh
milyar rupiah) atau lebih; atau
b.pada papan pengumuman di kantor BPR atau di
kantor kecamatan setempat bagi BPR vang
memiliki total aset kurang dari
Rp. 190.000.000.000, (sepuluh milyar rupiah).
Pasal 23
(1) Rancangan Akuisisi berikut kousep Akta Akuisisi
wajib mendapat persetujuan dari:
a. Rapat Umum Pemegang Saham BPR yang akan
diakuisisi;
b. pihak yang akan melakukan Akuisisi.
(2) Rancangan Akuisisi berikut konsep Akta Akuisisi
yang telah disetujui oleh pihak-pihak sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), dituangkan dalam Akta
Akuisisi.
Pasal 24
Permohonan untuk memperoleh izin Akuisisi digjukan
oleh pthak yang akan mengakuisisi dan direksi BPR
yang akan diakuisisi kepada Dircksi Bank Indonesia
sesuai dengan format dalam Lampiran 2 dan wajib
dilampiri dengan rancangan Akuisisi beserta- dokumen
pendukungnya.
Pasal 25
Dalam memberikan persetujuan atau penolakan atas
permohonan izin Akuisisi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (2), Bank Indonesia melakukan:
a. penelitian kebenaran atas dokumen sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 24;
b. wawancara terhadap pihak yang akan mengakuisisi.
Pasal 26
(1) Persetujuan atau penolakan atas permohionan izin
Akuisisi diberikan oleh Bank Indonesia dalam
jangka waktu 30 (tiga puluh) hari setelah
permohonan diterima secara lengkap.
(2) Dalam hal permohonan ditolak maka Bank Indonesia
akan menjclaskan alasan ponolakan secara tertulis.
(3) Tembusan persetujuan atau penolakan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) disampaikan oleh Bank
Indonesia kepada instansi yang berwenang, apabila
terdapat perubahan Anggaran Dasar.
Pasal 27
(1) Akuisisi BPR mulai berlaku sejak tanggal
penandatangan Akta Akuisisi.
(2) Direksi BPR wajib menyampaikan laporan
pelaksanaan Akuisisi kepada Bank Indonesia
selambat-lambatnya 190 (sepuluh) hari setelah tanggal
penandatanganan Akta Akuisisi dilampiri dengan
fotokopi Akta Akuisisi.
Pasal 28
(1) Pengambilalihan saham - BPR yang tidak
mengakibatkan beralihnya pengendalian BPR
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 wajib
dilaporkan kepada Bank Indonesia sesuai dengan
format dalam Lampiran 3.
(2) Pihak yang mengambilalih saham BPR sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) wajib memenuhi
persyaratan sebagaimana diatur dalam Surat
Keputusan Direksi Bank Indonesia tentang BPR
yang mengatur kepemilikan dan permodalan BPR.
(3) Apabila pihak yang mengambilalih saham BPR
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak
memenuhi persyaratan sebagai pemegang saham
BPR, saham yang telah dibeli tersebut wajib
dialihkan kepada pihak lain yang memenuhi
persyaratan sebagai pemilik BPR, - selambat-
lambatnya 90 (sembilan = puluh) hari sejak
pemberitahuan dari Bank Indonesia.
(4) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud
dalam ayat (3) pthak yang mengambilalih saham
tidak mengalihkan kepemilikan saham, pengalihan
saham dimaksud dinyatakan tidak sah dan yang
bersangkutan dilarang melakukan tindakan-tindakan
sebagai pemegang saham.
(5) Atas pengambilalihan saham sebagaimana dimaksud
dalam ayat (3) BPR dilarang:
a. melakukan pencatatan dalam administrasi daftar
pemegang saham atau daftar anggota;
b. mernberikan hak apapun sebagai pemegang saham
kepada pihak pengambitalih.
BAB III
MERGER, KONSOLIDASI DAN AKUISISI
ATAS PERMINTAAN BANK INDONESIA
Pasal 29
(1) Apabila menurut penilaian Bank Indonesia suatu
BPR mengalami kesulitan yang membahayakan
kelangsungan = usahanya dan tidak dapat
melaksanakan {angkah-langkah perbaikan yang
ditetapkan Bank Indonesia, maka Bank Indonesia
dapat meminta kepada pemilik dan pengurus BPR
yang bersangkutan untuk:
a. melakukan Merger atau Konsolidasi dengan BPR
lain; atau
~ b.menjual sebagian atau seluruh kepemilikannya
kepada BPR atau pihak lain;
sebagaimana diatur dalam Pasal 37 ayat (1) Undang-
undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang
Nomor 10 Tahun 1998.
(2) Pelaksanaan Merger, Konsolidasi dan Akuisisi
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam BAB II.
BAB IV
ALAMAT PERMOHONAN DAN PENYAMPAIAN
PELAPORAN
Pasal 30
(1) Permohonan untuk mendapatkan izin Merger,
Konsolidasi dan Akusisi serta penyampaian {aporan
dialamatkan kepada :
a. Direksi Bank Indonesia u.p. Urusan Bank
Perkreditan Rakyat, Bank Indonesia, Jalan M.H.
Thamrin No. 2 Jakarta 10110, bagi BPR yang
berlokasi di Daerah Khusus Jbukota Jakarta Raya,
Kabupaten/Kotamadya Bekasi, Tangerang,
Bogor, Karawang, Lebak, Serang dan
Pandeglang;
b. Direksi Bank Indonesia up. Kantor Bank
Indonesia setempat, bagi BPR yang berkantor
pusat di luar wilayah sebagaimana dimaksud
dalam huruf a.
(2) Penyampaian laporan BPR kepada Bank Indonesia
sebagaimana diatur dalam Surat Keputusan ini
dialamatkan kepada :
. a. Bank Indonesia up. Urusan Bank Perkreditan
Rakyat, Jalan M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10110
bagi BPR yung berlokasi di wilayah sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) huruf a;
b.Bank Indonesia up. Kantor Bank Indonesia
setempat, bagi BPR yang berkantor pusat di luar
wilayah sebagaimana dimaksud dalam huruf a.
BAB V
SANKSI
Pasal 31
(1) BPR yang tidak memenuhi ketentuan mengenai
kewajiban pelaporan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17 huruf d dan Pasal 27 ayat (2) dikenakan
sanksi berupa :
a. teguran tertulis dan denda sebesar Rp 100.000,00
(seratus ribu tupiah) untuk setiap keterlambatan
laporar;
b. teguran tertulis dan denda sebesar Rp250.000,00
(dua ratus lima pujuh ribu rupiah) apabila BPR
tidak menyampaikan laporan.
(2) BPR dinyatakan tidak menyampaikan laporan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), apabila BPR
tidak menyampaikan laporan setelah jangka waktu
30 (tiga puluh) hari sejak batas akhir penyampaian
laporan.
BAB VI
KETENTUAN PERALTHAN
Pasal 32
Permohonan persetujuan Merger, Konsolidasi atau
Akuisisi yang telah diajukan kepada Menteri Keuangan
sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 10 Tahun
1998 dan belum mendapat persetujuan atau penolakan,
akan diselesaikan oleh Bank Indonesia berdasarkan
ketentuan Surat Keputusan ini.
BAB VII
LAIN-LAIN
Pasal 33
Kecuali diatur khusus dalam Surat Keputusan ini, maka
segala ketentuan mengenai permodalan, kepemilikan dan
kepengurusan BPR sebagaimana diatur dalam Surat
Keputusan Direksi Bank Indonesia tentang Bank
Perkreditan Rakyat dan tentang Bank Perkreditan Rakyat
Berdasarkan Prinsip Syariah dinyatakan berlaku untuk
Merger, Konsolidasi dan Akuisisi Bank Perkreditan
Rakyat.
Pasal 34
Ketentuan dalam Surat Keputusan ini tidak diberlakukan
bagi Badan Kredit Desa (BKD) yang didirikan
berdasarkan Staatsblad Tahun 1929 Nomor 357 dan
Rijksblad Tahun 1937 Nomor 9.
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 35
Surat Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal
ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengumuman ~~ Surat Keputusan ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik
Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 14 Mei 1999
DIREKSI
/ BANK INDONESIA /
- or
Achwan Subarjo Joyosumarto
usp»
81101 DAB) - 75 1-1 -57 - AM
Lampiran 1 Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No.32/52/KEF/DIR. tanggal 14 Mei
1999 tentang Merger, Konsolidasi dan Akuisisi Bank Perkreditan Rakyat.
""No.
Lamp :
Kepada Yth.
Direksi Bank Indonesia
JI. M.H. Thamrin No.2
JAKARTA 10110
Up. *)
Perithal : Permohonan Izin Merger/Konsolidasi BPR. **)
Dengan ini kami mengajukan permohonan untuk mendapatkan izin
Merger/Konsolidasi**) antara PT/PD/KOP**) BPR... ,
PT/PD/KOP**) BPR ............. , dan PT/PD/KOP**) BPR.............. menjadi
PT/PD/KOP**) BPR.............. (nama salah satu BPR yang tetap ada).
Sebagai bahan pertimbangan bersama ini kami sampaikan :
1. Notulen Rapat Umum Pemegang Saham/Rapat Anggota **).
2. Akta Merger atau Konsolidasi **).
3. Akta Perubahan Anggaran Dasar BPR hasil Merger/Akta Pendirian BPR
hasil Konsolidasi **).
4. Bukti pengumuman rancangan Merger atau Konsolidasi **)
5. Bukti pelunasan modal disetor bagi BPR yang memerlukan penambahan
modal, dalam bentuk fotokopi bilyet deposito pada bank umum atas
nama Direksi Bank Indonesia qq salah seorang pemilik BPR yang
2
bersangkutan” dengan mencantumkan keterangan bahwa pencairannya
hanya dapat dilakukan setelah mendapat persetujuan tertulis dari Direksi
Bank Indonesia.
Demikian permohonan kami.
DIREKSI
1 PI/PD/KOP**) BPR
2. PT/PD/KOP**) BPR
3. PT/PD/KOP**) BPR
dst.
*) Urusan Bank Perkreditan Rakyat (UBPR)
(bagi BPR yang berkantor pusat di wilayah Jabotabek, Kabupaten/ Kotamadya
Serang, Lebak dan Pandeglang); atau
Kantor Bank Indonesia ......ceuue....
(bagi BPR yang berkantor pusat di luar wilayah di atas), dengan tembusan kepada
UBPR.
**) Coret yang tidak perlu
Lampiran 2 Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No.32/52/KEP/DIR tanggal 14 Mei
1999 tentang Merger. Konsolidasi dan Akuisisi Bank Perkreditan Rakyat.
No.
Lamp :
Kepada Yth.
Direksi Bank Indonesia
JI. M.H. Thamrin No.2
JAKARTA 10110
Up. *)
Perihal : Permohonan Izin Akuisisi BPR.
Dengan ini kami mengajukan permobonan untuk mendapatkan izin
Akuisisi saham PT/PD/KOP**) BPR ......ccocceveennn... oleh
snr. (pihak yang mengakuisisi).
Untuk melengkapi permohonan dimaksud bersama ini kami sampaikan :
1. Nama dan tempat kedudukan BPR yang akan diakuisisi.
2. Daftar pihak yang mengakuisisi disertai dengan dokumen identitas yang
dipersyaratkan.
3. Laporan keuangan 1 (satu) tahun terakhir bagi badan hukum yang akan
mengakuisisi.
Rancangan Perubzhan Anggaran Dasar BPR yang diakuisisi.
Jumlah dan nominal saham yang diakuisisi.
Kesiapan pendanaan dari pihak yang mengakuisisi.
Perkiraan jangka waktu pelaksanaan Akuisisi.
oN wok
Komposisi pemegang saham sebelum dan setelah Akuisisi,
9. Rancangan akia jual befi dalam rangka Akuisisi.
10. Surat pernyataan dari pihak yang mengakuisisi tentang sumber dana
untuk mengakuisisi saham BPR.
11. Surat pernyataan dari pihak yang mengakuisisi tentang tidak pernah
melakukan tindakan tercela di bidang perbanken, keuangan dan usaha
lainnya dan/atau tidak pemah dihukum karena terbukti melakukan
tindak pidana kejahatan.
Demikian permohonan kami.
PIHAK YANG MENGAKUISISI DIREKSI
PT/PD/KOP **) BPR ........
ce
*) Urusan Bank Perkreditan Rakyat (UBPR)
(bagi BPR yang berkantor pusat di wilayah Jabutabek, Kabupaten/ Kotamadya
Serang, Lebak dan Pandeglang); atau
Kantor Bank Indonesia ...............
Lai B BPR yang berkantor pusat di luar wilayah di atas), dengan tembusan kepada
UBPR.
*) Coret yang tidak perlu
Lampiran 3 Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No.32/52/KEP/DIR tangoal 14 Mei
1999 tentang Merger, Konsolidasi dan Akuisisi Bank Perkreditan Rakvat.
No.
Lamp :
Kepada :
Bank Indonesia
JI. MH. Thamrin No.2
JAKARTA 10110
Up %y
Perihal : Laporan Pengambilalihan Saham BPR
Dengan ini kami melaporkan pengalihan saham PT/PD/KOP**) BPR
sir rirna oleh (pihak yang mengambilalih) yang
dilaksanakan pada tanggal....................
Untuk melengkapi laporan dimaksud bersama ini kami sampaikan:
(untuk perorangan),
1. Daftar pihak yang mengambilalih saham disertai dengan dokumen
identitas yang dipersyazatkan.
2. Fotokopi akta pengaiihan saham.
3. Komposisi pemegang saham BPR sebelum dan setelah pengalihan
saham.
4. Bukti transaksi dalam rangka pengalihan saham BPR.
5. Surat pernyataan dari pembeli tentang sumber dana untuk pembelian
saham BPR.
6. Surat pernyataan dari pihak yang mengambilalih saham tentang tidak
pemnah melakukan tindakan tercela di bidang perbankan, keuangan dan
usaha lainnya dan/atau tidak pernah dihukum karena terbukti melakukan
tindak pidana kejahatan.
(untuk badan hukum)
1.
2.
Ww
Fotokopi akta pengalihan saham
Akta pendirian termasuk anggaran dasar badan hukum beserta
perubahannya yang telah mendapat pengesahan dari instansi berwenang.
. Daftar seluruh angpota komisaris dan direksi badan hukum yang
bersangkutan disertai dengan dokumen indentitas yang dipersyaratkan.
. Dartar pemegang saham berikut besamya masing-masing kepemilikan
saham badan hukum yang bersangkutan.
. Neraca badan hukum posisi akhir bulan sebelum tanggal pengajuan
permohonan. Bagi badan hukum yang akan memiliki saham pada BPR
sebesar Rp 1 milyar, neraca badan hukum dimaksud wajib diaudit oleh
akuntan publik dengan posisi paling lama 6 (enam) bulan sebelum
pengajuan permohonan.
6. Bukti transaksi dalam rangka pembelian saham.
. Komposisi pemegang saham sebelum dan setelah pengalihan saham.
. Surat pernyataan dari komisaris dan direksi badan hukum yang
bersangkutan tentang sumber dana untuk pengalihan saham BPR.
. Surat pernyataan dari komisaris dan direksi badan hukum yang
bersangkutan tentang tidak pernah melakukan tindakan tercela di bidang
perbankan, keuangan dan usaha lainnya dan/atau tidak pernah dihukum
karena terbukti melakukan tindak pidana kejahatan.
Demikian permohonan kami.
DIREXSI
PT/PD/KOP ++) BPR ......
cc
+)
Urusan Bank Perkreditan Rakyat (UBPR)
(bagi BPR yang berkantor pusat di wilayah Jabotabék, Kabupatern/ Kotamadya
Serang, Lebak dan Pandeglang); atau
Kantor Bank Indonesia .......ooveeiee
{bagi BPR yang berkantor pusat di luar wilayah di atas).
Coret yang tidak perlu
"," SKDIR-BI
32/52/KEP/DIR|SKDIR-BI/1999
PERSYARATAN DAN TATA CARA MERGER, KONSOLIDASI DAN AKUISISI BANK PERKREDITAN RAKYAT
14 Mei 1999
14 Mei 1999
'13/UU/1968', '10/UU/1998', '28/PP/1999', '1/UU/1995', '27/PP/1998', '7/UU/1992'
'BAB V'
"
" UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 1 TAHUN 2013
TENTANG
LEMBAGA KEUANGAN MIKRO
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa untuk menumbuhkembangkan perekonomian
rakyat menjadi tangguh, berdaya, dan mandiri yang
berdampak kepada peningkatan perekonomian nasional
yang diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi
dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan,
berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian,
serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan
kesatuan ekonomi nasional;
b. bahwa masih terdapat kesenjangan antara permintaan
dan ketersediaan atas layanan jasa keuangan mikro yang
memfasilitasi masyarakat miskin dan/atau
berpenghasilan rendah, yang bertujuan untuk
memberdayakan ekonomi masyarakat;
c. bahwa untuk memberikan kepastian hukum dan
memenuhi kebutuhan layanan keuangan terhadap
masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah,
kegiatan layanan jasa keuangan mikro dan
kelembagaannya perlu diatur secara Iebih komprehensif
sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu
membentuk Undang-Undang tentang Lembaga Keuangan
Mikro;
Mengingat
: Pasal 20, Pasal 21, Pasal 27 ayat (2), dan Pasal 33 ayat (1)
dan ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun1945;
Dengan . . .
- 2 -
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG LEMBAGA KEUANGAN
MIKRO.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Lembaga Keuangan Mikro yang selanjutnya disingkat
LKM adalah lembaga keuangan yang khusus didirikan
untuk memberikan jasa pengembangan usaha dan
pemberdayaan masyarakat, baik melalui pinjaman atau
pembiayaan dalam usaha skala mikro kepada anggota
dan masyarakat, pengelolaan simpanan, maupun
pemberian jasa konsultasi pengembangan usaha yang
tidak semata-mata mencari keuntungan.
2. Simpanan adalah dana yang dipercayakan oleh
masyarakat kepada LKM dalam bentuk tabungan
dan/atau deposito berdasarkan perjanjian penyimpanan
dana.
3. Pinjaman adalah penyediaan dana oleh LKM kepada
masyarakat yang harus dikembalikan sesuai dengan
yang diperjanjikan.
4. Pembiayaan adalah penyediaan dana oleh LKM kepada
masyarakat yang harus dikembalikan sesuai dengan
yang diperjanjikan dengan prinsip syariah.
5. Penyimpan adalah pihak yang menempatkan dananya
pada LKM berdasarkan perjanjian.
6. Pemerintah . . .
- 3 -
6. Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah
adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang
kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
7. Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati atau
Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan daerah.
8. Otoritas Jasa Keuangan adalah Otoritas Jasa Keuangan
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang
Otoritas Jasa Keuangan.
BAB II
ASAS DAN TUJUAN
Pasal 2
LKM berasaskan:
a. keadilan;
b. kebersamaan;
c. kemandirian;
d. kemudahan;
e. keterbukaan;
f. pemerataan;
g. keberlanjutan; dan
h. kedayagunaan dan kehasilgunaan.
Pasal 3
LKM bertujuan untuk:
a. meningkatkan akses pendanaan skala mikro bagi
masyarakat;
b. membantu peningkatan pemberdayaan ekonomi dan
produktivitas masyarakat; dan
c. membantu peningkatan pendapatan dan kesejahteraan
masyarakat
terutama masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan
rendah.
BAB III . . .
- 4 -
BAB III
PENDIRIAN, KEPEMILIKAN, DAN PERIZINAN
Bagian Kesatu
Pendirian
Pasal 4
Pendirian LKM paling sedikit harus memenuhi persyaratan:
a. bentuk badan hukum;
b. permodalan; dan
c. mendapat izin usaha yang tata caranya diatur dalam
Undang-Undang ini.
Pasal 5
(1) Bentuk badan hukum sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 huruf a adalah:
a. Koperasi; atau
b. Perseroan Terbatas.
(2) Perseroan Terbatas sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b, sahamnya paling sedikit 60% (enam puluh
persen) dimiliki oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota
atau badan usaha milik desa/kelurahan.
(3) Sisa kepemilikan saham Perseroan Terbatas sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dapat dimiliki oleh:
a. warga negara Indonesia; dan/atau
b. koperasi.
(4) Kepemilikan setiap warga negara Indonesia atas saham
Perseroan Terbatas sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
huruf a paling banyak sebesar 20% (dua puluh persen).
Pasal 6
LKM dilarang dimiliki, baik langsung maupun tidak
langsung, oleh warga negara asing dan/atau badan usaha
yang sebagian atau seluruhnya dimiliki oleh warga negara
asing atau badan usaha asing.
Pasal 7 . . .
- 5 -
Pasal 7
(1) Sumber permodalan LKM disesuaikan dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan sesuai dengan badan
hukumnya.
(2) Ketentuan mengenai besaran modal LKM diatur dalam
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
Bagian Kedua
Kepemilikan
Pasal 8
LKM hanya dapat dimiliki oleh:
a. warga negara Indonesia;
b. badan usaha milik desa/kelurahan;
c. Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota; dan/atau
d. koperasi.
Bagian Ketiga
Perizinan
Pasal 9
(1) Sebelum menjalankan kegiatan usaha, LKM harus
memiliki izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Untuk memperoleh izin usaha LKM sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), harus dipenuhi persyaratan
paling sedikit mengenai:
a. susunan organisasi dan kepengurusan;
b. permodalan;
c. kepemilikan; dan
d. kelayakan rencana kerja.
Pasal 10 . . .
- 6 -
Pasal 10
Ketentuan lebih lanjut mengenai permodalan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 huruf b, kepemilikan LKM
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, dan tata cara
perizinan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
BAB IV
KEGIATAN USAHA DAN CAKUPAN WILAYAH USAHA
Bagian Kesatu
Kegiatan Usaha
Pasal 11
(1) Kegiatan usaha LKM meliputi jasa pengembangan usaha
dan pemberdayaan masyarakat, baik melalui Pinjaman
atau Pembiayaan dalam usaha skala mikro kepada
anggota dan masyarakat, pengelolaan Simpanan,
maupun pemberian jasa konsultasi pengembangan
usaha.
(2) Ketentuan mengenai suku bunga Pinjaman atau imbal
hasil Pembiayaan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 12
(1) Penyaluran Pinjaman atau Pembiayaan dan pengelolaan
Simpanan oleh LKM sebagaimana dimaksud dalam Pasal
11 ayat (1) dilaksanakan secara konvensional atau
berdasarkan prinsip syariah.
(2) Kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaksanakan
sesuai dengan fatwa syariah yang dikeluarkan oleh
Dewan Syariah Nasional, Majelis Ulama Indonesia.
Pasal 13
(1) Untuk melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip
syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2),
LKM wajib membentuk dewan pengawas syariah.
(2) Dewan . . .
- 7 -
(2) Dewan pengawas syariah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) bertugas memberikan nasihat dan saran kepada
direksi atau pengurus serta mengawasi kegiatan LKM
agar sesuai dengan prinsip syariah.
Pasal 14
Dalam melakukan kegiatan usaha, LKM dilarang:
a. menerima Simpanan berupa giro dan ikut serta dalam
lalu lintas pembayaran;
b. melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing;
c. melakukan usaha perasuransian sebagai penanggung;
d. bertindak sebagai penjamin;
e. memberi pinjaman atau pembiayaan kepada LKM lain,
kecuali dalam rangka mengatasi kesulitan likuiditas bagi
LKM lain dalam wilayah kabupaten/kota yang sama; dan
f. melakukan usaha di luar kegiatan usaha sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1).
Pasal 15
Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan usaha LKM
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 sampai dengan Pasal
14 diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
Bagian Kedua
Cakupan Wilayah Usaha
Pasal 16
(1) Cakupan wilayah usaha suatu LKM berada dalam satu
wilayah
desa/kelurahan,
kabupaten/kota.
(2) Luas cakupan wilayah usaha sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) disesuaikan dengan skala usaha LKM yang
diatur dalam Peraturan Pemerintah.
kecamatan,
atau
Pasal 17 . . .
- 8 -
Pasal 17
Dalam hal terjadi pemekaran wilayah:
a. Pinjaman atau Pembiayaan yang telah disalurkan LKM di
luar wilayah usahanya tetap dapat dilanjutkan sampai
dengan jangka waktu Pinjaman atau Pembiayaan
berakhir; dan
b. Simpanan yang telah diterima LKM dari Penyimpan di
luar wilayah usahanya tetap dapat dilanjutkan sampai
dengan penutupan Simpanan.
Pasal 18
LKM yang tempat kedudukan dan cakupan wilayah
usahanya mengalami perubahan sebagai akibat dari
pemekaran wilayah harus memberitahukan kepada Otoritas
Jasa Keuangan.
BAB V
PENJAMINAN SIMPANAN
Pasal 19
(1) Untuk menjamin Simpanan masyarakat pada LKM,
Pemerintah Daerah dan/atau LKM dapat membentuk
lembaga penjamin simpanan LKM.
(2) Dalam hal diperlukan, Pemerintah bersama Pemerintah
Daerah dan LKM dapat mendirikan lembaga penjamin
simpanan LKM.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai lembaga sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
BAB VI
INFORMASI
Pasal 20
Pengurus LKM dapat melakukan tukar-menukar informasi
dan data mengenai penerima Pinjaman atau Pembiayaan
dengan LKM lain.
Pasal 21 . . .
- 9 -
Pasal 21
(1) Anggota dewan komisaris atau pengawas, direksi atau
pengurus, pegawai, dan pihak terafiliasi LKM wajib
merahasiakan informasi Penyimpan dan Simpanan.
merahasiakan informasi
(2) Kewajiban
dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal
informasi Penyimpan dan Simpanan untuk:
a. kepentingan perpajakan;
b. kepentingan peradilan dalam perkara pidana;
c. kepentingan peradilan dalam perkara perdata; atau
d. hal lain yang ditetapkan dalam Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan.
(3) Anggota direksi atau pengurus, dan pegawai LKM wajib
memberikan informasi Penyimpan dan Simpanan untuk
kepentingan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara untuk
memperoleh informasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dan ayat (3) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan.
BAB VII
PENGGABUNGAN, PELEBURAN, DAN PEMBUBARAN
Pasal 22
(1) LKM dapat melakukan penggabungan atau peleburan
dengan 1 (satu) atau lebih LKM lainnya dengan
persetujuan Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penggabungan atau
peleburan LKM sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 23
(1) Dalam hal LKM mengalami kesulitan likuiditas dan
solvabilitas yang membahayakan keberlangsungan
usahanya, Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan
tindakan agar:
a. pemegang saham atau anggota koperasi menambah
modal;
b. pemegang . . .
sebagaimana
- 10 -
b. pemegang saham mengganti dewan komisaris atau
pengawas dan/atau direksi atau pengurus LKM;
c. LKM menghapusbukukan Pinjaman atau Pembiayaan
yang macet dan memperhitungkan kerugian LKM
dengan modalnya;
d. LKM melakukan penggabungan atau peleburan
dengan LKM lain;
e. kepemilikan LKM dialihkan kepada pihak lain yang
bersedia mengambil alih seluruh kewajiban;
f. LKM menyerahkan pengelolaan seluruh atau sebagian
kegiatan LKM kepada pihak lain; atau
g. LKM menjual sebagian atau seluruh harta dan/atau
kewajiban LKM kepada LKM atau pihak lain.
(2) Dalam hal tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
belum cukup untuk mengatasi kesulitan likuiditas dan
solvabilitas LKM, Otoritas Jasa Keuangan mencabut izin
usaha LKM dan memerintahkan direksi atau pengurus
LKM untuk segera menyelenggarakan Rapat Umum
Pemegang Saham, Rapat Anggota atau rapat sejenis guna
membubarkan badan hukum LKM dan membentuk tim
likuidasi.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembubaran LKM
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
BAB VIII
PERLINDUNGAN PENGGUNA JASA LKM
Pasal 24
Untuk kepentingan pengguna jasa, LKM harus menyediakan
informasi terbuka kepada masyarakat paling sedikit
mengenai:
a. wewenang dan tanggung jawab pengurus LKM;
b. ketentuan dan persyaratan yang perlu diketahui oleh
Penyimpan dan Peminjam; dan
c. kemungkinan timbulnya risiko kerugian sehubungan
dengan transaksi LKM dengan pihak lain.
Pasal 25 . . .
- 11 -
Pasal 25
Untuk perlindungan Penyimpan dan masyarakat, Otoritas
Jasa Keuangan berwenang melakukan tindakan pencegahan
kerugian Penyimpan dan masyarakat yang meliputi:
a. memberikan informasi dan edukasi kepada masyarakat
atas karakteristik dan kegiatan usaha LKM;
b. meminta LKM untuk menghentikan kegiatannya apabila
kegiatan tersebut berpotensi merugikan masyarakat; dan
c. tindakan lain yang dianggap perlu sesuai dengan
Undang-Undang ini.
Pasal 26
Otoritas Jasa Keuangan melakukan pelayanan pengaduan
Penyimpan yang meliputi:
a. menyiapkan perangkat untuk pelayanan pengaduan
Penyimpan yang dirugikan oleh LKM;
b. membuat mekanisme pengaduan Penyimpan yang
dirugikan oleh LKM; dan
c. memfasilitasi penyelesaian pengaduan Penyimpan yang
dirugikan oleh LKM.
BAB IX
TRANSFORMASI LKM
Pasal 27
LKM wajib bertransformasi menjadi bank jika:
a. LKM melakukan kegiatan usaha melebihi 1 (satu) wilayah
kabupaten/kota tempat kedudukan LKM; atau
b. LKM telah memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
BAB X
PEMBINAAN, PENGATURAN, DAN PENGAWASAN
Pasal 28
(1) Pembinaan, pengaturan, dan pengawasan LKM dilakukan
oleh Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Dalam . . .
- 12 -
(2) Dalam melakukan pembinaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan melakukan
koordinasi dengan kementerian yang menyelenggarakan
urusan koperasi dan Kementerian Dalam Negeri.
(3) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) didelegasikan kepada Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota.
(4) Dalam hal Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota belum
siap, Otoritas Jasa Keuangan dapat mendelegasikan
pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) kepada pihak lain yang ditunjuk.
(5) Ketentuan mengenai hal yang berkaitan dengan
pembinaan dan pengawasan yang didelegasikan kepada
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dan pihak lain yang ditunjuk
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 29
(1) LKM wajib melakukan dan memelihara pencatatan
dan/atau pembukuan keuangan sesuai dengan standar
akuntansi keuangan yang berlaku.
(2) Dalam melakukan dan memelihara pencatatan dan/atau
pembukuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), direksi
atau pengurus LKM dilarang:
a. membuat pencatatan palsu dalam pembukuan
dan/atau laporan keuangan tanpa didukung dengan
dokumen yang sah;
b. menghilangkan atau tidak memasukkan informasi
yang benar dalam laporan kegiatan usaha, laporan
keuangan, atau rekening LKM; dan
c. mengubah, mengaburkan, menyembunyikan,
menghapus, atau menghilangkan suatu pencatatan
dalam pembukuan atau dalam laporan keuangan,
maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan
usaha.
Pasal 30
(1) LKM wajib menyampaikan kepada Otoritas Jasa
Keuangan:
a. laporan keuangan setiap 4 (empat) bulan; dan/atau
b. laporan . . .
- 13 -
b. laporan lain yang ditetapkan dalam Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan.
(2) LKM wajib mengumumkan laporan keuangan dalam
rangka menerapkan prinsip keterbukaan.
Pasal 31
Dalam rangka pembinaan dan pengawasan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan
melakukan pemeriksaan terhadap LKM.
Pasal 32
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan, pengaturan,
dan pengawasan LKM sebagaimana dimaksud dalam Pasal
28 sampai dengan Pasal 31 diatur dalam Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan.
BAB XI
SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 33
(1) Setiap LKM yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 8, Pasal 11, Pasal 12 ayat
(2), Pasal 13 ayat (1), Pasal 14, Pasal 18, Pasal 24, Pasal
27, Pasal 29 ayat (1), dan Pasal 30 dikenai sanksi
administratif berupa:
a. denda uang;
b. peringatan tertulis;
c. pembekuan kegiatan usaha;
d. pemberhentian direksi atau pengurus LKM dan
selanjutnya menunjuk dan mengangkat pengganti
sementara sampai Rapat Umum Pemegang Saham
atau Rapat Anggota Koperasi mengangkat pengganti
yang tetap dengan persetujuan Otoritas Jasa
Keuangan; atau
e. pencabutan izin usaha.
(2) Pengenaan . . .
- 14 -
(2) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) sesuai dengan tingkat pelanggaran yang
dilakukan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata laksana dan
penerapan sanksi administratif sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan.
BAB XII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 34
(1) Setiap orang yang menjalankan usaha LKM tanpa izin
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan
paling lama 3 (tiga) tahun serta pidana denda paling
sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan
paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(2) Dalam hal kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh badan hukum yang berbentuk perseroan
terbatas atau koperasi, maka penuntutan terhadap
badan-badan dimaksud dilakukan baik terhadap mereka
yang memberi perintah melakukan perbuatan itu atau
yang bertindak sebagai pimpinan dalam perbuatan itu
atau terhadap kedua-duanya.
Pasal 35
(1) Setiap orang yang dengan sengaja memaksa LKM untuk
memberikan informasi Penyimpan dan Simpanan di luar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat
(2), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1
(satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun serta pidana
denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah).
(2) Anggota dewan komisaris atau pengawas, direksi atau
pengurus, pegawai, dan pihak terafiliasi LKM yang
dengan sengaja memberikan informasi yang wajib
dirahasiakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21
ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1
(satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun serta pidana
denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah).
Pasal 36 . . .
- 15 -
Pasal 36
Anggota direksi atau pengurus, atau pegawai LKM yang
dengan sengaja tidak memberikan informasi yang wajib
dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3),
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun
dan paling lama 3 (tiga) tahun serta pidana denda paling
sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 37
(1) Setiap direksi atau pengurus LKM yang:
a. membuat pencatatan palsu dalam pembukuan atau
laporan keuangan dan/atau tanpa didukung dengan
dokumen yang sah;
b. menghilangkan atau tidak memasukkan informasi
yang benar dalam laporan kegiatan usaha, laporan
keuangan, atau rekening LKM; dan
c. mengubah, mengaburkan, menyembunyikan,
menghapus,
dan/atau
menghilangkan suatu
pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan
keuangan, dan dalam dokumen atau laporan kegiatan
usaha
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan
paling lama 3 (tiga) tahun serta pidana denda paling
sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan
paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(2) Anggota dewan komisaris atau pengawas, direksi atau
pengurus, dan/atau pegawai LKM yang dengan sengaja:
a. meminta atau menerima suatu imbalan, baik berupa
uang maupun barang untuk keuntungan pribadi atau
keluarganya:
1. dalam rangka orang lain mendapatkan uang
muka atau fasilitas Pinjaman atau Pembiayaan
dari LKM;
2. dalam rangka memberikan persetujuan bagi orang
lain untuk melaksanakan penarikan dana yang
melebihi batas Pinjaman atau Pembiayaan pada
LKM;
b. tidak . . .
- 16 -
b. tidak
melaksanakan langkah-langkah yang
diperlukan untuk memastikan ketaatan LKM
terhadap ketentuan dalam Undang-Undang ini dan
ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya
yang berlaku bagi LKM
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu)
tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun serta pidana denda
paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)
dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah).
Pasal 38
Pemegang saham atau pemilik LKM yang dengan sengaja
menyuruh dewan komisaris atau pengawas, direksi atau
pengurus, anggota koperasi, atau pegawai LKM untuk
melakukan atau tidak melakukan tindakan yang
mengakibatkan LKM tidak melaksanakan langkah-
langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan
LKM terhadap ketentuan dalam Undang-Undang ini dan
ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya yang
berlaku bagi LKM, dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun
serta pidana denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima
puluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
BAB XIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 39
(1) Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Bank Desa,
Lumbung Desa, Bank Pasar, Bank Pegawai, Badan Kredit
Desa (BKD), Badan Kredit Kecamatan (BKK), Kredit
Usaha Rakyat Kecil (KURK), Lembaga Perkreditan
Kecamatan (LPK), Bank Karya Produksi Desa (BKPD),
Badan Usaha Kredit Pedesaan (BUKP), Baitul Maal wa
Tamwil (BMT), Baitul Tamwil Muhammadiyah (BTM),
dan/atau lembaga-lembaga lainnya yang dipersamakan
dengan itu tetap dapat beroperasi sampai dengan 1 (satu)
tahun terhitung sejak Undang-Undang ini berlaku.
(2) Lembaga . . .
- 17 -
(2) Lembaga-lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib memperoleh izin usaha dari Otoritas Jasa
Keuangan paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak
Undang-Undang ini berlaku.
(3) Lembaga Perkreditan Desa dan Lumbung Pitih Nagari
serta lembaga sejenis yang telah ada sebelum Undang-
Undang ini berlaku, dinyatakan diakui keberadaaannya
berdasarkan hukum adat dan tidak tunduk pada
Undang-Undang ini.
Pasal 40
(1) Otoritas Jasa Keuangan, kementerian yang
menyelenggarakan urusan koperasi, dan Kementerian
Dalam Negeri harus melakukan inventarisasi LKM yang
belum berbadan hukum.
(2) Inventarisasi LKM sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus diselesaikan paling lambat 2 (dua) tahun terhitung
sejak Undang-Undang ini berlaku.
(3) Dalam melakukan inventarisasi LKM sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) Otoritas Jasa Keuangan,
kementerian yang menyelenggarakan urusan koperasi,
dan Kementerian Dalam Negeri dapat bekerja sama
dengan pihak lain yang memiliki infrastruktur memadai.
BAB XIV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 41
Peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang ini harus
ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak
Undang-Undang ini diundangkan.
Pasal 42
Undang-Undang ini mulai berlaku setelah 2 (dua) tahun
terhitung sejak tanggal diundangkan.
Agar . . .
- 18 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 8 Januari 2013
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 8 Januari 2013
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
AMIR SYAMSUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2013 NOMOR 12
Salinan sesuai dengan aslinya
KEMENTERIAN SEKRETARIAT NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
Asisten Deputi Perundang-undangan
Bidang Perekonomian,
ttd
Lydia Silvanna Djaman
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 1 TAHUN 2013
TENTANG
LEMBAGA KEUANGAN MIKRO
I. UMUM
Sektor keuangan di Indonesia merupakan salah satu sektor yang memiliki
peranan penting dalam mendorong peningkatan perekonomian nasional
dan ekonomi masyarakat. Perkembangan dan kemajuan pada sektor
keuangan, baik bank maupun lembaga keuangan bukan bank perlu
dipertahankan. Dalam aspek kelembagaan, organisasi, regulasi (kebijakan),
dan sumber daya manusia (SDM) perlu adanya peningkatan dan perbaikan,
khususnya pada lembaga keuangan bukan bank.
Di Indonesia banyak berkembang lembaga keuangan bukan bank yang
melakukan kegiatan usaha bidang keuangan yang banyak membantu
kepada masyarakat. Lembaga-lembaga tersebut perlu dikembangkan
terutama secara kelembagaan dan legalitasnya karena telah banyak
membantu peningkatan perekonomian masyarakat, khususnya masyarakat
miskin dan/atau berpenghasilan rendah.
Perkembangan dalam masyarakat saat ini, lembaga keuangan yang
menyediakan dana atau modal bagi usaha skala mikro dan usaha skala
kecil sangatlah penting dan urgent. Lembaga keuangan skala mikro ini
memang hanya difokuskan kepada usaha-usaha masyarakat yang bersifat
mikro. Lembaga keuangan berskala mikro ini dikenal dengan sebutan
Lembaga Keuangan Mikro (LKM).
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945)
Pasal 33 ayat (1) menegaskan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha
bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Selanjutnya Pasal 33 ayat (4)
UUD 1945 menyatakan bahwa perekonomian nasional diselenggarakan
berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi
berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta
dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
LKM . . .
- 2 -
LKM pada dasarnya dibentuk berdasarkan semangat yang terdapat dalam
Pasal 27 ayat (2) serta Pasal 33 ayat (1) dan ayat (4) UUD 1945.
Keberadaan LKM pada prinsipnya sebagai lembaga keuangan yang
menyediakan jasa Simpanan dan Pembiayaan skala mikro, kepada
masyarakat, memperluas lapangan kerja, dan dapat berperan sebagai
instrumen pemerataan dan peningkatan pendapatan masyarakat, serta
meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan
rendah.
Berdasarkan hal tersebut, untuk memenuhi kebutuhan layanan keuangan
terhadap masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah, perlu
disusun suatu undang-undang tentang lembaga keuangan mikro untuk
memberikan landasan hukum dan kepastian hukum terhadap kegiatan
lembaga keuangan mikro.
Penyusunan Undang-Undang ini bertujuan:
1. mempermudah akses masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan
rendah untuk memperoleh Pinjaman/Pembiayaan mikro;
2. memberdayakan ekonomi dan produktivitas masyarakat miskin
dan/atau berpenghasilan rendah; dan
3. meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat miskin
dan/atau berpenghasilan rendah.
Undang-Undang ini memuat substansi pokok mengenai ketentuan lingkup
LKM, konsep Simpanan dan Pinjaman/Pembiayaan dalam definisi LKM,
asas dan tujuan. Undang-Undang ini juga mengatur kelembagaan, baik
yang mengenai pendirian, bentuk badan hukum, permodalan, maupun
kepemilikan. Bentuk badan hukum LKM menurut Undang-Undang ini
adalah Koperasi dan Perseroan Terbatas. LKM yang berbentuk badan
hukum Perseroan Terbatas, kepemilikan sahamnya mayoritas dimiliki oleh
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota atau badan usaha milik
desa/kelurahan.
Selain itu, Undang-Undang ini mengatur juga mengenai kegiatan usaha
LKM meliputi jasa pengembangan usaha dan pemberdayaan masyarakat,
baik melalui Pinjaman atau Pembiayaan dalam skala mikro kepada anggota
dan masyarakat, pengelolaan Simpanan, maupun pemberian jasa
konsultasi pengembangan usaha, serta cakupan wilayah usaha suatu LKM
yang berada dalam satu wilayah desa/kelurahan, kecamatan, atau
kabupaten/kota sesuai dengan perizinannya (multi-licensing). Untuk
memberikan kepercayaan kepada para penyimpan, dapat dibentuk lembaga
penjamin simpanan LKM yang didirikan oleh Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota dan/atau LKM. Dalam hal diperlukan, Pemerintah dapat
pula ikut mendirikan lembaga penjamin simpanan LKM bersama
Pemerintah Daerah dan LKM.
Undang . . .
- 3 -
Undang-Undang ini mengatur pula ketentuan mengenai tukar-menukar
informasi antar-LKM. Undang-Undang ini juga mengatur mengenai
penggabungan, peleburan, dan pembubaran. Di dalam Undang-Undang ini,
perlindungan kepada pengguna jasa LKM, pembinaan dan pengawasan
LKM, diserahkan kepada Otoritas Jasa Keuangan, dengan didelegasikan
kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota atau pihak lain yang ditunjuk
oleh Otoritas Jasa Keuangan. Agar implementasi Undang-Undang ini dapat
terlaksana dengan baik, Otoritas Jasa Keuangan, Kementerian Dalam
Negeri, termasuk Pemerintah Daerah, kementerian yang membidangi
urusan perkoperasian, dan kementerian yang membidangi fiskal, perlu
bekerja sama untuk melakukan sosialisasi Undang-Undang ini.
Undang-Undang ini mulai berlaku 2 (dua) tahun sejak diundangkan.
Jangka waktu 2 (dua) tahun tersebut dimaksudkan antara lain untuk
menyiapkan infrastruktur yang diperlukan seperti sumber daya manusia
Otoritas Jasa Keuangan selaku pembina dan pengawas LKM dan sumber
daya manusia Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota selaku pihak yang
menerima pendelegasian wewenang pembinaan dan pengawasan LKM,
peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini dan pedoman teknis
pembinaan, pengawasan LKM, dan teknologi informasi.
Selanjutnya, LKM yang belum berbadan hukum tetap dapat beroperasi
sampai dengan 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini berlaku dan wajib
memperoleh izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan paling lama 1 (satu)
tahun terhitung sejak Undang-Undang ini berlaku.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Huruf a
Yang dimaksud dengan “asas keadilan” adalah memberikan
kesempatan yang sama kepada masyarakat, terutama
masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah untuk
mendapatkan pelayanan dari LKM.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “asas kebersamaan” adalah suatu
kegiatan yang dilakukan secara bersama-sama untuk
kepentingan bersama.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “asas kemandirian” adalah suatu
kegiatan yang dilakukan tanpa banyak tergantung kepada pihak
lain, baik dari aspek sumber daya manusia maupun
permodalan.
Huruf d . . .
- 4 -
Huruf d
Yang dimaksud dengan “asas kemudahan” adalah bahwa
prosedur pembiayaan dan penyimpanan dana dalam LKM dibuat
sesederhana mungkin.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “asas keterbukaan” adalah suatu
kegiatan usaha yang proses pengelolaannya dapat diketahui oleh
masyarakat.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “asas pemerataan” adalah pemberian
Pinjaman atau Pembiayaan yang menjangkau seluruh
masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah.
Huruf g
Yang dimaksud dengan “asas keberlanjutan” adalah suatu
usaha yang dilakukan secara terus-menerus dan
berkesinambungan yang tidak dibatasi oleh waktu tertentu.
Huruf h
Yang dimaksud dengan “asas kedayagunaan dan kehasilgunaan”
adalah
suatu kegiatan pemberdayaan sekaligus
mendayagunakan usaha dan layanan keuangan mikro untuk
masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “koperasi” adalah koperasi jasa.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7 . . .
- 5 -
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21 . . .
- 6 -
Pasal 21
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan ”pihak terafiliasi” adalah:
a. pemegang saham, anggota, dan pihak yang memberikan
jasanya kepada LKM, antara lain akuntan publik, penilai,
dan konsultan hukum; dan
b. pihak yang turut serta mempengaruhi pengelolaan LKM,
antara lain pemegang saham dan keluarganya, keluarga
komisaris, keluarga pengawas, keluarga direksi, atau
keluarga pengurus.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31 . . .
- 7 -
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5394
"," 1/UU/2013
LEMBAGA KEUANGAN MIKRO
8 Januari 2013
setelah 2 (dua) tahun terhitung sejak 8 Januari 2013
8 Januari 2013
'UUD 1945 | Pasal 20, Pasal 21, Pasal 27 ayat (2), dan Pasal 33 ayat (1) dan ayat (4)'
'BAB XI', 'BAB XII'
"
" UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 1 TAHUN 2016
TENTANG
PENJAMINAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa perekonomian nasional diselenggarakan berdasar
atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan,
efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan
lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga
keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional;
b. bahwa untuk mewujudkan kemandirian ekonomi, negara
harus memberikan perhatian terhadap dunia usaha,
khususnya usaha mikro, kecil, dan menengah serta
koperasi yang sering kesulitan mendapatkan akses
permodalan dalam bentuk kredit, pembiayaan, atau
pembiayaan berdasarkan prinsip syariah dari lembaga
keuangan dan di luar lembaga keuangan karena
terbatasnya jaminan;
c. bahwa untuk memudahkan akses permodalan,
dibutuhkan dukungan penjaminan dari lembaga
penjamin;
d. bahwa untuk mendorong industri penjaminan yang
diselenggarakan secara efisien, berkesinambungan, dan
berperan penting dalam pembangunan nasional, perlu
melakukan pengaturan terhadap industri penjaminan;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d perlu
membentuk Undang-Undang tentang Penjaminan;
Mengingat
: Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 33 ayat (4) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Dengan . . .
- 2 -
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PENJAMINAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Penjaminan adalah kegiatan pemberian jaminan oleh
Penjamin atas pemenuhan kewajiban finansial Terjamin
kepada Penerima Jaminan.
2. Penjaminan Syariah adalah kegiatan pemberian jaminan
oleh Penjamin atas pemenuhan kewajiban finansial
Terjamin kepada Penerima Jaminan berdasarkan Prinsip
Syariah.
3. Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam
kegiatan penjaminan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan
oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam
penetapan fatwa di bidang syariah.
4. Penjaminan Ulang adalah kegiatan pemberian jaminan
atas pemenuhan kewajiban finansial Perusahaan
Penjaminan.
5. Penjaminan Ulang Syariah adalah kegiatan pemberian
jaminan atas pemenuhan kewajiban finansial Perusahaan
Penjaminan Syariah dan UUS.
6. Lembaga Penjamin adalah Perusahaan Penjaminan,
Perusahaan Penjaminan Syariah, Perusahaan
Penjaminan Ulang, dan Perusahaan Penjaminan Ulang
Syariah yang menjalankan kegiatan penjaminan.
7. Perusahaan . . .
- 3 -
7. Perusahaan Penjaminan adalah badan hukum yang
bergerak di bidang keuangan dengan kegiatan usaha
utama melakukan Penjaminan.
8. Perusahaan Penjaminan Syariah adalah badan hukum
yang bergerak di bidang keuangan dengan kegiatan usaha
utama melakukan Penjaminan Syariah.
9. Perusahaan Penjaminan Ulang adalah badan hukum yang
bergerak di bidang keuangan dengan kegiatan usaha
melakukan Penjaminan Ulang.
10. Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah adalah badan
hukum yang bergerak di bidang keuangan dengan
kegiatan usaha melakukan Penjaminan Ulang Syariah.
11. Penjamin adalah pihak yang melakukan penjaminan.
12. Penerima Jaminan adalah lembaga keuangan atau di luar
lembaga keuangan yang telah memberikan Kredit,
Pembiayaan, Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah
atau kontrak jasa kepada Terjamin.
13. Terjamin adalah pihak yang telah memperoleh Kredit,
Pembiayaan, Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah,
atau kontrak jasa dari lembaga keuangan atau di luar
lembaga keuangan yang dijamin oleh Perusahaan
Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Syariah.
14. Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat
dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau
kesepakatan pinjam-meminjam, yang dibuat oleh bank
atau koperasi dengan pihak lain yang mewajibkan pihak
peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu
tertentu dengan pemberian bunga.
15. Pembiayaan adalah penyediaan fasilitas finansial atau
tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu,
berdasarkan persetujuan atau kesepakatan, yang dibuat
oleh lembaga pembiayaan dengan pihak lain yang
mewajibkan pihak yang dibiayai untuk melunasi
utangnya setelah jangka waktu tertentu.
16. Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah adalah
pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam undang-
undang yang mengatur mengenai perbankan syariah.
17. Unit Usaha Syariah, yang selanjutnya disebut UUS,
adalah unit kerja dari Perusahaan Penjaminan yang
berfungsi sebagai kantor induk dari kantor atau unit yang
melaksanakan kegiatan usaha Penjaminan berdasarkan
Prinsip Syariah.
18. Sertifikat . . .
- 4 -
18. Sertifikat Penjaminan adalah bukti persetujuan
Penjaminan dari Perusahaan Penjaminan kepada
Penerima Jaminan atas kewajiban finansial Terjamin.
19. Sertifikat Kafalah adalah bukti persetujuan Penjaminan
Syariah dari Perusahaan Penjaminan Syariah dan UUS
kepada Penerima Jaminan atas kewajiban finansial
Terjamin.
20. Imbal Jasa Penjaminan, yang selanjutnya disingkat IJP,
adalah sejumlah uang yang diterima oleh Perusahaan
Penjaminan dari Terjamin dalam rangka kegiatan
Penjaminan.
21. Imbal Jasa Kafalah, yang selanjutnya disingkat IJK,
adalah sejumlah uang yang diterima oleh Perusahaan
Penjaminan Syariah dan UUS dari Terjamin dalam rangka
kegiatan Penjaminan Syariah.
22. Imbal Jasa Penjaminan Ulang, yang selanjutnya disingkat
IJPU, adalah sejumlah uang yang diterima oleh
Perusahaan Penjaminan Ulang dari Perusahaan
Penjaminan dalam rangka kegiatan Penjaminan Ulang.
23. Imbal Jasa Kafalah Ulang, yang selanjutnya disingkat
IJKU, adalah sejumlah uang yang diterima oleh
Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah dari Perusahaan
Penjaminan Syariah dan UUS dalam rangka kegiatan
Penjaminan Ulang Syariah.
24. Otoritas Jasa Keuangan adalah lembaga pengatur dan
pengawas sektor keuangan sebagaimana dimaksud dalam
undang-undang mengenai Otoritas Jasa Keuangan.
25. Setiap Orang adalah orang perseorangan atau badan
usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun yang
tidak berbentuk badan hukum.
BAB II
ASAS, TUJUAN, DAN RUANG LINGKUP USAHA PENJAMINAN
Bagian Kesatu
Asas dan Tujuan
Pasal 2
Penyelenggaraan usaha penjaminan berdasarkan asas:
a. kepentingan nasional;
b. kepastian . . .
- 5 -
b. kepastian hukum;
c. keterbukaan;
d. akuntabilitas;
e. profesionalisme;
f. efisiensi berkeadilan;
g. edukasi; dan
h. pelindungan konsumen.
Pasal 3
Usaha penjaminan bertujuan untuk:
a. menunjang kebijakan pemerintah, terutama dalam
rangka mendorong kemandirian usaha dan
pemberdayaan dunia usaha, khususnya usaha mikro,
kecil, dan menengah serta koperasi dalam perekonomian
nasional;
b. meningkatkan akses bagi dunia usaha, khususnya usaha
mikro, kecil, dan menengah serta koperasi dan usaha
prospektif lainnya kepada sumber pembiayaan;
c. mendorong pertumbuhan pembiayaan dan terciptanya
iklim usaha yang kondusif bagi peningkatan sektor
ekonomi strategis;
d. meningkatkan kemampuan produksi nasional yang
berdaya saing tinggi dan yang memiliki keunggulan untuk
ekspor;
e. mendukung pertumbuhan perekonomian nasional; dan
f. meningkatkan tingkat inklusivitas keuangan nasional.
Bagian Kedua
Ruang Lingkup
Pasal 4
(1) Usaha Penjaminan meliputi:
a. penjaminan Kredit, Pembiayaan, atau Pembiayaan
Berdasarkan Prinsip Syariah yang diberikan oleh
lembaga keuangan;
b. penjaminan . . .
- 6 -
b. penjaminan pinjaman yang disalurkan oleh koperasi
simpan pinjam atau koperasi yang mempunyai unit
usaha simpan pinjam kepada anggotanya; dan
c. penjaminan Kredit dan/atau pinjaman program
kemitraan yang disalurkan oleh badan usaha milik
negara dalam rangka program kemitraan dan bina
lingkungan.
(2) Selain usaha Penjaminan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) Perusahaan Penjaminan dapat melakukan:
a. penjaminan atas surat utang;
b. penjaminan pembelian barang secara angsuran;
c. penjaminan transaksi dagang;
d. penjaminan pengadaan barang dan/atau jasa (surety
bond);
e. penjaminan bank garansi (kontra bank garansi);
f. penjaminan surat kredit berdokumen dalam negeri;
g. penjaminan letter of credit;
h. penjaminan kepabeanan (customs bond);
i. penjaminan cukai;
j. pemberian jasa konsultasi manajemen terkait dengan
kegiatan usaha Penjaminan; dan
k. kegiatan usaha lainnya setelah mendapat persetujuan
dari Otoritas Jasa Keuangan.
(3) Usaha Penjaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) yang dilakukan oleh Perusahaan Penjaminan
Syariah harus berdasarkan Prinsip Syariah.
(4) Dalam melakukan usaha Penjaminan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Perusahaan
Penjaminan dan Perusahaan Penjaminan Syariah harus
memprioritaskan penjaminan untuk mendukung usaha
mikro, kecil, dan menengah serta koperasi.
(5) Untuk mendukung usaha mikro, kecil, dan menengah
serta koperasi, dan/atau program pemerintah,
pemerintah dapat menunjuk atau menugaskan Lembaga
Penjamin milik pemerintah.
Pasal 5 . . .
- 7 -
Pasal 5
(1) Usaha Penjaminan Ulang hanya dapat menjamin
kewajiban finansial Perusahaan Penjaminan.
(2) Usaha Penjaminan Ulang Syariah hanya dapat menjamin
kewajiban finansial Perusahaan Penjaminan Syariah dan
UUS.
(3) Dalam hal Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah belum
terbentuk, Perusahaan Penjaminan Ulang dapat
menjamin Perusahaan Penjaminan Syariah dan UUS.
Pasal 6
(1) Lembaga Penjamin dapat melakukan investasi dalam
mengelola dana yang dimiliki.
(2) Ketentuan mengenai persyaratan dan ketentuan investasi
bagi Lembaga Penjamin sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
BAB III
BADAN HUKUM DAN PERMODALAN
Bagian Kesatu
Badan Hukum
Pasal 7
Badan hukum Lembaga Penjamin berbentuk:
a. perusahaan umum;
b. perseroan terbatas; atau
c. koperasi.
Pasal 8
Lembaga Penjamin yang berbentuk badan hukum perusahaan
umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a hanya
dapat dimiliki oleh pemerintah pusat sesuai dengan undang-
undang yang mengatur mengenai badan usaha milik negara.
Pasal 9 . . .
- 8 -
Pasal 9
(1) Lembaga Penjamin yang berbentuk badan hukum
perseroan terbatas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
huruf b hanya dapat dimiliki oleh:
a. warga negara Indonesia dan/atau badan hukum
Indonesia yang secara langsung atau tidak langsung
sepenuhnya dimiliki oleh warga negara Indonesia;
b. warga negara Indonesia dan/atau badan hukum
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam huruf a
bersama-sama dengan warga negara asing atau badan
hukum asing;
c. pemerintah pusat; dan/atau
d. pemerintah daerah.
(2) Kepemilikan asing pada Lembaga Penjamin berbentuk
badan hukum perseroan terbatas, baik secara langsung
maupun tidak langsung paling banyak sebesar 30% (tiga
puluh per seratus) dari modal disetor.
(3) Kepemilikan asing pada Lembaga Penjamin sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) wajib disetor dalam bentuk uang
yang ditempatkan di rekening bank dalam negeri atas
nama Lembaga Penjamin.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai kepemilikan asing
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, ayat (2),
dan ayat (3) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan.
Pasal 10
Lembaga Penjamin yang berbentuk badan hukum koperasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf c hanya dapat
dimiliki oleh anggota koperasi sesuai dengan undang-undang
yang mengatur mengenai perkoperasian.
Pasal 11
Lembaga Penjamin yang berbentuk badan hukum koperasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf c yang
melakukan kegiatan penjaminan tidak dapat bertindak
sebagai Penerima Jaminan dan/atau Terjamin.
Bagian . . .
- 9 -
Bagian Kedua
Permodalan
Pasal 12
(1) Modal disetor atau modal koperasi serta jumlah modal
masing-masing pada Lembaga Penjamin ditetapkan
sesuai dengan lingkup wilayah operasional.
(2) Lingkup wilayah operasional Lembaga Penjamin
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas wilayah
nasional, provinsi, dan kabupaten/kota.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai modal disetor atau
modal koperasi serta lingkup wilayah operasional
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur
dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
BAB IV
KEPEMILIKAN DAN KEPENGURUSAN
Bagian Kesatu
Kepemilikan
Pasal 13
(1) Dalam hal pemegang saham berbentuk badan hukum
Indonesia, jumlah penyertaan modal pada Lembaga
Penjamin ditetapkan paling banyak sebesar:
a. ekuitas badan hukum yang bersangkutan apabila
tidak terdapat penyertaan lain; atau
b. ekuitas badan hukum yang bersangkutan dikurangi
jumlah penyertaan lain yang telah dilakukan apabila
terdapat penyertaan lain.
(2) Ekuitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan:
a. penjumlahan dari modal disetor, cadangan, dan laba
ditahan jika badan hukum pemilik berbentuk
perseroan terbatas dan perusahaan umum; atau
b. penjumlahan dari simpanan pokok, simpanan wajib,
hibah, modal penyertaan, dana cadangan, dan sisa
hasil usaha jika badan hukum pemilik berbentuk
koperasi.
(3) Pemilik . . .
- 10 -
(3) Pemilik Lembaga Penjamin wajib menjaga kecukupan
modal Lembaga Penjamin sesuai dengan kebutuhan
kapasitas penjaminan.
Pasal 14
(1) Setiap Orang hanya dapat menjadi pemegang saham
pengendali pada 1 (satu) Perusahaan Penjaminan, 1 (satu)
Perusahaan Penjaminan Syariah, 1 (satu) Perusahaan
Penjaminan Ulang, dan/atau 1 (satu) Perusahaan
Penjaminan Ulang Syariah.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
berlaku apabila pemegang saham pengendali adalah
pemerintah dan/atau pemerintah daerah.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemegang saham
pengendali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
Bagian Kedua
Kepengurusan
Pasal 15
(1) Lembaga Penjamin wajib dikelola oleh direksi/pengurus
dan komisaris/dewan pengawas/pengawas.
(2) Ketentuan mengenai direksi/pengurus dan
komisaris/dewan pengawas/pengawas Lembaga
Penjamin diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan.
Pasal 16
(1) Pemegang
saham,
komisaris/dewan pengawas/pengawas
direksi/pengurus dan
Lembaga
Penjamin wajib memenuhi persyaratan yang ditentukan
oleh Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Ketentuan mengenai persyaratan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan.
Pasal 17 . . .
- 11 -
Pasal 17
(1) Perusahaan Penjaminan Syariah, Perusahaan
Penjaminan Ulang Syariah, dan UUS wajib memiliki
dewan pengawas syariah.
(2) Dewan pengawas syariah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diangkat dalam rapat umum pemegang saham
atau rapat anggota atas rekomendasi lembaga yang
memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang
syariah.
(3) Dewan pengawas syariah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib melaksanakan tugas pengawasan serta
memberikan nasihat dan saran kepada direksi/pengurus
agar kegiatan usahanya dilakukan sesuai dengan Prinsip
Syariah.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai dewan pengawas syariah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat
(3) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
BAB V
IZIN USAHA
Bagian Kesatu
Izin Usaha Penjaminan, Penjaminan Ulang, dan Unit Usaha Syariah
Paragraf 1
Izin Usaha Penjaminan dan Penjaminan Ulang
Pasal 18
(1) Setiap Orang yang melakukan usaha Penjaminan dan
Penjaminan Ulang wajib terlebih dahulu mendapat izin
usaha dari Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Untuk mendapatkan izin usaha sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus dipenuhi persyaratan:
a. akta pendirian badan hukum;
b. anggaran dasar;
c. susunan organisasi;
d. data direksi/pengurus dan data komisaris/dewan
pengawas/pengawas;
e. data . . .
- 12 -
e. data pemegang saham atau anggota;
f. sistem dan prosedur kerja usaha Penjaminan dan
Penjaminan Ulang;
g. keterangan mengenai tenaga ahli penjaminan;
h. modal disetor;
i. kelayakan rencana kerja;
j. kesiapan infrastruktur;
k. konfirmasi dari otoritas pengawas di negara asal pihak
asing, jika terdapat penyertaan langsung pihak asing;
dan
l. syarat lain yang diperlukan untuk mendukung
pertumbuhan usaha yang sehat.
(3) Otoritas Jasa Keuangan menyetujui atau menolak
permohonan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak
tanggal permohonan diterima secara lengkap.
(4) Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan menolak permohonan
izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
penolakan harus dilakukan secara tertulis dengan
disertai alasannya.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata
cara perizinan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 19
(1) Perusahaan Penjaminan dan Perusahaan Penjaminan
Ulang yang telah mendapat izin usaha dari Otoritas Jasa
Keuangan wajib melakukan kegiatan usaha paling lambat
4 (empat) bulan terhitung sejak tanggal izin usaha
ditetapkan.
(2) Kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaporkan oleh direksi/pengurus Perusahaan
Penjaminan dan Perusahaan Penjaminan Ulang kepada
Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 15 (lima belas) hari
terhitung sejak tanggal kegiatan operasional dimulai.
(3) Apabila . . .
- 13 -
(3) Apabila setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) Perusahaan Penjaminan dan Perusahaan
Penjaminan Ulang belum melakukan kegiatan usaha,
Otoritas Jasa Keuangan mencabut izin usaha.
Paragraf 2
Unit Usaha Syariah
Pasal 20
(1) Perusahaan Penjaminan dapat melakukan sebagian
kegiatan usaha Penjaminan berdasarkan Prinsip Syariah
dengan membentuk UUS.
(2) Perusahaan Penjaminan yang membentuk UUS
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam anggaran
dasarnya, wajib memuat maksud dan tujuan perusahaan
untuk menjalankan sebagian kegiatan usaha Penjaminan
Berdasarkan Prinsip Syariah.
(3) Pembentukan UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib terlebih dahulu mendapat izin dari Otoritas Jasa
Keuangan.
(4) Persetujuan atau penolakan atas permohonan izin UUS
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberikan paling
lambat 30 (tiga puluh) hari kerja setelah dokumen
permohonan diterima secara lengkap.
(5) Penolakan atas permohonan izin UUS sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) dilakukan secara tertulis dan
disertai alasannya.
Pasal 21
(1) UUS yang telah mendapat izin dari Otoritas Jasa
Keuangan wajib melakukan kegiatan usaha paling lambat
3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal izin dikeluarkan.
(2) Kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaporkan oleh direksi/pengurus Perusahaan
Penjaminan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling
lambat 15 (lima belas) hari terhitung sejak tanggal
kegiatan operasional dimulai.
(3) Apabila . . .
- 14 -
(3) Apabila setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) UUS belum melakukan kegiatan usaha,
Otoritas Jasa Keuangan mencabut izin UUS.
Pasal 22
(1) Perusahaan Penjaminan dapat menghentikan kegiatan
usaha berdasarkan Prinsip Syariah dengan terlebih
dahulu mengajukan permohonan pencabutan izin UUS
kepada Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Ketentuan mengenai tata cara penghentian kegiatan
usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
Bagian Kedua
Izin Usaha Penjaminan Syariah dan Penjaminan Ulang Syariah
Pasal 23
(1) Setiap Orang yang melakukan usaha Penjaminan Syariah
dan usaha Penjaminan Ulang Syariah wajib terlebih
dahulu mendapat izin usaha dari Otoritas Jasa
Keuangan.
(2) Untuk mendapatkan izin usaha sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus dipenuhi persyaratan:
a. akta pendirian badan hukum;
b. anggaran dasar;
c. susunan organisasi;
d. data direksi/pengurus dan data komisaris/dewan
pengawas/pengawas;
e. data pemegang saham atau data anggota;
f. dokumen persyaratan dewan pengawas syariah;
g. sistem dan prosedur kerja usaha Penjaminan Syariah
dan Penjaminan Ulang Syariah;
h. keterangan mengenai tenaga ahli penjaminan syariah;
i. modal disetor;
j. kelayakan rencana kerja;
k. kesiapan infrastruktur;
l. konfirmasi . . .
- 15 -
l. konfirmasi dari otoritas pengawas di negara asal pihak
asing jika terdapat penyertaan langsung pihak asing;
dan
m. syarat lain yang diperlukan untuk mendukung
pertumbuhan usaha yang sehat.
(3) Otoritas Jasa Keuangan menyetujui atau menolak
permohonan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak
tanggal permohonan diterima secara lengkap.
(4) Penolakan atas permohonan izin usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dilakukan secara tertulis dan
disertai alasannya.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata
cara perizinan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 24
(1) Perusahaan Penjaminan Syariah dan Perusahaan
Penjaminan Ulang Syariah yang telah mendapat izin
usaha dari Otoritas Jasa Keuangan wajib melakukan
kegiatan usaha paling lambat 4 (empat) bulan terhitung
sejak tanggal izin usaha ditetapkan.
(2) Kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaporkan oleh direksi/pengurus Penjaminan Syariah
dan Penjaminan Ulang Syariah kepada Otoritas Jasa
Keuangan paling lambat 15 (lima belas) hari terhitung
sejak tanggal kegiatan operasional dimulai.
(3) Apabila setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) Perusahaan Penjaminan Syariah dan
Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah belum melakukan
kegiatan usaha, Otoritas Jasa Keuangan mencabut izin
usaha.
BAB VI
KANTOR CABANG
Pasal 25
(1) Lembaga Penjamin dapat membuka kantor cabang di
wilayah negara Republik Indonesia sesuai dengan lingkup
wilayah operasionalnya.
(2) Untuk . . .
- 16 -
(2) Untuk dapat membuka kantor cabang sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Lembaga Penjamin wajib terlebih
dahulu mendapatkan izin dari Otoritas Jasa Keuangan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kantor cabang Lembaga
Penjamin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
BAB VII
TATA KELOLA, PENGAWASAN, DAN PELAPORAN
Bagian Kesatu
Tata Kelola
Pasal 26
(1) Lembaga Penjamin dalam melaksanakan pengelolaan
usahanya wajib menerapkan tata kelola perusahaan yang
baik.
(2) Lembaga Penjamin wajib menjaga kondisi kesehatan
keuangannya.
(3) Lembaga Penjamin dalam melaksanakan kegiatannya
memanfaatkan teknologi informasi.
(4) Ketentuan mengenai tata kelola, kondisi keuangan, dan
pemanfaatan teknologi informasi Lembaga Penjamin
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat
(3) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
Bagian Kedua
Pengawasan
Pasal 27
(1) Pengawasan Lembaga Penjamin, lembaga penunjang
penjaminan, dan profesi penyedia jasa bagi Lembaga
Penjamin dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan
berwenang untuk:
a. mencabut izin usaha Lembaga Penjamin atau izin UUS;
b. melakukan . . .
- 17 -
b. melakukan pemeriksaan terhadap Lembaga Penjamin,
lembaga penunjang penjaminan, profesi penyedia jasa
bagi Lembaga Penjamin, dan/atau pihak terafiliasi;
c. melakukan penilaian kemampuan dan kepatutan
terhadap direksi/pengurus, komisaris/dewan
pengawas/pengawas, dan dewan pengawas syariah;
d. menonaktifkan direksi/pengurus, komisaris/dewan
pengawas/pengawas, dan dewan pengawas syariah
serta menetapkan pengelola statuter;
e. memberi perintah tertulis kepada Lembaga Penjamin,
lembaga penunjang penjaminan, profesi penyedia jasa
bagi Lembaga Penjamin, dan/atau pihak terafiliasi
untuk melaksanakan atau tidak melaksanakan hal
tertentu sebagai tindak lanjut dari fungsi pengawasan;
f. mengenakan sanksi kepada Lembaga Penjamin,
pemegang
saham,
komisaris/dewan
direksi/pengurus,
pengawas/pengawas, dewan
pengawas syariah, lembaga penunjang penjaminan,
dan/atau profesi penyedia jasa bagi Lembaga
Penjamin;
g. mengeluarkan lembaga penunjang penjaminan dan
profesi penyedia jasa bagi Lembaga Penjamin dari
daftar di Otoritas Jasa Keuangan; dan
h. melaksanakan kewenangan lain berdasarkan undang-
undang.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai mekanisme pelaksanaan
pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
Bagian Ketiga
Pelaporan
Pasal 28
(1) Lembaga Penjamin wajib menyampaikan laporan
bulanan, laporan keuangan tahunan yang telah diaudit
oleh akuntan publik, dan/atau laporan lain kepada
Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Lembaga Penjamin wajib melaporkan setiap perubahan
anggaran dasar kepada Otoritas Jasa Keuangan.
(3) Ketentuan . . .
- 18 -
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai laporan bulanan,
laporan keuangan tahunan, dan/atau laporan lain serta
laporan perubahan anggaran dasar sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
BAB VIII
PENGGABUNGAN, PELEBURAN, PENGAMBILALIHAN, PEMISAHAN,
DAN KEPAILITAN
Bagian Kesatu
Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, dan Pemisahan
Pasal 29
(1) Lembaga Penjamin dapat melakukan penggabungan atau
peleburan dengan Lembaga Penjamin lainnya.
(2) Lembaga Penjamin dapat melakukan pengambilalihan
Lembaga Penjamin lainnya.
(3) Lembaga Penjamin dapat melakukan pemisahan usaha.
(4) Penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau
pemisahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2),
dan ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(5) Lembaga Penjamin yang menjalankan kegiatan
penjaminan berdasarkan Prinsip Syariah hanya dapat
melakukan penggabungan atau peleburan dengan
Lembaga Penjamin yang juga berdasarkan Prinsip
Syariah.
(6) Lembaga Penjamin yang menjalankan kegiatan
penjaminan berdasarkan Prinsip Syariah hanya dapat
melakukan pengambilalihan Lembaga Penjamin yang
juga berdasarkan Prinsip Syariah.
(7) Badan hukum hasil pemisahan Lembaga Penjamin yang
menjalankan kegiatan penjaminan berdasarkan Prinsip
Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan memilih
untuk melakukan kegiatan penjaminan wajib tetap
menjalankan kegiatan penjaminan berdasarkan Prinsip
Syariah.
(8) Lembaga . . .
- 19 -
(8) Lembaga Penjamin yang akan melakukan penggabungan,
peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan wajib
terlebih dahulu memperoleh persetujuan Otoritas Jasa
Keuangan.
(9) Ketentuan lebih lanjut mengenai penggabungan,
peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan Lembaga
Penjamin sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2),
ayat (3), ayat (5), ayat (6), dan ayat (7) diatur dalam
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 30
Penggabungan, peleburan, pemisahan, dan pengambilalihan
Lembaga Penjamin tidak mengurangi hak Penerima Jaminan
dan kewajiban Terjamin.
Bagian Kedua
Kepailitan
Pasal 31
(1) Permohonan pernyataan pailit terhadap Lembaga
Penjamin berdasarkan Undang-Undang ini hanya dapat
diajukan oleh Otoritas Jasa Keuangan, kecuali ditentukan
lain dalam undang-undang.
(2) Tata cara dan persyaratan permohonan pernyataan pailit
terhadap Lembaga Penjamin sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
BAB IX
PENCABUTAN IZIN USAHA
Pasal 32
(1) Pencabutan izin usaha Lembaga Penjamin atau izin UUS
dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Pencabutan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan dalam hal Lembaga Penjamin:
a. bubar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan;
b. dikenai sanksi administratif pencabutan izin usaha;
c. tidak . . .
- 20 -
c. tidak lagi menjadi Lembaga Penjamin;
d. bubar sebagai akibat melakukan penggabungan,
peleburan, atau pemisahan;
e. belum melakukan kegiatan usaha paling lambat 4
(empat) bulan setelah tanggal izin usaha ditetapkan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dan
Pasal 24 ayat (1); atau
f. belum melakukan kegiatan usaha paling lambat 3
(tiga) bulan setelah tanggal izin UUS ditetapkan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1).
Pasal 33
Lembaga Penjamin bubar karena:
a. keputusan rapat umum pemegang saham atau rapat
anggota;
b. jangka waktu berdirinya Lembaga Penjamin yang
ditetapkan dalam anggaran dasar berakhir;
c. putusan pengadilan; atau
d. keputusan pemerintah.
Pasal 34
Dalam hal Lembaga Penjamin bubar karena keputusan rapat
umum pemegang saham atau rapat anggota sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 33 huruf a, likuidator atau kuasa rapat
anggota harus melaporkan hasil rapat umum pemegang
saham atau rapat anggota kepada Otoritas Jasa Keuangan
paling lambat 15 (lima belas) hari setelah rapat umum
pemegang saham atau rapat anggota dilaksanakan.
Pasal 35
Dalam hal Lembaga Penjamin bubar karena jangka waktu
berdirinya Lembaga Penjamin yang ditetapkan dalam
anggaran dasar berakhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal
33 huruf b, likuidator atau penyelesai harus melaporkan
pengakhiran Lembaga Penjamin kepada Otoritas Jasa
Keuangan paling lambat 45 (empat puluh lima) hari setelah
jangka waktu berdirinya Lembaga Penjamin yang ditetapkan
dalam anggaran dasar berakhir.
Pasal 36 . . .
- 21 -
Pasal 36
(1) Dalam hal Lembaga Penjamin bubar berdasarkan
putusan pengadilan atau keputusan pemerintah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf c dan huruf
d, likuidator atau penyelesai harus melaporkan
pembubaran tersebut kepada Otoritas Jasa Keuangan
paling lambat 15 (lima belas) hari sejak putusan
pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap atau
sejak keputusan pemerintah diterima.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
dilampiri:
a. putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan
hukum tetap; atau
b. keputusan pemerintah.
Pasal 37
(1) Dalam hal Lembaga Penjamin dipailitkan atau dilikuidasi,
cadangan klaim dan cadangan umum harus digunakan
terlebih dahulu untuk memenuhi kewajiban kepada
Penerima Jaminan.
(2) Dalam hal terdapat kelebihan cadangan klaim dan
cadangan umum setelah pemenuhan kewajiban
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kelebihan cadangan
klaim dan cadangan umum tersebut dapat digunakan
untuk memenuhi kewajiban kepada pihak ketiga selain
Penerima Jaminan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
BAB X
PENYELENGGARAAN PENJAMINAN
Bagian Kesatu
Mekanisme Penjaminan dan Penjaminan Syariah
Pasal 38
(1) Kegiatan Penjaminan dan Penjaminan Syariah melibatkan
3 (tiga) pihak, yaitu Penerima Jaminan, Terjamin, dan
Penjamin.
(2) Penjamin . . .
- 22 -
(2) Penjamin memiliki hak tagih atas pemenuhan kewajiban
finansial Terjamin apabila Penjamin telah menunaikan
kewajibannya untuk memenuhi hak finansial Penerima
Jaminan jika Terjamin gagal memenuhi kewajibannya.
(3) Kegiatan Penjaminan dan Penjaminan Syariah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dituangkan
dalam Sertifikat Penjaminan atau Sertifikat Kafalah.
(4) Ketentuan mengenai Sertifikat Penjaminan atau Sertifikat
Kafalah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur
dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 39
(1) Penjaminan dan Penjaminan Syariah dilakukan dengan
cara:
a. penjaminan langsung; atau
b. penjaminan tidak langsung.
(2) Ketentuan mengenai penjaminan langsung dan
penjaminan tidak langsung sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 40
(1) Penjaminan dan Penjaminan Syariah dapat dilakukan
dalam bentuk penjaminan bersama.
(2) Ketentuan mengenai penjaminan bersama sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan.
Pasal 41
(1) Perjanjian Penjaminan Syariah menggunakan akad
penjaminan yang sesuai dengan Prinsip Syariah.
(2) Ketentuan mengenai akad penjaminan yang sesuai
dengan Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
Bagian . . .
- 23 -
Bagian Kedua
Penjaminan Ulang dan Penjaminan Ulang Syariah
Pasal 42
(1) Perusahaan Penjaminan dan Perusahaan Penjaminan
Syariah wajib melakukan mitigasi risiko dengan
menjaminulangkan penjaminannya.
(2) Penjaminan ulang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan untuk memenuhi kewajiban finansial
Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan
Syariah dalam hal:
a. Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan
Syariah telah memenuhi kewajibannya kepada
Penerima Jaminan; atau
b. Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan
Syariah tidak dapat memenuhi kewajibannya.
(3) Penjaminan ulang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh Perusahaan Penjaminan Ulang atau
Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah.
(4) Dalam hal dukungan penjaminan ulang dari Perusahaan
Penjaminan Ulang atau Perusahaan Penjaminan Ulang
Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak
diperoleh, mitigasi risiko Perusahaan Penjamin dan
Perusahaan Penjamin Syariah diperoleh dari perusahaan
reasuransi.
Bagian Ketiga
Imbal Jasa
Pasal 43
(1) Dalam melaksanakan kegiatan usahanya, Perusahaan
Penjaminan menerima IJP.
(2) Dalam melaksanakan kegiatan usahanya, Perusahaan
Penjaminan Syariah dan UUS menerima IJK.
(3) Dalam melaksanakan kegiatan usahanya, Perusahaan
Penjaminan Ulang menerima IJPU.
(4) Dalam melaksanakan kegiatan usahanya, Perusahaan
Penjaminan Ulang Syariah menerima IJKU.
(5) Ketentuan . . .
- 24 -
(5) Ketentuan mengenai IJP atau IJK sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) bagi Penjaminan dan
Penjaminan Syariah yang merupakan program
pemerintah diatur dalam peraturan perundang-undangan
tersendiri.
(6) Ketentuan mengenai IJP, IJK, IJPU, dan IJKU
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3),
dan ayat (4) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan.
Bagian Keempat
Klaim, Pembayaran Klaim, dan Peralihan Hak Tagih
Pasal 44
Lembaga Penjamin wajib memiliki cadangan klaim dan
cadangan umum.
Pasal 45
Pengajuan klaim oleh Penerima Jaminan kepada Perusahaan
Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Syariah dapat
dilakukan apabila Terjamin gagal memenuhi kewajiban
finansial.
Pasal 46
(1) Lembaga Penjamin dilarang melakukan tindakan yang
dapat memperlambat penyelesaian atau pembayaran
klaim atau tidak melakukan tindakan yang seharusnya
dilakukan yang dapat mengakibatkan kelambatan
penyelesaian atau kelambatan pembayaran klaim.
(2) Lembaga Penjamin wajib menyelesaikan pengajuan klaim
dari Penerima Jaminan yang telah memenuhi persyaratan
dokumentasi dan penjaminannya sesuai dengan tata cara
pengajuan dan penyelesaian klaim.
Pasal 47 . . .
- 25 -
Pasal 47
(1) Sejak klaim dibayar oleh Perusahaan Penjaminan atau
Perusahaan Penjaminan Syariah, hak tagih Penerima
Jaminan kepada Terjamin beralih menjadi hak tagih
Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan
Syariah.
(2) Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan
Syariah dapat membuat perjanjian dengan Penerima
Jaminan agar Penerima Jaminan melakukan upaya
penagihan atas hak tagih Perusahaan Penjaminan atau
Perusahaan Penjaminan Syariah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) untuk dan atas nama Perusahaan
Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Syariah.
Pasal 48
Ketentuan lebih lanjut mengenai cadangan klaim dan
cadangan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44,
pengajuan klaim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45,
pembayaran klaim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46,
dan peralihan hak tagih sebagaimana dimaksud dalam Pasal
47 diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
Bagian Kelima
Retensi Sendiri
Pasal 49
(1) Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan
Syariah wajib memiliki retensi sendiri untuk setiap
penjaminan.
(2) Ketentuan mengenai retensi sendiri sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan.
Bagian . . .
- 26 -
Bagian Keenam
Kapasitas Penjaminan
Pasal 50
(1) Lembaga Penjamin wajib mengoptimalkan kapasitas
penjaminan.
(2) Kapasitas penjaminan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diukur dengan gearing ratio atau metode lain yang
ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
(3) Ketentuan mengenai kapasitas penjaminan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
BAB XI
ASOSIASI LEMBAGA PENJAMIN, LEMBAGA PENUNJANG PENJAMINAN, DAN
PROFESI PENYEDIA JASA BAGI LEMBAGA PENJAMIN
Bagian Kesatu
Asosiasi Lembaga Penjamin
Pasal 51
(1) Lembaga Penjamin wajib menjadi anggota asosiasi
Lembaga Penjamin.
(2) Asosiasi Lembaga Penjamin sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus mendapat persetujuan tertulis dari Otoritas
Jasa Keuangan.
Bagian Kedua
Lembaga Penunjang Penjaminan
Pasal 52
(1) Dalam melakukan kegiatan usahanya, Lembaga Penjamin
dapat menggunakan jasa
penjaminan.
lembaga penunjang
(2) Lembaga penunjang penjaminan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) terdiri atas:
a. pemeringkat usaha mikro, kecil, menengah, dan
koperasi;
b. agen . . .
- 27 -
b. agen penjamin;
c. broker; dan
d. lembaga penunjang penjaminan lain yang ditetapkan
oleh Otoritas Jasa Keuangan.
(3) Lembaga penunjang penjaminan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) wajib terdaftar terlebih dahulu di Otoritas
Jasa Keuangan.
(4) Lembaga Penjamin wajib menggunakan lembaga
penunjang penjaminan yang telah terdaftar di Otoritas
Jasa Keuangan.
(5) Agen penjamin sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf b dilarang menggelapkan IJP, IJK, IJPU, dan/atau
IJKU.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai lembaga penunjang
penjaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur
dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
Bagian Ketiga
Profesi Penyedia Jasa Bagi Lembaga Penjamin
Pasal 53
(1) Profesi penyedia jasa bagi Lembaga Penjamin terdiri atas:
a. aktuaris;
b. akuntan publik;
c. penilai publik; dan
d. profesi lain yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa
Keuangan.
(2) Untuk dapat menyediakan jasa bagi Lembaga Penjamin,
profesi penyedia jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib terdaftar terlebih dahulu di Otoritas Jasa Keuangan.
(3) Lembaga Penjamin wajib menggunakan profesi penyedia
jasa penjaminan yang telah terdaftar di Otoritas Jasa
Keuangan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata
cara pendaftaran profesi penyedia jasa sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
BAB XII . . .
- 28 -
BAB XII
PENYELESAIAN SENGKETA
Pasal 54
(1) Penyelesaian sengketa yang terjadi dalam kegiatan
penjaminan dilakukan melalui musyawarah untuk
mufakat.
(2) Dalam hal penyelesaian sengketa melalui musyawarah
untuk mufakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak tercapai, penyelesaian sengketa dapat dilakukan
melalui lembaga alternatif penyelesaian sengketa di sektor
jasa keuangan atau melalui pengadilan.
(3) Dalam hal penyelesaian sengketa melalui musyawarah
untuk mufakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
dalam hal penyelesaian sengketa melalui lembaga
alternatif penyelesaian sengketa di sektor jasa keuangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah mencapai
kesepakatan, kesepakatan tersebut bersifat final dan
mengikat.
Pasal 55
(1) Lembaga Penjamin wajib menjadi anggota lembaga
alternatif penyelesaian sengketa penjaminan.
(2) Lembaga alternatif penyelesaian sengketa sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) bersifat independen dan
imparsial.
(3) Lembaga alternatif penyelesaian sengketa sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus mendapat persetujuan
tertulis dari Otoritas Jasa Keuangan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai lembaga alternatif
penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
BAB XIII . . .
- 29 -
BAB XIII
SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 56
(1) Setiap Lembaga Penjamin yang tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1)
dan ayat (2), Pasal 9 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 10, Pasal
11, Pasal 13 ayat (3), Pasal 14 ayat (1), Pasal 15 ayat (1),
Pasal 16 ayat (1), Pasal 17 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 19
ayat (1) dan ayat (2), Pasal 20 ayat (2), Pasal 21 ayat (1)
dan ayat (2), Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 25 ayat
(2), Pasal 26 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28 ayat (1) dan
ayat (2), Pasal 29 ayat (5), ayat (6), ayat (7), dan ayat (8),
Pasal 42 ayat (1), Pasal 44, Pasal 49 ayat (1), Pasal 50 ayat
(1), Pasal 51 ayat (1), Pasal 52 ayat (4), Pasal 53 ayat (3),
dan Pasal 55 ayat (1) dikenai sanksi administratif.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berupa:
a. peringatan tertulis;
b. denda administratif;
c. pembekuan kegiatan usaha; atau
d. pencabutan izin usaha.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian
sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
BAB XIV
KETENTUAN PIDANA
Pasal 57
Setiap Orang yang menjalankan Penjaminan, Penjaminan
Syariah, Penjaminan Ulang, dan Penjaminan Ulang Syariah
tanpa izin usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat
(1) dan Pasal 23 ayat (1) serta UUS tanpa izin sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda
paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
Pasal 58 . . .
- 30 -
Pasal 58
Direksi/pengurus Lembaga Penjamin yang dengan sengaja
memberikan laporan, informasi, data, dan/atau dokumen
kepada Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 28 ayat (1) secara tidak benar, palsu, dan/atau
menyesatkan dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun dan pidana denda paling banyak
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
Pasal 59
Agen penjamin yang menggelapkan IJP, IJK, IJPU, dan/atau
IJKU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (5) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana
denda paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima
ratus juta rupiah).
BAB XV
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 60
(1) Lembaga Penjamin yang telah mendapatkan izin usaha
Penjaminan atau Penjaminan Syariah, sebelum
berlakunya Undang-Undang ini, dinyatakan tetap berlaku.
(2) Lembaga Penjamin sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib menyesuaikan dengan ketentuan Undang-Undang
ini paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-
Undang ini berlaku.
Pasal 61
(1) Setiap Orang di luar Lembaga Penjamin yang telah
melakukan kegiatan penjaminan sebelum berlakunya
Undang-Undang ini wajib menyesuaikan dengan Undang-
Undang ini dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga)
tahun sejak berlakunya Undang-Undang ini.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
berlaku terhadap kegiatan penjaminan yang dijalankan
berdasarkan undang-undang tersendiri.
Pasal 62 . . .
- 31 -
Pasal 62
(1) Dalam hal Perusahaan Penjaminan memiliki UUS yang
nilai asetnya telah mencapai paling sedikit 50% (lima
puluh per seratus) dari total nilai aset perusahaan
induknya atau 15 (lima belas) tahun sejak berlakunya
Undang-Undang ini, Perusahaan Penjaminan tersebut
wajib melakukan pemisahan UUS tersebut menjadi
Perusahaan Penjaminan Syariah.
(2) Ketentuan mengenai pemisahan UUS dan sanksi bagi
Perusahaan Penjaminan yang tidak melakukan pemisahan
UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
BAB XVI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 63
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan
perundang-undangan mengenai penjaminan dinyatakan masih
tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan
dalam Undang-Undang ini.
Pasal 64
Peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini harus ditetapkan
paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini
diundangkan.
Pasal 65
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar . . .
- 32 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 15 Januari 2016
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
JOKO WIDODO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 19 Januari 2016
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 9
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 1 TAHUN 2016
TENTANG
PENJAMINAN
I. UMUM
Pasal 33 Ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 menyatakan bahwa perekonomian nasional diselenggarakan berdasar
atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan,
berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga
keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
Demokrasi ekonomi sebagaimana dimaksud dalam konstitusi merupakan
alat untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat yang memerlukan
dukungan dari berbagai pihak dan kalangan. Dalam demokrasi ekonomi,
semua pelaku usaha mendapatkan posisi dan peluang yang sama untuk
menggerakkan roda perekonomian, dengan tetap mengutamakan
kebersamaan sebagai salah satu ciri ekonomi yang dicita-citakan oleh
pendiri bangsa. Salah satu pelaku usaha yang memainkan peranan cukup
penting dalam menggerakkan perekonomian nasional yang sesuai dengan
paham demokrasi ekonomi adalah pelaku usaha pada sektor usaha mikro,
kecil, dan menengah serta koperasi (UMKMK).
UMKMK ini mempunyai peranan strategis dalam menggerakkan
perekonomian negara jika dilihat dari serapan tenaga kerja, daya tahan
terhadap guncangan ekonomi global, dan daya jangkau dalam
menggerakkan perekonomian nasional. Namun, pada kenyataanya UMKMK
menghadapi kendala, baik yang bersifat internal maupun eksternal. Kendala
internal, antara lain, terkait dengan keterbatasan modal, tidak mempunyai
laporan keuangan yang baik, dan manajemen bersifat kekeluargaan. Adapun
kendala eksternal, antara lain, berupa kesulitan mendapatkan permodalan,
teknologi, bahan baku, informasi dan pemasaran, infrastruktur, dan
kemitraan.
Terkait dengan permodalan, kendala yang dihadapi UMKMK meliputi:
ketersediaan lembaga pembiayaan (availability), akses terhadap lembaga
pembiayaan (accesibility), dan kemampuan mengakses lembaga pembiayaan
(ability). Keterbatasan UMKMK dalam mengakses sumber pembiayaan
disebabkan oleh ketidakmampuan dalam menyediakan agunan dan
ketiadaan administrasi yang baik terkait dengan kegiatan usahanya
sehingga dinilai tidak bankable.
Terhadap . . .
- 2 -
Terhadap kesulitan pelaku UMKMK untuk mendapatkan kredit atau
pembiayaan tanpa memberikan agunan, Pemerintah telah mengenalkan
skema penjaminan kredit pada tahun 1970 dengan membentuk Lembaga
Jaminan Kredit Koperasi (LJKK) oleh Kementerian Transmigrasi dan
Koperasi dengan tugas menjamin kredit program yang disalurkan bank (BRI)
kepada koperasi. Untuk lebih mengoptimalkan fungsi dan peran lembaga
penjaminan kredit, pada tahun 1996 pemerintah menerbitkan Keputusan
Menteri Keuangan Nomor 486/KMK.017/1996 tentang Perusahaan
Penjaminan. Hal itu menandai dimulainya industri penjaminan kredit yang
tidak hanya dilakukan oleh Perum Penjaminan Kredit Koperasi (d.h. LJKK),
tetapi juga PT Penjaminan Kredit Pengusaha Indonesia (PT PKPI). Dalam
perkembangannya kapasitas kedua lembaga penjaminan tersebut masih
belum mampu memenuhi kebutuhan penjaminan kredit bagi UMKMK.
Pada tahun 2008 pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 2
Tahun 2008 tentang Lembaga Penjaminan yang diikuti dengan lahirnya
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 222/PMK.010/2008 tentang
Perusahaan Penjaminan Kredit dan Perusahaan Penjaminan Ulang Kredit
yang kemudian diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
99/PMK.010/2011 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 222/PMK.010/2008 tentang Perusahaan Penjaminan Kredit dan
Perusahaan Penjaminan Ulang Kredit. Sejak diterbitkannya peraturan
presiden dan peraturan menteri keuangan tersebut, mulai berdiri Lembaga
Penjaminan Kredit Daerah (LPKD) dan terus berkembang sampai dengan
sekarang.
Dalam perkembangannya skema penjaminan juga tidak hanya berkembang
pada penyaluran kredit atau pembiayaan, tetapi banyak kegiatan usaha
yang juga menggunakan skema penjaminan, seperti penjaminan cukai,
penjaminan kepabeanan (customs bond), penjaminan atas surat utang,
penjaminan bank garansi, penjaminan pembelian barang secara angsuran,
dan penjaminan pengadaan barang dan jasa (surety bond), serta lahirnya
skema penjaminan berdasarkan prinsip syariah, khususnya terkait dengan
pembiayaan syariah.
Selain subjek dan objek penjaminan yang berkembang pesat, lahirnya UU
Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan mengamanatkan
peralihan kewenangan pengawasan terhadap lembaga penjaminan dari
Menteri Keuangan kepada Otoritas Jasa Keuangan dan pengaturan
mengenai Lembaga Penjaminan mengacu pada Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan (POJK).
Atas dasar uraian di atas, dalam rangka memperkuat dasar hukum atas
peraturan tentang penjaminan yang komprehensif sehingga menjadi rujukan
dalam menyelenggarakan penjaminan, diperlukan payung hukum dalam
bentuk Undang-Undang.
Undang . . .
- 3 -
Undang-Undang ini mengatur berbagai hal yang terkait dengan lembaga
penjamin, usaha penjaminan, mekanisme penjaminan, usaha pendukung
dari penjaminan, profesi penyedia jasa penjaminan, dan asosiasi penjaminan
serta ketentuan sanksi administratif dan sanksi pidana bagi setiap orang
yang melanggar terhadap ketentuan yang terdapat di dalam Undang-Undang
ini.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Huruf a
Yang dimaksud dengan “kepentingan nasional” adalah asas yang
menentukan bahwa keberpihakan kepada pelaku ekonomi,
khususnya usaha mikro, kecil, dan menengah serta koperasi
dengan mengutamakan kepentingan nasional Indonesia.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “kepastian hukum” adalah asas yang
meletakkan hukum dan ketentuan perundang-undangan sebagai
dasar dalam setiap kebijakan dan tindakan dalam penjaminan.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “keterbukaan” adalah asas yang membuka
diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang
benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan
penjaminan, dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak
asasi pribadi dan golongan, serta rahasia negara, termasuk rahasia
sebagaimana ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “akuntabilitas” adalah asas yang menjamin
bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari penyelenggaraan
penjaminan dapat dipertanggungjawabkan.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “profesionalisme” adalah asas yang
menjamin bahwa pelaksanaan penjaminan dilakukan berdasarkan
keahlian, pengalaman, dan integritas.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “efisiensi berkeadilan” adalah asas yang
menjamin pelaksanaan penjaminan dilakukan secara efisien untuk
mewujudkan iklim usaha yang adil, kondusif, dan berdaya saing.
Huruf g . . .
- 4 -
Huruf g
Yang dimaksud dengan “edukasi” adalah asas yang memberikan
penambahan pengetahuan dan kemampuan seseorang melalui
teknik praktik belajar atau instruksi dengan tujuan untuk
mengingat fakta atau kondisi nyata dengan cara memberikan
pendorongan terhadap pengarahan diri dan aktif memberikan
informasi-informasi atau ide baru.
Huruf h
Yang dimaksud dengan “pelindungan konsumen” adalah asas yang
menciptakan sistem pelindungan dan menumbuhkan kesadaran
pelaku usaha penjaminan sehingga mampu meningkatkan
kepercayaan masyarakat terhadap sektor jasa keuangan.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “Penjaminan Kredit, Pembiayaan, atau
Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah” adalah Penjaminan
Kredit, Pembiayaan, atau Pembiayaan Berdasarkan Prinsip
Syariah bagi usaha perseorangan atau badan usaha.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “penjaminan atas surat utang” adalah
penjaminan atas ketidakmampuan usaha mikro, kecil, dan
menengah dalam memenuhi kewajiban finansial atas surat
utang yang diterbitkan (default).
Huruf b
Pembelian barang secara angsuran merupakan pembelian
barang atau komoditas yang akan digunakan untuk tujuan
kegiatan usaha produktif, seperti pembelian pupuk atau
semen.
Huruf c
Penjaminan transaksi dagang tidak termasuk penjaminan atas
penyelesaian transaksi bidang perdagangan berjangka/pasar
berjangka komoditi dan pasar lelang komoditas.
Huruf d . . .
- 5 -
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Penjaminan bank garansi (kontra bank garansi) merupakan
penjaminan yang diperlukan untuk mendapatkan bank
garansi.
Huruf f
Penjaminan surat kredit berdokumen dalam negeri merupakan
penjaminan yang diperlukan untuk mendapatkan surat kredit
berdokumen dalam negeri.
Huruf g
Penjaminan letter of credit merupakan penjaminan yang
diperlukan untuk mendapatkan letter of credit.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Ayat (3)
Kegiatan usaha yang berdasarkan Prinsip Syariah adalah kegiatan
usaha yang tidak mengandung unsur, antara lain:
a. riba yaitu penambahan pendapatan secara tidak sah (batil)
antara lain dalam transaksi pertukaran barang sejenis yang tidak
sama kualitas, kuantitas, dan waktu penyerahan (fadhl), atau
dalam transaksi pinjam meminjam yang mempersyaratkan
nasabah penerima fasilitas mengembalikan dana yang diterima
melebihi pokok pinjaman karena berjalannya waktu (nasi’ah);
b. maisir yaitu transaksi yang digantungkan kepada suatu keadaan
yang tidak pasti dan bersifat untung-untungan;
c. gharar yaitu transaksi yang objeknya tidak jelas, tidak dimiliki,
tidak diketahui keberadaannya, atau tidak dapat diserahkan
pada saat transaksi dilakukan kecuali diatur lain dalam syariah;
d. haram yaitu transaksi yang objeknya dilarang dalam syariah;
atau
e. zalim yaitu transaksi yang menimbulkan ketidakadilan bagi
pihak lainnya.
Ayat (4) . . .
- 6 -
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Program pemerintah adalah program yang dimiliki pemerintah
dengan menggunakan mekanisme penjaminan tertentu.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Ayat (1)
Investasi dalam pengelolaan dana yang dimiliki dapat dilakukan
dengan menempatkan dana pada deposito dan/atau instrumen
investasi keuangan lainnya serta wajib mengikuti Prinsip Syariah
bagi yang menjalankan kegiatan Penjaminan Syariah dan
Penjaminan Ulang Syariah.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Modal koperasi adalah sebagaimana diatur dalam undang-undang
yang mengatur tentang perkoperasian.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 13 . . .
- 7 -
Pasal 13
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan ""ekuitas"" adalah hak pemilik atas aktiva
perusahaan yang merupakan kekayaan bersih (jumlah aktiva
dikurangi kewajiban).
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pengecualian dalam ketentuan ini dimaksudkan agar negara dapat
memiliki dan/atau mengendalikan lebih dari satu perusahaan
dengan usaha sejenis dalam rangka menyediakan jasa penjaminan
bagi kelompok masyarakat tertentu atau daerah tertentu, menjadi
perintis kegiatan usaha penjaminan yang belum dapat dilaksanakan
oleh pihak swasta, atau menyelenggarakan kemanfaatan umum lain
yang strategis bagi masyarakat.
Ayat (3)
Hal yang akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan antara lain berupa besar kepemilikan saham dan tata
cara konsolidasi perusahaan.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Hal-hal mengenai persyaratan pemegang saham, direksi/pengurus
dan komisaris/dewan pengawas/pengawas Lembaga Penjamin yang
perlu diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan antara lain
berupa:
1. ketentuan setoran modal dan latar belakang dari pemegang
saham;
2. latar belakang, kecakapan, dan pengalaman direksi/pengurus
dan komisaris/dewan pengawas/pengawas Lembaga Penjamin;
3. pelarangan jabatan rangkap; dan
4. uji . . .
- 8 -
4. uji kelayakan dan kepatutan bagi calon direksi/pengurus dan
komisaris/dewan pengawas/pengawas Lembaga Penjamin.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Waktu 30 (tiga puluh) hari kerja mencakup waktu untuk
mengklarifikasi data atau informasi dalam dokumen yang
dipersyaratkan untuk mendapatkan izin usaha.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Waktu 30 (tiga puluh) hari kerja mencakup waktu untuk
mengklarifikasi data atau informasi dalam dokumen yang
dipersyaratkan untuk mendapatkan izin.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22 . . .
- 9 -
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Waktu 30 (tiga puluh) hari kerja mencakup waktu untuk
mengklarifikasi data atau informasi dalam dokumen yang
dipersyaratkan untuk mendapatkan izin usaha.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “tata kelola perusahaan yang baik” adalah
seperangkat proses yang diberlakukan dalam perusahaan untuk
menentukan keputusan dan pengelolaan perusahaan dengan
menggunakan prinsip antara lain transparansi, akuntabilitas,
tanggung jawab, independensi, dan keadilan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 27
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2) . . .
- 10 -
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Yang dimaksud dengan “daftar” adalah daftar lembaga
penunjang penjaminan dan daftar profesi penyedia jasa bagi
Lembaga Penjamin.
Huruf h
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 28
Ayat (1)
Sebagai contoh laporan lain adalah laporan yang memuat hal-hal
yang dapat mengakibatkan timbulnya permasalahan likuiditas
dan/atau solvabilitas yang berpotensi membahayakan kelangsungan
usaha perusahaan, antara lain:
1. besarnya jumlah potensi klaim; dan
2. pengaruh klaim terhadap likuiditas, dan/atau solvabilitas
perusahaan.
Ayat (2)
Perubahan anggaran dasar yang dilaporkan, antara lain, berupa
perubahan
pemegang
saham,
direksi/pengurus,
komisaris/pengawas/dewan pengawas, dan dewan pengawas
syariah, perubahan modal, perubahan nama, serta perubahan
bentuk badan hukum.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 29 . . .
- 11 -
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Ayat (1)
Huruf a
Penjaminan langsung merupakan penjaminan yang diberikan
kepada Terjamin oleh Penjamin tanpa terlebih dahulu melalui
Penerima Jaminan.
Huruf b
Penjaminan tidak langsung merupakan penjaminan yang
diberikan kepada Terjamin oleh Penjamin dengan terlebih
dahulu melalui atau atas permintaan Penerima Jaminan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 40 . . .
- 12 -
Pasal 40
Ayat (1)
Penjaminan bersama (co-guarantee) adalah kegiatan penjaminan
yang dilaksanakan bersama oleh lebih dari satu Lembaga Penjamin.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Yang termasuk program pemerintah yang dimaksud dalam
ketentuan ini dapat berupa program penjaminan kredit usaha
untuk rakyat.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 44
Cadangan klaim adalah cadangan yang disisihkan oleh Lembaga
Penjamin dari nilai penjaminan yang ditanggung sendiri (retensi sendiri).
Cadangan umum adalah cadangan yang disisihkan oleh Lembaga
Penjamin dari laba bersih atau selisih hasil usaha pada tiap akhir periode
laporan tahunan.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47 . . .
- 13 -
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan ""retensi sendiri"" adalah bagian dari jumlah
uang penjaminan untuk setiap risiko yang menjadi tanggungan
sendiri Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan
Syariah.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 50
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “gearing ratio” adalah perbandingan antara
total nilai penjaminan yang ditanggung sendiri dengan ekuitas
Lembaga Penjamin pada waktu tertentu.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 51
Ayat (1)
Asosiasi Lembaga Penjamin merupakan kumpulan Lembaga
Penjamin yang bertujuan meningkatkan peran Lembaga Penjamin
dalam memajukan perekonomian nasional.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c . . .
- 14 -
Huruf c
Yang dimaksud dengan “penilai publik” adalah seseorang yang
memiliki kompetensi dalam melakukan kegiatan penilaian,
yang sekurang-kurangnya telah lulus pendidikan awal
penilaian dan telah memperoleh izin dari Menteri Keuangan.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Ayat (1)
Kegiatan penjaminan berdasarkan Undang-Undang ini melibatkan
3 (tiga) pihak, memungut imbal jasa penjaminan, terdapat sertifikat
penjaminan, adanya klaim dan pembayaran klaim, serta pengalihan
hak tagih. Oleh karena itu, penjaminan yang dilakukan tidak
berdasarkan pada prinsip tersebut, tidak masuk dalam kategori
penjaminan yang dimaksud dalam Undang-Undang ini.
Ayat (2) . . .
- 15 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5835
"," 1/UU/2016
PENJAMINAN
15 Januari 2016
19 Januari 2016
19 Januari 2016
'UUD 1945 | Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 33 ayat (4)'
'BAB XIII', 'BAB XIV'
"