input,output " KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 112/KMK.03/2001 TENTANG PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 ATAS PENGHASILAN BERUPA UANG PESANGON, UANG TEBUSAN PENSIUN, DAN TUNJANGAN HARI TUA ATAU JAMINAN HARI TUA MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa sebagai pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 149 Tahun 2000 tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 Atas Penghasilan Berupa Uang Pasangon, Uang Tebusan Pensiun, Dan Tunjangan hari Tua atau Jaminan Hari tua, perlu menetapkan Keputusan Menteri Keuangan tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan Berupa Uang Pesangon, Uang Tebusan Pensiun, dan Tunjangan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua; Mengingat : 1. Undang-undang Republik Indonesia Nonor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3567); 2. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3477); 3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1993 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3520); 4. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 149 Tahun 2000 tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 Atas Penghasilan Berupa Uang Pesangon, Uang Tebusan Pensiun, Dan Tunjangan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 266, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4067); 5. Keputusan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia Nomor KEP- 150/Men/2000 tentang Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja dan Penetapan Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja dan Ganti Kerugian di Perusahaan; MEMUTUSKAN : Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PEMOTONG- AN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 ATAS PENGHASILAN BERUPA UANG PESANGON, UANG TEBUSAN PENSIUN, DAN TUNJANGAN HARI TUA ATAU JAMINAN HARI TUA. Pasal 1 Dalam Keputusan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan : a. Uang Pesangon adalah penghasilan yang dibayarkan oleh pemberi kerja kepada karyawan dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan berakhirnya masa kerja atau terjadi pemutusan hubungan kerja, termasuk uang penghargaan masa kerja dan uang ganti kerugian; b. Uang Tebusan Pensiun adalah penghasilan yang dibayarkan oleh dana pensiun yang telah disahkan oleh Menteri Keuangan baik Dana Pensiun Pemberi Kerja maupun Dana Pemsiun Lembaga Keuangan, kepada orang pribadi yang berhak menerimanya secara sekaligus; c. Tunjang Hari Tua adalah penghasilan yang dibayarkan oleh badan penyelenggara Tunjangan Hari Tua kepada orang pribadi yang berhak menerimanya secara sekaligus dalam jangka waktu yang telah ditentuan; d. Jaminan Hari Tua adalah pengahasilan yang dibayarkan oleh badan penyelenggara jaminan Sosial Tenaga Kerja kepada orang pribadi yang berhak menerimanya secara sekaligus dalam jangka waktu yang telah ditentukan atau keadaan lain yang ditentukan. Pasal 2 (1) Atas penghasilan berupa Uang Pesangon, Uang Tebusan Pensiun, dan Tujuangan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua yang dibayarkan secara sekaligus dipotong Pajak Penghasilan yang bersifat final oleh pihak-pihak yang membarkan. (2) Tarif pemotongan pajak atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah sebagai berikut : a. penghasilan bruto sampai dengan Rp 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dikecualikan dari pemotongan pajak; b. penghasilan bruto di atas Rp 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) sampai dengan Rp 50.000.000,00 (lima puluh lima juta rupiah) sebesar 5% (lima persen); c. penghasilan bruto di atas Rp 50.000.000,00 (lima puluh lima juta rupiah) sampai dengan Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) sebesar 10% (sepuluh persen); d. penghasilan bruto di atas Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) sampai dengan Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) sebesar 15% (lima belas persen); e. penghasilan bruto di atas Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) sebesar 25% (dua puliuh lima belas persen); Pasal 3 Pada saat Keputusan Menteri Keuangan ini mulai berlaku, Keputusan Menteri Keuangan Nomor 462/KMK.04/1998 dinyatakan tidak berlaku. Pasal 4 Keputusan ini mulai berlaku tanggal 1 Januari 2001. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 6 Maret 2001 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA PRIJADI PRAPTOSUHARDJO "," KEP-MEN 112/KMK.03/2001|KEP-MENKEU/2001 PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 ATAS PENGHASILAN BERUPA UANG PESANGON, UANG TEBUSAN PENSIUN, DAN TUNJANGAN HARI TUA ATAU JAMINAN HARI TUA 6 Maret 2001 1 Januari 2001 '462/KMK.04/1998|KEP-MENKEU/1998' 'KEP-150/Men/2000|KEP-MENAKER/2000', '11/UU/1992', '149/PP/2000', '10/UU/1994', '7/UU/1983', '14/PP/1993' " " KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 26/KMK.017/1998 TENTANG SYARAT DAN TATACARA PELAKSANAAN JAMINAN PEMERINTAH TERHADAP KEWAJIBAN PEMBAYARAN BANK UMUM MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dengan ditetapkannya Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 1998, Pemerintah memberikan jaminan terhadap kewajiban pembayaran Bank Umum ; b. bahwa berhubung dengan itu dipandang perlu untuk menetapkan syarat dan tata cara pelaksanaan jaminan Pemerintah atas kewajiban-kewajiban Bank Umum kepada deposan dan pihak tertentu lainnya dengan Keputusan Menteri Keuangan ; Mengingat : 1. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 1998 tentang Jaminan Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Umum ; 2. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1998 tentang Pembentukan Badan Penyehatan Perbankan Nasional ; MEMUTUSKAN : Memutuskan : KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA TENTANG SYARAT DAN TATA CARA PELAKSANAAN JAMINAN PEMERINTAH TERHADAP KEWAJIBAN PEMBAYARAN BANK UMUM. Pasal 1 Kewajiban yang dijamin oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1998 meliputi seluruh kewajiban pembayaran dari Bank Umum, baik dalam mata uang Rupiah maupun dalam mata uang asing yang timbul sebelum, pada, atau sesudah hari pertama dari jangka waktu berlaku dan jatuh tempo pada atau sebelumhari terakhir dari jangka waktu berlaku, termasuk tetapi tidak terbatas pada giro, tabungan, deposito berjangka dan deposito on call; obligasi; surat berharga; pinjaman atar bank; pinjaman yang diterima; swaps/hedges/futures, derivatives dan kewajiban-kewajiban kontinjen (off balance sheet) lainnya; seperti bank garansi, standby letters of credit, performance bonds dan kewajiban-kewajiban yang sejenis selain yang dikecualikan dalam Keputusan ini. Pasal 2 Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 adalah bank umum yang berbentuk badan hukum Indonesia sebagaimana tercantum dalam Lampiran Keputusan ini. Pasal 3 (1) Kewajiban yang dijamin selain giro, tabungan, deposito, dan atau bentuk lainnya dipersamakan dengan itu, harus didaftarkan pada Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dalam hal : a. kewajiban dalam mata uang Rupiah dengan jumlah lebih dari Rp. 10.000.000.000,- (sepuluh milyar rupiah); atau b. kewajiban dalam mata uang asing dengan jumlah lebih dari ejuivalen dengan 2.000.000 dollar AS (dua juta dollar AS) (2) Pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh kreditur dalam jangka waktu : a. selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari sejak ditetapkannya Keputusan ini bagi kewajiban yang telah ada sebelum Keputusan ini ; b. selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari sejak timbulnya kewajiban tersebut setelah ditetapkannya Keputusan ini. Pasal 4 (1) Pemerintah tidak menjamin pembayaran : a. modal pinjaman; b. pinjaman subordinasi; c. kewajiban-kewajiban yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya oleh kreditur berdasarkan dokumentasi yang wajar dan lazim untuk transaksi sejenis; d. kewajiban kepada direktur, komisaris, orang-orang yang memiliki secara langsung maupun tidak langsung 10 (sepuluh) persen atau lebih kepentingan dalam ekuitas Bank Umum, serta pihak terkait sebagaimana dimaksud dalam peraturan Bank Indonesia mengenai Batas Maksimum Pemberian Kredit dan atau orang-orang yang mempunyai kekuasaan untuk turut serta di dalam atau mengendalikan manajemen Bank Umum; e. kewajiban-kewajiban yang diperoleh dengan cara yang bertentangan dengan praktek-praktek perbankan yang sehat atau kewajiban-kewajiban yang dimiliki oleh kreditur yang tidak beritikat baik; f. giro, tabungan, deposito berjangka, dan deposito on call, surat berharga, sertifikat deposito atau intrumen-instrumen lainnya yang dikeluarkan sejak ditetapkannya Keputusan ini dengan syarat dan ketentuan finansial yang tidak wajar dari pasar instrumen dalam jumlah dan untuk jangka waktu yang setara pada waktu deposito berjangka, deposito on call atau instrumen lainnya yang bersangkutan diterbitkan; g. tagihan berdasarkan jaminan ini tidak dilengkapi dokumen secara sah dalam waktu 60 (enam puluh) hari setelah hari terakhir jangka waktu berlaku, kecuali untuk tagihan dari penyimpanan mengenai simpanan mereka. (2) Jaminan dapat dibayar apabila kreditur menyetujui bahwa Bank Umum atau BPPN dapat mengkompensasikan hutangnya dengan Bank Umum, tanpa mempertimbangkan tanggal jatuh tempo hutang tersebut. Pasal 5 Pendaftaran yang dilakukan sesuai ketentuan dalam Pasal 3 atas kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 tidak mengakibatkan kewajiban tersebut menjadi kewajiban yang dijamin oleh Pemerintah. Pasal 6 (1) Pembayaran Jaminan oleh BPPN hanya dapat dilakukan setelah Bank Umum tidak dapat melaksanakan pembayaran kepada kreditur. (2) Pembayaran kewajiban dalam mata uang asing dibayarkan dengan uang Rupiah berdasarkan nilai tukar pada pada hari pembayaran yang tercatat di Bank Indonesia pada pukul 10.00 WIB. (3) Kreditur yang menerima pembayaran harus menyerahkan dokumen asli dengan disertai perjanjian yang menyatakan pengalihan hak tagihan kepada BPPN. Pasal 7 (1) Jaminan berlaku pertama kali untuk jangka waktu 2 (dua) tahun sejak tanggal 26 Januari 1998 sampai dengan tanggal 31 Januari 2000. (2) Setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berakhir, maka jangka waktu berlakunya jaminan dengan sendirinya diperpanjang untuk jangka waktu 6 (enam) bulan berikutnya kecuali BPPN dalam waktu sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan sebelum berakhirnya jangka waktu tersebut menerbitkan pemberitahuan bahwa BPPN tidak bermaksud untuk memperpanjang jangka waktunya. Pasal 8 Bank umum berkewajiban untuk : a. Memenuhi ketentuan dan pengawasan yang lebih ketat serta kewenangan yang lebih besar dari BPPN dan Bank Indonesia. b. Menyampaikan laporan yang diminta oleh BPPN dan Bank Indonesia. c. Memberikan kontra jaminan kepada BPPN dalam bentuk surat hutang dengan tingkat bunga pasar senilai jumlah yang dibayarkan Pemerintah berdasarkan jaminan. d. Menyutujui untuk membagikan deviden kepada pemegang saham selama jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) atau selama kewajiban Bank Umum kepada BPPN belum terbayar; dengan ketentuan, bahwa pembatasan pembayaran deviden ini tidak akan membatasi Bank Umum untuk membagikan deviden selama Bank Umum tersebut dapat membuktikan kepada BPPN bahwa Bank Umum yang bersangkutan telah memenuhi seluruh persyaratan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. e. Menyatakan bahwa direktur-direktur dan komisaris-komisarisnya langsung bertanggung jawab atas kelalaian berat dan perbuatan melanggar hukum yang disengaja dalam menjalankan kegiatan Bank Umum. f. Membayar premi setiap 6 (enam) bulan kepada Pemerintah yang dihitung sebagai persentase, yang akan ditentukan dari waktu ke waktu, dari jumlah nominal kewajiban yang dijamin oleh Pemerintah. g. Melaksanakan hal-hal lain yang dianggap perlu oleh Menteri keuangan untuk memperlancar pelaksanaan pemberian jaminan Pemerintah. Pasal 9 Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di : Jakarta Pada tanggal : 28 Januari 1998 Menteri Keuangan ttd Mar'ie Muhammad. "," KEP-MEN 26/KMK.017/1998|KEP-MENKEU/1998 SYARAT DAN TATACARA PELAKSANAAN JAMINAN PEMERINTAH TERHADAP KEWAJIBAN PEMBAYARAN BANK UMUM 28 Januari 1998 28 Januari 1998 '26/KEPPRES/1998', '27/KEPPRES/1998' " " SALINAN KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL LEMBAGA KEUANGAN NOMOR : Kep- 2833/LK/2003 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PENERAPAN PRINSIP MENGENAL NASABAH PADA LEMBAGA KEUANGAN NON BANK DIREKTUR JENDERAL LEMBAGA KEUANGAN, Menimbang: a. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 4, Pasal 14, Pasal 17, dan Pasal 21 Keputusan Menteri Keuangan nomor 45/KMK.06/2003 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah Bagi Lembaga Keuangan Non Bank, diperlukan pedoman lebih lanjut untuk pelaksanaan penerapan Prinsip Mengenal Nasabah bagi Lembaga Keuangan Non Bank; b. bahwa sehubungan dengan pertimbangan pada huruf a di atas perlu ditetapkan Keputusan Direktur Jenderal Lembaga Keuangan tentang Pedoman Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah Bagi Lembaga Keuangan Non Bank; Mengingat: 1. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 1992, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3467); 2. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 1992; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3477); 3. Undang-undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4191); 4. Keputusan Presiden Nomor 61 Tahun 1988 tentang Lembaga Pembiayaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 53 Tahun 1988); 5. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 45/KMK.06/2003 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah Bagi Lembaga Keuangan Non Bank (Berita Negara Republik Indonesia Nomor XX Tahun 2003); 6. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 2/KMK.01/2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Keuangan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 316/KMK.01/2002; Memutuskan ….. - 2 - Memutuskan: Menetapkan : KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL LEMBAGA KEUANGAN TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PRINSIP MENGENAL NASABAH PADA LEMBAGA KEUANGAN NON BANK Pasal 1 Pedoman Pelaksanaan Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) Keputusan Menteri Keuangan tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah Bagi Lembaga Keuangan Non Bank wajib disusun sesuai dengan keadaan, struktur organisasi dan jenis usaha masing-masing Lembaga Keuangan Non Bank. Pasal 2 (1) Pedoman Pelaksanaan Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 sekurang-kurangnya mencakup uraian tentang: a. unit kerja khusus atau petugas khusus yang bertanggung jawab atas pelaksanaan penerapan Prinsip Mengenal Nasabah; b. tugas direksi, dewan komisaris atau yang setara dengan itu, dan unit kerja khusus atau petugas khusus sebagaimana dimaksud dalam huruf a, dalam pelaksanaan penerapan Prinsip Mengenal Nasabah; c. kebijakan penerimaan dan identifikasi nasabah, kebijakan pemantauan dan pelaporan transaksi yang mencurigakan, dan kebijakan manajemen risiko serta kebijakan bermitra bisnis, apabila ada; d. prosedur penerimaan dan identifikasi nasabah serta prosedur pemantauan dan pelaporan transaksi yang mencurigakan; e. kebijakan pelatihan penerapan Prinsip Mengenal Nasabah bagi pegawai; dan f. contoh-contoh bentuk transaksi yang mencurigakan. (2) Pedoman Pelaksanaan Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disusun dalam satu pedoman yang berdiri sendiri atau menjadi bagian dari satu atau lebih pedoman operasional lain yang mengatur transaksi dengan nasabah. (3) Petunjuk Penyusunan Pedoman Pelaksanaan Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disajikan dalam Lampiran I dari Keputusan ini. Pasal 3 ….. - 3 - Pasal 3 (1) Dalam hal Pedoman Pelaksanaan Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 disusun dalam satu pedoman yang berdiri sendiri, maka yang wajib disampaikan kepada Menteri Keuangan adalah pedoman tersebut. (2) Dalam hal Pedoman Pelaksanaan Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 merupakan bagian dari satu atau lebih pedoman operasional lain yang mengatur transaksi dengan nasabah, maka yang wajib disampaikan kepada Menteri Keuangan adalah: a. pokok-pokok atau daftar isi secara keseluruhan dari tiap-tiap pedoman operasional yang terkait; dan b. bagian dari tiap-tiap pedoman operasional tersebut yang mengatur tentang Prinsip Mengenal Nasabah. Pasal 4 (1) Contoh-contoh bentuk transaksi yang mencurigakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 Keputusan Menteri Keuangan tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah Bagi Lembaga Keuangan Non Bank disajikan dalam Lampiran II dari Keputusan ini. (2) Dalam hal Lembaga Keuangan Non Bank mengidentifikasi transaksi lain yang menurut pertimbangannya patut dipandang sebagai transaksi yang mencurigakan tetapi transaksi tersebut belum tercantum dalam Lampiran II dari Keputusan ini, Lembaga Keuangan Non Bank tersebut wajib memperlakukan transaksi tersebut sebagai transaksi yang mencurigakan dan wajib melaporkannya kepada Menteri Keuangan. (3) Lembaga Keuangan Non Bank wajib melakukan pengkinian atas contoh- contoh bentuk transaksi yang mencurigakan dalam Pedoman Pelaksanaan Penerapan Prinsip Mengenal Nasabahnya, termasuk menambahkan bentuk transaksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2). (4) Unit kerja khusus atau petugas khusus yang bertanggung jawab atas pelaksanaan penerapan Prinsip Mengenal Nasabah wajib mendistribusikan contoh-contoh bentuk transaksi yang mencurigakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan hasil pengkiniannya sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) kepada pemegang saham, dewan komisaris atau yang setara dengan itu, pegawai dan karyawan Lembaga Keuangan Non Bank yang bersangkutan. (5) Unit ….. - 4 - (5) Unit kerja khusus atau petugas khusus yang bertanggung jawab atas pelaksanaan penerapan Prinsip Mengenal Nasabah wajib memberikan pemahaman mengenai bentuk transaksi yang mencurigakan kepada pemegang saham, pendiri dan mitra pendiri, dewan komisaris atau yang setara dengan itu, pegawai dan karyawan Lembaga Keuangan Non Bank yang bersangkutan. Pasal 5 (1) Pembentukan unit kerja khusus atau penunjukan petugas khusus yang bertanggung jawab atas pelaksanaan penerapan Prinsip Mengenal Nasabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 Keputusan Menteri Keuangan tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah Bagi Lembaga Keuangan Non Bank ditetapkan oleh rapat umum pemegang saham atau yang setara dengan itu. (2) Dalam hal penetapan pembentukan unit kerja khusus atau penunjukan petugas khusus yang bertanggung jawab atas pelaksanaan penerapan Prinsip Mengenal Nasabah oleh rapat umum pemegang saham atau yang setara dengan itu belum dapat dilakukan, pembentukan unit kerja khusus atau penunjukan petugas khusus tersebut ditetapkan dengan pernyataan tertulis dari direksi atau pengurus. (3) Pernyataan tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus mendapat persetujuan rapat umum pemegang saham atau yang setara dengan itu dalam kesempatan pertama mereka dalam mengambil keputusan. (4) Penetapan pembentukan unit kerja khusus atau penunjukan petugas khusus yang bertanggung jawab atas pelaksanaan penerapan Prinsip Mengenal Nasabah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) serta persetujuan rapat umum pemegang saham atau yang setara dengan itu sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) wajib disampaikan kepada Menteri Keuangan. Pasal 6 (1) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 Keputusan Menteri Keuangan tentang penerapan Prinsip Mengenal Nasabah Bagi Lembaga Keuangan Non Bank dapat berupa: a. Sanksi Peringatan; b. Pembatasan/Pembekuan Kegiatan Usaha; c. Pencabutan Izin Usaha; atau d. Penggantian pengurus/pelaksana tugas pengurus. (2) Jenis - 5 - (2) Jenis sanksi administratif yang dikenakan serta prosedur dan jangka waktu pengenaan setiap jenis sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disesuaikan dengan jenis Lembaga Keuangan Non Bank dan jenis pelanggarannya. Pasal 7 Keputusan Direktur Jenderal Lembaga Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 12 Mei 2003 Direktur Jenderal Lembaga Keuangan, ttd Darmin Nasution NIP 130605098 Salinan sesuai dengan aslinya Kepala Bagian Umum Ttd. Prasetyo Wahyu Adi S NIP 060076008 "," KEPDIR-LK KEP-2833/LK/2003|KEPDIR-LK/2003 PEDOMAN PELAKSANAAN PENERAPAN PRINSIP MENGENAL NASABAH PADA LEMBAGA KEUANGAN NON BANK 12 Mei 2003 12 Mei 2003 '2/UU/1992', '2/KMK.01/2001|KEP-MENKEU/2001', '316/KMK.01/2002|KEP-MENKEU/2002', '45/KMK.06/2003|KEP-MENKEU/2003', '61/KEPPRES/1988', '11/UU/1992', '15/UU/2002' 'Pasal 6' " " KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 61 TAHUN 1988 TENTANG LEMBAGA PEMBIAYAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka menunjang pertumbuhan ekonomi maka sarana penyediaan dana yang dibutuhkan masyarakat perlu lebih diperluas sehingga peranannya sebagai sumber dana pembangunan makin meningkat; b. bahwa untuk maksud tersebut peranan Lembaga Pembiayaan sebagai salah satu sumber pembiayaan pembangunan perlu lebih ditingkatkan; c. bahwa berhubung dengan itu, dipandang perlu untuk mene- tapkan ketentuan tentang Keputusan Presiden; Menimbang : 1. Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 17 Undang-Undang Dasar 1945; 2. 3. Lembaga Pembiayaan dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Staatsblad 1847Nomor 23); Kitab Undang-undang Hukum Dagang (Staatsblad 1347 Nomor 23) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1971 (Lembaran Negara Tabun 1971 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2959); 4. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok Perkoperasian (Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 23, Tambahan Lembaga Negara Nomor 2832); 5. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perbankan (Lembaran Negara Tahun 1167 Nomor Tambahan Lembaran Negara Nomor 2842); MEMUTUSKAN: Dengan mencabut Keputusan Presiden Nomor 39 Tahun 1988 tentang Lembaga Pembiayaan. - 1 - 34, Menetapkan : KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA TENTANG LEMBAGA PEMBIAYAAN. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Keputusan Presiden ini yang dimaksud dengan : 1. Menteri adalah Menteri Keuangan; 2. Lembaga Pembiayaan adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana atau barang modal dengan tidak menarik dana secara langsung dari masyarakat; 3. Bank adalah Bank Umum, Bank Tabungan dan Bank pemba- ngunan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1967 tentang Perbankan; 4. Lembaga Keuangan Bukan Bank adalah badan usaha yang melakukan kegiatan di bidang keuangan yang secara langsung atau tidak langsung menghimpun dana dengan jalan mengeluarkan surat berharga dan menyalurkannya ke dalam masyarakat guna membiayai investasi perusahaan- perusahaan; 5. Perusahaan Pembiayaan adalah badan usaha di luar Bank dan Lembaga Keuangan Bukan Bank yang khusus didirikan untuk melakukan kegiatan yang termasuk dalam bidang usaha Lembaga Pembiayaan; 6. Perusahaan Pembiayaan Konsumen (Consumers Finance Company) adalah badan usaha yang melakukan pembiayaan pengadaan barang untuk kebutuhan konsumen dengan sistem pembayaran angsuran atau berkala; 7. Perusahaan Kartu Kredit (Credit Card Company) adalah badan usaha yang melakukan usaha pembiayaan untuk membeli barang dan jasa dengan menggunakan kartu kredit; 8. Perusahaan Anjak piutang (Factoring Company) adalah badan usaha yang melakukan usaha pembiayaan dalam bantuk pembelian dan/atau pengalihan serta pengurusan piutang atau tagihan jangka pendek suatu perusahaan dari transaksi per- dagangan dalam atau luar negeri; - 2 - 9. Perusahaan Sewa Guna Usaha (Leasing Company) adalah badan usaha yang melakukan usaha pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik secara ""Finance Lease"" maupun ""Operating Lease"" untuk digunakan oleh Penyewa Guna Usaha selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara berkala. 10. Perusahaan Perdagangan 11. Perusahaan Modal Surat Berharga (Securities Company) adalah badan usaha yang melakukan usaha pembiayaan dalam bentuk perdagangan surat berharga; Ventura (Venture Capital Company) adalah badan usaha yang melakukan usaha pembiayaan dalam bentuk penyertaan modal ke dalam suatu Perusahaan yang menerima bantuan pembiayaan (investee Company) untuk jangka waktu tertentu;. 12. Surat Sanggup Bayar (Promissory Note) adalah surat pernya- taan kesanggupan tanpa syarat untuk membayar sejumlah uang tertentu kepada pihak yang tercantum dalam surat tersebut atau kepada penggantinya. BAB II BIDANG USAHA DAN PENDIRIAN LEMBAGA PEMBIAYAAN Pasal 2 (1) Lembaga pembiayaan melakukan kegiatan yang meliputi antara lain bidang usaha : a. Sewa Guna Usaha; b. Modal Ventura; c. Perdagangan Surat Berharga; d. Anjak Piutang; e. Usaha Kartu Kredit; f. Pembiayaan Konsumen. (2) Ketentuan lebih lanjut tentang persyaratan dan tata cara pendirian perusahaan, serta kegiatan dalam bidang-bidang usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut oleh Menteri. - 3 - Pasal 3 (1) Kegiatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) dapat dilakukan oleh : a. Bank; b. Lembaga Keuangan Bukan Bank; c. Perusahaan Pembiayaan. (2) Perusahaan Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c berbentuk Perseroan Terbatas atau Koperasi. (3) Saham Perusahaan Pembiayaan yang berbentuk Perseroan Terbatas dapat dimiliki oleh : a. Warga Negara Indonesia dan/atau Badan Hukum Indonesia; b. Badan Usaha Asing dan Warga Negara Indonesia atau Badan Hukum Indonesia (usaha patungan). (4) Pemilikan saham oleh Badan Usaha Asing sebagaimana dimaksud besarnya 85% (delapan puluh lima persen) dari Modal Disetor. Pasal 4 (1) Perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dapat melakukan satu atau lebih kegiatan Usaha Lembaga Pembiayaan. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelenggaraan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur oleh Menteri. BAB III PEMBATASAN Pasal 5 (1) Perusahaan Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c dilarang menarik dana secara langsung dari masyarakat dalam bentuk: a. Giro; b. Deposito; c. Tabungan; d. Surat Sanggup Bayar (Promissory Note). - 4 - dalam ayat (3) huruf b ditentukan sebesar- (2) Perusahaan Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c dapat menerbitkan Surat Sanggup Bayar hanya sebagai jaminan atas hutang kepada Bank yang menjadi krediturnya. BAB IV PENGAWASAN Pasal 6 Menteri melakukan pengawasan dan pembinaan atas usaha Per- usahaan Pembiayaan. BAB V KETENTUAN PERALIHAN Pasal 7 Dengan ditetapkannnya Keputusan Presiden ini, Bank, Lembaga Keuangan Bukan Bank, dan Perusahaan Pembiayaan yang telah memperoleh izin usaha dari Menteri atau telah melaksanakan kegiatan usaha pembiayaan BAB VI KETENTUAN PENUTUP Pasal 8 Dengan ditetapkannya Keputusan presiden ini, segala peraturan mengenai Sawa Guna Usaha yang telah ada, dinyatakan tidak berlaku. Pasal 9 Keputusan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang pengundangan Keputusan Presiden mengetahuinya, memerintahkan ini tetap dapat melanjutkan kegiatannya dengan mengadakan penyesuaian terhadap ketentuan yang ditetapkan oleh Menteri. dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. - 5 - Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 20 Desember 1988 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA ttd S0EHART0 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1988 NOMOR 53 - 6 - "," KEPPRES 61/KEPPRES/1988 LEMBAGA PEMBIAYAAN 20 Desember 1988 20 Desember 1988 20 Desember 1988 '39/KEPPRES/1988' '4/UU/1971', '12/UU/1967', '14/UU/1967', '23/STBLD/1847', 'KUH Dagang', 'KUH Perdata', 'UUD 1945 | Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 17' " " Peraturan Nomor IX.I.3 KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL NOMOR KEP-62/PM/1996 TENTANG PENERBITAN FOREIGN DEPOSITARY RECEIPTS KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL, Menimbang : bahwa dengan berlakunya Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, dipandang perlu untuk mengubah Surat Ketua Bapepam Nomor S-17/PM/1992 tentang Penerbitan Foreign Depositary Receipts dengan menetapkan Keputusan Ketua Bapepam yang baru; Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3608); 2. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3617); 3. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 322/M Tahun 1995; M E M U T U S K A N: Menetapkan : KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL TENTANG PENERBITAN FOREIGN DEPOSITARY RECEIPTS. Pasal 1 Ketentuan mengenai Penerbitan Foreign Depositary Receipts diatur dalam Peraturan Nomor IX.I.3 sebagaimana dimuat dalam Lampiran Keputusan ini. Pasal 2 Dengan ditetapkannya Keputusan ini, maka Surat Ketua Bapepam Nomor S-17/PM/1992 tanggal 7 Januari 1992 dinyatakan tidak berlaku lagi IV-1 Peraturan Nomor IX.I.3 Pasal 3 Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan di : Jakarta pada tanggal : 17 Januari 1996 BADAN PENGAWAS PASAR MODAL Ketua, I PUTU GEDE ARY SUTA NIP. 060065493 IV-2 Peraturan Nomor IX.I.3 LAMPIRAN Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor : Kep-62/PM/1996 Tanggal : 17 Januari 1996 PERATURAN NOMOR IX.I.3 1. : PENERBITAN FOREIGN DEPOSITARY RECEIPTS Memperhatikan perkembangan Bursa Efek dan untuk melindungi kepentingan pemodal dalam negeri, maka seluruh Emiten dan atau Perusahaan Publik yang merencanakan untuk menerbitkan Foreign Depositary Receipts, seperti American Depositary Receipts (ADRs), Singapore Depositary Receipts (SDRs), dan Global Depositary Receipts (GDRs) wajib terlebih dahulu melaporkan rencananya kepada Bapepam. 2. Laporan yang disampaikan hendaknya mengandung informasi lengkap terutama berkenaan dengan keterlibatan Emiten dan atau Perusahaan Publik serta persyaratan lainnya yang diperlukan dalam penerbitan Foreign Depositary Receipts tersebut. Ditetapkan di : Jakarta pada tanggal : 17 Januari 1996 BADAN PENGAWAS PASAR MODAL Ketua, I PUTU GEDE ARY SUTA NIP. 060065493 IV-3 "," KEPTA-BAPEPAM KEP-62/PM/1996|KEPTA-BAPEPAM/1996 PENERBITAN FOREIGN DEPOSITARY RECEIPTS 17 Januari 1996 17 Januari 1996 'S-17/PM/1992|SRTTA-BAPEPAM/1992' '8/UU/1995', '45/PP/1995', '322/M|KEPPRES/1995' " " DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN SALINAN KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN NOMOR: KEP-430 /BL/2007 TENTANG PERNYATAAN PENDAFTARAN DALAM RANGKA PENAWARAN UMUM REKSA DANA BERBENTUK KONTRAK INVESTASI KOLEKTIF KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN, Menimbang : bahwa dalam rangka peningkatan efisiensi Pernyataan Pendaftaran serta penyelarasan dengan perkembangan produk Reksa Dana, dipandang perlu untuk mengubah Peraturan Nomor IX.C.5 tentang Pernyataan Pendaftaran Dalam Rangka Penawaran Umum Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif, Lampiran Keputusan Ketua Bapepam Nomor: Kep- 10/PM/1997 tanggal 30 April 1997 dengan menetapkan Keputusan Ketua Bapepam dan LK yang baru; Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3608); 2. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3617) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2004 (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4372); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 1995 tentang Tata Cara Pemeriksaan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 87, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3618); 4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 45/M Tahun 2006; MEMUTUSKAN: Menetapkan : KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN TENTANG PERNYATAAN PENDAFTARAN DALAM RANGKA PENAWARAN UMUM REKSA DANA BERBENTUK KONTRAK INVESTASI KOLEKTIF. Pasal 1 Ketentuan mengenai Pernyataan Pendaftaran Dalam Rangka Penawaran Umum Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif diatur dalam Peraturan Nomor IX.C.5 sebagaimana dimuat dalam Lampiran Keputusan ini. DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN - 2 - Pasal 2 Dengan ditetapkannya Keputusan ini, maka Peraturan Nomor IX.C.5 tentang Pernyataan Pendaftaran Dalam Rangka Penawaran Umum Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif, Lampiran Keputusan Ketua Bapepam Nomor: Kep- 10/PM/1997 tanggal 30 April 1997 dinyatakan tidak berlaku lagi. Pasal 3 Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di : Jakarta pada tanggal : 19 Desember 2007 Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ttd. A. Fuad Rahmany NIP 060063058 Salinan sesuai dengan aslinya Kepala Bagian Umum Prasetyo Wahyu Adi Suryo NIP 060076008 LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-430/BL/2007 Tanggal : 19 Desember 2007 PERATURAN NOMOR IX.C.5 : PERNYATAAN PENDAFTARAN DALAM RANGKA PENAWARAN UMUM REKSA DANA BERBENTUK KONTRAK INVESTASI KOLEKTIF 1. Pernyataan Pendaftaran dalam rangka Penawaran Umum Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif diajukan oleh Manajer Investasi dengan cara sebagai berikut: a. menyampaikan Pernyataan Pendaftaran dengan mengisi Formulir Nomor IX.C.5-1 lampiran 1 peraturan ini; b. Pernyataan Pendaftaran diajukan dalam rangkap 2 (dua); c. menyertakan dokumen Perjanjian Agen Penjual Efek Reksa Dana (jika ada); d. menyampaikan rencana pemasaran dan operasional Reksa Dana; e. menyampaikan kontrak dengan Sponsor bagi Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang Unit Penyertaannya diperdagangkan di Bursa Efek jika dalam penciptaan Unit Penyertaan Reksa Dana dimaksud melibatkan Sponsor; f. menyampaikan perjanjian antara Manajer Investasi dengan Dealer Partisipan bagi Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang Unit Penyertaannya diperdagangkan di Bursa Efek; g. menyampaikan dokumen perjanjian pendahuluan pencatatan antara Manajer Investasi dengan Bursa Efek jika Unit Penyertaan Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif diperdagangkan di Bursa Efek; dan h. menyampaikan dokumen perjanjian penyimpanan Unit Penyertaan dalam penitipan kolektif antara Manajer Investasi dengan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian jika Unit Penyertaan Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif diperdagangkan di Bursa Efek. 2. Dalam hal Pernyataan Pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam angka 1 huruf a peraturan ini tidak memenuhi syarat atau memenuhi syarat, Bapepam dan LK memberikan surat pemberitahuan kepada pemohon yang menyatakan bahwa: a. Pernyataan Pendaftaran tidak lengkap dengan menggunakan Formulir Nomor IX.C.5-2 lampiran 2 peraturan ini. b. Pernyataan Pendaftaran dinyatakan efektif oleh Bapepam dan LK menggunakan Formulir Nomor IX.C.5-3 lampiran 3 peraturan ini. LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-430/BL/2007 Tanggal : 19 Desember 2007 - 2 - 3. Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang Pasar Modal, Bapepam dan LK dapat mengenakan sanksi terhadap setiap pelanggaran ketentuan peraturan ini, termasuk Pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut. Ditetapkan di : Jakarta pada tanggal : 19 Desember 2007 Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Dan Lembaga Keuangan ttd. A. Fuad Rahmany NIP 060063058 Salinan sesuai dengan aslinya Kepala Bagian Umum Prasetyo Wahyu Adi Suryo NIP 060076008 LAMPIRAN : Peraturan Nomor : 1 IX.C.5 FORMULIR NOMOR: IX.C.5-1 Nomor : Lampiran : Perihal : Pernyataan Pendaftaran Dalam Rangka Penawaran Umum Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi ................. Bersama ini kami mengajukan Pernyataan Pendaftaran dalam rangka Penawaran Umum sejumlah ................. Unit Penyertaan dengan nilai per Unit Penyertaan Rp/US Dollar/Euro .......................... Para Pihak yang terlibat dalam Pernyataan Pendaftaran Dalam Rangka Penawaran Umum Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yaitu : I. Manajer Investasi 1. Nama 2. Alamat 3. Nomor dan tanggal akta pendirian berikut perubahan anggaran dasar : ............................................... 4. Nomor dan tanggal pengesahan / persetujuan / pemberitahuan Menteri Hukum dan HAM RI 5. Nomor dan tanggal pengumuman dalam Berita Negara Indonesia 6. Nomor dan tanggal izin usaha dari Bapepam 7. Nomor Pokok Wajib Pajak perusahaan : ............................................... : ............................................... : ............................................... Yth. Kolektif ............., ………...............20.... KEPADA Ketua Bapepam dan LK di - Jakarta : ............................................... : ............................................... : ............................................... 8. Anggota direksi dan dewan komisaris: Nama Kewarganegaraan Alamat a. b. c. d. e. II. Bank Kustodian 1. Nama 2. Alamat 3. Nomor dan tanggal akta pendirian berikut perubahan : ............................................... : ............................................... Jabatan anggaran dasar : ............................................... 4. Nomor dan tanggal pengesahan / persetujuan / pemberitahuan Menteri Hukum dan HAM RI 5. Nomor dan tanggal pengumuman dalam Berita Negara Indonesia 6. Nomor dan tanggal persetujuan dari Bapepam dan LK 7. Nomor Pokok Wajib Pajak perusahaan a. b. c. d. e. III. Notaris 1. Nama 2. Alamat 3. Nomor Pokok Wajib Pajak 4. Nomor pendaftaran di Bapepam IV. Konsultan Hukum 1. Nama 2. Alamat 3. Nomor Pokok Wajib Pajak 4. Nomor pendaftaran di Bapepam : ............................................... : ............................................... : ............................................... : ............................................... : ............................................... : ............................................... : ............................................... : ............................................... V. Daftar dokumen yang dilampirkan: 1. Prospektus (diberi materai dan ditandatangani para Pihak); 2. Kontrak Investasi Kolektif (ditandatangani oleh Notaris) 3. Salinan dokumen Perjanjian Agen Penjual Efek Reksa Dana (jika ada); 4. Rencana pemasaran dan operasional Reksa Dana; 5. Kontrak dengan Sponsor bagi Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang Unit Penyertaannya diperdagangkan di Bursa Efek jika dalam penciptaan Unit Penyertaan Reksa Dana dimaksud melibatkan Sponsor; : ............................................... : ............................................... : ............................................... : ............................................... 8. Anggota direksi dan dewan komisaris : Nama Kewarganegaraan Alamat Jabatan 6. Perjanjian antara Manajer Investasi dengan Dealer Partisipan bagi Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang Unit Penyertaannya diperdagangkan di Bursa Efek; 7. Perjanjian pendahuluan pencatatan antara Manajer Investasi dengan Bursa Efek jika Unit Penyertaan Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif diperdagangkan di Bursa Efek; dan 8. Perjanjian penyimpanan Unit Penyertaan dalam penitipan kolektif antara Manajer Investasi dengan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian jika Unit Penyertaan Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif diperdagangkan di Bursa Efek. PERNYATAAN ATAU KETERANGAN YANG DIMUAT DALAM PERNYATAAN PENDAFTARAN ADALAH BENAR DAN TIDAK ADA FAKTA MATERIAL YANG TIDAK DIMUAT DALAM PERNYATAAN PENDAFTARAN YANG DIPERLUKAN AGAR PERNYATAAN PENDAFTARAN TIDAK MENYESATKAN. MANAJER INVESTASI, Materai ............................................ Nama lengkap LAMPIRAN FORMULIR NOMOR: IX.C.5-2 : Peraturan Nomor : 2 IX.C.5 Nomor : S- /BL/20... Jakarta, ..............20.... Lampiran : --- Perihal : Perubahan dan atau Tambahan Informasi Atas Pernyataan Pendaftaran Dalam Rangka Penawaran Umum Reksa Dana ......................... Yth. .......................................................... Di ......................... Menunjuk surat Saudara Nomor : ................. tanggal .................................... perihal Dalam Rangka Penawaran Umum Reksa ..................................., dengan ini diberitahukan bahwa setelah diadakan penelaahan atas Pernyataan Pendaftaran Dana................................................., maka Saudara diminta untuk menyampaikan perubahan dan atau tambahan informasi yang bersangkutan kepada Bapepam dan LK sebagai berikut: 1. Perubahan yang perlu dilaksanakan adalah: a. ......................................................................................................... b. ......................................................................................................... 2. Tambahan informasi yang wajib disampaikan adalah: a. ......................................................................................................... b. ......................................................................................................... Sebelum hal-hal di atas dipenuhi, Pernyataan Pendaftaran Saudara belum dapat dinyatakan menjadi efektif Demikian agar Saudara maklum. Ketua, ............................................ NIP. .................................. Tembusan: 1. Sekretaris Badan; dan 2. Kepala Biro Pengelolaan Investasi. LAMPIRAN FORMULIR NOMOR: IX.C.5-3 : Peraturan Nomor : 3 IX.C.5 Nomor : S- /BL/20... Jakarta, ..............20.... Lampiran : --- Perihal : Pemberitahuan Efektifnya Pernyataan Pendaftaran Yth. .......................................................... Di ......................... Sehubungan dengan Pernyataan Pendaftaran Saudara Nomor ......................, tanggal ................... serta revisi kelengkapan dokumen yang telah disampaikan dengan surat Nomor ..................., tanggal ......................, dan setelah dilakukan penelaahan lebih lanjut, kami tidak memerlukan informasi tambahan dan tidak mempunyai tanggapan lebih lanjut dan Pernyataan Pendaftaran tersebut menjadi efektif. Pernyataan efektif ini bukan merupakan persetujuan Bapepam dan LK atas kecukupan atau kebenaran keterangan yang tercantum dalam Pernyataan Pendaftaran atau dokumen lampirannya atau menyetujui, mengesahkan atau meneliti keunggulan investasi pada perusahaan atau Efek yang diajukan dalam Pernyataan Pendaftaran tersebut di atas. Ketua, ............................................ NIP. .................................. Tembusan: 1. Sekretaris Badan; dan 2. Kepala Biro Pengelolaan Investasi. "," KEPTA-BAPEPAM KEP-430/BL/2007|KEPTA-BAPEPAM/2007 PERNYATAAN PENDAFTARAN DALAM RANGKA PENAWARAN UMUM REKSA DANA BERBENTUK KONTRAK INVESTASI KOLEKTIF 19 Desember 2007 19 Desember 2007 'KEP-10/PM/1997|KEPTA-BAPEPAM/1997 | Lampiran Peraturan Nomor IX.C.5' '8/UU/1995', '45/PP/1995', '12/PP/2004', '46/PP/1995', '45/M|Keppres/2006' " " Peraturan Nomor IX.B.1 KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL NOMOR KEP-49/PM/1996 TENTANG PEDOMAN MENGENAI BENTUK DAN ISI PERNYATAAN PENDAFTARAN PERUSAHAAN PUBLIK KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL, Menimbang : bahwa dengan berlakunya Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, dipandang perlu untuk mengubah Keputusan Ketua Bapepam Nomor Kep-20/PM/1991 tentang Pedoman Mengenai Bentuk dan Isi Pernyataan Pendaftaran Perusahaan Publik dengan menetapkan Keputusan Ketua Bapepam yang baru; Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3608); 2. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3617); 3. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 322/M Tahun 1995; M E M U T U S K A N : Menetapkan : KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL TENTANG PEDOMAN MENGENAI BENTUK DAN ISI PERNYATAAN PENDAFTARAN PERUSAHAAN PUBLIK. Pasal 1 Ketentuan mengenai Pedoman Mengenai Bentuk dan Isi Pernyataan Pendaftaran Perusahaan Publik diatur dalam Peraturan Nomor IX.B.1 sebagaimana dimuat dalam Lampiran Keputusan ini. Pasal 2 Dengan ditetapkannya Keputusan ini, maka Keputusan Ketua Bapepam Nomor Kep-20/PM/1991 tanggal 19 April 1991 dinyatakan tidak berlaku lagi. IV-1 Peraturan Nomor IX.B.1 Pasal 3 Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan di : Jakarta pada tanggal : 17 Januari 1996 BADAN PENGAWAS PASAR MODAL Ketua, I PUTU GEDE ARY SUTA NIP. 060065493 IV-2 Peraturan Nomor IX.B.1 LAMPIRAN Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor : Kep-49/PM/1996 Tanggal : 17 Januari 1996 PERATURAN NOMOR IX.B.1 : PEDOMAN MENGENAI BENTUK DAN ISI PERNYATAAN PENDAFTARAN PERUSAHAAN PUBLIK Suatu Pernyataan Pendaftaran harus mencakup semua informasi dan atau fakta material mengenai Perusahaan Publik, yang dapat mempengaruhi keputusan pemodal, yang diketahui atau yang layak diketahui. 1. Keterangan bahwa Pernyataan Pendaftaran telah diajukan kepada Bapepam dengan menunjuk pada Undang-undang tentang Pasar Modal yang bersangkutan dan peraturan pelaksanaannya; 2. Pernyataan bahwa Perusahaan Publik bertanggung jawab sepenuhnya atas kebenaran semua informasi dan kewajaran pendapat yang diungkapkan dalam Pernyataan Pendaftaran; 3. Pernyataan bahwa semua Lembaga dan Profesi Penunjang Pasar Modal yang disebut dalam Pernyataan Pendaftaran bertanggung jawab sepenuhnya atas data yang disajikan relevan dengan fungsi mereka, sesuai dengan peraturan yang berlaku, kode etik, norma, dan standar profesi masing-masing; 4. Nama lengkap, alamat perusahaan, logo perusahaan, nomor telepon/telex/faksimili, nomor kotak pos, kegiatan usaha dari Perusahaan Publik (tidak saja alamat kantor pusat, juga pabrik dan kantor perwakilan); 5. Struktur Modal Saham pada saat Pernyataan Pendaftaran diajukan, termasuk Modal Dasar, Modal Ditempatkan dan Disetor Penuh, yang mencakup : a. jumlah dan nilai total saham; b. informasi tentang maksud Perusahaan Publik atau pemegang saham yang ada untuk mengeluarkan atau mencatatkan saham dalam waktu 12 (dua belas) bulan setelah tanggal penyerahan Pernyataan Pendaftaran. 6. Keterangan tentang rincian dari struktur Modal Saham pada tanggal Pernyataan Pendaftaran (disarankan dalam bentuk tabel). Tabel atau keterangan dimaksud harus mencakup: a. Modal Dasar, Modal Ditempatkan dan Disetor Penuh (Jumlah saham dan nilai nominal); b. rincian kepemilikan saham oleh pemegang saham yang memiliki 5% (lima perseratus) atau lebih saham, direksi dan komisaris (jumlah saham, nilai nominal dan persentase); c. Saham dalam simpanan (portepel), yang mencakup jumlah saham dan nilai nominal. 7. Analisis dan Pembahasan oleh Manajemen Perusahaan Publik harus memberikan uraian singkat yang membahas dan menganalisis laporan keuangan dan informasi lainnya yang tercantum dalam Pernyataan Pendaftaran, dengan tujuan untuk memberikan penjelasan atas keadaan keuangan dan kegiatan usaha pada saat Pernyataan Pendaftaran diajukan dan yang diharapkan pada masa yang akan datang. IV-3 Peraturan Nomor IX.B.1 LAMPIRAN Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor : Kep-49/PM/1996 Tanggal : 17 Januari 1996 Sepanjang dipandang penting untuk memperoleh pengertian tentang keadaan keuangan Perusahaan Publik dan pengambilan keputusan pemodal berkenaan dengan investasi pada Efek perusahaan, bahasan dan analisis dimaksud harus mencakup: a. bahasan mengenai kecenderungan yang diketahui, permintaan, ikatan-ikatan, kejadian- kejadian atau ketidakpastian yang mungkin mengakibatkan terjadinya peningkatan atau penurunan yang material terhadap likuiditas perusahaan; b. bahasan mengenai ikatan yang material untuk investasi barang modal dengan penjelasan tentang tujuan dari ikatan tersebut, sumber dana yang diharapkan untuk memenuhi ikatan- ikatan tersebut, mata uang yang menjadi denominasi, dan langkah-langkah yang direncanakan Perusahaan Publik untuk melindungi risiko dari posisi mata uang asing yang terkait; c. bahasan tentang seberapa jauh hasil usaha atau keadaan keuangan Perusahaan Publik pada masa yang akan datang menghadapi risiko fluktuasi kurs atau suku bunga, dalam hal ini harus diberikan keterangan tentang semua pinjaman dan ikatan tanpa proteksi yang dinyatakan dalam mata uang asing, atau hutang yang suku bunganya tidak ditentukan terlebih dahulu; d. bahasan dan analisis tentang perkembangan material yang diperkirakan terjadi, kejadian- kejadian, kecenderungan-kecenderungan keadaan persaingan dan ketidakpastian yang diketahui dapat menyebabkan informasi keuangan yang telah dilaporkan tidak memberikan indikasi atas hasil usaha dan keadaan keuangan pada masa yang akan datang; e. uraian tentang kejadian atau transaksi yang tidak normal dan jarang terjadi atau perubahan penting dalam ekonomi yang dapat mempengaruhi jumlah pendapatan yang dilaporkan dalam laporan keuangan yang telah diperiksa Akuntan, sebagaimana tercantum dalam Pernyataan Pendaftaran, dengan penekanan pada laporan keuangan terakhir. Selain daripada itu, uraian tentang komponen-komponen penting dari pendapatan atau beban lainnya yang dianggap perlu untuk dapat mengetahui hasil usaha perusahaan; f. jika laporan keuangan dalam Pernyataan Pendaftaran mengungkapkan peningkatan material dari penjualan atau pendapatan bersih, perlu adanya bahasan tentang sejauh mana kenaikan tersebut dapat dikaitkan dengan kenaikan harga, volume atau jumlah barang atau jasa yang dijual, atau adanya produk atau jasa baru; g. bahasan tentang dampak perubahan harga terhadap penjualan dan pendapatan bersih perusahaan serta laba operasi perusahaan selama 3 (tiga) tahun atau selama perusahaan menjalankan usahanya jika kurang dari 3 (tiga) tahun; h. jika dikehendaki dapat diberikan bahasan tentang prospek. Jika prakiraan dan atau proyeksi keuangan diungkapkan, hal tersebut harus dipersiapkan dengan seksama serta obyektif dan berdasarkan asumsi yang layak. Penilaian atas penyusunan laporan keuangan prospektif dan hal-hal yang mendasari asumsi harus diperiksa dan dilaporkan oleh Akuntan yang mengaudit laporan keuangan perusahaan. Namun demikian perusahaan bertanggung jawab secara langsung atas kelayakan prakiraan dan atau proyeksi keuangan tersebut. IV-4 Peraturan Nomor IX.B.1 LAMPIRAN Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor : Kep-49/PM/1996 Tanggal : 17 Januari 1996 8. Risiko Usaha Keterangan tentang risiko usaha hendaknya disusun berdasarkan bobot risiko yang dihadapi yang antara lain disebabkan oleh : a. persaingan; b. pasokan bahan baku; c. ketentuan negara lain atau peraturan internasional; dan d. kebijaksanaan pemerintah. 9. Kejadian penting setelah tanggal laporan Akuntan Informasi tentang semua fakta material yang terjadi setelah tanggal laporan Akuntan. 10. Keterangan tentang Perusahaan Publik a. Riwayat singkat perusahaan : 1) keterangan tentang pendirian perusahaan, yaitu antara lain tanggal pendirian, pemegang saham, nama lengkap dan kegiatan usahanya. Gambaran tersebut harus mencakup riwayat singkat mengenai pendirian perusahaan, termasuk bentuk dan nama organisasi dimaksud. Uraian mengenai sifat dan akibat dari kepailitan, perwalian atau proses yang sejenis menyangkut Perusahaan Publik. Uraian mengenai sifat dan akibat dari restrukturisasi penggabungan (merger), atau konsolidasi dari Perusahaan Publik atau perusahaan Afiliasinya yang penting. Uraian tentang aktiva yang material yang dibeli diluar kegiatan usaha biasa, dan setiap perubahan penting dalam cara menjalankan kegiatan usaha; 2) kronologis singkat dokumen hukum sehubungan dengan pendirian Perusahaan Publik dan perubahan penting yang terjadi sesudahnya, termasuk akta pendirian, persetujuan Menteri Kehakiman dan pendaftaran pada pengadilan negeri serta pengumuman pada Tambahan Berita Negara Republik Indonesia; 3) perubahan dalam kepemilikan saham setelah pendirian (untuk saham yang telah disetor penuh); 4) kejadian sehubungan dengan perkembangan kegiatan usaha dari perusahaan, seperti penambahan sarana produksi yang penting atau penggunaan teknologi baru; 5) perjanjian penting menyangkut lisensi, pembeli utama, penunjukan agen atau distributor tunggal produk penting, perjanjian teknis, dan sebagainya; 6) gambaran umum dari sarana & prasarana yang dikuasai perusahaan seperti tanah, gedung, dan pabrik serta statusnya; 7) hubungan dengan perusahaan-perusahaan lain berdasarkan pemilikan, pemegang saham yang sama, atau faktor-faktor lain. b. Pengurusan dan pengawasan : 1) nama-nama anggota disertai foto masing-masing direktur dan komisaris; 2) uraian singkat dari setiap anggota direktur dan komisaris, termasuk: a) kewarganegaraan; b) umur; IV-5 Peraturan Nomor IX.B.1 LAMPIRAN Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor : Kep-49/PM/1996 Tanggal : 17 Januari 1996 c) jabatan sekarang dan sebelumnya; d) pengalaman kerja serta usaha yang relevan; e) jika pendidikan diungkapkan, sekolah, bidang studi, dan tahun tamat belajar harus dicantumkan. c. Sumber daya manusia : 1) rincian pegawai menurut jabatan dan pendidikan (disajikan dalam tabel); 2) sarana pendidikan dan pelatihan (jika ada); 3) tenaga kerja asing (jika ada); 4) sarana kesejahteraan (jika ada), seperti : a) pengobatan; b) transportasi; c) perjanjian tenaga kerja (KKB); d) jamsostek (seperti ASTEK); e) koperasi; atau f) dana pensiun. 11. Kegiatan dan prospek usaha Perusahaan Publik. Uraian secara umum mengenai kegiatan usaha perusahaan, produk dan atau jasa utama yang diberikan, dan kedudukannya dalam industri (jika tersedia sumber data yang layak dipercaya), termasuk : a. Produksi atau operasi : 1) keterangan tentang sumber dan tersedianya bahan baku untuk produksi serta tingkat ketergantungan pada pemasok tertentu; 2) keterangan tentang proses produksi dan pengendalian mutu, termasuk uraian secara umum mengenai status pengembangan produk dan jasa tertentu, serta apakah perkembangan tersebut memerlukan investasi yang relatif berarti. Apabila keterangan dimaksud dapat merugikan kedudukan perusahaan dalam persaingan, maka keterangan dimaksud tidak wajib diungkapkan. Ketentuan ini tidak dimaksudkan sebagai keharusan pengungkapan keterangan tentang perusahaan yang tidak layak terbuka untuk umum oleh karena dapat merugikan kedudukan persaingan Perusahaan Publik; 3) kapasitas dan hasil produksi selama 5 (lima) tahun atau sejak perusahaan berdiri jika kurang dari 5 (lima) tahun; 4) produk dan jasa utama perusahaan; 5) masa berlaku dari paten, merek, lisensi, franchise dan konsesi utama serta pentingnya hal tersebut bagi perusahaan; 6) besarnya ketergantungan perusahaan terhadap satu atau sekelompok pelanggan; 7) sifat musiman dari kegiatan usaha perusahaan (jika ada); IV-6 Peraturan Nomor IX.B1 LAMPIRAN Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor : Kep-49/PM/1996 Tanggal : 17 Januari 1996 8) kegiatan usaha Perusahaan Publik sehubungan dengan modal kerja yang menimbulkan risiko khusus seperti : a) memiliki persediaan dalam jumlah yang berarti; b) memberikan kemungkinan untuk pengembalian barang-barang dagangan; atau c) memberikan kelonggaran syarat pembayaran kepada pelanggan; 9) uraian tentang pesanan yang sedang menumpuk, perkembangan dari pesanan-pesanan tersebut dalam 3 (tiga) tahun terakhir dan kemungkinan penumpukan pesanan pada masa yang akan datang; 10) ketergantungan pada kontrak-kontrak dengan pemerintah; 11) keadaan persaingan dalam industri termasuk kedudukan Perusahaan Publik dalam persaingan tersebut (jika ada sumber data yang layak dipercaya); 12) informasi singkat tentang pengeluaran untuk riset dan pengembangan; 13) uraian tentang kegiatan pemasaran antara lain mencakup : a) daerah pemasaran produk; b) sistem penjualan dan distribusi; c) data tentang angka-angka penjualan untuk Perusahaan Publik dan anak perusahaannya yang dinyatakan dalam nilai rupiah (dijelaskan kesesuaiannya dengan Laporan Keuangan) dan dalam satuan (jika ada) selama 5 (lima) tahun terakhir atau sejak berdirinya Perusahaan Publik jika kurang dari 5 (lima) tahun (jika mungkin data penjualan dirinci menurut kelompok produk utama); 14) uraian tentang prospek Perusahaan Publik sehubungan dengan industri, ekonomi secara umum, dan pasar internasional serta dapat disertai data pendukung kuantitatif (jika ada sumber data yang layak dipercaya). 12. Ikhtisar Data Keuangan Penting a. keterangan bahwa laporan keuangan merupakan sumber data; b. pernyataan tentang apakah laporan keuangan telah diperiksa Akuntan dan penjelasan tentang jangka waktu yang dicakup; c. data yang disajikan harus konsisten dengan laporan keuangan termasuk nama akun yang digunakan; d. selain data dari laporan keuangan, rasio keuangan yang relevan dengan industri bersangkutan juga harus disajikan. 13. Ekuitas Keterangan tentang ekuitas berdasarkan laporan keuangan yang diperiksa Akuntan, termasuk: IV-7 Peraturan Nomor IX.B.1 LAMPIRAN Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor : Kep-49/PM/1996 Tanggal : 17 Januari 1996 a. tabel ekuitas yang memuat rincian ekuitas per tanggal laporan keuangan seluruh periode yang disajikan dalam laporan keuangan; b. uraian secara kronologis yang menggambarkan perubahan struktur permodalan Perusahaan Publik antara lain menyangkut perubahan Modal Dasar beserta keterangan pengesahan dari MenteriKehakiman, perubahan Modal Disetor dan nilai nominal per saham; dan c. perubahan struktur permodalan yang terjadi setelah tanggal laporan keuangan terakhir (jika ada). 14. Kebijakan Dividen Informasi tentang kebijakan dividen yang direncanakan termasuk rentang jumlah persentase dividen tunai yang direncanakan dikaitkan dengan jumlah laba bersih. 15. Perpajakan Uraian tentang pajak yang berlaku baik bagi pemodal maupun perusahaan dan fasilitas khusus perpajakan yang diperoleh. 16. Nama dan alamat Lembaga dan Profesi Penunjang Pasar Modal (jika ada). 17. Pendapat dan Laporan Pemeriksaan Dari Segi Hukum Pendapat dari Konsultan Hukum antara lain meliputi : a. keabsahan akta pendirian serta Anggaran Dasar dan perubahan-perubahannya; b. semua izin dan persetujuan yang diperlukan dalam pelaksanaan kegiatan usaha atau kegiatan usaha yang direncanakan Perusahaan Publik; c. status pemilikan aktiva yang material dari Perusahaan Publik; d. perkara perdata, pidana, perburuhan, administrasi serta tindakan hukum lainnya; e. perikatan-perikatan dengan Pihak ketiga; f. permodalan Perusahaan Publik dan perubahan-perubahan yang direncanakan, diajukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan telah memperoleh semua persetujuan yang diperlukan; g. hal-hal lainnya yang material. 18. Laporan Keuangan a. Laporan Akuntan berkenaan dengan laporan keuangan yang disajikan; b. menyajikan laporan keuangan untuk jangka waktu 3 (tiga) tahun terakhir atau sejak berdirinya perusahaan bagi perusahan-perusahaan yang berdiri kurang dari 3 (tiga) tahun sebagai berikut: IV-8 Peraturan Nomor IX.B.1 LAMPIRAN Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor : Kep-49/PM/1996 Tanggal : 17 Januari 1996 1) neraca; 2) laporan laba rugi; 3) laporan saldo laba; 4) laporan arus kas; 5) catatan atas laporan keuangan; dan 6) laporan lain serta materi penjelasan yang merupakan bagian integral dari laporan keuangan jika dipersyaratkan, seperti laporan komitmen dan kontinjensi untuk perusahaan publik yang bergerak dalam bidang perbankan. c. untuk perusahaan yang telah berdiri secara hukum selama kurang dari 1 (satu) tahun buku, persyaratan di atas berlaku untuk periode selama masa berdirinya dikurangi sebanyak-banyaknya 3 (tiga) bulan. 19. Laporan Penilai (jika ada) Ikhtisar laporan Penilai yang mencakup antara lain metode penilaian serta uraian tentang aktiva bersangkutan dan hasil penilaiannya. 20. Anggaran Dasar Anggaran dasar terakhir yang telah disetujui oleh Menteri Kehakiman. Ditetapkan di : Jakarta pada tanggal : 17 Januari 1996 BADAN PENGAWAS PASAR MODAL Ketua, I PUTU GEDE ARY SUTA NIP. 060065493 IV-9 "," KEPTA-BAPEPAM KEP-49/PM/1996|KEPTA-BAPEPAM/1996 PEDOMAN MENGENAI BENTUK DAN ISI PERNYATAAN PENDAFTARAN PERUSAHAAN PUBLIK 17 Januari 1996 17 Januari 1996 'KEP-20/PM/1991|KEPTA-BAPEPAM/1991' '8/UU/1995', '45/PP/1995', '322/M|Keppres/1995' " " Peraturan Nomor IX.A.10 KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL NOMOR KEP-49/PM/1997 TENTANG PENAWARAN UMUM SERTIFIKAT PENITIPAN EFEK INDONESIA ( INDONESIAN DEPOSITARY RECEIPT ) KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL, Menimbang Mengingat : bahwa dengan berlakunya Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, dipandang perlu untuk menetapkan Keputusan Ketua Bapepam tentang Penawaran Umum Sertifikat Penitipan Efek Indonesia; : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3608); 2. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3617); 3. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 322/M Tahun 1995; MEMUTUSKAN : Menetapkan : KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL TENTANG PENAWARAN UMUM SERTIFIKAT PENITIPAN EFEK INDONESIA ( INDONESIAN DEPOSITARY RECEIPT ) Pasal 1 Ketentuan tentang Penawaran Umum Sertifikat Penitipan Efek Indonesia diatur dalam Peraturan Nomor IX.A.10 sebagaimana dimuat dalam Lampiran Keputusan ini. Pasal 2 Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan di : Jakarta pada tanggal : 26 Desember 1997 BADAN PENGAWAS PASAR MODAL Ketua, I PUTU GEDE ARY SUTA NIP.060065493 IV-1 Peraturan Nomor IX.A.10 LAMPIRAN Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor : Kep-49/PM/1997 Tanggal : 26 Desember 1997 PERATURAN NOMOR IX.A.10 : PENAWARAN UMUM SERTIFIKAT PENITIPAN EFEK INDONESIA (INDONESIAN DEPOSITARY RECEIPT ) 1. Definisi: a. Sertifikat Penitipan Efek Indonesia adalah Efek yang memberikan hak kepada pemegangnya atas Efek Utama yang dititipkan secara kolektif pada Bank Kustodian yang telah mendapat persetujuan Bapepam. b. Efek Utama adalah Efek yang dititipkan pada Bank Kustodian yang menjadi dasar diterbitkannya Sertifikat Penitipan Efek Indonesia. c. Yurisdiksi Setara adalah sistem hukum negara lain yang di dalam peraturan perundang- undangannya, termasuk peraturan di bidang pasar modal, terdapat ketentuan tentang perlindungan terhadap kepentingan pemodal yang melakukan investasi atas suatu jenis Efek, yang pada prinsipnya sesuai dengan ketentuan tentang perlindungan terhadap kepentingan pemodal yang melakukan investasi atas Efek yang sejenis menurut peraturan perundang-undangan pasar modal di Indonesia. 2. Penawaran Umum Sertifikat Penitipan Efek Indonesia yang Efek Utamanya merupakan Efek badan hukum Indonesia wajib memenuhi ketentuan Penawaran Umum yang berlaku untuk Efek Utama dimaksud. 3. Penawaran Umum Sertifikat Penitipan Efek Indonesia yang Efek Utamanya merupakan Efek badan hukum negara lain yang telah dijual melalui Penawaran Umum yang mempunyai: a. Yurisdiksi Setara wajib memenuhi ketentuan peraturan ini dan Peraturan Bapepam Nomor IX.A.1 dan IX.A.2, kecuali angka 14 dan angka 17 Peraturan Bapepam Nomor IX.A.2; b. Yurisdiksi tidak setara wajib memenuhi seluruh ketentuan Penawaran Umum yang berlaku di Indonesia. 4. Penawaran Umum Sertifikat Penitipan Efek Indonesia yang Efek Utamanya merupakan Efek badan hukum negara lain yang tidak dijual melalui Penawaran Umum wajib memenuhi ketentuan Penawaran Umum yang berlaku di Indonesia. 5. Pernyataan Pendaftaran dalam rangka Penawaran Umum Sertifikat Penitipan Efek Indonesia yang Efek Utamanya merupakan Efek badan hukum negara lain yang telah dijual melalui Penawaran Umum yang mempunyai Yurisdiksi Setara harus sekurang-kurangnya mencakup: a. surat pengantar Pernyataan Pendaftaran sesuai Formulir Nomor: IX.A.10-1 lampiran peraturan ini; b. Pernyataan Pendaftaran yang telah disampaikan kepada Pengawas Pasar Modal negara lain yang mempunyai Yurisdiksi Setara dan telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh penerjemah resmi; dan c. dokumen tambahan yang terdiri dari: IV-2 Peraturan Nomor IX.A.10 LAMPIRAN Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor : Kep-49/PM/1997 Tanggal : 26 Desember 1997 1) surat pernyataan dari perseroan atau Konsultan Hukum yang terdaftar di Bapepam yang membuat kontrak dengan Pihak yang melakukan Penawaran Umum Sertifikat Penitipan Efek Indonesia atau Pihak yang menerbitkan Efek Utama untuk melakukan Penawaran Umum Sertifikat Penitipan Efek Indonesia, yang memuat informasi baru bersifat material sehubungan dengan Efek Utama, dan informasi tersebut belum dimuat dalam Pernyataan Pendaftaran atau dokumen lainnya yang disampaikan kepada Pengawas pasar modal negara lain yang mempunyai Yurisdiksi Setara; 2) pendapat dari segi hukum yang dibuat oleh konsultan hukum yang terdaftar di Bapepam yang menyatakan bahwa sistem hukum negara tempat dilakukannya Penawaran Umum Efek Utama dapat dikategorikan mempunyai Yurisdiksi Setara, dengan mengemukakan alasan dan analisis terhadap tingkat perlindungan dan upaya hukum menuntut ganti rugi yang diberikan kepada pemodal di Indonesia berkenaan dengan : a) adanya informasi yang tidak lengkap, tidak benar dan atau menyesatkan atas Efek Utama; b) pelaksanaan perdagangan Efek Utama yang tidak wajar, teratur, atau efisien, apabila pemodal di Indonesia melaksanakan haknya untuk menukarkan kembali Sertifikat Penitipan Efek Indonesia dengan Efek Utama dari Bank Kustodian; dan c) dilusi Efek Utama dan atau transaksi benturan kepentingan dalam hal Efek Utama tersebut merupakan Efek Bersifat Ekuitas. 3) uraian tentang persyaratan dan ketentuan yang tercantum dalam perjanjian penitipan Efek Utama sehubungan dengan penerbitan Sertifikat Penitipan Efek Indonesia; 4) analisis dan pendapat Akuntan yang terdaftar di Bapepam tentang: a) aspek perpajakan Sertifikat Penitipan Efek Indonesia bagi pemodal asing dan Indonesia; b) perbedaan antara prinsip akuntansi yang digunakan dalam menyusun laporan keuangan dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia atau dengan International Accounting Standard (jika ada). 5) tata cara pengalihan Sertifikat Penitipan Efek Indonesia, pembagian keuntungan dan hak-hak lain atas pemilikan Sertifikat Penitipan Efek Indonesia, pengambilan kembali Efek Utama, pembatalan Sertifikat Penitipan Efek Indonesia, dan hal-hal lain yang berhubungan dengan Sertifikat Penitipan Efek Indonesia serta uraian mengenai pengalaman Bank Kustodian dalam rangka penerbitan Sertifikat Penitipan Efek Indonesia; 6) uraian lengkap mengenai penentuan harga, penjaminan emisi, dan pendistribusian Sertifikat Penitipan Efek Indonesia; 7) uraian lengkap mengenai rencana dicatat atau tidaknya Sertifikat Penitipan Efek Indonesia pada Bursa Efek di Indonesia; 8) uraian lengkap mengenai risiko yang berhubungan dengan Sertifikat Penitipan Efek Indonesia tidak termasuk risiko yang melekat pada Efek Utama; dan 9) uraian lengkap mengenai prakiraan perdagangan Sertifikat Penitipan Efek Indonesia di pasar sekunder. IV-3 Peraturan Nomor IX.A.10 LAMPIRAN Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor : Kep-49/PM/1997 Tanggal : 26 Desember 1997 6. Dokumen sebagaimana dimaksud dalam angka 5 peraturan ini dan laporan keuangan terakhir dari Pihak yang melakukan Penawaran Umum atau Pihak yang menerbitkan Efek Utama yang telah diaudit wajib disampaikan kepada Bapepam oleh perseroan yang mewakili Emiten atau Konsultan Hukum yang terdaftar di Bapepam yang bertindak untuk kepentingan Pihak yang melakukan Penawaran Umum Sertifikat Penitipan Efek Indonesia atau Pihak yang menerbitkan Efek Utama. 7. Dalam hal Pernyataan Pendaftaran disampaikan kepada Bapepam lebih dari 60 (enam puluh) hari setelah tanggal Penawaran Umum Efek Utama terakhir di negara yang mempunyai Yurisdiksi Setara, maka selain memenuhi ketentuan sebagaimana disebutkan dalam angka 3 huruf a peraturan ini, Pernyataan Pendaftaran dimaksud harus diperbaharui dengan data terakhir yang dimuat dalam dokumen-dokumen sebagaimana dipersyaratkan di negara asal, serta : a. Laporan Keuangan terakhir dari Pihak yang menerbitkan Efek Utama yang telah diaudit oleh akuntan; b. Prospektus Penawaran Umum Sertifikat Penitipan Efek Indonesia, yang pada prinsipnya, bentuk dan isi Prospektus tersebut harus memenuhi ketentuan sebagaimana tercantum dalam Peraturan Nomor IX.C.1 dan IX.C.2. 8. Perseroan atau Konsultan Hukum yang terdaftar di Bapepam yang bertindak mewakili Pihak yang melakukan Penawaran Umum Sertifikat Penitipan Efek Indonesia atau Pihak yang menerbitkan Efek Utama dalam rangka Penawaran Umum Sertifikat Penitipan Efek Indonesia wajib menyampaikan kepada Bapepam laporan hasil Penawaran Umum Sertifikat Penitipan Efek Indonesia yang memuat jumlah dan nilai Sertifikat Penitipan Efek Indonesia yang telah terjual paling lambat pada hari ke-15 (lima belas) setelah berakhirnya masa Penawaran Umum. 9. Pihak yang melakukan Penawaran Umum Sertifikat Penitipan Efek Indonesia atau Pihak yang menerbitkan Efek Utama wajib menunjuk Bank Kustodian yang telah memperoleh persetujuan dari Bapepam untuk : a. menyampaikan kepada Bapepam seluruh dokumen dan laporan yang disampaikan kepada Pengawas Pasar Modal negara yang mempunyai Yurisdiksi Setara yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh penerjemah resmi dan dokumen serta laporan tersebut tersedia di Bank Kustodian; b. menyampaikan kepada Bapepam dan para pemegang Sertifikat Penitipan Efek Indonesia seluruh dokumen dan laporan yang wajib disampaikan kepada pemegang Efek Utama dari negara yang mempunyai Yurisdiksi Setara yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh penerjemah resmi. Dokumen dan laporan sebagaimana dimaksud dalam butir a dan b di atas wajib disampaikan kepada Bapepam dalam batas waktu sebagaimana diatur oleh pengawas pasar modal yang mempunyai Yurisdiksi Setara dimana perusahaan yang bersangkutan melakukan Penawaran Umum. Dalam hal penyampaian Laporan Keuangan Berkala kepada Bapepam, apabila terdapat perbedaan prinsip akuntansi sebagaimana dimaksud dalam angka 5. huruf c butir 4) b), maka perbedaan tersebut wajib diungkapkan; IV-4 Peraturan Nomor IX.A.10 LAMPIRAN Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor : Kep-49/PM/1997 Tanggal : 26 Desember 1997 10. Bank Kustodian wajib menyampaikan laporan bulanan kepada Bapepam tentang perubahan yang berkaitan dengan kepemilikan Sertifikat Penitipan Efek Indonesia termasuk perubahan jumlah Efek Utama yang dititipkan di Bank Kustodian sebagaimana dimaksud dalam Formulir Nomor IX.A.10-4 lampiran peraturan ini selambatnya-lambatnya pada hari ke-12 (dua belas) bulan berikutnya. 11. Kewajiban menyampaikan seluruh dokumen dan laporan sebagaimana dimaksud dalam angka 9 berlaku sejak Pernyataan Pendaftaran kepada Bapepam menjadi efektif sampai dengan jumlah Efek Utama yang dititipkan pada Bank Kustodian, selama 6 (enam) bulan berturut- turut, menjadi kurang dari 10% (sepuluh per seratus) dari jumlah keseluruhan Efek Utama yang dijadikan dasar penerbitan Sertifikat Penitipan Efek Indonesia pada waktu dilakukannya Penawaran Umum perdana Sertifikat Penitipan Efek Indonesia. 12. Peraturan Bapepam berikut ini tidak berlaku untuk Penawaran Umum Sertifikat Penitipan Efek Indonesia yang Efek Utamanya adalah saham atau Efek Bersifat Ekuitas lainnya dari badan hukum negara lain yang mempunyai Yurisdiksi Setara : a. Peraturan Nomor IX.A.6 tentang Pembatasan atas Saham yang Diterbitkan Sebelum Penawaran Umum; b. Peraturan Nomor IX.D.1 tentang Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu; c. Peraturan Nomor IX.E.1 tentang Benturan Kepentingan Transaksi Tertentu; d. Peraturan Nomor X.M.1 tentang Keterbukaan Informasi Pemegang Saham Tertentu; e. Peraturan Nomor IX.G.1 tentang Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha Perusahaan Publik atau Emiten Yang Telah Melakukan Penawaran Umum; dan f. Surat Ketua Bapepam Nomor: S-456/PM/1991 tanggal 12 April 1991 tentang Pembelian Saham atau Penyertaan Pada Perusahaan Lain. Ditetapkan di : Jakarta pada tanggal : 26 Desember 1997 BADAN PENGAWAS PASAR MODAL Ketua, I PUTU GEDE ARY SUTA NIP. 060065493 IV-5 Peraturan Nomor IX.A.10 Formulir Nomor: IX.A.10-1 Nomor Lampiran Perihal : : ……..(domisili),……(tgl./bln./thn.) : Surat Pengantar untuk Pernyataan Pendaftaran dalam rangka Penawaran Umum Sertifikat Penitipan Efek Indonesia ……….(nama Emiten) Kepada Yth. Bapak Ketua Bapepam di Jakarta Bersama ini kami mengajukan Pernyataan Pendaftaran dalam rangka Penawaran Umum Sertifikat Penitipan Efek Indonesia …………… (nama perusahaan) sejumlah …… dengan nilai sejumlah Rp ………. 1. Identitas perseroan/Konsultan Hukum dalam melakukan Penawaran Umum SPEI. a. Nama Perusahaan b. Alamat Lengkap c. Nomor dan tanggal Akta Pendirian berikut perubahan Anggaran Dasar d. Nomor dan tanggal persetujuan Menteri Kehakiman : ……...........……………………… : …………......……....…………… : ………………….............………… : …………………........………… e. Nomor dan tanggal pengumuman dalam Berita Negara Indonesia : ……………………………......... f. NPWP Perusahaan g. Anggota Direksi dan Dewan Komisaris Nama 1. 2. 3. 4. 5. 2. Identitas Pihak yang melakukan Penawaran Umum SPEI atau Pihak yang Menerbitkan Efek Utama. IV-6 : Jabatan Alamat : …………………………….......... Peraturan Nomor IX.A.10 a. Nama Perusahaan / Pihak Perseorangan b. Bentuk Hukum Perusahaan c. Bidang Usaha d. Alamat Lengkap e. Dokumen dan informasi- informasi yang terkait dengan pendirian Perusahaan : : : : : f. Susunan Pengurus Perusahaan : Nama 1. 2. 3. 4. 5. 3. Bank Kustodian a. Nama Perusahaan b. Alamat Lengkap c. Nomor dan tanggal Akta Pendirian berikut perubahan Anggaran Dasar d. Nomor dan tanggal persetujuan Menteri Kehakiman ……....................……………………… ……..................……………………… ….................………………………… ……..................……………………… ……..................……………………… Kewarganegaraan Jabatan : : : : e. Nomor dan tanggal pengumuman dalam Berita Negara Indonesia : f. Nomor dan tanggal Persetujuan Dari Bapepam g. NPWP Perusahaan h. Anggota Direksi dan Dewan Komisaris Nama 1. 2. 3. 4. 5. IV-7 : : : Kewarganegaraan Alamat ……....................……………………… ……....................……………………… ……....................……………………… ……....................……………………… ……....................……………………… ……....................……………………… ……....................……………………… Peraturan Nomor IX.A.10 4. Konsultan Hukum. a. Nama b. Alamat Lengkap c. NPWP : ……………..............................……………… : ……………..............................……………… : ……………..............................……………… d. Nomor Pendaftaran di Bapepam : ……………..............................……………… 5. Penjamin Emisi Efek (jika ada). a. Nama b. Alamat Lengkap c. NPWP d. Nomor dan tanggal Izin Usaha dari Bapepam : ……………..............................……………… : ……………..............................……………… : ……………..............................……………… : ……………..............................……………… 6. Jumlah halaman dalam Pernyataan Pendaftaran yang diserahkan. 7. Daftar dokumen yang dilampirkan: a. ………………………………………………………………. b. ………………………………………………………………. c. ………………………………………………………………. PERNYATAAN ATAU KETERANGAN YANG DIMUAT DALAM PERNYATAAN PENDAFTARAN ADALAH BENAR DAN TIDAK ADA FAKTA MATERIAL YANG TIDAK DIMUAT DALAM PERNYATAAN PENDAFTARAN YANG DIPERLUKAN AGAR PERNYATAAN PENDAFTARAN TIDAK MENYESATKAN. (nama Emiten) Meterai Rp.2000,00 (tanda tangan direktur yang berwenang) (nama jelas) IV-8 Peraturan Nomor IX.A.10 Formulir Nomor : IX.A.10-2 Nomor : Lampiran : Perihal : S- /PM/199... Pemberitahuan Efektifnya Pernyataan Pendaftaran dalam rangka Penawaran Umum Sertifikat Penitipan Efek Indonesia …………. (nama perusahaan). Jakarta, ..... (tgl../bln./thn.) Kepada Yth. ............................ di – …….........….. Sehubungan dengan Pernyataan Pendaftaran Saudara Nomor: ……….. tanggal ………. serta revisi kelengkapan dokumen yang telah disampaikan dengan surat nomor …………... tanggal ………, dan setelah dilakukan penelaahan lebih lanjut, kami tidak memerlukan informasi tambahan dan tidak mempunyai tanggapan lebih lanjut dan Pernyataan Pendaftaran tersebut menjadi efektif. Pernyataan efektif ini bukan merupakan persetujuan Bapepam atas kecukupan atau kebenaran keterangan yang tercantum dalam Pernyataan Pendaftaran atau dokumen lampirannya atau menyetujui, mengesahkan, atau meneliti keunggulan investasi pada perusahaan atau Efek yang diajukan dalam Pernyataan Pendaftaran tersebut di atas. BADAN PENGAWAS PASAR MODAL Ketua, …………………………. NIP. ……………. Tembusan kepada Yth.: 1. Bapak Menteri Keuangan Republik Indonesia; 2. Sdr. Sekretaris Jenderal, Departemen Keuangan Republik Indonesia; 3. Sdr. Sekretaris Bapepam; 4. Sdr. Para Kepala Biro di lingkungan Bapepam; 5. Sdr. Direksi PT………..(Bank Kustodian). IV-9 Peraturan Nomor IX.A.10 Formulir Nomor : IX.A.10-3 Nomor Lampiran : Perihal : S- /PM/199... Jakarta........(tgl./bln./thn.) : Perubahan dan atau Tambahan Informasi atas Pernyataan Pendaftaran dalam rangka Penawaran Umum Sertifikat Penitipan Efek Indonesia …… (nama perusahaan). Menunjuk surat Saudara Nomor: ……………….. tanggal ……………. perihal …………………., dengan ini diberitahukan bahwa setelah diadakan penelaahan atas Pernyataan Pendaftaran dalam rangka Penawaran Umum Sertifikat Penitipan Efek Indonesia ………………………… (nama perusahaan), maka Saudara diminta untuk menyampaikan perubahan dan atau tambahan informasi yang bersangkutan kepada Bapepam sebagai berikut : 1. Perubahan yang perlu dilaksanakan adalah : a. …………………………………………. b. …………………………………………. 2. Tambahan informasi yang wajib disampaikan adalah : a. …………………………………………. b. …………………………………………. Sebelum hal-hal di atas dipenuhi, Pernyataan Pendaftaran Saudara belum dapat dinyatakan menjadi efektif. Demikian agar Saudara maklum. BADAN PENGAWAS PASAR MODAL Ketua, Kepada Yth.…......................................... di- ……….………...... …………………………. NIP. ……………. Tembusan Kepada Yth.: 1. Sdr. Sekretaris Bapepam; 2. Sdr. para Kepala Biro di lingkungan Bapepam. IV-10 Peraturan Nomor IX.A.10 FORMULIR NOMOR : IX.A.10-4 LAPORAN PERUBAHAN SERTIFIKAT PENITIPAN EFEK INDONESIA YANG BEREDAR PERIODE BULAN:…………… Nama Perusahaan Nama Bank Kustodian Telepon Faksimili : : : : a. Jumlah saham awal yang dititipkan dalam Bank Kustodian sebagai dasar penerbitan SPEI ………………… b. Jumlah saham yang dititipkan pada awal periode pelaporan …………… c. Perubahan jumlah saham yang dititipkan selama periode pelaporan : - Penambahan saham dalam titipan ……… - Pengurangan saham dalam titipan ……... d. Saldo saham yang dititipkan pada akhir periode laporan ……………………….. e. Jumlah SPEI berdasarkan saldo saham yang dititipkan pada akhir periode pelaporan …… f. Perbandingan antara jumlah pada huruf d dengan jumlah pada huruf a (%) …………... xxxxxxx (xxxxxxx) + xxxxxxx - xxxxxxxx xxxxxxx xxxxxxx xxxxxxxx ...............% Jakarta, …………19… BANK KUSTODIAN Direktur IV-11 "," KEPTA-BAPEPAM KEP-49/PM/1997|KEPTA-BAPEPAM/1997 PENAWARAN UMUM SERTIFIKAT PENITIPAN EFEK INDONESIA (INDONESIAN DEPOSITARY RECEIPT) 26 Desember 1997 26 Desember 1997 '8/UU/1995', '45/PP/1995', '322/M|Keppres/1995' " " Peraturan Nomor II.A.3 KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL NOMOR KEP-41/PM/1997 TENTANG SURAT, LAPORAN DAN DOKUMEN LAIN YANG DIKIRIM KEPADA BAPEPAM KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL, Menimbang : bahwa dengan berlakunya Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, dipandang perlu untuk mengubah Keputusan Ketua Bapepam Nomor Kep- 23/PM/1993 tentang Surat, Laporan dan Dokumen Lain Yang Dikirim Kepada Bapepam dengan menetapkan Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal yang baru; Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3608); 2. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3587) 3. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 322/M Tahun 1995; MEMUTUSKAN : Menetapkan : KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL TENTANG SURAT, LAPORAN DAN DOKUMEN LAIN YANG DIKIRIM KEPADA BAPEPAM. Pasal 1 Ketentuan mengenai Surat, Laporan dan Dokumen Lain yang Dikirim Kepada Bapepam diatur dalam Peraturan Nomor II.A.3 sebagaimana dimuat dalam Lampiran Keputusan ini. Pasal 2 Dengan ditetapkannya Keputusan ini, maka Keputusan Ketua Bapepam Nomor Kep-23/PM/1993 tanggal 10 Agustus 1993 dinyatakan tidak berlaku lagi. Pasal 3 Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan di : pada tanggal : Jakarta 26 Desember 1997 BADAN PENGAWAS PASAR MODAL Ketua, I PUTU GEDE ARY SUTA NIP 060065493 IV-1 Peraturan Nomor II.A.3 LAMPIRAN Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor Tanggal : 26 Desember 1997 PERATURAN NOMOR II.A.3 : SURAT, LAPORAN DAN DOKUMEN LAIN YANG DIKIRIM KEPADA BAPEPAM 1. Surat, laporan dan dokumen lain yang dikirim kepada Bapepam harus dialamatkan kepada Ketua Bapepam. 2. Surat, laporan dan dokumen lain sebagaimana tersebut dalam angka 1 baik asli maupun tembusan disampaikan kepada Bapepam melalui Subbagian Tata Usaha Sekretariat. 3. Surat, laporan dan dokumen lain sebagaimana disebutkan dalam angka 2 di atas dianggap diterima pada saat dibubuhi cap waktu oleh Subbagian Tata Usaha Sekretariat. 4. Surat dan laporan kepada Bapepam dapat disampaikan melalui e-mail atau faksimili, disamping surat dan laporan asli berkenaan dengan hal tersebut. 5. 6. Laporan berkala serta dokumen lain yang disampaikan kepada Bapepam wajib pula disertai disket komputer yang formatnya akan diatur lebih lanjut dengan Surat Edaran Bapepam. Surat, laporan, permohonan, dan dokumen lain yang dipersyaratkan untuk diajukan kepada Bapepam harus berbahasa Indonesia, jika menggunakan bahasa asing harus ada terjemahannya dalam bahasa Indonesia, kecuali dokumen-dokumen sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Nomor IX.A.8 tentang Prospektus Awal dan Info Memo. Ditetapkan di pada tanggal : : Jakarta 26 Desember 1997 BADAN PENGAWAS PASAR MODAL Ketua, I PUTU GEDE ARY SUTA NIP 060065493 : Kep-41/PM/1997 IV-2 "," KEPTA-BAPEPAM KEP-41/PM/1997|KEPTA-BAPEPAM/1997 SURAT, LAPORAN DAN DOKUMEN LAIN YANG DIKIRIM KEPADA BAPEPAM 26 Desember 1997 26 Desember 1997 'KEP-23/PM/1993|KEPTA-BAPEPAM/1993' '8/UU/1995', '1/UU/1995', '322/M|KEPPRES/1995' " " Peraturan Nomor IX.D.5 KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL NOMOR: KEP-35/PM/2003 TENTANG SAHAM BONUS KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL, Menimbang : a. bahwa penerbitan saham bonus merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kinerja keuangan Emiten atau Perusahaan Publik yang dapat dilakukan tanpa merugikan kepentingan pemegang saham; b. bahwa selama ini pelaksanaan penerbitan saham bonus mengacu pada Penjelasan Nomor I.B.1, Lampiran Surat Edaran Bapepam Nomor SE- 05/PM/1996 tanggal 24 Desember 1996 perihal Penjelasan Mengenai Pedoman Tentang Pernyataan dan Keterbukaan Atas Saham Bonus; c. bahwa dalam rangka memberikan dasar hukum yang lebih kokoh terhadap pelaksanaan penerbitan Saham Bonus, dengan tetap memperhatikan prinsip keterbukaan dan perlindungan kepada masyarakat pemodal, dipandang perlu untuk menetapkan Keputusan Ketua Bapepam tentang Saham Bonus; Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3608); 2. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3617); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 1995 tentang Tata Cara Pemeriksaan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 87, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3618); 4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 7/M Tahun 2000; MEMUTUSKAN : Menetapkan : KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL TENTANG SAHAM BONUS. Pasal 1 Ketentuan mengenai Saham Bonus diatur dalam Peraturan Nomor IX.D.5 sebagaimana dimuat dalam Lampiran Keputusan ini. Pasal 2 Dengan ditetapkannya Keputusan ini, maka Penjelasan Nomor I.B.1, Lampiran Surat Edaran Bapepam Nomor SE-05/PM/1996 tanggal 24 Desember 1996 perihal Penjelasan Mengenai Pedoman Tentang Pernyataan dan Keterbukaan Atas Saham Bonus dinyatakan tidak berlaku lagi. IV-1 Peraturan Nomor IX.D.5 Pasal 3 Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan di : Jakarta pada tanggal : 30 September 2003 Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Herwidayatmo NIP 060065750 IV-2 Peraturan Nomor IX.D.5 LAMPIRAN Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor : Kep- 35 /PM/2003 Tanggal : 30 September 2003 PERATURAN NOMOR IX.D.5 : SAHAM BONUS 1. Definisi : a. Agio Saham adalah selisih lebih setoran pemegang saham diatas nilai nominalnya dalam hal saham dikeluarkan dengan nilai nominal. b. Kekayaan Bersih adalah selisih antara total aktiva dengan total kewajiban. c. Saldo Laba adalah akumulasi hasil usaha periodik setelah memperhitungkan pembagian dividen dan koreksi laba rugi periode lalu. d. Saham Bonus adalah saham yang dibagikan secara cuma-cuma kepada pemegang saham berdasarkan jumlah saham yang dimiliki. e. Dividen Saham adalah bagian laba yang dibagikan kepada pemegang saham dalam bentuk saham. f. Dividen Kas adalah bagian laba yang dibagikan kepada pemegang saham dalam bentuk uang. g. Selisih Penilaian Kembali Aktiva Tetap adalah selisih antara nilai revaluasi dengan nilai buku (nilai tercatat) aktiva tetap. 2. Peraturan ini berlaku bagi Emiten yang telah melakukan Penawaran Umum Efek Bersifat Ekuitas atau Perusahaan Publik. 3. Pembagian Saham Bonus harus proporsional dengan kepemilikan saham dari setiap pemegang saham. 4. Pelaksanaan pembagian Saham Bonus harus telah selesai dilakukan selambat-lambatnya 45 (empat puluh lima) hari setelah pelaksanaan Rapat Umum Pemegang Saham yang menyetujui pembagian Saham Bonus tersebut. 5. Emiten atau Perusahaan Publik wajib menyampaikan kepada Bapepam laporan penjatahan Saham Bonus yang telah diperiksa oleh Akuntan yang terdaftar di Bapepam sebanyak 2 (dua) eksemplar selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari setelah pembagian Saham Bonus dilaksanakan. 6. Saham Bonus yang merupakan Dividen Saham, berasal dari kapitalisasi Saldo Laba. 7. Saham Bonus yang bukan merupakan Dividen Saham, berasal dari kapitalisasi: a. Agio Saham; dan atau b. unsur ekuitas lainnya. 8. Jumlah saham yang dibagikan dalam rangka Saham Bonus yang merupakan Dividen Saham ditentukan berdasarkan hal-hal sebagai berikut : a. dalam hal harga pasar saham pada penutupan perdagangan 1 (satu) hari sebelum Rapat Umum Pemegang Saham di bawah nilai nominal saham, maka jumlah saham yang dibagikan ditentukan berdasarkan sekurang-kurangnya pada nilai nominal saham. b. dalam hal harga pasar saham sama atau lebih tinggi dari nilai nominal saham, maka jumlah saham yang dibagikan ditentukan berdasarkan harga pasar saham pada penutupan perdagangan 1 (satu) hari sebelum Rapat Umum Pemegang Saham. IV-3 Peraturan Nomor IX.D.5 LAMPIRAN Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor : Kep- 35 /PM/2003 Tanggal : 30 September 2003 9. Jumlah saham yang dibagikan dalam rangka Saham Bonus yang bukan merupakan Dividen Saham ditentukan berdasarkan nilai nominal saham. 10. Dengan memperhatikan ketentuan angka 8 dan angka 9 peraturan ini, dalam hal terdapat lebih dari satu nilai nominal saham, maka yang digunakan sebagai dasar pembagian Saham Bonus adalah saham dengan nilai nominal terendah. 11. Pembagian Saham Bonus hanya dapat dilaksanakan apabila asal Saham Bonus tersebut telah dimuat dalam Laporan Keuangan Tahunan terakhir yang telah diaudit oleh Akuntan yang terdaftar di Bapepam. 12. Dalam hal Saham Bonus berasal dari kapitalisasi Agio Saham maka nilai yang dapat dikapitalisasi adalah jumlah Agio Saham setelah dikurangi biaya emisi Efek ekuitas. 13. Emiten atau Perusahaan Publik atau pelaku Pasar Modal lainnya dalam hubungan dengan para pemodal dilarang memberikan informasi yang menyesatkan mengenai rencana pembagian Saham Bonus oleh Emiten atau Perusahaan Publik tertentu. Informasi yang termasuk menyesatkan tersebut antara lain pernyataan bahwa : a. Saham Bonus merupakan pengganti dari Dividen Kas yang dijanjikan oleh Emiten atau Perusahaan Publik; b. Saham Bonus yang bersumber dari kapitalisasi Agio Saham dan atau unsur ekuitas lainnya merupakan indikasi kemampuan Emiten atau Perusahaan Publik dalam memperoleh laba; c. Harga saham pada saat penawaran umum menjadi lebih rendah dengan adanya rencana pembagian Saham Bonus; dan d. Pembagian Saham Bonus sama dengan hasil dividen (dividend yield), seperti : 1) menggunakan pembagian Saham Bonus sedemikian rupa sehingga menimbulkan kesan sama dengan hasil Dividen Kas; 2) menambahkan persentase pembagian Saham Bonus dengan hasil dividen dan menyatakannya sebagai pembayaran dividen atau sebagai hasil investasi; dan 3) dividend yield tidak berubah berkaitan dengan diubahnya Dividen Kas menjadi Dividen Saham. 14. Emiten atau Perusahaan Publik yang akan membagikan Saham Bonus wajib menginformasikan kepada Bapepam selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sebelum pengumuman Rapat Umum Pemegang Saham. Informasi mengenai pembagian Saham Bonus tersebut wajib diumumkan kepada publik selambat-lambatnya 28 (dua puluh delapan) hari sebelum pelaksanaan Rapat Umum Pemegang Saham. 15. Informasi sebagaimana dimaksud dalam angka 14 sekurang-kurangnya wajib memuat hal- hal sebagai berikut : a. Penjelasan terperinci mengenai sumber dari kapitalisasi modal yang menjadi Saham Bonus; IV-4 Peraturan Nomor IX.D.5 LAMPIRAN Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor : Kep- 35 /PM/2003 Tanggal : 30 September 2003 b. Nilai dari masing-masing sumber kapitalisasi Saham Bonus; c. Rasio pembagian Saham Bonus; d. Dasar penetapan harga yang digunakan sebagai dasar pembagian Saham Bonus sebagaimana dimaksud dalam angka 8, angka 9 dan angka 10 peraturan ini; e. Penjelasan mengenai perlakuan pajak atas Saham Bonus, baik pengaruhnya pada para pemegang saham maupun pada perusahaan. Jika pengenaan pajak atas Saham Bonus kurang menguntungkan bagi pemegang saham daripada jika pembagian diberikan dalam bentuk Dividen Kas, maka fakta tersebut wajib diungkapkan dan alasan untuk tidak membayarkan Dividen Kas, wajib dijelaskan; dan f. Prosedur administratif yang berkaitan dengan pembagian Saham Bonus. 16. Semua pelaku Pasar Modal yang terlibat dalam persiapan data historis mengenai harga saham dan informasi keuangan per saham wajib menyesuaikan informasi tersebut terhadap pengaruh dari pembagian Saham Bonus dan menjelaskan metode yang dipergunakan dalam penyesuaian tersebut. 17. Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan pidana di bidang Pasar Modal, Bapepam berwenang mengenakan sanksi terhadap setiap pelanggaran ketentuan peraturan ini, termasuk kepada Pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut. Ditetapkan di : pada tanggal : Jakarta 30 September 2003 Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Herwidayatmo NIP 060065750 IV-5 "," KEPTA-BAPEPAM KEP-35/PM/2003|KEPTA-BAPEPAM/2003 SAHAM BONUS 30 September 2003 30 September 2003 'SE-05/PM/1996|SE-BAPEPAM/1996 | Lampiran Penjelasan Nomor I.B.1.' '46/PP/1995', '8/UU/1995', '45/PP/1995', '7/M|KEPPRES/2000' " " Peraturan Nomor III.C.5 KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL NOMOR KEP-16/PM/1996 TENTANG TATA CARA PEMBERIAN PERSETUJUAN ANGGARAN DASAR LEMBAGA PENYIMPANAN DAN PENYELESAIAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL, Menimbang : bahwa dengan berlakunya Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, dipandang perlu untuk menetapkan Keputusan Ketua Bapepam tentang Tata Cara Pemberian Persetujuan Anggaran Dasar Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian; Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3608); 2. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3617); 3. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 322/M Tahun 1995; MEMUTUSKAN : Menetapkan : KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL TENTANG TATA CARA PEMBERIAN PERSETUJUAN ANGGARAN DASAR LEMBAGA PENYIMPANAN DAN PENYELESAIAN. Pasal 1 Ketentuan mengenai Tata Cara Pemberian Persetujuan Anggaran Dasar Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, diatur dalam Peraturan Nomor III.C.5 sebagaimana dimuat dalam Lampiran Keputusan ini. Pasal 2 Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan di : Jakarta pada tanggal : 17 Januari 1996 BADAN PENGAWAS PASAR MODAL Ketua, I PUTU GEDE ARY SUTA NIP. 060065493 IV-1 Peraturan Nomor III.C.5 LAMPIRAN Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor : Kep- 16 /PM/1996 Tanggal : 17 Januari 1996 PERATURAN NOMOR III.C.5 : TATA CARA PEMBERIAN PERSETUJUAN ANGGARAN DASAR LEMBAGA PENYIMPANAN DAN PENYELESAIAN 1. Anggaran dasar Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, sekurang-kurangnya memuat: a. maksud dan tujuan Perseroan menyelenggarakan kegiatan sebagai Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian; b. ketentuan mengenai direksi dan komisaris mencakup antara lain : 1) persyaratan calon direktur dan komisaris Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian sesuai dengan persyaratan Peraturan Nomor III.C.3; 2) jumlah anggota direksi dan komisaris masing-masing sebanyak-banyaknya 7 (tujuh) orang; 3) tata cara pengajuan calon direktur dan komisaris; 4) anggota direksi dan komisaris diangkat untuk masa jabatan selama 3 (tiga) tahun dan dapat diangkat kembali; 5) masa jabatan direktur dan komisaris dimaksud diatur sedemikian rupa sehingga pengangkatan direktur dan komisaris tidak dilakukan pada saat yang bersamaan; dan 6) anggota direksi tidak mempunyai jabatan rangkap sebagai anggota direksi, komisaris, atau pegawai pada perusahaan lain. c. ketentuan mengenai saham mencakup antara lain sebagai berikut : 1) saham Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian adalah saham atas nama yang mempunyai nilai nominal dan hak suara yang sama; 2) saham Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian hanya dapat dimiliki oleh Bursa Efek, Perusahaan Efek, Biro Administrasi Efek, Bank Kustodian, atau Pihak lain atas persetujuan Bapepam; dan 3) dalam hal saham Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian dimiliki oleh Pihak yang tidak lagi memenuhi persyaratan sebagai pemegang saham Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, maka saham tersebut wajib dialihkan dalam waktu 6 (enam) bulan kepada Pihak yang memenuhi persyaratan. d. pemindahan hak atas saham Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian hanya dapat dilakukan kepada Bursa Efek, Perusahaan Efek, Biro Administrasi Efek, Bank Kustodian, atau Pihak lain yang memperoleh persetujuan Bapepam; dan e. ketentuan bahwa Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian tidak membagikan dividen kepada pemegang saham. 2. Setiap anggaran dasar atau perubahan anggaran dasar Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian wajib memperoleh persetujuan Bapepam sebelum diajukan kepada Menteri Kehakiman untuk memperoleh pengesahan. IV-2 Peraturan Nomor III.C.5 LAMPIRAN Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor : Kep- 16 /PM/1996 Tanggal : 17 Januari 1996 3. Permohonan persetujuan perubahan anggaran dasar diajukan kepada Bapepam dalam rangkap 4 (empat) dengan menggunakan Formulir Nomor III.C.5-1 lampiran 1 peraturan ini disertai dengan dokumen : a. anggaran dasar atau perubahan anggaran dasar yang dimintakan persetujuan; b. akta berita acara Rapat Umum Pemegang Saham yang dibuat oleh notaris; c. surat panggilan Rapat Umum Pemegang Saham; d. agenda Rapat Umum Pemegang Saham; dan e. daftar hadir Rapat Umum Pemegang Saham. 4. Dalam permohonan dijelaskan alasan permohonan yang antara lain menyangkut latar belakang perubahan anggaran dasar. 5. Dalam rangka memproses permohonan persetujuan sebagaimana dimaksud dalam angka 3 peraturan ini, Bapepam akan melakukan penelaahan atas materi perubahan anggaran dasar Lembaga Penyimpan dan Penyelesaian yang diajukan pemohon. 6. Dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya permohonan tersebut, Bapepam wajib memberikan surat pemberitahuan kepada pemohon yang menyatakan bahwa : a. permohonannya tidak lengkap dengan menggunakan Formulir Nomor III.C.5-2 lampiran 2 peraturan ini; b. permohonannya ditolak dengan menggunakan Formulir Nomor III.C.5-3 lampiran 3 peraturan ini; atau c. permohonannya disetujui dengan menggunakan Formulir Nomor III.C.5-4 lampiran 4 peraturan ini. 7. Apabila dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari sebagaimana dimaksud dalam angka 5 peraturan ini, Bapepam tidak memberikan tanggapan maka permohonan pemberian persetujuan atas anggaran dasar dan perubahan dimaksud berlaku efektif. Ditetapkan di : pada tanggal : Jakarta 17 Januari 1996 BADAN PENGAWAS PASAR MODAL Ketua, I PUTU GEDE ARY SUTA NIP 060065493 IV-3 Peraturan Nomor III.C.5 LAMPIRAN FORMULIR NOMOR: III.C.5-1 Nomor : Lampiran : --- Perihal : Permohonan Persetujuan atas Perubahan Anggaran Dasar Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian : 1 Peraturan Nomor : III.C.5 Jakarta,. ...........................19.... KEPADA Yth. Ketua Badan Pengawas Pasar Modal di - Jakarta Sehubungan dengan perihal tersebut diatas, dengan ini kami mengajukan permohonan persetujuan perubahan anggaran dasar Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian sebagai berikut: 1. 2. 3. ................................................................................................................... ................................................................................................................... ................................................................................................................... Sebagai bahan pertimbangan, bersama ini disampaikan penjelasan dan dokumen sebagai berikut : 1. 2. 3. ................................................................................................................... ................................................................................................................... ................................................................................................................... Demikian, atas perhatiannya di ucapkan terimakasih. PT . ...................................... ............................................. (Nama Lengkap dan Jabatan) Tembusan Yth. : 1. Sekretaris Bapepam; 2. Para Kepala Biro di lingkungan Bapepam. IV-4 Peraturan Nomor III.C.5 LAMPIRAN FORMULIR NOMOR: III.C.5-2 Nomor : S- /PM/19... Lampiran : Perihal --- : Permintaan Keterangan Tambahan Perubahan Permohonan Persetujuan Perubahan Anggaran Dasar Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian. KEPADA Yth. ............................................. di - ...................................... : 2 Peraturan Nomor : III.C.5 Jakarta,. ...........................19.... Menunjuk surat Saudara Nomor ...................... tanggal ........................ perihal .........................., dengan ini diberitahukan bahwa permohonan Saudara masih terdapat kekurangan data sebagai berikut : 1. 2. 3. ........................................................................................................................ ........................................................................................................................ ........................................................................................................................ Sehubungan dengan hal tersebut di atas, dengan ini kami sampaikan bahwa permohonan Saudara untuk memperoleh persetujuan atas perubahan anggaran dasar belum dapat dipertimbangkan. Selanjutnya permohonan Saudara akan dipertimbangkan setelah Saudara memenuhi kekurangan-kekurangan tersebut di atas. Demikian agar Saudara maklum. BADAN PENGAWAS PASAR MODAL Ketua, ............................................ NIP. .................................... Tembusan Kepada Yth : 1. Sdr. Sekretaris Bapepam; 2. Sdr. para Kepala Biro di lingkungan Bapepam. IV-5 Peraturan Nomor III.C.5 LAMPIRAN FORMULIR NOMOR: III.C.5-3 Nomor : S- /PM/19... Lampiran : Perihal --- : Penolakan Atas Permohonan Persetujuan Perubahan Anggaran Dasar Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian. KEPADA Yth. ............................................. di - ...................................... : 3 Peraturan Nomor : III.C.5 Jakarta,. ...........................19.... Menunjuk surat Saudara Nomor: ...................... tanggal ........................ perihal perihal permohonan persetujuan atas perubahan anggaran dasar Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, setelah meneliti permohonan Saudara, dengan ini diputuskan bahwa permohonan Saudara ditolak karena tidak memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1. 2. 3. ........................................................................................................................ ........................................................................................................................ ........................................................................................................................ Demikian agar Saudara maklum. BADAN PENGAWAS PASAR MODAL Ketua, ............................................ NIP. .................................... Tembusan Kepada Yth : 1. Sdr. Sekretaris Bapepam; 2. Sdr. para Kepala Biro di lingkungan Bapepam. IV-6 Peraturan Nomor III.C.5 LAMPIRAN FORMULIR NOMOR: III.C.5-4 Nomor : S- /PM/19... Lampiran : Perihal --- : Persetujuan atas Perubahan Anggaran Dasar Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian. Yth. di - ...................................... KEPADA : 4 Peraturan Nomor : III.C.5 Jakarta,. ...........................19.... Menunjuk surat Saudara Nomor ................... tanggal ............. perihal permohonan persetujuan atas perubahan anggaran dasar Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, dengan ini disampaikan bahwa perubahan anggaran dasar Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian sebagaimana dimaksud dalam permohonan Saudara dapat disetujui. Demikian agar Saudara maklum. BADAN PENGAWAS PASAR MODAL Ketua, ............................................ NIP. .................................... Tembusan Kepada Yth : 1. Sdr. Sekretaris Bapepam; 2. Sdr. para Kepala Biro di lingkungan Bapepam. IV-7 "," KEPTA-BAPEPAM KEP-16/PM/1996|KEPTA-BAPEPAM/1996 TATA CARA PEMBERIAN PERSETUJUAN ANGGARAN DASAR LEMBAGA PENYIMPANAN DAN PENYELESAIAN 17 Januari 1996 17 Januari 1996 '8/UU/1995', '45/PP/1995', '322/M|KEPPRES/1995' " " Peraturan Nomor II.A.2 KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL NOMOR KEP-40/PM/1997 TENTANG PROSEDUR PENYEDIAAN DOKUMEN BAGI MASYARAKAT DI PUSAT REFERENSI PASAR MODAL KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL, Menimbang : bahwa dengan berlakunya Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, dipandang perlu untuk mengubah Keputusan Ketua Bapepam Nomor Kep- 22/PM/1993 tentang Prosedur Penyediaan Dokumen Bagi Masyarakat di Ruang Referensi Umum dengan menetapkan Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal yang baru; Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3608); 2. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3587) 3. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 322/M Tahun 1995; MEMUTUSKAN : Menetapkan : KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL TENTANG PROSEDUR PENYEDIAAN DOKUMEN BAGI MASYARAKAT DI PUSAT REFERENSI PASAR MODAL. Pasal 1 Ketentuan mengenai Prosedur Penyediaan Dokumen Bagi Masyarakat di Pusat Referensi Pasar Modal diatur dalam Peraturan Nomor II.A.2 sebagaimana dimuat dalam Lampiran Keputusan ini. Pasal 2 Dengan ditetapkannya Keputusan ini, maka Keputusan Ketua Bapepam Nomor Kep-22/PM/1993 tanggal 10 Agustus 1993 dinyatakan tidak berlaku lagi. Pasal 3 Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan di pada tanggal : Jakarta : 26 Desember 1997 BADAN PENGAWAS PASAR MODAL Ketua, I PUTU GEDE ARY SUTA NIP. 060065493 IV-1 Peraturan Nomor II.A.2 LAMPIRAN Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor : Kep-40/PM/1997 Tanggal : 26 Desember 1997 PERATURAN NOMOR II.A.2 : PROSEDUR PENYEDIAAN DOKUMEN BAGI MASYARAKAT DI PUSAT REFERENSI PASAR MODAL 1. Setiap Pihak yang diwajibkan menyampaikan dokumen kepada Bapepam berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang Pasar Modal, wajib menyampaikan tembusan dokumen tersebut dengan mengirimkannya langsung ke Pusat Referensi Pasar Modal. Adapun dokumen dimaksud adalah sebagai berikut : a. laporan keuangan tengah tahunan; b. laporan keuangan tahunan; c. laporan tahunan; d. laporan hasil Rapat Umum Pemegang Saham; e. laporan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Nomor X.K.1 tentang Keterbukaan Informasi Yang Harus Segera Diumumkan Kepada Publik; f. laporan harian dan mingguan Bursa Efek; g. laporan kegiatan bulanan Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, dan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian; h. laporan Modal Kerja Bersih Disesuaikan Perusahaan Efek; dan i. laporan Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana Terbuka. 2. Dokumen sebagaimana dimaksud dalam angka 1 Peraturan ini wajib pula disertai disket komputer yang formatnya akan diatur lebih lanjut dengan Surat Edaran Bapepam. 3. Dokumen Bapepam yang tersedia di Pusat Referensi Pasar Modal antara lain : a. laporan tahunan Bapepam, disampaikan oleh Sekretariat Bapepam; b. peraturan perundang-undangan di bidang Pasar Modal, disampaikan oleh Biro Perundang-undangan dan Bantuan Hukum; c. siaran pers Bapepam, disampaikan oleh Sekretariat Bapepam; dan d. Statistik Mingguan Pasar Modal, disampaikan oleh Biro Pengelolaan Investasi dan Riset. 4. Dokumen berikut ini tersedia di Pusat Referensi Pasar Modal yang disampaikan oleh Bapepam ke Pusat Referensi Pasar Modal sebagai berikut : a. Pernyataan Pendaftaran Dalam Rangka Penawaran Umum sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Nomor IX.C.1, termasuk Prospektus Awal, Info Memo dan dokumen sejenisnya (jika ada) disampaikan oleh Biro Penilaian Keuangan Perusahaan; IV-2 Peraturan Nomor II.A.2 LAMPIRAN Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor : Kep-40/PM/1997 Tanggal : 26 Desember 1997 b. Pernyataan Pendaftaran Dalam Rangka Penawaran Umum Perusahaan Menengah atau Kecil, sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Nomor IX.C.7, termasuk Prospektus Awal, Info Memo dan dokumen sejenisnya (jika ada) disampaikan oleh Biro Penilaian Keuangan Perusahaan; c. Pernyataan Pendaftaran Perusahaan Publik sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Nomor IX.B.1, termasuk Prospektus Awal, Info Memo dan dokumen sejenisnya (jika ada) disampaikan oleh Biro Penilaian Keuangan Perusahaan; d. Pernyataan Pendaftaran Dalam Rangka Penerbitan Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Nomor IX.D.2, Info Memo dan dokumen sejenisnya (jika ada) disampaikan oleh Biro Penilaian Keuangan Perusahaan; e. Pernyataan Penawaran Tender sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Nomor IX.F.1 disampaikan oleh Biro Penilaian Keuangan Perusahaan; f. Laporan Penjatahan oleh Manajer Penjatahan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Nomor IX.A.7, disampaikan oleh Biro Penilaian Keuangan Perusahaan; g. Pernyataan Pendaftaran Dalam Rangka Penawaran Umum Reksa Dana berbentuk perseroan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Nomor IX.C.4, termasuk Prospektus Awal, Info Memo dan dokumen sejenisnya (jika ada) disampaikan oleh Biro Pengelolaan Investasi dan Riset; dan h. Pernyataan Pendaftaran Dalam Rangka Penawaran Umum Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Nomor IX.C.5, termasuk Prospektus Awal, Info Memo dan dokumen sejenisnya (jika ada) disampaikan oleh Biro Pengelolaan Investasi dan Riset. 5. Dokumen yang tembusannya disampaikan oleh Bapepam kepada Pusat Referensi Pasar Modal antara lain surat pemberitahuan efektifnya Pernyataan Pendaftaran, surat penangguhan Penawaran Umum surat pencabutan penangguhan Penawaran Umum, pemberian surat izin usaha, surat pencabutan izin usaha, surat izin Wakil Agen Penjual Efek Reksa Dana, surat izin Wakil Perusahaan Efek, dan Surat Tanda Terdaftar Profesi Penunjang Pasar Modal. 6. Dokumen yang tersedia di Pusat Referensi Pasar Modal dapat digandakan oleh masyarakat dengan tatacara yang diatur lebih lanjut oleh Pusat Referensi Pasar Modal. Ditetapkan di pada tanggal : Jakarta : 26 Desember 1997 BADAN PENGAWAS PASAR MODAL Ketua I PUTU GEDE ARY SUTA NIP 060065493 IV-3 "," KEPTA-BAPEPAM KEP-40/PM/1997|KEPTA-BAPEPAM/1997 PROSEDUR PENYEDIAAN DOKUMEN BAGI MASYARAKAT DI PUSAT REFERENSI PASAR MODAL 26 Desember 1997 26 Desember 1997 'KEP-22/PM/1993|KEPTA-BAPEPAM/1993' '8/UU/1995', '1/UU/1995', '322/M|KEPPRES/1995' " " Peraturan Nomor III.B.2 KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL NOMOR KEP-08/PM/1996 TENTANG TATA CARA PEMBUATAN PERATURAN OLEH LEMBAGA KLIRING DAN PENJAMINAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL, Menimbang : bahwa dengan berlakunya Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, dipandang perlu untuk menetapkan Keputusan Ketua Bapepam tentang Tata Cara Pembuatan Peraturan Oleh Lembaga Kliring dan Penjaminan; Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3608); 2. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3617); 3. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 322/M Tahun 1995; MEMUTUSKAN : Menetapkan : KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL TENTANG TATA CARA PEMBUATAN PERATURAN OLEH LEMBAGA KLIRING DAN PENJAMINAN. Pasal 1 Ketentuan mengenai Tata Cara Pembuatan Peraturan Oleh Lembaga Kliring dan Penjaminan, diatur dalam Peraturan Nomor III.B.2 sebagaimana dimuat dalam Lampiran Keputusan ini. Pasal 2 Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan di pada tanggal : Jakarta : 17 Januari 1996 BADAN PENGAWAS PASAR MODAL Ketua, I PUTU GEDE ARY SUTA NIP. 060065493 IV-1 Peraturan Nomor III.B.2 LAMPIRAN : Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor : Kep-08/PM/1996 Tanggal : 17 Januari 1996 PERATURAN NOMOR III.B.2 : TATA CARA PEMBUATAN PERATURAN OLEH LEMBAGA KLIRING DAN PENJAMINAN 1. Peraturan atau perubahan peraturan Lembaga Kliring dan Penjaminan dibuat dengan memperhatikan pendapat dari pemakai jasa Lembaga Kliring dan Penjaminan, Bursa Efek, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, serta Pihak-Pihak yang berkepentingan lainnya. 2. Peraturan atau perubahan peraturan Lembaga Kliring dan Penjaminan sebagaimana dimaksud dalam angka 1 peraturan ini, wajib terlebih dahulu memperoleh persetujuan dewan komisaris sebelum diajukan kepada Bapepam untuk memperoleh persetujuan. 3. Permohonan persetujuan peraturan atau perubahan peraturan Lembaga Kliring dan Penjaminan disampaikan kepada Bapepam dalam rangkap 4 (empat) dengan menggunakan Formulir Nomor III.B.2-1 lampiran 1 peraturan ini disertai dengan dokumen : a. peraturan yang dimintakan persetujuan; b. persetujuan dewan komisaris; c. pendapat pemakai jasa Lembaga Kliring dan Penjaminan; dan d. pendapat Pihak-Pihak yang berkepentingan dengan peraturan dimaksud. 4. Dalam permohonan dijelaskan alasan permohonan yang antara lain menyangkut latar belakang penyusunan peraturan, masalah-masalah yang dihadapi, dan cara pemecahannya. 5. Dalam rangka memproses permohonan persetujuan sebagaimana dimaksud dalam angka 3 peraturan ini : a. persetujuan atau penolakan atas permohonan perubahan peraturan Lembaga Kliring dan Penjaminan wajib diberikan selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari sejak permohonan diterima secara lengkap oleh Bapepam; b. dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam huruf a, Bapepam dapat meminta untuk mengubah materi perubahan peraturan Lembaga Kliring dan Penjaminan dan atau meminta tambahan informasi yang berhubungan dengan peraturan dimaksud, dengan menggunakan Formulir Nomor III.B.2-2 lampiran 2 peraturan ini; c. dalam hal perubahan dan atau tambahan informasi sebagaimana dimaksud dalam huruf b telah disampaikan kepada Bapepam, permohonan perubahan peraturan Lembaga Kliring dan Penjaminan dihitung sejak tanggal diterimanya perubahan atau tambahan informasi tersebut oleh Bapepam. 6. Penolakan atas permohonan persetujuan mengenai pengajuan atau perubahan peraturan Lembaga Kliring dan Penjaminan dilakukan dengan menggunakan Formulir Nomor III.B.2-3 lampiran 3 peraturan ini. 7. Persetujuan atas peraturan atau perubahan peraturan Lembaga Kliring dan Penjaminan yang diajukan kepada Bapepam dilakukan dengan menggunakan Formulir Nomor III.B.2-4 lampiran 4 peraturan ini. IV-2 Peraturan Nomor III.B.2 LAMPIRAN Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor : Kep- 08/PM/1996 Tanggal : 17 Januari 1996 8. Penafsiran atas peraturan Lembaga Kliring dan Penjaminan untuk memperjelas pengertiannya tetapi tidak merubah atau menambah pengertian dimaksud, dan ketentuan mengenai pelaksanaan kegiatan interen Lembaga Kliring dan Penjaminan yang menyangkut kepegawaian Lembaga Kliring dan Penjaminan, penggunaan tanda pengenal atau standar prosedur operasi kegiatan Lembaga Kliring dan Penjaminan berlaku pada saat diajukan kepada Bapepam. 9. Pemberitahuan oleh Lembaga Kliring dan Penjaminan kepada Bapepam mengenai penafsiran atas peraturan Lembaga Kliring dan Penjaminan dan ketentuan mengenai pelaksanaan kegiatan interen Lembaga Kliring dan Penjaminan sebagaimana dimaksud dalam angka 8 peraturan ini, disampaikan dengan menggunakan Formulir Nomor III.B.2-5 lampiran 5 peraturan ini, disertai dengan penjelasan dan latar belakang penyusunannya. 10. Bapepam dapat membatalkan penafsiran dan ketentuan mengenai kegiatan interen Lembaga Kliring dan Penjaminan sebagaimana dimaksud dalam angka 8 peraturan ini, dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak berlakunya peraturan dimaksud dengan menggunakan Formulir Nomor III.B.2-6 lampiran 6 peraturan ini. Ditetapkan di Pada tanggal : Jakarta : 17 Januari 1996 BADAN PENGAWAS PASAR MODAL Ketua, I PUTU GEDE ARY SUTA NIP. 060065493 IV-3 Peraturan Nomor III.B.2 LAMPIRAN FORMULIR NOMOR: III.B.2-1 Nomor : Lampiran : --- Perihal : Permohonan Persetujuan Atas Pengajuan atau Perubahan Peraturan oleh Lembaga Kliring dan Penjaminan. : 1 Peraturan Nomor : III.B.2 Jakarta,. ...........................19.... KEPADA Yth. Ketua Badan Pengawas Pasar Modal di - Jakarta Sehubungan dengan perihal tersebut diatas, dengan ini kami mengajukan permohonan persetujuan atas pengajuan atau perubahan peraturan oleh Lembaga Kliring dan Penjaminan sebagai berikut : 1. 2. 3. ................................................................................................................... ................................................................................................................... ................................................................................................................... Sebagai bahan pertimbangan, bersama ini disampaikan penjelasan dan dokumen sebagai berikut : 1. 2. 3. ................................................................................................................... ................................................................................................................... ................................................................................................................... Demikian, atas perhatiannya kami ucapkan terimakasih. PT . ...................................... ............................................. (Nama Lengkap dan Jabatan) Tembusan Yth. : 1. Sekretaris Bapepam; 2. Para Kepala Biro di lingkungan Bapepam. IV-4 Peraturan Nomor III.B.2 LAMPIRAN : 2 Peraturan Nomor : III.B.2 FORMULIR NOMOR: III.B.2-2 Nomor : S- /PM/19... Lampiran : --- Perihal : Permintaan Keterangan Tambahan Atau Perubahan Permohonan Persetujuan Atas Pengajuan Atau Perubahan Peraturan Lembaga Kliring dan Penjaminan Jakarta,. ...........................19.... KEPADA Yth.................................................. di - ...................................... Menunjuk surat Saudara Nomor ...................... tanggal ........................ perihal .........................., dengan ini diberitahukan bahwa permohonan Saudara masih terdapat kekurangan data sebagai berikut : 1. 2. 3. ................................................................................................................... ................................................................................................................... ................................................................................................................... Sehubungan dengan hal tersebut di atas, dengan ini kami sampaikan bahwa permohonan Saudara untuk memperoleh Persetujuan atas perubahan anggaran dasar Lembaga Kliring dan Penjaminan belum dapat dipertimbangkan. Selanjutnya permohonan Saudara akan dipertimbangkan setelah Saudara memenuhi kekurangan-kekurangan tersebut di atas. Demikian agar Saudara maklum. BADAN PENGAWAS PASAR MODAL Ketua, ............................................ NIP. .................................... Tembusan Kepada Yth : 1. Sdr. Sekretaris Bapepam; 2. Sdr. para Kepala Biro di lingkungan Bapepam. IV-5 Peraturan Nomor III.B.2 LAMPIRAN FORMULIR NOMOR: III.B.2-3 Nomor : S- /PM/19... Lampiran: --- Perihal : Penolakan Atas Permohonan Persetujuan Atas Pengajuan Atau PerubahanPeraturan Lembaga Kliring dan Penjaminan. : 3 Peraturan Nomor : III.B.2 Jakarta,. ...........................19.... KEPADA Yth.................................................. di - ...................................... Menunjuk surat Saudara Nomor: ...................... tanggal ........................ perihal Permohonan Persetujuan atas Pengajuan atau Perubahan Peraturan Lembaga Kliring dan Penjaminan., setelah meneliti permohonan Saudara, dengan ini diputuskan bahwa permohonan Saudara ditolak karena tidak memenuhi persyaratan sebagai berikut : 1. 2. 3. ................................................................................................................... ................................................................................................................... ................................................................................................................... Demikian agar Saudara maklum. BADAN PENGAWAS PASAR MODAL Ketua, ............................................ NIP. .................................... Tembusan Kepada Yth : 1. Sdr. Sekretaris Bapepam; 2. Sdr. para Kepala Biro di lingkungan Bapepam. IV-6 Peraturan Nomor III.B.2 LAMPIRAN FORMULIR NOMOR: III.B.2-4 Nomor : S- /PM/19... Lampiran : Perihal --- : Persetujuan Perubahan Peraturan Lembaga Kliring dan Penjaminan. : 4 Peraturan Nomor : III.B.2 Jakarta,. ...........................19.... KEPADA Yth. Sdr. Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan.......................... di - ...................................... Menunjuk surat Saudara Nomor ................. tanggal .................... perihal Permohonan Persetujuan atas Perubahan Peraturan Lembaga Kliring dan Penjaminan, dengan ini disampaikan bahwa Perubahan Peraturan Lembaga Kliring dan Penjaminan .............................., sebagaimana dimaksud dalam permohonan Saudara, dapat disetujui. Demikian agar Saudara maklum. BADAN PENGAWAS PASAR MODAL Ketua, ............................................ NIP. .................................... Tembusan Kepada Yth : 1. Sdr. Sekretaris Bapepam; 2. Sdr. para Kepala Biro di lingkungan Bapepam. IV-7 Peraturan Nomor III.B.2 LAMPIRAN FORMULIR NOMOR: III.B.2-5 Nomor : Lampiran : --- Perihal : Pemberitahuan atas Penafsiran Peraturan Lembaga Kliring dan Penjaminan/Peraturan Kegiatan Intern Lembaga Kliring dan Penjaminan : 5 Peraturan Nomor : III.B.2 Jakarta,. ...........................19.... KEPADA Yth. Ketua Badan Pengawas Pasar Modal di - Jakarta Dengan ini diberitahukan bahwa Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan ............. telah menetapkan penafsiran peraturan/peraturan kegiatan intern sebagai berikut : 1. 2. 3. ................................................................................................................... ................................................................................................................... ................................................................................................................... Sebagai tambahan informasi, bersama ini kami sampaikan penjelsan mengenai latar belakang penafsiran peraturan/peraturan kegiatan intern dimaksud, sebagai berikut : 1. 2. 3. ................................................................................................................... ................................................................................................................... ................................................................................................................... Demikian atas perhatiannya di ucapkan terimakasih. PT . ...................................... ............................................. (Nama Lengkap dan Jabatan) IV-8 Peraturan Nomor III.B.2 LAMPIRAN FORMULIR NOMOR: III.B.2-6 Nomor : S- /PM/19... Lampiran : Perihal --- : Pembatalan Berlakunya Penafsiran Peraturan/ Peraturan Kegiatan Intern Lembaga Kliring dan Penjaminan....................... : 6 Peraturan Nomor : III.B.2 Jakarta,. ...........................19.... KEPADA Yth.................................................. di - ...................................... Menunjuk surat Saudara Nomor .............................. tanggal ................... tentang pemberitahuan atas penafsiran peraturan/peraturan kegiatan intern Lembaga Kliring dan Penjaminan ............, dengan ini diberitahukan bahwa penafsiran peraturan/peraturan kegiatan intern dimaksud dibatalkan, dengan alasan sebagai berikut : 1. 2. 3. ................................................................................................................... ................................................................................................................... ................................................................................................................... Pembatalan ini berlaku sejak tanggal berlakunya penafsiran peraturan/peraturan kegiatan intern dimaksud. Demikian agar Saudara maklum. BADAN PENGAWAS PASAR MODAL Ketua, ............................................ NIP. .................................... Tembusan Kepada Yth : 1. Sdr. Sekretaris Bapepam; 2. Sdr. para Kepala Biro di lingkungan Bapepam. IV-9 "," KEPTA-BAPEPAM KEP-08/PM/1996|KEPTA-BAPEPAM/1996 TATA CARA PEMBUATAN PERATURAN OLEH LEMBAGA KLIRING DAN PENJAMINAN 17 Januari 1996 17 Januari 1996 '8/UU/1995', '45/PP/1995', '322/M|KEPPRES/1995' " " Peraturan Nomor II.F.4 KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL NOMOR KEP-01/PM/1996 TENTANG PEMERIKSAAN REKSA DANA KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL, Menimbang : bahwa dengan berlakunya Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, dipandang perlu untuk mengubah Keputusan Ketua Bapepam Nomor Kep-172/PM/1991 tentang Pemeriksaan Reksa Dana dengan menetapkan Keputusan Ketua Bapepam yang baru; Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran NegaraTahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3608); 2. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 86 Tambahan Lembaran Negara Nomor 3617); 3. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 322/M Tahun 1995; 4. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 646/KMK.010/1995 tentang Pemilikan Saham Atau Unit Penyertaan Reksa Dana Oleh Pemodal Asing; M E M U T U S K A N : Menetapkan : KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL TENTANG PEMERIKSAAN REKSA DANA. Pasal 1 Ketentuan mengenai Pemeriksaan Reksa Dana, diatur dalam Peraturan Nomor: II.F.4 sebagaimana dimuat dalam Lampiran Keputusan ini. Pasal 2 Dengan ditetapkannya Keputusan ini, maka Keputusan Ketua Bapepam Nomor: Kep-172/PM/1991 tanggal 16 Desember 1991 dinyatakan tidak berlaku lagi. Pasal 3 Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 17 Januari 1996 BADAN PENGAWAS PASAR MODAL Ketua, I PUTU GEDE ARY SUTA NIP 060065493 IV-1 Peraturan Nomor II.F.4 LAMPIRAN Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor : Kep- 01/PM/1996 Tanggal : 17 Januari 1996 PERATURAN NOMOR II.F.4 : PEMERIKSAAN REKSA DANA 1. Pemeriksaan oleh Bapepam dapat dilakukan sewaktu-waktu apabila dipandang perlu. 2. Reksa Dana, Manajer Investasi dan Bank Kustodian yang berkaitan dengan Reksa Dana wajib memperlihatkan buku, catatan dan dokumen-dokumen kepada pemeriksa, serta memberikan keterangan yang diperlukan dalam rangka pemeriksaan. 3. Pemeriksa wajib menjaga kerahasiaan hasil pemeriksaan dan dokumen- dokumennya. 4. Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam angka 1 peraturan ini dilakukan setelah memenuhi tata cara sebagai berikut : a. Pemeriksa dilengkapi dengan surat tugas yang bentuk dan isinya sebagaimana dimaksud dalam formulir nomor II.F.4-1 dan ditandatangani Ketua Bapepam atau pejabat yang ditunjuk; b. Pemeriksa memperlihatkan surat tugas; c. Pemeriksaan dilakukan sesuai dengan rencana pemeriksaan yang telah disetujui oleh Ketua Bapepam; dan d. Pemeriksa wajib menyusun laporan hasil pemeriksaan yang dilakukan. Ditetapkan di pada tanggal : Jakarta : 17 Januari 1996 BADAN PENGAWAS PASAR MODAL Ketua, I PUTU GEDE ARY SUTA NIP 060065493 IV-2 Peraturan Nomor II.F.4 LAMPIRAN : Peraturan Nomor : II.F.4 FORMULIR NOMOR : II.F.4-1 Nomor Lampiran Perihal : S- : /PM/9... : Pemeriksaan Reksa Dana Jakarta, ...........................19.... KEPADA Yth. ......................................... di - .............................. No. 1. Dengan ini diberitahukan bahwa pegawai Bapepam yang bernama : Nama Jabatan NIP ................................................................................................................................ 2. ................................................................................................................................ 3. ditugaskan melakukan pemeriksaan pada ........................ dari tanggal ..................... s/d tanggal ............... Maksud dan tujuan pemeriksaan adalah : 1. 2. 3. ........................................................................................................................... ........................................................................................................................... ........................................................................................................................... Demikian agar Saudara maklum. BADAN PENGAWAS PASAR MODAL Ketua, I PUTU GEDE ARY SUTA NIP. 060065493 Tembusan Yth : 1. Sdr. Sekretaris Bapepam; 2. Sdr. Para Kepala Biro di lingkungan Bapepam. IV-3 "," KEPTA-BAPEPAM KEP-01/PM/1996|KEPTA-BAPEPAM/1996 PEMERIKSAAN REKSA DANA 17 Januari 1996 17 Januari 1996 'KEP-172/PM/1991|KEPTA-BAPEPAM/1991' '8/UU/1995', '45/PP/1995', '646/KMK.010/1995|KEP-MENKEU/1995', '322/M|KEPPRES/1995' " " Peraturan Nomor III.C.2 KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL NOMOR KEP-13/PM/1996 TENTANG TATA CARA PEMBUATAN PERATURAN OLEH LEMBAGA PENYIMPANAN DAN PENYELESAIAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL, Menimbang : bahwa dengan berlakunya Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, dipandang perlu untuk menetapkan Keputusan Ketua Bapepam tentang Tata Cara Pembuatan Peraturan Oleh Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian; Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3608); 2. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3617); 3. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 322/M Tahun 1995; MEMUTUSKAN : Menetapkan : KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL TENTANG TATA CARA PEMBUATAN PERATURAN OLEH LEMBAGA PENYIMPANAN DAN PENYELESAIAN. Pasal 1 Ketentuan mengenai Tata Cara Pembuatan Peraturan Oleh Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, diatur dalam Peraturan Nomor III.C.2 sebagaimana dimuat dalam Lampiran Keputusan ini. Pasal 2 Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan di pada tanggal : Jakarta : 17 Januari 1996 BADAN PENGAWAS PASAR MODAL Ketua, I PUTU GEDE ARY SUTA NIP. 060065493 IV-1 Peraturan Nomor III.C.2 LAMPIRAN Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor : Kep- 13 /PM/1996 Tanggal : 17 Januari 1996 PERATURAN NOMOR III.C.2 : TATA CARA PEMBUATAN PERATURAN OLEH LEMBAGA PENYIMPANAN DAN PENYELESAIAN 1. Peraturan atau perubahan peraturan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian dibuat dengan memperhatikan pendapat dari pemakai jasa Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, serta Pihak-Pihak yang berkepentingan lainnya. 2. Peraturan atau perubahan peraturan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian sebagaimana dimaksud dalam angka 1 peraturan ini, wajib memperoleh persetujuan dewan komisaris sebelum diajukan kepada Bapepam untuk memperoleh persetujuan. 3. Permohonan persetujuan peraturan atau perubahan peraturan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian disampaikan kepada Bapepam dalam rangkap 4 (empat) dengan menggunakan Formulir Nomor III.C.2-1 lampiran 1 peraturan ini disertai dengan dokumen : a. peraturan yang dimintakan persetujuan; b. persetujuan dewan komisaris; c. pendapat pemakai jasa Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian; dan d. pendapat Pihak-Pihak yang berkepentingan dengan peraturan dimaksud. 4. Dalam permohonan dijelaskan alasan permohonan yang antara lain menyangkut latar belakang penyusunan peraturan, masalah-masalah yang dihadapi, dan cara pemecahannya. 5. Dalam rangka memproses permohonan persetujuan sebagaimana dimaksud dalam angka 3 peraturan ini : a. persetujuan atau penolakan atas permohonan perubahan peraturan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian wajib diberikan selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari sejak permohonan diterima secara lengkap oleh Bapepam; b. dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam huruf a, Bapepam dapat meminta untuk mengubah materi perubahan peraturan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian dan atau meminta tambahan informasi yang berhubungan dengan peraturan dimaksud, dengan menggunakan Formulir Nomor III.C.2-2 lampiran 2 peraturan ini; dan c. dalam hal perubahan dan atau tambahan informasi sebagaimana dimaksud dalam huruf b telah disampaikan kepada Bapepam, permohonan perubahan peraturan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian dihitung sejak tanggal diterimanya perubahan atau tambahan informasi tersebut oleh Bapepam. 6. Penolakan atas permohonan persetujuan mengenai pengajuan atau perubahan peraturan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian dilakukan dengan menggunakan Formulir Nomor III.C.2-3 lampiran 3 peraturan ini. 7. Persetujuan atas peraturan atau perubahan peraturan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang diajukan kepada Bapepam dilakukan dengan menggunakan Formulir Nomor III.C.2-4 lampiran 4 peraturan ini. IV-2 Peraturan Nomor III.C.2 LAMPIRAN Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor : Kep- 13/PM/1996 Tanggal : 17 Januari 1996 8. Penafsiran atas peraturan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian untuk memperjelas pengertiannya tetapi tidak merubah atau menambah pengertian dimaksud, dan ketentuan mengenai pelaksanaan kegiatan interen Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang menyangkut kepegawaian Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, penggunaan tanda pengenal atau standar prosedur operasi kegiatan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian berlaku pada saat diajukan kepada Bapepam. 9. Pemberitahuan oleh Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian kepada Bapepam mengenai penafsiran atas peraturan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian dan ketentuan mengenai pelaksanaan kegiatan interen Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian sebagaimana dimaksud dalam angka 8 peraturan ini, disampaikan dengan menggunakan Formulir Nomor III.C.2-5 lampiran 5 peraturan ini, disertai dengan penjelasan dan latar belakang penyusunannya. 10. Bapepam dapat membatalkan penafsiran dan ketentuan mengenai kegiatan interen Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian sebagaimana dimaksud dalam angka 8 peraturan ini, dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak berlakunya peraturan dimaksud dengan menggunakan Formulir Nomor III.C.2-6 lampiran 6 peraturan ini. Ditetapkan di pada tanggal : : Jakarta 17 Januari 1996 BADAN PENGAWAS PASAR MODAL Ketua, I PUTU GEDE ARY SUTA NIP 060065493 IV-3 Peraturan Nomor III.C.2 LAMPIRAN FORMULIR NOMOR: III.C.2-1 Nomor : Lampiran : --- Perihal : Permohonan Persetujuan atas Pengajuan atau Perubahan Peraturan oleh Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian. : 1 Peraturan Nomor : III.C.2 Jakarta,. ...........................19.... KEPADA Yth. Ketua Badan Pengawas Pasar Modal di - Jakarta Sehubungan dengan perihal tersebut diatas, dengan ini kami mengajukan permohonan persetujuan atas pengajuan atau perubahan peraturan oleh Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian sebagai berikut : 1. 2. 3. ................................................................................................................... ................................................................................................................... ................................................................................................................... Sebagai bahan pertimbangan, bersama ini disampaikan penjelasan dan dokumen sebagai berikut: 1. 2. 3. ................................................................................................................... ................................................................................................................... ................................................................................................................... Demikian, atas perhatiannya di ucapkan terimakasih. PT . ...................................... ............................................. (Nama Lengkap dan Jabatan) Tembusan Yth. : 1. Sekretaris Bapepam; 2. Para Kepala Biro di lingkungan Bapepam. IV-4 Peraturan Nomor III.C.2 LAMPIRAN FORMULIR NOMOR: III.C.2-2 Nomor : S- /PM/19... Lampiran : Perihal --- : Permintaan Keterangan Tambahan atau Perubahan Permohonan Persetujuan atas Pengajuan atau Perubahan Peraturan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian. KEPADA Yth.................................................. di - ...................................... : 2 Peraturan Nomor : III.C.2 Jakarta,. ...........................19.... Menunjuk surat Saudara Nomor ...................... tanggal ........................ perihal .........................., dengan ini diberitahukan bahwa permohonan Saudara masih terdapat kekurangan data sebagai berikut : 1. 2. 3. ................................................................................................................... ................................................................................................................... ................................................................................................................... Sehubungan dengan hal tersebut di atas, dengan ini kami sampaikan bahwa permohonan Saudara untuk memperoleh Persetujuan atas Permohonan Pengajuan atau Perubahan Peraturan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian belum dapat dipertimbangkan. Selanjutnya permohonan Saudara akan dipertimbangkan setelah Saudara memenuhi kekurangan-kekurangan tersebut di atas. Demikian agar Saudara maklum. BADAN PENGAWAS PASAR MODAL Ketua, ............................................ NIP. .................................... Tembusan Kepada Yth : 1. Sdr. Sekretaris Bapepam; 2. Sdr. para Kepala Biro di lingkungan Bapepam. IV-5 Peraturan Nomor III.C.2 LAMPIRAN FORMULIR NOMOR: III.C.2-3 Nomor : S- /PM/19... Lampiran : Perihal --- : Penolakan atas Permohonan Persetujuan atas Pengajuan atau Perubahan Peraturan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian. KEPADA Yth.................................................. di - ...................................... : 3 Peraturan Nomor : III.C.2 Jakarta,. ...........................19.... Menunjuk surat Saudara Nomor: ...................... tanggal ........................ perihal Permohonan Persetujuan atas Pengajuan atau Penghapusan Peraturan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, setelah meneliti permohonan Saudara, dengan ini diputuskan bahwa permohonan Saudara ditolak karena tidak memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1. 2. 3. ................................................................................................................... ................................................................................................................... ................................................................................................................... Demikian agar Saudara maklum. BADAN PENGAWAS PASAR MODAL Ketua, ............................................ NIP. .................................... Tembusan Kepada Yth : 1. Sdr. Sekretaris Bapepam; 2. Sdr. para Kepala Biro di lingkungan Bapepam. IV-6 Peraturan Nomor III.C.2 LAMPIRAN FORMULIR NOMOR: III.C.2-4 Nomor : S- /PM/19... Lampiran : Perihal --- : Persetujuan atas Perubahan Peraturan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian. KEPADA Yth. Sdr Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian di - ...................................... : 4 Peraturan Nomor : III.C.2 Jakarta,. ...........................19.... Menunjuk surat Saudara Nomor ................. tanggal .................... perihal Permohonan Persetujuan atas Perubahan Peraturan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, dengan ini disampaikan bahwa Perubahan Peraturan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian .............................., sebagaimana dimaksud dalam permohonan Saudara, dapat disetujui. Demikian agar Saudara maklum. BADAN PENGAWAS PASAR MODAL Ketua, ............................................ NIP. .................................... Tembusan Kepada Yth : 1. Sdr. Sekretaris Bapepam; 2. Sdr. para Kepala Biro di lingkungan Bapepam. IV-7 Peraturan Nomor III.C.2 LAMPIRAN FORMULIR NOMOR: III.C.2-5 Nomor : Lampiran : --- Perihal : Pemberitahuan atas Penafsiran Peraturan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian/Peraturan Kegiatan Intern Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian. : 5 Peraturan Nomor : III.C.2 Jakarta,. ...........................19.... KEPADA Yth. Ketua Badan Pengawas Pasar Modal di - Jakarta Dengan ini diberitahukan bahwa Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian ...................... telah menetapkan penafsiran peraturan/peraturan kegiatan intern sebagai berikut: 1. 2. 3. ................................................................................................................... ................................................................................................................... ................................................................................................................... Sebagai tambahan informasi, bersama ini kami sampaikan penjelsan mengenai latar belakang penafsiran peraturan/peraturan kegiatan intern dimaksud, sebagai berikut : 1. 2. 3. ................................................................................................................... ................................................................................................................... ................................................................................................................... Demikian, atas perhatiannya di ucapkan terimakasih. PT . ...................................... ............................................. (Nama Lengkap dan Jabatan) IV-8 Peraturan Nomor III.C.2 LAMPIRAN FORMULIR NOMOR: III.C.2-6 Nomor : S- /PM/19... Lampiran : Perihal --- : Pembatalan Berlakunya Penafsiran Peraturan/ Peraturan Kegiatan Intern Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian. KEPADA Yth. Direksi PT............................. di - ...................................... : 6 Peraturan Nomor : III.C.2 Jakarta,. ...........................19.... Menunjuk surat Saudara Nomor .............................. tanggal ................... tentang pemberitahuan atas penafsiran peraturan/peraturan kegiatan intern Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian ...................., dengan ini diberitahukan bahwa penafsiran peraturan/peraturan kegiatan intern dimaksud dibatalkan, dengan alasan sebagai berikut : 1. 2. 3. ........................................................................................................................ ........................................................................................................................ ........................................................................................................................ Pembatalan ini berlaku sejak tanggal berlakunya penafsiran peraturan/peraturan kegiatan intern dimaksud. Demikian agar Saudara maklum. BADAN PENGAWAS PASAR MODAL Ketua, ............................................ NIP. .................................... Tembusan Kepada Yth : 1. Sdr. Sekretaris Bapepam; 2. Sdr. para Kepala Biro di lingkungan Bapepam. IV-9 "," KEPTA-BAPEPAM KEP-13/PM/1996|KEPTA-BAPEPAM/1996 TATA CARA PEMBUATAN PERATURAN OLEH LEMBAGA PENYIMPANAN DAN PENYELESAIAN 17 Januari 1996 17 Januari 1996 '8/UU/1995', '45/PP/1995', '322/M|KEPPRES/1995' " " DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN SALINAN KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN NOMOR: KEP- 480/BL/2009 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN FUNGSI-FUNGSI MANAJER INVESTASI KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka melaksanakan kegiatannya, Manajer Investasi perlu untuk memiliki dan menerapkan fungsi- fungsi yang mendukung peningkatan kualitas dan profesionalisme Manajer Investasi serta perlindungan terhadap investor; b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, dipandang perlu untuk menetapkan Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan tentang Pedoman Pelaksanaan Fungsi- Fungsi Manajer Investasi; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3608); 2. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3617) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2004 (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4372); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 1995 tentang Tata Cara Pemeriksaan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 87, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3618); 4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 45/M Tahun 2006; MEMUTUSKAN: Menetapkan : KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN FUNGSI-FUNGSI MANAJER INVESTASI. DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN - 2 - Pasal 1 Ketentuan mengenai Pedoman Pelaksanaan Fungsi-Fungsi Manajer Investasi diatur dalam Peraturan Nomor V.D.11 sebagaimana dimuat dalam Lampiran Keputusan ini. Pasal 2 Perusahaan Efek yang telah memiliki izin usaha sebagai Manajer Investasi sebelum ditetapkannya Keputusan ini, wajib menyesuaikan dengan ketentuan dalam Peraturan Nomor V.D.11 Lampiran Keputusan ini paling lambat satu tahun sejak ditetapkannya Keputusan ini. Pasal 3 Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan di pada tanggal : Jakarta : 31 Desember 2009 Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ttd. A. Fuad Rahmany NIP 060063058 Salinan sesuai dengan aslinya Pjs. Kepala Bagian Umum ttd. Kristrianti Puji Rahayu NIP 060089892 NIP 060076008 LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep- 480/BL/2009 Tanggal : 31 Desember 2009 PERATURAN NOMOR V.D.11 : PEDOMAN PELAKSANAAN FUNGSI-FUNGSI MANAJER INVESTASI 1. Dalam melakukan kegiatannya, Manajer Investasi wajib sekurang-kurangnya mempunyai dan melaksanakan fungsi-fungsi sebagai berikut: a. Investasi; b. Manajemen risiko; c. Kepatuhan; d. Pemasaran; e. Perdagangan (dealing); f. Penyelesaian transaksi Efek; g. Penanganan keluhan investor; h. Riset dan teknologi informasi; i. Pengembangan sumber daya manusia; dan j. Akuntansi dan keuangan. 2. Pelaksanaan fungsi investasi sebagaimana dimaksud dalam angka 1 huruf a peraturan ini wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. Pelaksanaan fungsi investasi dilakukan oleh karyawan yang memiliki izin orang perseorangan sebagai Wakil Manajer Investasi dari Bapepam dan LK; dan b. Pelaksanaan fungsi investasi dikoordinir oleh direksi atau karyawan yang memiliki izin orang perseorangan sebagai Wakil Manajer Investasi dari Bapepam dan LK dan mempunyai pengalaman kerja dalam bidang investasi dan pengelolaan dana paling kurang 3 (tiga) tahun. 3. Pelaksanaan fungsi manajemen risiko sebagaimana dimaksud dalam angka 1 huruf b peraturan ini wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. Pelaksanaan fungsi manajemen risiko dilakukan berdasarkan suatu strategi manajemen risiko yang sekurang-kurangnya memuat: 1) identifikasi semua risiko yang mungkin timbul dalam kegiatan perusahaan; LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep- 480/BL/2009 Tanggal : 31 Desember 2009 - 2 - 2) penjelasan mengenai penyebab dari timbulnya risiko-risiko tersebut; 3) identifikasi kemungkinan terjadinya risiko-risiko tersebut; 4) penjelasan tentang implikasi atas terjadinya risiko-risiko tersebut; dan 5) langkah-langkah yang akan diambil apabila risiko-risiko tersebut terjadi. b. Pelaksanaan fungsi manajemen risiko dikoordinir oleh direksi atau karyawan yang mempunyai izin orang perseorangan sebagai Wakil Manajer Investasi dari Bapepam dan LK dan pengalaman kerja dalam bidang Pasar Modal dan/atau keuangan paling kurang 3 (tiga) tahun. 4. Pelaksanaan fungsi kepatuhan sebagaimana dimaksud dalam angka 1 huruf c peraturan ini wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. Karyawan yang melakukan fungsi kepatuhan mempunyai akses atas semua dokumen perusahaan dalam menjalankan tugasnya; dan b. Pelaksanaan fungsi kepatuhan dikoordinir oleh direksi atau karyawan yang mempunyai izin orang perseorangan sebagai Wakil Manajer Investasi dari Bapepam dan LK dan pengalaman kerja dalam bidang Pasar Modal dan/atau keuangan paling kurang 3 (tiga) tahun. 5. Pelaksanaan fungsi pemasaran sebagaimana dimaksud dalam angka 1 huruf d peraturan ini wajib dikoordinir oleh direksi atau karyawan yang memiliki izin orang perseorangan sebagai Wakil Perusahaan Efek dari Bapepam dan LK serta mempunyai pengalaman kerja dalam bidang Pasar Modal dan atau/keuangan paling kurang 2 (dua) tahun. 6. Pelaksanaan fungsi perdagangan (dealing) sebagaimana dimaksud dalam angka 1 huruf e peraturan ini wajib dikoordinir oleh direksi atau karyawan yang memiliki izin orang perseorangan sebagai Wakil Manajer Investasi dari Bapepam dan LK dan mempunyai pengalaman kerja dalam bidang Pasar Modal dan/atau keuangan paling kurang 3 (tiga) tahun. 7. Pelaksanaan fungsi penyelesaian transaksi Efek sebagaimana dimaksud dalam angka 1 huruf f peraturan ini wajib dikoordinir oleh direksi atau karyawan yang memiliki izin orang perseorangan sebagai Wakil Perantara Pedagang Efek dari Bapepam dan LK dan mempunyai pengalaman kerja dalam bidang Pasar Modal dan/atau keuangan paling kurang 3 (tiga) tahun. 8. Pelaksanaan fungsi penanganan keluhan investor sebagaimana dimaksud dalam angka 1 huruf g peraturan ini wajib dikoordinir oleh direksi atau karyawan yang memiliki izin orang perseorangan sebagai Wakil Perusahaan LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep- 480/BL/2009 Tanggal : 31 Desember 2009 - 3 - Efek atau Wakil Agen Penjual Efek Reksa Dana dari Bapepam dan LK dan mempunyai pengalaman kerja dalam bidang Pasar Modal dan/atau keuangan paling kurang 2 (dua) tahun. 9. Pelaksanaan fungsi riset dan teknologi informasi sebagaimana dimaksud dalam angka 1 huruf h peraturan ini wajib dikoordinir oleh direksi atau karyawan yang mempunyai pengalaman kerja dalam bidang riset dan/atau teknologi informasi paling kurang 2 (dua) tahun. 10. Pelaksanaan fungsi pengembangan sumber daya manusia sebagaimana dimaksud dalam angka 1 huruf i peraturan ini, wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. Pelaksanaan fungsi pengembangan sumber daya manusia mencakup perekrutan, pelatihan, penempatan, peningkatan kemampuan teknis, dan peningkatan kepatuhan terhadap kode etik dan standar perilaku karyawan; dan b. Pelaksanaan fungsi pengembangan sumber daya manusia dikoordinir oleh direksi atau karyawan yang mempunyai pengalaman kerja dalam bidang pengembangan sumber daya manusia paling kurang 2 (dua) tahun. 11. Pelaksanaan fungsi akuntansi dan keuangan sebagaimana dimaksud dalam angka 1 huruf j peraturan ini wajib dikoordinir oleh direksi atau karyawan yang mempunyai pengalaman kerja dalam bidang akuntansi dan keuangan paling kurang 2 (dua) tahun. 12. Dalam hal kegiatan usaha Manajer Investasi masih tergabung dengan kegiatan usaha Penjamin Emisi Efek dan/atau Perantara Pedagang Efek dalam Perusahaan Efek yang sama, maka SOP (standard operating procedures) untuk pelaksanaan setiap fungsi Manajer Investasi sebagaimana diatur dalam peraturan ini wajib dipisahkan dengan SOP untuk setiap pelaksanaan fungsi Perusahaan Efek sebagai Perantara Pedagang Efek dan Penjamin Emisi Efek. 13. Manajer Investasi wajib memisahkan pelaksanaan antar fungsi investasi, fungsi perdagangan (dealing) dan fungsi penyelesaian transaksi Efek. 14. Manajer Investasi wajib memisahkan pelaksanaan fungsi kepatuhan dari pelaksanaan fungsi Manajer Investasi lainnya, kecuali pelaksanaan fungsi manajemen risiko. 15. Pelaksanaan fungsi kepatuhan, wajib independen terhadap pelaksanaan seluruh fungsi Manajer Investasi lainnya. LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep- 480/BL/2009 Tanggal : 31 Desember 2009 - 4 - 16. Manajer Investasi wajib memastikan bahwa semua prosedur pelaksanaan fungsi-fungsi sebagaimana dimaksud dalam angka 1 huruf a sampai dengan angka 1 huruf j peraturan ini dibuat dan dibakukan secara tertulis dalam bentuk pedoman (standard operating procedures) yang wajib dipatuhi oleh semua karyawan yang menjalankan fungsi-fungsi tersebut. 17. Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang Pasar Modal, Bapepam dan LK berwenang mengenakan sanksi terhadap setiap pelanggaran ketentuan peraturan ini, termasuk pihak-pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut. Ditetapkan di : Jakarta pada tanggal : 31 Desember 2009 Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Dan Lembaga Keuangan ttd. A. Fuad Rahmany NIP 060063058 Salinan sesuai dengan aslinya Pjs. Kepala Bagian Umum ttd. Kristrianti Puji Rahayu NIP 060089892 "," KEPTA-BAPEPAM-LK KEP-480/BL/2009|KEPTA-BAPEPAM-LK/2009 PEDOMAN PELAKSANAAN FUNGSI-FUNGSI MANAJER INVESTASI 31 Desember 2009 31 Desember 2009 '45/PP/1995', '45/M|KEPPRES/2006', '12/PP/2004', '46/PP/1995', '8/UU/1995' " " KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN SALINAN KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN NOMOR: KEP-691/BL/2011 TENTANG PEMESANAN DAN PENJATAHAN EFEK DALAM PENAWARAN UMUM KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN, Menimbang : bahwa untuk lebih memberikan kepastian hukum bagi investor dalam pemesanan dan penjatahan Efek dalam Penawaran Umum, dipandang perlu untuk menyempurnakan Keputusan Ketua Bapepam Nomor KEP-45/PM/2000 tentang Tanggung Jawab Manajer Penjatahan Dalam Rangka Pemesanan dan Penjatahan Efek Dalam Penawaran Umum, dengan menetapkan Keputusan Ketua Bapepam dan LK yang baru; Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3608); 2. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3617) sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2004 (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4372); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 1995 tentang Tata Cara Pemeriksaan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 87, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3618); 4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 20/M Tahun 2011; MEMUTUSKAN: Menetapkan : KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN TENTANG PEMESANAN DAN PENJATAHAN EFEK DALAM PENAWARAN UMUM. Pasal 1 Ketentuan mengenai pemesanan dan penjatahan Efek dalam Penawaran Umum diatur dalam Peraturan Nomor IX.A.7 sebagaimana dimuat dalam Lampiran Keputusan ini. KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN -2- Pasal 2 Dengan berlakunya keputusan ini, maka Peraturan Bapepam Nomor IX.A.7, Lampiran Keputusan Ketua Bapepam Nomor KEP-45/PM/2000 tanggal 27 Oktober 2000 tentang Tanggung Jawab Manajer Penjatahan Dalam Rangka Pemesanan dan Penjatahan Efek Dalam Penawaran Umum dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 3 Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan di pada tanggal ttd. Nurhaida NIP 195906271989022001 Salinan sesuai dengan aslinya Kepala Bagian Umum ttd. Prasetyo Wahyu Adi Suryo NIP 195710281985121001 : Jakarta : 30 Desember 2011 Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-691/BL/2011 Tanggal : 30 Desember 2011 PERATURAN NOMOR IX.A.7 : PEMESANAN DAN PENJATAHAN EFEK DALAM PENAWARAN UMUM 1. KETENTUAN UMUM a. Dalam Peraturan ini, yang dimaksud dengan: 1) Penjatahan Pasti adalah mekanisme penjatahan Efek yang dilakukan dengan cara memberikan alokasi Efek kepada pemesan sesuai dengan jumlah pemesanan dalam formulir pemesanan Efek. 2) Penjatahan Terpusat adalah mekanisme penjatahan Efek yang dilakukan dengan cara mengumpulkan seluruh pemesanan Efek (pooling) dan kemudian dijatahkan sesuai dengan prosedur sebagaimana diatur dalam Peraturan ini. 3) Manajer Penjatahan adalah Penjamin Pelaksana Emisi Efek yang bertanggung jawab atas penjatahan Efek dalam suatu Penawaran Umum, atau Emiten dalam hal tidak menggunakan Penjamin Emisi Efek. b. Penawaran Umum dapat merupakan Penawaran Umum kepada masyarakat luas atau kepada kelompok masyarakat tertentu atau sebagian kepada masyarakat luas dan sebagian kepada masyarakat tertentu. c. Dalam setiap Penawaran Umum wajib terdapat satu Manajer Penjatahan. d. Penjamin Emisi Efek atau Emiten (dalam hal tidak menggunakan Penjamin Emisi Efek) wajib menjamin terlaksananya penyebaran Efek secara luas melalui penyediaan tempat dan sarana penyebarluasan Prospektus dan formulir pemesanan yang memadai. e. Dalam hal Penjamin Emisi Efek atau Emiten (dalam hal tidak menggunakan Penjamin Emisi Efek) menggunakan agen penjualan Efek, maka Manajer Penjatahan wajib memastikan bahwa semua agen penjualan Efek yang tercantum dalam Prospektus mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh formulir pemesanan dan dokumen pemesanan lain yang diperlukan. Formulir pemesanan tersebut wajib tersedia dalam jumlah yang cukup dan mempunyai nomor urut tercetak (preprinted number). f. Penjamin Pelaksana Emisi Efek wajib memiliki rekening bank yang khusus menerima pembayaran pemesanan Efek. g. Penjamin Pelaksana Emisi Efek dapat membuka rekening dalam mata uang selain rupiah pada bank yang berdomisili atau berada di Indonesia sehingga pembayaran atas penjatahan Efek dapat dilakukan dengan baik tanpa merugikan pemodal akibat adanya perubahan kurs. h. Dalam hal terjadi kelebihan permintaan beli dalam suatu Penawaran Umum, maka Penjamin Emisi Efek, agen penjualan Efek, Afiliasi dari Penjamin Emisi Efek, atau Afiliasi dari agen penjualan Efek dilarang membeli atau memiliki Efek untuk portofolio Efek mereka sendiri. LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-691/BL/2011 Tanggal : 30 Desember 2011 -2- i. Dalam hal terjadi kekurangan permintaan beli dalam Penawaran Umum, maka Penjamin Emisi Efek, agen penjualan Efek, Afiliasi dari Penjamin Emisi Efek, atau Afiliasi dari agen penjualan Efek dilarang menjual Efek yang telah dibeli atau akan dibelinya berdasarkan perjanjian penjaminan emisi Efek sampai dengan Efek tersebut dicatatkan di Bursa Efek. 2. PEMESANAN EFEK a. Formulir pemesanan untuk Penawaran Umum harus memuat pernyataan yang ditandatangani oleh para pemesan mengenai apakah: 1) pemesan adalah pemodal Indonesia atau pemodal asing; 2) pemesan telah menerima atau telah berkesempatan membaca Prospektus; 3) pemesan adalah: a) direktur, komisaris, pegawai, atau Pihak yang memiliki 20% (dua puluh per seratus) atau lebih saham dari suatu Perusahaan Efek yang bertindak sebagai Penjamin Emisi Efek atau agen penjualan Efek sehubungan dengan Penawaran Umum; b) direktur, komisaris, dan/atau pemegang saham utama Emiten; atau c) Afiliasi dari Pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf a) dan huruf b), yang bukan merupakan Pihak yang melakukan pemesanan untuk kepentingan pihak ketiga. 4) pemesan mengadakan persetujuan dengan Pihak lain mana pun, untuk membeli Efek dalam Penawaran Umum dimaksud dengan cara apa pun, baik langsung atau tidak langsung, yang mengakibatkan Pihak pemodal lain menjadi pemilik manfaat (beneficial owner); 5) pemesan mempunyai rekening Efek di Perusahaan Efek sebagaimana dipersyaratkan dalam Peraturan Nomor V.D.3; dan 6) pemesan adalah pegawai, yang bukan anggota komisaris, direksi, dan pemegang saham utama dari Emiten yang bersangkutan. b. Penggunaan informasi berkaitan dengan pemesanan pembelian Efek 1) Manajer Penjatahan wajib menggunakan informasi dari pernyataan para pemesan untuk tujuan penjatahan pemesanan, kecuali jika diketahui bahwa pernyataan tersebut tidak benar dan didukung dengan bukti yang memadai; dan 2) Dalam hal terjadi kelebihan pemesanan, maka Manajer Penjatahan harus menolak penjatahan bagi pemesanan oleh Pihak yang memberikan jawaban “ya” atas pertanyaan dalam angka 2 huruf a angka 4), atau memberikan jawaban “tidak” atas pertanyaan dalam angka 2 huruf a angka 5). c. Dalam hal terjadi kelebihan pemesanan Efek dan terbukti bahwa Pihak tertentu mengajukan pemesanan Efek melalui lebih dari satu formulir pemesanan untuk setiap Penawaran Umum, baik secara langsung maupun tidak langsung, maka untuk tujuan penjatahan Manajer Penjatahan hanya LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-691/BL/2011 Tanggal : 30 Desember 2011 -3- dapat mengikutsertakan satu formulir pemesanan Efek yang pertama kali diajukan oleh pemesan yang bersangkutan. d. Dalam hal pemesanan Efek dari pemesan kategori tertentu wajib disertai dengan pembayaran pemesanan Efek, maka persyaratan ini wajib berlaku sama bagi seluruh pemesan dalam kategori dimaksud. Semua setoran pembayaran dimaksud harus diserahkan dengan persyaratan yang sama dalam rekening bank sebagaimana dimaksud dalam angka 1 huruf f dan wajib diaudit sesuai dengan ketentuan angka 5 huruf b. e. Persyaratan pemesanan Pemesanan wajib diterima oleh Manajer Penjatahan apabila telah memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1) pemesanan dilakukan dengan menggunakan formulir pemesanan asli; dan 2) pemesanan disampaikan melalui Perusahaan Efek yang menjadi anggota sindikasi Penjaminan Emisi Efek dan/atau agen penjualan Efek. 3. PENJATAHAN EFEK a. Penjatahan Pasti Penjatahan Pasti dalam Penawaran Umum Efek berupa saham hanya dapat dilakukan dengan memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1) Manajer Penjatahan menentukan besarnya persentase dan Pihak yang akan mendapatkan Penjatahan Pasti dalam Penawaran Umum. Penentuan besarnya persentase Penjatahan Pasti wajib memperhatikan kepentingan pemesan perorangan; 2) Jumlah Penjatahan Pasti sebagaimana dimaksud pada butir 1) termasuk pula jatah bagi pegawai Emiten yang melakukan pemesanan dalam Penawaran Umum (jika ada) dengan jumlah paling banyak 10% (sepuluh perseratus) dari jumlah saham yang ditawarkan dalam Penawaran Umum; dan 3) Penjatahan Pasti dilarang diberikan kepada pemesan sebagaimana dimaksud pada angka 2 huruf a angka 3). b. Penjatahan Terpusat Jika jumlah Efek yang dipesan melebihi jumlah Efek yang ditawarkan melalui suatu Penawaran Umum, maka Manajer Penjatahan yang bersangkutan harus melaksanakan prosedur penjatahan sisa Efek setelah alokasi untuk Penjatahan Pasti sebagai berikut: 1) dalam hal setelah mengecualikan pemesan Efek sebagaimana dimaksud dalam angka 2 huruf a angka 3) dan terdapat sisa Efek yang jumlahnya sama atau lebih besar dari jumlah yang dipesan, maka: a) pemesan yang tidak dikecualikan akan menerima seluruh jumlah Efek yang dipesan; dan LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-691/BL/2011 Tanggal : 30 Desember 2011 -4- b) dalam hal para pemesan yang tidak dikecualikan telah menerima penjatahan sepenuhnya dan masih terdapat sisa Efek, maka sisa Efek tersebut dibagikan secara proporsional kepada para pemesan sebagaimana dimaksud dalam angka 2 huruf a angka 3) menurut jumlah yang dipesan oleh para pemesan. 2) dalam hal setelah mengecualikan pemesan Efek sebagaimana dimaksud dalam angka 2 huruf a angka 3) dan terdapat sisa Efek yang jumlahnya lebih kecil dari jumlah yang dipesan, maka penjatahan bagi pemesan yang tidak dikecualikan itu, harus mengikuti ketentuan sebagai berikut: a) dalam hal tidak akan dicatatkan di Bursa Efek, maka Efek tersebut dialokasikan secara proporsional menurut jumlah yang dipesan oleh para pemesan tanpa pecahan; atau b) dalam hal akan dicatatkan di Bursa Efek, maka Efek tersebut dialokasikan dengan memenuhi persyaratan berikut ini: (1) para pemesan yang tidak dikecualikan akan memperoleh satu satuan perdagangan di Bursa Efek, jika terdapat cukup satuan perdagangan yang tersedia. Dalam hal jumlahnya tidak mencukupi, maka satuan perdagangan yang tersedia akan dibagikan dengan diundi. Jumlah Efek yang termasuk dalam satuan perdagangan dimaksud adalah satuan perdagangan terbesar yang ditetapkan oleh Bursa Efek di mana Efek tersebut akan tercatat; dan (2) apabila terdapat Efek yang tersisa, maka setelah satu satuan perdagangan dibagikan kepada pemesan yang tidak dikecualikan, pengalokasian dilakukan secara proporsional dalam satuan perdagangan menurut jumlah yang dipesan oleh para pemesan. c. Metode Penjatahan Lain Metode penjatahan lain dapat digunakan sepanjang: 1) prosedur dimaksud telah disetujui oleh Bapepam dan LK; 2) prosedur dimaksud telah diungkapkan sepenuhnya dalam Prospektus; dan 3) prosedur dimaksud telah sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan ini, kecuali angka 3 huruf a dan huruf b. 4. PENYERAHAN BUKTI KEPEMILIKAN EFEK DAN PENGEMBALIAN UANG PEMESANAN a. Untuk Efek berupa saham, setiap bukti kepemilikan Efek berupa surat kolektif Efek yang diserahkan sebagai akibat dari suatu pemesanan, harus diterbitkan atas nama pemesan yang bersangkutan. b. Dalam hal Emiten tidak menerbitkan surat kolektif Efek, maka Efek tersebut diadministrasikan secara elektronik dalam penitipan kolektif pada Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian. LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-691/BL/2011 Tanggal : 30 Desember 2011 -5- c. Penyerahan bukti kepemilikan Efek dianggap terpenuhi jika Efek dimaksud telah diserahkan kepada pemesan atau dimasukkan ke dalam sub rekening Efek atas nama pemesan di Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian. d. Dalam hal terdapat pengembalian uang atas pemesanan pembelian Efek yang melewati masa 2 (dua) hari kerja, maka Penjamin Pelaksana Emisi Efek atau Emiten dalam hal tidak menggunakan Penjamin Emisi Efek wajib membayar ganti kerugian atas keterlambatan tersebut. Dalam hal ini, Emiten dan Penjamin Pelaksana Emisi Efek wajib mengungkapkan secara jelas baik melalui Prospektus, Prospektus ringkas, dan/atau melalui publikasi lain hal- hal sebagai berikut: 1) tingkat bunga yang akan digunakan sebagai dasar perhitungan ganti rugi atas keterlambatan pengembalian uang pemesanan pembelian Efek, dengan menyebutkan persentase tingkat bunga, atau pengukur lainnya; dan 2) tata cara yang akan digunakan dalam melakukan pengembalian uang pemesanan pembelian Efek dan ganti rugi yang meliputi antara lain jenis alat pembayaran dan cara pembayaran. e. Pengembalian uang pemesanan dianggap terpenuhi jika uang dimaksud telah diserahkan kepada pemesan atau dimasukan ke dalam rekening Efek atas nama pemesan. 5. LAPORAN MANAJER PENJATAHAN a. Manajer Penjatahan dari suatu Penawaran Umum wajib mengisi dan menyampaikan Formulir Nomor: IX.A.7-1 lampiran Peraturan ini kepada Bapepam dan LK paling lambat 5 (lima) hari kerja setelah tanggal penjatahan, sebagai bagian dari laporan hasil Penawaran Umum sebagaimana diatur dalam Peraturan Nomor IX.A.2. b. Manajer Penjatahan wajib menunjuk Akuntan untuk melaksanakan pemeriksaan khusus mengenai pelaksanaan pemesanan dan penjatahan Efek, dengan ketentuan sebagai berikut: 1) Pemeriksaan wajib dilakukan sesuai dengan prosedur sebagaimana diatur dalam Peraturan Nomor VIII.G.12. 2) Dalam hal jumlah pemesanan melebihi jumlah Efek yang ditawarkan, prosedur pemeriksaan wajib dititikberatkan pada pelaksanaan pemesanan Efek, penjatahan Efek, penyerahan Efek, pengembalian uang pemesanan Efek, dan penyerahan dana hasil Penawaran Umum kepada Emiten. 3) Dalam hal jumlah pemesanan kurang dari atau sama dengan jumlah Efek yang ditawarkan, prosedur pemeriksaan wajib dititikberatkan pada pelaksanaan pemesanan Efek, penyerahan Efek, dan penyerahan dana hasil Penawaran Umum kepada Emiten. c. Manajer Penjatahan wajib menyampaikan laporan hasil pemeriksaan Akuntan sebagaimana dimaksud dalam huruf b kepada Bapepam dan LK LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-691/BL/2011 Tanggal : 30 Desember 2011 -6- paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah berakhirnya masa Penawaran Umum. 6. KETENTUAN PENUTUP a. Semua dokumen yang berhubungan dengan proses penjatahan wajib disimpan oleh Manajer Penjatahan yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan dokumen perusahaan. b. Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan pidana di bidang Pasar Modal, Bapepam dan LK berwenang mengenakan sanksi terhadap setiap Pihak yang melanggar ketentuan Peraturan ini atau Pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran ketentuan Peraturan ini. Ditetapkan di : Jakarta pada tanggal : 30 Desember 2011 Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ttd. Nurhaida NIP 195906271989022001 Salinan sesuai dengan aslinya Kepala Bagian Umum ttd. Prasetyo Wahyu Adi Suryo NIP 195710281985121001 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN Lampiran: Peraturan Nomor IX.A.7 FORMULIR NOMOR : IX.A.7 - 1 LAPORAN MANAJER PENJATAHAN MENGENAI PENJATAHAN EFEK DALAM RANGKA PENAWARAN UMUM Tanggal efektif Tanggal penjatahan Nama Emiten Uraian tentang Efek yang ditawarkan : : Tanggal laporan Akuntan harus disampaikan : Nama Manajer Penjatahan : : : Kelompok Pemesan JUMLAH EFEK YANG DITAWARKAN (a) PENJATAHAN PASTI: – Efek yang dijatahkan melalui Penjatahan Pasti PENJATAHAN TERPUSAT: – Efek yang dijatahkan dalam satu satuan perdagangan, kecuali bagi Pihak terafiliasi (angka 2 huruf a butir 3) Peraturan Nomor IX.A.7) Pemodal Asing (d) Pemodal Indonesia – Efek yang dijatahkan dalam jumlah Pemodal Asing Jumlah pemesan Institusi Perorangan Jumlah Efek yang dijatahkan Institusi Perorangan Jumlah uang pemesanan Jumlah Efek Pemodal Asing (b) Pemodal Indonesia lebih dari satu satuan perdagangan, kecuali bagi Pihak terafiliasi (angka 2 huruf a butir 3) Peraturan Nomor IX.A.7) – Efek yang dijatahkan bagi Pihak terafiliasi (angka 2 huruf a butir 3) Peraturan Nomor IX.A.7) SUB JUMLAH EFEK YANG DIJATAHKAN Pemodal Indonesia Pemodal Asing (h) Pemodal Indonesia Pemodal Asing j = b+d+f+h Pemodal Indonesia k = c+e+g+i JUMLAH EFEK YANG DIJATAHKAN l = j+k JUMLAH EFEK YANG TERSISA (JIKA ADA) m = a-l Penjamin Emisi Efek yang mengambil bagian Efek yang tersisa: No. 1. 2. 3, dst. Jumlah …………………………,…………………20……. MANAJER PENJATAHAN Direktur Tembusan: Emiten Nama Penjamin Emisi Efek Jumlah uang pemesanan Jumlah Efek "," KEPTA-BAPEPAM-LK KEP-691/BL/2011|KEPTA-BAPEPAM-LK/2011 PEMESANAN DAN PENJATAHAN EFEK DALAM PENAWARAN UMUM 30 Desember 2011 30 Desember 2011 'KEP-45/PM/2000|KEPTA-BAPEPAM/2000 | Lampiran Peraturan Nomor IX.A.7' '45/PP/1995', '20/M|KEPPRES/2011', '12/PP/2004', '46/PP/1995', '8/UU/1995' " " DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN SALINAN KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN NOMOR KEP-123/BL/2009 TENTANG PELAPORAN TRANSAKSI EFEK KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN, Menimbang : bahwa dalam rangka meningkatkan pengembangan dan integritas pasar Efek bersifat utang dan Sukuk melalui pelaporan perdagangan Efek, dipandang perlu untuk menyempurnakan Peraturan Bapepam dan LK Nomor X.M.3 tentang Pelaporan Transaksi Obligasi; Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3608); 2. Undang-undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara (Lembaran Negara Tahun 2002 Nomor 110, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4236); 3. Undang-undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara (Lembaran Negara Tahun 2008 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4852); 4. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3617) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2004 (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4372); 5. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 1995 tentang Pemeriksaan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 87, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3618); 6. Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penatausahaan, Pertanggungjawaban, dan Publikasi Informasi atas Pengelolaan SUN (Lembaran Negara Tahun 2005 Nomor 162, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4590); 7. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 45/M Tahun 2006; MEMUTUSKAN: Menetapkan : KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN TENTANG PELAPORAN TRANSAKSI EFEK. Pasal 1 Ketentuan mengenai Pelaporan Transaksi Efek, diatur dalam Peraturan Nomor X.M.3 sebagaimana dimuat dalam Lampiran Keputusan ini. DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN -2- Pasal 2 Ketentuan sanksi denda atas keterlambatan pelaporan Transaksi Efek sebagaimana dimaksud pada angka 21 Peraturan Nomor X.M.3 sebagaimana dimuat dalam Lampiran Keputusan ini, berlaku terhadap pelaporan Transaksi Efek terhitung mulai tanggal 1 Januari 2010. Pasal 3 Dengan berlakunya Keputusan ini, maka Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor: Kep- 07/BL/2006 tanggal 31 Juli 2006 tentang Pelaporan Transaksi Obligasi dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 4 Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal 1 Oktober 2009. Ditetapkan di : Jakarta pada tanggal : 29 Mei 2009 Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Dan Lembaga Keuangan ttd. A. Fuad Rahmany NIP 060063058 Salinan sesuai dengan aslinya Kepala Bagian Umum ttd. Prasetyo Wahyu Adi Suryo NIP 060076008 LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-123/BL/2009 Tanggal : 29 Mei 2009 PERATURAN NOMOR X.M.3: PELAPORAN TRANSAKSI EFEK 1. Dalam peraturan ini yang dimaksud dengan: a. Partisipan adalah Perantara Pedagang Efek, Bank, atau Pihak lain yang disetujui Bapepam dan LK, yang menggunakan sistem dan/atau sarana pelaporan Transaksi Efek dan terdaftar pada Penerima Laporan Transaksi Efek. b. Penerima Laporan Transaksi Efek adalah Pihak yang ditunjuk oleh Bapepam dan LK untuk menyediakan sistem dan/atau sarana dan menerima pelaporan Transaksi Efek. c. Transaksi Efek adalah setiap aktivitas atau kontrak dalam rangka memperoleh, melepaskan, atau menggunakan Efek yang mengakibatkan terjadinya pengalihan kepemilikan atau tidak mengakibatkan terjadinya pengalihan kepemilikan. 2. Transaksi Efek yang wajib dilaporkan sesuai dengan peraturan ini adalah transaksi atas Efek bersifat utang dan Sukuk yang telah dijual melalui Penawaran Umum, Surat Berharga Negara, dan Efek lain yang ditetapkan oleh Ketua Bapepam dan LK untuk dilaporkan, yang diperdagangkan di pasar sekunder. 3. Transaksi Efek yang wajib dilaporkan mencakup antara lain jenis transaksi sebagai berikut: a. b. jual beli putus (outright); hibah; c. warisan; d. e. tukar menukar; pengalihan karena penetapan pengadilan; f. Pengalihan karena penggabungan, peleburan, atau pengambilalihan; g. pinjam meminjam; h. transaksi jual dengan janji beli kembali pada waktu dan harga yang telah ditetapkan (repurchase agreement/repo); i. pemindahbukuan Efek yang dilakukan oleh Pihak dengan identitas yang sama; j. pembelian kembali (buy back); k. peralihan Efek dalam rangka penciptaan dan pembelian kembali (pelunasan) Unit Penyertaan Reksa Dana yang diperdagangkan di Bursa Efek; konversi menjadi Efek lain; l. m. penjaminan Efek selain dalam rangka Penjaminan Penyelesaian Transaksi Bursa yang ditempatkan pada Lembaga Kliring dan Penjaminan; dan n. jenis transaksi lain yang ditetapkan oleh Ketua Bapepam dan LK. 4. Setiap Pihak dapat melakukan Transaksi Efek di pasar sekunder baik di Bursa Efek maupun di luar Bursa Efek. 5. Setiap Pihak yang melakukan Transaksi Efek sebagaimana dimaksud dalam ketentuan angka 3 wajib menyampaikan laporan atas setiap Transaksi Efek yang dilakukannya kepada Bapepam dan LK melalui Penerima Laporan Transaksi Efek, dengan ketentuan sebagai berikut: LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-123/BL/2009 Tanggal : 29 Mei 2009 -2- a. Dalam hal Transaksi Efek dilakukan di Bursa Efek, maka pelaporan atas Transaksi Efek tersebut otomatis telah dilakukan oleh Bursa Efek. b. Dalam hal Transaksi Efek dilakukan di luar Bursa Efek dan Transaksi Efek tersebut dilakukan oleh atau melalui Partisipan, maka pelaporan atas Transaksi Efek tersebut otomatis dilakukan oleh Partisipan. c. Dalam hal Transaksi Efek dilakukan di luar Bursa Efek, dan Transaksi Efek tersebut dilakukan tidak melalui Partisipan namun penyelesaiannya dilakukan melalui Partisipan, maka pelaporannya otomatis dilakukan oleh Partisipan yang menyelesaikan Transaksi Efek dimaksud. d. Dalam hal Transaksi Efek dilakukan di luar Bursa Efek, dan Transaksi Efek serta penyelesaiannya dilakukan tidak melalui Partisipan, maka pelaporan atas Transaksi Efek tersebut wajib dilakukan melalui Partisipan yang ditunjuk oleh Pihak yang melakukan Transaksi Efek dimaksud. e. Dalam hal Transaksi Efek dilakukan dengan Pemerintah atau Bank Indonesia di luar Bursa Efek, maka pelaporan atas Transaksi Efek tersebut wajib dilakukan oleh lawan transaksi melalui Partisipan sesuai dengan mekanisme sebagaimana dimaksud dalam huruf b, huruf c, atau huruf d. f. Dalam hal Transaksi Efek adalah konversi menjadi Efek lain sebagaimana dimaksud dalam angka 3 huruf l, maka pelaporan atas Transaksi Efek tersebut wajib dilakukan oleh Pihak yang mengkonversi menjadi Efek lain tersebut melalui Partisipan sesuai dengan mekanisme sebagaimana dimaksud dalam huruf b, huruf c, atau huruf d. 6. Dalam hal pelaporan Transaksi Efek dilakukan melalui Bursa Efek sebagaimana dimaksud dalam angka 5 huruf a, maka Bursa Efek wajib melaporkan setiap transaksi dimaksud seketika setelah transaksi terjadi (real time) sesuai dengan data Transaksi Bursa. 7. Dalam hal pelaporan Transaksi Efek dilakukan oleh atau melalui Partisipan sebagaimana dimaksud dalam angka 5 huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf f maka Partisipan wajib melaporkan setiap transaksi dimaksud dengan memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. Laporan wajib disampaikan secara elektronik dengan menggunakan sistem dan/atau sarana yang disediakan oleh Penerima Laporan Transaksi Efek; b. Hal-hal yang wajib dilaporkan mencakup: 1) nama dan seri Efek; 2) nama Pihak penjual/pemilik awal/pemilik rekening serah; 3) nama Pihak pembeli/pemilik akhir/pemilik rekening terima; 4) 5) jenis rekening (rekening sendiri atau rekening nasabah); harga transaksi; 6) imbal hasil (yield); 7) volume transaksi; 8) nilai transaksi; 9) waktu transaksi; 10) waktu pelaporan atau waktu instruksi kepada Partisipan; 11) jenis transaksi; 12) tanggal penyelesaian transaksi; LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-123/BL/2009 Tanggal : 29 Mei 2009 -3- 13) kepemilikan (lokal atau asing); 14) nama Kustodian; 15) identitas Partisipan; 16) NPWP (jika ada); dan 17) tingkat harga dan jangka waktu transaksi (khusus untuk transaksi jual dengan janji beli kembali pada waktu dan harga yang telah ditetapkan (repurchase agreement/repo) atau transaksi pinjam meminjam). c. Laporan wajib disampaikan sesegera mungkin paling lambat 30 (tiga puluh) menit dengan ketentuan: 1) 2) setelah Transaksi Efek terjadi jika Transaksi Efek dilakukan oleh atau melalui Partisipan; atau jika Transaksi Efek tidak dilakukan melalui Partisipan, maka: a) setelah instruksi penyelesaian diterima oleh Partisipan apabila penyelesaian Transaksi Efek dimaksud dilakukan melalui Partisipan dimaksud. b) setelah Partisipan menerima laporan Transaksi Efek apabila penyelesaian Transaksi Efek dimaksud dilakukan tidak melalui Partisipan dimaksud. d. Khusus untuk pelaporan nama Kustodian sebagaimana dimaksud dalam angka 7 huruf b butir 14) wajib disampaikan dengan ketentuan paling lambat: 1) 2) pada akhir hari Transaksi Efek, jika Transaksi Efek dilakukan melalui Partisipan; atau pada akhir hari diterimanya pelaporan atau instruksi penyelesaian Transaksi Efek oleh Partisipan, jika Transaksi Efek tidak dilakukan melalui Partisipan. 8. Ketentuan jam pelaporan ditetapkan oleh Penerima Laporan Transaksi Efek dengan ketentuan: a. Dalam hal transaksi terjadi, dilaporkan, atau diinstruksikan penyelesaiannya kepada Partisipan sebelum jam pelaporan, maka batas waktu pelaporan sebagaimana dimaksud pada angka 7 huruf c dan huruf d dihitung sejak jam pelaporan dibuka pada hari yang sama dengan transaksi terjadi atau transaksi dilaporkan kepada Partisipan. b. Dalam hal transaksi terjadi, dilaporkan atau diinstruksikan penyelesaiannya kepada Partisipan setelah jam pelaporan, maka batas waktu pelaporan sebagaimana dimaksud pada angka 7 huruf c dan huruf d dihitung sejak jam pelaporan dibuka pada hari kerja selanjutnya sejak transaksi terjadi atau transaksi dilaporkan kepada Partisipan. 9. Partisipan wajib memberikan bukti atas pelaporan Transaksi Efek kepada Pihak yang melaporkan sesegera mungkin setelah pelaporan tersebut diterima Partisipan. 10. Pihak yang telah menyampaikan pelaporan Transaksi Efek melalui Partisipan berhak memperoleh bukti pelaporan Transaksi Efek yang disampaikan Partisipan kepada Penerima Laporan Transaksi Efek dari Partisipan. LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-123/BL/2009 Tanggal : 29 Mei 2009 -4- 11. Penerima Laporan Transaksi Efek wajib memberikan bukti atas pelaporan Transaksi Efek kepada Partisipan sesegera mungkin setelah pelaporan tersebut diterima Penerima Laporan Transaksi Efek. 12. Penerima Laporan Transaksi Efek wajib menyediakan data transaksi yang dapat diakses publik seketika setelah transaksi dilaporkan (real time) tanpa memungut biaya. Data transaksi yang wajib tersedia untuk publik antara lain memuat informasi tentang: a. nama dan seri Efek; b. harga transaksi; c. imbal hasil (yield); d. volume transaksi; e. f. nilai transaksi; jenis transaksi; g. h. tanggal penyelesaian transaksi; dan tingkat harga dan jangka waktu transaksi (khusus untuk transaksi jual dengan janji beli kembali pada waktu dan harga yang telah ditetapkan (repurchase agreement/repo) atau transaksi pinjam meminjam). 13. Partisipan wajib memuat dalam kontrak antara Partisipan dan nasabahnya mengenai ketentuan kewajiban nasabah untuk menyampaikan laporan Transaksi Efek di luar Bursa Efek setelah terjadinya transaksi tersebut. 14. Penyampaian laporan Transaksi Efek tidak dikenakan biaya. 15. Dalam hal Penerima Laporan Transaksi Efek memberikan layanan tambahan, maka layanan tambahan dimaksud beserta biaya atas layanan tambahan tersebut wajib terlebih dahulu disetujui oleh Bapepam dan LK. 16. Penerima Laporan Transaksi Efek wajib menetapkan tata cara pendaftaran Partisipan, prosedur dan tata cara pelaporan, serta menyediakan sistem pelaporan elektronik yang dapat di akses oleh Partisipan, yang wajib terlebih dahulu disetujui oleh Bapepam dan LK. 17. Penerima Laporan Transaksi Efek wajib menyediakan sistem teknologi informasi kepada Bapepam dan LK yang memungkinkan Bapepam dan LK mengawasi pelaporan Transaksi Efek setiap saat. 18. Dalam rangka pengawasan Transaksi Efek yang dilakukan Bapepam dan LK, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian menyampaikan setiap data penyelesaian Transaksi Efek kepada Bapepam dan LK melalui Penerima Laporan Transaksi Efek dengan menggunakan sistem pelaporan elektronik dan mewajibkan Kustodian untuk memasukkan nomor referensi pelaporan pada instruksi penyelesaian yang disampaikan kepada Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian. Khusus untuk pengawasan pelaporan transaksi Surat Berharga Negara, Bapepam dan LK dapat meminta Bank Indonesia selaku Central Registry untuk menyampaikan setiap data penyelesaian transaksi Surat Berharga Negara kepada Bapepam dan LK melalui Penerima Laporan Transaksi Efek dengan menggunakan sistem pelaporan elektronik dan mewajibkan Sub registry, bank dan Pihak lain yang menjadi anggota Central Registry untuk memasukkan nomor referensi pelaporan pada instruksi penyelesaian yang disampaikan kepada Central LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-123/BL/2009 Tanggal : 29 Mei 2009 -5- Registry. 19. Penerima Laporan Transaksi Efek wajib menjamin kerahasiaan data Transaksi Efek yang dilaporkan kepadanya selain data yang wajib disediakan kepada publik sebagaimana dimaksud dalam angka 12 peraturan ini. 20. Apabila Partisipan terlambat atau tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam angka 7 huruf c dan huruf d peraturan ini, maka Partisipan dapat dikenakan sanksi administratif berupa denda sesuai dengan akumulasi waktu keterlambatan atas semua transaksi yang dilakukan dalam satu bulan. 21. Besarnya sanksi denda sebagaimana dimaksud dalam angka 20 adalah Rp10.000,00 (sepuluh ribu rupiah) atas setiap jam keterlambatan pelaporan per laporan atau Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per hari per laporan, dengan ketentuan bahwa jumlah keseluruhan denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) per laporan. 22. Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang Pasar Modal, Bapepam dan LK dapat mengenakan sanksi terhadap setiap Pihak yang melanggar ketentuan peraturan ini termasuk Pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut. Ditetapkan di : Jakarta pada tanggal : 29 Mei 2009 Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan dan Lembaga Keuangan ttd A. Fuad Rahmany NIP 060063058 Salinan sesuai dengan aslinya Kepala Bagian Umum ttd. Prasetyo Wahyu Adi Suryo NIP 060076008 "," KEPTA-BAPEPAM-LK KEP-123/BL/2009|KEPTA-BAPEPAM-LK/2009 PELAPORAN TRANSAKSI EFEK 29 Mei 2009 1 Oktober 2009 'KEP-07/BL/2006|KEPTA-BAPEPAM-LK/2006' '19/UU/2008', '45/PP/1995', '45/M|KEPPRES/2006', '76/PP/2005', '12/PP/2004', '46/PP/1995', '24/UU/2002', '8/UU/1995' " " DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN SALINAN KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN NOMOR KEP-182/BL/2009 TENTANG LAPORAN LEMBAGA PENYIMPANAN DAN PENYELESAIAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan efektivitas penyampaian informasi kepada publik mengenai data kepemilikan 5% (lima perseratus) atau lebih saham Emiten atau Perusahaan Publik, maka diperlukan mekanisme yang efisien melalui pelaporan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian kepada Bapepam dan LK serta pengumumannya kepada publik; b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, maka dipandang perlu untuk menyempurnakan Peraturan Nomor X.C.1 tentang Laporan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, Lampiran Keputusan Ketua Bapepam Nomor: Kep-68/PM/1996 tentang Laporan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian dengan menetapkan Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan yang baru; Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3608); 2. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3617) sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2004 (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4372); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 1995 tentang Pemeriksaan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 87, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3618); 4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 45/M Tahun 2006; MEMUTUSKAN: Menetapkan : KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN TENTANG LAPORAN LEMBAGA PENYIMPANAN DAN PENYELESAIAN. DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN - 2 - Pasal 1 Ketentuan mengenai Laporan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian diatur dalam Peraturan Nomor X.C.1 sebagaimana dimuat dalam Lampiran Keputusan ini. Pasal 2 Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian wajib menyampaikan laporan posisi rekening Efek nasabah atas kepemilikan 5% (lima perseratus) atau lebih saham seluruh Emiten atau Perusahaan Publik yang tercatat dalam Penitipan Kolektif pada Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian per tanggal 31 Juli 2009 kepada Bapepam dan LK pada tanggal 3 Agustus 2009 dengan tembusan kepada Bursa Efek di Indonesia dimana saham tersebut dicatatkan dan kepada Lembaga Kliring dan Penjaminan. Pasal 3 Bursa Efek wajib mengumumkan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 pada sistem pelaporan elektronik Bursa Efek yang dapat diakses setiap saat oleh masyarakat paling lambat pada hari bursa berikutnya setelah Bursa Efek menerima tembusan laporan tersebut. Pasal 4 Dengan berlakunya Keputusan ini, maka Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor: Kep-68/PM/1996 tanggal 17 Januari 1996 tentang Laporan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi. Pasal 5 Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal 3 Agustus 2009. Ditetapkan di : Jakarta pada tanggal : 30 Juni 2009 Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ttd. A. Fuad Rahmany NIP 060063058 Salinan sesuai dengan aslinya Kepala Bagian Umum ttd. Prasetyo Wahyu Adi Suryo NIP 060076008 LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-182/BL/2009 Tanggal : 30 Juni 2009 PERATURAN NOMOR X.C.1 : LAPORAN LEMBAGA PENYIMPANAN DAN PENYELESAIAN 1. Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian wajib menyampaikan laporan kegiatan kepada Bapepam dan LK yang meliputi: a. laporan harian mengenai mutasi penyimpanan dan penyelesaian Transaksi Bursa; b. laporan bulanan yang memuat: 1) rekapitulasi kegiatan selama periode tersebut dilengkapi dengan statistik perkembangan volume penyimpanan dan penyelesaian; 2) laporan mengenai jumlah Emiten yang pencatatan Efeknya pada buku daftar pemegang saham Emiten diwakili oleh Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian; dan 3) kegiatan pemakai jasa Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian. c. laporan keuangan tengah tahunan dan laporan keuangan tahunan yang telah diaudit oleh Akuntan yang terdaftar di Bapepam dan LK disertai pendapat dari Akuntan tersebut; d. laporan realisasi anggaran dan penggunaan laba; e. laporan penyelenggaraan Rapat Umum Pemegang Saham; f. laporan mengenai perubahan status pemakai jasa Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian; g. laporan mengenai pengenaan sanksi oleh Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian terhadap pemakai jasa Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian; h. laporan mengenai peristiwa khusus seperti kesulitan keuangan pemakai jasa Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian; dan i. laporan posisi rekening Efek nasabah atas kepemilikan 5% (lima perseratus) atau lebih saham dan setiap perubahan kepemilikan atas saham Emiten atau Perusahaan Publik dimaksud pada rekening Efek pada Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, yang sekurang-kurangnya memuat: 1) nama pemegang rekening Efek; 2) nama nasabah (pemegang sub rekening Efek), domisili (jika ada), dan kewarganegaraan (untuk badan hukum sebutkan nama negara dimana badan hukum tersebut didirikan); 3) nama Emiten atau Perusahaan Publik penerbit saham; 4) prosentase kepemilikan saham terakhir sebelum perubahan, setelah perubahan dan perubahannya pada saat dilaporkan dari total saham yang diterbitkan Emiten atau Perusahaan Publik; dan 5) tanggal pemindahbukuan pada sub rekening Efek atau tanggal pertama kali tercatat pada sub rekening Efek untuk saham yang baru tercatat dalam Penitipan Kolektif pada Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian. LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-182/BL/2009 Tanggal : 30 Juni 2009 -2- 2. Penyampaian laporan kegiatan oleh Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian kepada Bapepam dan LK sebagaimana dimaksud dalam angka 1 dapat dilakukan secara elektronik. 3. Penerimaan Bapepam dan LK terhadap laporan kegiatan yang disampaikan oleh Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian sebagaimana dimaksud dalam angka 1 dan angka 2 dihitung berdasarkan waktu diterimanya laporan tersebut oleh Bapepam dan LK dalam bentuk dokumen tercetak (hardcopy) atau dalam bentuk data elektronik (softcopy). 4. Laporan harian mutasi penyimpanan dan penyelesaian Transaksi Bursa sebagaimana dimaksud dalam angka 1 huruf a peraturan ini wajib disampaikan kepada Bapepam dan LK selambat-lambatnya pada hari kerja berikutnya. 5. Laporan sebagaimana dimaksud dalam angka 1 huruf b peraturan ini meliputi jumlah dan jenis Efek yang dimutasikan serta keterangan lain yang diminta oleh Bapepam dan LK yang berkaitan dengan fungsinya sebagai Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, dan wajib disampaikan kepada Bapepam dan LK selambat-lambatnya hari ke-12 (dua belas) pada bulan berikutnya. 6. Laporan sebagaimana dimaksud dalam angka 1 huruf c peraturan ini meliputi: a. laporan keuangan tengah tahunan, wajib disampaikan kepada Bapepam dan LK paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak tanggal akhir periode; b. laporan keuangan tahunan wajib disampaikan kepada Bapepam dan LK paling lambat 90 (sembilan puluh) hari sejak tanggal akhir tahun buku; c. dalam hal Akuntan memberikan pendapat selain Wajar Tanpa pengecualian terhadap laporan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b diatas, Bapepam dan LK dapat memanggil direksi dan atau melakukan pemeriksaan untuk memperoleh keterangan lebih lanjut; dan d. laporan keuangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b di atas wajib diumumkan dalam sekurang-kurangnya dua surat kabar harian berbahasa Indonesia, satu diantaranya berperedaran nasional dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal laporan akuntan yang bersangkutan. 7. Laporan realisasi anggaran dan penggunaan laba sebagaimana dimaksud dalam angka 1 huruf d peraturan ini wajib disusun secara triwulanan dan disampaikan kepada Bapepam dan LK melalui dewan komisaris, dengan ketentuan bahwa laporan tersebut disampaikan secara kumulatif triwulanan dan diterima oleh Bapepam dan LK paling lambat pada hari ke 12 (dua belas) setelah berakhirnya triwulan yang bersangkutan. 8. Laporan penyelenggaraan Rapat Umum Pemegang Saham sebagaimana dimaksud dalam angka 1 huruf e peraturan ini wajib disampaikan kepada Bapepam dan LK, paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah tanggal penyelenggaraan Rapat Umum Pemegang Saham Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian. 9. Laporan mengenai perubahan status pemakai jasa Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian sebagaimana dimaksud dalam angka 1 huruf f peraturan ini wajib disampaikan kepada Bapepam dan LK, paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah adanya perubahan tersebut. LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-182/BL/2009 Tanggal : 30 Juni 2009 -3- 10. Laporan mengenai pengenaan sanksi oleh Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian terhadap pemakai jasa Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian dan laporan mengenai peristiwa khusus sebagaimana dimaksud dalam angka 1 huruf g dan huruf h peraturan ini wajib disampaikan kepada Bapepam dan LK paling lambat pada hari kerja berikutnya. 11. Laporan mengenai kepemilikan dan setiap perubahan kepemilikan saham Emiten atau Perusahaan Publik sebagaimana dimaksud dalam angka 1 huruf i peraturan ini wajib disampaikan kepada Bapepam dan LK dengan tembusan kepada Bursa Efek di Indonesia dimana saham tersebut dicatatkan dan kepada Lembaga Kliring dan Penjaminan paling lambat pada hari kerja berikutnya setelah pemindahbukuan atau setelah pencatatan untuk saham yang pertama kali dicatat pada sub rekening Efek pada Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian. 12. Bursa Efek wajib mengumumkan laporan sebagaimana dimaksud dalam angka 11 pada sistem pelaporan elektronik Bursa Efek yang dapat diakses setiap saat oleh masyarakat paling lambat pada hari bursa berikutnya setelah Bursa Efek menerima tembusan laporan tersebut. 13. Dalam hal batas waktu penyampaian laporan-laporan sebagaimana dimaksud dalam angka 5, angka 6, dan angka 7 jatuh pada hari besar atau hari libur, maka laporan-laporan tersebut wajib disampaikan pada hari kerja berikutnya. 14. Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang Pasar Modal, Bapepam dan LK dapat mengenakan sanksi terhadap setiap Pihak yang melanggar ketentuan peraturan ini termasuk Pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut. Ditetapkan di : Jakarta pada tanggal : 30 Juni 2009 Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Lembaga Keuangan ttd. Salinan sesuai dengan aslinya Kepala Bagian Umum ttd. Prasetyo Wahyu Adi Suryo NIP 060076008 A. Fuad Rahmany NIP 060063058 "," KEPTA-BAPEPAM-LK KEP-182/BL/2009|KEPTA-BAPEPAM-LK/2009 LAPORAN LEMBAGA PENYIMPANAN DAN PENYELESAIAN 30 Juni 2009 3 Agustus 2009 'KEP-68/PM/1996|KEPTA-BAPEPAM/1996' '45/PP/1995', '45/M|KEPPRES/2006', '12/PP/2004', '46/PP/1995', '8/UU/1995' " " PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/27/PADG/2018 TENTANG TRANSAKSI SERTIFIKAT DEPOSITO SYARIAH DI PASAR UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Bank Indonesia telah menerbitkan Peraturan Bank Indonesia yang mengatur mengenai transaksi sertifikat deposito syariah di pasar uang; b. bahwa peraturan mengenai transaksi sertifikat deposito syariah di pasar uang perlu didukung dengan peraturan pelaksana yang mengatur hal teknis operasional transaksi sertifikat deposito syariah di pasar uang; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b perlu menetapkan Peraturan Anggota Dewan Gubernur tentang Transaksi Sertifikat Deposito Syariah di Pasar Uang; Mengingat : 1. Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/11/PBI/2016 tentang Pasar Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 148, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5909); 2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/9/PBI/2018 tentang Transaksi Sertifikat Deposito Syariah di Pasar Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 2 Nomor 121, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6233); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG TRANSAKSI SERTIFIKAT DEPOSITO SYARIAH DI PASAR UANG. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah bank umum syariah dan unit usaha syariah. 2. Bank Umum Syariah adalah bank umum syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah. 3. Unit Usaha Syariah adalah unit usaha syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah. 4. Pasar Uang adalah bagian dari sistem keuangan yang bersangkutan dengan kegiatan perdagangan, pinjam meminjam, atau pendanaan berjangka pendek sampai dengan 1 (satu) tahun dalam mata uang rupiah dan valuta asing, yang berperan dalam transmisi kebijakan moneter, pencapaian stabilitas sistem keuangan, dan kelancaran sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah. 5. Sertifikat Deposito Berdasarkan Prinsip Syariah yang selanjutnya disebut Sertifikat Deposito Syariah adalah instrumen pasar uang berupa simpanan dalam bentuk deposito berdasarkan prinsip syariah yang sertifikat bukti penyimpanannya dapat dipindahtangankan. 6. Transaksi Sertifikat Deposito Syariah adalah pemindahtanganan secara jual-beli Sertifikat Deposito 3 Syariah yang dilakukan melalui Pasar Uang dengan kesepakatan harga, mekanisme penyelesaian, dan penatausahaan tertentu. 7. Penerbit Sertifikat Deposito Syariah yang selanjutnya disebut Penerbit adalah pihak yang menerbitkan Sertifikat Deposito Syariah. 8. Pelaku Transaksi Sertifikat Deposito Syariah yang selanjutnya disebut Pelaku Transaksi adalah pihak yang melakukan Transaksi Sertifikat Deposito Syariah yang ditransaksikan di Pasar Uang. 9. Lembaga Pendukung Pasar Uang adalah lembaga pendukung pasar uang sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pasar uang. 10. Lembaga Pendukung Transaksi Sertifikat Deposito Syariah adalah Lembaga Pendukung Pasar Uang yang memberikan jasa perantara pelaksanaan Transaksi Sertifikat Deposito Syariah. 11. Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Sertifikat Deposito Syariah adalah Lembaga Pendukung Pasar Uang yang memberikan jasa penatausahaan dan penyelesaian Transaksi Sertifikat Deposito Syariah. 12. Perusahaan Efek adalah perusahaan efek sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai pasar modal. 13. Perusahaan Pialang Pasar Uang Rupiah dan Valuta Asing yang selanjutnya disebut Perusahaan Pialang adalah perusahaan pialang sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai perusahaan pialang pasar uang rupiah dan valuta asing. 14. Kustodian adalah kustodian sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai pasar modal. 15. Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang selanjutnya disebut LPP adalah pihak yang menyelenggarakan kegiatan Kustodian sentral bagi bank 4 Kustodian, Perusahaan Efek, dan pihak lain untuk kepentingan pencatatan dan penatausahaan Sertifikat Deposito Syariah dalam bentuk tanpa warkat. 16. Prinsip Syariah adalah prinsip syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah. BAB II KRITERIA SERTIFIKAT DEPOSITO SYARIAH YANG DITRANSAKSIKAN DI PASAR UANG Pasal 2 (1) Sertifikat Deposito Syariah yang ditransaksikan di Pasar Uang wajib memenuhi kriteria sebagai berikut: a. diterbitkan, ditransaksikan, dan ditatausahakan dalam bentuk tanpa warkat (scripless); b. diterbitkan dalam mata uang rupiah atau valuta asing; c. diterbitkan dengan tidak menggunakan mekanisme bunga, termasuk mekanisme diskonto; d. diterbitkan dengan besaran nominal paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) atau ekuivalennya dalam valuta asing; e. memiliki jangka waktu 1 (satu) bulan, 3 (tiga) bulan, 6 (enam) bulan, 9 (sembilan) bulan, 12 (dua belas) bulan, 24 (dua puluh empat) bulan, atau 36 (tiga puluh enam) bulan; f. dialihkan secara elektronik; g. didaftarkan dan ditatausahakan di Bank Indonesia atau LPP yang ditunjuk oleh Bank Indonesia; h. diterbitkan dengan akad mudarabah; dan i. imbalan diberikan dalam bentuk bagi hasil. (2) Sertifikat Deposito Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dicairkan sebelum jatuh tempo. 5 Pasal 3 (1) Untuk pendaftaran dan penatausahaan Sertifikat Deposito Syariah yang ditransaksikan di Pasar Uang, Bank Indonesia menunjuk PT. Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) sebagai LPP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf g. (2) Penatausahaan dan penyelesaian Transaksi Sertifikat Deposito Syariah oleh LPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan terkait LPP dan/atau ketentuan yang diterbitkan oleh LPP. Pasal 4 (1) Bagi hasil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf i dibayarkan secara periodik atau pada saat jatuh tempo. (2) Bagi hasil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan nisbah bagi hasil Sertifikat Deposito Syariah untuk nasabah, nominal, jangka waktu dan porsi pendapatan yang dibagihasilkan untuk Sertifikat Deposito Syariah. (3) Pembayaran bagi hasil Sertifikat Deposito Syariah oleh Bank dapat dilakukan secara langsung oleh Bank atau melalui LPP. (4) Mekanisme pembayaran bagi hasil Sertifikat Deposito Syariah oleh LPP sebagaimana dimaksud pada ayat (3) mengacu pada ketentuan dan prosedur yang ditetapkan oleh LPP. (5) Contoh perhitungan bagi hasil sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. 6 BAB III KETERBUKAAN INFORMASI Pasal 5 (1) Untuk keterbukaan informasi, dokumen informasi penawaran dari Penerbit kepada calon investor paling sedikit memuat: a. pernyataan “dapat ditransaksikan di Pasar Uang”; b. akad; c. persentase nisbah bagi hasil nasabah; d. persentase tingkat indikasi imbalan; e. tata cara perhitungan bagi hasil; f. tanggal pengumuman bagi hasil; g. tanggal pembayaran bagi hasil; h. informasi pajak atas bagi hasil; dan i. (2) Selain informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penerbit wajib mencantumkan pemberitahuan kepada calon investor yang melakukan pembelian Sertifikat Deposito Syariah di pasar perdana maupun pembelian dan/atau penjualan Sertifikat Deposito Syariah di pasar sekunder untuk menyetujui pemberian data dan/atau informasi kepada Bank Indonesia mengenai kepemilikan, transaksi, dan penyelesaian transaksi Sertifikat Deposito Syariah yang dilakukan. Pasal 6 (1) Penerbit mengumumkan tingkat realisasi imbalan Sertifikat Deposito Syariah. (2) Pengumuman tingkat realisasi imbalan Sertifikat Deposito Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara periodik atau pada saat jatuh tempo. (3) Selain pengumuman yang dilakukan oleh Penerbit sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengumuman tingkat realisasi imbalan Sertifikat Deposito Syariah kegiatan usaha yang didanai, dalam hal menggunakan akad mudarabah muqayyadah. 7 dapat dilakukan oleh LPP berdasarkan informasi yang diterima dari Penerbit. (4) Mekanisme pengumuman tingkat realisasi imbalan Sertifikat Deposito Syariah oleh LPP mengacu pada ketentuan dan prosedur yang ditetapkan LPP. BAB IV TATA CARA PERIZINAN PENERBITAN DAN PENDAFTARAN LEMBAGA PENDUKUNG PASAR UANG Bagian Kesatu Tata Cara Perizinan Penerbitan dan Pendaftaran pada LPP Paragraf 1 Tata Cara Perizinan Penerbitan Pasal 7 (1) Permohonan izin penerbitan Sertifikat Deposito Syariah yang ditransaksikan di Pasar Uang diajukan oleh Bank kepada Bank Indonesia. (2) Permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan dokumen pendukung sebagai berikut: a. informasi Bank yang paling sedikit meliputi nama, alamat kantor pusat dan kontak korespondensi, serta daftar nama direksi dan dewan komisaris; b. fotokopi surat persetujuan dari otoritas yang berwenang untuk penerbitan Sertifikat Deposito Syariah; dan c. surat pernyataan yang berisi komitmen manajemen. (3) Surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c meliputi komitmen manajemen untuk: a. memenuhi ketentuan yang diatur dalam Peraturan Bank Indonesia tentang Transaksi Sertifikat Deposito Syariah di Pasar Uang beserta peraturan pelaksanaannya; b. memenuhi kriteria Sertifikat Deposito Syariah sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia tentang Transaksi 8 Sertifikat Deposito Syariah di Pasar Uang beserta peraturan pelaksanaannya, setiap kali akan menerbitkan Sertifikat Deposito Syariah yang ditransaksikan di Pasar Uang; c. menerapkan Prinsip Syariah, prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko dalam penerbitan Sertifikat Deposito Syariah yang ditransaksikan di Pasar Uang; dan d. mempertimbangkan risiko sistemik dalam penerbitan Sertifikat Deposito Syariah yang ditransaksikan di Pasar Uang. (4) Contoh surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran II.A yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. (5) Contoh surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c tercantum dalam Lampiran II.B yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Paragraf 2 Pendaftaran pada LPP Pasal 8 Bank yang telah mendapatkan izin penerbitan Sertifikat Deposito Syariah dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) menyampaikan fotokopi surat izin penerbitan dimaksud kepada LPP sebagai bagian dari dokumen pendukung pendaftaran Sertifikat Deposito Syariah dalam penatausahaan LPP. 9 Bagian Kedua Pendaftaran Lembaga Pendukung Transaksi Sertifikat Deposito Syariah Paragraf 1 Perusahaan Efek Pasal 9 (1) Permohonan pendaftaran Perusahaan Efek sebagai Lembaga Pendukung Transaksi Sertifikat Deposito Syariah diajukan kepada Bank Indonesia. (2) Permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan dokumen pendukung sebagai berikut: a. informasi perusahaan yang paling sedikit meliputi identitas perusahaan, daftar perizinan, daftar pemegang saham serta daftar nama direksi dan dewan komisaris Perusahaan Efek; b. fotokopi surat persetujuan izin usaha sebagai perantara pedagang efek dari otoritas berwenang; c. prosedur operasi standar dalam kegiatan perantara pelaksanaan transaksi; dan d. surat pernyataan yang berisi komitmen manajemen. (3) Surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d meliputi komitmen manajemen untuk: a. memenuhi ketentuan yang diatur dalam Peraturan Bank Indonesia tentang Transaksi Sertifikat Deposito Syariah di Pasar Uang beserta peraturan pelaksanaannya; b. melaporkan Transaksi Sertifikat Deposito Syariah sesuai dengan ketentuan yang berlaku; dan c. menerapkan Prinsip Syariah, prinsip kehati-hatian, dan manajemen risiko dalam Transaksi Sertifikat Deposito Syariah. (4) Contoh surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran III.A yang merupakan 10 bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. (5) Contoh dokumen informasi perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a tercantum dalam Lampiran III.B yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. (6) Contoh surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d tercantum dalam Lampiran III.C yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Paragraf 2 Perusahaan Pialang Pasal 10 (1) Permohonan pendaftaran Perusahaan Pialang sebagai Lembaga Pendukung Transaksi Sertifikat Deposito Syariah diajukan kepada Bank Indonesia. (2) Permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan dokumen pendukung berupa surat pernyataan yang berisi komitmen manajemen untuk: a. memenuhi ketentuan yang diatur dalam Peraturan Bank Indonesia tentang Transaksi Sertifikat Deposito Syariah di Pasar Uang beserta peraturan pelaksanaannya; b. melaporkan Transaksi Sertifikat Deposito Syariah sesuai dengan ketentuan yang berlaku; dan c. menerapkan Prinsip Syariah, prinsip kehati-hatian, dan manajemen risiko dalam Transaksi Sertifikat Deposito Syariah. (3) Contoh surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran IV.A yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. 11 (4) Contoh surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercantum dalam Lampiran IV.B yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Bagian Ketiga Pendaftaran Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Sertifikat Deposito Syariah Paragraf 1 Bank yang Melaksanakan Kegiatan Kustodian Pasal 11 (1) Permohonan pendaftaran bank yang melaksanakan kegiatan Kustodian sebagai Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Sertifikat Deposito Syariah diajukan kepada Bank Indonesia. (2) Permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan dokumen pendukung sebagai berikut: a. informasi perusahaan yang paling sedikit meliputi identitas bank, data perizinan, daftar nama pemegang saham, serta daftar nama direksi dan dewan komisaris bank yang melaksanakan kegiatan Kustodian; b. fotokopi surat persetujuan izin kegiatan usaha bank sebagai Kustodian dari otoritas berwenang; c. prosedur operasi standar dalam kegiatan Kustodian; dan d. surat pernyataan yang berisi komitmen manajemen. (3) Surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d meliputi komitmen manajemen untuk: a. memenuhi ketentuan yang diatur dalam Peraturan Bank Indonesia tentang Transaksi Sertifikat Deposito Syariah di Pasar Uang beserta peraturan pelaksanaannya; 12 b. melaporkan Transaksi Sertifikat Deposito Syariah sesuai dengan ketentuan yang berlaku; dan c. menerapkan Prinsip Syariah, prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko dalam pelaksanaan fungsi Kustodian Transaksi Sertifikat Deposito Syariah. (4) Contoh surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran V.A yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. (5) Contoh dokumen informasi bank sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, tercantum dalam Lampiran V.B yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. (6) Contoh surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d tercantum dalam Lampiran V.C yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Paragraf 2 Perusahaan Efek Pasal 12 (1) Permohonan pendaftaran Perusahaan Efek sebagai Lembaga Pendukung Penatausahan dan Penyelesaian Transaksi Sertifikat Deposito Syariah diajukan kepada Bank Indonesia. (2) Permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan dokumen pendukung sebagai berikut: a. informasi perusahaan yang paling sedikit meliputi identitas perusahaan, data perizinan, daftar nama pemegang saham, serta daftar nama direksi dan dewan komisaris Perusahaan Efek; b. fotokopi surat persetujuan izin kegiatan usaha sebagai perantara pedagang efek yang dapat mengadministrasikan rekening efek nasabah dari otoritas yang berwenang; 13 c. prosedur operasi standar dalam kegiatan Kustodian; dan d. surat pernyataan yang berisi komitmen manajemen. (3) Surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d meliputi komitmen manajemen untuk: a. memenuhi ketentuan yang diatur dalam Peraturan Bank Indonesia tentang Transaksi Sertifikat Deposito Syariah di Pasar Uang beserta peraturan pelaksanaannya; b. melaporkan Transaksi Sertifikat Deposito Syariah sesuai dengan ketentuan yang berlaku; dan c. menerapkan Prinsip Syariah, prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko dalam pelaksanaan fungsi Kustodian Transaksi Sertifikat Deposito Syariah. (4) Contoh surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran VI.A yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. (5) Contoh dokumen informasi perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, tercantum dalam Lampiran VI.B merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. (6) Contoh surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d tercantum dalam Lampiran VI.C yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. 14 Bagian Keempat Pendaftaran Lembaga Pendukung Transaksi Sertifikat Deposito Menjadi Lembaga Pendukung Transaksi Sertifikat Deposito Syariah Paragraf 1 Perusahaan Efek Pasal 13 (1) Permohonan pendaftaran bagi Perusahaan Efek yang telah memperoleh izin sebagai lembaga pendukung transaksi sertifikat deposito dan akan menjadi Lembaga Pendukung Transaksi Sertifikat Deposito Syariah diajukan kepada Bank Indonesia. (2) Permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan dokumen pendukung berupa surat pernyataan yang berisi komitmen manajemen untuk: a. memenuhi ketentuan yang diatur dalam Peraturan Bank Indonesia tentang Transaksi Sertifikat Deposito Syariah di Pasar Uang beserta peraturan pelaksanaannya; b. melaporkan Transaksi Sertifikat Deposito Syariah sesuai dengan ketentuan yang berlaku; dan c. menerapkan Prinsip Syariah, prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko dalam Transaksi Sertifikat Deposito Syariah. (3) Contoh surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran VII.A yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. (4) Contoh surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercantum dalam Lampiran VII.B yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. 15 Paragraf 2 Perusahaan Pialang Pasal 14 (1) Permohonan pendaftaran bagi Perusahaan Pialang yang telah memperoleh izin sebagai lembaga pendukung transaksi sertifikat deposito dan akan menjadi Lembaga Pendukung Transaksi Sertifikat Deposito Syariah diajukan kepada Bank Indonesia. (2) Permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan dokumen pendukung berupa surat pernyataan yang berisi komitmen manajemen untuk: a. memenuhi ketentuan yang diatur dalam Peraturan Bank Indonesia tentang Transaksi Sertifikat Deposito Syariah di Pasar Uang beserta peraturan pelaksanaannya; b. melaporkan Transaksi Sertifikat Deposito Syariah sesuai dengan ketentuan yang berlaku; dan c. menerapkan Prinsip Syariah, prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko dalam Transaksi Sertifikat Deposito Syariah. (3) Contoh surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran VIII.A yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. (4) Contoh surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercantum dalam Lampiran VIII.B yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. 16 Bagian Kelima Pendaftaran Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Sertifikat Deposito Menjadi Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Sertifikat Deposito Syariah Paragraf 1 Bank yang Melaksanakan Kegiatan Kustodian Pasal 15 (1) Permohonan pendaftaran bagi bank yang melaksanakan kegiatan Kustodian yang telah memperoleh izin sebagai lembaga pendukung penatausahaan dan penyelesaian transaksi sertifikat deposito dan akan menjadi Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Sertifikat Deposito Syariah diajukan kepada Bank Indonesia. (2) Permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan dokumen pendukung berupa surat pernyataan yang berisi komitmen manajemen untuk: a. memenuhi ketentuan yang diatur dalam Peraturan Bank Indonesia tentang Transaksi Sertifikat Deposito Syariah di Pasar Uang beserta peraturan pelaksanaannya; b. melaporkan Transaksi Sertifikat Deposito Syariah sesuai dengan ketentuan yang berlaku; dan c. menerapkan Prinsip Syariah, prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko dalam pelaksanaan fungsi Kustodian Transaksi Sertifikat Deposito Syariah. (3) Contoh surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran IX.A yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. (4) Contoh surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercantum dalam Lampiran IX.B yang merupakan 17 bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Paragraf 2 Perusahaan Efek Pasal 16 (1) Permohonan pendaftaran bagi Perusahaan Efek yang telah memperoleh izin sebagai lembaga pendukung penatausahaan dan penyelesaian transaksi sertifikat deposito dan akan menjadi Lembaga Pendukung Penatausahan dan Penyelesaian Transaksi Sertifikat Deposito Syariah diajukan kepada Bank Indonesia. (2) Permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan dokumen pendukung berupa surat pernyataan yang berisi komitmen manajemen untuk: a. memenuhi ketentuan yang diatur dalam Peraturan Bank Indonesia tentang Transaksi Sertifikat Deposito Syariah di Pasar Uang beserta peraturan pelaksanaannya; b. melaporkan Transaksi Sertifikat Deposito Syariah sesuai dengan ketentuan yang berlaku; dan c. menerapkan Prinsip Syariah, prinsip kehati-hatian, dan manajemen risiko dalam pelaksanaan fungsi Kustodian Transaksi Sertifikat Deposito Syariah. (3) Contoh surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran X.A yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. (4) Contoh surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercantum dalam Lampiran X.B yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. 18 Bagian Keenam Korespondensi Pasal 17 (1) Pengajuan permohonan izin dan pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 9 ayat (1), Pasal 10 ayat (1), Pasal 11 ayat (1), Pasal 12 ayat (1), Pasal 13 ayat (1), Pasal 14 ayat (1), Pasal 15 ayat (1), dan Pasal 16 ayat (1) disampaikan kepada: Departemen Ekonomi dan Keuangan Syariah Bank Indonesia Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350. (2) Dalam hal terdapat perubahan alamat korespondensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia menyampaikan pemberitahuan melalui surat dan/atau sarana lainnya. BAB V PEMROSESAN PERMOHONAN IZIN DAN PENDAFTARAN Pasal 18 (1) Bank Indonesia dapat memberikan persetujuan atau penolakan atas: a. permohonan izin penerbitan Sertifikat Deposito Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1); b. permohonan pendaftaran Perusahaan Efek sebagai Lembaga Pendukung Transaksi Sertifikat Deposito Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1); c. permohonan pendaftaran Perusahaan Pialang sebagai Lembaga Pendukung Transaksi Sertifikat Deposito Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1); d. permohonan pendaftaran bank yang melaksanakan kegiatan Kustodian sebagai Lembaga Pendukung 19 Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Sertifikat Deposito Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1); e. permohonan pendaftaran Perusahaan Efek sebagai Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Sertifikat Deposito Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1); f. permohonan pendaftaran Perusahaan Efek yang telah memperoleh izin sebagai lembaga pendukung transaksi sertifikat deposito dan akan menjadi Lembaga Pendukung Transaksi Sertifikat Deposito Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1); g. permohonan pendaftaran Perusahaan Pialang yang telah memperoleh izin sebagai lembaga pendukung transaksi sertifikat deposito dan akan menjadi Lembaga Pendukung Transaksi Sertifikat Deposito Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1); h. permohonan pendaftaran bank yang melaksanakan kegiatan Kustodian yang telah memperoleh izin sebagai lembaga pendukung penatausahaan dan penyelesaian transaksi sertifikat deposito dan akan menjadi Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Sertifikat Deposito Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1); dan i. permohonan pendaftaran bagi Perusahaan Efek yang telah memperoleh izin sebagai lembaga pendukung penatausahaan dan penyelesaian transaksi sertifikat deposito dan akan menjadi Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Sertifikat Deposito Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1), paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal surat permohonan izin atau pendaftaran diterima secara lengkap. 20 (2) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia dapat melakukan klarifikasi atas dokumen dalam bentuk: a. pertemuan tatap muka dengan pihak yang mengajukan izin atau pendaftaran untuk melakukan verifikasi atas kebenaran dan kesesuaian dokumen yang diajukan; dan/atau b. meminta informasi kepada otoritas yang berwenang. BAB VI TRANSAKSI SERTIFIKAT DEPOSITO SYARIAH DI PASAR SEKUNDER Bagian Kesatu Pelaku Transaksi Pasal 19 (1) Pelaku Transaksi meliputi: a. bank; b. Perusahaan Efek; dan c. nasabah. (2) Nasabah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi: a. bank; b. Perusahaan Efek; c. korporasi; d. orang perseorangan; dan e. bukan penduduk. (3) Pelaku Transaksi berupa bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan Perusahaan Efek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat melakukan Transaksi Sertifikat Deposito Syariah untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan nasabah. (4) Bank dan Perusahaan Efek sebagaimana dimaksud pada ayat (3) melakukan Transaksi Sertifikat Deposito Syariah 21 secara langsung tanpa melalui Lembaga Pendukung Transaksi Sertifikat Deposito Syariah. (5) Pelaku Transaksi berupa nasabah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c melakukan Transaksi Sertifikat Deposito Syariah untuk kepentingan sendiri. (6) Nasabah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus melakukan Transaksi Sertifikat Deposito Syariah melalui Lembaga Pendukung Transaksi Sertifikat Deposito Syariah yang terdaftar di Bank Indonesia. Bagian Kedua Harga Dalam Transaksi Sertifikat Deposito Syariah Pasal 20 (1) Harga Transaksi Sertifikat Deposito Syariah dihitung dengan mempertimbangkan: a. nominal Sertifikat Deposito Syariah; b. realisasi tingkat imbalan Sertifikat Deposito Syariah; dan c. proyeksi hak bagi hasil pemegang Sertifikat Deposito Syariah sebelumnya. (2) Nominal Sertifikat Deposito Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan nilai nominal Sertifikat Deposito Syariah pada saat penerbitan. (3) Realisasi tingkat imbalan Sertifikat Deposito Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diperoleh dari informasi tingkat imbalan Sertifikat Deposito Syariah yang diumumkan oleh Bank. (4) Proyeksi hak bagi hasil pemegang Sertifikat Deposito Syariah sebelumnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c diperoleh dari perkalian antara nilai nominal, proyeksi tingkat bagi hasil bulan berjalan, dan waktu kepemilikan efektif. (5) Perhitungan harga Transaksi Sertifikat Deposito Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan konvensi perhitungan hari (day-count convention) yaitu actual/360. 22 (6) Contoh perhitungan harga Transaksi Sertifikat Deposito Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran XI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. BAB VII LAPORAN Bagian Kesatu Informasi Penerbitan Pasal 21 (1) Bank menyampaikan informasi realisasi penerbitan kepada Bank Indonesia setiap kali melakukan penerbitan Sertifikat Deposito Syariah yang ditransaksikan di Pasar Uang. (2) Informasi realisasi penerbitan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit mencakup: a. security name, termasuk seri penerbitan dan nomor international securities identification number (ISIN); b. nominal penerbitan; c. akad; d. nisbah bagi hasil; e. tata cara perhitungan bagi hasil; f. kegiatan usaha yang didanai; g. indikasi tingkat imbalan; h. tanggal penerbitan; i. tanggal jatuh tempo; j. tanggal pengumuman bagi hasil; k. tanggal pembayaran bagi hasil; dan l. penatalaksana penerbitan (arranger). (3) Penyampaian informasi realisasi penerbitan kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan kepada alamat korespondensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 paling lambat 5 (lima) hari kerja setelah Sertifikat Deposito Syariah diterbitkan dan dicatat secara efektif pada LPP. 23 Bagian Kedua Pelaporan Transaksi Sertifikat Deposito Syariah di Pasar Uang Pasal 22 (1) Pelapor Transaksi Sertifikat Deposito Syariah terdiri atas: a. Bank; b. Perusahaan Efek; c. Perusahaan Pialang; dan d. bank yang melaksanakan kegiatan Kustodian. (2) Pelapor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyampaikan laporan kepada Bank Indonesia yang terdiri atas: a. laporan Transaksi Sertifikat Deposito Syariah untuk kepentingan sendiri yang dilakukan oleh Bank dan Perusahaan Efek; b. laporan Transaksi Sertifikat Deposito Syariah untuk kepentingan nasabah yang dilakukan oleh Perusahaan Efek dan Perusahaan Pialang sebagai Lembaga Pendukung Transaksi Sertifikat Deposito Syariah; dan/atau c. laporan Transaksi Sertifikat Deposito Syariah yang dilakukan oleh nasabah secara langsung tanpa melibatkan Lembaga Pendukung Transaksi Sertifikat Deposito Syariah oleh bank yang melaksanakan kegiatan Kustodian dan Perusahaan Efek. (3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Bank Indonesia dengan pengaturan sebagai berikut: a. bagi pelapor Bank, melalui sistem laporan harian bank umum; dan b. bagi pelapor Perusahaan Efek, Perusahaan Pialang dan bank yang melaksanakan kegiatan Kustodian, melalui sistem laporan pasar uang. (4) Tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2): 24 a. bagi pelapor Bank, mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan harian bank umum; dan b. bagi pelapor Perusahaan Efek, Perusahaan Pialang, dan bank yang melaksanakan kegiatan Kustodian, mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan pasar uang nonbank dan kustodian. Bagian Ketiga Pelaporan Penatausahaan Sertifikat Deposito Syariah Pasal 23 (1) LPP yang ditunjuk Bank Indonesia menyampaikan laporan atas penatausahaan Sertifikat Deposito Syariah secara periodik kepada Bank Indonesia. (2) Tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dalam perjanjian antara Bank Indonesia dengan LPP. BAB VIII PENCABUTAN IZIN DAN STATUS TERDAFTAR Pasal 24 (1) Bank dapat mengajukan permohonan pencabutan izin sebagai penerbit Sertifikat Deposito Syariah kepada Bank Indonesia. (2) Perusahaan Efek, Perusahaan Pialang, dan/atau bank yang melaksanakan kegiatan Kustodian dapat mengajukan permohonan pencabutan status terdaftar sebagai Lembaga Pendukung Transaksi Sertifikat Deposito Syariah dan/atau Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Sertifikat Deposito Syariah kepada Bank Indonesia. (3) Permohonan pencabutan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau status terdaftar sebagaimana 25 dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Bank Indonesia disertai dengan: a. alasan permohonan pencabutan izin atau status terdaftar; dan b. penjelasan mengenai langkah-langkah yang akan ditempuh untuk penyelesaian seluruh tagihan dan kewajiban kepada pihak terkait. (4) Penyampaian permohonan pencabutan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau status terdaftar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditujukan kepada alamat korespondensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17. BAB IX TATA CARA PENGENAAN SANKSI Bagian Kesatu Pengenaan Sanksi Teguran Tertulis Pasal 25 (1) Bank yang melanggar ketentuan mengenai: a. keterbukaan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), Pasal 6 ayat (2), dan/atau Pasal 6 ayat (3); b. pendaftaran sebagai Lembaga Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Sertifikat Deposito Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan/atau Pasal 11 ayat (2); c. Transaksi Sertifikat Deposito Syariah di pasar sekunder sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dan/atau Pasal 13; d. penerapan Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21; e. penerapan prinsip kehati-kehatian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1); f. penerapan manajemen risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23; 26 g. penyediaan data dan/atau informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) dan/atau Pasal 26 ayat (2); dan/atau h. penyampaian informasi realisasi penerbitan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), Peraturan Bank Indonesia tentang Transaksi Sertifikat Deposito Syariah di Pasar Uang, dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. (2) Perusahaan Efek yang melanggar ketentuan mengenai: a. pendaftaran sebagai Lembaga Pendukung Transaksi Sertifikat Deposito Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dan/atau Pasal 10 ayat (2); b. pendaftaran sebagai Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Sertifikat Deposito Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan/atau Pasal 11 ayat (2); c. Transaksi Sertifikat Deposito Syariah di pasar sekunder sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dan/atau Pasal 13; d. penerapan Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21; e. penerapan prinsip kehati-hatian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1); f. penerapan prinsip manajemen risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23; dan/atau g. penyediaan data dan/atau informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) dan/atau Pasal 26 ayat (2), Peraturan Bank Indonesia tentang Transaksi Sertifikat Deposito Syariah di Pasar Uang, dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. (3) Perusahaan Pialang yang melanggar ketentuan mengenai: a. pendaftaran sebagai Lembaga Pendukung Transaksi Sertifikat Deposito Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dan/atau Pasal 10 ayat (2); b. Transaksi Sertifikat Deposito Syariah di pasar sekunder sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13; 27 c. penerapan Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21; d. penerapan prinsip kehati-hatian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1); e. penerapan prinsip manajemen risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23; dan/atau f. penyediaan data dan/atau informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) dan/atau Pasal 26 ayat (2), Peraturan Bank Indonesia tentang Transaksi Sertifikat Deposito Syariah di Pasar Uang, dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. (4) Bank Indonesia menyampaikan surat tertulis kepada Bank, Perusahaan Efek dan/atau Perusahaan Pialang yang melakukan pelanggaran sebagaimana pada ayat (1), ayat (2), dan/atau ayat (3) dengan tembusan kepada otoritas yang berwenang. Bagian Kedua Pengenaan Sanksi Kewajiban Membayar Pasal 26 (1) Bank yang melanggar ketentuan mengenai: a. pemenuhan kriteria Sertifikat Deposito Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1); dan/atau b. izin sebagai Penerbit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), Peraturan Bank Indonesia tentang Transaksi Sertifikat Deposito Syariah di Pasar Uang, dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar 0,01% (nol koma nol satu persen) dari nilai nominal penerbitan, paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) per penerbitan. (2) Bank yang melanggar ketentuan mengenai penjualan Sertifikat Deposito Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) Peraturan Bank Indonesia tentang 28 Transaksi Sertifikat Deposito Syariah di Pasar Uang, dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar 0,01% (nol koma nol satu persen) dari nilai nominal transaksi, paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) per transaksi. (3) Perusahaan Efek yang melanggar ketentuan mengenai penjualan Sertifikat Deposito Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) dan/atau memberikan jasa perantara penjualan Sertifikat Deposito Syariah sebagaimana dimaksud Pasal 18 ayat (2) Peraturan Bank Indonesia tentang Transaksi Sertifikat Deposito Syariah di Pasar Uang, dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar 0,01% (nol koma nol satu persen) dari nilai nominal transaksi yang tidak memenuhi persyaratan tersebut, paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) per transaksi. (4) Perusahaan Pialang yang melanggar ketentuan mengenai jasa perantara penjualan Sertifikat Deposito Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) Peraturan Bank Indonesia tentang Transaksi Sertifikat Deposito Syariah di Pasar Uang, dikenakan denda kewajiban membayar sebesar 0,01% (nol koma nol satu persen) dari nilai nominal transaksi yang tidak memenuhi persyaratan tersebut, paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan paling banyak sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) per transaksi. (5) Bank Indonesia menyampaikan surat pengenaan sanksi kewajiban membayar kepada Bank, Perusahaan Efek, dan/atau Perusahaan Pialang yang melakukan pelanggaran sebagaimana pada ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan/atau ayat (4), dengan tembusan kepada otoritas yang berwenang. (6) Pengenaan sanksi kewajiban membayar diatur sebagai berikut: 29 a. sanksi kewajiban membayar bagi Bank dilakukan oleh Bank Indonesia dengan cara mendebet rekening giro Bank yang bersangkutan di Bank Indonesia; b. sanksi kewajiban membayar bagi Perusahaan Efek dan Perusahaan Pialang dilakukan dengan cara melakukan setoran kepada rekening Bank Indonesia dan menyampaikan bukti setoran paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah diterimanya surat pengenaan sanksi kewajiban membayar kepada alamat korespondensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17. Bagian Ketiga Pengenaan Sanksi Penghentian Sementara Kegiatan di Pasar Uang Pasal 27 (1) Bank yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), Pasal 7 ayat (1), Pasal 9 ayat (1), Pasal 11 ayat (2), Pasal 13, Pasal 18 ayat (1), Pasal 21, Pasal 22 ayat (1), Pasal 23, dan/atau Pasal 27 ayat (1) Peraturan Bank Indonesia tentang Transaksi Sertifikat Deposito Syariah di Pasar Uang, sebanyak 3 (tiga) kali dalam 6 (enam) bulan dikenakan sanksi penghentian sementara kegiatan di Pasar Uang berupa penerbitan Sertifikat Deposito Syariah yang ditransaksikan di Pasar Uang dan/atau Transaksi Sertifikat Deposito Syariah untuk kepentingan sendiri dan/atau nasabah, selama 1 (satu) bulan. (2) Perusahaan Efek yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), Pasal 9 ayat (1), Pasal 10 ayat (2), Pasal 11 ayat (2), Pasal 13, Pasal 18 ayat (1), Pasal 18 ayat (2), Pasal 21, Pasal 22 ayat (1), dan/atau Pasal 23 Peraturan Bank Indonesia tentang Transaksi Sertifikat Deposito Syariah di Pasar Uang, sebanyak 3 (tiga) kali dalam 6 (enam) bulan dikenakan sanksi penghentian sementara kegiatan di 30 Pasar Uang berupa Transaksi Sertifikat Deposito Syariah untuk kepentingan sendiri dan/atau nasabah dan/atau kegiatan sebagai Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Sertifikat Deposito Syariah, selama 1 (satu) bulan. (3) Perusahaan Pialang yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), Pasal 10 ayat (2), Pasal 13, Pasal 18 ayat (2), Pasal 21, Pasal 22 ayat (1), dan/atau Pasal 23 Peraturan Bank Indonesia tentang Transaksi Sertifikat Deposito Syariah di Pasar Uang, sebanyak 3 (tiga) kali dalam 6 (enam) bulan dikenakan sanksi penghentian sementara kegiatan di Pasar Uang berupa kegiatan sebagai Lembaga Pendukung Transaksi Sertifikat Deposito Syariah, selama 1 (satu) bulan. (4) Bank Indonesia menyampaikan surat penghentian sementara kegiatan di Pasar Uang kepada Bank, Perusahaan Efek, dan/atau Perusahaan Pialang yang melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan/atau ayat (3), dengan tembusan kepada otoritas yang berwenang. (5) Contoh pengenaan sanksi penghentian sementara kegiatan di Pasar Uang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) tercantum dalam Lampiran XII.A yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Bagian Keempat Pengenaan Sanksi Pencabutan Izin Pasal 28 (1) Bank yang telah mendapatkan sanksi penghentian sementara kegiatan di Pasar Uang sebanyak 3 (tiga) kali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) Peraturan Bank Indonesia tentang Transaksi Sertifikat Deposito Syariah di Pasar Uang, dikenakan sanksi 31 pencabutan izin dan/atau status terdaftar yang telah diberikan. (2) Perusahaan Efek yang telah mendapatkan sanksi penghentian sementara kegiatan di Pasar Uang sebanyak 3 (tiga) kali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2) Peraturan Bank Indonesia tentang Transaksi Sertifikat Deposito Syariah di Pasar Uang, dikenakan sanksi pencabutan status terdaftar yang telah diberikan. (3) Perusahaan Pialang yang telah mendapatkan sanksi penghentian sementara kegiatan di Pasar Uang sebanyak 3 (tiga) kali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (3) Peraturan Bank Indonesia tentang Transaksi Sertifikat Deposito Syariah di Pasar Uang, dikenakan sanksi pencabutan status terdaftar yang telah diberikan. (4) Bank Indonesia menyampaikan surat pencabutan izin dan/atau status terdaftar kepada Bank, Perusahaan Efek, dan/atau Perusahaan Pialang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan/atau ayat (3) dengan tembusan kepada otoritas yang berwenang. (5) Contoh pengenaan sanksi pencabutan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pencabutan status terdaftar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) tercantum dalam Lampiran XII.B yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. BAB X KETENTUAN PENUTUP Pasal 29 Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. 32 Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 6 November 2018 ANGGOTA DEWAN GUBERNUR, DODY BUDI WALUYO TTD PENJELASAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/27/PADG/2018 TENTANG TRANSAKSI SERTIFIKAT DEPOSITO SYARIAH DI PASAR UANG I. UMUM Bank Indonesia telah menerbitkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/9/PBI/2018 tentang Transaksi Sertifikat Deposito Syariah di Pasar Uang yang mengatur beberapa aspek, antara lain kriteria Sertifikat Deposito Syariah yang ditransaksikan di Pasar Uang, pelaku pasar dan lembaga pendukung, keterbukaan informasi, perizinan penerbit dan pendaftaran lembaga pendukung, Transaksi Sertifikat Deposito Syariah di pasar sekunder, penatausahaan dan penyelesaian Transaksi Sertifikat Deposito Syariah, penerapan Prinsip Syariah, prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko, pengawasan, dan pelaporan Transaksi Sertifikat Deposito Syariah di Pasar Uang. Untuk implementasi ketentuan tersebut, Bank Indonesia menetapkan peraturan pelaksanaan yang berfungsi sebagai pedoman pelaksanaan bagi pelaku pasar dalam melakukan Transaksi Sertifikat Deposito Syariah di Pasar Uang, yang terdiri atas kriteria Sertifikat Deposito Syariah yang ditransaksikan di Pasar Uang, keterbukaan informasi, tata cara perizinan dan pendaftaran lembaga pendukung, pemrosesan permohonan izin dan pendaftaran, Transaksi Sertifikat Deposito Syariah di pasar sekunder, pencabutan izin dan status terdaftar, pelaporan, dan pengenaan sanksi. 2 II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “periodik” adalah menurut periode tertentu misalnya bulanan, triwulanan, semesteran, atau tahunan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 5 Ayat (1) Dokumen informasi penawaran yang digunakan antara lain dalam bentuk memorandum informasi atau dokumen sejenis yang lazim dipergunakan. Huruf a Pencantuman pernyataan “dapat ditransaksikan di Pasar Uang” untuk mempertegas bahwa Sertifikat Deposito Syariah dapat ditransaksikan di Pasar Uang. Huruf b Akad yang digunakan dapat berupa mudarabah mutlaqoh atau mudarabah muqayyadah. 3 Dalam hal Sertifikat Deposito Syariah menggunakan akad mudarabah mutlaqah, Bank tidak dibatasi untuk menggunakan dana nasabah dalam aktivitas penyaluran dana sepanjang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah. Dalam hal Sertifikat Deposito Syariah menggunakan akad mudarabah muqayyadah, nasabah selaku pemilik dana memberikan persyaratan dan batasan tertentu kepada Bank antara lain mengenai tempat, cara, dan/atau obyek investasi yang dinyatakan secara jelas dalam perjanjian. Huruf c Yang dimaksud dengan “persentase nisbah bagi hasil nasabah” adalah persentase keuntungan yang menjadi porsi nasabah. Huruf d Yang dimaksud dengan “persentase tingkat indikasi imbalan” adalah persentase proyeksi bagi hasil Sertifikat Deposito Syariah. Huruf e Salah satu informasi dalam tata cara perhitungan bagi hasil adalah informasi mengenai metode bagi hasil yaitu profit sharing atau non profit sharing. Huruf f Pengumuman tingkat bagi hasil dapat dilakukan bersamaan dengan pengumuman rencana tanggal pembayaran bagi hasil. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. 4 Pasal 6 Ayat (1) Informasi tingkat realisasi imbalan Sertifikat Deposito Syariah digunakan sebagai salah satu acuan bagi pelaku transaksi dalam penetapan harga Sertifikat Deposito Syariah yang ditransaksikan di pasar sekunder. Media yang dapat digunakan oleh menginformasikan tingkat realisasi imbalan Sertifikat Deposito Syariah antara lain berupa media papan pengumuman di kantor Penerbit, media laman resmi Penerbit, dan/atau media lainnya. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “periodik” adalah menurut periode tertentu misalnya bulanan, triwulanan, semesteran, atau tahunan. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Prosedur operasi standar paling sedikit memuat: 1. judul prosedur operasi standar; 2. penanggung jawab prosedur operasi standar; Penerbit untuk 5 3. pihak yang melaksanakan prosedur operasi standar; 4. diagram alir (flowchart) dan penjelasan pelaksanaan tahapan prosedur (input, proses, dan output); dan 5. batasan waktu dan pelaksanaan dalam setiap prosedur. Huruf d Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Penerapan prinsip kehati-hatian mencakup: 1. penerapan etika bertransaksi dan market code of conduct yang diterima secara umum; 2. transparansi dan keterbukaan informasi kepada nasabah; 3. perlindungan konsumen; dan 4. penyelesaian sengketa. Penerapan manajemen risiko dalam kegiatan perantara pelaksanaan transaksi mengacu pada ketentuan otoritas yang berwenang. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 10 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. 6 Huruf b Cukup jelas. Huruf c Penerapan prinsip kehati-hatian mencakup: 1. penerapan etika bertransaksi dan market code of conduct yang diterima secara umum; 2. transparansi dan keterbukaan informasi kepada nasabah; 3. perlindungan konsumen; dan 4. penyelesaian sengketa. Penerapan manajemen risiko dalam kegiatan perantara pelaksanaan transaksi mengacu pada ketentuan otoritas yang berwenang. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 11 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Prosedur operasi standar paling sedikit memuat: 1. judul prosedur operasi standar; 2. penanggung jawab prosedur operasi standar; 3. pihak yang melaksanakan prosedur operasi standar; 4. diagram alir (flowchart) dan penjelasan pelaksanaan tahapan prosedur (input, proses, dan output); dan 5. batasan waktu dan pelaksanaan dalam setiap prosedur Huruf d Cukup jelas. 7 Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Penerapan prinsip kehati-hatian mencakup: 1. transparansi dan keterbukaan informasi kepada nasabah; 2. perlindungan konsumen; dan 3. penyelesaian sengketa. Penerapan manajemen risiko dalam kegiatan Kustodian mengacu pada ketentuan otoritas yang berwenang. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 12 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Prosedur operasi standar paling sedikit memuat: 1. judul prosedur operasi standar; 2. penanggung jawab prosedur operasi standar; 3. pihak yang melaksanakan prosedur operasi standar; 4. diagram alir (flowchart) dan penjelasan pelaksanaan tahapan prosedur (input, proses, dan output); dan 5. batasan waktu dan pelaksanaan dalam setiap prosedur. 8 Huruf d Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Penerapan prinsip kehati-hatian mencakup: 1. transparansi dan keterbukaan informasi kepada nasabah; 2. perlindungan konsumen; dan 3. penyelesaian sengketa. Penerapan manajemen risiko dalam kegiatan Kustodian mengacu pada ketentuan otoritas yang berwenang. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 13 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Penerapan prinsip kehati-hatian mencakup: 1. penerapan etika bertransaksi dan market code of conduct yang diterima secara umum; 2. transparansi dan keterbukaan informasi kepada nasabah; 3. perlindungan konsumen; dan 9 4. penyelesaian sengketa. Penerapan manajemen risiko dalam kegiatan perantara pelaksanaan transaksi mengacu pada ketentuan otoritas yang berwenang. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 14 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Penerapan prinsip kehati-hatian mencakup: 1. penerapan etika bertransaksi dan market code of conduct yang diterima secara umum; 2. transparansi dan keterbukaan informasi kepada nasabah; 3. perlindungan konsumen; dan 4. penyelesaian sengketa. Penerapan manajemen risiko dalam melaksanakan kegiatan sebagai perantara pelaksanaan transaksi mengacu pada ketentuan otoritas yang berwenang. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 15 Ayat (1) Cukup jelas. 10 Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Penerapan prinsip kehati-hatian mencakup: 1. transparansi dan keterbukaan informasi kepada nasabah; 2. perlindungan konsumen; dan 3. penyelesaian sengketa. Penerapan manajemen risiko dalam kegiatan Kustodian mengacu pada ketentuan otoritas yang berwenang. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 16 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Penerapan prinsip kehati-hatian mencakup: 1. transparansi dan keterbukaan informasi kepada nasabah; 2. perlindungan konsumen; dan 3. penyelesaian sengketa. Penerapan manajemen risiko dalam kegiatan Kustodian mengacu pada ketentuan otoritas yang berwenang. Ayat (3) Cukup jelas. 11 Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan “bank” adalah bank umum konvensional, Bank Umum Syariah, dan Unit Usaha Syariah. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan “nasabah” adalah pihak yang menggunakan perantara pelaksanaan transaksi. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan “bank” adalah bank umum konvensional, Bank Umum Syariah, Unit Usaha Syariah, bank perkreditan rakyat, dan bank pembiayaan rakyat syariah. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan “korporasi” adalah badan usaha selain bank yang berbadan hukum dan berdomisili di Indonesia. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. 12 Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Cukup jelas. 13 Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Cukup jelas. "," PADG 20/27/PADG/2018 TRANSAKSI SERTIFIKAT DEPOSITO SYARIAH DI PASAR UANG 6 November 2018 6 November 2018 '18/11/PBI/2016', '20/9/PBI/2018' 'BAB IX' " " PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/10/PADG/2018 TENTANG GIRO WAJIB MINIMUM DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL, BANK UMUM SYARIAH, DAN UNIT USAHA SYARIAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sebagai kelanjutan dari reformulasi kerangka operasional kebijakan moneter, dilakukan upaya penyempurnaan giro wajib minimum dan langkah percepatan implementasi giro wajib minimum rata-rata guna meningkatkan efektivitas transmisi kebijakan moneter dalam menjaga stabilitas perekonomian; b. bahwa upaya penyempurnaan dan langkah percepatan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dilakukan dengan meningkatkan fleksibilitas pengelolaan likuiditas untuk mendorong fungsi intermediasi oleh perbankan dan mendukung upaya pendalaman pasar keuangan, yang dilakukan melalui lembaga keuangan perbankan konvensional dan syariah; c. bahwa untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan pengaturan pemenuhan sebagian giro wajib minimum secara rata-rata dan penyesuaian lainnya terkait giro wajib minimum; 2 d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Anggota Dewan Gubernur tentang Giro Wajib Minimum dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum Konvensional, Bank Umum Syariah, dan Unit Usaha Syariah; Mengingat : Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/3/PBI/2018 tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum Konvensional, Bank Umum Syariah, dan Unit Usaha Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 43; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6193); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG GIRO WAJIB MINIMUM DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL, BANK UMUM SYARIAH, DAN UNIT USAHA SYARIAH. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang dimaksud dengan: 1. Bank Umum Konvensional yang selanjutnya disingkat BUK adalah bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan, termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri. 2. Bank Umum Syariah yang selanjutnya disingkat BUS adalah bank umum yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah. 3 3. Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disingkat UUS adalah unit usaha syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah. 4. BUK yang Melakukan Kegiatan Usaha dalam Valuta Asing adalah BUK yang memperoleh persetujuan dari otoritas yang berwenang untuk melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing. 5. BUS dan UUS yang Melakukan Kegiatan Usaha dalam Valuta Asing adalah BUS dan UUS yang memperoleh persetujuan dari otoritas yang berwenang untuk melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing. 6. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat OJK adalah Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai Otoritas Jasa Keuangan. 7. Dana Pihak Ketiga BUK yang selanjutnya disebut DPK BUK adalah kewajiban BUK kepada penduduk dan bukan penduduk dalam rupiah dan/atau valuta asing. 8. Dana Pihak Ketiga BUS dan UUS yang selanjutnya disebut DPK BUS dan UUS adalah kewajiban BUS dan UUS kepada penduduk dan bukan penduduk dalam rupiah dan/atau valuta asing. 9. Rekening Giro adalah rekening giro sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai rekening giro di Bank Indonesia. 10. Rekening Giro dalam Rupiah yang selanjutnya disebut Rekening Giro Rupiah adalah rekening giro dalam mata uang rupiah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai rekening giro di Bank Indonesia. 11. Rekening Giro dalam Valuta Asing yang selanjutnya disebut Rekening Giro Valas adalah rekening giro dalam valuta asing sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai rekening giro di Bank Indonesia. 12. Giro Wajib Minimum yang selanjutnya disingkat GWM adalah jumlah dana minimum yang wajib dipelihara oleh 4 BUK atau BUS dan UUS yang besarnya ditetapkan oleh Bank Indonesia sebesar persentase tertentu dari DPK BUK atau DPK BUS dan UUS. 13. Jakarta Interbank Offered Rate yang selanjutnya disingkat JIBOR adalah Jakarta Interbank Offered Rate sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai suku bunga penawaran antarbank. 14. Pasar Uang Antarbank Berdasarkan Prinsip Syariah yang selanjutnya disebut PUAS adalah pasar uang antarbank berdasarkan prinsip syariah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pasar uang antarbank berdasarkan prinsip syariah. 15. Sertifikat Investasi Mudharabah Antarbank yang selanjutnya disingkat SIMA adalah sertifikat investasi mudharabah antarbank sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai sertifikat investasi mudharabah antarbank. 16. Tingkat Indikasi Imbalan SIMA adalah rata-rata tertimbang tingkat indikasi imbalan SIMA dalam rupiah yang terjadi di PUAS pada pasar perdana. 17. Laporan Berkala Bank Umum yang selanjutnya disingkat LBBU adalah laporan berkala bank umum sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan berkala bank umum. 18. Laporan Berkala Bank Umum bagi BUS dan UUS yang selanjutnya disingkat LBBUS adalah laporan berkala bank umum bagi BUS dan UUS sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan berkala bank umum. 19. Laporan Harian Bank Umum yang selanjutnya disingkat LHBU adalah laporan harian bank umum sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan harian bank umum. 5 BAB II GIRO WAJIB MINIMUM BAGI BUK Bagian Kesatu Tata Cara Perhitungan Giro Wajib Minimum dalam Rupiah bagi BUK Pasal 2 GWM dalam rupiah ditetapkan sebesar rata-rata 6,5% (enam koma lima persen) dari DPK BUK dalam rupiah selama periode laporan tertentu, yang wajib dipenuhi: a. secara harian sebesar 4,5% (empat koma lima persen); dan b. secara rata-rata sebesar 2% (dua persen). Pasal 3 (1) Pemenuhan GWM dalam rupiah secara harian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a dihitung dengan membandingkan posisi saldo Rekening Giro Rupiah BUK di Bank Indonesia pada setiap akhir hari dalam 2 (dua) periode laporan terhadap rata-rata harian jumlah DPK BUK dalam rupiah dalam 2 (dua) periode laporan pada 4 (empat) periode laporan sebelumnya. (2) DPK BUK dalam rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperoleh dari laporan DPK BUK dalam rupiah pada LBBU. (3) DPK BUK dalam rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas rata-rata harian total DPK BUK dalam rupiah pada seluruh kantor BUK di Indonesia. (4) DPK BUK dalam rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kewajiban dalam rupiah kepada pihak ketiga bukan bank, baik kepada penduduk maupun bukan penduduk, yang terdiri atas: a. giro; b. tabungan; c. simpanan berjangka/deposito; dan d. kewajiban lainnya. 6 Pasal 4 (1) Pemenuhan GWM dalam rupiah secara rata-rata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b dihitung dengan membandingkan rata-rata posisi saldo Rekening Giro Rupiah BUK di Bank Indonesia pada akhir hari pada setiap akhir 2 (dua) periode laporan terhadap rata-rata harian jumlah DPK BUK dalam rupiah dalam 2 (dua) periode laporan pada 4 (empat) periode laporan sebelumnya. (2) Pemenuhan GWM dalam rupiah secara rata-rata sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan setelah BUK memenuhi GWM dalam rupiah secara harian dan giro atas pemenuhan rasio intermediasi makroprudensial sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai rasio intermediasi makroprudensial dan penyangga likuiditas makroprudensial. (3) Perhitungan DPK BUK mengacu pada ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4). Pasal 5 (1) Bank Indonesia dapat memberikan jasa giro setiap hari terhadap bagian tertentu dari pemenuhan kewajiban GWM dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2. (2) Bagian tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebesar 1,5% (satu koma lima persen) dari DPK dalam rupiah. (3) Jasa giro sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dengan tingkat bunga sebesar 0% (nol persen) per tahun. (4) Jasa giro sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan untuk setiap hari bagi BUK yang memenuhi rasio GWM dalam rupiah lebih dari atau sama dengan 6,5% (enam koma lima persen). (5) Bank Indonesia dapat mengubah kebijakan pemberian jasa giro dan/atau persentase jasa giro dengan 7 mempertimbangkan kondisi perekonomian dan arah kebijakan Bank Indonesia. (6) Pemberian jasa giro sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) tidak berlaku terhadap BUK yang menerima pinjaman likuiditas jangka pendek sejak tanggal aktivasi pemberian pinjaman likuiditas jangka pendek sampai dengan satu hari sebelum tanggal pelunasan pinjaman likuiditas jangka pendek. Pasal 6 (1) Pemberian jasa giro sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dilaksanakan dengan mengkredit Rekening Giro Rupiah BUK pada Bank Indonesia. (2) Pengkreditan Rekening Giro Rupiah BUK untuk pemberian jasa giro sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sebagai berikut: a. jasa giro periode tanggal 1 sampai dengan tanggal 15 dikreditkan paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah tanggal 15 bulan yang sama; dan b. jasa giro periode tanggal 16 sampai dengan tanggal akhir bulan dikreditkan paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah tanggal akhir bulan. (3) Dalam hal di kemudian hari diketahui terjadi kekurangan atau kelebihan dalam pengkreditan yang terkait dengan pemberian jasa giro sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia dapat mengkredit atau mendebit Rekening Giro Rupiah BUK yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement. 8 Bagian Kedua Tata Cara Perhitungan Giro Wajib Minimum dalam Valuta Asing bagi BUK Pasal 7 GWM dalam valuta asing ditetapkan sebesar rata-rata 8% (delapan persen) dari DPK BUK dalam valuta asing selama periode laporan tertentu, yang wajib dipenuhi: a. secara harian sebesar 6% (enam persen); dan b. secara rata-rata sebesar 2% (dua persen). Pasal 8 (1) Pemenuhan GWM dalam valuta asing secara harian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a dihitung dengan membandingkan posisi saldo Rekening Giro Valas BUK di Bank Indonesia pada setiap akhir hari dalam 2 (dua) periode laporan terhadap rata-rata harian jumlah DPK BUK dalam valuta asing dalam 2 (dua) periode laporan pada 4 (empat) periode laporan sebelumnya. (2) DPK BUK dalam valuta asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperoleh dari laporan DPK BUK dalam valuta asing pada LBBU. (3) DPK BUK dalam valuta asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas rata-rata harian total DPK BUK dalam valuta asing pada seluruh kantor BUK di Indonesia. (4) DPK BUK dalam valuta asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kewajiban dalam valuta asing kepada pihak ketiga termasuk bank di Indonesia, baik kepada penduduk maupun bukan penduduk, yang terdiri atas: a. giro; b. tabungan; c. simpanan berjangka/deposito; dan d. kewajiban lainnya. Pasal 9 (1) Pemenuhan GWM dalam valuta asing secara rata-rata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b dihitung 9 dengan membandingkan rata-rata posisi saldo Rekening Giro Valas BUK di Bank Indonesia pada akhir hari pada setiap akhir 2 (dua) periode laporan terhadap rata-rata harian jumlah DPK BUK dalam valuta asing dalam 2 (dua) periode laporan pada 4 (empat) periode laporan sebelumnya. (2) Pemenuhan GWM dalam valuta asing secara rata-rata sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dipenuhi setelah BUK memenuhi GWM dalam valuta asing secara harian. (3) Perhitungan DPK BUK mengacu pada ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4). Bagian Ketiga Pemenuhan Giro Wajib Minimum bagi BUK yang Melakukan Penggabungan atau Peleburan dan bagi BUK yang Baru Mendapatkan Izin Melakukan Kegiatan Usaha dalam Valuta Asing Pasal 10 (1) Bank Indonesia dapat memberikan kelonggaran atas kewajiban pemenuhan GWM dalam rupiah yang wajib dipenuhi secara harian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a kepada BUK yang melakukan penggabungan atau peleburan. (2) Kelonggaran atas kewajiban pemenuhan GWM dalam rupiah yang wajib dipenuhi secara harian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebesar 1% (satu persen) untuk 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal penggabungan atau peleburan berlaku efektif. (3) Pemberian kelonggaran atas kewajiban pemenuhan GWM dalam rupiah yang wajib dipenuhi secara harian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan atas permintaan BUK kepada Bank Indonesia. 10 Pasal 11 (1) Permintaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3) harus diajukan kepada Bank Indonesia bersamaan dengan penyampaian informasi mengenai rencana penggabungan atau peleburan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pelayanan perizinan terpadu terkait hubungan operasional bank umum dengan Bank Indonesia. (2) Permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dialamatkan kepada: a. Departemen Surveilans Sistem Keuangan, Jalan M.H. Thamrin No. 2, Jakarta 10350, bagi BUK yang berkantor pusat di wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia; atau b. Departemen Surveilans Sistem Keuangan, Jalan M.H. Thamrin No. 2, Jakarta 10350, dengan tembusan kepada Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat, bagi BUK yang berkantor pusat selain di wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia, dengan tembusan kepada OJK. (3) Bank Indonesia memberikan persetujuan atau penolakan atas permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebelum tanggal efektif penggabungan atau peleburan. Pasal 12 Pemenuhan GWM dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan GWM dalam valuta asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 bagi BUK yang melakukan penggabungan atau peleburan dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. sampai dengan 2 (dua) hari kerja sebelum tanggal efektif pelaksanaan penggabungan atau peleburan, perhitungan GWM dalam rupiah dan GWM dalam valuta asing tetap dilakukan secara terpisah untuk masing-masing BUK; b. sejak 1 (satu) hari kerja sebelum tanggal efektif pelaksanaan penggabungan atau peleburan, perhitungan GWM dalam rupiah dan GWM dalam valuta asing hanya 11 dilakukan terhadap BUK hasil penggabungan atau peleburan; c. dalam hal data BUK hasil penggabungan atau peleburan sebagaimana dimaksud dalam huruf b belum tersedia, perhitungan GWM dalam rupiah dan GWM dalam valuta asing menggunakan hasil penjumlahan data BUK yang melakukan penggabungan atau peleburan; d. data gabungan BUK sebagaimana dimaksud dalam huruf c meliputi DPK BUK dalam rupiah, saldo Rekening Giro Rupiah serta DPK BUK dalam valuta asing, dan saldo Rekening Giro Valas. Pasal 13 Pemenuhan GWM dalam valuta asing untuk BUK yang baru mendapatkan izin melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing diatur sebagai berikut: a. selain memenuhi GWM dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, BUK yang baru mendapatkan izin melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing juga wajib memenuhi GWM dalam valuta asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7; b. kewajiban pemenuhan GWM dalam valuta asing untuk BUK yang baru mendapatkan izin melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing berlaku setelah 4 (empat) periode laporan pada LBBU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dan Pasal 9. Bagian Keempat Pemenuhan Giro Wajib Minimum bagi BUK yang Menerima Pinjaman Likuiditas Jangka Pendek Pasal 14 (1) Pemenuhan GWM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 7 tidak berlaku bagi BUK yang menerima pinjaman likuiditas jangka pendek. (2) BUK yang menerima pinjaman likuiditas jangka pendek wajib memenuhi GWM dalam rupiah secara harian sebesar 6,5% (enam koma lima persen) dari DPK BUK dalam rupiah. 12 (3) BUK yang menerima pinjaman likuiditas jangka pendek wajib memenuhi GWM dalam valuta asing secara harian sebesar 8% (delapan persen) dari DPK BUK dalam valuta asing. (4) Pemenuhan GWM sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dilakukan sejak tanggal aktivasi pemberian pinjaman likuiditas jangka pendek sampai dengan 1 (satu) hari sebelum tanggal pelunasan pinjaman likuiditas jangka pendek. Pasal 15 (1) Sampai dengan 1 (satu) hari sebelum tanggal aktivasi pemberian pinjaman likuiditas jangka pendek dan sejak tanggal pelunasan pinjaman likuiditas jangka pendek maka pemenuhan GWM dalam rupiah untuk BUK yang menerima pinjaman likuiditas jangka pendek dihitung dengan tata cara pemenuhan GWM dalam rupiah secara harian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a dan Pasal 3 dan pemenuhan GWM dalam rupiah secara rata- rata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b dan Pasal 4. (2) Sampai dengan 1 (satu) hari sebelum tanggal aktivasi pemberian pinjaman likuiditas jangka pendek dan sejak tanggal pelunasan pinjaman likuiditas jangka pendek maka pemenuhan GWM dalam valuta asing untuk BUK yang menerima pinjaman likuiditas jangka pendek dihitung dengan tata cara pemenuhan GWM dalam valuta asing secara harian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a dan Pasal 8 dan pemenuhan GWM dalam valuta asing secara rata-rata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b dan Pasal 9. (3) Tanggal aktivasi dan tanggal pelunasan pinjaman likuiditas jangka pendek sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (4) yaitu tanggal aktivasi dan tanggal pelunasan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pinjaman likuiditas jangka pendek. 13 (4) Dalam hal tanggal pelunasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) jatuh pada hari libur atau hari yang kemudian ditetapkan pemerintah sebagai hari libur maka pemenuhan GWM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 7 dilakukan pada hari saat Bank Indonesia menyelenggarakan Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia dan/atau sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement berikutnya. BAB III GIRO WAJIB MINIMUM BAGI BUS DAN UUS Bagian Kesatu Tata Cara Perhitungan Giro Wajib Minimum dalam Rupiah bagi BUS dan UUS Pasal 16 GWM dalam rupiah ditetapkan sebesar rata-rata 5% (lima persen) dari DPK BUS dan UUS dalam rupiah selama periode laporan tertentu, yang wajib dipenuhi: a. secara harian sebesar 3% (tiga persen); dan b. secara rata-rata sebesar 2% (dua persen). Pasal 17 (1) Pemenuhan GWM dalam rupiah secara harian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf a dihitung dengan membandingkan posisi saldo Rekening Giro Rupiah BUS dan UUS di Bank Indonesia pada setiap akhir hari dalam 2 (dua) periode laporan terhadap rata-rata harian jumlah DPK BUS dan UUS dalam rupiah dalam 2 (dua) periode laporan pada 4 (empat) periode laporan sebelumnya. (2) DPK BUS dan UUS dalam rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperoleh dari laporan DPK BUS dan UUS dalam rupiah pada LBBUS. (3) DPK BUS dan UUS dalam rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas rata-rata harian total DPK BUS 14 dan UUS dalam rupiah pada seluruh kantor BUS dan UUS di Indonesia. (4) DPK BUS dan UUS dalam rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kewajiban dalam rupiah kepada pihak ketiga bukan bank, baik kepada penduduk maupun bukan penduduk, yang terdiri atas: a. dana simpanan wadiah; b. dana investasi tidak terikat; dan c. kewajiban lainnya. Pasal 18 (1) Pemenuhan GWM dalam rupiah secara rata-rata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf b dihitung dengan membandingkan rata-rata posisi saldo Rekening Giro Rupiah BUS dan UUS di Bank Indonesia pada akhir hari pada setiap akhir 2 (dua) periode laporan terhadap rata-rata harian jumlah DPK BUS dan UUS dalam rupiah dalam 2 (dua) periode laporan pada 4 (empat) periode laporan sebelumnya. (2) Pemenuhan GWM dalam rupiah secara rata-rata sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan setelah BUS dan UUS memenuhi GWM dalam rupiah secara harian dan giro atas pemenuhan rasio intermediasi makroprudensial sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai rasio intermediasi makroprudensial dan penyangga likuiditas makroprudensial. (3) Perhitungan DPK BUK mengacu pada ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4). Pasal 19 Bank Indonesia tidak memberikan jasa giro untuk pemenuhan kewajiban GWM dalam rupiah bagi BUS dan UUS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16. 15 Bagian Kedua Tata Cara Perhitungan Giro Wajib Minimum dalam Valuta Asing bagi BUS dan UUS Pasal 20 GWM dalam valuta asing ditetapkan sebesar 1% (satu persen) dari DPK BUS dan UUS dalam valuta asing selama periode laporan tertentu yang wajib dipenuhi secara harian. Pasal 21 (1) Pemenuhan GWM dalam valuta asing secara harian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dihitung dengan membandingkan posisi saldo Rekening Giro Valas BUS dan UUS di Bank Indonesia setiap akhir hari dalam 2 (dua) periode laporan terhadap rata-rata harian jumlah DPK BUS dan UUS dalam valuta asing dalam 2 (dua) periode laporan pada 4 (empat) periode laporan sebelumnya. (2) DPK BUS dan UUS dalam valuta asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperoleh dari laporan DPK BUS dan UUS dalam valuta asing pada LBBUS. (3) DPK BUS dan UUS dalam valuta asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas rata-rata harian total DPK BUS dan UUS dalam valuta asing pada seluruh kantor BUS dan UUS di Indonesia. (4) DPK BUS dan UUS dalam valuta asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kewajiban dalam valuta asing kepada pihak ketiga, termasuk bank di Indonesia, baik kepada penduduk maupun bukan penduduk, yang terdiri atas: a. dana simpanan wadiah; b. dana investasi tidak terikat; dan c. kewajiban lainnya. 16 Bagian Ketiga Pemenuhan Giro Wajib Minimum bagi BUS yang Melakukan Penggabungan atau Peleburan dan bagi BUS dan UUS yang Baru Mendapatkan Izin Melakukan Kegiatan Usaha dalam Valuta Asing Pasal 22 (1) Bank Indonesia dapat memberikan kelonggaran atas kewajiban pemenuhan GWM dalam rupiah yang wajib dipenuhi secara harian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf a kepada BUS yang melakukan penggabungan atau peleburan. (2) Kelonggaran atas kewajiban pemenuhan GWM dalam rupiah yang wajib dipenuhi secara harian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebesar 1% (satu persen) untuk 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal penggabungan atau peleburan berlaku efektif. (3) Pemberian kelonggaran atas kewajiban pemenuhan GWM dalam rupiah yang wajib dipenuhi secara harian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan atas permintaan BUS kepada Bank Indonesia. Pasal 23 (1) Permintaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (3) harus diajukan kepada Bank Indonesia bersamaan dengan penyampaian informasi mengenai rencana penggabungan atau peleburan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pelayanan perizinan terpadu terkait hubungan operasional bank umum dengan Bank Indonesia. (2) Permintaan BUS kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dialamatkan kepada: a. Departemen Surveilans Sistem Keuangan, Jalan M.H. Thamrin No. 2, Jakarta 10350, bagi BUS yang berkantor pusat di wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia; atau b. Departemen Surveilans Sistem Keuangan, Jalan M.H. 17 Thamrin No. 2, Jakarta 10350, dengan tembusan kepada Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat, bagi BUS yang berkantor pusat selain di wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia, dengan tembusan kepada OJK. (3) Bank Indonesia memberikan persetujuan atau penolakan atas permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebelum tanggal efektif penggabungan atau peleburan. Pasal 24 Pemenuhan GWM dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dan GWM dalam valuta asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 bagi BUS yang melakukan penggabungan atau peleburan dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. sampai dengan 2 (dua) hari kerja sebelum tanggal efektif pelaksanaan penggabungan atau peleburan, perhitungan GWM dalam rupiah dan GWM dalam valuta asing tetap dilakukan secara terpisah untuk masing-masing BUS; b. sejak 1 (satu) hari kerja sebelum tanggal efektif pelaksanaan penggabungan atau peleburan, perhitungan GWM dalam rupiah dan valuta asing hanya dilakukan terhadap BUS hasil penggabungan atau peleburan; c. dalam hal data BUS hasil penggabungan atau peleburan sebagaimana dimaksud dalam huruf b belum tersedia, perhitungan GWM dalam rupiah dan GWM dalam valuta asing menggunakan hasil penjumlahan data BUS yang melakukan penggabungan atau peleburan; d. data gabungan BUS sebagaimana dimaksud dalam huruf c meliputi DPK BUS dalam rupiah, saldo Rekening Giro Rupiah serta DPK BUS dalam valuta asing, dan saldo Rekening Giro Valas. Pasal 25 Pemenuhan GWM dalam valuta asing untuk BUS dan UUS yang baru mendapatkan izin melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing diatur sebagai berikut: a. selain memenuhi GWM dalam rupiah sebagaimana 18 dimaksud dalam Pasal 16, BUS dan UUS yang baru mendapatkan izin melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing juga wajib memenuhi GWM dalam valuta asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20; b. kewajiban pemenuhan GWM dalam valuta asing bagi BUS dan UUS yang baru mendapatkan izin melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing berlaku setelah 4 (empat) periode laporan pada Laporan Berkala Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21. Bagian Keempat Pemenuhan Giro Wajib Minimum bagi BUS Hasil Pemisahan UUS dari BUK dan bagi BUS Hasil Perubahan Kegiatan Usaha BUK Pasal 26 Pemenuhan GWM dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dan GWM dalam valuta asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 bagi BUS hasil pemisahan UUS dari BUK dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. sampai dengan 2 (dua) hari sebelum tanggal efektif pemisahan UUS menjadi BUS, perhitungan GWM dalam rupiah dan GWM dalam valuta asing dilakukan terhadap UUS; b. sejak 1 (satu) hari sebelum tanggal efektif pemisahan UUS menjadi BUS, perhitungan GWM dalam rupiah dan GWM dalam valuta asing hanya dilakukan terhadap BUS hasil pemisahan; dan c. dalam hal data BUS hasil pemisahan UUS dari BUK sebagaimana dimaksud dalam huruf b belum tersedia, perhitungan GWM dalam rupiah dan GWM dalam valuta asing menggunakan data UUS. Pasal 27 Pemenuhan GWM dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dan GWM dalam valuta asing sebagaimana dimaksud 19 dalam Pasal 20 bagi BUS hasil perubahan kegiatan usaha BUK dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. sampai dengan 1 (satu) hari sebelum tanggal efektif perubahan kegiatan usaha BUK menjadi BUS, perhitungan GWM dalam rupiah dan GWM dalam valuta asing dilakukan terhadap BUK; b. sejak tanggal efektif perubahan kegiatan usaha BUK menjadi BUS, perhitungan GWM dalam rupiah dan GWM dalam valuta asing dilakukan terhadap BUS hasil perubahan kegiatan usaha BUK; dan c. dalam hal data BUS hasil perubahan kegiatan usaha BUK menjadi BUS sebagaimana dimaksud dalam huruf b belum tersedia, perhitungan GWM dalam rupiah dan GWM dalam valuta asing menggunakan data BUK. Bagian Kelima Pemenuhan Giro Wajib Minimum bagi BUS yang Menerima Pembiayaan Likuiditas Jangka Pendek Syariah Pasal 28 (1) Pemenuhan GWM dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 tidak berlaku bagi BUS yang menerima pembiayaan likuiditas jangka pendek syariah. (2) BUS yang menerima pembiayaan likuiditas jangka pendek syariah wajib memenuhi GWM dalam rupiah secara harian sebesar 5% (lima persen) dari DPK BUS dalam rupiah. (3) Pemenuhan GWM sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan sejak tanggal aktivasi pemberian pembiayaan likuiditas jangka pendek syariah sampai dengan 1 (satu) hari sebelum tanggal pelunasan pembiayaan likuiditas jangka pendek syariah. Pasal 29 (1) Sampai dengan 1 (satu) hari sebelum tanggal aktivasi pemberian pembiayaan likuiditas jangka pendek syariah dan sejak tanggal pelunasan pembiayaan likuiditas jangka pendek syariah maka pemenuhan GWM dalam rupiah 20 untuk bank yang menerima pembiayaan likuiditas jangka pendek syariah dihitung dengan tata cara pemenuhan GWM dalam rupiah secara harian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf a dan Pasal 17 serta pemenuhan GWM dalam rupiah secara rata-rata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf b dan Pasal 18. (2) Tanggal aktivasi dan tanggal pelunasan pembiayaan likuiditas jangka pendek syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (3) adalah tanggal aktivasi dan tanggal pelunasan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pembiayaan likuiditas jangka pendek syariah. (3) Dalam hal tanggal pelunasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) jatuh pada hari libur atau hari yang kemudian ditetapkan pemerintah sebagai hari libur maka pemenuhan GWM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dilakukan pada hari saat Bank Indonesia menyelenggarakan Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia dan/atau sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement berikutnya. BAB IV SANKSI Bagian Kesatu Sanksi bagi BUK Pasal 30 BUK yang melanggar: a. kewajiban pemenuhan GWM dalam rupiah; dan/atau b. kewajiban pemenuhan GWM dalam valuta asing, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 7, dan/atau Pasal 14 dikenakan sanksi berupa teguran tertulis dan kewajiban membayar. Pasal 31 (1) Tata cara pengenaan sanksi kewajiban membayar bagi BUK, termasuk BUK yang menerima pinjaman likuiditas 21 jangka pendek, yang melanggar kewajiban pemenuhan GWM dalam rupiah diatur sebagai berikut: a. BUK yang melanggar kewajiban pemenuhan GWM dalam rupiah secara harian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a atau Pasal 14 ayat 2 dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar 125% (seratus dua puluh lima persen) dari suku bunga jangka waktu 1 (satu) hari overnight dari JIBOR dalam rupiah pada hari terjadinya pelanggaran, terhadap kekurangan GWM dalam rupiah, untuk setiap hari pelanggaran; dan b. BUK yang melanggar kewajiban pemenuhan GWM dalam rupiah secara rata-rata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar 125% (seratus dua puluh lima persen) dari suku bunga jangka waktu 1 (satu) hari overnight dari rata-rata JIBOR dalam rupiah selama 2 (dua) periode laporan, terhadap rata-rata kekurangan GWM yang wajib dipenuhi secara rata-rata selama 2 (dua) periode laporan untuk setiap hari selama 2 (dua) periode laporan. (2) Perhitungan suku bunga jangka waktu 1 (satu) hari overnight dari JIBOR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai suku bunga penawaran antarbank. Pasal 32 (1) Tata cara pengenaan sanksi kewajiban membayar bagi BUK termasuk BUK yang menerima pinjaman likuiditas jangka pendek yang melanggar kewajiban pemenuhan GWM dalam valuta asing diatur sebagai berikut: a. BUK yang melanggar kewajiban pemenuhan GWM dalam valuta asing secara harian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a atau Pasal 14 ayat 3, dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar 0,04% (nol koma nol empat persen) untuk setiap hari pelanggaran, yang dihitung dari selisih antara saldo 22 harian Rekening Giro Valas BUK pada Bank Indonesia yang wajib dipenuhi dengan saldo harian Rekening Giro Valas BUK yang dicatat pada sistem akunting Bank Indonesia; dan b. BUK yang melanggar kewajiban pemenuhan GWM dalam valuta asing secara rata-rata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b, dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar 0,04% (nol koma nol empat persen) yang dihitung dari selisih antara saldo rata-rata Rekening Giro Valas BUK pada Bank Indonesia yang wajib dipenuhi selama 2 (dua) periode laporan dengan saldo rata-rata Rekening Giro Valas BUK selama 2 (dua) periode laporan yang dicatat pada sistem akunting Bank Indonesia untuk setiap hari selama 2 (dua) periode laporan. (2) Sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dibebankan dalam rupiah dengan menggunakan kurs tengah dari kurs transaksi Bank Indonesia pada hari terjadinya pelanggaran. (3) Sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dibebankan dalam rupiah dengan menggunakan rata-rata kurs tengah dari kurs transaksi Bank Indonesia selama 2 (dua) periode laporan pada periode terjadinya pelanggaran. Pasal 33 (1) Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) huruf a sampai dengan huruf b dan Pasal 32 ayat (1) huruf a sampai dengan huruf b dilaksanakan dengan mendebit Rekening Giro Rupiah BUK di Bank Indonesia. (2) Pendebitan Rekening Giro Rupiah BUK untuk pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lambat 3 (tiga) hari kerja berikutnya setelah tanggal terjadinya pelanggaran GWM dan/atau tanggal ditemukannya pelanggaran GWM. (3) Dalam hal di kemudian hari diketahui terjadi kekurangan atau kelebihan dalam pendebitan yang terkait dengan 23 pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia dapat langsung mendebit atau mengkredit Rekening Giro Rupiah BUK yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement. (4) Dalam hal pada saat pendebitan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), saldo Rekening Giro Rupiah BUK tidak mencukupi, seluruh sanksi kewajiban membayar tersebut diperhitungkan sebagai kewajiban yang masih harus diselesaikan oleh BUK kepada Bank Indonesia. (5) Dalam hal saldo Rekening Giro Rupiah BUK tidak mencukupi sebagaimana dimaksud pada ayat (4), atas kekurangan tersebut juga dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) huruf a. Bagian Kedua Sanksi bagi BUS dan UUS Pasal 34 BUS dan UUS yang melanggar: a. kewajiban pemenuhan GWM dalam rupiah; dan/atau b. kewajiban pemenuhan GWM dalam valuta asing, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, Pasal 20 dan/atau Pasal 28 dikenakan sanksi berupa teguran tertulis dan kewajiban membayar. Pasal 35 (1) Tata cara pengenaan sanksi kewajiban membayar bagi BUS dan UUS, termasuk BUS yang menerima pembiayaan likuiditas jangka pendek syariah, yang melanggar kewajiban pemenuhan GWM dalam rupiah diatur sebagai berikut: a. BUS dan UUS yang melanggar kewajiban pemenuhan GWM dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf a atau Pasal 28 ayat (2) dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar 125% (seratus 24 dua puluh lima persen) dari Tingkat Indikasi Imbalan SIMA pada hari terjadinya pelanggaran, terhadap kekurangan GWM dalam rupiah, untuk setiap hari pelanggaran; b. BUS dan UUS yang melanggar kewajiban pemenuhan GWM dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf b dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar 125% (seratus dua puluh lima persen) dari rata-rata Tingkat Indikasi Imbalan SIMA selama 2 (dua) periode laporan terhadap rata-rata kekurangan GWM dalam rupiah yang wajib dipenuhi secara rata-rata selama periode laporan untuk setiap hari pelanggaran selama 2 (dua) periode laporan. (2) Dalam hal data Tingkat Indikasi Imbalan SIMA sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dan huruf b tidak tersedia, pengenaan sanksi dihitung berdasarkan rata-rata tingkat imbalan deposito investasi mudharabah berjangka waktu 1 (satu) bulan sebelum didistribusikan, pada bulan sebelumnya dari seluruh BUS dan UUS. Pasal 36 (1) Tata cara pengenaan sanksi kewajiban membayar bagi BUS dan UUS termasuk BUS yang menerima pembiayaan likuiditas jangka pendek syariah yang melanggar kewajiban pemenuhan GWM dalam valuta asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar 0,04% (nol koma nol empat persen) untuk setiap hari pelanggaran, yang dihitung dari selisih antara saldo harian Rekening Giro Valas BUS dan UUS di Bank Indonesia yang wajib dipenuhi dengan saldo harian Rekening Giro Valas BUS dan UUS yang dicatat pada sistem akunting Bank Indonesia. (2) Sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibebankan dalam rupiah dengan menggunakan kurs tengah dari kurs transaksi Bank Indonesia pada hari terjadinya pelanggaran. 25 Pasal 37 (1) Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) dan Pasal 36 dilaksanakan dengan mendebit Rekening Giro Rupiah BUS dan UUS di Bank Indonesia. (2) Pendebitan Rekening Giro Rupiah BUS dan UUS untuk pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lambat 3 (tiga) hari kerja berikutnya setelah tanggal terjadinya pelanggaran GWM dan/atau tanggal ditemukannya pelanggaran GWM. (3) Dalam hal di kemudian hari diketahui terjadi kekurangan atau kelebihan dalam pendebitan yang terkait dengan pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia dapat langsung mendebit atau mengkredit Rekening Giro Rupiah BUS dan UUS yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement. (4) Dalam hal pada saat pendebitan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), saldo Rekening Giro Rupiah BUS dan UUS tidak mencukupi, seluruh sanksi kewajiban membayar tersebut diperhitungkan sebagai kewajiban yang masih harus diselesaikan oleh BUS dan UUS kepada Bank Indonesia. (5) Dalam hal saldo Rekening Giro Rupiah BUS dan UUS tidak mencukupi sebagaimana dimaksud pada ayat (4), atas kekurangan tersebut juga dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) huruf a. BAB V CONTOH PERHITUNGAN PEMENUHAN GWM Bagian Kesatu Contoh Perhitungan Giro Wajib Minimum bagi BUK Pasal 38 Contoh perhitungan pemenuhan GWM bagi BUK, yang terdiri atas: 26 a. perhitungan GWM dalam rupiah, jasa giro, dan sanksi kewajiban membayar bagi BUK tercantum dalam Lampiran I; b. perhitungan GWM dalam valuta asing dan sanksi kewajiban membayar bagi BUK tercantum dalam Lampiran II; c. perhitungan GWM dalam rupiah bagi BUK yang melakukan penggabungan atau peleburan tercantum dalam Lampiran III; d. perhitungan GWM dalam valuta asing bagi BUK yang baru mendapatkan izin melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing tercantum dalam Lampiran IV; dan e. perhitungan GWM bagi BUK yang menerima pinjaman likuiditas jangka pendek tercantum dalam Lampiran V, yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Bagian Kedua Contoh Perhitungan Giro Wajib Minimum bagi BUS dan UUS Pasal 39 Contoh perhitungan GWM bagi BUS dan UUS, yang terdiri atas: a. perhitungan GWM dalam rupiah dan sanksi kewajiban membayar bagi BUS dan UUS tercantum dalam Lampiran VI; b. perhitungan GWM dalam valuta asing dan sanksi kewajiban membayar bagi BUS dan UUS tercantum dalam Lampiran VII; c. perhitungan GWM bagi BUS yang melakukan penggabungan atau peleburan tercantum dalam Lampiran VIII; d. perhitungan pemenuhan GWM dalam valuta asing bagi BUS dan UUS yang baru mendapatkan izin melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing tercantum dalam Lampiran IX; e. perhitungan GWM bagi BUS hasil pemisahan UUS dari BUK tercantum dalam Lampiran X; 27 f. perhitungan GWM bagi BUS hasil perubahan kegiatan usaha BUK tercantum dalam Lampiran XI; dan g. perhitungan GWM bagi BUS yang menerima pembiayaan likuiditas jangka pendek syariah tercantum dalam Lampiran XII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. BAB VI KETENTUAN PENUTUP Pasal 40 Pada saat Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku, Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 19/4/PADG/2017 tanggal 28 April 2017 tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum Konvensional dicabut dan dinyatakan tidak berlaku, kecuali ketentuan yang mengatur mengenai GWM dalam valuta asing dinyatakan masih tetap berlaku sampai dengan tanggal 30 September 2018. Pasal 41 (1) Ketentuan pemenuhan kewajiban GWM dalam valuta asing bagi BUK secara harian dan rata-rata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 mulai berlaku pada tanggal 1 Oktober 2018. (2) Ketentuan pemenuhan kewajiban GWM dalam rupiah secara harian dan rata-rata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 serta GWM dalam valuta asing secara harian bagi BUS dan UUS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 mulai berlaku pada tanggal 1 Oktober 2018. Pasal 42 Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada tanggal 16 Juli 2018. 28 Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 31 Mei 2018 ANGGOTA DEWAN GUBERNUR, TTD MIRZA ADITYASWARA PENJELASAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/10/PADG/2018 TENTANG GIRO WAJIB MINIMUM DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL, BANK UMUM SYARIAH, DAN UNIT USAHA SYARIAH I. UMUM Bank Indonesia telah melakukan perubahan kewajiban pemenuhan dan perhitungan GWM dalam rupiah maupun dalam valuta asing bagi BUK dan bagi BUS serta UUS. Kebijakan ini selaras dengan langkah percepatan penguatan kerangka operasional kebijakan moneter sebagai bagian dari reformasi berkelanjutan Bank Indonesia. Selain itu, Bank Indonesia juga menambah porsi GWM rata-rata bagi BUK serta menyamakan periode perhitungan kewajiban GWM. Kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan fleksibilitas bagi pengelolaan likuiditas perbankan, mendorong fungsi intermediasi perbankan, dan semakin mendorong upaya pendalaman pasar keuangan guna mendukung pencapaian stabilitas makroekonomi dan stabilitas moneter. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. 2 Pasal 2 Periode laporan tertentu DPK BUK dalam rupiah dihitung dengan menggunakan hari kalender. Huruf a Perhitungan pemenuhan GWM dalam rupiah secara harian dilakukan berdasarkan posisi saldo Rekening Giro Rupiah BUK di Bank Indonesia pada akhir hari saat Bank Indonesia menyelenggarakan Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia dan/atau sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement. Huruf b Perhitungan pemenuhan GWM dalam rupiah secara rata- rata dilakukan berdasarkan rata-rata posisi saldo Rekening Giro Rupiah BUK di Bank Indonesia pada akhir hari, pada setiap akhir periode laporan tertentu. Periode laporan tertentu pemenuhan GWM dalam rupiah secara rata-rata dihitung dengan menggunakan hari pada saat Bank Indonesia menyelenggarakan Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia dan/atau sistem Bank Indonesia- Real Time Gross Settlement. Pasal 3 Ayat (1) Perhitungan pemenuhan persentase GWM dalam rupiah yang dipenuhi secara harian yaitu sebagai berikut: Posisi saldo Rekening Giro Rupiah BUK di Bank Indonesia pada setiap akhir hari dalam 2 (dua) periode laporan Rata-rata harian jumlah DPK BUK dalam rupiah dalam 2 (dua) periode laporan pada 4 (empat) periode laporan sebelumnya Perhitungan pemenuhan GWM dalam rupiah bagi BUK secara harian didasarkan pada DPK BUK dalam rupiah sebagai berikut: a. GWM harian untuk 2 (dua) periode laporan yaitu sejak tanggal 1 sampai dengan tanggal 7 dan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 adalah sebesar persentase GWM yang ditetapkan dari rata-rata harian jumlah DPK BUK X 100% 3 dalam rupiah dalam 2 (dua) periode laporan pada 4 (empat) periode laporan sebelumnya yaitu sejak tanggal 1 sampai dengan tanggal 7 dan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 pada bulan sebelumnya; dan b. GWM harian untuk 2 (dua) periode laporan yaitu sejak tanggal 16 sampai dengan tanggal 23 dan sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan adalah sebesar persentase GWM yang ditetapkan dari rata-rata harian jumlah DPK BUK dalam rupiah dalam 2 (dua) periode laporan pada 4 (empat) periode laporan sebelumnya yaitu sejak tanggal 16 sampai dengan tanggal 23 dan sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan pada bulan sebelumnya. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Bagi BUK yang memiliki UUS, jumlah DPK dalam rupiah tidak termasuk DPK dalam rupiah yang dilaporkan oleh UUS. Ayat (4) Huruf a Yang dimaksud dengan “giro” adalah komponen giro yang tercantum dalam penjelasan komponen dana pihak ketiga dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan berkala bank umum. Huruf b Yang dimaksud dengan “tabungan” adalah komponen tabungan yang tercantum dalam penjelasan komponen dana pihak ketiga dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan berkala bank umum. Huruf c Yang dimaksud dengan “simpanan berjangka/deposito” adalah komponen simpanan berjangka yang tercantum dalam penjelasan komponen dana pihak ketiga dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank 4 Indonesia yang mengatur mengenai laporan berkala bank umum. Huruf d Yang dimaksud dengan “kewajiban lainnya” adalah kewajiban lainnya kepada pihak ketiga bukan bank yang tercantum dalam penjelasan komponen dana pihak ketiga dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan berkala bank umum. Pasal 4 Ayat (1) Perhitungan pemenuhan persentase GWM dalam rupiah bagi BUK secara rata-rata dalam periode laporan tertentu yaitu sebagai berikut: Rata-rata posisi saldo Rekening Giro Rupiah BUK di Bank Indonesia pada akhir hari pada setiap akhir 2 (dua) periode laporan Rata-rata harian jumlah DPK BUK dalam rupiah dalam 2 (dua) periode laporan pada 4 (empat) periode laporan sebelumnya X 100 % Perhitungan pemenuhan GWM dalam rupiah bagi BUK secara rata-rata dalam periode laporan tertentu didasarkan pada DPK BUK dalam rupiah sebagai berikut: a. GWM rata-rata untuk 2 (dua) periode laporan yaitu sejak tanggal 1 sampai dengan tanggal 7 dan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 adalah sebesar persentase GWM yang ditetapkan dari rata-rata harian jumlah DPK BUK dalam rupiah dalam 2 (dua) periode laporan pada 4 (empat) periode laporan sebelumnya yaitu sejak tanggal 1 sampai dengan tanggal 7 dan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 pada bulan sebelumnya; dan b. GWM rata-rata untuk 2 (dua) periode laporan yaitu sejak tanggal 16 sampai dengan tanggal 23 dan sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan adalah sebesar persentase GWM yang ditetapkan dari rata-rata harian jumlah DPK BUK dalam rupiah dalam 2 (dua) periode 5 laporan pada 4 (empat) periode laporan sebelumnya yaitu sejak tanggal 16 sampai dengan tanggal 23 dan sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan pada bulan sebelumnya. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 5 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “hari” adalah hari pada saat Bank Indonesia menyelenggarakan Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia dan/atau sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement. Perhitungan jasa giro harian dalam 2 (dua) masa laporan dilakukan dengan mengalikan persentase jasa giro terhadap bagian tertentu dari rata-rata harian jumlah DPK dalam 2 (dua) masa laporan pada 4 (empat) masa laporan sebelumnya. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Tingkat bunga merupakan tingkat bunga efektif tahunan (effective annual rate) yang ditentukan berdasarkan periode compounding harian selama 360 (tiga ratus enam puluh) hari. Ayat (4) Dalam hal BUK tidak memenuhi rasio GWM dalam rupiah lebih dari atau sama dengan 6,5% (enam koma lima persen) dan memenuhi seluruh kewajiban GWM dalam rupiah, BUK tidak diberikan jasa giro untuk hari tersebut. BUK yang mendapat insentif kelonggaran pemenuhan kewajiban GWM dalam rupiah dianggap telah memenuhi seluruh kewajiban GWM dalam rupiah apabila BUK telah memenuhi kewajiban GWM dalam rupiah paling sedikit 5,5% (lima koma lima persen) dari DPK dalam rupiah yang terdiri atas 3,5% (tiga koma lima persen) GWM dalam rupiah yang wajib dipenuhi secara harian dan 2% 6 (dua persen) GWM dalam rupiah yang wajib dipenuhi secara rata- rata untuk masa laporan tertentu. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Periode laporan tertentu DPK BUK dalam valuta asing dihitung dengan menggunakan hari kalender. Huruf a Perhitungan pemenuhan GWM dalam valuta asing secara harian dilakukan berdasarkan posisi saldo Rekening Giro Valas BUK di Bank Indonesia pada akhir hari saat Bank Indonesia menyelenggarakan Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia dan/atau sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement. Huruf b Perhitungan pemenuhan GWM dalam valuta asing secara rata-rata dilakukan berdasarkan rata-rata posisi saldo Rekening Giro Valas BUK di Bank Indonesia pada akhir hari, pada setiap akhir periode laporan tertentu. Periode laporan tertentu pemenuhan GWM dalam valuta asing secara rata-rata dihitung dengan menggunakan hari pada saat Bank Indonesia menyelenggarakan Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia dan/atau sistem Bank Indonesia- Real Time Gross Settlement. Pasal 8 Ayat (1) Perhitungan pemenuhan persentase GWM dalam valuta asing yang dipenuhi secara harian yaitu sebagai berikut: 7 Posisi saldo Rekening Giro Valas di Bank Indonesia pada setiap akhir hari dalam 2 (dua) periode laporan Rata-rata harian jumlah DPK BUK dalam valuta asing dalam 2 (dua) periode laporan pada 4 (empat) periode laporan sebelumnya X 100 % Perhitungan pemenuhan GWM dalam valuta asing bagi BUK secara harian didasarkan pada DPK BUK dalam valuta asing sebagai berikut: a. GWM harian untuk 2 (dua) periode laporan yaitu sejak tanggal 1 sampai dengan tanggal 7 dan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 adalah sebesar persentase GWM yang ditetapkan dari rata-rata harian jumlah DPK BUK dalam valuta asing dalam 2 (dua) periode laporan pada 4 (empat) periode laporan sebelumnya yaitu sejak tanggal 1 sampai dengan tanggal 7 dan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 pada bulan sebelumnya; dan b. GWM harian untuk 2 (dua) periode laporan yaitu sejak tanggal 16 sampai dengan tanggal 23 dan sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan adalah sebesar persentase GWM yang ditetapkan dari rata-rata harian jumlah DPK BUK dalam valuta asing dalam 2 (dua) periode laporan pada 4 (empat) periode laporan sebelumnya yaitu sejak tanggal 16 sampai dengan tanggal 23 dan sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan pada bulan sebelumnya. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Bagi BUK yang memiliki UUS, jumlah DPK dalam valuta asing tidak termasuk DPK dalam valuta asing yang dilaporkan oleh UUS. Ayat (4) Huruf a Yang dimaksud dengan “giro” adalah komponen giro yang tercantum dalam penjelasan komponen dana pihak ketiga dalam valuta asing sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank 8 Indonesia yang mengatur mengenai laporan berkala bank umum. Huruf b Yang dimaksud dengan “tabungan” adalah komponen tabungan yang tercantum dalam penjelasan komponen dana pihak ketiga dalam valuta asing sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan berkala bank umum. Huruf c Yang dimaksud dengan “simpanan berjangka/deposito” adalah komponen simpanan berjangka yang tercantum dalam penjelasan komponen dana pihak ketiga dalam valuta asing sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan berkala bank umum. Huruf d Yang dimaksud dengan “kewajiban lainnya” adalah kewajiban lainnya kepada pihak ketiga bukan bank yang tercantum dalam penjelasan komponen dana pihak ketiga dalam valuta asing sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan berkala bank umum. Pasal 9 Ayat (1) Perhitungan pemenuhan persentase GWM dalam valuta asing secara rata-rata dalam periode laporan tertentu yaitu sebagai berikut: Rata-rata posisi saldo Rekening Giro Valas BUK di Bank Indonesia pada akhir hari pada setiap akhir 2 (dua) periode laporan Rata-rata harian jumlah DPK BUK dalam valuta asing dalam 2 (dua) periode laporan pada 4 (empat) periode laporan sebelumnya X 100 % Perhitungan pemenuhan GWM dalam valuta asing bagi BUK secara rata-rata dalam periode laporan tertentu didasarkan pada DPK BUK dalam valuta asing sebagai berikut: a. GWM rata-rata untuk 2 (dua) periode laporan yaitu sejak tanggal 1 sampai dengan tanggal 7 dan sejak tanggal 8 9 sampai dengan tanggal 15 adalah sebesar persentase GWM yang ditetapkan dari rata-rata harian jumlah DPK BUK dalam valuta asing dalam 2 (dua) periode laporan pada 4 (empat) periode laporan sebelumnya yaitu sejak tanggal 1 sampai dengan tanggal 7 dan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 pada bulan sebelumnya; dan b. GWM rata-rata untuk 2 (dua) periode laporan yaitu sejak tanggal 16 sampai dengan tanggal 23 dan sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan adalah sebesar persentase GWM yang ditetapkan dari rata-rata harian jumlah DPK BUK dalam valuta asing dalam 2 (dua) periode laporan pada 4 (empat) periode laporan sebelumnya yaitu sejak tanggal 16 sampai dengan tanggal 23 dan sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan pada bulan sebelumnya. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 10 Ayat (1) Dalam memberikan kelonggaran atas kewajiban pemenuhan GWM dalam rupiah secara harian, Bank Indonesia dapat berkoordinasi dengan OJK untuk memperoleh rekomendasi dan/atau informasi mengenai kondisi bank. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 11 Ayat (1) Cukup jelas. 10 Ayat (2) Penyampaian tembusan kepada OJK ditujukan kepada satuan kerja terkait. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “tanggal efektif” adalah tanggal pelaksanaan operasional BUK hasil penggabungan atau peleburan. Pasal 12 Huruf a Yang dimaksud dengan “tanggal efektif” adalah tanggal pelaksanaan operasional BUK hasil penggabungan atau peleburan. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “BUK yang menerima pinjaman likuiditas jangka pendek” adalah BUK yang menerima pinjaman likuiditas jangka pendek sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pinjaman likuiditas jangka pendek. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 15 Cukup jelas. 11 Pasal 16 Periode laporan tertentu DPK BUS dan UUS dalam rupiah dihitung dengan menggunakan hari kalender. Huruf a Perhitungan pemenuhan GWM dalam rupiah secara harian dilakukan berdasarkan posisi saldo Rekening Giro Rupiah BUS dan UUS di Bank Indonesia pada akhir hari saat Bank Indonesia menyelenggarakan Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia dan/atau sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement. Huruf b Perhitungan pemenuhan GWM dalam rupiah secara rata- rata dilakukan berdasarkan rata-rata posisi saldo Rekening Giro Rupiah BUS dan UUS di Bank Indonesia pada akhir hari, pada setiap akhir periode laporan tertentu. Periode laporan tertentu pemenuhan GWM dalam rupiah secara rata-rata dihitung dengan menggunakan hari pada saat Bank Indonesia menyelenggarakan Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia dan/atau sistem Bank Indonesia- Real Time Gross Settlement. Pasal 17 Ayat (1) Perhitungan pemenuhan persentase GWM bagi BUS dan UUS dalam rupiah yang dipenuhi secara harian yaitu sebagai berikut: Posisi saldo Rekening Giro Rupiah BUS dan UUS di Bank Indonesia pada setiap akhir hari dalam 2 (dua) periode laporan X 100% Rata-rata harian jumlah DPK BUS dan UUS dalam rupiah dalam 2 (dua) periode laporan pada 4 (empat) periode laporan sebelumnya Perhitungan pemenuhan GWM dalam rupiah bagi BUS dan UUS secara harian didasarkan pada DPK BUS dan UUS dalam rupiah sebagai berikut: a. GWM harian untuk 2 (dua) periode laporan yaitu sejak tanggal 1 sampai dengan tanggal 7 dan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 adalah sebesar persentase GWM yang ditetapkan 12 dari rata-rata harian jumlah DPK BUS dan UUS dalam rupiah dalam 2 (dua) periode laporan pada 4 (empat) periode laporan sebelumnya yaitu sejak tanggal 1 sampai dengan tanggal 7 dan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 bulan sebelumnya; dan b. GWM harian untuk 2 (dua) periode laporan yaitu sejak tanggal 16 sampai dengan tanggal 23 dan sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan adalah sebesar persentase GWM yang ditetapkan dari rata-rata harian jumlah DPK BUS dan UUS dalam rupiah dalam 2 (dua) periode laporan pada 4 (empat) periode laporan sebelumnya yaitu sejak tanggal 16 sampai dengan tanggal 23 dan sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan sebelumnya. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Huruf a Yang dimaksud dengan “dana simpanan wadiah” adalah komponen dana simpanan wadiah yang tercantum dalam penjelasan komponen dana pihak ketiga dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan berkala bank umum. Huruf b Yang dimaksud dengan “dana investasi tidak terikat” adalah komponen dana investasi tidak terikat yang tercantum dalam penjelasan komponen dana pihak ketiga dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan berkala bank umum. Huruf c Yang dimaksud dengan “kewajiban lainnya” adalah kewajiban lainnya kepada pihak ketiga bukan bank yang tercantum dalam penjelasan komponen dana pihak ketiga dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan 13 Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan berkala bank umum. Pasal 18 Ayat (1) Perhitungan pemenuhan persentase GWM bagi BUS dan UUS dalam rupiah secara rata-rata dalam periode laporan tertentu adalah sebagai berikut: Rata-rata posisi saldo Rekening Giro Rupiah BUS dan UUS di Bank Indonesia pada akhir hari pada setiap akhir 2 (dua) periode laporan Rata-rata harian jumlah DPK BUS dan UUS dalam rupiah dalam 2 (dua) periode laporan pada 4 (empat) periode laporan sebelumnya X 100 % Perhitungan pemenuhan GWM bagi BUS dan UUS dalam rupiah secara rata-rata didasarkan pada DPK BUS dan UUS dalam rupiah sebagai berikut: a. GWM rata-rata untuk 2 (dua) periode laporan yaitu sejak tanggal 1 sampai dengan tanggal 7 dan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 adalah sebesar persentase GWM yang ditetapkan dari rata-rata harian jumlah DPK BUS dan UUS dalam rupiah dalam 2 (dua) periode laporan pada 4 (empat) periode laporan sebelumnya yaitu sejak tanggal 1 sampai dengan tanggal 7 dan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 bulan sebelumnya; dan b. GWM rata-rata untuk 2 (dua) periode laporan yaitu sejak tanggal 16 sampai dengan tanggal 23 sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan adalah sebesar persentase GWM yang ditetapkan dari rata-rata harian jumlah DPK BUS dan UUS dalam rupiah dalam 2 (dua) periode laporan pada 4 (empat) periode laporan sebelumnya yaitu sejak tanggal 16 sampai dengan tanggal 23 dan sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan sebelumnya. Ayat (2) Cukup jelas. 14 Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Periode laporan tertentu DPK BUS dan UUS dalam valuta asing dihitung dengan menggunakan hari kalender. Perhitungan pemenuhan GWM dalam valuta asing secara harian dilakukan berdasarkan posisi saldo Rekening Giro Valas BUS dan UUS di Bank Indonesia pada akhir hari saat Bank Indonesia menyelenggarakan Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia dan/atau sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement. Pasal 21 Ayat (1) Perhitungan pemenuhan persentase GWM dalam valuta asing yang dipenuhi secara harian yaitu sebagai berikut: Posisi saldo Rekening Giro Valas BUS dan UUS di Bank Indonesia pada setiap akhir hari dalam 2 (dua) periode laporan Rata-rata harian jumlah DPK BUS dan UUS dalam valuta asing dalam 2 (dua) periode laporan pada 4 (empat) periode laporan sebelumnya X 100 % Perhitungan pemenuhan GWM dalam valuta asing bagi BUS dan UUS secara harian didasarkan pada DPK BUS dan UUS dalam valuta asing sebagai berikut: a. GWM harian untuk 2 (dua) periode laporan yaitu sejak tanggal 1 sampai dengan tanggal 7 dan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 adalah sebesar persentase GWM yang ditetapkan dari rata-rata harian jumlah DPK BUS dan UUS dalam valuta asing dalam 2 (dua) periode laporan pada 4 (empat) periode laporan sebelumnya yaitu sejak tanggal 1 sampai dengan tanggal 7 dan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 pada bulan sebelumnya; dan 15 b. GWM harian untuk 2 (dua) periode laporan yaitu sejak tanggal 16 sampai dengan tanggal 23 dan sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan adalah sebesar persentase GWM yang ditetapkan dari rata-rata harian jumlah DPK BUS dan UUS dalam valuta asing dalam 2 (dua) periode laporan pada 4 (empat) periode laporan sebelumnya yaitu sejak tanggal 16 sampai dengan tanggal 23 dan sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan pada bulan sebelumnya. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Huruf a Yang dimaksud dengan “dana simpanan wadiah” adalah komponen dana simpanan wadiah yang tercantum dalam penjelasan komponen dana pihak ketiga dalam valuta asing sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan berkala bank umum. Huruf b Yang dimaksud dengan “dana investasi tidak terikat” adalah komponen dana investasi tidak terikat yang tercantum dalam penjelasan komponen dana pihak ketiga dalam valuta asing sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan berkala bank umum. Huruf c Yang dimaksud dengan “kewajiban lainnya” adalah kewajiban lainnya kepada pihak ketiga bukan bank yang tercantum dalam penjelasan komponen dana pihak ketiga dalam valuta asing sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan berkala bank umum. 16 Pasal 22 Ayat (1) Dalam memberikan kelonggaran atas kewajiban pemenuhan GWM dalam rupiah secara harian, Bank Indonesia dapat berkoordinasi dengan OJK untuk memperoleh rekomendasi dan/atau informasi mengenai kondisi bank. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 23 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Penyampaian tembusan kepada OJK ditujukan kepada satuan kerja terkait. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “tanggal efektif” adalah tanggal pelaksanaan operasional BUS hasil penggabungan atau peleburan. Pasal 24 Huruf a Yang dimaksud dengan “tanggal efektif” adalah tanggal pelaksanaan operasional BUS hasil penggabungan atau peleburan. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Pasal 25 Cukup jelas. 17 Pasal 26 Huruf a Yang dimaksud dengan “tanggal efektif” adalah tanggal pelaksanaan operasional BUS hasil pemisahan. Yang dimaksud dengan “hari” adalah hari pada saat Bank Indonesia menyelenggarakan Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia dan/atau sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement. Huruf b Yang dimaksud dengan “hari” adalah hari pada saat Bank Indonesia menyelenggarakan Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia dan/atau sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement. Huruf c Cukup jelas. Pasal 27 Huruf a Yang dimaksud dengan “tanggal efektif” adalah tanggal pelaksanaan operasional BUS hasil perubahan kegiatan usaha BUK. Yang dimaksud dengan “hari” adalah hari pada saat Bank Indonesia menyelenggarakan Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia dan/atau sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Pasal 28 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “BUS yang menerima pembiayaan likuiditas jangka pendek syariah” adalah BUS yang menerima pembiayaan likuiditas jangka pendek syariah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pembiayaan likuiditas jangka pendek syariah. 18 Ayat (2) Yang dimaksud dengan “dana pihak ketiga BUS” adalah kewajiban BUS kepada penduduk dan bukan penduduk yang diperoleh dari laporan dana pihak ketiga BUS pada LBBUS. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 Ayat (1) Huruf a Perhitungan sanksi kewajiban membayar atas pelanggaran GWM dalam rupiah yang wajib dipenuhi secara harian dihitung dengan rumus sebagai berikut: 125% x suku bunga JIBOR dalam rupiah x kekurangan GWM dalam rupiah yang wajib dipenuhi secara harian x hari pelanggaran 360 Huruf b Perhitungan sanksi kewajiban membayar atas pelanggaran GWM dalam rupiah yang wajib dipenuhi secara rata-rata dihitung dengan rumus sebagai berikut: 125% x rata-rata suku bunga JIBOR dalam rupiah selama 2 (dua) periode laporan x kekurangan GWM dalam rupiah yang wajib dipenuhi secara rata-rata x jumlah hari selama 2 (dua) periode laporan 360 Yang dimaksud dengan “hari” adalah hari pada saat Bank Indonesia menyelenggarakan Sistem Kliring Nasional Bank 19 Indonesia dan/atau sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 32 Ayat (1) Huruf a Perhitungan sanksi kewajiban membayar atas pelanggaran GWM dalam valuta asing yang wajib dipenuhi secara harian dihitung dengan rumus sebagai berikut: Kekurangan GWM dalam valuta asing yang wajib dipenuhi secara harian x 0,04% x hari pelanggaran Huruf b Perhitungan sanksi kewajiban membayar atas pelanggaran GWM dalam valuta asing yang wajib dipenuhi secara rata- rata dihitung dengan rumus sebagai berikut: Kekurangan GWM dalam valuta asing yang wajib dipenuhi secara rata-rata x 0,04% x jumlah hari selama 2 (dua) periode laporan Yang dimaksud dengan “hari” adalah hari pada saat Bank Indonesia menyelenggarakan Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia dan/atau sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “kurs tengah dari kurs transaksi Bank Indonesia” adalah kurs jual ditambah dengan kurs beli dibagi dua. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “kurs tengah dari kurs transaksi Bank Indonesia” adalah kurs jual ditambah dengan kurs beli dibagi dua. Pasal 33 Cukup jelas. 20 Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Ayat (1) Huruf a Data mengenai Tingkat Indikasi Imbalan SIMA yang digunakan yaitu rata-rata tertimbang tingkat indikasi imbalan SIMA dalam rupiah untuk semua tenor yang terjadi di PUAS pada pasar perdana yang diperoleh dari LHBU. Perhitungan sanksi kewajiban membayar atas pelanggaran GWM dalam rupiah yang wajib dipenuhi secara harian dihitung dengan rumus sebagai berikut: 125% x Tingkat Indikasi Imbalan SIMA x kekurangan GWM dalam rupiah yang wajib dipenuhi secara harian x hari pelanggaran 360 Huruf b Perhitungan sanksi kewajiban membayar atas pelanggaran GWM dalam rupiah yang wajib dipenuhi secara rata-rata dihitung dengan rumus sebagai berikut: 125% x rata-rata Tingkat Indikasi Imbalan SIMA selama 2 (dua) periode laporan x kekurangan GWM dalam rupiah yang wajib dipenuhi secara rata-rata x jumlah hari selama 2 (dua) periode laporan 360 Yang dimaksud dengan “hari” adalah hari pada saat Bank Indonesia menyelenggarakan Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia dan/atau sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement. Ayat (2) Data mengenai tingkat imbalan deposito investasi mudharabah berjangka waktu 1 (satu) bulan sebelum didistribusikan yang digunakan yaitu rata-rata tingkat imbalan deposito mudharabah 21 berjangka waktu 1 (satu) bulan sebelum didistribusikan yang tercatat pada LHBU. Pasal 36 Ayat (1) Perhitungan sanksi kewajiban membayar atas pelanggaran GWM dalam valuta asing dihitung dengan rumus sebagai berikut: Kekurangan GWM dalam valuta asing yang wajib dipenuhi secara harian x 0,04% x hari pelanggaran Ayat (2) Yang dimaksud dengan “kurs tengah dari kurs transaksi Bank Indonesia” adalah kurs jual ditambah dengan kurs beli dibagi dua. Pasal 37 Cukup jelas. Pasal 38 Cukup jelas. Pasal 39 Cukup jelas. Pasal 40 Cukup jelas. Pasal 41 Cukup jelas. Pasal 42 Cukup jelas. "," PADG 20/10/PADG/2018 GIRO WAJIB MINIMUM DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL, BANK UMUM SYARIAH, DAN UNIT USAHA SYARIAH 31 Mei 2018 16 Juli 2018 '19/4/PADG/2017' '20/3/PBI/2018' 'BAB IV' " " PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/5/PADG/2018 TENTANG INSTRUMEN OPERASI PASAR TERBUKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam melaksanakan kebijakan moneter untuk mencapai tujuan Bank Indonesia, Bank Indonesia melakukan pengendalian moneter yang salah satunya melalui pelaksanaan operasi moneter, baik secara konvensional maupun berdasarkan prinsip syariah; b. bahwa dalam melaksanakan operasi moneter sebagaimana dimaksud dalam huruf a, Bank Indonesia perlu mengatur instrumen yang digunakan dalam operasi pasar terbuka baik secara konvensional maupun berdasarkan prinsip syariah; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Anggota Dewan Gubernur tentang Instrumen Operasi Pasar Terbuka; Mengingat : Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/5/PBI/2018 tentang Operasi Moneter (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6198); 2 MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG INSTRUMEN OPERASI PASAR TERBUKA. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah bank umum konvensional, bank umum syariah, dan unit usaha syariah. 2. Bank Umum Konvensional yang selanjutnya disingkat BUK adalah bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan. 3. Bank Umum Syariah yang selanjutnya disingkat BUS adalah bank umum yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah. 4. Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disingkat UUS adalah unit usaha syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah. 5. Operasi Moneter adalah pelaksanaan kebijakan moneter oleh Bank Indonesia untuk pengendalian moneter yang dilakukan secara konvensional dan berdasarkan prinsip syariah. 6. Operasi Moneter Konvensional yang selanjutnya disingkat OMK adalah pelaksanaan kebijakan moneter oleh Bank Indonesia untuk pengendalian moneter yang dilakukan secara konvensional. 7. Operasi Moneter Syariah yang selanjutnya disingkat OMS adalah pelaksanaan kebijakan moneter oleh Bank 3 Indonesia untuk pengendalian moneter yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah. 8. Operasi Pasar Terbuka yang selanjutnya disingkat OPT adalah kegiatan transaksi di pasar uang dan/atau pasar valuta asing yang dilakukan oleh Bank Indonesia dengan Bank dan/atau pihak lain untuk Operasi Moneter yang dilakukan secara konvensional dan berdasarkan prinsip syariah. 9. Operasi Pasar Terbuka Konvensional yang selanjutnya disebut OPT Konvensional adalah kegiatan transaksi di pasar uang dan/atau pasar valuta asing yang dilakukan oleh Bank Indonesia dengan BUK dan/atau pihak lain. 10. Operasi Pasar Terbuka Syariah yang selanjutnya disebut OPT Syariah adalah kegiatan transaksi di pasar uang berdasarkan prinsip syariah dan/atau pasar valuta asing yang dilakukan oleh Bank Indonesia dengan BUS, UUS, dan/atau pihak lain. 11. Peserta OPT Konvensional adalah BUK yang telah memperoleh izin dari Bank Indonesia sebagai peserta OMK sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kepesertaan operasi moneter. 12. Peserta OPT Syariah adalah BUS dan/atau UUS yang telah memperoleh izin dari Bank Indonesia sebagai peserta OMS sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kepesertaan operasi moneter. 13. Lembaga Perantara adalah pialang pasar uang rupiah dan valuta asing dan perusahaan efek yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan Republik Indonesia sebagai dealer utama yang telah memperoleh izin dari Bank Indonesia sebagai lembaga perantara dalam Operasi Moneter sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kepesertaan operasi moneter. 14. Sertifikat Bank Indonesia yang selanjutnya disingkat SBI adalah surat berharga dalam mata uang rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek. 4 15. Sertifikat Bank Indonesia Syariah yang selanjutnya disingkat SBIS adalah surat berharga berdasarkan prinsip syariah dalam mata uang rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia dan berjangka waktu pendek. 16. Sertifikat Deposito Bank Indonesia yang selanjutnya disingkat SDBI adalah surat berharga dalam mata uang rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek yang dapat diperdagangkan hanya antar-BUK. 17. Surat Berharga Bank Indonesia dalam Valuta Asing yang selanjutnya disebut SBBI Valas adalah surat berharga dalam valuta asing yang diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek. 18. Surat Berharga Negara yang selanjutnya disingkat SBN adalah surat utang negara dan surat berharga syariah negara. 19. Surat Utang Negara yang selanjutnya disingkat SUN adalah surat utang negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai surat utang negara. 20. Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya disingkat SBSN adalah surat berharga syariah negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai surat berharga syariah negara. 21. Transaksi Repurchase Agreement Surat Berharga untuk OPT Konvensional yang selanjutnya disebut Transaksi Repo OPT Konvensional adalah transaksi penjualan surat berharga oleh Peserta OPT Konvensional kepada Bank Indonesia, dengan kewajiban pembelian kembali oleh Peserta OPT Konvensional sesuai dengan harga dan jangka waktu yang disepakati. 22. Transaksi Repurchase Agreement Surat Berharga untuk OPT Syariah yang selanjutnya disebut Transaksi Repo OPT Syariah adalah transaksi penjualan surat berharga oleh Peserta OPT Syariah kepada Bank Indonesia dengan janji pembelian kembali oleh Peserta OPT Syariah sesuai dengan harga dan jangka waktu yang disepakati. 5 23. Transaksi Reverse Repo Surat Berharga untuk OPT Konvensional yang selanjutnya disebut Transaksi Reverse Repo OPT Konvensional adalah transaksi pembelian surat berharga oleh Peserta OPT Konvensional dari Bank Indonesia, dengan kewajiban penjualan kembali oleh Peserta OPT Konvensional sesuai dengan harga dan jangka waktu yang disepakati. 24. Transaksi Reverse Repo Surat Berharga untuk OPT Syariah yang selanjutnya disebut Transaksi Reverse Repo OPT Syariah adalah transaksi pembelian surat berharga oleh Peserta OPT Syariah dari Bank Indonesia, dengan janji penjualan kembali oleh Peserta OPT Syariah sesuai dengan harga dan jangka waktu yang disepakati. 25. Penempatan Berjangka OPT Konvensional yang selanjutnya disebut Transaksi Term Deposit OPT Konvensional adalah penempatan dana secara berjangka di Bank Indonesia dalam rupiah dan/atau valuta asing milik Peserta OPT Konvensional. 26. Penempatan Berjangka OPT Syariah yang selanjutnya disebut Transaksi Term Deposit OPT Syariah adalah penempatan dana secara berjangka di Bank Indonesia dalam valuta asing milik Peserta OPT Syariah. 27. Transaksi Spot adalah transaksi jual atau beli valuta asing terhadap rupiah dengan penyerahan dana dilakukan 2 (dua) hari kerja setelah tanggal transaksi. 28. Transaksi Spot Beli Bank Indonesia adalah transaksi beli valuta asing terhadap rupiah oleh Bank Indonesia dengan penyerahan dana dilakukan 2 (dua) hari kerja setelah tanggal transaksi. 29. Transaksi Spot Jual Bank Indonesia adalah transaksi jual valuta asing terhadap rupiah oleh Bank Indonesia dengan penyerahan dana dilakukan 2 (dua) hari kerja setelah tanggal transaksi. 30. Transaksi Swap adalah transaksi pertukaran valuta asing terhadap rupiah melalui pembelian atau penjualan tunai (spot) dengan penjualan atau pembelian kembali secara berjangka (forward) yang dilakukan secara simultan 6 dengan counterpart yang sama serta pada tingkat harga yang dibuat dan disepakati pada tanggal transaksi dilakukan. 31. Transaksi Swap Beli Bank Indonesia adalah transaksi jual valuta asing terhadap rupiah oleh Bank Indonesia secara tunai (spot) dengan diikuti transaksi pembelian kembali valuta asing terhadap rupiah oleh Bank Indonesia secara berjangka (forward) yang dilakukan secara simultan dengan counterpart yang sama serta pada tingkat harga yang dibuat dan disepakati pada tanggal transaksi dilakukan. 32. Transaksi Swap Jual Bank Indonesia adalah transaksi beli valuta asing terhadap rupiah oleh Bank Indonesia secara tunai (spot) dengan diikuti transaksi penjualan kembali valuta asing terhadap rupiah oleh Bank Indonesia secara berjangka (forward) yang dilakukan secara simultan dengan counterpart yang sama serta pada tingkat harga yang dibuat dan disepakati pada tanggal transaksi dilakukan. 33. Transaksi Forward adalah transaksi jual atau beli valuta asing terhadap rupiah dengan penyerahan dana dilakukan lebih dari 2 (dua) hari kerja setelah tanggal transaksi. 34. Transaksi Forward Jual Bank Indonesia adalah transaksi jual valuta asing terhadap rupiah oleh Bank Indonesia dengan penyerahan dana dilakukan lebih dari 2 (dua) hari kerja setelah tanggal transaksi. 35. Transaksi Forward Beli Bank Indonesia adalah transaksi beli valuta asing terhadap rupiah oleh Bank Indonesia dengan penyerahan dana dilakukan lebih dari 2 (dua) hari kerja setelah tanggal transaksi. 36. Kurs Referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate yang selanjutnya disebut JISDOR adalah representasi harga spot dolar Amerika Serikat terhadap rupiah dari transaksi antar Bank di pasar domestik, termasuk transaksi Bank dengan bank di luar negeri, yang informasi data transaksinya dapat diakses melalui Sistem Monitoring Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah sebagaimana 7 diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai transaksi valuta asing terhadap rupiah antara bank dengan pihak domestik. 37. Delivery Versus Payment yang selanjutnya disingkat DVP adalah mekanisme setelmen transaksi dengan cara setelmen surat berharga dan setelmen dana dilakukan secara bersamaan. 38. Pelunasan atau Pencairan Sebelum Jatuh Waktu yang selanjutnya disebut Early Redemption adalah pelunasan SBI, SDBI, SBBI Valas sebelum jatuh waktu atau pencairan Term Deposit OPT Konvensional atau Term Deposit OPT Syariah sebelum jatuh waktu. 39. Sistem Bank Indonesia-Electronic Trading Platform yang selanjutnya disebut Sistem BI-ETP adalah Sistem BI-ETP sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan transaksi, penatausahaan surat berharga, dan setelmen dana seketika. 40. Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System yang selanjutnya disingkat BI-SSSS adalah BI-SSSS sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan transaksi, penatausahaan surat berharga, dan setelmen dana seketika. 41. Hari Kerja adalah hari kerja Bank Indonesia, termasuk hari kerja operasional terbatas Bank Indonesia. BAB II TUJUAN OPT Pasal 2 (1) Bank Indonesia melaksanakan OPT sebagai salah satu upaya untuk mencapai tujuan Operasi Moneter yaitu mendukung pencapaian stabilitas moneter. (2) OPT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan di pasar uang dan pasar valuta asing secara terintegrasi. 8 (3) OPT sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi: a. OPT Konvensional; dan b. OPT Syariah. Pasal 3 (1) Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), OPT Konvensional dilakukan untuk mengendalikan Suku Bunga PUAB O/N dan menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. (2) Untuk mengendalikan Suku Bunga PUAB O/N sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia melakukan pengelolaan likuiditas di pasar uang rupiah dengan cara absorpsi likuiditas dan/atau injeksi likuiditas. (3) Untuk menjaga stabilitas nilai tukar, Bank Indonesia melakukan intervensi dan/atau transaksi lainnya di pasar valuta asing. Pasal 4 (1) Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), OPT Syariah dilakukan untuk memengaruhi kecukupan likuiditas di pasar uang berdasarkan prinsip syariah dan pasar valuta asing. (2) Untuk memengaruhi kecukupan likuiditas di pasar uang berdasarkan prinsip syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia melakukan pengelolaan likuiditas dengan cara absorpsi likuiditas dan/atau injeksi likuiditas. (3) Untuk memengaruhi kecukupan likuiditas di pasar valuta asing, Bank Indonesia melakukan intervensi dan/atau transaksi lainnya di pasar valuta asing. 9 BAB III PELAKSANAAN OPT Pasal 5 (1) OPT dapat dilakukan pada Hari Kerja yang ditetapkan Bank Indonesia. (2) Window time OPT dapat dilakukan antara pukul 08.00 WIB sampai dengan pukul 16.00 WIB atau waktu lain yang ditetapkan Bank Indonesia. Pasal 6 Bank Indonesia melakukan OPT melalui Sistem BI-ETP atau sarana dealing system yang ditetapkan Bank Indonesia. Pasal 7 (1) Bank Indonesia melakukan OPT dengan mekanisme lelang dan/atau nonlelang. (2) Pelaksanaan OPT dengan mekanisme lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan metode sebagai berikut: a. harga tetap (fixed rate tender); atau b. harga beragam (variable rate tender). (3) Pelaksanaan OPT dengan mekanisme nonlelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara bilateral antara Bank Indonesia dengan peserta OPT. Pasal 8 OPT Konvensional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a dilaksanakan melalui instrumen sebagai berikut: a. penerbitan SBI, SDBI, dan/atau SBBI Valas; b. Transaksi Repo OPT Konvensional dan/atau Transaksi Reverse Repo OPT Konvensional; c. Transaksi pembelian dan penjualan SBN secara putus (outright) di pasar sekunder; d. Transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam rupiah; 10 e. Transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing; f. Transaksi Spot, Swap, dan/atau Forward; dan/atau g. transaksi lainnya baik di pasar uang rupiah maupun pasar valuta asing. Pasal 9 OPT Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf b dilaksanakan melalui instrumen sebagai berikut: a. Penerbitan SBIS; b. Transaksi Repo OPT Syariah dan/atau Transaksi Reverse Repo OPT Syariah; c. Transaksi pembelian dan penjualan SBSN secara putus (outright) di pasar sekunder; d. Transaksi Term Deposit OPT Syariah dalam valuta asing; dan/atau e. transaksi lainnya yang memenuhi prinsip syariah baik di pasar uang rupiah maupun pasar valuta asing. Pasal 10 (1) Kriteria dan persyaratan surat berharga yang dapat digunakan dalam transaksi OPT diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kriteria dan persyaratan surat berharga dalam operasi moneter. (2) Persyaratan Peserta OPT Konvensional, Peserta OPT Syariah, dan Lembaga Perantara yang dapat mengajukan penawaran dalam transaksi OPT diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kepesertaan operasi moneter. 11 BAB IV INSTRUMEN OPT KONVENSIONAL Bagian Kesatu Penerbitan SBI Paragraf 1 Karakteristik SBI Pasal 11 Penerbitan SBI merupakan instrumen yang digunakan Bank Indonesia untuk absorpsi likuiditas rupiah di pasar uang. Pasal 12 (1) SBI memiliki karakteristik sebagai berikut: a. memiliki satuan unit sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah); b. berjangka waktu paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan yang dinyatakan dalam jumlah hari kalender, yang dihitung sejak 1 (satu) hari kalender sesudah tanggal setelmen sampai dengan tanggal jatuh waktu. c. diterbitkan dan diperdagangkan dengan sistem diskonto; d. diterbitkan dan ditransaksikan di Sistem BI-ETP; e. diterbitkan tanpa warkat ditatausahakan di BI-SSSS; dan f. (scripless) dan dapat dipindahtangankan (negotiable) melalui perdagangan di pasar sekunder dengan cara pembelian atau penjualan secara putus (outright), pinjam-meminjam, hibah, repurchase agreement (repo), atau dijadikan agunan. (2) SBI yang masih dalam status agunan tidak dapat diperdagangkan. (3) Bank Indonesia melunasi SBI sebesar nilai nominal pada saat jatuh waktu. 12 (4) Bank Indonesia dapat melakukan Early Redemption atas SBI berdasarkan pertimbangan terkait strategi pengelolaan moneter. (5) Early Redemption atas SBI sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan dengan persetujuan pemilik SBI. (6) Contoh perhitungan jangka waktu SBI tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Paragraf 2 Mekanisme Penerbitan SBI Pasal 13 (1) Penerbitan SBI dilakukan dengan mekanisme lelang melalui Sistem BI-ETP. (2) Lelang SBI dilakukan dengan metode sebagai berikut: a. harga tetap (fixed rate tender), dengan tingkat diskonto lelang SBI ditetapkan oleh Bank Indonesia; atau b. harga beragam (variable rate tender), dengan tingkat diskonto lelang SBI diajukan oleh Peserta OPT Konvensional. Bagian Kedua Penerbitan SDBI Paragraf 1 Karakteristik SDBI Pasal 14 Penerbitan SDBI merupakan instrumen yang digunakan Bank Indonesia untuk absorpsi likuiditas rupiah di pasar uang. Pasal 15 (1) SDBI memiliki karakteristik sebagai berikut: a. memiliki satuan unit sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah); 13 b. berjangka waktu paling singkat 1 (satu) hari kalender dan paling lama 12 (dua belas) bulan yang dinyatakan dalam jumlah hari kalender dan dihitung sejak 1 (satu) hari kalender sesudah tanggal setelmen sampai dengan tanggal jatuh waktu; c. diterbitkan dan diperdagangkan dengan sistem diskonto; d. diterbitkan dan ditransaksikan di Sistem BI-ETP; e. diterbitkan tanpa warkat (scripless) dan ditatausahakan di BI-SSSS; f. hanya dapat dipindahtangankan (negotiable) antar- BUK; g. hanya dapat dimiliki oleh BUK; dan h. hanya dapat ditransaksikan antar-BUK antara lain dengan cara pembelian dan/atau penjualan secara putus (outright), pinjam-meminjam, hibah, repurchase agreement (repo), atau dijadikan agunan. (2) SDBI yang masih dalam status agunan tidak dapat diperdagangkan. (3) Bank Indonesia melunasi SDBI sebesar nilai nominal pada saat jatuh waktu. (4) Bank Indonesia dapat melakukan Early Redemption atas SDBI, dalam hal: a. terdapat pertimbangan Bank Indonesia terkait strategi pengelolaan moneter; atau b. SDBI dimiliki oleh pihak selain BUK. (5) Early Redemption atas SDBI sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a dilakukan dengan persetujuan pemilik SDBI. (6) Contoh perhitungan jangka waktu SDBI tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. 14 Paragraf 2 Mekanisme Penerbitan SDBI Pasal 16 (1) Penerbitan SDBI dilakukan dengan mekanisme lelang melalui Sistem BI-ETP. (2) Lelang SDBI dilakukan dengan metode sebagai berikut: a. harga tetap (fixed rate tender), dengan tingkat diskonto lelang SDBI ditetapkan oleh Bank Indonesia; atau b. harga beragam (variable rate tender), dengan tingkat diskonto lelang SDBI diajukan oleh Peserta OPT Konvensional. Bagian Ketiga Penerbitan SBBI Valas Paragraf 1 Karakteristik SBBI Valas Pasal 17 Penerbitan SBBI Valas merupakan instrumen yang digunakan Bank Indonesia untuk mendukung stabilitas nilai tukar rupiah. Pasal 18 (1) SBBI Valas memiliki karakteristik sebagai berikut: a. jenis valuta asing yaitu dolar Amerika Serikat; b. memiliki satuan unit sebesar USD1,000.00 (seribu dolar Amerika Serikat); c. berjangka waktu paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan yang dinyatakan dalam jumlah hari kalender dan dihitung sejak 1 (satu) hari kalender sesudah tanggal setelmen sampai dengan tanggal jatuh waktu; d. diterbitkan tanpa warkat (scripless); e. dapat dimiliki oleh penduduk atau bukan penduduk di pasar perdana atau pasar sekunder; 15 f. g. dapat diperdagangkan (tradable); dan diterbitkan dan diperdagangkan dengan sistem diskonto. (2) SBBI Valas yang masih dalam status agunan tidak dapat diperdagangkan. (3) Bank Indonesia melunasi SBBI Valas sebesar nilai nominal pada saat jatuh waktu. (4) Bank Indonesia dapat melakukan Early Redemption atas SBBI Valas berdasarkan pertimbangan terkait strategi pengelolaan moneter. (5) Early Redemption atas SBBI Valas sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan dengan persetujuan pemilik SBBI Valas. Paragraf 2 Mekanisme Penerbitan SBBI Valas Pasal 19 (1) Penerbitan SBBI Valas dilakukan dengan mekanisme lelang melalui sarana dealing system yang ditetapkan Bank Indonesia. (2) Lelang SBBI Valas dilakukan dengan metode sebagai berikut: a. harga tetap (fixed rate tender), dengan tingkat diskonto lelang SBBI Valas ditetapkan oleh Bank Indonesia; atau b. harga beragam (variable rate tender), dengan tingkat diskonto lelang SBBI Valas diajukan oleh Peserta OPT Konvensional. 16 Bagian Keempat Transaksi Repo OPT Konvensional Paragraf 1 Karakteristik Transaksi Repo OPT Konvensional Pasal 20 Transaksi Repo OPT Konvensional merupakan instrumen yang digunakan Bank Indonesia untuk injeksi likuiditas rupiah di pasar uang. Pasal 21 Transaksi Repo OPT Konvensional memiliki karakteristik sebagai berikut: a. dilakukan dengan prinsip sell and buy back, yaitu terdapat perpindahan kepemilikan surat berharga (transfer of ownership); b. berjangka waktu paling singkat 1 (satu) hari kalender dan paling lama 12 (dua belas) bulan yang dinyatakan dalam hari kalender, yang dihitung sejak 1 (satu) hari kalender setelah tanggal setelmen sampai dengan tanggal jatuh waktu; c. bunga repo dihitung berdasarkan metode bunga dibayar di belakang (simple interest); dan d. hak penerimaan kupon atas surat berharga yang di-repo- kan selama periode Transaksi Repo OPT Konvensional tetap merupakan milik Peserta OPT Konvensional. Paragraf 2 Mekanisme Transaksi Repo OPT Konvensional Pasal 22 (1) Transaksi Repo OPT Konvensional dilakukan dengan mekanisme lelang melalui: a. Sistem BI-ETP untuk Transaksi Repo OPT Konvensional dengan surat berharga dalam rupiah; atau 17 b. sarana dealing system yang ditetapkan oleh Bank Indonesia untuk Transaksi Repo OPT Konvensional dengan surat berharga dalam valuta asing. (2) Lelang Transaksi Repo OPT Konvensional dilakukan dengan metode sebagai berikut: a. harga tetap (fixed rate tender), dengan suku bunga repo (repo rate) ditetapkan oleh Bank Indonesia; atau b. harga beragam (variable rate tender), dengan suku bunga repo (repo rate) diajukan oleh Peserta OPT Konvensional. Bagian Kelima Transaksi Reverse Repo OPT Konvensional Paragraf 1 Karakteristik Transaksi Reverse Repo OPT Konvensional Pasal 23 Transaksi Reverse Repo OPT Konvensional merupakan instrumen yang digunakan Bank Indonesia untuk absorpsi likuiditas rupiah di pasar uang. Pasal 24 Transaksi Reverse Repo OPT Konvensional memiliki karakteristik sebagai berikut: a. dilakukan dengan prinsip sell and buy back, yaitu terdapat perpindahan kepemilikan surat berharga (transfer of ownership); b. berjangka waktu paling singkat 1 (satu) hari kalender dan paling lama 12 (dua belas) bulan yang dinyatakan dalam hari kalender, yang dihitung sejak 1 (satu) hari kalender setelah tanggal setelmen sampai dengan tanggal jatuh waktu; c. bunga reverse repo dihitung berdasarkan metode bunga dibayar di belakang (simple interest); dan 18 d. hak penerimaan kupon atas surat berharga yang di- reverse-repo-kan selama periode Transaksi Reverse Repo OPT Konvensional tetap merupakan milik Bank Indonesia. Paragraf 2 Mekanisme Transaksi Reverse Repo OPT Konvensional Pasal 25 (1) Transaksi Reverse Repo OPT Konvensional dilakukan dengan mekanisme lelang melalui Sistem BI-ETP. (2) Lelang Transaksi Reverse Repo OPT Konvensional dilakukan dengan metode sebagai berikut: a. harga tetap (fixed rate tender), dengan suku bunga reverse repo (RR-Rate) ditetapkan Bank Indonesia; atau b. harga beragam (variable rate tender), dengan suku bunga reverse repo (RR-Rate) diajukan Peserta OPT Konvensional. Bagian Keenam Transaksi Pembelian dan Penjualan SBN Secara Putus (Outright) di Pasar Sekunder Pasal 26 (1) Transaksi pembelian SBN secara putus (outright) oleh Bank Indonesia di pasar sekunder dilakukan untuk injeksi likuiditas rupiah di pasar uang dan/atau menjaga ketersediaan SBN yang diperlukan sebagai instrumen Operasi Moneter dalam pencapaian sasaran operasional kebijakan moneter Bank Indonesia. (2) Transaksi penjualan SBN secara putus (outright) oleh Bank Indonesia di pasar sekunder merupakan instrumen yang digunakan oleh Bank Indonesia untuk absorpsi likuiditas rupiah di pasar uang. 19 Pasal 27 (1) Transaksi pembelian dan penjualan SBN secara putus (outright) di pasar sekunder dilakukan dengan: a. mekanisme lelang melalui Sistem BI-ETP dan/atau sarana dealing system yang ditetapkan oleh Bank Indonesia; atau b. mekanisme nonlelang melalui Sistem BI-ETP atau sarana dealing system yang digunakan oleh Bank Indonesia. (2) Lelang transaksi pembelian dan penjualan SBN secara putus (outright) di pasar sekunder dilakukan dengan metode sebagai berikut: a. harga tetap (fixed rate tender), dengan yield atau harga transaksi pembelian atau penjualan SBN secara putus (outright) di pasar sekunder ditetapkan oleh Bank Indonesia; atau b. harga beragam (variable rate tender), dengan yield atau harga transaksi pembelian atau penjualan SBN secara putus (outright) di pasar sekunder diajukan oleh Peserta OPT Konvensional. Bagian Ketujuh Transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam Rupiah Paragraf 1 Karakteristik Transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam Rupiah Pasal 28 Transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam rupiah merupakan instrumen yang digunakan Bank Indonesia untuk absorpsi likuiditas rupiah di pasar uang. 20 Pasal 29 Transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam rupiah memiliki karakteristik sebagai berikut: a. berjangka waktu paling singkat 1 (satu) hari kalender dan paling lama 12 (dua belas) bulan yang dinyatakan dalam hari kalender yang dihitung sejak 1 (satu) hari kalender setelah tanggal setelmen sampai dengan tanggal jatuh waktu; b. dilakukan tanpa disertai dengan penerbitan surat berharga; c. perhitungan bunga dengan menggunakan sistem diskonto; d. ditatausahakan dalam BI-SSSS; dan e. dapat dilakukan Early Redemption baik keseluruhan atau sebagian. Paragraf 2 Mekanisme Transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam Rupiah Pasal 30 (1) Transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam rupiah dilakukan dengan mekanisme lelang melalui Sistem BI- ETP. (2) Lelang Transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam rupiah dilakukan dengan metode sebagai berikut: a. harga tetap (fixed rate tender), dengan tingkat diskonto Transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam rupiah ditetapkan oleh Bank Indonesia; atau b. harga beragam (variable rate tender), dengan tingkat diskonto Transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam rupiah diajukan oleh Peserta OPT Konvensional. 21 Bagian Kedelapan Transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam Valuta Asing Paragraf 1 Karakteristik Transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam Valuta Asing Pasal 31 Transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing merupakan instrumen yang digunakan oleh Bank Indonesia untuk mengelola likuiditas valuta asing guna mendukung stabilitas nilai tukar rupiah. Pasal 32 Transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing memiliki karakteristik sebagai berikut: a. jenis mata uang yang digunakan adalah dolar Amerika Serikat; b. berjangka waktu paling singkat 1 (satu) hari kalender dan paling lama 12 (dua belas) bulan yang dinyatakan dalam hari kalender, yang dihitung sejak 1 (satu) hari kalender setelah tanggal setelmen sampai dengan tanggal jatuh waktu; c. dilakukan tanpa disertai dengan penerbitan surat berharga; d. perhitungan bunga dengan menggunakan metode bunga dibayar di belakang (simple interest); e. dapat dilakukan Early Redemption baik keseluruhan atau sebagian; dan f. dapat dialihkan menjadi Transaksi Swap Jual Bank Indonesia. 22 Paragraf 2 Mekanisme Transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam Valuta Asing Pasal 33 (1) Transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing dilakukan dengan mekanisme lelang melalui sarana dealing system yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (2) Lelang Transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing dilakukan dengan metode sebagai berikut: a. harga tetap (fixed rate tender), dengan tingkat bunga Transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing ditetapkan oleh Bank Indonesia; atau b. harga beragam (variable rate tender), dengan tingkat bunga Transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing diajukan oleh Peserta OPT Konvensional. Bagian Kesembilan Transaksi Spot Paragraf 1 Karakteristik Transaksi Spot Pasal 34 Transaksi Spot merupakan instrumen yang digunakan oleh Bank Indonesia untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah dengan cara: a. Transaksi Spot Jual Bank Indonesia; atau b. Transaksi Spot Beli Bank Indonesia. Pasal 35 Jenis valuta asing yang digunakan dalam Transaksi Spot adalah dolar Amerika Serikat. 23 Paragraf 2 Mekanisme Transaksi Spot Pasal 36 (1) Transaksi Spot dilakukan dengan mekanisme nonlelang secara bilateral antara Bank Indonesia dengan Peserta OPT Konvensional secara langsung atau melalui Lembaga Perantara. (2) Transaksi Spot dilakukan melalui sarana dealing system yang digunakan Bank Indonesia. Bagian Kesepuluh Transaksi Swap Paragraf 1 Karakteristik Transaksi Swap Pasal 37 Transaksi Swap merupakan transaksi yang digunakan oleh Bank Indonesia untuk mendukung pengelolaan likuiditas dan menjaga stabilitas nilai tukar rupiah dengan cara: a. Transaksi Swap Jual Bank Indonesia; atau b. Transaksi Swap Beli Bank Indonesia. Pasal 38 Transaksi Swap memiliki karakteristik sebagai berikut : a. jenis mata uang yang digunakan adalah dolar Amerika Serikat terhadap rupiah; b. berjangka waktu paling singkat 1 (satu) hari kalender dan paling lama 12 (dua belas) bulan yang dinyatakan dalam hari kalender, yang dihitung sejak 1 (satu) hari kalender setelah tanggal setelmen sampai dengan tanggal jatuh waktu; c. kurs spot dolar Amerika Serikat terhadap rupiah yang digunakan dalam Transaksi Swap adalah JISDOR; dan 24 d. kurs forward dolar Amerika Serikat terhadap rupiah yang digunakan dalam Transaksi Swap adalah kurs spot ditambah premi swap. Pasal 39 (1) Dalam hal window time Transaksi Swap secara lelang dibuka sebelum penerbitan JISDOR, kurs spot yang digunakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 huruf c adalah JISDOR hari kerja sebelumnya. (2) Dalam hal window time Transaksi Swap secara lelang dibuka setelah penerbitan JISDOR, kurs spot yang digunakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 huruf c adalah JISDOR pada tanggal transaksi. Paragraf 2 Mekanisme Transaksi Swap Pasal 40 Transaksi Swap dilakukan dengan mekanisme lelang atau nonlelang. Pasal 41 (1) Transaksi Swap dengan mekanisme lelang dilakukan melalui sarana dealing system yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (2) Transaksi Swap dengan mekanisme lelang dilakukan dengan metode sebagai berikut: a. harga tetap (fixed rate tender), dengan premi swap ditetapkan oleh Bank Indonesia; atau b. harga beragam (variable rate tender), dengan premi swap diajukan oleh Peserta OPT Konvensional. Pasal 42 (1) Transaksi Swap dengan mekanisme nonlelang dilakukan secara bilateral antara Bank Indonesia dengan Peserta OPT Konvensional secara langsung atau melalui Lembaga Perantara. 25 (2) Transaksi Swap dengan mekanisme nonlelang dilakukan melalui sarana dealing system yang digunakan Bank Indonesia. Bagian Kesebelas Transaksi Forward Paragraf 1 Karakteristik Transaksi Forward Pasal 43 Transaksi Forward merupakan instrumen yang digunakan oleh Bank Indonesia untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah dengan cara: a. Transaksi Forward Jual Bank Indonesia; atau b. Transaksi Forward Beli Bank Indonesia. Pasal 44 Transaksi Forward memiliki karakteristik sebagai berikut: a. jenis valuta asing yang digunakan adalah dolar Amerika Serikat; b. waktu penyerahan dana (tenor) Transaksi Forward dilakukan lebih dari 2 (dua) hari kerja dan paling lama 12 (dua belas) bulan yang dinyatakan dalam hari kalender, yang dihitung sejak 1 (satu) hari kalender setelah tanggal transaksi sampai dengan tanggal setelmen; dan c. kurs forward dolar Amerika Serikat terhadap rupiah yang digunakan adalah kurs JISDOR pada saat transaksi ditambah premi yang disepakati. Pasal 45 (1) Dalam hal window time dibuka sebelum penerbitan JISDOR, kurs spot yang digunakan adalah JISDOR hari kerja sebelumnya. (2) Dalam hal window time dibuka setelah penerbitan JISDOR, kurs spot yang digunakan adalah JISDOR pada tanggal transaksi. 26 Paragraf 2 Mekanisme Transaksi Forward Pasal 46 Transaksi Forward dilakukan dengan mekanisme lelang atau nonlelang. Pasal 47 (1) Transaksi Forward dengan mekanisme lelang dilakukan melalui sarana dealing system yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (2) Transaksi Forward dengan mekanisme lelang dilakukan dengan metode sebagai berikut: a. harga tetap (fixed rate tender), dengan forward point Transaksi Forward ditetapkan oleh Bank Indonesia; atau b. harga beragam (variable rate tender), dengan forward point Transaksi Forward diajukan oleh Peserta OPT Konvensional. Pasal 48 (1) Transaksi Forward dengan mekanisme nonlelang dilakukan secara bilateral antara Bank Indonesia dengan Peserta OPT Konvensional secara langsung atau melalui Lembaga Perantara. (2) Transaksi Forward dengan mekanisme nonlelang dilakukan melalui sarana dealing system yang digunakan Bank Indonesia. 27 BAB V INSTRUMEN OPT SYARIAH Bagian Kesatu Penerbitan SBIS Paragraf 1 Karakteristik SBIS Pasal 49 Penerbitan SBIS merupakan instrumen yang digunakan oleh Bank Indonesia untuk absorpsi likuiditas rupiah di pasar uang berdasarkan prinsip syariah. Pasal 50 (1) SBIS memiliki karakteristik sebagai berikut: a. memiliki satuan unit sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah); b. berjangka waktu paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan yang dinyatakan dalam jumlah hari kalender, yang dihitung sejak 1 (satu) hari kalender setelah tanggal setelmen sampai dengan tanggal jatuh waktu. c. diterbitkan tanpa warkat (scripless) ditatausahakan di BI-SSSS; d. dapat diagunkan kepada Bank Indonesia; e. f. hanya dapat dimiliki oleh BUS atau UUS. (2) SBIS yang diterbitkan oleh Bank Indonesia menggunakan akad ju’alah. (3) SBIS diterbitkan dan ditransaksikan di Sistem BI-ETP. (4) Bank Indonesia melunasi SBIS sebesar nilai nominal pada saat jatuh waktu. (5) Contoh perhitungan jangka waktu SBIS tercantum pada Lampiran III yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. dan tidak dapat diperdagangkan (non-tradable) di pasar sekunder; dan 28 Pasal 51 (1) Bank Indonesia membayar imbalan atas SBIS milik Peserta OPT Syariah dengan ketentuan sebagai berikut: a. pada saat SBIS jatuh waktu; atau b. sebelum jatuh waktu, dalam hal Peserta OPT Syariah tidak dapat memenuhi kewajiban second leg transaksi repurchase agreement (repo) SBIS sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai Standing Facilities. (2) Tingkat imbalan yang diberikan mengacu kepada tingkat diskonto atau tingkat bunga hasil lelang transaksi OPT Konvensional dengan jangka waktu yang sama yang ditransaksikan bersamaan dengan penerbitan SBIS dengan ketentuan sebagai berikut: a. dalam hal lelang transaksi OPT Konvensional menggunakan metode harga tetap (fixed rate tender), imbalan SBIS ditetapkan sama dengan tingkat diskonto atau tingkat bunga hasil lelang transaksi OPT Konvensional. b. dalam hal lelang transaksi OPT Konvensional menggunakan metode harga beragam (variable rate tender), imbalan SBIS ditetapkan sama dengan rata- rata tertimbang tingkat diskonto atau tingkat bunga hasil lelang transaksi OPT Konvensional. (3) Dalam hal pada saat yang bersamaan tidak terdapat lelang transaksi OPT Konvensional dengan jangka waktu yang sama, tingkat imbalan yang diberikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengacu pada data terkini antara tingkat imbalan SBIS, tingkat diskonto, atau tingkat bunga transaksi OPT dengan jangka waktu yang sama. (4) Perhitungan imbalan SBIS dihitung berdasarkan rumus sebagai berikut: Nilai Nilai = Imbalan SBIS Nominal SBIS × ( Jangka Waktu SBIS 360 ) × Tingkat Imbalan SBIS 29 Paragraf 2 Mekanisme Penerbitan SBIS Pasal 52 Penerbitan SBIS dilakukan dengan mekanisme lelang melalui Sistem BI-ETP. Bagian Kedua Transaksi Repo OPT Syariah Paragraf 1 Karakteristik Transaksi Repo OPT Syariah Pasal 53 Transaksi Repo OPT Syariah merupakan instrumen yang digunakan oleh Bank Indonesia untuk injeksi likuiditas rupiah di pasar uang berdasarkan prinsip syariah. Pasal 54 Transaksi Repo OPT Syariah memiliki karakteristik sebagai berikut: a. menggunakan akad al bai’ (jual beli) yang disertai dengan janji (al wa’d) oleh Peserta OPT Syariah kepada Bank Indonesia, dalam dokumen terpisah, untuk membeli kembali SBSN dalam jangka waktu dan harga tertentu yang disepakati; b. berjangka waktu paling singkat 1 (satu) hari kalender dan paling lama 12 (dua belas) bulan yang dinyatakan dalam hari kalender, yang dihitung sejak 1 (satu) hari kalender setelah tanggal setelmen sampai dengan tanggal jatuh waktu; c. margin repo diperhitungkan pada saat setelmen second leg Transaksi Repo OPT Syariah; dan d. hak penerimaan imbalan atas surat berharga yang di-repo- kan selama periode Transaksi Repo OPT Syariah tetap merupakan milik Peserta OPT Syariah. 30 Paragraf 2 Mekanisme Transaksi Repo OPT Syariah Pasal 55 (1) Transaksi Repo OPT Syariah dilakukan dengan mekanisme lelang melalui Sistem BI-ETP. (2) Lelang Transaksi Repo OPT Syariah dilakukan dengan metode sebagai berikut: a. harga tetap (fixed rate tender) dengan margin repo ditetapkan oleh Bank Indonesia; atau b. harga beragam (variable rate tender), dengan margin repo diajukan oleh Peserta OPT Syariah. Bagian Ketiga Transaksi Reverse Repo OPT Syariah Paragraf 1 Karakteristik Transaksi Reverse Repo OPT Syariah Pasal 56 Transaksi Reverse Repo OPT Syariah merupakan instrumen yang digunakan oleh Bank Indonesia untuk absorpsi likuiditas rupiah di pasar uang berdasarkan prinsip syariah. Pasal 57 Transaksi Reverse Repo OPT Syariah memiliki karakteristik sebagai berikut: a. menggunakan akad al bai’ (jual beli) yang disertai dengan janji (al wa’d) oleh Peserta OPT Syariah kepada Bank Indonesia, dalam dokumen terpisah, untuk menjual kembali SBSN dalam jangka waktu dan harga tertentu yang disepakati; b. memiliki jangka waktu paling singkat 1 (satu) hari kalender dan paling lama 12 (dua belas) bulan yang dinyatakan dalam hari kalender, yang dihitung sejak 1 (satu) hari kalender setelah tanggal setelmen sampai dengan tanggal jatuh waktu; 31 c. margin reverse repo diperhitungkan pada saat setelmen second leg Transaksi Reverse Repo OPT Syariah; dan d. hak penerimaan imbalan atas surat berharga yang di- reverse repo-kan selama periode Transaksi Reverse Repo OPT Syariah tetap merupakan milik Bank Indonesia. Paragraf 2 Mekanisme Transaksi Reverse Repo OPT Syariah Pasal 58 (1) Transaksi Reverse Repo OPT Syariah dilakukan dengan mekanisme lelang melalui Sistem BI-ETP. (2) Pelaksanaan lelang Transaksi Reverse Repo OPT Syariah dilakukan dengan metode sebagai berikut: a. harga tetap (fixed rate tender) dengan margin Transaksi Reverse Repo OPT Syariah ditetapkan oleh Bank Indonesia; atau b. harga beragam (variable rate tender) dengan margin Transaksi Reverse Repo OPT Syariah diajukan Peserta OPT Syariah. Bagian Keempat Transaksi Pembelian dan Penjualan SBSN Secara Putus (Outright) di Pasar Sekunder Pasal 59 (1) Transaksi pembelian SBSN secara putus (outright) oleh Bank Indonesia di pasar sekunder merupakan transaksi yang digunakan oleh Bank Indonesia untuk injeksi likuiditas serta untuk menjaga ketersediaan SBSN yang diperlukan sebagai instrumen OMS dalam mencapai sasaran operasional kebijakan moneter Bank Indonesia. (2) Transaksi penjualan SBSN secara putus (outright) oleh Bank Indonesia di pasar sekunder merupakan instrumen yang digunakan oleh Bank Indonesia untuk absorpsi likuiditas rupiah di pasar uang berdasarkan prinsip syariah. 32 Pasal 60 (1) Transaksi pembelian dan penjualan SBSN secara putus (outright) di pasar sekunder dilakukan dengan: a. mekanisme lelang melalui Sistem BI-ETP dan/atau sarana dealing system yang ditetapkan oleh Bank Indonesia; atau b. mekanisme nonlelang melalui Sistem BI-ETP atau sarana dealing system yang digunakan oleh Bank Indonesia. (2) Transaksi pembelian dan penjualan SBN secara putus (outright) di pasar sekunder dengan mekanisme lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan dengan metode sebagai berikut: a. harga tetap (fixed rate tender), dengan yield atau harga transaksi pembelian atau penjualan SBSN ditetapkan oleh Bank Indonesia; atau b. harga beragam (variable rate tender), dengan yield atau harga transaksi pembelian dan penjualan SBSN diajukan oleh Peserta OPT Syariah. Bagian Kelima Transaksi Term Deposit OPT Syariah dalam Valuta Asing Paragraf 1 Karakteristik Transaksi Term Deposit OPT Syariah dalam Valuta Asing Pasal 61 Transaksi Term Deposit OPT Syariah dalam valuta asing merupakan instrumen yang memenuhi prinsip syariah yang digunakan oleh Bank Indonesia untuk mengelola likuiditas valuta asing untuk mendukung stabilitas nilai tukar rupiah. 33 Pasal 62 Transaksi Term Deposit OPT Syariah dalam valuta asing memiliki karakteristik sebagai berikut: a. menggunakan akad ju’alah oleh Peserta OPT Syariah kepada Bank Indonesia; b. jenis mata uang yang digunakan adalah dolar Amerika Serikat; c. berjangka waktu paling singkat 1 (satu) hari kalender dan paling lama 12 (dua belas) bulan yang dinyatakan dalam hari kalender, yang dihitung sejak 1 (satu) hari kalender setelah tanggal setelmen sampai dengan tanggal jatuh waktu; d. dilakukan tanpa disertai dengan penerbitan surat berharga; e. diberikan imbalan; dan f. dapat dilakukan Early Redemption baik keseluruhan atau sebagian. Pasal 63 (1) Bank Indonesia membayar imbalan atas Transaksi Term Deposit OPT Syariah dalam valuta asing pada saat Transaksi Term Deposit OPT Syariah dalam valuta asing jatuh waktu atau pada tanggal setelmen Early Redemption. (2) Tingkat imbalan Transaksi Term Deposit OPT Syariah dalam valuta asing mengacu pada suku bunga hasil lelang Transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing berjangka waktu sama, yang dilakukan secara bersamaan dengan Transaksi Term Deposit OPT Syariah dalam valuta asing. (3) Tingkat imbalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan sebagai berikut: a. dalam hal lelang Transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing menggunakan metode harga tetap (fixed rate tender), tingkat imbalan Transaksi Term Deposit OPT Syariah dalam valuta asing ditetapkan sama dengan suku bunga Transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing. 34 b. dalam hal lelang Transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing menggunakan metode harga beragam (variable rate tender), tingkat imbalan Transaksi Term Deposit OPT Syariah dalam valuta asing ditetapkan sama dengan rata-rata tertimbang suku bunga hasil Transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing. (4) Dalam hal pada saat yang bersamaan tidak terdapat lelang Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing dengan jangka waktu sama, tingkat imbalan yang diberikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengacu pada tingkat imbalan Transaksi Term Deposit OPT Syariah dalam valuta asing atau suku bunga Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing pada lelang sebelumnya, yang terkini di antara keduanya dan masing-masing berjangka waktu sama. (5) Perhitungan nilai imbalan Transaksi Term Deposit OPT Syariah dalam valuta asing dihitung dengan rumus sebagai berikut: Nilai Imbalan = Nilai Nominal Term Deposit OPT Syariah dalam Valuta Asing Keterangan: k = × Tingkat Imbalan k × 360 jangka waktu sampai dengan tanggal setelmen Transaksi Term Deposit OPT Syariah dalam valuta asing jatuh waktu atau tanggal setelmen Early Redemption Transaksi Term Deposit OPT Syariah dalam valuta asing (dalam hari). (6) Contoh perhitungan imbalan tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. 35 Paragraf 2 Mekanisme Transaksi Term Deposit OPT Syariah dalam Valuta Asing Pasal 64 Transaksi Term Deposit OPT Syariah dalam valuta asing dilakukan dengan mekanisme lelang melalui sarana dealing system yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. BAB VI KETENTUAN PENUTUP Pasal 65 Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 20 April 2018 ANGGOTA DEWAN GUBERNUR, ERWIN RIJANTO TTD PENJELASAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/5/PADG/2018 TENTANG INSTRUMEN OPERASI PASAR TERBUKA I. UMUM Dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang, telah diatur secara jelas bahwa tujuan Bank Indonesia adalah menjaga dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Dalam rangka mencapai tujuan dimaksud dan menghadapi tantangan kondisi makroekonomi, Bank Indonesia melaksanakan pengendalian moneter melalui pelaksanaan operasi moneter baik secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah. Operasi moneter salah satunya dilakukan melalui Operasi Pasar Terbuka yang mencakup OPT Konvensional untuk mengendalikan suku bunga PUAB O/N dan menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, dan OPT Syariah untuk memengaruhi kecukupan likuiditas di pasar uang berdasarkan prinsip syariah dan di pasar valuta asing. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. 2 Pasal 2 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “stabilitas moneter” adalah suatu kondisi dimana inflasi bergerak di dalam kisaran sasarannya dan nilai tukar bergerak stabil sejalan dengan kondisi fundamental perekonomian. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 3 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “Suku Bunga PUAB O/N” adalah suku bunga transaksi pinjam meminjam uang dalam mata uang rupiah antar-BUK yang berjangka waktu 1 (satu) hari (overnight). Ayat (2) Yang dimaksud dengan “absorpsi likuiditas” adalah pengurangan likuiditas di pasar uang rupiah melalui kegiatan OPT Konvensional. Yang dimaksud dengan “injeksi likuiditas” adalah penambahan likuiditas di pasar uang rupiah melalui kegiatan OPT Konvensional. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 4 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “absorpsi likuiditas” adalah pengurangan likuiditas rupiah di pasar uang berdasarkan prinsip syariah melalui kegiatan OPT Syariah. Yang dimaksud dengan “injeksi likuiditas” adalah penambahan likuiditas rupiah di pasar uang berdasarkan prinsip syariah melalui kegiatan OPT Syariah. 3 Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Dalam hal lelang dilakukan dengan harga tetap (fixed rate tender), Bank Indonesia menetapkan antara lain tingkat diskonto, suku bunga repo (repo rate), yield/harga, margin repo, atau margin reverse repo. Dalam hal lelang dilakukan dengan harga beragam (variable rate tender), Bank mengajukan antara lain tingkat diskonto, suku bunga repo (repo rate), yield/harga, margin repo, atau margin reverse repo. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. 4 Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. 5 Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 Cukup jelas. Pasal 32 Cukup jelas. Pasal 33 Cukup jelas. Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Cukup jelas. 6 Pasal 36 Cukup jelas. Pasal 37 Cukup jelas. Pasal 38 Cukup jelas. Pasal 39 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “hari kerja” adalah hari kerja yang dimulai dari hari Senin sampai dengan hari Jumat, kecuali hari libur nasional dan/atau hari libur khusus yang ditetapkan oleh pemerintah. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 40 Cukup jelas. Pasal 41 Cukup jelas. Pasal 42 Cukup jelas. Pasal 43 Cukup jelas. Pasal 44 Cukup jelas. Pasal 45 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “hari kerja” adalah hari kerja yang dimulai dari hari Senin sampai dengan hari Jumat, kecuali hari libur 7 nasional dan/atau hari libur khusus yang ditetapkan oleh pemerintah. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 46 Cukup jelas. Pasal 47 Cukup jelas. Pasal 48 Cukup jelas. Pasal 49 Cukup jelas. Pasal 50 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “akad ju’alah” adalah janji atau komitmen (iltizam) untuk memberikan imbalan tertentu (iwadh/ju’l) atas pencapaian hasil (natijah) yang ditentukan dari suatu pekerjaan. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 51 Cukup jelas. Pasal 52 Cukup jelas. 8 Pasal 53 Cukup jelas. Pasal 54 Cukup jelas. Pasal 55 Cukup jelas. Pasal 56 Cukup jelas. Pasal 57 Cukup jelas. Pasal 58 Cukup jelas. Pasal 59 Cukup jelas. Pasal 60 Cukup jelas. Pasal 61 Cukup jelas. Pasal 62 Huruf a Yang dimaksud dengan “akad ju’alah” adalah janji atau komitmen (iltizam) untuk memberikan imbalan tertentu (iwadh/ju’l) atas pencapaian hasil (natijah) yang ditentukan dari suatu pekerjaan. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. 9 Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Pasal 63 Cukup jelas. Pasal 64 Cukup jelas. Pasal 65 Cukup jelas. "," PADG 20/5/PADG/2018 INSTRUMEN OPERASI PASAR TERBUKA 20 April 2018 20 April 2018 '20/5/PBI/2018' " " PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 22/1/PADG/2020 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 19/20/PADG/2017 TENTANG REKENING GIRO DI BANK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mendukung pelaksanaan kebijakan Bank Indonesia dalam bidang moneter, makroprudensial, dan sistem pembayaran serta pelaksanaan fungsi sebagai pemegang kas pemerintah, Bank Indonesia melaksanakan penatausahaan rekening giro; b. bahwa untuk pelaksanaan penatausahaan rekening giro yang efektif dan dapat dipertanggungjawabkan dengan tetap mengutamakan penerapan prinsip tata kelola yang baik, perlu diperjelas pengaturan mengenai jenis biaya, besar biaya, dan pihak yang dikenakan biaya atas penatausahaan rekening giro; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Anggota Dewan Gubernur tentang Perubahan atas Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 19/20/PADG/2017 tentang Rekening Giro di Bank Indonesia; 2 Mengingat : 1. Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/24/PBI/2015 tentang Rekening Giro di Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 416, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 5832); 2. Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 19/20/PADG/2017 tanggal 29 Desember 2017 tentang Rekening Giro di Bank Indonesia; MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 19/20/PADG/2017 REKENING GIRO DI BANK INDONESIA. Pasal I Beberapa ketentuan dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 19/20/PADG/2017 tanggal 29 Desember 2017 tentang Rekening Giro di Bank Indonesia diubah sebagai berikut: 1. Ketentuan ayat (3) Pasal 71 tetap, dan penjelasan ayat (3) Pasal 71 diubah menjadi sebagaimana tercantum dalam penjelasan pasal demi pasal. 2. Ketentuan ayat (3) Pasal 72 ditambah 1 (satu) huruf, yakni huruf d, sehingga Pasal 72 berbunyi sebagai berikut: Pasal 72 (1) Jenis biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (1) meliputi: a. biaya transaksi; b. biaya administrasi; dan c. biaya meterai. TENTANG 3 (2) Biaya administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas: a. biaya perolehan sarana penarikan Rekening Giro; dan b. biaya administrasi Rekening Giro tidak aktif. (3) Pembebanan biaya transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diatur sebagai berikut: a. biaya transaksi dikenakan untuk penarikan Rekening Giro berupa pemindahan dana dari Rekening Giro yang dilakukan melalui sistem BI- RTGS dan SWIFT; b. biaya transaksi tidak dikenakan untuk penarikan Rekening Giro berupa pemindahan dana dari Rekening Giro yang dilakukan melalui SKNBI; c. biaya transaksi atas penarikan Rekening Giro dikenakan pajak pertambahan nilai (PPN); dan d. biaya transaksi tidak dikenakan untuk Penyetoran ke Rekening Giro. (4) Pembebanan biaya perolehan sarana penarikan Rekening Giro sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dikenakan untuk sarana penarikan Rekening Giro berupa buku BG BI dan Cek BI. (5) Pembebanan biaya administrasi Rekening Giro tidak aktif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b diatur sebagai berikut: a. biaya administrasi dikenakan untuk saldo Rekening Giro tidak aktif yang telah dipindahkan ke rekening tertentu di Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf f; b. biaya administrasi sebagaimana dimaksud dalam huruf a dibebankan sampai dengan saldo 0 (nol) atau telah daluwarsa; dan c. sisa saldo Rekening Giro yang telah dipindahkan ke rekening tertentu di Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan telah 4 daluwarsa diakui sebagai penerimaan Bank Indonesia. (6) Pembebanan biaya meterai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dikenakan untuk: a. permintaan informasi saldo; b. penyediaan Rekening Koran akhir tahun; dan c. permintaan lain. 3. Ketentuan ayat (1) huruf c Pasal 73 diubah sehingga Pasal 73 berbunyi sebagai berikut: Pasal 73 (1) Besar biaya transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (1) diatur sebagai berikut: a. besar biaya transaksi untuk Pemilik Rekening Giro yang merupakan peserta sistem BI-RTGS mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan transaksi, penatausahaan surat berharga, dan setelmen dana seketika; b. besar biaya transaksi untuk Pemilik Rekening Giro yang bukan merupakan peserta sistem BI- RTGS ditetapkan sebesar biaya setelmen dana tertinggi untuk peserta sistem BI-RTGS sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur penyelenggaraan transaksi, penatausahaan surat berharga, dan setelmen dana seketika; dan c. besar biaya transaksi untuk Rekening Giro Valas diatur dengan ketentuan sebagai berikut: 1. ditetapkan sebesar Rp70.000,00 (tujuh puluh ribu rupiah) per transaksi; 2. biaya sebagaimana dimaksud dalam angka 1 hanya dibebankan pada penarikan Rekening Giro Valas; 3. dilakukan dengan menggunakan sarana penarikan lain yang berlaku umum mengenai 5 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (3) huruf c; dan 4. dalam hal Bank melakukan pembatalan Penyetoran ke Rekening Giro Valas dan Bank Indonesia sudah mengkredit Rekening Giro Valas Bank yang bersangkutan, pembatalan Penyetoran ke Rekening Giro Valas dikenakan biaya sebagaimana dimaksud dalam angka 1. (2) Besar biaya administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (1) diatur sebagai berikut: a. besar biaya administrasi untuk perolehan buku BG BI dan Cek BI mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai biaya perolehan buku blanko cek dan bilyet giro Bank Indonesia; dan b. besar biaya administrasi untuk Rekening Giro tidak aktif ditetapkan sebesar Rp200.000,00 (dua ratus ribu rupiah) per bulan. (3) Besar biaya meterai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (1) mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai bea meterai. 4. Lampiran XVII dihapus. Pasal II Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. 6 Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan Peraturan Anggota Dewan Gubernur penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. ini dengan Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 4 Februari 2020 ........................... ANGGOTA DEWAN GUBERNUR, SUGENG TTD PENJELASAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 22/1/PADG/2020 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 19/20/PADG/2017 TENTANG REKENING GIRO DI BANK INDONESIA I. UMUM Untuk mendukung kebijakan Bank Indonesia dalam bidang moneter, makroprudensial, dan sistem pembayaran, Bank Indonesia melaksanakan penatausahaan Rekening Giro. Dalam menjalankan fungsi Penatausahaan Rekening Giro, Bank Indonesia menetapkan biaya sebagaimana diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur (PADG) No. 19/20/PADG/2017 tentang Rekening Giro di Bank Indonesia. Namun, pengaturan terkait biaya yang ditetapkan tersebut dinilai oleh Bank Indonesia sudah tidak sejalan dengan kondisi existing, best practice di perbankan maupun tidak sejalan dengan tujuan Bank Indonesia untuk menciptakan sistem pembayaran di Indonesia yang efektif dan efisien. Oleh karena itu, Bank Indonesia melakukan penyempurnaan terhadap Peraturan Anggota Dewan Gubernur (PADG) No. 19/20/PADG/2017 tentang Rekening Giro di Bank Indonesia khususnya pengaturan terkait biaya. Penyempurnaan dilakukan tidak hanya terhadap besaran biaya, namun juga dilakukan evaluasi terhadap jenis dan pihak yang dikenakan biaya. 2 II. PASAL DEMI PASAL Pasal I Angka 1 Pasal 71 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “pihak” antara lain Kementerian Keuangan Republik Indonesia, lembaga keuangan internasional, dan bank sentral negara lain. Yang dimaksud dengan “pertimbangan tertentu” antara lain berdasarkan ketentuan peraturan perundang- undangan dan/atau kesepakatan bersama. Angka 2 Pasal 72 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Huruf a Yang dimaksud dengan “saldo Rekening Giro tidak aktif” adalah termasuk dalam hal saldo atas Rekening Giro telah dipindahkan ke rekening tertentu di Bank Indonesia. Yang dimaksud dengan “daluwarsa” adalah Rekening Giro telah tidak aktif selama 30 (tiga puluh) tahun. 3 Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Ayat (6) Yang dimaksud dengan “permintaan lain” antara lain biaya meterai untuk surat kuasa yang belum dibubuhi meterai oleh Pemilik Rekening Giro. Angka 3 Pasal 73 Cukup jelas. Pasal II Cukup jelas. "," PADG 22/1/PADG/2020 PERUBAHAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 19/20/PADG/2017 TENTANG REKENING GIRO DI BANK INDONESIA 4 Februari 2020 4 Februari 2020 '19/20/PADG/2017' '19/20/PADG/2017', '17/24/PBI/2015' " " PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 19/1/PADG/2017 TENTANG PELAKSANAAN LELANG SURAT BERHARGA NEGARA DI PASAR PERDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka penerbitan Surat Berharga Negara oleh Pemerintah yang terdiri atas Surat Utang Negara dan Surat Berharga Syariah Negara, Bank Indonesia melaksanakan kegiatan sebagai agen lelang Surat Berharga Negara di pasar perdana; b. bahwa dalam upaya untuk lebih meningkatkan kedalaman pasar Surat Berharga Negara dan likuiditas pasar uang maka dealer utama dapat melakukan penawaran kompetitif dan/atau nonkompetitif atas Surat Utang Negara; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Anggota Dewan Gubernur tentang Pelaksanaan Lelang Surat Berharga Negara di Pasar Perdana. Mengingat : 1. Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/13/PBI/2008 tentang Lelang dan Penatausahaan Surat Berharga Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4888) sebagaimana telah diubah beberapa kali, 2 terakhir dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/19/PBI/2015 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/13/PBI/2008 tentang Lelang dan Penatausahaan Surat Berharga Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 274, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5763); 2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/18/PBI/2015 tentang Penyelenggaraan Transaksi, Penatausahaan Surat Berharga, dan Setelmen Dana Seketika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 273, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5762). MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG PELAKSANAAN LELANG SURAT BERHARGA NEGARA DI PASAR PERDANA. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini, yang dimaksud dengan: 1. Surat Berharga Negara yang selanjutnya disingkat SBN adalah Surat Utang Negara dan Surat Berharga Syariah Negara. 2. Surat Utang Negara yang selanjutnya disingkat SUN adalah surat berharga yang berupa surat pengakuan utang dalam mata uang Rupiah maupun dalam valuta asing yang dijamin pembayaran bunga dan pokoknya oleh Negara Republik Indonesia, sesuai dengan masa berlakunya. 3. Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya disingkat SBSN, atau dapat disebut Sukuk Negara, adalah SBN yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti atas bagian penyertaan terhadap aset SBSN, baik dalam 3 mata uang Rupiah maupun valuta asing. 4. Surat Perbendaharaan Negara yang selanjutnya disingkat SPN adalah SUN yang berjangka waktu sampai dengan 12 (dua belas) bulan dengan pembayaran bunga secara diskonto. 5. SBSN Jangka Pendek atau dapat disebut Surat Perbendaharaan Negara Syariah adalah SBSN yang berjangka waktu sampai dengan 12 (dua belas) bulan dengan pembayaran imbalan berupa kupon dan/atau secara diskonto. 6. Obligasi Negara adalah SUN yang berjangka waktu lebih dari 12 (dua belas) bulan dengan kupon dan/atau dengan pembayaran bunga secara diskonto. 7. SBSN Jangka Panjang adalah SBSN yang berjangka waktu lebih dari 12 (dua belas) bulan dengan pembayaran imbalan berupa kupon dan/atau secara diskonto. 8. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur mengenai perbankan termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri dan bank umum syariah termasuk unit usaha syariah sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur mengenai perbankan syariah. 9. Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia. 10. Lembaga Penjamin Simpanan yang selanjutnya disingkat LPS adalah lembaga penjamin simpanan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur mengenai lembaga penjamin simpanan. 11. Peserta Transaksi adalah pihak yang berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan dapat melakukan transaksi SUN dan/atau SBSN dengan Pemerintah secara langsung. 12. Dealer Utama adalah Bank dan/atau perusahaan efek yang ditunjuk oleh Menteri sebagai dealer utama sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai dealer utama. 13. Peserta Lelang adalah Bank dan perusahaan efek yang ditunjuk Menteri sebagai peserta lelang SBSN di pasar 4 perdana dalam negeri. 14. Peserta BI-SSSS adalah pihak yang memenuhi persyaratan dan telah memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia untuk menjadi peserta dalam penyelenggaraan BI-SSSS. 15. Pasar Perdana adalah kegiatan penawaran dan penjualan SBN untuk pertama kali. 16. Pasar Sekunder adalah kegiatan perdagangan SBN yang telah dijual di Pasar Perdana. 17. Lelang SBN adalah penjualan SBN di Pasar Perdana domestik oleh Pemerintah yang dilakukan dengan mekanisme lelang. 18. Lelang SBN Tambahan (Greenshoe Option) yang selanjutnya disebut Lelang SBN Tambahan adalah penjualan SBN di Pasar Perdana dalam mata uang Rupiah dengan cara lelang yang dilaksanakan pada 1 (satu) hari kerja setelah tanggal pelaksanaan Lelang SBN. 19. Imbal Hasil (Yield) adalah keuntungan yang diharapkan oleh investor dalam persentase per tahun. 20. Penawaran Pembelian Kompetitif (Competitive Bidding) adalah pengajuan penawaran pembelian dengan mencantumkan volume dan tingkat Imbal Hasil (Yield) atau harga (price) yang diinginkan penawar. 21. Penawaran Pembelian Nonkompetitif (Non-competitive Bidding) adalah pengajuan penawaran pembelian dengan mencantumkan volume tanpa tingkat Imbal Hasil (Yield) atau harga (price) yang diinginkan penawar. 22. Sistem Bank Indonesia-Electronic Trading Platform yang selanjutnya disebut Sistem BI-ETP adalah infrastruktur yang digunakan sebagai sarana transaksi dengan Bank Indonesia dan transaksi pasar keuangan yang dilakukan secara elektronik. 23. Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System yang selanjutnya disebut BI-SSSS adalah infrastruktur yang digunakan sebagai sarana penatausahaan transaksi dan penatausahaan surat berharga yang dilakukan secara elektronik. 5 24. Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement yang selanjutnya disebut Sistem BI-RTGS adalah infrastruktur yang digunakan sebagai sarana transfer dana elektronik yang setelmennya dilakukan seketika per transaksi secara individual. 25. Batas Paling Tinggi Nominal Penawaran (Broker Bidding Limit) adalah batas paling tinggi nominal penawaran yang diberikan oleh Peserta Transaksi kepada Peserta Transaksi lain untuk dapat melakukan penawaran per hari untuk dan atas nama Peserta Transaksi yang memberikan batas nominal penawaran. 26. Penatausahaan SBN adalah kegiatan yang mencakup pencatatan kepemilikan, kliring, dan Setelmen serta pembayaran bunga/kupon atau imbalan serta pelunasan pokok/nominal SBN. 27. Sub-Registry adalah Bank Indonesia dan pihak yang memenuhi persyaratan dan disetujui oleh Bank Indonesia sebagai Peserta BI-SSSS untuk melakukan fungsi Penatausahaan SBN bagi kepentingan nasabah. 28. Setelmen adalah proses penyelesaian akhir transaksi SBN melalui pendebitan dan pengkreditan Rekening Giro dan/atau Rekening Surat Berharga dan/atau rekening lainnya di Bank Indonesia. 29. Sistem Laporan Harian Bank Umum yang selanjutnya disebut Sistem LHBU adalah sarana pelaporan Bank kepada Bank Indonesia secara harian termasuk penyediaan informasi pasar uang dan pengumuman dari Bank Indonesia. 30. Bank Pembayar adalah peserta Sistem BI-RTGS yang memiliki Rekening Giro dalam Rupiah dan/atau valuta asing di Bank Indonesia dan ditunjuk oleh Peserta Transaksi dan/atau Sub-Registry untuk melakukan pembayaran dan penerimaan dana dalam rangka Setelmen transaksi SBN. 31. Rekening Surat Berharga adalah rekening Peserta BI-SSSS dalam mata uang Rupiah dan/atau valuta asing yang ditatausahakan di Bank Indonesia dalam rangka pencatatan 6 kepemilikan dan Setelmen atas transaksi SBN, transaksi dengan Bank Indonesia, transaksi pasar keuangan, dan/atau fasilitas likuiditas intrahari. 32. Rekening Giro adalah rekening giro sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai rekening giro di Bank Indonesia. BAB II PELAKSANAAN LELANG SBN DALAM RUPIAH Pasal 2 Bank Indonesia menyelenggarakan Lelang SBN dalam Rupiah berdasarkan rencana yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko untuk dan atas nama Menteri. Pasal 3 (1) Peserta Transaksi pada Lelang SBN dikelompokkan sebagai berikut: a. Peserta Transaksi pada lelang SUN dalam Rupiah; dan b. Peserta Transaksi pada lelang SBSN dalam Rupiah. (2) Peserta Transaksi pada lelang SUN dalam Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas: a. Dealer Utama; b. Bank Indonesia; dan/atau c. LPS. (3) Peserta Transaksi pada lelang SBSN dalam Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas: a. Peserta Lelang; b. Bank Indonesia; dan/atau c. LPS. (4) Peserta Transaksi pada lelang SUN dalam Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur sebagai berikut: a. untuk lelang SPN dapat diikuti oleh Dealer Utama, 7 Bank Indonesia, dan/atau LPS; dan b. untuk lelang Obligasi Negara dapat diikuti oleh Dealer Utama dan/atau LPS. (5) Peserta Transaksi pada lelang SBSN dalam Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur sebagai berikut: a. untuk lelang SBSN Jangka Pendek dapat diikuti oleh Peserta Lelang, Bank Indonesia, dan/atau LPS; dan b. untuk lelang SBSN Jangka Panjang dapat diikuti oleh Peserta Lelang dan/atau LPS. Pasal 4 (1) Dealer Utama dapat mengajukan penawaran lelang SUN dalam Rupiah atas nama diri sendiri dan/atau atas nama pihak lain selain Bank Indonesia dan LPS sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai lelang surat utang negara dalam mata uang Rupiah dan valuta asing di pasar perdana domestik. (2) Peserta Lelang dapat mengajukan penawaran lelang SBSN dalam Rupiah atas nama diri sendiri dan/atau atas nama pihak lain selain Bank Indonesia dan LPS sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai penerbitan dan penjualan surat berharga syariah negara di pasar perdana dalam negeri dengan cara lelang. (3) Bank Indonesia dan LPS mengajukan penawaran Lelang SBN dalam Rupiah hanya untuk dan atas nama diri sendiri. Pasal 5 Penawaran Lelang SBN dalam Rupiah dilakukan dengan mengajukan Penawaran Pembelian Kompetitif (Competitive Bidding) dan/atau Penawaran Pembelian Nonkompetitif (Non- competitive Bidding) dalam suatu periode waktu penawaran yang telah ditentukan dan diumumkan sebelumnya. 8 Pasal 6 (1) Dalam hal Dealer Utama mengajukan penawaran lelang SUN dalam Rupiah untuk dan atas nama diri sendiri maka penawaran dapat dilakukan dengan cara Penawaran Pembelian Kompetitif (Competitive Bidding) dan/atau Penawaran Pembelian Nonkompetitif (Non-competitive Bidding). (2) Dalam hal Dealer Utama mengajukan penawaran lelang SUN dalam Rupiah untuk dan atas nama pihak lain selain Bank Indonesia dan/atau LPS maka penawaran dapat dilakukan dengan cara Penawaran Pembelian Kompetitif (Competitive Bidding) dan/atau Penawaran Pembelian Nonkompetitif (Non-competitive Bidding). Pasal 7 (1) Dalam hal Peserta Lelang mengajukan penawaran lelang SBSN dalam Rupiah untuk dan atas nama diri sendiri maka penawaran hanya dapat dilakukan dengan cara Penawaran Pembelian Kompetitif (Competitive Bidding). (2) Dalam hal Peserta Lelang mengajukan penawaran lelang SBSN dalam Rupiah untuk dan atas nama pihak lain selain Bank Indonesia dan/atau LPS maka penawaran dilakukan dengan persyaratan sebagai berikut: a. pengajuan penawaran pada lelang SBSN Jangka Pendek dilakukan dengan cara Penawaran Pembelian Kompetitif (Competitive Bidding); b. pengajuan penawaran pada lelang SBSN Jangka Panjang dilakukan dengan cara Penawaran Pembelian Kompetitif (Competitive Bidding) dan/atau Penawaran Pembelian Nonkompetitif (Non-competitive Bidding). Pasal 8 Bank Indonesia dapat mengajukan penawaran Lelang SBN dalam Rupiah berupa SPN dan SBSN Jangka Pendek, namun hanya dengan cara Penawaran Pembelian Nonkompetitif (Non- 9 competitive Bidding). Pasal 9 LPS dapat mengajukan penawaran Lelang SBN dalam Rupiah namun hanya dengan cara Penawaran Pembelian Nonkompetitif (Non-competitive Bidding). Pasal 10 (1) Lelang SBN dalam Rupiah dilakukan pada hari Selasa antara pukul 10.00 WIB sampai dengan pukul 12.00 WIB atau hari kerja dan/atau waktu lain yang ditetapkan Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko untuk dan atas nama Menteri. (2) Dalam hal terdapat perubahan jadwal pelaksanaan Lelang SBN dalam Rupiah, Bank Indonesia mengumumkan perubahan jadwal pelaksanaan lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melalui Sistem LHBU dan/atau sarana lain yang digunakan Bank Indonesia. Pasal 11 Pengajuan penawaran Lelang SBN dalam Rupiah menggunakan Sistem BI-ETP atau sarana lain yang ditetapkan Bank Indonesia. Pasal 12 (1) Dealer Utama atau Peserta Lelang harus memperhatikan Batas Paling Tinggi Nominal Penawaran (Broker Bidding Limit) per hari dalam pengajuan penawaran Lelang SBN dalam Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 7 ayat (2). (2) Penetapan Batas Paling Tinggi Nominal Penawaran (Broker Bidding Limit) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diatur dalam suatu perjanjian antara Bank dengan Dealer Utama atau Peserta Lelang. Pasal 13 (1) Bank Indonesia mengumumkan rencana Lelang SBN dalam Rupiah paling lambat 1 (satu) hari kerja sebelum 10 hari pelaksanaan Lelang SBN dalam Rupiah melalui Sistem BI-ETP, Sistem LHBU, dan/atau sarana lain yang digunakan Bank Indonesia. (2) Pengumuman rencana Lelang SBN dalam Rupiah paling sedikit memuat: a. b. c. d. jenis dan seri SBN; tanggal pelaksanaan lelang; target indikatif yang ditawarkan; tanggal penerbitan dan tanggal jatuh tempo; e. mata uang; f. waktu pembukaan dan penutupan penawaran; g. tanggal Setelmen; h. sarana pengajuan penawaran lelang; i. alokasi untuk Penawaran Pembelian Nonkompetitif (Non-competitive Bidding), dalam hal dilakukan kombinasi lelang kompetitif dan nonkompetitif untuk lelang SBN dalam Rupiah; dan j. daftar nama Peserta Transaksi. Pasal 14 (1) Peserta Transaksi mengajukan: a. penawaran nominal dan tingkat diskonto atau tingkat Imbal Hasil (Yield) atau harga (price) untuk Penawaran Pembelian Kompetitif (Competitive Bidding); dan/atau b. penawaran nominal untuk Penawaran Pembelian Nonkompetitif (Non-competitive Bidding), pada hari pelaksanaan Lelang SBN dalam Rupiah. (2) Peserta Transaksi mengajukan penawaran Lelang SBN dalam Rupiah untuk Penawaran Pembelian Kompetitif (Competitive Bidding), dengan ketentuan sebagai berikut: a. pengajuan penawaran nominal dari masing-masing Peserta Transaksi paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan selebihnya dengan kelipatan Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah); b. dalam hal lelang SUN dalam Rupiah, penawaran diskonto atau tingkat Imbal Hasil (Yield) diajukan dengan kelipatan 1/100 (satu per seratus) atau 0,01 11 (nol koma nol satu); c. dalam hal lelang SBSN dalam Rupiah, penawaran tingkat Imbal Hasil (Yield) diajukan dengan kelipatan 1/32 (satu per tiga puluh dua) atau 0,03125 (nol koma nol tiga satu dua lima) untuk imbalan tetap dan SBSN tanpa kupon (zero coupon bond); dan d. penawaran harga (price) diajukan dengan kelipatan 0,05% (nol koma nol lima persen). (3) Peserta Transaksi yang mengajukan penawaran Lelang SBN dalam Rupiah untuk Penawaran Pembelian Nonkompetitif (Non-competitive Bidding) melakukan pengajuan penawaran nominal sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a. (4) Peserta Transaksi bertanggung jawab atas kebenaran data penawaran pembelian Lelang SBN dalam Rupiah. (5) Peserta Transaksi dapat melakukan koreksi atas setiap penawaran pembelian yang diajukan dalam periode waktu (window time) transaksi Lelang SBN dalam Rupiah. (6) Peserta Transaksi yang telah mengajukan penawaran pembelian Lelang SBN dalam Rupiah tidak dapat membatalkan penawaran. Pasal 15 Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko untuk dan atas nama Menteri menetapkan hasil Lelang SBN dalam Rupiah pada tanggal pelaksanaan lelang, yang mencakup: a. pemenang lelang; b. nilai nominal; c. tingkat Imbal Hasil (Yield) atau harga (price) untuk lelang SUN dalam Rupiah atau tingkat imbalan dan/atau diskonto untuk lelang SBSN dalam Rupiah; dan d. jenis dan nilai aset SBSN untuk lelang SBSN dalam Rupiah. 12 Pasal 16 (1) Bank Indonesia mengumumkan hasil Lelang SBN dalam Rupiah yang telah ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko untuk dan atas nama Menteri kepada publik melalui Sistem BI-ETP, Sistem LHBU dan/atau sarana lain yang digunakan oleh Bank Indonesia pada akhir hari pelaksanaan Lelang SBN dalam Rupiah. (2) Bank Indonesia menyampaikan pengumuman hasil Lelang SBN dalam Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan ketentuan sebagai berikut: a. Pengumuman kepada seluruh Peserta Transaksi paling sedikit memuat: 1. jenis dan seri SBN; 2. mata uang; 3. kuantitas lelang secara keseluruhan; 4. tingkat bunga atau tingkat imbalan untuk Obligasi Negara atau SBSN Jangka Panjang dengan kupon; 5. rata-rata tertimbang tingkat imbalan dan/atau diskonto, tingkat Imbal Hasil (Yield), atau harga (price); dan 6. tanggal jatuh tempo. b. Pengumuman kepada setiap pemenang Lelang SBN dalam Rupiah melalui Sistem BI-ETP paling sedikit memuat: 1. nama pemenang; 2. nilai nominal yang dimenangkan; dan 3. tingkat diskonto, tingkat Imbal Hasil (Yield), atau harga (price). (3) Dalam hal Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko untuk dan atas nama Menteri menetapkan tidak ada pemenang lelang, Bank Indonesia mengumumkan penetapan tersebut melalui Sistem BI-ETP, Sistem LHBU, dan/atau sarana lain yang digunakan Bank Indonesia. 13 BAB III PELAKSANAAN LELANG SBN TAMBAHAN Pasal 17 (1) Bank Indonesia menyelenggarakan Lelang SBN Tambahan berdasarkan rencana yang ditetapkan Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko untuk dan atas nama Menteri. (2) Lelang SBN Tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas Lelang SUN Tambahan dan/atau Lelang SBSN Tambahan. Pasal 18 (1) Peserta Transaksi pada lelang SUN Tambahan adalah Peserta Transaksi lelang SUN dalam Rupiah yang telah mengajukan Penawaran Pembelian Nonkompetitif (Non-competitive Bidding) pada lelang SUN. (2) Peserta Transaksi yang dapat mengajukan penawaran pada lelang SUN Tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagai berikut: a. untuk lelang SPN dapat diikuti oleh Dealer Utama, Bank Indonesia, dan/atau LPS dengan mengajukan Penawaran Pembelian Nonkompetitif (Non-competitive Bidding); dan b. untuk lelang Obligasi Negara dapat diikuti oleh Dealer Utama dan/atau LPS dengan mengajukan Penawaran Pembelian Nonkompetitif (Non-competitive Bidding). (3) Dealer Utama dapat mengajukan penawaran lelang SUN Tambahan atas nama diri sendiri dan/atau atas nama pihak lain selain Bank Indonesia dan LPS sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai lelang surat utang negara dalam mata uang Rupiah dan valuta asing di pasar perdana domestik. Pasal 19 (1) Peserta Transaksi pada lelang SBSN Tambahan terdiri 14 atas: a. Bank Indonesia; b. LPS;dan/atau c. Peserta Lelang, yang menyampaikan penawaran pembelian dalam lelang SBSN. (2) Peserta Transaksi pada lelang SBSN Tambahan diatur sebagai berikut: a. untuk Lelang SBSN Jangka Pendek hanya dapat diikuti oleh Bank Indonesia; b. untuk Lelang SBSN Jangka Panjang dapat diikuti oleh LPS dan/atau Peserta Lelang. Pasal 20 (1) Lelang SBN Tambahan dilaksanakan pada hari kerja antara pukul 10.00 WIB sampai dengan pukul 12.00 WIB atau pada waktu lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko untuk dan atas nama Menteri. (2) Dalam hal Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko untuk dan atas nama Menteri menetapkan waktu lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia mengumumkan perubahan tersebut melalui Sistem LHBU dan/atau sarana lain yang digunakan Bank Indonesia. Pasal 21 Pengajuan penawaran Lelang SBN Tambahan menggunakan Sistem BI-ETP atau sarana lain yang ditetapkan Bank Indonesia. Pasal 22 (1) Bank Indonesia mengumumkan rencana Lelang SBN Tambahan melalui Sistem BI-ETP, Sistem LHBU, dan/atau sarana lain yang digunakan Bank Indonesia setelah penetapan hasil Lelang SBN dalam Rupiah oleh Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko 15 untuk dan atas nama Menteri. (2) Pengumuman rencana Lelang SBN Tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat: a. jenis dan seri SBN; b. daftar nama peserta Lelang SBN Tambahan; c. d. tanggal dan waktu pelaksanaan Lelang SBN Tambahan; dan rata-rata tertimbang tingkat imbalan dan/atau diskonto, tingkat Imbal Hasil (Yield), atau harga (price). Pasal 23 (1) Penawaran pembelian pada lelang SUN Tambahan dilakukan dengan mengajukan volume penawaran SUN. (2) Pengajuan penawaran pada lelang SUN Tambahan dibatasi paling banyak sebesar Penawaran Pembelian Nonkompetitif (Non-competitive Bidding) dalam lelang SUN pada masing-masing seri SUN yang ditawarkan. Pasal 24 (1) Penawaran pembelian pada lelang SBSN Tambahan dilakukan dengan Penawaran Pembelian Nonkompetitif (Non-Competitive Bidding). (2) Total penawaran pembelian setiap peserta lelang SBSN Tambahan dibatasi paling tinggi sebesar total penawaran pembelian setiap peserta pada lelang SBSN untuk seri SBSN yang ditawarkan dalam lelang SBSN Tambahan. Pasal 25 (1) Peserta Transaksi mengajukan penawaran nominal pada hari pelaksanaan Lelang SBN Tambahan. (2) Pengajuan penawaran nominal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) huruf a. (3) Peserta Transaksi bertanggung jawab atas kebenaran data penawaran pembelian Lelang SBN Tambahan. (4) Peserta Transaksi dapat melakukan koreksi atas setiap 16 penawaran pembelian yang diajukan dalam periode waktu (window time) transaksi Lelang SBN Tambahan. (5) Peserta Transaksi yang telah mengajukan penawaran pembelian Lelang SBN Tambahan tidak dapat membatalkan penawaran. Pasal 26 Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko untuk dan atas nama Menteri menetapkan hasil Lelang SBN Tambahan yang paling sedikit mencakup nama pemenang dan nilai nominal. Pasal 27 (1) Bank Indonesia mengumumkan hasil Lelang SBN Tambahan yang telah ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko untuk dan atas nama Menteri melalui Sistem BI-ETP, Sistem LHBU, dan/atau sarana lain yang digunakan Bank Indonesia pada akhir hari pelaksanaan Lelang SBN Tambahan. (2) Bank Indonesia menyampaikan pengumuman hasil Lelang SBN Tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan ketentuan sebagai berikut: a. pengumuman kepada seluruh Peserta Transaksi paling sedikit memuat seri SBN dan nilai nominal; dan b. pengumuman kepada setiap pemenang Lelang SBN Tambahan melalui Sistem BI-ETP paling sedikit memuat nama pemenang dan nilai nominal yang dimenangkan. BAB IV PELAKSANAAN LELANG SUN DALAM VALUTA ASING Pasal 28 Bank Indonesia menyelenggarakan lelang SUN dalam valuta asing berdasarkan rencana yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko untuk dan atas nama Menteri. 17 Pasal 29 (1) Pihak yang dapat membeli SUN dalam valuta asing dalam lelang terdiri atas: a. orang perseorangan warga negara Indonesia yang bertempat tinggal di Indonesia; b. perusahaan, usaha bersama, asosiasi, atau kelompok yang terorganisasi baik dari Indonesia ataupun asing, yang didirikan atau bertempat kedudukan di wilayah Republik Indonesia; atau c. LPS. (2) Pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b dapat membeli SUN dalam valuta asing dengan ketentuan sebagai berikut: a. memenuhi persyaratan administrasi; dan b. teregistrasi dalam daftar investor residen, sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai lelang surat utang negara dalam mata uang Rupiah dan valuta asing di pasar perdana domestik. (3) Pihak yang telah memenuhi ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengikuti lelang SUN dalam valuta asing melalui Dealer Utama. Pasal 30 (1) Peserta Transaksi lelang SUN dalam valuta asing terdiri atas Dealer Utama dan/atau LPS. (2) Peserta Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengajukan penawaran untuk SPN dan/atau Obligasi Negara dalam valuta asing. (3) Dealer Utama dapat mengajukan penawaran pembelian lelang SUN dalam valuta asing atas nama diri sendiri dan/atau atas nama pihak lain selain LPS sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai lelang surat utang negara dalam mata uang Rupiah dan valuta asing di pasar perdana domestik. (4) LPS mengajukan penawaran lelang SUN dalam valuta 18 asing hanya untuk dan atas nama diri sendiri. Pasal 31 (1) Penawaran lelang SUN dalam valuta asing dilakukan dengan mengajukan Penawaran Pembelian Kompetitif (Competitive Bidding) dan/atau Penawaran Pembelian Nonkompetitif (Non-competitive Bidding) dalam suatu periode waktu (window time) penawaran yang telah ditentukan dan diumumkan sebelumnya. (2) Dealer Utama mengajukan penawaran lelang SUN dalam valuta asing untuk dan atas nama diri sendiri, atau untuk dan atas nama pihak lain selain LPS, dengan tata cara sebagai berikut: a. penawaran pada lelang SPN dalam valuta asing dilakukan dengan cara Penawaran Pembelian Kompetitif (Competitive Bidding); dan b. penawaran pada lelang Obligasi Negara dalam valuta asing dilakukan dengan cara Penawaran Pembelian Kompetitif (Competitive Bidding) dan/atau Penawaran Pembelian Nonkompetitif (Non-competitive Bidding). (3) LPS dapat mengajukan penawaran lelang SUN dalam valuta asing berupa SPN dan Obligasi Negara dalam valuta asing dengan tata cara sebagai berikut: a. penawaran dilakukan secara langsung tanpa melalui Dealer Utama; dan b. penawaran hanya dilakukan dengan cara Penawaran Pembelian Nonkompetitif (Non-competitive Bidding). Pasal 32 (1) Lelang SUN dalam valuta asing dilaksanakan pada hari Senin antara pukul 09.00 WIB sampai dengan pukul 11.00 WIB atau pada hari kerja dan/atau waktu lain yang ditetapkan Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko untuk dan atas nama Menteri. (2) Dalam hal terdapat perubahan jadwal lelang SUN dalam valuta asing, Bank Indonesia mengumumkan perubahan jadwal pelaksanaan lelang sebagaimana dimaksud pada ayat 19 (1) melalui Bloomberg, Sistem LHBU, dan/atau sarana lain yang digunakan Bank Indonesia. Pasal 33 Pengajuan penawaran lelang SUN dalam valuta asing menggunakan terminal Bloomberg atau sarana lain yang ditetapkan Bank Indonesia. Pasal 34 (1) Bank yang mengajukan penawaran lelang SUN dalam valuta asing melalui Dealer Utama harus menetapkan Batas Paling Tinggi Nominal Penawaran (Broker Bidding Limit) per hari untuk lelang SUN dalam valuta asing bagi Dealer Utama. (2) Peserta Transaksi yang tidak memiliki Rekening Surat Berharga yang mengajukan penawaran lelang SUN dalam valuta asing harus menunjuk Sub-Registry untuk pelaksanaan Setelmen hasil lelang SUN dalam valuta asing. (3) Sub-Registry yang ditunjuk untuk pelaksanaan Setelmen hasil lelang SUN dalam valuta asing sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus menetapkan Batas Paling Tinggi Nominal Penawaran (Broker Bidding Limit) per hari untuk lelang SUN dalam valuta asing bagi Peserta Transaksi untuk kepentingan nasabah Sub-Registry. (4) Penetapan Batas Paling Tinggi Nominal Penawaran (Broker Bidding Limit) per hari untuk lelang SUN dalam valuta asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) harus diatur dalam suatu perjanjian antara Bank atau Sub-Registry dengan Dealer Utama. Pasal 35 (1) Bank Indonesia mengirimkan surat permintaan kepada Peserta Transaksi untuk menyampaikan paling banyak 2 (dua) nama pegawai yang ditunjuk untuk melakukan transaksi lelang SUN dalam valuta asing melalui terminal Bloomberg sebelum pelaksanaan lelang SUN dalam valuta 20 asing yang pertama kali dilakukan oleh Peserta Transaksi. (2) Berdasarkan surat Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Peserta Transaksi menyampaikan nama pegawai yang ditunjuk untuk melakukan transaksi lelang SUN dalam valuta asing melalui surat dan dapat disampaikan terlebih dahulu melalui faksimile, dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. (3) Surat dan faksimile sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Bank Indonesia dengan alamat sebagai berikut: Bank Indonesia Departemen Pengelolaan Moneter (DPM) Grup Operasi Moneter (GOpM) Menara Sjafruddin Prawiranegara, Lantai 13 Jl. M. H. Thamrin No.2 Jakarta 10350 Telepon 021-29818350 dan 021-29818351 Faksimile 021-2310347. (4) Dalam hal terdapat perubahan alamat surat-menyurat dan sarana komunikasi, Bank Indonesia memberitahukan perubahan tersebut melalui surat dan/atau media lain. (5) Dalam hal terdapat perubahan atau pergantian pegawai yang ditunjuk untuk melakukan transaksi lelang SUN dalam valuta asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Peserta Transaksi menyampaikan pengkinian data melalui surat kepada Bank Indonesia – Departemen Pengelolaan Moneter c.q. Grup Operasi Moneter dengan menggunakan format sebagaimana dimaksud dalam Lampiran I. Pasal 36 (1) Bank Indonesia mengumumkan rencana lelang paling lambat 1 (satu) hari kerja sebelum hari pelaksanaan lelang SUN dalam valuta asing dengan pemberitahuan kepada pegawai yang telah ditunjuk oleh Peserta Transaksi melalui terminal Bloomberg, pengumuman melalui Sistem 21 LHBU, dan/atau sarana lain yang digunakan Bank Indonesia. (2) Pengumuman rencana lelang SUN dalam valuta asing paling sedikit memuat: a. b. c. d. jenis dan seri; tanggal pelaksanaan lelang; target indikatif yang ditawarkan; tanggal penerbitan dan tanggal jatuh tempo; e. mata uang; f. waktu pembukaan dan penutupan penawaran; g. waktu pengumuman hasil lelang; h. tanggal Setelmen; i. alokasi untuk Penawaran Pembelian Nonkompetitif (Non-competitive Bidding), dalam hal dilakukan kombinasi lelang kompetitif dan nonkompetitif; dan j. daftar nama Peserta Transaksi lelang. (3) Dalam hal dilakukan kombinasi lelang kompetitif dan lelang nonkompetitif, kombinasi lelang dimaksud dilakukan pada 2 (dua) lelang yang berbeda yaitu lelang kompetitif dan lelang nonkompetitif. Pasal 37 (1) Peserta Transaksi mengajukan penawaran pada hari pelaksanaan lelang SUN dalam valuta asing, dengan ketentuan sebagai berikut: a. Penawaran Pembelian Kompetitif (Competitive Bidding) memuat informasi yaitu: 1. kuantitas penawaran; 2. tingkat diskonto atau tingkat Imbal Hasil (Yield) atau harga (price); dan 3. kode investor yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko - Kementerian Keuangan Republik Indonesia, yang terdiri atas 7 (tujuh) angka dengan format penulisan xxx-yyyy. Contoh penulisan kode investor: 123-0000 22 123 : 3 (tiga) angka pertama merupakan informasi kode Peserta BI-SSSS; dan 0000 : 4 (empat) angka terakhir merupakan informasi nomor investor non-Bank atau diisi dengan “0000” dalam hal investor adalah Bank; dan b. Penawaran Pembelian Nonkompetitif (Non-competitive Bidding) memuat informasi sebagai berikut: 1. kuantitas penawaran; dan 2. kode investor sebagaimana dimaksud dalam huruf a angka 3. (2) Peserta Transaksi mengajukan penawaran lelang SUN dalam valuta asing untuk Penawaran Pembelian Kompetitif (Competitive Bidding), dengan ketentuan sebagai berikut: a. pengajuan penawaran nominal dari setiap Peserta Transaksi paling sedikit USD100,000.00 (seratus ribu Dolar Amerika Serikat) dan selebihnya dengan kelipatan USD10,000.00 (sepuluh ribu Dolar Amerika Serikat); b. penawaran diskonto atau tingkat Imbal Hasil (Yield) diajukan dengan kelipatan 1/100 (satu per seratus) atau 0,01 (nol koma nol satu); dan c. penawaran harga (price) diajukan dengan kelipatan 0,05% (nol koma nol lima persen). (3) Dalam hal Peserta Transaksi mengajukan penawaran lelang SUN dalam valuta asing dengan cara Penawaran Pembelian Nonkompetitif (Non-competitive Bidding), pengajuan penawaran nominal dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a. Pasal 38 (1) Peserta Transaksi harus menyampaikan penawaran lelang SUN dalam valuta asing dengan informasi yang lengkap dan benar berdasarkan dokumen instruksi transaksi. (2) Peserta Transaksi bertanggung jawab atas kebenaran data penawaran pembelian lelang SUN dalam valuta asing. 23 (3) Peserta Transaksi dapat melakukan koreksi atas setiap penawaran lelang SUN dalam valuta asing yang diajukan dalam periode waktu (window time) transaksi lelang SUN dalam valuta asing. (4) Peserta Transaksi yang telah mengajukan penawaran lelang SUN dalam valuta asing tidak dapat membatalkan penawaran. Pasal 39 Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko untuk dan atas nama Menteri menetapkan hasil lelang SUN dalam valuta asing yang paling sedikit mencakup: a. pemenang lelang; b. nilai nominal; dan c. tingkat diskonto atau tingkat Imbal Hasil (Yield) atau harga (price). Pasal 40 (1) Bank Indonesia mengumumkan hasil lelang SUN dalam valuta asing yang telah ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko untuk dan atas nama Menteri kepada seluruh Peserta Transaksi dan kepada masing-masing pemenang lelang SUN dalam valuta asing. (2) Pengumuman kepada seluruh Peserta Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. pengumuman hasil lelang SUN dalam valuta asing dilakukan melalui Sistem LHBU dan/atau sarana lain yang digunakan oleh Bank Indonesia pada akhir hari pelaksanaan lelang SUN dalam valuta asing; b. pengumuman sebagaimana dimaksud dalam huruf a paling sedikit memuat: 1. jenis dan seri; 2. mata uang; 3. kuantitas lelang secara keseluruhan; 4. tingkat bunga untuk Obligasi Negara dalam valuta asing dengan kupon; 24 5. 6. rata-rata tertimbang tingkat diskonto, tingkat Imbal Hasil (Yield) atau harga (price); dan tanggal jatuh tempo; (3) Pengumuman kepada masing-masing pemenang lelang SUN dalam valuta asing dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. pengumuman hasil lelang SUN dalam valuta asing dilakukan melalui terminal Bloomberg kepada masing-masing pegawai yang ditunjuk oleh Peserta Transaksi yang dimenangkan pada lelang SUN dalam valuta asing; b. pengumuman sebagaimana dimaksud dalam huruf a paling sedikit memuat: 1. nama pemenang; 2. nilai nominal; dan 3. tingkat diskonto, tingkat Imbal Hasil (Yield) atau harga (price). BAB V KEADAAN TIDAK NORMAL PADA PELAKSANAAN LELANG SBN, LELANG SBN TAMBAHAN DAN LELANG SUN DALAM VALUTA ASING Pasal 41 (1) Dalam hal terjadi keadaan tidak normal pada pelaksanaan Lelang SBN dan/atau Lelang SBN Tambahan yang mempengaruhi kelancaran pelaksanaan pada tahapan persiapan dan tahapan pelaksanaan, Bank Indonesia akan mengumumkan keputusan Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko untuk dan atas nama Menteri terhadap pelaksanaan lelang dan Setelmen melalui Sistem LHBU dan/atau sarana komunikasi lain yang digunakan Bank Indonesia. (2) Keadaan tidak normal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terjadi dalam hal terdapat situasi atau kondisi yang mengakibatkan adanya gangguan atau kerusakan pada perangkat keras, perangkat lunak, jaringan komunikasi, 25 aplikasi, maupun sarana pendukung yang ada pada Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko dan/atau Bank Indonesia. Pasal 42 (1) Peserta Transaksi yang mengalami gangguan pada terminal dan/atau jaringan Bloomberg yang dimiliki Peserta Transaksi yang menyebabkan Peserta Transaksi tidak dapat mengajukan penawaran lelang SUN dalam valuta asing dapat menggunakan fasilitas back-up terminal Bloomberg yang ada di Bank Indonesia. (2) Dalam hal jumlah Peserta Transaksi yang mengajukan permohonan penggunaan fasilitas back-up terminal Bloomberg melebihi jumlah terminal yang tersedia, Bank Indonesia menetapkan batas waktu penggunaan fasilitas back-up terminal Bloomberg. Pasal 43 (1) Peserta Transaksi yang menggunakan fasilitas back up terminal Bloomberg sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1) mengajukan permohonan penggunaan fasilitas back-up terminal Bloomberg disertai dengan informasi data penawaran lelang SUN dalam valuta asing. (2) Permohonan yang disertai dengan informasi data penawaran lelang SUN dalam valuta asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan melalui surat dan dapat disampaikan terlebih dahulu melalui faksimile, dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. (3) Penyampaian surat melalui faksimile dilakukan paling lambat 30 (tiga puluh) menit sebelum penggunaan fasilitas back-up terminal Bloomberg. (4) Surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit memuat: a. permohonan penggunaan fasilitas back-up terminal 26 Bloomberg; b. alasan menggunakan fasilitas back-up terminal Bloomberg; c. nama pegawai yang ditunjuk oleh Peserta Transaksi untuk menggunakan fasilitas back-up terminal Bloomberg; dan d. pernyataan bahwa Peserta Transaksi yang bersangkutan membebaskan Bank Indonesia dari tanggung jawab atas segala kerugian yang timbul pada Peserta Transaksi (indemnity) sehubungan dengan penggunaan fasilitas back-up terminal Bloomberg. (5) Surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditandatangani oleh pejabat yang berwenang dari Peserta Transaksi yang telah memiliki spesimen tanda tangan di Bank Indonesia yang ditatausahakan oleh penyelenggara BI- ETP. (6) Surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditujukan kepada Bank Indonesia - Departemen Pengelolaan Moneter c.q. Grup Operasi Moneter dengan alamat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (3) dengan tembusan kepada: Departemen Penyelenggaraan Sistem Pembayaran c.q. Divisi Setelmen Dana dan Penatausahaan Surat Berharga Gedung D, Lantai 3 Jl. M. H. Thamrin No.2 Jakarta-10350 Telepon 021-29818888 Faksimile 021-2311476. Pasal 44 (1) Penawaran lelang SUN dalam valuta asing yang diajukan oleh Peserta Transaksi melalui fasilitas back-up terminal Bloomberg harus sesuai dengan informasi data penawaran lelang SUN dalam valuta asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (1). (2) Peserta Transaksi menyampaikan data penawaran lelang 27 SUN dalam valuta asing yang telah diajukan melalui fasilitas back-up terminal Bloomberg kepada Bank Indonesia untuk dicocokkan dengan informasi data penawaran lelang SUN dalam valuta asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (1) setelah penawaran selesai dilakukan. (3) Peserta Transaksi yang mengajukan penawaran lelang SUN dalam valuta asing melalui fasilitas back-up terminal Bloomberg tidak dapat melakukan perubahan data penawaran yang telah diajukan. (4) Peserta Transaksi yang mengajukan penawaran lelang SUN dalam valuta asing melalui fasilitas back-up terminal Bloomberg bertanggung jawab atas kebenaran dan kesesuaian data penawaran lelang SUN dalam valuta asing yang diajukan. (5) Peserta Transaksi bertanggung jawab atas segala kerugian yang timbul sehubungan dengan pelaksanaan transaksi melalui fasilitas back-up terminal Bloomberg sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1). BAB VI KETENTUAN PENUTUP Pasal 45 Pada saat Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku, ketentuan mengenai tata cara lelang surat berharga negara di pasar perdana sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/32/DPSP tanggal 13 November 2015 perihal Tata Cara Lelang Surat Berharga Negara di Pasar Perdana dan Penatausahaan Surat Berharga Negara, sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 18/36/DPSP tanggal 16 Desember 2016 perihal Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/32/DPSP tanggal 13 November 2015 perihal Tata Cara Lelang Surat Berharga Negara di Pasar Perdana dan Penatausahaan Surat Berharga Negara, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. 28 Pasal 46 Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 10 Februari 2017 ANGGOTA DEWAN GUBERNUR, ERWIN RIJANTO "," PADG 19/1/PADG/2017 PELAKSANAAN LELANG SURAT BERHARGA NEGARA DI PASAR PERDANA 10 Februari 2017 10 Februari 2017 '17/32/DPSP|SE-BI/2015', '18/36/DPSP|SE-BI/2016' '17/19/PBI/2015', '17/18/PBI/2015', '10/13/PBI/2008' " " PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/14/PADG/2018 TENTANG LAPORAN PASAR UANG NONBANK DAN KUSTODIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa guna pelaksanaan tugas Bank Indonesia di sektor moneter, makroprudensial, serta sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah yang lebih efektif diperlukan dukungan informasi secara tepat waktu, aman, akurat, andal, objektif, lengkap, dan mudah untuk diakses secara simultan; b. bahwa untuk menyediakan informasi yang berkualitas, diperlukan pengembangan sistem pelaporan pasar uang nonbank dan kustodian sebagai pedoman bagi pelapor dalam menyusun dan menyampaikan laporan pasar uang nonbank dan kustodian; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Anggota Dewan Gubernur tentang Laporan Pasar Uang Nonbank dan Kustodian; Mengingat : 1. Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/11/PBI/2016 tentang Pasar Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 148, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5909); 2 2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/2/PBI/2017 tentang Transaksi Sertifikat Deposito di Pasar Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6034); 3. Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/9/PBI/2017 tentang Penerbitan dan Transaksi Surat Berharga Komersial di Pasar Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 164, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6100); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG LAPORAN PASAR UANG NONBANK DAN KUSTODIAN. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang dimaksud dengan: 1. Pasar Uang adalah bagian dari sistem keuangan yang bersangkutan dengan kegiatan perdagangan, pinjam meminjam, atau pendanaan berjangka pendek sampai dengan 1 (satu) tahun dalam mata uang rupiah dan valuta asing, yang berperan dalam transmisi kebijakan moneter, pencapaian stabilitas sistem keuangan, serta kelancaran sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah. 2. Perusahaan Efek adalah perusahaan efek sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai pasar modal. 3. Perusahaan Pialang Pasar Uang Rupiah dan Valuta Asing yang selanjutnya disebut Perusahaan Pialang adalah perusahaan pialang sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai perusahaan pialang pasar uang rupiah dan valuta asing. 3 4. Kustodian adalah kustodian sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai pasar modal. 5. Pelapor adalah Perusahaan Efek, Perusahaan Pialang, dan Kustodian. 6. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri serta bank umum syariah dan unit usaha syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah. 7. Laporan Pasar Uang Nonbank dan Kustodian yang selanjutnya disebut LPU adalah laporan yang disusun dan disampaikan oleh Pelapor secara periodik kepada Bank Indonesia. 8. Sistem Laporan Pasar Uang yang selanjutnya disebut Sistem LPU adalah sistem penerimaan (capturing) LPU yang berbasis web yang disampaikan Pelapor melalui jaringan internet. 9. Instrumen Pasar Uang adalah instrumen yang ditransaksikan di Pasar Uang yang meliputi instrumen yang diterbitkan dengan jangka waktu sampai dengan 1 (satu) tahun, sertifikat deposito, dan instrumen lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, termasuk yang berdasarkan prinsip syariah. 10. Penyampaian Laporan Secara Online yang selanjutnya disebut Online adalah penyampaian laporan yang dilakukan dengan mengirim rekaman data secara langsung melalui jaringan komunikasi data kepada Bank Indonesia. 11. Penyampaian Laporan Secara Offline yang selanjutnya disebut Offline adalah penyampaian laporan yang dilakukan dengan menyampaikan rekaman data dalam bentuk media perekaman data elektronik kepada Bank Indonesia. 12. Hari Kerja adalah hari kerja Bank Indonesia yang mewilayahi Pelapor. 4 BAB II PELAPOR DAN RUANG LINGKUP DATA LPU Bagian Kesatu Pelapor LPU Pasal 2 Pelapor LPU terdiri atas: a. kantor pusat dari Perusahaan Efek; b. kantor pusat dari Perusahaan Pialang; dan c. kantor pusat dari Bank yang melaksanakan kegiatan Kustodian. Bagian Kedua Ruang Lingkup Data LPU Pasal 3 (1) Pelapor harus menyusun LPU. (2) Penyusunan LPU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi data perdagangan Instrumen Pasar Uang di pasar sekunder. Pasal 4 Data perdagangan Instrumen Pasar Uang di pasar sekunder sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) disusun dalam form 301 sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Pasal 5 (1) Data perdagangan Instrumen Pasar Uang di pasar sekunder sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) yang dilaporkan oleh Perusahaan Efek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a meliputi: 5 a. seluruh transaksi untuk kepentingan sendiri, kecuali: 1. lawan transaksi berupa Bank; atau 2. salah satu perantara transaksi yaitu Bank; b. seluruh transaksi dalam hal Perusahaan Efek menjadi perantara transaksi untuk kepentingan nasabah, kecuali: 1. nasabah berupa Bank atau Perusahaan Efek; 2. lawan transaksi yaitu Bank atau Perusahaan Efek; atau 3. perantara transaksi pihak lawan yaitu Bank; dan c. seluruh transaksi dalam hal Perusahaan Efek bertindak sebagai Kustodian dan transaksi dilakukan secara langsung oleh nasabah, kecuali: 1. nasabah berupa Bank atau Perusahaan Efek; atau 2. lawan transaksi yaitu Bank atau Perusahaan Efek. (2) Data perdagangan Instrumen Pasar Uang di pasar sekunder sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) yang dilaporkan oleh Perusahaan Pialang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b meliputi seluruh transaksi dalam hal Perusahaan Pialang menjadi perantara transaksi untuk kepentingan nasabah, kecuali: a. nasabah berupa Bank atau Perusahaan Efek; b. lawan transaksi yaitu Bank atau Perusahaan Efek; atau c. perantara transaksi pihak lawan yaitu Bank atau Perusahaan Efek. (3) Data perdagangan Instrumen Pasar Uang di pasar sekunder sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) yang dilaporkan oleh Bank yang melaksanakan kegiatan Kustodian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c meliputi seluruh transaksi dalam hal Bank bertindak sebagai Kustodian dan transaksi dilakukan secara langsung oleh nasabah, kecuali: 6 a. nasabah berupa Bank atau Perusahaan Efek; atau b. lawan transaksi yaitu Bank atau Perusahaan Efek. BAB III TATA CARA PENYAMPAIAN LPU Bagian Kesatu Prosedur Teknis Penyampaian LPU Pasal 6 (1) Pelapor harus menyampaikan LPU kepada Bank Indonesia secara lengkap, akurat, benar, dan tepat waktu. (2) Pelapor harus menyampaikan koreksi LPU apabila terdapat kesalahan data pada LPU yang telah disampaikan kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Penyampaian LPU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau koreksi LPU sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Bank Indonesia dilakukan secara Online. (4) Sebelum menyampaikan LPU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau koreksi LPU sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pelapor harus melakukan validasi teknis sesuai dengan pedoman penyusunan dan petunjuk teknis LPU yang tercantum dalam Lampiran I. (5) Setelah menyampaikan LPU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau koreksi LPU sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pelapor harus memastikan bahwa status data LPU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) telah matching dengan data Pelapor lain sebagai lawan transaksi, melalui laporan absensi LPU. Pasal 7 (1) Untuk penyusunan dan penyampaian LPU, Bank Indonesia memberikan hak akses berupa 1 (satu) user ID dan password terhadap Sistem LPU kepada Pelapor. (2) Hak akses sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh Pelapor dengan menyampaikan surat permohonan 7 hak akses kepada Bank Indonesia sebagaimana diatur dalam Lampiran II dan melampirkan profil Pelapor LPU sebagaimana diatur dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku bagi Perusahaan Efek yang sudah terdaftar sebagai Lembaga Pendukung Pasar Uang sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pasar uang. (4) Pengajuan surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditujukan kepada Bank Indonesia c.q. Departemen Pengembangan Pasar Keuangan, Jl. M.H. Thamrin Nomor 2 Jakarta 10350. (5) Rincian dan tata cara pengisian informasi pokok Pelapor serta pengajuan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada Lampiran III. Pasal 8 (1) Pelapor harus menunjuk penanggung jawab untuk melakukan penyusunan dan penyampaian LPU. (2) Penunjukan penanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan bersamaan dengan surat permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2). (3) Penunjukan penanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengurangi dan/atau menghilangkan tanggung jawab direksi Pelapor. (4) Dalam hal terdapat perubahan penanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pelapor harus melaporkan perubahan tersebut secara Online. 8 Bagian Kedua Periode Penyampaian LPU Pasal 9 (1) Penyampaian LPU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 oleh Pelapor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dilakukan secara mingguan. (2) Data LPU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk Pelapor berupa: a. Perusahaan Efek yang melakukan transaksi untuk kepentingan sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a; b. Perusahaan Efek yang bertindak sebagai perantara transaksi untuk kepentingan nasabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b; atau c. Perusahaan Pialang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2), merupakan data transaksi yang dilakukan pada Hari Kerja selama periode mingguan laporan. (3) Data LPU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk Pelapor berupa: a. Perusahaan Efek yang bertindak sebagai Kustodian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf c; dan b. Bank yang bertindak sebagai Kustodian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3), merupakan data transaksi yang ditatausahakan pada Hari Kerja selama periode mingguan laporan. (4) Pelapor harus menyampaikan LPU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beserta form header setiap hari Jumat selama periode mingguan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3). (5) Dalam hal hari Jumat merupakan hari libur maka penyampaian LPU beserta form header sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan pada Hari Kerja sebelumnya. 9 Pasal 10 Pelapor yang tidak memiliki data perdagangan Instrumen Pasar Uang di pasar sekunder sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, tetap harus menyampaikan LPU berupa form header. Pasal 11 Pelapor dinyatakan telah menyampaikan LPU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4) dan Pasal 10 yang dibuktikan dengan tanda terima dari Sistem LPU. Pasal 12 Dalam hal Pelapor melakukan merger atau konsolidasi dengan Pelapor lain, masing-masing Pelapor harus menyampaikan LPU sampai dengan Hari Kerja terakhir sebelum tanggal dilakukannya merger atau konsolidasi secara operasional oleh masing-masing Pelapor. Bagian Ketiga Periode Penyampaian Koreksi LPU Pasal 13 (1) Penyampaian koreksi LPU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) beserta form header dilakukan paling lambat 2 (dua) Hari Kerja setelah batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4). (2) Pelapor dinyatakan telah menyampaikan koreksi LPU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dibuktikan dengan tanda terima dari Sistem LPU. Bagian Keempat Keterlambatan Penyampaian LPU dan/atau Koreksi LPU Pasal 14 (1) Pelapor dinyatakan terlambat menyampaikan LPU dan/atau koreksi LPU apabila Pelapor menyampaikan LPU dan/atau koreksi LPU beserta form header melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat 10 (4) dan Pasal 13 ayat (1), sampai dengan 5 (lima) hari kerja setelah batas waktu penyampaian koreksi LPU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1). (2) Dalam hal Pelapor dinyatakan terlambat menyampaikan LPU dan/atau koreksi LPU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maka Pelapor harus menyampaikan LPU dan/atau koreksi LPU beserta form header secara Offline kepada: a. Bank Indonesia c.q. Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan, Jl. M.H. Thamrin Nomor 2 Jakarta 10350, bagi Pelapor yang berada di wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia atau yang memiliki kantor cabang di wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia; atau b. Kantor Perwakilan Bank Indonesia Dalam Negeri yang mewilayahi, bagi Pelapor yang berada di luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia Pasal 15 (1) Pelapor dianggap tidak menyampaikan LPU dan/atau koreksi LPU apabila LPU dan/atau koreksi LPU tidak diterima oleh Bank Indonesia dalam batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1). (2) Dalam hal Pelapor dinyatakan tidak menyampaikan LPU dan/atau koreksi LPU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maka Pelapor tetap harus menyampaikan LPU dan/atau koreksi LPU beserta form header secara Offline kepada: a. Bank Indonesia c.q. Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan, Jl. M.H. Thamrin Nomor 2 Jakarta 10350, bagi Pelapor yang berada di wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia atau yang memiliki kantor cabang di wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia; atau b. Kantor Perwakilan Bank Indonesia Dalam Negeri yang mewilayahi, bagi Pelapor yang berada di luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia. 11 Bagian Kelima Gangguan Teknis Pasal 16 (1) Dalam hal Pelapor mengalami gangguan teknis sehingga tidak dapat menyampaikan LPU dan/atau koreksi LPU secara Online sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3), Pelapor memberitahukan secara lisan kepada Bank Indonesia c.q. Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan segera setelah mengalami gangguan sebelum batas waktu laporan dan ditegaskan secara tertulis pada Hari Kerja yang sama. (2) Penegasan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh pejabat Pelapor yang berwenang dan disampaikan kepada Bank Indonesia c.q. Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan, Jl. M.H. Thamrin Nomor 2 Jakarta 10350. (3) Pelapor yang tidak dapat menyampaikan LPU dan/atau koreksi LPU secara Online karena gangguan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau karena gangguan lainnya pada sistem dan/atau jaringan komunikasi di kantor Pelapor maupun di Bank Indonesia, harus menyampaikan LPU dan/atau koreksi LPU secara Offline paling lambat Hari Kerja berikutnya pukul 12.00 waktu setempat kepada: a. Bank Indonesia c.q. Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan, Jl. M.H. Thamrin Nomor 2 Jakarta 10350, bagi Pelapor yang berada di wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia atau yang memiliki kantor cabang di wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia; atau b. Kantor Perwakilan Bank Indonesia Dalam Negeri yang mewilayahi, bagi Pelapor yang berada di luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia. 12 Pasal 17 Dalam hal Pelapor tidak menyampaikan penegasan secara tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2), Pelapor dianggap tidak menyampaikan LPU dan/atau koreksi LPU. Bagian Keenam Keadaan Memaksa (Force Majeure) Pasal 18 (1) Pelapor yang tidak dapat menyampaikan LPU dan/atau koreksi LPU karena terjadi keadaan memaksa (force majeure) harus segera memberitahukan secara tertulis disertai penjelasan mengenai penyebab terjadinya keadaan memaksa (force majeure) yang dibenarkan oleh penguasa atau pejabat dari instansi terkait di daerah setempat beserta upaya yang dilakukan. (2) Pemberitahuan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh pejabat Pelapor yang berwenang dan disampaikan kepada: a. Bank Indonesia c.q. Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan, Jl. M.H. Thamrin Nomor 2 Jakarta 10350, bagi Pelapor yang berada di wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia atau yang memiliki kantor cabang di wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia; atau b. Kantor Perwakilan Bank Indonesia Dalam Negeri yang mewilayahi, bagi Pelapor yang berada di luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia. (3) Pelapor yang mengalami keadaan memaksa (force majeure) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan dari keharusan untuk menyampaikan LPU dan/atau koreksi LPU sampai dengan keadaan memaksa (force majeure) dapat teratasi. 13 BAB IV PENGAWASAN Bagian Ketujuh Pengawasan dan Pembinaan Pasal 19 (1) Bank Indonesia melakukan pengawasan atas pelaporan LPU oleh Pelapor. (2) Guna pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia dapat: a. meminta keterangan dan/atau data yang terkait kepada Pelapor; dan/atau b. melakukan pemeriksaan (on site supervision) terhadap Pelapor. Pasal 20 Pelapor yang: a. terlambat menyampaikan LPU dan/atau koreksi LPU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1); b. tidak menyampaikan LPU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1); atau c. menyampaikan LPU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) secara tidak benar, dapat dikenakan pembinaan oleh Bank Indonesia melalui kerangka pengawasan Pasar Uang. BAB V PENYAMPAIAN PERTANYAAN DAN/ATAU KORESPONDENSI Pasal 21 Dalam hal terdapat pertanyaan yang berkaitan dengan sistem, materi, dan/atau ketentuan LPU, Pelapor dapat menyampaikan pertanyaan tersebut kepada BICARA Bank Indonesia, Jl. M.H. Thamrin Nomor 2 Jakarta 10350, Telp 021-131 atau melalui surat elektronik: bicara@bi.go.id. 14 Pasal 22 Dalam hal terjadi perubahan alamat surat menyurat dan/atau informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4), Pasal 14 ayat (2), Pasal 15 ayat (2), Pasal 16 ayat (1), Pasal 16 ayat (2), Pasal 16 ayat (3), Pasal 18 ayat (2), dan/atau Pasal 21 Bank Indonesia akan memberitahukan melalui surat atau media lainnya. BAB VI KETENTUAN PERALIHAN Pasal 23 Keharusan Pelapor untuk memastikan bahwa status data LPU telah matching dengan data Pelapor lain sebagai lawan transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (5) mulai berlaku pada tanggal 1 Februari 2019. BAB VII KETENTUAN PENUTUP Pasal 24 Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 2018. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 29 Juni 2018 ANGGOTA DEWAN GUBERNUR, MIRZA ADITYASWARA TTD PENJELASAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/14/PADG/2018 TENTANG LAPORAN PASAR UANG OLEH NONBANK DAN KUSTODIAN I. UMUM Dalam menjalankan tugas menetapkan dan melaksanakan kebijakan di sektor moneter, makroprudensial, sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah, Bank Indonesia memerlukan data atau informasi dalam bentuk laporan, keterangan, dan/atau penjelasan secara mingguan. Data atau informasi tersebut akan digunakan sebagai bahan dasar dalam menetapkan dan melaksanakan kebijakan di sektor moneter, makroprudensial, sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah. Untuk menyediakan data atau informasi yang lebih utuh, komprehensif, dan berkualitas dalam rangka penetapan dan pelaksanaan kebijakan sebagaimana tersebut di atas, maka diperlukan pengumpulan data dan/atau informasi yang dilaporkan dalam aplikasi laporan pasar uang nonbank dan kustodian (LPU) sesuai dengan Pedoman Penyusunan dan Petunjuk Teknis LPU dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. 2 Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Ayat (1) Huruf a Contoh pelaporan transaksi oleh Perusahaan Efek untuk kepentingan sendiri: 1. Pada tanggal 2 Juli 2018, Perusahaan Efek A membeli Surat Berharga Komersial XYZ dari Perusahaan Efek B sebesar Rp25 Milyar tanpa melalui perantara. Selain itu, Perusahaan Efek A dan Perusahaan Efek B menggunakan Bank P sebagai Bank Kustodian. Berdasarkan transaksi di atas, pada hari Jumat (6 Juli 2018), Perusahaan Efek A dan Perusahaan Efek B harus melaporkan transaksi dimaksud melalui Sistem LPU, sedangkan Bank P tidak harus lapor. 2. Pada tanggal 4 Juli 2018, Perusahaan Efek A membeli Surat Berharga Komersial XYZ dari korporasi FGH sebesar Rp25 Milyar melalui Perusahaan Pialang K. Selain itu, Perusahaan Efek A dan korporasi FGH menggunakan Bank P sebagai Bank Kustodian. Berdasarkan transaksi di atas, pada hari Jumat (6 Juli 2018), Perusahaan Efek A harus melaporkan transaksi tersebut melalui sistem LPU. Sedangkan Perusahaan Pialang K dan Bank P tidak harus lapor. 3. Pada tanggal 3 Juli 2018, Perusahaan Efek A membeli Surat Berharga Komersial XYZ dari korporasi FGH sebesar Rp25 Milyar tanpa melalui perantara. Selain itu, Perusahaan Efek A dan korporasi FGH menggunakan Bank P sebagai Bank Kustodian. 3 Maka pada hari Jumat (6 Juli 2018), perusahaan Efek A harus melaporkan transaksi dimaksud melalui Sistem LPU, sedangkan Bank P tidak harus lapor. 4. Pada tanggal 9 Juli 2018, Perusahaan Efek A membeli Surat Berharga Komersial XYZ dari korporasi FGH sebesar Rp25 Milyar melalui perantara Perusahaan Efek B. Selain itu, Perusahaan Efek A dan korporasi FGH menggunakan Bank P sebagai Bank Kustodian. Maka pada hari Jumat (13 Juli 2018), perusahaan Efek A harus melaporkan transaksi dimaksud melalui Sistem LPU, sedangkan Perusahaan Efek B dan Bank P tidak harus lapor. 5. Pada tanggal 9 Juli 2018, Perusahaan Efek A membeli Surat Berharga Komersial XZ melalui perantara Perusahaan Efek B dari korporasi FGH melalui perantara Perusahaan Efek C sebesar Rp95 Milyar. Selain itu, Perusahaan Efek A dan korporasi FGH menggunakan Bank P sebagai Bank Kustodian. Maka pada hari Jumat (13 Juli 2018), perusahaan Efek A harus melaporkan trasaksi dimaksud melalui Sistem LPU. Sedangkan Perusahaan Efek B, Perusahaan Efek C, dan Bank P tidak harus lapor. Angka 1 Contoh pelaporan transaksi Perusahaan Efek untuk kepentingan sendiri dengan lawan transaksi berupa Bank: Pada tanggal 10 Juli 2018, Perusahaan Efek A membeli Surat Berharga Komersial CEX dari Bank Q sebesar Rp25 Milyar tanpa melalui perantara. Selain itu, Perusahaan Efek A dan Bank Q menggunakan Bank P sebagai Bank Kustodian. Maka pada hari Jumat (13 Juli 2018) perusahaan Efek A dan Bank P tidak harus melaporkan transaksi dimaksud melalui Sistem LPU. Sedangkan Bank Q wajib melaporkan transaksi tersebut melalui LHBU sebagaimana mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan harian bank umum. 4 Angka 2 Contoh pelaporan transaksi Perusahaan Efek untuk kepentingan sendiri dengan salah satu perantara transaksi yaitu Bank: 1. Pada tanggal 10 Juli 2018, Perusahaan Efek A membeli Surat Berharga Komersial CEX dari Perusahaan Efek B sebesar Rp245 Milyar melalui perantara Bank P. Selain itu, Perusahaan Efek A dan Perusahaan Efek B menggunakan Bank Q sebagai Bank Kustodian. Maka pada hari Jumat (13 Juli 2018) perusahaan Efek A, Perusahaan Efek B dan Bank Q tidak harus melaporkan transaksi dimaksud melalui Sistem LPU. 2. Pada tanggal 11 Juli 2018, Perusahaan Efek A membeli Surat Berharga Komersial XZ melalui perantara Bank P dari korporasi FGH melalui perantara Bank Q sebesar Rp295 Milyar. Selain itu, Perusahaan Efek A dan korporasi FGH menggunakan Bank R sebagai Bank Kustodian. Maka pada hari Jumat (13 Juli 2018), perusahaan Efek A dan Bank R tidak harus melaporkan transaksi dimaksud melalui Sistem LPU. Huruf b Contoh transaksi dalam hal Perusahaan Efek sebagai perantara transaksi untuk kepentingan nasabah: 1. Pada tanggal 16 Juli 2018, Korporasi HIJ membeli Surat Berharga Komersial XYZ dari korporasi EFG sebesar Rp600 Milyar melalui perantara Perusahaan Efek A. Selain itu, korporasi HIJ dan korporasi EFG menggunakan Bank P sebagai Bank Kustodian. Maka pada hari Jumat (20 Juli 2018), perusahaan Efek A harus melaporkan transaksi dimaksud melalui Sistem LPU, sedangkan Korporasi HIJ dan Korporasi EFG, dan Bank P tidak harus lapor. 2. Pada tanggal 17 Juli 2018, Korporasi Hijau melalui perantara Perusahaan Efek A membeli Surat Berharga Komersial CAB kepada korporasi Merah melalui 5 perantara Perusahaan Efek B sebesar Rp880 Milyar. Selain itu, korporasi Hijau dan korporasi Merah menggunakan Bank Q sebagai Bank Kustodian. Maka pada hari Jumat (20 Juli 2018), Perusahaan Efek A dan Perusahaan Efek B harus melaporkan transaksi dimaksud melalui Sistem LPU, sedangkan Korporasi Hijau, Korporasi Merah, dan Bank Q tidak harus lapor. Angka 1 Contoh transaksi dalam hal Perusahaan Efek sebagai perantara transaksi untuk kepentingan nasabah berupa Bank atau Perusahaan Efek: Pada tanggal 18 Juli 2018, Bank P melalui perantara Perusahaan Efek B membeli Surat Berharga Komersial CX dari Perusahaan Efek A sebesar Rp245 Milyar. Selain itu, Bank P dan Perusahaan Efek A menggunakan Bank Q sebagai Bank Kustodian. Maka pada hari Jumat (20 Juli 2018) Perusahaan Efek A, Perusahaan Efek B dan Bank Q tidak harus melaporkan transaksi dimaksud melalui Sistem LPU. Angka 2 Contoh transaksi dalam hal Perusahaan Efek sebagai perantara transaksi untuk kepentingan nasabah dengan lawan transaksi yaitu Bank atau Perusahaan Efek: 1. Pada tanggal 20 Juli 2018, korporasi FIG melalui perantara Perusahaan Efek A membeli Surat Berharga Komersial CX dari Bank P sebesar Rp780 Milyar. Selain itu, korporasi FIG dan Bank P menggunakan Bank Q sebagai Bank Kustodian. Maka pada hari Jumat (20 Juli 2018) Perusahaan Efek A dan Bank Q tidak harus melaporkan transaksi dimaksud melalui Sistem LPU. 2. Pada tanggal 20 Juli 2018, korporasi FIG melalui perantara Perusahaan Efek A membeli Surat Berharga Komersial CX dari Perusahaan Efek B sebesar Rp180 Milyar. Selain itu, korporasi FIG dan Perusahaan Efek B menggunakan Bank Q sebagai 6 Bank Kustodian. Maka pada hari Jumat (20 Juli 2018) perusahaan Efek B harus melaporkan transaksi dimaksud melalui Sistem LPU, sedangkan Perusahaan Efek A dan Bank Q tidak harus lapor. Angka 3 Contoh transaksi dalam hal Perusahaan Efek sebagai perantara transaksi untuk kepentingan nasabah dengan perantara transaksi pihak lawan yaitu Bank: Pada tanggal 23 Juli 2018, korporasi FIG melalui perantara Perusahaan Efek A membeli Surat Berharga Komersial CX dari korporasi DEF melalui perantara Bank P sebesar Rp160 Milyar. Selain itu, korporasi FIG dan korporasi DEF menggunakan Bank Q sebagai Bank Kustodian. Maka pada hari Jumat (20 Juli 2018) Perusahaan Efek A dan Bank Q tidak harus melaporkan transaksi dimaksud melalui Sistem LPU. Huruf c Contoh transaksi dalam hal Perusahaan Efek bertindak sebagai Kustodian dan transaksi dilakukan secara langsung oleh nasabah: 1. Pada tanggal 12 Juli 2018, Korporasi Biru membeli NCD Bank RAT dari korporasi Merah sebesar Rp440 Milyar secara langsung tanpa melibatkan pihak ketiga (Bank/Perusahaan Efek). Selanjutnya, pada tanggal 16 Juli 2018 korporasi Biru dan korporasi Merah menginstruksikan Perusahaan Efek P sebagai Kustodian kedua belah pihak. Maka pada hari Jumat (20 Juli 2018), Perusahaan Efek P sebagai Kustodian kedua belah pihak harus melaporkan transaksi dimaksud melalui Sistem LPU, sedangkan Korporasi Biru dan Korporasi Merah tidak harus lapor. 2. Pada tanggal 12 Juli 2018, Korporasi Biru membeli NCD Bank RAT dari korporasi Merah sebesar Rp440 Milyar secara langsung tanpa melibatkan pihak ketiga (Bank/Perusahaan Efek). Selanjutnya, pada tanggal 16 Juli 2018 Korporasi Biru menginstruksikan pencatatan 7 kepada Perusahaan Efek P sebagai Kustodian pihak pembeli sedangkan korporasi Merah menginstruksikan pencatatan Perusahaan Efek Q sebagai Kustodian pihak penjual. Maka pada hari Jumat (20 Juli 2018), Perusahaan Efek P sebagai Kustodian pihak pembeli dan Perusahaan Efek P sebagai Kustodian pihak penjual harus melaporkan transaksi dimaksud melalui Sistem LPU, sedangkan Korporasi Biru dan Korporasi Merah tidak harus lapor. Angka 1 Contoh transaksi dalam hal Perusahaan Efek bertindak sebagai Kustodian dan transaksi dilakukan secara langsung oleh nasabah berupa Bank atau Perusahaan Efek: 1. Pada tanggal 12 Juli 2018, Bank P membeli NCD Bank RAT dari korporasi Merah sebesar Rp440 Milyar secara langsung tanpa melibatkan pihak ketiga (Bank/Perusahaan Efek). Selanjutnya, pada tanggal 16 Juli 2018 Bank P menginstruksikan pencatatan kepada Perusahaan Efek P sebagai Kustodian pihak pembeli sedangkan korporasi Merah menginstruksikan pencatatan Perusahaan Efek Q sebagai Kustodian pihak penjual. Maka pada hari Jumat (20 Juli 2018), Perusahaan Efek P dan Perusahaan Efek Q sebagai Kustodian tidak harus melaporkan transaksi dimaksud melalui Sistem LPU, mengingat keharusan penyampaian laporan berada pada Bank P. 2. Pada tanggal 12 Juli 2018, Perusahaan Efek A membeli NCD Bank RAT dari korporasi Merah sebesar Rp440 Milyar secara langsung tanpa melibatkan pihak ketiga (Bank/Perusahaan Efek). Selanjutnya, pada tanggal 16 Juli 2018 Perusahaan Efek A menginstruksikan pencatatan kepada Perusahaan Efek B sebagai Kustodian pihak pembeli sedangkan korporasi Merah menginstruksikan pencatatan Perusahaan Efek C 8 sebagai Kustodian pihak penjual. Maka pada hari Jumat (20 Juli 2018), Perusahaan Efek A harus melaporkan transaksi dimaksud melalui Sistem LPU sedangkan Perusahaan Efek B dan Perusahaan Efek C sebagai Kustodian tidak harus lapor. Angka 2 Contoh transaksi dalam hal Perusahaan Efek bertindak sebagai Kustodian dan transaksi dilakukan secara langsung oleh nasabah dengan lawan transaksi yaitu Bank atau Perusahaan Efek: 1. Pada tanggal 12 Juli 2018, korporasi hijau membeli NCD Bank RAT kepada Bank P sebesar Rp440 Milyar secara langsung tanpa melibatkan pihak ketiga (Bank/Perusahaan Efek). Selanjutnya, pada tanggal 16 Juli 2018 korporasi hijau dan Bank P menginstruksikan pencatatan kepada Perusahaan Efek P sebagai Kustodian kedua belah pihak. Maka pada hari Jumat (20 Juli 2018), Perusahaan Efek P sebagai Kustodian kedua belah pihak tidak harus melaporkan transaksi dimaksud melalui LPU. 2. Pada tanggal 12 Juli 2018, korporasi hijau membeli NCD Bank RAT dari Perusahaan Efek A sebesar Rp440 Milyar secara langsung tanpa melibatkan pihak ketiga (Bank/Perusahaan Efek). Selanjutnya, pada tanggal 16 Juli 2018 korporasi hijau dan Perusahaan Efek A menginstruksikan pencatatan kepada Perusahaan Efek P sebagai Kustodian kedua belah pihak. Maka pada hari Jumat (20 Juli 2018), Perusahaan Efek A harus melaporkan transaksi dimaksud melalui Sistem LPU, sedangkan Perusahaan Efek P sebagai Kustodian kedua belah pihak tidak harus lapor. 9 Ayat (2) Contoh transaksi dalam hal Perusahaan Pialang menjadi perantara transaksi untuk kepentingan nasabah: 1. Pada tanggal 2 Juli 2018, Korporasi Hijau membeli Surat Berharga Komersial ACB dari korporasi Merah sebesar Rp640 Milyar melalui perantara Perusahaan Pialang H. Selain itu, korporasi Hijau dan korporasi Merah menggunakan Bank P sebagai Bank Kustodian. Maka pada hari Jumat (6 Juli 2018), Perusahaan Pialang H harus melaporkan transaksi dimaksud melalui Sistem LPU, sedangkan Korporasi Hijau, Korporasi Merah, dan Bank P tidak harus lapor. 2. Pada tanggal 3 Juli 2018, Korporasi Hijau melalui perantara Perusahaan Pialang H membeli Surat Berharga Komersial ACB kepada korporasi Merah melalui perantara Perusahaan Pialang J sebesar Rp440 Milyar. Selain itu, korporasi Hijau dan korporasi Merah menggunakan Bank P sebagai Bank Kustodian. Maka pada hari Jumat (6 Juli 2018), Perusahaan Pialang H dan Perusahaan Pialang J wajib lapor ke aplikasi LPU, sedangkan Korporasi Hijau, Korporasi Merah, dan Bank P tidak wajib lapor. Huruf a Contoh transaksi dalam hal Perusahaan Pialang menjadi perantara transaksi untuk kepentingan nasabah berupa Bank atau Perusahaan Efek: 1. Pada tanggal 4 Juli 2018, Bank P melalui perantara Perusahaan Pialang H membeli Surat Berharga Komersial ACB kepada korporasi Merah melalui perantara Perusahaan Pialang J sebesar Rp840 Milyar. Selain itu, Bank P dan korporasi Merah menggunakan Bank Q sebagai Bank Kustodian. Maka pada hari Jumat (6 Juli 2018), Perusahaan Pialang H dan Perusahaan Pialang J tidak wajib melaporkan transaksi dimaksud melalui Sistem LPU. 2. Pada tanggal 4 Juli 2018, Perusahaan Efek A melalui perantara Perusahaan Pialang H membeli Surat 10 Berharga Komersial ACB dari korporasi Merah melalui perantara Perusahaan Pialang J sebesar Rp840 Milyar. Selain itu, Perusahaan Efek A dan korporasi Merah menggunakan Bank Q sebagai Bank Kustodian. Maka pada hari Jumat (6 Juli 2018), Perusahaan Efek A harus melaporkan transaksi dimaksud melalui Sistem LPU, Sedangkan, Perusahaan Pialang H dan Perusahaan Pialang J tidak harus lapor. Huruf b Contoh transaksi dalam hal Perusahaan Pialang menjadi perantara transaksi untuk kepentingan nasabah dengan lawan transaksi yaitu Bank atau Perusahaan Efek : 1. Pada tanggal 4 Juli 2018, korporasi Merah melalui perantara Perusahaan Pialang H membeli Surat Berharga Komersial ACB dari Bank P melalui perantara Perusahaan Pialang J sebesar Rp140 Milyar. Selain itu, korporasi Merah dan Bank P menggunakan Bank Q sebagai Bank Kustodian. Maka pada hari Jumat (6 Juli 2018), Perusahaan Pialang H dan Perusahaan Pialang J tidak wajib melaporkan transaksi dimaksud melalui Sistem LPU. 2. Pada tanggal 4 Juli 2018, korporasi Merah melalui perantara Perusahaan Pialang H membeli Surat Berharga Komersial ACB dari Perusahaam Efek A melalui perantara Perusahaan Pialang J sebesar Rp940 Milyar. Selain itu, korporasi Merah dan Perusahaan Efek A menggunakan Bank Q sebagai Bank Kustodian. Maka pada hari Jumat (6 Juli 2018), Perusahaan Efek A wajib melaporkan transaksi dimaksud melalui Sistem LPU, sedangkan Perusahaan Pialang H dan Perusahaan Pialang J tidak harus lapor. Huruf c Contoh transaksi dalam hal Perusahaan Pialang menjadi perantara transaksi untuk kepentingan nasabah dengan perantara transaksi pihak lawan yaitu Bank atau Perusahaan Efek: 11 Pada tanggal 10 Juli 2018, Korporasi FER membeli Surat Berharga Komersial CEX melalui perantara Perusahaan Pialang G dari Korporasi DES sebesar Rp845 Milyar melalui perantara Bank P. Selain itu, Korporasi FER dan Korporasi DES menggunakan Bank Q sebagai Bank Kustodian. Maka pada hari Jumat (13 Juli 2018) Perusahaan Pialang G dan Bank Q tidak harus melaporkan transaksi dimaksud melalui Sistem LPU. Ayat (3) Contoh transaksi dalam hal Bank bertindak sebagai Kustodian dan transaksi dilakukan secara langsung oleh nasabah: Pada tanggal 5 Juli 2018, Korporasi Biru membeli NCD Bank RAT dari korporasi Merah sebesar Rp440 Milyar secara langsung tanpa melibatkan pihak ketiga(Bank/Perusahaan Efek). Selanjutnya, pada tanggal 10 Juli 2018 korporasi Hijau dan korporasi Merah menginstruksikan Bank Q sebagai Bank Kustodian kedua belah pihak. Maka pada hari Jumat (13 Juli 2018), Bank Q sebagai Bank Kustodian kedua belah pihak wajib lapor ke aplikasi LPU, sedangkan Korporasi Biru dan Korporasi Merah tidak wajib lapor. Huruf a Contoh transaksi dalam hal Bank bertindak sebagai Kustodian dan transaksi dilakukan secara langsung oleh nasabah berupa Bank atau Perusahaan Efek: 1. Pada tanggal 5 Juli 2018, Bank P membeli NCD Bank RAT dari korporasi Merah sebesar Rp440 Milyar secara langsung tanpa melibatkan pihak ketiga (Bank/Perusahaan Efek). Selanjutnya, pada tanggal 10 Juli 2018 Bank P dan korporasi Merah menginstruksikan Bank Q sebagai Bank Kustodian kedua belah pihak. Maka pada hari Jumat (13 Juli 2018), Bank Q sebagai Bank Kustodian kedua belah pihak tidak harus melaporkan transaksi dimaksud melalui Sistem LPU. 2. Pada tanggal 5 Juli 2018, Perusahaan Efek A membeli NCD Bank RAT kepada korporasi Merah sebesar Rp440 Milyar secara langsung tanpa melibatkan pihak ketiga (Bank/Perusahaan Efek). Selanjutnya, pada tanggal 10 12 Juli 2018 Perusahaan Efek A dan korporasi Merah menginstruksikan Bank Q sebagai Bank Kustodian kedua belah pihak. Maka pada hari Jumat (13 Juli 2018), Bank Q sebagai Bank Kustodian kedua belah pihak tidak harus melaporkan transaksi dimaksud melalui Sistem LPU. Huruf b Contoh transaksi dalam hal Bank bertindak sebagai Kustodian dan transaksi dilakukan secara langsung oleh nasabah dengan lawan transaksi yaitu Bank atau Perusahaan Efek: 1. Pada tanggal 5 Juli 2018, korporasi Merah membeli NCD Bank RAT kepada Bank P sebesar Rp440 Milyar secara langsung tanpa melibatkan pihak ketiga (Bank/Perusahaan Efek). Selanjutnya, pada tanggal 10 Juli 2018 korporasi Merah dan Bank P menginstruksikan Bank Q sebagai Bank Kustodian kedua belah pihak. Maka pada hari Jumat (13 Juli 2018), Bank Q sebagai Bank Kustodian kedua belah pihak tidak harus melaporkan transaksi dimaksud melalui Sistem LPU. 2. Pada tanggal 5 Juli 2018, korporasi Merah A membeli NCD Bank RAT kepada Perusahaan Efek sebesar Rp440 Milyar secara langsung tanpa melibatkan pihak ketiga (Bank/Perusahaan Efek). Selanjutnya, pada tanggal 10 Juli 2018 korporasi Merah dan Perusahaan Efek A menginstruksikan Bank Q sebagai Bank Kustodian kedua belah pihak. Maka pada hari Jumat (13 Juli 2018), Bank Q sebagai Bank Kustodian kedua belah pihak tidak harus melaporkan transaksi dimaksud melalui Sistem LPU. Pasal 6 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “secara lengkap” adalah laporan yang memenuhi seluruh rincian persyaratan laporan. 13 Yang dimaksud dengan “secara benar” adalah laporan yang memuat data sesuai dengan fakta sebenarnya. Yang dimaksud dengan “secara tepat waktu” adalah laporan yang disampaikan sesuai dengan batas waktu yang ditetapkan oleh Bank Indonesia serta telah diterima oleh Bank Indonesia. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Pada tanggal 2 Juli 2018, Perusahaan Efek A membeli Surat Berharga Komersial XYZ dari Perusahaan Efek B sebesar Rp25 Milyar tanpa melalui perantara. Selain itu, Perusahaan Efek A dan Perusahaan Efek B menggunakan Bank P sebagai Bank Kustodian. Berdasarkan transaksi di atas, pada hari Jumat (6 Juli 2018), Perusahaan Efek A dan Perusahaan Efek B harus melaporkan transaksi dimaksud melalui Sistem LPU dengan kedua laporan tersebut telah matching (sama) antara laporan dari Pelapor Perusahaan Efek A dan Perusahaan Efek B Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “periode mingguan laporan” adalah periode transaksi yang dilakukan sejak hari Senin sampai dengan hari Jumat. Ayat (3) Cukup jelas. 14 Ayat (4) Yang dimaksud dengan “form header” adalah formulir LPU yang memuat paling sedikit informasi tentang sandi Pelapor, tanggal laporan, nomor form, dan jumlah record isi. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Bank Indonesia memperoleh informasi Hari Kerja terakhir sebelum tanggal dilakukannya merger atau konsolidasi secara operasional berdasarkan informasi dari Pelapor terkait. Contoh: Apabila pada tanggal 8 Agustus 2018, Pelapor X melakukan merger atau konsolidasi dengan Pelapor Y maka : - - Pelapor berupa korporasi baru harus menyampaikan LPU untuk periode data tanggal 8-10 Agustus 2018. Pasal 13 Ayat (1) Contoh: Koreksi data LPU pada periode laporan minggu ke-2 Juli 2018 yaitu tanggal 13 Juli 2018 disampaikan paling lambat pada tanggal 17 Juli 2018. Ayat (2) Cukup jelas. Pelapor X dan Pelapor Y masing-masing harus menyampaikan LPU untuk periode data tanggal 6 dan 7 Agustus 2018; dan 15 Pasal 14 Ayat (1) Contoh: 1. Perusahaan Efek A dinyatakan terlambat bila penyampaian data LPU pada periode laporan minggu ke-2 Juli 2018 (tanggal 13 Juli 2018) namun disampaikan pada tanggal 16 Juli 2018. Setelah tanggal 17 Juli 2018 maka penyampaian data LPU dilakukan secara offline. 2. Perusahaan Efek B dinyatakan terlambat bila penyampaian koreksi data LPU pada periode laporan minggu ke-2 Juli 2018 (tanggal 17 Juli 2018) namun disampaikan pada tanggal 18 Juli 2018. Ayat (2) Penyampaian Offline data LPU dan/atau koreksi LPU untuk periode laporan minggu ke-2 Juli 2018 disampaikan paling lambat pada tanggal 24 Juli 2018. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Penegasan secara tertulis dapat dilakukan melalui surat, surat elektronik (e-mail), atau media lainnya. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “keadaan memaksa (force majeure)” adalah keadaan yang secara nyata menyebabkan Pelapor tidak dapat menyampaikan LPU dan/atau koreksi LPU, antara lain 16 kebakaran, kerusuhan massa, perang, sabotase, serta bencana alam seperti gempa bumi dan banjir, yang dibenarkan oleh penguasa atau pejabat dari instansi terkait di daerah setempat. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. "," PADG 20/14/PADG/2018 LAPORAN PASAR UANG NONBANK DAN KUSTODIAN 29 Juni 2018 1 Juli 2018 '18/11/PBI/2016', '19/2/PBI/2017', '19/9/PBI/2017' " " 1 PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/26/PADG/2018 TENTANG KEPESERTAAN DALAM SISTEM KLIRING NASIONAL BANK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa layanan kepesertaan dalam penyelenggaraan transfer dana dan kliring berjadwal perlu diselaraskan dengan kebijakan perizinan secara terpadu agar semakin efektif dan efisien serta sejalan dengan prinsip tata kelola yang baik; b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan Anggota Dewan Gubernur tentang Kepesertaan dalam Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia; Mengingat : 1. Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/9/PBI/2015 tentang Penyelenggaraan Transfer Dana dan Kliring Berjadwal oleh Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 122, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5704) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/15/PBI/2017 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 302, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6170); 2 2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/13/PBI/2017 tentang Pelayanan Perizinan Terpadu Terkait Hubungan Operasional Bank Umum dengan Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 254, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6147); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG KEPESERTAAN DALAM SISTEM KLIRING NASIONAL BANK INDONESIA. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang dimaksud dengan: 1. Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia yang selanjutnya disingkat SKNBI adalah infrastruktur yang digunakan oleh Bank Indonesia dalam penyelenggaraan transfer dana dan kliring berjadwal untuk memproses data keuangan elektronik pada layanan transfer dana, layanan kliring warkat debit, layanan pembayaran reguler, dan layanan penagihan reguler. 2. Penyelenggara SKNBI yang selanjutnya disebut Penyelenggara adalah Bank Indonesia. 3. Peserta SKNBI yang selanjutnya disebut Peserta adalah pihak yang telah memenuhi persyaratan dan telah memperoleh persetujuan dari Penyelenggara sebagai Peserta. 4. Layanan Transfer Dana adalah layanan dalam SKNBI yang memproses pemindahan sejumlah dana antar-Peserta dari 1 (satu) pengirim kepada 1 (satu) penerima. 5. Layanan Kliring Warkat Debit adalah layanan dalam SKNBI yang memproses penagihan sejumlah dana yang dilakukan antar-Peserta dari 1 (satu) pengirim tagihan 3 kepada 1 (satu) penerima tagihan, disertai dengan fisik warkat debit. 6. Layanan Pembayaran Reguler adalah layanan dalam SKNBI yang memproses pemindahan sejumlah dana antar-Peserta dari 1 (satu) atau beberapa pengirim kepada 1 (satu) atau beberapa penerima. 7. Layanan Penagihan Reguler adalah layanan dalam SKNBI yang memproses penagihan sejumlah dana antar-Peserta dari 1 (satu) pengirim tagihan kepada beberapa penerima tagihan. 8. Data Keuangan Elektronik yang selanjutnya disingkat DKE adalah data keuangan dalam format elektronik yang digunakan sebagai dasar perhitungan dalam penyelenggaraan SKNBI. 9. Warkat Debit adalah alat pembayaran nontunai yang diperhitungkan atas beban nasabah atau bank melalui Layanan Kliring Warkat Debit. 10. Peserta Langsung Utama yang selanjutnya disingkat PLU adalah Peserta yang mengirimkan DKE ke Penyelenggara secara langsung dengan menggunakan infrastruktur SKNBI dan setelmen dana dilakukan ke rekening setelmen dana Peserta yang bersangkutan. 11. Peserta Langsung Afiliasi yang selanjutnya disingkat PLA adalah Peserta yang mengirimkan DKE ke Penyelenggara secara langsung dengan menggunakan infrastruktur SKNBI Peserta yang bersangkutan dan setelmen dana dilakukan ke rekening setelmen dana bank pembayar. 12. Peserta Tidak Langsung yang selanjutnya disingkat PTL adalah Peserta yang mengirimkan DKE ke Penyelenggara secara tidak langsung melalui bank penerus dan setelmen dana dilakukan ke rekening setelmen dana bank penerus. 13. Bank Pembayar adalah PLU yang ditunjuk oleh PLA untuk setelmen dana, penyediaan prefund, dan/atau pembayaran kewajiban lainnya dalam penyelenggaraan SKNBI. 14. Bank Penerus adalah PLU yang memenuhi persyaratan dan telah memperoleh persetujuan dari Penyelenggara untuk melaksanakan pengiriman DKE, penyediaan 4 prefund, setelmen dana, dan/atau pembayaran kewajiban lainnya untuk kepentingan PTL. 15. Rekening Setelmen Dana adalah rekening Peserta dalam mata uang rupiah yang ditatausahakan di Bank Indonesia. 16. Setelmen Dana adalah kegiatan pendebitan dan pengkreditan Rekening Setelmen Dana melalui Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement yang dilakukan berdasarkan perhitungan hak dan kewajiban masing-masing Peserta yang timbul dalam penyelenggaraan SKNBI. 17. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan termasuk kantor cabang dari bank di luar negeri dan bank umum syariah termasuk unit usaha syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah. 18. Penyelenggara Transfer Dana Selain Bank adalah badan usaha berbadan hukum Indonesia bukan Bank yang telah memperoleh izin dari Bank Indonesia untuk menyelenggarakan kegiatan transfer dana. 19. Sistem Sentral Kliring yang selanjutnya disingkat SSK adalah infrastruktur SKNBI di Penyelenggara yang digunakan dalam penyelenggaraan SKNBI. 20. Sistem Peserta Kliring yang selanjutnya disingkat SPK adalah infrastruktur SKNBI di Peserta yang terhubung dengan SSK yang digunakan oleh Peserta dalam penyelenggaraan SKNBI. 21. Jaringan Komunikasi Data yang selanjutnya disingkat JKD adalah infrastruktur komunikasi data yang digunakan dalam penyelenggaraan SKNBI yang menghubungkan SSK dengan SPK. 22. Soft Token adalah sertifikat dalam bentuk file terproteksi yang memuat identitas pemilik sertifikat, kunci enkripsi untuk melakukan verifikasi tanda tangan digital pemilik, dan periode sertifikat, yang dihasilkan oleh infrastruktur kunci publik Bank Indonesia. 5 23. Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement yang selanjutnya disebut Sistem BI-RTGS adalah infrastruktur yang digunakan sebagai sarana transfer dana elektronik yang setelmennya dilakukan seketika per transaksi secara individual. 24. Kantor Perwakilan Bank Indonesia Dalam Negeri yang selanjutnya disebut KPwDN adalah kantor Bank Indonesia selain kantor pusat Bank Indonesia yang melaksanakan fungsi sistem pembayaran. 25. Wilayah Kliring adalah suatu wilayah tertentu yang disetujui oleh Penyelenggara untuk penyelenggaraan kegiatan pertukaran Warkat Debit. 26. Koordinator Pertukaran Warkat Debit yang selanjutnya disebut Koordinator PWD adalah koordinator pertukaran Warkat Debit kantor Bank Indonesia dan koordinator pertukaran Warkat Debit selain Bank Indonesia yang melaksanakan pertukaran Warkat Debit di Wilayah Kliring. 27. Perwakilan Peserta adalah kantor Peserta di Wilayah Kliring yang ditunjuk untuk mewakili Peserta dalam melaksanakan pertukaran Warkat Debit yang dikliringkan di Wilayah Kliring tersebut. 28. Pimpinan adalah direksi atau pejabat yang berwenang mewakili Peserta sesuai dengan ketentuan yang berlaku bagi masing-masing Peserta sebagai berikut: a. Pimpinan untuk Peserta berupa bank umum dan bank umum syariah adalah anggota direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perseroan terbatas; b. Pimpinan untuk Peserta berupa unit usaha syariah adalah anggota direksi bank umum konvensional yang membawahkan unit usaha syariah atau pimpinan kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri yang membawahkan unit usaha syariah; c. Pimpinan untuk Peserta berupa kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri adalah 6 pemimpin kantor cabang dan pejabat satu tingkat di bawah pemimpin kantor cabang yang menerima surat kuasa (power of attorney) dari kantor pusat bank yang berkedudukan di luar negeri; dan d. Pimpinan untuk Penyelenggara Transfer Dana Selain Bank adalah anggota direksi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan transfer dana. BAB II KEPESERTAAN SKNBI Pasal 2 (1) Setiap pihak yang akan menjadi Peserta harus terlebih dahulu memperoleh persetujuan dari Penyelenggara. (2) Pihak yang dapat menjadi Peserta yaitu: a. Bank Indonesia; b. Bank; dan c. Penyelenggara Transfer Dana Selain Bank. (3) Bagi Peserta berupa Bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan berdasarkan prinsip syariah dalam bentuk unit usaha syariah maka kepesertaan dalam SKNBI harus terpisah. Pasal 3 (1) Jenis kepesertaan dalam SKNBI terdiri atas: a. PLU; b. PLA; atau c. PTL. (2) Kepesertaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sebagai berikut: a. PLU yaitu Bank Indonesia dan Bank; dan b. PLA atau PTL yaitu Penyelenggara Transfer Dana Selain Bank. 7 Pasal 4 (1) Jenis layanan SKNBI terdiri atas: a. Layanan Transfer Dana; b. Layanan Kliring Warkat Debit; c. Layanan Pembayaran Reguler; dan d. Layanan Penagihan Reguler. (2) Keikutsertaan Peserta dalam layanan SKNBI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sebagai berikut: a. Bank Indonesia dapat mengikuti seluruh layanan SKNBI; b. Bank harus mengikuti seluruh layanan SKNBI; dan c. Penyelenggara Transfer Dana Selain Bank hanya dapat mengikuti Layanan Transfer Dana dan/atau Layanan Pembayaran Reguler. (3) Keikutsertaan Penyelenggara Transfer Dana Selain Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dalam Layanan Pembayaran Reguler hanya berlaku bagi Penyelenggara Transfer Dana Selain Bank yang mengelola rekening nasabah. BAB III PERSYARATAN MENJADI PESERTA Pasal 5 Calon PLU berupa Bank harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. memiliki izin usaha dari lembaga yang berwenang; b. tidak sedang dalam proses likuidasi atau kepailitan; c. telah menjadi peserta dalam Sistem BI-RTGS; d. Pimpinan calon PLU telah memperoleh: 1. penunjukan dari lembaga terkait; atau 2. persetujuan atau dinyatakan lulus dalam penilaian kemampuan dan kepatutan dari lembaga pengawas yang berwenang; e. mempunyai infrastruktur SPK sesuai dengan spesifikasi yang telah ditetapkan Penyelenggara sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian 8 tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; dan f. memiliki laporan hasil security audit atas infrastruktur SPK dalam 1 (satu) tahun terakhir, dalam hal calon PLU akan menghubungkan sistem internal PLU ke SSK. Pasal 6 (1) Calon PLA harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. memiliki izin sebagai penyelenggara transfer dana dari Bank Indonesia; b. tidak sedang dalam proses likuidasi atau kepailitan; c. menyediakan layanan transfer dana kepada nasabah dan memiliki jaringan kantor di mayoritas dari seluruh provinsi di Indonesia; d. memiliki kinerja keuangan yang baik selama 2 (dua) tahun terakhir; e. memiliki aset paling sedikit Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah) atau modal paling sedikit Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah) selama 1 (satu) tahun terakhir; f. Pimpinan calon PLA tidak tercantum dalam daftar kredit macet dan/atau daftar hitam nasional yang diterbitkan oleh lembaga yang berwenang; g. mempunyai infrastruktur SPK sesuai dengan spesifikasi yang ditetapkan oleh Penyelenggara sebagaimana tercantum dalam Lampiran I; h. memiliki laporan hasil security audit atas infrastruktur SPK yang dilakukan dalam 1 (satu) tahun terakhir, dalam hal calon PLA akan menghubungkan sistem internal PLA ke SSK; dan i. menunjuk dan memiliki perjanjian dengan 1 (satu) Bank Pembayar untuk pendebitan dan/atau pengkreditan dana. (2) Perjanjian dengan Bank Pembayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf i, paling sedikit memuat: a. hak dan kewajiban untuk pendebitan dan/atau pengkreditan dana; b. mekanisme penyediaan prefund kredit; 9 c. batas waktu penerusan hasil Setelmen Dana dari Bank Pembayar ke PLA; d. kerahasiaan informasi hasil Setelmen Dana; dan e. mekanisme penyelesaian perselisihan. Pasal 7 (1) Calon PTL harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. memiliki izin sebagai penyelenggara transfer dana dari Bank Indonesia; b. tidak sedang dalam proses likuidasi atau kepailitan; c. Pimpinan calon PTL tidak tercantum dalam daftar kredit macet dan/atau daftar hitam nasional yang diterbitkan oleh lembaga yang berwenang; dan d. menunjuk dan memiliki perjanjian dengan 1 (satu) Bank Penerus untuk pelaksanaan transfer dana. (2) Perjanjian dengan Bank Penerus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d paling sedikit memuat: a. hak dan kewajiban dalam pelaksanaan transfer dana; b. kerahasiaan data dan/atau informasi dalam pelaksanaan transfer dana; c. mekanisme pelaksanaan transfer dana; d. mekanisme penyelesaian perselisihan; e. biaya penggunaan infrastruktur yang dikenakan kepada PTL; dan f. pembebanan atas pengenaan sanksi administratif. BAB IV PERMOHONAN KEPESERTAAN SKNBI Pasal 8 (1) Permohonan untuk menjadi Peserta yang diajukan oleh: a. Bank yang baru didirikan; atau b. Bank yang melakukan langkah strategis dan mendasar, disampaikan kepada satuan kerja di Bank Indonesia yang melaksanakan fungsi pengawasan makroprudensial, moneter, dan sistem pembayaran. 10 (2) Permohonan untuk menjadi Peserta yang diajukan oleh Bank selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan Penyelenggara Transfer Dana Selain Bank, disampaikan kepada satuan kerja di Bank Indonesia yang melaksanakan fungsi penyelenggaraan sistem pembayaran. Bagian Kesatu Tata Cara Menjadi PLU dan PLA Paragraf 1 Persetujuan Prinsip Menjadi PLU dan PLA Pasal 9 (1) Calon PLU atau calon PLA menyampaikan surat permohonan kepada Penyelenggara untuk menjadi PLU atau PLA. (2) Surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. ditandatangani oleh Pimpinan; b. ditembuskan kepada KPwDN yang mewilayahi, dalam hal kantor pusat calon PLU atau calon PLA berkedudukan di wilayah kerja KPwDN; dan c. dilengkapi dengan dokumen sebagaimana tercantum dalam butir A.1. Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. (3) Dalam hal dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c telah disampaikan kepada penyelenggara Sistem BI-RTGS dan tidak terdapat perubahan, Peserta tidak perlu menyampaikan kembali kepada Penyelenggara. (4) Dalam hal diperlukan, calon PLU atau calon PLA harus memperlihatkan asli dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c kepada Penyelenggara. 11 Pasal 10 (1) Penyelenggara melakukan penelitian atas permohonan yang disampaikan oleh calon PLU atau calon PLA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2). (2) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditemukan bahwa dokumen yang disampaikan tidak lengkap dan/atau tidak sesuai, Penyelenggara meminta calon PLU atau calon PLA untuk melengkapi dan/atau memperbaiki dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung setelah tanggal surat permintaan kelengkapan dan/atau perbaikan dokumen dari Penyelenggara. (3) Dalam memberikan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penyelenggara dapat melakukan pemeriksaan ke lokasi kantor calon PLU atau calon PLA. (4) Dalam hal sampai dengan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) calon PLU atau calon PLA belum menyampaikan dokumen yang telah dilengkapi dan/atau diperbaiki, calon PLU atau calon PLA dianggap membatalkan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1). Pasal 11 (1) Penyelenggara memberikan persetujuan prinsip atau penolakan atas permohonan yang disampaikan oleh calon PLU atau calon PLA berdasarkan pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan Pasal 6 serta hasil penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10. (2) Surat persetujuan prinsip atau penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling lama 21 (dua puluh satu) hari kerja terhitung setelah permohonan dan dokumen diterima secara lengkap oleh Penyelenggara. Pasal 12 Persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) paling sedikit memuat hal sebagai berikut: 12 a. persetujuan prinsip menjadi PLU atau PLA; b. nama dan kode Peserta; c. kegiatan yang harus dilakukan oleh calon PLU atau calon PLA paling sedikit: 1. mengikuti kegiatan pelatihan; dan 2. instalasi SPK; dan d. kelengkapan dokumen yang harus dipenuhi oleh calon PLU atau calon PLA sebagaimana tercantum dalam huruf B Lampiran II. Paragraf 2 Persetujuan Operasional Sebagai PLU dan PLA Pasal 13 Berdasarkan persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1), calon PLU atau calon PLA menyampaikan kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf d kepada Penyelenggara. Pasal 14 (1) Berdasarkan dokumen yang disampaikan oleh calon PLU atau calon PLA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Penyelenggara menyampaikan surat pemberitahuan kepada calon PLU atau calon PLA yang memuat permintaan dan informasi sebagai berikut: a. pembuatan spesimen tanda tangan Pimpinan dan/atau pejabat penerima kuasa dari Pimpinan; b. pengambilan Soft Token; c. waktu pelatihan penggunaan SKNBI; dan d. waktu pemasangan JKD. (2) Untuk calon PLU, selain permintaan dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penyelenggara juga memberitahukan kegiatan yang harus dilakukan oleh calon PLU, berupa: a. penunjukan salah satu kantor Peserta sebagai Perwakilan Peserta di setiap Wilayah Kliring; dan 13 b. penyediaan stempel kliring dan stempel kliring dibatalkan untuk setiap kantor di Wilayah Kliring yang dipilih. Pasal 15 (1) Calon PLU atau calon PLA harus: a. menyampaikan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13; dan b. melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari kerja terhitung setelah tanggal surat persetujuan prinsip Penyelenggara. dari (2) Dalam hal calon PLU atau calon PLA tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maka: a. persetujuan prinsip yang telah disampaikan oleh Penyelenggara menjadi tidak berlaku dan calon PLU atau calon PLA dinyatakan telah membatalkan permohonan; dan b. calon PLU atau calon PLA harus mengembalikan dokumen yang disampaikan oleh Penyelenggara paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah persetujuan prinsip tidak berlaku. Pasal 16 (1) Penyelenggara menyampaikan surat persetujuan operasional sebagai PLU atau PLA dan tanggal efektif operasional paling lama 14 (empat belas) hari kerja setelah calon PLU atau calon PLA melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1). (2) Persetujuan operasional dan tanggal efektif operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga disampaikan kepada: a. seluruh Peserta melalui administrative message dan/atau sarana lainnya; b. Koordinator PWD yang di wilayah kerjanya terdapat Perwakilan Peserta melalui surat atau sarana lain, 14 untuk persetujuan operasional dan tanggal efektif operasional PLU; dan c. KPwDN yang mewilayahi PLA, untuk persetujuan operasional dan tanggal efektif operasional PLA. Paragraf 3 Surat Kuasa Terkait Kepesertaan SKNBI Pasal 17 Pimpinan calon PLU atau calon PLA yang memberikan kuasa kepada pejabat calon PLU atau calon PLA yang ditunjuk harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. kuasa diberikan tanpa hak subsitusi atau dengan 1 (satu) kali hak subsitusi; b. kuasa diberikan untuk melakukan kegiatan sebagai berikut: 1. penandatanganan surat menyurat dan/atau dokumen lain, baik dokumen tertulis maupun dokumen elektronik; 2. penyerahan dan/atau pengambilan surat dan/atau dokumen lain, baik dokumen tertulis maupun dokumen elektronik; dan/atau 3. penyerahan certificate signing request dan/atau pengambilan Soft Token; c. kegiatan yang dikuasakan dapat dituangkan dalam 1 (satu) atau lebih surat kuasa sesuai dengan kebutuhan calon PLU atau calon PLA; d. surat kuasa disertai dengan fotokopi identitas diri yang masih berlaku dari penerima kuasa; e. jumlah pejabat penerima kuasa dari Pimpinan paling banyak 5 (lima) orang; dan f. kuasa dengan 1 (satu) kali hak subsitusi hanya untuk kegiatan sebagaimana dimaksud dalam huruf b angka 2. 15 Paragraf 4 Permohonan Menjadi Bank Penerus Pasal 18 (1) PLU yang telah memperoleh persetujuan operasional dapat menjadi Bank Penerus. (2) Calon Bank Penerus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. termasuk dalam kategori bank umum berdasarkan kegiatan usaha (BUKU) 4 sesuai penilaian terakhir yang dilakukan oleh otoritas pengawasan Bank; b. memiliki teknologi informasi yang memadai yaitu paling sedikit memiliki kemampuan untuk: 1. melakukan pemrosesan dan pencatatan transaksi PTL secara seketika; dan 2. menyampaikan informasi transaksi secara terenkripsi; c. memiliki unit khusus dengan didukung oleh sumber daya manusia yang memadai untuk mengkoordinir kegiatan sebagai Bank Penerus; dan d. telah menerapkan manajemen risiko dengan mengacu pada ketentuan yang mengatur mengenai penerapan manajemen risiko bagi bank umum. Pasal 19 (1) Calon Bank Penerus menyampaikan surat permohonan kepada Penyelenggara untuk menjadi Bank Penerus. (2) Surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. ditandatangani oleh Pimpinan atau pejabat yang menerima kuasa dari Pimpinan yang telah memiliki spesimen tanda tangan di Penyelenggara; b. ditembuskan kepada KPwDN yang mewilayahi, dalam hal kantor pusat calon Bank Penerus berkedudukan di wilayah kerja KPwDN; dan c. dilengkapi dengan dokumen sebagaimana tercantum dalam huruf C Lampiran II. 16 Pasal 20 (1) Penyelenggara melakukan penelitian atas permohonan yang disampaikan oleh calon Bank Penerus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1). (2) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditemukan bahwa dokumen yang disampaikan tidak lengkap dan/atau tidak sesuai, Penyelenggara meminta calon Bank Penerus untuk melengkapi dan/atau memperbaiki dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung setelah tanggal surat permintaan kelengkapan dan/atau perbaikan dokumen dari Penyelenggara. (3) Dalam hal sampai dengan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) calon Bank Penerus belum menyampaikan dokumen yang telah dilengkapi dan/atau diperbaiki, calon Bank Penerus dianggap membatalkan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1). (4) Penyelenggara dapat melakukan pemeriksaan ke lokasi kantor calon Bank Penerus untuk memastikan kesiapan infrastruktur SKNBI dari calon Bank Penerus. Pasal 21 (1) Penyelenggara memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan yang disampaikan oleh calon Bank Penerus sebagaimana dimaksud pada Pasal 19 ayat (1). (2) Surat persetujuan atau penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling lama 21 (dua puluh satu) hari kerja terhitung setelah permohonan dan dokumen diterima secara lengkap oleh Penyelenggara. Bagian Kedua Tata Cara Menjadi PTL Pasal 22 (1) Calon PTL menyampaikan surat permohonan kepada Penyelenggara melalui PLU yang ditunjuk sebagai Bank Penerus untuk menjadi PTL. 17 (2) Surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan dokumen sebagaimana tercantum dalam butir A.2 Lampiran II. Pasal 23 (1) PLU yang ditunjuk sebagai Bank Penerus melakukan penelitian atas kelengkapan dan kesesuaian dokumen yang disampaikan oleh calon PTL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2). (2) PLU yang ditunjuk sebagai Bank Penerus menyampaikan surat penerusan permohonan calon PTL kepada Penyelenggara apabila dokumen telah lengkap dan sesuai. (3) Surat penerusan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. ditandatangani oleh Pimpinan PLU; dan b. dilengkapi dengan dokumen sebagaimana tercantum dalam butir A.2 Lampiran II. Pasal 24 (1) Penyelenggara melakukan penelitian atas penerusan permohonan yang disampaikan oleh PLU yang ditunjuk sebagai Bank Penerus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2). (2) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditemukan bahwa dokumen yang disampaikan tidak lengkap dan/atau tidak sesuai, Penyelenggara meminta PLU untuk melengkapi dan/atau memperbaiki dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung setelah tanggal surat permintaan kelengkapan dan/atau perbaikan dokumen dari Penyelenggara. (3) Dalam hal sampai dengan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) PLU belum menyampaikan dokumen yang telah dilengkapi dan/atau diperbaiki, calon PTL dianggap membatalkan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2). 18 Pasal 25 (1) Penyelenggara memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan yang disampaikan oleh PTL melalui PLU yang ditunjuk sebagai Bank Penerus berdasarkan pemenuhan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (3). (2) Surat persetujuan atau penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling lama 21 (dua puluh satu) hari kerja terhitung setelah permohonan dan dokumen diterima secara lengkap oleh Penyelenggara. (3) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat hal sebagai berikut: a. persetujuan menjadi PTL; b. nama dan kode Peserta; dan c. tanggal efektif menjadi PTL. (4) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga disampaikan kepada: a. seluruh Peserta melalui administrative message dan/atau sarana lainnya; dan b. KPwDN yang mewilayahi PTL, untuk persetujuan tanggal efektif PTL. BAB V PERUBAHAN DATA KEPESERTAAN Pasal 26 (1) Peserta harus menyampaikan surat kepada Penyelenggara mengenai: a. permohonan; dan/atau b. penyampaian informasi, perubahan data kepesertaan. (2) Permohonan atau penyampaian informasi perubahan data kepesertaan bagi Peserta berupa Bank disampaikan kepada satuan kerja di Bank Indonesia yang melaksanakan fungsi pengawasan makroprudensial, moneter, dan sistem pembayaran untuk: 19 a. perubahan data kepesertaan SKNBI karena melakukan langkah strategis dan mendasar; dan b. perubahan data kepesertaan yang memengaruhi data Peserta di Bank Indonesia, dengan mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pelayanan perizinan terpadu terkait hubungan operasional bank umum dengan Bank Indonesia. (3) Permohonan perubahan data kepesertaan SKNBI selain sebagaimana dimaksud pada ayat (2), disampaikan kepada satuan kerja di Bank Indonesia yang melaksanakan fungsi penyelenggaraan sistem pembayaran. Bagian Kesatu Ruang Lingkup Perubahan Data Kepesertaan Pasal 27 (1) Surat permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) huruf a disampaikan untuk perubahan data kepesertaan mengenai: a. jenis kepesertaan; b. kode Peserta; c. nama Peserta; d. kegiatan usaha; e. lokasi SPK dan/atau pemindahan JKD utama Peserta; f. Bank Pembayar; g. Bank Penerus; h. spesimen tanda tangan; i. kuasa; dan/atau j. Wilayah Kliring dalam Layanan Kliring Warkat Debit. (2) Informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) huruf b disampaikan untuk perubahan data kepesertaan sebagai berikut: a. nama, kewenangan, dan/atau jabatan Pimpinan; dan/atau b. alamat kantor. 20 (3) Surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan penyampaian informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. ditandatangani oleh Pimpinan atau pejabat Peserta yang menerima kuasa dari Pimpinan, yang telah memiliki spesimen tanda tangan di Penyelenggara; b. ditembuskan kepada KPwDN yang mewilayahi, dalam hal kantor pusat Peserta berkedudukan di wilayah kerja KPwDN; dan c. dilengkapi dengan dokumen sebagaimana tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. (4) Surat persetujuan atau penolakan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau surat pemberitahuan atas diterimanya informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan oleh Penyelenggara paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung setelah permohonan atau informasi dan dokumen diterima secara lengkap. Paragraf 1 Perubahan Jenis Kepesertaan Pasal 28 (1) Penyelenggara Transfer Dana Selain Bank dapat melakukan perubahan jenis kepesertaan dari PTL menjadi PLA atau sebaliknya Penyelenggara. berdasarkan persetujuan (2) Perubahan jenis kepesertaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 17, dan Pasal 22 sampai dengan Pasal 25. (3) Surat permohonan perubahan jenis kepesertaan dilakukan dengan mengacu pada ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3). 21 Paragraf 2 Perubahan Kode Peserta Pasal 29 (1) Peserta dapat melakukan perubahan kode Peserta dengan persetujuan Penyelenggara. (2) Perubahan kode Peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disebabkan oleh: a. perubahan kode peserta Sistem BI-RTGS; b. Peserta menjadi anggota Society for Worldwide Interbank Financial Telecommunication (SWIFT); dan/atau c. adanya perubahan Bank Identifier Code (BIC) dari Peserta. Pasal 30 (1) Peserta yang akan melakukan perubahan kode Peserta menyampaikan surat permohonan ke Penyelenggara dengan mengacu pada ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3). (2) Dalam hal Penyelenggara menyetujui permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), persetujuan memuat: a. kode Peserta yang baru; dan b. tanggal efektif perubahan kode Peserta serta Soft Token baru. (3) Surat persetujuan perubahan kode Peserta dan tanggal efektif perubahan kode Peserta juga disampaikan kepada: a. seluruh Peserta melalui administrative message atau sarana lainnya; dan b. Koordinator PWD yang di wilayah kerjanya terdapat Perwakilan Peserta melalui surat. (4) Peserta yang telah disetujui oleh Penyelenggara untuk mengubah kode Peserta harus mengganti Soft Token yang pelaksanaannya mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan transfer dana dan kliring berjadwal oleh Bank Indonesia. 22 Paragraf 3 Perubahan Nama Peserta Pasal 31 (1) Peserta dapat melakukan perubahan nama Peserta dengan persetujuan Penyelenggara. (2) Peserta yang akan melakukan perubahan nama Peserta menyampaikan surat permohonan ke Penyelenggara dengan mengacu pada ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3). (3) Dalam hal Penyelenggara menyetujui permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Penyelenggara menyampaikan surat persetujuan kepada Peserta yang memuat: a. tanggal efektif perubahan nama Peserta; b. permintaan untuk menyediakan stempel kliring dan stempel kliring dibatalkan untuk setiap kantor Peserta di Wilayah Kliring yang dipilih; dan/atau c. penyesuaian Warkat Debit dan dokumen kliring. (4) Surat persetujuan perubahan nama Peserta dan tanggal efektif perubahan nama Peserta juga disampaikan oleh Penyelenggara kepada: a. seluruh Peserta melalui administrative message atau sarana lainnya; dan b. Koordinator PWD yang di wilayah kerjanya terdapat Perwakilan Peserta melalui surat. Paragraf 4 Perubahan Kegiatan Usaha Pasal 32 (1) Peserta dapat melakukan perubahan kegiatan usaha Peserta dengan persetujuan Penyelenggara. (2) Perubahan kegiatan usaha Peserta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) huruf d meliputi perubahan kegiatan usaha bank umum konvensional menjadi bank umum syariah. 23 (3) Dalam hal Peserta melakukan perubahan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Peserta harus melakukan perubahan data kepesertaan berupa: a. kegiatan usaha Peserta; dan b. nama Peserta. (4) Dalam hal perubahan kegiatan usaha berdampak pada perubahan kode Peserta maka Peserta harus mengajukan permohonan perubahan kode Peserta dan penggantian Soft Token. Pasal 33 (1) Peserta yang akan melakukan perubahan kegiatan usaha Peserta menyampaikan surat permohonan ke Penyelenggara dengan mengacu pada ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3). (2) Dalam hal Penyelenggara menyetujui permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penyelenggara menyampaikan surat persetujuan kepada Peserta yang memuat: a. tanggal efektif perubahan kegiatan usaha Peserta; b. permintaan untuk menyediakan stempel kliring dan stempel kliring dibatalkan untuk setiap kantor Peserta di Wilayah Kliring yang dipilih; dan/atau c. penyesuaian Warkat Debit dan dokumen kliring, dalam hal perubahan kegiatan usaha memengaruhi spesifikasi dan informasi pada Warkat Debit dan dokumen kliring. (3) Tanggal efektif perubahan kegiatan usaha Peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (2) juga disampaikan oleh Penyelenggara kepada: a. seluruh Peserta melalui administrative message atau sarana lainnya; dan b. Koordinator PWD yang di wilayah kerjanya terdapat Perwakilan Peserta melalui surat. 24 Paragraf 5 Perubahan Lokasi SPK dan/atau Pemindahan JKD Utama Peserta Pasal 34 (1) Peserta dapat melakukan perubahan lokasi SPK dan/atau pemindahan JKD utama Peserta dengan persetujuan Penyelenggara. (2) Peserta yang akan melakukan perubahan lokasi SPK dan/atau pemindahan JKD utama Peserta menyampaikan surat permohonan ke Penyelenggara dengan mengacu pada ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3). (3) Dalam hal Penyelenggara menyetujui permohonan sebagaimana dimaksud dimaksud pada ayat (2), Penyelenggara menyampaikan surat persetujuan kepada Peserta yang memuat: a. perubahan lokasi SPK utama dan/atau SPK cadangan Peserta telah dicatat dalam tata usaha Penyelenggara; b. waktu pelaksanaan pemindahan JKD; dan c. kegiatan yang harus dilakukan oleh Peserta terkait dengan perubahan lokasi SPK utama, SPK cadangan, dan/atau JKD. Paragraf 6 Perubahan Bank Pembayar Pasal 35 (1) Peserta dapat melakukan perubahan Bank Pembayar dengan persetujuan Penyelenggara. (2) Peserta yang akan melakukan perubahan Bank Pembayar menyampaikan surat permohonan ke Penyelenggara dengan mengacu pada ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3). 25 (3) Dalam hal Penyelenggara menyetujui permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Penyelenggara menyampaikan surat persetujuan kepada Peserta yang memuat tanggal efektif perubahan Bank Pembayar. (4) Bank Pembayar yang diganti harus tetap menjalankan fungsinya sampai dengan hari kerja terakhir sebelum tanggal efektif perubahan Bank Pembayar sebagaimana dimaksud pada ayat (3). Paragraf 7 Perubahan Bank Penerus Pasal 36 (1) Peserta dapat melakukan perubahan Bank Penerus dengan persetujuan Penyelenggara. (2) Peserta yang akan melakukan perubahan Bank Penerus menyampaikan surat permohonan ke Penyelenggara dengan mengacu pada ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3). (3) Dalam hal Penyelenggara menyetujui permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Penyelenggara menyampaikan surat persetujuan kepada Peserta yang memuat tanggal efektif perubahan Bank Penerus. (4) Bank Penerus yang diganti harus tetap menjalankan fungsinya sampai dengan hari kerja terakhir sebelum tanggal efektif perubahan Bank Penerus sebagaimana dimaksud pada ayat (3). Paragraf 8 Perubahan Spesimen Tanda Tangan Pasal 37 (1) Peserta dapat melakukan perubahan spesimen tanda tangan dengan persetujuan Penyelenggara. (2) Perubahan spesimen tanda tangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) huruf h dilakukan dalam hal terdapat perubahan: 26 a. nama; b. kewenangan; dan/atau c. jabatan, Pimpinan dan/atau pejabat penerima kuasa dari Pimpinan yang berdampak pada spesimen tanda tangan yang ditatausahakan oleh Penyelenggara. (3) Dalam hal seluruh Pimpinan yang telah memiliki spesimen tanda tangan di Penyelenggara mengalami perubahan dan/atau penggantian maka permohonan mengenai perubahan spesimen tanda tangan disampaikan oleh Pimpinan yang baru atau pejabat penerima kuasa dari Pimpinan. (4) Dalam hal Pimpinan dan/atau pejabat penerima kuasa dari Pimpinan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah memiliki spesimen tanda tangan di Sistem BI-RTGS, Peserta dapat meminta penambahan kewenangan dalam operasional SKNBI. (5) Dalam hal terdapat kondisi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) maka Pimpinan dan/atau pejabat penerima kuasa dari Pimpinan tidak perlu melakukan pembuatan spesimen tanda tangan. Pasal 38 (1) Peserta yang akan melakukan perubahan spesimen tanda tangan Pimpinan dan/atau pejabat penerima kuasa dari Pimpinan menyampaikan surat permohonan ke Penyelenggara dengan mengacu pada ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3). (2) Dalam hal perubahan spesimen tanda tangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disebabkan oleh penggantian dan/atau penambahan Pimpinan dan/atau pejabat penerima kuasa dari Pimpinan, Peserta juga harus melengkapi dokumen tambahan sebagaimana tercantum dalam angka 6 Lampiran III. 27 (3) Dalam hal Penyelenggara menyetujui permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penyelenggara menyampaikan surat persetujuan kepada Peserta yang memuat: a. waktu pembuatan spesimen tanda tangan baru; b. tanggal efektif spesimen tanda tangan Pimpinan dan/atau pejabat penerima kuasa dari Pimpinan yang telah memiliki spesimen di Sistem BI-RTGS; dan/atau c. tanggal efektif pencabutan kewenangan dalam hal terdapat perubahan kewenangan Pimpinan dan/atau pejabat penerima kuasa dari Pimpinan. (4) Pembuatan spesimen tanda tangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dilakukan di hadapan pejabat kantor pusat Bank Indonesia atau pejabat KPwDN. (5) Spesimen tanda tangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berlaku efektif: a. sejak pemberitahuan dari Penyelenggara mengenai tanggal efektif berlakunya spesimen tanda tangan; atau b. paling lama 5 (lima) hari kerja setelah tanggal pembuatan spesimen tanda tangan dalam hal tidak terdapat pemberitahuan dari Penyelenggara. (6) Dalam hal: a. Peserta tidak mengajukan permohonan perubahan spesimen tanda tangan kepada Penyelenggara; dan/atau b. pencabutan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c belum berlaku efektif, spesimen tanda tangan yang telah ditatausahakan di Penyelenggara dianggap masih berlaku dan segala tindakan hukum yang dilakukan oleh Pimpinan dan/atau pejabat penerima kuasa dari Pimpinan menjadi tanggung jawab Peserta. 28 Paragraf 9 Perubahan Kuasa Pasal 39 (1) Perubahan kuasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) huruf i dilakukan untuk penambahan, penggantian, dan/atau pencabutan kuasa dari pejabat penerima kuasa dari Pimpinan. (2) Perubahan kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mengacu pada ketentuan pemberian kuasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17. Pasal 40 (1) Peserta dapat melakukan perubahan kuasa dengan persetujuan Penyelenggara. (2) Peserta yang akan melakukan perubahan kuasa menyampaikan surat permohonan ke Penyelenggara dengan mengacu pada ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3). (3) Selain mengacu pada ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), permohonan juga harus dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. penambahan dan/atau penggantian kuasa berlaku efektif paling lambat 5 (lima) hari kerja sejak dokumen dan spesimen tanda tangan telah diterima secara lengkap oleh Penyelenggara; b. dalam hal terdapat pencabutan seluruh atau sebagian kuasa maka: 1. pencabutan seluruh atau sebagian kuasa berlaku efektif terhitung sejak tanggal permohonan pencabutan kuasa diterima secara lengkap oleh Penyelenggara; dan 2. spesimen tanda tangan pejabat penerima kuasa dari Pimpinan yang dicabut dinyatakan tidak berlaku; dan c. dalam hal terdapat perubahan kewenangan dalam surat kuasa yang diberikan kepada pejabat yang 29 menerima kuasa, Peserta harus menyampaikan permohonan yang dilampiri dengan surat kuasa yang baru. (4) Dalam hal Penyelenggara menyetujui permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Penyelenggara menyampaikan surat persetujuan kepada Peserta yang memuat tanggal efektif perubahan kuasa pejabat penerima kuasa dari Pimpinan. (5) Dalam hal terdapat perubahan kuasa yang tidak disampaikan kepada Penyelenggara maka surat kuasa yang telah ditatausahakan di Penyelenggara dianggap masih berlaku dan segala tindakan hukum yang dilakukan pejabat penerima kuasa tersebut menjadi tanggung jawab Peserta. Paragraf 10 Perubahan Wilayah Kliring dalam Layanan Kliring Warkat Debit Pasal 41 (1) Peserta dapat melakukan perubahan Wilayah Kliring dengan persetujuan Penyelenggara. (2) Peserta yang akan melakukan perubahan berupa penambahan dan/atau pengurangan Wilayah Kliring dalam Layanan Kliring Warkat Debit menyampaikan surat permohonan ke Penyelenggara dengan mengacu pada ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3). (3) Peserta yang melakukan perubahan berupa penambahan Wilayah Kliring sebagaimana dimaksud pada ayat (2), harus menunjuk dan mendaftarkan Perwakilan Peserta kepada Penyelenggara. (4) Dalam hal Penyelenggara menyetujui permohonan perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Penyelenggara menyampaikan surat persetujuan kepada Peserta yang memuat paling sedikit: 30 a. penambahan dan/atau pengurangan Wilayah Kliring; dan b. tanggal efektif perubahan Wilayah Kliring. (5) Persetujuan perubahan Wilayah Kliring sebagaimana dimaksud pada ayat (3) juga disampaikan kepada: a. seluruh Peserta melalui administrative message atau sarana lainnya; dan b. Koordinator PWD yang di wilayah kerjanya terdapat penambahan atau penghentian Perwakilan Peserta, melalui surat. Paragraf 11 Perubahan Nama, Kewenangan, dan/atau Jabatan Pimpinan Pasal 42 (1) Peserta menyampaikan informasi perubahan nama, kewenangan, dan/atau jabatan Pimpinan dengan mengacu pada ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3). (2) Untuk Peserta berupa kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri, Peserta harus melengkapi dokumen tambahan sebagaimana tercantum dalam Lampiran III. (3) Dalam hal perubahan nama, kewenangan, dan/atau jabatan Pimpinan diikuti dengan perubahan spesimen tanda tangan Pimpinan, permohonan perubahan spesimen tanda tangan Pimpinan disampaikan dengan mengacu pada ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 dan Pasal 38. Pasal 43 (1) Penyelenggara menyampaikan surat pemberitahuan atas diterimanya informasi perubahan nama, kewenangan, dan/atau jabatan Pimpinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1) kepada Peserta yang memuat: a. waktu pembuatan spesimen tanda tangan bagi Pimpinan baru; dan/atau 31 b. tanggal efektif pencabutan kewenangan Pimpinan dalam hal terdapat perubahan kewenangan Pimpinan. (2) Spesimen tanda tangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berlaku efektif: a. sejak pemberitahuan dari Penyelenggara mengenai tanggal efektif berlakunya spesimen tanda tangan; atau b. paling lama 5 (lima) hari kerja sejak tanggal pembuatan spesimen tanda tangan dalam hal tidak terdapat pemberitahuan dari Penyelenggara. (3) Dalam hal: a. Peserta tidak menyampaikan informasi perubahan nama, kewenangan, dan/atau jabatan Pimpinan kepada Penyelenggara; dan/atau b. pencabutan kewenangan Pimpinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b belum berlaku efektif, nama, kewenangan, dan/atau jabatan Pimpinan yang telah ditatausahakan di Penyelenggara dianggap masih berlaku dan segala tindakan hukum yang dilakukan oleh Pimpinan menjadi tanggung jawab Peserta. Paragraf 12 Perubahan Alamat Kantor Peserta Pasal 44 (1) Peserta menyampaikan informasi perubahan alamat kantor pusat Peserta atau alamat kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri dengan mengacu pada ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3). (2) Dalam hal perubahan alamat kantor Peserta diikuti dengan perubahan lokasi SPK dan pemindahan JKD utama Peserta, informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memuat perubahan lokasi SPK dan pemindahan JKD utama Peserta. 32 (3) Penyelenggara menyampaikan surat pemberitahuan atas diterimanya informasi perubahan alamat kantor Peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Peserta yang memuat tanggal efektif perubahan alamat kantor Peserta. Bagian Kedua Administrasi Perubahan Data Kepesertaan Pasal 45 Peserta yang telah menyampaikan dokumen perubahan data dan informasi Peserta sebagaimana tercantum dalam Lampiran III kepada penyelenggara Sistem BI-RTGS dan tidak terdapat perubahan, tidak perlu menyampaikan lagi dokumen tersebut kepada Penyelenggara. Pasal 46 Dalam hal terdapat perbedaan tanda tangan antara yang tercantum pada identitas diri dengan yang tercantum pada spesimen tanda tangan Pimpinan dan/atau pejabat penerima kuasa yang ditatausahakan di Penyelenggara maka Peserta harus menyampaikan surat pernyataan atas perbedaan tanda tangan tersebut. Pasal 47 Setiap terdapat perubahan pada administrasi kepesertaan dalam kegiatan pertukaran Warkat Debit, Koordinator PWD melakukan hal sebagai berikut: a. menyampaikan surat pemberitahuan kepada Perwakilan Peserta di Wilayah Kliring; b. menyiapkan tanda pengenal peserta kliring; dan c. melakukan pengkinian data kepesertaan pertukaran Warkat Debit. 33 BAB VI STATUS KEPESERTAAN DAN PERUBAHANNYA Pasal 48 Status kepesertaan dalam SKNBI terdiri dari: a. aktif; b. ditangguhkan; c. dibekukan; atau d. ditutup. Pasal 49 (1) Status kepesertaan dapat berubah dari: a. status aktif menjadi ditangguhkan atau sebaliknya; b. status aktif menjadi dibekukan atau sebaliknya; c. status aktif menjadi ditutup; d. status ditangguhkan menjadi dibekukan atau sebaliknya; e. status ditangguhkan menjadi ditutup; atau f. status dibekukan menjadi ditutup. (2) Perubahan status kepesertaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Penyelenggara berdasarkan pertimbangan sebagai berikut: a. pengenaan sanksi administratif oleh Penyelenggara; b. adanya perubahan status kepesertaan dalam Sistem BI-RTGS; c. permintaan tertulis dari lembaga pengawas yang berwenang terhadap kegiatan Peserta; atau d. permintaan tertulis dari Peserta untuk mengubah status dari status aktif menjadi ditutup. (3) Permintaan tertulis dari Peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d didasarkan pada alasan self- liquidation, penggabungan, peleburan, pemisahan, pengunduran diri, atau alasan lain dan telah memperoleh persetujuan dari Penyelenggara atau lembaga pengawas yang berwenang. 34 (4) Perubahan status kepesertaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku efektif pada tanggal yang ditetapkan oleh Penyelenggara. (5) Dalam hal terjadi perubahan status Peserta, Penyelenggara menyampaikan informasi perubahan status Peserta kepada: a. Peserta yang bersangkutan melalui surat; b. seluruh Peserta melalui administrative message atau sarana lainnya; c. Koordinator PWD yang di wilayah kerjanya terdapat Perwakilan Peserta melalui surat; dan/atau d. lembaga yang berwenang dalam melakukan pengawasan terhadap kegiatan Peserta melalui surat. Pasal 50 (1) Dalam hal dilakukan perubahan status kepesertaan menjadi ditutup, Peserta harus menyelesaikan seluruh kewajiban dalam penyelenggaraan SKNBI. (2) Dalam hal dilakukan perubahan status kepesertaaan menjadi ditutup yang disebabkan oleh penggabungan, peleburan, atau pemisahan maka penyelesaian kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. hak dan kewajiban Peserta yang akan ditutup beralih kepada Peserta hasil penggabungan, peleburan, atau pemisahan; dan b. pengalihan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dilengkapi dengan surat pernyataan pengambilalihan hak dan kewajiban dari Peserta hasil penggabungan, peleburan, atau pemisahan. (3) Dalam hal dilakukan perubahan status kepesertaan menjadi ditutup yang disebabkan oleh adanya pengalihan aset dan kewajiban selain karena alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) maka penyelesaian kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: 35 a. hak dan kewajiban Peserta yang ditutup beralih kepada Peserta yang menerima pengalihan aset dan kewajiban; dan b. pengalihan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dilakukan berdasarkan surat pernyataan pengambilalihan hak dan kewajiban dari Peserta yang menerima pengalihan aset dan kewajiban. Pasal 51 (1) Dalam hal perubahan status kepesertaan terjadi pada PLU yang berfungsi sebagai Bank Pembayar dan/atau Bank Penerus, maka: a. PLA harus menunjuk PLU lainnya sebagai Bank Pembayar pengganti; dan b. PTL harus menunjuk PLU lainnya sebagai Bank Penerus pengganti. (2) Penunjukan Bank Pembayar dan Bank Penerus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mengacu pada ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 dan Pasal 36. BAB VII TATA CARA PERUBAHAN STATUS KEPESERTAAN Bagian Kesatu Perubahan Status Kepesertaan karena Permintaan Pihak yang Berwenang Melakukan Pengawasan Kegiatan Peserta Pasal 52 (1) Permohonan perubahan status kepesertaan atas permintaan dari lembaga pengawas yang berwenang disampaikan melalui surat kepada Gubernur Bank Indonesia. (2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat hal sebagai berikut: a. nama Peserta dan perubahan status kepesertaan yang diminta; 36 b. alasan perubahan status kepesertaan; dan c. tanggal efektif perubahan status kepesertaan. (3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilengkapi dengan dokumen sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. (4) Dalam hal perubahan status kepesertaan yang diminta merupakan perubahan status menjadi ditangguhkan, permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat pula batasan penangguhan terhadap kegiatan tertentu di SKNBI. (5) Penyelenggara menyetujui dan mengubah status kepesertaan apabila: a. dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) telah diterima secara lengkap oleh Penyelenggara; dan b. Peserta telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1), dalam hal status kepesertaan berubah menjadi ditutup. Bagian Kedua Perubahan Status Peserta karena Permintaan Peserta Pasal 53 (1) Permohonan perubahan status kepesertaan berupa Bank karena melakukan langkah strategis dan mendasar disampaikan melalui surat kepada satuan kerja yang melaksanakan fungsi pengawasan makroprudensial, moneter, dan sistem pembayaran. (2) Permohonan perubahan status kepesertaan berupa Bank selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan Penyelenggara Transfer Dana Selain Bank disampaikan melalui surat kepada satuan kerja yang melaksanakan fungsi penyelenggaraan sistem pembayaran. 37 Pasal 54 (1) Permohonan penutupan kepesertaan karena self- liquidation, pengunduran diri, dan alasan lainnya disampaikan melalui surat kepada Penyelenggara. (2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. ditandatangani oleh Pimpinan Peserta; b. ditembuskan kepada KPwDN yang mewilayahi, dalam hal kantor pusat Peserta berkedudukan di wilayah kerja KPwDN; dan c. dilengkapi dengan dokumen sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV. Pasal 55 (1) Penyelenggara menyampaikan persetujuan atas permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (1) dan mengubah status kepesertaan Peserta menjadi ditutup apabila Peserta telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) dan Pasal 54 ayat (2). (2) Penyelenggara menyampaikan informasi tanggal efektif perubahan status Peserta kepada pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (5). Paragraf 1 Perubahan Status Kepesertaan karena Penggabungan Pasal 56 Setiap Peserta yang menggabungkan diri harus menyampaikan permohonan penutupan kepesertaan dengan mengacu pada ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54. Pasal 57 (1) Peserta yang menerima penggabungan menyampaikan surat pemberitahuan penggabungan kepada Penyelenggara yang paling sedikit memuat informasi mengenai: 38 a. persetujuan penggabungan dari lembaga yang berwenang; b. Peserta yang menerima penggabungan dan Peserta yang menggabungkan diri; c. waktu pelaksanaan pengalihan operasional dalam SKNBI dari Peserta yang menggabungkan diri kepada Peserta yang menerima penggabungan; d. pengambilalihan hak dan kewajiban Peserta yang menggabungkan diri oleh Peserta yang menerima penggabungan efektif sejak tanggal penggabungan secara hukum; dan e. pengumuman penggabungan yang dimuat dalam surat kabar harian berskala nasional. (2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan dokumen sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV. (3) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus: a. ditandatangani oleh Pimpinan Peserta; dan b. ditembuskan kepada KPwDN yang mewilayahi, dalam hal kantor pusat Peserta berkedudukan di wilayah kerja KPwDN. (4) Berdasarkan pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penyelenggara menyampaikan informasi kepada Peserta yang menerima penggabungan yang paling sedikit memuat hal sebagai berikut: a. waktu operasional dalam SKNBI; dan b. hal yang harus dilakukan oleh Peserta. (5) Status kepesertaan dari Peserta yang menggabungkan diri efektif berubah menjadi ditutup pada tanggal pelaksanaan penggabungan secara operasional dalam SKNBI. pelaksanaan penggabungan secara 39 Paragraf 2 Perubahan Status Kepesertaan karena Peleburan Pasal 58 Setiap Peserta yang meleburkan diri harus menyampaikan permohonan penutupan kepesertaan dengan mengacu pada ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (2). Pasal 59 (1) Calon Peserta yang merupakan hasil peleburan harus menyampaikan surat pemberitahuan peleburan dan menyampaikan permohonan menjadi Peserta kepada Penyelenggara dengan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 25. (2) Pemberitahuan peleburan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat informasi mengenai: a. persetujuan peleburan dari lembaga yang berwenang; b. Peserta hasil peleburan dan Peserta yang meleburkan diri; c. waktu pelaksanaan pengalihan operasional dalam SKNBI dari Peserta yang meleburkan diri kepada Peserta hasil peleburan; d. pengambilalihan hak dan kewajiban Peserta yang meleburkan diri oleh Peserta hasil peleburan efektif sejak tanggal peleburan secara hukum; dan e. pengumuman peleburan yang dimuat dalam surat kabar harian berskala nasional. (3) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan dokumen sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV. (4) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus: a. ditandatangani oleh Pimpinan Peserta; dan b. ditembuskan kepada KPwDN yang mewilayahi, dalam hal kantor pusat Peserta berkedudukan di wilayah kerja KPwDN. 40 (5) Berdasarkan pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penyelenggara menyampaikan informasi kepada Peserta hasil peleburan yang paling sedikit memuat: a. waktu pelaksanaan peleburan secara operasional dalam SKNBI; dan b. hal yang harus dilakukan oleh Peserta. (6) Status kepesertaan dari Peserta yang meleburkan diri efektif berubah menjadi ditutup pada tanggal pelaksanaan peleburan secara operasional dalam SKNBI. Paragraf 3 Perubahan Status Kepesertaan Karena Pemisahan Pasal 60 Perubahan status kepesertaan karena pemisahan dilakukan dalam hal terdapat Peserta berupa unit usaha syariah yang memisahkan diri dari Peserta berupa bank konvensional dilakukan dengan cara: a. mendirikan bank umum syariah baru; atau b. mengalihkan hak dan kewajiban Peserta unit usaha syariah kepada Peserta berupa bank umum syariah. Pasal 61 Peserta berupa unit usaha syariah yang memisahkan diri dari Peserta berupa bank konvensional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 harus menyampaikan permohonan penutupan kepesertaan dalam SKNBI dengan mengacu pada ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (2). Pasal 62 (1) Bank umum syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 huruf a yang akan menjadi Peserta harus menyampaikan surat pemberitahuan pemisahan dan mengajukan permohonan menjadi Peserta kepada Penyelenggara dengan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan Pasal 8 sampai dengan Pasal 21. 41 (2) Pemberitahuan pemisahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat informasi mengenai: a. persetujuan pemisahan dari lembaga yang berwenang; b. Peserta hasil pemisahan dan Peserta yang memisahkan diri; c. waktu pelaksanaan peralihan operasional dalam SKNBI dari Peserta yang memisahkan diri kepada Peserta hasil pemisahan; d. pengambilalihan hak dan kewajiban Peserta yang memisahkan diri oleh Peserta hasil pemisahan efektif sejak tanggal pemisahan secara hukum; dan e. pengumuman pemisahan yang dimuat dalam surat kabar harian berskala nasional. (3) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan dokumen sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV. (4) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus: a. ditandatangani oleh Pimpinan Peserta; dan b. ditembuskan kepada KPwDN yang mewilayahi, dalam hal kantor pusat Peserta berkedudukan di wilayah kerja KPwDN. Pasal 63 (1) Peserta berupa bank umum syariah yang menerima hasil pemisahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 huruf b menyampaikan surat pemberitahuan pemisahan kepada Penyelenggara yang paling sedikit memuat informasi mengenai: a. persetujuan pemisahan dari lembaga yang berwenang; b. Peserta yang menerima pemisahan dan Peserta yang memisahkan diri; c. waktu pelaksanaan pengalihan operasional dalam SKNBI dari Peserta yang memisahkan diri kepada Peserta yang menerima pemisahan; 42 d. pengambilalihan hak dan kewajiban Peserta yang memisahkan diri oleh Peserta yang menerima pemisahan efektif sejak tanggal pemisahan secara hukum; dan e. pengumuman pemisahan yang dimuat dalam surat kabar harian berskala nasional. (2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan dokumen sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV. (3) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus: a. ditandatangani oleh Pimpinan Peserta; dan b. ditembuskan kepada KPwDN yang mewilayahi, dalam hal kantor pusat Peserta berkedudukan di wilayah kerja KPwDN. Pasal 64 (1) Penyelenggara menyampaikan: a. surat persetujuan kepada Peserta berupa bank umum syariah yang baru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62; atau b. surat pemberitahuan kepada Peserta berupa bank umum syariah yang menerima hasil pemisahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63. (2) Surat persetujuan atau pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat: a. waktu pelaksanaan: 1. pemisahan secara operasional SKNBI untuk pemisahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 huruf a; atau 2. pengalihan hak dan kewajiban secara operasional SKNBI untuk pemisahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 huruf b; dan b. hal yang harus dilakukan oleh Peserta. 43 Bagian Ketiga Administrasi Perubahan Status Kepesertaan Pasal 65 Peserta yang telah menyampaikan dokumen perubahan status kepesertaan sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV kepada penyelenggara Sistem BI-RTGS dan tidak terdapat perubahan, tidak perlu menyampaikan lagi dokumen tersebut kepada Penyelenggara. Pasal 66 (1) Penyelesaian DKE atas perubahan status kepesertaan dari aktif menjadi ditangguhkan atau ditangguhkan menjadi dibekukan pada jam operasional, berlaku ketentuan sebagai berikut: a. DKE yang telah diterima oleh Penyelenggara sebelum perubahan status kepesertaan, tetap diteruskan dan diperhitungkan sepanjang didukung dengan dana yang cukup; b. DKE transfer dana dan DKE pembayaran yang telah diterima oleh Penyelenggara namun tidak didukung dana yang cukup maka Peserta pengirim harus menyelesaikan DKE yang tidak diperhitungkan oleh Penyelenggara (unconfirmed DKE transfer dana dan/atau DKE pembayaran); c. DKE Warkat Debit dan/atau DKE penagihan yang telah diterima oleh Penyelenggara dan telah diteruskan kepada Peserta penerima, namun tidak dapat diperhitungkan oleh Penyelenggara maka DKE Warkat Debit dan/atau DKE penagihan diselesaikan antar-Peserta; dan d. Penerusan dana atas DKE yang tidak diperhitungkan oleh Penyelenggara sebagaimana dimaksud dalam huruf b dan huruf c, mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai perlindungan nasabah dalam pelaksanaan transfer dana dan kliring berjadwal melalui SKNBI. 44 (2) Untuk PLU yang berfungsi sebagai Bank Penerus dan/atau Bank Pembayar maka PLU yang bersangkutan harus memberitahukan secara tertulis kepada PLA dan PTL mengenai perubahan status PLU sesegera mungkin dan menyelesaikan kewajibannya sesuai ketentuan yang berlaku. BAB VIII KORESPONDENSI Pasal 67 (1) Korespondensi terkait kepesertaan SKNBI yang disampaikan kepada satuan kerja di Bank Indonesia yang melaksanakan fungsi penyelenggaraan sistem pembayaran ditujukan ke alamat: Bank Indonesia c.q. Departemen Penyelenggaraan Sistem Pembayaran Gedung D Lantai 3 Jalan M. H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350. (2) Korespondensi yang disampaikan kepada satuan kerja di Bank Indonesia yang melaksanakan fungsi pengawasan makroprudensial, moneter, dan sistem pembayaran ditujukan ke alamat: Bank Indonesia c.q. Departemen Surveilans Sistem Keuangan Gedung D Lantai 9 Jalan M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350. (3) Layanan help desk dapat diperoleh melalui: Telepon : 021-29818888 Faksimile : 021-2311902 E-mail : HelpdeskSPBI@bi.go.id. (4) Dalam hal terjadi perubahan alamat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), dan serta perubahan nomor telepon, nomor faksimile dan/atau e-mail 45 sebagaimana dimaksud pada ayat (3) maka Penyelenggara memberitahukan perubahan tersebut melalui surat. BAB IX KETENTUAN PENUTUP Pasal 68 Pada saat Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku, Bab III huruf A sampai dengan huruf G Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 18/7/DPSP tanggal 2 Mei 2016 perihal Penyelenggaraan Transfer Dana dan Kliring Berjadwal oleh Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 18/40/DPSP tanggal 30 Desember 2016, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 69 Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 31 Oktober 2018 ANGGOTA DEWAN GUBERNUR, TTD SUGENG dengan 2 PENJELASAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/26/PADG/2018 TENTANG KEPESERTAAN DALAM SISTEM KLIRING NASIONAL BANK INDONESIA I. UMUM Untuk mendukung salah satu kebijakan Bank Indonesia berupa perizinan secara terpadu maka proses layanan kepesertaan dalam penyelenggaraan transfer dana dan kliring berjadwal perlu diselaraskan dengan kebijakan tersebut. Penyelarasan dengan kebijakan perizinan secara terpadu juga diperlukan untuk mempercepat dan mempermudah layanan kepesertaan agar semakin efektif dan efisien serta sejalan dengan prinsip tata kelola yang baik. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Cukup jelas. 2 Pasal 4 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “Penyelenggara Transfer Dana Selain Bank yang mengelola rekening nasabah” adalah Penyelenggara Transfer Dana Selain Bank yang menyediakan layanan transaksi keuangan antara lain kegiatan penyetoran, penyimpanan, dan pemindahbukuan dari dan/atau untuk pengguna jasa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 5 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Security audit yang dilakukan oleh auditor internal dilengkapi dengan surat pernyataan Pimpinan calon PLU yang menyatakan bahwa pelaksanaan security audit dilakukan secara independen. Pasal 6 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. 3 Huruf d Kinerja keuangan yang baik antara lain dibuktikan dengan laporan keuangan Penyelenggara Transfer Dana Selain Bank yang akan menjadi PLA. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Security audit yang dilakukan oleh auditor internal dilengkapi dengan surat pernyataan Pimpinan calon PLA yang menyatakan bahwa pelaksanaan security audit dilakukan secara independen. Huruf i Penunjukan Bank Pembayar untuk pendebitan dan/atau pengkreditan dana ditujukan untuk: a. Setelmen Dana; b. penyediaan prefund kredit; c. pembebanan biaya dalam penyelenggaraan SKNBI; dan d. pembebanan atas pengenaan sanksi administratif berupa kewajiban membayar atas pelanggaran ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan transfer dana dan kliring berjadwal. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 7 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. 4 Huruf c Mekanisme pelaksanaan transfer dana meliputi: 1. penyediaan prefund kredit; 2. pengiriman DKE kepada Penyelenggara; dan 3. batas waktu penerusan hasil Setelmen Dana dari Bank Penerus kepada PTL, baik dalam keadaan normal, keadaan tidak normal, dan keadaan darurat pada Bank Penerus. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Yang dimaksud dengan “sanksi administratif” adalah sanksi berupa kewajiban membayar atas pelanggaran ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan transfer dana dan kliring berjadwal. Pasal 8 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “Bank yang baru didirikan atau Bank yang melakukan langkah strategis dan mendasar” adalah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pelayanan perizinan terpadu terkait hubungan operasional bank umum dengan Bank Indonesia. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. 5 Ayat (3) Pemeriksaan ke lokasi kantor calon PLU atau calon PLA dilakukan antara lain untuk melihat kesesuaian informasi dalam dokumen yang disampaikan dengan kondisi di lapangan termasuk dalam rangka memastikan kesiapan operasional. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 11 Ayat (1) Penolakan permohonan disertai dengan alasan penolakan antara lain infrastruktur calon PLU atau calon PLA tidak memenuhi spesifikasi yang dipersyaratkan. Yang dimaksud dengan “penelitian” termasuk melakukan pemeriksaan lokasi dalam hal diperlukan. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Pelatihan penggunaan SKNBI mengikutsertakan pejabat dan/atau petugas yang akan menangani teknis operasional SKNBI. 6 Huruf d Pemasangan JKD termasuk melakukan instalasi SPK dan uji koneksi SPK yang berada di lokasi calon PLU dan calon PLA dengan SSK. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 15 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “dokumen” adalah aplikasi SPK, buku petunjuk instalasi SPK, dan buku pedoman penggunaan aplikasi SPK yang disampaikan pada saat pemasangan JKD. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan “sumber daya manusia yang memadai” antara lain kecukupan jumlah dan kompetensi sumber daya manusia. 7 Huruf d Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Pemeriksaan ke lokasi kantor calon Bank Penerus dilakukan antara lain untuk melihat kesesuaian informasi dalam dokumen yang disampaikan dengan kondisi di lapangan dan kesiapan infrastruktur. Pasal 21 Ayat (1) Penolakan permohonan disertai alasan penolakan, antara lain calon Bank Penerus tidak memiliki teknologi informasi yang memadai. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. 8 Pasal 25 Ayat (1) Penolakan permohonan disertai alasan penolakan, antara lain perjanjian antara Bank Penerus dan PTL tidak memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Penyelenggara. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 26 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan “perubahan data kepesertaan SKNBI karena melakukan langkah strategis dan mendasar” adalah perubahan nama dan kegiatan usaha Peserta. Huruf b Yang dimaksud dengan “memengaruhi data Peserta di Bank Indonesia” adalah perubahan data Pimpinan dan alamat kantor Peserta. Ayat (3) Contoh perubahan data kepesertaan SKNBI selain yang terkait dengan langkah strategis dan mendasar memengaruhi data Peserta di Bank Indonesia yaitu perubahan kode Peserta dan perubahan Bank Pembayar. Pasal 27 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. 9 Ayat (4) Penolakan permohonan disertai alasan penolakan antara lain surat permohonan tidak ditandatangani oleh Pimpinan atau pejabat yang menerima kuasa dari Pimpinan, yang telah memiliki spesimen tanda tangan di Penyelenggara. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 Cukup jelas. Pasal 32 Cukup jelas. Pasal 33 Cukup jelas. Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Cukup jelas. Pasal 36 Cukup jelas. Pasal 37 Cukup jelas. 10 Pasal 38 Cukup jelas. Pasal 39 Cukup jelas. Pasal 40 Cukup jelas. Pasal 41 Cukup jelas. Pasal 42 Cukup jelas. Pasal 43 Cukup jelas. Pasal 44 Cukup jelas. Pasal 45 Cukup jelas. Pasal 46 Cukup jelas. Pasal 47 Cukup jelas. Pasal 48 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Peserta dengan status ditangguhkan dapat melakukan berbagai kegiatan dalam SKNBI namun kegiatannya dibatasi sebagai berikut: 11 a. untuk Layanan Kliring Transfer Dana, Peserta tidak dapat mengirim DKE Transfer Dana; b. untuk Layanan Kliring Warkat Debit, Peserta tidak dapat mengirimkan dan menerima DKE Warkat Debit; c. untuk Layanan Pembayaran Reguler, Peserta tidak dapat mengirim DKE Pembayaran; dan/atau d. untuk Layanan Penagihan Reguler, Peserta tidak dapat mengirim dan menerima DKE Penagihan. Huruf c Peserta dengan status dibekukan tidak dapat melakukan seluruh kegiatan dalam layanan SKNBI namun tetap memiliki hak akses terhadap informasi terkait SKNBI. Huruf d Peserta dengan status ditutup dihentikan secara tetap kepesertaannya dalam SKNBI dan tidak dapat diaktifkan kembali sebagai Peserta. Pasal 49 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Lembaga pengawas yang berwenang antara lain Bank Indonesia sebagai otoritas pengawas makroprudensial dan sistem pembayaran serta Otoritas Jasa Keuangan sebagai otoritas pengawas mikroprudensial. Peran Bank Indonesia sebagai otoritas pengawas makroprudensial dan sistem pembayaran dilakukan oleh satuan kerja yang melaksanakan fungsi pengawasan makroprudensial, moneter, dan sistem pembayaran. Huruf d Cukup jelas. 12 Ayat (3) Yang dimaksud dengan “alasan lain” adalah pengalihan aset dan kewajiban yang terjadi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan/atau persetujuan dari lembaga pengawas yang berwenang. Ayat (4) Yang dimaksud dengan “efektif pada tanggal yang ditetapkan oleh Penyelenggara” adalah pada jam layanan SKNBI. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 50 Ayat (1) Kewajiban dalam penyelenggaraan SKNBI antara lain biaya penggunaan SKNBI dan pelunasan pajak yang diperhitungkan dari Rekening Setelmen Dana. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Pengalihan aset dan kewajiban dilakukan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan/atau persetujuan dari lembaga pengawas yang berwenang. Pasal 51 Cukup jelas. Pasal 52 Ayat (1) Lembaga pengawas yang berwenang antara lain Bank Indonesia sebagai otoritas pengawas makroprudensial dan sistem pembayaran serta Otoritas Jasa Keuangan sebagai otoritas pengawas mikroprudensial. Peran Bank Indonesia sebagai otoritas pengawas makroprudensial dan sistem pembayaran dilakukan oleh satuan kerja yang melaksanakan fungsi pengawasan makroprudensial, moneter, dan sistem pembayaran. 13 Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 53 Cukup jelas. Pasal 54 Ayat (1) Contoh alasan lainnya yaitu pengalihan aset dan kewajiban yang dilakukan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan/atau persetujuan dari lembaga pengawas yang berwenang. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 55 Cukup jelas. Pasal 56 Cukup jelas. Pasal 57 Cukup jelas. Pasal 58 Cukup jelas. Pasal 59 Cukup jelas. Pasal 60 Cukup jelas. 14 Pasal 61 Cukup jelas. Pasal 62 Cukup jelas. Pasal 63 Cukup jelas. Pasal 64 Cukup jelas. Pasal 65 Cukup jelas. Pasal 66 Cukup jelas. Pasal 67 Cukup jelas. Pasal 68 Cukup jelas. Pasal 69 Cukup jelas. "," PADG 20/26/PADG/2018 KEPESERTAAN DALAM SISTEM KLIRING NASIONAL BANK INDONESIA 31 Oktober 2018 31 Oktober 2018 '18/7/DPSP|SE-BI/2016', '18/40/DPSP|SE-BI/2016' '17/9/PBI/2015', '19/13/PBI/2017', '19/15/PBI/2017' " " PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 21/15/PADG/2019 TENTANG PENERIMAAN DEVISA HASIL EKSPOR DARI KEGIATAN PENGUSAHAAN, PENGELOLAAN, DAN/ATAU PENGOLAHAN SUMBER DAYA ALAM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kewajiban penerimaan devisa hasil ekspor dari kegiatan pengusahaan, pengelolaan, dan/atau pengolahan sumber daya alam melalui rekening khusus pada bank perlu dipantau kepatuhannya guna mendukung optimalisasi pemanfaatan devisa hasil ekspor; b. bahwa pengaturan penerimaan devisa hasil ekspor dari kegiatan pengusahaan, pengelolaan, dan/atau pengolahan sumber daya alam perlu disusun ketentuan pelaksanaannya sebagai pedoman bagi eksportir dan bank dalam memenuhi kewajibannya; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b perlu menetapkan Peraturan Anggota Dewan Gubernur tentang Penerimaan Devisa Hasil Ekspor dari Kegiatan Pengusahaan, Pengelolaan, dan/atau Pengolahan Sumber Daya Alam; 2 Mengingat : Peraturan Bank Indonesia Nomor 21/3/PBI/2019 tentang Penerimaan Devisa Hasil Ekspor dari Kegiatan Pengusahaan, Pengelolaan, dan/atau Pengolahan Sumber Daya Alam (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6303); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG PENERIMAAN DEVISA HASIL EKSPOR DARI KEGIATAN PENGUSAHAAN, PENGELOLAAN, DAN/ATAU PENGOLAHAN SUMBER DAYA ALAM. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang dimaksud dengan: 1. Bank yang melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing yang selanjutnya disebut Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan dan bank umum syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah, termasuk kantor cabang bank asing di Indonesia namun tidak termasuk kantor cabang luar negeri dari bank yang berkantor pusat di Indonesia, yang memperoleh persetujuan dari otoritas yang berwenang untuk melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing. 2. Ekspor adalah kegiatan mengeluarkan barang dari daerah pabean sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai kepabeanan. 3. Eksportir adalah orang perseorangan, badan hukum, atau badan lainnya yang tidak berbadan hukum yang melakukan Ekspor atas hasil kegiatan pengusahaan, pengelolaan, dan/atau pengolahan sumber daya alam. 3 4. Perusahaan Jasa Titipan yang selanjutnya disingkat PJT adalah perusahaan yang menangani layanan kiriman secara ekspres atau peka waktu, memiliki izin penyelenggaraan jasa titipan dari instansi terkait, dan mendapatkan persetujuan untuk melaksanakan kegiatan kepabeanan dari kepala kantor pelayanan bea dan cukai. 5. Pemilik Barang adalah orang perseorangan, badan hukum, atau badan lainnya yang tidak berbadan hukum, yang memiliki barang Ekspor. 6. Pemberitahuan Pabean Ekspor yang selanjutnya disingkat PPE adalah pernyataan yang dibuat oleh orang untuk melaksanakan kewajiban pabean Ekspor dalam bentuk dan syarat yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai kepabeanan. 7. Devisa Hasil Ekspor yang selanjutnya disingkat DHE adalah devisa dari hasil kegiatan Ekspor. 8. Devisa Hasil Ekspor dari Barang Ekspor Sumber Daya Alam yang selanjutnya disebut DHE SDA adalah DHE yang diperoleh dari kegiatan pengusahaan, pengelolaan, dan/atau pengolahan sumber daya alam yang mencakup pertambangan, perkebunan, kehutanan, dan perikanan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai devisa hasil ekspor yang diperoleh dari kegiatan pengusahaan, pengelolaan, dan/atau pengolahan sumber daya alam. 9. Nasabah adalah nasabah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan dan Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah. 10. Rekening Khusus DHE SDA yang selanjutnya disebut Reksus DHE SDA adalah rekening milik Nasabah di Bank dalam valuta rupiah atau valuta asing, yang digunakan khusus untuk penerimaan DHE SDA. 11. Nilai Ekspor adalah nilai Ekspor free on board (FOB) yang tercantum pada PPE. 4 12. Barang Tambang adalah minyak dan gas bumi serta mineral dan batubara. 13. Minyak dan Gas Bumi adalah minyak dan gas bumi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai minyak dan gas bumi. 14. Mineral dan Batubara adalah mineral dan batubara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai pertambangan mineral dan batubara. 15. Pihak yang Tunduk kepada Kontrak Kerja Sama Minyak dan Gas Bumi yang selanjutnya disebut Pihak dalam Kontrak Migas adalah operator dan/atau pemegang participating interest beserta para penggantinya dari waktu ke waktu, yang tercatat di otoritas yang berwenang. 16. Sandi Kantor Pabean adalah sandi Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai (KPPBC) pemuatan yang menerbitkan PPE. 17. Nomor PPE adalah nomor pendaftaran yang dikeluarkan oleh KPPBC sebagaimana tercantum pada dokumen PPE. 18. Dokumen Pendukung DHE SDA adalah dokumen yang membuktikan kebenaran data dan/atau keterangan mengenai penerimaan DHE SDA. 19. Dokumen Pendukung Transfer Dana Keluar (Outgoing Transfer) yang selanjutnya disebut Dokumen Pendukung Outgoing Transfer adalah dokumen terkait transaksi lalu lintas devisa Nasabah berupa transfer dana keluar (outgoing transfer) dengan nilai setara di atas jumlah tertentu (threshold). 20. Maklon adalah pemberian jasa dalam rangka proses penyelesaian suatu barang tertentu yang proses pengerjaannya dilakukan oleh pihak pemberi jasa (disubkontrakkan), dan pengguna jasa menetapkan spesifikasi, serta menyediakan bahan baku, dan/atau barang setengah jadi dan/atau bahan penolong atau pembantu yang akan diproses sebagian atau seluruhnya, dengan kepemilikan atas barang jadi berada pada pengguna jasa. 5 21. Jasa Perbaikan adalah jasa terkait perbaikan dan/atau perawatan barang. 22. Operational Leasing adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal secara sewa guna usaha tanpa hak opsi untuk membeli yang digunakan oleh penyewa guna usaha (lessee) selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara angsuran. 23. Financial Leasing adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal secara sewa guna usaha dengan hak opsi untuk membeli yang digunakan oleh penyewa guna usaha (lessee) selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara angsuran. 24. Netting adalah mekanisme penyelesaian tagihan Eksportir, Pemilik Barang, dan/atau Pihak dalam Kontrak Migas yang dikompensasikan (set off) dengan kewajiban Eksportir, Pemilik Barang, dan/atau Pihak dalam Kontrak Migas. 25. Usance L/C adalah letter of credit yang mensyaratkan pembayaran secara berjangka sesuai kesepakatan antara Eksportir, Pemilik Barang, dan/atau Pihak dalam Kontrak Migas dengan importir. 26. Konsinyasi adalah penitipan barang Ekspor untuk diperdagangkan yang pembayarannya dilakukan setelah barang terjual sesuai kesepakatan antara Eksportir, Pemilik Barang, dan/atau Pihak dalam Kontrak Migas dengan importir. 27. Pembayaran Kemudian adalah pembayaran yang dilakukan baik sekaligus maupun secara bertahap setelah barang dikirimkan kepada importir sesuai kesepakatan antara Eksportir, Pemilik Barang, dan/atau Pihak dalam Kontrak Migas dengan importir. 28. Collection adalah penagihan pembayaran Ekspor dengan menggunakan jasa bank melalui pengiriman dokumen terkait Ekspor kepada bank di luar negeri. 29. Pembayaran di Muka (Advance Payment) adalah pembayaran yang dilakukan oleh importir kepada Eksportir, Pemilik Barang, dan/atau Pihak dalam Kontrak 6 Migas sebelum barang dikapalkan, baik untuk seluruh (full payment) maupun sebagian (partial payment) nilai barang. 30. Perintah Transfer Dana adalah perintah transfer dana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai transfer dana. 31. Transfer Dana Keluar (Outgoing Transfer) adalah transaksi lalu lintas devisa Nasabah berupa transfer dana keluar dalam valuta asing. 32. Hari adalah hari kerja Bank Indonesia. BAB II KEWAJIBAN PENERIMAAN DHE SDA MELALUI REKSUS DHE SDA PADA BANK Bagian Kesatu Kewajiban Penerimaan DHE SDA Pasal 2 (1) Seluruh DHE SDA wajib diterima melalui Bank pada Reksus DHE SDA. (2) Kewajiban penerimaan DHE SDA melalui Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk: a. DHE SDA milik pemerintah yang diterima melalui Bank Indonesia; atau b. DHE SDA yang diterima dalam bentuk uang tunai di dalam negeri sepanjang dibuktikan dengan dokumen pendukung yang memadai. (3) Eksportir yang menerima DHE SDA dalam bentuk uang tunai di dalam negeri sebagaimana ayat (2) huruf b harus menyampaikan Dokumen Pendukung DHE SDA kepada Bank Indonesia. 7 Pasal 3 Jenis barang Ekspor dengan kewajiban penerimaan DHE SDA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 mengacu pada Keputusan Menteri Keuangan mengenai penetapan barang ekspor sumber daya alam. Pasal 4 (1) Penerimaan DHE SDA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) huruf b wajib dilakukan paling lambat pada akhir bulan ketiga setelah bulan pendaftaran PPE. (2) Penerimaan DHE SDA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berasal dari cara pembayaran Usance L/C, Konsinyasi, Pembayaran Kemudian, dan/atau Collection, yang jatuh temponya melebihi atau sama dengan 3 (tiga) bulan setelah bulan pendaftaran PPE wajib dilakukan paling lama 14 (empat belas) hari kalender setelah tanggal jatuh tempo pembayaran yang bersangkutan. (3) Penentuan jatuh tempo pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk masing-masing cara pembayaran diatur sebagai berikut: a. jatuh tempo Usance L/C yaitu sesuai tenor yang tercantum pada Usance L/C; b. jatuh tempo Konsinyasi yaitu tanggal jatuh tempo pembayaran oleh pembeli (buyer) kepada penerima barang Konsinyasi (consignee) setelah barang Konsinyasi terjual oleh penerima barang Konsinyasi (consignee); c. jatuh tempo Pembayaran Kemudian yaitu waktu pembayaran yang disepakati antara Eksportir, Pemilik Barang, dan/atau Pihak dalam Kontrak Migas dengan importir setelah tanggal pengiriman barang; dan d. jatuh tempo Collection yaitu waktu bank penerima amanat Collection menerima hasil penagihan dari importir. 8 (4) Dalam hal batas akhir penerimaan DHE SDA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jatuh pada hari libur, penerimaan DHE SDA dapat dilakukan paling lambat pada Hari berikutnya. (5) Eksportir yang menerima DHE SDA dengan cara pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus menyampaikan Dokumen Pendukung DHE SDA yang memadai kepada Bank. (6) Bank harus meneruskan Dokumen Pendukung DHE SDA sebagaimana dimaksud pada ayat (5) kepada Bank Indonesia. Pasal 5 (1) Nilai DHE SDA yang diterima sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) huruf b harus sesuai dengan Nilai Ekspor. (2) Penerimaan DHE SDA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dalam valuta yang berbeda dengan valuta yang tercantum pada PPE. Pasal 6 (1) Dalam hal nilai DHE SDA lebih kecil dari Nilai Ekspor dengan selisih kurang: a. paling banyak ekuivalen Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah); atau b. paling banyak 10% (sepuluh persen) dari Nilai Ekspor untuk Barang Tambang, yang disebabkan oleh perbedaan harga, kualitas, komposisi, dan kuantitas barang, nilai DHE SDA yang diterima dianggap sesuai dengan Nilai Ekspor sehingga Eksportir tidak perlu menyampaikan Dokumen Pendukung DHE SDA. (2) Dalam hal selisih kurang antara nilai DHE SDA dengan Nilai Ekspor lebih besar dari ekuivalen Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) yang disebabkan oleh selisih kurs, diskon atau rabat, biaya administrasi, dan/atau biaya lainnya terkait perdagangan internasional sehingga 9 terdapat selisih kurang antara nilai DHE SDA dan Nilai Ekspor paling banyak 10% (sepuluh persen) dari Nilai Ekspor, nilai DHE SDA yang diterima dianggap sesuai dengan Nilai Ekspor apabila Eksportir menyampaikan Dokumen Pendukung DHE SDA yang memadai. (3) Dalam hal selisih kurang antara nilai DHE SDA dengan Nilai Ekspor lebih besar dari ekuivalen Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) yang disebabkan oleh Maklon, Jasa Perbaikan, Operational Leasing, Financial Leasing, perbedaan harga barang, perbedaan kualitas barang, perbedaan komposisi barang, dan/atau perbedaan kuantitas barang, nilai DHE SDA yang diterima dianggap sesuai dengan Nilai Ekspor apabila Eksportir menyampaikan Dokumen Pendukung DHE SDA yang memadai. (4) Dalam hal selisih kurang antara nilai DHE SDA dengan Nilai Ekspor untuk Barang Tambang lebih besar dari 10% (sepuluh persen) dari Nilai Ekspor yang disebabkan oleh perbedaan harga, kualitas, komposisi, dan/atau kuantitas barang, nilai DHE SDA yang diterima dianggap sesuai dengan Nilai Ekspor apabila Eksportir menyampaikan Dokumen Pendukung DHE SDA yang memadai. Pasal 7 (1) Penerimaan nilai DHE SDA yang lebih kecil dari Nilai Ekspor yang disebabkan Netting antara tagihan Ekspor dengan kewajiban Eksportir hanya diperbolehkan untuk Netting dengan pembayaran impor barang terkait kegiatan Ekspor yang bersangkutan yang hanya melibatkan 2 (dua) pihak. (2) Dalam hal kegiatan Ekspor melibatkan lebih dari 2 (dua) pihak, Netting antara tagihan Ekspor dengan kewajiban Eksportir dalam bentuk impor barang terkait kegiatan Ekspor yang bersangkutan hanya diperbolehkan apabila pihak dimaksud berada dalam 1 (satu) grup. (3) Penerimaan nilai DHE SDA yang lebih kecil dari Nilai Ekspor yang disebabkan Netting antara tagihan Ekspor 10 dengan kewajiban Eksportir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dianggap sesuai dengan Nilai Ekspor apabila Eksportir menyampaikan Dokumen Pendukung DHE SDA berupa: a. bukti transaksi Netting yang memadai; dan b. surat pernyataan terkait Netting penerimaan DHE SDA. Pasal 8 (1) Eksportir yang menerima DHE SDA melalui Bank dengan nilai lebih kecil dari Nilai Ekspor, dengan selisih kurang lebih besar dari ekuivalen Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) yang disebabkan importir wanprestasi, pailit, atau mengalami keadaan memaksa (force majeure), harus menyampaikan Dokumen Pendukung DHE SDA yang memadai kepada Bank untuk diteruskan kepada Bank Indonesia. (2) Eksportir yang tidak menerima DHE SDA atau menerima DHE SDA dalam bentuk uang tunai dengan nilai lebih kecil dari Nilai Ekspor dengan selisih kurang lebih besar dari ekuivalen Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), yang disebabkan importir wanprestasi, pailit, atau mengalami keadaan memaksa (force majeure), harus menyampaikan Dokumen Pendukung DHE SDA yang memadai kepada Bank Indonesia. Pasal 9 (1) Dalam hal valuta DHE SDA sesuai dengan valuta pada PPE maka besarnya selisih kurang antara nilai DHE SDA dan Nilai Ekspor dikonversikan ke rupiah dengan menggunakan kurs tengah Bank Indonesia pada akhir bulan pendaftaran PPE. (2) Dalam hal terdapat perbedaan valuta antara DHE SDA dengan valuta pada PPE maka besarnya selisih kurang antara nilai DHE SDA dan Nilai Ekspor dihitung setelah masing-masing valuta dikonversikan ke rupiah dengan 11 menggunakan kurs tengah Bank Indonesia pada akhir bulan pendaftaran PPE. (3) Dalam hal valuta DHE SDA dan/atau valuta pada PPE tidak terdapat dalam daftar kurs yang diumumkan oleh Bank Indonesia maka besarnya selisih kurang antara nilai DHE SDA dan Nilai Ekspor dihitung dengan cara sebagai berikut: a. nilai DHE SDA dan/atau Nilai Ekspor dalam masing- masing valuta dikonversikan terlebih dahulu ke dolar Amerika Serikat menggunakan kurs tengah Reuters pada akhir bulan pendaftaran PPE; dan b. hasil konversi dalam dolar Amerika Serikat sebagaimana dimaksud pada huruf a dikonversikan ke rupiah dengan menggunakan kurs tengah Bank Indonesia pada akhir bulan pendaftaran PPE untuk selanjutnya dihitung selisihnya. Pasal 10 (1) Dalam hal Ekspor dilakukan melalui PJT, ketentuan bagi Eksportir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) huruf b, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, dan Pasal 9, berlaku terhadap Pemilik Barang sebagaimana tercantum dalam lembar lanjutan PPE. (2) Dalam hal Ekspor Minyak dan Gas Bumi, ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) huruf b, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, dan Pasal 9 berlaku terhadap Eksportir dan/atau Pihak dalam Kontrak Migas. Bagian Kedua Pembukaan Reksus DHE SDA, Transfer Dana Masuk dan Transfer Dana Keluar (Outgoing Transfer) ke atau dari Reksus DHE SDA Pasal 11 (1) Untuk memenuhi kewajiban penerimaan DHE SDA melalui Bank pada Reksus DHE SDA sebagaimana 12 dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), Eksportir harus melakukan pembukaan Reksus DHE SDA pada Bank. (2) Reksus DHE SDA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbentuk rekening giro, tabungan, atau rekening lainnya yang dapat digunakan untuk melakukan transaksi. (3) Reksus DHE SDA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa: a. pembukaan rekening baru oleh Eksportir untuk menampung penerimaan DHE SDA; atau b. pengalihfungsian rekening yang telah dimiliki Eksportir menjadi Reksus DHE SDA. (4) Dalam hal Eksportir melakukan pengalihfungsian rekening yang telah dimiliki menjadi Reksus DHE SDA sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b, dana yang terdapat pada rekening yang telah dimiliki Eksportir tersebut harus dikosongkan terlebih dahulu. (5) Eksportir dapat membuka lebih dari 1 (satu) Reksus DHE SDA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pada 1 (satu) Bank atau lebih. (6) Bank harus memastikan Nasabah yang akan melakukan pembukaan Reksus DHE SDA merupakan Eksportir. (7) Bank harus memberikan penanda khusus (flag) untuk setiap Reksus DHE SDA di sistem internal Bank. Pasal 12 (1) Pada saat mengajukan permohonan pembukaan Reksus DHE SDA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1), Eksportir harus menyampaikan dokumen pendukung sebagai berikut: a. dokumen yang dapat menunjukkan Ekspor atas hasil pengusahaan, pengelolaan, dan/atau pengolahan sumber daya alam; dan b. surat pernyataan terkait Ekspor atas hasil kegiatan pengusahaan, pengelolaan, dan/atau pengolahan sumber daya alam. (2) Surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b disusun dengan mengacu pada contoh 13 sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Pasal 13 (1) Transfer dana masuk pada Reksus DHE SDA hanya dapat berasal dari: a. DHE SDA; b. dana dari pencairan deposito dan/atau pembayaran bunga deposito yang dananya bersumber dari Reksus DHE SDA milik Eksportir yang sama; dan c. dana yang berasal dari Reksus DHE SDA lain milik Eksportir yang sama, baik di Bank lain maupun di Bank yang sama. (2) Bank harus memastikan transfer dana masuk pada Reksus DHE SDA hanya berasal dari sumber sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Dalam hal terdapat transfer dana masuk ke Reksus DHE SDA sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Eksportir harus menyampaikan dokumen pendukung yang dapat membuktikan bahwa dana masuk tersebut merupakan DHE SDA. (4) Transfer dana masuk yang berasal dari DHE SDA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan dengan mekanisme: a. transfer langsung ke Reksus DHE SDA; atau b. transfer terlebih dahulu melalui rekening selain Reksus DHE SDA milik Eksportir. (5) Dalam hal terdapat transfer dana masuk ke Reksus DHE SDA selain dari sumber sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Eksportir harus memindahkan dana dimaksud keluar dari Reksus DHE SDA. 14 Pasal 14 (1) DHE SDA yang ditempatkan dalam Reksus DHE SDA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) digunakan oleh Eksportir untuk Transfer Dana Keluar (Outgoing Transfer) guna pembayaran: a. bea keluar dan pungutan lain di bidang Ekspor; b. pinjaman; c. impor; d. keuntungan atau dividen; dan/atau e. keperluan lain dari penanam modal sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai penanaman modal. (2) Dalam hal Eksportir melakukan Transfer Dana Keluar (Outgoing Transfer) melalui Reksus DHE SDA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan nilai setara di atas jumlah tertentu (threshold), Eksportir harus menyampaikan Dokumen Pendukung Outgoing Transfer kepada Bank. (3) Bank hanya dapat melakukan pengaksepan Perintah Transfer Dana untuk Transfer Dana Keluar (Outgoing Transfer) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sepanjang dilengkapi dengan Dokumen Pendukung Outgoing Transfer. (4) Dokumen Pendukung Outgoing Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa dokumen yang mendasari adanya kegiatan transaksi (underlying transaction) Transfer Dana Keluar (Outgoing Transfer) dalam valuta asing, yaitu: a. tagihan dari penjual barang dan jasa di luar negeri; b. kontrak pinjaman atau dokumen lain yang menunjukkan adanya kewajiban pembayaran bunga dan/atau pokok pinjaman; c. kontrak atau dokumen lain yang menunjukkan adanya kewajiban membayar royalti dan kewajiban hak intelektual lainnya; d. dokumen rapat umum pemegang saham yang menunjukkan kewajiban pembagian dividen kepada pemegang saham di luar negeri; 15 e. perjanjian kerja atau dokumen kepegawaian lainnya yang menunjukkan kewajiban membayar gaji dan penghasilan lainnya; f. dokumen likuidasi aset di dalam negeri yang merupakan hak pihak di luar negeri; dan/atau g. dokumen pengecualian atau penangguhan kewajiban penggunaan rupiah untuk transaksi valuta asing di dalam negeri. (5) Dokumen Pendukung Outgoing Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus diterima sebelum pelaksanaan penyelesaian transaksi. (6) Bank harus meneruskan informasi kepada Bank Indonesia mengenai penyampaian Dokumen Pendukung Outgoing Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (7) Ketentuan mengenai mekanisme pengaksepan Perintah Transfer Dana, threshold, dan penyampaian Dokumen Pendukung Outgoing Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (6) mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pemantauan kegiatan lalu lintas devisa bank dan nasabah. Pasal 15 (1) Dalam hal Ekspor dilakukan melalui PJT, ketentuan bagi Eksportir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, dan Pasal 14 berlaku terhadap Pemilik Barang sebagaimana tercantum dalam lembar lanjutan PPE. (2) Dalam hal Ekspor Minyak dan Gas Bumi, ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, dan Pasal 14 berlaku terhadap Eksportir dan/atau Pihak dalam Kontrak Migas. 16 BAB III PENYAMPAIAN INFORMASI, LAPORAN, DAN DOKUMEN PENDUKUNG Bagian Kesatu Penyampaian Informasi dan Dokumen Pendukung DHE SDA Pasal 16 (1) Eksportir harus menyampaikan informasi terkait penerimaan DHE SDA kepada Bank paling lambat tanggal 5 bulan berikutnya setelah DHE SDA diterima yang paling kurang meliputi: a. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) Eksportir; b. nama Eksportir; c. Sandi Kantor Pabean; d. Nomor PPE; e. tanggal PPE; f. jenis valuta DHE SDA; g. jenis valuta PPE; h. nilai DHE SDA; i. Nilai Ekspor; dan j. keterangan. (2) Bank harus menyampaikan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Bank Indonesia dalam laporan rincian transaksi Ekspor, (3) Penyampaian informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku untuk PPE dengan nilai lebih besar dari USD10,000.00 (sepuluh ribu dolar Amerika Serikat) atau ekuivalennya. (4) Dalam hal Eksportir bukan penerima DHE SDA, informasi NPWP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan nama Eksportir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b yaitu NPWP dan nama penerima DHE SDA. (5) Nilai DHE SDA yang dilaporkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h yaitu nilai DHE SDA yang diterima oleh Eksportir melalui Reksus DHE SDA di Bank. 17 (6) Nilai Ekspor yang digunakan oleh Bank Indonesia untuk menghitung selisih kurang antara nilai DHE SDA dan Nilai Ekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, dan Pasal 9, yaitu Nilai Ekspor yang diterima dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC). (7) Dalam hal terdapat perbedaan antara Nilai Ekspor yang disampaikan Eksportir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf i dengan Nilai Ekspor yang diterima Bank Indonesia dari DJBC sebagaimana dimaksud pada ayat (6), Bank Indonesia memutuskan data PPE yang dijadikan acuan pemenuhan ketentuan DHE SDA. Pasal 17 (1) Dokumen Pendukung DHE SDA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b berisi keterangan mengenai penerimaan DHE SDA dalam bentuk uang tunai di dalam negeri. (2) Eksportir harus menyampaikan Dokumen Pendukung DHE SDA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Bank Indonesia paling lambat tanggal 5 pada bulan berikutnya setelah bulan pendaftaran PPE. (3) Penyampaian Dokumen Pendukung DHE SDA kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku untuk PPE dengan nilai lebih besar dari USD10,000.00 (sepuluh ribu dolar Amerika Serikat) atau ekuivalennya. Pasal 18 (1) Dokumen Pendukung DHE SDA untuk cara pembayaran Usance L/C, Konsinyasi, Pembayaran Kemudian, dan/atau Collection sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) yaitu sebagai berikut: a. Usance L/C, dapat berupa fotokopi SWIFT message L/C, bill of lading, dan/atau packing list; b. Konsinyasi, dapat berupa fotokopi dokumen kesepakatan Konsinyasi dan/atau invoice consignee kepada buyer; 18 c. Pembayaran Kemudian, dapat berupa fotokopi dokumen kesepakatan antara Eksportir dan importir; dan d. Collection, dapat berupa fotokopi dokumen kesepakatan jual beli. (2) Eksportir harus menyampaikan Dokumen Pendukung DHE SDA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Bank paling lambat tanggal 5 pada bulan berikutnya setelah bulan pendaftaran PPE. (3) Bank harus menyampaikan Dokumen Pendukung DHE SDA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Bank Indonesia. Pasal 19 (1) Dokumen Pendukung DHE SDA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 berisi keterangan mengenai penyebab selisih kurang antara nilai DHE SDA dan Nilai Ekspor, yaitu: a. untuk selisih kurs, diskon atau rabat, biaya administrasi, dan/atau biaya lainnya terkait perdagangan internasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), dapat berupa invoice, SWIFT message, bukti transfer lainnya dari Bank, dan/atau nota debet (debit note); b. untuk Maklon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3), dapat berupa kesepakatan atau perjanjian dan/atau invoice terkait Maklon; c. untuk Jasa Perbaikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3), dapat berupa kesepakatan atau perjanjian dan/atau invoice terkait Jasa Perbaikan; d. untuk Operational Leasing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3), dapat berupa kesepakatan atau perjanjian sewa guna usaha tanpa hak opsi untuk membeli; e. untuk Financial Leasing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3), dapat berupa kesepakatan 19 atau perjanjian sewa guna usaha dengan hak opsi untuk membeli dan/atau invoice; f. untuk perbedaan harga barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) dan ayat (4), dapat berupa invoice, nota kredit (credit note), nota debet (debit note), dan/atau keterangan dari importir dan/atau lembaga lain terkait nilai barang yang diimpor; dan g. untuk perbedaan kualitas, komposisi, dan/atau kuantitas barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) dan ayat (4), dapat berupa invoice, nota kredit (credit note), nota debet (debit note), certificate of analysis, dan/atau keterangan dari importir dan/atau lembaga lain terkait barang yang diimpor. (2) Eksportir harus menyampaikan Dokumen Pendukung DHE SDA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Bank paling lambat tanggal 5 pada bulan berikutnya setelah DHE SDA diterima. (3) Bank harus menyampaikan Dokumen Pendukung DHE SDA sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Bank Indonesia. Pasal 20 (1) Dokumen Pendukung DHE SDA untuk bukti transaki Netting sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) huruf a dapat berupa rekapitulasi dan rincian Netting report (account receivable/account payable), kesepakatan Netting, fotokopi pemberitahuan pabean impor, dan/atau invoice. (2) Dokumen Pendukung DHE SDA untuk surat pernyataan terkait Netting sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) huruf b berisi informasi yang menegaskan bahwa: a. barang yang diimpor digunakan dalam proses menghasilkan barang Ekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2); dan 20 b. pihak yang melakukan Netting antara tagihan Ekspor dengan kewajiban impor barang terkait kegiatan Ekspor yang bersangkutan berada dalam 1 (satu) grup, dalam hal Netting melibatkan lebih dari 2 (dua) pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2). (3) Surat pernyataan terkait Netting sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat disusun dengan mengacu pada contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. (4) Eksportir harus menyampaikan bukti transaksi Netting sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan surat pernyataan terkait Netting sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan ketentuan sebagai berikut: a. untuk penerimaan DHE SDA melalui Bank maka Eksportir menyampaikan bukti transaksi Netting dan surat pernyataan terkait Netting kepada Bank yang bersangkutan paling lambat tanggal 5 pada bulan berikutnya setelah DHE SDA diterima; dan b. untuk penerimaan DHE SDA tidak melalui Bank maka Eksportir menyampaikan secara langsung bukti transaksi Netting dan surat pernyataan terkait Netting kepada Bank Indonesia paling lambat: 1. tanggal 5 pada bulan keempat setelah bulan pendaftaran PPE; atau 2. tanggal 5 pada bulan berikutnya setelah tanggal jatuh tempo pembayaran. (5) Bank harus menyampaikan bukti transaksi Netting dan surat pernyataan terkait Netting sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a kepada Bank Indonesia. Pasal 21 (1) Dokumen Pendukung DHE SDA untuk importir wanprestasi, pailit, atau mengalami keadaan memaksa (force majeure) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 yaitu sebagai berikut: 21 a. untuk importir wanprestasi atau mengalami keadaan memaksa (force majeure), dapat berupa keterangan dari importir dan/atau lembaga lain yang terkait; dan b. untuk importir pailit, dapat berupa keterangan pailit dari instansi atau pihak yang berwenang di negara tempat kedudukan importir. (2) Eksportir harus menyampaikan Dokumen Pendukung DHE SDA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan ketentuan sebagai berikut: a. untuk penerimaan DHE SDA yang diperjanjikan kurang dari 3 (tiga) bulan setelah bulan pendaftaran PPE, Dokumen Pendukung DHE SDA disampaikan paling lambat akhir bulan ketiga setelah bulan pendaftaran PPE; dan b. untuk penerimaan DHE SDA yang diperjanjikan dengan cara pembayaran menggunakan Usance L/C, Konsinyasi, Pembayaran Kemudian, dan/atau Collection yang jatuh temponya melebihi atau sama dengan 3 (tiga) bulan setelah bulan pendaftaran PPE, Dokumen Pendukung DHE SDA disampaikan paling lama 14 (empat belas) hari kalender setelah tanggal jatuh tempo pembayaran. Pasal 22 (1) Penerimaan DHE SDA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dalam rangka Pembayaran di Muka (Advance Payment) diatur sebagai berikut: a. Eksportir harus menyampaikan keterangan dan data terkait penerimaan DHE SDA kepada Bank paling lambat tanggal 5 pada bulan berikutnya setelah DHE SDA diterima; b. keterangan dan data sebagaimana dimaksud pada huruf a meliputi: 1. NPWP Eksportir; 2. nama Eksportir; dan 22 3. keterangan penerimaan atas Pembayaran di Muka (Advance Payment) baik sebagian maupun secara penuh atas nilai DHE SDA yang diterima; c. setelah barang diekspor, Eksportir harus menyampaikan keterangan dan data terkait Ekspor kepada Bank paling lambat tanggal 5 pada bulan berikutnya setelah bulan pendaftaran PPE; d. keterangan dan data sebagaimana dimaksud pada huruf c meliputi: 1. tanggal PPE; 2. Sandi Kantor Pabean; 3. Nomor PPE; 4. Nilai Ekspor; dan 5. nilai DHE SDA yang merupakan nilai Pembayaran di Muka (Advance Payment) yang telah diselesaikan dengan pengiriman barang; dan e. dalam hal terdapat selisih kurang antara nilai DHE SDA dan Nilai Ekspor terkait pelunasan atas Pembayaran di Muka (Advance Payment), Eksportir harus menyampaikan Dokumen Pendukung DHE SDA yang memadai kepada Bank. (2) Bank harus menyampaikan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf c kepada Bank Indonesia. Pasal 23 Apabila batas akhir penyampaian informasi dan Dokumen Pendukung DHE SDA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) dan Pasal 17 sampai dengan Pasal 22 jatuh pada hari libur, penyampaian informasi, keterangan, dan Dokumen Pendukung DHE SDA dilakukan paling lambat pada Hari berikutnya. Pasal 24 Dalam hal Eksportir, Pemilik Barang, dan Pihak dalam Kontrak Migas tidak menyampaikan Dokumen Pendukung DHE SDA 23 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 sampai dengan Pasal 22 maka: a. b. Eksportir, Pemilik Barang, dan Pihak dalam Kontrak Migas dianggap tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan/atau Pasal 4. Pasal 25 Dalam hal Ekspor dilakukan melalui PJT maka PJT harus: a. menyampaikan fotokopi izin penyelenggaraan jasa titipan dari instansi terkait kepada Bank Indonesia; b. mengisi lembar lanjutan khusus PJT secara akurat sesuai dengan ketentuan kepabeanan yang berlaku; dan c. menyampaikan informasi PPE kepada Pemilik Barang dalam rangka pengisian laporan rincian transaksi Ekspor oleh Pemilik Barang. Pasal 26 Dalam hal Ekspor dilakukan melalui PJT, Pemilik Barang sebagaimana tercantum dalam lembar lanjutan PPE harus menyampaikan informasi, keterangan, dan Dokumen Pendukung DHE SDA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) dan Pasal 17 sampai dengan Pasal 22. Pasal 27 Dalam hal Ekspor Minyak dan Gas Bumi, Eksportir dan/atau Pihak dalam Kontrak Migas harus menyampaikan informasi, keterangan, dan Dokumen Pendukung DHE SDA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) dan Pasal 17 sampai dengan Pasal 22. nilai DHE yang diterima dianggap tidak sesuai dengan Nilai Ekspor; dan 24 Bagian Kedua Penyampaian Informasi untuk Setiap Transfer Dana Masuk dan Transfer Dana Keluar (Outgoing Transfer) Melalui Reksus DHE SDA Pasal 28 (1) Eksportir harus menyampaikan informasi kepada Bank untuk setiap transfer dana masuk dan/atau Transfer Dana Keluar (Outgoing Transfer) melalui Reksus DHE SDA, yang paling kurang meliputi informasi: a. nilai transaksi; b. tujuan transaksi; c. pelaku transaksi; dan d. hubungan keuangan antarpelaku transaksi. (2) Bank harus menyampaikan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Bank Indonesia dalam laporan lalu lintas devisa. Pasal 29 Dalam hal Ekspor dilakukan melalui PJT, ketentuan bagi Eksportir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 berlaku terhadap Pemilik Barang, sebagaimana tercantum dalam lembar lanjutan PPE. Pasal 30 Dalam hal Ekspor Minyak dan Gas Bumi, ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 berlaku terhadap Eksportir dan/atau Pihak dalam Kontrak Migas. Pasal 31 Tata cara penyampaian informasi dan Dokumen Pendukung DHE SDA ke Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada Pasal 16 ayat (2), Pasal 18 ayat (3), Pasal 19 ayat (3), Pasal 20 ayat (5), Pasal 22 ayat (2), dan Pasal 28 ayat (2) mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pemantauan kegiatan lalu lintas devisa bank dan nasabah. 25 BAB IV PENGAWASAN Pasal 32 (1) Bank Indonesia melakukan pengawasan kepada: a. Eksportir, Pemilik Barang, dan/atau Pihak dalam Kontrak Migas; dan b. Bank, terhadap pemenuhan kewajiban penerimaan DHE SDA melalui Reksus DHE SDA dan penggunaan DHE SDA. (2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. pengawasan tidak langsung; dan/atau b. pemeriksaan. (3) Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia dapat: a. meminta penjelasan, bukti, catatan, dan/atau dokumen pendukung, dengan atau tanpa melibatkan instansi terkait; dan b. melakukan kegiatan lainnya yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (4) Dalam hal diperlukan, dalam melakukan pengawasan Bank Indonesia dapat menunjuk pihak lain untuk melakukan penelitian kebenaran dokumen pendukung. Pasal 33 (1) Berdasarkan hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32, Bank Indonesia menyampaikan surat pemantauan pertama kepada Eksportir yang belum memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan/atau Pasal 4. (2) Eksportir harus menindaklanjuti dan/atau memberikan tanggapan atas surat pemantauan pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu sebagaimana tercantum dalam surat pemantauan pertama. (3) Apabila sampai dengan jangka waktu sebagaimana tercantum dalam surat pemantauan pertama Eksportir 26 belum menindaklanjuti dan/atau memberikan tanggapan atas surat pemantauan pertama, Bank Indonesia menyampaikan surat pemantauan kedua. (4) Eksportir harus menindaklanjuti dan/atau memberikan tanggapan atas surat pemantauan kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dalam jangka waktu sebagaimana tercantum dalam surat pemantauan kedua. Pasal 34 (1) Bank Indonesia menyampaikan informasi hasil pengawasan dan pelanggaran yang dilakukan oleh Eksportir, Pemilik Barang, dan/atau Pihak dalam Kontrak Migas yang belum memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan/atau Pasal 4 dan tidak memberikan tanggapan terhadap surat pemantauan kedua sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (4) yang membuktikan pemenuhan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan/atau Pasal 4. (2) Bank Indonesia menyampaikan informasi hasil pengawasan dan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada: a. Kementerian Keuangan c.q. DJBC; dan b. kementerian dan/atau lembaga teknis terkait, untuk ditindaklanjuti sesuai dengan kewenangan masing- masing. (3) Penyampaian informasi hasil pengawasan dan pelanggaran kepada kementerian dan/atau lembaga teknis terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dilakukan sepanjang kementerian dan/atau lembaga teknis terkait dimaksud memiliki ketentuan pelaksanaan atas Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai devisa hasil ekspor dari kegiatan pengusahaan, pengelolaan, dan/atau pengolahan sumber daya alam. Pasal 35 (1) Bank Indonesia menyampaikan surat pemantauan pertama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) 27 dan surat pemantauan kedua sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (3) kepada Eksportir dengan alamat sebagaimana tercantum dalam Nomor Identitas Kepabeanan (NIK) atau informasi lain yang disampaikan oleh Eksportir. (2) Dalam hal Ekspor dilakukan oleh PJT, surat pemantauan pertama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) dan surat pemantauan kedua sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (3) disampaikan kepada Pemilik Barang. (3) Dalam hal Ekspor Minyak dan Gas Bumi, surat pemantauan pertama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) dan surat pemantauan kedua sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (3) disampaikan kepada Eksportir dan/atau Pihak dalam Kontrak Migas. Pasal 36 (1) Eksportir yang telah dikenai sanksi penangguhan atas pelayanan kepabeanan oleh DJBC harus menyampaikan bukti pemenuhan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan/atau Pasal 4 kepada Bank Indonesia. (2) Bukti pemenuhan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa fotokopi SWIFT message, credit advice, rekening koran, dan/atau informasi lain. (3) Dalam hal berdasarkan penelitian Bank Indonesia terhadap bukti pemenuhan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Eksportir tidak melakukan pelanggaran terhadap kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan/atau Pasal 4, Bank Indonesia menyampaikan informasi kepada DJBC dengan tembusan kepada Eksportir. (4) Dalam hal Ekspor dilakukan melalui PJT: a. bukti pemenuhan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh Pemilik Barang kepada Bank Indonesia; dan 28 b. tembusan surat penyampaian informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan oleh Bank Indonesia kepada Pemilik Barang. (5) Dalam hal Ekspor Minyak dan Gas Bumi: a. bukti pemenuhan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh Eksportir dan/atau Pihak dalam Kontrak Migas kepada Bank Indonesia. b. tembusan surat penyampaian informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan oleh Bank Indonesia kepada Eksportir dan/atau Pihak dalam Kontrak Migas. BAB V KORESPONDENSI Pasal 37 (1) Penyampaian surat dan komunikasi dengan Bank Indonesia berkaitan dengan Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini ditujukan kepada: Bank Indonesia Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan c.q. Grup Pengelolaan dan Pengawasan Laporan LLD dan DHE Menara Sjafruddin Prawiranegara Lt.16 Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350 (2) Dalam hal terjadi perubahan alamat korespondensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia memberitahukan perubahan dimaksud melalui surat dan/atau media lainnya. BAB VI KETENTUAN PENUTUP Pasal 38 Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. 29 Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 19 Juli 2019 ANGGOTA DEWAN GUBERNUR, MIRZA ADITYASWARA i PENJELASAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 21/15/PADG/2019 TENTANG PENERIMAAN DEVISA HASIL EKSPOR DARI KEGIATAN PENGUSAHAAN, PENGELOLAAN, DAN/ATAU PENGOLAHAN SUMBER DAYA ALAM I. UMUM Pembangunan ekonomi nasional membutuhkan sumber dana yang memadai dan berkesinambungan, baik yang berasal dari dalam negeri maupun luar negeri. Salah satu sumber pendanaan dari luar negeri yang relatif stabil dan berkesinambungan (sustainable) yaitu DHE yang juga penting untuk mendukung stabilitas nilai rupiah dan makroekonomi secara keseluruhan. Sejalan dengan telah diterbitkannya Peraturan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penerimaan devisa hasil ekspor dari kegiatan pengusahaan, pengelolaan, dan/atau pengolahan sumber daya alam untuk optimalisasi pemanfaatan devisa hasil ekspor, dan untuk meningkatkan kualitas informasi yang diperoleh guna pemantauan kepatuhan DHE yang lebih efektif, perlu disusun ketentuan pelaksanaan mengenai DHE SDA yang mengatur antara lain mengenai kewajiban penerimaan DHE SDA melalui Reksus DHE SDA di Bank. Penyesuaian pengaturan ini tetap berlandaskan pada sistem devisa bebas yang berlaku selama ini yaitu setiap penduduk dapat dengan bebas memiliki dan menggunakan devisa sebagaimana diatur dalam Undang- Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar. 2 II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “wajib diterima melalui Bank pada Reksus DHE SDA” tidak termasuk kewajiban menyimpan dalam jangka waktu tertentu dan/atau mengonversi ke dalam mata uang rupiah. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “diterima dalam bentuk uang tunai” adalah penerimaan DHE SDA dalam bentuk pembayaran uang kertas dan/atau uang logam. Ayat (3) Dokumen Pendukung DHE SDA dinilai memadai apabila menurut Bank Indonesia dokumen yang bersangkutan dapat membuktikan terjadinya penerimaan DHE SDA dalam bentuk uang tunai di dalam negeri dan memenuhi aspek kewajaran untuk dilakukan pembayaran dalam bentuk uang tunai, antara lain dari aspek jumlah dan jenis transaksinya. Contoh: Perusahaan A melakukan ekspor sumber daya alam ke perusahaan B di luar negeri yang pembayarannya diterima dalam uang tunai di dalam negeri untuk disetor ke Bank. Dokumen Pendukung DHE SDA yang diperlukan antara lain tanda terima pembayaran dan/atau fotokopi rekening koran yang menunjukkan penyetoran uang tunai tersebut. Pasal 3 Cukup jelas. 3 Pasal 4 Ayat (1) Contoh: Perusahaan A mengekspor komoditas sumber daya alam ke luar negeri dengan tanggal PPE 6 Mei 2019. Dalam hal ini, perusahaan A wajib menerima DHE SDA melalui Bank pada Reksus DHE SDA paling lambat tanggal 31 Agustus 2019. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Contoh: Importir membuka Usance L/C yang jatuh tempo pembayarannya 180 hari setelah tanggal pengapalan barang yang tercantum dalam bill of lading. Apabila tanggal pengapalan barang 10 Juli 2019 dan tanggal jatuh tempo pembayaran adalah 6 Januari 2020 maka DHE SDA wajib diterima melalui Bank pada Reksus DHE SDA paling lambat tanggal 20 Januari 2020. Huruf b Contoh: Perusahaan B melakukan kontrak jual beli barang Konsinyasi. Barang Konsinyasi dikirim pada bulan Mei 2019 dan terjual pada tanggal 20 November 2019 serta dibayar oleh pembeli sesuai tanggal jatuh tempo pembayaran, yaitu pada tanggal 22 November 2019. Dalam hal ini DHE SDA wajib diterima melalui Bank pada Reksus DHE SDA paling lambat pada tanggal 6 Desember 2019. Huruf c Contoh: Perusahaan C mengirim barang ke luar negeri pada bulan Maret 2019 dengan perjanjian jatuh tempo pembayaran dilakukan pada tanggal 10 September 2019. DHE SDA wajib diterima melalui Bank pada Reksus DHE SDA paling lambat tanggal 24 September 2019. 4 Huruf d Contoh: Perusahaan D mengirim barang ke luar negeri pada bulan Juni 2019 dan mempercayakan bank M di luar negeri untuk melakukan penagihan ke importir. Bank M menerima hasil penagihan pada tanggal 12 November 2019. DHE SDA wajib diterima melalui Bank pada Reksus DHE SDA paling lambat pada tanggal 26 November 2019. Ayat (4) Contoh: Apabila batas waktu penerimaan DHE SDA jatuh pada tanggal 24 Agustus 2019 (hari Sabtu) yang merupakan hari libur maka DHE SDA paling lambat diterima melalui Bank pada Reksus DHE SDA pada hari Senin, tanggal 26 Agustus 2019. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 5 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Contoh: Dalam dokumen PPE, Nilai Ekspor sumber daya alam perusahaan A tercantum sebesar USD500,000.00 (lima ratus ribu dolar Amerika Serikat). Perusahaan A dapat menerima DHE SDA tersebut melalui Bank pada Reksus DHE SDA dalam valuta selain dolar Amerika Serikat, misalnya euro, yen, dan/atau renminbi. Pasal 6 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. 5 Huruf b Contoh: Perusahaan A melakukan Ekspor komoditas batubara dengan Nilai Ekspor sebesar USD800,000.00 (delapan ratus ribu dolar Amerika Serikat). DHE SDA yang diterima sebesar USD750,000.00 (tujuh ratus lima puluh ribu dolar Amerika Serikat) karena adanya perbedaan kualitas barang. Dengan demikian terdapat selisih kurang sebesar USD50,000.00 (lima puluh ribu dolar Amerika Serikat) atau sebesar 6,25% (enam koma dua puluh lima persen) dari Nilai Ekspor. Mengingat selisih kurang nilai DHE SDA dan Nilai Ekspor kurang dari 10% (sepuluh persen) maka nilai DHE SDA yang diterima dianggap sesuai dengan Nilai Ekspor dan perusahaan A tidak perlu menyampaikan Dokumen Pendukung DHE SDA. Ayat (2) Dokumen Pendukung DHE SDA dinilai memadai apabila menurut Bank Indonesia dokumen tersebut dapat membuktikan terjadinya selisih kurang antara nilai DHE SDA dan Nilai Ekspor, yang disebabkan oleh selisih kurs, diskon atau rabat, biaya administrasi, dan/atau biaya lainnya terkait perdagangan internasional. Contoh: Perusahaan B melakukan ekspor dengan nilai yang tercantum di dokumen PPE sebesar USD180,000.00 (seratus delapan puluh ribu dolar Amerika Serikat). DHE SDA yang diterima sebesar USD170,000.00 (seratus tujuh puluh ribu dolar Amerika Serikat) setelah dipotong biaya administrasi, rabat, dan biaya transportasi barang dengan total sebesar USD10,000.00 (sepuluh ribu dolar Amerika Serikat) atau 5,9% dari Nilai Ekspor. Kurs tengah Bank Indonesia pada akhir bulan pendaftaran PPE yaitu Rp14.500,00/USD maka selisih kurang antara nilai DHE SDA dan Nilai Ekspor dalam rupiah adalah sebesar ((USD170,000.00 x Rp14.500,00/USD) – (USD180,000.00 x Rp14.500,00/USD)) = Rp145.000.000,00. Dalam hal ini, penerimaan DHE SDA dianggap sesuai dengan Nilai Ekspor apabila perusahaan B menyampaikan Dokumen Pendukung DHE SDA yang dapat 6 membuktikan adanya biaya administrasi, rabat, dan biaya transportasi barang. Ayat (3) Dokumen Pendukung DHE SDA dinilai memadai apabila menurut Bank Indonesia dokumen tersebut dapat membuktikan terjadinya selisih kurang antara nilai DHE SDA dan Nilai Ekspor, yang disebabkan oleh Maklon, Jasa Perbaikan, Operational Leasing, Financial Leasing, perbedaan harga barang, perbedaan kualitas barang, perbedaan komposisi barang, dan/atau perbedaan kuantitas barang. Contoh: Perusahaan C menerima DHE SDA sebesar USD534,000.00 (lima ratus tiga puluh empat ribu dolar Amerika Serikat) atas pengiriman barang dengan Nilai Ekspor sebesar USD540,000.00 (lima ratus empat puluh ribu dolar Amerika Serikat). Dengan demikian terdapat selisih sebesar USD6,000.00 (enam ribu dolar Amerika Serikat). Selisih sebesar USD6,000.00 (enam ribu dolar Amerika Serikat) tersebut berasal dari perbedaan harga barang pada saat perjanjian Ekspor dengan harga pada saat barang diterima yaitu USD3,000.00 (tiga ribu dolar Amerika Serikat) dan perbedaan kualitas barang yaitu USD3,000.00 (tiga ribu dolar Amerika Serikat). Kurs tengah Bank Indonesia pada akhir bulan pendaftaran PPE yaitu Rp14.250,00/USD maka selisih kurang antara nilai DHE SDA dan Nilai Ekspor dalam rupiah adalah sebesar ((USD540,000.00 x Rp14.250,00/USD) – (USD534,000.00 x Rp14.250,00/USD)) = Rp85.500.000,00. Mengingat selisih kurang nilai DHE SDA dengan Nilai Ekspor dalam rupiah lebih besar dari Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) maka penerimaan DHE SDA dianggap sesuai dengan Nilai Ekspor apabila perusahaan C menyampaikan Dokumen Pendukung DHE SDA yang membuktikan perbedaan harga barang dan perbedaan kualitas barang. Ayat (4) Dokumen Pendukung DHE SDA dinilai memadai apabila menurut Bank Indonesia dokumen tersebut dapat membuktikan terjadinya selisih kurang antara nilai DHE SDA dan Nilai Ekspor, 7 yang disebabkan oleh perbedaan harga, kualitas, komposisi, dan/atau kuantitas barang. Contoh: Perusahaan D melakukan ekspor komoditas timah dengan Nilai Ekspor sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat). DHE SDA yang diterima sebesar USD850,000.00 (delapan ratus lima puluh ribu dolar Amerika Serikat) karena adanya perbedaan perkiraan harga barang sewaktu pengisian PPE dengan realisasi harga saat barang dibayar oleh importir. Dengan demikian terdapat selisih kurang sebesar USD150,000.00 (seratus lima puluh ribu dolar Amerika Serikat) atau sebesar 15% (lima belas persen) dari Nilai Ekspor. Mengingat selisih kurang nilai DHE SDA dan Nilai Ekspor lebih besar dari 10% (sepuluh persen) maka nilai DHE SDA yang diterima dianggap sesuai dengan Nilai Ekspor apabila perusahaan D menyampaikan Dokumen Pendukung DHE SDA yang memadai. Pasal 7 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Pihak yang berada dalam 1 (satu) grup merupakan badan hukum atau badan lain yang memiliki hubungan berdasarkan kepemilikan dan/atau pemegang saham yang sama. Ayat (3) Huruf a Bukti transaksi Netting dapat berupa antara lain kesepakatan penyelesaian Netting tagihan Ekspor dengan kewajiban impor barang terkait kegiatan Ekspor yang bersangkutan, laporan konsolidasi Netting tagihan Ekspor dengan kewajiban impor barang dan invoice. Bukti transaksi Netting dinilai memadai apabila menurut penilaian Bank Indonesia dokumen tersebut dapat membuktikan adanya Netting yang diperbolehkan. Huruf b Cukup jelas. 8 Pasal 8 Ayat (1) Dokumen pendukung dinilai memadai apabila menurut Bank Indonesia dokumen yang bersangkutan dapat membuktikan kondisi importir wanprestasi, pailit, atau mengalami keadaan memaksa (force majeure). Ayat (2) Dokumen pendukung dinilai memadai apabila menurut Bank Indonesia dokumen tersebut dapat membuktikan kondisi importir wanprestasi, pailit, atau mengalami keadaan memaksa (force majeure). Pasal 9 Ayat (1) Contoh: Perusahaan B melakukan ekspor sumber daya alam pada tanggal 2 Juli 2019 sebesar EUR50,000.00 (lima puluh ribu euro) dan menerima DHE SDA pada tanggal 16 Agustus 2019 sebesar EUR40,000.00 (empat puluh ribu euro). Dalam hal ini, selisih kurang antara nilai DHE SDA dan Nilai Ekspor dengan menggunakan kurs tengah Bank Indonesia pada tanggal 31 Juli 2019 (misalnya Rp16.000,00/EUR) yaitu sebesar ((EUR50,000.00 x Rp16.000,00/EUR) – (EUR40,000.00 x Rp16.000,00/EUR)) = Rp160.000.000,00. Ayat (2) Contoh: Perusahaan C melakukan ekspor sumber daya alam pada tanggal 15 Juli 2019 sebesar EUR50,000.00 (lima puluh ribu euro) dan menerima DHE SDA pada tanggal 22 Agustus 2019 sebesar AUD40,000.00 (empat puluh ribu dolar Australia). Dalam hal ini, selisih kurang antara nilai DHE SDA dan Nilai Ekspor dengan menggunakan kurs tengah Bank Indonesia tanggal 31 Juli 2019 (misalnya Rp10.000,00/AUD dan Rp16.000,00/EUR) yaitu sebesar ((EUR50,000.00 x Rp16.000,00/EUR) – (AUD40,000.00 x Rp10.000,00/AUD)) = Rp400.000.000,00. 9 Ayat (3) Contoh: Perusahaan D melakukan ekspor sumber daya alam pada tanggal 20 Juli 2019 sebesar INR5,000,000.00 (lima juta rupee India) dan menerima DHE SDA pada tanggal 23 Agustus 2019 sebesar INR4,000,000.00 (empat juta rupee India). Berdasarkan kurs tengah Reuters pada tanggal 31 Juli 2019 (USD0.015/INR) dihitung Nilai Ekspor sebesar (INR5,000,000.00 x USD0.015/INR) = USD75,000.00 dan nilai DHE SDA sebesar (INR4,000,000.00 x USD0.015/INR) = USD60,000.00. Dalam hal ini selisih kurang antara nilai DHE SDA dan Nilai Ekspor dengan menggunakan kurs tengah Bank Indonesia tanggal 31 Juli 2019 (Rp16.000,00/USD) yaitu sebesar ((USD75,000.00 x Rp16.000,00/USD)) – (USD60,000.00 x Rp16.000,00/USD)) = Rp240.000.000,00. Pasal 10 Ayat (1) Contoh: PJT melakukan Ekspor barang milik perusahaan A. Dalam hal ini, ketentuan bagi Eksportir berlaku terhadap perusahaan A. Ayat (2) Contoh 1: Dalam kontrak kerja sama minyak bumi, perusahaan B berperan sebagai operator, sementara perusahaan C dan perusahaan D berperan sebagai participating interest. Untuk setiap Ekspor minyak bumi, PPE diterbitkan atas nama masing-masing perusahaan sesuai dengan hasil lifting-nya. Dalam hal ini, ketentuan bagi Eksportir berlaku terhadap perusahaan B, perusahaan C, dan perusahaan D, selaku Eksportir. Contoh 2: Dalam kontrak kerja sama gas bumi, perusahaan E berperan sebagai operator, sementara perusahaan F dan perusahaan G berperan sebagai participating interest. Untuk setiap Ekspor gas bumi yang merupakan hasil joint lifting ketiga perusahaan tersebut, PPE diterbitkan atas nama perusahaan E. Dalam hal ini, ketentuan bagi Eksportir berlaku terhadap perusahaan E selaku 10 Eksportir sekaligus Pihak dalam Kontrak Migas serta perusahaan F dan perusahaan G selaku Pihak dalam Kontrak Migas. Contoh 3: Dalam kontrak kerja sama gas bumi, perusahaan H berperan sebagai operator, sementara perusahaan I dan perusahaan J berperan sebagai participating interest. Untuk setiap Ekspor gas bumi yang merupakan hasil joint lifting ketiga perusahaan tersebut, PPE diterbitkan atas nama perusahaan K selaku Eksportir yang tidak memiliki hak atas hasil lifting. Dalam hal ini, ketentuan bagi Eksportir berlaku terhadap perusahaan H, perusahaan I, dan perusahaan J, selaku Pihak dalam Kontrak Migas. Pasal 11 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Rekening lainnya dapat berupa produk simpanan lainnya dari Bank yang dapat digunakan untuk melakukan transaksi. Ayat (3) Contoh: Perusahaan W, Eksportir timah, telah memiliki rekening giro di Bank R yang digunakan untuk menampung semua penerimaan, termasuk Ekspor timah. Dalam memenuhi ketentuan, perusahaan W dapat: 1. membuka rekening baru yang diperuntukkan sebagai Reksus DHE SDA; atau 2. menggunakan rekening giro di Bank R sebagai Reksus DHE SDA sehingga penerimaan selain dari DHE SDA tidak diperbolehkan menggunakan rekening giro ini. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Contoh: Perusahaan V, Eksportir batubara, berencana membuka rekening baru yang khusus untuk menampung DHE SDA-nya di Bank P 11 Dalam hal ini, perusahaan V diperbolehkan untuk memiliki lebih dari satu Reksus DHE SDA, baik di Bank P maupun Bank lain. Ayat (6) Bank memastikan Nasabah yang akan melakukan pembukaan Reksus DHE SDA merupakan Eksportir berdasarkan dokumen pendukung yang disampaikan oleh Eksportir pada saat mengajukan permohonan pembukaan Reksus DHE SDA. Ayat (7) Penanda khusus (flag) dapat berupa antara lain pada nama rekening atau nomor rekening. Pasal 12 Ayat (1) Huruf a Dokumen yang dapat menunjukkan Ekspor atas hasil pengusahaan, pengelolaan, dan/atau pengolahan sumber daya alam dapat berupa antara lain dokumen PPE, surat izin Ekspor dari instansi terkait, dan kontrak penjualan Ekspor. Termasuk dalam PPE yaitu Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB). Huruf b Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 13 Ayat (1) Huruf a Contoh: Perusahaan D melakukan Ekspor sumber daya alam pada tanggal 7 Juli 2019 kepada importir K di Singapura senilai USD500,000.00 (lima ratus ribu dolar Amerika Serikat). Pembayaran pertama oleh importir K melalui bank E di Singapura sebesar USD100,000.00 (seratus ribu dolar Amerika Serikat) diterima perusahaan D melalui Bank F di Jakarta pada tanggal 1 Agustus 2019. Sisanya sebesar USD400,000.00 (empat ratus ribu dolar Amerika Serikat) 12 dibayar importir K melalui bank E di Singapura dan diterima PT D melalui Bank F di Jakarta pada tanggal 1 September 2019. Dalam hal ini, penerimaan DHE SDA pada tanggal 1 Agustus 2019 dan 1 September 2019 wajib dilakukan melalui Reksus DHE SDA di Bank F. Huruf b Contoh: Perusahaan I pada tanggal 5 Januari 2020 memiliki Reksus DHE SDA di Bank J di Jakarta dengan saldo sebesar USD125,000.00 (seratus dua puluh lima ribu dolar Amerika Serikat). Pada tanggal yang sama perusahaan membuka deposito senilai USD100,000.00 (seratus ribu dolar Amerika Serikat) dengan jangka waktu 1 (satu) bulan dengan bunga 3% (tiga persen) per tahun di bank yang sama, yang dananya bersumber dari Reksus DHE SDA. Pada saat pencairan yaitu tanggal 5 Februari 2020, nilai pokok deposito dan bunganya masing-masing sebesar USD100,000.00 (seratus ribu dolar Amerika Serikat) dan USD250.00 (dua ratus lima puluh dolar Amerika Serikat), dapat dimasukkan kembali ke Reksus DHE SDA. Huruf c Contoh: Perusahaan K memiliki 2 (dua) Reksus DHE SDA, yaitu di Bank J Jakarta dan Bank L di Bandung dengan saldo akhir bulan Agustus 2019 masing-masing sebesar USD150,000.00 (seratus lima puluh ribu dolar Amerika Serikat) dan USD20,000.00 (dua puluh ribu dolar Amerika Serikat). Dalam hal ini, perpindahan dana antar-Reksus DHE SDA milik perusahaan K di dua Bank berbeda diperbolehkan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Dokumen pendukung dapat berupa antara lain dokumen PPE berupa PEB, dokumen Nota Pelayanan Ekspor (NPE), kontrak penjualan Ekspor, dan surat pernyataan dari Eksportir. 13 Ayat (4) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Contoh: Perusahaan L memiliki 2 (dua) rekening di Bank C, yaitu rekening umum yang dapat menampung semua transfer dana masuk dan Reksus DHE SDA. Pada tanggal 7 Maret 2020, perusahaan L menerima DHE SDA sebesar USD350,000.00 (tiga ratus lima puluh ribu dolar Amerika Serikat) di rekening umum atas Ekspor yang dilakukan pada bulan Februari 2020. Untuk memenuhi ketentuan Bank Indonesia, perusahaan L harus memindahkan dana sebesar USD350,000.00 (tiga ratus lima puluh ribu dolar Amerika Serikat) tersebut dari rekening umum ke Reksus DHE SDA, dengan disertai dokumen pendukung yang dapat membuktikan dana masuk tersebut berasal dari DHE SDA. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 14 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Contoh: Perusahaan J melakukan Transfer Dana Keluar (Outgoing Transfer) melalui Bank G sebesar USD225,000,000.00 (dua ratus dua puluh lima juta dolar Amerika Serikat) untuk pembayaran impor. Jika tanggal valuta yaitu tanggal 20 Agustus 2019 maka Dokumen Pendukung Outgoing Transfer untuk transaksi 14 pembayaran impor harus disampaikan perusahaan J sebelum pelaksanaan penyelesaian transaksi pada tanggal valuta. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Pada saat ketentuan Bank Indonesia ini berlaku, threshold Transfer Dana Keluar (Outgoing Transfer) sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pemantauan kegiatan lalu lintas devisa bank dan nasabah yaitu USD100,000.00 (seratus ribu dolar Amerika Serikat). Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. 15 Huruf j Yang dimaksud dengan “keterangan” antara lain mengenai penyebab selisih antara nilai DHE SDA yang diterima dengan Nilai Ekspor. Contoh: Perusahaan Q menerima DHE SDA melalui Bank pada Reksus DHE SDA tanggal 17 Juli 2019. Dalam hal ini, perusahaan Q harus menyampaikan informasi terkait penerimaan DHE SDA tersebut kepada Bank paling lambat tanggal 5 Agustus 2019. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Contoh 1: Eksportir yaitu perusahaan A, perusahaan B, dan perusahaan C. Perusahaan D, selaku holding company yang berkedudukan di Indonesia, menerima DHE SDA yang berasal dari 3 (tiga) perusahaan tersebut. Dalam hal ini, NPWP dan nama yang dilaporkan dalam pelaporan DHE melalui Bank yaitu NPWP dan nama perusahaan D. Contoh 2: Perusahaan D dan perusahaan E menerima DHE SDA melalui Bank yang berasal dari satu PPE atas nama PJT DN. NPWP dan nama yang dilaporkan dalam pelaporan DHE melalui Bank masing-masing adalah NPWP dan nama perusahaan D dan perusahaan E. Contoh 3: Perusahaan F selaku operator serta perusahaan G dan perusahaan H selaku participating interest dalam kontrak kerja sama Minyak dan Gas Bumi menerima DHE SDA melalui Bank yang berasal dari satu PPE atas nama perusahaan F. NPWP dan nama yang dilaporkan dalam pelaporan DHE melalui Bank masing-masing yaitu NPWP dan nama perusahaan F, perusahaan G, dan perusahaan H. 16 Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Pasal 17 Ayat (1) Dokumen Pendukung DHE SDA antara lain berupa fotokopi tanda terima pembayaran dan/atau fotokopi rekening koran yang menunjukkan penyetoran uang tunai ke Bank. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Huruf a Penerimaan DHE SDA melalui Bank terjadi dalam hal terdapat penerimaan DHE SDA karena tagihan ekspor yang diterima lebih besar dari kewajiban impor yang dibayarkan oleh Eksportir. 17 Huruf b Penerimaan DHE SDA tidak melalui Bank terjadi dalam hal tidak terdapat penerimaan DHE SDA karena tagihan ekspor lebih kecil atau sama dengan kewajiban impor yang dibayarkan oleh Eksportir Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas. 18 Pasal 31 Cukup jelas. Pasal 32 Cukup jelas. Pasal 33 Cukup jelas. Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Cukup jelas. Pasal 36 Cukup jelas. Pasal 37 Cukup jelas. Pasal 38 Cukup jelas. "," PADG 21/15/PADG/2019 PENERIMAAN DEVISA HASIL EKSPOR DARI KEGIATAN PENGUSAHAAN, PENGELOLAAN, DAN/ATAU PENGOLAHAN SUMBER DAYA ALAM 19 Juli 2019 19 Juli 2019 '21/3/PBI/2019' " " PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 19/19/PADG/2017 TENTANG PENYETORAN DAN PENARIKAN UANG RUPIAH OLEH BANK DI BANK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa guna meningkatkan kualitas uang rupiah yang beredar di masyarakat, perbankan perlu meningkatan efektivitas dan efisiensi manajemen kas dengan mengoptimalkan pengolahan uang rupiah; b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan Anggota Dewan Gubernur tentang Penyetoran dan Penarikan Uang Rupiah oleh Bank di Bank Indonesia; Mengingat : Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/7/PBI/2012 tentang Pengelolaan Uang Rupiah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5323); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG PENYETORAN DAN PENARIKAN UANG RUPIAH OLEH BANK DI BANK INDONESIA. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang dimaksud dengan: 1. Uang Rupiah adalah rupiah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai mata uang. 2. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan dan bank umum syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah. 3. Penyelenggara Jasa Pengolahan Uang Rupiah yang selanjutnya disingkat PJPUR adalah penyelenggara jasa pengolahan uang rupiah sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggara jasa pengolahan uang rupiah. 4. Penyetoran Uang Rupiah yang selanjutnya disebut Penyetoran adalah kegiatan Bank melakukan penyetoran Uang Rupiah ke Bank Indonesia. 5. Uang Rupiah Layak Edar yang selanjutnya disebut ULE adalah Uang Rupiah yang kondisinya sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. 6. Uang Rupiah Tidak Layak Edar selanjutnya disebut UTLE adalah Uang Rupiah yang terdiri atas Uang Rupiah lusuh, Uang Rupiah cacat, dan Uang Rupiah rusak. 7. Penarikan Uang Rupiah yang selanjutnya disebut Penarikan adalah kegiatan Bank melakukan penarikan ULE dari Bank Indonesia. 8. Uang Rupiah Kertas adalah Uang Rupiah dalam bentuk lembaran yang terbuat dari kertas uang. 9. Uang Rupiah Logam adalah Uang Rupiah dalam bentuk koin yang terbuat dari logam uang. 10. Uang Rupiah Lusuh adalah Uang Rupiah yang ukuran dan bentuk fisiknya tidak berubah dari ukuran aslinya, tetapi kondisinya telah berubah karena jamur, minyak, bahan kimia, coretan, atau sebab lainnya. 11. Uang Rupiah Cacat adalah Uang Rupiah hasil cetak yang spesifikasi teknisnya tidak sesuai dengan yang telah ditetapkan oleh Bank Indonesia. 12. Uang Rupiah Rusak adalah Uang Rupiah yang: a. ukuran atau fisiknya telah berubah dari aslinya karena terbakar, berlubang, atau hilang sebagian; b. ukuran atau fisiknya berbeda dengan aslinya karena robek atau mengerut; c. rusak minor; atau d. rusak karena sebab lainnya. 13. Uang Rupiah Rusak Minor adalah Uang Rupiah Rusak dengan kriteria yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. 14. Posisi Long adalah suatu kondisi pada saat Bank mengalami kelebihan likuiditas ULE dalam periode tertentu yang merupakan selisih antara saldo kas Bank yang tersedia untuk setiap pecahan tertentu dikurangi dengan kebutuhan kas Bank. 15. Posisi Short adalah suatu kondisi pada saat Bank mengalami kekurangan likuiditas ULE dalam periode tertentu yang merupakan selisih antara saldo kas Bank yang tersedia untuk setiap pecahan tertentu dikurangi dengan kebutuhan kas Bank. 16. Posisi Square adalah suatu kondisi pada saat Bank tidak mengalami Posisi Long atau Posisi Short. 17. Posisi Net Long adalah suatu kondisi pada saat Posisi Long seluruh Bank lebih besar dibandingkan dengan Posisi Short seluruh Bank untuk pecahan tertentu pada hari kerja yang sama di wilayah kerja kantor Bank Indonesia setempat. 18. Posisi Net Short adalah suatu kondisi dimana Posisi Short seluruh Bank lebih besar dibandingkan dengan Posisi Long seluruh Bank untuk pecahan tertentu pada hari kerja yang sama di wilayah kerja kantor Bank Indonesia setempat. 19. Hari Kerja adalah hari kerja sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia. 20. Transaksi Uang Kartal Antar-Bank yang selanjutnya disebut TUKAB adalah kegiatan antar-Bank yang meliputi permintaan, penawaran, dan penukaran ULE untuk memenuhi kebutuhan jumlah nominal dan/atau jenis pecahan Uang Rupiah. BAB II PRINSIP UMUM DAN PERSYARATAN PENYETORAN DAN PENARIKAN UANG RUPIAH Bagian Kesatu Prinsip Umum Penyetoran dan Penarikan Uang Rupiah Pasal 2 (1) Penyetoran dan Penarikan dilakukan oleh Bank yang memiliki rekening giro di Bank Indonesia. (2) Bank hanya dapat melakukan 1 (satu) kali Penyetoran dan/atau 1 (satu) kali Penarikan dalam 1 (satu) Hari Kerja. (3) Dalam hal Bank melakukan Penyetoran dan Penarikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), berlaku ketentuan sebagai berikut: a. Penyetoran ULE hanya dapat dilakukan terhadap jenis pecahan yang berbeda dengan Penarikan; dan b. Penyetoran Uang Rupiah Lusuh, Uang Rupiah Rusak Minor, dan/atau Uang Rupiah yang dicabut dan ditarik dari peredaran dapat dilakukan terhadap jenis pecahan yang sama atau berbeda dengan Penarikan. (4) Penyetoran dan/atau Penarikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan oleh kantor Bank dalam wilayah kerja yang sama dengan kantor Bank Indonesia setempat. (5) Bank harus menunjuk 1 (satu) kantor Bank di setiap wilayah kerja Bank Indonesia sebagai koordinator Bank tersebut untuk melakukan Penyetoran dan/atau Penarikan. (6) Bank harus mengoptimalkan TUKAB sebelum melakukan Penyetoran dan/atau Penarikan ke Bank Indonesia. (7) Bank dapat menunjuk PJPUR yang telah memiliki izin dari Bank Indonesia untuk melakukan Penyetoran dan/atau Penarikan di Bank Indonesia. (8) PJPUR dapat untuk melakukan Penyetoran dan/atau Penarikan untuk lebih dari 1 (satu) Bank. Bagian Kedua Persyaratan Umum Penyetoran dan Penarikan Pasal 3 Dalam melaksanakan Penyetoran dan Penarikan, diatur ketentuan sebagai berikut: a. Petugas Bank atau petugas PJPUR harus memperlihatkan tanda pengenal dan surat tugas atau surat penunjukan kepada petugas Bank Indonesia pada saat melakukan Penyetoran dan/atau Penarikan. b. Bank atau PJPUR harus memenuhi aspek keamanan dalam melakukan Penyetoran dan/atau Penarikan. c. Bank Indonesia hanya melayani kegiatan Penyetoran dan/atau Penarikan selama waktu layanan kas. d. Bank atau PJPUR dilarang melakukan kegiatan selain Penyetoran dan/atau Penarikan di lingkungan kantor Bank Indonesia. e. Bank Indonesia menetapkan standardisasi kualitas Uang Rupiah yang digunakan sebagai pedoman bagi Bank dan/atau PJPUR. Bagian Ketiga Persyaratan Penyetoran Pasal 4 Uang Rupiah yang akan disetor harus dipilah antara ULE dengan UTLE sesuai dengan standardisasi kualitas Uang Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf e. Pasal 5 (1) Bank hanya dapat menyetorkan UTLE berupa Uang Rupiah Lusuh dan Uang Rupiah Rusak Minor, dan/atau Uang Rupiah yang dicabut dan ditarik dari peredaran ke Bank Indonesia. (2) Uang Rupiah selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditukarkan kepada Bank Indonesia dengan mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penukaran uang rupiah. (3) Uang Rupiah yang dicabut dan ditarik dari peredaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berjumlah kurang dari 1 (satu) brood dapat ditukarkan kepada Bank Indonesia dengan mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penukaran uang rupiah. (4) Bank yang menyetorkan UTLE dan Uang Rupiah yang dicabut dan ditarik dari peredaran, yang memiliki Posisi Short dapat melakukan Penarikan jenis pecahan yang sama atau berbeda dalam 1 (satu) Hari Kerja. Pasal 6 (1) Bank harus menyerahkan warkat Penyetoran paling lambat 30 (tiga puluh) menit sebelum berakhirnya batas waktu layanan kas. (2) Dalam hal pada 1 (satu) waktu Bank melakukan Penyetoran ULE dan UTLE serta Uang Rupiah yang dicabut dan ditarik dari peredaran, Bank harus menyerahkan 1 (satu) warkat untuk masing-masing Penyetoran. Pasal 7 Bank yang melakukan Penyetoran wajib memenuhi jumlah Penyetoran dengan ketentuan sebagai berikut: a. ULE yang berupa Uang Rupiah Kertas paling sedikit 10 (sepuluh) brood, untuk setiap jenis pecahan; b. UTLE dan Uang Rupiah yang dicabut dan ditarik dari peredaran yang berupa Uang Rupiah Kertas paling sedikit 1 (satu) brood, untuk setiap jenis pecahan; dan/atau c. ULE dan UTLE serta Uang Rupiah yang dicabut dan ditarik dari peredaran yang berupa Uang Rupiah Logam paling sedikit 1 (satu) kemasan plastik transparan, untuk setiap jenis pecahan. Bagian Keempat Persyaratan Penarikan Pasal 8 (1) Bank Indonesia dapat menetapkan jenis pecahan dan jumlah nominal dari masing-masing jenis pecahan Uang Rupiah yang dapat ditarik oleh Bank. (2) Bank yang melakukan Penarikan wajib memenuhi jumlah Penarikan dengan ketentuan sebagai berikut: a. Uang Rupiah Kertas paling sedikit 10 (sepuluh) brood, untuk setiap jenis pecahan; dan/atau b. Uang Rupiah Logam paling sedikit 10 (sepuluh) kemasan plastik transparan, untuk setiap jenis pecahan. Bagian Kelima Penyortiran, Penghitungan, dan Pengemasan Uang Rupiah Pasal 9 (1) Penyortiran, penghitungan, dan pengemasan Uang Rupiah Kertas yang disetorkan ke Bank Indonesia wajib dilakukan dengan tata cara sebagai berikut: a. disortir menurut jenis pecahan dan tahun emisi serta disusun searah; b. setiap 100 (seratus) lembar diikat menjadi 1 (satu) pak dengan menggunakan ban uang Bank tersebut serta dibubuhi stempel nama Bank dan/atau PJPUR, tanggal pengolahan, dan paraf atau kode petugas Bank dan/atau PJPUR; c. setiap 10 (sepuluh) pak diikat menjadi 1 (satu) brood; d. setiap 10 (sepuluh) brood dikemas dalam kemasan plastik transparan dan diberikan segel serta label yang dibubuhkan stempel nama Bank dan/atau PJPUR; dan e. label Bank diisi dengan informasi: 1. nama Bank; 2. tanggal Penyetoran; 3. kode ULE, UTLE, dan/atau Uang Rupiah Rusak Minor; 4. jenis pecahan dan tahun emisi; 5. jumlah nominal; dan 6. tanda tangan atau kode petugas Bank dan/atau PJPUR. (2) Penyortiran, penghitungan, dan pengemasan Uang Rupiah Logam yang akan disetorkan ke Bank Indonesia dilakukan dengan tata cara sebagai berikut: a. disortir menurut jenis pecahan dan tahun emisi; b. setiap 500 (lima ratus) keping dikemas dalam kemasan plastik transparan dan diberikan segel serta label yang dibubuhkan stempel nama Bank dan/atau PJPUR; dan c. label Bank diisi dengan informasi: 1. nama Bank; 2. tanggal Penyetoran; 3. kode ULE dan/atau UTLE; 4. jenis pecahan dan tahun emisi; 5. jumlah nominal; dan 6. tanda tangan atau kode petugas Bank dan/atau PJPUR. BAB III RENCANA PENYETORAN DAN PENARIKAN UANG RUPIAH Pasal 10 (1) Bank harus menyampaikan rencana Penyetoran dan/atau Penarikan kepada Bank Indonesia paling lambat 1 (satu) Hari Kerja sebelumnya. (2) Penyampaian rencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui Bank Indonesia sistem informasi layanan kas dengan mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan Bank Indonesia sistem informasi layanan kas. (3) Dalam hal Bank Indonesia sistem informasi layanan kas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengalami gangguan maka Bank harus menyampaikan rencana Penyetoran dan/atau Penarikan melalui surat atau surat elektronik. Pasal 11 (1) Bank hanya dapat melakukan perubahan rencana Penyetoran dan/atau Penarikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) paling banyak 10% (sepuluh persen) dari jumlah nominal untuk masing-masing jenis pecahan setelah Bank terlebih dahulu mengoptimalkan TUKAB. (2) Bank menyampaikan surat permintaan perubahan rencana Penyetoran dan/atau Penarikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Bank Indonesia dengan ketentuan sebagai berikut: a. perubahan disertai dengan alasan yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan; b. perubahan ditandatangani oleh pejabat Bank yang berwenang; dan c. perubahan disampaikan dalam batas waktu yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (3) Bank menyampaikan perubahan rencana Penyetoran dan/atau Penarikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melalui surat atau surat elektronik. (4) Perubahan rencana Penyetoran dan/atau Penarikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan paling banyak 2 (dua) kali dalam 1 (satu) bulan. Pasal 12 (1) Bank dapat melakukan pembatalan terhadap rencana Penyetoran dan/atau Penarikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) sepanjang disetujui oleh Bank Indonesia. (2) Bank menyampaikan surat permohonan pembatalan rencana Penyetoran dan/atau Penarikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan ketentuan sebagai berikut: a. pembatalan disertai dengan alasan yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan; b. pembatalan ditandatangani oleh pejabat Bank paling rendah kepala satuan kerja yang memiliki fungsi cash management atau pemimpin kantor cabang Bank; dan c. pembatalan disampaikan dalam batas waktu yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (3) Bank tetap melakukan Penyetoran dan/atau Penarikan dalam hal pemberitahuan pembatalan terhadap rencana Penyetoran dan/atau Penarikan sebagaimana pada ayat (1) tidak disetujui oleh Bank Indonesia. BAB IV TATA CARA PENYETORAN DAN PENARIKAN UANG RUPIAH Bagian Kesatu Tata Cara Penyetoran Pasal 13 (1) Bank melakukan Penyetoran ULE dan/atau UTLE dan Uang Rupiah yang dicabut dan ditarik dari peredaran kepada Bank Indonesia sesuai dengan rencana Penyetoran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) atau perubahan rencana Penyetoran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3). (2) Bank yang telah melakukan Penyetoran ULE sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat melakukan Penarikan dengan jenis pecahan yang sama selama 3 (tiga) Hari Kerja setelah Bank melakukan Penyetoran ULE tersebut. (3) Bank tidak dapat melakukan Penarikan untuk suatu jenis pecahan dalam hal terdapat Bank lain yang melakukan Penyetoran ULE yang sama dengan jenis pecahan tersebut. Pasal 14 (1) Bank Indonesia melakukan penghitungan secara garis besar atas Uang Rupiah yang disetorkan oleh Bank di loket setoran Bank Indonesia, dengan disaksikan oleh petugas Bank atau PJPUR. (2) Bank Indonesia dapat melakukan pengujian kebenaran jumlah terhadap setoran Uang Rupiah dari Bank di loket setoran Bank Indonesia dalam hal berdasarkan data hasil penghitungan ulang secara rinci terhadap setoran Uang Rupiah sebelumnya, ditemukan selisih kurang dan/atau selisih lebih melebihi jumlah yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (3) Bank dilarang melakukan Penyetoran yang di dalamnya terdapat campuran antara ULE dan UTLE melebihi 10% (sepuluh persen) dari jumlah Uang Rupiah yang disetorkan untuk masing-masing jenis pecahan. Pasal 15 (1) Bank Indonesia melakukan penghitungan ulang secara rinci terhadap setoran Uang Rupiah yang diterima dari Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1). (2) Petugas Bank atau PJPUR dapat menyaksikan penghitungan ulang secara rinci yang dilakukan oleh Bank Indonesia dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan tertulis dan mendapat persetujuan dari Bank Indonesia. (3) Petugas Bank atau PJPUR yang menyaksikan penghitungan ulang secara rinci sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus mematuhi tata tertib di area kas sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai tata tertib di area kas. (4) Dalam hal saat penghitungan ulang secara rinci terhadap Uang Rupiah yang disetorkan oleh Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditemukan selisih kurang atau selisih lebih maka Bank Indonesia memperhitungkan selisih kurang atau selisih lebih tersebut dengan rekening giro Bank yang berada di Bank Indonesia. (5) Selisih kurang atau selisih lebih sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disebabkan adanya: a. jumlah lembar atau keping Uang Rupiah yang disetorkan kurang atau lebih; b. pecahan Uang Rupiah yang berbeda; c. Uang Rupiah yang dicabut dan ditarik dari peredaran melampaui jangka waktu penukaran; d. Uang Rupiah Rusak yang tidak mendapatkan penggantian; e. Uang Rupiah tidak asli; dan/atau f. sebab lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Bagian Kedua Tata Cara Penarikan Uang Rupiah Pasal 16 (1) Bank menarik Uang Rupiah dari Bank Indonesia sesuai dengan rencana Penarikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) atau perubahan rencana Penarikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3). (2) Bank Indonesia dapat melakukan pembayaran kepada Bank yang melakukan Penarikan dengan menggunakan setoran ULE yang diperoleh dari Bank tanpa melalui proses penghitungan ulang secara rinci oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1). (3) Pembayaran dengan menggunakan setoran ULE sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh Bank Indonesia kepada Bank yang sama atau Bank yang berbeda dengan kemasan Uang Rupiah dan label Bank penyetor yang masih utuh dan tersegel. (4) Dalam hal Bank Indonesia melakukan pembayaran menggunakan setoran ULE kepada Bank yang berbeda sebagaimana dimaksud pada ayat (3) maka Bank Indonesia menyampaikan informasi melalui surat atau surat elektronik kepada Bank yang menyetorkan ULE bahwa setoran ULE tersebut telah dibayarkan kepada Bank yang berbeda. Pasal 17 (1) Bank dapat melakukan verifikasi atas kebenaran jumlah Uang Rupiah yang ditarik dari Bank Indonesia sebelum Bank membawa Uang Rupiah tersebut keluar dari loket bayaran Bank Indonesia. (2) Verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan di loket bayaran Bank Indonesia atau tempat lain yang disediakan oleh Bank Indonesia dan disaksikan oleh petugas Bank Indonesia. (3) Verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan untuk Uang Rupiah yang merupakan setoran ULE milik Bank yang sama atau Bank yang berbeda yang dibayarkan oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (3). (4) Bank tidak dapat melakukan klaim atas kekurangan jumlah Uang Rupiah yang ditarik dari Bank Indonesia setelah keluar dari loket bayaran Bank Indonesia. BAB V TUKAB Pasal 18 (1) Tata cara pelaksanaan TUKAB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5) berpedoman pada kesepakatan tertulis yang berlaku antar-Bank. (2) Kesepakatan tertulis antar-Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga untuk penyelesaian selisih kurang atau selisih lebih yang ditemukan dalam hal Bank menerima pembayaran dari Bank Indonesia berupa setoran ULE yang berasal dari Bank yang berbeda. BAB VI PENYAMPAIAN LAPORAN DAN INFORMASI TERKAIT PENYETORAN DAN PENARIKAN UANG RUPIAH Bagian Kesatu Laporan Proyeksi Cashflow Pasal 19 (1) Bank wajib menyampaikan Laporan Proyeksi Cashflow kepada Bank Indonesia secara periodik yang memuat: a. perkiraan jumlah ULE yang diterima Bank dan/atau kebutuhan Bank terhadap ULE; dan b. perkiraan jumlah UTLE yang diterima Bank dan rencana penyetoran UTLE ke Bank Indonesia, melalui Bank Indonesia sistem informasi layanan kas. (2) Tata cara dan batas waktu penyampaian Laporan Proyeksi Cashflow sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berpedoman pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan Bank Indonesia sistem informasi layanan kas. (3) Perkiraan jumlah ULE yang diterima oleh Bank dan/atau kebutuhan Bank terhadap ULE sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak termasuk rencana Bank untuk melakukan Penarikan dari Bank Indonesia serta rencana Bank untuk melakukan TUKAB. (4) Dalam hal Bank Indonesia sistem informasi layanan kas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengalami gangguan maka penyampaian Laporan Proyeksi Cashflow disampaikan melalui surat atau surat elektronik. Bagian Kedua Laporan Realisasi TUKAB Pasal 20 (1) Bank wajib menyampaikan Laporan Realisasi TUKAB kepada Bank Indonesia secara periodik melalui Bank Indonesia sistem informasi layanan kas. (2) Tata cara dan batas waktu penyampaian Laporan Realisasi TUKAB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berpedoman pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan Bank Indonesia sistem informasi layanan kas. (3) Dalam hal Bank Indonesia sistem informasi layanan kas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengalami gangguan maka penyampaian Laporan Realisasi TUKAB disampaikan melalui surat atau surat elektronik. Bagian Ketiga Informasi Posisi Long, Posisi Short, dan/atau Posisi Square Pasal 21 (1) Bank wajib menyampaikan informasi Posisi Long, Posisi Short, dan/atau Posisi Square kepada Bank Indonesia dalam jumlah nominal masing-masing pecahan pada setiap Hari Kerja secara lengkap dan benar, melalui Bank Indonesia sistem informasi layanan kas. (2) Tata cara dan batas waktu penyampaian informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berpedoman pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan Bank Indonesia sistem informasi layanan kas. (3) Dalam hal Bank Indonesia sistem informasi layanan kas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengalami gangguan maka penyampaian informasi Posisi Long, Posisi Short, dan/atau Posisi Square disampaikan melalui surat atau surat elektronik. BAB VII PENGAWASAN DALAM KEGIATAN PENYETORAN DAN PENARIKAN UANG RUPIAH Pasal 22 (1) Bank Indonesia melakukan pengawasan terhadap Bank yang melakukan Penyetoran dan Penarikan di Bank Indonesia, dan Bank yang melakukan pengolahan Uang Rupiah. (2) Pengawasan terhadap Bank yang melakukan Penyetoran dan Penarikan di Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pula atas kegiatan pengolahan Uang Rupiah. (3) Pengawasan terhadap Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan juga terhadap PJPUR yang ditunjuk oleh Bank. BAB VIII TATA CARA PENGENAAN SANKSI Pasal 23 Bank Indonesia mengenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis kepada Bank yang melakukan pelanggaran sebagai berikut: a. melakukan kegiatan selain Penyetoran dan Penarikan di lingkungan perkantoran Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf d; b. melakukan perubahan rencana Penyetoran dan/atau Penarikan melebihi 10% (sepuluh persen) dan/atau tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11; c. menyampaikan informasi yang tidak benar mengenai kondisi tertentu atau keadaan memaksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2); d. melakukan pembatalan rencana Penyetoran dan/atau Penarikan dengan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12; e. tidak atau terlambat menyampaikan Laporan Proyeksi Cashflow dan/atau Laporan Realisasi TUKAB sesuai batas waktu yang ditetapkan oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dan Pasal 20; f. ditemukan campuran antara ULE dan UTLE melebihi 10% (sepuluh persen) dari jumlah Uang Rupiah yang disetorkan untuk masing-masing jenis pecahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3); g. ditemukan campuran jenis pecahan dan/atau tahun emisi dalam setoran Uang Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a saat dilakukan penghitungan ulang secara rinci; dan/atau h. ditemukan selisih kurang atau selisih lebih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf b yang melebihi jumlah lembar atau keping yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Pasal 24 (1) Bank Indonesia mengenakan sanksi administratif berupa uji petik di loket setoran terhadap setoran ULE dan/atau UTLE dari Bank yang melanggar batas campuran ULE dan UTLE sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3) dalam periode tertentu yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (2) Sanksi uji petik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah Bank mendapatkan sanksi teguran tertulis sebanyak 3 (tiga) kali. (3) Pelaksanaan uji petik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disaksikan oleh petugas Bank atau PJPUR. Pasal 25 (1) Bank Indonesia mengenakan sanksi administratif berupa penolakan terhadap Penyetoran dan/atau Penarikan kepada Bank yang melanggar ketentuan sebagai berikut: a. melakukan penyetoran Uang Rupiah Cacat dan/atau Uang Rupiah Rusak selain Uang Rupiah Rusak Minor; dan/atau b. melakukan Penyetoran dan/atau Penarikan tidak sesuai dengan jumlah minimal Uang Rupiah yang dapat disetorkan ke Bank Indonesia dan/atau ditarik dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dan Pasal 8 ayat (2). (2) Bank Indonesia mengenakan sanksi administratif berupa penolakan terhadap jenis pecahan, tahun emisi, dan/atau jumlah nominal yang ditemukan tidak sesuai kepada Bank yang melanggar ketentuan sebagai berikut: a. ditemukan selisih kurang atau selisih lebih paling sedikit 1 (satu) pak saat dilakukan penghitungan secara garis besar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1), pengujian kebenaran jumlah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), atau uji petik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) di loket setoran Bank Indonesia; b. ditemukan campuran jenis pecahan dan/atau tahun emisi dalam setoran Uang Rupiah saat dilakukan penghitungan secara garis besar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1), pengujian kebenaran jumlah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), atau uji petik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) di loket setoran Bank Indonesia; c. ditemukan Uang Rupiah Rusak selain Uang Rupiah Rusak Minor dan/atau Uang Rupiah Cacat dalam setoran Uang Rupiah saat dilakukan penghitungan secara garis besar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1), pengujian kebenaran jumlah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), atau uji petik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) di loket setoran Bank Indonesia; d. ditemukan campuran ULE dan UTLE melebihi 10% (sepuluh persen) dari jumlah yang diuji petik dalam setoran Uang Rupiah saat dilakukan penghitungan uji petik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) di loket setoran Bank Indonesia; e. melakukan Penyetoran dengan jenis pecahan yang tidak sesuai dengan rencana Penyetoran; f. melakukan Penyetoran dengan jumlah nominal yang tidak sesuai dengan rencana Penyetoran atau perubahan rencana Penyetoran; g. melakukan Penarikan dengan jenis pecahan yang tidak sesuai dengan rencana Penarikan atau perubahan Penarikan; dan/atau h. melakukan Penarikan dengan jumlah nominal yang tidak sesuai dengan rencana Penarikan atau perubahan rencana Penarikan. (3) Dalam hal Bank Indonesia mengenakan sanksi berupa penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) maka dibuatkan Berita Acara Penolakan Penyetoran dan/atau Penarikan. (4) Bank harus melakukan koreksi terhadap dokumen Penyetoran dan/atau Penarikan dalam hal Bank Indonesia melakukan penolakan kegiatan Penyetoran dan/atau Penarikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2). BAB IX KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 26 (1) Dalam hal ditemukan selisih kurang yang disebabkan karena terdapat Uang Rupiah tidak asli dalam setoran Bank saat dilakukan penghitungan secara garis besar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1), pengujian kebenaran jumlah setoran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), atau uji petik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) di loket setoran Bank Indonesia maka Bank Indonesia meminta Bank untuk melakukan koreksi terhadap dokumen Penyetoran. (2) Uang Rupiah tidak asli yang ditemukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditahan oleh Bank Indonesia dan diproses lebih lanjut sesuai ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai klarifikasi atas uang rupiah yang diragukan keasliannya. Pasal 27 (1) Bank yang mengalami kondisi tertentu dan/atau keadaan memaksa, berdasarkan persetujuan Bank Indonesia dapat melakukan: a. perubahan rencana Penyetoran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) melebihi 10% (sepuluh persen) dari jumlah nominal untuk masing- masing jenis pecahan; b. Penyetoran dan/atau Penarikan di luar waktu layanan kas Bank Indonesia; c. Penyetoran dan/atau Penarikan di Bank Indonesia lebih dari 1 (satu) kali dalam 1 (satu) Hari Kerja; d. Penarikan dengan jenis pecahan yang sama, kurang dari jangka waktu 3 (tiga) Hari Kerja setelah Bank melakukan Penyetoran ULE; dan/atau e. Penarikan dalam jenis pecahan sama pada Hari Kerja bersamaan Bank lain melakukan Penyetoran ULE. (2) Permintaan Penyetoran dan/atau Penarikan dalam kondisi tertentu atau keadaan memaksa disampaikan oleh Bank kepada Bank Indonesia dengan ketentuan sebagai berikut: a. disertai dengan alasan yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan; b. ditandatangani oleh pejabat Bank paling rendah kepala satuan kerja yang memiliki fungsi cash management atau pemimpin kantor cabang Bank; dan c. disampaikan kepada Bank Indonesia melalui surat atau surat elektronik. (3) Dalam hal Bank Indonesia mengalami keadaan memaksa maka Bank melakukan Penyetoran dan/atau Penarikan dengan mekanisme yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Pasal 28 (1) Bank Indonesia berwenang menetapkan kebijakan tertentu terkait: a. jumlah batas campuran antara ULE dan UTLE dalam setoran Uang Rupiah dari Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3); b. jumlah batas perubahan rencana Penyetoran dan/atau Penarikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dan ayat (2); dan/atau c. pembatasan jumlah Uang Rupiah yang dapat disetorkan oleh Bank. (2) Kebijakan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan pertimbangan: a. kualitas Uang Rupiah hasil pengolahan Bank dan/atau PJPUR yang disetorkan ke Bank Indonesia; b. kualitas Uang Rupiah hasil pengolahan Bank dan/atau PJPUR yang dilakukan TUKAB; c. optimalisasi manajemen kas Bank; dan/atau d. pertimbangan lainnya. BAB X KETENTUAN PENUTUP Pasal 29 Pada saat Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku maka: a. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 13/9/DPU tanggal 5 April 2011 perihal Penyetoran dan Penarikan Uang Rupiah oleh Bank Umum di Bank Indonesia; dan b. Bab III Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 16/6/DPU tanggal 17 April 2014 perihal Penyelenggaraan Bank Indonesia Sistem Informasi Layanan Kas, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 30 Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada tanggal 1 Februari 2018. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 29 Desember 2017 ANGGOTA DEWAN GUBERNUR, TTD SUGENG PENJELASAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 19/19/PADG/2017 TENTANG PENYETORAN DAN PENARIKAN UANG RUPIAH RUPIAH OLEH BANK DI BANK INDONESIA I. UMUM Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang Bank Indonesia memiliki kewenangan dan tugas melakukan Pengelolaan Uang Rupiah. Guna melaksanakan kewenangan dan tugas tersebut, Bank Indonesia terus berupaya untuk memenuhi kebutuhan uang kartal di masyarakat baik dalam nominal yang cukup, jenis pecahan yang sesuai, tepat waktu, maupun dalam kondisi yang layak edar. Salah satu upaya pemenuhan kebutuhan Uang Rupiah di masyarakat adalah dengan memberikan layanan Penyetoran dan Penarikan kepada Bank di kantor Bank Indonesia. Pengaturan Penyetoran dan Penarikan oleh Bank ini telah berjalan dengan baik sejak tahun 2011 sehingga secara umum, perbankan telah melaksanakan manajemen kas yang efektif dan efisien, serta frekuensi dan volume pelaksanaan TUKAB yang semakin meningkat. Dengan demikian, Bank dapat memenuhi kebutuhan atas ULE secara mandiri. Namun demikian, untuk lebih menguatkan peran perbankan dalam menyediakan ULE kepada masyarakat dan menyetorkan UTLE kepada Bank Indonesia maka diperlukan penyempurnaan terhadap peraturan mengenai Penyetoran dan Penarikan Uang Rupiah. Peningkatan peran perbankan dalam melakukan penghitungan dan penyortiran Uang Rupiah sesuai standar kualitas Uang Rupiah yang ditetapkan oleh Bank Indonesia merupakan wujud dari perlindungan konsumen untuk menerima ULE dari perbankan dan bebas dari Uang Rupiah tidak asli. Penyempurnaan peraturan tersebut juga merupakan tahapan transformasi Bank Indonesia menuju Pengelolaan Uang Rupiah yang menerapkan tata kelola yang baik, efektif, dan menciptakan efisiensi bagi industri perbankan. Secara garis besar materi yang diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini meliputi prinsip umum dan persyaratan Penyetoran dan/atau Penarikan di Bank Indonesia, tata cara Penyetoran dan/atau Penarikan di Bank Indonesia, TUKAB, penyampaian laporan dan informasi terkait kegiatan Penyetoran dan/atau Penarikan, pengawasan dan pembinaan, serta tata cara pengenaan sanksi. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Contoh: Bank A yang melakukan Penyetoran ULE pecahan 10.000 (sepuluh ribu) hanya dapat melakukan Penarikan selain pecahan 10.000 (sepuluh ribu) dalam 1 (satu) Hari Kerja. Huruf b Contoh: Bank B melakukan Penyetoran UTLE pecahan 10.000 (sepuluh ribu) dan melakukan Penarikan pecahan 10.000 (sepuluh ribu) dalam 1 (satu) Hari Kerja. Ayat (3) Contoh: Salah satu kantor cabang Bank A di Bandung dapat mewakili seluruh kantor cabang Bank A untuk melakukan Penyetoran dan/atau Penarikan yang harus dilakukan di Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Jawa Barat. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Yang dimaksud dengan “mengoptimalkan TUKAB” adalah Bank harus terlebih dahulu melaksanakan TUKAB untuk memenuhi kebutuhan ULE sebelum melakukan Penyetoran dan/atau Penarikan dari Bank Indonesia. Bank harus melakukan TUKAB sepanjang masih tersedia ULE di Bank lain atau terdapat Bank yang membutuhkan ULE dengan jenis pecahan yang sama atau berbeda di wilayah kerja kantor Bank Indonesia. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Pasal 3 Huruf a Bank Indonesia tidak melayani kegiatan Penyetoran dan Penarikan yang dilakukan oleh petugas Bank atau PJPUR yang tidak dapat memperlihatkan tanda pengenal dan surat tugas atau surat penunjukan. Huruf b Contoh pemenuhan aspek keamanan antara lain Bank atau PJPUR menggunakan alat transportasi khusus dan petugas pengawalan serta menyediakan petugas yang memadai. Penggunaan petugas pengawalan dilakukan dengan mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai sistem manajemen pengamanan. Huruf c Waktu layanan kas ditetapkan oleh Bank Indonesia. Huruf d Yang dimaksud dengan “kegiatan selain Penyetoran dan/atau Penarikan” adalah kegiatan pengumpulan dan pembagian Uang Rupiah. Huruf e Standardisasi kualitas Uang Rupiah digunakan oleh Bank antara lain dalam kegiatan pemilahan antara ULE dengan UTLE dan/atau pelaksanaan TUKAB. Standardisasi kualitas Uang Rupiah yang disampaikan oleh Bank Indonesia kepada Bank berupa contoh Uang Rupiah dari berbagai tingkat kualitas dan/atau setting parameter mesin hitung dan sortir Uang Rupiah sebagai pedoman bagi Bank. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Ayat (1) Tujuan Bank dapat menyetorkan Uang Rupiah Rusak Minor adalah untuk meningkatkan efektifitas manajemen kas dalam pengelolaan Uang Rupiah yang dimiliki Bank. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Ayat (1) Penetapan jumlah nominal dari masing-masing jenis pecahan Uang Rupiah dilakukan dengan memperhatikan kebutuhan masyarakat terhadap jenis pecahan, Posisi Long Bank di wilayah kerja kantor Bank Indonesia setempat, dan pertimbangan lainnya. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 9 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Setiap 10 (sepuluh) pak yang diikat menjadi 1 (satu) brood tidak diperbolehkan menggunakan strap band atau tali lain yang dapat merusak Uang Rupiah. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 10 Ayat (1) Bank Indonesia tidak melayani kegiatan Penyetoran dan/atau Penarikan bagi Bank yang tidak atau terlambat menyampaikan rencana Penyetoran dan/atau Penarikan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 11 Ayat (1) Termasuk perubahan rencana Penyetoran yaitu perubahan rencana Penyetoran ULE dan/atau UTLE. Pembatasan jumlah persentase perubahan rencana Penyetoran dan/atau Penarikan dimaksudkan agar Bank menerapkan manajemen kas yang lebih efektif dan efisien melalui perencanaan yang baik dan tepat. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Contoh: Bank A melakukan penyetoran ULE pecahan 100.000 (seratus ribu) pada tanggal 15 Januari 2018 maka Bank A tidak dapat melakukan penarikan ULE pecahan 100.000 (seratus ribu) pada tanggal 16 Januari 2018 sampai dengan tanggal 18 Januari 2018. Ayat (3) Contoh: Bank A melakukan penyetoran ULE pecahan 100.000 (seratus ribu) pada tanggal 15 Januari 2018 maka Bank lainnya tidak dapat melakukan penarikan ULE pecahan 100.000 (seratus ribu) pada tanggal 15 Januari 2018. Pasal 14 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “penghitungan secara garis besar” adalah penghitungan dalam brood dan pak untuk Uang Rupiah Kertas atau kemasan untuk Uang Rupiah Logam. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “setoran Uang Rupiah sebelumnya” adalah setoran Uang Rupiah sebelum dilakukan pengujian kebenaran jumlah. Ayat (3) Pembatasan jumlah persentase campuran antara ULE dan UTLE dalam setoran Bank dimaksudkan agar Bank meningkatkan kualitas hasil pengolahan Uang Rupiah dengan lebih baik dan efektif dengan memperhatikan standardisasi kualitas Uang Rupiah dari Bank Indonesia. Bank Indonesia menentukan campuran antara ULE dan UTLE melebihi atau tidak melebihi batas persentase yang ditetapkan melalui penghitungan ulang secara rinci seluruh setoran Bank atau dalam persentase tertentu dari jumlah Uang Rupiah yang disetorkan untuk masing-masing jenis pecahan. Pasal 15 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan “jangka waktu penukaran” adalah jangka waktu penukaran sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penukaran uang rupiah. Huruf d Yang dimaksud dengan “Uang Rupiah Rusak yang tidak mendapat penggantian” adalah Uang Rupiah Rusak yang tidak mendapat penggantian sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penukaran uang rupiah. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Pengawasan pengolahan Uang Rupiah termasuk pengawasan terhadap sarana dan prasarana yang digunakan oleh Bank dalam kegiatan pengolahan Uang Rupiah serta kegiatan lainnya. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “kondisi tertentu” antara lain dalam rangka pemenuhan Giro Wajib Minimum, Penarikan Uang Rupiah secara besar-besaran oleh nasabah (rush), penyetoran Uang Rupiah terkait prefund. Yang dimaksud dengan “keadaan memaksa” adalah keadaan yang secara nyata menyebabkan proses Penyetoran dan/atau Penarikan oleh Bank ke Bank Indonesia tidak dapat berjalan normal dan diluar kemampuan Bank dan/atau Bank Indonesia untuk mengatasinya antara lain disebabkan oleh bencana alam, huru-hara, pemberontakan, perang atau dikeluarkannya peraturan oleh Pemerintah mengenai keadaan bahaya, serta perubahan kebijakan pemerintah. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas. "," PADG 19/19/PADG/2017 PENYETORAN DAN PENARIKAN UANG RUPIAH OLEH BANK DI BANK INDONESIA 29 Desember 2017 1 Februari 2018 '13/9/DPU|SE-BI/2011', '16/6/DPU|SE-BI/2014 | Bab III' '14/7/PBI/2012' 'BAB VIII' " " PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/30/PADG/2018 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/10/PADG/2018 TENTANG GIRO WAJIB MINIMUM DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL, BANK UMUM SYARIAH, DAN UNIT USAHA SYARIAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sebagai kelanjutan dari reformulasi kerangka operasional kebijakan moneter, perlu dilakukan penyesuaian pemenuhan giro wajib minimum secara rata- rata guna meningkatkan efektivitas transmisi kebijakan moneter dalam menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan; b. bahwa penyesuaian sebagaimana dimaksud dalam huruf a dilakukan dengan meningkatkan fleksibilitas dan distribusi likuiditas oleh perbankan konvensional dan perbankan syariah; c. bahwa peningkatan fleksibilitas dan distribusi likuiditas sebagaimana dimaksud dalam huruf b dilakukan dengan mengubah pengaturan pemenuhan sebagian giro wajib minimum secara rata-rata dalam rupiah bagi bank umum konvensional, bank umum syariah, dan unit usaha syariah; 2 d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Anggota Dewan Gubernur tentang Perubahan atas Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 20/10/PADG/2018 tentang Giro Wajib Minimum dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum Konvensional, Bank Umum Syariah, dan Unit Usaha Syariah; Mengingat : Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/3/PBI/2018 tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum Konvensional, Bank Umum Syariah, dan Unit Usaha Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 43; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6193); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/10/PADG/2018 TENTANG GIRO WAJIB MINIMUM DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL, BANK UMUM SYARIAH, DAN UNIT USAHA SYARIAH. Pasal I Beberapa ketentuan dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 20/10/PADG/2018 tentang Giro Wajib Minimum dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum Konvensional, Bank Umum Syariah, dan Unit Usaha Syariah diubah sebagai berikut: 1. Ketentuan Pasal 2 diubah sehingga Pasal 2 berbunyi sebagai berikut: 3 Pasal 2 GWM dalam rupiah ditetapkan sebesar rata-rata 6,5% (enam koma lima persen) dari DPK BUK dalam rupiah selama periode laporan tertentu, yang wajib dipenuhi: a. secara harian sebesar 3,5% (tiga koma lima persen); dan b. secara rata-rata sebesar 3% (tiga persen). 2. Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga Pasal 16 berbunyi sebagai berikut: Pasal 16 GWM dalam rupiah ditetapkan sebesar rata-rata 5% (lima persen) dari DPK BUS dan UUS dalam rupiah selama periode laporan tertentu, yang wajib dipenuhi: a. secara harian sebesar 2% (dua persen); dan b. secara rata-rata sebesar 3% (tiga persen). Pasal II Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada tanggal 1 Desember 2018. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 30 November 2018 ANGGOTA DEWAN GUBERNUR, MIRZA ADITYASWARA PENJELASAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/30/PADG/2018 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/10/PADG/2018 TENTANG GIRO WAJIB MINIMUM DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL, BANK UMUM SYARIAH, DAN UNIT USAHA SYARIAH 1. UMUM Sebagai kelanjutan dari reformulasi kerangka operasional kebijakan moneter, Bank Indonesia senantiasa berupaya melakukan penyempurnaan pengaturan GWM secara rata-rata bagi perbankan konvensional maupun perbankan syariah. Sebagai upaya menjaga kecukupan likuiditas perbankan, Bank Indonesia meningkatkan fleksibilitas dan distribusi likuiditas baik untuk perbankan konvensional maupun perbankan syariah. Kebjakan ini dilakukan dengan menambah porsi GWM rata-rata dalam rupiah bagi BUK, BUS, dan UUS yang semula sebesar 2% (dua persen) menjadi sebesar 39 (tiga persen) quna memastikan tetap terjaganya stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan. Schubungan dengan hal di atas, perlu ditetapkan Peraturan Anggota Dewan Gubemur tentang Perubahan atas Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 20/10/PADG/2018 tentang Giro Wajib Minimum dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum Konvensional, Bank Umum Syariah, dan Unit Usaha Syariah. End of Page 4 II. PASAL DEMI PASAL Pasal l Angka 1 Pasal 2 Cukup jelas. Angka 2 Pasal 16 Cukup jelas. Pasal II Cukup jelas. End of Page 5 "," PADG 20/30/PADG/2018 PERUBAHAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/10/PADG/2018 TENTANG GIRO WAJIB MINIMUM DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL, BANK UMUM SYARIAH, DAN UNIT USAHA SYARIAH 30 November 2018 1 Desember 2018 '20/10/PADG/2018' '20/3/PBI/2018' " " PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 7/52/PBI/2005 TENTANG PENYELENGGARAAN KEGIATAN ALAT PEMBAYARAN DENGAN MENGGUNAKAN KARTU GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kebutuhan masyarakat terhadap penggunaan kartu sebagai alat pembayaran dalam memenuhi kegiatan ekonomi menunjukkan perkembangan yang cukup pesat; b. bahwa sejalan dengan meningkatnya penggunaan kartu sebagai alat pembayaran tersebut, tingkat keamanan teknologi baik keamanan kartu maupun keamanan sistem yang digunakan untuk memproses pembayaran ditingkatkan dengan menggunakan kartu agar penggunaan kartu sebagai alat pembayaran dapat senantiasa berjalan dengan aman dan lancar; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b dipandang perlu untuk melakukan pengaturan kembali terhadap ketentuan mengenai penyelenggaraan kegiatan alat pembayaran dengan menggunakan kartu; transaksi alat perlu Mengingat … -2- Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Indonesia Nomor 4357); M E M U T U S K A N : Menetapkan : PERATURAN BANK PENYELENGGARAAN KEGIATAN INDONESIA TENTANG ALAT PEMBAYARAN DENGAN MENGGUNAKAN KARTU. Republik BAB I … -3- BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini, yang dimaksud dengan : 1. Bank adalah Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998, termasuk pula kantor cabang Bank asing. 2. Lembaga Selain Bank adalah badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia atau badan usaha yang kantor pusatnya berkedudukan di luar negeri yang melakukan kegiatan yang berkaitan dengan alat pembayaran dengan menggunakan kartu di Indonesia. 3. Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu adalah alat pembayaran yang berupa kartu kredit, kartu Automated Teller Machine (ATM), kartu debet, dan/atau kartu prabayar. 4. Kartu Kredit adalah Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu yang dapat digunakan untuk melakukan pembayaran atas kewajiban yang timbul dari suatu kegiatan ekonomi, termasuk transaksi pembelanjaan dan/atau untuk melakukan penarikan tunai dimana kewajiban pembayaran pemegang kartu dipenuhi terlebih dahulu oleh acquirer atau penerbit, dan pemegang kartu berkewajiban melakukan pelunasan kewajiban pembayaran tersebut pada waktu yang disepakati baik secara sekaligus (charge card) ataupun secara angsuran. 5. Kartu ATM adalah Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu yang dapat digunakan untuk melakukan penarikan tunai dan/atau pemindahan dana dimana … -4- dimana kewajiban pemegang kartu dipenuhi seketika dengan mengurangi secara langsung simpanan pemegang kartu pada Bank atau Lembaga Selain Bank yang mendapat persetujuan untuk menghimpun dana. 6. Kartu Debet adalah Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu yang dapat digunakan untuk melakukan pembayaran atas kewajiban yang timbul dari suatu kegiatan ekonomi, termasuk transaksi pembelanjaan, dimana kewajiban pemegang kartu dipenuhi seketika dengan mengurangi secara langsung simpanan pemegang kartu pada Bank atau Lembaga Selain Bank yang mendapat persetujuan untuk menghimpun dana. 7. Kartu Prabayar adalah Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu yang diperoleh dengan menyetorkan terlebih dahulu sejumlah uang kepada penerbit, baik secara langsung maupun melalui agen-agen penerbit, dan nilai uang tersebut dimasukkan menjadi nilai uang dalam kartu, yang dinyatakan dalam satuan Rupiah atau dikonversikan dalam satuan lain seperti pulsa, yang digunakan untuk melakukan transaksi pembayaran dengan cara mengurangi secara langsung nilai uang pada kartu tersebut. 8. Kartu Prabayar Single-purpose adalah Kartu Prabayar yang digunakan untuk melakukan pembayaran atas kewajiban yang timbul dari satu jenis transaksi ekonomi, misalnya Kartu Prabayar yang hanya dapat digunakan untuk pembayaran tol atau Kartu Prabayar yang hanya dapat digunakan untuk pembayaran transportasi umum. 9. Kartu Prabayar Multi-purpose adalah Kartu Prabayar yang digunakan untuk melakukan pembayaran atas kewajiban yang timbul dari berbagai jenis transaksi ekonomi, misalnya Kartu Prabayar yang dapat digunakan untuk pembayaran tol, telepon, transportasi umum, dan untuk berbelanja. 10. Pemegang … -5- 10. Pemegang Kartu Menggunakan Kartu. adalah pemilik sah dari Alat Pembayaran Dengan 11. Penyelenggara adalah Bank atau Lembaga Selain Bank yang melakukan kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu baik sebagai prinsipal, penerbit, dan/atau acquirer. 12. Prinsipal adalah Bank atau Lembaga Selain Bank yang menjadi pemilik tunggal hak atas merek dalam kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu. 13. Penerbit adalah Bank atau Lembaga Selain Bank yang menerbitkan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu untuk Pemegang Kartu dengan menggunakan merek tertentu atas persetujuan Prinsipal. 14. Acquirer adalah Bank atau Lembaga Selain Bank yang melakukan kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu yang dapat berupa financial acquirer dan/atau technical acquirer. 15. Financial Acquirer adalah Acquirer yang melakukan pembayaran terlebih dahulu atas transaksi yang dilakukan oleh Pemegang Kartu. 16. Technical Acquirer adalah Acquirer yang menyediakan sarana yang diperlukan dalam pemrosesan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu. 17. Perusahaan Switching adalah perusahaan yang mengoperasikan sistem yang digunakan untuk meneruskan (switching/routing) transaksi Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu dari sistem Financial Acquirer tertentu ke sistem Penerbit untuk kepentingan otorisasi, dan perusahaan tersebut dapat melakukan perhitungan hak dan kewajiban antar Financial Acquirer dengan Penerbit yang timbul dari proses transaksi Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu. BAB II … -6- BAB II PERSETUJUAN PENYELENGGARAAN KEGIATAN Bagian Pertama Prinsipal Pasal 2 (1) Prinsipal dalam penyelenggaraan kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu terdiri dari : a. Prinsipal umum yaitu : 1. Prinsipal yang hak atas mereknya selain digunakan oleh Prinsipal yang bersangkutan juga digunakan oleh Penerbit lain berdasarkan suatu perjanjian tertulis; atau 2. Prinsipal yang hak atas mereknya digunakan oleh Penerbit lain berdasarkan suatu perjanjian tertulis. b. Prinsipal khusus yaitu Prinsipal yang hak atas mereknya hanya digunakan oleh Prinsipal yang bersangkutan, yang sekaligus bertindak sebagai Penerbit dan/atau Acquirer. (2) Prinsipal umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a hanya dapat dilakukan oleh Lembaga Selain Bank. Pasal 3 Bank atau Lembaga Selain Bank yang akan bertindak sebagai Prinsipal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 wajib melaporkan secara tertulis rencana kegiatannya kepada Bank Indonesia. Pasal … -7- Pasal 4 (1) Bank Indonesia dapat melakukan kerja sama dengan Prinsipal dalam rangka meningkatkan keamanan dan kelancaran penyelenggaraan kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu. (2) Prinsipal wajib menghentikan sementara atau mencabut persetujuan penggunaan merek yang telah diberikan kepada Penerbit apabila Bank Indonesia mengenakan sanksi penghentian sementara atau mencabut persetujuan yang telah diberikan kepada Penerbit tersebut sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini. Bagian Kedua Penerbit Pasal 5 Bank atau Lembaga Selain Bank dapat menjadi Penerbit seluruh jenis Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu, baik Kartu Kredit, Kartu ATM, Kartu Debet, dan/atau Kartu Prabayar. Pasal 6 (1) Lembaga Selain Bank yang dapat bertindak sebagai Penerbit Kartu Kredit yaitu Lembaga Selain Bank yang telah memperoleh izin dari Departemen Keuangan Republik Indonesia untuk menjalankan kegiatan Kartu Kredit. (2) Lembaga … -8- (2) Lembaga Selain Bank yang dapat bertindak sebagai Penerbit Kartu ATM dan/atau Kartu Debet yaitu Lembaga Selain Bank yang mempunyai kewenangan untuk melakukan kegiatan penghimpunan dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berdasarkan undang-undang yang mengatur mengenai Lembaga Selain Bank tersebut. (3) Lembaga Selain Bank yang dapat bertindak sebagai Penerbit untuk Kartu Prabayar yang memerlukan persetujuan dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4) yaitu Lembaga Selain Bank yang memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. berbadan hukum Indonesia dalam bentuk Perseroan Terbatas (PT); dan b. memiliki pengalaman dan reputasi baik dalam penyelenggaraan Kartu Prabayar Single-purpose single merchant atau Multi-purpose single merchant di Indonesia paling singkat selama 2 (dua) tahun. (4) Kriteria Lembaga Selain Bank yang dapat menjadi Penerbit Kartu Prabayar sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dievaluasi kembali oleh Bank Indonesia paling lambat 2 (dua) tahun sejak diterbitkannya Peraturan Bank Indonesia ini. Pasal 7 (1) Bank atau Lembaga Selain Bank yang akan bertindak sebagai Penerbit wajib mendapat persetujuan dari Bank Indonesia. (2) Dalam hal Bank dan/atau Lembaga Selain Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) akan menerbitkan sekaligus beberapa jenis kartu, baik dalam satu fisik kartu maupun beberapa fisik kartu, wajib mengajukan permohonan persetujuan untuk masing-masing jenis kartu. (3) Permohonan … -9- (3) Permohonan persetujuan untuk masing-masing jenis kartu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku pula untuk Bank dan/atau Lembaga Selain Bank yang telah bertindak sebagai Penerbit salah satu jenis kartu dan akan menambahkan jenis kartu lainnya, baik dalam satu fisik kartu maupun beberapa fisik kartu. (4) Khusus untuk Kartu Prabayar, Penerbit wajib meminta persetujuan kepada Bank Indonesia dalam hal Kartu Prabayar yang diterbitkan adalah: a. Kartu Prabayar Single-purpose tetapi dapat digunakan di lebih dari satu penyedia barang dan/atau jasa (Single-purpose multi merchants); b. Kartu Prabayar Multi-purpose yang dapat digunakan untuk melakukan pembayaran pada lebih dari satu penyedia barang dan/atau jasa (Multi- purpose multi merchants); dan/atau c. Kartu Prabayar Single-purpose atau Multi-purpose yang Penerbitnya bukan merupakan penyedia barang dan/atau jasa (bukan merchant). Pasal 8 (1) Untuk mendapatkan persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), Bank atau Lembaga Selain Bank harus menyampaikan permohonan secara tertulis kepada Bank Indonesia. (2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilampiri dengan dokumen-dokumen sebagai berikut : a. Bank 1. rencana kerja Bank yang didalamnya mencantumkan rencana kegiatan Bank sebagai Penerbit; 2. hasil … -10- 2. hasil analisis bisnis dari kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu yang akan dilakukan untuk 1 (satu) tahun ke depan; 3. bukti kesiapan perangkat hukum; 4. bukti kesiapan penerapan manajemen risiko; dan 5. bukti kesiapan operasional. b. Lembaga Selain Bank 1. rencana kerja Lembaga Selain Bank; 2. fotokopi dari akta pendirian badan hukum yang telah disahkan oleh pihak yang berwenang. Fotokopi akta pendirian badan hukum tersebut harus pula dilegalisir oleh pihak/pejabat yang berwenang; 3. hasil analisis bisnis dari kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu yang akan dilakukan untuk 1 (satu) tahun ke depan; 4. bukti kesiapan perangkat hukum; 5. bukti kesiapan penerapan manajemen risiko; dan 6. bukti kesiapan operasional. (3) Dalam hal Penerbit bekerjasama dengan Technical Acquirer dan/atau Perusahaan Switching, Penerbit harus: a. memiliki bukti mengenai kehandalan dan keamanan operasional Technical Acquirer dan/atau Perusahaan Switching tersebut yang antara lain dibuktikan dengan adanya hasil audit dari security auditor yang independen; b. mensyaratkan kepada Technical Acquirer dan/atau Perusahaan Switching yang bekerjasama dengan Penerbit tersebut untuk menerapkan … -11- menerapkan prinsip resiprositas dalam hal Technical Acquirer dan/atau Perusahaan Switching tersebut melakukan kerjasama dengan Technical Acquirer dan/atau Perusahaan Switching lain yang berbadan hukum asing dan berkedudukan di luar wilayah Republik Indonesia; dan c. mensyaratkan Technical Acquirer dan/atau Perusahaan Switching untuk melaporkan kegiatannya kepada Bank Indonesia. (4) Penerbit hanya dapat bekerjasama dengan Perusahaan Switching yang berbadan hukum Indonesia atau dengan Perusahaan Switching yang berbadan hukum asing namun memiliki basis operasional di Indonesia. Pasal 9 (1) Dalam melakukan kegiatan yang terkait dengan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu, Bank dan/atau Lembaga Selain Bank yang bertindak sebagai Penerbit dan/atau Financial Acquirer dapat melakukan kerjasama dengan pihak lain di luar pihak sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (3). (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kerjasama Bank dan/atau Lembaga Selain Bank dengan pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 10 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian persetujuan atau penolakan atas persetujuan atau penolakan, dan tata cara pelaporan pelaksanaan kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu, diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal … permohonan sebagai Penerbit, termasuk jangka waktu pemberian -12- Pasal 11 (1) Bank Indonesia berwenang untuk : a. menunda pemberlakuan persetujuan penyelenggaraan kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu apabila menurut penilaian Bank Indonesia, Bank atau Lembaga Selain Bank tersebut tidak dapat bertindak sebagai Penerbit untuk sementara waktu; atau b. membatalkan persetujuan penyelenggaraan kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu apabila menurut penilaian Bank Indonesia, Bank atau Lembaga Selain Bank tersebut tidak dapat bertindak sebagai Penerbit. (2) Penundaan atau pembatalan persetujuan oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain didasarkan pada : a. memburuknya kondisi keuangan Bank; b. adanya rekomendasi dari otoritas pengawas Lembaga Selain Bank untuk menunda berlakunya atau membatalkan persetujuan yang telah diberikan kepada Lembaga Selain Bank sebagai Penerbit; atau c. lemahnya manajemen risiko Bank atau Lembaga Selain Bank yang dinilai dapat menimbulkan kerugian bagi pihak yang terkait dalam kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu dan/atau perekonomian nasional. (3) Dalam hal Bank Indonesia menunda pemberlakuan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, kegiatan sebagai Penerbit dapat dilakukan setelah terdapat pemberitahuan tertulis dari Bank Indonesia. Pasal … -13- Pasal 12 (1) Persetujuan yang telah diberikan oleh Bank Indonesia kepada Bank atau Lembaga Selain Bank sebagai Penerbit kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu tidak mengikat Prinsipal untuk memberikan persetujuan penggunaan merek kepada Bank atau Lembaga Selain Bank tersebut. (2) Dalam memberikan persetujuan kepada Bank atau Lembaga Selain Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Prinsipal dapat menetapkan syarat- syarat lain di luar persyaratan yang telah ditetapkan dalam Peraturan Bank Indonesia ini. Bagian Ketiga Acquirer Pasal 13 Lembaga Selain Bank yang dapat bertindak sebagai Financial Acquirer adalah Lembaga Selain Bank yang mempunyai kewenangan untuk melakukan kegiatan pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan ketentuan yang mengatur mengenai Lembaga Selain Bank tersebut. Pasal 14 (1) Bank dan/atau Lembaga Selain Bank yang telah memperoleh persetujuan sebagai Penerbit dan akan melakukan kegiatan sebagai Financial Acquirer dan/atau Technical Acquirer harus melaporkan secara tertulis rencana kegiatan … -14- kegiatan sebagai Financial Acquirer dan/atau Technical Acquirer tersebut kepada Bank Indonesia (2) Laporan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilampiri dengan: a. bukti kesiapan perangkat hukum; dan b. bukti kesiapan manajemen likuiditas. (3) Prosedur dan tata cara pelaporan sebagai Financial Acquirer dan/atau Technical Acquirer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 15 (1) Bank atau Lembaga Selain Bank yang akan bertindak sebagai Financial Acquirer wajib mendapat persetujuan Bank Indonesia. (2) Untuk mendapatkan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank atau Lembaga Selain Bank harus menyampaikan permohonan secara tertulis kepada Bank Indonesia. (3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dilampiri dengan dokumen-dokumen sebagai berikut : a. Bank 1. rencana kerja Bank yang didalamnya mencantumkan rencana kegiatan Bank sebagai Financial Acquirer; 2. hasil analisis bisnis dari kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu yang akan dilakukan untuk 1 (satu) tahun ke depan; 3. bukti kesiapan perangkat hukum; 4. bukti … -15- 4. bukti kesiapan penerapan manajemen risiko; dan 5. bukti kesiapan operasional. b. Lembaga Selain Bank 1. rencana kerja Lembaga Selain Bank; 2. fotokopi dari akta pendirian badan hukum yang telah disahkan oleh pihak yang berwenang. Fotokopi akta pendirian badan hukum tersebut harus pula dilegalisir oleh pihak/pejabat yang berwenang; 3. hasil analisis bisnis dari kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu yang akan dilakukan untuk 1 (satu) tahun ke depan; 4. bukti kesiapan perangkat hukum; 5. bukti kesiapan penerapan manajemen risiko; dan 6. bukti kesiapan operasional. (4) Dalam hal Financial Acquirer bekerjasama dengan Technical Acquirer dan/atau Perusahaan Switching, Financial Acquirer harus: a. memiliki bukti mengenai kehandalan dan keamanan operasional Technical Acquirer dan/atau Perusahaan Switching tersebut yang antara lain dibuktikan dengan adanya hasil audit dari security auditor yang independen; b. mensyaratkan kepada Technical Acquirer dan/atau Perusahaan Switching yang bekerjasama dengan Financial Acquirer tersebut untuk menerapkan prinsip resiprositas dalam hal Technical Acquirer dan/atau Perusahaan Switching tersebut melakukan kerjasama dengan Technical Acquirer … -16- Acquirer dan/atau Perusahaan Switching lain yang berbadan hukum asing dan berkedudukan di luar wilayah Republik Indonesia; dan c. mensyaratkan Technical Acquirer dan/atau Perusahaan Switching untuk melaporkan kegiatannya kepada Bank Indonesia. (5) Financial Acquirer hanya dapat bekerjasama dengan Perusahaan Switching yang berbadan hukum Indonesia atau dengan Perusahaan Switching yang berbadan hukum asing namun memiliki basis operasional di Indonesia. Pasal 16 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagai Financial Acquirer, termasuk jangka waktu pemberian persetujuan atau penolakan dan tata cara pelaporan pelaksanaan kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 17 (1) Bank Indonesia berwenang untuk : a. menunda pemberlakuan persetujuan penyelenggaraan kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu apabila menurut penilaian Bank Indonesia, Bank atau Lembaga Selain Bank tersebut tidak dapat bertindak sebagai Financial Acquirer untuk sementara waktu; atau b. membatalkan … -17- b. membatalkan persetujuan penyelenggaraan kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu apabila menurut penilaian Bank Indonesia, Bank atau Lembaga Selain Bank tersebut tidak dapat bertindak sebagai Financial Acquirer. (2) Penundaan atau pembatalan persetujuan oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain didasarkan pada : a. memburuknya kondisi keuangan Bank; b. adanya rekomendasi dari otoritas pengawas Lembaga Selain Bank untuk menunda berlakunya atau membatalkan persetujuan yang telah diberikan kepada Lembaga Selain Bank sebagai Financial Acquirer; atau c. lemahnya manajemen risiko Bank atau Lembaga Selain Bank yang dinilai dapat menimbulkan kerugian bagi pihak yang terkait dalam kegiatan Alat perekonomian nasional. (3) Dalam hal Bank Indonesia menunda pemberlakuan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, kegiatan sebagai Financial Acquirer dapat dilakukan setelah terdapat pemberitahuan tertulis dari Bank Indonesia. Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu dan/atau BAB III … -18- BAB III PENYELENGGARAAN KEGIATAN Bagian Pertama Kartu Kredit Pasal 18 Pemberian Kartu Kredit hanya dapat dilakukan oleh Penerbit berdasarkan permohonan tertulis dari calon Pemegang Kartu. Pasal 19 (1) Dalam pemberian Kartu Kredit, Penerbit wajib menerapkan manajemen risiko sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai manajemen risiko. (2) Selain memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penerbit wajib pula menerapkan manajemen risiko kredit yang sekurang-kurangnya meliputi : a. penetapan minimum usia calon Pemegang Kartu; b. penetapan minimum pendapatan calon Pemegang Kartu; c. penetapan batas maksimum kredit calon Pemegang Kartu; d. penetapan persentase minimum pembayaran oleh Pemegang Kartu, sekurang-kurangnya sebesar 10 % (sepuluh per seratus) dari total tagihan; dan e. prosedur pemberian persetujuan kepada calon Pemegang Kartu. (3) Bank Indonesia dapat menetapkan minimum usia, minimum pendapatan, dan/atau batas maksimum kredit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, huruf b, dan/atau huruf c dan perubahannya, serta perubahan penetapan besarnya persentase minimum sebagaimana dimaksud pada huruf d, dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal … -19- Pasal 20 (1) Penerbit wajib memberikan informasi secara tertulis kepada Pemegang Kartu, sekurang-kurangnya hal-hal sebagai berikut: a. prosedur dan tata cara penggunaan Kartu Kredit; b. hal-hal penting yang harus diperhatikan oleh Pemegang Kartu dalam penggunaan kartunya dan konsekuensi/risiko yang mungkin timbul dari penggunaaan Kartu Kredit; c. hak dan kewajiban Pemegang Kartu; d. tata cara pengajuan pengaduan atas Kartu Kredit yang diberikan dan perkiraan lamanya waktu penanganan pengaduan tersebut; e. komponen dalam penghitungan bunga; f. komponen dalam penghitungan denda; dan g. jenis dan besarnya biaya administrasi yang dikenakan. (2) Penerbit wajib mencantumkan dalam lembar penagihan yang disampaikan kepada Pemegang Kartu, sekurang-kurangnya hal-hal sebagai berikut : a. besarnya minimum pembayaran oleh Pemegang Kartu; b. tanggal jatuh tempo pembayaran; c. besarnya persentase bunga per bulan dan persentase efektif bunga per tahun (annualized percentage rate) atas transaksi yang dilakukan, termasuk bunga atas transaksi pembelian barang atau jasa, penarikan tunai, dan manfaat lainnya dari Kartu Kredit apabila bunga atas masing-masing transaksi tersebut berbeda; d. besarnya denda atas keterlambatan pembayaran oleh Pemegang Kartu; dan e. nominal bunga yang dikenakan. (3) Informasi … -20- (3) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib disampaikan kembali secara tertulis kepada Pemegang Kartu apabila terjadi perubahan atas informasi tersebut. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyampaian informasi tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan informasi dalam lembar penagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 21 (1) Pemberian kredit yang merupakan fasilitas Kartu Kredit wajib dilakukan sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyusunan dan pelaksanaan kebijaksanaan perkreditan Bank bagi bank umum. (2) Penghitungan bunga dan/atau denda yang timbul atas transaksi Kartu Kredit dilakukan sesuai dengan standar akuntansi keuangan yang berlaku dengan mempertimbangkan asas keadilan dan kewajaran. (3) Dalam hal pemberian kredit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi kredit bermasalah, penyelesaian atas kredit bermasalah tersebut termasuk tagihan pokok, bunga dan/atau denda, diselesaikan sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyusunan dan pelaksanaan kebijaksanaan perkreditan Bank bagi bank umum. (4) Penghitungan kolektibilitas kredit dalam Kartu Kredit wajib dilakukan sesuai ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kolektibilitas kredit Bank Umum. (5) Penerbit … -21- (5) Penerbit Kartu Kredit dapat melakukan penghitungan kolektibilitas yang lebih hati-hati (prudent) daripada ketentuan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (4) untuk kepentingan internal Penerbit Kartu Kredit yang bersangkutan, namun untuk kepentingan pelaporan kepada Bank Indonesia, Penerbit Kartu Kredit wajib melakukan penghitungan kolektibilitas kredit berdasarkan ketentuan Bank Indonesia mengenai pemberian kredit oleh Bank. (6) Penerbit wajib menjamin bahwa penagihan atas transaksi Kartu Kredit, baik yang dilakukan oleh Penerbit sendiri atau menggunakan jasa pihak lain, dilakukan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 22 Penerbit dilarang memberikan fasilitas yang mempunyai dampak tambahan biaya kepada Pemegang Kartu dan/atau memberikan fasilitas lain di luar fungsi utama Kartu Kredit tanpa persetujuan tertulis dari Pemegang Kartu. Pasal 23 (1) Penerbit wajib melakukan tukar-menukar informasi data Pemegang Kartu dengan seluruh Penerbit lainnya yang meliputi negative list dan positive list serta data negatif penyedia barang dan/atau jasa (merchant black list). (2) Tukar-menukar informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara bilateral dan/atau melalui pusat pengelola informasi. (3) Dalam … -22- (3) Dalam hal tukar-menukar informasi dilakukan melalui pusat pengelola informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Bank Indonesia menetapkan ketentuan pelaksanaan tukar menukar informasi dan pengaturan tanggung jawab pusat pengelola informasi tersebut. (4) Penerbit dilarang memberikan informasi data Pemegang Kartu kepada pihak lain di luar kepentingan tukar-menukar informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tanpa persetujuan tertulis dari Pemegang Kartu. Pasal 24 (1) Dalam hal Penerbit bertindak pula sebagai Financial Acquirer, selain wajib menerapkan manajemen risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dan ayat (2), Penerbit tersebut wajib pula menerapkan pengendalian risiko keuangan dalam hal terjadi kerugian akibat penggunaan kartu palsu. (2) Dalam hal Penerbit bertindak pula sebagai Technical Acquirer, selain wajib menerapkan manajemen risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dan ayat (2), Penerbit tersebut wajib pula menerapkan manajemen risiko operasional yang sekurang-kurangnya meliputi : a. penyediaan sarana pengganti (back-up system) dalam hal terjadi gangguan pada perangkat keras dan jaringan komunikasi yang menjadi tanggung jawab Acquirer; dan b. penyediaan sarana back-up data transaksi. (3) Dalam hal Penerbit bekerjasama dengan Financial Acquirer, Penerbit wajib memastikan bahwa Financial Acquirer tersebut menerapkan pengendalian risiko keuangan dalam hal terjadi kerugian akibat penggunaan kartu palsu sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (4) Dalam … -23- (4) Dalam hal Penerbit bekerjasama dengan Technical Acquirer, Penerbit wajib memastikan bahwa Technical Acquirer tersebut menerapkan manajemen risiko operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Bagian Kedua Kartu ATM, Kartu Debet, dan/atau Kartu Prabayar Pasal 25 (1) Dalam pemberian Kartu ATM, Kartu Debet, dan/atau Kartu Prabayar, Penerbit wajib menerapkan manajemen risiko sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai manajemen risiko. (2) Selain memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penerbit wajib pula menerapkan manajemen risiko operasional yang sekurang- kurangnya meliputi : a. penetapan batas maksimum nilai transaksi; b. penetapan batas maksimum penarikan uang tunai; dan c. penetapan batas maksimum nilai yang tersimpan pada kartu, khusus untuk Kartu Prabayar. (3) Bank Indonesia dapat menetapkan batas maksimum nilai transaksi, batas maksimum penarikan uang tunai, dan batas maksimum nilai yang tersimpan pada Kartu Prabayar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal … -24- Pasal 26 (1) Kartu Prabayar yang dapat digunakan untuk bertransaksi di Indonesia adalah Kartu Prabayar yang diterbitkan oleh Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 atau Lembaga Selain Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3). (2) Kartu Prabayar yang digunakan untuk bertransaksi di Indonesia wajib menggunakan satuan hitung dalam Rupiah. Pasal 27 (1) Dalam hal Penerbit bertindak pula sebagai Financial Acquirer, selain wajib menerapkan manajemen risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) dan ayat (2), Penerbit tersebut wajib pula menerapkan pengendalian risiko keuangan dalam hal terjadi kerugian akibat penggunaan kartu palsu. (2) Dalam hal Penerbit bertindak pula sebagai Technical Acquirer, selain wajib menerapkan manajemen risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) dan ayat (2), Penerbit tersebut wajib pula menerapkan manajemen risiko operasional yang sekurang-kurangnya meliputi : a. penyediaan sarana pengganti (back-up system) dalam hal terjadi gangguan pada perangkat keras dan jaringan komunikasi yang menjadi tanggung jawab Acquirer; dan b. penyediaan sarana back-up data transaksi. (3) Dalam hal Penerbit bekerjasama dengan Financial Acquirer, Penerbit wajib memastikan bahwa Financial Acquirer tersebut menerapkan pengendalian risiko … -25- risiko keuangan dalam hal terjadi kerugian akibat penggunaan kartu palsu sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (4) Dalam hal Penerbit bekerjasama dengan Technical Acquirer, Penerbit wajib memastikan bahwa Technical Acquirer tersebut menerapkan manajemen risiko operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Pasal 28 Penerbit wajib memberikan informasi secara tertulis kepada Pemegang Kartu, sekurang-kurangnya mengenai hal-hal sebagai berikut: a. prosedur dan tata cara penggunaan Kartu ATM, Kartu Debet, dan/atau Kartu Prabayar, fasilitas yang melekat pada Kartu ATM, Kartu Debet, dan/atau Kartu Prabayar, dan risiko yang mungkin timbul dari penggunaan Kartu ATM, Kartu Debet, dan/atau Kartu Prabayar; b. hak dan kewajiban Pemegang Kartu; dan c. penanganan pengaduan tersebut. BAB IV PENGHENTIAN KEGIATAN Pasal 29 Bank Indonesia berwenang untuk menghentikan secara tetap penyelenggaraan kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu dalam hal: a. Penyelenggara … tata cara pengajuan pengaduan yang berkaitan dengan penggunaan kartu sebagaimana dimaksud pada huruf a dan perkiraan lamanya waktu -26- a. Penyelenggara kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu tidak memenuhi ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini setelah dikenakan sanksi penghentian sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45, Pasal 46, Pasal 47, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50, Pasal 51, Pasal 52, Pasal 53, Pasal 54, Pasal 55, Pasal 57, Pasal 58, Pasal 59, atau Pasal 60. b. terdapat putusan pengadilan yang menghukum Penyelenggara untuk menghentikan kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu yang dilakukannya; atau c. adanya permintaan tertulis/rekomendasi kepada Bank Indonesia dari otoritas pengawas yang berwenang untuk menghentikan kegiatan usaha Penyelenggara, atau otoritas pengawas dimaksud telah menghentikan kegiatan usaha Penyelenggara. Pasal 30 (1) Penyelenggara harus melaporkan secara tertulis kepada Bank Indonesia apabila akan menghentikan kegiatannya. (2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan paling lambat 1 (satu) bulan sebelum Penyelenggara menghentikan kegiatannya. (3) Pelaksanaan penghentian kegiatan oleh Penyelenggara harus dilaporkan secara tertulis kepada Bank Indonesia paling lambat 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak tanggal penghentian kegiatan. BAB V … -27- BAB V KLIRING DAN PENYELESAIAN AKHIR Pasal 31 (1) Dalam hal penyelenggaraan kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu memerlukan kegiatan kliring untuk memperhitungkan hak dan kewajiban keuangan masing-masing Penerbit dan/atau Financial Acquirer, maka kegiatan kliring tersebut diselenggarakan oleh Bank Indonesia atau pihak lain dengan persetujuan Bank Indonesia. (2) Persetujuan kepada pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan untuk penyelenggaraan kliring yang dilakukan di wilayah Republik Indonesia. (3) Penyelenggara kegiatan kliring sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib menyampaikan laporan secara tertulis kepada Bank Indonesia mengenai kegiatan kliring yang dilakukannya. (4) Dalam hal kegiatan kliring diselenggarakan di sebagaimana dimaksud pada ayat (1) luar wilayah Republik Indonesia, penyelenggara kegiatan kliring tidak memerlukan persetujuan Bank Indonesia, tetapi wajib menyampaikan laporan secara tertulis kepada Bank Indonesia mengenai kegiatan kliring yang dilakukannya sepanjang penyelenggara tersebut memiliki kantor cabang atau kantor perwakilan di wilayah Republik Indonesia. (5) Tata cara pemberian persetujuan kepada pihak lain sebagai penyelenggara kegiatan kliring sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan penyampaian laporan … -28- laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 32 (1) Penyelesaian akhir atas perhitungan hak dan kewajiban keuangan masing- masing Penerbit dan/atau Financial Acquirer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) diselenggarakan oleh Bank Indonesia atau pihak lain dengan persetujuan Bank Indonesia. (2) Persetujuan kepada pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan untuk penyelenggaraan penyelesaian akhir atas transaksi dalam mata uang rupiah untuk kartu yang diterbitkan oleh Penerbit di wilayah Republik Indonesia. (3) Penyelenggara kegiatan penyelesaian akhir sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib menyampaikan laporan secara tertulis kepada Bank Indonesia mengenai penyelenggaraan kegiatan penyelesaian akhir yang dilakukannya. (4) Dalam hal kegiatan penyelesaian akhir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan di luar wilayah Republik Indonesia, penyelenggara kegiatan penyelesaian akhir tidak memerlukan persetujuan Bank Indonesia, tetapi wajib menyampaikan laporan secara tertulis kepada Bank Indonesia mengenai penyelenggaraan kegiatan penyelesaian akhir yang dilakukannya sepanjang penyelenggara tersebut memiliki kantor cabang atau kantor perwakilan di wilayah Republik Indonesia. (5) Tata cara pemberian persetujuan kepada pihak lain sebagai penyelenggara kegiatan penyelesaian akhir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan penyampaian … -29- penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. BAB VI PENGAWASAN Pasal 33 (1) Bank Indonesia melakukan pengawasan baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap Penyelenggara. (2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara berkala dan/atau setiap waktu apabila diperlukan. (3) Dalam rangka pengawasan langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penyelenggara wajib memberikan : a. keterangan dan/atau data yang terkait dengan penyelenggaraan kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu; b. kesempatan untuk melakukan pengawasan secara langsung terhadap sarana fisik dan aplikasi pendukungnya yang terkait dengan penyelenggaraan kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu; dan/atau c. hal-hal lain yang diperlukan. (4) Berdasarkan hasil pengawasan langsung maupun tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia dapat melakukan pembinaan dan/atau mengenakan sanksi. Pasal … -30- Pasal 34 Bank Indonesia dapat menugaskan pihak lain untuk dan atas nama Bank Indonesia melaksanakan pengawasan secara langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1). Pasal 35 Dalam rangka pengawasan tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1), Penyelenggara wajib menyampaikan laporan tertulis kepada Bank Indonesia baik secara berkala dan/atau setiap waktu apabila diperlukan mengenai kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu yang dilakukan. BAB VII PENINGKATAN KEAMANAN TEKNOLOGI ALAT PEMBAYARAN DENGAN MENGGUNAKAN KARTU Pasal 36 (1) Penyelenggara wajib meningkatkan keamanan teknologi Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu, baik keamanan pada kartu maupun keamanan pada seluruh sistem yang digunakan untuk memproses transaksi Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu. (2) Ketentuan mengenai keamanan teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), termasuk pengaturan mengenai pencetakan dan personalisasi kartu, serta … -31- serta persetujuan perusahaan personalisasi kartu diatur lebih lanjut dengan Surat Edaran Bank Indonesia. BAB VIII LAIN-LAIN Pasal 37 Penyelenggaraan kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu oleh Bank Umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah (Bank Umum Syariah) dan Unit Usaha Syariah tunduk kepada Peraturan Bank Indonesia ini dengan tetap mengacu pada prinsip syariah yang berlaku. Pasal 38 Bank Perkreditan Rakyat dapat menyelenggarakan kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu sepanjang peraturan yang mengatur Bank Perkreditan Rakyat memungkinkan bagi Bank Perkreditan Rakyat untuk melakukan kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu. Pasal 39 Perusahaan Switching yang dapat beroperasi di Indonesia adalah Perusahaan Switching yang berbadan hukum Indonesia atau Perusahaan Switching yang berbadan hukum asing namun memiliki basis operasional di Indonesia. Pasal … -32- Pasal 40 (1) Penyelenggara wajib menyediakan sistem yang dapat dikoneksikan dengan sistem Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu yang lain. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban penyediaan sistem yang dapat dikoneksikan dengan sistem Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu yang lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 41 Peraturan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia ini diatur lebih lanjut dengan Surat Edaran Bank Indonesia. BAB IX S A N K S I Pasal 42 Prinsipal yang tidak menghentikan sementara atau mencabut persetujuan penggunaan merek yang telah diberikan kepada Penerbit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dalam jangka waktu paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak tanggal pemberitahuan tertulis oleh Bank Indonesia dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. Pasal … -33- Pasal 43 (1) Dalam hal Technical Acquirer dan/atau Perusahaan Switching tidak memiliki bukti kehandalan dan keamanan operasional, tidak menerapkan prinsip resiprositas, dan/atau tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3), Bank Indonesia dapat meminta Penerbit menghentikan kerjasama dengan Technical Acquirer dan/atau Perusahaan Switching tersebut. (2) Dalam hal Penerbit bekerjasama dengan Perusahaan Switching yang tidak berbadan hukum Indonesia atau dengan Perusahaan Switching yang berbadan hukum asing namun tidak memiliki basis operasional di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4), Bank Indonesia dapat meminta Penerbit menghentikan kerjasama dengan Perusahaan Switching tersebut. Pasal 44 (1) Dalam hal Technical Acquirer dan/atau Perusahaan Switching tidak memiliki bukti kehandalan dan keamanan operasional, tidak menerapkan prinsip resiprositas, dan/atau tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (4), Bank Indonesia dapat meminta Financial Acquirer menghentikan kerjasama dengan Technical Acquirer dan/atau Perusahaan Switching tersebut. (2) Dalam hal Financial Acquirer bekerjasama dengan Perusahaan Switching yang tidak berbadan hukum Indonesia atau dengan Perusahaan Switching yang berbadan hukum asing namun tidak memiliki basis operasional di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (5), Bank Indonesia dapat … -34- dapat meminta Financial Acquirer menghentikan kerjasama dengan Perusahaan Switching tersebut. Pasal 45 (1) Penerbit Kartu Kredit yang memberikan Kartu Kredit tidak berdasarkan permohonan tertulis sanksi administratif berupa teguran tertulis. (2) Jika dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Penerbit Kartu Kredit tidak memenuhi ketentuan Pasal 18, Penerbit Kartu Kredit tersebut dikenakan teguran tertulis kedua. (3) Jika dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal teguran tertulis kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Penerbit Kartu Kredit tidak memenuhi ketentuan Pasal 18, Penerbit Kartu Kredit tersebut dikenakan sanksi penghentian sementara kegiatan sebagai Penerbit Kartu Kredit. Pasal 46 (1) Penerbit Kartu Kredit yang tidak menerapkan manajemen risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dan/atau ayat (2) dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. (2) Jika dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Penerbit Kartu Kredit tidak memenuhi ketentuan … sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 dikenakan -35- ketentuan Pasal 19 ayat (1) dan/atau ayat (2), Penerbit Kartu Kredit tersebut dikenakan teguran tertulis kedua. (3) Jika dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal teguran tertulis kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Penerbit Kartu Kredit tidak memenuhi ketentuan Pasal 19 ayat (1) dan/atau ayat (2), Penerbit Kartu Kredit tersebut dikenakan sanksi penghentian sementara kegiatan sebagai Penerbit Kartu Kredit. (4) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) berlaku juga untuk Penerbit Kartu Kredit yang tidak memenuhi persyaratan mengenai minimum usia, minimum pendapatan, batas maksimum kredit, dan/atau persentase minimum pembayaran sebagaimana ditetapkan dalam Surat Edaran Bank Indonesia . Pasal 47 (1) Penerbit yang tidak memenuhi kewajiban pemberian informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dan/atau Pasal 28 dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. (2) Jika dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Penerbit tidak memenuhi ketentuan Pasal 20 dan/atau Pasal 28, Penerbit tersebut dikenakan teguran tertulis kedua. (3) Jika dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal teguran tertulis kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Penerbit tidak memenuhi ketentuan Pasal 20 dan/atau Pasal 28, Penerbit tersebut dikenakan sanksi penghentian sementara kegiatan sebagai Penerbit. Pasal … -36- Pasal 48 (1) Penerbit Kartu Kredit yang tidak memenuhi ketentuan yang berkaitan dengan pemberian dan/atau penyelesaian kredit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. (2) Jika dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Penerbit Kartu Kredit tidak memenuhi ketentuan Pasal 21, Penerbit tersebut dikenakan teguran tertulis kedua. (3) Jika dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal teguran tertulis kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Penerbit Kartu Kredit tidak memenuhi ketentuan Pasal 21, Penerbit tersebut dikenakan sanksi penghentian sementara kegiatan sebagai Penerbit Kartu Kredit. Pasal 49 (1) Penerbit Kartu Kredit yang tidak memenuhi ketentuan yang terkait dengan pemberian fasilitas lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. (2) Jika dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Penerbit Kartu Kredit tidak memenuhi ketentuan Pasal 22, Penerbit tersebut dikenakan teguran tertulis kedua. (3) Jika dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal teguran tertulis kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Penerbit Kartu Kredit tidak memenuhi ketentuan Pasal 22, Penerbit tersebut dikenakan sanksi penghentian sementara kegiatan sebagai Penerbit Kartu Kredit. Pasal … -37- Pasal 50 (1) Penerbit Kartu Kredit yang tidak memenuhi kewajiban untuk melakukan tukar menukar informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. (2) Penerbit Kartu Kredit yang memberikan informasi data Pemegang Kartu kepada pihak lain di luar kepentingan tukar-menukar informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (4), dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. (3) Jika dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) Penerbit Kartu Kredit tidak memenuhi ketentuan dalam Pasal 23 ayat (1) dan/atau ayat Penerbit Kartu Kredit tersebut dikenakan teguran tertulis kedua. (4), (4) Jika dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal teguran tertulis kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Penerbit Kartu Kredit tidak memenuhi ketentuan dalam Pasal 23 ayat (1) dan/atau ayat (4), Penerbit Kartu Kredit tersebut dikenakan sanksi penghentian sementara kegiatan sebagai Penerbit Kartu Kredit. Pasal 51 (1) Penerbit Kartu Kredit yang melanggar ketentuan Pasal 24 dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. (2) Jika dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Penerbit Kartu Kredit tidak memenuhi ketentuan … -38- ketentuan Pasal 24, Penerbit Kartu Kredit tersebut dikenakan teguran tertulis kedua. (3) Jika dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal teguran tertulis kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Penerbit Kartu Kredit tidak memenuhi ketentuan Pasal 24, Penerbit Kartu Kredit tersebut dikenakan penghentian sementara kegiatan sebagai Penerbit Kartu Kredit. Pasal 52 (1) Penerbit Kartu ATM, Kartu Debet, dan/atau Kartu Prabayar yang tidak menerapkan manajemen risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) dan ayat (2) dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. (2) Jika dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Penerbit Kartu ATM, Kartu Debet, dan/atau Kartu Prabayar tidak memenuhi ketentuan Pasal 25 ayat (1) dan ayat (2), Penerbit tersebut dikenakan teguran tertulis kedua. (3) Jika dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal teguran tertulis kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Penerbit Kartu ATM, Kartu Debet, dan/atau Kartu Prabayar tidak memenuhi ketentuan Pasal 25 ayat (1) dan ayat (2), Penerbit tersebut dikenakan sanksi penghentian sementara kegiatan sebagai Penerbit Kartu ATM, Kartu Debet, dan/atau Kartu Prabayar. sanksi Pasal … -39- Pasal 53 (1) Penerbit Kartu ATM, Kartu Debet, dan/atau Kartu Prabayar yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. (2) Jika dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Penerbit Kartu ATM, Kartu Debet, dan/atau Kartu Prabayar tidak memenuhi ketentuan Pasal 27, Penerbit tersebut dikenakan teguran tertulis kedua. (3) Jika dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal teguran tertulis kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Penerbit Kartu ATM, Kartu Debet, dan/atau Kartu Prabayar tidak memenuhi ketentuan Pasal 27, Penerbit tersebut dikenakan sanksi penghentian sementara kegiatan sebagai Penerbit Kartu ATM, Kartu Debet, dan/atau Kartu Prabayar. Pasal 54 (1) Penyelenggara kegiatan kliring yang tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (3) dan/atau ayat (4), serta penyelenggara kegiatan penyelesaian akhir yang tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3) dan/atau ayat (4) dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. (2) Jika dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) penyelenggara kegiatan kliring tidak memenuhi ketentuan Pasal 31 ayat (3) dan/atau ayat (4), dan/atau penyelenggara kegiatan penyelesaian akhir tidak memenuhi ketentuan Pasal … -40- Pasal 32 ayat (3) dan/atau ayat (4), penyelenggara tersebut dikenakan teguran tertulis kedua. (3) Jika dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal teguran tertulis kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (2) penyelenggara kegiatan kliring tidak memenuhi ketentuan Pasal 31 ayat (3) dan/atau ayat (4), dan/atau penyelenggara kegiatan penyelesaian akhir tidak memenuhi ketentuan Pasal 32 ayat (3) dan/atau ayat (4), penyelenggara tersebut dikenakan sanksi penghentian sementara. Pasal 55 Penyelenggara yang tidak memberikan keterangan, data, hal-hal lain yang diperlukan dalam rangka pengawasan, dan/atau tidak memberi kesempatan pengawas untuk melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (3), dikenakan sanksi penghentian sementara kegiatan sebagai Penyelenggara. Pasal 56 Penyelenggara yang tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 setelah berakhirnya batas waktu penyampaian laporan dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis dan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp. 100.000,00 (seratus ribu rupiah) per hari keterlambatan per jenis laporan dan per periode penyampaian laporan. Pasal … -41- Pasal 57 (1) Penyelenggara yang tidak memenuhi kewajiban keamanan teknologi sebagaimana dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. (2) Jika dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Penyelenggara tersebut tidak memenuhi ketentuan Pasal 36 ayat (1), Bank atau Lembaga Selain Bank tersebut dikenakan sanksi teguran tertulis kedua. (3) Jika dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal teguran tertulis kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Penyelenggara tidak memenuhi ketentuan Pasal 36 ayat (1), Penyelenggara tersebut dikenakan sanksi penghentian sementara kegiatan sebagai Penyelenggara kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu. Pasal 58 (1) Penyelenggara yang tidak memenuhi kewajiban penyediaan sistem sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. (2) Jika dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Penyelenggara tersebut tidak memenuhi ketentuan Pasal 40 ayat (1), Bank atau Lembaga Selain Bank tersebut dikenakan sanksi teguran tertulis kedua. (3) Jika dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal teguran tertulis kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Penyelenggara tidak memenuhi ketentuan … untuk meningkatkan dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) -42- ketentuan Pasal 40 ayat (1), Penyelenggara tersebut dikenakan sanksi penghentian sementara kegiatan sebagai Penyelenggara kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu. Pasal 59 (1) Bank atau Lembaga Selain Bank yang telah menyelenggarakan kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu dan tidak melaporkan kegiatannya tersebut kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 dikenakan sanksi teguran tertulis. (2) Jika dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Bank atau Lembaga Selain Bank tersebut tidak memenuhi ketentuan Pasal 61, Bank atau Lembaga Selain Bank tersebut dikenakan sanksi penghentian sementara atas kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu yang dilakukan. Pasal 60 (1) Bank atau Lembaga Selain Bank yang telah menyelenggarakan kegiatan kliring dan/atau penyelesaian akhir dan tidak melaporkan kegiatannya kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 dikenakan sanksi teguran tertulis. (2) Jika dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Bank atau Lembaga Selain Bank tersebut tidak memenuhi ketentuan Pasal 63, Bank atau Lembaga Selain Bank tersebut dikenakan sanksi penghentian sementara atas penyelenggaraan kegiatan kliring dan/atau penyelesaian akhir. BAB X … -43- BAB X KETENTUAN PERALIHAN Pasal 61 Bank atau Lembaga Selain Bank yang telah melakukan kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu sebelum tanggal 28 Desember 2004 wajib melaporkan kegiatannya kepada Bank Indonesia dengan tata cara, waktu penyampaian, dan jenis laporan sebagaimana Indonesia. Pasal 62 Perusahaan Switching yang telah beroperasi di Indonesia sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, yang belum berbadan hukum Indonesia atau tidak memiliki kantor cabang di Indonesia, wajib memenuhi ketentuan dalam Pasal 39 paling lambat dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sejak berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini. Pasal 63 Bank atau Lembaga Selain Bank yang telah menyelenggarakan kegiatan kliring dan/atau penyelesaian akhir atas kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini tetap dapat menyelenggarakan kegiatan tersebut dan wajib melaporkan kegiatannya kepada Bank Indonesia dengan tata cara, waktu penyampaian, dan jenis laporan yang diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. BAB XI … diatur dalam Surat Edaran Bank -44- BAB XI KETENTUAN PENUTUP Pasal 64 Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku, Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/30/PBI/2004 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4462) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 65 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 28 Desember 2005 GUBERNUR BANK INDONESIA, BURHANUDDIN ABDULLAH LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2005 NOMOR 148 DASP PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 7/52/PBI/2005 TENTANG PENYELENGGARAAN KEGIATAN ALAT PEMBAYARAN DENGAN MENGGUNAKAN KARTU UMUM Sebagai pelaksanaan dari Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2004, khususnya terkait dengan tugas Bank Indonesia dalam mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, Bank Indonesia berwenang antara lain melaksanakan dan memberikan persetujuan dan izin atas penyelenggaraan jasa sistem pembayaran dan mewajibkan penyelenggara jasa sistem pembayaran untuk menyampaikan laporan tentang kegiatannya. Persetujuan atau izin Bank Indonesia atas penyelenggaraan jasa sistem pembayaran tersebut diperlukan dengan maksud agar penyelenggaraan jasa sistem pembayaran memenuhi persyaratan, khususnya persyaratan keamanan dan efisiensi. kewajiban penyampaian laporan kegiatan dari penyelenggara jasa Sedangkan sistem pembayaran dimaksudkan agar Bank Indonesia dapat melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan jasa sistem pembayaran. Selain itu, informasi yang diperoleh dari penyelenggaraan jasa sistem pembayaran juga diperlukan untuk menunjang pelaksanaan tugas-tugas Bank Indonesia lainnya dalam bidang pengendalian moneter serta pengaturan dan pengawasan perbankan. Salah … -2- Salah satu kegiatan sistem pembayaran yang saat ini telah berkembang dengan cepat adalah Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu. Kebutuhan masyarakat terhadap penggunaan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu dalam memenuhi kegiatan ekonomi menunjukkan perkembangan yang cukup pesat dari tahun ke tahun. Sejalan dengan meningkatnya penggunaan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu tersebut, tingkat keamanan teknologi baik keamanan kartu maupun keamanan sistem yang digunakan untuk memproses transaksi Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu perlu ditingkatkan agar penggunaan kartu sebagai alat bayar dapat senantiasa berjalan dengan aman dan lancar. Berkaitan dengan teknologi yang saat ini digunakan dalam kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu yaitu magnetic stripes yang dinilai semakin rawan terhadap berbagai modus operandi kejahatan (fraud), maka perlu diatur kewajiban Penyelenggara untuk meningkatkan keamanan antara lain dengan mengkombinasikan penggunaan teknologi magnetic stripes dengan teknologi chip. Penggunaan teknologi chip selain untuk meningkatkan keamanan, juga dimaksudkan untuk mencegah migrasi kejahatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu dari negara-negara lain yang telah menerapkan chip ke Indonesia, serta untuk memberikan kemudahan bagi pengembangan produk layanan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu di masa mendatang. Selain pengaturan mengenai kewajiban peningkatan teknologi, pengaturan Kartu Prabayar dalam PBI ini lebih dipertegas antara lain dengan mengatur jenis Kartu Prabayar yang perlu mendapat persetujuan dari Bank Indonesia. Perlunya persetujuan Bank Indonesia terhadap penerbitan Kartu Prabayar yang bersifat Single-purpose multi merchants, Multi-purpose multi merchants dan Single- purpose atau Multi-purpose yang diterbitkan oleh bukan merchant antara lain dilatarbelakangi hal-hal sebagai berikut: 1. Kartu-kartu … -3- 1. Kartu-kartu tersebut pada dasarnya bersifat seperti uang yang dibawa oleh Pemegang Kartu. Dipersamakannya sifat kartu-kartu tersebut dengan uang karena pada saat Pemegang Kartu menggunakan kartunya pada merchant tertentu, maka bagi merchant tersebut nilai yang dikurangkan dari kartu, apapun satuan nilai dalam kartu tersebut, pada dasarnya berupa nilai uang yang pada waktunya akan ditagihkan pada Penerbit Kartu Prabayar dalam bentuk uang; 2. Kartu-kartu tersebut dapat dikategorikan sebagai System Wide Important Payment System (SWIPS) karena melibatkan berbagai pihak; dan digunakan oleh masyarakat banyak dan 3. Untuk menjamin kelancaran dan keamanan sistem pembayaran, karena penerbitan kartu-kartu pembayaran tersebut melibatkan banyak pihak. Adapun perlunya persetujuan oleh Bank Indonesia dimaksud didasarkan pada pertimbangan pentingnya: 1. perlindungan bagi masyarakat pengguna, 2. menjaga kepercayaan masyarakat terhadap alat pembayaran, dan 3. pelaksanaan tugas Bank Indonesia dalam memonitor uang beredar. Sedangkan Kartu Prabayar single merchant yang diterbitkan sendiri oleh merchant, tidak memerlukan persetujuan dari Bank Indonesia karena pada dasarnya nilai dalam kartu, walaupun berupa nilai uang, hanya dapat digunakan untuk pembayaran kepada merchant tersebut sehingga tidak akan ada penagihan dari merchant lainnya. Peraturan Bank Indonesia ini juga membatasi Lembaga Selain Bank yang dapat bertindak sebagai Penerbit Kartu Prabayar mengingat sifat Kartu Prabayar yang sama seperti uang tunai. Kartu-kartu Prabayar, apapun satuan nilai yang terdapat didalamnya, apakah rupiah, pulsa, ataupun bentuk lainnya, pada dasarnya … -4- dasarnya bersifat seperti “uang tunai di dalam fisik kartu” yang dibawa oleh Pemegang Kartu. Dikatakan bersifat seperti “uang tunai” karena nilai “uang” telah berada di dalam kartu (prabayar) dan bukan disimpan dalam rekening di bank. Pada dasarnya, “uang digital” yang terdapat dalam Kartu Prabayar dapat dikonstruksikan dalam dua bentuk, yakni bentuk “barang” dan bentuk “uang”. Kartu telepon, yang hanya digunakan untuk menelepon pada penyedia jasa telekomunikasi penerbit kartu telepon tersebut (single purpose single merchant) dapat dikategorikan sebagai “barang”, yang pembeliannya dapat disamakan dengan pembelian barang biasa (barang yang dibeli adalah pulsa). Selain hal-hal tersebut di atas, hal-hal yang terkait dengan aspek kehati- hatian, perlindungan konsumen, dan pengawasan terhadap kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu merupakan materi yang diatur dalam PBI ini. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas Pasal 2 Cukup jelas Pasal 3 Cukup jelas Pasal … -5- Pasal 4 Cukup jelas Pasal 5 Cukup jelas Pasal 6 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Dimungkinkannya Lembaga Selain Bank dalam ayat ini untuk menjadi Penerbit Kartu Prabayar ditujukan untuk menampung potensi lembaga-lembaga yang bukan lembaga keuangan untuk menerbitkan Kartu Prabayar sebagaimana Kartu Prabayar yang diterbitkan oleh Bank. Sebagai contoh, perusahaan telekomunikasi mengeluarkan kartu telepon berisi pulsa yang dapat digunakan baik untuk menelpon maupun untuk berbelanja. Yang dimaksud dengan “reputasi baik” dalam hal ini misalnya dalam penyelenggaraan Kartu Prabayar Single-purpose single merchant atau Multi-purpose single merchant, Penerbit tidak pernah gagal bayar dan kartu-kartu yang diterbitkannya dapat digunakan dengan baik. Ayat (4) Cukup jelas Pasal … -6- Pasal 7 Ayat (1) Persetujuan Bank Indonesia dimaksudkan agar terdapat kesetaraan antara Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu yang diterbitkan oleh Bank dengan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu yang diterbitkan oleh Lembaga Selain Bank, dan persetujuan Bank Indonesia tersebut dimaksudkan untuk melindungi masyarakat pengguna Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu, menjaga kepercayaan masyarakat terhadap alat pembayaran tersebut, dan menjalankan tugas Bank Indonesia dalam memonitor uang beredar. Ayat (2) Pengajuan permohonan persetujuan untuk menerbitkan beberapa jenis kartu, baik dalam satu fisik kartu maupun beberapa fisik kartu, dapat diajukan dalam 1 (satu) surat permohonan. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “beberapa jenis kartu tergabung dalam satu fisik kartu” antara lain fungsi Kartu ATM yang tergabung menjadi satu dengan Kartu Debet. Yang dimaksud dengan “menambahkan jenis kartu lainnya secara tergabung dalam fisik kartu yang telah diterbitkan” antara lain Penerbit yang telah menerbitkan Kartu ATM akan menambahkan fungsi Kartu Debet dalam fisik Kartu Kredit tersebut. Ayat (4) Penerbitan Kartu Prabayar Multi-purpose multi merchants, Kartu Prabayar Single-purpose multi merchants, dan Kartu Prabayar Multi-purpose atau Single-purpose di mana Penerbit Kartu Prabayar … -7- Prabayar tersebut bukan merupakan penyedia barang dan/atau jasa (merchant), memerlukan persetujuan Bank Indonesia karena: 1. Kartu-kartu tersebut pada dasarnya bersifat seperti uang yang dibawa oleh Pemegang Kartu. Dipersamakannya sifat kartu- kartu tersebut dengan uang karena pada saat Pemegang Kartu menggunakan kartunya pada merchant tertentu, maka bagi merchant tersebut nilai yang dikurangkan dari kartu, apapun satuan nilai dalam kartu tersebut, pada dasarnya berupa nilai uang yang pada waktunya akan ditagihkan pada Penerbit Kartu Prabayar dalam bentuk uang; 2. Kartu-kartu tersebut dapat dikategorikan sebagai System Wide Important Payment System (SWIPS) karena digunakan oleh masyarakat banyak dan melibatkan berbagai pihak; dan 3. Untuk menjamin kelancaran dan keamanan sistem pembayaran, karena penerbitan kartu-kartu pembayaran tersebut melibatkan banyak pihak. Pemberian persetujuan oleh Bank Indonesia didasarkan pada pertimbangan pentingnya: 1. perlindungan bagi masyarakat pengguna, 2. menjaga kepercayaan masyarakat terhadap alat pembayaran, dan 3. pelaksanaan tugas Bank Indonesia beredar. dalam memonitor uang Contoh Kartu Prabayar Single-purpose multi merchants adalah Kartu Prabayar yang dapat digunakan untuk membayar tiket berbagai transportasi umum, misalnya kereta api, bus kota, feri, monorel … -8- monorel, busway dan lain-lain, yang diselenggarakan oleh lebih dari satu perusahaan. Contoh Kartu Prabayar Multi-purpose multi merchants adalah Kartu Prabayar yang dapat digunakan untuk pembayaran tol, pembelanjaan umum, dan pembayaran tiket berbagai transportasi umum yang dikelola oleh lebih dari satu perusahaan pengelola, misalnya kereta api, bus kota, feri, monorel, busway, dan lain-lain. Contoh Kartu Prabayar Multi-purpose maupun Single-purpose yang Penerbitnya bukan merupakan penyedia barang dan atau jasa (bukan merchant) adalah: 1. Suatu perusahaan telekomunikasi menerbitkan Kartu Prabayar telekomunikasi yang dapat digunakan untuk membayar biaya tol di berbagai ruas tol yang dikelola oleh satu atau berbagai perusahaan pengelola jalan tol (Single-purpose single merchant atau Single-purpose multi merchants, dan Penerbit bukan merchant). 2. Bank menerbitkan Kartu Prabayar yang dapat digunakan untuk berbelanja barang dan atau jasa di satu atau berbagai merchants (multi-purpose single merchant atau multi-purpose multi merchants, dan Penerbit bukan merchant). Dalam hal Bank menyediakan jasa layanan bagi nasabahnya yang pembayaran atas jasa layanan tersebut dilakukan dengan menggunakan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu maka dalam hal ini Bank dimaksud bertindak sebagai merchant. Sedangkan … -9- Sedangkan Kartu Prabayar single merchant yang diterbitkan sendiri oleh merchant tersebut, tidak memerlukan persetujuan dari Bank Indonesia karena pada dasarnya nilai dalam kartu, walaupun berupa nilai uang, hanya dapat digunakan untuk pembayaran kepada merchant tersebut sehingga tidak merchant lainnya. akan ada penagihan dari Contoh: 1. Kartu Prabayar Multi-purpose yang hanya dapat digunakan pada satu penyedia barang dan/atau jasa (multi purpose single merchant), misalnya Kartu Prabayar yang diterbitkan oleh perusahaan pengelola jalan tol dan dapat digunakan untuk membayar tiket tol dan transaksi pembelanjaan lain pada outlet yang dimiliki oleh perusahaan yang sama. 2. Kartu Prabayar Single-purpose yang hanya dapat digunakan untuk kepentingan pembayaran barang dan/atau jasa tetapi hanya pada satu perusahaan penyedia barang dan/atau jasa (Single-purpose single merchant), misalnya Kartu Prabayar yang diterbitkan oleh perusahaan pengelola jalan tol untuk kepentingan pembayaran penggunaan jalan tol pada berbagai ruas jalan yang hanya dikelola oleh perusahaan tersebut. Pasal 8 Ayat (1) Cukup jelas Ayat … -10- Ayat (2) Huruf a Angka 1 Cukup jelas Angka 2 Cukup jelas Angka 3 Kesiapan perangkat hukum dalam pasal ini antara lain perjanjian antara Penerbit dengan Prinsipal, pengaturan mengenai hak dan kewajiban para pihak baik secara umum maupun dalam kasus-kasus khusus seperti pengaturan hak dan kewajiban Penerbit, Prinsipal, Acquirer, dan Pemegang Kartu, serta prosedur penyelesaian sengketa yang timbul diantara para pihak. Angka 4 Manajemen risiko dalam pasal ini antara lain menajemen risiko likuiditas, manajemen risiko kredit, dan manajemen risiko operasional. Angka 5 Bukti kesiapan operasional dalam pasal ini antara lain: 1. rencana struktur organisasi dan persiapan sumber daya manusia; 2. rencana peralatan dan sarana usaha. Huruf … -11- Huruf b Angka 1 Cukup jelas Angka 2 Pihak/pejabat yang berwenang untuk memberikan legalisasi fotokopi akta misalnya notaris. pendirian badan hukum Angka 3 Cukup jelas Angka 4 Kesiapan perangkat hukum dalam pasal ini antara lain perjanjian antara Penerbit dengan Prinsipal, pengaturan mengenai hak dan kewajiban para pihak baik secara umum maupun dalam kasus-kasus khusus seperti pengaturan hak dan kewajiban Penerbit, Prinsipal, Acquirer, dan Pemegang Kartu, serta prosedur penyelesaian sengketa yang timbul diantara para pihak. Angka 5 Manajemen risiko Angka 6 Bukti kesiapan operasional dalam pasal ini antara lain: 1. rencana struktur organisasi dan persiapan sumber daya manusia; dan 2. rencana peralatan dan sarana usaha. Ayat … dalam pasal ini antara lain menajemen risiko likuiditas, manajemen risiko kredit, dan manajemen risiko operasional. -12- Ayat (3) Huruf a Cukup jelas Huruf b Penerapan prinsip resiprositas diperlukan untuk menjamin agar terdapat kesejajaran di mana produk Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu Indonesia dapat dipergunakan di luar negeri sama dengan digunakannya produk Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu asing di Indonesia. Contoh, Bank-bank yang bersama-sama tergabung dalam jaringan ATM domestik (jaringan Perusahaan Switching domestik), dan jaringan ATM domestik tersebut akan dikoneksikan (interlink) dengan jaringan ATM luar negeri, maka kartu-kartu ATM yang diterbitkan oleh Bank-bank yang tergabung di jaringan ATM domestik maupun yang diterbitkan oleh Bank-bank yang tergabung dalam jaringan ATM luar negeri tersebut harus saling dapat digunakan baik di jaringan ATM di Indonesia maupun jaringan ATM di luar negeri. Huruf c Cukup jelas Ayat (4) Yang dimaksud dengan “memiliki basis operasional di Indonesia” antara lain memiliki kantor cabang di Indonesia. Pasal … -13- Pasal 9 Ayat (1) Contoh pihak lain dalam pasal ini antara lain pihak kolektor tagihan Kartu Kredit yang bekerjasama dengan Penerbit Kartu Kredit. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 10 Cukup jelas Pasal 11 Cukup jelas Pasal 12 Cukup jelas Pasal 13 Cukup jelas Pasal 14 Ayat (1) Bank dan atau Lembaga Selain Bank yang telah bertindak sebagai Penerbit dan mempunyai jaringan ATM sendiri dan kemudian melakukan kerjasama dengan Perusahaan Switching atau Penerbit lainnya dalam mengoperasikan jaringan ATM bersama, maka Penerbit tersebut otomatis menjalankan pula fungsi sebagai Financial Acquirer untuk nasabah Bank dan atau Lembaga Selain Bank … -14- Bank lainnya yang tergabung dalam jaringan ATM bersama tersebut. Bank atau Lembaga Selain Bank telah menjalankan fungsi sebagai Financial Acquirer apabila Bank atau Lembaga Selain Bank tersebut memberikan talangan untuk nasabah Bank atau Lembaga Selain Bank lainnya, meskipun Bank atau Lembaga Selain Bank tersebut tidak menyediakan jaringan ATM sendiri. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 15 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Huruf a Angka 1 Cukup jelas Angka 2 Cukup jelas Angka 3 Kesiapan perangkat hukum dalam pasal ini antara lain perjanjian antara Financial Acquirer dengan Penerbit dan/atau penyedia barang dan/atau jasa, pengaturan … -15- pengaturan mengenai hak dan kewajiban para pihak baik secara umum maupun dalam kasus-kasus khusus seperti pengaturan hak dan kewajiban Financial Acquirer, Penerbit, serta prosedur penyelesaian sengketa yang timbul diantara para pihak. Angka 4 Manajemen risiko dalam pasal ini antara lain menajemen risiko likuiditas, manajemen risiko kredit, dan manajemen risiko operasional. Angka 5 Bukti kesiapan operasional dalam pasal ini antara lain: 1. rencana struktur organisasi dan persiapan sumber daya manusia; dan 2. rencana peralatan dan sarana usaha. Huruf b Angka 1 Cukup jelas Angka 2 Pihak/pejabat yang berwenang untuk memberikan legalisasi fotokopi akta misalnya notaris. pendirian badan hukum Angka 3 Cukup jelas Angka … -16- Angka 4 Kesiapan perangkat hukum dalam pasal ini antara lain perjanjian antara Financial Acquirer dengan Penerbit dan/atau penyedia barang dan/atau jasa, pengaturan mengenai hak dan kewajiban para pihak baik secara umum maupun dalam kasus-kasus khusus seperti pengaturan hak dan kewajiban Financial Acquirer, Penerbit, serta prosedur penyelesaian sengketa yang timbul diantara para pihak. Angka 5 Manajemen risiko dalam pasal ini antara lain menajemen risiko likuiditas, manajemen risiko kredit, dan manajemen risiko operasional. Angka 6 Bukti kesiapan operasional dalam pasal ini antara lain: 1. rencana struktur organisasi dan persiapan sumber daya manusia; dan 2. rencana peralatan dan sarana usaha. Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Yang dimaksud dengan “memiliki basis operasional di Indonesia” antara lain memiliki kantor cabang di Indonesia. Pasal 16 Cukup jelas Pasal … -17- Pasal 17 Cukup jelas Pasal 18 Penawaran produk Kartu Kredit secara lisan kepada calon Pemegang Kartu (solicitation) dapat dilakukan namun pemberian Kartu Kredit baru dapat dilakukan setelah adanya permohonan tertulis tandatangan basah oleh calon Pemegang Kartu. yang dibubuhi Pasal 19 Ayat (1) Ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai manajemen risiko antara lain Peraturan Bank Indonesia tentang Penerapan Manajemen Risiko dan seluruh peraturan pelaksanaannya. Ayat (2) Manajemen risiko kredit dalam pasal ini wajib dituangkan dalam bentuk dokumen tertulis. Ayat (3) Cukup jelas Pasal 20 Cukup jelas Pasal 21 Ayat (1) Kewajiban untuk tunduk pada ketentuan mengenai penyusunan dan pelaksanaan kebijakan perkreditan Bank bagi Bank umum dalam pemberian … -18- pemberian kredit, berlaku baik untuk Bank maupun Lembaga Selain Bank yang menerbitkan Kartu Kredit. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “mempertimbangkan asas keadilan dan kewajaran” antara lain Penerbit: a. tidak memperhitungkan nilai transaksi yang belum jatuh tempo sebagai komponen dalam penghitungan bunga; b. menghitung bunga dari unpaid balance, bukan dari nilai transaksi; dan c. tidak mengenakan bunga atas tagihan yang telah sebelum tanggal cetak tagihan (early payment). Ayat (3) Kewajiban untuk tunduk pada ketentuan mengenai penyusunan dan pelaksanaan kebijakan perkreditan Bank bagi Bank umum dalam penyelesaian kredit bermasalah, berlaku baik untuk Bank maupun Lembaga Selain Bank yang menerbitkan Kartu Kredit. Ayat (4) Kewajiban untuk tunduk pada ketentuan mengenai pemberian kredit oleh Bank dalam penghitungan kolektibilitas kredit, berlaku baik untuk Bank maupun Lembaga Selain Bank yang menerbitkan Kartu Kredit. Ayat (5) Cukup jelas Ayat (6) Cukup jelas dibayar Pasal … -19- Pasal 22 Yang dimaksud dengan ”fasilitas yang mempunyai dampak tambahan biaya” dalam pasal ini antara lain adalah program asuransi dan pemberian Kartu Kredit tambahan. Yang dimaksud dengan ”fasilitas lain di luar fungsi utama Kartu Kredit” antara lain adalah memperlakukan kelebihan pembayaran tagihan Kartu Kredit sebagai tabungan yang benar-benar diperlakukan seperti simpanan biasa yang dapat digunakan untuk bertransaksi di luar transaksi Kartu Kredit misalnya transaksi transfer dana antar Bank. Yang dimaksud dengan “persetujuan tertulis” dalam ayat ini termasuk juga kesepakatan lisan yang dituangkan dalam catatan resmi pejabat Bank yang berwenang. Pasal 23 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Pusat pengelola informasi dalam ayat ini antara lain pusat pengelola informasi yang diselenggarakan oleh Bank Indonesia dan/atau credit bureau. Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Larangan pemberian informasi data Pemegang Kartu pada ayat ini misalnya pemberian informasi data Pemegang Kartu oleh Penerbit kepada pihak lain seperti penyedia barang dan/atau jasa dan perusahaan asuransi. Pasal … -20- Pasal 24 Cukup jelas Pasal 25 Cukup jelas Pasal 26 Cukup jelas Pasal 27 Cukup jelas Pasal 28 Cukup jelas Pasal 29 Yang dimaksud “penghentian secara tetap” adalah pencabutan persetujuan sebagai Penerbit dan/atau Financial Acquirer oleh Bank Indonesia. Permintaan tertulis dari otoritas pengawas yang berwenang untuk menghentikan kegiatan usaha Penyelenggara kepada Bank Indonesia dapat didasarkan pada pertimbangan antara lain adanya pelanggaran terhadap ketentuan yang dikeluarkan oleh otoritas yang berwenang tersebut. Pasal 30 Cukup jelas Pasal … -21- Pasal 31 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “pihak lain” dalam ayat ini antara lain Bank dan Perusahaan Switching. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Pasal 32 Cukup jelas. Pasal 33 Cukup jelas Pasal 34 Cukup jelas Pasal 35 Cukup jelas Pasal 36 Cukup jelas Pasal … -22- Pasal 37 Yang dimaksud dengan “prinsip syariah” dalam pasal ini adalah prinsip syariah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia yang mengatur mengenai perbankan pelaksanaannya, antara lain berdasarkan pada fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) yang mengatur tentang kartu syariah. Pasal 38 Cukup jelas Pasal 39 Yang dimaksud dengan “memiliki basis operasional di Indonesia” antara lain memiliki kantor cabang di Indonesia. Pasal 40 Ayat (1) Kewajiban penyediaan sistem yang dapat dikoneksikan dengan sistem Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu yang lain antara lain dimaksudkan untuk meningkatkan efisiensi dalam kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 41 Ketentuan yang diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia antara lain memuat : a. tata cara penyelenggaraan kegiatan Alat Menggunakan Kartu oleh Bank atau Lembaga Selain Bank; b. tata cara pengawasan langsung dan tidak langsung; c. tata … dan seluruh ketentuan Pembayaran Dengan -23- c. tata cara pelaporan dan jenis laporan; d. waktu penyampaian laporan; dan e. tata cara dan jenis informasi yang dapat dipertukarkan dalam rangka tukar-menukar informasi. Pasal 42 Cukup jelas Pasal 43 Cukup jelas Pasal 44 Cukup jelas Pasal 45 Cukup jelas Pasal 46 Cukup jelas Pasal 47 Cukup jelas Pasal 48 Cukup jelas Pasal … -24- Pasal 49 Cukup jelas Pasal 50 Cukup jelas Pasal 51 Cukup jelas Pasal 52 Cukup jelas Pasal 53 Cukup jelas Pasal 54 Cukup jelas Pasal 55 Cukup jelas Pasal 56 Cukup jelas Pasal 57 Cukup jelas Pasal … -25- Pasal 58 Cukup jelas Pasal 59 Cukup jelas Pasal 60 Cukup jelas Pasal 61 Cukup jelas Pasal 62 Cukup jelas Pasal 63 Cukup jelas Pasal 64 Cukup jelas Pasal 65 Cukup jelas TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4583 "," PBI 7/52/PBI/2005 PENYELENGGARAAN KEGIATAN ALAT PEMBAYARAN DENGAN MENGGUNAKAN KARTU 28 Desember 2005 28 Desember 2005 '6/30/PBI/2004' '23/UU/1999', '7/UU/1992', '3/UU/2004', '10/UU/1998' 'BAB II Pasal 4 Ayat (2)', 'BAB IX' " " PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 11/ 3 /PBI/2009 TENTANG BANK UMUM SYARIAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam menghadapi perkembangan perekonomian nasional yang mengalami perubahan yang cepat dan tantangan yang dinamis, serta terintegrasi dengan perekonomian global yang terus berkembang, diperlukan perbankan nasional yang tangguh; b. bahwa perbankan syariah sebagai salah satu unsur dari perbankan nasional diharapkan dapat memberikan kontribusi yang optimal sebagai lembaga intermediasi dalam mendukung pembangunan ekonomi nasional; c. bahwa untuk mendorong terciptanya perbankan syariah yang tangguh dan efisien, diperlukan pengaturan kegiatan perbankan syariah yang komprehensif, jelas dan memberikan kepastian hukum; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c maka diperlukan penyempurnaan terhadap ketentuan mengenai Bank Umum Syariah dalam suatu Peraturan Bank Indonesia; Mengingat … - 2 - Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 142, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4901) sebagaimana telah ditetapkan dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 2. Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867); 3. Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756); MEMUTUSKAN: Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG BANK UMUM SYARIAH. BAB I … - 3 - BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah Bank Umum Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah; 2. Kantor Cabang yang selanjutnya disebut dengan KC adalah kantor Bank yang bertanggung jawab kepada kantor pusat Bank yang bersangkutan, dengan alamat tempat usaha yang jelas sesuai dengan lokasi KC tersebut melakukan usahanya; 3. Kantor di bawah Kantor Cabang adalah Kantor Cabang Pembantu atau Kantor Kas; 4. Kantor Cabang Pembantu yang selanjutnya disebut dengan KCP adalah kantor Bank yang kegiatan usahanya membantu KC induknya, dengan alamat tempat usaha yang jelas sesuai dengan lokasi KCP tersebut melakukan usahanya; 5. Kantor Kas yang selanjutnya disebut dengan KK adalah kantor Bank yang kegiatan usahanya membantu KC atau KCP induknya, kecuali melakukan penyaluran dana, dengan alamat tempat usaha yang jelas sesuai dengan lokasi KK tersebut melakukan usahanya; 6. Kegiatan Pelayanan Kas yang selanjutnya disebut dengan KPK adalah kegiatan kas dalam rangka melayani pihak yang telah menjadi nasabah Bank meliputi antara lain: a. Kas Keliling yaitu kegiatan pelayanan kas secara berpindah- pindah dengan menggunakan alat transportasi atau pada lokasi … - 4 - lokasi tertentu secara tidak permanen, antara lain kas mobil, kas terapung atau counter bank non permanen; b. Payment Point yaitu kegiatan dalam bentuk penerimaan pembayaran melalui kerjasama antara Bank dengan pihak lain pada suatu lokasi tertentu, seperti untuk penerimaan pembayaran tagihan telepon, tagihan listrik dan/atau penerimaan setoran dari pihak ketiga; c. Perangkat Perbankan Elektronis yang selanjutnya disebut dengan PPE yaitu kegiatan pelayanan kas atau non kas yang dilakukan dengan menggunakan sarana mesin elektronis yang berlokasi baik di dalam maupun di luar kantor Bank, yang dapat melakukan pelayanan antara lain penarikan atau penyetoran secara tunai, pembayaran melalui pemindahbukuan, transfer antar bank dan/atau memperoleh informasi mengenai saldo/mutasi rekening nasabah, baik menggunakan jaringan dan/atau mesin milik Bank sendiri maupun melalui kerja sama Bank dengan pihak lain, antara lain Anjungan Tunai Mandiri (ATM); 7. Pemegang Saham Pengendali yang selanjutnya disebut dengan PSP adalah badan hukum, orang perseorangan, dan/atau kelompok usaha yang: a. memiliki saham Bank sebesar 25% (dua puluh lima persen) atau lebih dari jumlah saham yang dikeluarkan dan memiliki hak suara; atau b. memiliki saham Bank kurang dari 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah saham yang dikeluarkan dan memiliki hak suara tetapi yang bersangkutan dapat dibuktikan telah melakukan … - 5 - melakukan pengendalian Bank baik secara langsung maupun tidak langsung; 8. Dewan Komisaris adalah Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas; 9. Komisaris Independen adalah anggota Dewan Komisaris yang tidak memiliki hubungan keuangan, kepengurusan, kepemilikan saham dan/atau hubungan keluarga dengan anggota Dewan Komisaris lainnya, Direksi dan/atau pemegang saham pengendali atau hubungan dengan bank, yang dapat mempengaruhi kemampuannya untuk bertindak independen; 10. Direksi adalah Direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang- undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas; 11. Dewan Pengawas Syariah yang selanjutnya disebut DPS adalah dewan yang bertugas memberikan nasihat dan saran kepada Direksi serta mengawasi kegiatan Bank agar sesuai dengan prinsip syariah; 12. Pejabat Eksekutif adalah pejabat yang bertanggung jawab langsung kepada direktur atau Direksi dan/atau mempunyai pengaruh terhadap kebijakan dan operasional Bank seperti kepala divisi, pemimpin KC, atau kepala satuan kerja audit internal; 13. Kelompok Usaha adalah: a. perorangan dan badan hukum; b. beberapa orang; atau c. beberapa badan hukum yang memiliki keterkaitan kepengurusan, kepemilikan dan/atau hubungan … - 6 - hubungan keuangan. 14. Hari adalah hari kalender. Pasal 2 Bentuk badan hukum Bank adalah perseroan terbatas. Pasal 3 Bank harus memiliki anggaran dasar yang selain memenuhi persyaratan anggaran dasar sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan juga harus memuat ketentuan: a. pengangkatan anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi, dan anggota DPS dengan memperoleh persetujuan Bank Indonesia terlebih dahulu; b. syarat, jumlah, tugas, kewenangan, tanggung jawab, serta hal lain yang menyangkut Dewan Komisaris, Direksi, dan DPS sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; c. Rapat Umum Pemegang Saham Bank yang menetapkan tugas manajemen, remunerasi Dewan Komisaris dan Direksi, laporan pertanggungjawaban tahunan, penunjukan dan biaya jasa akuntan publik, penggunaan laba, dan hal-hal lainnya yang ditetapkan dalam ketentuan Bank Indonesia; dan d. Rapat Umum Pemegang Saham yang harus dipimpin oleh Presiden Komisaris atau Komisaris Utama. BAB II … - 7 - BAB II PERIZINAN Bagian Kesatu Pendirian Bank Pasal 4 (1) Bank hanya dapat didirikan dan melakukan kegiatan usaha setelah memperoleh izin Bank Indonesia. (2) Pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam 2 (dua) tahap: a. persetujuan prinsip, yaitu persetujuan untuk melakukan persiapan pendirian Bank; dan b. izin usaha, yaitu izin yang diberikan untuk melakukan kegiatan usaha Bank setelah persiapan sebagaimana dimaksud dalam huruf a selesai dilakukan. Pasal 5 Modal disetor untuk mendirikan Bank ditetapkan paling kurang sebesar Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah). Pasal 6 (1) Bank hanya dapat didirikan dan/atau dimiliki oleh: a. warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia; b. warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia dengan warga negara asing dan/atau badan hukum asing secara kemitraan; atau c. pemerintah daerah. (2) Kepemilikan oleh warga negara asing dan/atau badan hukum asing … - 8 - asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b paling banyak sebesar 99% (sembilan puluh sembilan persen) dari modal disetor Bank. Bagian Kedua Persetujuan Prinsip Pasal 7 (1) Permohonan untuk mendapatkan persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a diajukan paling kurang oleh salah satu calon pemilik kepada Bank Indonesia disertai dengan dokumen pendukung. (2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus disertai dengan pemenuhan setoran modal paling kurang 30% (tiga puluh persen) dari modal disetor minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 yang dibuktikan dengan dokumen pendukung. (3) Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 8 (1) Persetujuan atau penolakan atas permohonan persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 diberikan paling lambat 60 (enam puluh) hari setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap. (2) Persetujuan atau penolakan atas permohonan persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberikan Bank Indonesia berdasarkan pada: a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen; b. analisis … - 9 - b. analisis yang mencakup antara lain tingkat persaingan yang sehat antar Bank dan Unit Usaha Syariah, tingkat kejenuhan jumlah Bank dan Unit Usaha Syariah serta pemerataan pembangunan ekonomi nasional; dan c. uji kemampuan dan kepatutan (fit and proper test) terhadap calon PSP, calon anggota Dewan Komisaris, dan calon anggota Direksi, serta wawancara terhadap calon anggota DPS. (3) Selain ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pihak- pihak yang mengajukan permohonan pendirian Bank wajib melakukan presentasi kepada Bank Indonesia mengenai keseluruhan rencana pendirian Bank. Pasal 9 (1) Persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) berlaku untuk jangka waktu 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal persetujuan prinsip diterbitkan. (2) Pihak yang telah mendapat persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang melakukan kegiatan usaha Bank, sebelum mendapat izin usaha. (3) Apabila setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pihak yang telah mendapat persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (2) belum mengajukan permohonan izin usaha kepada Bank Indonesia, maka persetujuan prinsip yang telah diberikan menjadi tidak berlaku. Bagian … - 10 - Bagian Ketiga Izin Usaha Pasal 10 (1) Permohonan untuk mendapatkan izin usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf b diajukan oleh pihak yang telah mendapat persetujuan prinsip kepada Bank Indonesia disertai dengan dokumen pendukung. (2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus disertai dengan pelunasan modal disetor minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 yang dibuktikan dengan dokumen pendukung. (3) Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 11 (1) Persetujuan atau penolakan atas permohonan izin usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 diberikan paling lambat 60 (enam puluh) hari setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap. (2) Persetujuan atau penolakan atas permohonan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberikan Bank Indonesia berdasarkan pada: a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen; dan b. uji kemampuan dan kepatutan (fit and proper test) dan wawancara terhadap pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf c dalam hal terdapat penggantian. Pasal 12 … - 11 - Pasal 12 (1) Bank yang telah mendapat izin usaha dari Bank Indonesia wajib melakukan kegiatan usaha Bank paling lambat 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal izin usaha diterbitkan. (2) Pelaksanaan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaporkan oleh Presiden Direktur atau Direktur Utama Bank kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah tanggal pelaksanaan kegiatan usaha. (3) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Bank belum melakukan kegiatan usaha, maka izin yang telah diberikan menjadi tidak berlaku. Pasal 13 (1) Bank yang telah mendapat izin usaha dari Bank Indonesia wajib mencantumkan secara jelas kata Syariah sesudah kata Bank atau setelah nama bank pada penulisan namanya. (2) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berlaku bagi Bank yang mendapatkan izin usaha setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. BAB III KEPEMILIKAN DAN PERUBAHAN MODAL BANK Pasal 14 Kepemilikan Bank oleh badan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) paling tinggi sebesar modal sendiri bersih badan hukum yang bersangkutan. Pasal 15 … - 12 - Pasal 15 Sumber dana yang digunakan dalam rangka kepemilikan Bank dilarang: a. berasal dari pinjaman atau fasilitas pembiayaan dalam bentuk apapun dari bank dan/atau pihak lain; dan/atau b. berasal dari dan untuk tujuan pencucian uang (money laundering). Pasal 16 Pihak-pihak yang dapat menjadi pemilik Bank wajib memenuhi persyaratan integritas, yang paling kurang mencakup: a. memiliki akhlak dan moral yang baik; b. memiliki komitmen untuk mematuhi peraturan perbankan syariah dan peraturan perundang-undangan lain yang berlaku; dan c. memiliki komitmen yang tinggi terhadap pengembangan Bank yang sehat dan tangguh (sustainable). Pasal 17 (1) Pihak-pihak yang dapat menjadi PSP Bank wajib memenuhi persyaratan integritas dan kelayakan keuangan. (2) Persyaratan dan tata cara penilaian pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai uji kemampuan dan kepatutan (fit and proper test). Pasal 18 (1) Perubahan pemilik Bank tunduk kepada tata cara perubahan pemilik Bank yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang … - 13 - yang berlaku mengenai penggabungan (merger), peleburan (konsolidasi), dan pengambilalihan (akuisisi) bank dan/atau mengenai pembelian saham bank umum. (2) Perubahan PSP sebagai akibat adanya pewarisan tidak diperlakukan sebagai pengambilalihan (akuisisi) namun tetap wajib memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia. Pasal 19 (1) Perubahan komposisi kepemilikan Bank yang tidak mengakibatkan perubahan pengendalian, baik yang mengakibatkan maupun tidak mengakibatkan penggantian, pengurangan, dan/atau penambahan pemilik wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah perubahan dilakukan disertai dengan dokumen pendukung. (2) Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 20 (1) Perubahan modal dasar wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah tanggal diterimanya persetujuan perubahan anggaran dasar dari instansi berwenang disertai dengan dokumen pendukung. (2) Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia. (3) Pembelian kembali saham yang telah dikeluarkan oleh Bank wajib memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari Bank Indonesia … - 14 - Indonesia dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Pasal 21 (1) Penerbitan saham Bank melalui penawaran umum di bursa efek (go public) wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia. (2) Rencana penerbitan saham Bank melalui penawaran umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dicantumkan dalam Rencana Bisnis Bank. (3) Pelaporan penerbitan saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan paling lambat 60 (enam puluh) hari sebelum pelaksanaan penawaran umum disertai dengan dokumen pendukung. (4) Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 22 (1) Bank wajib mengadministrasikan dengan tertib daftar pemegang saham dan perubahannya. (2) Bank yang telah terdaftar di pasar modal wajib memperbarui daftar sebagaimana dimaksud pada ayat (1). BAB IV … - 15 - BAB IV DEWAN KOMISARIS, DIREKSI, DEWAN PENGAWAS SYARIAH DAN PEJABAT EKSEKUTIF Bagian Kesatu Dewan Komisaris dan Direksi Pasal 23 (1) Anggota Dewan Komisaris dan anggota Direksi wajib memenuhi persyaratan integritas, kompetensi, dan reputasi keuangan. (2) Persyaratan dan tata cara penilaian pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai uji kemampuan dan kepatutan (fit and proper test). Pasal 24 (1) Dewan Komisaris melakukan pengawasan atas pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Direksi, serta memberikan nasihat kepada Direksi. (2) Pengawasan oleh Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan berpedoman antara lain pada ketentuan Bank Indonesia mengenai pelaksanaan good corporate governance yang berlaku bagi Bank. Pasal 25 (1) Jumlah anggota Dewan Komisaris paling kurang 3 (tiga) orang dan paling banyak sama dengan jumlah anggota Direksi. (2) Paling kurang 1 (satu) orang anggota Dewan Komisaris wajib berdomisili di Indonesia. (3) Dewan … - 16 - (3) Dewan Komisaris dipimpin oleh Presiden Komisaris atau Komisaris Utama. (4) Paling kurang 50% (lima puluh persen) dari jumlah anggota Dewan Komisaris adalah Komisaris Independen. Pasal 26 (1) Anggota Dewan Komisaris hanya dapat merangkap jabatan sebagai: a. anggota Dewan Komisaris, Direksi, atau Pejabat Eksekutif pada 1 (satu) lembaga/perusahaan bukan lembaga keuangan; b. anggota Dewan Komisaris atau Direksi yang melaksanakan fungsi pengawasan pada 1 (satu) perusahaan anak lembaga keuangan bukan Bank yang dimiliki oleh Bank; c. anggota Dewan Komisaris, Direksi, atau Pejabat Eksekutif pada 1 (satu) perusahaan yang merupakan pemegang saham Bank; atau d. pejabat pada paling banyak 3 (tiga) lembaga nirlaba. (2) Mayoritas anggota Dewan Komisaris dilarang saling memiliki hubungan keluarga sampai dengan derajat kedua dengan sesama anggota Dewan Komisaris dan/atau anggota Direksi. Pasal 27 (1) Direksi bertanggungjawab penuh atas pelaksanaan pengelolaan Bank termasuk pemenuhan prinsip kehati-hatian dan prinsip syariah. (2) Pengelolaan Bank oleh Direksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan berpedoman antara lain pada ketentuan Bank … - 17 - Bank Indonesia mengenai pelaksanaan good corporate governance yang berlaku bagi Bank. Pasal 28 (1) Jumlah anggota Direksi paling kurang 3 (tiga) orang. (2) Setiap anggota Direksi harus berdomisili di Indonesia. (3) Direksi dipimpin oleh Presiden Direktur atau Direktur Utama. (4) Presiden Direktur atau Direktur Utama sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib berasal dari pihak yang independen terhadap PSP. Pasal 29 (1) Anggota Direksi dilarang merangkap jabatan sebagai anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi, atau Pejabat Eksekutif pada bank, perusahaan dan/atau lembaga lain. (2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan apabila: a. Direksi yang bertanggung jawab terhadap pengawasan atas penyertaan pada perusahaan anak Bank, menjalankan tugas fungsional menjadi anggota Dewan Komisaris pada perusahaan anak bukan bank yang dikendalikan oleh Bank; dan/atau b. Direksi menduduki jabatan pada 2 (dua) lembaga nirlaba. (3) Anggota Direksi baik secara sendiri-sendiri atau bersama-sama dilarang memiliki saham melebihi 25% (dua puluh lima persen) dari modal disetor pada perusahaan lain. (4) Mayoritas anggota Direksi dilarang saling memiliki hubungan keluarga … - 18 - keluarga sampai dengan derajat kedua dengan sesama anggota Direksi dan/atau dengan anggota Dewan Komisaris. Pasal 30 (1) Bank wajib memiliki 1 (satu) orang Direktur Kepatuhan yang diangkat oleh Rapat Umum Pemegang Saham. (2) Direktur Kepatuhan bertugas untuk memastikan kepatuhan Bank terhadap pelaksanaan ketentuan Bank Indonesia dan peraturan perundang-undangan lainnya. (3) Ketentuan mengenai Direktur Kepatuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai Direktur Kepatuhan. Pasal 31 (1) Calon anggota Dewan Komisaris dan/atau anggota Direksi wajib memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia sebelum menduduki jabatannya. (2) Pengangkatan anggota Dewan Komisaris dan/atau anggota Direksi oleh Rapat Umum Pemegang Saham berlaku efektif setelah mendapat persetujuan dari Bank Indonesia. (3) Selain memenuhi ketentuan Bank Indonesia, calon anggota Dewan Komisaris dan/atau anggota Direksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi persyaratan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 32 (1) Permohonan untuk memperoleh persetujuan sebagaimana dimaksud … - 19 - dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) diajukan oleh Bank kepada Bank Indonesia disertai dengan dokumen pendukung. (2) Persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan Bank Indonesia berdasarkan pada: a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen; dan b. uji kemampuan dan kepatutan (fit and proper test) terhadap calon anggota Dewan Komisaris dan/atau anggota Direksi. (3) Persetujuan atau penolakan atas pengajuan calon anggota Dewan Komisaris dan/atau anggota Direksi diberikan paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak dokumen permohonan diterima secara lengkap. (4) Calon anggota Dewan Komisaris dan/atau calon anggota Direksi yang telah mendapat persetujuan Bank Indonesia namun tidak diangkat oleh Rapat Umum Pemegang Saham dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal persetujuan diterbitkan, maka persetujuan terhadap calon anggota Dewan Komisaris dan/atau calon anggota Direksi menjadi tidak berlaku. (5) Pengangkatan anggota Dewan Komisaris dan/atau anggota Direksi wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari sejak tanggal pengangkatan efektif disertai dengan dokumen pendukung. (6) Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (5) diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 33 Pemberhentian dan/atau pengunduran diri anggota Dewan Komisaris dan/atau … - 20 - dan/atau anggota Direksi wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah pemberhentian dan/atau pengunduran diri efektif. Bagian Kedua Dewan Pengawas Syariah Pasal 34 (1) Bank wajib membentuk DPS yang berkedudukan di kantor pusat Bank. (2) Anggota DPS wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. Integritas, yang paling kurang mencakup: 1. memiliki akhlak dan moral yang baik; 2. memiliki komitmen untuk mematuhi peraturan perbankan syariah dan peraturan perundang-undangan lain yang berlaku; 3. memiliki komitmen terhadap pengembangan Bank yang sehat dan tangguh (sustainable); dan 4. tidak termasuk dalam Daftar Tidak Lulus sebagaimana diatur dalam ketentuan mengenai uji kemampuan dan kepatutan (fit and proper test) yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. b. Kompetensi, yang paling kurang memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang syariah mu’amalah dan pengetahuan di bidang perbankan dan/atau keuangan secara umum; dan c. Reputasi keuangan, yang paling kurang mencakup: 1. tidak termasuk dalam daftar kredit macet; dan 2. tidak pernah dinyatakan pailit atau menjadi pemegang saham … - 21 - saham, anggota Dewan Komisaris, atau anggota Direksi yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perseroan dinyatakan pailit, dalam waktu 5 (lima) tahun terakhir sebelum dicalonkan. Pasal 35 (1) DPS bertugas dan bertanggungjawab memberikan nasihat dan saran kepada Direksi serta mengawasi kegiatan Bank agar sesuai dengan Prinsip Syariah. (2) Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab DPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi antara lain: a. menilai dan memastikan pemenuhan Prinsip Syariah atas pedoman operasional dan produk yang dikeluarkan Bank; b. mengawasi proses pengembangan produk baru Bank; c. meminta fatwa kepada Dewan Syariah Nasional untuk produk baru Bank yang belum ada fatwanya; d. melakukan review secara berkala atas pemenuhan prinsip syariah terhadap mekanisme penghimpunan dana dan penyaluran dana serta pelayanan jasa bank; dan e. meminta data dan informasi terkait dengan aspek syariah dari satuan kerja Bank dalam rangka pelaksanaan tugasnya. (3) Pedoman pelaksanaan tugas dan tanggung jawab DPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) akan diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 36 (1) Jumlah anggota DPS paling kurang 2 (dua) orang atau paling banyak … - 22 - banyak 50% (lima puluh persen) dari jumlah anggota Direksi. (2) DPS dipimpin oleh seorang ketua yang berasal dari salah satu anggota DPS. (3) Anggota DPS hanya dapat merangkap jabatan sebagai anggota DPS paling banyak pada 4 (empat) lembaga keuangan syariah lain. Pasal 37 (1) Bank wajib mengajukan calon anggota DPS untuk memperoleh persetujuan Bank Indonesia sebelum menduduki jabatannya. (2) Pengangkatan anggota DPS oleh Rapat Umum Pemegang Saham berlaku efektif setelah mendapat persetujuan Bank Indonesia. (3) Pengajuan calon anggota DPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah mendapat rekomendasi Majelis Ulama Indonesia. Pasal 38 (1) Permohonan untuk memperoleh persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) diajukan oleh Bank kepada Bank Indonesia disertai dengan dokumen pendukung. (2) Persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan Bank Indonesia berdasarkan pada: a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen; dan b. wawancara terhadap calon anggota DPS (3) Persetujuan atau penolakan atas pengajuan calon anggota DPS diberikan paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak dokumen permohonan … - 23 - permohonan diterima secara lengkap. (4) Calon anggota DPS yang telah mendapat persetujuan Bank Indonesia namun tidak diangkat oleh Rapat Umum Pemegang Saham dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal persetujuan diterbitkan, maka persetujuan terhadap calon anggota DPS menjadi tidak berlaku. (5) Pengangkatan anggota DPS wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah tanggal pengangkatan efektif disertai dengan dokumen pendukung. (6) Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (5) diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 39 Pemberhentian dan/atau pengunduran diri anggota DPS wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah pemberhentian dan/atau pengunduran diri efektif. Bagian Ketiga Pejabat Eksekutif Pasal 40 (1) Pengangkatan, pemberhentian, atau penggantian Pejabat Eksekutif wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah tanggal pengangkatan, pemberhentian, atau penggantian efektif disertai dengan dokumen pendukung. (2) Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia. (3) Apabila … - 24 - (3) Apabila berdasarkan penilaian dan penelitian Bank Indonesia, Pejabat Eksekutif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk dalam daftar antara lain Daftar Tidak Lulus sebagaimana diatur dalam ketentuan mengenai uji kemampuan dan kepatutan (fit and proper test) yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, Daftar Kredit Macet, dan pertimbangan lain yang menunjukkan tidak terpenuhinya aspek integritas, maka Bank wajib membatalkan pengangkatan Pejabat Eksekutif tersebut paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal surat penegasan dari Bank Indonesia. Bagian Keempat Tenaga Kerja Asing Pasal 41 (1) Bank yang 25% (dua puluh lima persen) atau lebih sahamnya dimiliki oleh warga negara asing dan/atau badan hukum asing dapat memanfaatkan tenaga kerja asing untuk jabatan: a. Dewan Komisaris; b. Direksi; dan/atau c. Pejabat Eksekutif. (2) Mayoritas Dewan Komisaris dan Direksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan b wajib berkewarganegaraan Indonesia. (3) Pejabat Eksekutif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c wajib berkewarganegaraan Indonesia kecuali untuk jabatan yang memerlukan keahlian khusus yang belum tersedia di Indonesia. (4) Hal-hal lain terkait pemanfaatan tenaga kerja asing wajib memenuhi persyaratan dan tata cara pemanfaatan tenaga kerja asing sebagaimana diatur dalam ketentuan yang berlaku. BAB V … - 25 - BAB V PEMBUKAAN KANTOR BANK Bagian Kesatu Pembukaan KC di Dalam Negeri Pasal 42 (1) Pembukaan KC di dalam negeri hanya dapat dilakukan dengan izin Bank Indonesia. (2) Rencana pembukaan KC sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dicantumkan dalam Rencana Bisnis Bank. Pasal 43 (1) Permohonan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1) diajukan oleh Bank kepada Bank Indonesia disertai dengan dokumen pendukung. (2) Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia. (3) Persetujuan atau penolakan atas permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan Bank Indonesia berdasarkan pada: a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen; b. analisis atas hasil studi kelayakan yang disampaikan oleh Bank; dan c. analisis atas kemampuan Bank, termasuk tingkat kesehatan, kecukupan permodalan, dan profil risiko. (4) Apabila diperlukan, Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan untuk meneliti persiapan pembukaan kantor dan memperoleh keyakinan atas kebenaran dokumen yang disampaikan … - 26 - disampaikan. (5) Persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberikan paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap. Pasal 44 (1) Pelaksanaan pembukaan KC wajib dilakukan paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal izin diterbitkan. (2) Pelaksanaan pembukaan KC sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah tanggal pembukaan. (3) Apabila setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank tidak melaksanakan pembukaan KC, maka izin pembukaan KC yang telah diberikan menjadi tidak berlaku. Pasal 45 (1) Rencana KC untuk tidak beroperasi pada hari kerja wajib memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia. (2) Bank wajib menyampaikan permohonan persetujuan kepada Bank Indonesia atas rencana KC untuk tidak beroperasi pada hari kerja paling lambat 15 (lima belas) hari sebelum tanggal pelaksanaan KC tidak beroperasi. (3) Persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah dokumen permohonan diterima. (4) Rencana KC untuk tidak beroperasi pada hari kerja wajib diumumkan kepada masyarakat paling lambat 3 (tiga) hari sebelum … - 27 - sebelum tanggal tidak beroperasi. Bagian Kedua Pembukaan Kantor di Bawah KC dan KPK di Dalam Negeri Pasal 46 (1) Rencana pembukaan Kantor di bawah KC di dalam negeri wajib dicantumkan dalam Rencana Bisnis Bank. (2) Pembukaan Kantor di bawah KC sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan: a. dalam satu wilayah kerja Bank Indonesia yang sama dengan kantor induknya; b. dengan mempertimbangkan hasil studi kelayakan yang memuat tingkat kejenuhan jumlah kantor Bank dan Unit Usaha Syariah; dan c. dengan menggunakan sumber daya manusia sendiri Bank. (3) Pembukaan Kantor di bawah KC dapat beralamat yang sama dengan kantor lain sepanjang memenuhi persyaratan antara lain: a. terdapat pemisahan kantor antara Kantor di bawah KC dengan kantor lain; b. tidak menimbulkan risiko operasional dan risiko reputasi bagi Bank; dan c. terdapat pengaturan yang jelas dalam pemanfaatan sarana dan prasarana kerja serta penggunaan fasilitas gedung kantor, yang memungkinkan adanya pembebanan biaya masing-masing kantor dapat dilakukan dengan tepat. (4) Laporan keuangan Kantor di bawah KC wajib digabungkan dengan laporan keuangan KC induknya pada hari yang sama. Pasal 47 … - 28 - Pasal 47 (1) Bank wajib menyampaikan rencana pembukaan Kantor di bawah KC kepada Bank Indonesia paling lambat 30 (tiga puluh) hari sebelum pelaksanaan pembukaan kantor disertai dengan dokumen pendukung. (2) Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia. (3) Pelaksanaan pembukaan Kantor di bawah KC sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal penegasan dari Bank Indonesia. (4) Pelaksanaan pembukaan Kantor di bawah KC sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah tanggal pelaksanaan pembukaan. Pasal 48 (1) Rencana Kantor di bawah KC untuk tidak beroperasi pada hari kerja wajib memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia. (2) Permohonan untuk memperoleh persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diajukan oleh KC yang menjadi induk dari Kantor di bawah KC dengan memenuhi tata cara sebagaimana diatur dalam Pasal 45. Pasal 49 (1) Rencana pembukaan KPK wajib dicantumkan dalam Rencana Bisnis Bank. (2) Realisasi pembukaan, pemindahan alamat, dan penutupan KPK wajib … - 29 - wajib dilaporkan Bank dalam Laporan Realisasi Rencana Bisnis Bank triwulanan. Bagian Ketiga Pembukaan Kantor di Luar Negeri Pasal 50 (1) Pembukaan KC, kantor perwakilan dan jenis-jenis kantor lainnya di luar negeri hanya dapat dilakukan dengan izin Bank Indonesia. (2) Pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diberikan apabila Bank: a. telah menjadi Bank devisa paling kurang 24 (dua puluh empat) bulan; b. telah mencantumkan rencana pembukaan KC, kantor perwakilan dan jenis-jenis kantor lainnya di luar negeri dalam Rencana Bisnis Bank; c. memenuhi persyaratan tingkat kesehatan, kecukupan permodalan, dan profil risiko; dan d. mempunyai alamat atau tempat kedudukan kantor yang jelas. Pasal 51 (1) Permohonan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) diajukan oleh Bank kepada Bank Indonesia disertai dengan dokumen pendukung. (2) Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia. (3) Persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud … - 30 - dimaksud pada ayat (1) diberikan Bank Indonesia berdasarkan pada: a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen; b. analisis atas hasil studi kelayakan yang disampaikan oleh Bank; dan c. analisis atas kemampuan Bank termasuk tingkat kesehatan, kecukupan permodalan, dan profil risiko. (4) Persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberikan paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap. Pasal 52 (1) Pembukaan kantor di luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 hanya dapat dilakukan setelah mendapat izin dari otoritas di negara setempat. (2) Pelaksanaan pembukaan kantor wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah tanggal pembukaan disertai dengan dokumen pendukung. (3) Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia. (4) Dalam hal 6 (enam) bulan setelah tanggal persetujuan Bank Indonesia diterbitkan Bank belum melaksanakan pembukaan Kantor di Luar Negeri, Bank wajib melaporkan alasan belum dibukanya kantor dimaksud. (5) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan paling lambat 10 (sepuluh) hari terhitung sejak batas waktu 6 (enam) bulan berakhir. BAB VI … - 31 - BAB VI PENINGKATAN DAN PENURUNAN STATUS KANTOR BANK Pasal 53 Peningkatan status Kantor di bawah KC menjadi KC wajib dilakukan dengan cara memenuhi ketentuan pembukaan KC. Pasal 54 (1) Penurunan status KC menjadi kantor di bawah KC wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah tanggal pelaksanaan dimaksud disertai dengan dokumen pendukung. (2) Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia. BAB VII PEMINDAHAN ALAMAT KANTOR BANK Pasal 55 (1) Pemindahan alamat kantor pusat dan/atau KC di dalam negeri hanya dapat dilakukan dengan izin Bank Indonesia. (2) Rencana pemindahan alamat kantor pusat dan/atau KC sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dicantumkan dalam Rencana Bisnis Bank. (3) Pemindahan alamat KC yang dilakukan ke luar wilayah kerja Kantor Bank Indonesia sebelumnya wajib memenuhi ketentuan penutupan KC dan pembukaan KC. Pasal 56 … - 32 - Pasal 56 (1) Permohonan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) diajukan oleh Bank kepada Bank Indonesia disertai dengan dokumen pendukung. (2) Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia. (3) Persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan Bank Indonesia berdasarkan pada: a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen; dan b. analisis atas hasil studi kelayakan yang disampaikan oleh Bank. (4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b tidak berlaku untuk permohonan pemindahan alamat KC yang dilakukan dalam kotamadya/kabupaten yang sama dengan kantor sebelumnya. (5) Apabila diperlukan, Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan untuk meneliti persiapan pemindahan alamat kantor dan memperoleh keyakinan atas kebenaran dokumen yang disampaikan. (6) Persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberikan paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap. Pasal 57 (1) Pelaksanaan pemindahan alamat kantor pusat dan/atau KC di dalam negeri wajib dilakukan paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung … - 33 - terhitung sejak tanggal izin diterbitkan. (2) Pelaksanaan pemindahan alamat kantor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diumumkan oleh Bank dalam: a. surat kabar yang mempunyai peredaran nasional, bagi pemindahan alamat kantor pusat; atau b. surat kabar yang mempunyai peredaran luas di tempat kedudukan KC, bagi pemindahan alamat KC, paling lambat 10 (sepuluh) hari sebelum tanggal pelaksanaan pemindahan alamat kantor. (3) Pelaksanaan pemindahan alamat kantor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah tanggal pelaksanaan pemindahan alamat kantor. (4) Apabila setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank tidak melaksanakan pemindahan alamat kantor, maka izin pemindahan alamat kantor yang telah diberikan menjadi tidak berlaku. Pasal 58 (1) Rencana pemindahan alamat: a. Kantor di bawah KC di dalam negeri; atau b. KC, kantor perwakilan, dan jenis-jenis kantor lainnya di luar negeri, wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia paling lambat 30 (tiga puluh) hari sebelum pelaksanaan pemindahan alamat disertai dengan dokumen pendukung. (2) Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur … - 34 - diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia. (3) Pemindahan alamat Kantor di bawah KC yang dilakukan ke luar wilayah kerja Kantor Bank Indonesia sebelumnya wajib memenuhi ketentuan penutupan Kantor di bawah KC dan pembukaan Kantor di bawah KC. Pasal 59 (1) Pelaksanaan pemindahan alamat Kantor di bawah KC sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) huruf a wajib dilakukan paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal penegasan dari Bank Indonesia. (2) Pelaksanaan pemindahan alamat Kantor di bawah KC sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diumumkan oleh Bank dalam surat kabar yang mempunyai peredaran luas di tempat kedudukan KC induknya paling lambat 10 (sepuluh) hari sebelum tanggal pelaksanaan pemindahan alamat kantor. (3) Pelaksanaan pemindahan alamat Kantor di bawah KC di dalam negeri wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah tanggal pelaksanaan pemindahan alamat. (4) Pelaksanaan pemindahan alamat KC, kantor perwakilan, dan jenis-jenis kantor lainnya di luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) huruf b wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah tanggal pelaksanaan pemindahan alamat disertai dengan dokumen pendukung. (5) Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur … - 35 - diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia. BAB VIII PERUBAHAN ANGGARAN DASAR DAN NAMA Bagian Kesatu Perubahan Anggaran Dasar Pasal 60 Bank wajib melaporkan kepada Bank Indonesia setiap perubahan anggaran dasar Bank paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah diterimanya persetujuan atau penerimaan pemberitahuan perubahan anggaran dasar dari instansi yang berwenang. Bagian Kedua Perubahan Nama Bank Pasal 61 (1) Perubahan nama Bank wajib dilakukan dengan memenuhi ketentuan perundang-undangan yang berlaku. (2) Bank yang telah memperoleh persetujuan perubahan anggaran dasar terkait penggunaan nama baru dari instansi berwenang wajib mengajukan permohonan kepada Bank Indonesia mengenai penetapan penggunaan izin usaha yang dimiliki untuk Bank dengan nama yang baru. (3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan oleh Bank kepada Bank Indonesia paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah perubahan nama disertai dengan dokumen pendukung. (4) Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia. (5) Persetujuan … - 36 - (5) Persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), diberikan Bank Indonesia paling lambat 15 (lima belas) hari setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap. (6) Pelaksanaan perubahan nama Bank wajib diumumkan dalam surat kabar yang mempunyai peredaran nasional paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah tanggal persetujuan Bank Indonesia. BAB IX PENUTUPAN KANTOR BANK Bagian Kesatu Penutupan KC di Dalam Negeri Pasal 62 (1) Penutupan KC di dalam negeri hanya dapat dilakukan dengan izin Bank Indonesia. (2) Permohonan untuk memperoleh izin penutupan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh Bank kepada Bank Indonesia paling lambat 60 (enam puluh) hari sebelum tanggal rencana penutupan disertai dengan dokumen pendukung. (3) Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia. (4) Persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap. Pasal 63 (1) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (2) … - 37 - ayat (2) disetujui Bank Indonesia, maka Bank wajib untuk: a. menghentikan seluruh kegiatan usaha Bank pada KC dimaksud; b. mengumumkan rencana penutupan KC dalam surat kabar harian yang mempunyai peredaran luas di tempat kedudukan KC paling lambat 3 (tiga) hari sebelum tanggal pelaksanaan penutupan; dan c. segera menyelesaikan seluruh kewajiban KC; (2) Pelaksanaan penutupan KC sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah tanggal pelaksanaan penutupan KC disertai dengan dokumen pendukung. (3) Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Bagian Kedua Penutupan Kantor di Bawah KC di Dalam Negeri Pasal 64 (1) Rencana penutupan Kantor di bawah KC wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia paling lambat 30 (tiga puluh) hari sebelum pelaksanaan penutupan kantor dimaksud disertai dengan dokumen pendukung. (2) Pelaksanaan penutupan Kantor di bawah KC wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah tanggal penutupan disertai dengan dokumen pendukung. (3) Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) … - 38 - ayat (2) diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Bagian Ketiga Penutupan Kantor di Luar Negeri Pasal 65 (1) Penutupan KC, kantor perwakilan dan jenis-jenis kantor lainnya di luar negeri wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah tanggal pelaksanaan penutupan kantor disertai dengan dokumen pendukung. (2) Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia. BAB X PENCABUTAN IZIN USAHA ATAS PERMINTAAN BANK Pasal 66 (1) Bank Indonesia dapat mencabut izin usaha atas permintaan Bank. (2) Permintaan Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus berdasarkan keputusan Rapat Umum Pemegang Saham. Pasal 67 Bank yang dapat mengajukan permintaan pencabutan izin usahanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 tidak sedang ditempatkan dalam pengawasan khusus Bank Indonesia sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai tindak lanjut pengawasan dan penetapan status bank. Pasal 68 … - 39 - Pasal 68 Pencabutan izin usaha atas permintaan Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 hanya dapat dilakukan oleh Bank Indonesia apabila Bank telah menyelesaikan kewajibannya kepada seluruh nasabah. Pasal 69 Pencabutan izin usaha atas permintaan Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 dilakukan dalam 2 (dua) tahap: a. Persetujuan persiapan pencabutan izin usaha; b. Keputusan pencabutan izin usaha. Pasal 70 (1) Permohonan persetujuan persiapan pencabutan izin usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 huruf a diajukan oleh Direksi Bank kepada Bank Indonesia disertai dengan dokumen pendukung. (2) Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 71 Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 disetujui, Bank Indonesia menerbitkan surat persetujuan persiapan pencabutan izin usaha Bank, dan mewajibkan Bank untuk: a. menghentikan seluruh kegiatan usaha Bank; b. mengumumkan rencana pembubaran badan hukum Bank dan rencana penyelesaian kewajiban Bank dalam 2 (dua) surat kabar harian yang mempunyai peredaran luas paling lambat 10 (sepuluh) hari … - 40 - hari sejak tanggal surat persetujuan persiapan pencabutan izin usaha Bank; c. segera menyelesaikan seluruh kewajiban Bank; dan d. menunjuk kantor akuntan publik untuk melakukan verifikasi atas penyelesaian kewajiban Bank. Pasal 72 (1) Apabila Bank telah menyelesaikan kewajibannya kepada seluruh nasabah, Direksi mengajukan permohonan pencabutan izin usaha Bank kepada Bank Indonesia disertai dengan dokumen pendukung. (2) Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia. (3) Berdasarkan permohonan pencabutan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia menerbitkan Surat Keputusan pencabutan izin usaha Bank dan meminta Bank untuk melakukan pembubaran badan hukum sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku. (4) Segala kewajiban yang belum diselesaikan Bank dan ditemukan dikemudian hari menjadi tanggung jawab pemegang saham Bank. Pasal 73 Status badan hukum Bank hapus sejak tanggal pengumuman berakhirnya badan hukum Bank dalam Berita Negara Republik Indonesia. BAB XI … - 41 - BAB XI LAIN-LAIN Pasal 74 Unit Pelayanan Syariah yang telah mendapat penegasan Bank Indonesia dan telah beroperasi sebelum berlakunya ketentuan ini ditetapkan menjadi KCP berdasarkan Peraturan Bank Indonesia ini. Pasal 75 Pengaturan bagi kantor cabang, kantor cabang pembantu, dan kantor perwakilan dari Bank yang berkedudukan di luar negeri diatur dalam ketentuan tersendiri. BAB XII SANKSI Pasal 76 (1) Bank yang tidak menaati ketentuan dalam Pasal 3, Pasal 6 ayat (2), Pasal 12 ayat (1), Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 20 ayat (3), Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36, Pasal 37, Pasal 40 ayat (3), Pasal 41, Pasal 42, Pasal 44 ayat (1), Pasal 45 ayat (1), Pasal 46 ayat (1) dan ayat (4), Pasal 47 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50, Pasal 52 ayat (1), Pasal 53, Pasal 55, Pasal 57 ayat (1), Pasal 58, Pasal 59 ayat (1), Pasal 61 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 62 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 63 ayat (1) huruf a dan huruf c, Pasal 64 ayat (1), Pasal 77, dan Pasal 78 dapat dikenakan sanksi administratif sesuai Pasal 58 Undang-undang … - 42 - Undang-undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. (2) Bank yang tidak menaati ketentuan dalam Pasal 12 ayat (2), Pasal 19, Pasal 20 ayat (1), Pasal 32 ayat (5), Pasal 33, Pasal 38 ayat (5), Pasal 39, Pasal 40 ayat (1), Pasal 44 ayat (2), Pasal 45 ayat (4), Pasal 47 ayat (4), Pasal 52 ayat (2) dan ayat (5), Pasal 54, Pasal 57 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 59 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), Pasal 60, Pasal 61 ayat (6), Pasal 63 ayat (1) huruf b dan ayat (2), Pasal 64 ayat (2), dan Pasal 65 dapat dikenakan sanksi administratif sesuai Pasal 58 Undang-undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, berupa : a. teguran tertulis dan denda sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari kelambatan atau paling banyak sebesar Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah) untuk setiap laporan dan/atau pengumuman; b. teguran tertulis dan denda sebesar Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah) apabila Bank tidak menyampaikan laporan dan/atau pengumuman. (3) Bank dinyatakan tidak menyampaikan laporan dan/atau pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b apabila Bank belum menyampaikan laporan dimaksud setelah 30 (tiga puluh) hari sejak batas akhir penyampaian laporan dan/atau pengumuman. (4) Setiap pihak yang tidak menaati ketentuan Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 9 ayat (2) dapat dikenakan sanksi pidana sesuai dengan Pasal 59 Undang-undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. BAB XIII … - 43 - BAB XIII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 77 Permohonan izin yang telah diajukan sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini tetapi belum mendapat persetujuan dari Bank Indonesia, wajib menyesuaikan dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini. Pasal 78 Anggaran dasar Bank wajib disesuaikan dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 3 dan peraturan perundang-undangan yang berlaku paling lambat tanggal 16 Juli 2009. BAB XIV KETENTUAN PENUTUP Pasal 79 Peraturan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia ini diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 80 Dengan dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia ini maka Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/24/PBI/2004 tentang Bank Umum yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 122, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4434) sebagaimana diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/35/PBI/2005 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 90, Tambahan Lembaran … - 44 - Lembaran Negara Nomor 4536) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 81 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di : Jakarta Pada tanggal : 29 Januari 2009. GUBERNUR BANK INDONESIA, BOEDIONO Diundangkan di : Jakarta Pada tanggal : 29 Januari 2009. MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA ANDI MATTALATTA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 29 DPbS PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 11/3/PBI/2009 TENTANG BANK UMUM SYARIAH I. UMUM Dalam rangka menghadapi perkembangan perekonomian nasional yang mengalami perubahan yang cepat, menghadapi tantangan yang dinamis dan semakin kompleks, serta terintegrasi dengan perekonomian global, diperlukan berbagai penyesuaian kebijakan yang komprehensif di bidang perbankan, termasuk pengaturan yang jelas dan memberikan kepastian hukum, yang diharapkan dapat meningkatkan ketahanan perbankan nasional. Dalam kaitan dengan keberadaan perbankan syariah, penyesuaian dan/atau penyempurnaan ketentuan telah memperoleh pijakan yang kuat yaitu dengan telah disahkannya Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah pada tanggal 16 Juli 2008. Dengan telah disahkannya Undang-undang tersebut maka keberadaan perbankan syariah di Indonesia sebagai alternatif jasa perbankan bagi masyarakat Indonesia menjadi semakin diterima dan diakui oleh masyarakat sehingga diharapkan dapat memberikan kontribusi yang optimal dalam rangka menunjang pembangunan ekonomi nasional. Sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku, Bank Indonesia diamanahkan tanggung jawab untuk melakukan pembinaan dan pengawasan Bank. Dalam melaksanakan amanah dimaksud, Bank Indonesia secara profesional mengacu pada prinsip syariah, prinsip kehati-hatian, dan praktek perbankan yang lazim (international best practices) agar industri perbankan syariah … - 2 - syariah nasional menjadi sehat dan tangguh serta berkembang (sustainable). Penerapan prinsip syariah pada bank syariah dipandang menjadi semakin penting di mata semua stakeholder karena dalam kegiatan usahanya bank syariah menghindari transaksi keuangan yang bersifat spekulatif, mendorong transparansi, menghindari eksploitasi dan mendorong pertumbuhan sektor riil. Kegiatan operasional perbankan syariah yang mencakup seluruh aspek kehidupan ekonomi seperti kegiatan pembiayaan berbasis bagi hasil (mudharabah dan musyarakah), jual beli (murabahah, salam dan istishna), sewa (ijarah) dan jasa lainnya (rahn, sharf dan kafalah) telah menjadikan bank syariah lebih dapat memenuhi berbagai kebutuhan masyarakat (universal banking). Dalam rangka mewujudkan bank syariah yang sehat, tangguh dan efisien serta mampu bersaing dengan perbankan nasional lainnya, diperlukan pengaturan tentang kelembagaan yang dapat memberikan kejelasan dan kepastian hukum. Pengaturan kelembagaan Bank ini disusun selain memperhatikan prinsip kehati- hatian, praktek perbankan yang berlaku di dunia internasional juga mempertimbangkan masukan dari para stakeholders. Untuk melengkapi ketentuan ini maka perlu diperhatikan pula peraturan perundang-undangan yang mempunyai relevansi dengan ketentuan ini, antara lain peraturan perundang-undangan tentang Perseroan Terbatas, Pasar Modal, dan peraturan lainnya. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 … - 3 - Pasal 2 Yang dimaksud dengan ”perseroan terbatas” adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang- Undang tentang Perseroan Terbatas serta peraturan pelaksanaannya. Pasal 3 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Pokok-pokok pengaturan tugas Direksi Bank dalam anggaran dasar antara lain: a. tugas dan tanggung jawab b. pelaporan; dan c. perlindungan dalam pelaksanaan tugas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Dalam hal, Presiden Komisaris atau Komisaris Utama berhalangan, maka Rapat Umum Pemegang Saham dapat dipimpin oleh anggota Dewan Komisaris lainnya. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 … - 4 - Pasal 5 Yang dimaksud dengan “modal disetor” adalah setoran yang dilakukan dalam bentuk setoran tunai. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan untuk memperoleh keyakinan atas kebenaran dokumen yang disampaikan. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Pelaksanaan uji kemampuan dan kepatutan (fit and proper test) dilakukan sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang berlaku. Ayat (3) Hal-hal yang harus dipresentasikan antara lain: tujuan dan alasan pendirian Bank, sumber permodalan dan kepemilikan, pangsa utama penghimpunan dana, pangsa utama penyaluran dana, serta rencana struktur … - 5 - struktur dan personil organisasi. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan untuk memperoleh keyakinan atas kebenaran dokumen yang disampaikan. Huruf b Pelaksanaan uji kemampuan dan kepatutan (fit and proper test) dilakukan sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang berlaku. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Ayat (1) Contoh: Bank Syariah XYZ atau Bank XYZ Syariah. Ayat (2) … - 6 - Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 14 Yang dimaksud dengan modal sendiri bersih adalah: a. penjumlahan dari modal disetor, cadangan dan laba, dikurangi penyertaan dan kerugian, bagi badan hukum Perseroan Terbatas/Perusahaan Daerah; b. penjumlahan dari simpanan pokok, simpanan wajib, hibah, modal penyertaan, dana cadangan, dan sisa hasil usaha, dikurangi penyertaan dan kerugian, bagi badan hukum Koperasi; atau c. perhitungan modal sendiri bersih atau yang dapat dipersamakan dengan itu sesuai jenis badan hukum yang bersangkutan, bagi badan hukum lainnya. Pasal 15 Huruf a Tidak termasuk dalam pengertian pihak lain adalah Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, atau lembaga yang bertugas untuk melakukan penyelamatan Bank sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Huruf b Cukup jelas. Pasal 16 Huruf a Cukup jelas. Huruf b … - 7 - Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan “memiliki komitmen yang tinggi” antara lain kesediaan untuk membantu mengembangkan Bank agar menjadi sehat, tangguh dan berkembang (sustainable). Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “tidak diperlakukan sebagai pengambilalihan (akuisisi)” adalah penggantian PSP yang tidak melalui persyaratan dan tata cara pengambilalihan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 … - 8 - Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Keberadaan Komisaris Independen dimaksudkan untuk mendorong terciptanya iklim dan lingkungan kerja yang lebih obyektif dan menempatkan kewajaran (fairness) dan kesetaraan di antara berbagai kepentingan termasuk kepentingan pemegang saham minoritas dan stakeholders lainnya. Pasal 26 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b … - 9 - Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Yang dimaksud dengan “lembaga nirlaba” adalah semua lembaga yang tidak mencari keuntungan (non profit motive). Ayat (2) Yang dimaksud dengan hubungan keluarga sampai dengan derajat kedua adalah hubungan baik vertikal maupun horizontal, termasuk mertua, menantu, dan ipar, sehingga yang dimaksud dengan keluarga meliputi : 1. Orang tua kandung/tiri/angkat; 2. Saudara kandung/tiri/angkat beserta suami atau istrinya; 3. Anak kandung/tiri/angkat; 4. Kakek/nenek kandung/tiri/angkat; 5. Cucu kandung/tiri/angkat; 6. Saudara kandung/tiri/angkat dari orang tua beserta suami atau istrinya; 7. Suami/istri; 8. Mertua; 9. Besan; 10. Suami/istri dari anak kandung/tiri/angkat; 11. Kakek atau nenek dari suami atau istri; 12. Suami/istri dari cucu kandung/tiri/angkat; 13. Saudara kandung/tiri/angkat dari suami atau istri beserta suami atau istrinya. Pasal 27 … - 10 - Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan “independen” adalah tidak terdapat keterkaitan kepengurusan, kepemilikan dan/atau hubungan keuangan, serta hubungan keluarga. Pasal 29 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “lembaga nirlaba” adalah semua lembaga yang tidak mencari keuntungan (non profit motive). Ayat (3) Yang dimaksud dengan perusahaan lain, antara lain meliputi perusahaan-perusahaan lain diluar Bank yang bersangkutan, seperti lembaga … - 11 - lembaga keuangan bank dan non-bank, lembaga pembiayaan, atau perusahaan. Ayat (4) Yang dimaksud dengan hubungan keluarga sampai dengan derajat kedua adalah hubungan baik vertikal maupun horizontal, termasuk mertua, menantu dan ipar, sehingga yang dimaksud dengan keluarga meliputi: 1. orang tua kandung/tiri/angkat; 2. saudara kandung/tiri/angkat beserta suami atau istrinya; 3. anak kandung/tiri/angkat; 4. kakek/nenek kandung/tiri/angkat; 5. cucu kandung/tiri/angkat; 6. saudara kandung/tiri/angkat dari orang tua beserta suami atau istrinya; 7. suami/istri; 8. mertua; 9. besan; 10. suami/istri dari anak kandung/tiri/ angkat; 11. kakek atau nenek dari suami atau istri; 12. suami/istri dari cucu kandung/ tiri/angkat; 13. saudara kandung/tiri/angkat dari suami atau istri beserta suami atau istrinya. Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 … - 12 - Pasal 31 Ayat (1) Ketentuan ini berlaku juga terhadap peralihan jabatan dari anggota Direksi menjadi anggota Dewan Komisaris atau sebaliknya. Ayat (2) Anggota Dewan Komisaris dan/atau anggota Direksi yang belum atau tidak mendapat persetujuan Bank Indonesia dilarang menjabat sebagai anggota Dewan Komisaris dan/atau anggota Direksi. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “ketentuan perundang-undangan yang berlaku” antara lain ketentuan perundang-undangan tentang Perseroan Terbatas atau ketentuan perundang-undangan tentang Badan Usaha Milik Negara. Pasal 32 Ayat (1) Permohonan untuk memperoleh persetujuan calon anggota Dewan Komisaris diajukan paling kurang oleh Presiden Direktur atau Direktur Utama kepada Bank Indonesia. Permohonan untuk memperoleh persetujuan calon anggota Direksi diajukan paling kurang oleh Presiden Komisaris atau Komisaris Utama kepada Bank Indonesia. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) … - 13 - Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 33 Yang dimaksud dengan tanggal pemberhentian dan/atau pengunduran diri efektif adalah tanggal setelah pemberhentian dan/atau pengunduran diri yang bersangkutan mendapat persetujuan dari rapat umum pemegang saham, serah terima jabatan, atau mekanisme lainnya sebagaimana diatur dalam anggaran dasar. Pasal 34 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Angka 1 Cukup jelas. Angka 2 Cukup jelas. Angka 3 Yang dimaksud dengan “memiliki komitmen” antara lain kesediaan untuk menyediakan waktu yang cukup kepada Bank dalam rangka melaksanakan tugasnya secara efektif. Angka 4 … - 14 - Angka 4 Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Angka 1 Yang dimaksud dengan “daftar kredit macet” adalah daftar kredit macet sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai Sistem Informasi Debitur. Angka 2 Cukup jelas. Pasal 35 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan menilai dan memastikan pemenuhan prinsip syariah dalam pedoman operasional adalah dalam rangka membantu bank untuk memenuhi prinsip syariah yang tertuang dalam pedoman operasional. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d … - 15 - Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 36 Cukup jelas. Pasal 37 Cukup jelas. Pasal 38 Cukup jelas. Pasal 39 Yang dimaksud dengan tanggal pemberhentian dan/atau pengunduran diri efektif adalah tanggal setelah pemberhentian dan/atau pengunduran diri yang bersangkutan mendapat persetujuan dari rapat umum pemegang saham, serah terima jabatan atau mekanisme lainnya sebagaimana diatur dalam anggaran dasar. Pasal 40 Ayat (1) Pejabat Eksekutif yang wajib dilaporkan antara lain adalah Pejabat Eksekutif yang memiliki peranan dalam pelaksanaan kebijakan dan operasional … - 16 - operasional Bank dalam kegiatan pembiayaan, treasury, penghimpunan dana, dan kegiatan operasional lainnya. Pejabat Eksekutif dinyatakan efektif menduduki jabatannya apabila yang bersangkutan: a. telah menerima surat pengangkatan dan/atau pemberian kuasa atau dokumen lainnya yang dapat dipersamakan dengan itu; dan b. telah melakukan serah terima jabatan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan ”pertimbangan lain yang menunjukkan tidak terpenuhinya aspek integritas” antara lain informasi track record yang berasal dari hasil pengawasan Bank Indonesia atau sumber-sumber lainnya. Pasal 41 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan ketentuan yang berlaku dalam Pasal ini antara lain adalah: a. Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan dan aturan-aturan Pelaksanaannya; … - 17 - pelaksanaannya; b. Undang-Undang tentang Keimigrasian dan aturan-aturan pelaksanaannya; dan c. Peraturan Bank Indonesia tentang Pemanfaatan Tenaga Kerja Asing dan Program Alih Pengetahuan di Sektor Perbankan. Pasal 42 Cukup jelas. Pasal 43 Cukup jelas. Pasal 44 Cukup jelas. Pasal 45 Cukup jelas. Pasal 46 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan kantor lain adalah kantor dari bank lain atau perusahaan lain. Ayat (4) … - 18 - Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 47 Cukup jelas. Pasal 48 Cukup jelas. Pasal 49 Ayat (1) Tidak termasuk dalam KPK adalah kegiatan pameran yang dilakukan dalam rangka promosi, tidak bersifat permanen, dan hanya menerima setoran awal/titipan kas sesuai persyaratan setoran minimal pembukaan rekening tabungan. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 50 Cukup jelas. Pasal 51 Cukup jelas. Pasal 52 Ayat (1) Pengajuan … - 19 - Pengajuan permohonan izin kepada otoritas di negara setempat dilakukan setelah adanya persetujuan dari Bank Indonesia. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 53 Dengan diterbitkannya izin pembukaan KC maka status kantor Bank berubah dari Kantor di bawah KC menjadi KC tanpa perlu memenuhi ketentuan penutupan Kantor di bawah KC. Pasal 54 Cukup jelas. Pasal 55 Cukup jelas. Pasal 56 Cukup jelas. Pasal 57 Cukup jelas. Pasal 58 … - 20 - Pasal 58 Cukup jelas. Pasal 59 Cukup jelas. Pasal 60 Cukup jelas. Pasal 61 Ayat (1) Yang dimaksud dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku antara lain Undang-Undang yang mengatur tentang Perseroan Terbatas, Undang-Undang yang mengatur tentang Perbankan Syariah. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 62 Cukup jelas. Pasal 63 … - 21 - Pasal 63 Cukup jelas. Pasal 64 Cukup jelas. Pasal 65 Cukup jelas. Pasal 66 Cukup jelas. Pasal 67 Cukup jelas. Pasal 68 Yang dimaksud dengan “kewajiban“ adalah kewajiban kepada nasabah penyimpan, nasabah investor, nasabah penerima fasilitas Bank baik yang tercatat pada neraca (on balance sheet) atau pada rekening administratif (off balance sheet) serta kewajiban lainnya seperti gaji karyawan Bank dan pajak terutang. Pasal 69 Cukup jelas. Pasal 70 Cukup jelas. Pasal 71 … - 22 - Pasal 71 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan “kewajiban“ adalah kewajiban kepada nasabah penyimpan, nasabah investor, nasabah penerima fasilitas Bank baik yang tercatat pada neraca (on balance sheet) atau pada rekening administratif (off balance sheet) serta kewajiban lainnya seperti gaji karyawan Bank dan pajak terutang. Huruf d Cukup jelas. Pasal 72 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Surat Keputusan pencabutan izin usaha Bank diterbitkan dengan memperhatikan hasil pemeriksaan terhadap Bank yang bersangkutan untuk memastikan terpenuhinya persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 dan ketentuan yang berlaku lainnya. Ayat (4) Yang dimaksud dengan “kewajiban“ adalah kewajiban kepada nasabah penyimpan, nasabah investor, nasabah penerima fasilitas Bank … - 23 - Bank baik yang tercatat pada neraca (on balance sheet) atau pada rekening administratif (off balance sheet) serta kewajiban lainnya seperti gaji karyawan Bank dan pajak terutang. Pasal 73 Cukup jelas. Pasal 74 Yang dimaksud dengan Unit Pelayanan Syariah adalah kantor Bank setingkat KCP yang kegiatan usahanya membantu KC induknya dan berlokasi di luar ibukota provinsi dan di luar Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi. Pasal 75 Cukup jelas. Pasal 76 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Huruf a Cukup jelas. Huruf b Dalam hal Bank dikenakan sanksi tidak menyampaikan laporan, tidak lagi dikenakan sanksi keterlambatan penyampaian laporan. Ayat (3) … - 24 - Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 77 Cukup jelas. Pasal 78 Cukup jelas. Pasal 79 Cukup jelas. Pasal 80 Cukup jelas. Pasal 81 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4978 DPbS "," PBI 11/3/PBI/2009 BANK UMUM SYARIAH 29 Januari 2009 29 Januari 2009 29 Januari 2009 '6/24/PBI/2004', '7/35/PBI/2005' '21/UU/2008', '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '40/UU/2007' 'BAB XII' " " PERATURAN BANK INDONESIA Nomor : 3/10/PBI/2001 TENTANG PENERAPAN PRINSIP MENGENAL NASABAH (KNOW YOUR CUSTOMER PRINCIPLES) GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam menjalankan kegiatan usaha, bank menghadapi berbagai risiko usaha; b. bahwa untuk mengurangi risiko usaha, bank wajib menerapkan prinsip kehati-hatian; c. bahwa salah satu upaya melaksanakan prinsip kehati-hatian adalah penerapan prinsip mengenal nasabah; d. bahwa berdasarkan hal tersebut diatas perlu diatur ketentuan tentang penerapan prinsip mengenal nasabah dalam suatu Peraturan Bank Indonesia; Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3790); 2. Undang-undang … -2- 2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843); M E M U T U S K A N: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENERAPAN PRINSIP MENGENAL NASABAH (KNOW YOUR CUSTOMER PRINCIPLES). BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Yang dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia ini dengan: 1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998; 2. Prinsip Mengenal Nasabah adalah prinsip yang diterapkan Bank untuk mengetahui identitas nasabah, memantau kegiatan transaksi nasabah termasuk pelaporan transaksi yang mencurigakan; 3. Nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa Bank; 4. Usaha Kecil adalah usaha yang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil. Pasal 2 … -3- Pasal 2 (1) Bank wajib menerapkan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer Principles). (2) Dalam menerapkan Prinsip Mengenal Nasabah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Bank wajib: a. menetapkan kebijakan penerimaan Nasabah; b. menetapkan kebijakan dan prosedur dalam mengidentifikasi Nasabah; c. menetapkan kebijakan dan prosedur pemantauan terhadap rekening dan transaksi Nasabah; d. menetapkan kebijakan dan prosedur manajemen risiko yang berkaitan dengan penerapan Prinsip Mengenal Nasabah. Pasal 3 (1) Direksi Bank wajib bertanggung jawab atas penerapan Prinsip Mengenal Nasabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2. (2) Bank wajib membentuk unit kerja khusus dan atau menunjuk pejabat Bank yang bertanggung jawab atas penerapan Prinsip Mengenal Nasabah. (3) Unit kerja khusus dan atau pejabat Bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) wajib bertanggung jawab langsung kepada Direktur Kepatuhan. BAB II … -4- BAB II KEBIJAKAN PENERIMAAN DAN IDENTIFIKASI NASABAH Pasal 4 (1) Sebelum melakukan hubungan usaha dengan Nasabah, Bank wajib meminta informasi mengenai: a. identitas calon Nasabah; b. maksud dan tujuan hubungan usaha yang akan dilakukan calon Nasabah dengan Bank; c. informasi lain yang memungkinkan Bank untuk dapat mengetahui profil calon Nasabah; dan d. identitas pihak lain, dalam hal calon Nasabah bertindak untuk dan atas nama pihak lain sebagaimana diatur dalam Pasal 6. (2) Identitas calon Nasabah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dapat dibuktikan dengan keberadaan dokumen-dokumen pendukung. (3) Bank wajib meneliti kebenaran dokumen pendukung identitas calon Nasabah sebagaimana dimaksud dalam ayat (2). (4) Bagi Bank yang telah menggunakan media elektronis dalam pelayanan jasa perbankan wajib melakukan pertemuan dengan calon Nasabah sekurang- kurangnya pada saat pembukaan rekening. (5) Apabila diperlukan, Bank dapat melakukan wawancara dengan calon Nasabah untuk meneliti dan meyakini keabsahan dan kebenaran dokumen sebagaimana dimaksud dalam ayat (3). Pasal 5 … -5- Pasal 5 Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) bagi: a. Nasabah perorangan sekurang-kurangnya terdiri dari: 1) identitas Nasabah yang memuat: a) nama; b) alamat tinggal tetap; c) tempat dan tanggal lahir; d) kewarganegaraan; 2) keterangan mengenai pekerjaan; 3) spesimen tanda tangan; dan 4) keterangan mengenai sumber dana dan tujuan penggunaan dana; b. Nasabah perusahaan: 1) perusahaan yang tergolong Usaha Kecil, sekurang-kurangnya terdiri dari: a) akte pendirian/anggaran dasar bagi perusahaan yang bentuknya diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku; b) izin usaha atau izin lainnya dari instansi berwenang; c) nama, spesimen tanda-tangan dan kuasa kepada pihak-pihak yang ditunjuk mempunyai wewenang bertindak untuk dan atas nama perusahaan dalam melakukan hubungan usaha dengan Bank; d) keterangan sumber dana dan tujuan penggunaan dana; 2) perusahaan yang tidak tergolong Usaha Kecil, sekurang-kurangnya terdiri dari: a) akte … -6- a) akte pendirian/anggaran dasar bagi perusahaan yang bentuknya diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku; b) izin usaha atau izin lainnya dari instansi yang berwenang; c) Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) bagi Nasabah yang diwajibkan untuk memiliki NPWP sesuai dengan ketentuan yang berlaku; d) laporan keuangan dari perusahaan atau deskripsi kegiatan usaha perusahaan; e) struktur manajemen perusahaan; f) dokumen identitas pengurus yang berwenang mewakili perusahaan; g) nama, spesimen tanda-tangan dan kuasa kepada pihak-pihak yang ditunjuk mempunyai wewenang bertindak untuk dan atas nama perusahaan dalam melakukan hubungan usaha dengan Bank; h) keterangan sumber dana dan tujuan penggunaan dana. c. Nasabah berupa lembaga pemerintah, lembaga internasional, dan perwakilan negara asing sekurang-kurangnya berupa nama, spesimen tanda-tangan dan surat penunjukan bagi pihak-pihak yang berwenang mewakili lembaga dalam melakukan hubungan usaha dengan Bank; d. Nasabah berupa bank, terdiri dari dokumen-dokumen yang lazim dalam melakukan hubungan transaksi antar bank, antara lain: 1) akte pendirian/anggaran dasar bank; 2) izin usaha dari instansi yang berwenang; 3) nama … -7- 3) nama, spesimen tanda-tangan dan kuasa kepada pihak-pihak yang ditunjuk mempunyai wewenang bertindak untuk dan atas nama bank dalam melakukan hubungan usaha dengan Bank. Pasal 6 (1) Dalam hal calon Nasabah bertindak sebagai perantara dan atau kuasa pihak lain (beneficial owner) untuk membuka rekening, Bank wajib memperoleh dokumen pendukung identitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan hubungan hukum, penugasan, serta kewenangan bertindak sebagai perantara dan atau kuasa pihak lain. (2) Dalam hal calon Nasabah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan bank lain di dalam negeri maka verifikasi atau konfirmasi atas identitas beneficial owner dilakukan oleh bank lain di dalam negeri tersebut. (3) Dalam hal calon Nasabah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan bank lain di luar negeri yang menerapkan Prinsip Mengenal Nasabah yang sekurang-kurangnya setara dengan Peraturan Bank Indonesia ini, Bank cukup menerima pernyataan tertulis bahwa identitas dari beneficial owner telah diperoleh dan ditatausahakan oleh bank di luar negeri tersebut. (4) Dalam hal calon Nasabah bukan merupakan pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3), Bank wajib memperoleh bukti atas identitas dari beneficial owner, sumber dana dan tujuan penggunaan dana, serta informasi lainnya mengenai beneficial owner dari Nasabah, yang antara lain berupa: a. bagi … -8- a. bagi beneficial owner perorangan: 1) dokumen identitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a; 2) bukti pemberian kuasa kepada calon Nasabah; 3) pernyataan dari calon Nasabah bahwa telah dilakukan penelitian terhadap kebenaran identitas maupun sumber dana dari beneficial owner; b. bagi beneficial owner perusahaan termasuk bank: 1) dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b atau huruf d; 2) dokumen identitas pengurus yang berwenang mewakili perusahaan; 3) dokumen identitas pemegang saham pengendali perusahaan; 4) bukti pemberian kuasa kepada Nasabah termasuk untuk pembukaan rekening; 5) pernyataan dari Nasabah bahwa telah dilakukan penelitian terhadap kebenaran identitas maupun sumber dana dari beneficial owner. (5) Dalam hal Bank meragukan atau tidak dapat meyakini identitas beneficial owner, Bank wajib menolak untuk melakukan hubungan usaha dengan calon Nasabah. Pasal 7 Bank dilarang melakukan hubungan usaha dengan calon Nasabah yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5 dan Pasal 6. BAB III … -9- BAB III PEMANTAUAN REKENING DAN TRANSAKSI NASABAH Pasal 8 (1) Bank wajib menatausahakan dokumen-dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan Pasal 6 dalam jangka waktu sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sejak Nasabah menutup rekening pada Bank. (2) Bank wajib melakukan pengkinian data dalam hal terdapat perubahan terhadap dokumen-dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 atau Pasal 6. Pasal 9 Bank wajib memiliki sistem informasi yang dapat mengidentifikasi, menganalisa, memantau dan menyediakan laporan secara efektif mengenai karakteristik transaksi yang dilakukan oleh Nasabah Bank. Pasal 10 Bank wajib memelihara profil Nasabah yang sekurang-kurangnya meliputi informasi mengenai: a. pekerjaan atau bidang usaha; b. jumlah penghasilan; c. rekening lain yang dimiliki; d. aktivitas transaksi normal; dan e. tujuan pembukaan rekening. BAB IV … -10- BAB IV MANAJEMEN RISIKO Pasal 11 Kebijakan dan prosedur manajemen risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf d sekurang-kurangnya mencakup: a. pengawasan oleh pengurus Bank (management oversight); b. pendelegasian wewenang; c. pemisahan tugas; d. sistem pengawasan intern termasuk audit intern; dan e. program pelatihan karyawan mengenai penerapan Prinsip Mengenal Nasabah. Pasal 12 Bank wajib menunjuk petugas khusus yang bertanggung jawab untuk menangani Nasabah yang dianggap mempunyai risiko tinggi termasuk penyelenggara negara, dan atau transaksi-transaksi yang dapat dikategorikan mencurigakan (suspicious transactions) sebagaimana contoh dalam Lampiran 1. BAB V … -11- BAB V PELAPORAN Pasal 13 Bank wajib melaksanakan Prinsip Mengenal Nasabah dan menyampaikan fotokopi kebijakan dan prosedur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 6 (enam) bulan sejak diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia ini. Pasal 14 (1) Bank wajib melaporkan kepada Bank Indonesia apabila terjadi transaksi yang mencurigakan (suspicious transactions) selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah diketahui oleh Bank, sesuai format pada Lampiran 2. (2) Tindak lanjut atas laporan yang disampaikan Bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berpedoman kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 15 (1) Penyampaian fotokopi kebijakan dan prosedur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dialamatkan kepada : a. Direktorat Pengawasan Bank yang terkait, Bank Indonesia, Jl. M.H. Thamrin No.2 Jakarta 10110, bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia; b. Kantor … -12- b. Kantor Bank Indonesia setempat, bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia. (2) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) dialamatkan kepada Unit Khusus Investigasi Perbankan, Bank Indonesia, Jl. M.H. Thamrin No.2 Jakarta 10110. BAB VI PENERAPAN PRINSIP MENGENAL NASABAH PADA KANTOR BANK DI LUAR NEGERI BAGI BANK BERBADAN HUKUM INDONESIA Pasal 16 (1) Bagi kantor Bank berbadan hukum Indonesia yang berada di luar negeri, berlaku Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah sesuai dengan ketentuan di negara tersebut sepanjang standar Prinsip Mengenal Nasabah di negara tersebut sama atau lebih ketat dari yang diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini. (2) Dalam hal di negara tempat kedudukan kantor Bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) belum berlaku ketentuan Prinsip Mengenal Nasabah atau berlaku Prinsip Mengenal Nasabah namun dengan standar yang lebih longgar dari yang diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini maka kantor Bank dimaksud wajib menerapkan Prinsip Mengenal Nasabah sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini. (3) Dalam hal penerapan Prinsip Mengenal Nasabah sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini mengakibatkan pelanggaran terhadap ketentuan perundang-undangan yang berlaku di negara tempat kedudukan kantor … -13- kantor Bank berada maka pejabat kantor Bank di luar negeri tersebut wajib menginformasikan kepada kantor pusat Bank dan Bank Indonesia bahwa kantor Bank dimaksud tidak dapat menerapkan Prinsip Mengenal Nasabah sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini. BAB VII KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 17 (1) Ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini tidak berlaku bagi Nasabah yang tidak mempunyai rekening di Bank, sepanjang nilai transaksi yang dilakukan tidak melebihi Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) atau nilai yang setara dengan itu. (2) Perubahan nilai transaksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dalam Surat Edaran Bank Indonesia. BAB VIII SANKSI Pasal 18 (1) Pelanggaran terhadap ketentuan dalam Pasal 13 dan Pasal 14 ayat (1) dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2) huruf a Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 berupa kewajiban membayar sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari keterlambatan dan setinggi-tingginya Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah). (2) Pelanggaran … -14- (2) Pelanggaran terhadap ketentuan dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 16 dan Pasal 19 dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2) huruf b, huruf c, huruf e, huruf f, dan atau huruf g Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998. BAB IX KETENTUAN PERALIHAN Pasal 19 Bagi Nasabah Bank yang sudah ada pada saat berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini dan belum dilengkapi dengan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 maka Bank wajib meminta dan melengkapi dokumen-dokumen tersebut paling lambat 6 (enam) bulan sejak berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini. BAB X … -15- BAB X KETENTUAN PENUTUP Pasal 20 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 18 Juni 2001 GUBERNUR BANK INDONESIA SYAHRIL SABIRIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2001 NOMOR 78 DPNP/UKIP/DHk/DASP -16- PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA Nomor : 3/10/PBI/2001 TENTANG PENERAPAN PRINSIP MENGENAL NASABAH (KNOW YOUR CUSTOMER PRINCIPLES) I. UMUM Dengan semakin berkembangnya kegiatan usaha perbankan, bank dihadapkan kepada berbagai risiko seperti risiko operasional, risiko hukum, risiko terkonsentrasinya transaksi, dan risiko reputasi. Ketidakcukupan penerapan Prinsip Mengenal Nasabah dapat memperbesar risiko yang dihadapi Bank dan dapat mengakibatkan kerugian keuangan yang signifikan bagi bank baik dari sisi aktiva maupun pasiva bank. Mengingat hal tersebut dan dengan memperhatikan rekomendasi dari Basel Committee on Banking Supervision dalam Core Principles for Effective Banking Supervision bahwa penerapan Prinsip Mengenal Nasabah merupakan faktor yang penting dalam melindungi kesehatan bank, maka bank perlu menerapkan Prinsip Mengenal Nasabah secara lebih efektif. Disamping … -17- Disamping itu, sebagaimana dikemukakan oleh The Financial Action Task Force on Money Laundering, Prinsip Mengenal Nasabah merupakan upaya untuk mencegah industri perbankan digunakan sebagai sarana atau sasaran kejahatan, baik yang dilakukan secara langsung maupun tidak langsung oleh pelaku kejahatan. Berdasarkan hal-hal tersebut diatas dan mengingat bahwa Prinsip Mengenal Nasabah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem pengendalian risiko Bank maka dipandang perlu untuk menetapkan peraturan mengenai Prinsip Mengenal Nasabah di Indonesia. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a dan huruf b Dalam menetapkan kebijakan untuk penerimaan Nasabah, Bank perlu menetapkan pula kebijakan untuk menolak Nasabah yang dianggap tidak layak melakukan hubungan usaha dengan Bank dan kriteria Nasabah biasa atau Nasabah yang berisiko tinggi. Dalam … -18- Dalam menetapkan kebijakan ini faktor-faktor seperti latar belakang Nasabah, kewarganegaraan, kegiatan usaha, jabatan, atau indikator faktor risiko lain harus menjadi pertimbangan. Huruf c Pemantauan terhadap rekening dan transaksi nasabah merupakan bagian penting dari pelaksanaan Prinsip Mengenal Nasabah. Untuk dapat melakukan pemantauan dan mengurangi risiko, Bank harus mengetahui kegiatan dan karakteristik transaksi Nasabah. Huruf d Kebijakan dan prosedur manajemen risiko antara lain mencakup pengawasan oleh manajemen, pendelegasian wewenang dan pemisahan tugas secara jelas, pengawasan intern yang melakukan pemantauan secara reguler, serta program pelatihan karyawan yang berkelanjutan. Pasal 3 Ayat (1) Direksi Bank harus memberikan komitmen yang sungguh-sungguh untuk melaksanakan Prinsip Mengenal Nasabah secara efektif. Prinsip Mengenal Nasabah mempunyai kaitan dalam upaya melindungi kelangsungan usaha Bank, mengingat pelaksanaan Prinsip Mengenal Nasabah: a. merupakan … -19- e. merupakan bagian dari manajemen risiko Bank sebagai dasar untuk mengidentifikasi, membatasi, dan mengendalikan eksposur risiko aktiva dan pasiva Bank; f. membantu menjaga reputasi Bank serta integritas dari sistem perbankan dengan mengurangi kemungkinan Bank untuk dijadikan sarana atau sasaran kejahatan keuangan (financial crimes). Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Unit kerja khusus dalam ayat ini tidak merupakan bagian dari satuan kerja manajemen risiko. Pasal 4 Ayat (1) Huruf a sampai dengan huruf c Cukup jelas. Huruf d Dalam hal tidak diberikan identitas pihak lain maka Nasabah bertindak untuk diri sendiri. Ayat (2) Bank cukup menatausahakan fotokopi dokumen yang dibuktikan dengan penunjukan dokumen asli oleh Nasabah. Ayat (3) … -20- Ayat (3) Yang dimaksud dengan penelitian kebenaran dokumen pendukung identitas Nasabah sekurang-kurangnya meliputi pemeriksaan seluruh dokumen yang berkaitan dengan identitas Nasabah untuk memastikan dokumen tersebut secara nyata diyakini sesuai dengan kondisi Nasabah. Ayat (4) Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah mencakup Nasabah Bank biasa (face-to-face customer) maupun Nasabah Bank tanpa kehadiran fisik (non-face-to-face customer) seperti Nasabah yang melakukan transaksi melalui telepon, surat-menyurat, dan electronic banking. Pertemuan Bank dengan Nasabah dapat dilakukan melalui petugas khusus atau pihak lain yang mewakili Bank untuk meyakinkan Bank terhadap identitas Nasabah. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 5 … -21- Pasal 5 Huruf a Angka 1) Dokumen identitas Nasabah antara lain berupa Kartu Tanda Penduduk (KTP), Surat Izin Mengemudi (SIM) atau paspor yang dilengkapi dengan informasi mengenai alamat tinggal tetap apabila berbeda dengan yang tertera dalam dokumen. Huruf a) Cukup jelas. Huruf b) Cukup jelas. Huruf c) Cukup jelas. Huruf d) Cukup jelas. Angka 2) Keterangan mengenai pekerjaan Nasabah memuat alamat perusahaan tempat bekerja dan kegiatan usaha yang dilakukan perusahaan. Dalam hal Nasabah tidak memiliki pekerjaan maka data yang diperlukan adalah sumber pendapatan. Angka 3) … -22- Angka 3) Cukup jelas. Angka 4) Cukup jelas. Huruf b Dalam pengertian perusahaan termasuk pula yayasan dan badan sejenis lainnya. Angka 1) Huruf a) Cukup jelas. Huruf b) Cukup jelas. Huruf c) Cukup jelas. Huruf d) Cukup jelas. Angka 2) Huruf a) Cukup jelas. Huruf b) … -23- Huruf b) Cukup jelas. Huruf c) Bagi calon Nasabah yang wajib memiliki NPWP, apabila pada saat mengajukan permohonan untuk menjadi Nasabah belum memiliki NPWP maka yang bersangkutan dapat menyampaikan fotokopi permohonan NPWP. Segera setelah Nasabah memperoleh NPWP Bank wajib meminta NPWP tersebut kepada Nasabah. Bagi calon Nasabah yang tidak wajib memiliki NPWP maka calon Nasabah wajib membuat pernyataan bahwa yang bersangkutan merupakan pihak yang tidak wajib memiliki NPWP. Huruf d) Deskripsi kegiatan usaha perusahaan mencakup informasi mengenai bidang usaha, profil pelanggan, alamat tempat kegiatan usaha dan nomor telepon perusahaan. Huruf e) Cukup jelas. Huruf f) Cukup jelas. Huruf g … -24- Huruf g) Cukup jelas. Huruf h) Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Pasal 6 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Huruf a Angka 1) Cukup jelas. Angka 2) … -25- Angka 2) Di dalam surat kuasa dijelaskan pula hubungan hukum. Angka 3) Cukup jelas. Huruf b Angka 1) Cukup jelas. Angka 2) Cukup jelas. Angka 3) Cukup jelas. Angka 4) Di dalam surat kuasa dijelaskan pula hubungan hukum. Angka 5) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 … -26- Pasal 8 Ayat (1) Dokumen-dokumen dalam ayat ini merupakan dokumen identitas Nasabah yang tidak merupakan dokumen keuangan sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 9 Sistem informasi yang dimiliki harus dapat memungkinkan Bank untuk menelusuri setiap transaksi (individual transaction), apabila diperlukan, baik untuk keperluan intern dan atau Bank Indonesia maupun dalam kaitannya dengan kasus peradilan. Hal-hal yang termasuk dalam penelusuran transaksi antara lain adalah penelusuran atas identitas Nasabah, identitas mitra transaksi Nasabah, instrumen transaksi, tanggal transaksi, jumlah dan denominasi transaksi, dan sumber dana yang digunakan untuk transaksi. Termasuk dalam karakteristik Nasabah antara lain adalah karakteristik transaksi dan sifat transaksi Nasabah yang bersangkutan serta sifat hubungan Nasabah dengan Bank secara menyeluruh. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 … -27- Pasal 11 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Termasuk pendelegasian wewenang adalah penetapan limit wewenang untuk pejabat Bank dalam kaitannya dengan manajemen rekening atau transaksi Nasabah. Huruf c Termasuk pemisahan tugas adalah pemisahan fungsi pelaksana dengan fungsi pemutus. Huruf d Peran pengawasan intern adalah untuk mengevaluasi dan memastikan kepatuhan dan mengevaluasi kebijakan dan prosedur Prinsip Mengenal Nasabah yang diterapkan. Fungsi pengawasan intern memberikan penilaian independen atas pelaksanaan kebijakan dan prosedur Bank termasuk pemenuhan terhadap ketentuan umum dan perundang-undangan yang berlaku. Huruf e Cukup jelas. Pasal 12 … -28- Pasal 12 Yang dimaksud dengan penyelenggara negara adalah penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, yaitu pejabat negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif, dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta pihak-pihak yang terkait dengan penyelenggara negara antara lain: a. perusahaan yang dimiliki dan atau dikelola penyelenggara negara; b. keluarga penyelenggara negara yang terdiri dari saudara kandung, anak, orang tua, istri atau suami, mertua dan menantu; dan c. pihak-pihak yang secara umum dan diketahui publik mempunyai hubungan yang dekat dengan penyelenggara negara. Ketentuan dalam ayat ini juga termasuk penyelenggara negara asing yang setingkat. Yang dimaksud dengan transaksi yang dapat dikategorikan mencurigakan (suspicious transactions) adalah transaksi yang tidak sesuai dengan karakteristik dan profil Nasabah. Dengan demikian faktor utama untuk menentukan transaksi yang mencurigakan adalah dengan mengetahui kelaziman transaksi yang dilakukan Nasabah. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 … -29- Pasal 14 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 15 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 16 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 17 Ayat (1) Ketentuan dalam Pasal ini berlaku bagi Nasabah yang tidak bermaksud untuk membuka rekening di Bank namun menggunakan pelayanan jasa Bank seperti jasa transfer dan pembelian travellers cheque. Ayat (2) … -30- Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 18 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2001 NOMOR 4107 -31- Lampiran 1 BEBERAPA CONTOH TRANSAKSI YANG DAPAT DIKATEGORIKAN SEBAGAI TRANSAKSI YANG MENCURIGAKAN 1. Transaksi mencurigakan dengan menggunakan pola transaksi tunai (a) Penyetoran tunai dalam jumlah besar yang tidak lazim oleh perorangan atau perusahaan yang memiliki kegiatan usaha tertentu dan penyetoran tersebut biasanya dilakukan dengan menggunakan cek atau instrumen non-tunai lainnya; (b) Peningkatan penyetoran tunai yang sangat material pada rekening perorangan atau perusahaan tanpa disertai penjelasan yang memadai, khususnya apabila setoran tunai tersebut langsung ditransfer ke tujuan yang tidak mempunyai hubungan atau keterkaitan dengan perorangan atau perusahaan tersebut; (c) Penyetoran tunai dengan menggunakan beberapa slip setoran dalam jumlah kecil sehingga total penyetoran tunai tersebut mempunyai jumlah sangat besar; (d) Penggunaan rekening perusahaan yang lazimnya dilakukan dengan menggunakan cek atau instrumen non-tunai lainnya namun dilakukan secara tunai; (e) Pembayaran atau penyetoran dalam bentuk tunai untuk penyelesaian tagihan wesel, transfer atau instrumen pasar uang lainnya; (f) Penukaran uang tunai berdenominasi kecil dalam jumlah besar dengan uang tunai berdenominasi besar; (g) Penukaran uang tunai ke dalam mata uang asing dalam frekuensi yang tinggi; (h) Peningkatan kegiatan transaksi tunai dalam jumlah yang sangat besar untuk ukuran suatu kantor Bank; (i) Penyetoran tunai yang didalamnya selalu terdapat uang palsu; (j) Transfer dalam jumlah besar dari atau ke negara lain dengan instruksi untuk dilakukan pembayaran tunai; (k) Penyetoran tunai dalam jumlah besar melalui rekening titipan setelah jam kerja kas untuk menghindari hubungan langsung dengan petugas Bank. -32- 2. Transaksi mencurigakan dengan menggunakan rekening Bank (a) Pemeliharaan beberapa rekening atas nama pihak lain yang tidak sesuai dengan jenis kegiatan usaha nasabah; (b) Penyetoran tunai dalam jumlah kecil ke dalam beberapa rekening yang dimiliki nasabah pada Bank sehingga total penyetoran tersebut mempunyai jumlah sangat besar; (c) Penyetoran dan atau penarikan dalam jumlah besar dari rekening perorangan atau perusahaan yang tidak sesuai atau tidak terkait dengan usaha nasabah; (d) Pemberian informasi yang sulit dibuktikan atau memerlukan biaya yang sangat besar bagi Bank untuk melakukan pembuktian; (e) Pembayaran dari rekening nasabah yang dilakukan setelah adanya penyetoran tunai kepada rekening dimaksud pada hari yang sama atau hari sebelumnya; (f) Penarikan dalam jumlah besar dari rekening nasabah yang semula tidak aktif atau dari rekening nasabah yang menerima setoran dalam jumlah besar dari luar negeri; (g) Penggunaan petugas teller yang berbeda oleh nasabah yang secara bersamaan untuk melakukan transaksi tunai dalam jumlah besar atau transaksi mata uang asing; (h) Pihak yang mewakili perusahaan selalu menghindar untuk berhubungan dengan petugas Bank; (i) Peningkatan yang besar atas penyetoran tunai atau negotiable instruments oleh suatu perusahaan dengan menggunakan rekening klien perusahaan, khususnya apabila penyetoran tersebut langsung ditransfer di antara rekening klien lainnya; -33- (j) Penolakan oleh nasabah untuk menyediakan tambahan dokumen atau informasi penting, yang apabila diberikan memungkinkan nasabah menjadi layak untuk memperoleh fasilitas pemberian kredit atau jasa perbankan lainnya; (k) Penolakan nasabah terhadap fasilitas perbankan yang lazim diberikan, seperti penolakan untuk diberikan tingkat bunga yang lebih tinggi terhadap jumlah saldo tertentu; (l) Penyetoran untuk untung rekening yang sama oleh banyak pihak tanpa penjelasan yang memadai; 3. Transaksi mencurigakan melalui transaksi yang berkaitan dengan investasi (a) Pembelian surat berharga untuk disimpan di Bank sebagai kustodian yang seharusnya tidak layak apabila memperhatikan reputasi atau kemampuan finansial nasabah; (b) Transaksi pinjaman dengan jaminan dana yang diblokir (back-to-back deposit/loan transactions) antara Bank dengan anak perusahaan, perusahaan afiliasi, atau institusi perbankan di negara lain yang dikenal sebagai negara tempat lalu-lintas perdagangan narkotika; (c) Permintaan nasabah untuk jasa pengelolaan investasi dengan sumber dana investasi yang tidak jelas sumbernya atau tidak konsisten dengan reputasi atau kemampuan finansial nasabah; (d) Transaksi dengan pihak lawan (counterparty) yang tidak dikenal atau sifat, jumlah dan frekuensi transaksi yang tidak lazim; (e) Investor yang diperkenalkan oleh bank di negara lain, perusahaan afiliasi, atau investor lain dari negara yang diketahui umum sebagai tempat produksi atau perdagangan narkotika. 4. Transaksi mencurigakan melalui aktivitas Bank di luar negeri (a) Pengenalan nasabah oleh kantor cabang di luar negeri, perusahaan afiliasi atau bank lain yang berada di negara yang diketahui sebagai tempat produksi atau perdagangan narkotika; -34- (b) Penggunaan Letter of Credits (L/C) dan instrumen perdagangan internasional lain untuk memindahkan dana antar negara dimana transaksi perdagangan tersebut tidak sejalan dengan kegiatan usaha nasabah; (c) Penerimaan atau pengiriman transfer oleh nasabah dalam jumlah besar ke atau dari negara yang diketahui merupakan negara yang terkait dengan produksi, proses, dan atau pemasaran obat terlarang atau kegiatan terorisme; (d) Penghimpunan saldo dalam jumlah besar yang tidak sesuai dengan karakteristik perputaran usaha nasabah yang kemudian ditransfer ke negara lain; (e) Transfer secara elektronis oleh nasabah tanpa disertai penjelasan yang memadai atau tidak dengan menggunakan rekening; (f) Permintaan travellers cheques, wesel dalam mata uang asing, atau negotiable instrument lainnya dengan frekuensi tinggi; (g) Pembayaran dengan menggunakan travellers cheques atau wesel dalam mata uang asing khususnya yang diterbitkan oleh negara lain dengan frekuensi tinggi. 5. Transaksi mencurigakan yang melibatkan karyawan Bank dan atau agen (a) Peningkatan kekayaan karyawan dan agen Bank dalam jumlah besar tanpa disertai penjelasan yang memadai; (b) Hubungan transaksi melalui agen yang tidak dilengkapi dengan informasi yang memadai mengenai penerima akhir (ultimate beneficiary). 6. Transaksi mencurigakan melalui transaksi pinjam meminjam -35- (a) Pelunasan pinjaman bermasalah secara tidak terduga; (b) Permintaan fasilitas pinjaman dengan agunan yang asal usulnya dari aset yang diagunkan tidak jelas atau tidak sesuai dengan reputasi dan kemampuan finansial nasabah; (c) Permintaan nasabah kepada Bank untuk memberikan fasilitas pembiayaan dimana porsi dana sendiri Nasabah dalam fasilitas dimaksud tidak jelas asal usulnya, khususnya apabila terkait dengan properti. -36- Lampiran 2 LAPORAN TRANSAKSI YANG DAPAT DIKATEGORIKAN SEBAGAI TRANSAKSI YANG MENCURIGAKAN *) NOMOR LAPORAN NAMA BANK KANTOR BANK (ALAMAT DAN NOMOR TELEPON) NAMA PEMEGANG REKENING TANGGAL PEMBUKAAN REKENING PEMBERI REFERENSI IDENTITAS NASABAH **) IDENTITAS BENEFICIAL OWNER ***) ALAMAT PEMEGANG REKENING RINCIAN KETERANGAN TENTANG TRANSAKSI YANG DAPAT DIKATEGORIKAN MENCURIGAKAN, ANTARA LAIN PENJELASAN: ?? SUMBER DANA ?? PENGKREDITAN/PENDEBETAN REKENING ?? JUMLAH ?? TANGGAL TRANSAKSI YANG MENCURIGAKAN ?? MATA UANG/VALUTA INFORMASI RELEVAN LAINNYA *) **) ***) format laporan ini tidak mengurangi kemungkinan untuk Bank menambahkan informasi dan data yang diperlukan identitas nasabah disesuaikan dengan ketentuan Pasal 5 identitas beneficial owner disesuaikan dengan ketentuan Pasal 6 Tanggal Laporan : ………………………… -37- Tanda Tangan Pejabat Bank : ………………………… Nama Pejabat Bank : ………………………… "," PBI 3/10/PBI/2001 PENERAPAN PRINSIP MENGENAL NASABAH (KNOW YOUR CUSTOMER PRINCIPLES) 18 Juni 2001 18 Juni 2001 '23/UU/1999', '7/UU/1992', '10/UU/1998' 'BAB VIII' " " PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 12/ 11 /PBI/2010 TENTANG OPERASI MONETER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mendukung tujuan Bank Indonesia guna mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah, Bank Indonesia melakukan pengendalian moneter terutama melalui Operasi Moneter; b. bahwa dalam rangka menghadapi dan mengantisipasi perkembangan ekonomi, keuangan dan moneter, efektivitas Operasi Moneter perlu ditingkatkan; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu mengatur ketentuan mengenai Operasi Moneter dalam suatu Peraturan Bank Indonesia; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3790); 2.Undang... - 2 - 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7; Tambahan Lembaran Negara Nomor 4962); 3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 110; Tambahan Lembaran Negara Nomor 4236); 4. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 70; Tambahan Lembaran Negara Nomor 4852); MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG OPERASI MONETER BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan : 1. Bank ... - 3 - 1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Perbankan yang berlaku, yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional. 2. Operasi Moneter adalah pelaksanaan kebijakan moneter oleh Bank Indonesia dalam rangka pengendalian moneter melalui operasi pasar terbuka dan koridor suku bunga (standing facilities). 3. Operasi Pasar Terbuka yang selanjutnya disebut OPT adalah kegiatan transaksi di pasar uang yang dilakukan oleh Bank Indonesia dengan Bank dan/atau pihak lain dalam rangka Operasi Moneter. 4. Koridor Suku Bunga (Standing Facilities) yang selanjutnya disebut Standing Facilities adalah kegiatan penyediaan dana rupiah (lending facility) dari Bank Indonesia kepada Bank dan penempatan dana rupiah (deposit facility) oleh Bank di Bank Indonesia dalam rangka Operasi Moneter. 5. Absorpsi Likuiditas adalah pengurangan likuiditas di pasar uang rupiah melalui kegiatan Operasi Moneter. 6. Injeksi Likuiditas adalah penambahan likuiditas di pasar uang rupiah melalui kegiatan Operasi Moneter. 7. Sertifikat Bank Indonesia yang selanjutnya disebut SBI adalah surat berharga dalam mata uang rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek. 8. Surat Berharga Negara yang selanjutnya disebut SBN adalah Surat Utang Negara dan Surat Berharga Syariah Negara. 9. Surat Utang Negara yang selanjutnya disebut SUN adalah surat berharga yang berupa surat pengakuan utang dalam mata uang rupiah maupun valuta asing yang dijamin pembayaran bunga dan pokoknya oleh Negara Republik Indonesia, sesuai dengan masa berlakunya, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang berlaku. 10. Surat ... - 4 - 10. Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya disebut SBSN, atau dapat disebut Sukuk Negara, adalah SBN yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti atas penyertaan terhadap aset SBSN, baik dalam mata uang rupiah maupun valuta asing, sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang yang berlaku. 11. Bank Indonesia – Scripless Securities Settlement System yang selanjutnya disebut BI-SSSS adalah sarana transaksi dengan Bank Indonesia termasuk penatausahaannya, dan penatausahaan surat berharga secara elektronik dan terhubung langsung antara peserta, penyelenggara dan Sistem Bank Indonesia – Real Time Gross Settlement. 12. Sistem Bank Indonesia – Real Time Gross Settlement yang selanjutnya disebut Sistem BI-RTGS adalah suatu sistem transfer dana elektronik antar peserta Sistem BI-RTGS dalam mata uang rupiah yang penyelesaiannya dilakukan secara seketika per transaksi secara individual. BAB II TUJUAN OPERASI MONETER Pasal 2 (1) Operasi Moneter bertujuan mencapai sasaran operasional kebijakan moneter dalam rangka mendukung pencapaian sasaran akhir kebijakan moneter Bank Indonesia. (2) Sasaran operasional kebijakan moneter berupa suku bunga pasar uang jangka pendek. Pasal 3 ... - 5 - Pasal 3 Pencapaian sasaran operasional kebijakan moneter sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, dilakukan melalui pengelolaan likuiditas di pasar uang rupiah dengan cara Absorpsi Likuiditas dan/atau Injeksi Likuiditas. BAB III OPERASI MONETER Bagian Kesatu Bentuk Operasi Moneter Pasal 4 Operasi Moneter dilakukan dengan : a. OPT; dan b. Standing Facilities. Bagian Kedua Operasi Pasar Terbuka Pasal 5 Kegiatan OPT meliputi : a. penerbitan SBI; b. transaksi repurchase agreement (repo) dan reverse repo surat berharga; c. transaksi pembelian dan penjualan surat berharga secara outright; d. penempatan berjangka (term deposit) di Bank Indonesia; dan e. jual beli valuta asing terhadap rupiah. Pasal 6 ... - 6 - Pasal 6 (1) OPT dapat dilaksanakan setiap hari kerja. (2) Pelaksanaan OPT dilakukan melalui mekanisme lelang dan/atau non lelang. Pasal 7 Penempatan berjangka (term deposit) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf d, dapat dicairkan sebelum jatuh waktu (early redemption) dengan memenuhi persyaratan tertentu. Pasal 8 Dalam kegiatan OPT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b, Bank Indonesia dapat menggunakan surat berharga milik pihak lain yang ditetapkan Bank Indonesia. Bagian Ketiga Standing Facilities Pasal 9 (1) Standing Facilities meliputi: a. Penyediaan dana rupiah (lending facility); dan b. Penempatan dana rupiah (deposit facility). (2) Standing Facilities memiliki jangka waktu 1 (satu) hari kerja. Pasal 10 (1) Standing Facilities sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dilaksanakan oleh Bank Indonesia pada setiap hari kerja. (2) Pelaksanaan ... - 7 - (2) Pelaksanaan Standing Facilities dilakukan melalui mekanisme non lelang. BAB IV SERTIFIKAT BANK INDONESIA Pasal 11 SBI yang diterbitkan oleh Bank Indonesia memiliki karakteristik sebagai berikut: a. berjangka waktu paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan yang dinyatakan dalam jumlah hari dan dihitung sejak 1 (satu) hari sesudah tanggal setelmen sampai dengan tanggal jatuh waktu; b. diterbitkan dan diperdagangkan dengan sistem diskonto; c. diterbitkan tanpa warkat (scripless); dan d. dapat dipindahtangankan (negotiable). Pasal 12 (1) Bank Indonesia menatausahakan SBI dalam suatu sistem penatausahaan secara elektronis melalui Sistem Book Entry Registry dalam BI-SSSS. (2) Sistem penatausahaan yang dikelola oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup sistem pencatatan kepemilikan dan penyelesaian transaksi SBI. (3) Sistem pencatatan kepemilikan SBI sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan tanpa warkat (scripless). (4) Bank Indonesia dapat menunjuk pihak lain untuk mendukung penatausahaan SBI sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (5) Dalam ... - 8 - (5) Dalam hal pihak lain yang ditunjuk untuk mendukung penatausahaan SBI sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak dapat memenuhi persyaratan yang ditetapkan Bank Indonesia atau menghentikan kegiatan usahanya, Bank Indonesia berwenang mencabut penunjukan yang telah ditetapkan. Pasal 13 (1) Dalam jangka waktu tertentu sejak memiliki SBI, pemilik SBI dilarang melakukan transaksi atas SBI yang dimilikinya dengan pihak lain. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak berlaku untuk transaksi SBI oleh peserta Operasi Moneter dengan Bank Indonesia. (3) Pihak lain yang ditunjuk untuk mendukung penatausahaan SBI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (4), wajib menatausahakan SBI milik nasabahnya dengan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 14 (1) Bank Indonesia melunasi SBI pada saat jatuh waktu sebesar nilai nominal. (2) Bank Indonesia dapat melunasi SBI sebelum jatuh waktu dengan persetujuan pemilik SBI. BAB V PESERTA OPERASI MONETER DAN LEMBAGA PERANTARA Pasal 15 ... - 9 - Pasal 15 (1) Peserta Operasi Moneter terdiri dari : a. peserta OPT, yaitu Bank dan/atau pihak lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia; dan b. peserta Standing Facilities, yaitu Bank. (2) Peserta OPT dapat mengikuti OPT secara langsung dan/atau tidak langsung melalui lembaga perantara. (3) Peserta standing facilities hanya dapat mengikuti standing facilities secara langsung. (4) Bank Indonesia menetapkan persyaratan bagi peserta Operasi Moneter dan lembaga perantara. Pasal 16 (1) Peserta Operasi Moneter dan lembaga perantara bertanggung jawab atas kebenaran data penawaran yang diajukan. (2) Peserta Operasi Moneter dan lembaga perantara yang telah mengajukan penawaran dilarang membatalkan penawarannya. (3) Peserta Operasi Moneter dan lembaga perantara wajib memenuhi tata cara pengajuan penawaran dan persyaratan dalam transaksi Operasi Moneter yang ditetapkan Bank Indonesia. (4) Dalam hal peserta Operasi Moneter dan lembaga perantara tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penawaran yang telah diajukan akan ditolak dan/atau tidak akan diproses oleh Bank Indonesia. Pasal 17 ... - 10 - Pasal 17 (1) Peserta Operasi Moneter wajib memiliki rekening giro rupiah di Bank Indonesia. (2) Peserta Operasi Moneter wajib memiliki rekening surat berharga di BI-SSSS dan/atau di lembaga kustodian yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (3) Peserta Operasi Moneter yang mengikuti kegiatan Operasi Moneter wajib menyediakan dana yang cukup di rekening giro rupiah di Bank Indonesia dan/atau surat berharga yang cukup di rekening surat berharga di BI-SSSS atau di lembaga kustodian untuk penyelesaian kewajiban pada waktu penyelesaian transaksi. (4) Peserta Operasi Moneter yang melakukan transaksi di pasar valuta asing wajib menyediakan dana di Bank Indonesia atau transfer dana ke rekening Bank Indonesia yang cukup untuk penyelesaian kewajiban pembayaran pada tanggal penyelesaian transaksi. (5) Dalam hal peserta Operasi Moneter tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (3), transaksi Operasi Moneter yang bersangkutan dinyatakan batal, kecuali untuk transaksi di pasar valuta asing. Pasal 18 Dalam rangka penyelesaian transaksi Operasi Moneter, Bank Indonesia berwenang melakukan pendebetan rekening giro di Bank Indonesia dan/atau rekening surat berharga di BI-SSSS dan/atau di lembaga kustodian milik peserta Operasi Moneter. BAB VI ... - 11 - BAB VI SANKSI Pasal 19 (1) Atas batalnya transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (5), peserta Operasi Moneter dikenakan sanksi berupa: a. teguran tertulis; dan b. kewajiban membayar sebesar 0,01% (satu per sepuluh ribu) dari nilai nominal transaksi Operasi Moneter yang batal, paling sedikit sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). (2) Dalam hal terjadi batal transaksi yang ketiga kali dalam kurun waktu 6 (enam) bulan, selain dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), peserta Operasi Moneter juga dikenakan sanksi penghentian sementara untuk mengikuti kegiatan Operasi Moneter selama 5 (lima) hari kerja berturut-turut. Pasal 20 (1) Dalam hal peserta Operasi Moneter yang melakukan transaksi di pasar valuta asing tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (4), peserta Operasi Moneter dimaksud wajib membayar nominal transaksi pada hari kerja berikutnya setelah tanggal penyelesaian transaksi. (2) Peserta Operasi Moneter sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga dikenakan sanksi sebagai berikut : a. teguran tertulis; dan b. kewajiban membayar yang dihitung atas dasar : 1. suku ... - 12 - 1. suku bunga Fed Fund yang berlaku pada tanggal penyelesaian transaksi ditambah 200 (dua ratus) basis point dikalikan nominal transaksi dikalikan 1/360 (satu per tiga ratus enam puluh) untuk penyelesaian kewajiban pembayaran dalam valuta US Dollar; 2. suku bunga yang dikeluarkan oleh bank sentral atau otoritas moneter di negara valuta yang bersangkutan (official rate) yang berlaku pada tanggal penyelesaian transaksi ditambah 200 (dua ratus) basis point dikalikan nominal transaksi dikalikan 1/360 (satu per tiga ratus enam puluh) untuk penyelesaian kewajiban pembayaran dalam valuta asing non US Dollar; atau 3. suku bunga kebijakan Bank Indonesia (BI Rate) yang berlaku ditambah 200 (dua ratus) basis point dikalikan nominal transaksi dikalikan 1/360 (satu per tiga ratus enam puluh) untuk penyelesaian kewajiban pembayaran dalam rupiah. (3) Penyelesaian kewajiban pembayaran nominal transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui: a. pendebetan rekening giro valuta US Dollar peserta Operasi Moneter di Bank Indonesia untuk penyelesaian kewajiban pembayaran dalam valuta asing. Untuk kewajiban pembayaran dalam valuta asing non US Dollar, digunakan kurs indikasi Reuters pukul 08.00 WIB pada tanggal pembebanan. b. pendebetan rekening giro rupiah peserta Operasi Moneter di Bank Indonesia untuk penyelesaian kewajiban pembayaran peserta Operasi Moneter dalam rupiah. Pasal 21... - 13 - Pasal 21 Pemilik SBI yang merupakan peserta Operasi Moneter yang melanggar ketentuan dalam Pasal 13 ayat (1) dan/atau pihak lain yang ditunjuk untuk mendukung penatausahaan SBI yang melanggar ketentuan dalam Pasal 13 ayat (3) dikenakan sanksi berupa : a. teguran tertulis; dan b. kewajiban membayar sebesar 0,01% (satu per sepuluh ribu) dari nilai nominal transaksi SBI yang tidak memenuhi persyaratan dimaksud, paling sedikit sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) per hari. BAB VII PERALIHAN Pasal 22 Transaksi atas SBI yang dilakukan setelah berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini yang merupakan bagian dari transaksi yang telah dilakukan sebelum Peraturan Bank Indonesia ini diberlakukan, dikecualikan dari ketentuan Pasal 13 sampai dengan transaksi yang bersangkutan jatuh waktu. BAB VIII PENUTUP Pasal 23 Ketentuan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia ini diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 24... - 14 - Pasal 24 Dengan diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia ini, maka: a. Peraturan Bank Indonesia Nomor 4/9/PBI/2002 tanggal 18 November 2002 tentang Operasi Pasar Terbuka; b. Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/4/PBI/2004 tanggal 16 Februari 2004 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 4/9/PBI/2002 tentang Operasi Pasar Terbuka; c. Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/33/PBI/2004 tanggal 31 Desember 2004 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 4/9/PBI/2002 tentang Operasi Pasar Terbuka; d. Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/30/PBI/2005 tanggal 13 September 2005 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 4/9/PBI/2002 tentang Operasi Pasar Terbuka; e. Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/14/PBI/2008 tanggal 23 September 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 4/9/PBI/2002 tentang Operasi Pasar Terbuka; f. Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/21/PBI/2008 tanggal 15 Oktober 2008 tentang Perubahan Kelima Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 4/9/PBI/2002 tentang Operasi Pasar Terbuka; g. Peraturan Bank Indonesia Nomor 4/10/PBI/2002 tanggal 18 November 2002 tentang Sertifikat Bank Indonesia; dan h. Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/5/PBI/2004 tanggal 16 Februari 2004 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 4/10/PBI/2002 tentang Sertifikat Bank Indonesia, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 25 ... - 15 - Pasal 25 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 7 Juli 2010. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 2 Juli 2010 Pjs. GUBERNUR BANK INDONESIA, DARMIN NASUTION Diundangkan di Jakarta Pada Tanggal 2 Juli 2010 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, PATRIALIS AKBAR LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 84 DPM PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 12/ 11 /PBI/2010 TENTANG OPERASI MONETER UMUM Dalam rangka mendukung tujuan Bank Indonesia, yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah, Bank Indonesia melaksanakan pengendalian moneter sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 10 ayat (1) huruf b Undang- Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang. Salah satu ukuran keberhasilan tujuan dimaksud adalah tercapainya sasaran inflasi jangka menengah sebagai sasaran akhir dari pelaksanaan tugas Bank Indonesia di bidang moneter. Dalam rangka mencapai sasaran akhir kebijakan moneter, Bank Indonesia menerapkan kerangka kebijakan moneter yang difokuskan pada pengendalian suku bunga. Bank Indonesia menetapkan suku bunga pasar uang jangka pendek sebagai sasaran operasional. Untuk mencapai sasaran operasional tersebut, Bank Indonesia melakukan pengendalian moneter yang bersifat absorpsi dan/atau injeksi likuiditas. Pengendalian Moneter tersebut antara lain dilakukan melalui operasi pasar terbuka baik di pasar uang rupiah maupun pasar uang valuta asing. Operasi pasar terbuka di pasar valuta asing dilakukan dengan cara sterilisasi/intervensi di pasar valuta asing dalam rangka stabilisasi rupiah. PASAL ... - 2 - PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “suku bunga pasar uang jangka pendek” adalah suku bunga pasar uang antar bank overnight (PUAB O/N). Yang dimaksud dengan “suku bunga PUAB O/N” adalah suku bunga transaksi pinjam meminjam uang dalam mata uang rupiah antar Bank yang berjangka waktu 1 (satu) hari (overnight). Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Pelaksanaan OPT termasuk sterilisasi/intervensi di pasar valuta asing yang dilakukan oleh Bank Indonesia dalam rangka stabilisasi rupiah. Pasal 5 Huruf a Yang dimaksud dengan “penerbitan SBI” adalah penjualan SBI oleh Bank Indonesia di pasar perdana. Huruf b ... - 3 - Huruf b Yang dimaksud dengan “transaksi repurchase agreement (repo)” adalah transaksi penjualan surat berharga oleh peserta Operasi Moneter kepada Bank Indonesia dengan kewajiban pembelian kembali oleh peserta Operasi Moneter sesuai dengan harga dan jangka waktu yang disepakati. Yang dimaksud dengan “transaksi reverse repo” adalah transaksi pembelian surat berharga oleh peserta Operasi Moneter dari Bank Indonesia dengan kewajiban penjualan kembali oleh peserta Operasi Moneter sesuai dengan harga dan jangka waktu yang disepakati. Yang dimaksud dengan “surat berharga” adalah SBI, SBN dan surat berharga lain yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Huruf c Yang dimaksud dengan “transaksi pembelian dan penjualan surat berharga secara outright” adalah transaksi pembelian dan penjualan surat berharga secara putus. Yang dimaksud dengan “surat berharga” adalah SBN dan surat berharga lain yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Huruf d Yang dimaksud dengan “penempatan berjangka (term deposit)” adalah penempatan dana rupiah milik peserta Operasi Moneter secara berjangka di Bank Indonesia. Huruf e ... - 4 - Huruf e Jual beli valuta asing terhadap rupiah dilakukan antara lain dalam bentuk spot, forward dan swap. Yang dimaksud dengan “spot” adalah transaksi jual/beli antara valuta asing terhadap rupiah dengan penyerahan dananya dilakukan 2 (dua) hari kerja setelah tanggal transaksi. Transaksi tersebut dimungkinkan untuk dinegosiasikan dengan penyerahan valuta pada hari yang sama (today) atau dengan penyerahan 1 (satu) hari kerja setelah tanggal transaksi (tomorrow). Yang dimaksud dengan “forward” adalah transaksi jual/beli antara valuta asing terhadap rupiah dengan penyerahan dananya dilakukan lebih dari 2 (dua) hari kerja setelah tanggal transaksi. Yang dimaksud dengan “swap” adalah transaksi pertukaran valuta asing terhadap rupiah melalui pembelian/penjualan tunai (spot) dengan penjualan/pembelian kembali secara berjangka (forward) yang dilakukan secara simultan, dengan counterpart yang sama dan pada tingkat harga yang dibuat dan disepakati pada tanggal transaksi dilakukan. Pasal 6 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “hari kerja” adalah hari kerja Bank Indonesia, termasuk hari kerja terbatas Bank Indonesia. Ayat (2) ... - 5 - Ayat (2) Mekanisme lelang dapat dilakukan dengan metode lelang harga tetap (fixed rate tender) atau metode lelang harga beragam (variable rate tender). Mekanisme non lelang dilakukan secara bilateral antara Bank Indonesia dengan peserta OPT. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Penggunaan surat berharga milik pihak lain oleh Bank Indonesia dalam kegiatan OPT didasarkan pada suatu perjanjian antara Bank Indonesia dan pemilik surat berharga. Pasal 9 Ayat (1) Huruf a Penyediaan dana rupiah (lending facility) dilakukan melalui mekanisme repurchase agreement (repo) surat berharga. Yang dimaksud dengan “surat berharga” adalah SBI, SBN dan surat berharga lain yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Huruf b Penempatan dana rupiah (deposit facility) dilakukan tanpa penerbitan surat berharga. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 10 ... - 6 - Pasal 10 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “hari kerja” adalah hari kerja Bank Indonesia, termasuk hari kerja terbatas Bank Indonesia. Ayat (2) Mekanisme non lelang dalam Standing Facilities dilakukan secara bilateral antara Bank Indonesia dengan Bank. Pasal 11 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan “tanpa warkat (scripless)” adalah diterbitkan tanpa adanya fisik SBI, dan bukti kepemilikan bagi pemegang SBI berupa pencatatan elektronis. Huruf d SBI dapat dipindahtangankan melalui perdagangan di pasar sekunder antara lain secara repurchase agreement (repo), secara outright atau dijadikan agunan. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 ... - 7 - Pasal 13 Ayat (1) Transaksi SBI dengan pihak lain antara lain mencakup transaksi repurchase agreement (repo), penjualan secara outright, hibah dan pengagunan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan “pihak lain” antara lain badan hukum non-Bank dan badan lainnya. Huruf b Cukup Jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “lembaga perantara” antara lain pialang pasar uang rupiah dan valuta asing dan/atau pialang pasar modal yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Ayat (3) ... - 8 - Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 16 Yang dimaksud dengan “membatalkan” penawaran adalah Bank menarik kembali penawaran yang telah diajukan. Pasal 17 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Penyediaan dana di Bank Indonesia berlaku untuk kewajiban penyelesaian transaksi dalam rupiah. Penyelesaian transaksi dalam valuta asing dilakukan dengan transfer dana ke rekening Bank Indonesia yang ditunjuk. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 ... - 9 - Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5141 DPM "," PBI 12/11/PBI/2010 OPERASI MONETER 2 Juli 2010 7 Juli 2010 2 Juli 2010 '10/14/PBI/2008', '4/10/PBI/2002', '6/33/PBI/2004', '6/5/PBI/2004', '4/9/PBI/2002', '10/21/PBI/2008', '7/30/PBI/2005', '6/4/PBI/2004' '6/UU/2009', '19/UU/2008', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '7/UU/1992', '24/UU/2002', '10/UU/1998' 'BAB VI' " " PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 7/26/PBI/2005 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 2/8/PBI/2000 TANGGAL 23 FEBRUARI 2000 TENTANG PASAR UANG ANTARBANK BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk memenuhi kebutuhan informasi harian yang mendukung pelaksanaan tugas Bank Indonesia di sektor moneter, perbankan dan sistem pembayaran, Bank Indonesia telah menerapkan Laporan Harian Bank Umum sebagai sarana penyampaian laporan; b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud huruf a dipandang perlu untuk melakukan perubahan terhadap Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/8/PBI/2000 tentang Pasar Uang Antarbank Berdasarkan Prinsip Syariah; Mengingat : 1. Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran … 2 Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah Bank Tahun Republik diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357); 3. Peraturan Bank Indonesia No.7/10/PBI/2005 tentang Laporan Harian Bank Umum (Lembaran Negara Republik Tahun 2005 Nomor 25, Tambahan Lembaran Indonesia Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 4483); MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 2/8/PBI/2000 TENTANG PASAR UANG ANTARBANK BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH. Pasal I Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor:2/8/PBI/2000 tentang Pasar Uang Antarbank Berdasarkan Prinsip Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia … 3 Indonesia Tahun 2000 Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor3936) diubah sebagai berikut: 1. Ketentuan Pasal 1 angka 3 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: “Unit Usaha Syariah, yang selanjutnya disebut UUS, adalah unit kerja di kantor pusat bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang syariah dan atau unit syariah, atau unit kerja di kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang pembantu syariah dan atau unit syariah.” 2. Ketentuan Pasal 1 angka 7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: “7. Laporan Harian Bank Umum, yang selanjutnya disebut LHBU, adalah laporan yang disusun dan disampaikan oleh Bank Pelapor secara harian kepada Bank Indonesia."" 3. Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: “Pasal 11 (1) Bank Syariah penerbit Sertifikat IMA wajib melaporkan informasi Sertifikat IMA kepada Bank Indonesia pada setiap hari kerja yang sama dengan hari penerbitan Sertifikat IMA. (2) Dalam hal tidak terdapat penerbitan Sertifikat IMA sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Bank Syariah wajib mengirimkan form header kepada Bank Indonesia sebagaimana diatur dalam ketentuan mengenai LHBU. (3) Bank … 4 (3) Bank Syariah wajib melaporkan tingkat imbalan deposito investasi Mudharabah untuk semua periode jangka waktu kepada Bank Indonesia pada setiap hari kerja. (4) Dalam hal tidak terdapat perubahan tingkat imbalan deposito investasi Mudharabah sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) maka Bank Syariah wajib menyampaikan data tingkat imbalan deposito investasi Mudharabah yang telah dilaporkan pada hari kerja sebelumnya. (5) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) disampaikan melalui LHBU sebagaimana diatur dalam ketentuan mengenai LHBU.” 4. Ketentuan Pasal 12 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: “Pasal 12 Pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dilakukan oleh kantor pusat Bank Syariah penerbit Sertifikat IMA” Pasal II Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 26 Agustus 2005. Ditetapkan … 5 Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 8 Agustus 2005 GUBERNUR BANK INDONESIA, BURHANUDDIN ABDULLAH LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2005 NOMOR 74 DPM PENJELASAN PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 7/26/PBI/2005 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 2/8/PBI/2000 TENTANG PASAR UANG ANTARBANK BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH UMUM Informasi pasar uang antarbank berdasarkan prinsip syariah diperlukan oleh Bank Indonesia sebagai bahan pertimbangan dalam penetapan kebijakan. Untuk memenuhi kebutuhan informasi harian yang mendukung pelaksanaan tugas Bank Indonesia di bidang moneter, perbankan dan sistem pembayaran, Bank Indonesia telah menerapkan Laporan Harian Bank Umum. Berkaitan dengan hal tersebut maka Bank Syariah diwajibkan menyusun laporan Pasar Uang Antarbank Berdasarkan Prinsip Syariah secara benar dan lengkap serta menyampaikan laporan dimaksud kepada Bank Indonesia secara real time dan tepat waktu. PASAL DEMI PASAL Pasal I Angka 1 Cukup jelas Angka 2 Cukup jelas Angka … 2 Angka 3 Pasal 11 Ayat (1) Yang dimaksud dengan Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Angka 4 Pasal 12 Cukup jelas Pasal II Cukup jelas hari kerja adalah hari kerja sebagaimana dimaksud dalam ketentuan mengenai LHBU. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2005 NOMOR 4524 "," PBI 7/26/PBI/2005 PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 2/8/PBI/2000 TANGGAL 23 FEBRUARI 2000 TENTANG PASAR UANG ANTARBANK BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH 8 Agustus 2005 26 Agustus 2005 '2/8/PBI/2000' '23/UU/1999', '3/UU/2004', '7/10/PBI/2005', '7/UU/1992', '10/UU/1998' " " PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 11/ 33 /PBI/2009 TENTANG PELAKSANAAN GOOD CORPORATE GOVERNANCE BAGI BANK UMUM SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam rangka membangun industri perbankan syariah yang sehat dan tangguh, diperlukan pelaksanaan Good Corporate Governance bagi bank umum syariah dan unit usaha syariah yang efektif; b. bahwa pelaksanaan Good Corporate Governance di dalam industri perbankan syariah harus memenuhi prinsip syariah (sharia compliance); c. bahwa pelaksanaan Good Corporate Governance merupakan salah satu upaya untuk melindungi kepentingan stakeholders dan meningkatkan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku serta nilai-nilai etika yang berlaku secara umum pada industri perbankan syariah; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b dan huruf c dipandang perlu untuk menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance Bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah; Mengingat ... - 2 - Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 2. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756); 3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867); MEMUTUSKAN: Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PELAKSANAAN GOOD CORPORATE GOVERNANCE BAGI BANK UMUM SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH. BAB I ... - 3 - BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah dari Bank Umum Konvensional termasuk Unit Usaha Syariah dari kantor cabang dari suatu bank yang berkedudukan di luar negeri; 2. Bank Umum Syariah yang selanjutnya disebut BUS adalah Bank Syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah; 3. Bank Umum Konvensional adalah Bank Konvensional yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah; 4. Unit Usaha Syariah, yang selanjutnya disebut UUS, adalah unit kerja dari kantor pusat Bank Umum Konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor atau unit yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah, atau unit kerja di kantor cabang dari suatu bank yang berkedudukan di luar negeri yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang pembantu syariah dan/atau unit syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah; 5. Prinsip ... - 4 - 5. Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam di bidang perbankan syariah yang tertuang dalam bentuk fatwa Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama Indonesia; 6. Dewan Komisaris adalah organ perseroan yang bertugas melakukan pengawasan secara umum dan/atau khusus sesuai dengan anggaran dasar serta memberi nasihat kepada Direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas; 7. Direksi adalah organ perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan, baik di dalam dan di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas; 8. Direktur UUS adalah direktur Bank Umum Konvensional atau pimpinan kantor cabang dari suatu bank yang berkedudukan di luar negeri yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan UUS; 9. Komisaris Independen adalah anggota Dewan Komisaris yang tidak memiliki: a. hubungan keuangan, kepengurusan, kepemilikan saham dan/atau hubungan keluarga dengan pemegang saham pengendali, anggota Dewan Komisaris dan/atau anggota Direksi; atau b. hubungan keuangan dan/atau hubungan kepemilikan saham dengan Bank, sehingga ... - 5 - sehingga dapat mendukung kemampuannya untuk bertindak independen; 10. Good Corporate Governance, yang selanjutnya disebut GCG, adalah suatu tata kelola Bank yang menerapkan prinsip-prinsip keterbukaan (transparency), akuntabilitas (accountability), pertanggungjawaban (responsibility), profesional (professional), dan kewajaran (fairness); 11. Stakeholders adalah seluruh pihak yang memiliki kepentingan secara langsung atau tidak langsung terhadap kegiatan usaha dan kelangsungan usaha Bank; 12. Dewan Pengawas Syariah adalah dewan yang bertugas memberikan nasihat dan saran kepada Direksi serta mengawasi kegiatan Bank agar sesuai dengan Prinsip Syariah; dan 13. Pejabat Eksekutif adalah pejabat yang bertanggung jawab langsung kepada Direksi dan/atau mempunyai pengaruh terhadap kebijakan dan operasional Bank seperti kepala divisi atau pemimpin kantor cabang. Pasal 2 (1) Bank wajib melaksanakan GCG dalam setiap kegiatan usahanya pada seluruh tingkatan atau jenjang organisasi. (2) Pelaksanaan GCG sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi BUS paling kurang harus diwujudkan dalam: a. pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Dewan Komisaris dan Direksi; b. kelengkapan dan pelaksanaan tugas komite-komite dan fungsi yang menjalankan pengendalian intern BUS; c. pelaksanaan ... - 6 - c. pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Dewan Pengawas Syariah; d. penerapan fungsi kepatuhan, audit intern dan audit ekstern; e. batas maksimum penyaluran dana; dan f. transparansi kondisi keuangan dan non keuangan BUS. (3) Pelaksanaan GCG sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi UUS paling kurang harus diwujudkan dalam: a. pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Direktur UUS; b. pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Dewan Pengawas Syariah; c. penyaluran dana kepada nasabah pembiayaan inti dan penyimpanan dana oleh deposan inti; dan d. transparansi kondisi keuangan dan non keuangan UUS. Pasal 3 Bank Indonesia melakukan penilaian terhadap pelaksanaan GCG Bank. BAB II ... - 7 - BAB II BANK UMUM SYARIAH Bagian Pertama Dewan Komisaris Paragraf 1 Persyaratan Dewan Komisaris Pasal 4 Jumlah, komposisi, kriteria, rangkap jabatan, hubungan keluarga, dan persyaratan lain bagi anggota Dewan Komisaris tunduk kepada ketentuan Bank Indonesia terkait. Pasal 5 (1) Mantan anggota Direksi BUS tidak dapat menjadi Komisaris Independen pada BUS yang bersangkutan sebelum menjalani masa tunggu (cooling off) paling kurang selama 6 (enam) bulan. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi mantan Direksi BUS yang melakukan fungsi pengawasan. Pasal 6 (1) Usulan pengangkatan dan/atau penggantian anggota Dewan Komisaris kepada Rapat Umum Pemegang Saham dilakukan dengan memperhatikan rekomendasi Komite Remunerasi dan Nominasi. (2) Dalam hal anggota Komite Remunerasi dan Nominasi memiliki benturan kepentingan (conflict of interest) dengan usulan yang direkomendasikan, maka dalam usulan tersebut wajib diungkapkan ... - 8 - diungkapkan adanya benturan kepentingan serta pertimbangan- pertimbangan yang mendasari usulan tersebut. Paragraf 2 Tugas dan Tanggung Jawab Dewan Komisaris Pasal 7 Dewan Komisaris wajib melaksanakan tugas dan tanggung jawab sesuai dengan prinsip-prinsip GCG. Pasal 8 (1) Dewan Komisaris wajib melakukan pengawasan atas terselenggaranya pelaksanaan GCG dalam setiap kegiatan usaha BUS pada seluruh tingkatan atau jenjang organisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2). (2) Dewan Komisaris wajib melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Direksi, serta memberikan nasihat kepada Direksi. (3) Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Dewan Komisaris wajib memantau dan mengevaluasi pelaksanaan kebijakan strategis BUS. (4) Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Dewan Komisaris dilarang terlibat dalam pengambilan keputusan kegiatan operasional BUS, kecuali pengambilan keputusan untuk pemberian pembiayaan kepada Direksi sepanjang kewenangan Dewan Komisaris tersebut ditetapkan dalam Anggaran Dasar BUS atau dalam Rapat Umum Pemegang Saham. Pasal 9 ... - 9 - Pasal 9 Dewan Komisaris wajib memastikan bahwa Direksi telah menindaklanjuti temuan audit dan/atau rekomendasi dari hasil pengawasan Bank Indonesia, auditor intern, Dewan Pengawas Syariah dan/atau auditor ekstern. Pasal 10 Dewan Komisaris wajib memberitahukan secara tertulis kepada Bank Indonesia paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak ditemukannya: a. pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang keuangan dan perbankan; dan b. suatu kondisi yang dapat membahayakan kelangsungan usaha BUS. Pasal 11 (1) Dalam rangka mendukung efektivitas pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya, Dewan Komisaris wajib membentuk paling kurang: a. Komite Pemantau Risiko; b. Komite Remunerasi dan Nominasi; dan c. Komite Audit. (2) Pengangkatan anggota komite sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Direksi berdasarkan keputusan rapat Dewan Komisaris. (3) Dewan Komisaris wajib memastikan bahwa komite yang telah dibentuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjalankan tugasnya secara efektif. (4) Dewan ... - 10 - (4) Dewan Komisaris wajib memiliki pedoman dan tata tertib kerja setiap komite sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (5) Pedoman dan tata tertib kerja komite sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus dievaluasi dan dilakukan pengkinian secara berkala. Pasal 12 (1) Dewan Komisaris wajib memiliki pedoman dan tata tertib kerja yang bersifat mengikat bagi setiap anggota Dewan Komisaris. (2) Pedoman dan tata tertib kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling kurang mencantumkan: a. waktu kerja; dan b. pengaturan rapat. Pasal 13 Anggota Dewan Komisaris wajib menyediakan waktu yang cukup untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya secara optimal. Paragraf 3 Rapat Dewan Komisaris Pasal 14 (1) Rapat Dewan Komisaris wajib diselenggarakan paling kurang 1 (satu) kali dalam 2 (dua) bulan. (2) Rapat Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dihadiri paling kurang oleh 2/3 (dua per tiga) dari jumlah anggota Dewan Komisaris. (3) Rapat Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dipimpin oleh Komisaris Utama. (4) Dalam ... - 11 - (4) Dalam hal Komisaris Utama berhalangan hadir maka rapat Dewan Komisaris dapat dipimpin oleh salah seorang anggota Dewan Komisaris. Pasal 15 (1) Seluruh keputusan Dewan Komisaris yang dituangkan dalam risalah rapat merupakan keputusan bersama seluruh anggota Dewan Komisaris. (2) Hasil rapat Dewan Komisaris wajib dituangkan dalam risalah rapat dan didokumentasikan dengan baik. (3) Dalam hal terdapat perbedaan pendapat (dissenting opinions) atas hasil keputusan rapat Dewan Komisaris, maka perbedaan pendapat tersebut wajib dicantumkan secara jelas dalam risalah rapat beserta alasannya. Paragraf 4 Aspek Transparansi Dewan Komisaris Pasal 16 Anggota Dewan Komisaris wajib mengungkapkan: a. kepemilikan saham yang mencapai 5% (lima persen) atau lebih pada BUS yang bersangkutan; b. hubungan keuangan dan hubungan keluarga dengan pemegang saham pengendali, anggota Dewan Komisaris lain dan/atau anggota Direksi; c. rangkap jabatan pada perusahaan atau lembaga lain, dalam laporan pelaksanaan GCG sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini. Pasal 17 ... - 12 - Pasal 17 (1) Anggota Dewan Komisaris dilarang memanfaatkan BUS untuk kepentingan pribadi, keluarga, dan/atau pihak lain yang dapat mengurangi aset atau mengurangi keuntungan BUS. (2) Anggota Dewan Komisaris dilarang mengambil dan/atau menerima keuntungan pribadi dari BUS selain remunerasi dan fasilitas lainnya yang ditetapkan Rapat Umum Pemegang Saham. (3) Anggota Dewan Komisaris wajib mengungkapkan remunerasi dan fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pada laporan pelaksanaan GCG sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini. Bagian Kedua Direksi Paragraf 1 Persyaratan Direksi Pasal 18 Jumlah, kriteria, rangkap jabatan, hubungan keluarga dan persyaratan lain bagi anggota Direksi tunduk kepada ketentuan Bank Indonesia terkait. Pasal 19 Usulan pengangkatan dan/atau penggantian anggota Direksi kepada Rapat Umum Pemegang Saham, dilakukan dengan memperhatikan rekomendasi Komite Remunerasi dan Nominasi. Paragraf 2 ... - 13 - Paragraf 2 Tugas dan Tanggung Jawab Direksi Pasal 20 (1) Direksi bertanggung jawab penuh atas pelaksanaan pengelolaan BUS berdasarkan prinsip kehati-hatian dan Prinsip Syariah. (2) Direksi wajib mengelola BUS sesuai dengan kewenangan dan tanggung jawabnya sebagaimana diatur dalam Anggaran Dasar BUS dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 21 Direksi wajib melaksanakan GCG dalam setiap kegiatan usaha BUS pada seluruh tingkatan atau jenjang organisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2). Pasal 22 Direksi wajib menindaklanjuti temuan audit dan/atau rekomendasi dari hasil pengawasan Bank Indonesia, auditor intern, Dewan Pengawas Syariah dan/atau auditor ekstern. Pasal 23 Dalam rangka melaksanakan GCG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, Direksi wajib memiliki fungsi paling kurang: a. Audit Intern; b. Manajemen Risiko dan Komite Manajemen Risiko; dan c. Kepatuhan. Pasal 24 ... - 14 - Pasal 24 Direksi wajib mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugasnya kepada pemegang saham melalui Rapat Umum Pemegang Saham. Pasal 25 Direksi harus mengungkapkan kepada pegawai kebijakan BUS yang bersifat strategis di bidang kepegawaian. Pasal 26 Anggota Direksi dilarang memberikan kuasa umum kepada pihak lain yang mengakibatkan pengalihan tugas dan fungsi Direksi. Pasal 27 Direksi hanya dapat menggunakan jasa konsultan, penasihat, atau yang dapat dipersamakan dengan itu sepanjang memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. proyek bersifat khusus yang sangat diperlukan untuk kegiatan usaha BUS; b. didasari oleh kontrak yang jelas, yang sekurang-kurangnya mencakup tujuan, ruang lingkup kerja, tanggung jawab, jangka waktu pelaksanaan pekerjaan dan biaya; dan c. konsultan merupakan pihak independen yang profesional dan memiliki kualifikasi yang cukup untuk melaksanakan proyek secara efektif dan efisien. Pasal 28 ... - 15 - Pasal 28 Direksi wajib menyediakan data dan informasi yang akurat, relevan dan tepat waktu kepada Dewan Komisaris dan Dewan Pengawas Syariah. Pasal 29 (1) Setiap anggota Direksi wajib memiliki kejelasan tugas dan tanggung jawab sesuai dengan bidang tugasnya. (2) Direksi wajib memiliki pedoman dan tata tertib kerja yang bersifat mengikat bagi setiap anggota Direksi. (3) Pedoman dan tata tertib kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling kurang mencantumkan: a. waktu kerja; dan b. pengaturan rapat. Pasal 30 Setiap keputusan Direksi bersifat mengikat dan menjadi tanggung jawab seluruh anggota Direksi. Paragraf 3 Rapat Direksi Pasal 31 (1) Setiap kebijakan dan keputusan strategis wajib diputuskan melalui rapat Direksi. (2) Hasil rapat Direksi wajib dituangkan dalam risalah rapat dan didokumentasikan dengan baik. (3) Dalam ... - 16 - (3) Dalam hal terdapat perbedaan pendapat (dissenting opinions) atas hasil keputusan rapat Direksi, maka perbedaan pendapat tersebut wajib dicantumkan secara jelas dalam risalah rapat beserta alasannya. Paragraf 4 Aspek Transparansi Direksi Pasal 32 Anggota Direksi wajib mengungkapkan: a. kepemilikan saham yang mencapai 5% (lima persen) atau lebih, baik pada BUS yang bersangkutan maupun pada bank dan perusahaan lain, yang berkedudukan di dalam dan di luar negeri; b. hubungan keuangan dan hubungan keluarga dengan pemegang saham pengendali, anggota Dewan Komisaris dan/atau anggota Direksi lainnya, dalam laporan pelaksanaan GCG sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini. Pasal 33 (1) Anggota Direksi dilarang memanfaatkan BUS untuk kepentingan pribadi, keluarga, dan/atau pihak lain yang dapat mengurangi aset atau mengurangi keuntungan BUS. (2) Anggota Direksi dilarang mengambil dan/atau menerima keuntungan pribadi dari BUS, selain remunerasi dan fasilitas lainnya yang ditetapkan Rapat Umum Pemegang Saham. (3) Anggota ... - 17 - (3) Anggota Direksi wajib mengungkapkan remunerasi dan fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pada laporan pelaksanaan GCG sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini. Bagian Ketiga Komite-Komite Paragraf 1 Struktur dan Keanggotaan Komite Pasal 34 (1) Anggota Komite Pemantau Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) huruf a paling kurang terdiri dari: a. seorang Komisaris Independen; b. seorang pihak independen yang memiliki keahlian di bidang perbankan syariah; dan c. seorang pihak independen yang memiliki keahlian di bidang manajemen risiko. (2) Anggota Komite Pemantau Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memiliki integritas dan reputasi keuangan yang baik. (3) Komite Pemantau Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diketuai oleh Komisaris Independen. (4) Anggota Direksi dilarang menjadi anggota Komite Pemantau Risiko. (5) Mayoritas anggota Komisaris yang menjadi anggota Komite Pemantau Risiko harus merupakan Komisaris Independen. Pasal 35 ... - 18 - Pasal 35 (1) Anggota Komite Remunerasi dan Nominasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) huruf b paling kurang terdiri dari: a. 2 (dua) orang Komisaris Independen; dan b. seorang Pejabat Eksekutif yang membawahi sumber daya manusia. (2) Komite Remunerasi dan Nominasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diketuai oleh Komisaris Independen. (3) Anggota Direksi dilarang menjadi anggota Komite Remunerasi dan Nominasi. (4) Mayoritas anggota Komisaris yang menjadi anggota Komite Remunerasi dan Nominasi harus merupakan Komisaris Independen. Pasal 36 (1) Anggota Komite Audit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) huruf c paling kurang terdiri dari: a. seorang Komisaris Independen; b. seorang pihak independen yang memiliki keahlian di bidang akuntansi keuangan; dan c. seorang pihak independen yang memiliki keahlian di bidang perbankan syariah. (2) Anggota Komite Audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memiliki integritas dan reputasi keuangan yang baik. (3) Komite Audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diketuai oleh Komisaris Independen. (4) Anggota ... - 19 - (4) Anggota Direksi dilarang menjadi anggota Komite Audit. (5) Mayoritas anggota Komisaris yang menjadi anggota Komite Audit harus merupakan Komisaris Independen. Pasal 37 (1) Mantan anggota Direksi BUS tidak dapat menjadi pihak independen sebagaimana dimaksud pada Pasal 34 ayat (1) huruf b dan huruf c serta Pasal 36 ayat (1) huruf b dan huruf c pada BUS yang bersangkutan sebelum menjalani masa tunggu (cooling off) paling kurang selama 6 (enam) bulan. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi mantan Direksi BUS yang melakukan fungsi pengawasan. Paragraf 2 Jabatan Rangkap Ketua Komite Pasal 38 Ketua komite sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (3), Pasal 35 ayat (2) dan Pasal 36 ayat (3) hanya dapat merangkap jabatan sebagai ketua komite paling banyak pada 1 (satu) komite lainnya pada BUS yang sama. Paragraf 3 Tugas dan Tanggung Jawab Komite Pasal 39 Komite Pemantau Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) huruf a mempunyai tugas dan tanggung jawab paling kurang: a. melakukan evaluasi tentang kebijakan manajemen risiko; b. melakukan ... - 20 - b. melakukan evaluasi tentang kesesuaian antara kebijakan manajemen risiko dengan pelaksanaan kebijakan tersebut; c. melakukan evaluasi pelaksanaan tugas Komite Manajemen Risiko dan Satuan Kerja Manajemen Risiko, guna memberikan rekomendasi kepada Dewan Komisaris. Pasal 40 Komite Remunerasi dan Nominasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) huruf b mempunyai tugas dan tanggung jawab paling kurang: a. terkait dengan kebijakan remunerasi: 1) melakukan evaluasi terhadap kebijakan remunerasi; 2) melakukan evaluasi terhadap kesesuaian antara kebijakan remunerasi dengan pelaksanaan kebijakan tersebut; dan 3) memberikan rekomendasi kepada Dewan Komisaris mengenai kebijakan remunerasi bagi Dewan Komisaris, Direksi, Dewan Pengawas Syariah, Pejabat Eksekutif dan pegawai secara keseluruhan. b. terkait dengan kebijakan nominasi: 1) memberikan rekomendasi kepada Dewan Komisaris mengenai sistem serta prosedur pemilihan dan/atau penggantian anggota Dewan Komisaris, Direksi dan Dewan Pengawas Syariah; 2) memberikan rekomendasi kepada Dewan Komisaris mengenai calon anggota Dewan Komisaris, Direksi dan/atau Dewan Pengawas Syariah; 3) memberikan rekomendasi kepada Dewan Komisaris mengenai calon pihak independen yang akan menjadi anggota Komite sebagaimana ... - 21 - sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) huruf b dan huruf c serta Pasal 36 ayat (1) huruf b dan huruf c. Pasal 41 Komite Remunerasi dan Nominasi dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab terkait dengan kebijakan remunerasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 butir a, paling kurang wajib memperhatikan: a. kinerja keuangan; b. pemenuhan pembentukan Penyisihan Penghapusan Aktiva; c. kewajaran dengan peer group; dan d. pertimbangan sasaran dan strategi jangka panjang BUS. Pasal 42 (1) Komite Audit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) huruf c memiliki tugas dan tanggung jawab paling kurang: a. melakukan evaluasi atas pelaksanaan audit intern dalam rangka menilai kecukupan pengendalian intern termasuk kecukupan proses pelaporan keuangan; dan b. melakukan koordinasi dengan Kantor Akuntan Publik dalam rangka efektivitas pelaksanaan audit ekstern. (2) Dalam rangka melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, Komite Audit paling kurang melakukan evaluasi terhadap: a. pelaksanaan tugas yang dilaksanakan oleh fungsi audit intern; b. pelaksanaan tindak lanjut oleh Direksi atas hasil temuan audit dan/atau rekomendasi dari hasil pengawasan Bank Indonesia, auditor ... - 22 - auditor intern, Dewan Pengawas Syariah, dan/atau auditor ekstern, guna memberikan rekomendasi kepada Dewan Komisaris. (3) Komite Audit memberikan rekomendasi mengenai penunjukan Akuntan Publik dan Kantor Akuntan Publik kepada Dewan Komisaris. Paragraf 4 Rapat Komite Pasal 43 Hasil rapat komite wajib dituangkan dalam risalah rapat dan didokumentasikan dengan baik. Bagian Keempat Dewan Pengawas Syariah Paragraf 1 Persyaratan Dewan Pengawas Syariah Pasal 44 Jumlah, kriteria, rangkap jabatan dan persyaratan lain bagi Dewan Pengawas Syariah tunduk kepada ketentuan Bank Indonesia terkait. Pasal 45 (1) Usulan pengangkatan dan/atau penggantian anggota Dewan Pengawas Syariah kepada Rapat Umum Pemegang Saham dilakukan dengan memperhatikan rekomendasi Komite Remunerasi dan Nominasi. (2) Masa ... - 23 - (2) Masa jabatan anggota Dewan Pengawas Syariah paling lama sama dengan masa jabatan anggota Direksi atau Dewan Komisaris. Paragraf 2 Tugas dan Tanggung Jawab Dewan Pengawas Syariah Pasal 46 Dewan Pengawas Syariah wajib melaksanakan tugas dan tanggung jawab sesuai dengan prinsip-prinsip GCG. Pasal 47 (1) Tugas dan tanggung jawab Dewan Pengawas Syariah adalah memberikan nasihat dan saran kepada Direksi serta mengawasi kegiatan Bank agar sesuai dengan Prinsip Syariah. (2) Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi antara lain: a. Menilai dan memastikan pemenuhan Prinsip Syariah atas pedoman operasional dan produk yang dikeluarkan Bank; b. Mengawasi proses pengembangan produk baru Bank agar sesuai dengan fatwa Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama Indonesia; c. Meminta fatwa kepada Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama Indonesia untuk produk baru Bank yang belum ada fatwanya; d. Melakukan review secara berkala atas pemenuhan Prinsip Syariah terhadap mekanisme penghimpunan dana dan penyaluran dana serta pelayanan jasa Bank; dan e. Meminta ... - 24 - e. Meminta data dan informasi terkait dengan aspek syariah dari satuan kerja Bank dalam rangka pelaksanaan tugasnya. (3) Dewan Pengawas Syariah wajib menyampaikan Laporan Hasil Pengawasan Dewan Pengawas Syariah secara semesteran. (4) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib disampaikan kepada Bank Indonesia paling lambat 2 (dua) bulan setelah periode semester dimaksud berakhir. (5) Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) akan diatur lebih rinci dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 48 Anggota Dewan Pengawas Syariah wajib menyediakan waktu yang cukup untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya secara optimal. Paragraf 3 Rapat Dewan Pengawas Syariah Pasal 49 (1) Rapat Dewan Pengawas Syariah wajib diselenggarakan paling kurang 1 (satu) kali dalam 1 (satu) bulan. (2) Pengambilan keputusan rapat Dewan Pengawas Syariah dilakukan berdasarkan musyawarah mufakat. (3) Seluruh keputusan Dewan Pengawas Syariah yang dituangkan dalam risalah rapat merupakan keputusan bersama seluruh anggota Dewan Pengawas Syariah. (4) Hasil ... - 25 - (4) Hasil rapat Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dituangkan dalam risalah rapat dan didokumentasikan dengan baik. Paragraf 4 Aspek Transparansi Dewan Pengawas Syariah Pasal 50 Anggota Dewan Pengawas Syariah wajib mengungkapkan rangkap jabatan sebagai anggota Dewan Pengawas Syariah pada lembaga keuangan syariah lain dalam laporan pelaksanaan GCG sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini. Pasal 51 (1) Anggota Dewan Pengawas Syariah dilarang memanfaatkan BUS untuk kepentingan pribadi, keluarga dan/atau pihak lain yang dapat mengurangi aset atau mengurangi keuntungan BUS. (2) Anggota Dewan Pengawas Syariah dilarang mengambil dan/atau menerima keuntungan pribadi dari BUS selain remunerasi dan fasilitas lainnya yang ditetapkan Rapat Umum Pemegang Saham. (3) Anggota Dewan Pengawas Syariah wajib mengungkapkan remunerasi dan fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pada laporan pelaksanaan GCG sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini. (4) Anggota Dewan Pengawas Syariah dilarang merangkap jabatan sebagai konsultan di seluruh BUS dan/atau UUS. Bagian ... - 26 - Bagian Kelima Fungsi Kepatuhan, Audit Intern dan Audit Ekstern Paragraf 1 Fungsi Kepatuhan Pasal 52 (1) BUS wajib memiliki 1 (satu) orang direktur yang bertugas untuk memastikan kepatuhan terhadap ketentuan Bank Indonesia dan peraturan perundang-undangan lainnya sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai direktur kepatuhan. (2) Dalam rangka membantu pelaksanaan tugas direktur sebagaimana dimaksud pada ayat (1), BUS wajib melaksanakan fungsi kepatuhan yang independen terhadap satuan kerja operasional. (3) Pelaksanaan fungsi kepatuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus didukung oleh personil yang paling kurang memiliki pengetahuan dan/atau pemahaman tentang operasional perbankan syariah. Paragraf 2 Fungsi Audit Intern Pasal 53 (1) BUS wajib menerapkan fungsi audit intern yang efektif sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai penerapan standar pelaksanaan fungsi audit intern bank umum. (2) BUS wajib melaksanakan fungsi audit intern yang independen terhadap satuan kerja operasional. (3) Pelaksanaan ... - 27 - (3) Pelaksanaan fungsi audit intern sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus didukung oleh personil dalam jumlah yang memadai dan kompeten di bidangnya, dengan paling kurang terdapat 1 (satu) orang personil yang memiliki pengetahuan dan/atau pemahaman tentang operasional perbankan syariah. (4) Laporan hasil audit intern terkait pelaksanaan pemenuhan Prinsip Syariah disampaikan kepada Dewan Pengawas Syariah. Paragraf 3 Fungsi Audit Ekstern Pasal 54 (1) BUS wajib menunjuk Akuntan Publik dan Kantor Akuntan Publik yang terdaftar di Bank Indonesia dalam pelaksanaan audit laporan keuangan BUS. (2) Penunjukan Akuntan Publik dan Kantor Akuntan Publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib terlebih dahulu memperoleh persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham berdasarkan calon yang diajukan oleh Dewan Komisaris. (3) Pelaksanaan audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan penunjukan Akuntan Publik dan Kantor Akuntan Publik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib memenuhi ketentuan Bank Indonesia yang berlaku mengenai hubungan antara BUS dengan Akuntan Publik dan Kantor Akuntan Publik. Bagian ... - 28 - Bagian Keenam Batas Maksimum Penyaluran Dana Pasal 55 Pelaksanaan penyaluran dana wajib mengikuti ketentuan Bank Indonesia mengenai batas maksimum penyaluran dana. Bagian Ketujuh Aspek Transparansi Kondisi BUS Pasal 56 (1) BUS wajib melaksanakan transparansi kondisi keuangan dan non- keuangan kepada Stakeholders. (2) Dalam rangka pelaksanaan transparansi kondisi keuangan dan non-keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), BUS wajib menyusun dan menyajikan laporan sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia tentang Transparansi Kondisi Keuangan Bank. Pasal 57 BUS wajib melaksanakan transparansi informasi mengenai produk dan penggunaan data nasabah BUS sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia tentang Transparansi Informasi Produk Bank dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah. Pasal 58 (1) BUS wajib melaporkan kepada Bank Indonesia apabila terjadi perubahan terhadap: a. pedoman ... - 29 - a. pedoman manajemen risiko termasuk pedoman risk control system, sistem pengendalian intern, sistem teknologi informasi yang digunakan dan pedoman GCG; b. sistem dan prosedur kerja yang digunakan dalam kegiatan operasional BUS. (2) BUS wajib menyampaikan laporan perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Bank Indonesia paling lambat 1 (satu) bulan sejak terjadinya perubahan atau sesuai jangka waktu tertentu apabila diatur secara khusus dalam ketentuan Bank Indonesia lain yang mengatur mengenai penyampaian laporan tersebut. (3) BUS wajib melaporkan struktur kelompok usaha yang terkait dengan BUS termasuk badan hukum pemilik BUS sampai dengan ultimate shareholders kepada Bank Indonesia 1 (satu) tahun sekali untuk posisi akhir tahun dan setiap terdapat perubahan struktur kelompok usaha yang menyebabkan perubahan pengendali BUS. (4) Laporan struktur kelompok usaha untuk posisi akhir tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan bagian dari Laporan Tahunan BUS. (5) BUS wajib menyampaikan laporan perubahan struktur kelompok usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada Bank Indonesia paling lambat 1 (satu) bulan setelah terjadinya perubahan. Bagian ... - 30 - Bagian Kedelapan Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam Kegiatan Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa Pasal 59 BUS wajib melaksanakan pemenuhan Prinsip Syariah dalam kegiatan operasional BUS sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa Bank Syariah. Bagian Kesembilan Pelaporan Internal dan Benturan Kepentingan Paragraf 1 Pelaporan Internal Pasal 60 Dalam rangka meningkatkan kualitas proses pengambilan keputusan oleh Direksi serta kualitas proses pengawasan oleh Dewan Komisaris dan Dewan Pengawas Syariah, BUS wajib memastikan ketersediaan dan kecukupan pelaporan internal yang didukung oleh sistem informasi manajemen yang memadai. Paragraf 2 Penanganan Benturan Kepentingan Pasal 61 (1) Dalam hal terjadi benturan kepentingan, anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi dan Pejabat Eksekutif dilarang mengambil tindakan yang dapat mengurangi aset atau mengurangi keuntungan BUS. (2) Benturan ... - 31 - (2) Benturan kepentingan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diungkapkan dalam setiap keputusan. (3) Untuk menghindari pengambilan keputusan yang berpotensi mengurangi aset atau mengurangi keuntungan BUS, BUS harus memiliki dan menerapkan kebijakan intern mengenai: a. pengaturan mengenai penanganan benturan kepentingan yang mengikat setiap pengurus dan pegawai BUS, antara lain tata cara pengambilan keputusan; dan b. administrasi pencatatan, dokumentasi dan pengungkapan benturan kepentingan dimaksud dalam risalah rapat. Bagian Kesepuluh Laporan dan Penilaian Pelaksanaan GCG Paragraf 1 Laporan Pelaksanaan GCG Pasal 62 (1) BUS wajib menyusun laporan pelaksanaan GCG pada setiap akhir tahun buku. (2) Laporan pelaksanaan GCG sebagaimana dimaksud pada ayat (1), paling kurang meliputi: a. kesimpulan umum dari hasil self assesment atas pelaksanaan GCG BUS; b. kepemilikan saham anggota Dewan Komisaris, hubungan keuangan dan hubungan keluarga anggota Dewan Komisaris dengan pemegang saham pengendali, anggota Dewan Komisaris lain dan/atau anggota Direksi BUS serta jabatan rangkap ... - 32 - rangkap pada perusahaan atau lembaga lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16; c. kepemilikan saham anggota Direksi serta hubungan keuangan dan hubungan keluarga anggota Direksi dengan pemegang saham pengendali, anggota Dewan Komisaris dan/atau anggota Direksi lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32; d. rangkap jabatan sebagai anggota Dewan Pengawas Syariah pada lembaga keuangan syariah lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50; e. daftar konsultan, penasihat atau yang dipersamakan dengan itu yang digunakan oleh BUS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27; f. kebijakan remunerasi dan fasilitas lain (remuneration package) bagi Dewan Komisaris, Direksi, dan Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3), Pasal 33 ayat (3) dan Pasal 51 ayat (3); g. rasio gaji tertinggi dan gaji terendah; h. frekuensi rapat Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1); i. frekuensi rapat Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1); j. jumlah penyimpangan (internal fraud) yang terjadi dan upaya penyelesaian oleh BUS; k. jumlah permasalahan hukum baik perdata maupun pidana dan upaya penyelesaian oleh BUS; l. transaksi yang mengandung benturan kepentingan; m. buy back shares dan/atau buy back obligasi BUS; n. penyaluran ... - 33 - n. penyaluran dana untuk kegiatan sosial baik jumlah maupun pihak penerima dana; dan o. pendapatan non halal dan penggunaannya. (3) Pengungkapan kebijakan remunerasi dan fasilitas lain (remuneration package) bagi Dewan Komisaris, Direksi, dan Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf f paling kurang mencakup jumlah anggota Dewan Komisaris, jumlah anggota Direksi, jumlah anggota Dewan Pengawas Syariah serta jumlah keseluruhan gaji, tunjangan (benefits), kompensasi dalam bentuk saham, bentuk remunerasi lainnya dan fasilitas yang ditetapkan Rapat Umum Pemegang Saham. Pasal 63 (1) BUS wajib menyampaikan laporan pelaksanaan GCG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 kepada pemegang saham dan kepada: a. Bank Indonesia; b. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI); c. Lembaga pemeringkat di Indonesia; d. Perhimpunan Bank – Bank Umum Nasional (Perbanas); e. 1 (satu) lembaga penelitian di bidang ekonomi dan keuangan; dan f. 1 (satu) majalah ekonomi dan keuangan, paling lambat 3 (tiga) bulan setelah tahun buku berakhir. (2) Bagi BUS yang telah memiliki homepage menginformasikan laporan pelaksanaan GCG sebagaimana wajib dimaksud ... - 34 - dimaksud pada ayat (1) pada homepage BUS paling lambat 3 (tiga) bulan setelah tahun buku berakhir. (3) BUS dianggap terlambat menyampaikan laporan pelaksanaan GCG apabila BUS menyampaikan laporan dimaksud kepada Bank Indonesia melampaui batas akhir waktu penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetapi belum melampaui 1 (satu) bulan sejak batas akhir waktu penyampaian laporan. (4) BUS dianggap tidak menyampaikan laporan GCG apabila BUS belum menyampaikan laporan dimaksud hingga akhir batas waktu keterlambatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3). Pasal 64 Penyusunan laporan pelaksanaan GCG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 diatur lebih rinci dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 65 Penyampaian laporan pelaksanaan GCG kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1) huruf a dialamatkan kepada: a. Direktorat Perbankan Syariah, Jl. MH Thamrin No.2, Jakarta 10350, bagi BUS yang berkantor pusat di wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia; b. Kantor Bank Indonesia setempat, bagi BUS yang berkantor pusat di luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia dengan tembusan kepada Direktorat Perbankan Syariah. Paragraf 2 ... - 35 - Paragraf 2 Self Assessment Pelaksanaan GCG Pasal 66 (1) BUS wajib melakukan self assessment atas pelaksanaan GCG yang mencakup hal-hal sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (2) paling kurang 1 (satu) kali dalam setahun. (2) Tata cara self assessment sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 67 (1) Dalam rangka melakukan penilaian terhadap pelaksanaan GCG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Bank Indonesia dapat melakukan evaluasi terhadap hasil self assessment pelaksanaan GCG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1). (2) Berdasarkan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia dapat meminta BUS untuk melakukan perbaikan atas pelaksanaan GCG. BAB III UNIT USAHA SYARIAH Bagian Pertama Direktur UUS Pasal 68 Direktur UUS bertanggung jawab penuh atas pelaksanaan pengelolaan UUS berdasarkan prinsip kehati-hatian dan Prinsip Syariah. Pasal 69 ... - 36 - Pasal 69 Direktur UUS wajib menindaklanjuti rekomendasi dari hasil pengawasan Dewan Pengawas Syariah. Pasal 70 Direktur UUS wajib menyediakan data dan informasi terkait dengan pemenuhan Prinsip Syariah yang akurat, relevan dan tepat waktu kepada Dewan Pengawas Syariah. Bagian Kedua Dewan Pengawas Syariah Pasal 71 (1) Ketentuan tentang Dewan Pengawas Syariah yang berlaku bagi BUS sebagaimana dimaksud dalam Bab II Bagian Keempat tentang Dewan Pengawas Syariah dalam Peraturan Bank Indonesia ini berlaku pula bagi Dewan Pengawas Syariah pada Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS dan kantor cabang dari suatu bank yang berkedudukan di luar negeri yang memiliki UUS. (2) Pengangkatan Dewan Pengawas Syariah pada UUS yang dimiliki oleh kantor cabang dari suatu bank yang berkedudukan di luar negeri, ditetapkan oleh pimpinan tertinggi di Indonesia dari kantor cabang tersebut. Bagian ... - 37 - Bagian Ketiga Penyaluran Dana Kepada Nasabah Pembiayaan Inti dan Penyimpanan Dana Oleh Deposan Inti Pasal 72 UUS wajib menerapkan prinsip kehati-hatian dalam penyaluran dana kepada nasabah pembiayaan inti dan penyimpanan dana oleh deposan inti. Bagian Keempat Aspek Transparansi Kondisi UUS Pasal 73 (1) UUS wajib melaksanakan transparansi kondisi keuangan dan non- keuangan kepada Stakeholders. (2) Dalam rangka pelaksanaan transparansi kondisi keuangan dan non-keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), UUS wajib menyusun dan menyajikan laporan sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia tentang Transparansi Kondisi Keuangan Bank. Bagian Kelima Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam Kegiatan Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa Pasal 74 UUS wajib melaksanakan pemenuhan Prinsip Syariah dalam kegiatan operasional UUS sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa Bank Syariah. Bagian ... - 38 - Bagian Keenam Pelaporan Internal Pasal 75 Dalam rangka meningkatkan kualitas proses pengawasan oleh Dewan Pengawas Syariah, UUS wajib memastikan ketersediaan dan kecukupan data/informasi bagi Dewan Pengawas Syariah. Bagian Ketujuh Laporan dan Penilaian Pelaksanaan GCG Paragraf 1 Laporan Pelaksanaan GCG Pasal 76 (1) UUS wajib menyusun laporan pelaksanaan GCG pada setiap akhir tahun buku. (2) Laporan pelaksanaan GCG sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Laporan pelaksanaan GCG Bank Umum Konvensional dan/atau kantor cabang dari suatu bank yang berkedudukan di luar negeri yang memiliki UUS dimaksud. (3) Laporan pelaksanaan GCG sebagaimana dimaksud pada ayat (1), paling kurang meliputi: a. kesimpulan umum dari hasil self assesment atas pelaksanaan GCG UUS; b. rangkap jabatan sebagai anggota Dewan Pengawas Syariah pada lembaga keuangan syariah lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50; c. daftar ... - 39 - c. daftar konsultan, penasihat atau yang dipersamakan dengan itu yang digunakan oleh UUS; d. kebijakan remunerasi dan fasilitas lain (remuneration package) bagi Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (3); e. frekuensi rapat Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1); f. jumlah penyimpangan (internal fraud) yang terjadi dan upaya penyelesaiannya oleh UUS; g. jumlah permasalahan hukum baik perdata maupun pidana dan upaya penyelesaiannya oleh UUS; h. penyaluran dana untuk kegiatan sosial baik jumlah maupun pihak penerima dana; dan i. pendapatan non halal dan penggunaannya. (4) Pengungkapan kebijakan remunerasi dan fasilitas lain (remuneration package) bagi Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d paling kurang mencakup jumlah anggota Dewan Pengawas Syariah, jumlah keseluruhan gaji, tunjangan (benefits), kompensasi dalam bentuk saham, bentuk remunerasi lainnya, dan fasilitas yang ditetapkan Rapat Umum Pemegang Saham. Pasal 77 Penyusunan laporan pelaksanaan GCG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 diatur lebih rinci dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 78 ... - 40 - Pasal 78 (1) UUS wajib menyampaikan laporan pelaksanaan GCG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 kepada Bank Indonesia paling lambat 3 (tiga) bulan setelah tahun buku berakhir. (2) UUS dianggap terlambat menyampaikan laporan pelaksanaan GCG apabila UUS menyampaikan laporan dimaksud kepada Bank Indonesia melampaui batas akhir waktu penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetapi belum melampaui 1 (satu) bulan sejak batas akhir waktu penyampaian laporan. (3) UUS dianggap tidak menyampaikan laporan GCG apabila UUS belum menyampaikan laporan dimaksud hingga akhir batas waktu keterlambatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (4) Penyampaian laporan pelaksanaan GCG UUS kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dialamatkan kepada Direktorat Perbankan Syariah, Jl. MH Thamrin No.2, Jakarta 10350, dan/atau Kantor Bank Indonesia setempat. Paragraf 2 Self Assessment Pelaksanaan GCG Pasal 79 (1) UUS wajib melakukan self assessment atas pelaksanaan GCG UUS yang mencakup hal-hal sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (3) paling kurang 1 (satu) kali dalam setahun. (2) Tata cara self assesment atas pelaksanaan GCG UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 80 ... - 41 - Pasal 80 (1) Dalam rangka melakukan penilaian terhadap pelaksanaan GCG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Bank Indonesia dapat melakukan evaluasi terhadap hasil self assessment atas pelaksanaan GCG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (1). (2) Berdasarkan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia dapat meminta UUS untuk melakukan perbaikan atas pelaksanaan GCG. BAB IV SANKSI Bagian Pertama Sanksi Pelaksanaan GCG Pasal 81 Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 6 ayat (2), Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11 ayat (1), ayat (3) dan ayat (4), Pasal 12 ayat (1), Pasal 13, Pasal 14 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), Pasal 15 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 16, Pasal 17, Pasal 20 ayat (2), Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34 ayat (2) dan ayat (4), Pasal 35 ayat (3), Pasal 36 ayat (2) dan ayat (4), Pasal 38, Pasal 41, Pasal 43, Pasal 46, Pasal 47, Pasal 48, Pasal 49 ayat (1) dan ayat (4), Pasal 50, Pasal 51, Pasal 52 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 53 ayat (5), Pasal 60, Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 62 ayat (1), Pasal 63 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 66 ayat (1), Pasal 69, Pasal 70, Pasal 72, Pasal 75, Pasal 76 ayat (1), dan Pasal 79 ayat (1) dapat dikenakan sanksi administratif sesuai Pasal 58 Undang-Undang ... - 42 - Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, antara lain berupa: a) teguran tertulis; b) penurunan tingkat kesehatan berupa penurunan peringkat faktor manajemen dalam penilaian tingkat kesehatan; c) pelarangan untuk turut serta dalam kegiatan kliring; d) pembekuan kegiatan usaha tertentu; dan e) pemberhentian pengurus Bank dan selanjutnya menunjuk dan mengangkat pengganti sementara sampai Rapat Umum Pemegang Saham mengangkat pengganti yang tetap dengan persetujuan Bank Indonesia. Pasal 82 (1) Dalam hal terdapat 3 (tiga) kali teguran tertulis dari Bank Indonesia terkait pelanggaran terhadap ketentuan dalam Pasal 46, Pasal 47, Pasal 48, Pasal 49 ayat (1) dan ayat (4), Pasal 50 dan Pasal 51, maka BUS atau UUS terkait harus mengganti anggota Dewan Pengawas Syariah tersebut. (2) Dalam hal Dewan Pengawas Syariah tidak melaksanakan tugasnya dengan baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 sampai dengan izin usaha Bank dicabut, maka anggota Dewan Pengawas Syariah dimaksud dapat dikenakan sanksi berupa pelarangan menjadi anggota Dewan Pengawas Syariah di perbankan syariah paling lama 10 (sepuluh) tahun sejak tanggal pencabutan izin usaha Bank oleh Bank Indonesia. Pasal 83 ... - 43 - Pasal 83 BUS yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 52 ayat (1), Pasal 53 ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 54 dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia mengenai penugasan direktur kepatuhan dan penerapan standar pelaksanaan fungsi audit intern bank umum dan Peraturan Bank Indonesia tentang Transparansi Kondisi Keuangan Bank. Pasal 84 BUS yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 55 dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai batas maksimum penyaluran dana. Pasal 85 BUS yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 56 dan Pasal 57 dan UUS yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 73 dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia tentang Transparansi Kondisi Keuangan Bank dan Peraturan Bank Indonesia tentang Transparansi Informasi Produk Bank dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah. Pasal 86 BUS yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 59 dan UUS yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 74 dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa Bank Syariah. Bagian ... - 44 - Bagian Kedua Sanksi Pelaporan Paragraf 1 Laporan Pelaksanaan Pasal 87 (1) BUS yang terlambat menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (3) dan UUS yang terlambat menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (2) dikenakan sanksi kewajiban membayar paling banyak sebesar Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari kerja keterlambatan. (2) BUS yang tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (4) dan UUS yang tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (3) dikenakan sanksi kewajiban membayar paling banyak sebesar Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan teguran tertulis oleh Bank Indonesia. (3) BUS yang menyampaikan laporan yang dinilai tidak benar dan/atau tidak lengkap sebagaimana diatur dalam Pasal 62 dan UUS yang menyampaikan laporan yang dinilai tidak benar dan/atau tidak lengkap sebagaimana diatur dalam Pasal 76 dikenakan sanksi administratif berupa kewajiban membayar paling banyak sebesar Rp. 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan dapat dikenakan sanksi administratif sesuai Pasal 58 Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, berupa: a. penurunan tingkat kesehatan yaitu penurunan peringkat faktor manajemen dalam penilaian tingkat kesehatan; b. pelarangan ... - 45 - b. pelarangan untuk turut serta dalam kegiatan kliring; c. pembekuan kegiatan usaha tertentu; d. pemberhentian pengurus Bank dan selanjutnya menunjuk dan mengangkat pengganti sementara sampai Rapat Umum Pemegang Saham mengangkat pengganti yang tetap dengan persetujuan Bank Indonesia; dan/atau e. pencantuman anggota pengurus, pegawai, pemegang saham Bank dalam daftar tidak lulus melalui mekanisme uji kemampuan dan kepatutan (fit and proper test). (4) Pengenaan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan setelah Bank diberikan 2 (dua) kali surat teguran oleh Bank Indonesia dengan tenggang waktu 7 (tujuh) hari kerja untuk setiap teguran dan Bank tidak memperbaiki laporan dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah surat teguran terakhir. Paragraf 2 Laporan Hasil Pengawasan Dewan Pengawas Syariah, Pedoman, Sistem dan Prosedur serta Struktur Kelompok Usaha Pasal 88 (1) Bank yang tidak menaati ketentuan pelaporan hasil pengawasan Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (4), pelaporan perubahan pedoman, sistem dan prosedur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) dan ayat (2), serta pelaporan perubahan struktur kelompok usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (3) dan ayat (5), dapat dikenakan sanksi administratif sesuai Pasal 58 Undang-Undang Nomor 21 tahun … - 46 - tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, berupa : a. teguran tertulis dan sanksi kewajiban membayar paling banyak sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari kerja kelambatan untuk setiap laporan; b. teguran tertulis dan sanksi kewajiban membayar paling banyak sebesar Rp40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah) apabila Bank tidak menyampaikan laporan. (2) Bank dinyatakan tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b apabila Bank belum menyampaikan laporan dimaksud setelah 1 (satu) bulan sejak batas akhir penyampaian laporan, untuk pelaporan perubahan pedoman, sistem dan prosedur serta pelaporan perubahan struktur kelompok usaha. (3) Bank dinyatakan tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b apabila Bank belum menyampaikan laporan dimaksud setelah 2 (dua) bulan sejak batas akhir penyampaian laporan, untuk pelaporan hasil pengawasan Dewan Pengawas Syariah. (4) Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menghapuskan kewajiban Bank untuk menyampaikan laporan dimaksud. BAB V KETENTUAN PERALIHAN Pasal 89 Ketentuan mengenai larangan rangkap jabatan bagi anggota Dewan Pengawas Syariah sebagai konsultan di BUS dan/atau UUS sebagaimana … - 47 - sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (4) wajib dipenuhi paling lambat 1 (satu) tahun sejak tanggal berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini. Pasal 90 Laporan pelaksanaan GCG BUS untuk posisi laporan akhir Desember 2009 tetap mengacu pada Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/4/PBI/2006 tanggal 30 Januari 2006 tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance bagi Bank Umum sebagaimana diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/14/PBI/2006 tanggal 5 Oktober 2006 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/4/PBI/2006 tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance bagi Bank Umum. BAB VI KETENTUAN PENUTUP Pasal 91 Ketentuan lebih lanjut dari Peraturan Bank Indonesia ini diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 92 Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini maka PBI No.8/4/PBI/2006 tanggal 30 Januari 2006 tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance bagi Bank Umum beserta ketentuan perubahannya dinyatakan tidak berlaku bagi BUS. Pasal 93 … - 48 - Pasal 93 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2010. Ditetapkan di : Jakarta Pada tanggal : 7 Desember 2009 Pjs GUBERNUR BANK INDONESIA, DARMIN NASUTION Diundangkan di : Jakarta Pada tanggal : 7 Desember 2009 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA PATRIALIS AKBAR LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 175 DPbS "," PBI 11/33/PBI/2009 PELAKSANAAN GOOD CORPORATE GOVERNANCE BAGI BANK UMUM SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH 7 Desember 2009 1 Januari 2010 7 Desember 2009 '8/4/PBI/2006' '21/UU/2008', '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '40/UU/2007' 'BAB IV' " " PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 8/ 29 /PBI/2006 TENTANG DAFTAR HITAM NASIONAL PENARIK CEK DAN/ATAU BILYET GIRO KOSONG GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa penggunaan instrumen cek dan/atau bilyet giro sebagai alat pembayaran di Indonesia masih sangat diminati khususnya dilihat dari tingginya nilai nominal perputaran cek dan/atau bilyet giro; b. bahwa adanya penarikan cek dan/atau bilyet giro kosong dapat mempengaruhi kepercayaan masyarakat terhadap penggunaan cek dan/atau bilyet giro sebagai instrumen pembayaran; c. bahwa penerapan sanksi daftar hitam penarik cek dan/atau bilyet giro kosong serta pemberlakuannya dalam cakupan di wilayah kliring lokal belum cukup efektif menurunkan tingkat penarikan cek dan/atau bilyet giro kosong; d. bahwa berdasarkan prinsip pengenalan nasabah, bank adalah pihak yang paling mengetahui karakteristik dan identitas nasabah penarik cek dan/atau bilyet giro kosong sehingga perlu diterapkan prinsip self assessment agar penatausahaan … -2- penatausahaan daftar hitam dapat dilakukan dengan lebih akurat; e. bahwa dalam rangka melindungi dan menjaga kepercayaan masyarakat atas penarikan cek dan/atau bilyet giro kosong sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, diperlukan dasar pengaturan dan penerapan sanksi yang lebih proporsional kepada penarik cek dan/atau bilyet giro kosong dalam suatu daftar hitam yang berlaku secara nasional; f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e perlu membentuk Peraturan Bank Indonesia tentang Daftar Hitam Nasional Penarik Cek dan/atau Bilyet Giro Kosong; Mengingat : 1. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Wet-boek van Koophandel, Staatsblad 1847:23) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1971 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1971 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2959); 2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia … -3- Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3790); 3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4357); 4. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 28/32/KEP/DIR tanggal 4 Juli 1995 tentang Bilyet Giro; M E M U T U S K A N : Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG DAFTAR HITAM NASIONAL PENARIK CEK DAN BILYET GIRO KOSONG. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah … -4- telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998. 2. Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disebut UUS, adalah unit kerja di kantor pusat bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang syariah dan/atau unit syariah, atau unit kerja di kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang pembantu syariah dan/atau unit syariah. 3. Kantor Cabang Syariah adalah Kantor Cabang yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah dari Bank Umum konvensional. 4. Cek adalah cek sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD). 5. Bilyet Giro adalah bilyet giro sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai bilyet giro. 6. Penarik adalah pemilik rekening atau orang yang dikuasakan oleh pemilik rekening yang memerintahkan bank tertarik untuk melakukan pembayaran atau pemindahbukuan sejumlah dana atas beban rekening pemilik rekening kepada pemegang atau kepada pihak yang disebutkan namanya dalam Cek atau Bilyet Giro. 7. Pemilik Rekening adalah orang atau badan yang memiliki rekening giro atau memiliki fasilitas rekening khusus pada bank. 8. Rekening Giro adalah rekening giro rupiah yang dananya dapat ditarik setiap saat dengan menggunakan Cek dan/atau Bilyet Giro, sarana perintah pembayaran lainnya, atau dengan pemindahbukuan. 9. Rekening … -5- 9. Rekening Khusus adalah rekening yang khusus dibuka dan disediakan oleh Bank Tertarik untuk Penarik yang Rekening Gironya ditutup atas permintaan sendiri atau karena dikenakan sanksi setelah dicantumkannya identitas Pemilik Rekening dalam daftar hitam nasional yang berlaku, dan hanya dapat digunakan untuk menampung dana guna memenuhi kewajiban pembayaran atas Cek dan/atau Bilyet Giro yang masih beredar. 10. Dana adalah saldo pada Rekening Penarik, termasuk fasilitas cerukan dari Bank Tertarik. 11. Bank Tertarik adalah Bank yang menerima perintah pembayaran atau perintah pemindahbukuan atas sejumlah Dana dari Penarik dengan menggunakan Cek dan/atau Bilyet Giro. 12. Pemegang adalah nasabah yang memperoleh pembayaran atau pemindahbukuan Dana dari Bank Tertarik sebagaimana diperintahkan oleh Penarik kepada Bank Tertarik. 13. Perjanjian Pembukaan Rekening Giro adalah dokumen tertulis dalam rangka pembukaan Rekening Giro yang mendasari hubungan hukum antara Bank dengan Pemilik Rekening. 14. Penarikan adalah setiap kegiatan penerbitan Cek atau Bilyet Giro dari Penarik. 15. Tanggal Penarikan Cek atau Bilyet Giro adalah tanggal yang terdapat pada Cek atau Bilyet Giro yang merupakan tanggal diterbitkannya Cek atau Bilyet Giro. 16. Pengunjukan adalah penyerahan Cek sebagaimana diatur dalam KUHD atau penawaran Bilyet Giro sebagaimana diatur dalam ketentuan yang mengatur mengenai … -6- mengenai Bilyet Giro oleh Pemegang kepada Bank Tertarik baik secara langsung (over the counter) ataupun melalui kliring oleh Bank penagih. 17. Bank Penagih adalah Bank yang melakukan penagihan Cek dan/atau Bilyet Giro kepada Bank Tertarik melalui kliring untuk kepentingan Pemegang. 18. Daftar Hitam Individual Bank, yang selanjutnya disebut DHIB adalah suatu daftar yang dibuat oleh Bank yang mencantumkan data Penarik Cek dan/atau Bilyet Giro kosong yang ditetapkan oleh Bank yang bersangkutan. 19. Kantor Pengelola Daftar Hitam Nasional, yang selanjutnya disebut sebagai KPDHN adalah kantor yang ditetapkan oleh kantor pusat Bank Tertarik untuk mengelola daftar hitam untuk seluruh kantor Bank yang bersangkutan secara nasional. 20. Daftar Hitam Nasional yang selanjutnya disebut DHN adalah daftar yang merupakan kumpulan DHIB yang berada di Bank Indonesia yang datanya berasal dari KPDHN untuk diakses oleh Bank. 21. Tenggang Waktu Pengunjukan adalah jangka waktu selama 70 (tujuh puluh) hari sejak Tanggal Penarikan Cek atau Bilyet Giro yang pada masa tersebut Penarik dilarang untuk membatalkan Cek atau Bilyet Giro tersebut. 22. Tanggal Efektif adalah tanggal mulai berlakunya perintah pemindahbukuan pada Bilyet Giro. 23. Kliring adalah pertukaran warkat dan/atau data keuangan elektronik antarpeserta kliring baik atas nama peserta maupun atas nama nasabah peserta yang perhitungannya diselesaikan pada waktu tertentu. 24. Nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa Bank, termasuk pihak yang tidak memiliki Rekening namun memanfaatkan jasa Bank untuk melakukan transaksi keuangan (walk-in customer). 25. Cek … -7- 25. Cek dan/atau Bilyet Giro Kosong adalah Cek dan/atau Bilyet Giro yang diunjukkan oleh Pemegang baik melalui Kliring maupun melalui loket bank secara langsung (over the counter) dan ditolak pembayaran atau pemindahbukuannya oleh Bank Tertarik dengan alasan penolakan sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Bank Indonesia ini. 26. Rekening Giro Gabungan (joint account) adalah rekening giro yang dimiliki oleh lebih dari satu Pemilik Rekening, yang dapat terdiri dari gabungan badan, orang pribadi, dan/atau campuran keduanya. 27. Keadaan Darurat adalah suatu kondisi dimana terjadi suatu bencana alam seperti gempa bumi, banjir bandang, gunung meletus atau bencana lainnya atau peristiwa tak terduga atau tidak dapat diperkirakan sebelumnya seperti kerusuhan masal yang kemunculannya bersifat mendadak, yang melanda di suatu wilayah tanah air Indonesia. BAB II PENGELOLAAN REKENING Bagian Pertama Pembukaan Rekening Pasal 2 (1) Rekening Giro hanya dapat dibuka untuk Nasabah berdasarkan adanya Perjanjian Pembukaan Rekening Giro antara Nasabah dengan Bank. (2) Pembukaan Rekening Giro sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilengkapi dengan data dan/atau informasi Nasabah. (3) Rekening … -8- (3) Rekening Giro sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibagi menjadi 3 (tiga) jenis Rekening Giro berdasarkan Nasabah yang melakukan Perjanjian Pembukaan Rekening Giro, yaitu: a. Rekening Giro perorangan; b. Rekening Giro badan; c. Rekening Giro Gabungan. (4) Perjanjian Pembukaan Rekening Giro sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling kurang berisi klausula-klausula yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembukaan Rekening Giro sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan klausula-klausula sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 3 (1) Bank dapat memberikan Cek dan/atau Bilyet Giro kepada Nasabah yang telah memenuhi persyaratan dalam pembukaan Rekening Giro sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1). (2) Bank harus membuat tata usaha atas Cek dan/atau Bilyet Giro yang telah diberikan kepada Nasabah yang telah menjadi Pemilik Rekening sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Bagian … -9- Bagian Kedua Kewajiban Penyediaan Dana Pasal 4 (1) Penarik wajib telah menyediakan Dana yang cukup dalam Rekening Gironya pada Bank Tertarik, dengan ketentuan: a. Untuk Cek pada saat diunjukkan kepada Bank Tertarik; atau b. Untuk Bilyet Giro sejak tanggal efektif sampai dengan tanggal daluwarsa. (2) Ketentuan tentang kewajiban penyediaan Dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk: a. Bilyet Giro yang diunjukkan sebelum Tanggal Efektif; b. Cek dan/atau Bilyet Giro yang dibatalkan oleh Penarik setelah tanggal berakhirnya Tenggang Waktu Pengunjukan; dan/atau c. Cek dan/atau Bilyet Giro yang diunjukkan telah daluwarsa. (3) Ketentuan mengenai kewajiban penyediaan Dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk Cek dan/atau Bilyet Giro yang diblokir pembayarannya diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 5 (1) Pembatalan Cek dan/atau Bilyet Giro oleh Penarik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf b hanya dapat dilakukan secara tertulis. (2) Tata cara pembatalan Cek dan/atau Bilyet Giro oleh Penarik diatur lebih lanjut dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Bagian … -10- Bagian Ketiga Penutupan Rekening Giro Pasal 6 (1) Dalam hal Rekening Giro ditutup, baik karena permintaan sendiri maupun sebab lain, Bank wajib mensyaratkan kepada Pemilik Rekening untuk: a. Mengembalikan sisa blanko Cek dan/atau Bilyet Giro yang belum digunakan; b. Menyediakan Dana yang cukup pada Rekening Khusus jika terdapat Cek dan/atau Bilyet Giro yang masih beredar; dan c. Menyerahkan surat pernyataan di atas meterai yang cukup, yang paling kurang memuat pernyataan bahwa: 1. semua kewajiban Pemilik Rekening berkaitan dengan penggunaan Cek dan/atau Bilyet Giro telah diselesaikan dengan baik; 2. tidak terdapat Cek dan/atau Bilyet Giro Pemilik Rekening yang masih beredar di masyarakat sepanjang Pemilik Rekening memastikan tidak terdapat Cek dan/atau Bilyet Giro yang masih beredar; dan 3. Pemilik Rekening bersedia identitasnya dicantumkan atau dicantumkan kembali ke dalam DHN, apabila ternyata dikemudian hari masih terdapat penarikan Cek dan/atau Bilyet Giro Kosong yang memenuhi kriteria DHN. (2) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c tidak berlaku untuk Pemilik Rekening yang: a. tidak pernah memperoleh Cek dan/atau Bilyet Giro dari Bank Tertarik; atau b. memperoleh Cek dan/atau Bilyet Giro namun seluruhnya telah kembali ke dalam tata usaha Bank Tertarik. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penutupan Rekening Giro sebagaimana dimaksud … -11- dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Bagian Keempat Pembukaan dan Penutupan Rekening Khusus Pasal 7 (1) Dalam hal Rekening Giro ditutup karena permintaan sendiri maupun sebab lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), sedangkan Pemilik Rekening masih memiliki kewajiban pembayaran atas Cek dan/atau Bilyet Giro yang masih beredar, Bank Tertarik wajib langsung membuka Rekening Khusus untuk menyelesaikan kewajiban pembayaran dimaksud. (2) Dalam hal Rekening Giro ditutup, namun masih terdapat sisa Dana dan tidak terdapat kewajiban untuk melakukan pembayaran atas Cek dan/atau Bilyet Giro yang masih beredar, maka penyelesaian sisa Dana diserahkan pada kebijakan Bank Tertarik. Pasal 8 (1) Bank wajib menutup Rekening Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) jika kewajiban terhadap seluruh Cek dan/atau Bilyet Giro yang masih beredar telah diselesaikan. (2) Penutupan Rekening Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberitahukan secara tertulis oleh Bank kepada Pemilik Rekening. Pasal 9 … -12- Pasal 9 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembukaan dan penutupan Rekening Khusus, termasuk jangka waktu paling lambat dalam penutupan Rekening Khusus diatur lebih lanjut dengan Surat Edaran Bank Indonesia. BAB III PEMBAYARAN CEK DAN BILYET GIRO Pasal 10 Bank Tertarik dalam menolak pembayaran atau pemindahbukuan atas Cek dan/atau Bilyet Giro yang diunjukkan oleh Pemegang harus memperhatikan ketentuan penolakan sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini. Pasal 11 (1) Cek dan/atau Bilyet Giro wajib ditolak pembayarannya jika memenuhi alasan-alasan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (2) Cek dan/atau Bilyet Giro yang ditolak pembayarannya oleh Bank Tertarik dengan alasan saldo Rekening Giro atau Rekening Khusus tidak cukup, atau telah ditutup, dikategorikan sebagai Cek dan/atau Bilyet Giro Kosong. (3) Kategori Cek dan/atau Bilyet Giro Kosong sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku antara lain jika: a. unsur-unsur Cek atau syarat formal Bilyet Giro tidak terpenuhi; b. Cek dan/atau Bilyet Giro dibatalkan setelah Tenggang Waktu Pengunjukan berakhir; c. Cek dan/atau Bilyet Giro telah daluwarsa; d. Bilyet … -13- d. Bilyet Giro diunjukkan sebelum Tanggal Efektif, atau Tanggal Efektif dicantumkan tidak dalam Tenggang Waktu Pengunjukan. (4) Pengkategorian Cek dan/atau Bilyet Giro yang diblokir pembayarannya dalam kategori Cek dan/atau Bilyet Giro Kosong ditetapkan oleh Bank Indonesia. (5) Jika Bank Tertarik menolak pembayaran atau pemindahbukuan Cek dan/atau Bilyet Giro dengan menggunakan alasan di luar yang ditetapkan oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Tertarik tersebut harus dapat mempertanggungjawabkan penolakan tersebut atas dasar ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan melaporkannya kepada Bank Indonesia. (6) Ketentuan mengenai: a. alasan penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beserta tata cara penolakannya; b. pengecualian kategori Cek dan/atau Bilyet Giro Kosong sebagaimana dimaksud pada ayat (3); c. pengkategorian Cek dan/atau Bilyet Giro yang diblokir pembayarannya sebagaimana dimaksud pada ayat (4); dan d. tata cara pelaporan penolakan Cek dan/atau Bilyet Giro sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 12 (1) Bank Tertarik wajib memberitahukan alasan penolakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) kepada Pemegang disertai dengan pengembalian Cek dan/atau Bilyet Giro yang ditolak. (2) Bank … -14- (2) Bank Tertarik wajib memberitahukan alasan penolakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) kepada Penarik. (3) Ketentuan mengenai tata cara pemberitahuan alasan penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. BAB IV TATA USAHA PENOLAKAN CEK DAN/ATAU BILYET GIRO Pasal 13 (1) Bank wajib menatausahakan penolakan Cek dan/atau Bilyet Giro yang ditolak dengan alasan apapun secara lengkap dan benar. (2) Bank wajib menatausahakan secara terpisah Cek dan/atau Bilyet Giro yang ditolak dengan alasan kosong. (3) Dalam hal Bank melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan berdasarkan prinsip syariah secara bersamaan, penatausahaan penolakan Cek dan/atau Bilyet Giro sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan secara terpisah antara Bank konvensional dan UUS. Pasal 14 (1) Dalam rangka penatausahaan penolakan Cek dan/atau Bilyet Giro Kosong sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2), Bank menetapkan salah satu kantornya sebagai KPDHN. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan KPDHN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. BAB … -15- BAB V KRITERIA PENARIK CEK DAN/ATAU BILYET GIRO KOSONG YANG DICANTUMKAN DALAM DHN Pasal 15 (1) Bank wajib menetapkan dan mencantumkan dalam DHIB identitas Pemilik Rekening yang melakukan Penarikan Cek dan/atau Bilyet Giro Kosong sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) jika memenuhi kriteria sebagai berikut: a. melakukan penarikan Cek dan/atau Bilyet Giro Kosong yang berbeda sebanyak 3 (tiga) lembar atau lebih dengan nilai nominal masing-masing di bawah Rp500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) pada Bank Tertarik yang sama dalam jangka waktu 6 (enam) bulan; atau b. melakukan penarikan Cek dan/atau Bilyet Giro Kosong 1 (satu) lembar dengan nilai nominal Rp500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) atau lebih. (2) Dalam hal Pemilik Rekening sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki Rekening Giro pada Bank Tertarik yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan juga memiliki Rekening Giro pada kantor cabang syariah dari Bank konvensional yang sama, penghitungan Cek dan/atau Bilyet Giro Kosong untuk Pemilik Rekening tersebut dilakukan secara terpisah antara Bank konvensional dan UUS BAB … -16- BAB VI PENYAMPAIAN DHIB DAN PENERBITAN DHN Pasal 16 (1) Bank wajib menyampaikan identitas Pemilik Rekening yang tercantum dalam DHIB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) kepada Bank Indonesia secara lengkap dan benar pada periode waktu yang telah ditetapkan untuk dicantumkan dalam DHN. (2) Bank bertanggung jawab atas kelengkapan dan kebenaran DHIB yang disampaikan kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Data DHIB yang telah disampaikan kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikoreksi oleh Bank yang bersangkutan paling lambat pada akhir periode penyampaian tanpa memerlukan persetujuan terlebih dahulu dari Bank Indonesia. (4) Data identitas Pemilik Rekening dalam DHIB yang disampaikan oleh Bank kepada Bank Indonesia dalam jangka waktu 3 (tiga) periode setelah periode penyampaian DHIB yang seharusnya dikategorikan sebagai terlambat menyampaikan DHIB. (5) Data identitas Pemilik Rekening dalam DHIB yang disampaikan oleh Bank kepada Bank Indonesia setelah 3 (tiga) periode penyampaian DHIB sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dikategorikan sebagai tidak menyampaikan DHIB. Pasal … -17- Pasal 17 (1) Data DHIB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1), ayat (4) dan ayat (5) diproses oleh Bank Indonesia menjadi DHN. (2) Bank Indonesia menerbitkan DHN secara berkala untuk diakses oleh Bank. (3) Bank bertanggung jawab atas penggunaan dan kerahasiaan informasi DHIB dan DHN. (4) Pencantuman identitas Pemilik Rekening dalam DHN berlaku secara nasional selama 1 (satu) tahun sejak tanggal penerbitan DHN. (5) Dalam hal Bank mencantumkan kembali identitas Pemilik Rekening yang telah tercantum dalam DHN maka masa berlakunya pencantuman identitas Pemilik Rekening dalam DHN sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dihitung 1 (satu) tahun sejak tanggal penerbitan DHN terakhir. Pasal 18 Ketentuan lebih lanjut antara lain mengenai tata cara penetapan dan pencantuman identitas Pemilik Rekening dalam DHIB, periode penyampaian DHIB, serta pencantuman identitas Pemilik Rekening dalam DHN diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. BAB … -18- BAB VII SANKSI BAGI PENARIK CEK DAN/ATAU BILYET GIRO KOSONG YANG MEMENUHI KRITERIA DHN Bagian Pertama Pembekuan Hak Penggunaan Cek dan/atau Bilyet Giro Pasal 19 (1) Bank Tertarik wajib membekukan hak penggunaan Cek dan/atau Bilyet Giro Pemilik Rekening yang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak tanggal penolakan Cek dan/atau Bilyet Giro yang menyebabkan Pemilik Rekening dicantumkan dalam DHIB. (2) Bank selain Bank Tertarik wajib membekukan hak penggunaan Cek dan/atau Bilyet Giro Pemilik Rekening yang namanya dicantumkan dalam DHN paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak tanggal penerbitan DHN. (3) Pembekuan hak penggunaan Cek dan/atau Bilyet Giro sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) berlaku sampai dengan berakhirnya masa pencantuman identitas Pemilik Rekening dalam DHN. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembekuan hak penggunaan Cek dan/atau Bilyet Giro Pemilik Rekening diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Bagian … -19- Bagian Kedua Penutupan Rekening Giro karena Penarikan Cek dan/atau Bilyet Giro Kosong Pasal 20 (1) Apabila dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak tercantum dalam DHN, Pemilik Rekening melakukan lagi Penarikan 1 (satu) lembar atau lebih Cek dan/atau Bilyet Giro Kosong dengan nilai nominal berapapun, Bank Tertarik wajib menutup seluruh Rekening Giro Pemilik Rekening yang bersangkutan. (2) Kewajiban penutupan Rekening Giro sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk: a. Rekening Giro pada Bank selain Bank Tertarik; b. Rekening Giro yang dimaksudkan hanya untuk menampung kredit/pinjaman baik pada Bank Tertarik maupun Bank selain Bank Tertarik; dan c. Rekening Giro pada Bank Tertarik yang selain merupakan Rekening simpanan juga dipergunakan untuk menampung kredit/pinjaman dari Bank Tertarik sepanjang kredit/pinjaman tersebut masih berjalan. (3) Bank Tertarik wajib mencantumkan kembali identitas Pemilik Rekening sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ke dalam DHIB dan menyampaikan kepada Bank Indonesia untuk dicantumkan ke dalam DHN periode berikutnya. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penutupan Rekening Giro, pencantuman kembali identitas Pemilik Rekening dalam DHN diatur lebih lanjut dengan Surat Edaran Bank Indonesia. BAB … -20- BAB VIII PEMBUKAAN REKENING GIRO BARU BAGI PEMILIK REKENING YANG IDENTITASNYA MASIH TERCANTUM DALAM DHN Pasal 21 (1) Pemilik Rekening yang hak penggunaan Cek dan/atau Bilyet Giro dibekukan karena sanksi DHN dapat mengajukan permohonan pembukaan Rekening Giro baru kepada Bank, namun Bank dilarang memberikan sarana perintah pembayaran berupa Cek dan/atau Bilyet Giro. (2) Dalam hal Rekening Giro Pemilik Rekening di Bank Tertarik telah ditutup karena sanksi DHN, Pemilik Rekening tersebut dilarang membuka Rekening di Bank Tertarik yang bersangkutan kecuali pembukaan Rekening Giro yang dimaksudkan hanya untuk menampung kredit/pinjaman dari Bank Tertarik. BAB IX PEMBATALAN PENOLAKAN CEK DAN/ATAU BILYET GIRO KOSONG, DAN REHABILITASI PENARIK DARI DHN Bagian Pertama Pembatalan terhadap Penolakan Cek dan/atau Bilyet Giro Kosong Pasal 22 (1) Pembatalan terhadap Penolakan Cek dan/atau Bilyet Giro Kosong hanya dapat dilakukan oleh Bank Tertarik jika terbukti: a. terdapat … -21- a. terdapat kesalahan administrasi yang dilakukan oleh Bank Tertarik; b. kewajiban Penarik atas penarikan Cek dan/atau Bilyet Giro Kosong kepada Pemegang telah dipenuhi baik oleh Penarik atau pihak lain dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah tanggal penolakan; c. terdapat putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap yang menyatakan bahwa Bank harus membatalkan penolakan Cek dan/atau Bilyet Giro Kosong; d. keadaan Darurat yang mengakibatkan Pemilik Rekening tidak dapat memenuhi kewajibannya atas penarikan Cek dan/atau Bilyet Giro; dan/atau e. pembayaran atau pemindahbukuan dari Cek dan/atau Bilyet Giro Kosong diperuntukan bagi Pemilik Rekening itu sendiri. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembatalan terhadap Penolakan Cek dan/atau Bilyet Giro Kosong diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 23 (1) Dalam hal Bank Tertarik melakukan pembatalan terhadap salah satu atau lebih Penolakan Cek dan/atau Bilyet Giro Kosong sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) dan pembatalan tersebut mengakibatkan dikeluarkannya identitas Pemilik Rekening dari DHIB serta identitas Pemilik Rekening belum dicantumkan dalam DHN maka Bank Tertarik dapat melakukan pembatalan tersebut tanpa persetujuan dari Bank Indonesia. (2) Dalam hal pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah identitas Pemilik Rekening dicantumkan dalam DHN, Bank Tertarik hanya dapat melakukan pembatalan dengan terlebih dahulu mendapatkan persetujuan dari Bank Indonesia. Pasal … -22- Pasal 24 (1) Untuk mendapatkan persetujuan dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2), Bank Tertarik wajib mengajukan permohonan tertulis disertai dengan dokumen-dokumen pendukung dan dikenakan biaya administrasi. (2) Bank yang melakukan kesalahan administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) huruf a wajib segera mengajukan permohonan pembatalan kepada Bank Indonesia paling lambat 3 (tiga) periode penyampaian DHIB berikutnya sejak tanggal pencantuman identitas Pemilik Rekening dalam DHN. (3) Bank Indonesia memberikan persetujuan atau penolakan permohonan pembatalan secara tertulis kepada Bank Tertarik paling lama 30 (tiga puluh) hari kalender setelah dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima secara lengkap. (4) Permohonan pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diajukan oleh Bank Tertarik. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengajuan permohonan pembatalan dan besarnya biaya administrasi diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Bagian Kedua Rehabilitasi Penarik dari DHN Pasal 25 (1) Dalam hal permohonan pembatalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) disetujui oleh Bank Indonesia dan pembatalan tersebut mengakibatkan … -23- mengakibatkan Pemilik Rekening tersebut tidak lagi memenuhi kriteria untuk dicantumkan dalam DHN, Bank Tertarik melakukan rehabilitasi Pemilik Rekening dari DHN setelah menerima surat persetujuan dari Bank Indonesia. (2) Tanggal mulai berlakunya rehabilitasi identitas Pemilik Rekening di Bank Tertarik terhitung sejak tanggal diterimanya surat persetujuan dari Bank Indonesia oleh Bank Tertarik sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Tanggal mulai berlakunya rehabilitasi identitas Pemilik Rekening di Bank selain Bank Tertarik terhitung sejak tanggal dilakukannya Rehabilitasi oleh Bank Tertarik. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara rehabilitasi oleh Bank Tertarik diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. BAB X PENGAWASAN Pasal 26 (1) Bank Indonesia melakukan pengawasan secara tidak langsung maupun langsung terhadap Bank atas pelaksanaan ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini. (2) Dalam rangka pengawasan tidak langsung, Bank wajib menyampaikan laporan, keterangan dan penjelasan yang diminta Bank Indonesia sesuai dengan tata cara yang ditetapkan Bank Indonesia. (3) Dalam rangka pengawasan langsung, Bank wajib memberikan kepada Bank Indonesia: a. keterangan … -24- a. keterangan dan data serta dokumen yang diminta; b. kesempatan untuk melihat semua dokumen dan sarana fisik yang berkaitan dengan pembukaan Rekening Giro, penarikan Cek dan/atau Bilyet Giro dan Tata Usaha penarikan Cek dan/atau Bilyet Giro; dan/atau c. hal-hal lain yang diperlukan. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengawasan diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. BAB XI SANKSI Pasal 27 (1) Bank yang atas dasar hasil pengawasan Bank Indonesia yang dilakukan secara langsung ditemukan tidak menatausahakan Penolakan Cek dan/atau Bilyet Giro secara lengkap dan benar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) maka dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per kesalahan dan/atau ketidaklengkapan dan paling banyak sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) per hasil pengawasan. (2) Jika berdasarkan hasil pengawasan Bank Indonesia ditemukan bahwa Bank menyampaikan identitas Pemilik Rekening yang tercantum dalam DHIB kepada Bank Indonesia pada periode yang ditetapkan, namun identitas tersebut dilaporkan secara tidak lengkap dan/atau tidak benar sesuai ketentuan Pasal 16 ayat (1), Bank dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per ketidaklengkapan … -25- ketidaklengkapan dan/atau per kesalahan dan paling banyak sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) per laporan DHIB yang disampaikan kepada Bank Indonesia. (3) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dikenakan atas kesalahan dan/atau ketidaklengkapan yang telah dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Pasal 28 (1) Bank yang terlambat melaporkan identitas Pemilik Rekening yang tercantum dalam DHIB kepada Bank Indonesia pada periode yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (4) dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per Pemilik Rekening per keterlambatan periode pelaporan dan paling banyak sebesar Rp300.000,00 (tiga ratus ribu rupiah) per Pemilik Rekening. (2) Bank yang tidak menyampaikan identitas Pemilik Rekening yang seharusnya tercantum dalam DHIB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (5) dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) per identitas Pemilik Rekening yang tidak disampaikan. Pasal 29 (1) Bank Tertarik yang tidak membekukan hak penggunaan Cek dan/atau Bilyet Giro Pemilik Rekening sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per Pemilik Rekening per hari kerja keterlambatan dan paling banyak sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) per Pemilik Rekening. (2) Bank … -26- (2) Bank selain Bank Tertarik yang ditemukan tidak membekukan hak penggunaan Cek dan/atau Bilyet Giro Pemilik Rekening sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per Pemilik Rekening per hari kerja keterlambatan dan paling banyak sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) per Pemilik Rekening. Pasal 30 (1) Jika berdasarkan hasil pengawasan Bank Indonesia ditemukan bahwa Bank Tertarik melakukan pembatalan atas penolakan Cek dan/atau Bilyet Giro Kosong menurut Pasal 23 ayat (1), namun pembatalan tersebut tidak menggunakan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) atau menggunakan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) namun tidak didukung dengan bukti-bukti pendukung yang benar, Bank Tertarik dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) per Pemilik Rekening yang penolakan Cek dan/atau Bilyet Giro Kosongnya dibatalkan. (2) Bank Tertarik yang dikenakan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib: a. mengkategorikan kembali penolakan Cek dan/atau Bilyet Giro yang dibatalkan sebagai penolakan Cek dan/atau Bilyet Giro Kosong; dan b. menetapkan dan mencantumkan kembali identitas Pemilik Rekening yang penolakan Cek dan/atau Bilyet Giro Kosongnya telah dibatalkan ke dalam DHIB periode berikutnya setelah tanggal pengenaan sanksi, jika: 1) akibat pengkategorian kembali sebagaimana dimaksud pada huruf a menyebabkan terpenuhinya kriteria pencantuman identitas Pemilik Rekening dalam DHIB sebagaimana dimaksud dalam Pasal … -27- Pasal 15 ayat (1); atau 2) pembatalan dilakukan setelah identitas Pemilik Rekening telah dicantumkan ke dalam DHIB. (3) Segala konsekuensi yang timbul sehubungan dengan kesalahan administrasi Bank Tertarik yang mengakibatkan identitas Pemilik Rekening harus dicantumkan dalam DHIB sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b menjadi tanggung jawab Bank Tertarik yang bersangkutan. Pasal 31 Bank yang terlambat mengajukan permohonan pembatalan karena kesalahan administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) per Pemilik Rekening. Pasal 32 Bank yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini dikenakan sanksi administratif berupa kewajiban membayar dan pembinaan atau sanksi administratif berupa pembinaan dalam rangka pengawasan Bank oleh Bank Indonesia. BAB XII KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 33 (1) Bank harus melakukan pembinaan terhadap seluruh Pemilik Rekening di Bank yang bersangkutan termasuk Penarik Cek dan/atau Bilyet Giro Kosong. (2) Bank … -28- (2) Bank dapat membekukan hak penggunaan Cek dan/atau Bilyet Giro atau menutup Rekening Pemilik Rekening atas pertimbangan-pertimbangan Bank, meskipun Pemilik Rekening tersebut tidak tercantum dalam DHN sepanjang alasan pembekuan dan/atau penutupan telah diperjanjikan dalam perjanjian pembukaan Rekening Giro atau dengan persetujuan Pemilik Rekening atau berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (3) Pelaksanaan pembekuan atau penutupan Rekening beserta dasar pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberitahukan kepada Pemilik Rekening. Pasal 34 (1) Ketentuan mengenai penutupan Rekening Giro, pencantuman identitas Pemilik Rekening dalam DHIB dan pengenaan sanksi dalam Peraturan Bank Indonesia ini tidak diberlakukan terhadap penarikan Cek dan/atau Bilyet Giro Kosong yang dilakukan oleh Pemilik Rekening berupa: a. Bank umum maupun Bank Perkreditan Rakyat (BPR); b. c. instansi pemerintah; atau lembaga negara. (2) Terhadap Penarikan Cek dan/atau Bilyet Giro Kosong yang memenuhi kriteria DHN yang dilakukan Pemilik Rekening sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku ketentuan pembekuan hak penggunaan Cek dan/atau Bilyet Gironya di Bank Tertarik selama 1 (satu) tahun sejak Pemilik Rekening tersebut memenuhi kriteria DHN. BAB … -29- BAB XIII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 35 (1) Pemilik Rekening yang melakukan penarikan Cek dan/atau Bilyet Giro Kosong sebelum diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia ini dan belum memenuhi kriteria dicantumkan dalam daftar hitam berdasarkan ketentuan Bank Indonesia yang ada, wajib dicatat oleh Bank Tertarik sebagai data yang berpotensi untuk dicantumkan dalam DHN. (2) Dalam hal Pemilik Rekening sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan lagi penarikan Cek dan/atau Bilyet Giro Kosong setelah diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia ini sehingga memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1), maka Pemilik Rekening dimaksud dicantumkan dalam DHN. (3) Daftar hitam yang telah diterbitkan pada masing-masing wilayah Kliring lokal dan masih berlaku pada saat diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia ini, dinyatakan tetap berlaku dalam masing-masing wilayah Kliring lokal dimaksud sampai dengan berakhirnya masa berlaku daftar hitam yang bersangkutan. Pasal 36 (1) Selama ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini belum diberlakukan, Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 2/10/DASP tanggal 8 Juni 2000 perihal Tata Usaha Penarikan Cek/Bilyet Giro Kosong beserta perubahan- perubahannya dinyatakan tetap berlaku. (2) Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini diberlakukan maka Surat Edaran Bank … -30- Bank Indonesia Nomor 2/10/DASP tanggal 8 Juni 2000 perihal Tata Usaha Penarikan Cek/Bilyet Giro Kosong beserta perubahannya dinyatakan tidak berlaku kecuali ketentuan tentang pembatalan penolakan Cek dan/atau Bilyet Giro Kosong yang tetap berlaku sampai berakhirnya masa sanksi daftar hitam. BAB XIV KETENTUAN PENUTUP Pasal 37 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 2007, kecuali ketentuan Pasal 35 ayat (1) yang berlaku sejak tanggal ditetapkannya Peraturan Bank Indonesia ini. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 20 Desember 2006 GUBERNUR BANK INDONESIA, BURHANUDDIN ABDULLAH LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2006 NOMOR 107 DASP PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 8/ 29 /PBI/2006 TENTANG DAFTAR HITAM NASIONAL PENARIK CEK DAN/ATAU BILYET GIRO KOSONG I. UMUM Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004, Bank Indonesia mempunyai tugas untuk mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran dalam rangka mendukung terwujudnya sistem pembayaran yang efisien, cepat, aman dan handal. Adanya sistem pembayaran yang efisien, cepat, aman, dan handal dimaksudkan untuk mendukung terciptanya stabilitas sistem keuangan. Sementara itu, dukungan terhadap stabilitas sistem keuangan dapat dilakukan secara berkesinambungan melalui penurunan berbagai risiko sistem pembayaran nasional. Upaya penurunan risiko dan peningkatan kepercayaan masyarakat atas jasa layanan sistem pembayaran nasional telah dilakukan oleh Bank Indonesia antara lain dengan langkah kebijakan pengaturan dalam sistem Bank Indonesia Real Time Gross Settlement (Sistem BI-RTGS), Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI) dan pengaturan alat pembayaran dengan menggunakan kartu. Di sisi lain, pelaksanaan Kliring dilakukan melalui pertukaran warkat dan/atau data keuangan elektronik, baik dalam Kliring debet maupun Kliring kredit. Dalam pelaksanaannya, Kliring kredit dilakukan dengan melakukan pengiriman data keuangan elektronik tanpa pengiriman warkat kredit secara fisik (paperless) … -2- (paperless), sedangkan untuk Kliring debet pengiriman data keuangan elektronik masih disertai dengan pertukaran warkat debet secara fisik (paperbased), seperti Cek dan Bilyet Giro. Dalam perkembangannya, nilai nominal dari penggunaan Cek dan Bilyet Giro sebagai alat pembayaran masih signifikan. Meskipun pembayaran dengan menggunakan Cek dan/atau Bilyet Giro relatif aman dan nyaman, namun di dalam prakteknya belum dapat dilepaskan dari permasalahan risiko gagal bayar akibat adanya Cek dan/atau Bilyet Giro yang tidak disediakan Dananya secara cukup oleh Penarik atau yang dikenal dengan Cek dan/atau Bilyet Giro kosong. Secara statistik, persentase Penarikan Cek dan/atau Bilyet Giro kosong relatif kecil, sekitar 0,5%-2% dari total nilai perputaran dan nilai transaksi Cek dan/atau Bilyet Giro, namun hal tersebut masih tetap merupakan masalah yang harus terus menerus menjadi perhatian untuk dapat diminimalkan. Upaya penurunan tersebut harus pula dipandang sebagai upaya menjaga kepercayaan masyarakat terhadap Cek dan/atau Bilyet Giro sebagai alat pembayaran dan melindungi kepentingan Pemegang Cek dan/atau Bilyet Giro dalam menerima pembayaran. Dalam kaitan tersebut di atas, kepada Pemilik Rekening yang oleh Peraturan Perundang-undangan diberikan fasilitas untuk menarik Dananya dengan menerbitkan Cek dan/atau Bilyet Giro, perlu diberikan edukasi yang memadai agar dapat mengelola dengan baik penggunaan dan peredaran Cek dan/atau Bilyet Gironya serta selalu menjaga ketersediaan Dananya pada waktu Cek dan/atau Bilyet Giro diunjukkan untuk kepentingan pembayaran. Sementara itu kepada Bank Tertarik juga dituntut untuk melakukan penatausahaan yang tertib atas peredaran Cek dan/atau Bilyet Giro Bank yang digunakan oleh Nasabahnya terutama yang ditolak oleh Bank lain karena alasan Cek dan Bilyet Giro kosong. Namun demikian, dalam praktek masih sering terjadi Penarikan Cek dan/atau Bilyet Giro kosong yang diakibatkan oleh adanya short term liquidity mismatch. Untuk mengatasi hal tersebut diberikan masa waktu selama 7 (tujuh) hari … -3- hari kerja setelah terjadinya tolakan karena alasan kosong kepada Penarik untuk menyelesaikan kewajiban pembayarannya, sehingga pengkategorian sebagai Penarik Cek dan/atau Bilyet Giro kosong hanya diberikan kepada Nasabah Bank yang benar-benar beritikad tidak baik. Jika upaya edukasi kepada Pemilik Rekening telah dilakukan dengan baik, namun dari penatausahaan Bank diketahui bahwa masih banyak Penarikan Cek dan/atau Bilyet Giro kosong, maka diperlukan pemberian sanksi yang dapat memberikan efek jera kepada Penarik dengan mempublikasikannya dalam suatu daftar untuk dapat diketahui oleh Bank lain. Penyebarluasan kepada Bank lain dimaksudkan pula agar dapat mencegah terulangnya penggunaan Cek dan/atau Bilyet Giro kosong yang merugikan masyarakat secara luas. Daftar hitam lokal yang selama ini berlaku di wilayah Kliring tertentu, dipandang masih belum mampu mengurangi peredaran Cek dan/atau Bilyet Giro kosong. Untuk itu diperlukan kebijakan pengenaan sanksi daftar hitam yang lebih proporsional, baik melalui penetapan kriteria yang lebih ketat maupun memberikan cakupan efektivitas sanksi yang lebih luas menjadi secara nasional. Penerapan sanksi kepada Penarik yang menerbitkan satu atau lebih Cek dan/atau Bilyet Giro kosong dilakukan dengan pemberian surat peringatan dari Bank Tertarik. Pencantuman dalam DHN dapat dilakukan apabila telah memenuhi kriteria daftar hitam individual pada Bank Tertarik disertai dengan pembekuan hak menggunakan Cek dan/atau Bilyet Giro yang bersangkutan pada Bank Tertarik. Apabila nama Penarik/Pemilik Rekening telah tercantum dalam DHN yang diterbitkan secara nasional oleh Bank Indonesia, maka pembekuan hak penggunaan Cek dan/atau Bilyet Giro tersebut juga dilakukan oleh Bank selain Bank Tertarik di seluruh Indonesia. Apabila setelah tercantum dalam DHN, Penarik masih melakukan lagi Penarikan Cek dan/atau Bilyet Giro kosong, maka Bank Tertarik akan mengenakan sanksi penutupan rekening kepada Penarik yang bersangkutan. Pengenaan sanksi yang dilakukan secara bertahap, dimulai dari pembekuan … -4- pembekuan hak menggunakan Cek dan/atau Bilyet Giro kosong diharapkan dapat menjadi suatu peringatan kepada Penarik atas Penarikan Cek dan/atau Bilyet Giro kosong yang dilakukan, sehingga dapat mengurangi pengenaan sanksi penutupan rekening yang harus dilakukan oleh Bank Tertarik. Dalam kaitan ini, langkah yang hati-hati dari perbankan dalam menetapkan Pemilik Rekening masuk dalam DHN sangat diperlukan. Mengingat Bank Tertarik sebagai pihak yang mengetahui secara pasti penggunaan sarana Cek dan/atau Bilyet Giro dari para Pemilik Rekening di Banknya, maka tepat jika pencantuman nama Penarik Cek dan/atau Bilyet Giro kosong dalam DHN dilakukan secara self assessment oleh Bank Tertarik. Disamping itu, untuk menghindari adanya moral hazard dan benturan kepentingan yang mungkin terjadi pada Bank Tertarik, diperlukan suatu kebijakan pengawasan yang bersifat proaktif dan penerapan sanksi yang tegas dari Bank Indonesia baik kepada Bank maupun kepada Penarik Cek dan/atau Bilyet Giro kosong. Jika langkah pengelolaan atas penggunaan Cek dan/atau Bilyet Giro telah dilakukan dengan baik oleh Penarik dan Bank Tertarik serta sanksi atas penyalahgunaan dari pengelolaan tersebut telah dirumuskan secara proporsional, diharapkan secara keseluruhan dapat memberikan rasa aman dan nyaman kepada pengguna warkat debet, khususnya Cek dan/atau Bilyet Giro, yang pada gilirannya akan meningkatkan pemakaian uang giral dalam memperlancar sistem pembayaran. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat … -5- Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Data dan/atau informasi Nasabah antara lain nama/nama badan, alamat, tempat, dan tanggal lahir Nasabah, serta NPWP yang didukung dengan bukti-bukti identitas lengkap seperti Kartu Tanda Pengenal (KTP), Surat Izin Mengemudi (SIM) dan atau paspor. Ayat (3) Huruf a Yang dimaksud “perorangan” adalah orang-perorangan termasuk individu yang membuka Rekening Giro untuk usaha perorangan seperti toko, restoran, bengkel dan/atau warung. Huruf b Yang dimaksud dengan “badan” antara lain adalah instansi pemerintah/lembaga negara, setiap badan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang atau Peraturan Perundang- undangan lainnya, badan hukum yang diatur dalam Peraturan Perundang-undangan, dan/atau organisasi masyarakat dan sejenisnya. Huruf c Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal … -6- Pasal 4 Ayat (1) Yang dimaksud “saat diunjukkan” untuk Cek adalah saat dimana Bank Tertarik melakukan pengecekan ketersediaan Dana pada Rekening Giro Penarik setelah Bank Tertarik menerima Cek dari Pemegang, baik secara langsung (over the counter) maupun melalui proses Kliring. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas Huruf c Cek dan/atau Bilyet Giro dianggap telah daluwarsa apabila tidak diunjukkan untuk pembayarannya dalam Tenggang Waktu Pengunjukan ditambah 6 (enam) bulan sejak berakhirnya Tenggang Waktu Pengunjukan. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Ayat (1) Pemilik Rekening yang karena alasan tertentu bermaksud untuk menutup Rekening … -7- Rekening Giro atas permintaan sendiri harus mengajukan permohonan secara tertulis kepada Bank. Yang dimaksud dengan “sebab lain” dalam hal ini antara lain karena Pemilik Rekening tercantum dalam DHN dan Rekening Gironya harus ditutup. Ayat (2) Yang dimaksud “seluruh Cek dan/atau Bilyet Giro telah kembali ke dalam tata usaha Bank Tertarik” meliputi blanko Cek dan/atau Bilyet Giro yang belum digunakan maupun Cek dan/atau Bilyet Giro yang telah ditarik dan dipenuhi kewajibannya. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 7 Ayat (1) Pembukaan Rekening Khusus tersebut wajib dilakukan secara langsung dan dimaksudkan untuk menampung Dana guna menyelesaikan kewajiban-kewajiban pembayaran atas Cek dan/atau Bilyet Giro yang masih beredar. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 8 Ayat (1) Jika Rekening Khusus berupa rekening yang terdiri dari sub-sub rekening maka yang wajib ditutup adalah sub rekening atas nama Pemilik Rekening yang bersangkutan. Ayat (2) Cukup jelas … -8- Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Cek yang tidak memenuhi unsur-unsur Cek atau Bilyet Giro yang tidak memenuhi syarat formal Bilyet Giro belum dianggap sebagai Cek atau Bilyet Giro. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Ayat (4) Cek … -9- Cek dan/atau Bilyet Giro yang diblokir pembayarannya dalam hal ini antara lain karena dilaporkan hilang oleh Penarik (harus dilampiri dengan surat keterangan hilang dari kepolisian) atau atas permintaan instansi yang berwenang. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “melakukan penatausahaan penolakan Cek dan/atau Bilyet Giro dengan lengkap” antara lain adalah penatausahaan identitas Pemilik Rekening yang mencakup informasi sebagaimana dipersyaratkan pada saat pembukaan Rekening Giro secara sama dan konsisten. Yang dimaksud dengan “melakukan penatausahaan penolakan Cek dan/atau Bilyet Giro dengan benar” adalah pencantuman alasan penolakan Cek dan/atau Bilyet Giro berdasarkan fakta dan kondisi yang sebenarnya terjadi serta berpedoman pada ketentuan mengenai alasan penolakan yang berlaku. Ayat (2) Kewajiban menatausahakan secara terpisah untuk Cek dan/atau Bilyet Giro yang ditolak dengan alasan kosong dimaksudkan agar dapat mempermudah … -10- mempermudah Bank untuk menetapkan Penarik masuk ke dalam DHIB. Ayat (3) Cukup jelas Pasal 14 Ayat (1) Kantor yang ditetapkan sebagai KPDHN dapat berupa kantor pusat Bank atau kantor di bawah kantor pusat Bank. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 15 Ayat (1) Penetapan Pemilik Rekening yang memenuhi kriteria untuk dicantumkan dalam DHIB dilakukan oleh Bank Tertarik secara self assessment. Huruf a Penarikan satu lembar Cek dan/atau Bilyet Giro Kosong yang sama dan dilakukan berulang kali, diperhitungkan sebagai satu lembar Penarikan Cek dan/atau Bilyet Giro Kosong. Huruf b Cukup jelas. Ayat (2) Kantor Cabang Syariah untuk Bank yang berkantor pusat di luar negeri adalah kantor cabang pembantu syariah. Pasal 16 Ayat (1) Bank Indonesia … -11- Bank Indonesia dalam hal ini hanya menyediakan sarana DHN. DHN berisi data DHIB yang berasal dari KPDHN untuk keperluan Bank. Penyampaian identitas Pemilik Rekening dalam DHIB oleh Bank kepada Bank Indonesia dilakukan secara online. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 17 Ayat (1) Pemrosesan data DHIB menjadi DHN dilakukan oleh Bank Indonesia tanpa melakukan perubahan atas data DHIB yang telah disampaikan oleh Bank. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Informasi dalam dalam DHIB dan DHN hanya digunakan untuk kepentingan Bank sehingga Bank harus menjaga terhadap kemungkinan penyalahgunaan oleh pihak lain dan pembocoran kerahasiaannya. Ayat (4) Identitas Pemilik Rekening yang tercantum dalam DHN otomatis tidak tercantum lagi terhitung 1 (satu) tahun sejak tanggal penerbitan DHN … -12- DHN kecuali identitas yang bersangkutan dicantumkan kembali dalam DHN berikutnya. Ayat (5) Cukup jelas Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “membekukan hak penggunaan Cek dan/atau Bilyet Giro” adalah Bank Tertarik meminta kepada Pemilik Rekening untuk mengembalikan seluruh lembar Cek dan/atau Bilyet Giro yang belum digunakan. Pembekuan hak penggunaan Cek dan/atau Bilyet Giro pada Bank Tertarik dilakukan untuk seluruh Rekening Giro yang dimiliki oleh Pemilik Rekening pada Bank Tertarik tersebut. Perhitungan waktu paling lambat 14 (empat belas) hari kerja bagi Bank Tertarik untuk membekukan hak penggunaan Cek dan/atau Bilyet Giro antara lain memperhatikan adanya jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah tanggal penolakan untuk memenuhi kewajiban Penarik yang beritikad baik untuk melakukan pembayaran Cek dan/atau Bilyet Giro akibat terjadinya short term liquidity mismatch ditambah dengan 7 (tujuh) hari kerja untuk melakukan koordinasi internal Bank Tertarik serta untuk pemberitahuan kepada Pemilik Rekening. Pembekuan hak penggunaan Cek dan/atau Bilyet Giro tidak menyebabkan penutupan Rekening Giro Pemilik Rekening, sehingga Pemilik Rekening yang bersangkutan masih dapat menggunakan sarana lain … -13- lain di luar Cek dan/atau Bilyet Giro, misalnya form transfer Dana atau slip penarikan tunai. Pembekuan hak menggunakan Cek dan/atau Bilyet Giro dilakukan terhadap seluruh Rekening Giro dari Pemilik Rekening, baik berupa Rekening Giro perorangan, Rekening Giro gabungan maupun Rekening Giro yang dimaksudkan hanya untuk menampung kredit/pinjaman dari Bank Tertarik. Ayat (2) Pembekuan hak penggunaan Cek dan/atau Bilyet Giro pada Bank selain Bank Tertarik dilakukan untuk seluruh Rekening Giro yang dimiliki oleh Pemilik Rekening pada Bank selain Bank Tertarik tersebut Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 20 Ayat (1) Pengenaan sanksi penutupan Rekening Giro merupakan upaya terakhir sebagai akibat masih adanya Penarikan Cek dan/atau Bilyet Giro Kosong setelah Pemilik Rekening dikenakan sanksi pencantuman dalam DHN dan pembekuan hak penggunaan Cek dan/atau Bilyet Giro Dalam praktek, terdapat kemungkinan Pemilik Rekening mempunyai beberapa Rekening Giro pada 1 (satu) Bank Tertarik, sehingga apabila Pemilik Rekening melakukan lagi Penarikan Cek dan/atau Bilyet Giro Kosong setelah namanya dicantumkan dalam DHN, maka Bank Tertarik yang menolak Penarikan lagi 1 (satu) lembar atau lebih dengan nilai nominal berapapun wajib menutup seluruh Rekening Giro Pemilik Rekening. Ayat (2) … -14- Ayat (2) Huruf a Penutupan Rekening Giro pada Bank Tertarik tidak mengharuskan Bank selain Bank Tertarik menutup Rekening Giro atas nama Pemilik Rekening tersebut. Namun demikian, hak penggunaan Cek dan/atau Bilyet Giro dari Pemilik Rekening tersebut di Bank selain Bank Tertarik masih tetap dibekukan. Huruf b Dalam hal ini, Rekening Giro yang dimaksudkan hanya untuk menampung kredit/pinjaman tidak ditutup, namun hak penggunaan Cek dan/atau Bilyet Gironya tetap dibekukan. Huruf c Dalam praktek terdapat kemungkinan Dana kredit/pinjaman dari Bank Tertarik ditatausahakan dalam Rekening Giro Pemilik Rekening. Dalam hal ini, sepanjang Rekening Giro tersebut masih diperlukan untuk penatausahaan kredit/pinjaman maka Rekening Giro tersebut tidak ditutup. Penutupan Rekening Giro demikian wajib dilakukan apabila kredit/pinjaman telah diselesaikan dan identitas Pemilik Rekening masih tercantum dalam DHN. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 21 Ayat (1) Yang … -15- Yang dimaksud dengan “Bank” pada ayat ini adalah Bank Tertarik maupun Bank selain Bank Tertarik. Rekening Giro baru dapat diperuntukkan untuk menampung kredit/pinjaman dan transaksi lainnya namun tidak diberikan sarana Cek dan/atau Bilyet Giro. Ayat (2) Pembukaan Rekening Giro yang dimaksudkan hanya untuk menampung kredit/pinjaman dimaksud tetap tidak diberikan sarana Cek dan/atau Bilyet Giro. Pasal 22 Ayat (1) Huruf a Kesalahan administrasi yang dilakukan oleh Bank Tertarik adalah kesalahan Bank Tertarik karena melakukan penolakan atas Cek dan/atau Bilyet Giro dengan alasan saldo Rekening Giro atau Rekening Khusus tidak cukup yang sebenarnya Dana pada Rekening Penarik mencukupi. Kesalahan administrasi tersebut dapat disebabkan antara lain karena: a. terdapat kesepakatan khusus antara Pemilik Rekening dengan Bank dalam pemenuhan kewajiban pembayaran Cek dan/atau Bilyet Giro, dimana kewajiban pembayaran Cek dan/atau Bilyet Giro dapat dipenuhi dengan menggunakan Dana yang cukup dari rekening lain yang dimiliki Penarik, namun kesepakatan itu tidak dilaksanakan oleh Bank Tertarik; atau b. terdapat gangguan pada sistem sehingga Dana menjadi tidak tersedia pada waktu Cek dan/atau Bilyet Giro diunjukkan. Huruf b … -16- Huruf b Pemberian jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah tanggal penolakan dimaksudkan untuk memberi kesempatan bagi Penarik yang beritikad baik namun karena short term liquidity mismatch Cek dan/atau Bilyet Gironya ditolak dengan alasan saldo Rekening Giro atau Rekening Khusus tidak cukup dan diperhitungkan sebagai Penarikan Cek dan/atau Bilyet Giro Kosong. Pemberian jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja tersebut diperhitungkan sebagai waktu yang cukup bagi Penarik yang beritikad baik untuk memenuhi kewajiban pembayaran, dan tidak dimaksudkan untuk meniadakan kewajiban penyediaan Dana bagi Cek dan/atau Bilyet Giro. Dengan demikian, dalam hal terdapat keterlambatan pembayaran, Pemegang Cek dan/atau Bilyet Giro berhak menuntut kompensasi tertentu sesuai dengan hukum dan/atau perjanjian yang berlaku. Pemenuhan kewajiban pembayaran dapat dilakukan melalui pembayaran tunai, transfer, atau cara-cara lainnya, dan harus dibuktikan kepada Bank Tertarik dengan dokumen yang lengkap. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 23 … -17- Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Kewajiban mengajukan permohonan pembatalan yang ditetapkan dalam ayat ini dimaksudkan untuk melindungi kepentingan Pemilik Rekening. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Ayat (1) Bank Indonesia melakukan pengawasan tidak langsung dengan cara meneliti laporan yang disampaikan oleh Bank. Bank Indonesia dapat melakukan pengawasan langsung dengan cara melakukan pemeriksaan di Bank. Ayat (2) … -18- Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 27 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “laporan DHIB secara lengkap” antara lain adalah data/identitas Pemilik Rekening yang tercantum dalam DHIB sesuai dengan data pada saat pembukaan Rekening Giro. Yang dimaksud dengan “laporan DHIB secara benar” antara lain adalah kebenaran penggolongan alasan penolakan Cek dan/atau Bilyet Giro sesuai ketentuan yang berlaku. Ayat (3) Penetapan mengenai pembatasan sanksi atas kesalahan dimaksudkan agar Bank tidak dikenakan dua sanksi atau lebih atas kesalahan dengan objek yang sama. Pasal 28 Ayat (1) Sanksi kewajiban membayar paling banyak sebesar Rp300.000,00 (tiga ratus ribu rupiah) berdasarkan perhitungan bahwa keterlambatan pelaporan maksimum 3 (tiga) periode setelah periode pelaporan yang seharusnya. Pelaporan sampai dengan 3 (tiga) periode pelaporan dianggap … -19- dianggap sebagai terlambat melapor. Ayat (2) Kewajiban membayar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) dikenakan atas dasar anggapan tidak adanya itikad baik Bank untuk melaporkan Pemilik Rekening yang seharusnya tercantum dalam DHIB karena telah memenuhi kriteria DHN. Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 Sanksi yang ditetapkan dalam ayat ini dimaksudkan untuk melindungi kepentingan Pemilik Rekening. Pasal 32 Cukup jelas. Pasal 33 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “pembinaan” dalam ayat ini antara lain memberikan informasi dan edukasi kepada Pemilik Rekening untuk memperhatikan ketentuan penggunaan Cek dan/atau Bilyet Giro serta konsekuensi bagi Pemilik Rekening apabila melakukan pelanggaran. Pembinaan … -20- Pembinaan dimaksud dilakukan paling kurang pada saat pembukaan Rekening Giro. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “ketentuan peraturan perundang-undangan” antara lain yang memberikan kewenangan kepada penegak hukum atau pihak berwenang lainnya untuk melakukan tindakan paksa misalnya berupa pembekuan atau penutupan rekening. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 34 Ayat (1) Dalam rangka menjaga kepentingan dan kepercayaan publik, agar fungsi pelayanan masyarakat dapat tetap berjalan, Penarikan Cek dan/atau Bilyet Giro Kosong yang dilakukan oleh Bank, instansi pemerintah, atau lembaga negara dikecualikan dari pengenaan sanksi pembekuan hak penggunaan Cek dan/atau Bilyet Giro, penutupan Rekening Giro dan pencantuman dalam DHN Huruf a Cukup jelas. Huruf b Instansi pemerintah dalam hal ini antara lain adalah pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta kantor-kantornya yang melakukan fungsi pemerintahan, namun tidak termasuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Huruf c Cukup jelas. Ayat (2) … -21- Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 35 Ayat (1) Ayat ini mewajibkan Bank untuk mencatat setiap Penarikan Cek dan/atau Bilyet Giro kosong sejak ditetapkannya Peraturan Bank Indonesia ini. Ketentuan yang ada pada saat ditetapkannya Peraturan Bank Indonesia ini adalah Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 2/10/DASP tanggal 8 Juni 2000 perihal Tata Usaha Penarikan Cek dan/atau Bilyet Giro Kosong beserta seluruh perubahannya. Yang dimaksud dengan “data yang berpotensi” adalah data Penarikan Cek dan/atau Bilyet Giro kosong yang belum dicantumkan dalam daftar hitam yang berlaku di wilayah Kliring lokal. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 36 Ayat (1) Pemberlakuan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 2/10/DASP tanggal 8 Juni 2000 perihal Tata Usaha Penarikan Cek/Bilyet Giro Kosong beserta seluruh perubahannya dilakukan dengan memperhatikan ketentuan Bank Indonesia mengenai Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia yang antara lain telah mengubah alasan penolakan warkat debet, termasuk Cek dan/atau Bilyet Giro. Ayat (2) … -22- Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 37 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4669 "," PBI 8/29/PBI/2006 DAFTAR HITAM NASIONAL PENARIK CEK DAN/ATAU BILYET GIRO KOSONG 20 Desember 2006 1 Juli 2007, kecuali ketentuan Pasal 35 ayat (1) yang berlaku sejak tanggal 20 Desember 2006 '2/10/DASP|SE-BI/2000' '4/UU/1971', '23/UU/1999', '3/UU/2004', '7/UU/1992', '10/UU/1998', '28/32/KEP/DIR|SKDIR-BI/1995', '23/STBLD/1847', 'KUH Dagang' 'BAB VII', 'BAB XI' " " PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 4/ 11 /PBI/2002 TENTANG PERLAKUAN KHUSUS TERHADAP KREDIT BANK UMUM PASCATRAGEDI BALI GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dengan terjadinya tragedi di Propinsi Bali, perlu dilakukan berbagai upaya untuk mendukung pemulihan kondisi perekonomian; b. bahwa salah satu upaya untuk mendukung pemulihan kondisi perekonomian adalah dengan memberikan perlakuan khusus terhadap kredit bank umum; c. bahwa sehubungan dengan itu dipandang perlu untuk menetapkan ketentuan mengenai perlakuan khusus terhadap kredit bank umum pascatragedi Bali dalam Peraturan Bank Indonesia; Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3790); 2. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 74; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3611); 3. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843); MEMUTUSKAN: Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERLAKUAN KHUSUS TERHADAP KREDIT BANK UMUM PASCATRAGEDI BALI. Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang- undang Nomor 10 Tahun 1998, termasuk Kantor Cabang Bank Asing. 2. Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara Bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga, termasuk: a. Pembelian surat berharga nasabah yang dilengkapi dengan Note Purchase Agreement (NPA); b. Pengambilalihan tagihan dalam rangka anjak piutang. 3. Usaha Kecil adalah usaha kecil sebagaimana diatur dalam peraturan perundang- undangan yang berlaku. Pasal 2 (1) Penggolongan kualitas Kredit atau penyediaan dana lain dari Bank bagi nasabah debitur Usaha Kecil dengan plafon keseluruhan maksimum sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) didasarkan atas ketepatan pembayaran pokok dan bunga sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia tentang Kualitas Aktiva Produktif yang berlaku. (2) Nasabah debitur Usaha Kecil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah nasabah debitur yang dibiayai oleh Bank dan memiliki usaha produktif dengan lokasi proyek atau lokasi usaha di Propinsi Bali. Pasal 3 (1) Penggolongan kualitas Kredit yang direstrukturisasi dapat ditetapkan Lancar dalam jangka waktu 1 (satu) tahun. (2) Pelaksanaan restrukturisasi kredit mengacu kepada ketentuan Bank Indonesia tentang Restrukturisasi Kredit yang berlaku. Pasal 4 Penggolongan kualitas Kredit yang direstrukturisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) hanya berlaku untuk Kredit yang memenuhi persyaratan-persyaratan sebagai berikut : a. disalurkan kepada nasabah debitur yang dibiayai oleh Bank dan memiliki usaha produktif dengan lokasi proyek atau lokasi usaha di Propinsi Bali; b. memiliki kualitas Lancar atau Dalam Perhatian Khusus sebelum terjadinya tragedi Bali; dan c. telah atau diperkirakan akan mengalami kesulitan pembayaran pokok dan/atau bunga Kredit yang disebabkan dampak dari tragedi Bali. Pasal 5 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan di : Jakarta Pada tanggal : 20 Desember 2002 GUBERNUR BANK INDONESIA SYAHRIL SABIRIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2002 NOMOR DPNP PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 4/ /PBI/2002 TENTANG PERLAKUAN KHUSUS TERHADAP KREDIT BANK UMUM PASCATRAGEDI BALI UMUM Sebagaimana dimaklumi peristiwa tragedi Bali pada tanggal 12 Oktober 2002 diperkirakan akan memberikan dampak pada perekonomian Indonesia khususnya di Propinsi Bali. Nasabah debitur yang terkena dampak tragedi Bali diperkirakan akan mengalami kesulitan dalam melunasi kewajibannya sesuai dengan perjanjian Kredit. Sehubungan dengan itu maka Bank Indonesia memandang perlu untuk memberikan perlakuan khusus terhadap kredit bank umum dalam rangka memberikan kesempatan bagi nasabah debitur untuk melakukan perbaikan usaha guna mendukung pemulihan perekonomian di Propinsi Bali. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Angka 1 Cukup jelas. Angka 2 Termasuk dalam pengertian Kredit adalah Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 Angka 12 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 tahun 1998. Angka 3 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Yang dimaksud dengan penyediaan dana lain adalah penerbitan jaminan dan pembukaan letter of credit. Perhitungan batas pemberian fasilitas kredit atau penyediaan dana lain berlaku baik untuk debitur individual maupun debitur grup serta untuk seluruh fasilitas yang diterima dari 1 (satu) Bank. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 3 Ayat (1) Jangka waktu 1 (satu) tahun dihitung sejak tanggal ditetapkannya Peraturan Bank Indonesia ini. Sesuai ketentuan yang berlaku, Bank wajib membentuk Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP) sekurang-kurangnya sebesar 1% (satu perseratus) dari aktiva produktif dengan kualitas Lancar. Dengan demikian Bank dapat membentuk PPAP lebih dari ketentuan yang berlaku. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 4 Penggolongan kualitas Kredit yang direstrukturisasi dan tidak memenuhi kriteria dalam Pasal ini, tunduk pada ketentuan Bank Indonesia tentang Restrukturisasi Kredit yang berlaku. Pasal 5 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR "," PBI 4/11/PBI/2002 PERLAKUAN KHUSUS TERHADAP KREDIT BANK UMUM PASCATRAGEDI BALI 20 Desember 2002 20 Desember 2002 '23/UU/1999', '7/UU/1992', '10/UU/1998', '9/UU/1995' " " PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 12/ 14 /PBI/2010 TENTANG PENCABUTAN DAN PENARIKAN DARI PEREDARAN UANG LOGAM PECAHAN 25 (DUA PULUH LIMA) RUPIAH TAHUN EMISI 1991 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa uang logam pecahan 25 (dua puluh lima) rupiah sudah tidak banyak dipergunakan oleh masyarakat dalam melakukan pembayaran; b. bahwa nilai intrinsik dan biaya pencetakan uang logam pecahan 25 (dua puluh lima) rupiah tahun emisi 1991 saat ini telah lebih besar dari nilai nominalnya; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu untuk mengatur ketentuan mengenai pencabutan dan penarikan dari peredaran uang logam pecahan 25 (dua puluh lima) rupiah tahun emisi 1991 dalam suatu Peraturan Bank Indonesia; Mengingat : 1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan . . . 2 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/14/PBI/2004 tentang Pengeluaran, Pengedaran, Pencabutan dan Penarikan, serta Pemusnahan Uang Rupiah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4388) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/10/PBI/2007 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 113, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4762); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENCABUTAN DAN PENARIKAN DARI PEREDARAN UANG LOGAM PECAHAN 25 (DUA PULUH LIMA) RUPIAH TAHUN EMISI 1991. Pasal 1 (1) Bank Indonesia mencabut dan menarik dari peredaran uang logam pecahan 25 (dua puluh lima) rupiah tahun emisi 1991. (2) Uang . . . 3 (2) Uang logam rupiah yang dicabut dan ditarik dari peredaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan tidak berlaku lagi sebagai alat pembayaran yang sah sejak tanggal 31 Agustus 2010. Pasal 2 Uang logam rupiah yang dicabut dan ditarik dari peredaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dapat ditukarkan di Bank Indonesia dan/atau Bank Umum dalam jangka waktu tertentu. Pasal 3 Jangka waktu dan tempat penukaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ditetapkan sebagai berikut: 1. Terhitung sejak tanggal 31 Agustus 2010 sampai dengan tanggal 30 Agustus 2015 penukaran dilakukan di Bank Indonesia dan/atau Bank Umum. 2. Terhitung sejak tanggal 31 Agustus 2015 sampai dengan tanggal 30 Agustus 2020 penukaran hanya dapat dilakukan di Bank Indonesia. Pasal 4 Hak untuk menuntut penukaran uang logam rupiah yang telah dicabut dan ditarik dari peredaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 tidak berlaku lagi setelah 10 (sepuluh) tahun terhitung sejak tanggal pencabutan atau tanggal 31 Agustus 2020. Pasal 5 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 31 Agustus 2010. Agar . . . 4 Agar setiap orang mengetahuinya memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 13 Agustus 2010 Pjs. GUBERNUR BANK INDONESIA, DARMIN NASUTION Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 13 Agustus 2010 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, PATRIALIS AKBAR LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 96 DPU "," PBI 12/14/PBI/2010 PENCABUTAN DAN PENARIKAN DARI PEREDARAN UANG LOGAM PECAHAN 25 (DUA PULUH LIMA) RUPIAH TAHUN EMISI 1991 13 Agustus 2010 31 Agustus 2010 13 Agustus 2010 '23/UU/1999', '6/UU/2009', '6/14/PBI/2004', '9/10/PBI/2007', '2/PERPPU/2008' " " PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 6/30/PBI/2004 TENTANG PENYELENGGARAAN KEGIATAN ALAT PEMBAYARAN DENGAN MENGGUNAKAN KARTU GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa penyelenggaraan kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu yang dilaksanakan oleh Bank atau Lembaga Selain Bank telah mengalami pertumbuhan yang sangat signifikan, dan sampai saat ini belum terdapat pengaturan atas penyelenggaraan kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu tersebut; b. bahwa untuk memberikan kepastian hukum terhadap penyelenggaraan kegiatan Alat penyelenggaraan kegiatan Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu, dipandang perlu untuk menetapkan ketentuan mengenai Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu tersebut dalam Peraturan Bank Indonesia; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan … -2- dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357); M E M U T U S K A N : Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENYELENGGARAAN KEGIATAN ALAT PEMBAYARAN DENGAN MENGGUNAKAN KARTU. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini, yang dimaksud dengan : 1. Bank adalah Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana … -3- sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998, termasuk pula kantor cabang Bank asing. 2. Lembaga Selain Bank adalah badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia atau badan usaha yang kantor pusatnya berkedudukan di luar negeri yang melakukan kegiatan yang berkaitan dengan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu di Indonesia. 3. Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu adalah alat pembayaran yang berupa Kartu Kredit, Kartu Automated Teller Machine (ATM), Kartu Debet, Kartu Prabayar, dan atau yang dipersamakan dengan itu. 4. Kartu Kredit adalah Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu yang dapat digunakan untuk melakukan pembayaran atas kewajiban yang timbul dari suatu kegiatan ekonomi, termasuk transaksi pembelanjaan dan atau untuk melakukan penarikan tunai dimana kewajiban pembayaran Pemegang Kartu dipenuhi terlebih dahulu oleh Penerbit atau Acquirer, dan Pemegang Kartu berkewajiban melakukan pelunasan kewajiban pembayaran tersebut pada waktu yang disepakati baik secara sekaligus ataupun secara angsuran. 5. Kartu ATM adalah Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu yang dapat digunakan untuk melakukan penarikan tunai dan atau pemindahan dana dimana kewajiban Pemegang Kartu dipenuhi seketika dengan mengurangi secara langsung simpanan Pemegang Kartu pada Bank atau Lembaga Selain Bank yang mendapat persetujuan untuk menghimpun dana. 6. Kartu Debet adalah Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu yang dapat digunakan untuk melakukan pembayaran atas kewajiban yang timbul dari suatu kegiatan ekonomi, termasuk transaksi pembelanjaan, penarikan tunai, dan atau pemindahan dana, dimana kewajiban Pemegang Kartu dipenuhi seketika dengan mengurangi secara langsung simpanan Pemegang Kartu … -4- Kartu pada Bank atau Lembaga Selain Bank yang mendapat persetujuan untuk menghimpun dana. 7. Kartu Prabayar adalah Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu yang dapat digunakan untuk melakukan pembayaran atas kewajiban yang timbul dari suatu kegiatan ekonomi, termasuk transaksi pembelanjaan, penarikan tunai dan atau pemindahan dana, dimana Pemegang Kartu menyetorkan terlebih dahulu sejumlah dana tertentu kepada Penerbit, dan kewajiban Pemegang Kartu dipenuhi seketika dengan mengurangi secara langsung nilai dana tersebut. 8. Pemegang Kartu adalah pengguna sah dari Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu. 9. Penyelenggara adalah Bank atau Lembaga Selain Bank yang melakukan kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu baik sebagai Prinsipal, Penerbit, dan atau Acquirer. 10. Prinsipal adalah Bank atau Lembaga Selain Bank yang menjadi pemilik tunggal hak atas merek Menggunakan Kartu. 11. Penerbit adalah Bank atau Lembaga Selain Bank yang menerbitkan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu untuk Pemegang Kartu dengan menggunakan merek tertentu atas persetujuan Prinsipal. 12. Acquirer adalah Bank atau Lembaga Selain Bank yang melakukan kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu yang dapat berupa Financial Acquirer dan atau Technical Acquirer. 13. Financial Acquirer adalah Acquirer yang melakukan pembayaran terlebih dahulu atas transaksi yang dilakukan oleh Pemegang Kartu dengan penyedia barang dan atau jasa. 14. Technical … dalam kegiatan Alat Pembayaran Dengan -5- 14. Technical Acquirer adalah Acquirer yang menyediakan sarana yang diperlukan dalam pemrosesan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu berdasarkan perjanjian dengan penyedia barang dan atau jasa. BAB II PERSETUJUAN PENYELENGGARAAN KEGIATAN Bagian Pertama Prinsipal Pasal 2 (1) Prinsipal dalam penyelenggaraan kegiatan Menggunakan Kartu terdiri dari : a. Alat Pembayaran Dengan Prinsipal khusus yaitu Prinsipal yang hak atas mereknya hanya digunakan oleh Prinsipal yang bersangkutan, yang sekaligus bertindak sebagai Penerbit dan atau Acquirer. b. Prinsipal umum yaitu : 1) Prinsipal yang hak atas mereknya selain digunakan oleh Prinsipal yang bersangkutan juga digunakan oleh Penerbit lain berdasarkan suatu perjanjian tertulis; atau 2) Prinsipal yang hak atas mereknya digunakan oleh Penerbit lain berdasarkan suatu perjanjian tertulis. (2) Prinsipal umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b hanya dapat dilakukan oleh Lembaga Selain Bank. Pasal … -6- Pasal 3 Bank atau Lembaga Selain Bank yang akan bertindak sebagai Prinsipal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 harus melaporkan secara tertulis rencana kegiatannya kepada Bank Indonesia. Pasal 4 (1) Bank Indonesia dapat melakukan kerja sama dengan Prinsipal dalam rangka meningkatkan keamanan dan kelancaran penyelenggaraan kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu. (2) Prinsipal wajib menghentikan sementara persetujuan penggunaan merek kepada Penerbit apabila Bank Indonesia mengenakan sanksi penghentian sementara kepada Penerbit tersebut sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini. Bagian Kedua Penerbit Pasal 5 (1) Lembaga Selain Bank yang dapat bertindak sebagai Penerbit Kartu Kredit adalah Lembaga Selain Bank yang telah memperoleh izin dari Departemen Keuangan Republik Indonesia untuk menjalankan kegiatan Kartu Kredit. (2) Lembaga Selain Bank yang dapat bertindak sebagai Penerbit Kartu ATM, Kartu Debet, dan atau Kartu Prabayar adalah Lembaga Selain Bank yang mempunyai kewenangan untuk melakukan kegiatan penghimpunan dana dari … -7- dari masyarakat dalam bentuk simpanan berdasarkan ketentuan yang mengatur mengenai Lembaga Selain Bank tersebut. Pasal 6 (1) Bank atau Lembaga Selain Bank yang akan bertindak sebagai Penerbit wajib mendapat persetujuan dari Bank Indonesia. (2) Untuk mendapatkan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank atau Lembaga Selain Bank harus menyampaikan permohonan secara tertulis kepada Bank Indonesia. (3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dilampiri dengan dokumen-dokumen sebagai berikut: a. Bank 1) Rencana kerja Bank yang di dalamnya mencantumkan rencana kegiatan Bank sebagai Penerbit; 2) Hasil analisis bisnis dari kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu yang akan dilakukan untuk 1 (satu) tahun ke depan; 3) Bukti kesiapan perangkat hukum; 4) Bukti kesiapan penerapan manajemen risiko; dan 5) Bukti kesiapan operasional. b. Lembaga Selain Bank 1) Fotokopi akta pendirian badan hukum yang telah disahkan oleh pihak yang berwenang atau fotokopi akta pendirian badan usaha untuk Lembaga Selain Bank yang kantor pusatnya berkedudukan di luar negeri yang telah disahkan oleh pihak yang berwenang; 2) Hasil … -8- 2) Hasil analisis bisnis dari kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu yang akan dilakukan untuk 1 (satu) tahun ke depan; 3) Bukti kesiapan perangkat hukum; 4) Bukti kesiapan penerapan manajemen risiko; dan 5) Bukti kesiapan operasional. (4) Dalam hal Penerbit bekerjasama dengan Technical Acquirer, Penerbit tersebut harus meminta Technical Acquirer melaporkan kegiatannya kepada Bank Indonesia. (5) Dalam hal Technical Acquirer sebagaimana dimaksud pada ayat (4) merupakan Technical Acquirer yang berbadan hukum Indonesia atau berkedudukan di Indonesia, selain memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), Penerbit tersebut harus pula meminta Technical Acquirer memenuhi standar uji keamanan sistem berdasarkan hasil pemeriksaan security auditor yang independent. Pasal 7 (1) Persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagai Penerbit diberikan paling lambat 60 (enam puluh) hari kerja setelah surat permohonan persetujuan beserta dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) diterima secara lengkap oleh Bank Indonesia. (2) Apabila dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari kerja sejak tanggal persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Bank atau Lembaga Selain Bank yang telah mendapat persetujuan sebagai Penerbit telah melaksanakan kegiatannya, Bank atau Lembaga Selain Bank tersebut harus melaporkan dimulainya kegiatan sebagai Penerbit secara tertulis kepada Bank Indonesia paling … -9- paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak tanggal dimulainya kegiatan tersebut. (3) Apabila dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari kerja sejak tanggal persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Bank atau Lembaga Selain Bank yang melaksanakan kegiatannya, Bank atau Lembaga Selain Bank dimaksud harus melaporkan secara tertulis kepada Bank Indonesia mengenai alasan belum dapat dilaksanakannya kegiatan tersebut dan rencana waktu penyelenggaraannya, paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak tanggal berakhirnya jangka waktu 60 (enam puluh) hari kerja tersebut. (4) Dalam hal Penerbit tidak melaporkan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan atau terjadi kondisi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Bank Indonesia menetapkan langkah-langkah selanjutnya yang harus dilakukan oleh Bank atau Lembaga Selain Bank tersebut. Pasal 8 (1) Bank Indonesia berwenang untuk : a. menunda pemberlakuan persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) apabila menurut penilaian Bank Indonesia, Bank atau Lembaga Selain Bank tersebut tidak dapat bertindak sebagai Penerbit untuk sementara waktu; atau b. membatalkan persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) apabila menurut penilaian Bank Indonesia, Bank atau Lembaga Selain Bank tersebut tidak dapat bertindak sebagai Penerbit. (2) Penundaan … telah mendapat persetujuan sebagai Penerbit belum -10- (2) Penundaan atau pembatalan persetujuan oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain didasarkan pada : a. memburuknya kondisi keuangan Bank; atau b. adanya rekomendasi dari otoritas pengawas Lembaga Selain Bank untuk menunda berlakunya atau membatalkan persetujuan yang telah diberikan kepada Lembaga Selain Bank sebagai Penerbit. (3) Dalam hal Bank Indonesia menunda pemberlakuan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, kegiatan sebagai Penerbit dapat dilakukan setelah terdapat pemberitahuan tertulis dari Bank Indonesia. Pasal 9 (1) Persetujuan yang telah diberikan oleh Bank Indonesia kepada Bank atau Lembaga Selain Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) tidak mengikat kepada Bank atau Lembaga Selain Bank tersebut. (2) Dalam memberikan persetujuan kepada Bank atau Lembaga Selain Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Prinsipal dapat menetapkan syarat- syarat lain diluar persyaratan yang telah ditetapkan dalam Peraturan Bank Indonesia ini. Prinsipal untuk memberikan persetujuan penggunaan merek Bagian … -11- Bagian Ketiga Acquirer Pasal 10 Lembaga Selain Bank yang dapat bertindak sebagai Financial Acquirer adalah Lembaga Selain Bank yang mempunyai kewenangan untuk melakukan kegiatan pemberian kredit atau pembiayaan mengenai Lembaga Selain Bank tersebut. Pasal 11 Penerbit yang akan melakukan kegiatan sebagai Acquirer harus melaporkan rencana kegiatan sebagai Acquirer tersebut kepada Bank Indonesia. Pasal 12 (1) Bank atau Lembaga Selain Bank yang akan bertindak sebagai Financial Acquirer wajib mendapat persetujuan Bank Indonesia. (2) Untuk mendapatkan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank atau Lembaga Selain Bank harus menyampaikan permohonan secara tertulis kepada Bank Indonesia. (3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dilampiri dokumen-dokumen sebagai berikut : a. Bank 1) Rencana kerja Bank yang di dalamnya mencantumkan rencana kegiatan Bank sebagai Financial Acquirer; 2) Hasil … berdasarkan ketentuan yang mengatur -12- 2) Hasil analisis bisnis dari kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu yang akan dilakukan untuk 1 (satu) tahun ke depan; 3) Bukti kesiapan perangkat hukum; 4) Bukti kesiapan penerapan manajemen risiko; dan 5) Bukti kesiapan operasional. b. Lembaga Selain Bank 1) Fotokopi akta pendirian badan hukum yang telah disahkan oleh pihak yang berwenang atau fotokopi akta pendirian badan usaha untuk Lembaga Selain Bank yang kantor pusatnya berkedudukan di luar negeri yang telah disahkan oleh pihak yang berwenang; 2) Hasil analisis bisnis dari kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu yang akan dilakukan untuk 1 (satu) tahun ke depan; 3) Bukti kesiapan perangkat hukum; 4) Bukti rencana penerapan manajemen risiko; dan 5) Bukti kesiapan operasional. (4) Dalam hal Financial Acquirer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bekerjasama dengan Technical Acquirer, Financial Acquirer tersebut harus meminta Technical Acquirer melaporkan kegiatannya kepada Bank Indonesia. (5) Dalam hal Technical Acquirer sebagaimana dimaksud pada ayat (4) merupakan Technical Acquirer yang berbadan hukum Indonesia atau berkedudukan di Indonesia, selain memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), Financial Acquirer tersebut harus meminta Technical Acquirer untuk memenuhi standar uji keamanan sistem berdasarkan hasil pemeriksaan security auditor yang independent. Pasal … -13- Pasal 13 (1) Persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagai Financial Acquirer diberikan paling lambat 60 (enam puluh) hari kerja setelah surat permohonan persetujuan beserta dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3) diterima secara lengkap oleh Bank Indonesia. (2) Apabila dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari kerja sejak tanggal persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Bank atau Lembaga Selain Bank yang telah mendapat persetujuan sebagai Financial Acquirer telah melaksanakan kegiatannya, Bank atau Lembaga Selain Bank tersebut harus melaporkan dimulainya kegiatan sebagai Financial Acquirer secara tertulis kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak tanggal dimulainya kegiatan tersebut. (3) Apabila dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari kerja sejak tanggal persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Bank atau Lembaga Selain Bank yang telah mendapat persetujuan sebagai Financial Acquirer belum melaksanakan kegiatannya, Bank atau Lembaga Selain Bank dimaksud harus melaporkan secara tertulis kepada Bank Indonesia mengenai alasan belum dapat dilaksanakannya kegiatan tersebut dan rencana waktu penyelenggaraannya, paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak tanggal berakhirnya jangka waktu 60 (enam puluh) hari kerja tersebut. (4) Dalam hal Financial Acquirer tidak melaporkan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan atau terjadi kondisi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Bank Indonesia menetapkan langkah-langkah selanjutnya yang harus dilakukan oleh Bank atau Lembaga Selain Bank tersebut. Pasal … -14- Pasal 14 (1) Bank Indonesia berwenang untuk : a. menunda pemberlakuan persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) apabila menurut penilaian Bank Indonesia, Bank atau Lembaga Selain Bank tersebut tidak dapat bertindak sebagai Financial Acquirer untuk sementara waktu; atau b. membatalkan persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) apabila menurut penilaian Bank Indonesia, Bank atau Lembaga Selain Bank tersebut tidak dapat bertindak sebagai Financial Acquirer. (2) Penundaan atau pembatalan persetujuan oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain didasarkan pada : a. memburuknya kondisi keuangan Bank; atau b. adanya rekomendasi dari otoritas pengawas Lembaga Selain Bank untuk menunda berlakunya atau membatalkan persetujuan yang telah diberikan kepada Lembaga Selain Bank sebagai Financial Acquirer. (3) Dalam hal Bank Indonesia menunda pemberlakuan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, kegiatan sebagai Financial Acquirer dapat dilakukan setelah terdapat pemberitahuan tertulis dari Bank Indonesia. BAB … -15- BAB III PENYELENGGARAAN KEGIATAN Bagian Pertama Kartu Kredit Pasal 15 (1) Pemberian Kartu Kredit hanya dapat dilakukan oleh Penerbit berdasarkan permohonan tertulis dari calon Pemegang Kartu. (2) Penyimpangan atas ketentuan ayat (1) hanya dapat dilakukan secara selektif berdasarkan persyaratan yang telah ditetapkan dalam ketentuan internal dari Penerbit yang bersangkutan. Pasal 16 (1) Dalam pemberian Kartu Kredit, Penerbit wajib menerapkan manajemen risiko sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai manajemen risiko. (2) Selain memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penerbit wajib pula menerapkan manajemen risiko kredit yang sekurang-kurangnya meliputi : a. penetapan minimum usia calon Pemegang Kartu; b. penetapan minimum pendapatan calon Pemegang Kartu; c. penetapan batas maksimum kredit calon Pemegang Kartu; d. penetapan persentase minimum pembayaran oleh Pemegang Kartu, sekurang-kurangnya sebesar 10 % (sepuluh per seratus) dari total tagihan; dan e. prosedur … -16- e. prosedur pemberian persetujuan kepada calon Pemegang Kartu. (3) Dalam hal calon Pemegang Kartu tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, sedangkan Penerbit dengan alasan-alasan tertentu menilai calon Pemegang Kartu layak untuk diberikan persetujuan, Penerbit dapat memberikan Kartu Kredit kepada calon Pemegang Kartu tersebut sepanjang Penerbit mempunyai manajemen risiko kredit khusus untuk kondisi dimaksud. (4) Bank Indonesia dapat menetapkan minimum usia, minimum pendapatan, dan atau batas maksimum kredit, sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, huruf b, dan atau huruf c. (5) Penetapan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan perubahan atas penetapan besarnya persentase minimum pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 17 (1) Penerbit wajib memberikan informasi secara tertulis kepada Pemegang Kartu, sekurang-kurangnya hal-hal sebagai berikut: a. prosedur dan tata cara penggunaan Kartu Kredit, fasilitas yang melekat pada Kartu Kredit, dan risiko yang mungkin timbul dari penggunaaan Kartu Kredit; b. hak dan kewajiban Pemegang Kartu; c. tata cara pengajuan pengaduan atas Kartu Kredit yang diberikan dan perkiraan lamanya waktu penanganan pengaduan tersebut; d. komponen dalam penghitungan bunga; e. komponen dalam penghitungan denda; dan f. jenis … -17- f. jenis dan besarnya biaya administrasi yang dikenakan. (2) Penerbit wajib mencantumkan dalam lembar penagihan yang disampaikan kepada Pemegang Kartu, sekurang-kurangnya hal-hal sebagai berikut : a. besarnya minimum pembayaran oleh Pemegang Kartu; b. tanggal jatuh tempo pembayaran; c. besarnya persentase bunga per bulan dan persentase perhitungan bunga per tahun (annual percentage rate) atas transaksi yang dilakukan, termasuk bunga atas transaksi pembelian barang atau jasa, penarikan tunai, dan manfaat lainnya dari Kartu Kredit apabila bunga atas masing-masing transaksi tersebut berbeda; d. besarnya denda atas keterlambatan pembayaran oleh Pemegang Kartu; dan e. nominal bunga yang dikenakan. (3) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib disampaikan kembali secara tertulis kepada Pemegang Kartu apabila terjadi perubahan atas informasi tersebut. Pasal 18 (1) Dalam hal Penerbit melakukan penghitungan bunga dan atau denda yang timbul atas transaksi Kartu Kredit, penghitungan bunga dan atau denda tersebut wajib dilakukan sesuai ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kualitas aktiva produktif dan standar akuntansi keuangan yang berlaku. (2) Penerbit dalam melakukan penghitungan bunga atas transaksi Kartu Kredit wajib menerapkan asas keadilan dan kewajaran, antara lain dengan tidak menjadikan … -18- menjadikan nilai transaksi yang belum jatuh tempo sebagai komponen dalam penghitungan bunga. Pasal 19 Penerbit dilarang melakukan hal-hal sebagai berikut : a. memberi fasilitas yang mempunyai dampak tambahan biaya; dan atau b. memberi fasilitas lain diluar fungsi Kartu Kredit kepada Pemegang Kartu tanpa persetujuan tertulis dari Pemegang Kartu. Pasal 20 (1) Penerbit wajib melakukan tukar-menukar informasi data Pemegang Kartu dengan seluruh Penerbit lainnya yang meliputi negative list dan atau positive list. (2) Tukar-menukar informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara bilateral dan atau melalui pusat pengelola informasi. (3) Dalam hal tukar-menukar informasi dilakukan melalui pusat pengelola informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Bank Indonesia menetapkan ketentuan pelaksanaan tukar menukar informasi dan pengaturan tanggung jawab pusat pengelola informasi tersebut. Pasal 21 (1) Dalam hal Penerbit bertindak pula sebagai Financial Acquirer, selain wajib menerapkan manajemen risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat … -19- ayat (1) dan ayat (2), Penerbit tersebut wajib pula menerapkan pengendalian risiko keuangan dalam hal terjadi kerugian akibat penggunaan kartu palsu. (2) Dalam hal Penerbit bertindak pula sebagai Technical Acquirer, selain wajib menerapkan manajemen risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) dan ayat (2), Penerbit tersebut wajib pula menerapkan manajemen risiko operasional yang sekurang-kurangnya meliputi : a. penyediaan sarana pengganti (back-up system) dalam hal terjadi gangguan pada perangkat keras dan jaringan komunikasi yang menjadi tanggung jawab Acquirer; dan b. penyediaan sarana back-up data transaksi. (3) Dalam hal Penerbit bekerjasama dengan Financial Acquirer, Penerbit wajib memastikan bahwa Financial Acquirer tersebut menerapkan pengendalian risiko keuangan dalam hal terjadi kerugian akibat penggunaan kartu palsu sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (4) Dalam hal Penerbit bekerjasama dengan Technical Acquirer, Penerbit wajib memastikan bahwa Technical Acquirer tersebut menerapkan manajemen risiko operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Bagian Kedua Kartu ATM, Kartu Debet, dan atau Kartu Prabayar Pasal 22 (1) Dalam pemberian Kartu ATM, Kartu Debet, dan atau Kartu Prabayar, Penerbit wajib menerapkan manajemen risiko sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai manajemen risiko. (2) Selain … -20- (2) Selain memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penerbit wajib pula menerapkan manajemen risiko operasional yang sekurang- kurangnya meliputi : a. penetapan batas maksimum nilai transaksi; b. penetapan batas maksimum penarikan uang tunai; dan c. penetapan batas maksimum nilai yang tersimpan pada kartu, khusus untuk Kartu Prabayar. (3) Bank Indonesia dapat menetapkan batas maksimum nilai transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, dan batas maksimum nilai yang tersimpan pada Kartu Prabayar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c. (4) Penetapan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 23 (1) Dalam hal Penerbit bertindak pula sebagai Financial Acquirer, selain wajib menerapkan manajemen risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) dan ayat (2), Penerbit tersebut wajib pula menerapkan pengendalian risiko keuangan dalam hal terjadi kerugian akibat penggunaan kartu palsu. (2) Dalam hal Penerbit bertindak pula sebagai Technical Acquirer, selain wajib menerapkan manajemen risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) dan ayat (2), Penerbit tersebut wajib pula menerapkan manajemen risiko operasional yang sekurang-kurangnya meliputi : a. penyediaan … -21- a. penyediaan sarana pengganti (back-up system) dalam hal terjadi gangguan pada perangkat keras dan jaringan komunikasi yang menjadi tanggung jawab Acquirer; dan b. penyediaan sarana back-up data transaksi. (3) Dalam hal Penerbit bekerjasama dengan Financial Acquirer, Penerbit wajib memastikan bahwa Financial Acquirer tersebut menerapkan pengendalian risiko keuangan dalam hal terjadi kerugian akibat penggunaan kartu palsu sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (4) Dalam hal Penerbit bekerjasama dengan Technical Acquirer, Penerbit wajib memastikan bahwa Technical Acquirer tersebut menerapkan manajemen risiko operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Pasal 24 Penerbit wajib memberikan informasi secara tertulis kepada Pemegang Kartu, sekurang-kurangnya hal-hal sebagai berikut: a. prosedur dan tata cara penggunaan Kartu ATM, Kartu Debet, dan atau Kartu Prabayar, fasilitas yang melekat pada Kartu ATM, Kartu Debet, dan atau Kartu Prabayar, dan risiko yang mungkin timbul dari penggunaan Kartu ATM, Kartu Debet, dan atau Kartu Prabayar; b. hak dan kewajiban Pemegang Kartu; dan c. tata cara pengajuan pengaduan atas produk yang diberikan dan perkiraan lamanya waktu penanganan pengaduan tersebut. BAB … -22- BAB IV PENGHENTIAN KEGIATAN OLEH PENYELENGGARA Pasal 25 (1) Penyelenggara harus melaporkan secara tertulis kepada Bank Indonesia apabila akan menghentikan kegiatannya. (2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan paling lambat 1 (satu) bulan sebelum Penyelenggara menghentikan kegiatannya. BAB V KLIRING DAN PENYELESAIAN AKHIR Pasal 26 (1) Dalam hal penyelenggaraan kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu memerlukan kegiatan kliring untuk memperhitungkan hak dan kewajiban keuangan masing-masing Penerbit dan atau Acquirer maka kegiatan tersebut diselenggarakan oleh Bank Indonesia atau pihak lain dengan persetujuan Bank Indonesia. (2) Persetujuan kepada pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan untuk penyelenggaraan kliring yang Republik Indonesia. dilakukan di wilayah (3) Penyelenggara kegiatan kliring sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib menyampaikan laporan secara tertulis kepada Bank Indonesia mengenai penyelenggaraan kegiatan kliring dimaksud. (4) Dalam … -23- (4) Dalam hal kegiatan kliring sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan di luar wilayah Republik Indonesia, penyelenggara kegiatan kliring tidak memerlukan persetujuan Bank Indonesia, tetapi wajib menyampaikan laporan secara tertulis kepada Bank Indonesia mengenai penyelenggaraan kegiatan kliring dimaksud sepanjang penyelenggara tersebut memiliki kantor cabang atau kantor perwakilan di wilayah Republik Indonesia. (5) Tata cara pemberian persetujuan kepada pihak lain sebagai penyelenggara kegiatan kliring sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) diatur dalam ketentuan Bank Indonesia. Pasal 27 (1) Penyelesaian akhir atas perhitungan hak dan kewajiban keuangan masing- masing Penerbit dan atau Acquirer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) diselenggarakan oleh Bank Indonesia atau pihak lain dengan persetujuan Bank Indonesia. (2) Persetujuan kepada pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan untuk penyelenggaraan penyelesaian akhir atas transaksi dalam mata uang rupiah untuk kartu yang diterbitkan oleh Penerbit di wilayah Republik Indonesia. (3) Penyelenggara kegiatan penyelesaian akhir sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib menyampaikan laporan secara tertulis kepada Bank Indonesia mengenai penyelenggaraan kegiatan penyelesaian akhir dimaksud. (4) Dalam … -24- (4) Dalam hal kegiatan penyelesaian akhir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan di luar wilayah Republik Indonesia, penyelenggara kegiatan penyelesaian akhir tidak memerlukan persetujuan Bank Indonesia, tetapi wajib menyampaikan laporan secara tertulis kepada Bank Indonesia mengenai penyelenggaraan kegiatan penyelesaian akhir dimaksud sepanjang penyelenggara tersebut memiliki kantor cabang atau kantor perwakilan di wilayah Republik Indonesia. (5) Tata cara pemberian persetujuan kepada pihak lain sebagai penyelenggara kegiatan penyelesaian akhir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) diatur dalam ketentuan Bank Indonesia. BAB VI PENGAWASAN Pasal 28 (1) Bank Indonesia melakukan pengawasan baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap Penyelenggara. (2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara berkala dan atau setiap waktu apabila diperlukan. (3) Berdasarkan hasil pengawasan langsung maupun tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia dapat melakukan pembinaan dan atau mengenakan sanksi. Pasal … -25- Pasal 29 (1) Bank Indonesia dapat menugaskan pihak lain untuk dan atas nama Bank Indonesia melaksanakan pengawasan secara langsung dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1). sebagaimana (2) Dalam rangka pengawasan langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1), Penyelenggara wajib memberikan : a. keterangan dan atau data yang terkait dengan penyelenggaraan kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu; b. kesempatan untuk melakukan pengawasan secara langsung sarana fisik dan aplikasi pendukungnya yang terkait dengan penyelenggaraan kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu; dan atau c. hal-hal lain yang diperlukan. Pasal 30 Dalam rangka pengawasan tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1), Penyelenggara wajib menyampaikan laporan tertulis kepada Bank Indonesia baik secara berkala dan atau setiap waktu apabila diperlukan atas kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu yang dilakukan. BAB … -26- BAB VII S A N K S I Pasal 31 Prinsipal yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 4 ayat (2) dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. Pasal 32 Dalam hal Technical Acquirer tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (4) dan atau tidak memenuhi standar uji keamanan sistem sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (5), Bank Indonesia berwenang untuk meminta Penerbit menghentikan kerjasama dengan Technical Acquirer tersebut. Pasal 33 Dalam hal Technical Acquirer tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (4) dan atau tidak memenuhi standar uji keamanan sistem sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (5), Bank Indonesia berwenang untuk meminta Financial Acquirer menghentikan kerjasama dengan Technical Acquirer tersebut. Pasal 34 Penerbit Kartu Kredit yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 15 dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. Pasal … -27- Pasal 35 (1) Penerbit Kartu Kredit yang tidak menerapkan manajemen risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. (2) Penerbit Kartu Kredit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menerapkan manajemen risiko kredit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) terhitung sejak tanggal teguran tertulis. paling lambat 6 (enam) bulan (3) Dalam hal Penerbit Kartu Kredit tidak menerapkan manajemen risiko kredit tersebut dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Penerbit Kartu Kredit tersebut dikenakan sanksi penghentian sementara kegiatan sebagai Penerbit Kartu Kredit. Pasal 36 (1) Penerbit yang tidak memenuhi kewajiban pemberian informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dan atau Pasal 24 dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. (2) Apabila Penerbit dalam jangka waktu 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap tidak memenuhi kewajiban pemberian informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dan atau Pasal 24, Penerbit tersebut dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis kedua. (3) Apabila Penerbit dalam jangka waktu 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal teguran tertulis kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tetap tidak … -28- tidak memenuhi kewajiban pemberian informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dan atau Pasal 24, Penerbit tersebut dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis ketiga. (4) Apabila Penerbit dalam jangka waktu 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal teguran tertulis ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tetap tidak memenuhi kewajiban pemberian informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dan atau Pasal 24, Penerbit tersebut dikenakan sanksi penghentian sementara kegiatan sebagai Penerbit. Pasal 37 (1) Penerbit Kartu Kredit yang tidak memenuhi ketentuan penghitungan bunga dan atau denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. (2) Penerbit Kartu Kredit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi ketentuan penghitungan bunga dan atau denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 paling lambat 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal teguran tertulis. (3) Dalam hal Penerbit Kartu Kredit tidak memenuhi ketentuan penghitungan bunga dan atau denda dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Penerbit Kartu Kredit tersebut dikenakan sanksi penghentian sementara kegiatan sebagai Penerbit Kartu Kredit. Pasal … -29- Pasal 38 (1) Penerbit Kartu Kredit yang melanggar ketentuan Pasal 19 dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. (2) Apabila Penerbit Kartu Kredit dalam jangka waktu 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap melanggar ketentuan Pasal 19, Penerbit Kartu Kredit tersebut dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis kedua. (3) Apabila Penerbit Kartu Kredit dalam jangka waktu 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal teguran tertulis kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tetap melanggar ketentuan Pasal 19, Penerbit Kartu Kredit tersebut dikenakan sanksi penghentian sementara kegiatan sebagai Penerbit Kartu Kredit. Pasal 39 (1) Penerbit Kartu Kredit yang tidak memenuhi kewajiban melakukan tukar menukar informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. (2) Penerbit Kartu Kredit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi ketentuan kewajiban melakukan tukar menukar informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) paling lambat 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal teguran tertulis. (3) Dalam hal Penerbit Kartu Kredit tidak memenuhi kewajiban melakukan tukar menukar informasi tersebut dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud … -30- dimaksud pada ayat (2), Penerbit Kartu Kredit tersebut dikenakan sanksi penghentian sementara kegiatan sebagai Penerbit Kartu Kredit. Pasal 40 (1) Penerbit Kartu Kredit yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. (2) Penerbit Kartu Kredit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 paling lambat 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal teguran tertulis. (3) Dalam hal Penerbit Kartu Kredit tidak memenuhi ketentuan Pasal 21 dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Penerbit Kartu Kredit tersebut dikenakan sanksi penghentian sementara kegiatan sebagai Penerbit Kartu Kredit, Financial Acquirer, dan atau Technical Acquirer. Pasal 41 (1) Penerbit Kartu ATM, Kartu Debet, dan atau Kartu Prabayar yang tidak menerapkan manajemen risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) dan ayat (2) dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. (2) Penerbit Kartu ATM, Kartu Debet, dan atau Kartu Prabayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menerapkan manajemen risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) dan ayat (2) paling lambat 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal teguran tertulis. (3) Dalam … -31- (3) Dalam hal Penerbit Kartu ATM, Kartu Debet, dan atau Kartu Prabayar tidak menerapkan manajemen risiko tersebut dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Penerbit Kartu ATM, Kartu Debet, dan atau Kartu Prabayar tersebut dikenakan sanksi penghentian sementara kegiatan sebagai Penerbit Kartu ATM, Kartu Debet, dan atau Kartu Prabayar. Pasal 42 (1) Penerbit Kartu ATM, Kartu Debet, dan atau Kartu Prabayar yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam sanksi administratif berupa teguran tertulis. Pasal 23 dikenakan (2) Penerbit Kartu ATM, Kartu Debet, dan atau Kartu Prabayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 paling lambat 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal teguran tertulis. (3) Dalam hal Penerbit Kartu ATM, Kartu Debet, dan atau Kartu Prabayar tidak memenuhi ketentuan Pasal 23 dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Penerbit Kartu ATM, Kartu Debet, dan atau Kartu Prabayar tersebut dikenakan sanksi penghentian sementara kegiatan sebagai Penerbit, Financial Acquirer, dan atau Technical Acquirer Kartu ATM, Kartu Debet, dan atau Kartu Prabayar. Pasal 43 Penyelenggara yang tidak memberikan keterangan, data, hal-hal lain yang diperlukan dalam rangka pengawasan, dan atau tidak memberi kesempatan pengawas … -32- pengawas untuk melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2), dikenakan sanksi penghentian sementara kegiatan sebagai Penyelenggara. Pasal 44 Penyelenggara yang tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 setelah berakhirnya batas waktu penyampaian laporan dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis dan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp. 100.000,00 (seratus ribu rupiah) per hari keterlambatan dengan maksimum kewajiban membayar sebesar Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah). Pasal 45 Bank atau Lembaga Selain Bank yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 dikenakan sanksi penghentian sementara kegiatan sebagai Penyelenggara. Pasal 46 Bank atau Lembaga Selain Bank yang telah menyelenggarakan kegiatan kliring dan atau penyelesaian akhir sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. BAB … -33- BAB VIII LAIN-LAIN Pasal 47 Penyelenggara secara bersama-sama wajib turut serta secara aktif dalam penanggulangan tindak kejahatan dalam penggunaan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu. Pasal 48 Penyelenggaraan kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu oleh Bank syariah tunduk kepada Peraturan Bank Indonesia ini dengan tetap berpegang pada prinsip syariah yang berlaku. Pasal 49 Bank Perkreditan Rakyat dapat menyelenggarakan kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu sepanjang peraturan yang mengatur Bank Perkreditan Rakyat memungkinkan bagi Bank Perkreditan Rakyat untuk melakukan kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu. Pasal 50 Petunjuk pelaksanaan Peraturan Bank Indonesia ini diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia. BAB … -34- BAB IX KETENTUAN PERALIHAN Pasal 51 (1) Bank atau Lembaga Selain Bank yang telah melakukan kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini tetap dapat melakukan kegiatannya dan wajib melaporkan kegiatannya kepada Bank Indonesia dengan tata cara, waktu penyampaian, dan jenis laporan yang diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. (2) Bank atau Lembaga Selain Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Bab III mengenai Penyelenggaraan Kegiatan dalam jangka waktu 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini. Pasal 52 Bank atau Lembaga Selain Bank yang telah menyelenggarakan kegiatan kliring dan atau penyelesaian akhir atas kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini tetap dapat menyelenggarakan kegiatan tersebut dan wajib melaporkan kegiatannya kepada Bank Indonesia dengan tata cara, waktu penyampaian, dan jenis laporan yang diatur lebih lanjut dalam ketentuan Bank Indonesia. BAB … -35- BAB X KETENTUAN PENUTUP Pasal 53 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 28 Desember 2004 GUBERNUR BANK INDONESIA, BURHANUDDIN ABDULLAH LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004 NOMOR 166 DASP PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 6/30/PBI/2004 TENTANG PENYELENGGARAAN KEGIATAN ALAT PEMBAYARAN DENGAN MENGGUNAKAN KARTU UMUM Sebagai pelaksanaan dari Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2004, khususnya terkait dengan tugas Bank Indonesia dalam mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, Bank Indonesia berwenang antara lain melaksanakan dan memberikan persetujuan dan izin atas penyelenggaraan jasa sistem pembayaran dan mewajibkan penyelenggara jasa sistem pembayaran untuk menyampaikan laporan tentang kegiatannya. Persetujuan atau izin Bank Indonesia atas penyelenggaraan jasa sistem pembayaran tersebut diperlukan dengan maksud agar penyelenggaraan jasa sistem pembayaran memenuhi persyaratan, khususnya persyaratan keamanan kewajiban dan efisiensi. Sedangkan penyampaian laporan kegiatan dari penyelenggara jasa sistem pembayaran dimaksudkan agar Bank Indonesia dapat melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan jasa sistem pembayaran. Selain itu, informasi yang diperoleh dari penyelenggaraan jasa sistem pembayaran juga diperlukan untuk menunjang pelaksanaan tugas-tugas Bank Indonesia lainnya dalam bidang pengendalian moneter serta pengaturan dan pengawasan perbankan. Kegiatan … -2- Kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu yang merupakan bagian dari sistem pembayaran nasional secara keseluruhan saat ini telah menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun baik dari sisi jumlah transaksi maupun dari sisi volume transaksi. Seiring dengan meningkatnya jumlah dan volume transaksi, tingkat kejahatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan. Sehubungan dengan hal tersebut, untuk meningkatkan faktor keamanan dan kelancaran dalam penyelenggaraan kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu, Bank Indonesia perlu menetapkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu. Selain itu, PBI ini juga ditujukan untuk mendukung perkembangan industri Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu dan memastikan bahwa Penyelenggara kegiatan tersebut senantiasa menerapkan prinsip kehati-hatian dalam menjalankan kegiatannya serta senantiasa menerapkan aspek perlindungan nasabah. Cakupan materi pengaturan dalam PBI meliputi aspek payment system regulation termasuk pengaturan mengenai kliring dan settlement pembayaran dengan menggunakan kartu, aspek perlindungan nasabah, aspek pengawasan, dan aspek prudential regulation. Implementasi prudential regulation dalam PBI ini penting karena kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu khususnya Kartu Kredit mengandung aspek pemberian kredit yang berisiko tinggi. Atas dasar pertimbangan tersebut, meskipun terhadap pemberian kredit secara umum telah diatur dalam Pedoman Penyusunan Kebijakan Perkreditan Bank (PPKPB), namun masih diperlukan adanya prudential regulation yang terperinci dalam pemberian kredit melalui Kartu Kredit mengingat : 1. pemberian kredit melalui Kartu Kredit pada umumnya dilakukan atas dasar informasi keuangan yang minim dari calon Pemegang Kartu. Sementara itu, berdasarkan … -3- berdasarkan prinsip kehati-hatian dalam pemberian kredit sesuai PPKPB, kredit yang diberikan tanpa informasi keuangan yang memadai, digolongkan sebagai “kredit yang perlu dihindari”. 2. pemberian kredit melalui Kartu Kredit pada umumnya ditangani oleh divisi Kartu Kredit yang terpisah dari divisi kredit secara umum, sehingga pengaturan ini juga dimaksudkan untuk memastikan bahwa divisi Kartu Kredit yang terpisah dari divisi kredit secara umum juga menerapkan manajemen risiko dalam pemberian kredit melalui Kartu Kredit. Prudential regulation diimplementasikan berdasarkan pada pendekatan manajemen risiko, sehingga Bank Indonesia tidak menetapkan secara rigid kriteria tertentu untuk pemberian kartu kredit seperti batas minimum pendapatan, batas maksimum limit kredit, dan pembatasan jumlah kartu yang dapat dimiliki oleh Pemegang Kartu. Dalam hal ini, Bank Indonesia mewajibkan Penerbit Kartu Kredit untuk menetapkan sendiri kriteria-kriteria tersebut sesuai dengan risk appetite masing-masing Penerbit. Namun demikian, tidak tertutup kemungkinan bahwa di kemudian hari Bank Indonesia mengatur hal-hal tersebut apabila terjadi kondisi seperti tingginya tingkat kredit macet di bidang Kartu Kredit yang dinilai membahayakan sistem pembayaran secara keseluruhan. Berdasarkan PBI ini setiap Penerbit Kartu Kredit diwajibkan untuk melakukan tukar menukar informasi data Pemegang Kartu dengan seluruh Penerbit lainnya yang meliputi negative list dan atau positive list. Ketentuan ini dimaksudkan untuk mendukung upaya peningkatan kehati-hatian Penerbit Kartu Kredit dalam memberikan fasilitas Kartu Kredit kepada calon Pemegang Kartu. Dengan adanya informasi yang akurat dan benar mengenai calon Pemegang Kartu, Penerbit dapat melakukan analisa terhadap calon Pemegang Kartu dengan tepat sehingga hal tersebut dapat mengurangi risiko dalam pemberian kartu kredit, … -4- kredit, khususnya risiko yang disebabkan karena tidak perform-nya Pemegang Kartu. PBI tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu ini berlaku untuk kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu, baik yang diselenggarakan oleh Bank ataupun Lembaga Selain Bank. Hal ini dimaksudkan untuk menerapkan pengaturan yang sama kepada seluruh penyelenggara kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu sehingga dapat meningkatkan iklim persaingan yang sehat. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas Pasal 2 Cukup jelas Pasal 3 Cukup jelas Pasal 4 Cukup jelas Pasal 5 Cukup jelas Pasal … -5- Pasal 6 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Huruf a Angka 1) Cukup jelas Angka 2) Cukup jelas Angka 3) Kesiapan perangkat hukum dalam pasal ini antara lain perjanjian antara Penerbit dengan Prinsipal, pengaturan mengenai hak dan kewajiban para pihak baik secara umum maupun dalam kasus-kasus khusus seperti pengaturan hak dan kewajiban Penerbit, Prinsipal, Acquirer dan Pemegang prosedur penyelesaian sengketa yang timbul diantara para pihak. Angka 4) Manajemen risiko dalam pasal ini antara lain manajemen risiko likuiditas, manajemen risiko kredit dan manajemen risiko operasional. Angka 5) Bukti kesiapan operasional dalam pasal ini antara lain: 1. rencana … Kartu, serta -6- 1. rencana struktur organisasi dan persiapan sumber daya manusia; 2. rencana peralatan dan sarana usaha. Huruf b Angka 1) Cukup jelas Angka 2) Cukup jelas Angka 3) Kesiapan perangkat hukum dalam pasal ini antara lain perjanjian antara Penerbit dengan Prinsipal, pengaturan mengenai hak dan kewajiban para pihak seperti pengaturan hak dan kewajiban Penerbit, Prinsipal, Acquirer dan Pemegang penyelesaian sengketa yang timbul diantara para pihak. Angka 4) Manajemen risiko dalam pasal ini antara lain manajemen risiko likuiditas, manajemen risiko kredit dan manajemen risiko operasional. Angka 5) Bukti kesiapan operasional dalam pasal ini antara lain: 1. rencana struktur organisasi dan persiapan sumber daya manusia; 2. rencana peralatan dan sarana usaha. Ayat (4) Cukup jelas Ayat … Kartu, serta prosedur -7- Ayat (5) Cukup jelas Pasal 7 Cukup jelas Pasal 8 Cukup jelas Pasal 9 Cukup jelas Pasal 10 Cukup jelas Pasal 11 Cukup jelas Pasal 12 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Huruf a Angka 1) Cukup jelas Angka … -8- Angka 2) Cukup jelas Angka 3) Kesiapan perangkat hukum dalam pasal ini antara lain perjanjian antara Financial Acquirer dengan Penerbit dan atau penyedia barang dan atau jasa, pengaturan mengenai hak dan kewajiban para pihak seperti pengaturan hak dan kewajiban Financial Acquirer, Penerbit, dan atau penyedia barang atau jasa, serta prosedur penyelesaian sengketa yang timbul diantara para pihak. Angka 4) Manajemen risiko dalam pasal ini antara lain manajemen risiko likuiditas, manajemen risiko kredit dan manajemen risiko operasional. Angka 5) Bukti kesiapan operasional dalam pasal ini antara lain: 1. rencana struktur organisasi dan persiapan sumber daya manusia; 2. rencana tempat usaha. Huruf b Angka 1) Cukup jelas Angka 2) Cukup jelas Angka … -9- Angka 3) Kesiapan perangkat hukum dalam pasal ini antara lain perjanjian antara Financial Acquirer dengan Penerbit dan atau penyedia barang dan atau jasa, pengaturan mengenai hak dan kewajiban para pihak seperti pengaturan hak dan kewajiban Financial Acquirer, Penerbit, dan atau penyedia barang dan atau jasa, serta prosedur penyelesaian sengketa yang timbul diantara para pihak. Angka 4) Manajemen risiko dalam pasal ini antara lain manajemen risiko likuiditas, manajemen risiko kredit dan manajemen risiko operasional. Angka 5) Bukti kesiapan operasional dalam pasal ini antara lain: 1. rencana struktur organisasi dan persiapan sumber daya manusia; 2. rencana tempat usaha. Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Pasal 13 Cukup jelas Pasal … -10- Pasal 14 Cukup jelas Pasal 15 Cukup jelas Pasal 16 Ayat (1) Ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai manajemen risiko antara lain Peraturan Bank Indonesia tentang Penerapan Manajemen Risiko dan seluruh peraturan pelaksanaannya. Ayat (2) Manajemen risiko kredit dalam pasal ini wajib dituangkan dalam bentuk dokumen tertulis. Ayat (3) Manajemen risiko kredit dalam pasal ini misalnya dengan mewajibkan Pemegang Kartu untuk menyerahkan setoran jaminan. Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Pasal 17 Cukup jelas Pasal 18 Cukup jelas Pasal … -11- Pasal 19 Fasilitas yang mempunyai dampak tambahan biaya dalam pasal ini antara lain program asuransi dan pemberian Kartu Kredit tambahan. Fasilitas lain diluar fungsi Kartu Kredit dalam pasal ini antara lain fasilitas kepada Pemegang Kartu Kredit yang mempunyai rekening pada Penerbit sehingga Kartu Kredit tersebut sekaligus dapat berfungsi sebagai Kartu Debet. Pasal 20 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Pusat pengelola informasi dalam ayat ini antara lain credit bureau. Ayat (3) Cukup jelas Pasal 21 Cukup jelas Pasal 22 Ayat (1) Ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai manajemen risiko antara lain Peraturan Bank Indonesia tentang Penerapan Manajemen Risiko dan seluruh peraturan pelaksanaannya. Ayat (2) Cukup jelas Ayat … -12- Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 23 Cukup jelas Pasal 24 Cukup jelas Pasal 25 Cukup jelas Pasal 26 Cukup jelas Pasal 27 Cukup jelas Pasal 28 Cukup jelas Pasal 29 Cukup jelas Pasal … -13- Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 Cukup jelas Pasal 32 Cukup jelas Pasal 33 Cukup jelas Pasal 34 Cukup jelas Pasal 35 Cukup jelas Pasal 36 Cukup jelas Pasal 37 Cukup jelas Pasal 38 Cukup jelas Pasal … -14- Pasal 39 Cukup jelas Pasal 40 Cukup jelas Pasal 41 Cukup jelas Pasal 42 Cukup jelas Pasal 43 Cukup jelas Pasal 44 Cukup jelas Pasal 45 Cukup jelas Pasal 46 Cukup jelas Pasal 47 Cukup jelas Pasal … -15- Pasal 48 Yang dimaksud dengan prinsip syariah dalam pasal ini adalah prinsip syariah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia yang mengatur mengenai perbankan dan seluruh ketentuan pelaksanaannya. Pasal 49 Cukup jelas Pasal 50 Ketentuan yang diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia antara lain memuat mengenai : a. tata cara penyelenggaraan kegiatan Alat Menggunakan Kartu oleh Bank atau Lembaga Selain Bank; b. tata cara pengawasan langsung dan tidak langsung; c. tata cara pelaporan dan jenis laporan; d. waktu penyampaian laporan; e. tata cara dan jenis informasi yang dapat dipertukarkan dalam rangka tukar-menukar informasi; dan f. tata cara penghentian persetujuan penggunaan merek oleh Prinsipal. Pasal 51 Cukup jelas Pasal 52 Cukup jelas Pembayaran Dengan Pasal … -16- Pasal 53 Cukup jelas TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4462 "," PBI 6/30/PBI/2004 PENYELENGGARAAN KEGIATAN ALAT PEMBAYARAN DENGAN MENGGUNAKAN KARTU 28 Desember 2004 28 Desember 2004 '23/UU/1999', '7/UU/1992', '3/UU/2004', '10/UU/1998' 'BAB VII' " " PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 1/ 3 /PBI/1999 TENTANG PENYELENGGARAAN KLIRING LOKAL DAN PENYELESAIAN AKHIR TRANSAKSI PEMBAYARAN ANTAR BANK ATAS HASIL KLIRING LOKAL GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a bahwa dalam rangka memperluas dan memperlancar sistem pembayaran diperlukan penyelenggaraan kliring lokal dan penyelesaian akhir transaksi pembayaran antar bank atas hasil kliring lokal yang aman, efektif, dan efisien; b. bahwa untuk mendukung penyelenggaraan kliring lokal dan penyelesaian akhir transaksi pembayaran antar bank atas hasil kliring lokal yang aman, efektif, dan efisien diperlukan pengaturan penyelenggaraan kliring lokal dan penyelesaian akhir transaksi pembayaran antar bank atas hasil kliring lokal; c. bahwa pengaturan mengenai penyelenggaraan kliring lokal dan penyelesaian akhir transaksi pembayaran antar bank atas hasil kliring lokal yang berlaku saat ini, tersebar dalam berbagai ketentuan Bank Indonesia; d. bahwa ... P B I No. 1 / 3 / PBI / 1999 - 2 - d. bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas, dipandang perlu untuk menyusun ketentuan yang terpadu tentang penyelenggaraan kliring lokal dan penyelesaian akhir transaksi pembayaran antar bank atas hasil kliring lokal dalam Peraturan Bank Indonesia. Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3790); 2. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 18, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3674); 3. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843); 4. Peraturan Bank Indonesia Nomor 1/1/PBI/1999 tentang Fasilitas Pendanaan Dalam Rangka Mengatasi Kesulitan Pendanaan Jangka Pendek Bagi Bank Umum (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 100, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3855); MEMUTUSKAN ... - 3 - MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENYELENGGARAAN KLIRING LOKAL DAN PENYELESAIAN AKHIR TRANSAKSI PEMBAYARAN ANTAR BANK ATAS HASIL KLIRING LOKAL. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini, yang dimaksud dengan : 1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998; 2. Penyelenggara adalah Bank Indonesia atau pihak lain yang memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia untuk menyelenggarakan Kliring Lokal; 3. Kliring adalah pertukaran warkat atau data keuangan elektronik antar Bank baik atas nama Bank maupun nasabah yang hasil perhitungannya diselesaikan pada waktu tertentu; 4. Kliring Lokal adalah Kliring antar Bank di suatu wilayah Kliring; 5. Wilayah Kliring adalah suatu wilayah tertentu yang memungkinkan pelaksanaan Kliring dalam jadwal Kliring Lokal yang telah ditetapkan; 6. Penyelesaian ... - 4 - 6. Penyelesaian Akhir Transaksi Pembayaran Antar Bank atas Hasil Kliring Lokal yang untuk selanjutnya disebut Penyelesaian Akhir adalah kegiatan pendebetan atau pengkreditan rekening giro peserta pada Bank Indonesia yang dilakukan atas dasar hasil perhitungan Kliring Lokal; 7. Warkat adalah alat pembayaran bukan tunai yang diperhitungkan atas beban atau untuk untung rekening nasabah atau Bank melalui Kliring Lokal; 8. Data Keuangan Elektronik yang selanjutnya disebut DKE, adalah data keuangan dalam bentuk elektronik yang digunakan sebagai dasar perhitungan dalam Kliring Lokal; 9. Dokumen Kliring adalah dokumen yang berfungsi sebagai alat bantu dalam proses perhitungan Kliring Lokal di Penyelenggara; 10. Peserta adalah Bank dan Bank Indonesia yang terdaftar pada Penyelenggara untuk mengikuti kegiatan kliring; 11. Peserta Langsung adalah Peserta yang turut serta dalam pelaksanaan Kliring Lokal secara langsung dengan menggunakan identitasnya sendiri; 12. Peserta Tidak Langsung adalah Peserta yang turut serta dalam pelaksanaan Kliring Lokal melalui dan menggunakan identitas Peserta Langsung yang menjadi induknya yang merupakan Bank yang sama; 13. Pasar Uang Antar Bank yang selanjutnya disebut PUAB, adalah kegiatan pinjam meminjam dana antara 1 (satu) Bank dengan Bank lainnya; 14. Keadaan Darurat adalah suatu keadaan yang secara nyata-nyata menyebabkan suatu kegiatan Kliring tidak dapat dilaksanakan secara normal, atau terjadinya suatu keadaan memaksa (force majeur) antara lain pemogokan kerja, kebakaran, kerusuhan massa, sabotase serta bencana alam seperti gempa bumi dan banjir yang dibenarkan oleh pihak penguasa atau pejabat yang berwenang setempat. BAB II ... - 5 - BAB II PENYELENGGARAAN KLIRING LOKAL Pasal 2 (1) Penyelenggaraan Kliring Lokal dapat dilakukan dengan menggunakan sistem : a. manual; b. semi otomasi; c. otomasi; d. elektronik. (2) Perhitungan Kliring Lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf c didasarkan pada Warkat. (3) Perhitungan Kliring Lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf d didasarkan pada DKE. (4) Ketentuan pelaksanaan ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) akan diatur lebih lanjut dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 3 (1) Penyelenggaraan Kliring Lokal meliputi Kliring Penyerahan dan Kliring Pengembalian yang merupakan satu kesatuan siklus Kliring. (2) Apabila diperlukan Penyelenggara dapat menyelenggarakan Kliring PUAB yang merupakan satu kesatuan siklus kliring dengan Kliring Penyerahan dan Kliring Pengembalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Bank ... - 6 - (3) Bank Peserta yang melakukan transaksi PUAB melalui Kliring Penyerahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau Kliring PUAB sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib menyampaikan tembusan promes transaksi PUAB ke Bank Indonesia. BAB III WARKAT, DOKUMEN KLIRING, DAN DKE Pasal 4 (1) Warkat yang dapat diperhitungkan dalam Kliring Lokal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) meliputi : a. Cek; b. Bilyet Giro; c. Wesel Bank Untuk Transfer; d. Surat Bukti Penerimaan Transfer; e. Nota Debet; dan f. Nota Kredit. (2) Jenis-jenis Warkat yang dapat diperhitungkan dalam Kliring Lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diubah dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 5 (1) Warkat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dinyatakan dalam mata uang rupiah dan telah dapat ditagih pada saat dikliringkan. (2) Warkat ... - 7 - (2) Warkat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) wajib memenuhi spesifikasi teknis yang akan ditetapkan dengan Surat Edaran Bank Indonesia. (3) Setiap pembuatan dan pencetakan Warkat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk pertama kali dan atau perubahannya oleh Peserta wajib memperoleh persetujuan secara tertulis dari Bank Indonesia. Pasal 6 (1) Warkat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf f tidak dibatasi nilai nominalnya. (2) Warkat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf e dibatasi setinggi-tingginya bernilai nominal Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan tidak dapat digunakan untuk transaksi PUAB. (3) Batas nominal dan penggunaan Warkat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diubah dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 7 Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) tidak berlaku, apabila: a. Nota Debet diterbitkan oleh Bank Indonesia dan ditujukan kepada Bank atau nasabah Bank; b. Nota Debet diterbitkan oleh Bank dan ditujukan kepada Bank Indonesia sehubungan dengan tagihan-tagihan tertentu yang akan ditetapkan dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 8 ... - 8 - Pasal 8 (1) Dokumen Kliring wajib disertakan dalam penyampaian Warkat Peserta ke Penyelenggara dan atau ke Peserta lawan transaksinya. (2) Setiap pembuatan dan pencetakan untuk pertama kali dan atau perubahannya oleh Peserta atas Dokumen Kliring sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang digunakan pada sistem otomasi dan elektronik, wajib memperoleh persetujuan secara tertulis dari Bank Indonesia. (3) Jenis dan spesifikasi teknis Dokumen Kliring sebagaimana dimaksud pada ayat (1) akan diatur lebih lanjut dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 9 (1) Warkat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dicetak pada perusahaan percetakan sekuriti (security printing) yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (2) Dokumen Kliring sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) yang digunakan pada sistem otomasi dan elektronik dicetak pada perusahaan percetakan sekuriti (security printing) yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (3) Tata cara penetapan dan persyaratan perusahaan percetakan sekuriti (security printing) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) akan diatur lebih lanjut dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 10 (1) DKE yang diperhitungkan dalam Kliring Lokal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) didasarkan pada Warkat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1). (2) DKE ... - 9 - (2) DKE sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggap sebagai data yang sah. Pasal 11 Peserta tidak dapat mengubah atau membatalkan DKE dan atau Warkat yang telah diterima Penyelenggara. BAB IV PENYELENGGARA Pasal 12 (1) Penyelenggara di Wilayah Kliring yang terdapat kantor Bank Indonesia adalah Bank Indonesia. (2) Penyelenggara di Wilayah Kliring yang tidak terdapat kantor Bank Indonesia adalah pihak lain dengan persetujuan Bank Indonesia. (3) Ketentuan pelaksanaan mengenai pemberian persetujuan Bank Indonesia kepada Penyelenggara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) akan diatur lebih lanjut dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 13 (1) Bank Indonesia dapat membatalkan sebagian atau seluruh perhitungan Kliring dan atau Penyelesaian Akhir dari Peserta tertentu, apabila diperoleh informasi bahwa transaksi yang diperhitungkan dalam Kliring melanggar ketentuan yang berlaku; (2) Penyelenggara… - 10 - (2) Penyelenggara akan memberitahukan pembatalan sebagian atau seluruh perhitungan dan atau Penyelesaian Akhir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) secara tertulis kepada Peserta yang bersangkutan. Pasal 14 (1) Penyelenggara dapat mengenakan biaya Kliring Lokal kepada Peserta. (2) Biaya Kliring Lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat terdiri dari biaya administrasi, biaya proses dan biaya lain yang berkaitan dengan penyelenggaraan Kliring Lokal dan akan diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 15 (1) Bank Indonesia berwenang untuk memberikan keputusan terakhir dalam hal terjadi perbedaan pendapat antara 2 (dua) atau lebih Peserta mengenai dapat atau tidaknya suatu Warkat atau DKE diperhitungkan dalam Kliring Lokal. (2) Bank Indonesia dapat meminta bukti atau keterangan dari Peserta sebagai bahan pertimbangan dalam mengambil keputusan terakhir sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yang wajib dipenuhi oleh Peserta yang bersangkutan. BAB V ... - 11 - BAB V KEWAJIBAN PENYELENGGARA Pasal 16 (1) Penyelenggara tunduk kepada ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan penyelenggaraan Kliring Lokal yang ditetapkan Bank Indonesia. (2) Penyelenggara wajib menyediakan fasilitas penyelenggaraan Kliring Lokal. Pasal 17 (1) Penyelenggara wajib memiliki rencana penanggulangan segera atas penyelenggaraan Kliring Lokal dalam keadaan darurat. (2) Rencana penanggulangan segera atas penyelenggaraan Kliring Lokal dalam keadaan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), antara lain berupa : a. Perubahan jadwal penyelenggaraan Kliring Lokal; b. perubahan sistem penyelenggaraan Kliring Lokal; c. pemindahan penyelenggaraan Kliring Lokal ke lokasi lain; (3) Dalam hal rencana penanggulangan segera sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat dilaksanakan, Penyelenggara dapat menghentikan untuk sementara kegiatan Kliring Lokal. (4) Dalam hal terjadi Keadaan Darurat, Penyelenggara wajib secepatnya melaporkan secara tertulis pelaksanaan penanggulangan segera sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan atau penghentian sementara kegiatan Kliring Lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (3), kepada Bank Indonesia. BAB VI ... - 12 - BAB VI PESERTA Pasal 18 (1) Setiap Bank yang berada di Wilayah Kliring dapat menjadi Peserta dengan persetujuan Penyelenggara; (2) Status Peserta dalam Kliring Lokal dibedakan atas : a. Peserta Langsung; atau b. Peserta Tidak Langsung. (3) Bank yang menjadi Peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menetapkan sekurang-kurangnya 1 (satu) kantor Bank sebagai Peserta Langsung. (4) Peserta Langsung dapat terdiri atas kantor pusat, kantor cabang, dan kantor cabang pembantu yang tidak berada dalam Wilayah Kliring yang sama dengan kantor induknya. (5) Peserta Tidak Langsung dapat terdiri atas kantor pusat, kantor cabang atau kantor cabang pembantu. (6) Kantor cabang pembantu dari Bank yang kantor pusatnya berkedudukan di luar negeri dapat menjadi Peserta Langsung atau Peserta Tidak Langsung. (7) Tata cara dan persyaratan menjadi Peserta akan diatur lebih lanjut dengan Surat Edaran Bank Indonesia. BAB VII ... - 13 - BAB VII KEWAJIBAN PESERTA Pasal 19 Dalam penyelenggaraan Kliring Lokal setiap Peserta antara lain wajib : a. mengikuti penyelenggaraan Kliring Lokal pada setiap hari kerja sesuai dengan jadwal Kliring Lokal yang ditetapkan Penyelenggara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ; b. menyediakan dana yang cukup pada rekening giro Bank di Bank Indonesia untuk memenuhi kewajiban yang timbul dalam Kliring Lokal; c. menyediakan sarana Kliring Lokal dengan jenis dan spesifikasi yang ditentukan oleh Penyelenggara; d. menunjuk petugas Kliring untuk mewakili Peserta. e. melakukan pengamanan untuk mencegah terjadinya manipulasi melalui Kliring Lokal; f. segera melaporkan setiap perubahan nama, status, alamat, dan atau hal-hal lain yang berkaitan dengan operasional Kliring Lokal secara tertulis kepada Penyelenggara dan melakukan penyesuaian-penyesuaian yang diperlukan. g. mematuhi ketentuan-ketentuan lainnya yang berkaitan dengan penyelenggaraan Kliring Lokal. BAB VIII ... - 14 - BAB VIII JADWAL Pasal 20 (1) Penyelenggaraan Kliring Lokal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 diadakan setiap hari kerja, kecuali ditetapkan lain oleh Bank Indonesia. (2) Jadwal Kliring Lokal ditetapkan oleh Penyelenggara dengan persetujuan Bank Indonesia. BAB IX PENYELESAIAN AKHIR Pasal 21 (1) Penyelesaian Akhir dilakukan Bank Indonesia. (2) Tanggal valuta Penyelesaian Akhir adalah sama dengan tanggal penyampaian Warkat atau DKE dari Peserta kepada Penyelenggara. (3) Penyelesaian Akhir dapat dilakukan oleh pihak lain dalam hal Penyelesaian Akhir oleh Bank Indonesia akan menyebabkan ketentuan pada ayat (2) tidak dapat dipenuhi. (4) Dalam Keadaan Darurat Bank Indonesia dapat tidak memberlakukan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Pasal 22 (1) Peserta yang menghadapi kesulitan pendanaan jangka pendek akibat Penyelesaian Akhir sehingga potensial mengakibatkan terjadinya saldo giro ... - 15 - giro negatif atau telah memiliki saldo giro negatif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24, dapat melakukan langkah-langkah sebagai berikut : a. melakukan penyetoran tunai; b. mengupayakan pemenuhan dana melalui transfer antar kantor; c. melakukan transaksi Pasar Uang Antar Bank (PUAB); d. mengajukan permohonan fasilitas pendanaan kepada Bank Indonesia. (2) Langkah-langkah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan jadwal pelayanan jasa perbankan yang berlaku di Bank Indonesia. Pasal 23 (1) Transaksi PUAB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) huruf c dilakukan dengan menggunakan Bilyet Giro Bank Indonesia (BGBI) atau transfer dana secara elektronik. (2) Bank Peserta yang melakukan transaksi PUAB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyampaikan tembusan promes transaksi PUAB kepada Bank Indonesia. BAB X SALDO GIRO NEGATIF Pasal 24 Bank dinyatakan memiliki Saldo Giro negatif apabila saldo rekening giro rupiah pada Bank Indonesia yang mewilayahi Kliring Lokal Bank menunjukkan angka negatif pada saat Bank Indonesia menutup sistem akunting. BAB XI ... - 16 - BAB XI PENGHENTIAN SEBAGAI PESERTA Pasal 25 Peserta dihentikan keikutsertaannya untuk sementara dalam Kliring Lokal oleh Bank Indonesia apabila melanggar peraturan yang memuat sanksi penghentian sementara dari Kliring Lokal diluar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) dan Pasal 34. Pasal 26 Peserta dihentikan keikutsertaannya secara tetap dalam Kliring Lokal oleh Bank Indonesia, jika disebabkan oleh salah satu atau lebih alasan sebagai berikut : a. peserta pindah dari suatu Wilayah Kliring ke Wilayah Kliring yang lain; b. peserta dicabut izin usahanya atau; c. peserta dicabut izin pembukaan kantor oleh Bank Indonesia. Pasal 27 (1) Peserta dapat mengajukan permohonan penghentian keikutsertaan untuk sementara dalam Kliring Lokal kepada Bank Indonesia, jika disebabkan oleh salah satu atau lebih alasan sebagai berikut: a. keadaan keuangan dan atau manajemen peserta tidak memungkinkan untuk memenuhi kewajiban-kewajibannya dalam Kliring Lokal; b. peserta pindah alamat dalam satu Wilayah Kliring yang sama; c. terjadi Keadaan Darurat. (2) Peserta ... - 17 - (2) Peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b wajib menyampaikan permohonan pengunduran diri dari keikutsertaannya dalam Kliring Lokal secara tertulis selambat-lambatnya 6 (enam) hari kerja sebelumnya kepada Bank Indonesia. Pasal 28 (1) Peserta dapat mengajukan permohonan penghentian secara tetap dari keikutsertaannya dalam Kliring Lokal kepada Bank Indonesia. (2) Peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mengajukan permohonan pengunduran diri dari keikutsertaannya dalam Kliring Lokal selambat-lambatnya 6 (enam) hari kerja sebelumnya kepada Bank Indonesia. Pasal 29 (1) Apabila Peserta yang dihentikan dari keikutsertaannya sebagaimana dimaksud dalam pasal 25, Pasal 26 huruf b dan huruf c, dan Pasal 27 ayat (1) huruf a merupakan kantor pusat Bank yang berkedudukan di Indonesia atau kantor cabang Bank yang kantor pusatnya berkedudukan di luar negeri maka semua kantor cabang dan kantor cabang pembantu Peserta yang bersangkutan di seluruh Indonesia dihentikan keikutsertaannya dalam Kliring Lokal. (2) Apabila Peserta yang dihentikan dari keikutsertaannya dimaksud dalam pasal 26 huruf a, Pasal 27 ayat (1) huruf b dan huruf c, dan Pasal 28 merupakan kantor pusat Bank maka hanya kantor Peserta, kantor cabang, dan ... - 18 - dan kantor cabang pembantu yang menginduk pada kantor pusat Peserta tersebut yang dihentikan keikutsertaannya dalam Kliring Lokal. (3) Apabila Peserta yang dihentikan dari keikutsertaannya dalam Kliring Lokal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, Pasal 26, Pasal 27 dan Pasal 28 berstatus kantor cabang Bank maka hanya kantor cabang dan atau kantor cabang pembantu yang menginduk pada kantor cabang Bank dimaksud pada Wilayah Kliring yang sama yang dihentikan keikutsertaannya dari Kliring Lokal. BAB XII PENGIKUTSERTAAN KEMBALI SEBAGAI PESERTA Pasal 30 (1) Pengikutsertaan kembali dalam Kliring Lokal bagi Peserta yang dihentikan keikutsertaan untuk sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, Pasal 27 dan Pasal 33 dapat dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut : a. apabila penghentian untuk sementara tersebut ditetapkan untuk suatu jangka waktu tertentu maka keikutsertaannya kembali dalam Kliring Lokal bersifat otomatis pada hari kerja berikutnya setelah berakhirnya jangka waktu dimaksud; b. apabila penghentian untuk sementara tersebut ditetapkan tanpa batas waktu tertentu maka keikutsertaannya kembali dalam Kliring Lokal ditetapkan oleh Bank Indonesia. (2) Peserta yang dihentikan keikutsertaanya secara tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1), dapat mengajukan permohonan keikutsertaan ... - 19 - keikutsertaan kembali dalam Kliring Lokal dengan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (7). BAB XIII PENGAWASAN Pasal 31 (1) Bank Indonesia melakukan pengawasan terhadap Penyelenggara dan Peserta baik secara langsung maupun tidak langsung. (2) Dalam rangka pengawasan langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penyelenggara dan atau Peserta wajib memberikan kepada Bank Indonesia : a. keterangan dan data yang diminta; b. kesempatan untuk melihat semua dokumen dan sarana fisik yang berkaitan dengan kegiatan Kliring Lokal; c. hal-hal lain yang diperlukan. (3) Dalam rangka pengawasan tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penyelenggara dan atau Peserta wajib menyampaikan laporan, keterangan, dan penjelasan sesuai dengan tata cara yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. BAB XIV ... - 20 - BAB XIV SANKSI Pasal 32 (1) Bank Peserta yang menyampaikan Warkat atau DKE Nota Debet kepada Penyelenggara atau Peserta lawan transaksinya dalam Kliring Lokal yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) dan atau Pasal 7 huruf b, dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp. 100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk setiap pelanggaran. (2) Bank Peserta yang menerima Warkat atau DKE Nota Debet yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) serta tidak menolak Warkat atau DKE Nota Debet tersebut, dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk setiap pelanggaran. Pasal 33 (1) Bank Peserta dikenakan sanksi penghentian sementara dari Kliring Lokal oleh Bank Indonesia, apabila saldo giro negatif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 tidak dapat ditutup sampai dengan pukul 09.00 Waktu Indonesia Bagian Barat pada hari kerja berikutnya. (2) Bank Indonesia dapat mengubah batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan Surat Edaran Bank Indonesia. (3) Apabila saldo giro negatif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 terjadi pada rekening giro : a. Kantor ... - 21 - a. Kantor pusat Bank, maka semua kantor cabang dan kantor cabang pembantu Peserta yang bersangkutan diseluruh Indonesia ikut pula di hentikan keikutsertaannya dalam Kliring Lokal; b. Kantor cabang Bank, maka semua kantor cabang dan kantor cabang pembantu Bank yang menjadi Peserta Kliring Lokal di wilayah kerja Kantor Cabang Bank Indonesia, dihentikan keikutsertaannya dari Kliring Lokal. Pasal 34 Peserta yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2) dapat dikenakan sanksi berupa penghentian untuk sementara dari keikutsertaannya dalam Kliring Lokal. Pasal 35 (1) Dengan tidak mengurangi ketentuan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32, Pasal 33 dan Pasal 34, Bank Indonesia berwenang mengenakan sanksi administratif dan atau sanksi kewajiban membayar kepada Peserta yang tidak memenuhi ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini dan atau peraturan pelaksanaannya. (2) Pelaksanaan lebih lanjut mengenai sanksi administratif dan atau sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Surat Edaran Bank Indonesia. BAB XV ... - 22 - BAB XV LAIN-LAIN Pasal 36 Stempel Kliring wajib dibubuhkan pada setiap Warkat yang diperhitungkan dalam Kliring Lokal yang berfungsi sebagai tanda pengenal dari Peserta yang menyerahkan Warkat dan sebagai bukti bahwa Peserta yang bersangkutan telah memperhitungkannya dalam Kliring Lokal pada tanggal yang tercantum pada stempel Kliring. Pasal 37 (1) Warkat debet dan atau DKE debet yang tidak dapat diperhitungkan ke rekening nasabah oleh Peserta penerima, ditolak melalui Kliring Pengembalian. (2) Warkat kredit dan atau DKE kredit yang tidak dapat diperhitungkan ke rekening nasabah oleh Peserta penerima, ditolak melalui Kliring Penyerahan. Pasal 38 (1) Bank Indonesia menyelenggarakan Tata Usaha Penarikan Cek dan Bilyet Giro kosong. (2) Peserta wajib menginformasikan data nasabahnya yang tergolong sebagai penarik Cek dan Bilyet Giro sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Ketentuan ... - 23 - (3) Ketentuan pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 39 (1) Bank Indonesia menetapkan penghentian keikutsertaan Peserta dalam Kliring Lokal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28 dan Pasal 33 ayat (1) dan Pasal (34). (2) Penyelenggara memberitahukan penghentian keikutsertaan Peserta dalam Kliring Lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada semua Peserta Kliring Lokal. BAB XV KETENTUAN PERALIHAN Pasal 40 Peserta dalam sistem manual dan semi otomasi wajib memenuhi spesifikasi Warkat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) dan mencetak Warkat pada perusahaan percetakan sekuriti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), selambat-lambatnya 6 (enam) bulan sejak diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia ini. Pasal 41 ... - 24 - Pasal 41 Perusahaan percetakan sekuriti (security printing) yang telah ditetapkan Bank Indonesia sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini tetap diakui sebagai perusahaan percetakan sekuriti (security printing) yang dapat mencetak Warkat dan dokumen Kliring dan wajib mengajukan permohonan untuk memperoleh penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, selambat- lambatnya 6 (enam) bulan sejak berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini. Pasal 42 Peraturan yang berkaitan dengan penyelenggaraan Kliring Lokal dan Penyelesaian Akhir yang telah dikeluarkan sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Bank Indonesia ini, dinyatakan tetap berlaku sampai dengan dicabut, diganti atau diperbaharui. BAB XVI KETENTUAN PENUTUP Pasal 43 Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini maka : a. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 14/35/Kep/Dir/UPPB tanggal 10 September 1981 tentang Penyelenggaraan Kliring Lokal; b. Surat ... - 25 - b. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 21/9/KEP/DIR tanggal 23 Mei 1988 tentang Otomasi Penyelenggaraan Kliring Lokal dan Ketentuan Pembakuan Warkat Kliring Lokal; c. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 28/122/KEP/DIR tanggal 5 Januari 1996 tentang Cek/Bilyet Giro Kosong, d. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 28/160/KEP/DIR tanggal 5 Maret 1996 tentang Perubahan Jadwal dan Penyelesaian Hasil Kliring; e. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/1/KEP/DIR tanggal 3 April 1998 tentang Penggunaan Nota Debet Dalam Kliring, f. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/79/KEP/DIR tanggal 18 Agustus 1998 tentang Penyelenggaraan Kliring Lokal Secara Elektronik, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 44 Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini maka : a. Pengertian Pasal 1 angka 3 Peraturan Bank Indonesia Nomor 1/1/PBI/1999 tentang Fasilitas Pendanaan Dalam Rangka Mengatasi Kesulitan Pendanaan jangka Pendek Bagi Bank Umum, diubah menjadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 Peraturan Bank Indonesia ini; b. Pasal 16 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) Peraturan Bank Indonesia Nomor 1/1/PBI/1999 tentang Fasilitas Pendanaan Dalam Rangka Mengatasi Kesulitan Pendanaan jangka Pendek Bagi Bank Umum, dicabut dan diganti menjadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 Peraturan Bank Indonesia ini. Pasal 45 ... - 26 - Pasal 45 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 13 Agustus 1999 GUBERNUR BANK INDONESIA SYAHRIL SABIRIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1999 NOMOR 139 UASP - 27 - PENJELASAN PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 1/ 3 /PBI/1999 TENTANG PENYELENGGARAAN KLIRING LOKAL DAN PENYELESAIAN AKHIR TRANSAKSI PEMBAYARAN ANTAR BANK ATAS HASIL KLIRING LOKAL I. UMUM Seiring dengan berkembangnya transaksi perekonomian di Indonesia, terjadi peningkatan volume dan nilai Warkat yang memerlukan penyelesaian melalui proses Kliring. Berkenaan dengan hal tersebut penyelenggaraan Kliring Lokal perlu diperluas dan memperoleh landasan hukum yang lebih kuat dan komprehensif. Selain itu pengaturan pelaksanaan Penyelesaian Akhir Transaksi Pembayaran Antar Bank atas Hasil Kliring Lokal (Penyelesaian Akhir) perlu diperkuat sehingga setiap Bank Peserta Kliring mempunyai pegangan yang jelas dalam memenuhi kewajiban Penyelesaian Akhir. Saat ini pengaturan mengenai penyelenggaraan Kliring Lokal dan Penyelesaian Akhir yang berlaku dalam Kliring Lokal di Indonesia, banyak tersebar dalam berbagai ketentuan Bank Indonesia sehingga kurang dapat memberikan informasi secara mudah dan terpusat bagi perbankan dalam menjalankan kegiatan Kliringnya. Berkaitan dengan hal tersebut, dirasa perlu… P B I No. 1 / 3 / PBI / 1999 - 28 - perlu untuk menyatukan berbagai peraturan mengenai Kliring Lokal yang masih berlaku dan tersebar pada berbagai ketentuan Kliring Lokal menjadi Penyelenggaraan Kliring Lokal dan Penyelesaian Akhir Transaksi Pembayaran Antar Bank atas Hasil Kliring Lokal. Penyatuan ketentuan penyelenggaraan Kliring Lokal dan Penyelesaian Akhir tersebut diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih baik kepada Peserta Kliring mengenai tata cara pelaksanaan Kliring dan Penyelesaian Akhir terutama yang menyangkut aspek keamanan, efektivitas dan efisiensi yang pada gilirannya dapat memperlancar, meningkatkan dan mengembangkan sistem pembayaran di Indonesia. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas Pasal 2 Ayat (1) Penyelenggara menetapkan sistem yang digunakan pada penyelenggaraan Kliring Lokal dengan memperoleh persetujuan tertulis terlebih dahulu dari Bank Indonesia. Dalam memberikan persetujuan tersebut, Bank Indonesia mempertimbangkan jumlah Warkat dan jumlah Peserta sehingga dapat dicapai keamanan, efektivitas, serta efisiensi penyelenggaraan dan penyediaan informasi hasil Kliring Lokal. Huruf a… - 29 - Huruf a Sistem Manual, yaitu Sistem penyelenggaraan Kliring Lokal yang dalam pelaksanaan perhitungan, pembuatan Bilyet Saldo Kliring serta pemilahan Warkat dilakukan secara manual oleh setiap Peserta. Huruf b Sistem Semi Otomasi, yaitu Sistem penyelenggaraan Kliring Lokal yang dalam pelaksanaan perhitungan dan pembuatan Bilyet Saldo Kliring dilakukan secara otomasi, sedangkan pemilahan Warkat dilakukan secara manual oleh setiap Peserta. Huruf c Sistem Otomasi, yaitu Sistem penyelenggaraan Kliring Lokal yang dalam pelaksanaan perhitungan, pembuatan Bilyet Saldo Kliring dan pemilahan Warkat dilakukan oleh Penyelenggara secara otomasi. Huruf d Sistem Elektronik, yaitu Sistem penyelenggaraan Kliring Lokal yang dalam pelaksanaan perhitungan dan pembuatan Bilyet Saldo Kliring dilakukan secara elektronik disertai dengan penyampaian Warkat Peserta kepada Penyelenggara untuk dipilah secara otomasi. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3)… - 30 - Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 3 Ayat (1) Kliring Penyerahan adalah bagian dari suatu siklus Kliring guna memperhitungkan Warkat dan atau DKE yang disampaikan oleh Peserta. Kliring Pengembalian adalah bagian dari suatu siklus Kliring guna memperhitungkan Warkat dan atau DKE debet Kliring Penyerahan dalam yang ditolak berdasarkan alasan yang ditetapkan dalam ketentuan Bank Indonesia atau karena tidak sesuai dengan tujuan dan persyaratan penerbitannya. Ayat (2) Kliring PUAB adalah bagian dari siklus Kliring dalam rangka memperhitungkan Warkat dan atau DKE Kredit yang berasal dari transaksi PUAB. Ayat (3) Kewajiban penyampaian promes tidak berlaku apabila transaksi PUAB yang dilakukan adalah dalam rangka pelunasan. Pasal 4… - 31 - Pasal 4 Ayat (1) Huruf a Cek, adalah cek sebagaimana diatur dalam Kitab Undang- undang Hukum Dagang (KUHD) termasuk cek deviden, cek perjalanan, cek cinderamata, dan jenis cek lainnya yang penggunaanya dalam Kliring disetujui oleh Bank Indonesia. Huruf b Bilyet Giro adalah surat perintah dari nasabah kepada Bank penyimpan dana untuk memindahbukukan sejumlah dana dari rekening yang bersangkutan kepada rekening pemegang yang disebutkan namanya, termasuk Bilyet Giro Bank Indonesia (BGBI). Huruf c Wesel Bank Untuk Transfer, adalah wesel sebagaimana diatur dalam KUHD yang diterbitkan oleh Bank khusus untuk sarana transfer. Huruf d Surat Bukti Penerimaan Transfer adalah surat bukti penerimaan transfer dari luar kota yang dapat ditagihkan kepada Bank Peserta penerima dana transfer melalui Kliring Lokal. Huruf e… - 32 - Huruf e Nota Debet, adalah Warkat yang digunakan untuk menagih dana pada Bank lain untuk untung Bank atau nasabah Bank yang menyampaikan Warkat tersebut. Nota Debet yang dikliringkan hendaknya telah diperjanjikan dan dikonfirmasikan terlebih dahulu oleh Bank yang menyampaikan Nota Debet kepada Bank yang akan menerima Nota Debet tersebut. Huruf f Nota Kredit, adalah Warkat yang digunakan untuk menyampaikan dana pada Bank lain untuk untung Bank atau nasabah Bank yang menerima Warkat tersebut. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 5 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Spesifikasi teknis Warkat antara lain meliputi jenis dan kualitas kertas, ukuran, rancang bangun, garis batas, jenis tinta serta jenis angka dan simbol Magnetic Ink Character Recognation (MICR). Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 6 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2)… - 33 - Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Spesifikasi teknis Dokumen Kliring antara lain meliputi jenis dan kualitas kertas, ukuran, rancang bangun, garis batas, jenis tinta serta jenis angka dan simbol MICR. Pasal 9 Ayat (1) Mengingat Warkat termasuk dalam kategori dokumen yang karena sifat dan fungsinya memerlukan perlindungan terhadap pemalsuan atau penyalahgunaan, maka pencetakannya wajib dilakukan pada perusahaan percetakan sekuriti yang ditetapkan Bank Indonesia. Pencetakan Warkat dan Dokumen Kliring pada perusahaan percetakan sekuriti hanya dapat dilakukan atas permintaan Bank. Ayat (2)… - 34 - Ayat (2) Mengingat Dokumen Kliring termasuk dalam kategori dokumen yang karena sifat dan fungsinya memerlukan perlindungan terhadap pemalsuan atau penyalahgunaan, maka pencetakannya wajib dilakukan pada perusahaan percetakan sekuriti yang ditetapkan Bank Indonesia. Pencetakan Warkat dan Dokumen Kliring pada perusahaan percetakan sekuriti hanya dapat dilakukan atas permintaan Bank. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 10 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Mengingat data yang diterima oleh Penyelenggara dianggap sebagai data yang sah, oleh karena itu penting bagi Peserta untuk memastikan bahwa DKE yang disampaikannya adalah benar dan sesuai dengan Warkat yang menjadi dasar pembuatan DKE dimaksud. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2)… - 35 - Ayat (2) Yang dimaksud dengan pihak lain adalah badan hukum baik Bank maupun bukan Bank, yang memiliki kemampuan untuk menyelenggarakan Kliring. Untuk sementara, Bank Indonesia hanya memberi kesempatan kepada Bank untuk mengajukan permohonan menjadi penyelenggara kliring di Wilayah Kliring yang tidak terdapat kantor Bank Indonesia. Ayat (3) Pokok-pokok ketentuan yang akan ditetapkan dalam Surat Edaran Bank Indonesia meliputi antara lain : a. Persyaratan penyelenggaraan Kliring Lokal; b. Tata cara dan persyaratan pemberian persetujuan calon Penyelenggara; c. Bantuan keuangan kepada Penyelenggara; d. Hak dan Kewajiban Penyelenggara; e. Pembubaran penyelenggaraan Kliring Lokal. Pasal 13 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 14 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 15… - 36 - Pasal 15 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 16 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan fasilitas antara lain adalah tempat pertemuan atau tempat penyelenggaraan Kliring Lokal dan informasi hasil penyelenggaraan Kliring Lokal. Pasal 17 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) dan ayat (3) Pelaksanaan penanggulangan segera atas penyelenggaraan Kliring Lokal dalam keadaan darurat dilakukan oleh Penyelenggara dengan memperhatikan situasi dan kondisi spesifik yang terdapat pada penyelenggaraan Kliring Lokal, dengan sejauh mungkin menghindari alternatif penghentian untuk sementara kegiatan Kliring Lokal. Ayat (4) Pelaporan pelaksanaan penanggulangan segera atas penyelenggaraan Kliring Lokal, disampaikan kepada : a. Dalam… - 37 - a. Dalam hal Penyelenggara adalah Kantor Bank Indonesia, maka laporan tersebut disampaikan kepada Urusan Akunting dan Sistem Pembayaran di Kantor Pusat Bank Indonesia; b. Dalam hal Penyelenggara adalah Bank, maka laporan tersebut disampaikan kepada Kantor Bank Indonesia yang mewilayahi Kliring Lokal. Pasal 18 Ayat (1) Ketentuan dalam ayat ini menetapkan bahwa keanggotaan dalam Kliring Lokal bersifat sukarela sesuai dengan kebutuhan Bank dan nasabahnya. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Pasal 19 Huruf a Cukup jelas. Huruf b… - 38 - Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Yang dimaksud dengan petugas Kliring adalah petugas Peserta yang dapat merupakan petugas internal bank atau petugas jasa kurir yang diberi kuasa atau wewenang tertentu untuk mewakili Peserta dalam Kliring Lokal. Huruf e Pengamanan tersebut antara lain meliputi hal-hal sebagai berikut : 1. Melakukan penatausahaan dan pengawasan terhadap Warkat, dokumen Kliring Lokal, Tanda Pengenal Wakil Peserta, dan sarana Kliring Lokal lainnya agar tidak disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak berwenang; 2. Melakukan penelitian atas keabsahan dan kebenaran jumlah lembar dan nominal Warkat-warkat yang akan diserahkan kepada Penyelenggara; 3. Meneliti kecocokan antara data Warkat Peserta yang diserahkan kepada Penyelenggara dibandingkan dengan Laporan Hasil Kliring Lokal; 4. Melakukan pencocokan Warkat dan Laporan Hasil Kliring Lokal yang diterima dari Penyelenggara; 5. Melaporkan… - 39 - 5. Melaporkan kepada Penyelenggara dan Peserta yang terkait guna diteliti lebih lanjut mengenai segala perbedaan atau perubahan atas Warkat dan atau Laporan Hasil Kliring Lokal yang diterima Peserta baik yang terjadi karena kesalahan teknis maupun yang diduga sebagai akibat penyalahgunaan dan mengambil langkah pengamanan untuk menunda pencairan dananya, sementara penelitian tersebut di atas sedang dilakukan. 6. Menolak Warkat yang diduga ada hubungannya dengan suatu tindak pidana dan melaporkannya kepada pihak yang berwenang. Huruf f Yang dimaksud pindah alamat adalah pindah alamat dalam satu wilayah kliring. Huruf g Cukup jelas. Pasal 20 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 21 Ayat (1) Penyelesaian Akhir pada Kliring Lokal yang diselenggarakan oleh pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) dilakukan… - 40 - dilakukan dengan melimpahkan hasil Kliring Lokal Peserta ke dalam rekening kantor lain dari Peserta tersebut di Bank Indonesia yang ditetapkan Bank Indonesia. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Ketentuan pada ayat ini berlaku dalam hal penyelenggaraan kliring dilakukan oleh pihak selain Bank Indonesia. Ayat (4) Cukup jelas Pasal 22 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 23 Ayat (1) Yang dimaksud dengan Bilyet Giro Bank Indonesia (BGBI) adalah Bilyet Giro sebagaimana dimaksud dengan Pasal 4 ayat (1) huruf b dimana pihak tertarik adalah Bank Indonesia. Yang dimaksud dengan transfer dana secara elektronik adalah sarana transfer dana antar Bank secara elektronik yang diselenggarakan oleh Bank Indonesia. Ayat (2)… - 41 - Ayat (2) Tembusan promes transaksi PUAB disampaikan kepada Satuan Kerja Akunting Bank Indonesia. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Dalam Keadaan Darurat, Peserta diharapkan dapat mengupayakan segala cara termasuk berkonsultasi dengan Penyelenggara agar tetap dapat ikut serta dalam penyelenggaraan Kliring Lokal. Ayat (2) Dalam keadaan darurat yang menyebabkan Peserta yang bersangkutan benar-benar tidak dapat ikut serta dalam Kliring Lokal, maka syarat jangka waktu tersebut tidak berlaku. Pasal 28… - 42 - Pasal 28 Ayat (1) Mengingat keanggotaan dalam Kliring Lokal bersifat sukarela maka Peserta dapat mengajukan permohonan untuk penghentian secara tetap dari keikutsertaannya dalam Kliring Lokal. Peserta yang disetujui permohonannya wajib memberitahukan penghentian tersebut kepada seluruh nasabahnya. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 29 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 30 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Hal ini berlaku pula untuk peserta yang mengundurkan diri untuk pindah ke luar wilayah kliring. Pasal 31… - 43 - Pasal 31 Ayat (1) Yang dimaksud dengan pengawasan langsung adalah pengawasan dalam bentuk pemeriksaan yang disusul dengan tindakan-tindakan perbaikan. Yang dimaksud dengan pengawasan tidak langsung adalah pengawasan dalam bentuk penelitian, analisis, dan evaluasi terhadap laporan yang disampaikan oleh Penyelenggara dan atau Peserta. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan keterangan dan data termasuk data elektronis dan penjelasan yang berkaitan dengan tujuan pemeriksaan. Huruf b Cukup jelas Huruf c Hal-hal lain yang diperlukan antara lain adalah penyediaan ruang kerja dan salinan dokumen yang diperlukan dalam pemeriksaan. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 32 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2)… - 44 - Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 33 Ayat (1) Ketentuan batas waktu penyediaan dana pada saldo giro rekening Rupiah Peserta di Bank Indonesia adalah pukul 10.00 bagi Peserta yang berada di wilayah Waktu Indonesia Bagian Tengah dan pukul 11.00 bagi Peserta yang berada di wilayah Waktu Indonesia Bagian Timur. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Apabila saldo giro negatif terjadi pada rekening kantor Bank Peserta yang juga memperoleh limpahan penyelesaian akhir hasil kliring dari kantor Bank Peserta Kliring di wilayah Kliring Lokal yang tidak terdapat Kantor Bank Indonesia, maka apabila kantor Bank Peserta dimaksud dihentikan sementara dari keikutsertaannya dalam Kliring lokal, maka kantor Bank Peserta yang sama di Wilayah Kliring Lokal yang tidak ada Kantor Cabang Bank Indonesia juga akan dihentikan sementara dari keikutsertaannya dalam Kliring Lokal. Pasal 34 Sanksi penghentian sementara dari keikutsertaannya dalam Kliring Lokal tersebut dikenakan terhadap Peserta yang tidak memenuhi permintaan tertulis Bank Indonesia 3 (tiga) kali berturut-turut untuk permasalahan yang sama. Pasal 35… - 45 - Pasal 35 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 36 Stempel Kliring memuat identitas Peserta dan tanggal Warkat tersebut diperhitungkan dalam Kliring Lokal. Stempel Kliring pada Warkat-warkat debet yang dapat dipindahtangankan dengan jalan endosemen dan tidak ditolak pembayarannya oleh Peserta yang merupakan Bank tertagih, merupakan tanda pelunasan dari Peserta yang menyerahkannya. Disamping itu stempel Kliring pada Warkat yang demikian juga berarti bahwa Peserta yang menyerahkan Warkat dimaksud telah membenarkan tanda tangan endosan terakhir yang tercantum pada warkat tersebut. Stempel Kliring pada Bilyet Giro yang tidak ditolak, mengandung arti bahwa Peserta yang membubuhi stempel Kliring Lokal telah menerima sejumlah dana yang tercantum dalam Bilyet Giro itu dan mengkreditkannya pada rekening penerima dana yang ditulis pada Bilyet Giro yang bersangkutan. Stempel Kliring pada warkat debet lainnya yang tidak dapat dipindahtangankan dengan jalan endosemen dan tidak ditolak oleh Peserta tertarik merupakan suatu tanda bahwa Peserta yang menyerahkan Warkat tersebut telah menerima sejumlah dana yang tercantum dalam Warkat yang bersangkutan. Stempel… - 46 - Stempel Kliring pada warkat kredit yang tidak dikembalikan oleh Peserta penerima, merupakan bukti bahwa Peserta yang menyerahkan telah memindahkan dana kepada Peserta penerima pada tanggal yang disebut pada stempel Kliring tersebut, untuk untung pihak yang disebutkan namanya dalam Warkat tersebut. Pasal 37 Ayat (1) Yang dimaksud dengan Kliring Pengembalian adalah Kliring Pengembalian pada siklus Kliring yang sama dengan Kliring Penyerahannya. Ayat (2) Warkat kredit dan atau DKE kredit dapat ditolak antara lain karena adanya kesalahan pengisian sandi rekening atau jumlah nominal. Yang dimaksud dengan Kliring Penyerahan adalah Kliring Penyerahan berikutnya segera setelah diketahui adanya kesalahan. Pasal 38 Ayat (1) Yang dimaksud dengan Cek dan Bilyet Giro kosong adalah Cek/Bilyet Giro yang ditolak dalam tenggang waktu adanya kewajiban penyediaan dana oleh penarik karena dana/saldonya tidak cukup atau rekening telah ditutup; Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3)… Peserta, nomor - 47 - Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 39 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 40 Jangka waktu 6 (enam) bulan diberikan kepada Peserta sistem manual dan sistem semi otomasi untuk melakukan penyesuaian Warkatnya yang belum memenuhi spesifikasi Warkat yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Pasal 41 Cukup jelas. Pasal 42 Peraturan yang dimaksud dalam pasal ini termasuk pula Surat Edaran Bank Indonesia yang merupakan pelaksanaan dari Surat Keputusan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43. Pasal 43 Cukup jelas. Pasal 44 Cukup jelas. Pasal 45 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3873 UASP "," PBI 1/3/PBI/1999 PENYELENGGARAAN KLIRING LOKAL DAN PENYELESAIAN AKHIR TRANSAKSI PEMBAYARAN ANTAR BANK ATAS HASIL KLIRING LOKAL 13 Agustus 1999 13 Agustus 1999 '21/9/KEP/DIR|SKDIR-BI/1988', '31/79/KEP/DIR|SKDIR-BI/1998', '28/160/KEP/DIR|SKDIR-BI/1996', '28/122/KEP/DIR|SKDIR-BI/1996', '14/35/Kep/Dir/UPPB|SKDIR-BI/1981', '31/1/KEP/DIR|SKDIR-BI/1998', '1/1/PBI/1999 | Pasal 16 ayat (1), ayat (2), ayat (3)' '8/UU/1997', '23/UU/1999', '7/UU/1992', '10/UU/1998', '1/1/PBI/1999' 'BAB XI Pasal 25', 'BAB XIV' " " PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 18/30/PBI/2016 TENTANG PENGELUARAN UANG RUPIAH KERTAS PECAHAN 20.000 (DUA PULUH RIBU) TAHUN EMISI 2016 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa uang Rupiah sebagai mata uang Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki peran yang sangat strategis, baik sebagai simbol kedaulatan negara yang harus dihormati dan dibanggakan oleh seluruh warga negara Indonesia, maupun sebagai alat pembayaran yang sah dalam kegiatan perekonomian nasional guna mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia; b. bahwa guna mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan dalam rangka melaksanakan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, Bank Indonesia perlu mengeluarkan uang Rupiah dan mengedarkannya sesuai dengan kebutuhan masyarakat dalam jumlah nominal yang cukup, jenis pecahan yang sesuai, tepat waktu, dan dalam kondisi yang layak edar; c. bahwa untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap uang Rupiah maka uang Rupiah yang dikeluarkan Bank - 2 - Indonesia perlu senantiasa ditingkatkan kualitas dan keandalannya; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang Pengeluaran Uang Rupiah Kertas Pecahan 20.000 (Dua Puluh Ribu) Tahun Emisi 2016; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843), sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5223); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENGELUARAN UANG RUPIAH KERTAS PECAHAN 20.000 (DUA PULUH RIBU) TAHUN EMISI 2016. Pasal 1 Bank Indonesia mengeluarkan uang Rupiah pecahan 20.000 (dua puluh ribu) tahun emisi 2016 sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. - 3 - Pasal 2 Macam uang Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 merupakan uang Rupiah kertas yang memiliki ciri tertentu. Pasal 3 Harga uang Rupiah kertas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 merupakan nilai nominal pada pecahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 yaitu sebesar Rp20.000,00 (dua puluh ribu rupiah). Pasal 4 Ciri tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang terdapat pada bagian depan dan bagian belakang meliputi: a. ciri umum; dan b. ciri khusus. Pasal 5 (1) Ciri umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a, pada bagian depan terdapat: a. gambar lambang negara “Garuda Pancasila”; b. frasa “NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA”; c. sebutan pecahan dalam angka “20000” dan tulisan “DUA PULUH RIBU RUPIAH”; d. tanda tangan Gubernur Bank Indonesia beserta tulisan “GUBERNUR” dan tanda tangan Menteri Keuangan Republik Indonesia beserta tulisan “MENTERI KEUANGAN”; e. tulisan tahun emisi yaitu “EMISI 2016”; f. gambar utama yaitu Pahlawan Nasional Dr. G.S.S.J. Ratulangi beserta tulisan “Dr. G.S.S.J. RATULANGI”; g. gambar ornamen batik; dan h. gambar lingkaran-lingkaran kecil. (2) Ciri khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b, pada bagian depan yang berupa desain dan teknik cetak, terdapat: a. warna dominan hijau; - 4 - b. hasil cetak yang terasa kasar apabila diraba pada ciri umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, dan huruf f; c. gambar saling isi (rectoverso) dari logo Bank Indonesia yang dapat dilihat secara utuh apabila diterawangkan ke arah cahaya; d. gambar tersembunyi (latent image) berupa tulisan “BI” yang dapat dilihat dari sudut pandang tertentu; e. gambar tersembunyi (latent image) multiwarna berupa angka “20” yang dapat dilihat dari sudut pandang tertentu; f. gambar perisai yang di dalamnya berisi logo Bank Indonesia yang akan berubah warna apabila dilihat dari sudut pandang berbeda (colour shifting); g. kode tuna netra (blind code) berupa efek rabaan (tactile); h. gambar raster berupa tulisan “NKRI” yang tertulis utuh dan/atau sebagian; i. mikroteks yang memuat tulisan “BI20”, tulisan “BI20000”, dan angka “20”, yang dapat dilihat dengan bantuan kaca pembesar; dan j. hasil cetak yang akan memendar dalam 1 (satu) atau beberapa warna apabila dilihat dengan sinar ultraviolet berupa: 1. 2 (dua) bidang persegi empat yang salah satunya berisi tulisan “BI”; 2. angka nominal “20000”; 3. ornamen batik; dan 4. gambar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pasal 6 (1) Ciri umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a, pada bagian belakang terdapat: a. angka nominal “20000”; b. nomor seri dengan bentuk asimetris yang meliputi 3 (tiga) huruf dan 6 (enam) angka; - 5 - c. teks “DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA MENGELUARKAN RUPIAH SEBAGAI ALAT PEMBAYARAN YANG SAH DENGAN NILAI DUA PULUH RIBU RUPIAH”; d. tulisan tahun cetak “TC 2016”; e. gambar utama yaitu tari gong beserta tulisan “TARI GONG”, pemandangan alam Derawan beserta tulisan “Derawan”, dan bunga anggrek hitam; tulisan “BANK INDONESIA”; f. g. gambar ornamen batik; h. gambar lingkaran-lingkaran kecil; dan i. tulisan “PERURI”. (2) Ciri khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b, pada bagian belakang yang berupa desain dan teknik cetak, terdapat: a. warna dominan hijau; b. hasil cetak yang terasa kasar apabila diraba pada ciri umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf c, dan huruf f; c. hasil cetak yang terasa kasar apabila diraba pada gambar tari gong, tulisan “TARI GONG”, dan tulisan “Derawan”; d. gambar saling isi (rectoverso) dari logo Bank Indonesia yang dapat dilihat secara utuh apabila diterawangkan ke arah cahaya; e. gambar tersembunyi (latent image) berupa angka “20” yang dapat dilihat dari sudut pandang tertentu; f. gambar raster berupa tulisan “NKRI” dan angka “20000”; g. mikroteks yang memuat tulisan “BI20000”, tulisan “BANKINDONESIA20000”, dan angka “20000”, yang dapat dilihat dengan bantuan kaca pembesar; dan h. hasil cetak yang akan memendar dalam 1 (satu) atau beberapa warna apabila dilihat dengan sinar ultraviolet berupa: 1. gambar bunga anggrek hitam; - 6 - 2. gambar burung enggang gading; 3. bidang persegi empat yang berisi tulisan “BI”; 4. gambar lingkaran-lingkaran kecil; dan 5. nomor seri dengan bentuk asimetris yang meliputi 3 (tiga) huruf dan 6 (enam) angka. (3) Angka dalam tulisan tahun cetak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d akan berubah sesuai dengan tahun cetak. Pasal 7 Selain ciri khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 6 ayat (2), uang Rupiah memiliki ciri khusus sebagai berikut: a. bahan berupa kertas uang yang memiliki spesifikasi: 1. terbuat dari serat kapas; 2. berwarna hijau muda; 3. tidak memendar dengan sinar ultraviolet; 4. terdapat tanda air (watermark) berupa gambar Pahlawan Nasional Oto Iskandar Di Nata dan ornamen tertentu; dan 5. terdapat benang pengaman berbentuk anyaman yang memuat tulisan “BI 20000” secara berulang, yang akan memendar multiwarna apabila dilihat dengan sinar ultraviolet; dan b. ukuran yaitu panjang 147 (seratus empat puluh tujuh) milimeter dan lebar 65 (enam puluh lima) milimeter. Pasal 8 Uang Rupiah kertas pecahan 20.000 (dua puluh ribu) tahun emisi 2004 dinyatakan masih tetap berlaku sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sepanjang belum dicabut dan ditarik dari peredaran. Pasal 9 Uang Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 mulai berlaku dan diedarkan pada tanggal 19 Desember 2016. - 7 - Pasal 10 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 26 Oktober 2016 GUBERNUR BANK INDONESIA, AGUS D. W. MARTOWARDOJO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 28 Oktober 2016 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 214 "," PBI 18/30/PBI/2016 PENGELUARAN UANG RUPIAH KERTAS PECAHAN 20.000 (DUA PULUH RIBU) TAHUN EMISI 2016 26 Oktober 2016 28 Oktober 2016 28 Oktober 2016 '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '6/UU/2009', '7/UU/2011' " " PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 6/10/PBI/2004 TENTANG SISTEM PENILAIAN TINGKAT KESEHATAN BANK UMUM GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kesehatan suatu bank merupakan kepentingan semua pihak yang terkait, baik pemilik, pengelola bank, masyarakat pengguna jasa bank dan Bank Indonesia selaku otoritas pengawasan bank; b. bahwa dengan pesatnya perkembangan yang terjadi di bidang perbankan berpengaruh pada meningkatnya kompleksitas usaha bank dan profil risiko yang dimiliki bank; c. bahwa perubahan kompleksitas usaha dan profil risiko bank serta perubahan metodologi penilaian kondisi bank yang diterapkan secara internasional akan mempengaruhi sistem penilaian Tingkat Kesehatan Bank yang saat ini berlaku; d. bahwa sehubungan dengan hal tersebut dipandang perlu untuk mengatur kembali Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum dalam suatu Peraturan Bank Indonesia; Mengingat … - 2 - Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3790); 2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4357); MEMUTUSKAN: Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG SISTEM PENILAIAN TINGKAT KESEHATAN BANK UMUM. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah Bank Umum yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 … - 3 - 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, termasuk kantor cabang bank asing. 2. Direksi: a. bagi Bank berbentuk hukum Perseroan Terbatas adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 4 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas; b. bagi Bank berbentuk hukum Perusahaan Daerah adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah; c. bagi Bank berbentuk hukum Koperasi adalah pengurus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. 3. Komisaris: a. bagi Bank berbentuk hukum Perseroan Terbatas adalah komisaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 5 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas; b. bagi Bank berbentuk hukum Perusahaan Daerah adalah pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah; c. bagi Bank berbentuk hukum Koperasi adalah pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. 4. Tingkat Kesehatan Bank adalah hasil penilaian kualitatif atas berbagai aspek yang berpengaruh terhadap kondisi atau kinerja suatu Bank melalui Penilaian Kuantitatif dan atau Penilaian Kualitatif terhadap faktor-faktor permodalan, kualitas aset, manajemen, rentabilitas, likuiditas, dan sensitivitas terhadap risiko pasar. 5. Peringkat … - 4 - 5. Peringkat Komposit adalah peringkat akhir hasil penilaian Tingkat Kesehatan Bank. 6. Penilaian Kuantitatif adalah penilaian terhadap posisi, perkembangan, dan proyeksi rasio-rasio keuangan Bank. 7. Penilaian Kualitatif adalah penilaian terhadap faktor-faktor yang mendukung hasil Penilaian Kuantitatif, penerapan manajemen risiko, dan kepatuhan Bank. Pasal 2 (1) Bank wajib melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip kehati-hatian dalam rangka menjaga atau meningkatkan Tingkat Kesehatan Bank. (2) Komisaris dan Direksi Bank wajib memantau dan mengambil langkah-langkah yang diperlukan agar Tingkat Kesehatan Bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dipenuhi. Pasal 3 Penilaian Tingkat Kesehatan Bank mencakup penilaian terhadap faktor-faktor sebagai berikut: a. permodalan (capital); b. kualitas aset (asset quality); c. manajemen (management); d. rentabilitas (earning); e. likuiditas (liquidity); dan f. sensitivitas terhadap risiko pasar (sensitivity to market risk). Pasal 4 … - 5 - Pasal 4 (1) Penilaian terhadap faktor permodalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a meliputi penilaian terhadap komponen-komponen sebagai berikut: a. kecukupan, komposisi, dan proyeksi (trend ke depan) permodalan serta kemampuan permodalan Bank dalam mengcover aset bermasalah; b. kemampuan Bank memelihara kebutuhan penambahan modal yang berasal dari keuntungan, rencana permodalan Bank untuk mendukung pertumbuhan usaha, akses kepada sumber permodalan, dan kinerja keuangan pemegang saham untuk meningkatkan permodalan Bank. (2) Penilaian terhadap faktor kualitas aset sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b meliputi penilaian terhadap komponen-komponen sebagai berikut: a. kualitas aktiva produktif, konsentrasi eksposur risiko kredit, perkembangan aktiva produktif bermasalah, dan kecukupan penyisihan penghapusan aktiva produktif (PPAP); b. kecukupan kebijakan dan prosedur, sistem kaji ulang (review) internal, sistem dokumentasi, dan kinerja penanganan aktiva produktif bermasalah. (3) Penilaian terhadap faktor manajemen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c meliputi penilaian terhadap komponen-komponen sebagai berikut: a. kualitas manajemen umum dan penerapan manajemen risiko; b. kepatuhan Bank terhadap ketentuan yang berlaku dan komitmen kepada Bank Indonesia dan atau pihak lainnya. (4) Penilaian terhadap faktor rentabilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf d meliputi penilaian terhadap komponen-komponen sebagai berikut: a. pencapaian return on assets (ROA), return on equity (ROE), net interest margin (NIM), dan tingkat efisiensi Bank; b. perkembangan … - 6 - b. perkembangan laba operasional, diversifikasi pendapatan, penerapan prinsip akuntansi dalam pengakuan pendapatan dan biaya, dan prospek laba operasional. (5) Penilaian terhadap faktor likuiditas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf e meliputi penilaian terhadap komponen-komponen sebagai berikut: a. rasio aktiva/pasiva likuid, potensi maturity mismatch, kondisi Loan to Deposit Ratio (LDR), proyeksi cash flow, dan konsentrasi pendanaan; b. kecukupan kebijakan dan pengelolaan likuiditas (assets and liabilities management/ALMA), akses kepada sumber pendanaan, dan stabilitas pendanaan. (6) Penilaian terhadap faktor sensitivitas terhadap risiko pasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf f meliputi penilaian terhadap komponen-komponen sebagai berikut: a. kemampuan modal Bank dalam mengcover potensi kerugian sebagai akibat fluktuasi (adverse movement) suku bunga dan nilai tukar; b. kecukupan penerapan manajemen risiko pasar. Pasal 5 Dalam rangka menetapkan peringkat setiap komponen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dilakukan perhitungan dan analisis dengan mempertimbangkan indikator pendukung dan atau pembanding yang relevan. Pasal 6 (1) Berdasarkan hasil penetapan peringkat setiap komponen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ditetapkan peringkat setiap faktor. (2) Proses … - 7 - (2) Proses penetapan peringkat setiap faktor sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan setelah mempertimbangkan unsur judgement yang didasarkan atas materialitas dan signifikansi dari setiap komponen yang dinilai. Pasal 7 (1) Berdasarkan hasil penetapan peringkat setiap faktor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ditetapkan Peringkat Komposit (composite rating). (2) Peringkat Komposit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan sebagai berikut: a. Peringkat Komposit 1 (PK-1), mencerminkan bahwa Bank tergolong sangat baik dan mampu mengatasi pengaruh negatif kondisi perekonomian dan industri keuangan; b. Peringkat Komposit 2 (PK-2), mencerminkan bahwa Bank tergolong baik dan mampu mengatasi pengaruh negatif kondisi perekonomian dan industri keuangan namun Bank masih memiliki kelemahan-kelemahan minor yang dapat segera diatasi oleh tindakan rutin; c. Peringkat Komposit 3 (PK-3), mencerminkan bahwa Bank tergolong cukup baik namun terdapat beberapa kelemahan yang dapat menyebabkan peringkat kompositnya memburuk apabila Bank tidak segera melakukan tindakan korektif; d. Peringkat Komposit 4 (PK-4), mencerminkan bahwa Bank tergolong kurang baik dan sensitif terhadap pengaruh negatif kondisi perekonomian dan industri keuangan atau Bank memiliki kelemahan keuangan yang serius atau kombinasi dari kondisi beberapa faktor yang tidak memuaskan … - 8 - memuaskan, yang apabila tidak dilakukan tindakan korektif yang efektif berpotensi mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya. e. Peringkat Komposit 5 (PK-5), mencerminkan bahwa Bank tergolong tidak baik dan sangat sensitif terhadap pengaruh negatif kondisi perekonomian dan industri keuangan serta mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya. (3) Proses penetapan Peringkat Komposit sebagaimana dimaksud ayat (2) dilaksanakan dengan mempertimbangkan unsur judgement yang didasarkan atas materialitas dan signifikansi dari masing-masing faktor. BAB II MEKANISME DAN TINDAK LANJUT HASIL PENILAIAN Pasal 8 (1) Bank wajib melakukan penilaian Tingkat Kesehatan Bank sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia ini secara triwulanan untuk posisi bulan Maret, Juni, September dan Desember. (2) Apabila diperlukan Bank Indonesia meminta hasil penilaian Tingkat Kesehatan Bank yang dilakukan oleh Bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). Pasal 9 (1) Dalam rangka melaksanakan pengawasan Bank, Bank Indonesia melakukan penilaian Tingkat Kesehatan Bank secara triwulanan. (2) Penilaian Tingkat Kesehatan Bank dilakukan berdasarkan hasil pemeriksaan, laporan berkala yang disampaikan Bank, dan atau informasi lain yang diketahui … - 9 - diketahui secara umum seperti hasil penilaian oleh otoritas atau lembaga lain yang berwenang. (3) Apabila terdapat perbedaan hasil penilaian Tingkat Kesehatan Bank yang dilakukan oleh Bank Indonesia dengan hasil penilaian Tingkat Kesehatan Bank yang dilakukan oleh Bank maka yang berlaku adalah hasil penilaian Tingkat Kesehatan Bank yang dilakukan oleh Bank Indonesia. (4) Berdasarkan hasil penilaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Bank Indonesia dapat meminta Direksi, Komisaris, dan atau pemegang saham untuk menyampaikan action plan yang memuat langkah-langkah perbaikan yang wajib dilaksanakan oleh Bank terhadap permasalahan signifikan dengan target waktu penyelesaian selama periode tertentu. (5) Apabila diperlukan Bank Indonesia meminta Bank untuk melakukan penyesuaian terhadap action plan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4). Pasal 10 (1) Bank wajib menyampaikan laporan pelaksanaan action plan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4) selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja setelah pelaksanaan action plan. (2) Dalam hal pelaksanaan action plan dilakukan secara bertahap, Bank wajib melaporkan pelaksanaan tahapan action plan dimaksud selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja setelah pelaksanaan setiap tahapan action plan dimaksud. Pasal 11 Apabila diperlukan Bank Indonesia melakukan pemeriksaan khusus terhadap hasil perbaikan yang telah dilakukan oleh Bank. BAB III … - 10 - BAB III PENILAIAN TINGKAT KESEHATAN KANTOR CABANG BANK ASING Pasal 12 Khusus bagi kantor cabang bank asing, penilaian Tingkat Kesehatan Bank hanya dilakukan atas faktor kualitas aset sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf (b) dan faktor manajemen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf (c). Pasal 13 Berdasarkan hasil penilaian peringkat masing-masing faktor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ditetapkan Peringkat Komposit (composite rating) sebagai berikut: a. Peringkat Komposit 1 (PK-1), mencerminkan bahwa kantor cabang bank asing memiliki kualitas aset yang sangat baik, memiliki dan menerapkan manajemen risiko dan pengendalian operasional secara efektif dan komprehensif, serta menerapkan kepatuhan terhadap ketentuan yang berlaku dan prosedur intern secara konsisten; b. Peringkat Komposit 2 (PK-2), mencerminkan bahwa kantor cabang bank asing memiliki kualitas aset yang baik, memiliki dan menerapkan manajemen risiko dan pengendalian operasional secara memadai, serta menerapkan kepatuhan terhadap ketentuan yang berlaku dan prosedur intern secara konsisten namun terdapat sedikit kelemahan yang dapat segera diambil tindakan korektif; c. Peringkat Komposit 3 (PK-3), mencerminkan bahwa kantor cabang bank asing memiliki kualitas asset yang cukup baik, memiliki dan menerapkan manajemen … - 11 - manajemen risiko dan pengendalian operasional secara cukup memadai, serta menerapkan kepatuhan terhadap ketentuan yang berlaku dan prosedur intern namun tidak sepenuhnya konsisten dan terdapat kelemahan yang dapat menyebabkan peringkat kompositnya memburuk apabila Bank tidak segera melakukan tindakan korektif; d. Peringkat Komposit 4 (PK-4), mencerminkan bahwa kantor cabang bank asing memiliki kualitas aset yang memburuk, memiliki dan menerapkan manajemen risiko dan pengendalian operasional yang lemah dan kurang diterapkan secara konsisten serta terdapat frekuensi pelanggaran terhadap ketentuan yang berlaku dan prosedur intern yang cukup signifikan; e. Peringkat Komposit 5 (PK-5), mencerminkan bahwa kantor cabang bank asing memiliki kualitas aset yang terus memburuk, memiliki dan menerapkan manajemen risiko dan pengendalian operasional yang sangat lemah dan tidak diterapkan secara konsisten serta terdapat frekuensi pelanggaran terhadap ketentuan yang berlaku dan prosedur intern yang signifikan. Pasal 14 Apabila diperlukan Bank Indonesia meminta data atau informasi terakhir dari kantor cabang bank asing mengenai peringkat kantor pusat bank asing secara berkala atau sewaktu-waktu. BAB IV SANKSI Pasal 15 Bank yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 … - 12 - Pasal 2, Pasal 8 ayat (1), Pasal 10, dan Pasal 16 ayat (2) dapat dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 berupa: a. teguran tertulis; b. pembekuan kegiatan usaha tertentu; c. pencantuman pengurus dan atau pemegang saham Bank dalam daftar orang yang dilarang menjadi pemegang saham dan pengurus Bank. BAB V KETENTUAN PERALIHAN Pasal 16 (1) Pelaksanaan sistem penilaian Tingkat Kesehatan Bank sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia ini mulai diterapkan sejak posisi bulan Desember 2004. (2) Dalam rangka persiapan penerapan secara efektif sistem penilaian Tingkat Kesehatan Bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Bank wajib melaksanakan uji coba penilaian Tingkat Kesehatan Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 sejak posisi bulan Juni 2004. (3) Apabila diperlukan Bank Indonesia meminta hasil penilaian Tingkat Kesehatan yang dilakukan oleh Bank sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2). (4) Sebelum diterapkannya secara efektif sistem penilaian Tingkat Kesehatan Bank sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia ini, penilaian Tingkat Kesehatan Bank oleh Bank Indonesia dilakukan berdasarkan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 30/11/KEP/DIR tanggal 30 April 1997 tentang Tatacara Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum sebagaimana … - 13 - sebagaimana telah diubah dengan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 30/277/KEP/DIR tanggal 19 Maret 1998. BAB VI KETENTUAN PENUTUP Pasal 17 Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan Peraturan Bank Indonesia ini akan ditetapkan dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 18 Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, maka: a. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 30/11/KEP/DIR tanggal 30 April 1997 tentang Tatacara Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum dan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 30/277/KEP/DIR tanggal 19 Maret 1998 tentang Perubahan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 30/11/KEP/DIR tanggal 30 April 1997 tentang Tatacara Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum, dinyatakan tidak berlaku bagi Bank Umum yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional sejak penilaian Tingkat Kesehatan Bank posisi akhir bulan Desember 2004; b. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 30/266/KEP/DIR tanggal 27 Februari 1998 tentang Pelaksanaan Prinsip Kehati-hatian Yang Menyangkut Kewajiban Antar Bank, Pengambilalihan Tagihan, Suku Bunga Simpanan, dan Penyediaan Dana, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 19 … - 14 - Pasal 19 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan di : Jakarta Pada tanggal : 12 April 2004 GUBERNUR BANK INDONESIA, BURHANUDDIN ABDULLAH LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004 NOMOR 38 DPNP PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 6/10/PBI/2004 TENTANG SISTEM PENILAIAN TINGKAT KESEHATAN BANK UMUM UMUM Kesehatan atau kondisi keuangan dan non keuangan Bank merupakan kepentingan semua pihak terkait, baik pemilik, pengelola (manajemen) Bank, masyarakat pengguna jasa Bank, Bank Indonesia selaku otoritas pengawasan Bank, dan pihak lainnya. Kondisi Bank tersebut dapat digunakan oleh pihak- pihak tersebut untuk mengevaluasi kinerja Bank dalam menerapkan prinsip kehati-hatian, kepatuhan terhadap ketentuan yang berlaku dan manajemen risiko. Perkembangan industri perbankan, terutama produk dan jasa yang semakin kompleks dan beragam akan meningkatkan eksposur risiko yang dihadapi Bank. Perubahan eksposur risiko Bank dan penerapan manajemen risiko akan mempengaruhi profil risiko Bank yang selanjutnya berakibat pada kondisi Bank secara keseluruhan. Perkembangan metodologi penilaian kondisi Bank senantiasa bersifat dinamis sehingga sistem penilaian tingkat kesehatan Bank harus diatur kembali agar lebih mencerminkan kondisi Bank saat ini dan di waktu yang akan datang. Pengaturan kembali tersebut antara lain meliputi penyempurnaan pendekatan penilaian (kualitatif dan kuantitatif) dan penambahan faktor penilaian. Bagi … - 2 - Bagi perbankan, hasil akhir penilaian kondisi Bank tersebut dapat digunakan sebagai salah satu sarana dalam menetapkan strategi usaha di waktu yang akan datang sedangkan bagi Bank Indonesia, antara lain digunakan sebagai sarana penetapan dan implementasi strategi pengawasan Bank. Agar pada waktu yang ditetapkan Bank dapat menerapkan sistem penilaian tingkat kesehatan Bank sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini, maka perbankan perlu melakukan langkah-langkah persiapan dalam menerapkan sistem tersebut. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas Pasal 2 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 3 Huruf a Penilaian permodalan merupakan penilaian terhadap kecukupan modal Bank untuk mengcover eksposur risiko saat ini dan mengantisipasi eksposur risiko di masa datang. Huruf b … - 3 - Huruf b Penilaian kualitas aset merupakan penilaian terhadap kondisi aset Bank dan kecukupan manajemen risiko kredit. Huruf c Penilaian manajemen merupakan penilaian terhadap kemampuan manajerial pengurus Bank untuk menjalankan usahanya, kecukupan manajemen risiko, dan kepatuhan Bank terhadap ketentuan yang berlaku serta komitmen kepada Bank Indonesia dan atau pihak lainnya. Yang dimaksud dengan kepatuhan Bank terhadap ketentuan yang berlaku antara lain kepatuhan terhadap ketentuan Batas Maksimum Pemberian Kredit, Posisi Devisa Neto, dan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer). Huruf d Penilaian rentabilitas merupakan penilaian terhadap kondisi dan kemampuan rentabilitas Bank untuk mendukung kegiatan operasional dan permodalan. Huruf e Penilaian likuiditas merupakan penilaian terhadap kemampuan Bank untuk memelihara tingkat likuiditas yang memadai dan kecukupan manajemen risiko likuiditas. Huruf f Penilaian sensitivitas terhadap risiko pasar merupakan penilaian terhadap kemampuan modal Bank untuk mengcover akibat yang ditimbulkan oleh perubahan risiko pasar dan kecukupan manajemen risiko pasar. Pasal 4 … - 4 - Pasal 4 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Ayat (6) Cukup jelas Pasal 5 Peringkat setiap komponen terdiri dari peringkat 1, peringkat 2, peringkat 3, peringkat 4, dan peringkat 5. Urutan peringkat yang lebih rendah mencerminkan kondisi Bank yang lebih baik. Pasal 6 Ayat (1) Peringkat setiap faktor terdiri dari peringkat 1, peringkat 2, peringkat 3, peringkat 4, dan peringkat 5. Urutan peringkat yang lebih rendah mencerminkan kondisi Bank yang lebih baik. Ayat (2) … - 5 - Ayat (2) Pertimbangan unsur judgement merupakan pengambilan kesimpulan yang dilakukan secara obyektif dan independen berdasarkan hasil analisis yang didukung oleh fakta, data, dan informasi yang memadai serta terdokumentasi dengan baik guna memperoleh hasil penilaian yang mencerminkan kondisi Bank yang sebenarnya. Pasal 7 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Urutan Peringkat Komposit yang lebih rendah mencerminkan kondisi Bank yang lebih baik. Huruf a Dalam peringkat ini Bank mampu mengendalikan usahanya apabila terjadi perubahan yang signifikan pada industri perbankan. Huruf b Kelemahan minor dalam huruf ini dapat berupa kelemahan administratif dan operasional yang tidak mempengaruhi kondisi Bank secara signifikan. Huruf c Cukup jelas Huruf d Cukup jelas Huruf e Cukup jelas Ayat (3) … - 6 - Ayat (3) Pertimbangan unsur judgement merupakan pengambilan kesimpulan yang dilakukan secara obyektif dan independen berdasarkan hasil analisis yang didukung oleh fakta, data, dan informasi yang memadai serta terdokumentasi dengan baik guna memperoleh hasil penilaian yang mencerminkan kondisi Bank yang sebenarnya. Pasal 8 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 9 Ayat (1) Dalam rangka memperoleh hasil penilaian Tingkat Kesehatan yang sesuai dengan kondisi Bank yang sesungguhnya, Bank Indonesia dapat meminta informasi dan penjelasan dari Bank. Bank Indonesia dapat melakukan penyesuaian terhadap penilaian Tingkat Kesehatan Bank apabila diketahui terdapat data dan informasi yang mempengaruhi kondisi Bank secara signifikan pada posisi setelah posisi penilaian (subsequent events). Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) … - 7 - Ayat (4) Bank Indonesia dapat meminta Direksi, Komisaris, dan atau pemegang saham untuk menyampaikan action plan apabila hasil penilaian Tingkat Kesehatan Bank menunjukkan bahwa satu atau lebih faktor penilaian memiliki peringkat 4 dan atau peringkat 5. Ayat (5) Action plan yang disampaikan diperlakukan sebagai komitmen Bank kepada Bank Indonesia. Pasal 10 Ayat (1) Laporan pelaksanaan action plan yang disampaikan Bank antara lain memuat bukti pelaksanaan dan dokumen pendukung terkait. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 11 Cukup jelas Pasal 12 Komponen faktor kualitas aset mengacu kepada Pasal 4 ayat (2) sedangkan komponen faktor manajemen mengacu kepada Pasal 4 ayat (3). Pasal 13 … - 8 - Pasal 13 Proses penetapan Peringkat Komposit didahului dengan proses penetapan peringkat setiap komponen sebagaimana dimaksud Pasal 5 dan penetapan peringkat setiap faktor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6. Pasal 14 Penilaian peringkat kantor pusat bank asing dilakukan oleh lembaga pemeringkat internasional antara lain Standard & Poor’s, Moody’s, dan Fitch. Pasal 15 Cukup jelas Pasal 16 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 17 Cukup jelas Pasal 18 … - 9 - Pasal 18 Cukup jelas Pasal 19 Cukup jelas TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4382 DPNP "," PBI 6/10/PBI/2004 SISTEM PENILAIAN TINGKAT KESEHATAN BANK UMUM 12 April 2004 12 April 2004 '30/277/KEP/DIR|SKDIR-BI/1998', '30/266/KEP/DIR|SKDIR-BI/1998', '30/11/KEP/DIR|SKDIR-BI/1997' '23/UU/1999', '7/UU/1992', '3/UU/2004', '10/UU/1998' 'BAB IV' " " PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 11/ 31 /PBI/2009 TENTANG UJI KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN (FIT AND PROPER TEST) BANK SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam rangka memelihara dan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap Bank Syariah dan UUS dalam pengelolaan dana pihak ketiga, perbankan syariah perlu dikelola oleh sumber daya manusia yang mampu memelihara amanah; b. bahwa dalam rangka mendorong pertumbuhan Bank Syariah dan UUS yang sehat dan kuat, perbankan syariah perlu dikelola oleh sumber daya manusia yang memiliki integritas dan profesional; c. bahwa sumber daya manusia yang mampu memelihara amanah dan memiliki integritas serta profesional akan mendorong pelaksanaan tata kelola yang baik (good corporate governance) di Bank Syariah dan UUS; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b dan huruf c, dipandang perlu untuk menetapkan ketentuan mengenai uji kemampuan dan kepatutan (fit and proper test) terhadap pemilik dan pengelola Bank Syariah dan UUS dalam suatu Peraturan Bank Indonesia. Mengingat ... - 2 - Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867); 3. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756); M E M U T U S K A N: Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG UJI KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN (FIT AND PROPER TEST) BANK SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH BAB I... - 3 - BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank Syariah adalah Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 2. Bank Umum Syariah yang selanjutnya disebut BUS adalah Bank Umum Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 3. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah yang selanjutnya disebut BPRS adalah Bank Pembiayaan Rakyat Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 4. Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disebut UUS adalah Unit Usaha Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 5. Pengendalian adalah suatu tindakan yang bertujuan untuk memengaruhi pengelolaan dan/atau kebijakan Bank Syariah dengan cara apapun, baik secara langsung maupun tidak langsung. 6. Pemegang Saham Pengendali yang selanjutnya disebut PSP adalah badan hukum, orang perseorangan dan/atau kelompok usaha yang: a. memiliki saham Bank Syariah sebesar 25% (dua puluh lima persen) atau lebih dari jumlah saham yang dikeluarkan oleh Bank Syariah dan mempunyai hak suara; atau b. memiliki ... - 4 - b. memiliki saham Bank Syariah kurang dari 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah saham yang dikeluarkan oleh Bank Syariah dan mempunyai hak suara namun yang bersangkutan dapat dibuktikan telah melakukan Pengendalian terhadap Bank Syariah, baik secara langsung maupun tidak langsung. 7. Dewan Komisaris adalah Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas; 8. Direksi adalah Direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas; 9. Direktur UUS adalah anggota Direksi yang mengelola dan bertanggung jawab terhadap operasional UUS; 10. Pejabat Eksekutif adalah pejabat yang bertanggung jawab langsung kepada Direksi dan/atau mempunyai pengaruh terhadap kebijakan dan operasional Bank Syariah dan UUS; 11. Daftar Kepatutan dan Kelayakan (Daftar Tidak Lulus) adalah daftar pihak-pihak yang mendapat predikat Tidak Memenuhi Persyaratan (Tidak Lulus) dalam uji kemampuan dan kepatutan. Pasal 2 (1) Pihak-pihak yang termasuk sebagai pengendali Bank Syariah wajib tunduk pada ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini. (2) Pihak-pihak yang termasuk sebagai pengendali Bank Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah orang perseorangan, badan hukum atau gabungan keduanya termasuk kelompok usaha yang melakukan pengendalian terhadap Bank Syariah. (3) Pihak ... - 5 - (3) Pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat melakukan Pengendalian terhadap Bank Syariah dengan cara- cara antara lain sebagai berikut: a. memiliki secara sendiri atau bersama-sama 25% (dua puluh lima persen) atau lebih saham Bank Syariah; b. secara langsung menjalankan manajemen dan/atau memengaruhi kebijakan Bank Syariah; c. memiliki hak opsi atau hak lainnya untuk memiliki saham yang apabila digunakan akan menyebabkan pihak tersebut memiliki dan/atau mengendalikan secara sendiri atau bersama-sama 25% (dua puluh lima persen) atau lebih saham Bank Syariah; d. melakukan kerjasama atau tindakan yang sejalan untuk mencapai tujuan bersama dalam mengendalikan Bank Syariah (acting in concert) dengan atau tanpa perjanjian tertulis dengan pihak lain, sehingga secara bersama-sama memiliki dan/atau mengendalikan 25% (dua puluh lima persen) atau lebih saham Bank Syariah, baik langsung maupun tidak langsung dengan atau tanpa perjanjian tertulis; e. melakukan kerjasama atau tindakan yang sejalan untuk mencapai tujuan bersama dalam mengendalikan Bank Syariah (acting in concert) dengan atau tanpa perjanjian tertulis dengan pihak lain, sehingga secara bersama-sama mempunyai hak opsi atau hak lainnya untuk memiliki saham, yang apabila hak tersebut dilaksanakan menyebabkan pihak-pihak tersebut memiliki dan/atau mengendalikan secara bersama-sama 25% (dua puluh lima persen) atau lebih saham ... - 6 - saham Bank Syariah; f. mengendalikan satu atau lebih perusahaan lain yang secara keseluruhan memiliki dan/atau mengendalikan secara bersama-sama 25% (dua puluh lima persen) atau lebih saham Bank Syariah; g. mempunyai kewenangan untuk menyetujui dan/atau memberhentikan anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi dan Dewan Pengawas Syariah; h. secara tidak langsung memengaruhi atau menjalankan manajemen dan/atau kebijakan Bank Syariah; i. melakukan Pengendalian terhadap perusahaan induk atau perusahaan induk di bidang keuangan dari Bank Syariah; dan/atau j. melakukan Pengendalian terhadap pihak yang melakukan Pengendalian sebagaimana dimaksud pada huruf a sampai dengan huruf i. Pasal 3 (1) Calon PSP, calon anggota Dewan Komisaris dan calon anggota Direksi Bank Syariah, wajib mengikuti uji kemampuan dan kepatutan dalam rangka memperoleh persetujuan Bank Indonesia. (2) Pihak-pihak yang dicalonkan menjadi Direktur UUS dan hanya bertugas mengelola UUS, wajib mengikuti uji kemampuan dan kepatutan sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Bank Indonesia ini. Pasal 4 ... - 7 - Pasal 4 (1) Bank Indonesia melakukan uji kemampuan dan kepatutan terhadap: a. calon PSP, calon anggota Dewan Komisaris, calon anggota Direksi Bank Syariah dan pihak-pihak yang dicalonkan menjadi Direktur UUS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3; b. PSP, anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi dan Pejabat Eksekutif Bank Syariah dalam hal terdapat indikasi bahwa yang bersangkutan memiliki peranan atas terjadinya pelanggaran atau penyimpangan, termasuk tindakan fraud (penipuan, penggelapan dan/atau kecurangan) dalam kegiatan operasional Bank Syariah; dan c. Direktur UUS dan Pejabat Eksekutif UUS dalam hal terdapat indikasi bahwa yang bersangkutan memiliki peranan atas terjadinya pelanggaran atau penyimpangan, termasuk tindakan fraud (penipuan, penggelapan dan/atau kecurangan) dalam kegiatan operasional UUS. (2) Bank Indonesia melakukan penilaian dan penelitian terhadap Pejabat Eksekutif yang baru dilaporkan pengangkatan dan/atau penggantiannya oleh Bank Syariah dan UUS. BAB II ... - 8 - BAB II UJI KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN BAGI CALON PEMEGANG SAHAM PENGENDALI Bagian Kesatu Faktor yang Diuji Pasal 5 Uji kemampuan dan kepatutan terhadap calon PSP adalah untuk memperoleh keyakinan bahwa calon PSP memiliki: a. integritas; dan b. kelayakan keuangan. Pasal 6 Persyaratan integritas bagi calon PSP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a paling kurang antara lain: a. memiliki akhlak dan moral yang baik, antara lain ditunjukkan dengan sikap mematuhi ketentuan yang berlaku baik yang tertulis maupun tidak tertulis, termasuk tidak pernah dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana; b. memiliki komitmen untuk mematuhi peraturan perbankan syariah dan peraturan perundang-undangan lain yang berlaku; c. memiliki komitmen untuk mendorong Direksi mengembangkan Bank Syariah yang sehat dan tangguh (sustainable); d. tidak termasuk dalam Daftar Kepatutan dan Kelayakan (Daftar Tidak Lulus); dan e. tidak sedang menjalani proses uji kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b dan huruf c. Pasal 7 ... - 9 - Pasal 7 Persyaratan kelayakan keuangan bagi calon PSP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b adalah memiliki kemampuan keuangan yang dibuktikan dengan antara lain: a. memiliki sumber penghasilan utama yang dapat mendukung perkembangan bisnis Bank Syariah dalam jangka menengah dan jangka panjang; b. tidak pernah dinyatakan pailit atau menjadi pemegang saham, anggota Dewan Komisaris atau anggota Direksi suatu perseroan dan/atau anggota pengurus suatu badan hukum lainnya yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perseroan dan/atau badan hukum lainnya dimaksud dinyatakan pailit berdasarkan ketetapan pengadilan, dalam waktu 5 (lima) tahun terakhir sebelum dicalonkan; c. tidak memiliki hutang yang bermasalah, termasuk tidak tercantum dalam daftar kredit macet; dan d. kesediaan untuk melakukan upaya-upaya yang diperlukan agar Bank Syariah dapat mengatasi kesulitan permodalan maupun likuiditas. Bagian Kedua Tata Cara Uji Kemampuan dan Kepatutan Pasal 8 (1) Permohonan untuk memperoleh persetujuan menjadi PSP diajukan oleh calon PSP melalui Bank Syariah kepada Bank Indonesia. (2) Dalam hal Bank Syariah masih dalam proses pendirian, pengajuan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan ... - 10 - diajukan oleh salah satu calon pemilik Bank Syariah. (3) Persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh Bank Indonesia paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah seluruh persyaratan terpenuhi dan dokumen permohonan diterima secara lengkap. (4) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Bank Indonesia dengan melampirkan dokumen yang akan diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 9 (1) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Bank Indonesia melakukan penilaian terhadap calon PSP dengan memperhatikan faktor integritas dan kelayakan keuangan termasuk tujuan utama untuk menjadi PSP melalui proses penelitian administratif dan wawancara. (2) Sebagai bagian dari proses persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia dapat meminta calon PSP dan/atau pihak-pihak yang melakukan Pengendalian untuk memberikan komitmen tertulis dalam rangka pengembangan Bank Syariah yang sehat dan tangguh (sustainable). Pasal 10 (1) Dalam hal calon PSP Bank Syariah berbentuk badan hukum, maka uji kemampuan dan kepatutan dilakukan dengan menilai badan hukum yang bersangkutan melalui anggota Direksi yang berwenang mewakili badan hukum yang bersangkutan dan/atau pihak-pihak ... - 11 - pihak-pihak yang berdasarkan penilaian Bank Indonesia merupakan pemilik dan pengendali terakhir dari badan hukum tersebut (ultimate shareholders). (2) Selain pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia dapat melakukan uji kemampuan dan kepatutan terhadap pihak-pihak lain yang menurut penilaian Bank Indonesia turut serta dalam melakukan Pengendalian. Bagian Ketiga Hasil Uji Kemampuan dan Kepatutan Pasal 11 Berdasarkan proses uji kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), hasil akhir uji kemampuan dan kepatutan diklasifikasikan menjadi 2 (dua) predikat yaitu: a. Memenuhi Persyaratan (Lulus); atau b. Tidak Memenuhi Persyaratan (Tidak Lulus). Pasal 12 (1) Calon PSP yang telah memiliki saham Bank Syariah, namun dalam uji kemampuan dan kepatutan memperoleh predikat Tidak Memenuhi Persyaratan (Tidak Lulus), diwajibkan untuk menurunkan kepemilikan sahamnya menjadi paling banyak 10% (sepuluh persen) paling lambat dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal surat pemberitahuan dari Bank Indonesia. (2) Dalam hal calon PSP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat menurunkan kepemilikannya menjadi paling banyak 10% (sepuluh persen) dalam jangka waktu yang ditetapkan, maka: a. calon ... - 12 - a. calon PSP tidak memiliki hak suara atau hak suara sebesar 0% (nol persen) dalam RUPS Bank Syariah; b. hak suara calon PSP tidak diperhitungkan dalam penghitungan kuorum atau tidaknya RUPS Bank Syariah; c. dividen yang dapat dibayarkan oleh Bank Syariah kepada calon PSP paling banyak 10% (sepuluh persen) dan sisanya dicatat sebagai hutang dividen yang akan diselesaikan setelah calon PSP tersebut mengalihkan kepemilikannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan dibayarkan setelah mendapat persetujuan Bank Indonesia; dan d. nama calon PSP Bank Syariah yang bersangkutan diumumkan kepada publik melalui 2 (dua) media massa yang mempunyai peredaran luas. (3) Dalam hal penurunan kepemilikan dilakukan dengan cara mengalihkan saham kepada keluarga dan/atau kelompok usaha dari calon PSP, maka pengalihan tersebut tidak dianggap sebagai penurunan kepemilikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan Bank Syariah dilarang mencatat pihak-pihak yang menerima pengalihan tersebut dalam daftar pemegang saham Bank Syariah dan pihak yang menerima pengalihan tidak memperoleh hak- haknya sebagai Pemegang Saham. BAB III... - 13 - BAB III UJI KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN BAGI CALON ANGGOTA DEWAN KOMISARIS DAN CALON ANGGOTA DIREKSI Bagian Kesatu Faktor yang Diuji Pasal 13 Uji kemampuan dan kepatutan terhadap calon anggota Dewan Komisaris dan calon anggota Direksi adalah untuk memperoleh keyakinan bahwa calon anggota Dewan Komisaris dan calon anggota Direksi memiliki: a. integritas; b. kompetensi; dan c. reputasi keuangan. Pasal 14 Persyaratan integritas bagi calon anggota Dewan Komisaris dan calon anggota Direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf a meliputi antara lain: a. memiliki akhlak dan moral yang baik, antara lain ditunjukkan dengan sikap mematuhi ketentuan yang berlaku baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, termasuk tidak pernah dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana kejahatan; b. memiliki komitmen atas pelaksanaan akuntabilitas dan responsibilitas yang tinggi; c. memiliki komitmen untuk mematuhi peraturan perbankan syariah dan peraturan perundang-undangan lain yang berlaku; d. memiliki ... - 14 - d. memiliki komitmen untuk mengawasi Direksi dalam rangka pengembangan Bank Syariah yang sehat dan tangguh (sustainable), khusus untuk calon anggota Dewan Komisaris; e. memiliki komitmen yang tinggi terhadap pengembangan Bank Syariah yang sehat dan tangguh (sustainable); f. g. tidak termasuk dalam Daftar Kepatutan dan Kelayakan (Daftar Tidak Lulus); dan tidak sedang menjalani proses uji kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b dan huruf c. Pasal 15 (1) Persyaratan kompetensi bagi calon anggota Dewan Komisaris dan calon anggota Direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf b: a. bagi calon anggota Dewan Komisaris BUS meliputi antara lain: 1) memiliki pengetahuan, pemahaman dan/atau pengalaman di bidang operasional perbankan syariah yang cukup (adequate); 2) memiliki kemauan dan kemampuan untuk mengawasi kegiatan usaha BUS agar sesuai dengan prinsip kehati- hatian dan prinsip syariah di bidang perbankan syariah; dan 3) memiliki pengetahuan dan pemahaman dalam penerapan manajemen risiko. b. bagi calon anggota Dewan Komisaris BPRS meliputi antara lain: 1) memiliki ... - 15 - 1) memiliki pengetahuan, pemahaman dan/atau pengalaman di bidang operasional perbankan syariah yang cukup (adequate); dan 2) memiliki kemauan dan kemampuan untuk mengawasi kegiatan usaha BPRS agar sesuai dengan prinsip kehati- hatian dan prinsip syariah di bidang perbankan syariah. c. bagi calon anggota Direksi BUS meliputi antara lain: 1) memiliki pengetahuan dan pemahaman di bidang operasional perbankan syariah yang cukup (adequate); 2) memiliki pengalaman dan keahlian di bidang operasional perbankan atau perbankan syariah dan/atau bidang keuangan atau keuangan syariah; 3) memiliki kemampuan untuk melakukan pengelolaan strategis dalam rangka pengembangan BUS yang sehat dan tangguh (sustainable); dan 4) memiliki pengetahuan, pemahaman dan kemampuan dalam penerapan manajemen risiko. d. bagi calon anggota Direksi BPRS meliputi antara lain: 1) memiliki pengetahuan dan pemahaman di bidang operasional perbankan syariah yang cukup (adequate); 2) memiliki pengalaman dan keahlian di bidang operasional perbankan atau perbankan syariah dan/atau bidang keuangan atau keuangan syariah; dan 3) memiliki kemampuan untuk melakukan pengelolaan strategis dalam rangka pengembangan BPRS yang sehat dan tangguh (sustainable); (2) Pemenuhan persyaratan pengalaman dan keahlian bagi calon Direksi ... - 16 - Direksi BUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c angka 2), harus pula memenuhi persyaratan bahwa mayoritas anggota Direksi wajib memiliki pengalaman minimal 4 (empat) tahun paling kurang sebagai Pejabat Eksekutif di industri perbankan, dimana minimal 1 (satu) tahun paling kurang sebagai Pejabat Eksekutif pada BUS dan/atau UUS. (3) Bagi BUS yang didirikan melalui proses perubahan kegiatan usaha, untuk pertama kalinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya diwajibkan bagi 1 (satu) calon anggota Direksi. (4) Mayoritas anggota Direksi BUS hasil perubahan kegiatan usaha wajib memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lambat 2 (dua) tahun setelah izin perubahan kegiatan usaha diberikan. Pasal 16 Persyaratan reputasi keuangan bagi calon anggota Dewan Komisaris dan calon anggota Direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf c meliputi antara lain: a. tidak pernah dinyatakan pailit atau menjadi pemegang saham, anggota Dewan Komisaris atau anggota Direksi suatu perseroan dan/atau anggota pengurus suatu badan hukum lainnya yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perseroan dan/atau badan hukum lainnya dimaksud dinyatakan pailit berdasarkan ketetapan pengadilan, dalam waktu 5 (lima) tahun terakhir sebelum dicalonkan; dan b. tidak memiliki hutang yang bermasalah, antara lain tidak tercantum ... - 17 - tercantum dalam daftar kredit macet. Bagian Kedua Tata Cara Uji Kemampuan dan Kepatutan Pasal 17 (1) Permohonan untuk memperoleh persetujuan menjadi anggota Dewan Komisaris dan/atau anggota Direksi diajukan oleh calon anggota Dewan Komisaris dan/atau calon anggota Direksi melalui Bank Syariah kepada Bank Indonesia. (2) Dalam hal Bank Syariah masih dalam proses pendirian, pengajuan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh salah satu calon pemilik Bank Syariah. (3) Calon anggota Dewan Komisaris dan/atau calon anggota Direksi yang diajukan dalam permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling banyak berjumlah 2 (dua) orang untuk setiap lowongan jabatan. (4) Persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh Bank Indonesia paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap. Pasal 18 (1) Dalam hal Bank Syariah berada dalam program penyelamatan oleh Lembaga Penjamin Simpanan, maka permohonan persetujuan calon anggota Dewan Komisaris dan/atau calon anggota Direksi diajukan oleh Lembaga Penjamin Simpanan. (2) Permohonan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan ... - 18 - disampaikan paling lambat 30 (tiga puluh hari) setelah tanggal pengangkatan oleh Lembaga Penjamin Simpanan. (3) Pemberitahuan atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh Bank Indonesia paling lambat 180 (seratus delapan puluh) hari setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap. Pasal 19 (1) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1), Bank Indonesia melakukan penilaian terhadap faktor integritas, kompetensi dan reputasi keuangan calon anggota Dewan Komisaris dan/atau calon anggota Direksi melalui proses penelitian administratif dan wawancara. (2) Sebagai bagian dari proses persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia dapat meminta calon anggota Dewan Komisaris dan/atau calon anggota Direksi untuk memberikan komitmen tertulis dalam rangka pelaksanaan tugas, kewajiban dan tanggung jawabnya. Bagian Ketiga Hasil Uji Kemampuan dan Kepatutan Pasal 20 Berdasarkan proses uji kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), hasil akhir uji kemampuan dan kepatutan diklasifikasikan menjadi 2 (dua) predikat yaitu: a. Memenuhi Persyaratan (Lulus); atau b. Tidak ... - 19 - b. Tidak Memenuhi Persyaratan (Tidak Lulus). Pasal 21 Calon anggota Dewan Komisaris dan/atau calon anggota Direksi yang memperoleh predikat Tidak Memenuhi Persyaratan (Tidak Lulus) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf b yang disebabkan karena faktor kompetensi, dapat mengajukan permohonan kepada Bank Indonesia untuk kembali menjadi calon anggota Dewan Komisaris dan/atau calon anggota Direksi, paling cepat 90 (sembilan puluh) hari setelah penegasan dari Bank Indonesia. BAB IV UJI KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN BAGI PEMEGANG SAHAM PENGENDALI, ANGGOTA DEWAN KOMISARIS, ANGGOTA DIREKSI DAN PEJABAT EKSEKUTIF Bagian Kesatu Faktor yang Diuji Pasal 22 Uji kemampuan dan kepatutan terhadap PSP, anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi dan/atau Pejabat Eksekutif yang terindikasi memiliki peranan atas pelanggaran atau penyimpangan, termasuk tindakan fraud (penipuan, penggelapan dan/atau kecurangan) yang terkait dengan faktor: a. b. integritas dan kelayakan keuangan dari PSP; integritas, kompetensi dan reputasi keuangan dari anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi dan/atau Pejabat Eksekutif dilakukan untuk menilai keterlibatan dan/atau keterkaitan yang bersangkutan ... - 20 - bersangkutan (clearance test) atas pelanggaran atau penyimpangan dimaksud. Pasal 23 (1) Pelanggaran atau penyimpangan, termasuk tindakan fraud (penipuan, penggelapan dan/atau kecurangan) yang terkait dengan faktor integritas bagi PSP yaitu antara lain melakukan tindakan-tindakan, baik secara langsung maupun tidak langsung, berupa: a. tidak memiliki akhlak dan moral yang baik, antara lain ditunjukkan dengan sikap tidak mematuhi ketentuan yang berlaku baik yang tertulis maupun tidak tertulis, termasuk pernah dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana kejahatan; b. menolak memberikan komitmen dan/atau tidak memenuhi komitmen yang telah disepakati dengan Bank Indonesia dan/atau Pemerintah; dan/atau c. memengaruhi dan/atau menyuruh Dewan Komisaris, Direksi, Pejabat Eksekutif dan/atau pegawai Bank Syariah untuk melakukan: 1) perbuatan rekayasa atau praktek-praktek perbankan yang menyimpang dari ketentuan perbankan; 2) perbuatan yang memberikan keuntungan secara tidak wajar kepada pemilik, anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi, Dewan Pengawas Syariah, Pejabat Eksekutif, pegawai dan/atau pihak lain yang dapat merugikan atau mengurangi keuntungan Bank Syariah; 3) perbuatan ... - 21 - 3) perbuatan yang melanggar prinsip kehati-hatian di bidang perbankan; dan/atau 4) perbuatan yang melanggar prinsip syariah di bidang perbankan syariah. (2) Pelanggaran atau penyimpangan, termasuk tindakan fraud (penipuan, penggelapan dan/atau kecurangan) yang terkait dengan faktor kelayakan keuangan bagi PSP, yaitu perbuatan dan/atau kondisi yang menyebabkan terjadinya ketidakmampuan keuangan PSP dalam memenuhi kelangsungan usaha Bank Syariah. Pasal 24 (1) Pelanggaran atau penyimpangan, termasuk tindakan fraud (penipuan, penggelapan dan/atau kecurangan) yang terkait dengan faktor integritas bagi anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi atau Pejabat Eksekutif, yaitu melakukan tindakan- tindakan baik secara langsung maupun tidak langsung berupa: a. tidak memiliki akhlak dan moral yang baik, antara lain ditunjukkan dengan sikap tidak mematuhi ketentuan yang berlaku baik yang tertulis maupun tidak tertulis, termasuk pernah dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana kejahatan; b. menolak memberikan komitmen dan/atau tidak memenuhi komitmen yang telah disepakati dengan Bank Indonesia dan/atau Pemerintah; c. tidak memiliki komitmen atas pelaksanaan akuntabilitas dan responsibilitas; d. perbuatan ... - 22 - d. perbuatan rekayasa atau praktek-praktek perbankan yang menyimpang dari ketentuan perbankan; e. perbuatan yang memberikan keuntungan secara tidak wajar kepada pemilik, anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi, Dewan Pengawas Syariah, Pejabat Eksekutif, pegawai dan/atau pihak lain yang dapat merugikan atau mengurangi keuntungan Bank Syariah; f. perbuatan yang melanggar prinsip kehati-hatian di bidang perbankan; g. perbuatan yang melanggar prinsip syariah di bidang perbankan syariah; h. perbuatan yang tidak independen; dan/atau i. tidak melaksanakan fungsinya. (2) Pelanggaran atau penyimpangan, termasuk tindakan fraud (penipuan, penggelapan dan/atau kecurangan) yang terkait dengan faktor kompetensi bagi anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi atau Pejabat Eksekutif: a. bagi anggota Dewan Komisaris BUS, yaitu tidak memiliki: 1) pengetahuan, pemahaman dan/atau pengalaman di bidang operasional perbankan syariah yang memadai; 2) kemauan dan kemampuan untuk mengawasi kegiatan usaha BUS agar sesuai dengan prinsip kehati-hatian dan prinsip syariah di bidang perbankan syariah; dan 3) pengetahuan dan pemahaman dalam penerapan manajemen risiko. b. bagi anggota Dewan Komisaris BPRS, yaitu tidak memiliki: 1) pengetahuan ... - 23 - 1) pengetahuan, pemahaman dan/atau pengalaman di bidang operasional perbankan syariah yang memadai; dan 2) kemauan dan kemampuan untuk mengawasi kegiatan usaha BPRS agar sesuai dengan prinsip kehati-hatian dan prinsip syariah di bidang perbankan syariah. c. bagi anggota Direksi dan Pejabat Eksekutif BUS, yaitu tidak memiliki: 1) pengetahuan dan pemahaman di bidang perbankan syariah yang memadai; 2) pengalaman dan keahlian di bidang operasional perbankan atau perbankan syariah dan/atau bidang keuangan atau keuangan syariah; 3) kemampuan untuk melakukan pengelolaan strategis dalam rangka pengembangan BUS yang sehat dan tangguh (sustainable); dan 4) pengetahuan, pemahaman dan kemampuan dalam penerapan manajemen risiko. d. bagi anggota Direksi dan Pejabat Eksekutif BPRS, yaitu tidak memiliki: 1) pengetahuan dan pemahaman di bidang operasional perbankan syariah yang memadai; 2) pengalaman dan keahlian di bidang operasional perbankan atau perbankan syariah dan/atau bidang keuangan atau keuangan syariah; dan 3) kemampuan untuk melakukan pengelolaan strategis dalam rangka pengembangan BPRS yang sehat dan tangguh ... - 24 - tangguh (sustainable); (3) Pelanggaran atau penyimpangan, termasuk tindakan fraud (penipuan, penggelapan dan/atau kecurangan) yang terkait dengan faktor reputasi keuangan bagi anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi dan Pejabat Eksekutif, yaitu perbuatan dan/atau kondisi yang menyebabkan tingkat reputasi keuangan yang bersangkutan menurun. Bagian Kedua Tata Cara Uji Kemampuan dan Kepatutan Pasal 25 (1) Uji kemampuan dan kepatutan dilakukan dengan langkah- langkah sebagai berikut: a. pengumpulan data dan informasi; b. pelaksanaan pemeriksaan khusus; c. konfirmasi hasil pemeriksaan kepada pihak-pihak yang dinilai dan/atau pihak terkait lainnya; d. penyampaian hasil penilaian pertama kepada pihak-pihak yang dinilai dan pihak terkait lainnya; e. penerimaan atas tanggapan pertama dari pihak-pihak yang dinilai dan pengkajian atas tanggapan tersebut; f. penyampaian hasil penilaian kedua kepada pihak-pihak yang dinilai; g. penerimaan atas tanggapan kedua dari pihak-pihak yang dinilai dan pengkajian atas tanggapan tersebut; dan h. penetapan dan pemberitahuan hasil akhir uji kemampuan dan kepatutan oleh Bank Indonesia. (2) Penyampaian ... - 25 - (2) Penyampaian tanggapan pertama oleh pihak-pihak yang dinilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dilakukan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja, sejak tanggal penyampaian hasil penilaian pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d. (3) Penyampaian tanggapan kedua oleh pihak-pihak yang dinilai sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf g dilakukan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja, sejak tanggal penyampaian hasil penilaian kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f. (4) Dalam hal pihak-pihak yang dinilai tidak menggunakan hak untuk menyampaikan tanggapan yang diberikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau ayat (3), maka hasil penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d atau ayat (1) huruf f ditetapkan menjadi hasil akhir uji kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h. Pasal 26 (1) Dalam hal PSP telah melepaskan kepemilikannya atau anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi dan Pejabat Eksekutif Bank Syariah telah mengundurkan diri atau pensiun dari jabatannya, sementara yang bersangkutan masih dalam proses uji kemampuan dan kepatutan, maka uji kemampuan dan kepatutan dimaksud dapat tetap dilanjutkan. (2) Dalam hal Bank Indonesia menetapkan uji kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap dilanjutkan, maka pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memiliki ... - 26 - memiliki komitmen untuk menyelesaikan seluruh proses uji kemampuan dan kepatutan. (3) Dalam hal pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak memiliki atau tidak memenuhi komitmen untuk menyelesaikan seluruh proses uji kemampuan dan kepatutan, maka yang bersangkutan akan dimasukkan dalam catatan administrasi Bank Indonesia. Pasal 27 (1) Uji kemampuan dan kepatutan terhadap PSP dilakukan untuk keseluruhan pihak-pihak yang melakukan Pengendalian terhadap Bank Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) yang terkait dengan PSP yang akan diuji. (2) Hasil uji kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan satu kesatuan dan berlaku bagi PSP dan pihak-pihak yang melakukan Pengendalian terhadap Bank Syariah yang terkait dengan PSP yang diuji, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya. (3) Pembuktian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh pihak-pihak yang bersangkutan dalam tahapan uji kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25. Bagian Ketiga Hasil Uji Kemampuan dan Kepatutan Pasal 28 (1) Berdasarkan uji kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, hasil akhir uji kemampuan dan kepatutan ... - 27 - kepatutan diklasifikasikan menjadi 2 (dua) predikat, yaitu: a. Memenuhi Persyaratan (Lulus); atau b. Tidak Memenuhi Persyaratan (Tidak Lulus). (2) Penetapan hasil akhir uji kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan nilai dan bobot terhadap faktor yang dinilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 dan Pasal 24. (3) Nilai dan bobot sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 29 Pihak-pihak yang diberikan predikat Tidak Memenuhi Persyaratan (Tidak Lulus) dilarang menjadi: a. PSP dan/atau pengendali pada seluruh Bank Syariah; b. pemilik saham lebih dari 10% (sepuluh persen) pada seluruh Bank Syariah; dan/atau c. anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi dan/atau Pejabat Eksekutif pada seluruh Bank Syariah. Pasal 30 (1) Pihak-pihak yang dilarang menjadi PSP dan/atau pengendali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 huruf a wajib menyampaikan pernyataan tertulis kepada Bank Indonesia dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak dinyatakan Tidak Memenuhi Persyaratan (Tidak Lulus), yang menyatakan bahwa yang bersangkutan tidak akan ikut serta dalam Pengendalian Bank Syariah, baik langsung maupun tidak langsung ... - 28 - langsung. (2) Pihak-pihak yang dilarang menjadi pemilik saham lebih dari 10% (sepuluh persen) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 huruf b wajib menurunkan kepemilikannya menjadi paling tinggi 10% (sepuluh persen) pada seluruh Bank Syariah dalam jangka waktu paling lambat 6 (enam) bulan sejak dinyatakan Tidak Memenuhi Persyaratan (Tidak Lulus). Pasal 31 (1) Dalam hal PSP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 huruf a tidak bersedia menurunkan kepemilikannya menjadi paling tinggi 10% (sepuluh persen) dalam jangka waktu yang ditetapkan, maka: a. PSP tidak memiliki hak suara atau hak suara sebesar 0% (nol persen) dalam RUPS Bank Syariah; b. hak suara PSP tidak diperhitungkan dalam penghitungan kuorum atau tidaknya RUPS Bank Syariah; c. dividen yang dapat dibayarkan oleh Bank Syariah kepada PSP paling banyak 10% (sepuluh persen) dan sisanya dicatat sebagai hutang dividen yang akan diselesaikan setelah PSP tersebut mengalihkan kepemilikannya dan dibayarkan setelah mendapat persetujuan Bank Indonesia; dan d. nama PSP Bank Syariah dimaksud diumumkan oleh Bank Syariah kepada publik melalui 2 (dua) media massa yang mempunyai peredaran luas. (2) Dalam hal penurunan kepemilikan dilakukan dengan cara mengalihkan saham kepada keluarga dan/atau kelompok usaha dari ... - 29 - dari PSP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 huruf a, Bank Syariah dilarang mencatat pihak-pihak yang menerima pengalihan tersebut dalam daftar pemegang saham Bank Syariah dan pihak yang menerima pengalihan tidak memperoleh hak- haknya sebagai Pemegang Saham. Pasal 32 (1) Pengenaan larangan terhadap pihak-pihak yang diberikan predikat Tidak Memenuhi Persyaratan (Tidak Lulus) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 diberikan apabila perbuatan dan/atau tindakan yang bersangkutan mengakibatkan kerugian yang berpengaruh pada permodalan Bank Syariah, termasuk berkurangnya keuntungan Bank Syariah dan/atau potensi kerugian yang ditimbulkan. (2) Pengenaan larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan jangka waktu sebagai berikut: a. selama 2 (dua) tahun, apabila kerugian tidak material; b. selama 3 (tiga) tahun, apabila kerugian cukup material; c. selama 5 (lima) tahun, apabila kerugian sangat material. (3) Pengenaan larangan selama 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dapat pula diberikan apabila: a. terjadi penyimpangan manajerial dan/atau operasional perbankan yang bersifat serius (serious misconduct); dan/atau b. kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b, diakibatkan oleh perbuatan dan/atau tindakan yang dimaksudkan untuk memberikan keuntungan pribadi dan ... - 30 - dan/atau kepada pihak lain. Pasal 33 (1) Anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi dan Pejabat Eksekutif yang diberikan predikat Tidak Memenuhi Persyaratan (Tidak Lulus), wajib segera mengundurkan diri paling lambat 15 (lima belas) hari. (2) Pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang melakukan tugas operasional Bank Syariah dalam bentuk apapun, dan harus menyelesaikan hal-hal terkait dengan pelanggaran atau penyimpangan yang dilakukannya. Pasal 34 (1) Pemegang saham atau Dewan Komisaris Bank Syariah wajib meminta Direksi paling lambat 15 (lima belas) hari untuk menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham dalam rangka memberhentikan anggota Dewan Komisaris dan/atau anggota Direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1). (2) Dalam hal pemegang saham dan Dewan Komisaris tidak meminta Direksi untuk menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka Bank Indonesia dapat menunjuk dan mengangkat pengganti sementara sampai Rapat Umum Pemegang Saham mengangkat pengganti yang tetap sesuai dengan ketentuan yang berlaku. (3) Dalam hal pengunduran diri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) atau pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat ... - 31 - ayat (1) menyebabkan komposisi jumlah anggota Dewan Komisaris dan/atau anggota Direksi tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku, maka pemegang saham Bank Syariah wajib melakukan penyesuaian dalam RUPS periode berikutnya. Pasal 35 (1) Dalam hal Pejabat Eksekutif yang diberikan predikat Tidak Memenuhi Persyaratan (Tidak Lulus) belum mengundurkan diri dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari, maka Direksi Bank Syariah wajib memberhentikan Pejabat Eksekutif yang diberikan predikat Tidak Memenuhi Persyaratan (Tidak Lulus) paling lambat 7 (tujuh) hari. (2) Direksi Bank Syariah yang tidak memberhentikan Pejabat Eksekutif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dinyatakan melakukan pelanggaran atau penyimpangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) huruf i setelah yang bersangkutan diberikan 2 (dua) kali surat teguran dengan tenggang waktu 7 (tujuh) hari. Pasal 36 PSP, anggota Dewan Komisaris, dan anggota Direksi dapat dinyatakan Tidak Memenuhi Persyaratan (Tidak Lulus) dengan jangka waktu larangan selama 20 (dua puluh) tahun apabila: a. PSP yang memperoleh predikat Tidak Memenuhi Persyaratan (Tidak Lulus) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) huruf b tidak bersedia menyampaikan surat pernyataan kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1); b. PSP ... - 32 - b. PSP melakukan pelanggaran terhadap surat pernyataan tertulis yang dibuat untuk memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1); atau c. anggota Dewan Komisaris dan anggota Direksi yang dinyatakan memiliki predikat Tidak Memenuhi Persyaratan (Tidak Lulus), namun tidak bersedia mengundurkan diri. Pasal 37 (1) Selain berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36, Bank Indonesia dapat menetapkan pemegang saham, PSP, anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi dan Pejabat Eksekutif sebagai pihak-pihak yang Tidak Memenuhi Persyaratan (Tidak Lulus) dengan jangka waktu larangan selama 20 (dua puluh) tahun, apabila: a. yang bersangkutan melakukan tindak pidana dengan menggunakan Bank Syariah sebagai sarana dan/atau sasaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 dan telah diputus bersalah oleh pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap; b. yang bersangkutan terbukti bertanggung jawab menyebabkan Bank Syariah mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya atau dapat membahayakan sistem perbankan; atau c. yang bersangkutan dinyatakan pailit atau menjadi pemegang saham, anggota Dewan Komisaris atau anggota Direksi suatu perseroan dan/atau anggota pengurus suatu badan hukum lainnya yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu ... - 33 - suatu perseroan dan/atau badan hukum lainnya dimaksud dinyatakan pailit oleh pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. (2) Penetapan pihak-pihak yang dinyatakan Tidak Memenuhi Persyaratan (Tidak Lulus) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf c, dapat dilakukan tanpa melalui proses uji kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25. Pasal 38 (1) Bank Indonesia memberitahukan hasil uji kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Pasal 20, Pasal 28 dan Pasal 44 secara tertulis kepada Bank Syariah dan kepada pihak yang dinilai. (2) Selain kepada Bank Syariah dan kepada pihak yang dinilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia dapat memberitahukan hasil uji kemampuan dan kepatutan kepada pihak-pihak lain yang berkepentingan. Bagian Keempat Peninjauan Kembali Atas Hasil Uji Kemampuan dan Kepatutan Pasal 39 (1) Pihak-pihak yang memperoleh predikat Tidak Memenuhi Persyaratan (Tidak Lulus), dapat mengajukan permohonan peninjauan kembali kepada Bank Indonesia dalam hal terdapat bukti baru yang kuat dan relevan. (2) Keputusan pemberian persetujuan atau penolakan atas permohonan ... - 34 - permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan wewenang penuh Bank Indonesia. BAB V UJI KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN BAGI CALON DIREKTUR UNIT USAHA SYARIAH, DIREKTUR UNIT USAHA SYARIAH DAN PEJABAT EKSEKUTIF UNIT USAHA SYARIAH Pasal 40 (1) Pihak-pihak yang dicalonkan menjadi Direktur UUS dapat berasal dari: a. salah satu anggota Direksi BUK; b. calon anggota Direksi BUK; atau c. calon anggota Direksi BUK dan telah ditetapkan sejak awal hanya akan bertugas mengelola UUS. (2) Pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b yang telah ditunjuk sebagai Direktur UUS, wajib mengikuti proses wawancara. (3) Dalam hal Direktur UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinilai kurang memiliki kompetensi di bidang perbankan syariah, maka kepada yang bersangkutan akan dilakukan wawancara ulang paling lambat 3 (tiga) bulan sejak surat pemberitahuan Bank Indonesia. (4) Apabila berdasarkan wawancara ulang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) Direktur UUS masih dinilai kurang memiliki kompetensi, maka Direktur UUS tersebut wajib diganti. Pasal 41 ... - 35 - Pasal 41 (1) Tata cara uji kemampuan dan kepatutan bagi calon Direktur UUS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) huruf c, berpedoman pada ketentuan sebagaimana diatur dalam BAB III Peraturan Bank Indonesia ini, kecuali Pasal 15 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) serta Pasal 17 ayat (1), ayat (2) dan ayat (4). (2) Permohonan untuk memperoleh persetujuan calon Direktur UUS diajukan oleh bank umum konvensional yang memiliki UUS kepada Bank Indonesia. (3) Dalam hal bank umum konvensional yang memiliki UUS berada dalam program penyelamatan oleh Lembaga Penjamin Simpanan, maka permohonan persetujuan calon Direktur UUS diajukan oleh Lembaga Penjamin Simpanan. Pasal 42 (1) Tata cara uji kemampuan dan kepatutan bagi Direktur UUS dan Pejabat Eksekutif UUS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf c berpedoman pada ketentuan sebagaimana diatur dalam BAB IV Peraturan Bank Indonesia ini, kecuali Pasal 34. (2) Pemegang saham bank umum konvensional harus segera memberhentikan Direktur UUS yang mendapat predikat Tidak Memenuhi Persyaratan (Tidak Lulus) paling lambat 30 (tiga puluh) hari. (3) Dalam hal pemegang saham bank umum konvensional tidak memberhentikan Direksi UUS dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), maka Bank Indonesia dapat menunjuk dan mengangkat pengganti sementara sampai Rapat Umum Pemegang ... - 36 - Pemegang Saham mengangkat pengganti yang tetap sesuai dengan ketentuan yang berlaku. BAB VI KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 43 Bank Indonesia melaporkan kepada pihak yang berwenang, apabila berdasarkan proses dan/atau hasil uji kemampuan dan kepatutan ditemukan adanya penyimpangan manajerial dan operasional yang bersifat serius (serious misconduct) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3) huruf a, dan patut diduga mengandung unsur tindak pidana dengan menggunakan Bank Syariah sebagai sarana dan/atau sasaran. Pasal 44 Hasil uji kemampuan dan kepatutan bersifat rahasia dan ditatausahakan serta digunakan oleh Bank Indonesia dalam rangka pelaksanaan tugas pembinaan dan pengawasan Bank Syariah. BAB VII SANKSI Pasal 45 (1) Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3), Pasal 31 ayat (2) dan Pasal 40 ayat (4), dikenakan sanksi administratif sesuai dengan Pasal 58 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, berupa: a. teguran... - 37 - a. teguran tertulis; dan/atau b. pemberhentian anggota Dewan Komisaris atau anggota Direksi Bank Syariah dan selanjutnya Bank Indonesia menunjuk dan mengangkat pengganti sementara sampai Rapat Umum Pemegang Saham mengangkat pengganti yang tetap dengan persetujuan Bank Indonesia. (2) PSP yang dengan sengaja tidak mentaati ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 huruf a dan huruf b, Pasal 34 ayat (1) dan ayat (3), dan Pasal 36 huruf a dan huruf b, dapat dikenakan sanksi sesuai dengan Pasal 64 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. (3) Anggota Komisaris, anggota Direksi atau Pejabat Eksekutif yang dengan sengaja tidak mentaati ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 huruf c dapat dikenakan sanksi sesuai Pasal 63 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. BAB VIII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 46 (1) Hasil uji kemampuan dan kepatutan yang telah ditetapkan oleh Bank Indonesia sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini dinyatakan tetap berlaku. (2) Proses uji kemampuan dan kepatutan yang masih berlangsung pada saat diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia ini, wajib menyesuaikan dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini. (3) Pihak-pihak ... - 38 - (3) Pihak-pihak yang telah dinyatakan sebagai pihak-pihak yang Tidak Memenuhi Persyaratan (Tidak Lulus) dengan jangka waktu larangan tertentu sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, tetap dilarang menjadi pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 sampai dengan jangka waktu pelarangan tersebut berakhir. BAB IX KETENTUAN PENUTUP Pasal 47 Ketentuan pelaksanaan tentang uji kemampuan dan kepatutan diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 48 Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini maka: a. Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/25/PBI/2003 tanggal 10 November 2003 tentang Penilaian Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test), dinyatakan tidak berlaku bagi Bank Umum Syariah. b. Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/23/PBI/2004 tanggal 9 Agustus 2004 tentang Penilaian Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test) bagi Bank Perkreditan Rakyat, dinyatakan tidak berlaku bagi Bank Pembiayaan Rakyat Syariah. Pasal 49 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar ... - 39 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di : Jakarta Pada tanggal : 28 Agustus 2009 Pjs. GUBERNUR BANK INDONESIA, DARMIN NASUTION Diundangkan di : Jakarta Pada tanggal : 28 Agustus 2009 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA ANDI MATTALATTA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 119 DPbS PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 11/ 31 /PBI/2009 TENTANG UJI KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN (FIT AND PROPER TEST) BANK SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH UMUM Dalam rangka mewujudkan sistem perbankan syariah yang sehat dan tangguh (sustainable) perlu didukung oleh ketersediaan sumber daya manusia yang berkualitas guna menjaga dan mempertahankan kepercayaan masyarakat. Oleh karena itu bank syariah perlu dimiliki dan dikelola oleh pihak-pihak yang mempunyai integritas yang tinggi, mempunyai kompetensi yang memadai, serta memiliki kelayakan keuangan dan/atau reputasi keuangan yang baik. Untuk memperoleh sumber daya manusia perbankan syariah yang berkualitas dan mampu menjaga kepercayaan masyarakat, Bank Indonesia perlu melakukan uji kemampuan dan kepatutan terhadap pihak-pihak yang dinilai mempunyai pengaruh signifikan dalam pengendalian dan pengelolaan bank syariah. Uji kemampuan dan kepatutan merupakan bagian dari praktik pengawasan bank syariah yang lazim diterapkan secara internasional. Uji kemampuan dan kepatutan merupakan kegiatan yang tidak terpisahkan dari pelaksanaan tugas pengawasan bank syariah oleh Bank Indonesia dan perlu dilakukan secara berkesinambungan guna mewujudkan terpeliharanya pengelolaan bank syariah yang berkualitas oleh sumber daya manusia yang memiliki integritas, termasuk komitmen untuk mematuhi prinsip syariah dalam operasional perbankan syariah, memiliki kompetensi serta memiliki kelayakan keuangan dan/atau reputasi keuangan yang ... - 2 - yang baik. Selain memperhatikan faktor-faktor tersebut di atas, uji kemampuan dan kepatutan juga mempertimbangkan berbagai informasi dan data yang dapat dipertanggungjawabkan serta dilakukan dalam suatu proses yang transparan. Uji kemampuan dan kepatutan ini dilakukan terhadap calon Pemegang Saham Pengendali, calon anggota Dewan Komisaris dan calon anggota Direksi dalam rangka untuk memastikan bahwa pengendali dan pengelola bank syariah memiliki integritas yang tinggi, kompetensi yang memadai serta kelayakan keuangan dan/atau reputasi keuangan yang baik. Selain itu, uji kemampuan dan kepatutan juga dilakukan terhadap Pemegang Saham Pengendali, anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi dan Pejabat Eksekutif yang sedang menjabat di bank syariah guna memastikan bahwa kualitas pengelolaan bank syariah tetap dilakukan dengan baik. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “gabungan keduanya” adalah gabungan antara: a. perorangan dan badan hukum; b. beberapa orang; atau c. beberapa badan hukum. Yang dimaksud dengan “kelompok usaha” adalah gabungan keduanya yang memiliki keterkaitan kepengurusan, kepemilikan dan/atau hubungan ... - 3 - hubungan keuangan. Ayat (3) Dalam menghitung jumlah saham yang dimiliki dan/atau dikendalikan secara bersama-sama oleh pihak-pihak yang melakukan Pengendalian terhadap Bank Syariah, termasuk juga menghitung: a. saham Bank Syariah yang dimiliki oleh pihak lain yang hak suaranya dapat digunakan atau dikendalikan oleh pengendali Bank Syariah; b. saham Bank Syariah yang dimiliki oleh perusahaan yang dikendalikan oleh pengendali Bank Syariah; c. saham Bank Syariah yang dimiliki oleh pihak terafiliasi dari pengendali Bank Syariah; Yang dimaksud dengan pihak terafiliasi dari pengendali Bank Syariah adalah: 1) anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi atau yang setara atau kuasanya, pejabat atau karyawan perusahaan pengendali Bank Syariah; 2) pengurus, pengawas, pengelola atau kuasanya, pejabat atau karyawan perusahaan pengendali Bank Syariah, khusus bagi perusahaan yang berbentuk badan hukum selain perseroan terbatas; 3) pihak yang memberikan jasa kepada perusahaan pengendali Bank Syariah, antara lain akuntan publik, penilai, konsultan hukum dan konsultan lain yang terbukti dikendalikan oleh pengendali Bank Syariah; 4) pihak yang mempunyai hubungan keluarga dengan pengendali Bank Syariah baik karena perkawinan maupun karena keturunan ... - 4 - keturunan sampai dengan derajat kedua baik secara horizontal maupun vertikal, termasuk besan; 5) pihak yang menurut penilaian Bank Indonesia turut serta memengaruhi pengelolaan perusahaan pengendali Bank Syariah, antara lain pemegang saham dan keluarganya, keluarga anggota Dewan Komisaris, keluarga anggota Direksi, keluarga pengawas dan keluarga pengurus. d. saham Bank Syariah yang dimiliki oleh anak perusahaan dari perusahaan yang dikendalikan oleh pengendali Bank Syariah; e. saham Bank Syariah yang dimiliki oleh pihak lain untuk dan atas nama pengendali Bank Syariah (saham nominee) berdasarkan atau tidak berdasarkan suatu perjanjian tertentu; f. saham Bank Syariah yang dimiliki oleh pihak lain yang pemindahtanganannya memerlukan persetujuan dari pengendali Bank Syariah; g. saham Bank Syariah lainnya selain saham sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf f, yang dikendalikan oleh pengendali Bank Syariah. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Ayat (1) Huruf a Bank Syariah dapat dimiliki oleh 1 (satu) atau lebih PSP. Termasuk dalam pengertian calon PSP antara lain adalah pemegang ... - 5 - pemegang saham yang menjadi PSP karena terjadinya pengalihan saham Bank Syariah secara internal atau eksternal, penambahan modal dari pemegang saham Bank Syariah, right issue saham Bank Syariah dan/atau pengajuan diri secara sukarela menjadi PSP. Uji kemampuan dan kepatutan dilakukan pula apabila terjadi peralihan jabatan dari Dewan Komisaris menjadi Direksi pada Bank Syariah yang sama. Terhadap peralihan jabatan dari anggota Direksi menjadi anggota Dewan Komisaris dan/atau dari anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris ke jabatan yang lebih tinggi pada Bank Syariah yang sama, hanya dilakukan penilaian secara administratif. Uji kemampuan dan kepatutan tidak dilakukan dalam hal perpanjangan jabatan anggota Dewan Komisaris atau anggota Direksi. Huruf b dan huruf c Termasuk dalam pelanggaran atau penyimpangan adalah pelanggaran atau penyimpangan prinsip syariah di bidang perbankan syariah. Ayat (2) Penilaian dan penelitian yang dilakukan meliputi antara lain atas Daftar Kepatutan dan Kelayakan (Daftar Tidak Lulus), Daftar Kredit Macet dan informasi lain yang menunjukkan tidak terpenuhinya aspek integritas. Informasi lain dapat diperoleh antara lain melalui wawancara, pengamatan dan pengujian (interview, observation and test) pada saat pelaksanaan pemeriksaan, informasi mengenai catatan administrasi Bank Indonesia yang berasal dari hasil pengawasan Bank Indonesia atau sumber-sumber ... - 6 - sumber-sumber lainnya. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Huruf a Penilaian terhadap kriteria dalam huruf ini dilakukan antara lain berdasarkan informasi yang diperoleh Bank Indonesia atau informasi lain yang diketahui oleh umum, bahwa yang bersangkutan tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana dengan menggunakan bank sebagai sarana dan/atau sasaran dan/atau melakukan tindakan merugikan pihak lain dan/atau negara secara melawan hukum. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan “komitmen untuk mendorong Direksi” antara lain komitmen calon PSP meminta Direksi untuk menjalankan visi dan misi dalam rangka mengembangkan Bank Syariah agar menjadi sehat, tangguh dan berkembang (sustainable). Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Pasal 7 Yang dimaksud dengan “memiliki kemampuan keuangan” antara lain memiliki kemampuan ... - 7 - kemampuan keuangan yang kuat dan tidak berasal dari pinjaman atau fasilitas pembiayaan dalam bentuk apapun. Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan “hutang” adalah kewajiban baik dalam sistem perbankan maupun diluar sistem perbankan yang dimiliki oleh yang bersangkutan kepada pihak lain termasuk hutang dari perusahaan atau kelompok usaha yang dimiliki oleh calon PSP. Yang dimaksud dengan “hutang yang bermasalah” adalah antara lain hutang yang tidak memenuhi persyaratan untuk dilakukan restrukturisasi sesuai ketentuan yang berlaku. Yang dimaksud dengan “daftar kredit macet” adalah daftar kredit macet sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai Sistem Informasi Debitur. Termasuk dalam pengertian kredit macet antara lain kredit dan/atau pembiayaan macet yang dimiliki oleh badan hukum dimana calon PSP menjadi anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi atau pengurus yang menyebabkan terjadinya kredit macet pada badan hukum dimaksud. Huruf d Cukup jelas. Pasal 8 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) ... - 8 - Ayat (2) Pengajuan calon PSP dilakukan sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia mengenai Bank Syariah. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 9 Ayat (1) Penelitian administratif meliputi penelitian dokumen persyaratan administratif, antara lain dokumen-dokumen yang terkait dengan catatan administrasi Bank Indonesia, kemampuan dan kelayakan keuangan, serta struktur kepemilikan saham calon PSP. Penelitian terhadap catatan administrasi Bank Indonesia meliputi antara lain penelitian terhadap pihak yang pernah mendapat predikat Tidak Memenuhi Persyaratan (Tidak Lulus). Wawancara hanya dilakukan terhadap calon PSP yang telah memenuhi persyaratan dalam penelitian administratif. Ayat (2) Komitmen tertulis tersebut antara lain dapat berupa: a. komitmen dari pihak yang melakukan Pengendalian untuk secara transparan melaporkan rencana pengalihan kepemilikan saham perusahaan yang mengakibatkan perubahan pengendali Bank Syariah; b. komitmen dari calon PSP dan/atau pihak yang melakukan Pengendalian untuk tidak melakukan pengalihan kepemilikan sahamnya ... - 9 - sahamnya di Bank Syariah dalam jangka waktu tertentu; c. komitmen dari calon PSP dan/atau pihak-pihak yang melakukan Pengendalian termasuk ultimate shareholders untuk tidak menerima penyediaan dana dan/atau fasilitas apapun yang tidak wajar dari Bank Syariah dimaksud; dan/atau d. komitmen dari calon PSP untuk mematuhi prinsip syariah di bidang perbankan syariah. Pasal 10 Ayat (1) Dalam hal calon PSP berbentuk badan hukum, maka calon PSP tersebut harus menyampaikan hasil analisa kemampuan keuangan badan hukum pada saat permohonan dan proyeksinya untuk jangka waktu minimal 3 (tiga) tahun. Dalam hal badan hukum calon PSP dimaksud dimiliki dan dikendalikan oleh badan hukum lain secara berjenjang dalam suatu kelompok usaha, maka ultimate shareholders adalah orang-perseorangan atau badan hukum yang memiliki saham dan merupakan pengendali badan hukum terakhir dari keseluruhan struktur kelompok usaha yang mengendalikan Bank Syariah. Dalam hal badan hukum terakhir dari keseluruhan struktur kelompok usaha yang mengendalikan Bank Syariah tidak memiliki pengendali, maka badan hukum tersebut merupakan ultimate shareholders. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 11 ... - 10 - Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Belum diturunkannya kepemilikan menjadi paling banyak 10% (sepuluh persen) dalam jangka waktu yang ditetapkan, tidak menghilangkan kewajiban yang bersangkutan untuk menurunkan kepemilikannya. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 13 Cukup Jelas. Pasal 14 Persyaratan integritas didasarkan antara lain dari catatan administrasi Bank Indonesia, predikat hasil uji kemampuan dan kepatutan yang pernah diberikan kepada calon anggota Dewan Komisaris dan calon anggota Direksi dimaksud. Pasal 15 Ayat (1) Huruf a Angka 1) Yang dimaksud dengan “pengetahuan, pemahaman di bidang ... - 11 - bidang operasional perbankan syariah” adalah berupa pengetahuan dan pemahaman tentang peraturan dan operasional BUS yang antara lain dibuktikan dengan memiliki sertifikat pelatihan perbankan syariah. Yang dimaksud dengan “pengalaman di bidang operasional perbankan syariah” antara lain berupa pengalaman dalam mengelola bisnis utama bank syariah. Angka 2) Kemampuan untuk mengawasi kegiatan usaha BUS antara lain ditunjukkan dengan memiliki pengetahuan dan pemahaman mengenai pengawasan kegiatan usaha perbankan syariah. Angka 3) Memiliki pengetahuan dan pemahaman menajemen risiko antara lain dibuktikan dengan memiliki sertifikat manajemen risiko yang dikeluarkan oleh Lembaga Sertifikasi Profesi yang telah memperoleh izin dari Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP). Huruf b Angka 1) Yang dimaksud dengan “pengetahuan, pemahaman di bidang operasional perbankan syariah” adalah berupa pengetahuan dan pemahaman tentang peraturan dan operasional BPRS yang antara lain dibuktikan dengan memiliki sertifikat pelatihan perbankan syariah. Yang dimaksud dengan “pengalaman di bidang operasional perbankan syariah” adalah antara lain memiliki pengalaman ... - 12 - pengalaman dalam mengelola bisnis utama bank syariah. Angka 2) Kemampuan untuk mengawasi kegiatan usaha BPRS antara lain dibuktikan dengan memiliki pengetahuan dan pemahaman mengenai pengawasan kegiatan usaha perbankan syariah. Huruf c Angka 1) Yang dimaksud dengan “pengetahuan dan pemahaman di bidang operasional perbankan syariah” adalah berupa pengetahuan dan pemahaman tentang peraturan dan operasional BUS yang antara lain dibuktikan dengan memiliki sertifikat pelatihan perbankan syariah. Angka 2) Yang dimaksud dengan “pengalaman dan keahlian di bidang operasional perbankan atau perbankan syariah dan/atau bidang keuangan atau keuangan syariah” adalah antara lain berupa pengalaman dan keahlian dalam mengelola bisnis utama bank dan/atau lembaga keuangan. Angka 3) Yang dimaksud dengan “kemampuan untuk melakukan pengelolaan strategis” antara lain kemampuan untuk mengantisipasi perkembangan perekonomian, keuangan dan perbankan, menginterpretasikan visi dan misi BUS dan analisis situasi industri perbankan. Angka 4) ... - 13 - Angka 4) Memiliki pengetahuan dan pemahaman yang antara lain dibuktikan dengan memiliki sertifikat manajemen risiko yang diterbitkan oleh Lembaga Sertifikasi Profesi yang telah memperoleh izin dari Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) serta memiliki kemampuan dalam penerapan manajemen risiko pada kegiatan operasional BUS. Huruf d Angka 1) Yang dimaksud dengan “pengetahuan dan pemahaman di bidang operasional perbankan syariah” antara lain berupa pengetahuan dan pemahaman tentang peraturan dan operasional BPRS yang antara lain dibuktikan dengan memiliki sertifikat pelatihan perbankan syariah. Angka 2) Yang dimaksud dengan “pengalaman dan keahlian di bidang operasional perbankan atau perbankan syariah dan/atau bidang keuangan atau keuangan syariah” adalah antara lain berupa pengalaman dan keahlian dalam mengelola bisnis utama bank dan/atau lembaga keuangan. Angka 3) Yang dimaksud dengan “kemampuan untuk melakukan pengelolaan strategis” antara lain kemampuan untuk mengantisipasi perkembangan perekonomian, keuangan dan perbankan, menginterpretasikan visi dan misi BPRS dan analisis situasi industri perbankan. Ayat (2) ... - 14 - Ayat (2) Yang dimaksud dengan “mayoritas” adalah lebih dari 50% (lima puluh persen) dari jumlah seluruh anggota Direksi. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 16 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “hutang” adalah kewajiban baik dalam sistem perbankan maupun diluar sistem perbankan yang dimiliki oleh yang bersangkutan kepada pihak lain. Yang dimaksud dengan “hutang yang bermasalah” adalah antara lain hutang yang tidak memenuhi persyaratan untuk dilakukan restrukturisasi sesuai ketentuan yang berlaku. Yang dimaksud dengan “daftar kredit macet” adalah daftar kredit macet sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai Sistem Informasi Debitur. Termasuk dalam pengertian kredit macet antara lain kredit dan/atau pembiayaan macet yang dimiliki oleh badan hukum dimana calon anggota Dewan Komisaris atau calon anggota Direksi menjadi anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi atau pengurus yang menyebabkan terjadinya kredit macet pada badan hukum dimaksud. Pasal 17 ... - 15 - Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Maksud lain dilakukannya Uji Kemampuan dan Kepatutan ini adalah untuk memberikan masukan (feed back) kepada Lembaga Penjamin Simpanan. Pasal 19 Ayat (1) Penelitian administratif antara lain meliputi penelitian dokumen persyaratan administratif, catatan administrasi Bank Indonesia serta penelitian reputasi keuangan calon yang bersangkutan. Wawancara hanya dilakukan terhadap calon yang telah memenuhi persyaratan dalam penelitian administratif. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “komitmen tertulis” antara lain berupa: a. komitmen dari calon anggota Dewan Komisaris dan/atau calon anggota Direksi untuk secara konsisten mengembangkan Bank Syariah yang sehat dan tangguh (sustainable); b. komitmen dari calon anggota Dewan Komisaris dan/atau calon anggota Direksi untuk mematuhi prinsip syariah di bidang perbankan syariah; dan/atau c. komitmen dari calon anggota Dewan Komisaris dan/atau calon anggota Direksi untuk tidak menerima penyediaan dana dan/atau fasilitas apapun yang tidak wajar dari Bank Syariah dimaksud. Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 ... - 16 - Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “komitmen” adalah kesiapan dan kesungguhan untuk melaksanakan hal-hal yang telah diperjanjikan sebelumnya secara konsisten dan konsekuen. Huruf c Angka 1) Yang dimaksud dengan rekayasa adalah upaya-upaya yang dilakukan untuk menyembunyikan dan/atau mengaburkan pelanggaran dari suatu ketentuan atau untuk kondisi keuangan dan/atau transaksi yang sebenarnya, antara lain berupa: 1) penggelapan atau manipulasi yang dapat merugikan Bank Syariah; 2) transaksi fiktif baik yang dilakukan pada sisi aktiva maupun pasiva Bank Syariah serta transaksi rekening administratif; 3) kolusi dengan nasabah atau pihak lain yang merugikan Bank ... - 17 - Bank Syariah; 4) praktik bank dalam bank atau usaha bank di luar pembukuan Bank Syariah; atau 5) window dressing dalam pembukuan atau laporan Bank Syariah yang secara materil berpengaruh terhadap keadaan keuangan Bank Syariah sehingga mengakibatkan penilaian yang keliru terhadap Bank Syariah. Angka 2) Yang dimaksud dengan “pegawai” adalah setiap orang yang bekerja dan tercatat dalam administrasi kepegawaian Bank Syariah. Yang dimaksud dengan “merugikan atau mengurangi keuntungan Bank Syariah” adalah merugikan atau mengurangi keuntungan dalam bentuk keuangan yang dapat menimbulkan kesulitan keuangan atau potensi kesulitan keuangan di masa yang akan datang. Angka 3) Ketentuan yang berkaitan dengan prinsip kehati-hatian antara lain namun tidak terbatas pada ketentuan tentang Kualitas Aktiva, Kewajiban Penyediaan Modal Minimum, Batas Maksimum Penyaluran Dana, Posisi Devisa Neto dan Giro Wajib Minimum Bank Umum Syariah. Angka 4) Ketentuan yang berkaitan dengan prinsip syariah antara lain namun tidak terbatas pada ketentuan tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam Kegiatan Penghimpunan Dana dan Penyaluran ... - 18 - Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah. Ayat (2) Yang dimaksud dengan perbuatan dan/atau kondisi yang menyebabkan terjadinya ketidakmampuan keuangan PSP dalam memenuhi kelangsungan usaha Bank Syariah antara lain: a. tidak memiliki sumber penghasilan utama yang dalam jangka menengah dan jangka panjang tidak dapat mendukung perkembangan bisnis Bank Syariah; b. memiliki sumber-sumber dana yang berasal dari pinjaman langsung dan/atau tindak pidana pencucian uang (money laundering); c. dinyatakan pailit atau menjadi pemegang saham, anggota Dewan Komisaris, atau anggota Direksi suatu perseroan dan/atau anggota pengurus suatu badan hukum lainnya yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perseroan dan/atau badan hukum lainnya dimaksud dinyatakan pailit berdasarkan ketetapan pengadilan. d. tidak memiliki kemampuan untuk memenuhi komitmen dalam mengatasi kesulitan permodalan dan likuiditas yang dihadapi Bank Syariah; e. memiliki hutang yang bermasalah, termasuk tercantum dalam daftar kredit macet. Termasuk dalam pengertian kredit macet antara lain kredit dan/atau pembiayaan macet yang dimiliki oleh badan hukum dimana PSP menjadi anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi atau pengurus yang menyebabkan terjadinya kredit macet pada badan hukum dimaksud; dan/atau f. tidak bersedia untuk melakukan upaya-upaya yang diperlukan agar Bank ... - 19 - Bank Syariah dapat mengatasi kesulitan permodalan dan likuiditas. Pasal 24 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Yang dimaksud dengan “independen” adalah perbuatan yang dilakukan secara objektif dan bebas dari tekanan dan kepentingan pihak manapun termasuk mengemukakan pandangan, pemikiran, mengambil keputusan dan tindakan yang sesuai dengan profesi dengan tidak memihak terhadap kepentingan pihak lain yang tidak sesuai dengan kepentingan Bank Syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan Bank Syariah. Huruf i ... - 20 - Huruf i Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Angka 1) Yang dimaksud dengan “pengetahuan, pemahaman di bidang operasional perbankan syariah” adalah berupa pengetahuan dan pemahaman tentang peraturan dan operasional BUS yang antara lain dibuktikan dengan memiliki sertifikat pelatihan perbankan syariah. Yang dimaksud dengan “pengalaman di bidang operasional perbankan syariah” adalah berupa pengalaman dalam mengelola bisnis utama bank syariah. Angka 2) Kemampuan untuk mengawasi kegiatan usaha BUS antara lain dibuktikan dengan memiliki pengetahuan dan pemahaman mengenai pengawasan kegiatan usaha perbankan syariah. Angka 3) Memiliki pengetahuan dan pemahaman menajemen risiko antara lain dibuktikan dengan memiliki sertifikat manajemen risiko yang dikeluarkan oleh Lembaga Sertifikasi Profesi yang telah memperoleh izin dari Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP). Huruf b Angka 1) Yang dimaksud dengan “pengetahuan, pemahaman di bidang ... - 21 - bidang operasional perbankan syariah” adalah berupa pengetahuan dan pemahaman tentang peraturan dan operasional BPRS yang antara lain dibuktikan dengan memiliki sertifikat pelatihan perbankan syariah. Yang dimaksud dengan “pengalaman di bidang operasional perbankan syariah” adalah berupa pengalaman dalam mengelola bisnis utama bank syariah. Angka 2) Kemampuan untuk mengawasi kegiatan usaha BPRS antara lain dibuktikan dengan memiliki pengetahuan dan pemahaman mengenai pengawasan kegiatan usaha perbankan syariah. Huruf c Angka 1) Yang dimaksud dengan “pengetahuan, pemahaman di bidang perbankan syariah” adalah berupa pengetahuan dan pemahaman tentang peraturan dan operasional BUS yang antara lain dibuktikan dengan memiliki sertifikat pelatihan perbankan syariah. Angka 2) Yang dimaksud dengan “pengalaman dan keahlian di bidang operasional perbankan atau perbankan syariah dan/atau keuangan atau keuangan syariah” adalah berupa pengalaman dan keahlian dalam mengelola bisnis utama bank dan/atau lembaga keuangan. Angka 3) Yang dimaksud dengan “kemampuan untuk melakukan pengelolaan ... - 22 - pengelolaan strategis” antara lain kemampuan untuk mengantisipasi perkembangan perekonomian, keuangan dan perbankan, menginterpretasikan visi menjadi misi BUS dan analisis situasi industri perbankan. Angka 4) Memiliki pengetahuan dan pemahaman yang antara lain dibuktikan dengan memiliki sertifikat manajemen risiko yang diterbitkan oleh Lembaga Sertifikasi Profesi yang telah memperoleh izin dari Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) serta memiliki kemampuan dalam penerapan manajemen risiko pada kegiatan operasional BUS. Huruf d Angka 1) Yang dimaksud dengan “pengetahuan dan pemahaman di bidang operasional perbankan syariah” adalah berupa pengetahuan dan pemahaman tentang peraturan dan operasional BPRS yang antara lain dibuktikan dengan memiliki sertifikat pelatihan perbankan syariah. Angka 2) Yang dimaksud dengan “pengalaman dan keahlian di bidang operasional perbankan atau perbankan syariah dan/atau keuangan atau keuangan syariah” adalah berupa pengalaman dan keahlian dalam mengelola bisnis utama bank dan/atau lembaga keuangan. Angka 3) Yang dimaksud dengan “kemampuan untuk melakukan pengelolaan ... - 23 - pengelolaan strategis” antara lain kemampuan untuk mengantisipasi perkembangan perekonomian, keuangan dan perbankan, menginterpretasikan visi menjadi misi BPRS dan analisis situasi industri perbankan. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “perbuatan dan/atau kondisi yang menyebabkan tingkat reputasi keuangan yang bersangkutan menurun” antara lain: a. dinyatakan pailit atau menjadi pemegang saham, anggota Dewan Komisaris atau anggota Direksi suatu perseroan dan/atau anggota pengurus suatu badan hukum lainnya yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perseroan dan/atau badan hukum lainnya dimaksud dinyatakan pailit berdasarkan ketetapan pengadilan; dan/atau b. memiliki hutang yang bermasalah, termasuk tercantum dalam daftar kredit macet. Termasuk dalam pengertian kredit macet antara lain kredit dan/atau pembiayaan macet yang dimiliki oleh badan hukum dimana anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi atau Pejabat Eksekutif menjadi anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi atau pengurus yang menyebabkan terjadinya kredit macet pada badan hukum dimaksud. Pasal 25 Ayat (1) Huruf a Data dan informasi dapat berdasarkan hasil pengawasan maupun informasi lain yang diperoleh Bank Indonesia. Huruf b Pelaksanaan pemeriksaan dalam rangka uji kemampuan dan kepatutan ... - 24 - kepatutan dapat dilakukan melalui pemeriksaan khusus atau secara bersamaan dengan pemeriksaan lainnya dan dapat mencakup pemeriksaan sebelumnya. Huruf c Dalam hal pihak-pihak yang dinilai merupakan kelompok usaha, maka konfirmasi hasil pemeriksaan disampaikan kepada seluruh anggota kelompok usaha yang terkait dengan Bank Syariah. Dalam hal pihak-pihak yang dinilai merupakan badan hukum, maka konfirmasi hasil pemeriksaan disampaikan kepada pengurus badan hukum yang terkait. Huruf d Penyampaian hasil penilaian pertama kepada pihak-pihak yang dinilai dan pihak terkait lainnya dilakukan secara tertulis. Pihak terkait lainnya diantaranya adalah pemegang saham mayoritas dan/atau PSP. Huruf e Penyampaian tanggapan oleh pihak-pihak yang dinilai dapat dilakukan secara tertulis maupun melalui tatap muka serta didukung bukti-bukti yang diperlukan. Yang dimaksud dengan “pengkajian atas tanggapan” antara lain termasuk penyesuaian hasil penilaian sementara uji kemampuan dan kepatutan oleh Bank Indonesia dalam hal tanggapan yang diajukan oleh pihak yang dinilai dapat diterima oleh Bank Indonesia. Huruf f Penyampaian hasil penilaian kedua kepada pihak-pihak yang dinilai dan pihak terkait lainnya dilakukan secara tertulis. Huruf g ... - 25 - Huruf g Penyampaian tanggapan kedua oleh pihak-pihak yang dinilai dapat dilakukan secara tertulis maupun melalui tatap muka serta didukung bukti-bukti yang diperlukan. Huruf h Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 26 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “komitmen” antara lain kesediaan untuk menyelesaikan seluruh proses uji kemampuan dan kepatutan yang dinyatakan secara tertulis. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 27 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2)... - 26 - Ayat (2) Yang dimaksud dengan “satu kesatuan dan berlaku bagi PSP dan pihak- pihak yang melakukan Pengendalian terhadap Bank Syariah yang terkait dengan PSP yang diuji” adalah apabila PSP diberikan predikat Tidak Memenuhi Persyaratan (Tidak Lulus), maka keseluruhan pihak-pihak yang melakukan Pengendalian yang terkait dengan PSP juga diberikan predikat Tidak Memenuhi Persyaratan (Tidak Lulus), kecuali dapat dibuktikan sebaliknya. Ketentuan ini dimaksudkan agar masing-masing pihak terkait dapat bertindak independen terhadap PSP yang diuji. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 28 Ayat (1) Huruf a Pihak-pihak yang memperoleh predikat Memenuhi Persyaratan (Lulus) dinyatakan memenuhi persyaratan untuk tetap menjadi PSP, anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi atau Pejabat Eksekutif. Huruf b Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 29 ... - 27 - Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Ayat (1) Pernyataan tertulis ditandatangani di atas materai yang cukup dan dilegalisasi oleh Notaris. Sejak adanya surat pernyataan dimaksud maka yang bersangkutan dilarang menggunakan segala hak dan wewenang sebagai PSP. Perhitungan jangka waktu dimulai sejak tanggal surat pemberitahuan dari Bank Indonesia. Ayat (2) Tidak termasuk perbuatan menurunkan kepemilikan adalah melakukan hibah dan/atau penjualan kepada pihak-pihak yang memiliki hubungan keluarga sampai dengan derajat kedua. Yang dimaksud dengan hubungan keluarga sampai dengan derajat kedua adalah hubungan baik vertikal maupun horizontal, termasuk mertua, menantu dan ipar, sehingga yang dimaksud dengan keluarga meliputi: 1. Orangtua kandung/tiri/angkat; 2. Saudara kandung/tiri/angkat beserta suami atau istrinya; 3. Anak kandung/tiri/angkat; 4. Kakek/nenek kandung/tiri/angkat; 5. Cucu kandung/tiri/angkat; 6. Saudara kandung/tiri/angkat dari orangtua beserta suami atau istrinya; 7. Suami/istri; 8. Mertua; 9. Besan ... - 28 - 9. Besan; 10. Suami/istri dari anak kandung/tiri/angkat; 11. Kakek atau nenek dari suami atau istri; 12. Suami/istri dari cucu kandung/tiri/angkat; 13. Saudara kandung/tiri/angkat dari suami atau istri beserta suami atau istrinya. Perhitungan jangka waktu 6 (enam) bulan dimulai sejak tanggal surat pemberitahuan dari Bank Indonesia. Pasal 31 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “tidak memperoleh hak-haknya” antara lain hak suara tidak diperhitungkan dalam RUPS, hak suara tidak diperhitungkan sebagai penghitungan kuorum atau tidaknya RUPS, dan hak memperoleh dividen. Pasal 32 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Perhitungan jangka waktu dimulai sejak tanggal surat pemberitahuan dari Bank Indonesia. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 33 ... - 29 - Pasal 33 Ayat (1) Perhitungan jangka waktu dimulai sejak tanggal surat pemberitahuan dari Bank Indonesia. Bank Indonesia dapat mengumumkan kepada masyarakat nama-nama dari anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi dan Pejabat Eksekutif yang memperoleh predikat Tidak Memenuhi Persyaratan (Tidak Lulus) namun tidak bersedia mengundurkan diri dari jabatan sebagai anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi dan Pejabat Eksekutif. Pengumuman kepada masyarakat antara lain dilakukan melalui website Bank Indonesia. Ayat (2) Larangan untuk melakukan tugas operasional dimulai sejak diterimanya surat pemberitahuan Bank Indonesia bahwa yang bersangkutan Tidak Memenuhi Persyaratan (Tidak Lulus). Pasal 34 Ayat (1) Perhitungan jangka waktu dimulai sejak tanggal surat pemberitahuan dari Bank Indonesia. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 35 ... - 30 - Pasal 35 Ayat (1) Kewajiban atas Direksi Bank Syariah dimaksud dilaksanakan oleh salah satu anggota Direksi yang berwenang mengangkat dan memberhentikan Pejabat Eksekutif. Bank Indonesia dapat mengumumkan kepada masyarakat nama-nama dari anggota Direksi yang terbukti tidak memberhentikan Pejabat Eksekutif yang dinyatakan Tidak Memenuhi Persyaratan (Tidak Lulus). Pengumuman kepada masyarakat antara lain dilakukan melalui website Bank Indonesia. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 36 Perhitungan jangka waktu 20 (dua puluh) tahun dimulai sejak tanggal surat pemberitahuan dari Bank Indonesia. Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Anggota Dewan Komisaris dan anggota Direksi dinyatakan tidak bersedia mengundurkan diri apabila yang bersangkutan belum mengundurkan diri pada saat diberhentikan oleh pemegang saham. Pasal 37... - 31 - Pasal 37 Ayat (1) Perhitungan jangka waktu 20 (dua puluh) tahun dimulai sejak tanggal surat pemberitahuan dari Bank Indonesia. Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “bertanggungjawab menyebabkan Bank Syariah mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya atau dapat membahayakan sistem perbankan”, antara lain adalah: 1) memanfaatkan Bank Syariah untuk membiayai kepentingan sendiri dan/atau kelompok usahanya; dan/atau 2) melanggar ketentuan dan/atau komitmen kepada Bank Indonesia atau Pemerintah, yang menyebabkan Bank Syariah bermasalah berat sehingga diambil alih oleh Pemerintah, dibekukan kegiatan usahanya dan/atau dicabut ijin usahanya. Huruf c Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 38 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) ... - 32 - Ayat (2) Yang dimaksud dengan “pihak-pihak lain yang berkepentingan” antara lain adalah Pemerintah dan pemegang saham. Dalam hal Bank Syariah, pihak yang dinilai dan pihak-pihak lain memberitahukan hasil uji kemampuan dan kepatutan kepada pihak ketiga, maka segala akibat hukum yang timbul sepenuhnya menjadi tanggung jawab yang bersangkutan. Pasal 39 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Keputusan persetujuan atau penolakan bersifat independen dengan mendasarkan pada keyakinan dan bukti-bukti yang kuat dan relevan yang dimiliki atau diperoleh Bank Indonesia. Informasi atau keputusan dari instansi atau lembaga lain dapat digunakan sebagai pertimbangan dalam penetapan keputusan Bank Indonesia tersebut. Pasal 40 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Wawancara hanya dapat dilakukan setelah yang bersangkutan dinyatakan lulus uji kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan uji kemampuan dan kepatutan untuk bank umum konvensional. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) ... - 33 - Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 41 Cukup jelas. Pasal 42 Cukup jelas. Pasal 43 Cukup jelas. Pasal 44 Cukup jelas. Pasal 45 Cukup jelas. Pasal 46 Cukup jelas. Pasal 47 Cukup jelas. Pasal 48 Cukup jelas. Pasal 49 ... - 34 - Pasal 49 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5042 DPbS "," PBI 11/31/PBI/2009 UJI KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN (FIT AND PROPER TEST) BANK SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH 28 Agustus 2009 28 Agustus 2009 28 Agustus 2009 '6/23/PBI/2004', '5/25/PBI/2003' '21/UU/2008', '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '40/UU/2007' 'BAB VII' " " PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 18/29/PBI/2016 TENTANG PENGELUARAN UANG RUPIAH KERTAS PECAHAN 100.000 (SERATUS RIBU) TAHUN EMISI 2016 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa uang Rupiah sebagai mata uang Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki peran yang sangat strategis, baik sebagai simbol kedaulatan negara yang harus dihormati dan dibanggakan oleh seluruh warga negara Indonesia, maupun sebagai alat pembayaran yang sah dalam kegiatan perekonomian nasional guna mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia; b. bahwa guna mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan dalam rangka melaksanakan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, Bank Indonesia perlu mengeluarkan uang Rupiah dan mengedarkannya sesuai dengan kebutuhan masyarakat dalam jumlah nominal yang cukup, jenis pecahan yang sesuai, tepat waktu, dan dalam kondisi yang layak edar; c. bahwa untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap uang Rupiah maka uang Rupiah yang dikeluarkan Bank - 2 - Indonesia perlu senantiasa ditingkatkan kualitas dan keandalannya; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang Pengeluaran Uang Rupiah Kertas Pecahan 100.000 (Seratus Ribu) Tahun Emisi 2016; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843), sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5223); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENGELUARAN UANG RUPIAH KERTAS PECAHAN 100.000 (SERATUS RIBU) TAHUN EMISI 2016. Pasal 1 Bank Indonesia mengeluarkan uang Rupiah pecahan 100.000 (seratus ribu) tahun emisi 2016 sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. - 3 - Pasal 2 Macam uang Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 merupakan uang Rupiah kertas yang memiliki ciri tertentu. Pasal 3 Harga uang Rupiah kertas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 merupakan nilai nominal pada pecahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 yaitu sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah). Pasal 4 Ciri tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang terdapat pada bagian depan dan bagian belakang meliputi: a. ciri umum; dan b. ciri khusus. Pasal 5 (1) Ciri umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a, pada bagian depan terdapat: a. gambar lambang negara “Garuda Pancasila”; b. frasa “NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA”; c. sebutan pecahan dalam angka “100000” dan tulisan “SERATUS RIBU RUPIAH”; d. tanda tangan Gubernur Bank Indonesia beserta tulisan “GUBERNUR” dan tanda tangan Menteri Keuangan Republik Indonesia beserta tulisan “MENTERI KEUANGAN”; e. tulisan tahun emisi yaitu “EMISI 2016”; f. gambar utama yaitu Pahlawan Nasional Dr. (H.C.) Ir. Soekarno dan Dr. (H.C.) Drs. Mohammad Hatta beserta tulisan “Dr. (H.C.) Ir. SOEKARNO” dan “Dr. (H.C.) Drs. MOHAMMAD HATTA”; g. gambar ornamen batik; dan h. gambar lingkaran-lingkaran kecil. - 4 - (2) Ciri khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b, pada bagian depan yang berupa desain dan teknik cetak, terdapat: a. warna dominan merah; b. hasil cetak yang terasa kasar apabila diraba pada ciri umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, dan huruf f; c. gambar saling isi (rectoverso) dari logo Bank Indonesia yang dapat dilihat secara utuh apabila diterawangkan ke arah cahaya; d. gambar tersembunyi (latent image) berupa tulisan “BI” yang dapat dilihat dari sudut pandang tertentu; e. gambar tersembunyi (latent image) multiwarna berupa angka “100” yang dapat dilihat dari sudut pandang tertentu; f. gambar perisai yang di dalamnya berisi logo Bank Indonesia yang akan berubah warna apabila dilihat dari sudut pandang berbeda (colour shifting); g. kode tuna netra (blind code) berupa efek rabaan (tactile); h. gambar raster berupa tulisan “NKRI” yang tertulis utuh dan/atau sebagian; i. mikroteks yang memuat tulisan “BI100”, tulisan “BI”, dan angka “100”, yang dapat dilihat dengan bantuan kaca pembesar; dan j. hasil cetak yang akan memendar dalam 1 (satu) atau beberapa warna apabila dilihat dengan sinar ultraviolet berupa: 1. 2 (dua) bidang persegi empat yang salah satunya berisi tulisan “BI”; 2. angka nominal “100000”; 3. ornamen batik; dan 4. gambar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. - 5 - Pasal 6 (1) Ciri umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a, pada bagian belakang terdapat: a. angka nominal “100000”; b. nomor seri dengan bentuk asimetris yang meliputi 3 (tiga) huruf dan 6 (enam) angka; c. teks “DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA MENGELUARKAN RUPIAH SEBAGAI ALAT PEMBAYARAN YANG SAH DENGAN NILAI SERATUS RIBU RUPIAH”; d. tulisan tahun cetak “TC 2016”; e. gambar utama yaitu tari topeng betawi beserta tulisan “TARI TOPENG BETAWI”, pemandangan alam Raja Ampat beserta tulisan “Raja Ampat”, dan bunga anggrek bulan; f. tulisan “BANK INDONESIA”; g. gambar ornamen batik; h. gambar lingkaran-lingkaran kecil; dan i. tulisan “PERURI”. (2) Ciri khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b, pada bagian belakang yang berupa desain dan teknik cetak, terdapat: a. warna dominan merah; b. hasil cetak yang terasa kasar apabila diraba pada ciri umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf c, dan huruf f; c. hasil cetak yang terasa kasar apabila diraba pada gambar tari topeng betawi, tulisan “TARI TOPENG BETAWI”, dan tulisan “Raja Ampat”; d. gambar saling isi (rectoverso) dari logo Bank Indonesia yang dapat dilihat secara utuh apabila diterawangkan ke arah cahaya; e. gambar tersembunyi (latent image) berupa angka “100” yang dapat dilihat dari sudut pandang tertentu; - 6 - f. gambar raster berupa tulisan “NKRI” dan angka “100000”; g. mikroteks yang memuat tulisan “BI100000” dan angka “100000”, yang dapat dilihat dengan bantuan kaca pembesar; dan h. hasil cetak yang akan memendar dalam 1 (satu) atau beberapa warna apabila dilihat dengan sinar ultraviolet berupa: 1. gambar bunga anggrek bulan; 2. gambar burung elang bondol; 3. bidang persegi empat yang berisi tulisan “BI”; 4. gambar lingkaran-lingkaran kecil; dan 5. nomor seri dengan bentuk asimetris yang meliputi 3 (tiga) huruf dan 6 (enam) angka. (3) Angka dalam tulisan tahun cetak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d akan berubah sesuai dengan tahun cetak. Pasal 7 Selain ciri khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 6 ayat (2), uang Rupiah memiliki ciri khusus sebagai berikut: a. bahan berupa kertas uang yang memiliki spesifikasi: 1. terbuat dari serat kapas; 2. berwarna merah muda; 3. tidak memendar dengan sinar ultraviolet; 4. terdapat tanda air (watermark) berupa gambar Pahlawan Nasional W. R. Soepratman dan ornamen tertentu; dan 5. terdapat benang pengaman berbentuk anyaman yang memuat tulisan “BI 100000” secara berulang, yang akan berubah warna apabila dilihat dari sudut pandang berbeda (colour shifting); dan b. ukuran yaitu panjang 151 (seratus lima puluh satu) milimeter dan lebar 65 (enam puluh lima) milimeter. - 7 - Pasal 8 Uang Rupiah kertas pecahan 100.000 (seratus ribu) tahun emisi 2004 dan tahun emisi 2014 dinyatakan masih tetap berlaku sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sepanjang belum dicabut dan ditarik dari peredaran. Pasal 9 Uang Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 mulai berlaku dan diedarkan pada tanggal 19 Desember 2016. Pasal 10 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. - 8 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 26 Oktober 2016 GUBERNUR BANK INDONESIA, AGUS D. W. MARTOWARDOJO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 28 Oktober 2016 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 213 "," PBI 18/29/PBI/2016 PENGELUARAN UANG RUPIAH KERTAS PECAHAN 100.000 (SERATUS RIBU) TAHUN EMISI 2016 26 Oktober 2016 28 Oktober 2016 28 Oktober 2016 '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '6/UU/2009', '7/UU/2011' " " PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 9/13/PBI/2007 TENTANG KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM BANK UMUM DENGAN MEMPERHITUNGKAN RISIKO PASAR GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam perhitungan kecukupan permodalan, selain mempertimbangkan risiko kredit, bank juga perlu mempertimbangkan risiko pasar, maupun risiko lainnya; b. bahwa dengan semakin kompleksnya instrumen keuangan yang terekspos risiko pasar, perlu diberikan alternatif metode pengukuran risiko pasar yang sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan bank dalam rangka perhitungan kecukupan permodalan; c. bahwa dalam memperhitungkan risiko pasar dapat dilakukan dengan metode standar (standard method) dan/atau model internal (internal model) baik bagi bank secara individual maupun secara konsolidasi dengan perusahaan anak; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, b, dan c diperlukan pengaturan kembali terhadap ketentuan tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum Dengan Memperhitungkan Risiko Pasar (Market Risk) dalam Peraturan Bank Indonesia; Mengingat … - 2 - Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357); 3. Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/21/PBI/2001 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 149, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4158); 4. Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/6/PBI/2006 tentang Penerapan Manajemen Risiko Secara Konsolidasi Bagi Bank Yang Melakukan Pengendalian Terhadap Perusahaan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4602); MEMUTUSKAN … - 3 - M E M U T U S K A N: Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM BANK UMUM DENGAN MEMPERHITUNGKAN RISIKO PASAR. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, termasuk kantor cabang bank asing, yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional. 2. Perusahaan Anak adalah badan hukum atau perusahaan yang dimiliki dan/atau dikendalikan oleh Bank secara langsung maupun tidak langsung, baik di dalam maupun di luar negeri yang melakukan kegiatan usaha di bidang keuangan, yang terdiri dari: a. Perusahaan Subsidiari (Subsidiary Company) yaitu Perusahaan Anak dengan kepemilikan Bank lebih dari 50% (lima puluh perseratus); b. Perusahaan Partisipasi (Participation Company) adalah Perusahaan Anak dengan kepemilikan Bank 50% (lima puluh perseratus) atau kurang, namun Bank memiliki Pengendalian terhadap perusahaan; c. Perusahaan dengan kepemilikan Bank lebih dari 20% (dua puluh perseratus) sampai dengan 50% (lima puluh perseratus) yang memenuhi persyaratan yaitu: 1) kepemilikan … - 4 - 1) kepemilikan Bank dan para pihak lainnya pada Perusahaan Anak adalah masing-masing sama besar; dan 2) masing-masing pemilik melakukan Pengendalian secara bersama terhadap Perusahaan Anak; d. Entitas lain yang berdasarkan standar akuntansi keuangan yang berlaku wajib dikonsolidasikan, namun tidak termasuk perusahaan asuransi dan perusahaan yang dimiliki dalam rangka penyelamatan kredit. 3. Risiko Pasar adalah risiko kerugian pada posisi neraca dan rekening administratif termasuk transaksi derivatif akibat perubahan secara keseluruhan dari kondisi pasar, termasuk risiko perubahan harga option. 4. Risiko Suku Bunga adalah risiko kerugian akibat perubahan harga instrumen keuangan dari posisi Trading Book yang disebabkan oleh perubahan suku bunga. 5. Risiko Nilai Tukar adalah risiko kerugian akibat perubahan nilai posisi Trading Book dan Banking Book yang disebabkan oleh perubahan nilai tukar valuta asing termasuk perubahan harga emas. 6. Risiko Ekuitas adalah risiko kerugian akibat perubahan harga instrumen keuangan dari posisi Trading Book yang disebabkan oleh perubahan harga saham. 7. Risiko Komoditas adalah risiko kerugian akibat perubahan harga instrumen keuangan dari posisi Trading Book dan Banking Book yang disebabkan oleh perubahan harga komoditas. 8. Risiko Spesifik adalah risiko perubahan harga instrumen keuangan akibat faktor-faktor yang berkaitan dengan penerbit instrumen keuangan. 9. Risiko Umum adalah risiko perubahan harga instrumen keuangan akibat perubahan faktor-faktor pasar. 10. Trading … - 5 - 10. Trading Book adalah seluruh posisi instrumen keuangan dalam neraca dan rekening administratif termasuk transaksi derivatif yang dimiliki untuk: a. tujuan diperdagangkan dan dapat dipindahtangankan dengan bebas atau dapat dilindung nilai secara keseluruhan, baik dari transaksi untuk kepentingan sendiri (proprietary positions), atas permintaan nasabah maupun kegiatan perantaraan (brokering), dan dalam rangka pembentukan pasar (market making), yang meliputi: 1) posisi yang dimiliki untuk dijual kembali dalam jangka pendek; 2) posisi yang dimiliki untuk tujuan memperoleh keuntungan jangka pendek secara aktual dan/atau potensial dari pergerakan harga (price movement); atau 3) posisi yang dimiliki untuk tujuan mempertahankan keuntungan arbitrase (locking in arbitrage profits); b. tujuan lindung nilai atas posisi lainnya dalam Trading Book. 11. Banking Book adalah semua posisi lainnya yang tidak termasuk dalam Trading Book. Pasal 2 (1) Bank yang memenuhi kriteria tertentu wajib memenuhi kewajiban penyediaan modal minimum (KPMM) dengan memperhitungkan Risiko Pasar sebesar 8% (delapan perseratus) baik secara individual dan/atau secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak. (2) Pemenuhan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menghilangkan kewajiban Bank memenuhi KPMM dengan memperhitungkan risiko kredit sesuai ketentuan Bank Indonesia yang berlaku. (3) Risiko … - 6 - (3) Risiko Pasar yang wajib diperhitungkan oleh Bank secara individual dan/atau secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak adalah: a. Risiko Suku Bunga; dan/atau b. Risiko Nilai Tukar. (4) Dalam hal Bank: a. memiliki Perusahaan Anak yang terekspos Risiko Ekuitas dan/atau Risiko Komoditas; dan b. secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b, maka Bank secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak wajib memperhitungkan Risiko Ekuitas dan/atau Risiko Komoditas selain Risiko Pasar sebagaimana dimaksud pada ayat (3). Pasal 3 (1) Kriteria tertentu bagi Bank yang wajib memenuhi KPMM dengan memperhitungkan Risiko Pasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) adalah: a. Bank yang secara individual memenuhi salah satu kriteria sebagai berikut: 1. Bank dengan total aktiva sebesar Rp10.000.000.000.000,00 (sepuluh triliun rupiah) atau lebih; 2. Bank devisa dengan posisi instrumen keuangan berupa surat berharga dan/atau transaksi derivatif dalam Trading Book sebesar Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah) atau lebih; 3. Bank … - 7 - 3. Bank bukan Bank devisa dengan posisi instrumen keuangan berupa surat berharga dan/atau transaksi derivatif suku bunga dalam Trading Book sebesar Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah) atau lebih; dan/atau; b. Bank yang secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak memenuhi salah satu kriteria sebagai berikut: 1. Bank devisa yang secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak memiliki posisi instrumen keuangan berupa surat berharga termasuk instrumen keuangan yang terekspos Risiko Ekuitas dan/atau transaksi derivatif dalam Trading Book dan/atau instrumen keuangan yang terekspos Risiko Komoditas dalam Trading Book dan Banking Book sebesar Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah) atau lebih; 2. Bank bukan Bank devisa yang secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak memiliki posisi instrumen keuangan berupa surat berharga termasuk instrumen keuangan yang terekspos Risiko Ekuitas dan/atau transaksi derivatif dalam Trading Book dan/atau instrumen keuangan yang terekspos Risiko Komoditas dalam Trading Book dan Banking Book sebesar Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah) atau lebih. (2) Kewajiban untuk memperhitungkan Risiko Pasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) berlaku pula untuk Bank yang memiliki jaringan kantor dan/atau Perusahaan Anak di negara lain maupun kantor cabang dari Bank yang kantor pusatnya berkedudukan di luar negeri. Pasal 4 … - 8 - Pasal 4 Surat berharga dalam Trading Book sebagaimana dimaksud pada Pasal 3 ayat (1) huruf a angka 2 dan angka 3, huruf b angka 1 dan angka 2 hanya mencakup surat berharga yang diklasifikasikan dalam kelompok diperdagangkan. Pasal 5 Bank yang setelah merger atau konsolidasi memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 paling kurang pada 3 periode pelaporan bulanan dalam 6 bulan pertama setelah merger atau konsolidasi dinyatakan efektif, wajib memperhitungkan Risiko Pasar dalam perhitungan KPMM sejak bulan ke 7 (tujuh) setelah merger atau konsolidasi dinyatakan efektif. Pasal 6 Bagi Bank yang telah wajib memperhitungkan Risiko Pasar dalam perhitungan KPMM, apabila pada tanggal 1 Januari 2009 tidak memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 karena adanya perubahan cakupan surat berharga dalam Trading Book, maka Bank tidak wajib memperhitungkan Risiko Pasar dalam perhitungan KPMM. Pasal 7 Bank yang telah memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 tetap wajib selamanya memperhitungkan Risiko Pasar dalam KPMM. BAB II … - 9 - BAB II ASPEK PERMODALAN Pasal 8 (1) Bank dapat memperhitungkan Modal Pelengkap Tambahan (tier 3) untuk tujuan perhitungan KPMM secara individual dan/atau secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak. (2) Modal Pelengkap Tambahan (tier 3) dalam perhitungan KPMM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat digunakan untuk memperhitungkan Risiko Pasar. (3) Pos yang dapat diperhitungkan sebagai Modal Pelengkap Tambahan (tier 3) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Pinjaman Subordinasi Jangka Pendek yang memenuhi kriteria sebagai berikut: a. tidak dijamin oleh Bank atau Perusahaan Anak yang bersangkutan dan telah disetor penuh; b. memiliki jangka waktu perjanjian sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun; c. d. tidak dapat dibayar sebelum jadwal waktu yang ditetapkan dalam perjanjian pinjaman kecuali dengan persetujuan Bank Indonesia; terdapat klausula yang mengikat (lock-in clause) yang menyatakan bahwa tidak dapat dilakukan pembayaran pokok atau bunga, termasuk pembayaran pada saat jatuh tempo, apabila pembayaran dimaksud dapat menyebabkan KPMM secara individual atau secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak tidak memenuhi ketentuan yang berlaku; e. terdapat perjanjian pinjaman yang jelas termasuk jadwal pelunasannya; dan f. memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari Bank Indonesia. (4) Modal … - 10 - (4) Modal Pelengkap Tambahan (tier 3) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk memperhitungkan Risiko Pasar hanya dapat digunakan dengan memenuhi kriteria: a. tidak melebihi 250% (dua ratus lima puluh perseratus) dari bagian Modal Inti yang dialokasikan untuk memperhitungkan Risiko Pasar; b. jumlah Modal Pelengkap (tier 2) dan Modal Pelengkap Tambahan (tier 3) paling tinggi sebesar 100% (seratus perseratus) dari Modal Inti. (5) Modal Pelengkap (tier 2) yang tidak digunakan dapat ditambahkan untuk Modal Pelengkap Tambahan (tier 3) dengan memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (4). (6) Pinjaman Subordinasi sebagaimana diatur dalam ketentuan yang berlaku dan melebihi 50% (lima puluh perseratus) Modal Inti, dapat digunakan sebagai komponen Modal Pelengkap Tambahan (tier 3) dengan tetap memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (4). BAB III ASPEK RISIKO PASAR Pasal 9 Risiko Pasar diperhitungkan atas: a. posisi instrumen keuangan dalam Trading Book yang terekspos Risiko Suku Bunga; b. posisi valuta asing dalam Trading Book dan Banking Book yang terekspos Risiko Nilai Tukar; c. posisi instrumen keuangan dalam Trading Book yang terekspos Risiko Ekuitas; d. posisi instrumen keuangan dalam Trading Book dan Banking Book yang terekspos Risiko Komoditas. Pasal 10 … - 11 - Pasal 10 Aset keuangan yang pada saat pengakuan awal ditetapkan sebagai aset keuangan yang diukur pada nilai wajar melalui laporan laba rugi dikecualikan dari cakupan Trading Book. Kebijakan dan Pedoman Trading Book Pasal 11 (1) Bank wajib menyusun dan menerapkan kebijakan dan pedoman Trading Book sebagai bagian dari kebijakan dan pedoman manajemen risiko Bank. (2) Bank wajib melakukan kaji ulang secara berkala terhadap kebijakan dan pedoman Trading Book sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 12 Kebijakan dan pedoman Trading Book sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 paling kurang mencakup: a. tujuan memiliki posisi dalam Trading Book; b. kriteria instrumen keuangan yang dapat ditetapkan sebagai Trading Book; c. kebijakan pengelolaan portofolio Trading Book; d. pihak yang diberi kewenangan untuk menyetujui atau mengubah kebijakan dan pedoman Trading Book; e. mekanisme untuk memastikan bahwa kriteria instrumen keuangan yang ditetapkan sebagai Trading Book diterapkan secara konsisten; f. penetapan metodologi valuasi terhadap instrumen keuangan dalam Trading Book dengan menggunakan nilai wajar secara harian berdasarkan harga pasar atau model/teknik penilaian; g. pendokumentasian … - 12 - g. pendokumentasian setiap strategi perdagangan (trading strategy) atas posisi atau portofolio Trading Book yang mendapat persetujuan pihak yang diberi kewenangan. Valuasi Trading Book Pasal 13 (1) Bank wajib melakukan valuasi secara harian terhadap posisi Trading Book dengan akurat. (2) Dalam melakukan valuasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank wajib memiliki kebijakan dan prosedur valuasi, termasuk memiliki sistem informasi manajemen dan pengendalian proses valuasi yang memadai dan terintegrasi dengan sistem manajemen risiko. (3) Kebijakan dan prosedur valuasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib berlandaskan pada prinsip kehati-hatian. Pasal 14 (1) Proses valuasi wajib dilakukan berdasarkan nilai wajar. (2) Terhadap instrumen keuangan yang diperdagangkan secara aktif, proses valuasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menggunakan harga transaksi yang terjadi (close out prices) atau kuotasi harga pasar dari sumber yang independen. (3) Valuasi terhadap instrumen keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menggunakan: a. bid price untuk aset yang dimiliki atau kewajiban yang akan diterbitkan; dan/atau b. ask price untuk aset yang akan diperoleh atau kewajiban yang dimiliki. (4) Dalam … - 13 - (4) Dalam hal harga pasar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak tersedia, Bank dapat menetapkan nilai wajar dengan menggunakan suatu model/teknik penilaian berlandaskan prinsip kehati-hatian. Pasal 15 (1) Bank wajib melakukan verifikasi terhadap proses dan hasil valuasi. (2) Proses verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan sekurang-kurangnya 1 (satu) kali dalam 1 (satu) bulan oleh pihak yang tidak ikut dalam pelaksanaan valuasi. (3) Bank wajib menyesuaikan hasil valuasi berdasarkan verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 16 Bank wajib segera melakukan penyesuaian terhadap hasil valuasi yang belum mencerminkan nilai wajar dalam hal: a. terjadi perubahan kondisi ekonomi yang signifikan; b. harga instrumen keuangan yang dijadikan acuan adalah harga yang terjadi dari transaksi yang dipaksakan, likuidasi yang dipaksakan, atau penjualan akibat kesulitan keuangan; c. instrumen keuangan sudah mendekati jatuh tempo; dan/atau d. harga yang dijadikan acuan tidak wajar karena kondisi lainnya. Pasal 17 (1) Selain penyesuaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, Bank wajib melakukan penyesuaian terhadap valuasi atas posisi yang kurang likuid dengan mempertimbangkan faktor-faktor tertentu. (2) Dalam … - 14 - (2) Dalam hal dilakukan penyesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank wajib memperhitungkan dampak penyesuaian sebagai faktor pengurang Modal Inti dalam perhitungan KPMM. Perhitungan Risiko Pasar Pasal 18 (1) Perhitungan Risiko Pasar dalam perhitungan KPMM dilakukan dengan menggunakan: a. Metode Standar (Standard Method); dan/atau b. Model Internal (Internal Model). (2) Bank yang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 wajib menggunakan Metode Standar dalam perhitungan Risiko Pasar. Metode Standar Pasal 19 (1) Perhitungan Risiko Suku Bunga meliputi Risiko Spesifik dan Risiko Umum. (2) Metode perhitungan Risiko Umum dilakukan dengan menggunakan: a. Metode Jatuh Tempo (Maturity Method); atau b. Metode Jangka Waktu (Duration Method). (3) Penggunaan metode sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b wajib memenuhi persyaratan tertentu sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. (4) Beban modal untuk Risiko Suku Bunga dihitung berdasarkan persentase tertentu dari posisi instrumen keuangan yang terekspos Risiko Suku Bunga. Pasal 20 … - 15 - Pasal 20 (1) Dalam rangka perhitungan Risiko Suku Bunga, Bank Indonesia menetapkan lembaga pemeringkat (rating agency) dan peringkat yang diakui. (2) Penetapan lembaga pemeringkat dan peringkat yang diakui sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 21 (1) Perhitungan Risiko Nilai Tukar didasarkan pada Posisi Devisa Neto yang dimiliki oleh Bank. (2) Beban modal untuk Risiko Nilai Tukar dihitung berdasarkan persentase tertentu dari Posisi Devisa Neto. Pasal 22 (1) Perhitungan Risiko Ekuitas yang meliputi Risiko Spesifik dan Risiko Umum didasarkan pada posisi instrumen keuangan yang terekspos Risiko Ekuitas yang dimiliki oleh Perusahaan Anak. (2) Beban modal untuk Risiko Ekuitas sebesar penjumlahan beban modal dari Risiko Ekuitas pada setiap pasar keuangan. (3) Beban modal untuk Risiko Ekuitas pada setiap pasar keuangan dihitung berdasarkan persentase tertentu dari: a. Posisi ekuitas bruto (gross equity position) untuk Risiko Spesifik; dan b. Posisi ekuitas neto secara keseluruhan (overall net position) untuk Risiko Umum; Pasal 23 … - 16 - Pasal 23 (1) Perhitungan Risiko Komoditas yang timbul dari posisi instrumen keuangan yang terekspos Risiko Komoditas yang dimiliki Perusahaan Anak, dilakukan dengan menggunakan: a. Metode Sederhana (Simplified Approach); atau b. Metode Jatuh Tempo (Maturity Ladder Approach). (2) Penggunaan metode sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan secara konsisten. (3) Beban modal untuk Risiko Komoditas dihitung berdasarkan persentase tertentu dari posisi instrumen keuangan yang terekspos Risiko Komoditas. Pasal 24 Persentase tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (4), Pasal 21 ayat (2), Pasal 22 ayat (3), dan Pasal 23 ayat (3) diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Model Internal Pasal 25 (1) Bank yang menggunakan Metode Standar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) yang memenuhi persyaratan tertentu dapat menggunakan Model Internal dalam perhitungan Risiko Pasar setelah memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia. (2) Persyaratan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. (3) Bank yang akan menggunakan Model Internal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mengajukan permohonan kepada Bank Indonesia disertai informasi … - 17 - informasi dan dokumen tertentu yang diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. (4) Dalam hal Bank akan melakukan modifikasi atas penggunaan Model Internal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank wajib memperoleh persetujuan kembali dari Bank Indonesia. (5) Bank yang akan menggunakan Model Internal setelah akhir Desember 2007 wajib mencantumkan rencana penggunaan Model Internal dimaksud dalam rencana bisnis Bank. (6) Dalam rangka memberikan persetujuan, Bank Indonesia melakukan pengkajian terhadap Model Internal yang akan digunakan. Pasal 26 (1) Dalam hal terdapat produk dan aktivitas baru yang dilakukan oleh Bank yang telah memperoleh persetujuan untuk menggunakan Model Internal, maka pengukuran Risiko Pasar untuk produk dan aktivitas baru tersebut menggunakan Metode Standar. (2) Bank wajib menyampaikan rencana tindak penggunaan Model Internal untuk pengukuran Risiko Pasar terhadap produk dan aktivitas baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Bank Indonesia. (3) Rencana tindak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan bersamaan dengan penyampaian laporan produk dan aktivitas baru. (4) Bank Indonesia dapat meminta Bank melakukan perubahan atas rencana tindak berdasarkan hasil pengkajian. Pasal 27 (1) Bank Indonesia akan melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap penggunaan Model Internal. (2) Berdasarkan … - 18 - (2) Berdasarkan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia dapat melakukan antara lain: a. mewajibkan Bank untuk melakukan penyesuaian penggunaan Model Internal dalam jangka waktu yang ditetapkan oleh Bank Indonesia; b. menetapkan penyesuaian faktor skala; dan/atau c. membatalkan persetujuan penggunaan Model Internal. Pasal 28 (1) Bank yang telah memperoleh persetujuan Bank Indonesia untuk menggunakan Model Internal dilarang menggunakan kembali Metode Standar dalam perhitungan Risiko Pasar. (2) Penggunaan kembali Metode Standar dapat dilakukan hanya apabila Bank Indonesia membatalkan persetujuan penggunaan Model Internal. Pasal 29 Bank yang telah memperoleh persetujuan Bank Indonesia untuk menggunakan Model Internal wajib menggunakan Model Internal untuk perhitungan KPMM paling lambat pada posisi pelaporan akhir bulan berikutnya. BAB IV PERHITUNGAN KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM Pasal 30 Perhitungan KPMM secara individu dan/atau secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak yang wajib dipenuhi oleh Bank yang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 mencakup: a. KPMM … - 19 - a. KPMM untuk risiko kredit sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku mengenai KPMM, namun tidak termasuk posisi pada Trading Book yang telah diperhitungkan Risiko Spesifik untuk Risiko Suku Bunga; dan b. KPMM untuk Risiko Pasar sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini. BAB V PELAPORAN Pasal 31 (1) Bank yang menggunakan Metode Standar dalam perhitungan KPMM dengan memperhitungkan Risiko Pasar wajib melaporkan perhitungan Risiko Pasar secara bulanan sesuai format yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dengan mengacu kepada ketentuan tentang Laporan Berkala Bank Umum. (2) Dalam hal Bank telah memperoleh persetujuan Bank Indonesia untuk menggunakan Model Internal dalam perhitungan KPMM dengan memperhitungkan Risiko Pasar, Bank wajib menyampaikan laporan yang terkait dengan Model Internal secara bulanan dan triwulanan sesuai format yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dengan mengacu kepada ketentuan tentang Laporan Berkala Bank Umum. (3) Laporan yang terkait dengan Model Internal secara triwulanan untuk pertama kali disusun pada akhir triwulan setelah Model Internal digunakan untuk perhitungan KPMM. (4) Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dilakukan dalam periode penyampaian III Laporan Berkala Bank Umum. (5) Selama … - 20 - (5) Selama pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) belum dimungkinkan dilaporkan secara on-line, maka pelaporan wajib disampaikan secara off-line oleh Bank kepada Bank Indonesia dengan alamat: a. Direktorat Pengawasan Bank terkait, Jl. MH. Thamrin No.2 Jakarta 10350, bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia; atau b. Kantor Bank Indonesia setempat, bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia, dengan tembusan kepada Direktorat Perizinan dan Informasi Perbankan, Jl. MH. Thamrin No.2 Jakarta 10350. BAB VI KETENTUAN PERALIHAN Pasal 32 Ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/12/PBI/2003 tanggal 17 Juli 2003 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum Dengan Memperhitungkan Risiko Pasar (Market Risk) yang mengatur mengenai: a. posisi surat berharga dalam Trading Book sebagaimana dimaksud dalam Penjelasan Pasal 3 ayat (1) huruf b dan c; b. Sertifikat Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7; c. surat berharga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1); dan d. proses mark to market sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2), masih tetap berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 2008. BAB VII … - 21 - BAB VII SANKSI Pasal 33 Bank yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 2, Pasal 5, Pasal 7, Pasal 8 ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5) dan ayat (6), Pasal 9, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 25 ayat (1), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), Pasal 26 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 28, Pasal 29, dan Pasal 30 dapat dikenakan sanksi administratif antara lain berupa: a. teguran tertulis; b. pembekuan kegiatan usaha tertentu; c. pencantuman pengurus dan atau pemegang saham Bank dalam daftar orang yang dilarang menjadi pemegang saham dan pengurus Bank, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998. Pasal 34 Bank yang melanggar ketentuan pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam ketentuan yang berlaku tentang Laporan Berkala Bank Umum. Pasal 35 Bank yang melakukan perdagangan atas aset keuangan dalam kelompok tersedia untuk dijual, yang dilakukan dengan pola menyerupai perdagangan atas aset keuangan dalam kelompok diperdagangkan: a. dalam … - 22 - a. dalam jumlah yang signifikan; dan/atau b. dalam frekuensi yang tinggi, tidak diperkenankan untuk mengelompokkan pembelian aset keuangan berikutnya dalam kelompok tersedia untuk dijual, selama 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal dikeluarkan surat pembinaan oleh Bank Indonesia. Pasal 36 Dalam hal Bank melakukan tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 untuk kedua kalinya, maka Bank tidak diperkenankan untuk mengelompokkan pembelian aset keuangan berikutnya dalam kelompok tersedia untuk dijual selama 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal dikeluarkan surat pembinaan oleh Bank Indonesia. Pasal 37 Dalam hal Bank melakukan tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 lebih dari dua kali, maka Bank tidak diperkenankan untuk mengelompokkan pembelian aset keuangan berikutnya dalam kelompok tersedia untuk dijual selama 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal dikeluarkan surat pembinaan oleh Bank Indonesia. BAB VIII KETENTUAN PENUTUP Pasal 38 Ketentuan mengenai: a. surat berharga dalam Trading Book sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4; b. Sertifikat … - 23 - b. Sertifikat Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam penjelasan Pasal 9 huruf a; c. proses valuasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4); d. proses verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15, penyesuaian terhadap hasil valuasi yang belum mencerminkan nilai wajar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, dan penyesuaian terhadap valuasi atas posisi yang kurang likuid sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, khusus bagi Bank yang menggunakan Metode Standar dalam perhitungan Risiko Pasar; dan e. sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35, Pasal 36, dan Pasal 37, mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 2009. Pasal 39 Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, maka Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/12/PBI/2003 tanggal 17 Juli 2003 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum Dengan Memperhitungkan Risiko Pasar (Market Risk) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 40 Ketentuan lebih lanjut dari Peraturan Bank Indonesia ini akan diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 41 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar … - 24 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 1 November 2007 GUBERNUR BANK INDONESIA, BURHANUDDIN ABDULLAH LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2007 NOMOR 128 DPNP PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 9/13/PBI/2007 TENTANG KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM BANK UMUM DENGAN MEMPERHITUNGKAN RISIKO PASAR UMUM Dalam perhitungan kecukupan permodalan, bank perlu mempertimbangkan risiko–risiko yang mungkin muncul dalam kegiatan usaha bank. Risiko-risiko tersebut meliputi risiko kredit, risiko pasar, dan risiko lainnya. Dalam Capital Accord 1988, Basel Committee on Banking Supervision dari Bank for Internasional Settlements menetapkan metode perhitungan kecukupan permodalan yang memperhitungkan risiko kredit. Selanjutnya pada tahun 1996, Basel Committee on Banking Supervision telah melakukan amandemen terhadap Capital Accord dimaksud dengan memasukkan unsur risiko pasar yang selanjutnya disempurnakan lagi pada tahun 2005. Capital Accord 1988 dan 1996 disesuaikan pula dengan International Convergence of Capital Measurement and Capital Standards: A Revised Framework atau yang lebih dikenal Basel II. Penerapan perhitungan kecukupan permodalan di Indonesia pada saat ini telah mengakomodasi Capital Accord 1988 dan 1996 yang memperhitungkan risiko kredit dan risiko pasar dalam perhitungan kecukupan permodalan bank baik secara individual maupun secara konsolidasi dengan perusahaan anak. Namun … - 2 - Namun, perhitungan risiko pasar untuk saat ini masih menggunakan metode standar. Dalam Capital Accord 1996 yang telah disesuaikan kembali pada tahun 2005 serta dalam Basel II, perhitungan risiko pasar dapat dilakukan dengan menggunakan metode standar (standard method) dan/atau model internal (internal model). Oleh karena itu, mengingat dalam Capital Accord 1996, 2005, dan Basel II terdapat alternatif metode dalam penerapan perhitungan risiko pasar, maka berdasarkan Peraturan Bank Indonesia ini, perhitungan kecukupan permodalan bank untuk risiko pasar juga dapat menggunakan model internal (internal model) sepanjang memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Dengan ketentuan ini maka perhitungan rasio KPMM secara individual dilakukan dengan membandingkan modal dengan aktiva tertimbang menurut risiko baik untuk risiko kredit maupun Risiko Pasar. Sedangkan untuk perhitungan rasio KPMM secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak dilakukan dengan membandingkan modal secara konsolidasi dengan aktiva tertimbang menurut risiko secara konsolidasi baik untuk risiko kredit maupun Risiko Pasar. Ayat (2) … - 3 - Ayat (2) Alokasi modal untuk perhitungan KPMM diprioritaskan untuk memenuhi KPMM dengan memperhitungkan risiko kredit. Yang dimaksud dengan ”ketentuan Bank Indonesia yang berlaku” adalah Peraturan Bank Indonesia mengenai KPMM. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Perubahan cakupan surat berharga dalam Trading Book yaitu yang tidak memperhitungkan kelompok yang tersedia untuk dijual, mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 2009. Pasal 7 … - 4 - Pasal 7 Yang dimaksud dengan “selamanya” adalah dalam hal Bank yang telah memenuhi kriteria tetapi kemudian menjadi tidak memenuhi kriteria, Bank tetap wajib memperhitungkan Risiko Pasar dalam KPMM. Pasal 8 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Huruf a Dengan pengaturan ini maka paling kurang sebesar 28,5% (dua puluh delapan setengah perseratus) dari Risiko Pasar diperhitungkan dari Modal Inti yang tidak digunakan untuk menutup risiko kredit sesuai ketentuan Bank Indonesia yang berlaku mengenai KPMM. Huruf b Modal Inti dan Modal Pelengkap adalah modal yang memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku mengenai KPMM. Ayat (5) Modal Pelengkap yang dapat ditambahkan adalah Modal Pelengkap yang memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku mengenai KPMM. Ayat (6) … - 5 - Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 9 Huruf a Instrumen keuangan yang terekspos Risiko Suku Bunga termasuk Sertifikat Bank Indonesia dalam Trading Book. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Pasal 10 Perlakuan pengakuan dan pengukuran terhadap aset keuangan yang diukur pada nilai wajar melalui laporan laba rugi mengacu pada Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No. 55 (Revisi 2006) mengenai Instrumen Keuangan: Pengakuan dan Pengukuran. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Huruf a Cukup jelas. Huruf b … - 6 - Huruf b Kriteria tersebut ditetapkan dengan memperhatikan antara lain: 1. persyaratan dan kondisi yang harus dipenuhi termasuk jangka waktu kepemilikan/ holding period yang mengacu kepada praktek yang berlaku secara umum (maksimal 90 hari); 2. kemungkinan restriksi hukum yang dapat menghambat terjadinya perdagangan; dan 3. standar akuntansi keuangan yang berlaku. Huruf c Kebijakan pengelolaan portofolio antara lain meliputi penetapan dan pemantauan limit, kewenangan pihak-pihak yang terkait dengan pengelolaan portofolio, serta pemantauan dan pelaporan pengelolaan portofolio. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Mekanisme tersebut mencakup antara lain: 1. pihak/petugas yang bertanggungjawab melakukan pengecekan; 2. frekuensi pengecekan; 3. verifikasi pemenuhan kriteria Trading Book. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Pasal 13 … - 7 - Pasal 13 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Kebijakan dan prosedur tersebut meliputi antara lain penetapan tanggung jawab yang jelas dari berbagai pihak yang terlibat dalam penetapan valuasi, sumber informasi pasar, dan proses kaji ulang terhadap kelayakan valuasi, frekuensi valuasi (secara harian), penetapan waktu untuk valuasi akhir hari (closing price), prosedur pelaksanaan dan penyampaian hasil verifikasi baik secara berkala maupun insidentil , serta prosedur penyesuaian valuasi. Sistem informasi manajemen dan pengendalian proses valuasi paling kurang mencakup pendokumentasian kebijakan dan prosedur valuasi yang telah ditetapkan serta alur pelaporan (reporting lines) yang jelas bagi satuan kerja yang bertanggung jawab terhadap proses valuasi dan verifikasi. Ayat (3) Kebijakan dan prosedur valuasi yang berlandaskan pada prinsip kehati-hatian antara lain melakukan valuasi dengan memperhatikan penerapan aspek-aspek manajemen risiko dan prosedur valuasi yang wajar. Pasal 14 Ayat (1) Sesuai dengan standar akuntansi keuangan yang berlaku, yang dimaksud dengan ”nilai wajar” adalah nilai dimana suatu aset dapat dipertukarkan … - 8 - dipertukarkan atau suatu kewajiban diselesaikan antara pihak yang memahami dan berkeinginan untuk melakukan transaksi wajar (arms’s length transaction). Ayat (2) Yang dimaksud dengan ”instrumen keuangan yang diperdagangkan secara aktif” adalah apabila harga instrumen keuangan tersedia sewaktu-waktu dan dapat diperoleh secara rutin di bursa, pedagang efek (dealer), perantara efek (broker), atau agen lainnya, serta harga tersebut merupakan harga yang terjadi dari transaksi aktual yang dilakukan secara wajar (arm’s length basis). Harga transaksi yang terjadi atau kuotasi harga pasar dari sumber yang independen antara lain meliputi harga di bursa (exchange prices), harga pada layar dealer (screen prices), atau kuotasi yang paling konservatif yang diberikan oleh paling kurang 2 (dua) broker dan/atau market maker yang memiliki reputasi baik, yang minimal salah satunya adalah pihak independen. Penggunaan sumber yang independen dilakukan secara konsisten kecuali harga yang diperoleh tidak mencerminkan nilai wajar. Ayat (3) Huruf a Yang dimaksud dengan ”bid price” adalah harga beli yang dikuotasikan oleh sumber yang independen. Huruf b Yang dimaksud ”ask price (offer price)” adalah harga jual yang dikuotasikan oleh sumber yang independen. Ayat (4) … - 9 - Ayat (4) Termasuk model/teknik penilaian antara lain: a. penggunaan harga yang timbul dari transaksi yang terjadi dalam 10 (sepuluh) hari kerja terakhir; b. penggunaan harga pasar dari instrumen lain yang memiliki karakteristik (paling kurang jangka waktu, tingkat bunga/kupon, peringkat, dan golongan penerbit) yang serupa; c. analisis arus kas yang didiskonto (discounted cash flow); d. model penetapan harga opsi (option pricing models); atau e. model/teknik penilaian yang secara umum telah digunakan oleh pelaku pasar dalam menetapkan harga instrumen. Penerapan prinsip kehati-hatian dalam penggunaan model/teknik penilaian antara lain memperhatikan pemisahan tugas dan kompetensi pihak-pihak yang terlibat dalam pengembangan dan penggunaan model, dan memastikan dilakukan kaji ulang akurasi model/teknik penilaian oleh fungsi yang independen, serta prosedur dan dokumentasi pengembangan dan perubahan model/teknik penilaian. Pasal 15 Ayat (1) Verifikasi dilakukan untuk memastikan keakuratan penyusunan laporan laba rugi. Verifikasi terhadap proses dan hasil valuasi paling kurang dilakukan terhadap kewajaran harga pasar maupun informasi yang digunakan sebagai input dalam model/teknik penilaian. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) … - 10 - Ayat (3) Penyesuaian dilaksanakan terhadap nilai instrumen keuangan dalam neraca secara langsung yang selanjutnya mempengaruhi laporan laba rugi. Pasal 16 Penyesuaian hasil valuasi dilakukan berdasarkan pemantauan harian maupun hasil verifikasi oleh pihak yang tidak ikut dalam pelaksanaan valuasi. Sebagai contoh, valuasi yang belum mencerminkan nilai wajar dapat terjadi pada valuasi dengan menggunakan model/teknik penilaian. Huruf a Yang dimaksud dengan ”perubahan kondisi ekonomi yang signifikan” antara lain perubahan kurva imbal hasil (yield curve) secara signifikan diluar ekspektasi pasar. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Faktor sisa jangka waktu sampai dengan jatuh tempo diperhitungkan mengingat semakin mendekati jatuh tempo, nilai instrumen keuangan semakin mendekati nilai nominal. Huruf d Termasuk kondisi lainnya antara lain: a. kemungkinan kerugian potensial yang timbul karena pihak lawan tidak dapat memenuhi kewajibannya (unearned credit spreads). b. kemungkinan … - 11 - b. kemungkinan perhitungan biaya atau penalti yang timbul karena pelunasan lebih awal sebelum jatuh tempo (early termination). c. terjadinya mismatch arus kas yang menyebabkan harga dapat dipengaruhi oleh perhitungan biaya untuk meminjam dan menginvestasikan dana (investing and funding costs). d. terjadi kondisi tertentu yang mengakibatkan ketidakpastian dalam model valuasi misalnya ketidakmampuan menangkap perubahan dalam kondisi tidak normal. Pasal 17 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “faktor-faktor tertentu” antara lain rata-rata dan volatilitas volume perdagangan, rata-rata volatilitas dari rentang kuotasi penawaran dan permintaan (bid/ask spreads), dan ketersediaan kuotasi pasar. Ayat (2) Penyesuaian tidak akan mengurangi nilai instrumen keuangan dalam neraca dan tidak mempengaruhi laporan laba rugi. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 … - 12 - Pasal 20 Ayat (1) Penggunaan lembaga pemeringkat dan peringkat yang diakui dalam perhitungan Risiko Suku Bunga adalah dalam rangka menghitung Risiko Spesifik. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 21 Ayat (1) Yang dimaksud dengan ”Posisi Devisa Neto” adalah Posisi Devisa Neto sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku mengenai posisi devisa neto. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 22 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Yang dimaksud dengan “posisi ekuitas bruto” adalah penjumlahan nilai absolut atas posisi long dan short setiap instrumen … - 13 - instrumen keuangan yang terekspos Risiko Ekuitas dari masing- masing emiten pada setiap pasar keuangan. Huruf b Yang dimaksud dengan “posisi ekuitas neto” adalah nilai absolut dari selisih atas penjumlahan posisi penjumlahan posisi short dari setiap instrumen keuangan yang terekspos Risiko Ekuitas pada setiap pasar keuangan. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Termasuk dalam pengertian modifikasi atas penggunaan Model Internal antara lain perubahan metodologi Model Internal, perubahan teknologi sistem informasi, dan perluasan penggunaan Model Internal. Sebelum … long dan - 14 - Sebelum modifikasi atas penggunaan Model Internal memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia, Bank tetap menggunakan Model Internal yang telah disetujui untuk perhitungan KPMM. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 26 Ayat (1) Yang dimaksud dengan ”produk dan aktivitas baru” adalah produk dan aktivitas baru sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai penerapan manajemen risiko. Ayat (2) Penggunaan Model Internal terhadap produk dan aktivitas baru termasuk cakupan modifikasi Model Internal. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 27 Ayat (1) Pemantauan dan evaluasi terhadap penggunaan Model Internal mencakup antara lain pemenuhan persyaratan penggunaan Model Internal, laporan back testing, dan laporan stress testing. Ayat (2) … - 15 - Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 28 Ayat (1) Larangan ini berlaku untuk pengukuran Risiko Pasar terhadap produk dan aktivitas yang telah disetujui menggunakan Model Internal. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 Ayat (1) Laporan perhitungan Risiko Pasar antara lain mencakup laporan posisi yang diperhitungkan dalam Risiko Pasar, laporan perhitungan rasio KPMM. Ayat (2) Laporan yang terkait dengan Model Internal antara lain mencakup laporan perhitungan value at risk dan beban modal, laporan perhitungan rasio KPMM, laporan back testing, serta laporan stress testing. Ayat (3) … - 16 - Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Contoh: Sesuai ketentuan mengenai Laporan Berkala Bank Umum, maka laporan posisi bulan Maret 2008 wajib disampaikan dalam periode penyampaian III yaitu tanggal 16 sampai dengan tanggal 21 bulan April 2008. Ayat (5) Penyampaian secara off-line dilakukan dengan softcopy dan hardcopy. Pasal 32 Cukup jelas. Pasal 33 Cukup jelas. Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Yang dimaksud dengan jumlah yang signifikan adalah signifikan terhadap total aset keuangan dalam kelompok tersedia untuk dijual. Pasal 36 … - 17 - Pasal 36 Cukup jelas. Pasal 37 Cukup jelas. Pasal 38 Cukup jelas. Pasal 39 Cukup jelas. Pasal 40 Cukup jelas. Pasal 41 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4773 "," PBI 9/13/PBI/2007 KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM BANK UMUM DENGAN MEMPERHITUNGKAN RISIKO PASAR 1 November 2007 1 November 2007 '5/12/PBI/2003' '7/UU/1992', '10/UU/1998', '23/UU/1999', '3/UU/2004', '3/21/PBI/2001', '8/6/PBI/2006' 'BAB VII' " " PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 7/ 48 /PBI/2005 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 2/24/PBI/2000 TENTANG HUBUNGAN REKENING GIRO ANTARA BANK INDONESIA DENGAN PIHAK EKSTERN GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mendukung kelancaran dan meningkatkan keamanan penarikan rekening giro rupiah dan valuta asing oleh pihak-pihak yang dapat membuka rekening giro di Bank Indonesia, perlu diatur mengenai sarana penarikan lain yang dapat digunakan untuk melakukan penarikan rekening giro tersebut; b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, dipandang perlu untuk melakukan perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/24/PBI/2000 tentang Hubungan Rekening Giro Antara Bank Indonesia Dengan Pihak Ekstern (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 205, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4025) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/16/PBI/2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4391); Mengingat … -2- Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara 1992 Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357); 3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355); MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 2/24/PBI/2000 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG HUBUNGAN REKENING GIRO ANTARA BANK INDONESIA DENGAN PIHAK EKSTERN. Pasal … -3- Pasal I Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/24/PBI/2000 tentang Hubungan Rekening Giro Antara Bank Indonesia Dengan Pihak Ekstern (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 205, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4025) yang telah beberapa kali diubah dengan Peraturan Bank Indonesia: a. Nomor 3/11/PBI/2001 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 79, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4108); b. Nomor 6/16/PBI/2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4391); diubah sebagai berikut: 1. Ketentuan Pasal 15 diubah dan ditambah menjadi 5 (lima) ayat sehingga secara keseluruhan berbunyi sebagai berikut : Pasal 15 (1) Penarikan Rekening Giro Rupiah yang dimiliki oleh instansi pemerintah dilakukan dengan menggunakan sarana sebagai berikut: a. Cek BI; b. BG BI; c. d. sarana elektronik; dan sarana penarikan lain. (2) Sarana penarikan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d berupa: a. sarana penarikan lain yang distandardisasi dan diterbitkan oleh Pemegang Rekening Giro atau oleh instansi pemerintah yang berwenang; atau b. sarana … -4- b. sarana penarikan lain yang distandardisasi dan diterbitkan oleh Bank Indonesia. (3) Sarana penarikan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a harus memperoleh persetujuan Bank Indonesia dan memuat paling sedikit hal-hal sebagai berikut: a. perintah bayar; b. nomor Rekening Giro Rupiah dan nama Rekening Giro Rupiah yang didebet di Bank Indonesia; c. nomor d. e. rekening dan nama rekening yang dikredit di Bank Indonesia atau di Bank Umum; nilai nominal dalam angka dan huruf; dan tempat dan tanggal penarikan. (4) Sarana penarikan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a harus memenuhi spesifikasi sebagai berikut: a. b. kertas standar sesuai ketentuan intern Pemegang Rekening Giro atau instansi pemerintah yang berwenang; dan terdapat logo atau identitas dari Pemegang Rekening Giro atau instansi pemerintah yang berwenang. (5) Ketentuan mengenai prosedur pemberian persetujuan atas sarana penarikan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (3), serta sarana penarikan lain yang distandardisasi dan diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. 2. Ketentuan Pasal 16 diubah dan ditambah menjadi 2 (dua) ayat sehingga secara keseluruhan berbunyi sebagai berikut: Pasal 16 (1) Penarikan Rekening Giro Valas oleh instansi pemerintah tidak boleh melebihi Saldo Efektif kecuali apabila terdapat kesepakatan lain diantara … -5- diantara instansi pemerintah dan Bank Indonesia dengan memperhatikan ketentuan Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2004. (2) Rekening Giro Valas yang dimiliki oleh instansi pemerintah tidak dapat ditarik secara tunai. 3. Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 17 (1) Penarikan Rekening Giro Valas yang dimiliki oleh instansi pemerintah dilakukan dengan menggunakan sarana sebagai berikut: a. sarana penarikan yang distandardisasi dan diterbitkan oleh Pemegang Rekening Giro atau oleh instansi pemerintah yang berwenang; atau b. sarana penarikan yang distandardisasi dan diterbitkan oleh Bank Indonesia. (2) Sarana penarikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus memperoleh persetujuan Bank Indonesia dan memuat paling sedikit hal-hal sebagai berikut: a. perintah bayar; b. nomor Rekening Giro Valas dan nama Rekening Giro Valas yang didebet di Bank Indonesia; c. nomor d. e. rekening dan nama rekening yang dikredit di Bank Indonesia atau di Bank Umum; nilai nominal dalam angka dan huruf; dan tempat dan tanggal penarikan. (3) Sarana penarikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus memenuhi spesifikasi sebagai berikut: a. kertas … -6- a. b. kertas standar sesuai ketentuan intern Pemegang Rekening Giro atau instansi pemerintah yang berwenang; dan terdapat logo atau identitas dari Pemegang Rekening Giro atau instansi pemerintah yang berwenang. (4) Ketentuan mengenai prosedur pemberian persetujuan atas sarana penarikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), serta sarana penarikan yang distandardisasi dan diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. 4. Ketentuan Pasal 19 diubah dan ditambah menjadi 2 (dua) ayat sehingga secara keseluruhan berbunyi sebagai berikut: Pasal 19 (1) Penarikan atas Rekening Giro Rupiah yang dimiliki oleh bukan instansi pemerintah dilakukan dengan menggunakan sarana sebagai berikut: a. Cek BI; b. BG BI; c. d. sarana elektronik; dan sarana penarikan lain. (2) Ketentuan mengenai sarana penarikan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. 5. Ketentuan Pasal 20 diubah dan ditambah menjadi 2 (dua) ayat sehingga secara keseluruhan berbunyi sebagai berikut: Pasal 20 (1) Pemegang Rekening Giro Valas bukan instansi pemerintah dapat melakukan pendebetan dengan jumlah paling banyak sebesar jumlah Saldo Efektif. (2) Rekening … -7- (2) Rekening Giro Valas yang dimiliki oleh bukan instansi pemerintah tidak dapat ditarik secara tunai. 6. Ketentuan Pasal 21 diubah dan ditambah menjadi 2 (dua) ayat sehingga secara keseluruhan berbunyi sebagai berikut: Pasal 21 (1) Penarikan atas Rekening Giro Valas oleh Pemegang Rekening Giro bukan instansi pemerintah dilakukan melalui pemindahbukuan dengan menggunakan sarana sebagai berikut: a. SWIFT (Society b. Telecommunication); Teleks; dan c. Sarana penarikan lain yang distandardisasi dan diterbitkan oleh Bank Indonesia. (2) Ketentuan mengenai sarana penarikan lain yang distandardisasi dan diterbitkan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal II (1) Sarana penarikan Rekening Giro Valas dan/atau Rekening Giro Rupiah berupa surat masih dapat digunakan oleh Pemegang Rekening Giro sebagai sarana penarikan paling lama 2 (dua) Bank Indonesia ini. (2) Dalam hal sarana penarikan yang distandardisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2), Pasal 17 ayat (1) dan Pasal 21 ayat (1) huruf c telah diterbitkan sebelum berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sarana penarikan berupa surat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat digunakan sebagai sarana penarikan. (3) Sepanjang … For Worldwide Interbank Financial tahun sejak berlakunya Peraturan -8- (3) Sepanjang Surat Edaran Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (5) dan Pasal 17 ayat (4) belum diterbitkan, maka prosedur pemberian persetujuan penggunaan sarana penarikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (3) dan Pasal 17 ayat (2) mengacu pada Surat Edaran Bank Indonesia No. 4/11/DASP tanggal 13 Agustus 2002 perihal Hubungan Rekening Giro Antara Bank Indonesia dengan Pihak Ekstern. Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 16 November 2005 GUBERNUR BANK INDONESIA, BURHANUDDIN ABDULLAH LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2005 NOMOR 131 DASP PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 7/ 48 /PBI/2005 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 2/24/PBI/2000 TENTANG HUBUNGAN REKENING GIRO ANTARA BANK INDONESIA DENGAN PIHAK EKSTERN PASAL DEMI PASAL Pasal I Pasal 15 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan “sarana elektronik” adalah suatu fasilitas yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dengan memanfaatkan teknologi komputer guna melakukan penarikan dana secara tunai dari satu Rekening Giro atau pemindahan dana dari satu Rekening Giro ke Rekening Giro lainnya. Sarana elektronik tersebut antara lain adalah sistem transfer dana yang penyelesaiannya dilakukan secara … -2- secara individual atau per transaksi (Sistem Real Time Gross Settlement). Huruf d Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan “instansi pemerintah yang berwenang” adalah instansi yang membawahi Pemegang Rekening Giro. Sarana penarikan lain tersebut antara lain Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D) dan Surat Perintah Pembebanan SP2D (SPB SP2D). Sarana penarikan ini merupakan pengganti dari Surat Perintah Membayar Giro Bank (SPMGB) Perintah Pembebanan (SPB-SPM). dan Huruf b Yang dimaksud dengan “sarana penarikan lain yang distandardisasi dan diterbitkan oleh Bank Indonesia” adalah sarana penarikan yang disediakan oleh Bank Indonesia untuk digunakan oleh Pemegang Rekening Giro dalam kondisi dimana Pemegang Rekening Giro atau instansi pemerintah yang berwenang tidak menetapkan sarana penarikan yang distandardisasi sebagaimana dimaksud dalam huruf a atau sarana penarikan yang telah distandardisasi oleh Pemegang Rekening Giro atau instansi pemerintah yang berwenang tersebut tidak tepat digunakan untuk transaksi penarikan tertentu. Dalam hal Bank … Surat -3- Bank Indonesia bertindak sebagai penerima kuasa dari Pemegang Rekening Giro atau menjalankan tugas berdasarkan ketentuan yang berlaku maka sarana penarikan Rekening Giro yang digunakan adalah sarana penarikan Rekening Giro yang ditetapkan Bank Indonesia secara internal. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 16 Ayat (1) Dalam hal terdapat kesepakatan antara instansi pemerintah dan Bank Indonesia maka instansi pemerintah tersebut dimungkinkan melakukan penarikan melebihi Saldo Efektifnya sepanjang pada akhir hari saldo negatif tersebut dapat diselesaikan baik dengan memindahkan saldo negatif tersebut kepada rekening instansi pemerintah lainnya yang ditunjuk atau dengan pengkreditan dari rekening instansi pemerintah lainnya. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 17 Ayat (1) Huruf a Yang … -4- Yang dimaksud dengan “instansi pemerintah yang berwenang” adalah instansi yang membawahi Pemegang Rekening Giro. Sarana penarikan dalam huruf ini antara lain Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D). Sarana penarikan ini merupakan pengganti dari Surat Perintah Membayar Giro Bank (SPMGB), Surat Perintah Pembebanan (SPB-SPM), Surat Perintah Membayar Rekening Khusus (SPMRK) dan Surat Kuasa membayar atas beban rekening khusus untuk Letter (SPMRK L/C). Huruf b Yang dimaksud dengan “sarana penarikan yang distandardisasi dan diterbitkan oleh Bank Indonesia” adalah sarana penarikan yang disediakan oleh Bank Indonesia untuk digunakan oleh Pemegang Rekening Giro dalam kondisi dimana Pemegang Rekening Giro atau instansi pemerintah yang berwenang tidak menetapkan sarana penarikan yang distandardisasi sebagaimana dimaksud dalam huruf a atau sarana penarikan yang telah distandardisasi oleh Pemegang Rekening Giro atau instansi pemerintah yang berwenang tersebut tidak tepat digunakan untuk transaksi penarikan tertentu. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat … of Credit -5- Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 19 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan “sarana elektronik” adalah suatu fasilitas yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dengan memanfaatkan teknologi komputer guna melakukan penarikan dana secara tunai dari satu Rekening Giro atau pemindahan dana dari satu Rekening Giro ke Rekening Giro lainnya. Sarana elektronik tersebut antara lain adalah sistem transfer dana yang penyelesaiannya dilakukan secara individual atau per transaksi (Sistem Real Time Gross Settlement). Huruf d Yang dimaksud dengan ”sarana penarikan lain” antara lain adalah: 1. Teleks yang digunakan untuk pembukuan hasil kliring oleh penyelenggara kliring lokal di tempat yang tidak terdapat Kantor Bank Indonesia; 2. SWIFT … -6- 2. SWIFT, yang digunakan khusus untuk sarana penarikan Rekening Giro oleh Lembaga Keuangan Internasional; dan 3. Sarana penarikan yang distandardisasi dan diterbitkan oleh Bank Indonesia. Sarana penarikan ini hanya dapat digunakan apabila sarana penarikan sebagaimana dimaksud pada Pasal 19 ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c tidak tepat digunakan untuk transaksi penarikan tertentu. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan “SWIFT (Society For Worldwide Interbank Financial Telecommunication)” adalah suatu jaringan internasional untuk keperluan pemindahan dana dan atau pertukaran berita dengan menggunakan teknologi komputer antar bank dan lembaga-lembaga keuangan bukan bank yang menjadi anggotanya. Huruf b Cukup jelas. Huruf … -7- Huruf c Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal II Ayat (1) Penetapan jangka waktu 2 (dua) tahun diperlukan sebagai masa transisi dalam rangka memberikan kesempatan kepada Pemegang Rekening Giro terkait dan kepada Bank Indonesia untuk menyesuaikan proses standardisasi dan penerbitan sarana penarikan lain dengan mengacu pada Peraturan Bank Indonesia ini serta untuk melakukan sosialisasi. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. -8- TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4570 "," PBI 7/48/PBI/2005 PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 2/24/PBI/2000 TENTANG HUBUNGAN REKENING GIRO ANTARA BANK INDONESIA DENGAN PIHAK EKSTERN 16 November 2005 16 November 2005 '2/24/PBI/2000' '6/16/PBI/2004', '3/11/PBI/2011' '23/UU/1999', '1/UU/2004', '3/UU/2004', '7/UU/1992', '10/UU/1998' " " PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 12/ 25 /PBI/2010 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 11/21/PBI/2009 TENTANG PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG KERTAS RUPIAH PECAHAN 2.000 (DUA RIBU) TAHUN EMISI 2009 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pengeluaran dan pengedaran uang rupiah ditujukan untuk menyediakan uang tunai di masyarakat sebagai alat pembayaran yang sah (legal tender) di Negara Kesatuan Republik Indonesia; b. bahwa Bank Indonesia telah memiliki Gubernur Bank Indonesia yang definitif, sehingga diperlukan perubahan penandatanganan pada uang rupiah; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu untuk melakukan perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/21/PBI/2009 tentang Pengeluaran dan Pengedaran Uang Kertas Rupiah Pecahan 2.000 (Dua Ribu) Tahun Emisi 2009; Mengingat : 1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara . . . -2- Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/14/PBI/2004 tentang Pengeluaran, Pengedaran, Pencabutan dan Penarikan, serta Pemusnahan Uang Rupiah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4388) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/10/PBI/2007 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 113, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4762); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 11/21/PBI/2009 TENTANG PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG KERTAS RUPIAH PECAHAN 2.000 (DUA RIBU) TAHUN EMISI 2009. Pasal . . . -3- Pasal I Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/21/PBI/2009 tentang Pengeluaran dan Pengedaran Uang Kertas Rupiah Pecahan 2.000 (Dua Ribu) Tahun Emisi 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 98) diubah sebagai berikut: 1. Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 4 Ciri uang rupiah pecahan 2.000 (dua ribu) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, untuk tahun pencetakan sampai dengan bulan November tahun 2010 adalah: a. Warna bagian muka dan bagian belakang uang dicetak dengan warna dominan abu-abu. b. Gambar 1. bagian muka a) gambar utama berupa gambar Pahlawan Nasional Pangeran Antasari dan di bawahnya dicantumkan tulisan “PANGERAN ANTASARI”; b) pada sebelah kiri gambar utama dan di tepi kiri dan kanan bagian tengah terdapat gambar ornamen daerah Kalimantan, serta pada bagian tepi kanan atas dan bawah terdapat garis melengkung berwarna kuning yang akan memendar hijau kekuningan di bawah sinar ultra violet; c) pada sebelah kiri bawah gambar utama dengan arah horizontal terdapat tulisan “BANK INDONESIA” dan di bawah tulisan tersebut terdapat tulisan “DUA RIBU RUPIAH”; d) pada . . . -4- d) pada sebelah kiri atas gambar utama dengan arah horizontal dan pada sebelah kanan tanda air dengan arah vertikal, terdapat angka nominal “2000”; e) pada sebelah kiri gambar utama, di bawah angka nominal “2000” terdapat gambar saling isi (rectoverso) yang apabila diterawangkan ke arah cahaya akan terlihat logo Bank Indonesia secara utuh; f) pada sebelah kiri gambar utama, di bawah gambar saling isi (rectoverso) terdapat kode tuna netra yang berbentuk sebuah kotak persegi panjang; g) pada sebelah kanan atas gambar utama terdapat gambar tersembunyi (latent image) tulisan BI dalam bingkai persegi panjang berbentuk ornamen daerah Kalimantan yang dapat dilihat dari sudut pandang tertentu; h) pada sebelah kanan atas gambar utama terdapat gambar Lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia, yaitu Garuda Pancasila; i) pada sebelah kanan bawah gambar utama terdapat angka tahun pencetakan “2009” (angka 2009 akan berubah sesuai dengan tahun pencetakan uang), tulisan “DEWAN GUBERNUR”, tanda tangan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia beserta tulisan “DEPUTI GUBERNUR SENIOR”, dan tanda tangan Deputi Gubernur Bank Indonesia beserta tulisan “DEPUTI GUBERNUR”; j) sebagai latar belakang dan pengisi bidang terdiri dari garis-garis bergelombang, miring, dan rangkaian garis melengkung yang membentuk ornamen daerah Kalimantan; k) mikroteks yaitu teks yang hanya dapat dibaca dengan bantuan kaca pembesar terdapat: 1) pada . . . -5- 1) pada sebelah kiri gambar utama yang mengisi angka nominal “2000” berupa tulisan BANKINDONESIA; 2) pada sebelah kiri atas dan bawah gambar utama berupa tulisan BANKINDONESIA membentuk ornamen daerah Kalimantan; 3) di tepi ornamen daerah Kalimantan berupa tulisan DUARIBURUPIAH dalam bentuk melingkar; 4) di tepi kiri dan kanan bagian tengah berupa tulisan BANKINDONESIA yang tersusun horizontal; l) miniteks yaitu teks dengan ukuran kecil yang dapat dibaca tanpa bantuan kaca pembesar terdapat di atas dan di bawah tanda air berupa tulisan BANKINDONESIA yang berbentuk lengkungan dengan ukuran teks yang berbeda. 2. bagian belakang a) gambar utama berupa gambar Tarian Adat Dayak, Kalimantan dan pada sebelah kanannya dicantumkan tulisan “TARIAN ADAT DAYAK”; b) pada sebelah kanan atas gambar utama terdapat tulisan “BANK INDONESIA”; c) di bawah gambar utama terdapat tulisan “DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, BANK INDONESIA MENGELUARKAN UANG SEBAGAI ALAT PEMBAYARAN YANG SAH DENGAN NILAI DUA RIBU RUPIAH”; d) pada sebelah kanan bawah dengan arah horizontal dan pada sebelah kiri atas dengan arah vertikal terdapat angka nominal “2000”; e) nomor seri yang terdiri dari 3 (tiga) huruf dan 6 (enam) angka terletak pada sebelah kiri bawah uang yang dicetak dengan tinta berwarna hitam yang akan memendar hijau di bawah sinar ultra violet . . . -6- violet dan pada sebelah kanan atas di bawah tulisan “BANKINDONESIA” dicetak dengan tinta berwarna merah yang akan memendar oranye di bawah sinar ultra violet; f) pada sebelah kanan atas di bawah nomor seri terdapat gambar saling isi (rectoverso) yang apabila diterawangkan ke arah cahaya akan terlihat logo Bank Indonesia secara utuh; g) pada sebelah kanan bawah terdapat tulisan nama perusahaan percetakan uang atau pemasok uang, dan angka tahun emisi “2009”; h) mikroteks yaitu teks yang hanya dapat dibaca dengan bantuan kaca pembesar terdapat: 1) di tepi kiri dan kanan bagian tengah berupa tulisan BANKINDONESIA yang tersusun horizontal; 2) di tepi kanan gambar utama berupa tulisan BANKINDONESIA yang membentuk garis vertikal; 3) pada sebelah kanan bawah gambar utama yang mengisi angka nominal “2000” berupa tulisan BANKINDONESIA; i) miniteks yaitu teks dengan ukuran kecil yang dapat dibaca tanpa bantuan kaca pembesar terdapat di atas dan di bawah tanda air berupa tulisan BANKINDONESIA yang berbentuk garis melengkung dengan warna dan ukuran teks yang berbeda. c. Bahan kertas uang memiliki spesifikasi sebagai berikut: 1. terbuat dari serat kapas; 2. ukuran panjang 141 mm dan lebar 65 mm; 3. warna abu-abu; 4. tidak memendar di bawah sinar ultra violet; 5. tanda air berupa gambar Pahlawan Nasional Pangeran Antasari; 6. benang pengaman tertanam dan memuat tulisan “BI2000” berulang- ulang. 2. Di antara . . . -7- 2. Di antara Pasal 4 dan Pasal 5 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 4A yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 4A Ciri uang rupiah pecahan 2.000 (dua ribu) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, untuk tahun pencetakan mulai bulan Desember tahun 2010 adalah: a. Warna bagian muka dan bagian belakang uang dicetak dengan warna dominan abu-abu. b. Gambar 1. bagian muka a) gambar utama berupa gambar Pahlawan Nasional Pangeran Antasari dan di bawahnya dicantumkan tulisan “PANGERAN ANTASARI”; b) pada sebelah kiri gambar utama dan di tepi kiri dan kanan bagian tengah terdapat gambar ornamen daerah Kalimantan, serta pada bagian tepi kanan atas dan bawah terdapat garis melengkung berwarna kuning yang akan memendar hijau kekuningan di bawah sinar ultra violet; c) pada sebelah kiri bawah gambar utama dengan arah horizontal terdapat tulisan “BANK INDONESIA” dan di bawah tulisan tersebut terdapat tulisan “DUA RIBU RUPIAH”; d) pada sebelah kiri atas gambar utama dengan arah horizontal dan pada sebelah kanan tanda air dengan arah vertikal, terdapat angka nominal “2000”; e) pada sebelah kiri gambar utama, di bawah angka nominal “2000” terdapat gambar saling isi (rectoverso) yang apabila diterawangkan ke arah cahaya akan terlihat logo Bank Indonesia secara utuh; f) pada ... -8- f) pada sebelah kiri gambar utama, di bawah gambar saling isi (rectoverso) terdapat kode tuna netra yang berbentuk sebuah kotak persegi panjang; g) pada sebelah kanan atas gambar utama terdapat gambar tersembunyi (latent image) tulisan BI dalam bingkai persegi panjang berbentuk ornamen daerah Kalimantan yang dapat dilihat dari sudut pandang tertentu; h) pada sebelah kanan atas gambar utama terdapat gambar Lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia, yaitu Garuda Pancasila; i) pada sebelah kanan bawah gambar utama terdapat angka tahun pencetakan “2010” (angka 2010 akan berubah sesuai dengan tahun pencetakan uang), tulisan “DEWAN GUBERNUR”, tanda tangan Gubernur Bank Indonesia beserta tulisan “GUBERNUR”, dan tanda tangan Deputi Gubernur Bank Indonesia beserta tulisan “DEPUTI GUBERNUR”; j) sebagai latar belakang dan pengisi bidang terdiri dari garis-garis bergelombang, miring, dan rangkaian garis melengkung yang membentuk ornamen daerah Kalimantan; k) mikroteks yaitu teks yang hanya dapat dibaca dengan bantuan kaca pembesar terdapat: 1) pada sebelah kiri gambar utama yang mengisi angka nominal “2000” berupa tulisan BANKINDONESIA; 2) pada sebelah kiri atas dan bawah gambar utama berupa tulisan BANKINDONESIA membentuk ornamen daerah Kalimantan; 3) di tepi ornamen daerah Kalimantan berupa tulisan DUARIBURUPIAH dalam bentuk melingkar; 4) di tepi . . . -9- 4) di tepi kiri dan kanan bagian tengah berupa tulisan BANKINDONESIA yang tersusun horizontal; l) miniteks yaitu teks dengan ukuran kecil yang dapat dibaca tanpa bantuan kaca pembesar terdapat di atas dan di bawah tanda air berupa tulisan BANKINDONESIA yang berbentuk lengkungan dengan ukuran teks yang berbeda. 2. bagian belakang a) gambar utama berupa gambar Tarian Adat Dayak, Kalimantan dan pada sebelah kanannya dicantumkan tulisan “TARIAN ADAT DAYAK”; b) pada sebelah kanan atas gambar utama terdapat tulisan “BANK INDONESIA”; c) di bawah gambar utama terdapat tulisan “DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, BANK INDONESIA MENGELUARKAN UANG SEBAGAI ALAT PEMBAYARAN YANG SAH DENGAN NILAI DUA RIBU RUPIAH”; d) pada sebelah kanan bawah dengan arah horizontal dan pada sebelah kiri atas dengan arah vertikal terdapat angka nominal “2000”; e) nomor seri yang terdiri dari 3 (tiga) huruf dan 6 (enam) angka terletak pada sebelah kiri bawah uang yang dicetak dengan tinta berwarna hitam yang akan memendar hijau di bawah sinar ultra violet dan pada sebelah kanan atas di bawah tulisan “BANKINDONESIA” dicetak dengan tinta berwarna merah yang akan memendar oranye di bawah sinar ultra violet; f) pada ... -10- f) pada sebelah kanan atas di bawah nomor seri terdapat gambar saling isi (rectoverso) yang apabila diterawangkan ke arah cahaya akan terlihat logo Bank Indonesia secara utuh; g) pada sebelah kanan bawah terdapat tulisan nama perusahaan percetakan uang atau pemasok uang, dan angka tahun emisi “2009”; h) mikroteks yaitu teks yang hanya dapat dibaca dengan bantuan kaca pembesar terdapat: 1) di tepi kiri dan kanan bagian tengah berupa tulisan BANKINDONESIA yang tersusun horizontal; 2) di tepi kanan gambar utama berupa tulisan BANKINDONESIA yang membentuk garis vertikal; 3) pada sebelah kanan bawah gambar utama yang mengisi angka nominal “2000” berupa tulisan BANKINDONESIA; i) miniteks yaitu teks dengan ukuran kecil yang dapat dibaca tanpa bantuan kaca pembesar terdapat di atas dan di bawah tanda air berupa tulisan BANKINDONESIA yang berbentuk garis melengkung dengan warna dan ukuran teks yang berbeda. c. Bahan kertas uang memiliki spesifikasi sebagai berikut: 1. terbuat dari serat kapas; 2. ukuran panjang 141 mm dan lebar 65 mm; 3. warna abu-abu; 4. tidak memendar di bawah sinar ultra violet; 5. tanda air berupa gambar Pahlawan Nasional Pangeran Antasari; 6. benang pengaman tertanam dan memuat tulisan “BI2000” berulang- ulang. Pasal . . . -11- Pasal II Uang kertas rupiah pecahan 2.000 (dua ribu) tahun emisi 2009 yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, masih tetap berlaku sepanjang belum dicabut dan ditarik dari peredaran. Pasal III Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan . . . -12- Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 30 Desember 2010 GUBERNUR BANK INDONESIA, DARMIN NASUTION Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 30 Desember 2010 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, PATRIALIS AKBAR LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 158 DPU "," PBI 12/25/PBI/2010 PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 11/21/PBI/2009 TENTANG PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG KERTAS RUPIAH PECAHAN 2.000 (DUA RIBU) TAHUN EMISI 2009 30 Desember 2010 30 Desember 2010 30 Desember 2010 '11/21/PBI/2009' '6/UU/2009', '23/UU/1999', '6/14/PBI/2004', '2/PERPPU/2008', '9/10/PBI/2007' " " PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 6/ 28 /PBI/2004 TENTANG PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG KERTAS RUPIAH PECAHAN 100.000 (SERATUS RIBU) TAHUN EMISI 2004 GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa peningkatan kegiatan masyarakat dalam melakukan transaksi tunai, perlu didukung dengan ketersediaan uang rupiah yang memadai dan mudah dikenali ciri-ciri keasliannya sebagai alat pembayaran; b. bahwa ketersediaan uang rupiah yang memadai dan mudah dikenali ciri-ciri keasliannya tersebut, dipandang perlu untuk meningkatkan unsur pengaman pada uang rupiah pecahan 100.000 (seratus ribu); c. bahwa untuk meningkatkan unsur pengaman pada uang rupiah pecahan 100.000 (seratus ribu), dipandang perlu untuk mengeluarkan dan mengedarkan uang kertas rupiah pecahan 100.000 (seratus ribu) tahun emisi 2004; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang Pengeluaran dan Pengedaran Uang Kertas Rupiah Pecahan 100.000 (seratus ribu) Tahun Emisi 2004. Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia ..... Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357); 2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/14/PBI/2004 tanggal 22 Juni 2004 tentang Pengeluaran, Pengedaran, Pencabutan dan Penarikan serta Pemusnahan Uang Rupiah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4388 ); MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG KERTAS RUPIAH PECAHAN 100.000 (SERATUS RIBU) TAHUN EMISI 2004. Pasal 1 Bank Indonesia mengeluarkan dan mengedarkan uang rupiah pecahan 100.000 (seratus ribu) tahun emisi 2004 sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah negara Republik Indonesia. Pasal 2 Macam uang rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 merupakan jenis uang kertas yang terbuat dari bahan serat kapas. Pasal 3 ..... Pasal 3 Harga uang rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 mempunyai nilai nominal Rp100.000 (seratus ribu rupiah). Pasal 4 Ciri uang rupiah pecahan 100.000 (seratus ribu) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 adalah : a. warna bagian muka dan bagian belakang uang dicetak dengan warna dominan merah; b. gambar 1. bagian muka a) gambar utama berupa gambar Proklamator dan di bawahnya dicantumkan tulisan “DR. IR. SOEKARNO” dan “DR. H. MOHAMMAD HATTA”; b) di antara gambar Proklamator terdapat tulisan “Teks Proklamasi Republik Indonesia” dengan latar belakang Bendera Negara Republik Indonesia; c) di sebelah kiri gambar utama terdapat gambar Gedung Proklamasi; d) di sebelah kiri bawah gambar utama dengan arah horizontal terdapat tulisan “BANK INDONESIA” dan di bawah tulisan tersebut terdapat tulisan “SERATUS RIBU RUPIAH”; e) di sebelah kiri atas gambar utama dengan arah horizontal dan di sebelah kanan tanda air dengan arah vertikal, terdapat angka nominal “100000”; f) di atas ..... f) di atas bagian kiri gambar Gedung Proklamasi terdapat gambar saling isi (rectoverso) yang apabila diterawangkan ke arah cahaya akan terlihat logo Bank Indonesia secara utuh; g) di sebelah kanan atas gambar utama terdapat gambar Lambang Negara Garuda Pancasila; h) di sebelah kanan bawah terdapat logo Bank Indonesia di dalam bidang segi lima yang dicetak dengan tinta khusus (optical variable ink) yang akan berubah warna dari warna kuning keemasan menjadi hijau apabila dilihat dari sudut pandang tertentu; i) di sebelah kanan gambar utama terdapat angka tahun emisi “2004”, tulisan “DEWAN GUBERNUR”, tanda tangan Gubernur Bank Indonesia (Burhanuddin Abdullah) beserta tulisan “GUBERNUR”, dan tanda tangan Deputi Gubernur Bank Indonesia (Aulia Pohan) beserta tulisan “DEPUTI GUBERNUR”; j) sebagai latar belakang dan pengisi bidang terdiri dari garis-garis bergelombang, miring, dan rangkaian garis melengkung membentuk ornamen tertentu; yang k) mikroteks dengan tulisan “Bank Indonesia” atau “BI” dan hanya dapat dibaca dengan bantuan kaca pembesar terdapat di : 1) tepi kiri atas, tepi kiri tengah dan tepi kiri bawah yang membentuk pola dasar uang dengan warna teks yang berbeda; 2) bagian tengah, di bawah teks proklamasi berbentuk lengkungan; 3) sebelah kanan gambar Proklamator DR. H. Mohammad Hatta yang membentuk gambar bunga teratai; 4) sebelah kanan atas di sekitar gambar burung garuda dan di sebelah kanan di bawah tanda tangan Dewan Gubernur berbentuk lengkungan dengan ukuran teks yang berbeda yaitu dari besar ke kecil; 5) tepi ..... 5) tepi kanan atas, tepi kanan tengah dan tepi kanan bawah yang membentuk pola dasar uang dengan warna teks yang berbeda. 2. bagian belakang a) gambar utama berupa gambar Gedung Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia; b) di sebelah kanan atas gambar utama terdapat tulisan “BANK INDONESIA”; c) di sebelah atas gambar utama terdapat gambar Peta Kepulauan Indonesia yang akan memendar kekuningan di bawah sinar ultra violet; d) di sebelah bawah gambar utama terdapat tulisan “DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, BANK INDONESIA MENGELUARKAN UANG SEBAGAI ALAT PEMBAYARAN YANG SAH DENGAN NILAI SERATUS RIBU RUPIAH”; e) di sebelah kanan bawah dengan arah horizontal dan di sebelah kiri atas dengan arah vertikal terdapat angka nominal “100000”; f) nomor seri yang terdiri dari 3 (tiga) huruf dan 6 (enam) angka terletak di sebelah kiri bawah uang yang dicetak dengan tinta berwarna hitam yang akan memendar kehijauan di bawah sinar ultra violet dan di sebelah kanan atas di bawah tulisan “BANK INDONESIA” dicetak dengan tinta berwarna merah yang akan memendar kekuningan di bawah sinar ultra violet; g) di sebelah kanan atas di bawah nomor seri terdapat gambar saling isi (rectoverso) yang apabila diterawangkan ke arah cahaya akan terlihat logo Bank Indonesia secara utuh; h) di sebelah kanan bawah tepat di bawah angka nominal “100000” terdapat tulisan “PERUM PERCETAKAN UANG RI IMP. 2004”; i) di atas ..... i) di atas tanda air, terdapat cetakan tidak kasat mata berupa gambar gedung MPR/DPR yang akan memendar kemerahan di bawah sinar ultra violet ; j) di sebelah kiri atas gambar utama, terdapat cetakan tidak kasat mata berupa angka nominal “100000” yang kehijauan di bawah sinar ultra violet; akan memendar kuning k) mikroteks dengan tulisan “Bank Indonesia” atau “BI” dan hanya dapat dibaca dengan bantuan kaca pembesar terdapat di : 1) tepi kiri tengah yang berbentuk lengkungan; 2) sebelah kiri atas dan bawah masing-masing berada di belakang angka nominal dan dibawah gedung MPR/DPR RI berbentuk lengkungan dengan ukuran teks yang berbeda yaitu dari besar ke kecil; 3) bagian kanan atas atap gedung MPR/DPR RI yang membentuk pola dasar uang; 4) tepi kanan tengah yang berbentuk lengkungan. c. bahan kertas uang memiliki spesifikasi sebagai berikut : 1. terbuat dari serat kapas; 2. ukuran panjang 151 mm dan lebar 65 mm; 3. warna merah muda; 4. tidak memendar di bawah sinar ultra violet; 5. tanda air berupa gambar Pahlawan Nasional W.R. Soepratman dan electrotype berupa ornamen; 6. benang pengaman berbentuk anyaman yang memuat tulisan mikro “BI 100000” yang utuh atau terpotong sebagian; 7. Jenis ..... 7. jenis pigmen tertentu berbentuk dua garis tanpa celah akan berubah warna dari merah tembaga menjadi hijau dan warna biru berubah menjadi kuning keemasan apabila dilihat dari sudut pandang tertentu. Pasal 5 Uang rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dikeluarkan dan diedarkan mulai tanggal 29 Desember 2004. Pasal 6 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 17 Desember 2004 GUBERNUR BANK INDONESIA, BURHANUDDIN ABDULLAH LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004 NOMOR 162 DPU "," PBI 6/28/PBI/2004 PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG KERTAS RUPIAH PECAHAN 100.000 (SERATUS RIBU) TAHUN EMISI 2004 17 Desember 2004 17 Desember 2004 '23/UU/1999', '3/UU/2004', '6/14/PBI/2004' " " PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 11/13/PBI/2009 TENTANG BATAS MAKSIMUM PEMBERIAN KREDIT BANK PERKREDITAN RAKYAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam rangka mendukung pertumbuhan ekonomi, Bank Perkreditan Rakyat perlu meningkatkan pembiayaan kepada sektor produktif, terutama membiayai usaha mikro, kecil dan menengah; b. bahwa dalam upaya meningkatkan pembiayaan kepada usaha mikro, kecil dan menengah serta melindungi kepentingan masyarakat, Bank Perkreditan Rakyat wajib memelihara kesehatan dan kelangsungan usahanya dengan memperhatikan prinsip kehati-hatian dalam penyediaan dana; c. bahwa … - 2 - c. bahwa penerapan prinsip kehati-hatian dalam penyediaan dana perlu dilakukan, antara lain dengan penyebaran portofolio penyediaan dana yang diberikan agar risiko penyediaan dana tersebut tidak terpusat pada Peminjam atau kelompok Peminjam tertentu; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c, dipandang perlu untuk mengatur kembali ketentuan tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit bagi Bank Perkreditan Rakyat dalam suatu Peraturan Bank Indonesia; Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang … - 3 - Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); MEMUTUSKAN Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG BATAS MAKSIMUM PEMBERIAN KREDIT BANK PERKREDITAN RAKYAT. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 dan Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 2. Bank … - 4 - 2. Bank Perkreditan Rakyat, yang selanjutnya disebut BPR, adalah Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional. 3. Batas Maksimum Pemberian Kredit yang selanjutnya disebut dengan BMPK adalah persentase maksimum realisasi penyediaan dana yang diperkenankan terhadap modal BPR. 4. Penyediaan Dana adalah penanaman dana BPR dalam bentuk: a. kredit, dan/atau b. penempatan dana antar bank. 5. Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara BPR dengan pihak lain yang mewajibkan pihak Peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga, imbalan atau pembagian hasil keuntungan. 6. Penempatan Dana Antar Bank adalah penanaman dana BPR pada Bank lain, dalam bentuk giro, tabungan, deposito berjangka, sertifikat deposito, kredit yang diberikan dan penanaman dana lainnya yang sejenis. 7. Modal adalah modal inti dan modal pelengkap sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum BPR. 8. Pihak … - 5 - 8. Pihak Terkait adalah perorangan atau perusahaan/badan yang mempunyai hubungan kepemilikan, kepengurusan, dan/atau keuangan dengan BPR. 9. Pihak Tidak Terkait adalah perorangan atau perusahaan/badan yang tidak mempunyai hubungan kepemilikan, kepengurusan, dan/atau keuangan dengan BPR. 10. Pelanggaran BMPK adalah selisih lebih antara persentase Penyediaan Dana pada saat direalisasikan terhadap Modal BPR dengan BMPK yang diperkenankan. 11. Pelampauan BMPK adalah selisih lebih antara persentase Penyediaan Dana yang telah direalisasikan terhadap Modal BPR pada saat tanggal laporan dengan BMPK yang diperkenankan dan tidak termasuk Pelanggaran BMPK sebagaimana dimaksud pada angka 10. 12. Peminjam adalah nasabah perorangan atau perusahaan/badan yang memperoleh Penyediaan Dana dari BPR berupa Kredit. 13. Direksi: a. bagi BPR berbentuk hukum Perseroan Terbatas adalah Direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas; b. bagi BPR berbentuk hukum Perusahaan Daerah adalah Direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah; c. bagi … - 6 - c. bagi BPR berbentuk hukum Koperasi adalah pengurus sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. 14. Dewan Komisaris: a. bagi BPR berbentuk hukum Perseroan Terbatas adalah Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas; b. bagi BPR berbentuk hukum Perusahaan Daerah adalah pengawas sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah; c. bagi BPR berbentuk hukum Koperasi adalah pengawas sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. Pasal 2 BPR wajib memperhatikan prinsip kehati-hatian dalam membuat Perjanjian Kredit antara BPR dan Peminjam yang mencantumkan Penyediaan Dana. Pasal 3 (1) BPR dilarang membuat Perjanjian Kredit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 apabila Perjanjian Kredit tersebut mewajibkan BPR untuk menyediakan … - 7 - menyediakan dana yang akan mengakibatkan terjadinya pelanggaran BMPK. (2) BPR dilarang memberikan Penyediaan Dana yang mengakibatkan Pelanggaran BMPK. BAB II DASAR PERHITUNGAN BMPK Pasal 4 (1) BMPK untuk Kredit dihitung berdasarkan baki debet Kredit. (2) BMPK untuk Penempatan Dana Antar Bank pada BPR lain dihitung berdasarkan nominal Penempatan Dana Antar Bank. BAB III BMPK KEPADA PIHAK TERKAIT Pasal 5 Penyediaan Dana kepada seluruh Pihak Terkait ditetapkan paling tinggi 10% (sepuluh persen) dari Modal BPR. Pasal 6 … - 8 - Pasal 6 Penyediaan Dana dalam bentuk Kredit kepada Pihak Terkait wajib memperoleh persetujuan dari 1 (satu) orang anggota Direksi dan 1 (satu) orang anggota Dewan Komisaris BPR. Pasal 7 Pihak Terkait meliputi: a. pemegang saham yang memiliki saham 10% (sepuluh persen) atau lebih dari modal disetor; b. c. anggota Dewan Komisaris; anggota Direksi; d. pihak yang mempunyai hubungan keluarga sampai dengan derajat kedua, baik horisontal maupun vertikal, dengan pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada huruf a sampai dengan huruf c; e. Pejabat Eksekutif; f. perusahaan-perusahaan bukan Bank yang dimiliki oleh pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada huruf a sampai dengan huruf e yang kepemilikannya baik individual maupun keseluruhan sebesar 25% (dua puluh lima persen) atau lebih dari modal disetor perusahaan; g. BPR lain yang dimiliki oleh pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada huruf a sampai dengan huruf e yang kepemilikannya secara individual sebesar 10% (sepuluh persen) atau lebih dari modal disetor pada BPR lain tersebut; h. BPR … - 9 - h. BPR lain yang: 1) 2) anggota Dewan Komisarisnya merupakan anggota Dewan Komisaris BPR; dan rangkap jabatan pada BPR lain dimaksud merupakan 50% (lima puluh persen) atau lebih dari jumlah keseluruhan anggota Dewan Komisaris dan Direksinya. i. perusahaan yang 50% (lima puluh persen) atau lebih dari jumlah keseluruhan anggota Dewan Komisaris dan anggota Direksinya merupakan anggota Dewan Komisaris BPR; j. Peminjam yang diberikan jaminan oleh pihak sebagaimana dimaksud pada huruf a sampai dengan huruf i. Pasal 8 Penyediaan Dana kepada pihak-pihak selain yang dimaksud dalam Pasal 7 dapat dikategorikan sebagai Penyediaan Dana kepada Pihak Terkait apabila penyediaan dana tersebut digunakan untuk keuntungan Pihak Terkait. BAB IV … - 10 - BAB IV BMPK KEPADA PIHAK TIDAK TERKAIT Pasal 9 (1) Penyediaan Dana dalam bentuk Penempatan Dana Antar Bank kepada BPR lain yang merupakan Pihak Tidak Terkait ditetapkan paling tinggi 20% (dua puluh persen) dari Modal BPR. (2) Penyediaan Dana dalam bentuk Kredit kepada 1 (satu) Peminjam Pihak Tidak Terkait ditetapkan paling tinggi 20% (dua puluh persen) dari Modal BPR. (3) Penyediaan Dana dalam bentuk Kredit kepada 1 (satu) kelompok Peminjam Pihak Tidak Terkait ditetapkan paling tinggi 30% (tiga puluh persen) dari Modal BPR. Pasal 10 Peminjam digolongkan sebagai anggota suatu kelompok Peminjam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) apabila Peminjam mempunyai keterkaitan dengan Peminjam lain baik melalui hubungan kepemilikan, hubungan kepengurusan dan/atau hubungan keuangan, yang meliputi: a. perusahaan-perusahaan yang masing-masing 25% (dua puluh lima persen) atau lebih modal disetornya dimiliki oleh suatu perusahaan/badan atau perorangan atau secara bersama oleh suatu keluarga; b. perusahaan … - 11 - b. perusahaan-perusahaan yang salah satunya memiliki 25% (dua puluh lima persen) atau lebih modal disetor perusahaan lainnya; c. perusahaan-perusahaan yang 50% (lima puluh persen) atau lebih dari jumlah keseluruhan anggota Dewan Komisaris dan anggota Direksi pada perusahaan yang satu menjadi Dewan Komisaris dan/atau Direksi pada perusahaan lainnya. d. perusahaan-perusahaan yang tidak memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud pada huruf a sampai dengan huruf c, namun terdapat bantuan keuangan dari salah satu perusahaan tersebut terhadap perusahaan lainnya yang mengakibatkan adanya pengendalian oleh perusahaan tersebut terhadap perusahaan lainnya. e. perusahaan-perusahaan dan/atau perorangan yang salah satunya bertindak sebagai penjamin kredit atas kredit yang diterima oleh perusahaan atau perorangan lainnya. BAB V PELAMPAUAN BMPK Pasal 11 Penyediaan Dana oleh BPR dikategorikan sebagai Pelampauan BMPK apabila terjadi selisih lebih antara persentase Penyediaan Dana yang telah direalisasikan terhadap Modal BPR pada saat tanggal laporan dengan BMPK yang diperkenankan yang disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut: a. penurunan … - 12 - a. penurunan Modal BPR; b. penggabungan usaha, peleburan usaha, pengambilalihan usaha, perubahan struktur kepemilikan dan/atau kepengurusan yang menyebabkan perubahan Pihak Terkait dan/atau kelompok Peminjam; c. perubahan ketentuan. BAB VI PENYELESAIAN PELANGGARAN DAN/ATAU PELAMPAUAN BMPK Pasal 12 (1) BPR wajib menyusun dan menyampaikan rencana tindak (action plan) untuk penyelesaian Pelanggaran BMPK dan/atau Pelampauan BMPK. (2) Action plan untuk Pelanggaran BMPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan oleh BPR dan diterima oleh Bank Indonesia paling lambat 1 (satu) bulan setelah batas akhir penyampaian laporan BMPK bulan yang bersangkutan atau 14 (empat belas) hari sejak exit meeting untuk Pelanggaran BMPK yang ditemukan dalam pemeriksaan. (3) Action plan untuk Pelampauan BMPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang disebabkan karena hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf a dan huruf b harus disampaikan oleh BPR dan diterima oleh Bank Indonesia paling lambat 1 (satu) bulan setelah akhir bulan laporan BMPK bulan yang bersangkutan atau 14 (empat belas) hari sejak exit meeting untuk Pelampauan BMPK yang ditemukan dalam pemeriksaan. (4) Action … - 13 - (4) Action plan untuk Pelampauan BMPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang disebabkan karena hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf c harus disampaikan oleh BPR dan diterima oleh Bank Indonesia paling lambat 3 (tiga) bulan sejak diberlakukannya ketentuan baru. (5) Dalam hal jangka waktu penyampaian action plan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) jatuh pada hari Sabtu atau hari libur maka BPR wajib menyampaikan action plan pada hari kerja sebelumnya. Pasal 13 (1) Action plan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) wajib memuat paling kurang langkah-langkah untuk penyelesaian Pelanggaran BMPK dan/atau Pelampauan BMPK serta target waktu penyelesaian. (2) Target waktu penyelesaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebagai berikut: a. Untuk Pelanggaran BMPK, paling lambat dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak action plan disampaikan kepada Bank Indonesia. b. Untuk Pelampauan BMPK yang disebabkan oleh hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf a dan huruf b, paling lambat 6 (enam) bulan sejak action plan disampaikan kepada Bank Indonesia. c. Untuk Pelampauan BMPK yang disebabkan oleh hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf c, paling lambat 12 (dua belas) bulan sejak action plan disampaikan kepada Bank Indonesia. (3) Dalam … - 14 - (3) Dalam hal sisa jangka waktu penyediaan dana sampai dengan jatuh tempo lebih pendek daripada target waktu penyelesaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) maka target waktu penyelesaian paling lambat sampai dengan penyediaan dana jatuh tempo. (4) Target waktu penyelesaian pelanggaran dan/atau pelampauan BMPK atas Penempatan Dana Antar Bank yang tidak memiliki jatuh tempo berupa Tabungan pada BPR lain, paling lambat 1 (satu) bulan sejak action plan disampaikan kepada Bank Indonesia. (5) Bank Indonesia dapat meminta BPR melakukan penyesuaian action plan yang disampaikan apabila menurut penilaian Bank Indonesia langkah- langkah dan/atau target waktu penyelesaian tidak mungkin dicapai. Pasal 14 (1) BPR wajib menyampaikan laporan pelaksanaan action plan untuk penyelesaian Pelanggaran BMPK dan/atau Pelampauan BMPK disertai dengan bukti pendukungnya. (2) Laporan pelaksanaan action plan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan oleh BPR dan diterima oleh Bank Indonesia paling lambat 14 (empat belas) hari sejak realisasi action plan. (3) Dalam hal jangka waktu 14 (empat belas) hari sebagaimana dimaksud pada ayat (2) jatuh pada hari Sabtu atau hari libur maka BPR wajib menyampaikan laporan pelaksanaan action plan pada hari kerja sebelumnya. BAB VII … - 15 - BAB VII PENGECUALIAN Pasal 15 Ketentuan BMPK dikecualikan untuk: a. Penempatan Dana Antar Bank pada Bank Umum, termasuk Bank Umum yang memenuhi kriteria Pihak Terkait sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7; b. Bagian Penyediaan Dana yang dijamin oleh: 1) Agunan dalam bentuk agunan tunai berupa deposito atau tabungan di BPR; 2) Emas dan/atau logam mulia; dan/atau 3) Sertifikat Bank Indonesia, sepanjang memenuhi persyaratan sebagai berikut: a) agunan diblokir dan dilengkapi dengan surat kuasa pencairan/penjualan yang tidak dapat dibatalkan dari pemilik agunan untuk keuntungan BPR penerima agunan, termasuk pencairan/penjualan sebagian untuk membayar tunggakan angsuran pokok/bunga; b) jangka waktu pemblokiran sebagaimana dimaksud pada huruf a) paling kurang sama dengan jangka waktu Penyediaan Dana; dan c) untuk agunan tunai sebagaimana dimaksud pada angka 1) dan angka 2), disimpan atau ditatausahakan pada BPR yang bersangkutan. c. Bagian … - 16 - c. Bagian Penyediaan Dana yang dijamin oleh Pemerintah Indonesia secara langsung maupun melalui Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) sesuai dengan ketentuan perundang- undangan yang berlaku dan memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1) jaminan bersifat tanpa syarat (unconditional) dan tidak dapat dibatalkan (irrevocable); 2) harus dapat dicairkan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak klaim diajukan, termasuk pencairan sebagian; dan 3) mempunyai jangka waktu penjaminan paling kurang sama dengan jangka waktu Penyediaan Dana. d. Bagian Penempatan Dana Antar Bank pada BPR lain sepanjang memenuhi persyaratan: 1) Terdapat kesepakatan antar BPR yang menempatkan dananya dengan BPR lain yang menerima penempatan dana; 2) Dalam rangka menanggulangi kesulitan likuiditas BPR; dan 3) Bagian Penempatan Dana dimaksud: a) merupakan simpanan/iuran/porsi dana yang wajib ditempatkan oleh BPR pada BPR lain sesuai kesepakatan sebagaimana dimaksud pada angka 1); atau b) berasal dari simpanan/iuran/porsi dana dari BPR-BPR yang ditujukan untuk menanggulangi kesulitan likuiditas masing- masing BPR. Pasal 16 … - 17 - Pasal 16 (1) Penyediaan dana BPR berupa Kredit dengan pola kemitraan inti-plasma atau pola Pengembangan Hubungan Bank dan Kelompok Swadaya Masyarakat (PHBK) dikecualikan dari pengertian kelompok Peminjam Pihak Tidak Terkait sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3). (2) Pola kemitraan inti-plasma sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan dari pengertian kelompok Peminjam Pihak Tidak Terkait sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3), sepanjang memenuhi persyaratan: a. Kredit diberikan dengan pola kemitraan; b. Perusahaan inti merupakan Pihak Tidak Terkait dengan BPR; c. Plasma bukan merupakan anak perusahaan atau cabang yang dimiliki, dikuasai atau berafiliasi dengan perusahaan inti; d. Plasma memproduksi komponen yang diperlukan perusahaan inti sebagai bagian dari produksi perusahaan inti; dan e. Perjanjian Kredit antara BPR dengan plasma dilakukan secara langsung. (3) Pola PHBK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan dari pengertian kelompok Peminjam Pihak Tidak Terkait sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3), sepanjang memenuhi persyaratan: a. Kredit diberikan kepada kelompok; b. Partisipan PHBK telah melalui seleksi; c. Menghargai … - 18 - c. Menghargai otonomi lembaga partisipan; d. Mempromosikan tabungan dan mengkaitkan tabungan dengan kredit; e. Mengenakan tingkat bunga pasar; f. Mengembangkan dan menerima agunan alternatif; g. Terdapat bantuan teknis/pendampingan untuk membina kelompok. Pasal 17 Kredit kepada anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris dan/atau pegawai BPR yang memenuhi kriteria Pihak Terkait yang ditujukan untuk peningkatan kesejahteraan serta dibayar kembali dari pendapatan yang diperoleh dari BPR yang bersangkutan dikecualikan sebagai pemberian Kredit kepada Pihak Terkait sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7. BAB VIII TATACARA PENYAMPAIAN LAPORAN BMPK DAN KOREKSI LAPORAN BMPK Pasal 18 (1) BPR wajib menyusun dan menyampaikan laporan BMPK kepada Bank Indonesia secara on-line setiap bulan secara benar, lengkap dan tepat waktu. (2) Laporan BMPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup: a. Penyediaan … - 19 - a. Penyediaan Dana kepada Pihak Tidak Terkait yang melanggar dan melampaui BMPK; dan b. Seluruh Penyediaan Dana kepada Pihak Terkait. (3) Tatacara penyampaian laporan BMPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) akan diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 19 (1) BPR bertanggungjawab atas kebenaran dan kelengkapan isi laporan BMPK yang disampaikan kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1). (2) Dalam hal terdapat kekeliruan dan/atau kesalahan atas laporan BMPK yang telah disampaikan kepada Bank Indonesia, BPR wajib menyampaikan koreksi atas laporan BMPK secara on-line dengan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18. Pasal 20 (1) Kewajiban penyampaian laporan BMPK dan/atau koreksi laporan BMPK secara on-line sebagaimana dimaksud pada Pasal 18 ayat (1) dan Pasal 19 ayat (2) dikecualikan dalam hal: a. BPR berkedudukan di daerah yang belum tersedia fasilitas komunikasi sehingga tidak memungkinkan untuk menyampaikan laporan BMPK dan/atau koreksi laporan BMPK secara on-line; b. BPR … - 20 - b. BPR baru beroperasi dengan batas waktu paling lama 2 (dua) bulan setelah melakukan kegiatan operasional; c. BPR mengalami gangguan teknis; atau d. Terjadi kerusakan dan/atau gangguan pada database atau jaringan komunikasi di Bank Indonesia. (2) BPR memperoleh pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b atau huruf c setelah menyampaikan pemberitahuan tertulis terlebih dahulu kepada Bank Indonesia dengan mengemukakan alasannya. (3) BPR wajib menyampaikan laporan BMPK dan/atau koreksi laporan BMPK secara on-line setelah kegiatan operasional kembali berjalan secara normal. Pasal 21 (1) BPR yang tidak dapat menyampaikan laporan BMPK dan/atau koreksi laporan BMPK secara on-line sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, wajib menyampaikan laporan dimaksud secara off-line. (2) Tatacara penyampaian laporan BMPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) akan diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 22 (1) Laporan BMPK wajib disampaikan oleh BPR kepada Bank Indonesia paling lambat tanggal 14 (empat belas) pada bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan laporan yang bersangkutan. (2) Dalam … - 21 - (2) Dalam hal tanggal 14 (empat belas) jatuh pada hari libur atau hari Sabtu maka BPR yang menyampaikan laporan BMPK secara off-line wajib menyampaikan laporan BMPK pada hari kerja sebelumnya. (3) BPR dinyatakan telah menyampaikan laporan BMPK pada tanggal diterimanya laporan BMPK oleh Bank Indonesia. (4) Dalam hal terdapat kekeliruan dan/atau kesalahan atas laporan BMPK yang telah disampaikan, BPR wajib menyampaikan koreksi atas laporan BMPK dimaksud kepada Bank Indonesia secara on-line paling lambat tanggal 20 (dua puluh) pada bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan laporan yang bersangkutan. (5) Dalam hal tanggal 20 (dua puluh) jatuh pada hari libur atau hari Sabtu maka BPR yang menyampaikan koreksi laporan BMPK secara off-line wajib menyampaikan laporan BMPK pada hari kerja sebelumnya. (6) BPR dinyatakan telah menyampaikan koreksi laporan BMPK pada tanggal diterimanya koreksi laporan BMPK oleh Bank Indonesia. Pasal 23 (1) BPR dinyatakan terlambat menyampaikan laporan BMPK apabila sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) BPR belum menyampaikan laporan BMPK. (2) BPR dinyatakan terlambat menyampaikan koreksi laporan BMPK apabila sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (4) BPR belum menyampaikan koreksi laporan BMPK. (3) BPR … - 22 - (3) BPR dinyatakan tidak menyampaikan laporan BMPK dan/atau koreksi laporan BMPK apabila sampai dengan akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan laporan yang bersangkutan BPR belum menyampaikan laporan BMPK dan/atau koreksi laporan BMPK. (4) BPR yang dinyatakan tidak menyampaikan laporan BMPK dan/atau koreksi laporan BMPK sebagaimana dimaksud pada ayat (3), tetap wajib menyampaikan laporan BMPK dan/atau koreksi laporan BMPK. BAB IX KETENTUAN LAIN Pasal 24 (1) Bank Indonesia berwenang melakukan koreksi terhadap pelaksanaan ketentuan BMPK oleh BPR. (2) BPR wajib melakukan koreksi yang ditetapkan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam laporan BMPK BPR kepada Bank Indonesia. (3) Dalam hal terdapat koreksi Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1), BPR wajib menyampaikan koreksi laporan BMPK dimaksud kepada Bank Indonesia paling lambat 14 (empat belas) hari sejak tanggal pemberitahuan oleh Bank Indonesia atau sejak tanggal exit meeting. (4) Dalam … - 23 - (4) Dalam hal jangka waktu 14 (empat belas) hari sebagaimana dimaksud pada ayat (3) jatuh pada hari Sabtu atau hari libur maka BPR wajib menyampaikan koreksi atas laporan BMPK pada hari kerja sebelumnya. Pasal 25 (1) BPR dinyatakan terlambat menyampaikan koreksi laporan BMPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) apabila sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (3) BPR belum menyampaikan koreksi laporan BMPK. (2) BPR dinyatakan tidak menyampaikan koreksi laporan BMPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) apabila sampai dengan 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal pemberitahuan oleh Bank Indonesia atau sejak tanggal exit meeting, BPR belum menyampaikan koreksi laporan BMPK. (3) BPR yang dinyatakan tidak menyampaikan koreksi laporan BMPK sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tetap wajib menyampaikan koreksi laporan BMPK. Pasal 26 Dalam 3 (tiga) bulan pertama sejak diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia ini, selain menyampaikan laporan BMPK secara on-line sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, penyampaian laporan BMPK disertai rekaman data laporan BMPK terkait dalam bentuk disket atau media perekam data elektronik lainnya beserta hasil cetakan yang ditandatangani oleh pejabat yang berwenang. BAB X … - 24 - BAB X SANKSI Pasal 27 (1) BPR yang melakukan Pelanggaran BMPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2), Pasal 5, dan Pasal 9 dikenakan sanksi penilaian tingkat kesehatan BPR sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku. (2) Terhadap setiap kesalahan laporan BMPK yang ditemukan berdasarkan penelitian dan/atau pemeriksaan Bank Indonesia, dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp10.000,00 (sepuluh ribu rupiah) per jenis kesalahan atau paling banyak sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah). (3) Dalam hal jenis kesalahan yang sama terjadi pada laporan bulanan BPR sesuai ketentuan yang berlaku dan atas kesalahan tersebut BPR telah dikenakan sanksi maka BPR tidak lagi dikenakan sanksi atas jenis kesalahan yang sama tersebut pada laporan BMPK. (4) BPR yang dinyatakan terlambat menyampaikan laporan BMPK dan/atau koreksi laporan BMPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 25 ayat (1) dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) per hari keterlambatan. (5) BPR yang dinyatakan tidak menyampaikan laporan BMPK dan/atau koreksi laporan BMPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (3) dan Pasal 25 ayat (2) dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah). (6) BPR ... - 25 - (6) BPR yang melanggar ketentuan dalam Pasal 3 ayat (1), Pasal 6, Pasal 12, Pasal 14 serta Pasal 24 ayat (2), dikenakan sanksi administratif sesuai dengan Pasal 52 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, berupa: a. teguran tertulis; dan b. penurunan nilai kredit aspek manajemen dalam perhitungan tingkat kesehatan. (7) BPR yang melanggar ketentuan dalam Pasal 3 ayat (1), Pasal 6, Pasal 12, Pasal 14 serta Pasal 24 ayat (2) selain dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dapat dikenakan sanksi administratif sesuai dengan Pasal 52 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, berupa pencantuman anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris dan/atau pemegang saham dalam daftar pihak-pihak yang memperoleh predikat tidak lulus dalam penilaian kemampuan dan kepatutan BPR sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku. (8) BPR yang tidak menyelesaikan Pelanggaran BMPK dan/atau Pelampauan BMPK sesuai dengan action plan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) dan/atau tidak melaksanakan langkah penyelesaian sesuai koreksi yang ditetapkan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2), setelah diberi peringatan 2 (dua) kali oleh Bank Indonesia, dikenakan sanksi administratif sesuai dengan Pasal 52 ayat (2) Undang- Undang ... - 26 - Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, berupa: a. pencantuman anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris dan/atau pemegang saham dalam daftar pihak-pihak yang memperoleh predikat tidak lulus dalam penilaian kemampuan dan kepatutan BPR sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku; dan/atau b. pembekuan kegiatan usaha tertentu, antara lain tidak diperkenankan untuk ekspansi Penyediaan Dana. (9) BPR yang tidak menyelesaikan Pelanggaran BMPK selain dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (7), terhadap anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, pemegang saham maupun pihak terafiliasi lainnya dapat dikenakan sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 49 ayat (2) huruf b, Pasal 50, dan Pasal 50 A Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998. Pasal 28 Ketentuan pengenaan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2), ayat (4) dan ayat (5) berlaku setelah 3 (tiga) bulan pertama sejak diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia ini. BAB XI ... - 27 - BAB XI KEADAAN MEMAKSA (FORCE MAJEURE) Pasal 29 (1) BPR yang mengalami Keadaan Memaksa (force majeure) selama satu atau lebih periode penyampaian laporan BMPK dan/atau koreksi laporan BMPK dikecualikan dari kewajiban menyampaikan laporan BMPK dan/atau koreksi laporan BMPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1), Pasal 19 ayat (2) dan Pasal 24 ayat (3); (2) BPR yang mengalami Keadaan Memaksa (force majeure) kurang dari satu periode penyampaian laporan BMPK dan/atau koreksi laporan BMPK dikecualikan dari kewajiban menyampaikan laporan BMPK dan/atau koreksi laporan BMPK dalam batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1), ayat (2), ayat (4) dan ayat (5); (3) BPR yang mengalami Keadaan Memaksa (force majeure), menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Bank Indonesia, dengan disertai penjelasan mengenai Keadaan Memaksa yang dialami; (4) BPR wajib menyampaikan laporan BMPK dan/atau koreksi laporan BMPK setelah kembali melakukan kegiatan operasional secara normal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 dan Pasal 24 ayat (3). BAB XII ... - 28 - BAB XII PENUTUP Pasal 30 Ketentuan lebih lanjut tentang BMPK akan diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 31 Dengan diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia ini maka Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/61/KEP/DIR tanggal 9 Juli 1998 tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Perkreditan Rakyat dinyatakan tidak berlaku bagi BPR yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional. Pasal 32 Peraturan Bank Indonesia ini tidak berlaku bagi Badan Kredit Desa (BKD) yang didirikan berdasarkan staatsblad Tahun 1929 Nomor 357 dan Rijksblad Tahun 1937 Nomor 9. Pasal 33 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 2009. Agar ... - 29 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 17 April 2009. GUBERNUR BANK INDONESIA BOEDIONO Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 17 April 2009. MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA ANDI MATTALATTA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 66 DKBU PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 11/13/PBI/2009 TENTANG BATAS MAKSIMUM PEMBERIAN KREDIT BANK PERKREDITAN RAKYAT UMUM Dalam rangka mengurangi potensi kegagalan usaha BPR sebagai akibat dari konsentrasi penyediaan dana maka BPR wajib memperhatikan prinsip kehati-hatian, antara lain dengan melakukan penyebaran risiko atas portofolio penyediaan dana terutama melalui pembatasan penyediaan dana, baik kepada Pihak Terkait maupun kepada Pihak Tidak Terkait sebesar persentase tertentu dari modal BPR atau yang dikenal dengan BMPK. Secara operasional, mengingat BPR dipengaruhi oleh faktor eksternal, maka penyediaan dana dapat dikatakan tidak melanggar namun melampaui batas maksimumnya antara lain apabila disebabkan adanya penurunan modal BPR dan perubahan ketentuan. Mengingat … - 2 - Mengingat peranannya dalam perekonomian nasional khususnya sebagai lembaga intermediasi maka meskipun terdapat pembatasan dalam penyediaan dananya, BPR tetap perlu didorong untuk mendukung pertumbuhan ekonomi melalui langkah penyaluran dana kepada usaha mikro, kecil dan menengah dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian. Untuk itu, penyediaan dana tertentu diberikan kelonggaran atau pengecualian dalam penerapan BMPK, antara lain penyediaan dana kepada nasabah dengan pola kemitraan inti-plasma dan PHBK dan penyediaan dana yang dijamin oleh Pemerintah Pusat/Daerah baik langsung atau melalui BUMN/BUMD dan meningkatkan BMPK untuk kelompok Pihak Tidak Terkait dari 20% (dua puluh persen) menjadi 30% (tiga puluh persen). Dalam rangka pemantauan penyediaan dana, BPR diwajibkan untuk menyampaikan laporan BMPK secara berkala, dan Bank Indonesia memiliki wewenang untuk melakukan koreksi terhadap laporan yang disampaikan dan meminta BPR untuk melakukan tindakan korektif yang diperlukan, serta mengenakan sanksi secara efektif terhadap BPR yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 … - 3 - Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Kewajiban pemenuhan ketentuan pada ayat ini berlaku untuk setiap saat pemberian/realisasi Penyediaan Dana. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Persetujuan anggota Dewan Komisaris dimaksudkan sebagai pelaksanaan tugas pengawasan yang dilakukan oleh Komisaris atas tindakan kepengurusan … - 4 - kepengurusan oleh Direksi dan tidak menghilangkan tanggung jawab Direksi sebagai pemutus. Pasal 7 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Yang dimaksud dengan hubungan keluarga sampai dengan derajat kedua, baik horisontal maupun vertikal, adalah pihak-pihak sebagai berikut: 1. orang tua kandung/tiri/angkat; 2. 3. saudara kandung/tiri/angkat; anak kandung/tiri/angkat; 4. kakek atau nenek kandung/tiri/angkat; 5. cucu kandung/tiri/angkat; 6. saudara kandung/tiri/angkat dari orang tua; 7. suami … - 5 - 7. suami atau isteri; 8. mertua; 9. besan; 10. suami atau isteri dari anak kandung/tiri/angkat; 11. kakek atau nenek dari suami atau isteri; 12. suami atau isteri dari cucu kandung/tiri/angkat; 13. saudara kandung/tiri/angkat dari suami atau isteri beserta suami atau isteri dari saudara yang bersangkutan. Huruf e Yang dimaksud dengan Pejabat Eksekutif adalah Pejabat Eksekutif sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia tentang BPR. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Yang dimaksud dengan “BPR lain” termasuk pula Bank Pembiayaan Rakyat Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Perbankan Syariah. Huruf h Ketentuan huruf h memperhatikan ketentuan pembatasan rangkap jabatan sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia tentang BPR. Contoh: … - 6 - Contoh: BPR A menyediakan dana kepada BPR B. BPR A mempunyai 2 (dua) orang Direktur dan 2 (dua) orang Komisaris. Kedua Komisaris BPR A tersebut menjabat sebagai Komisaris pada BPR B yang mempunyai 2 (dua) orang Direktur dan 2 (dua) orang Komisaris. Mengingat 2 (dua) orang Komisaris pada BPR B memenuhi asas mayoritas sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah keseluruhan anggota Dewan Komisaris dan Direksi BPR B maka BPR B tersebut merupakan Pihak Terkait dari BPR A, sehingga penyediaan dana BPR A kepada BPR B paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen). Huruf i Ketentuan huruf i memperhatikan ketentuan pembatasan rangkap jabatan sebagaimana sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia tentang BPR. Contoh: BPR C menyediakan dana kepada PT D. BPR C mempunyai 2 (dua) orang Direktur dan 2 (dua) orang Komisaris. Salah satu Komisaris BPR C tersebut menjabat sebagai Komisaris pada PT D yang mempunyai 1 (satu) orang Direktur dan 1 (satu) orang Komisaris. Mengingat 1 (satu) orang Komisaris pada PT D tersebut memenuhi asas mayoritas sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah keseluruhan anggota Dewan Komisaris dan Direksi PT D maka … - 7 - maka PT D tersebut merupakan Pihak Terkait dari BPR C, sehingga penyediaan dana BPR C kepada PT D paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen). Huruf j Yang dimaksud dengan jaminan adalah janji yang dibuat secara tertulis oleh pihak yang menjamin untuk mengambil alih dan/atau melunasi sebagian atau seluruh kewajiban pihak yang berutang dalam hal pihak yang berutang gagal memenuhi kewajibannya (wanprestasi). Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Ayat (1) Yang dimaksud dengan Penempatan Dana Antar Bank kepada BPR lain adalah penempatan dana dalam bentuk Tabungan, Deposito dan Kredit yang Diberikan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 10 … - 8 - Pasal 10 Huruf a Yang dimaksud dengan suatu keluarga adalah keluarga inti yang terdiri dari suami, isteri dan anak kandung/tiri/angkat; suami dan isteri; suami dan anak kandung/tiri/angkat; atau isteri dan anak kandung/tiri/angkat. Contoh: 1. 25% (dua puluh lima persen) atau lebih saham masing-masing perusahaan A, perusahaan B dan perusahaan C, dimiliki oleh 1 (satu) orang/perusahaan. Apabila perusahaan A, perusahaan B dan perusahaan C menjadi Peminjam BPR yang sama maka perusahaan-perusahaan tersebut digolongkan sebagai 1 (satu) kelompok Peminjam. 2. 25% (dua puluh lima persen) atau lebih saham masing-masing perusahaan A, perusahaan B dan perusahaan C, dimiliki secara bersama oleh X, Y dan Z yang merupakan suami, isteri dan anak kandung/tiri/angkat. Apabila perusahaan A, perusahaan B dan perusahaan C menjadi Peminjam BPR yang sama maka perusahaan-perusahaan tersebut digolongkan sebagai 1 (satu) kelompok Peminjam. 3. 25% (dua puluh lima persen) atau lebih saham perusahaan A dimiliki oleh suami dan anak pertama, 25% (dua puluh lima persen) … - 9 - persen) atau lebih saham perusahaan B dimiliki oleh isteri dan anak kedua. Apabila perusahaan A dan perusahaan B menjadi Peminjam BPR yang sama maka perusahaan-perusahaan tersebut digolongkan sebagai 1 (satu) kelompok Peminjam. Huruf b Contoh: Perusahaan A memiliki 25% (dua puluh lima persen) saham perusahaan B. Perusahaan B memiliki 25% (dua puluh lima persen) saham perusahaan C. Apabila perusahaan A, perusahaan B dan perusahaan C menjadi Peminjam BPR maka perusahaan A dan perusahaan B digolongkan sebagai 1 (satu) kelompok Peminjam. Sementara perusahaan B dan perusahaan C digolongkan sebagai 1 (satu) kelompok Peminjam yang lain. Huruf c Pertimbangan azas mayoritas 50% (lima puluh persen) atau lebih dihitung dari jumlah kumulatif Dewan Komisaris dan/atau Direksi. Dalam hal perusahaan tersebut berbadan hukum Koperasi maka untuk menentukan mayoritas adalah jumlah kumulatif dari pengurus, pengawas … - 10 - pengawas dan pengelola yang diangkat oleh pengurus dari Koperasi dimaksud. Huruf d Yang dimaksud dengan bantuan keuangan adalah bantuan keuangan yang disertai dengan persyaratan tertentu yang menyebabkan pihak yang memberikan bantuan mempunyai kewenangan untuk menentukan kebijakan strategis perusahaan/badan yang menerima bantuan, antara lain namun tidak terbatas pada keputusan untuk melakukan pembagian deviden dan perubahan pengurus. Huruf e Yang dimaksud dengan penjamin adalah pihak yang memberikan jaminan dalam bentuk janji yang dibuat secara tertulis yang menyatakan bahwa penjamin akan mengambilalih dan/atau melunasi sebagian atau seluruh kewajiban pihak yang berutang, dalam hal pihak yang berutang gagal memenuhi kewajibannya (wanprestasi). Termasuk dalam pengertian ini adalah pihak-pihak yang berutang yang dijamin dengan menggunakan agunan yang sama. Pasal 11 Huruf a Cukup jelas. Huruf b … - 11 - Huruf b Yang dimaksud dengan penggabungan usaha atau merger adalah penggabungan usaha 2 (dua) atau lebih perusahaan Peminjam dengan perusahaan lainnya dan/atau BPR dengan BPR lainnya dengan tetap mempertahankan berdirinya salah satu perusahaan Peminjam dan/atau BPR dan membubarkan perusahaan Peminjam dan/atau BPR lainnya tanpa melikuidasi terlebih dahulu. Yang dimaksud dengan peleburan usaha atau konsolidasi adalah penggabungan usaha 2 (dua) atau lebih perusahaan Peminjam dengan perusahaan lainnya dan/atau BPR dengan BPR lainnya dengan cara mendirikan perusahaan Peminjam dan/atau BPR baru dan membubarkan perusahaan Peminjam dan/atau BPR tersebut tanpa melikuidasi terlebih dahulu. Yang dimaksud dengan pengambilalihan usaha atau akuisisi adalah pengambilalihan kepemilikan suatu perusahaan Peminjam dan/atau BPR yang mengakibatkan beralihnya pengendalian perusahaan Peminjam dan/atau BPR. Yang dimaksud dengan perubahan struktur kepemilikan adalah perubahan struktur kepemilikan di perusahaan Peminjam dan/atau di BPR. Yang dimaksud dengan perubahan kepengurusan adalah perubahan kepengurusan di perusahaan Peminjam dan/atau di BPR. Yang … - 12 - Yang dimaksud dengan perubahan Pihak Terkait dan/atau kelompok Peminjam adalah: 1) Peminjam Pihak Tidak Terkait menjadi Peminjam Pihak Terkait; dan/atau 2) Peminjam perorangan menjadi kelompok Peminjam. Huruf c Yang dimaksud dengan perubahan ketentuan adalah perubahan ketentuan yang menyebabkan perubahan kriteria Pihak Terkait dan/atau kelompok Peminjam BPR dan/atau perubahan ketentuan lainnya yang menyebabkan terjadinya pelampauan BMPK. Pasal 12 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan exit meeting adalah pertemuan akhir antara pengurus BPR dan Bank Indonesia untuk membahas hasil pemeriksaan. Ayat (3) Untuk Pelampauan BMPK yang disebabkan oleh penggabungan usaha, peleburan usaha atau pengambilalihan usaha, jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat ini adalah 1 (satu) bulan setelah akhir … - 13 - akhir bulan laporan sejak disahkannya akta penggabungan usaha, peleburan usaha atau pengambilalihan usaha oleh instansi yang berwenang. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 13 Ayat (1) Langkah-langkah penyelesaian Pelanggaran BMPK dan/atau Pelampauan BMPK meliputi antara lain: a. Pelunasan seluruh/sebagian Kredit yang melanggar dan/atau melampaui BMPK; b. Penambahan modal disetor. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Contoh: 1. Pada tanggal 1 April 2009 BPR B memberikan Kredit kepada debitur X (Pihak Tidak Terkait) sebesar Rp200.000.000,00 (dua ratus … - 14 - ratus juta rupiah) yang merupakan 20% (dua puluh persen) dari modal BPR B dengan jangka waktu 12 (dua belas) bulan. Pada tanggal 31 Mei 2009 modal BPR B turun karena meng- alami kerugian sehingga persentase Kredit kepada debitur X menjadi 25% (dua puluh lima persen) dari modal BPR B atau melampaui BMPK yang ditetapkan sebesar 5% (lima persen). Untuk itu BPR B wajib membuat action plan untuk menyelesaikan pelampauan tersebut dengan target waktu penyelesaian paling lambat 6 (enam) bulan sejak action plan disampaikan kepada Bank Indonesia. 2. Pada tanggal 1 April 2009 BPR A menempatkan Deposito 3 bulan (jatuh tempo pada tanggal 1 Juli 2009) pada BPR B (Pihak Tidak Terkait) sebesar Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) yang merupakan 30% (tiga puluh persen) dari modal BPR A. Pada tanggal 10 Mei 2009 dikeluarkan ketentuan mengenai BMPK BPR yang mengatur bahwa penempatan dana BPR ke BPR lain paling tinggi 20% (dua puluh persen) dari modal. Dengan asumsi modal BPR A tetap maka dengan adanya ketentuan BMPK tersebut penempatan Deposito BPR A ke BPR B menjadi melampaui BMPK yang ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen). Untuk itu BPR A wajib membuat action plan untuk menyelesaikan pelampauan tersebut dengan target waktu penyelesaian … - 15 - penyelesaian paling lambat sampai dengan jatuh tempo Deposito yaitu tanggal 1 Juli 2009. Ayat (4) Contoh: Pada tanggal 1 April 2009 BPR A menempatkan Tabungan pada BPR B (Pihak Tidak Terkait) sebesar Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) yang merupakan 30% (tiga puluh persen) dari modal BPR A. Pada tanggal 10 Mei 2009 dikeluarkan ketentuan mengenai BMPK BPR yang mengatur bahwa penempatan dana BPR ke BPR lain paling tinggi 20% (dua puluh persen) dari modal. Dengan asumsi modal BPR A tetap maka dengan adanya ketentuan BMPK tersebut penempatan Tabungan BPR A ke BPR B menjadi melampaui BMPK yang ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen). Untuk itu BPR A wajib membuat action plan untuk menyelesaikan pelampauan tersebut dengan target waktu penyelesaian paling lambat 1 (satu) bulan sejak action plan disampaikan kepada Bank Indonesia. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 14 … - 16 - Pasal 14 Ayat (1) Yang dimaksud dengan bukti pendukung antara lain adalah bukti setoran modal dan bukti pembayaran atau pelunasan Kredit. Ayat (2) Yang dimaksud dengan realisasi action plan adalah tahapan pelaksanaan penyelesaian Pelanggaran dan/atau Pelampauan BMPK. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 15 Huruf a Yang dimaksud dengan Bank Umum adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 dan Bank Umum Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Huruf b … - 17 - Huruf b Angka 1) Deposito dan Tabungan yang dapat dijadikan sebagai agunan adalah Deposito dan Tabungan yang ditempatkan pada BPR yang sama. Angka 2) Nilai agunan yang berupa emas dan/atau logam mulia ditentukan berdasarkan harga pasar (market value). Angka 3) Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan Pemerintah Indonesia adalah Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Yang dimaksud dengan BUMN dan BUMD dalam Pasal ini adalah sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) BPR. Angka 1) Yang dimaksud dengan tanpa syarat (unconditional) adalah apabila tidak memuat persyaratan prosedural, seperti: a. mempersyaratkan waktu pengajuan pemberitahuan wanprestasi (notification of default); b. mempersyaratkan … - 18 - b. mempersyaratkan kewajiban pembuktian itikad baik (good faith) oleh BPR penyedia dana; dan/atau c. mempersyaratkan pencairan jaminan dengan cara dilakukannya saling hapus buku (set-off) terlebih dahulu dengan kewajiban BPR penyedia dana kepada pihak penjamin. Angka 2) Cukup jelas. Angka 3) Cukup jelas. Huruf d Bagian Penempatan Dana yang dimaksud dalam ayat ini adalah bagian penempatan dana dalam rangka memenuhi simpanan/iuran/porsi dana atau penempatan dana dalam rangka penanggulangan likuiditas yang ditetapkan sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak. Contoh: Terdapat 28 BPR yang membuat kesepakatan untuk menempatkan dana berupa simpanan/iuran/porsi dana pada salah satu BPR yang ditunjuk untuk mengkoordinir pengelolaan dana yang terhimpun. Dalam … - 19 - Dalam kesepakatan tersebut dimuat antara lain: - Jumlah simpanan/iuran/porsi dana yang wajib ditempatkan oleh BPR pada BPR lain yang ditunjuk, misalnya Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) per BPR. - Jumlah maksimum dana/pinjaman likuiditas yang dapat ditempatkan oleh BPR yang ditunjuk kepada salah satu dari 28 BPR tersebut, misalnya 10 (sepuluh) kali dari jumlah simpanan/iuran/porsi dana yang ditempatkan atau Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah). Yang dikecualikan dari perhitungan BMPK dalam contoh tersebut adalah: - masing-masing penempatan dana dari 28 BPR tersebut kepada BPR yang ditunjuk sebesar Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah). - penempatan dana dari BPR yang ditunjuk kepada salah satu dari 28 BPR yang mengalami kesulitan likuiditas sebesar Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah). Pasal 16 Ayat (1) Yang dimaksud dengan pola kemitraan adalah pola pengembangan dengan menggunakan perusahaan inti yang membantu membimbing perusahaan … - 20 - perusahaan rakyat sekitarnya sebagai plasma dalam suatu sistem kerjasama yang saling menguntungkan, utuh dan berkesinambungan. Yang dimaksud dengan pola PHBK adalah pola pembiayaan dalam upaya mengembangkan prasarana pelayanan keuangan bagi pengusaha mikro, yang bersifat saling menguntungkan antara tiga unsur yang berbeda yaitu BPR, Lembaga Pengembangan Swadaya Masyarakat (LPSM), dan Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM). Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Yang dimaksud kelompok disini adalah KSM. Huruf b Yang dimaksud partisipan PHBK adalah perorangan dan/atau lembaga yang terlibat seperti LPSM dan KSM. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f … - 21 - Huruf f Termasuk dalam agunan alternatif yaitu jaminan tanggung renteng di antara anggota kelompok. Huruf g Cukup jelas. Pasal 17 Yang dimaksudkan dengan pemberian Kredit yang dikecualikan pada Pasal ini adalah fasilitas BPR kepada anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris dan/atau pegawai BPR yang memenuhi kriteria Pihak Terkait yang antara lain ditujukan untuk biaya sekolah, biaya pengobatan/sakit, biaya kontrak rumah, cicilan rumah, uang muka pembelian rumah, biaya pernikahan dan pembelian kendaraan bermotor. Pemberian Kredit kepada pihak-pihak tersebut di atas dikategorikan sebagai penyediaan dana kepada Pihak Tidak Terkait dan mengacu pada ketentuan BMPK kepada Pihak Tidak Terkait. Pasal 18 Ayat (1) Yang dimaksud dengan penyampaian secara on-line adalah penyampaian laporan dengan mengirim atau mentransfer rekaman data … - 22 - data secara langsung kepada Kantor Pusat Bank Indonesia melalui fasilitas ekstranet Bank Indonesia atau sarana teknologi lainnya. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Perhitungan BMPK kepada Pihak Terkait dihitung secara keseluruhan Penyediaan Dana. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Ayat (1) Cukup jelas. Huruf a Cukup jelas. Huruf b … - 23 - Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan gangguan teknis adalah gangguan yang mengakibatkan BPR tidak dapat menyampaikan laporan BMPK dan/atau koreksi laporan BMPK secara on- line, antara lain gangguan pada jaringan telekomunikasi atau pemadaman listrik. Huruf d Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 21 Ayat (1) Yang dimaksud dengan penyampaian secara off-line adalah penyampaian laporan dengan menyampaikan rekaman data dalam bentuk disket atau media perekam data elektronik lainnya disertai hasil validasi kepada Kantor Bank Indonesia setempat. Ayat (2) … - 24 - Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 22 Ayat (1) Laporan BMPK dapat disampaikan secara on-line pada hari libur atau hari Sabtu. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Bukti penerimaan untuk laporan BMPK yang disampaikan secara on- line adalah berupa soft copy yang dapat diambil secara on-line (download). Sedangkan bukti penerimaan untuk laporan BMPK yang disampaikan secara off-line adalah berupa tanda terima apabila disampaikan langsung kepada Bank Indonesia atau tanggal stempel pos apabila dikirimkan melalui pos. Ayat (4) Koreksi laporan BMPK dapat disampaikan secara on-line pada hari libur atau hari Sabtu. Ayat (5) … - 25 - Ayat (5) Contoh: Koreksi laporan BMPK untuk data bulan Mei 2009 disampaikan secara off-line paling lambat tanggal 19 Juni 2009 (hari Jumat) untuk penyampaian secara langsung kepada Bank Indonesia maupun untuk penyampaian melalui pos, mengingat tanggal 20 Juni 2009 jatuh pada hari Sabtu. Ayat (6) Bukti penerimaan untuk koreksi laporan BMPK yang disampaikan secara on-line adalah berupa soft copy yang dapat diambil secara on- line (download). Sedangkan bukti penerimaan untuk koreksi laporan BMPK yang disampaikan secara off-line adalah berupa tanda terima apabila disampaikan langsung kepada Bank Indonesia atau tanggal stempel pos apabila dikirimkan melalui pos. Pasal 23 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) … - 26 - Ayat (3) Contoh: BPR dinyatakan tidak menyampaikan laporan BMPK dan/atau koreksi laporan BMPK untuk data bulan Juni 2009 apabila laporan dimaksud belum diterima Bank Indonesia sampai dengan tanggal 31 Juli 2009. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 24 Ayat (1) Yang dimaksud dengan pelaksanaan ketentuan BMPK antara lain adalah perhitungan Penyediaan Dana, perhitungan Modal, penentuan kelompok Peminjam dan/atau penentuan Pihak Terkait. Ayat (2) Koreksi terhadap laporan BMPK kepada Bank Indonesia dilakukan untuk posisi penelitian dan/atau pemeriksaan oleh Bank Indonesia berdasarkan penelitian dan/atau pemeriksaan Bank Indonesia atas Laporan BMPK yang telah disampaikan oleh BPR pelapor. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) … - 27 - Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan jenis kesalahan adalah nominal yang dilaporkan meliputi jumlah Kredit yang diberikan dan nilai agunan. Jenis kesalahan dihitung per rekening (per baris). Nama debitur tidak termasuk yang diperhitungkan dalam jenis kesalahan. Termasuk jenis kesalahan adalah pelanggaran/pelampauan yang tidak dilaporkan. Ayat (3) … - 28 - Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas. Ayat (9) Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 … - 29 - Pasal 29 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “keadaan memaksa (force majeure)” adalah keadaan yang secara nyata menyebabkan BPR tidak dapat menyusun dan/atau menyampaikan laporan BMPK dan/atau koreksi laporan BMPK secara on-line dan off-line, antara lain kebakaran, kerusuhan massa, perang, sabotase, serta bencana alam seperti gempa bumi dan banjir, yang dibenarkan oleh pejabat instansi yang berwenang dari daerah setempat. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 Cukup jelas. Pasal 32 … - 30 - Pasal 32 Cukup jelas. Pasal 33 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5002 DKBU "," PBI 11/13/PBI/2009 BATAS MAKSIMUM PEMBERIAN KREDIT BANK PERKREDITAN RAKYAT 17 April 2009 1 Juli 2009 17 April 2009 '31/61/KEP/DIR|SKDIR-BI/1998' '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '7/UU/1992', '10/UU/1998' 'BAB X' " " PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 8/28/PBI/2006 TENTANG KEGIATAN USAHA PENGIRIMAN UANG GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa saat ini jumlah transaksi maupun nilai nominal pengiriman uang baik di dalam wilayah Republik Indonesia, dari dalam wilayah Republik Indonesia ke luar wilayah Republik Indonesia, maupun dari luar wilayah Republik Indonesia ke dalam wilayah Republik Indonesia mengalami perkembangan yang cukup signifikan; b. bahwa sampai saat ini belum terdapat peraturan yang secara khusus mengatur kegiatan usaha pengiriman uang; c. bahwa agar kegiatan usaha pengiriman uang dapat dilakukan secara lancar dan aman bagi seluruh pihak terkait, dan kegiatan usaha pengiriman Uang dapat memberikan dampak optimal bagi perkembangan ekonomi nasional, serta untuk mencegah agar kegiatan pengiriman uang tidak dimanfaatkan untuk melakukan kegiatan pencucian uang, perlu adanya ketentuan yang mengatur mengenai kegiatan usaha pengiriman uang; d. bahwa … -2- d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b dan huruf c dipandang perlu untuk mengatur kegiatan usaha pengiriman uang dalam Peraturan Bank Indonesia. Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357); 3. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 30, Tambahan Lembaran Republik Indonesia Nomor 4191) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor … -3- Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4324); 4. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 45, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4284); 5. Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/10/PBI/2001 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer Principles) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4107) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/21/PBI/2003 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4325); 6. Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/14/PBI/2005 tentang Pembatasan Transaksi Rupiah dan Pemberian Kredit Valuta Asing Oleh Bank (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4504); MEMUTUSKAN … -4- M E M U T U S K A N : Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG KEGIATAN USAHA PENGIRIMAN UANG. BAB I KETENTUAN UMUM Bagian Pertama Definisi Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini, yang dimaksud dengan: 1. Uang adalah dana dalam bentuk tunai atau non tunai. 2. Pengiriman Uang adalah kegiatan yang dilakukan penyelenggara Pengiriman Uang untuk melaksanakan perintah tidak bersyarat dari pengirim kepada penyelenggara pengiriman uang untuk mengirim uang kepada penerima. 3. Penyelenggara Pengiriman Uang, yang selanjutnya disebut Penyelenggara, adalah perorangan, badan usaha berbadan hukum dan badan usaha tidak berbadan hukum di Indonesia yang bertindak sebagai agen pengirim dan/atau agen penerima Pengiriman Uang. 4. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah … -5- telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998. 5. Agen Pengirim adalah perorangan, badan usaha berbadan hukum atau badan usaha tidak berbadan hukum yang menerima sejumlah Uang dari pengirim untuk disampaikan kepada penerima melalui agen penerima. 6. Agen Penerima adalah perorangan, badan usaha berbadan hukum atau badan usaha tidak berbadan hukum yang menerima sejumlah Uang dari Agen Pengirim untuk disampaikan kepada penerima. 7. Pengirim adalah perorangan, badan usaha berbadan hukum atau badan usaha tidak berbadan hukum yang memberikan perintah Pengiriman Uang kepada Agen Pengirim. 8. Penerima adalah perorangan, badan usaha berbadan hukum atau badan usaha tidak berbadan hukum yang disebut dalam perintah Pengiriman Uang untuk menerima Uang hasil Pengiriman Uang. 9. Money Transfer Operator, yang selanjutnya disebut Operator, adalah perorangan, badan usaha berbadan hukum atau badan usaha tidak berbadan hukum yang menyediakan sarana dan prasarana, termasuk sistem, yang digunakan sebagai media dalam penyelenggaraan kegiatan usaha Pengiriman Uang, dan/atau melakukan kegiatan penerimaan dan penerusan data dan/atau informasi terkait dari suatu Penyelenggara kepada Penyelenggara lain untuk disampaikan kepada Penerima. 10. Pendaftaran adalah kegiatan Penyelenggara untuk mencatatkan identitas kegiatan usaha Pengiriman Uang Penyelenggara dimaksud di Bank Indonesia. 11. Perizinan … -6- 11. Perizinan adalah kegiatan Penyelenggara untuk memperoleh izin kegiatan usaha Pengiriman Uang dari Bank Indonesia yang dilakukan setelah berakhirnya batas waktu Pendaftaran. 12. Daftar Penyelenggara, yang terdiri dari Daftar Penyelenggara Pengiriman Uang yang Terdaftar di Bank Indonesia atau Daftar Penyelenggara yang Telah Memperoleh Izin dari Bank Indonesia, adalah suatu daftar yang diterbitkan oleh Bank Indonesia yang berisi identitas Penyelenggara yang telah melakukan Pendaftaran di Bank Indonesia atau telah memperoleh izin dari Bank Indonesia. Bagian Kedua Cakupan Kegiatan Usaha Pengiriman Uang Pasal 2 (1) Ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini berlaku untuk kegiatan usaha Pengiriman Uang yang dilakukan: a. dari luar wilayah Republik Indonesia ke dalam wilayah Republik Indonesia; b. dari dalam wilayah Republik Indonesia ke luar wilayah Republik Indonesia; dan/atau c. di dalam wilayah Republik Indonesia. (2) Pengiriman Uang dari dalam wilayah Republik Indonesia ke luar wilayah Republik Indonesia maupun dari luar wilayah Republik Indonesia ke dalam wilayah Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan … -7- dan huruf b hanya dapat dilakukan dalam bentuk Pengiriman Uang non tunai. (3) Pengiriman Uang dalam wilayah Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dapat dilakukan dalam bentuk Pengiriman Uang tunai maupun non tunai. (4) Pengiriman Uang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib mengacu pada peraturan perundang-undangan mengenai pembatasan transaksi rupiah dan pemberian kredit dalam valuta asing. Pasal 3 Penyelenggara dapat melakukan kegiatan Pengiriman Uang melalui jaringan yang dimiliki sendiri oleh Penyelenggara atau melalui jaringan yang dimiliki atau disediakan oleh Operator berdasarkan kerjasama antara Penyelenggara dengan Operator. BAB II PENYELENGGARA DAN OPERATOR Bagian Pertama Penyelenggara Pasal 4 (1) Pihak yang dapat melakukan kegiatan usaha Pengiriman Uang terdiri dari: a. perorangan Warga Negara Indonesia; b. badan … -8- b. badan usaha yang berbadan hukum, yang didirikan oleh Warga Negara Indonesia, Badan Hukum Indonesia, Warga Negara Asing dan/atau Badan Hukum Asing; dan/atau c. badan usaha yang tidak berbadan hukum, yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia, dimiliki oleh Warga Negara Indonesia dan/atau badan usaha lainnya. (2) Pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c dapat melakukan kegiatan usaha Pengiriman Uang jika: a. berdasarkan peraturan perundang-undangan, anggaran dasar atau persetujuan/izin yang diberikan oleh instansi yang berwenang dapat melakukan kegiatan usaha Pengiriman Uang; dan b. tidak dilarang melakukan kegiatan usaha Pengiriman Uang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang mengatur badan usaha tersebut. Bagian Kedua Kerjasama dengan Operator Pasal 5 (1) Kerjasama antara Penyelenggara dengan Operator sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dilakukan berdasarkan perjanjian secara tertulis. (2) Perjanjian kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memuat hak dan kewajiban masing-masing pihak dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan. (3) Penyelenggara wajib menyampaikan fotokopi perjanjian kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Bank Indonesia. BAB … -9- BAB III PERIZINAN DAN PERSYARATAN PENYELENGGARA Bagian Pertama Perizinan Pasal 6 (1) Perorangan, badan usaha yang berbadan hukum dan badan usaha yang tidak berbadan hukum yang akan melakukan kegiatan usaha Pengiriman Uang wajib terlebih dahulu memperoleh izin sebagai Penyelenggara dari Bank Indonesia. (2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diajukan secara tertulis kepada Bank Indonesia. (3) Bank Indonesia memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah permohonan izin dan dokumen yang dipersyaratkan diterima secara lengkap dalam jangka waktu yang telah ditetapkan oleh Bank Indonesia. (4) Bank Indonesia dapat menetapkan jangka waktu izin kegiatan usaha Pengiriman Uang yang diberikan kepada Penyelenggara. (5) Bank Indonesia tidak mengenakan biaya kepada pihak-pihak yang mengajukan permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 7 Izin kegiatan usaha Pengiriman Uang yang diberikan Bank Indonesia kepada Penyelenggara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) tidak dapat dialihkan kepada pihak lain. Pasal … -10- Pasal 8 (1) Bank Indonesia mencantumkan setiap identitas perorangan, badan usaha yang berbadan hukum dan badan usaha yang tidak berbadan hukum yang telah memperoleh izin sebagai Penyelenggara dalam Daftar Penyelenggara. (2) Bank Indonesia mempublikasikan Daftar Penyelenggara sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Bagian Kedua Persyaratan Paragraf 1 Perorangan Warga Negara Indonesia Pasal 9 (1) Perorangan Warga Negara Indonesia yang mengajukan permohonan izin kegiatan usaha Pengiriman Uang harus menyampaikan dokumen-dokumen sebagai berikut: a. fotokopi kartu tanda penduduk; b. surat keterangan domisili/tempat tinggal dari kelurahan/kepala desa setempat; c. surat pernyataan kesanggupan pemohon untuk tidak menyalahgunakan Uang yang dikirim dan/atau diterima; d. surat pernyataan kesanggupan pemohon untuk menatausahakan secara terpisah antara Uang yang dikirim dan/atau diterima dengan kekayaan pribadi pemohon; e. informasi … -11- e. informasi mengenai tempat usaha dan sarana prasarana yang digunakan oleh pemohon sebagai Penyelenggara; dan f. prosedur pengiriman dan/atau penerimaan Uang. (2) Perorangan Warga Negara Indonesia yang telah memperoleh izin sebagai Penyelenggara kegiatan usaha Pengiriman Uang harus mengetahui dan mengenal identitas pihak-pihak yang akan menggunakan jasanya. Paragraf 2 Badan Usaha yang Berbadan Hukum Pasal 10 Badan usaha yang berbadan hukum mengajukan permohonan izin kegiatan usaha Pengiriman Uang dengan melampirkan dokumen-dokumen sebagai berikut: a. fotokopi akte pendirian badan hukum Indonesia dan perubahannya apabila ada, yang telah memperoleh pengesahan dari instansi yang berwenang; b. surat pernyataan pengurus dalam bentuk akta otentik yang menyatakan kesanggupan Penyelenggara untuk: 1. bertanggung jawab apabila terdapat penyalahgunaan Uang yang dikirim dan/atau diterima; dan 2. memisahkan penatausahaan Uang yang dikirim dan/atau diterima dari harta kekayaan Penyelenggara; c. fotokopi surat keterangan domisili badan usaha yang bersangkutan dari lurah/kepala desa setempat; d. mekanisme … -12- d. mekanisme pengelolaan risiko yang sekurang-kurangnya meliputi: 1. penerapan prinsip mengenal nasabah; 2. metode monitoring Uang yang dikirim dan/atau diterima; dan 3. mekanisme penyelesaian permasalahan termasuk permasalahan mengenai Uang kiriman yang terlambat atau tidak sampai kepada Penerima yang dituju; e. bukti kesiapan operasional yang antara lain meliputi: 1. sumber daya manusia yang memadai; 2. kesiapan tempat usaha; 3. sarana dan peralatan untuk melakukan kegiatan pengiriman dan/atau penerimaan Uang; dan 4. mekanisme dan prosedur dalam melakukan kegiatan pengiriman dan/atau penerimaan Uang. Paragraf 3 Badan Usaha yang Tidak Berbadan Hukum Pasal 11 Badan Usaha yang tidak berbadan hukum mengajukan permohonan izin kegiatan usaha Pengiriman Uang dengan melampirkan dokumen-dokumen sebagai berikut: a. fotokopi surat keterangan domisili badan usaha dari lurah/kepala desa setempat; b. surat … -13- b. surat pernyataan pengurus dalam bentuk akta otentik yang menyatakan kesanggupan Penyelenggara untuk: 1. bertanggung jawab apabila terdapat penyalahgunaan Uang yang dikirim dan/atau diterima; dan 2. memisahkan penatausahaan Uang yang dikirim dan/atau diterima dari harta kekayaan Penyelenggara; c. mekanisme pengelolaan risiko yang sekurang-kurangnya meliputi: 1. penerapan prinsip mengenal nasabah; 2. metode monitoring Uang yang dikirim; dan 3. mekanisme penyelesaian permasalahan termasuk permasalahan mengenai Uang kiriman yang terlambat atau tidak sampai kepada Penerima yang dituju; d. bukti kesiapan operasional yang antara lain meliputi: 1. sumber daya manusia yang memadai; 2. kesiapan tempat usaha; 3. sarana dan peralatan untuk melakukan kegiatan usaha Pengiriman Uang; dan 4. mekanisme dan prosedur dalam melakukan kegiatan usaha Pengiriman Uang. Pasal 12 (1) Penyelenggara dapat membuka kantor cabang Pengiriman Uang di seluruh wilayah Indonesia. (2) Penyelenggara … -14- (2) Penyelenggara yang akan melakukan pembukaan kantor cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib terlebih dahulu melaporkan secara tertulis kepada Bank Indonesia. BAB IV PELAPORAN OPERATOR OLEH PENYELENGGARA Pasal 13 Penyelenggara yang melakukan kerjasama dengan Operator wajib menyampaikan laporan kerjasama yang antara lain meliputi: a. b. fotokopi perjanjian kerjasama antara Penyelenggara dan Operator; informasi singkat mengenai profil perusahaan Operator; dan c. hasil audit dari security auditor yang menjelaskan kehandalan dan keamanan operasional teknologi informasi yang dipergunakan oleh Operator. BAB V KEWAJIBAN PENYELENGGARA Pasal 14 Dalam melakukan kegiatan usaha Pengiriman Uang, Penyelenggara wajib melakukan hal-hal sebagai berikut: a. melakukan pencatatan transaksi Pengiriman Uang; b. menyampaikan laporan secara berkala maupun insidentil kepada Bank Indonesia; c. menyampaikan … -15- c. menyampaikan laporan secara tertulis kepada Bank Indonesia apabila terjadi perubahan pengurus, dengan dilengkapi surat pernyataan dari pengurus baru yang dituangkan dalam akta otentik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf b dan Pasal 11 huruf b; d. menjamin bahwa Uang yang diserahkan oleh Pengirim disampaikan dan diterima oleh Penerima yang berhak dalam waktu yang telah disepakati; e. memberikan informasi kepada Pengirim sehubungan dengan Pengiriman Uang yang bersangkutan; f. menyimpan dokumen yang terkait dengan Pengiriman Uang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur dokumen perusahaan; dan g. melaporkan transaksi yang mencurigakan kepada lembaga yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai tindak pidana pencucian uang. Pasal 15 Dalam menyelenggarakan kegiatan usaha Pengiriman Uang, Penyelenggara wajib memperhatikan prinsip-prinsip persaingan usaha yang sehat sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Pasal 16 Penyelenggara bertanggung jawab atas terlaksananya Pengiriman Uang sampai Uang diterima oleh Penerima. BAB … -16- BAB VI PENGHENTIAN KEGIATAN SEBAGAI PENYELENGGARA Pasal 17 (1) Bank Indonesia berwenang untuk menghentikan kegiatan sebagai Penyelenggara dalam hal: a. Penyelenggara dikenakan sanksi pencabutan izin usaha sebagaimana diatur dalam Bab VIII; b. Terdapat putusan pengadilan yang menghukum Penyelenggara untuk menghentikan kegiatan usaha Pengiriman Uang yang dilakukannya; c. Adanya permintaan tertulis/rekomendasi kepada Bank Indonesia dari otoritas pengawas yang berwenang untuk menghentikan kegiatan usaha Penyelenggara, atau otoritas pengawas dimaksud telah menghentikan kegiatan usaha Penyelenggara; d. Izin kegiatan usaha Pengiriman Uang yang diberikan kepada Penyelenggara dalam satu kesatuan dengan izin kegiatan usaha lainnya oleh instansi yang berwenang dicabut oleh instansi tersebut; atau e. Terdapat permintaan sendiri dari Penyelenggara yang bersangkutan. (2) Penghentian kegiatan sebagai Penyelenggara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mencabut izin kegiatan usaha dimaksud. Pasal 18 Penyelenggara harus melaporkan secara tertulis kepada Bank Indonesia jika akan menghentikan kegiatan Pengiriman Uang atas permintaan sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf e. Pasal … -17- Pasal 19 Laporan penghentian kegiatan usaha Pengiriman Uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 wajib memuat bukti telah menyelesaikan seluruh kewajiban Penyelenggara kepada Pengirim dan/atau Penerima, berupa: a. penyerahan dokumen penyelesaian hak dan kewajiban kepada Bank Indonesia; dan b. pernyataan dari pengurus atau pemilik bahwa segala tuntutan yang timbul setelah dicabutnya izin usaha Pengiriman Uang menjadi tanggung jawab sepenuhnya dari pengurus, atau pemilik jika Penyelenggara adalah perorangan. BAB VII PENGAWASAN Pasal 20 Bank Indonesia melakukan pengawasan baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap Penyelenggara. Pasal 21 (1) Pengawasan langsung dilakukan secara berkala atau setiap waktu apabila diperlukan. (2) Dalam rangka pengawasan langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penyelenggara wajib memberikan: a. keterangan … -18- a. keterangan dan/atau data yang terkait dengan penyelenggaraan kegiatan usaha Pengiriman Uang; b. kesempatan untuk melakukan pengawasan terhadap sarana fisik dan sistem pendukung yang terkait dengan penyelenggaraan kegiatan usaha Pengiriman Uang; dan/atau c. kesempatan untuk melakukan pengawasan terhadap hal-hal lain yang diperlukan. (3) Berdasarkan hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Bank Indonesia dapat melakukan pembinaan dan/atau pengenaan sanksi. Pasal 22 Bank Indonesia dapat menugaskan pihak lain untuk dan atas nama Bank Indonesia melaksanakan pengawasan secara langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1). Pasal 23 Dalam rangka pengawasan tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, Penyelenggara wajib menyampaikan laporan tertulis kepada Bank Indonesia baik secara berkala dan/atau setiap waktu apabila diperlukan mengenai kegiatan usaha Pengiriman Uang. BAB VIII SANKSI Pasal 24 Perorangan, badan usaha yang berbadan hukum atau badan usaha yang tidak berbadan hukum yang melakukan kegiatan usaha Pengiriman Uang tanpa izin setelah … -19- setelah tanggal 31 Desember 2008 dapat dilaporkan kepada pihak yang berwajib menurut peraturan perundang-undangan. Pasal 25 (1) Penyelenggara yang membuka kantor cabang tanpa terlebih dahulu melaporkan secara tertulis kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) dikenakan sanksi berupa teguran tertulis. (2) Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender terhitung sejak tanggal teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Penyelenggara tidak melaporkan pembukaan kantor cabangnya, kepada Penyelenggara tersebut dikenakan sanksi penutupan kantor cabang. (3) Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender terhitung sejak tanggal pemberitahuan penutupan dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kantor cabang tersebut masih beroperasi, kepada Penyelenggara tersebut dikenakan sanksi pencabutan izin kegiatan usaha Pengiriman Uang. Pasal 26 (1) Penyelenggara yang melanggar ketentuan Pasal 13, Pasal 14 huruf a sampai dengan huruf f, dan Pasal 23 dikenakan sanksi berupa teguran tertulis. (2) Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender sejak tanggal teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Penyelenggara tetap tidak melaksanakan ketentuan Pasal 13, Pasal 14 huruf a sampai dengan huruf f, dan Pasal 23, Penyelenggara dikenakan sanksi berupa teguran tertulis kedua. (3) Apabila … -20- (3) Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalendar sejak tanggal teguran tertulis kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Penyelenggara tetap tidak memenuhi ketentuan dalam Pasal 13, Pasal 14 huruf a sampai dengan huruf f, dan Pasal 23, Penyelenggara dikenakan sanksi sebagai berikut: a. Dalam hal Penyelenggara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b berupa Bank maka dikenakan sanksi dalam rangka pengawasan bank sesuai ketentuan yang berlaku. b. Dalam hal Penyelenggara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a, b, dan huruf c berupa selain Bank maka dikenakan sanksi berupa pencabutan izin kegiatan usaha Pengiriman Uang dan penghapusan dari Daftar Penyelenggara. Pasal 27 (1) Penyelenggara yang melanggar ketentuan Pasal 14 huruf g, dikenakan sanksi oleh lembaga yang berwenang sesuai peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai tindak pidana pencucian uang. (2) Bank Indonesia dapat mengenakan sanksi pencabutan izin kegiatan usaha Pengiriman Uang terhadap Penyelenggara sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 28 Bank Indonesia dapat melaporkan kepada pihak yang berwajib sesuai dengan peraturan perundang-undangan jika Penyelenggara menghentikan kegiatan usaha Pengiriman Uang tanpa memenuhi kewajibannya kepada Pengirim dan/atau Penerima sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19. Pasal … -21- Pasal 29 Penyelenggara yang tidak memberikan keterangan, data, hal-hal lain yang diperlukan dalam rangka pengawasan, dan/atau tidak memberi kesempatan pengawas untuk melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2), dikenakan sanksi penghentian kegiatan sebagai Penyelenggara. BAB IX KETENTUAN PERALIHAN Bagian Pertama Ketentuan Pendaftaran Pada Masa Transisi Pasal 30 (1) Perorangan, badan usaha yang berbadan hukum atau badan usaha yang tidak berbadan hukum yang telah melakukan kegiatan usaha Pengiriman Uang sebelum ditetapkannya Peraturan Bank Indonesia ini atau yang akan melakukan kegiatan usaha Pengiriman Uang setelah ditetapkannya Peraturan Bank Indonesia ini, harus melakukan Pendaftaran kepada Bank Indonesia dengan memenuhi persyaratan yang ditetapkan. (2) Pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam masa transisi yaitu sejak tanggal ditetapkannya Peraturan Bank Indonesia ini sampai dengan tanggal 31 Desember 2008. (3) Dalam hal Penyelenggara telah memiliki kantor cabang dan/atau telah melakukan perjanjian kerjasama dengan Operator sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, keharusan melakukan Pendaftaran sebagaimana … -22- sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk pula melaporkan seluruh kantor cabangnya dan/atau menyampaikan fotokopi perjanjian kerjasama Penyelenggara dengan Operator kepada Bank Indonesia. Pasal 31 (1) Perorangan, badan usaha yang berbadan hukum atau badan usaha yang tidak berbadan hukum yang sudah mengajukan permohonan untuk melakukan kegiatan usaha Pengiriman Uang kepada Bank Indonesia sebagai Penyelenggara sebelum ditetapkannya Peraturan Bank Indonesia ini, akan diproses lebih lanjut oleh Bank Indonesia sebagai permohonan Pendaftaran. (2) Bank Indonesia mencantumkan identitas Penyelenggara dalam Daftar Penyelenggara terhadap permohonan yang telah memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan oleh Bank Indonesia. (3) Penyelenggara yang telah dicantumkan dalam Daftar Penyelenggara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus melengkapi persyaratan perizinan sebagaimana dimaksud dalam Bab III Bagian Kedua paling lambat tanggal 31 Desember 2008 untuk diproses lebih lanjut oleh Bank Indonesia. (4) Bank Indonesia memberikan izin kegiatan usaha kepada Penyelenggara yang telah memenuhi persyaratan perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan mencantumkan identitas Penyelenggara dalam Daftar Penyelenggara. (5) Bank Indonesia menghapus identitas Penyelenggara dari Daftar Penyelenggara apabila Penyelenggara tidak melengkapi persyaratan sebagaimana … -23- sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sampai dengan tanggal 31 Desember 2008. Bagian Kedua Pemberlakuan Ketentuan Perizinan Setelah Berakhirnya Masa Transisi Pasal 32 Dalam hal Penyelenggara berbentuk badan usaha yang berbadan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b berupa Bank, ketentuan sebagaimana diatur dalam BAB III Perizinan dan Persyaratan Penyelenggara, BAB VI Penghentian Kegiatan sebagai Penyelenggara dan BAB IX Ketentuan Peralihan tidak berlaku. Pasal 33 Petunjuk pelaksanaan Peraturan Bank Indonesia ini diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia BAB X KETENTUAN PENUTUP Pasal 34 (1) Ketentuan dalam Bab I, Bab II, Bab IX Bagian Pertama dan Bab X mulai berlaku pada tanggal ditetapkannya Peraturan Bank Indonesia ini. (2) Ketentuan dalam Bab III sampai dengan Bab VIII, dan Bab IX Bagian Kedua mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2009. Pasal … -24- Pasal 35 Keikutsertaan Bank Perkreditan Rakyat dalam kegiatan usaha Pengiriman Uang akan diatur dalam Peraturan Bank Indonesia tersendiri. Pasal 36 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 5 Desember 2006 GUBERNUR BANK INDONESIA, BURHANUDDIN ABDULLAH LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2006 NOMOR 98 DASP PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 8/28/PBI/2006 TENTANG KEGIATAN USAHA PENGIRIMAN UANG UMUM Pengiriman Uang khususnya yang bersifat lintas batas telah banyak dilakukan oleh pelaku ekonomi di seluruh dunia termasuk dalam hal ini tenaga kerja Indonesia yang berada di luar negeri. Hal tersebut tercermin dari transaksi Pengiriman Uang yang terus menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun baik dari sisi jumlah maupun nilai nominal. Kelancaran kegiatan usaha Pengiriman Uang merupakan salah satu pendukung perekonomian nasional dan memerlukan pengaturan yang menjamin kepastian, keamanan dan perlindungan hukum khususnya kepada pihak penerima kiriman Uang di Indonesia yang pada umumnya adalah keluarga tenaga kerja Indonesia di luar negeri. Pengiriman Uang pada dasarnya merupakan kegiatan transfer dana. Berbeda dengan transfer dana biasa, sesuai definisi dari Bank Dunia dan Bank for International Settlements dalam General Principles for International Remittance Services Consultative Report March 2006 kegiatan Pengiriman Uang dilakukan tanpa kompensasi atau imbal balik berupa barang dan/atau jasa dari penerima kepada pengirim atau sebaliknya. Dalam prakteknya, Penyelenggara tidak harus membuktikan apakah Pengiriman Uang yang dilakukan terdapat kompensasi atau imbal balik barang dan/atau jasa. Kegiatan … -2- Kegiatan Pengiriman Uang yang terjadi dalam wilayah Republik Indonesia maupun yang bersifat lintas batas belum sepenuhnya terdata dengan baik dan akurat. Data yang akurat diperlukan Bank Indonesia dalam rangka penyusunan neraca pembayaran dan melakukan proyeksi moneter serta di sisi lain akan mempermudah Pemerintah dalam melakukan optimalisasi potensi dana dari Pengiriman Uang, serta untuk kepentingan lainnya seperti upaya dalam peningkatan investasi Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM). Di samping itu, Pengiriman Uang yang dilakukan oleh tenaga kerja Indonesia di luar negeri dapat mendukung stabilitas nilai tukar. Penyedia jasa Pengiriman Uang yang terdata dengan baik melalui pengaturan akan memberikan perlindungan hukum, kepastian dan keamanan bertransaksi bagi Pengirim maupun Penerima Uang. Pengaturan dan pengawasan kegiatan usaha Pengiriman Uang yang dilakukan Bank Indonesia lebih ditujukan agar seluruh Penyelenggara melakukan kegiatannya secara lebih tertib, transparan dan bertanggung jawab, sehingga informasi yang diperoleh dapat dimanfaatkan secara optimal dalam mendorong kelancaran jasa pembayaran dan menggiatkan perekonomian secara umum. Pengaturan kegiatan usaha Pengiriman Uang dilakukan oleh Bank Indonesia melalui pendaftaran dan perizinan. Pendaftaran Penyelenggara dilakukan dalam masa transisi sampai dengan 31 Desember 2008 dan ditujukan untuk mencatat Penyelenggara di Indonesia baik yang sudah ada maupun yang baru akan melakukan kegiatan. Setelah berakhirnya masa transisi, setiap Penyelenggara wajib terlebih dahulu memperoleh izin dari Bank Indonesia. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal … -3- Pasal 2 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Peraturan perundang-undangan mengenai pembatasan transaksi rupiah antara lain adalah PBI Nomor 7/14/PBI/2005 tentang Pembatasan Transaksi Rupiah dan Pemberian Kredit Valuta Asing Oleh Bank beserta perubahannya. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Badan usaha/badan hukum yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang mengatur badan usaha tersebut dapat melakukan kegiatan usaha Pengiriman Uang misalnya PT. Pos Indonesia. Huruf b Cukup jelas. Pasal … -4- Pasal 5 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Peraturan perundang-undangan antara lain undang-undang yang mengatur mengenai larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 6 Ayat (1) Izin terhadap perorangan diberikan atas nama pribadi dari pemohon. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal … -5- Pasal 8 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Publikasi dapat dilakukan melalui website Bank Indonesia dan/atau media lain seperti penerbitan booklet. Daftar Penyelenggara dapat pula disampaikan kepada instansi terkait. Pasal 9 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Informasi tempat usaha meliputi antara lain alamat dan lokasi tempat usaha, serta status kepemilikan tempat usaha (sewa/milik sendiri). Huruf f Cukup jelas. Ayat (2) Pengetahuan dan pengenalan identitas pihak-pihak yang menggunakan jasa Penyelenggara ini dimaksudkan sebagai penerapan Prinsip Mengenal Nasabah. Pasal … -6- Pasal 10 Badan usaha selain Bank yang berbadan hukum Indonesia dan dapat menjalankan kegiatan usaha misalnya Perseroan Terbatas dan koperasi. Huruf a Cukup jelas. Huruf b Pengertian pengurus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari masing-masing bentuk badan hukum. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Angka 1 Prinsip mengenal nasabah adalah prinsip yang diterapkan oleh Penyelenggara untuk mengetahui antara lain identitas Pengirim dan/atau Penerima, memantau kegiatan usaha Pengiriman Uang, dan melaporkan transaksi yang mencurigakan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan mengenai tindak pidana pencucian Uang dan/atau prinsip mengenal nasabah sesuai dengan ketentuan yang berlaku bagi badan usaha tersebut. Angka 2 Cukup jelas. Angka 3 Cukup jelas. Huruf … -7- Huruf e Angka 1 Cukup jelas. Angka 2 Cukup jelas. Angka 3 Cukup jelas. Angka 4 Bukti kesiapan mengenai mekanisme dan prosedur dapat berbentuk pedoman internal Penyelenggara dalam melakukan kegiatan usaha Pengiriman Uang. Pasal 11 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Pengertian pengurus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari masing-masing bentuk badan hukum. Huruf c Angka 1 Prinsip mengenal nasabah adalah prinsip yang diterapkan oleh Penyelenggara untuk mengetahui antara lain identitas Pengirim dan/atau Penerima, memantau kegiatan usaha Pengiriman Uang, dan melaporkan transaksi yang mencurigakan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan mengenai tindak pidana pencucian Uang dan/atau prinsip mengenal nasabah sesuai dengan ketentuan yang berlaku bagi badan usaha tersebut. Angka … -8- Angka 2 Cukup jelas. Angka 3 Cukup jelas. Huruf d Angka 1 Cukup jelas. Angka 2 Cukup jelas. Angka 3 Cukup jelas. Angka 4 Bukti kesiapan mengenai mekanisme dan prosedur dapat berbentuk pedoman internal Penyelenggara dalam melakukan kegiatan usaha Pengiriman Uang. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf … -9- Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Informasi yang wajib disampaikan oleh Penyelenggara kepada Pengirim antara lain lamanya waktu pelaksanaan Pengiriman Uang, biaya dan syarat-syarat Pengiriman Uang, nilai kurs serta hak dan kewajiban Penyelenggara dan Pengirim dan Penerima. Huruf f Dokumen yang dimaksud pada ayat ini, antara lain slip transaksi dan bukti-bukti Pengiriman Uang dalam jangka waktu sebagaimana diatur dalam undang-undang yang mengatur mengenai dokumen perusahaan. Huruf g Kewajiban melapor dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai tindak pidana pencucian Uang diberlakukan kepada penyedia jasa keuangan. Yang dimaksud dengan transaksi yang mencurigakan adalah transaksi yang menyimpang dari profil, karakteristik atau kebiasaan pola transaksi dari nasabah yang bersangkutan. Pasal 15 Yang dimaksud dengan ”peraturan perundang-undangan” antara lain Undang-Undang yang mengatur mengenai larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Pasal … -10- Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Permintaan tertulis dari otoritas pengawas yang berwenang untuk menghentikan usaha Penyelenggara kepada Bank Indonesia antara lain didasarkan pada pertimbangan adanya pelanggaran terhadap ketentuan yang dikeluarkan oleh otoritas yang berwenang tersebut. Huruf d Izin dalam satu kesatuan dengan izin kegiatan usaha lain misalnya izin yang diberikan oleh Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi kepada perusahaan Jasa Titipan yang meliputi izin jasa pengiriman paket barang, jasa pengiriman surat, dan transaksi jasa keuangan. Huruf e Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal … -11- Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Pengawasan secara tidak langsung antara lain dilakukan melalui analisa terhadap laporan yang disampaikan oleh Penyelenggara. Pasal 21 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Pembinaan dilakukan antara lain dengan memberikan arahan dan meminta koreksi/perbaikan. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Cukup jelas. Pasal … -12- Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Tanggal 31 Desember 2008 adalah batas akhir diterimanya surat permohonan Pendaftaran oleh Bank Indonesia. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 31 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan Daftar Penyelenggara dalam ayat ini adalah Daftar Penyelenggara Pengiriman Uang yang Terdaftar di Bank Indonesia. Ayat … -13- Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan Daftar Penyelenggara dalam ayat ini adalah Daftar Penyelenggara Pengiriman Uang yang Telah Memperoleh Izin dari Bank Indonesia. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 32 Ketentuan BAB III Perizinan dan Persyaratan Penyelenggara, BAB VI Penghentian Kegiatan sebagai Penyelenggara dan BAB IX Ketentuan Peralihan tidak berlaku untuk Bank mengingat kegiatan Pengiriman Uang merupakan bagian dari kegiatan usaha Bank. Pasal 33 Ketentuan yang diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia antara lain mengenai: a. Tatacara permohonan dan pemberian izin, termasuk jangka waktu pemberian persetujuan atau penolakan oleh Bank Indonesia; b. Tatacara pelaporan pembukaan kantor cabang; c. Tatacara penyampaian laporan kerjasama antara Penyelenggara dengan Operator; d. Tatacara pelaporan dan pencatatan mengenai transaksi Pengiriman Uang, penyampaian laporan secara berkala maupun insidentil kepada Bank Indonesia dan penyampaian laporan secara tertulis kepada Bank Indonesia apabila terjadi perubahan pengurus; e. Tatacara pelaporan penghentian kegiatan Penyelenggara; f. Tatacara … -14- f. Tatacara penghentian kegiatan Penyelenggara; g. Penetapan jangka waktu perizinan; h. Tatacara dan syarat Pendaftaran, pelaporan, penghentian kegiatan usaha dan penghapusan dari Daftar Penyelenggara dalam Masa Transisi; dan i. Tatacara dan bentuk pelaporan kantor cabang dan/atau kerjasama antara Penyelenggara dengan Operator selama Masa Transisi. Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Cukup jelas. Pasal 36 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4665 "," PBI 8/28/PBI/2006 KEGIATAN USAHA PENGIRIMAN UANG 5 Desember 2006 5 Desember 2006 '25/UU/2003', '15/UU/2003', '7/14/PBI/2005', '23/UU/1999', '3/UU/2004', '7/UU/1992', '5/21/PBI/2003', '10/UU/1998', '3/10/PBI/2001', '15/UU/2002' 'BAB VIII' " " PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 6/13 /PBI/2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 6/8/PBI/2004 TENTANG SISTEM BANK INDONESIA REAL TIME GROSS SETTLEMENT GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mendukung pendanaan kredit program oleh Pemerintah kepada usaha mikro dan kecil perlu dilakukan perubahan terhadap penggunaan sarana pembebanan atas rekening giro melalui Sistem Bank Indonesia Real Time Gross Settlement; b. bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas dipandang perlu untuk melakukan perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/8/PBI/2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 28, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4373) tentang Sistem Bank Indonesia Real Time Gross Settlement; Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia … -2- Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3790); 2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4357); MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 6/8/PBI/2004 TENTANG SISTEM BANK INDONESIA REAL TIME GROSS SETTLEMENT. Pasal I Menambah satu ayat dalam Pasal 23 sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut : “Pasal 23 (1) Transaksi yang dilakukan oleh Peserta Langsung melalui Sistem BI-RTGS didasarkan pada warkat pembukuan yang formatnya diatur oleh masing-masing Peserta. (2) Peserta … -3- (2) Peserta Langsung yang mengalami gangguan RT Server sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) dan ayat (3) serta Peserta Tidak Langsung wajib menggunakan Bilyet Giro Bank Indonesia atau, khusus untuk penarikan tunai, menggunakan Cek Bank Indonesia. (3) Khusus untuk transaksi-transaksi tertentu antara Peserta Langsung dengan Pemerintah yang telah mendapat persetujuan Bank Indonesia, Peserta Langsung dapat menggunakan Bilyet Giro Bank Indonesia dibukukan oleh Penyelenggara melalui Sistem BI-RTGS. Pasal II Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. untuk Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 9 Juni 2004 GUBERNUR BANK INDONESIA, Ttd BURHANUDDIN ABDULLAH LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 49 DASP PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 6/ 13 /PBI/2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 6/8/PBI/2004 TENTANG SISTEM BANK INDONESIA REAL TIME GROSS SETTLEMENT PASAL DEMI PASAL Pasal I Pasal 23 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Persetujuan Bank Indonesia dalam ayat ini diberikan sepanjang transaksi-transaksi antara Peserta Langsung dengan Pemerintah tersebut terkait dengan tugas Bank Indonesia dalam bidang moneter, perbankan, dan sistem pembayaran. Pasal II Cukup jelas TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4387 DASP "," PBI 6/13/PBI/2004 PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 6/8/PBI/2004 TENTANG SISTEM BANK INDONESIA REAL TIME GROSS SETTLEMENT 9 Juni 2004 9 Juni 2004 '6/8/PBI/2004' '23/UU/1999', '7/UU/1992', '3/UU/2004', '10/UU/1998' " " PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 3/ 4 /PBI/2001 TENTANG PERUBAHAN PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 2/13/PBI/2000 TENTANG JAMINAN PEMBIAYAAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan kembali kegiatan ekonomi nasional khususnya kegiatan perdagangan internasional, maka dipandang perlu untuk memberikan kepastian jaminan kepada bank kreditur melalui perpanjangan periode penjaminan; b. bahwa berhubung dengan itu dipandang perlu untuk melakukan perubahan Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/13/PBI/2000 tentang Jaminan Pembiayaan Perdagangan Internasional dengan Peraturan Indonesia. Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472), sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 182 Tahun 1998, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843); 3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara Republik - 2 - Bank Indonesia Tahun 1999 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3844); 4. Peraturan Bank Indonesia Nomor No. 1/3/PBI/1999 tanggal 13 Agustus 1999 tentang Penyelenggaraan Kliring Lokal dan Penyelesaian Akhir Transaksi Pembayaran Antar Bank Atas Hasil Kliring Lokal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 139, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3873) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/4/PBI/2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3927); 5. Peraturan Bank Indonesia Nomor 1/9/PBI/1999 tanggal 28 Oktober 1999 tentang Pemantauan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Bank dan Lembaga Keuangan Non Bank (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3915). 6. Peraturan Bank Indonesia Nomor No. 2/13/PBI/2000 tanggal 16 Mei 2000 tentang Jaminan Pembiayaan Perdagangan Internasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3954). Memperhatikan : 1. Kesepakatan Bersama Menteri Keuangan dengan Gubernur Bank Indonesia tanggal 3 Mei 2000 tentang Jaminan Atas Pembiayaan Perdagangan Internasional dan Pinjaman Luar Negeri Antar Bank sebagaimana telah diubah dengan Kesepakatan Bersama Menteri Keuangan dengan Gubernur Bank Indonesia tanggal 20 Februari 2001; - 3 - 2. Hasil Rapat Koordinasi antara Dewan Gubernur Bank Indonesia dan Menteri – Menteri Terkait Bidang Perekonomian tanggal 18 Desember 2000. M E M U T U S K A N : Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 2/13/PBI/2000 TENTANG JAMINAN PEMBIAYAAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL Pasal I Mengubah ketentuan dalam Pasal 4 ayat (2) Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/13/PBI/2000 tentang Jaminan Pembiayaan Perdagangan Internasional sehingga berbunyi sebagai berikut : “(2) Tanggal efektif LOG berlaku : a. Sehari setelah berakhirnya LOG Kedua (yang diterbitkan tanggal 12 Mei 2000) sampai dengan 30 Juni 2001, untuk Eligible Bank yang telah mengikuti program penjaminan sebelumnya; b. Sejak Bank Indonesia menandatangani Confirmation Letter yang disampaikan oleh Eligible Bank, sampai dengan 30 Juni 2001, untuk Eligible Bank yang baru mengikuti program penjaminan.” - 4 - Pasal II Peraturan Bank Indonesia ini berlaku sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan di : Pada tanggal Jakarta : 12 Maret 2001 ------------------------------------------------- GUBERNUR BANK INDONESIA SYAHRIL SABIRIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2000 NOMOR 20 DLN/KEPI PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 3/ 4 /PBI/2001 TENTANG PERUBAHAN PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 2/13/PBI/2000 TENTANG JAMINAN PEMBIAYAAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL UMUM Sebagaimana diketahui bahwa dalam pelaksanaan program penjaminan pembiayaan perdagangan internasional (Trade Maintenance Facility/TMF), Bank Indonesia berdasarkan counter guaranty yang diberikan Pemerintah menerbitkan Letter of Guaranty (LOG) yang menjamin seluruh transaksi pembiayaan perdagangan internasional yang dilakukan oleh perbankan Indonesia dengan perbankan internasional. LOG pertama kali diberikan Bank Indonesia kepada perbankan luar negeri (Eligible Bank) pada tanggal 25 Juli 1998, yang berlaku selama 1 (satu) tahun sejak Bank Indonesia menyetujui Confirmation Letter yang disampaikan oleh Eligible Bank, kemudian dilanjutkan dengan LOG kedua tanggal 12 Mei 2000 yang berlaku sampai dengan 31 Desember 2000 dan menjamin transaksi yang jatuh tempo sampai dengan 30 Juni 2001. Mengingat LOG kedua yang diberikan oleh Bank Indonesia kepada Eligible Bank telah jatuh tempo, sementara Pemerintah memandang bahwa untuk saat ini program TMF masih diperlukan dalam rangka meningkatkan kembali kegiatan ekonomi nasional khususnya kegiatan perdagangan internasional maka Pemerintah dan Bank Indonesia memutuskan untuk memperpanjang pelaksanaan program TMF tersebut. Perpanjangan penjaminan program TMF berlaku sampai dengan 30 Juni 2001 disamakan dengan jatuh tempo transaksinya yaitu sampai dengan 30 Juni 2001. PASAL DEMI PASAL Pasal I Cukup jelas Pasal II Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2001 NOMOR 4080 DLN/KEPI LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2000 NOMOR 20 DLN/KEPI "," PBI 3/4/PBI/2001 PERUBAHAN PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 2/13/PBI/2000 TENTANG JAMINAN PEMBIAYAAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL 12 Maret 2001 12 Maret 2001 '2/13/PBI/2000' '2/13/PBI/2000', '1/3/PBI/1999', '23/UU/1999', '1/9/PBI/1999', '2/4/PBI/2000', '7/UU/1992', '10/UU/1998', '24/UU/1999' " " PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 18/25/PBI/2016 TENTANG PENGELUARAN UANG RUPIAH KERTAS BERSAMBUNG PECAHAN 10.000 (SEPULUH RIBU) TAHUN EMISI 2016 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk menandai suatu era baru dalam pengeluaran seluruh pecahan uang Rupiah kertas sebagai mata uang Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang maka perlu dikeluarkan uang Rupiah kertas khusus dalam bentuk bersambung; b. bahwa pengeluaran uang Rupiah kertas khusus dalam bentuk bersambung, juga dilakukan sebagai bagian dari upaya Bank Indonesia untuk mengembangkan kegiatan numismatika; c. bahwa uang Rupiah kertas khusus dalam bentuk bersambung merupakan alat pembayaran yang sah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang Pengeluaran Uang Rupiah Kertas Bersambung Pecahan 10.000 (Sepuluh Ribu) Tahun Emisi 2016; - 2 - Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843), sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5223); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENGELUARAN UANG RUPIAH KERTAS BERSAMBUNG PECAHAN 10.000 (SEPULUH RIBU) TAHUN EMISI 2016. Pasal 1 Bank Indonesia mengeluarkan uang Rupiah khusus pecahan 10.000 (sepuluh ribu) tahun emisi 2016 sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pasal 2 Macam uang Rupiah khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 merupakan uang Rupiah kertas khusus yang memiliki ciri tertentu. - 3 - Pasal 3 (1) Uang Rupiah kertas khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 berbentuk uang Rupiah kertas bersambung yang meliputi: a. 1 (satu) lembaran yang memuat 2 (dua) lembar (bilyet); b. 1 (satu) lembaran yang memuat 4 (empat) lembar (bilyet); dan c. 1 (satu) lembaran yang memuat 45 (empat puluh lima) lembar (bilyet), yang masing-masing lembaran merupakan satu kesatuan. (2) Bentuk lembaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah persegi panjang dengan ukuran sebagai berikut: a. panjang 145 (seratus empat puluh lima) milimeter dan lebar 130 (seratus tiga puluh) milimeter untuk lembaran yang memuat 2 (dua) lembar (bilyet); b. panjang 290 (dua ratus sembilan puluh) milimeter dan lebar 130 (seratus tiga puluh) milimeter untuk lembaran yang memuat 4 (empat) lembar (bilyet); dan c. panjang 725 (tujuh ratus dua puluh lima) milimeter dan lebar 585 (lima ratus delapan puluh lima) milimeter untuk lembaran yang memuat 45 (empat puluh lima) lembar (bilyet). Pasal 4 (1) Harga setiap lembar (bilyet) uang Rupiah dalam lembaran uang Rupiah kertas khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) merupakan nilai nominal pada pecahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 yaitu sebesar Rp10.000,00 (sepuluh ribu rupiah). (2) Dalam hal uang Rupiah kertas khusus digunakan sebagai alat transaksi maka harga setiap lembar (bilyet) sebesar nilai nominal sebagaimana dimaksud pada ayat (1). - 4 - Pasal 5 Ciri tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang terdapat pada bagian depan dan bagian belakang setiap lembar (bilyet) dari uang Rupiah kertas bersambung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) meliputi: a. ciri umum; dan b. ciri khusus. Pasal 6 (1) Ciri umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a, pada bagian depan terdapat: a. gambar lambang negara “Garuda Pancasila”; b. frasa “NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA”; c. sebutan pecahan dalam angka “10000” dan tulisan “SEPULUH RIBU RUPIAH”; d. tanda tangan Gubernur Bank Indonesia beserta tulisan “GUBERNUR” dan tanda tangan Menteri Keuangan Republik Indonesia beserta tulisan “MENTERI KEUANGAN”; e. tulisan tahun emisi yaitu “EMISI 2016”; f. gambar utama yaitu Pahlawan Nasional Frans Kaisiepo beserta tulisan “FRANS KAISIEPO”; g. gambar ornamen batik; dan h. gambar lingkaran-lingkaran kecil. (2) Ciri khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b, pada bagian depan yang berupa desain dan teknik cetak, terdapat: a. warna dominan ungu; b. hasil cetak yang terasa kasar apabila diraba pada ciri umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, dan huruf f; c. gambar saling isi (rectoverso) dari logo Bank Indonesia yang dapat dilihat secara utuh apabila diterawangkan ke arah cahaya; d. gambar tersembunyi (latent image) berupa tulisan “BI” yang dapat dilihat dari sudut pandang tertentu; - 5 - e. gambar tersembunyi (latent image) multiwarna berupa angka “10” yang dapat dilihat dari sudut pandang tertentu; f. kode tuna netra (blind code) berupa efek rabaan (tactile); g. gambar raster berupa tulisan “BI”; h. mikroteks yang memuat tulisan “BI10”, tulisan “BI10000”, tulisan “SEPULUHRIBURUPIAH”, dan angka “10”, yang dapat dilihat dengan bantuan kaca pembesar; dan i. hasil cetak yang akan memendar dalam 1 (satu) atau beberapa warna apabila dilihat dengan sinar ultraviolet berupa: 1. 2 (dua) bidang persegi empat yang salah satunya berisi tulisan “BI”; 2. angka nominal “10000”; 3. ornamen batik; dan 4. gambar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pasal 7 (1) Ciri umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a, pada bagian belakang terdapat: a. angka nominal “10000”; b. nomor seri dengan bentuk asimetris yang meliputi 3 (tiga) huruf dan 6 (enam) angka; c. teks “DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA MENGELUARKAN RUPIAH SEBAGAI ALAT PEMBAYARAN YANG SAH DENGAN NILAI SEPULUH RIBU RUPIAH”; d. tulisan tahun cetak “TC 2016”; e. gambar utama yaitu tari pakarena beserta tulisan “TARI PAKARENA”, pemandangan alam Taman Nasional Wakatobi beserta tulisan “Taman Nasional Wakatobi”, dan bunga cempaka hutan kasar; f. tulisan “BANK INDONESIA”; - 6 - g. gambar ornamen batik; h. gambar lingkaran-lingkaran kecil; dan i. tulisan “PERURI”. (2) Ciri khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b, pada bagian belakang yang berupa desain dan teknik cetak, terdapat: a. warna dominan ungu; b. hasil cetak yang terasa kasar apabila diraba pada ciri umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf c, dan huruf f; c. hasil cetak yang terasa kasar apabila diraba pada gambar tari pakarena, tulisan “TARI PAKARENA”, dan tulisan “Taman Nasional Wakatobi”; d. gambar saling isi (rectoverso) dari logo Bank Indonesia yang dapat dilihat secara utuh apabila diterawangkan ke arah cahaya; e. gambar tersembunyi (latent image) berupa angka “10” yang dapat dilihat dari sudut pandang tertentu; f. gambar raster berupa tulisan “NKRI” dan angka “10000”; g. mikroteks yang memuat tulisan “BI10000”, tulisan “SEPULUHRIBURUPIAH”, dan angka “10000”, yang dapat dilihat dengan bantuan kaca pembesar; dan h. hasil cetak yang akan memendar dalam 1 (satu) atau beberapa warna apabila dilihat dengan sinar ultraviolet berupa: 1. gambar bunga cempaka hutan kasar; 2. gambar penyelam dan ikan; 3. gambar hewan tangkasi; 4. bidang persegi empat yang berisi tulisan “BI”; 5. gambar lingkaran-lingkaran kecil; dan 6. nomor seri dengan bentuk asimetris yang meliputi 3 (tiga) huruf dan 6 (enam) angka. - 7 - Pasal 8 Selain ciri khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 7 ayat (2), uang Rupiah memiliki ciri khusus sebagai berikut: a. bahan berupa kertas uang yang memiliki spesifikasi: 1. terbuat dari serat kapas; 2. berwarna ungu muda; 3. tidak memendar dengan sinar ultraviolet; 4. terdapat tanda air (watermark) berupa gambar Pahlawan Nasional Sultan Mahmud Badaruddin II dan ornamen tertentu; dan 5. terdapat benang pengaman yang memuat tulisan “BI 10000” secara berulang yang akan memendar apabila dilihat dengan sinar ultraviolet; dan b. ukuran yaitu panjang 145 (seratus empat puluh lima) milimeter dan lebar 65 (enam puluh lima) milimeter. Pasal 9 Uang Rupiah kertas khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dikeluarkan paling banyak: a. 10.000 (sepuluh ribu) lembaran yang masing-masing memuat 2 (dua) lembar (bilyet); b. 10.000 (sepuluh ribu) lembaran yang masing-masing memuat 4 (empat) lembar (bilyet); dan c. 100 (seratus) lembaran yang masing-masing memuat 45 (empat puluh lima) lembar (bilyet). Pasal 10 Harga jual lembaran uang Rupiah kertas khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ditetapkan oleh Bank Indonesia. Pasal 11 Setiap lembaran uang Rupiah kertas khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dilengkapi dengan sertifikat keaslian dari Bank Indonesia. - 8 - Pasal 12 (1) Pengedaran uang Rupiah kertas khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dilakukan dengan cara menjual secara langsung atau secara lelang kepada masyarakat. (2) Penjualan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Bank Indonesia atau pihak lain yang ditunjuk oleh Bank Indonesia. Pasal 13 (1) Uang Rupiah kertas khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dapat ditukarkan kepada Bank Indonesia atau pihak lain yang ditunjuk oleh Bank Indonesia. (2) Penukaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan penggantian untuk masing-masing lembar (bilyet) dalam bentuk uang Rupiah lainnya yang bukan uang Rupiah khusus. (3) Besarnya nilai penggantian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penukaran uang Rupiah. Pasal 14 Uang Rupiah khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 mulai berlaku dan diedarkan pada tanggal 19 Desember 2016. Pasal 15 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. - 9 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 25 Oktober 2016 GUBERNUR BANK INDONESIA, AGUS D. W. MARTOWARDOJO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 27 Oktober 2016 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 208 "," PBI 18/25/PBI/2016 PENGELUARAN UANG RUPIAH KERTAS BERSAMBUNG PECAHAN 10.000 (SEPULUH RIBU) TAHUN EMISI 2016 25 Oktober 2016 27 Oktober 2016 27 Oktober 2016 '23/UU/1999', '6/UU/2009', '2/PERPPU/2008', '7/UU/2011' " " PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 17/10/PBI/2015 TENTANG RASIO LOAN TO VALUE ATAU RASIO FINANCING TO VALUE UNTUK KREDIT ATAU PEMBIAYAAN PROPERTI DAN UANG MUKA UNTUK KREDIT ATAU PEMBIAYAAN KENDARAAN BERMOTOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam rangka menjaga pertumbuhan perekonomian nasional diperlukan upaya untuk mendorong berjalannya fungsi intermediasi perbankan melalui penyesuaian terhadap kebijakan makroprudensial; b. bahwa penyesuaian kebijakan makroprudensial tetap dilakukan secara proporsional dan terukur untuk menjaga stabilitas sistem keuangan; c. bahwa dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi dan memelihara stabilitas sistem keuangan perlu dilakukan penyesuaian terhadap ketentuan mengenai perkreditan; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang Rasio Loan To Value atau Rasio Financing To Value untuk Kredit atau Pembiayaan Properti dan Uang Muka untuk Kredit atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor; Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir ... - 2 - terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/11/PBI/2014 tentang Pengaturan dan Pengawasan Makroprudensial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 141, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5546); MEMUTUSKAN: Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG RASIO LOAN TO VALUE ATAU RASIO FINANCING TO VALUE UNTUK KREDIT ATAU PEMBIAYAAN PROPERTI DAN UANG MUKA UNTUK KREDIT ATAU PEMBIAYAAN KENDARAAN BERMOTOR. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang yang mengatur mengenai perbankan, termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri, dan Bank Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah. 2. Kredit adalah kredit sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan. 3. Pembiayaan adalah pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah. 4. Properti ... - 3 - 4. Properti adalah Rumah Tapak, Rumah Susun, dan Rumah Kantor atau Rumah Toko. 5. Rumah Tapak adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal yang merupakan kesatuan antara tanah dan bangunan dengan bukti kepemilikan berupa surat keterangan, sertifikat, atau akta yang dikeluarkan oleh lembaga atau pejabat yang berwenang. 6. Rumah Susun adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional baik dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, antara lain griya tawang, kondominium, apartemen, dan flat. 7. Rumah Kantor atau Rumah Toko adalah tanah berikut bangunan yang izin pendiriannya sebagai rumah tinggal sekaligus untuk tujuan komersial antara lain perkantoran, pertokoan, atau gudang. 8. Kredit Properti yang selanjutnya disingkat KP adalah kredit konsumsi yang terdiri atas: a. Kredit yang diberikan Bank untuk pembelian Rumah Tapak, termasuk Kredit konsumsi beragun Rumah Tapak, yang selanjutnya disebut KP Rumah Tapak; b. Kredit yang diberikan Bank untuk pembelian Rumah Susun, termasuk Kredit konsumsi beragun Rumah Susun, yang selanjutnya disebut KP Rusun; dan c. Kredit yang diberikan Bank untuk pembelian Rumah Toko dan/atau Rumah Kantor, termasuk Kredit konsumsi beragun Rumah Toko dan/atau Rumah Kantor, yang selanjutnya disebut KP Ruko atau KP Rukan. 9. Pembiayaan Properti yang selanjutnya disebut KP Syariah adalah Pembiayaan konsumsi yang terdiri atas: a. Pembiayaan yang diberikan Bank untuk pembelian Rumah Tapak, termasuk Pembiayaan konsumsi beragun Rumah Tapak, yang selanjutnya disebut KP Rumah Tapak Syariah; b. Pembiayaan ... - 4 - b. Pembiayaan yang diberikan Bank untuk pembelian Rumah Susun, termasuk Pembiayaan konsumsi beragun Rumah Susun, yang selanjutnya disebut KP Rusun Syariah; dan c. Pembiayaan yang diberikan Bank untuk pembelian Rumah Toko dan/atau Rumah Kantor, termasuk Pembiayaan konsumsi beragun Rumah Toko dan/atau Rumah Kantor, yang selanjutnya disebut KP Ruko Syariah atau KP Rukan Syariah. 10. Musyarakah Mutanaqisah yang selanjutnya disingkat MMQ adalah musyarakah atau syirkah dalam rangka kepemilikan Properti antara Bank dengan nasabah dengan kondisi penyertaan kepemilikan Properti oleh Bank akan berkurang disebabkan pembelian secara bertahap oleh nasabah. 11. Uang Jaminan yang selanjutnya disebut Deposit adalah uang yang harus diserahkan oleh nasabah kepada Bank dalam rangka kepemilikan Properti yang dilakukan dengan akad Ijarah Muntahiya Bittamlik (IMBT). 12. Rasio Loan to Value yang selanjutnya disebut Rasio LTV adalah angka rasio antara nilai Kredit yang dapat diberikan oleh Bank terhadap nilai agunan berupa Properti pada saat pemberian Kredit berdasarkan harga penilaian terakhir. 13. Rasio Financing to Value yang selanjutnya disebut Rasio FTV adalah angka rasio antara nilai Pembiayaan yang dapat diberikan oleh Bank terhadap nilai agunan berupa Properti pada saat pemberian Pembiayaan berdasarkan harga penilaian terakhir. 14. Kredit atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disebut KKB atau KKB Syariah adalah Kredit atau Pembiayaan yang diberikan Bank untuk pembelian kendaraan bermotor. 15. Uang Muka adalah pembayaran di muka sebesar persentase tertentu dari harga pembelian Properti atau kendaraan bermotor yang sumber dananya berasal dari debitur atau nasabah. Pasal 2 (1) Bank Indonesia menetapkan batasan Rasio LTV atau Rasio FTV KP atau KP Syariah dan batasan Uang Muka KKB atau KKB Syariah. (2) Bank ... - 5 - (2) Bank wajib memenuhi batasan Rasio LTV atau Rasio FTV KP atau KP Syariah dan batasan Uang Muka KKB atau KKB Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1). BAB II PENGATURAN RASIO LTV ATAU RASIO FTV Bagian Pertama Fasilitas Kredit, Nilai Agunan dan Penilaian Agunan Pasal 3 (1) Perhitungan Kredit dan nilai agunan dalam perhitungan Rasio LTV untuk Bank Umum ditetapkan sebagai berikut: a. Kredit ditetapkan berdasarkan plafon Kredit yang diterima oleh debitur sebagaimana tercantum dalam perjanjian Kredit; dan b. nilai agunan ditetapkan berdasarkan nilai taksiran yang dilakukan penilai intern Bank atau penilai independen terhadap Properti yang menjadi agunan. (2) Perhitungan Pembiayaan dan nilai agunan dalam perhitungan Rasio FTV untuk Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah ditetapkan sebagai berikut: a. Pembiayaan ditetapkan berdasarkan jenis akad yang digunakan, yaitu: 1. Pembiayaan berdasarkan akad murabahah atau akad istishna’ ditetapkan berdasarkan harga pokok Pembiayaan yang diberikan kepada nasabah sebagaimana tercantum dalam akad Pembiayaan; 2. Pembiayaan berdasarkan akad MMQ ditetapkan berdasarkan penyertaan Bank dalam rangka kepemilikan Properti sebagaimana tercantum dalam akad Pembiayaan; dan 3. Pembiayaan berdasarkan akad IMBT ditetapkan berdasarkan hasil pengurangan harga Properti dengan Deposit sebagaimana tercantum dalam akad Pembiayaan. b. nilai ... - 6 - b. nilai agunan ditetapkan berdasarkan nilai taksiran yang dilakukan penilai intern Bank atau penilai independen terhadap Properti yang menjadi agunan. Pasal 4 Tata cara penilaian agunan ditetapkan sebagai berikut: a. apabila Kredit atau Pembiayaan untuk 1 (satu) atau beberapa debitur atau nasabah secara keseluruhan pada proyek yang sama sampai dengan Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) maka nilai agunan didasarkan pada taksiran yang dilakukan oleh penilai intern Bank atau penilai independen; dan b. apabila Kredit atau Pembiayaan untuk 1 (satu) atau beberapa debitur atau nasabah secara keseluruhan pada proyek yang sama di atas Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) maka nilai agunan didasarkan pada taksiran yang dilakukan oleh penilai independen. Pasal 5 Penilai independen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 4 adalah kantor jasa penilai publik yang paling kurang memenuhi kriteria: a. memiliki izin usaha dari institusi yang berwenang; b. tidak merupakan pihak terkait dengan Bank; c. tidak merupakan pihak terafiliasi dengan debitur atau nasabah dan pengembang yang dinyatakan dalam surat pernyataan dari kantor jasa penilai publik (KJPP); dan d. tercatat sebagai anggota asosiasi penilai independen atau asosiasi penilai publik. Bagian Kedua Rasio LTV atau Rasio FTV Pasal 6 Rasio LTV atau Rasio FTV untuk Bank yang memberikan KP dan KP Syariah diatur sebagai berikut: a. Rasio LTV atau Rasio FTV untuk KP dan KP Syariah pertama ditetapkan paling tinggi sebesar: 1. 90% ... - 7 - 1. 90% (sembilan puluh persen) untuk KP Rusun dan KP Rusun Syariah dengan luas bangunan 22m2 (dua puluh dua meter persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi); 2. 85% (delapan puluh lima persen) untuk KP Rumah Tapak Syariah dan KP Rusun Syariah berdasarkan akad MMQ atau akad IMBT, dengan luas bangunan di atas 70m2 (tujuh puluh meter persegi); dan 3. 80% (delapan puluh persen) untuk KP Rusun, KP Rumah Tapak, KP Rusun Syariah, dan KP Rumah Tapak Syariah berdasarkan akad murabahah atau akad istishna’ dengan luas bangunan di atas 70m2 (tujuh puluh meter persegi). b. Rasio LTV atau Rasio FTV untuk KP dan KP Syariah kedua diatur sebagai berikut: 1. Untuk KP kedua ditetapkan paling tinggi sebesar: a) 80% (delapan puluh persen) untuk KP Rumah Tapak dengan luas bangunan 22m2 (dua puluh dua meter persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi); b) 80% (delapan puluh persen) untuk KP Rusun dengan luas bangunan sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi); c) 80% (delapan puluh persen) untuk KP Ruko atau KP Rukan; dan d) 70% (tujuh puluh persen) untuk KP Rumah Tapak dan KP Rusun dengan luas bangunan di atas 70m2 (tujuh puluh meter persegi). 2. Untuk KP Syariah kedua berdasarkan akad murabahah atau akad istishna’ ditetapkan paling tinggi sebesar: a) 80% (delapan puluh persen) untuk KP Rumah Tapak Syariah dengan luas bangunan 22m2 (dua puluh dua meter persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi); b) 80% (delapan puluh persen) untuk KP Rusun Syariah dengan luas bangunan sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi); c) 80% (delapan puluh persen) untuk KP Ruko Syariah atau KP Rukan Syariah; dan d) 70% ... - 8 - d) 70% (tujuh puluh persen) untuk KP Rumah Tapak Syariah dan KP Rusun Syariah dengan luas bangunan di atas 70m2 (tujuh puluh meter persegi). 3. Untuk KP Syariah kedua berdasarkan akad MMQ dan IMBT ditetapkan paling tinggi sebesar: a) 80% (delapan puluh persen) untuk KP Rumah Tapak Syariah dengan luas bangunan 22m2 (dua puluh dua meter persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi); b) 80% (delapan puluh persen) untuk KP Rusun Syariah dengan luas bangunan sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi); c) 80% (delapan puluh persen) untuk KP Ruko Syariah atau KP Rukan Syariah; dan d) 75% (tujuh puluh lima persen) untuk KP Rumah Tapak Syariah dan KP Rusun Syariah dengan luas bangunan di atas 70m2 (tujuh puluh meter persegi). c. Rasio LTV atau Rasio FTV untuk KP dan KP Syariah ketiga dan seterusnya diatur sebagai berikut: 1. Untuk KP ketiga dan seterusnya ditetapkan paling tinggi sebesar: a) 70% (tujuh puluh persen) untuk KP Rumah Tapak dengan luas bangunan 22m2 (dua puluh dua meter persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi); b) 70% (tujuh puluh persen) untuk KP Rusun dengan luas bangunan sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi); c) 70% (tujuh puluh persen) untuk KP Ruko atau KP Rukan; dan d) 60% (enam puluh persen) untuk KP Rumah Tapak dan KP Rusun dengan luas bangunan di atas 70m2 (tujuh puluh meter persegi). 2. Untuk KP Syariah ketiga dan seterusnya berdasarkan akad murabahah atau akad istishna’ ditetapkan paling tinggi sebesar: a) 70% (tujuh puluh persen) untuk KP Rumah Tapak Syariah dengan luas bangunan 22m2 (dua puluh dua meter persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi); b) 70% ... - 9 - b) 70% (tujuh puluh persen) untuk KP Rusun Syariah dengan luas bangunan sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi); c) 70% (tujuh puluh persen) untuk KP Ruko Syariah atau KP Rukan Syariah; dan d) 60% (enam puluh persen) untuk KP Rumah Tapak Syariah dan KP Rusun Syariah dengan luas bangunan di atas 70m2 (tujuh puluh meter persegi). 3. Untuk KP Syariah ketiga dan seterusnya berdasarkan akad MMQ dan IMBT ditetapkan paling tinggi sebesar: a) 70% (tujuh puluh persen) untuk KP Rumah Tapak Syariah dengan luas bangunan 22m2 (dua puluh dua meter persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi); b) 70% (tujuh puluh persen) untuk KP Rusun Syariah dengan luas bangunan sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi); c) 70% (tujuh puluh persen) untuk KP Ruko Syariah atau KP Rukan Syariah; dan d) 65% (enam puluh lima persen) untuk KP Rumah Tapak Syariah dan KP Rusun Syariah dengan luas bangunan di atas 70m2 (tujuh puluh meter persegi). Pasal 7 Penentuan urutan Kredit atau Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 wajib memperhitungkan seluruh KP dan KP Syariah yang telah diterima debitur atau nasabah di Bank yang sama maupun Bank lainnya. Pasal 8 (1) Ketentuan mengenai Rasio LTV dan/atau Rasio FTV sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 berlaku apabila Bank memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. rasio Kredit atau Pembiayaan bermasalah dari total Kredit atau Pembiayaan secara bruto (gross) kurang dari 5% (lima persen); dan b. rasio ... - 10 - b. rasio KP atau KP Syariah bermasalah dari total KP atau KP Syariah secara bruto (gross) kurang dari 5% (lima persen). (2) Penghitungan rasio Kredit atau Pembiayaan bermasalah dan rasio KP atau KP Syariah bermasalah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada laporan bulanan Bank Umum atau laporan bulanan Bank Umum Syariah periode 2 (dua) bulan sebelumnya. Pasal 9 Bagi Bank yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) maka Rasio LTV atau Rasio FTV diatur sebagai berikut: a. Rasio LTV atau Rasio FTV untuk KP dan KP Syariah pertama ditetapkan paling tinggi sebesar: 1. 90% (sembilan puluh persen) untuk KP Rusun Syariah berdasarkan akad MMQ atau akad IMBT dengan luas bangunan 22m2 (dua puluh dua meter persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi); 2. 80% (delapan puluh persen) untuk KP Rusun dengan luas bangunan 22m2 (dua puluh dua meter persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi); 3. 80% (delapan puluh persen) untuk KP Rumah Tapak Syariah dan KP Rusun Syariah berdasarkan akad MMQ atau akad IMBT dengan luas bangunan di atas 70m2 (tujuh puluh meter persegi); dan 4. 70% (tujuh puluh persen) untuk KP Rumah Tapak, KP Rusun, KP Rumah Tapak Syariah, dan KP Rusun Syariah berdasarkan akad murabahah atau akad istishna’ dengan luas bangunan di atas 70m2 (tujuh puluh meter persegi). b. Rasio LTV atau Rasio FTV untuk KP dan KP Syariah kedua diatur sebagai berikut: 1. Untuk KP kedua ditetapkan paling tinggi sebesar: a) 70% (tujuh puluh persen) untuk KP Rumah Tapak dengan luas bangunan 22m2 (dua puluh dua meter persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi); b). 70% ... - 11 - b) 70% (tujuh puluh persen) untuk KP Rusun dengan luas bangunan sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi); c) 70% (tujuh puluh persen) untuk KP Ruko atau KP Rukan; dan d) 60% (enam puluh persen) untuk KP Rumah Tapak dan KP Rusun dengan luas bangunan di atas 70m2 (tujuh puluh meter persegi). 2. Untuk KP Syariah kedua berdasarkan akad murabahah atau akad istishna’ ditetapkan paling tinggi sebesar: a) 70% (tujuh puluh persen) untuk KP Rumah Tapak Syariah dengan luas bangunan 22m2 (dua puluh dua meter persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi); b) 70% (tujuh puluh persen) untuk KP Rusun Syariah dengan luas bangunan sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi); c) 70% (tujuh puluh persen) untuk KP Ruko Syariah atau KP Rukan Syariah; dan d) 60% (enam puluh persen) untuk KP Rumah Tapak Syariah dan KP Rusun Syariah dengan luas bangunan di atas 70m2 (tujuh puluh meter persegi). 3. Untuk KP Syariah kedua berdasarkan akad MMQ dan IMBT ditetapkan paling tinggi sebesar: a) 80% (delapan puluh persen) untuk KP Rumah Tapak Syariah dengan luas bangunan 22m2 (dua puluh dua meter persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi); b) 80% (delapan puluh persen) untuk KP Rusun Syariah dengan luas bangunan sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi); c) 80% (delapan puluh persen) untuk KP Ruko Syariah atau KP Rukan Syariah; dan d) 75% (tujuh puluh lima persen) untuk KP Rumah Tapak Syariah dan KP Rusun Syariah dengan luas bangunan di atas 70m2 (tujuh puluh meter persegi). c. Rasio LTV atau Rasio FTV untuk KP dan KP Syariah ketiga dan seterusnya diatur sebagai berikut: 1. Untuk KP ketiga dan seterusnya ditetapkan paling tinggi sebesar: a). 60% ... - 12 - a) 60% (enam puluh persen) untuk KP Rumah Tapak dengan luas bangunan 22m2 (dua puluh dua meter persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi); b) 60% (enam puluh persen) untuk KP Rusun dengan luas bangunan sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi); c) 60% (enam puluh persen) untuk KP Ruko atau KP Rukan; dan d) 50% (lima puluh persen) untuk KP Rumah Tapak dan KP Rusun dengan luas bangunan di atas 70m2 (tujuh puluh meter persegi). 2. Untuk KP Syariah ketiga dan seterusnya berdasarkan akad murabahah atau akad istishna’ ditetapkan paling tinggi sebesar: a) 60% (enam puluh persen) untuk KP Rumah Tapak Syariah dengan luas bangunan 22m2 (dua puluh dua meter persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi); b) 60% (enam puluh persen) untuk KP Rusun Syariah dengan luas bangunan sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi); c) 60% (enam puluh persen) untuk KP Ruko Syariah atau KP Rukan Syariah; dan d) 50% (lima puluh persen) untuk KP Rumah Tapak Syariah dan KP Rusun Syariah dengan luas bangunan di atas 70m2 (tujuh puluh meter persegi). 3. Untuk KP Syariah ketiga dan seterusnya berdasarkan akad MMQ dan IMBT ditetapkan paling tinggi sebesar: a) 70% (tujuh puluh persen) untuk KP Rumah Tapak Syariah dengan luas bangunan 22m2 (dua puluh dua meter persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi); b) 70% (tujuh puluh persen) untuk KP Rusun Syariah dengan luas bangunan sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi); c) 70% (tujuh puluh persen) untuk KP Ruko Syariah atau KP Rukan Syariah; dan d) 60% (enam puluh persen) untuk KP Rumah Tapak Syariah dan KP Rusun Syariah dengan luas bangunan di atas 70m2 (tujuh puluh meter persegi). Pasal ... - 13 - Pasal 10 Penetapan Rasio LTV dan Rasio FTV untuk Kredit atau Pembiayaan selain yang diatur dalam Pasal 6 dan Pasal 9 diserahkan kepada kebijakan Bank dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian dalam pemberian Kredit atau Pembiayaan. Bagian Ketiga Kewajiban Administratif Pasal 11 Dalam rangka penetapan Rasio LTV dan/atau Rasio FTV sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 9, Bank wajib: a. memperlakukan debitur atau nasabah suami dan istri sebagai 1 (satu) debitur atau nasabah kecuali terdapat perjanjian pemisahan harta yang disahkan oleh notaris; b. meminta surat pernyataan dari calon debitur atau nasabah yang paling kurang memuat keterangan mengenai KP dan/atau KP Syariah yang masih berjalan (outstanding) dan/atau yang sedang dalam proses pengajuan permohonan, baik pada Bank yang sama maupun pada Bank yang lain; dan c. menolak permohonan KP dan/atau KP Syariah yang diajukan apabila calon debitur atau nasabah tidak bersedia menyerahkan surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada huruf b. Bagian Keempat Tambahan Kredit atau Pembiayaan (Top Up) dan Kredit atau Pembiayaan yang Diambil Alih (Take Over) Pasal 12 Dalam hal Bank memberikan Kredit atau Pembiayaan tambahan (top up) berdasarkan Properti yang masih menjadi agunan dari KP atau KP Syariah sebelumnya, berlaku ketentuan sebagai berikut: a. Kredit atau Pembiayaan tambahan (top up) tersebut diperlakukan sebagai Kredit atau Pembiayaan baru; b. Rasio ... - 14 - b. Rasio LTV atau Rasio FTV Kredit atau Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada huruf a mengacu pada Rasio LTV atau Rasio FTV sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 atau Pasal 9; dan c. jumlah Kredit atau Pembiayaan tambahan (top up) yang diberikan oleh Bank wajib memperhitungkan jumlah baki debet Kredit atau Pembiayaan sebelumnya yang menggunakan agunan yang sama. Pasal 13 Dalam hal Bank memberikan Kredit atau Pembiayaan dengan mengambil alih (take over) Kredit atau Pembiayaan dari Bank lain, berlaku ketentuan sebagai berikut: a. Kredit atau Pembiayaan yang hanya ditujukan untuk pelunasan Kredit atau Pembiayaan sebelumnya di Bank lain tidak diperlakukan sebagai Kredit atau Pembiayaan baru; atau b. Kredit atau Pembiayaan yang disertai dengan tambahan (top up) diperlakukan sebagai Kredit atau Pembiayaan baru sebagaimana ketentuan dalam Pasal 12. Bagian Kelima Larangan Pemberian Kredit atau Pembiayaan Uang Muka Pasal 14 Bank dilarang memberikan Kredit atau Pembiayaan untuk pemenuhan Uang Muka dalam rangka KP, KP Syariah, KKB, dan KKB Syariah kepada debitur atau nasabah. Pasal 15 (1) Dalam rangka penerapan ketentuan mengenai Rasio LTV dan/atau Rasio FTV, Bank hanya dapat memberikan KP atau KP Syariah jika Properti yang akan dibiayai telah tersedia secara utuh. (2) Bank dapat memberikan KP atau KP Syariah dengan Properti yang akan dibiayai belum tersedia secara utuh apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. Kredit atau Pembiayaan merupakan KP atau KP Syariah pada urutan pertama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7; b. terdapat ... - 15 - b. terdapat perjanjian kerjasama antara Bank dengan pengembang yang paling kurang memuat kesanggupan pengembang untuk menyelesaikan Properti sesuai dengan yang diperjanjikan dengan debitur atau nasabah; dan c. terdapat jaminan yang diberikan oleh pengembang kepada Bank baik yang berasal dari pengembang sendiri atau pihak lain yang dapat digunakan untuk menyelesaikan kewajiban pengembang apabila Properti tidak dapat diselesaikan dan/atau tidak dapat diserahterimakan sesuai perjanjian. Pasal 16 (1) Dalam hal Bank memberikan KP atau KP Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) maka pencairan KP atau KP Syariah dimaksud hanya dapat dilakukan secara bertahap sesuai perkembangan pembangunan Properti yang dibiayai. (2) Perkembangan pembangunan Properti yang dibiayai didasarkan atas laporan perkembangan pembangunan Properti yang berasal dari: a. pengembang, apabila Kredit atau Pembiayaan untuk 1 (satu) atau beberapa debitur atau nasabah secara keseluruhan pada proyek yang sama bernilai sampai dengan Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); atau b. penilai independen, apabila Kredit atau Pembiayaan untuk 1 (satu) atau beberapa debitur atau nasabah secara keseluruhan pada proyek yang sama bernilai di atas Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Pasal 17 Kredit atau Pembiayaan dalam rangka pelaksanaan Program Perumahan Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, sepanjang didukung dengan dokumen yang menyatakan bahwa Kredit atau Pembiayaan tersebut merupakan Program Perumahan Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah dikecualikan dari ketentuan mengenai Rasio LTV atau Rasio FTV untuk KP atau KP Syariah. BAB ... - 16 - BAB III PENGATURAN UANG MUKA KREDIT ATAU PEMBIAYAAN KENDARAAN BERMOTOR Pasal 18 Uang Muka yang harus dipenuhi oleh debitur atau nasabah dalam rangka KKB atau KKB Syariah ditetapkan sebagai berikut: a. paling rendah 20% (dua puluh persen) untuk pembelian kendaraan bermotor roda dua; b. paling rendah 20% (dua puluh persen) untuk pembelian kendaraan bermotor roda tiga atau lebih untuk keperluan produktif apabila memenuhi salah satu syarat sebagai berikut: 1. merupakan kendaraan yang memiliki izin untuk angkutan orang atau barang yang dikeluarkan oleh pihak berwenang; atau 2. diajukan oleh perorangan atau badan hukum yang memiliki izin usaha tertentu yang dikeluarkan oleh pihak berwenang dan digunakan untuk mendukung kegiatan operasional dari usaha yang dimilikinya; dan c. paling rendah 25% (dua puluh lima persen) untuk pembelian kendaraan bermotor roda tiga atau lebih yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam huruf b. Pasal 19 (1) Ketentuan mengenai Uang Muka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 berlaku apabila Bank memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. rasio Kredit atau Pembiayaan bermasalah dari total Kredit atau Pembiayaan secara bruto (gross) kurang dari 5% (lima persen); dan b. rasio KKB atau KKB Syariah bermasalah dari total KKB atau KKB Syariah secara bruto (gross) kurang dari 5% (lima persen). (2) Penghitungan rasio Kredit atau Pembiayaan bermasalah dan rasio KKB atau KKB Syariah bermasalah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada laporan bulanan Bank Umum atau laporan bulanan Bank Umum Syariah periode 2 (dua) bulan sebelumnya. Pasal ... - 17 - Pasal 20 Bagi Bank yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 maka Uang Muka yang harus dipenuhi oleh debitur atau nasabah dalam rangka KKB atau KKB Syariah ditetapkan sebagai berikut: a. paling rendah 25% (dua puluh lima persen) untuk pembelian kendaraan bermotor roda dua; b. paling rendah 20% (dua puluh persen) untuk pembelian kendaraan bermotor roda tiga atau lebih untuk keperluan produktif apabila memenuhi salah satu syarat sebagai berikut: 1. merupakan kendaraan yang memiliki izin untuk angkutan orang atau barang yang dikeluarkan oleh pihak berwenang; atau 2. diajukan oleh perorangan atau badan hukum yang memiliki izin usaha tertentu yang dikeluarkan oleh pihak berwenang dan digunakan untuk mendukung kegiatan operasional dari usaha yang dimilikinya; dan c. paling rendah 30% (tiga puluh persen) untuk pembelian kendaraan bermotor roda tiga atau lebih yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam huruf b. BAB IV PEMERIKSAAN OLEH BANK INDONESIA Pasal 21 (1) Bank Indonesia berwenang melakukan pemeriksaan kepada Bank untuk memastikan kepatuhan Bank terhadap Peraturan Bank Indonesia ini. (2) Bank Indonesia dapat menunjuk pihak lain untuk dan atas nama Bank Indonesia guna melaksanakan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Dalam melaksanakan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia dapat berkoordinasi dan bekerjasama dengan otoritas lain. BAB ... - 18 - BAB V SANKSI Pasal 22 (1) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 9, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 18 dan/atau Pasal 20, dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. (2) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 9, Pasal 18 dan Pasal 20, selain dikenakan sanksi teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar 1% (satu persen) dari selisih antara plafon Kredit atau Pembiayaan yang diberikan dengan plafon Kredit atau Pembiayaan yang seharusnya. (3) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dan Pasal 15 selain dikenakan sanksi teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar 1% (satu persen) dari plafon Kredit atau Pembiayaan Uang Muka atau plafon KP dan KP Syariah. (4) Bank Indonesia dapat meminta Bank untuk menyampaikan rencana pelaksanaan perbaikan (action plan) atas pelanggaran Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3). (5) Bank yang tidak menyampaikan dan/atau tidak melaksanakan action plan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar 1% (satu persen) per bulan dari plafon Kredit atau Pembiayaan untuk setiap Kredit atau Pembiayaan yang melanggar ketentuan. (6) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dikenakan setiap akhir bulan untuk periode paling lama 12 (dua belas) bulan. Pasal 23 Selain mengenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, Bank Indonesia dapat merekomendasikan kepada otoritas yang berwenang untuk melakukan tindakan sesuai dengan kewenangan. Pasal ... - 19 - Pasal 24 Bank Indonesia mengenakan sanksi kewajiban membayar kepada Bank dengan mendebit rekening giro Rupiah Bank pada Bank Indonesia. BAB VI KETENTUAN PENUTUP Pasal 25 Ketentuan lebih lanjut dari Peraturan Bank Indonesia ini diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 26 Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 15/40/DKMP tanggal 24 September 2013 perihal Penerapan Manajemen Risiko pada Bank yang Melakukan Pemberian Kredit atau Pembiayaan Pemilikan Properti, Kredit atau Pembiayaan Konsumsi Beragun Properti, dan Kredit atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 27 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar ... - 20 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 18 Juni 2015 GUBERNUR BANK INDONESIA, AGUS D. W. MARTOWARDOJO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 18 Juni 2015 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 141 DKMP PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 17/10/PBI/2015 TENTANG RASIO LOAN TO VALUE ATAU RASIO FINANCING TO VALUE UNTUK KREDIT ATAU PEMBIAYAAN PROPERTI DAN UANG MUKA UNTUK KREDIT ATAU PEMBIAYAAN KENDARAAN BERMOTOR I. UMUM Dalam rangka menjaga pertumbuhan perekonomian nasional agar tetap berada pada momentum yang positif, diperlukan upaya untuk mendorong berjalannya fungsi intermediasi perbankan melalui penyesuaian terhadap kebijakan makroprudensial. Penyesuaian kebijakan makroprudensial dilakukan secara proporsional dan terukur untuk menjaga stabilitas sistem keuangan. Hal tersebut dilakukan dengan memberikan fleksibilitas yang lebih besar untuk pemberian Kredit atau Pembiayaan ke sektor Properti dan kendaraan bermotor dengan tetap memperhatikan aspek kehati-hatian. Pelonggaran ketentuan perkreditan di kedua sektor tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa sektor Properti dan kendaraan bermotor memiliki multiplier effect yang besar dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Upaya yang ditempuh yaitu dengan menurunkan beban biaya yang ditanggung oleh anggota masyarakat yang berkeinginan untuk membeli Properti maupun kendaraan bermotor. Langkah tersebut dilakukan bersamaan dengan pelonggaran Rasio Loan to Value atau Rasio Financing to Value untuk Kredit Properti dan Uang Muka untuk kredit kendaraan bermotor. Namun demikian, agar kebijakan tersebut tidak meningkatkan potensi risiko Kredit atau Pembiayaan, maka pelonggaran kebijakan dimaksud dikaitkan dengan pemenuhan rasio Kredit atau Pembiayaan bermasalah yang terjaga. II. Pasal ...ASAL . - 2 - II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Penetapan nilai taksiran mengacu pada metode dan prinsip-prinsip yang berlaku umum dalam penilaian agunan yang ditetapkan oleh asosiasi dan/atau institusi yang berwenang. Pasal 4 Huruf a Yang dimaksud dengan “proyek yang sama” adalah Properti yang berada pada area yang sama dan dibangun oleh pengembang yang sama. Huruf b Cukup jelas. Pasal 5 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “pihak terkait dengan Bank” adalah sebagaimana dimaksud pada ketentuan perbankan yang berlaku mengenai batas maksimum pemberian kredit. Huruf c Cukup jelas. Huruf ... - 3 - Huruf d Yang dimaksud dengan “asosiasi penilai independen” atau “asosiasi penilai publik” adalah asosiasi yang diakui oleh instansi yang berwenang mengatur kantor jasa penilai publik. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Penentuan urutan Kredit atau Pembiayaan dilakukan dengan menggabungkan seluruh Kredit dan Pembiayaan yang telah diperoleh debitur atau nasabah, baik berupa KP dan/atau KP Syariah di Bank yang sama maupun Bank lainnya berdasarkan urutan tanggal perjanjian Kredit atau akad Pembiayaan. Dalam hal terdapat tanggal perjanjian Kredit atau akad Pembiayaan yang sama maka penentuan urutan diawali dari Kredit atau Pembiayaan dengan nilai agunan paling rendah. Pasal 8 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan “rasio Kredit atau Pembiayaan bermasalah dari total Kredit atau Pembiayaan” adalah rasio antara jumlah Kredit atau Pembiayaan dengan kualitas kurang lancar, diragukan dan macet kepada pihak ketiga bukan Bank terhadap total Kredit atau Pembiayaan kepada pihak ketiga bukan Bank. Huruf b Yang dimaksud dengan “rasio KP atau KP Syariah bermasalah” adalah rasio antara jumlah Kredit atau Pembiayaan kepada sektor rumah tangga untuk kepemilikan perumahan dan jumlah Kredit atau Pembiayaan konsumsi lainnya yang beragun Properti dengan kualitas kurang lancar, diragukan dan ... - 4 - dan macet, terhadap total Kredit atau Pembiayaan pada sektor rumah tangga untuk kepemilikan perumahan dan jumlah Kredit atau Pembiayaan konsumsi lainnya yang beragun Properti. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Contoh penetapan Rasio LTV yang diserahkan kepada kebijakan Bank adalah Rasio LTV untuk KP Rumah Tapak dengan luas bangunan sampai dengan 21m2 (dua puluh satu meter persegi). Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Mengingat Kredit atau Pembiayaan tambahan (top up) diperlakukan sebagai Kredit atau Pembiayaan baru maka urutan dan besaran Rasio LTV dan/atau Rasio FTV mengikuti ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 atau Pasal 9. Huruf c Cukup jelas. Pasal 13 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Perlakuan terhadap Kredit atau Pembiayaan dengan mengambil alih (take over) Kredit atau Pembiayaan dari Bank lain yang disertai dengan Kredit atau Pembiayaan tambahan ... - 5 - tambahan (top up) disamakan dengan Kredit atau Pembiayaan tambahan (top up). Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Ayat (1) Yang dimaksud telah tersedia secara utuh yaitu telah terlihat wujud fisiknya sesuai yang diperjanjikan dan siap diserahterimakan. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Jaminan yang diberikan oleh pengembang kepada Bank dapat berupa aset tetap, aset bergerak, bank guarantee, standby letter of credit dan/atau dana yang dititipkan dan/atau disimpan dalam escrow account di Bank pemberi Kredit atau Pembiayaan. Nilai jaminan yang diberikan oleh pengembang paling kurang sebesar selisih antara komitmen Kredit atau Pembiayaan dengan pencairan yang telah dilakukan oleh Bank. Jaminan yang diberikan oleh pihak lain dapat berbentuk corporate guarantee, stand by letter of credit atau bank guarantee. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal ... - 6 - Pasal 19 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan “rasio Kredit atau Pembiayaan bermasalah dari total Kredit atau Pembiayaan” adalah rasio antara jumlah Kredit atau Pembiayaan dengan kualitas kurang lancar, diragukan dan macet kepada pihak ketiga bukan Bank terhadap total Kredit atau Pembiayaan kepada pihak ketiga bukan Bank. Huruf b Yang dimaksud dengan “rasio KKB atau KKB Syariah bermasalah” adalah rasio antara jumlah Kredit atau Pembiayaan untuk kepemilikan kendaraan bermotor pada sektor rumah tangga dengan kualitas kurang lancar, diragukan dan macet, terhadap total Kredit atau Pembiayaan pada sektor rumah tangga untuk kepemilikan kendaraan bermotor. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Pengenaan sanksi dihitung sebesar 1% (satu persen) dari plafon Kredit atau Pembiayaan Uang Muka atau plafon KP atau KP Syariah dari setiap debitur atau nasabah. Ayat ... - 7 - Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Pengenaan sanksi dihitung sebesar 1% (satu persen) per bulan dari plafon Kredit atau Pembiayaan dari setiap debitur atau nasabah. Dalam hal Kredit atau Pembiayaan yang melanggar ketentuan tersebut telah dilunasi pada periode pengenaan sanksi, maka pengenaan sanksi dilakukan sampai dengan satu periode sebelum pelunasan. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5706 "," PBI 17/10/PBI/2015 RASIO LOAN TO VALUE ATAU RASIO FINANCING TO VALUE UNTUK KREDIT ATAU PEMBIAYAAN PROPERTI DAN UANG MUKA UNTUK KREDIT ATAU PEMBIAYAAN KENDARAAN BERMOTOR 18 Juni 2015 18 Juni 2015 18 Juni 2015 '15/40/DKMP|SE-BI/2013' '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '6/UU/2009', '16/11/PBI/2014' 'BAB V' " " PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 1/11/PBI/1999 TENTANG FASILITAS KHUSUS DALAM RANGKA MENGATASI KESULITAN PENDANAAN JANGKA PENDEK BAGI BANK UMUM YANG DISEBABKAN MASALAH KOMPUTER TAHUN 2000 GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam menghadapi kemungkinan penarikan dana oleh nasabah penyimpan dana di bank dalam jumlah yang besar dan dalam waktu yang relatif bersamaan berkaitan dengan kekhawatiran terhadap masalah komputer dalam memasuki tahun 2000; b. bahwa dalam rangka membantu bank mengatasi kesulitan pendanaan yang disebabkan penarikan dana oleh nasabah, Bank Indonesia sebagai lender of the last resort dapat memberikan fasilitas pendanaan jangka pendek kepada Bank Umum; c. bahwa berhubung dengan hal-hal tersebut di atas dipandang perlu untuk mengatur ketentuan mengenai fasilitas khusus dalam rangka mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek bagi Bank Umum yang disebabkan masalah komputer tahun 2000 dalam Peraturan Bank Indonesia; Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3472) Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3790); 2. Undang-….. -2- 2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843); 3. Peraturan Bank Indonesia Nomor 1/1/PBI/1999 tanggal 18 Mei 1999 tentang Fasilitas Pendanaan Dalam Rangka Mengatasi Kesulitan Pendanaan Jangka Pendek Bagi Bank Umum (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 100, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3855); 4. Peraturan Bank Indonesia Nomor 1/3/PBI/1999 tanggal 13 Agustus 1999 tentang Penyelenggaraan Kliring Lokal dan Penyelesaian Akhir Transaksi Pembayaran Antar Bank Atas Hasil Kliring Lokal (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 139, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3873); 5. Peraturan Bank Indonesia Nomor 1/10/PBI/1999 tanggal 3 Desember 1999 tentang Portofolio Obligasi Pemerintah Bagi Bank Umum Peserta Program Rekapitalisasi (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 211, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3917); 6. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 30/89A/KEP/DIR tanggal 20 Oktober 1997 tentang Perubahan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 28/113/KEP/DIR tanggal 14 Desember 1995 tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum Pada Bank Indonesia Dalam Rupiah Dan Valuta Asing Sebagaimana Telah Diubah Terakhir Dengan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 30/86/KEP/DIR tanggal 7 Oktober 1997; 7. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/67/KEP/DIR tanggal 23 Juli 1998 tentang Penerbitan dan Perdagangan Sertifikat Bank Indonesia Serta Intervensi Rupiah. MEMUTUSKAN:….. -3- MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG FASILITAS KHUSUS DALAM RANGKA MENGATASI KESULITAN PENDANAAN JANGKA PENDEK BAGI BANK UMUM YANG DISEBABKAN MASALAH KOMPUTER TAHUN 2000. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Yang dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia ini dengan : 1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang- undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 yang melaksanakan kegiatan usaha perbankan konvensional; 2. Masalah Komputer Tahun 2000 atau yang selanjutnya disebut dengan MKT 2000 adalah kesalahan interpretasi data tahun 00 ketika sistem mencapai tahun 2000 sehingga dapat terjadi implikasi yang berakibat fatal antara lain kegagalan dan/atau kesalahan serta terhentinya pengoperasian sistem komputer dan terhapusnya data bank; 3. Kesulitan Pendanaan Jangka Pendek Dalam Rangka MKT 2000 adalah kesulitan likuiditas Bank yang disebabkan oleh penarikan dana nasabah pada saat diberlakukannya PBI ini; 4. Saldo Giro Negatif adalah saldo rekening giro Rupiah Bank pada Bank Indonesia yang mewilayahi kliring lokal Bank yang menunjukkan angka negatif pada saat Bank Indonesia menutup sistem akunting; 5. Fasilitas Khusus Dalam Rangka MKT 2000 atau yang selanjutnya disebut dengan Fasilitas Khusus adalah penyediaan pendanaan khusus dalam Rupiah dari Bank Indonesia kepada Bank untuk mengatasi Kesulitan Pendanaan Jangka Pendek Dalam Rangka MKT 2000; 6. Sertifikat….. -4- 6. Sertifikat Bank Indonesia yang selanjutnya disebut dengan SBI adalah surat berharga atas unjuk dalam Rupiah yang diterbitkan Bank Indonesia sebagai pengakuan hutang berjangka waktu pendek dengan sistem diskonto; 7. Repurchase Agreement atau jual beli bersyarat yang selanjutnya disebut dengan Repo adalah transaksi jual beli surat berharga yang mewajibkan penjual untuk membeli kembali surat berharga tersebut sesuai dengan jangka waktu yang diperjanjikan; 8. Outright atau jual lepas adalah transaksi jual beli surat berharga sebelum surat berharga tersebut jatuh waktu; 9. Fasilitas Kredit adalah penyediaan plafon pendanaan dari Bank Indonesia kepada Bank dengan agunan Obligasi Pemerintah, yang digunakan untuk mengatasi Kesulitan Pendanaan Jangka Pendek Dalam Rangka MKT 2000; 10. Penarikan Kredit adalah pencairan dana dari Fasilitas Kredit; 11. Surat Utang Pemerintah yang selanjutnya disebut dengan Obligasi Pemerintah adalah Surat Utang Negara Republik Indonesia dalam mata uang Rupiah yang diterbitkan oleh Pemerintah dalam rangka Program Rekapitalisasi Bank Umum; 12. Giro Wajib Minimum (statutory reserve) atau yang selanjutnya disebut dengan GWM adalah simpanan minimum yang harus dipelihara oleh Bank dalam bentuk saldo giro pada Bank Indonesia yang besarnya ditetapkan oleh Bank Indonesia sebesar persentase tertentu dari dana pihak ketiga Bank; 13. Jakarta Inter Bank Offered Rate Over Night atau yang selanjutnya disebut dengan JIBOR O/N adalah suku bunga rata-rata dalam Rupiah jangka waktu 1 (satu) hari yang ditawarkan oleh bank-bank tertentu di Jakarta. Pasal 2 ….. -5- Pasal 2 (1) Bank yang mengalami Kesulitan Pendanaan Jangka Pendek Dalam Rangka MKT 2000 dapat memperoleh Fasilitas Khusus dari Bank Indonesia berupa: a. Penjualan SBI secara Repo; dan/atau b. Penjualan SBI secara Outright; dan/atau c. Penarikan Kredit dengan agunan Obligasi Pemerintah; dengan memenuhi persyaratan dan tata cara sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini. (2) Bank yang mengajukan Fasilitas Khusus wajib terlebih dahulu melakukan penjualan SBI secara Repo atau Outright, sebelum melakukan Penarikan Kredit. (3) Sisa jangka waktu SBI yang dijual secara Repo sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a di atas sekurang-kurangnya 3 (tiga) hari lebih panjang dari jangka waktu Fasilitas Khusus yang diperoleh. (4) Sisa jangka waktu SBI yang dijual secara Outright sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b di atas sekurang-kurangnya 1 (satu) hari. Pasal 3 Fasilitas Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) berlaku dari tanggal 22 Desember 1999 sampai dengan 17 Januari 2000. Pasal 4 (1) Selama periode berlakunya Fasilitas Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, maka: a. Bank dapat mengajukan permohonan agar Kas Bank (cash in vault) dalam Rupiah diperhitungkan sebagai komponen GWM dalam Rupiah; b. Sanksi ….. -6- b. Sanksi atas pelanggaran GWM dalam Rupiah yang berupa kewajiban membayar diturunkan dari 125% (seratus dua puluh lima per seratus) dari JIBOR O/N menjadi JIBOR O/N ditambah 100 basis points; c. Sanksi pembinaan tidak dikenakan atas pelanggaran GWM dalam Rupiah. (2) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a disampaikan kepada: a. Direktorat Pengawasan Bank terkait, Bank Indonesia, Jl. M.H. Thamrin No.2, Jakarta, bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah kliring lokal Jakarta, dengan tembusan kepada Direktorat Teknologi Informasi; b. Kantor Bank Indonesia setempat, bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah kliring lokal Jakarta, dengan tembusan kepada Direktorat Teknologi Informasi dan Direktorat Pengawasan Bank terkait; disertai dengan laporan posisi kas konsolidasi dalam Rupiah pada 1 (satu) hari kerja sebelum tanggal permohonan. (3) Bank yang telah mengajukan permohonan, setiap hari wajib menyerahkan laporan posisi kas konsolidasi pada 1 (satu) hari kerja sebelumnya selama berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini kepada Bank Indonesia dengan alamat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) selambat- lambatnya pukul 10.00 waktu setempat. BAB II PERSYARATAN DAN TATA CARA PENJUALAN SBI SECARA REPO ATAU OUTRIGHT Pasal 5 (1) Bank yang mengalami Kesulitan Pendanaan Jangka Pendek Dalam Rangka MKT 2000 dapat menjual seluruh SBI yang dimilikinya kepada Bank Indonesia baik secara Repo maupun Outright. (2) Tingkat ….. -7- (2) Tingkat diskonto SBI yang dijual secara Repo atau Outright ditetapkan sebesar rata-rata tertimbang tingkat diskonto SBI lelang jangka waktu 1 (satu) bulan yang tercatat dalam lelang terakhir ditambah 100 (seratus) basis points. (3) Perhitungan diskonto menggunakan rumus diskonto murni (true discount) sebagai berikut: Nilai Diskonto = nilai nominal - nilai tunai (nilai nominal) x 360 Nilai Tunai = ----------------------------------------------------- 360 + (tingkat diskonto x jangka waktu) Pasal 6 (1) Bank mengajukan permohonan penjualan SBI secara Repo atau Outright kepada Bank Indonesia dari pukul 09.00 sampai dengan 18.00 waktu setempat melalui Reuters Monitoring Dealing System (RMDS) atau telepon atau faksimili yang ditegaskan dengan telepon yang disampaikan kepada: a. Bagian Operasi Pasar Uang, Direktorat Pengelolaan Moneter, Bank Indonesia, Jl. M.H. Thamrin No.2, Jakarta, bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah kliring lokal Jakarta, dengan tembusan kepada Direktorat Pengawasan Bank terkait; b. Kantor Bank Indonesia setempat, bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah kliring lokal Jakarta, dengan tembusan kepada Direktorat Pengelolaan Moneter dan Direktorat Pengawasan Bank terkait. (2) Permohonan penjualan SBI secara Repo atau Outright wajib ditegaskan secara tertulis dengan Surat Permohonan Penjualan SBI secara Repo atau Outright (SPPS-Repo atau SPPS-Outright) yang ditandatangani sekurang- kurangnya oleh 2 (dua) anggota Direksi Bank sebagaimana contoh dalam Lampiran 1 dan 2 disertai asli SBI atau Bilyet Depot Simpanan (BDS) SBI. (3) Bank ….. -8- (3) Bank Indonesia menyampaikan persetujuan atau penolakan atas permohonan penjualan SBI secara Repo atau Outright kepada Bank melalui RMDS atau faksimili atau telepon yang ditegaskan dengan faksimili. (4) Bank menyampaikan SPPS-Repo atau SPPS-Outright serta asli SBI atau BDS-SBI kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya pukul 19.00 waktu setempat pada hari transaksi. (5) Dalam hal terjadi keterlambatan penyampaian SPPS-Repo atau SPPS- Outright serta asli SBI atau BDS-SBI oleh Bank kepada Bank Indonesia, maka permohonan penjualan SBI secara Repo atau Outright dinyatakan batal. (6) Dalam hal permohonan disetujui, pengkreditan rekening giro Bank di Bank Indonesia dilakukan setelah Bank menyerahkan SPPS-Repo atau SPPS-Outright serta asli SBI atau BDS SBI kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) di atas. BAB III PERSYARATAN DAN TATA CARA MEMPEROLEH FASILITAS KREDIT DAN PENARIKAN KREDIT Pasal 7 Bank hanya dapat melakukan Penarikan Kredit apabila telah memiliki Fasilitas Kredit. Pasal 8 (1) Bank dapat memperoleh Fasilitas Kredit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dengan mengajukan permohonan secara tertulis kepada Bank Indonesia sebagaimana contoh dalam Lampiran 3 dan menandatangani perjanjian ….. -9- perjanjian penyediaan Fasilitas Kredit serta pengikatan agunan secara gadai. (2) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) di atas ditandatangani sekurang-kurangnya oleh 2 (dua) anggota Direksi Bank dan diketahui sekurang-kurangnya oleh 2 (dua) anggota Dewan Komisaris Bank, disertai dengan surat permohonan penerbitan Surat Keterangan Obligasi Dijaminkan (SKOD), dan fotokopi Konfirmasi Pencatatan Obligasi (KPO), dan disampaikan kepada: a. Direktorat Pengelolaan Moneter, Bank Indonesia, Jl. M.H. Thamrin No.2, Jakarta, bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah kliring lokal Jakarta, dengan tembusan kepada Direktorat Pengawasan Bank terkait; b. Kantor Bank Indonesia setempat, bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah kliring lokal Jakarta, dengan tembusan kepada Direktorat Pengelolaan Moneter dan Direktorat Pengawasan Bank terkait. (3) Agunan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 berupa Obligasi Pemerintah dengan jumlah maksimum sebesar 10% (sepuluh per seratus) dari Obligasi Pemerintah yang dimiliki Bank dan jumlah maksimum ini termasuk Obligasi Pemerintah yang diagunkan kepada pihak ketiga. (4) Agunan yang telah diagunkan kepada pihak ketiga tidak dapat diagunkan kepada Bank Indonesia. (5) Jumlah Fasilitas Kredit yang dapat diberikan oleh Bank Indonesia adalah sebesar 75% (tujuhpuluh lima per seratus) dari nilai nominal Obligasi Pemerintah yang diserahkan oleh Bank, dengan memperhatikan ketentuan dalam ayat (3). Pasal 9 (1) Bank yang mengalami Kesulitan Pendanaan Jangka Pendek Dalam Rangka MKT 2000 dapat mengajukan permohonan Penarikan Kredit maksimum ….. -10- maksimum sebesar perkiraan Saldo Giro Negatif Bank yang dihitung oleh Bank (self assessment), dan tidak melebihi Fasilitas Kredit yang tersedia. (2) Perkiraan Saldo Giro Negatif Bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) di atas bukan disebabkan oleh penarikan dana oleh nasabah yang termasuk dalam pihak terkait. (3) Bank mengajukan permohonan Penarikan Kredit kepada Bank Indonesia dari pukul 09.00 sampai dengan 18.00 waktu setempat melalui RMDS atau telepon atau faksimili yang ditegaskan dengan telepon yang disampaikan kepada: a. Bagian Operasi Pasar Uang, Direktorat Pengelolaan Moneter, Bank Indonesia, Jl. M.H. Thamrin No.2, Jakarta, bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah kliring lokal Jakarta, dengan tembusan kepada Direktorat Pengawasan Bank terkait; b. Kantor Bank Indonesia setempat, bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah kliring lokal Jakarta, dengan tembusan kepada Direktorat Pengelolaan Moneter dan Direktorat Pengawasan Bank terkait. (4) Permohonan Penarikan Kredit wajib ditegaskan secara tertulis dengan Surat Permohonan Penarikan Kredit yang ditandatangani sekurang- kurangnya oleh 2 (dua) anggota Direksi Bank dan diketahui sekurang- kurangnya oleh 2 (dua) anggota Dewan Komisaris Bank sebagaimana contoh dalam Lampiran 4. (5) Bank Indonesia menyampaikan persetujuan atau penolakan permohonan Penarikan Kredit kepada Bank melalui RMDS atau faksimili atau telepon yang ditegaskan dengan faksimili. (6) Bank menyampaikan surat permohonan Penarikan Kredit kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya pukul 19.00 waktu setempat pada hari transaksi. (7) Dalam ….. -11- (7) Dalam hal terjadi keterlambatan penyampaian surat permohonan Penarikan Kredit sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) di atas, maka permohonan Penarikan Kredit dinyatakan batal. (8) Penarikan Kredit dikenakan diskonto sebesar 125% (seratus dua puluh lima per seratus) dari rata-rata tertimbang tingkat diskonto SBI lelang 1 (satu) bulan yang tercatat dalam lelang terakhir SBI. (9) Perhitungan diskonto sebagaimana dimaksud dalam ayat (8) menggunakan rumus diskonto murni (true discount) sebagai berikut: Nilai Diskonto = nilai nominal - nilai tunai (nilai nominal) x 360 Nilai Tunai = -------------------------------------------------------- 360 + (tingkat diskonto x jangka waktu) (10) Dalam hal permohonan disetujui, pengkreditan rekening giro Bank di Bank Indonesia dilakukan setelah Bank menyerahkan Surat Permohonan Penarikan Kredit kepada Bank Indonesia. BAB IV PELUNASAN Pasal 10 (1) Pada saat Repo atau Penarikan Kredit jatuh waktu, Bank Indonesia akan mendebet rekening giro Bank yang bersangkutan di Bank Indonesia. (2) Bank Indonesia akan mengembalikan asli SBI atau BDS-SBI kepada Bank apabila transaksi penjualan SBI secara Repo telah dilunasi. (3) Dalam hal saldo giro Bank yang bersangkutan di Bank Indonesia tidak mencukupi atau tidak ada dananya pada saat jatuh waktu, maka berlaku ketentuan sebagai berikut: a. untuk pelunasan SBI secara Repo: 1) sepanjang….. -12- 1) sepanjang periode ketentuan ini belum berakhir, maka Bank dapat memperpanjang jangka waktu penjualan SBI secara Repo sepanjang sisa jangka waktu SBI masih mencukupi, atau menjual SBI secara Outright apabila jangka waktu tidak mencukupi, dengan tata cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6; 2) pada akhir periode ketentuan ini, maka rekening giro Bank yang bersangkutan di Bank Indonesia akan didebet. b. untuk pelunasan Penarikan Kredit: 1) sepanjang periode ketentuan ini belum berakhir, maka Bank dapat memperpanjang jangka waktu Penarikan Kredit dengan persyaratan dan tata cara sebagaimana diatur dalam Pasal 9; 2) pada akhir periode ketentuan ini, maka rekening giro Bank yang bersangkutan di Bank Indonesia akan didebet. (4) Apabila saldo giro Bank di Bank Indonesia mengalami saldo negatif sebagai akibat pendebetan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) butir a. 2) dan b.2), Bank dapat memanfaatkan Fasilitas Pendanaan Dalam Rangka Mengatasi Kesulitan Pendanaan Jangka Pendek Bagi Bank Umum sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 1/1/PBI/1999 tanggal 18 Mei 1999. BAB V PENGAWASAN Pasal 11 Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan khusus terhadap Bank yang telah menerima Fasilitas Khusus. BAB VI ….. -13- BAB VI SANKSI Pasal 12 (1) Apabila saldo awal giro Bank di Bank Indonesia pada 1 (satu) hari kerja berikutnya setelah Penarikan Kredit diberikan tidak menunjukkan angka negatif, Bank akan dikenakan sanksi dengan ketentuan sebagai berikut: a. apabila kelebihan saldo dimaksud lebih kecil dari Penarikan Kredit yang diterima, Bank akan didebet sebesar kelebihan saldo giro Bank yang bersangkutan di Bank Indonesia dari saldo nihil, atau b. apabila saldo giro Bank yang bersangkutan di Bank Indonesia lebih besar dari Penarikan Kredit, Bank akan didebet sebesar Penarikan Kredit yang diterima. (2) Sehubungan dengan pendebetan kembali sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Bank dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar 100 basis points di atas diskonto Penarikan Kredit sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (8). (3) Apabila dalam pemeriksaan khusus ditemukan adanya penyimpangan penggunaan Penarikan Kredit, maka Bank dikenakan: a. dalam hal Penarikan Kredit belum jatuh waktu, berupa: 1) pendebetan kembali Penarikan Kredit yang diterima, dan 2) kewajiban membayar sebesar 150% (seratus lima puluh per seratus) dari rata-rata tertimbang suku bunga Pasar Uang Antar Bank yang terjadi pada pagi dan sore hari untuk jangka waktu 1 (satu) hari pada hari Penarikan Kredit; b. dalam hal Penarikan Kredit telah jatuh waktu atau telah berakhirnya ketentuan ini, berupa kewajiban membayar sebagaimana dimaksud dalam ….. -14- dalam huruf a butir 2) di atas yang dihitung selama periode Penarikan Kredit; dan c. sanksi administratif sebagaimana diatur dalam Pasal 52 ayat (2) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998. (4) Pengenaan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf a dihitung sejak tanggal Penarikan Kredit sampai dengan tanggal pendebetan kembali Penarikan Kredit. BAB VII KETENTUAN PENUTUP Pasal 13 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal 22 Desember 1999. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 22 Desember 1999 GUBERNUR BANK INDONESIA ANWAR NASUTION Deputi Gubernur Senior LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1999 NOMOR 221 DPM -15- PENJELASAN PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 1/11/PBI/1999 TENTANG FASILITAS KHUSUS PENDANAAN DALAM RANGKA MENGATASI KESULITAN PENDANAAN JANGKA PENDEK BAGI BANK UMUM YANG DISEBABKAN MASALAH KOMPUTER TAHUN 2000 I. UMUM Dalam menghadapi tahun 2000, dikhawatirkan terdapat permasalahan pengoperasian sistem komputer akibat kesalahan interpretasi data oleh sistem komputer karena pergantian tahun 1999 menjadi tahun 2000. Hal tersebut dapat berakibat terhadap kegagalan atau kesalahan bahkan berhentinya pengoperasian sistem komputer serta terhapusnya data bank. Sehubungan dengan permasalahan tersebut nasabah penyimpan dana pada Bank diperkirakan akan menarik dana dalam jumlah yang besar dan dalam waktu yang relatif bersamaan sehingga Bank dapat mengalami kesulitan penyediaan dana/likuiditas dalam jumlah cukup dan waktu yang relatif cepat. Berdasarkan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, Bank Indonesia dalam fungsinya sebagai lender of the last resort dapat memberikan kredit kepada Bank untuk mengatasi Kesulitan Pendanaan Jangka Pendek agar kelangsungan kegiatan usaha Bank dan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga perbankan serta kelancaran sistem pembayaran dapat terpelihara. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2….. -16- Pasal 2 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 5 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2)….. -17- Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 6 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3)….. -18- Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 9 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan pihak terkait adalah nasabah penyimpan dana di Bank yang bersangkutan yang mempunyai keterkaitan dengan Bank sebagaimana dimaksud Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/177/KEP/DIR tanggal 31 Desember 1998 tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Umum. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8)….. -19- Ayat (8) Cukup jelas. Ayat (9) Cukup jelas. Ayat (10) Cukup jelas. Pasal 10 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 11 Pemeriksaan Khusus terhadap Bank yang menerima Fasilitas Khusus dapat dilakukan pada periode diterimanya Fasilitas Khusus atau setelah jatuh waktu Fasilitas Khusus. Pasal 12 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3)….. -20- Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3919 DPM -21- Lampiran Peraturan Bank Indonesia Nomor : 1/11/PBI/1999 tanggal 22 Desember 1999 Lampiran 1 Kepada *) Bank Indonesia c.q. Bagian Operasi Pasar Uang Direktorat Pengelolaan Moneter Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10110 Perihal : Penjualan SBI Secara Repo --------------------------------- Menunjuk Peraturan Bank Indonesia Nomor 1/ 11 /PBI/1999 tanggal 22 Desember 1999, dengan ini kami mengajukan permohonan penjualan SBI secara Repo/perpanjangan penjualan SBI secara Repo**) sebagai berikut : Tanggal Penjualan Repo Jangka Waktu Repo Tanggal Jatuh Waktu Repo Nama Bank Nomor Rekening pada BI Jumlah Penjualan Selama jangka waktu penjualan Repo, maka SBI atau BDS-SBI kami serahkan dan menjadi milik Bank Indonesia. Demikian Permohonan kami. ….…..., ........ (tempat, tanggal) Direksi (Nama Bank…..) ttd Meterai ------------- ------------- (Direktur 1) (Direktur 2) : : : Jumlah Penjualan (Juta Rp) Nomor SBI Atau BDS-SBI -22- cc. Direktorat Pengawasan Bank terkait, Bank Indonesia. *) Bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah kliring Jakarta, permohonan disampaikan kepada Kantor Bank Indonesia setempat, dengan tembusan kepada Direktorat Pengelolaan Monter dan Direktorat Pengawasan Bank terkait. **) coret yang tidak perlu. -23- Lampiran Peraturan Bank Indonesia Nomor : 1/11/PBI/1999 tanggal 22 Desember 1999 Lampiran 2 Kepada *) Bank Indonesia c.q. Bagian Operasi Pasar Uang Direktorat Pengelolaan Moneter Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10110 Perihal : Penjualan SBI Secara Outright ------------------------------------- Menunjuk Peraturan Bank Indonesia Nomor 1/ 11 /PBI/1999 tanggal 22 Desember 1999, dengan ini kami mengajukan permohonan penjualan SBI secara Outright sebagai berikut: Tanggal Penjualan Outright Sisa Jangka Waktu SBI Nama Bank Nomor Rekening pada BI Jumlah Penjualan Sehubungan dengan penjualan Outright, maka SBI atau BDS-SBI kami serahkan dan menjadi milik Bank Indonesia. Demikian permohonan kami. ….…..., ........ (tempat, tanggal) Direksi (Nama Bank…..) ttd Meterai ------------- ------------- : : Jumlah Penjualan (Juta Rp) Nomor SBI Atau BDS-SBI -24- (Direktur 1) (Direktur 2) cc. Direktorat Pengawasan Bank terkait, Bank Indonesia. *) Bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah kliring Jakarta, permohonan disampaikan kepada Kantor Bank Indonesia setempat, dengan tembusan kepada Direktorat Pengelolaan Moneter dan Direktorat Pengawasan Bank terkait. -25- Lampiran Peraturan Bank Indonesia Nomor : 1/11/PBI /1999 tanggal 22 Desember 1999 Lampiran 3 Kepada *) Bank Indonesia c.q. Direktorat Pengelolaan Moneter Jl. MH. Thamrin No. 2 Jakarta, 10110 Perihal : Permohonan Untuk Mendapatkan Fasilitas Kredit ------------------------------------------------------------ Menunjuk Peraturan Bank Indonesia Nomor 1/ 11 /PBI/1999 tanggal 22 Desember 1999, dengan ini kami mengajukan permohonan untuk mendapatkan Fasilitas Kredit sebesar Rp. … … … ( … … … … ) untuk jangka waktu dari ………… sampai dengan ………….. Dalam kaitan ini, terlampir kami sampaikan surat permohonan penerbitan Surat Keterangan Obligasi Dijaminkan (SKOD) dan fotokopi Konfirmasi Pencatatan Obligasi (KPO). Data tersebut kami sampaikan dengan sebenarnya. Apabila di kemudian hari terbukti data tersebut di atas tidak benar, kami bersedia untuk mempertanggung-jawabkannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam hal surat berharga jatuh waktu, Saudara dapat langsung mengurangi Fasilitas Kredit yang disediakan bagi Bank kami sebesar nilai tunai surat berharga dimaksud. Demikian permohonan kami. Komisaris (Nama Bank….) ttd ---------------- ---------------- ….…..., ........ (tempat, tanggal) Direksi (Nama Bank…..) ttd Meterai ------------- ------------- -26- (Komisaris 1) (Komisaris 2) cc. Direktorat Pengawasan Bank terkait, Bank Indonesia *) Bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah kliring Jakarta, permohonan disampaikan kepada Kantor Bank Indonesia setempat, dengan tembusan kepada Direktorat Pengelolaan Moneter dan Direktorat Pengawasan Bank terkait. (Direktur 1) (Direktur 2) -27- Lampiran Peraturan Bank Indonesia Nomor : 1/11/PBI/1999 tanggal 22 Desember 1999 Lampiran 4 Kepada *) Bank Indonesia c.q. Bagian Operasi Pasar Uang Direktorat Pengelolaan Moneter Jl. MH. Thamrin No. 2 Jakarta, 10110 Perihal : Permohonan Penarikan Kredit/Permohonan Perpanjangan Penarikan Kredit **) ------------------------------------------------------------------------------- Menunjuk Peraturan Bank Indonesia Nomor 1/ 11 /PBI/1999 tanggal 22 Desember 1999 dan Perjanjian Penyediaan Fasilitas Kredit No. ……….. tanggal …………, dengan ini kami mengajukan permohonan untuk melakukan Penarikan Kredit/Perpanjangan Penarikan Kredit **) guna menutup perkiraan saldo giro negatif kami di Bank Indonesia pada hari ini tanggal ……………, sebesar Rp. … … … ( … … … … ) untuk jangka waktu … ….dari tanggal ……… sampai dengan ……… Dengan ini pula kami menyatakan bahwa kami tidak memiliki SBI atau SBI yang kami miliki senilai Rp …………(….) telah kami jual kepada Bank Indonesia secara Repo/Outright. Demikian permohonan kami. Komisaris (Nama Bank….) ttd ---------------- ---------------- (Komisaris 1) (Komisaris 2) ….…..., ........ (tempat, tanggal) Direksi (Nama Bank…..) ttd Meterai ------------- ------------- (Direktur 1) (Direktur 2) -28- cc. Direktorat Pengawasan Bank terkait, Bank Indonesia *) Bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah kliring Jakarta, permohonan disampaikan kepada Kantor Bank Indonesia setempat, dengan tembusan kepada Direktorat Pengelolaan Moneter dan Direktorat Pengawasan Bank terkait. **) coret yang tidak perlu. "," PBI 1/11/PBI/1999 FASILITAS KHUSUS DALAM RANGKA MENGATASI KESULITAN PENDANAAN JANGKA PENDEK BAGI BANK UMUM YANG DISEBABKAN MASALAH KOMPUTER TAHUN 2000 22 Desember 1999 22 Desember 1999 '1/3/PBI/1999', '31/67/KEP/DIR|SKDIR-BI/1998', '1/10/PBI/1999', '23/UU/1999', '30/89A/KEP/DIR|SKDIR-BI/1997', '30/86/KEP/DIR', '28/113/KEP/DIR|SKDIR-BI/1995', '7/UU/1992', '10/UU/1998', '1/1/PBI/1999' 'BAB VI' " " PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 21/6/PBI/2019 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 20/5/PBI/2018 TENTANG OPERASI MONETER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk memperkuat kerangka operasi moneter, Bank Indonesia menerbitkan Sukuk Bank Indonesia sebagai salah satu instrumen operasi moneter berdasarkan prinsip syariah; b. bahwa untuk mendukung pelaksanaan Sukuk Bank Indonesia perlu dilakukan perluasan underlying asset berupa sukuk global yang dimiliki Bank Indonesia; c. bahwa pelaksanaan operasi moneter berdasarkan prinsip syariah secara terus menerus disempurnakan untuk memperkuat dasar transaksi operasi moneter sehingga perlu ada penyempurnaan akad; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/5/PBI/2018 tentang Operasi Moneter; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun -2- 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3844); 3. Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/5/PBI/2018 tentang Operasi Moneter (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6198) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/14/PBI/2018 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/5/PBI/2018 tentang Operasi Moneter (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 247, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6278); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 20/5/PBI/2018 TENTANG OPERASI MONETER. Pasal I Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/5/PBI/2018 tentang Operasi Moneter (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6198) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan -3- Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/14/PBI/2018 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/5/PBI/2018 tentang Operasi Moneter (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 247, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6278) diubah sebagai berikut: 1. Ketentuan ayat (3) Pasal 31 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 31 (1) Penempatan dana rupiah (deposit facility) dalam Standing Facilities Syariah dilakukan dengan mekanisme Bank Indonesia menerima penempatan dana rupiah dari peserta Standing Facilities Syariah tanpa menerbitkan surat berharga. (2) Penempatan dana rupiah (deposit facility) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) salah satunya dilakukan dalam bentuk Fasilitas Simpanan Bank Indonesia Syariah (FASBIS). (3) Penempatan dana rupiah (deposit facility) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menggunakan akad ju’alah. (4) Dalam hal terdapat perubahan akad sebagaimana dimaksud pada ayat (3), perubahan tersebut ditetapkan dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. 2. Ketentuan huruf a Pasal 45B diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 45B SukBI memiliki karakteristik sebagai berikut: a. menggunakan underlying asset berupa SBSN dan/atau sukuk global; b. berjangka waktu paling singkat 1 (satu) hari dan paling lama 12 (dua belas) bulan yang dinyatakan -4- dalam jumlah hari kalender, yang dihitung sejak 1 (satu) hari setelah tanggal penyelesaian transaksi sampai dengan tanggal jatuh waktu; c. diterbitkan tanpa warkat (scripless); d. dapat diagunkan kepada Bank Indonesia; e. hanya dapat dibeli oleh BUS dan UUS di pasar perdana; f. dapat diperdagangkan (tradable) di pasar sekunder; dan g. hanya dapat dimiliki oleh Bank. Pasal II Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. -5- Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 26 April 2019 GUBERNUR BANK INDONESIA, TTD PERRY WARJIYO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 29 April 2019 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, TTD YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2019 NOMOR 82 PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 21/6/PBI/2019 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 20/5/PBI/2018 TENTANG OPERASI MONETER I. UMUM Untuk memperkuat kerangka Operasi Moneter, Bank Indonesia menerbitkan Sukuk Bank Indonesia sebagai salah satu instrumen Operasi Moneter berdasarkan prinsip syariah. Guna mendukung pelaksanaan Operasi Moneter berdasarkan prinsip syariah, perlu dilakukan perluasan underlying asset bukan hanya menggunakan SBSN namun juga dengan memasukkan sukuk global yang dimiliki oleh Bank Indonesia sebagai underlying asset Sukuk Bank Indonesia. Di samping itu, pelaksanaan operasi moneter berdasarkan prinsip syariah secara terus menerus disempurnakan untuk memperkuat dasar transaksi operasi moneter sehingga ada penyempurnaan terhadap akad Fasilitas Simpanan Bank Indonesia Syariah (FASBIS) yang semula menggunakan akad wadi’ah menjadi ju’alah sesuai dengan opini dari Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI). Sehubungan dengan itu, perlu dilakukan perubahan ketiga atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/5/PBI/2018 tentang Operasi Moneter. -2- II. PASAL DEMI PASAL Pasal I Angka 1 Pasal 31 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “akad ju’alah” adalah janji atau komitmen (iltizam) untuk memberikan imbalan tertentu (‘iwadh/ju’l) atas pencapaian hasil (natijah) yang ditentukan dari suatu pekerjaan. Ayat (4) Cukup jelas. Angka 2 Pasal 45B Huruf a Yang dimaksud dengan “sukuk global” adalah sukuk dalam valuta asing yang lazim diperdagangkan dalam pasar keuangan internasional yang diterbitkan oleh antara lain pemerintah, lembaga pemerintah, lembaga supranasional, entitas, atau korporasi. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan “tanpa warkat (scripless)” adalah diterbitkan tanpa adanya fisik SukBI dan bukti kepemilikan bagi pemegang SukBI berupa pencatatan elektronis. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. -3- Huruf f SukBI dapat diperdagangkan antar-Bank di pasar sekunder antara lain secara outright, repo, atau dijadikan agunan. Huruf g Cukup jelas. Pasal II Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6341 "," PBI 21/6/PBI/2019 PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 20/5/PBI/2018 TENTANG OPERASI MONETER 26 April 2019 29 April 2019 29 April 2019 '20/5/PBI/2018' '20/14/PBI/2018' '6/UU/2009', '23/UU/1999', '20/14/PBI/2018', '2/PERPPU/2008', '20/5/PBI/2018', '24/UU/1999' " " PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 3/16/PBI/2001 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 3/1/PBI/2001 TENTANG PROYEK KREDIT MIKRO GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. Bahwa batas waktu pelaksanaan Proyek Kredit Mikro sebagaimana diatur dalam Pasal 6 Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/1/PBI/2001 tentang Proyek Kredit Mikro telah berakhir pada tanggal 30 Juni 2001; b. Bahwa dengan memperhatikan kondisi ekonomi yang masih memerlukan bantuan, jumlah rakyat miskin yang terus meningkat, masih perlunya penguatan terhadap Lembaga- lembaga Keuangan Perdesaan untuk kesinambungan usaha mikro dan masih tingginya kebutuhan akan kredit mikro, sehingga dirasa perlu untuk memperpanjang masa pengelolaan dan menyempurnakan ketentuan pelaksanaan Proyek Kredit Mikro; c. Bahwa Asian Development Bank dan Pemerintah telah sepakat mengenai perpanjangan masa pengelolaan Proyek Kredit Mikro oleh Bank Indonesia menjadi sampai dengan 31 Desember 2001; d. Bahwa ….. - 2 - d. Bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas, dipandang perlu mengubah kembali Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/1/PBI/2001 tentang Proyek Kredit Mikro sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/8/PBI/2001 tentang Perubahan Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/1/PBI/2001 tentang Proyek Kredit Mikro; Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843); 2. Undang-undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 3/1/PBI/2001 TENTANG PROYEK KREDIT MIKRO. Pasal ….. - 3 - Pasal I Mengubah ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/1/PBI/2001 tentang Proyek Kredit Mikro sebagai berikut : 1. Ketentuan Pasal 6 diubah, sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut : “Pasal 6 (1) Jangka waktu pelaksanaan kegiatan PKM adalah tanggal 21 Juli 1995 sampai dengan tanggal 31 Desember 2001. (2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) di atas dapat ditinjau kembali berdasarkan kesepakatan antara Pemerintah Republik Indonesia dan ADB.” 2. Ketentuan Pasal 19 diubah dan ditambah 1 ayat, sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut: “Pasal 19 (1) Realisasi penyaluran kredit dari BPR kepada nasabah pengusaha mikro setiap bulannya minimum 10% (sepuluh per seratus) dari jumlah pinjaman untuk nasabah pengusaha mikro yang telah ditarik dari BI, dan harus direalisasikan seluruhnya selambat-lambatnya 10 (sepuluh) bulan terhitung sejak tanggal pelimpahan dari BI kepada BPR. (2) Dalam hal pada bulan tertentu realisasi penyaluran kredit dari BPR kepada nasabah pengusaha mikro sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) lebih besar dari 10% (sepuluh per seratus), maka kelebihan tersebut dapat diperhitungkan … - 4 - diperhitungkan untuk menutup kekurangan pencapaian realisasi penyaluran kredit pada bulan-bulan berikutnya dengan ketentuan rata-rata realisasi penyaluran kredit setiap bulan sejak pelimpahan dana dari BI sampai dengan bulan berjalan minimal 10% (sepuluh per seratus) dari dana yang dilimpahkan. (3) Realisasi pembelian komputer dan atau sepeda motor oleh BPR dilakukan selambat-lambatnya 1 (satu) bulan setelah tanggal pelimpahan dari BI kepada BPR. (4) Realisasi pembelian komputer dan atau sepeda motor oleh LPSM dilakukan selambat-lambatnya 1 (satu) bulan setelah tanggal pelimpahan dari BI kepada BPD.” 3. Ketentuan Pasal 23 diubah dan ditambah 1 ayat, sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut: “Pasal 23 (1) Dalam hal pada tanggal jatuh tempo pembayaran angsuran pokok dan bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 saldo rekening BPD atau BPR tidak mencukupi, maka berlaku ketentuan sebagai berikut: a. Untuk BPD akan dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar rata- rata suku bunga deposito rupiah berjangka 3 (tiga) bulan selama 1 (satu) bulan terakhir yang berlaku di bank yang bersangkutan, terhitung 1 (satu) hari setelah batas akhir pembayaran angsuran pokok dan bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 sampai dengan tanggal pembayaran tersebut, yang dihitung dari jumlah angsuran pokok dan bunga yang seharusnya dibayar; b. Untuk … - 5 - b. Untuk BPR akan dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar rata- rata suku bunga deposito rupiah berjangka 3 (tiga) bulan selama 1 (satu) bulan terakhir yang berlaku di Bank Umum, terhitung 1 (satu) hari setelah batas akhir pembayaran angsuran pokok dan bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 sampai dengan tanggal pembayaran tersebut, yang dihitung dari jumlah angsuran pokok dan bunga yang seharusnya dibayar. (2) Dalam hal selama 3 (tiga) kali berturut-turut BPD atau BPR tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, maka keikutsertaan BPD atau BPR dihentikan terhitung 1 (satu) hari setelah batas akhir pembayaran angsuran pokok dan bunga. (3) Dalam hal keikutsertaan BPD atau BPR dihentikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka paling lambat 1 (satu) bulan sejak dinyatakan berhenti bank yang bersangkutan wajib untuk mengembalikan pokok kredit dan bunga yang terhutang. (4) Dalam hal terjadi keterlambatan penyaluran kredit oleh BPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2), maka kepada BPD akan dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar rata-rata suku bunga deposito rupiah berjangka 3 (tiga) bulan selama 1 (satu) bulan terakhir yang berlaku di BPD, yang dihitung dari jumlah dana yang tertahan, terhitung 1 (satu) hari setelah batas akhir penyaluran kredit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) sampai dengan tanggal penyaluran kredit tersebut. (5) Dalam ….. - 6 - (5) Dalam hal penyaluran kredit oleh BPR dalam setiap bulan tidak mencapai 10% (sepuluh per seratus) dari kategori pinjaman yang harus diteruskan kepada nasabah mikro sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), maka kepada BPR akan dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar rata-rata suku bunga deposito rupiah berjangka 3 (tiga) bulan selama 1 (satu) bulan terakhir yang berlaku di Bank Umum, yang dihitung dari jumlah kekurangan penyaluran kredit pada bulan yang bersangkutan. (6) Dalam hal pelimpahan dana pinjaman dari BI dilakukan setelah tanggal 1 (satu), maka apabila pada bulan pelimpahan tersebut penyaluran kredit ke nasabah kurang dari 10% (sepuluh per seratus) BPR tidak dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (5). (7) Dalam hal BPR tidak dapat menyalurkan seluruh kredit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), maka kepada BPR diwajibkan mengembalikan sisa pinjaman yang belum disalurkan paling lambat pada hari kerja berikutnya. (8) Dalam hal BPR tidak mengembalikan sisa pinjaman yang belum disalurkan dalam batas waktu sebagaimana diatur dalam ayat (7), BPR dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar rata-rata suku bunga deposito rupiah berjangka 3 (tiga) bulan selama 1 (satu) bulan terakhir yang berlaku di Bank Umum, yang dihitung dari jumlah sisa pinjaman yang belum disalurkan, terhitung 1 (satu) hari setelah batas akhir penyaluran kredit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) sampai dengan tanggal pengembalian sisa pinjaman tersebut. (9) Dalam ….. - 7 - (9) Dalam hal terjadi keterlambatan realisasi pembelian komputer dan sepeda motor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (3) BPR dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar rata-rata suku bunga deposito rupiah berjangka 3 (tiga) bulan selama 1 (satu) bulan terakhir yang berlaku di Bank Umum, yang dihitung dari jumlah dana yang belum direalisasikan, terhitung 1 (satu) hari setelah batas akhir realisasi pembelian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (3) sampai dengan tanggal realisasi pembelian tersebut. (10) Kewajiban pengembalian kredit sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (7) serta pengenaan sanksi kewajiban membayar sebagaimana diatur dalam Pasal ini, dilakukan dengan cara mendebet rekening giro dan atau rekening tabungan BPR yang bersangkutan pada Bank Umum atau rekening giro BPD pada BI setempat.” Pasal II 1. Pelanggaran terhadap Pasal 19 ayat (1), yang terjadi sampai dengan tanggal 31 Agustus 2001 dikenakan sanksi sesuai Pasal 23 ayat (5) Peraturan Bank Indonesia No.3/1/PBI/2001 tanggal 4 Januari 2001 tentang Proyek Kredit Mikro. 2. Pelanggaran terhadap Pasal 19 ayat (1) yang terjadi selama bulan September 2001 tidak dikenakan sanksi. 3. Ketentuan pengenaan sanksi sebagaimana yang diatur dalam Pasal 23 ayat (5) dan ayat (6) Peraturan Bank Indonesia ini berlaku untuk realisasi penyaluran kredit dari BPR kepada nasabah pengusaha mikro sejak tanggal 1 Oktober 2001. 4. Peraturan ….. - 8 - 4. Peraturan Bank Indonesia ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dan berlaku surut sampai dengan tanggal 1 Juli 2001, kecuali pengaturan sanksi sebagaimana dimaksud dalam angka 1, angka 2 dan angka 3 Pasal ini. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal, 3 Oktober 2001 GUBERNUR BANK INDONESIA SYAHRIL SABIRIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2001 NOMOR 123 BKr/TPP - 9 - PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 3/16/PBI/2001 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 3/1/PBI/2001 TENTANG PROYEK KREDIT MIKRO UMUM Sesuai perjanjian antara Pemerintah dan Asian Development Bank, batas waktu pelaksanaan Proyek Kredit Mikro berakhir pada tanggal 30 Juni 2001. Sementara itu, sebagai akibat depresiasi nilai Rupiah, dana Proyek yang tersedia mengalami peningkatan, sehingga pada akhir batas waktu Proyek dana yang belum terserap masih cukup signifikan untuk dimanfaatkan. Di sisi lain, kondisi ekonomi Indonesia saat ini masih belum pulih dari krisis ekonomi yang berkepanjangan. Sektor perbankan masih mengalami kesulitan menghimpun dana yang berakibat pada keterbatasan dana yang akan disalurkan ke pengusaha mikro, sementara sektor usaha mikro yang merupakan bagian terbesar dari usaha masyarakat masih memerlukan bantuan permodalan dari perbankan. Dengan melihat perkembangan kondisi ekonomi di atas dan tujuan dari Proyek untuk meningkatkan pendapatan dan kesempatan kerja serta untuk mengembangkan usaha mikro maka dirasakan perlu untuk memperpanjang pelaksanaan proyek agar dana yang tersisa dapat disalurkan kepada pengusaha mikro. PASAL ….. - 10 - PASAL DEMI PASAL Pasal I Angka 1. Pasal 6 Ayat (1) Jangka waktu ini merupakan batas waktu pelimpahan dana dari BI kepada BPD dan BPR peserta PKM. Ayat (2) Cukup jelas Angka 2. Pasal 19 Ayat (1) Setiap bulan bank harus menyalurkan kredit kepada nasabah minimal 10% (sepuluh per seratus) dari kredit yang telah ditarik dari BI kecuali apabila pada bulan yang bersangkutan sisa dana yang ada kurang dari 10% (sepuluh per seratus). Ayat (2) Dalam hal pada suatu bulan, realisasi penyaluran kredit kepada nasabah lebih besar dari 10% (sepuluh per seratus) maka kelebihan tersebut diperhitungkan untuk menutup kekurangan penyaluran kredit pada bulan-bulan berikutnya. Namun apabila sampai dengan bulan terjadinya kekurangan penyaluran kredit tersebut, rata-rata kredit yang telah disalurkan per bulan … - 11 - per bulan kurang dari 10% (sepuluh per seratus), maka kelebihan penyaluran tersebut tidak dapat digunakan untuk menutup kekurangan pada bulan yang bersangkutan. Rata-rata realisasi penyaluran kredit setiap bulan dihitung berdasarkan jumlah realisasi kredit kepada nasabah sejak pelimpahan dana dari BI sampai dengan bulan berjalan dibagi jumlah bulan pada periode tersebut. Rumus perhitungan rata-rata realisasi penyaluran kredit adalah : Rata-rata realisasi = R / b R = Total realisasi kredit kepada nasabah sejak pelimpahan dana dari BI sampai dengan bulan berjalan. b = Jumlah bulan sejak bulan pelimpahan dana dari BI sampai dengan bulan berjalan. Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Angka 3. Pasal 23 Ayat (1), (4), (5), (8) dan (9) Pengertian ….. - 12 - Pengertian suku bunga deposito rupiah berjangka 3 (tiga) bulan selama 1 (satu) bulan terakhir adalah suku bunga deposito rupiah berjangka 3 (tiga) bulan yang berlaku di bank (BPD atau Bank Umum tempat BPR membuka rekening PKM) selama bulan terakhir sebelum pengenaan sanksi. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (6) Cukup jelas Ayat (7) Cukup jelas Ayat (10) Cukup jelas Pasal II Angka 1 sampai dengan angka 4. Cukup jelas TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4142 "," PBI 3/16/PBI/2001 PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 3/1/PBI/2001 TENTANG PROYEK KREDIT MIKRO 3 Oktober 2001 3 Oktober 2001 dan berlaku surut sampai dengan tanggal 1 Juli 2001 '3/1/PBI/2001' '23/UU/1999', '7/UU/1992', '10/UU/1998' 'Pasal I Angka 3 Pasal 23', 'Pasal II' " " PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 1/ 7 /PBI/1999 TENTANG SISTEM INFORMASI DEBITUR GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka penyediaan informasi guna menunjang kelancaran kegiatan usaha bank dan sistem perbankan yang sehat, diperlukan perluasan cakupan sistem informasi kredit yang ada sebelumnya menjadi sistem informasi debitur; b. bahwa untuk lebih meningkatkan transparansi informasi debitur yang disediakan oleh Bank Indonesia untuk keperluan bank, diperlukan penyempurnaan dalam penyajian informasi debitur; c. bahwa sehubungan dengan itu, dipandang perlu untuk menyempurnakan informasi debitur dalam suatu Peraturan Indonesia; Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 7 Lembaran ketentuan mengenai sistem Bank Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Negara Nomor 3472), sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor ... -2- Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3790); 2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843); MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG SISTEM INFORMASI DEBITUR. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Yang dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia ini dengan: 1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, termasuk Kantor Cabang Bank Asing; 2. Kantor Bank Pelapor adalah kantor Bank yang melakukan kegiatan operasional, meliputi: a. kantor pusat yang melakukan kegiatan operasional; b. kantor ... -3- b. kantor cabang Bank; c. kantor cabang bank asing; d. kantor cabang pembantu bank asing; 3. Kantor Perwakilan Bank Asing adalah kantor dari Bank Asing yang bertindak semata-mata sebagai penghubung antara Bank dengan nasabahnya; 4. Sistem Informasi Debitur adalah sistem yang menyediakan informasi mengenai debitur dan/atau kelompok debitur yang diolah berdasarkan laporan penyediaan dana yang diterima Bank Indonesia dari Kantor Bank Pelapor dan Kantor Perwakilan Bank Asing; 5. Penyediaan Dana adalah penanaman dana Bank baik dalam Rupiah maupun valuta asing, dalam bentuk kredit, surat berharga, penyertaan, termasuk komitmen dan kontinjensi pada transaksi rekening administratif; 6. Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara Bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga, termasuk: a. pembelian surat berharga nasabah yang dilengkapi dengan note purchase agreement (NPA); b. pengambilalihan tagihan dalam rangka kegiatan anjak piutang; 7. Surat Berharga adalah surat pengakuan utang, wesel, obligasi, sekuritas kredit, atau setiap derivatifnya, atau kepentingan lain, atau suatu kewajiban dari penerbit, dalam bentuk yang lazim diperdagangkan dalam ... -4- dalam pasar modal dan pasar uang, antara lain Sertifikat Bank Indonesia (SBI), Surat Berharga Pasar Uang (SBPU), Surat Berharga Komersial (Commercial Papers), Sertifikat Reksadana, dan Medium Term Note; 8. Penyertaan adalah penanaman dana Bank dalam bentuk saham pada perusahaan yang bergerak di bidang keuangan yang tidak melalui pasar modal, serta dalam bentuk pernyertaan modal sementara pada perusahaan debitur untuk mengatasi akibat kegagalan Kredit; 9. Transaksi rekening administratif adalah komitmen dan kontinjensi (Off- Balance Sheet) yang terdiri dari warkat penerbitan jaminan, akseptasi/endosemen, Letter of Credit (L/C) yang masih berjalan, penjualan Surat Berharga dengan syarat repurchase agreement (repo), standby L/C dan garansi lainnya, serta transaksi derivatif yang mempunyai risiko Kredit; 10. Risiko Kredit untuk transaksi derivatif adalah nilai pasar (the mark to market value) dari seluruh perjanjian/kontrak yang menjanjikan keuntungan yang belum dapat terealisir namun secara potensial dapat menjadi kerugian Bank apabila pihak lawan wanprestasi; 11. Pinjaman Luar Negeri adalah penyediaan dana yang diterima oleh Debitur dari pihak-pihak di luar negeri melalui Bank termasuk kantor- kantor cabang Bank di luar negeri atau melalui Kantor Perwakilan Bank Asing; 12. Debitur adalah nasabah perorangan atau perusahaan/badan, tidak termasuk Bank dan Kantor Perwakilan Bank Asing, yang memperoleh satu atau lebih fasilitas Penyediaan Dana; 13. Kelompok ... -5- 13. Kelompok Debitur adalah sejumlah debitur yang satu sama lain mempunyai kaitan dalam hal kepemilikan, kepengurusan, dan/atau hubungan keuangan sebagaimana diatur dalam ketentuan tentang batas maksimum pemberian kredit yang berlaku; 14. Calon Debitur adalah perorangan atau perusahaan/badan, tidak termasuk Bank dan Kantor Perwakilan Bank Asing, yang telah mengajukan fasilitas Penyediaan Dana secara tertulis kepada Bank. BAB II MAKSUD DAN TUJUAN Pasal 2 Penyelenggaraan Sistem Informasi Debitur dimaksudkan agar Bank memperoleh informasi yang lengkap mengenai Debitur, yang dapat digunakan sebagai sarana memperlancar penyediaan dana dan menghindari penyediaan dana rangkap. BAB III LAPORAN PENYEDIAAN DANA Pasal 3 Kantor Bank Pelapor dan Kantor Perwakilan Bank Asing wajib menyampaikan Laporan Penyediaan Dana kepada Bank Indonesia setiap bulan untuk posisi akhir bulan. Pasal 4 ... -6- Pasal 4 Laporan Penyediaan Dana yang disusun oleh Kantor Bank Pelapor dan Kantor Perwakilan Bank Asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 wajib disampaikan secara lengkap dan benar. Pasal 5 (1) Cakupan Laporan Penyediaan Dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 meliputi informasi mengenai Debitur, pengurus, pemilik serta Kelompok Debitur, fasilitas Penyediaan Dana, agunan/jaminan, dan baki debet. (2) Fasilitas Penyediaan Dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaporkan untuk plafon per debitur sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) atau lebih. (3) Fasilitas Penyediaan Dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan plafon per debitur kurang dari Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), wajib dilaporkan dalam bentuk rekapitulasi. (4) Bank Indonesia dapat mengubah cakupan pelaporan dalam Laporan Penyediaan Dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau plafon sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 6 (1) Kantor Bank Pelapor dan Kantor Perwakilan Bank Asing wajib menyampaikan Laporan Penyediaan Dana sebagaimana dimaksud dalam ... -7- dalam Pasal 3 selambat-lambatnya tanggal 10 (sepuluh) setelah akhir bulan laporan. (2) Kantor Bank Pelapor dan Kantor Perwakilan Bank Asing dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan Penyediaan Dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila laporan dimaksud disampaikan setelah tanggal 10 (sepuluh). Pasal 7 (1) Kantor Bank Pelapor dan Kantor Perwakilan Bank Asing wajib melakukan koreksi dalam hal terdapat kesalahan dan/atau perubahan karena terjadi pembaruan data atas Laporan Penyediaan Dana yang telah disampaikan kepada Bank Indonesia. (2) Koreksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya tanggal 17 (tujuh belas) setelah akhir bulan laporan. (3) Kantor Bank Pelapor dan Kantor Perwakilan Bank Asing dinyatakan terlambat menyampaikan koreksi atas Laporan Penyediaan Dana apabila belum menyampaikan laporan koreksi tersebut setelah tanggal 17 (tujuh belas). Pasal 8 (1) Kantor Bank Pelapor wajib menyampaikan Laporan Penyediaan Dana secara On-line. (2) Kantor Perwakilan Bank Asing dapat menyampaikan Laporan Penyediaan Dana secara On-line atau hardcopy. (3) Kantor ... -8- (3) Kantor Bank Pelapor yang berada di daerah yang tidak mempunyai fasilitas telekomunikasi atau yang mengalami force majeure sehingga tidak dapat menyampaikan Laporan Penyediaan Dana secara On-line, dapat menyampaikan laporan dengan disket. (4) Kantor Bank Pelapor wajib memberitahukan secara tertulis kepada Bank Indonesia dengan disertai alasan dalam hal tidak dapat menyampaikan laporan secara On-line sebagaimana dimaksud pada ayat (3). BAB IV INFORMASI DEBITUR Pasal 9 (1) Kantor Bank Pelapor dan Kantor Perwakilan Bank Asing yang telah memenuhi kewajiban pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 7, dapat meminta informasi Debitur kepada Bank Indonesia. (2) Informasi Debitur yang disediakan bagi Kantor Bank Pelapor dan Kantor Perwakilan Bank Asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi informasi Debitur dan/atau Calon Debitur dari Kantor Bank Pelapor dan Kantor Perwakilan Bank Asing yang bersangkutan. Pasal 10 (1) Permintaan informasi Debitur oleh Kantor Bank Pelapor dilakukan secara On-line. (2) Permintaan informasi Debitur oleh Kantor Perwakilan Bank Asing dapat dilakukan secara On-line atau secara tertulis. (3) Dalam ... -9- (3) Dalam hal Kantor Bank Pelapor yang berada di daerah yang tidak mempunyai fasilitas telekomunikasi atau yang mengalami force majeure sehingga tidak dapat meminta informasi Debitur secara On- line, dapat dilakukan secara tertulis. Pasal 11 (1) Penggunaan informasi Debitur bersifat terbatas dan hanya keperluan Kantor Bank Pelapor dan Kantor Perwakilan Bank Asing. untuk (2) Segala akibat yang timbul sehubungan dengan penggunaan informasi Debitur yang tidak sesuai dengan maksud dan tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, sepenuhnya menjadi tanggung jawab Kantor Bank Pelapor dan Kantor Perwakilan Bank Asing yang bersangkutan. BAB V PENUNJUKAN PEJABAT Pasal 12 Kantor Bank Pelapor dan Kantor Perwakilan Bank Asing wajib memberitahukan secara tertulis kepada Bank Indonesia: a. nama pejabat yang bertanggungjawab terhadap keabsahan dan kelengkapan Laporan Penyediaan Dana; b. nama pejabat yang berwenang meminta dan menerima informasi Debitur. BAB VI ... -10- BAB VI ALAMAT PENYAMPAIAN LAPORAN, PERMINTAAN INFORMASI, DAN PENUNJUKAN PEJABAT Pasal 13 Penyampaian Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4), surat permintaan informasi Debitur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) dan ayat (3), dan penyampaian surat penunjukan pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ditujukan kepada: a. Bank Indonesia Up. Direktorat Perizinan dan Informasi Perbankan, Jalan MH. Thamrin No. 2 Jakarta 10110, bagi Kantor Bank Pelapor dan Kantor Perwakilan Bank Asing di wilayah Jabotabek; atau b. Kantor Cabang Bank Indonesia yang mewilayahinya bagi Kantor Bank Pelapor dan Kantor Perwakilan Bank Asing diluar wilayah Jabotabek. BAB VII SANKSI ADMINISTRATIF Pasal 14 Kantor Bank Pelapor dan Kantor Perwakilan Bank Asing yang tidak melaporkan satu atau lebih fasilitas dalam Laporan Penyediaan Dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) per fasilitas untuk setiap bulan dengan batas maksimal sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dalam 12 (duabelas) bulan terakhir. Pasal 15 ... -11- Pasal 15 (1) Pelanggaran terhadap kewajiban penyampaian Laporan Penyediaan Dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dikenakan sanksi berupa: a. kewajiban membayar sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari kelambatan untuk setiap keterlambatan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) sampai bank menyampaikan laporan; dan b. penundaan pemberian informasi Debitur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 sampai dengan diterimanya Laporan Penyediaan Dana dimaksud oleh Bank Indonesia. (2) Apabila kewajiban penyampaian Laporan Penyediaan Dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) tidak dipenuhi sampai dengan timbulnya kewajiban pelaporan bulan berikutnya, dengan tidak mengurangi sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terhadap bank dikenakan sanksi teguran tertulis dan penurunan tingkat kesehatan. Pasal 16 (1) Kantor Bank Pelapor dan Kantor Perwakilan Bank Asing yang terlambat atau tidak menyampaikan laporan koreksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), dikenakan sanksi berupa : a. kewajiban membayar sebesar Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) per hari kelambatan untuk setiap keterlambatan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) sampai bank menyampaikan laporan; dan b. penundaan ... -12- b. penundaan pemberian informasi Debitur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 sampai dengan diterimanya Laporan Penyediaan Dana dimaksud oleh Bank Indonesia. (2) Apabila kewajiban penyampaian Laporan Penyediaan Dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) tidak dipenuhi sampai dengan timbulnya kewajiban pelaporan bulan berikutnya, dengan tidak mengurangi sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terhadap bank dikenakan sanksi teguran tertulis dan penurunan tingkat kesehatan. Pasal 17 (1) Kantor Bank Pelapor yang tidak menyampaikan laporan secara On-line sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk setiap laporan. (2) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi Kantor Bank Pelapor yang telah memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia untuk tidak melaporkan secara On-line sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4). Pasal 18 Kantor Bank Pelapor dan Kantor Perwakilan Bank Asing yang meminta informasi Debitur yang ternyata digunakan bukan untuk maksud dan tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) untuk setiap informasi Debitur. BAB VIII ... -13- BAB VIII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 19 Kantor Bank Pelapor dan Kantor Perwakilan Bank Asing wajib menyampaikan seluruh fasilitas Penyediaan Dana yang tercatat dalam pembukuan sejak akhir bulan Juli 1999. Pasal 20 Pelaksanaan pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16 dan Pasal 17, mulai berlaku sejak pelaporan untuk data bulan September 1999 BAB IX PENUTUP Pasal 21 Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara penyampaian Laporan Penyediaan Dana dan Informasi Debitur diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 22 Dengan dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia ini maka: a. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No.27/58/KEP/DIR tanggal 8 September 1994 tentang Laporan Penyediaan Dana; b. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No.23/90/KEP/DIR tanggal 18 Maret 1990 tentang Laporan Mengenai Debitur Yang Menerima Pinjaman ... -14- Pinjaman Luar Negeri dan Aplikan Yang Memperoleh Garansi Bank Dalam Rangka Pemenuhan Kewajiban Luar Negeri; c. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No.28/37/KEP/DIR tanggal 10 Juli 1995 tentang Informasi Debitur Bank Umum, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 23 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 20 September 1999 GUBERNUR BANK INDONESIA SYAHRIL SABIRIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1999 NOMOR 159 DPNP -15- PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 1/ 7 /PBI/1999 TENTANG SISTEM INFORMASI DEBITUR UMUM Dalam rangka menunjang sistem perbankan dan perkreditan yang sehat, serta untuk membentuk pusat data debitur yang lebih lengkap, maka diperlukan pengembangan cakupan Sistem Informasi Kredit yang semula berupa laporan perkreditan diperluas menjadi laporan penyediaan dana yang meliputi kredit dengan atau tanpa perjanjian, surat berharga, penyertaan, dan transaksi rekening administratif termasuk pinjaman luar negeri. Sejalan dengan hal tersebut, guna meningkatkan efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan informasi debitur dilakukan pula penyempurnaan sistem dan prosedur permintaan dan pemberian informasi debitur. Dengan demikian Sistem Informasi Kredit (SIK) diubah menjadi Sistem Informasi Debitur (SID). PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Angka 1 Cukup jelas Angka 2 ... -16- Angka 2 Huruf a Penyebutan lain dari kantor pusat yang melakukan kegiatan operasional antara lain kantor cabang utama. Huruf b Kantor cabang Bank adalah kantor Bank yang secara langsung bertanggung jawab kepada kantor pusat bank yang bersangkutan, dengan alamat tempat usaha yang jelas. Laporan dari kantor cabang di luar negeri disampaikan oleh kantor pusat Bank yang bersangkutan. Laporan dari kantor bank di bawah Kantor Cabang digabung dengan laporan Kantor Cabang induknya. Huruf c Ketentuan mengenai Kantor Cabang Bank Asing berpedoman pada Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia tentang Persyaratan dan Tatacara Pembukaan Kantor Cabang, Kantor Cabang Pembantu dan Kantor Perwakilan dari Bank yang berkedudukan di luar negeri. Huruf d Laporan dari kantor bank di bawah kantor Cabang Pembantu Bank Asing digabung dengan laporan Kantor Cabang Pembantu Bank Asing induknya. Angka 3 sampai dengan angka14 Cukup jelas Pasal 2 ... -17- Pasal 2 Cukup jelas Pasal 3 Posisi Penyediaan Dana akhir bulan harus sama dengan posisi yang dilaporkan dalam Laporan Bulanan Bank Umum (LBU). Pasal 4 Cukup jelas Pasal 5 Ayat (1) Cakupan laporan penyediaan dana untuk: a. debitur berisi informasi antara lain nama, alamat, nomor pokok wajib pajak/nomor kartu tanda penduduk, hubungan terkait dengan bank; b. pengurus, pemilik dan kelompok debitur berisi informasi antara lain nama, alamat, nomor pokok wajib pajak/nomor kartu tanda penduduk, jabatan, pangsa kepemilikan; c. fasilitas penyediaan dana berisi informasi antara lain kredit, surat berharga, penyertaan, dan transaksi rekening administratif termasuk pinjaman luar negeri; d. agunan/penjamin berisi informasi antara lain bukti pemilikan, nilai taksasi, lokasi agunan; e. baki ... -18- e. baki debet berisi informasi antara lain outstanding dan kualitas penyediaan dana. Ayat (2) Untuk penyediaan dana dalam valuta asing dengan plafon sebesar ekuivalen Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) keatas wajib dilaporkan dalam valuta asalnya. Ayat (3) Untuk penyediaan dana dalam valuta asing dengan plafon sebesar ekuivalen kurang dari Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) wajib dilaporkan dalam bentuk rekapitulasi per valuta asalnya. Ayat (4) Cukup jelas Pasal 6 Ayat (1) Yang dimaksud dengan bulan laporan adalah bulan data, misalnya bulan laporan Juli 1999 adalah data posisi akhir bulan Juli 1999. Untuk penyampaian Laporan Penyediaan Dana bulan Juli 1999 ke Bank Indonesia dari tanggal 1 Agustus 1999 sampai dengan tanggal 10 Agustus 1999. Apabila tanggal 10 jatuh pada hari libur/hari Sabtu maka penyampaian Laporan Penyediaan Dana ke Bank Indonesia selambat-lambatnya pada hari kerja sebelumnya. Ayat (2) ... -19- Ayat (2) Cukup jelas Pasal 7 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Penyampaian laporan koreksi dinyatakan terlambat apabila koreksi atas Laporan Penyediaan Dana bulan Juli 1999 disampaikan ke Bank Indonesia pada tanggal 18 Agustus 1999. Pasal 8 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Pengecualian ini karena Kantor Perwakilan Bank Asing tidak operasional. Ayat (3) Yang dimaksud dengan force majeure antara lain kebakaran, banjir, gempa bumi, kerusuhan. Ayat (4) ... -20- Ayat (4) Cukup jelas Pasal 9 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Informasi Debitur yang disediakan terdiri dari informasi Debitur individual dan informasi Debitur macet. Pasal 10 Ayat (1) Permintaan informasi Debitur Individual dan informasi Debitur Macet dilakukan oleh kantor bank secara on-line ke Bank Indonesia yang mewilayahinya. Ayat (2) Permintaan informasi secara tertulis tidak diperkenankan menggunakan sarana facsimile atau teleks. Kantor Perwakilan Bank Asing yang dapat meminta informasi Debitur secara on-line adalah Kantor Perwakilan Bank Asing yang telah mengirimkan laporan secara on-line. Ayat (3) Yang dimaksud dengan force majeure antara lain kebakaran, banjir, gempa bumi, kerusuhan. Pasal 11 ... -21- Pasal 11 Ayat (1) Informasi Debitur tidak diperkenankan diteruskan kepada pihak lain. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 12 Cukup jelas Pasal 13 Cukup jelas Pasal 14 Apabila debitur menerima beberapa fasilitas penyediaan dana seperti kredit modal kerja, kredit investasi, surat berharga, kredit konsumsi, pinjaman luar negeri diantaranya empat fasilitas tidak dilaporkan ke Bank Indonesia selama 1 (satu) bulan, dikenakan sanksi tidak melapor sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah). Apabila fasilitas tersebut tidak dilaporkan selama 12 bulan maka maksimum kewajiban membayar sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). Pasal 15 ... -22- Pasal 15 Ayat (1) Huruf a Apabila bank menyampaikan Laporan Penyedian Dana data bulan Juli pada tanggal 12 Agustus 1999 maka dikenakan sanksi terlambat melapor selama 2 (dua) hari, yaitu sebesar Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah). Apabila bank menyampaikan laporan pada tanggal 10 September 1999 maka dikenakan sanksi terlambat melapor selama 31 (tiga puluh satu) hari, yaitu sebesar Rp31.000.000,00 (tiga puluh satu juta rupiah). Huruf b Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 16 Ayat (1) Huruf a Apabila bank menyampaikan koreksi Laporan Penyedian Dana data bulan Juli 1999 pada tanggal 19 Agustus 1999 untuk empat fasilitas maka dikenakan sanksi terlambat melapor selama 2 (dua) hari, yaitu sebesar Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah). Apabila bank ... -23- bank menyampaikan koreksi laporan pada tanggal 10 September 1999 maka dikenakan sanksi terlambat melapor selama 31 (tiga puluh satu) hari, yaitu sebesar Rp7.750.000,00 (tujuh juta tujuh ratus lima puluh ribu rupiah). Huruf b Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 17 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 18 Cukup jelas Pasal 19 Laporan Penyediaan Dana sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia ini wajib disampaikan oleh Kantor Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) dan Kantor Perwakilan Bank Asing pertama kali untuk laporan posisi bulan Juli 1999. Pasal 20 ... -24- Pasal 20 Cukup jelas Pasal 21 Cukup jelas Pasal 22 Cukup jelas Pasal 23 Cukup jelas TAMBAHAN LEMBARAN BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3884 DPNP -25- "," PBI 1/7/PBI/1999 SISTEM INFORMASI DEBITUR 20 September 1999 20 September 1999 '23/90/KEP/DIR|SKDIR-BI/1990', '28/37/KEP/DIR|SKDIR-BI/1995', '27/58/KEP/DIR|SKDIR-BI/1994' '23/UU/1999', '7/UU/1992', '10/UU/1998' 'BAB VII' " " PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 3/14/PBI/2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 2/12/PBI/2000 TENTANG JAMINAN PINJAMAN LUAR NEGERI ANTAR BANK GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka reorganisasi di Bank Indonesia, tugas pelaksanaan penjaminan pemerintah atas program Interbank Debt Exchange Offer telah dialihkan dari Direktorat Perizinan dan Informasi Perbankan ke Direktorat Luar Negeri; b. bahwa sesuai dengan perkembangan perekonomian di Indonesia maka Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/12/PBI/2000 tentang Jaminan Pinjaman Luar Negeri Antar Bank perlu disesuaikan; c. bahwa sehubungan dengan hal tersebut dipandang perlu untuk menetapkan perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/12/PBI/2000 tentang Jaminan Pinjaman Luar Negeri Antar Bank; Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472), sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 182 Tahun 1998, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843); 3. Undang… - 2 - 3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3844); 4. Peraturan Bank Indonesia Nomor : 2/12/PBI/2000 tentang Jaminan Pinjaman Luar Negeri Antar Bank (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3953); MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 2/12/PBI/2000 TENTANG JAMINAN PINJAMAN LUAR NEGERI ANTAR BANK. Pasal I Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/12/PBI/2000 tentang Jaminan Pinjaman Luar Negeri Antar Bank (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3953) diubah sebagai berikut : 1. Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga keseluruhan Pasal 1 berbunyi sebagai berikut : “Pasal 1 Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan : 1. Bank adalah Bank Umum yang masih beroperasi yang telah menandatangani Master Loan Agreement sebagaimana tercantum dalam Lampiran 1. 2. Kreditur adalah bank atau lembaga keuangan pemberi pinjaman sebagaimana diatur dalam Master Loan Agreement. 3. Master Loan Agreement untuk selanjutnya disebut MLA adalah Naskah Perjanjian Pinjaman Luar Negeri Antar Bank yang ditandatangani pada tanggal 18 Agustus 1998… - 3 - 1998 dan 25 Mei 1999 oleh Bank Indonesia sebagai penjamin, Bank, Kreditur, Syndicate Agent, Calculation Agent dan Exchange Agent. 4. Pinjaman Luar Negeri Antar Bank adalah kewajiban Bank terhadap Kreditur yang meliputi simpanan antar bank, pinjaman jangka pendek, menengah dan panjang serta pinjaman lainnya yang telah sebagaimana diatur dalam MLA. dipertukarkan menjadi pinjaman 5. Syndicate Agent adalah bank-bank yang ditunjuk oleh Bank Indonesia dan tercantum dalam MLA untuk mewakili Kreditur dalam menerima pembayaran yang dilakukan oleh Bank dan atau Bank Indonesia serta melaksanakan tugas- tugas lain yang ditetapkan dalam MLA. 6. Counter Guaranty adalah jaminan yang diberikan oleh Menteri Keuangan kepada Gubernur Bank Indonesia untuk menjamin Pinjaman Luar Negeri Antar Bank dengan menyediakan sejumlah dana di Rekening Pemerintah di Bank Indonesia, dan memberikan kuasa pendebetan terhadap rekening tersebut. 7. Rekening Pemerintah adalah rekening Menteri Keuangan yang dibuka guna memberikan Counter Guaranty untuk menjamin Pinjaman Luar Negeri Antar Bank, dalam Rupiah nomor 519.000110 dengan nama “Rekening Trade Maintenance Facility dan Exchange Offer”. 8. Buy Back adalah suatu transaksi pembelian kembali pinjaman bank dalam program Interbank Debt Exchange Offer atas nama bank peserta oleh bank peserta (atau affiliasi) itu sendiri. 9. Prepayment adalah suatu transaksi pembayaran sebagian atau seluruh pinjaman Interbank Debt Exchange Offer sebelum jatuh tempo sebagaimana diatur dalam Master Loan Agreement. 10. Notice of Assignment adalah suatu pernyataan adanya pengalihan kepemilikan Interbank Debt Exchange Offer sebagaimana diatur dalam MLA. 11. Release… baru - 4 - 11. Release and Consent adalah suatu pernyataan pelepasan penjaminan pemerintah atas Pinjaman Interbank Debt Exchange Offer yang ditandatangani oleh obligor yang melakukan Buy Back dan Bank Indonesia sebagaimana contoh pada Lampiran 1. ” 2. Ketentuan Pasal 4 ayat (2) diubah sehingga berbunyi sebagai berikut : “Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Bank Indonesia cq.: Direktorat Luar Negeri, Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10010, selambat-lambatnya 8 (delapan) hari kerja sebelum kewajiban jatuh tempo dengan menggunakan format sebagaimana contoh Lampiran 2.” 3. Ketentuan Pasal 8 ayat (1) diubah sehingga berbunyi sebagai berikut : “Bagi Bank yang dibekukan usahanya dalam masa penjaminan, maka permohonan untuk melakukan pembayaran kepada Kreditur diajukan oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional kepada Bank Indonesia cq. Direktorat Luar Negeri, Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10010, dengan menyebutkan rekening yang akan dibebankan.” 4. Diantara BAB VI Pasal 8 dan BAB VII Pasal 9 disisipkan BAB VI A dan 3 (tiga) pasal yakni Pasal 8 A, 8 B dan Pasal 8 C yang berbunyi sebagai berikut : “BAB VI A PROSEDUR PREPAYMENT DAN BUY BACK Pasal 8 A (1) Peserta program Exchange Offer dapat melakukan Prepayment dan Buy Back atas pinjaman Interbank Debt Exchange Offer. (2) Bank… - 5 - (2) Bank peserta Interbank Debt Exchange Offer yang akan melaksanakan Prepayment wajib menyampaikan rencana Prepayment 2 (dua) bulan sebelum pelaksanaan Prepayment kepada Bank Indonesia. (3) Rencana Prepayment sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain memuat : a. Besarnya nilai Prepayment yang akan dilakukan. b. Alasan melakukan Prepayment. c. Sumber dana yang akan digunakan. Pasal 8 B (1) Bank peserta Interbank Debt Exchange Offer yang akan melaksanakan Buy Back wajib menyampaikan rencana Buy Back untuk periode 1 (satu) bulan ke depan kepada Bank Indonesia. (2) Rencana Buy Back sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain memuat : a. Besarnya nilai Buy Back yang akan dilakukan. b. Alasan melakukan Buy Back. c. Sumber dana yang akan digunakan. (3) Bank yang telah melakukan Buy Back wajib menyampaikan Release and Consent dalam rangkap 3 (tiga) yang telah ditandatangani oleh obligor sebagaimana contoh terlampir. (4) Bank Indonesia akan menandatangani Release and Consent sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) atas dasar verifikasi dan kelengkapan dokumen- dokumen yang wajib disampaikan pada saat menyampaikan laporan kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4). Pasal 8 C… - 6 - Pasal 8 C Pelaksanaan Prepayment atau Buy Back yang dilaksanakan oleh peserta program Interbank Debt Exchange Offer dilakukan dengan memperhatikan MLA. ” 5. Ketentuan Pasal 9 diubah sehingga keseluruhan Pasal 9 berbunyi sebagai berikut : “Pasal 9 (1) Bank wajib menyampaikan laporan semua kewajiban pembayaran yang telah dilakukan kepada Syndicate Agent sebagaimana diatur dalam MLA kepada Bank Indonesia. (2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja setelah akhir bulan pelaksanaan pembayaran bunga dan atau pokok pinjaman yang bersangkutan, dengan menggunakan format sebagaimana contoh Lampiran 6. (3) Bank peserta program Interbank Debt Exchange Offer yang telah melaksanakan Prepayment wajib melaporkan Prepayment dimaksud dalam Laporan Pelaksanaan Kewajiban Pembayaran Pinjaman Luar Negeri Antar Bank dengan menambahkan keterangan “KAMI TELAH USD…..” pada sudut kiri bawah laporan. (4) Bank peserta program Interbank Debt Exchange Offer yang telah melaksanakan Buy Back wajib menyampaikan laporan kepada Bank Indonesia, dengan melampirkan dokumen sebagai berikut : 1. Notice… MELAKUKAN PREPAYMENT SEBESAR - 7 - 1. Notice of Assignment sebagaimana diatur dalam MLA. 2. Bukti Settlement dan atau Trade Confirmation. 3. Release and Consent dalam rangkap 3 yang telah ditandatangani oleh obligor sebagaimana contoh pada Lampiran. 6. Diantara Pasal 15 dan Pasal 16 disisipkan 3 (tiga) pasal yakni Pasal 15 A, 15 B, dan Pasal 15 C yang berbunyi sebagai berikut : “Pasal 15 A Untuk selanjutnya, perubahan alamat dan atau format laporan akan dilakukan dengan menggunakan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 15 B Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini maka semua pengaturan mengenai Prepayment dan Buy Back dinyatakan tidak berlaku. Pasal 15 C Prepayment dan Buy Back yang sudah dilaksanakaan dianggap telah sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia ini. Bagi transaksi Prepayment dan Buy Back yang sedang dalam proses penyelesaian wajib disesuaikan dengan Peraturan Bank Indonesia ini. ” 7. Ketentuan Lampiran 2 diubah sehingga alamat penyampaian kesanggupan/ ketidaksanggupan pembayaran kewajiban Exchange Offer berbunyi sebagai berikut : “Kepada Bank Indonesia cq. Direktorat Luar Negeri Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10010 “ Pasal II… - 8 - Pasal II Peraturan Bank Indonesia ini berlaku sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 20 September 2001 GUBERNUR BANK INDONESIA SYAHRIL SABIRIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2001 NOMOR 121 PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 3/14/PBI/2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 2/12/PBI/2000 TENTANG JAMINAN PINJAMAN LUAR NEGERI ANTAR BANK UMUM Dalam rangka reorganisasi di Bank Indonesia, tugas pelaksanaan penjaminan pemerintah atas program Interbank Debt Exchange Offer telah dialihkan dari Direktorat Perizinan dan Informasi Perbankan ke Direktorat Luar Negeri. Sehubungan dengan hal tersebut, alamat penyampaian beberapa laporan terkait dengan penggunaan jaminan pinjaman luar negeri antar bank perlu disesuaikan. Selain itu, sesuai dengan perkembangan perekonomian di Indonesia saat ini yang memungkinkan sejumlah bank untuk melunasi seluruh atau sebagian pinjaman Interbank Debt Exchange Offer melalui Prepayment dan Buy Back, maka perlu dibuatkan suatu bentuk pengaturan atas pelaksanaan Prepayment dan Buy Back tersebut. PASAL DEMI PASAL Pasal I Angka 1 Pasal 1 Cukup jelas Angka 2… - 2 - Angka 2 Cukup jelas Angka 3 Cukup jelas Angka 4 Cukup jelas Pasal 8A Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Rencana Prepayment disampaikan kepada Bank Indonesia cq. Direktorat Luar Negeri, Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10010. Ayat (3) Cukup jelas Pasal 8B Ayat (1) Rencana Buy Back disampaikan kepada Bank Indonesia cq. Direktorat Luar Negeri, Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10010. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4)… - 3 - Ayat (4) Bank Indonesia akan menyampaikan kembali Release and Consent yang telah ditandatangani kepada Bank dalam rangkap dua. Selanjutnya Bank menyampaikan Release and Consent tersebut disertai dengan permintaan tertulis penghapusan pencatatan pinjaman kepada Syndicate Agent dengan tembusan kepada Bank Indonesia cq. Direktorat Luar Negeri, Jl. MH. Thamrin No. 2 Jakarta 10010. Pasal 8 C Cukup jelas Angka 5 Pasal 9 Ayat (1) Laporan kewajiban pembayaran yang telah dilakukan kepada Syndicate Agent disampaikan kepada Bank Indonesia cq. Direktorat Luar Negeri, Jl. MH Thamrin No. 2, Jakarta 10010. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Laporan disampaikan kepada Bank Indonesia cq. Direktorat Luar Negeri, Jl. M.H. Thamrin No. 2, Jakarta 10010. Angka 6… - 4 - Angka 6 Dengan diubahnya alamat penyampaian pernyataan maka penyampaian tembusan kepada Direktorat Luar Negeri dihapuskan. Angka 7 Pasal 15A Cukup jelas Pasal 15 B Cukup jelas Pasal 15 C Cukup jelas Pasal II Cukup jelas TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4140 "," PBI 3/14/PBI/2001 PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 2/12/PBI/2000 TENTANG JAMINAN PINJAMAN LUAR NEGERI ANTAR BANK 20 September 2001 20 September 2001 '2/12/PBI/2000' '23/UU/1999', '7/UU/1992', '10/UU/1998', '2/12/PBI/2000', '24/UU/1999' " " PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 13/ 16 /PBI/2011 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 6/29/PBI/2004 TENTANG PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG KERTAS RUPIAH PECAHAN 20.000 (DUA PULUH RIBU) TAHUN EMISI 2004 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pengeluaran dan pengedaran uang rupiah ditujukan untuk menyediakan uang tunai di masyarakat sebagai alat pembayaran yang sah (legal tender) di Negara Kesatuan Republik Indonesia; b. bahwa untuk lebih mengoptimalkan fungsi elemen pada desain uang kertas rupiah pecahan 20.000 (dua puluh ribu) sebagai legal tender di Negara Kesatuan Republik Indonesia, diperlukan perubahan unsur pengaman pada desain uang rupiah; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu untuk melakukan perubahan kedua atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/29/PBI/2004 tentang Pengeluaran dan Pengedaran Uang Kertas Rupiah Pecahan 20.000 (Dua Puluh Ribu) Tahun Emisi 2004; Mengingat ... -2- Mengingat : 1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843), sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5223); 3. Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/14/PBI/2004 tentang Pengeluaran, Pengedaran, Pencabutan dan Penarikan, serta Pemusnahan Uang Rupiah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4388) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/10/PBI/2007 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 113, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4762); MEMUTUSKAN ... -3- MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 6/29/PBI/2004 TENTANG PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG KERTAS RUPIAH PECAHAN 20.000 (DUA PULUH RIBU) TAHUN EMISI 2004. Pasal I Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/29/PBI/2004 tentang Pengeluaran dan Pengedaran Uang Kertas Rupiah Pecahan 20.000 (Dua Puluh Ribu) Tahun Emisi 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 163) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/7/PBI/2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 44) diubah sebagai berikut: 1. Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 4 Ciri uang rupiah pecahan 20.000 (dua puluh ribu) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, untuk tahun pencetakan mulai bulan Januari tahun 2009 sampai dengan bulan Juni tahun 2011 adalah: a. Warna bagian muka dan bagian belakang uang dicetak dengan warna dominan hijau; b. Gambar 1. bagian muka a) gambar ... -4- a) gambar utama berupa gambar Pahlawan Nasional Oto Iskandar Di Nata, dan di bawahnya dicantumkan tulisan “OTO ISKANDAR DI NATA”; b) pada sebelah kiri atas gambar utama dengan arah horizontal dan pada sebelah kanan dengan arah vertikal, terdapat angka nominal “20000”; c) pada sebelah kiri gambar utama atau tepat di bawah angka nominal “20000” terdapat gambar saling isi (rectoverso) yang apabila diterawangkan ke arah cahaya akan terlihat logo Bank Indonesia secara utuh; d) pada sebelah kiri bawah gambar utama dengan arah horizontal terdapat tulisan “BANK INDONESIA” dan tepat di bawah tulisan tersebut terdapat tulisan “DUA PULUH RIBU RUPIAH”; e) pada sebelah kiri gambar utama dan di atas tulisan “BANK INDONESIA” terdapat kode tuna netra (blind code) berupa 2 (dua) buah persegi panjang yang terasa kasar apabila diraba; f) pada sebelah kanan atas gambar utama terdapat gambar tersembunyi (latent image) tulisan “BI” dalam bingkai persegi panjang berbentuk ornamen daerah Jawa Barat yang dapat dilihat dari sudut pandang tertentu; g) pada sebelah kanan atas gambar utama terdapat gambar Lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia, yaitu Garuda Pancasila; h) pada sebelah kanan bawah terdapat logo Bank Indonesia di dalam bidang segi lima yang dicetak dengan tinta khusus (optically variable ink) yang akan berubah warna dari warna magenta ... -5- magenta menjadi warna hijau apabila dilihat dari sudut pandang tertentu; i) pada sebelah kanan bawah gambar utama terdapat angka tahun pencetakan “2009” (angka 2009 akan berubah sesuai dengan tahun pencetakan uang), tulisan “DEWAN GUBERNUR”, tanda tangan Gubernur Bank Indonesia beserta tulisan “GUBERNUR”, dan tanda tangan Deputi Gubernur Bank Indonesia beserta tulisan “DEPUTI GUBERNUR”; j) sebagai latar belakang dan pengisi bidang terdiri dari garis-garis bergelombang, miring, dan rangkaian garis melengkung yang membentuk ornamen tertentu; k) mikroteks dengan tulisan “BANKINDONESIA20000” yang hanya dapat dibaca dengan bantuan kaca pembesar yang terdapat pada sebelah kanan gambar Pahlawan Nasional Oto Iskandar Di Nata yang berbentuk garis vertikal dari atas ke bawah; l) miniteks yaitu teks dengan ukuran kecil yang dapat dibaca tanpa bantuan kaca pembesar terdapat di atas dan di bawah tanda air berupa tulisan “BANKINDONESIA” yang berbentuk lengkungan dengan ukuran teks yang berbeda; 2. bagian belakang a) gambar utama berupa gambar Pemetik Teh dan di bawahnya dicantumkan tulisan “PEMETIK TEH”; b) di bawah gambar utama terdapat tulisan “DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, BANK INDONESIA MENGELUARKAN UANG SEBAGAI ALAT PEMBAYARAN YANG SAH DENGAN NILAI DUA PULUH RIBU RUPIAH”; c) pada ... -6- c) pada sebelah kiri atas gambar utama, terdapat cetakan tidak kasat mata berupa angka nominal “20000” yang akan memendar kuning kehijauan di bawah sinar ultra violet; d) pada sebelah kiri bawah tanda air, terdapat cetakan tidak kasat mata berupa gambar sehelai daun teh yang akan memendar kehijauan di bawah sinar ultra violet; e) nomor seri yang terdiri dari 3 (tiga) huruf dan 6 (enam) angka terletak pada sebelah kiri bawah uang yang dicetak dengan tinta berwarna hitam yang akan memendar kehijauan di bawah sinar ultra violet dan pada sebelah kanan atas di bawah tulisan “BANK INDONESIA” dicetak dengan tinta berwarna merah yang akan memendar kekuningan di bawah sinar ultra violet; f) pada sebelah kanan atas gambar utama terdapat tulisan “BANK INDONESIA”; g) pada sebelah kanan atas di bawah nomor seri terdapat gambar saling isi (rectoverso) yang apabila diterawangkan ke arah cahaya akan terlihat logo Bank Indonesia secara utuh; h) pada sebelah kanan bawah dengan arah horizontal dan pada sebelah kiri atas dengan arah vertikal terdapat angka nominal “20000”; i) pada sebelah kanan bawah tepat di bawah angka nominal “20000” terdapat tulisan “PERUM PERCETAKAN UANG RI IMP” dan angka tahun pengeluaran “2004”; j) mikroteks dengan tulisan “BANKINDONESIA” yang hanya dapat dibaca dengan bantuan kaca pembesar yang terdapat pada tepi bagian atas dan bawah pada sisi sebelah kiri dan kanan uang yang berbentuk diagonal; k) miniteks ... -7- k) miniteks dengan tulisan “BANKINDONESIA” yang dapat dibaca tanpa bantuan kaca pembesar yang terdapat pada sebelah kiri atas dan bawah, berbentuk lengkungan dengan ukuran teks yang berbeda yaitu dari besar ke kecil; c. Bahan kertas uang memiliki spesifikasi sebagai berikut: 1. terbuat dari serat kapas; 2. ukuran panjang 147 mm dan lebar 65 mm; 3. warna hijau muda; 4. tidak memendar di bawah sinar ultra violet; 5. tanda air berupa gambar Pahlawan Nasional Oto Iskandar Di Nata; 6. benang pengaman berbentuk anyaman. 2. Di antara Pasal 4 dan Pasal 5 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 4A yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 4A Ciri uang rupiah pecahan 20.000 (dua puluh ribu) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, untuk tahun pencetakan mulai bulan Juli tahun 2011 adalah: a. Warna bagian muka dan bagian belakang uang dicetak dengan warna dominan hijau; b. Gambar 1. bagian muka a) gambar utama berupa gambar Pahlawan Nasional Oto Iskandar Di Nata, dan di bawahnya dicantumkan tulisan “OTO ISKANDAR DI NATA”; b) pada ... -8- b) pada sebelah kiri atas gambar utama dengan arah horizontal dan pada sebelah kanan dengan arah vertikal, terdapat angka nominal “20000”; c) pada sebelah kiri gambar utama atau tepat di bawah angka nominal “20000” terdapat gambar saling isi (rectoverso) yang apabila diterawangkan ke arah cahaya akan terlihat logo Bank Indonesia secara utuh; d) pada sebelah kiri bawah gambar utama dengan arah horizontal terdapat tulisan “BANK INDONESIA” dan tepat di bawah tulisan tersebut terdapat tulisan “DUA PULUH RIBU RUPIAH”; e) pada sebelah kiri gambar utama dan di atas tulisan “BANK INDONESIA” terdapat kode tuna netra (blind code) berupa 2 (dua) buah persegi panjang berwarna hitam yang terasa kasar apabila diraba; f) pada sebelah kanan atas gambar utama terdapat gambar tersembunyi (latent image) tulisan “BI” dalam bingkai persegi panjang berbentuk ornamen daerah Jawa Barat yang dapat dilihat dari sudut pandang tertentu; g) pada sebelah kanan atas gambar utama terdapat gambar Lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia, yaitu Garuda Pancasila; h) pada sebelah kanan gambar utama terdapat rainbow printing dalam bidang berbentuk segi empat yang akan berubah warna apabila dilihat dari sudut pandang berbeda; i) pada sebelah kanan gambar utama terdapat elemen desain berbentuk lingkaran-lingkaran kecil berwarna hijau dan ditengahnya berwarna putih yang letaknya tersebar; j) pada ... -9- j) pada sebelah kanan bawah terdapat logo Bank Indonesia di dalam bidang segi lima yang dicetak dengan tinta khusus (optically variable ink) yang akan berubah warna dari warna magenta menjadi warna hijau apabila dilihat dari sudut pandang tertentu; k) pada sebelah kanan bawah gambar utama terdapat angka tahun pencetakan “2011” (angka 2011 akan berubah sesuai dengan tahun pencetakan uang), tulisan “DEWAN GUBERNUR”, tanda tangan Gubernur Bank Indonesia beserta tulisan “GUBERNUR”, dan tanda tangan Deputi Gubernur Bank Indonesia beserta tulisan “DEPUTI GUBERNUR”; l) sebagai latar belakang dan pengisi bidang terdiri dari garis-garis bergelombang, miring, dan rangkaian garis melengkung yang membentuk ornamen tertentu; m) mikroteks dengan tulisan “BANKINDONESIA20000” yang hanya dapat dibaca dengan bantuan kaca pembesar yang terdapat pada sebelah kanan gambar Pahlawan Nasional Oto Iskandar Di Nata yang berbentuk garis vertikal dari atas ke bawah; n) miniteks yaitu teks dengan ukuran kecil yang dapat dibaca tanpa bantuan kaca pembesar terdapat di atas dan di bawah tanda air berupa tulisan “BANKINDONESIA” yang berbentuk lengkungan dengan ukuran teks yang berbeda; 2. bagian belakang a) gambar utama berupa gambar Pemetik Teh dan di bawahnya dicantumkan tulisan “PEMETIK TEH”; b) di bawah gambar utama terdapat tulisan “DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, BANK INDONESIA MENGELUARKAN UANG SEBAGAI ALAT PEMBAYARAN ... -10- PEMBAYARAN YANG SAH DENGAN NILAI DUA PULUH RIBU RUPIAH”; c) pada sebelah kiri atas gambar utama, terdapat cetakan tidak kasat mata berupa angka nominal “20000” yang akan memendar kuning kehijauan di bawah sinar ultra violet; d) pada sebelah kiri bawah tanda air, terdapat cetakan tidak kasat mata berupa gambar sehelai daun teh yang akan memendar kehijauan di bawah sinar ultra violet; e) pada sebelah kiri gambar utama terdapat elemen desain berbentuk lingkaran-lingkaran kecil berwarna hijau dan ditengahnya berwarna putih yang letaknya tersebar; f) nomor seri yang terdiri dari 3 (tiga) huruf dan 6 (enam) angka terletak pada sebelah kiri bawah uang yang dicetak dengan tinta berwarna hitam yang akan memendar kehijauan di bawah sinar ultra violet dan pada sebelah kanan atas di bawah tulisan “BANK INDONESIA” dicetak dengan tinta berwarna merah yang akan memendar kekuningan di bawah sinar ultra violet; g) pada sebelah kanan atas gambar utama terdapat tulisan “BANK INDONESIA”; h) pada sebelah kanan atas di bawah nomor seri terdapat gambar saling isi (rectoverso) yang apabila diterawangkan ke arah cahaya akan terlihat logo Bank Indonesia secara utuh; i) pada sebelah kanan bawah dengan arah horizontal dan pada sebelah kiri atas dengan arah vertikal terdapat angka nominal “20000”; j) pada sebelah kanan bawah tepat di bawah angka nominal “20000” terdapat tulisan “PERUM PERCETAKAN UANG RI IMP” dan angka tahun pengeluaran “2004”; k) mikroteks ... -11- k) mikroteks dengan tulisan “BANKINDONESIA” yang hanya dapat dibaca dengan bantuan kaca pembesar yang terdapat pada tepi bagian atas dan bawah pada sisi sebelah kiri dan kanan uang yang berbentuk diagonal; l) miniteks dengan tulisan “BANKINDONESIA” yang dapat dibaca tanpa bantuan kaca pembesar yang terdapat pada sebelah kiri atas dan bawah, berbentuk lengkungan dengan ukuran teks yang berbeda yaitu dari besar ke kecil; c. Bahan kertas uang memiliki spesifikasi sebagai berikut: 1. terbuat dari serat kapas; 2. ukuran panjang 147 mm dan lebar 65 mm; 3. warna hijau muda; 4. tidak memendar di bawah sinar ultra violet; 5. tanda air berupa gambar Pahlawan Nasional Oto Iskandar Di Nata; 6. benang pengaman berbentuk anyaman. 3. Pasal 5A dihapus. Pasal II Uang kertas rupiah pecahan 20.000 (dua puluh ribu) yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, masih tetap berlaku sepanjang belum dicabut dan ditarik dari peredaran. Pasal III Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar ... -12- Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 1 Agustus 2011 GUBERNUR BANK INDONESIA, DARMIN NASUTION Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 1 Agustus 2011 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, PATRIALIS AKBAR LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 75 DPU "," PBI 13/16/PBI/2011 PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 6/29/PBI/2004 TENTANG PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG KERTAS RUPIAH PECAHAN 20.000 (DUA PULUH RIBU) TAHUN EMISI 2004 1 Agustus 2011 1 Agustus 2011 1 Agustus 2011 '6/29/PBI/2004' '6/UU/2009', '23/UU/1999', '6/14/PBI/2004', '2/PERPPU/2008', '9/10/PBI/2007', '7/UU/2011' " " PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 8/17/PBI/2006 TENTANG INSENTIF DALAM RANGKA KONSOLIDASI PERBANKAN GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam rangka menciptakan sistem perbankan yang kuat perlu dilakukan penguatan struktur perbankan melalui upaya-upaya konsolidasi perbankan; b. bahwa upaya percepatan konsolidasi perbankan membutuhkan pendekatan yang menyeluruh terhadap segala aspek sehingga diharapkan akan tercipta konsolidasi perbankan yang lebih solid sesuai dengan Arsitektur Perbankan Indonesia; c. bahwa sehubungan dengan upaya percepatan konsolidasi perbankan pada bank–bank yang melakukan merger atau konsolidasi perlu diberikan insentif yang berguna sebagai stimulus (sweetener); d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, dipandang perlu untuk menyusun ketentuan mengenai insentif dalam konsolidasi perbankan dalam Peraturan Bank Indonesia; rangka Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun … - 2 - Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357); 3. PBI Nomor 7/15/PBI/2005 tanggal 1 Juli 2005 tentang Jumlah Modal Inti Minimum Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4507); MEMUTUSKAN: Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG INSENTIF PERBANKAN. DALAM RANGKA KONSOLIDASI Pasal 1 … - 3 - Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, tidak termasuk kantor cabang bank asing. 2. Merger adalah penggabungan dari dua bank atau lebih, dengan cara tetap mempertahankan berdirinya salah satu bank dan membubarkan bank-bank lainnya tanpa melikuidasi lebih dahulu. 3. Konsolidasi adalah penggabungan dari dua bank atau lebih, dengan cara mendirikan bank baru dan membubarkan bank-bank melikuidasi lebih dahulu. Pasal 2 (1) Bank Indonesia memberikan insentif kepada Bank yang melakukan Merger atau Konsolidasi. (2) Bentuk insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah: a. Kemudahan dalam pemberian izin menjadi bank devisa; b. Kelonggaran sementara atas kewajiban pemenuhan Giro Wajib Minimum (GWM) Rupiah; c. Perpanjangan jangka waktu penyelesaian pelampauan Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) yang timbul sebagai akibat Merger atau Konsolidasi; d. Kemudahan dalam pemberian izin pembukaan kantor cabang Bank; dan atau e. Penggantian sebagian biaya konsultan pelaksanaan due diligence. Pasal 3 … tersebut tanpa - 4 - Pasal 3 (1) Kemudahan pemberian izin menjadi bank devisa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a diberikan dalam hal: a. Bank bukan devisa yang melakukan Merger atau Konsolidasi dengan 1 (satu) bank bukan devisa lainnya; dan b. Menyimpang dari ketentuan yang berlaku mengenai persyaratan modal disetor bank bukan devisa untuk menjadi bank devisa, modal inti bank hasil Merger atau Konsolidasi paling kurang Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah). (2) Persyaratan lainnya untuk menjadi bank devisa tetap mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang berlaku mengenai persyaratan bank umum bukan devisa menjadi bank umum devisa. Pasal 4 (1) Kelonggaran sementara atas kewajiban pemenuhan GWM Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b berupa pengurangan sebesar 1% (satu perseratus) dari kewajiban yang ditetapkan dalam ketentuan GWM. (2) Kelonggaran sementara atas kewajiban pemenuhan GWM Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku selama 1 (satu) tahun sejak: a. Tanggal persetujuan perubahan Anggaran Dasar atau Akta Pendirian termasuk Anggaran Dasar oleh instansi yang berwenang; atau b. Tanggal pendaftaran Akta Merger dan perubahan Anggaran Dasar dalam daftar perusahaan apabila perubahan Anggaran Dasar tidak memerlukan persetujuan instansi yang berwenang. Pasal 5 … - 5 - Pasal 5 Perpanjangan jangka waktu penyelesaian pelampauan BMPK yang timbul sebagai akibat Merger atau Konsolidasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf c paling lama 24 (dua puluh empat) bulan sejak: a. Tanggal persetujuan perubahan Anggaran Dasar atau Akta Pendirian termasuk Anggaran Dasar oleh instansi yang berwenang; atau b. Tanggal pendaftaran Akta Merger dan perubahan Anggaran Dasar dalam daftar perusahaan apabila perubahan Anggaran Dasar tidak memerlukan persetujuan instansi yang berwenang. Pasal 6 (1) Kemudahan dalam pemberian izin pembukaan kantor cabang bagi Bank hasil Merger atau Konsolidasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf d, dalam hal tingkat kesehatan, hanya didasarkan pada penilaian tingkat kesehatan posisi terakhir. (2) Persyaratan lainnya untuk pemberian izin pembukaan kantor cabang tetap mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang berlaku mengenai bank umum. Pasal 7 Penggantian sebagian biaya konsultan pelaksanaan due diligence sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf e adalah mengganti sebagian dana (on reimbursement) pelaksanaan biaya konsultan due diligence Merger atau Konsolidasi yang disepakati para pihak dengan penggantian sebesar 50% (lima puluh perseratus) dan maksimum sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dari biaya due diligence setelah: a. Tanggal … - 6 - a. Tanggal persetujuan perubahan Anggaran Dasar atau Akta Pendirian termasuk Anggaran Dasar oleh instansi yang berwenang; atau b. Tanggal pendaftaran Akta Merger dan perubahan Anggaran Dasar dalam daftar perusahaan apabila perubahan Anggaran Dasar tidak memerlukan persetujuan instansi yang berwenang. Pasal 8 (1) Bank yang merencanakan Merger atau Konsolidasi wajib menyampaikan permohonan rencana pemanfaatan insentif yang diajukan oleh Direksi masing-masing Bank. (2) Rencana pemanfaatan insentif oleh Bank wajib disampaikan kepada Bank Indonesia paling lambat 6 (enam) bulan sebelum melakukan Merger atau Konsolidasi dengan alamat: a. Direktorat Pengawasan Bank terkait bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia; atau b. Kantor Bank Indonesia setempat, bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia. (3) Rencana pemanfaatan insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dicantumkan dalam rencana bisnis Bank. Pasal 9 Pemegang Saham Pengendali, Komisaris, dan Direksi Bank yang layak untuk melakukan Merger atau Konsolidasi namun tidak bersedia untuk melakukan Merger atau Konsolidasi dapat dikenakan sanksi berupa teguran tertulis serta mempengaruhi penilaian integritas dalam penilaian kemampuan dan kepatutan (fit and proper test). Pasal 10 … - 7 - Pasal 10 Ketentuan lebih lanjut dari Peraturan Bank Indonesia ini akan diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 11 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 5 Oktober 2006 GUBERNUR BANK INDONESIA, BURHANUDDIN ABDULLAH LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2006 NOMOR 74 DPNP/DPbS PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 8/17/PBI/2006 TENTANG INSENTIF DALAM RANGKA KONSOLIDASI PERBANKAN UMUM Dalam rangka menciptakan sistem perbankan yang kuat, sehat, dan efisien guna mendorong kestabilan sistem keuangan diperlukan penguatan struktur dan permodalan bank-bank nasional. Disamping akan mendorong pertumbuhan kredit perbankan, penguatan permodalan bank-bank nasional dinilai sangat penting untuk meningkatkan kapasitas bank-bank dalam menghadapi persaingan yang semakin ketat serta mengantisipasi rencana penerapan Basel II yang menuntut investasi di bidang teknologi dan sumber daya manusia yang memadai. Salah satu upaya yang dapat ditempuh untuk memperkuat struktur dan permodalan bank-bank adalah dengan mendorong terjadinya konsolidasi bank- bank di Indonesia melalui pendekatan yang sistematis dan komprehensif. Alternatif yang dapat dilakukan bank untuk memperkuat permodalan antara lain melalui merger atau konsolidasi. Oleh karena itu, untuk mempercepat terjadinya konsolidasi perbankan tersebut, disamping upaya-upaya lain yang telah dilakukan, Bank Indonesia menganggap perlu memberikan insentif bagi bank- bank yang melakukan merger atau konsolidasi. PASAL … - 2 - PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Angka 1 sampai dengan angka 3. Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 3 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 4 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2)… - 3 - Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Pasal 5 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Pasal 6 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 7 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Pasal 8 … - 4 - Pasal 8 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 9 Yang dimaksud dengan layak untuk melakukan Merger atau Konsolidasi adalah Bank yang memiliki modal inti dibawah Rp80.000.000.000,00 (delapan puluh miliar rupiah) dan pemegang saham pengendali tidak memiliki kemampuan untuk menambah modal inti. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4643 DPNP/DPbS "," PBI 8/17/PBI/2006 INSENTIF DALAM RANGKA KONSOLIDASI PERBANKAN 5 Oktober 2006 5 Oktober 2006 '7/UU/1992', '10/UU/1998', '23/UU/1999', '3/UU/2004', '7/15/PBI/2005' 'Pasal 9' " " PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR :3/20/PBI/2001 TENTANG PENCABUTAN PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 2/13/PBI/2000 TENTANG JAMINAN PEMBIAYAAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL DAN PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 3/4/PBI/2001 TENTANG PERUBAHAN PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 2/13/PBI/2000 TENTANG JAMINAN PEMBIAYAAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan kegiatan ekonomi nasional khususnya kegiatan perdagangan internasional, Bank Indonesia untuk dan atas nama Pemerintah menerbitkan Letter of Guaranty untuk menjamin perdagangan internasional yang dilakukan oleh bank; b. c. bahwa fasilitas penjaminan perdagangan internasional tersebut telah berakhir pada tanggal 30 Juni 2001; bahwa sehubungan dengan itu dipandang perlu untuk mencabut Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/13/PBI/2000 tentang Jaminan Pembiayaan Perdagangan Internasional dan perubahannya; Mengingat . . . - 2 - Mengingat : Undang-undang Nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843); MEMUTUSKAN : Menetapkan : PENCABUTAN PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 2/13/PBI/2000 TENTANG JAMINAN PEMBIAYAAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL DAN PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 3/4/PBI/2001 TENTANG PERUBAHAN PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 2/13/PBI/2000 TENTANG JAMINAN PEMBIAYAAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL. Pasal 1 Dengan Peraturan Bank Indonesia ini maka : 1. Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/13/PBI/2000 tentang Jaminan Pembiayaan Perdagangan Internasional; 2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/4/PBI/2001 tentang Perubahan Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/13/PBI/2000 tentang Jaminan Pembiayaan Perdagangan Internasional, dinyatakan tidak berlaku. Pasal 2 . . . - 3 - Pasal 2 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan dan berlaku surut sejak tanggal 1 Juli 2001. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 29 November 2001 GUBERNUR BANK INDONESIA SYAHRIL SABIRIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2001 NOMOR 140 DLN "," PBI 3/20/PBI/2001 PENCABUTAN PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 2/13/PBI/2000 TENTANG JAMINAN PEMBIAYAAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL DAN PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 3/4/PBI/2001 TENTANG PERUBAHAN PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 2/13/PBI/2000 TENTANG JAMINAN PEMBIAYAAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL 29 November 2001 29 November 2001 dan berlaku surut sejak tanggal 1 Juli 2001 '2/13/PBI/2000', '3/4/PBI/2001' '23/UU/1999' " " PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 19/14/PBI/2017 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 17/18/PBI/2015 TENTANG PENYELENGGARAAN TRANSAKSI, PENATAUSAHAAN SURAT BERHARGA, DAN SETELMEN DANA SEKETIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan penyelenggaraan sistem pembayaran yang lebih lancar, aman, efisien, dan andal, perlu menyempurnakan ketentuan mengenai kewajiban penyediaan dana yang cukup pada saat pengiriman instruksi setelmen dana dan ketentuan mengenai fasilitas likuiditas intrahari; b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/18/PBI/2015 tentang Penyelenggaraan Transaksi, Penatausahaan Surat Berharga, dan Setelmen Dana Seketika; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah beberapa kali -2- diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 110, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4236); 3. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4852); 4. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2011 tentang Transfer Dana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5204); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 17/18/PBI/2015 TENTANG PENYELENGGARAAN TRANSAKSI, PENATAUSAHAAN SURAT BERHARGA, DAN SETELMEN DANA SEKETIKA. Pasal I Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/18/PBI/2015 tentang Penyelenggaraan Transaksi, Penatausahaan Surat Berharga, dan Setelmen Dana Seketika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 273, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5762) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/6/PBI/2016 tentang Perubahan atas Peraturan -3- Bank Indonesia Nomor 17/18/PBI/2015 tentang Penyelenggaraan Transaksi, Penatausahaan Surat Berharga, dan Setelmen Dana Seketika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 77, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5877), diubah sebagai berikut: 1. Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Penyelenggara adalah Bank Indonesia yang menyelenggarakan sistem dalam kegiatan transaksi, penatausahaan surat berharga, dan setelmen dana seketika. 2. Surat Berharga adalah surat berharga yang diterbitkan oleh Bank Indonesia, Pemerintah, dan/atau lembaga lain yang ditatausahakan pada Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System. 3. Surat Utang Negara yang selanjutnya disingkat SUN adalah surat utang negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai surat utang negara. 4. Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya disingkat SBSN adalah surat berharga syariah negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai surat berharga syariah negara. 5. Surat Berharga Negara yang selanjutnya disingkat SBN adalah SUN dan SBSN. 6. Transaksi dengan Bank Indonesia adalah transaksi yang dilakukan oleh peserta dengan Bank Indonesia untuk kegiatan operasi moneter, operasi moneter syariah, dan/atau transaksi SBN untuk dan atas nama Pemerintah, serta transaksi lainnya yang dilakukan dengan Bank Indonesia. -4- 7. Transaksi Pasar Keuangan adalah transaksi Surat Berharga dan transaksi pinjam meminjam antarpeserta yang dilakukan secara konvensional atau yang dipersamakan berdasarkan prinsip syariah dalam transaksi pasar uang dan/atau transaksi Surat Berharga di pasar sekunder. 8. Transaksi adalah Transaksi dengan Bank Indonesia dan Transaksi Pasar Keuangan. 9. Penatausahaan adalah kegiatan yang mencakup pencatatan kepemilikan, kliring dan setelmen, serta pembayaran kupon/bunga atau imbalan dan pelunasan pokok/nominal atas hasil transaksi Surat Berharga dan hasil transaksi tanpa Surat Berharga. 10. Setelmen adalah proses penyelesaian akhir transaksi keuangan melalui pendebitan dan pengkreditan rekening setelmen dana, rekening surat berharga, dan/atau rekening lainnya di Bank Indonesia. 11. Sistem Bank Indonesia-Electronic Trading Platform yang selanjutnya disebut Sistem BI-ETP adalah infrastruktur yang digunakan sebagai sarana Transaksi yang dilakukan secara elektronik. 12. Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System yang selanjutnya disingkat BI-SSSS adalah infrastruktur yang digunakan sebagai sarana Penatausahaan Transaksi dan Penatausahaan Surat Berharga yang dilakukan secara elektronik. 13. Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement yang selanjutnya disebut Sistem BI-RTGS adalah infrastruktur yang digunakan sebagai sarana transfer dana elektronik yang setelmennya dilakukan seketika per transaksi secara individual. 14. Peserta adalah pihak yang telah memenuhi persyaratan dan telah memperoleh persetujuan dari Penyelenggara sebagai penyelenggaraan Sistem BI-ETP, BI-SSSS, dan/atau Sistem BI-RTGS. peserta dalam -5- 15. Central Registry adalah Bank Indonesia yang melakukan fungsi Penatausahaan bagi kepentingan Peserta BI-SSSS. 16. Sub-Registry adalah Bank Indonesia dan pihak yang memenuhi persyaratan dan disetujui oleh Penyelenggara sebagai Peserta BI-SSSS, untuk melakukan fungsi penatausahaan bagi kepentingan nasabah. 17. Fasilitas Likuiditas Intrahari yang selanjutnya disingkat FLI adalah fasilitas pendanaan yang diberikan oleh Bank Indonesia kepada bank Peserta Sistem BI-RTGS baik secara konvensional maupun berdasarkan prinsip syariah untuk mengatasi kesulitan pendanaan yang terjadi selama jam operasional Sistem BI-RTGS. 18. Rekening Setelmen Dana adalah rekening Peserta Sistem BI-RTGS dalam mata uang rupiah dan/atau valuta asing yang ditatausahakan di Bank Indonesia untuk pelaksanaan Setelmen dana. 19. Rekening Surat Berharga adalah rekening Peserta BI-SSSS dalam mata uang rupiah dan/atau valuta asing yang ditatausahakan di Bank Indonesia untuk pencatatan kepemilikan dan Setelmen transaksi Surat Berharga, Transaksi dengan Bank Indonesia, dan/atau Transaksi Pasar Keuangan. 20. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri dan bank umum syariah termasuk unit usaha syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah. 21. Keadaan Tidak Normal adalah situasi atau kondisi yang terjadi sebagai akibat adanya gangguan atau kerusakan pada perangkat keras, perangkat lunak, jaringan komunikasi, aplikasi maupun sarana -6- pendukung yang mempengaruhi kelancaran penyelenggaraan Sistem BI-ETP, BI-SSSS, dan/atau Sistem BI-RTGS. 22. Keadaan Darurat adalah suatu keadaan yang terjadi di luar kekuasaan Penyelenggara dan/atau Peserta yang menyebabkan kegiatan operasional Sistem BI- ETP, BI-SSSS, dan/atau Sistem BI-RTGS tidak dapat diselenggarakan yang diakibatkan oleh kebakaran, kerusuhan massa, sabotase, bencana alam seperti gempa bumi dan banjir, dan/atau sebab lain, yang dinyatakan oleh pihak penguasa atau pejabat yang berwenang setempat, termasuk Bank Indonesia. 2. Di antara Pasal 46 dan Pasal 47 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 46A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 46A (1) Peserta Sistem BI-RTGS harus menyediakan dana yang cukup pada saat pengiriman instruksi Setelmen dana. (2) Dalam hal instruksi Setelmen dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak didukung dengan dana dan/atau FLI yang mencukupi, Sistem BI-RTGS akan menolak instruksi Setelmen dana tersebut. (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dikecualikan terhadap transaksi yang dilakukan untuk kepentingan Bank Indonesia. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyediaan dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penolakan instruksi Setelmen dana sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dan pengecualian transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. -7- 3. Ketentuan Pasal 52 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 52 (1) Untuk kelancaran Setelmen dana dalam Sistem BI- RTGS, Bank Peserta Sistem BI-RTGS dapat menggunakan FLI yang Penyelenggara. disediakan oleh (2) FLI digunakan pada saat dana yang terdapat pada Rekening Setelmen Dana dalam rupiah milik Bank Peserta Sistem BI-RTGS tidak mencukupi untuk melakukan Setelmen dana. (3) FLI yang dapat digunakan yaitu sebesar kekurangan dana pada Rekening Setelmen Dana untuk melakukan Setelmen dana. (4) Penggunaan FLI sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan berdasarkan kecukupan nilai Surat Berharga yang tersedia pada rekening FLI. 4. Ketentuan Pasal 53 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 53 (1) Bank Peserta Sistem BI-RTGS yang akan menggunakan FLI harus menyediakan Surat Berharga dalam rekening FLI. (2) Surat Berharga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan Surat Berharga yang dapat ditransaksikan secara repurchase agreement (repo) dengan Bank Indonesia dalam lending facility atau financing facility. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Surat Berharga yang dapat digunakan untuk memperoleh FLI diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. -8- 5. Ketentuan Pasal 54 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 54 (1) Penyelenggara menetapkan persyaratan Bank Peserta Sistem BI-RTGS yang dapat menggunakan FLI. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan Bank Peserta Sistem BI-RTGS yang dapat menggunakan FLI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. 6. Ketentuan Pasal 55 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 55 (1) Penggunaan FLI dalam Sistem BI-RTGS dilakukan dengan mekanisme repo atas Surat Berharga yang dimiliki oleh Bank Peserta Sistem BI-RTGS pada rekening FLI. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai mekanisme repo atas Surat Berharga dalam penggunaan FLI diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. Pasal II Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2019. -9- Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 27 Desember 2017 GUBERNUR BANK INDONESIA, AGUS D.W. MARTOWARDOJO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 28 Desember 2017 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 301 PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 19/14/PBI/2017 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 17/18/PBI/2015 TENTANG PENYELENGGARAAN TRANSAKSI, PENATAUSAHAAN SURAT BERHARGA, DAN SETELMEN DANA SEKETIKA I. UMUM Untuk mewujudkan penyelenggaraan sistem pembayaran yang lebih lancar, aman, efisien, dan andal perlu dilakukan penyempurnaan terhadap pengaturan instruksi Setelmen dana seketika melalui Sistem BI- RTGS. Hal ini dimaksudkan untuk menciptakan market discipline dengan mendorong agar Peserta Sistem BI-RTGS telah menyediakan dana yang mencukupi untuk setiap instruksi Setelmen dana. Setiap instruksi Setelmen dana yang tidak didukung dengan dana yang mencukupi akan ditolak oleh Sistem BI-RTGS (no money no game). Selain itu, dalam Peraturan Bank Indonesia ini juga diatur mengenai FLI yang disediakan bagi Bank Peserta Sistem BI-RTGS untuk memperlancar Setelmen dana khususnya dalam mengatasi permasalahan likuiditas intrahari (intraday liquidity mismatch). Pengaturan mengenai FLI perlu disempurnakan dengan menyederhanakan cakupan FLI dan menegaskan bahwa penggunaan FLI harus didukung dengan Surat Berharga yang cukup. - 2 - II. PASAL DEMI PASAL Pasal I Angka 1 Pasal 1 Cukup jelas. Angka 2 Pasal 46A Cukup jelas. Angka 3 Pasal 52 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan “nilai Surat Berharga” adalah nilai tunai (cash value) yang ditetapkan sesuai dengan perhitungan nilai setelmen first leg transaksi lending facility dan/atau financing facility. Yang dimaksud dengan “rekening FLI” adalah Rekening Surat Berharga pada BI-SSSS untuk mencatat Surat Berharga yang akan digunakan oleh Bank Peserta Sistem BI-RTGS untuk memperoleh FLI pada Sistem BI-RTGS. Angka 4 Pasal 53 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “lending facility” adalah lending facility sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai operasi moneter. - 3 - Yang dimaksud dengan “financing facility” adalah financing facility sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai operasi moneter syariah. Ayat (3) Cukup jelas. Angka 5 Pasal 54 Cukup jelas. Angka 6 Pasal 55 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “repo” adalah transaksi penjualan Surat Berharga dengan kewajiban pembelian kembali sesuai dengan harga dan jangka waktu yang ditetapkan Bank Indonesia. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal II Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6169 "," PBI 19/14/PBI/2017 PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 17/18/PBI/2015 TENTANG PENYELENGGARAAN TRANSAKSI, PENATAUSAHAAN SURAT BERHARGA, DAN SETELMEN DANA SEKETIKA 27 Desember 2017 1 Januari 2019 28 Desember 2017 '17/18/PBI/2015' '18/6/PBI/2016' '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '3/UU/2011', '19/UU/2008', '24/UU/2002' " " PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 9/2/PBI/2007 TENTANG LAPORAN HARIAN BANK UMUM GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka pelaksanaan tugas Bank Indonesia di sektor moneter, perbankan, dan sistem pembayaran yang lebih efektif diperlukan dukungan informasi secara harian yang real time, tepat waktu, aman, akurat, handal, obyektif, lengkap dan mudah untuk diakses secara simultan; b. bahwa untuk menyediakan informasi sebagaimana dimaksud di atas, dibangun suatu sistem pelaporan harian dari bank guna memenuhi kebutuhan informasi dalam rangka penetapan dan pelaksanaan kebijakan moneter, sistem pembayaran, serta pengawasan bank yang berbasis risiko; c. bahwa pada saat ini informasi harian disediakan oleh sistem Laporan Harian Bank Umum, namun untuk menyediakan informasi yang lebih utuh, komprehensif, dan berkualitas diperlukan penyempurnaan terhadap Laporan Harian Bank Umum tersebut; d. bahwa untuk menyempurnakan sistem Laporan Harian Bank Umum tersebut diperlukan perluasan cakupan kandungan informasi yang dilaporkan, penyempurnaan sistem, dan tata cara pelaporan Laporan Harian Bank Umum; e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, dipandang perlu menyempurnakan Peraturan Bank Indonesia tentang Laporan Harian Bank Umum. Mengingat … - 2 - Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357). MEMUTUSKAN Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG LAPORAN HARIAN BANK UMUM BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan : 1. Bank adalah Bank umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah … - 3 - telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, termasuk kantor cabang bank asing; 2. Bank Pelapor adalah kantor Bank yang meliputi kantor pusat Bank yang berbadan hukum Indonesia, Kantor Cabang Bank Asing, dan Unit Usaha Syariah; 3. Laporan Harian Bank Umum, yang selanjutnya disebut LHBU, adalah laporan yang disusun dan disampaikan oleh Bank Pelapor secara harian kepada Bank Indonesia; 4. Pusat Informasi Pasar Uang, yang selanjutnya disebut PIPU, adalah salah satu hasil olahan LHBU yang menyediakan informasi yang meliputi namun tidak terbatas pada pasar uang Rupiah dan valuta asing serta informasi dari sumber lainnya yang terkait dengan pasar keuangan; 5. Pelanggan PIPU adalah pihak, selain Bank, yang dapat memperoleh hasil olahan LHBU sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia; 6. Perjanjian Penggunaan PIPU adalah kesepakatan tertulis antara Bank Indonesia dengan Pelanggan PIPU mengenai penggunaan PIPU dengan syarat dan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia; 7. Penyampaian laporan secara on-line, yang selanjutnya disebut On-Line, adalah penyampaian laporan yang dilakukan dengan mengirim rekaman data secara langsung melalui jaringan komunikasi data kepada Bank Indonesia; 8. Penyampaian laporan secara off-line, yang selanjutnya disebut Off-Line, adalah penyampaian laporan yang dilakukan dengan menyampaikan rekaman data dalam bentuk disket atau media perekaman data elektronik lainnya kepada Bank Indonesia; 9. Pasar Uang Antar Bank, yang selanjutnya disebut PUAB, adalah kegiatan pinjam-meminjam dalam Rupiah dan atau valuta asing antar Bank konvensional dengan jangka waktu sampai dengan 1 (satu) tahun; 10. Pasar … - 4 - 10. Pasar Uang Antar Bank Berdasarkan Prinsip Syariah, yang selanjutnya disebut PUAS, adalah kegiatan transaksi keuangan jangka pendek antarbank berdasarkan prinsip syariah baik dalam Rupiah maupun valuta asing; 11. Hari Kerja adalah hari pada saat Kantor Pusat Bank Indonesia menyelenggarakan kegiatan kliring dan sistem Bank Indonesia - Real Time Gross Settlement. BAB II PENYUSUNAN DATA LHBU Pasal 2 (1) Bank Pelapor wajib menyusun LHBU. (2) LHBU sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi data transaksional dan data non transaksional. (3) Data transaksional sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) meliputi data: a. PUAB yang terdiri dari PUAB pagi Rupiah, PUAB sore Rupiah, PUAB valuta asing dan PUAB luar negeri; b. PUAS; c. perdagangan surat berharga pasar uang di pasar sekunder; d. transaksi valuta asing. (4) Data non transaksional sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) meliputi data: a. posisi akhir hari transaksi derivatif jual valuta asing bukan investasi dengan pihak asing; b. posisi akhir hari transaksi derivatif beli valuta asing bukan investasi dengan pihak asing; c. posisi rekapitulasi transaksi derivatif; d. posisi devisa neto; e. pos-pos tertentu neraca; f. proyeksi arus kas; g. tingkat … - 5 - g. tingkat imbalan deposito mudharabah Bank Syariah; h. suku bunga dasar kredit; i. suku bunga kredit; j. suku bunga deposito berjangka, diskonto sertifikat deposito dan suku bunga tabungan; k. suku bunga penawaran (quotation). (5) Penyusunan LHBU sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus berpedoman pada sistematika penyusunan LHBU yang diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 3 (1) Bank Pelapor harus menunjuk penanggung jawab untuk menyusun dan menyampaikan LHBU kepada Bank Indonesia. (2) Penunjukan penanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengurangi dan atau menghilangkan tanggung jawab dari Direksi Bank dan atau pimpinan Kantor Cabang Bank Asing. (3) Dalam hal terjadi perubahan atas penanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Bank Pelapor harus mengkinikan perubahan dimaksud. BAB III PENYAMPAIAN LHBU Pasal 4 (1) Bank Pelapor wajib menyampaikan LHBU kepada Bank Indonesia secara lengkap, akurat, dan benar. (2) Bank Pelapor wajib menyampaikan data transaksional LHBU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) berikut form header setiap Hari Kerja secara real time atau segera setelah terjadinya transaksi pada tanggal laporan. (3) Bank … - 6 - (3) Bank Pelapor wajib menyampaikan data non transaksional LHBU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) berikut form header setiap Hari Kerja berdasarkan : a. posisi akhir hari; b. proyeksi; atau c. data riil pada tanggal laporan. (4) Bank Pelapor wajib menyampaikan data non transaksional suku bunga penawaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) huruf k setiap terjadi penawaran. (5) Bank Pelapor wajib tetap menyampaikan form header walaupun tidak memiliki data transaksional dan/atau data non transaksional. (6) Batas waktu penyampaian LHBU sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. (7) Kewajiban penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) tidak berlaku bagi Bank Pelapor yang tidak beroperasi, dengan terlebih dahulu menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Bank Indonesia. Pasal 5 Dalam hal terdapat kesalahan data pada LHBU yang telah disampaikan kepada Bank Indonesia, Bank Pelapor wajib menyampaikan koreksi LHBU dalam batas waktu koreksi yang diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 6 (1) Bank Pelapor wajib menyampaikan LHBU dan atau koreksi LHBU kepada Bank Indonesia secara On-Line. (2) Bank Pelapor yang mengalami gangguan teknis sehingga tidak dapat menyampaikan LHBU dan atau koreksi LHBU secara On-Line sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib menyampaikan pemberitahuan secara tertulis … - 7 - tertulis kepada Bank Indonesia segera setelah terjadinya gangguan pada Hari Kerja yang sama sebelum batas waktu penyampaian laporan mengenai gangguan teknis yang dialami dan ditandatangani oleh Pejabat yang berwenang. (3) Dalam hal Bank Pelapor tidak menyampaikan pemberitahuan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Bank Pelapor dianggap tidak menyampaikan LHBU secara On-Line. (4) Dalam hal terjadi gangguan teknis atau gangguan lainnya pada sistem dan atau jaringan komunikasi di Bank Indonesia maka Bank Indonesia akan memberitahukan terjadinya gangguan tersebut secara tertulis atau melalui sarana lainnya kepada Bank Pelapor. (5) Bank Pelapor yang tidak dapat menyampaikan LHBU dan atau koreksi LHBU secara On-Line yang disebabkan oleh gangguan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau ayat (4), wajib menyampaikan LHBU dan atau koreksi LHBU secara Off-Line pada Hari Kerja yang sama untuk data: a. PUAB Pagi Rupiah; b. PUAB Sore Rupiah; c. PUAB Valuta Asing; d. PUAS; e. perdagangan surat berharga pasar uang di pasar sekunder; f. suku bunga dasar kredit; g. suku bunga kredit; h. suku bunga deposito berjangka, diskonto sertifikat deposito dan suku bunga tabungan; i. tingkat imbalan deposito mudharabah Bank syariah; dan j. suku bunga penawaran (quotation). (6) Bank Pelapor yang tidak dapat menyampaikan LHBU dan atau koreksi LHBU secara On-Line yang disebabkan oleh gangguan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau ayat (4), wajib menyampaikan LHBU dan atau koreksi … - 8 - koreksi LHBU secara Off-Line paling lambat pada pukul 10.00 WIB Hari Kerja berikutnya untuk data: a. PUAB luar negeri; b. posisi devisa neto; c. pos-pos tertentu neraca; d. proyeksi arus kas; e. transaksi valuta asing; f. posisi akhir hari transaksi derivatif jual valuta asing bukan investasi dengan pihak asing; g. posisi akhir hari transaksi derivatif beli valuta asing bukan investasi dengan pihak asing; dan h. posisi rekapitulasi transaksi derivatif. Pasal 7 (1) Bank Pelapor dianggap tidak menyampaikan LHBU atau koreksi LHBU secara On-Line apabila LHBU dan atau koreksi LHBU tidak diterima oleh Bank Indonesia sampai dengan batas waktu penyampaian LHBU dan/atau koreksi LHBU sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. (2) Bank Pelapor dianggap tidak menyampaikan LHBU atau koreksi LHBU secara Off-Line apabila LHBU dan atau koreksi LHBU tidak diterima oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (5) dan Pasal 6 ayat (6). Pasal 8 (1) Bank Pelapor yang dianggap tidak menyampaikan LHBU dan atau koreksi LHBU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, tetap wajib menyampaikan LHBU dan atau koreksi LHBU untuk data: a. transaksi valuta asing; b. posisi devisa neto; c. pos- … - 9 - c. pos-pos tertentu neraca; d. proyeksi arus kas; e. posisi akhir hari transaksi derivatif jual valuta asing bukan investasi dengan pihak asing; f. posisi akhir hari transaksi derivatif beli valuta asing bukan investasi dengan pihak asing; dan g. posisi rekapitulasi transaksi derivatif. (2) Tata cara penyampaian LHBU dan atau koreksi LHBU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 9 (1) Kewajiban untuk menyampaikan LHBU dan atau koreksi LHBU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6 ayat (1), Pasal 6 ayat (5) dan Pasal 6 ayat (6) dikecualikan bagi Bank Pelapor yang mengalami keadaan memaksa (force majeure) sehingga mengakibatkan Bank Pelapor tidak dapat menyampaikan LHBU dan atau koreksi LHBU tersebut. (2) Bank Pelapor yang tidak dapat menyampaikan LHBU atau koreksi LHBU sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus segera memberitahukan secara tertulis kepada Bank Indonesia disertai penjelasan mengenai penyebab terjadinya keadaan memaksa (force majeure) beserta upaya-upaya yang dilakukan, yang ditandatangani oleh Pejabat yang berwenang. (3) Pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya diberikan sampai dengan keadaan memaksa (force majeure) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat teratasi. BAB IV … - 10 - BAB IV HASIL OLAHAN DAN PENGGUNA LHBU Pasal 10 (1) Bank Indonesia menyediakan hasil olahan LHBU kepada Bank Pelapor dan atau Pelanggan PIPU. (2) Hasil olahan LHBU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa: a. informasi yang disediakan oleh PIPU dalam bentuk agregat; dan b. data individual Bank Pelapor yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Pasal 11 (1) Bank Pelapor dapat memperoleh hasil olahan berupa informasi yang disediakan oleh PIPU dalam bentuk agregat dan data individual Bank Pelapor yang bersangkutan. (2) Pelanggan PIPU hanya dapat memperoleh hasil olahan LHBU berupa informasi yang disediakan oleh PIPU dalam bentuk agregat. (3) Bank Indonesia dapat mengenakan biaya kepada Bank Pelapor atas penyediaan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 12 (1) Untuk menjadi Pelanggan PIPU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) calon Pelanggan PIPU harus mengajukan permohonan secara tertulis kepada Bank Indonesia. (2) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetujui oleh Bank Indonesia, calon Pelanggan PIPU harus menandatangani Perjanjian Penggunaan PIPU dengan Bank Indonesia. (3) Pengaturan pelaksanaan mengenai Pelanggan PIPU diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 13 … - 11 - Pasal 13 (1) Bank Indonesia menyediakan hak akses terhadap sistem LHBU di Bank Indonesia dalam jumlah tertentu kepada setiap Bank Pelapor tanpa dikenakan biaya. (2) Bank Indonesia mengenakan biaya kepada Bank Pelapor atas setiap tambahan hak akses terhadap sistem LHBU sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Bank Indonesia menyediakan hak akses dan informasi kepada Pelanggan PIPU dengan dikenakan biaya. (4) Bank Pelapor dan Pelanggan PIPU bertanggung jawab atas hak akses terhadap sistem LHBU yang diberikan oleh Bank Indonesia. (5) Pengaturan pelaksanaan mengenai hak akses dan biaya diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia. BAB V S A N K S I Pasal 14 (1) Bank Pelapor yang tidak menyampaikan secara On-Line data transaksional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a, huruf b, dan huruf c dalam batas waktu penyampaian LHBU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (6) atau secara Off-Line sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (5) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e, serta Pasal 6 ayat (6) huruf a, dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu Rupiah) untuk setiap data transaksional yang tidak disampaikan dengan sanksi kewajiban membayar paling banyak sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta Rupiah) per hari untuk keseluruhan data transaksional. (2) Bank … - 12 - (2) Bank Pelapor yang tidak menyampaikan secara On-Line data transaksional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf d dalam batas waktu penyampaian LHBU yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (6) atau secara Off-Line sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (6) huruf e, dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu Rupiah) untuk setiap data transaksional yang tidak disampaikan dengan sanksi kewajiban membayar paling banyak sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta Rupiah) per hari untuk keseluruhan data transaksional. (3) Bank pelapor yang tidak menyampaikan secara On-Line data non transaksional LHBU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) huruf a sampai dengan huruf j dalam batas waktu penyampaian LHBU yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (6) atau secara Off- Line sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (5) huruf f sampai dengan huruf i dan Pasal 6 ayat (6) huruf b, huruf c, huruf d, huruf f, huruf g, dan huruf h, dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp250.000,00 duaratus lima puluh ribu Rupiah) untuk setiap data non transaksional yang tidak disampaikan. (4) Bank Pelapor yang melakukan penawaran suku bunga namun tidak menyampaikan secara On-Line data non transaksional suku bunga penawaran (quotation) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) huruf k setiap terjadi penawaran sampai dengan batas waktu penyampaian LHBU yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (6) atau secara Off-Line data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (5) huruf j, dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu Rupiah) untuk setiap data penawaran (quotation) yang tidak disampaikan. (5) Bank Pelapor yang tidak mengirimkan secara On-Line form header LHBU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), Pasal 4 ayat (3), dan Pasal 4 ayat … - 13 - ayat (5) dalam batas waktu yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (6) atau secara Off-Line sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (5), Pasal 6 ayat (6) dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta Rupiah) untuk setiap form header. (6) Bank Pelapor yang menyampaikan data transaksional dan non transaksional LHBU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a, huruf b dan huruf c dan Pasal 2 ayat (4) huruf d sampai dengan huruf k, Pasal 6 ayat (5) dan Pasal 6 ayat (6) huruf a sampai dengan huruf d, dalam batas waktu yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 secara tidak benar dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu Rupiah) untuk setiap butir (item) kesalahan dengan sanksi kewajiban membayar paling banyak sebesar Rp2.000.000,00 (dua juta Rupiah) per hari. (7) Bank Pelapor yang menyampaikan data transaksional dan non transaksional LHBU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf d dan Pasal 2 ayat (4) huruf a sampai dengan huruf c, Pasal 6 ayat (6) huruf e sampai dengan huruf h, dalam batas waktu yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 secara tidak benar, dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu Rupiah) untuk setiap butir (item) kesalahan dengan sanksi kewajiban membayar paling banyak sebesar Rp2.000.000,00 (dua juta Rupiah) per hari. (8) Dalam hal Bank Pelapor tidak menyampaikan form header dan terdapat transaksi yang wajib disampaikan Bank Pelapor sesuai dengan peraturan ini maka Bank Pelapor dikenakan sanksi tidak menyampaikan form header sebagaimana dimaksud pada ayat (5), sanksi tidak menyampaikan data sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan atau ayat (4), dan sanksi menyampaikan data secara tidak benar sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dan atau ayat (7). Pasal 15 … - 14 - Pasal 15 Pengenaan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dilakukan oleh Bank Indonesia dengan mendebet rekening giro Rupiah Bank Pelapor pada Bank Indonesia. Pasal 16 (1) Bank Pelapor yang melakukan pelanggaran terhadap Pasal 8 ayat (1) huruf a, huruf e, huruf f, dan huruf g, dikenakan sanksi administratif dalam rangka pembinaan dan pengawasan Bank berupa teguran tertulis. (2) Pengaturan pelaksanaan mengenai sanksi terhadap Bank Pelapor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 ayat (1) diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 17 Bank Indonesia mengenakan sanksi terhadap Pelanggan PIPU yang tidak melakukan pembayaran biaya penggunaan PIPU sebagaimana diatur dalam Perjanjian Penggunaan PIPU berupa : a. teguran tertulis; b. kewajiban membayar; dan atau c. penghentian sebagai Pelanggan PIPU. BAB VI KETENTUAN PENUTUP Pasal 18 Dengan ditetapkannya Peraturan Bank Indonesia ini maka : a. Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/10/PBI/2005 tentang Laporan Harian Bank Umum, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/12/PBI/2005, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku; dan b. Pasal … - 15 - b. Pasal 10 Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/31/PBI/2005 tentang Transaksi Derivatif dinyatakan tidak berlaku. Pasal 19 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 5 Maret 2007 GUBERNUR BANK INDONESIA, BURHANUDDIN ABDULLAH LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2007 NOMOR 40 DPM/UKMI/DPD/DPNP PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 9/2/PBI/2007 TENTANG LAPORAN HARIAN BANK UMUM UMUM Di dalam Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004, ditegaskan bahwa bank wajib menyampaikan laporan, keterangan, dan penjelasan sesuai dengan tata cara yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Data dan atau informasi dalam laporan, keterangan, dan penjelasan dimaksud lebih lanjut digunakan antara lain dalam menyusun statistik untuk analisis kebijakan moneter, pengawasan dan pembinaan bank berbasis risiko serta pengelolaan moneter berdasarkan kondisi pasar uang yang terkini. Berkaitan dengan hal tersebut maka bank diwajibkan menyusun laporan harian secara akurat, benar dan lengkap serta menyampaikan laporan kepada Bank Indonesia secara real time dan tepat waktu. Sistem devisa bebas di Indonesia telah mempercepat perkembangan dan integrasi pasar keuangan Indonesia dengan pasar keuangan global termasuk kegiatan transaksi derivatif. Konsekuensi lanjutan dari perkembangan dan integrasi pasar keuangan tersebut yaitu peningkatan transaksi rupiah antara bank dengan warga negara asing dan badan asing yang diikuti dengan kegiatan spekulasi. Disisi lain kegiatan transaksi derivatif valuta asing margin trading yang mengandung unsur spekulatif menjadi salah satu faktor yang berpengaruh terhadap pergerakan nilai tukar … -2- tukar rupiah, sehingga secara tidak langsung juga dapat mengganggu stabilitas sistem keuangan dan moneter Indonesia. Sehubungan dengan hal tersebut, Bank Indonesia telah mengatur kembali pembatasan-pembatasan yang diperlukan sebagaimana tertuang dalam Peraturan Bank Indonesia tentang Pembatasan Transaksi Rupiah dan Pemberian Kredit Valuta Asing oleh Bank. Dilanjutkan dengan pengaturan kembali transaksi derivatif sebagaimana tertuang dalam Peraturan Bank Indonesia tentang Transaksi Derivatif. Berkaitan dengan pengaturan kembali kebijakan-kebijakan tersebut diatas maka penyampaian data kepada Bank Indonesia melalui sistem LHBU telah mengalami penyempurnaan. Sistem LHBU hasil penyempurnaan tersebut tetap memiliki keluaran (output) berupa informasi PIPU dan data individual Bank Pelapor. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan data transaksional adalah data yang dihasilkan dari transaksi Bank Pelapor dengan pihak lain sebagai counterpart. Yang dimaksud dengan data non transaksional adalah data yang bukan dihasilkan dari transaksi Bank Pelapor dengan pihak lain, dan atau merupakan data posisi atas transaksi Bank Pelapor. Ayat (3) … -3- Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan data perdagangan surat berharga pasar uang di pasar sekunder adalah data transaksi dari surat-surat berharga yang pada saat ini hanya berupa Sertifikat Bank Indonesia, sertifikat deposito, dan commercial paper. Huruf d Yang dimaksud dengan transaksi valuta asing (foreign exchange) adalah transaksi jual beli antara satu mata uang dengan mata uang lainnya pada harga yang disepakati yang terdiri dari antara lain tod/tom/spot, transaksi derivatif berupa forward, swap, option, dan transaksi derivatif lainnya, namun tidak termasuk transaksi jual beli Uang Kertas Asing (UKA). Ayat (4) Huruf a Yang dimaksud dengan pihak asing adalah pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku tentang Pembatasan Transaksi Rupiah dan Pemberian Kredit Valuta Asing oleh Bank. Yang dimaksud data posisi akhir hari transaksi derivatif jual valuta asing bukan investasi dengan pihak asing adalah data sebagaimana … -4- sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku tentang Pembatasan Transaksi Rupiah dan Pemberian Kredit Valuta asing oleh Bank. Huruf b Yang dimaksud data posisi akhir hari transaksi derivatif beli valuta asing bukan investasi dengan pihak asing adalah data sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku tentang Pembatasan Transaksi Rupiah dan Pemberian Kredit Valas oleh Bank. Huruf c Yang dimaksud data rekapitulasi transaksi derivatif adalah data sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku tentang Transaksi Derivatif. Huruf d Yang dimaksud dengan posisi devisa neto adalah posisi devisa neto sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang berlaku tentang posisi devisa neto. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Cukup jelas. Huruf k … -5- Huruf k Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 3 Ayat (1) Yang dimaksud dengan penanggung jawab adalah petugas Bank Pelapor yang diberi otorisasi untuk menyusun dan menyampaikan LHBU. Ayat (2) Yang dimaksud dengan Kantor Cabang Bank Asing adalah kantor cabang dari Bank yang berkedudukan di luar negeri berdasarkan hukum asing atau berkantor pusat di luar negeri, yang secara langsung atau tidak langsung bertanggung jawab kepada kantor pusat Bank yang bersangkutan dan mempunyai alamat serta tempat kedudukan di Indonesia. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 4 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan form header adalah formulir LHBU yang memuat paling sedikit informasi tentang sandi bank, tanggal laporan, nomor form, dan jumlah record isi. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) … -6- Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan gangguan teknis adalah gangguan yang menyebabkan Bank Pelapor tidak dapat menyampaikan LHBU secara On-Line kepada Bank Indonesia antara lain karena gangguan pada jaringan telekomunikasi dan atau penyebab lainnya. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan gangguan teknis atau gangguan lainnya adalah gangguan yang menyebabkan Bank Indonesia tidak dapat menerima penyampaian LHBU secara On-Line antara lain karena gangguan pada jaringan telekomunikasi dan atau penyebab lainnya. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) … -7- Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 7 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 8 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 9 Ayat (1) Yang dimaksud dengan keadaan memaksa (force majeure) adalah keadaan yang secara nyata menyebabkan Bank Pelapor tidak dapat menyampaikan LHBU dan atau koreksi LHBU, antara lain kebakaran, kerusuhan massa, perang, sabotase, serta bencana alam seperti gempa bumi dan banjir, yang dibenarkan oleh penguasa atau pejabat dari instansi terkait di daerah setempat. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan keadaan memaksa (force majeure) dapat teratasi adalah keadaan Bank Pelapor yang secara normal telah dapat melaksanakan kegiatan operasional sehingga dapat menyampaikan … -8- menyampaikan LHBU dan atau koreksi LHBU kepada Bank Indonesia sesuai dengan ketentuan ini. Pasal 10 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan data individual Bank Pelapor adalah data atau informasi yang merupakan hasil olahan mengenai Bank Pelapor yang bersangkutan. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Ayat (1) Yang dimaksud hak akses adalah hak yang diberikan oleh Bank Indonesia kepada Bank Pelapor dan atau Pelanggan PIPU untuk dapat melakukan log-in ke dalam sistem LHBU di Bank Indonesia. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) … -9- Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 14 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Untuk transaksi valuta asing yang dimaksud dengan data non transaksional meliputi keseluruhan data masing-masing data non transaksional huruf a sampai dengan huruf c pada Pasal 2 ayat (4). Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Yang dimaksud dengan butir (item) dalam ayat ini adalah field- field pada setiap record dalam setiap form. Yang dimaksud dengan penyampaian data tidak benar adalah termasuk penyampaian data yang tidak akurat dan tidak lengkap. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 … -10- Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4706 "," PBI 9/2/PBI/2007 LAPORAN HARIAN BANK UMUM 5 Maret 2007 5 Maret 2007 '7/10/PBI/2005', '7/12/PBI/2005', '7/31/PBI/2005' '7/UU/1992', '10/UU/1998', '23/UU/1999', '3/UU/2004' 'BAB V' " " PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 7/46/PBI/2005 TENTANG AKAD PENGHIMPUNAN DAN PENYALURAN DANA BAGI BANK YANG MELAKSANAKAN KEGIATAN USAHA BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa perbankan syariah harus senantiasa menjaga kepercayaan masyarakat baik dari aspek finansial maupun kesesuaian terhadap operasinya; b. bahwa setiap pelaku dalam industri perbankan syariah, termasuk pengelola bank/pemilik dana/pengguna dana, serta otoritas pengawas harus memiliki kesamaan cara pandang terhadap Akad-Akad produk penghimpunan dan penyaluran dana bank syariah; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b dipandang perlu untuk menetapkan ketentuan tentang Akad penghimpunan dan penyaluran dana bagi bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah dalam Peraturan Bank Indonesia; Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan … prinsip syariah yang menjadi dasar - 2 - Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Indonesia Nomor 4357); MEMUTUSKAN: Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG AKAD PENGHIMPUNAN DAN PENYALURAN DANA BAGI BANK YANG MELAKSANAKAN KEGIATAN USAHA BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH Negara Republik BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Yang dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia ini dengan: 1. Bank … - 3 - 1. Bank adalah Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip Syariah. 2. Prinsip Syariah adalah prinsip syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 13 Undang-undang No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998; 3. Akad adalah perjanjian tertulis yang memuat ijab (penawaran) dan qabul (penerimaan) antara Bank dengan pihak lain yang berisi hak dan kewajiban masing-masing pihak sesuai dengan prinsip Syariah; 4. Wadi’ah adalah penitipan dana atau barang dari pemilik dana atau barang pada penyimpan dana atau barang dengan kewajiban pihak yang menerima titipan untuk mengembalikan dana atau barang titipan sewaktu-waktu. 5. Mudharabah adalah penanaman dana dari pemilik dana (shahibul maal) kepada pengelola dana (mudharib) untuk melakukan kegiatan usaha tertentu, dengan pembagian menggunakan metode bagi untung dan rugi (profit and loss sharing) atau metode bagi pendapatan (revenue sharing) antara kedua belah pihak berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya. 6. Musyarakah adalah penanaman dana dari pemilik dana/modal untuk mencampurkan dana/modal mereka pada suatu usaha tertentu, dengan pembagian keuntungan berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya, sedangkan kerugian ditanggung semua pemilik dana/ modal berdasarkan bagian dana/ modal masing-masing. 7. Murabahah … - 4 - 7. Murabahah adalah jual beli barang sebesar harga pokok barang ditambah dengan margin keuntungan yang disepakati. 8. Salam adalah jual beli barang dengan cara pemesanan dengan syarat-syarat tertentu dan pembayaran tunai terlebih dahulu secara penuh. 9. Istishna' adalah jual beli barang dalam bentuk pemesanan pembuatan barang dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati dengan pembayaran sesuai dengan kesepakatan. 10. Ijarah adalah transaksi sewa menyewa atas suatu barang dan atau upah mengupah atas suatu jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa atau imbalan jasa; 11. Qardh adalah pinjam meminjam dana tanpa imbalan dengan kewajiban pihak peminjam mengembalikan pokok pinjaman secara sekaligus atau cicilan dalam jangka waktu tertentu. Pasal 2 (1) Dalam melaksanakan kegiatan penghimpunan dan penyaluran dana Bank wajib membuat Akad sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini. (2) Dalam Akad sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib ditegaskan jenis transaksi syariah yang digunakan. (3) Transaksi syariah sebagaimana dimaksud pada ayat mengandung unsur gharar, maysir, riba, zalim, risywah, dan maksiat. (2) tidak barang boleh haram BAB II … - 5 - BAB II PERSYARATAN AKAD PENGHIMPUNAN DAN PENYALURAN DANA Bagian Pertama Penghimpunan Dana Pasal 3 Dalam kegiatan penghimpunan dana dalam bentuk giro atau tabungan berdasarkan Wadi'ah berlaku persyaratan paling kurang sebagai berikut: a. Bank bertindak sebagai penerima dana titipan dan nasabah bertindak sebagai pemilik dana titipan; b. dana titipan disetor penuh kepada Bank dan dinyatakan dalam jumlah nominal; c. dana titipan dapat diambil setiap saat; d. tidak diperbolehkan menjanjikan pemberian imbalan atau bonus kepada nasabah; e. Bank menjamin pengembalian dana titipan nasabah. Pasal 4 Dalam kegiatan penghimpunan dana dalam bentuk giro berdasarkan Mudharabah berlaku persyaratan paling kurang sebagai berikut: a. nasabah bertindak sebagai pemilik dana (shahibul maal) dan Bank bertindak sebagai pengelola dana (mudharib); b. Bank dapat melakukan berbagai macam usaha yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah dan mengembangkannya, termasuk di dalamnya melakukan Akad Mudharabah dengan pihak lain; c. modal … - 6 - c. modal harus dalam bentuk tunai dan bukan piutang, serta dinyatakan jumlah nominalnya; d. nasabah wajib memelihara saldo giro minimum yang ditetapkan oleh Bank dan tidak dapat ditarik oleh nasabah kecuali dalam rangka penutupan rekening; e. f. pembagian keuntungan harus dinyatakan dalam bentuk nisbah dan dituangkan dalam Akad pembukaan rekening. pemberian keuntungan untuk nasabah didasarkan pada saldo terendah setiap akhir bulan laporan. g. Bank menutup biaya operasional giro dengan menggunakan keuntungan yang menjadi haknya; dan h. Bank tidak diperkenankan mengurangi nisbah keuntungan nasabah tanpa persetujuan yang bersangkutan. Pasal 5 Dalam kegiatan penghimpunan dana dalam bentuk tabungan atau deposito berdasarkan Mudharabah berlaku persyaratan paling kurang sebagai berikut : a. Bank bertindak sebagai pengelola dana dan nasabah bertindak sebagai pemilik dana; b. c. dana disetor penuh kepada Bank dan dinyatakan dalam jumlah nominal; pembagian keuntungan dari pengelolaaan dana investasi dinyatakan dalam bentuk nisbah; d. pada Akad tabungan berdasarkan Mudharabah, nasabah wajib meng- investasikan minimum dana tertentu yang jumlahnya ditetapkan oleh Bank dan tidak dapat ditarik oleh nasabah kecuali dalam rangka penutupan rekening; e. nasabah … nisbah - 7 - e. nasabah tidak diperbolehkan menarik dana di luar kesepakatan; f. Bank sebagai mudharib menutup biaya operasional tabungan atau deposito dengan menggunakan nisbah keuntungan yang menjadi haknya; g. Bank tidak diperbolehkan mengurangi bagian keuntungan nasabah tanpa persetujuan nasabah yang bersangkutan; dan h. Bank tidak menjamin dana nasabah, kecuali diatur berbeda dalam perundang-undangan yang berlaku. Bagian Kedua Penyaluran Dana Paragraf 1 Penyaluran Dana Berdasarkan Mudharabah dan Musyarakah Pasal 6 Dalam kegiatan penyaluran dana dalam bentuk pembiayaan berdasarkan Mudharabah berlaku persyaratan paling kurang sebagai berikut: a. Bank bertindak sebagai shahibul maal yang menyediakan dana secara penuh, dan nasabah bertindak sebagai mudharib yang mengelola dana dalam kegiatan usaha; b. jangka waktu pembiayaan, pengembalian dana, dan pembagian keuntungan ditentukan berdasarkan kesepakatan Bank dan nasabah; c. Bank tidak ikut serta dalam pengelolaan usaha nasabah tetapi memiliki hak dalam pengawasan dan pembinaan usaha nasabah; d. pembiayaan diberikan dalam bentuk tunai dan/atau barang; e. f. dalam hal pembiayaan diberikan dalam bentuk tunai harus dinyatakan jumlahnya; dalam hal pembiayaan diberikan dalam bentuk barang, maka barang yang diserahkan … - 8 - diserahkan harus dinilai berdasarkan harga perolehan atau harga pasar wajar; g. pembagian keuntungan dari pengelolaaan dana dinyatakan dalam bentuk nisbah yang disepakati; h. Bank menanggung seluruh risiko kerugian usaha yang dibiayai kecuali jika nasabah melakukan kecurangan, lalai, atau menyalahi perjanjian yang mengakibatkan kerugian usaha; i. j. nisbah bagi hasil yang disepakati tidak dapat diubah sepanjang jangka waktu investasi, kecuali atas dasar kesepakatan para pihak dan tidak berlaku surut; nisbah bagi hasil dapat ditetapkan secara berjenjang (tiering) yang besarnya berbeda-beda berdasarkan kesepakatan pada awal Akad; k. pembagian keuntungan dilakukan dengan menggunakan metode bagi untung dan rugi (profit and loss sharing) atau metode bagi pendapatan (revenue sharing); l. pembagian keuntungan berdasarkan hasil usaha dari mudharib sesuai dengan laporan hasil usaha dari usaha mudharib; m. dalam hal nasabah ikut menyertakan modal dalam kegiatan usaha yang dibiayai Bank, maka berlaku ketentuan; (i) nasabah bertindak sebagai mitra usaha dan mudharib; (ii) atas keuntungan yang dihasilkan dari kegiatan usaha yang dibiayai tersebut, maka nasabah mengambil bagian keuntungan dari porsi modalnya, sisa keuntungan dibagi sesuai kesepakatan antara Bank dan nasabah; n. pengembalian pembiayaan dilakukan pada akhir periode Akad untuk pembiayaan dengan jangka waktu sampai dengan satu tahun atau dilakukan secara angsuran berdasarkan aliran kas masuk (cash in flow) usaha nasabah; dan … - 9 - dan o. Bank dapat meminta jaminan atau agunan untuk mengantisipasi risiko apabila nasabah tidak dapat memenuhi kewajiban sebagaimana dimuat dalam Akad karena kelalaian dan/atau kecurangan. Pasal 7 Dalam kegiatan penyaluran dana dalam bentuk pembiayaan berdasarkan Mudharabah muqayyadah (restricted investment) berlaku persyaratan paling kurang sebagai berikut: a. Bank bertindak sebagai agen penyalur dana investor (channelling agent) kepada nasabah yang bertindak sebagai pengelola dana untuk kegiatan usaha dengan persyaratan dan jenis kegiatan usaha yang ditentukan oleh investor; b. jangka waktu pembiayaan, pengembalian dana, dan pembagian keuntungan ditentukan berdasarkan kesepakatan antara investor, nasabah dan Bank; c. Bank tidak ikut serta dalam pengelolaan usaha nasabah tetapi memiliki hak dalam pengawasan dan pembinaan usaha nasabah; d. pembiayaan diberikan dalam bentuk tunai dan/atau barang; e. dalam hal pembiayaan diberikan dalam bentuk barang, maka barang yang diserahkan harus dinilai dengan harga perolehan atau harga pasar; f. Bank sebagai agen penyaluran dana dapat menerima fee (imbalan) yang perhitungannya diserahkan kepada kesepakatan para pihak; g. pembagian keuntungan dari pengelolaaan dana investasi dinyatakan dalam bentuk nisbah yang disepakati antara investor dan nasabah; h. Bank sebagai agen penyaluran dana milik investor tidak menanggung risiko kerugian usaha yang dibiayai; dan i. investor … - 10 - i. investor sebagai pemilik dana Mudharabah muqayyadah menanggung seluruh risiko kerugian kegiatan usaha kecuali jika nasabah melakukan kecurangan, lalai, atau menyalahi perjanjian yang mengakibatkan kerugian usaha. Pasal 8 Dalam kegiatan penyaluran dana dalam bentuk pembiayaan berdasarkan Musyarakah berlaku persyaratan paling kurang sebagai berikut : a. Bank dan nasabah masing-masing bertindak sebagai mitra usaha dengan bersama-sama menyediakan dana dan/atau barang untuk membiayai suatu kegiatan usaha tertentu; b. nasabah bertindak sebagai pengelola usaha dan Bank sebagai mitra usaha dapat ikut serta dalam pengelolaan usaha sesuai dengan tugas dan wewenang yang disepakati; c. Bank berdasarkan kesepakatan dengan nasabah dapat menunjuk nasabah untuk mengelola usaha; d. pembiayaan diberikan dalam bentuk tunai dan/atau barang; e. dalam hal pembiayaan diberikan dalam bentuk barang, maka barang yang diserahkan harus dinilai secara tunai berdasarkan kesepakatan; f. jangka waktu pembiayaan, pengembalian dana, dan pembagian keuntungan ditentukan berdasarkan kesepakatan antara Bank dan nasabah; biaya operasional dibebankan pada modal bersama sesuai kesepakatan; g. h. pembagian keuntungan dari pengelolaan dana dinyatakan dalam bentuk nisbah yang disepakati; i. Bank dan nasabah menanggung kerugian secara proporsional menurut porsi modal … - 11 - modal masing-masing, kecuali jika terjadi kecurangan, lalai, atau menyalahi perjanjian dari salah satu pihak; j. nisbah bagi hasil yang disepakati tidak dapat diubah sepanjang jangka waktu investasi, kecuali atas dasar kesepakatan para pihak dan tidak berlaku surut; k. nisbah bagi hasil dapat ditetapkan secara berjenjang (tiering) yang besarnya berbeda-beda berdasarkan kesepakatan pada awal Akad; l. pembagian keuntungan dapat dilakukan dengan metode bagi untung atau rugi (profit and loss sharing) atau metode bagi pendapatan (revenue sharing); m. pembagian keuntungan berdasarkan hasil usaha sesuai dengan laporan keuangan nasabah; n. pengembalian pokok pembiayaan dilakukan pada akhir periode Akad atau dilakukan secara angsuran berdasarkan aliran kas masuk (cash in flow) usaha; dan o. Bank dapat meminta jaminan atau agunan untuk mengantisipasi risiko apabila nasabah tidak dapat memenuhi kewajiban sebagaimana dimuat dalam Akad karena kelalaian dan atau kecurangan. Paragraf 2 Penyaluran Dana Berdasarkan Murabahah, Salam dan Istishna’ Pasal 9 (1) Kegiatan penyaluran dana dalam bentuk pembiayaan berdasarkan Murabahah berlaku persyaratan paling kurang sebagai berikut : a. Bank menyediakan dana pembiayaan berdasarkan perjanjian jual beli barang. b. jangka waktu pembayaran harga barang oleh nasabah kepada Bank ditentukan … - 12 - ditentukan berdasarkan kesepakatan Bank dan nasabah; c. Bank dapat membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang yang telah disepakati kualifikasinya; d. dalam hal Bank mewakilkan kepada nasabah (wakalah) untuk membeli barang, maka Akad Murabahah harus dilakukan setelah barang secara prinsip menjadi milik Bank; e. Bank dapat meminta nasabah untuk membayar uang muka atau urbun saat menandatangani kesepakatan awal pemesanan barang oleh nasabah; f. Bank dapat meminta nasabah untuk menyediakan agunan tambahan selain barang yang dibiayai Bank; g. kesepakatan marjin harus ditentukan satu kali pada awal Akad dan tidak berubah selama periode Akad; h. Angsuran pembiayaan selama periode Akad harus dilakukan secara proporsional. (2) Dalam hal Bank meminta nasabah untuk membayar uang muka atau urbun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e maka berlaku ketentuan sebagai berikut : a. dalam hal uang muka, jika nasabah menolak untuk membeli barang setelah membayar uang muka, maka biaya riil Bank harus dibayar dari uang muka tersebut dan bank harus mengembalikan kelebihan uang muka kepada nasabah. Namun jika nilai uang muka kurang dari nilai kerugian yang harus ditanggung oleh Bank, maka Bank dapat meminta lagi pembayaran sisa kerugiannya kepada nasabah; b. dalam hal urbun, jika nasabah batal membeli barang, maka urbun yang telah dibayarkan nasabah menjadi milik Bank maksimal sebesar kerugian … - 13 - kerugian yang ditanggung oleh Bank akibat pembatalan tersebut, dan jika urbun tidak mencukupi, nasabah wajib melunasi kekurangannya. Pasal 10 (1) Dalam pembiayaan Murabahah Bank dapat memberikan potongan dari total kewajiban pembayaran hanya kepada nasabah yang telah melakukan kewajiban pembayaran cicilannya dengan tepat waktu dan/atau nasabah yang mengalami penurunan kemampuan pembayaran. (2) Besar potongan Murabahah kepada nasabah tidak boleh diperjanjikan dalam Akad dan diserahkan kepada kebijakan Bank. Pasal 11 (1) Kegiatan penyaluran dana dalam bentuk pembiayaan berdasarkan Salam berlaku persyaratan paling kurang sebagai berikut: a. Bank membeli barang dari nasabah dengan spesifikasi, kualitas, jumlah, jangka waktu, tempat, dan harga yang disepakati; b. pembayaran harga oleh Bank kepada nasabah harus dilakukan secara penuh pada saat Akad disepakati; c. pembayaran oleh Bank kepada nasabah tidak boleh dalam bentuk pembebasan kewajiban nasabah kepada Bank ; d. alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya sesuai dengan kesepakatan; e. Bank sebagai pembeli tidak boleh menjual barang yang belum diterima; f. dalam rangka meyakinkan bahwa penjual dapat menyerahkan barang sesuai kesepakatan maka Bank dapat meminta jaminan pihak ketiga sesuai … - 14 - sesuai ketentuan yang berlaku; dan g. Bank hanya dapat memperoleh keuntungan atau kerugian pada saat barang yang dibeli Bank telah dijual kepada pihak lain, kecuali terdapat perubahan harga pasar terhadap harga perolehan, sebelum barang dijual kepada pihak lain. (2) Dalam hal seluruh atau sebagian barang tidak tersedia sesuai dengan waktu penyerahan, kualitas atau jumlahnya sebagaimana kesepakatan maka Bank memiliki pilihan untuk : a. membatalkan (mem-fasakh-kan) Akad dan meminta pengembalian dana hak Bank; b. menunggu penyerahan barang tersedia; atau c. meminta kepada nasabah untuk mengganti dengan barang lainnya yang sejenis atau tidak sejenis sepanjang nilai pasarnya sama dengan barang pesanan semula; (3) dalam hal nasabah menyerahkan barang kepada Bank dengan kualitas yang lebih tinggi maka nasabah tidak boleh meminta tambahan harga, kecuali terdapat kesepakatan antara Bank dengan nasabah; (4) dalam hal nasabah menyerahkan barang kepada Bank dengan kualitas yang lebih rendah dan Bank dengan sukarela menerimanya, maka tidak boleh menuntut pengurangan harga (discount). Pasal 12 (1) Kegiatan penyaluran dana dalam bentuk pembiayaan berdasarkan Salam paralel berlaku persyaratan paling kurang sebagai berikut : a. Bank sebagai pembeli dalam Akad Salam dapat membuat Akad Salam paralel … - 15 - paralel dengan pihak lainnya dimana Bank bertindak sebagai penjual; b. kewajiban dan hak dalam kedua Akad Salam tersebut harus terpisah; c. Pelaksanaan kewajiban salah satu Akad Salam tidak boleh tergantung pada Akad Salam lainnya; d. Bank yang bertindak sebagai penjual dalam Akad Salam paralel harus memenuhi kewajibannya kepada pihak lainnya apabila nasabah dalam Akad Salam tidak memenuhi Akad Salam; e. Bank menjual barang kepada nasabah pemesan dengan spesifikasi, kualitas, jumlah, jangka waktu, tempat, dan harga yang disepakati; f. g. pembayaran harga oleh nasabah kepada Bank dilakukan secara penuh pada saat Akad disepakati; dalam hal pembayaran harga oleh nasabah kepada Bank dilakukan secara angsuran maka wajib dilakukan dengan Akad Murabahah; h. pembayaran oleh nasabah kepada Bank tidak boleh dalam bentuk pembebasan kewajiban Bank kepada nasabah; i. alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya sesuai dengan kesepakatan; j. k. nasabah sebagai pembeli tidak boleh menjual barang yang belum diterima; dalam rangka meyakinkan Bank dapat menyerahkan barang sesuai kesepakatan, maka nasabah dapat meminta jaminan pihak ketiga sesuai ketentuan yang berlaku. (2) Dalam hal seluruh atau sebagian barang tidak tersedia sesuai dengan waktu penyerahan, kualitas atau jumlahnya sebagaimana kesepakatan maka nasabah memiliki pilihan untuk: a. membatalkan … - 16 - a. membatalkan (mem-fasakh-kan) Akad dan meminta pengembalian dana hak nasabah; b. menunggu penyerahan barang tersedia; atau c. meminta kepada Bank untuk mengganti dengan barang lainnya yang sejenis atau tidak sejenis sepanjang nilai pasarnya sama dengan barang pesanan semula; (3) Dalam hal Bank menyerahkan barang kepada nasabah dengan kualitas yang lebih tinggi maka Bank tidak boleh meminta tambahan harga, kecuali terdapat kesepakatan antara Bank dengan nasabah; (4) Dalam hal Bank menyerahkan barang kepada nasabah dengan kualitas yang lebih rendah dan nasabah dengan sukarela menerimanya, maka tidak boleh menuntut pengurangan harga (discount). Pasal 13 (1) Kegiatan penyaluran dana dalam bentuk pembiayaan berdasarkan Istishna' berlaku persyaratan paling kurang sebagai berikut : a. Bank menjual barang kepada nasabah dengan spesifikasi, kualitas, jumlah, jangka waktu, tempat, dan harga yang disepakati; b. pembayaran oleh nasabah kepada Bank tidak boleh dalam bentuk pembebasan hutang nasabah kepada Bank; c. alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya sesuai dengan kesepakatan; d. pembayaran oleh nasabah selaku pembeli kepada Bank dilakukan secara bertahap atau sesuai kesepakatan; (2) Dalam hal seluruh atau sebagian barang tidak tersedia sesuai dengan waktu penyerahan … - 17 - penyerahan, kualitas atau jumlahnya sebagaimana kesepakatan maka nasabah memiliki pilihan untuk: a. membatalkan (mem-fasakh-kan) Akad dan meminta pengembalian dana kepada Bank; b. menunggu penyerahan barang tersedia; atau c. meminta kepada Bank untuk mengganti dengan barang lainnya yang sejenis atau tidak sejenis sepanjang nilai pasarnya sama dengan barang pesanan semula; (3) Dalam hal Bank menyerahkan barang kepada nasabah dengan kualitas yang lebih tinggi maka Bank tidak boleh meminta tambahan harga, kecuali terdapat kesepakatan antara nasabah dengan Bank; (4) Dalam hal Bank menyerahkan barang kepada nasabah dengan kualitas yang lebih rendah dan nasabah dengan sukarela menerimanya, maka nasabah tidak boleh menuntut pengurangan harga (discount). Pasal 14 (1) Kegiatan penyaluran dana dalam bentuk pembiayaan berdasarkan Istishna' paralel berlaku persyaratan paling kurang sebagai berikut : a. Bank sebagai penjual dalam Akad Istishna’ dapat membuat Akad Istishna' paralel dengan pihak lainnya dimana Bank bertindak sebagai pembeli; b. kewajiban dan hak dalam kedua Akad Istishna’ tersebut harus terpisah; c. pelaksanaan kewajiban salah satu Akad Istishna’ tidak boleh tergantung pada Akad Istishna’ paralel atau sebaliknya; d. dalam hal Bank yang bertindak sebagai pembeli dalam Akad Istishna' paralel … - 18 - paralel harus memenuhi kewajibannya kepada pihak lainnya apabila nasabah dalam Akad Istishna’ tidak memenuhi Akad Istishna’; e. Dalam hal pembayaran dilakukan secara angsuran, harus dilakukan secara proporsional. (2) Ketentuan Istishna’ berlaku pula pada Istishna’ Paralel sebagai berikut : a. Bank membeli barang dari nasabah dengan spesifikasi, kualitas, jumlah, jangka waktu, tempat, dan harga yang disepakati; b. pembayaran oleh Bank kepada nasabah tidak boleh dalam bentuk pembebasan hutang nasabah kepada Bank; c. alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya sesuai dengan kesepakatan; d. pembayaran oleh Bank selaku pembeli kepada nasabah dilakukan secara bertahap atau sesuai kesepakatan; e. f. dalam hal nasabah menyerahkan barang kepada Bank dengan kualitas yang lebih tinggi maka nasabah tidak boleh meminta tambahan harga; dalam hal nasabah menyerahkan barang kepada Bank dengan kualitas yang lebih rendah dan Bank dengan sukarela menerimanya, maka Bank tidak boleh menuntut pengurangan harga (discount). Paragraf 3 Penyaluran dana berdasarkan Akad Ijarah, Ijarah muntahiya bitamlik dan Qardh Pasal 15 Kegiatan penyaluran dana dalam bentuk pembiayaan berdasarkan Ijarah untuk transaksi sewa menyewa berlaku persyaratan paling kurang sebagai berikut : a. Bank … - 19 - a. Bank dapat membiayai pengadaan objek sewa berupa barang yang telah dimiliki Bank atau barang yang diperoleh dengan menyewa dari pihak lain untuk kepentingan nasabah berdasarkan kesepakatan; b. objek dan manfaat barang sewa harus dapat dinilai dan diidentifikasi secara spesifik dan dinyatakan dengan jelas termasuk pembayaran sewa dan jangka waktunya; c. Bank wajib menyediakan barang sewa, menjamin pemenuhan kualitas maupun kuantitas barang sewa serta ketepatan waktu penyediaan barang sewa sesuai kesepakatan; d. Bank wajib menanggung biaya pemeliharaan barang/aset sewa yang sifatnya materiil dan struktural sesuai kesepakatan; e. Bank dapat mewakilkan kepada nasabah untuk mencarikan barang yang akan disewa oleh nasabah; f. nasabah wajib membayar sewa secara tunai, menjaga keutuhan barang sewa, dan menanggung biaya pemeliharaan barang sewa sesuai dengan kesepakatan; g. nasabah tidak bertanggungjawab atas kerusakan barang sewa yang terjadi bukan karena pelanggaran perjanjian atau kelalaian nasabah ; Pasal 16 (1) Kegiatan penyaluran dana dalam bentuk Pembiayaan berdasarkan Ijarah muntahiya bittamlik (IMBT) berlaku persyaratan paling kurang sebagai berikut : a. IMBT harus disepakati ketika Akad Ijarah ditandatangani dan kesepakatan tersebut wajib dituangkan dalam Akad Ijarah dimaksud; b. pelaksanaan … - 20 - b. pelaksanaan IMBT hanya dapat dilakukan setelah Akad Ijarah dipenuhi; c. Bank wajib mengalihkan kepemilikan barang sewa kepada nasabah berdasarkan hibah, pada akhir periode perjanjian sewa; d. pengalihan kepemilikan barang sewa kepada penyewa dituangkan dalam Akad tersendiri setelah masa Ijarah selesai; (2) Ketentuan Ijarah berlaku pula pada Akad IMBT sebagai berikut : a. Bank dapat membiayai pengadaan objek sewa berupa barang yang telah dimiliki Bank atau barang yang diperoleh dengan menyewa dari pihak lain untuk kepentingan nasabah berdasarkan kesepakatan; b. objek dan manfaat barang sewa harus dapat dinilai dan diidentifikasi secara spesifik dan dinyatakan dengan jelas termasuk pembayaran sewa dan jangka waktunya; c. Bank wajib menyediakan barang sewa, menjamin pemenuhan kualitas maupun kuantitas barang sewa serta ketepatan waktu penyediaan barang sewa sesuai kesepakatan; d. Bank wajib menanggung biaya pemeliharaan barang/aset sewa yang sifatnya materiil dan struktural sesuai kesepakatan; e. Bank dapat mewakilkan kepada nasabah untuk mencarikan barang yang akan disewa oleh nasabah; f. nasabah wajib membayar sewa secara tunai dan menjaga keutuhan barang sewa, dan menanggung biaya pemeliharaan barang sewa sesuai dengan kesepakatan; g. nasabah tidak bertanggung jawab atas kerusakan barang sewa yang terjadi bukan karena pelanggaran perjanjian atau kelalaian nasabah; Pasal 17 … - 21 - Pasal 17 Kegiatan penyaluran dana dalam bentuk pembiayaan berdasarkan Ijarah untuk transaksi multijasa berlaku persyaratan paling kurang sebagai berikut : a. Bank dapat menggunakan Akad Ijarah untuk transaksi multijasa dalam jasa keuangan antara lain dalam bentuk pelayanan pendidikan, kesehatan, ketenaga kerjaan dan kepariwisataan; b. c. dalam pembiayaan kepada nasabah yang menggunakan Akad Ijarah untuk transaksi multijasa, Bank dapat memperoleh imbalan jasa (ujrah) atau fee; besar ujrah atau fee harus disepakati di awal dan dinyatakan dalam bentuk nominal bukan dalam bentuk prosentase. Pasal 18 Kegiatan penyaluran dana dalam bentuk pinjaman dana berdasarkan Qardh berlaku persyaratan paling kurang sebagai berikut : a. Bank dapat memberikan pinjaman Qardh untuk kepentingan nasabah berdasarkan kesepakatan; b. nasabah wajib mengembalikan jumlah pokok pinjaman Qardh yang diterima pada waktu yang telah disepakati; c. Bank dapat membebankan kepada nasabah biaya administrasi sehubungan dengan pemberian pinjaman Qardh; d. nasabah dapat memberikan tambahan/sumbangan dengan sukarela kepada Bank selama tidak diperjanjikan dalam Akad; e. dalam hal nasabah tidak dapat mengembalikan sebagian atau seluruh kewajibannya pada waktu yang telah disepakati karena nasabah tidak mampu, maka Bank dapat memperpanjang jangka waktu pengembalian atau menghapus … - 22 - menghapus buku sebagian atau seluruh pinjaman nasabah atas beban kerugian Bank; f. dalam hal nasabah digolongkan mampu dan tidak mengembalikan sebagian atau seluruh kewajibannya pada waktu yang telah disepakati, maka Bank dapat menjatuhkan sanksi kewajiban pembayaran atas kelambatan pembayaran atau menjual agunan nasabah untuk menutup pinjaman nasabah; kewajiban g. sumber dana pinjaman Qardh untuk kegiatan usaha yang bersifat sosial dapat berasal dari modal, keuntungan yang disisihkan dan dari dana infak; h. sumber dana pinjaman Qardh untuk kegiatan usaha yang bersifat talangan dana komersial jangka pendek (short term financing) diperbolehkan dari Dana Pihak Ketiga yang bersifat investasi sepanjang tidak merugikan kepentingan nasabah pemilik dana; Bagian Ketiga Ketentuan Ganti Rugi (Ta’widh) Pasal 19 Ketentuan Ganti Rugi (Ta'widh) dalam Pembiayaan: a. Bank dapat mengenakan ganti rugi (ta`widh) hanya atas kerugian riil yang dapat diperhitungkan dengan jelas kepada nasabah yang dengan sengaja atau karena kelalaian melakukan sesuatu yang menyimpang dari ketentuan Akad dan mengakibatkan kerugian pada Bank; b. Besar ganti rugi yang dapat diakui sebagai pendapatan Bank adalah sesuai dengan nilai kerugian riil (real loss) yang berkaitan dengan upaya Bank untuk memperoleh pembayaran dari nasabah dan bukan kerugian yang diperkirakan … - 23 - diperkirakan akan terjadi (potential loss) karena adanya peluang yang hilang (opportunity loss/al-furshah al-dha-i’ah); c. ganti rugi hanya boleh dikenakan pada Akad Ijarah dan Akad yang menimbulkan utang piutang (dain), seperti Salam, Murabahah, yang pembayarannya dilakukan tidak secara tunai; Istishna’ serta d. ganti rugi dalam Akad Mudharabah dan Musyarakah, hanya boleh dikenakan Bank sebagai shahibul maal apabila bagian keuntungan Bank yang sudah jelas tidak dibayarkan oleh nasabah sebagai mudharib; e. klausul pengenaan ganti rugi harus ditetapkan secara jelas dalam Akad dan dipahami oleh nasabah; dan f. Besarnya ganti rugi atas kerugian riil ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara Bank dengan nasabah. BAB III PENYELESAIAN SENGKETA BANK DAN NASABAH Pasal 20 (1) Dalam hal salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana diperjanjikan dalam Akad atau jika terjadi perselisihan di antara Bank dan Nasabah maka upaya penyelesaian dilakukan melalui musyawarah; (2) Dalam hal musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mencapai kesepakatan, maka penyelesaian lebih lanjut dapat dilakukan melalui alternatif penyelesaian sengketa atau badan arbitrase Syariah; BAB IV … - 24 - BAB IV SANKSI Pasal 21 (1) Bank yang tidak melaksanakan ketentuan dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 19 Peraturan Bank Indonesia ini dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 berupa: a. teguran tertulis; b. penurunan tingkat kesehatan; dan atau c. penggantian pengurus. (2) Unit Usaha Syariah (UUS) yang tidak melaksanakan pengawasan terkait dengan pelaksanaan ketentuan dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 19 Peraturan Bank Indonesia ini dikenakan sanksi administratif berupa: a. teguran tertulis; dan atau b. pencabutan izin usaha UUS. BAB V KETENTUAN PERALIHAN Pasal 22 Akad-Akad Bank yang telah jatuh tempo dan akan diperpanjang wajib disesuaikan dengan Peraturan Bank Indonesia ini. BAB VI … - 25 - BAB VI KETENTUAN PENUTUP Pasal 23 Peraturan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal : 14 November 2005 GUBERNUR BANK INDONESIA, BURHANUDDIN ABDULLAH LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2005 NOMOR 124 DPbS PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK NDONESIA NOMOR: 7/46/PBI/2005 TENTANG AKAD PENGHIMPUNAN DAN PENYALURAN DANA BAGI BANK YANG MELAKSANAKAN KEGIATAN USAHA BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH UMUM Sejalan dengan perkembangan pesat industri perbankan syariah dimungkinkan pula adanya berbagai penafsiran dalam penyusunan Akad produk dan jasa bank syariah yang dapat menimbulkan iklim usaha yang kurang kondusif bagi bank syariah dan ketidak pastian bagi para pihak terkait dan stakeholders lainnya. Dengan demikian diperlukan pengaturan Akad penghimpunan dan penyaluran dana bank syariah dalam rangka memelihara kepercayaan masyarakat terhadap bank syariah. Dengan adanya ketentuan tentang Akad penghimpunan dan penyaluran dana bank syariah akan memberikan manfaat kepada semua pihak yang berkepentingan yang pada gilirannya akan mewujudkan pengelolaan bank syariah yang sehat. Selain itu, kejelasan Akad akan membantu operasional bank sehingga menjadi lebih efisien dan meningkatkan kepastian hukum para pihak termasuk bagi pengawas dan auditor bank syariah. Ketentuan persyaratan minimum Akad ini disusun berpedoman kepada fatwa yang diterbitkan oleh Dewan Syariah Nasional dengan memberikan penjelasan … - 2 - penjelasan lebih rinci aspek teknis perbankan guna menyediakan landasan hukum yang cukup memadai bagi para pihak yang berkepentingan. Ketentuan persyaratan minimum Akad ini mengikuti proses yang berkesinambungan (evolving process) dengan memperhatikan perubahan dan perkembangan kondisi regulasi dan sistem perundangan yang berlaku Prinsip-prinsip umum yang diatur dalam ketentuan persyaratan minimum Akad ini meliputi antara lain prinsip transparansi produk dan jasa dalam upaya mewujudkan bank syariah yang penuh integritas dan amanah, asas keberlakuan secara universal sehingga bank syariah dapat dimanfaatkan oleh seluruh lapisan masyarakat, dan pengutamaan penyelesaian sengketa antara bank dan nasabah secara musyawarah, memenuhi rasa keadilan dan efisiensi biaya dalam penyelesaian sengketa melalui alternatif penyelesaian sengketa atau arbitrase syariah. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Angka 1 sampai dengan angka 11 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan jenis transaksi syariah yang maksud adalah Wadi’ah, Mudharabah, Musyarakah, Murabahah, Salam, Istishna’, Ijarah dan Qardh. Ayat (3) … - 3 - Ayat (3) Yang dimaksud dengan: ""Gharar"" adalah transaksi yang mengandung tipuan dari salah satu pihak sehingga pihak yang lain dirugikan. ""Maysir"" adalah transaksi yang mengandung unsur perjudian, untung- untungan atau spekulatif yang tinggi. ""Riba"" adalah transaksi dengan pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual-beli maupun pinjam-meminjam secara batil atau bertentangan dengan ajaran Islam. ""Zalim"" adalah tindakan atau perbuatan yang mengakibatkan kerugian dan penderitaan pihak lain. ""Risywah"" adalah tindakan suap dalam bentuk uang, fasilitas, atau bentuk lainnya yang melanggar hukum sebagai upaya mendapatkan fasilitas atau kemudahan dalam suatu transaksi. ""Barang haram dan maksiat"" adalah barang atau fasilitas yang dilarang dimanfaatkan atau digunakan menurut hukum Islam. Pasal 3 Cukup jelas Pasal 4 Huruf a sampai dengan huruf f Cukup jelas. Huruf g Yang dimaksud dengan ""biaya operasional"" adalah biaya yang berkaitan langsung dengan fasilitas pengelolaan rekening nasabah misalnya biaya kartu … - 4 - kartu ATM, cetak buku/cek/bilyet giro, cetak laporan traksaksi dan saldo rekening, pembukaan dan penutupan rekening. Huruf h Cukup jelas Pasal 5 Cukup jelas Pasal 6 Huruf a Yang dimaksud dengan Mudharabah dalam pengaturan pasal ini adalah Mudharabah mutlaqah. Huruf b sampai dengan huruf e Cukup jelas. Huruf f Harga pasar digunakan untuk barang yang telah dimiliki oleh Bank atau bukan pengadaan baru. Nasabah mengembalikan dana Bank sebesar nilai nominal yang ditetapkan berdasarkan nilai perolehan atau nilai pasar pada saat Akad. Huruf g sampai dengan huruf k Cukup jelas Huruf l Bank dapat melakukan review, meminta bukti-bukti dari laporan hasil usaha yang dibuat oleh nasabah. Laporan hasil usaha disepakati kedua belah pihak berdasarkan bukti pendukung yang dipertanggungjawabkan. dapat Huruf m … - 5 - Huruf m sampai dengan huruf o Cukup jelas Pasal 7 Cukup jelas Pasal 8 Huruf a sampai dengan huruf l Cukup jelas Huruf m Bank dapat melakukan review, meminta bukti-bukti dari laporan hasil usaha yang dibuat oleh nasabah. Laporan hasil usaha disepakati kedua belah pihak berdasarkan bukti pendukung yang dapat dipertanggungjawabkan. Huruf n dan huruf o Cukup jelas Pasal 9 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan “barang” adalah barang yang diketahui jelas kuantitas, kualitas dan spesifikasinya. Huruf b dan huruf c Cukup jelas Huruf d … - 6 - Huruf d Wakalah harus dibuatkan Akad secara terpisah dari Akad Murabahah. Yang dimaksud dengan secara prinsip barang milik Bank dalam wakalah pada Akad Murabahah adalah adanya aliran dana yang ditujukan kepada pemasok barang atau dibuktikan dengan kuitansi pembelian. Huruf e sampai dengan huruf g Cukup jelas Huruf h Angsuran secara proposional adalah angsuran yang ditetapkan Bank secara proposional antara harga pokok dan marjin, serta jangka waktu angsuran. Contoh :  Harga pokok mesin Rp10.000.000,- (sepuluh juta rupiah)  Marjin Rp2.000.000,- (dua juta rupiah)  Jangka waktu angsuran = 12 (dua belas) bulan  Angsuran nasabah Rp12.000.000,-/12 = Rp1.000.000,- (satu juta rupiah) Ayat (2) Cukup jelas Pasal 10 Ayat (1) Yang dimaksud dengan nasabah yang mengalami penurunan kemampuan membayar adalah nasabah yang kegiatan usahanya terkena dampak bencana alam atau krisis perekonomian yang ditetapkan … - 7 - ditetapkan secara resmi oleh pemerintah sebagai krisis nasional. Pemotongan kewajiban pembayaran ditetapkan berdasarkan kebijakan Bank. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 11 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud ‘barang’ adalah hasil pertanian dan atau hasil tambang. Huruf b Yang dimaksud dengan pembayaran secara penuh pada saat Akad adalah pembayaran segera setelah Akad disepakati atau paling lambat 7 (tujuh) hari setelah Akad disepakati. Huruf c sampai dengan huruf e Cukup Jelas Huruf f Jaminan pihak ketiga antara lain dalam bentuk garansi berdasarkan prinsip syariah. Huruf g Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) … - 8 - Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 12 Ayat (1) Pembiayaan berdasarkan Salam paralel muncul pada saat Bank membeli barang untuk dijual kembali kepada pihak lain. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 13 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud ‘barang’ adalah proyek infrastruktur dan atau hasil industri manufaktur. Huruf b sampai dengan huruf d Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat 3 … - 9 - Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 14 Ayat (1) Pembiayaan Istishna’ paralel muncul pada saat Bank memesan barang untuk dijual kembali kepada pihak lain. Ayat (2) Huruf a Nasabah adalah termasuk nasabah produsen, pemasok atau penyedia. Huruf b sampai dengan huruf f Cukup jelas Pasal 15 Huruf a Yang dimaksud ‘barang’ adalah barang bergerak atau tidak bergerak yang dapat diambil manfaat sewa. Huruf b dan huruf c Cukup jelas Huruf d Uraian biaya pemeliharaan yang bersifat material dan struktural sesuai kesepakatan dituangkan dalam Akad Huruf e … - 10 - Huruf e Akad mewakilkan kepada nasabah di buatkan secara terpisah dari Akad Ijarah Huruf f dan huruf g Cukup jelas Pasal 16 Ayat (1) Yang dimaksud dengan IMBT adalah Ijarah dengan janji (wa’ad) yang mengikat pihak yang menyewakan kepemilikan kepada penyewa. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Huruf a sampai dengan huruf d Cukup jelas Huruf e Kondisi “nasabah tidak mampu” adalah ketidak mampuan nasabah terhadap hal-hal di luar kemampuan nasabah karena musibah bencana alam atau krisis perekonomian nasional yang ditetapkan sebagai krisis oleh pemerintah. Huruf f dan huruf g Cukup jelas Huruf h … untuk mengalihkan - 11 - Huruf h Dalam rangka kehati-hatian pemberian pinjaman Qardh untuk kegiatan usaha yang bersifat talangan dana komersial, Bank dapat meminta agunan kepada nasabah. Pasal 19 Huruf a Cukup jelas Huruf b Kerugian riil adalah biaya-biaya riil yg dikeluarkan oleh Bank dalam rangka penagihan hak Bank yang seharusnya dibayarkan oleh nasabah. Huruf c sampai dengan huruf f Cukup jelas Pasal 20 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Badan arbitrase syariah yang digunakan adalah badan arbitrase syariah yang berdomisili paling dekat dengan kantor Bank yang bersangkutan atau yang ditunjuk sesuai kesepakatan Bank dan nasabah. Pasal 21 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) … - 12 - Ayat (2) Cukup jelas Pasal 22 Cukup jelas Pasal 23 Cukup jelas TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4563 "," PBI 7/46/PBI/2005 AKAD PENGHIMPUNAN DAN PENYALURAN DANA BAGI BANK YANG MELAKSANAKAN KEGIATAN USAHA BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH 14 November 2005 14 November 2005 '3/UU/2004', '7/UU/1992', '23/UU/1999', '10/UU/1998' 'BAB IV', 'BAB II Pasal 18 Huruf f' " " PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 19/3/PBI/2017 TENTANG PINJAMAN LIKUIDITAS JANGKA PENDEK BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kondisi makroekonomi dan stabilitas sektor keuangan saat ini cukup terjaga dan perlu dipertahankan dalam rangka memelihara stabilitas sistem keuangan terutama perbankan serta turut menjaga kepercayaan masyarakat terhadap perbankan; b. bahwa dalam rangka memelihara stabilitas sistem keuangan terutama perbankan dan turut menjaga kepercayaan masyarakat terhadap perbankan, tetap diperlukan upaya untuk mengatasi kesulitan likuiditas jangka pendek; c. bahwa upaya untuk mengatasi kesulitan likuiditas jangka pendek tersebut merupakan salah satu cara pencegahan dan penanganan krisis sistem keuangan; d. bahwa upaya untuk mengatasi kesulitan likuiditas jangka pendek tersebut dapat ditempuh melalui penyediaan pinjaman likuiditas jangka pendek kepada bank; - 2 - e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf d, perlu menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang Pinjaman Likuiditas Jangka Pendek Bagi Bank Umum Konvensional; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 2. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5872); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PINJAMAN LIKUIDITAS JANGKA PENDEK BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank Indonesia adalah Bank Sentral Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai Bank Indonesia. - 3 - 2. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat OJK adalah Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai Otoritas Jasa Keuangan. 3. Bank Umum Konvensional yang selanjutnya disebut Bank adalah bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan, tidak termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri. 4. Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disingkat UUS adalah unit usaha syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah, tidak termasuk unit usaha syariah dari kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri. 5. Giro Wajib Minimum yang selanjutnya disingkat GWM adalah giro wajib minimum primer dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai giro wajib minimum bank umum. 6. Kesulitan Likuiditas Jangka Pendek adalah keadaan yang dialami Bank yang disebabkan oleh terjadinya arus dana masuk yang lebih kecil dibandingkan dengan arus dana keluar dalam rupiah yang dapat membuat Bank tidak dapat memenuhi kewajiban GWM. 7. Pinjaman Likuiditas Jangka Pendek yang selanjutnya disingkat PLJP adalah pinjaman dari Bank Indonesia kepada Bank untuk mengatasi Kesulitan Likuiditas Jangka Pendek yang dialami oleh Bank. 8. Sertifikat Bank Indonesia yang selanjutnya disingkat SBI adalah Sertifikat Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai operasi moneter. 9. Sertifikat Bank Indonesia Syariah yang selanjutnya disingkat SBIS adalah Sertifikat Bank Indonesia Syariah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai operasi moneter syariah. - 4 - 10. Sertifikat Deposito Bank Indonesia yang selanjutnya disingkat SDBI adalah Sertifikat Deposito Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai operasi moneter. 11. Surat Utang Negara yang selanjutnya disingkat SUN adalah surat berharga yang berupa surat pengakuan utang dalam mata uang rupiah yang dijamin pembayaran bunga dan pokoknya oleh Negara Republik Indonesia, sesuai dengan masa berlakunya, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai surat utang negara. 12. Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya disingkat SBSN, atau yang dapat disebut Sukuk Negara adalah surat berharga negara yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti atas bagian penyertaan terhadap aset SBSN, dalam mata uang rupiah, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai surat berharga syariah negara. 13. Surat Berharga Negara yang selanjutnya disingkat SBN adalah SUN dan SBSN. 14. Aset Kredit adalah aset Bank berupa kredit sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan, tidak termasuk kredit dalam valuta asing. 15. Aset Pembiayaan adalah aset Bank berupa pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah, tidak termasuk pembiayaan dalam valuta asing. BAB II PERSYARATAN PLJP Pasal 2 (1) Bank yang mengalami Kesulitan Likuiditas Jangka Pendek dapat mengajukan permohonan PLJP kepada Bank Indonesia. - 5 - (2) Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat memperoleh PLJP apabila Bank memenuhi persyaratan: a. tergolong sebagai Bank solven; b. memiliki peringkat komposit tingkat kesehatan Bank paling rendah 2 (dua); c. memiliki agunan berkualitas tinggi sebagai jaminan PLJP yang memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini; dan d. diperkirakan mampu untuk mengembalikan PLJP. (3) Bank mengajukan plafon PLJP berdasarkan perkiraan jumlah kebutuhan likuiditas sampai dengan Bank memenuhi GWM. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan Bank untuk memperoleh PLJP diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. Pasal 3 (1) Agunan berkualitas tinggi sebagai jaminan PLJP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf c berupa: a. surat berharga; b. surat berharga berdasarkan prinsip syariah yang dicatat dalam pembukuan UUS dari Bank; c. Aset Kredit; dan/atau d. Aset Pembiayaan yang dicatat dalam pembukuan UUS dari Bank. (2) Jenis surat berharga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berupa: a. SBI; b. SDBI; c. SBN; dan/atau d. surat berharga yang diterbitkan oleh badan hukum lain yang memenuhi persyaratan: 1. memiliki peringkat paling rendah peringkat investasi; 2. aktif diperdagangkan; dan - 6 - 3. memiliki sisa jangka waktu yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (3) Jenis surat berharga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b berupa: a. SBIS; b. SBSN; dan/atau c. sukuk korporasi yang diterbitkan oleh badan hukum lain yang memenuhi persyaratan: 1. memiliki peringkat paling rendah peringkat investasi; 2. aktif diperdagangkan; dan 3. memiliki sisa jangka waktu yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (4) Aset Kredit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dan/atau Aset Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. kolektibilitas tergolong lancar selama 12 (dua belas) bulan terakhir berturut-turut; b. bukan merupakan kredit dan/atau pembiayaan konsumsi kecuali kredit pemilikan rumah dan/atau pembiayaan pemilikan rumah; c. dijamin dengan agunan tanah dan bangunan dan/atau tanah dengan nilai paling rendah 110% (seratus sepuluh persen) dari plafon kredit dan/atau plafon pembiayaan; d. bukan merupakan kredit dan/atau pembiayaan kepada pihak terkait Bank; e. f. tidak pernah direstrukturisasi dalam waktu 3 (tiga) tahun terakhir; sisa jangka waktu jatuh waktu kredit dan/atau pembiayaan paling singkat 9 (sembilan) bulan sejak tanggal penandatanganan perjanjian pemberian PLJP; g. baki debet kredit atau saldo pokok pembiayaan tidak melebihi batas maksimum pemberian kredit atau - 7 - penyaluran dana pada saat diberikan dan tidak melebihi plafon kredit atau pembiayaan; h. memiliki perjanjian kredit dan/atau akad pembiayaan serta pengikatan agunan yang mempunyai kekuatan hukum; i. telah menjadi objek atau sampel pemeriksaan atau audit oleh kantor akuntan publik terhadap Bank paling lama 1 (satu) tahun terakhir; j. dalam perjanjian kredit dan/atau akad pembiayaan antara Bank dan debitur atau nasabah tercantum klausul bahwa kredit dan/atau pembiayaan dapat dialihkan kepada pihak lain; dan k. telah tercantum dalam laporan daftar Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan terkini yang disampaikan secara berkala kepada Bank Indonesia. (5) Surat berharga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d dan ayat (3) huruf c hanya dapat digunakan sebagai agunan PLJP dalam hal: a. Bank tidak memiliki surat berharga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, huruf b, dan huruf c, serta ayat (3) huruf a dan huruf b; atau b. Bank memiliki surat berharga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, huruf b, dan huruf c, serta ayat (3) huruf a dan huruf b namun tidak mencukupi untuk menjadi agunan PLJP. (6) Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) hanya dapat digunakan sebagai agunan PLJP apabila pada saat permohonan PLJP Bank tidak memiliki surat berharga yang memenuhi persyaratan agunan PLJP atau surat berharga yang memenuhi persyaratan agunan PLJP yang dimiliki oleh Bank tidak mencukupi untuk menjadi agunan PLJP. (7) Dalam hal diperlukan, Bank Indonesia dapat meminta agunan lain setelah agunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencukupi. - 8 - (8) Agunan PLJP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilengkapi dengan dokumen yang terkait dengan agunan PLJP. (9) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria agunan, mekanisme pengagunan, jenis akad pembiayaan yang dapat diagunkan, dan dokumen agunan diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. Pasal 4 (1) Nilai surat berharga, Aset Kredit, dan Aset Pembiayaan sebagai agunan PLJP ditetapkan sebagai berikut: a. nilai agunan berupa SBI ditetapkan sebesar 100% (seratus persen) dari plafon PLJP yang dihitung berdasarkan nilai jual SBI; b. nilai agunan berupa SBIS ditetapkan sebesar 100% (seratus persen) dari plafon PLJP yang dihitung berdasarkan nilai nominal SBIS; c. nilai agunan berupa SDBI ditetapkan sebesar 100% (seratus persen) dari plafon PLJP yang dihitung berdasarkan nilai jual SDBI; d. nilai agunan berupa SBN ditetapkan sebagai berikut: 1. nilai agunan berupa SUN ditetapkan paling rendah sebesar 105% (seratus lima persen) dari plafon PLJP yang dihitung berdasarkan nilai pasar SUN; dan 2. nilai agunan berupa SBSN ditetapkan paling rendah sebesar 106,5% (seratus enam koma lima persen) dari plafon PLJP yang dihitung berdasarkan nilai pasar SBSN; e. nilai agunan berupa surat berharga yang diterbitkan oleh badan hukum lain ditetapkan paling rendah sebesar 120% (seratus dua puluh persen) dari plafon PLJP yang dihitung berdasarkan nilai pasar surat berharga yang diterbitkan oleh badan hukum lain tersebut; dan f. nilai agunan berupa Aset Kredit atau Aset Pembiayaan ditetapkan paling rendah sebesar 200% - 9 - (dua ratus persen) dari plafon PLJP yang dihitung berdasarkan baki debet Aset Kredit atau saldo pokok Aset Pembiayaan. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai nilai agunan dan tata cara perhitungan nilai agunan diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. Pasal 5 (1) Agunan PLJP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 harus berada dalam kondisi bebas dari segala perikatan, sengketa, sitaan, dan tidak sedang dijaminkan kepada pihak lain atau Bank Indonesia, yang dinyatakan dalam surat pernyataan kepada Bank Indonesia. (2) Bank tidak dapat memperjualbelikan dan/atau menjaminkan kembali agunan PLJP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 yang masih dalam status sebagai agunan PLJP. (3) Bank harus mengganti agunan PLJP, apabila: a. agunan PLJP tidak memenuhi kondisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2); b. surat berharga yang diterbitkan oleh badan hukum lain tidak lagi memenuhi persyaratan peringkat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf d dan ayat (3) huruf c; c. terdapat pelunasan kredit dan/atau pembiayaan yang menjadi agunan PLJP oleh debitur atau nasabah Bank; dan/atau d. Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan yang diagunkan tidak lagi memenuhi persyaratan kolektibilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4) huruf a, sehingga nilai agunan PLJP mengalami penurunan dan secara keseluruhan tidak lagi memenuhi plafon PLJP. (4) Penggantian agunan PLJP diprioritaskan dengan agunan berupa surat berharga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) dan ayat (3). - 10 - (5) Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4) dapat digunakan sebagai pengganti agunan PLJP apabila Bank tidak memiliki surat berharga yang memenuhi persyaratan agunan PLJP atau surat berharga yang memenuhi persyaratan agunan PLJP yang dimiliki oleh Bank tidak mencukupi untuk menjadi agunan PLJP. (6) Selama Bank Indonesia memproses penggantian agunan PLJP sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pada periode pemberian PLJP Bank tetap dapat mengajukan pencairan PLJP sepanjang terdapat plafon atau sisa plafon dan agunan PLJP yang mencukupi. (7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penggantian agunan PLJP diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. Pasal 6 (1) Bank harus memelihara dan menatausahakan daftar Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan yang memenuhi persyaratan dan dialokasikan untuk menjadi agunan PLJP. (2) Bank menyampaikan laporan daftar Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) secara berkala kepada Bank Indonesia dengan tembusan kepada OJK. (3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan setiap 6 (enam) bulan sekali untuk posisi akhir bulan Juni dan akhir bulan Desember. (4) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan paling lambat tanggal 15 (lima belas) setelah posisi akhir bulan bersangkutan termasuk koreksi laporan. (5) Bank yang tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat mengajukan PLJP dengan agunan Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan. - 11 - (6) Bank dapat memperbarui laporan daftar Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan dengan ketentuan sebagai berikut: a. posisi akhir bulan Juni diperbarui dengan posisi akhir bulan September pada tahun yang bersangkutan; dan b. posisi akhir bulan Desember diperbarui dengan posisi akhir bulan Maret pada tahun berikutnya, disampaikan kepada Bank Indonesia dengan tembusan kepada OJK paling lambat tanggal 15 (lima belas) setelah posisi akhir bulan bersangkutan termasuk koreksi laporan. (7) Bank Indonesia dapat meminta Bank untuk menyampaikan dokumen pendukung dari Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan yang dilaporkan dalam laporan daftar Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (8) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyampaian laporan daftar Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan serta dokumen pendukung diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. Pasal 7 (1) Pengikatan agunan PLJP dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan. (2) Bank Indonesia menatausahakan dokumen yang terkait dengan agunan PLJP. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengikatan agunan diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. BAB III PERMOHONAN PLJP Pasal 8 (1) Permohonan PLJP diajukan oleh Bank secara tertulis kepada Bank Indonesia dengan tembusan kepada OJK. - 12 - (2) Permohonan PLJP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan dokumen sebagai berikut: a. surat pernyataan Bank bahwa Bank mengalami Kesulitan Likuiditas Jangka Pendek; b. dokumen yang mendukung jumlah kebutuhan untuk mengatasi Kesulitan Likuiditas Jangka Pendek; c. daftar seluruh aset yang menjadi agunan PLJP; d. daftar rekapitulasi Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan yang telah menjadi objek atau sampel pemeriksaan atau audit oleh kantor akuntan publik yang dikeluarkan dan/atau ditandatangani oleh kantor akuntan publik yang melakukan pemeriksaan atau audit, dalam hal terdapat agunan PLJP berupa Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan; e. surat pernyataan Bank bahwa aset yang menjadi agunan PLJP berada dalam kondisi bebas dari segala perikatan, sengketa, sitaan, dan tidak sedang dijaminkan kepada pihak lain atau Bank Indonesia; f. surat pernyataan Bank bahwa Bank tidak akan memperjualbelikan dan/atau menjaminkan kembali agunan PLJP yang masih dalam status sebagai agunan PLJP; g. surat pernyataan kesanggupan Bank untuk membayar segala kewajiban terkait PLJP; h. surat persetujuan dari pihak yang berwenang sesuai dengan anggaran dasar atau anggaran rumah tangga Bank dan ketentuan peraturan perundang- undangan, mengenai permohonan PLJP dan/atau penggunaan aset Bank sebagai agunan PLJP; i. anggaran dasar atau anggaran rumah tangga Bank, termasuk perubahannya; - 13 - j. surat pernyataan Bank mengenai kebenaran data dan/atau dokumen yang disampaikan dan kesanggupan Bank untuk menyampaikan data dan/atau dokumen lain yang diminta oleh Bank Indonesia; dan k. dokumen lain yang diminta oleh Bank Indonesia. (3) Bank wajib menjamin kebenaran data dan dokumen yang disampaikan kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara permohonan PLJP diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. Pasal 9 (1) Bank Indonesia memberikan PLJP untuk jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari kalender untuk setiap periode pemberian PLJP. (2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku efektif sejak tanggal aktivasi pemberian PLJP oleh Bank Indonesia. (3) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang secara berturut-turut untuk jangka waktu PLJP keseluruhan paling lama 90 (sembilan puluh) hari kalender. Pasal 10 (1) Bank Indonesia berkoordinasi dengan OJK dalam rangka menindaklanjuti permohonan PLJP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1). (2) Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam rangka penilaian terhadap pemenuhan persyaratan PLJP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2). - 14 - BAB IV PERSETUJUAN DAN PENOLAKAN PERMOHONAN PLJP Pasal 11 (1) Bank Indonesia memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan PLJP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1). (2) Dalam memberikan persetujuan atau penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia mempertimbangkan paling sedikit hal sebagai berikut: a. pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2; b. kelengkapan dokumen permohonan PLJP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2); dan c. analisis mengenai perkiraan jumlah kebutuhan likuiditas Bank. (3) Persetujuan atau penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan melalui surat kepada Bank dengan tembusan kepada OJK. (4) Berdasarkan surat persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Bank harus melakukan hal sebagai berikut: a. menyampaikan dokumen yang terkait dengan agunan PLJP; b. menunjuk notaris; c. menyampaikan dokumen berupa rancangan akta perjanjian pemberian PLJP dan rancangan akta pengikatan agunan PLJP; dan d. menyampaikan dokumen yang terkait dengan agunan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (7), dalam hal diperlukan. (5) Bank Indonesia melakukan verifikasi dan/atau penilaian terhadap dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a, huruf c, dan huruf d. (6) Dalam hal berdasarkan hasil verifikasi dan/atau penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (5) agunan PLJP memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud - 15 - dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 maka akan dilakukan penandatanganan terhadap akta perjanjian pemberian PLJP dan akta pengikatan agunan PLJP. (7) Dalam hal berdasarkan hasil verifikasi dan/atau penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (5), nilai agunan tidak mencukupi plafon dan Bank tidak dapat menambah agunan PLJP maka plafon PLJP diturunkan sesuai dengan nilai agunan yang tersedia, sepanjang Bank mempunyai sumber dana lain untuk menutup kekurangan likuiditas yang tidak dapat diperoleh dari PLJP. (8) Persetujuan atas permohonan PLJP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibatalkan oleh Bank Indonesia apabila: a. Bank tidak menyampaikan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a, huruf c, dan/atau huruf d; b. berdasarkan hasil verifikasi dan/atau penilaian Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (5) nilai agunan tidak mencukupi plafon, Bank tidak dapat menambah agunan PLJP dan Bank tidak mempunyai sumber dana lain untuk menutup kekurangan likuiditas yang tidak dapat diperoleh dari PLJP; dan/atau c. diketahui bahwa Bank tidak lagi memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2). (9) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian persetujuan atau penolakan atas permohonan PLJP diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. Pasal 12 Berdasarkan pertimbangan tertentu sesuai dengan kewenangan Bank Indonesia, Bank Indonesia dapat menolak permohonan PLJP meskipun Bank telah memenuhi seluruh persyaratan PLJP. - 16 - BAB V PENCAIRAN PLJP Pasal 13 (1) Bank dapat mengajukan pencairan PLJP sejak tanggal aktivasi pemberian PLJP oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2). (2) Pencairan PLJP dilakukan paling banyak 1 (satu) kali dalam sehari sebesar perkiraan kebutuhan Bank untuk mengatasi Kesulitan Likuiditas Jangka Pendek. (3) Pengajuan pencairan PLJP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Bank Indonesia dengan dilampiri dokumen sebagai berikut: a. surat sanggup bayar sebesar pengajuan pencairan; dan b. proyeksi arus kas yang mencerminkan kebutuhan pencairan. (4) Pencairan PLJP dilakukan melalui rekening giro rupiah Bank yang bersangkutan pada Bank Indonesia. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pencairan PLJP diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. Pasal 14 (1) Bank Indonesia berwenang melakukan pembatasan pencairan PLJP. (2) Pembatasan pencairan PLJP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam hal nilai agunan tidak mencukupi plafon dan Bank tidak dapat menambah dan/atau mengganti agunan PLJP sehingga secara keseluruhan nilai agunan tidak mencukupi plafon. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembatasan pencairan PLJP diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. - 17 - Pasal 15 (1) Bank Indonesia berwenang menghentikan pencairan PLJP sebelum jatuh waktu dalam hal Bank: a. tidak memenuhi persyaratan solvabilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a; dan/atau b. tidak memenuhi persyaratan tingkat kesehatan Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penghentian pencairan PLJP diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. BAB VI PERPANJANGAN JANGKA WAKTU PLJP Pasal 16 (1) Bank dapat mengajukan permohonan perpanjangan jangka waktu PLJP secara tertulis kepada Bank Indonesia dengan tembusan kepada OJK. (2) Permohonan perpanjangan jangka waktu PLJP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan dokumen sebagai berikut: a. dokumen yang mendukung jumlah kebutuhan untuk mengatasi Kesulitan Likuiditas Jangka Pendek; b. daftar seluruh aset yang menjadi agunan PLJP; c. daftar rekapitulasi Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan yang telah menjadi objek atau sampel pemeriksaan atau audit oleh kantor akuntan publik yang dikeluarkan atau ditandatangani oleh kantor akuntan publik yang melakukan pemeriksaan atau audit, dalam hal terdapat penggantian dan/atau penambahan agunan; dan d. dokumen lain yang diminta oleh Bank Indonesia. (3) Untuk keperluan perpanjangan jangka waktu PLJP, Bank tetap dapat menggunakan agunan PLJP pada periode - 18 - pemberian PLJP sebelumnya sepanjang masih memenuhi persyaratan dan kecukupan jumlah agunan PLJP. (4) Dalam hal Bank memiliki surat berharga yang memenuhi persyaratan agunan PLJP pada saat permohonan perpanjangan jangka waktu PLJP, Bank harus menyerahkan surat berharga tersebut sebagai agunan untuk perpanjangan jangka waktu PLJP. (5) Bank Indonesia berkoordinasi dengan OJK dalam rangka menindaklanjuti permohonan perpanjangan jangka waktu PLJP sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 17 (1) Bank Indonesia memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan perpanjangan jangka waktu PLJP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1). (2) Dalam memberikan persetujuan atau penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia mempertimbangkan paling sedikit hal sebagai berikut: a. pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2; b. jangka waktu PLJP secara keseluruhan belum melampaui 90 (sembilan puluh) hari kalender berturut-turut; dan c. Bank telah menyampaikan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2). (3) Persetujuan atau penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan melalui surat kepada Bank dengan tembusan kepada OJK. (4) Berdasarkan surat persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Bank harus melakukan hal sebagai berikut: a. menyampaikan dokumen yang terkait dengan penambahan dan/atau penggantian agunan PLJP; b. menunjuk notaris; c. menyampaikan dokumen berupa rancangan akta perubahan perjanjian pemberian PLJP dan - 19 - rancangan akta perubahan pengikatan agunan PLJP; d. melunasi bunga atas PLJP pada saat jatuh waktu; dan e. menyampaikan dokumen yang terkait dengan agunan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (7), dalam hal diperlukan. (5) Bank Indonesia melakukan verifikasi dan/atau penilaian terhadap pemenuhan ketentuan agunan PLJP, rancangan akta perubahan perjanjian pemberian PLJP, dan rancangan akta perubahan pengikatan agunan PLJP. (6) Dalam hal berdasarkan hasil verifikasi dan/atau penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (5), agunan PLJP memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 maka akan dilakukan penandatanganan terhadap akta perubahan perjanjian pemberian PLJP dan akta perubahan pengikatan agunan PLJP. (7) Dalam hal berdasarkan hasil verifikasi dan/atau penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (5) nilai agunan tidak mencukupi plafon PLJP maka Bank harus: a. menambah agunan PLJP; dan/atau b. menyediakan sumber dana lain untuk menutup kekurangan likuiditas yang tidak dapat diperoleh dari PLJP. (8) Persetujuan atas permohonan perpanjangan jangka waktu PLJP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibatalkan oleh Bank Indonesia apabila: a. Bank tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4); b. berdasarkan verifikasi dan/atau penilaian Bank Indonesia nilai agunan tidak mencukupi plafon dan Bank tidak dapat menambah agunan PLJP dan/atau Bank tidak menyediakan sumber dana lain untuk menutup kekurangan likuiditas yang tidak dapat diperoleh dari PLJP sebagaimana dimaksud pada ayat (7); dan/atau - 20 - c. diketahui bahwa Bank tidak lagi memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2). (9) Ketentuan lebih lanjut mengenai perpanjangan jangka waktu PLJP diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. BAB VII PENAMBAHAN DAN PENURUNAN PLAFON PLJP Pasal 18 (1) Bank dapat mengajukan permohonan penambahan plafon PLJP secara tertulis kepada Bank Indonesia dengan tembusan kepada OJK. (2) Permohonan penambahan plafon PLJP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilengkapi dengan dokumen sebagai berikut: a. dokumen yang mendukung jumlah kebutuhan untuk mengatasi Kesulitan Likuiditas Jangka Pendek; b. daftar seluruh aset yang menjadi agunan PLJP; c. daftar rekapitulasi Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan yang telah menjadi objek atau sampel pemeriksaan atau audit oleh kantor akuntan publik yang dikeluarkan atau ditandatangani oleh kantor akuntan publik yang melakukan pemeriksaan atau audit, dalam hal terdapat penggantian dan/atau penambahan agunan; dan d. dokumen lain yang diminta oleh Bank Indonesia. (3) Bank Indonesia berkoordinasi dengan OJK dalam rangka menindaklanjuti permohonan penambahan plafon PLJP sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 19 (1) Bank Indonesia memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan penambahan plafon PLJP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1). - 21 - (2) Dalam memberikan persetujuan atau penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia mempertimbangkan paling sedikit hal sebagai berikut: a. pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2; b. jangka waktu PLJP secara keseluruhan belum melampaui 90 (sembilan puluh) hari kalender berturut-turut; dan c. Bank telah menyampaikan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2). (3) Persetujuan atau penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan melalui surat kepada Bank dengan tembusan kepada OJK. (4) Berdasarkan surat persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Bank harus melakukan hal sebagai berikut: a. menyampaikan dokumen yang terkait dengan agunan PLJP dalam hal terdapat tambahan agunan; b. menunjuk notaris; c. menyampaikan dokumen berupa rancangan akta perubahan perjanjian pemberian PLJP dan akta perubahan pengikatan agunan PLJP; dan d. menyampaikan dokumen yang terkait dengan agunan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (7), dalam hal diperlukan. (5) Bank Indonesia melakukan verifikasi dan/atau penilaian terhadap pemenuhan ketentuan agunan PLJP, rancangan akta perubahan perjanjian pemberian PLJP, dan rancangan akta perubahan pengikatan agunan PLJP. (6) Dalam hal berdasarkan hasil verifikasi dan/atau penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (5), agunan PLJP memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 maka akan dilakukan penandatanganan terhadap akta perubahan perjanjian pemberian PLJP dan akta perubahan pengikatan agunan PLJP. - 22 - (7) Dalam hal berdasarkan hasil verifikasi dan/atau penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (5) nilai agunan tidak mencukupi plafon PLJP maka Bank harus: a. menambah agunan PLJP; dan/atau b. menyediakan sumber dana lain untuk menutup kekurangan likuiditas yang tidak dapat diperoleh dari PLJP. (8) Persetujuan atas permohonan penambahan plafon PLJP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibatalkan oleh Bank Indonesia apabila: a. Bank tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4); b. berdasarkan verifikasi dan/atau penilaian Bank Indonesia nilai tambahan agunan tidak mencukupi penambahan plafon PLJP dan Bank tidak menyediakan sumber dana lain untuk menutup kekurangan likuiditas yang tidak dapat diperoleh dari PLJP sebagaimana dimaksud pada ayat (7); dan/atau c. diketahui bahwa Bank tidak lagi memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2). (9) Tambahan plafon PLJP yang disetujui akan diakumulasikan dengan plafon PLJP sebelumnya. (10) Ketentuan lebih lanjut mengenai penambahan plafon PLJP diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. Pasal 20 (1) Bank dapat mengajukan permohonan penurunan plafon PLJP secara tertulis kepada Bank Indonesia dengan tembusan kepada OJK. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penurunan plafon PLJP diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. - 23 - BAB VIII LARANGAN DAN PEMBATASAN KEGIATAN BAGI BANK PENERIMA PLJP Pasal 21 (1) Selama periode pemberian PLJP atau selama Bank belum melunasi kewajiban PLJP, Bank dilarang: a. melakukan penempatan dana; b. menyalurkan kredit dan/atau pembiayaan baru kepada pihak terkait Bank, kecuali untuk pemenuhan komitmen yang telah diperjanjikan sebelumnya; c. merealisasikan penarikan dana oleh pihak terkait Bank; dan d. melakukan pembagian dividen. (2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak meniadakan larangan lain yang telah dikeluarkan oleh OJK. Pasal 22 Selama periode pemberian PLJP Bank hanya dapat mengikuti operasi moneter Bank Indonesia yang bersifat ekspansi. BAB IX BUNGA Pasal 23 (1) Bank Indonesia mengenakan bunga secara harian kepada Bank atas baki debet PLJP. (2) Bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan menggunakan tingkat suku bunga sebesar repurchase agreement rate ditambah margin sebesar 400 (empat ratus) basis poin. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai perhitungan bunga diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. - 24 - BAB X PELUNASAN DAN EKSEKUSI AGUNAN Pasal 24 (1) Bank wajib melakukan pelunasan PLJP pada saat jatuh waktu sebesar pokok dan bunga PLJP. (2) Bank yang belum melakukan pelunasan PLJP pada saat jatuh waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak dapat menggunakan surat berharga sebagai pemenuhan prefund debit sejak tanggal jatuh waktu sampai dengan PLJP lunas. Pasal 25 (1) Bank Indonesia mendebit rekening giro Bank dalam rupiah di Bank Indonesia dalam hal: a. sebelum PLJP jatuh waktu dan saldo rekening giro Bank di Bank Indonesia melebihi kewajiban GWM ditambah 10% (sepuluh persen) dari kewajiban GWM; b. Bank meminta pelunasan sebelum PLJP jatuh waktu; dan/atau c. PLJP jatuh waktu. (2) Bank Indonesia melakukan pendebitan rekening giro Bank secara harian sampai dengan kewajiban PLJP lunas. (3) Dalam hal saldo rekening giro Bank dalam rupiah di Bank Indonesia tidak mencukupi untuk membayar pokok dan bunga PLJP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) maka Bank Indonesia melakukan penihilan rekening giro Bank dalam rupiah dan rekening giro Bank dalam valuta asing, termasuk rekening giro milik UUS. (4) Bank Indonesia tetap menghitung bunga sampai dengan pokok PLJP dilunasi. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelunasan PLJP diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. - 25 - Pasal 26 (1) Dalam hal kewajiban PLJP belum lunas setelah dilakukan penihilan rekening giro sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (3), Bank Indonesia melakukan eksekusi agunan dengan didahului penyampaian surat pemberitahuan dan/atau peringatan kepada Bank. (2) Apabila nilai hasil eksekusi agunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) lebih besar dari kewajiban PLJP maka Bank Indonesia mengembalikan kelebihan tersebut kepada Bank. (3) Apabila nilai hasil eksekusi agunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) lebih kecil dari kewajiban PLJP maka Bank wajib melakukan pelunasan melalui setoran kekurangan kewajiban PLJP kepada Bank Indonesia. (4) Dalam hal Bank tidak melakukan penyetoran kekurangan kewajiban PLJP sebagaimana dimaksud pada ayat (3) atau Bank melakukan penyetoran kekurangan kewajiban PLJP namun tetap tidak mencukupi maka pelunasan diperoleh dari agunan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (7). Pasal 27 (1) Dalam melaksanakan eksekusi agunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1), Bank Indonesia dapat berkoordinasi atau bekerja sama dengan OJK dan/atau pihak lain. (2) Bank harus bekerja sama dengan Bank Indonesia untuk kelancaran pelaksanaan eksekusi agunan PLJP. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai eksekusi agunan diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. - 26 - BAB XI BIAYA Pasal 28 (1) Biaya yang timbul sehubungan dengan proses PLJP menjadi beban Bank. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai biaya yang timbul sehubungan dengan proses PLJP diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. BAB XII PELAPORAN Pasal 29 (1) Bank yang menerima PLJP wajib menyampaikan laporan kepada Bank Indonesia dengan tembusan kepada OJK yang meliputi: a. b. c. laporan penggunaan PLJP; laporan kondisi likuiditas Bank; laporan perhitungan rasio kewajiban penyediaan modal minimum; d. laporan agunan dalam hal terdapat: 1. obligasi korporasi atau sukuk korporasi yang tidak memenuhi persyaratan peringkat yang ditetapkan Bank Indonesia; 2. pelunasan kredit atau pembiayaan yang menjadi agunan PLJP oleh debitur atau nasabah Bank; dan/atau 3. Aset Kredit atau Aset Pembiayaan yang mengalami penurunan kolektibilitas; e. rencana tindak perbaikan (remedial action plan) untuk mengatasi Kesulitan Likuiditas Jangka Pendek; dan f. laporan lain yang diminta oleh Bank Indonesia. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyampaian laporan diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. - 27 - BAB XIII PENGAWASAN Pasal 30 (1) Pengawasan terhadap Bank yang menerima PLJP dilakukan oleh OJK berkoordinasi dengan Bank Indonesia. (2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk memantau dan memastikan penggunaan dana PLJP sesuai dengan peruntukannya dan pelaksanaan rencana pembayaran kembali PLJP sesuai dengan perjanjian pemberian PLJP. (3) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga dimaksudkan untuk memantau dan memastikan pemenuhan persyaratan PLJP selama periode pemberian PLJP. Pasal 31 (1) Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan terhadap Bank yang menerima PLJP. (2) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah berkoordinasi dengan OJK. BAB XIV SANKSI Pasal 32 (1) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3), Pasal 21 ayat (1), dan/atau Pasal 29 ayat (1) dikenakan sanksi berupa: a. teguran tertulis; b. PLJP tidak dapat diperpanjang; dan/atau c. tidak dapat mengajukan permohonan PLJP dalam jangka waktu tertentu. - 28 - (2) Bank yang tidak melakukan pelunasan PLJP pada saat jatuh waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) dikenakan sanksi berupa: a. b. teguran tertulis; tidak dapat mengajukan permohonan PLJP dalam jangka waktu tertentu; dan (3) Bank yang c. penghentian sementara dari kepesertaan operasi moneter, termasuk penghentian sementara dari kepesertaan operasi moneter syariah bagi UUS. tidak melakukan pelunasan PLJP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (3) setelah eksekusi agunan dilakukan, dikenakan sanksi berupa: a. b. teguran tertulis; tidak dapat mengajukan permohonan PLJP dalam jangka waktu tertentu; c. penghentian sementara dari kepesertaan operasi moneter, termasuk penghentian sementara dari kepesertaan operasi moneter syariah bagi UUS; d. penurunan status kepesertaan Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI), termasuk penurunan status kepesertaan SKNBI bagi UUS; e. penurunan status kepesertaan Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement (BI-RTGS), termasuk penurunan status kepesertaan BI-RTGS bagi UUS; dan/atau f. penurunan status kepesertaan Bank Indonesia- Scripless Securities Settlement System (BI-SSSS), termasuk penurunan status kepesertaan BI-SSSS bagi UUS. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. Pasal 33 Bank Indonesia menginformasikan pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 kepada Bank dengan tembusan kepada OJK. - 29 - BAB XV KETENTUAN PENUTUP Pasal 34 Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku, Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/16/PBI/2012 tentang Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Bagi Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 259, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5367), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 35 (1) Ketentuan mengenai persyaratan pencantuman Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan dalam laporan daftar Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan terkini yang disampaikan secara berkala kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4) huruf k mulai berlaku untuk permohonan PLJP yang diajukan setelah tanggal 15 Juli 2017. (2) Ketentuan mengenai persyaratan bahwa agunan berupa Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan harus telah menjadi objek atau sampel pemeriksaan atau audit oleh kantor akuntan publik terhadap Bank paling lama 1 (satu) tahun terakhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4) huruf i mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2018. Pasal 36 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. - 30 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 11 April 2017 GUBERNUR BANK INDONESIA, AGUS D.W. MARTOWARDOJO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 13 April 2017 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 82 - 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 19/3/PBI/2017 TENTANG PINJAMAN LIKUIDITAS JANGKA PENDEK BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL I. UMUM Terpeliharanya kondisi makroekonomi dan stabilitas sistem keuangan serta cukup kuatnya perbankan dalam menghadapi tekanan memberikan kontribusi besar terhadap pertumbuhan perekonomian. Namun dengan terbukanya pasar keuangan Indonesia dan meningkatnya pengaruh pasar global, risiko di sistem keuangan terutama perbankan apabila tidak diatasi dapat memicu terjadinya krisis sistem keuangan. Risiko tersebut antara lain dapat tercermin dari kondisi likuiditas yang memburuk di sektor perbankan. Kondisi tersebut perlu segera diatasi agar Bank tidak mengalami liquidity mismatch yang dapat mempengaruhi pemenuhan kewajiban GWM. Selain itu, liquidity mismatch dapat pula terjadi dalam kegiatan operasional suatu Bank meskipun secara umum kondisi likuiditas perbankan tergolong normal. Oleh karena itu dalam rangka mengantisipasi memburuknya kondisi liquidity mismatch perbankan tersebut dan untuk turut menjaga kepercayaan masyarakat terhadap perbankan, perlu diberikan akses bagi Bank yang sementara waktu mengalami kesulitan likuiditas untuk memperoleh PLJP dari Bank Indonesia sebagai lender of the last resort. Akses Bank untuk memperoleh pinjaman likuiditas tersebut juga merupakan upaya Bank Indonesia untuk turut serta mencegah dan menangani krisis sistem keuangan. Sehubungan dengan hal tersebut maka perlu untuk mengatur kembali PLJP bagi Bank yang diharapkan dapat memelihara stabilitas - 2 - sistem keuangan terutama perbankan dan menjaga kepercayaan masyarakat terhadap perbankan. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan “solven” adalah tingkat permodalan Bank yang tercermin dari rasio kewajiban penyediaan modal minimum bulan terkini yang memadai, paling rendah sama dengan rasio kewajiban penyediaan modal minimum berdasarkan profil risiko terakhir sesuai penilaian OJK sebagaimana diatur dalam ketentuan yang mengatur mengenai kewajiban penyediaan modal minimum. Kewajiban penyediaan modal minimum bulan terkini merupakan kewajiban penyediaan modal minimum bulanan terkini sesuai penilaian OJK yang dilengkapi dengan informasi kondisi terakhir Bank berupa peristiwa setelah periode pelaporan (subsequent events) yang dapat mempengaruhi rasio kewajiban penyediaan modal minimum Bank. Huruf b Yang dimaksud dengan “peringkat komposit tingkat kesehatan Bank” adalah peringkat komposit tingkat kesehatan Bank sesuai penilaian OJK sebagaimana dimaksud dalam ketentuan OJK yang mengatur mengenai penilaian tingkat kesehatan bank umum. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Yang dimaksud dengan “mampu untuk mengembalikan - 3 - PLJP” adalah Bank memiliki sumber dana untuk mengembalikan PLJP yang tercermin antara lain dari proyeksi arus kas Bank. Ayat (3) Perkiraan Bank atas jumlah kebutuhan likuiditas didasarkan pada proyeksi arus kas paling singkat 30 (tiga puluh) hari kalender sejak tanggal permohonan PLJP. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 3 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c SBN yang dapat digunakan sebagai agunan PLJP adalah SBN yang dapat diperdagangkan. Huruf d Yang dimaksud dengan ""surat berharga yang diterbitkan oleh badan hukum lain"" adalah obligasi korporasi dan sukuk korporasi yang diterbitkan oleh badan hukum Indonesia selain Bank yang mengajukan permohonan PLJP. Angka 1 Peringkat investasi atau investment grade mengacu pada hasil penilaian lembaga pemeringkat yang diakui oleh OJK. Angka 2 Cukup jelas. Angka 3 Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. - 4 - Huruf b SBSN yang dapat digunakan sebagai agunan PLJP adalah SBSN yang dapat diperdagangkan. Huruf c Yang dimaksud dengan ""sukuk korporasi yang diterbitkan oleh badan hukum lain"" adalah sukuk korporasi yang diterbitkan oleh badan hukum Indonesia. Angka 1 Peringkat investasi atau investment grade mengacu pada hasil penilaian lembaga pemeringkat yang diakui oleh OJK. Angka 2 Cukup jelas. Angka 3 Cukup jelas. Ayat (4) Huruf a Yang dimaksud dengan “kolektibilitas tergolong lancar” adalah kualitas tergolong lancar sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang mengatur mengenai penilaian kualitas aset bank umum atau ketentuan yang mengatur mengenai penilaian kualitas aset bank umum syariah dan unit usaha syariah. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Nilai agunan yang digunakan adalah nilai pasar berdasarkan hasil penilai independen paling lama 2 (dua) tahun terakhir sebelum tanggal permohonan PLJP. Huruf d Yang dimaksud dengan ""pihak terkait"" adalah pihak terkait sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang mengatur mengenai batas maksimum pemberian kredit bank umum atau batas maksimum penyaluran dana yang berlaku bagi bank umum syariah dan unit usaha syariah. Huruf e Yang dimaksud dengan “restrukturisasi” adalah - 5 - restrukturisasi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang mengatur mengenai penilaian kualitas aset bank umum atau ketentuan yang mengatur mengenai penilaian kualitas aset bank umum syariah dan unit usaha syariah. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Batas maksimum pemberian kredit atau penyaluran dana mengacu pada ketentuan yang mengatur mengenai batas maksimum pemberian kredit. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Yang dimaksud dengan ”kantor akuntan publik” adalah kantor akuntan publik yang telah tercantum dalam daftar kantor akuntan publik yang diakui oleh OJK. Huruf j Cukup jelas. Huruf k Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Yang dimaksud dengan “agunan lain” antara lain: a. saham Bank yang menerima PLJP milik pemegang saham pengendali; b. personal guarantee dan/atau corporate guarantee dari pemegang saham pengendali; dan/atau c. aset tetap milik Bank yang menerima PLJP. Ayat (8) Yang dimaksud dengan ""dokumen yang terkait dengan agunan PLJP"" antara lain perjanjian kredit dan/atau akad pembiayaan antara Bank dengan debitur atau nasabah, bukti pengikatan agunan, bukti kepemilikan atas aset yang menjadi agunan kredit dan/atau pembiayaan Bank dan dokumen pendukung lainnya. - 6 - Ayat (9) Cukup jelas. Pasal 4 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Yang dimaksud dengan ""surat berharga yang diterbitkan oleh badan hukum lain"" adalah obligasi korporasi dan sukuk korporasi yang diterbitkan oleh badan hukum Indonesia selain Bank yang mengajukan permohonan PLJP. Huruf f Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Ayat (1) Pemeliharaan dan penatausahaan daftar Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan dilakukan terhadap Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan yang akan dialokasikan oleh Bank sebagai agunan dalam rangka mengantisipasi kebutuhan PLJP dengan agunan berupa Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. - 7 - Ayat (4) Apabila tanggal batas waktu penerimaan laporan daftar Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan jatuh pada hari Sabtu, hari Minggu, atau hari libur maka batas waktu penyampaian adalah hari kerja berikutnya. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Yang dimaksud dengan “dokumen pendukung” antara lain perjanjian kredit dan/atau akad pembiayaan antara Bank dengan debitur atau nasabah, bukti pengikatan agunan, bukti kepemilikan atas aset yang menjadi agunan kredit dan/atau pembiayaan Bank, laporan keuangan debitur atau nasabah Bank, dan dokumen pendukung lainnya. Ayat (8) Cukup jelas. Pasal 7 Ayat (1) Yang dimaksud dengan ""ketentuan peraturan perundang- undangan"" antara lain peraturan yang mengatur mengenai gadai dan fidusia. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 8 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “dokumen yang mendukung jumlah - 8 - kebutuhan untuk mengatasi Kesulitan Likuiditas Jangka Pendek” antara lain proyeksi arus kas paling singkat 30 (tiga puluh) hari kalender sejak tanggal permohonan PLJP. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Surat persetujuan disampaikan apabila diatur dalam anggaran dasar atau anggaran rumah tangga Bank dan ketentuan peraturan perundang-undangan. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Cukup jelas. Huruf k Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 9 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Tanggal aktivasi pemberian PLJP akan disampaikan oleh Bank Indonesia melalui surat yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari perjanjian pemberian PLJP. Ayat (3) Cukup jelas. - 9 - Pasal 10 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Koordinasi antara Bank Indonesia dan OJK dilakukan dalam rangka melaksanakan ketentuan yang diatur dalam undang- undang yang mengatur mengenai pencegahan dan penanganan krisis sistem keuangan antara lain: a. permintaan informasi dari OJK mengenai kondisi Bank yang mengajukan PLJP, yang meliputi pemenuhan persyaratan: 1. solvabilitas; dan 2. tingkat kesehatan Bank; dan b. pelaksanaan penilaian bersama mengenai pemenuhan persyaratan agunan dan perkiraan kemampuan Bank untuk mengembalikan PLJP. Pasal 11 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Bank Indonesia dapat menggunakan jasa pihak ketiga untuk melakukan verifikasi dan/atau penilaian terhadap dokumen yang terkait dengan agunan PLJP. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Sumber dana lain dibuktikan dengan tersedianya tambahan dana di rekening giro Bank di Bank Indonesia dan disertai dokumen dan/atau data pendukung. - 10 - Ayat (8) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Informasi bahwa Bank tidak lagi memenuhi persyaratan antara lain diperoleh dari OJK dan/atau hasil verifikasi dan/atau penilaian bersama oleh Bank Indonesia dan OJK terhadap agunan PLJP. Ayat (9) Cukup jelas. Pasal 12 Yang dimaksud dengan “pertimbangan tertentu” antara lain hasil simulasi kondisi Bank. Pasal 13 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Yang dimaksud dengan “surat sanggup bayar” atau promissory note adalah surat yang memuat kesanggupan dari Bank untuk membayar kepada Bank Indonesia atas pencairan dana PLJP. Surat sanggup bayar tersebut tidak dapat diperdagangkan di pasar uang. Huruf b Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. - 11 - Pasal 14 Dengan pembatasan pencairan PLJP maka Bank hanya dapat mencairkan PLJP paling banyak sebesar kelonggaran tarik yang didukung dengan kecukupan agunan. Pasal 15 Ayat (1) Meskipun pencairan PLJP dihentikan sebelum jatuh waktu, pelunasan PLJP tetap dilakukan pada saat jatuh waktu. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 16 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan “dokumen yang mendukung jumlah kebutuhan untuk mengatasi Kesulitan Likuiditas Jangka Pendek” antara lain proyeksi arus kas paling singkat 30 (tiga puluh) hari kalender sejak tanggal permohonan perpanjangan jangka waktu PLJP. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Penyerahan surat berharga oleh Bank sebagai agunan untuk perpanjangan jangka waktu PLJP tidak digantungkan pada kecukupan jumlah agunan PLJP. Ayat (5) Cukup jelas. - 12 - Pasal 17 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Bank Indonesia dapat menggunakan jasa pihak ketiga untuk melakukan verifikasi dan/atau penilaian terhadap dokumen yang terkait dengan agunan PLJP. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Sumber dana lain dibuktikan dengan tersedianya tambahan dana di rekening giro Bank di Bank Indonesia yang disertai dokumen dan/atau data pendukung. Ayat (8) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Informasi bahwa Bank tidak lagi memenuhi persyaratan antara lain diperoleh dari OJK dan/atau hasil verifikasi dan/atau penilaian bersama oleh Bank Indonesia dan OJK terhadap agunan PLJP. Ayat (9) Cukup jelas. - 13 - Pasal 18 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan “dokumen yang mendukung jumlah kebutuhan untuk mengatasi Kesulitan Likuiditas Jangka Pendek” antara lain proyeksi arus kas paling singkat 30 (tiga puluh) hari kalender sejak tanggal permohonan penambahan plafon PLJP. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 19 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Bank Indonesia dapat menggunakan jasa pihak ketiga untuk melakukan verifikasi dan/atau penilaian terhadap dokumen yang terkait dengan agunan PLJP. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Huruf a Cukup jelas. - 14 - Huruf b Sumber dana lain dibuktikan dengan tersedianya tambahan dana di rekening giro Bank di Bank Indonesia yang disertai dokumen dan/atau data pendukung. Ayat (8) Cukup jelas. Ayat (9) Cukup jelas. Ayat (10) Cukup jelas. Pasal 20 Ayat (1) Permohonan penurunan plafon didasarkan pada kebutuhan likuiditas Bank sampai dengan Bank memenuhi GWM sesuai dengan ketentuan yang mengatur mengenai giro wajib minimum, yang didukung dengan proyeksi arus kas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 21 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “kewajiban PLJP” adalah pokok atau baki debet (outstanding) PLJP, bunga PLJP, dan biaya lainnya terkait PLJP. Larangan bagi Bank berlaku juga bagi UUS dari Bank penerima PLJP. Huruf a Yang dimaksud dengan “penempatan dana” antara lain penempatan dana pada pasar uang antar bank (PUAB), pasar uang antar bank berdasarkan prinsip syariah (PUAS), dan pembelian surat berharga. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. - 15 - Huruf d Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 22 Operasi moneter Bank Indonesia yang bersifat ekspansi antara lain transaksi repurchase agreement (repo) dalam rangka operasi pasar terbuka dan transaksi lending facility dalam rangka standing facilities. Pembatasan keikutsertaan bagi Bank hanya dalam operasi moneter Bank Indonesia yang bersifat ekspansi berlaku juga bagi UUS dari Bank dalam operasi moneter syariah. Pasal 23 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan ""repurchase agreement rate"" atau repo rate adalah tingkat suku bunga lending facility sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai operasi moneter. Rumus perhitungan besarnya bunga PLJP adalah sebagai berikut: X = P x R x t/360 Keterangan: X : besarnya bunga yang diterima Bank Indonesia. P : baki debet PLJP. R : lending facility + 400 (empat ratus) basis poin. t : jumlah hari kalender perhitungan bunga. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 24 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “pokok” adalah baki debet PLJP pada saat jatuh waktu. - 16 - Ayat (2) Yang dimaksud dengan “prefund debit” adalah prefund debit sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan transfer dana dan kliring berjadwal. Pasal 25 Ayat (1) Huruf a Pendebitan saldo rekening giro Bank dilakukan sepanjang terdapat baki debet (outstanding) PLJP, paling tinggi sebesar nilai terendah antara baki debet PLJP dan kelebihan saldo rekening giro dari kewajiban GWM ditambah 10% (sepuluh persen) dari kewajiban GWM. Huruf b Pelunasan sebelum PLJP jatuh waktu dilakukan dengan mendebit saldo rekening giro Bank sebesar pokok dan bunga PLJP. Huruf c Apabila saat jatuh waktu PLJP bertepatan pada hari Sabtu, hari Minggu, hari libur, atau pada hari kerja yang kemudian ditetapkan sebagai hari libur maka pendebitan saldo rekening giro Bank dilakukan pada hari kerja berikutnya, tanpa memperhitungkan bunga PLJP pada hari tersebut. Dalam hal Bank Indonesia beroperasi secara terbatas pada hari libur atau cuti bersama, dimana Bank Indonesia mengoperasikan sistem BI-RTGS dan SKNBI maka hari tersebut termasuk sebagai hari kerja. Ayat (2) Pelunasan kewajiban PLJP merupakan transaksi high priority sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan setelmen dana seketika melalui sistem BI-RTGS, dan penyelesaiannya dilakukan mendahului penyelesaian transaksi lainnya. Ayat (3) Cukup jelas. - 17 - Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Ayat (1) Biaya yang timbul sehubungan dengan proses PLJP berupa biaya jasa pihak ketiga untuk verifikasi dan/atau penilaian agunan, biaya notaris untuk pengikatan perjanjian dan pengikatan agunan, biaya dalam rangka eksekusi agunan, biaya penyimpanan dokumen terkait agunan, dan biaya terkait lain. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Ayat (1) Pengawasan dilakukan dalam rangka melaksanakan ketentuan yang dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai pencegahan dan penanganan krisis sistem keuangan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 31 Cukup jelas. - 18 - Pasal 32 Cukup jelas. Pasal 33 Cukup jelas. Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Cukup jelas. Pasal 36 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6044 "," PBI 19/3/PBI/2017 PINJAMAN LIKUIDITAS JANGKA PENDEK BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL 11 April 2017 13 April 2017 13 April 2017 '14/16/PBI/2012' '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '6/UU/2009', '9/UU/2016' 'BAB XIV' " " PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 11/29/PBI/2009 TENTANG FASILITAS PENDANAAN JANGKA PENDEK SYARIAH BAGI BANK PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kegiatan usaha Bank Pembiayaan Rakyat Syariah dipengaruhi oleh fluktuasi perekonomian daerah setempat dan perekonomian nasional; b. bahwa dalam kondisi perekonomian yang sedang mengalami penurunan, risiko likuiditas yang dihadapi Bank Pembiayaan Rakyat Syariah dapat meningkat; c. bahwa Bank Pembiayaan Rakyat Syariah yang mengalami kesulitan likuiditas perlu diberikan akses untuk memperoleh fasilitas pendanaan jangka pendek syariah; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b dan huruf c, dipandang perlu untuk mengatur ketentuan mengenai Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Syariah bagi Bank Pembiayaan Rakyat Syariah; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana ... - 2 - sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867); M E M U T U S K A N: Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG FASILITAS PENDANAAN JANGKA PENDEK SYARIAH BAGI BANK PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank Indonesia adalah Bank Sentral Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009; 2. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah, yang selanjutnya disebut BPRS adalah Bank Pembiayaan Rakyat Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan ... - 3 - Perbankan Syariah; 3. Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Syariah, yang selanjutnya disebut FPJPS adalah fasilitas pendanaan berdasarkan prinsip syariah dari Bank Indonesia kepada BPRS untuk mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek yang dialami oleh BPRS; 4. Kesulitan Pendanaan Jangka Pendek adalah keadaan yang dialami BPRS yang disebabkan oleh terjadinya arus dana masuk yang lebih kecil dibandingkan dengan arus dana keluar (mismatch); 5. Rasio Kebutuhan Kas adalah perhitungan kebutuhan kas BPRS yang didasarkan pada perbandingan antara alat likuid berupa kas, dan antarbank aktiva yang tidak diblokir yaitu giro, tabungan dan deposito jatuh tempo dengan kewajiban likuid berupa kewajiban segera, simpanan dana nasabah tidak terkait yaitu tabungan dan deposito jatuh tempo serta antarbank pasiva tidak terkait yaitu tabungan dan deposito jatuh tempo; 6. Pembiayaan adalah pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah; 7. Mudharabah adalah perjanjian antara pemilik dana dengan pengelola dana untuk memelihara likuiditas BPRS. BAB II ... - 4 - BAB II PERSYARATAN DAN TATA CARA PERMOHONAN FPJPS Pasal 2 (1) BPRS yang mengalami Kesulitan Pendanaan Jangka Pendek dapat mengajukan permohonan FPJPS dengan memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini. (2) BPRS dapat mengajukan permohonan FPJPS sepanjang memenuhi kriteria sebagai berikut: a. memiliki penilaian tingkat kesehatan paling kurang peringkat komposit 3 (PK-3) selama 2 (dua) periode terakhir; b. memiliki penilaian faktor manajemen paling kurang peringkat C selama 2 (dua) periode terakhir; dan c. memiliki arus kas harian negatif selama 14 (empat belas) hari kalender terakhir. (3) Plafon FPJPS diberikan paling banyak sebesar kebutuhan pendanaan jangka pendek BPRS untuk mencapai Rasio Kebutuhan Kas sebesar 10% (sepuluh persen). Pasal 3 FPJPS yang diterima oleh BPRS menggunakan akad Mudharabah. Pasal 4 ... - 5 - Pasal 4 FPJPS wajib dijamin oleh BPRS dengan agunan yang berkualitas tinggi yang nilainya memadai sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini. Pasal 5 (1) Agunan yang berkualitas tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 adalah berupa : a. aset Pembiayaan; b. surat berharga yang dimiliki pemegang saham. (2) Aset Pembiayaan yang dapat dijadikan agunan FPJPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi kriteria sebagai berikut: a. memiliki akad Pembiayaan yang masih berlaku selama jangka waktu FPJPS; b. memiliki kolektibilitas lancar selama paling kurang 3 (tiga) bulan terakhir; c. memiliki agunan; d. bukan merupakan Pembiayaan kepada pihak terkait BPRS; dan e. memiliki saldo pokok tidak melebihi plafon Pembiayaan dan batas maksimum penyaluran dana. (3) Surat berharga yang dimiliki pemegang saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b berupa : a. surat ... - 6 - a. surat berharga yang diterbitkan oleh Pemerintah Republik Indonesia dan/atau Bank Indonesia yang meliputi Surat Utang Negara (SUN), Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) dan Sertifikat Bank Indonesia (SBI); b. surat berharga yang diterbitkan oleh badan hukum lainnya yang pada saat permohonan FPJPS memiliki peringkat paling kurang peringkat investasi (investment grade), aktif diperdagangkan, dan sisa jangka waktu surat berharga paling kurang 90 (sembilan puluh) hari. (4) Surat berharga yang dimiliki pemegang saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b hanya dapat digunakan sebagai agunan FPJPS dalam hal aset Pembiayaan yang dimiliki oleh BPRS tidak mencukupi untuk menjadi agunan FPJPS. Pasal 6 (1) Nilai agunan FPJPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ditetapkan sebagai berikut : a. dalam hal agunan berupa aset Pembiayaan, nilai agunan tersebut ditetapkan paling kurang sebesar 150% (seratus lima puluh persen) dari plafon FPJPS, yang dihitung berdasarkan saldo pokok aset Pembiayaan yang diagunkan. b. dalam hal agunan berupa SBI, nilai agunan ditetapkan paling kurang sebesar 100% (seratus persen) dari plafon FPJPS yang dihitung berdasarkan nilai jual SBI yang diagunkan; c. dalam hal agunan berupa SUN atau SBSN, nilai agunan ditetapkan paling kurang sebesar 105% (seratus lima persen) dari ... - 7 - dari plafon FPJPS yang dihitung berdasarkan nilai pasar surat berharga tersebut. d. dalam hal agunan berupa surat berharga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) huruf b, nilai agunan ditetapkan sesuai dengan jenis surat berharga paling kurang sebesar 120% (seratus dua puluh persen) dari plafon FPJPS, yang dihitung berdasarkan nilai pasar surat berharga. (2) Ketentuan mengenai nilai jual dan nilai pasar sebagaimana tersebut pada ayat (1) huruf b, huruf c dan huruf d akan diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 7 (1) Agunan FPJPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) harus bebas dari segala bentuk perikatan, sengketa, dan tidak sedang dijaminkan kepada pihak lain. (2) BPRS wajib mengganti dan/atau menambah agunan FPJPS apabila tidak memenuhi kondisi-kondisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Dalam hal terjadi penurunan kolektibilitas aset Pembiayaan yang diagunkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2), BPRS wajib menambah dan/atau mengganti agunan FPJPS. (4) Untuk keperluan perpanjangan FPJPS, BPRS dapat menjaminkan kembali aset Pembiayaan yang sedang menjadi agunan FPJPS. Pasal 8 ... - 8 - Pasal 8 (1) Pengikatan agunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dilakukan sesuai dengan peraturan perundangan-undangan yang berlaku. (2) Dokumen-dokumen agunan FPJPS ditatausahakan oleh Bank Indonesia. Pasal 9 (1) BPRS yang memerlukan FPJPS mengajukan permohonan secara tertulis kepada Bank Indonesia. (2) Permohonan FPJPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilengkapi dengan dokumen-dokumen sebagai berikut: a. perhitungan jumlah kebutuhan pendanaan jangka pendek yang didukung dengan data-data keuangan terkait; b. surat pernyataan BPRS mengalami Kesulitan Pendanaan Jangka Pendek; c. surat pernyataan BPRS bahwa seluruh agunan FPJPS tidak sedang dijaminkan kepada pihak lain, tidak dibawah sitaan, tidak tersangkut dalam suatu perkara atau sengketa, dan memenuhi seluruh persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5; d. surat pernyataan kesanggupan BPRS untuk membayar segala kewajiban terkait FPJPS pada saat jatuh tempo; e. surat ... - 9 - e. surat pernyataan BPRS mengenai kebenaran dan kelengkapan data dan dokumen yang disampaikan kepada Bank Indonesia; f. surat kuasa dari BPRS kepada Bank Indonesia untuk melakukan pendebetan seluruh rekening BPRS pada bank umum dalam rangka pembayaran segala kewajiban BPRS terkait FPJPS; g. daftar aset Pembiayaan dan surat berharga yang dimiliki pemegang saham yang menjadi agunan FPJPS beserta dokumen pendukung; dan h. akta pengikatan agunan FPJPS. (3) Tata cara permohonan FPJPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 10 (1) Persetujuan Bank Indonesia atas permohonan FPJPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dilakukan apabila: a. BPRS memenuhi persyaratan permohonan FPJPS; b. BPRS memenuhi persyaratan kelengkapan dokumen permohonan FPJPS; dan c. berdasarkan analisis Bank Indonesia diperkirakan bahwa BPRS tidak dapat memenuhi kewajiban pendanaan jangka pendek. (2). Persetujuan ... - 10 - (2) Persetujuan pemberian FPJPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam perjanjian pemberian FPJPS secara notariil antara Bank Indonesia dengan BPRS penerima FPJPS. (3) Perjanjian pemberian FPJPS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diikuti dengan perjanjian pengikatan agunan FPJPS secara gadai dan/atau fidusia. (4) Realisasi pemberian FPJPS oleh Bank Indonesia dilakukan dengan mengkredit rekening BPRS yang bersangkutan pada bank umum, setelah perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditandatangani. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai perjanjian pemberian FPJPS diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 11 Bank Indonesia dapat menolak permohonan FPJPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, apabila permohonan dimaksud tidak sesuai dengan ketentuan, tata cara dan/atau persyaratan yang diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini. Pasal 12 (1) Jangka waktu setiap FPJPS paling lama 30 (tiga puluh) hari kalender. (2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang secara berturut-turut dengan jangka waktu keseluruhan paling lama 90 (sembilan puluh) hari kalender. Pasal 13 ... - 11 - Pasal 13 Perpanjangan FPJPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) hanya dapat dilakukan apabila: a. imbalan atas FPJPS yang jatuh tempo dilunasi terlebih dahulu; b. BPRS tidak dapat memenuhi Rasio Kebutuhan Kas sebesar 10% (sepuluh persen); dan c. agunan masih mencukupi dan memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6 dan Pasal 7. Pasal 14 (1) BPRS dapat mengajukan tambahan plafon FPJPS yang dibutuhkan untuk menutupi kewajiban yang tidak dapat diselesaikan BPRS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) sepanjang: a. BPRS menambah agunan dan memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6 dan Pasal 7; dan b. penggunaan FPJPS belum melampaui 90 (sembilan puluh) hari kalender sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2). (2) Penambahan plafon FPJPS dapat dilakukan sepanjang Rasio Kebutuhan Kas kurang dari 10% (sepuluh persen). (3) Jangka waktu setiap tambahan plafon FPJPS adalah sampai dengan jatuh tempo FPJPS. BAB III ... - 12 - BAB III PERHITUNGAN DAN PEMBAYARAN IMBALAN Pasal 15 (1) Bank Indonesia memperoleh imbalan atas setiap FPJPS yang diterima oleh BPRS. (2) Besarnya imbalan FPJPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan jumlah pokok FPJPS, tingkat realisasi imbalan, nisbah bagi hasil bagi Bank Indonesia dan jumlah hari kalender penggunaan FPJPS. (3) Besarnya nisbah bagi hasil bagi Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ditetapkan sebesar 90% (sembilan puluh persen). BAB IV PELUNASAN DAN EKSEKUSI AGUNAN Pasal 16 (1) Pada saat FPJPS jatuh tempo, Bank Indonesia mendebet rekening BPRS di bank umum syariah, unit usaha syariah dan/atau bank umum konvensional sebesar pokok FPJPS ditambah imbalan FPJPS. (2) Dalam hal FPJPS jatuh tempo dan saldo rekening BPRS yang bersangkutan di bank umum syariah, unit usaha syariah dan/atau bank umum konvensional tidak mencukupi untuk membayar pokok dan imbalan FPJPS dan/atau BPRS tidak lagi memenuhi persyaratan ... - 13 - persyaratan untuk memperoleh perpanjangan FPJPS, maka dilakukan eksekusi agunan FPJPS. (3) Bank Indonesia tetap mengenakan beban imbalan sampai dengan eksekusi agunan selesai dilaksanakan. (4) Apabila nilai hasil eksekusi agunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) lebih kecil dibandingkan dengan jumlah pokok dan imbalan FPJPS yang harus dilunasi oleh BPRS, maka BPRS wajib membayar kekurangannya kepada Bank Indonesia. (5) Apabila nilai hasil eksekusi agunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) lebih besar dibandingkan dengan jumlah pokok dan imbalan FPJPS yang harus dilunasi oleh BPRS, maka Bank Indonesia mengembalikan kelebihan tersebut kepada BPRS. (6) Eksekusi agunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. BAB V PENGAWASAN Pasal 17 (1) BPRS wajib menyampaikan rencana tindak perbaikan (action plan) untuk mengatasi Kesulitan Pendanaan Jangka Pendek paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah perjanjian pemberian FPJPS atau addendumnya ditandatangani. (2) BPRS wajib menyampaikan laporan secara mingguan kepada Bank Indonesia, berupa: a. perhitungan Rasio Kebutuhan Kas harian; b. kolektibilitas harian aset Pembiayaan yang diagunkan; dan c. penggunaan FPJPS harian. Pasal 18 ... - 14 - Pasal 18 Bank Indonesia melakukan pemeriksaan khusus penggunaan FPJPS terhadap BPRS penerima FPJPS. BAB VI BIAYA PEMBERIAN FPJPS Pasal 19 Biaya-biaya yang timbul sehubungan dengan pemberian FPJPS menjadi beban BPRS. BAB VII SANKSI Pasal 20 Dalam hal BPRS tidak melunasi FPJPS, melakukan pelanggaran atas ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini dan/atau berdasarkan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 diketahui adanya penyimpangan penggunaan FPJPS, maka BPRS dikenakan sanksi administratif sebagaimana diatur dalam Pasal 58 ayat (1) Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah antara lain berupa teguran tertulis, penurunan tingkat kesehatan, pembekuan kegiatan usaha tertentu dan/atau pemberhentian pengurus BPRS. Pasal 21 ... - 15 - Pasal 21 Apabila anggota dewan komisaris, direksi, pemegang saham pengendali dan/atau pegawai BPRS tidak melaksanakan langkah- langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan BPRS terhadap ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini dan/atau dengan sengaja memberikan keterangan atau dokumen yang diwajibkan dalam Peraturan Bank Indonesia ini secara tidak benar, dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. BAB VIII KETENTUAN PENUTUP Pasal 22 Ketentuan lebih lanjut mengenai FPJPS diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 23 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar ... - 16 - Agar setiap orang mengetahuinya memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 7 Juli 2009 Pjs. GUBERNUR BANK INDONESIA, MIRANDA S. GOELTOM Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 7 Juli 2009 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ANDI MATTALATTA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 107 DPbS PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 11/29/PBI/2009 TENTANG FASILITAS PENDANAAN JANGKA PENDEK SYARIAH BAGI BANK PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH I. UMUM Perkembangan usaha BPRS dipengaruhi oleh naik turunnya kondisi perekonomian daerah maupun perekonomian nasional. Kondisi perekonomian yang menurun akan dapat berdampak terhadap kondisi BPRS. Kondisi perekonomian yang menurun dapat menimbulkan permasalahan likuiditas yang pada akhirnya dapat berdampak terhadap sistem perbankan Indonesia termasuk perbankan syariah, sehingga menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap perbankan nasional. Kepercayaan masyarakat merupakan salah satu prasyarat utama yang diperlukan untuk menciptakan sistem perbankan syariah yang stabil. Untuk mengantisipasi kemungkinan penurunan kepercayaan masyarakat terhadap Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) dan menjaga stabilitas sistem perbankan syariah diperlukan langkah-langkah tertentu dalam mengantisipasi terjadinya risiko likuiditas pada BPRS. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009, Bank Indonesia dapat memberikan Pembiayaan berdasarkan prinsip syariah kepada bank untuk mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek yang dijamin ... - 2 - dijamin dengan agunan yang berkualitas tinggi termasuk aset Pembiayaan kolektibilitas lancar. Sejalan dengan hal tersebut, Bank Indonesia menyediakan fasilitas pendanaan dalam rangka mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek kepada BPRS dengan maksud agar kelangsungan kegiatan usaha BPRS dapat terpelihara. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Penilaian tingkat kesehatan didasarkan pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penilaian tingkat kesehatan BPRS. Huruf b Penilaian faktor manajemen didasarkan pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penilaian tingkat kesehatan BPRS. Huruf c Cukup jelas. Ayat (3) Kebutuhan pendanaan jangka pendek BPRS dihitung berdasarkan posisi Rasio Kebutuhan Kas pada tanggal pengajuan permohonan FPJPS. Pasal 3 ... - 3 - Pasal 3 Cukup jelas Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “kolektibilitas lancar” adalah kualitas lancar sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai penilaian kualitas aktiva BPRS. Huruf c Adanya agunan dimaksudkan untuk memberi tambahan keyakinan mengenai kualitas aset Pembiayaan yang dijadikan agunan FPJPS. Huruf d Yang dimaksud dengan “pihak terkait” adalah pihak terkait sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai Batas Maksimum Penyaluran Dana (BMPD) yang berlaku bagi Bank Pembiayaan Rakyat Syariah. Huruf e Batas maksimum penyaluran dana mengacu pada ketentuan Bank Indonesia ... - 4 - Indonesia mengenai Batas Maksimum Penyaluran Dana (BMPD) yang berlaku bagi Bank Pembiayaan Rakyat Syariah. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “surat berharga syariah yang diterbitkan oleh badan hukum lainnya” adalah obligasi syariah korporasi (sukuk korporasi). Peringkat tersebut berdasarkan hasil penilaian lembaga pemeringkat yang diakui Bank Indonesia sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai lembaga pemeringkat dan peringkat yang diakui Bank Indonesia. Ayat (4) Apabila BPRS memiliki aset Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) namun nilainya tidak mencukupi untuk menjadi agunan FPJPS maka BPRS dapat menggunakan surat berharga milik pemegang saham untuk menambah kekurangan nilai agunan. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) ... - 5 - Ayat (3) Penggantian atau penambahan agunan FPJPS dimaksudkan agar nilai agunan FPJPS sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 8 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “peraturan perundang-undangan yang berlaku” antara lain peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai gadai atau fidusia. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “dokumen-dokumen agunan FPJPS” antara lain akad Pembiayaan antara BPRS dengan nasabah, bukti pengikatan agunan dan bukti kepemilikan atas aset yang menjadi agunan Pembiayaan BPRS. Pasal 9 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan “perhitungan jumlah kebutuhan pendanaan jangka pendek” adalah perhitungan Rasio Kebutuhan Kas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c ... - 6 - Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Yang dimaksud dengan dokumen pendukung antara lain akad Pembiayaan antara BPRS dengan nasabah, pengikatan agunan atas Pembiayaan tersebut baik secara notariil maupun dibawah tangan, bukti kepemilikan agunan dari aset Pembiayaan antara lain bukti kepemilikan kendaraan bermotor, sertifikat tanah, surat keputusan pengangkatan pegawai dan dokumen lain yang dapat membuktikan terpenuhinya persyaratan agunan. Huruf h Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 10 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3)... - 7 - Ayat (3) Penandatanganan perjanjian pemberian FPJPS dan perjanjian pengikatan agunan dilakukan pada waktu bersamaan. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Ayat (1) Apabila saat jatuh tempo FPJPS bertepatan pada hari Sabtu, Minggu atau hari libur nasional, maka pendebetan saldo rekening BPRS di bank umum syariah, unit usaha syariah dan/atau bank umum konvensional dilakukan pada hari kerja berikutnya. Ayat (2) Jangka waktu perpanjangan FPJPS sama dengan jangka waktu pemberian FPJPS yaitu 30 (tiga puluh) hari kalender. Pasal 13 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c... - 8 - Huruf c Dalam rangka pelaksanaan perpanjangan FPJPS, agunan yang telah diagunkan BPRS untuk menjamin FPJPS yang diterima BPRS sebelumnya akan dinilai kembali, sehingga BPRS perlu menyesuaikan jumlah agunan yang diserahkan untuk menjamin perpanjangan FPJPS. Pasal 14 Ayat (1) Tambahan plafon FPJPS yang diajukan akan diakumulasikan terhadap jumlah FPJPS yang belum dilunasi. Ayat (2) Cukup Jelas. Ayat (3) Sebagai contoh: FPJPS diberikan pada tanggal 1 Desember 2008 dengan jangka waktu 30 hari kalender sehingga jatuh tempo FPJPS adalah tanggal 30 Desember 2008. Tambahan FPJPS diberikan kepada BPRS pada tanggal 15 Desember 2008, maka jatuh tempo tambahan plafon FPJPS adalah tetap pada tanggal 30 Desember 2008. Pasal 15 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Rumus perhitungan besarnya imbalan FPJPS adalah sebagai berikut: X = P x R x k x t/360 dimana :... - 9 - dimana : X : Besarnya imbalan yang diterima Bank Indonesia; P : Jumlah pokok FPJPS; R : Realisasi tingkat imbalan sebelum distribusi pada BPRS penerima FPJPS; k : Nisbah bagi hasil bagi Bank Indonesia; dan t : Jumlah hari kalender penggunaan FPJPS. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 16 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “jatuh tempo” adalah berakhirnya jangka waktu FPJPS. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 17 ... - 10 - Pasal 17 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Laporan wajib disampaikan pada hari kerja pertama pada minggu berikutnya. Pasal 18 Pemeriksaan terhadap BPRS yang menerima FPJPS dapat dilakukan selama jangka waktu FPJPS atau setelah jatuh tempo FPJPS. Pasal 19 Yang dimaksud dengan “biaya” antara lain biaya notaris untuk pengikatan perjanjian FPJPS, pengikatan jaminan gadai atau fidusia, biaya eksekusi agunan serta biaya lainnya yang mungkin timbul dalam rangka pemberian FPJPS. Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Cukup Jelas. Pasal 22 Cukup Jelas. Pasal 23 ... - 11 - Pasal 23 Cukup Jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5033 DPbS "," PBI 11/29/PBI/2009 FASILITAS PENDANAAN JANGKA PENDEK SYARIAH BAGI BANK PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH 7 Juli 2009 7 Juli 2009 7 Juli 2009 '21/UU/2008', '6/UU/2009', '23/UU/1999' 'BAB VII' " " PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 5/ 23 /PBI/2003 TENTANG PENERAPAN PRINSIP MENGENAL NASABAH (KNOW YOUR CUSTOMER PRINCIPLES) BAGI BANK PERKREDITAN RAKYAT GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam menjalankan kegiatan usaha, Bank Perkreditan Rakyat menghadapi berbagai risiko usaha; b. bahwa untuk mengurangi risiko usaha, Bank Perkreditan Rakyat wajib menerapkan prinsip kehati-hatian; c. bahwa salah satu upaya melaksanakan prinsip kehati-hatian adalah penerapan prinsip mengenal nasabah; d. bahwa berdasarkan hal tersebut diatas perlu diatur ketentuan tentang penerapan prinsip mengenal nasabah bagi Bank Perkreditan Rakyat dalam suatu Peraturan Bank Indonesia; Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran … - 2 - (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3790); 2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843); 3. Undang-undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4191) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2003 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4324); M E M U T U S K A N : Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENERAPAN PRINSIP MENGENAL NASABAH (KNOW YOUR CUSTOMER PRINCIPLES) BAGI BANK PERKREDITAN RAKYAT. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan : 1. Bank Perkreditan Rakyat yang selanjutnya disebut BPR, adalah BPR sebagaimana … - 3 - sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998. 2. Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer Principles) adalah prinsip yang diterapkan BPR untuk mengetahui identitas nasabah, memantau kegiatan transaksi nasabah termasuk pelaporan transaksi yang mencurigakan. 3. Pusat Pelaporan Dan Analisis Transaksi Keuangan yang selanjutnya disebut PPATK adalah lembaga independen yang dibentuk dalam rangka mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2003. 4. Nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa BPR. 5. Hasil Tindak Pidana adalah harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2003. Pasal 2 (1) BPR wajib menerapkan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer Principles). (2) Dalam menerapkan Prinsip Mengenal Nasabah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), BPR wajib : a. menetapkan … - 4 - a. menetapkan kebijakan penerimaan Nasabah; b. menetapkan kebijakan dan prosedur dalam mengidentifikasi Nasabah; c. menetapkan kebijakan dan prosedur pemantauan terhadap rekening dan transaksi Nasabah; d. menetapkan kebijakan dan prosedur manajemen risiko yang berkaitan dengan penerapan Prinsip Mengenal Nasabah. Pasal 3 (1) Direksi BPR wajib bertanggung jawab atas penerapan dan pengawasan pelaksanaan Prinsip Mengenal Nasabah. (2) Direksi BPR bertanggung jawab atas pemberian pengetahuan dan atau pelatihan bagi karyawan mengenai penerapan Prinsip Mengenal Nasabah. (3) Direksi BPR bertanggung jawab untuk menangani Nasabah yang dianggap mempunyai risiko tinggi termasuk penyelenggara negara, dan atau transaksi- transaksi yang dapat dikategorikan transaksi keuangan mencurigakan (suspicious transactions) sebagaimana contoh dalam Lampiran. BAB II KEBIJAKAN PENERIMAAN DAN IDENTIFIKASI NASABAH Pasal 4 (1) Sebelum melakukan hubungan usaha dengan Nasabah, BPR wajib meminta informasi mengenai: a. identitas calon Nasabah; b. maksud … - 5 - b. maksud dan tujuan calon Nasabah melakukan hubungan usaha dengan BPR; c. informasi lain yang memungkinkan BPR untuk dapat mengetahui profil calon Nasabah; dan d. identitas pihak lain, dalam hal calon Nasabah bertindak untuk dan atas nama pihak lain. (2) Identitas calon Nasabah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dapat dibuktikan dengan keberadaan dokumen pendukung. (3) BPR wajib meneliti kebenaran dokumen pendukung identitas calon Nasabah sebagaimana dimaksud dalam ayat (2). (4) Bagi BPR yang telah menggunakan media elektronis dalam pelayanan jasa perbankan wajib melakukan pertemuan dengan calon Nasabah sekurang- kurangnya pada saat pembukaan rekening. Pasal 5 Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) bagi : a. Nasabah perorangan sekurang-kurangnya terdiri dari: 1) identitas Nasabah yang memuat : a) nama; b) alamat tinggal tetap; c) tempat dan tanggal lahir; d) kewarganegaraan; 2) keterangan mengenai pekerjaan; 3) spesimen … - 6 - 3) spesimen tanda tangan; dan 4) keterangan mengenai sumber dana dan tujuan penggunaan dana; b. Nasabah perusahaan sekurang-kurangnya terdiri dari : 1) akte pendirian/anggaran dasar bagi perusahaan yang bentuknya diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku; 2) izin usaha dari instansi berwenang; 3) nama, spesimen tanda-tangan dan kuasa kepada pihak-pihak yang ditunjuk mempunyai wewenang bertindak untuk dan atas nama perusahaan dalam melakukan hubungan usaha dengan BPR; 4) keterangan sumber dana dan tujuan penggunaan dana; 5) Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP); 6) dokumen identitas pengurus yang berwenang mewakili perusahaan; c. Nasabah berupa lembaga pemerintah, lembaga internasional, dan perwakilan negara asing sekurang-kurangnya berupa nama, spesimen tanda-tangan dan surat penunjukan bagi pihak-pihak yang berwenang mewakili lembaga dalam melakukan hubungan usaha dengan BPR; d. Nasabah berupa bank, terdiri dari dokumen-dokumen yang lazim dalam melakukan hubungan transaksi antar bank, antara lain : 1) akte pendirian / anggaran dasar bank; 2) izin usaha dari instansi yang berwenang; 3) nama, spesimen tanda-tangan dan kuasa kepada pihak-pihak yang ditunjuk mempunyai wewenang bertindak untuk dan atas nama bank dalam melakukan hubungan usaha dengan BPR. Pasal 6 … - 7 - Pasal 6 (1) Dalam hal calon Nasabah bertindak sebagai perantara dan atau kuasa pihak lain (beneficial owner) untuk membuka rekening, BPR wajib memperoleh dokumen pendukung identitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, dan dokumen yang memuat keterangan tentang hubungan hukum, penugasan, serta kewenangan bertindak sebagai perantara dan atau kuasa pihak lain. (2) Dalam hal calon Nasabah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan bank lain maka verifikasi atau konfirmasi atas identitas beneficial owner dilakukan oleh bank lain yang merupakan calon nasabah tersebut. (3) Dalam hal calon Nasabah bukan merupakan pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), BPR wajib memperoleh bukti atas identitas dari beneficial owner, sumber dana dan tujuan penggunaan dana, serta informasi lainnya mengenai beneficial owner dari Nasabah, yang antara lain berupa: a. bagi beneficial owner perorangan : 1) dokumen identitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a; 2) bukti pemberian kuasa kepada calon Nasabah; 3) pernyataan dari calon Nasabah bahwa telah dilakukan penelitian terhadap kebenaran identitas maupun sumber dana dari beneficial owner; b. bagi beneficial owner perusahaan termasuk bank : 1) dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b atau huruf d; 2) dokumen identitas pengurus yang berwenang mewakili perusahaan; 3) dokumen identitas pemegang saham pengendali perusahaan; 4) bukti … - 8 - 4) bukti pemberian kuasa kepada Nasabah termasuk untuk pembukaan rekening; 5) pernyataan dari Nasabah bahwa telah dilakukan penelitian terhadap kebenaran identitas maupun sumber dana dari beneficial owner. (4) Dalam hal BPR meragukan atau tidak dapat meyakini identitas beneficial owner, BPR wajib menolak untuk melakukan hubungan usaha dengan calon Nasabah. Pasal 7 BPR dilarang melakukan hubungan usaha dengan calon Nasabah yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5 dan Pasal 6. BAB III PEMANTAUAN REKENING DAN TRANSAKSI NASABAH Pasal 8 (1) BPR wajib melakukan pengkinian data dalam hal terdapat perubahan terhadap dokumen-dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 atau Pasal 6. (2) BPR wajib menatausahakan dokumen-dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan Pasal 6 sampai dengan sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sejak Nasabah menutup rekening pada BPR. Pasal 9 … - 9 - Pasal 9 BPR wajib memiliki sistem pencatatan yang dapat mengidentifikasi, menganalisa, memantau dan menyediakan laporan secara efektif mengenai karakteristik transaksi yang dilakukan oleh Nasabah. Pasal 10 BPR wajib memelihara profil Nasabah yang sekurang-kurangnya meliputi informasi mengenai : a. pekerjaan atau bidang usaha; b. jumlah penghasilan; c. rekening lain yang dimiliki, apabila ada; d. aktivitas transaksi normal; dan e. tujuan pembukaan rekening. BAB IV PELAPORAN Pasal 11 BPR wajib menyampaikan fotokopi kebijakan dan prosedur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 6 (enam) bulan sejak diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia ini. Pasal 12 … - 10 - Pasal 12 (1) BPR wajib menyampaikan laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan kepada PPATK paling lambat 3 (tiga) hari kerja setelah BPR mengetahui adanya unsur transaksi keuangan mencurigakan. (2) Penyampaian laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan berpedoman pada ketentuan yang berlaku. BAB V KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 13 (1) Ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini tidak berlaku bagi Nasabah yang tidak mempunyai rekening di BPR, sepanjang nilai transaksi yang dilakukan tidak melebihi Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) atau yang nilainya setara, baik dilakukan dalam satu kali transaksi maupun beberapa kali transaksi dalam 1 (satu) hari kerja. (2) Perubahan nilai transaksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dalam Surat Edaran Bank Indonesia. BAB VI SANKSI Pasal 14 Pelanggaran terhadap ketentuan dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8 … - 11 - Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, dan Pasal 15 dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2) huruf b, huruf c, huruf e, huruf f, dan atau huruf g Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang- undang Nomor 10 Tahun 1998. BAB VII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 15 BPR wajib menerapkan Prinsip Mengenal Nasabah bagi Nasabah yang sudah ada, termasuk pengkinian data nasabah selambat-lambatnya 6 (enam) bulan sejak diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia ini; BAB VIII KETENTUAN PENUTUP Pasal 16 Ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini tidak berlaku bagi Badan Kredit Desa yang didirikan berdasarkan Staatsblad Tahun 1929 Nomor 357 dan Rijksblad Tahun 1937 Nomor 9. Pasal 17 … - 12 - Pasal 17 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 23 Oktober 2003 GUBERNUR BANK INDONESIA Ttd. BURHANUDDIN ABDULLAH LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2003 NOMOR 116 DPBPR/BPS PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 5/ 23 /PBI/2003 TENTANG PENERAPAN PRINSIP MENGENAL NASABAH (KNOW YOUR CUSTOMER PRINCIPLES) BAGI BANK PERKREDITAN RAKYAT I. UMUM Dalam kegiatan usahanya Bank Perkreditan Rakyat dihadapkan kepada berbagai risiko antara lain risiko reputasi, risiko operasional, risiko hukum, dan risiko terkonsentrasinya transaksi. Untuk mengelola risiko yang mungkin timbul maka BPR wajib menerapkan prinsip kehati-hatian dalam melakukan kegiatan operasionalnya. Salah satu upaya dalam melaksanakan prinsip kehati-hatian adalah penerapan prinsip mengenal nasabah. Berdasarkan hal-hal tersebut diatas dan mengingat bahwa Prinsip Mengenal Nasabah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem pengendalian risiko Bank Perkreditan Rakyat maka dipandang perlu untuk menetapkan peraturan mengenai Prinsip Mengenal Nasabah bagi Bank Perkreditan Rakyat. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 … - 2 - Pasal 2 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a dan huruf b Dalam menetapkan kebijakan untuk penerimaan Nasabah, yang menjadi pertimbangan antara lain adalah latar belakang nasabah, kewarganegaraan, kegiatan usaha, jabatan, pekerjaan atau indikator faktor risiko lain (contoh: informasi mengenai dugaan keterlibatan dalam tindak pidana) Huruf c Pemantauan terhadap rekening dan transaksi nasabah dilakukan dengan penatausahaan dokumen-dokumen nasabah, pengkinian data nasabah, pemilikan sistem pencatatan yang dapat mengidentifikasi karakteristik transaksi nasabah serta pemeliharaan profil nasabah. Huruf d Kebijakan dan prosedur manajemen risiko antara lain mencakup : a. pengawasan oleh manajemen; b. pendelegasian wewenang, termasuk didalamnya penetapan limit wewenang untuk pejabat Bank dalam kaitannya dengan manajemen rekening atau transaksi nasabah; c. pemisahan … - 3 - c. pemisahan tugas secara jelas, termasuk didalamnya pemisahan fungsi pelaksana dengan fungsi pemutus; d. pengawasan intern yang melakukan pemantauan secara reguler, yang berperan untuk mengevaluasi kebijakan dan prosedur Prinsip Mengenal Nasabah yang diterapkan, dan berfungsi memberikan penilaian independen atas pelaksanaan kebijakan dan prosedur Bank termasuk pemenuhan terhadap ketentuan umum dan perundang-undangan yang berlaku; e. program pelatihan karyawan yang berkelanjutan. Pasal 3 Ayat (1) Direksi BPR harus memberikan komitmen yang sungguh-sungguh untuk melaksanakan Prinsip Mengenal Nasabah secara efektif. Prinsip Mengenal Nasabah mempunyai kaitan dalam upaya melindungi kelangsungan usaha BPR, mengingat pelaksanaan Prinsip Mengenal Nasabah: a. merupakan dasar untuk mengidentifikasi, membatasi, dan mengendalikan risiko aktiva dan pasiva BPR; b. membantu menjaga reputasi BPR serta integritas dari sistem perbankan dengan mengurangi kemungkinan BPR untuk dijadikan sarana atau sasaran kejahatan keuangan (financial crimes). Pengawasan pelaksanaan Prinsip Mengenal Nasabah terintegrasi dalam pengawasan intern BPR. Ayat (2) … - 4 - Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Dalam pelaksanaannya, Direksi BPR dapat menunjuk petugas untuk mengidentifikasi serta melaporkan transaksi yang dapat dikategorikan transaksi keuangan mencurigakan. Yang dimaksud dengan penyelenggara negara adalah penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam Undang- undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, yaitu pejabat negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif, dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta pihak-pihak yang terkait dengan penyelenggara negara antara lain: a. perusahaan yang dimiliki dan atau dikelola penyelenggara negara; b. keluarga penyelenggara negara yang terdiri dari saudara kandung, anak, orang tua, istri atau suami, mertua dan menantu; dan c. pihak-pihak yang secara umum dan diketahui publik mempunyai hubungan yang dekat dengan penyelenggara negara. Yang dimaksud dengan transaksi yang dapat dikategorikan transaksi keuangan mencurigakan (suspicious transactions) adalah transaksi … - 5 - transaksi yang menyimpang dari profil dan karakteristik serta kebiasaan pola transaksi Nasabah yang bersangkutan, termasuk transaksi keuangan oleh Nasabah yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh BPR sesuai ketentuan dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang- undang Nomor 25 Tahun 2003. Dengan demikian faktor utama untuk menentukan transaksi yang mencurigakan adalah dengan mengetahui kelaziman transaksi yang dilakukan Nasabah, termasuk transaksi keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan menggunakan Harta Kekayaan yang diduga berasal dari Hasil Tindak Pidana. Pasal 4 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) BPR cukup menatausahakan fotokopi dokumen pendukung yang dibuktikan dengan memperlihatkan dokumen asli oleh Nasabah. Ayat (3) Yang dimaksud dengan penelitian kebenaran dokumen pendukung identitas Nasabah sekurang-kurangnya meliputi pemeriksaan seluruh dokumen yang berkaitan dengan identitas Nasabah. Apabila diperlukan, BPR dapat melakukan wawancara dengan calon … - 6 - calon Nasabah untuk meneliti dan meyakini keabsahan dan kebenaran dokumen pendukung. Ayat (4) Yang dimaksud dengan pelayanan jasa perbankan dengan menggunakan media elektronis antara lain transaksi melalui telepon, surat menyurat elektronis (e-mail) dan electronic banking. Pertemuan BPR dengan Nasabah dapat dilakukan melalui petugas khusus atau pihak lain yang mewakili BPR untuk meyakinkan BPR terhadap identitas Nasabah. Pasal 5 Huruf a Angka 1) Dokumen identitas Nasabah antara lain berupa Kartu Tanda Penduduk (KTP), Kartu Izin Menetap Sementara (KIMS), Surat Izin Mengemudi (SIM) atau paspor yang dilengkapi dengan informasi mengenai alamat tinggal tetap apabila berbeda dengan yang tertera dalam dokumen. Angka 2) Keterangan mengenai pekerjaan Nasabah memuat alamat perusahaan tempat bekerja dan kegiatan usaha yang dilakukan perusahaan. Dalam hal Nasabah tidak memiliki pekerjaan maka data yang diperlukan adalah sumber pendapatan. Angka 3) Cukup jelas. Angka 4) … - 7 - Angka 4) Cukup jelas. Huruf b Dalam pengertian perusahaan termasuk pula yayasan dan badan sejenis lainnya. Angka 1) Cukup jelas. Angka 2) Cukup jelas. Angka 3) Cukup jelas. Angka 4) Cukup jelas. Angka 5) Apabila pada saat mengajukan permohonan untuk menjadi Nasabah belum memiliki NPWP maka yang bersangkutan dapat menyampaikan fotokopi permohonan NPWP dan segera setelah Nasabah memperoleh NPWP, BPR wajib meminta NPWP tersebut kepada Nasabah. Bagi calon Nasabah yang tidak wajib memiliki NPWP, maka calon Nasabah membuat pernyataan bahwa yang bersangkutan tidak wajib memiliki NPWP. Angka 6) Cukup jelas. Huruf c … - 8 - Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Pasal 6 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Angka 1) Cukup jelas. Angka 2) Di dalam surat kuasa dijelaskan pula hubungan hukum. Angka 3) Cukup jelas. Huruf b Angka 1) Cukup jelas. Angka 2) Cukup jelas. Angka 3) Cukup jelas. Angka 4) … - 9 - Angka 4) Di dalam surat kuasa dijelaskan pula hubungan hukum. Angka 5) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Dokumen dalam ayat ini merupakan dokumen identitas Nasabah yang tidak merupakan dokumen keuangan sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan. Pasal 9 Sistem pencatatan yang dimiliki harus dapat memungkinkan BPR untuk menelusuri setiap transaksi (individual transaction), apabila diperlukan, baik untuk keperluan intern dan atau Bank Indonesia, PPATK maupun kaitannya dengan kasus peradilan. Hal-hal … - 10 - Hal-hal yang termasuk dalam penelusuran transaksi antara lain adalah penelusuran atas identitas Nasabah, identitas mitra transaksi Nasabah, instrumen transaksi, tanggal transaksi, jumlah dan denominasi transaksi, dan sumber dana yang digunakan untuk transaksi. Dengan menelusuri transaksi Nasabah maka BPR akan dapat mengetahui karakteristik transaksi. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Penyampaian fotokopi kebijakan dan prosedur dimaksud dialamatkan kepada : a. DPBPR, Jl.M.H.Thamrin No.2 Jakarta 10110 bagi BPR yang berlokasi di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Bekasi, Karawang dan Banten. b. Kantor Bank Indonesia setempat bagi BPR yang berlokasi di luar wilayah sebagaimana dimaksud huruf a. Pasal 12 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan ketentuan yang berlaku adalah Undang- undang tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dan Ketentuan PPATK. Pasal 13 … - 11 - Pasal 13 Ayat (1) Nasabah yang tidak mempunyai rekening namun menggunakan jasa BPR seperti Nasabah yang menggunakan jasa transfer. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2003 NOMOR 4328 DPBPR/BPS "," PBI 5/23/PBI/2003 PENERAPAN PRINSIP MENGENAL NASABAH (KNOW YOUR CUSTOMER PRINCIPLES) BAGI BANK PERKREDITAN RAKYAT 23 Oktober 2003 23 Oktober 2003 '25/UU/2003', '23/UU/1999', '7/UU/1992', '10/UU/1998', '15/UU/2002' 'BAB VI' " " PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 19/13/PBI/2017 TENTANG PELAYANAN PERIZINAN TERPADU TERKAIT HUBUNGAN OPERASIONAL BANK UMUM DENGAN BANK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa guna mewujudkan tujuan Bank Indonesia untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah, Bank Indonesia memiliki tugas di bidang moneter, bidang sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah, serta bidang makroprudensial; b. bahwa dalam melaksanakan tugas dimaksud, Bank Indonesia memberikan perizinan terkait hubungan operasional bank umum dengan Bank Indonesia di bidang moneter, bidang sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah, serta bidang makroprudensial; c. bahwa untuk meningkatkan aspek pelayanan, tata kelola, efektivitas, dan efisiensi dalam memberikan perizinan kepada bank umum, Bank Indonesia memandang perlu untuk memberikan pelayanan perizinan secara terpadu; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang Pelayanan Perizinan Terpadu terkait Hubungan Operasional Bank Umum dengan Bank Indonesia; - 2 - Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PELAYANAN PERIZINAN TERPADU TERKAIT HUBUNGAN OPERASIONAL BANK UMUM DENGAN BANK INDONESIA. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan, termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri, dan bank umum syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah. 2. Pelayanan Perizinan Terpadu terkait Hubungan Operasional Bank dengan Bank Indonesia yang selanjutnya disebut PPTBU adalah pelayanan perizinan secara terintegrasi yang terkait dengan tugas atau kewenangan - 3 - Bank Indonesia di bidang moneter, bidang sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah, serta bidang makroprudensial sehubungan dengan: a. langkah strategis dan mendasar yang dilakukan Bank yang berdampak pada hubungan operasional Bank dengan Bank Indonesia; atau b. pendirian Bank baru oleh pihak yang telah mendapat persetujuan prinsip pendirian Bank oleh Otoritas Jasa Keuangan. 3. Perizinan adalah proses pemberian keputusan atas permohonan izin, persetujuan, pendaftaran, dan/atau permohonan lain yang diajukan oleh Bank untuk melaksanakan berbagai hubungan operasional Bank dengan Bank Indonesia di bidang moneter, bidang sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah, serta bidang makroprudensial berdasarkan persyaratan dan prosedur sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia. 4. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat OJK adalah Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai Otoritas Jasa Keuangan. BAB II PRINSIP DAN TUJUAN Pasal 2 (1) PPTBU dilaksanakan berdasarkan prinsip umum Perizinan. (2) Prinsip umum Perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), paling sedikit berupa: a. kehati-hatian; b. akuntabel; c. berkesinambungan; d. e. industri yang sehat; dan efektif dan efisien. - 4 - Pasal 3 (1) Tujuan PPTBU yaitu untuk memudahkan pelayanan Perizinan yang diajukan oleh Bank. (2) PPTBU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan secara terpadu melalui 1 (satu) satuan kerja di Bank Indonesia. (3) Satuan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yaitu satuan kerja yang melaksanakan fungsi pengawasan makroprudensial, moneter, dan sistem pembayaran. BAB III RUANG LINGKUP Pasal 4 (1) PPTBU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) berlaku bagi: a. Bank yang melakukan langkah strategis dan mendasar yang berdampak pada hubungan operasional Bank dengan Bank Indonesia di bidang moneter, bidang sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah, serta bidang makroprudensial; dan b. pihak yang telah mendapat persetujuan prinsip pendirian Bank oleh OJK. (2) Langkah strategis dan mendasar Bank yang berdampak pada hubungan operasional Bank dengan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi kegiatan: a. aksi korporasi berupa penggabungan, peleburan, pengambilalihan, dan pemisahan; b. perubahan status; c. perubahan nama; d. pencabutan izin usaha; dan/atau e. langkah strategis lainnya. (3) Langkah strategis dan mendasar yang dilakukan oleh Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat memengaruhi izin yang telah diberikan oleh Bank Indonesia. - 5 - BAB IV PELAKSANAAN PPTBU Bagian Kesatu Penyampaian Informasi Pasal 5 (1) Bank yang akan melaksanakan langkah strategis dan mendasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a, harus menyampaikan informasi secara tertulis kepada Bank Indonesia mengenai rencana pelaksanaan langkah strategis dan mendasar yang berdampak pada hubungan operasional Bank dengan Bank Indonesia di bidang moneter, bidang sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah, serta bidang makroprudensial. (2) Pihak yang telah mendapat persetujuan prinsip pendirian Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b, harus menyampaikan informasi secara tertulis kepada Bank Indonesia mengenai permohonan izin usaha kepada OJK. (3) Penyampaian informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), dilakukan bersamaan dengan penyampaian surat permohonan kepada OJK. Bagian Kedua Penyampaian Permohonan Pasal 6 (1) Bank yang telah mendapatkan izin, persetujuan, atau rekomendasi dari OJK terkait aspek kelembagaan untuk melaksanakan langkah strategis dan mendasar, mengajukan permohonan secara tertulis kepada Bank Indonesia untuk memperoleh Perizinan yang diperlukan. (2) Bank yang telah memperoleh izin usaha dari OJK, mengajukan permohonan secara tertulis kepada Bank Indonesia untuk memperoleh Perizinan yang diperlukan. - 6 - (3) Persyaratan untuk memperoleh Perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia. Bagian Ketiga Pemrosesan Permohonan Pasal 7 Bank Indonesia memproses permohonan yang diajukan Bank sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia. Bagian Keempat Penyampaian Persetujuan atau Penolakan Pasal 8 (1) Bank Indonesia memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6. (2) Persetujuan atau penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara tertulis kepada Bank dengan tembusan kepada OJK. BAB V KOORDINASI Pasal 9 Bank Indonesia dapat meminta penjelasan, data, informasi, dan/atau berkoordinasi dengan OJK dan/atau Bank untuk pelaksanaan PPTBU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6, dan Pasal 7. BAB VI KORESPONDENSI Pasal 10 (1) Penyampaian informasi dan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1), Pasal 5 ayat (2), Pasal 6 ayat (1), dan Pasal 6 ayat (2) ditujukan kepada satuan kerja - 7 - sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) dengan alamat: Bank Indonesia c.q. Departemen Surveilans Sistem Keuangan, Jalan M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350. (2) Bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia, penyampaian informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditembuskan kepada Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat. (3) Dalam hal terdapat perubahan korespondensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia memberitahukan perubahan tersebut kepada Bank melalui surat. BAB VII KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 11 (1) Dalam hal Bank memiliki informasi yang memengaruhi data Bank di Bank Indonesia maka Bank harus menyampaikan informasi dimaksud secara tertulis kepada Bank Indonesia. (2) Informasi yang memengaruhi data Bank di Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi perubahan: a. pemegang saham pengendali; b. pengurus Bank; dan/atau c. alamat kantor pusat Bank. (3) Penyampaian informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah Bank mendapatkan izin, persetujuan, atau rekomendasi dari OJK. (4) Penyampaian informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga dilaksanakan secara terpadu melalui 1 (satu) satuan kerja di Bank Indonesia yang melaksanakan fungsi pengawasan makroprudensial, moneter, dan sistem pembayaran. (5) Bank Indonesia dapat meminta penjelasan, data, informasi, dan/atau berkoordinasi dengan OJK dan/atau Bank, sehubungan dengan penyampaian informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1). - 8 - (6) Penyampaian informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan kepada satuan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) dengan alamat: Bank Indonesia c.q. Departemen Surveilans Sistem Keuangan, Jalan M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350. (7) Bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia, penyampaian informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditembuskan kepada Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat. (8) Dalam hal terdapat perubahan korespondensi sebagaimana dimaksud pada ayat (6), Bank Indonesia memberitahukan perubahan tersebut kepada Bank melalui surat. (9) Bank Indonesia menindaklanjuti penyampaian informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia. Pasal 12 Tata cara dan persyaratan Perizinan, sanksi, dan kewajiban lainnya dilakukan sesuai ketentuan Bank Indonesia, kecuali ketentuan mengenai penyampaian informasi dan/atau permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10. Pasal 13 Berkaitan dengan pelaksanaan PPTBU, Bank wajib mematuhi seluruh ketentuan Bank Indonesia di bidang moneter, bidang sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah, serta bidang makroprudensial. BAB VIII KETENTUAN PENUTUP Pasal 14 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. - 9 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 15 Desember 2017 GUBERNUR BANK INDONESIA, TTD AGUS D.W. MARTOWARDOJO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 15 Desember 2017.................... MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 254 PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 19/13/PBI/2017 TENTANG PELAYANAN PERIZINAN TERPADU TERKAIT HUBUNGAN OPERASIONAL BANK UMUM DENGAN BANK INDONESIA I. UMUM Dalam mencapai tujuan Bank Indonesia untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah, Bank Indonesia sebagai badan hukum publik berwenang menetapkan peraturan dan mengenakan sanksi sesuai dengan tugas dan wewenangnya, khususnya di bidang moneter, bidang sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah, serta bidang makroprudensial. Hal ini menunjukkan bahwa Bank Indonesia memegang peranan penting dalam hubungan operasional lembaga jasa keuangan khususnya Bank yang secara operasional merupakan media transmisi utama bagi kebijakan Bank Indonesia di bidang moneter, bidang sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah, serta bidang makroprudensial. Sebagai badan hukum publik, Bank Indonesia memiliki kewajiban untuk tetap terus memberikan dan meningkatkan pelayanan yang lebih baik kepada pemangku kepentingan (stakeholders) yang terkait, khususnya Bank. Oleh karena itu, Bank Indonesia terus melakukan penyempurnaan proses Perizinan terhadap hubungan operasional Bank dengan Bank Indonesia dan proses Perizinan dengan menggunakan sistem atau aplikasi di Bank Indonesia, yang tetap memperhatikan efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan Bank termasuk koordinasi dengan OJK. Sehubungan dengan hal tersebut dan untuk meningkatkan aspek pelayanan, tata kelola, efektivitas, dan efisiensi dalam memberikan Perizinan kepada Bank maka Bank Indonesia mengambil kebijakan untuk - 2 - memberikan pelayanan Perizinan terpadu bagi Bank yang melakukan langkah strategis dan mendasar yang memengaruhi hubungan operasional Bank dengan Bank Indonesia serta berdampak pada keterlibatan lebih dari satu satuan kerja di Bank Indonesia. Hal ini mengingat perubahan yang terjadi sebagai dampak dari langkah strategis dan mendasar yang dilakukan Bank pada dasarnya akan memengaruhi hubungan operasional Bank dengan Bank Indonesia. Selain itu, pelayanan Perizinan terpadu juga diberikan kepada pihak yang telah mendapat persetujuan prinsip pendirian Bank oleh OJK. Kebijakan pelayanan Perizinan terpadu bagi Bank tersebut diharapkan menciptakan hubungan yang terkoordinasi baik antara Bank Indonesia dan Bank sehingga proses terkait Perizinan sesuai dengan kewenangan Bank Indonesia di bidang moneter, bidang sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah, serta bidang makroprudensial dapat dilakukan dengan lebih efektif dan efisien. Selanjutnya, memperhatikan hal tersebut, perlu disusun ketentuan mengenai pelayanan Perizinan terpadu terkait hubungan operasional Bank dengan Bank Indonesia. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan “kehati-hatian” adalah penyelenggaraan Perizinan oleh Bank Indonesia dilaksanakan secara berhati-hati dengan memperhatikan tugas Bank Indonesia untuk mencapai dan memelihara stabilitas moneter, mewujudkan sistem pembayaran yang lancar, aman, efisien, dan andal, serta mendorong terpeliharanya stabilitas sistem keuangan. - 3 - Huruf b Yang dimaksud dengan “akuntabel” adalah penyelenggaraan Perizinan oleh Bank Indonesia dipertanggungjawabkan. Huruf c Yang dimaksud dengan “berkesinambungan” adalah penyelenggaraan Perizinan oleh Bank Indonesia dilaksanakan dengan memerhatikan keberlangsungan kegiatan yang mendapatkan izin dari Bank Indonesia. Huruf d Yang dimaksud dengan “industri yang sehat” adalah pemberian Perizinan bagi Bank diharapkan dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi Bank dalam kegiatan usahanya sehingga dapat mendukung terciptanya industri perbankan yang sehat. Huruf e Yang dimaksud dengan “efektif dan efisien” adalah penyelenggaraan Perizinan oleh Bank Indonesia dilaksanakan dengan menggunakan sumber daya, proses, dan infrastruktur yang tepat untuk memastikan efektivitas dan efisiensi pelayanan Perizinan. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Ayat (1) Huruf a Hubungan operasional Bank dengan Bank Indonesia di bidang moneter, bidang sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah, serta bidang makroprudensial antara lain: 1. peserta operasi moneter; 2. peserta lelang surat berharga Bank Indonesia dalam valuta asing (SBBI Valas); 3. penerbitan instrumen pasar uang; 4. sandi Bank; 5. user pelaporan; harus dapat - 4 - 6. penyelenggara jasa sistem pembayaran (PJSP) antara lain penyelenggara alat pembayaran menggunakan kartu (APMK), uang elektronik, transfer dana, dompet elektronik, payment gateway, switching, dan PJSP lainnya; 7. persetujuan produk atau aktivitas PJSP; 8. sistem Bank Indonesia - Real-Time Gross Settlement (BI- RTGS); 9. Bank Indonesia - Scripless Securities Settlement System (BI-SSSS); 10. Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI); 11. subregistry; 12. fasilitas likuiditas intrahari (FLI); 13. penyetoran dan penarikan uang rupiah oleh Bank; 14. pembawaan uang kertas asing oleh Bank; 15. pembukaan rekening giro di Bank Indonesia; 16. pembukaan rekening surat berharga negara (SBN) untuk nasabah subregistry Bank Indonesia; 17. peserta Bank Indonesia - Electronic Trading Platform (BI- ETP); 18. pinjaman luar negeri Bank; dan/atau 19. penerbitan dan transaksi surat berharga komersial di pasar uang. Huruf b Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Perubahan status Bank antara lain: 1. Bank yang baru mendapatkan izin untuk melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing; atau 2. Bank umum konvensional yang melakukan konversi kegiatan usaha menjadi bank umum syariah. Huruf c Cukup jelas. - 5 - Huruf d Yang dimaksud dengan “pencabutan izin usaha” adalah pencabutan izin usaha atas permintaan pemegang saham sendiri. Huruf e Yang dimaksud dengan “langkah strategis lainnya” antara lain berupa: 1. perubahan kantor cabang bank asing menjadi bank berbadan hukum Indonesia dan/atau pengalihan aset dan kewajiban yang bukan merupakan penggabungan, peleburan, atau pemisahan yang dilakukan berdasarkan persetujuan lembaga yang berwenang; 2. pembentukan unit usaha syariah. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 5 Ayat (1) Penyampaian informasi mengenai rencana dimaksud menjadi informasi awal bagi Bank Indonesia untuk melakukan persiapan proses terhadap aspek yang memengaruhi hubungan operasional Bank dengan Bank Indonesia di bidang moneter, bidang sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah, serta bidang makroprudensial akibat adanya langkah strategis dan mendasar yang dilakukan oleh Bank. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 6 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. - 6 - Ayat (3) Yang dimaksud dengan “ketentuan Bank Indonesia” adalah ketentuan Bank Indonesia yang mengatur antara lain: 1. peserta operasi moneter; 2. peserta lelang SBBI Valas; 3. penerbitan instrumen pasar uang; 4. sandi Bank; 5. user pelaporan; 6. PJSP antara lain penyelenggara APMK, uang elektronik, transfer dana, dompet elektronik, payment gateway, switching, dan PJSP lainnya; 7. persetujuan produk/aktivitas PJSP; 8. sistem BI-RTGS; 9. BI-SSSS; 10. SKNBI; 11. subregistry; 12. FLI; 13. penyetoran dan penarikan uang rupiah oleh Bank; 14. pembawaan uang kertas asing oleh Bank; 15. pembukaan rekening giro di Bank Indonesia; 16. pembukaan rekening SBN untuk nasabah subregistry Bank Indonesia; 17. peserta BI-ETP; 18. pinjaman luar negeri Bank; dan/atau 19. penerbitan dan transaksi surat berharga komersial di pasar uang. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. - 7 - Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “pengurus Bank” yaitu dewan komisaris dan direksi. Huruf c Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas. Ayat (9) Termasuk dalam ketentuan Bank Indonesia antara lain ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai : a. penyelenggaraan transfer dana dan kliring berjadwal oleh Bank Indonesia; b. penyelenggaraan setelmen dana seketika melalui sistem BI- RTGS; dan c. penyelenggaraan penatausahaan surat berharga melalui BI- SSSS. - 8 - Pasal 12 Yang dimaksud dengan “ketentuan Bank Indonesia” adalah ketentuan Bank Indonesia yang mengatur antara lain: 1. peserta operasi moneter; 2. peserta lelang SBBI Valas; 3. penerbitan instrumen pasar uang; 4. sandi Bank; 5. user pelaporan; 6. PJSP antara lain penyelenggara APMK, uang elektronik, transfer dana, dompet elektronik, payment gateway, switching, dan PJSP lainnya; 7. persetujuan produk/aktivitas PJSP; 8. sistem BI-RTGS; 9. BI-SSSS; 10. SKNBI; 11. subregistry; 12. FLI; 13. penyetoran dan penarikan uang rupiah oleh Bank; 14. pembawaan uang kertas asing oleh Bank; 15. pembukaan rekening giro di Bank Indonesia; 16. pembukaan rekening SBN untuk nasabah subregistry Bank Indonesia; 17. peserta BI-ETP; 18. pinjaman luar negeri Bank; dan/atau 19. penerbitan dan transaksi surat berharga komersial di pasar uang. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6147................... "," PBI 19/13/PBI/2017 PELAYANAN PERIZINAN TERPADU TERKAIT HUBUNGAN OPERASIONAL BANK UMUM DENGAN BANK INDONESIA 15 Desember 2017 15 Desember 2017 15 Desember 2017 '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '6/UU/2009', '21/UU/2011' " " PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 14/20/PBI/2012 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 11/24/PBI/2009 TENTANG FASILITAS PENDANAAN JANGKA PENDEK SYARIAH BAGI BANK UMUM SYARIAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kondisi makro ekonomi dan stabilitas sektor keuangan serta kepercayaan masyarakat terhadap perbankan saat ini semakin membaik, sehingga dipandang perlu untuk menyesuaikan persyaratan bank penerima fasilitas pendanaan jangka pendek; b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a perlu untuk melakukan perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/24/PBI/2009 tentang Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Syariah bagi Bank Umum Syariah; Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan … - 2 - dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867); M E M U T U S K A N: Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 11/24/PBI/2009 TENTANG FASILITAS PENDANAAN JANGKA PENDEK SYARIAH BAGI BANK UMUM SYARIAH. Pasal I Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/24/PBI/2009 tentang Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Syariah bagi Bank Umum Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 102, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5028) diubah sebagai berikut: 1. Ketentuan… - 3 - 1. Ketentuan Pasal 2 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 2 (1) Bank yang mengalami Kesulitan Pendanaan Jangka Pendek dapat mengajukan permohonan untuk memperoleh FPJPS apabila memiliki rasio kewajiban penyediaan modal minimum (capital adequacy ratio) paling rendah 8% (delapan persen) dan memenuhi modal sesuai profil risiko Bank. (2) Bank mengajukan plafon FPJPS berdasarkan perkiraan jumlah kebutuhan likuiditas sampai dengan Bank memenuhi GWM dalam mata uang rupiah sesuai dengan ketentuan yang berlaku. (3) Pencairan FPJPS dilakukan sebesar kebutuhan Bank untuk memenuhi kewajiban GWM dalam mata uang rupiah. 2. Ketentuan ayat (3) Pasal 5 diubah, ditambah 1 (satu) ayat, yakni ayat (6), dan penjelasan ayat (5) Pasal 5 diubah sebagaimana tercantum dalam penjelasan, sehingga Pasal 5 berbunyi sebagai berikut: Pasal 5 (1) Agunan yang berkualitas tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 berupa: a. surat berharga; b. aset Pembiayaan. (2) Jenis surat berharga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah: a. surat… - 4 - a. surat berharga yang diterbitkan oleh Pemerintah Republik Indonesia dan/atau Bank Indonesia yang meliputi SBSN dan SBIS; b. surat berharga syariah yang diterbitkan oleh badan hukum lainnya yang pada saat permohonan FPJPS memiliki peringkat paling kurang peringkat investasi (investment grade), aktif diperdagangkan, dan sisa jangka waktu surat berharga paling kurang 90 (sembilan puluh) hari. (3) Aset Pembiayaan yang dapat dijadikan agunan FPJPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b wajib memenuhi kriteria sebagai berikut: a. kualitas tergolong lancar selama 12 (dua belas) bulan terakhir; b. bukan merupakan Pembiayaan konsumsi kecuali Pembiayaan kepemilikan rumah; c. Pembiayaan dijamin dengan agunan tanah dan/atau bangunan yang memiliki nilai paling kurang 140% (seratus empat puluh persen) dari plafon Pembiayaan; d. bukan merupakan Pembiayaan kepada pihak terkait Bank; e. Pembiayaan belum pernah direstrukturisasi; f. sisa jangka waktu sampai dengan jatuh tempo Pembiayaan paling singkat 12 (dua belas) bulan terhitung sejak tanggal persetujuan FPJPS; g. saldo pokok Pembiayaan tidak melebihi batas maksimum penyaluran dana pada saat diberikan dan tidak melebihi plafon Pembiayaan; dan h. memiliki… - 5 - h. memiliki akad Pembiayaan dan pengikatan agunan yang memiliki kekuatan hukum. (4) Surat berharga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b hanya dapat digunakan sebagai agunan FPJPS dalam hal: a. Bank tidak memiliki surat berharga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a; atau b. Bank memiliki surat berharga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a namun tidak mencukupi untuk menjadi agunan FPJPS. (5) Aset Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b hanya dapat digunakan sebagai agunan FPJPS dalam hal Bank tidak memiliki surat berharga atau surat berharga yang dimiliki oleh Bank tidak mencukupi untuk menjadi agunan FPJPS. (6) Dalam hal setelah memperoleh FPJPS yang dijamin oleh sebagian atau seluruhnya dengan aset Pembiayaan, Bank memiliki surat berharga yang memenuhi syarat untuk menjadi agunan FPJPS, Bank wajib mengganti aset Pembiayaan yang diagunkan dengan surat berharga tersebut. 3. Ketentuan ayat (1) huruf d Pasal 6 diubah, sehingga Pasal 6 berbunyi sebagai berikut: Pasal 6 (1) Nilai aset yang digunakan sebagai agunan FPJPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ditetapkan sebagai berikut: a. dalam… - 6 - a. dalam hal agunan berupa SBIS, nilai agunan ditetapkan paling kurang sebesar 100% (seratus persen) dari plafon FPJPS yang dihitung berdasarkan nilai nominal surat berharga tersebut; b. dalam hal agunan berupa SBSN, nilai agunan ditetapkan paling kurang sebesar 105% (seratus lima persen) dari plafon FPJPS yang dihitung berdasarkan nilai pasar surat berharga tersebut; c. dalam hal agunan berupa surat berharga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf b, nilai agunan ditetapkan sesuai dengan jenis surat berharga paling kurang sebesar 120% (seratus dua puluh persen) dari plafon FPJPS, yang dihitung berdasarkan nilai pasar surat berharga; d. dalam hal agunan berupa aset Pembiayaan, nilai agunan tersebut ditetapkan paling kurang sebesar 200% (dua ratus persen) dari plafon FPJPS, yang dihitung berdasarkan saldo pokok aset Pembiayaan. (2) Ketentuan mengenai nilai nominal dan nilai pasar sebagaimana tersebut pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c akan diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia. 4. Ketentuan ayat (4) dan ayat (5) Pasal 7 diubah, ditambah 1 (satu) ayat, yakni ayat (7), sehingga Pasal 7 berbunyi sebagai berikut: Pasal 7 … - 7 - Pasal 7 (1) Agunan FPJPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) harus bebas dari segala bentuk perikatan, sengketa, dan tidak sedang dijaminkan kepada pihak lain dan/atau Bank Indonesia, yang dinyatakan dalam surat pernyataan Direksi Bank kepada Bank Indonesia. (2) Bank yang telah memperoleh FPJPS dilarang untuk memperjualbelikan dan/atau menjaminkan kembali agunan surat berharga yang masih dalam status sebagai agunan FPJPS. (3) Bank wajib mengganti dan/atau menambahkan agunan FPJPS apabila tidak memenuhi kondisi-kondisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2). (4) Bank wajib melakukan penilaian terhadap agunan FPJPS secara berkala dalam periode tertentu. (5) Bank wajib menambah dan/atau mengganti agunan FPJPS, apabila: a. terjadi penurunan nilai surat berharga berupa SBSN dan surat berharga syariah yang diterbitkan oleh badan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b dan huruf c; dan/atau b. aset Pembiayaan yang diagunkan tidak lagi memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) dan/atau terjadi penurunan nilai aset Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf d. (6) Untuk… - 8 - (6) Untuk keperluan perpanjangan FPJPS, Bank dapat menjaminkan kembali aset yang sedang menjadi agunan FPJPS. (7) Ketentuan lebih lanjut mengenai periode penilaian agunan FPJPS sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. 5. Di antara Pasal 7 dan Pasal 8 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 7A dan Pasal 7B yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 7A (1) Bank Indonesia dapat menetapkan: a. penambahan persentase tertentu dari nilai agunan surat berharga berupa SBSN dan surat berharga syariah yang diterbitkan oleh badan hukum lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b dan huruf c; dan/atau b. batas persentase penurunan nilai agunan surat berharga berupa SBSN dan surat berharga syariah yang diterbitkan oleh badan hukum lain yang lebih tinggi dari persentase sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b dan huruf c. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penambahan persentase tertentu dan batas persentase penurunan nilai agunan surat berharga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 7B… - 9 - Pasal 7B (1) Bank wajib memelihara dan menatausahakan daftar aset Pembiayaan yang memenuhi persyaratan untuk menjadi agunan FPJPS. (2) Bank wajib menyampaikan laporan daftar aset Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Bank Indonesia setiap 6 (enam) bulan sekali, yaitu untuk posisi akhir bulan Juni dan akhir bulan Desember, paling lambat tanggal 15 (lima belas) setelah posisi akhir bulan bersangkutan. (3) Untuk pertama kali, laporan daftar aset Pembiayaan disampaikan untuk posisi bulan Juni 2013. (4) Bank dapat menyampaikan laporan nihil apabila tidak memiliki aset Pembiayaan yang memenuhi persyaratan sebagai agunan FPJPS atau tidak mengalokasikan aset Pembiayaan sebagai agunan untuk mengantisipasi kebutuhan FPJPS. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyampaian daftar aset Pembiayaan dan dokumen pendukungnya diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. 6. Ketentuan Pasal 10 dihapus. 7. Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 13 Bank dapat mengajukan permohonan perpanjangan FPJPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) dengan ketentuan sebagai berikut: a. imbalan … - 10 - a. imbalan atas FPJPS yang jatuh tempo telah dilunasi; b. Bank tidak dapat memenuhi kewajiban GWM rupiah berdasarkan perkiraan arus kas selama 14 (empat belas) hari ke depan; dan c. agunan mencukupi dan memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6 dan Pasal 7. 8. Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 14 Bank dapat mengajukan tambahan nilai FPJPS yang dibutuhkan sepanjang: a. agunan mencukupi dan memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6 dan Pasal 7; dan b. penggunaan FPJPS belum melampaui 90 (sembilan puluh) hari berturut-turut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2). 9. Di antara Pasal 14 dan Pasal 15 disisipkan 3 (tiga) pasal, yakni Pasal 14A, Pasal 14B, dan Pasal 14C yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 14A (1) Persetujuan Bank Indonesia atas permohonan FPJPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), perpanjangan FPJPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, dan/atau penambahan FPJPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dilakukan apabila: a. Bank .… - 11 - a. Bank memenuhi persyaratan permohonan FPJPS; b. Bank memenuhi persyaratan kelengkapan dokumen permohonan FPJPS; dan c. Berdasarkan analisis Bank Indonesia diperkirakan bahwa Bank tidak dapat memenuhi kewajiban GWM berdasarkan perkiraan arus kas selama 14 (empat belas) hari ke depan. (2) Persetujuan pemberian FPJPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam perjanjian pemberian FPJPS antara Bank Indonesia dengan Bank penerima FPJPS. (3) Perjanjian pemberian FPJPS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilampiri dengan perjanjian pengikatan agunan FPJPS. (4) Realisasi pemberian FPJPS oleh Bank Indonesia dilakukan melalui rekening giro rupiah Bank yang bersangkutan pada Bank Indonesia. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai perjanjian pemberian FPJPS diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 14B Bank Indonesia menolak permohonan perpanjangan FPJPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan/atau permohonan penambahan FPJPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dalam hal: a. permohonan perpanjangan FPJPS dan/atau permohonan penambahan FPJPS tidak sesuai dengan ketentuan, tata cara, dan persyaratan yang diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini; dan/atau b. Bank .… - 12 - b. Bank penerima FPJPS mengalami perkembangan yang memburuk, permasalahan likuiditas mendasar, dan/atau mengalami perubahan status sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penetapan status dan tindak lanjut pengawasan Bank. Pasal 14C (1) Bank Indonesia menghentikan pencairan FPJPS dan/atau mengakhiri perjanjian FPJPS sebelum jatuh waktu dalam hal terjadi pelanggaran persyaratan FPJPS oleh Bank. (2) Penghentian pencairan FPJPS dan/atau pengakhiran perjanjian FPJPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang disebabkan karena pelanggaran persyaratan agunan FPJPS, dilakukan setelah tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (5) ditempuh. 10. Ketentuan ayat (1) dan ayat (2) Pasal 16 diubah, sehingga Pasal 16 berbunyi sebagai berikut: (1) Bank Indonesia mendebet rekening giro Rupiah Bank penerima FPJPS di Bank Indonesia dalam hal: a. sebelum FPJPS jatuh tempo dan saldo rekening giro Bank di Bank Indonesia melebihi kewajiban GWM, paling tinggi sebesar nilai pokok FPJPS yang telah diterima Bank; b. FPJPS jatuh tempo, sebesar nilai pokok dan imbalan FPJPS; dan/atau c. FPJPS .… - 13 - c. FPJPS diakhiri sebelum perjanjian jatuh tempo, sebesar nilai pokok dan imbalan FPJPS. (2) Dalam hal saldo giro Rupiah Bank penerima FPJPS di Bank Indonesia tidak mencukupi untuk membayar pokok dan imbalan FPJPS, maka Bank Indonesia melakukan eksekusi agunan FPJPS. (3) Bank Indonesia tetap mengenakan imbalan sampai dengan eksekusi agunan selesai dilaksanakan. (4) Apabila nilai hasil eksekusi agunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) lebih kecil dibandingkan dengan jumlah pokok dan imbalan FPJPS yang harus dilunasi oleh Bank, maka Bank wajib membayar kekurangannya kepada Bank Indonesia. (5) Apabila nilai hasil eksekusi agunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) lebih besar dibandingkan dengan jumlah pokok dan imbalan FPJPS yang harus dilunasi oleh Bank, maka Bank Indonesia mengembalikan kelebihan tersebut kepada Bank. (6) Eksekusi agunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 11. Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 17 Dalam rangka pengawasan terhadap penggunaan FPJPS, Bank wajib: a. menyampaikan laporan kepada Bank Indonesia mengenai penggunaan FPJPS, kondisi likuiditas Bank, pemantauan pemenuhan persyaratan FPJPS dan persyaratan agunan FPJPS pada .… - 14 - pada setiap akhir hari kerja; dan b. menyampaikan rencana tindak perbaikan (action plan) untuk mengatasi kesulitan likuiditas paling lama 5 (lima) hari kerja setelah pencairan FPJPS. 12. Ketentuan Pasal 19 dihapus. 13. Ketentuan Pasal 21 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 21 Dalam hal Bank tidak melunasi FPJPS dan/atau melakukan pelanggaran atas ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini, Bank dikenakan sanksi berupa: a. tidak dapat menerima FPJPS dalam jangka waktu tertentu; dan/atau b. sanksi administratif sebagaimana diatur dalam Pasal 58 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah antara lain berupa teguran tertulis, larangan untuk turut serta dalam kegiatan kliring, pembekuan kegiatan usaha tertentu dan/atau pemberhentian pengurus Bank. Pasal II Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar .… - 15 - Agar setiap orang mengetahuinya memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 17 Desember 2012 GUBERNUR BANK INDONESIA, DARMIN NASUTION Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 17 Desember 2012 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, AMIR SYAMSUDIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2012 NOMOR 272 DPbS PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 14/ 20 /PBI/2012 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 11/24/PBI/2009 TENTANG FASILITAS PENDANAAN JANGKA PENDEK SYARIAH BAGI BANK UMUM SYARIAH I. UMUM Perkembangan terkini mengindikasikan terpeliharanya kondisi ekonomi makro dan stabilitas sistem keuangan dan cukup kuatnya sistem perbankan dalam menghadapi tekanan sehingga tetap mampu berkembang cukup pesat yang berkontribusi terhadap pertumbuhan perekonomian. Namun demikian, sebagai konsekuensi dari globalisasi, sistem keuangan domestik terekspos terhadap perekonomian global, yang di satu sisi mendorong pesatnya perkembangan pasar, namun di sisi lain dapat meningkatkan risiko pada sistem keuangan dan sistem perbankan. Berdasarkan pengalaman di masa lalu, tekanan terhadap sistem perbankan secara langsung akan tercermin pada keketatan likuiditas yang terjadi secara mendadak. Apabila tidak diatasi secara cepat, Bank dapat mengalami mismatch likuiditas sehingga tidak mampu memenuhi kewajiban GWM. Dalam … - 2 - Dalam rangka mengantisipasi adanya tekanan terhadap sistem perbankan yang bersumber dari keketatan likuiditas, perlu diberikan akses bagi Bank untuk memperoleh Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek dari Bank Indonesia sebagai lender of the last resort. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, dipandang perlu untuk melakukan perubahan pengaturan Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Syariah yang diharapkan dapat memelihara kepercayaan masyarakat serta menjaga integritas sistem perbankan secara khusus dan sistem keuangan secara menyeluruh. II. PASAL DEMI PASAL Pasal I Angka 1 Pasal 2 Ayat (1) Apabila terdapat unit usaha syariah yang mengalami Kesulitan Pendanaan Jangka Pendek, maka unit usaha syariah wajib meminta tambahan dana dari bank umum konvensional yang menjadi induknya. Penetapan besarnya rasio kewajiban penyediaan modal minimum mengacu kepada pemenuhan modal minimum sesuai profil risiko sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kewajiban penyediaan modal minimum bagi Bank. Rasio… - 3 - Rasio kewajiban penyediaan modal minimum yang digunakan adalah berdasarkan perhitungan terkini Bank Indonesia. Ayat (2) Perkiraan Bank atas jumlah kebutuhan likuiditas didasarkan pada proyeksi arus kas paling lama 14 hari kalender ke depan. Ayat (3) Kewajiban GWM didasarkan pada perhitungan Bank Indonesia. Angka 2 Pasal 5 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “surat berharga syariah yang diterbitkan oleh badan hukum lainnya” adalah obligasi syariah korporasi (sukuk korporasi). Peringkat tersebut berdasarkan hasil penilaian lembaga pemeringkat yang diakui Bank Indonesia sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai … - 4 - mengenai lembaga pemeringkat dan peringkat yang diakui Bank Indonesia. Ayat (3) Huruf a Kriteria kualitas tergolong lancar mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penilaian kualitas aktiva bagi Bank. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Nilai agunan yang digunakan adalah nilai terendah dari nilai taksasi dan nilai pasar. Penilaian agunan dilakukan sesuai ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penilaian kualitas aktiva bagi Bank, antara lain mengenai batasan pembiayaan yang agunannya harus dinilai oleh penilai independen, kriteria penilai independen, dan waktu dilakukannya penilaian. Huruf d Yang dimaksud dengan “pihak terkait” adalah pihak terkait sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai batas maksimum penyaluran dana yang berlaku bagi Bank. Sementara ketentuan mengenai batas maksimum penyaluran dana bagi Bank belum diatur, maka batas maksimum penyaluran dana bagi Bank mengacu pada ketentuan … - 5 - ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai batas maksimum pemberian kredit Bank Umum. Huruf e Yang dimaksud dengan “Pembiayaan belum pernah direstrukturisasi” adalah Pembiayaan yang belum pernah dilakukan restrukturisasi sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai restrukturisasi pembiayaan bagi Bank. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Batas maksimum penyaluran dana mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai batas maksimum penyaluran dana yang berlaku bagi Bank. Sementara ketentuan mengenai batas maksimum penyaluran dana bagi Bank belum diatur maka batas maksimum penyaluran dana bagi Bank mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai batas maksimum pemberian kredit Bank Umum. Huruf h Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) … - 6 - Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Angka 3 Pasal 6 Cukup jelas. Angka 4 Pasal 7 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Penggantian atau penambahan agunan FPJPS dimaksudkan agar nilai aset agunan FPJPS sesuai dengan ketentuan Pasal 6. Ayat (6) … - 7 - Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Angka 5 Pasal 7A Ayat (1) Penambahan persentase tertentu dan batas persentase penurunan nilai agunan surat berharga dilakukan untuk mengantisipasi fluktuasi nilai pasar surat berharga. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 7B Ayat (1) Pemeliharaan dan penatausahaan daftar aset Pembiayaan dilakukan terhadap aset Pembiayaan yang akan dialokasikan oleh Bank sebagai agunan dalam rangka mengantisipasi kebutuhan FPJPS dengan agunan berupa aset Pembiayaan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) … - 8 - Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Angka 6 Pasal 10 Dihapus. Angka 7 Pasal 13 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan ”hari” pada ayat ini adalah hari kalender. Huruf c Dalam rangka pelaksanaan perpanjangan FPJPS, agunan yang telah diagunkan Bank untuk menjamin FPJPS yang diterima Bank sebelumnya akan dinilai kembali, sehingga Bank perlu menyesuaikan jumlah agunan yang diserahkan untuk menjamin perpanjangan FPJPS. Angka 8… - 9 - Angka 8 Pasal 14 Tambahan nilai FPJPS diakumulasikan dengan nilai FPJPS yang belum dilunasi. Angka 9 Pasal 14A Cukup jelas. Pasal 14B Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan ”mengalami perkembangan yang memburuk” adalah apabila arah rasio GWM Bank semakin menurun. Yang dimaksud dengan ”permasalahan likuiditas mendasar” antara lain adalah posisi arus kas yang semakin memburuk sebagai akibat maturity mismatch yang besar terutama pada skala waktu jangka pendek. Pasal 14C Ayat (1) Yang dimaksud dengan pelanggaran persyaratan FPJPS adalah pelanggaran atas persyaratan Bank penerima FPJPS dan persyaratan agunan FPJPS. Ayat (2) … - 10 - Ayat (2) Cukup jelas. Angka 10 Pasal 16 Cukup jelas. Angka 11 Pasal 17 Cukup jelas. Angka 12 Pasal 19 Dihapus. Angka 13 Pasal 21 Cukup jelas Pasal II Cukup jelas. R TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5376 DPbS "," PBI 14/20/PBI/2012 PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 11/24/PBI/2009 TENTANG FASILITAS PENDANAAN JANGKA PENDEK SYARIAH BAGI BANK UMUM SYARIAH 17 Desember 2012 17 Desember 2012 17 Desember 2012 '11/24/PBI/2009' '21/UU/2008', '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008' 'Pasal I Angka 13 Pasal 21' " " PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 3/ 17 /PBI/2001 TENTANG LAPORAN BERKALA BANK UMUM GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka penetapan kebijakan moneter serta pemantauan kondisi bank secara benar, diperlukan data dan informasi bank yang akurat dan tepat waktu; b. bahwa dalam rangka memperoleh informasi yang akurat dan tepat waktu secara efisien, maka sistem penyampaian dan tata cara penyusunan beberapa laporan bank umum yang telah ada perlu disesuaikan; c. bahwa sehubungan dengan itu dipandang perlu untuk menetapkan ketentuan mengenai laporan berkala bank umum dalam suatu Peraturan Bank Indonesia; Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Tahun 1998 Nomor Negara Nomor 3790); 182, Tambahan Lembaran 2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843); MEMUTUSKAN … -2- MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG LAPORAN BERKALA BANK UMUM. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, termasuk kantor cabang bank asing; 2. Laporan Berkala Bank Umum yang selanjutnya disebut dengan LBBU adalah laporan yang disusun oleh Bank untuk kepentingan Bank Indonesia yang disajikan menurut sistematika yang ditentukan Bank Indonesia; 3. Penyampaian laporan secara on line adalah penyampaian laporan yang dilakukan dengan mengirim/mentransfer rekaman data secara langsung melalui komputer yang dihubungkan dengan pusat komputer Bank Indonesia dengan bantuan computer switching; 4. Penyampaian laporan secara off line adalah penyampaian laporan yang dilakukan dengan menyampaikan rekaman data dalam bentuk disket kepada Bank Indonesia. Pasal 2 … -3- Pasal 2 (1) Bank wajib menyusun dan menyampaikan LBBU kepada Bank Indonesia secara akurat, lengkap, dan tepat waktu. (2) Penyusunan dan penyampaian LBBU sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh kantor pusat Bank. (3) Penyusunan LBBU sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi data mengenai: a. dana pihak ketiga; b. pos-pos neraca mingguan; c. posisi devisa neto; d. pemantauan likuiditas yang terdiri dari: 1. proyeksi arus kas; dan 2. maturity profile; e. batas maksimum pemberian kredit, yang terdiri dari: 1. pelanggaran batas maksimum pemberian kredit; 2. pelampauan batas maksimum pemberian kredit; 3. penyediaan dana kepada pihak terkait; 4. penyediaan dana oleh Bank yang dijamin Bank lain; dan 5. realisasi jaminan. Pasal 3 (1) Bank bertanggung jawab atas keakuratan, kelengkapan isi, dan ketepatan waktu penyampaian LBBU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2. (2) Bank … -4- (2) Bank wajib menunjuk petugas dan penanggung jawab untuk menyusun dan menyampaikan LBBU kepada Bank Indonesia. (3) Bank wajib menyampaikan daftar pihak-pihak yang ditunjuk sebagai petugas dan penanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia ini. (4) Dalam hal terjadi perubahan atas daftar pihak-pihak yang ditunjuk sebagai petugas dan penanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), Bank wajib menyampaikan perubahan daftar dimaksud lambatnya 7 (tujuh) hari setelah terjadinya perubahan. Pasal 4 (1) Bank dalam menyusun LBBU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 wajib berpedoman pada sistematika penyusunan LBBU yang ditetapkan Bank Indonesia. (2) Sistematika penyusunan LBBU sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia. BAB II MASA DAN POSISI LBBU Pasal 5 Data LBBU berupa data dana pihak ketiga, pos-pos neraca mingguan, dan posisi devisa neto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a, huruf b, dan huruf c, disusun untuk 4 (empat) masa laporan pada setiap bulan yaitu: a. masa … selambat- -5- a. masa laporan minggu pertama, meliputi tanggal 1 sampai dengan tanggal 7; b. masa laporan minggu kedua, meliputi tanggal 8 sampai dengan tanggal 15; c. masa laporan minggu ketiga, meliputi tanggal 16 sampai dengan tanggal 23; d. masa laporan minggu keempat, meliputi tanggal 24 sampai dengan akhir bulan. Pasal 6 (1) Data LBBU berupa data pemantauan likuiditas dalam bentuk proyeksi arus kas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf d angka 1 disusun untuk 2 (dua) posisi laporan pada setiap bulan, yaitu tanggal 15 dan akhir bulan. (2) Data LBBU berupa data pemantauan likuiditas dalam bentuk maturity profile sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf d angka 2 disusun untuk posisi laporan tanggal akhir bulan pada setiap bulan. Pasal 7 Data LBBU berupa data batas maksimum pemberian kredit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf e disusun untuk posisi laporan tanggal akhir bulan pada setiap bulan. BAB III … -6- BAB III PENYAMPAIAN DAN KOREKSI LBBU Pasal 8 Pada setiap bulan, Bank wajib menyampaikan LBBU dalam periode penyampaian yang ditetapkan sebagai berikut: a. periode penyampaian I, meliputi tanggal 1 sampai dengan tanggal 6; b. periode penyampaian II, meliputi tanggal 8 sampai dengan tanggal 13; c. periode penyampaian III, meliputi tanggal 16 sampai dengan tanggal 21; d. periode penyampaian IV, meliputi tanggal 24 sampai dengan tanggal 29. Pasal 9 Data LBBU yang wajib disampaikan untuk masing-masing periode penyampaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ditetapkan sebagai berikut: a. periode penyampaian I, meliputi data mengenai: 1. dana pihak ketiga untuk masa laporan minggu keempat bulan sebelumnya; 2. pos-pos neraca mingguan untuk masa laporan minggu keempat bulan sebelumnya; 3. posisi devisa neto untuk masa laporan minggu keempat bulan sebelumnya; dan 4. pemantauan likuiditas dalam bentuk proyeksi arus kas dan maturity profile untuk posisi laporan tanggal akhir bulan sebelumnya. b. periode … -7- b. periode penyampaian II, meliputi data mengenai: 1. dana pihak ketiga untuk masa laporan minggu pertama bulan yang bersangkutan; 2. pos-pos neraca mingguan untuk masa laporan minggu pertama bulan yang bersangkutan; dan 3. posisi devisa neto untuk masa laporan minggu pertama bulan yang bersangkutan. c. periode penyampaian III, meliputi data mengenai: 1. dana pihak ketiga untuk masa laporan minggu kedua bulan yang bersangkutan; 2. pos-pos neraca mingguan untuk masa laporan minggu kedua bulan yang bersangkutan; 3. posisi devisa neto untuk masa laporan minggu kedua bulan yang bersangkutan; 4. pemantauan likuiditas dalam bentuk proyeksi arus kas untuk posisi laporan tanggal 15 bulan yang bersangkutan; dan 5. batas maksimum pemberian kredit untuk posisi laporan tanggal akhir bulan sebelumnya. d. periode penyampaian IV, meliputi data mengenai: 1. dana pihak ketiga untuk masa laporan minggu ketiga bulan yang bersangkutan; 2. pos-pos neraca mingguan untuk masa laporan minggu ketiga bulan yang bersangkutan; dan 3. posisi … -8- 3. posisi devisa neto untuk masa laporan minggu ketiga bulan yang bersangkutan. Pasal 10 Dalam hal ditemukan kesalahan pada LBBU yang telah disampaikan, Bank wajib melakukan koreksi atas kesalahan tersebut dan menyampaikannya kepada Bank Indonesia dalam periode penyampaian LBBU yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8. Pasal 11 Dalam hal batas akhir periode penyampaian LBBU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dan atau koreksi LBBU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 jatuh pada hari Sabtu, hari Minggu, dan hari libur, maka LBBU dan atau koreksi LBBU disampaikan pada hari kerja sebelumnya. BAB IV KETERLAMBATAN DAN TIDAK MENYAMPAIKAN LBBU Pasal 12 (1) Bank dinyatakan terlambat menyampaikan LBBU untuk satu periode penyampaian apabila LBBU diterima Bank Indonesia setelah batas akhir periode penyampaian yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 sampai dengan 14 (empat belas) hari setelah penyampaian dimaksud. batas akhir periode (2) Bank dinyatakan terlambat menyampaikan koreksi LBBU untuk satu periode penyampaian apabila koreksi LBBU diterima Bank Indonesia setelah batas akhir periode penyampaian yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 sampai dengan 14 (empat belas) hari setelah batas akhir periode penyampaian koreksi dimaksud. Pasal 13 . . . -9- Pasal 13 (1) Bank dinyatakan tidak menyampaikan LBBU dan atau koreksi LBBU untuk satu periode penyampaian apabila Bank belum menyampaikan LBBU dan atau koreksi LBBU dimaksud dalam batas waktu keterlambatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12. (2) Bank yang dinyatakan tidak menyampaikan LBBU dan atau koreksi LBBU sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tetap wajib menyampaikan LBBU dan atau koreksi LBBU kepada Bank Indonesia. BAB V METODE PENYAMPAIAN LBBU Pasal 14 (1) Bank wajib menyampaikan LBBU dan atau koreksi LBBU kepada Bank Indonesia secara on line. (2) Kewajiban penyampaian laporan secara on line sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikecualikan bagi: a. Bank yang berada di daerah yang belum tersedia fasilitas komunikasi sehingga tidak memungkinkan untuk menyampaikan LBBU dan atau koreksi LBBU secara on line; b. Bank yang baru dibuka dengan batas waktu paling lama 2 (dua) bulan setelah melakukan kegiatan operasional; c. Bank yang mengalami gangguan teknis sehingga tidak dapat menyampaikan LBBU dan atau koreksi LBBU secara on line. Pasal 15 . . . -10- Pasal 15 Bank yang mengalami gangguan teknis sehingga tidak dapat menyampaikan LBBU dan atau koreksi LBBU secara on line sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) huruf c wajib menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Bank Indonesia mengenai gangguan teknis yang ditandatangani oleh anggota direksi Bank. Pasal 16 (1) Bank yang dikecualikan untuk menyampaikan LBBU dan atau koreksi LBBU secara on line karena hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) atau terlambat menyampaikan LBBU dan atau koreksi LBBU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, wajib menyampaikan LBBU dan atau koreksi LBBU secara off line disertai hasil cetak komputer (hard copy). (2) Bank yang dinyatakan tidak menyampaikan LBBU dan atau koreksi LBBU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, wajib menyampaikan LBBU dan atau koreksi LBBU secara off line disertai hasil cetak komputer (hard copy). Pasal 17 LBBU, koreksi LBBU, dan pemberitahuan tertulis Bank kepada Bank Indonesia disampaikan kepada Bank Indonesia dengan alamat sebagai berikut: a. Direktorat Statistik Ekonomi dan Moneter, Jl. M.H. Thamrin Nomor 2 Jakarta 10110, bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia; atau b. Kantor … dialami dan -11- b. Kantor Bank Indonesia setempat, bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja Kantor Bank Indonesia. BAB VI LAIN-LAIN Pasal 18 (1) Kewajiban penyampaian LBBU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan atau koreksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 untuk suatu periode penyampaian, dikecualikan bagi kantor pusat Bank yang mengalami keadaan memaksa (force majeur) sehingga mengakibatkan tidak dapat menyampaikan LBBU dan atau koreksi LBBU dalam periode penyampaian tersebut. (2) Kantor pusat Bank yang tidak dapat menyampaikan LBBU atau koreksi LBBU sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib memberitahukan secara tertulis kepada Bank Indonesia, disertai permohonan untuk tidak menyampaikan LBBU atau koreksi LBBU dan penjelasan mengenai penyebab terjadinya keadaan memaksa (force majeur) dan jangka waktu yang diperlukan untuk mengatasi keadaan tersebut, yang ditandatangani oleh anggota direksi dan komisaris Bank. (3) Pengecualian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya diberikan sampai dengan keadaan memaksa (force majeur) sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat teratasi. Pasal 19 … -12- Pasal 19 Bank yang tidak dapat mengirimkan data LBBU secara lengkap yang diakibatkan oleh satu atau lebih kantor cabang Bank mengalami keadaan memaksa (force majeur) sehingga tidak dapat mengirimkan data LBBU kepada kantor pusat Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf b, wajib memberitahukan secara tertulis kepada Bank Indonesia dan ditandatangani oleh anggota direksi dan komisaris Bank. Pasal 20 Perubahan pengaturan dalam Pasal 2 ayat (3), Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, dan Pasal 28 Peraturan Bank Indonesia ini ditetapkan dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 21 Kewajiban penyampaian LBBU dan atau koreksi LBBU sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku untuk LBBU yang wajib disampaikan pada periode penyampaian I bulan November 2001. BAB VII SANKSI Pasal 22 (1) Bank yang terlambat menyampaikan LBBU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari kerja keterlambatan. (2) Bank yang tidak menyampaikan LBBU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). (3) Bank … -13- (3) Bank yang terlambat menyampaikan koreksi LBBU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) per item koreksi dengan jumlah maksimum sebesar Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah). (4) Bank yang tidak menyampaikan koreksi LBBU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per item koreksi dengan jumlah maksimum sebesar Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah). (5) Bank yang menyampaikan koreksi LBBU atas dasar temuan dan permintaan Bank Indonesia dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk per item koreksi dengan jumlah maksimum sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah). Pasal 23 Bank yang menyampaikan LBBU dan atau koreksi LBBU secara off-line yang tidak disebabkan oleh hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp125.000,00 (seratus dua puluh lima ribu rupiah) untuk setiap penyampaian LBBU atau koreksi LBBU. Pasal 24 Bank yang tidak menyampaikan LBBU atau koreksi LBBU atas dasar temuan dan atau permintaan Bank Indonesia, setelah 2 (dua) kali teguran tertulis, dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Pasal 25 … -14- Pasal 25 Pengenaan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 24 dilakukan Bank Indonesia dengan mendebet rekening giro rupiah Bank pada Bank Indonesia. Pasal 26 Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (3) dan ayat (4) dikecualikan untuk: a. penyampaian koreksi LBBU sebagai akibat hasil audit tahunan oleh akuntan publik; b. penyampaian koreksi LBBU sebagai akibat satu atau lebih kantor cabang Bank mengalami keadaan memaksa (force majeur) sehingga tidak dapat mengirimkan data LBBU kepada kantor pusat Bank. Pasal 27 Selain sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 24, pelanggaran terhadap ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1), Pasal 3 ayat (2), ayat (3), ayat (4), Pasal 4 ayat (1), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 14 ayat (1), Pasal 15, Pasal 16, dan Pasal 18 ayat (2) dapat dikenakan sanksi dalam rangka pengawasan dan pembinaan Bank. Pasal 28 Pengenaan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 24 mulai diberlakukan untuk LBBU yang disampaikan pada periode penyampaian I bulan Desember 2001. wajib BAB VIII … -15- BAB VIII PENUTUP Pasal 29 Dengan diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia ini maka tata cara penyusunan, penyampaian, dan pengenaan sanksi penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam: a. Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16, Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 28/113/KEP/DIR tanggal 14 Desember 1995 tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum Pada Bank Indonesia Dalam Rupiah dan Valuta Asing; b. Pasal 14, Pasal 17 ayat (1) khususnya mengenai alamat penyampaian laporan dalam Pasal 14, Pasal 18 ayat (1), Pasal 19 ayat (2) khususnya mengenai tidak menyampaikan laporan dalam Pasal 14, Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/177/KEP/DIR tanggal 31 Desember 1998 tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Umum; c. Pasal 5, Pasal 7, serta Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2) Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/178/KEP/DIR tanggal 31 Desember 1998 tentang Posisi Devisa Neto Bank Umum; d. Pasal 2, Pasal 3, Pasal 6 ayat (1) khususnya mengenai Laporan Pemantauan Likuiditas dalam Pasal 2, ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), Pasal 7 khususnya alamat penyampaian Laporan Pemantauan Likuiditas dalam Pasal 2, Pasal 9 huruf a dan huruf b, dan Pasal 10 khususnya yang mengatur mengenai Pasal 2 serta Pasal 9 huruf a dan huruf b, Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/179/KEP/DIR tanggal 31 Desember 1998 tentang Pemantauan Likuiditas Bank Umum; dan e. Pasal 7 … -16- e. Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 8 ayat (2), Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/5/PBI/2000 tanggal 21 Februari 2000 tentang Penyediaan Dana Oleh Bank Yang Dijamin Bank Lain, disesuaikan dengan Peraturan Bank Indonesia ini sejak tanggal 31 Oktober 2001. Pasal 30 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 4 Oktober 2001 GUBERNUR BANK INDONESIA SYAHRIL SABIRIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2001 NOMOR 125 DPNP PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 3/ 17 /PBI/2001 TENTANG LAPORAN BERKALA BANK UMUM UMUM Dalam Pasal 28 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, ditetapkan bahwa bank wajib menyampaikan laporan, keterangan, dan penjelasan kepada Bank Indonesia dengan tata cara yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Data dan atau informasi dalam laporan, keterangan, dan penjelasan dimaksud lebih lanjut digunakan antara lain dalam menyusun statistik perbankan untuk analisis ekonomi moneter serta pengawasan dan pembinaan bank. Untuk menunjang pengkinian penyusunan statistik perbankan diperlukan data keuangan perbankan yang akurat dan lengkap yang disampaikan secara efisien dan tepat waktu. Selain itu untuk meningkatkan efektifitas data keuangan perbankan dirasakan perlu untuk menyeragamkan laporan yang disampaikan yang selama ini telah diatur dalam beberapa ketentuan Bank Indonesia. Sejalan dengan hal tersebut dan dengan semakin berkembangnya penggunaan sarana telekomunikasi dan teknologi dalam kegiatan usaha Bank, untuk mendukung terciptanya mekanisme pelaporan yang lebih efisien, maka dalam … -2- dalam penyampaian laporan berkala bank umum perlu disempurnakan melalui pemanfaatan sarana telekomunikasi dan teknologi. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Angka 1 Cukup jelas. Angka 2 Cukup jelas. Angka 3 Cukup jelas. Angka 4 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Yang dimaksud dana pihak ketiga adalah dana pihak ketiga dalam rupiah dan valuta asing sebagaimana dimaksud dalam … -3- dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku tentang giro wajib minimum bank umum pada Bank Indonesia dalam rupiah dan valuta asing. Huruf b Yang dimaksud dengan pos-pos neraca mingguan adalah neraca yang disusun secara mingguan sesuai dengan rincian pos-pos neraca sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku tentang laporan bulanan bank umum. Huruf c Yang dimaksud dengan posisi devisa neto adalah angka yang merupakan penjumlahan dari nilai absolut dari selisih bersih aktiva dan pasiva dalam neraca untuk setiap valuta asing ditambah dengan selisih bersih tagihan dan kewajiban, baik yang merupakan komitmen maupun kontinjensi dalam rekening administratif untuk setiap valuta asing sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku tentang posisi devisa neto. Huruf d Yang dimaksud dengan pemantauan likuiditas adalah pemantauan likuiditas melalui proyeksi arus kas dan maturity profile atas pos-pos neraca bank sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku tentang pemantauan likuiditas bank umum. Huruf e … -4- Huruf e Yang dimaksud dengan batas maksimum pemberian kredit adalah prosentase perbandingan batas maksimum penyediaan dana yang diperkenankan terhadap modal bank sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku tentang batas maksimum pemberian kredit bank umum. Pasal 3 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan petugas adalah operator yang mengetahui, menguasai, dan mengoperasikan sistem pelaporan. Yang dimaksud dengan penanggung jawab adalah pejabat yang memiliki wewenang untuk memberikan otorisasi mengenai keabsahan data yang dikirimkan. Khusus untuk data batas maksimum pemberian kredit, selain pejabat yang ditunjuk, penanggung jawab juga termasuk salah seorang direksi dan salah seorang komisaris Bank. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 4 … -5- Pasal 4 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 … -6- Pasal 10 Koreksi atas kesalahan data posisi devisa neto masa laporan minggu ketiga wajib disampaikan dalam periode penyampaian yang sama dengan periode penyampaian yang ditetapkan untuk data posisi devisa neto masa laporan minggu ketiga. Kesalahan LBBU antara lain disebabkan adanya temuan Bank, akuntan publik, BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan) dan atau Bank Indonesia. Pasal 11 Yang dimaksud dengan hari libur adalah hari libur nasional dan atau hari libur lokal yang ditetapkan oleh pemerintah daerah setempat. Dalam hal terdapat beberapa hari libur umum yang berurutan termasuk hari libur khusus, pelaksanaan penyampaian LBBU dan atau koreksi LBBU akan diatur tersendiri oleh Bank Indonesia. Pasal 12 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 13 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 14 … -7- Pasal 14 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Ayat (1) Yang dimaksud keadaan memaksa (force majeur) antara lain adalah gempa bumi, banjir, kebakaran, kerusuhan dan perang. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) … -8- Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 19 Dalam hal satu atau lebih kantor cabang Bank mengalami keadaan memaksa (force majeur) sehingga tidak dapat mengirimkan data LBBU kepada kantor pusat Bank tidak mengurangi kewajiban Bank untuk melaporkan LBBU selengkap-lengkapnya kepada Bank Indonesia. Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Dalam hal Bank dikenakan sanksi kewajiban membayar karena dinyatakan tidak menyampaikan LBBU maka sanksi kewajiban membayar karena terlambat menyampaikan LBBU tidak diberlakukan. Ayat (3) Penyampaian koreksi LBBU dilakukan atas inisiatif Bank. Ayat (4) Sanksi untuk penyampaian koreksi LBBU melebihi batas waktu keterlambatan tidak menghilangkan sanksi kewajiban membayar karena terlambat menyampaikan koreksi LBBU. Ayat (5) … -9- Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Apabila saldo rekening Bank pada Bank Indonesia tidak mencukupi maka sanksi kewajiban membayar wajib disetorkan secara tunai kepada rekening Bank pada Bank Indonesia. Pasal 26 Termasuk akuntan publik adalah BPKP. Pasal 27 Sanksi dalam rangka pengawasan dan pembinaan Bank antara lain termasuk sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, antara lain namun tidak terbatas pada: a. teguran tertulis; b. pencantuman anggota pengurus, pegawai Bank, pemegang saham dalam daftar orang-orang yang dilarang menjadi pemegang saham dan atau pengurus Bank; c. pembekuan kegiatan usaha tertentu, antara lain tidak diperkenankan untuk ekspansi penyediaan dana; d. pemberhentian … -10- d. pemberhentian pengurus Bank dan selanjutnya menunjuk mengangkat pengganti sementara; dan atau e. larangan untuk turut serta dalam kegiatan kliring. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas. dan TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4143 DPNP "," PBI 3/17/PBI/2001 LAPORAN BERKALA BANK UMUM 4 Oktober 2001 4 Oktober 2001 '7/UU/1992', '10/UU/1998', '23/UU/1999' 'BAB VII' " " PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 6/18/PBI/2004 TENTANG KUALITAS AKTIVA PRODUKTIF BAGI BANK PERKREDITAN RAKYAT SYARIAH GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kinerja dan kelangsungan usaha Bank Perkreditan Rakyat Syariah dipengaruhi oleh kualitas dari penanaman atau penempatan dana; b. bahwa dalam rangka menjaga kinerja yang baik dan pengembangan usaha yang senantiasa sesuai dengan prinsip kehati-hatian dan prinsip Syariah, maka pengurus Bank Perkreditan Rakyat yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip Syariah wajib menjaga kualitas aktiva produktif; c. bahwa produk penanaman atau penempatan dana dalam bentuk aktiva produktif Bank Perkreditan Rakyat yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip Syariah memiliki karakteristik yang khas; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b dan c perlu untuk menetapkan ketentuan tentang….. - 2 - tentang kualitas aktiva produktif bagi Bank Perkreditan Rakyat yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip Syariah dalam Peraturan Bank Indonesia. Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang- undang No.3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7 Tambahan Lembaran Negara Nomor 4357); M E M U T U S K A N : Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG KUALITAS AKTIVA PRODUKTIF PERKREDITAN RAKYAT SYARIAH BAB I .… BAGI BANK - 3 - BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan : 1. Bank Perkreditan Rakyat Syariah yang selanjutnya disebut BPRS adalah Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah; 2. Bank Syariah adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang- undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip Syariah, termasuk yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan berdasarkan prinsip Syariah secara bersamaan; 3. Aktiva Produktif adalah penanaman atau penempatan dana BPRS dalam Rupiah berdasarkan prinsip Syariah dalam bentuk pembiayaan, piutang, Ijarah, Sertifikat Wadiah Bank Indonesia dan Penempatan Dana Pada Bank Lain; 4. Pembiayaan berdasarkan prinsip Syariah adalah penyediaan dana dan atau tagihan oleh BPRS kepada nasabah berdasarkan akad Mudharabah dan atau Musyarakah dan atau pembiayaan lainnya berdasarkan prinsip bagi hasil; 5. Mudharabah adalah perjanjian antara BPRS sebagai penyedia dana dengan nasabah sebagai pengelola dana untuk melakukan kegiatan usaha tertentu, dengan pembagian keuntungan antara kedua belah pihak berdasarkan nisbah yang .… - 4 - yang telah disepakati sebelumnya, sedangkan kerugian ditanggung penyedia dana kecuali kerugian akibat kesalahan yang disengaja, kelalaian, dan atau pelanggaran kesepakatan yang dilakukan oleh pengelola dana; 6. Musyarakah adalah perjanjian antara BPRS sebagai penyedia dana dengan penyedia dana lainnya untuk membiayai usaha tertentu dengan pembagian keuntungan diantara penyedia dana berdasarkan nisbah yang disepakati sebelumnya, sedangkan kerugian ditanggung berdasarkan porsi dana masing-masing pihak; semua penyedia dana 7. Piutang adalah tagihan yang timbul dari transaksi jual beli berdasarkan akad Murabahah, Salam, Istishna dan atau pinjam meminjam berdasarkan akad Qardh; 8. Murabahah adalah perjanjian jual beli barang sebesar harga pokok barang ditambah dengan marjin keuntungan yang disepakati antara BPRS sebagai penjual dengan nasabah sebagai pembeli yang pembayarannya dilakukan secara tangguh; 9. Salam adalah perjanjian jual beli barang dengan pembayaran lunas dimuka oleh BPRS sebagai pembeli kepada nasabah sebagai penjual yang berkewajiban menyerahkan barang pesanan berdasarkan jangka waktu, kriteria dan persyaratan yang disepakati, dan barang tersebut akan dijual kembali oleh BPRS kepada pihak lain; 10. Istishna adalah perjanjian jual beli barang dengan pesanan berdasarkan jangka waktu, kriteria dan persyaratan yang disepakati, yang pembayarannya dilakukan secara tangguh oleh nasabah sebagai pembeli kepada BPRS sebagai penjual setelah barang pesanan diterima oleh nasabah; 11. Qardh adalah perjanjian pinjam meminjam dana antara BPRS sebagai pemberi pinjaman dengan nasabah sebagai pihak peminjam yang mewajibkan…. - 5 - mewajibkan pihak peminjam melakukan pengembalikan pokok pinjaman tanpa imbalan yang diperjanjikan di muka secara sekaligus atau cicilan dalam jangka waktu tertentu; 12. Ijarah adalah perjanjian sewa menyewa suatu barang (Aktiva Ijarah/ Uang Muka Ijarah) antara BPRS sebagai pihak yang menyewakan dengan nasabah sebagai pihak penyewa dalam jangka waktu tertentu; 13. Aktiva Ijarah adalah aktiva yang diperoleh atau dibeli BPRS untuk tujuan disewakan; 14. Uang Muka Ijarah adalah uang muka sewa yang dibayar oleh BPRS kepada pihak pemilik barang, selanjutnya barang tersebut disewakan oleh BPRS kepada nasabah; 15. Penempatan Dana Pada Bank Lain adalah penanaman dana BPRS pada Bank Syariah atau BPRS lainnya berdasarkan prinsip Syariah antara lain dalam bentuk giro dan atau tabungan Wadiah, deposito berjangka dan atau tabungan Mudharabah, Pembiayaan yang diberikan dan atau bentuk-bentuk penempatan lainnya yang dipersamakan dengan itu; 16. Proyeksi Bagi Hasil (PBH) adalah perkiraan bagi hasil yang akan diberikan oleh nasabah kepada BPRS atas pembiayaan yang diberikan dengan jumlah dan tanggal jatuh tempo yang disepakati antara BPRS dan nasabah; 17. Realisasi Bagi Hasil (RBH) adalah bagi hasil yang diberikan nasabah kepada BPRS atas pembiayaan yang diberikan; 18. Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI) adalah bukti penitipan dana Wadiah pada Bank Indonesia; 19. Wadiah adalah perjanjian penitipan dana antara pemilik dana dengan pihak yang dipercaya untuk menjaga dana titipan tersebut; 20. Restrukturisasi…. - 6 - 20. Restrukturisasi pembiayaan, piutang dan atau Ijarah adalah upaya yang dilakukan BPRS dalam rangka membantu nasabah agar dapat menunaikan kewajibannya antara lain melalui : a. penjadualan kembali (rescheduling), yaitu perubahan jadwal pembayaran kewajiban nasabah atau jangka waktunya; b. persyaratan kembali (reconditioning), yaitu perubahan sebagian atau seluruh persyaratan pembiayaan, piutang dan atau Ijarah yang tidak terbatas pada perubahan jadual pembayaran, jangka waktu, dan atau persyaratan lainnya sepanjang tidak menyangkut perubahan maksimum saldo pembiayaan, piutang dan atau Ijarah ; c. penataan kembali (restructuring), yaitu perubahan persyaratan pembiayaan, piutang dan atau Ijarah yang menyangkut: 1) penambahan dana BPRS; 2) konversi pembiayaan menjadi piutang dan atau sebaliknya; 3) konversi pembiayaan atau piutang menjadi Ijarah. Pasal 2 (1) Penanaman dana BPRS pada Aktiva Produktif wajib dilaksanakan berdasarkan prinsip kehati-hatian. (2) Pengurus BPRS wajib memantau dan mengambil langkah-langkah antisipasi agar Kualitas Aktiva Produktif senantiasa dalam keadaan Lancar. BAB II…. - 7 - BAB II TATA CARA PENILAIAN Pasal 3 Kualitas Aktiva Produktif wajib dinilai secara bulanan. Pasal 4 (1) Kualitas Aktiva Produktif dalam bentuk Pembiayaan, Piutang, Ijarah dan atau Penempatan Dana Pada Bank Lain ditetapkan menjadi 4 (empat) golongan yaitu Lancar, Kurang Lancar, Diragukan dan Macet. (2) Penilaian terhadap Kualitas Aktiva Produktif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan berdasarkan pada ketepatan dan atau kemampuan membayar kewajiban oleh nasabah penerima dana sesuai dengan lampiran dalam Peraturan Bank Indonesia ini. Pasal 5 (1) Penilaian terhadap kualitas Pembiayaan dan Penempatan Dana Pada Bank Lain dilakukan berdasarkan kemampuan membayar yang mengacu pada ketepatan pengembalian pokok dan atau pencapaian rasio antara Realisasi Bagi Hasil (RBH) dengan Proyeksi Bagi Hasil (PBH). (2) PBH dihitung berdasarkan pada analisis kelayakan usaha dan arus kas masuk nasabah selama jangka waktu pembiayaan. (3) BPRS dapat mengubah PBH berdasarkan kesepakatan dengan nasabah penerima dana sepanjang terdapat perubahan atas kondisi ekonomi makro, dan pasar yang mempengaruhi usaha nasabah. (4) BPRS…. - 8 - (4) BPRS wajib mencantumkan PBH dan perubahan PBH dalam perjanjian pembiayaan antara BPRS dengan nasabah penerima dana serta harus mendokumentasikannya secara lengkap. (5) BPRS dapat melakukan revisi PBH maksimum : a. 1 (satu) kali untuk pembiayaan dengan jangka waktu sampai dengan satu tahun; b. 2 (dua) kali untuk pembiayaan dengan jangka waktu di atas satu tahun. Pasal 6 (1) Pengembalian pokok Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dapat dilakukan secara bertahap selama jangka waktu Pembiayaan atau sekaligus pada waktu berakhirnya akad untuk Pembiayaan dengan jangka waktu sampai dengan 1 (satu) tahun. (2) Apabila jangka waktu Pembiayaan lebih dari 1 (satu) tahun, pengembalian pokok Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilakukan secara bertahap dan sesuai dengan proyeksi arus kas masuk (cash inflow) usaha nasabah penerima dana. (3) Pengembalian pokok sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dicantumkan dalam perjanjian pembiayaan antara BPRS dengan nasabah penerima dana dan didukung dengan dokumen yang lengkap. Pasal 7 (1) Kualitas Aktiva Produktif dalam bentuk Piutang ketepatan pembayaran angsuran Piutang. dinilai berdasarkan (2) Penilaian…. - 9 - (2) Penilaian Kualitas Aktiva Produktif dalam bentuk Piutang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mengacu pada ketepatan pelunasan Piutang yang berjangka waktu sampai dengan 1 (satu) bulan. (3) Apabila jangka waktu Piutang lebih dari 1 (satu) bulan, pembayaran angsuran Piutang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilakukan secara berkala dan sesuai dengan proyeksi arus kas masuk (cash inflow) usaha nasabah. (4) Pembayaran angsuran Piutang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dicantumkan dalam perjanjian pembiayaan antara BPRS dengan nasabah penerima dana serta didukung dengan dokumentasi yang lengkap, sekurang-kurangnya memuat mengenai angsuran pokok, marjin dan jadwal pembayaran. Pasal 8 Kualitas Aktiva Produktif dalam bentuk Ijarah dinilai berdasarkan ketepatan pembayaran sewa. Pasal 9 Kualitas Sertifikat Wadiah Bank Indonesia ditetapkan Lancar. Pasal 10 Penanaman dana BPRS dalam bentuk Aktiva Produktif wajib didukung dengan dokumentasi yang lengkap. Pasal 11…. - 10 - Pasal 11 Kualitas Aktiva Produktif yang telah ditetapkan oleh BPRS dapat diturunkan oleh Bank Indonesia (professional judgement) apabila terjadi salah satu atau lebih hal sebagai berikut : a. nasabah penerima dana tidak diketahui lagi keberadaannya tanpa alasan yang dapat dibenarkan; b. usaha nasabah bangkrut. Pasal 12 (1) BPRS dapat melakukan Restrukturisasi Pembiayaan, Piutang dan atau Ijarah sepanjang Nasabah masih memiliki prospek usaha namun telah atau diperkirakan akan mengalami kesulitan pembayaran pokok, angsuran, bagi hasil, atau sewa. (2) Restrukturisasi sebagaimana dimaksud dalam berdasarkan prinsip Syariah. ayat (1) dilakukan (3) Penggolongan kualitas atas Pembiayaan, Piutang dan atau Ijarah yang direstrukturisasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah sebagai berikut : a. setinggi-tingginya Kurang Lancar untuk Pembiayaan, Piutang dan atau Ijarah yang sebelum direstrukturisasi tergolong Diragukan atau Macet; b. kualitas tidak berubah untuk Pembiayaan, Piutang dan atau Ijarah yang sebelum direstrukturisasi tergolong Lancar atau Kurang Lancar. (4) Kualitas…. - 11 - (4) Kualitas Pembiayaan, Piutang, dan atau Ijarah sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dapat menjadi : a. lancar apabila tidak terjadi tunggakan angsuran pokok dan bagi hasil selama 6 (enam) kali periode pembayaran secara berturut-turut; b. kembali pada kualitas yang sama dengan sebelum dilakukan restrukturisasi, apabila nasabah peminjam gagal memenuhi kriteria sebagaimana disebutkan dalam huruf a. BAB III SANKSI Pasal 13 BPRS yang tidak melaksanakan ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 3, Pasal 5 ayat (4), Pasal 6 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 7 ayat (3) dan ayat (4), dan Pasal 10 dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 berupa : a. teguran tertulis; b. penurunan tingkat kesehatan; dan atau c. penggantian pengurus. BAB IV…. - 12 - BAB IV KETENTUAN PENUTUP Pasal 14 Dengan dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia ini, maka Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 26/22/KEP/DIR tentang Kualitas Aktiva Produktif dan Pembentukan Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif, dan surat Edaran Bank Indonesia Nomor 26/4/BPPP tentang Kualitas Aktiva Produktif dan Pembentukan Penyisihan Aktiva Produktif masing-masing tanggal tanggal 29 Mei 1993, sebagaimana telah diubah dengan Surat keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 26/167/KEP/DIR tentang Penyempurnaan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 26/22/KEP/DIR tanggal 29 Mei 1993 tentang Kualitas Aktiva Produktif dan Pembentukan Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif, dan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 26/9/BPPP tentang Penyempurnaan Pembentukan Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif masing-masing tanggal 29 Maret 1994, dinyatakan tidak berlaku bagi BPRS. Pasal 15 …. - 13 - Pasal 15 Peraturan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 1 Juli 2004 GUBERNUR BANK INDONESIA Ttd. BURHANUDDIN ABDULLAH LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004 NOMOR 59 DPbS - 14 - PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 6/18/PBI/2004 TENTANG KUALITAS AKTIVA PRODUKTIF BAGI BANK PERKREDITAN RAKYAT SYARIAH I. UMUM Kelangsungan usaha Bank Perkreditan Rakyat Syariah tergantung pada kinerja, yang salah satu indikator utamanya adalah kualitas dari penanaman atau penempatan dana bank. Kualitas penanaman atau penempatan dana yang baik akan menghasilkan keuntungan, sehingga kinerja bank yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip Syariah akan baik. Sebaliknya kualitas penanaman atau penempatan dana yang buruk akan membawa pengaruh menurunnya kinerja Bank Perkreditan Rakyat Syariah, yang pada akhirnya dapat mengancam kelangsungan usaha Bank Perkreditan Rakyat Syariah. Dengan menyadari pentingnya kualitas penanaman atau penempatan dana, maka pengurus Bank Perkreditan Rakyat Syariah sebagai penerima amanat dari pemilik dana (investor) memiliki tanggung jawab atas pengelolaan dana tersebut, mulai dari persetujuan sampai dengan pemantauan atas kualitas penanaman atau penempatan dana. Pemantauan atas penanaman atau penempatan dana ini dilakukan dengan cara selalu menilai kualitas penanaman atau penempatan dana tersebut berdasarkan pada kemampuan membayar nasabah. Dengan… - 15 - Dengan melihat kekhasan produk dan operasional Bank Perkreditan Rakyat Syariah dan dalam rangka mewujudkan tata cara penilaian kualitas aktiva produktif yang berdasarkan pada prinsip kehati-hatian dan memenuhi prinsip Syariah maka perlu ditetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang kualitas aktiva produktif bagi Bank Perkreditan Rakyat Syariah. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Yang dimaksud dengan prinsip kehati-hatian dalam penanaman atau penempatan dana yaitu penanaman atau penempatan dana BPRS dilakukan antara lain berdasarkan : • Analisis kelayakan usaha dengan memperhatikan sekurang- kurangnya faktor 5C (Character, Capital, Capacity, Condition of Economy & Collateral); • Penilaian terhadap aspek kemampuan membayar. Ayat (2) Yang dimaksud dengan memantau adalah mengawasi perkembangan kinerja usaha nasabah dari waktu ke waktu. Yang dimaksud…. - 16 - Yang dimaksud dengan mengambil langkah-langkah antisipasi adalah melakukan tindakan dan upaya pencegahan atas kemungkinan timbulnya kegagalan dalam penanaman dana. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 5 Ayat (1) Perhitungan pencapaian rasio antara Realisasi Bagi Hasil (RBH) dengan Proyeksi Bagi Hasil (PBH) adalah sebagai berikut: RBH K = ---------------- PBH Dimana: K = RBH = x 100% Kualitas Pembiayaan Realisasi Bagi Hasil yang nasabah kepada BPRS diberikan oleh PBH…. - 17 - PBH Ayat (2) Misalnya Pembiayaan berjangka waktu 2 tahun, jadwal pembayaran bagi hasil ditetapkan setiap 1 bulan maka PBH ditetapkan setiap 1 bulan, yaitu : 1. PBH 1 bulan I = Rp xxx atau x % 2. PBH 1 bulan II = Rp yyy atau y % dst. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan terdokumentasi secara lengkap yaitu sekurang-kurangnya tersedianya dokumentasi pembiayaan yang meliputi aplikasi, analisa, keputusan dan pemantauan atas pembiayaan serta arsip lain yang terkait dengan PBH beserta perubahannya. Ayat (5) Cukup jelas. = Perkiraan Bagi Hasil yang akan diberikan oleh nasabah kepada BPRS Pasal 6 …. - 18 - Pasal 6 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 7 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas Pasal 10 …. - 19 - Pasal 10 Yang dimaksud dengan dokumentasi yang lengkap yaitu sekurang- kurangnya tersedianya dokumentasi penanaman atau penempatan dana yang meliputi: aplikasi, analisis, keputusan dan pemantauan atas penanaman atau penempatan dana serta perubahannya. Pasal 11 Yang dimaksud dengan bangkrut adalah usaha nasabah mengalami kesulitan keuangan yang berat sehingga yang bersangkutan tidak dapat memenuhi kewajiban atau dinyatakan pailit. Pasal 12 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Yang dimaksud dengan restrukturisasi dilakukan berdasarkan prinsip Syariah adalah restrukturisasi yang sesuai dengan fatwa yang diterbitkan oleh otoritas fatwa Syariah. Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 13 Cukup jelas Pasal 14 …. - 20 - Pasal 14 Cukup jelas Pasal 15 Cukup jelas TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4393 DPbS "," PBI 6/18/PBI/2004 KUALITAS AKTIVA PRODUKTIF BAGI BANK PERKREDITAN RAKYAT SYARIAH 1 Juli 2004 1 Juli 2004 '26/9/BPPP|SE-BI/1994', '26/22/KEP/DIR|SKDIR-BI/1993', '26/4/BPPP|SE-BI/1993', '26/167/KEP/DIR|SKDIR-BI/1994' '23/UU/1999', '7/UU/1992', '10/UU/1998', '3/UU/2004' 'BAB III' " " PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 18/1/PBI/2016 TENTANG JUMLAH DAN NILAI NOMINAL UANG RUPIAH YANG DIMUSNAHKAN TAHUN 2015 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu tugas Bank Indonesia adalah melakukan pemusnahan terhadap uang Rupiah yang ditarik dari peredaran; b. bahwa jumlah dan nilai nominal uang Rupiah yang ditarik dari peredaran yang dimusnahkan oleh Bank Indonesia ditempatkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia secara periodik setiap 1 (satu) tahun sekali; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang Jumlah dan Nilai Nominal Uang Rupiah yang Dimusnahkan Tahun 2015; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang - 2 - Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5223); M E M U T U S K A N: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG JUMLAH DAN NILAI NOMINAL UANG RUPIAH YANG DIMUSNAHKAN TAHUN 2015. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Uang Rupiah adalah Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang. 2. Uang Rupiah Tidak Layak Edar adalah Uang Rupiah yang terdiri atas Uang Rupiah lusuh, Uang Rupiah cacat, dan Uang Rupiah rusak. 3. Pemusnahan adalah suatu rangkaian kegiatan meracik, melebur, atau cara lain memusnahkan Uang Rupiah sehingga tidak menyerupai Uang Rupiah. BAB II PEMUSNAHAN UANG RUPIAH Pasal 2 (1) Bank Indonesia melaksanakan Pemusnahan terhadap: a. Uang Rupiah Tidak Layak Edar; b. Uang Rupiah yang masih layak edar yang dengan pertimbangan tertentu tidak lagi mempunyai - 3 - manfaat ekonomis dan/atau kurang diminati oleh masyarakat; dan/atau c. Uang Rupiah yang sudah tidak berlaku yaitu Uang Rupiah yang dicabut dan ditarik dari peredaran. (2) Pemusnahan Uang Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam suatu berita acara. Pasal 3 Pemusnahan Uang Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dilakukan dengan cara sebagai berikut: a. Uang Rupiah kertas diracik dengan menggunakan mesin yang memiliki fungsi untuk meracik Uang Rupiah kertas atau dengan cara lain sehingga tidak menyerupai Uang Rupiah kertas; b. Uang Rupiah logam dilebur atau dengan cara lain sehingga tidak menyerupai Uang Rupiah logam. BAB III PENEMPATAN JUMLAH DAN NILAI NOMINAL UANG RUPIAH YANG DIMUSNAHKAN DALAM LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Pasal 4 (1) Jumlah dan nilai nominal Uang Rupiah yang dimusnahkan oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) ditempatkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia secara periodik setiap 1 (satu) tahun sekali. (2) Informasi jumlah dan nilai nominal Uang Rupiah yang dimusnahkan oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi jenis pecahan, jumlah bilyet dan keping, dan nilai nominal. (3) Informasi jumlah dan nilai nominal Uang Rupiah yang dimusnahkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk periode tanggal 1 Januari 2015 sampai dengan 31 Desember 2015 tercantum dalam Lampiran yang - 4 - merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Bank Indonesia ini. BAB IV KETENTUAN PENUTUP Pasal 5 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 28 Januari 2016 GUBERNUR BANK INDONESIA, AGUS D.W. MARTOWARDOJO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 28 Januari 2016 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, YASONNA H. LAOLY EG LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 22 "," PBI 18/1/PBI/2016 JUMLAH DAN NILAI NOMINAL UANG RUPIAH YANG DIMUSNAHKAN TAHUN 2015 28 Januari 2016 28 Januari 2016 28 Januari 2016 '7/UU/2011', '2/PERPPU/2008', '6/UU/2009', '23/UU/1999' " " PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 18/28/PBI/2016 TENTANG PENGELUARAN UANG RUPIAH LOGAM PECAHAN 200 (DUA RATUS) TAHUN EMISI 2016 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa uang Rupiah sebagai mata uang Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki peran yang sangat strategis, baik sebagai simbol kedaulatan negara yang harus dihormati dan dibanggakan oleh seluruh warga negara Indonesia, maupun sebagai alat pembayaran yang sah dalam kegiatan perekonomian nasional guna mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia; b. bahwa guna mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan dalam rangka melaksanakan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, Bank Indonesia perlu mengeluarkan uang Rupiah dan mengedarkannya sesuai dengan kebutuhan masyarakat dalam jumlah nominal yang cukup, jenis pecahan yang sesuai, tepat waktu, dan dalam kondisi yang layak edar; c. bahwa untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap uang Rupiah maka uang Rupiah yang dikeluarkan Bank - 2 - Indonesia perlu senantiasa ditingkatkan kualitas dan keandalannya; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang Pengeluaran Uang Rupiah Logam Pecahan 200 (Dua Ratus) Tahun Emisi 2016; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843), sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5223); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENGELUARAN UANG RUPIAH LOGAM PECAHAN 200 (DUA RATUS) TAHUN EMISI 2016. Pasal 1 Bank Indonesia mengeluarkan uang Rupiah pecahan 200 (dua ratus) tahun emisi 2016 sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. - 3 - Pasal 2 Macam uang Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 merupakan uang Rupiah logam yang memiliki ciri tertentu. Pasal 3 Harga uang Rupiah logam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 merupakan nilai nominal pada pecahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 yaitu sebesar Rp200,00 (dua ratus rupiah). Pasal 4 Ciri tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang terdapat pada bagian depan dan bagian belakang meliputi: a. ciri umum; dan b. ciri khusus. Pasal 5 Ciri umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a yaitu: a. pada bagian depan terdapat: 1. gambar lambang negara “Garuda Pancasila”; 2. frasa “REPUBLIK INDONESIA”; dan 3. gambar utama yaitu Tjiptomangunkusumo Dr. “Dr. TJIPTOMANGUNKUSUMO”; dan b. pada bagian belakang terdapat: 1. sebutan pecahan dalam angka “200”; 2. tulisan tahun emisi yaitu “2016”; 3. tulisan “BANK INDONESIA”; dan 4. tulisan “RUPIAH”. Pasal 6 Ciri khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b yang berupa desain, bahan, dan teknik cetak sebagai berikut: a. warna, dominan putih aluminium; b. bahan, terbuat dari aluminium; Pahlawan Nasional beserta tulisan - 4 - c. berat, 2,38 (dua koma tiga puluh delapan) gram dengan toleransi ± (lebih kurang) 0,05 (nol koma nol lima) gram; d. diameter, 25,00 (dua puluh lima) milimeter dengan toleransi ± (lebih kurang) 0,05 (nol koma nol lima) milimeter; dan e. tebal sisi, 2,20 (dua koma dua puluh) milimeter dengan toleransi ± (lebih kurang) 0,10 (nol koma sepuluh) milimeter. Pasal 7 Uang Rupiah logam pecahan 200 (dua ratus) tahun emisi 2003 dinyatakan masih tetap berlaku sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sepanjang belum dicabut dan ditarik dari peredaran. Pasal 8 Uang Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 mulai berlaku dan diedarkan pada tanggal 19 Desember 2016. Pasal 9 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. - 5 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 25 Oktober 2016 GUBERNUR BANK INDONESIA, AGUS D. W. MARTOWARDOJO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 27 Oktober 2016 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 211 "," PBI 18/28/PBI/2016 PENGELUARAN UANG RUPIAH LOGAM PECAHAN 200 (DUA RATUS) TAHUN EMISI 2016 25 Oktober 2016 27 Oktober 2016 27 Oktober 2016 '23/UU/1999', '6/UU/2009', '2/PERPPU/2008', '7/UU/2011' " " PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 11/ 5 /PBI/2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 3/19/PBI/2001 TENTANG PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG RUPIAH PECAHAN 5.000 (LIMA RIBU) TAHUN EMISI 2001 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pengeluaran dan pengedaran uang rupiah ditujukan untuk menyediakan uang tunai di masyarakat sebagai alat pembayaran yang sah (legal tender); b. bahwa untuk lebih mengoptimalkan fungsi elemen pada desain uang kertas rupiah pecahan 5.000 (lima ribu) sebagai legal tender di Negara Kesatuan Republik Indonesia, diperlukan penyempurnaan desain uang rupiah antara lain mengenai penandatanganan pada uang, penempatan letak tahun pengeluaran atau tahun emisi, dan tahun pencetakan uang; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, dipandang perlu untuk melakukan perubahan atas Peraturan Bank Indonesia tentang Pengeluaran dan Pengedaran Uang Rupiah Pecahan 5.000 (Lima Ribu) Tahun Emisi 2001; Mengingat . . . -2- Mengingat : 1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/14/PBI/2004 tentang Pengeluaran, Pengedaran, Pencabutan dan Penarikan, serta Pemusnahan Uang Rupiah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4388) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/10/PBI/2007 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 113, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4762); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 3/19/PBI/2001 TENTANG PENGELUARAN . . . -3- PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG RUPIAH PECAHAN 5.000 (LIMA RIBU) TAHUN EMISI 2001. Pasal I Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/19/PBI/2001 tentang Pengeluaran dan Pengedaran Uang Rupiah Pecahan 5.000 (Lima Ribu) Tahun Emisi 2001 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 131) diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: 1. Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 4 Ciri uang rupiah pecahan 5.000 (lima ribu) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 adalah: 1. Warna a. bagian muka dicetak dengan warna hijau, violet, merah jambu, coklat muda, dan coklat tua; b. bagian belakang dicetak dengan warna coklat muda, violet, coklat tua, hijau, hitam, dan coklat kemerahan; 2. Gambar a. bagian muka 1) gambar utama berupa gambar Pahlawan Nasional Tuanku Imam Bondjol, dan dibawahnya dicantumkan tulisan ”TUANKU IMAM BONDJOL”; 2) pada sebelah kiri gambar utama terdapat angka nominal “5000” arah horizontal, sebagian gambar rectoverso yang apabila diterawangkan ke arah cahaya akan terlihat logo “BI”, embosse berbentuk roset dengan cetak tanpa tinta, anti fotokopi dalam bentuk tulisan “RI”, anti fotoreproduksi dalam bentuk tulisan “BI” yang . . . -4- yang berulang dan berseling terbalik, tulisan ”BANK INDONESIA”, dan tulisan ”LIMA RIBU RUPIAH”; 3) pada sebelah kanan gambar utama terdapat cetakan latent image memuat logo ”BI” yang dapat dilihat dari sudut pandang tertentu, gambar Lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia, yaitu Garuda Pancasila, angka nominal “5000” arah vertikal, angka tahun pencetakan “2009” (angka 2009 akan berubah sesuai dengan tahun pencetakan uang), tulisan “DEWAN GUBERNUR”, tanda tangan Gubernur Bank Indonesia beserta tulisan “GUBERNUR” dan tanda tangan Deputi Gubernur Bank Indonesia beserta tulisan “DEPUTI GUBERNUR”, dan tulisan “PERUM PERCETAKAN UANG RI IMP” dan angka tahun pengeluaran atau tahun emisi “2001”; 4) sebagai latar belakang dan pengisi bidang terdiri dari: a) garis-garis lengkung dan lingkaran yang membentuk hiasan bunga; b) garis-garis guilloche, gelombang, vertikal, dan horizontal yang membentuk hiasan; c) garis-garis horizontal dan vertikal yang memuat tulisan mikro “BANKINDONESIA5000” berulang-ulang tanpa spasi; d) ornamen Tengkuluak dari Minangkabau Sumatera Barat; b. bagian belakang 1) gambar utama berupa gambar Pengrajin Tenun; 2) pada sebelah bawah gambar utama terdapat tulisan ”DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, BANK INDONESIA MENGELUARKAN UANG SEBAGAI ALAT PEMBAYARAN YANG SAH DENGAN NILAI LIMA RIBU RUPIAH”, dan tulisan modulasi “BI” yang utuh atau terpotong sebagian membentuk kain tenun; 3) pada sebelah kiri gambar utama terdapat angka nominal “5000” arah vertikal, nomor seri berwarna hitam (terdiri dari 3 (tiga) huruf dan . . . -5- dan 6 (enam) angka) yang akan memendar hijau kekuningan di bawah sinar ultra violet, cetakan tidak kasat mata berupa angka “5000” yang akan tampak berwarna kuning kehijauan di bawah sinar ultra violet; 4) pada sebelah kanan gambar utama terdapat tulisan ”BANK INDONESIA”, nomor seri berwarna merah (terdiri dari 3 (tiga) huruf dan 6 (enam) angka) yang akan memendar merah kekuningan di bawah sinar ultra violet, sebagian gambar rectoverso yang apabila diterawangkan ke arah cahaya akan terlihat logo “BI”, anti fotokopi dalam bentuk tulisan “RI”, tulisan “PENGRAJIN TENUN PANDAI SIKEK – SUMATERA BARAT”, angka nominal “5000” arah horizontal; 5) sebagai latar belakang dan pengisi bidang terdiri dari: a) garis-garis guilloche yang bergelombang; b) tulisan mikro “BANKINDONESIA” yang berulang tanpa spasi; c) garis-garis lingkaran, bergelombang yang membentuk hiasan bunga; d) garis-garis horizontal, vertikal, lengkung, dan lingkaran yang memuat teks “RI”; e) ornamen Tengkuluak dari Minangkabau Sumatera Barat. 3. Bahan Jenis bahan terbuat dari 100% (seratus persen) serat kapas, dan memiliki spesifikasi sebagai berikut: a. ukuran panjang 143 mm dan lebar 65 mm; b. warna krem (putih kekuning-kuningan); c. tidak memendar di bawah sinar ultra violet; d. tanda air berupa gambar Pahlawan Nasional Cut Nyak Meutia; e. benang pengaman terbuat dari plastik tembus pandang yang memuat tulisan mikro berwarna hitam “BANK INDONESIA” yang utuh atau terpotong . . . -6- terpotong sebagian, dan memendar hijau dan kuning secara berseling di bawah sinar ultra violet. 2. Di antara Pasal 5 dan Pasal 6 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 5 A, sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 5 A Uang kertas rupiah pecahan 5.000 (lima ribu) yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, masih tetap berlaku sepanjang belum dicabut dan ditarik dari peredaran. Pasal II Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan . . . -7- Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 3 Maret 2009. GUBERNUR BANK INDONESIA, BOEDIONO Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 3 Maret 2009. MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ANDI MATTALATTA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 42 DPU "," PBI 11/5/PBI/2009 PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 3/19/PBI/2001 TENTANG PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG RUPIAH PECAHAN 5.000 (LIMA RIBU) TAHUN EMISI 2001 3 Maret 2009 3 Maret 2009 3 Maret 2009 '3/19/PBI/2001' '2/PERPPU/2008', '6/14/PBI/2004', '23/UU/1999', '9/10/PBI/2007', '6/UU/2009' " " PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 13/ 5 /PBI/2011 TENTANG BATAS MAKSIMUM PENYALURAN DANA BANK PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam rangka mendukung pertumbuhan ekonomi, Bank Pembiayaan Rakyat Syariah perlu meningkatkan pembiayaan kepada sektor produktif, terutama membiayai usaha mikro, kecil dan menengah; b. bahwa dalam upaya meningkatkan pembiayaan kepada usaha mikro, kecil dan menengah serta melindungi kepentingan masyarakat, Bank Pembiayaan Rakyat Syariah wajib memelihara kesehatan dan kelangsungan usahanya dengan memperhatikan prinsip kehati-hatian dalam penyaluran dana; c. bahwa penerapan prinsip kehati-hatian dalam penyaluran dana perlu dilakukan, antara lain dengan penyebaran portofolio penyaluran dana yang diberikan agar risiko penyaluran dana tersebut tidak terpusat pada nasabah penerima fasilitas atau sekelompok nasabah penerima fasilitas tertentu; d. bahwa ... - 2 - d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c, dipandang perlu untuk mengatur kembali ketentuan tentang Batas Maksimum Penyaluran Dana bagi Bank Pembiayaan Rakyat Syariah dalam suatu Peraturan Bank Indonesia; Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867); MEMUTUSKAN: ... - 3 - MEMUTUSKAN: Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG BATAS MAKSIMUM PENYALURAN DANA BANK PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, serta Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 2. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah, yang selanjutnya disebut BPRS, adalah Bank Pembiayaan Rakyat Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 3. Batas Maksimum Penyaluran Dana yang selanjutnya disebut dengan BMPD adalah persentase maksimum realisasi penyaluran dana yang diperkenankan terhadap modal BPRS. 4. Penyaluran Dana adalah penanaman dana BPRS dalam bentuk: a. pembiayaan, dan/atau b. penempatan ... - 4 - b. penempatan dana antar bank. 5. Pembiayaan adalah Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 6. Penempatan Dana Antar Bank adalah penanaman dana BPRS pada Bank Umum Konvensional, Bank Umum Syariah, Unit Usaha Syariah dan/atau BPRS lain, dalam bentuk giro, tabungan, deposito berjangka, sertifikat deposito, pembiayaan yang diberikan dan penanaman dana berdasarkan prinsip syariah lainnya yang sejenis. 7. Modal adalah modal sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kewajiban penyediaan modal minimum BPRS. 8. Pihak Terkait adalah perorangan atau perusahaan/badan yang mempunyai hubungan kepemilikan, kepengurusan, dan/atau keuangan dengan BPRS. 9. Pihak Tidak Terkait adalah perorangan atau perusahaan/badan yang tidak mempunyai hubungan kepemilikan, kepengurusan, dan/atau keuangan dengan BPRS. 10. Pelanggaran BMPD adalah selisih lebih antara persentase Penyaluran Dana pada saat direalisasikan terhadap Modal BPRS dengan BMPD yang diperkenankan. 11. Pelampauan BMPD adalah selisih lebih antara persentase Penyaluran Dana yang telah direalisasikan terhadap Modal BPRS pada saat tanggal laporan dengan BMPD yang diperkenankan dan tidak termasuk Pelanggaran BMPD sebagaimana dimaksud pada angka 10. 12. Nasabah Penerima Fasilitas adalah perorangan, perusahaan atau badan yang memperoleh fasilitas dana atau yang dipersamakan dengan itu berdasarkan prinsip syariah. 13. Direksi ... - 5 - 13. Direksi adalah Direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. 14. Dewan Komisaris adalah Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Pasal 2 BPRS wajib memperhatikan prinsip kehati-hatian dan prinsip syariah dalam membuat akad Pembiayaan antara BPRS dengan Nasabah Penerima Fasilitas. Pasal 3 (1) BPRS dilarang membuat akad Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 apabila akad Pembiayaan tersebut mewajibkan BPRS untuk menyalurkan dana yang akan mengakibatkan terjadinya pelanggaran BMPD. (2) BPRS dilarang memberikan Penyaluran Dana yang mengakibatkan Pelanggaran BMPD. BAB II DASAR PERHITUNGAN BMPD Pasal 4 (1) BMPD untuk Pembiayaan dihitung berdasarkan baki debet Pembiayaan. (2) BMPD untuk Penempatan Dana Antar Bank pada BPRS lain dihitung berdasarkan nominal Penempatan Dana Antar Bank. BAB III ... - 6 - BAB III BMPD KEPADA PIHAK TERKAIT Pasal 5 Penyaluran Dana kepada seluruh Pihak Terkait ditetapkan paling tinggi 10% (sepuluh persen) dari Modal BPRS. Pasal 6 Penyaluran Dana dalam bentuk Pembiayaan kepada Pihak Terkait wajib memperoleh persetujuan dari 1 (satu) orang anggota Direksi dan 1 (satu) orang anggota Dewan Komisaris BPRS. Pasal 7 Pihak Terkait meliputi: a. pemegang saham yang memiliki saham 10% (sepuluh persen) atau lebih dari modal disetor; b. anggota Dewan Komisaris; c. anggota Direksi; d. pihak yang mempunyai hubungan keluarga sampai dengan derajat kedua, baik horisontal maupun vertikal, dengan pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada huruf a sampai dengan huruf c; e. Pejabat Eksekutif; f. perusahaan-perusahaan bukan Bank yang dimiliki oleh pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada huruf a sampai dengan huruf e yang kepemilikannya baik individual ... - 7 - individual maupun keseluruhan sebesar 25% (dua puluh lima persen) atau lebih dari modal disetor perusahaan; g. BPRS lain yang dimiliki oleh pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada huruf a sampai dengan huruf e yang kepemilikannya secara individual sebesar 10% (sepuluh persen) atau lebih dari modal disetor pada BPRS lain tersebut; h. BPRS lain yang: 1) anggota Dewan Komisarisnya merupakan anggota Dewan Komisaris BPRS; dan 2) rangkap jabatan pada BPRS lain dimaksud merupakan 50% (lima puluh persen) atau lebih dari jumlah keseluruhan anggota Dewan Komisaris dan Direksinya. i. perusahaan yang 50% (lima puluh persen) atau lebih dari jumlah keseluruhan anggota Dewan Komisaris dan anggota Direksinya merupakan anggota Dewan Komisaris BPRS; j. Nasabah Penerima Fasilitas yang diberikan jaminan oleh pihak sebagaimana dimaksud pada huruf a sampai dengan huruf i. Pasal 8 Penyaluran Dana kepada pihak-pihak selain yang dimaksud dalam Pasal 7 dapat dikategorikan sebagai Penyaluran Dana kepada Pihak Terkait apabila Penyaluran Dana tersebut digunakan untuk keuntungan Pihak Terkait. BAB IV ... - 8 - BAB IV BMPD KEPADA PIHAK TIDAK TERKAIT Pasal 9 (1) Penyaluran Dana dalam bentuk Penempatan Dana Antar Bank kepada BPRS lain yang merupakan Pihak Tidak Terkait ditetapkan paling tinggi 20% (dua puluh persen) dari Modal BPRS. (2) Penyaluran Dana dalam bentuk Pembiayaan kepada 1 (satu) Nasabah Penerima Fasilitas yang merupakan Pihak Tidak Terkait ditetapkan paling tinggi 20% (dua puluh persen) dari Modal BPRS. (3) Penyaluran Dana dalam bentuk Pembiayaan kepada 1 (satu) kelompok Nasabah Penerima Fasilitas yang merupakan Pihak Tidak Terkait ditetapkan paling tinggi 30% (tiga puluh persen) dari Modal BPRS. Pasal 10 Nasabah Penerima Fasilitas digolongkan sebagai anggota suatu kelompok Nasabah Penerima Fasilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) apabila Nasabah Penerima Fasilitas mempunyai keterkaitan dengan Nasabah Penerima Fasilitas lain baik melalui hubungan kepemilikan, hubungan kepengurusan dan/atau hubungan keuangan, yang meliputi: a. perusahaan-perusahaan yang masing-masing 25% (dua puluh lima persen) atau lebih modal disetornya dimiliki oleh suatu perusahaan/badan atau perorangan atau secara bersama oleh suatu keluarga; b. perusahaan-perusahaan yang salah satunya memiliki 25% (dua puluh lima persen) atau lebih modal disetor perusahaan lainnya; c. perusahaan ... - 9 - c. perusahaan-perusahaan yang 50% (lima puluh persen) atau lebih dari jumlah keseluruhan anggota Dewan Komisaris dan anggota Direksi pada 1 (satu) perusahaan tertentu menjadi Dewan Komisaris dan/atau Direksi pada perusahaan lainnya. d. perusahaan-perusahaan yang tidak memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud pada huruf a sampai dengan huruf c, namun terdapat bantuan keuangan dari salah satu perusahaan tersebut terhadap perusahaan lainnya yang mengakibatkan adanya pengendalian oleh perusahaan tersebut terhadap perusahaan lainnya. e. perusahaan-perusahaan dan/atau perorangan yang salah satunya bertindak sebagai penjamin Pembiayaan atas Pembiayaan yang diterima oleh perusahaan atau perorangan lainnya. BAB V PELAMPAUAN BMPD Pasal 11 Penyaluran Dana oleh BPRS dikategorikan sebagai Pelampauan BMPD apabila terjadi selisih lebih antara persentase Penyaluran Dana yang telah direalisasikan terhadap Modal BPRS pada saat tanggal laporan dengan BMPD yang diperkenankan yang disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut: a. penurunan Modal BPRS; b. penggabungan usaha, peleburan usaha, pengambilalihan usaha, perubahan struktur kepemilikan dan/atau kepengurusan yang menyebabkan perubahan Pihak Terkait dan/atau kelompok Nasabah Penerima Fasilitas; c. perubahan ketentuan. BAB VI ... - 10 - BAB VI PENYELESAIAN PELANGGARAN DAN/ATAU PELAMPAUAN BMPD Pasal 12 (1) BPRS wajib menyusun dan menyampaikan rencana tindak (action plan) untuk penyelesaian Pelanggaran BMPD dan/atau Pelampauan BMPD. (2) Action plan untuk Pelanggaran BMPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan oleh BPRS dan diterima oleh Bank Indonesia paling lama 1 (satu) bulan setelah batas akhir penyampaian laporan BMPD bulan yang bersangkutan atau 14 (empat belas) hari sejak exit meeting untuk Pelanggaran BMPD yang ditemukan dalam pemeriksaan. (3) Action plan untuk Pelampauan BMPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang disebabkan karena hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf a dan huruf b harus disampaikan oleh BPRS dan diterima oleh Bank Indonesia paling lama 1 (satu) bulan setelah akhir bulan laporan BMPD bulan yang bersangkutan atau 14 (empat belas) hari sejak exit meeting untuk Pelampauan BMPD yang ditemukan dalam pemeriksaan. (4) Action plan untuk Pelampauan BMPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang disebabkan karena hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf c harus disampaikan oleh BPRS dan diterima oleh Bank Indonesia paling lama 3 (tiga) bulan sejak diberlakukannya ketentuan baru. (5) Dalam hal jangka waktu penyampaian action plan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) jatuh pada hari Sabtu atau hari libur maka BPRS wajib menyampaikan action plan pada hari kerja sebelumnya. Pasal 13 ... - 11 - Pasal 13 (1) Action plan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) wajib memuat paling kurang langkah-langkah untuk penyelesaian Pelanggaran BMPD dan/atau Pelampauan BMPD serta target waktu penyelesaian. (2) Target waktu penyelesaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebagai berikut: a. Untuk Pelanggaran BMPD, paling lama dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak action plan disampaikan kepada Bank Indonesia. b. Untuk Pelampauan BMPD yang disebabkan oleh hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf a dan huruf b, paling lama 6 (enam) bulan sejak action plan disampaikan kepada Bank Indonesia. c. Untuk Pelampauan BMPD yang disebabkan oleh hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf c, paling lama 12 (dua belas) bulan sejak action plan disampaikan kepada Bank Indonesia. (3) Dalam hal sisa jangka waktu penyediaan dana sampai dengan jatuh tempo lebih pendek daripada target waktu penyelesaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) maka target waktu penyelesaian paling lama sampai dengan penyediaan dana jatuh tempo. (4) Target waktu penyelesaian pelanggaran dan/atau pelampauan BMPD atas Penempatan Dana Antar Bank yang tidak memiliki jatuh tempo berupa Tabungan pada BPRS lain, paling lama 1 (satu) bulan sejak action plan disampaikan kepada Bank Indonesia. (5) Bank ... - 12 - (5) Bank Indonesia dapat meminta BPRS melakukan penyesuaian action plan yang disampaikan apabila menurut penilaian Bank Indonesia langkah-langkah dan/atau target waktu penyelesaian tidak mungkin dicapai. Pasal 14 (1) BPRS wajib menyampaikan laporan pelaksanaan action plan untuk penyelesaian Pelanggaran BMPD dan/atau Pelampauan BMPD disertai dengan bukti pendukungnya. (2) Laporan pelaksanaan action plan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan oleh BPRS dan diterima oleh Bank Indonesia paling lama 14 (empat belas) hari sejak realisasi action plan. (3) Dalam hal jangka waktu 14 (empat belas) hari sebagaimana dimaksud pada ayat (2) jatuh pada hari Sabtu atau hari libur maka BPRS wajib menyampaikan laporan pelaksanaan action plan pada hari kerja sebelumnya. BAB VII PENGECUALIAN Pasal 15 Ketentuan BMPD dikecualikan untuk: a. Penempatan Dana Antar Bank pada Bank Umum Konvensional, Bank Umum Syariah dan/atau Unit Usaha Syariah, termasuk Bank Umum Konvensional, Bank Umum Syariah dan/atau Unit Usaha Syariah yang memenuhi kriteria Pihak Terkait sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7; b. Bagian ... - 13 - b. Bagian Penyaluran Dana yang dijamin oleh: 1) Agunan dalam bentuk agunan tunai berupa deposito atau tabungan di BPRS; 2) Emas dan/atau logam mulia; dan/atau 3) Sertifikat Bank Indonesia atau Sertifikat Bank Indonesia Syariah, sepanjang memenuhi persyaratan sebagai berikut: a) agunan diblokir dan dilengkapi dengan surat kuasa pencairan/penjualan yang tidak dapat dibatalkan dari pemilik agunan untuk keuntungan BPRS penerima agunan, termasuk pencairan/penjualan sebagian untuk membayar tunggakan angsuran pokok/margin/bagi hasil/ujrah; b) jangka waktu pemblokiran sebagaimana dimaksud pada huruf a) paling singkat sama dengan jangka waktu Penyaluran Dana; dan c) untuk agunan tunai sebagaimana dimaksud pada angka 1) dan angka 2), disimpan atau ditatausahakan pada BPRS yang bersangkutan. c. Bagian Penyaluran Dana yang dijamin oleh Pemerintah Indonesia secara langsung maupun melalui Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1) jaminan bersifat tanpa syarat (unconditional) dan tidak dapat dibatalkan (irrevocable); 2) harus dapat dicairkan paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak klaim diajukan, termasuk pencairan sebagian; dan 3) mempunyai jangka waktu penjaminan paling singkat sama dengan jangka waktu Penyaluran Dana. d. Bagian ... - 14 - d. Bagian Penempatan Dana Antar Bank pada BPRS lain sepanjang: 1) Terdapat kesepakatan antara BPRS yang menempatkan dananya dengan BPRS lain yang menerima penempatan dana, dalam rangka menanggulangi kesulitan likuiditas BPRS; dan 2) Bagian Penempatan Dana dimaksud merupakan simpanan/iuran/porsi dana yang wajib ditempatkan oleh BPRS pada BPRS lain sesuai kesepakatan sebagaimana dimaksud pada angka 1) yang ditujukan untuk menanggulangi kesulitan likuiditas masing-masing BPRS. Pasal 16 (1) Penyediaan dana BPRS berupa Pembiayaan dengan pola kemitraan inti-plasma atau pola Pengembangan Hubungan Bank dan Kelompok Swadaya Masyarakat (PHBK) dikecualikan dari pengertian kelompok Nasabah Penerima Fasilitas Pihak Tidak Terkait sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3). (2) Pola kemitraan inti-plasma sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan dari pengertian kelompok Nasabah Penerima Fasilitas Pihak Tidak Terkait sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3), sepanjang memenuhi persyaratan: a. Pembiayaan diberikan dengan pola kemitraan; b. Perusahaan inti merupakan Pihak Tidak Terkait dengan BPRS; c. Plasma bukan merupakan anak perusahaan atau cabang yang dimiliki, dikuasai atau berafiliasi dengan perusahaan inti; d. Plasma memproduksi komponen yang diperlukan perusahaan inti sebagai bagian dari produksi perusahaan inti; dan e. Akad ... - 15 - e. Akad Pembiayaan antara BPRS dengan plasma dilakukan secara langsung. (3) Pola PHBK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan dari pengertian kelompok Nasabah Penerima Fasilitas Pihak Tidak Terkait sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3), sepanjang memenuhi persyaratan: a. Pembiayaan diberikan kepada kelompok; b. Partisipan PHBK telah melalui seleksi; c. Menghargai otonomi lembaga partisipan; d. Mempromosikan tabungan dan mengkaitkan tabungan dengan Pembiayaan; e. Mengenakan tingkat margin/bagi hasil/ujrah sesuai tingkat pasar; f. Mengembangkan dan menerima agunan alternatif; g. Terdapat bantuan teknis/pendampingan untuk membina kelompok. Pasal 17 Pembiayaan kepada anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris dan/atau pegawai BPRS yang memenuhi kriteria Pihak Terkait yang ditujukan untuk peningkatan kesejahteraan serta dibayar kembali dari pendapatan yang diperoleh dari BPRS yang bersangkutan dikecualikan sebagai pemberian Pembiayaan kepada Pihak Terkait sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7. BAB VIII ... - 16 - BAB VIII TATACARA PENYAMPAIAN LAPORAN BMPD DAN KOREKSI LAPORAN BMPD Pasal 18 (1) BPRS wajib menyusun dan menyampaikan laporan BMPD kepada Bank Indonesia secara on-line setiap bulan secara benar, lengkap dan tepat waktu. (2) Laporan BMPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup: a. Penyaluran Dana kepada Pihak Tidak Terkait yang melanggar dan melampaui BMPD; dan b. Seluruh Penyaluran Dana kepada Pihak Terkait. (3) Tatacara penyampaian laporan BMPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 19 (1) BPRS bertanggung jawab atas kebenaran dan kelengkapan isi laporan BMPD yang disampaikan kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1). (2) Dalam hal terdapat kekeliruan dan/atau kesalahan atas laporan BMPD yang telah disampaikan kepada Bank Indonesia, BPRS wajib menyampaikan koreksi atas laporan BMPD secara on-line dengan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18. Pasal 20 ... - 17 - Pasal 20 (1) Kewajiban penyampaian laporan BMPD dan/atau koreksi laporan BMPD secara on-line sebagaimana dimaksud pada Pasal 18 ayat (1) dan Pasal 19 ayat (2) dikecualikan dalam hal: a. BPRS berkedudukan di daerah yang belum tersedia fasilitas komunikasi sehingga tidak memungkinkan untuk menyampaikan laporan BMPD dan/atau koreksi laporan BMPD secara on-line; b. BPRS baru beroperasi dengan batas waktu paling lama 2 (dua) bulan setelah dimulainya kegiatan operasional; c. BPRS mengalami gangguan teknis; atau d. Terjadi kerusakan dan/atau gangguan pada database atau jaringan komunikasi di Bank Indonesia. (2) BPRS memperoleh pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b atau huruf c setelah menyampaikan pemberitahuan tertulis terlebih dahulu kepada Bank Indonesia dengan mengemukakan alasannya. (3) BPRS wajib menyampaikan laporan BMPD dan/atau koreksi laporan BMPD secara on-line setelah kegiatan operasional kembali berjalan secara normal. Pasal 21 (1) BPRS yang tidak dapat menyampaikan laporan BMPD dan/atau koreksi laporan BMPD secara on-line sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, wajib menyampaikan laporan dimaksud secara off-line. (2) Tatacara penyampaian laporan BMPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 22 ... - 18 - Pasal 22 (1) Laporan BMPD wajib disampaikan oleh BPRS kepada Bank Indonesia paling lama tanggal 14 (empat belas) pada bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan laporan yang bersangkutan. (2) Dalam hal tanggal 14 (empat belas) jatuh pada hari libur atau hari Sabtu maka BPRS yang menyampaikan laporan BMPD secara off-line wajib menyampaikan laporan BMPD pada hari kerja sebelumnya. (3) BPRS dinyatakan telah menyampaikan laporan BMPD pada tanggal diterimanya laporan BMPD oleh Bank Indonesia. (4) Dalam hal terdapat kekeliruan dan/atau kesalahan atas laporan BMPD yang telah disampaikan, BPRS wajib menyampaikan koreksi atas laporan BMPD dimaksud kepada Bank Indonesia secara on-line paling lama tanggal 20 (dua puluh) pada bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan laporan yang bersangkutan. (5) Dalam hal tanggal 20 (dua puluh) jatuh pada hari libur atau hari Sabtu maka BPRS yang menyampaikan koreksi laporan BMPD secara off-line wajib menyampaikan laporan BMPD pada hari kerja sebelumnya. (6) BPRS dinyatakan telah menyampaikan koreksi laporan BMPD pada tanggal diterimanya koreksi laporan BMPD oleh Bank Indonesia. Pasal 23 (1) BPRS dinyatakan terlambat menyampaikan laporan BMPD apabila sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) BPRS belum menyampaikan laporan BMPD. (2) BPRS ... - 19 - (2) BPRS dinyatakan terlambat menyampaikan koreksi laporan BMPD apabila sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (4) BPRS belum menyampaikan koreksi laporan BMPD. (3) BPRS dinyatakan tidak menyampaikan laporan BMPD dan/atau koreksi laporan BMPD apabila sampai dengan akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan laporan yang bersangkutan BPRS belum menyampaikan laporan BMPD dan/atau koreksi laporan BMPD. (4) BPRS yang dinyatakan tidak menyampaikan laporan BMPD dan/atau koreksi laporan BMPD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), tetap wajib menyampaikan laporan BMPD dan/atau koreksi laporan BMPD. BAB IX KETENTUAN LAIN Pasal 24 (1) Bank Indonesia berwenang melakukan koreksi terhadap pelaksanaan ketentuan BMPD oleh BPRS. (2) BPRS wajib melakukan penyesuaian atas koreksi yang ditetapkan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam laporan BMPD BPRS kepada Bank Indonesia. (3) Dalam hal terdapat koreksi Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1), BPRS wajib menyampaikan koreksi laporan BMPD dimaksud kepada Bank Indonesia paling lama 14 (empat belas) hari sejak tanggal pemberitahuan oleh Bank Indonesia atau sejak tanggal exit meeting. (4) Dalam ... - 20 - (4) Dalam hal jangka waktu 14 (empat belas) hari sebagaimana dimaksud pada ayat (3) jatuh pada hari Sabtu atau hari libur maka BPRS wajib menyampaikan koreksi atas laporan BMPD pada hari kerja sebelumnya. Pasal 25 (1) BPRS dinyatakan terlambat menyampaikan koreksi laporan BMPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) apabila sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (3) BPRS belum menyampaikan koreksi laporan BMPD. (2) BPRS dinyatakan tidak menyampaikan koreksi laporan BMPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) apabila sampai dengan 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal pemberitahuan oleh Bank Indonesia atau sejak tanggal exit meeting, BPRS belum menyampaikan koreksi laporan BMPD. (3) BPRS yang dinyatakan tidak menyampaikan koreksi laporan BMPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tetap wajib menyampaikan koreksi laporan BMPD. Pasal 26 (1) BPRS wajib melaporkan struktur kelompok usaha yang terkait dengan BPRS termasuk badan hukum pemilik BPRS sampai dengan ultimate shareholders kepada Bank Indonesia, 1 (satu) tahun sekali untuk posisi akhir tahun dan setiap terdapat rencana perubahan struktur kelompok usaha yang menyebabkan perubahan pengendali BPRS. (2) Laporan ... - 21 - (2) Laporan struktur kelompok usaha untuk posisi akhir tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah akhir tahun. (3) Laporan rencana perubahan struktur kelompok usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan kepada Bank Indonesia paling lama 30 (tiga puluh) hari sebelum terjadinya perubahan. (4) Dalam hal perubahan struktur kelompok usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menurut penilaian Bank Indonesia menyebabkan perubahan pengendali BPRS, maka BPRS wajib mengajukan calon PSP dimaksud untuk dilakukan uji kemampuan dan kepatutan (fit and proper test) oleh Bank Indonesia. Pasal 27 Bank Indonesia dapat menolak perubahan pengendali BPRS, apabila berdasarkan penilaian Bank Indonesia perubahan tersebut dapat menyebabkan atau diindikasikan dapat menghambat pelaksanaan pengawasan BPRS. Pasal 28 (1) BPRS wajib mengungkapkan ultimate shareholders BPRS dalam laporan keuangan tahunan dan laporan keuangan publikasi BPRS. (2) Kewajiban pengungkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tambahan atas kewajiban pengungkapan informasi mengenai pemegang saham BPRS sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku. BAB X ... - 22 - BAB X SANKSI Pasal 29 (1) BPRS yang melakukan Pelanggaran BMPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2), Pasal 5, dan Pasal 9 dikenakan sanksi penilaian tingkat kesehatan BPRS sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku. (2) Terhadap setiap kesalahan laporan BMPD yang ditemukan berdasarkan penelitian dan/atau pemeriksaan Bank Indonesia, dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp10.000,00 (sepuluh ribu rupiah) per jenis kesalahan atau paling banyak sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah). (3) Dalam hal jenis kesalahan yang sama terjadi pada laporan bulanan BPRS sesuai ketentuan yang berlaku dan atas kesalahan tersebut BPRS telah dikenakan sanksi maka BPRS tidak lagi dikenakan sanksi atas jenis kesalahan yang sama tersebut pada laporan BMPD. (4) BPRS yang dinyatakan terlambat menyampaikan laporan BMPD dan/atau koreksi laporan BMPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 25 ayat (1) dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) per hari keterlambatan. (5) BPRS yang dinyatakan tidak menyampaikan laporan BMPD dan/atau koreksi laporan BMPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (3) dan Pasal 25 ayat (2) dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah). (6) BPRS yang melanggar ketentuan dalam Pasal 3 ayat (1), Pasal 6, Pasal 12, Pasal 14 serta Pasal 24 ayat (2), dikenakan sanksi administratif sesuai dengan Pasal 58 ayat ... - 23 - ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, berupa: a. teguran tertulis; dan b. penurunan nilai faktor manajemen dalam perhitungan tingkat kesehatan. (7) BPRS yang melanggar ketentuan dalam Pasal 3 ayat (1), Pasal 6, Pasal 12, Pasal 14 serta Pasal 24 ayat (2) selain dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dapat dikenakan sanksi administratif sesuai dengan Pasal 58 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, berupa pencantuman anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris dan/atau pemegang saham dalam daftar pihak-pihak yang memperoleh predikat tidak memenuhi persyaratan (tidak lulus) dalam uji kemampuan dan kepatutan BPRS sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku. (8) BPRS yang tidak menyelesaikan Pelanggaran BMPD dan/atau Pelampauan BMPD sesuai dengan action plan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) dan/atau tidak melaksanakan langkah penyelesaian sesuai koreksi yang ditetapkan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2), setelah diberi peringatan 2 (dua) kali oleh Bank Indonesia, dikenakan sanksi administratif sesuai dengan Pasal 58 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, berupa: a. pencantuman anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris dan/atau pemegang saham dalam daftar pihak-pihak yang memperoleh predikat tidak memenuhi persyaratan (tidak lulus) dalam uji kemampuan dan kepatutan BPRS sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku; dan/atau b. pembekuan kegiatan usaha tertentu, antara lain tidak diperkenankan untuk ekspansi Penyaluran Dana. (9) BPRS ... - 24 - (9) BPRS yang tidak menyelesaikan Pelanggaran BMPD selain dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (8), terhadap anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, pemegang saham maupun pihak terafiliasi lainnya dapat dikenakan sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 63 ayat (2) huruf b, Pasal 64, dan Pasal 65 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. (10) BPRS yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) dan (3) dikenakan sanksi administratif sesuai dengan Pasal 58 ayat (1) Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, berupa teguran tertulis dan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per hari keterlambatan untuk setiap laporan dengan jumlah paling banyak Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah). Pasal 30 Ketentuan pengenaan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2), ayat (4) dan ayat (5) mulai berlaku pada laporan BMPD bulan Mei 2011 yang disampaikan pada bulan Juni 2011. BAB XI KEADAAN MEMAKSA (FORCE MAJEURE) Pasal 31 (1) BPRS yang mengalami keadaan memaksa (force majeure) selama satu atau lebih periode penyampaian laporan BMPD dan/atau koreksi laporan BMPD dikecualikan dari kewajiban menyampaikan laporan BMPD dan/atau koreksi laporan ... - 25 - laporan BMPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1), Pasal 19 ayat (2) dan Pasal 24 ayat (3). (2) BPRS yang mengalami keadaan memaksa (force majeure) kurang dari satu periode penyampaian laporan BMPD dan/atau koreksi laporan BMPD dikecualikan dari kewajiban menyampaikan laporan BMPD dan/atau koreksi laporan BMPD dalam batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1), ayat (2), ayat (4) dan ayat (5). (3) BPRS yang mengalami keadaan memaksa (force majeure), menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Bank Indonesia, dengan disertai penjelasan mengenai keadaan memaksa yang dialami. (4) BPRS wajib menyampaikan laporan BMPD dan/atau koreksi laporan BMPD setelah kembali melakukan kegiatan operasional secara normal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 dan Pasal 24 ayat (3). BAB XII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 32 (1) Kewajiban pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/61/KEP/DIR tanggal 9 Juli 1998 tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Perkreditan Rakyat tetap berlaku dalam waktu 3 (tiga) bulan setelah berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini. (2) Terhadap pelanggaran atas kewajiban pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap berlaku ketentuan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Surat Keputusan ... - 26 - Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/61/KEP/DIR tanggal 9 Juli 1998 tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Perkreditan Rakyat. BAB XII PENUTUP Pasal 33 Ketentuan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia ini diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 34 Dengan diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia ini, maka Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/61/KEP/DIR tanggal 9 Juli 1998 tentang Batas Maksimum Penyaluran Kredit Bank Perkreditan Rakyat dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 35 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 1 Februari 2011. Agar ... - 27 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 24 Januari 2011 GUBERNUR BANK INDONESIA DARMIN NASUTION Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 24 Januari 2011 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, PATRIALIS AKBAR LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 11 DPbS PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 13/ 5 /PBI/2011 TENTANG BATAS MAKSIMUM PENYALURAN DANA BANK PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH I. UMUM Dalam rangka mengurangi potensi kegagalan usaha BPRS sebagai akibat dari konsentrasi penyaluran dana maka BPRS wajib memperhatikan prinsip kehati-hatian, antara lain dengan melakukan penyebaran risiko atas portofolio penyaluran dana terutama melalui pembatasan penyaluran dana, baik kepada Pihak Terkait maupun kepada Pihak Tidak Terkait sebesar persentase tertentu dari modal BPRS atau yang dikenal dengan BMPD. Secara operasional, mengingat BPRS dipengaruhi oleh faktor eksternal, maka penyaluran dana dapat dikatakan tidak melanggar namun melampaui batas maksimumnya antara lain apabila disebabkan adanya penurunan modal BPRS dan perubahan ketentuan. Mengingat peranannya dalam perekonomian nasional khususnya sebagai lembaga intermediasi maka meskipun terdapat pembatasan dalam penyaluran dananya, BPRS tetap perlu didorong untuk mendukung pertumbuhan ekonomi melalui langkah penyaluran dana kepada usaha mikro, kecil dan menengah dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian. Untuk itu, penyaluran dana tertentu ... - 2 - tertentu diberikan kelonggaran atau pengecualian dalam penerapan BMPD, antara lain penyaluran dana kepada nasabah dengan pola kemitraan inti-plasma dan PHBK dan penyaluran dana yang dijamin oleh Pemerintah Pusat/Daerah baik langsung atau melalui BUMN/BUMD dan meningkatkan BMPD untuk kelompok Pihak Tidak Terkait dari 20% (dua puluh persen) menjadi 30% (tiga puluh persen). Dalam rangka pemantauan penyaluran dana, BPRS diwajibkan untuk menyampaikan laporan BMPD secara berkala, dan Bank Indonesia memiliki wewenang untuk melakukan koreksi terhadap laporan yang disampaikan dan meminta BPRS untuk melakukan tindakan korektif yang diperlukan, serta mengenakan sanksi secara efektif terhadap BPRS yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) ... - 3 - Ayat (2) Larangan pada ayat ini berlaku untuk setiap saat pemberian/realisasi Penyaluran Dana. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Persetujuan anggota Dewan Komisaris dimaksudkan sebagai pelaksanaan tugas pengawasan yang dilakukan oleh Komisaris atas tindakan kepengurusan oleh Direksi dan tidak menghilangkan tanggung jawab Direksi sebagai pemutus. Pasal 7 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c ... - 4 - Huruf c Cukup jelas. Huruf d Yang dimaksud dengan hubungan keluarga sampai dengan derajat kedua, baik horisontal maupun vertikal, adalah pihak-pihak sebagai berikut: 1. orang tua kandung/tiri/angkat; 2. 3. saudara kandung/tiri/angkat; anak kandung/tiri/angkat; 4. kakek atau nenek kandung/tiri/angkat; 5. 6. cucu kandung/tiri/angkat; 7. saudara kandung/tiri/angkat dari orang tua; suami atau isteri; 8. mertua; 9. besan; 10. suami atau isteri dari anak kandung/tiri/angkat; 11. kakek atau nenek dari suami atau isteri; 12. suami atau isteri dari cucu kandung/tiri/angkat; 13. saudara kandung/tiri/angkat dari suami atau isteri beserta suami atau isteri dari saudara yang bersangkutan. Huruf e ... - 5 - Huruf e Yang dimaksud dengan Pejabat Eksekutif adalah Pejabat Eksekutif sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai BPRS. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Ketentuan huruf h memperhatikan ketentuan pembatasan rangkap jabatan sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai BPRS. Contoh: BPRS A menyediakan dana kepada BPRS B. BPRS A mempunyai 2 (dua) orang Direktur dan 2 (dua) orang Komisaris. Kedua Komisaris BPRS A tersebut menjabat sebagai Komisaris pada BPRS B yang mempunyai 2 (dua) orang Direktur dan 2 (dua) orang Komisaris. Mengingat 2 (dua) orang Komisaris pada BPRS B memenuhi asas mayoritas sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah keseluruhan anggota Dewan Komisaris dan Direksi BPRS B maka BPRS B tersebut merupakan Pihak Terkait dari BPRS A, sehingga penyediaan dana BPRS A kepada BPRS B paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen). Huruf i ... - 6 - Huruf i Ketentuan huruf i memperhatikan ketentuan pembatasan rangkap jabatan sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai BPRS. Contoh: BPRS C menyediakan dana kepada PT D. BPRS C mempunyai 2 (dua) orang Direktur dan 2 (dua) orang Komisaris. Salah satu Komisaris BPRS C tersebut menjabat sebagai Komisaris pada PT D yang mempunyai 1 (satu) orang Direktur dan 1 (satu) orang Komisaris. Mengingat 1 (satu) orang Komisaris pada PT D tersebut memenuhi asas mayoritas sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah keseluruhan anggota Dewan Komisaris dan Direksi PT D maka PT D tersebut merupakan Pihak Terkait dari BPRS C, sehingga penyediaan dana BPRS C kepada PT D paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen). Huruf j Yang dimaksud dengan jaminan adalah janji yang dibuat secara tertulis oleh pihak yang menjamin untuk mengambil alih dan/atau melunasi sebagian atau seluruh kewajiban pihak yang berutang dalam hal pihak yang berutang gagal memenuhi kewajibannya (wanprestasi). Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 ... - 7 - Pasal 9 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “Penempatan Dana Antar Bank kepada BPRS lain” adalah penempatan dana dalam bentuk Tabungan, Deposito dan Pembiayaan yang diberikan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 10 Huruf a Yang dimaksud dengan suatu keluarga adalah keluarga inti yang terdiri dari suami, isteri dan anak kandung/tiri/angkat; suami dan isteri; suami dan anak kandung/tiri/angkat; atau isteri dan anak kandung/tiri/angkat. Contoh: 1. 25% (dua puluh lima persen) atau lebih saham masing-masing perusahaan A, perusahaan B dan perusahaan C, dimiliki oleh 1 (satu) orang/perusahaan. Apabila perusahaan A, perusahaan B dan perusahaan C menjadi Nasabah Penerima Fasilitas BPRS yang sama maka perusahaan- perusahaan ... - 8 - perusahaan tersebut digolongkan sebagai 1 (satu) kelompok Nasabah Penerima Fasilitas. 2. 25% (dua puluh lima persen) atau lebih saham masing-masing perusahaan A, perusahaan B dan perusahaan C, dimiliki secara bersama oleh X, Y dan Z yang merupakan suami, isteri dan anak kandung/tiri/angkat. Apabila perusahaan A, perusahaan B dan perusahaan C menjadi Nasabah Penerima Fasilitas BPRS yang sama maka perusahaan- perusahaan tersebut digolongkan sebagai 1 (satu) kelompok Nasabah Penerima Fasilitas. 3. 25% (dua puluh lima persen) atau lebih saham perusahaan A dimiliki oleh suami dan anak pertama, 25% (dua puluh lima persen) atau lebih saham perusahaan B dimiliki oleh isteri dan anak kedua. Apabila perusahaan A dan perusahaan B menjadi Nasabah Penerima Fasilitas BPRS yang sama maka perusahaan-perusahaan tersebut digolongkan sebagai 1 (satu) kelompok Nasabah Penerima Fasilitas. Huruf b Contoh: Perusahaan A memiliki 25% (dua puluh lima persen) saham perusahaan B. Perusahaan B memiliki 25% (dua puluh lima persen) saham perusahaan C. Apabila ... - 9 - Apabila perusahaan A, perusahaan B dan perusahaan C menjadi Nasabah Penerima Fasilitas BPRS maka perusahaan A dan perusahaan B digolongkan sebagai 1 (satu) kelompok Nasabah Penerima Fasilitas. Sementara perusahaan B dan perusahaan C digolongkan sebagai 1 (satu) kelompok Nasabah Penerima Fasilitas yang lain. Huruf c Pertimbangan azas mayoritas 50% (lima puluh persen) atau lebih dihitung dari jumlah kumulatif anggota Dewan Komisaris dan/atau anggota Direksi. Huruf d Yang dimaksud dengan “bantuan keuangan” adalah bantuan keuangan yang disertai dengan persyaratan tertentu yang menyebabkan pihak yang memberikan bantuan mempunyai kewenangan untuk menentukan kebijakan strategis perusahaan/badan yang menerima bantuan, antara lain namun tidak terbatas pada keputusan untuk melakukan pembagian deviden dan perubahan pengurus. Huruf e Yang dimaksud dengan “penjamin” adalah pihak yang memberikan jaminan dalam bentuk janji yang dibuat secara tertulis yang menyatakan bahwa penjamin akan mengambilalih dan/atau melunasi sebagian atau seluruh kewajiban pihak yang berutang dalam hal pihak yang berutang gagal memenuhi kewajibannya (wanprestasi). Termasuk dalam pengertian ini adalah pihak-pihak yang berutang yang dijamin dengan menggunakan agunan yang sama. Pasal 11 ... - 10 - Pasal 11 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “penggabungan usaha atau merger” adalah penggabungan usaha 2 (dua) atau lebih perusahaan Nasabah Penerima Fasilitas dengan perusahaan lainnya dan/atau BPRS dengan BPRS lainnya dengan tetap mempertahankan berdirinya salah satu perusahaan Nasabah Penerima Fasilitas dan/atau BPRS dan membubarkan perusahaan Nasabah Penerima Fasilitas dan/atau BPRS lainnya tanpa melikuidasi terlebih dahulu. Yang dimaksud dengan “peleburan usaha atau konsolidasi” adalah penggabungan usaha 2 (dua) atau lebih perusahaan Nasabah Penerima Fasilitas dengan perusahaan lainnya dan/atau BPRS dengan BPRS lainnya dengan cara mendirikan perusahaan Nasabah Penerima Fasilitas dan/atau BPRS baru dan membubarkan perusahaan Nasabah Penerima Fasilitas dan/atau BPRS tersebut tanpa melikuidasi terlebih dahulu. Yang dimaksud dengan “pengambilalihan usaha atau akuisisi” adalah pengambilalihan kepemilikan suatu perusahaan Nasabah Penerima Fasilitas dan/atau BPRS yang mengakibatkan beralihnya pengendalian perusahaan Nasabah Penerima Fasilitas dan/atau BPRS. Yang dimaksud dengan “perubahan struktur kepemilikan” adalah perubahan struktur kepemilikan di perusahaan Nasabah Penerima Fasilitas dan/atau di BPRS. Yang ... - 11 - Yang dimaksud dengan “perubahan kepengurusan” adalah perubahan kepengurusan di perusahaan Nasabah Penerima Fasilitas dan/atau di BPRS. Yang dimaksud dengan “perubahan Pihak Terkait dan/atau kelompok Nasabah Penerima Fasilitas” adalah: 1) Nasabah Penerima Fasilitas Pihak Tidak Terkait menjadi Nasabah Penerima Fasilitas Pihak Terkait; dan/atau 2) Nasabah Penerima Fasilitas perorangan menjadi kelompok Nasabah Penerima Fasilitas. Huruf c Yang dimaksud dengan “perubahan ketentuan” adalah perubahan ketentuan yang menyebabkan perubahan kriteria Pihak Terkait dan/atau kelompok Nasabah Penerima Fasilitas BPRS dan/atau perubahan ketentuan lainnya yang menyebabkan terjadinya pelampauan BMPD. Pasal 12 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “exit meeting” adalah pertemuan akhir antara pengurus BPRS dan Bank Indonesia untuk membahas hasil pemeriksaan. Ayat (3) ... - 12 - Ayat (3) Untuk Pelampauan BMPD yang disebabkan oleh penggabungan usaha, peleburan usaha atau pengambilalihan usaha, jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat ini adalah 1 (satu) bulan setelah akhir bulan laporan sejak disahkannya akta penggabungan usaha, peleburan usaha atau pengambilalihan usaha oleh instansi yang berwenang. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 13 Ayat (1) Langkah-langkah penyelesaian Pelanggaran BMPD dan/atau Pelampauan BMPD meliputi antara lain: a. Pelunasan seluruh/sebagian Pembiayaan yang melanggar dan/atau melampaui BMPD; b. Penambahan modal disetor. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) ... - 13 - Ayat (3) Contoh: 1. Pada tanggal 3 Januari 2011 BPRS B memberikan Pembiayaan kepada debitur X (Pihak Tidak Terkait) sebesar Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) yang merupakan 20% (dua puluh persen) dari modal BPRS B dengan jangka waktu 12 (dua belas) bulan. Pada tanggal 28 Februari 2011 modal BPRS B turun karena mengalami kerugian sehingga persentase Pembiayaan kepada debitur X menjadi 25% (dua puluh lima persen) dari modal BPRS B atau melampaui BMPD yang ditetapkan sebesar 5% (lima persen). Untuk itu BPRS B wajib membuat action plan untuk menyelesaikan pelampauan tersebut dengan target waktu penyelesaian paling lama 6 (enam) bulan sejak action plan disampaikan kepada Bank Indonesia. 2. Pada tanggal 3 Januari 2011 BPRS A menempatkan Deposito 3 bulan (jatuh tempo pada tanggal 3 April 2011) pada BPRS B (Pihak Tidak Terkait) sebesar Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) yang merupakan 30% (tiga puluh persen) dari modal BPRS A. Pada tanggal 7 Februari 2011 dikeluarkan ketentuan mengenai BMPD BPRS yang mengatur bahwa penempatan dana BPRS ke BPRS lain paling tinggi 20% (dua puluh persen) dari modal. Dengan asumsi modal BPRS A tetap maka dengan adanya ketentuan BMPD tersebut penempatan Deposito BPRS A ke BPRS ... - 14 - BPRS B menjadi melampaui BMPD yang ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen). Untuk itu BPRS A wajib membuat action plan untuk menyelesaikan pelampauan tersebut dengan target waktu penyelesaian paling lama sampai dengan jatuh tempo Deposito yaitu tanggal 3 April 2011. Ayat (4) Contoh: Pada tanggal 3 Januari 2011 BPRS A menempatkan Tabungan pada BPRS B (Pihak Tidak Terkait) sebesar Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) yang merupakan 30% (tiga puluh persen) dari modal BPRS A. Pada tanggal 7 Februari 2011 dikeluarkan ketentuan mengenai BMPD BPRS yang mengatur bahwa penempatan dana BPRS ke BPRS lain paling tinggi 20% (dua puluh persen) dari modal. Dengan asumsi modal BPRS A tetap maka dengan adanya ketentuan BMPD tersebut penempatan Tabungan BPRS A ke BPRS B menjadi melampaui BMPD yang ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen). Untuk itu BPRS A wajib membuat action plan untuk menyelesaikan pelampauan tersebut dengan target waktu penyelesaian paling lama 1 (satu) bulan sejak action plan disampaikan kepada Bank Indonesia. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 14 ... - 15 - Pasal 14 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “bukti pendukung” antara lain adalah bukti setoran modal dan bukti pembayaran atau pelunasan Pembiayaan. Ayat (2) Yang dimaksud dengan realisasi action plan adalah pelaksanaan tahapan penyelesaian Pelanggaran dan/atau Pelampauan BMPD. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 15 Huruf a Penempatan Dana Antar Bank pada Bank Umum Konvensional adalah dalam bentuk giro dan/atau tabungan. Yang dimaksud dengan Bank Umum Konvensional, Bank Umum Syariah dan/atau Unit Usaha Syariah adalah Bank Umum Konvensional, Bank Umum Syariah dan/atau Unit Usaha Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 tentang Perbankan Syariah. Huruf b Angka 1) Deposito dan Tabungan yang dapat dijadikan sebagai agunan adalah ... - 16 - adalah Deposito dan Tabungan yang ditempatkan pada BPRS yang sama. Angka 2) Nilai agunan berupa emas dan/atau logam mulia ditentukan berdasarkan harga pasar (market value). Angka 3) Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan “Pemerintah Indonesia” adalah Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Huruf d Bagian Penempatan Dana yang dimaksud dalam ayat ini adalah bagian penempatan dana dalam rangka memenuhi simpanan/iuran/porsi dana atau penempatan dana dalam rangka penanggulangan likuiditas yang ditetapkan sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak. Contoh: Terdapat 28 BPRS yang membuat kesepakatan untuk menempatkan dana berupa simpanan/iuran/porsi dana pada salah satu BPRS yang ditunjuk untuk mengkoordinir pengelolaan dana yang terhimpun. Dalam kesepakatan tersebut dimuat antara lain: - Jumlah simpanan/iuran/porsi dana yang wajib ditempatkan oleh BPRS pada BPRS lain yang ditunjuk, misalnya Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) per BPRS. - Jumlah ... - 17 - - Jumlah maksimum dana/pinjaman likuiditas yang dapat ditempatkan oleh BPRS yang ditunjuk kepada salah satu dari 28 BPRS tersebut, misalnya 10 (sepuluh) kali dari jumlah simpanan/iuran/porsi dana yang ditempatkan atau Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah). Yang dikecualikan dari perhitungan BMPD dalam contoh tersebut adalah: - masing-masing penempatan dana dari 28 BPRS tersebut kepada BPRS yang ditunjuk sebesar Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah). - penempatan dana dari BPRS yang ditunjuk kepada salah satu dari 28 BPRS yang mengalami kesulitan likuiditas sebesar Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah). Pasal 16 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “pola kemitraan” adalah pola pengembangan dengan menggunakan perusahaan inti yang membantu membimbing perusahaan rakyat sekitarnya sebagai plasma dalam suatu sistem kerjasama yang saling menguntungkan, utuh dan berkesinambungan. Yang dimaksud dengan “pola PHBK” adalah pola pembiayaan dalam upaya mengembangkan prasarana pelayanan keuangan bagi pengusaha mikro, yang bersifat saling menguntungkan antara tiga unsur yang berbeda yaitu BPRS, Lembaga Pengembangan Swadaya Masyarakat ... - 18 - Masyarakat (LPSM), dan Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM). Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Yang dimaksud kelompok disini adalah KSM. Huruf b Yang dimaksud partisipan PHBK adalah perorangan dan/atau lembaga yang terlibat seperti LPSM dan KSM. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Termasuk dalam agunan alternatif yaitu jaminan tanggung renteng di antara anggota kelompok. Huruf g Cukup jelas. Pasal 17 ... - 19 - Pasal 17 Yang dimaksudkan dengan “Pembiayaan untuk peningkatan kesejahteraan” adalah pembiayaan BPRS kepada anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris dan/atau pegawai BPRS yang memenuhi kriteria Pihak Terkait yang antara lain ditujukan untuk biaya sekolah, biaya pengobatan/sakit, biaya kontrak rumah, cicilan rumah, uang muka pembelian rumah, biaya pernikahan dan pembelian kendaraan bermotor. Pemberian Pembiayaan kepada pihak-pihak tersebut di atas dikategorikan sebagai Penyaluran dana kepada Pihak Tidak Terkait dan mengacu pada ketentuan BMPD kepada Pihak Tidak Terkait. Pasal 18 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “penyampaian secara on-line” adalah penyampaian laporan dengan mengirim atau mentransfer rekaman data secara langsung kepada Kantor Pusat Bank Indonesia melalui fasilitas ekstranet Bank Indonesia atau sarana teknologi lainnya. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 19 ... - 20 - Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan “gangguan teknis” adalah gangguan yang mengakibatkan BPRS tidak dapat menyampaikan laporan BMPD dan/atau koreksi laporan BMPD secara on-line, antara lain gangguan pada jaringan telekomunikasi atau pemadaman listrik. Huruf d Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 21 ... - 21 - Pasal 21 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “penyampaian secara off-line” adalah penyampaian laporan dengan cara menyampaikan rekaman data dalam bentuk media perekam data elektronik disertai hasil validasi kepada Kantor Bank Indonesia setempat. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 22 Ayat (1) Laporan BMPD dapat disampaikan secara on-line pada hari libur atau hari Sabtu. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Bukti penerimaan untuk laporan BMPD yang disampaikan secara on-line adalah berupa soft copy yang dapat diambil secara on-line (download). Sedangkan bukti penerimaan untuk laporan BMPD yang disampaikan secara off-line adalah berupa tanda terima apabila disampaikan langsung kepada Bank Indonesia atau tanggal stempel pos apabila dikirimkan melalui pos. Ayat (4) ... - 22 - Ayat (4) Koreksi laporan BMPD dapat disampaikan secara on-line pada hari libur atau hari Sabtu. Ayat (5) Contoh: Koreksi laporan BMPD untuk data bulan Februari 2011 disampaikan secara off-line paling lama tanggal 18 Maret 2011 (hari Jumat) untuk penyampaian secara langsung kepada Bank Indonesia maupun untuk penyampaian melalui pos, mengingat tanggal 20 Maret 2011 jatuh pada hari Minggu. Ayat (6) Bukti penerimaan untuk koreksi laporan BMPD yang disampaikan secara on-line adalah berupa soft copy yang dapat diambil secara on-line (download). Sedangkan bukti penerimaan untuk koreksi laporan BMPD yang disampaikan secara off-line adalah berupa tanda terima apabila disampaikan langsung kepada Bank Indonesia atau tanggal stempel pos apabila dikirimkan melalui pos. Pasal 23 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) ... - 23 - Ayat (3) Contoh: BPRS dinyatakan tidak menyampaikan laporan BMPD dan/atau koreksi laporan BMPD untuk data bulan Maret 2011 apabila laporan dimaksud belum diterima Bank Indonesia sampai dengan tanggal 30 April 2011. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 24 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “pelaksanaan ketentuan BMPD” antara lain adalah perhitungan Penyaluran Dana, perhitungan Modal, penentuan kelompok Nasabah Penerima Fasilitas dan/atau penentuan Pihak Terkait. Ayat (2) Koreksi terhadap laporan BMPD kepada Bank Indonesia dilakukan untuk posisi hasil penelitian dan/atau pemeriksaan oleh Bank Indonesia atas Laporan BMPD yang telah disampaikan oleh BPRS pelapor. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) ... - 24 - Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Ayat (1) Laporan struktur kelompok usaha pada ayat ini memuat seluruh perorangan atau badan hukum yang memiliki 10% (sepuluh persen) atau lebih saham BPRS dan pihak-pihak yang melakukan Pengendalian dan/atau memiliki 10% (sepuluh persen) atau lebih saham badan hukum dimaksud, serta menyebutkan pihak yang menjadi ultimate shareholders. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 27 ... - 25 - Pasal 27 Yang dimaksud dengan menghambat pelaksanaan pengawasan BPRS antara lain apabila Bank Indonesia mengalami atau melihat potensi adanya kesulitan untuk mengakses data dan informasi termasuk informasi sumber keuangan pengendali BPRS. Pasal 28 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Contoh pengungkapan informasi pengendali terakhir (ultimate shareholders): 1. Tuan X melalui PT ABC ...% saham BPRS. 2. Tuan Z melalui:    PT A ...% saham BPRS, PT B ...% saham BPRS, dan PT C ...% saham BPRS. Pasal 29 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) ... - 26 - Ayat (2) Yang dimaksud dengan “jenis kesalahan” adalah nominal yang dilaporkan meliputi jumlah Pembiayaan yang diberikan dan nilai agunan. Jenis kesalahan dihitung per rekening (per baris). Nama debitur tidak termasuk yang diperhitungkan dalam jenis kesalahan. Termasuk jenis kesalahan adalah pelanggaran/pelampauan yang tidak dilaporkan. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas. Ayat (9) ... - 27 - Ayat (9) Cukup jelas. Ayat (10) Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “keadaan memaksa (force majeure)” adalah keadaan yang secara nyata menyebabkan BPRS tidak dapat menyusun dan/atau menyampaikan laporan BMPD dan/atau koreksi laporan BMPD secara on-line dan off-line, antara lain kebakaran, kerusuhan massa, perang, sabotase, serta bencana alam seperti gempa bumi dan banjir, yang dibenarkan oleh pejabat instansi yang berwenang dari daerah setempat. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) ... - 28 - Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 32 Ayat (1) Kewajiban untuk tetap menyampaikan pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/61/KEP/DIR tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Perkreditan Rakyat tetap diberlakukan dalam waktu 3 (tiga) bulan setelah berlakunya PBI ini bertujuan untuk memberikan masa transisi terhadap pelaporan BMPD yang semula dilakukan melalui rekaman data dalam bentuk media perekam data elektronik beserta hasil cetakan yang ditandatangani oleh pejabat yang berwenang menjadi diubah secara on-line. Kewajiban pelaporan BMPD secara on-line mulai berlaku untuk pelaporan BMPD bulan Mei 2011 yang disampaikan pada bulan Juni 2011. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 33 Cukup jelas. Pasal 34 ... - 29 - Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5191 DPbS "," PBI 13/5/PBI/2011 BATAS MAKSIMUM PENYALURAN DANA BANK PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH 24 Januari 2011 1 Februari 2011 24 Januari 2011 '31/61/KEP/DIR|SKDIR-BI/1998' '21/UU/2008', '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008' 'BAB X' " " PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 2/24/PBI/2000 TENTANG HUBUNGAN REKENING GIRO ANTARA BANK INDONESIA DENGAN PIHAK EKSTERN GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka memperlancar transaksi pembayaran antar bank, pemerintah dan pihak-pihak lain, Bank Indonesia menyediakan fasilitas pembukaan Rekening Giro kepada pihak- pihak dimaksud; b. bahwa untuk memberikan kepastian hukum dalam pelaksanaan transaksi pembayaran tersebut, hubungan Rekening Giro antara Bank Indonesia dengan pihak-pihak sebagaimana dalam huruf a perlu diatur dalam suatu ketentuan; c. bahwa berhubung dengan itu dipandang perlu untuk menetapkan ketentuan mengenai Hubungan Rekening Giro antara Bank Indonesia dengan pihak ekstern dalam Peraturan Bank Indonesia; Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang- undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3790); - 2 - 2. Undang ... 2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843); MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG HUBUNGAN REKENING GIRO ANTARA BANK INDONESIA DENGAN PIHAK EKSTERN BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan : 1. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998; 2. Rekening Giro adalah sarana bagi penatausahaan transaksi dari simpanan yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat; 3. Rekening Giro dalam Rupiah yang selanjutnya disebut Rekening Giro Rupiah adalah Rekening Giro dalam mata uang rupiah yang penarikannya dapat dilakukan dengan menggunakan Cek Bank Indonesia, Bilyet Giro Bank Indonesia, atau sarana sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Bank Indonesia ini; 4. Rekening Giro dalam Valuta Asing yang selanjutnya disebut Rekening Giro Valas adalah Rekening Giro dalam valuta asing yang penarikannya dapat - 3 - dilakukan ... dilakukan dengan cara pemindahbukuan atau sarana sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Bank Indonesia ini; 5. Rekening Koran adalah laporan yang memuat posisi dan mutasi atas transaksi yang terjadi pada Rekening Giro; 6. Pemegang Rekening Giro adalah pihak-pihak yang mempunyai Rekening Giro di Bank Indonesia; 7. Spesimen Tanda Tangan adalah contoh tanda tangan yang ditulis pada formulir yang disediakan oleh Bank Indonesia dan ditatausahakan di Bank Indonesia; 8. Cek Bank Indonesia yang selanjutnya disebut Cek BI adalah cek sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia; 9. Bilyet Giro Bank Indonesia yang selanjutnya disebut BG BI adalah bilyet giro sebagaimana dimaksud dalam ketentuan bilyet giro yang berlaku yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia; 10. Saldo Efektif adalah saldo kredit dalam Rekening Giro yang dapat ditarik oleh Pemegang Rekening Giro dan atau pihak-pihak yang diberi kuasa untuk melakukan penarikan Rekening Giro; 11. Warkat Pembukuan adalah sarana penarikan Rekening Giro yang berupa Cek BI, BG BI, atau sarana lain yang bersifat paperbased; 12. Penyetoran ke Rekening Giro adalah kegiatan penambahan dana atau pengkreditan pada Rekening Giro; 13. Penarikan Rekening Giro adalah kegiatan pengurangan dana atau pendebitan pada Rekening Giro. BAB… - 4 - BAB II PEMBUKAAN REKENING GIRO Pasal 2 Pihak yang dapat membuka Rekening Giro di Bank Indonesia adalah : a. Bank; b. Departemen Keuangan yang berkaitan dengan pelaksanaan anggaran penerimaan dan belanja (budget); c. International Monetary Funds (IMF). Pasal 3 Rekening Giro pada Bank Indonesia tidak dapat dibuka dalam bentuk rekening gabungan (joint account). Pasal 4 (1) Rekening Giro pada Bank Indonesia hanya dapat dibuka berdasarkan permintaan tertulis dari pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2. (2) Bank Indonesia dapat menyetujui atau menolak permintaan pembukaan Rekening Giro pada Bank Indonesia. (3) Tata cara dan persyaratan pembukaan Rekening Giro pada Bank Indonesia diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 5 Dalam hal permintaan pembukaan Rekening Giro sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) disetujui maka Pemegang Rekening Giro wajib membuat Spesimen Tanda Tangan. Pasal… - 5 - Pasal 6 Bank Indonesia tidak memberikan jasa giro atas Rekening Giro yang ditatausahakan di Bank Indonesia. Pasal 7 Rekening Giro yang dibuka di Bank Indonesia tidak dapat dijaminkan oleh Pemegang Rekening Giro kepada pihak manapun. BAB III PENYETORAN KE REKENING GIRO Pasal 8 Penyetoran ke Rekening Giro dapat dilakukan oleh Pemegang Rekening Giro atau oleh bukan Pemegang Rekening Giro. Pasal 9 Penyetoran ke Rekening Giro sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dilakukan dengan cara : a. Tunai, pemindahbukuan, atau transfer untuk Rekening Giro Rupiah; b. Pemindahbukuan atau transfer untuk Rekening Giro Valas. Pasal 10 Tata cara penyetoran ke Rekening Giro sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia. BAB… - 6 - BAB IV PENARIKAN REKENING GIRO Pasal 11 (1) Penarikan Rekening Giro dapat dilakukan oleh Pemegang Rekening Giro, atau pihak yang diberi kuasa oleh Pemegang Rekening Giro. (2) Pemberian kuasa dari Pemegang Rekening Giro untuk keperluan penarikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam bentuk kuasa khusus dengan satu kali hak substitusi. (3) Pihak yang diberi kuasa oleh Pemegang Rekening Giro sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) wajib membuat Spesimen Tanda Tangan. (4) Kewajiban pembuatan Spesimen Tanda Tangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) tidak berlaku dalam hal penerima kuasa atau penerima kuasa substitusi diberi kuasa untuk melakukan satu kali penarikan. Pasal 12 (1) Dalam hal penarikan Rekening Giro dilakukan dengan menggunakan sarana Warkat Pembukuan maka Bank Indonesia melakukan pencocokan antara tanda tangan yang tercantum dalam Warkat Pembukuan dengan Spesimen Tanda Tangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan atau Pasal 11 ayat (3). (2) Dalam hal penarikan Rekening Giro dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik maka Bank Indonesia tidak melakukan pencocokan tanda tangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), tetapi kegiatan pencocokan tersebut dilakukan dengan cara lain yang diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal… - 7 - Pasal 13 (1) Pemegang Rekening Giro dapat mensyaratkan bahwa setiap penarikan Rekening Giro dengan menggunakan warkat pembukuan harus ditandatangani oleh lebih dari 1(satu) orang. (2) Persyaratan selain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang ditetapkan oleh Pemegang Rekening Giro atau instansi lain yang berwenang dianggap tidak ada dan Bank Indonesia dapat melaksanakan penarikan tersebut tanpa memperhatikan dipenuhinya persyaratan tersebut oleh Pemegang Rekening Giro. Bagian Pertama Rekening Giro yang Dimiliki oleh Instansi Pemerintah. Paragraf 1 Rekening Giro Rupiah Pasal 14 Penarikan Rekening Giro Rupiah oleh instansi pemerintah tidak boleh melebihi Saldo Efektif kecuali apabila terdapat kesepakatan lain diantara badan atau instansi pemerintah dan Bank Indonesia dengan memperhatikan ketentuan Pasal 56 ayat (1) Undang-undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Pasal 15 Penarikan Rekening Giro Rupiah yang dimiliki oleh atau instansi pemerintah dilakukan dengan menggunakan sarana : a. Cek BI; b. BG BI; c. Sarana elektronik; d. Sarana lain. Paragraf… - 8 - Paragraf 2 Rekening Giro Valas Pasal 16 Penarikan Rekening Giro Valas oleh instansi pemerintah tidak boleh melebihi Saldo Efektif kecuali apabila terdapat kesepakatan lain diantara instansi pemerintah dan Bank Indonesia dengan memperhatikan ketentuan Pasal 56 ayat (1) Undang-undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Pasal 17 Penarikan Rekening Giro Valas oleh instansi pemerintah dilakukan dengan menggunakan sarana : a. Surat Perintah Membayar Giro Bank (SPMGB); b. Surat Perintah Pembebanan (SPB-SPM); c. Surat Perintah Membayar Rekening Khusus (SPMRK); d. Surat Kuasa membayar atas beban rekening khusus untuk Letter of Credit (SPMRK L/C). Bagian Kedua Rekening Giro yang Dimiliki oleh Bukan Instansi Pemerintah Paragraf 1 Rekening Giro Rupiah Pasal 18 (1) Pemegang Rekening Giro Rupiah dapat melakukan penarikan dengan jumlah maksimal sebesar jumlah Saldo Efektif. (2) Dalam… - 9 - (2) Dalam hal Pemegang Rekening Giro Rupiah adalah Bank peserta kliring, ketentuan sebagaimana dalam ayat (1) hanya berlaku bagi penarikan-penarikan di luar penyelesaian akhir hasil kliring. Pasal 19 Penarikan atas Rekening Giro Rupiah dilakukan dengan menggunakan : a. Cek BI; b. BG BI; c. Sarana elektronik; d. Sarana lain. Paragraf 2 Rekening Giro dalam Valas Pasal 20 Pemegang Rekening Giro Valas dapat melakukan pendebetan dengan jumlah maksimal sebesar jumlah Saldo Efektif. Pasal 21 Penarikan atas Rekening Giro Valas hanya dapat dilakukan melalui pemindahbukuan dengan menggunakan sarana : a. Act SWIFT; b. Teleks. Pasal 22 Permintaan penarikan Rekening Giro Valas oleh Bank dapat dilaksanakan apabila permintaan dimaksud diterima oleh Bank Indonesia selambat-lambatnya 2 (dua) hari kerja sebelum tanggal valuta. BAB… - 10 - BAB V PENGGUNAAN CEK BI/BG BI Pasal 23 Cek BI hanya dapat digunakan untuk keperluan penarikan tunai atas beban Rekening Giro Rupiah. Pasal 24 BG BI digunakan untuk keperluan pemindahan dana dari satu Rekening Giro Rupiah ke Rekening Giro Rupiah lainnya. Pasal 25 (1) Bank Indonesia tidak memproses Cek BI atau BG BI yang terdapat perbedaan nominal antara yang tertulis dalam angka dan dalam huruf. (2) Penulisan nominal dalam angka dan huruf tidak dapat dilakukan pencoretan atau perubahan. (3) Setiap pencoretan atau perubahan penulisan selain mengenai nominal angka dan huruf harus ditandatangani oleh Penarik Cek BI atau BG BI yang bersangkutan pada tempat kosong yang terdekat dengan pencoretan atau perubahan penulisan tersebut. Pasal 26 (1) Pemegang Rekening Giro wajib menatausahakan dengan baik blanko Cek BI dan atau BG BI yang diterima dari Bank Indonesia. (2) Pemegang Rekening Giro bertanggungjawab atas segala macam penyalahgunaan dari tiap-tiap helai Cek BI dan atau BG BI oleh pihak-pihak yang… - 11 - yang tidak berhak serta segala akibat yang ditimbulkan atas penyalahgunaan tersebut. Pasal 27 Ketentuan mengenai Cek BI dan BG BI yang tidak diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini tunduk pada ketentuan mengenai cek dan bilyet giro yang berlaku. BAB VI PERUBAHAN REKENING GIRO Pasal 28 (1) Perubahan Rekening Giro hanya dapat dilakukan apabila terdapat perubahan nomor rekening atau nama rekening. (2) Perubahan nomor rekening sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan oleh Bank Indonesia. (3) Perubahan nama rekening sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan oleh Pemegang Rekening Giro dengan terlebih dahulu mengajukan permohonan secara tertulis kepada Bank Indonesia. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perubahan Rekening Giro sebagaimana dalam ayat (1) diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. BAB VII PENUTUPAN REKENING GIRO Pasal 29 (1) Bank Indonesia setiap saat dapat menutup Rekening Giro baik atas permintaan Pemegang Rekening Giro, pihak berwenang yang terkait dengan Rekening Giro yang bersangkutan, maupun atas dasar pertimbangan Bank Indonesia. - 12 - (2) Penutupan… (2) Penutupan Rekening Giro oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan mempertimbangkan antara lain hal-hal sebagai berikut : a. Apabila pada satu Kantor Bank Indonesia (KPBI dan KBI) Pemegang Rekening Giro memiliki lebih dari satu Rekening Giro dan mutasi-mutasi yang dilakukan dapat ditampung pada salah satu rekening yang ada. b. Pemegang Rekening Giro tidak mempunyai keterkaitan tugas dengan Bank Indonesia. c. Rekening Giro tidak aktif selama 2 (dua) tahun. Pasal 30 (1) Permohonan penutupan Rekening Giro oleh Pemegang Rekening Giro atau pihak lain yang berwenang atas Rekening Giro yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) dilakukan secara tertulis. (2) Ketentuan mengenai tata cara penutupan Rekening Giro diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 31 Bank Indonesia dapat menyetujui permohonan penutupan Rekening Giro apabila Pemegang Rekening Giro telah menyelesaikan seluruh kewajibannya kepada Bank Indonesia. Pasal 32 Dalam hal Rekening Giro telah ditutup, maka Cek BI dan atau BG BI yang masih beredar tidak dapat diperhitungkan lagi atas beban Rekening Giro dimaksud. BAB… - 13 - BAB VIII LAPORAN Pasal 33 (1) Terhadap Rekening Giro Rupiah setiap akhir hari Bank Indonesia mencetak Rekening Koran yang dapat diambil oleh Pemegang Rekening Giro selambat- lambatnya 1 (satu) minggu setelah tanggal Rekening Koran. (2) Terhadap Rekening Giro Valas setiap minggu pada tanggal neraca Bank Indonesia mencetak Rekening Koran yang dapat diambil oleh Pemegang Rekening Giro selambat-lambatnya 1 (satu) minggu setelah tanggal Rekening Koran. (3) Pencetakan Rekening Koran sebagaimana dalam ayat (1) tidak berlaku dalam hal sarana elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf c dan Pasal 19 huruf c menyediakan informasi yang terdapat dalam Rekening Koran secara on-line. Pasal 34 (1) Bank Indonesia melakukan penutupan periode laporan Rekening Koran pada tiap akhir tahun kalender dan mencetak laporan tersebut untuk disampaikan kepada Pemegang Rekening Giro. (2) Penyampaian laporan Rekening Koran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan paling lambat 1 (satu) minggu setelah tanggal pencetakan laporan Rekening Koran. Pasal 35 (1) Dalam hal terdapat perbedaan antara data pada Rekening Koran dengan data yang ada pada Pemegang Rekening Giro maka Pemegang Rekening Giro wajib… - 14 - wajib melaporkan kepada Bank Indonesia dalam jangka waktu 2 (dua) minggu setelah tanggal Rekening Koran tersebut. (2) Dalam hal Pemegang Rekening Giro tidak melaporkan perbedaan data sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) maka data yang terdapat dalam Rekening Koran dianggap sebagai data yang benar. (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) berlaku pula terhadap penyediaan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (3). BAB IX BIAYA-BIAYA Pasal 36 Setiap penarikan atas beban Rekening Giro dikenakan biaya transaksi dan biaya administrasi yang besarnya ditetapkan dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 37 Setiap perolehan blanko Cek BI dan BG BI dikenakan biaya cetak dan biaya materai yang besarnya ditetapkan dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 38 Pengenaan biaya - biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dan 37 dilakukan dengan cara mendebet Rekening Giro yang bersangkutan. Pasal… - 15 - Pasal 39 Bank Indonesia dapat mengecualikan pengenaan biaya-biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dan 37 untuk pihak-pihak tertentu yang akan diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. BAB X LAIN-LAIN Pasal 40 Ketentuan mengenai hubungan Rekening Giro antara Bank Indonesia dengan pegawai dan Dewan Gubernur Bank Indonesia tidak tunduk pada ketentuan ini. Pasal 41 Sarana elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf c dan Pasal 19 huruf c akan diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia. BAB XI ATURAN PERALIHAN Pasal 42 Rekening Giro Rupiah dan atau Rekening Giro Valas milik pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang sudah ada pada saat berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini tetap diakui sebagai Rekening Giro yang sah berdasarkan Peraturan Bank Indonesia ini. Pasal 43 (1) Pihak lain diluar pihak-pihak sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2 yang masih memiliki Rekening Giro di Bank Indonesia dalam jangka waktu 1 (satu)… - 16 - 1 (satu) tahun sejak diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia ini wajib mengajukan permohonan penutupan rekening. (2) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pihak lain di luar pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 tidak mengajukan permohonan penutupan Rekening Giro, maka Bank Indonesia berwenang menutup rekening yang bersangkutan. Pasal 44 (1) Bagi pemegang Rekening Giro yang belum memiliki Spesimen Tanda Tangan atau sudah memiliki namun belum memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini wajib menyampaikan Spesimen Tanda Tangan kepada Bank Indonesia. (2) Dalam hal Pemegang Rekening Giro tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) maka penarikan Rekening Giro tidak dapat dilakukan. Pasal 45 Segala surat penunjukan kepada pihak lain untuk melakukan penarikan Rekening Giro pada Bank Indonesia yang sudah ada pada saat berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini berlaku sebagai surat kuasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 Peraturan Bank Indonesia ini. Pasal 46 Kesepakatan antara badan atau instansi pemerintah dan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dan Pasal 16 yang sudah ada pada saat berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini dinyatakan tetap berlaku. BAB… - 17 - BAB XII PENUTUP Pasal 47 Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 17 November 2000 a.n GUBERNUR BANK INDONESIA ANWAR NASUTION DEPUTI GUBERNUR SENIOR LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2000 NOMOR 205 DASP PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 2/24/PBI/2000 TENTANG HUBUNGAN REKENING GIRO ANTARA BANK INDONESIA DENGAN PIHAK EKSTERN I. UMUM Dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia maka Bank Indonesia diarahkan untuk melakukan tugas dan fungsi yang seharusnya dilakukan oleh bank sentral. Sehubungan dengan hal tersebut maka perlu dilakukan peninjauan kembali terhadap pihak- pihak yang dapat mempunyai hubungan Rekening Giro dengan Bank Indonesia. Dalam hal ini hanya pihak-pihak yang mempunyai keterkaitan tugas dan fungsi dengan Bank Indonesia yang dapat mempunyai Rekening Giro pada Bank Indonesia. Salah satu fungsi pemeliharaan Rekening Giro pada Bank Indonesia oleh pihak-pihak yang mempunyai keterkaitan tugas dengan Bank Indonesia adalah dalam rangka memperlancar transaksi pembayaran diantara pihak- pihak tersebut. Disamping itu pada saat ini Bank Indonesia telah memanfaatkan perkembangan teknologi dalam memperlancar transaksi pembayaran sehingga penyelesaian transaksi pembayaran dengan mendebit dan mengkredit Rekening Giro para pihak dapat dilakukan secara elektronik. Sehubungan dengan hal tersebut guna memberikan dasar hukum bagi pihak-pihak tersebut dalam melakukan transaksi pembayaran secara elektronik serta dalam rangka penataan kembali terhadap pihak-pihak - 2 - yang... yang dapat mempunyai hubungan Rekening Giro dengan Bank Indonesia, maka perlu dilakukan penyempurnaan terhadap Ketentuan-ketentuan mengenai hubungan Rekening Koran dengan Bank Indonesia yang berlaku saat ini. Dengan ditetapkannya ketentuan mengenai Hubungan Rekening Giro antara Bank Indonesia dengan Pihak Ekstern diharapkan pelaksanaan transaksi elektronik yang dilakukan oleh pihak yang mempunyai keterkaitan tugas dengan Bank Indonesia akan lebih lancar dan mempunyai dasar hukum yang kuat. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas Pasal 2 Huruf a Bank yang dapat membuka Rekening Giro di Bank Indonesia adalah tingkatan Kantor Pusat dan Kantor Cabang. Khusus bagi Bank yang menjalankan kegiatan sebagai bank konvensional dan bank syariah, maka Bank tersebut dapat membuka 2 (dua) rekening masing-masing atas nama unit usaha konvensional dan unit usaha syariahnya baik dalam rupiah maupun valas. Huruf b Cukup jelas Huruf c Cukup jelas Pasal… - 3 - Pasal 3 Yang dimaksud dengan rekening gabungan (joint account) adalah rekening yang dimiliki oleh lebih dari 1 (satu) pihak. Pasal 4 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Penolakan permintaan pembukaan Rekening Giro didasarkan pada hal-hal sebagai berikut : a. Persyaratan administrasi tidak dipenuhi, atau b. Pemilik rekening telah memiliki rekening di Bank Indonesia dan mutasi - mutasi yang akan dilakukan melalui rekening- rekening yang bersangkutan dapat ditampung dalam rekening yang telah ada. Ayat (3) Cukup jelas Pasal 5 Cukup jelas Pasal 6 Cukup jelas Pasal 7 Cukup jelas Pasal 8 Cukup jelas Pasal… - 4 - Pasal 9 Cukup jelas Pasal 10 Cukup jelas Pasal 11 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Yang dimaksud dengan pemberian kuasa khusus dengan dengan satu kali hak substitusi adalah bahwa penerima kuasa dapat memberikan kuasa lagi kepada satu atau beberapa orang (penerima kuasa substitusi) namun penerima kuasa substitusi tidak dapat memberikan kuasa lagi kepada pihak lain. Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 12 Cukup jelas Pasal 13 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal ini antara lain adalah diperlukannya countersign dari pihak lain yang ditunjuk oleh Pemegang Rekening Giro atau yang ditetapkan oleh instansi lain yang berwenang. Dalam hal ini Pemegang Rekening… - 5 - Rekening Giro wajib mengupayakan pemenuhan persyaratan tersebut. Bank Indonesia dibebaskan dari tanggung jawab atas pelaksanaan penarikan yang tidak memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Pemegang Rekening Giro maupun instansi lain yang berwenang tersebut. Pasal 14 Dalam hal terdapat kesepakatan antara instansi pemerintah dan Bank Indonesia maka instansi pemerintah tersebut dimungkinkan melakukan penarikan melebihi Saldo Efektifnya sepanjang pada akhir hari saldo negatif tersebut dapat diselesaikan baik dengan memindahkan saldo negatif tersebut kepada rekening instansi pemerintah lainnya yang ditunjuk atau dengan pengkreditan dari rekening instansi pemerintah lainnya. Pasal 15 Huruf a Cukup jelas Huruf b Cukup jelas Huruf c Sarana elektronik adalah suatu fasilitas yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dengan memanfaatkan teknologi komputer guna melakukan penarikan dana secara tunai dari satu Rekening Giro atau pemindahan dana dari satu Rekening Giro ke Rekening Giro lainnya. Sarana elektronik yaitu antara lain adalah sistem transfer dana yang penyelesaiannya… - 6 - penyelesaiannya dilakukan secara individual atau per transaksi (Sistem Real Time Gross Settlement). Huruf d Sarana penarikan lain merupakan sarana penarikan Rekening Giro yang telah distandarisir oleh pemerintah dan telah disetujui oleh Bank Indonesia, antara lain terdiri dari : 1. SPMGB yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Anggaran (DJA) dan KPKN yang sekota dengan Bank Indonesia; dan 2. SPB-SPM yang diterbitkan oleh KPKN non Bank Indonesia; Dalam hal terdapat perubahan sarana penarikan sebagaimana tersebut di atas maka perubahan tersebut harus dilakukan dengan persetujuan Bank Indonesia. Pasal 16 Dalam hal terdapat kesepakatan antara instansi pemerintah dan Bank Indonesia maka instansi pemerintah tersebut dimungkinkan melakukan penarikan melebihi Saldo Efektifnya sepanjang pada akhir hari saldo negatif tersebut dapat diselesaikan baik dengan memindahkan saldo negatif tersebut kepada rekening instansi pemerintah lainnya yang ditunjuk atau dengan pengkreditan dari rekening instansi pemerintah lainnya. - 7 - Pasal… Pasal 17 Huruf a SPMGB adalah warkat standar yang diterbitkan oleh KPKN yang sekota dengan Bank Indonesia dan DJA dalam rangka melakukan pembayaran kepada rekanan atau pihak lainnya atas beban rekening yang bersangkutan atau untuk diperhitungkan dengan rekening khusus. Bentuk/format SPMGB yang digunakan untuk penarikan Rekening Giro Valas wajib memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia. Huruf b SPB-SPM adalah warkat standar yang diterbitkan oleh KPKN non-Bank Indonesia dalam rangka melakukan pembayaran kepada rekanan atau pihak lainnya yang selanjutnya diperhitungkan dengan rekening khusus di KPBI. Bentuk/format SPB-SPM yang digunakan untuk penarikan Rekening Giro Valas wajib memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia. Huruf c SPMRK adalah warkat yang diterbitkan oleh DJA yang disampaikan ke KPBI untuk membebani rekening khusus dalam valas. Bentuk… - 8 - Bentuk/format SPMRK yang digunakan untuk penarikan Rekening Giro Valas wajib memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia. Huruf d SPMRK L/C adalah warkat yang diterbitkan oleh DJA yang disampaikan ke KPBI untuk membebani rekening khusus untuk Letter of Credit. Bentuk/format SPMRK L/C wajib memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia. Pasal 18 Ayat (1) Dalam hal pemegang rekening mempunyai rekening pada lebih dari satu Kantor Bank Indonesia (KBI dan KPBI) maka Saldo Efektif adalah saldo rekening pada masing-masing Kantor Bank Indonesia. Ayat (2) Penyelesaian akhir hasil kliring diatur dalam Peraturan Bank Indonesia tersendiri. Pasal 19 Huruf a Cukup jelas Huruf b Cukup jelas Huruf c Sarana elektronik adalah suatu fasilitas yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dengan memanfaatkan teknologi komputer guna melakukan penarikan dana dari satu Rekening Giro atau pemindahan… - 9 - pemindahan dana dari satu Rekening Giro ke Rekening Giro lainnya. Sarana elektronik yaitu antara lain adalah sistem transfer dana yang penyelesaiannya dilakukan secara individual atau per transaksi (Sistem Real Time Gross Settlement). Huruf d Sarana lain yang dimaksud dalam Pasal ini antara lain adalah sarana teleks yang digunakan untuk pembukuan hasil kliring oleh penyelenggara kliring lokal di tempat yang tidak terdapat kantor Bank Indonesia dan permintaan penarikan oleh lembaga internasional. Pasal 20 Cukup jelas Pasal 21 Huruf a Yang dimaksud dengan SWIFT (Society For Worldwide Interbank Financial Telecommunication) adalah suatu jaringan internasional untuk keperluan pemindahan dana dan atau pertukaran berita dengan menggunakan teknologi komputer antar bank dan lembaga-lembaga keuangan bukan bank yang menjadi anggotanya. Huruf b Cukup jelas Pasal 22 Cukup jelas Pasal 23 Cukup jelas - 10 - Pasal… Pasal 24 Cukup jelas Pasal 25 Cukup jelas Pasal 26 Cukup jelas Pasal 27 Cukup jelas Pasal 28 Cukup jelas Pasal 29 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Huruf a Cukup jelas Huruf b Cukup jelas Huruf c Apabila berdasarkan catatan pada Bank Indonesia suatu Rekening Giro selama jangka waktu 1,5 (satu setengah) tahun tidak aktif, Bank Indonesia akan memberitahukan Pemegang Rekening Giro secara tertulis mengenai hal tersebut sekaligus meminta agar yang bersangkutan menutup Rekening Gironya. Selanjutnya apabila dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah pemberitahuan itu - 11 - tidak… tidak ada jawaban maka Rekening Giro tersebut akan ditutup tanpa pemberitahuan sebelumnya. Bank Indonesia akan menginformasikan secara tertulis mengenai penutupan tersebut, dan saldo Rekening Giro dimaksud setelah diperhitungkan dengan seluruh kewajiban Pemegang Rekening Giro kepada Bank Indonesia, akan dipindahkan pada rekening tertentu untuk menunggu penyelesaian lebih lanjut dari Pemegang Rekening Giro. Pasal 30 Cukup jelas Pasal 31 Cukup jelas Pasal 32 Yang dimaksud dengan Cek BI atau BG BI yang masih beredar dalam Pasal ini adalah Cek BI dan atau BG BI yang ditarik sebelum maupun sesudah Rekening Giro ditutup. Pasal 33 Ayat (1) Pengambilan Rekening Koran harian dilakukan pada hari kerja berikutnya sesuai jadwal yang berlaku. Rekening Koran tersebut hanya akan dicetak apabila terdapat mutasi pada Rekening Giro dimaksud. Ayat (2) Pengambilan Rekening Koran mingguan dilakukan pada hari kerja berikutnya sesuai jadwal yang berlaku. Rekening… - 12 - Rekening Koran tersebut hanya akan dicetak apabila terdapat mutasi pada Rekening Giro dimaksud. Ayat (3) Cukup jelas Pasal 34 Ayat (1) Rekening Koran yang disebut dengan laporan akhir tahun untuk Rekening Giro Rupiah adalah Rekening Koran harian yang dicetak pada akhir hari kerja Bank Indonesia pada bulan Desember. Laporan dimaksud memuat mutasi dari transaksi- transaksi yang terjadi pada tanggal akhir bulan tersebut. Rekening Koran yang disebut dengan laporan akhir tahun untuk Rekening Giro Valas adalah rekening koran mingguan yang dicetak pada tanggal neraca akhir hari kerja Bank Indonesia pada bulan Desember. Laporan dimaksud memuat mutasi dari transaksi-transaksi yang terjadi pada periode minggu terakhir akhir bulan tersebut Rekening Koran akhir tahun kalender tersebut di atas mencantumkan klausula tertentu dan ditandatangani oleh pejabat Bank Indonesia diatas materai yang berlaku. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 35 Cukup jelas Pasal 36 Cukup jelas Pasal… - 13 - Pasal 37 Cukup jelas Pasal 38 Cukup jelas Pasal 39 Cukup jelas Pasal 40 Cukup jelas Pasal 41 Pokok-pokok ketentuan yang akan diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia tersebut antara lain : a. syarat kepesertaan; b. tata cara penggunaan; c. jenis transaksi yang dilakukan; dan d. contingency plan. Pasal 42 Cukup jelas Pasal 43 Cukup jelas Pasal 44 Cukup jelas Pasal… - 14 - Pasal 45 Cukup jelas Pasal 46 Cukup jelas Pasal 47 Cukup jelas TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4025 DASP "," PBI 2/24/PBI/2000 HUBUNGAN REKENING GIRO ANTARA BANK INDONESIA DENGAN PIHAK EKSTERN 17 November 2000 17 November 2000 '23/UU/1999', '7/UU/1992', '10/UU/1998' " " PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 18/10/PBI/2016 TENTANG PEMANTAUAN KEGIATAN LALU LINTAS DEVISA BANK DAN NASABAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pemantauan kegiatan lalu lintas devisa sangat dibutuhkan untuk mendukung perumusan dan pelaksanaan kebijakan, baik di bidang moneter, makroprudensial perbankan, maupun sistem pembayaran; b. bahwa keterangan dan data yang benar dan tepat waktu, yang diperoleh dari pemantauan kegiatan lalu lintas devisa sangat diperlukan dalam rangka penyusunan statistik yang meliputi statistik neraca pembayaran Indonesia, posisi investasi internasional Indonesia, dan statistik lainnya; c. bahwa pemantauan kegiatan lalu lintas devisa juga diperlukan untuk mendukung pelaksanaan kebijakan penerimaan devisa hasil ekspor; d. bahwa transaksi penggunaan devisa perlu dilengkapi dengan bukti pendukung guna mendorong transparansi dan meningkatkan ketersediaan informasi kegiatan lalu lintas devisa, baik yang dilakukan oleh bank maupun nasabah; - 2 - e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d perlu mengatur kembali Peraturan Bank Indonesia mengenai pemantauan kegiatan lalu lintas devisa bank dan nasabah; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3844); 3. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2011 tentang Transfer Dana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5204); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PEMANTAUAN KEGIATAN LALU LINTAS DEVISA BANK DAN NASABAH. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: - 3 - 1. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan dan Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah, termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri dan beroperasi di Indonesia namun tidak termasuk kantor bank umum dan bank umum syariah berbadan hukum Indonesia yang beroperasi di luar negeri. 2. Lalu Lintas Devisa yang selanjutnya disingkat LLD adalah lalu lintas devisa sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai lalu lintas devisa dan sistem nilai tukar. 3. Kegiatan Lalu Lintas Devisa yang selanjutnya disebut Kegiatan LLD adalah kegiatan yang menimbulkan perpindahan aset dan kewajiban finansial antara Penduduk dan bukan Penduduk, termasuk perpindahan aset dan kewajiban finansial luar negeri antar Penduduk. 4. Aset Finansial Luar Negeri Bank yang selanjutnya disebut AFLN Bank adalah aktiva Bank terhadap bukan Penduduk baik dalam valuta asing maupun Rupiah, antara lain dalam bentuk kas dalam valuta asing, simpanan, dan surat berharga. 5. Kewajiban Finansial Luar Negeri Bank yang selanjutnya disebut KFLN Bank adalah pasiva Bank terhadap bukan Penduduk baik dalam valuta asing maupun Rupiah, antara lain dalam bentuk simpanan milik bukan Penduduk, utang luar negeri, dan ekuitas dari bukan Penduduk. 6. Penduduk adalah penduduk sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai lalu lintas devisa dan sistem nilai tukar. 7. Nasabah adalah nasabah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan dan Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah. 8. Laporan Kegiatan LLD yang selanjutnya disebut Laporan LLD adalah laporan atas seluruh Kegiatan LLD - 4 - yang menimbulkan perubahan AFLN Bank dan/atau KFLN Bank yang disebabkan oleh transaksi yang dilakukan oleh Bank yang bersangkutan maupun Nasabah, termasuk laporan yang berupa Laporan LLD nihil. 9. Perintah Transfer Dana adalah perintah transfer dana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai transfer dana. 10. Periode Laporan yang selanjutnya disingkat PL adalah periode data dari tanggal 1 sampai dengan akhir bulan yang bersangkutan. 11. Masa Penyampaian Laporan yang selanjutnya disingkat MPL adalah periode penyampaian Laporan LLD dari tanggal 1 sampai dengan tanggal 15 setelah berakhirnya PL. 12. Masa Penyampaian Koreksi Laporan yang selanjutnya disingkat MPKL adalah periode penyampaian koreksi Laporan LLD dari tanggal 1 sampai dengan tanggal 20 setelah berakhirnya PL. 13. Ekspor adalah kegiatan mengeluarkan barang dari daerah pabean sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang mengatur mengenai kepabeanan. BAB II PENYAMPAIAN LAPORAN DAN KOREKSI LAPORAN Pasal 2 (1) Bank wajib menyampaikan Laporan LLD kepada Bank Indonesia dengan benar dan tepat waktu. (2) Laporan LLD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan secara lengkap. Pasal 3 (1) Laporan LLD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) meliputi: a. Laporan Transaksi; b. Laporan Posisi; dan c. laporan pendukung. - 5 - (2) Laporan Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi transaksi Bank dan/atau Nasabah yang memengaruhi AFLN Bank dan/atau KFLN Bank. (3) Laporan Posisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi posisi dan mutasi dari setiap rekening AFLN Bank dan/atau KFLN Bank. (4) Laporan pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi antara lain rincian transaksi Ekspor dan daftar dokumen terkait transaksi Ekspor. Pasal 4 (1) Transaksi Bank dan/atau Nasabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) dengan nilai lebih besar dari USD10,000.00 (sepuluh ribu dolar Amerika Serikat) atau yang nilainya setara dengan itu dilaporkan secara individual per transaksi dan terinci, kecuali ditentukan secara khusus. (2) Transaksi Bank dan/atau Nasabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) dengan nilai sampai dengan USD10,000.00 (sepuluh ribu dolar Amerika Serikat) atau yang nilainya setara dengan itu dilaporkan secara gabungan dan dikelompokkan menurut jenis rekening dan jenis valuta, kecuali ditentukan secara khusus. (3) Perubahan batasan nilai transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 5 (1) Dalam hal terdapat transaksi terkait Ekspor Nasabah pada Laporan Transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2), Bank wajib menyampaikan laporan pendukung yang meliputi antara lain rincian transaksi Ekspor dan daftar dokumen terkait transaksi Ekspor - 6 - Nasabah kepada Bank Indonesia berdasarkan informasi dari Nasabah, sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penerimaan devisa hasil Ekspor. (2) Bank harus meneruskan dokumen terkait transaksi Ekspor yang diterima dari Nasabah kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penerimaan devisa hasil Ekspor. Pasal 6 (1) Bank wajib menyampaikan Laporan LLD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 setiap bulan secara online selama MPL. (2) Dalam hal Laporan LLD yang telah disampaikan oleh Bank kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak benar dan/atau tidak lengkap, Bank menyampaikan koreksi Laporan LLD secara online selama MPKL. (3) Penyampaian Laporan LLD dan/atau koreksi Laporan LLD yang melampaui MPKL dilakukan secara offline. Pasal 7 (1) Dalam hal terdapat gangguan teknis yang menyebabkan Bank tidak dapat menyampaikan Laporan LLD dan/atau koreksi Laporan LLD secara online sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2), Laporan LLD dan/atau koreksi Laporan LLD dapat disampaikan secara offline. (2) Dalam hal gangguan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terjadi pada hari terakhir penyampaian Laporan LLD, Laporan LLD disampaikan secara online pada hari berikutnya jika gangguan teknis telah dapat diatasi atau secara offline pada hari kerja berikutnya jika gangguan teknis belum dapat diatasi. (3) Dalam hal gangguan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terjadi pada hari terakhir penyampaian koreksi - 7 - Laporan LLD, koreksi Laporan LLD disampaikan secara offline pada hari kerja berikutnya. (4) Dalam hal gangguan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) terjadi di Bank, Bank harus menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Bank Indonesia disertai dengan bukti pendukung terjadinya gangguan teknis. Pasal 8 (1) Bank dinyatakan telah menyampaikan Laporan LLD apabila Laporan LLD telah diterima oleh Bank Indonesia serta memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (2) Bank dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan LLD apabila Laporan LLD disampaikan melampaui MPL sampai dengan akhir bulan. (3) Bank dinyatakan tidak menyampaikan Laporan LLD apabila Laporan LLD tidak disampaikan sampai dengan akhir bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (4) Dalam hal Bank dinyatakan tidak menyampaikan Laporan LLD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Bank tetap wajib menyampaikan Laporan LLD yang belum disampaikan. Pasal 9 (1) Dalam rangka penyampaian Laporan LLD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Bank harus meminta keterangan, data, dan/atau dokumen pendukung kepada Nasabah yang melakukan Kegiatan LLD melalui Bank. (2) Nasabah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memberikan keterangan, data, dan/atau dokumen pendukung kepada Bank sesuai dengan permintaan Bank. (3) Nasabah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyampaikan keterangan, data, dan/atau dokumen pendukung kepada Bank dengan benar. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai keterangan, data, - 8 - dan/atau dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 10 (1) Untuk transaksi LLD berupa transfer dana keluar (outgoing transfer) dalam valuta asing dengan nilai setara di atas USD100,000.00 (seratus ribu dolar Amerika Serikat), Nasabah harus menyampaikan dokumen pendukung kepada Bank. (2) Keharusan penyampaian dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk: a. transaksi yang dilakukan oleh Bank untuk kepentingan Bank itu sendiri; dan b. transaksi yang bertujuan untuk pemindahan simpanan oleh Nasabah yang sama di dalam negeri. (3) Perubahan batasan nilai transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 11 Bank hanya dapat melakukan pengaksepan Perintah Transfer Dana untuk transaksi LLD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) sepanjang dilengkapi dengan dokumen pendukung. Pasal 12 Bank harus meneruskan informasi kepada Bank Indonesia mengenai penyampaian dokumen pendukung untuk transaksi LLD berupa transfer dana keluar (outgoing transfer) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) yang mengakibatkan berkurangnya giro Bank di luar negeri. Pasal 13 (1) Bank harus memiliki sistem dan prosedur perolehan data/informasi dan penyusunan Laporan LLD yang dituangkan dalam suatu pedoman tertulis. - 9 - (2) Bank harus menunjuk petugas dan/atau penanggung jawab untuk menyusun, memverifikasi, dan menyampaikan Laporan LLD kepada Bank Indonesia. BAB III PENELITIAN KEBENARAN LAPORAN Pasal 14 (1) Dalam hal diperlukan, Bank Indonesia dapat melakukan penelitian kebenaran Laporan LLD, dengan cara antara lain: a. meminta penjelasan, bukti, catatan, dan/atau dokumen pendukung kepada Bank; dan/atau b. melakukan pemeriksaan langsung terhadap Bank. (2) Dalam hal diperlukan, Bank Indonesia dapat melakukan penelitian kebenaran keterangan, data, dan/atau dokumen pendukung kepada Nasabah, dengan cara antara lain: a. meminta penjelasan, bukti, catatan, dan/atau dokumen lainnya yang terkait kepada Nasabah; b. melakukan pemeriksaan langsung terhadap Nasabah; dan/atau c. menunjuk pihak lain untuk melakukan penelitian kebenaran dokumen pendukung. Pasal 15 (1) Bank dan/atau Nasabah harus memberikan penjelasan, bukti, catatan, dokumen pendukung, dan/atau dokumen lainnya yang terkait dalam rangka penelitian kebenaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dalam jangka waktu yang ditentukan oleh Bank Indonesia. (2) Dalam hal Bank tidak memberikan penjelasan, bukti, catatan, dan/atau dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1), Bank dinyatakan tidak menyampaikan Laporan LLD dengan benar. (3) Dalam hal Nasabah tidak memberikan penjelasan, bukti, catatan, dan/atau dokumen lainnya yang terkait - 10 - sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), keterangan, data, dan/atau dokumen pendukung yang disampaikan Nasabah kepada Bank dinyatakan tidak benar. BAB IV SANKSI Pasal 16 (1) Bank yang terlambat menyampaikan Laporan LLD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk setiap hari keterlambatan. (2) Bank yang tidak menyampaikan Laporan LLD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). (3) Bank yang dinyatakan tidak menyampaikan Laporan LLD dengan benar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa denda mulai sebesar Rp25.000,00 (dua puluh lima ribu rupiah) untuk setiap rincian baris (field) yang tidak benar dengan denda paling banyak sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). (4) Bank yang melakukan pengaksepan Perintah Transfer Dana untuk transaksi LLD tanpa dilengkapi dokumen pendukung dari Nasabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) untuk setiap Perintah Transfer Dana. Pasal 17 (1) Nasabah yang dinyatakan tidak menyampaikan keterangan, data, dan/atau dokumen pendukung dengan benar kepada Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) dikenakan sanksi administratif berupa teguran - 11 - tertulis dan/atau denda sebesar 0,25% (nol koma dua puluh lima persen) dari nilai transaksi dengan nominal paling banyak sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) untuk setiap Perintah Transfer Dana. (2) Selain dikenakan sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Nasabah yang dinyatakan tidak menyampaikan dokumen pendukung dengan benar kepada Bank dapat dikenakan sanksi administratif berupa pemberitahuan kepada instansi terkait. Pasal 18 (1) Bank atau Nasabah yang telah dikenakan sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dan Pasal 17, dapat diberikan pembebasan sanksi administratif berupa denda. (2) Pembebasan sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan ketentuan: a. Bank atau Nasabah mengajukan permohonan pembebasan sanksi administratif berupa denda; dan b. berdasarkan penelitian Bank Indonesia, Bank atau Nasabah tidak melakukan pelanggaran. (3) Permohonan untuk pembebasan sanksi administratif berupa denda harus disampaikan dalam batas waktu yang ditentukan oleh Bank Indonesia. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai batas waktu tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 19 (1) Pembebanan sanksi administratif berupa denda bagi Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dilakukan dengan cara mendebet rekening giro Bank di Bank Indonesia setelah adanya surat penetapan sanksi administratif berupa denda. - 12 - (2) Pembayaran sanksi administratif berupa denda bagi Nasabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dilakukan dengan cara disetorkan ke Bank Indonesia setelah adanya surat penetapan sanksi administratif berupa denda. BAB V KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 20 (1) Bank yang mengalami keadaan memaksa sehingga menyebabkan keterangan, data, dan/atau dokumen pendukung dalam penyusunan Laporan LLD tidak tersedia, dikecualikan dari kewajiban menyampaikan Laporan LLD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1). (2) Bank yang mengalami keadaan memaksa sehingga menyebabkan terhambatnya penyampaian Laporan LLD, dikecualikan dari kewajiban menyampaikan Laporan LLD dalam batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1). (3) Bank yang mengalami keadaan memaksa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2), harus segera menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Bank Indonesia, dengan disertai penjelasan mengenai keadaan memaksa yang dialami. (4) Pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) berlaku dalam hal Bank memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia untuk tidak menyampaikan Laporan LLD. BAB VI KETENTUAN PENUTUP Pasal 21 Ketentuan lebih lanjut dari Peraturan Bank Indonesia ini diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. - 13 - Pasal 22 Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku: a. Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/21/PBI/2011 tentang Pemantauan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Bank (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5242), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku; dan b. semua ketentuan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/21/PBI/2011 tentang Pemantauan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Bank (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5242), dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Bank Indonesia ini. Pasal 23 (1) Keharusan penyampaian dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 berlaku setelah diterbitkannya ketentuan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia ini. (2) Ketentuan mengenai sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (4) dan Pasal 17, mulai berlaku untuk data PL bulan Maret 2017 yang disampaikan bulan April 2017. Pasal 24 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. - 14 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 29 Juni 2016 GUBERNUR BANK INDONESIA, AGUS D.W. MARTOWARDOJO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 30 Juni 2016 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 129 PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK NDONESIA NOMOR 18/10/PBI/2016 TENTANG PEMANTAUAN KEGIATAN LALU LINTAS DEVISA BANK DAN NASABAH I. UMUM Sebagaimana telah ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar, Bank Indonesia memiliki kewenangan untuk meminta keterangan dan data mengenai Kegiatan LLD yang dilakukan oleh Penduduk, melalui suatu sistem pemantauan LLD yang efektif. Keterangan dan data yang diperoleh melalui sistem pemantauan tersebut diperlukan untuk perumusan dan pelaksanaan kebijakan baik di bidang moneter, makroprudensial perbankan, maupun sistem pembayaran. Di samping itu, keterangan dan data tersebut juga diperlukan untuk penyusunan statistik, yang meliputi statistik neraca pembayaran Indonesia, posisi investasi internasional Indonesia, dan statistik lainnya. Pemanfaatan data dalam sistem pemantauan ini juga digunakan untuk mendukung pelaksanaan ketentuan mengenai penerimaan devisa hasil Ekspor. Saat ini penyampaian dokumen pendukung untuk Kegiatan LLD melalui Bank hanya diberlakukan untuk transaksi terkait Ekspor. Guna mendorong transparansi dan meningkatkan ketersediaan informasi Kegiatan LLD maka perlu diatur kembali mengenai penyampaian keterangan dan data, termasuk dokumen pendukungnya oleh Nasabah kepada Bank. - 2 - II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Yang dimaksud dengan laporan yang “benar” adalah laporan yang memuat keterangan dan data Kegiatan LLD sesuai dengan informasi dari Nasabah dan/atau dokumen pendukungnya. Yang dimaksud dengan laporan yang “tepat waktu” adalah laporan yang disampaikan dalam MPL yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, telah diterima oleh Bank Indonesia, dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Ayat (2) Yang dimaksud dengan laporan yang “lengkap” adalah laporan yang memuat keterangan dan data seluruh Kegiatan LLD, serta telah memenuhi rincian cakupan laporan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Pasal 3 Ayat (1) Dalam hal tidak terdapat Kegiatan LLD, Bank menyampaikan Laporan LLD nihil kepada Bank Indonesia. Ayat (2) Transaksi Bank dan/atau Nasabah yang memengaruhi AFLN Bank dan/atau KFLN Bank, meliputi antara lain : a. penerimaan dari dan pembayaran ke luar negeri baik dalam Rupiah maupun valuta asing; b. penerimaan dari dan pembayaran kepada bukan Penduduk di dalam negeri baik dalam Rupiah maupun valuta asing; dan/atau c. penerimaan dan pembayaran di dalam negeri antar Penduduk dalam valuta asing. Dalam hal bank bertindak selaku Nasabah dari Bank lain, transaksi bank dimaksud dikategorikan sebagai transaksi Nasabah. Dalam hal tidak terdapat transaksi Bank dan/atau Nasabah yang - 3 - memengaruhi AFLN Bank dan/atau KFLN Bank, Bank menyampaikan Laporan Transaksi nihil. Ayat (3) Posisi dan mutasi dari setiap rekening AFLN Bank dan/atau KFLN Bank dipengaruhi oleh transaksi yang dilakukan baik oleh Bank maupun Nasabah. Dalam hal bank bertindak selaku Nasabah dari Bank lain, transaksi bank dimaksud dikategorikan sebagai transaksi Nasabah. Dalam hal tidak terdapat posisi dan mutasi dari setiap rekening AFLN Bank dan/atau KFLN Bank sebagai akibat dari transaksi yang dilakukan oleh Bank dan/atau Nasabah, Bank menyampaikan Laporan Posisi nihil. Ayat (4) Dalam hal tidak terdapat informasi transaksi terkait Ekspor Nasabah, Bank menyampaikan laporan pendukung nihil. Pasal 4 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan jenis rekening adalah jenis AFLN Bank atau KFLN Bank yang dipengaruhi oleh transaksi Bank dan/atau transaksi Nasabah. Dalam hal bank bertindak selaku Nasabah dari Bank lain, transaksi bank dimaksud dikategorikan sebagai transaksi Nasabah. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 5 Ayat (1) Rincian transaksi terkait Ekspor meliputi keterangan dan data antara lain: a. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP); b. nomor pendaftaran Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB); c. tanggal pendaftaran Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB); - 4 - dan d. nilai rincian Ekspor. Dokumen terkait transaksi Ekspor Nasabah meliputi dokumen pendukung yang disampaikan Nasabah, antara lain dokumen Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB), faktur penjualan, dan perjanjian terkait transaksi Ekspor. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 6 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “secara online” adalah menyampaikan Laporan LLD kepada Bank Indonesia melalui jaringan khusus ekstranet Bank Indonesia. Laporan LLD secara online dapat disampaikan pada hari Sabtu, hari Minggu, hari libur, dan cuti bersama yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Ayat (2) Koreksi Laporan LLD secara online dapat disampaikan pada hari Sabtu, hari Minggu, hari libur, dan cuti bersama yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Ayat (3) Yang dimaksud “secara offline” adalah menyampaikan Laporan LLD kepada Bank Indonesia dengan menggunakan media elektronik antara lain compact disk, flash disk, atau e-mail. Pasal 7 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “gangguan teknis” adalah gangguan yang terjadi di Bank Indonesia dan/atau Bank, yang meliputi antara lain gangguan jaringan dan/atau komunikasi, namun tidak termasuk gangguan pada sistem penyusunan Laporan LLD di Bank. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. - 5 - Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Keterangan dan data dimaksud antara lain meliputi nilai dan jenis transaksi, tujuan atau maksud transaksi, pelaku transaksi, dan negara tujuan atau asal pelaku transaksi. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 10 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “transfer dana” adalah transfer dana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai transfer dana. Dokumen pendukung antara lain berupa dokumen yang mendasari adanya kegiatan transaksi (underlying transaction) transfer dana keluar (outgoing transfer) dalam valuta asing. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. - 6 - Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Termasuk sebagai dokumen lainnya yang terkait antara lain laporan keuangan dan daftar mutasi rekening koran (bank statement). Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “hari” adalah hari kalender. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. - 7 - Ayat (3) Bank Indonesia tidak akan memproses pengajuan permohonan untuk pembebasan sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang disampaikan setelah berakhirnya batas waktu yang ditentukan. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “keadaan memaksa” adalah keadaan yang berada di luar kendali Bank dan secara nyata dialami Bank yang disebabkan antara lain karena kebakaran, kerusuhan massa, pemogokan pekerja, terorisme, bom, perang, sabotase, serta bencana alam seperti gempa bumi dan banjir, yang dibenarkan oleh penguasa atau pejabat dari instansi terkait di daerah setempat, termasuk Bank Indonesia. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 21 Hal-hal yang diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia antara lain: a. prosedur dan tata cara penyampaian Laporan LLD, termasuk dokumen pendukungnya; dan b. prosedur dan tata cara pengenaan sanksi. Pasal 22 Cukup jelas. - 8 - Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5897 "," PBI 18/10/PBI/2016 PEMANTAUAN KEGIATAN LALU LINTAS DEVISA BANK DAN NASABAH 29 Juni 2016 30 Juni 2016 30 Juni 2016 '13/21/PBI/2011' '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '3/UU/2011', '24/UU/1999' 'BAB IV' " " PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 10/ 25 /PBI/2008 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 10/19/PBI/2008 TENTANG GIRO WAJIB MINIMUM BANK UMUM PADA BANK INDONESIA DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dampak gejolak ekonomi dan keuangan global semakin berpotensi mengurangi kecukupan likuiditas perbankan baik dalam rupiah maupun valuta asing; b. bahwa untuk mengatasi dampak tersebut dan meminimalkan risiko yang dapat mempengaruhi stabilitas sistem perbankan, Bank Indonesia memandang perlu untuk memberikan fleksibilitas pengaturan likuiditas; c. bahwa pengaturan likuiditas perbankan antara lain dilakukan melalui penetapan giro wajib minimum; d. bahwa sehubungan dengan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c, dipandang perlu untuk mengubah ketentuan mengenai giro wajib minimum pada Bank Indonesia dalam rupiah dan valuta asing dalam Peraturan Bank Indonesia; Mengingat: … - 2 - Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357); M E M U T U S K A N: Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 10/19/PBI/2008 TENTANG GIRO WAJIB MINIMUM BANK UMUM PADA BANK INDONESIA DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING. Pasal I Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/19/PBI/2008 tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum pada Bank Indonesia dalam Rupiah dan … - 3 - dan Valuta Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 145, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4904) diubah sebagai berikut: 1. Ketentuan Pasal 1 diubah dan ditambah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 1 1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, termasuk kantor cabang bank asing, yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional. 2. Bank Devisa adalah Bank yang memperoleh surat penunjukan dari Bank Indonesia untuk dapat melakukan kegiatan usaha perbankan dalam valuta asing. 3. Dana Pihak Ketiga Bank, untuk selanjutnya disebut DPK, adalah kewajiban Bank kepada penduduk dan bukan penduduk dalam rupiah dan valuta asing. 4. Rekening Giro adalah rekening pihak eksternal tertentu di Bank Indonesia yang merupakan sarana bagi penatausahaan transaksi dari simpanan yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat. 5. Rekening Giro dalam Rupiah, yang untuk selanjutnya disebut Rekening Giro Rupiah, adalah Rekening Giro dalam mata uang rupiah yang penarikannya dapat dilakukan dengan menggunakan cek Bank Indonesia, bilyet giro Bank Indonesia, atau sarana lainnya sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku mengenai hubungan rekening giro antara Bank Indonesia dengan pihak ekstern. 6. Rekening … - 4 - 6. Rekening Giro dalam valuta asing, yang untuk selanjutnya disebut Rekening Giro Valas, adalah Rekening Giro dalam valuta asing yang penarikannya dapat dilakukan dengan cara pemindahbukuan atau sarana lainnya sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku mengenai hubungan rekening giro antara Bank Indonesia dengan pihak ekstern. 7. Giro Wajib Minimum yang untuk selanjutnya disebut GWM, adalah jumlah dana minimum yang wajib dipelihara oleh Bank yang besarnya ditetapkan oleh Bank Indonesia sebesar persentase tertentu dari DPK. 8. GWM Utama adalah simpanan minimum yang wajib dipelihara oleh Bank dalam bentuk saldo Rekening Giro pada Bank Indonesia yang besarnya ditetapkan oleh Bank Indonesia sebesar persentase tertentu dari DPK. 9. GWM Sekunder adalah cadangan minimum yang wajib dipelihara oleh Bank berupa SBI, SUN dan/atau Excess Reserve, yang besarnya ditetapkan oleh Bank Indonesia sebesar persentase tertentu dari DPK. 10. Jakarta Interbank Offered Rate, yang untuk selanjutnya disebut JIBOR, adalah suku bunga antar bank untuk berbagai jangka waktu yang ditawarkan oleh bank-bank tertentu di Jakarta. 11. Sertifikat Bank Indonesia yang untuk selanjutnya disebut SBI adalah surat berharga dalam mata uang rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek. 12. Surat Utang Negara yang untuk selanjutnya disebut SUN adalah surat pengakuan utang dalam mata uang rupiah yang diterbitkan oleh Pemerintah Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara. 13. Excess … - 5 - 13. Excess Reserve adalah kelebihan saldo Rekening Giro Rupiah Bank dari GWM Utama yang dipelihara di Bank Indonesia. 2. Ketentuan Pasal 2 ditambah 1 (satu) ayat, yakni ayat (3) sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 2 (1) Bank wajib memenuhi GWM dalam rupiah. (2) Bank Devisa selain wajib memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga wajib memenuhi GWM dalam valuta asing. (3) GWM dalam rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari GWM Utama dan GWM Sekunder. 3. Diantara Pasal 4 dan Pasal 5 disisipkan 1 (satu) Pasal, yakni Pasal 4A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 4A (1) Pemenuhan GWM dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dilakukan sebagai berikut: a. GWM Utama dalam rupiah sebesar 5% (lima persen) dari DPK dalam rupiah; dan b. GWM Sekunder dalam rupiah sebesar 2,5% (dua koma lima persen) dari DPK dalam rupiah. (2) Tata cara pemenuhan GWM Sekunder dalam rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b akan diatur lebih lanjut dengan Surat Edaran Bank Indonesia. 4. Ketentuan … - 6 - 4. Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 5 Persentase GWM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 4A dapat disesuaikan dari waktu ke waktu dengan mempertimbangkan kondisi perekonomian dan arah kebijakan Bank Indonesia. 5. Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 7 (1) Bank wajib memenuhi GWM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 4A secara harian. (2) Pemenuhan GWM dalam valuta asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan pemenuhan GWM Utama dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4A ayat (1) huruf a dihitung dengan membandingkan saldo Rekening Giro Bank pada Bank Indonesia setiap akhir hari dalam 1 (satu) masa laporan terhadap rata-rata harian jumlah DPK dalam 1(satu) masa laporan pada 2 (dua) masa laporan sebelumnya. (3) Pemenuhan GWM Sekunder dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4A ayat (1) huruf b dihitung dengan membandingkan jumlah SBI, SUN dan/atau Excess Reserve setiap akhir hari dalam 1 (satu) masa laporan terhadap rata-rata harian jumlah DPK dalam 1 (satu) masa laporan pada 2 (dua) masa laporan sebelumnya. (4) DPK dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan DPK dalam valuta asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 diperoleh dari Laporan DPK dalam Rupiah dan Valuta Asing pada Laporan Berkala Bank Umum sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia mengenai laporan berkala bank umum. 6. Ketentuan … - 7 - 6. Ketentuan Pasal 9 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 9 (1) DPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 4A terdiri dari: a. b. rata-rata harian total DPK dalam rupiah pada seluruh kantor Bank di Indonesia; rata-rata harian total DPK dalam valuta asing pada seluruh kantor Bank di Indonesia. (2) DPK dalam rupiah meliputi kewajiban dalam rupiah kepada pihak ketiga bukan bank, baik kepada penduduk maupun bukan penduduk, yang terdiri dari: a. giro; b. tabungan; c. simpanan berjangka/deposito; dan d. kewajiban-kewajiban lainnya. (3) DPK dalam valuta asing meliputi kewajiban dalam valuta asing kepada pihak ketiga, termasuk bank di Indonesia, baik kepada penduduk maupun bukan penduduk, yang terdiri dari: a. giro; b. tabungan; c. simpanan berjangka/deposito; dan d. kewajiban-kewajiban lainnya. 7. Pasal 11 dan Pasal 12 dihapus. 8. Pasal … - 8 - 8. Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 13 (1) Bank yang melanggar kewajiban pemenuhan GWM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4A ayat (1) dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar 125% (seratus dua puluh lima persen) dari rata-rata suku bunga jangka waktu 1 (satu) hari overnight dari JIBOR pada hari terjadinya pelanggaran, terhadap kekurangan GWM dalam rupiah, untuk setiap hari pelanggaran. (2) Bank yang melanggar kewajiban pemenuhan GWM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar 0,04% (nol koma nol empat persen) per hari kerja, yang dihitung dari selisih antara saldo harian Rekening Giro Valas Bank pada Bank Indonesia yang wajib dipenuhi dengan saldo harian Rekening Giro Valas Bank yang dicatat pada sistem akunting Bank Indonesia. (3) Sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibayarkan dalam valuta rupiah dengan menggunakan kurs transaksi Bank Indonesia pada hari terjadinya pelanggaran. (4) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan bagi Bank yang mendapatkan insentif kelonggaran pemenuhan kewajiban GWM dalam rupiah sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai insentif dalam rangka konsolidasi perbankan. 9. Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 14 Selain dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Bank yang tidak … - 9 - tidak memenuhi kewajiban GWM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, dan/atau Pasal 4A dapat dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998. 10. Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 15 (1) Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dilaksanakan dengan mendebet Rekening Giro Rupiah Bank pada Bank Indonesia. (2) Pendebetan Rekening Giro Rupiah Bank dalam rangka pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lambat pada 3 (tiga) hari kerja berikutnya setelah tanggal terjadinya pelanggaran GWM. (3) Dalam hal dikemudian hari diketahui terjadi kekurangan atau kelebihan dalam pendebetan yang terkait dengan pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia dapat langsung mendebet atau mengkredit Rekening Giro Bank yang bersangkutan sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai Sistem Bank Indonesia Real Time Gross Settlement. (4) Dalam hal saldo Rekening Giro Rupiah Bank tidak mencukupi untuk pendebetan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maka atas kekurangan tersebut juga dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1). 11. Diantara … - 10 - 11. Diantara Pasal 15 dan Pasal 16 disisipkan 2 (dua) Pasal, yakni Pasal 15A dan Pasal 15B sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 15A GWM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 4A dipenuhi sebagai berikut: a. Pemenuhan GWM Utama dalam rupiah mulai berlaku pada tanggal 24 Oktober 2008. b. Pemenuhan GWM Sekunder dalam rupiah mulai berlaku pada tanggal 24 Oktober 2009. Pasal 15B Sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) dan Pasal 14 dikenakan sebagai berikut: a. Untuk pelanggaran kewajiban pemenuhan GWM Utama dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4A ayat (1) huruf a dikenakan sejak tanggal 24 Oktober 2008. b. Untuk pelanggaran kewajiban pemenuhan GWM Sekunder dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4A ayat (1) huruf b dikenakan sejak tanggal 24 Oktober 2009. 12. Diantara Pasal 16 dan Pasal 17 disisipkan 1 (satu) Pasal, yakni Pasal 16A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 16A Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini maka Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 10/33/DPNP tanggal 15 Oktober 2008 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal II … - 11 - Pasal II Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 24 Oktober 2008. Agar setiap orang mengetahuinya memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 23 Oktober 2008 GUBERNUR BANK INDONESIA, BOEDIONO Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 23 Oktober 2008 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA ANDI MATTALATTA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 159 DPNP/DKM PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 10/ 25 /PBI/2008 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 10/19/PBI/2008 TENTANG GIRO WAJIB MINIMUM BANK UMUM PADA BANK INDONESIA DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING I. UMUM Terciptanya stabilitas moneter merupakan hal yang sangat diperlukan dalam rangka mewujudkan kondisi perekonomian yang stabil. Untuk menciptakan stabilitas moneter diperlukan langkah-langkah untuk mengatasi krisis ekonomi dan keuangan global yang berpotensi menimbulkan kekurangan likuiditas perbankan. Salah satu pendekatan yang dapat digunakan oleh Bank Indonesia untuk mencapai stabilitas moneter adalah melalui pengaturan likuiditas perbankan. Dalam melakukan pengaturan likuiditas perbankan, salah satu piranti moneter yang dapat digunakan adalah melalui penetapan kebijakan giro wajib minimum yang merupakan perbandingan antara saldo giro Bank yang wajib ditempatkan pada Bank Indonesia ditambah cadangan minimum yang wajib dipelihara oleh Bank berupa SBI, SUN dan/atau Excess Reserve terhadap dana pihak ketiga yang dimiliki Bank. Sejalan … - 2 - Sejalan dengan hal tersebut di atas, dengan mempertimbangkan kondisi perekonomian, kondisi likuiditas perbankan dewasa ini, dan arah kebijakan Bank Indonesia dipandang perlu untuk mengatur kembali ketentuan mengenai giro wajib minimum sesuai dengan kondisi likuiditas perbankan. Selanjutnya, mengingat perkembangan kondisi perekonomian yang dinamis maka penerapan kebijakan giro wajib minimum dapat disesuaikan dari waktu ke waktu sejalan dengan arah kebijakan Bank Indonesia. II. PASAL DEMI PASAL Pasal I Angka 1 Pasal 1 Cukup jelas. Angka 2 Pasal 2 Cukup jelas. Angka 3 Pasal 4A Ayat (1) Contoh perhitungan GWM dalam rupiah: Bank memiliki rata-rata harian total DPK dalam rupiah sebesar Rp55.000.000.000.000,00 (lima puluh lima trilyun rupiah). GWM dalam rupiah yang wajib dipenuhi adalah sebagai berikut: 7,5% … - 3 - 7,5% x Rp55.000.000.000.000,00 = Rp4.125.000.000.000,00 (empat trilyun seratus dua puluh lima milyar rupiah). Pemenuhan GWM dalam rupiah sebesar Rp4.125.000.000.000,00 (empat trilyun seratus dua puluh lima milyar rupiah) dilakukan dengan: a. GWM Utama dalam rupiah sebesar 5% dari DPK dalam rupiah, yaitu sebesar Rp2.750.000.000.000,00 (dua trilyun tujuh ratus lima puluh milyar rupiah); dan b. GWM Sekunder dalam rupiah sebesar 2,5% dari DPK dalam rupiah yaitu Rp1.375.000.000.000,00 (satu trilyun tiga ratus tujuh puluh lima milyar rupiah). Ayat (2) Cukup Jelas Angka 4 Pasal 5 Cukup Jelas. Angka 5 Pasal 7 Ayat (1) Perhitungan secara harian dilakukan berdasarkan posisi akhir hari. Ayat (2) Formula perhitungan persentase GWM Utama dalam rupiah dan GWM dalam valuta asing adalah sebagai berikut: Jumlah … - 4 - Jumlah harian saldo Rekening Giro Bank yang tercatat di Bank Indonesia setiap hari dalam 1 (satu) masa laporan x 100% Rata-rata harian jumlah DPK Bank dalam 1 (satu) masa laporan pada 2 (dua) masa laporan sebelumnya Persentase GWM Utama dalam rupiah atau GWM dalam valuta asing didasarkan pada DPK Bank sebagai berikut: a. GWM harian untuk masa laporan sejak tanggal 1 sampai dengan tanggal 7 adalah sebesar persentase GWM yang ditetapkan dari rata-rata harian jumlah DPK dalam masa laporan sejak tanggal 16 sampai dengan tanggal 23 bulan sebelumnya; b. GWM harian untuk masa laporan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 adalah persentase GWM yang ditetapkan dari rata-rata harian jumlah DPK dalam masa laporan sejak tanggal 24 sampai dengan akhir bulan sebelumnya; c. GWM harian untuk masa laporan sejak tanggal 16 sampai dengan tanggal 23 adalah sebesar persentase GWM yang ditetapkan dari rata-rata harian jumlah DPK dalam masa laporan sejak tanggal 1 sampai dengan tanggal 7 bulan yang sama; d. GWM harian untuk masa laporan sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan adalah sebesar persentase GWM yang ditetapkan dari rata-rata harian jumlah DPK dalam masa laporan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 bulan yang sama. Ayat (3) … - 5 - Ayat (3) Cukup Jelas. Ayat (4) Cukup Jelas. Angka 6 Pasal 9 Ayat (1) Bagi Bank umum konvensional yang juga melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, dalam menentukan DPK dalam rupiah dan DPK dalam valuta asing tidak termasuk DPK yang dilaporkan unit usaha syariah. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan giro dalam rupiah adalah komponen giro sebagaimana dimaksud dalam penjelasan komponen Dana Pihak Ketiga dalam Rupiah dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai laporan berkala bank umum. Huruf b Yang dimaksud dengan tabungan dalam rupiah adalah komponen tabungan sebagaimana dimaksud dalam penjelasan komponen Dana Pihak Ketiga dalam Rupiah dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai laporan berkala bank umum. Huruf c … - 6 - Huruf c Yang dimaksud dengan simpanan berjangka/deposito dalam rupiah adalah komponen simpanan berjangka sebagaimana dimaksud dalam penjelasan komponen Dana Pihak Ketiga dalam Rupiah dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai laporan berkala bank umum. Huruf d Yang dimaksud dengan kewajiban- kewajiban lainnya dalam rupiah adalah kewajiban-kewajiban lainnya kepada pihak ketiga bukan bank sebagaimana dimaksud dalam penjelasan komponen Dana Pihak Ketiga dalam Rupiah dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai laporan berkala bank umum. Ayat (3) Huruf a Yang dimaksud dengan giro dalam valuta asing adalah komponen giro sebagaimana dimaksud dalam penjelasan komponen Dana Pihak Ketiga dalam Valuta Asing dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai laporan berkala bank umum. Huruf b Yang dimaksud dengan tabungan dalam valuta asing adalah komponen tabungan sebagaimana dimaksud dalam penjelasan komponen Dana Pihak Ketiga dalam Valuta Asing dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai laporan berkala bank umum. Huruf c … - 7 - Huruf c Yang dimaksud dengan simpanan berjangka/deposito dalam valuta asing adalah komponen simpanan berjangka sebagaimana dimaksud dalam penjelasan komponen Dana Pihak Ketiga dalam Valuta Asing dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai laporan berkala bank umum Huruf d Yang dimaksud dengan kewajiban-kewajiban lainnya dalam valuta asing adalah kewajiban-kewajiban lainnya kepada pihak ketiga termasuk bank sebagaimana dimaksud dalam penjelasan komponen Dana Pihak Ketiga dalam Valuta Asing dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai laporan berkala bank umum Angka 7 Cukup Jelas. Angka 8 Pasal 13 Ayat (1) Yang dimaksud dengan hari pelanggaran adalah hari kerja. Contoh perhitungan sanksi: Bank A memiliki rata-rata harian DPK dalam rupiah dalam masa laporan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 bulan Januari sebesar Rp55.000.000.000.000,00 (lima puluh lima trilyun rupiah). GWM … - 8 - GWM harian yang wajib dipenuhi untuk masa laporan sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan Januari adalah sebesar: a. GWM Utama dalam rupiah sebesar 5% (lima persen) dari Rp55.000.000.000.000,00 (lima puluh lima trilyun rupiah) yaitu sebesar Rp2.750.000.000.000,00 (dua trilyun tujuh ratus lima puluh milyar rupiah). b. GWM Sekunder dalam rupiah sebesar 2,5% (dua koma lima persen) dari Rp55.000.000.000.000,00 (lima puluh lima trilyun rupiah) yaitu sebesar Rp1.375.000.000.000,00 (satu trilyun tiga ratus tujuh puluh lima milyar rupiah). Saldo Rekening Giro Rupiah Bank A pada Bank Indonesia pada tanggal 24 Januari adalah sebesar Rp2.000.000.000.000,00, (dua trilyun rupiah) dan Bank memiliki SBI dan SUN sebesar Rp1.000.000.000.000,00 (satu trilyun rupiah) sehingga terdapat kekurangan pemenuhan GWM sebesar Rp1.125.000.000.000,00 (satu trilyun seratus dua puluh lima milyar rupiah) yaitu terdiri dari kekurangan pemenuhan GWM Utama sebesar Rp750.000.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh milyar rupiah) dan kekurangan pemenuhan GWM Sekunder sebesar Rp375.000.000.000,00 (tiga ratus tujuh puluh lima milyar rupiah). Suku Bunga JIBOR pada tanggal 24 Januari adalah sebesar 9% (sembilan persen). Perhitungan … - 9 - Perhitungan sanksi kewajiban membayar atas pelanggaran GWM rupiah untuk Bank A pada tanggal 24 Januari adalah sebagai berikut: Kekurangan GWM x 125% x suku bunga JIBOR x hari kerja 360 x 100 yaitu Rp1.125.000.000.000,00 x 1,25 x 9 x 1 360 x 100 Ayat (2) Contoh perhitungan: Bank A memiliki rata-rata harian total DPK dalam valuta asing dalam masa laporan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 bulan Januari sebesar USD100.000.000,00 (seratus juta US dollar). GWM harian untuk masa laporan sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan Januari adalah sebesar : 1% x USD100.000.000,00 = USD1.000.000,00 (satu juta US dollar) Saldo Rekening Giro Valas Bank A pada Bank Indonesia pada tanggal 24 Januari adalah sebesar USD900.000,00 (sembilan ratus ribu US dollar) sehingga terdapat kekurangan pemenuhan GWM sebesar USD100.000,00 (seratus ribu US dollar). Perhitungan sanksi kewajiban membayar atas pelanggaran GWM dalam valuta asing untuk Bank A pada tanggal 24 Januari adalah sebagai berikut: 0.04% x (USD1.000.000,00 – USD900.000,00) = USD40,00 (empat puluh US dollar) Ayat (3) … - 10 - Ayat (3) Yang dimaksud dengan kurs transaksi adalah kurs jual ditambah dengan kurs beli dibagi dua. Dengan sanksi kewajiban membayar sebesar USD40,00 (empat puluh US dollar) sebagaimana contoh perhitungan pada penjelasan ayat (2) dan asumsi kurs transaksi Bank Indonesia pada hari terjadinya pelanggaran adalah Rp9.700,00/USD (sembilan ribu tujuh ratus rupiah per US dollar), maka sanksi kewajiban membayar yang harus dibayarkan adalah sebesar: 40 x Rp9.700,00 = Rp388.000,00 (tiga ratus delapan puluh delapan ribu rupiah). Ayat (4) Sesuai ketentuan Bank Indonesia mengenai insentif dalam rangka konsolidasi perbankan, penurunan pemenuhan GWM dalam rupiah bagi Bank yang melakukan merger atau konsolidasi dikecualikan dari pengenaan sanksi apabila GWM dalam rupiah yang dimiliki tidak kurang dari 4% (empat persen) dari DPK dalam rupiah sejak 24 Oktober 2008 dan tidak kurang dari 6,5% (enam koma lima persen) dari DPK dalam rupiah sejak 24 Oktober 2009. Angka 9 Pasal 14 Cukup Jelas Angka 10 … - 11 - Angka 10 Pasal 15 Ayat (1) Cukup Jelas Ayat (2) Dalam hal tanggal pendebetan Rekening Giro Bank jatuh pada hari libur, maka pendebetan dilakukan oleh Bank Indonesia pada hari kerja berikutnya. Contoh: Bank A memiliki rata-rata harian total DPK dalam rupiah dalam masa laporan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 bulan Januari sebesar Rp55.000.000.000.000,00 (lima puluh lima trilyun rupiah). GWM harian yang wajib dipelihara untuk masa laporan sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan Januari adalah sebesar : a. GWM Utama sebesar 5% (lima persen) dari Rp55.000.000.000.000,00 (lima puluh lima trilyun rupiah) yaitu sebesar Rp2.750.000.000.000,00 (dua trilyun tujuh ratus lima puluh milyar rupiah). b. GWM Sekunder sebesar 2,5% dari Rp55.000.000.000.000,00 (lima puluh lima trilyun rupiah) yaitu sebesar Rp1.375.000.000.000,00 (satu trilyun tiga ratus tujuh puluh lima milyar rupiah). Saldo … - 12 - Saldo Rekening Giro Rupiah Bank A pada Bank Indonesia pada tanggal 24 Januari adalah sebesar Rp2.000.000.000.000,00, (dua trilyun rupiah) dan Bank A memiliki SBI dan SUN sebesar Rp1.000.000.000.000,00 (satu trilyun rupiah) sehingga terdapat kekurangan pemenuhan GWM sebesar Rp1.125.000.000.000,00 (satu trilyun seratus dua puluh lima milyar rupiah) yaitu terdiri dari kekurangan pemenuhan GWM Utama dalam Rupiah sebesar Rp750.000.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh milyar rupiah) dan kekurangan pemenuhan GWM Sekunder dalam rupiah sebesar Rp375.000.000.000,00 (tiga ratus tujuh puluh lima milyar rupiah). Pembebanan sanksi atas kekurangan ini dibebankan paling lambat 3 (tiga) hari kerja dan apabila diasumsikan tanggal 25 Januari adalah hari libur maka sanksi dibebankan paling lambat pada tanggal 28 Januari. Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Contoh perhitungan sanksi: Bank A memiliki rata-rata harian DPK dalam rupiah dalam masa laporan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 bulan Januari sebesar Rp55.000.000.000.000,00 (lima puluh lima trilyun rupiah). Berdasarkan data tersebut, GWM harian untuk masa laporan sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan Januari adalah sebesar: a. GWM … - 13 - a. GWM Utama sebesar 5% (lima persen) dari Rp55.000.000.000.000,00 (lima puluh lima trilyun rupiah) yaitu sebesar Rp2.750.000.000.000,00 (dua trilyun tujuh ratus lima puluh milyar rupiah). b. GWM Sekunder sebesar 2,5% dari Rp55.000.000.000.000,00 (lima puluh lima trilyun rupiah) yaitu sebesar Rp1.375.000.000.000,00 (satu trilyun tiga ratus tujuh puluh lima milyar rupiah). Saldo Rekening Giro Rupiah Bank A pada Bank Indonesia pada tanggal 24 Januari adalah sebesar Rp1.000.000.000,00, (satu milyar rupiah) dan Bank tidak memiliki SBI dan SUN sehingga terdapat kekurangan pemenuhan GWM sebesar Rp4.124.000.000.000,00 (empat trilyun seratus dua puluh empat milyar rupiah) yaitu terdiri dari kekurangan pemenuhan GWM Utama sebesar Rp2.749.000.000.000,00 (dua trilyun tujuh ratus empat puluh sembilan milyar rupiah) dan kekurangan pemenuhan GWM Sekunder sebesar Rp1.375.000.000.000,00 (satu trilyun tiga ratus tujuh puluh lima milyar rupiah). Suku Bunga JIBOR pada tanggal 24 Januari adalah sebesar 9% (sembilan persen). Perhitungan sanksi kewajiban membayar atas pelanggaran GWM rupiah untuk Bank A pada tanggal 24 Januari adalah sebagai berikut: Kekurangan … - 14 - Kekurangan GWM x 125% x suku bunga JIBOR x hari kerja 360 x 100 yaitu Rp4.124.000.000.000,00 x 1,25 x 9 x 1 360 x 100 yaitu sebesar Rp1.288.750.000,00 (satu milyar dua ratus delapan puluh delapan juta tujuh ratus lima puluh ribu rupiah). Untuk pendebetan sanksi tersebut terdapat kekurangan saldo Rekening Giro Rupiah Bank sebesar Rp288.750.000,00 (Rp1.000.000.000,00 – Rp1.288.750.000,00). Untuk kekurangan saldo Rekening Giro Rupiah Bank sebesar Rp288.750.000,00 tersebut dikenakan sanksi sebesar: Kekurangan Saldo x 125% x suku bunga JIBOR x hari kerja 360 x 100 yaitu Rp288.750.000,00 x 1,25 x 9 x 1 360 x 100 Angka 11 Pasal 15A Cukup Jelas. Pasal 15B Cukup Jelas. Angka 12 Pasal 16A Cukup jelas. Pasal II … - 15 - Pasal II Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 4911 "," PBI 10/25/PBI/2008 PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 10/19/PBI/2008 TENTANG GIRO WAJIB MINIMUM BANK UMUM PADA BANK INDONESIA DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING 23 Oktober 2008 24 Oktober 2008 23 Oktober 2008 '10/19/PBI/2008' '10/33/DPNP|SE-BI/2008' '23/UU/1999', '3/UU/2004', '7/UU/1992', '10/UU/1998' 'Pasal I Angka 8 Pasal 13', 'Pasal I Angka 9 Pasal 14', 'Pasal I Angka 11 Pasal 15B' " " PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 6/33/PBI/2004 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 4/9/PBI/2002 TENTANG OPERASI PASAR TERBUKA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk lebih meningkatkan efektifitas pelaksanaan kegiatan operasi pasar terbuka, Bank Indonesia perlu memperkaya instrumen operasi pasar terbuka; b. bahwa berdasarkan hal tersebut di atas dipandang perlu untuk melakukan perubahan kedua terhadap Peraturan Bank Indonesia Nomor 4/9/PBI/2002 tentang Operasi Pasar Terbuka; Mengingat : Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357); MEMUTUSKAN: … -2- MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 4/9/PBI/2002 TENTANG OPERASI PASAR TERBUKA. Pasal I Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia No. 4/9/PBI/2002 tentang Operasi Pasar Terbuka sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia No. 6/4/PBI/2004, diubah sebagai berikut: 1. Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut: “Pasal 4 OPT dilakukan melalui kegiatan: a. penerbitan SBI; b. jual beli surat berharga dalam Rupiah yang meliputi SBI, Surat Utang Negara dan surat berharga lain yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan; c. penyediaan Fasilitas Simpanan Bank Indonesia dalam Rupiah (FASBI); d. jual beli valuta asing terhadap Rupiah; e. fine tune operation (FTO).” 2. Di antara Pasal 4 dan Pasal 5 disisipkan 1 (satu) pasal baru menjadi Pasal 4A yang berbunyi sebagai berikut: “Pasal 4A … -3- “Pasal 4A (1) Bank Indonesia melakukan kegiatan FTO sewaktu-waktu apabila diperlukan untuk mempengaruhi likuiditas perbankan secara jangka pendek, yang terdiri dari: a. Transaksi Fine Tune Kontraksi (FTK) dengan cara penempatan dana oleh Bank di Bank Indonesia atau penjualan secara bersyarat surat berharga milik Bank Indonesia. b. Transaksi Fine Tune Ekspansi (FTE) dengan cara pembelian secara bersyarat surat berharga milik Bank oleh Bank Indonesia. (2) Kegiatan FTO sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan ketentuan: a. Jangka waktu transaksi maksimum 14 (empat belas) hari dihitung dari tanggal penyelesaian transaksi sampai dengan tanggal jatuh waktu. b. Imbalan atas transaksi dapat dihitung dengan rumus diskonto murni (true discount) atau bunga dibayar di belakang (simple interest) sebagai berikut: 1) Diskonto murni : kuantitas transaksi FTO x 360 nilai tunai = -------------------------------------------------------------------- 360 + { (tingkat diskonto FTO) x (jangka waktu FTO) } nilai diskonto = kuantitas transaksi FTO – nilai tunai 2) Bunga … -4- 2) Bunga dibayar di belakang : kuantitas transaksi FTO jatuh waktu x 1 + (suku bunga FTO x jangka waktu FTO) ----------------------------------------------- 360 c. Pengajuan transaksi bersifat final dan tidak dapat dibatalkan. d. Tidak dapat dicairkan sebelum jatuh waktu.” 3. Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut : “Pasal 7 Penyediaan FASBI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. Bank Indonesia menyediakan FASBI setiap saat apabila diperlukan. b. Jangka waktu maksimum 14 (empat belas) hari dihitung dari tanggal penyelesaian transaksi sampai dengan tanggal jatuh waktu. c. Tingkat diskonto dan atau volume ditetapkan oleh Bank Indonesia. d. Nilai diskonto dan nilai tunai transaksi dihitung berdasarkan rumus diskonto murni (true discount) sebagai berikut: nilai nominal x 360 nilai tunai = ------------------------------------------------------- 360 + {(tingkat diskonto) x (jangka waktu)} nilai diskonto = nilai nominal – nilai tunai e. Pengajuan … -5- e. Pengajuan transaksi bersifat final dan tidak dapat dibatalkan. f. Tidak dapat diperdagangkan, tidak dapat diagunkan dan tidak dapat dicairkan sebelum jatuh waktu.” Pasal II Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal 3 Januari 2005. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 31 Desember 2004 GUBERNUR BANK INDONESIA, BURHANUDDIN ABDULLAH LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004 NOMOR 169 DPM PENJELASAN PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 6/33/PBI/2004 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 4/9/PBI/2002 TENTANG OPERASI PASAR TERBUKA PASAL DEMI PASAL Pasal I Angka 1 Cukup jelas Angka 2 Cukup jelas Angka 3 Cukup jelas Pasal II Cukup jelas TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4463 DPM "," PBI 6/33/PBI/2004 PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 4/9/PBI/2002 TENTANG OPERASI PASAR TERBUKA 31 Desember 2004 3 Januari 2005 '4/9/PBI/2002' '6/4/PBI/2004' '3/UU/2004', '23/UU/1999' " " PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 8/24/PBI/2006 TENTANG PENILAIAN KUALITAS AKTIVA BAGI BANK PERKREDITAN RAKYAT BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kelangsungan usaha bank perkreditan rakyat berdasarkan prinsip syariah tergantung dari kemampuan dalam melakukan penanaman dana dengan mempertimbangkan risiko dan prinsip kehati-hatian berupa pemenuhan kualitas aktiva dan penyisihan penghapusan aktiva yang memadai; b. bahwa kewajiban penilaian kualitas aktiva dan pembentukan penyisihan penghapusan aktiva perlu diberlakukan terhadap aktiva produktif dan aktiva non produktif; c. bahwa ketentuan mengenai kualitas aktiva dan pembentukan penyisihan penghapusan aktiva merupakan ketentuan yang saling terkait, sehingga dipandang perlu untuk menyatukan ketentuan tersebut dalam satu pengaturan; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam butir a, butir b, dan butir c maka dipandang perlu untuk melakukan pengaturan kembali terhadap ketentuan tentang kualitas aktiva bagi bank perkreditan … - 2 - perkreditan rakyat berdasarkan prinsip syariah dalam Peraturan Bank Indonesia; Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Republik Indonesia Negara Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No.3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357); M E M U T U S K A N: Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA PENILAIAN KUALITAS AKTIVA BAGI TENTANG BANK PERKREDITAN RAKYAT BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH BAB I … - 3 - BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank Perkreditan Rakyat Syariah yang selanjutnya disebut BPRS adalah Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip Syariah; 2. Aktiva Produktif adalah penanaman dana BPRS dalam Rupiah berdasarkan prinsip Syariah dalam bentuk pembiayaan, Sertifikat Wadiah Bank Indonesia, dan penempatan dana pada bank lain. 3. Aktiva Non Produktif adalah aset BPRS selain Aktiva Produktif yang memiliki potensi kerugian, yaitu dalam bentuk agunan yang diambil alih. 4. Pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berupa: a. transaksi bagi hasil dalam bentuk Mudharabah dan Musyarakah; b. transaksi sewa menyewa dalam bentuk Ijarah atau sewa dengan opsi perpindahan hak milik dalam bentuk Ijarah Muntahiyah bit Tamlik; c. transaksi jual beli dalam bentuk piutang Murabahah, Salam, dan Istishna’; dan d. transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutang Qardh; e. transaksi multijasa dengan menggunakan akad Ijarah atau Kafalah. berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara BPRS dengan pihak lain … - 4 - lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai dan/atau diberi fasilitas dana untuk mengembalikan dana tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan, tanpa imbalan atau bagi hasil. 5. Mudharabah adalah penanaman dana dari pemilik dana (shahibul maal) kepada pengelola dana (mudharib) untuk melakukan kegiatan usaha tertentu, dengan pembagian menggunakan metode bagi untung (profit sharing) atau metode bagi pendapatan (net revenue sharing) antara kedua belah pihak berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya; 6. Musyarakah adalah penanaman dana dari pemilik dana/modal untuk mencampurkan dana/modal mereka pada suatu usaha tertentu, dengan pembagian keuntungan berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya, sedangkan kerugian ditanggung dana/modal berdasarkan bagian dana/modal masing-masing; semua pemilik 7. Murabahah adalah jual beli barang sebesar harga pokok barang ditambah dengan margin keuntungan yang disepakati; 8. Salam adalah jual beli barang dengan cara pemesanan dengan syarat- syarat tertentu dan pembayaran tunai terlebih dahulu secara penuh; 9. Istishna’ adalah jual beli barang dalam bentuk pemesanan pembuatan barang dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati dengan pembayaran sesuai dengan kesepakatan; 10. Ijarah adalah akad sewa menyewa antara pemilik obyek sewa termasuk kepemilikan terhadap hak pakai atas obyek sewa, antara pemilik obyek sewa dan penyewa untuk mendapatkan imbalan atas obyek sewa yang disewakannya. 11. Ijarah Muntahiyah bit Tamlik adalah akad sewa menyewa antara pemilik obyek sewa dan penyewa untuk mendapatkan imbalan atas obyek sewa yang disewakannya dengan opsi perpindahan hak milik obyek … - 5 - obyek sewa baik dengan jual beli atau pemberian (hibah) pada saat tertentu sesuai akad sewa. 12. Qardh adalah pinjam meminjam dana tanpa imbalan dengan kewajiban pihak peminjam mengembalikan pokok pinjaman secara sekaligus atau cicilan dalam jangka waktu tertentu; 13. Penempatan Dana Pada Bank Lain adalah penanaman dana pada Bank Syariah atau BPRS lainnya berdasarkan prinsip Syariah antara lain dalam bentuk bentuk giro dan/atau tabungan Mudharabah dan/atau Wadiah, deposito berjangka dan/atau tabungan Mudharabah, Pembiayaan yang diberikan, dan/atau bentuk-bentuk penempatan lainnya yang dipersamakan dengan itu; 14. Proyeksi Pendapatan (PP) adalah perkiraan pendapatan yang akan diterima BPRS dari nasabah atas pembiayaan yang diberikan dengan jumlah dan tanggal jatuh tempo yang disepakati antara BPRS dan nasabah; 15. Realisasi Pendapatan (RP) adalah pendapatan yang diterima BPRS dari nasabah atas pembiayaan yang diberikan; 16. Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI) adalah sertifikat yang diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai bukti penitipan dana berjangka pendek dengan prinsip Wadiah; 17. Wadiah adalah perjanjian penitipan dana atau barang dari pemilik dana atau barang kepada penyimpan dana atau barang, dengan kewajiban pihak penyimpan untuk mengembalikan titipan dana atau barang tersebut sewaktu-waktu; 18. Agunan yang Diambil Alih yang untuk selanjutnya disebut AYDA adalah aktiva yang diperoleh BPRS, baik melalui pelelangan maupun diluar pelelangan berdasarkan penyerahan secara sukarela oleh pemilik agunan atau berdasarkan kuasa untuk menjual diluar lelang dari pemilik … - 6 - pemilik agunan apabila nasabah telah dinyatakan macet. 19. Penyisihan Penghapusan Aktiva yang untuk selanjutnya disebut PPA adalah cadangan yang harus dibentuk sebesar persentase tertentu berdasarkan kualitas aktiva. 20. Penilai Independen adalah perusahaan penilai yang: a. tidak ada keterkaitan dalam hal kepemilikan, kepengurusan dan keuangan baik dengan BPRS maupun nasabah yang menerima fasilitas; b. melakukan kegiatan penilaian berdasarkan kode etik profesi dan ketentuan-ketentuan lain yang ditetapkan oleh institusi yang berwenang; c. menggunakan metode penilaian berdasarkan standar profesi penilaian yang diterbitkan oleh institusi yang berwenang; d. memiliki izin usaha dari institusi yang berwenang untuk beroperasi sebagai perusahaan penilai; serta e. tercatat sebagai anggota asosiasi yang diakui oleh institusi yang berwenang. 21. Penilaian adalah pernyataan tertulis dari Penilai Independen atau penilai intern BPRS mengenai taksiran dan pendapat atas nilai ekonomis dari agunan berupa aktiva tetap berdasarkan analisis terhadap fakta-fakta objektif dan relevan menurut metode dan prinsip- prinsip yang berlaku umum yang ditetapkan oleh Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (MAPPI); 22. Nilai Pasar Wajar (Market Approach) adalah jumlah uang yang diperkirakan dapat diperoleh dari transaksi jual beli atau hasil penukaran suatu aset pada tanggal penilaian setelah dikurangi biaya- biaya transaksi, pihak penjual dan pembeli sebelumnya tidak mempunyai ikatan, memiliki pengetahuan tentang aset yang diperdagangkan … - 7 - diperdagangkan dan melakukan transaksi tidak dalam keadaan terpaksa; 23. Restrukturisasi Pembiayaan adalah upaya yang dilakukan BPRS dalam rangka membantu nasabah kewajibannya antara lain melalui: a. penjadwalan kembali agar dapat menyelesaikan (rescheduling), yaitu perubahan jadwal pembayaran kewajiban nasabah atau jangka waktunya; b. persyaratan kembali (reconditioning), yaitu perubahan sebagian atau seluruh persyaratan Pembiayaan yang tidak terbatas pada perubahan jadual pembayaran, jangka waktu, dan/atau persyaratan lainnya sepanjang tidak menyangkut perubahan maksimum saldo Pembiayaan; c. penataan kembali (restructuring), yaitu perubahan persyaratan Pembiayaan, yang menyangkut: 1) penambahan dana BPRS; 2) konversi akad Pembiayaan; BAB II KUALITAS AKTIVA Pasal 2 (1) Penyediaan dana BPRS wajib dilaksanakan berdasarkan prinsip kehati-hatian dan memenuhi prinsip syariah. (2) Pengurus BPRS wajib memantau dan mengambil antisipasi agar kualitas Aktiva senantiasa dalam keadaan lancar. Pasal 3 (1) BPRS wajib melakukan penilaian kualitas Aktiva baik terhadap Aktiva Produktif maupun Aktiva Non Produktif. (2) Penilaian … langkah-langkah - 8 - (2) Penilaian kualitas Aktiva sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara bulanan. BAB III AKTIVA PRODUKTIF Bagian Pertama Umum Pasal 4 (1) Kualitas Aktiva Produktif dalam bentuk Pembiayaan ditetapkan menjadi 4 (empat) golongan yaitu Lancar, Kurang Lancar, Diragukan dan Macet; (2) Penilaian terhadap kualitas Aktiva Produktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan pada ketepatan dan/atau kemampuan membayar kewajiban oleh nasabah. Pasal 5 (1) Penilaian terhadap kualitas Pembiayaan Mudharabah dan Musyarakah yang dilakukan berdasarkan kemampuan membayar mengacu pada ketepatan pembayaran angsuran pokok dan/atau pencapaian rasio Realisasi Pendapatan (RP) dengan Proyeksi Pendapatan (PP). (2) Penghitungan rasio Realisasi Pendapatan (RP) dan Proyeksi Pendapatan (PP) sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dihitung berdasarkan rata-rata akumulasi selama periode Pembiayaan Mudharabah dan Musyarakah yang telah berjalan. (3) Proyeksi Pendapatan (PP) dihitung berdasarkan pada analisis kelayakan usaha dan arus kas masuk nasabah selama jangka waktu Pembiayaan Mudharabah dan Musyarakah. (4) BPRS … - 9 - (4) BPRS dapat melakukan revisi Proyeksi Pendapatan (PP) maksimum: a. 1 (satu) kali dalam setahun untuk Pembiayaan Mudharabah dan Musyarakah dengan jangka waktu sampai dengan 1(satu) tahun; b. 2 (dua) kali dalam setahun untuk Pembiayaan Mudharabah dan Musyarakah dengan jangka waktu di atas 1 (satu) tahun; (5) Revisi Proyeksi Pendapatan (PP) sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat dilakukan berdasarkan perubahan kondisi ekonomi makro, pasar, atau bencana alam yang mempengaruhi usaha nasabah (6) BPRS wajib mencantumkan Proyeksi Pendapatan (PP) dan perubahan Proyeksi Pendapatan (PP) dalam perjanjian Pembiayaan Mudharabah dan Musyarakah antara BPRS terdokumentasi secara lengkap Pasal 6 (1) Pembayaran angsuran pokok Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dapat diangsur selama jangka waktu Pembiayaan sesuai dengan kesepakatan antara BPRS dan nasabah. (2) Apabila jangka waktu Pembiayaan lebih dari 1 (satu) tahun, pembayaran angsuran pokok Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diangsur secara berkala sesuai dengan proyeksi arus kas masuk (cash inflow) usaha nasabah. (3) Pembayaran angsuran pokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dicantumkan dalam perjanjian pembiayaan antara BPRS dengan nasabah dan harus didokumentasikan secara lengkap. Pasal 7 (1) Kualitas Aktiva Produktif berupa Pembiayaan Murabahah, Salam, Istishna’, Ijarah, Ijarah Muntahiyah bit Tamlik, dan Qardh dinilai berdasarkan … dengan nasabah dan harus - 10 - berdasarkan lamanya tunggakan pembayaran sebagai berikut: a. angsuran di luar KPR; b. angsuran untuk KPR. (2) Pembayaran angsuran Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dicantumkan dalam perjanjian pembiayaan antara BPRS dan nasabah dan didukung dengan dokumen yang lengkap, paling kurang memuat porsi pokok, marjin dan jadwal pembayaran. Pasal 8 Kualitas Aktiva Produktif berupa Sertifikat Wadiah Bank Indonesia digolongkan Lancar. Pasal 9 Kualitas Aktiva Produktif berupa Penempatan Dana Pada Bank Lain digolongkan Lancar sepanjang dijamin oleh Lembaga Penjamin Simpanan. Pasal 10 Dalam hal Penempatan Dana Pada Bank Lain tidak memenuhi persyaratan program penjaminan Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, kualitas Penempatan Dana Pada Bank Lain digolongkan sebagai berikut: a. Lancar, apabila tidak terdapat tunggakan pembayaran pokok untuk Wadiah/Qardh, atau tidak terdapat tunggakan pembayaran pokok dan/atau bagi hasil untuk Mudharabah dan Musyarakah, dan/atau Realisasi Pendapatan (RP) ≥ 80 % Proyeksi Pendapatan (PP) untuk Pembiayaan Mudharabah dan Musyarakah; b. Kurang Lancar, apabila terdapat tunggakan pembayaran pokok untuk Wadiah/Qardh, atau terdapat tunggakan pembayaran pokok dan/atau bagi hasil … - 11 - bagi hasil untuk Mudharabah dan Musyarakah sampai dengan 5 (lima) hari kerja, dan/atau Realisasi Pendapatan diatas 30 % Proyeksi Pendapatan (PP) sampai dengan 80% Proyeksi Pendapatan (PP) atau Realisasi Pendapatan (RP) ≤ 30% Proyeksi Pendapatan (PP) sampai dengan 3 (tiga) periode pembayaran untuk Pembiayaan Mudharabah dan Musyarakah; c. Macet, apabila: 1) BPRS atau bank yang menerima Penempatan telah ditetapkan dan diumumkan sebagai BPRS atau bank dengan status dalam pengawasan khusus (special surveillance) atau BPRS atau bank telah dikenakan sanksi pembekuan seluruh kegiatan usaha; 2) BPRS atau bank yang menerima Penempatan ditetapkan sebagai BPRS atau bank dalam likuidasi; dan/atau 3) terdapat tunggakan pembayaran pokok untuk Wadiah/Qardh, atau terdapat tunggakan pembayaran pokok dan/atau bagi hasil untuk Mudharabah dan Musyarakah lebih dari 5 (lima) hari kerja, dan/atau Realisasi Pendapatan (RP) ≤ 30 % Proyeksi Pendapatan (PP) untuk Pembiayaan Mudharabah dan Musyarakah. Pasal 11 (1) Penyediaan dana BPRS dalam bentuk Aktiva Produktif wajib didukung dengan dokumen yang lengkap. (2) Kualitas Aktiva Produktif yang oleh BPRS telah digolongkan Lancar akan diturunkan oleh Bank Indonesia menjadi paling tinggi Kurang Lancar, apabila dokumentasi nasabah tidak informasi yang cukup. dapat memberikan BAB IV … - 12 - BAB IV AKTIVA NON PRODUKTIF Bagian Pertama Umum Pasal 12 (1) BPRS wajib menilai kualitas Aktiva Non Produktif berupa AYDA. (2) BPRS wajib memiliki kebijakan dan prosedur tertulis mengenai AYDA. Bagian Kedua Tata Cara Penilaian Pasal 13 (1) BPRS wajib melakukan upaya penyelesaian terhadap AYDA yang dimiliki. (2) BPRS wajib mendokumentasikan upaya penyelesaian AYDA sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 14 (1) BPRS wajib melakukan penilaian kembali terhadap AYDA untuk menetapkan net realizable value dari AYDA, yang dilakukan saat pengambilalihan agunan. (2) Penetapan net realizable value sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan oleh penilai independen, untuk AYDA dengan nilai Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) atau lebih. (3) Maksimum net realizable value adalah sebesar nilai Aktiva Produktif yang diselesaikan dengan AYDA. Pasal 15 … - 13 - Pasal 15 (1) AYDA yang telah dilakukan upaya penyelesaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, ditetapkan memiliki kualitas sebagai berikut: a. Lancar, apabila AYDA dimiliki sampai dengan 1 (satu) tahun; b. Kurang Lancar, apabila AYDA dimiliki lebih dari 1 (satu) tahun sampai dengan 2 (dua) tahun; c. Diragukan, apabila AYDA dimiliki lebih dari 2 (dua) tahun sampai dengan 3 (tiga) tahun; d. Macet, apabila AYDA dimiliki lebih dari 3 (tiga) tahun. (2) AYDA yang tidak dilakukan upaya penyelesaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, ditetapkan memiliki kualitas satu tingkat dibawah ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). BAB V PENYISIHAN PENGHAPUSAN AKTIVA Bagian Pertama Umum Pasal 16 (1) BPRS wajib membentuk PPA terhadap Aktiva Produktif dan Aktiva Non Produktif (2) PPA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa: a. cadangan umum dan cadangan khusus untuk Aktiva Produktif; dan b. cadangan khusus untuk Aktiva Non Produktif. Bagian … - 14 - Bagian Kedua Tata Cara Pembentukan Pasal 17 (1) Cadangan umum PPA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) huruf a ditetapkan sekurang-kurangnya sebesar 0,5 % (lima perseribu) dari seluruh Aktiva Produktif yang termasuk Sertifikat Wadiah Bank Indonesia. (2) Cadangan khusus Penyisihan Penghapusan Aktiva sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) huruf a ditetapkan sekurang- kurangnya sebesar: a. 10% (sepuluh perseratus) dari Aktiva yang digolongkan Kurang Lancar setelah dikurangi nilai agunan; b. 50% (lima puluh perseratus) dari Aktiva yang Diragukan setelah dikurangi nilai agunan; dan c. 100% (seratus perseratus) dari Aktiva yang digolongkan Macet setelah dikurangi nilai agunan. (3) Kewajiban untuk membentuk PPA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku bagi Aktiva Produktif berupa Ijarah atau Ijarah Muntahiyah bit Tamlik. (4) BPRS wajib membentuk penyusutan/amortisasi untuk Ijarah atau Ijarah Muntahiyah bit Tamlik, dengan ketentuan sebagai berikut: a. Ijarah disusutkan/diamortisasi sesuai dengan kebijakan penyusutan BPRS bagi aktiva yang sejenis. b. Ijarah Muntahiyah bit Tamlik disusutkan sesuai dengan masa sewa. (5) Penggunaan nilai agunan sebagai faktor pengurang dalam perhitungan PPA sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan untuk Aktiva Produktif. Pasal 18 … digolongkan digolongkan Lancar, tidak - 15 - Pasal 18 Pembentukan PPA untuk Aktiva Produktif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) dan ayat (2) untuk Murabahah, Salam dan Istishna’ mempergunakan angka saldo harga perolehan atau saldo harga pokok. Bagian Ketiga Penilaian Agunan Pasal 19 Agunan yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang dalam pembentukan PPA terdiri dari: a. Tabungan Wadiah, tabungan dan/atau deposito Mudharabah dan setoran jaminan dalam mata uang rupiah yang diblokir disertai dengan surat kuasa pencairan; b. Sertifikat Wadiah Bank Indonesia yang telah dilakukan pengikatan secara gadai; c. Tanah, gedung, dan rumah tinggal yang telah dilakukan pengikatan sesuai ketentuan yang berlaku; d. Kendaraan bermotor dan persediaan yang telah dilakukan pengikatan sesuai ketentuan yang berlaku. Pasal 20 Nilai agunan yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang pada pembentukan PPA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ditetapkan: a. untuk agunan tunai berupa uang kas, uang kertas asing, emas, mata uang emas, tabungan Wadiah, tabungan dan/atau deposito Mudharabah, dan setoran jaminan dalam mata uang rupiah yang diblokir disertai dengan surat kuasa pencairan setinggi-tingginya sebesar 100% (seratus perseratus … - 16 - perseratus); b. untuk agunan berupa Sertifikat Wadiah Bank Indonesia setinggi- tingginya sebesar 100% (seratus perseratus); c. untuk agunan berupa tanah, gedung, dan rumah tinggal, kendaraan bermotor, dan kapal laut paling tinggi sebesar: 1) 80% (delapan puluh perseratus) dari nilai tanggungan untuk agunan berupa tanah bangunan dan rumah bersertifikat (SHM atau SHGB) yang diikat dengan hak tanggungan; 2) 60% (tujuh puluh perseratus) dari nilai jual objek pajak (NJOP) untuk agunan berupa tanah, bangunan dan rumah bersertifikat (SHM atau SHGB), hak pakai tanpa hak tanggungan; 3) 50% (lima puluh perseratus) dari nilai jual objek pajak (NJOP), untuk agunan berupa tanah berdasarkan kepemilikan surat girik (letter C) dilampiri Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT) selama 6 bulan; 4) 50% (lima puluh perseratus) dari Nilai Pasar Wajar untuk agunan berupa kendaraan bermotor, dan kapal laut dengan disertai bukti kepemilikan dan surat kuasa menjual. Pasal 21 (1) Penilaian agunan dapat dilakukan oleh Penilai Independen atau penilai intern BPRS yang wajib dilaksanakan berdasarkan analisis terhadap fakta-fakta objektif dan relevan menurut metode dan prinsip-prinsip yang berlaku umum sebagaimana dimaksud dengan Penilaian dalam Pasal 1 angka 26. (2) Kewajiban Penilaian agunan menggunakan Penilai Independen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku untuk Pembiayaan dengan nilai Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) atau lebih. (3) Dalam … - 17 - (3) Dalam hal Penilaian agunan tidak dilakukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) maka hasil Penilaian agunan tidak diperhitungkan sebagai faktor pengurang PPA. Pasal 22 Bank Indonesia berwenang melakukan penghitungan kembali atas nilai agunan yang telah dikurangkan dalam PPA, apabila BPRS tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20. BAB VI RESTRUKTURISASI PEMBIAYAAN Pasal 23 (1) BPRS wajib memiliki kebijakan dan prosedur tertulis mengenai Restrukturisasi Pembiayaan. (2) BPRS hanya dapat melakukan Restrukturisasi Pembiayaan terhadap nasabah yang memenuhi kriteria: a. telah atau diperkirakan mengalami penurunan kemampuan dalam pembayaran dan/atau pemenuhan kewajibannya; dan b. masih memiliki prospek usaha yang memenuhi kewajiban setelah restrukturisasi. baik dan/atau mampu (3) Restrukturisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dengan mengacu kepada fatwa Dewan Syariah Nasional dan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku bagi bank syariah. (4) Penggolongan kualitas atas Pembiayaan, yang direstrukturisasi adalah sebagai berikut : a. Paling tinggi Kurang Lancar untuk Pembiayaan, yang sebelum direstrukturisasi tergolong Diragukan atau Macet; b. Kualitas tidak berubah untuk Pembiayaan, yang sebelum direstrukturisasi … - 18 - direstrukturisasi tergolong Lancar atau Kurang Lancar; (5) Kualitas Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat menjadi: a. Lancar, apabila tidak terjadi tunggakan angsuran pokok dan bagi hasil/marjin/fee atau kewajiban lain yang sejenis selama 3 (tiga) kali periode pembayaran secara berturut-turut; b. Kembali pada kualitas yang sama dengan sebelum dilakukan restrukturisasi, apabila sebagaimana disebutkan dalam huruf a. BAB VII HAPUS BUKU DAN HAPUS TAGIH Pasal 24 (1) BPRS wajib memiliki kebijakan dan prosedur tertulis mengenai hapus buku dan hapus tagih. (2) Hapus buku dan/atau hapus tagih hanya dapat dilakukan terhadap Pembiayaan yang memiliki kualitas Macet. (3) Hapus buku tidak dapat dilakukan terhadap sebagian Pembiayaan (partial write off). (4) Hapus tagih dapat dilakukan baik untuk sebagian atau seluruh Pembiayaan. (5) Hapus tagih terhadap sebagian Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) hanya dapat dilakukan dalam rangka Restrukturisasi Pembiayaan atau dalam rangka penyelesaian Pembiayaan. Pasal 25 (1) Hapus buku dan/atau hapus tagih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 hanya dapat dilakukan setelah BPRS melakukan berbagai upaya untuk … nasabah gagal memenuhi kriteria - 19 - untuk memperoleh kembali Aktiva Produktif yang diberikan. (2) BPRS wajib mendokumentasikan upaya yang dilakukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) serta dasar pertimbangan pelaksanaan hapus buku dan/atau hapus hak tagih. (3) BPRS wajib mengadministrasikan data dan informasi mengenai Aktiva Produktif yang telah dihapus buku dan/atau dihapus tagih. BAB VIII SANKSI Pasal 26 BPRS yang tidak melaksanakan ketentuan dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 ayat (6), Pasal 6 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 7 ayat (2), Pasal 11 ayat (1), Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 21, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25 dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 antara lain berupa: a. teguran tertulis; b. penurunan tingkat kesehatan; dan/atau c. penggantian pengurus. BAB IX KETENTUAN PENUTUP Pasal 27 Penetapan kualitas Aktiva Non Produktif untuk AYDA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 mulai berlaku pada tanggal 1 Desember 2007. Pasal 28 … - 20 - Pasal 28 Dengan diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia ini, maka Peraturan Bank Indonesia No. 6/18/PBI/2004 tanggal 1 Juli 2004 tentang Kualitas Aktiva Produktif Bagi BPRS dan Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/19/PBI/2004 tanggal 1 Juli 2004 tentang Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif bagi Bank Perkreditan Rakyat yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 29 Ketentuan pelaksanaan tentang Penilaian Kualitas Aktiva sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini akan diatur lebih lanjut dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 30 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2007 Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 5 Oktober 2006 GUBERNUR BANK INDONESIA, BURHANUDDIN ABDULLAH LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2006 NOMOR 81 DPbS PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 8/24/PBI/2006 TENTANG PENILAIAN KUALITAS AKTIVA BAGI BANK PERKREDITAN RAKYAT BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH UMUM Kelangsungan usaha bank perkreditan rakyat berdasarkan prinsip syariah (BPRS) tergantung pada kinerja, yang salah satu indikator utamanya adalah kualitas dari penanaman dana BPRS. Kualitas penanaman dana yang baik akan menghasilkan keuntungan, sehingga dapat menjadi sumber dalam mengembangkan usahanya. Mengingat karakteristik dari aset BPRS sangat dipengaruhi oleh risiko pembiayaan (credit risk), maka BPRS harus selalu memperbaiki kebijakan dan prosedur kualitasnya, melakukan pengelolaan portofolio pembiayaan termasuk aset dengan baik penetapan serta kemampuan untuk mengantisipasi perubahan faktor eksternal yang dapat mempengaruhi kualitas pembiayaan. Untuk menentukan kualitas pembiayaan yang mencerminkan tingkat eksposur risiko pembiayaan yang terkendali maka perlu ditata kembali batasan dan kriteria penilaian kualitas pada setiap pembiayaan. Selain itu, sejalan dengan perkembangan pembiayaan BPRS yang dapat menimbulkan peningkatan agunan yang diambil alih oleh BPRS, maka diperlukan penilaian terhadap agunan yang diambil alih tersebut yang merupakan aktiva non produktif. Berdasarkan … - 2 - Berdasarkan hal-hal tersebut, dipandang perlu untuk melakukan pengaturan kembali tentang penilaian kualitas aktiva yaitu berupa Peraturan Bank Indonesia tentang Penilaian Kualitas Aktiva bagi Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Yang dimaksud dengan prinsip kehati-hatian dalam penanaman dana yaitu penanaman dana dilakukan antara lain berdasarkan: a. Analisis kelayakan usaha dengan memperhatikan sekurang-kurangnya faktor 5C (Character, Capital, Capacity, Condition of economy & Collateral); b. Penilaian terhadap aspek kemampuan membayar. Yang dimaksud dengan memantau adalah mengawasi perkembangan kinerja usaha nasabah dari waktu ke waktu. Yang dimaksud dengan mengambil langkah-langkah antisipasi adalah melakukan tindakan dan upaya pencegahan atas kemungkinan timbulnya kegagalan dalam penanaman dana. Pasal 3 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Yang dimaksud dengan penilaian dilakukan secara bulanan adalah penyajian dalam laporan bulanan sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia … - 3 - Indonesia tentang laporan bulanan BPRS. Pasal 4 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 5 Ayat (1) Perhitungan pencapaian rasio Realisasi Pendapatan (RP) dengan Proyeksi Pendapatan (PP) adalah sebagai berikut: RP K = PP Dimana: K = Rasio Pencapaian Pendapatan RP = Realisasi Pendapatan yang diterima BPRS dari nasabah. PP = Perkiraan pendapatan yang akan diterima oleh BPRS dari nasabah. Ayat (2) Yang dimaksud dengan rata-rata akumulasi selama Pembiayaan yang telah berjalan adalah sebagai berikut : Contoh 1 : Untuk Pembiayaan Mudharabah dan Musyarakah yang berjangka waktu 1 (satu) tahun yang dimulai dari 1 Januari 2005 sampai dengan 31 Desember 2005, dan dilakukan penilaian di bulan Januari 2006, berarti RP dan PP yang digunakan adalah angka akumulasi selama … periode x 100% - 4 - selama bulan Januari sampai dengan Desember 2005. Contoh 2 : Untuk Pembiayaan Mudharabah dan Musyarakah dengan jangka waktu 6 (enam) bulan, yang baru berjalan 3 (tiga) bulan, maka akumulasi yang digunakan adalah selama periode berjalan tersebut yaitu akumulasi 3 (tiga) bulan saja. Ayat (3) Misalnya Pembiayaan Mudharabah dan Musyarakah berjangka waktu 2 (dua) tahun, jadwal pembayaran pendapatan (bagi hasil) ditetapkan setiap 6 (enam) bulan maka PP ditetapkan setiap 6 (enam) bulan, yaitu : 1. PP 6 (enam) bulan I = Rp xxx atau x % 2. PP 6 (enam)bulan II = Rp yyy atau y % dst. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas Ayat (6) Yang dimaksud dengan terdokumentasi secara sekurang-kurangnya tersedianya dokumentasi meliputi aplikasi, analisa, pembiayaan serta file lain perubahannya. Pasal 6 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) … keputusan yang dan lengkap yaitu pembiayaan yang pemantauan atas terkait dengan PP beserta - 5 - Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 7 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas Pasal 11 Ayat (1) Yang dimaksud dengan dokumen yang lengkap yaitu sekurang- kurangnya tersedianya dokumentasi penyediaan dana yang meliputi: aplikasi, analisa, keputusan dan pemantauan atas penyediaan dana serta perubahannya. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 12 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) … - 6 - Ayat (2) Yang dimaksud dengan kebijakan dan prosedur tertulis antara lain berupa mekanisme pengambilan AYDA, persyaratan AYDA. Pasal 13 Ayat (1) Pengaturan ini dimaksudkan agar BPRS melakukan kegiatan usaha sesuai fungsinya sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat. Upaya penyelesaian antara lain dapat dilakukan secara aktif memasarkan dan menjual AYDA. Ayat (2) Dokumentasi antara lain mencakup bukti data mengenai upaya pemasaran dan penjualan AYDA. Pasal 14 Ayat (1) Yang dimaksud dengan net realizable value adalah Nilai Pasar Wajar agunan dikurangi estimasi biaya pelepasan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 15 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 16 Ayat (1) … dan informasi - 7 - Ayat (1) Pembentukan PPA terhadap Aktiva Non Produktif dimaksudkan untuk mendorong BPRS melakukan upaya penyelesaian dan untuk antisipasi terhadap potensi kerugian. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 17 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Huruf a dan b Penyusutan atau amortisasi untuk Ijarah dan/atau Ijarah Muntahiyah bit Tamlik dilakukan dengan mengacu kepada standar akuntansi keuangan yang berlaku untuk bank syariah. Kebijakan penyusutan yang dipilih harus mencerminkan pola konsumsi yang diharapkan dari manfaat ekonomi di masa depan dari objek Ijarah. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Huruf a … - 8 - Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas Huruf d Yang dimaksud dengan ketentuan yang berlaku misalnya ketentuan mengenai fidusia, gadai dan ketentuan mengenai resi gudang. Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Ayat (1) Kebijakan dan prosedur tertulis antara lain memuat pejabat dan satuan kerja yang berwenang terhadap proses restrukturisasi, dan proses analisis pembiayaan yang akan direstrukturisasi. Ayat (2) Cukup jelas … - 9 - Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud restrukturisasi sesuai dengan fatwa Dewan Syariah Nasional yang dilakukan dengan memberikan potongan dari total kewajiban pembayaran, penjadwalan kembali dan konversi akad Murabahah. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 24 Ayat (1) Hapus buku adalah tindakan administratif BPRS untuk menghapus buku penyediaan dana atau tagihan yang memiliki kualitas Macet dari neraca sebesar kewajiban nasabah tanpa menghapus hak tagih BPRS kepada nasabah. Hapus tagih adalah tindakan BPRS menghapus kewajiban nasabah yang tidak dapat diselesaikan. Kebijakan dan prosedur hapus buku dan hapus tagih antara lain mencakup persyaratan, limit, kewenangan dan tanggung jawab serta tata cara hapus buku dan hapus tagih. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Pelaksanaan hapus buku dilakukan terhadap seluruh Pembiayaan yang diberikan dan diikat dalam satu perjanjian. Ayat (4) … berlaku, antara lain untuk Murabahah dapat - 10 - Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Hapus tagih dalam rangka Restrukturisasi Pembiayaan dan penyelesaian Pembiayaan dimaksudkan untuk kepentingan transparansi kepada nasabah. Penyelesaian Pembiayaan dapat dilakukan melalui pengambilalihan agunan atau pelunasan oleh nasabah. Pasal 25 Ayat (1) Upaya yang dapat dilakukan antara lain dalam bentuk penagihan kepada nasabah, Restrukturisasi Pembiayaan, meminta pembayaran dari pihak yang memberikan garansi atas Aktiva dimaksud, dan penyelesaian Pembiayaan melalui pengambilalihan agunan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Cukup jelas … Produktif - 11 - Cukup jelas. Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4650 "," PBI 8/24/PBI/2006 PENILAIAN KUALITAS AKTIVA BAGI BANK PERKREDITAN RAKYAT BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH 5 Oktober 2006 1 Januari 2007 '6/18/PBI/2004', '6/19/PBI/2004' '23/UU/1999', '10/UU/1998', '7/UU/1992', '3/UU/2004' 'BAB VIII' " " PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 17/16/PBI/2015 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 16/17/PBI/2014 TENTANG TRANSAKSI VALUTA ASING TERHADAP RUPIAH ANTARA BANK DENGAN PIHAK ASING DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dinamika kondisi ekonomi dan keuangan global membutuhkan upaya untuk peningkatan stabilitas nilai tukar dan penguatan daya tahan pasar keuangan domestik; b. bahwa peningkatan stabilitas nilai tukar dan penguatan daya tahan pasar keuangan domestik dapat dicapai melalui pengembangan pasar valuta asing domestik yang sehat dan seimbang; c. bahwa dalam rangka mewujudkan pasar valuta asing domestik yang sehat dan seimbang diperlukan upaya untuk mendorong peningkatan likuiditas transaksi dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu melakukan perubahan ketiga atas Peraturan Bank Indonesia tentang Transaksi Valuta Asing terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak Asing; Mengingat … - 2 - Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3844); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 16/17/PBI/2014 TENTANG TRANSAKSI VALUTA ASING TERHADAP RUPIAH ANTARA BANK DENGAN PIHAK ASING. Pasal I … - 3 - Pasal I Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/17/PBI/2014 tentang Transaksi Valuta Asing terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 213, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5582) yang telah beberapa kali diubah dengan Peraturan Bank Indonesia: a. Nomor 17/7/PBI/2015 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 117, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5702); b. Nomor 17/14/PBI/2015 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 202, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5737), diubah sebagai berikut: 1. Ketentuan Pasal 2 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 2 (1) Bank dapat melakukan Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah dengan Pihak Asing atas dasar suatu kontrak. (2) Dalam melakukan kegiatan Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah, Bank wajib: a. memiliki pedoman internal tertulis sebagaimana dimaksud dalam ketentuan otoritas perbankan yang mengatur tentang transaksi derivatif dan penerapan manajemen risiko Bank; b. memenuhi ketentuan otoritas perbankan yang mengatur mengenai kategori Bank yang dapat melakukan kegiatan transaksi valuta asing; c. menerapkan manajemen risiko secara efektif sebagaimana dimaksud dalam ketentuan otoritas perbankan yang mengatur mengenai penerapan manajemen risiko Bank; d. melakukan self assessment mengenai kesiapan manajemen risiko Bank, sebagaimana dimaksud dalam ketentuan otoritas perbankan yang mengatur mengenai transaksi derivatif dan tingkat kesehatan Bank Umum; e. melakukan … - 4 - e. melakukan mark-to-market untuk transaksi derivatif sebagaimana dimaksud dalam ketentuan otoritas perbankan yang mengatur mengenai transaksi derivatif dan penerapan manajemen risiko bank; f. memberikan edukasi tentang Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah kepada Pihak Asing untuk pelaksanaan kegiatan Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah, dan g. memenuhi ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kewajiban penggunaan Rupiah. 2. Ketentuan Pasal 3 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 3 (1) Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah yang dilakukan Bank dengan Pihak Asing di atas jumlah tertentu (threshold) wajib memiliki Underlying Transaksi. (2) Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi seluruh kegiatan: a. perdagangan barang dan jasa di dalam dan di luar negeri; dan/atau b. investasi berupa foreign direct investment, portfolio investment, pinjaman, modal, dan investasi lainnya di dalam dan di luar negeri. (3) Underlying Transaksi kegiatan perdagangan barang dan jasa dan/atau investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi juga perkiraan pendapatan dan biaya (income and expense estimation). (4) Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak termasuk: a. penggunaan Sertifikat Bank Indonesia untuk Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah; b. penempatan … - 5 - b. penempatan dana pada Bank (vostro) antara lain berupa tabungan, giro, deposito, dan Negotiable Certificate of Deposit (NCD); dan c. fasilitas pemberian kredit yang masih belum ditarik, antara lain berupa standby loan dan undisbursed loan. (5) Khusus untuk penjualan valuta asing terhadap Rupiah melalui transaksi forward dan untuk transfer Rupiah ke rekening yang dimiliki Pihak Asing, Underlying Transaksi juga meliputi kepemilikan dana valuta asing di dalam negeri dan di luar negeri antara lain berupa tabungan, giro, deposito, dan Negotiable Certificate of Deposit (NCD). 3. Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 5 (1) Jumlah tertentu (threshold) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), untuk Transaksi Derivatif jual dan Transaksi Derivatif beli antara Bank dengan Pihak Asing adalah masing-masing USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat) atau ekuivalennya per transaksi per Pihak Asing maupun per posisi (outstanding) per Bank. (2) Khusus untuk penjualan valuta asing terhadap Rupiah melalui transaksi forward, jumlah tertentu (threshold) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) adalah USD5,000,000.00 (lima juta dolar Amerika Serikat) atau ekuivalennya per transaksi per Pihak Asing maupun per posisi (outstanding) per Bank. (3) Transaksi Derivatif jual antara Bank dengan Pihak Asing dan Transaksi Derivatif beli antara Bank dengan Pihak Asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang melebihi nilai nominal Underlying Transaksi. (4) Dalam hal nilai nominal Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dalam kelipatan USD10,000.00 (sepuluh ribu dolar Amerika Serikat) maka terhadap nilai nominal Underlying Transaksi dimaksud dapat dilakukan pembulatan … - 6 - pembulatan ke atas dalam kelipatan USD10,000.00 (sepuluh ribu dolar Amerika Serikat). (5) Jangka waktu Transaksi Derivatif dilarang melebihi jangka waktu Underlying Transaksi. 4. Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 6 Kewajiban memiliki Underlying Transaksi untuk Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah oleh Pihak Asing kepada Bank di atas jumlah tertentu (threshold) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), Pasal 5 ayat (1), dan Pasal 5 ayat (2) tidak berlaku untuk penyelesaian Transaksi Derivatif awal yang dilakukan melalui: a. perpanjangan transaksi (roll over) sepanjang jangka waktu perpanjangan transaksi (roll over) paling lama sama dengan jangka waktu Underlying Transaksi awal; b. percepatan penyelesaian transaksi (early termination); atau c. pengakhiran transaksi (unwind). 5. Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 19 (1) Penyelesaian Transaksi Spot antara Bank dengan Pihak Asing wajib dilakukan dengan pemindahan dana pokok secara penuh. (2) Penyelesaian Transaksi Derivatif antara Bank dengan Pihak Asing dapat dilakukan secara netting atau dengan pemindahan dana pokok secara penuh. (3) Penyelesaian Transaksi Derivatif antara Bank dengan Pihak Asing yang dapat dilakukan secara netting sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya berlaku untuk perpanjangan transaksi (roll over), percepatan penyelesaian transaksi (early termination), dan pengakhiran transaksi (unwind). (4) Penyelesaian penjualan valuta asing terhadap Rupiah oleh Pihak Asing kepada Bank melalui transaksi forward dengan nominal transaksi … - 7 - transaksi dibawah jumlah tertentu (threshold) sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 ayat (2) wajib dilakukan dengan pemindahan dana pokok secara penuh. (5) Penyelesaian penjualan valuta asing terhadap Rupiah oleh Pihak Asing kepada Bank melalui transaksi forward dengan menggunakan Underlying Transaksi berupa kepemilikan dana valuta asing di dalam negeri dan di luar negeri wajib dilakukan dengan pemindahan dana pokok secara penuh. 6. Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 20 (1) Penyelesaian Transaksi Derivatif antara Bank dengan Pihak Asing secara netting sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (3) dengan nilai nominal paling banyak sebesar jumlah tertentu (threshold) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dapat dilakukan sepanjang didukung dengan Underlying Transaksi dari Transaksi Derivatif awal. (2) Dalam hal pada saat penyelesaian Transaksi Derivatif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pihak Asing tidak dapat menyampaikan dokumen Underlying Transaksi maka penyelesaian Transaksi Derivatif dilakukan dengan pemindahan dana pokok secara penuh. 7. Ketentuan Pasal 21 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 21 (1) Jenis dokumen Underlying Transaksi ditetapkan oleh Bank Indonesia. (2) Dokumen tagihan dalam valuta asing dari transaksi yang diwajibkan menggunakan Rupiah sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kewajiban penggunaan Rupiah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, tidak dapat menjadi dokumen Underlying Transaksi. (3) Ketentuan … - 8 - (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan jenis dokumen sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. 8. Ketentuan Pasal 23 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 23 (1) Dalam hal Bank melakukan Transaksi Derivatif dengan Pihak Asing di atas jumlah tertentu (threshold) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), Bank wajib memastikan Pihak Asing untuk menyampaikan dokumen sebagai berikut: a. dokumen Underlying Transaksi yang dapat dipertanggungjawabkan, baik yang bersifat final maupun yang berupa perkiraan; dan b. dokumen pendukung berupa pernyataan tertulis yang authenticated dari Pihak Asing yang berisi informasi mengenai: 1. keaslian dan kebenaran dokumen Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud pada huruf a; 2. penggunaan dokumen Underlying Transaksi untuk Transaksi Derivatif paling banyak sebesar nominal Underlying Transaksi dalam sistem perbankan di Indonesia; 3. jumlah kebutuhan, tujuan penggunaan, dan tanggal penggunaan valuta asing, dalam hal dokumen Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud pada huruf a berupa perkiraan pembelian valuta asing terhadap Rupiah; dan 4. sumber dana, jumlah penjualan, dan tanggal tersedianya valuta asing, dalam hal dokumen Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud pada huruf a berupa perkiraan penjualan valuta asing terhadap Rupiah. (2) Dalam hal Pihak Asing melakukan penyelesaian Transaksi Derivatif dengan nilai nominal paling banyak sebesar jumlah tertentu … - 9 - tertentu (threshold) secara netting sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) maka Pihak Asing wajib menyampaikan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1). 9. Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 30 (1) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), Pasal 4 ayat (2), Pasal 5 ayat (3), Pasal 5 ayat (5), Pasal 7, Pasal 13, Pasal 14 ayat (1), Pasal 15 ayat (2), Pasal 17, Pasal 18 ayat (2), Pasal 19 ayat (1), Pasal 19 ayat (4), Pasal 19 ayat (5), Pasal 22 ayat (1), Pasal 23 ayat (1), Pasal 23 ayat (2), Pasal 24, Pasal 25 ayat (2), Pasal 25 ayat (3), Pasal 25 ayat (4), Pasal 25 ayat (5), dan/atau Pasal 25 ayat (6) dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis dan sanksi kewajiban membayar sebesar 1% (satu persen) dari nilai nominal transaksi yang dilanggar untuk setiap pelanggaran, dengan jumlah sanksi paling sedikit sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). (2) Perhitungan nilai nominal transaksi yang dilanggar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sebagai berikut: a. selisih antara total nilai nominal transaksi valuta asing terhadap Rupiah dengan jumlah tertentu (threshold) kewajiban pemenuhan Underlying Transaksi; atau b. total nilai nominal Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah yang tidak didukung dengan Underlying Transaksi dalam hal nilai nominal transaksi di bawah jumlah tertentu (threshold) tetapi dilakukan netting. (3) Penghitungan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) pada tanggal terjadinya pelanggaran. Pasal II … - 10 - Pasal II Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 2 Oktober 2015 GUBERNUR BANK INDONESIA, AGUS D. W. MARTOWARDOJO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 7 Oktober 2015 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 224 DPM PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 17/16/ PBI/ 2015 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 16/17/PBI/2014 TENTANG TRANSAKSI VALUTA ASING TERHADAP RUPIAH ANTARA BANK DENGAN PIHAK ASING I. UMUM Perkembangan pasar keuangan domestik, termasuk pasar valuta asing, cenderung mengalami tekanan sejalan dengan perkembangan pasar keuangan global yang pada gilirannya berdampak terhadap instabilitas nilai tukar. Selain itu, tingginya kebutuhan pelaku ekonomi terhadap valuta asing untuk mendukung kegiatan ekonomi juga turut menjadi penyebab tekanan terhadap nilai tukar. Dalam kaitan ini, diperlukan respons kebijakan untuk menjaga stabilitas nilai tukar dan perekonomian nasional. Permasalahan lain yang dihadapi adalah keterbatasan penawaran valuta asing oleh pelaku ekonomi sehingga diperlukan langkah-langkah untuk mendorong peningkatan penawaran valuta asing di pasar domestik. Penyempurnaan terhadap ketentuan terkait dengan transaksi valuta asing terhadap Rupiah antara Bank dengan pihak asing merupakan salah satu upaya meningkatkan penawaran valuta asing sehingga dapat memenuhi tingginya kebutuhan terhadap valuta asing dalam rangka kegiatan ekonomi. Dengan adanya kebijakan tersebut, perlu dilakukan perubahan ketiga atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/17/PBI/2014 tentang Transaksi Valuta Asing terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak Asing. II. PASAL … - 2 - II. PASAL DEMI PASAL Pasal I Angka 1 Pasal 2 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “kontrak’ adalah konfirmasi tertulis yang menunjukkan terjadinya transaksi yang antara lain berupa dealing conversation, SWIFT, atau konfirmasi tertulis lainnya. Ayat (2) Huruf a Pedoman internal tertulis berisi antara lain pencatatan akuntansi, sumber daya manusia, sistem dan penerapan manajemen risiko yang disetujui oleh manajemen Bank sebagaimana dimaksud dalam ketentuan otoritas perbankan. Huruf b Ketentuan otoritas perbankan yang mengatur mengenai kategori Bank yang dapat melakukan kegiatan transaksi valuta asing antara lain mengatur bahwa Bank yang dapat melakukan transaksi valuta asing, baik Transaksi Spot maupun transaksi derivatif plain vanilla (forward, swap, option, dan CCS) paling kurang adalah Bank BUKU 2. Huruf c Ketentuan otoritas yang mengatur mengenai penerapan manajemen risiko Bank antara lain mengatur bahwa Bank wajib … - 3 - wajib menerapkan manajemen risiko secara efektif yang paling kurang mencakup: 1. pengawasan aktif dewan komisaris dan direksi; 2. kecukupan kebijakan, prosedur, dan penetapan limit; 3. kecukupan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan dan pengendalian risiko serta sistem informasi manajemen risiko; 4. sistem pengendalian intern yang menyeluruh. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Edukasi dilakukan dalam rangka memberikan pemahaman kepada Pihak Asing mengenai manfaat dan risiko transaksi derivatif valuta asing terhadap Rupiah. Huruf g Cukup jelas. Angka 2 Pasal 3 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf … - 4 - Huruf b Yang dimaksud dengan “foreign direct investment” adalah investasi langsung Pihak Asing ke dalam negeri. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Angka 3 Pasal 5 Cukup jelas. Angka 4 Pasal 6 Cukup jelas. Angka 5 Pasal 19 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “pemindahan dana pokok secara penuh” adalah penyerahan dana secara riil untuk masing- masing transaksi jual dan/atau transaksi beli valuta asing terhadap Rupiah sebesar nilai penuh nominal transaksi atau ekuivalennya. Ayat … - 5 - Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Angka 6 Pasal 20 Cukup jelas. Angka 7 Pasal 21 Cukup jelas. Angka 8 Pasal 23 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan ”dokumen Underlying Transaksi yang bersifat final” adalah dokumen yang tidak akan mengalami perubahan dalam hal jumlah dan/atau waktu pemenuhan kebutuhannya. Huruf … - 6 - Huruf b Yang dimaksud dengan ”pernyataan tertulis yang authenticated” adalah pernyataan tertulis yang telah diverifikasi atau dibuktikan kebenarannya secara sistem. Ayat (2) Cukup jelas. Angka 9 Pasal 30 Cukup jelas. Pasal II Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5744 "," PBI 17/16/PBI/2015 PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 16/17/PBI/2014 TENTANG TRANSAKSI VALUTA ASING TERHADAP RUPIAH ANTARA BANK DENGAN PIHAK ASING 2 Oktober 2015 7 Oktober 2015 7 Oktober 2015 '16/17/PBI/2014' '17/7/PBI/2015', '17/14/PBI/2015' '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '24/UU/1999' 'Pasal I Angka 9 Pasal 30' " " PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 1/ 6 /PBI/1999 TENTANG PENUGASAN DIREKTUR KEPATUHAN (COMPLIANCE DIRECTOR) DAN PENERAPAN STANDAR PELAKSANAAN FUNGSI AUDIT INTERN BANK UMUM GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka menegakkan pelaksanaan prinsip kehati- hatian dalam pengelolaan Bank diperlukan adanya anggota direksi yang ditugaskan sebagai compliance director guna memantau dan memastikan pelaksanaan hal tersebut; b. bahwa dalam rangka menjaga dan mengamankan kegiatan usaha Bank, juga diperlukan adanya pelaksanaan fungsi audit intern bank yang efektif; c. bahwa sehubungan dengan itu dipandang perlu untuk menetapkan ketentuan tentang penugasan compliance director dan penerapan standar pelaksanaan fungsi audit intern bank umum dalam Peraturan Bank Indonesia; Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3790); 2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843); 2. Undang … MEMUTUSKAN: Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENUGASAN DIREKTUR KEPATUHAN (COMPLIANCE DIRECTOR) DAN PENERAPAN STANDAR PELAKSANAAN FUNGSI AUDIT INTERN BANK UMUM. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Yang dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia ini dengan: 1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang- undang Nomor 10 Tahun 1998, termasuk kantor cabang bank asing; 2. Kantor Cabang Bank Asing adalah kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri yang secara langsung bertanggungjawab kepada kantor pusat bank yang bersangkutan dan mempunyai alamat serta tempat kedudukan di Indonesia; 3. Direktur Kepatuhan (yang merupakan terjemahan dari Compliance Director) adalah anggota direksi Bank atau anggota pimpinan Kantor Cabang Bank Asing yang ditugaskan untuk menetapkan langkah-langkah yang diperlukan guna memastikan kepatuhan Bank terhadap peraturan Bank Indonesia, peraturan perundang-undangan lain yang berlaku dan perjanjian serta komitmen dengan Bank Indonesia; 4. Standar … 4. Standar Pelaksanaan Fungsi Audit Intern Bank atau disingkat SPFAIB adalah ukuran minimal yang harus dipatuhi oleh semua Bank dalam melaksanakan fungsi audit intern. BAB II PENUGASAN DIREKTUR KEPATUHAN Pasal 2 (1) Bank wajib menugaskan salah seorang anggota direksi sebagai Direktur Kepatuhan. (2) Kantor Cabang Bank Asing wajib menugaskan salah seorang anggota pimpinan kantor cabang sebagai Direktur Kepatuhan. Pasal 3 (1) Penugasan dan pemberhentian Direktur Kepatuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dilakukan oleh dewan komisaris dan direktur utama dengan mendapat persetujuan terlebih dahulu dari Bank Indonesia. (2) Bagi Kantor Cabang Bank Asing, penugasan dan pemberhentian Direktur Kepatuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) dilakukan oleh pihak- pihak yang berwenang sesuai dengan struktur organisasi Bank dengan mendapat persetujuan terlebih dahulu dari Bank Indonesia. Pasal 4 Anggota direksi Bank atau anggota pimpinan Kantor Cabang Bank Asing yang ditugaskan sebagai Direktur Kepatuhan wajib memenuhi persyaratan sekurang- kurangnya: a. tidak merangkap jabatan sebagai direktur utama Bank atau pemimpin Kantor Cabang Bank Asing; b. tidak … b. tidak membawahi kegiatan operasional, akuntansi dan/atau Satuan Kerja Audit Intern (SKAI); c. memahami peraturan Bank Indonesia dan peraturan perundang-undangan lain yang berlaku; d. mampu bekerja secara independen. Pasal 5 Direktur Kepatuhan bertugas dan bertanggung jawab sekurang-kurangnya untuk: a. menetapkan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan Bank telah memenuhi seluruh peraturan Bank Indonesia dan peraturan perundang- undangan lain yang berlaku dalam rangka pelaksanaan prinsip kehati-hatian; b. memantau dan menjaga agar kegiatan usaha Bank tidak menyimpang dari ketentuan yang berlaku; c. memantau dan menjaga kepatuhan Bank terhadap seluruh perjanjian dan komitmen yang dibuat oleh Bank kepada Bank Indonesia. Pasal 6 Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Direktur Kepatuhan wajib mencegah direksi Bank atau pimpinan Kantor Cabang Bank Asing agar tidak menempuh kebijakan dan/atau menetapkan keputusan yang menyimpang dari peraturan Bank Indonesia dan peraturan perundang-undangan lain yang berlaku. Pasal 7 (1) Direktur Kepatuhan wajib melaporkan pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya secara berkala kepada direktur utama dengan tembusan kepada dewan komisaris. (2) Bagi … (2) Bagi Kantor Cabang Bank Asing, Direktur Kepatuhan wajib melaporkan pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya secara berkala kepada pemimpin kantor cabang dan pihak-pihak yang berwenang sesuai dengan struktur organisasi bank. BAB III STANDAR PELAKSANAAN FUNGSI AUDIT INTERN BANK Pasal 8 (1) Bank wajib menerapkan fungsi audit intern bank sebagaimana ditetapkan dalam Standar Pelaksanaan Fungsi Audit Intern Bank yang merupakan lampiran tidak terpisahkan dari Peraturan Bank Indonesia ini. (2) Dalam hal suatu Bank telah mempunyai standar audit intern sendiri maka standar tersebut harus sekurang-kurangnya memenuhi Standar Pelaksanaan Fungsi Audit Intern Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 9 Berdasarkan Standar Pelaksanaan Fungsi Audit Intern Bank, Bank wajib: a. menyusun Piagam Audit Intern (Internal Audit Charter); b. membentuk Satuan Kerja Audit Intern (SKAI); c. menyusun panduan audit intern. Pasal 10 SKAI bertugas dan bertanggung jawab untuk : a. membantu tugas direktur utama dan dewan komisaris dalam melakukan pengawasan dengan cara menjabarkan secara operasional baik perencanaan, pelaksanaan maupun pemantauan hasil audit; b. membuat … b. membuat analisis dan penilaian di bidang keuangan, akuntansi, operasional dan kegiatan lainnya melalui pemeriksaan langsung dan pengawasan secara tidak langsung; c. mengidentifikasi segala kemungkinan untuk memperbaiki dan meningkatkan efisiensi penggunaan sumber daya dan dana; d. memberikan saran perbaikan dan informasi yang objektif tentang kegiatan yang diperiksa pada semua tingkatan manajemen. Pasal 11 (1) SKAI merupakan satuan kerja yang bertanggung jawab langsung kepada direktur utama. (2) Dalam melaksanakan tugasnya SKAI menyampaikan laporan kepada direktur utama dan dewan komisaris dengan tembusan kepada Direktur Kepatuhan. (3) Kepala SKAI diangkat dan diberhentikan oleh direktur utama Bank dengan persetujuan dewan komisaris. BAB IV PELAPORAN Pasal 12 Bank wajib menyampaikan laporan kepada Bank Indonesia tentang pelaksanaan tugas Direktur Kepatuhan, yaitu: a. laporan pokok-pokok pelaksanaan tugas Direktur Kepatuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5; b. laporan khusus mengenai kebijakan dan/atau keputusan direksi atau pimpinan Kantor Cabang Bank Asing yang menurut pendapat Direktur Kepatuhan telah menyimpang dari peraturan Bank Indonesia dan/atau peraturan perundang- undangan lain yang berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6. Pasal 13 Pasal 13 … Bank wajib menyampaikan laporan kepada Bank Indonesia tentang pelaksanaan fungsi audit intern, yaitu: a. laporan pengangkatan atau pemberhentian kepala SKAI yang disertai dengan pertimbangan dan alasan pengangkatan atau pemberhentian; b. laporan pelaksanaan dan pokok-pokok hasil audit intern termasuk informasi hasil audit yang bersifat rahasia; c. laporan khusus mengenai setiap temuan audit intern yang diperkirakan dapat mengganggu kelangsungan usaha bank; d. laporan hasil kaji ulang pihak ekstern yang memuat pendapat tentang hasil kerja SKAI dan kepatuhannya terhadap Standar Pelaksanaan Fungsi Audit Intern Bank serta perbaikan yang mungkin dilakukan. Pasal 14 (1) Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf a yang ditandatangani oleh Direktur Kepatuhan dan direktur utama atau pemimpin Kantor Cabang Bank Asing, wajib disampaikan kepada Bank Indonesia setiap akhir bulan Juni dan Desember, selambat-lambatnya 1 (satu) bulan setelah bulan laporan. (2) Dalam hal direktur utama atau pemimpin Kantor Cabang Bank Asing tidak bersedia menandatangani laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Kepatuhan wajib menyampaikan langsung kepada Bank Indonesia disertai dengan penjelasan. (3) Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf b yang ditandatangani oleh Direktur Kepatuhan wajib disampaikan kepada Bank Indonesia selambat- lambatnya 7 (tujuh) hari setelah terjadinya kebijakan dan/atau keputusan dimaksud. Pasal 15 … Pasal 15 (1) Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf a yang ditandatangani oleh direktur utama dan dewan komisaris, wajib disampaikan kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari setelah tanggal pengangkatan atau pemberhentian kepala SKAI. (2) Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf b yang ditandatangani oleh direktur utama dan dewan komisaris, wajib disampaikan kepada Bank Indonesia setiap akhir bulan Juni dan Desember, selambat-lambatnya 2 (dua) bulan setelah bulan laporan. (3) Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf c yang ditandatangani oleh direktur utama dan dewan komisaris, wajib segera disampaikan kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sejak temuan audit diketahui. (4) Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf d wajib disampaikan kepada Bank Indonesia sekurang-kurangnya sekali dalam 3 (tiga) tahun, selambat-lambatnya 1 (satu) bulan setelah hasil kaji ulang oleh pihak ekstern diterima oleh Bank. BAB V ALAMAT PERMOHONAN DAN PENYAMPAIAN LAPORAN Pasal 16 (1) Permohonan untuk mendapatkan persetujuan menjadi Direktur Kepatuhan dialamatkan kepada: a. Dewan Gubernur Bank Indonesia Up. Direktorat Perizinan dan Informasi Perbankan, dengan tembusan kepada Direktorat Pengawasan Bank, Bank Indonesia, Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10110, bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah Jabotabek; atau b. Dewan Gubernur Bank Indonesia Up. Direktorat Perizinan dan Informasi Perbankan, dengan tembusan kepada Direktorat Pengawasan Bank, Bank Indonesia, Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10110 dan Kantor Cabang Bank Indonesia setempat, bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah Jabotabek. Kantor … (2) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dan Pasal 15 dialamatkan kepada: a. Direktorat Pengawasan Bank, Bank Indonesia, Jl. M.H. Thamrin No. 2, Jakarta 10110, bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah Jabotabek; atau b. Kantor Cabang Bank Indonesia setempat, bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah Jabotabek. BAB VI KETENTUAN PERALIHAN Pasal 17 (1) Pengajuan calon Direktur Kepatuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 wajib disampaikan kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak ditetapkannya Peraturan Bank Indonesia ini. (2) Pengajuan calon Direktur Kepatuhan kepada Bank Indonesia disampaikan dengan alamat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1). Pasal 18 Bagi Bank yang telah memiliki Direktur Kepatuhan sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini wajib menyesuaikan dengan ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini. BAB VII … BAB VII SANKSI ADMINISTRATIF Pasal 19 (1) Direktur Kepatuhan yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7 dan Pasal 14 dikenakan sanksi berupa pembatalan persetujuan Bank Indonesia sebagai Direktur Kepatuhan. (2) Bank wajib mengajukan calon Direktur Kepatuhan baru apabila Direktur Kepatuhan yang ada dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Pengajuan calon Direktur Kepatuhan baru sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) wajib disampaikan kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak pembatalan persetujuan Bank Indonesia sebagai Direktur Kepatuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 20 (1) Bank yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 17 ayat (1), Pasal 18 dan/atau Pasal 19 ayat (2) dikenakan sanksi administratif. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa antara lain: a. teguran tertulis; b. penurunan tingkat kesehatan bank; c. pemberhentian pengurus bank dan selanjutnya menunjuk dan mengangkat pengganti sementara sampai Rapat Umum Pemegang Saham atau Rapat Anggota Koperasi mengangkat pengganti yang tetap dengan persetujuan Bank Indonesia; d. pencantuman anggota pengurus, pegawai Bank, pemegang saham dalam daftar orang tercela di bidang perbankan. Pasal 21 Pasal 21 … Bank yang terlambat menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 atau Pasal 15 dikenakan sanksi administratif berupa kewajiban membayar sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk setiap laporan per hari kelambatan. Pasal 22 (1) Bank dianggap tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 atau Pasal 15 apabila Bank belum menyampaikan laporan dimaksud 30 (tiga puluh) hari setelah jangka waktu yang ditetapkan. (2) Bank yang tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa kewajiban membayar sebesar Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) untuk setiap laporan dan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2). BAB VIII LAIN – LAIN Pasal 23 Bagi Bank yang sedang mengikuti program rekapitalisasi bank umum, berlaku ketentuan baik dalam Peraturan Bank Indonesia ini maupun ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 84 Tahun 1998 tanggal 31 Desember 1998 tentang Program Rekapitalisasi Bank Umum dan peraturan pelaksanaannya. BAB IX … BAB IX PENUTUP Pasal 24 Dengan dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia ini maka Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 27/163/KEP/DIR tanggal 31 Maret 1995 tentang Kewajiban Bank Umum Untuk Menerapkan Standar Pelaksanaan Fungsi Audit Intern Bank dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 25 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 20 September 1999 GUBERNUR BANK INDONESIA SYAHRIL SABIRIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1999 NOMOR 158 DPNP PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 1/ 6 /PBI/1999 TENTANG PENUGASAN DIREKTUR KEPATUHAN (COMPLIANCE DIRECTOR) DAN PENERAPAN STANDAR PELAKSANAAN FUNGSI AUDIT INTERN BANK UMUM UMUM Dalam rangka restrukturisasi perbankan nasional, telah dilaksanakan beberapa langkah perbaikan antara lain berupa program rekapitalisasi perbankan, penilaian fit and proper terhadap pemilik dan pengurus bank, dan penyesuaian beberapa ketentuan perbankan yang berhubungan dengan pelaksanaan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan bank. Berbagai langkah yang telah dilaksanakan tersebut perlu terus dipantau tindak lanjutnya agar tetap sesuai dengan tujuan yang diharapkan yaitu terciptanya sistem perbankan yang sehat. Selain peningkatan fungsi pengawasan bank oleh Bank Indonesia, dari sisi intern di setiap bank umum perlu dilakukan pemantauan terhadap pelaksanaan langkah-langkah perbaikan yang telah direncanakan serta untuk selalu memastikan ketaatan bank umum terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang perbankan. Untuk mencapai hal tersebut maka pada bank umum perlu ditugaskan salah seorang anggota direksi sebagai Direktur Kepatuhan. Khusus bagi bank umum yang mengikuti program rekapitalisasi bank umum, Direktur Kepatuhan juga bertugas untuk memastikan ketaatan bank terhadap perjanjian rekapitalisasi dan rencana kerja yang telah disetujui oleh Bank Indonesia. Keberadaan … Keberadaan Direktur Kepatuhan tersebut diharapkan dapat membantu manajemen bank dalam melaksanakan kegiatan operasionalnya sesuai dengan prinsip kehati-hatian. Di samping itu, diperlukan adanya pelaksanaan fungsi audit intern bank yang efektif melalui adanya kesamaan pemahaman mengenai misi, kewenangan, independensi, dan ruang lingkup pekerjaan audit intern bank. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Angka 1 Ketentuan mengenai Bank Umum berpedoman pada Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia tentang Bank Umum, dan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia tentang Bank Umum berdasarkan Prinsip Syariah Angka 2 Ketentuan mengenai Kantor Cabang Bank Asing berpedoman pada Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia tentang Persyaratan dan Tata Cara Pembukaan Kantor Cabang, Kantor Cabang Pembantu dan Kantor Perwakilan dari Bank Yang Berkedudukan di Luar Negeri. Angka 3 Cukup jelas Angka 4 Cukup jelas Pasal 2 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) … Ayat (2) Yang dimaksud dengan pimpinan kantor cabang adalah pemimpin kantor cabang dan pejabat satu tingkat di bawah pemimpin kantor cabang dari Kantor Cabang Bank Asing. Pasal 3 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Pihak-pihak yang berwenang menunjuk Direktur Kepatuhan antara lain direktur di kantor pusat atau pimpinan di kantor wilayah bank yang bersangkutan. Pasal 4 Huruf a Cukup jelas Huruf b Yang dimaksud dengan kegiatan operasional adalah kegiatan kredit, treasury, penghimpunan dana dan kegiatan operasional lainnya. Huruf c Cukup jelas Huruf d Yang dimaksud dengan bekerja secara independen adalah dapat mengungkapkan pandangan serta pemikiran sesuai dengan profesi, dengan tidak memihak terhadap kepentingan pihak lain yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan bank. Pasal 5 … Pasal 5 Huruf a Yang dimaksud dengan menetapkan langkah-langkah antara lain adalah menyiapkan prosedur kepatuhan (compliance procedure) pada setiap satuan kerja, menyesuaikan pedoman intern bank terhadap perubahan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan menyiapkan proses pengambilan keputusan oleh manajemen. Yang dimaksud dengan ketentuan dalam rangka pelaksanaan prinsip kehati-hatian antara lain adalah ketentuan mengenai Kewajiban Penyediaan Modal Minimum, Batas Maksimum Pemberian Kredit, Posisi Devisa Neto, Kualitas Aktiva Produktif, dan Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif. Huruf b Dilakukan antara lain dengan pemantauan penerapan prosedur kepatuhan (compliance procedure) pada setiap satuan kerja yang digunakan sebagai alat dalam setiap pengambilan keputusan yang dilakukan, dan melakukan pelatihan serta sosialisasi kepatuhan terhadap ketentuan yang berlaku. Huruf c Perjanjian yang dibuat oleh Bank dengan Bank Indonesia antara lain adalah perjanjian dalam rangka program rekapitalisasi bank umum. Komitmen yang dibuat oleh Bank adalah kesanggupan Bank untuk memenuhi perintah dan larangan dari Bank Indonesia dalam pelaksanaan kegiatan tertentu (Cease and Desist Order). Pasal 6 Dalam hal Direktur Kepatuhan telah melakukan pencegahan namun masih terjadi penyimpangan, direksi Bank atau pimpinan Kantor Cabang Bank Asing tetap bertanggung jawab atas penyimpangan yang terjadi. Pasal 7 … Pasal 7 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 8 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 9 Huruf a Cukup jelas Huruf b Cukup jelas Huruf c Cukup jelas Pasal 10 Huruf a Cukup jelas Huruf b Cukup jelas Huruf c Cukup jelas Huruf d … Huruf d Cukup jelas Pasal 11 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Tembusan laporan SKAI kepada Direktur Kepatuhan dimaksudkan antara lain untuk dijadikan sebagai informasi dalam rangka penyempurnaan prosedur kepatuhan yang ada di setiap unit kerja. Ayat (3) Cukup jelas Pasal 12 Huruf a Cukup jelas Huruf b Cukup jelas Pasal 13 Huruf a Cukup jelas Huruf b Cukup jelas Huruf c Cukup jelas Huruf d Cukup jelas Pasal 14 … Pasal 14 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 15 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 16 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 17 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Ayat (2) … Cukup jelas Pasal 18 Yang dimaksud dengan menyesuaikan dengan Peraturan Bank Indonesia ini adalah menyesuaikan tugas-tugas dan persyaratan Direktur Kepatuhan yang telah dimiliki, dengan Peraturan Bank Indonesia, serta mengajukan permohonan persetujuan kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak ditetapkannya Peraturan Bank Indonesia ini. Pasal 19 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 20 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 21 Cukup jelas Pasal 22 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 23 Penugasan/penunjukan Direktur Kepatuhan untuk Bank yang sedang mengikuti program rekapitalisasi bank umum berlaku ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 84 Tahun 1998 tanggal 31 Desember 1998 tentang Program Rekapitalisasi Bank Umum dan Surat Keputusan Bersama Menteri Kuangan Republik Indonesia dan Gubernur Bank Indonesia Nomor 53/KMK.017/1999 31/12/KEP/GBI tanggal 8 Februari 1999 tentang Pelaksanaan Program Rekapitalisasi Bank Umum, yaitu melalui Rapat Umum Pemegang Saham. Pasal 24 Cukup jelas Pasal 25 Cukup jelas Pasal 22 … TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1999 NOMOR 3883 DPNP KEWAJIBAN BANK UMUM UNTUK MENERAPKAN STANDAR PELAKSANAAN FUNGSI AUDIT INTERN BANK BANK INDONESIA 1999 DAFTAR ISI BAB I KEBIJAKAN UMUM 1. 2. KEBIJAKAN UMUM ……………………………………………… 1 MISI AUDIT INTERN BANK ……………………………………… 1 2.1. Mekanisme Pengendalian Umum ……………………………… 2 2.2. Fungsi SKAI ……………………………………………… 4 2.3. Peran Dewan Komisaris dalam hubungannya dengan fungsi SKAI …………………………………………. …… 4 3. INDEPENDENSI …………………………………………… 4 3.1 3.2. 3.3 3.4 Dukungan ……………………………………………………… 5 Kebebasan menetapkan metode ……………………………… 5 Obyektifitas …………………………………………………… 5 Bebas dari pertentangan kepentingan ……..…………………… 5 4. WEWENANG, KEDUDUKAN DAN TANGGUNG JAWAB SKAI …………………………………………………………… 6 5. 6. RUANG LINGKUP PEKERJAAN AUDIT INTERN ………………... 6 STANDAR PELAKSANAAN FUNGSI AUDIT INTERN BANK ………………………… ………..……………… 6 6.1. 6.2. 6.3. Hubungan SPFAIB dengan standar yang lain ………………… 7 Kontinuitas SPFAIB ……………………………………… 7 Keterkaitan SPFAIB dengan pengawasan Bank Indonesia ………………………………….…..… 7 BAB II PROFESIONALISME 1. 2. 2.1. 2.2. 3. 3.1. 3.2. 3.3. 4. 4.1. 4.2. PROFESIONALISME ………………………………………………. 8 KEMAHIRAN PROFESIONALISME …………………….……. 8 Latar belakang pendidikan …………………….……………. 8 Pengalaman kerja …………………………………….………… 9 SIKAP MENTAL DAN ETIKA ……………………………………… 9 Sikap mental Auditor Intern ……………………………….…. 9 Etika Auditor Intern ………………………………………….. 10 Tanggung jawab terhadap profesi ……………………………… 11 KEMAMPUAN KOMUNIKASI ……………………………………… 12 Komunikasi dengan Auditee ……………………………..…… 12 Komunikasi dengan auditor ekstern ………………………..… 12 BAB III ORGANISASI DAN MANAJEMEN 1. ORGANISASI DAN MANAJEMEN ………………………………..… 13 2. AUDITOR YANG PROFESIONAL ……..…………………………… 13 3. KEDUDUKAN DAN HUBUNGAN SKAI DENGAN MANAJEMEN DAN DEWAN KOMISARIS 3.1. 3.2. 3.3. …………..……… 14 Kedudukan SKAI dalam organisasi ……………..…………… 14 Kewajiban manajemen untuk menanggapi hasil laporan SKAI ……………………………… 15 Kedudukan, komunikasi, keanggotaan dan tanggung jawab Dewan Komisaris ……………………… 15 4. STRUKTUR ORGANISASI ………………………..………………… 16 5. WEWENANG DAN TANGGUNG JAWAB ……………..…………… 16 5.1. Internal Audit Charter …………………………………..……… 17 5.2. Wewenang dan tanggung jawab Kepala SKAI ……………… 17 5.3. Peran SKAI sebagai konsultan ……………………………… 17 6. PERENCANAAN ……………………………………………………… 18 7. KEBIJAKAN DAN PROSEDUR ……………………………………… 19 8. PENGEMBANGAN AUDITOR INTERN DAN PENDIDIKAN PROFESI ……………………………………………… 19 9. PENGENDALIAN MUTU AUDIT ……………………………… 19 10. HUBUNGAN SKAI DENGAN AUDITOR EKSTERN ……………… 20 BAB IV RUANG LINGKUP PEKERJAAN AUDIT INTERN 1. 2. RUANG LINGKUP PEKERJAAN AUDIT INTERN …………… 21 HUBUNGAN AUDIT INTERN DENGAN STRUKTUR BAB V PELAKSANAAN AUDIT 1. 2. PELAKSANAAN AUDIT ……………………………………… 24 PERSIAPAN AUDIT ……………………..…………………… 24 2.1. 2.2. 2.3. 2.4. Metode Pendekatan Audit Intern …………………………… 24 Penetapan penugasan ……………………………………… 24 Pemberitahuan audit ……………………………………… 25 Penelitian pendahuluan …………………………………… 25 3. PENYUSUNAN PROGRAM AUDIT …………………………… 26 4. PELAKSANAAN PENUGASAN AUDIT ……………………… 26 4.1. 4.2. 4.3. 4.4. Proses audit ……………………………………………… 26 Bukti audit ……………………………………………… 27 Evaluasi hasil audit ……………………………………… 27 Supervisi …………………………………………………… 28 5. PELAPORAN HASIL AUDIT …………………………………… 29 5.1. 5.2. 5.3. Standar pelaporan ……………………………………..… 29 Materi pelaporan ………………………………………… 30 Informasi khusus yang tidak dicantumkan dalam Laporan Hasil Audit ……………………………… 31 5.4. 5.5. 6. Proses penyusunan laporan ……………………………… 31 Penyampaian laporan ……………………………………… 32 TINDAK LANJUT HASIL AUDIT ……………………………… 33 BAB VI DOKUMENTASI DAN ADMINISTRASI 1. 2. DOKUMENTASI DAN ADMINISTRASI ……………………… 34 DOKUMENTASI KERTAS KERJA AUDIT …………………… 34 2.1. 2.2. 2.3. 3. ADMINISTRASI HASIL AUDIT ……………………………… 35 3.1. 3.2. Fungsi Kertas Kerja Audit ………………………………..… 34 Penyusunan Dokumentasi Kertas Kerja Audit …………… 34 Penyimpanan Kertas Kerja Audit ……………………… 35 Administrasi komunikasi audit ……………………………... 36 Administrasi kelengkapan pelaksanaan audit ………………. 36 PENGERTIAN ISTILAH …………………………………………………. 37 BAB I KEBIJAKAN UMUM 1. KEBIJAKAN UMUM Fungsi Audit Intern Bank sangat penting karena peranan yang diharapkan dari fungsi tersebut untuk membantu semua tingkatan manajemen dalam mengamankan kegiatan operasional bank yang melibatkan dana dari masyarakat luas. Di samping itu, menyadari kedudukan yang strategis dari perbankan dalam perekonomian, Audit Intern bank diharapkan juga mampu menjaga perkembangan bank ke arah yang dapat menunjang program pembangunan dari Pemerintah. Dalam hubungan ini, perlu diciptakan kesamaan pemahaman mengenai misi, kewenangan, independensi, dan ruang lingkup pekerjaan Audit Intern bank sehingga peranan tesebut dapat terwujud. Selanjutnya, agar penjabaran operasional dari misi, kewenangan, independensi dan ruang lingkup pekerjaan Audit Intern bank dapat terlaksana sesuai dengan yang diharapkan, diperlukan adanya Standar Pelaksanaan Fungsi Audit Intern Bank (SPFAIB) sebagai ukuran minimal yang harus dipatuhi oleh semua bank umum di Indonesia. Pelaksanaan SPFAIB untuk Bank-Bank Persero juga perlu memperhatikan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 1983 tanggal 25 Januari 1983 tentang Tata cara Pembinaan dan Pengawasan Perusahaan Jawatan (Perjan), Perusahaan Umum (Perum) dan Perusahaan Perseroan (Persero). 2. MISI AUDIT INTERN BANK Terpenuhinya secara baik kepentingan bank dan masyarakat penyimpan dana merupakan bagian dari misi Audit Intern Bank. Hal ini perlu dikemukakan karena sebagai badan usaha, di dalam bank terdapat dan bertemu berbagai macam kepentingan dari pihak-pihak terkait, seperti pemilik, manajemen, pegawai, dan nasabah. Walaupun terdapat perbedaan kepentingan diantara pihak-pihak terkait tersebut, namun pada hakekatnya kepentingan tersebut mempunyai tujuan yang sama, yaitu tercapainya bank yang sehat dan mampu berkembang secara wajar. Dalam kaitan ini, Audit Intern bank harus dapat menempatkan fungsinya di atas berbagai kepentingan tersebut untuk memastikan terwujudnya bank yang sehat, berkembang secara wajar dan dapat menunjang perekonomian nasional. Agar misi tersebut dapat terlaksana dengan baik, diperlukan mekanisme pengendalian umum dalam setiap bank di Indonesia. Selanjutnya, perlu dilakukan penataan dan penegasan dari peranan Dewan Komisaris dalam hubungannya dengan Fungsi Audit Intern bank. 2.1. Mekanisme Pengendalian Umum Mekanisme pengendalian umum adalah setiap kebijakan dan kegiatan yang ditentukan oleh manajemen bank di bidang pengawasan dalam rangka memperoleh keyakinan yang memadai bahwa kepentingan bank, masyarakat penyimpan dana dan pengguna jasa serta perekonomian nasional dapat terpelihara dengan serasi, dan dapat dilaksanakan dengan efektif dan efisien. Beberapa aspek yang memerlukan kejelasan dan kesamaan pemahaman agar mekanisme tersebut dapat terwujud diantaranya adalah tanggung jawab dan wewenang pengawasan dari Dewan Komisaris dan Direksi, ruang lingkup Pengendalian Intern dan pekerjaan Audit Intern dalam hubungannya dengan struktur pengendalian intern bank. a. Tanggung jawab dan wewenang pengawasan Dewan Komisaris dan Direksi Dalam kerangka pengendalian umum, pembagian tanggung jawab dan wewenang pengawasan antara Dewan Komisaris dan Direksi harus dinyatakan dengan jelas dalam Anggaran Dasar bank atau Keputusan Rapat Umum Pemegang Saham bagi bank yang belum mencantumkan hal tersebut dalam anggaran dasarnya. Pembagian tersebut diatur sebagai berikut: i. tanggung jawab akhir pengawasan dilakukan oleh Dewan Komisaris antara lain dengan mengevaluasi hasil temuan pemeriksaan oleh Satuan Kerja Audit Intern (SKAI). Dalam kaitan ini, Dewan Komisaris berwenang untuk meminta Direksi menindaklanjuti hasil temuan pemeriksaan SKAI. ii. tanggung jawab Direksi adalah menciptakan struktur pengendalian intern, menjamin terselenggaranya Fungsi Audit Intern bank dalam setiap tingkatan manajemen dan menindaklanjuti temuan Audit Intern bank sesuai dengan kebijakan ataupun pengarahan yang diberikan oleh Dewan Komisaris. Dalam kaitan ini, Direksi berkewajiban pula melaporkan kegiatan tersebut di atas kepada Rapat Umum Pemegang Saham. b. Ruang lingkup Pengendalian Intern Bank Struktur pengendalian intern meliputi kebijakan, organisasi, prosedur, metode dan ketentuan yang terkoordinasi yang dianut dalam satuan usaha. Struktur pengendalian intern bertujuan untuk mengamankan harta kekayaan, meyakini akurasi dan kehandalan data akuntansi, mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya secara ekonomis dan efisien serta mendorong ditaatinya kebijakan manajemen yang telah digariskan. Dalam usaha perbankan yang melibatkan dana dari masyarakat luas, ruang lingkup pengendalian intern bank meliputi juga aspek-aspek yang mampu menjamin keamanan dana yang disimpan oleh masyarakat dan pihak ketiga lainnya. c. Audit Intern sebagai bagian dari Struktur Pengendalian Intern Audit Intern merupakan bagian dari struktur pengendalian intern dan merupakan segala bentuk kegiatan yang berhubungan dengan audit dan pelaporan hasil audit mengenai terselenggaranya struktur pengendalian secara terkoordinasi dalam setiap tingkatan manajemen bank. Transparansi dan kejelasan merupakan suatu hal yang sangat penting dalam pengelolaan bank sehingga kebijakan Audit Intern yang berkaitan dengan wewenang dan tingkat independensinya perlu dinyatakan dalam sebuah dokumen tertulis dari Direktur Utama bank dengan persetujuan Dewan Komisaris yang disebut Internal Audit Charter. Secara periodik Internal Audit Charter ini perlu dinilai kecukupannya oleh Direktur Utama dan Dewan Komisaris agar pelaksanan Audit Intern senantiasa berada pada tingkat yang optimal. 2.2. Fungsi SKAI Tugas SKAI adalah membantu Direktur Utama dan Dewan Komisaris dengan menjabarkan secara operasional perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan atas hasil audit. Dalam melaksanakan hal ini Auditor Intern mewakili pandangan dan kepentingan profesinya dengan membuat analisis dan penelitian di bidang keuangan, akuntansi, operasional dan kegiatan lainnya melalui pemeriksaan secara on-site dna pemantauan secara off-site, serta memberikan saran perbaikan dan informasi yang obyektif tentang kegiatan yang direview kepada semua tingkatan manajemen. Di samping itu SKAI harus mampu mengidentifikasikan segala kemungkinan untuk memperbaiki dan meningkatkan efisiensi penggunaan sumber daya dan dana. 2.3. Peran Dewan Komisaris Dalam Hubungannya Dengan Fungsi SKAI Dewan Komisaris harus menjamin agar SKAI dapat melaksanakan tugas secara independen. Dalam hal ini Dewan Komisaris wajib melakukan review atas perencanaan dan pelaksanaan audit serta pemantauan atas tindak lanjut hasil audit dalam rangka menilai kecukupan pengendalian intern termasuk kecukupan proses pelaporan keuangan. Hal tersebut perlu dilakukan mengingat Dewan Komisaris berperan sebagai wakil dari pemegang saham dan masyarakat. 3. INDEPENDENSI Baik SKAI maupun masing-masing Auditor Intern harus memiliki independensi dalam melakukan audit dan mengungkapkan pandangan serta pemikiran sesuai dengan profesinya dan standar audit yang berlaku umum. Independensi tersebut sangat penting agar produk yang dihasilkannya memiliki manfaat yang optimal bagi terselenggara dan terjaminnya kepentingan bank dan masyarakat. Dalam hubungan ini Audit Intern harus independen dari kegiatan yang diperiksa. Auditor Intern dianggap independen apabila dapat bekerja dengan bebas dan obyektif. Untuk memperoleh independensi tersebut, kedudukan Kepala SKAI dalam organisasi harus ditetapkan sedemikain rupa sehingga mampu mengungkapkan pandangan dan pemikirannya tanpa pengaruh ataupun tekanan dari manajemen ataupun pihak lain yang terkait dengan bank. 3.1. Dukungan Manajemen harus memberikan dukungan sepenuhnya kepada SKAI agar dapat bekerja dengan bebas tanpa campur tangan dari pihak manapun. 3.2. Kebebasan Menetapkan Metode SKAI harus memiliki kebebasan dalam menetapkan metode, cara, teknik dan pendekatan audit yang akan dilakukan. 3.3. Obyektivitas Obyektivitas adalah sikap mental yang independen yang harus dipelihara oleh Auditor Intern dalam melakukan audit. Sikap mental tersebut tercermin dari laporan yang lengkap, obyektif serta berdasarkan analisis yang cermat dan tidak memihak. Untuk dapat memelihara obyektivitas diperlukan antara lain: a. rotasi secara berkala penugasan pekerjaan kepada para Auditor Intern, b.review secara cermat atas laporan hasil audit serta prosesnya. 3.4. Bebas Dari Pertentangan Kepentingan Auditor Intern tidak boleh memiliki kepentingan atas obyek atau kegiatan yang diperiksanya. Penugasan oleh Kepala SKAI harus dilakukan sedemikian rupa sehingga dapat dihindari terjadinya pertentangan kepentingan. 4. WEWENANG, KEDUDUKAN, DAN TANGGUNG JAWAB SKAI SKAI harus diberi wewenang, kedudukan dan tanggung jawab dalam organisasi sedemikian rupa sehingga dapat dan mampu melaksanakan tugasnya sesuai dengan ukuran-ukuran standar pekerjaan yang dituntut oleh profesinya. 5. RUANG LINGKUP PEKERJAAN AUDIT INTERN Ruang lingkup pekerjaan audit SKAI harus mencakup seluruh aspek dan unsur kegiatan bank yang secara langsung ataupun tidak langsung diperkirakan dapat mempengaruhi tingkat terselenggaranya secara baik kepentingan bank dan masyarakat. Dalam hubungan ini, selain meliputi pemeriksaan dan penilaian atas kecukupan dan efektivitas struktur pengendalian intern dan kualitas pelaksanaannya, juga mencakup segala aspek dan unsur dari organisasi bank sehingga mampu menunjang analisis yang optimal dalam membantu proses pengambilan keputusan oleh manajemen. 6. STANDAR PELAKSANAAN FUNGSI AUDIT INTERN BANK SPFAIB merupakan standar yang memuat ukuran minimal tentang Fungsi Audit Intern yang perlu diselenggarakan oleh bank umum serta aspek-aspek yang berkaitan dengan pelaksanaan Audit Intern tersebut. Standar ini tidak dimaksudkan untuk menguraikan secara teknis dan rinci tentang teknik dan tatacara pelaksanaan fungsi Audit Intern serta tidak pula dimaksudkan untuk mengatur bentuk organisasi SKAI. Dengan adanya SPFAIB diharapkan dapat tercipta kesamaan landasan semua bank umum di Indonesia mengenai tingkat pemeliharaan kepentingan dari semua pihak terkait dengan bank. Dalam pelaksanaannya masing-masing bank perlu menjabarkan lebih lanjut penyusunan Internal Audit Charter dan panduan Audit Intern yang disesuaikan dengan kondisi masing-masing bank yang bersangkutan. 6.1. Hubungan SPFAIB dengan standar yang lain Bank yang secara organisatoris atau karena hal lain harus mengikuti standar dari lembaga lain atau dari organisasi induknya, baik di dalam maupun di luar negeri, seperti Norma Pemeriksaan Satuan Pengawasan Intern BUMN/BUMD, atau Standards For The Professional Practice of Internal Auditing (The Institute of Internal Auditors), dalam pelaksanaan fungsi Audit Internnya minimal harus memenuhi ukuran-ukuran yang telah ditetapkan dalam SPFAIB. 6.2. Kontinuitas SPFAIB Ukuran-ukuran yang dinyatakan dalam SPFAIB ini akan terus dimutakhirkan dengan memperhatikan perkembangan didalam praktek perbankan. 6.3. Keterkaitan SPFAIB dengan Pengawasan Bank Indonesia Kepatuhan bank dalam melaksanakan fungsi Audit Intern berdasarkan SPFAIB merupakan salah satu aspek pengawasan dari Bank Indonesia. BAB II PROFESIONALISME I. PROFESIONALISME Profesionalisme harus menjadi acuan dalam pelaksanaan fungsi Audit Intern oeh SKAI. Untuk dapat mewujudkan hal tersebut, Auditor Intern secara sendiri-sendiri ataupun bersama-sama harus mempunyai: a. pengetahuan yang memadai dalam bidang tugasnya yaitu pengetahuan mengenai teknis audit dan disiplin ilmu lain yang relevan dengan spesialisasinya; b. perilaku yang independen, jujur, obyektif, tekun dan loyal, c. kemampuan mempertahankan kualitas profesionalnya melalui pendidikan profesi lanjutan yang berkesinambungan, d. kemampuan melaksanakan kemahiran profesionalnya secara cermat dan seksama, e. kecakapan dalam berinteraksi dan berkomunikasi baik lisan maupun tertulis secara efektif. 2. KEMAHIRAN PROFESIONAL Kemahiran profesional dapat diperoleh Auditor Intern melalui pendidikan dan pengalaman kerja yang memadai dalam bidang Audit Intern, kegiatan operasional perbankan serta disiplin ilmu lain yang relevan dengan spesialisasinya. 2.1. Latar Belakang Pendidikan Persyaratan minimal pendidikan bagi Auditor Intern ditetapkan oleh masing- masing bank sesuai dengan ukuran organisasi maupun tingkat kerumitan kegiatan banknya. Meskipun demikian agar dapat melaksanakan tugasnya dengan baik, latar belakang pendidikan Auditor Intern seharusnya dapat menunjang untuk: a. memahami penerapan SPFAIB; b. memahami standar akuntansi keuangan; c. memahami peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan kegiatan operasional perbankan; d. memahami prinsip-prinsip manajemen khususnya manajemen perbankan, e. memiliki pengetahuan mengenai ilmu yang berkaitan dengna kegiatan perbankan seperti ilmu ekonomi, ilmu hukum, perpajakan dan masalah- masalah keuangan, metode kuantitatif/statistik dan memahami prinsip- prinsip Pengolahan Data Elektronik. Dalam penerapannya, masing-masing Auditor Intern tidak perlu memahami seluruh bidang di atas, akan tetapi SKAI secara keseluruhan harus mempunyai personil yang memahami disiplin ilmu di atas. 2.2. Pengalaman Kerja Pengalaman kerja yang memadai dalam bidang operasional perbankan akan menambah atau membantu memberikan kemahiran profesional bagi Auditor Intern, 3. SIKAP MENTAL DAN ETIKA Auditor Intern harus memiliki sikap mental dan etika serta tanggung jawab profesi yang tinggi, sehingga kualitas hasil kerjanya dapat dipertanggungjawabkan dan dapat digunakan untuk membantu terwujudnya perkembangan bank yang wajar dan sehat. 3.1. Sikap Mental Auditor Intern Auditor Intern harus memiliki sikap mental yang baik yang tercermin dari kejujuran, obyektivitas, ketekunan dan loyalitasnya kepada profesi. a. Kejujuran Auditor Intern harus mampu mengemukakan pendapat secara jujur dan bijaksana, sesuai dengan hasil temuannya. b. Obyektivitas Auditor Intern harus selalu mempertahankan sikap obyektif, sehingga dapat mengemukakan temuan berdasarkan bukti-bukti atau fakta-fakta yang dapat dipertanggungjawabkan. Dengan demikian laporan atas hasil temuan harus lengkap dan didasarkan pada analisis yang obyektif. c. Ketekunan Auditor Intern harus memiliki ketekunan dan keuletan di dalam menelusuri masalah/indikasi yang dihadapi guna memperoleh bukti-bukti yang akan mendukung temuannya. d. Loyalitas Auditor Intern harus menunjukkan loyalitas kepada tanggung jawab profesinya 3.2. Etika Auditor Intern Auditor Intern harus memiliki Kode Etik Profesi yang antara lain mengacu kepada Code of Ethics dari The Institute of Internal Auditors. kode etik tersebut sekurang-kurangnya memuat keharusan untuk: a. berperilaku jujur, santun, tidak tercela, obyektif dan bertanggung jawab; b. memiliki dedikasi tinggi; c. tidak akan menerima apapun yang akan dapat mempengaruhi pendapat profesionalnya; d. menjaga prinsip kerahasiaan sesuai dengan ketentuan dan perundangan yang berlaku; e. terus meningkatkan kemampuan profesionalnya. 3.3. Tanggung Jawab Terhadap Profesi Auditor Intern harus menunjukkan tanggung jawab terhadap profesi dengan selalu menerapkan prinsip kerja yang cermat dan seksama serta terus memelihara kemampuan teknisnya, sehingga dapat menghasilkan kualitas kerja yang optimal. a. Bekerja secara cermat dan seksama Auditor Intern harus bekerja secara cermat dan seksama dalam batas yang layak serta menerapkan kemahiran profesionalnya secara optimal. Untuk itu perlu diperhatikan: i. Ruang lingkup ataupun tingkat kesulitan yang dihadapi dalam pelaksanaan tugas; ii. Kewaspadaan terhadap kemungkinan adanya penyimpangan, kesalahan, penggelapan, inefisiensi, pemborosan serta pertentangan kepentingan dan pelaporannya kepada atasan pejabat yang bersangkutan; iii. Kecermatan dalam mengidentifikasi keadaan dan kegiatan yang rawan penyimpangan, kelemahan struktur pengendalian intern dan ketepatan dalam memberikan saran guna meningkatkan ketaatan terhadap prosedur yang ditetapkan bank; iv. Kesungguhan dan tanggung jawab dalam pelaksanaan tugas; v. Kemungkinan dilakukannya pemeriksaan lanjutan atau pemeriksaan khusus yang lebih mendalam. b. Upaya peningkatan pengetahuan melalui pendidikan profesi berkelanjutan. Auditor Intern harus selalu memelihara kemampuan teknisnya melalui upaya: i. ii. Mengikuti perkembangan produk-produk baru dari perbankan; Mengikuti perkembangan terakhir tentang teknik Audit Intern melalui seminar, kursus atau pendidikan lanjutan lainnya. iii. Mengikuti serta memahami ketentuan-ketentuan yang berlaku yang berkaitan dengan aktivitas operasional perbankan. 4. KEMAMPUAN KOMUNIKASI Auditor Intern harus memiliki kemampuan berinteraksi dan berkomunikasi baik lisan maupun tertulis secara efektif karena Auditor Intern harus senantiasa berhubungan dengan berbagai pihak, baik intern maupun ekstern. 4.1. Komunikasi Dengan Auditee a. Auditor Intern harus senantiasa menjaga komunikasi dan interaksi yang baik dan wajar dengan Auditee sehingga pelaksanaan tugasnya dapat berjalan dengan lancar; b. Auditor Intern harus mampu melaksanakan komunikasi lisan atau tertulis sehingga dapat menyampaikan masalah-masalah audit, seperti tujuan, penilaian, kesimpulan audit dan rekomendasi hasil audit, yang diberikan secara jelas dan efektif. 4.2. Komunikasi Dengan Auditor Ekstern Auditor Intern harus mampu melakukan komunikasi lisan atau tertulis dengan auditor ekstern sesuai dengan batas kewenangan masing-masing auditor ekstern tersebut. BAB III ORGANISASI DAN MANAJEMEN 1. ORGANISASI DAN MANAJEMEN Fungsi Audit Intern bank merupakan alat untuk membantu memastikan bahwa bank tersebut dapat mengelola dana yang dihimpun dari masyarakat dan mampu mengamankan kegiatan bank sehingga dapat menunjang program pembangunan Pemerintah. Oleh karena itu manajemen bank harus bertanggung jawab untuk mengarahkan agar fungsi Audit Intern yang bersangkutan dapat berjalan dengan efektif. Organisasi SKAI harus sedemikan rupa sehingga fungsi Audit Intern dapat berjalan dengan efektif. Sehubungan dengan hal tersebut SKAI harus memiliki: a. auditor yang profesional; b. kedudukan yang jelas dalam organisasi; c. struktur organisasi yang handal; d. wewenang dan tanggungjawab yang jelas; e. perencanaan yang matang; f. kebijakan dan prosedur yang jelas; g. program pengembangan dan pendidikan profesi; h. program pengendalian mutu. 2. AUDITOR YANG PROFESIONAL Auditor yang profesional memiliki pengetahuan dan kemahiran profesional yang diperoleh baik melalui pendidikan maupun melalui pengalaman dalam bidang operasional bank dan senantiasa bekerja berdasarkan suatu sikap mental dan kode etik yang telah ditetapkan. 3. KEDUDUKAN DAN HUBUNGAN SKAI DENGAN MANAJEMEN DAN DEWAN KOMISARIS SKAI harus mendapat dukungan dari manajemen dan Dewan Komisaris agar para auditor dapat memperoleh kerjasama dari auditee dan melakukan pekerjaan tanpa hambatan. 3.1. Kedudukan SKAI dalam organisasi a. Pengangkatan dan pemberhentian Kepala SKAI diangkat dan diberhentikan oleh Direksi bank dengan persetujuan dari Dewan Komisaris dan dilaporkan kepada Bank Indonesia. b. Independensi Kepala SKAI bertanggung jawab kepada Direktur Utama bank. Untuk mendukung independensi dan menjamin kelancaran audit serta wewenang dalam memantau tindak lanjut maka Kepala SKAI dapat berkomunikasi langsung dengan Dewan Komisaris untuk menginformasikan berbagai hal yang berhubungan dengan audit. Pemberian informasi tersebut harus dilaporkan kepada Direktur Utama dengan tembusan kepada Direktur Kepatuhan (Compliance Director). c. Pelaporan ----- : Garis komunikasi/penyampaian informasi menyampaikan laporan audit kepada Direktur Utama dan Dewan Komisaris dengan tembusan kepada Direktur Kepatuhan, Kepala SKAI wajib: i. ii. menyiapkan laporan pelaksanaan dan pokok-pokok hasil audit yang akan disampaikan kepada Bank Indonesia setiap semester. Laporan tersebut ditandatangani oleh Direktur Utama dan Dewan Komisaris, iii. menyiapkan segera laporan atas setiap temuan audit yang diperkirakan dapat mengganggu kelangsungan usaha bank. Laporan tersebut harus segera disampaikan kepada Bank Indonesia oleh Direktur Utama dan Dewan Komisaris. 3.2. Kewajiban Manajemen Untuk Menanggapi Hasil Laporan SKAI Manajemen harus memberikan tanggapan dan segera mengambil langkah yang diperlukan atas dasar hasil Audit Intern. 3.3. Tanggung Jawab Dewan Komisaris Tanggung jawab Dewan Komisaris sekurang-kurangnya: i. Menyetujui Internal Audit Charter, menanggapi rencana Audit Intern dan masalah-masalah yang ditemukan oleh Auditor Intern serta menentukan pemeriksaan khusus oleh SKAI apabila terdapat dugaan terjadinya kecurangan, penyimpangan terhadap hukum dan peraturan yang berlaku. ii. Mengambil langkah-langkah yang diperlukan dalam hal Auditee tidak menindaklanjuti laporan Kepala SKAI. iii. Memastikan: • bahwa laporan-laporan yang disampaikan kepada Bank Indonesia serta instansi lain yang berkepentingan telah dilakukan dengan benar dan tepat waktu, • bahwa bank mematuhi ketentuan dan perundang-undangan yang berlaku. iv. Memastikan bahwa manajemen menjamin baik Auditor Ekstern maupun Intern dapat bekerja sesuai dengan standar auditing yang berlaku. v. Memastikan bahwa manajemen telah menjalankan usahanya sesuai dengan prinsip pengelolaan bank secara sehat. vi. Menilai efektivitas pelaksanaan fungsi SKAI. 4. STRUKTUR ORGANISASI Struktur organisasi harus jelas mengatur aspek-aspek yang berkaitan dengan pembagian kerja di antara Auditor, pengelompokan Auditor dan rentang kendali serta pendelegasian wewenang dari Kepala SKAI. Oleh karena jenis kegiatan dan volume usaha bank berbeda antara yang satu dengan lainnya, di antaranya bank yang kantor pusatnya berkedudukan di luar negeri, maka dalam menentukan struktur organisasi SKAI perlu disesuaikan dengan kondisi yang dihadapi masing-masing bank. Bagi bank yang kantor pusatnya brkedudukan di luar negeri, pengertian Dewan Komisaris adalah pejabat yang ditunjuk oleh kantor pusatnya untuk melakukan fungsi Dewan Komisaris. Dalam hal jaringan kantor bank membutuhkan fungsi audit intern yang terpisah, maka fungsi tersebut tetap harus berada dalam koordinasi SKAI. Di dalam penugasan Auditor Intern, harus dimungkinkan adanya rotasi secara berkala sehingga dapat memberikan kesempatan kepada para Auditor Intern untuk menambah pengetahuan dan kemampuannya. 5. WEWENANG DAN TANGGUNG JAWAB Auditor Intern harus diberikan wewenang, kedudukan dan tanggung jawab sedemikian rupa didalam organisasi sehingga dapat dan mampu melaksanakan tugasnya dengan ukuran-ukuran standar pekerjaan yang dituntut oleh profesinya sebagai Auditor Intern bank. 5.1. Piagam Audit Intern (Internal Audit Charter) Misi, wewenang dan tanggung jawab SKAI harus dirumuskan dalam suatu dokumen tertulis yang harus disetujui oleh Dewan Komisaris yang selanjutnya disebut Piagam Audit Intern. Piagam Audit Intern sekurang- kurangnya harus mencantumkan: a. kedudukan SKAI, b. kewenangan untuk melakukan akses terhadap catatan, karyawan, sumber daya dan dana serta aset bank lainnya yang berkaitan dengan pelaksanaan audit, c. d. ruang lingkup kegiatan Audit Intern, penyertaan bahwa Auditir Intern tidak boleh mempunyai wewenang atau tanggung jawab untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan operasional dari Auditee. 5.2. Wewenang dan tanggung jawab Kepala SKAI Status Kepala SKAI harus memungkinkannya untuk dapat menjaga independensi, memberikan perhatian yang cukup terhadap laporan hasil audit dan tindak lanjutnya. Kepala SKAI juga bertanggung jawab untuk merencanakan audit, melaksanakan audit, mengatur dan mengarahkan audit serta mengevaluasi prosedur yang ada untuk memperoleh keyakinan bahwa tujuan dan sasaran dari bank akan dapat dicapai secara optimal. Dalam hubungan ini Kepala SKAI harus mempertanggungjawabkan kegiatannya secara berkala kepada Direktur Utama. 5.3. Peran SKAI Sebagai Konsultan SKAI harus berusaha agar dapat berperan sebagai konsultan bagi pihak-pihak intern bank yang membutuhkan, terutama yang menyangkut ruang lingkup tugasnya. SKAI antara lain harus memberikan tanggapan atas usulan kebijakan atau sistem dan prosedur untuk dapat memastikan bahwa dalam kebijakan ataupun sistem yang baru tersebut telah dimasukkan pula aspek- aspek pengendalian intern sehingga di dalam pelaksanaannya akan dapat tercapai tujuannya secara efektif dan efisien. Dengan adanya keterlibatannya SKAI di dalam review sistem ini, tidak berarti bahwa hal-hal tersebut akan dikecualikan sebagai obyek audit. 6. PERENCANAAN Kegiatan SKAI harus didasarkan pada perencanaan. Kepala SKAI bertanggung jawab membuat rencana untuk melaksanakan tugas satuan kerja yang dipimpinnya. Rencana tersebut harus konsisten dengan Internal Audit Charter, tujuan bank, disetujui oleh Direktur Utama dan dilaporkan kepada Dewan Komisaris. Proses perencanaan audit terdiri dari: 6.1. Penentuan tujuan audit Tujuan dari SKAI harus bisa diukur dan sesuai dengan rencana dan anggaran operasi bank. 6.2. Penentuan skedul kerja audit Skedul kerja audit harus mencakup kegiatan yang akan diaudit, tanggal mulai dan waktu yang dibutuhkan, dengan mempertimbangkan ruang lingkup audit dan hasil audit yang telah dilakukan oleh auditor sebelumnya. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam membuat skedul kerja audit tersebut antara lain adalah: a. temuan audit periode sebelumnya, b. evaluasi risiko yang meliputi antara lain risiko usaha, risiko kredit, risiko likuiditas, risiko perubahan nilai tukar dan risiko operasional. Tujuan dari dilakukannya evaluasi risiko adalah untuk mengidentifikasikan bagian yang material atau signifikan dari kegiatan yang diaudit. 6.3. Rencana sumber daya manusia dan anggaran Di dalam perencanaan sumber daya manusia dan anggaran perlu diperhatikan jumlah auditor yang diperlukan untuk pelaksanaan tugas, kualifikasi yang dibutuhkan, pelatihan yang diperlukan untuk upaya pengembangan di samping kegiatan-kegiatan administratif yang harus dilakukan. 6.4. Laporan kegiatan audit Laporan kegiatan audit harus disampaikan kepada Direktur Utama dan Dewan Komisaris dengan tembusan kepada Direktur Kepatuhan. Laporan terebut antara lain harus dapat menggambarkan perbandingan antara hasil audit yang telah dicapai dengan sasaran yang telah ditetapkan sebelumnya, realisasi biaya dan anggaran, penyebab terjadinya penyimpangan serta tindakan yang telah dan perlu diambil untuk melakukan penyempurnaan 7. KEBIJAKAN DAN PROSEDUR Kepala SKAI berkewajiban menyusun kebijakan dan prosedur tertulis sebagai pedoman bagi Auditor Intern dalam melaksanakan tugasnya. Bentuk dan isi dari kebijakan dan prosedur tersebut harus disesuaikan dengan struktur organisasi SKAI dan besarnya SKAI serta tingkat kerumitan kegiatan bank yang bersangkutan 8. PENGEMBANGAN AUDITOR INTERN DAN PENDIDIKAN PROFESI SKAI harus memiliki program rekrutmen dan pengembangan sumber daya manusia. Program tersebut sekurang-kurangnya harus memuat: a. b. c. d. e. uraian tugas dan tanggungjawab yang jelas bagi setiap auditor, kriteria auditor yang memenuhi persyaratan, rencana pendidikan dan pelatihan profesi berkelanjutan, metode penilaian kinerja auditor, pengembangan karir auditor. 9. PENGENDALIAN MUTU AUDIT SKAI harus memiliki suatu program untuk mengevaluasi mutu kegiatan audit yang dilakukannya. Evaluasi tersebut terdiri dari: 9.1. Supervisi Supervisi terhadap pekerjaan Auditor Intern harus dilakukan secara berkesinambungan untuk memastikan adanya kepatuhan terhadap standar audit, kebijakan, prosedur dan program audit yang telah disusun. 9.2. Review Intern Auditor Intern juga harus melakukan review secara berkesinambungan atas kualitas pekerjaan audit yang mereka hasilkan. 9.3. Review Ekstern Untuk menilai mutu operasi SKAI, fungsi audit intern bank harus direview oleh lembaga ekstern sekurang-kurangnya sekali dalam 3 tahun. Review ini harus dilaksanakan oleh lembaga ekstern yang memiliki kompetensi dan independensi dan tidak mempunyai pertentangan kepentingan. Laporan atas review ekstern ini harus memuat pendapat tentang hasil kerja SKAI dan kepatuhannya terhadap SPFAIB serta perbaikan yang mungkin dilakukan. Hasil review tersebut harus disampaikan pula ke Bank Indonesia. 10. HUBUNGAN SKAI DENGAN AUDITOR EKSTERN SKAI bertanggungjawab untuk mengkoordinasikan kegiatannya dengan kegiatan auditor ekstern. Melalui koordinasi tersebut diharapkan dapat dicapai hasil audit yang komprehensif dan optimal. Koordinasi dapat dilakukan melalui pertemuan secara periodik untuk membicarakan hal-hal yang dianggap penting bagi kedua belah pihak. BAB IV RUANG LINGKUP PEKERJAAN AUDIT INTERN 1. RUANG LINGKUP PEKERJAAN AUDIT INTERN Ruang lingkup pekerjaan Audit Intern harus mencakup pemeriksaan dan penilaian atas kecukupan dan efektivitas struktur pengendalian intern dari bank yang bersangkutan dan atas kualitas kinerja dalam melaksanakan tanggung jawab yang telah digariskan. Ruang lingkup pekerjaan dan kegiatan yang akan dan harus diaudit diarahkan oleh Direktur Utama dan Dewan Komisaris. 1.1. Penilaian Kecukupan Struktur Pengendalian Intern Pemeriksaan dan penilaian atas kecukupan dari struktur pengendalaian intern dimaksudkan untuk menentukan sampai seberapa jauh sistem yang telah ditetapkan dapat diandalkan kemampuannya untuk memberikan keyakinan yang memadai bahwa tujuan dan sasaran bank dapat dicapai secara efesien dan ekonomis. 1.2. Penilaian Efektivitas Struktur Pengendalaian Intern Pemeriksaan dan penilaian atas efektivitas dari struktur pengendalian intern dimaksudkan untuk menentukan sejauh mana struktur tersebut sudah berfungsi seperti diinginkan. 1.3. Penilaian Kualitas Kinerja Pemeriksaan dan penilaian atas kualitas kinerja dimaksudkan untuk menentukan sejauh mana tujuan dan sasaran organisasi telah tercapai. 2. HUBUNGAN AUDIT INTERN DENGAN STRUKTUR PENGENDALIAN INTERN Audit Intern merupakan bagian dari sturktur pengendalian intern. Pengendalian intern adalah setiap tindakan yang diambil oleh manajeman untuk memastikan tercapainya tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan. Adapun tujuan utama dari pengendalian intern adalah untuk memastikan: a. pengamanan dana masyarakat; b. pencapaian tujuan dan sasaran kegiatan operasional yang telah ditetapkan; c. pemanfaatan sumber daya secara ekonomis dan efisien; d. kebenaran dan keutuhan informasi; e. kepatuhan terhadap kebijakan, rencana, prosedur, hukum dan peraturan; f. pengamanan harta kekayaan. Pemeriksaan dan penilaian atas efektivitas dari struktur pengendalian intern dimaksudkan untuk memberikan keyakinan bagi auditor intern bahwa pengendalian telah berjalan seperti yang telah ditetapkan. 2.1. Pengamanan Dana Masyarakat Auditor Intern harus menilai kehandalan sistem yang telah ditetapkan dalam mengamankan dana yang dihimpun bank dari masyarakat yang meliputi deposito, giro, tabungan serta dana pihak ketiga lainnya. 2.2. Pencapaian Tujuan dan Sasaran Kegiatan Operasional yang Telah Ditetapkan Auditor Intern harus menilai sejauh mana tujuan dan sasaran kegiatan operasional tertentu telah dicapai secara konsisten sesuai dengan yang diharapkan. Dalam hubungan ini, antara lain Auditor Intern harus mampu menilai kewajaran perkembangan usaha bank baik potensi maupun kendala yang mempengaruhinya. 2.3. Pemanfaatan Sumber Daya Secara Ekonomis dan Efesien Auditor Intern harus menilai sejauh mana sumber daya telah dimanfaatkan secara ekonomis dan efesien. Untuk itu antara lain diperlukan penilaian atas efesiensi, efektivitas dan keamanan kegiatan operasional tertentu seperti kegiatan komputerisasi. Selain itu Auditor Intern harus menilai pemanfaatan sumber daya serta fasilitas yang kurang dimanfaatkan atau suatu pekerjaan yang dinilai kurang produktif. 2.4. Kebenaran dan Keutuhan Informasi Auditor Intern harus menilai kebenaran dan keutuhan dari informasi keuangan dan kegiatan operasional termasuk pencatatan kewajiban bank dan rekening administratif. Tujuan penilaian terhadap informasi dimaksud adalah memastikan bahwa informasi tersebut akurat, handal, tepat waktu, lengkap dan berguna baik kepentingan bank, masyarakat maupun Bank Indonesia. 2.5. Kepatuhan Terhadap Kebijakan, Rencana, Prosedur, Hukum dan Peraturan Auditor Intern harus menilai sistem yang telah ditetapkan untuk memastikan kepatuhan terhadap kebijakan, rencana, prosedur, hukum dan peraturan yang mungkin mempunyai dampak yang signifikan terhadap operasi bank, termasuk penilaian tentang aspek-aspek kegiatan usaha bank yang dapat mempengaruhi tingkat kesehatan atau dapat menimbulkan permasalahan. 2.6. Pengamanan Harta Kekayaan Auditor Intern harus menilai cara yang digunakan untuk mengamankan harta kekayaan bank termasuk sumber daya dan dana serta memeriksa eksistensi dari harta kekayaan tersebut. BAB V PELAKSANAAN AUDIT 1. PELAKSANAAN AUDIT Pendekatan pelaksanaan audit dipengaruhi oleh besar organisasi, karakteristik, volume dan kompleksitas operasi masing-masing bank. Oleh karena itu, setiap pelakasanaan kegiatan audit perlu memperhatikan kondisi dari masing-masing bank. Pelaksanaan audit dapat dibedakan dalam 5 (lima) tahap kegiatan yaitu tahap persiapan audit, penyusunan program audit, pelaksanaan penugasan audit, pelaporan hasil audit dan tindak lanjut hasil audit. 2. PERSIAPAN AUDIT Pelaksanaan audit harus dipersiapkan dengan baik agar tujuan audit dapat dicapai dengan cara efesien. Langkah yang perlu diperhatikan pada tahap persiapan audit meliputi penetapan penugasan, pemberitahuan audit dan penelitian pendahuluan. 2.1. Metode Pendekatan Auditor Intern Auditor Intern harus mampu menggunakan metode-metode pendekatan yang diperlukan untuk pelaksanaan audit intern, agar pelaksanaan auditnya dapat berlangsung secara efektif dan efesien. Metode pendekatan tersebut dapat berbeda antara satu auditor dengan auditor lainnya serta dalam satu bank dengan bank lainnya, namun sekurang-kurangnnya Auditor Intern perlu memperhatikan aspek-aspek tehnis seperti cara dan penetapan sampling, tehnik pengujian yang akan dilakukan, minimal bukti audit yang diperlukan dan cara mendapatkannya serta memperhatikan konsep materialitas. 2.2. Penetapan Penugasan Penetapan penugasan audit dimaksudkan untuk pemberitahuan kepada auditor sebagai dasar untuk melakukan audit sebagaimana ditetapkan dalam rencana audit tahunan bank. Penetapan penugasan disampaikan oleh kepala SKAI kepada ketua dan tim audit dalam bentuk surat penugasan, yang antara lain menetapkan ketua dan anggota tim audit, waktu yang diperlukan serta tujuan audit. 2.3. Pemberitahuan Audit Pelaksanaan Auditor Intern harus dilengkapi dengan surat pemebritahuan audit dari SKAI, yang dapat disampaikan kepada auditee sebelum atau pada saat audit dilaksanakan. Dalam surat pemberitahuan tersebut antara lain dikemukakan: a. penegasan kembali wewenang SKAI untuk melakukan audit sebagaimana telah ditetapkan pada Internal Audit Charter; b. rencana pertemuan awal dengan kepada satuan kerja Auditee, yang dimaksudkan untuk untuk menjelaskan tujuan audit serta sekaligus mendapatkan penjelasan dari kepala satuan kerja Auditee mengenai kegiatan dan fungsi dari satuan kerja Auditee; c. susunan ketua dan anggota tim; d. informasi yang diperlukan. Selanjutnya kepala satuan kerja Auditee harus meneruskan kepada pejabat bawahannya sebagai pemberitahuan akan dilakukan audit oleh SKAI dan instruksi untuk mempersiapkan data/informasi serta dokumen yang diperlukan. 2.4. Penelitian Pendahuluan Penelitian pendahuluan dimaksudkan untuk mengenal dan memahami setiap kegiatan atau fungsi Auditee secara umum supaya audit dapat difokuskan pada hal-hal yang strategis sehingga Auditor dapat merumuskan tujuan audit secara lebih jelas. Dalam tahap ini Auditor harus mengenal dengan baik aspek-aspek dari Auditee antara lain fungsi, struktur organisasi, wewenang dan tanggung jawab, kebijakan, sistem dan prosedur operasional, risiko kegiatan dan pengendaliannya, indikator keberhasilan, aspek legal dan ketentuan lainnya. Untuk dapat memperoleh gambaran secara menyeluruh atas sistem yang akan diaudit perlu dibuat suatu bagan alur, sehingga karakteristik kegiatan yang berkaitan satu dengan lainnya akan dapat lebih mudah dipahami. Analisis terhadap penelitian pendahuluan tersebut digunakan senagai dasar penyusunan program audit secara lebih rinci. Informasi dan hasil analisis tersebut perlu didokumentasikan secara lengkap dalam arsip permanen. 3. PENYUSUNAN PROGRAM AUDIT Berdasarkan hasil penelitian pendahuluan disusun program audit. Program audit harus: a. merupakan dokumentasi prosedur bagi Auditor Intern dalam mengumpulkan, menganalisis, menginterpretasikan dan mendokumentasikan informasi selama pelaksanaan audit, termasuk catatan untuk pemeriksaan yang akan datang; b. menyatakan tujuan audit; c. menetapkan luas, tingkat dan metodologi pengujian yang diperlukan guna mencapai tujuan audit untuk tiap tahapan audit; d. menetapkan jangka waktu pemeriksaan; e. mengindentifikasi aspek-aspek teknis, risiko, proses dan transaksi yang harus diuji, termasuk pengolahan data elektronik. Adanya program audit secara tertulis akan memudahkan pengendalian audit selama tahap-tahap pelaksanaan. Program audit tersebut dapat diubah sesuai dengan kebutuhan selama audit berlangsung. 4. PELAKSANAAN PENUGASAN AUDIT Tahap pelaksanaan audit meliputi kegiatan mengumpulkan, menganalisis, menginterpretasikan dan mendokumentasikan bukti-bukti audit serta informasi lain yang dibutuhkan, sesuai dengan prosedur yang digariskan dalam program audit untuk mendukung hasil audit. 4.1. Proses Audit Proses audit meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut: a. Mengumpulkan bukti dan informasi yang cukup, kompeten dan relevan. b. Memeriksa dan mengevaluasi semua bukti dan informasi untuk mendapatkan temuan dan rekomendasi audit. c. Menetapkan metode dan tehnik sampling yang dapat dipakai dan dikembangkan sesuai dengan keadaan, diantaranya pengujian atas pengendalian dan pengujian substantif atas saldo-saldo seperti validasi atas rekening simpanan dan kredit. d. Supervisi atas proses pengumpulan bukti dan informasi serta pengujian yang telah dilakukan. e. Mendokumentasikan Kertas Kerja Audit f. Membahas hasil audit dengan Auditee. 4.2. Bukti Audit Bukti audit adalah semua data dan informasi yang dapat dipakai oleh Auditor untuk mendukung temuan auditnya. Auditor intern harus memperoleh bukti yang cukup, kompeten dan relevan untuk mendukung penyusunan kesimpulan dan rekomendasinya. Dalam hal ini Auditor Intern harus menggunakan pertimbangan profesionalnya untuk menentukan jumlah dan jenis bukti audit yang dibutuhkan setelah mempelajari dengan teliti keadaan yang dihadapinya. Bukti tersebut dapat diperoleh melalui pemeriksaan fisik atau dokumen, konfirmasi, pengamatan, pengajuan pertanyaan, perhitungan dan pengujian analitis. 4.3. Evaluasi Hasil Audit Evaluasi terhadap hasil audit menjadi tanggung jawab dari masing-masing anggota tim audit. Dalam mengevaluasi hasil audit tersebut, tim harus menyusun kesimpulan pada tiap tingkat program audit, mengevaluasi hasil audit terhadap sasaran audit dan menyusun ikhtisar temuan dan rekomendasi hasil audit. a. Kesimpulan dari pelaksanaan program audit Jika program dan prosedur audit telah selesai dilaksanakan, Auditor Intern harus menyusun kesimpulan terhadap hasil audit yang sesuai dengan sasaran atau tujuan dari program dan prosedur audit tersebut. b. Evaluasi hasil audit terhadap sasaran audit Apabila Auditor Intern dalam melakukan pengujian menemukan penyimpangan, maka penyimpangan tersebut harus dievaluasi berdasarkan analisis sebab akibat. c. Ikhtisar temuan dan rekomendasi hasil audit Auditor Intern harus membuat ikhtisar temuan dan rekomendasi hasil audit. Apabila ditemukan kelemahan atau penyimpangan, maka dalam ikhtisar tersebut sekurang-kurangnya harus mengungkapkan: i. fakta/keadaan yang sebenarnya terjadi, ii. keadaan yang seharusnya terjadi, iii. penyebab terjadinya penyimpangan, iv. dampak dari terjadinya penyimpangan, v. langkah perbaikan yang telah dilakukan Auditee, vi. rekomendasi Auditor Intern. 4.4. Supervisi Kepala SKAI harus dapat menjamin terselenggaranya supervisi atas pelaksanaan audit secara cermat dan tepat. Supervisi tersebut harus dilaksanakan secara berkesinambungan dimulai sejak awal hingga akhir penugasan audit. Kegiatan supervisi meliputi: a. penyiapan instruksi yang jelas kepada Auditor Intern dan persetujuan program audit, b. pengawasan pelaksanaan program audit, c. penetapan kecukupan kertas kerja audit, d. penilaian mengenai akurasi, obyektivitas, kelengkapan dan ketepatan waktu dari laporan hasil audit, e. penilaian atas pencapaian tujuan dan sasaran audit. Bukti pelaksaan kegiatan supervisi harus didokumentasikan dan diadministrasikan. Tingkat sepervisi yang dilakukan harus disesuaikan dengan kualifikasi para Auditor Intern dan kompleksitas permasalahan. Dalam hal pelaksanaan audit dilakukan oleh pihak lain, tanggung jawab supervisi tetap berada pada Kepala SKAI. 5. PELAPORAN HASIL AUDIT Setelah selesai melakukan kegiatan audit, Auditor Intern berkewajiban untuk menuangkan hasil audit tersebut dalam bentuk laporan tertulis. Laporan tersebut harus memenuhi standar pelaporan, memuat kelengkapan materi dan melalui proses penyusunan yang baik. 5.1. Standar Pelaporan Laporan hasil audit sekurang-kurangnya harus memenuhi standar sebagai berikut: a. Laporan harus tertulis Laporan harus tertulis dan memuat hasil audit sesuai dengan ruang lingkup penugasan. Disamping itu laporan harus dapat berfungsi sebagai dokumen formal yang mencerminkan tanggung jawab Auditor Intern dan Auditee atas kegiatan yang dilakukan. b. Laporan diuraikan secara singkat dan mudah dipahami Laporan harus dibuat secara singkat yang memuat beberapa hal pokok atau yang dianggap penting dan hal-hal yang perlu untuk dilakukan perbaikan oleh Auditee. c. Laporan harus didukung kertas kerja yang memadai Laporan yang memuat temuan audit harus didukung kertas kerja yang memadai agar dapat dipertanggungjawabkan d. Laporan harus obyektif Laporan harus obyektif dan berdasarkan fakta serta tidak memihak kepada kepentingan tertentu. e. Laporan harus konstruktif Laporan harus konstruktif dan dapat memberikan saran perbaikan atau arah bagi Auditee untuk dapat melakukan perbaikan. f. Laporan harus ditandatangani oleh Auditor Intern dan atau Kepala SKAI Tanda tangan Auditor dan atau Kepala SKAI dimaksudkan sebagai pencerminan tanggungjawab atas kebenaran isi laporan yang dibuat. g. Laporan harus dibuat dan disampaikan tepat waktu Laporan harus dibuat dan disampaikan tepat waktu atau dalam batas waktu yang masih relevan dengan materi laporan. h. Laporan dituangkan secara sistematis Laporan harus dituangkan secara sistematis yang antara lain memuat obyek audit, periode audit, temuan audit, kesimpulan dan rekomendasi serta tanggapan Auditee. 5.2. Materi Laporan Materi atau isi laporan harus cukup lengkap dan jelas. Agar dapat diperoleh suatu laporan yang informatif dan efektif. Materi laporan antara lain meliputi: a. Tujuan, luas dan pendekatan audit Hal ini dimaksudkan agar pembaca laporan sejak awal mengetahui tujuan, luas dan pendekatan audit sehingga dapat memahami dengan baik materi yang dikemukakan dalam laporan. b. Temuan audit Temuan audit yang diungkapkan dalam laporan harus memuat secara jelas mengenai fakta, keadaan yang seharusnya serta dampak dan penyebab terjadinya penyimpangan. Temuan audit yang dianggap penting sekali harus dilaporkan segera oleh Ketua Tim Audit kepada Kepala SKAI tanpa menuggu selesainya audit. c. Kesimpulan Auditor Intern atas hasil audit Auditor Intern harus memberikan kesimpulan atas temuannya baik berupa keberhasilan maupun penyimpangan sesuai dengan lingkup auditnya. d. Pernyataan Auditor Intern bahwa audit telah dilakukan sesuai dengan SPFAIB Auditor Intern dalam hal ini perlu menyatakan bahwa audit telah dilakukan sesuai dengan SPFAIB e. Rekomendasi Auditor Intern Apabila dalam audit ditemui adanya kelemahan atau penyimpangan, Auditor Intern harus memberikan rekomendasi perbaikan. f. Tanggapan Auditte Auditee harus diberikan kesempatan untuk memberikan tanggapan/komentar atas temuan audit yang dapat berupa pembenaran/persetujuan, atau keberatan/penolakan dan alasannya. Selanjutnya Auditee perlu memberikan komitmen untuk melakukan perbaikan dengan batas waktu tertentu. g. Hasil pengecekan komitmen Auditee Dalam laporan harus dikemukakan hasil pengecekan atas pelaksanaan komitmen Auditee atas audit sebelumnya yang belum dapat dilaksanakan. 5.3. Informasi Khusus yang tidak dicantumkan dalam Laporan Hasil Audit Dalam hal suatu informasi hasil audit bersifat sangat terbatas dan tidak dapat dicantumkan dalam Laporan Hasil Audit, maka informasi tersebut dilaporkan secara khusus kepada Direktur Utama dan Dewan Komisaris serta Direktur Kepatuhan sesuai dengan tingkat informasi khusus tersebut. Informasi tersebut harus termasuk dalam pokok-pokok hasil audit yang disampaikan ke Bank Indonesia setiap semester. 5.4. Proses penyusunan laporan Proses penyusunan laporan perlu dilakukan dengan cermat agar dapat disajikan laporan yang akurat dan bermanfaat bagi Auditee. Proses tersebut antara lain mencakup: a. Kompilasi dan analisis temuan audit Temuan audit yang akan dituangkan dalam laporan harus dikompilasi dan dianalisis tingkat signifikasinya. b. Konfirmasi dengan Auditee Temuan audit harus dikonfirmasikan dengan Auditee untuk diketahui dan dipahami. c. Diskusi dengan Kepala SKAI Temuan audit yang sudah dikompilasi dan dianalisis harus dilaporkan serta didiskusikan dengan Kepala SKAI atau pejabat yang ditunjuk. d. Diskusi dengan Auditee Diskusi ini dimaksudkan agar Auditee memberikan komitmen dan bersedia melakukan perbaikan dalam batas waktu tertentu yang dijanjikan. e. Review laporan Konsep laporan yang disusun oleh tim audit direview oleh Kepala SKAI atau pejabat yang ditunjuk agar diperoleh keyakinan bahwa laporan tersebut telah lengkap dan benar. 5.5. Penyampaian Laporan a. Laporan SKAI kepada Direktur Utama, Dewan Komisaris, Direktur Kepatuhan (Compliance Director) dan Auditee Laporan Auditor Intern harus disampaikan oleh Kepala SKAI kepada Direktur Utama, Dewan Komisaris, Direktur Kepatuhan (Compliance Director) dan Auditee untuk dapat diketahui dan ditindaklanjuti. b. Laporan Direktur Utama dan Dewan Komisaris kepada Bank Indonesia Direktur Utama dan Dewan Komisaris menyampaikan laporan pelaksanaan dan pokok-pokok hasil audit intern setiap semester kepada Bank Indonesia. Selain itu apabila terdapat temuan audit intern yang diperkirakan dapat mengganggu kelangsungan usaha bank, Direktur Utama dan Dewan Komisaris harus segera melaporkannya kepada Bank Indonesia. 6. TINDAK LANJUT HASIL AUDIT SKAI harus memantau dan menganalisis serta melaporkan perkembangan pelaksanaan tindaklanjut perbaikan yang telah dilakukan Auditee. Tindak lanjut tersebut meliputi: a. Pemantauan atas pelaksanaan tindak lanjut Pemantauan atas pelaksanaan tindak lanjut harus dilakukan, agar dapat diketahui perkembangannya dan dapat diingatkan kepada Auditee apabila Auditee belum dapat melaksanakan komitmen perbaikan menjelang atau sampai batas waktu yang dijanjikan. b. Analisis kecukupan tindak lanjut Dari hasil pemantauan pelaksanaan tindak lanjut, dilakukan analisis kecukupan atas realisasi janji perbaikan yang telah dilaksanakan Auditee. Selanjutnya pengecekan kembali tindak lanjut perlu dilakukan apabila terdapat kesulitan atau hambatan yang menyebabkan tindak lanjut tersebut tidak dapat dilakukan sebagaimana mestinya. c. Pelaporan tindak lanjut Dalam hal pelaksanaan tindak lanjut tidak dilaksanakan oleh Auditee, maka SKAI memberikan laporan tertulis kepada Direktur Utama dan Dewan Komisaris untuk tindakan lebih lanjut. BAB VI DOKUMENTASI DAN ADMINISTRASI 1. DOKUMENTASI DAN ADMINISTRASI Untuk mendukung hasil audit, SKAI harus mendokumentasikan dan mengadministrasikan bukti-bukti dokumen sejak tahap perencanaan, persiapan, pelaksanaan, analisis, evaluasi dan pelaporan hasil audit. Produk yang didokumentasikan dan diadministrasikan adalah semua berkas Kertas Kerja Audit termasuk surat-menyurat dan Laporan Hasil Audit. 2. DOKUMENTASI KERTAS KERJA AUDIT SKAI harus mendokumentasikan Kertas Kerja Audit dengan lengkap dan jelas. Kertas Kerja Audit dapat berupa kertas, disket, pita magnetik, film atau media yang lain. Semua kertas kerja tersebut dikompilasikan dengan memperhatikan fungsi, penyusunan dan penyimpanannya. 2.1. Fungsi Kertas Kerja Audit Fungsi Kertas Kerja Audit adalah sebagai pendukung utama dari Laporan Hasil Audit dan sarana dalam membantu proses perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan hasil audit. Fungsi lain Kertas Kerja Audit adalah untuk memperoleh gambaran apakah tujuan audit telah tercapai sesuai dengan yang direncanakan, membantu pihak lain yang berkepentingan dalam memeriksa hasil audit dan menilai kemampuan atau kualitas SKAI dalam melaksanakan tugasnya. 2.2. Penyusunan Dokumentasi Kertas Kerja Audit Penyusunan Dokumentasi Kertas Kerja Audit harus: a. Rapi Dokumentasi Kertas Kerja Audit harus rapi sehingga memudahkan penggunaannya. Kertas Kerja Audit harus lengkap, jelas dan mudah dimengerti sehingga memudahkan bagi pihak yang memerlukan informasi tersebut. b. Sistematis Dokumentasi Kertas Kerja Audit harus disusun secara sistematis berdasarkan kronologis kejadiannya dengan menggunakan indeks arsip. 2.3. Penyimpanan Kertas Kerja Audit Kertas Kerja Audit adalah arsip milik bank, sehingga harus diperhatikan peraturan yang berlaku pada bank yang bersangkutan, yaitu peraturan yang mengani penyimpanan, keamanan dan kerahasiannya. Hal-hal atau ketentuan khusus yang ahrus diperhatikan dalam melaksanakan penyimpanan asip Kertas Kerja Audit antara lain adalah sebagai berikut: a. Izin penggunaan Kertas Kerja Audit Kertas Kerja Audit adalah milik bank sehingga pengambilan, peminjaman dan pembuatan salinan oleh pihak di luar SKAI, seperti satuan kerja lain di dalam bank dan auditor ekstern, harus dengan seizin Kepala SKAI dengan tetap memperhatikan ketentuan mengenai rahasia bank. b. Pengawasan terhadap Kertas Kerja Audit Kertas Kerja Audit harus berada dalam pengawasan SKAI dan hanya boleh dibaca dan dipinjam oleh yang berwenang. c. Penyimpanan Kertas Kerja Audit Penyimpanan Kertas Kerja Audit harus dipisahkan menjadi Arsip Kini dan Arsip Permanen. SKAI harus membuat ketentuan mengenai tata cara penyimpanan Arsip Kini dan Arsip Permanen tersebut yang disesuaikan dengan ketentuan yang berlaku termasuk penetapan jadwal retensi. 3. ADMINSTRASI HASIL AUDIT Hasil kerja akhir dari SKAI adalah Laporan Hasil Audit yang dibuat secara tertulis. Laporan Hasil Audit harus didukung oleh dokumentasi Kertas Kerja Audit dan telah diperiksa oleh Kepala SKAI mengenai tata cara penyajian maupun kebenarannya. Laporan Hasil Audit maupun surat-menyurat harus diarsipkan sebagai dokumen yang bersifat rahasia. 3.1. Adminstrasi Komunikasi Audit Semua surat menyurat dan laporan yang berkaitan dengan audit yang merupakan bentuk komunikasi dengan Auditee maupun pihak lain harus diadministrasikan dengan baik. 3.2. Administrasi Kelengkapan Pelaksanaan Audit Setelah pelaksanaan audit selesai, SKAI harus meneliti ulang kelengkapan administrasi dari seluruh berkas Kertas Kerja Audit baik pada tahap perencanaan, pelaksanaan maupun pada tahap tindak lanjut hasil audit. PENGERTIAN ISTILAH Arsip Kini Arsip Kini atau “current file” adalah kumpulan dokumen yang berkaitan dengan kegiatan audit yang sedang dalam proses pelaksanaan. Arsip Permanen Arsip Permanen atau “permanent file” adalah kumpulan dokumen yang pemanfaatannya bersifat terus menerus. Auditee adalah satuan kerja atau aktivitas dalam organisasi bank yang diaudit. Auditor Ekstern adalah auditor profesional yang independen terhadap organisasi bank yang diaudit. Direktur Kepatuhan (Compliance Director) adalah anggota direksi bank yang ditugaskan untuk menetapkan langkah- langkah yang diperlukan guna memastikan kepatuhan bank terhadap peraturan Bank Indonesia, peraturan perundang-undangan lain yang berlaku dan perjanjian serta komitmen dengan Bank Indonesia. Direksi adalah pengurus bank yang diangkat oleh Rapat Umum Pemegang Saham dan terdiri dari seorang Direktur Utama dan seorang atau lebih Direktur. Direktur Utama adalah pejabat yang mempunyai kedudukan tertinggi dalam manajemen bank dan pengangkatannya dilakukan oleh Rapat Umum Pemegang Saham. Indeks Arsip adalah suatu daftar yang memuat penomoran (indexing) ataspengarsipan Kertas Kerja Audit dalam suatu berkas audit (audit file). Informasi khusus yang tidak dicantumkan dalam Laporan hasil Audit adalah informasi yang bersifat sensitif dan laporannya hanya ditujukan kepada pihak tertentu. Internal Audit Charter adalah dokumen resmi bank yang memuat misi, wewenang dan tanggungjawab SKAI. Dokumen ini dapat menggunakan nama lain sepanjang memenuhi kriteria tersebut di atas. Kepala SKAI adalah pejabat yang mempunyai kedudukan tertinggi dalam SKAI dan dalam kapasitasnya bertanggungjawab langsung kepada Direktur Utama. Kode Etik Profesi adalah etika kerja yang digunakan sebagai dasar dalam mempertahankan integritas serta tanggungjawab profesi. Manajemen adalah pejabat yang memimpin satuan kerja pada semua tingkatan organisasi bank yang bertanggungjawab terhadap penetapan dan pencapaian tujuan. Norma Pemeriksaan Satuan Pengawasan Intern BUMN/BUMD adalah norma atau kaidah pelaksanaan Audit Intern oleh Satuan Pengawasan Intern BUMN/BUMD yang disusun oleh BPKP. Panduan Audit Intern adalah pedoman pelaksaan Audit Intern yang berlaku di masing-masing bank. Panduan ini harus mengacu kepada SPFAIB. Pemantauan secara off-site adalah pemantauan secara berkesinambungan atas kegiatan Auditee dalam melaksanakan fungsinya yang pada umumnya dilakukan berdasarkan laporan yang disampaikan secara periodik oleh Auditee atau informasi lain yang signifikan dan relevan. Pemeriksaan secara on-site adalah pemeriksaan yang dilakukan secara langsung atau on the spot terhadap kegiatan Auditee dalam melaksanakan fungsinya. Pengangkatan dan pemberhentian Kepala SKAI Pengertian “dilaporkan kepada Bank Indonesia” pada Angka 3.1 Huruf a adalah untuk dicatatkan dan diketahui oleh Bank Indonesia. Pengangkatan atau pemberhentian yang menyimpang tidak akan dicatatkan oleh Bank Indonesia. Pernyataan Auditor Intern bahwa audit telah dilakukan sesuai dengan SPFAIB Adalah suatu pernyataan tertulis dari SKAI bahwa pelaksanaan audit dan faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan audit telah sesuai dengan standar yang diatur dalam SPFAIB. Pada hakekatnya SPFAIB harus diterapkan secara penuh yang intinya: 1. Standar yang berkaitan dengan aspek-aspek organisasi dan manajemen SKAI, yang menunjang pelaksanaan audit yang independen. 2. Standar yang berkaitan dengan persyaratan yang ahrus dipenuhi oleh Auditor Intern, khususnya profesionalisme, sehingga audit berlangsung secara efektif. 3. Standar yang berkaitan dengan ruang lingkup pekerjaan Audit Intern. 4. Standar yang berkaitan dengan setiap tahap pelaksanaan audit. Pertentangan Kepentingan Pertentangan kepentingan atau “conflict of interest” adalah suatu keadaan dimana Auditor Intern tidak dapat mengambil suatu keputusan yang obyektif dan independen karena adanya unsur subyektivitas. Satuan Kerja Audit Intern (SKAI) adalah satuan kerja yang melaksanakan fungsi Audit Intern. Penggunaan nama/istilah untuk satuan kerja tersebut dapat ditetapkan oleh masing- masing bank. Standards for The Proffesional Practice of Internal Auditing adalah standar pelaksanaan Audit Intern secara profesional yang ditetapkan oleh The Institute of Internal Auditors (IIA). Standar Pelaksanaan Fungsi Audit Intern Bank (SPFAIB) Pengertian “standar” dalam SPFAIB adalah ukuran minimal yang digunakan sebagai acuan bank dalam melaksanakan fungsi Audit Intern. Standar tersebut dimaksudkan juga sebagai kriteria yang dapat digunakan untuk mengevaluasi dan mengukur efektivitas kegiatan SKAI. The Institute of Internal Auditors (IIA) adalah organisasi profesi internasional dalam bidang Audit Intern yang didirikan di New York pada tahun 1941, yang menetapkan stadar pelaksanaan Audit Intern secara profesional dan memiliki program pendidikan dan pelatihan profesi. "," PBI 1/6/PBI/1999 PENUGASAN DIREKTUR KEPATUHAN (COMPLIANCE DIRECTOR) DAN PENERAPAN STANDAR PELAKSANAAN FUNGSI AUDIT INTERN BANK UMUM 20 September 1999 20 September 1999 '27/163/KEP/DIR|SKDIR-BI/1995' '23/UU/1999', '7/UU/1992', '10/UU/1998' 'BAB VII' " "1281019 MENTER KEUANGAN SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 78 /PMK.05/2007 TENTANG PENILAIAN KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN BAGI DIREKSI DAN KOMISARIS PERUSAHAAN PERASURANSIAN MENTERI KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa untuk meningkatkan efektifitas penilaian kemampuan dan kepatutan bagi direksi dan komisaris perusahaan perasuransian serta dalam rangka menyesuaikannya dengan perkembangan yang terjadi dalam industri perasuransian nasional, perlu dilakukan penyempurnaan terhadap ketentuan mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan bagi direksi dan komisaris perusahaan perasuransian sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 421/KMK.06/2003; b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Penilaian Kemampuan dan Kepatutan bagi Direksi dan Komisaris Perusahaan Perasuransian; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 1992, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3467): 2. Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraaan Usaha Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 120, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3506) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 1999 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3861); 3. Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun 2005; MEMUTUSKAN Menetapkan: PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PENILAIAN KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN BAGI DIREKSI DAN KOMISARIS PERUSAHAAN PERASURANSIAN. End of Page 1 REPUBLUK INDONESIA -2- BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Perusahaan Perasuransian adalah perusahaan perasuransian sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Usaha Perasuransian. 2. Direksi adalah direksi Perseroan Terbatas atau Persero, atau yang setara dengan itu. 3. Komisaris adalah komisaris Perseroan Terbatas atau Persero, atau yang setara dengan itu. . Komite Evaluasi adalah komite yang terdiri dari unsur pejabat dan pegawai Biro Perasuransian, Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan dan unsur di luar pajabat dan pegawai Biro Perasuransian, Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan. 5. Kepala Biro adalah Kepala Biro Perasuransian pada Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan. 6. Ketua adalah Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan. 7. Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia. BAB I KEWAJIBAN MEMENUHI PERSYARATAN KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN Pasal 2 (1) Direksi, Komisaris, dan pemegang saham Perusahaan Perasuransian setiap saat wajib memenuhi persyaratan kemampuan dan kepatutan. (2) Direksi, Komisaris, dan pemegang saham dari perusahaan yang mengajukan permohonan izin usaha Perusahaan Perasuransian wajib memenuhi persyaratan kemampuan dan kepatutan. (3) Direksi dan Komisaris yang baru dari Perusahaan Perasuransian yang akan diambil alih kepemilikannya serta calon pemegang saham yang akan mengambil alih kepemilikan Perusahaan Perasuransian, wajib memenuhi persyaratan kemampuan dan kepatutan. End of Page 2 MENTERI KEUANGAN -3- (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan bagi pemegang saham diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. Pasal 3 Ketua melakukan penilaian kemampuan dan kepatutan, serta menetapkan bahwa Direksi atau Komisaris lulus dan memenuhi persyaratan kemampuan dan kepatutan, atau tidak lulus dan tidak memenuhi persyaratan kemampuan dan kepatutan. Pasal 4 (1) Penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dilakukan: a. pada saat seseorang akan memangku jabatan sebagai Direksi atau Komisaris; dan b. setiap waktu apabila dianggap perlu oleh Ketua. (2) Penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan terhadap a. seseorang yang belum pernah menjadi Direksi atau Komisaris Perusahaan Perasuransian, yang dicalonkan menjadi Direksi atau Komisaris Perusahaan Perasuransian; b. seseorang yang pernah menjabat sebagai Direksi atau Komisaris Perusahaan Perasuransian, yang dicalonkan menjadi Direksi atau Komisaris Perusahaan Perasuransian lainnya; c. seseorang yang sedang menjabat sebagai Komisaris Perusahaan Perasuransian yang dicalonkan menjadi Direksi atau Komisaris Perusahaan Perasuransian lainnya; d. seseorang yang sedang menjabat sebagai Direksi Perusahaan Perasuransian, yang dicalonkan menjadi Komisaris Perusahaan Perasuransian lainnya; e. Direksi Perusahaan Perasuransian yang beralih jabatan menjadi Komisaris Perusahaan Perasuransian yang sama; Komisaris Perusahaan Perasuransian yang beralih jabatan menjadi Direksi pada Perusahaan Perasuransian yang sama. 3) Direksi atau Komisaris Perusahaan Perasuransian yang telah dinyatakan lulus dan memenuhi persyaratan penilaian kemampuan dan kepatutan, dan dicalonkan untuk menduduki posisi yang sama atau ruang lingkup tanggung jawab yang sama pada Perusahaan Perasuransian lain, tidak wajib menjalani penilaian kemampuan dan kepatutan, sepanjang tidak melampaui jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun terhitung sejak dinyatakan lulus dan memenuhi persyaratan penilaian kemampuan dan kepatutan. End of Page 3 REPUBLIK INDONESIA -4- (4) Direksi Perusahaan Perasuransian yang telah dinyatakan lulus dan memenuhi persyaratan penilaian kemampuan dan kepatutan, dan dicalonkan untuk menjadi komisaris pada Perusahaan Perasuransian yang sama, tidak wajib menjalani penilaian kemampuan dan kepatutan, sepanjang tidak melampaui jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun terhitung sejak dinyatakan lulus dan memenuhi persyaratan penilaian kemampuan dan kepatutan. (5) Penilaian setiap waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan apabila Direksi atau Komisaris diduga atau patut diduga tidak lagi memenuhi persyaratan kamampuan dan kepatutan berdasarkan hasil analisis dan/atau hasil pemeriksaan Biro Perasuransian. Pasal 5 Direksi atau Komisaris yang menolak untuk dilakukan penilaian kemampuan dan kepatutan, dinyatakan tidak lulus dan tidak memenuhi persyaratan kemampuan dan kepatutan. BAB III FAKTOR PENILAIAN Pasal 6 Penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dilakukan terhadap kompetensi dan integritas. Pasal7 (1) Faktor kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 yang merupakan kriteria kelulusan meliputi a. pengetahuan yang memadai dan relevan dengan jabatannya; . pemahaman tentang peraturan perundang-undangan di bidang perasuransian dan peraturan perundang-undangan lain yang berhubungan dengan usaha perasuransian c. pengalaman dan keahlian di bidang usaha perasuransian dan/atau bidang lain yang relevan dengan jabatanngas dan kemampuan untuk melakukan pengelolaan strategis dalan rangka pengembangan usaha perasuransian yang sehat. merupakan kriteria ketidaklulusan meliputi: a. praktik-praktik tercela di bidang usaha perasuransian atau jasa keuangan lain; End of Page 4 MENTERI KEUANGAN REPUBLK INDONESIA -5- b. perbuatan tindak pidana di bidang usaha perasuransian dan/atau perekonomian; perbuatan tindak pidana yang dijatuhi sanksi pidana penjara 5 c. perbuatan tindak pidana ya (lima) tahun atau lebih; perbuatan tidak memenuhi komitmen yang telah disepakat dengan instansi pembina dan pengawas usaha perasuransian; e. perbuatan yang memberikan keuntungan secara tidak wajar kepada pemegang saham, Direksi, Komisaris, pegawai dan/atau pihak lain yang dapat merugikan atau mengurangi hak pemegang polis dan/atau Perusahaan Perasuransian; perbuatan melanggar prinsip kehati-hatian di bidang usaha perasuransian; 8. perbuatan yang menunjukkan bahwa Direksi atau Komisaris yang bersangkutan tidak memiliki kewenangan atau memiliki kewenangan namun tidak mampu menjalankan kewenangan masing-masing sebagai Direksi atau Komisaris; dan/atau h. perbuatan yang melanggar peraturan perundang-undangan di bidang usaha perasuransian. BAB IV TAHAPAN PENILAIAN Pasal 8 (1) Penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dilakukan dengan tahapan sebagai berikut a. analisis pendahuluan; b. pengujian kemampuan dan kepatutan; dan c. penetapan hasil penilaian. (2) Penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan pedoman penilaian yang ditetapkan oleh Ketua. Bagian Pertama Analisis Pendahuluan Pasal 9 (1) Analisis pendahuluan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf a dilakukan oleh Biro Perasuransian dengan prosedur sebagai berikut a. analisis atas informasi yang dimiliki Biro Perasuransian; b. konfirmasi kepada pihak lain, bila diangsap perlu End of Page 5 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA c. perumusan hasil analisis informasi; d. penyusunan rencana pengujian kemampuan dan kepatutan. (2) Dalam rangka melakukan analisis pendahuluan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Biro Perasuransian dapat meminta surat keterangan mengenai catatan reputasi (frack record) pihak yang dinilai kepada pengawas perasuransian dari negara domisili terakhir, bagi Direksi atau Komisaris yang berasal dari luar negeri. Bagian Kedua Pengujan Kemampuan dan Kepatutan Pasal 10 (1) Pengujan kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf b dilakukan oleh Komite Evaluasi. 2) Pelaksanaan pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terhadap 1 (satu) orang Direksi atau 1 (satu) orang Komisaris dilakukan oleh 5 (lima) orang anggota Komite Evaluasi yang selanjutnya disebut Tim Pengujiuyang terdiri darit selanjutnya disebut Tim Penguji yang terdiri dari a. 2 (dua) orang dari Biro Perasuransian, Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan; dan . 3 (tiga) orang dari luar Biro Perasuransian, Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan. 3) Salah seorang dari Tim Pengujisebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a ditetapkan sebagai Ketua Tim Penguji. (4) Anggota dan Ketua Tim Penguji sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) ditetapkan oleh Kepala Biro. Pasal 11 (1) Pengujian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) dilakukan dengan prosedur sebagai berikut a. wawancara terhadap pihak yang dinilai berdasarkan hasil analisis pendahuluan dan pedoman penilaian kemampuan dan kepatutan bagi Direksi dan Komisaris Perusahaan Perasuransian; b. penilaian kompetensi dan integritas pihak yang dinilai; c. perumusan hasil pengujian kemampuan dan kepatutan. (2) Wawancara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan dengan tatap muka langsung di kantor Biro Perasuransian atau tempat lain yang ditetapkan oleh Biro Perasuransian. End of Page 6 MENTERI KEUANGAN REPUBLK INDONESIA -7- (3) Wawancara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam bahasa Indonesia. (4) Direksi atau Komisaris yang tidak menguasai bahasa Indonesia wajib mempergunakan jasa penerjemah dalam proses penilaian kemampuan dan kepatutan. (5) Pembiayaan penggunaan jasa penerjemah sebagaimana dimaksud pada ayat (i) ditanggung oleh Perusahaan Perasuransian yang bersangkutan. Bagian Ketiga Penetapan Hasil Penilaian Pasal 12 (i) Ketua melakukan penetapan hasil penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf c dengan prosedur sebagai berikut a. pelaporan Tim Penguji kepada Kepala Biro mengenai pelaksanaan pengujian kemampuan dan kepatutan beserta hasil penilaian dan alasannya; b. penyampaian hasil penilaian kemampuan dan kepatutan dari Kepala Biro kepada Ketua; . penetapan Keputusan Ketua mengenai hasil penilaian kemampuan dan kepatutan. (2) Penetapan hasil penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja setelah dilaksanakannya pengujian kemampuan dan kepatutan. (3) Kepala Biro dapat meminta dilakukan pembahasan atas usulan hasil penilaian kemampuan dan kepatutan dengan Tim Penguji, sebelum menyampaikan hasil penilaian kemampuan dan kepatutan dimaksud kepada Ketua. (4) Dalam rangka penetapan keputusan mengenai hasil penilaian kemampuan dan kepatutan, Ketua dapat meminta dilakukan pembahasan atas usulan hasil penilaian kemampuan dan kepatutan dengan Tim Penguji dan Kepala Biro. (5) Keputusan hasil penilaian kemampuan dan kepatutan disampaikan oleh Ketua kepada pemegang saham. End of Page 7 REPUBUK INDONESIA -8 - Pasal 13 (1) Sebelum penetapan Keputusan Ketua mengenai hasil penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf c, Tim Penguji melalui Kepala Biro dapat meminta dokumen pendukung tambahan yang relevan dengan pelaksanaan pengujian kemampuan dan kepatutan dari Direksi atau Komisaris yang diuji, pemegang saham atau pihak lain. (2) Direksi, Komisaris, pemegang saham atau pihak lain harus memenuhi permintaan dokumen pendukung tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (l) paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah tanggal surat permintaan dari Kepala Biro. Pasal 14 Direksi atau Komisaris dinyatakan menolak untuk dilakukan penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 apabila a. tidak menyampaikan dokumen pendukung tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2); atau b. tidak hadir pada jadwal yang ditentukan setelah 2 (dua) kali dijadwalkan oleh Biro Perasuransian. BAB V KOMITE EVALUASI Pasal 15 (i) Penunjukan anggota Komite Evaluasi dilakukan dengan mempertimbangkan faktor kompetensi, integritas, dan independensi. (2) Anggota Komite Evaluasi berhak memperoleh honorarium dalam melaksanakan penilaian kemampuan dan kepatutan. (3) Komite Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan besarnya honorarium sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan berdasarkan Keputusan Ketua, dengan jumlah anggota paling banyak 50 (lima puluh) orang dan masa kerja 1 (satu) tahun. (4) Anggota Komite Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang berasal dari luar Biro Perasuransian, Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan, harus memenuhi kriteria sebagai berikut. a. memiliki pengalaman atau pengetahuan di bidang perasuransian atau jasa keuangan lainnya; End of Page 8 MENTERI KEUANGAN REPUBLK INDONESIA b. tidak sedang menjabat sebagai Direksi Perusahaan Perasuransian; c. tidak pernah membuat perusahaan dicabut izin usahanya, pailit, dipailitkan atau dilikuidasi; . tidak pernah dijatuhi sanksi pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, atau terlibat dalam perkara pidana ekonomi. (5) Komisaris Perusahaan Perasuransian yang ditunjuk sebagai anggota Komite Evaluasi wajib telah mengikuti serta dinyatakan lulus dan memenuhi persyaratan penilaian kemampuan dan kepatutan. BAB VI PROSEDUR PENILAIAN Pasal 16 (1) Pelaksanaan penilaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a dilakukan berdasarkan pengajuan permohonan tertulis dari pemegang saham atau yang setara dengan itu. (2) Jumlah calon Direksi atau calon Komisaris yang diajukan untuk penilaian kemampuan dan kepatutan sesuai dengan jumlah jabatan yang akan diisi. (3) Pengajuan permohonan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilengkapi dengan: a. daftar riwayat hidup beserta dokumen pendukung dari Direksi atau Komisaris yang akan dinilai; b. surat pernyataan dari Direksi atau Komisaris yang akan dinilai mengenai: 1) kesediaan untuk diangkat menjadi Direksi atau Komisaris; ) kesediaan untuk mengikuti dan menerima hasil penilaian tanpa syarat 3) pernah/tidak pernah melakukan tindakan/praktik yang menyimpang dari ketentuan perundang-undangan di bidang perasuransian; ) pernah/tidak pernah ikut terlibat dalam perkara pidana yang diancam sanksi pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, atau terlibat dalam perkara pidana ekonomi. (4) Berdasarkan permohonan tertulis dari pemegang saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Biro Perasuransian menyampaikan jadwal penilaian kemampuan dan kepatutan bagi Direksi atau Komisaris Perusahaan Perasuransian yang bersangkutan, paling lambat 20 (dua puluh) hari kerja setelah dokumen pendukungnya diterima secara lengkap. End of Page 9 REPUBLIK INDONESIA -10- (5) Tim Penguji melaksanakan pengujan kemampuan dan kepatutan terhadap Direksi atau Komisaris dan memberitahukan hasilnya secara tertulis kepada Kepala Biro paling lambat 5 (lima) hari kerja terhitung sejak tanggal pelaksanaan penilaian kemampuan dan kepatutan. Pasal 17 Dalam hal Ketua menilai perlu dilakukan penilaian setiap waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf b, Ketua meminta Direksi dan/atau Komisaris yang bersangkutan untuk mengikuti pengujian kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11. Pasal 18 (1) Direksi atau Komisaris yang tidak dapat hadir pada jadwal penilaian kemampuan dan kepatutan yang ditetapkan Kepala Biro, harus menyampaikan alasan secara tertulis paling lambat2 (dua) hari kerja sebelum pelaksanaan penilaian kemampuan dan kepatutan bagi yang bersangkutan. (2) Direksi atau Komisaris yang tidak hadir diberikan kesempatan 1 (satu) kali lagi untuk penilaian kemampuan dan kepatutan yang jadwalnya ditetapkan oleh Kepala Biro. (3) Dalam hal Direksi atau Komisaris sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak hadir pada kesempatan pengujian yang kedua, Tim Penguji membuat Berita Acara ketidaklulusan yang bersangkutan karena ketidakhadirannya dan menyampaikannya kepada Kepala Biro. BAB VII HASIL PENILAIAN DAN TINDAK LANJUT Pasal 19 (i) Hasil penilaian kemampuan dan kepatutan diklasifikasikan menjadi 2 (dua) predikat sebagai berikut a. lulus; atau b. tidak lulus. (2) Direksi atau Komisaris diklasifikasikan tidak lulus apabila yang bersangkutan memperoleh hasil penilaian akhir kurang dari 65 (enam puluh lima) dan/atau terdapat penilaian 0 (nol) pada satu kriteria atau lebih dalam faktor integritas. End of Page 10 MENTERI KEUANGAN -11- (3) Direksi atau Komisaris yang dinyatakan tidak lulus dapat mengajukan permintaan keterangan mengenai ketidaklulusannya kepada Ketua. Pasal 20 (I) Direksi atau Komisaris yang tidak lulus penilaian kemampuan dan kepatutan tidak dapat bertindak sebagai Direksi atau Komisaris Perusahaan Perasuransian. (2) Pemegang saham wajib mengganti Direksi atau Komisaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lambat 1 (satu) bulan sejak tanggal surat penyampaian hasil penilaian dan kepatutan. Pasal 21 Direksi atau Komisaris yang dinyatakan tidak lulus berlaku ketentuan sebagai berikut a. jika tidak lulus karena faktor integritas, maka pihak dimaksud tidak dapat diangkat sebagai Direksi atau Komisaris Perusahaan Perasuransian dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak tanggal surat penyampaian salinan keputusan Ketua mengenai hasil penilaian kemampuan dan kepatutan; atau b. jika tidak lulus karena faktor kompetensi, maka pihak dimaksud tidak dapat diangkat sebagai Direksi atau Komisaris Perusahaan Perasuransian dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak tanggal surat penyampaian salinan keputusan mengenai hasil penilaian kemampuan dan kepatutan. BAB VIII KERAHASIAAN Pasal 22 Anggota Komite Evaluasi atau yang pernah menjadi anggota Komite Evaluasi wajib merahasiakan dokumen, informasi, dan hasil penilaian kemampuan dan kepatutan, kecuali karena jabatan yang bersangkutan diwajibkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. End of Page 11 REPUBUIK INDONESIA - 12 - BAB IX KETENTUAN PERALIHAN Pasal 23 (1) Direksi atau Komisaris Perusahaan Perasuransian yang sedang menjabat pada saat Peraturan Menteri Keuangan ini berlaku, wajib memenuhi ketentuan persyaratan kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2. (2) Hasil penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap Direksi atau Komisaris Perusahaan Perasuransian berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 421/KMK.06/2003, dinyatakan tetap berlaku. (3) Pemegang saham Perusahaan Perasuransian wajib mengajukan permohonan penilaian kemampuan dan kepatutan bagi Direksi dan Komisaris yang belum memenuhi ketentuan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 421/KMK.06/2003 paling lambat 3 (tiga) bulan sejak berlakunya Peraturan Menteri Keuangan ini. BAB X KETENTUAN PENUTUP Pasal 24 (1) Dengan ditetapkannya Peraturan Menteri Keuangan ini, Keputusan Menteri Keuangan Nomor 421/KMK.06/2003 tentang Penilaian Kemampuan dan Kepatutan bagi Direksi dan Komisaris Perusahaan Perasuransian dinyatakan tidak berlaku lagi. (2) Keputusan Direktur Jenderal Lembaga Keuangan Nomor Kep- 3603/LK/2004 tentang Pedoman Penilaian Kemampuan dan Kepatutan bagi Direksi dan Komisaris Perusahaan Perasuransian tetap berlaku sampai diberlakukannya peraturan perundang- undangan yang menggantikannya berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan ini. Pasal 25 (1) Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 421/KMK.06/2003 tentang Penilaian Kemampuan dan Kepatutan bagi Direksi dan Komisaris Perusahaan Perasuransian, dinyatakan tetap berlaku sampai dengan ditetapkannya Komite Evaluasi yang baru. End of Page 12 MENTERI KEUANGAN - 13 - (2) Dengan ditetapkannya Peraturan Menteri Keuangan ini, untuk pertama kali Ketua menetapkan Komite Evaluasi yang baru berdasarkan ketentuan Pasal 15 ayat (3), dengan masa kerja sampai dengan 31 Desember 2007. Pasal 26 Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 13 Juli 2007 MENTERI KEUANGAN, Salinan sesuai dengan aslinya, MENTERIKEUANGAN, ' md Kepala Biro Umum SRIMULYANI INDRAWATI End of Page 13 "," PER-MEN 78/PMK.05/2007|PER-MENKEU/2007 PENILAIAN KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN BAGI DIREKSI DAN KOMISARIS PERUSAHAAN PERASURANSIAN 13 Juli 2007 13 Juli 2007 '421/KMK.06/2003|KEP-MENKEU/2003' '2/UU/1992', '73/PP/1992', '63/PP/1999', '20/P|KEPPRES/2005' " "MENTERI KEUANGAN SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR21 /PMK.010/ 2012 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN OMOR 510/KMK.06/2002 TENTANG PENDANAAN DAN SOLVABILITAS DANA PENSIUN PEMBERI KERJA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mendorong pertumbuhan industri Dana Pensiun, dipandang perlu mengubah ketentuan mengenai sanksi administratif berupa denda atas keterlambatan penyampaian laporan aktuaris sebagaimana telah ditetapkan dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 510/KMK.06/2002 tentang Pendanaan dan Solvabilitas Dana Pensiun Pemberi Kerja sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 113/PMK.05/2005; b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Perubahan Kedua Atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor 510/KMK.06/2002 tentang tlb diubah dengan Peraturan Menten Keuangan Nomor 113/PMK.05/2005; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahur 1992 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3477); 2. Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 1992 tentang Indonesia Tahun 1992 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3507); 3. Peraturan Presiden Nomor 89 Tahun 2006 tentang Panitia Urusan Piutang Negara; End of Page 1 REPUBLIK INDONESIA -2 4. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 510/KMK.06/2002 tentang Pendanaan dan Solvabilitas Dana Pensiun Pemberi Kerja, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 113/PMK.05/2005; 5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 128/PMK.06/2007 tentang Pengurusan Piutang Negara sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 88/PMK.06/2009 (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 86); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 510/KMK.06/2002 TENTANG PENDANAAN DAN SOLVABILITAS DANA PENSIUN PEMBERI KERJA. Pasal I Beberapa ketentuan dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 510/KMK.06/2002 tentang Pendanaan dan Solvabilitas Dana Pensiun Pemberi Kerja, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 113/PMK.05/2005, diubah sebagai berikut 1. Ketentuan Pasal 22 ditambahkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (4) schingga Pasal 22 berbunyi sebagai berikut: Pasal 22 (1) Tanggal perhitungan aktuaria untuk laporan aktuaris yang disusun dalam rangka permohonan pengesahan pernyataan tertulis Pendiri tentang Pembentukan Dana Pensiun. (2) Tanggal perhitungan aktuaria untuk laporan aktuaris yang disusun dalam rangka pembubaran Dana Pensiun adalah tanggal pernyataan tertulis Pendiri tentang pembubaran Dana Pensiun atau tanggal Keputusan Menteri dalam hal tidak ada pernyataan tertulis Pendiri tentang pembubaran Dana Pensiun. End of Page 2 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA (3) Tanggal perhitungan aktuaria untuk laporan aktuaris yang disusun dalam rangka permohonan pengesahan perubahan Peraturan Dana Pensiun yang berkaitan dengan pendanaan paling lama 3 (tiga) bulan sebelum tanggal permohonan perubahan Peraturan Dana Pensiun (4) Tanggal perhitungan aktuaria dalam rangka Laporan Aktuaris Berkala adalah per tanggal 31 Desember. 2. Ketentuan Pasal 25 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5) dan ayat (6) diubah, serta ditambahkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (7) sehingga Pasal 25 berbunyi sebagai berikut Pasal 25 (1) Setiap laporan aktuaris yang dijadikan dasar dalam penetapan iuran Pemberi Kerja disampaikan kepada Menteri c.q. Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan dilengkapi dengan pernyataan yang ditandatangani Pendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2). (2) Penyampaian laporan aktuaris sebagaimana dimaksud pada ayat (I) harus laporan asli dan disertai dengan data elektronik yang sama dengan data pada laporan aktuaris tersebut. (3) Laporan Aktuaris Berkala dan data elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan paling lama 5 (lima) bulan setelah tanggal perhitungan aktuaria. (4) Penyampaian Laporan Aktuaris Berkala atau laporan Dana Pensiun atau pengesahan perubahan Peraturan Dana Pensiun menjadi dasar dalam penetapan kewajiban penyampaian laporan aktuaris berikutnya. (5) Bentuk dan susunan data elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Ketua Badar Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan. (6) Penyampaian laporan aktuaris sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut 4 End of Page 3 REPUBLIK INDONESIA a. diserahkan langsung ke kantor Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Kelangan; b. dikirim melalui kantor pos secara tercatat; atau . dikirim melalui perusahaan jasa pengiriman/titipan. (7) Dalam hal laporan aktuaris dikirim melalui kantor pos atau perusahaan jasa pengiriman/titipan, tanggal penyampajan laporan aktuaris adalah tanggal pengiriman dalam tanda bukti pengiriman. 3. Pasal 26 dihapus. Pasal II 1. Di antara BAB VI dan BAB VII disisipkan 1 (satu) bab, yakni BAB VIA sehingga berbunyi sebagai berikut BAB VIA KETENTUAN PERALIHAN Pasal 28C Piutang negara yang timbul dari pengenaan sanksi administratif berupa denda atas keterlambatan penyampaian laporan aktuaris yang sudah ada sebelum ditetapkannya Peraturan Menteri ini, dikategorikan sebagai piutang macet yang pengurusannya dilimpahkan/ diserahkan oleh Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan kepada Panitia Urusan Piutang Negara/Direktorat Jenderal Kekayaan Negara. diundangkan. m End of Page 4 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 1 Februari 2012 MENTERI KEUANGAN, ttd. AGUS D.W. MARTOWARDOJO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 1 Februari 2012 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA, ttd. AMIR SYAMSUDIN BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2012 NOMOR 146 Salinan sesuai dengan aslinya KEPALA BIRO UMUM KEPALA PAGAN T.U. KEMENTERIAN End of Page 5 "," PER-MEN 21/PMK.010/2012|PER-MENKEU/2012 PERUBAHAN KEDUA ATAS KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 510/KMK.06/2002 TENTANG PENDANAAN DAN SOLVABILITAS DANA PENSIUN PEMBERI KERJA 1 Februari 2012 1 Februari 2012 1 Februari 2012 '510/KMK.06/2002|KEP-MENKEU/2002' '113/PMK.05/2005|PER-MENKEU/2005' '11/UU/1992', '76/PP/1992', '89/PERPRES/2006', '510/KMK.06/2002|KEP-MENKEU/2002', '113/PMK.05/2005|PER-MENKEU/2005', '128/PMK.06/2007|PER-MENKEU/2007', '88/PMK.06/2009|PER-MENKEU/2009' " "MENTERI KEUANGAN SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 /PMK.010/2012 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR TNTANGAPORAN TEKNS DANA PENSUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan tertib administrasi pengenaan sanksi administratif berupa denda atas keterlambatan penyampaian laporan teknis kepada Menteri Keuangan, dipandang perlu mengubah ketentuan mengenai sanksi administratif berupa denda atas keterlambatan penyampaian laporan teknis sebagaimana telah ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 100/PMK.010/2007 tentang Laporan Teknis Dana Pensiun; b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 100/PMK.010/2007 tentang Laporan Teknis Dana Pensiun, Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3477); 2. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Peneama Neara Bukan Paiak (Tamhor Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 43, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3687); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun Pemberi Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3507); 4. Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun Lembaga Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 127, Tambahar Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 8508); End of Page 1 ENTERIKEJANA -2- 5. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2003 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bulkan Pajak Yang Berlaku Pada Departemen Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 95, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4313); 6. Peraturan Presiden Nomor 89 Tahun 2006 tentang Panitia Urusan Piutang Negara, 7. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 100/PMK.010/2007 tentang Laporan Teknis Dana Pensiun; 8. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 128/PMK.06/2007 tentang Pengurusan Piutang Negara sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 88/PMK.06/2009 (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 86); MEMUTUSKAN Menetapkan : PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 100/PMK.010/2007 TENTANG LAPORAN TEKNIS DANA PENSIUN. Pasal I Beberapa ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 100/PMK.010/2007 tentang Laporan Teknis Dana Pensiun, diubah sebagai berikut 1. Ketentuan Pasal 2 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut Pasal 2 Dana Pensiun wajib menyampaikan Laporan Teknis setiap tahun kepada Menteri c.q. Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan. 2. Ketentuan Pasal 6 ayat (1) dihapus, ayat (2) dan ayat (3) diubah serta ditambahkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (4), sehingga Pasal 6 berbunyi sebagai berikut Pasal 6 (1) Dihapus. End of Page 2 MENTERI KEUANGAN - 3- (2) Laporan Teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 disampaikan paling lama 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya periode kegiatan Dana Pensiun. (3) Penyampaian Laporan Teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut a. diserahkan langsung ke kantor Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan; b. dikirim melalui kantor pos secara tercatat; atau c. dikirim melalui perusahaan jasa pengiriman/ titipan. (4) Dalam hal batas akhir penyampaian Laporan Teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) jatuh pada hari libur, batas akhir penyampaian laporan adalah hari kerja pertama berikutnya. 3. Ketentuan Pasal 7 ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5) diubah, ayat (3) dihapus, diantara ayat (3) dan ayat (4) disisipkan 1 ayat yakni ayat (3a), dan diantara ayat (4) dan ayat (5) disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (4a) sehingga Pasal 7 berbunyi sebagai berikut Pasal 7 (1) Dalam hal Dana Pensiun terlambat menyampaikan Laporan Teknis, Pendiri Dana Pensiun dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk setiap hari keterlambatan, terhitung sejak hari pertama setelah batas akhir penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) sampai dengan tanggal penyampaian Laporan (2) Dalam rangka pengenaan sanksi administratif berupa. denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tanggal penyampaian laporan adalah : a. tanggal penerimaan Laporan Teknis, apabila Laporan Teknis diserahkan langsung ke kantor Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan; dan b. tanggal pengiriman yang terdapat dalam tanda bukti pengiriman, apabila Laporan Teknis dikirim melalui kantor pos atau perusahaan jasa pengiriman/titipan. End of Page 3 MENTERI KEUANGAN REPUBUK INDONEGT (3) Dihapus. (3a) Surat pengenaan sanksi administratif berupa denda ditetapkan oleh Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan atas nama Menteri Keuangan. (4) Sanksi administratif berupa denda atas keterlambatan penyampaian Laporan Teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dibayarkan ke Kas Negara dengan menggunakan formulir Surat Setoran Bukan Pajak (SSBP) dengan kode Mata Anggaran Penerimaan (MAP) sebagaimana disebutkan dalam surat pengenaan sanksinya. (4a) Potocopy Surat Setoran Bukan Pajak (SSBP) yang merupakan bukti pembayaran sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan kepada Sekretaris Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan c.q. Kepala Bagian Keuangan dengan tembusan kepada Kepala Biro Dana Pensiun, paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah denda dibayarkan ke Kas Negara. (5) Dalam hal Pendiri Dana Pensiun belum membayar denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), denda tersebut dinyatakan sebagai utang Pendiri Dana Pensiun kepada Negara dan harus dicantumkan dalam laporan keuangan Pendiri Dana Pensiun yang bersangkutan. 4. Ketentuan Pasal 10 diubah schingga berbunyi sebagai berikut Pasal 10 (1) Apabila dalam jangka waktu scbagaimana dimaksud pada surat teguran kedua sanksi administratif berupa denda beserta bunganya tidak dilunasi, sanksi administratif berupa denda beserta bunganya dikategorikan sebagai piutang macet. 2) Piutang macet sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengurusannya dilimpahkan/ diserahkan oleh Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan kepada Panitia UnenD Negara/Direktorat Jenderal Kekayaan Negara dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari administratif berupa denda dikategorikan sebagai piutang macet. End of Page 4 MENTERI KEUANGAN Pasal II Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 1 Februari 2012 MENTERI KEUANGAN, ttd. AGUS D.W. MARTOWARDOJO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 1 Februari 2012 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA, ttd. AMIR SYAMSUDIN BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2012 NOMOR 147 Salinan sesuai dengan aslinya KEPALA BIRQ IIMUM REPIS KEPAIABAGIAN T.U REMENTERIAN GIARTO NIP 19590420198402901 End of Page 5 "," PER-MEN 22/PMK.010/2012|PER-MENKEU/2012 PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 100/PMK.010/2007 TENTANG LAPORAN TEKNIS DANA PENSIUN 1 Februari 2012 1 Februari 2012 1 Februari 2012 '100/PMK.010/2007|PER-MENKEU/2007' '11/UU/1992', '20/UU/1997', '76/PP/1992', '77/PP/1992', '44/PP/2003', '89/PERPRES/2006', '100/PMK.010/2007|PER-MENKEU/2007', '128/PMK.06/2007|PER-MENKEU/2007', '88/PMK.06/2009|PER-MENKEU/2009' 'Pasal I Angka 3 Pasal 7 Ayat (1)' " " SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 74 /PMK.010/2007 TENTANG PENYELENGGARAAN PERTANGGUNGAN ASURANSI PADA LINI USAHA ASURANSI KENDARAAN BERMOTOR MENTERI KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka memberikan perlindungan yang lebih baik kepada tertanggung asuransi kendaraan bermotor diperlukan tingkat premi wajar yang tidak memberatkan tertanggung dan tidak bersifat diskriminatif; b. bahwa dalam rangka menegakkan praktik usaha yang sehat untuk pemasaran asuransi kendaraan bermotor, khususnya dalam penetapan premi dan pembentukan cadangan teknis, diperlukan pengawasan yang lebih baik; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Penyelenggaraan Pertanggungan Asuransi Pada Lini Usaha Asuransi Kendaraan Bermotor; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3467); 2. Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 Tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 120, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3506) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 1999 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3861); 3. Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun 2005; 4. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 422/KMK.06/2003 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi; 5. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 424/KMK.06/2003 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi; - 2 - MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PENYELENGGARAAN PERTANGGUNGAN ASURANSI PADA LINI USAHA ASURANSI KENDARAAN BERMOTOR. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini, yang dimaksud dengan : 1. Perusahaan Asuransi Umum adalah perusahaan asuransi kerugian sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Perasuransian. 2. Asuransi Kendaraan Bermotor adalah produk asuransi kerugian yang melindungi tertanggung dari risiko kerugian yang mungkin timbul sehubungan dengan kepemilikan dan pemakaian kendaraan bermotor. 3. Biaya Akuisisi adalah biaya-biaya yang dibayarkan penanggung kepada pemegang polis atau pihak ketiga dalam rangka perolehan bisnis. 4. Komisi adalah komponen Biaya Akuisisi yang menjadi hak Agen Asuransi atau Perusahaan Pialang Asuransi sebagai imbalan jasa keperantaraan yang telah diberikan. 5. Agen Asuransi adalah agen asuransi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Usaha Perasuransian. 6. Perusahaan Pialang Asuransi adalah perusahaan pialang asuransi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Perasuransian. 7. Premi Neto adalah premi neto sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 1999. 8. Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia. BAB II PENETAPAN PREMI Pasal 2 (1) Perusahaan Asuransi Umum yang memasarkan Asuransi Kendaraan Bermotor wajib menetapkan tarif premi. tentang Usaha tentang Usaha - 3 - (2) Penetapan tarif premi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup unsur-unsur premi murni, biaya administrasi dan umum lain, biaya akuisisi, serta keuntungan, dengan ketentuan sebagai berikut: a. Penetapan unsur premi murni dilakukan berdasarkan perhitungan yang didukung dengan data profil risiko dan kerugian (risk and loss profile) untuk periode paling singkat 5 (lima) tahun; b. Penetapan unsur biaya administrasi dan biaya umum lainnya dilakukan berdasarkan perhitungan yang didukung dengan data biaya administrasi dan biaya umum lainnya yang menjadi bagian lini usaha Asuransi Kendaraan Bermotor untuk periode paling singkat 5 (lima) tahun; c. Penetapan unsur biaya akuisisi dilakukan sesuai dengan ketentuan mengenai biaya akuisisi sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Keuangan ini; dan d. Penetapan unsur keuntungan yang wajar. Pasal 3 (1) Perusahaan Asuransi Umum yang belum memiliki data profil risiko dan kerugian serta data biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a dan huruf b, wajib menetapkan unsur premi murni serta unsur biaya administrasi dan biaya umum lainnya berdasarkan referensi yang ditetapkan oleh Menteri. (2) Untuk pertama kali, referensi unsur premi murni serta unsur biaya administrasi dan biaya umum lainnya yang dapat digunakan oleh Perusahaan Asuransi Umum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Peraturan Menteri Keuangan ini. (3) Referensi unsur premi murni serta unsur biaya administrasi dan biaya umum lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) akan ditinjau setiap tahun dan perubahannya ditetapkan oleh Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan. BAB III BIAYA AKUISISI DAN KOMISI Pasal 4 (1) Komisi hanya dapat dibayarkan kepada atau dikutip oleh Perusahaan Pialang Asuransi atau Agen Asuransi. (2) Perusahaan Asuransi Umum dapat membebankan Biaya Akuisisi selain Komisi dalam bentuk pemberian diskon, bonus, hadiah, atau manfaat lain kepada Perusahaan Pialang Asuransi, Agen Asuransi, pemegang - 4 - polis, atau pihak ketiga lainnya yang berhubungan dengan perolehan bisnis. (3) Besarnya pembebanan Biaya Akuisisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dalam rangka perolehan bisnis, secara kumulatif tidak boleh melebihi 25% dari premi bruto. BAB IV PEMBENTUKAN CADANGAN ATAS PREMI YANG BELUM MERUPAKAN PENDAPATAN Pasal 5 Perusahaan Asuransi Umum yang memasarkan Asuransi Kendaraan Bermotor wajib membentuk cadangan atas premi yang belum merupakan pendapatan dengan ketentuan sebagai berikut: a. Besar cadangan atas premi yang belum merupakan pendapatan untuk Asuransi Kendaraan Bermotor paling rendah 40% (empat puluh per seratus) dari Premi Neto. b. Premi Neto sebagaimana dimaksud pada huruf a diperoleh dari premi bruto yang dihitung berdasarkan: i. unsur premi murni serta unsur biaya administrasi dan biaya umum lainnya sesuai referensi yang ditetapkan oleh Menteri dan perubahan-perubahannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3; dan ii. Biaya Akuisisi paling tinggi 25% (dua puluh lima per seratus) dari premi bruto. BAB V PEMELIHARAAN DATA DAN PELAPORAN Pasal 6 (1) Perusahaan Asuransi Umum yang memasarkan Asuransi Kendaraan Bermotor wajib memiliki sistem informasi yang mampu mengolah dan memelihara data profil risiko dan kerugian serta data biaya administrasi dan biaya umum lainnya untuk produk dimaksud. (2) Perusahaan Asuransi Umum yang memasarkan Asuransi Kendaraan Bermotor wajib memelihara data profil risiko dan kerugian serta data biaya administrasi dan biaya umum lainnya untuk Asuransi Kendaraan Bermotor sekurang-kurangnya untuk periode 5 (lima) tahun terakhir. - 5 - Pasal 7 (1) Perusahaan Asuransi Umum yang memasarkan Asuransi Kendaraan Bermotor setiap tahun wajib menyampaikan laporan data profil risiko dan kerugian serta data biaya administrasi dan biaya umum lainnya untuk lini usaha Asuransi Kendaraan Bermotor yang disajikan berdasarkan tahun underwriting (underwriting year basis) kepada Menteri. (2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. berisi data profil risiko serta data biaya administrasi dan biaya umum lainnya untuk periode tahun underwriting 2 (dua) tahun sebelumnya; b. disampaikan paling lambat tanggal 30 April; c. harus ditandatangani oleh direksi dan tenaga ahli perusahaan. (3) Bentuk dan susunan laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran 2 Peraturan Menteri Keuangan ini. BAB VI KETENTUAN PERALIHAN Pasal 8 (1) Perusahaan Asuransi Umum yang Kendaraan Bermotor Keuangan wajib sebelum ditetapkannya telah memasarkan Asuransi Peraturan Menteri menyesuaikan sistem informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak ditetapkannya Peraturan Menteri Keuangan ini. (2) Untuk pertama kali, Perusahaan Asuransi Umum wajib melaporkan data profil risiko dan kerugian serta data biaya administrasi dan biaya umum lainnya yang dialokasikan untuk lini usaha Asuransi Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), untuk tahun underwriting 2001, 2002, 2003, 2004 dan 2005 paling lama tanggal 30 November 2007. Pasal 9 (1) Perusahaan Asuransi Umum yang telah menetapkan tarif premi Asuransi Kendaraan Bermotor atas polis-polis yang masih berlangsung pada saat ditetapkannya Peraturan Menteri Keuangan ini, masih dapat menggunakan tarif premi dimaksud sampai dengan berakhirnya polis, termasuk untuk perhitungan premi bruto dalam rangka pembentukan cadangan atas premi yang belum merupakan pendapatan. - 6 - (2) Apabila polis-polis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) akan dilakukan perpanjangan pada saat berakhirnya polis, maka Perusahaan Asuransi Umum wajib menyesuaikan tarif premi Asuransi Kendaraan Bermotor sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan ini pada saat perpanjangan polis dimaksud, termasuk untuk perhitungan premi bruto dalam rangka pembentukan cadangan atas premi yang belum merupakan pendapatan. BAB VII KETENTUAN PENUTUP Pasal 10 (1) Dengan berlakunya Peraturan Menteri Keuangan ini, mengenai premi dalam Keputusan Menteri Keuangan ketentuan Nomor 422/KMK.06/2003 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi dan ketentuan mengenai cadangan premi dalam Keputusan Menteri Keuangan 424/KMK.06/2003 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi, dinyatakan tidak berlaku bagi penyelenggaraan pertanggungan asuransi pada lini usaha kendaraan bermotor. (2) Ketentuan lain dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 422/KMK.06/2003 dan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 424/KMK.06/2003, sepanjang tidak diatur lain dalam Peraturan Menteri Keuangan ini dinyatakan masih tetap berlaku. Pasal 11 Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada saat ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 29 Juni 2007 MENTERI KEUANGAN, ttd SRI MULYANI INDRAWATI Nomor LAMPIRAN 1 PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 74 /PMK.010/2007 TENTANG PENYELENGGARAAN PERTANGGUNGAN USAHA PADA LINI ASURANSI KENDARAAN BERMOTOR REFERENSI TARIF PREMI LINI BISNIS KENDARAAN BERMOTOR TAHUN 2007 I. PREMI MURNI KATEGORI UANG PERTANGGUNGAN (1) (2) Jenis Kendaraan Non Truck Kategori 1 0 s.d. Rp150.000.000,00 Kategori 2 Kategori 3 Kategori 4 Rp151.000.000,00 s.d. Rp300.000.000,00 Rp301.000.000,00 s.d. Rp500.000.000,00 Rp501.000.000,00 s.d. Rp800.000.000,00 Kategori 5 Lebih dari Rp800.000.000,00 Jenis Kendaraan Truck Kategori 6 Semua uang pertanggungan TARIF PREMI PERTANGGUNGAN TOTAL LOSS ONLY (TLO) (3) 0,74% TARIF PREMI PERTANGGUNGAN COMPREHENSIVE (4) 2,18% 0,67% 1,96% 0,62% 1,74% 0,62% 1,48% 0,56% 0,62% 1,19% 2,01% Penerapan tarif premi murni pada tabel di atas dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: 1. Tarif premi murni berlaku untuk coverage dasar. Untuk perluasan Strike, Riot, Civil Commotion (SRCC), Flood, Earthquake, dan Third Party Liability (TPL) harus dikenakan premi tambahan. 2. Tarif premi risiko merupakan persentase dari uang pertanggungan. 3. Deductible minimal sebesar Rp200.000,00. 4. Premi murni pada umumnya memiliki persentase dari premi bruto sebesar 50%. II. BIAYA ADMINISTRASI DAN UMUM LAINNYA 1. Biaya administrasi dan umum lainnya merupakan persentase dari premi bruto. 2. Unsur biaya administrasi dan biaya umum lainnya adalah 15% dari premi bruto. MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, ttd. SRI MULYANI INDRAWATI Lampiran 2 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 74 /PMK.010/2007 Tanggal 29 Juni 2007 Tentang Penyelenggaraan Pertanggungan Asuransi Pada Lini Usaha Asuransi Kendaraan Bermotor KEPADA Yth. Biro Perasuransian Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Departemen Keuangan RI Gedung A Lantai 8 Jalan Wahidin No. 1 Jakarta 10710 ASURANSI KENDARAAN BERMOTOR LAPORAN DATA PROFIL RISIKO DAN KERUGIAN Perusahaan Asuransi Kerugian / Perusahaan Reasuransi (Diisi nama, alamat, nomor telepon, nomor faximile dan e-mail perusahaan) Tahun Pelaporan : ……. Tahun Underwriting : …… - 2 - ( Nama Perusahaan ) PERNYATAAN DIREKSI DAN TENAGA AHLI Kami yang bertanda tangan di bawah ini, dengan ini menyatakan bahwa menurut pendapat kami, perusahaan telah menyajikan semua data yang wajar dan dapat dijadikan dasar untuk menyusun Laporan Data Profil Risiko dan Kerugian Asuransi Kendaraan Bermotor tahun underwriting 200X. Demikian pernyataan ini dibuat dengan sesungguhnya. Jakarta, ………………………. Direksi (Diisi nama jabatan) Tenaga Ahli tanda tangan (Nama) tanda tangan (Nama dan No. Registrasi) - 3 - DAFTAR ISI LAPORAN Judul - COVER - PERNYATAAN DIREKSI DAN TENAGA AHLI - DAFTAR ISI LAPORAN A. Rekapitulasi Premi dan Klaim B. Data Premi Kendaraan Angkutan Penumpang Dengan Polis Total Loss Only C. Data Premi Kendaraan Angkutan Barang Dengan Polis Total Loss Only D. Data Premi Kendaraan Bus Dengan Polis Total Loss Only E. Data Premi Kendaraan Angkutan Penumpang Dengan Polis Comprehensive F. Data Premi Kendaraan Angkutan Barang Dengan Polis Comprehensive G. Data Premi Kendaraan Bus Dengan Polis Comprehensive H. Data Klaim Kendaraan Angkutan Penumpang Dengan Polis Total Loss Only I. Data Klaim Kendaraan Angkutan Barang Dengan Polis Total Loss Only J. Data Klaim Kendaraan Bus Dengan Polis Total Loss Only K. Data Klaim Kendaraan Angkutan Penumpang Dengan Polis Comprehensive L. Data Klaim Kendaraan Angkutan Barang Dengan Polis Comprehensive M. Data Klaim Kendaraan Bus Dengan Polis Comprehensive N. Data Biaya O. Daftar Kode Merk dan Tipe Kendaraan Bermotor P. Petunjuk Pengisian Halaman 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18-24 25-27 - 4 - A. REKAPITULASI DATA PREMI DAN KLAIM NAMA PERUSAHAAN TAHUN PELAPORAN UNDERWRITING YEAR NO. MERK 1 Kendaraan Angkutan Penumpang Dengan Polis Total Loss Only 2 Kendaraan Angkutan Barang Dengan Polis Total Loss Only 3 Kendaraan Bus Dengan Polis Total Loss Only 4 Kendaraan Angkutan Penumpang Dengan Polis Comprehensive 5 Kendaraan Angkutan Barang Dengan Polis Comprehensive 6 Kendaraan Bus Dengan Polis Comprehensive TOTAL : : 200X : 200X-2 JUMLAH KENDARAAN JUMLAH UANG PERTANGGUNGAN JUMLAH PREMI JUMLAH FREKUENSI KLAIM JUMLAH NILAI KLAIM - 5 - B. DATA PREMI NAMA PERUSAHAAN TAHUN PELAPORAN UNDERWRITING YEAR JENIS KENDARAAN COVERAGE POLIS NO. KODE MERK DAN TIPE KENDARAAN TAHUN KENDARAAN : : 200X : 200X-2 : ANGKUTAN PENUMPANG : TLO PENGGUNAAN JUMLAH KENDARAAN JUMLAH UANG PERTANGGUNGAN PREMI U/Y 200X-2 DITERIMA 200X-2 PREMI U/Y 200X-2 DITERIMA 200X-1 JUMLAH PREMI U/Y 200X-2 - 6 - C. DATA PREMI NAMA PERUSAHAAN TAHUN PELAPORAN UNDERWRITING YEAR JENIS KENDARAAN COVERAGE POLIS NO. KODE MERK DAN TIPE KENDARAAN TAHUN KENDARAAN : : 200X : 200X-2 : ANGKUTAN BARANG : TLO PENGGUNAAN JUMLAH KENDARAAN JUMLAH UANG PERTANGGUNGAN PREMI U/Y 200X-2 DITERIMA 200X-2 PREMI U/Y 200X-2 DITERIMA 200X-1 JUMLAH PREMI U/Y 200X-2 - 7 - D. DATA PREMI NAMA PERUSAHAAN TAHUN PELAPORAN UNDERWRITING YEAR JENIS KENDARAAN COVERAGE POLIS NO. KODE MERK DAN TIPE KENDARAAN TAHUN KENDARAAN : : 200X : 200X-2 : BUS : TLO PENGGUNAAN JUMLAH KENDARAAN JUMLAH UANG PERTANGGUNGAN PREMI U/Y 200X-2 DITERIMA 200X-2 PREMI U/Y 200X-2 DITERIMA 200X-1 JUMLAH PREMI U/Y 200X-2 - 8 - E. DATA PREMI NAMA PERUSAHAAN TAHUN PELAPORAN UNDERWRITING YEAR JENIS KENDARAAN COVERAGE POLIS NO. KODE MERK DAN TIPE KENDARAAN TAHUN KENDARAAN : : 200X : 200X-2 : ANGKUTAN PENUMPANG : COMPREHENSIVE PENGGUNAAN JUMLAH KENDARAAN JUMLAH UANG PERTANGGUNGAN PREMI U/Y 200X-2 DITERIMA 200X-2 PREMI U/Y 200X-2 DITERIMA 200X-1 JUMLAH PREMI U/Y 200X-2 - 9 - F. DATA PREMI NAMA PERUSAHAAN TAHUN PELAPORAN UNDERWRITING YEAR JENIS KENDARAAN COVERAGE POLIS NO. KODE MERK DAN TIPE KENDARAAN TAHUN KENDARAAN : : 200X : 200X-2 : ANGKUTAN BARANG : COMPREHENSIVE PENGGUNAAN JUMLAH KENDARAAN JUMLAH UANG PERTANGGUNGAN PREMI U/Y 200X-2 DITERIMA 200X-2 PREMI U/Y 200X-2 DITERIMA 200X-1 JUMLAH PREMI U/Y 200X-2 - 10 - G. DATA PREMI NAMA PERUSAHAAN TAHUN PELAPORAN UNDERWRITING YEAR JENIS KENDARAAN COVERAGE POLIS NO. KODE MERK DAN TIPE KENDARAAN TAHUN KENDARAAN : : 200X : 200X-2 : BUS : COMPREHENSIVE PENGGUNAAN JUMLAH KENDARAAN JUMLAH UANG PERTANGGUNGAN PREMI U/Y 200X-2 DITERIMA 200X-2 PREMI U/Y 200X-2 DITERIMA 200X-1 JUMLAH PREMI U/Y 200X-2 - 11 - H. DATA KLAIM NAMA PERUSAHAAN TAHUN PELAPORAN UNDERWRITING YEAR JENIS KENDARAAN COVERAGE POLIS NO. KODE MERK DAN TIPE KENDARAAN TAHUN KENDARAAN : : 200X : 200X-2 : ANGKUTAN PENUMPANG : TLO PENGGUNAAN FREKUENSI KLAIM U/Y 200X-2 YANG TERJADI DI TAHUN 200X-2 NILAI KLAIM U/Y 200X-2 YANG TERJADI DI TAHUN 200X-2 FREKUENSI KLAIM U/Y 200X-2 YANG TERJADI DI TAHUN 200X-1 NILAI KLAIM U/Y 200X-2 YANG TERJADI DI TAHUN 200X-1 JUMLAH FREKUENSI KLAIM U/Y 200X-2 JUMLAH NILAI KLAIM U/Y 200X-2 - 12 - I. DATA KLAIM NAMA PERUSAHAAN TAHUN PELAPORAN UNDERWRITING YEAR JENIS KENDARAAN COVERAGE POLIS NO. KODE MERK DAN TIPE KENDARAAN TAHUN KENDARAAN : : 200X : 200X-2 : ANGKUTAN BARANG : TLO PENGGUNAAN FREKUENSI KLAIM U/Y 200X-2 YANG TERJADI DI TAHUN 200X-2 NILAI KLAIM U/Y 200X-2 YANG TERJADI DI TAHUN 200X-2 FREKUENSI KLAIM U/Y 200X-2 YANG TERJADI DI TAHUN 200X-1 NILAI KLAIM U/Y 200X-2 YANG TERJADI DI TAHUN 200X-1 JUMLAH FREKUENSI KLAIM U/Y 200X-2 JUMLAH NILAI KLAIM U/Y 200X-2 - 13 - J. DATA KLAIM NAMA PERUSAHAAN TAHUN PELAPORAN UNDERWRITING YEAR JENIS KENDARAAN COVERAGE POLIS NO. KODE MERK DAN TIPE KENDARAAN TAHUN KENDARAAN : : 200X : 200X-2 : BUS : TLO PENGGUNAAN FREKUENSI KLAIM U/Y 200X-2 YANG TERJADI DI TAHUN 200X-2 NILAI KLAIM U/Y 200X-2 YANG TERJADI DI TAHUN 200X-2 FREKUENSI KLAIM U/Y 200X-2 YANG TERJADI DI TAHUN 200X-1 NILAI KLAIM U/Y 200X-2 YANG TERJADI DI TAHUN 200X-1 JUMLAH FREKUENSI KLAIM U/Y 200X-2 JUMLAH NILAI KLAIM U/Y 200X-2 - 14 - K. DATA KLAIM NAMA PERUSAHAAN TAHUN PELAPORAN UNDERWRITING YEAR JENIS KENDARAAN COVERAGE POLIS NO. KODE MERK DAN TIPE KENDARAAN TAHUN KENDARAAN : : 200X : 200X-2 : ANGKUTAN PENUMPANG : COMPREHENSIVE PENGGUNAAN JENIS KLAIM FREKUENSI KLAIM U/Y 200X-2 YANG TERJADI DI TAHUN 200X-2 NILAI KLAIM U/Y 200X-2 YANG TERJADI DI TAHUN 200X-2 FREKUENSI KLAIM U/Y 200X-2 YANG TERJADI DI TAHUN 200X-1 NILAI KLAIM U/Y 200X-2 YANG TERJADI DI TAHUN 200X-1 JUMLAH FREKUENSI KLAIM U/Y 200X-2 JUMLAH NILAI KLAIM U/Y 200X- 2 - 15 - L. DATA KLAIM NAMA PERUSAHAAN TAHUN PELAPORAN UNDERWRITING YEAR JENIS KENDARAAN COVERAGE POLIS NO. KODE MERK DAN TIPE KENDARAAN TAHUN KENDARAAN : : 200X : 200X-2 : ANGKUTAN BARANG : COMPREHENSIVE PENGGUNAAN JENIS KLAIM FREKUENSI KLAIM U/Y 200X-2 YANG TERJADI DI TAHUN 200X-2 NILAI KLAIM U/Y 200X-2 YANG TERJADI DI TAHUN 200X-2 FREKUENSI KLAIM U/Y 200X-2 YANG TERJADI DI TAHUN 200X-1 NILAI KLAIM U/Y 200X-2 YANG TERJADI DI TAHUN 200X-1 JUMLAH FREKUENSI KLAIM U/Y 200X-2 JUMLAH NILAI KLAIM U/Y 200X- 2 - 16 - M. DATA KLAIM NAMA PERUSAHAAN TAHUN PELAPORAN UNDERWRITING YEAR JENIS KENDARAAN COVERAGE POLIS NO. KODE MERK DAN TIPE KENDARAAN TAHUN KENDARAAN : : 200X : 200X-2 : BUS : COMPREHENSIVE PENGGUNAAN JENIS KLAIM FREKUENSI KLAIM U/Y 200X-2 YANG TERJADI DI TAHUN 200X-2 NILAI KLAIM U/Y 200X-2 YANG TERJADI DI TAHUN 200X-2 FREKUENSI KLAIM U/Y 200X-2 YANG TERJADI DI TAHUN 200X-1 NILAI KLAIM U/Y 200X-2 YANG TERJADI DI TAHUN 200X-1 JUMLAH FREKUENSI KLAIM U/Y 200X-2 JUMLAH NILAI KLAIM U/Y 200X- 2 - 17 - N. DATA BIAYA NAMA PERUSAHAAN : UNDERWRITING YEAR : 200X JUMLAH BIAYA NO. 1 Promosi 2 Entertaintment dan Representasi 3 Rekruitment Agen Asuransi 4 Kontes Keagenan 5 Beban Pegawai Pemasaran Asuransi KB 6 Beban Pegawai Teknik Asuransi KB 7 Beban Perjalanan Dinas Pegawai Pemasaran Asuransi KB 8 Beban Perjalanan Dinas Pegawai Teknik Asuransi KB 9 Beban Pendidikan dan Latihan Pegawai Pemasaran Asuransi KB 10 Beban Pendidikan dan Latihan Pegawai Teknik Asuransi KB 11 Beban Konsultan Pemasaran Asuransi KB 12 Beban Konsultan Teknik Asuransi KB 13 Beban Penghapusan Premi Asuransi KB 14 Beban Komunikasi 15 Beban Transportasi 16 Beban Teknologi Informasi 17 Beban Barang Cetakan 18 Beban Materai 19 Beban Langsung Lainnya 20 Beban Pegawai Non Pemasaran dan Non Teknik 21 Beban Perjalanan Dinas Pegawai Non Pemasaran dan Non Teknik 22 Beban Pendidikan dan Latihan Pegawai Non Pemasaran dan Non Teknik 23 Beban Konsultan Non Pemasaran dan Non Teknik 24 Beban Tenaga Kerja Asing 25 Jasa Manajemen dan Royalti 26 Iuran Keanggotaan 27 Beban Perkantoran 28 Beban Penyusutan Aktiva Tetap 29 Beban Amortisasi Aktiva Tak Berwujud 30 Beban Komunikasi Lain 31 Beban Transportasi Umum 32 Beban Teknologi Informasi Lain 33 Beban Administrasi Lain JUMLAH RINCIAN BIAYA JENIS BIAYA Langsung Langsung Langsung Langsung Langsung Langsung Langsung Langsung Langsung Langsung Langsung Langsung Langsung Langsung Langsung Langsung Langsung Langsung Langsung Tidak Langsung Tidak Langsung Tidak Langsung Tidak Langsung Tidak Langsung Tidak Langsung Tidak Langsung Tidak Langsung Tidak Langsung Tidak Langsung Tidak Langsung Tidak Langsung Tidak Langsung Tidak Langsung DIALOKASIKAN KE LINI BISNIS KENDARAAN BERMOTOR - 18 - O. DAFTAR KODE MERK DAN TIPE KENDARAAN NO. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 Kode Merk dan Tipe 10 001 10 002 10 003 10 004 10 005 10 006 10 099 11 001 11 002 11 003 11 099 Merk Kendaraan KENDARAAN PENUMPANG A 3 AUDI AUDI AUDI AUDI AUDI AUDI AUDI BIMANTARA BIMANTARA BIMANTARA BIMANTARA 12 001 BMW 12 002 BMW 12 003 BMW 12 004 BMW 12 005 BMW 12 006 BMW 12 007 BMW 12 008 BMW 12 099 BMW 13 001 13 002 13 003 13 004 13 005 13 006 13 007 13 008 13 099 14 001 14 002 14 003 14 004 14 099 A 4 A 6 A 8 ALLROAD TT 1.8 TURBO Lainnya ARYA 2.5 CAKRA 1.5 NENGGALA 1.6 Lainnya 120 I Seri 3 Seri 5 Seri 6 Seri 7 X3 X5 Seri Z CHEVROLET CHEVROLET CHEVROLET CHEVROLET CHEVROLET CHEVROLET CHEVROLET CHEVROLET CHEVROLET CHRYSLER CHRYSLER CHRYSLER CHRYSLER CHRYSLER 15 001 DAEWOO 15 002 DAEWOO 15 003 DAEWOO 15 004 DAEWOO 15 005 DAEWOO 15 006 DAEWOO 15 007 DAEWOO 15 099 DAEWOO Lainnya AVEO BLAZER EXPRESS OPTRA SPARK TAVERA TROOPER ZAFIRA Lainnya DODGE CHEROKEE WRANGLER PT CRUISER Lainnya ESPERO LANOS LEGANZA MATIZ NEXIA NUBIRA TACUMA Lainnya Tipe Kendaraan - 19 - O. DAFTAR KODE MERK DAN TIPE KENDARAAN NO. 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 Kode Merk dan Tipe 16 001 16 002 16 003 16 004 16 005 16 006 16 007 16 008 16 009 16 010 16 011 16 012 16 099 17 001 17 002 17 003 17 004 17 005 17 006 17 099 Merk Kendaraan DAIHATSU DAIHATSU DAIHATSU DAIHATSU DAIHATSU DAIHATSU DAIHATSU DAIHATSU DAIHATSU DAIHATSU DAIHATSU DAIHATSU DAIHATSU FORD FORD FORD FORD FORD FORD FORD 18 001 HONDA 18 002 HONDA 18 003 HONDA 18 004 HONDA 18 005 HONDA 18 006 HONDA 18 007 HONDA 18 099 HONDA 19 001 19 002 19 003 19 004 19 005 19 006 19 007 19 008 19 009 19 010 19 011 19 012 19 099 20 001 20 002 20 099 Tipe Kendaraan CERIA CLASSY COPEN ESPASS FEROZA ZEBRA TAFT TARUNA TERIOS XENIA YRV ZEBRA Lainnya ESCAPE EVEREST LASER CHAMP LYNX RANGER TELSTAR Lainnya ACCORD CITY CIVIC CR-V FIT / JAZZ ODYSSEY STREAM Lainnya HYUNDAI HYUNDAI HYUNDAI HYUNDAI HYUNDAI HYUNDAI HYUNDAI HYUNDAI HYUNDAI HYUNDAI HYUNDAI HYUNDAI HYUNDAI ISUZU ISUZU ISUZU ACCENT ATOZ COUPE GETZ GRACE GRANDEUR GRACE MATRIX SANTA SONATA TRAJET ELANTRA Lainnya D-MAX PANTHER Lainnya - 20 - O. DAFTAR KODE MERK DAN TIPE KENDARAAN NO. 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100 101 102 103 104 105 106 107 108 109 110 111 112 113 114 115 116 117 118 119 120 121 122 123 124 125 126 127 128 129 130 Kode Merk dan Tipe 21 001 21 002 21 003 21 004 21 099 22 001 22 002 22 003 22 004 22 005 22 006 22 007 22 008 22 009 22 010 22 011 22 012 22 013 22 014 22 015 22 099 23 001 23 002 23 003 23 004 23 099 Merk Kendaraan JAGUAR JAGUAR JAGUAR JAGUAR JAGUAR KIA KIA KIA KIA KIA KIA KIA KIA KIA KIA KIA KIA KIA KIA KIA KIA LANDROVER LANDROVER LANDROVER LANDROVER LANDROVER 24 001 MAZDA 24 002 MAZDA 24 003 MAZDA 24 004 MAZDA 24 005 MAZDA 24 006 MAZDA 24 007 MAZDA 24 008 MAZDA 24 009 MAZDA 24 010 MAZDA 24 011 MAZDA 24 099 MAZDA 25 001 25 002 25 003 25 004 25 005 25 006 Tipe Kendaraan DAIMLER S-TYPE XJ X-TYPE Lainnya BIG UP CARNIVAL CARRENS CERES MAGENTIS PREGIO RIO SHUMA SEDONA SPECTRA SPORTAGE SORENTO VISTO PICANTO TRAVELO Lainnya DEFENDER DISCOVERY FREELANDER RANGE ROVER Lainnya 323 626 E-2000 MPV 2.5 MR 90 MX 6 PREMACY MAZDA RX 8 VANTREND ST. WAGON TRIBUTE B-SERIES 2.5 Lainnya MERCEDEZ BENZ MERCEDEZ BENZ MERCEDEZ BENZ MERCEDEZ BENZ MERCEDEZ BENZ MERCEDEZ BENZ A-CLASS C-CLASS E - CLASS ML - CLASS S - CLASS V - CLASS - 21 - O. DAFTAR KODE MERK DAN TIPE KENDARAAN NO. 131 132 133 134 135 136 137 138 139 140 141 142 143 144 145 146 147 148 149 150 151 152 153 154 155 156 157 158 159 160 161 162 163 164 165 166 167 168 169 170 171 172 173 174 Kode Merk dan Tipe 25 099 26 001 26 002 26 003 26 004 26 005 26 006 26 007 26 008 26 009 26 010 26 099 27 001 27 002 27 003 27 004 27 005 27 006 27 007 27 008 27 009 27 010 27 011 27 012 27 099 28 001 28 002 28 003 28 099 29 001 29 002 29 003 29 004 29 005 29 099 30 001 30 002 30 003 30 004 30 099 31 001 31 002 31 003 31 004 Merk Kendaraan MERCEDEZ BENZ MITSUBISHI MITSUBISHI MITSUBISHI MITSUBISHI MITSUBISHI MITSUBISHI MITSUBISHI MITSUBISHI MITSUBISHI MITSUBISHI MITSUBISHI NISSAN NISSAN NISSAN NISSAN NISSAN NISSAN NISSAN NISSAN NISSAN NISSAN NISSAN NISSAN NISSAN OPEL OPEL OPEL OPEL PEUGEOT PEUGEOT PEUGEOT PEUGEOT PEUGEOT PEUGEOT RENAULT RENAULT RENAULT RENAULT RENAULT SSYANGYONG SSYANGYONG SSYANGYONG SSYANGYONG Tipe Kendaraan Lainnya COLT L 300 COLT T 120 SS CHARIOT ETERNA GALANT GRANDIS KUDA L 200 LANCER PAJERO Lainnya CEFIRO GENESIS INFINITY PATROL SENTRA SERENA SILVIA TERRANO X-TRAIL TEANA SUNNY NISSAN MARCH Lainnya BLAZER OPTIMA VECTRA Lainnya Seri 2 Seri 3 Seri 4 Seri 8 PARTNER Lainnya CLIO KANGOO LAGUNA SCENIC Lainnya BOXER CHAIRMAN KORANDO MUSSO - 22 - O. DAFTAR KODE MERK DAN TIPE KENDARAAN NO. 175 176 177 178 179 180 181 182 183 184 185 186 187 188 189 190 191 192 193 194 195 196 197 198 199 200 201 202 203 204 205 206 207 208 209 210 211 212 213 214 215 216 217 218 Kode Merk dan Tipe 31 005 31 099 32 001 32 002 32 003 32 004 32 099 33 001 33 002 33 003 33 004 33 005 33 006 33 007 33 008 33 009 33 010 33 011 33 012 33 099 34 001 34 099 35 001 35 002 35 003 35 004 35 005 35 006 35 007 35 008 35 009 35 010 35 011 35 012 35 013 35 014 35 015 35 016 35 017 35 018 35 019 35 020 35 021 35 022 Merk Kendaraan SSYANGYONG SSYANGYONG SUBARU SUBARU SUBARU SUBARU SUBARU SUZUKI SUZUKI SUZUKI SUZUKI SUZUKI SUZUKI SUZUKI SUZUKI SUZUKI SUZUKI SUZUKI SUZUKI SUZUKI TIMOR TIMOR TOYOTA TOYOTA TOYOTA TOYOTA TOYOTA TOYOTA TOYOTA TOYOTA TOYOTA TOYOTA TOYOTA TOYOTA TOYOTA TOYOTA TOYOTA TOYOTA TOYOTA TOYOTA TOYOTA TOYOTA TOYOTA TOYOTA Tipe Kendaraan REXTON Lainnya FORESTER IMPREZA LEGACY OUTBACK Lainnya APV AERIO BALENO CARRY ESCUDO ESTEEM EVERY KARIMUN KATANA SIDEKICK VITARA SWIFT Lainnya S 515 Lainnya ALPHARD AVANZA CAMRY COROLLA CORONA NEW CROWN CYGNUS TOYOTA FORTUNER HARRIER HILUX TIGER IST KIJANG LAND CRUISER PRADO PREVIA PROBOX RAV SOLUNA STARLET VIOS WISH NOAH / VOXY - 23 - O. DAFTAR KODE MERK DAN TIPE KENDARAAN NO. 219 220 221 222 223 224 225 226 227 228 229 230 231 232 233 234 235 236 237 238 239 240 241 242 243 244 245 246 247 248 249 250 251 252 253 254 255 256 257 258 259 260 Kode Merk dan Tipe 35 099 36 001 36 002 36 003 36 004 36 005 36 006 36 099 37 001 37 002 37 003 37 004 37 005 37 006 37 007 37 008 37 009 37 010 37 011 37 099 59 001 60 001 60 099 61 001 61 002 61 003 61 004 61 005 61 099 62 001 62 002 62 003 62 099 63 001 63 002 63 003 63 099 64 001 64 002 64 003 64 004 64 005 Merk Kendaraan TOYOTA VOLKSWAGEN VOLKSWAGEN VOLKSWAGEN VOLKSWAGEN VOLKSWAGEN VOLKSWAGEN VOLKSWAGEN VOLVO VOLVO VOLVO VOLVO VOLVO VOLVO VOLVO VOLVO VOLVO VOLVO VOLVO VOLVO LAIN-LAIN KENDARAAN BUS DAIHATSU DAIHATSU HINO HINO HINO HINO HINO HINO ISUZU ISUZU ISUZU ISUZU MITSUBISHI MITSUBISHI MITSUBISHI MITSUBISHI NISSAN NISSAN NISSAN NISSAN NISSAN DELTA Lainnya Seri FF Seri FL Seri FM Seri SG DUTRO Lainnya BORNEO CXZ ELF Lainnya COLT DIESEL FUSO TRONTON Lainnya CDA CKA CWA PKC PKD Tipe Kendaraan Lainnya CARAVELLE GOLF NEW BEETLE PASSAT NEW POLO TOUAREG Lainnya 740 850 960 S90 S 60 S 70 S 80 S40 V40 V70 XC Lainnya Lainnya - 24 - O. DAFTAR KODE MERK DAN TIPE KENDARAAN NO. 261 262 263 264 265 266 267 268 269 270 271 272 273 274 275 276 277 278 279 280 281 282 283 284 285 286 287 288 289 290 291 292 293 294 295 296 297 298 Kode Merk dan Tipe 64 099 65 001 65 002 65 099 66 001 66 099 79 001 80 001 80 002 80 099 81 001 81 002 81 003 81 004 81 005 81 099 82 001 82 002 82 003 82 099 83 001 83 002 83 003 83 004 83 099 84 001 84 002 84 003 84 004 84 005 84 099 85 001 85 002 85 003 85 099 86 001 86 099 99 001 Merk Kendaraan NISSAN TOYOTA TOYOTA TOYOTA SCANIA SCANIA Lainnya DAIHATSU DAIHATSU HINO HINO HINO HINO HINO HINO ISUZU ISUZU ISUZU ISUZU MITSUBISHI MITSUBISHI MITSUBISHI MITSUBISHI MITSUBISHI NISSAN NISSAN NISSAN NISSAN NISSAN NISSAN TOYOTA TOYOTA TOYOTA TOYOTA SCANIA SCANIA Lainnya Tipe Kendaraan Lainnya DYNA RINO DYNA 115 S Lainnya SCANIA BUS Lainnya Lainnya KENDARAAN ANGKUTAN BARANG (TRUK) DAIHATSU DELTA Zebra Pick Up Lainnya Seri FF Seri FL Seri FM Seri SG DUTRO Lainnya BORNEO CXZ ELF Lainnya COLT DIESEL FUSO TRONTON Kuda Pick Up Lainnya CDA CKA CWA PKC PKD Lainnya DYNA RINO DYNA 115 S Kijang Pick Up Lainnya TRONTON Lainnya Lainnya - 25 - P. PETUNJUK PENGISIAN I. FORMULIR DATA PREMI Seluruh kolom harus diisi secara lengkap, dengan isian sebagai berikut : NAMA PERUSAHAAN TAHUN PELAPORAN UNDERWRITING YEAR JENIS KENDARAAN COVERAGE POLIS KODE MERK DAN TYPE KENDARAAN TAHUN KENDARAAN PENGGUNAAN JUMLAH KENDARAAN JUMLAH UANG PERTANGGUNGAN PREMI U/Y 200X-2 DITERIMA 200X-2 PREMI U/Y 200X-2 DITERIMA 200X-1 JUMLAH PREMI U/Y 200X-2 : nama perusahaan pembuat laporan : tahun laporan disampaikan, misalnya tahun 2007 : tahun underwriting, misalnya untuk laporan tahun 2007 diisi tahun 2005 : ANGKUTAN PENUMPANG, ANGKUTAN BARANG, ATAU BUS : TOTAL LOSS atau COMPREHENSIVE (ALL RISK) : Kode Merk dan Type kendaraan sesuai dengan Daftar Merk dan Type Kendaraan. Contoh untuk mobil penumpang Toyota Kijang kodenya adalah 35012, truk mitsubishi Fuso kodenya 85002 : Tahun produksi kendaraan : PRIBADI atau KOMERSIAL : Jumlah kendaraan yang dicover : Jumlah uang pertanggungan kendaraan yang dicover : Premi U/Y 200x-2 yang diterima tahun 200x-2, dalam jutaan rupiah. Contoh : premi tahun underwriting 2005 yang diterima pada tahun 2005 : Premi U/Y 200x-2 yang diterima tahun 200x-1, dalam jutaan rupiah. Contoh : premi tahun underwriting 2005 yang diterima pada tahun 2006 : Jumlah premi U/Y 200x-2, dalam jutaan rupiah. Contoh: jumlah premi U/Y 2005 yang telah diterima s.d. tahun 2006 - 26 - II. FORMULIR DATA KLAIM Seluruh kolom harus diisi secara lengkap, dengan isian sebagai berikut : NAMA PERUSAHAAN TAHUN PELAPORAN UNDERWRITING YEAR JENIS KENDARAAN COVERAGE POLIS TAHUN KENDARAAN PENGGUNAAN JENIS KLAIM FREKUENSI KLAIM U/Y 200X-2 YANG TERJADI DI TAHUN 200X-2 NILAI KLAIM U/Y 200X-2 YANG TERJADI DI TAHUN 200X-2 FREKUENSI KLAIM U/Y 200X-2 YANG TERJADI DI TAHUN 200X-1 NILAI KLAIM U/Y 200X-2 YANG TERJADI DI TAHUN 200X-1 : nama perusahaan pembuat laporan : tahun laporan disampaikan, misalnya 2007 : tahun underwriting, misalnya untuk laporan tahun 2007 diisi tahun 2005 : ANGKUTAN PENUMPANG, ANGKUTAN BARANG, ATAU BUS : TOTAL LOSS atau COMPREHENSIVE (ALL RISK) KODE MERK DAN TYPE KENDARAAN : Kode Merk dan Type kendaraan sesuai dengan Daftar Merk dan Type Kendaraan. Contoh untuk mobil penumpang Toyota Kijang kodenya adalah 35012, truk mitsubishi Fuso kodenya 85002 : Tahun produksi kendaraan : PRIBADI atau KOMERSIAL : TLO, Partial Loss, TPL Property Damage, atau TPL Bodily Injury : Frekuensi klaim untuk polis U/Y 200x-2 yang terjadi dan settle di tahun 200x-2 Contoh : klaim atas polis tahun underwriting 2005 yang terjadi dan settle di tahun 2005 : Nilai klaim untuk polis U/Y 200x-2 yang terjadi dan settle di tahun 200x-2, dalam jutaan rupiah : Frekuensi klaim untuk polis U/Y 200x-2 yang terjadi dan settle di tahun 200x-1 Contoh : klaim atas polis tahun underwriting 2005 yang terjadi dan settle di tahun 2006 : Nilai klaim untuk polis U/Y 200x-2 yang terjadi dan settle di tahun 200x-1, dalam jutaan rupiah JUMLAH FREKUENSI KLAIM U/Y 200X-2 : Frekuensi klaim untuk polis U/Y 200x-2 yang settle di tahun sampai dengan tahun 200x-1 JUMLAH NILAI KLAIM U/Y 200X-2 : Nilai klaim untuk polis U/Y 200x-2 yang settle di tahun sampai dengan tahun 200x-1, dalam jutaan rupiah - 27 - III. FORMULIR DATA BIAYA Seluruh kolom harus diisi secara lengkap, dengan isian sebagai berikut : BIAYA LANGSUNG BIAYA TIDAK LANGSUNG : adalah biaya yang terkait langsung dengan lini bisnis asuransi kendaraan bermotor dengan demikian biaya langsung harus dialokasikan seluruhnya ke lini bisnis asuransi kendaraan bermotor; : adalah seluruh biaya yang secara tidak langsung mendukung pengembangan lini bisnis asuransi kendaraan bermotor. Biaya tidak langsung dapat berupa biaya umum maupun joint cost yang terkait dengan lini bisnis lain. Alokasi biaya tidak langsung kepada lini bisnis asuransi kendaraan bermotor dapat dilakukan sesuai dengan proporsi Premi Bruto atau proporsi Jumlah Transaksi. MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, ttd. SRI MULYANI INDRAWATI "," PER-MEN 74/PMK.010/2007|PER-MENKEU/2007 PENYELENGGARAAN PERTANGGUNGAN ASURANSI PADA LINI USAHA ASURANSI KENDARAAN BERMOTOR 29 Juni 2007 29 Juni 2007 '422/KMK.06/2003|KEP-MENKEU/2003 | ketentuan mengenai premi', '424/KMK.06/2003|KEP-MENKEU/2003 | ketentuan mengenai cadangan premi' '2/UU/1992', '73/PP/1992', '63/PP/1999', '20/P|KEPPRES/2005', '422/KMK.06/2003|KEP-MENKEU/2003', '424/KMK.06/2003|KEP-MENKEU/2003' " " MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 53/PMK.010/2012 TENTANG KESEHATAN KEUANGAN PERUSAHAAN ASURANSI DAN PERUSAHAAN REASURANSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mendorong pertumbuhan industri perasuransian nasional dan meningkatkan upaya perlindungan terhadap tertanggung atau pemegang polis perlu dilakukan penyempurnaan terhadap ketentuan mengenai kesehatan keuangan perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi baik yang berbentuk perseroan terbatas maupun yang berbentuk bukan perseroan terbatas; b. bahwa dalam rangka menyempurnakan ketentuan mengenai kesehatan keuangan perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu dilakukan penyesuaian secara keseluruhan terhadap Keputusan Menteri Keuangan Nomor 424/KMK.06/2003 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 158/PMK.010/2008 dan terhadap Keputusan Menteri Keuangan Nomor 504/KMK.06/2004 tentang Kesehatan Keuangan Bagi Perusahaan Asuransi yang Berbentuk Badan Hukum Bukan Perseroan Terbatas; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3467); MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA - 2 - 2. Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 120, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3506) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 212, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4954); 3. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 422/KMK.06/2003 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi; 4. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 426/KMK.06/2003 tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi; MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG KESEHATAN KEUANGAN PERUSAHAAN ASURANSI DAN PERUSAHAAN REASURANSI. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini, yang dimaksud dengan: 1. Perusahaan adalah Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi baik yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas maupun bukan perseroan terbatas. 2. Perusahaan Asuransi adalah Perusahaan Asuransi Umum dan Perusahaan Asuransi Jiwa. 3. Perusahaan Reasuransi adalah perusahaan reasuransi sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai usaha perasuransian. 4. Perusahaan Asuransi Umum adalah perusahaan asuransi kerugian sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai usaha perasuransian. 5. Perusahaan Asuransi Jiwa adalah perusahaan asuransi jiwa sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai usaha perasuransian. MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA - 3 - 6. Aset Yang Diperkenankan adalah kekayaan yang diperkenankan yang diperhitungkan dalam perhitungan Tingkat Solvabilitas sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di bidang perasuransian. 7. Liabilitas adalah kewajiban sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di bidang perasuransian. 8. Tingkat Solvabilitas adalah selisih antara jumlah Aset Yang Diperkenankan dikurangi dengan jumlah Liabilitas. 9. Ekuitas adalah ekuitas berdasarkan standar akuntansi keuangan yang berlaku di Indonesia. 10. Premi Neto adalah premi bruto dikurangi komisi dan dikurangi premi reasuransi dibayar yang telah dikurangi komisi reasuransi diterima. 11. Produk Asuransi Yang Dikaitkan Dengan Investasi adalah produk asuransi yang selain memberikan proteksi, juga memberikan hasil investasi yang mengacu pada hasil investasi pasar baik yang dinyatakan dalam bentuk unit maupun bukan unit. 12. Dana Jaminan adalah bagian dari aset Perusahaan yang dimaksudkan sebagai jaminan terakhir dalam rangka melindungi kepentingan para pemegang polis. 13. Manajer Investasi adalah manajer investasi sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai pasar modal. 14. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai perbankan. 15. Bank Kustodian adalah bank umum yang telah mendapatkan persetujuan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan untuk bertindak sebagai kustodian. 16. Afiliasi adalah afiliasi sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai usaha perasuransian. 17. Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia. BAB II TINGKAT SOLVABILITAS Bagian Kesatu Modal Minimum Berbasis Risiko Pasal 2 (1) Perusahaan setiap saat wajib memenuhi Tingkat Solvabilitas paling rendah 100% (seratus per seratus) dari modal minimum berbasis risiko. MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA - 4 - (2) Perusahaan setiap tahun wajib menetapkan target Tingkat Solvabilitas. (3) Target Tingkat Solvabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling rendah 120% (seratus dua puluh per seratus) dari modal minimum berbasis risiko. (4) Menteri dapat memerintahkan kepada Perusahaan untuk meningkatkan target Tingkat Solvabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dengan mempertimbangkan risiko yang mungkin timbul dari rencana perubahan strategi dan/atau pengembangan bisnis Perusahaan. (5) Dalam hal Perusahaan tidak dapat memenuhi perintah untuk meningkatkan target Tingkat Solvabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Perusahaan dilarang melaksanakan rencana perubahan strategi dan/atau pengembangan bisnisnya. Pasal 3 (1) Modal minimum berbasis risiko merupakan jumlah dana yang dibutuhkan untuk mengantisipasi risiko kerugian yang mungkin timbul sebagai akibat dari deviasi dalam pengelolaan aset dan Liabilitas. (2) Risiko kerugian yang mungkin timbul sebagai akibat dari deviasi dalam pengelolaan aset dan Liabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. kegagalan pengelolaan aset; b. ketidakseimbangan antara proyeksi arus aset dan Liabilitas; c. ketidakseimbangan antara nilai aset dan Liabilitas dalam setiap jenis mata uang; d. perbedaan antara beban klaim yang terjadi dan beban klaim yang diperkirakan; e. ketidakcukupan premi akibat perbedaan hasil investasi yang diasumsikan dalam penetapan premi dengan hasil investasi yang diperoleh; f. ketidakmampuan pihak reasuradur untuk memenuhi kewajiban membayar klaim; dan/atau g. kegagalan dalam proses produksi, ketidakmampuan sumber daya manusia atau sistem untuk berkinerja baik, atau adanya kejadian lain yang merugikan. MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA - 5 - (3) Dalam hal Perusahaan Asuransi Jiwa memasarkan Produk Asuransi Yang Dikaitkan Dengan Investasi, modal minimum berbasis risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib ditambah sebesar persentase tertentu dari dana investasi yang bersumber dari Produk Asuransi Yang Dikaitkan Dengan Investasi. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai perhitungan jumlah modal minimum berbasis risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan. Bagian Kedua Aset Yang Diperkenankan Dalam Bentuk Investasi Pasal 4 (1) Aset Yang Diperkenankan dalam bentuk investasi harus ditempatkan dalam jenis: a. deposito berjangka pada Bank, termasuk deposit on call dan deposito yang berjangka waktu kurang dari atau sama dengan 1 (satu) bulan; b. sertifikat deposito yang tidak dapat diperdagangkan (non negotiable certificate deposit) pada Bank; c. saham yang diperdagangkan di bursa efek; d. surat utang korporasi; e. sukuk korporasi; f. surat berharga yang diterbitkan oleh Negara Republik Indonesia; g. surat berharga yang diterbitkan oleh negara selain Negara Republik Indonesia; h. surat berharga yang diterbitkan oleh Bank Indonesia; i. surat berharga yang diterbitkan oleh lembaga multinasional yang Negara Republik Indonesia menjadi salah satu anggota atau pemegang sahamnya; j. reksa dana; k. efek beragun aset yang diterbitkan berdasarkan kontrak investasi kolektif efek beragun aset; l. dana investasi real estat; m. penyertaan langsung (saham yang tidak tercatat di bursa efek); n. bangunan dengan hak strata (strata title) atau tanah dengan bangunan, untuk investasi; MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA - 6 - o. pembiayaan melalui mekanisme kerja sama dengan pihak lain dalam bentuk pembelian piutang (refinancing); p. emas murni; dan/atau q. pinjaman yang dijamin dengan hak tanggungan. (2) Aset Yang Diperkenankan dalam bentuk investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dapat ditempatkan di luar negeri harus dalam jenis: a. saham yang diperdagangkan di bursa efek; b. surat utang korporasi; c. sukuk korporasi; d. surat berharga yang diterbitkan oleh negara selain Negara Republik Indonesia; e. surat berharga yang diterbitkan oleh lembaga multinasional yang Negara Republik Indonesia menjadi salah satu anggota atau pemegang sahamnya; f. reksa dana; dan/atau g. penyertaan langsung (saham yang tidak tercatat di bursa efek). Pasal 5 (1) Penilaian atas Aset Yang Diperkenankan dalam bentuk investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) harus dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. deposito berjangka pada Bank, termasuk deposit on call dan deposito yang berjangka waktu kurang dari atau sama dengan 1 (satu) bulan, berdasarkan nilai nominal; b. sertifikat deposito yang tidak dapat diperdagangkan (non negotiable certificate deposit) pada Bank, berdasarkan nilai tunai; c. saham yang diperdagangkan di bursa efek, berdasarkan nilai pasar dengan menggunakan informasi harga penutupan terakhir di bursa efek; d. surat utang korporasi, berdasarkan nilai pasar yang ditetapkan oleh lembaga penilaian harga efek yang telah memperoleh izin dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan atau lembaga penilaian harga efek yang telah diakui secara internasional; e. sukuk korporasi, berdasarkan nilai pasar yang ditetapkan oleh lembaga penilaian harga efek yang telah memperoleh izin dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan atau lembaga penilaian harga efek yang telah diakui secara internasional; MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA - 7 - f. surat berharga yang diterbitkan oleh Negara Republik Indonesia, berdasarkan nilai pasar yang ditetapkan oleh lembaga penilaian harga efek yang telah memperoleh izin dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan atau lembaga penilaian harga efek yang diakui secara internasional; g. surat berharga yang diterbitkan oleh negara selain Negara Republik Indonesia, berdasarkan nilai pasar yang ditetapkan oleh lembaga penilaian harga efek yang diakui secara internasional; h. surat berharga yang diterbitkan oleh Bank Indonesia, berdasarkan nilai pasar; i. surat berharga yang diterbitkan oleh lembaga multinasional yang Negara Republik Indonesia menjadi salah satu anggota atau pemegang sahamnya, berdasarkan nilai pasar yang ditetapkan oleh lembaga penilaian harga efek yang diakui secara internasional; j. reksa dana, berdasarkan nilai aktiva bersih; k. efek beragun aset yang diterbitkan berdasarkan kontrak investasi kolektif efek berdasarkan nilai pasar; l. dana investasi real estat, berdasarkan nilai pasar; m. penyertaan langsung (saham yang tidak tercatat di bursa efek), berdasarkan nilai ekuitas; n. bangunan dengan hak strata (strata title) atau tanah dengan bangunan, untuk investasi, berdasarkan nilai yang ditetapkan oleh lembaga penilai yang terdaftar pada instansi yang berwenang atau Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) dalam hal tidak dilakukan penilaian oleh lembaga penilai; o. pembiayaan melalui mekanisme kerja sama dengan pihak lain dalam bentuk pembelian piutang (refinancing), berdasarkan nilai sisa piutang setelah dikurangi penyisihan untuk piutang (net performing loan); tak tertagih p. emas murni, berdasarkan nilai pasar; dan/atau q. pinjaman yang dijamin dengan hak tanggungan, berdasarkan nilai sisa pinjaman. (2) Ketentuan mengenai penilaian atas Aset Yang Diperkenankan dalam bentuk investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diubah dengan Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan hanya dalam rangka untuk mengantisipasi ketidakwajaran pasar keuangan dan diberlakukan dalam jangka waktu terbatas. beragun aset, MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA - 8 - Pasal 6 (1) Penempatan atas Aset Yang Diperkenankan dalam bentuk investasi berupa surat utang korporasi dan sukuk korporasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d dan huruf e harus paling kurang memiliki peringkat BBB atau yang setara dari perusahaan pemeringkat efek yang telah memperoleh izin dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan. (2) Penempatan atas Aset Yang Diperkenankan dalam bentuk investasi berupa surat berharga yang diterbitkan oleh lembaga multinasional yang Negara Republik Indonesia menjadi salah satu anggota atau pemegang sahamnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf i harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. paling kurang memiliki peringkat BBB atau yang setara dari perusahaan pemeringkat efek yang diakui secara internasional; b. dijual melalui penawaran umum; dan c. informasi mengenai transaksinya dapat diakses di Indonesia. (3) Penempatan atas Aset Yang Diperkenankan dalam bentuk investasi berupa reksa dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf j, harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. telah mendapat pernyataan efektif dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan; dan b. dilakukan melalui penawaran umum sebagaimana diatur dalam peraturan di bidang pasar modal. (4) Dalam hal penempatan atas Aset Yang Diperkenankan dalam bentuk investasi berupa reksa dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf j dalam bentuk kontrak investasi kolektif penyertaan terbatas, reksa dana penyertaan terbatas tersebut harus memiliki underlying berupa efek yang diperdagangkan di bursa efek. (5) Penempatan atas Aset Yang Diperkenankan dalam bentuk investasi berupa efek beragun aset yang diterbitkan berdasarkan kontrak investasi kolektif efek beragun aset dan dana investasi real estat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf k dan huruf l harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: perundang-undangan MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA - 9 - a. telah mendapat pernyataan efektif dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan; b. paling kurang memiliki peringkat BBB atau yang setara dari perusahaan pemeringkat efek yang telah memperoleh izin dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan; dan c. dilakukan melalui penawaran umum sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal. (6) Penempatan atas Aset Yang Diperkenankan dalam bentuk investasi berupa bangunan dengan hak strata (strata title) atau tanah dengan bangunan, untuk investasi, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf n harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. dimiliki dan dikuasai oleh Perusahaan yang dibuktikan dengan bukti kepemilikan atas nama Perusahaan dari instansi yang berwenang; b. memberikan penghasilan sewa dan penghasilan lainnya melalui transaksi yang didasarkan pada harga pasar yang berlaku; dan c. tidak ditempatkan pada bangunan dengan hak strata (strata title) atau tanah dengan bangunan yang sedang diagunkan, dalam sengketa, atau diblokir pihak lain. (7) Penempatan atas Aset Yang Diperkenankan dalam bentuk investasi berupa pembiayaan melalui mekanisme kerja sama dengan pihak lain dalam bentuk pembelian piutang (refinancing) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf o hanya dapat dilakukan atas piutang yang dimiliki perusahaan pembiayaan dan/atau Bank dengan ketentuan sebagai berikut: a. merupakan perusahaan pembiayaan yang telah memperoleh izin usaha dari Menteri dan/atau Bank yang telah memperoleh izin usaha dari Pimpinan Bank Indonesia; b. merupakan perusahaan pembiayaan dan/atau Bank yang tidak terafiliasi dengan Perusahaan; c. perusahaan pembiayaan dan/atau Bank dimaksud tidak sedang dikenai sanksi administratif berupa pembatasan kegiatan usaha atau pembekuan kegiatan usaha oleh Menteri atau Pimpinan Bank Indonesia pada saat dimulainya kerja sama; dan MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA - 10 - d. memenuhi ketentuan tingkat kesehatan keuangan berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang pembiayaan dan/atau perbankan, pada saat dimulainya kerja sama. (8) Penempatan atas Aset Yang Diperkenankan dalam bentuk investasi berupa emas murni sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf p harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. memenuhi persyaratan spesifikasi yang ditetapkan oleh bursa komoditi yang telah memperoleh izin dari instansi yang berwenang; dan b. disimpan di Bank Kustodian komoditi yang memiliki kerja sama dengan bursa komoditi sebagaimana dimaksud dalam huruf a. (9) Penempatan atas Aset Yang Diperkenankan dalam bentuk investasi berupa pinjaman yang dijamin dengan hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf q harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. pinjaman tersebut diberikan kepada perorangan; b. pinjaman tersebut dijamin dengan hak tanggungan pertama; c. pinjaman tersebut dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; d. sertifikat hak atas tanah yang telah dibubuhi catatan pembebanan hak tanggungan disimpan oleh Perusahaan; dan e. besarnya setiap pinjaman paling tinggi 75% (tujuh puluh lima per seratus) dari nilai jaminan yang terkecil diantara nilai yang ditetapkan oleh lembaga penilai yang terdaftar pada instansi yang berwenang dan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). Pasal 7 (1) Penempatan atas Aset Yang Diperkenankan dalam bentuk investasi di luar negeri berupa saham yang diperdagangkan di bursa efek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. termasuk dalam kategori saham yang aktif diperdagangkan pada bursa efek di tempat saham tersebut dicatatkan berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh bursa efek dimaksud; dan b. informasi mengenai emiten dan transaksi saham tersebut dapat di akses di Indonesia. MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA - 11 - (2) Penempatan atas Aset Yang Diperkenankan dalam bentuk investasi di luar negeri berupa surat utang korporasi, sukuk korporasi, dan surat berharga yang diterbitkan oleh negara selain Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf b, huruf c, dan huruf d harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. paling kurang memiliki peringkat BBB atau yang setara dari perusahaan pemeringkat efek yang diakui secara internasional; b. dijual melalui penawaran umum; dan c. informasi mengenai transaksinya dapat diakses di Indonesia. (3) Penempatan atas Aset Yang Diperkenankan dalam bentuk investasi di luar negeri berupa reksa dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf f harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. diterbitkan oleh manajer investasi di luar negeri yang memiliki hubungan Afiliasi dengan Manajer Investasi di Indonesia yang memperoleh izin dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan; dan b. dicatatkan di bursa efek di negara tempat manajer investasi dimaksud berdomisili. Pasal 8 (1) Penempatan atas Aset Yang Diperkenankan dalam bentuk investasi berupa saham yang diperdagangkan di bursa efek, surat utang korporasi, dan sukuk korporasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a, huruf b, dan huruf c yang diperdagangkan di bursa efek di dalam negeri maupun di luar negeri dan emitennya merupakan badan hukum asing, dikategorikan sebagai investasi di luar negeri. (2) Penempatan atas Aset Yang Diperkenankan dalam bentuk investasi berupa surat utang yang diterbitkan di luar negeri oleh badan hukum Indonesia melalui badan hukum asing yang khusus didirikan dalam rangka penerbitan surat utang dimaksud, dikategorikan sebagai investasi dalam negeri. (3) Penempatan atas Aset Yang Diperkenankan dalam bentuk investasi berupa surat berharga yang diterbitkan oleh lembaga multinasional yang Negara Republik Indonesia menjadi salah satu anggota atau pemegang sahamnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf i dan Pasal 4 ayat (2) huruf e yang berdenominasi rupiah, dikategorikan sebagai investasi dalam negeri. MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA - 12 - Pasal 9 (1) Pembatasan atas Aset Yang Diperkenankan dalam bentuk investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 adalah sebagai berikut: a. investasi berupa deposito berjangka termasuk deposit on call dan deposito yang berjangka waktu kurang dari atau sama dengan 1 (satu) bulan dan sertifikat deposito yang tidak dapat diperdagangkan (non negotiable certificate deposit) pada Bank, untuk setiap Bank paling tinggi 15% (lima belas per seratus) dari jumlah investasi; b. investasi berupa saham yang diperdagangkan di bursa efek, untuk setiap emiten paling tinggi 10% (sepuluh per seratus) dari jumlah investasi dan seluruhnya paling tinggi 40% (empat puluh per seratus) dari jumlah investasi; c. investasi berupa surat utang korporasi, sukuk korporasi, dan surat berharga yang diterbitkan oleh lembaga multinasional yang Negara Republik Indonesia menjadi salah satu anggota atau pemegang sahamnya, untuk setiap emiten paling tinggi 15% (lima belas per seratus) dari jumlah investasi dan seluruhnya paling tinggi 50% (lima puluh per seratus) dari jumlah investasi; d. investasi berupa surat berharga yang diterbitkan oleh negara selain Negara Republik Indonesia untuk setiap penerbit paling tinggi 10% (sepuluh per seratus) dari jumlah investasi; e. investasi berupa reksa dana, untuk setiap Manajer Investasi paling tinggi 15% (lima belas per seratus) dari jumlah investasi dan seluruhnya paling tinggi 50% (lima puluh per seratus) dari jumlah investasi; f. investasi berupa efek beragun aset yang diterbitkan berdasarkan kontrak investasi kolektif efek beragun aset untuk setiap Manajer Investasi paling tinggi 10% (sepuluh per seratus) dari jumlah investasi dan seluruhnya paling tinggi 20% (dua puluh per seratus) dari jumlah investasi; g. investasi berupa dana investasi real estat, untuk setiap Manajer Investasi paling tinggi 10% (sepuluh per seratus) dari jumlah investasi dan seluruhnya paling tinggi 20% (dua puluh per seratus) dari jumlah investasi; MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA - 13 - h. investasi berupa penyertaan langsung (saham yang tidak tercatat di bursa efek), seluruhnya paling tinggi 10% (sepuluh per seratus) dari jumlah investasi; i. investasi berupa bangunan dengan hak strata (strata title) atau tanah dengan bangunan, untuk investasi, seluruhnya paling tinggi 10% (sepuluh per seratus) dari jumlah investasi; j. investasi berupa pembiayaan melalui mekanisme kerja sama dengan pihak lain dalam bentuk pembelian piutang (refinancing) untuk setiap pihak paling tinggi 10% (sepuluh per seratus) dari jumlah investasi dan seluruhnya paling tinggi 20% (dua puluh per seratus) dari jumlah investasi; k. investasi berupa emas murni seluruhnya paling tinggi 10% (sepuluh per seratus) dari jumlah investasi; dan/atau l. investasi berupa pinjaman yang dijamin dengan hak tanggungan, seluruhnya paling tinggi 10% (sepuluh per seratus) dari jumlah investasi. (2) Penempatan atas Aset Yang Diperkenankan dalam bentuk investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf e, jumlah seluruhnya paling tinggi 80% (delapan puluh per seratus) dari jumlah investasi. (3) Dalam hal penempatan atas Aset Yang Diperkenankan dalam bentuk investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf h dilakukan pada instrumen investasi di luar negeri, jumlah seluruhnya paling tinggi 20% (dua puluh per seratus) dari jumlah investasi. Pasal 10 (1) Jumlah seluruh investasi Perusahaan yang ditempatkan pada pihak yang terafiliasi dengan Perusahaan paling tinggi 10% (sepuluh per seratus) dari jumlah investasi. (2) Jenis investasi Perusahaan yang ditempatkan pada pihak yang terafiliasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak termasuk penyertaan langsung (saham yang tidak tercatat pada bursa efek). (3) Jumlah seluruh investasi Perusahaan yang ditempatkan pada satu pihak yang terafiliasi namun satu pihak tersebut tidak terafiliasi dengan Perusahaan, paling tinggi 20% (dua puluh per seratus) dari jumlah investasi. MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA - 14 - (4) Satu pihak yang tidak terafiliasi dengan Perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah sekelompok perusahaan yang memiliki hubungan afiliasi satu dengan yang lain. (5) Pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (4) termasuk pula pihak yang baik secara sendiri maupun bersama mempunyai hubungan Afiliasi dan/atau hubungan hukum lainnya dengan pihak lain yaitu: a. hubungan keluarga karena perkawinan dan keturunan sampai derajat kedua baik secara horizontal maupun vertikal; b. hubungan antara pihak dengan pegawai satu tingkat di bawah direksi, anggota direksi, atau anggota dewan komisaris dari pihak tersebut; c. hubungan antara 2 (dua) perusahaan atau lebih dimana terdapat satu atau lebih anggota direksi atau anggota dewan komisaris yang sama; dan/atau d. hubungan antara perusahaan dengan pemegang saham utama. (6) Hubungan Afiliasi dan/atau hubungan hukum lainnya dengan pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak termasuk hubungan karena kepemilikan atau penyertaan modal oleh Negara Republik Indonesia. Pasal 11 Jumlah investasi yang digunakan sebagai dasar perhitungan pembatasan atas Aset Yang Diperkenankan dalam bentuk investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, Pasal 10 ayat (1) dan ayat (3) merupakan nilai seluruh bentuk investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 per tanggal laporan posisi keuangan yang penilaiannya didasarkan pada ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5. Bagian Ketiga Aset Yang Diperkenankan Dalam Bentuk Bukan Investasi Pasal 12 Aset Yang Diperkenankan dalam bentuk bukan investasi harus dalam jenis: a. kas dan bank; b. tagihan premi penutupan langsung, termasuk tagihan premi koasuransi yang menjadi bagian Perusahaan; MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA - 15 - c. tagihan klaim koasuransi; d. tagihan reasuransi; e. tagihan investasi; f. tagihan hasil investasi; g. pinjaman polis; dan/atau h. bangunan dengan hak strata (strata title) atau tanah dengan bangunan, untuk dipakai sendiri. Pasal 13 Penilaian atas Aset Yang Diperkenankan dalam bentuk bukan investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 harus dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. kas dan bank, berdasarkan nilai nominal, dengan ketentuan kas dan bank di luar negeri yang diperkenankan seluruhnya paling tinggi 1% (satu per seratus) dari Ekuitas periode berjalan; b. tagihan premi penutupan langsung termasuk tagihan premi koasuransi yang menjadi bagian Perusahaan, berdasarkan nilai sisa tagihan dengan umur tagihan paling lama 2 (dua) bulan dihitung sejak tanggal: 1) pertanggungan dimulai bagi polis dengan pembayaran premi tunggal; atau 2) jatuh tempo pembayaran premi bagi polis dengan pembayaran premi cicilan. c. tagihan klaim koasuransi, berdasarkan nilai sisa tagihan dengan umur tagihan paling lama 2 (dua) bulan dihitung sejak tanggal pembayaran klaim kepada tertanggung; d. tagihan reasuransi, berdasarkan nilai sisa tagihan dengan umur tagihan paling lama 2 (dua) bulan dihitung sejak tanggal jatuh tempo pembayaran; e. tagihan investasi, berdasarkan nilai tagihan dengan umur tagihan paling lama 1 (satu) bulan dihitung sejak tanggal jatuh tempo pembayaran; f. tagihan hasil investasi, berdasarkan nilai sisa tagihan dengan umur tagihan paling lama 1 (satu) bulan dihitung sejak tanggal jatuh tempo pembayaran; g. pinjaman polis, berdasarkan nilai sisa pinjaman dengan besarnya pinjaman polis paling tinggi 80% (delapan puluh per seratus) dari nilai tunai polis yang bersangkutan; dan/atau MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA - 16 - h. bangunan dengan hak strata (strata title) atau tanah dengan bangunan, yang dipakai sendiri, berdasarkan nilai yang ditetapkan oleh lembaga penilai yang terdaftar pada instansi yang berwenang atau berdasarkan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) dalam hal tidak dilakukan penilaian oleh lembaga penilai dengan nilai seluruhnya paling tinggi 15% (lima belas per seratus) dari Ekuitas periode berjalan. Bagian Keempat Status Aset Yang Diperkenankan Pasal 14 Aset Yang Diperkenankan dalam bentuk investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan Aset Yang Diperkenankan dalam bentuk bukan investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 harus: a. dimiliki dan dikuasai oleh Perusahaan, yang dibuktikan dengan bukti kepemilikan atas nama Perusahaan dari instansi yang berwenang; b. tidak dalam sengketa; c. tidak sedang dijadikan jaminan; dan d. tidak sedang diblokir oleh pihak yang berwenang. Bagian Kelima Liabilitas Pasal 15 Liabilitas yang diperhitungkan dalam perhitungan Tingkat Solvabilitas wajib meliputi semua Liabilitas Perusahaan, termasuk cadangan teknis. Pasal 16 (1) Liabilitas dalam bentuk cadangan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 meliputi: a. cadangan premi untuk produk yang berjangka waktu lebih dari 1 (satu) tahun yang syarat dan kondisi polisnya tidak dapat diperbaharui kembali (non renewable) pada setiap ulang tahun polis; b. cadangan atas premi yang belum merupakan pendapatan untuk produk yang berjangka waktu sampai dengan 1 (satu) tahun atau berjangka waktu lebih dari 1 (satu) tahun yang syarat dan kondisi polisnya dapat diperbaharui kembali (renewable) pada setiap ulang tahun polis; MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA - 17 - c. cadangan akumulasi dana untuk produk atau bagian dari produk yang memberikan manfaat berupa akumulasi dana; dan d. cadangan klaim. (2) Pembentukan cadangan premi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a wajib memperhitungkan penerimaan dan pengeluaran yang dapat terjadi di masa yang akan datang dengan menggunakan asumsi estimasi sentral ditambah dengan marjin risiko. (3) Pembentukan cadangan atas premi yang belum merupakan pendapatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b wajib memperhitungkan cadangan atas seluruh risiko yang belum dijalani (unexpired risk reserve) termasuk cadangan atas risiko bencana (catastrophic reserve). (4) Cadangan akumulasi dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c merupakan cadangan akumulasi dana produk yang digaransi. (5) Cadangan klaim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d meliputi cadangan klaim dalam proses penyelesaian dan cadangan klaim yang sudah terjadi namun belum dilaporkan (incurred but not reported atau IBNR). Pasal 17 (1) Penilaian terhadap Liabilitas dalam bentuk cadangan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) wajib dilakukan oleh aktuaris Perusahaan. (2) Penilaian terhadap Liabilitas dalam bentuk cadangan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Perusahaan Asuransi Umum dapat dilakukan oleh aktuaris dari perusahaan konsultan aktuaria yang tidak terafiliasi dengan Perusahaan paling lambat sampai dengan tanggal 31 Desember 2014. Pasal 18 (1) Dalam hal ditemukan ketidakwajaran cadangan teknis atau bagian dari cadangan teknis yang dibentuk oleh Perusahaan, Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan dapat: MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA - 18 - a. meminta Perusahaan untuk melakukan valuasi ulang atas jumlah cadangan teknis atau atas bagian dari cadangan teknis yang dianggap tidak wajar; atau b. meminta dilakukan penelaahan (review) atas cadangan teknis atau atas bagian dari cadangan teknis tersebut oleh pihak independen atas beban Perusahaan. (2) Perusahaan wajib menunjuk pihak independen paling lama 1 (satu) bulan setelah permintaan untuk dilakukan penelaahan (review) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b. Pasal 19 Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan cadangan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 diatur dengan Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan. Bagian Keenam Pinjaman Subordinasi Pasal 20 Dalam rangka perhitungan Tingkat Solvabilitas, pinjaman subordinasi tidak diperlakukan sebagai unsur Liabilitas apabila pinjaman tersebut memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. digunakan untuk memenuhi ketentuan batas Tingkat Solvabilitas; dan b. dituangkan dalam perjanjian notariil yang paling kurang memuat: 1) pembayaran pokok pinjaman tersebut hanya dapat dilakukan apabila tidak menyebabkan Perusahaan menjadi tidak dapat memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3); 2) jangka waktu pelunasan pinjaman tidak dibatasi; dan 3) tingkat bunga yang dijanjikan paling tinggi 1/5 (satu per lima) dari tingkat suku bunga Bank Indonesia pada saat ditandatanganinya perjanjian. MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA - 19 - Bagian Ketujuh Kecukupan Investasi Pasal 21 (1) Perusahaan wajib memiliki aset dalam bentuk investasi yang telah memenuhi ketentuan mengenai jenis, penilaian, dan pembatasan Aset Yang Diperkenankan ditambah Aset Yang Diperkenankan dalam bentuk kas dan bank, paling sedikit sebesar jumlah cadangan teknis ditambah Liabilitas pembayaran klaim retensi sendiri dan Liabilitas lain kepada tertanggung. (2) Liabilitas pembayaran klaim retensi sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Liabilitas pembayaran atas klaim yang telah disepakati tetapi belum dibayar dikurangi dengan beban klaim yang menjadi bagian dari reasuradur. BAB III DUKUNGAN REASURANSI DAN RETENSI SENDIRI Bagian Kesatu Dukungan Reasuransi Pasal 22 (1) Perusahaan wajib memperoleh dukungan reasuransi otomatis untuk setiap lini usaha asuransi yang dipasarkan termasuk dukungan reasuransi otomatis untuk risiko bencana (catastrophic risks). (2) Dukungan reasuransi otomatis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Perusahaan Asuransi Umum wajib diperoleh paling sedikit dari 2 (dua) reasuradur di dalam negeri, yang salah satunya adalah Perusahaan Reasuransi. (3) Dukungan reasuransi otomatis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Perusahaan Asuransi Jiwa wajib diperoleh paling sedikit dari 1 (satu) Perusahaan Reasuransi di dalam negeri. (4) Dalam hal dukungan reasuransi otomatis di dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) tidak diperoleh, dukungan reasuransi otomatis dapat diperoleh dari reasuradur di luar negeri. (5) Dukungan reasuransi otomatis dari luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (4) hanya dapat dilakukan setelah Perusahaan tidak memperoleh dukungan reasuransi otomatis dari seluruh Perusahaan Reasuransi dalam negeri. MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA - 20 - (6) Dalam hal dukungan reasuransi otomatis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperoleh dari reasuradur di luar negeri, Perusahaan wajib memperoleh dukungan reasuradur luar negeri yang paling kurang memiliki peringkat BBB atau yang setara dari perusahaan pemeringkat yang diakui secara internasional. (7) Dalam hal peringkat reasuradur di luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diterbitkan oleh lebih dari satu perusahaan pemeringkat, peringkat yang digunakan adalah peringkat yang paling rendah. (8) Perusahaan Asuransi wajib melampirkan bukti tidak diperolehnya dukungan reasuransi otomatis di dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan bukti peringkat reasuradur di luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dalam laporan program reasuransi. Pasal 23 Dalam hal Perusahaan Reasuransi menolak memberikan dukungan reasuransi otomatis kepada Perusahaan Asuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2) dan ayat (3), Perusahaan Reasuransi dimaksud wajib menyampaikan tembusan surat penolakan tersebut kepada Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan dengan dilengkapi alasan penolakannya paling lama 15 (lima belas) hari setelah tanggal penolakan. Pasal 24 (1) Dukungan reasuransi otomatis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) dapat dikecualikan dalam hal: a. tidak ada reasuradur yang bersedia memberikan dukungan reasuransi otomatis karena karakteristik risiko yang khusus dari lini usaha asuransi; b. Perusahaan akan memulai memasarkan lini usaha asuransi yang baru; c. Perusahaan memasarkan produk asuransi hanya untuk memenuhi permintaan pemegang polis atas paket asuransi yang komprehensif dan tidak memasarkan secara tersendiri; atau d. risiko yang dikelola tidak melebihi kapasitas retensi sendiri. MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA - 21 - (2) Perusahaan wajib melampirkan bukti penyebab tidak diperoleh atau tidak diperlukannya dukungan reasuransi otomatis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam laporan program reasuransi. Pasal 25 (1) Perusahaan wajib memperoleh dukungan reasuransi fakultatif dalam hal: a. Perusahaan tidak memperoleh dukungan reasuransi otomatis karena alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) huruf a sampai dengan huruf c; atau b. dukungan reasuransi otomatis tidak mencukupi untuk risiko yang diterima oleh Perusahaan. (2) Dukungan reasuransi fakultatif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Perusahaan Asuransi Umum wajib diperoleh paling sedikit dari 2 (dua) reasuradur di dalam negeri. (3) Dukungan reasuransi fakultatif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Perusahaan Asuransi Jiwa wajib diperoleh paling sedikit dari 1 (satu) reasuradur di dalam negeri. (4) Dalam hal dukungan reasuransi fakultatif di dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) tidak diperoleh, dukungan reasuransi fakultatif dapat diperoleh dari reasuradur di luar negeri. (5) Dalam hal dukungan reasuransi fakultatif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperoleh dari reasuradur di luar negeri, Perusahaan wajib memperoleh dukungan reasuradur luar negeri yang paling kurang memiliki peringkat BBB atau yang setara dari perusahaan pemeringkat yang diakui secara internasional. (6) Dalam hal peringkat reasuradur di luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diterbitkan oleh lebih dari satu perusahaan pemeringkat, peringkat yang digunakan adalah peringkat yang paling rendah. Pasal 26 (1) Dalam hal dukungan reasuransi otomatis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) dan/atau dukungan reasuransi fakultatif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) dinilai oleh Kepala Biro Perasuransian, Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA - 22 - dapat membahayakan dan/atau memperburuk kondisi kesehatan keuangan Perusahaan atau dapat menjadikan Perusahaan tidak melaksanakan fungsi sebagai Perusahaan Asuransi atau sebagai Perusahaan Reasuransi, Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan dapat memerintahkan Perusahaan untuk mengubah program dukungan reasuransi yang dimilikinya agar lebih sesuai dengan kondisi Perusahaan, berupa: a. perubahan reasuransi fakultatif menjadi reasuransi otomatis, atau sebaliknya; b. perubahan reasuransi nonproporsional menjadi reasuransi proporsional, atau sebaliknya; dan/atau c. perubahan lainnya. (2) Perusahaan wajib melaksanakan perintah Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 27 Ketentuan lebih lanjut mengenai dukungan reasuransi otomatis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 dan reasuransi fakultatif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 diatur dengan Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan. Bagian Kedua Retensi Sendiri Pasal 28 (1) Perusahaan wajib memiliki retensi sendiri untuk setiap risiko yang dikelola sesuai dengan batas retensi sendiri minimum dan batas retensi sendiri maksimum yang ditetapkan. (2) Penetapan batas retensi sendiri minimum dan batas retensi sendiri maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib didasarkan pada profil risiko dan kerugian (risk and loss profile) yang dibuat secara tertib, teratur, relevan, dan akurat. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai batas retensi sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan. MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA - 23 - BAB IV PRODUK ASURANSI YANG DIKAITKAN DENGAN INVESTASI Pasal 29 (1) Perusahaan Asuransi Jiwa yang memasarkan Produk Asuransi Yang Dikaitkan Dengan Investasi wajib memisahkan pencatatan dana investasi dan Liabilitas yang bersumber dari Produk Asuransi Yang Dikaitkan Dengan Investasi dengan aset dan Liabilitas yang bersumber dari produk asuransi jiwa lainnya. (2) Aset yang bersumber dari Produk Asuransi yang Dikaitkan Dengan Investasi tidak diperhitungkan sebagai Aset Yang Diperkenankan. Pasal 30 (1) Penempatan atas dana investasi yang bersumber dari Produk Asuransi Yang Dikaitkan Dengan Investasi wajib dilakukan pada: a. deposito berjangka pada Bank, termasuk deposit on call dan deposito yang berjangka waktu kurang dari atau sama dengan 1 (satu) bulan; b. sertifikat deposito yang tidak dapat diperdagangkan (non negotiable certificate deposit) pada Bank; c. saham yang diperdagangkan di bursa efek; d. surat utang korporasi; e. sukuk korporasi; f. surat berharga yang diterbitkan oleh Negara Republik Indonesia; g. surat berharga yang diterbitkan oleh negara selain Negara Republik Indonesia; h. surat berharga yang diterbitkan oleh Bank Indonesia; i. surat berharga yang diterbitkan oleh lembaga multinasional yang Negara Republik Indonesia menjadi salah satu anggota atau pemegang sahamnya; j. reksa dana; k. efek beragun aset yang diterbitkan berdasarkan kontrak investasi kolektif efek beragun aset; dan/atau l. emas murni. (2) Jenis investasi yang bersumber dari Produk Asuransi Yang Dikaitkan Dengan Investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disesuaikan dengan deskripsi produk yang dilaporkan kepada Menteri dan yang dijanjikan kepada calon pemegang polis. MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA - 24 - Pasal 31 Penempatan atas dana investasi yang bersumber dari Produk Asuransi Yang Dikaitkan Dengan Investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) wajib memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 7. Pasal 32 (1) Penempatan investasi di luar negeri atas dana investasi yang bersumber dari Produk Asuransi Yang Dikaitkan Dengan Investasi untuk masing-masing subdana (fund) wajib paling tinggi 20% (dua puluh per seratus) dari besarnya masing-masing subdana (fund). (2) Subdana (fund) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pengelompokan Produk Asuransi Yang Dikaitkan Dengan Investasi berdasarkan strategi investasinya. BAB V TRANSAKSI DERIVATIF Pasal 33 (1) Perusahaan dilarang melakukan transaksi derivatif atau memiliki instrumen derivatif, kecuali: a. untuk keperluan lindung nilai; dan b. dilakukan dengan pihak lain (counterpart) yang paling kurang memiliki peringkat BBB atau yang setara dari perusahaan pemeringkat yang telah memperoleh izin dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan atau dari perusahaan pemeringkat yang diakui secara internasional. (2) Transaksi derivatif untuk keperluan lindung nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a wajib mendapat persetujuan direksi. (3) Instrumen derivatif untuk keperluan lindung nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, berupa: a. kontrak opsi jual saham atas saham yang dimiliki; b. kontrak lindung nilai mata uang; dan/atau c. kontrak lindung nilai tingkat bunga. MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA - 25 - Pasal 34 (1) Perusahaan wajib melaporkan setiap transaksi derivatif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 kepada Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal transaksi. (2) Laporan transaksi derivatif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling kurang dilampiri dengan: a. hasil kajian tentang perlunya lindung nilai; b. perjanjian transaksi derivatif; c. bukti peringkat pihak lain (counterpart) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) huruf b; dan d. bukti persetujuan direksi. BAB VI DANA JAMINAN Bagian Kesatu Pembentukan Dana Jaminan Pasal 35 (1) Perusahaan wajib membentuk Dana Jaminan paling rendah 20% (dua puluh persen) dari modal sendiri minimum yang dipersyaratkan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di bidang perasuransian. (2) Jumlah Dana Jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disesuaikan dengan perkembangan volume usaha Perusahaan dengan ketentuan sebagai berikut: a. bagi Perusahaan Asuransi Jiwa wajib membentuk Dana Jaminan sebesar 2% (dua per seratus) dari cadangan premi untuk Produk Asuransi Yang Dikaitkan Dengan Investasi ditambah 5% (lima per seratus) dari cadangan premi untuk produk selain Produk Asuransi Yang Dikaitkan Dengan Investasi dan cadangan atas premi yang belum merupakan pendapatan. b. bagi Perusahaan Asuransi Umum dan Perusahaan Reasuransi wajib membentuk Dana Jaminan sebesar 1% (satu per seratus) dari Premi Neto ditambah 0,25% (nol koma dua lima per seratus) dari premi reasuransi. MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA - 26 - (3) Dalam hal Dana Jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) lebih besar daripada jumlah Dana Jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Dana Jaminan tersebut wajib dibentuk sejumlah Dana Jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (4) Dalam hal jumlah Dana Jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sama dengan atau lebih kecil daripada jumlah Dana Jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Dana Jaminan tersebut wajib dibentuk sejumlah Dana Jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Pasal 36 (1) Jumlah cadangan premi termasuk cadangan atas premi yang belum merupakan pendapatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2) huruf a serta Premi Neto dan premi reasuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2) huruf b, diperoleh dari laporan keuangan per 31 Desember terakhir yang telah diaudit oleh auditor independen. (2) Dalam hal Dana Jaminan kurang daripada jumlah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) atau ayat (2), Perusahaan wajib menambah Dana Jaminan yang dimilikinya paling lama 5 (lima) hari kerja setelah tanggal 30 April tahun berjalan. (3) Dalam hal Dana Jaminan yang telah dimiliki lebih besar daripada jumlah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) dan ayat (2), Perusahaan dapat mengurangi Dana Jaminan yang dimilikinya setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan dari Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan. (4) Dana Jaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) dan ayat (2) wajib ditempatkan dalam jenis: a. deposito, dengan perpanjangan otomatis pada Bank yang bukan merupakan Afiliasi dari Perusahaan; dan/atau b. surat berharga yang diterbitkan oleh Negara Republik Indonesia, yang pada saat penempatan sebagai Dana Jaminan memiliki sisa jangka waktu sampai dengan jatuh tempo paling singkat 1 (satu) tahun. MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA - 27 - Bagian Kedua Penatausahaan Dana Jaminan Pasal 37 (1) Seluruh Dana Jaminan wajib ditatausahakan pada Bank Kustodian. (2) Bank Kustodian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bukan merupakan Afiliasi dari Perusahaan, kecuali hubungan Afiliasi tersebut terjadi karena kepemilikan atau penyertaan modal Negara Republik Indonesia. Pasal 38 Penatausahaan Dana Jaminan pada Bank Kustodian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) wajib didasarkan pada perjanjian antara Perusahaan dan Bank Kustodian yang paling kurang memuat: a. pendelegasian atau pemberian kuasa oleh Perusahaan kepada Bank Kustodian untuk mencairkan, memindahkan, atau menyerahkan Dana Jaminan setelah memperoleh persetujuan Menteri atau pejabat yang mendapat pendelegasian; b. kewajiban Bank Kustodian untuk menempatkan dana yang diperoleh dari pencairan Dana Jaminan dalam bentuk surat berharga yang diterbitkan oleh Negara Republik Indonesia yang telah jatuh tempo ke dalam bentuk deposito berjangka 1 (satu) bulan pada Bank atas nama Perusahaan, dalam hal Perusahaan belum melakukan penggantian Dana Jaminan yang telah jatuh tempo dimaksud; c. ketentuan bahwa Bank Kustodian tidak dapat menjalankan instruksi dari Perusahaan maupun pihak lain untuk melakukan pencairan, pemindahan, dan penyerahan deposito atau surat berharga yang diterbitkan oleh Negara Republik Indonesia yang digunakan sebagai Dana Jaminan kecuali telah mendapat persetujuan Menteri atau pejabat yang mendapat pendelegasian; dan d. ketentuan bahwa Bank Kustodian wajib menyampaikan laporan bulanan penatausahaan Dana Jaminan yang dimiliki oleh Perusahaan kepada Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan u.p. Kepala Biro Perasuransian paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya yang paling kurang memuat: MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA - 28 - 1) nama Perusahaan pemilik Dana Jaminan; 2) jenis Dana Jaminan; 3) nomor bilyet dan Bank penerbit untuk deposito; 4) seri dari surat berharga yang diterbitkan oleh Negara Republik Indonesia; 5) nilai nominal Dana Jaminan; dan 6) tanggal jatuh tempo. Bagian Ketiga Perubahan Dana Jaminan Pasal 39 (1) Pembentukan atau penambahan Dana Jaminan dapat dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. penempatan baru deposito dan/atau surat berharga yang diterbitkan oleh Negara Republik Indonesia sebagai Dana Jaminan; b. penempatan deposito yang semula bukan Dana Jaminan menjadi Dana Jaminan; dan/atau c. penempatan surat berharga yang diterbitkan oleh Negara Republik Indonesia yang semula bukan Dana Jaminan menjadi Dana Jaminan. (2) Perusahaan dapat melakukan penggantian Dana Jaminan dengan ketentuan sebagai berikut: a. dari deposito menjadi surat berharga yang diterbitkan oleh Negara Republik Indonesia atau sebaliknya; b. mengubah jangka waktu deposito pada Bank; c. mengubah Bank tempat penempatan deposito; dan/atau d. menukarkan surat berharga yang diterbitkan oleh Negara Republik Indonesia dengan surat berharga yang diterbitkan oleh Negara Republik Indonesia lainnya. (3) Dalam hal Perusahaan akan melakukan penggantian Dana Jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Perusahaan wajib menempatkan terlebih dahulu Dana Jaminan pengganti paling sedikit sebesar nilai Dana Jaminan yang akan diganti. MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA - 29 - (4) Dalam hal terdapat Dana Jaminan dalam bentuk surat berharga yang diterbitkan oleh Negara Republik Indonesia yang akan jatuh tempo, Perusahaan wajib menempatkan terlebih dahulu Dana Jaminan baru paling sedikit sebesar nilai surat berharga yang diterbitkan oleh Negara Republik Indonesia yang akan jatuh tempo dimaksud, paling lama 1 (satu) hari sebelum tanggal jatuh tempo. Pasal 40 (1) Menteri dapat memerintahkan Perusahaan untuk menambah jumlah Dana Jaminan paling tinggi sebesar jumlah cadangan teknis, dalam hal: a. Perusahaan tidak dapat memenuhi ketentuan mengenai Tingkat Solvabilitas dan sedang dikenai sanksi pembatasan kegiatan usaha; atau b. Perusahaan memiliki Tingkat Solvabilitas kurang dari 40% (empat puluh per seratus). (2) Perusahaan wajib menambah jumlah Dana Jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 1 (satu) bulan sejak diperintahkan untuk menambah jumlah Dana Jaminan. BAB VII PELAPORAN Bagian Kesatu Penyusunan Laporan Pasal 41 (1) Perusahaan wajib menyusun: a. laporan keuangan tahunan nonkonsolidasi untuk periode 1 Januari sampai dengan 31 Desember berdasarkan standar akuntansi keuangan yang berlaku di Indonesia; b. laporan keuangan tahunan nonkonsolidasi untuk periode 1 Januari sampai dengan 31 Desember berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang perasuransian; c. laporan keuangan triwulanan nonkonsolidasi yang berakhir pada 31 Maret, 30 Juni, 30 September, dan 31 Desember berdasarkan peraturan perundang- undangan di bidang perasuransian; MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA - 30 - d. laporan program reasuransi untuk kegiatan tahun berjalan; e. laporan Dana Jaminan secara triwulanan yang berakhir pada 31 Maret, 30 Juni, 30 September, dan 31 Desember; dan f. laporan aktuaris tahunan untuk periode 1 Januari sampai dengan 31 Desember. (2) Dalam hal Perusahaan Asuransi Jiwa memasarkan Produk Asuransi Yang Dikaitkan Dengan Investasi, laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib ditambah dengan: a. laporan dana investasi atas Produk Asuransi Yang Dikaitkan Dengan Investasi secara tahunan untuk periode 1 Januari sampai dengan 31 Desember; b. laporan dana investasi atas Produk Asuransi Yang Dikaitkan Dengan Investasi secara triwulanan yang berakhir pada 31 Maret, 30 Juni, 30 September, dan 31 Desember. (3) Laporan keuangan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan ayat (2) huruf a wajib diaudit oleh auditor independen. (4) Laporan keuangan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b wajib mendapat pernyataan auditor independen mengenai kesesuaian laporan dimaksud dengan peraturan perundang-undangan di bidang perasuransian. (5) Bagi Perusahaan yang menyelenggarakan sebagian usahanya dengan prinsip syariah, laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b sampai dengan huruf e tidak termasuk laporan yang terkait dengan unit syariah dari Perusahaan dimaksud. (6) Laporan aktuaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f merupakan laporan yang menggambarkan perkiraan kemampuan Perusahaan untuk memenuhi kewajibannya di masa depan. (7) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f harus ditandatangani oleh aktuaris Perusahaan. (8) Bagi Perusahaan Asuransi Umum, penandatanganan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dapat dilakukan oleh aktuaris dari perusahaan konsultan aktuaria yang tidak terafiliasi dengan Perusahaan paling lama untuk laporan aktuaris tahun 2014. MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA - 31 - (9) Laporan aktuaris tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f wajib ditelaah (di-review) dan dinilai kewajaran penyajiannya oleh aktuaris dari perusahaan konsultan aktuaria yang tidak terafiliasi dengan perusahaan paling kurang 1 (satu) kali dalam 3 (tiga) tahun. (10) Ketentuan mengenai bentuk serta susunan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b sampai dengan huruf f diatur dengan Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan. Pasal 42 Dalam laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1), setiap aset dan Liabilitas dalam satuan mata uang asing wajib disajikan dalam mata uang rupiah berdasarkan nilai kurs tengah yang ditetapkan oleh Bank Indonesia pada tanggal laporan. Bagian Kedua Pengumuman Laporan Pasal 43 (1) Perusahaan wajib mengumumkan ringkasan atas laporan keuangan tahunan yang telah diaudit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (3) dan ayat (4) pada website Perusahaan paling lambat tanggal 30 April tahun berikutnya. (2) Perusahaan wajib mengumumkan laporan keuangan triwulanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) huruf c pada website Perusahaan paling lama 1 (satu) bulan setelah berakhirnya triwulan yang bersangkutan. (3) Jangka waktu pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib dilakukan sampai dengan terbitnya laporan tahunan atau laporan triwulanan berikutnya. (4) Ketentuan mengenai bentuk serta susunan ringkasan atas laporan keuangan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan. MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA - 32 - Pasal 44 Dalam hal terdapat bagian yang perlu dikoreksi dalam laporan yang telah diumumkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (1) dan ayat (2), Perusahaan wajib mengoreksi laporan tersebut dan mengumumkan kembali pada website Perusahaan. Pasal 45 (1) Perusahaan wajib mengumumkan ringkasan atas laporan keuangan tahunan yang telah diaudit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (3) dan ayat (4) paling sedikit pada 1 (satu) surat kabar harian di Indonesia yang memiliki peredaran nasional paling lambat tanggal 30 April tahun berikutnya. (2) Bukti pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan kepada Kepala Biro Perasuransian, Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan paling lambat tanggal 30 April. (3) Dalam hal tanggal 30 April adalah hari libur, batas akhir penyampaian bukti pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah hari kerja pertama setelah tanggal 30 April dimaksud. (4) Ketentuan mengenai bentuk serta susunan ringkasan atas laporan keuangan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan. Bagian Ketiga Penyampaian Laporan Pasal 46 (1) Perusahaan wajib menyampaikan: a. laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf f paling lambat tanggal 30 April tahun berikutnya; b. laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) huruf c dan huruf e paling lama 1 (satu) bulan setelah berakhirnya triwulan yang bersangkutan; dan c. laporan program reasuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) huruf d paling lambat tanggal 15 Januari tahun berikutnya, kepada Menteri. MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA - 33 - (2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b wajib dilengkapi dengan surat pernyataan direksi yang menyatakan bertanggung jawab atas kebenaran laporan yang disampaikan. (3) Dalam hal batas waktu terakhir penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah hari libur, batas akhir penyampaian laporan adalah hari kerja pertama setelah batas waktu terakhir dimaksud. BAB VIII RENCANA PENYEHATAN KEUANGAN Pasal 47 Perusahaan yang tidak memenuhi target Tingkat Solvabilitas minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3): a. wajib menyampaikan rencana penyehatan keuangan; dan b. dilarang membagikan dividen atau memberikan imbalan dalam bentuk apapun kepada pemegang saham. Pasal 48 Dalam hal Tingkat Solvabilitas Perusahaan kurang dari 40% (empat puluh per seratus), Perusahaan: a. dikenakan sanksi peringatan pertama dan terakhir; b. wajib menyampaikan rencana penyehatan keuangan; dan/atau c. dilarang membagikan dividen atau memberikan imbalan dalam bentuk apapun kepada pemegang saham. Pasal 49 (1) Rencana penyehatan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 huruf a wajib disampaikan kepada Menteri paling lama 1 (satu) bulan sejak kondisi keuangan Perusahaan tidak memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3). (2) Rencana penyehatan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), paling kurang memuat langkah penyehatan keuangan yang disertai dengan jangka waktu tertentu yang dibutuhkan untuk memenuhi ketentuan target Tingkat Solvabilitas minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3). MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA - 34 - (3) Langkah penyehatan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), paling kurang memuat rencana tindak sebagai berikut: a. restrukturisasi aset dan/atau Liabilitas; b. penambahan modal disetor; c. pemberian pinjaman subordinasi; d. peningkatan tarif premi; e. pengalihan sebagian atau seluruh portofolio pertanggungan; dan/atau f. penggabungan badan usaha. (4) Rencana penyehatan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ditandatangani oleh seluruh direksi dan dewan komisaris. (5) Rencana penyehatan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus terlebih dahulu disetujui oleh rapat umum pemegang saham dalam hal rencana penyehatan dimaksud memuat rencana tindak penambahan modal disetor atau rencana tindak penggabungan badan usaha. (6) Rencana penyehatan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memperoleh pernyataan tidak keberatan dari Menteri. (7) Dalam hal rencana penyehatan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinilai Menteri tidak cukup untuk mengatasi permasalahan, Perusahaan wajib melakukan perbaikan atas rencana penyehatan keuangan tersebut. (8) Menteri memberikan pernyataan tidak keberatan atas rencana penyehatan keuangan yang disampaikan oleh Perusahaan dengan memperhatikan kondisi permasalahan yang dihadapi oleh Perusahaan paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya rencana penyehatan keuangan secara lengkap. (9) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (8) Menteri tidak memberikan pernyataan tidak keberatan atau tanggapan, Perusahaan dapat melaksanakan rencana penyehatan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 50 (1) Perusahaan wajib menyampaikan kepada Menteri laporan pelaksanaan rencana penyehatan keuangan dan laporan keuangan bulanan paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya. MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA - 35 - (2) Dalam hal tanggal 15 adalah hari libur, batas akhir penyampaian laporan pelaksanaan rencana penyehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah hari kerja pertama setelah tanggal 15. Pasal 51 (1) Dalam hal Perusahaan memperkirakan Tingkat Solvabilitas Perusahaan tidak akan terpenuhi dalam jangka waktu sebagaimana telah ditetapkan di dalam rencana penyehatan keuangan, Perusahaan dapat melakukan perubahan atas rencana penyehatan keuangan. (2) Perubahan atas rencana penyehatan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib terlebih dahulu memperoleh pernyataan tidak keberatan dari Menteri. (3) Menteri memberikan pernyataan tidak keberatan atas perubahan rencana penyehatan keuangan yang disampaikan oleh Perusahaan paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya perubahan rencana penyehatan keuangan secara lengkap. (4) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) Menteri tidak memberikan pernyataan tidak keberatan atau tanggapan, Perusahaan dapat melaksanakan perubahan rencana penyehatan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 52 Menteri dapat memerintahkan kepada Perusahaan untuk melakukan pemindahan sebagian atau seluruh portofolio pertanggungan kepada Perusahaan lain, dalam hal: a. Perusahaan tidak dapat memenuhi ketentuan mengenai Tingkat Solvabilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan sedang dikenai sanksi pembatasan kegiatan usaha; atau b. Perusahaan memiliki Tingkat Solvabilitas kurang dari 40% (empat puluh per seratus) dan sedang dikenai sanksi peringatan. MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA - 36 - BAB IX LARANGAN Pasal 53 (1) Perusahaan dilarang mengembalikan pinjaman subordinasi atau membayar dividen kepada pemegang saham apabila hal tersebut akan menyebabkan tidak terpenuhinya ketentuan target Tingkat Solvabilitas minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3). (2) Perusahaan dilarang membayar dividen kepada pemegang saham apabila hal tersebut akan menyebabkan berkurangnya jumlah modal sendiri di bawah ketentuan modal sendiri yang dipersyaratkan. (3) Perusahaan dilarang melakukan segala bentuk pengalihan aset kepada pemegang saham atau pihak terafiliasi dengan Perusahaan kecuali melalui transaksi yang wajar (arm’s length transaction). Pasal 54 (1) Perusahaan dilarang menempatkan: a. investasi pada pihak yang terafiliasi dengan Perusahaan melebihi batasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1); b. investasi pada satu pihak yang terafiliasi namun satu pihak tersebut tidak terafiliasi dengan Perusahaan melebihi batasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3); dan c. investasi di luar negeri atas dana investasi yang bersumber dari Produk Asuransi Yang Dikaitkan Dengan Investasi dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1). (2) Dalam hal jumlah investasi melebihi batasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disebabkan adanya kenaikan nilai investasi tersebut, Perusahaan wajib menyesuaikan kembali jumlah investasi sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) dan ayat (3) serta Pasal 32 ayat (1) dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak diketahui adanya kenaikan nilai investasi dimaksud. Pasal 55 (1) Perusahaan dilarang memiliki investasi di luar negeri, kecuali dalam jenis investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2). melebihi batasan sebagaimana MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA - 37 - (2) Perusahaan dilarang menempatkan investasi di luar negeri melebihi 20% (dua puluh per seratus) dari jumlah investasi. (3) Dalam hal jumlah investasi di luar negeri melebihi batasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang disebabkan adanya kenaikan nilai investasi tersebut, Perusahaan wajib menyesuaikan kembali jumlah investasi sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak diketahui adanya kenaikan nilai investasi dimaksud. BAB X KETENTUAN PENUTUP Pasal 56 Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku: a. Pasal 21, Pasal 22, Pasal 28, dan Pasal 31 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 422/KMK.06/2003 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi; b. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 424/KMK.06/2003 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 158/PMK.010/2008; c. Pasal 18 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 426/KMK.06/2003 tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi; dan d. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 504/KMK.06/2004 tentang Kesehatan Keuangan bagi Perusahaan Asuransi yang Berbentuk Badan Hukum Bukan Perseroan Terbatas, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 57 (1) Peraturan Menteri ini tidak berlaku bagi Perusahaan yang menyelenggarakan seluruh usahanya dengan prinsip syariah atau bagi unit syariah dari Perusahaan yang menyelenggarakan sebagian usahanya dengan prinsip syariah. (2) Ketentuan kesehatan keuangan bagi Perusahaan yang menyelenggarakan seluruh usahanya dengan prinsip syariah atau bagi unit syariah dari Perusahaan yang menyelenggarakan sebagian usahanya dengan prinsip syariah diatur dengan Peraturan Menteri tersendiri. MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA - 38 - Pasal 58 Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2013. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 3 April 2012 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, ttd. AGUS D.W. MARTOWARDOJO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 3 April 2012 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA, ttd. AMIR SYAMSUDIN BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2012 NOMOR 375 Salinan sesuai dengan aslinya "," PER-MEN 53/PMK.010/2012|PER-MENKEU/2012 KESEHATAN KEUANGAN PERUSAHAAN ASURANSI DAN PERUSAHAAN REASURANSI 3 April 2012 1 Januari 2013 3 April 2012 '504/KMK.06/2004|KEP-MENKEU/2004', '424/KMK.06/2003|KEP-MENKEU/2003', '426/KMK.06/2003|KEP-MENKEU/2003 | Pasal 18', '158/PMK.010/2008|PER-MENKEU/2008', '422/KMK.06/2003|KEP-MENKEU/2003 | Pasal 21, Pasal 22, Pasal 28, dan Pasal 31' '73/PP/1992', '81/PP/2008', '426/KMK.06/2003|KEP-MENKEU/2003', '422/KMK.06/2003|KEP-MENKEU/2003', '2/UU/1992' " " PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2008 TENTANG JARING PENGAMAN SISTEM KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam upaya menghadapi ancaman krisis keuangan yang berpotensi membahayakan stabilitas sistem keuangan dan perekonomian nasional atau menghadapi krisis keuangan, perlu ditetapkan suatu landasan hukum yang kuat dalam rangka pencegahan dan penanganan krisis; b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan; Mengingat : 1. 2. Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3467); 3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 4. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3477); 5. Undang-Undang . . . - 2 - 5. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608); 6. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 142, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4901); 7. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 110, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4236); 8. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286); 9. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355); 10. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4420), sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 143, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4902); 11. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867); 12. Undang-Undang . . . - 3 - 12. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4852); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG- UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG JARING PENGAMAN SISTEM KEUANGAN. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Jaring Pengaman Sistem Keuangan adalah suatu mekanisme pengamanan sistem keuangan dari Krisis yang mencakup pencegahan dan penanganan Krisis. 2. Krisis adalah suatu kondisi sistem keuangan yang sudah gagal secara efektif menjalankan fungsi dan perannya dalam perekonomian nasional. 3. Lembaga Keuangan Bukan Bank, yang selanjutnya disebut LKBB, adalah perusahaan asuransi, perusahaan reasuransi, dana pensiun, lembaga pembiayaan, lembaga penjaminan, dan perusahaan efek sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan. 4. Berdampak Sistemik adalah suatu kondisi sulit yang ditimbulkan oleh suatu bank, LKBB, dan/atau gejolak pasar keuangan yang apabila tidak diatasi dapat menyebabkan kegagalan sejumlah bank dan/atau LKBB lain sehingga menyebabkan hilangnya kepercayaan terhadap sistem keuangan dan perekonomian nasional. 5. Fasilitas Pembiayaan Darurat, yang selanjutnya disebut FPD, adalah fasilitas pembiayaan dari Bank Indonesia yang dijamin oleh Pemerintah kepada bank yang mengalami kesulitan likuiditas yang Berdampak Sistemik dan berpotensi Krisis namun masih memenuhi tingkat solvabilitas. 6. Surat . . . - 4 - 6. Surat Berharga Negara, yang selanjutnya disebut SBN, adalah surat utang negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Surat Utang Negara dan surat berharga syariah negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Surat Berharga Syariah Negara. 7. Bank Indonesia adalah Bank Sentral Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang tentang Bank Indonesia. 8. Lembaga Penjamin Simpanan, yang selanjutnya disebut LPS, adalah lembaga penjamin simpanan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Lembaga Penjamin Simpanan. 9. Bank Gagal adalah bank yang mengalami kesulitan keuangan dan membahayakan kelangsungan usahanya serta dinyatakan tidak dapat lagi disehatkan oleh Bank Indonesia sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya. BAB II TUJUAN DAN RUANG LINGKUP Pasal 2 Jaring Pengaman Sistem Keuangan bertujuan untuk menciptakan dan memelihara stabilitas sistem keuangan melalui pencegahan dan penanganan Krisis. Pasal 3 Ruang lingkup Jaring Pengaman Sistem Keuangan meliputi pencegahan dan penanganan Krisis. Pasal 4 (1) Pencegahan Krisis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 meliputi tindakan mengatasi permasalahan: a. Bank yang mengalami kesulitan likuiditas yang Berdampak Sistemik; b. Bank yang mengalami permasalahan solvabilitas atau kegagalan pelunasan FPD yang Berdampak Sistemik; dan c. LKBB yang mengalami kesulitan likuiditas dan masalah solvabilitas yang Berdampak Sistemik. (2) Penanganan . . . - 5 - (2) Penanganan Krisis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 meliputi tindakan mengatasi permasalahan: a. Bank yang mengalami kesulitan likuiditas dan/atau solvabilitas yang secara individu Berdampak Sistemik atau bank yang secara individu tidak Berdampak Sistemik tetapi secara bersama-sama dengan bank lain Berdampak Sistemik, pada kondisi Krisis; dan b. LKBB yang mengalami permasalahan solvabilitas yang Berdampak Sistemik. BAB III KOMITE STABILITAS SISTEM KEUANGAN Bagian Kesatu Pembentukan Pasal 5 Untuk mencapai tujuan Jaring Pengaman Sistem Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, dibentuk Komite Stabilitas Sistem Keuangan, yang selanjutnya disebut KSSK yang keanggotaannya terdiri dari Menteri Keuangan sebagai Ketua merangkap Anggota dan Gubernur Bank Indonesia sebagai Anggota. Bagian Kedua Fungsi dan Tugas Pasal 6 KSSK berfungsi menetapkan kebijakan dalam rangka pencegahan dan penanganan Krisis. Pasal 7 Dalam rangka melaksanakan fungsi penetapan kebijakan pencegahan dan penanganan Krisis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, KSSK mempunyai tugas: a. mengevaluasi skala dan dimensi permasalahan likuiditas dan/atau solvabilitas bank/LKBB yang ditengarai Berdampak Sistemik; b. menetapkan . . . - 6 - b. menetapkan permasalahan likuiditas dan/atau masalah solvabilitas bank/LKBB Berdampak Sistemik atau tidak Berdampak Sistemik; dan c. menetapkan langkah-langkah penanganan masalah bank/LKBB yang dipandang perlu dalam rangka pencegahan dan penanganan Krisis. Pasal 8 (1) Dalam rangka mendukung pelaksanaan tugas KSSK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, KSSK dibantu oleh sekretariat. (2) Anggaran sekretariat dapat berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Bank Indonesia, dan/atau LPS. (3) Struktur organisasi dan tugas sekretariat ditetapkan dengan keputusan KSSK. Pasal 9 KSSK menyampaikan laporan mengenai pencegahan dan penanganan Krisis kepada Presiden. Bagian Ketiga Mekanisme Rapat KSSK Pasal 10 (1) Rapat KSSK diselenggarakan sekurang-kurangnya 4 (empat) kali dalam 1 (satu) tahun. (2) Pengambilan keputusan dalam rapat KSSK dilakukan berdasarkan mufakat. (3) Dalam hal tidak tercapai mufakat, Ketua KSSK menetapkan keputusan. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai mekanisme rapat KSSK ditetapkan dengan keputusan KSSK. BAB IV . . . - 7 - BAB IV PENCEGAHAN KRISIS Bagian Kesatu Penanganan Kesulitan Likuiditas Bank Yang Berdampak Sistemik Pasal 11 (1) Dalam hal terdapat bank yang mengalami kesulitan likuiditas yang ditengarai Berdampak Sistemik oleh Bank Indonesia, KSSK memutuskan kondisi bank tersebut Berdampak Sistemik atau tidak Berdampak Sistemik. (2) Dalam hal bank diputuskan Berdampak Sistemik, KSSK memutuskan pemberian FPD oleh Bank Indonesia kepada bank, penetapan pagu, jangka waktu, suku bunga, dan kriteria umum agunan FPD, berdasarkan rekomendasi Gubernur Bank Indonesia. (3) Pemberian FPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat diberikan kepada bank yang mengajukan permohonan FPD dan memenuhi kriteria solvabilitas sesuai ketentuan Bank Indonesia. (4) Jangka waktu pemberian FPD paling lama 90 (sembilan puluh) hari kalender sejak penandatanganan perjanjian pemberian FPD dan dapat diperpanjang 1 (satu) kali dalam jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari kalender. (5) Dalam hal KSSK memutuskan bank yang mengalami kesulitan likuiditas tidak Berdampak Sistemik, atau Berdampak Sistemik namun tidak mengajukan permohonan FPD, Bank Indonesia menetapkan bank dimaksud sebagai Bank Gagal. Pasal 12 Dengan diberikannya FPD kepada bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2), Bank Indonesia berwenang: a. mengambil alih hak dan wewenang Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) untuk mengganti sebagian atau seluruh direksi dan komisaris bank; b. menempatkan pihak yang mewakili Bank Indonesia sebagai direksi dan/atau komisaris bank; dan c. menempatkan . . . - 8 - c. menempatkan bank dimaksud dalam status pengawasan khusus. Pasal 13 (1) Pemberian FPD dituangkan dalam perjanjian antara bank dan Bank Indonesia yang dilengkapi dengan: a. daftar aset bank dengan nilai taksasi sementara yang menjadi agunan FPD; dan b. rencana kerja bank dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapi. (2) Pengikatan aset bank yang menjadi agunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dilakukan Bank Indonesia setelah dokumen agunan lengkap. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian FPD termasuk kriteria aset bank yang dapat menjadi agunan FPD diatur dalam Peraturan Bank Indonesia. Pasal 14 Bank penerima FPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) dilarang membagikan dividen dan manfaat finansial lainnya kepada pemegang saham sebelum bank melunasi FPD. Pasal 15 (1) Menteri Keuangan atas nama Pemerintah memberikan jaminan secara tertulis atas FPD yang diberikan oleh Bank Indonesia. (2) Jaminan pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa penggantian dana FPD yang belum dilunasi oleh bank kepada Bank Indonesia dalam hal: a. bank tidak melunasi FPD dalam jangka waktu yang ditetapkan KSSK; atau b. bank dinyatakan sebagai Bank Gagal sebelum berakhirnya jangka waktu FPD. Pasal 16 Apabila bank tidak dapat melunasi FPD dalam jangka waktu yang ditetapkan KSSK, Bank Indonesia menyatakan bank dimaksud sebagai Bank Gagal dan meminta KSSK untuk memutuskan kebijakan penanganan Bank Gagal dimaksud. Pasal 17 . . . - 9 - Pasal 17 (1) Dalam hal bank penerima FPD dinyatakan sebagai Bank Gagal, berdasarkan keputusan KSSK: a. Pemerintah mengganti dana FPD yang belum dilunasi oleh bank penerima FPD kepada Bank Indonesia; b. Bank Indonesia menyerahkan piutang FPD dan agunannya kepada Menteri Keuangan melalui Perjanjian Pengalihan Hak Atas Piutang beserta seluruh dokumen yang telah dicek kelengkapannya oleh Bank Indonesia; dan c. LPS melakukan penyelesaian atau penanganan Bank Gagal. (2) Dalam hal kondisi keuangan LPS tidak mencukupi untuk penanganan Bank Gagal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, Pemerintah dapat memberikan pinjaman kepada LPS. Bagian Kedua Penanganan Masalah Solvabilitas Bank Yang Berdampak Sistemik Pasal 18 (1) Dalam hal bank dinyatakan sebagai Bank Gagal yang ditengarai Berdampak Sistemik oleh Bank Indonesia, KSSK memutuskan Bank Gagal tersebut Berdampak Sistemik atau tidak Berdampak Sistemik. (2) Penyelesaian atau penanganan Bank Gagal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh LPS. (3) Dalam hal kondisi keuangan LPS tidak mencukupi untuk penanganan Bank Gagal sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah dapat memberikan pinjaman kepada LPS. Bagian Ketiga . . . - 10 - Bagian Ketiga Penanganan Kesulitan Likuiditas dan/atau Masalah Solvabilitas LKBB Pasal 19 (1) Dalam hal terdapat LKBB yang mengalami kesulitan likuiditas dan/atau masalah solvabilitas yang ditengarai Berdampak Sistemik oleh Departemen Keuangan, KSSK memutuskan kondisi LKBB tersebut Berdampak Sistemik atau tidak Berdampak Sistemik. (2) Dalam hal LKBB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diputuskan Berdampak Sistemik, KSSK memutuskan kebijakan penanganan LKBB dimaksud. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kebijakan dan tata cara penanganan kesulitan likuiditas dan/atau masalah solvabilitas LKBB yang Berdampak Sistemik diatur dengan Peraturan Pemerintah. BAB V PENANGANAN KRISIS Pasal 20 (1) Dalam hal terjadi keadaan yang dinilai membahayakan stabilitas sistem keuangan dan perekonomian nasional, KSSK menetapkan: a. langkah-langkah penanganan Krisis termasuk perkiraan kebutuhan biaya penanganan Krisis; b. pemberian FPD kepada bank yang mengalami kesulitan likuiditas oleh Bank Indonesia yang pembiayaannya dari Pemerintah; c. pemberian bantuan likuiditas kepada LKBB yang mengalami kesulitan likuiditas oleh Pemerintah; dan d. penambahan modal berupa penyertaan modal sementara kepada bank/LKBB yang mengalami masalah solvabilitas yang pelaksanaannya dilakukan oleh LPS/Pemerintah. (2) Pendanaan untuk pelaksanaan penanganan Krisis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d menjadi beban Pemerintah. Pasal 21 . . . - 11 - Pasal 21 (1) Pemberian FPD kepada bank Berdampak Sistemik dalam kondisi Krisis dituangkan dalam perjanjian antara bank dan Bank Indonesia yang bertindak untuk dan atas nama Pemerintah, yang dilengkapi dengan: a. daftar aset bank dengan nilai taksasi sementara yang menjadi agunan FPD; dan b. rencana kerja bank dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapi. (2) Rencana kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b harus disampaikan paling lambat 14 (empat belas) hari kerja setelah pemberian FPD. (3) Pengikatan aset bank yang menjadi agunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dilakukan oleh Bank Indonesia setelah dokumen agunan lengkap. Pasal 22 Bank penerima FPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) huruf b, dilarang membagikan dividen dan manfaat finansial lainnya kepada pemegang saham sebelum bank melunasi FPD. Pasal 23 Apabila bank tidak dapat melunasi FPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) huruf b dalam jangka waktu yang ditetapkan KSSK, Bank Indonesia menyatakan bank dimaksud sebagai Bank Gagal dan meminta KSSK untuk memutuskan kebijakan penanganan Bank Gagal dimaksud. Pasal 24 (1) Dalam hal menurut penilaian KSSK kondisi Krisis dapat membahayakan perekonomian nasional, apabila diperlukan, KSSK berdasarkan rekomendasi Gubernur Bank Indonesia mengusulkan kepada Presiden membentuk badan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37A Undang-Undang tentang Perbankan. (2) Pelaksanaan . . . - 12 - (2) Pelaksanaan penambahan modal berupa penyertaan modal sementara kepada bank/LKBB yang mengalami masalah solvabilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) huruf d dapat dilakukan oleh badan khusus berdasarkan penunjukan KSSK. Pasal 25 LPS dan/atau badan khusus untuk dan atas nama Pemerintah menjual saham dari penyertaan modal sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) huruf d sesuai dengan jangka waktu yang ditetapkan KSSK. BAB VI INSENTIF DAN FASILITAS UNTUK PENANGANAN SEKTOR PRIVAT Pasal 26 Pemerintah dan Bank Indonesia dapat memberikan insentif dan/atau fasilitas dalam rangka mempercepat penyelesaian masalah likuiditas dan/atau solvabilitas bank/LKBB yang Berdampak Sistemik yang dilakukan oleh sektor privat yang dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. BAB VII SUMBER PENDANAAN Pasal 27 (1) Sumber pendanaan Pemerintah untuk pencegahan dan penanganan Krisis berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara melalui penerbitan SBN atau tunai. (2) Menteri . . . - 13 - (2) Menteri Keuangan menetapkan ketentuan dan persyaratan penerbitan SBN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan hasil rapat antara Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia dengan mempertimbangkan sustainabilitas Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, tingkat kesehatan neraca Bank Indonesia, dan efektivitas kebijakan moneter. (3) Pemerintah dapat melakukan penerbitan SBN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melebihi pagu yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun yang bersangkutan yang selanjutnya diusulkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan dan/atau disampaikan dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat. (4) Penerbitan SBN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan dari ketentuan tujuan penerbitan SBN sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Surat Utang Negara dan tujuan penerbitan surat berharga syariah negara sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Surat Berharga Syariah Negara. (5) Bank Indonesia dapat membeli SBN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di pasar primer dalam rangka pencegahan dan penanganan Krisis. (6) Penggunaan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara untuk pencegahan dan penanganan Krisis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus terlebih dahulu mendapat persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat. (7) Menteri Keuangan melaporkan penerbitan SBN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Dewan Perwakilan Rakyat paling lambat 30 hari kalender sejak penerbitan SBN. BAB VIII . . . - 14 - BAB VIII KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 28 Dalam rangka pengadaan barang dan jasa, pengerahan sumber daya manusia, serta pengelolaan dan pertanggungjawaban uang dan/atau barang pada saat pencegahan dan penanganan Krisis, Departemen Keuangan serta lembaga yang ditunjuk dan/atau badan khusus yang dibentuk menetapkan ketentuan dan tata cara tersendiri. Pasal 29 Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia, dan/atau pihak yang melaksanakan tugas sesuai Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini tidak dapat dihukum karena telah mengambil keputusan atau kebijakan yang sejalan dengan tugas dan wewenangnya sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini. BAB IX KETENTUAN PENUTUP Pasal 30 Pada saat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai atau terkait dengan FPD dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini. Pasal 31 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar . . . - 15 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 15 Oktober 2008 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 15 Oktober 2008 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd ANDI MATTALATTA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 149 Salinan sesuai dengan aslinya SEKRETARIAT NEGARA REPUBLIK INDONESIA Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan Bidang Perekonomian dan Industri, SETIO SAPTO NUGROHO PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2008 TENTANG JARING PENGAMAN SISTEM KEUANGAN I. UMUM Dalam rangka menghadapi ancaman Krisis keuangan global yang dapat membahayakan stabilitas sistem keuangan dan perekonomian nasional, perlu dibuat suatu landasan hukum yang kuat sehingga mekanisme koordinasi antar lembaga yang terkait dalam pembinaan sistem keuangan nasional, serta mekanisme pengambilan keputusan dalam tindakan pencegahan dan penanganan krisis dapat dilakukan secara terpadu, efisien dan efektif. Landasan hukum dimaksud ditetapkan dalam bentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan. Adapun tujuan Jaring Pengaman Sistem Keuangan untuk menciptakan dan memelihara stabilitas sistem keuangan. Dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini diatur mengenai ruang lingkup Jaring Pengaman Sistem Keuangan yang meliputi pencegahan dan penanganan Krisis. Pencegahan krisis dilakukan melalui penanganan kesulitan likuiditas dan penanganan masalah solvabilitas dari bank dan Lembaga Keuangan Bukan Bank (LKBB) yang berdampak sistemik, yaitu antara lain dengan memberikan Fasilitas Pembiayaan Darurat (FPD) bagi bank atau bantuan likuiditas bagi LKBB yang mengalami kesulitan likuiditas. Selain itu, pencegahan krisis dapat pula dilakukan dengan menambah modal berupa penyertaan modal sementara terhadap bank dan LKBB yang mengalami masalah solvabilitas. Penanganan Krisis pada dasarnya dilakukan dengan cara yang sama seperti pencegahan Krisis, namun penanganan Krisis dilakukan pada saat kondisi sistem keuangan dalam keadaan Krisis yang membahayakan stabilitas sistem keuangan dan perekonomian nasional. Dalam . . . - 2 - Dalam rangka pelaksanaan Jaring Pengaman Sistem Keuangan, berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini dibentuk Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang beranggotakan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia. KSSK berfungsi menetapkan kebijakan dalam rangka pencegahan dan penanganan Krisis di sistem keuangan. Sumber pendanaan untuk pencegahan dan penanganan krisis berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang diberikan Pemerintah melalui penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) atau secara tunai. Untuk memberikan fleksibilitas agar Krisis dapat dicegah atau ditangani segera, penerbitan SBN dikecualikan dari ketentuan tujuan penerbitan SBN sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Surat Utang Negara dan Undang-Undang tentang Surat Berharga Syariah Negara. Bertindak sebagai pembeli SBN di pasar primer adalah Bank Indonesia. Dalam rangka akuntabilitas, Menteri Keuangan melaporkan penerbitan SBN tersebut kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Penggunaan dana APBN untuk pencegahan dan penanganan krisis harus mendapat persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Jaring Pengaman Sistem Keuangan secara umum ditujukan untuk menciptakan dan memelihara stabilitas sistem keuangan melalui pengaturan dan pengawasan lembaga keuangan dan sistem pembayaran, penyediaan fasilitas lender of last resort, program penjaminan simpanan, serta pencegahan dan penanganan Krisis. Namun demikian, mengingat pengaturan dan pengawasan lembaga keuangan dan sistem pembayaran, penyediaan fasilitas lender of last resort, serta program penjaminan simpanan telah diatur dalam Undang-Undang tersendiri maka Undang-Undang ini hanya mengatur masalah pencegahan dan penanganan Krisis. Pasal 3 Pencegahan dan penanganan Krisis meliputi penanganan kesulitan likuiditas dan masalah solvabilitas bank dan LKBB yang Berdampak Sistemik. Pasal 4 . . . - 3 - Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Keanggotaan Menteri Keuangan dalam KSSK adalah dalam rangka menjalankan fungsinya sebagai otoritas fiskal dan menjaga stabilitas ekonomi. Sedangkan keanggotaan Gubernur Bank Indonesia dalam KSSK adalah dalam rangka menjalankan fungsinya menjaga stabilitas moneter dan sistem keuangan. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Yang dimaksud dengan langkah-langkah dalam rangka pencegahan krisis antara lain melonggarkan peraturan sistem keuangan seperti penurunan giro wajib minimum dan ketentuan pelaksanaan buyback oleh perusahaan go public. Yang dimaksud dengan langkah-langkah dalam rangka penanganan krisis antara lain melakukan komunikasi mengenai langkah yang telah dan akan diambil oleh Pemerintah dan Bank Indonesia, koordinasi dengan pihak-pihak terkait untuk memulihkan kepercayaan masyarakat, dan perumusan regulasi yang diperlukan untuk penanganan Krisis. Pasal 8 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Dalam keputusan KSSK diatur juga mengenai keanggotaan sekretariat yang berasal dari Departemen Keuangan, Bank Indonesia, LPS, dan kalangan profesional sesuai kebutuhan. Pasal 9 Laporan oleh KSSK antara lain meliputi kondisi stabilitas sistem keuangan dan tindakan yang dilakukan dalam rangka pencegahan dan penanganan Krisis. Pasal 10 . . . - 4 - Pasal 10 Ayat (1) Rapat KSSK diselenggarakan secara rutin untuk melakukan pembahasan perkembangan kondisi stabilitas sistem keuangan. Dalam kondisi tertentu, rapat dapat diselenggarakan sewaktu- waktu atas permintaan dari Menteri Keuangan atau Gubernur Bank Indonesia. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 11 Ayat (1) Dalam rapat KSSK untuk memutuskan kondisi bank Berdampak Sistemik atau tidak Berdampak Sistemik, Bank Indonesia menyampaikan informasi mengenai permasalahan likuiditas bank dan tindakan yang telah dilakukan untuk mengatasi permasalahan kesulitan likuiditas tersebut oleh bank sebagaimana diminta oleh Bank Indonesia sesuai dengan kewenangannya berdasarkan Undang-Undang tentang Bank Indonesia dan Undang-Undang tentang Perbankan dan Undang- Undang tentang Perbankan Syariah. Ayat (2) Pagu FPD tidak harus didasarkan pada nilai taksasi agunan yang diajukan oleh bank, mengingat FPD diberikan untuk mengatasi dampak sistemik sehingga tidak dapat diperlakukan sebagai normal lending. Suku bunga FPD ditetapkan sebesar BI Rate ditambah dengan margin tertentu yang ditetapkan oleh KSSK. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 12 . . . - 5 - Pasal 12 Huruf a Pengambilalihan hak dan wewenang Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) tidak dimaksudkan untuk mengambil alih kepemilikan bank namun hanya untuk RUPS penggantian direksi dan komisaris saja. Huruf b Bank Indonesia dapat menunjuk pihak lain seperti profesional yang memiliki kompetensi pengelolaan bank penerima FPD dimaksud. Huruf c Cukup jelas. Pasal 13 Ayat (1) Perjanjian pemberian FPD adalah perjanjian utang piutang antara bank dengan Bank Indonesia yang mengatur syarat dan ketentuan pemberian dan pelunasan FPD. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Ayat (1) Nilai jaminan Pemerintah terhadap FPD yang diberikan oleh Bank Indonesia sebesar adalah pokok dan bunga FPD. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 . . . - 6 - Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Penyampaian rencana kerja dapat dilakukan setelah pemberian FPD agar penanganan masalah bank segera teratasi. Ayat (3) Pengikatan agunan dapat dilakukan terhadap sebagian aset yang sudah lengkap dokumennya tanpa harus menunggu kelengkapan dokumen seluruh agunan. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Yang dimaksud dengan penyelesaian oleh sektor privat (private sector solution) adalah penanganan penyelesaian yang dilakukan oleh pihak- pihak yang terkait atau tidak terkait dengan usaha kegiatan bank/LKBB dimaksud termasuk antara lain badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan badan usaha swasta. Insentif yang dimaksud pada ayat ini antara lain insentif fiskal dan fasilitas relaksasi peraturan perundangan. Pasal 27 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) . . . - 7 - Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Pembelian SBN di pasar primer oleh Bank Indonesia adalah ditujukan untuk membiayai kebijakan pencegahan dan penanganan Krisis melalui: a. Pemberian FPD; b. Pemberian pinjaman Pemerintah kepada LPS; dan/atau c. Pemberian pinjaman atau penyertaan modal sementara Pemerintah kepada LKBB. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4907 "," PERPPU 4/PERPPU/2008 JARING PENGAMAN SISTEM KEUANGAN 15 Oktober 2008 15 Oktober 2008 15 Oktober 2008 'UUD 1945 | Pasal 22 ayat (1)', '21/UU/2008', '17/UU/2003', '19/UU/2008', '23/UU/1999', '24/UU/2004', '2/PERPPU/2008', '1/UU/2004', '3/PERPPU/2008', '8/UU/1995', '11/UU/1992', '7/UU/1992', '2/UU/1992', '24/UU/2004', '10/UU/1998' " " PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2005 TENTANG PEMBIAYAAN SEKUNDER PERUMAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam rangka meningkatkan kegiatan pembangunan di bidang perumahan sebagai salah satu upaya penyediaan perumahan yang layak dan terjangkau oleh masyarakat, perlu diupayakan tersedianya dana yang memadai melalui pembiayaan sekunder perumahan; b. bahwa untuk mendukung upaya penyediaan dana pembangunan perumahan secara lebih efektif dan efisien, perlu diatur ketentuan mengenai pembiayaan sekunder perumahan; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagimana simaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Presiden tentang Pembiayaan Sekunder Perumahan; Mengingat: 1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (Lembaga Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3587); 3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambaahan Negara Republik Indonesia Nomor 3608); 4. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara No 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 5. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4297); 6. Peraturan Pemerintah Nomor 12 tahun 1998 tentang Perusahaan Perseroan (PERSERO) (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1998 Nomor 15, Tambahan Lembaran Negara Republik Nomor 3731) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2001 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4101); 7. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2003 tentang Pelimpahan Kedudukan, tugas, dan kewenangan Menteri Keuangan Pada Perusahaan Perseroan (PERSERO), Perusahaan Umum (PERUM), dan Perusahaan Jawatan (PERJAN) kepada Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4305); MEMUTUSKAN: Menetapkan: PERATURAN PRESIDEN TENTANG PEMBIAYAAN SEKUNDERPERUMAHAN BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Presiden ini yang dimaksud dengan: 1. Administrator Transaksi adalah pihak yang mewakili dan melindungi kepentingan pemegang Efek Beragun Aset ; 2. Aset Keuangan adalah piutang yang diperoleh dari penerbitan KPR, termasuk hak agunan yang melekat padanya. 3. Bank adalah bank sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Perbankan. 4. Dokumen Transaksi adalah seluruh dokumen yang dibuat oleh para pihak dalam proses Sekuritisasi. 5. Efek Beragun Aset adalah surat berharga yang dapat berupa Surat Utang atau Surat Partisipasi yang diterbitkan oleh Penerbit yang pembayarannya terutama bersumber dari Kumpulan Piutang. 6. Kredit Pemilikan Rumah (KPR) adalah fasilitas kredit yang diterbitkan oleh Kreditor Asal untuk membeli rumah siap huni. 7. Kreditor Asal adalah setiap Bank atau lembaga keuangan yang mempunyai Aset Keuangan. 8. Kunpulan Piutang adalah keseluruhan Aset Keuangan yang dibeli oleh Penerbit dari Kreditor Asal. 9. Kustodian adalah lembaga sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Pasar Modal. 10. Menteri adalah Menteri Keuangan. 11. Pembiayaan Sekunder Perumahan adalah penyelenggaraan kegiatan penyaluran dana jangka menengah dan/atau panjang kepada Kreditor Asal dengan melakukan Sekuritisasi. 12. Pemodal adalah orang atau badan Efek Beragun Aset. 13. Penerbit adalah perusahaan yang melaksanakan kegiatan Pembiayaan Sekunder Perumahan atau SPV. 14. Sekuritisasi adalah transformasi aset yang tidak liquid menjadi liquid dengan cara pembelian Aset Keuangan dari Kreditor Asal dan penerbit Efek Beragun Aset. 15. Special Purpose Vehicle (SPV) adalah perseroan terbatas yang ditunjuk oleh lembaga keuangan yang melaksanakan kegiatan Pembiayaan Sekunder Perumahan yang khusus didirikan untuk membeli Aset Keuangan dan sekaligus menerbitkan Efek Beragun Aset. 16. Surat Partisipasi adalah bukti pemilikan secara proporsiaonal atas Kumpulan Piutang yang dimiliki bersama oleh sejumlah Pemodal yang diterbitkan oleh Penerbit. 17. Surat Utang adalah bukti utang yang dikeluarkakn oleh Penerbit yang memberikan hak kepada pemegangnya untuk memperoleh pembayaran sebagai Pemodal. 18. Wali Amanat adalah wali amanat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Pasar Modal. BAB II PEMBIAYAAN SEKUNDER PERUMAHAN Pasal 2 Pembiayaan Sekunder Perumahan bertujuan memberikan fasilitas pembiayaan dalam rangka meningkatkan kapasitas dan kesinambungan pembiayaan perumahan yang terjangkau oleh masyarakat. Pasal 3 Pembiayaan Sekunder Perumahan dilakukan oleh suatu lembaga keuangan yang didirikan khusus untuk itu. BAB III MEKANISME PEMBIAYAAN SEKUNDER PERUMAHAN Pasal 4 (1) Pembiayaan Sekunder Perumahan dilakukan dengan cara pembelian kumpulan Aset Keuangan dari Kreditor Asal dan sekaligus penerbitan Efek Beragun Aset. (2) Efek Beragun Aset dapat berbentuk Surat Utang atau Surat Partisipasi. (3) Efek Beragun Aset harus diperingkat oleh lembaga pemeringkat. (4) Surat Utang atau Surat Partisipasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diterbitkan atas unjuk atau atas bawa. Pasal 5 Pembelian kumpulan Aset Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) setinggi-tingginya 80% (delapan puluh persen) dari total Aset Keuangan. Pasal 6 (1) Dalan hal Efek Beragun Aset berbentuk Surat Utang, lembaga keuangan sebagaimana simaksud dalam Pasal 3 menunjuk SPV untuk membeli k umpulan Aset Keuangan dari Kreditor Asal dan sekaligus menerbitkan Surat Utang. (2) Dalam ha Efek Beragun Aset berbrntuk Surat Partisispasi, lembaga keuangan sebagaimana dimaksud Pasal 3 membeli kumpulan Aset keuangnan dari Kreditor Asal dan sekaligus menerbitkan Surat Partisipasi. (3) Hak dan kewajiban SPV sebagai Penerbit diatur dalam perjanjian antara lembaga keuangan yang melaksanakan kegiatan Pembiayaan Sekunder Perumahan dengan SPV. Pasal 7 (1) Dalam hal Efek Beragun Aset berbentuk Surat Utang, Kumpulan Piutang merupakan agunannya. (2) Dalam hal Efek Beragun Aset berbentuk Surat Partisipasi, Kumpulan Piutang merupakan milik bersama Pemodal yang tidak terbagi. Pasal 8 Pembelian kumpulan Aset Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) hanya dapat dilakukan atas Aset Keuangan yang sekurang-kurangnya memenuhi persyaratan standardisasi desain, standardisasi dokumen KPR, pedoman analisa risiko, dan pedoman penilaian real estat yang dtetapkan oleh lembaga keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3. Pasal 9 Dana yang diperoleh dari pembelian kumpulan Aset Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) hanya dapat digunakan oleh Kreditor Asal untuk pemberian KPR. Pasal 10 (1) Pembayaran atas Efek Beragun Aset kepada Pemodal terutama bersumber dari arus kas yang diperoleh dari Kumpulan Piutang. (2) Dalam hal arus kas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mencukupi, pembayaran kekurangannya bersumber dari Pendukung Kredit. (3) Pembayaran atas Efek Beragun Aset sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), dilaksanakan oleh Wali Amanat, Administrator Transaksi, Kustodian atau pihak lain yang ditunjuk oleh para pihak dalam Dokumen Transaksi. Pasal 11 Lembaga keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dapat menunjuk penata sekuritisasi untuk mengatur dan menyiapkan proses Sekuritisasi. Pasal 12 Pihak-pihak dalam Sekuritisasi terdiri dari Kreditor Asal, Penerbit, Pemodal Penata Sekuritisasi, Wali Amanat, Administrator Transaksi, Kustodian, Pendukung Kredit, dan Pemberi Jasa. BAB IV PEMBINAAN DAN PENGAWASAN Pasal 13 Pembinaan dan pengawasan terhadap kegiatan Pembiayaan Sekunder Perumahan dilakukan oleh Menteri. Pasal 14 Lembaga keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 wajib menyampaikan laporan kepada Menteri, berupa: a. Laporan keuangan triwulanan; b. Laporan kegiatan usaha semesteran; c. Laporan keuangan tahunan yang telah diaudit Akuntan Publik. BAB V PENDIRIAN PERUSAHAAN Pasal 15 (1) Dalam rangka pelaksanaan kegiatan Pembiayaan Sekunder Perumahan, Pemerintah mendirikan perusahaan Pembiayaan Sekunder Perumahan sebagai lembaga keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3. (2) Perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbadan hukum perseroan terbatas. Pasal 16 Pendirian dan penyertaan modal negara untuk pendirian perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15, dilakukan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 17 Dalam melakukan kegiatan usahanya, perusahaan wajib menerapkan prinsip pengelolaan usaha yang sehat, meliputi tingkat kewajaran, transparansi, akuntabilitas, dan pertanggungjawaban. Pasal 18 Perusahaan dilarang: a. Melakukan penyertaan langsung; b. Melakukan pembelian saham perusahaan melalui pasar modal. Pasal 19 Perusahaan dapat menempatkan dana dalam bentuk Surat Utang Negara, Sertifikat Bank Indonesia dan/atau instrumen keuangan lainnya yang ditetapkan oleh Menteri. BAB VI KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 20 (1) Dalam hal sebagian dari KPR yang diterbitkan oleh Kreditor Asal pada saat perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 beroperasi belum memenuhi persyaratan untuk dibeli perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, sehingga masih tersedia sejumlah dana pada perusahaan, maka perusahaan dapat memberikan fasilitas pinjaman kepada Kreditor Asal dengan jaminan Aset Keuangan. (2) Perjanjian antara Perusahaan dengan Kreditor Asal mengenai pemberian fasilitas pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dengan mewajibkan Kreditor Asal untuk mengganti Aset Keuangan yang pembayarannya tidak lancar dengan Aset Keuangan yang pembayarannya lancar. (3) Pemberian fasilitas pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan paling lama 3 (tiga) tahun sejak perusahaan berdiri. (4) Jatuh tempo pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak melampaui jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3). Pasal 21 (1) Dalam mendukung kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1), perusahaan dapat menerbitkan Surat Utang. (2) Jatuh tempo Surat Utang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3). BAB VII KETENTUAN PENUTUP Pasal 22 Pada saat Peraturan Presiden ini mulai berlaku, semua peraturan pelaksanaan yang mengatur tentang Perusahaan Fasilitas Pembiayaan Sekunder Perumahan, dinyatakan tidak berlaku. Pasal 23 Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan bagi pelaksanaan Peraturan Presiden ini ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan. Pasal 24 Peraturan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Presiden ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 7 Februari 2005 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. Dr.H.SUSILO BAMBANG YODHOYONO Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 7 Februari 2005 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA ttd. Dr. HAMID AWALUDIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2005 NOMOR 21. PENJELASAN ATAS PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2005 TENTANG PEMBIAYAAN SEKUNDER PERUMAHAN UMUM Kepemilikan rumah merupakan kebutuhan dasar manusia yang mutlak harus dipenuhi oleh setiap keluarga. Pada kenyataannya, tidak setiap keluarga mampu membeli rumah secara tunai. Oleh karena itu, peran lembaga keuangan yang dapat membantu penyediaan fasilitas pendanaan mutlak dibutuhkan oleh masyarakat. Selama ini, Bank merupakan lembaga keuangan yang berperan dalam membantu masyarakat untuk memiliki rumah secara kredit. Dalam prakteknya, dana perbankan untuk penyediaan rumah secara kredit melalui penerbitan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) yang berjangka panjang pada umumnya berasal dari tabungan, giro dan deposito yang merupakan dana jangka pendek. Apabila bank menerbitkan KPR secara terus menerus dengan pembiayaan bersumber pada dana jangka pendek, maka bank akan mengalami kesenjangan antara sumber dan penggunaan dana (mismatch funding). Untuk mengatasi permasalahan tersebut perlu dilakukan mobilisasi dana jangka panjang guna memenuhi kebutuhan pembiayaan perumahan yang berjangka panjang pula. Sejalan dengan program Pemerintah untuk meningkatkan kegiatan pembangunan di bidang perumahan sebagai salah satu upaya penyediaan perumahan yang layak dan terjangkau oleh masyaraka, perlu diupayakan tersedianya dana yang memadai melalui pembiayaan sekunder perumahan. Untuk melakukan kegiatan pembiayaan dimaksud, didirikan perusahaan pembiayaan sekunder perumahan. Sumber pembiayaan sekunder perumahan di samping berasal dari modal sendiri, juga diperoleh dari penerbit Efek Beragun Aset dalam bentuk Surat Utang dan Surat Partisipasi. Dalam rangka penerbitan Efek Beragun Aset diperlukan adanya Special Purpose Vehicle (SPV) yang mekanisme pendiriannya dilakukan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas Pasal 2 Cukup jelas Pasal 3 Cukup jelas Pasal 4 Cukup jelas Pasal 5 Pembatasan pembelian kumpulan Aset Keuangan dimaksudkan untuk memenuhi prinsip kehati-hatian. Pasal 6 Ayat (1) Dalam hal Efek Beragun Aset yang diterbitkan berupa Surat Utang, maka kepemilikan Kumpulan Piutang tersebut berpindah kepada Penerbit (SPV). Dalam operasionalnya, SPV dibatasi pada satu transaksi sekuritisasi tertentu saja dan dilarang melakukan kegiatan atau transaksi lainnya. Dengan demikian, lembaga keuangan tersebut dalam melakukan transaksi sekuritisasi yang merupakan kegiatan Pembiayaan Sekunder Perumahan telah memenuhi Bankcruptcy remote terhadap Kreditor Asal. Ayat (2) Dalam proses penerbitan Efek Beragun Aset, kepemilikan Kumpulan Piutang yang tadinya berada pada Kreditor Asal harus berpindah kepada Penerbit atau Pemodal. Dalam hal Penerbit menerbitkan Efek Beragun Aset berupa Surat Partsisipasi, maka kepemilikan Kumpulan Piutang tersebut berpindah kepada Pemodal. Ayat (3) Cukup jelas Pasal 7 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Masing-masing pembeli/pemilik Surat Partisipasi dalam melaksanakan haknya terikat pada ketentuan dalam Dokumen Transaksi yang mengatur pelaksanaan hak secara bersama, sebagai konsekuensi kepemilikan bersama, juga melaksanakan hak tagih/hak eksekusi secara bersama. Pasal 8 Penetapan persyaratan bagi Aset Keuangan yang akan dibeli dari Kreditur Asal ditetapkan oleh Lembaga Keuangan yang dibentuk untuk melaksanakan kegiatan Pembiayaan Sekunder Perumahan dalam perjanjian pembelian. Pasal 9 Pembelian Kumpulan Aset Keuangan dituangkan dalam perjanjian. Perjanjian tersebut harus memuat klausul yang mewajibkan Kreditor Asal menggunakan dana yang diperoleh hanya untuk penerbitan KPR baru. Pasal 10 Cukup jelas Pasal 11 Cukup jelas Pasal 12 Pendukung Kredit adalah Kreditor Asal atau pihak lain yaitu Perusahaan Asuransi, Bank dan Perusahaan Efek yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas Aset Keuangnan. Peningkatan kualitas Aset Keuangan tersebut harus tercermin pada hasil pemeringkatan kredit. Pemberi jasa adalah pihak yang ditunjuk oleh Wali Amanat atau Administrator Transaksi untuk mengurus Aset Keuangan. Pemberi Jasa bertugas : a. Mengatur, memproses, memantau, dan menagih Aset Keuangan; b. Meneruskan hasil tagihan sebagaimana dimaksud pada huruf a kepada Wali Amanat atau Administrator Transaksi atau Kustodian; c. Melaksanakan eksekusi agunan yang melekat pada Aset Keuangan; dan d. Melaksanakan hal-hal lain sebagaimana dimuat dalam Dokumen Transaksi. Dalam hal Pemberi Jasa tidak dapat melaksanakan tugasnya, maka tugas-tugas tersebut dilakukan oleh Pemberi Jasa Cadangan yang ditunjuk oleh Penerbit atau Wali Amanat atau Administrator Transaksi yang peunjukannya dimuat dalam Dokumen Transaksi. Pasal 13 Cukup jelas Pasal 14 Cukup jelas Pasal 15 Cukup jelas Pasal 16 Cukup jelas Pasal 17 Cukup jelas Pasal 18 Cukup jelas Pasal 19 Penempatan dana dalam Pasal ini dimaksudkan dalam rangka manajemen likuiditas pada instrumen keuangan yang aman. Pasal 20 Ayat (1) Pada saat ini, belum semua KPR yang diterbitkan Kreditor Asal dapat memenuhi standardisasi dokumen, seperti belum adanya klausul yang memberikan hak untuk mengalihkan kepada pihak lain. Ayat (2) Untuk menjaga kesinambungan arus kas perusahaan untuk pembayaran Surat Utang yang diterbitkan, maka dalam perjanjian pemberian pinjaman antara perusahaan dan Kreditor Asal wajib dicantumkan klausul yang menyatakan bahwa apabila terdapat Aset Keuangan yang tidak lancar, maka Kreditor Asal wajib mengganti dengan Aset Keuangan yang lancar. Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 21 Cukup jelas Pasal 22 Cukup jelas Pasal 23 Cukup jelas Pasal 24 Cukup jelas TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4479 "," PERPRES 19/PERPRES/2005 PEMBIAYAAN SEKUNDER PERUMAHAN 7 Februari 2005 7 Februari 2005 7 Februari 2005 'UUD 1945 | Pasal 4 ayat (1)', '1/UU/1995', '8/UU/1995', '7/UU/1992', '10/UU/1998', '19/UU/2003', '12/PP/1998', '45/PP/2001', '41/PP/2003' " "KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN SALINAN PERATURAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN NOMOR: PER-02/BL/2011 TENTANG PEDOMAN PEMERIKSAAN LEMBAGA PEMBIAYAAN EKSPOR INDONESIA KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN, Menimbang : bahwa dalam rangka efektivitas pelaksanaan pemeriksaan Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 140/PMK.010/2009 tentang Pembinaan dan Pengawasan Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 161/PMK.010/2010, dipandang perlu menetapkan Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan tentang Pedoman Pemeriksaan Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia; Merghngt : 1. Undang-Undang Nomor 2 lahun 2009 Pembiayaan Ekspor Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4957); 2. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 45/M Tahun 2006; 3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 140/PMK.010/2009 tentang Pembinaan dan Pengawasan Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 161/PMK.010/2010; 4. Peraturan Menteri Keuiangan Nomor 184/PMK.01/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan; MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KBUANGAN TENTANG PEDOMAN PEMERIKSAAN LEMBAGA PEMBIAYAAN EKSPOR INDONESIA. Pasal 1 Pedoman pemeriksaan Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Lampiran yang tidak terpisahkan dari Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ini. End of Page 1 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN -2- Pasal 2 Pedoman pemeriksaan Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia digunakan sebagai acuan dalam pelaksanaan pemeriksaan Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia. Pasal 3 Peraturan Kelua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan, NIP 19541111 1981121 001 Salian sesuai dengan aslinya Kepala Bakian Umum 7 SEKRETARIAT aBiasetyd Wahyu Adi Suryo NIP 19571028 198512 1 001 End of Page 2 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN LAMPIRAN PERATURAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN NOMOR PER- 02/BL/2011 TENTANG PEDOMAN PEMERIKSAAN LEMBAGA PEMBIAYAAN EKSPOR INDONESIA LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-02/BL/2011 Tanggal : 20 Januari 2011 PEDOMAN PEMERIKSAAN LEMBAGA PEMBIAYAAN EKSPOR INDONESIA BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Dalam rangka mendorong pengembangan ekspor nasional, Pemerintah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat telah membentuk Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (UU LPEI). Tugas LPEI adalah mendukung pembiayaan ekspor nasional melalui pemberian pembiayaan, penjaminan, dan asuransi. LPEI sebagai agen Pemerintah, diharapkan dapat membantu memberikan pembiayaan di area yang tidak dimasuki oleh bank atau lembaga keuangan lainnya (fill the market gap) dan menyediakan pembiayaan untuk transaksi atau proyek yang secara komersial sulit dilaksanakan tetapi dinilai perlu oleh Pemerintah untuk menunjang kebijakan atau program ekspor nasional. Untuk mendukung peran strategis LPEI tersebut, diperlukan pembinaan dan pengawasan yang efektif. Sesuai dengan UU LPEI, pembinaan dan pengawasan terhadap LPEI dilakukan oleh Menteri Keuangan. Dalam rangka melaksanakan pembinaan dan pengawasan LPEI, berdasarkan Pasal 71 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 140/PMK.010/2009 tentang Pembinaan dan Pengawasan Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 161/PMK.010/2010, Menteri Keuangan melakukan pemeriksaan terhadap LPEI. Selanjutnya, berdasarkan Pasal 71 ayat (3) dinyatakan bahwa pemeriksaan LPEI dilakukan oleh Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Ketua Bapepam dan LK) atau pihak lain yang ditunjuk oleh Ketua Bapepam dan LK. Berdasarkan Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor KEP-487/BL/2010 tentang Pelimpahan Wewenang Kepada Kepala Biro Pembiayaan Dan Penjaminan Untuk Dan Atas Nama Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Menandatangani Surat Dan Atau Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan, Ketua Bapepam dan LK mendelegasikan kewenangan Pemeriksaan terhadap LPEI kepada Kepala Biro Pembiayaan dan Penjaminan. B. Maksud dan Tujuan 1. Maksud Pedoman Pemeriksaan Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia dimaksudkan sebagai acuan dalam melaksanakan pemeriksaan LPEI. Pedoman pemeriksaan ini mencakup pedoman standar dalam melakukan perencanaan, persiapan, pemeriksaan lapangan, penyusunan laporan, tindak lanjut, dokumentasi, dan pengendalian atas kegiatan pemeriksaan yang dilakukan terhadap LPEI. Dalam melakukan pemeriksaan, pemeriksa dapat menggunakan pertimbangan profesional (professional judgement) dalam menentukan prosedur pemeriksaan yang akan diambil untuk mencapai tujuan pemeriksaan. LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-02/BL/2011 Tanggal : 20 Januari 2011 -2- 2. Tujuan Tujuan pemeriksaan adalah untuk memperoleh keyakinan yang memadai atas kebenaran laporan periodik dan menilai kepatuhan terhadap ketentuan undang- undang yang mengatur tentang LPEI dan peraturan pelaksanaannya serta peraturan perundang-undangan lain yang terkait dengan kegiatan LPEI. C. Ruang Lingkup Ruang lingkup Pedoman Pemeriksaan Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia meliputi organisasi pemeriksaan, proses pemeriksaan, dokumentasi pemeriksaan dan pengendalian pemeriksaan. 1. Organisasi Pemeriksaan Dalam setiap pemeriksaan, dibentuk Tim Pemeriksaan yang akan melakukan proses pemeriksaan secara keseluruhan. Organisasi pemeriksaan meliputi Penanggung Jawab Pemeriksaan, Penyelia Pemeriksaan, Ketua Tim Pemeriksaan dan Anggota Tim Pemeriksaan. 2. Proses Pemeriksaan Proses pemeriksaan merupakan seluruh kegiatan yang berkaitan dengan pelaksanaan pemeriksaan terhadap LPEI. Proses pemeriksaan meliputi perencanaan pemeriksaan, persiapan pemeriksaan, pelaksanaan pemeriksaan lapangan, penyusunan laporan hasil pemeriksaan, dan tindak lanjut hasil pemeriksaan LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-02/BL/2011 Tanggal : 20 Januari 2011 -3- Bagan Arus Kegiatan Pemeriksaan secara keseluruhan adalah sebagai berikut: Keterangan: *) Pengenaan sanksi terhadap pegawai LPEI dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang mengatur sistem kepegawaian LPEI. LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-02/BL/2011 Tanggal : 20 Januari 2011 -4- 3. Dokumentasi Pemeriksaan Seluruh data, informasi, dan kegiatan pemeriksaan harus didokumentasikan dengan baik untuk selanjutnya dokumen-dokumen tersebut disimpan dengan cara yang sistematis sehingga mudah diperoleh kembali apabila diperlukan. 4. Pengendalian Pemeriksaan Untuk memastikan agar tujuan kegiatan pemeriksaan dapat tercapai, perlu dilakukan pengendalian terhadap kegiatan-kegiatan yang dilakukan selama proses pemeriksaan, mulai dari penyusunan rencana pemeriksaan sampai dengan kegiatan tindak lanjut hasil pemeriksaan. D. Dasar Hukum Pemeriksaan Dasar hukum yang digunakan dalam pelaksanaan pemeriksaan terhadap Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia adalah: 1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia; dan 2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 140/PMK.010/2009 tentang Pembinaan dan Pengawasan Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 161/PMK.010/2010. E. Pengertian Umum Pengertian umum dalam pedoman ini meliputi hal-hal sebagai berikut: 1. Definisi Pemeriksaan Sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 140/PMK.010/2009 tentang Pembinaan dan Pengawasan Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 161/PMK.010/2010, pemeriksaan adalah rangkaian kegiatan mengumpulkan, mencari, mengolah, dan mengevaluasi data dan informasi mengenai kegiatan LPEI, yang bertujuan untuk memperoleh keyakinan atas kebenaran laporan periodik, menilai kepatuhan terhadap ketentuan yang berlaku serta memastikan bahwa laporan periodik sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. 2. Jenis Pemeriksaan Sesuai dengan Pasal 72 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 140/PMK.010/2009 tentang Pembinaan dan Pengawasan Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 161/PMK.010/2010, pemeriksaan terdiri dari 2 (dua) jenis, yaitu: a. Pemeriksaan Berkala Pemeriksaan Berkala adalah pemeriksaan yang dilakukan secara berkala paling kurang sekali dalam 3 (tiga) tahun dan bersifat lengkap yang meliputi kebenaran aspek substansi laporan periodik dan kepatuhan terhadap ketentuan undang-undang yang mengatur tentang LPEI beserta peraturan pelaksanaannya. LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-02/BL/2011 Tanggal : 20 Januari 2011 -5- b. Pemeriksaan Setiap Waktu Pemeriksaan Setiap Waktu adalah pemeriksaan bersifat khusus dan dilakukan apabila: 1) berdasarkan hasil analisis atas laporan periodik, patut diduga bahwa penyelenggaraan kegiatan LPEI menyimpang dari ketentuan undang- undang yang mengatur mengenai LPEI dan peraturan pelaksanaannya serta peraturan perundang-undangan lain yang berlaku; dan/atau 2) berdasarkan penelitian atas keterangan yang didapat atau surat pengaduan yang diterima oleh Menteri Keuangan, patut diduga bahwa penyelenggaraan kegiatan LPEI menyimpang dari ketentuan undang- undang yang mengatur mengenai LPEI dan peraturan pelaksanaannya serta peraturan perundang-undangan lain yang berlaku. LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-02/BL/2011 Tanggal : 20 Januari 2011 -6- BAB II ORGANISASI PEMERIKSAAN Dalam setiap pemeriksaan, dibentuk Tim Pemeriksaan yang akan melakukan proses pemeriksaan secara keseluruhan. Organisasi Tim Pemeriksaan terdiri dari Penanggung Jawab Pemeriksaan, Penyelia Pemeriksaan, Ketua Tim Pemeriksaan, dan Anggota Tim Pemeriksaan yang masing-masing mempunyai tanggung jawab, wewenang, dan tugas. Selain itu, Ketua Tim Pemeriksaan dan Anggota Tim Pemeriksaan juga harus memenuhi beberapa persyaratan yang diperlukan untuk memperlancar pelaksanaan pemeriksaan. Adapun uraian tanggung jawab, wewenang, dan tugas organisasi Tim Pemeriksaan sebagai berikut: 1. Penanggung Jawab Pemeriksaan Penanggung Jawab Pemeriksaan adalah Kepala Biro Pembiayaan dan Penjaminan, Bapepam dan LK. Tanggung jawab, wewenang, dan tugas Penanggung Jawab Pemeriksaan adalah sebagai berikut: a. Tanggung Jawab Penanggung Jawab Pemeriksaan bertanggung jawab atas terselenggaranya pemeriksaan terhadap LPEI sesuai dengan tujuan pemeriksaan. b. Wewenang Untuk melaksanakan tanggung jawab tersebut di atas, Penanggung Jawab Pemeriksaan berwenang untuk melakukan hal-hal sebagai berikut: 1) menjabarkan kebijakan yang berhubungan dengan pemeriksaan; 2) menetapkan Rencana Kegiatan Pemeriksaan Berkala atau Pemeriksaan Setiap Waktu; 3) menetapkan Penyelia Pemeriksaan, Ketua Tim Pemeriksaan, dan Anggota Tim Pemeriksaan atas nama Ketua Bapepam dan LK; 4) menetapkan dan menandatangani Surat Perintah Pemeriksaan, Surat Pemberitahuan Pemeriksaan, Surat Perintah Perjalanan Dinas, Surat Penunjukan Pihak Lain, dan Surat Konfirmasi atas nama Ketua Bapepam dan LK; 5) menetapkan dan menandatangani Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara dan Laporan Hasil Pemeriksaan Final atas nama Ketua Bapepam dan LK; 6) menerima atau menolak tanggapan atas Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara yang diajukan oleh LPEI; 7) menghentikan proses pemeriksaan; 8) melakukan perpanjangan waktu pemeriksaan lapangan apabila diperlukan; 9) menetapkan pelaksanaan tindak lanjut atas Laporan Hasil Pemeriksaan Final; dan 10) menetapkan Laporan Pelaksanaan Kegiatan Pemeriksaan Berkala atau Pemeriksaan Setiap Waktu terhadap LPEI. LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-02/BL/2011 Tanggal : 20 Januari 2011 -7- c. Tugas Dengan kewenangan tersebut di atas, Penanggung Jawab Pemeriksaan melakukan tugas-tugas sebagai berikut: 1) membahas konsep Rencana Kegiatan Pemeriksaan Berkala atau Pemeriksaan Setiap Waktu bersama Penyelia Pemeriksaan; 2) memberikan petunjuk kepada Penyelia Pemeriksaan mengenai hal-hal yang berhubungan dengan pengambilan keputusan/kebijakan dalam hubungannya dengan pemeriksaan; 3) membahas konsep Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara dan Laporan Hasil Pemeriksaan Final dengan Penyelia Pemeriksaan, Ketua Tim Pemeriksaan, dan Anggota Tim Pemeriksaan; 4) membahas tanggapan atas Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara dengan LPEI; 5) menyampaikan Laporan Pelaksanaan Kegiatan Pemeriksaan Berkala atau Pemeriksaan Setiap Waktu terhadap LPEI kepada Ketua Bapepam dan LK; dan 6) melakukan pengawasan dan evaluasi terhadap pelaksanaan seluruh kegiatan pemeriksaan. 2. Penyelia Pemeriksaan Penyelia Pemeriksaan adalah Kepala Bagian Lembaga Pembiayaan Khusus. Tanggung jawab, wewenang, dan tugas Penyelia Pemeriksaan adalah sebagai berikut: a. Tanggung Jawab Penyelia Pemeriksaan bertanggung jawab atas kelancaran penyelenggaraan seluruh kegiatan pemeriksaan terhadap LPEI sesuai dengan Rencana Kegiatan Pemeriksaan Berkala atau Pemeriksaan Setiap Waktu. b. Wewenang Untuk melaksanakan tanggung jawab tersebut, Penyelia Pemeriksaan berwenang untuk melakukan hal-hal sebagai berikut: 1) mengusulkan Rencana Kegiatan Pemeriksaan Berkala atau Pemeriksaan Setiap Waktu ; 2) mengusulkan Ketua Tim Pemeriksaan dan Anggota Tim Pemeriksaan; 3) mengusulkan perubahan susunan Ketua Tim Pemeriksaan dan Anggota Tim Pemeriksaan, apabila diperlukan; 4) mengambil kebijakan yang diperlukan untuk mengatasi permasalahan yang timbul dalam proses pemeriksaan; 5) melakukan wawancara dengan LPEI; 6) mengusulkan untuk menghentikan pemeriksaan; 7) mengusulkan untuk memperpanjang waktu pemeriksaan lapangan, apabila diperlukan; 8) menandatangani Berita Acara Pembahasan Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara; dan LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-02/BL/2011 Tanggal : 20 Januari 2011 -8- 9) menandatangani Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara dan Laporan Hasil Pemeriksaan Final. c. Tugas Dengan kewenangan tersebut, Penyelia Pemeriksaan melakukan tugas-tugas sebagai berikut: 1) menyusun konsep Rencana Pemeriksaan Berkala atau Pemeriksaan Setiap Waktu dan menyampaikannya kepada Penanggung Jawab Pemeriksaan; 2) menentukan ruang lingkup pemeriksaan; 3) menentukan pengalokasian waktu pemeriksaan; 4) mengajukan konsep Surat Perintah Pemeriksaan, Surat Pemberitahuan Pemeriksaan, Surat Perintah Perjalanan Dinas, Surat Penunjukan Pihak Lain, dan Surat Konfirmasi (jika diperlukan) kepada Penanggung Jawab Pemeriksaan; 5) menelaah persiapan pemeriksaan sebelum pelaksanaan pemeriksaan lapangan; 6) memberikan arahan kepada Ketua Tim Pemeriksaan dan Anggota Tim Pemeriksaan mengenai hal-hal yang harus mendapat perhatian khusus dalam pemeriksaan untuk efektifitas dan efisiensi pelaksanaan tugas pemeriksaan; 7) memantau/mengawasi kelancaran pelaksanaan pemeriksaan dan kesesuaiannya dengan Pedoman Pemeriksaan LPEI; 8) memastikan ketaatan Tim Pemeriksaan terhadap Pedoman Pemeriksaan LPEI; 9) memberikan petunjuk dan solusi kepada Ketua Tim Pemeriksaan dan Anggota Tim Pemeriksaan apabila mengalami kesulitan/kendala dalam proses pemeriksaan lapangan; 10) memaraf Lembar Kerja Pemeriksa; 11) menelaah dan menyetujui Kertas Kerja Pemeriksaan; 12) memastikan laporan hasil pemeriksaan disusun berdasarkan Kertas Kerja Pemeriksaan; 13) memeriksa konsep Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara dan Laporan Hasil Pemeriksaan Final; 14) membahas konsep Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara dan/atau Laporan Hasil Pemeriksaan Final dengan Penanggung Jawab Pemeriksaan, Ketua Tim Pemeriksaan, dan Anggota Tim Pemeriksaan, apabila Penanggung Jawab Pemeriksaan membutuhkan penjelasan untuk dapat menyetujui atau menolak laporan-laporan tersebut; 15) memberikan masukan kepada Penanggung Jawab Pemeriksaan dalam menetapkan kebijakan guna menindaklanjuti tanggapan LPEI atas Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara; 16) membahas tanggapan atas Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara dengan LPEI; 17) memantau dan mengusulkan pelaksanaan tindak lanjut atas Laporan Hasil Pemeriksaan Final; LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-02/BL/2011 Tanggal : 20 Januari 2011 -9- 18) melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan seluruh kegiatan pemeriksaan dan melaporkan hasil evaluasi tersebut kepada Penanggung Jawab Pemeriksaan; dan 19) menyampaikan konsep Laporan Pelaksanaan Kegiatan Pemeriksaan Berkala atau Pemeriksaan Setiap Waktu terhadap LPEI kepada Penanggung Jawab Pemeriksaan. 3. Ketua Tim Pemeriksaan Ketua Tim Pemeriksaan adalah Kepala Subbagian Lembaga Pembiayaan Khusus III atau pihak lain yang ditunjuk oleh Kepala Biro Pembiayaan dan Penjaminan atas nama Ketua Bapepam dan LK. Tanggung jawab, wewenang, tugas, dan persyaratan Ketua Tim Pemeriksaan adalah sebagai berikut: a. Tanggung Jawab Ketua Tim Pemeriksaan bertanggung jawab atas pelaksanaan seluruh kegiatan pemeriksaan oleh Tim Pemeriksaan yang diketuainya. b. Wewenang Untuk melaksanakan tanggung jawab tersebut, Ketua Tim Pemeriksaan berwenang untuk melakukan hal-hal sebagai berikut: 1) melakukan pembagian tugas Anggota Tim Pemeriksaan; 2) melakukan koordinasi atas pelaksanaan tugas Anggota Tim Pemeriksaan; 3) melakukan wawancara dengan LPEI; 4) menentukan dokumen-dokumen yang berhubungan dengan pemeriksaan untuk dipinjam dan/atau diminta; 5) menandatangani Berita Acara Penolakan Pemeriksaan/Berita Acara Penolakan Membantu Kelancaran Pemeriksaan; 6) menandatangani Berita Acara Penundaan Pemeriksaan; 7) menandatangani Berita Acara Pemeriksaan; 8) menandatangani Berita Acara Penolakan Penandatanganan Berita Acara Pemeriksaan; 9) mengusulkan kepada Penyelia Pemeriksaan untuk menghentikan atau memperpanjang waktu pemeriksaan lapangan apabila diperlukan; 10) memaraf Lembar Kerja Pemeriksa; 11) memaraf Kertas Kerja Pemeriksaan; 12) menandatangani Berita Acara Pembahasan Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara; dan 13) menandatangani Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara dan Laporan Hasil Pemeriksaan Final. c. Tugas Dengan kewenangan tersebut, Ketua Tim Pemeriksaan melakukan tugas-tugas sebagai berikut: LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-02/BL/2011 Tanggal : 20 Januari 2011 -10- 1) memastikan ketaatan Anggota Tim Pemeriksaan terhadap Pedoman Pemeriksaan LPEI; 2) ikut aktif melakukan pemeriksaan; 3) melakukan koordinasi atas pelaksanaan tugas Anggota Tim Pemeriksaan; 4) bersama dengan Anggota Tim Pemeriksaan menentukan besarnya sampel yang akan diambil dalam pemeriksaan; 5) memantau setiap perkembangan pemeriksaan; 6) menelaah dan memeriksa Kertas Kerja Pemeriksaan yang dibuat Anggota Tim Pemeriksaan; 7) membuat Lembar Kerja Pemeriksa; 8) mengajukan konsep Surat Konfirmasi (bila diperlukan) kepada Penyelia; 9) membuat konsep Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara dan Laporan Hasil Pemeriksaan Final; 10) memastikan Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara dan Laporan Hasil Pemeriksaan Final dibuat tepat waktu; 11) membahas tanggapan atas Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara dengan LPEI; dan 12) memastikan semua dokumen yang berhubungan dengan pemeriksaan telah diarsip dengan rapi. d. Persyaratan Persyaratan yang harus dipenuhi untuk dapat ditunjuk sebagai Ketua Tim Pemeriksaan adalah sebagai berikut: 1) mampu mengkoordinasikan Anggota Tim Pemeriksaan dalam pelaksanaan pemeriksaan; 2) memiliki pengetahuan yang cukup dalam bidang pemeriksaan; 3) memiliki pengetahuan yang cukup mengenai Peraturan Perundang- undangan LPEI dan peraturan pelaksanaannya; 4) memiliki pengetahuan yang cukup tentang kegiatan usaha yang dilakukan LPEI, meliputi pembiayaan, penjaminan, dan asuransi; 5) mampu melakukan analisis atas laporan keuangan dan laporan kegiatan usaha LPEI; dan 6) bertanggung jawab dan dapat bekerja sama dengan Penyelia Pemeriksaan. 4. Anggota Tim Pemeriksaan Anggota Tim Pemeriksaan adalah pegawai di lingkungan Bapepam dan LK atau pihak lain yang ditunjuk oleh Kepala Biro Pembiayaan dan Penjaminan atas nama Ketua Bapepam dan LK. Tanggung jawab, wewenang, tugas, dan persyaratan Anggota Tim Pemeriksaan adalah sebagai berikut: a. Tanggung Jawab Anggota Tim Pemeriksaan bertanggung jawab atas isi Lembar Kerja Pemeriksa dan Kertas Kerja Pemeriksaan. LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-02/BL/2011 Tanggal : 20 Januari 2011 -11- b. Wewenang Untuk melaksanakan tanggung jawab tersebut, Anggota Tim Pemeriksaan berwenang untuk melakukan hal-hal sebagai berikut: 1) melakukan wawancara dengan LPEI; 2) meminta dan/atau meminjam dokumen-dokumen/data pendukung pemeriksaan; 3) melakukan pengembangan hasil temuan untuk lebih memperoleh keyakinan; dan 4) menandatangani Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara dan Laporan Hasil Pemeriksaan Final. c. Tugas Dengan kewenangan tersebut, Anggota Tim Pemeriksaan melakukan tugas- tugas sebagai berikut: 1) membuat analisis pendahuluan dan kuesioner pemeriksaan; 2) melaksanakan seluruh proses pemeriksaan sesuai dengan Pedoman Pemeriksaan LPEI; 3) menyiapkan dokumen-dokumen dan data-data yang diperlukan dalam proses pemeriksaan; 4) mengusulkan kepada Ketua Tim Pemeriksaan untuk meminta dan/atau meminjam dokumen-dokumen/data pendukung pemeriksaan; 5) bersama dengan Ketua Tim Pemeriksaan menentukan besarnya sampel yang akan diambil dalam pemeriksaan; 6) membuat Lembar Kerja Pemeriksa; 7) membuat dan memaraf Kertas Kerja Pemeriksaan; 8) membuat konsep Surat Konfirmasi bila diperlukan; 9) membantu Ketua Tim Pemeriksaan menyusun konsep Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara dan Laporan Hasil Pemeriksaan Final secara tepat waktu; 10) membahas tanggapan atas Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara bersama LPEI; dan 11) melakukan pengarsipan atas semua dokumen yang berhubungan dengan Pemeriksaan dengan rapi. d. Persyaratan Persyaratan yang harus dipenuhi untuk dapat ditunjuk sebagai Anggota Tim Pemeriksaan adalah sebagai berikut: 1) memiliki pengetahuan yang cukup dalam bidang pemeriksaan; 2) memiliki pengetahuan yang cukup mengenai Peraturan Perundang- undangan LPEI dan peraturan pelaksanaannya; 3) memiliki pengetahuan yang cukup tentang kegiatan usaha yang dilakukan LPEI, meliputi pembiayaan, penjaminan, dan asuransi; 4) mampu melakukan analisis atas laporan keuangan dan laporan kegiatan usaha LPEI; dan 5) bertanggung jawab dan dapat bekerja sama dengan Ketua Tim dan Anggota Tim Pemeriksaan lainnya. LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-02/BL/2011 Tanggal : 20 Januari 2011 -12- BAB III PROSES PEMERIKSAAN A. Proses Kegiatan Pemeriksaan Kegiatan pemeriksaan LPEI perlu direncanakan dengan baik agar pelaksanaan kegiatan pemeriksaan terhadap LPEI dapat berjalan dengan efektif dan efisien. Untuk itu, pengalokasian sumber daya manusia, anggaran, dan waktu perlu dilakukan dengan cermat agar tujuan kegiatan pemeriksaan dapat dicapai. Proses pemeriksaan merupakan seluruh kegiatan yang berkaitan dengan pelaksanaan pemeriksaan terhadap LPEI yang terdiri dari perencanaan pemeriksaan, persiapan pemeriksaan, pelaksanaan pemeriksaan lapangan, penyusunan laporan hasil pemeriksaan, dan tindak lanjut hasil pemeriksaan. 1. Perencanaan Pemeriksaan Perencanaan pemeriksaan mencakup penyusunan Rencana Kegiatan Pemeriksaan Berkala LPEI untuk suatu tahun tertentu dan/atau Rencana Kegiatan Pemeriksaan Setiap Waktu, penentuan ruang lingkup pemeriksaan, penentuan Tim Pemeriksaan, penentuan jangka waktu pemeriksaan, pembuatan Surat Perintah Pemeriksaan (SPrint), dan pembuatan Surat Pemberitahuan Pemeriksaan (SPP) a. Rencana Kegiatan Pemeriksaan Rencana Kegiatan Pemeriksaan Berkala untuk suatu tahun tertentu sudah harus selesai disusun 1 (satu) bulan sebelum tahun kalender dimulai sedangkan Rencana Kegiatan Pemeriksaan Setiap Waktu sudah harus selesai disusun 1 (satu) minggu sebelum pemeriksaan dimulai. Penanggung Jawab Pemeriksaan menetapkan Rencana Kegiatan Pemeriksaan Berkala LPEI untuk suatu tahun tertentu atau Rencana Kegiatan Pemeriksaan Setiap Waktu yang diajukan oleh Penyelia Pemeriksaan. Rencana Kegiatan Pemeriksaan LPEI berfungsi sebagai berikut: 1) pedoman penetapan ruang lingkup pemeriksaan. 2) pedoman penggunaan sumber daya manusia, anggaran dan waktu untuk kegiatan pemeriksaan. Rencana Kegiatan Pemeriksaan Berkala LPEI untuk suatu tahun tertentu atau Rencana Kegiatan Pemeriksaan Setiap Waktu paling kurang mencakup: 1) jenis dan latar belakang pemeriksaan Berisi antara lain mengenai jenis pemeriksaan berkala atau setiap waktu, hasil analisis atas laporan periodik, ketaatan terhadap peraturan perundangan yang berlaku, dan/atau penelitian atas keterangan yang didapat atau surat pengaduan yang diterima terkait LPEI. 2) hasil pemantauan atas pelaksanaan tindak lanjut hasil pemeriksaan sebelumnya (jika ada). 3) tujuan dan ruang lingkup pemeriksaan. LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-02/BL/2011 Tanggal : 20 Januari 2011 -13- 4) perkiraan waktu pemeriksaan. 5) kebutuhan sumber daya manusia dan anggaran pemeriksaan. Contoh format Rencana Kegiatan Pemeriksaan terdapat dalam Formulir I. b. Pertimbangan Dalam Melakukan Pemeriksaan Pemeriksaan terhadap LPEI baik Pemeriksaan Berkala maupun Pemeriksaan Setiap Waktu dilakukan dengan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut: 1) Pemeriksaan Berkala Pemeriksaan Berkala dilakukan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 3 (tiga) tahun. Pemeriksaan Berkala yang dilakukan dalam waktu kurang dari 3 (tiga) tahun mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut: a) b) hasil analisis atas laporan periodik atau informasi lainnya terkait perkembangan kegiatan usaha LPEI. hasil pemantauan atas pelaksanaan tindak lanjut hasil pemeriksaan sebelumnya. 2) Pemeriksaan Setiap Waktu Pemeriksaan Setiap Waktu dilakukan terhadap aspek tertentu berdasarkan hal-hal sebagai berikut: a) Informasi Pihak Ketiga Informasi dari pihak ketiga dapat dijadikan sebagai dasar dilakukannya Pemeriksaan Setiap Waktu. Informasi ini dapat berupa laporan pengaduan secara tertulis maupun tidak tertulis. Informasi dari pihak ketiga ini perlu dilakukan check dan cross check agar dapat diketahui tingkat kebenaran dan keakuratannya, sehingga dapat dipakai sebagai dilakukannya Pemeriksaan Setiap Waktu. b) Hasil Analisis Hasil analisis merupakan informasi yang diperoleh dari analisis atas laporan periodik LPEI yang dilakukan oleh Bagian Lembaga Pembiayaan Khusus. Pemeriksaan Setiap Waktu dapat dilakukan apabila dari hasil analisis patut diduga bahwa penyelenggaraan kegiatan LPEI menyimpang dari ketentuan undang-undang yang mengatur tentang LPEI serta peraturan pelaksanaannya serta peraturan perundang-undangan lain yang berlaku. c. Tata Cara Penentuan Tim Pemeriksaan Tim Pemeriksaan dibentuk untuk setiap akan dilakukan pemeriksaan terhadap LPEI di mana Ketua Tim Pemeriksaan dan Anggota Tim Pemeriksaan dapat terdiri dari sebagai berikut: 1) Ketua Tim Pemeriksaan dan Anggota Tim Pemeriksaan seluruhnya adalah pegawai di lingkungan Bapepam dan LK; atau 2) Ketua Tim Pemeriksaan dan Anggota Tim Pemeriksaan merupakan gabungan dari pegawai di lingkungan Bapepam dan LK dan pihak lain yang ditunjuk oleh Kepala Biro Pembiayaan dan Penjaminan atas nama Ketua Bapepam dan LK. dasar pertimbangan LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-02/BL/2011 Tanggal : 20 Januari 2011 -14- Keanggotaan Tim Pemeriksaan ditetapkan oleh Penanggung Jawab Pemeriksaan atas nama Ketua Bapepam dan LK berdasarkan pertimbangan antara lain sebagai berikut: 1) jenis pemeriksaan; 2) ruang lingkup pemeriksaan; 3) keahlian spesifik yang diperlukan untuk pemeriksaan; dan 4) ketersediaan sumberdaya manusia, anggaran, dan waktu pemeriksaan. d. Tata Cara Penentuan Waktu Pemeriksaan Jumlah hari pelaksanaan pemeriksaan ditentukan dengan memperhatikan jenis pemeriksaan, ruang lingkup pemeriksaan, dan hasil analisis pendahuluan. Waktu yang diperlukan dalam rangka pemeriksaan terhadap LPEI baik untuk Pemeriksaan Berkala maupun Pemeriksaan Setiap Waktu adalah sebagai berikut: 1) persiapan pemeriksaan telah selesai dilakukan paling lama pada saat pengajuan Surat Perintah Pemeriksaan. 2) pelaksanaan pemeriksaan lapangan: a) kantor pusat, paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja. b) kantor cabang/perwakilan, paling lama 5 (lima) hari kerja untuk setiap kantor cabang/perwakilan. c) dalam keadaan tertentu jangka waktu pemeriksaan dapat diperpanjang. 3) penyampaian Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara kepada Direktur Eksekutif LPEI paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja setelah berakhirnya pelaksanaan pemeriksaan. 4) Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara akan menjadi Laporan Hasil Pemeriksaan Final apabila: a) dalam jangka waktu paling lama 15 (lima belas) hari kerja setelah diterimanya Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara, LPEI tidak menyampaikan tanggapan; atau b) LPEI menyampaikan tanggapan yang isinya menyetujui Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara. 5) dalam hal LPEI menyampaikan tanggapan yang berisi keberatan atas Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara, dilakukan pembahasan Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara dengan LPEI paling lama selama 10 (sepuluh) hari kerja sejak keberatan diterima Bapepam dan LK. 6) penyusunan Laporan Hasil Pemeriksaan Final paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak ditandatanganinya Berita Acara Pembahasan Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara. e. Surat Pemberitahuan Pemeriksaan dan Surat Perintah Pemeriksaan Sebelum dilakukan pemeriksaan terhadap LPEI, Penanggung Jawab Pemeriksaan atas nama Ketua Bapepam dan LK menerbitkan Surat Perintah Pemeriksaan dan Surat Pemberitahuan Pemeriksaan. LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-02/BL/2011 Tanggal : 20 Januari 2011 -15- Biro Pembiayaan dan Penjaminan akan memberitahukan kepada LPEI tentang rencana pemeriksaan dimaksud dengan mengirimkan Surat Pemberitahuan Pemeriksaan. Surat tersebut sudah harus diterima oleh LPEI paling lambat 1 (satu) hari sebelum pelaksanaan pemeriksaan. Untuk Pemeriksaan Setiap Waktu, pemeriksaan dapat dilakukan tanpa terlebih dahulu menyampaikan Surat Pemberitahuan Pemeriksaan apabila diduga bahwa penyampaian Surat Pemberitahuan Pemeriksaan memungkinkan dilakukannya tindakan untuk mengaburkan keadaan yang sebenarnya atau tindakan untuk menyembunyikan data, keterangan, atau laporan yang diperlukan dalam pelaksanaan pemeriksaan. Contoh format Surat Pemberitahuan Pemeriksaan terdapat dalam Formulir II. Dalam melakukan pemeriksaan, Tim Pemeriksaan dilengkapi dengan Surat Perintah Pemeriksaan (SPrint) dan Tanda Pengenal Pegawai. LPEI dapat menolak dilakukannya pemeriksaan, jika Tim Pemeriksaan tidak dapat menunjukkan Surat Perintah Pemeriksaan (SPrint) tersebut. Contoh format Surat Perintah Pemeriksaan terdapat dalam Formulir III. 2. Persiapan Pemeriksaan Persiapan pemeriksaan dilakukan sebelum melakukan pemeriksaan lapangan. Pada tahap ini dilakukan analisis pendahuluan melalui penelaahan dokumen laporan periodik dan informasi lainnya untuk memperoleh pemahaman mengenai LPEI dan untuk mengetahui aspek-aspek pemeriksaan yang perlu mendapatkan perhatian khusus. Dalam tahap ini, kegiatan yang dilakukan adalah sebagai berikut: a. Mengumpulkan data, informasi, dan dokumen yang diperlukan dalam analisis pendahuluan antara lain: 1) laporan keuangan bulanan dan laporan kegiatan usaha semesteran LPEI; 2) 3) laporan keuangan tahunan LPEI yang telah diaudit kantor akuntan publik; laporan terkait pelaksanaan manajemen risiko seperti laporan profil risiko; 4) laporan terkait pelaksanaan prinsip-prinsip tata kelola yang baik; 5) hasil analisis atas laporan periodik; 6) kebijakan, manual, dan SOP terkait kegiatan usaha LPEI; 7) Pedoman Pelaksanaan Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (P4MN) perusahaan; 8) informasi dan laporan terkait LPEI yang diperoleh dari pihak lain serta hasil analisis Biro Pembiayaan dan Penjaminan terhadap informasi atau laporan yang diterima; dan 9) data atau dokumen dari sumber lain yang dianggap perlu. b. Membuat analisis dari data dan informasi yang diperoleh dalam bentuk Hasil Analisis Pendahuluan. Contoh format Hasil Analisis Pendahuluan terdapat dalam Formulir IV. c. Menentukan pembagian kerja atau tugas pemeriksaan atas Tim Pemeriksaan. LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-02/BL/2011 Tanggal : 20 Januari 2011 -16- d. Membuat daftar pertanyaan atau kuesioner yang akan disampaikan kepada LPEI. Kuesioner yang telah diisi LPEI ditandatangani oleh pemeriksa dan wakil dari LPEI. e. Membuat Kertas Kerja Pemeriksaan awal secara umum sebagai pendukung hasil analisis pendahuluan yang mencakup aspek-aspek pemeriksaan sebagai berikut: 1) 2) 3) 4) tata kelola perusahaan yang baik; manajemen risiko; operasional; dan keuangan. f. Mempersiapkan kelengkapan dokumen-dokumen yang dibutuhkan selama pemeriksaan antara lain: 1) 2) 3) 4) 5) Surat Perintah Pemeriksaan dan Surat Pemberitahuan Pemeriksaan; Hasil Analisis Pendahuluan; Berita Acara Pemeriksaan, Berita Acara Penolakan Pemeriksaan dan Berita Acara Penundaan Pemeriksaan; Kertas Kerja Pemeriksaan; dan daftar pertanyaan (kuesioner). 3. Pelaksanaan Pemeriksaan Lapangan Pemeriksaan lapangan adalah pemeriksaan yang dilakukan oleh Tim Pemeriksaan di kantor atau tempat LPEI melaksanakan kegiatannya. Pemeriksaan lapangan merupakan tahapan pemeriksaan yang dilakukan untuk memperoleh keyakinan yang memadai atas kebenaran aspek-aspek substansi laporan periodik LPEI dan ketaatan terhadap peraturan terkait LPEI. Pemeriksaan dilakukan terhadap 4 (empat) aspek, yaitu a. Aspek Tata Kelola Perusahaan Yang Baik Aspek ini digunakan untuk menilai apakah manajemen telah melaksanakan tata kelola perusahaan yang baik sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku. Penilaian atas aspek ini antara lain dilakukan terhadap objek-objek pemeriksaan sebagai berikut: 1) 2) pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Dewan Direktur, Direktur Eksekutif, dan Direktur Pelaksana; kelengkapan dan pelaksanaan tugas komite-komite; 3) penanganan benturan kepentingan; 4) penerapan fungsi audit intern dan audit ekstern; 5) transparansi kondisi keuangan dan non keuangan; dan 6) pengadaan barang dan jasa. Tujuan dan petunjuk pemeriksaan untuk menilai aspek tata kelola perusahaan yang baik tercantum dalam Modul I. b. Aspek Manajemen Risiko Aspek ini digunakan untuk menilai apakah manajemen telah menerapkan manajemen risiko yang memadai sesuai dengan ketentuan peraturan LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-02/BL/2011 Tanggal : 20 Januari 2011 -17- perundangan yang berlaku. Penilaian atas aspek ini antara lain dilakukan terhadap objek-objek pemeriksaan sebagai berikut: 1) pengawasan aktif Dewan Direktur dan Direktur Eksekutif; 2) kecukupan kebijakan, prosedur, dan penetapan limit risiko; 3) kecukupan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan pengendalian risiko serta sistem informasi manajemen risiko; 4) sistem pengendalian intern yang menyeluruh dalam penerapan manajeman risiko. Tujuan dan petunjuk pemeriksaan untuk menilai aspek manajemen risiko tercantum dalam Modul II. c. Aspek Operasional Aspek ini digunakan untuk meyakinkan bahwa penyelenggaraan kegiatan usaha (operasional) LPEI sesuai dengan peraturan terkait LPEI yang berlaku. Penilaian atas aspek ini antara lain dilakukan terhadap objek-objek pemeriksaan sebagai berikut: 1) kegiatan pembiayaan/pembiayaan berdasarkan prinsip syariah LPEI; 2) kegiatan asuransi LPEI; 3) kegiatan penjaminan LPEI; 4) kegiatan penempatan dana LPEI; 5) kegiatan penyertaan modal LPEI; 6) sumber pendanaan, transaksi derivatif, tagihan akseptasi, rekening administratif, batas minimum kecukupan modal (CAR), dan posisi devisa neto LPEI; dan 7) pelaksanaan prinsip mengenal nasabah LPEI. Tujuan dan petunjuk pemeriksaan untuk menilai aspek operasional tercantum dalam Modul III. d. Aspek Keuangan Aspek ini digunakan untuk memperoleh keyakinan atas kebenaran substansi laporan periodik LPEI. Penilaian atas aspek ini antara lain dilakukan terhadap objek-objek seperti akun-akun Neraca, Laporan Laba Rugi, Rekening Administratif, dan laporan periodik lainnya. Tujuan dan petunjuk pemeriksaan untuk menilai aspek keuangan tercantum dalam Modul IV. 4. Penyusunan Laporan Hasil Pemeriksaan Laporan Hasil Pemeriksaan terdiri dari 2 (dua) jenis, yaitu Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara (LHPS) dan Laporan Hasil Pemeriksaan Final (LHPF). LHPS disusun setelah pemeriksaan lapangan selesai dilakukan. Berdasarkan LHPS tersebut kemudian disusun LHPF setelah mempertimbangkan tanggapan dari LPEI. Dalam hal LPEI tidak menyampaikan tanggapan atas LHPS, maka LHPS tersebut langsung ditetapkan menjadi LHPF. LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-02/BL/2011 Tanggal : 20 Januari 2011 -18- Hasil Pemeriksaan disusun berdasarkan data atau keterangan yang diperoleh selama proses Pemeriksaan berlangsung yang dituangkan dalam Kertas Kerja Pemeriksaan. Hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud di atas, dituangkan dalam LHPS yang ditetapkan oleh Kepala Biro Pembiayaan dan Penjaminan atas nama Ketua Bapepam dan LK dan wajib disampaikan kepada Direktur Eksekutif LPEI paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja setelah berakhirnya pelaksanaan Pemeriksaan. Hasil-hasil pemeriksaan yang dituangkan dalam LHPS dapat disanggah oleh LPEI melalui surat tanggapan atas LHPS. Apabila LPEI tidak mengajukan tanggapan atau mengajukan tanggapan yang isinya menyetujui LHPS dalam jangka waktu 15 (lima belas) hari kerja sejak LHPS diterima oleh LPEI, maka LHPS ditetapkan menjadi LHPF. Dalam hal LPEI mengajukan tanggapan yang berisi keberatan atas LHPS dalam jangka waktu 15 (lima belas) hari kerja sejak LHPS diterima LPEI, maka dilakukan pembahasan dengan LPEI. Pembahasan LHPS dengan LPEI tersebut dilakukan paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak keberatan diterima Bapepam dan LK. Hasil pembahasan LHPS dengan LPEI tersebut dituangkan dalam Berita Acara Pembahasan Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara. Penyusunan LHPF paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak ditandatanganinya Berita Acara Pembahasan Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara. 5. Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan Pelaksanaan tindak lanjut hasil pemeriksaan dilakukan berdasarkan hasil temuan atau rekomendasi yang dituangkan dalam Laporan Hasil Pemeriksaan. Tindak lanjut hasil pemeriksaan dapat dibagi menjadi 2 (dua) berdasarkan jenis temuan dan rekomendasi yang disampaikan dalam LHPF, yaitu: a. Tindak lanjut atas temuan adanya pelanggaran Dalam hal berdasarkan hasil Pemeriksaan ditemukan adanya pelanggaran yang dilakukan oleh LPEI terhadap ketentuan peraturan perundang- undangan yang mengatur LPEI, maka terhadap LPEI dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur LPEI. Dalam hal pelanggaran tersebut dilakukan oleh pegawai LPEI, maka pengenaan sanksi administratif dilakukan atas rekomendasi yang tertuang dalam LHPF dan sesuai dengan ketentuan yang mengatur sistem kepegawaian LPEI. b. Tindak lanjut atas rekomendasi berupa saran perbaikan atau penyempurnaan Rekomendasi yang dituangkan dalam LHPF dapat berupa saran perbaikan atau penyempurnaan. Untuk itu perlu dilakukan monitoring terhadap pelaksanaan rekomendasi hasil pemeriksaan tersebut. LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-02/BL/2011 Tanggal : 20 Januari 2011 -19- B. Contoh-contoh Formulir dan Modul 1. Contoh Formulir a. FORMULIR I : FORMAT RENCANA KEGIATAN PEMERIKSAAN KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN GEDUNG SUMITRO DJOJOHADIKUSUMO, JALAN LAPANGAN BANTENG TIMUR NOMOR 1-4, JAKARTA 10710, TELEPON 0213858001, FAKSIMILI 0213857917, SITUS www.bapepam.go.id RENCANA PEMERIKSAAN LEMBAGA PEMBIAYAAN EKSPOR INDONESIA (LPEI) TAHUN …… A. Jenis dan Latar Belakang Pemeriksaan (Bagian ini memuat informasi mengenai jenis pemeriksaan yang akan dilakukan (pemeriksaan berkala atau pemeriksaan setiap waktu) dan alasan dilakukannya pemeriksaan terhadap LPEI yang antara lain berisi hasil analisis atas laporan periodik, ketaatan terhadap peraturan perundangan yang berlaku, dan/atau penelitian atas keterangan yang didapat atau surat pengaduan yang diterima terkait LPEI.) B. Hasil pemantauan atas pelaksanaan tindak lanjut hasil pemeriksaan sebelumnya (jika ada) (Bagian ini memuat informasi mengenai hasil pemantauan atas rekomendasi- rekomendasi yang disampaikan kepada LPEI pada pemeriksaan-pemeriksaan sebelumnya.) C. Tujuan dan Ruang Lingkup Pemeriksaan (Bagian ini memuat informasi mengenai tujuan dilakukannya pemeriksaan terhadap LPEI serta ruang lingkup pemeriksaan yang akan dilaksanakan.) D. Periode Pemeriksaan, Jumlah Pemeriksa, dan Anggaran (Bagian ini memuat informasi mengenai kapan dan berapa lama waktu dilakukannya pemeriksaan lapangan, jumlah keanggotaan Tim Pemeriksaan, dan jumlah alokasi anggaran yang dibutuhkan untuk melaksanakan pemeriksaan lapangan.) LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-02/BL/2011 Tanggal : 20 Januari 2011 -20- b. FORMULIR II : FORMAT SURAT PEMBERITAHUAN PEMERIKSAAN KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN GEDUNG SUMITRO DJOJOHADIKUSUMO, JALAN LAPANGAN BANTENG TIMUR NOMOR 1-4, JAKARTA 10710, TELEPON 0213858001, FAKSIMILI 0213857917, SITUS www.bapepam.go.id Nomor Sifat Hal Yth. Direktur Eksekutif Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (alamat) ………… Sesuai dengan Pasal 71 dan Pasal 72 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 140/PMK.010/2009 tentang Pembinaan dan Pengawasan Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 161/PMK.010/2010, dengan ini kami beritahukan bahwa Kementerian Keuangan selaku Pembina dan Pengawas LPEI akan melakukan pemeriksaan terhadap LPEI. Adapun nama-nama yang akan melakukan pemeriksaan adalah sebagai berikut: 1. ........................ / NIP ................ selaku Penyelia; 2. ........................ / NIP ................ selaku Ketua Tim; 3. ........................ / NIP ................ selaku Anggota Tim; 4. ........................ / NIP ................ selaku Anggota Tim; 5. dst. Jangka waktu pemeriksaan terhitung dari tanggal ............ s.d. .................. Sehubungan dengan pelaksanaan pemeriksaan tersebut maka kami minta agar Saudara dapat menunjuk/menugaskan beberapa pejabat/pegawai LPEI untuk membantu kelancaran jalannya pemeriksaan. Demikian agar Saudara maklum. a.n. Ketua Kepala Biro Pembiayaan dan Penjaminan, : S- ………… : …………… : Pemberitahuan Pemeriksaan (tanggal)…………. ................................ NIP ........................ Tembusan: 1. Ketua; 2. Sekretaris Badan. LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-02/BL/2011 Tanggal : 20 Januari 2011 -21- c. FORMULIR III : FORMAT SURAT PERINTAH PEMERIKSAAN KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN GEDUNG SUMITRO DJOJOHADIKUSUMO, JALAN LAPANGAN BANTENG TIMUR NOMOR 1-4, JAKARTA 10710, TELEPON 0213858001, FAKSIMILI 0213857917, SITUS www.bapepam.go.id SURAT PERINTAH PEMERIKSAAN NOMOR PRIN-…./BL/………………… Kepala Biro Pembiayaan dan Penjaminan selaku Penanggung Jawab Pemeriksaan dengan ini menugaskan: 1. Nama / NIP Pangkat / Golongan Jabatan 2. Nama / NIP Pangkat / Golongan Jabatan 3. Nama / NIP Pangkat / Golongan Jabatan 4. Nama / NIP Pangkat / Golongan Jabatan Tanggal Berangkat Tanggal Kembali Penugasan : ……………… /…………………. : : .................................... .................................... : ……………… /…………………. : : .................................... .................................... : ……………… /…………………. : : .................................... .................................... : ……………… /…………………. : : .................................... .................................... : ………………….. : ………………….. : Melakukan pemeriksaan terhadap Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia atas kebenaran aspek substansi laporan periodik, kepatuhan terhadap peraturan perundangan, dan/atau dugaan penyimpangan dalam ………………. di ………………. Demikian untuk dimaklumi dan dilaksanakan sebagaimana mestinya. Jakarta, ………………. a.n. Ketua Kepala Biro Pembiayaan dan Penjaminan, ………………………. NIP ………………… Tembusan: 1. Ketua; 2. Sekretaris Badan. LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-02/BL/2011 Tanggal : 20 Januari 2011 -22- d. FORMULIR IV : FORMAT HASIL ANALISIS PENDAHULUAN KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN GEDUNG SUMITRO DJOJOHADIKUSUMO, JALAN LAPANGAN BANTENG TIMUR NOMOR 1-4, JAKARTA 10710, TELEPON 0213858001, FAKSIMILI 0213857917, SITUS www.bapepam.go.id HASIL ANALISIS PENDAHULUAN LEMBAGA PEMBIAYAAN EKSPOR INDONESIA A. INFORMASI UMUM LPEI (Bagian ini memuat informasi umum terkait LPEI seperti struktur organisasi, susunan pejabat LPEI, perkembangan kegiatan usaha, perkembangan kinerja keuangan secara umum, dan informasi umum lainnya terkait LPEI baik yang diperoleh secara langsung oleh Biro Pembiayaan dan Penjaminan maupun informasi yang diperoleh dari pihak lain.) B. HASIL MONITORING ATAS KEPATUHAN TERHADAP PERATURAN (Bagian ini memuat hasil monitoring atas kepatuhan LPEI terhadap Undang-Undang LPEI dan peraturan pelaksanaannya, yaitu antara lain mengenai ketepatan waktu penyampaian laporan-laporan, batas maksimum pemberian pembiayaan, rasio kecukupan modal, posisi devisa neto, dan lain sebagainya yang penegakannya berada di bawah wewenang Biro Pembiayaan dan Penjaminan.) C. HASIL ANALISIS LAPORAN PERIODIK (Bagian ini memuat hasil analisis yang lebih terperinci atas informasi-informasi yang termuat dalam laporan-laporan periodik yang disampaikan LPEI kepada Bapepam dan LK yaitu antara lain mengenai hasil analisis atas kegiatan pembiayaan termasuk pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, penempatan dana, kegiatan asuransi dan penjaminan, sumber pendanaan, profil risiko LPEI, laba rugi, pendapatan dan beban operasional yang berguna dalam menentukan fokus pemeriksaan lapangan.) D. LAIN-LAIN (Bagian ini memuat berbagai informasi dan hasil analisis lainnya yang akan berguna dalam menentukan fokus pemeriksaan lapangan.) E. KESIMPULAN (Bagian ini memuat kesimpulan atas berbagai hal yang dituangkan dalam butir A s.d. D di atas.) F. OBJEK PEMERIKSAAN, TIM PEMERIKSAAN, DAN JANGKA WAKTU PELAKSANAAN PEMERIKSAAN (Bagian ini antara lain memuat Objek Pemeriksaan, pembagian tugas anggota tim pemeriksaan, dan jangka waktu pelaksanaan pemeriksaan serta hal-hal yang perlu menjadi perhatian khusus bagi pemeriksan selama melaksanakan pemeriksaan lapangan terhadap LPEI.) LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-02/BL/2011 Tanggal : 20 Januari 2011 -23- 2. Contoh Modul a. MODUL I : PROGRAM PEMERIKSAAN TATA KELOLA LPEI Objek Pemeriksaan 1 Tujuan Pemeriksaan : Pelaksanaan Tugas dan Tanggung Jawab Dewan Direktur. : 1. Menilai efektivitas pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Dewan Direktur. 2. Menilai efektivitas penyelenggaraan rapat Dewan Direktur. 3. Menilai kecukupan aspek pengungkapan kepemilikan saham, hubungan keuangan, dan hubungan keluarga anggota Dewan Direktur. Petunjuk Pemeriksaan: No (1) 1. Petunjuk Pemeriksaan (2) Minta dokumen-dokumen yang terkait dengan pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Dewan Direktur kepada LPEI, antara lain yaitu:  struktur organisasi LPEI;  Surat Keputusan Pengangkatan setiap anggota Dewan Direktur;  Daftar Riwayat Hidup setiap anggota Dewan Direktur;  Uraian tugas (Job Description) setiap anggota Dewan Direktur;  Peraturan/Kebijakan yang dikeluarkan oleh Dewan Direktur berikut risalah rapat terkait.  Daftar pelaksanaan dan agenda rapat Dewan Direktur.  Risalah rapat Dewan Direktur terkait pengawasan atas pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Direktur Eksekutif;  Risalah rapat/Keputusan/kebijakan Dewan Direktur dalam rangka menindaklanjuti hasil audit dari Satuan Kerja Audit Intern (SKAI), auditor ekstern, Menteri Keuangan, dan otoritas lain.  Keputusan dan risalah rapat Dewan Direktur dalam rangka pembentukan Komite Audit, Komite Pemantau Risiko, Komite Remunerasi dan Nominasi, dan pengangkatan anggota komite-komite tersebut;  Pedoman dan tata tertib kerja Dewan Direktur;  Daftar hadir rapat-rapat Dewan Direktur;  Bukti/Daftar kepemilikan saham Dewan Direktur pada perusahaan lain dan bukti hubungan keuangan/kekerabatan antar Dewan Direktur;  Keputusan/kebijakan/risalah rapat dan dokumen-dokumen lainnya yang diperlukan dalam rangka menilai pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Dewan Direktur. Dilaksanakan/ Diselesaikan Oleh: Paraf Tanggal (3) (4) Index Kertas Kerja/ Dokumen Pendukung (5) Keterangan (6) LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-02/BL/2011 Tanggal : 20 Januari 2011 -24- 2. Lakukan analisis/review/konfirmasi atas dokumen-dokumen terkait untuk menilai hal- hal sebagai berikut:  Independensi Dewan Direktur;  Kesesuaian kebijakan/keputusan/ pedoman yang ditetapkan Dewan Direktur dengan Undang-Undang LPEI dan peraturan pelaksanaannya;  Efektivitas pengawasan Dewan Direktur atas penerapan prinsip tata kelola yang baik, kinerja komite-komite, dan pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Direktur Eksekutif;  Efektivitas pengawasan Dewan Direktur atas pelaksanaan tindak lanjut hasil audit dan rekomendasi SKAI, auditor ekstern, Menteri Keuangan, dan otoritas lain;  Kesesuaian prosedur pembentukan komite- komite;  Efektivitas waktu yang disediakan Dewan Direktur dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya. 3. Telaah daftar hadir dan risalah-risalah rapat Dewan Direktur untuk menilai efektivitas penyelenggaraan rapat, pengambilan keputusan, dan penggunaan hak suara oleh Dewan Direktur. 4. Telaah/konfirmasi bukti kepemilikan saham, bukti hubungan kekerabatan, keputusan, kebijakan, risalah rapat, dan dokumen- dokumen terkait lainnya untuk menilai transparansi/kecukupan pengungkapan oleh Dewan Direktur. 5. Buat kesimpulan, tanggapan, dan rekomendasi hasil pemeriksaan serta mintakan tanggapan dari LPEI. Objek Pemeriksaan 2 Tujuan Pemeriksaan : Pelaksanaan Tugas dan Tanggung Jawab Direktur Eksekutif dan Direktur Pelaksana. : 1. Menilai efektivitas pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Direktur Eksekutif dan Direktur Pelaksana. 2. Menilai kecukupan aspek pengungkapan kepemilikan saham, hubungan keuangan, dan hubungan keluarga Direktur Eksekutif dan Direktur Pelaksana. Petunjuk Pemeriksaan: No (1) 1. Petunjuk Pemeriksaan (2) Minta dokumen-dokumen yang terkait dengan pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Direktur Eksekutif dan Direktur Pelaksana kepada LPEI, antara lain yaitu:  struktur organisasi LPEI;  Surat Keputusan dan dokumen lain (seperti Dilaksanakan/ Diselesaikan Oleh: Paraf Tanggal (3) (4) Index Kertas Kerja/ Dokumen Pendukung (5) Keterangan (6) LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-02/BL/2011 Tanggal : 20 Januari 2011 -25- surat usulan nama-nama calon Direktur Pelaksana) terkait pengangkatan Direktur Eksekutif dan Direktur Pelaksana;  Daftar Riwayat Hidup Direktur Eksekutif dan setiap Direktur Pelaksana;  Uraian tugas (Job Description) Direktur Eksekutif dan setiap Direktur Pelaksana;  Bukti kepemilikan saham Direktur Eksekutif dan setiap Direktur Pelaksana pada perusahaan lain dan bukti hubungan keuangan/kekerabatan antar Direktur Pelaksana atau dengan Dewan Direktur;  Surat kuasa yang pernah dibuat oleh Direktur Eksekutif dan setiap Direktur Pelaksana kepada pihak lain;  Surat/kebijakan/keputusan Direktur Eksekutif dan dokumen pendukung lain terkait pelaksanaan tata kelola yang baik, pembentukan Satuan Kerja Audit Intern (SKAI), pembentukan Komite Manajemen Risiko, pembentukan Satuan Kerja Manajemen Risiko, kepegawaian, penunjukan konsultan, dan penyampaian laporan-laporan kepada Dewan Direktur dan Menteri Keuangan;  Laporan pelaksanaan tindak lanjut hasil audit dari SKAI, auditor ekstern, Menteri Keuangan, dan otoritas lain;  Pedoman dan tata tertib kerja Direktur Eksekutif dan Direktur Pelaksana;  Keputusan/kebijakan/surat/risalah rapat dan dokumen-dokumen lainnya yang diperlukan dalam rangka menilai pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Direktur Eksekutif dan Direktur Pelaksana. 2. Teliti/telaah/konfirmasi atas dokumen- dokumen terkait untuk menilai kesesuaian dengan ketentuan yang berlaku terkait hal-hal sebagai berikut:  Prosedur pengangkatan dan pemberhentian Direktur Pelaksana;  Larangan rangkap jabatan oleh Direktur Eksekutif dan Direktur Pelaksana;  Kepemilikan saham Direktur Eksekutif dan Direktur Pelaksana pada perusahaan lain;  Larangan adanya hubungan kekeluargaan antar sesama Direktur Pelaksana dan/atau dengan anggota Dewan Direktur;  Larangan pemberian kuasa umum oleh Direktur Eksekutif dan Direktur Pelaksana kepada pihak lain. 3. Lakukan analisis/review/konfirmasi/uji sampel atas dokumen-dokumen terkait dan/atau lakukan observasi/wawancara untuk menilai hal-hal sebagai berikut:  Apakah keputusan-keputusan yang diambil oleh Direktur Eksekutif dan Direktur Pelaksana telah sesuai dengan tugas, wewenang, dan tanggung jawabnya; LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-02/BL/2011 Tanggal : 20 Januari 2011 -26-  Apakah keputusan-keputusan yang diambil Direktur Eksekutif dan Direktur Pelaksana didasarkan sumber data/analisa yang memadai, didukung bukti- bukti/dokumentasi yang cukup, serta bebas dari benturan kepentingan;  Apakah struktur dan keanggotaan SKAI, Komite Manajemen Risiko, dan Satuan Kerja Manajemen Risiko telah memadai sesuai dengan lingkup organisasi;  Apakah Direktur Eksekutif dan Direktur Pelaksana telah menindaklanjuti dan melaksanakan berbagai rekomendasi hasil audit;  Apakah data dan informasi yang disampaikan Direktur Eksekutif kepada Dewan Direktur akurat, relevan, dan tepat waktu;  Apakah para pegawai LPEI telah memahami berbagai kebijakan strategis di bidang kepegawaian dan memperoleh perlakuan yang sama terkait pengambangan diri, pemberian penghargaan, dan penegakan disiplin;  Apakah kebijakan/keputusan/ pedoman yang ditetapkan Direktur Eksekutif telah sesuai dengan Undang-Undang LPEI dan peraturan pelaksanaannya. 4. Buat kesimpulan, tanggapan, dan rekomendasi hasil pemeriksaan serta mintakan tanggapan dari LPEI. Objek Pemeriksaan 3 Tujuan Pemeriksaan : Kelengkapan dan Pelaksanaan Tugas Komite. : 1. Untuk menilai kecukupan struktur, komposisi, independensi, dan kompetensi Komite. 2. Untuk menilai efektivitas pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Komite. 3. Untuk menilai efektivitas pelaksanaan rapat Komite. Petunjuk Pemeriksaan: No (1) 1. Petunjuk Pemeriksaan (2) Minta dokumen-dokumen yang terkait dengan kelengkapan dan pelaksanaan tugas komite- komite kepada LPEI, antara lain yaitu:  Keputusan pembentukan komite-komite seperti Komite Audit, Komite Pemantau Risiko, Komite Remunerasi dan Nominasi, dan pengangkatan anggota komite-komite tersebut;  Daftar riwayat hidup setiap anggota komite;  Standard Operating Procedures (SOP) dan uraian jabatan komite-komite;  Risalah rapat/laporan/rekomendasi/ hasil evaluasi komite-komite; Dilaksanakan/ Diselesaikan Oleh: Paraf Tanggal (3) (4) Index Kertas Kerja/ Dokumen Pendukung (5) Keterangan (6) LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-02/BL/2011 Tanggal : 20 Januari 2011 -27-  Daftar hadir rapat komite-komite;  Dokumen-dokumen lain yang diperlukan dalam rangka menilai kelengkapan dan pelaksanaan tugas komite-komite. 2. Telaah struktur dan komposisi komite-komite apakah telah sesuai dengan Undang-Undang LPEI dan peraturan pelaksanaannya. 3. Telaah keputusan-keputusan komite, dan/atau minta Surat Pernyataan terkait kepemilikan saham, hubungan kekerabatan, hubungan keuangan dan pengungkapan lainnya setiap anggota komite untuk menilai independensi dan/atau kompetensi setiap anggota komite- komite. 4. Lakukan analisis/review/konfirmasi atas dokumen-dokumen terkait rapat komite- komite untuk menilai:  Efektivitas pelaksanaan rapat dan pengambilan keputusan komite-komite;  Kesesuaian dan efektivitas rekomendasi- rekomendasi yang disampaikan oleh komite-komite dengan tugas dan tanggung jawab komite, permasalahan yang dihadapi LPEI, kebijakan LPEI, dan Undang-Undang LPEI serta peraturan pelaksanaannya; 5. Buat kesimpulan, tanggapan, dan rekomendasi hasil pemeriksaan serta mintakan tanggapan dari LPEI. Objek Pemeriksaan 4 Tujuan Pemeriksaan Petunjuk Pemeriksaan: No (1) 1. : Penanganan Benturan Kepentingan. : Untuk menilai efektivitas pengelolaan benturan kepentingan. Petunjuk Pemeriksaan (2) Minta dokumen-dokumen yang terkait dengan penanganan benturan kepentingan kepada LPEI, antara lain yaitu:  kebijakan, sistem, dan prosedur penyelesaian mengenai benturan kepentingan LPEI;  Bukti kepemilikan saham, hubungan keuangan/kekerabatan/kepentingan Dewan Direktur, Direktur Eksekutif, Direktur Pelaksana dan pegawai LPEI pada perusahaan lain;  Bukti hubungan keuangan/ kekerabatan/kepentingan antar Dewan Direktur, Direktur Eksekutif, Direktur Pelaksana dan pegawai LPEI; Dilaksanakan/ Diselesaikan Oleh: Paraf Tanggal (3) (4) Index Kertas Kerja/ Dokumen Pendukung (5) Keterangan (6) LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-02/BL/2011 Tanggal : 20 Januari 2011 -28-  Dokumen-dokumen lain yang diperlukan dalam rangka menilai penanganan benturan kepentingan. 2. Telaah kebijakan, sistem, dan prosedur penyelesaian mengenai benturan kepentingan LPEI apakah telah lengkap dan efektif sesuai prinsip tata kelola yang baik. 3. Lakukan analisis/review/konfirmasi atas dokumen-dokumen terkait untuk memastikan bahwa segala keputusan/kebijakan/ persetujuan/hasil analisis/hasil review telah bebas dari benturan kepentingan. 4. Buat kesimpulan, tanggapan, dan rekomendasi hasil pemeriksaan serta mintakan tanggapan dari LPEI. Objek Pemeriksaan 5 Tujuan Pemeriksaan Petunjuk Pemeriksaan: No (1) 1. : Penerapan Fungsi Audit Intern. : 1. Untuk menilai efektivitas pelaksanaan fungsi audit intern LPEI. 2. Untuk menilai pelaksanaan tugas Satuan Kerja Audit Intern. Petunjuk Pemeriksaan (2) Minta dokumen-dokumen yang terkait dengan penerapan fungsi audit intern kepada LPEI, antara lain yaitu:  Standard Operating Procedures (SOP) SKAI;  Daftar riwayat hidup setiap anggota SKAI;  Risalah rapat/laporan/rekomendasi/ hasil analisis/hasil review SKAI terkait pelaksanaan audit;  Dokumen-dokumen lain yang diperlukan dalam rangka menilai penerapan fungsi audit intern. 2. Telaah SOP/Risalah rapat/laporan/ rekomendasi/ hasil analisis/hasil review SKAI terkait pelaksanaan audit untuk menilai efektivitas pelaksanaan fungsi audit intern. 3. Lakukan observasi/wawancara dengan SKAI dan auditee untuk menilai efektivitas pelaksanaan audit dan rekomendasi SKAI. 4. Buat kesimpulan, tanggapan, dan rekomendasi hasil pemeriksaan serta mintakan tanggapan dari LPEI. Dilaksanakan/ Diselesaikan Oleh: Paraf Tanggal (3) (4) Index Kertas Kerja/ Dokumen Pendukung (5) Keterangan (6) LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-02/BL/2011 Tanggal : 20 Januari 2011 -29- Objek Pemeriksaan 6 Tujuan Pemeriksaan : Penerapan Fungsi Audit Ekstern. : 1. Untuk menilai kesesuaian penunjukan kantor akuntan publik terhadap Kebijakan LPEI, Undang-Undang LPEI serta peraturan pelaksanaannya. 2. Untuk menilai pelaksanaan audit oleh kantor akuntan publik. Petunjuk Pemeriksaan: No (1) 1. Petunjuk Pemeriksaan (2) Minta dokumen-dokumen yang terkait dengan penerapan fungsi audit ekstern kepada LPEI, antara lain yaitu:  Standard Operating Procedures (SOP) penunjukkan auditor ekstern;  Risalah rapat penunjukan auditor ekstern dan pembahasan hasil audit;  Surat penunjukkan auditor ekstern;  Laporan sementara/ laporan final/ rekomendasi hasil audit oleh auditor ekstern;  Management letter;  Hasil assessment LPEI atas kinerja auditor ekstern;  Dokumen-dokumen lain yang diperlukan dalam rangka menilai penerapan fungsi audit ekstern. 2. Telaah apakah proses penunjukan kantor akuntan publik tersebut dilakukan sesuai dengan prosedur dan kebijakan LPEI, Undang- Undang LPEI serta peraturan pelaksanaannya. 3. Lakukan pengecekan apakah kantor akuntan publik yang ditunjuk adalah kantor akuntan publik yang terdaftar di Bapepam dan LK. 4. Periksa apakah kantor akuntan publik telah menyampaikan hasil audit dan management letter secara tepat waktu. 5. Lakukan review atas hasil assessment LPEI atas kinerja auditor ekstern untuk menilai antara lain apakah sesuai dengan perjanjian kerja, ruang lingkup yang ditetapkan, dan telah bekerja sesuai dengan standar profesional akuntan publik. 6. Buat kesimpulan, tanggapan, dan rekomendasi hasil pemeriksaan serta mintakan tanggapan dari LPEI. Dilaksanakan/ Diselesaikan Oleh: Paraf Tanggal (3) (4) Index Kertas Kerja/ Dokumen Pendukung (5) Keterangan (6) LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-02/BL/2011 Tanggal : 20 Januari 2011 -30- Objek Pemeriksaan 7 Tujuan Pemeriksaan : Transparansi Kondisi Keuangan dan Non Keuangan. : 1. Untuk menilai ketepatan waktu, akurasi, dan cakupan transparansi informasi keuangan dan non keuangan yang disampaikan kepada pemangku kepentingan dan pelaporan intern. 2. Untuk menilai kecukupan informasi mengenai produk pembiayaan, penjaminan, dan asuransi. 3. Untuk menilai cakupan laporan pelaksanaan prinsip-prinsip tata kelola yang baik. Petunjuk Pemeriksaan: No (1) 1. Petunjuk Pemeriksaan (2) Minta dokumen-dokumen yang terkait dengan transparansi kondisi keuangan dan non keuangan, laporan pelaksanaan prinsip tata kelola yang baik, dan pelaporan intern kepada LPEI, antara lain yaitu:  Kebijakan pengungkapan informasi kondisi keuangan dan non-keuangan LPEI;  Kebijakan/manual produk pembiayaan, penjaminan, dan asuransi;  Kebijakan mengenai pelaporan internal LPEI;  Laporan tahunan LPEI;  Laporan pelaksanaan prinsip-prinsip tata kelola yang baik;  Laporan/hasil analisis/hasil review internal LPEI beserta dokumen pendukungnya;  Dokumen-dokumen lain yang diperlukan dalam rangka menilai transparansi kondisi keuangan dan non keuangan, laporan pelaksanaan prinsip tata kelola yang baik, dan pelaporan intern. 2. Telaah laporan-laporan kepada pihak ekstern; dan laporan/hasil analisis/hasil review intern apakah telah akurat, transparan, dan tepat waktu. 3. Telaah informasi mengenai produk-produk pembiayaan, penjaminan dan asuransi LPEI apakah telah mengungkapkan risiko-risiko yang melekat pada produk-produk tersebut. 4. Observasi/wawancara dengan pengelola IT system untuk menilai keandalan, akurasi, ketepatan waktu, dan keamanan informasi yang dihasilkan dan lakukan pengujian untuk membuktikan keandalan, ketepatan waktu, dan keamanan informasi. 5. Buat kesimpulan, tanggapan, dan rekomendasi hasil pemeriksaan serta mintakan tanggapan dari LPEI. Dilaksanakan/ Diselesaikan Oleh: Paraf Tanggal (3) (4) Index Kertas Kerja/ Dokumen Pendukung (5) Keterangan (6) LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-02/BL/2011 Tanggal : 20 Januari 2011 -31- Objek Pemeriksaan 8 Tujuan Pemeriksaan : Pengadaan Barang dan Jasa. : 1. Untuk memastikan adanya pedoman pengadaan barang dan jasa. 2. Untuk menilai tingkat kepatuhan pelaksanaan pengadaan barang dan jasa terhadap pedoman yang telah ditetapkan. Petunjuk Pemeriksaan: No (1) 1. Petunjuk Pemeriksaan (2) Minta dokumen-dokumen yang terkait dengan pengadaan barang dan jasa kepada LPEI, antara lain yaitu:  Kebijakan/pedoman pengadaan barang dan jasa LPEI;  Dokumen-dokumen lainnya yang terkait dengan pengadaan barang dan jasa. 2. Lakukan analisis atas dokumen-dokumen terkait pengadaan barang dan jasa apakah telah memadai dan sesuai dengan kebijakan/pedoman yang berlaku. 3. Lakukan observasi barang dan jasa yang diperoleh LPEI apakah telah sesuai dengan spesifikasi yang diminta. 4. Buat kesimpulan, tanggapan, dan rekomendasi hasil pemeriksaan serta mintakan tanggapan dari LPEI. Dilaksanakan/ Diselesaikan Oleh: Paraf Tanggal (3) (4) Index Kertas Kerja/ Dokumen Pendukung (5) Keterangan (6) LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-02/BL/2011 Tanggal : 20 Januari 2011 -32- b. MODUL II : PROGRAM PEMERIKSAAN MANAJEMEN RISIKO LPEI Objek Pemeriksaan 1 : Pengawasan aktif Dewan Direktur dan Direktur Eksekutif. Tujuan Pemeriksaan : 1. Memastikan bahwa LPEI telah menetapkan wewenang dan tanggung jawab yang jelas pada setiap jenjang jabatan terkait dengan penerapan Manajemen Risiko. 2. Memastikan bahwa Dewan Direktur LPEI telah melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya secara efektif terkait dengan penerapan Manajemen Risiko LPEI. 3. Memastikan bahwa Direktur Eksekutif LPEI telah melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya secara efektif terkait dengan penerapan Manajemen Risiko LPEI. Petunjuk Pemeriksaan: No (1) 1. Petunjuk Pemeriksaan (2) Minta dokumen-dokumen yang terkait dengan pengawasan aktif Dewan Direktur dan Direktur Eksekutif terkait penerapan manajemen risiko kepada LPEI, antara lain yaitu:  struktur organisasi LPEI terkait manajemen risiko seperti struktur keanggotaan komite pemantau risiko, komite manajemen risiko, satuan kerja manajemen risiko;  Uraian tugas (Job Description)komite pemantau risiko, komite manajemen risiko, satuan kerja manajemen risiko, dan pihak-pihak lain yang bertanggung jawab dalam penerapan manajemen risiko;  Kebijakan/Manual/Keputusan/ri- salah rapat terkait penerapan manajemen risiko;  Daftar Riwayat Hidup pihak-pihak yang bertanggung jawab dalam penerapan manajemen risiko;  Hasil evaluasi dan kaji ulang berkala atas kebijakan dan pelaksanaan kebijakan manajemen risiko;  Daftar pelatihan dan laporan hasil pelatihan terkait manajemen risiko;  Keputusan/kebijakan/risalah rapat dan dokumen-dokumen lainnya yang diperlukan dalam rangka menilai pengawasan aktif Dewan Direktur dan Direktur Eksekutif terkait penerapan manajemen risiko kepada LPEI. 2. Telaah kebijakan manajemen risiko LPEI apakah telah menetapkan secara Dilaksanakan/ Diselesaikan Oleh: Paraf (3) Tanggal (4) Index Kertas Kerja/ Dokumen Pendukung (5) Keterangan (6) LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-02/BL/2011 Tanggal : 20 Januari 2011 -33- jelas dan memadai wewenang dan tanggung jawab setiap jenjang jabatan terkait manajemen risiko. 3. Telaah dan analisa persetujuan dan evaluasi Dewan Direktur atas kebijakan dan pelaksanaan kebijakan manajemen risiko apakah telah memadai dan sesuai dengan kebijakan LPEI,Undang-Undang LPEI, dan peraturan pelaksanaannya. 4. Ambil/pilih sampel keputusan/peraturan/ kebijakan terkait manajemen risiko dan eksposur risiko untuk produk/aktivitas tertentu dan bandingkan dengan implementasinya berdasarkan risalah rapat/keputusan Direktur Eksekutif terkait. 5. Ambil/pilih sampel risalah rapat/keputusan/ persetujuan Direktur Eksekutif untuk beberapa aktivitas/produk yang membutuhkan persetujuan Direktur Eksekutif dan bandingkan dengan kebijakan LPEI, Undang-Undang LPEI, dan peraturan pelaksanaannya. 6. Telaah hasil training/pelatihan terkait manajemen risiko yang diikuti oleh pegawai LPEI untuk menilai efektivitasnya. 7. Ambil/pilih sampel rekomendasi yang dibuat oleh unit yang melaksanakan fungsi manajemen risiko dan bandingkan dengan keputusan yang diambil terkait dengan rekomendasi tersebut untuk menilai independensi fungsi manajemen risiko. 8. Telaah hasil kaji ulang terkait keakuratan metodologi penilaian Risiko, kecukupan implementasi sistem informasi manajemen, dan ketepatan kebijakan, prosedur, dan penetapan limit Risiko. 9. Buat kesimpulan, tanggapan, dan rekomendasi hasil pemeriksaan serta mintakan tanggapan dari LPEI. Objek Pemeriksaan 2 Tujuan Pemeriksaan : Kecukupan Kebijakan, Prosedur, dan Penetapan Limit Risiko. : 1. Memastikan bahwa Kebijakan Manajemen Risiko LPEI telah memuat jenis risiko, metode pengukuran risiko, limit dan toleransi risiko, penilaian peringkat risiko, contingency plan, dan sistem pengendalian intern. LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-02/BL/2011 Tanggal : 20 Januari 2011 -34- 2. Memastikan bahwa Prosedur dan Penetapan Limit Risiko telah sesuai dengan tingkat risiko yang akan diambil (risk appetite) LPEI. Petunjuk Pemeriksaan: No (1) 1. Petunjuk Pemeriksaan (2) Minta Keputusan/Peraturan Dewan Direktur terkait Kebijakan Manajemen Risiko LPEI dan cek apakah telah memuat hal-hal sebagai berikut: a. penetapan Risiko yang terkait dengan produk dan transaksi; b. penetapan penggunaan metode pengukuran dan sistem informasi Manajemen Risiko; c. penentuan limit dan penetapan toleransi Risiko; d. penetapan penilaian peringkat Risiko; e. penyusunan rencana darurat (contingency plan) dalam kondisi terburuk (worst case scenario); f. penetapan sistem pengendalian intern dalam penerapan Manajemen Risiko. 2. Minta Keputusan/Peraturan Dewan Direktur terkait prosedur dan penetapan limit Risiko dan cek apakah: a. prosedur dan penetapan limit Risiko telah disesuaikan dengan tingkat Risiko yang akan diambil (risk appetite) LPEI; b. prosedur dan penetapan limit Risiko telah memuat hal-hal sebagai berikut:  akuntabilitas dan jenjang delegasi wewenang yang jelas;  pelaksanaan kaji ulang terhadap prosedur dan penetapan limit secara berkala;  pendokumentasian atas kegiatan pelaksanaan kaji ulang secara memadai; c. penetapan limit Risiko telah mencakup limit secara keseluruhan, limit per jenis Risiko, dan limit per aktivitas tertentu yang memiliki eksposur Risiko. 3. Buat kesimpulan, tanggapan, dan rekomendasi hasil pemeriksaan serta mintakan tanggapan dari LPEI. Objek Pemeriksaan 3 Tujuan Pemeriksaan : Kecukupan Proses Identifikasi, Pengukuran, Pemantauan, Pengendalian, dan Sistem Informasi Manajemen Risiko. : 1. Memastikan bahwa LPEI telah melakukan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan pengendalian manajemen risiko terhadap seluruh faktor risiko (risk factors) yang bersifat material. Dilaksanakan/ Diselesaikan Oleh: Paraf (3) Tanggal (4) Index Kertas Kerja/ Dokumen Pendukung (5) Keterangan (6) LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-02/BL/2011 Tanggal : 20 Januari 2011 -35- 2. Memastikan bahwa LPEI memiliki Sistem Informasi Manajemen Risiko yang tepat waktu dan laporan yang akurat dan informatif mengenai kondisi keuangan, kinerja, dan eksposur risiko LPEI. 3. Memastikan apakah LPEI telah menerapkan ALMA atau yang lebih baik dalam melaksanakan pengendalian risiko pasar dan risiko likuiditas. 4. Memastikan bahwa laporan hasil Sistem Informasi Manajemen Risiko telah mencakup eksposur risiko, kepatuhan terhadap kebijakan/prosedur/penetapan limit, dan realisasi pelaksanaan terhadap target yang ditetapkan. 5. Memastikan bahwa laporan hasil Sistem Informasi Manajemen Risiko dilaporkan secara rutin oleh Direktur Eksekutif kepada Dewan Direktur. Petunjuk Pemeriksaan: No (1) 1. Petunjuk Pemeriksaan (2) Minta dan teliti laporan/dokumen hasil identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan pengendalian manajemen risiko. 2. Minta manual Sistem Informasi Manajemen Risiko LPEI dan teliti laporan yang dihasilkan apakah telah akurat, tepat waktu, dan cukup informatif menggambarkan kondisi keuangan, kinerja, dan eksposur risiko LPEI serta mencakup kepatuhan terhadap kebijakan/prosedur/penetapan limit, dan realisasi terhadap target yang ditetapkan. 3. Minta dan teliti laporan/dokumen hasil analisis ALMA terkait risiko pasar dan likuiditas. 4. Minta dan teliti dokumen/surat/notulen rapat terkait penyampaian laporan hasil Sistem Informasi Manajemen Risiko dari Direktur Eksekutif kepada Dewan Direktur. 5. Buat kesimpulan, tanggapan, dan rekomendasi hasil pemeriksaan serta mintakan tanggapan dari LPEI. Objek Pemeriksaan 4 Tujuan Pemeriksaan : Sistem Pengendalian Intern terkait Manajemen Risiko. : 1. Memastikan bahwa Sistem Pengendalian Intern LPEI dalam Penerapan Manajemen Risiko sesuai ketentuan peraturan perundang- undangan yang mengatur LPEI. 2. Memastikan bahwa Satuan Kerja Audit Intern (SKAI) melakukan penilaian terhadap sistem pengendalian intern dalam penerapan Manajemen Risiko. 3. Memastikan bahwa LPEI memiliki Organisasi dan Fungsi Manajemen Risiko yang memadai sesuai ketentuan peraturan perundang- undangan yang mengatur LPEI. Dilaksanakan/ Diselesaikan Oleh: Paraf Tanggal (3) (4) Index Kertas Kerja/ Dokumen Pendukung (5) Keterangan (6) LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-02/BL/2011 Tanggal : 20 Januari 2011 -36- 4. Memastikan bahwa LPEI memiliki kebijakan dan prosedur pengelolaan risiko pada produk dan aktivitas yang dilakukannya. Petunjuk Pemeriksaan: No (1) 1. Petunjuk Pemeriksaan (2) Lakukan penilaian/review terhadap struktur organisasi, kebijakan dan prosedur, pelaporan, dokumentasi, dan hasil kaji ulang LPEI terkait Sistem Pengendalian Intern dalam penerapan manajemen risiko sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur LPEI. 2. Minta Keputusan Dewan Direktur/Direktur Eksekutif terkait pembentukan Komite Pemantau Risiko, Komite Manajemen Risiko, dan Satuan Kerja Manajemen Risiko kemudian review keanggotaan, tugas, fungsi, dan tanggung jawab masing-masing komite/satuan Kerja. 3. Minta dan review Manual/ Keputusan terkait kebijakan dan prosedur pengelolaan risiko untuk setiap produk dan aktivitas yang dilakukan LPEI. 4. Minta dan review dokumen/laporan/notulen rapat hasil penilaian SKAI terhadap sistem pengendalian intern dalam penerapan manajemen risiko serta tindak lanjut atas rekomendasi/hasil penilaian yang diberikan. 5. Minta dan review dokumen/laporan/rekomendasi/risalah rapat Satuan Kerja Manajemen Risiko terkait penerapan manajemen risiko serta tindak lanjut atas rekomendasi/hasil penilaian yang diberikan. 6. Buat kesimpulan, tanggapan, dan rekomendasi hasil pemeriksaan serta mintakan tanggapan dari LPEI. Dilaksanakan/ Diselesaikan Oleh: Paraf Tanggal (3) (4) Index Kertas Kerja/ Dokumen Pendukung (5) Keterangan (6) LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-02/BL/2011 Tanggal : 20 Januari 2011 -37- c. MODUL III: PROGRAM PEMERIKSAAN OPERASIONAL LPEI Objek Pemeriksaan 1 Tujuan Pemeriksaan : Kegiatan Pembiayaan/Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah LPEI. : 1. Memastikan bahwa pelaksanaan kegiatan pembiayaan termasuk pembiayaan berdasarkan prinsip syariah yang dilakukan LPEI telah sesuai dengan kebijakan LPEI, Undang-Undang LPEI dan peraturan pelaksanaannya. 2. Memastikan bahwa LPEI senantiasa memenuhi ketentuan mengenai Batas Maksimum Pemberian Pembiayaan terkait pembiayaan dan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah sesuai Undang-Undang LPEI dan peraturan pelaksanaannya. 3. Memastikan bahwa LPEI telah melaksanakan penilaian dan penetapan kualitas piutang pembiayaan termasuk piutang pembiayaan berdasarkan prinsip syariah serta penghitungan pencadangan sesuai dengan kebijakan LPEI, Undang-Undang LPEI dan peraturan pelaksanaannya. Petunjuk Pemeriksaan: No (1) 1. Petunjuk Pemeriksaan (2) Minta dan review kebijakan dan prosedur pemberian, pencairan, pemantauan, penyelesaian dan/atau restrukturisasi pembiayaan dan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah apakah telah sesuai dengan Undang-Undang LPEI dan peraturan pelaksanaannya serta telah menerapkan tata kelola yang baik, manajemen risiko, dan prinsip mengenal nasabah secara memadai. 2. Pastikan apakah LPEI telah memiliki unit kerja khusus, mengalokasikan modal tersendiri, melakukan pembukuan secara terpisah, membentuk Dewan Pengawas Syariah (DPS), dan tunduk pada fatwa DSN- MUI dalam melakukan kegiatan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah. 3. Lakukan review atas keputusan/risalah rapat DPS apakah DPS telah melaksanakan tugas, fungsi, dan wewenang secara memadai termasuk dalam memastikan kesesuaian kegiatan usaha syariah LPEI telah sesuai dengan prinsip syariah. 4. Minta daftar debitur LPEI dan lakukan uji sampling atas dokumen-dokumen terkait persetujuan, pencairan, pemantauan, penyelesaian dan/atau restrukturisasi pembiayaan dan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah untuk memastikan apakah pemberian pembiayaan kepada debitur- debitur tersebut telah sesuai dengan kebijakan LPEI, Undang-Undang LPEI dan peraturan pelaksanaannya serta Dilaksanakan/ Diselesaikan Oleh: Paraf (3) Tanggal (4) Index Kertas Kerja/ Dokumen Pendukung (5) Keterangan (6) LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-02/BL/2011 Tanggal : 20 Januari 2011 -38- memperhatikan penerapan tata kelola yang baik, manajemen risiko, dan prinsip mengenal nasabah secara memadai. 5. Lakukan pengecekan atas pemenuhan ketentuan Batas Maksimum Pemberian Pembiayaan atas setiap debitur dan pastikan apakah telah akurat dan sesuai dengan Undang-Undang LPEI dan peraturan pelaksanaannya. 6. Minta keputusan/risalah rapat/hasil analisis terkait penilaian dan penetapan kualitas piutang pembiayaan dan piutang pembiayaan berdasarkan prinsip syariah dan teliti apakah telah sesuai dengan Undang- Undang LPEI dan peraturan pelaksanaannya. 7. Lakukan review atas metodologi dan hasil penghitungan pencadangan terkait pembiayaan dan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah. 8. Buat kesimpulan, tanggapan, dan rekomendasi hasil pemeriksaan serta mintakan tanggapan dari LPEI. Objek Pemeriksaan 2 Tujuan Pemeriksaan : Kegiatan Asuransi LPEI. : 1. Memastikan bahwa pelaksanaan kegiatan asuransi yang dilakukan LPEI telah sesuai dengan kebijakan LPEI, Undang-Undang LPEI dan peraturan pelaksanaannya. 2. Memastikan bahwa LPEI senantiasa memenuhi ketentuan mengenai Batas Maksimum Retensi Sendiri terkait asuransi sesuai Undang- Undang LPEI dan peraturan pelaksanaannya. 3. Memastikan bahwa LPEI telah membentuk cadangan terkait kegiatan asuransi sesuai dengan kebijakan LPEI, Undang-Undang LPEI dan peraturan pelaksanaannya. Petunjuk Pemeriksaan: No (1) 1. Petunjuk Pemeriksaan (2) Minta dan review kebijakan dan prosedur penutupan, penerimaan premi, pemantauan, dan penyelesaian klaim asuransi apakah telah sesuai dengan Undang-Undang LPEI dan peraturan pelaksanaannya dan telah menerapkan tata kelola yang baik, manajemen risiko, dan prinsip mengenal nasabah secara memadai. 2. Minta daftar kegiatan asuransi yang telah dilakukan dan lakukan uji sampling atas dokumen-dokumen terkait penutupan, penerimaan premi, pemantauan, penyelesaian klaim terkait asuransi untuk Dilaksanakan/ Diselesaikan Oleh: Paraf (3) Tanggal (4) Index Kertas Kerja/ Dokumen Pendukung (5) Keterangan (6) LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-02/BL/2011 Tanggal : 20 Januari 2011 -39- memastikan apakah telah sesuai dengan kebijakan LPEI, Undang-Undang LPEI dan peraturan pelaksanaannya serta memperhatikan penerapan tata kelola yang baik, manajemen risiko, dan prinsip mengenal nasabah secara memadai. 3. Lakukan pengecekan atas Batas Maksimum Retensi Sendiri kegiatan asuransi dan pastikan apakah telah sesuai dengan Undang-Undang LPEI dan peraturan pelaksanaannya. 4. Lakukan penghitungan ulang atas cadangan terkait kegiatan asuransi apakah sesuai dengan Undang-Undang LPEI dan peraturan pelaksanaannya. 5. Buat kesimpulan, tanggapan, dan rekomendasi hasil pemeriksaan serta mintakan tanggapan dari LPEI. Objek Pemeriksaan 3 Tujuan Pemeriksaan : Kegiatan Penjaminan LPEI. : 1. Memastikan bahwa pelaksanaan kegiatan penjaminan yang dilakukan LPEI telah sesuai dengan kebijakan LPEI, Undang- Undang LPEI dan peraturan pelaksanaannya. 2. Memastikan bahwa LPEI senantiasa memenuhi ketentuan mengenai Batas Maksimum Retensi Sendiri terkait penjaminan sesuai Undang- Undang LPEI dan peraturan pelaksanaannya. 3. Memastikan bahwa LPEI telah membentuk cadangan terkait kegiatan penjaminan sesuai dengan kebijakan LPEI, Undang-Undang LPEI dan peraturan pelaksanaannya. Petunjuk Pemeriksaan: No (1) 1. Petunjuk Pemeriksaan (2) Minta dan review kebijakan dan prosedur pemberian, penerimaan fee, pemantauan, dan penyelesaian klaim penjaminan apakah telah sesuai dengan Undang-Undang LPEI dan peraturan pelaksanaannya dan telah menerapkan tata kelola yang baik, manajemen risiko, dan prinsip mengenal nasabah secara memadai. 2. Minta daftar kegiatan penjaminan yang telah dilakukan dan lakukan uji sampling dokumen-dokumen terkait pemberian, penerimaan fee, pemantauan, penyelesaian klaim terkait penjaminan untuk memastikan apakah telah sesuai dengan kebijakan LPEI, Undang-Undang LPEI dan peraturan pelaksanaannya serta memperhatikan penerapan tata kelola yang baik, manajemen risiko, dan prinsip mengenal nasabah secara memadai. Dilaksanakan/ Diselesaikan Oleh: Paraf (3) Tanggal (4) Index Kertas Kerja/ Dokumen Pendukung (5) Keterangan (6) LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-02/BL/2011 Tanggal : 20 Januari 2011 -40- 3. Lakukan pengecekan atas Batas Maksimum Retensi Sendiri kegiatan penjaminan dan pastikan apakah telah sesuai dengan Undang-Undang LPEI dan peraturan pelaksanaannya. 4. Lakukan penghitungan ulang atas cadangan terkait kegiatan penjaminan apakah sesuai dengan Undang-Undang LPEI dan peraturan pelaksanaannya. 5. Buat kesimpulan, tanggapan, dan rekomendasi hasil pemeriksaan serta mintakan tanggapan dari LPEI. Objek Pemeriksaan 4 Tujuan Pemeriksaan : Kegiatan Penempatan Dana LPEI. : 1. Memastikan bahwa pelaksanaan kegiatan penempatan dana yang dilakukan LPEI telah sesuai dengan kebijakan LPEI, Undang- Undang LPEI dan peraturan pelaksanaannya. 2. Memastikan bahwa LPEI senantiasa memenuhi ketentuan mengenai Batas Maksimum penempatan dana dalam surat berharga termasuk surat berharga berdasarkan prinsip syariah sesuai Undang-Undang LPEI dan peraturan pelaksanaannya. 3. Memastikan bahwa LPEI telah melaksanakan penilaian dan penetapan kualitas serta penghitungan pencadangan atas penempatan dana dalam bentuk simpanan dan surat berharga termasuk simpanan dan surat berharga berdasarkan prinsip syariah sesuai dengan kebijakan LPEI, Undang-Undang LPEI dan peraturan pelaksanaannya. Petunjuk Pemeriksaan: No (1) 1. Petunjuk Pemeriksaan (2) Minta dan review kebijakan dan prosedur kegiatan penempatan dana dan penempatan dana pada surat berharga berdasarkan prinsip syariah apakah telah sesuai dengan Undang-Undang LPEI dan peraturan pelaksanaannya. 2. Minta daftar penempatan dana LPEI dan lakukan uji sampling atas dokumen-dokumen terkait kegiatan penempatan dana untuk memastikan apakah telah sesuai dengan kebijakan LPEI, Undang-Undang LPEI dan peraturan pelaksanaannya serta memperhatikan penerapan tata kelola yang baik dan manajemen risiko. 3. Lakukan pengecekan atas pemenuhan ketentuan Batas Maksimum penempatan dana pada surat berharga apakah telah akurat dan sesuai dengan Undang-Undang LPEI dan peraturan pelaksanaannya. Dilaksanakan/ Diselesaikan Oleh: Paraf (3) Tanggal (4) Index Kertas Kerja/ Dokumen Pendukung (5) Keterangan (6) LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-02/BL/2011 Tanggal : 20 Januari 2011 -41- 4. Minta keputusan/risalah rapat/hasil analisis terkait penilaian dan penetapan kualitas surat berharga dan surat berharga berdasarkan prinsip syariah dan teliti apakah telah sesuai dengan Undang-Undang LPEI dan peraturan pelaksanaannya. 5. Lakukan review atas metodologi dan hasil penghitungan pencadangan terkait penempatan dana dan penempatan dana pada surat berharga berdasarkan prinsip syariah. 6. Buat kesimpulan, tanggapan, dan rekomendasi hasil pemeriksaan serta mintakan tanggapan dari LPEI. Objek Pemeriksaan 5 Tujuan Pemeriksaan : Kegiatan Penyertaan Modal LPEI. : 1. Memastikan bahwa pelaksanaan kegiatan penyertaan modal, termasuk penyertaan modal dalam rangka restrukturisasi pembiayaan yang dilakukan LPEI telah sesuai dengan kebijakan LPEI, Undang-Undang LPEI dan peraturan pelaksanaannya. 2. Memastikan bahwa LPEI telah melaksanakan penilaian dan penetapan kualitas serta penghitungan pencadangan atas penyertaan modal, termasuk penyertaan modal dalam rangka restrukturisasi pembiayaan sesuai dengan kebijakan LPEI, Undang- Undang LPEI dan peraturan pelaksanaannya. Petunjuk Pemeriksaan: No (1) 1. Petunjuk Pemeriksaan (2) Minta dan review kebijakan dan prosedur kegiatan penyertaan modal apakah telah sesuai dengan Undang-Undang LPEI dan peraturan pelaksanaannya. 2. Minta daftar penyertaan modal yang dilakukan LPEI dan periksa dokumen- dokumen terkait kegiatan penyertaan modal untuk memastikan apakah telah sesuai dengan kebijakan LPEI, Undang-Undang LPEI dan peraturan pelaksanaannya serta memperhatikan penerapan tata kelola yang baik dan manajemen risiko secara memadai. 3. Minta keputusan/risalah rapat/hasil analisis terkait penilaian dan penetapan kualitas penyertaan modal dan teliti apakah telah sesuai dengan Undang-Undang LPEI dan peraturan pelaksanaannya. 4. Lakukan review atas metodologi dan hasil penghitungan pencadangan terkait penyertaan modal. Dilaksanakan/ Diselesaikan Oleh: Paraf (3) Tanggal (4) Index Kertas Kerja/ Dokumen Pendukung (5) Keterangan (6) LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-02/BL/2011 Tanggal : 20 Januari 2011 -42- 5. Buat kesimpulan, tanggapan, dan rekomendasi hasil pemeriksaan serta mintakan tanggapan dari LPEI. Objek Pemeriksaan 6 Tujuan Pemeriksaan : Sumber Pendanaan, Transaksi Derivatif, Tagihan Akseptasi, Rekening Administratif, Rasio Kecukupan Modal, dan Posisi Devisa Neto LPEI. : 1. Memastikan bahwa sumber pendanaan LPEI telah sesuai dengan Undang-Undang LPEI dan peraturan pelaksanaannya. 2. Memastikan bahwa pelaksanaan transaksi derivatif yang dilakukan LPEI telah sesuai dengan Undang-Undang LPEI dan peraturan pelaksanaannya yaitu antara lain menerapkan prinsip kehati-hatian, dilakukan dalam rangka lindung nilai, dan tidak melampaui batas maksimum transaksi derivatif. 3. Memastikan bahwa LPEI telah melakukan penghitungan Rasio Kecukupan Modal dan posisi devisa neto sesuai Undang-Undang LPEI dan peraturan pelaksanaannya dan memastikan bahwa Rasio Kecukupan Modal dan posisi devisa neto LPEI untuk neraca dan keseluruhan tidak melanggar Undang-Undang LPEI dan peraturan pelaksanaannya. 4. Memastikan bahwa penilaian dan penetapan kualitas tagihan derivatif, tagihan akseptasi, dan transaksi rekening administratif sesuai dengan Undang-Undang pelaksanaannya. 5. Memastikan bahwa LPEI senantiasa memenuhi ketentuan mengenai Batas Maksimum tagihan akseptasi dan transaksi rekening administratif sesuai Undang-Undang LPEI dan peraturan pelaksanaannya. Petunjuk Pemeriksaan: No (1) 1. Petunjuk Pemeriksaan (2) Minta dan review kebijakan dan prosedur terkait persetujuan sumber pendanaan, transaksi derivatif, dan tagihan akseptasi. 2. Minta dokumen/perjanjian terkait pendanaan yang diterima LPEI dan periksa apakah telah sesuai kebijakan LPEI, Undang- Undang LPEI dan peraturan pelaksanaannya. 3. Minta dokumen/perjanjian/risalah rapat terkait transaksi derivatif dan periksa apakah telah memenuhi prinsip kehati-hatian, dilakukan dalam rangka lindung nilai, dan tidak terjadi pelampauan batas maksimum transaksi derivatif sesuai Undang-Undang LPEI dan peraturan pelaksanaannya. 4. Lakukan penghitungan ulang atas Rasio Kecukupan Modal dan Posisi Devisa Neto (Neraca dan Keseluruhan) beserta unsur- unsur pembentuknya dan pastikan apakah sesuai dengan Undang-Undang LPEI dan peraturan pelaksanaannya. Dilaksanakan/ Diselesaikan Oleh: Paraf (3) Tanggal (4) Index Kertas Kerja/ Dokumen Pendukung (5) Keterangan (6) LPEI dan peraturan LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-02/BL/2011 Tanggal : 20 Januari 2011 -43- 5. Lakukan pengecekan terhadap posisi struktural dalam penghitungan Posisi Devisa Neto. 6. Minta keputusan/risalah rapat/hasil analisis terkait penilaian dan penetapan kualitas tagihan derivatif, tagihan akseptasi, dan transaksi rekening administratif dan teliti apakah telah sesuai dengan Undang-Undang LPEI dan peraturan pelaksanaannya. 7. Lakukan pengecekan/penghitungan ulang atas pemenuhan ketentuan Batas Maksimum tagihan akseptasi dan transaksi rekening administratif apakah telah akurat dan sesuai dengan Undang-Undang LPEI dan peraturan pelaksanaannya. 8. Buat kesimpulan, tanggapan, dan rekomendasi hasil pemeriksaan serta mintakan tanggapan dari LPEI. Objek Pemeriksaan 7 : Pelaksanaan Prinsip Mengenal Nasabah LPEI. Tujuan Pemeriksaan : 1. Memastikan bahwa LPEI telah menetapkan kebijakan penerimaan nasabah, kebijakan dan prosedur identifikasi nasabah, kebijakan dan prosedur pemantauan terhadap rekening dan transaksi nasabah, dan kebijakan dan prosedur manajemen risiko terkait penerapan prinsip mengenal nasabah sesuai dengan Undang- Undang LPEI dan peraturan pelaksanaannya. 2. Memastikan bahwa LPEI telah menerapkan prinsip mengenal nasabah sesuai dengan kebijakan LPEI, Undang-Undang LPEI dan peraturan pelaksanaannya. 3. Memastikan bahwa LPEI telah memberikan pengetahuan dan/atau pelatihan yang memadai bagi pegawai mengenai penerapan prinsip mengenal nasabah. Petunjuk Pemeriksaan: No (1) 1. Petunjuk Pemeriksaan (2) Minta dokumen-dokumen terkait penerapan prinsip mengenal nasabah antara lain yaitu:  Kebijakan dan prosedur/pedoman terkait pelaksanaan penerapan prinsip mengenal nasabah;  Surat Keputusan pembentukan unit khusus atau petugas yang bertanggung jawab atas pelaksanaan prinsip mengenal nasabah;  Laporan-laporan yang pernah disampaikan ke PPATK terkait pelaksanaan penerapan prinsip mengenal nasabah dan daftar nasabah yang melakukan transaksi mencurigakan;  Daftar nasabah LPEI; Dilaksanakan/ Diselesaikan Oleh: Paraf Tanggal (3) (4) Index Kertas Kerja/ Dokumen Pendukung (5) (6) Keterangan LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-02/BL/2011 Tanggal : 20 Januari 2011 -44-  Daftar pelatihan/sosialisasi terkait pelaksanaan penerapan prinsip mengenal nasabah  Dokumen-dokumen pendukung lainnya terkait penerapan prinsip mengenal nasabah. 2. Lakukan review atas kebijakan dan prosedur/pedoman terkait pelaksanaan penerapan prinsip mengenal nasabah dan periksa kesesuaiannya dengan Undang- Undang LPEI dan peraturan pelaksanaannya. 3. Periksa apakah LPEI telah memiliki sistem informasi yang dapat mengidentifikasi, menganalisa, memantau, dan menyediakan laporan mengenai karakteristik transaksi yang dilakukan oleh nasabah secara handal dan tepat waktu. 4. Lakukan uji sampel atas data dan rekening nasabah untuk memastikan apakah penerimaan dan identifikasi nasabah, pemantauan rekening dan transaksi nasabah, pemeliharaan profil nasabah, dan pelaporan transaksi mencurigakan telah sesuai dengan kebijakan LPEI, Undang-Undang LPEI dan peraturan pelaksanaannya. 5. Telaah hasil pelatihan dan/sosialisasi yang telah dilakukan terkait pelaksanaan penerapan prinsip mengenal nasabah untuk menilai efektivitasnya. 6. Buat kesimpulan, tanggapan, dan rekomendasi hasil pemeriksaan dan mintakan tanggapan dari LPEI. LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-02/BL/2011 Tanggal : 20 Januari 2011 -45- d. MODUL IV: Program Pemeriksaan Keuangan LPEI Objek Pemeriksaan Tujuan Pemeriksaan Petunjuk Pemeriksaan: No (1) 1. : Akun-akun Neraca, Laporan Laba Rugi, dan Rekening Administratif. : Menilai kebenaran substansi akun-akun Neraca, Laporan Laba Rugi, dan Rekening Administratif Petunjuk Pemeriksaan (2) Minta kebijakan akuntansi, manual sistem informasi akuntansi LPEI dan Standard Operating Procedures (SOP) pencatatan transaksi akun-akun Neraca, Laporan Laba Rugi, dan Rekening Administratif. 2. Lakukan review atas kebijakan akuntansi, manual sistem informasi akuntansi LPEI dan Standard Operating Procedures (SOP) pencatatan transaksi akun-akun Neraca, Laporan Laba Rugi, dan Rekening Administratif terutama untuk memastikan pengendalian intern. 3. Lakukan uji petik (sampel) untuk menilai pencatatan transaksi apakah telah sesuai dengan kebijakan akuntansi, manual sistem informasi akuntansi LPEI dan Standard Operating Procedures (SOP) pencatatan transaksi akun-akun Neraca, Laporan Laba Rugi, dan Rekening Administratif. 4. Periksa akurasi jumlah, validitas, kelengkapan, dan klasifikasi akun-akun Neraca, Laporan Laba Rugi, dan Rekening Administratif. 5. Buat kesimpulan, tanggapan, dan rekomendasi hasil pemeriksaan serta mintakan tanggapan dari LPEI. Dilaksanakan/ Diselesaikan Oleh: Paraf (3) Tanggal (4) Index Kertas Kerja/ Dokumen Pendukung (5) Keterangan (6) LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-02/BL/2011 Tanggal : 20 Januari 2011 -46- BAB IV DOKUMENTASI PEMERIKSAAN A. Klasifikasi Berkas Pemeriksaan Berkas pemeriksaan merupakan data, kertas kerja, laporan pemeriksaan dan semua dokumen yang berhubungan dengan kegiatan pemeriksaan. Dokumen tersebut merupakan bukti otentik pelaksanaan pemeriksaan dan sebagai dasar dalam pembuatan laporan hasil pemeriksaan. Agar berkas pemeriksaan mudah diperoleh kembali, penyimpanannya harus dilakukan dengan tertib dan teratur. Berkas Pemeriksaan dapat diklasifikasikan sebagai berikut: 1. Berkas umum Berkas umum merupakan dokumen-dokumen administratif yang dibuat dalam rangka pelaksanaan kegiatan pemeriksaan. Berkas umum mencakup: a. Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Surat Pemberitahuan Pemeriksaan adalah surat pemberitahuan yang dikeluarkan Penanggung Jawab Pemeriksaan atas nama Ketua Bapepam dan LK yang disampaikan kepada LPEI. Tembusan Surat Pemberitahuan Pemeriksaan dikirimkan kepada Ketua dan Sekretaris Bapepam dan LK. b. Surat Perintah Pemeriksaan Surat Perintah Pemeriksaan merupakan surat yang dikeluarkan Penanggung Jawab Pemeriksaan atas nama Ketua Bapepam dan LK yang digunakan pemeriksa sebagai dasar untuk melakukan Pemeriksaan. Tembusan Surat Perintah Pemeriksaan dikirimkan kepada Ketua dan Sekretaris Bapepam dan LK. c. Surat Perintah Perjalanan Dinas Surat Perintah Perjalanan Dinas dibuat untuk keperluan administratif guna mendapatkan penggantian biaya perjalanan dinas dari Sekretariat Bapepam dan LK. Untuk pemeriksaan kantor pusat LPEI di Jakarta cukup digunakan Surat Perintah Pemeriksaan, sementara untuk pemeriksaan LPEI di kota-kota lain digunakan juga Surat Perintah Perjalanan Dinas selain Surat Perintah Pemeriksaan. d. Daftar Permintaan dan Peminjaman Data/Dokumen Daftar ini merupakan daftar permintaan dan peminjaman data/ dokumen yang dibutuhkan oleh Tim Pemeriksaan dan disampaikan kepada LPEI. Daftar ini berisi rincian data/dokumen yang dibutuhkan, tanggal diberikan atau kesanggupan LPEI memberikan data, dan tanggal pengembalian data. Daftar ini dibuat 2 (dua) rangkap (satu untuk Tim Pemeriksaan dan satu lagi untuk LPEI) dan ditandatangani oleh Ketua Tim Pemeriksaan. Contoh format Daftar Permintaan dan Peminjaman Data/Dokumen terdapat dalam Formulir V. LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-02/BL/2011 Tanggal : 20 Januari 2011 -47- e. Berita Acara Penolakan Pemeriksaan/Penolakan Membantu Kelancaran Pemeriksaan dan Berita Acara Penundaan Pemeriksaan Berita Acara Penolakan Pemeriksaan/Penolakan Membantu Kelancaran Pemeriksaan merupakan dokumen yang berisi pernyataan bahwa LPEI menolak dilakukan pemeriksaan atau menolak membantu kelancaran pemeriksaan. Dalam hal LPEI menolak dilakukannya pemeriksaan atau menolak membantu kelancaran Pemeriksaan, wakil LPEI dan Ketua Tim Pemeriksaan harus menandatangani Berita Acara Penolakan Pemeriksaan/Penolakan Membantu Kelancaran Pemeriksaan. Contoh format Berita Acara Penolakan Pemeriksaan/Penolakan Membantu Kelancaran Pemeriksaan terdapat dalam Formulir VI. Berita Acara Penundaan Pemeriksaan merupakan dokumen yang berisi pernyataan bahwa LPEImengajukan penundaan Pemeriksaan. Dalam hal LPEI mengajukan penundaan dilakukannya pemeriksaan, wakil LPEI dan Ketua Tim Pemeriksaan harus menandatangani Berita Acara Penundaan Pemeriksaan. Contoh format Berita Acara Penundaan Pemeriksaan terdapat dalam Formulir VII. f. Berita Acara Pemeriksaan dan Berita Acara Penolakan Penandatanganan Berita Acara Pemeriksaan. Berita Acara Pemeriksaan merupakan dokumen yang menyatakan bahwa telah dilakukan pemeriksaan terhadap LPEI. Berita Acara ini ditandatangani oleh Ketua Tim Pemeriksaan dan pihak yang mewakili LPEI setelah berakhirnya pemeriksaan di kantor LPEI. Contoh format Berita Acara Pemeriksaan terdapat dalam Formulir VIII. Berita Acara Penolakan Penandatanganan Berita Acara Pemeriksaan dibuat apabila pihak yang mewakili LPEI menolak untuk menandatangani Berita Acara Pemeriksaan. Berita Acara ini ditandatangani oleh Ketua Tim Pemeriksaan dan pihak yang mewakili LPEI setelah berakhirnya pemeriksaan di kantor LPEI. Contoh format Berita Acara Penolakan Penandatanganan Berita Acara Pemeriksaan terdapat dalam Formulir IX. g. Surat Pengantar Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara dan Laporan Hasil Pemeriksaan Final Surat pengantar Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara maupun surat pengantar Laporan Hasil Pemeriksaan Final ditandatangani oleh Penanggung Jawab Pemeriksaan atas nama Ketua Bapepam dan LK dan ditujukan kepada Direktur Eksekutif LPEI. Dalam surat pengantar, Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara harus diberitahukan tentang jangka waktu penyampaian tanggapan terhadap laporan dimaksud dan kemungkinan diadakannya pembahasan apabila Direktur Eksekutif LPEI keberatan terhadap temuan hasil pemeriksaan yang tertuang dalam Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara. Contoh format Surat Pengantar Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara terdapat dalam Formulir X. Contoh format Surat Pengantar Laporan Hasil Pemeriksaan Final (Tanpa Tanggapan) terdapat dalam Formulir XI. LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-02/BL/2011 Tanggal : 20 Januari 2011 -48- Contoh format Surat Pengantar Laporan Hasil Pemeriksaan Final (Dengan Tanggapan) terdapat dalam Formulir XII. h. Berita Acara Pembahasan Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara Berita Acara Pembahasan Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara dibuat apabila dilakukan pembahasan dengan LPEI yang keberatan terhadap temuan hasil pemeriksaan yang tertuang dalam Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara. Berita Acara Pembahasan Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara ditandatangani Penyelia dan Ketua Tim Pemeriksaan dan wakil dari LPEI pada akhir acara pembahasan. Contoh format Berita Acara Pembahasan Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara terdapat dalam Formulir XIII. i. Nota Dinas Pengantar Laporan Hasil Pemeriksaan kepada Ketua Bapepam dan LK Nota dinas pengantar Laporan Hasil Pemeriksaan disampaikan oleh Penangung Jawab Pemeriksaan kepada Ketua Bapepam dan LK dan berisi laporan mengenai pemeriksaan terhadap LPEI beserta hasil-hasilnya. Nota dinas ini dilampiri ringkasan hasil-hasil pemeriksaan. Nota dinas tersebut dibuat untuk pemeriksaan yang bersifat setiap waktu dan pemeriksaan berkala. Bentuk nota dinas ini sesuai dengan bentuk baku yang telah diterapkan di lingkungan Bapepam dan LK. j. Lembar Kerja Pemeriksa Lembar ini berisi tentang pekerjaan yang telah dilakukan setiap pemeriksa, tanggal penyelesaian pekerjaan tersebut, dan kertas kerja yang dihasilkan. Lembar Kerja Pemeriksa diisi oleh pemeriksa, dan diparaf oleh Ketua Tim Pemeriksaan dan Penyelia Pemeriksaan. Contoh format Lembar Kerja Pemeriksa terdapat dalam Formulir XIV. k. Surat dari LPEI atau Pihak Lain Surat dari LPEI merupakan semua surat yang berhubungan dengan pemeriksaan dan berasal dari LPEI, misalnya Surat Tanggapan atas Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara. Sedangkan surat yang berasal dari pihak lain misalnya adalah balasan surat konfirmasi. 2. Kertas Kerja Pemeriksaan (KKP) Kertas Kerja Pemeriksaan merupakan kertas kerja yang dibuat pemeriksa selama melakukan kegiatan pemeriksaan. Kertas kerja tersebut diberi nomor indeks dan diparaf oleh Ketua dan Anggota Tim Pemeriksaan yang membuat kertas kerja. Kertas kerja selanjutnya digunakan sebagai dasar dalam membuat Laporan Hasil Pemeriksaan. Dengan demikian semua yang tertuang dalam Laporan Hasil Pemeriksaan didukung dengan Kertas Kerja Pemeriksaan. Secara garis besar Kertas Kerja Pemeriksaan mencakup: a. Kertas Kerja Pemeriksaan awal, mencakup: 1) Hasil analisis pendahuluan; dan 2) Kuesioner. b. Kertas Kerja Pemeriksaan untuk aspek tata kelola perusahaan yang baik. LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-02/BL/2011 Tanggal : 20 Januari 2011 -49- c. Kertas Kerja Pemeriksaan untuk aspek manajemen risiko. d. Kertas Kerja Pemeriksaan untuk aspek operasional. e. Kertas Kerja Pemeriksaan untuk aspek Keuangan. 3. Dokumen Pendukung Kertas Kerja Pemeriksaan Kelompok berkas ini berisi dokumen-dokumen yang diperoleh pemeriksa dari LPEI dan/atau pihak lain untuk mendukung Kertas Kerja Pemeriksaan. Dokumen pendukung Kertas Kerja Pemeriksaan yang diarsip hanyalah dokumen pendukung yang relevan dengan Kertas Kerja Pemeriksaan. 4. Laporan Hasil Pemeriksaan Laporan Hasil Pemeriksaan yang terdiri dari Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara maupun Laporan Hasil Pemeriksaan Final memuat hasil-hasil pemeriksaan yang mencakup semua aspek yang diperiksa. Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara dan Laporan Hasil Pemeriksaan Final ditetapkan oleh Penanggung Jawab Pemeriksaan atas nama Ketua Bapepam dan LK. Contoh format dan sistematika Laporan Hasil Pemeriksaan terdapat dalam Formulir XV. B. Prosedur Penyimpanan Dokumen Setelah pemeriksaan terhadap LPEI selesai dilakukan (Laporan Hasil Pemeriksaan telah dikirim), pemeriksa wajib melakukan pengarsipan seluruh berkas pemeriksaan dengan cara yang sistematis, sehingga berkas pemeriksaan tersebut mudah ditemukan kembali apabila diperlukan. Dokumen-dokumen elektronik dari satu pemeriksaan harus disimpan dalam satu direktori yang tidak bercampur dengan dokumen lain pada jaringan komputer. Berkas pemeriksaan yang berupa dokumen kertas harus disimpan dalam dua bundel yang terpisah, yaitu: 1. Bundel 1 berisi berkas Umum, Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara, dan Laporan Hasil Pemeriksaan Final. Bundel 1 disusun dengan urutan sebagai berikut: a. Daftar Isi; b. Surat Perintah Pemeriksaan; c. Surat Pemberitahuan Pemeriksaan; d. Surat Perintah Perjalanan Dinas atau copy Surat Perintah Perjalanan Dinas; e. Daftar Permintaan dan Peminjaman Data/Dokumen; f. Berita Acara Penolakan Pemeriksaan/Penolakan Membantu Kelancaran Pemeriksaan atau Berita Acara Penundaan Pemeriksaan (jika ada); g. Berita Acara Pemeriksaan atau Berita Acara Penolakan Penandatanganan Berita Acara Pemeriksaan (jika ada); h. Berita Acara Pembahasan Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara (jika ada); i. Lembar Kerja Pemeriksa; j. Surat dari LPEI atau Pihak Lain (jika ada); k. Nota Dinas Pengantar Laporan Hasil Pemeriksaan kepada Ketua Bapepam dan LK; l. Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara dan surat pengantarnya; m. Laporan Hasil Pemeriksaan Final dan surat pengantarnya. LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-02/BL/2011 Tanggal : 20 Januari 2011 -50- 2. Bundel 2 berisi Kertas Kerja Pemeriksaan dan dokumen pendukung Kertas Kerja Pemeriksaan. Bundel 2 disusun sesuai dengan urutan nomor indeks Kertas Kerja Pemeriksaan. C. Contoh Formulir 1. FORMULIR V : FORMAT DAFTAR PERMINTAAN DAN PEMINJAMAN DATA/DOKUMEN KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN GEDUNG SUMITRO DJOJOHADIKUSUMO, JALAN LAPANGAN BANTENG TIMUR NOMOR 1-4, JAKARTA 10710, TELEPON 0213858001, FAKSIMILI 0213857917, SITUS www.bapepam.go.id DAFTAR PERMINTAAN DAN PEMINJAMAN DATA/DOKUMEN Berikut ini adalah data dan dokumen yang dibutuhkan dalam rangka pemeriksaan langsung terhadap Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia: Diserahkan Nama No. Dokumen/ Data Jumlah Dokumen/ Data Status *) Oleh (nama & paraf) Kepada (nama & paraf) Oleh Tanggal (nama & paraf) Kepada (nama & paraf) Tanggal Dikembalikan Ketua Tim Pemeriksaan, .......................................... NIP Keterangan: *) diisi angka 1 apabila dokumen diminta dan angka 2 apabila dokumen dipinjam LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-02/BL/2011 Tanggal : 20 Januari 2011 -51- 2. FORMULIR VI : FORMAT BERITA ACARA PENOLAKAN PEMERIKSAAN/ PENOLAKAN MEMBANTU KELANCARAN PEMERIKSAAN KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN GEDUNG SUMITRO DJOJOHADIKUSUMO, JALAN LAPANGAN BANTENG TIMUR NOMOR 1-4, JAKARTA 10710, TELEPON 0213858001, FAKSIMILI 0213857917, SITUS www.bapepam.go.id BERITA ACARA PENOLAKAN PEMERIKSAAN/ PENOLAKAN MEMBANTU KELANCARAN PEMERIKSAAN Pada hari ini ........., tanggal ......... berdasarkan Surat Perintah Pemeriksaan Nomor ......... tanggal ........., kami: Nama NIP : ......... : ......... Ketua Tim Pemeriksaan pada Biro Pembiayaan dan Penjaminan, ditugaskan untuk melakukan pemeriksaan terhadap Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) dengan alamat ……….. Sehubungan dengan pemeriksaan tersebut, LPEI, dalam hal ini diwakili oleh: Nama Jabatan Alamat : ......... : ......... : ......... telah menolak untuk dilakukan pemeriksaan/membantu kelancaran pemeriksaan*), dengan alasan: ......................................................................................................................................... Demikian Berita Acara Penolakan Pemeriksaan/Penolakan Membantu Kelancaran Pemeriksaan*) ini dibuat dengan sebenarnya. Jakarta, ......... Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia, Ketua Tim Pemeriksaan, …………………................... Jabatan :………….... *) coret yang tidak perlu …………………................. NIP ..................................... LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-02/BL/2011 Tanggal : 20 Januari 2011 -52- 3. FORMULIR VII: FORMAT BERITA ACARA PENUNDAAN PEMERIKSAAN KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN GEDUNG SUMITRO DJOJOHADIKUSUMO, JALAN LAPANGAN BANTENG TIMUR NOMOR 1-4, JAKARTA 10710, TELEPON 0213858001, FAKSIMILI 0213857917, SITUS www.bapepam.go.id BERITA ACARA PENUNDAAN PEMERIKSAAN Pada hari ini ........., tanggal ......... berdasarkan Surat Perintah Pemeriksaan Nomor……….tanggal………, LPEI dan Tim pemeriksaan sepakat untuk melakukan penundaan pemeriksaan dengan alasan: ....................................................................................................................................................... Demikian Berita Acara Penundaan Pemeriksaan ini dibuat dengan sebenarnya. Jakarta, ................ Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia, Ketua Tim Pemeriksaan, ……………………….. …… Jabatan :…………... ...................................... NIP .............................. LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-02/BL/2011 Tanggal : 20 Januari 2011 -53- 4. FORMULIR VIII : FORMAT BERITA ACARA PEMERIKSAAN KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN GEDUNG SUMITRO DJOJOHADIKUSUMO, JALAN LAPANGAN BANTENG TIMUR NOMOR 1-4, JAKARTA 10710, TELEPON 0213858001, FAKSIMILI 0213857917, SITUS www.bapepam.go.id BERITA ACARA PEMERIKSAAN Nomor:…………………… Pada hari ini, ……….. tanggal …………………, Tim Pemeriksaan Biro Pembiayaan dan Penjaminan berdasarkan Surat Perintah Pemeriksaan Nomor ………………..tanggal ……………… telah melaksanakan pemeriksaan terhadap Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia, dengan alamat ……………………...... Kepada Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia telah ditunjukkan Surat Perintah Pemeriksaan dan dijelaskan tentang tujuan pemeriksaan yaitu untuk memperoleh keyakinan yang memadai atas kebenaran laporan periodik dan menilai kepatuhan terhadap ketentuan undang-undang yang mengatur tentang Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia dan peraturan pelaksanaannya serta peraturan perundang-undangan lain yang terkait dengan kegiatan LPEI. Pemeriksaan telah dilaksanakan dari tanggal .............. s.d. ................. Demikian berita acara ini dibuat dan ditandatangani oleh Ketua Tim Pemeriksaan dan pihak yang mewakili Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia. Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia, Jakarta, ………………… Ketua Tim Pemeriksaan, .........……………………… Jabatan: …………………. ………………………….. NIP …………………… LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-02/BL/2011 Tanggal : 20 Januari 2011 -54- 5. FORMULIR IX: FORMAT BERITA ACARA PENOLAKAN PENANDATANGANAN BERITA ACARA PEMERIKSAAN KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN GEDUNG SUMITRO DJOJOHADIKUSUMO, JALAN LAPANGAN BANTENG TIMUR NOMOR 1-4, JAKARTA 10710, TELEPON 0213858001, FAKSIMILI 0213857917, SITUS www.bapepam.go.id BERITA ACARA PENOLAKAN PENANDATANGANAN BERITA ACARA PEMERIKSAAN Pada hari ini ........., tanggal ......... berdasarkan Surat Perintah Pemeriksaan Nomor ......... tanggal ......... Tim Pemeriksaan pada Biro Pembiayaan dan Penjaminan telah melakukan pemeriksaan terhadap Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia, dengan alamat …………………........... Sehubungan dengan pemeriksaan tersebut, Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia, dalam hal ini diwakili oleh: Nama Jabatan Alamat : ......... : ......... : ......... telah menolak untuk menandatangani Berita Acara Pemeriksaan, dengan alasan: ............................................................... Demikian Berita Acara Penolakan Penandatanganan Berita Acara Pemeriksaan ini dibuat dengan sebenarnya. Jakarta, ......... Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia, Ketua Tim Pemeriksaan, ……………………… Jabatan: …………….. ……….......................... NIP .............................. LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-02/BL/2011 Tanggal : 20 Januari 2011 -55- 6. FORMULIR X : FORMAT SURAT PENGANTAR LAPORAN HASIL PEMERIKSAAN SEMENTARA KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN GEDUNG SUMITRO DJOJOHADIKUSUMO, JALAN LAPANGAN BANTENG TIMUR NOMOR 1-4, JAKARTA 10710, TELEPON 0213858001, FAKSIMILI 0213857917, SITUS www.bapepam.go.id Nomor : ............. Lampiran : 1 (satu) berkas Hal Yth. Direktur Eksekutif Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (alamat) ................................. Sehubungan dengan telah dilaksanakan pemeriksaan terhadap Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia berdasarkan Surat Perintah Pemeriksaan Nomor ............. tanggal ............., bersama ini kami sampaikan Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara. Saudara dapat menyampaikan tanggapan atas hasil pemeriksaan dimaksud paling lama 15 (lima belas) hari kerja setelah diterimanya surat ini untuk dilakukan pembahasan lebih lanjut jika diperlukan atas tanggapan yang Saudara sampaikan. Jika dalam jangka waktu tersebut tidak ada tanggapan yang berisi keberatan dari Saudara, maka Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara akan ditetapkan sebagai Laporan Hasil Pemeriksaan Final. Demikian agar Saudara maklum. a.n. Ketua Kepala Biro Pembiayaan dan Penjaminan, : Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara (tanggal) .......................... …………………........... NIP ……………........... Tembusan: 1. Ketua; 2. Sekretaris Badan; 3. Dewan Direktur Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia. LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-02/BL/2011 Tanggal : 20 Januari 2011 -56- 7. FORMULIR XI : FORMAT SURAT PENGANTAR LAPORAN HASIL PEMERIKSAAN FINAL (TANPA TANGGAPAN) KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN GEDUNG SUMITRO DJOJOHADIKUSUMO, JALAN LAPANGAN BANTENG TIMUR NOMOR 1-4, JAKARTA 10710, TELEPON 0213858001, FAKSIMILI 0213857917, SITUS www.bapepam.go.id Nomor : ............. Lampiran : 1 (satu) berkas Hal Yth. Direktur Eksekutif Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (alamat) ….............. Sehubungan dengan telah disampaikan Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara kepada Saudara dengan surat Nomor ............. tanggal ............., dan sampai dengan jangka waktu 15 (lima belas) hari kerja terhitung sejak tanggal Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara diterima tidak ada tanggapan dari Saudara, maka Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara dimaksud ditetapkan menjadi Laporan Hasil Pemeriksaan Final. Berkenaan dengan hasil Pemeriksaan, diharapkan Saudara memperhatikan dan segera melaksanakan rekomendasi yang terdapat dalam Bab ....................................... dari Laporan Hasil Pemeriksaan Final *). Demikian agar Saudara maklum. a.n. Ketua Kepala Biro Pembiayaan dan Penjaminan : Laporan Hasil Pemeriksaan Final (tanggal) ........................... ….................................... NIP ……………............ Tembusan: 1. Ketua; 2. Sekretaris Badan; 3. Dewan Direktur Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia. *) Paragraf ini hanya dicantumkan jika terdapat rekomendasi. LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-02/BL/2011 Tanggal : 20 Januari 2011 -57- 8. FORMULIR XII : FORMAT SURAT PENGANTAR LAPORAN HASIL PEMERIKSAAN FINAL (DENGAN TANGGAPAN) KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN GEDUNG SUMITRO DJOJOHADIKUSUMO, JALAN LAPANGAN BANTENG TIMUR NOMOR 1-4, JAKARTA 10710, TELEPON 0213858001, FAKSIMILI 0213857917, SITUS www.bapepam.go.id Nomor : ............. Lampiran : 1 (satu) berkas Hal Yth. Direktur Eksekutif Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (alamat) ……………............. Berita Sehubungan dengan surat Saudara Nomor ............. tanggal ............. hal ...................dan Pembahasan Acara Laporan Hasil Pemeriksaan : Laporan Hasil Pemeriksaan Final (tanggal)............................. Sementara Nomor………….tanggal………….., maka bersama ini kami sampaikan Laporan Hasil Pemeriksaan Final yang disusun berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara yang telah disesuaikan. Berkenaan dengan hasil Pemeriksaan, diharapkan Saudara memperhatikan dan segera melaksanakan rekomendasi yang terdapat dalam Bab ........................................ dari Laporan Hasil Pemeriksaan Final*). Demikian agar Saudara maklum. a.n. Ketua Kepala Biro Pembiayaan dan Penjaminan, ............................................ NIP ………………........... Tembusan: 1. Ketua; 2. Sekretaris Badan; 3. Dewan Direktur Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia. *) Paragraf ini hanya dicantumkan jika terdapat rekomendasi. LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-02/BL/2011 Tanggal : 20 Januari 2011 -58- 9. FORMULIR XIII : FORMAT BERITA ACARA PEMBAHASAN LAPORAN HASIL PEMERIKSAAN SEMENTARA KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN GEDUNG SUMITRO DJOJOHADIKUSUMO, JALAN LAPANGAN BANTENG TIMUR NOMOR 1-4, JAKARTA 10710, TELEPON 0213858001, FAKSIMILI 0213857917, SITUS www.bapepam.go.id BERITA ACARA PEMBAHASAN LAPORAN HASIL PEMERIKSAAN SEMENTARA Pada hari ini, ……….. tanggal …………………bertempat di ............. telah dilakukan pembahasan keberatan Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia atas Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara. Pembahasan dimaksud akan digunakan sebagai bahan pertimbangan oleh Tim Pemeriksaan dalam menyusun Laporan Hasil Pemeriksaan Final. Hadir dalam pembahasan tersebut ..... orang dari Biro Pembiayaan dan Penjaminan dan ...... orang dari Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (daftar hadir terlampir). Hasil pembahasan tersebut adalah sebagai berikut: 1. ......................................... 2. ........................................ 3. ........................................ 4. ........................................ Demikian Berita Acara ini dibuat dengan sebenarnya. Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia, Jakarta, ………………… Penyelia Pemeriksaan, ……………………………… Jabatan: …………………..... ................................... NIP ........................... Ketua Tim Pemeriksaan, ………………………....... NIP........................... LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-02/BL/2011 Tanggal : 20 Januari 2011 -59- 10. FORMULIR XIV : FORMAT LEMBAR KERJA PEMERIKSA KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN GEDUNG SUMITRO DJOJOHADIKUSUMO, JALAN LAPANGAN BANTENG TIMUR NOMOR 1-4, JAKARTA 10710, TELEPON 0213858001, FAKSIMILI 0213857917, SITUS www.bapepam.go.id LEMBAR KERJA PEMERIKSA Nama Pemeriksa :……………………. Ketua Tim Penyelia :……………………. :……………………. Tanggal Pemeriksaan :……………………. No Objek/Tugas Pemeriksaan Tanggal selesai KKP No. Index Jenis Kesimpulan Paraf Ketua Tim Keterangan Paraf Penyelia: LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-02/BL/2011 Tanggal : 20 Januari 2011 -60- 11. FORMULIR XV: FORMAT LAPORAN HASIL PEMERIKSAAN KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN BIRO PEMBIAYAAN DAN PENJAMINAN LAPORAN HASIL PEMERIKSAAN LEMBAGA PEMBIAYAAN EKSPOR INDONESIA Nomor Laporan Tanggal Laporan Jenis Pemeriksaan : : : Periode Pemeriksaan : LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-02/BL/2011 Tanggal : 20 Januari 2011 -61- Isi Laporan Hasil Pemeriksaan secara garis besar terdiri dari: LAPORAN SINGKAT HASIL PEMERIKSAAN LPEI TAHUN................... Disajikan secara ringkas yang terdiri dari: 1. Paragraf Pendahuluan, berisi: Nomor dan Tanggal Surat Perintah Pemeriksaan, ruang lingkup pemeriksaan, periode pemeriksaan, jenis pemeriksaan, dan maksud dan tujuan pemeriksaan. 2. Paragraf Isi, berisi: Penjelasan ringkas tentang hasil pemeriksaan yang telah dilaksanakan. 3. Paragraf Penutup, berisi: Pernyataan bahwa hasil pemeriksaan selengkapnya ada dalam laporan ini. Jakarta, tanggal, bulan, tahun TIM PEMERIKSAAN 1. Penyelia / NIP 2. Ketua / NIP 3. Anggota / NIP 4. Anggota / NIP 5. Anggota / NIP 6. ……. Ditetapkan, a.n. Ketua Kepala Biro Pembiayaan dan Penjaminan, TANDA TANGAN 1. 2. 3. 4. 5. 6. ................................................... NIP........................................... LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-02/BL/2011 Tanggal : 20 Januari 2011 -62- LAPORAN HASIL PEMERIKSAAN LPEI TAHUN....................... I. Informasi Umum (Bagian ini memuat informasi umum terkait pemeriksaan terhadap LPEI antara lain dasar hukum dilakukannya pemeriksaan, jenis pemeriksaan, Nomor Surat Perintah Pemeriksaan, komposisi tim pemeriksaan, tujuan pemeriksaan, ruang lingkup pemeriksaan, pedoman pemeriksaan, kondisi umum LPEI, dan informasi umum lainnya terkait pemeriksaan yang telah dilaksanakan terhadap LPEI.) II. Hasil Pemeriksaan A. Aspek Tata Kelola Perusahaan Yang Baik (Bagian ini memuat hasil-hasil pemeriksaan terhadap aspek tata kelola perusahaan yang baik LPEI antara lain mengenai kriteria/ketentuan yang berlaku dan kondisi yang ada pada LPEI.) B. Aspek Manajemen Risiko (Bagian ini memuat hasil-hasil pemeriksaan terhadap aspek manajemen risikoLPEI antara lain mengenai kriteria/ketentuan yang berlaku dan kondisi yang ada pada LPEI.) C. Aspek Operasional (Bagian ini memuat hasil-hasil pemeriksaan terhadap aspek operasional LPEI antara lain mengenai kriteria/ketentuan yang berlaku dan kondisi yang ada pada LPEI.) D. Aspek Keuangan (Bagian ini memuat hasil-hasil pemeriksaan terhadap aspek keuangan LPEI antara lain mengenai kriteria dan kondisi yang ada pada LPEI.) E. Lain-lain Hal-hal yang belum tercakup pada point A s.d. D (jika ada). III. Kesimpulan IV. Saran dan Rekomendasi (hanya untuk Laporan Final) LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-02/BL/2011 Tanggal : 20 Januari 2011 -63- BAB V PENGENDALIAN PEMERIKSAAN Pengendalian pemeriksaan bertujuan untuk memastikan agar proses pemeriksaan LPEI dilakukan sesuai dengan Pedoman Pemeriksaan LPEI dan memastikan seluruh tujuan pemeriksaan dapat tercapai secara efisien dan efektif. Pengendalian pemeriksaan merupakan kegiatan penilaian kinerja mulai dari penyusunan rencana pemeriksaan sampai dengan tindak lanjut atas rekomendasi dalam laporan hasil pemeriksaan. Objek pengendalian pemeriksaan adalah pemeriksa dan setiap kegiatan yang berkaitan dengan pemeriksaan. Pengendalian tersebut terdiri dari pengendalian terhadap pelaksanaan rencana pemeriksaan dan pengendalian perhadap pelaksanaan pemeriksaan. 1. Pengendalian Terhadap Rencana Pemeriksaan Pengendalian terhadap rencana pemeriksaan dilakukan oleh Penanggung Jawab Pemeriksaan dan Penyelia Pemeriksaan antara lain terhadap aspek-aspek sebagai berikut: a. penyusunan rencana pemeriksaan. b. penggunaan waktu kerja dan jumlah pemeriksa yang diperlukan untuk menyelesaikan kegiatan pemeriksaan. c. pencapaian target pemeriksaan. Penanggung Jawab Pemeriksaan dan Penyelia Pemeriksaan secara berkala mengevaluasi rencana kegiatan pemeriksaan. Jika terjadi penyimpangan yang signifikan atau potensi penyimpangan rencana pemeriksaan teridentifikasi, Penanggung Jawab Pemeriksaan dan Penyelia Pemeriksaan harus segera mengambil tindakan untuk melakukan perbaikan atas penyimpangan tersebut. Penyelia Pemeriksaan harus menyusun Laporan Pelaksanaan Kegiatan Pemeriksaan LPEI yang telah dilaksanakan dan selanjutnya Penanggung Jawab Pemeriksaan menyampaikan Laporan tersebut kepada Ketua Bapepam dan LK dan/atauMenteri Keuangan. Contoh format Laporan Kegiatan Pemeriksaan LPEI terdapat dalam Formulir XVI. 2. Pengendalian Terhadap Pelaksanaan Pemeriksaan Pengendalian terhadap pelaksanaan pemeriksaan dilakukan terhadap seluruh proses pemeriksaan setelah tahapan perencanaan pemeriksaan selesai dilakukan, yaitu mulai dari persiapan pemeriksaan, pemeriksaan lapangan, penyusunan laporan hasil pemeriksaan hingga tindak lanjut hasil pemeriksaan. Pengendalian terhadap pelaksanaan pemeriksaan tersebut dilakukan oleh Penanggung Jawab Pemeriksaan, Penyelia Pemeriksaan, dan Ketua Tim Pemeriksaan antara lain terhadap aspek-aspek sebagai berikut: a. persiapan pemeriksaan sebelum pemeriksaan lapangan dilaksanakan; b. prosedur pemeriksaan yang telah dilaksanakan Tim Pemeriksaan, data dan informasi yang diperoleh Tim Pemeriksaan, atau Kertas Kerja Pemeriksaan; c. hasil pemeriksaan dan penuangannya dalam konsep LHPS dan LHPF; dan d. pelaksanaan tindak lanjut hasil pemeriksaan. LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-02/BL/2011 Tanggal : 20 Januari 2011 -64- Jika terjadi penyimpangan yang signifikan atau potensi penyimpangan pelaksanaan pemeriksaan teridentifikasi, harus segera diambil tindakan untuk melakukan perbaikan atas penyimpangan tersebut. Dalam hal ini, Ketua Tim Pemeriksaan harus selalu berkonsultasi dengan Penyelia Pemeriksaan yang selanjutnya membahas tindakan koreksi atau perbaikan yang akan dilakukan. FORMULIR XVI : FORMAT LAPORAN PELAKSANAAN KEGIATAN PEMERIKSAAN TAHUNAN KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN GEDUNG SUMITRO DJOJOHADIKUSUMO, JALAN LAPANGAN BANTENG TIMUR NOMOR 1-4, JAKARTA 10710, TELEPON 0213858001, FAKSIMILI 0213857917, SITUS www.bapepam.go.id LAPORAN PELAKSANAAN KEGIATAN PEMERIKSAAN LEMBAGA PEMBIAYAAN EKSPOR INDONESIA (LPEI) TAHUN..................... I. Executive Summary II. Laporan Kegiatan Pemeriksaan Berkala/Setiap Waktu LPEI UMUM A. Dasar Hukum B. Tujuan Pemeriksaan C. Ruang Lingkup Pemeriksaan D. Periode Pemeriksaan E. Komposisi Tim Pemeriksaan PELAKSANAAN PEMERIKSAAN A. Persiapan Pemeriksaan B. Temuan Hasil Pemeriksaan KENDALA PEMERIKSAAN A. Faktor Internal B. Faktor Eksternal REKOMENDASI DAN RENCANA TINDAK LANJUT LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-02/BL/2011 Tanggal : 20 Januari 2011 BAB VI PENUTUP Pedoman Pemeriksaan Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia agar dijadikan acuan dalam penyelengaraan Pemeriksaan oleh Tim Pemeriksaan. Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan, A. Fuad Rahmany NIP 195411111981121001 LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-02/BL/2011 Tanggal : 20 Januari 2011 -2- "," PERTA-BAPEPAM-LK PER-02/BL/2011|PERTA-BAPEPAM-LK/2011 PEDOMAN PEMERIKSAAN LEMBAGA PEMBIAYAAN EKSPOR INDONESIA 20 Januari 2011 20 Januari 2011 '45/M|KEPPRES/2006', '161/PMK.010/2010|PER-MENKEU/2010', '184/PMK.01/2010|PER-MENKEU/2010', '140/PMK.010/2009|PER-MENKEU/2009', '2/UU/2009' " "KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN SALINAN PERATURAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN NOMOR: PER-02/BL/2012 TENTANG PEDOMAN PEMERIKSAAN PERUSAHAAN PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 30 ayat (3) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 100/PMK 010/2009 menetapkan Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan tentang Pedoman Pemeriksaan Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur;, Mengingat : 1. Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009 tentang Lembaga 2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 100/PMK.010/2009 tentang Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur, MEMUTUSKAN PERATURAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN Menetapkan : PERATURAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN TENTANG PEDOMAN PEMERIKSAAN PERUSAHAAN PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR BAB 1 TUJUAN PEMERIKSAAN Pasal 1 Pemeriksaan merupakan rangkaian kegiatan yang secara langsung mengumpulkan, mencari, mengolah, dan mengevaluasi data dan informasi mengenai kegiatan perusahaan pembiayaan infrastruktur. Pasal 2 Pemeriksaan perusahaan pembiayaan infrastruktur bertujuan untuk a menilai Repatuhan terhadap ketentuan perundang -undangan di bidang perusahaan pembiayaan infrastruktur; dan b. memperoleh keyakinan yang memadai atas kebenaran End of Page 1 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN 2- BAB II JENIS DAN RUANG LINGKUP PEMERIKSAAN Pasal 3 Pemeriksaan perusahaan pembiayaan infrastruktut dilakukan a. secara berkala paling sedikit satu pemeriksaan dalam 3 (tiga) tahun; dan/atau b. setiap waktu bila diperlukan. Pasal 4 (1) Pemeriksaan berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a dilakukan terhadap a. scluruh aspek penyelenggaraan usaha perusahaan pembiayaan infrastruktur; atau . aspek tertentu dari penyelenggaraan usaha perusahaan pembiayaan infrastruktur. (2) Pemeriksaan terhadap seluruh aspek penyelenggaraan usaha perusahaan pembiayaan infrastruktur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi a. aspek kelembagaan; b. aspek operasional; dan c. aspek keuangan. (3) Pemeriksaan setiap waktu sebagaimana dimaksud dalam dari penyelenggaraan usaha perusahaan | pembiayaan infrastruktur sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (4) Pemerilesaan setiap waktu sebagaimana dimaksud pade ayat (3) antara lain didasarkan atas hasil analisis laporan keuangan dan laporan kegiatan usaha atau informasi yang diperoleh Biro Pembiayaan dan Penjaminan patut diduga penyelenggaraan usaha perusahaan | pembiayaan infrastruktur menyimpang dari ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perusahaan pembiayaan infrastruktur. BAB III PERENCANAAN DAN PELAPORAN PEMERIKSAAN Pasal 5 (1) Dalam rangka pemeriksaan perusahaan | pembiayaan menyampaikan kepada Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan: a. rencana pemeriksaan berkala; dan b. laporan pelaksanaan kegiatan pemeriksaan. End of Page 2 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN 3- (2) Rencana pemeriksaan berkala sebagaimaria dimaksud pada ayat (1) huruf a untuk tahun berikutnya(disampaikan paling lambat setiap tanggal 15 Desember. 3) Laporan pelaksanaan kegiatan pemeriksaan (sebagaimana tanggal 28 Februari tahun berikutnya. BAB IV TAHAPAN PEMERIKSAAN Pasal 6 (1) Pemeriksaan dilakukan melalui tahapan sebagai berikut a. persiapan pemeriksaan; b. pelaksanaan pemeriksaan lapangan, dan c. penyusunan laporan hasil pemeriksaan. (1) huruf a dilakukan untuk menghasilkan program pemeriksaan yang didasarkan pada semua informasi yang tersedia termasuk hasil analisis laporan keuangan dan laporan kegiatan usaha. (3) Pelaksanaan pemeriksaan lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan di kantor perusahaan pembiayaan infrastruktur yang diperiksa atau tempat perusahaan pembiayaan infrastruktur dapat dilakukan konfirmasi kepada pihak ketiga yang terkait dengan perusahaan yang diperiksa. (4) Penyusunan laporan hasil pemeriksaan isebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilakukan berdasarkan data atau keterangan yang diperoleh selama proses pemeriksaan berlangsung dan selanjutnya dituangkan dalam kertas kerja pemeriksaan setelah pelaksanaan pemeriksaan lapangan berakhir. Pasal 7 Biro Pembiayaan dan Penjaminan melakukan | pengawasan untuk memastikan bahwa perusahaan | pembiayaan infrastruktur yang diperiksa telah melaksanakan hal-hal yang direkomendasikan dalam laporan hasil pemeriksaan final. BAB V TATA CARA PEMERIKSAAN Pasal 8 1) Pemeriksaan dilaksanakan oleh pemeriksa | berdasarkan surat perintah pemeriksaan dan surat pemberitahuan pemeriksaan. End of Page 3 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN (2) Surat perintah pemeriksaan dan surat pembcritahuan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh Kepala Biro Pembiayaan dan Penjaminan atas nama Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan. (3) Surat pemberitahuan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada porusahaan pembiayaan paling lama satu hari kerja sebelum dilaksanakan pemeriksaan lapangan. (4) Pemeriksaan dapat dilakukan tanpa terlebih dahulu menyampaikan surat pemberitahuan pemeriksaan apabila penyampaian surat pemberitahuan pemcriksaan diduga mengakibatkan perusahaan pembiayaan infrastruktur akan melakukan; a. tindakan untuk mengaburkan keadaan yang sebenarnya; dan/atau b. tindakan untuk menyembunyikan data, keterangan, atau laporan yang diperlukan dalam pelaksanaan pemeriksaan. Pasal 9 (1) Dalam hal pemeriksaan dilakukan dengan penyampaian terlebih dahulu surat pemberitahuan (pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3), pemeriksa harus menunjukkan surat perintah pemneriksaan pada saat dimulainya pemeriksaan lapangan. (2) Dalam hal pemeriksaan dilakukan tanpa penyampaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4), pemeriksa sukkan surat pemberitahuan pemeriksan dan surat perintah pemeriksaan pada saat dimulainya pemeriksaan lapangan. pemeriksaan lapangan. 3) Dalam hal pemeriksa tidak dapat memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2), perusahaan pembiayaan infrastruktur yang akan diperiksa berhak untuk menolak dilakukan pemeriksaan. (4) Pemeriksa harus memberikan penjelasan kepada perusahaan pembiayaan infrastruktur yang diperiksa mengenai maksud dan tujuan pemeriksaan pada saat dimulainya pemeriksaan lapangan. (5) Dalam melakukan pemeriksaan, pemeriksa berhak dokumen pendukungnya termasuk keluaran (output) dari pengolahan data atau media komputer dan perangkat elektronik pengolah data lainnya; b. mendapatkan keterangan lisan dan/atau) tertulis dari perusahaan pembiayaan infrastruktur yang diperiksa; End of Page 4 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN -5- memesuikt tempat atau ruangan yang diduga merupakan tempat menyimpan dokumen, atau barang yang dapat memberikan petunjuk tentang keadaan perusahaan pembiayaan infrastruktur yang diperiksa; dan * d. mendapatkan keterangan dan/atau | data yang diperlukan dari pihak ketiga yang mempunyai hubungan dengan perusahaan hubungan dengan perusahaan pembiayaan infrastruktur yang diperiksa. 6) Pemeriksa harus merahasiakan data dan/ atau keterangan yang diperoleh selama pemeriksaan terhadap pihak yang tidak berhak. Pasal 10 1) Perusahaan pembiayaan infrastruktur yang diperiksa dilarang menolak dan/atau menghambat kelancaran proses pemeriksaan. menghambat kelancaran proses pemeriksaan apabila a. Perusahaan pembiayaan infrastruktur tidak bersedia 1. memenuhi permintaan untuk memberikan atau meminjamkan buku, catatan, dan dokumen yang diperlukan untuk kelancaran pemeriksaan; 2. memberikan keterangan yang diperlukan secara tertulis dan/atau lisan, 3. memberi kesempatan kepada pemeriksa untuk memasuki tempat atau ruangan yarig dipandang perlu; 4. memberikan keterangan dan/ atau | data yang diperlukan dari pihak ketiga yang| mempunyai hubungan dengan perusahaan | pembiayaan infrastruktur yang diperiksa; dan/atau b. meminjamkan buku, memberikan catatan, dokumen atau keterangan yang tidak benar. Pasal 11 (1) Pemeriksaan dilaksanakan berdasarkan pedoman pemeriksaan yang paling kurang memuat: a. penentuan objek pemeriksaan; penyusunan kertas kerja pemeriksaan; d. pelaporan pemeriksaan;, e. pengendalian pemeriksaan; dan f. tindak lanjut pemeriksaan. End of Page 5 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN -6- (2) Pedoman pemeriksaan perusahaan | pembiayaan infrastruktur ditetapkan scbagaimana dimaksud dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ini. BAB VI KETENTUAN PENUTUP Pasal 12 Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal ditetaplcan. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 29 Februari 2012 a Badan Pengawas Pasar Motal Nurhaida NIP 195906271989022001 Kepu Bagian Umum gis NHP 195710281985121001 End of Page 6 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN LAMPIRAN PERATURAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN NOMOR: PER-02/BL/2012 TENTANG PEDOMAN PEMERIKSAAN PERUSAHAAN PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR End of Page 7 LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-02/BL/2012 Tanggal , : 29 Februari 2012 PEDOMAN PEMERIKSAAN PERUSAHAAN PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Dalam rangka mempercepat pelaksanaan pembangunan infrastruktur di Indonesia, Pemerintah mendorong peran serta pihak swasta termasuk Jembaga keuangan multilateral dalam pembangunan infrastrulttur melalui mekanisme Kerjasama Pemerintah dan Swasta (Public Priuate Partnership). Peran serta pihak swasta tersebut diperlukan untuk memobilisasi sumber- sumber pendanaan untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan pembangunan proyek infrastruktur. Untuk mendukung keterlibatan pihak swasta dalam pembiayaan pembangunan proyek infrastruktur tersebut, Pemeriritah telah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan yang merupakan penyempurnaan dari Keputusan Presiden Nomor 61 Tahun 1988 tentang Lembaga Pembiayaan. Selanjutnya, Menteri Keuangan pada tanggal 27 Mei 2009 telah menerbitkan Peraturan Menteri Kcuangan Nomor 100/PMK.010/2009 tentang Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 100/PMK.010/2009 tersebut, kegiatan usaha perusahaan pembiayaan infrastruktur meliputi . pemberian pinjaman langsung (direct lending) untuk pembiayaan infrastruktur; b. refinancing atas infrastruktur yang telah dibiayai pihak lain, dan/atau c. pemberian pinjaman subordinasi (subordinated loans) yang berkaitan dengan pembiayaan infrastruktur. Selain itu, untuk mendukung kegiatan usaha tersebut di atas, perusahaan pembiayaan infrastruktur dapat pula melakukan: a. pemberian dukungan kredit (credit enhancement),| termasuk penjaminan untuk pembiayaan infrastruktur, b. pemberian jasa konsultasi (aduisory seruices); c. penyertaan modal (equity inpestment); d. upaya mencarikan suap market yang infrastruktur; dan/atau kegiatan atau pemberian fasilitas lain yang terkait dengan pembiayaan infrastrulktur setelah memperoleh persetujuan Menteri Keuangan. Sesuai dengan ketentuan Pasal 30 Peraturan Menteri Keuangan Nomo 100/PMK.010/2009, pembinaan dan pengawasan terhadap perusahaan pembiayaan infrastruktur dilakukan oleh Menteri Keuangan. Dalam rangka melaksanakan pembinaan dan pengawasan tersebut, Menteri Keuangan melakukan pemeriksaan terhadap perusahaan pembiayaan infrastruktur. Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 218/KMK.01/2010 tatang Pembaham AtasKeputusan Menteri Reuangait End of Page 8 LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-02/BL/2012 Tanggal. : 29 Februari 2012 Keuangan Menandatangani Surat dan atau Keputusan Menteri Keuangan, pemeriksaan terhadap perusahaan pembiayaan infrastruktur dilimpahkan kepada Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam dan LK). Selanjutnya berdasarkan Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor KEP.487/BL/2010 tentang Pelimpahan Wewenang Kepada Kepala Biro Pembiayaan dan Penjaminan Untuk dan Atas Nama Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Menandatangani Surat dan atau Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan, Ketua Bapepam dan LK mendelegasikan kewenangan pemeriksaan terhadap Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur kepada Kepala Biro Pembiayaan dan Penjaminan. B. Maksud dan Tujuan 1. Maksud Pedoman Pemeriksaan Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur (Pedoman Pemeriksaan) dimaksudkan sebagai acuan dalam mmelaksanakan pemeriksaan perusahaan memhiavoonsott... Pedoman Pemeriksaan ini mnencakup pedoman standar dalam melakukan perencanaan, persiapan, pemeriksaan lapangan, penyusunan laporan, tindak lanjut, dokumentasi, dan pengendalian Pembiayaan Infrastruktur (PPI). Dalam melakukan pemeriksaan, pemeriksa dapat menggunakan pertimbangan profesional (professional judgerrient) dalam menentukan pemeriksaan. 2. Tujuan Tujuan Pemeriksaan adalah untuk menilai kepatuhan PPI terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur dan memperoleh keyakinan yang memadai atas kebenaran substansi laporan keuangan dan laporan kegiatan usaha. C. Ruang Lingkup Ruang lingkup Pedoman Pemeriksaan meliputi Organisasi Pemeriksaan, Proses Pemeriksaan, Dokumentasi Pemeriksaan, dan Pengendalian Pemeriksaan. 1. Organisasi Pemeriksaan Organisasi Pemeriksaan meliputi Penanggung Jawab Pemetiksaan dan Tim Pemeriksa Lapangan yang terdiri dari Penyelia Pemeriksaan, Ketua Tim Pemeriksaan, dan Anggota Tim Pemeriksaan, yang masing-masing mempunyai tanggung jawab, wewenang, dan tugas. 2. Proses Pemeriksaan Proses Pemeriksaan merupakan seluruh kegiatan yang berkaitan dengan pelaksanaan pemeriksaan terhadap PPI. Proses Pemeriksaan mdliputi Perencanaan Pemeniksaan, Persiapat Pelaksanaan Pemeriksaan Lapangan, Penyusunan Laporan Hasil Pemeriksaan, dan Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan. End of Page 9 LAMPIRAN a Bapepam dan lk Nomor : PER-02/BL/2012 Tanggal :29 Februari 2012 -3 - Bagan arus kegiatan pemeriksaan secara keseluruhan adalah sebagai berikut MULAI 0Heanoan GGREON 0 00000 1 Gokumen:dokumen Melakukan analsls atas Laporan Periodik ntormas lain yang, 5 aperoleh BapepamLk eryuanue Haoit Anaticte 2 30 nankena LPS Menyampaikan den PPT PPI on Pec15 hari kera (RP)% Pembaliasab tHPs Ada PembahasantHPs Surat Pemberitahuan 0: Melakukan Perslapan Pengenaan Sanka rekomendasi End of Page 10 LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepain dan LK Nomor : PER-02/BL/2012 Tanggal : 29 Februari 2012 3. Dokumentasi Pemeriksaan didokumentasikan dengan baik untuk selanjutnya dokumen-dokumen tersebut disimpan dengan cara yang sistematis sehingga mudah diperoleh kembali apabila diperlukan. 4. Pengendalian Pemeriksaan Untuk memastikan agar tujuan kegiatan pemeriksaan dapat tereapai, perlu dilakukan pengendalian terhadap kegiatan-kegjatan yang dilakukan sclama proses pemeriksaan, mulai dari penyusunan rencana pemeriksaan sampai dengan kegiatan tindak lanjut hasil pemeriksaan. D. Dasar Hukum Pemeriksaan Dasar hukum yang digunakan dalam pelaksanaan pemeriksaan terhadap PPI adalah: Pembiayaan; dan 2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 100/PMK.010/2009 tentang Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur. End of Page 11 LAMPIRAN ketua Bapepam dan lk Nomor : PER-02/BL/2012 Tanggal : 29 Februari 2012 BAB II ORGANISASI PEMERIKSAAN Organisasi Pemeriksaan meliputi Penanggung Jawab Pemeriksaan dan Tim Pemeriksa Lapangan yang terdiri dari Penyelia Pemeriksaan, | Ketua Tim Pemeriksaan, dan Anggota Tim Pemeriksaan, yang masing-masing mempunyai tanggung jawab, wewenang, dan tugas. Selain itu Ketua Tim Pemeriksaan dan Anggota Tim Pemeriksaan juga harus memenuhi beberapa persyaratan yang tanggung jawab, wewenang, dan tugas Organisasi Pemeriksaan adalah sebagai berikut . Penanggung Jawab Pemeriksaan Penjaminan, Bapepam dan LK. Tanggung jawab, wewenang, dan tugas Penanggung Jawab Pemeriksaan adalah sebagai berikut: a. Tanggung Jawab Penanggung Jawab Pemeriksaan bertanggung, jawab atas terselenggaranya pemeriksaan terhadap PPI sesuai dengan Tujuan Pemeriksaan. b. Wewenang Untuk melaksanakan tanggung jawab tersebut di atas, Penanggung Jawab Pemeriksaan berwenang untuk melakukan hal-hal scbagai berikut 1) menjabarkan kebijakan yang berhubungan dengan pemeriksaan; ) menetapkan Rencana Kegiatan Pemeriksaan untuk 1 (satu) tahu (berkala) dan/atau Rencana Kegiatan Pemeriksaan setiap waktu 3) menetapkan susunan Penyelia Pemeriksaan, Ketua Tim Pemeriksaan, dan Anggota Tim Pemeriksaan atas nama Ketua Bapepam dan LK, termasuk perubahannya, cctpka dan menandatangani Surat Periatah Pemerlsas Surat Pemberitahuan Pemeriksaan, Surat Perintah Perjalanar Dinas, dan surat konfirmasi atas nama Ketua Bapepam dan LK, 5) menetapkan dan menandatangani Laporan Hasil Pemeriksaar Sementara dan Laporan Hasil Pemeriksaan Final atas nama Ketua Bapepam dan LK, ) menerima atau menolak tanggapan atas Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara yang diajukan oleh PPI; 7) menghentikan Proses Pemeriksaan, 8) melakukan perpanjangan waktu pemeriksaan lapangan apabila diperlukan, ) menetapkan pelaksanaan tindak lanjut atas Laporan Hasil Pemeriksaan Final; dan 10) menetapkan laporan pelaksanaan kegiatan pemeriksaan berkala atau pemeriksaan setiap waktu. End of Page 12 LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-02/BL/2012 Tanggal : 29 Februari 2012 Tugas Dengan kewenangan tersebut di atas, Penanggung Jawab Pemeriksaan melakukan tugas-tugas sebagai berikut 1) membahas konsep Rencana Kegiatan Pemeriksaan untuk satu tahun (berkala) dan/atau Rencana Kegiatan Pemeriksaan setiap waktu bersama Penyelia Pemeriksaan; memberikan petunjuk kepada Penyelia Pemeriksaan mengenai hal-hal yang berhubungan dengan pengambilan keputusan atau kebijakan dalam hubungannya dengan pemeriksaan, membahas konsep Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara dan Laporan Hasil Pemeriksaan Final dengan Penyelia Pemeriksaan, Ketua Tim Pemeriksaan, dan Anggota Tim Pemeriksaan: dengan PPI; 5) menyampaikan laporan pelaksanaan . kegiatan pemeriksaan berkala atau pemeriksaan setiap waktu kepada Ketua Bapepam dan LK; dan 6) melakukan pengawasan dan evaluasi , terhadap pelaksanaan seluruh kegiatan pemeriksaan . Tim Pemeriksa Lapangan Tim Pemeriksa Lapangan terdiri dari Penyelia Pemeriksaan, Ketua Tim Pemeriksaan, dan Anggota Tim Pemeriksaan, yang masing-masing mempunyai tanggung jawab, wewenang, dan tugas. a. Penyelia Pemeriksaan Khusus. Tanggung jawab, wewenang, dan tugas Penyelia Pemeriksaan adalah sebagai berikut 1) Tanggung Jawab Penyelia Pemeriksaan bertanggung jawab atas kelancaran penyelenggaraan seluruh kegiatan pemeriksaan terhadap PPI sesuai dengan Rencana Kegiatan Pemeriksaan untuk satu tahun, (berkala) dan/atau Rencana Kegiatan Pemeriksaan setiap waktu. 2) Wewenang Untuk melaksanakan tanggung jawab tersebut, Penyelia Pemeriksaan berwenang untuk melakukan hal-hal sebagai berikut a) mengusulkan Rencana Kegiatan Pemeriksaan untuk satu tahun (berkala) dan/atau Rencana Kegiatan Pemeriksaan b) mengusulkan Ketua Tim Pemeriksaan dan Amggota Tim mengusulkan perubahan susunan Ketua Tim Pemeriksaan dan Anggota Tim Pemcriksaan, apabila diperlukan; permasalahan yang timbul dalam proses pemeriksaan; End of Page 13 LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-02/BL/2012 Tanggal : 29 Februari 2012 e) melakukan wawancara dengan PPI, mengusulkan untuk menghentikan pemeriksaan; g) mengusulkan untuk memperpanjang wale ) mengusulkan untuk memperpanjang waktu pemeriksaan lapangan, apabila diperlukan; ) menandatangani Berita Acara Pembahasan Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara; dar # menandetangani Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara dan Laporan Hasil Pemeriksaan Final. 3) Tugas Dengan kewenangan tersebut, Penyelia Pemeriksaan melakukan Dengan kewenangan tersebut, Penyelia tugas-tugas sebagai berikut a) menyusun konsep Rencana Kegiatan Pemeriksaan untuk satu tahun (berkala) dan/atau Rencana' Kegiatan Pemeriksaan setiap waktu; b) menyampaikan konsep Rencana Kegiatan Pemeriksaan untuk satu tahun (berkala) dan/atau Rencana Kegiatan Remeriksaa setiap waktu kepada Penanggung Jawab Pemeriksaan; ) menentukan ruang lingkup pemeriksaan, d) menentukan pengalokasian waktu pemeriksaan mengajukan konsep Surat Perintah Pemeriksaan, Surat Pemberitahuan Pemeriksaan, Surat Perintah Perjalanan Dinas, dan jika diperiukan dapat mengajukan surat konfirmasi kepada Penanggung Jawab Pemeriksaan; 1) menelaah Persiapan Pemeriksaan sebelum Pelaksanaan Pemeriksaan Lapangan; g) memberikan arahan kepada Ketua Tim Pemeriksaan dan Anggota Tim Pemeriksaan mengenai hal-hal yang harus mendapat perhatian khusus dalam pemeriksaan untu efektifitas dan efisiensi pelaksanaan tugas pemeriksaan h) memantau dan mengawasi kelancaran Proses Remeri ) memantau dan mengawasi kelancaran Proses Pemeriksaan dan kesesuaiannya dengan Pedoman Pemeriksaan; memastikan ketaatan Tim Pemeriksa Lapangah terhadap memberikan petunjuk dan solusi, kepada Ketua Tim Pemeriksaan dan Anggota Tim Pemeriksaan apabila mengalami kesulitan dan kendala dalam Proses Pemcriksaan; k) memaraf Lembar Kerja Pemeriksa, 1) menelaah dan menyetujui Kertas Kerja Pemeriksaan memastikan Laporan Hasil Pemeriksaan disusun berdasarkan Kertas Kerja Pemeriksaan; ) memeriksa konsep Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara dan Laporan Hasil Pemeriksaan Final; dan] atau Laporan Hasil Pemeriksaan Final dengan Penanggung Jawab Pemeriksaan, Ketua Tim Pemeriksaan, End of Page 14 LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Tanggal : 29 Februari 2012 Pemeriksaan membutuhkan penjelasan untuk dapat menyetujui atau menolak laporan-laporan tersebut, memberikan masukan kepada : Penanggung Jawal Pemeriksaan dalam menetapkan kebjakan guna menindaklanjuti tanggapan PPI iatas Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara; membahas tanggapan atas Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara dengan PPI: memantau dan mengusulkan pelaksanaan tindak lanjut atas Laporan Hasil Pemeriksaan Pinal ) melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan seluruh Proses Pemeriksaan dan melaporkan hasil evaluasi tersebut kepada Penanggung Jawab Pemeriksaan, dan pemeriksaan berkala atau kegiatan pemeriksaan sctiap waktu kepada Penanggung Jawab Pemeriksaan. b. Ketua Tim Pemeriksaan Ketua Tim Pemeriksaan adalah Kepala Subbagian Lembaga Pembiayaan Khusus II atau Kepala Subbagian lain di Reci Pembiayaan Khusus yang ditunjuk oleh Kepala Biro Pembiayaan dan Penjaminan atas nama Ketua Bapepam dan LK, selaku Penanggung Jawab Pemeriksaan. Tanggung jawab, wewenang, tugas, dan persyaratan Ketua Tim Pemeriksaan adalah sebagai berikut 1) Tanggung Jawab Ketua Tim Pemeriksaan bertanggung jawab atas pelaksanaan seluruh kegiatan pemeriksaan oleh Tim Pemeriksaan yang diketuainya. 2) Wewenang Untuk melaksanakan tanggung jawab tersebut, Ketua Tim Pemeriksaan berwenang untuk melakukan bal-hal sebagai berikut. a) melakukan pembagian tugas Anggota Tim Pemeriksaan, b) melakukan wawancara dengan PPI; menentukan dokumen-dokumen yang berhubungan dengan pemeriksaan untuk dipinjam dan/atau diminta; menandatangani Berita Acara Penolakan Pemeriksaan / Berita Acara Penolakan Membantu Kelancaran Pemeriksaan; ) menandatangani Berita Acara Penundaan Pemeriksaar 1) menandatangani Berita Acara Pemeriksaan, s) menandatangani Berita Acara Penolakan Penandatanganan ihenendatangani Berita Acara Penolakan Berita Acara Pemeriksaan,: menghendkan atau memperpanjang waktu Pelaksanaan Pemeriksaan Lapangan, apabila diperlukan; 1) memaraf Lembar Kerja Pemeriksa; End of Page 15 LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Tanggal : 29 Februari 2012 memaraf Kertas Kerja Pemeriksaan; menandatangani Berita Acara Pembahasan Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara; dan menandatangani Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara dan aporan Hasil Pemeriksaan Final. 3) Tugas Dengan kewenangan tersebut, Ketua Tim Pemeriksaan melakukan tugas-tugas sebagai berikut a) memastikan ketaatan Anggota Tim Pemeriksaan terhadap Pedoman Pemeriksaan; b) ikut aktif melakukan pemeriksaan; c) melakukan koordinasi atas pelaksanaan tugas Anggota Tim Pemeriksaan, bersama dengan Anggota Tim Pemeriksaan menentukan besarnya sampel yang akan diambil dalam pemeriksaan; e) memantau setiap perkembangan pemeriksaan; menelaah dan memeriksa Kertas Kerja Pemeriksaan yang dibuat Anggota Tim Pemeriksaan; g) membuat Lembar Kerja Pemeriksa; h) mengajukan konsep surat konfirmasi (bila diperlukan) kepada Penyelia Pemeriksaan; membuat lconsep Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara da Laporan Hasil Pemeriksaan Final secara tepat waktu;, membahas tanggapan atas Laporan Hasil Pemeriksaa Sementara dengan PPl; dan k) memastikan semua dokumen yang berhubungan dengan pemeriksaan telah diarsip dengan rapi. Persyaratan yang harus dipenuhi untuk dapat ditunjuk sebagai Ketua Tim Pemeriksaan adalah sebagai berikcut a) mampu mengkoordinasikan Anggota Tim Pemeriksaan dalam pelaksanaan pemeriksaan; b) memiliki pengetahuan yang cukup dalam bidang b) memiliki pengetahuan yang cukup pemeriksaan, memiliki pengetahuan yang cukup mengenai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur, d) memiliki pengetahuan yang cukup tentang penyelengearaan usaha yang dilakukan PPl: mampu.melakukan analisis atas laporan keuangan dan Japoran kegiatan usaha PPI; dan 1 bertanggung jawab dan dapat bekerja sama dengan Penyelia Pemeriksaan. End of Page 16 LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-02/BL/2012 Tanggal : 29 Februari 2012 - 10 - c. Anggota Tim Pemeriksaan Anggota Tim Pemeriksaan adalah pegawai Biro Pembiayaan dan Penjaminan atau pihak lain yang ditunjuk oleh Kepala Biro Pembiayaan dan Penjaminan atas nama Ketua Bapepam dan LK, selaku Penanggung Jawab Pemeriksaan. Jdwa wewenang, tugas, dan persyaratan Anggpla Tim Pemeriksaan adalah sebagai berikut: 1) Tanggung Jawab Anggota Tim Pemeriksaan bertanggung jawab atas isi Lembar Kerja Pemeriksa dan Kertas Kerja Pemeriksaan. : 2) Wewenang Untuk melaksanakan tanggung jawab ,tersebut, Anggota Tim Pemeriksaan berwenang untuk melakukan hal-hal sebagai berikut: a) melakukan wawancara dengan PPl; ) meminta dan/atau meminjam dokumen-dokumen dan/atau data pendukung Pelaksanaan Pemeriksaan Lapangan melakukan pengembangan hasil temuan untuk lebi memperoleh keyakinan atas temuan tersebut; dan menandatangani Laporan Hasil Pemeriksaan Senientara dan Laporan Hasil Pemeriksaan Final. 3) Tugas Dengan kewenangan tersebut, Anggota Tim Pemeriksaan melakukan tugas-tugas sebagai berikut a) membuat analisis pendahuluan dan kuesioner pemeriksaan; b) melaksanakan pemeriksaan sesuai dengan Pedoman Pemeriksaan; menyiapkan dokumen-dokumen dan/atau data pendukung yang diperlukan dalam Proses Pemeriksaan; ) mengusulkan kepada Ketua Tim Pemeriksaan untuk meminta dan/atau meminjam dokumen-dokumen dan/atau data pendukung Pelaksanaan Pemeriksaan Lapangan, bersama dengan Ketua Tim Pemeriksaan menentukan besarnya sampel yang akan diambil dalam pemeriksaan; 1) membuat Lembar Kerja Pemeriksa, g) membuat dan memaraf Kertas Kerja Pemeriksaan; h) membuat konsep surat konfirmasi bila diperlukan; ) membantu Ketua Tim Pemeriksaan menyusun konsep Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara dan Laporan Hasil Pemeriksaan Final secara tepat waktu; membahas tanggapan atas Laporan Hasil Pemeriksaan j) membahas tanggapan atas Lapora Sementara bersama PPl; dan dan/atau data pendukung yang berhubungan dengan pemeriksaan dengan rapi. End of Page 17 LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-02/BL/2012 Tanggal : 29 Februari 2012 4) Persyaratan Persyaratan yang harus dipenuhi untuk dapat ditunjuk sebagai Anggota Tim Pemeriksaan adalah sebagai berikut ) memiliki pengetahuan yang cukup dalam bidang pemeriksaan; b) memiliki pengetahuan yang cukup mengenai| ketentuan perundang-undangan di bidang Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur; ) memilild pengetahuan yang cukup tentang penyelenggaraan mampu melakukan analisis atas laporan keuangan dan laporan kegiatan usaha PPI; dan bertanggung jawab dan dapat bekerja sama dengan Ketua Tim Pemeriksaan dan Anggota Tim Pemeriksaan lainnya. End of Page 18 LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor .: PER-02/BL/2012 Tanggal , : 29 Februari 2012 12 BAB II PROSES PEMERIKSAAN A. Proses Kegiatan Pemeriksaan Proses Pemeriksaan merupakan seluruh kegiatan yang berkaitan dengan pelaksanaan pemeriksaan terhadap PPI yang terdiri dari Perencanaan Pemeriksaan, Persiapan Pemeriksaan, Pelaksanaan Pemeriksaani Lapangan, Penyusunan Laporan Hasil Pemeriksaan, dan! Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan. 1. Perencanaan Pemeriksaan Kegiatan pemeriksaan PPI perlu direncanakan dengan | baik agar pelaksanaan kegiatan pemeriksaan terhadap PPl dapat berjalan dengan efisien dan efektif. Untuk itu, pengalokasian sumber daya manusia, anggaran, dan waktu perlu dilakukan dengan cermat agar tujuan kegiatan pemeriksaan dapat dicapai. Perencanaan Pemeriksaan mencakup penyusunan Rencaria Kegiatan Pemeriksaan berkala PPI untuk satu tahun tertentu dan/atau Rencana Kegiatan Pemeriksaan setiap waktu, penentuan Objek Pemeriksaan, penentuan Tim Pemeriksa Lapangan, penentuan Jangka waktu pemeriksaan, pembuatan Surat Perintah Pemeriksaan, dan pembuatan Surat Pemberitahuan Pemeriksaan. a. Rencana Kegiatan Pemeriksaan Kepala Biro Pembiayaan dan Penjaminan atas nama Ketua Bapepam dan LK menetapkan Rencana Kegiatan Pemeriksaan untuk satu tahun (berkala) dan/atau Rencana Kegiatan Pemeriksaan setiap waktu yang diajukan oleh Penyelia Rencana Kegiatan Pemeriksaan untuk satu tahun (berikutnya sudah harus selesai disusun dan disampaikan oleh Kepala Biro Pembiayaan dan Penjaminan kepada Ketua Bapepam dan LK paling lambat tanggal 15 Desember. Sementara itu, Rencana Kegiatan Pemeriksaan setiap waktu sudah harus selesai disusun 5 (lima) hari kerja sebelum pemeriksaan dimulai. Rencana Kegiatan Pemeriksaan PPI berfungsi sebagai 1) pedoman pemilihan objek Pemeriksaan, 2) pedoman penetapan ruang lingkup pemeriksaan; dan 3) pedoman penggunaan sumber daya manusia, anggaran, dan S) pedoman penggunaan sumber daya waktu untuk kegiatan pemeriksaan. Rencana Kegiatan Pemeriksaan berkala PPI untuk satu tahun tertentu atau Rencana Kegiatan Pemeriksaan setiap waktu mencakup antara lain 1) perusahaan yang akan diperiksa; 2) hasil pemantauan atas pelaksanaan tindak lanjut hasil pemeriksaan; 3) perkiraan waktu pemeriksaan; dan End of Page 19 L.AMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Tanggal : 29 Februari 2012 13 4) kebutuhan sumber daya manusia dan anggaran perheriksaan. Contoh format Rencana Kegiatan Pemeriksaan terdapat dalam Formulir b. Tata Cara Penentuan Objek Pemeriksaan Objek Pemeriksaan adalah semua PPI. Penentuan Objek Pemeriksaan untuk satu tahun tertentu mempertimbangkan hal- hal sebagai berikut 1) Pemeriksaan Berkala a) ketersediaan jumlah pemeriksa. b) tingkat risiko yang dihadapi oleh PPI. Pertimbangan mengenai tingkat risiko tersebut antara lain diperoleh dari usaha PPI serta informasi lain yang diperoleh dari hasil pemeriksaan periode sebelumnya. c) penetapan Objek Pemeriksaan oleh Penanggung Jawab Pemeriksaan yang disertai dengan pertimbangan tingkat urgensinya. d) hasil pemantauan atas pelaksanaan Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan. 2) Pemeriksaan Setiap Waktu Pemeriksaan setiap waktu dilakukan terhadap aspek tertentu dari penyelenggaraan usaha PPI berdasarkan pertimbangan sebagai berikut: a) Informasi Pihak Ketiga Informasi dari pihak ketiga dapat dijadikan sebagai dasar dilakukannya pemeriksaan sctiap waktu. Informasi ini dapat berupa laporan pengaduan secara tertulis maupun tidak tertulis atas PPI, dan informasi yang berasal dari media massa cetak maupun elektronik terkait PPL. (check dan cross check) agar dapat diketahui tingkat kebenaran dan keakuratannya. b) Hasil Analisis Hasil analisis merupakan informasi yang diperoleh dari analisis atas laporan keuangan triwulanan, laporan keuangan tahunan yang telah diaudit oleh akuntan publik, dan laporan kegiatan usaha PPT yang dilakukan olch Bagian Lembaga Pembiayaan Khusus. Pemeriksaan setiap waktu dapat dilakukan apabila dari hasil analisis terhadap informasi pihak ketiga maupun laporan keuangan triwulanan, laporan keuangan tahunan yang telah diaudit oleh akuntan publik, dan laporan kegiatan usaha patut ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Porusahaan Pembiayaan Infrastruktur. End of Page 20 LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Tanggal : 29 Februari 2012 C. Tata Cara Penentuan Tim Pemeriksa Lapangari Tim Pemeriksa Lapangan dibentuk setiap akan | dilakukan pemeriksaan terhadap PPI. Keanggotaan Tim Pemeriksa Lapangan ditetapkan oleh Kepala Biro Pembiayaan : dan Penjaminan atas nama Ketua Bapepam dan LK, Selaku Penanggung Jawab Pemeriksaan berdasarkan pertimbangan antara lain 1) jenis pemeriksaan;, 2) ruang lingkup pemeriksaan; dan ) ketersediaan sumberdaya manusia, anggaran, dan waktu pemeriksaan. d. Tata Cara Penentuan Waktu Pemeriksaan Jumlah hari pelaksanaan pemeriksaan ditentukan dengan memperhatikan jenis pemeriksaan, ruang lingkup pameriksaan, dan hasil analisis pendahuluan. Penentuan waktu yang diperlukan dalam Tangka pemeriksaan terhadap PPl baik berkala maupun pemeriksaan setiap waktu mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut 1) Persiapan Pemeriksaan telah selesai dilakukan paling lama pada saat pengajuan Surat Perintah Pemeriksaan. 2) Pelaksanaan Pemeriksaan Lapangan a) kantor pusat, paling lama 15 (lima belas) hari kerja, p) kantor cabang, paling lama 5 (lima) hari kerja untuk setiap kantor cabang; ) dalam keadaan tertentu jangka waktu pemeriksaan dapat diperpanjang. 3) Penyampaian Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara kepada direksi atau pengurus PPI paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja setelah berakhirnya Pelaksanaan Pemeriksaan Lapangan. 4) Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara akan menjadi Laporan Hasil Pemeriksaan Final apabila a) dalam jangka waktu paling lama 15 (lima belas) hari kerja setelah diterimanya Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara, PPI tidak menyampaikan tanggapan; atau b) PPI menyampaikan tanggapan yang isinya imenyetujui Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara. 5) Dalam hal PPI menyampaikan tanggapan yang berisi keberatan pembahasan Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara dengan PPI paling lama selama 10 (sepuluh) hari kerja sejak keberatan diterima Bapepam dan LK. 6) Penyusunan Laporan Hasil Pemeriksaan Final paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak ditandatanganinya Berita Acara Pembahasan Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara. End of Page 21 LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-02/HL/2012 Tanggal : 29 Februari 2012 - 15 - c. Surat Pemberitahuan Pemeriksaan dan Surat Perintah Pemeriksaan Sebelum Pelaksanaan Pemeriksaan Lapangan terhadap PPI, Kepala Biro Pembiayaan dan Penjaminan selaku Penanggung Jawab Pemeriksaan menerbitkan Surat Pemberitahuan Pemeriksaan dan Surat Perintah Pemeriksaan atas nama Ketua Bapepam dan LK Contoh format Surat Pemberitahuan Pemeriksaan terdapat dalam Formulir IL. Contoh format Surat Perintah Pemeriksaan terdapat dalam Formulir III. 2. Persiapan Pemeriksaan Persiapan Pemeriksaan dilakukan sebelum relaksanaa Lapangan. Pada tahap ini dilakukan analisis pendahuluan melalui penelaahan dokumen laporan keuangan triwulanan, laporan kegiatan usaha, laporan keuangan tahunan yang telah diaudit, dan informasi lainnya untuk memperoleh pemahaman mengenai PPI dan untuk mengetahui aspck-aspek pemeriksaan yang perha mendapatkan perhatian khusus. Dalam tahap ini, kegiatan yang dilakuktan adalah sebagai berikut a. mengumpulkan data, informasi, dan dokumen yang dipertukan dalam analisis pendahuluan antara lain 1) data perizinan, susunan direksi/ pengurus dan dewan komisaris/ pengawas, alamat PPl, pemegang saham/anggota, dan data sanksi; 2) laporan keuangan triwulanan dan laporan kegiatan usaha PPI, 3) laporan keuangan tahunan PPI yang telah diaudit kantor akuntan publik; 4) hasil analisis atas laporan keuangan triwulanan, laporan kegiatan usaha, dan laporan keuangan tahunan PPlyang telah 5) Pedoman Pelaksanaan Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah hasil analisis atas informasi dan laporan terkait PPI yang diperoleh dari pihak lain. . menentukan pembagian kerja atau tugas pemeriksaan atas Tim Pemeriksaan. . membuat analisis dari data dan informasi yang diperoleh dalam bentuk Hasil Analisis Pendahuluan. Contoh format Hasil Analisis Pendahuluan terdapat dalam Formulir IV. . membuat daftar pertanyaan atau kuesioner yang akan disampaikan kepada PPI. Kuesioner yang telah diisi PPI ditandatangani oleh pemeriksa dan wakil dari PPI. e. membuat Kertas Kerja Pemeriksaan awal secara umum sebagai pendukung Hasil Analisis Pendahuluan yang (mencakup pemeriksaan: End of Page 22 LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-02/BL/2012 9eba2012 -16- 1) aspek kelembagaan 2) aspek operasional; dan 3) aspek keuangan. . mempersiapkan kelengkapan dokumen-dokumen yang dibutuhkan selama pemeriksaan antara lain: 1) Surat Perintah Pemeriksaan dan Surat Pemberitahuan Pemcriksaan; 2) Hasil Analisis Pendahuluan; 3) Berita Acara Pemeriksaan, Berita Acara Penolakan Pemeriksaan, dan Berita Acara Penundaan Pemeriksaan, 4) Kertas Kerja Pemeriksaan; dan S) Daftar Pertanyaan (kuesioner). 3. Pelaksanaan Pemeriksaan Lapangan Pelaksanaan Pemeriksaan Lapangan dilakukan oleh Tim Pemeriksa Tapangan di kantor PPI atau tempat PPl melakoonobn Apabila dianggap perlu dapat dilakukan konfirmasi kepada pihak ketiga yang terkait dengan PPI yang diperiksa. Pemeriksaan dilakukan terhadap 3 (tiga) aspek, yaitu a. Aspck Kelembagaan Aspek ini digunakan untuk menilai apakah manajemen telah mengelola PPI dari sisi kelembagaan dengan baik sesuai dengan andi bidang Perusahan Pembiayaan Infrastruktur. Penilaian aspek kelembagaan dilakukan antara lain terhadap 1) anggaran dasar; 2) izin usaha; 3) kepengurusan; 4) sistem dan prosedur kerja 5) struktur organisasis; 6) sumber daya manusia; dan 7) pengendalian internal. Tujuan pemeriksaan, prosedur pemeriksaan, dan dokumen yang dipethikan untuk menilai aspek kelembaaaani berikut: |Tujuan : 1. Untuk memastikan bahwa anggaran dasar PPI telah | disusun sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur dan setiap perubahan anggaran dasar telah dilaporkan kepada Menteri Keulangan. 2. Untuk memastikan bahwa PPI telah melaporkan setiap pembukaan/penutupan kantor cabang dan perubahan nama dan alamat kantor kepada Menteri Keuangan. End of Page 23 LAMPIRAN Nomor : PER-02/BL/2012 Tanggal 1* : 29 Februari 2012 3. Untuk memastikan bahwa kepengurusari PPI telah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur. 4. Untuk memastikan bahwa kegiatan usaha PPL telah didukung oleh adanya struktur organisasi, sistem, prosedur kerja, dan sumber daya manusia yang memadai dan mencerminkan adanya sistem pengendalian internal. Anggaran |1. Minta akta notaris * Akta pendirian. asar pendirian dan anggaran . Anggaran dasar PPI, serta dasar PPI serta perubahan anggaran perubahan- dasar. perube dasar. perubahannye perubahannya 2. Teliti anggaran dasar PPI |+ Bukd untuk mengetahui pengesahan tentang : | atau tentang atau pernyataan a. maksud dan tujuan pencatatan perusahaan,/ d perusahaan; b. modal disetor b. modal disetor Kementerian Hukum dan perusahaan,: Hukum dan c. pengesahan anggaran dasar dari Kementerian Hukum dan HAM dan pemuatan dalam: Lembaran Berita Negara;dan : Negara;dan d. perubahan- perubahan anggaran dasar. 3. Pastikan seluruh perubahan anggaran dasar telah dilaporkan kepada Menteri Keuangan. 4. Buat Kertas Kerja Pemeriksaan Izin usaha | 1. Minta daftar kantor dan cabang. cabang. |dan cabang. | pelaporan |2. Pastikan seluruh|. Anggaran pembukaan/penutupan dasarPPlserta 7penutupan kantor cabang, / perubahan perubahan nama, dan perubahanny | perubahan| kantor telah dilaporkar kantor telah dilaporkan End of Page 24 LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Tanggal -: :29 Februari 2012 18 - nama, dan| kepada Menteri perubahan Keuangan. alamat|3. Buat Kertas Kerja kantor Pemeriksaan. Direksi/ | 1. Minta daftar - Daftar direksi/ pengurus direksi/pengurus dan pengurus dan dan dewan dewan |komisaris/ komisaris/ pengawas. komisaris/ |pengawas |2. Dalam hal terjadi pengawas |2. Dalam hal terjadi pengawas. perbedaan dengan daftar | Anggaran direksi / pengurus dan dasat PPI serta dewan perubahan- perubahan- komisaris/ pengawas perubahannya. yang dimiliki pemeriksa, |. Bukti minta akta notaris atas pelanorar pengangkatan dan bukcti | perubaban pelaporan kepada direksi/ instansi berwenang. pengurus dan instansi berwenang. pengur 3. Cek kepengurusan PPI dewan apakah telah sesuai komisaris dengan ketentuan pengBses peraturan perundang- kepada instansi undangan di bidang berwenang. Perusahaan Pembiayaan| Daftar riwayat Infrastruktur hidup anggota a. terdapat paling direksi/ sedikit satu orang pengtrus dan anggota dewan direksi/pengurus.. komisaris/ yang bepengalaman pengawas. di bidang jasa keuangan paling kurang 2 tahun; b. direksi/ pengurus PPI menetap di Indonesia, tidak melakukan sebagai d. direksi/ pengurus dan dewan komisaris/pengawas perangkapan jabatan sebagai komisaris/pengawas End of Page 25 LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-02/BL/2012 Tanggal : 29 Februari 2012 - 19 - yang bergerak dalam proyek infrastruktur. 4. Buat Kertas Kerja Pemeriksaan. Sistem dan pedoman internal yang internal PPl. dimiliki PPI terkait Persetujuan dengan pemberian pinjaman langsung (direct lending) kegiatan atau refinancing: pemberian pinjaman subordinasi; pemberian dukungan pengendalian internal yang memadai. |3. Buat Kertas Kerja Pemeriksaan. End of Page 26 LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-02/BL/2012 Tanggal : 29 Februari 2012 20 - 5. | Struktur |1. Minta dan pelajari |* Struktur Minta dan pelajari |* Struktur struktur organisasi ( orgahisasi PPl. PPl; dan /, Uraian tugas uraian tugas,| wewenang, dan Wewenang, dan / 1 pembagian kerja. kerja. . Cek apakah struktur organisasi telah disi/ dilengkapi dengan pejabat di masing- masing unit yang ada. Telaah apakah struktur organisasi telah memperhatikan pengendalian internal. . Buat Kertas Kerja Pemeriksaan. daya personalia. anggaran biaya pengembangan anggaran biaya SDM anggaran biaya pengembangan sumber| Data tentang daya manusia (jangka| pendidikan, pendek maupun jangka pelatihan, panjang). :. seminar, 3. Minta data tentang kursus, yang seminar, kursus yang oleh pejabat/ selama 1 tahun terakhir. 4. Buat Kertas Kerja Pemeriksaan. b. Aspek Operasional Aspek ini digunakan untuk menilai apakah penyelenggaraan usaha PPI telah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur. Penilaian atas aspek ini dilakukan terhadap Objek Pemeriksaan antara lain 1) pemberian pinjaman langsung (direct tending) untuk pembiayaan infrastruktur; 2) refinancing atas infrastruktur yang telah dibiayai pihak lain, 3) pemberian pinjaman subordinasi (subordinated loans) yang berkaitan dengan pembiayaan infrastruktur, ) pemberian dukungan kredit (credit enhancement), termasuk penjaminan untuk pembiayaan infrastruktur, 5) pemberian jasa konsultasi (aduisory seruices); End of Page 27 LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-02/BL/2012 Tanggal : 29 Februari 2012 21 - 6) penyertaan modal (equity investment); 7) upaya mencarikan suap market yang berkaitan dengan pembiayaan infrastruktur; 8) kegiatan atau pemberian fasilitas lain yang terkait dengan pembiayaan infrastruktur (jika ada); 9) penempatan dana; 10) kegiatan pendanaan; dan 11) pelaksanaan prinsip mengenal nasabah. Tujuan pemeriksaan, prosedur pemeriksaan, dan dokumen yang diperlukan untuk menilai aspek operasional meliputi Tujuan : 1. Untuk memastikan bahwa kegiatan usaha yang dilakukan PPI telah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur dan pedoman internal PPI. 2. Untuk memastikan bahwa PPI telah menerapkan prinsip mengenal nasabah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. pinjaman langsung secara sampel atau populasi debitur. Daftar rincian pinjaman langsung apakah telah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur dan pedoman internal PPI. . Buat Kertas Kerja Pemeriksaan. atas debitur refinancing. debitur refinaneing. infrastruktur infrastruktur |2. Minta dokumen Yang telali pembiayaan refinancing secara sampel atau populasi debitur. d |3. Uji proses pemberian refinancing. refinancing apakah telah sesuai dengan End of Page 28 LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Tanggal : 29 Februari 2012 - 22 - ketentuan peraturan |+ Dokumen ketentuan peraturan perundang-undangan di perundang-undangan di| refinancing bidang Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur dan pedoman internal PPI. 4. Buat Kertas Kerja Pemeriksaan. 11. Minta daftar rincian pinjaman debitur pinjaman : internal PPI |subordinasi| subordinasi. 2. Minta dokumen pembenan pemberian pinjaman | pinjaman subordinasi secara Daftar rincian debitur. &:. debitur 3. Uji proses pemberiani pinjaman pinjaman subordinasi| subordinasi. apakah telah sesuai | Dokumen dengan ketentuan pinjaman peraturan perundang- subordinasi. undangan di bidang Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur dan pedoman internal PPI. 4. Buat Kertas Kerja Pemeriksaan. Pemberian | 1. Minta daftar rincian Pedoman asabahyang| intemal P kredit (credit| memperoleh dukungan | mengenai enhancement) kredit dari PPI. / pemberian 2. Minta dokumen pemberian dukungan kredit. kredit secara sampel|. Daftar rincian atau populasi nasabah.| nasabah yang 3. Uji proses pemberian| memiperoleh dukungan kredit dukunga apakah telah sesuai kredit. dengan ketentuan :|. Dokumen peraturan perundang. pemberian undangan di bidang dukungan pedoman intemal PPI. 4. Buat Kertas Kerja Pemeriksaan. internal PPI jasa konsultasi. mengenai End of Page 29 LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-02/BL/2012 Tanggal : 29 Februari 2012 23 2. Minta dokumen jasa pemberian jasa| konsultasi. sampel atau populasi| Daitar hncian masabah. / t07,1100 3. Uji proses pemberian.Dol 3. Uji proses pemberian Rakmasulasi apakah telah sesuai dengan pemberan ketentuan peraturan Jas perundang-undangan di | Konsutasl. perundang-undangan di bidang Perusahaan: Pembiayaan Infrastruktur dan pedoman internal PPI. Buat Kertas Kerja Pemeriksaan. Pemeriksaan. Minta dokumen 6. | Penyertaan Anggaran penyertaan modal. | modal (equitg dasar inuestmerit) perusahaan modal apakah telah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Perusahaan Pembiayaan 3. Lakukan pengecekan apakah investee adalah PPI atau perusahaan yang bergerak di bidang infrastruktur. 4. Buat Kertas Kerja Pemeriksaan. Kegiatan | 1. Minta dokumen terkait / , Pedoman mencarikan kegiatan mencarikan| internal PPI suap market | suap market.| mengenai yang |2. Uji proses kegiatan, kegiatan berkaitan| mencarikan suap mencarikan dengan market apakah telah| swap market. casesuai dengan /, Dokumen rastrketentuan peraturan| terkaie perundang-undangan di bidang Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur dan pedoman internal PPI. |3. Buat Kertas Kerja Pemeriksaan. End of Page 30 LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-02/BL/2012 Tanggal : 29 Februari 2012 - 24 - |8. | Kegiatan atau | 1. Pastikan apakah ada pemberian kegiatan atau internal PPI fasilitas lain pemberian fasilitas lain |yang terkait| yang terkait dengazz dengan pembiayaan engan pembiayaan pemberian pembiayaan infrastruktur yang perlu| fasilitas lain infrastruktur mendapat persetujuan| yang terkait infrastruktur 1 mendapat persetujuan (ika ada)| Menteri Keuangan.. dengan dengan |2. Minta dokumen terkait pembiayaan persetujuan kegiatan atau infrastruktur. Menteri pemberian fasilitas lain. Dokumen Keuangan yang terkait dengan| terkait pembiayaan pembiayaan kegiatan atau infrastruktur. . / periberian 3. Uji kegiatan atau :| fasilitas lain pemberian fasilitas lain yang terkait yang terkait dengan dengan pembiayaan H pembiayaa infrastruktur apakah infrastruktur. telah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur dan pedoman internal PPI. 4. Buat Kertas Kerja Pemeriksaan. dokumen penempatan dana. dana. mengenai 2. Uji proses penempatan sesuai dengan Daftar rincian ketentuan peraturan penempatan bidang Perusahaan Pembiayaan| * Dokumen Infrastruktur dan terkai pendanaan apakah telah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangah di bidang Perusahaan Pembiayaan terkait End of Page 31 LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-02/BL/2012 Tanggal : 29 Februari 2012 - 25- Infrastruktur dan penerbitan pedoman internal PPI.| surat 3. Buat Kertas Kerja berharga,. hibah. hibah. Minta dokumen terkait | Pedoman penerapan prinsip Pelaksanaan mengenal nasabah. Penerapan Cek apakah telah Prinsip dibentuk unit kerja | Mengenal khusus atau ditunjuk Nasabah. petugas khusus yang|Surat bertanggung jawab atas pelaksanaan penerapan pelaksanaan penerapan| pembentukan pembentukan prinsip mengenal rinsip mengenal unit khusus nasabah. 3. Periksa apakah PPI telah memiliki sistem bertanggung informasi yang dapat mengidentifikasi, pelaksanaan memastikan apakah penerimaan dan mengenal identifikasi nasabah, | nasabah dan pemantauan rekening daftar dan transaksi nasabah, | nasabah yang pemeliharaan profil, .| melakukan nasabah, dan pelaporan | tansaksi transaksi mencurigakan | mencurigakan telah sesuai dengan/ dikal ada). Pedoman Pelaksanaan|. Daftar Penerapan Prinsip |' Daltar Penerapan Prinsip pelatihan/sos Mengenal Nasabah. alisdsi terkait 5. Minta rincian pelatihan pelaksanaan dan/atau sosialisasi penerapan yang akan dan telah prinsi dilakukan terkait : mengenal pelaksanaan penerapan | nasabah. prinsip mengenal nasabah. . 6. Buat Kertas Kerja Pemeriksaan. End of Page 32 LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor PER-02/BL/2012 Tanggal : 29 Februari 2012 C. Aspek Keuangan Aspek ini digunakan untuk memperoleh keyakinan atas kebenaran substansi laporan keuangan dan laporan kegiatan usaha PPI. atas aspek ini antara lain dilakukan terhadap pbiek-objek seperti akun-akun Neraca, Laporan Arus Kas, Laporan Laba Rugi, dan Rekening Administratif. Tujuan pemeriksaan, prosedur pemeriksaan, dan dokumen yang diperlukan untuk menilai aspek ini meliputi Tujuan : Menilai kebenaran substansi akun-akun Neraca, Laporan Arus Kas, Laporan Laba Rugi, dan Rekening Administratif. Minta dan pelajari pedoman | Pedoman internal PPI terkait 3 | internal terkait pencatatan transaksi akun-| pencatatan akun Neraca, Laporan Arus | transaksi akun Kas, Laporan Laba Rugi, dan | akun. Rekening Administratif. Piutang |1. Minta daftar piutang (pinjaman rincian dan total piutang yang pembiayaan tersebut. diberikan) | 2. Periksa akurasi jumlah, validitas, kelengkapan, dan klasifikasi akun keuangan. piutang pembiayaan. dan buku Pemeriksaan. besar pembantu. 33. Penyertaan | 1. Minta daftar penyertaa modal| modal dan laporan keuangan audit terakhir inuestee. |2. Periksa akurasi jumlah, validitas, kelengkapan, dan lclasifikasi akun triwulanan 3. Cekjumlah penyertaan|' Laporan modal apakah telah tahunan vang sesuai dengan ketentuan telah diaudit. undangan di bidang * Buku besar. Infrastruktur 7 / dasar jumlah seluruh investee. tidak melebihi 75% (tujuh puluh lima per End of Page 33 LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-02/BL/2012 Tanggal : 29 Februari 2012 - 27 - seratus) dari modal sendiri PPI; dan jumlah penyertaan modal (empat puluh lima per seratus) dari modal disetor investee. |4. Buat Kertas Kerja Pemeriksaan. Penempatan | 1. Minta rincian pada bank. penempatan pada bank. 2. Periksa akurasi jumlah, validitas, kelengkapan, dan klasifikasi akun penempatan pada bank. 3. Buat Kertas Kerja Pemeriksaan. Surat 11. Minta rincian surat berharga| berharga yang dimiliki berharga yang 3. Buat Kertas Kerja Pemeriksaan. keuangan. Buku besar dan buku besa pembantu .Minta rincian surat | Prospektus berharga yang : penerbitan diterbitkan. surel . Periksa akurasi jumlah, berharga. validitas, kelengkapan, |. Lapotan dan klasifikasi akun surat | keuangan dan klasifikasi akun surat berharga yang .Buku besar diterbitkan. dan buku . Buat Kertas Kerja besar Pemeriksaan. pembantu. 1. Minta rincian pinjaman Perjanjian yang diterima. pinjaman. End of Page 34 LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-02/BL/2012 Tanggal : 29 Februati 2012 - 28 - |2. Periksa akurasi jumlah,| - Laporan validitas, kelengkapan, keuahgan. dan klasifikasi akun T. Buku besar dan klasifikasi akun pinjaman. / dan buku |3. Cekjumlah pinjaman / besar apakah telah sesuai pembantu. dengan ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur jumlah pinjaman tidak melebihi 10 (sepuluh) kali dari jumlah modal sendiri dan pinjaman subordinasis dan yang diperhitungkan dalam perhitungan jumlah pinjaman tidak melebihi 509 (lima puluh per seratus) dari modal disetor. 4. Buat Kertas Kerja Pemeriksaan. disetor dalam neraca dan bandingkan dengan disetor telah dilakukan sesuai dengan business plan PPI: End of Page 35 LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapegam dan LK Tanggal : 29 Februari 2012 - 29 - paling sedikit 50% (lima puluh per seratus) dari modal disetor PPl; dan kepemilikan saham oleh badan usaha asing (ika ada) tidak melebihi 85 (delapan puluh lima per seratus) dari modal disetor PPI. 5. Buat Kertas Kerja Pemeriksaan. dan kontinjensi.| keuangan 2. Cek nilai penjaminan /. Dokumen yang dilakukan dan pendukung pastikan nilai penjaminan / terkai tidak melebihi jumlah | rekening modal sendiri dikurangi| administratif. penyertaan modal. 3. Buat Kertas Kerja Pemeriksaan. Cek kebenaran klasifikasi | . Laporan /Pendapatan pendapatan operasional. keuangan. 2. Periksa akurasi saldo 2. Periksa akurasi saldo |.Buku Besar. pendapatan operasional dan cocokkan total pendapatan operasional yang dilaporkan dalam pendapatan operasional hasil pemeriksaan. 3. Buat Kertas Kerja Pemeriksaan. .Cek kebenaran klasifikasi .Pendapatan | non pendapatan non : operasional| operasional. . Periksa akurasi saldo pendapatan non operasional dan cocokkan total pendapatan non operasional yang End of Page 36 LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-02/BL/2012 Tanggal ;: : 29 Februari 2012 30 |12. | Beban |1. Cek kebenaran klasifikasi keuangan. operasional beban operasional |2. Periksa akurasi saldd. beban operasional dan cocokkan total bebani operasional yang dilaporkan dalam lapore dengan total beban : operasional hasil pemeriksaan. pemeriksaai. 3. Buat Kertas Kerja Pemeriksaan. Beban non 11. Cek kebenaran klasifikas | operasional| beban non operasional. 2. Periksa akurasi saldo beban non operasional dan cocokkan total beban non operasional yang dilaporkan dalam laporan dengan total beban non operasional hasil Penyusunan Laporan Hasil Pemeriksaan Hasil Pemeriksaan Sementara (LHPS) dan Laporan Hasil Pemeriksaan Rinal (LHPF) yang ditetapkan oleh Kepala Biro Pembiayaan dan Penjaminan atas nama Ketua Bapepam dan LK. LHPS disusun setelah pemeriksaan lapangan selesai dilakukan berdasarkan dokumen, data dan/atau keterangan yang diperoleh selama Proses Pemeriksaan berlangsung yang dituangkan dalam Kertas Kerja Pemeriksaan. LHPS wajib disampaikan olch Biro Pembiayaan dan Penjaminan kepada direksi/pengurus PPI paling lama 30 (tiga puluh hari kerja setelah berakhirnya Pelaksanaan Pemeriksaan Lapangan. Hasil-hasil pemeriksaan yang dituangkan dalam LHPS dapat disanggah hari kerja sejak LHPS diterima oleh PPI. Dalam hal PPI mengajukan surat tanggapan atas LHPS yang berisi keberatan atas LHPS, maka. dilakukan pembahasan dengan PPI. Pembahasan LHPS dengan PPI tersebut dilakukan paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak keberatan diterima Bapepam dan LK. Hasil pembahasan LHPS dengan PPI tersebut dituangkan dalam Berita Acara Pembahasan Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara. Penyusunan LHPF paling lama 10 (scpuluh) hari kerja sejak ditandatanganinya Berita Acara Pembahasan Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara. Dalam hal PPI tidak mengajukan tanggapan atau mengajukan End of Page 37 LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan -31 - belas) hari kerja sejak LHPS diterima oleh PPI, maka LHPS ditetapkan menjadi LHPF. Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan dibagi menjadi 2 (dua) berdasarkan temuan dan rekomendasi yang dituangkan, dalam Laporan Hasil Pemeriksaan, yaitu a. Tindak lanjut atas temuan adanya pelanggaran Dalam hal berdasarkan hasil pemeriksaan ditemukan adanya pelanggaran yang dilakukan oleh PPI terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan di . bidang Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur, maka terhadap PPI dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur. Tindak lanjut atas rekomendasi berupa saran perbaikan atau penyempurnaan Rekomendasi yang dituangkan dalam LHPF dapat berupa saran perbaikan atau penvempumnaan Untul pengawasan terhadap pelaksanaan rekomendasi hasil pemeriksaan tersebut. End of Page 38 LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-02/BL/2012 Tanggal : 29 Februari 2012 B. Contoh Formulir FORMULIR I FORMAT RENCANA KEGIATAN PEMERIKSAAN KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN 0ONDO PESNN CEANRGANAOU 021 3847.07 STUS TANCANANTA BIRO PEMBIAYAAN DAN PENJAMINAN TAHUN . MANUSIA Pemeriksaan Pemeriksaan Kantor Cabang ml| Kantor Pusat Nama Jml Kantor Pusat Perusahaan / Cabang | Jml hari .Pesai B. MONITORING ATAS HASIL PEMERIKSAAN SEBELUMNYA (dibagi per perusahaan) C. KEBUTUHAN ANGGARAN Kepala Biro Pembiayaan dan Penjaminan End of Page 39 LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-02/BL/2012 Tanggal : : 29 Februari 2012 33 FORMULIR II: FORMAT SURAT PEMBERITAHUAN PEMERIKSAAN KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN DUNG SUNNITRO DJOJOHADIKUSUMO, JALAN LAPANGAN BANTENG TIMUR NOMOR 1 4 AARTA 107 (tanggal).. Nomor : S- Hal : Pemberitahuan Pemeriksaan Yth. Pengurus/Direksi Koperasi/PT. (alamat) (alamat) ............. Sesuai dengan Pasal 30 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 100/PMK.010/2009 tentang Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur, dengan ini kami beritahukan bahwa Menteri Keuangan selaku pembina dan pengawas perusahaan pembiayaan infrastruktur akan melakukan | pemeriksaan terhadap Koperasi/PT Adapun nama-nama yang akan melakukan pemeriksaain adalah sebagai berikut 1. ......................./ NIP ...............selaku Penyelia; 2. ...................... / NIP ...............selaku Ketua Tim; **.................../ NIP .............. selaku Anggota Tim; / NIP ............ selaku Anggota Tim; 4. .................../ NIP ............. selaku Anggota Tim; |5. dst. Jangka waktu pemeriksaan terhitung dari tanggal ............s.d. Sehubungan dengan pelaksanaan pemeriksaan tersebut maka kami minta agar Saudara dapat menunjuk/menugaskan beberapa pejabat/pegawai Koperasi/PT ....... untuk membantii kelancaran jalannya | pemeriksaan. Demikcian agar Saudara maklum. a.n.Ketua Kepala Biro Pembiayaan dan Penjaminan, Tembusan: 1. Ketua, |2. Sekretaris Badan. End of Page 40 LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-02/BL/2012 Tanggal : : 29 Februari 2012 - 34 - FORMULIR III: FORMAT SURAT PERINTAH PEMERIKSAAN KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN EDUNG SUMITRO DJOJOHADIKUSUMO JAL AN LAPANGAN BANTEIN TIMAUR NOMOR 1-4,JAKARTA 1071 SURAT PERINTAH PEMERIKSAAN NOMOR Kepala Biro Pembiayaan dan Penjaminan selaku Penanggung Jawab | Pemeriksaan dengan ini menugaskan Pangkat / Golongan Jabatan : .................................... Nama / NIP : ..................1. Pangkat / Golongan Pangkat / Golongan : .................................... Jabatan Jabatan : ************************************ *********************************** . Nama / NIP : ***************** / Pangkat / Golongan Jabatan : ................................. Nama / NIP : ****************** /. Pangkat / Golongan Pangkat / Golongan : .*****............................. Jabatan : ****.... Jabatan : ******************************** 5. Dst Tanggal Berangkat : Tanggal Berangkat : *********************** Penugasan : Melakukan pemeriksaan terhadap Koperasi/PT atas kebenaran aspek substansi laporan keuangan dan laporan (' kegiatan | usaha, kepatuhan terhadap ketentuan peraturan Jakarta, a.n.Ketua Kepala Biro Pembiayaan dah Penjaminan, Tembusan: 1. Ketua, 2. Sekretaris Badan. End of Page 41 LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-02/BL/2012 Tanggal : : 29 Februari 2012 35 - 1 FORMULIR IV: FORMAT HASIL ANALISIS PENDAHULUAN KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN DUNG SUMTRO DJOJOHADIKUSUMO, JALAN LAPANGAN BANTENG TIMUR NOMOR 1-4,JAKARTA 1 ANALISIS PENDAHULUAN PT. A. INFORMASI PERUSAHAAN Nama : Alamat : ************************************* Alamat Alamat : ************..........*************** Nomor Izin Usaha Jumlah karyawan : ************************************ Jumlah karyawan ****************************************** Komisaris Utama Komisaris : *************************************** Direktur Utama Direktur : **************** Direktur Pemegang Saham B. HASIL ANALISIS LAPORAN KEUANGAN A |ASET 1. | Kas 2. | Penempatan pada bank 3. | Surat berharga yang dimiliki Pendapatan yang masih akan diterima Pinjaman yang diberikan b. refinancing c. pinjaman subordinasi d.lain-lain 6. | Penyertaan modal Cadangan kerugian penurunan nilai a, penempatan pada bank -/- End of Page 42 LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : : PER-02/BL/2012 Tanggal : : 29 Februati 2012 -36- 5N |b. surat berharga yang dimiliki -/- 0 c. pinjaman yang diberikan -/- ******* d. lain-lain -/ - ******** ******* 0 Aset tidak berwujud ******* Akumulasi amortisasi **** Aset tetap ******* IL ******* Akumulasi penyusutan ******** Aset pajak tangguhan Aset lain-lain TOTAL ASET B | LIABILITAS 1. | Beban yang masih harus dibayar | Utang pajak Pendapatan diterima dimuka Liabilitas lancar lainnya Surat berharga yang a. Pemerintah Republik Indonesia b. pemerintah asing c. lembaga multilateral *********** ******* * ******* ******* ************** /Modal ****** a. modal disetor| ****** c. disagio -/- / ******* End of Page 43 LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-02/BL/2012 Tanggal : 29 Februari 2012 - 37 - Cadangan a. cadangan umum b. cadangan tujuan c. cadangan lainnya |Hibah 4. | Saldo laba/(rugi) 5. | Laba (rugi) tahun berjalan Pendapatan komprehensif 6. | lainnya TOTAL EKUITAS 4**** ******* | TOTAL LIABILITAS DAN EKUITAS FINANCIAL RATIO | Pendapatan dan beban operasional 1. Pendapatan operasional a. Pendapatan bunga/provisi/ fee 1) pinjaman langsung 2) refinancing 3) pinjaman subordinasi 4) lainnya b. pendapatan fee penjaminan End of Page 44 LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor PER-02/BL/2012 Tanggal. : 29 Februari 2012 38 c. pendapatan jasa konsultasi d. pendapatan deviden e. pendapatan bunga investasi f. keuntungan dari penyertaan modal dengan metode ekuitas g. pendapatan operasional lainnya Jumlah pendapatan operasional 2. Beban operasional bunga/provisi/ fee 1) bunga pinjaman 2) beban provisi dan fee b. beban klaim penjaminan kerugian dari penyertaan modal dengan metode ekuitas d. beban penurunan nilai aset keuangan 1) penempatan pada bank|..... | ...... 2) surat berharga 3) pinjaman yang diberikan ****** ******* 4) lainnya***** *******. e. beban gaji dan tunjangan 1. beban pengembangan usaha dan amortisasi h. beban umum dan administrasi i. beban operasional lainnya Jumlah beban operasional End of Page 45 LAMPIRAN Peraturan Kelua Bapepam dan LK Nomor : PER-02/BL/2012 - 39 / Laba/(rugi) operasional Pendapatan dan beban non operasional |1. Pendapatan non operasional |2. Beban non operasional Pendapatan/ (beban) non operasional | Laba/(rugi) sebelum pajak penghasilan V| Pajak penghasilan Taksiran pajak penghasilan Pajak tangguhan VI | Laba/(rugi) bersih C. KESIMPULAN HASIL ANALISIS LAPORAN KEUANGAN Penyelia Ketua Tim Anggota Anggota : ....... . JANGKA WAKTU PELAKSANAAN PEMERIKSAAN Tanggal ...... s.d ..... Tanggal PROSEDUR PEMERIKSAAN ******* ************* Catatan karakteristik koperasi. End of Page 46 LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapegam dan LK Nomor : PER-02/BBL/2012 Tanggal : 29 Februari 2012 -40- BAB IV DOKUMENTASI PEMERIKSAAN A. Klasifikasi Berkas Pemeriksaan Berkas Pemeriksaan merupakan data, kertas kerja, laporan pemeriksaan, dan semua dokumen yang berhubungan dengan kegiatan pemeriksaan. Dokumen terscbut merupakan bukti otentik pelaksanaan pemeriksaan berkas pemeriksaan mudah diperoleh kembali, penyimpanannya harus dilakukan dengan tertib dan teratur. Berkas Pemeriksaan dapat diklasifikasikan scbagai berikut: 1. Berkas Umum Berkas umum merupakan dokumen-dokumen adininistratif yang dibuat dalam rangka pelaksanaan kegiatan pemeriksaan. Berkas umum mencakup a. Surat Pemberitahuan Pemeriksaan (SPP) Pembiayaan dan Penjaminan atas nama Ketua Bapepam dan LK, selaku Penanggung Jawab Pemeriksaan yang selanjutnya disampaikan kepada PPI. Tembusan SPP dildirimkan kepada Ketua dan Sekretaris Bapepam dan LK. Surat Perintah Pemeriksaan (Sprint) Sprint merupakan surat yang dikeluarkan Kepala Biro Pembiayaan dan Penjaminan atas nama Ketua Bapepam dan LK, selaku Penanggung Jawab Pemeriksaan yang digunakan pemeriksa sebagai dasar untuk melakukan pemeriksaan. Tembusan Sprint dikirimkan kepada Ketua dan Sekretaris Bapepam dan LK. c. Surat Perintah Perjalanan Dinas Surat Perintah Perjalanan Dinas dibuat untuk| keperluan administratif guna mendapatkan penggantian biaya perjalanan dinas dari Bapepam dan LK. Untuk pemeriksaan di kantor pusat PPI di Jakarta cukcup digunakan Sprint, sementara untuk pemeriksaan PPI di kota-kota lain digunakan juga Surat Perintah Perjalanan Dinas selain Sprint. d. Daftar Permintaan dan Pemninjaman Data dan/ atau Dokumen Daftar ini merupakan daftar permintaan dan peminjaman data dan/atau dokumen yang dibutuhkan oleh pemeriksa dan disampaikan kepada PPl. Daftar ini berisi rincian data dan/atau dokumen yang dibutuhkan, tanggal diberikan atau kesanggupan PPI memberikan data, dan tanggal pengembalian data. Daftar ini dibuat 2 (dua) rangkap (satu untuk pemeriksa dan satu lagi untuk PPI) dan ditandatangani oleh Ketua Tim Pemeriksaan. Contoh format Daftar Permintaan dan Peminjaman Data dan/atau Dokumen terdapat dalam Formulir V. End of Page 47 LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Tanggal : 29 Februari 2012 e. Berita Acara Penolakan Pemeriksaan/Penolakan Membantu Kelancaran Pemeriksaan dan Berita Acara Penundaan Pemeriksaan Berita Acara Penolakan Pemeriksaan/Penolakan Membantu Kelancaran Pemeriksaan merupakan dokumen yang berisi pemayjatan bahwa PPl mepolak dilakukan menolak membantu kelancaran pemeriksaan. Dalam hal PPI menolak dilakukannya pemeriksaan atau menolak membantu kelancaran pemeriksaan, wakail PPI dan Ketua Tim Pemeriksaan harus menandatangani Berita Acara Penolakan Pemeriksaan / Penolakan Membantu Kelancaran Pemeriksaan Contoh format Berita Acara Penolakan Pemeriksaan/Penolakat Membantu Kelancaran Pemeriksaan terdapat dalam Formulir V. Berita Acara Penundaan Pemeriksaan merupakan dokumen yang berisi pernyataan bahwa PPl mengajukan penundaan pemeriksaan. Dalam hal PPI mengajukan penundaan dilakukannya pemeriksaan, wakil PPI dan Ketua Tim Pemeriksaan harus menandatangani Berita Acara Penundaan Pemeriksaan. Contoh format Berita Acara Penundaan Pemcriksaan terdapat dalam Formulir VII. f. Berita Acara Pemeriksaan dan Berita Acara | Penolakan Penandatanganan Berita Acara Pemeriksaan Berita Acara Pemeriksaan merupakan dokumen yang menyatakan ditandatangani oleh Ketua Tim Pemeriksaan dan pihak yang mewakili PPI setelah berakhirnya pemeriksaan di kantor PPI. Contoh format Berita Acara Pemeriksaan terdapat dalam Formulir Berita Acara Penolakan Penandatanganan Berita Acara Pemeriksaan dibuat apabila pihak yang mewalcili PPI menolak untuk menandatangani Berita Acara Pemeriksaan. Berita Acara ini ditandatangani olch Ketua Tim Pemeriksaan dan pihak yang mewakili PPI setelah berakhirnya pemeriksaan di kantor PPI. Contoh format Berita Acara Penolakan Penandatanganan Berita Acara Pemeriksaan terdapat dalam Formulir IX. 8 Surat Pengantar Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara dan Laporan Hasil Pemeriksaan Final Surat Pengantar Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara maupun Surat Pengantar Laporan Hasil Pemeriksaan Final ditandatangani oleh Kepala Biro Pembiayaan dan Penjaminan atas riama Ketua Bapepam dan LK dan ditujukan kepada direksi/penigurus PPL. Dalam Surat Pengantar Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara harus diberitahukan tentang jangka waktu penyampaian | tanggapan tefhadap laporan dimaksud dan keminokinon diol pembahasan apabila direksi/pengurus PPI keberatan terhadap temuan hasil pemeriksaan yang tertuang dalam LHPS. Contoh format Surat Pengantar Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara terdapat dalam Formulir X. End of Page 48 LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-02/BL/2012 Tanggal : 29 Februari 2012 Contoh format Surat Pengantar Laporan Hasil Pemcriksaan Final (Tanpa Tanggapan) terdapat dalam Formulir XT. Contoh format Surat Pengantar Laporan Hasil Pemeriksaan Final (Dengan Tanggapan) terdapat dalam Formulir XII. h. Berita Acara Pembahasan Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara Berita Acara Pembahasan Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara dibuat apabila dilakukan pembahasan dengan PPI yang) keberatar terhadap temuan hasil pemeriksaan yang tertuang dalam LHPS Berita Acara Pembahasan Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara ditandatangani Penyelia Pemeriksaan dan Ketua Tim Pemeriksaan dan wakil dari PPl pada akhir acara pembahasan. Contoh format Berita Acara Pembahasan Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara terdapat dalam Formulir XIII. . Nota Dinas Pengantar Laporan Pelaksanaan Kegiatan Pemeriksaan kepada Ketua Bapepam dan LK Nota Dinas pengantar Laporan Pelaksanaan Kegiatan Pemeriksaan disampaikan oleh Kepala Biro Pembiayaan dan Penjaminan kepada Ketua Bapepam dan LK dan berisi laporan mengenai pemeriksaan terhadap PPI beserta hasil-hasilnya. Nota Dinas ini dilampiri ringkasan hasil-hasil pemeriksaan. Nota Dinas tersebut dibuat untuk pemeriksaan berkala dan pemeriksaan setiap waktu. Bentuk Nota Dinas ini sesuai dengan bentuk baku yang telah diterapkan di Jingkungan Bapepam dan LK. j. Lembar Kerja Pemeriksa Lembar ini berisi tentang pekerjaan yang telah dilakukan setiap pemeriksa, tanggal penyelesaian pekerjaan tersebut, dan kertas kerja yang dihasilkan. Lembar Kerja Pemeriksa diisi oleh pemeriksa, dan diparaf oleh Ketua Tim Pemeriksaan dan Penyelia Pemeriksaan, Contoh format Lembar Kerja Pemeriksa terdapat dalam Formulir XIV. k. Surat dari PPI atau Pihak Lain Surat dari PPI merupakan semua surat yang berhubungan dengan pemeriksaan dan berasal dari PPI, misalnya Surat Tanggapan atas LHPS. Sedangkan surat yang berasal dari pihak lain misalnya adalah balasan surat konfirmasi. 2. Kertas Kerja Pemeriksaan (KKP) Kertas Kerja Pemeriksaan merupakan kertas kerja yahg dibuat pemeriksa selama melakukan kegiatan pemeriksaan. Kertas kerja tersebut diberi nomor indeks dan diparaf oleh Ketua Tim Pemeriksaan dan Anggota Tim Pemeriksaan yang membuat kertas kerja. Kertas kerja selanjutnya digunakan sebagai dasar dalam membuat Laporan Hasil Pemeriksaan. Dengan demikian semua yang tertuang dalam Laporan Hasil Pemeriksaan didukung dengan KKP. Secara garis besar KKP mencakup End of Page 49 LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-02/BL/2012 Tanggal : 29 Februari 2012 43- a. KKP awal, mencakup 1) Hasil Analisis Pendahuluan; dan 2) Kuesioner. b. KKP untuk aspek kelembagaan, mencakup 1) KKP anggaran dasar, 2) KKP izin usaha dan pelaporan pembukaan/penutupan kantor cabang, perubahan nama perusahaan, dan perubahan alamat kantor; 3) KKP direksi/ pengurus dan dewan komisaris/ pengawas; 4) KKP sistem dan prosedur kerja, 5) KKP struktur organisasi; 6) KKP sumber daya manusia; dan 7) KKP aspek kelembagaan lainnya. c. KKP untuk aspek operasional, mencakup 1) KKP pemberian pinjaman langsung 2) KKP refinancing atas infrastruktur yang tclah dibiayai pihak lain; 3) KKP pemberian pinjaman subordinasi; 4) KKP pemberian dukungan kredit (credit enhancement) 5) KKP kegiatan pemberian jasa konsultasi; 6) KKP penyertaan modal (equity investment); 7) KKP kegiatan mencarikan suap market yang | berkaitan dengan pembiayaan infrastruktur; 8) KKP penempatan dana; 9) KKP kegiatan pendanaan; 10) KKP Pelaksanaan Prinsip Mengenal Nasabah; dan 11) KKP aspek operasional lainnya. d. KKP untuk aspek keuangan, mencakup 1) KKP piutang pembiayaan; 2) KKP penyertaan modal; 3) KKP penempatan pada bank; 4) KKP surat berharga yang dimiliki 5) KKP surat berharga yang diterbitkan; 6) KKP pinjaman yang diterima, 7) KKP permodalan; 8) KKP rekening administratif; 9) KKP pendapatan operasional; 10) KKP pendapatan non operasional; 11) KKP beban operasional; 12) KKP beban non operasional; dan 13) KKP aspek keuangan lainnya. End of Page 50 LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-02/BL/2012 Tanggal : 29 Februari 2012 44 3. Dokumen Pendukung KKP Kelompok berkas ini berisi dokumen-dokumen yang diperoleh pemeriksa dari PPI dan/atau pihak lain untuk mendukung KKP. Dokumen pendukung KKP yang diarsip hanyalah dokumen pendukung yang relevan dengan KKP. 4. Laporan Hasil Pemeriksaan Laporan Hasil Pemeriksaan yang terdiri dari LHPS maupun LHPF memuat hasil-hasil pemeriksaan yang mencakup semua aspek yang diperiksa. LHPS dan LHPF ditetapkan oleh Kepala Biro Pembiayaan dan Penjaminan atas nama Ketua Bapepam dan LK. Contoh format dan sistematika Laporan Hasil Pemeriksaan terdapat dalam Formulir XV. B. Prosedur Penyimpanan Dokumen Setelah pemeriksaan terhadap PPI selesai dilakukan (Laporan Hasil Pemeriksaan telah dikirim), pemeriksa wajib melakukan pengarsipan seluruh berkas pemeriksaan dengan cara yang sistematis, sehingga berkas pemeriksaan tersebut mudah ditemukan kembali apabila diperlukan. Dokumen-dokumen elektronik dari satu pemeriksaan harus disimpan dalam Satui dfektori jang tidak bercampur dengan dokumen lain kompuiter. Berkas pemeriksaan yang berupa dokumen kertas harus disimpan dalam 2 (dua) bundel yang terpisah, yaitu Bundel 1 berisi Berkas Umum, LHPS, dan LHPF. Bundel 1 disusun dengan urutan sebagai berikut: a. Daftar Tsi; b. Sprint; c. SPP, d. Surat Perintah Perjalanan Dinas atau copy Surat Perintah Perjalanan Dinas, . Daftar Permintaan dan Peminjaman Data dan/ atau Dokumen; f. Berita Acara Penolakan Pemeriksaan/Penolakan Membantu Kelancaran Pemeriksaan atau Berita Acara Penundaan Pemeriksaan dika ada); Berita Acara Pemeriksaan atau Berita Acara Penolakan Penandatanganan Berita Acara Pemeriksaan (jika ada); . Berita Acara Pembahasan Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara (ika ada); i. Lembar Kerja Pemeriksa, j. Surat dari PPI atau pihak lain (ika ada); . Nota Dinas Pengantar Laporan Pelaksanaan Kegiatan Pemeriksaan kepada Ketua Bapepam dan LK, 1. LHPS dan surat pengantamya; dan m. LHPF dan surat pengantamya. 2. Bundel 2 berisi KKP dan Dokumen Pendukung KKP. Bundel 2 disusun sesuai dengan urutan nomor indeks KKP. End of Page 51 LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Tanggal : 29 Februari 2012 45 FORMULIR V. FORMAT DAFTAR PERMINTAAN DAN PEMINJAMAN DATA DAN/ATAU DOKUMEN KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN PE ERAONA EO PAERANAN EAKSINAU 021)3840 STS DAFTAR PERMINTAAN DAN PEMINJAMAN DATA DAN/ATAU DOKUMEN Ketua Tim Pemeriksaan, NIP ) disi angka 1 apabila dokumen diminta dan angka 2 apabila dokumen dipinjam End of Page 52 LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-02/BL/2012 Tanggal : 29 Februari 2012 46 FORMULIR VI FORMAT BERITA ACARA PENOLAKAN PEMERIKSAAN/ PENOLAKAN MEMBANTU KELANCARAN PEMERIKSAAN KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN GEDUNGSUNIRO DLOJOHADKUSUNO,JALAN LAPANGAN BANTE T TELEPON (021) 3858001, FAKSIMAL (021) 3847437, SITUS www.bapepam go.id BERITA ACARA PENOLAKAN PEMERIKSAAN, PENOLAKAN MEMBANTU KELANCARAN PEMERIKSAAN : Pada hari ini .......,. tanggal ........ berdasarkan Surat Perintah | Pemeriksaan Nomor ........ tanggal ........, kami Nama : Nama : ******* NIP : NIP : ********* |Ketua Tim Pemeriksaan pada Biro Pembiayaan dan Penjaminan, ditugaskan |untuk melakukan pemeriksaan terhadap Koperasi/Pl alamat . Sehubungan dengan pemeriksaan tersebut, Koperasi/PT | dalam hal ini diwakili oleh: Nama :. Nama : ******* Jabatan :.******* Alamat Alamat :...... |telah menolak untuk dilakukan pemeriksaan/membantu kelancaran | pemeriksaan', dengan alasan: Demikian Berita Acara Penolakan Pemeriksaan/Penolakan Membantu |Kelancaran Pemeriksaan' ini dibuat dengan sebenarnya. Jakarta, Ketua Tim Pemeriksaan, NIP ...................*****:** | Jabatan ................. ) coret yang tidak perlu End of Page 53 LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Tanggal. : 29 Februari 2012 : : FORMULIR VII FORMAT BERITA ACARA PENUNDAAN PEMERIKSAAN KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN GEDUNG SUNDITRO DJOJOHADIKUSUNIO , JALAN LAPANGAN BANTENG TIMUR NOMOR 1-4, JAKARTA 10710 BERITA ACARA PENUNDAAN PEMERIKSAAN Pada hari ini .......,, tanggal ........ berdasarkan Surat Perintah Pemeriksaan Nomor.........tanggal........ Koperasi/PT ...........|dan Tim Pemeriksaan sepakat untuk melakukan penundaan pemeriksaan dengan alasan Demikian Berita Acara Penundaan Pemeriksaan ini dibuat dengan |sebenarnya. Jakarta, |Koperasi/PT........ Ketua Tim Pemeriksaan, ahata...... NIP........................... ************************************** NIP -****:*......................... End of Page 54 LAMPIRAN Nomor * :: PER-02/BL/2012 Tanggal : 29 Februari 2012 - 48 - FORMULIR VIII FORMAT BERITA ACARA PEMERIKSAAN KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN 010 TELEPON 0210366800, PAKS 020 7,U 0 BERITA ACARA PEMERIKSAAN Nomor: Pada hari ini, .......... tanggal .................., Tim Pemeriksaan Biro Pembiayaan dan Penjaminan berdasarkan Surat Perintah Pemeriksaan | Nomor .................. tanggal ................ telah melaksanakan pemeriksaan | terhadap Koperasi/PT |terhadap Koperasi/PT ................, dengan alan Kepada Koperasi/PT .......... telah ditunjukkan Surat Perintah Pemeriksaan dan dijelaskan tentang tujuan pemeriksaan yaitu untuk memperoleh keyakinan yang memadai atas kebenaran laporan keuangan dan laporan kegiatan usaha dan menilai kepatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Perusahaan Pembiayaan | Infrastruktur serta ketentuan peraturan perundang-undangan lain yang| Pemeriksaan telah dilaksanakan dari tanggal ......... s.d. Demikian berita acara ini dibuat dan ditandatangani oleh Ketua Tim Pemeriksaan dan pihak yang mewakili Koperasi/PT Jakarta, Koperasi/PT.............. Ketua Tim Pemeriksaan, Ketua Tim Pemeriksaan, | Jabata.................... NIP ....................... End of Page 55 LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : : PER-02/BL/2012 Tanggal. : 29 Februari 2012 49 FORMULIR IX: FORMAT BERITA ACARA PENOLAKAN PENANDATANGANAN BERITA ACARA PEMERIKSAAN 9 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN GEDUNG SUNTT E O A 001 ANL (021) 3847.37, srus w bapapangald 55010000 300 N ANOAUNAUE BERITA ACARA PENOLAKAN PENANDATANGANAN BERITA ACARA PEMERIKSAAN Pada bari ini ....., tanggal ....... berdasarkan suat Pemeriksaan Nomor ......... tanggal ........Tim Pemeriksaan pada Biro Pembiayaan dan Penjaminan telah melakukan pemeriksaan terhadap |Koperasi/PT ..........., dengan alamat dalam hal ini diwakili oleh Jabatan :........... Jabatan Alamat :......... Alamat |telah menolak untuk menandatangani Berita Acara Pemeriksaan, dengan alasan: Demikian Berita Acara Penolakan Penandatanganan Berita Acara Pemeriksaan ini dibuat dengan sebenarnya. Jakarta, ........ Ketua.Tim Pemeriksaan, Jabatan.................NP................ End of Page 56 LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-02/BL/2012 Tanggal : 29 Februari 2012 FORMULIR X FORMAT SURAT PENGANTAR LAPORAN HASIL PEMERIKSAAN SEMENTARA KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN JAKARTA 10710, TELEPON (021) 3868001, FAKSIALI (021 3847437.,51US wwwibapopan aio (tanggal) |Nomor ************* (tanggal) ........................ | Lampiran satu berkas |Hal : Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara Yth. Pengurus/Direksi |Koperasi/PT | (alamat) Sehubungan dengan telah dilaksanakan pemeriksaan terhadap |Koperasi/PT ........... berdasarkan Surat Perintah Pemeriksaan Nomor bersama ini kami sampaikan Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara. Saudara dapat menyampaikan tanggapan atas hasil pemeriksaan dimaksud paling lama 15 (lima belas) hari kerja setelah diterimanya surat ini. Selanjutnya, jika diperlukan akan dilakukan pembahasan lebih lanjut atas tanggapan yang Saudara sampaikan, Jika |dalam jangka waktu tersebut tidak ada tanggapan yang berisi keberatan atau terdapat tanggapan yang berisi persetujuan' atas Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara, maka Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara akan ditetapkan sebagai Laporan Hasil Pemeriksaan Final... Demikian agar Saudara maklum. a.n. Ketua Kepala Biro Pembiayaan dan Penjaminan, NIP ...................... NIP Tembusan: 1. Ketua; |2. Sekretaris Badan; |3. Pengawas/Dewan Komisaris Koperasi/PT End of Page 57 LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapegam dan LK Nomor : PER-02/BL/2012 Tanggal 3i : 29 Februari 2012 FORMULIR XI FORMAT SURAT PENGANTAR LAPORAN HASIL PEMERIKSAAN FINAL (TANPA TANGGAPAN) KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN 0146,TELEPC1 (02138500014, F AKSINALI/021) 3847437,SITUS wwnv.bapapangald (tanggal) | Lampiran : satu berkas |Hal : Laporan Hasil Pemeriksaan Final Yth. | Pengurus/Direksi |Koperasi/PT ............. |Koperasi/PT (alamat). |(alamat) .................... Sehubungan dengan telah disampaikan Laporan Hasil Pemneriksaan |dan sampai dengan jangka waktu 15 (lima belas) hari kerja terhitiang sejak tanggal Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara diterima tidak ada tanggapan |dari Saudara, maka Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara dimaksud ditetapkan menjadi Laporan Hasil Pemeriksaan Final. Berkenaan dengan hasil Pemeriksaan, diharapkan Saudara memperhatikan dan segera melaksanakan rekomendasi yang terdapat dalam Pelaksanaan atas rekomendasi agar disampaikan kepada kami | paling lambat ....... disertai dengan dokumen peridukung pelaksanaan | rekomendasi tersebut '). Demikian agar Saudara maklum a.n.Ketua Kepala Biro Pembiayaan dan Penjaminan NIP .......................... NIP .. Tembusan: 1. Ketua; |2. Sekretaris Badan; 3. Pengawas/Dewan Komisaris Koperasi/P *) Paragraf ini hanya dicantumkan jika terdapat rekomendasi. End of Page 58 LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-02/BL/2012 Tanggal 1 : 29 Februari 2012 FORMULIR XII : FORMAT SURAT PENGANTAR LAPORAN HASIL PEMERIKSAAN FINAL (DENGAN TANGGAPAN) 4 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN SEDUNG SUNITRO DJOJOHADIKUSUNO, JALAN LAPANGAN BANTENG TMUR NOMOR 1-4, JAKARTA 1071 GEDUNG SUNTRELEPON /021) 3858001, FAKSIML 021) 3847437, SITUSWAv bapapangoi (tanggal).. (tanggal).......................... Nomor Lampiran : satu berkas Hal : Laporan Hasil Pemeriksaan Final Yth. Pengurus/ Direksi |Koperasi/PT (alamat). / (alamat) .************************* Sehubungan dengan surat Saudara Nomor ........... tanggal hal..............dan Berita Acara Pembahasan Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara Nomor...........tanggal..........., maka bersama ini kami sampaikan Laporan Hasil Pemeriksaan Final yang disusun berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan Sementara yang telah disesuaikan. Berkenaan dengan hasil Pemeriksaan, diharapkan Saudara perhatikan dan segera melaksanakan rekomendasi yang terdabat dalam memperhatikan dan segera melaksanakan rekomendasi yang terdapat dalam |Bab..........................dari Laporan Hasil Pemeriksaan Final'). .dari Laporan Hasil Pemeriksaan Final'). Pelaksanaan atas rekomendasi agar disampaikan kepada kami paling lambat ....... disertai dengan dokumen pendukung pelaksanaan rekomendasi tersebut'). Demikian agar Saudara maklum a.n.Ketua Kepala. Biro Pembiayaan dan Penjaminan, NIP NIP .......................... Tembusan: 1. Ketua, |2. Sekretaris Badan; 3. Pengawas/Dewan Komisaris Koperasi/PT 9) Paragraf ini hanya dicantumkan jika terdapat rekomendasi. End of Page 59 LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-02/BL/2012 Tanggal /i : 29 Februari 2012 FORMULIR XIII: FORMAT BERITA ACARA PEMBAHASAN LAPORAN HASIL PEMERIKSAAN SEMENTARA KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN GEDUNG SUMITRO DJOJOHADIKUSUMAO,JALAN LAPANGAN BANTENG TINUR NOMOR 1-4,JAKARTA 10710, BERITA ACARA PEMBAHASAN LAPORAN HASIL PEMERIKSAAN SEMENTARA Pada hari ini, ...... tanggal ............b070001 01. Hasil Pemeriksaan Sementara. Pembahasan dimaksud akan digunakan sebagai bahan pertimbangan oleh Tim Pemeriksaan dalam menyusun Laporan Hasil Pemeriksaan Final. Hadir dalam pembahasan tersebut ... orang dari Biro Pembiayaan dan Penjaminan dan ...... orang dari |Koperasi/PT ........... (daftar hadir terlampir). Hasil pembahasan tersebut adalah sebagaimana terlampir. Demikian Berita Acara ini dibuat dengan sebenarnya. Jakarta, Penyelia Pemeriksaan, |Koperasi/PT.......... Penyelia Pemeriksaan, End of Page 60 LAMPIRAN Nomor : PER-02/BL/2012 Tanggal : 29 Februari 2012 - 54 - FORMULIR XIV: FORMAT LEMBAR KERJA PEMERIKSA KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN GEDUNG SUNN TRO DO 0A3858001, FAKSIMLI (021) 3847437, SITUS www.bapopamgo.id UN LEMBAR KERJA PEMERIKSA Nama Pemeriksa Nama Pemeriksa : *********************** Ketua Tin : ********************** Penyelia : **********............... ************************* Tanggal Pemeriksaan Paraf Penyelia End of Page 61 AMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-02/BL/2012 Tanggal : 29 Februari 2012 - 55 - FORMULIR XV. FORMAT LAPORAN HASIL PEMERIKSAAN KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN BIRO PEMBIAYAAN DAN PENJAMINAN LAPORAN HASIL PEMERIKSAAN KOPERASI/PT KOPERASI/PT...................... Nomor Laporan Tanggal Laporan Jenis Pemeriksaan Periode Pemeriksaan End of Page 62 LAMPIRAN Peraturari Ketua Bapegam dan LK Nomor : PER-02/BL/2012 Tanggal : 29 Februari 2012 -56 - |Isi Laporan Hasil Pemeriksaan secara garis besar terdiri dari: LAPORAN SINGKAT HASIL PEMERIKSAAN KOPERASI/PT TAHUN Disajikan secara ringkas yang terdiri dari: 1. Paragraf Pendahuluan, berisi Nomor dan Tanggal Surat Perintah Pemeriksaan, ruang lingkup pemeriksaan, periode pemeriksaan, jenis pemeriksaan, dan maksud dan tujuan pemeriksaan. Paragraf Isi, berisi Penjelasan ringkas tentang hasil pemeriksaan yang telah dilaksanakan. 3. Paragraf Penutup, berisi: Pernyataan bahwa hasil pemeriksaan selengkapnya ada dalam laporan ini. Jakarta, tanggal, bulan, tahun TIM PEMERIKSAAN TANDA TANGAN 1. Penyelia / NIP 4. Anggota / NIP 4. 5. Anggota / NIP 6. dst. Ditetapkan, a.n. Ketua Kepala Biro Pembiayaan dan Penjaminan, NIP....................................... End of Page 63 LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Tanggal : 29 Februari 2012 57 LAPORAN HASIL PEMERIKSAAN KOPERASI/PT ............... TAHUN. Informasi Umum (Bagian ini memuat informasi umum terkait pemeriksaan terhadap perusahaan pembiayaan infrastruktur antara lain dasar hukum dilakukannya pemeriksaan, jenis pemeriksaan, Nomor Surat Perintah Pemeriksaan, komposisi tim pemeriksaan, tujuan pemeriksaan, ruang Jingkup pemeriksaan, pedoman pemeriksaan, kondisi umum perusahaan pembiayaan infrastruktur, dan informasi umum lainnya terkait pemeriksaan yang telah dilaksanakan terhadap perusahaan pembiayaan infrastruktur.) II. Hasil Pemeriksaan A. Aspek Kelembagaan (Bagian ini memuat hasil-hasil pemeriksaan terhadap aspek kelembagaan perusahaan pembiayaan infrastruktur yang antara lain | mengenai kriteria/ketentuan yang berlaku dan kondisi yang ada pada perusahaan pembiayaan infrastruktur.) B. Aspek Operasional (Bagian ini memuat hasil-hasil pemeriksaan terhadap aspek operasional perusahaan pembiayaan infrastruktur yang antara lain mengenai kriteria/ketentuan yang berlaku dan kondisi yang ada pada perusahaan pembiayaan infrastruktur.) C. Aspek Keuangan (Bagian ini memuat hasil-hasil pemeriksaan terhadap aspel keuangan perusahaan pembiayaan infrastruktur yang antara lain mengenai kriteria dan kondisi yang ada pada perusahaan pembiayaan infrastruktur.) D. Lain-lain Hal-hal yang belum tercakup pada point A s.d. C (ika. ada). III. Kesimpulan |IV.Saran dan Rekomendasi End of Page 64 LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Tanggal : 29 Februari 2012 BAB V PENGENDALIAN PEMERIKSAAN Pengendalian pemeriksaan bertujuan untuk memastikan agar Proses Pemeriksaan PPI dilakukan sesuai dengan Pedoman Pemeriksaan dan memastikan seluruh Tujuan Pemeriksaan dapat tercapai secara efisien dan efektif. Pengendalian pemeriksaan merupakan kegiatan penilaian kinerja mulai dari penyusunan rencana pemeriksaan sampai dengan tindak lanjut atas rekomendasi dalam Laporan Hasil Pemeriksaan. Objek pengendalian pemeriksaan adalah pemeriksa dan setiap kegiatan yang berkaitan dengan pemeriksaan. Pengendalian tersebut terdiri dari pengendalian terhadap pelaksanaan rencana pemeriksaan dan pengendalian perhadap pelaksanaan pemeriksaan. . Pengendalian Terhadap Rencana Pemeriksaan Pengendalian terhadap rencana pemeriksaan dilakukan oleh Penanggung Jawab Pemeriksaan dan Penyelia Pemeriksaan antara lain terhadap aspeke- aspek sebagai berikut a. penyusunan rencana pemeriksaan; o. penggunaan waktu kerja dan jumlah pemeriksa yang diperluikan untuk menyelesaikan kegiatan pemeriksaan; dan c. pencapaian target pemeriksaan. Penanggung Jawab Pemeriksaan dan Penyelia Pemeriksaan secara berkala mengevaluasi Rencana Kegiatan Pemeriksaan. Jika terjadi penyimpangan yang signifikan atai potensi penyimpangan rencana pemeriksaan teridentifikasi, Penanggung Jawab Pemeriksaan dan Penyelia Pemeriksaan harus segera mengambil tindakan untuk melakukan perbaikan atas penyimpangan tersebut. Selanjutnya, Penanggung Jawab Pemeriksaan menyampaikan laporan pelaksanaan kegiatan pemeriksaan PPI kepada Ketua Bapepam dan LK paling lambat tanggal 28 Februari tahun berikutnya. Contoh format Laporan Pelaksanaan Kegiatan Pemeriksaan Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur terdapat dalam Formulir XVI. 2. Pengendalian Terhadap Pelaksanaan Pemeriksaan Proses Pemeriksaan setelah tahapan Perencanaan Pemeriksaan selesai dilalaana gaitu mulai dari Persiapan Pemeriksaan, Pelaksanaa Lapangan, Penyusunan Laporan Hasil Pemeriksaan hingga Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan. Pengendalian terhadap pelaksanaan pemeriksaan tersebut dilakukan oleh Penanggung Jawab Pemeriksaan, Penyelia Pemeriksaan, dan Ketua Tim Pemeriksaan antara lain tcrhadap aspek-aspek sebagai berikut a. persiapan pemeriksaan sebelum pemeriksaan lapangan dilaksanakan; b. prosedur pemeriksaan yang telah dilaksanakan Tim Pemeriksaan, data dan. informasi yang diperolch Tim Pemeriksaan, atau KKP, . hasil pemeriksaan dan penuangannya dalam konsep LHPS dan LHPF, dan d. pelaksanaan Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan. End of Page 65 LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-02/BL/2012 Tanggal : 29 Februari 2012 - 59 - Jika terjadi penyimpangan yang signifikan atau potensi penyimpangan pelaksanaan pemeriksaan teridentifikasi, harus segera diambil tindakan untuk melakukan perbaikan atas penyimpangan tersebut. Dalam hal ini, Ketua Tim Pemeriksaan harus selalu berkonsultasi dengan Penyelia Pemeriksaan yang sclanjutnya membahas tindakan koreksi atau perbaikan yang akan dilakukan. End of Page 66 LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-02/BL/2012 Tanggal : 29 Februari 2012 - 60 - FORMULIR XVI FORMAT LAPORAN PELAKSANAAN KEGIATAN PEMERIKSAAN TAHUNAN KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN NO SUN E E N 0 10 365601, FAKSINIL (021)3847437, SUs www.bapepamgold LAPORAN PELAKSANAAN KEGIATAN PEMERIKSAAN PERUSAHAAN PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR TAHUN...................... T. Executive Summary Jl. Laporan Kegiatan Pemeriksaan Berkala/Setiap Waktu A. UMUM 1. Dasar Hukum 2. Tujuan Pemeriksaan 3. Ruang Lingkup Pemeriksaan 4. Periode Pemeriksaan 5. Komposisi Tim Pemeriksaan B. PELAKSANAAN PEMERIKSAAN 1. Persiapan Pemeriksaan 2. Temuan Hasil Pemeriksaan C. KENDALA PEMERIKSAAN 1. Faktor Internal 2. Faktor Eksternal D. REKOMENDASI DAN RENCANA TINDAK LANJUT End of Page 67 LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-02/BL/2012 Tanggal : 29 Februari 2012 -61 - BAB VI PENUTUP Pedoman Pemeriksaan Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur agar dijadikan acuan dalam penyelengaraan Pemeriksaan oleh Tim Pemeriksaan. Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan, ttd. Nurhaida NIP 195906271989022001 sesual dengan aslinya Dagian Umum NIP 195710281985121001 End of Page 68 "," PERTA-BAPEPAM-LK PER-02/BL/2012|PERTA-BAPEPAM-LK/2012 PEDOMAN PEMERIKSAAN PERUSAHAAN PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR 29 Februari 2012 29 Februari 2012 '9/PERPRES/2009', '100/PMK.010/2009|PER-MENKEU/2009' " " OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 72 /POJK.05/2016 TENTANG KESEHATAN KEUANGAN PERUSAHAAN ASURANSI DAN PERUSAHAAN REASURANSI DENGAN PRINSIP SYARIAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : Bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 19 ayat (4), Pasal 20 ayat (5), Pasal 21 ayat (4), dan Pasal 22 ayat (5) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi dengan Prinsip Syariah; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); 2. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5618); - 2 - MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG KESEHATAN KEUANGAN PERUSAHAAN ASURANSI DAN PERUSAHAAN REASURANSI DENGAN PRINSIP SYARIAH. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Perusahaan adalah perusahaan asuransi syariah, perusahaan reasuransi syariah, dan unit syariah. 2. Perusahaan Asuransi Syariah adalah perusahaan asuransi umum syariah dan perusahaan asuransi jiwa syariah, sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. 3. Unit Syariah adalah unit kerja di kantor pusat perusahaan asuransi atau perusahaan reasuransi yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor di luar kantor pusat yang menjalankan usaha berdasarkan prinsip syariah. 4. Perusahaan Asuransi Umum Syariah perusahaan yang menyelenggarakan adalah usaha pengelolaan risiko berdasarkan prinsip syariah guna saling menolong dan melindungi dengan memberikan penggantian kepada peserta atau pemegang polis karena kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita peserta atau pemegang polis karena terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti. 5. Perusahaan Asuransi Jiwa Syariah adalah perusahaan yang menyelenggarakan usaha pengelolaan risiko berdasarkan prinsip syariah guna saling menolong dan melindungi dengan memberikan pembayaran yang didasarkan pada meninggal atau hidupnya peserta, - 3 - atau pembayaran lain kepada peserta atau pihak lain yang berhak pada waktu tertentu yang diatur dalam perjanjian, yang besarnya telah ditetapkan dan/atau didasarkan pada hasil pengelolaan dana. 6. Perusahaan Reasuransi Syariah adalah perusahaan yang menyelenggarakan usaha pengelolaan risiko berdasarkan prinsip syariah atas risiko yang dihadapi oleh Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan penjaminan syariah, atau Perusahaan Reasuransi Syariah lainnya, termasuk Unit Syariah dari perusahaan reasuransi. 7. Pihak adalah orang atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun yang tidak berbentuk badan hukum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. 8. Dewan Pengawas Syariah adalah bagian dari organ perusahaan perasuransian yang menyelenggarakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah yang melakukan fungsi pengawasan atas penyelenggaraan usaha asuransi dan reasuransi agar sesuai dengan prinsip syariah. 9. Produk Asuransi Yang Dikaitkan Dengan Investasi yang selanjutnya disebut PAYDI adalah produk asuransi yang paling sedikit memberikan perlindungan terhadap risiko kematian dan memberikan manfaat yang mengacu pada hasil investasi dari kumpulan dana yang khusus dibentuk untuk produk asuransi baik yang dinyatakan dalam bentuk unit maupun bukan unit. 10. Liabilitas adalah kewajiban sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di bidang perasuransian. 11. Akad adalah perjanjian tertulis yang memuat kesepakatan tertentu, beserta hak dan kewajiban para Pihak sesuai prinsip syariah. - 4 - 12. Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perasuransian berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. 13. Surplus Underwriting adalah selisih lebih total kontribusi pemegang polis atau peserta ke dalam dana tabarru’ ditambah total recovery klaim dari reasuradur dikurangi pembayaran santunan/klaim/manfaat, kontribusi reasuransi, dan kenaikan penyisihan teknis, dalam satu periode tertentu. 14. Dana Tabarru’ adalah kumpulan dana yang berasal dari kontribusi para pemegang polis atau peserta, yang mekanisme penggunaannya sesuai dengan perjanjian asuransi syariah atau perjanjian reasuransi syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. 15. Dana Tanahud adalah kumpulan dana yang berasal dari kontribusi para pemegang polis atau peserta anuitas program pensiun syariah, qardh dari dana perusahaan, dan/atau Dana Tanahud dari reasuransi atas produk anuitas program pensiun syariah, beserta hasil investasinya, yang penggunaannya sesuai dengan perjanjian anuitas syariah untuk program pensiun atau perjanjian reasuransi syariah atas anuitas syariah untuk program pensiun. 16. Dana Perusahaan adalah kumpulan dana yang dikelola Perusahaan, selain Dana Tabarru’, Dana Tanahud, dan dana investasi peserta. 17. Dana Investasi Peserta adalah dana investasi yang berasal dari kontribusi pemegang polis atau peserta pada PAYDI, yang dikelola Perusahaan Asuransi Syariah atau Unit Syariah sesuai dengan perjanjian asuransi syariah. 18. Aset Yang Diperkenankan adalah aset yang diperhitungkan dalam perhitungan tingkat solvabilitas. - 5 - 19. Qardh adalah pinjaman dana dari Perusahaan kepada Dana Tabarru’ dan/atau Dana Tanahud dalam rangka menanggulangi ketidakcukupan aset Dana Tabarru’ untuk membayar santunan/klaim/manfaat kepada pemegang polis atau peserta. 20. Aset Yang Tersedia Untuk Qardh adalah bagian dari Aset Yang Diperkenankan dari Dana Perusahaan yang disediakan untuk memberi Qardh kepada Dana Tabarru’ dan/atau Dana Tanahud. 21. Modal Minimum Berbasis Risiko yang selanjutnya disingkat MMBR adalah jumlah dana yang dibutuhkan untuk mengantisipasi risiko kerugian yang mungkin timbul sebagai akibat dari deviasi dalam pengelolaan aset dan Liabilitas dari Dana Perusahaan. 22. Dana Tabarru’ dan Dana Tanahud Minimum Berbasis Risiko yang selanjutnya disingkat DTMBR adalah jumlah dana yang dibutuhkan untuk mengantisipasi risiko kerugian yang mungkin timbul sebagai akibat dari deviasi dalam pengelolaan aset dan Liabilitas dari Dana Tabarru’ dan Dana Tanahud. 23. Tingkat Solvabilitas Dana Tabarru’ dan Dana Tanahud adalah selisih antara jumlah Aset Yang Diperkenankan dari Dana Tabarru’ dan Dana Tanahud dikurangi dengan Liabilitas dari pengelolaan Dana Tabarru’ dan Dana Tanahud. 24. Tingkat Solvabilitas Dana Perusahaan adalah selisih antara jumlah Aset Yang Diperkenankan dari Dana Perusahaan dikurangi dengan Liabilitas pengelolaan Dana Perusahaan. dari 25. Ekuitas adalah ekuitas berdasarkan standar akuntansi keuangan yang berlaku di Indonesia. 26. Medium Term Notes Syariah yang selanjutnya disebut MTN Syariah adalah surat berharga syariah yang diterbitkan oleh perusahaan dan memiliki jangka waktu satu sampai dengan lima tahun. 27. Kontribusi Neto adalah kontribusi yang dialokasikan untuk Dana Tabarru’ dikurangi kontribusi tabarru’ - 6 - reasuransi keluar ditambah kontribusi tabarru’ reasuransi diterima. 28. Dana Jaminan adalah aset Perusahaan Asuransi Syariah atau Perusahaan Reasuransi Syariah yang merupakan jaminan terakhir dalam rangka melindungi kepentingan pemegang polis atau peserta, dalam hal Perusahaan Asuransi Syariah atau Perusahaan Reasuransi Syariah dilikuidasi. 29. Manajer Investasi adalah manajer investasi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal. 30. Bank Umum Syariah adalah bank syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 31. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah yang selanjutnya disingkat BPRS adalah bank pembiayaan rakyat syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 32. Bank Kustodian adalah bank umum yang telah mendapatkan persetujuan Otoritas Jasa Keuangan sebagai kustodian. 33. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat OJK adalah lembaga yang independen yang mempunyai fungsi, tugas dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan dan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. BAB II PEMISAHAN ASET DAN LIABILITAS Pasal 2 (1) Aset dan Liabilitas yang terkait dengan hak pemegang polis atau peserta wajib dipisahkan dari aset dan Liabilitas yang lain dari Perusahaan. penyidikan - 7 - (2) Pemisahan aset dan Liabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari Dana Tabarru’, Dana Tanahud, Dana Perusahaan, dan Dana Investasi Peserta. (3) Perusahaan wajib membuat pencatatan terpisah untuk Dana Tabarru’, Dana Tanahud, Dana Perusahaan, dan Dana Investasi Peserta. Pasal 3 (1) Aset dan Liabilitas Dana Tabarru’ dan Dana Tanahud sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) merupakan aset dan Liabilitas para pemegang polis atau peserta secara kolektif. (2) Perusahaan dapat membentuk Dana Tabarru’ untuk setiap lini usaha. (3) Perusahaan harus mempertahankan Aset Yang Diperkenankan dalam Dana Tabarru’ dan Dana Tanahud dengan nilai paling sedikit sebesar Liabilitas Dana Tabarru’ dan Dana Tanahud. (4) Dalam hal pembentukan Dana Tabarru’ untuk setiap lini usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) belum memenuhi hukum jumlah bilangan besar, Perusahaan dapat membentuk Dana Tabarru’ secara gabungan dari beberapa lini usaha. (5) Penggabungan Dana Tabarru’ sebagaimana dimaksud pada ayat (4) wajib diinformasikan oleh Perusahaan kepada pemegang polis atau peserta dan dimuat di dalam polis. (6) Pembentukan Dana Tabarru’ sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan/atau penggabungan Dana Tabarru’ sebagaimana dimaksud pada ayat (5) wajib terlebih dahulu memperoleh persetujuan dari Dewan Pengawas Syariah dan aktuaris Perusahaan. Pasal 4 (1) Dalam hal Perusahaan membentuk lebih dari satu Dana Tabarru’, setiap penerimaan dan beban Dana - 8 - Tabarru’ harus dibukukan pada masing-masing Dana Tabarru’. (2) Perusahaan hanya dapat menggunakan Dana Tabarru’ untuk: a. pembayaran santunan/klaim/manfaat kepada pemegang polis atau peserta yang mengalami musibah atau Pihak lain yang berhak berdasarkan polis asuransi syariah; b. pembayaran reasuradur; kontribusi tabarru’ kepada c. pembayaran kembali Qardh kepada Perusahaan; d. pengembalian Dana Tabarru’; dan/atau e. biaya terkait pengelolaan aset Dana Tabarru’. (3) Pengembalian Dana Tabarru’ sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d dapat dilakukan sebagai akibat dari: a. pembatalan polis dalam tenggang waktu yang diperkenankan (freelook period); b. penghentian polis oleh pemegang polis atau peserta sebelum masa asuransi berakhir; c. penghentian polis oleh Perusahaan sebelum masa asuransi berakhir; dan/atau d. pembayaran kontribusi Dana Tabarru’ yang lebih besar dari seharusnya. (4) Pengembalian Dana Tabarru’ sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d dan kondisi penyebab pengembalian Dana Tabarru’ sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib dimuat di dalam polis. Pasal 5 (1) Aset dan Liabilitas Dana Investasi Peserta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) pemegang polis atau peserta merupakan aset dan Liabilitas masing-masing pemegang polis atau peserta secara individu. (2) Perusahaan wajib membentuk Dana Investasi Peserta yang diklasifikasikan berdasarkan jenis Akad - 9 - pengelolaan investasi yang digunakan dan jenis portofolio investasi. (3) Dalam hal Perusahaan akan menawarkan jenis portofolio investasi baru, Perusahaan wajib menginformasikan kepada pemegang polis atau peserta mengenai pembentukan Dana Investasi Peserta untuk jenis portofolio investasi baru dimaksud. BAB III SURPLUS UNDERWRITING Pasal 6 (1) Surplus Underwriting dapat didistribusikan dengan pilihan sebagai berikut: a. seluruhnya ditambahkan ke dalam Dana Tabarru’; b. sebagian ditambahkan ke dalam Dana Tabarru’ dan sebagian dibagikan kepada pemegang polis atau peserta; atau c. sebagian ditambahkan ke dalam Dana Tabarru’, sebagian dibagikan kepada pemegang polis atau peserta, dan sebagian dibagikan kepada Perusahaan. (2) Pendistribusian Surplus Underwriting sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus terlebih dahulu memperoleh: a. rekomendasi dari aktuaris Perusahaan atau tenaga ahli Perusahaan; dan b. persetujuan Dewan Pengawas Syariah. (3) Pertimbangan Dewan Pengawas Syariah dalam memberikan persetujuan pendistribusian Surplus Underwriting sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b kepada Dana Perusahaan harus disajikan dalam laporan pengawasan Dewan Pengawas Syariah. (4) Pemegang polis atau peserta yang menerima Surplus Underwriting sebagaimana dimaksud pada ayat (1) - 10 - huruf b dan huruf c, harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. b. tidak sedang dalam proses penyelesaian klaim; c. telah membayar kontribusi untuk periode perhitungan Surplus Underwriting; tidak pernah menerima pembayaran klaim yang melebihi jumlah kontribusi yang dialokasikan ke Dana Tabarru’; dan (5) Pilihan d. tidak menghentikan polis (inforce) pada periode perhitungan Surplus Underwriting. pendistribusian Surplus Underwriting sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan proporsi pendistribusian Surplus Underwriting sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c hanya dapat diubah dengan ketentuan sebagai berikut: a. untuk meningkatkan solvabilitas Dana Tabarru; dan b. tidak mengurangi proporsi bagian pemegang polis atau peserta. (6) Surplus Underwriting yang dapat didistribusikan dihitung berdasarkan pendapatan yang telah diterima secara kas pada tanggal penghitungan Surplus Underwriting. (7) Dalam hal pendistribusian Surplus Underwriting kepada pemegang polis atau peserta secara ekonomis membutuhkan biaya yang lebih besar daripada bagian yang akan didistribusikan, Perusahaan wajib mendistribusikan Surplus Underwriting dengan pilihan sebagai berikut: a. menambahkannya ke dalam Dana Tabarru’; b. memperhitungkannya untuk mengurangi kontribusi pemegang polis atau peserta periode berikutnya; atau c. memanfaatkannya untuk dana sosial. (8) Pilihan dan persyaratan pendistribusian Surplus Underwriting sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (5), dan ayat (7) serta persyaratan pemegang polis - 11 - atau peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (4) wajib dimuat di dalam polis. Pasal 7 (1) Perusahaan dilarang melakukan pendistribusian Surplus Underwriting kepada pemegang polis atau peserta atau Perusahaan dalam hal: a. masih terdapat Qardh di dalam Liabilitas Dana Tabarru’; b. Tingkat Solvabilitas Dana Tabarru’ lebih kecil dari target Tingkat Solvabilitas Dana Tabarru’ internal; c. tidak memenuhi tingkat kecukupan investasi; atau d. pendistribusian Surplus Underwriting dapat mengakibatkan terjadinya kondisi sebagaimana dimaksud pada huruf b atau huruf c. (2) Dalam hal terjadi kondisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), seluruh Surplus Underwriting harus ditambahkan ke dalam Dana Tabarru’. (3) Ketentuan syarat pendistribusian Surplus Underwriting sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib dimuat di dalam polis. BAB IV QARDH Pasal 8 (1) Perusahaan setiap saat wajib memiliki kemampuan untuk memberikan Qardh. (2) Perusahaan wajib menyediakan Aset Yang Tersedia Untuk Qardh pada Dana Perusahaan dalam hal: a. Tingkat Solvabilitas Dana Tabarru’ dan Dana Tanahud lebih kecil dari target Tingkat Solvabilitas Dana Tabarru’ dan Dana Tanahud internal; b. Jumlah investasi dalam Aset Yang Diperkenankan dari Dana Tabarru’ lebih kecil - 12 - dari jumlah penyisihan teknis dan Liabilitas pembayaran santunan/klaim/manfaat retensi sendiri dari Dana Tabarru’ dan Dana Tanahud; c. terjadi defisit underwriting Dana Tabarru’; dan/atau d. Dana Tabarru’ dan Dana Tanahud tidak cukup untuk membayar santunan/klaim/manfaat kepada pemegang polis atau peserta. (3) Aset Yang Tersedia Untuk Qardh sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diperhitungkan sebagai: a. penambah Aset Yang Diperkenankan Dana Tabarru’ dan Dana Tanahud dalam perhitungan Tingkat Solvabilitas Dana Tabarru’ dan Dana Tanahud; b. penambahan Aset yang Diperkenankan Dana Tabarru’ dan Dana Tanahud dalam penghitungan kecukupan investasi Aset Yang Diperkenankan dalam bentuk investasi dan bukan investasi; dan c. pengurang Aset Yang Diperkenankan dari Dana Perusahaan dalam penghitungan Tingkat Solvabilitas Dana Perusahaan. (4) Aset Yang Tersedia Untuk Qardh sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling besar sejumlah: a. nilai yang diperlukan agar Tingkat Solvabilitas Dana Tabarru’ dan Dana Tanahud memenuhi target Tingkat Solvabilitas Dana Tabarru’ dan Dana Tanahud internal; dan/atau b. nilai yang diperlukan agar Dana Tabarru’ dan Dana Tanahud memenuhi ketentuan mengenai kecukupan investasi Aset Yang Diperkenankan dalam bentuk investasi dan bukan investasi. (5) Penyediaan Aset Yang Tersedia Untuk Qardh sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memperoleh persetujuan direksi atau yang setara. (6) Dalam hal Dana Tabarru’ dan/atau Dana Tanahud tidak cukup untuk membayar santunan/klaim/manfaat kepada pemegang polis atau - 13 - peserta atau total aset Dana Tabarru’ dan/atau Dana Tanahud lebih kecil dari total Liabilitas Dana Tabarru’ dan Dana Tanahud, Perusahaan wajib menyetorkan Qardh secara tunai/kas kepada Dana Tabarru’ untuk membayar syariah. santunan/klaim/manfaat asuransi (7) Pengembalian Qardh kepada Dana Perusahaan dilakukan dari Dana Tabarru’ dan/atau Dana Tanahud. (8) Perusahaan dilarang membayar dividen atau memberikan imbalan dalam bentuk apapun kepada pemegang saham atau yang setara apabila hal tersebut akan menyebabkan Perusahaan tidak memiliki kemampuan untuk memberikan Qardh. BAB V KESEHATAN KEUANGAN Bagian Kesatu Ruang Lingkup Kesehatan Keuangan Pasal 9 (1) Perusahaan wajib setiap waktu memenuhi persyaratan tingkat kesehatan keuangan. (2) Pengukuran tingkat kesehatan keuangan Perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. Tingkat Solvabilitas Dana Tabarru’ dan Dana Tanahud; b. Tingkat Solvabilitas Dana Perusahaan; c. penyisihan teknis; d. kecukupan investasi; e. Ekuitas; f. Dana Jaminan; dan g. ketentuan-ketentuan lain yang berhubungan dengan kesehatan keuangan. - 14 - Bagian Kedua Tingkat Solvabilitas Dana Tabarru’ dan Dana Tanahud serta Tingkat Solvabilitas Dana Perusahaan Pasal 10 (1) Perusahaan setiap saat wajib memenuhi: a. Tingkat Solvabilitas Dana Tabarru’ dan Dana Tanahud paling rendah sebesar 100% (seratus persen) dari DTMBR; dan b. Tingkat Solvabilitas Dana Perusahaan paling rendah sebesar 100% (seratus persen) dari MMBR. (2) Perusahaan setiap tahun wajib menetapkan target Tingkat Solvabilitas Dana Tabarru’ dan Dana Tanahud internal serta target Tingkat Solvabilitas Dana Perusahaan internal. (3) Target Tingkat Solvabilitas Dana Tabarru’ dan Dana Tanahud internal serta target Tingkat Solvabilitas Dana Perusahaan internal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan paling rendah masing-masing sebesar 120% (seratus dua puluh persen) dari DTMBR dan 120% (seratus dua puluh persen) dari MMBR dengan memperhitungkan profil risiko setiap Perusahaan serta mempertimbangkan hasil simulasi skenario perubahan (stress test). (4) OJK dapat memerintahkan kepada Perusahaan untuk meningkatkan dan memenuhi target Tingkat Solvabilitas Dana Tabarru’ dan Dana Tanahud internal serta target Tingkat Solvabilitas Dana Perusahaan internal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dengan mempertimbangkan profil risiko Perusahaan serta mempertimbangkan perubahan (stress test). hasil simulasi skenario (5) Perusahaan setiap saat harus memenuhi Target Tingkat Solvabilitas Dana Tabarru’ dan Dana Tanahud internal dan target Tingkat Solvabilitas Dana - 15 - Perusahaan internal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4). (6) Perusahaan dilarang membayar dividen atau memberikan imbalan dalam bentuk apapun kepada pemegang saham atau yang setara apabila hal tersebut akan menyebabkan tidak tercapainya target Tingkat Solvabilitas Dana Tabarru’ dan Dana Tanahud internal serta target Tingkat Solvabilitas Dana Perusahaan internal yang dipersyaratkan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4). Pasal 11 Batasan Tingkat Solvabilitas Dana Tabarru’ dan Dana Tanahud serta Tingkat Solvabilitas Dana Perusahaan internal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) dan ayat (3) diberlakukan dengan tahapan sebagai berikut: a. paling lambat 31 Desember 2017, Perusahaan wajib: 1) memiliki Tingkat Solvabilitas Dana Tabarru’ dan Dana Tanahud serta Tingkat Solvabilitas Dana Perusahaan masing-masing paling sedikit 60% (enam puluh persen) dari DTMBR dan 60% (enam puluh persen) dari MMBR; dan 2) menetapkan Tingkat Solvabilitas Dana Tabarru’ dan Dana Tanahud internal serta Tingkat Solvabilitas Dana Perusahaan internal masing- masing paling sedikit 80% (delapan puluh persen) dari DTMBR dan 80% (delapan puluh persen) dari MMBR. b. paling lambat 31 Desember 2018, Perusahaan wajib: 1) memiliki Tingkat Solvabilitas Dana Tabarru’ dan Dana Tanahud serta Tingkat Solvabilitas Dana Perusahaan masing-masing paling sedikit 80% (delapan puluh persen) dari DTMBR dan 80% (delapan puluh persen) dari MMBR; dan 2) menetapkan Tingkat Solvabilitas Dana Tabarru’ dan Dana Tanahud internal serta Tingkat Solvabilitas Dana Perusahaan internal masing- - 16 - masing paling sedikit 100% (seratus persen) dari DTMBR dan 100% (seratus persen) dari MMBR. c. paling lambat 31 Desember 2019, Perusahaan wajib: 1) memiliki Tingkat Solvabilitas Dana Tabarru’ dan Dana Tanahud serta Tingkat Solvabilitas Dana Perusahaan masing-masing paling sedikit 100% (seratus persen) dari DTMBR dan 100% (seratus persen) dari MMBR; dan 2) menetapkan Tingkat Solvabilitas Dana Tabarru’ dan Dana Tanahud internal serta Tingkat Solvabilitas Dana Perusahaan internal masing- masing paling sedikit 120% (seratus dua puluh persen) dari DTMBR dan 120% (seratus dua puluh persen) dari MMBR. Pasal 12 (1) Perhitungan DTMBR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a harus memperhitungkan risiko paling sedikit terdiri dari: a. risiko kredit; b. risiko likuiditas; c. risiko pasar; d. risiko asuransi; dan e. risiko operasional. (2) Perhitungan MMBR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf b harus memperhitungkan risiko paling sedikit terdiri dari: a. risiko kredit; b. risiko likuiditas; c. risiko pasar; dan d. risiko operasional. (3) Dalam hal Perusahaan Asuransi Syariah memasarkan PAYDI, MMBR sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib ditambah sebesar persentase tertentu dari dana investasi yang bersumber dari PAYDI. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai perhitungan jumlah DTMBR dan MMBR sebagaimana dimaksud pada ayat - 17 - (1) sampai dengan ayat (3) diatur dalam Surat Edaran OJK. Bagian Ketiga Aset Yang Diperkenankan Dalam Bentuk Investasi Pasal 13 (1) Perusahaan wajib menerapkan prinsip kehati-hatian dalam penempatan investasi. (2) Aset Yang Diperkenankan dari Dana Tabarru’, Dana Tanahud, dan Dana Perusahaan dalam bentuk investasi harus ditempatkan pada jenis: a. deposito berjangka pada Bank Umum Syariah, unit usaha syariah pada bank umum, atau BPRS, termasuk deposit on call dan deposito yang berjangka waktu kurang dari atau sama dengan 1 (satu) bulan; b. sertifikat deposito pada Bank Umum Syariah atau unit usaha syariah pada bank umum; c. saham syariah yang tercatat di bursa efek; d. sukuk atau obligasi syariah yang tercatat di bursa efek; e. MTN Syariah; f. surat berharga syariah yang diterbitkan oleh Negara Republik Indonesia; g. surat berharga syariah yang diterbitkan oleh negara selain Negara Republik Indonesia; h. surat berharga syariah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia; i. j. surat berharga syariah yang diterbitkan oleh lembaga multinasional yang Negara Republik Indonesia menjadi salah satu anggota atau pemegang sahamnya; reksa dana syariah; k. efek beragun aset syariah; l. dana investasi real estat syariah berbentuk kontrak investasi kolektif; - 18 - m. transaksi surat berharga syariah melalui Repurchase Agreement (REPO); n. pembiayaan syariah melalui mekanisme kerja sama dengan pihak lain dalam bentuk kerja sama pemberian pembiayaan syariah (executing); dan/atau o. emas murni. (3) Selain jenis investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Aset Yang Diperkenankan dari Dana Perusahaan dalam bentuk investasi dapat juga ditempatkan pada: a. penyertaan langsung pada perusahaan yang sahamnya tidak tercatat di bursa efek; b. tanah, bangunan dengan hak strata (strata title), atau tanah dengan bangunan, untuk investasi; dan/atau c. pembiayaan syariah dengan hak tanggungan. (4) Aset Yang Diperkenankan dalam bentuk investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) yang dapat ditempatkan di luar negeri harus dalam jenis: a. saham syariah yang tercatat di bursa efek; b. sukuk atau obligasi syariah yang tercatat di bursa efek; c. surat berharga syariah yang diterbitkan oleh negara selain Negara Republik Indonesia; d. surat berharga syariah yang diterbitkan oleh lembaga multinasional yang Negara Republik Indonesia menjadi salah satu anggota atau pemegang sahamnnya; e. reksa dana syariah; dan/atau f. penyertaan langsung pada perusahaan yang sahamnya tidak tercatat di bursa efek. (5) Ketentuan mengenai dasar penilaian setiap jenis investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan ayat (4) diatur dalam Surat Edaran OJK. - 19 - Pasal 14 (1) Penempatan atas Aset Yang Diperkenankan dalam bentuk investasi berupa saham syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) huruf c di dalam negeri, harus termasuk dalam daftar efek syariah yang diterbitkan oleh OJK atau pihak yang telah memperoleh persetujuan OJK untuk menerbitkan daftar efek syariah. (2) Penempatan atas Aset Yang Diperkenankan dalam bentuk investasi berupa sukuk atau obligasi syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) huruf d harus dilakukan pada sukuk atau obligasi syariah yang memiliki peringkat investment grade dari perusahaan pemeringkat efek yang telah diakui oleh OJK. (3) Penempatan atas Aset Yang Diperkenankan dalam bentuk investasi dalam MTN Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) huruf e harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. MTN Syariah terdaftar di Kustodian Sentral Efek Indonesia; b. MTN Syariah memiliki agen monitoring yang mendapatkan izin sebagai wali amanat dari OJK; dan c. MTN Syariah memiliki peringkat investment grade yang dikeluarkan oleh perusahaan pemeringkat efek yang diakui oleh OJK. (4) Penempatan atas Aset Yang Diperkenankan dalam bentuk investasi berupa surat berharga syariah yang diterbitkan oleh lembaga multinasional yang Negara Republik Indonesia menjadi salah satu anggota atau pemegang sahamnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) huruf i harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. memiliki peringkat investment grade dari perusahaan pemeringkat efek yang diakui secara internasional; - 20 - b. dijual melalui penawaran umum; dan c. informasi mengenai transaksinya dapat diakses di Indonesia. (5) Penempatan atas Aset Yang Diperkenankan dalam bentuk investasi berupa reksa dana syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) huruf j, harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. bagi reksa dana syariah yang dilakukan melalui penawaran umum, telah mendapat pernyataan efektif dari OJK; dan b. bagi reksa dana penyertaan terbatas syariah, telah tercatat di OJK. (6) Penempatan atas Aset Yang Diperkenankan dalam bentuk investasi berupa efek beragun aset syariah dan dana investasi real estat syariah berbentuk kontrak investasi kolektif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) huruf k dan huruf l harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. telah mendapat pernyataan efektif dari OJK; b. memiliki peringkat investment grade dari perusahaan pemeringkat efek yang diakui oleh OJK; dan c. dilakukan melalui penawaran umum sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal. (7) Perusahaan yang melakukan investasi pada bentuk investasi berupa REPO sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) huruf m harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. tingkat risiko Perusahaan berdasarkan penilaian yang dilakukan oleh OJK adalah sedang rendah atau rendah; b. menggunakan kontrak terstandarisasi oleh OJK; perjanjian yang - 21 - c. transaksi dalam bentuk beli surat berharga syariah dengan janji jual kembali pada waktu dan harga yang telah ditetapkan; d. jenis jaminan terbatas pada surat berharga syariah yang diterbitkan oleh Negara Republik Indonesia dan/atau surat berharga syariah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia; e. jangka waktu tidak melebihi 90 (sembilan puluh) hari; f. nilai REPO paling tinggi 80% (delapan puluh persen) dari nilai pasar surat berharga syariah yang dijaminkan; dan g. transaksi REPO terdaftar di Kustodian Sentral Efek Indonesia atau Bank Indonesia Scriptless Securities Settlement System (BI-S4). (8) Penempatan atas Aset Yang Diperkenankan dalam bentuk investasi berupa pembiayaan syariah melalui mekanisme kerja sama dengan pihak lain dalam bentuk kerja sama pemberian pembiayaan syariah (executing) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) huruf n harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. merupakan perusahaan pembiayaan syariah yang telah memperoleh izin usaha dari OJK; b. perusahaan pembiayaan syariah dimaksud tidak sedang dikenai sanksi administratif berupa pembatasan kegiatan usaha atau pembekuan kegiatan usaha oleh OJK pada saat dimulainya kerja sama; c. d. memenuhi tingkat risiko perusahaan pembiayaan syariah berdasarkan penilaian yang dilakukan oleh OJK adalah sedang rendah atau rendah; dan tingkat ketentuan kesehatan keuangan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pembiayaan syariah, pada saat dimulainya kerja sama. - 22 - (9) Penempatan atas Aset Yang Diperkenankan dalam bentuk investasi berupa emas murni sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) huruf o, harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. memenuhi persyaratan spesifikasi yang ditetapkan oleh bursa komoditi yang telah memperoleh izin dari instansi yang berwenang; dan b. disimpan di Bank Kustodian atau pihak lain yang memperoleh izin atau persetujuan dari instansi yang berwenang untuk menyelenggarakan jasa penitipan. (10) Penempatan atas Aset Yang Diperkenankan dalam bentuk investasi berupa tanah, bangunan dengan hak strata (strata title), atau tanah dengan bangunan, untuk investasi, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3) huruf b harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. dimiliki dan dikuasai oleh Perusahaan yang dibuktikan dengan sertipikat hak atas tanah dan/atau bangunan atas nama Perusahaan; dan b. tidak ditempatkan pada tanah, bangunan, atau tanah dengan bangunan yang sedang diagunkan, dalam sengketa, atau diblokir pihak lain. (11) Penempatan atas Aset Yang Diperkenankan dalam bentuk investasi berupa pembiayaan syariah dengan hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3) huruf c harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. pembiayaan syariah tersebut diberikan kepada perorangan; b. pembiayaan syariah tersebut dijamin dengan hak tanggungan pertama; c. pembiayaan syariah tersebut dilakukan sesuai dengan ketentuan undangan; peraturan perundang- - 23 - d. sertipikat hak atas tanah yang telah dibubuhi catatan pembebanan hak tanggungan disimpan oleh Perusahaan; dan e. besarnya setiap pembiayaan syariah paling tinggi 75% (tujuh puluh lima persen) dari nilai jaminan yang terkecil diantara nilai yang ditetapkan oleh lembaga penilai yang terdaftar pada instansi yang berwenang dan nilai jual objek pajak (NJOP). Pasal 15 Dalam hal sukuk atau obligasi syariah dan/atau MTN Syariah yang diterbitkan oleh perusahaan pembiayaan syariah tidak memiliki tingkat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) dan/atau ayat (3) huruf c penempatan dapat dilakukan sepanjang: a. memiliki peringkat 1 (satu) tingkat di bawah investment grade; dan b. perusahaan pembiayaan syariah yang menerbitkan sukuk atau obligasi syariah dan/atau MTN Syariah memenuhi ketentuan tingkat kesehatan keuangan berdasarkan ketentuan investment grade peraturan perundang- undangan di bidang pembiayaan syariah pada saat penempatan. Pasal 16 (1) Penempatan atas Aset Yang Diperkenankan dalam bentuk investasi di luar negeri berupa saham syariah yang tercatat di bursa efek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (4) huruf a harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. termasuk dalam kategori saham syariah di tempat saham tersebut dicatatkan; b. termasuk dalam kategori saham yang aktif diperdagangkan pada bursa efek di tempat saham syariah tersebut dicatatkan berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh bursa efek dimaksud; dan - 24 - c. informasi mengenai emiten dan transaksi saham syariah tersebut dapat diakses di Indonesia. (2) Penempatan atas Aset Yang Diperkenankan dalam bentuk investasi di luar negeri berupa sukuk atau obligasi syariah yang tercatat di bursa efek, surat berharga syariah yang diterbitkan oleh negara selain Negara Republik Indonesia, dan surat berharga syariah yang diterbitkan oleh lembaga multinasional yang Negara Republik Indonesia menjadi salah satu anggota atau pemegang sahamnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (4) huruf b sampai dengan huruf d harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. memiliki peringkat investment grade dari perusahaan pemeringkat efek yang diakui secara internasional; b. dijual melalui penawaran umum; dan c. informasi mengenai transaksinya dapat diakses di Indonesia. (3) Penempatan atas Aset Yang Diperkenankan dalam bentuk investasi di luar negeri berupa reksa dana syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (4) huruf e harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. dikelola oleh Manajer Investasi di luar negeri yang telah mendapatkan izin dari otoritas pasar modal di negara tempat Manajer Investasi berdomisili; b. telah mendapatkan izin/persetujuan/pendaftaran dari otoritas pasar modal di negara tempat Manajer Investasi dimaksud berdomisili dan dilakukan melalui penawaran umum; c. dikelola oleh Manajer Investasi di luar negeri yang tidak sedang dikenai sanksi administratif berupa pembatasan kegiatan usaha atau pembekuan kegiatan usaha oleh otoritas di negara tempat Manajer Investasi dimaksud berdomisili; dan - 25 - d. informasi mengenai reksa dana dapat diakses di Indonesia. Pasal 17 (1) Dalam hal Aset Yang Diperkenankan dalam bentuk investasi berupa saham syariah dan/atau sukuk atau obligasi syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) huruf c dan d yang tercatat di bursa efek di dalam negeri dan/atau di luar negeri dan emitennya merupakan badan hukum asing, dikategorikan sebagai investasi di luar negeri. (2) Dalam hal Aset Yang Diperkenankan dalam bentuk investasi berupa saham syariah dan/atau sukuk atau obligasi syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) huruf c dan d yang dicatatkan di bursa efek di dalam negeri dan/atau di luar negeri dan emitennya merupakan badan hukum Indonesia, dikategorikan sebagai investasi di dalam negeri. (3) Dalam hal Aset Yang Diperkenankan dalam bentuk investasi berupa sukuk atau obligasi syariah yang tercatat di bursa efek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) huruf d yang diterbitkan oleh badan hukum asing yang lebih dari 50% (lima puluh persen) sahamnya dimiliki oleh badan hukum Indonesia, dikategorikan sebagai investasi di dalam negeri. (4) Aset Yang Diperkenankan dalam bentuk investasi berupa sukuk atau obligasi syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. memiliki peringkat investment grade dari perusahaan pemeringkat efek yang telah diakui oleh OJK atau memiliki peringkat investment grade dari perusahaan pemeringkat efek yang diakui secara internasional; dan b. dijual melalui penawaran umum. (5) Dalam hal Aset Yang Diperkenankan dalam bentuk investasi berupa saham syariah dan/atau sukuk atau - 26 - obligasi syariah yang tercatat di bursa efek yang diterbitkan oleh lembaga multinasional yang Negara Republik Indonesia menjadi salah satu anggota atau pemegang sahamnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) huruf c dan d berdenominasi rupiah, dikategorikan sebagai investasi di dalam negeri. Pasal 18 (1) Perusahaan dilarang memiliki investasi di luar negeri, kecuali dalam jenis investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (4). (2) Perusahaan dilarang menempatkan investasi di luar negeri masing-masing melebihi 20% (dua puluh persen) dari jumlah investasi Dana Tabarru’ dan Dana Tanahud dan 20% (dua puluh persen) dari jumlah investasi Dana Perusahaan yang dikelola Perusahaan. (3) Dalam hal jumlah investasi di luar negeri melebihi batasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang disebabkan adanya kenaikan nilai investasi tersebut, Perusahaan wajib menyesuaikan kembali jumlah investasi sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak diketahui adanya kenaikan nilai investasi. Pasal 19 (1) Pembatasan atas Aset Yang Diperkenankan dalam bentuk investasi untuk masing-masing Dana Tabarru’ dan Dana Tanahud serta Dana Perusahaan yang dikelola Perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 adalah sebagai berikut: a. investasi berupa deposito berjangka pada Bank Umum Syariah atau unit usaha syariah pada bank umum, termasuk deposit on call dan deposito yang berjangka waktu kurang dari atau sama dengan 1 (satu) bulan, untuk setiap Bank Umum Syariah atau unit usaha syariah pada - 27 - bank umum paling tinggi 20% (dua puluh persen) dari jumlah investasi; b. investasi berupa deposito berjangka, untuk setiap BPRS paling tinggi 1% (satu persen) dari jumlah investasi dan seluruhnya paling tinggi 5% (lima persen) dari jumlah investasi; c. investasi berupa sertifikat deposito untuk setiap Bank Umum Syariah atau unit usaha syariah pada bank umum paling tinggi 50% (lima puluh persen) dari total investasi berupa deposito berjangka pada Bank Umum Syariah atau unit usaha syariah pada bank umum sebagaimana dimaksud pada huruf a; d. investasi berupa saham syariah yang tercatat di bursa efek, untuk setiap emiten paling tinggi 10% (sepuluh persen) dari jumlah investasi, dan seluruhnya paling tinggi 40% (empat puluh persen) dari jumlah investasi; e. investasi berupa sukuk atau obligasi syariah yang tercatat di bursa efek untuk setiap emiten masing-masing paling tinggi 20% (dua puluh persen) dari jumlah investasi, dan seluruhnya paling tinggi 50% (lima puluh persen) dari jumlah investasi; f. investasi berupa MTN Syariah dan surat berharga syariah yang diterbitkan oleh multinasional yang Negara Republik Indonesia menjadi salah satu anggota atau pemegang sahamnya untuk setiap penerbit paling tinggi 20% (dua puluh persen) dari jumlah investasi dan seluruhnya paling tinggi 40% (empat puluh persen) dari jumlah investasi; g. investasi berupa surat berharga syariah yang diterbitkan oleh negara selain Negara Republik Indonesia untuk setiap penerbit paling tinggi 10% (sepuluh persen) dari jumlah investasi; lembaga - 28 - h. investasi berupa reksa dana syariah untuk setiap Manajer Investasi paling tinggi 20% (dua puluh persen) dari jumlah investasi, dan seluruhnya paling tinggi 50% (lima puluh persen) dari jumlah investasi; i. investasi berupa efek beragun aset syariah, untuk setiap Manajer Investasi paling tinggi 10% (sepuluh persen) dari jumlah investasi, dan seluruhnya paling tinggi 20% (dua puluh persen) dari jumlah investasi; j. investasi berupa dana investasi real estat syariah berbentuk kontrak investasi kolektif, untuk setiap Manajer Investasi paling tinggi 10% (sepuluh persen) dari jumlah investasi dan seluruhnya paling tinggi 20% (dua puluh persen) dari jumlah investasi; k. investasi berupa REPO, untuk setiap counterparty paling tinggi 2% (dua persen) dari jumlah investasi dan seluruhnya paling tinggi 10% (sepuluh persen) dari jumlah investasi; l. investasi berupa pembiayaan syariah melalui mekanisme kerjasama dengan pihak lain dalam bentuk kerjasama pemberian pembiayaan syariah (executing), untuk setiap pihak paling tinggi 10% (sepuluh persen) dari jumlah investasi, dan seluruhnya paling tinggi 20% (dua puluh persen) dari jumlah investasi; m. investasi berupa emas murni, seluruhnya paling tinggi 10% (sepuluh persen) dari jumlah investasi; n. investasi berupa penyertaan langsung (saham yang tidak tercatat di bursa efek), seluruhnya paling tinggi 10% (sepuluh persen) dari jumlah investasi; o. investasi berupa tanah, bangunan dengan hak strata (strata title), atau tanah dengan bangunan, untuk investasi, seluruhnya paling tinggi 20% (dua puluh persen) dari jumlah investasi; - 29 - p. investasi berupa tanah untuk investasi, seluruhnya paling tinggi 1/3 (satu per tiga) dari jumlah investasi sebagaimana dimaksud pada huruf o; dan/atau q. investasi berupa pembiayaan syariah dengan hak tanggungan, seluruhnya paling tinggi 10% (sepuluh persen) dari jumlah investasi. (2) Penempatan atas Aset Yang Diperkenankan dalam bentuk investasi berupa reksa dana syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) huruf j, yang underlying asetnya seluruhnya berupa investasi surat berharga syariah yang diterbitkan oleh Negara Republik Indonesia dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h. (3) Penempatan atas Aset Yang Diperkenankan dalam bentuk investasi berupa reksa dana syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) huruf j dalam bentuk kontrak investasi kolektif penyertaan terbatas untuk setiap Manajer Investasi paling tinggi 10% (sepuluh persen) dari jumlah investasi dan seluruhnya paling tinggi 20% (dua puluh persen) dari jumlah investasi. (4) Penempatan atas Aset Yang Diperkenankan dalam bentuk investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d sampai dengan huruf k, jumlah seluruhnya paling tinggi 80% (delapan puluh persen) dari jumlah investasi. Pasal 20 (1) Penempatan atas Aset Yang Diperkenankan dalam bentuk investasi pada pihak yang terafiliasi dengan Perusahaan masing-masing paling tinggi 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah investasi Dana Tabarru’ ditambah Dana Tanahud dan 25% (dua puluh Lima persen) dari Dana Perusahaan. - 30 - (2) Penempatan atas Aset Yang Diperkenankan dalam bentuk investasi pada satu pihak atau beberapa pihak yang terafiliasi namun pihak tersebut tidak terafiliasi dengan Perusahaan, masing-masing paling tinggi 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah investasi Dana Tabarru’ ditambah Dana Tanahud dan 25% (dua puluh lima persen) dari Dana Perusahaan. (3) Dalam hal Perusahaan akan melakukan penempatan investasi yang melebihi batasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) serta dalam Pasal 19 ayat (1) huruf n Perusahaan wajib mendapat persetujuan dari OJK. (4) Dalam hal Perusahaan akan melakukan penempatan investasi yang melebihi batasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) huruf n, persetujuan OJK sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hanya dapat diberikan untuk penyertaan langsung pada lembaga jasa keuangan yang telah mendapat izin dari OJK. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai penempatan investasi yang melebihi batasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) diatur dalam Surat Edaran OJK. Pasal 21 (1) Pihak yang terafiliasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) adalah pihak yang memiliki hubungan dengan satu atau lebih pihak lain, sedemikian rupa sehingga salah satu pihak dapat mempengaruhi pengelolaan atau kebijakan dari pihak yang lain atau sebaliknya. (2) Hubungan yang dapat mempengaruhi pengelolaan atau kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam bentuk: a. salah satu pihak memiliki satu atau lebih direktur atau pejabat setingkat di bawah direktur atau komisaris, yang juga menjabat sebagai - 31 - direktur atau pejabat setingkat di bawah direktur atau komisaris pada pihak lain; b. salah satu pihak memiliki satu atau lebih direktur, komisaris, atau pemegang saham pengendali, yang memiliki hubungan keluarga karena perkawinan atau keturunan sampai derajat kedua, baik secara horizontal maupun vertikal yang menjabat sebagai direktur, komisaris, atau pemegang saham pengendali pada pihak lain; c. salah satu pihak memiliki paling sedikit 25% (dua puluh lima persen) saham pihak lain; d. salah satu pihak merupakan pemegang saham terbesar dari pihak lain; e. para pihak dikendalikan oleh pengendali yang sama; atau f. salah satu pihak mempunyai hak suara pada pihak lain yang lebih dari 50% (lima puluh persen) berdasarkan suatu perjanjian. (3) Hubungan afiliasi dan/atau hubungan hukum lainnya dengan pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak termasuk hubungan karena kepemilikan atau penyertaan modal oleh Negara Republik Indonesia. Pasal 22 (1) Perusahaan dilarang melakukan segala bentuk pengalihan aset Dana Tabarru’, Dana Tanahud, Dana Perusahaan, dan Dana Investasi Peserta kepada pemegang saham atau pihak terafiliasi dengan Perusahaan kecuali melalui transaksi yang wajar (arm’s length transaction). (2) Perusahaan dilarang menjaminkan aset Dana Tabarru’, Dana Tanahud, Dana Perusahaan, dan Dana Investasi Peserta kepada pihak lain. - 32 - (3) Perusahaan dilarang memberikan pinjaman kepada pemegang saham atau pihak terafiliasi dengan Perusahaan. (4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak berlaku dalam hal pinjaman dalam bentuk investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3). (5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal pinjaman atau penempatan untuk Aset Yang Diperkenankan dalam bentuk investasi dan Aset Yang Diperkenankan dalam bentuk bukan investasi. Pasal 23 Jumlah investasi yang digunakan sebagai dasar perhitungan pembatasan atas Aset Yang Diperkenankan dalam bentuk investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dihitung dari: a. total investasi Dana Tabarru’ ditambah Dana Tanahud untuk penghitungan batasan Aset Yang Diperkenankan pada Dana Tabarru’ dan Dana Tanahud; atau b. total investasi Dana Perusahaan untuk penghitungan batasan Aset Yang Diperkenankan pada Dana Perusahaan. Bagian Keempat Aset Yang Diperkenankan Dalam Bentuk Bukan Investasi Pasal 24 (1) Aset Yang Diperkenankan dalam bentuk bukan investasi untuk ditempatkan Dana Tabarru’ dan Dana Tanahud harus dalam jenis: a. kas dan bank; b. tagihan kontribusi tabarru’ penutupan langsung, termasuk tagihan kontribusi koasuransi yang menjadi bagian Perusahaan; - 33 - c. tagihan kontribusi reasuransi; d. aset reasuransi tabarru’; e. aset reasuransi tanahud; f. tagihan klaim koasuransi; g. tagihan klaim reasuransi; h. tagihan investasi; dan/atau i. tagihan hasil investasi. (2) Aset Yang Diperkenankan dalam bentuk bukan investasi untuk Dana Perusahaan harus dalam jenis: a. kas dan bank; b. tagihan ujrah penutupan langsung, termasuk tagihan kontribusi koasuransi yang menjadi bagian Perusahaan; c. tagihan ujrah reasuransi; d. aset reasuransi Dana Perusahaan; e. f. tagihan investasi; tagihan hasil investasi; g. bangunan dengan hak strata (strata title) atau tanah dengan bangunan, untuk dipakai sendiri; dan/atau h. biaya akuisisi yang ditangguhkan (deferred acquisition cost). (3) Pembatasan atas Aset Yang Diperkenankan dalam bentuk bukan investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. kas dan bank, dengan ketentuan kas dan bank di luar negeri yang diperkenankan seluruhnya paling tinggi 1% (satu persen) dari Ekuitas periode berjalan; b. tagihan kontribusi tabarru’ dan ujrah penutupan langsung, termasuk tagihan kontribusi koasuransi yang menjadi bagian Perusahaan, dengan umur tagihan paling lama 2 (dua) bulan dihitung sejak tanggal: 1. pertanggungan dimulai bagi polis dengan pembayaran kontribusi tunggal; atau - 34 - 2. jatuh tempo pembayaran kontribusi bagi polis dengan pembayaran kontribusi cicilan; c. tagihan kontribusi reasuransi dan tagihan ujrah reasuransi, dengan umur tagihan paling lama 2 (dua) bulan dihitung sejak tanggal jatuh tempo pembayaran; d. aset reasuransi, terdiri dari: 1. aset reasuransi pada Dana Tabarru’ dan Dana Tanahud yang bersumber dari nilai estimasi pemulihan klaim atas porsi pertanggungan ulang; dan 2. aset reasuransi pada Dana Perusahaan yang bersumber dari perjanjian kontrak jangka panjang (longterm contract) program reasuransi dukungan modal (capital oriented reinsurance) dengan ketentuan: a) hanya untuk setiap PAYDI baru yang biaya akusisinya dibayarkan terlebih dahulu oleh Perusahaan (back end loading); b) Perusahaan yang telah mengakui aset yang timbul dari perjanjian program reasuransi dukungan modal (capital oriented reinsurance) untuk satu PAYDI maka tidak diperkenankan mengakui aset biaya akuisisi yang ditangguhkan (deferred acquisition cost) atas PAYDI yang sama; dan c) untuk setiap perjanjian program reasuransi dukungan modal (capital oriented reinsurance) harus terlebih dahulu mendapat persetujuan dari OJK; e. tagihan klaim koasuransi, dengan umur tagihan paling lama 2 (dua) bulan dihitung sejak tanggal pembayaran klaim kepada pemegang polis atau peserta; - 35 - f. tagihan klaim reasuransi, dengan umur tagihan paling lama 2 (dua) bulan dihitung sejak tanggal jatuh tempo pembayaran; g. tagihan investasi, dengan umur tagihan paling lama 1 (satu) bulan dihitung sejak tanggal jatuh tempo pembayaran; h. tagihan hasil investasi, dengan umur tagihan paling lama 1 (satu) bulan dihitung sejak tanggal jatuh tempo pembayaran; i. bangunan dengan hak strata (strata title) atau tanah dengan bangunan, yang dipakai sendiri, dengan nilai seluruhnya paling tinggi 25% (dua puluh lima persen) dari Ekuitas periode berjalan; dan/atau j. biaya akuisisi yang ditangguhkan (deferred acquisition cost), dengan ketentuan: 1. hanya dapat dilakukan untuk PAYDI yang biaya akuisisinya dibayarkan terlebih dahulu oleh Perusahaan (back-end loading); 2. Perusahan yang telah mengakui aset biaya akuisisi yang ditangguhkan atas PAYDI maka tidak diperkenankan mengakui aset yang timbul dari perjanjian program reasuransi dukungan modal (capital oriented reinsurance) untuk satu produk PAYDI yang sama; dan 3. setiap pembentukan biaya akuisisi yang ditangguhkan (deferred acquisition cost) untuk masing-masing produk PAYDI harus terlebih dahulu mendapat persetujuan dari OJK. (4) Ketentuan mengenai dasar penilaian setiap jenis bukan investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) serta tata cara permohonan untuk mendapatkan persetujuan OJK sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d angka 2 huruf c) dan huruf j angka 3) diatur dalam Surat Edaran OJK. - 36 - Bagian Kelima Status Aset Yang Diperkenankan Pasal 25 Aset Yang Diperkenankan dalam bentuk investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan Aset Yang Diperkenankan dalam bentuk bukan investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 harus: a. dimiliki dan dikuasai oleh Perusahaan, yang dibuktikan dengan bukti kepemilikan atas nama Perusahaan dari instansi yang berwenang; b. tidak dalam sengketa; c. tidak sedang dijadikan jaminan; dan d. tidak sedang diblokir oleh pihak yang berwenang. Bagian Keenam Liabilitas Pasal 26 (1) Liabilitas yang diperhitungkan dalam penetapan perhitungan Tingkat Solvabilitas Dana Tabarru’ dan Dana Tanahud wajib meliputi semua Liabilitas Dana Tabarru’ dan Dana Tanahud termasuk Liabilitas dalam bentuk penyisihan teknis Dana Tabarru’ dan Dana Tanahud. (2) Liabilitas yang diperhitungkan dalam penetapan perhitungan Tingkat Solvabilitas Dana Perusahaan wajib meliputi semua Liabilitas Dana Perusahaan termasuk Liabilitas dalam bentuk penyisihan teknis Dana Perusahaan. (3) Perusahaan wajib membentuk penyisihan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) sesuai dengan jenis produk asuransi. (4) Pembentukan penyisihan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan oleh aktuaris Perusahaan. - 37 - Pasal 27 (1) Liabilitas dalam bentuk penyisihan teknis Dana Tabarru’ dan Dana Tanahud sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) meliputi: a. penyisihan kontribusi tabarru’ dan tanahud: 1. untuk produk yang berjangka waktu lebih dari 1 (satu) tahun yang syarat dan kondisi polisnya tidak dapat diperbaharui kembali (non renewable) pada setiap ulang tahun polis; dan 2. untuk produk yang berjangka waktu lebih dari 1 (satu) tahun yang syarat dan kondisi polisnya dapat (renewable); b. penyisihan kontribusi tabarru’ yang belum menjadi pendapatan atau hak atau produk yang berjangka waktu sampai dengan 1 (satu) tahun atau berjangka waktu lebih dari 1 (satu) tahun yang syarat dan kondisi polisnya dapat diperbaharui kembali (renewable) pada setiap ulang tahun polis; c. penyisihan klaim; dan d. penyisihan atas risiko bencana (catastrophic reserve). (2) Pembentukan penyisihan kontribusi tabarru’ sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a wajib memperhitungkan penerimaan dan pengeluaran pada Dana Tabarru’ dan Dana Tanahud yang dapat terjadi di masa yang akan datang dengan menggunakan asumsi estimasi sentral ditambah dengan marjin risiko. (3) Pembentukan penyisihan atas kontribusi tabarru’ yang belum merupakan pendapatan atau hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b wajib dihitung berdasarkan kontribusi tabarru’ dengan memperhitungkan penyisihan atas seluruh risiko yang belum dijalani (unexpired risk reserve). diperbaharui kembali - 38 - (4) Penyisihan klaim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi: a. penyisihan klaim dalam proses penyelesaian; b. penyisihan klaim yang sudah terjadi namun belum dilaporkan (incurred but not reported atau IBNR); dan c. penyisihan klaim atas klaim yang telah disetujui dan pembayaran manfaatnya tidak sekaligus. (5) Penyisihan atas risiko bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dihitung berdasarkan manfaat asuransi retensi sendiri dengan memperhitungkan kemungkinan terjadinya risiko bencana. (6) Liabilitas dalam bentuk penyisihan teknis Dana Perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) meliputi: a. penyisihan ujrah; dan b. penyisihan atas PAYDI yang memberikan garansi atas pokok investasi. (7) Liabilitas dalam bentuk penyisihan teknis Dana Perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) diperhitungkan dalam penghitungan Tingkat Solvabilitas Dana Perusahaan dengan tahapan sebagai berikut: a. mulai tanggal 1 Januari 2018 sebesar 20% dari total penyisihan teknis Dana Perusahaan; b. mulai tanggal 1 Januari 2019 sebesar 40% dari total penyisihan teknis Dana Perusahaan; c. mulai tanggal 1 Januari 2020 sebesar 60% dari total penyisihan teknis Dana Perusahaan; d. mulai tanggal 1 Januari 2021 sebesar 80% dari total penyisihan teknis Dana Perusahaan; dan e. mulai tanggal 1 Januari 2022 sebesar 100% dari total penyisihan teknis Dana Perusahaan. - 39 - Pasal 28 (1) Dalam hal ditemukan ketidakwajaran penyisihan teknis atau bagian dari penyisihan teknis yang dibentuk oleh Perusahaan, OJK dapat: a. meminta Perusahaan untuk melakukan valuasi ulang atas jumlah penyisihan teknis atau atas bagian dari penyisihan teknis yang dianggap tidak wajar; atau b. meminta dilakukan penelaahan (review) atas penyisihan teknis atau atas bagian dari penyisihan teknis tersebut oleh pihak independen atas beban Perusahaan. (2) Perusahaan wajib menunjuk pihak independen paling lama 1 (satu) bulan setelah permintaan untuk dilakukan penelaahan (review) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b. Pasal 29 Ketentuan lebih lanjut mengenai penyisihan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 diatur dalam Surat Edaran OJK. Bagian Ketujuh Qardh Subordinasi Pasal 30 Dalam rangka perhitungan Tingkat Solvabilitas Dana Perusahaan, Qardh subordinasi tidak diperlakukan sebagai unsur Liabilitas apabila Qardh subordinasi tersebut memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. digunakan untuk memenuhi ketentuan batas Tingkat Solvabilitas Dana Perusahaan; dan b. dituangkan dalam perjanjian notariil yang paling sedikit memuat: 1. pembayaran pokok pinjaman tersebut hanya dapat dilakukan apabila tidak menyebabkan Perusahaan tidak memenuhi target Tingkat Solvabilitas Dana Perusahaan internal; dan - 40 - 2. jangka waktu pelunasan pinjaman tidak dibatasi. Pasal 31 Perusahaan dilarang mengembalikan Qardh subordinasi apabila hal tersebut akan menyebabkan tidak terpenuhinya ketentuan target Tingkat Solvabilitas Dana Perusahaan internal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3) dan ayat (4). Bagian Kedelapan Kecukupan Investasi Pasal 32 (1) Perusahaan wajib memiliki Aset Yang Diperkenankan dalam bentuk investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) ditambah Aset Yang Diperkenankan dalam bentuk bukan investasi berupa kas dan bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) huruf a, paling sedikit sebesar jumlah penyisihan teknis Dana Tabarru’ dan Dana Tanahud retensi sendiri, ditambah Liabilitas pembayaran klaim retensi sendiri, dan Liabilitas lain kepada pemegang polis atau peserta. (2) Liabilitas pembayaran klaim retensi sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Liabilitas pembayaran atas klaim yang telah disepakati tetapi belum dibayar dikurangi dengan beban klaim yang menjadi bagian dari reasuradur. BAB VI DANA INVESTASI PESERTA Pasal 33 (1) Aset Dana Investasi Peserta dalam bentuk investasi wajib ditempatkan pada jenis: a. deposito berjangka pada Bank Umum Syariah, unit usaha syariah pada bank umum, atau BPRS, - 41 - termasuk deposit on call dan deposito yang berjangka waktu kurang dari atau sama dengan 1 (satu) bulan; b. sertifikat deposito pada Bank Syariah; c. saham syariah yang tercatat di bursa efek; d. sukuk atau obligasi syariah yang tercatat di bursa efek; e. MTN Syariah; f. g. surat berharga syariah yang diterbitkan oleh Negara Republik Indonesia; surat berharga syariah yang diterbitkan oleh negara selain Negara Republik Indonesia; h. surat berharga syariah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia; i. j. surat berharga syariah yang diterbitkan oleh lembaga multinasional yang Negara Republik Indonesia menjadi salah satu anggota atau pemegang sahamnya; reksa dana syariah; k. efek beragun aset syariah; l. m. emas murni. (2) Aset Dana Investasi Peserta dalam bentuk bukan investasi harus dalam jenis: a. kas dan bank; b. tagihan kontribusi Dana Investasi Peserta penutupan langsung; c. tagihan investasi; dan/atau d. tagihan hasil investasi. (3) Jenis investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disesuaikan dengan deskripsi produk yang dilaporkan kepada OJK dan yang dijanjikan kepada calon pemegang polis atau peserta. (4) Aset yang bersumber dari PAYDI yang tidak digaransi tidak diperhitungkan sebagai Aset Yang Diperkenankan. transaksi surat berharga syariah melalui Repurchase Agreement (REPO); dan/atau - 42 - (5) Ketentuan mengenai dasar penilaian setiap jenis investasi atas Dana Investasi Peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Surat Edaran OJK. Pasal 34 Penempatan atas Dana Investasi Peserta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) wajib memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam 14 sampai dengan 17. Pasal 35 Penempatan investasi di luar negeri atas Dana Investasi Peserta paling tinggi 20% (dua puluh persen) dari total Dana Investasi Peserta. Pasal 36 (1) Perusahaan wajib menatausahakan seluruh dana yang bersumber dari PAYDI pada Bank Kustodian. (2) Bank Kustodian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang mempunyai hubungan afiliasi dengan Perusahaan, kecuali hubungan afiliasi tersebut terjadi karena kepemilikan atau penyertaan modal Negara Republik Indonesia. BAB VII EKUITAS Pasal 37 (1) Perusahaan wajib memiliki Ekuitas paling sedikit sebesar: a. Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah), bagi Perusahaan Asuransi Syariah; b. Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah), bagi Perusahaan Reasuransi Syariah. - 43 - (2) Unit Syariah dari perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi wajib memiliki Ekuitas paling sedikit sebesar: a. Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah) bagi Unit Syariah dari perusahaan asuransi; b. Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) bagi Unit Syariah dari perusahaan reasuransi. Pasal 38 (1) Perusahaan dilarang membayar dividen atau memberikan imbalan dalam bentuk apapun kepada pemegang saham atau yang setara apabila hal tersebut akan menyebabkan berkurangnya jumlah Ekuitas di bawah ketentuan Ekuitas yang dipersyaratkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37. (2) Pembayaran dividen atau pemberian imbalan dalam bentuk apapun kepada pemegang saham atau yang setara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. BAB VIII DANA JAMINAN Bagian Kesatu Pembentukan Dana Jaminan Pasal 39 (1) Perusahaan wajib membentuk Dana Jaminan paling rendah 20% (dua puluh persen) dari Ekuitas minimum yang dipersyaratkan dimaksud dalam Pasal 37. (2) Jumlah Dana Jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disesuaikan dengan perkembangan sebagaimana - 44 - volume usaha Perusahaan dengan ketentuan sebagai berikut: a. bagi Perusahaan Asuransi Jiwa Syariah wajib membentuk Dana Jaminan sebesar 2% (dua persen) dari penyisihan atas PAYDI yang memberikan garansi pokok investasi ditambah 5% (lima persen) dari penyisihan kontribusi tabarru’ dan tanahud, dan penyisihan kontribusi tabarru’ yang belum merupakan pendapatan; b. bagi Perusahaan Asuransi Umum Syariah atau Perusahaan Reasuransi Syariah wajib membentuk Dana Jaminan sebesar 1% (satu persen) dari Kontribusi Neto ditambah 0,25% (nol koma dua lima persen) dari kontribusi tabarru’ reasuransi ditambah 2% (dua persen) dari penyisihan atas PAYDI yang memberikan garansi pokok investasi; c. bagi Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi Jiwa wajib membentuk Dana Jaminan sebesar 2% (dua persen) dari penyisihan atas PAYDI yang memberikan garansi pokok investasi ditambah 5% (lima persen) dari penyisihan kontribusi tabarru’ yang belum merupakan pendapatan; d. bagi Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi Umum atau Perusahaan Reasuransi wajib membentuk Dana Jaminan sebesar 1% (satu persen) dari Kontribusi Neto ditambah 0,25% (nol koma dua lima persen) dari kontribusi tabarru’ reasuransi ditambah 2% (dua persen) dari penyisihan atas PAYDI. (3) Pembentukan Dana Jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) bersumber dari Dana Perusahaan. (4) Perusahaan wajib membentuk Dana Jaminan sebesar jumlah terbesar antara hasil perhitungan jumlah Dana Jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) - 45 - dengan jumlah Dana Jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (5) Dana Jaminan bagi Unit Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dan huruf d wajib dipisahkan dari Dana Jaminan yang dibentuk oleh perusahaan asuransi atau perusahaan reasuransi untuk usaha asuransi atau reasuransi yang tidak berdasarkan Prinsip Syariah. Pasal 40 (1) Jumlah penyisihan kontribusi tabarru’ dan tanahud, penyisihan kontribusi tabarru’ yang belum merupakan pendapatan, penyisihan atas PAYDI yang memberikan garansi pokok investasi, Kontribusi Neto, dan kontribusi tabarru’ reasuransi keluar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (2) huruf a sampai dengan huruf d diperoleh dari laporan keuangan per 31 Desember yang telah diaudit oleh akuntan publik yang terdaftar di OJK. (2) Dalam hal Dana Jaminan kurang dari jumlah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (4), Perusahaan wajib menambah Dana Jaminan yang dimilikinya paling lama 5 (lima) hari kerja setelah tanggal 30 April tahun berjalan. (3) Dalam hal Dana Jaminan yang telah dimiliki lebih besar dari jumlah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (4), Perusahaan dapat mengurangi Dana Jaminan yang dimilikinya setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan dari OJK. (4) Dana Jaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2) wajib ditempatkan dalam bentuk: a. deposito dengan perpanjangan otomatis pada Bank Umum Syariah atau unit usaha syariah pada bank umum yang bukan merupakan afiliasi dari Perusahaan; dan/atau b. surat berharga syariah yang diterbitkan oleh Negara Republik Indonesia yang pada saat - 46 - penempatan sebagai Dana Jaminan memiliki sisa jangka waktu sampai dengan jatuh tempo paling singkat 1 (satu) tahun. (5) Dana Jaminan sebagaimana dimaksud pada Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2) dilarang diagunkan atau dibebani dengan hak apa pun. Bagian Kedua Penatausahaan Dana Jaminan Pasal 41 (1) Perusahaan wajib menatausahakan seluruh Dana Jaminan pada Bank Kustodian. (2) Bank Kustodian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bukan merupakan afiliasi dari Perusahaan, kecuali hubungan afiliasi tersebut terjadi karena kepemilikan atau penyertaan modal Negara Republik Indonesia. Pasal 42 Penatausahaan Dana Jaminan pada Bank Kustodian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) wajib didasarkan pada perjanjian antara Perusahaan dan Bank Kustodian yang paling sedikit memuat: a. pendelegasian atau pemberian kuasa oleh Perusahaan kepada Bank Kustodian untuk mencairkan, memindahkan, atau menyerahkan Dana Jaminan setelah memperoleh persetujuan dari OJK; b. kewajiban Bank Kustodian untuk menempatkan dana yang diperoleh dari pencarian Dana Jaminan dalam bentuk surat berharga syariah yang diterbitkan oleh Negara Republik Indonesia yang telah jatuh tempo ke dalam bentuk deposito berjangka 1 (satu) bulan pada Bank Umum Syariah atau unit usaha syariah pada bank umum atas nama Perusahaan, dalam hal Perusahaan belum melakukan penggantian Dana Jaminan yang telah jatuh tempo dimaksud; c. ketentuan bahwa Bank Kustodian tidak dapat menjalankan instruksi dari Perusahaan maupun - 47 - pihak lain untuk melakukan pencairan, pemindahan, dan penyerahan deposito atau surat berharga syariah yang diterbitkan oleh Negara Republik Indonesia yang digunakan sebagai Dana Jaminan, kecuali telah mendapat persetujuan OJK; dan d. ketentuan bahwa Bank Kustodian wajib menyampaikan laporan bulanan penatausahaan Dana Jaminan yang dimiliki oleh Perusahaan kepada OJK paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya yang paling sedikit memuat: 1. nama Perusahaan pemilik Dana Jaminan; 2. jenis Dana Jaminan; 3. nomor bilyet dan Bank Umum Syariah atau unit usaha syariah pada bank umum penerbit untuk deposito; 4. 5. seri dari surat berharga syariah yang diterbitkan oleh Negara Republik Indonesia; nilai nominal Dana Jaminan; dan 6. tanggal jatuh tempo. Bagian Ketiga Perubahan Dana Jaminan Pasal 43 (1) Perusahaan dapat melakukan perubahan Dana Jaminan berupa pembentukan, penambahan, penggantian, pemindahan, dan/atau pencairan Dana Jaminan. (2) Pembentukan atau penambahan Dana Jaminan dapat dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. penempatan baru deposito pada Bank Umum Syariah atau unit usaha syariah pada bank umum dan/atau surat berharga syariah yang diterbitkan oleh Negara Republik Indonesia sebagai Dana Jaminan; b. penempatan deposito pada Bank Umum Syariah atau unit usaha syariah pada bank umum yang - 48 - semula bukan Dana Jaminan menjadi Dana Jaminan; dan/atau c. penempatan surat berharga syariah yang diterbitkan oleh Negara Republik Indonesia yang semula bukan Dana Jaminan menjadi Dana Jaminan. (3) Perusahaan dapat melakukan pemindahan atau penggantian Dana Jaminan dengan ketentuan sebagai berikut: a. dari deposito pada Bank Umum Syariah atau unit usaha syariah pada bank umum menjadi surat berharga syariah yang diterbitkan oleh Negara Republik Indonesia atau sebaliknya; b. mengubah jangka waktu deposito pada Bank Umum Syariah atau unit usaha syariah pada bank umum; c. mengubah Bank Umum Syariah atau unit usaha syariah pada bank umum tempat penempatan deposito; dan/atau d. menukarkan surat berharga syariah yang diterbitkan oleh Negara Republik Indonesia dengan surat berharga syariah yang diterbitkan oleh Negara Republik Indonesia lainnya. (4) Dalam hal Perusahaan akan melakukan pemindahan atau penggantian Dana Jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Perusahaan wajib menempatkan terlebih dahulu Dana Jaminan pengganti paling sedikit sebesar nilai Dana Jaminan yang akan dipindah atau diganti. (5) Dalam hal terdapat Dana Jaminan dalam bentuk surat berharga syariah yang diterbitkan oleh Negara Republik Indonesia yang akan jatuh tempo, Perusahaan wajib menempatkan terlebih dahulu Dana Jaminan baru paling sedikit sebesar nilai surat berharga syariah yang diterbitkan oleh Negara Republik Indonesia yang akan jatuh tempo dimaksud, paling lama 1 (satu) hari sebelum tanggal jatuh tempo. - 49 - (6) Perusahaan dapat mencairkan Dana Jaminan dalam hal jumlah Dana Jaminan telah melebihi dari jumlah minimum yang dipersyaratkan dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2). (7) Jumlah Dana Jaminan yang dapat dicairkan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) adalah selisih lebih dari jumlah minimum yang dipersyaratkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2). (8) Perusahaan hanya dapat melakukan pemindahan atau pencairan Dana Jaminan setelah memperoleh persetujuan OJK. (9) Pemindahan atau pencairan Dana Jaminan dilakukan dengan menyampaikan dokumen permohonan yang paling sedikit memuat: a. alasan pemindahan atau pencairan Dana Jaminan; b. persetujuan direksi atau yang setara atas pemindahan atau pencairan Dana Jaminan; dan c. dokumen pendukung yang membuktikan alasan pemindahan atau pencairan Dana Jaminan. Pasal 44 (1) OJK dapat memerintahkan Perusahaan untuk menambah jumlah Dana Jaminan paling tinggi sebesar jumlah penyisihan teknis, dalam hal: a. Perusahaan tidak dapat memenuhi ketentuan mengenai tingkat solvabilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1); dan b. Perusahaan sedang dikenai sanksi pembatasan kegiatan usaha. (2) Perusahaan wajib menambah jumlah Dana Jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 1 (satu) bulan sejak diperintahkan untuk menambah jumlah Dana Jaminan. sebagaimana - 50 - BAB IX PENYAMPAIAN LAPORAN BERKALA Bagian Kesatu Penyusunan Laporan Pasal 45 (1) Perusahaan wajib menyusun: a. laporan keuangan tahunan untuk periode 1 Januari sampai dengan 31 Desember berdasarkan standar akuntansi keuangan yang berlaku di Indonesia; b. laporan keuangan tahunan untuk periode 1 Januari sampai dengan 31 Desember berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang perasuransian; c. laporan keuangan triwulanan yang berakhir pada 31 Maret, 30 Juni, 30 September, dan 31 Desember berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perasuransian; d. laporan keuangan bulanan untuk periode tanggal 1 sampai dengan akhir bulan berjalan; dan e. laporan aktuaris tahunan untuk periode 1 Januari sampai dengan 31 Desember. (2) Laporan keuangan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a wajib diaudit oleh akuntan publik yang terdaftar di OJK. (3) Laporan keuangan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b wajib ditelaah dan dinilai kesesuaiannya dengan peraturan undangan di bidang kesehatan keuangan perusahaan perasuransian oleh aktuaris Perusahaan atau akuntan publik yang terdaftar di OJK. (4) Laporan aktuaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e merupakan laporan yang menggambarkan perkiraan kemampuan Perusahaan untuk memenuhi kewajibannya di masa depan. perundang- - 51 - (5) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e harus ditandatangani oleh aktuaris Perusahaan. (6) Laporan aktuaris tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e wajib ditelaah dan dinilai kewajaran penyajiannya oleh konsultan aktuaria yang terdaftar di OJK paling sedikit 1 (satu) kali dalam 3 (tiga) tahun. (7) Laporan keuangan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan laporan keuangan triwulanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c paling sedikit memuat: a. profil Perusahaan; b. surat pernyataan direksi atau yang setara; c. surat pernyataan Dewan Pengawas Syariah; d. laporan posisi keuangan; e. laporan laba/rugi komprehensif; f. laporan arus kas; g. laporan perubahan Ekuitas; h. laporan Tingkat Solvabilitas; i. perhitungan aset dan Liabilitas; j. k. l. laporan Dana Investasi Peserta; laporan keuangan gabungan; dan laporan tambahan. (8) Ketentuan mengenai bentuk serta susunan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b sampai dengan huruf e diatur dalam Surat Edaran OJK. Pasal 46 Perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi yang menyelenggarakan sebagian usahanya dengan Prinsip Syariah wajib menyusun laporan keuangan tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) huruf a secara terpisah dari laporan keuangan tahunan untuk usaha asuransi atau usaha reasuransi yang tidak berdasarkan Prinsip Syariah. - 52 - Pasal 47 Dalam laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1), setiap aset dan Liabilitas dalam satuan mata uang asing wajib disajikan dalam mata uang rupiah berdasarkan nilai kurs tengah yang ditetapkan oleh Bank Indonesia pada tanggal laporan. Bagian Kedua Penyampaian Laporan Pasal 48 (1) Perusahaan wajib menyampaikan kepada OJK: a. laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf e, paling lambat 30 April tahun berikutnya; b. laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) huruf c, paling lama 1 (satu) bulan setelah berakhirnya triwulan yang bersangkutan; dan c. laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) huruf d paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya. (2) Apabila batas waktu terakhir penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah hari libur, batas akhir penyampaian laporan adalah hari kerja pertama setelah batas waktu terakhir dimaksud. (3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b wajib dilengkapi dengan pernyataan Dewan Pengawas Syariah bahwa pengelolaan aset dan Liabilitas telah dilakukan sesuai dengan Prinsip Syariah. (4) Ketentuan mengenai tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Surat Edaran OJK. - 53 - Bagian Ketiga Pengumuman Laporan Pasal 49 (1) Perusahaan wajib mengumumkan ringkasan laporan keuangan tahunan yang telah diaudit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) pada situs web Perusahaan dan surat kabar harian berbahasa Indonesia yang beredar secara nasional paling lama 1 (satu) bulan setelah batas waktu penyampaian laporan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (1) huruf a. (2) Bukti pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan kepada OJK paling lama 2 (dua) hari kerja setelah pengumuman pada surat kabar. (3) Perusahaan wajib mengumumkan ringkasan laporan keuangan triwulanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) huruf c pada situs web Perusahaan paling lama 1 (satu) bulan setelah berakhirnya triwulan yang bersangkutan. (4) Ketentuan mengenai bentuk dan susunan ringkasan laporan keuangan tahunan dan laporan keuangan triwulanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) diatur dalam Surat Edaran OJK. Pasal 50 Dalam hal terdapat bagian yang perlu dikoreksi dalam laporan yang telah diumumkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1) dan ayat (3), Perusahaan wajib mengoreksi laporan tersebut dan mengumumkan kembali pada situs web Perusahaan. BAB X RENCANA PENYEHATAN KEUANGAN Pasal 51 Perusahaan yang tidak memenuhi target Tingkat Solvabilitas Dana Tabarru’ dan Dana Tanahud internal - 54 - dan/atau target Tingkat Solvabilitas Dana Perusahaan internal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3) dan ayat (4): a. wajib menyampaikan rencana penyehatan keuangan; dan b. dilarang membagikan dividen atau memberikan imbalan dalam bentuk apapun kepada pemegang saham. Pasal 52 (1) Rencana penyehatan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 huruf a wajib disampaikan kepada OJK paling lama 1 (satu) bulan sejak diketahui tidak dipenuhinya Target Solvabilitas internal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (5). (2) Rencana penyehatan keuangan sebagaimana (3) Langkah dimaksud pada ayat (1), paling sedikit memuat langkah penyehatan keuangan yang disertai dengan jangka waktu tertentu yang dibutuhkan untuk memenuhi ketentuan target Tingkat Solvabilitas Dana Tabarru’ dan Dana Tanahud internal serta Tingkat Solvabilitas Dana Perusahaan internal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (5). penyehatan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), memuat rencana tindak sebagai berikut: a. penambahan seluruh Surplus Underwriting ke dalam Dana Tabarru’; b. restrukturisasi aset dan/atau Liabilitas; c. penambahan modal disetor atau modal kerja; d. pemberian Qardh subordinasi; e. peningkatan tarif kontribusi; f. pengalihan sebagian atau seluruh portofolio kepesertaan; g. penggabungan badan usaha atau unit usaha; dan/atau - 55 - h. tindakan lain. (4) Rencana penyehatan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ditandatangani oleh seluruh direksi dan dewan komisaris atau yang setara. (5) Rencana penyehatan keuangan sebagaimana (6) Dalam dimaksud pada ayat (1) harus terlebih dahulu disetujui oleh rapat umum pemegang saham atau yang setara dalam hal rencana penyehatan dimaksud memuat rencana tindak penambahan modal disetor atau rencana tindak penggabungan badan usaha. penyehatan hal rencana keuangan (7) Rencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinilai OJK tidak cukup untuk mengatasi permasalahan, Perusahaan wajib melakukan perbaikan atas rencana penyehatan keuangan tersebut paling lama 1 (satu) bulan sejak pemberitahuan dari OJK. penyehatan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (6) wajib memperoleh pernyataan tidak keberatan dari OJK. (8) OJK memberikan pernyataan tidak keberatan atas rencana penyehatan keuangan yang disampaikan oleh Perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dengan memperhatikan kondisi permasalahan yang dihadapi oleh Perusahaan paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya rencana penyehatan keuangan secara lengkap. (9) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (8) OJK tidak memberikan pernyataan tidak keberatan atau tanggapan, Perusahaan dapat melaksanakan rencana penyehatan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (6). Pasal 53 (1) Perusahaan wajib menyampaikan kepada OJK laporan pelaksanaan rencana penyehatan keuangan paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya. - 56 - (2) Laporan pelaksanaan rencana penyehatan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat: a. laporan keuangan bulanan yang disusun sesuai bentuk dan susunan laporan keuangan triwulanan; b. realisasi rencana tindak yang terdiri dari: 1. rencana penyehatan keuangan yang telah dilaksanakan sesuai dengan target waktu yang ditetapkan; 2. rencana penyehatan keuangan yang tidak dapat dilaksanakan sesuai dengan target waktu yang ditetapkan; dan 3. alasan tidak dapat dilaksanakannya rencana penyehatan sesuai target waktu yang telah ditetapkan; dan c. dokumen pendukung yang membuktikan tindakan penyehatan dilaksanakan. (3) Apabila tanggal 15 adalah hari libur, batas akhir penyampaian laporan pelaksanaan rencana penyehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah hari kerja pertama setelah tanggal 15. Pasal 54 (1) Dalam hal Perusahaan memperkirakan Tingkat Solvabilitas Dana Tabarru’ dan Dana Tanahud atau Tingkat Solvabilitas Dana Perusahaan tidak akan terpenuhi dalam jangka waktu sebagaimana telah ditetapkan di dalam rencana penyehatan keuangan, Perusahaan dapat melakukan perubahan atas rencana penyehatan keuangan. (2) Perubahan atas rencana penyehatan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib terlebih dahulu memperoleh persetujuan dari OJK. (3) OJK memberikan pernyataan tidak keberatan atas perubahan rencana penyehatan keuangan yang keuangan telah - 57 - disampaikan oleh Perusahaan paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya perubahan rencana penyehatan keuangan secara lengkap. (4) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) OJK tidak memberikan pernyataan tidak keberatan atau tanggapan, Perusahaan dapat melaksanakan perubahan rencana penyehatan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 55 OJK dapat memerintahkan kepada Perusahaan untuk melakukan pemindahan sebagian atau seluruh portofolio pertanggungan kepada Perusahaan lain, dalam hal: a. Perusahaan tidak dapat memenuhi ketentuan mengenai tingkat solvabilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a dan/atau huruf b; dan/atau b. sedang dikenai sanksi pembatasan kegiatan usaha. BAB XI SANKSI Pasal 56 (1) Perusahaan yang tidak memenuhi ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1), dan ayat (3), Pasal 3 ayat (5), dan ayat (6), Pasal 4 ayat (2) dan ayat (4), Pasal 5 ayat (2), ayat (3), Pasal 6, ayat (5), ayat (7), dan ayat (8), Pasal 7 ayat (1), dan ayat (3), Pasal 8 ayat (1), ayat (2), ayat (6), dan ayat (8), Pasal 9 ayat (1), Pasal 10 ayat (1), ayat (2), dan ayat (6), Pasal 11, Pasal 12 ayat (3), Pasal 13 ayat (1), Pasal 18, Pasal 20 ayat (3), Pasal 22 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 26 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 27 ayat (2), dan ayat (3), Pasal 28 ayat (2), Pasal 31, Pasal 32 ayat (1), Pasal 33 ayat (1), dan ayat (3), Pasal 34, Pasal 36, Pasal 37 ayat (1), dan ayat (2), Pasal 38 ayat (1), dan ayat (2), Pasal 39 ayat (1), ayat (2), ayat (4), dan ayat (5), Pasal 40 ayat (2), ayat (4), - 58 - dan ayat (5), Pasal 41 ayat (1), Pasal 42, Pasal 43 ayat (4), ayat (5), dan ayat (8), Pasal 44 ayat (2), Pasal 45 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (6), Pasal 46, Pasal 47, Pasal 48 ayat (1), dan ayat (3), Pasal 49 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 50, Pasal 51, Pasal 52 ayat (1), ayat (6), dan ayat (7), Pasal 53 ayat (1), Pasal 54 ayat (2), dikenakan sanksi administratif berupa: a. peringatan tertulis; b. pembatasan kegiatan usaha, untuk sebagian atau seluruh kegiatan usaha; dan/atau c. pencabutan izin usaha atau izin pembentukan Unit Syariah. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara bertahap. (3) Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK dapat menambahkan sanksi tambahan berupa: a. larangan untuk memasarkan produk asuransi untuk lini usaha tertentu; b. penilaian kembali kemampuan dan kepatutan bagi pengendali, direksi, atau dewan komisaris atau yang setara pada Perusahaan; c. larangan bagi Perusahaan untuk menjadi pemegang saham, pengendali atau yang setara dengan pemegang saham dan/atau pengendali pada badan hukum berbentuk koperasi atau usaha bersama, perasuransian; dan/atau d. larangan bagi pemegang saham, pengendali, direksi, dan/atau dewan komisaris, atau yang setara dengan pemegang saham, direksi, dan/atau dewan komisaris Perusahaan untuk menjadi pemegang saham, pengendali, direksi, dan/atau dewan komisaris, atau yang setara dengan pemegang saham, direksi, dan/atau dewan komisaris pada badan hukum berbentuk pada perusahaan - 59 - koperasi atau usaha bersama, pada perusahaan perasuransian. Pasal 57 OJK dapat mengenakan sanksi pencabutan izin usaha: a. tanpa didahului pengenaan sanksi administratif yang lain; atau b. tanpa didahului pengenaan sanksi administrasi secara bertahap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (2), dalam hal Perusahaan memiliki Tingkat Solvabilitas Dana Tabbaru’ dan Dana Tanahud atau Tingkat Solvabilitas Dana Perusahaan kurang dari 40% (empat puluh persen) dan berdasarkan hasil pengawasan OJK dinilai membahayakan bagi pemegang polis atau peserta. Pasal 58 (1) Perusahaan yang melanggar ketentuan Pasal 48 ayat (1) huruf a atau huruf b dikenakan sanksi tambahan berupa denda administratif sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari keterlambatan dan paling banyak sebesar Rp360.000.000,00 (tiga ratus enam puluh juta rupiah) untuk setiap laporan. (2) Perusahaan yang melanggar ketentuan Pasal 49 ayat (1) dikenakan sanksi tambahan berupa denda administratif sebesar Rp2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah) per hari dan paling banyak sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). BAB XII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 59 Penilaian terhadap Liabilitas dalam bentuk penyisihan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) dan penandatanganan laporan aktuaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (5) bagi Perusahaan Asuransi Umum Syariah dapat dilakukan oleh: - 60 - a. pegawai Perusahaan yang memiliki sertifikat analis asuransi umum (certified non-life analyst) dari Persatuan Aktuaris Indonesia; atau b. konsultan aktuaria yang terdaftar di OJK dan tidak terafiliasi dengan Perusahaan, paling lambat sampai dengan tanggal 31 Desember 2017. Pasal 60 (1) Setiap sanksi administratif yang telah dikenakan terhadap Perusahaan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia 11/PMK.010/2011 tentang Kesehatan Keuangan Usaha Asuransi dan Usaha Reasuransi Dengan Prinsip Syariah dinyatakan tetap sah dan berlaku. (2) Perusahaan yang belum dapat mengatasi penyebab dikenakannya sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi lanjutan sesuai dengan Peraturan OJK ini. BAB XIII KETENTUAN PENUTUP Pasal 61 Pada saat Peraturan OJK ini mulai berlaku, ketentuan mengenai kesehatan keuangan Perusahaan Asuransi Syariah dan Perusahaan Reasuransi Syariah tunduk pada Peraturan OJK ini. Pasal 62 Ketentuan mengenai bentuk dan susunan laporan, perhitungan jumlah DTMBR dan MMBR, dasar penilaian investasi dan bukan investasi, dan pembentukan penyisihan teknis dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan OJK ini. Pasal 63 Peraturan OJK ini mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 2017. Nomor - 61 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan OJK ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 23 Desember 2016 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 28 Desember 2016 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 305 Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana "," POJK 72/POJK.05/2016 KESEHATAN KEUANGAN PERUSAHAAN ASURANSI DAN PERUSAHAAN REASURANSI DENGAN PRINSIP SYARIAH 23 Desember 2016 1 Juli 2017 28 Desember 2016 '40/UU/2014', '21/UU/2011' 'BAB XI' " " - 1 - OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 25 /POJK.03/2015 TENTANG PENYAMPAIAN INFORMASI NASABAH ASING TERKAIT PERPAJAKAN KEPADA NEGARA MITRA ATAU YURISDIKSI MITRA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka menjaga stabilitas sistem keuangan, pemerintah Indonesia bersama-sama dengan instansi terkait perlu melakukan koordinasi secara regional maupun global; b. bahwa Otoritas Jasa Keuangan sesuai dengan tugas dan kewenangannya merupakan salah satu instansi yang perlu mendukung koordinasi dalam rangka mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil serta mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat; c. bahwa salah satu bentuk koordinasi sebagaimana dimaksud pada huruf a adalah tukar menukar informasi keuangan dengan negara atau yurisdiksi lain dalam rangka mendukung program pencegahan penghindaran pajak; d. bahwa dalam rangka tukar menukar informasi untuk pencegahan penghindaran pajak, dilakukan perjanjian antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah negara atau yurisdiksi lain; - 2 - e. bahwa salah satu perjanjian sebagaimana dimaksud dalam huruf d adalah perjanjian pertukaran informasi secara otomatis yang menimbulkan konsekuensi bagi lembaga jasa keuangan tertentu untuk menyampaikan informasi keuangan nasabah asing tertentu kepada negara mitra atau yurisdiksi mitra melalui otoritas pajak Indonesia secara berkala; f. bahwa penyampaian informasi keuangan sebagaimana dimaksud dalam huruf e harus mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan; g. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf f, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Penyampaian Informasi Nasabah Asing Terkait Perpajakan kepada Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608); 3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867); 4. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); - 3 - 5. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5618); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PENYAMPAIAN INFORMASI NASABAH ASING TERKAIT PERPAJAKAN KEPADA NEGARA MITRA ATAU YURISDIKSI MITRA. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Lembaga Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat LJK, adalah LJK sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, yang memenuhi kriteria dalam perjanjian pertukaran informasi secara otomatis antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah negara mitra atau yurisdiksi mitra. 2. Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra adalah negara atau yurisdiksi yang terikat dengan negara Indonesia dalam konvensi tentang bantuan administratif bersama di bidang perpajakan, persetujuan antar pemerintah (Intergovernmental Agreement/IGA) di bidang perpajakan, atau perjanjian bilateral maupun multilateral lainnya di bidang perpajakan. - 4 - 3. Pertukaran Informasi secara Otomatis adalah pertukaran informasi berkenaan dengan keperluan perpajakan antara Pemerintah Indonesia dengan pemerintah Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra yang dilakukan secara berkala pada waktu tertentu, sistematis, dan berkesinambungan yang jenis dan tata cara pertukaran informasinya diatur berdasarkan perjanjian antara negara Indonesia dengan Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra. 4. Perusahaan Asing adalah: a. badan hukum yang didirikan atau berkedudukan di Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra; b. kantor cabang atau kantor perwakilan dari badan hukum yang didirikan, atau berkedudukan di Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra; c. badan hukum yang didirikan atau berkedudukan di Indonesia atau di luar Indonesia yang bukan Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra, yang dimiliki oleh wajib pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra berupa perorangan atau badan hukum paling sedikit sebesar persentase tertentu yang tercantum dalam perjanjian Pertukaran Informasi secara Otomatis; atau d. kantor cabang atau kantor perwakilan dari badan hukum yang didirikan atau berkedudukan di Indonesia atau di luar Indonesia yang bukan Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra, yang dimiliki oleh wajib pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra berupa perorangan atau badan hukum paling sedikit sebesar persentase tertentu yang tercantum dalam perjanjian Pertukaran Informasi secara Otomatis. - 5 - 5. Nasabah Asing adalah: a. bagi Bank Umum adalah nasabah perorangan atau Perusahaan Asing yang memenuhi kriteria tertentu sebagaimana diatur dalam perjanjian Pertukaran Informasi secara Otomatis, yang memiliki rekening dan/atau menggunakan jasa di Bank Umum atau Bank Umum yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah; b. bagi Perusahaan Efek dan Bank Kustodian adalah nasabah perorangan atau Perusahaan Asing yang memenuhi kriteria tertentu sebagaimana diatur dalam perjanjian Pertukaran Informasi secara Otomatis, yang memiliki rekening efek pada dan/atau menggunakan jasa Perusahaan Efek dan/ atau Bank Kustodian secara langsung (direct customer); c. bagi Perusahaan Asuransi Jiwa dan Perusahaan Asuransi Jiwa Syariah adalah pemegang polis atau peserta berupa perorangan atau Perusahaan Asing yang memenuhi kriteria tertentu sebagaimana diatur dalam perjanjian Pertukaran Informasi secara Otomatis; dan/atau d. bagi LJK selain angka 5 huruf a, huruf b, dan huruf c, adalah nasabah yang memenuhi kriteria sesuai perjanjian terkait perpajakan antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra yang akan diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan, yang merupakan wajib pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra. - 6 - BAB II PELAPORAN Pasal 2 (1) Dalam rangka penerapan perjanjian Pertukaran Informasi secara Otomatis, LJK wajib menyampaikan laporan kepada otoritas pajak Indonesia berupa informasi Nasabah Asing terkait perpajakan untuk diteruskan kepada otoritas pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra. (2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan laporan mengenai informasi Nasabah Asing yang memiliki saldo rekening atau nilai rekening paling sedikit sesuai dengan perjanjian Pertukaran Informasi secara Otomatis. (3) Informasi Nasabah Asing sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit meliputi: a. b. Informasi nasabah; dan Informasi keuangan nasabah. Pasal 3 Dalam rangka penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), LJK wajib: a. melakukan identifikasi terhadap: 1. nasabah; atau 2. calon nasabah, untuk memastikan bahwa nasabah atau calon nasabah dimaksud memenuhi kriteria Nasabah Asing atau calon Nasabah Asing; b. meminta informasi dan/atau dokumen yang diperlukan dalam rangka verifikasi bahwa nasabah atau calon nasabah memenuhi kriteria Nasabah Asing atau calon Nasabah Asing; - 7 - c. meminta Nasabah Asing dan/atau calon Nasabah Asing untuk menyampaikan pernyataan persetujuan, instruksi atau pemberian kuasa secara tertulis dan sukarela kepada LJK untuk memberikan informasi Nasabah Asing dan/atau calon Nasabah Asing kepada otoritas pajak Indonesia untuk diteruskan kepada otoritas pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra; dan d. melakukan penyaringan Nasabah Asing yang memiliki saldo rekening atau nilai paling sedikit sesuai dengan yang ditetapkan dalam perjanjian Pertukaran Informasi secara Otomatis. Pasal 4 Dalam hal calon Nasabah Asing tidak bersedia menyampaikan pernyataan persetujuan, instruksi, pemberian kuasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c, LJK wajib: a. menjelaskan ketentuan terkait Pertukaran Informasi secara Otomatis; dan b. menolak melakukan hubungan usaha dengan calon Nasabah Asing tersebut. Pasal 5 (1) Dalam hal Nasabah Asing tidak bersedia menyampaikan pernyataan persetujuan, instruksi, pemberian kuasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c, LJK wajib: a. menjelaskan konsekuensi bagi Nasabah Asing apabila tidak bersedia memberikan informasi sesuai Perjanjian Pertukaran Informasi secara Otomatis; b. meminta Nasabah Asing menyampaikan pernyataan keberatan secara tertulis, dan c. tidak melayani transaksi baru terkait rekening Nasabah Asing tersebut. (2) Penghentian layanan transaksi baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dikecualikan bagi transaksi: - 8 - a. untuk pemenuhan kewajiban yang telah diperjanjikan sebelumnya antara Nasabah Asing dengan LJK; b. untuk penutupan rekening; c. untuk pemenuhan kewajiban berdasarkan peraturan perundang-undangan. Pasal 6 Penyampaian laporan informasi Nasabah Asing oleh LJK kepada otoritas pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dapat dilakukan: a. melalui Otoritas Jasa Keuangan; atau b. langsung kepada otoritas pajak. Pasal 7 (1) Penyampaian laporan informasi Nasabah Asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a, disampaikan paling lambat 60 hari sebelum batas waktu pelaporan kepada otoritas pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra berdasarkan perjanjian Pertukaran Informasi secara Otomatis. (2) Dalam hal batas waktu pelaporan informasi Nasabah Asing jatuh pada hari libur, maka pelaporan dilakukan pada hari kerja setelahnya. Pasal 8 Dalam rangka penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a, LJK wajib menyampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan nama pejabat yang bertanggung jawab (responsible officer) atas pelaporan informasi Nasabah Asing. - 9 - Pasal 9 (1) LJK dapat mendelegasikan pelaksanaan pelaporan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 kepada LJK lain yang menjadi selling agent dan/atau kustodian. (2) Pendelegasian pelaksanaan pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan kesepakatan tertulis. (3) Pendelegasian pelaksanaan pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak meniadakan tanggung jawab LJK yang mendelegasikan pelaksanaan pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3. BAB III SANKSI Pasal 10 LJK yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan/atau Pasal 8 dikenakan sanksi administratif berupa teguran atau peringatan tertulis. BAB IV PENUTUP Pasal 11 Ketentuan lebih lanjut dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini diatur dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan. - 10 - Pasal 12 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 4 Desember 2015 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 11 Desember 2015 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 291 Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Sudarmaji - 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 25 /POJK.03/2015 TENTANG PENYAMPAIAN INFORMASI NASABAH ASING TERKAIT PERPAJAKAN KEPADA NEGARA MITRA ATAU YURISDIKSI MITRA I. UMUM Dalam rangka menjaga stabilitas sistem keuangan dilakukan koordinasi dengan negara lain baik secara regional maupun global. Salah satu koordinasi tersebut dimaksudkan untuk mendukung upaya pencegahan penghindaran pajak (tax avoidance), pengelakan pajak (tax evasion), dan untuk meningkatkan kepatuhan warga negara Indonesia yang berdomisili di negara lain terhadap pemenuhan ketentuan pajak Indonesia, dan sebaliknya. Bentuk koordinasi yang dilakukan untuk mendukung upaya pencegahan penghindaran pajak tersebut adalah berupa kegiatan tukar menukar informasi keuangan wajib pajak dengan negara lain. Kegiatan dimaksud diawali dengan perjanjian antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra yaitu pemerintah dari negara yang telah berkomitmen untuk mencegah penghindaran pajak oleh wajib pajak baik melalui perjanjian bilateral maupun multilateral. Komitmen pemerintah Indonesia terhadap upaya penghindaran dan pengelakan pajak telah disahkan dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 159 Tahun 2014 tanggal 17 Oktober 2014 tentang Pengesahan Convention on Mutual Administrative Assistance in Tax Matters (Konvensi tentang Bantuan Administratif Bersama di Bidang perpajakan). - 2 - Perjanjian negara untuk mendukung penghindaran pajak mewajibkan masing-masing otoritas pajak negara dimaksud melakukan penyampaian informasi atas wajib pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra yang berada di negaranya. Salah satu pihak yang berperan penting dalam penyampaian informasi tersebut adalah Lembaga Jasa Keuangan (LJK) yang menjadi tempat penyimpanan atau investasi dan pelayanan jasa keuangan nasabah yang merupakan wajib pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra. Pertukaran informasi antara pemerintah Indonesia dengan otoritas pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra yang dilakukan oleh pejabat berwenang atau competent authority di Indonesia dilaksanakan berdasarkan komitmen pemerintah Indonesia antara lain pada: Konvensi Bantuan Administratif Bersama di Bidang Perpajakan, Persetujuan antar Pemerintah (Intergovernmental Agreement/IGA) di Bidang Perpajakan, atau Perjanjian Bilateral maupun Multilateral lainnya di Bidang Perpajakan. Pertukaran informasi tersebut meliputi 3 (tiga) jenis yaitu Pertukaran informasi yang dilakukan berdasarkan permintaan, secara spontan, dan secara otomatis. Persamaan dari ketiga jenis Pertukaran Informasi tersebut adalah adanya perjanjian negara yang mendasari, sedangkan perbedaannya yaitu pada: 1. pertukaran informasi berdasarkan permintaan, terdapat permintaan atas wajib pajak tertentu terlebih dahulu, 2. pertukaran secara spontan, salah satu negara mempunyai inisiatif untuk melaporkan wajib pajak tertentu, 3. pertukaran informasi secara otomatis, penyampaian informasi keuangan wajib pajak yang tidak berdasarkan permintaan ataupun insiatif, melainkan berdasarkan pemenuhan kriteria wajib pajak dalam perjanjian antar negara yang dilakukan melalui sistem yang telah disepakati, disampaikan secara berkala dan berkesinambungan. Lebih lanjut, Pertukaran Informasi secara Otomatis yaitu pertukaran informasi keuangan nasabah LJK yang merupakan wajib pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra yang berada di Indonesia untuk disampaikan kepada otoritas pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra dimaksud, dan dapat berlaku sebaliknya bagi wajib pajak Indonesia yang merupakan nasabah LJK di Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra yang akan disampaikan informasi keuangannya kepada Otoritas Pajak di Indonesia. - 3 - Pertukaran Informasi secara Otomatis dapat dilakukan dengan adanya surat pernyataan sukarela dari nasabah wajib pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra. Perjanjian negara dalam rangka melakukan Pertukaran Informasi secara Otomatis meliputi antara lain: tata cara melakukan due diligence, jenis informasi yang dipertukarkan, periode laporan (berkala), dan waktu penyampaian laporan. Penyampaian informasi keuangan dilakukan melalui sistem yang telah disepakati dan dilakukan secara berkesinambungan. Pemerintah telah menetapkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 125/PMK.010/2015 tanggal 7 Juli 2015 yang memungkinkan LJK menyampaikan informasi keuangan nasabah yang merupakan wajib pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra kepada otoritas pajak di Indonesia dan otoritas pajak di Negara Mitra berdasarkan persetujuan tertulis secara sukarela dari Nasabah wajib pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra dimaksud, kepada LJK. Untuk mendukung pemerintah dan LJK dalam proses penyampaian informasi nasabah LJK yang merupakan wajib pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra agar tetap mematuhi peraturan perundang-undangan, maka diperlukan pengaturan mengenai penyampaian informasi nasabah dimaksud dalam rangka perjanjian Pertukaran Informasi Terkait Perpajakan antara Indonesia dengan Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “otoritas pajak Indonesia” adalah Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Ayat (2) Yang dimaksud dengan nilai rekening antara lain nilai tunai kontrak asuransi, atau nilai anuitas atau surrender value. - 4 - Ayat (3) Huruf a Informasi nasabah termasuk antara lain informasi mengenai nama dan nomor rekening. Nomor rekening antara lain berupa: 1) rekening bagi Bank; 2) polis asuransi bagi Perusahaan Asuransi Jiwa dan Perusahaan Asuransi Jiwa Syariah; dan/atau 3) nomor sub rekening efek bagi Perusahan Efek dan Bank Kustodian. Huruf b Cukup jelas. Pasal 3 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Informasi dan/atau dokumen yang diminta antara lain adalah alamat korespondensi di Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra, nomor identitas pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra, dan informasi dan/atau dokumen lainnya sesuai perjanjian Pertukaran Informasi secara Otomatis yang akan diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan. Huruf c Pernyataan persetujuan/instruksi/pemberian kuasa tertulis Nasabah Asing perlu diperoleh agar pemberian informasi kepada otoritas pajak sesuai dengan peraturan perundang-undangan terkait kerahasiaan data nasabah. Huruf d Yang dimaksud dengan nilai termasuk nilai tunai kontrak asuransi, atau nilai anuitas atau surrender value. Pasal 4 Ketentuan terkait Pertukaran Informasi secara Otomatis antara lain: a. penyampaian informasi Nasabah Asing kepada Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra; - 5 - b. pentingnya pernyataan persetujuan/instruksi/pemberian kuasa untuk dapat menyampaikan informasi Nasabah Asing kepada Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra. Pasal 5 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “transaksi” adalah transaksi keuangan, termasuk: a. setoran, penarikan, transfer, pembukaan rekening atau pembuatan kontrak bagi nasabah perbankan; b. pembukaan rekening, transaksi beli atau pengalihan bagi nasabah pasar modal; c. penutupan polis baru bagi perusahaan asuransi jiwa dan perusahaan asuransi jiwa syariah. Ayat (2) Huruf a Contoh pemenuhan kewajiban yang telah diperjanjikan sebelumnya antara lain: 1) pembayaran premi asuransi; 2) pembayaran angsuran kredit. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Contoh pemenuhan kewajiban berdasarkan peraturan perundang-undangan antara lain: 1) pemenuhan kewajiban pajak; 2) pelaksanaan eksekusi atas putusan pengadilan. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. - 6 - Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Yang dimaksud ketentuan lebih lanjut antara lain mengenai: a. penunjukan responsible officer; b. tata cara pelaporan informasi Nasabah Asing; c. informasi Nasabah Asing yang harus dilaporkan. Pasal 12 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5773 "," POJK 25/POJK.03/2015 PENYAMPAIAN INFORMASI NASABAH ASING TERKAIT PERPAJAKAN KEPADA NEGARA MITRA ATAU YURISDIKSI MITRA 4 Desember 2015 11 Desember 2015 11 Desember 2015 '21/UU/2008', '21/UU/2011', '40/UU/2014', '8/UU/1995', '7/UU/1992', '10/UU/1998' 'BAB III' " " ITAS JASA K OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN INDONESIA SA PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 11/POJK.03/2015 TENTANG KETENTUAN KEHATI-HATIAN DALAM RANGKA STIMULUS PEREKONOMIAN NASIONAL BAGI BANK UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN Menimbang: a. bahwa saat ini terjadi perlambatan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang dapat memengaruhi kinerja dan kondisi industri perbankan sehingga berpotensi mengganggu stabilitas sistem keuangan; b. bahwa untuk merespons kondisi melambatnya pertumbuhan perekonomian, diperlukan kebijakan yang bersifat countercyclical dan bersifat sementara untuk mendorong optimalisasi fungsi intermediasi perbankan dan pertumbuhan ekonomi dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian; c. bahwa sejalan dengan kebijakan sebagaimana dimaksud dalam huruf b, diperlukan kebijakan untuk mendukung program pemerintah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan pertumbuhan ekonomi terutama yang berpihak kepada usaha mikro, kecil, dan menengah; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Ketentuan Kehati- hatian Dalam Rangka Stimulus Perekonomian Nasional Bagi Bank Umum; Mengingat... - 2 - Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG KETENTUAN KEHATI-HATIAN DALAM RANGKA STIMULUS PEREKONOMIAN NASIONAL BAGI BANK UMUM. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri, yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional. 2. Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara Bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga, termasuk: a. cerukan (overdraft), yaitu saldo negatif pada rekening giro nasabah yang tidak dapat dibayar lunas pada akhir hari; b. pengambilalihan tagihan dalam rangka kegiatan anjak piutang; dan c. pengambilalihan atau pembelian kredit dari pihak lain. 3. Risiko... - 3 - 3. Risiko Kredit adalah risiko akibat kegagalan debitur dan/atau pihak lain dalam memenuhi kewajiban kepada Bank. 4. Restrukturisasi Kredit adalah upaya perbaikan yang dilakukan Bank dalam kegiatan perkreditan terhadap debitur yang mengalami kesulitan untuk memenuhi kewajibannya, yang dilakukan antara lain melalui: a. penurunan suku bunga Kredit; b. perpanjangan jangka waktu Kredit; c. pengurangan tunggakan bunga Kredit; d. pengurangan tunggakan pokok Kredit; e. penambahan fasilitas Kredit; dan/atau f. konversi Kredit menjadi penyertaan modal sementara. 5. Penyertaan Modal adalah penanaman dana Bank dalam bentuk saham pada perusahaan yang bergerak di bidang keuangan, termasuk penanaman dalam bentuk surat utang konversi wajib (mandatory convertible bonds) atau jenis transaksi tertentu yang berakibat Bank memiliki atau akan memiliki saham pada perusahaan yang bergerak di bidang keuangan. 6. Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah yang selanjutnya disebut UMKM adalah UMKM sebagaimana diatur dalam Undang-Undang mengenai usaha mikro, kecil, dan menengah. Pasal 2 (1) Dalam menerapkan kebijakan yang mendukung stimulus pertumbuhan ekonomi, Bank tetap menerapkan prinsip kehati-hatian. (2) Kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap: a. perhitungan Aset Tertimbang Menurut Risiko (ATMR) untuk Risiko Kredit dengan menggunakan pendekatan standar bagi: 1. Kredit beragun rumah tinggal; dan 2. Kredit kepada UMKM yang dijamin oleh lembaga penjaminan atau asuransi Kredit berstatus Badan Usaha Milik Daerah (BUMD); b. penilaian dan penetapan kualitas aset bagi: 1. Kredit dan penyediaan dana lainnya dalam jumlah kecil; dan 2. Kredit yang direstrukturisasi; c. Penyertaan Modal. BAB II... - 4 - BAB II PERHITUNGAN ASET TERTIMBANG MENURUT RISIKO (ATMR) UNTUK RISIKO KREDIT DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN STANDAR Bagian Kesatu Bobot Risiko Kredit Beragun Rumah Tinggal Pasal 3 Bobot risiko Kredit beragun rumah tinggal ditetapkan sebagai berikut: a. paling rendah 35% (tiga puluh lima perseratus) untuk Kredit konsumsi dalam rangka kepemilikan rumah tinggal atau apartemen atau Kredit konsumsi yang dijamin dengan agunan berupa rumah tinggal atau apartemen yang memenuhi seluruh kriteria sebagai berikut: 1. diberikan kepada debitur perorangan; 2. agunan diikat dengan hak tanggungan atau fidusia sehingga memberikan kedudukan yang diutamakan (hak preferensi) kepada Bank; dan 3. Bank memiliki sistem dan prosedur yang memadai untuk menilai dan memantau nilai agunan secara berkala; b. paling rendah 20% (dua puluh perseratus) untuk Kredit konsumsi dalam rangka kepemilikan rumah tinggal yang merupakan program Pemerintah Indonesia yang memenuhi seluruh kriteria sebagai berikut: 1. dilakukan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan 2. dijamin 100% (seratus perseratus) oleh lembaga penjaminan atau asuransi Kredit berstatus Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang memenuhi persyaratan garansi yang merupakan teknik mitigasi risiko kredit sebagaimana diatur dalam ketentuan mengenai pedoman perhitungan ATMR untuk Risiko Kredit dengan menggunakan pendekatan standar. Bagian Kedua Bobot Risiko Kredit kepada UMKM yang Dijamin oleh Lembaga Penjaminan atau Asuransi Kredit Berstatus BUMD Pasal 4 (1) Bobot risiko Kredit kepada UMKM yang dijamin oleh lembaga penjaminan atau asuransi Kredit berstatus BUMD ditetapkan sebesar 50% (lima puluh perseratus) sepanjang memenuhi persyaratan yang ditetapkan. (2) Persyaratan... - 5 - (2) Persyaratan lembaga penjaminan atau asuransi Kredit berstatus BUMD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebagai berikut: a. memiliki peringkat dari lembaga pemeringkat yang diakui oleh Otoritas Jasa Keuangan setara BBB-; atau b. mendapatkan rekomendasi dalam bentuk tertulis dari Otoritas Jasa Keuangan untuk melakukan program penjaminan. (3) Selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pengakuan penjaminan atau asuransi Kredit, skema penjaminan atau asuransi Kredit, dan lembaga penjaminan atau asuransi Kredit berstatus BUMD, tetap memenuhi persyaratan: a. pengakuan garansi dalam teknik mitigasi Risiko Kredit; b. skema penjaminan atau asuransi Kredit; dan c. lembaga penjaminan atau asuransi Kredit berstatus bukan BUMN, sebagaimana diatur dalam ketentuan mengenai pedoman perhitungan ATMR untuk Risiko Kredit dengan menggunakan pendekatan standar. Pasal 5 Bobot risiko Kredit kepada UMKM yang dijamin oleh lembaga penjaminan atau asuransi Kredit berstatus BUMD yang: a. memiliki peringkat lebih tinggi dari BBB-; dan b. pengakuan penjaminan atau asuransi Kredit, skema penjaminan atau asuransi Kredit, dan lembaga penjaminan atau asuransi Kredit berstatus BUMD memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3), didasarkan pada peringkat lembaga penjaminan atau asuransi Kredit berstatus BUMD sesuai kategori portofolio tagihan kepada entitas sektor publik sebagaimana diatur dalam ketentuan mengenai pedoman perhitungan ATMR untuk Risiko Kredit dengan menggunakan pendekatan standar. BAB III PENILAIAN DAN PENETAPAN KUALITAS ASET BANK UMUM Bagian Kesatu Kredit dan Penyediaan Dana Lainnya dalam Jumlah Kecil Pasal 6... - 6 - Pasal 6 (1) Penetapan kualitas Kredit dan penyediaan dana lainnya dapat hanya didasarkan atas ketepatan pembayaran pokok dan/atau bunga, untuk: a. Kredit dan penyediaan dana lainnya yang diberikan oleh setiap Bank kepada 1 (satu) debitur atau 1 (satu) proyek dengan jumlah kurang dari atau sama dengan Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); b. Kredit dan penyediaan dana lainnya yang diberikan oleh setiap Bank kepada debitur UMKM dengan jumlah: 1. Lebih dari Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) sampai dengan Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah) bagi Bank yang memenuhi kriteria sebagai berikut: a) memiliki predikat penilaian kecukupan Kualitas Penerapan Manajemen Risiko (KPMR) untuk Risiko Kredit sangat memadai; b) memiliki rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) paling rendah sesuai ketentuan yang berlaku; dan c) memiliki Peringkat Komposit tingkat kesehatan Bank paling rendah 3 (PK-3). 2. Lebih dari Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) sampai dengan Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) bagi Bank yang memenuhi kriteria sebagai berikut: a) memiliki predikat penilaian kecukupan KPMR untuk Risiko Kredit memadai; b) memiliki rasio KPMM paling rendah sesuai ketentuan yang berlaku; dan c) memiliki Peringkat Komposit tingkat kesehatan Bank paling rendah 3 (PK-3). (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak diberlakukan untuk Kredit dan penyediaan dana lainnya yang diberikan kepada 1 (satu) debitur UMKM dengan jumlah lebih dari Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) yang merupakan: a. Kredit yang direstrukturisasi; dan/atau b. Penyediaan dana kepada 50 (lima puluh) debitur terbesar Bank. Bagian... - 7 - Bagian Kedua Penetapan Kualitas Kredit yang Direstrukturisasi Pasal 7 (1) Kualitas Kredit setelah dilakukan restrukturisasi ditetapkan sebagai berikut: a. paling tinggi Kurang Lancar untuk Kredit yang sebelum dilakukan restrukturisasi tergolong Diragukan atau Macet; b. tetap atau tidak berubah untuk Kredit yang sebelum dilakukan restrukturisasi tergolong Lancar, Dalam Perhatian Khusus, atau Kurang Lancar. (2) Kualitas Kredit setelah dilakukan restrukturisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menjadi Lancar, apabila tidak terdapat tunggakan selama 3 (tiga) kali periode pembayaran angsuran pokok dan/atau bunga secara berturut-turut sesuai dengan perjanjian Restrukturisasi Kredit. (3) Dalam hal debitur tidak memenuhi kriteria dan/atau persyaratan dalam perjanjian Restrukturisasi Kredit, penilaian kualitas Kredit ditetapkan sesuai ketentuan yang berlaku yang didasarkan atas: a. ketepatan pembayaran pokok dan/atau bunga untuk Kredit yang direstrukturisasi sampai dengan jumlah Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); atau b. prospek usaha, kinerja (performance) debitur, dan kemampuan membayar untuk Kredit yang direstrukturisasi dengan jumlah lebih dari Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). (4) Dalam hal periode pembayaran angsuran pokok dan/atau bunga kurang dari 1 (satu) bulan, peningkatan kualitas menjadi Lancar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan paling singkat 3 (tiga) bulan sejak dilakukan Restrukturisasi Kredit. Pasal 8 Kualitas Kredit yang direstrukturisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) huruf a ditetapkan sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7. Pasal... - 8 - Pasal 9 (1) Kredit yang direstrukturisasi dengan pemberian tenggang waktu pembayaran pokok, ditetapkan memiliki kualitas sebagai berikut: a. paling tinggi Kurang Lancar untuk Kredit yang sebelum dilakukan restrukturisasi tergolong Diragukan atau Macet; b. tetap atau tidak berubah untuk Kredit yang sebelum dilakukan restrukturisasi tergolong Lancar, Dalam Perhatian Khusus, atau Kurang Lancar. (2) Kualitas Kredit selama masa pemberian tenggang waktu pembayaran pokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat: a. menjadi Lancar, apabila tidak terdapat tunggakan pembayaran bunga selama 3 (tiga) kali periode pembayaran berturut-turut sesuai perjanjian Restrukturisasi Kredit; atau b. sesuai kualitas Kredit yang lebih buruk antara kualitas Kredit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau kualitas Kredit yang sebenarnya, apabila terdapat tunggakan pembayaran bunga atau tidak memenuhi kriteria dan/atau persyaratan dalam perjanjian Restrukturisasi Kredit. (3) Kualitas Kredit setelah masa pemberian tenggang waktu pembayaran pokok didasarkan atas: a. ketepatan pembayaran pokok dan/atau bunga untuk Kredit yang direstrukturisasi sampai dengan jumlah Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); atau b. prospek usaha, kinerja (performance) debitur, dan kemampuan membayar untuk Kredit yang direstrukturisasi dengan jumlah lebih dari Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). BAB IV PENYERTAAN MODAL BANK Pasal 10 (1) Penyertaan Modal dalam rangka: a. pendirian perusahaan yang akan mengambil alih aset Kredit bermasalah dari Bank yang melakukan penyertaan dengan kepemilikan Bank paling tinggi 20% (dua puluh perseratus) dari modal perusahaan dan Bank tidak menjadi pengendali; atau b. tambahan... - 9 - b. tambahan penyertaan untuk penyelamatan perusahaan anak berupa bank, dapat dilakukan apabila Bank memiliki Peringkat Komposit tingkat kesehatan Bank terakhir sebelum melakukan penyertaan paling rendah 3 (PK-3) dan mempunyai prospek peningkatan Peringkat Komposit menjadi lebih baik. (2) Persyaratan lain dalam rangka Penyertaan Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), mengacu pada ketentuan yang berlaku mengenai prinsip kehati-hatian dalam kegiatan Penyertaan Modal. BAB V KETENTUAN PERALIHAN Pasal 11 Permohonan persetujuan Penyertaan Modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 yang diajukan kepada Otoritas Jasa Keuangan sebelum ketentuan ini berlaku, disesuaikan dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 12 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini berlaku: a. Kualitas Kredit yang direstrukturisasi dan masih dalam periode 3 (tiga) kali kewajiban pembayaran pokok dan/atau bunga setelah penandatanganan perjanjian Restrukturisasi Kredit; atau b. Kualitas Kredit yang direstrukturisasi dan masih dalam masa pemberian tenggang waktu pembayaran pokok setelah penandatanganan perjanjian Restrukturisasi Kredit, ditetapkan sesuai Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. BAB VI KETENTUAN PENUTUP Pasal 13 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, ketentuan dalam: a. Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/15/PBI/2012 tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 202, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5354); b. Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/11/PBI/2013 tentang Prinsip Kehati- Hatian dalam Kegiatan Penyertaan Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia... - 10 - Indonesia Tahun 2013 Nomor 187, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5466); c. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 13/6/DPNP tanggal 18 Februari 2011 perihal Pedoman Perhitungan Aset Tertimbang Menurut Risiko untuk Risiko Kredit dengan Menggunakan Pendekatan Standar, dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 14 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini berlaku sampai dengan 2 (dua) tahun sejak tanggal diundangkan. Pasal 15 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 21 Agustus 2015 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 24 Agustus 2015 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Sudarmaji LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 197 PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 11 /POJK.03/2015 TENTANG KETENTUAN KEHATI-HATIAN DALAM RANGKA STIMULUS PEREKONOMIAN NASIONAL BAGI BANK UMUM I. UMUM Dalam rangka menstimulus pertumbuhan perekonomian nasional, diperlukan upaya untuk mendorong fungsi intermediasi perbankan melalui kebijakan-kebijakan yang bersifat countercyclical antara lain terkait dengan ketentuan mengenai perhitungan Aset Tertimbang Menurut Risiko untuk Risiko Kredit dengan menggunakan pendekatan standar, penilaian kualitas aset, dan prinsip kehati-hatian dalam melakukan Penyertaan Modal. Kebijakan countercyclical dimaksud ditujukan untuk menjaga stabilitas sistem keuangan, mendorong fungsi intermediasi dalam rangka meningkatkan potensi ekspansi Kredit Bank yang dilakukan secara terukur dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian serta mencegah terjadinya moral hazard. Kebijakan countercyclical ini bersifat sementara (temporary policy) sehingga seiring dengan membaiknya kinerja dan kondisi keuangan Bank dan pertumbuhan ekonomi, kebijakan dimaksud perlu disesuaikan kembali. Kebijakan countercyclical ini difokuskan untuk mendorong pertumbuhan Kredit kepada UMKM dan Kredit beragun rumah tinggal serta meningkatkan kinerja dan kondisi Bank. Selain itu, kebijakan ini sejalan dengan program pemerintah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan pertumbuhan ekonomi khususnya dalam program pembiayaan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah serta penyaluran Kredit kepada UMKM. Sehubungan dengan pertimbangan di atas, diperlukan kebijakan berupa Ketentuan Kehati-Hatian Dalam Rangka Stimulus Perekonomian Nasional bagi Bank Umum dalam suatu Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. II. PASAL... - 2 - II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Huruf a Yang dimaksud rumah tinggal atau apartemen adalah rumah tapak atau rumah susun namun tidak termasuk rumah toko dan rumah kantor. Huruf b Yang dimaksud Pemerintah Indonesia adalah Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai pemerintahan daerah. Pasal 4 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Kriteria lembaga penjaminan atau asuransi Kredit yang berstatus BUMD yang mendapatkan rekomendasi dari Otoritas Jasa Keuangan antara lain memiliki kinerja keuangan yang baik. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal... - 3 - Pasal 6 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “penyediaan dana lainnya” adalah penerbitan jaminan dan/atau pembukaan letter of credit. Termasuk sebagai Kredit dan penyediaan dana lainnya adalah semua jenis Kredit atau penyediaan dana lainnya yang diberikan kepada semua golongan debitur. Ayat (2) Yang dimaksud dengan 50 (lima puluh) debitur terbesar adalah 50 (lima puluh) debitur terbesar Bank secara individu. Aset Produktif yang diberikan oleh Bank dengan jumlah lebih dari Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) sampai dengan Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) kepada 1 (satu) debitur yang merupakan 50 (lima puluh) debitur terbesar Bank tidak dipengaruhi oleh kualitas Aset Produktif yang diberikan oleh Bank lain kepada debitur atau proyek yang sama dengan jumlah kurang dari atau sama dengan Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). Pasal 7 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Faktor penilaian prospek usaha, kinerja (performance) debitur, dan kemampuan membayar mengacu pada ketentuan mengenai penilaian kualitas aset bank umum. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal... - 4 - Pasal 9 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “kualitas Kredit yang sebenarnya” adalah penilaian kualitas Kredit yang didasarkan atas: a. ketepatan pembayaran pokok dan/atau bunga untuk Kredit yang direstrukturisasi sampai dengan jumlah Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); b. prospek usaha, kinerja (performance) debitur, dan kemampuan membayar untuk Kredit yang direstrukturisasi dengan jumlah lebih dari Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5734 "," POJK 11/POJK.03/2015 KETENTUAN KEHATI-HATIAN DALAM RANGKA STIMULUS PEREKONOMIAN NASIONAL BAGI BANK UMUM 21 Agustus 2015 24 Agustus 2015 24 Agustus 2015 '21/UU/2011', '7/UU/1992', '10/UU/1998' " " SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 59 /POJK.03/2017 TENTANG PENERAPAN TATA KELOLA DALAM PEMBERIAN REMUNERASI BAGI BANK UMUM SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa untuk menghadapi dinamika perekonomian global, industri perbankan syariah perlu meningkatkan ketahanan; b. bahwa peningkatan ketahanan tersebut dilakukan melalui peningkatan tata kelola dalam pemberian remunerasi; c. bahwa peningkatan tata kelola dalam pemberian remunerasi bertujuan untuk mendorong dilakukannya prudent risk taking sehingga kelangsungan usaha bank dapat terjaga; d. bahwa untuk menciptakan disiplin pasar dan sesuai dengan perkembangan standar internasional diperlukan transparansi informasi mengenai pemberian remunerasi baik yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif; - 2 - e. bahwa dalam pemberian remunerasi bagi bank umum syariah dan unit usaha syariah harus f. bahwa mempertimbangkan kesesuaian dengan prinsip syariah; berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf e, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Penerapan Tata Kelola dalam Pemberian Remunerasi bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PENERAPAN TATA KELOLA DALAM PEMBERIAN REMUNERASI BAGI BANK UMUM SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah Bank Umum Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 2. Unit Usaha Syariah adalah unit usaha syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. - 3 - 3. Direksi adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. 4. Dewan Komisaris adalah dewan komisaris sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. 5. Dewan Pengawas Syariah yang selanjutnya disingkat DPS adalah dewan yang bertugas memberikan nasihat dan saran kepada Direksi serta mengawasi kegiatan Bank agar sesuai dengan prinsip syariah. 6. Pegawai Bank yang selanjutnya disebut Pegawai adalah orang yang bekerja pada Bank berdasarkan perjanjian untuk melaksanakan suatu pekerjaan dalam jabatan atau kegiatan tertentu dengan memperoleh imbalan, termasuk Pegawai dengan perjanjian kerja waktu tertentu. 7. Remunerasi adalah imbalan yang ditetapkan dan diberikan kepada anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, anggota DPS, dan/atau Pegawai baik yang bersifat tetap maupun variabel dalam bentuk tunai maupun tidak tunai sesuai dengan tugas, wewenang, dan tanggung jawabnya. 8. Remunerasi yang Bersifat Tetap adalah Remunerasi yang tidak dikaitkan dengan kinerja dan risiko, antara lain gaji pokok, fasilitas, tunjangan perumahan, tunjangan kesehatan, tunjangan pendidikan, tunjangan hari raya, dan pensiun. 9. Remunerasi yang Bersifat Variabel adalah Remunerasi yang dikaitkan dengan kinerja dan risiko, antara lain bonus atau bentuk lain yang dipersamakan dengan itu. 10. Malus adalah kebijakan yang mengizinkan Bank berdasarkan kriteria tertentu menunda pembayaran sebagian atau seluruh dari Remunerasi yang Bersifat Variabel yang ditangguhkan. 11. Clawback adalah suatu perjanjian antara Bank dengan anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, atau Pegawai dimana anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, atau - 4 - Pegawai setuju untuk mengembalikan Remunerasi yang Bersifat Variabel yang diterima sepanjang memenuhi kriteria tertentu sebagaimana ditetapkan oleh Bank. Pasal 2 (1) Bank wajib menerapkan tata kelola dalam pemberian Remunerasi. (2) Penerapan tata kelola dalam pemberian Remunerasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit mencakup: a. tugas dan tanggung jawab Direksi dan Dewan Komisaris; b. tugas dan tanggung jawab komite Remunerasi; c. penerapan prinsip kehati-hatian dalam pemberian Remunerasi; d. penerapan prinsip syariah dalam pemberian Remunerasi; dan e. pengungkapan Remunerasi. (3) Bank umum konvensional yang memiliki Unit Usaha Syariah wajib menerapkan tata kelola dalam pemberian Remunerasi yang terkait dengan DPS. BAB II TUGAS DAN TANGGUNG JAWAB DIREKSI DAN DEWAN KOMISARIS Pasal 3 Bank wajib memiliki kebijakan Remunerasi secara tertulis bagi Direksi, Dewan Komisaris, DPS, dan Pegawai. Pasal 4 (1) Direksi wajib menyusun kebijakan Remunerasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3. (2) Kebijakan Remunerasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat: a. struktur Remunerasi yang paling sedikit mencakup: - 5 - 1. skala Remunerasi berdasarkan tingkat dan jabatan; dan 2. komponen Remunerasi; dan b. metode dan mekanisme penetapan Remunerasi. Pasal 5 Penyusunan kebijakan Remunerasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 wajib paling sedikit mempertimbangkan: a. terciptanya manajemen risiko yang efektif; b. stabilitas keuangan Bank; c. kecukupan dan penguatan permodalan Bank; d. kebutuhan likuiditas jangka pendek dan jangka panjang; e. potensi pendapatan Bank di masa yang akan datang; dan f. kesesuaian dengan prinsip syariah. Pasal 6 Dewan Komisaris wajib paling sedikit melaksanakan: a. pengawasan terhadap penerapan kebijakan Remunerasi; dan b. evaluasi secara berkala terhadap kebijakan Remunerasi atas dasar hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam huruf a. BAB III TUGAS DAN TANGGUNG JAWAB KOMITE REMUNERASI Pasal 7 (1) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Dewan Komisaris wajib membentuk komite Remunerasi. (2) Komite Remunerasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib paling sedikit beranggotakan: a. 1 (satu) orang komisaris independen; b. 1 (satu) orang komisaris; dan c. 1 (satu) orang pejabat eksekutif yang membawahkan sumber daya manusia atau 1 (satu) orang perwakilan Pegawai. - 6 - (3) Komite Remunerasi wajib diketuai oleh komisaris independen. (4) Anggota Direksi dilarang menjadi anggota komite Remunerasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (5) Dalam hal anggota komite Remunerasi ditetapkan lebih dari 3 (tiga) orang, anggota komisaris independen wajib berjumlah paling sedikit 2 (dua) orang. (6) Komite Remunerasi dapat dibentuk terpisah dari komite nominasi atau digabung dengan komite nominasi sebagai komite Remunerasi dan nominasi. Pasal 8 Komite Remunerasi wajib melaksanakan tugas dan tanggung jawab secara independen. Pasal 9 Komite Remunerasi wajib melaksanakan tugas dan tanggung jawab paling sedikit: a. melakukan evaluasi terhadap kebijakan Remunerasi yang didasarkan atas kinerja, risiko, kewajaran dengan peer group, sasaran dan strategi jangka panjang Bank, pemenuhan cadangan sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan, serta potensi pendapatan Bank di masa yang akan datang; b. menyampaikan hasil evaluasi dan rekomendasi kepada Dewan Komisaris mengenai: 1. kebijakan Remunerasi bagi Direksi, Dewan Komisaris, dan DPS untuk disampaikan kepada rapat umum pemegang saham; dan 2. kebijakan Remunerasi bagi Pegawai secara keseluruhan untuk disampaikan kepada Direksi; c. memastikan bahwa kebijakan Remunerasi telah sesuai dengan ketentuan; dan d. melakukan evaluasi secara berkala terhadap penerapan kebijakan Remunerasi. - 7 - BAB IV PENERAPAN PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM PEMBERIAN REMUNERASI Pasal 10 Dalam menerapkan tata kelola sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Bank wajib memperhatikan prinsip kehati-hatian dalam pemberian Remunerasi baik Remunerasi yang Bersifat Tetap maupun Remunerasi yang Bersifat Variabel. Bagian Kesatu Remunerasi yang Bersifat Tetap Pasal 11 Kebijakan Remunerasi yang Bersifat Tetap wajib paling sedikit memperhatikan: a. skala usaha, kompleksitas usaha, peer group, tingkat inflasi, kondisi dan kemampuan keuangan, serta sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan b. perbedaan (gap) Remunerasi antar tingkat jabatan. Bagian Kedua Remunerasi yang Bersifat Variabel Pasal 12 Kebijakan Remunerasi yang Bersifat Variabel wajib: a. paling sedikit memperhatikan skala usaha, kompleksitas usaha, peer group, tingkat inflasi, kondisi dan kemampuan keuangan, serta sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan b. mendorong dilakukannya prudent risk taking. Pasal 13 Komite Remunerasi wajib berkoordinasi dengan satuan kerja manajemen risiko dalam melakukan evaluasi terhadap kebijakan Remunerasi yang Bersifat Variabel sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12. - 8 - Pasal 14 Pemberian Remunerasi yang Bersifat Variabel bagi Direksi, Dewan Komisaris, DPS, dan/atau Pegawai wajib mempertimbangkan: a. kinerja, yaitu: 1. kinerja Direksi, Dewan Komisaris, DPS, atau Pegawai; 2. kinerja unit bisnis; dan 3. kinerja Bank; dan b. risiko. Pasal 15 Bank menentukan metode pengukuran kinerja dan jenis risiko dalam menetapkan pemberian Remunerasi yang Bersifat Variabel sesuai skala dan kompleksitas usaha Bank. Pasal 16 (1) Remunerasi yang Bersifat Variabel dapat diberikan dalam bentuk: a. tunai; dan/atau b. saham atau instrumen yang berbasis saham yang diterbitkan Bank. (2) Remunerasi yang Bersifat Variabel yang diberikan oleh Bank berstatus perseroan terbuka (go public) wajib dalam bentuk saham atau instrumen yang berbasis saham yang diterbitkan Bank sebesar persentase tertentu dari Remunerasi yang Bersifat Variabel. (3) Pemberian Remunerasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku paling sedikit untuk seluruh anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, dan material risk takers. Pasal 17 Remunerasi yang Bersifat Variabel dalam bentuk saham atau instrumen yang berbasis saham yang diterbitkan Bank bagi komisaris independen dikonversi dan diberikan dalam bentuk tunai. - 9 - Pasal 18 Dalam hal Bank mengalami kerugian, Bank dapat: a. tidak membagikan; atau b. membagikan dengan nilai yang relatif kecil, Remunerasi yang Bersifat Variabel kepada Direksi, Dewan Komisaris, DPS, dan/atau Pegawai. Pasal 19 Pemberian Remunerasi yang Bersifat Variabel bagi Pegawai pada unit pengawasan dilakukan sesuai dengan kinerja dengan tetap memperhatikan objektivitas dan independensi. Pasal 20 (1) Bank dilarang menjamin tanpa syarat pemberian besaran tertentu Remunerasi yang Bersifat Variabel kepada Direksi, Dewan Komisaris, DPS, dan/atau Pegawai. (2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk tahun pertama sejak Direksi, Dewan Komisaris, DPS, dan/atau Pegawai bekerja pada Bank. Bagian Ketiga Material Risk Takers Pasal 21 (1) Bank wajib menetapkan pihak yang menjadi material risk takers, yang paling sedikit memenuhi kriteria sebagai berikut: a. Direksi dan/atau Pegawai yang karena tugas dan tanggung jawabnya mengambil keputusan yang berdampak signifikan terhadap profil risiko Bank; atau b. Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau Pegawai yang memperoleh Remunerasi yang Bersifat Variabel dengan nilai yang besar. (2) Penetapan pihak yang menjadi material risk takers sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam - 10 - Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 22 (1) Bank wajib menangguhkan pembayaran Remunerasi yang Bersifat Variabel bagi pihak yang menjadi material risk takers sebesar persentase tertentu. (2) Besaran persentase penangguhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disesuaikan dengan tingkat jabatan. (3) Penangguhan Remunerasi yang Bersifat Variabel bagi pihak yang menjadi material risk takers sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 23 (1) Jangka waktu penangguhan pembayaran Remunerasi yang Bersifat Variabel sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) paling singkat 3 (tiga) tahun. (2) Penetapan jangka waktu penangguhan pembayaran Remunerasi yang Bersifat Variabel sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menjadi lebih panjang sesuai dengan jangka waktu risiko (time horizon of risks). Pasal 24 Pembayaran Remunerasi yang Bersifat Variabel yang ditangguhkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) wajib diberikan secara prorata sesuai dengan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23. Pasal 25 (1) Bank dapat menerapkan Malus dan/atau Clawback kepada pihak yang menjadi material risk takers dalam kondisi tertentu. (2) Bank menetapkan kondisi tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1). - 11 - (3) Penerapan Malus dan/atau Clawback kepada pihak yang menjadi material risk takers sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 26 Pihak yang menjadi material risk takers dilarang melakukan lindung nilai atas Remunerasi yang Bersifat Variabel yang ditangguhkan. BAB V PENERAPAN PRINSIP SYARIAH DALAM PEMBERIAN REMUNERASI Pasal 27 Dalam menerapkan tata kelola sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Bank wajib memperhatikan prinsip syariah dalam pemberian Remunerasi. BAB VI PENGUNGKAPAN (DISCLOSURE) Pasal 28 (1) Bank wajib mengungkapkan informasi kebijakan Remunerasi dalam laporan pelaksanaan tata kelola sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pelaksanaan good corporate governance bagi bank umum syariah dan unit usaha syariah. (2) Informasi kebijakan Remunerasi yang wajib diungkapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit mencakup: a. komite Remunerasi antara lain: 1. nama anggota, komposisi, tugas, dan tanggung jawab; 2. jumlah rapat yang dilakukan; dan - 12 - 3. Remunerasi yang telah dibayarkan kepada anggota komite Remunerasi selama 1 (satu) tahun; b. proses penyusunan kebijakan Remunerasi yang meliputi: 1. tinjauan mengenai latar belakang dan tujuan kebijakan Remunerasi; 2. pelaksanaan kaji ulang atas kebijakan Remunerasi pada tahun sebelumnya, beserta perbaikan atas kebijakan Remunerasi pada tahun sebelumnya; dan 3. mekanisme untuk memastikan bahwa Remunerasi bagi Pegawai di unit pengawasan bersifat independen dari unit kerja yang diawasinya; c. cakupan kebijakan Remunerasi dan implementasi kebijakan Remunerasi per unit bisnis, per wilayah, dan pada perusahaan anak atau kantor cabang yang berlokasi di luar negeri; d. Remunerasi dikaitkan dengan risiko yang meliputi: 1. 2. jenis risiko utama (key risk) yang digunakan dalam menerapkan Remunerasi; kriteria untuk menentukan jenis risiko utama, termasuk untuk risiko yang sulit diukur; 3. dampak penetapan risiko utama terhadap kebijakan Remunerasi yang Bersifat Variabel, termasuk dampak penetapan risiko utama terhadap kebijakan Remunerasi yang Bersifat Tetap apabila ada; dan 4. perubahan penentuan jenis risiko utama dibandingkan dengan tahun lalu beserta alasan perubahan apabila ada, termasuk perubahan kriteria yang digunakan untuk menentukan jenis risiko utama selama periode laporan beserta alasan dan dampak perubahan terhadap kebijakan Remunerasi; - 13 - e. pengukuran kinerja dikaitkan dengan Remunerasi yang meliputi: 1. tinjauan mengenai kebijakan Remunerasi yang dikaitkan dengan penilaian kinerja; 2. metode dalam mengaitkan Remunerasi individu dengan kinerja Bank, kinerja unit bisnis, dan kinerja individu; dan 3. uraian mengenai metode yang digunakan Bank untuk menyatakan bahwa kinerja yang disepakati tidak dapat tercapai sehingga perlu dilakukan penyesuaian atas Remunerasi dan besaran penyesuaian Remunerasi dalam hal kondisi tersebut terjadi; f. penyesuaian Remunerasi dikaitkan dengan kinerja dan risiko yang meliputi: 1. kebijakan mengenai Remunerasi yang Bersifat Variabel yang ditangguhkan, besaran, dan kriteria untuk menetapkan besaran Remunerasi yang Bersifat Variabel yang ditangguhkan; dan 2. kebijakan Bank mengenai Malus dan/atau Clawback sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25; g. nama konsultan ekstern dan tugas konsultan terkait kebijakan Remunerasi, dalam hal Bank menggunakan jasa konsultan ekstern; h. paket Remunerasi dan fasilitas yang diterima oleh Direksi, Dewan Komisaris, dan DPS yang mencakup struktur Remunerasi dan rincian jumlah nominal; i. paket Remunerasi yang dikelompokkan dalam tingkat penghasilan yang diterima oleh Direksi, Dewan Komisaris, dan DPS dalam 1 (satu) tahun; j. Remunerasi yang Bersifat Variabel, meliputi: 1. bentuk Remunerasi yang Bersifat Variabel dan alasan pemilihan bentuk tersebut; dan 2. penjelasan dalam hal terdapat perbedaan pemberian Remunerasi yang Bersifat Variabel diantara anggota Direksi, anggota Dewan - 14 - Komisaris, anggota DPS, dan/atau Pegawai, termasuk penjelasan faktor yang menentukan perbedaan tersebut pertimbangan; beserta dasar k. jumlah Direksi, Dewan Komisaris, DPS, dan Pegawai yang menerima Remunerasi yang Bersifat Variabel selama 1 (satu) tahun dan total nominal Remunerasi yang Bersifat Variabel yang diterima; l. jabatan dan jumlah pihak yang menjadi material risk takers; m. shares option yang dimiliki Direksi, Dewan Komisaris, DPS, dan pejabat eksekutif; n. rasio gaji tertinggi dan terendah; o. jumlah penerima dan jumlah total Remunerasi yang Bersifat Variabel yang dijamin tanpa syarat akan diberikan oleh Bank kepada calon Direksi, calon Dewan Komisaris, calon DPS, dan/atau calon Pegawai selama 1 (satu) tahun pertama bekerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2); p. jumlah Pegawai yang terkena pemutusan hubungan kerja dan total nominal pesangon yang dibayarkan; q. jumlah total Remunerasi yang Bersifat Variabel yang ditangguhkan dalam bentuk tunai dan/atau saham atau instrumen yang berbasis saham yang diterbitkan Bank; r. jumlah total Remunerasi yang Bersifat Variabel yang ditangguhkan yang dibayarkan selama 1 (satu) tahun; s. rincian jumlah Remunerasi yang diberikan dalam 1 (satu) tahun meliputi: 1. Remunerasi yang Bersifat Tetap dan Remunerasi yang Bersifat Variabel; 2. Remunerasi yang ditangguhkan dan Remunerasi yang tidak ditangguhkan; dan 3. Remunerasi yang diberikan dalam bentuk tunai dan/atau saham atau instrumen yang berbasis saham yang diterbitkan Bank; dan - 15 - t. informasi kuantitatif mengenai: 1. total sisa Remunerasi yang masih ditangguhkan baik yang terekspos penyesuaian implisit maupun eksplisit; 2. total pengurangan Remunerasi yang disebabkan karena penyesuaian eksplisit selama periode laporan; dan 3. total pengurangan Remunerasi yang disebabkan karena penyesuaian implisit selama periode laporan. (3) Bank umum konvensional yang memiliki Unit Usaha Syariah wajib mengungkapkan informasi kebijakan Remunerasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang terkait dengan DPS dalam laporan pelaksanaan tata kelola sebagaimana diatur dalam ketentuan Otoritas Jasa Keuangan mengenai penerapan tata kelola bagi bank umum. Pasal 29 (1) Bank menyajikan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dalam bentuk: a. tabel atau grafik; dan/atau b. perbandingan dengan periode laporan 1 (satu) tahun sebelumnya. (2) Penyajian informasi dalam bentuk tabel sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a paling sedikit tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. BAB VII KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 30 (1) Otoritas Jasa Keuangan melakukan pengawasan atas implementasi kebijakan Remunerasi Bank sesuai dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. - 16 - (2) Dalam hal Bank dinilai belum mengimplementasikan kebijakan Remunerasi sesuai dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, Otoritas Jasa Keuangan berwenang memerintahkan Bank untuk melakukan langkah perbaikan. Pasal 31 (1) Dalam kondisi tertentu, Otoritas Jasa Keuangan berwenang untuk: a. melakukan kaji ulang terhadap besaran Remunerasi yang Bersifat Variabel bagi Direksi, Dewan Komisaris, DPS, dan/atau Pegawai; dan/atau b. memerintahkan Bank untuk melakukan penyesuaian kebijakan Remunerasi yang Bersifat Variabel. (2) Otoritas Jasa Keuangan berwenang menunjuk pihak independen untuk melakukan kaji ulang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. Pasal 32 (1) Bank wajib menerapkan dan memantau pelaksanaan kebijakan Remunerasi sesuai dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini kepada jaringan kantor Bank di luar negeri. (2) Dalam hal ketentuan Remunerasi di negara tempat kedudukan jaringan kantor Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbeda dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, Bank wajib menerapkan kebijakan Remunerasi paling sedikit sesuai dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. (3) Otoritas Jasa Keuangan berwenang melakukan koordinasi dalam rangka home-host supervision untuk memastikan penerapan kebijakan Remunerasi. - 17 - BAB VIII SANKSI Pasal 33 Bank yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), Pasal 2 ayat (3), Pasal 3, Pasal 4 ayat (1), Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7 ayat (1), Pasal 7 ayat (2), Pasal 7 ayat (3), Pasal 7 ayat (4), Pasal 7 ayat (5), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 16 ayat (2), Pasal 20 ayat (1), Pasal 21 ayat (1), Pasal 22 ayat (1), Pasal 24, Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28 ayat (1), Pasal 28 ayat (3), Pasal 32 ayat (1), dan/atau Pasal 32 ayat (2), dikenakan sanksi administratif antara lain berupa: a. teguran tertulis; dan/atau b. penurunan peringkat faktor good corporate governance dalam penilaian tingkat kesehatan. BAB IX KETENTUAN PERALIHAN Pasal 34 Bagi Bank yang belum memiliki atau telah memiliki kebijakan Remunerasi namun belum sesuai dengan kebijakan Remunerasi sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini melakukan penyesuaian kebijakan Remunerasi dengan mengacu pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini berlaku. Pasal 35 Ketentuan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 mulai berlaku sejak tanggal: a. 1 Januari 2019, bagi Bank BUKU 3 dan BUKU 4; dan b. 1 Januari 2020, bagi Bank BUKU 1 dan BUKU 2. - 18 - BAB X KETENTUAN PENUTUP Pasal 36 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku: a. Pasal 62 ayat (2) huruf f dan huruf g, Pasal 62 ayat (3), serta Pasal 76 ayat (3) huruf d Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/33/PBI/2009 tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 175, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5085); dan b. Bagian G. Laporan Pelaksanaan Good Corporate Governance bagi Bank Umum Syariah angka 2 huruf l dan huruf m serta Bagian H. Laporan Pelaksanaan Good Corporate Governance bagi Unit Usaha Syariah angka 2 huruf d Surat Edaran Bank Indonesia No. 12/13/DPbS perihal Pelaksanaan Good Corporate Governance bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah, dinyatakan tidak berlaku. Pasal 37 Pengaturan komite Remunerasi dan nominasi sebagaimana dimaksud dalam: a. Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/33/PBI/2009 tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 175, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5085); dan b. Surat Edaran Bank Indonesia No. 12/13/DPbS perihal Pelaksanaan Good Corporate Governance bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah, dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. - 19 - Pasal 38 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal: a. 1 Januari 2018 bagi Bank BUKU 3 dan BUKU 4; dan b. 1 Januari 2019 bagi Bank BUKU 1 dan BUKU 2. - 20 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 18 Desember 2017 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd WIMBOH SANTOSO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 18 Desember 2017 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 278 Salinan ini sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 59 /POJK.03/2017 TENTANG PENERAPAN TATA KELOLA DALAM PEMBERIAN REMUNERASI BAGI BANK UMUM SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH I. UMUM Salah satu faktor yang berkontribusi terhadap terjadinya krisis ekonomi dunia tahun 2007 adalah pemberian bonus yang tinggi karena pencapaian target yang ditetapkan dengan mengabaikan risiko yang akan timbul di masa yang akan datang sehingga membahayakan kondisi keuangan Bank apabila Bank tidak mampu menyerap kerugian tersebut. Tindakan perbaikan untuk mengoreksi praktik pemberian bonus yang tidak sehat tersebut kemudian menjadi agenda dalam program reformasi sistem keuangan global dan pada tanggal 25 September 2009 Financial Stability Board menerbitkan Principles for Sound Compensation Practices. Program reformasi tersebut bertujuan untuk (i) mencegah timbulnya moral hazard dan mengedepankan unsur prudensial dalam pengelolaan Bank; (ii) menjaga kesehatan Bank secara individual; dan (iii) memitigasi adanya excessive risk taking yang dilakukan oleh para pengambil keputusan. Indonesia sebagai salah satu anggota G-20 berkomitmen untuk mengadopsi prinsip-prinsip tersebut dalam bentuk regulasi. Sejalan dengan penerapan Basel II khususnya Pilar 3 (Market Discipline), Bank dituntut mengungkapkan informasi yang lebih transparan kepada publik dan pelaku pasar khususnya terkait dengan Remunerasi untuk mendorong disiplin dan agar pemangku kepentingan dapat memberikan penilaian yang wajar. - 2 - Namun demikian, pengungkapan informasi ini dilakukan dengan tetap menjaga keunggulan bersaing Bank. Oleh karena itu, perlu diatur cakupan informasi baik yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif yang wajib diungkapkan sehingga kompetisi antar Bank tetap terjaga. Sistem Remunerasi berdasarkan prinsip syariah bertujuan untuk menciptakan lingkungan kerja yang kondusif dan produktif, serta untuk mengharapkan keselamatan dunia dan akhirat. Sehubungan dengan itu, perlu diatur mengenai penerapan tata kelola dalam pemberian Remunerasi bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah dalam suatu Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan “kecukupan dan penguatan permodalan Bank” adalah bahwa kebijakan Remunerasi dapat menjaga kelangsungan usaha Bank agar mampu hidup dan berkembang, serta mampu bersaing di pasar global dan di dalam peer group- nya. - 3 - Kecukupan permodalan Bank meliputi kecukupan permodalan dalam rangka pemenuhan regulatory capital maupun Internal Capital Adequacy Assessment Process (ICAAP). Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Yang dimaksud dengan “independen” adalah pelaksanaan tugas secara objektif serta bebas dari tekanan dan kepentingan pihak manapun. Pasal 9 Huruf a Yang dimaksud dengan “kinerja” adalah kinerja keuangan, kinerja Bank, kinerja unit bisnis, dan kinerja individu. Yang dimaksud dengan “cadangan” antara lain cadangan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Evaluasi terhadap kebijakan dan penerapan kebijakan Remunerasi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari ruang lingkup manajemen risiko Bank. - 4 - Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Tujuan Bank memperhatikan perbedaan (gap) Remunerasi antar tingkat jabatan yaitu untuk mengurangi potensi terjadinya konflik internal dan risiko operasional seperti fraud atau risiko operasional lain dalam menetapkan kebijakan pemberian Remunerasi yang Bersifat Tetap. Pasal 12 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “prudent risk taking” adalah pengambilan risiko dalam melakukan kegiatan usaha dilakukan secara terukur dan mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai manajemen risiko. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “risiko” meliputi risiko yang telah terjadi maupun risiko yang mungkin terjadi. Jenis-jenis risiko mengacu pada ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur mengenai penerapan manajemen risiko bagi bank umum syariah dan unit usaha syariah. Dalam menetapkan risiko yang dikaitkan dengan Remunerasi yang Bersifat Variabel, Bank memperhatikan risiko yang paling berpengaruh dalam kegiatan usaha sebagai risiko utama - 5 - mengacu pada ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur mengenai penilaian tingkat kesehatan bank umum syariah dan unit usaha syariah. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “saham” adalah berupa saham baru yang diterbitkan Bank atau saham Bank yang dibeli di bursa dengan menggunakan uang Bank. Ayat (2) Persentase pemberian Remunerasi dalam bentuk saham atau instrumen yang berbasis saham yang diterbitkan Bank dapat diberikan berbeda pada setiap tingkat jabatan dengan memperhatikan antara lain peran dan tanggung jawab yang bersangkutan dalam pengelolaan Bank. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Yang dimaksud dengan “kerugian” adalah Bank tidak memperoleh laba dalam tahun buku yang menjadi dasar perhitungan pemberian Remunerasi yang Bersifat Variabel. Bank tidak membagikan atau membagikan dengan nilai yang relatif kecil Remunerasi yang Bersifat Variabel karena Bank mengalami kerugian, didasarkan atas prinsip kehati-hatian dalam pemberian Remunerasi. Huruf a Cukup jelas. - 6 - Huruf b Yang dimaksud dengan “nilai yang relatif kecil” adalah pemberian Remunerasi yang Bersifat Variabel dengan nilai yang lebih kecil dibandingkan pada periode terakhir Bank memperoleh laba atau ditetapkan lebih kecil sesuai proporsi penurunan laba Bank. Pemberian Remunerasi yang Bersifat Variabel tersebut merupakan bentuk apresiasi bagi beberapa orang yang mempunyai kinerja atau prestasi yang layak diberikan Remunerasi yang Bersifat Variabel walaupun Bank mengalami kerugian. Pasal 19 Yang termasuk dalam unit pengawasan antara lain satuan kerja manajemen risiko, fungsi kepatuhan, dan satuan kerja audit intern. Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “disesuaikan dengan tingkat jabatan” adalah semakin tinggi jabatan, semakin besar persentase Remunerasi yang Bersifat Variabel yang ditangguhkan. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 23 Ayat (1) Penetapan jangka waktu paling singkat 3 (tiga) tahun telah memperhitungkan risiko yang akan terjadi. - 7 - Ayat (2) Contoh: Pegawai A termasuk kategori material risk takers telah memutuskan pembiayaan valuta asing dalam jumlah besar untuk pelunasan dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun. Bank menilai terdapat potensi risiko kegagalan pengembalian pembiayaan valuta asing karena penguatan nilai valuta asing. Oleh karena itu, pemberian Remunerasi Pegawai A dapat ditangguhkan oleh Bank lebih dari 3 (tiga) tahun misalnya 4 (empat) tahun. Pasal 24 Contoh: Pegawai A termasuk pihak yang menjadi material risk takers. Pada bulan Januari 2018, A telah diputuskan menerima bonus tahun 2017 sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Sesuai kebijakan Bank, pembayaran bonus dilakukan akhir bulan Januari 2018 dan persentase bonus yang ditangguhkan sebesar 60% (enam puluh persen). Pada akhir bulan Januari 2018, A menerima 40% (empat puluh persen) atau sebesar Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah). Sisanya sebesar 60% (enam puluh persen) atau sebesar Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) ditangguhkan selama 3 (tiga) tahun dan akan dibayarkan dalam 3 (tiga) tahun yaitu tahun 2018 (setelah bulan Januari), tahun 2019, dan tahun 2020 secara prorata, yaitu masing-masing Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) per tahun. Pasal 25 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “kondisi tertentu” antara lain Bank mengalami kerugian, terjadi risiko yang berdampak negatif terhadap keuangan Bank, atau terjadi fraud yang dilakukan oleh pihak yang menjadi material risk takers yang merugikan Bank. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. - 8 - Pasal 26 Contoh lindung nilai antara lain mengasuransikan Remunerasi yang Bersifat Variabel yang ditangguhkan. Pasal 27 Yang dimaksud dengan “prinsip syariah” adalah prinsip syariah yang berlaku umum dalam muamalah, antara lain: a. bersikap adil (‘adalah) yaitu pemberian Remunerasi harus mempertimbangkan kewajaran dengan harga pasar di industri yang sama (peer group) dan sesuai dengan kompetensi dan kinerja Pegawai; b. saling rida (antaradimminkum) yaitu pemberian Remunerasi harus tertuang ke dalam sebuah kontrak kerja yang juga menganut asas konsensus (kesepakatan bersama di awal); c. dapat dipercaya (amanah) yaitu pemberian Remunerasi harus didasari kesadaran bersama bahwa bekerja merupakan bagian dari mengejar rida Allah sehingga timbul kepercayaan satu sama lain; dan d. memperhatikan beban kerja dan risiko (al ghunmu bil ghurmi) yaitu pemberian Remunerasi harus mempertimbangkan beban kerja yang diberikan kepada Pegawai, disertai dengan potensi risiko yang dihadapi pada pekerjaan yang dilakukan. Pasal 28 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. - 9 - Huruf f Angka 1) Kebijakan mengenai Remunerasi yang Bersifat Variabel yang ditangguhkan antara lain: a) kebijakan pembayaran (vesting) atas penangguhan yang dilakukan antara lain jangka waktu pembayaran; dan b) pengungkapan faktor yang menentukan perbedaan Remunerasi yang Bersifat Variabel yang ditangguhkan diantara Pegawai atau kelompok Pegawai, apabila ada. Angka 2) Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Angka 1) Yang dimaksud dengan “bentuk Remunerasi yang Bersifat Variabel” adalah tunai dan/atau saham atau instrumen berbasis saham yang diterbitkan Bank. Angka 2) Perbedaan dalam pemberian Remunerasi yang Bersifat Variabel dapat berupa perbedaan komposisi dalam bentuk tunai dan/atau saham atau instrumen yang berbasis saham yang diterbitkan Bank maupun persentase besaran Remunerasi yang Bersifat Variabel. Huruf k Cukup jelas. Huruf l Cukup jelas. Huruf m Yang dimaksud dengan “shares option” adalah opsi untuk membeli saham oleh anggota Direksi, anggota Dewan - 10 - Komisaris, anggota DPS, dan/atau pejabat eksekutif yang dilakukan melalui penawaran saham atau penawaran opsi saham dalam rangka pemberian kompensasi yang diberikan kepada anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, anggota DPS, dan/atau pejabat eksekutif, dan yang telah diputuskan dalam rapat umum pemegang saham dan/atau anggaran dasar Bank. Pengungkapan mengenai shares option paling sedikit mencakup: 1. kebijakan dalam pemberian shares option; 2. jumlah saham yang telah dimiliki masing-masing anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, anggota DPS, dan pejabat eksekutif sebelum diberikan shares option; 3. jumlah shares option yang diberikan; 4. jumlah shares option yang telah dieksekusi sampai dengan akhir masa pelaporan; 5. harga opsi yang diberikan; dan 6. jangka waktu berlakunya eksekusi shares option. Huruf n Yang dimaksud dengan “rasio gaji tertinggi dan terendah” mencakup: 1. rasio gaji Direksi yang tertinggi dan terendah; 2. rasio gaji Dewan Komisaris yang tertinggi dan terendah; 3. rasio gaji DPS yang tertinggi dan terendah; 4. rasio gaji pegawai yang tertinggi dan terendah; dan 5. rasio gaji Direksi tertinggi dan pegawai tertinggi. Yang dimaksud dengan “gaji” yaitu hak anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, anggota DPS, dan pegawai yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari Bank kepada anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, anggota DPS, dan pegawai yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, anggota - 11 - DPS, dan pegawai beserta keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah dilakukan. Gaji yang diperbandingkan dalam rasio gaji adalah imbalan yang diterima oleh Direksi, Dewan Komisaris, DPS, dan pegawai per bulan. Pegawai dalam hal ini adalah pegawai tetap Bank sampai dengan tingkat pegawai pelaksana. Huruf o Cukup jelas. Huruf p Yang dimaksud dengan “pemutusan hubungan kerja” yaitu pemutusan hubungan kerja yang terjadi bukan karena permintaan dari Direksi, Dewan Komisaris, DPS, dan/atau Pegawai namun karena kebijakan Bank seperti penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau perampingan struktur organisasi Bank. Tidak termasuk dalam pengertian pemutusan hubungan kerja yaitu pemutusan hubungan kerja yang disebabkan karena pelanggaran ketentuan atau fraud. Huruf q Cukup jelas. Huruf r Cukup jelas. Huruf s Cukup jelas. Huruf t Penyesuaian implisit merupakan penyesuaian yang terjadi dikarenakan faktor di luar kekuasaan Bank seperti pergerakan harga saham, sedangkan penyesuaian eksplisit merupakan penyesuaian yang secara langsung dipengaruhi oleh Bank seperti pengurangan pembayaran Remunerasi karena tidak tercapainya target tertentu. Ayat (3) Cukup jelas. - 12 - Pasal 29 Ayat (1) Penyajian dalam bentuk tabel atau grafik dan/atau perbandingan dengan periode laporan 1 (satu) tahun sebelumnya dimaksudkan antara lain untuk mengetahui tren perkembangan yang terjadi dan untuk meningkatkan kejelasan informasi. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 30 Ayat (1) Pengawasan atas implementasi kebijakan Remunerasi Bank dilakukan antara lain dalam ruang lingkup manajemen risiko Bank. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 31 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “kondisi tertentu” antara lain Bank dalam pengawasan khusus atau Bank dalam pengawasan intensif sesuai dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai penetapan status dan tindak lanjut pengawasan bank umum. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 32 Cukup jelas. Pasal 33 Cukup jelas. Pasal 34 Cukup jelas. - 13 - Pasal 35 Cukup jelas. Pasal 36 Cukup jelas. Pasal 37 Cukup jelas. Pasal 38 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6148 "," POJK 59/POJK.03/2017 PENERAPAN TATA KELOLA DALAM PEMBERIAN REMUNERASI BAGI BANK UMUM SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH 18 Desember 2017 1 Januari 2018, 1 Januari 2019 18 Desember 2017 '11/33/PBI/2009', '12/13/DPbS|SE-BI' '21/UU/2008', '21/UU/2011' 'BAB VIII' " " - 2 - OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 12 /POJK.03/2016 TENTANG KEGIATAN USAHA DAN WILAYAH JARINGAN KANTOR BANK PERKREDITAN RAKYAT BERDASARKAN MODAL INTI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia secara optimal dan berkesinambungan, perlu meningkatkan ketahanan dan daya saing industri perbankan nasional; b. bahwa untuk meningkatkan peran dan kontribusi industri Bank Perkreditan Rakyat terhadap ekonomi daerah sesuai dengan kapasitas permodalan Bank Perkreditan Rakyat, perlu dilakukan penataan cakupan kegiatan usaha dan wilayah jaringan kantor Bank Perkreditan Rakyat berdasarkan modal inti; c. berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Kegiatan Usaha dan Wilayah Jaringan Kantor Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Modal Inti; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara - 2 - Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); 3. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 20/POJK.03/2014 tentang Bank Perkreditan Rakyat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 351, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5629); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG KEGIATAN USAHA DAN WILAYAH JARINGAN KANTOR BANK PERKREDITAN RAKYAT BERDASARKAN MODAL INTI. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Bank Perkreditan Rakyat, yang selanjutnya disingkat BPR, adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998. - 3 - 2. Modal Inti adalah modal inti sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai kewajiban penyediaan modal minimum dan pemenuhan modal inti minimum BPR. 3. Kegiatan Usaha adalah kegiatan usaha BPR sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 dan kegiatan lainnya untuk mendukung kegiatan usaha BPR, yang mencakup produk dan aktivitas BPR. 4. BPR berdasarkan Kegiatan Usaha, yang selanjutnya disingkat BPRKU, adalah pengelompokan BPR berdasarkan Kegiatan Usaha BPR yang disesuaikan dengan Modal Inti yang dimiliki. 5. Jaringan Kantor adalah kantor BPR yang meliputi kantor cabang, kantor kas, kegiatan pelayanan kas, dan perangkat perbankan elektronis sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai BPR. 6. Pembukaan Jaringan Kantor adalah pembukaan Jaringan Kantor BPR termasuk pembukaan kantor yang berasal dari pemindahan alamat atau perubahan status kantor BPR. 7. Rencana Bisnis adalah dokumen tertulis yang menggambarkan rencana kegiatan BPR jangka pendek (satu tahun) dan jangka menengah (tiga tahun) termasuk rencana untuk meningkatkan kinerja usaha, serta strategi untuk merealisasikan rencana tersebut sesuai dengan target dan waktu yang ditetapkan, dengan tetap memperhatikan pemenuhan ketentuan kehati-hatian dan penerapan manajemen risiko. - 4 - 8. Uang Elektronik adalah uang elektronik sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai uang elektronik. 9. Electronic Banking adalah kegiatan BPR yang menggunakan sarana elektronik antara lain berupa phone banking, SMS banking, mobile banking, dan internet banking. 10. Kartu Automated Teller Machine (ATM) adalah alat pembayaran menggunakan kartu yang dapat digunakan untuk melakukan penarikan tunai dan/atau pemindahan dana dimana kewajiban pemegang kartu dipenuhi seketika dengan mengurangi secara langsung simpanan pemegang kartu pada BPR sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai alat pembayaran dengan menggunakan kartu. 11. Kartu Debet adalah alat pembayaran dengan menggunakan kartu yang dapat digunakan untuk melakukan pembayaran atas kewajiban yang timbul dari suatu kegiatan ekonomi, termasuk transaksi pembelanjaan, dimana kewajiban pemegang kartu dipenuhi seketika dengan mengurangi secara langsung simpanan pemegang kartu pada BPR sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai alat pembayaran dengan menggunakan kartu. Pasal 2 BPR hanya dapat melakukan Kegiatan Usaha dan Pembukaan Jaringan Kantor dalam cakupan wilayah sesuai dengan Modal Inti. Pasal 3 Berdasarkan Modal Inti, BPR dikelompokkan menjadi 3 (tiga) BPRKU, yaitu: a. BPRKU 1 adalah BPR dengan Modal Inti kurang dari Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah); - 5 - b. BPRKU 2 adalah BPR dengan Modal Inti paling sedikit Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah) sampai dengan kurang dari Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah); dan c. BPRKU 3 adalah BPR dengan Modal Inti paling sedikit Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah). BAB II KEGIATAN USAHA BPR Pasal 4 Kegiatan Usaha yang dapat dilakukan BPR adalah: a. penghimpunan dana dalam bentuk: 1) simpanan berupa deposito berjangka, tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu; 2) pinjaman yang diterima; b. penyaluran dana; c. penempatan dana dalam bentuk: 1) giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, dan/atau tabungan pada bank umum dan bank umum syariah; 2) deposito berjangka, dan/atau tabungan pada BPR dan bank pembiayaan rakyat syariah; 3) Sertifikat Bank Indonesia; d. kegiatan usaha penukaran valuta asing; e. kegiatan lainnya untuk mendukung kegiatan usaha BPR dalam bentuk: 1) kegiatan sebagai penyelenggara dan agen layanan keuangan tanpa kantor dalam rangka keuangan inklusif (Laku Pandai); 2) penyediaan layanan Electronic Banking; 3) layanan pembayaran gaji bagi nasabah BPR; - 6 - 4) kegiatan kerjasama dalam rangka transfer dana yang terbatas pada penerimaan atas pengiriman uang dari luar negeri; 5) kegiatan sebagai penerbit Kartu ATM, 6) kegiatan sebagai penerbit Kartu Debet, 7) kegiatan sebagai penerbit Uang Elektronik dan kegiatan pemasaran Uang Elektronik dari penerbit lain; 8) pemindahan dana baik untuk kepentingan sendiri maupun kepentingan nasabah melalui rekening BPR di bank umum; 9) kegiatan kerja sama dengan perusahaan asuransi untuk mereferensikan produk asuransi kepada nasabah yang terkait dengan produk BPR; dan 10) menerima titipan dana dalam rangka pelayanan jasa pembayaran tagihan seperti pembayaran tagihan listrik, telepon, air, dan pajak. Pasal 5 (1) BPR wajib melakukan Kegiatan Usaha sesuai dengan kelompok BPRKU. (2) Kegiatan Usaha BPR sesuai dengan kelompok BPRKU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk: a. BPRKU 1: 1) penghimpunan dana dalam bentuk: a) simpanan berupa deposito berjangka, tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu; dan b) pinjaman yang diterima; 2) penyaluran dana; 3) penempatan dana dalam bentuk: a) giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, dan/atau tabungan pada bank umum dan bank umum syariah; - 7 - b) deposito berjangka, dan/atau tabungan pada BPR dan bank pembiayaan rakyat syariah; dan c) Sertifikat Bank Indonesia; 4) kegiatan lainnya untuk mendukung kegiatan usaha BPR dalam bentuk: a) kegiatan agen layanan keuangan tanpa kantor dalam rangka keuangan inklusif (Laku Pandai); b) layanan pembayaran gaji bagi nasabah BPR; c) kegiatan kerjasama dalam rangka transfer dana yang terbatas pada penerimaan atas pengiriman uang dari luar negeri; d) kegiatan pemasaran Uang Elektronik dari penerbit lain; e) pemindahan dana baik untuk kepentingan kepentingan nasabah melalui rekening BPR di bank umum; f) kegiatan kerja sama dengan perusahaan asuransi untuk mereferensikan produk asuransi kepada nasabah yang terkait dengan produk BPR; g) menerima titipan dana dalam rangka pelayanan jasa pembayaran tagihan seperti pembayaran tagihan listrik, telepon, air, dan pajak; dan h) kegiatan sebagai penerbit Kartu ATM, bagi BPRKU 1 yang memiliki modal inti minimum sebesar Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah). sendiri maupun - 8 - b. BPRKU 2: 1) Kegiatan Usaha yang dapat dilakukan oleh BPRKU 1; 2) kegiatan usaha penukaran valuta asing; dan 3) kegiatan lainnya untuk mendukung kegiatan usaha BPR dalam bentuk: a) kegiatan sebagai penerbit Kartu Debet; dan b) kegiatan Elektronik. c. BPRKU 3: 1) Kegiatan Usaha yang dapat dilakukan oleh BPRKU 2; dan 2) kegiatan lainnya untuk mendukung kegiatan usaha BPR dalam bentuk: a) penyediaan layanan Electronic Banking; dan b) kegiatan sebagai penyelenggara layanan keuangan tanpa kantor dalam rangka keuangan inklusif (Laku Pandai). Pasal 6 (1) Kegiatan Usaha BPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 berupa: a. penghimpunan dana dalam bentuk lainnya yang dipersamakan dengan bentuk simpanan berupa deposito berjangka dan/atau tabungan; b. kegiatan usaha penukaran valuta asing; c. kegiatan sebagai penyelenggara layanan keuangan tanpa kantor dalam rangka keuangan inklusif (Laku Pandai); d. penyediaan layanan Electronic Banking; e. kegiatan kerjasama dalam rangka transfer dana yang terbatas pada penerimaan atas pengiriman uang dari luar negeri; f. kegiatan sebagai penerbit Kartu ATM; sebagai penerbit Uang - 9 - g. kegiatan sebagai penerbit Kartu Debet; dan h. kegiatan sebagai penerbit Uang Elektronik, wajib memperoleh izin dan/atau persetujuan terlebih dahulu dari Otoritas Jasa Keuangan dan/atau Bank Indonesia, sesuai dengan tugas dan wewenang yang dimiliki oleh masing-masing lembaga. (2) Kegiatan Usaha BPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 berupa: a. kegiatan agen layanan keuangan tanpa kantor dalam rangka keuangan inklusif (Laku Pandai); b. layanan pembayaran gaji bagi nasabah BPR; c. kegiatan pemasaran Uang Elektronik dari penerbit lain; d. pemindahan dana baik untuk kepentingan sendiri maupun kepentingan nasabah melalui rekening BPR di bank umum; e. kegiatan kerja sama dengan perusahaan asuransi untuk mereferensikan produk asuransi kepada nasabah yang terkait dengan produk BPR; dan f. menerima titipan dana dalam rangka pelayanan jasa pembayaran tagihan seperti pembayaran tagihan listrik, telepon, air, dan pajak, wajib dilaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 7 Kegiatan Usaha BPR merupakan suatu Kegiatan Usaha baru atau kegiatan pendukung usaha baru dalam hal memenuhi kriteria: a. tidak pernah dilaksanakan sebelumnya oleh BPR yang bersangkutan; atau b. telah dilaksanakan sebelumnya oleh BPR yang bersangkutan, namun dilakukan pengembangan yang mengubah risiko tertentu atau seluruh risiko BPR yang bersangkutan. - 10 - Pasal 8 (1) Untuk memperoleh persetujuan Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), BPR mengajukan permohonan rencana pelaksanaan Kegiatan Usaha baru dengan memenuhi persyaratan: a. rencana pelaksanaan Kegiatan Usaha baru telah dicantumkan dalam Rencana Bisnis; b. tingkat kesehatan tergolong sehat selama 12 (dua belas) bulan terakhir; c. memiliki rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) paling sedikit 12% (dua belas persen) selama 6 (enam) bulan terakhir; d. memiliki rasio Non Performing Loan (NPL) gross paling tinggi 5% (lima persen) selama 6 (enam) bulan terakhir; e. tidak dalam keadaaan rugi baik tahun lalu maupun tahun berjalan; f. memiliki teknologi informasi yang memadai; g. memenuhi kesiapan operasional berupa kelengkapan organisasi dan sumber daya manusia dengan kompetensi yang memadai mengenai teknologi informasi serta layanan dan pengaduan nasabah; h. menerapkan manajemen risiko paling sedikit untuk risiko kredit, risiko operasional, risiko kepatuhan, dan risiko likuiditas sebagaimana diatur dalam ketentuan yang mengatur mengenai penerapan manajemen risiko bagi BPR; dan i. tidak terdapat pelanggaran ketentuan terkait dengan BPR. (2) Pengajuan permohonan rencana pelaksanaan Kegiatan Usaha baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilengkapi dengan dokumen paling sedikit memuat informasi dan penjelasan mengenai: a. jenis dan deskripsi umum Kegiatan Usaha baru; b. waktu pelaksanaan Kegiatan Usaha baru; - 11 - c. tujuan Kegiatan Usaha baru; d. keterkaitan Kegiatan Usaha baru dengan strategi bisnis BPR; e. f. risiko atas pelaksanaan Kegiatan Usaha baru; dan mitigasi risiko atas pelaksanaan Kegiatan Usaha baru. Pasal 9 (1) Otoritas Jasa Keuangan memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan rencana pelaksanaan Kegiatan Usaha paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak permohonan berikut dokumen yang dipersyaratkan diterima secara lengkap. (2) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan melakukan: a. penelitian pemenuhan persyaratan; dan b. penelitian atas kelengkapan dokumen. Pasal 10 (1) BPR yang melaksanakan Kegiatan Usaha baru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) harus menyampaikan laporan pelaksanaan Kegiatan Usaha baru dengan melampirkan dokumen pendukung paling sedikit memuat informasi dan penjelasan mengenai: a. jenis dan deskripsi umum Kegiatan Usaha baru; b. waktu pelaksanaan Kegiatan Usaha baru; c. tujuan Kegiatan Usaha baru; dan d. keterkaitan Kegiatan Usaha baru dengan strategi bisnis BPR. (2) Laporan pelaksanaan Kegiatan Usaha baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal pelaksanaan kegiatan. - 12 - (3) Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan menemukan penyimpangan atas pelaksanaan Kegiatan Usaha baru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), Otoritas Jasa Keuangan berwenang meminta kepada BPR untuk melakukan penyesuaian atau penghentian terhadap pelaksanaan Kegiatan Usaha tersebut. BAB III WILAYAH JARINGAN KANTOR BPR Pasal 11 (1) BPR wajib memperoleh izin dari Otoritas Jasa Keuangan untuk melakukan pembukaan kantor cabang. (2) Mekanisme pemberian izin pembukaan kantor cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai BPR. Pasal 12 (1) BPR wajib menyampaikan laporan rencana pembukaan kantor kas untuk memperoleh penegasan dari Otoritas Jasa Keuangan. (2) Mekanisme pelaporan rencana pembukaan kantor kas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai BPR. Pasal 13 (1) BPRKU 1 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a hanya dapat melakukan Pembukaan Jaringan Kantor BPR dalam 1 (satu) wilayah kabupaten atau kota yang sama dengan kabupaten atau kota lokasi kantor pusat BPR. (2) BPRKU 1 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat memiliki Jaringan Kantor BPR berupa kantor cabang paling banyak 20 (dua puluh) kantor. (3) Khusus bagi BPRKU 1 yang telah memenuhi Modal Inti paling sedikit Rp6.000.000.000,00 (enam miliar - 13 - rupiah) dapat melakukan Pembukaan Jaringan Kantor BPR di kabupaten atau kota yang sama dengan lokasi kantor pusat BPR dan/atau kabupaten atau kota yang berbatasan langsung dengan kabupaten atau kota lokasi kantor pusat BPR, dalam 1 (satu) wilayah provinsi yang sama. (4) Jaringan Kantor BPR berupa kantor cabang yang dapat dimiliki oleh BPRKU 1 sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling banyak 30 (tiga puluh) kantor. Pasal 14 (1) BPRKU 2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b hanya dapat melakukan Pembukaan Jaringan Kantor BPR di kabupaten atau kota yang sama dengan lokasi kantor pusat BPR dan/atau kabupaten atau kota yang berbatasan langsung dengan kabupaten atau kota lokasi kantor pusat BPR, dalam 1 (satu) wilayah provinsi yang sama. (2) Jaringan Kantor BPR berupa kantor cabang yang dapat dimiliki oleh BPRKU 2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling banyak 40 (empat puluh) kantor. Pasal 15 (1) BPRKU 3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c dapat melakukan Pembukaan Jaringan Kantor BPR di provinsi lokasi kantor pusat BPR dan di kabupaten atau kota pada provinsi lain yang berbatasan langsung dengan provinsi lokasi kantor pusat BPR. (2) Jaringan Kantor BPR berupa kantor cabang yang dapat dibuka oleh BPRKU 3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling banyak 70 (tujuh puluh) kantor. (3) Kantor cabang BPRKU 3 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang dapat dibuka di provinsi lain paling banyak 20% (dua puluh persen) dari jumlah kantor cabang yang dimiliki oleh BPRKU 3. - 14 - Pasal 16 (1) Wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Kabupaten atau Kota Bogor, Kota Depok, Kabupaten atau Kota Tangerang, Kota Tangerang Selatan, dan Kabupaten atau Kota Bekasi dikelompokkan berdasarkan wilayah pemerintahan: a. seluruh kota di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta dan Kabupaten Kepulauan Seribu merupakan wilayah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta; b. Kabupaten atau Kota Bogor, Kota Depok, dan Kabupaten atau Kota Bekasi merupakan bagian dari Provinsi Jawa Barat; dan c. Kabupaten atau Kota Tangerang, dan Kota Tangerang Selatan merupakan bagian dari Provinsi Banten. (2) BPR yang berada dalam wilayah provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat melakukan Pembukaan Jaringan Kantor dengan batasan wilayah yang mengacu pada Pasal 13, Pasal 14, dan Pasal 15. Pasal 17 Pemindahan alamat terhadap Jaringan Kantor BPRKU 1 dan BPRKU 2 yang telah ada sebelum Peraturan ini berlaku dapat dilakukan pada: a. kabupaten atau kota yang sama dengan Jaringan Kantor yang melakukan pemindahan alamat; atau b. dalam batas wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan Pasal 14. Pasal 18 BPR hanya dapat melakukan pembukaan kantor kas dalam wilayah kabupaten atau kota yang sama dengan kabupaten atau kota lokasi kantor induk dari kantor kas sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai BPR. - 15 - Pasal 19 (1) Dalam hal terjadi pemekaran wilayah yang menyebabkan kantor cabang dan kantor pusat BPR berada di wilayah provinsi yang berbeda, Jaringan Kantor BPR tetap dapat beroperasi di wilayah semula, kecuali BPR mengalami perubahan kelompok BPRKU yang lebih rendah yang mengakibatkan penyesuaian terhadap wilayah Jaringan Kantor. (2) Pembukaan Jaringan Kantor BPR yang dilakukan setelah terjadi pemekaran wilayah mengacu pada batasan wilayah sebagaimana diatur dalam Pasal 13, Pasal 14, dan Pasal 15. BAB IV KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 20 (1) Dalam hal Modal Inti BPR mengalami peningkatan selama 6 (enam) bulan berturut-turut sehingga memenuhi persyaratan Modal Inti BPRKU yang lebih tinggi, BPR dikelompokkan dalam BPRKU yang lebih tinggi. (2) BPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat melakukan Kegiatan Usaha dan/atau Pembukaan Jaringan Kantor sesuai dengan jenis Kegiatan Usaha dan wilayah Jaringan Kantor BPRKU yang lebih tinggi jika memenuhi persyaratan untuk melaksanakan Kegiatan Usaha dan/atau Pembukaan Jaringan Kantor BPR. Pasal 21 (1) Dalam hal Modal Inti BPR mengalami penurunan selama 6 (enam) bulan berturut-turut sehingga tidak memenuhi persyaratan jumlah Modal Inti pada BPRKU semula, BPR dikelompokkan dalam BPRKU yang lebih rendah. - 16 - (2) BPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang telah melakukan Kegiatan Usaha dan/atau Pembukaan Jaringan Kantor sesuai BPRKU semula, wajib menyampaikan rencana tindak (action plan) kepada Otoritas Jasa Keuangan dalam rangka pemenuhan persyaratan jumlah Modal Inti pada BPRKU semula, paling lambat pada bulan ke-8 sejak terjadinya penurunan Modal Inti. (3) BPR wajib memperoleh persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan atas rencana tindak (action plan) sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (4) BPR wajib melaksanakan penyelesaian rencana tindak (action plan) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lama 1 (satu) tahun sejak persetujuan Otoritas Jasa Keuangan. (5) Dalam hal BPR tidak dapat menyelesaikan rencana tindak (action plan) sebagaimana dimaksud pada ayat (4), BPR wajib menyesuaikan seluruh Kegiatan Usaha dan/atau wilayah Jaringan Kantor dengan kegiatan BPRKU sesuai tingkat yang lebih rendah dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun. (6) Selama jangka waktu penyesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (5), BPR wajib segera menghentikan penawaran, penjualan dan/atau perjanjian atau transaksi baru atas Kegiatan Usaha yang diperkenankan untuk dilakukan oleh BPRKU sebelum mengalami penurunan Modal Inti. Pasal 22 Otoritas Jasa Keuangan berwenang menetapkan jumlah kantor cabang individual BPR yang berbeda dengan jumlah sebagaimana diatur dalam Pasal 13, Pasal 14, dan Pasal 15 berdasarkan pertimbangan tertentu. - 17 - BAB V SANKSI Pasal 23 BPR yang melanggar ketentuan sebagaimana dalam Pasal 5 ayat (1), Pasal 6, Pasal 11 ayat (1), Pasal 12 ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 ayat (1) atau Pasal 28 ayat (2) masing-masing dikenakan sanksi kewajiban membayar berupa denda sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) dan sanksi administratif lain berupa: a. teguran tertulis; b. penurunan peringkat tingkat kesehatan BPR; c. larangan pembukaan Jaringan Kantor; d. penghentian sementara sebagian kegiatan usaha BPR; dan/atau e. pencantuman pengurus BPR dalam daftar pihak-pihak yang memperoleh predikat tidak lulus melalui mekanisme uji kemampuan dan kepatutan. Pasal 24 BPR yang melanggar ketentuan dalam Pasal 10 ayat (2), Pasal 21 ayat (2) atau Pasal 29 ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis dan kewajiban membayar sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per hari kerja keterlambatan dengan jumlah paling banyak sebesar Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah). Pasal 25 BPR yang melanggar ketentuan dalam Pasal 21 ayat (3), Pasal 21 ayat (4), Pasal 21 ayat (5), Pasal 21 ayat (6) atau Pasal 29 ayat (2) dikenakan sanksi administratif berupa: a. teguran tertulis; b. penurunan peringkat tingkat kesehatan BPR; c. larangan pembukaan Jaringan Kantor; dan/atau d. penghentian sementara sebagian kegiatan usaha BPR. - 18 - BAB VI KETENTUAN PERALIHAN Pasal 26 Penentuan BPR dalam kelompok BPRKU untuk pertama kali didasarkan pada posisi Modal Inti BPR pada akhir bulan Desember 2015. Pasal 27 (1) Bagi BPR yang sebelum berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini telah melakukan Kegiatan Usaha yang tidak sesuai dengan kelompok BPRKU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 wajib meningkatkan Modal Inti agar sesuai dengan Modal Inti kelompok BPRKU yang seharusnya paling lambat 3 (tiga) tahun sejak berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. (2) Selama jangka waktu pemenuhan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), BPR dilarang melakukan penawaran, penjualan dan/atau transaksi baru serta perpanjangan atas Kegiatan Usaha yang tidak sesuai dengan kelompok BPRKU yang bersangkutan. Pasal 28 (1) Bagi BPR yang telah melakukan Kegiatan Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) sebelum berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini namun belum memperoleh izin dan/atau persetujuan terlebih dahulu dari Otoritas Jasa Keuangan, wajib mengajukan permohonan izin kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 6 (enam) bulan sejak berlakunya POJK ini. (2) Bagi BPR yang telah melakukan Kegiatan Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) sebelum berlakunya Peraturan Otoritas Jasa - 19 - Keuangan ini namun belum menyampaikan laporan Kegiatan Usaha kepada Otoritas Jasa Keuangan, wajib menyampaikan laporan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 6 (enam) bulan sejak berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 29 (1) Dalam rangka memenuhi kewajiban sesuai jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1), BPR wajib menyampaikan rencana tindak (action plan) kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 6 (enam) bulan sejak Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini diberlakukan. (2) BPR wajib memperoleh persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan atas rencana tindak (action plan) sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 30 Jaringan Kantor BPR yang pada saat berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini berlokasi di luar wilayah yang diperkenankan menurut BPRKU tetap dapat beroperasi tanpa harus menyesuaikan wilayah Jaringan Kantor BPR, kecuali BPR mengalami penurunan kelompok BPRKU yang lebih rendah. Pasal 31 Permohonan Pembukaan Jaringan Kantor BPR yang telah diajukan sebelum berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dan belum memperoleh izin, diproses berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 20/POJK.03/2014 tentang Bank Perkreditan Rakyat. - 20 - BAB VIII KETENTUAN PENUTUP Pasal 32 Ketentuan lebih lanjut dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini diatur dengan Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 33 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku: a. ketentuan mengenai batasan wilayah pembukaan kantor dalam wilayah provinsi yang sama dengan provinsi kantor pusat BPR sebagaimana diatur dalam Pasal 37 ayat (1) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 20/POJK.03/2014 tentang Bank Perkreditan Rakyat; b. ketentuan mengenai wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Kabupaten atau Kota Bogor, Kota Depok, Kabupaten atau Kota Tangerang, Kota Tangerang Selatan, dan Kabupaten atau Kota Bekasi yang dinyatakan sebagai satu wilayah provinsi untuk keperluan perizinan pembukaan Kantor Cabang sebagaimana diatur dalam Pasal 37 ayat (2) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 20/POJK.03/2014 tentang Bank Perkreditan Rakyat; c. ketentuan mengenai kewajiban BPR untuk menutup atau memindahkan kantor cabang BPR atau memindahkan kantor pusat BPR, ke dalam provinsi yang sama dalam hal terjadi pemekaran wilayah yang menyebabkan kantor cabang dan kantor pusat BPR berada dalam wilayah provinsi yang berbeda sebagaimana diatur dalam Pasal 37 ayat (4) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 20/POJK.03/2014 tentang Bank Perkreditan Rakyat; - 21 - d. ketentuan mengenai persyaratan bagi BPR yang mengajukan permohonan persetujuan kegiatan layanan dengan menggunakan kartu ATM dan/atau kartu Debet sebagaimana diatur dalam Pasal 50 ayat (2) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 20/POJK.03/2014 tentang Bank Perkreditan Rakyat; dan e. ketentuan mengenai pengenaan sanksi yang terkait dengan izin pembukaan kantor cabang sebagaimana diatur dalam Pasal 84 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 20/POJK.03/2014 tentang Bank Perkreditan Rakyat, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 34 Dalam hal BPR telah memiliki peringkat profil risiko, tingkat risiko operasional dan risiko kepatuhan sesuai ketentuan yang mengatur mengenai penerapan manajemen risiko bagi BPR, ketentuan yang mengatur mengenai persyaratan bank penyelenggara Laku Pandai bagi BPR sebagaimana diatur dalam Pasal 12 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 19/POJK.03/2014 tentang Layanan Keuangan Tanpa Kantor dalam rangka Keuangan Inklusif (Laku Pandai) dinyatakan tidak berlaku bagi BPR. Pasal 35 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada saat diundangkan. - 22 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 9 Februari 2016 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 17 Februari 2016 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 34 Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana - 2 - PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 12 /POJK.03/2016 TENTANG KEGIATAN USAHA DAN WILAYAH JARINGAN KANTOR BANK PERKREDITAN RAKYAT BERDASARKAN MODAL INTI I. UMUM Dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi regional dan peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal, diperlukan peran dan kontribusi BPR yang lebih besar dalam memberikan layanan perbankan di seluruh penjuru wilayah, terutama di remote area. Agar dapat berkontribusi lebih besar, diperlukan upaya untuk mendorong penguatan permodalan BPR, sehingga dapat berkinerja secara lebih produktif, dan memenuhi perubahan kebutuhan dan tuntutan masyarakat akan produk dan layanan yang berkualitas. Untuk dapat mencapai tujuan tersebut, perlu dilakukan penataan cakupan kegiatan usaha dan wilayah jaringan kantor BPR berdasarkan modal inti. Penataan industri BPR menurut kapasitas permodalan tersebut dilakukan agar BPR dapat fokus pada kegiatan usaha dan penyediaan produk dan layanan yang disesuaikan dengan kemampuan permodalan dan pengelolaan risiko, sehingga setiap BPR dapat berkembang dan berperan optimal menurut kelompok permodalannya. Upaya mendorong penguatan permodalan BPR juga ditujukan untuk meningkatkan daya saing BPR melalui perbaikan kualitas sumber daya manusia, kelengkapan infrastruktur, teknologi informasi, dan ketersediaan sarana dan prasarana yang mendukung peningkatan kualitas layanan BPR. - 2 - Selain menyangkut jenis kegiatan usaha yang dapat disediakan oleh BPR berdasarkan kapasitas permodalan, batasan wilayah jaringan kantor BPR juga perlu disesuaikan dengan kemampuan BPR dalam menjalankan fungsi intermediasi dalam wilayah tertentu. Dengan berlakunya POJK ini, masing-masing BPR dapat memposisikan pada kelompoknya yang diperhitungkan berdasarkan jumlah modal inti. Semakin tinggi strata BPR, semakin beragam jenis kegiatan usaha dan kegiatan lainnya yang mendukung operasional BPR, serta semakin luas jangkauan wilayah Pembukaan Jaringan Kantor BPR. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Pembagian Kegiatan Usaha dan pembatasan wilayah Pembukaan Jaringan Kantor BPR ditetapkan menurut kemampuan Modal Inti BPR agar BPR dapat melayani masyarakat sesuai dengan kapasitas permodalan dan kemampuan pengelolaan risiko serta mendorong upaya penguatan BPR guna meningkatkan daya saing BPR. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. - 3 - Huruf d Kegiatan usaha penukaran valuta asing dilakukan oleh pedagang valuta asing bank sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai pedagang valuta asing. Huruf e Angka 1) Pelaksanaan kegiatan sebagai penyelenggara dan agen layanan keuangan tanpa kantor dalam rangka keuangan inklusif (Laku Pandai) mengacu pada ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur mengenai layanan keuangan tanpa kantor dalam rangka keuangan inklusif (Laku Pandai). Angka 2) Termasuk dalam cakupan Electronic Banking antara lain berupa: a. phone banking yaitu layanan untuk bertransaksi perbankan melalui telepon dengan menghubungi nomor layanan BPR; b. SMS banking yaitu layanan informasi atau transaksi perbankan yang dapat diakses langsung melalui telepon seluler dengan menggunakan media Short Message Service (SMS); c. mobile banking yaitu layanan untuk melakukan transaksi perbankan melalui telepon seluler; dan d. internet banking yaitu layanan untuk melakukan transaksi perbankan melalui jaringan internet bagi BPR yang menjadi bank penyelenggara Laku Pandai. Angka 3) Cukup jelas. Angka 4) Cukup jelas. Angka 5) Cukup jelas. Angka 6) Cukup jelas - 4 - Angka 7) Penyelenggaraan alat pembayaran berupa Uang Elektronik mengacu pada ketentuan Bank Indonesia mengenai uang elektronik. Angka 8) Cukup jelas. Angka 9) Cukup jelas. Angka 10) Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Pemenuhan persyaratan tingkat kesehatan didasarkan pada hasil penilaian yang dilakukan oleh Otoritas Jasa keuangan dengan merujuk pada laporan terakhir yang diterima Otoritas Jasa Keuangan. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. - 5 - Huruf f Teknologi informasi yang memadai dalam hal ini menyangkut sistem yang mampu melakukan pembukuan transaksi pada saat transaksi berlangsung (real time), disertai dengan mekanisme pengamanan mulai dari sistem, data, dan jaringan, serta terdapat mekanisme pemantauan dan evaluasi terhadap sarana teknologi informasi untuk penyelenggaraan layanan kepada nasabah. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Yang dimaksud dengan “pelanggaran ketentuan terkait dengan BPR” antara lain pelanggaran atas ketentuan: 1. larangan rangkap jabatan dan hubungan keluarga atau semenda serta kewajiban minimum jumlah anggota direksi dan anggota dewan komisaris; 2. kewajiban BPR memiliki paling kurang 1 (satu) pemegang saham dengan persentase kepemilikan saham tertentu; dan/atau 3. kewajiban pemenuhan modal inti minimum. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. - 6 - Pasal 13 Ayat (1) Yang dimaksud dengan kabupaten atau kota adalah wilayah administratif pemerintahan kabupaten atau pemerintahan kota. Ayat (2) Jaringan Kantor BPR paling banyak 20 (dua puluh) kantor meliputi baik kantor cabang yang telah ada maupun yang akan dibuka oleh BPR. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Jaringan Kantor BPR paling banyak 30 (tiga puluh) kantor meliputi baik kantor cabang yang telah ada maupun yang akan dibuka oleh BPR. Pasal 14 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Jaringan Kantor BPR paling banyak 40 (empat puluh) kantor meliputi baik kantor cabang yang telah ada maupun yang akan dibuka oleh BPR. Pasal 15 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Jaringan Kantor BPR paling banyak 70 (tujuh puluh) kantor meliputi baik kantor cabang yang telah ada maupun yang akan dibuka oleh BPR. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. - 7 - Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Ayat (1) Contoh: BPRKU 2 dapat melakukan kegiatan usaha dan memperluas wilayah Jaringan Kantor sebagaimana diperkenankan bagi BPRKU 3 jika memenuhi Modal Inti pada kelompok BPRKU 3 selama 6 (enam) bulan berturut-turut paling sedikit Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah). Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 21 Ayat (1) Yang dimaksud dengan penurunan Modal Inti termasuk penurunan Modal Inti menjadi kurang dari Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) atau kurang dari Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah). Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Contoh: BPR yang semula berada dalam kelompok BPRKU 2, namun mengalami penurunan Modal Inti sehingga tidak memenuhi persyaratan Modal Inti sebagai BPRKU 2 dan tidak dapat - 8 - menyelesaikan rencana tindak (action plan) dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun, wajib menyesuaikan seluruh Kegiatan Usaha dan/atau wilayah Jaringan Kantor BPRKU 1. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 22 Yang dimaksud dengan “pertimbangan tertentu” adalah pertimbangan untuk menetapkan jumlah kantor cabang yang berbeda yang didasarkan pada kemampuan rentang kendali, persaingan yang sehat, perluasan akses keuangan bagi masyarakat berpenghasilan rendah dan produktif (financial inclusion), upaya pemerataan pembangunan di daerah, dan/atau kelangsungan pengembangan kegiatan usaha individual BPR ke depan sehingga dapat beroperasi secara berkesinambungan. Pasal 23 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Pencantuman pengurus BPR dalam daftar pihak-pihak yang memperoleh predikat tidak lulus dilaksanakan melalui proses uji kemampuan dan kepatutan sesuai dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai uji kemampuan dan kepatutan. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Cukup jelas. - 9 - Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 Cukup jelas. Pasal 32 Cukup jelas. Pasal 33 Cukup jelas. Pasal 34 Dengan tidak berlakunya Pasal 12 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 19/POJK.03/2014 tentang Layanan Keuangan Tanpa Kantor dalam rangka Keuangan Inklusif (Laku Pandai), persyaratan yang harus dipenuhi oleh BPR yang akan mengajukan permohonan menjadi penyelenggara Laku Pandai mengacu pada persyaratan yang diatur pada ketentuan mengenai layanan keuangan tanpa kantor dalam rangka keuangan inklusif (Laku Pandai). - 10 - Pasal 35 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5849 "," POJK 12/POJK.03/2016 KEGIATAN USAHA DAN WILAYAH JARINGAN KANTOR BANK PERKREDITAN RAKYAT BERDASARKAN MODAL INTI 9 Februari 2016 17 Februari 2016 17 Februari 2016 '20/POJK.03/2014 | Pasal 37 ayat (1)', '20/POJK.03/2014 | Pasal 37 ayat (2)', '20/POJK.03/2014 | Pasal 37 ayat (4)', '20/POJK.03/2014 | Pasal 50 ayat (2)', '20/POJK.03/2014 | Pasal 84', '19/POJK.03/2014 | Pasal 12' '21/UU/2011', '7/UU/1992', '10/UU/1998', '20/POJK.03/2014' 'BAB V' " " OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 6/POJK.05/2014 TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA LEMBAGA PENJAMINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa untuk menumbuhkembangkan Lembaga Penjaminan yang mampu memberikan manfaat jasa penjaminan bagi masyarakat yang dinamis, diperlukan peraturan yang lebih komprehensif dengan tetap memenuhi prinsip kehati-hatian (prudential principle) khususnya terkait dengan aktifitas penyelenggaraan usaha; b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Penyelenggaraan Usaha Lembaga Penjaminan; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); 2. Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2008 tentang Lembaga Penjaminan; MEMUTUSKAN Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA LEMBAGA PENJAMINAN. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Penjaminan adalah kegiatan pemberian jaminan atas pemenuhan kewajiban finansial Terjamin. 2. Penjaminan… -2- 2. Penjaminan Ulang adalah kegiatan pemberian jaminan atas pemenuhan kewajiban finansial Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Syariah yang telah menjamin pemenuhan kewajiban finansial Terjamin. 3. Lembaga Penjaminan adalah Perusahaan Penjaminan, Perusahaan Penjaminan Syariah, Perusahaan Penjaminan Ulang, dan Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah. 4. Perusahaan Penjaminan adalah badan hukum yang bergerak di bidang keuangan dengan kegiatan usaha melakukan Penjaminan. 5. Perusahaan Penjaminan Syariah adalah badan hukum yang bergerak dibidang keuangan dengan kegiatan usaha melakukan Penjaminan berdasarkan Prinsip Syariah. 6. Perusahaan Penjaminan Ulang adalah badan hukum yang bergerak di bidang keuangan dengan kegiatan usaha melakukan Penjaminan Ulang. 7. Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah adalah badan hukum yang bergerak di bidang keuangan dengan kegiatan usaha melakukan Penjaminan Ulang berdasarkan Prinsip Syariah. 8. Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara Lembaga Keuangan dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya dalam jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. 9. Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah adalah pembiayaan berdasarkan prinsip syariah yang diberikan oleh Lembaga Keuangan berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara Lembaga Keuangan dengan pihak lain. 10. Prinsip Syariah adalah ketentuan hukum Islam berdasarkan fatwa atau pernyataan kesesuaian syariah dari Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia. 11. Unit… -3- 11. Unit Usaha Syariah adalah unit kerja kantor pusat Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Ulang yang berfungsi sebagai kantor pusat dari kantor cabang dan/atau kantor selain kantor cabang yang menjalankan kegiatan usaha Penjaminan atau Penjaminan Ulang berdasarkan Prinsip Syariah. 12. Usaha Produktif adalah kegiatan untuk menghasilkan barang dan/atau jasa yang memberikan nilai tambah dan meningkatkan pendapatan bagi Terjamin. 13. Gearing Ratio adalah batasan yang ditetapkan untuk mengukur kemampuan Lembaga Penjaminan dalam melakukan kegiatan Penjaminan atau Penjaminan Ulang. 14. Lembaga Keuangan adalah bank dan lembaga keuangan bukan bank. 15. Kantor Cabang adalah kantor Lembaga Penjaminan yang secara langsung bertanggung jawab kepada kantor pusat. 16. Penerima Jaminan adalah Lembaga Keuangan atau di luar Lembaga Keuangan yang telah memberikan fasilitas finansial kepada Terjamin. 17. Terjamin adalah pihak yang telah memperoleh fasilitas finansial dari Lembaga Keuangan atau di luar Lembaga Keuangan yang dijamin oleh Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Syariah baik perorangan, badan usaha, perseroan terbatas, unit usaha suatu yayasan, koperasi dan usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). 18. Sertifikat Penjaminan adalah bukti persetujuan Penjaminan dari Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Syariah kepada Penerima Jaminan atas kewajiban finansial Terjamin. 19. Imbal Jasa Penjaminan, yang selanjutnya disingkat IJP, adalah sejumlah uang yang diterima oleh Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Syariah dari Terjamin dalam rangka kegiatan usaha Penjaminan. 20. Imbal… -4- 20. Imbal Jasa Penjaminan Ulang, yang selanjutnya disingkat IJPU, adalah sejumlah uang yang diterima oleh Perusahaan Penjaminan Ulang atau Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah dari Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Syariah dalam rangka kegiatan usaha Penjaminan Ulang. 21. Klaim adalah tuntutan pembayaran oleh Penerima Jaminan kepada Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Syariah diakibatkan Terjamin tidak dapat memenuhi kewajibannya sesuai dengan perjanjian atau tuntutan pembayaran Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Syariah kepada Perusahaan Penjaminan Ulang atau Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah, yang telah membayar kewajiban finansial Terjamin kepada Penerima Jaminan. 22. Otoritas Jasa Keuangan adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain yang mempunyai fungsi, tugas dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang mengenai Otoritas Jasa Keuangan. BAB II KEGIATAN USAHA Pasal 2 (1) Kegiatan usaha Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Syariah adalah melakukan Penjaminan dengan menanggung pembayaran atas kewajiban finansial Terjamin kepada Penerima Jaminan apabila Terjamin tidak dapat memenuhi kewajibannya berdasarkan perjanjian yang telah disepakati. (2) Kegiatan usaha Perusahaan Penjaminan Ulang atau Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah adalah melakukan Penjaminan Ulang dengan menanggung pembayaran atas kewajiban finansial Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Syariah kepada... -5- kepada Penerima Jaminan apabila Terjamin tidak dapat memenuhi kewajibannya berdasarkan perjanjian yang telah disepakati dan Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Syariah telah membayar pemenuhan kewajiban finansial Terjamin. Pasal 3 (1) Kegiatan usaha Penjaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) antara lain: a. Penjaminan Kredit atau Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah yang disalurkan oleh Lembaga Keuangan; b. Penjaminan Kredit dan/atau pinjaman atau Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah yang disalurkan oleh koperasi simpan pinjam kepada anggotanya; c. Penjaminan kredit dan/atau pinjaman atau Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah program kemitraan yang disalurkan oleh badan usaha milik negara dalam rangka program kemitraan dan bina lingkungan (PKBL); dan/atau d. Penjaminan atas surat utang. (2) Selain melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Syariah dapat melakukan kegiatan lainnya, yaitu: a. Penjaminan transaksi dagang; b. Penjaminan pengadaan barang dan/atau jasa (surety bond); c. Penjaminan bank garansi (kontra bank garansi); d. Penjaminan surat kredit berdokumen dalam negeri (SKBDN); e. Penjaminan letter of credit (L/C); f. Penjaminan kepabeanan (custom bond); g. Penjaminan lainnya setelah memperoleh persetujuan Otoritas Jasa Keuangan; h. Jasa konsultasi manajemen terkait dengan kegiatan usaha Penjaminan; dan/atau i. Penyediaan… -6- i. Penyediaan informasi/database Terjamin terkait dengan kegiatan usaha Penjaminan. (3) Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Syariah yang akan melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, dan huruf gwajib terlebih dahulu melaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan prosedur sebagai berikut: a. menyampaikan proposal terkait kegiatan penjaminan yang akan dijalankan dengan disertai uraian paling sedikit mengenai produk, manfaat, mekanisme klaim,sertahak dan kewajiban para pihak; b. berdasarkan pelaporan tersebut Otoritas Jasa Keuangan akan mengeluarkan surat terkait pencatatan kegiatan penjaminan tersebut sebagai salah satu kegiatan yang dijalankan Lembaga Penjaminan dimaksud dalam administrasi Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah proposal sebagaimana dimaksud huruf a diterima. (4) Kegiatan usaha Penjaminan Ulangsebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) antara lain: a. Penjaminan Kredit atau Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah yang disalurkan oleh Lembaga Keuangan; b. Penjaminan Kredit dan/atau pinjaman atau Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah yang disalurkan oleh koperasi simpan pinjam kepada anggotanya; c. Penjaminan Kredit dan/atau pinjaman atau Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah program kemitraan yang disalurkan oleh badan usaha milik negara dalam rangka program kemitraan dan bina lingkungan (PKBL); dan/atau d. Penjaminan atas surat utang. (5) Perusahaan Penjaminan Ulang atau Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah dapat melakukan kegiatan… -7- kegiatan usaha lainnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) kecuali huruf h dan huruf i. (6) Perusahaan Penjaminan Ulang atau Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah yang akan melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (5), wajib terlebih dahulu melaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan prosedur sebagaimana dimaksud dalam ayat (3). Pasal 4 (1) Dalam melakukan kegiatan usahanya, Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Syariah dapat menggunakan jasa agen penjamin. (2) Agen penjamin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perseorangan atau badan hukum yang melakukan pemasaran kegiatan usaha Penjaminan untuk dan atas nama Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Syariah. (3) Agen penjamin sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus tercatat di asosiasi perusahaan penjaminan Indonesia. (4) Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Syariah harus memiliki perjanjian keagenan dengan agen penjamin yang melakukan pemasaran untuk dan atas nama Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Syariah. (5) Semua tindakan agen penjamin yang berkaitan dengan transaksi Penjaminan menjadi tanggung jawab Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Syariah yang diageni. (6) Dalam perjanjian keagenan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Syariah harus mencantumkan klausula pemberian komisi kepada agen Penjamin paling tinggi sebesar 20% (dua puluh per seratus) dari IJP. Pasal 5 Perusahaan Penjaminan dan Perusahaan Penjaminan Syariah harus menjadi anggota asosiasi perusahaan penjaminan Indonesia. Pasal 6… -8- Pasal 6 (1) Lembaga Penjaminan wajib menjaga likuiditasnya. (2) Rasio likuiditas Lembaga Penjaminan ditetapkan paling sedikit 150% (seratus lima puluh per seratus). (3) Rasio likuiditas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dihitung dengan menggunakan current ratio yaitu perbandingan antara aset lancar dengan utang lancar. Pasal 7 (1) Perusahaan Penjaminanhanya dapat melakukan investasi dalam bentuk: a. deposito pada bank; b. surat berharga negara dan/atau surat berharga syariah negara; c. surat berharga dan/atau surat berharga syariah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia; d. obligasi korporasi dan/atau sukuk korporasi yang masuk peringkat investasi (investment grade) dari lembaga pemeringkat efek yang telah memiliki izin usaha di Otoritas Jasa Keuangan; e. saham yang tercatat di Bursa Efek Indonesia; f. reksa dana dan/atau reksa dana syariah; g. efek beragun aset yang tercatat di Bursa Efek Indonesia;dan/atau h. penyertaan langsungpada perusahaan di sektor jasa keuangan di Indonesia. (2) Perusahaan Penjaminan Ulang hanya dapat melakukan investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a sampai dengan huruf g. (3) Pembatasan atas investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah sebagai berikut: a. investasi dalam bentuk deposito adalah: 1. pada setiap bank umum ditetapkan paling tinggi 25% (dua puluh lima per seratus) dari jumlah investasi; 2. pada setiap bank perkreditan rakyat ditetapkan… -9- ditetapkan paling tinggi sebesar nilai penjaminan dari Lembaga Penjamin Simpanan atas simpanan atau deposito setiap nasabah bank perkreditan rakyat dimaksud; 3. bagi Perusahaan Penjaminan yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah dan lingkup operasional di tingkat provinsi, maka ketentuan sebagaimana dimaksud angka 1 tidak berlaku. b. investasi dalam bentuk surat berharga negara dan/atau surat berharga syariah negara ditetapkan paling tinggi 50% (lima puluh per seratus) dari jumlah investasi; c. investasi dalam bentuk surat berharga dan/atau surat berharga syariah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia ditetapkan paling tinggi 50% (lima puluh per seratus) dari jumlah investasi; d. investasi dalam bentuk obligasi korporasi dan/atau sukuk korporasi yang masuk peringkat investasi (investment grade) pada saat penempatan ditetapkan paling tinggi 10% (sepuluh per seratus) untuk setiap penerbit dan seluruhnya paling tinggi 20% (dua puluh per seratus) dari jumlah investasi; e. investasi dalam bentuk saham yang tercatat di Bursa Efek Indonesia ditetapkan paling tinggi 5% (lima per seratus) dari jumlah investasi untuk setiap emiten dan seluruhnya paling tinggi 20% (dua puluh per seratus) dari jumlah investasi; f. investasi dalam bentuk reksadana dan/atau reksadana syariah ditetapkan paling tinggi 5% (lima per seratus) dari jumlah investasi untuk setiap manajer investasi dan seluruhnya paling tinggi 20% (dua puluh per seratus) dari jumlah investasi; g. investasi dalam bentuk efek beragun aset yang tercatat di Bursa Efek Indonesia, paling tinggi 5% (lima per seratus) dari jumlah investasi untuk setiap manajer investasi atau penerbit dan seluruhnya paling tinggi sebesar 20% (dua puluh per seratus) dari jumlah investasi; dan/atau h. investasi… -10- h. investasi dalam bentuk penyertaan langsung pada perusahaan di sektor jasa keuangan di Indonesia ditetapkan paling tinggi sebesar 10% (sepuluh per seratus) dari jumlah investasi. (4) Bagi Perusahaan Penjaminan yang mendapatkan penugasan khusus dari Pemerintah, investasi dalam bentuk penyertaan langsung pada sektor jasa keuangan di Indonesia dapat melebihi 10% (sepuluh per seratus) dari jumlah investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf h dan paling tinggi sebesar 15% (lima belas per seratus) dari jumlah investasi. (5) Investasi dalam bentuk penyertaan langsung pada perusahaan di sektor jasa keuangan di Indonesia bagi Perusahaan Penjaminan yang mendapatkan penugasan khusus dari Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) wajib terlebih dahulu mendapatkan persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan. (6) Jumlah seluruh penempatan investasi pada obligasi korporasi dan/atau sukuk korporasi, saham yang tercatat di Bursa Efek Indonesia, reksadana dan/atau reksadana syariah, efek beragun aset yang tercatat di Bursa Efek Indonesia, dan penyertaan langsung pada perusahaan di sektor keuangan di Indonesia, paling tinggi 60% (enam puluh per seratus) dari jumlah investasi. (7) Jumlah seluruh investasi Lembaga Penjaminan yang ditempatkan pada pihak yang terafiliasi tidak termasuk penyertaan langsung, paling tinggi sebesar 10% (sepuluh perseratus) dari jumlah investasi. (8) Penempatan investasi pada pihak yang terafiliasi sebagaimana dimaksud pada ayat (7), tidak termasuk hubungan karena kepemilikan atau penyertaan modal oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah. Pasal 8 (1) Perusahaan Penjaminan Syariahhanya dapat melakukan investasi dalam bentuk: a. deposito… -11- a. deposito pada bank umum syariah dan bank pembiayaanrakyat syariah; b. surat berharga syariah negara; c. surat berharga syariah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia; d. sukuk korporasi yang masuk peringkat investasi (investment grade) dari lembaga pemeringkat efek yang telah memiliki izin dari Otoritas Jasa Keuangan; e. saham yang tercatat di bursa efek Indonesia dan masuk dalam daftar efek syariah yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan; f. reksadana syariah; g. efek beragun aset syariah yang tercatat di Bursa Efek Indonesia; dan/atau h. penyertaan langsung pada perusahaan di sektor keuangan di Indonesia. (2) Perusahaan Penjaminan Ulang Syariahhanya dapat melakukan investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a sampai dengan huruf g. (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada Pasal 7 ayat (3), ayat (6), ayat (7), dan ayat (8)mutatis mutandis berlaku bagi investasi Perusahaan Penjaminan Syariah dan Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah. Pasal 9 Lembaga Penjaminan wajib memiliki cadangan Klaim paling sedikit 0,25% (nol koma dua puluh lima per seratus) dari nilai Penjaminan yang ditanggung oleh Lembaga Penjaminan. Pasal 10 (1) Lembaga Penjaminan wajib memiliki cadangan umum paling sedikit 25% (dua puluh lima per seratus) dari laba bersih atau selisih hasil usaha pada tiap akhir periode laporan tahunan. (2) Cadangan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dipergunakan untuk menutup kerugian. BAB III… -12- BAB III PEMBATASAN Pasal 11 (1) Lembaga Penjaminan dilarang: a. memberikan pinjaman; atau b. menerima pinjaman. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dikecualikan bagi Perusahaan Penjaminan dan Perusahaan Penjaminan Syariah dalam rangka melakukan restrukturisasi penjaminan bagi usaha mikro, kecil, dan menengah. (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dikecualikan bagi Perusahaan Penjaminan dan Perusahaan Penjaminan Syariah yang menerima pinjaman dengan menerbitkan obligasi wajib konversi (mandatory convertible bonds). BAB IV PERSYARATAN PEMBERIAN JASA PENJAMINAN Pasal 12 (1) Pemberian jasa Penjaminan paling sedikitmemenuhi persyaratan: a. Penjaminan langsung: 1. telah dilakukan analisis kelayakan calon Terjamin yang dilakukan oleh calon Penerima Jaminan; 2. terdapat permohonan Penjaminan dari calon Terjamin kepada Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Syariah; 3. terdapat surat penegasan permintaan Penjaminan dari calon Penerima Jaminan kepada Perusahaan Perusahaan Penjaminan Syariah; 4. telah dilakukan analisis kelayakan calon Terjamin yang dilakukan oleh Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Syariah; 5. telah dilakukan pembayaran IJP kepada Perusahaan… Penjaminan atau -13- Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Syariah; dan 6. telah diterbitkan Sertifikat Penjaminan. b. Penjaminan tidak langsung: 1. telah dilakukan analisis kelayakan calon Terjamin yang dilakukan oleh calon Penerima Jaminan; 2. terdapat permohonan Penjaminan dari calon Terjamin melalui Penerima Jaminan; 3. terdapat perjanjian kerja sama antara Penerima Jaminan dan Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Syariah; 4. telah dilakukan pembayaran IJP kepada Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Syariah; dan 5. telah diterbitkan Sertifikat Penjaminan. (2) Dalam hal kegiatan Penjaminan dilakukan dalam bentuk Penjaminan bersama (co-guarantee), persyaratan penerbitan Sertifikat Penjaminan hanya dipersyaratkan bagi salah satu Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Syariah. (3) Mekanisme Penjaminan bersama (co-guarantee) sebagaimana dimaksud pada ayat (2)harus dituangkan dalam perjanjian antara para pihak sebagai Penjamin yang paling sedikit memuat: a. Identitas para pihak sebagai Penjamin. b. Proporsi pendapatan IJP antara pihak selaku Penjamin; c. Proporsi klaim yang harus dibayarkan kepada penerima jaminan antara pihak selaku Penjamin dalam hal terjadi klaim; d. Tanggung jawab dan kewajiban masing-masing pihak dalam proses persetujuan penjaminan; dan e. Tanggung jawab dan kewajiban masing-masing pihak dalam proses verifikasi atas pengajuan klaim dari penerima jaminan. (4) Pembayaran IJP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan setelah diterbitkannya Sertifikat… -14- Sertifikat Penjaminan bagi Penjaminan program Pemerintah. Pasal 13 (1) Sertifikat Penjaminan sebagaimana dimaksud Pasal 12 ayat(1) huruf a angka 6 dan Pasal 12 ayat (1) huruf b angka 5 harus memuat paling kurang ketentuan mengenai: a. nama dan alamat Perusahaan Penjaminan, Penerima Jaminan, danTerjamin; b. uraian manfaat Penjaminan; c. jenis Penjaminan; d. nilai Penjaminan; e. f. nilai IJP; dan jangka waktu Penjaminan. (2) Lampiran yang berisi dokumen pendukung dari Sertifikat Penjaminan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisah dari Sertifikat Penjaminan. Pasal 14 Perjanjian kerja sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf b angka 3 harus memuat paling kurang: a. nama dan alamat Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Syariah, dan Penerima Jaminan; b. uraian manfaat Penjaminan; c. hak dan kewajiban Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Syariah, Penerima Jaminan, danTerjamin; d. cara pembayaran IJP; e. waktu yang diakui sebagai saat diterimanya pembayaran IJP; f. pembatalan kontrak perjanjian Penjaminan, baik dari pihak Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Syariahmaupun Penerima Jaminan, termasuk syarat dan penyebabnya; g. syarat dan tatacara pengajuan Klaim, termasuk bukti pendukung yang diperlukan dalam pengajuan Klaim; h. tata… -15- h. tata cara pelaksanaan peralihan hak tagih setelah Klaim dibayar oleh Perusahaan Penjaminanatau Perusahaan Penjaminan Syariah; i. pemilihan tempat penyelesaian perselisihan; dan j. bahasa yang dijadikan acuan dalam hal terjadi sengketa atau beda pendapat untuk sertifikat penjaminan yang dicetak dalam 2 (dua) bahasa atau lebih. Pasal 15 (1) Penjaminan dapat dibatalkan, apabila: a. Penerima Jaminan atau Terjamin terbukti memberikan informasi, data, atau dokumen palsu; b. Penerima Jaminan atau Terjamin secara nyata menyembunyikan informasi, data atau dokumen yang tidak sesuai dengan ketentuan Penjaminan; atau c. Penerima Jaminan atau Terjamin terbukti melanggar ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerjasama. (2) Penjaminan Ulang dapat dibatalkan dalam hal terjadi pembatalan Penjaminan yang disebabkan terpenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 16 (1) Penjaminan tidak dapat diberikan, apabila calon Terjamin tercatat dalam daftar Kredit/pembiayaan macet perbankan atau lembaga keuangan bukan bank. (2) Penjaminan bagi Usaha Produktif hanya dapat diberikan, apabila calon Terjamin memenuhi persyaratan: a. usaha perseorangan oleh warga negara Indonesia, badan hukum Indonesia atau bentuk usaha lain yang diakui oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku yang dimiliki warga negara Indonesia; b. memiliki lokasi usaha atau domisili usaha yang tetap di wilayah Republik Indonesia; dan c. penggunaan... -16- c. penggunaan Kredit dan/atau pembiayaan yang akan dijamin untuk kegiatan usaha di wilayah Republik Indonesia. BAB V IMBAL JASA PENJAMINAN Pasal 17 (1) Dalam melaksanakan kegiatan usahanya, Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Syariah menerima IJP dan Perusahaan Penjaminan Ulang atau Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah menerima IJPU. (2) Besarnya tarif IJP dan IJPU ditetapkan dengan pertimbangan, antara lain: a. risiko yang dijamin yang dihitung berdasarkan antara lain: 1. rasio klaim; 2. jenis kredit atau pembiayaan; 3. cakupan Penjaminan; dan 4. jangka waktu Penjaminan; b. biaya administrasi umum, operasional dan pemasaran; dan c. keuntungan. (3) KetentuanIJP sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), tidak berlaku bagi penjaminan program pemerintah. BAB VI KLAIM DAN PERALIHAN HAK TAGIH Bagian Kesatu Klaim Pasal 18 (1) Pengajuan Klaim oleh Penerima Jaminan kepada Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Syariah dapat dilakukan, apabila Terjamin gagal memenuhi kewajibannya. (2) Pengajuan KlaimolehPerusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Syariah kepada Perusahaan… -17- Perusahaan Penjaminan Ulang atau Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah dilakukan setelah Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Syariah membayar kewajiban finansial Terjamin kepada Penerima Jaminan. Pasal 19 (1) Lembaga Penjaminan dilarang melakukan tindakan yang dapat memperlambat penyelesaian atau pembayaran Klaim, atau tidak melakukan tindakan yang seharusnya dilakukan yang dapat mengakibatkan kelambatan penyelesaian atau pembayaran Klaim. (2) LembagaPenjaminan wajib memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan pembayaran Klaim paling lambat 14 (empat belas) hari sejak diterimanya secara lengkap permohonan pembayaran Klaim. (3) LembagaPenjaminan wajib membayar Klaim dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah Klaim disetujui. Bagian Kedua Peralihan Hak Tagih Pasal 20 (1) Sejak Klaim dibayar oleh Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Syariah, hak tagih Penerima Jaminan kepada Terjamin beralih menjadi hak tagih Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Syariah (subrogasi). (2) Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Syariahdapat membuat perjanjian dengan Penerima Jaminan agar Penerima Jaminan melakukan upaya penagihan atas hak tagih Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk dan atas nama Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Syariah. (3) Perusahaan Penjaminan, Perusahaan Penjaminan Syariah, Perusahaan Penjaminan Ulang dan Perusahaan… -18- Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah memperoleh hasil penagihan secara proporsional. BAB VII RETENSI SENDIRI Pasal 21 (1) Perusahaan Penjaminan dan Perusahaan Penjaminan Syariah wajib memiliki retensi sendiri untuk setiap risiko Penjaminan. (2) Retensi sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah bagian dari jumlah uang Penjaminan untuk setiap risiko yang menjadi tanggungan sendiri Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Syariah tanpa dukungan Perusahaan Penjaminan Ulang atau Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah. (3) Retensi sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling tinggi: a) 5% (lima per seratus) per Terjamin dari ekuitas Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Syariah untuk Terjamin perorangan, badan usaha, perseroan terbatas, dan unit usaha milik yayasan. b) 10% (sepuluh per seratus) per Terjamin dari ekuitas Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Syariah Terjamin kelompok dan koperasi. (4) Dalam hal Perusahaan Penjaminan dan Perusahaan Penjaminan Syariah memberikan penjaminan melebihi batas maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib mendapat dukungan Perusahaan Penjaminan Ulang atau Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah. (5) Dalam hal dukungan penjaminan ulang dari Perusahaan Penjaminan Ulang atau Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak diperoleh, dukungan Penjaminan Ulang dapat diperoleh dari Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Syariah lain atau perusahaan asuransi. (6) Nilai Penjaminan Ulang yang dapat dilaksanakan oleh Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (5) paling tinggi 30% (tiga puluh perseratus) dari total nilai Penjaminan. BAB VIII... untuk -19- BAB VIII GEARING RATIO DAN NILAI PENJAMINAN BAGI USAHA PRODUKTIF Pasal 22 (1) Dalam rangka menyelenggarakan usaha Penjaminan atau Penjaminan Ulang yang sehat, Lembaga Penjaminan wajib menjaga Gearing Ratio. (2) Gearing Ratio sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perbandingan antara total nilai Penjaminan atau Penjaminan Ulang yang ditanggung sendiri dengan ekuitas Lembaga Penjaminan pada waktu tertentu. (3) Ekuitas Lembaga Penjaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan: a. penjumlahan dari modal disetor, cadangan, dan laba, dikurangi kerugian, dalam hal Lembaga Penjaminan berbentuk badan hukum perseroan terbatas, perusahaan umum, perusahaan perseroan dan perusahaan daerah; atau b. penjumlahan dari setoran pokok, sertifikat modal dan sisa hasil usaha, dikurangi penyertaan dan kerugian, dalam hal Lembaga Penjaminan berbentuk badan hukum koperasi. (4) Gearing Ratio untuk Penjaminan atau Penjaminan Ulang bagi Usaha Produktif ditetapkan paling tinggi 10 (sepuluh) kali. (5) Total Gearing Ratio bagi Lembaga Penjaminan ditetapkan paling tinggi 40 (empat puluh) kali. Pasal 23 (1) Otoritas Jasa Keuangan akan menyampaikan pemberitahuan secara tertulis dalam hal terdapat Lembaga Penjaminan yang tidak memenuhi ketentuan Gearing Ratio Usaha Produktif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (4) dan total Gearing Ratio sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (5). (2) Lembaga Penjaminan yang tidak memenuhi ketentuan Gearing Ratio Usaha Produktif sebagaimana... -20- sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (4) dan total Gearing Ratio sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (5), diberikan jangka waktu paling lambat 6 (enam) bulan setelah tanggal surat pemberitahuan kepada Lembaga Penjaminan untuk memenuhi ketentuan Gearing Ratio. (3) Lembaga Penjaminan yang tidak memenuhi ketentuan Gearing Ratio sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) wajib menyampaikan rencana pemenuhan Gearing Ratio yang telah disetujui oleh Dewan Komisariskepada Otoritas Jasa Keuangan. (4) Rencana pemenuhan Gearing Ratio memuat langkah-langkah antara lain: a. restrukturisasi Penjaminan atau Penjaminan Ulang; b. penghentian pemberian Penjaminan atau Penjaminan Ulang baru; c. penambahan modal atau setoran pokok dan sertifikat modal oleh pemegang saham; dan/atau d. penggabungan badan usaha. (5) Rencana pemenuhan Gearing Ratio sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan paling lambat 1 (satu) bulan sejak tanggal surat pemberitahuan kepada Lembaga Penjaminan. (6) Dalam hal jangka waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal surat pemberitahuan dari Otoritas Jasa Keuangan telah lewat dan Lembaga Penjaminan belum dapat memenuhi ketentuan tingkat Gearing Ratio yang dipersyaratkan, maka Lembaga Penjaminan dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32. Pasal 24 (1) Perusahaan Penjaminan dan Perusahaan Penjaminan Syariah wajib memiliki nilai Penjaminan bagi Usaha Produktif paling sedikit 20% (dua puluh per seratus) dari total nilai Penjaminan. (2) Nilai… -21- (2) Nilai Penjaminan bagi Usaha Produktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dipenuhi dalam jangka waktu paling lambat 2 (dua) tahun sejak mendapatkan izin usaha. BAB IX KEGIATAN PENJAMINAN DAN PENJAMINAN ULANG BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH Pasal 25 Perusahaan Penjaminan Syariah, Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah dan Unit Usaha Syariah wajib menerapkan prinsip dasar sebagai berikut: a. dipenuhinya prinsip keadilan ('adl), dapat dipercaya (amanah), keseimbangan (tawazun), kemaslahatan (maslahah), dan keuniversalan (syumul); dan b. tidak mengandung hal-hal yang diharamkan, seperti ketidakpastian/ketidakjelasan (gharar), perjudian (maysir),bunga (riba), penganiayaan (zhulum), suap (risywah), maksiat, dan obyek haram. Pasal 26 (1) Perjanjian Penjaminan dan perjanjian Penjaminan Ulang dengan Prinsip Syariah wajib menggunakan akad kafalah bil ujrah. (2) Akad kafalah bil ujrah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikitmemuat: a. Obyek yang dijamin dapat seluruh atau sebagian dari : 1. kewajiban bayar (dayn) yang timbul daritransaksi syariah; dan 2. hal lain yang dapat dijamin berdasarkan Prinsip Syariah. b. Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad). c. Besaran IJP harus ditetapkan dalam akad berdasarkan kesepakatan. d. Kafalah bil ujrah bersifat mengikat dan tidak boleh dibatalkan secara sepihak. Pasal 27 Perusahaan Penjaminan dan Perusahaan Penjaminan Ulang… -22- Ulang, dapat menyelenggarakan sebagian kegiatan usahanya berdasarkan Prinsip Syariah dengan membentuk Unit Usaha Syariah. BAB X LAPORAN Pasal 28 (1) Lembaga Penjaminan wajib menyampaikan laporan bulanan secara lengkap dan benar kepada Otoritas Jasa Keuangan. (2) Ketentuan mengenai bentuk, susunan dan penyampaian laporan bulanan diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai Laporan Bulanan Industri Keuangan Non Bank. Pasal 29 (1) Lembaga Penjaminan wajib menyampaikan laporan keuangan tahunan yang telah diaudit oleh akuntan publik secara lengkap dan benar kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 4 (empat) bulan setelah tahun buku berakhir. (2) Tahun buku sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan tahun takwim. (3) Laporan keuangan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun berdasarkan standar akuntansi yang berlaku. (4) Laporan keuangan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun dalam mata uang Rupiah. (5) Laporan keuangan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara tertulis kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan alamat sebagaimana tertera pada laman resmi Otoritas Jasa Keuangan. (6) Dalam hal batas akhir penyampaian laporan jatuh pada hari libur, batas akhir penyampaian laporan adalah hari kerja pertama berikutnya. (7) Lembaga Penjaminanyang menyampaikan pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), namun telah lewat dari jangka waktu pelaporan, dikenakan… -23- dikenakan sanksi administratif peringatan dan berakhir dengan sendirinya. Pasal 30 Dalam hal Lembaga Penjaminan memperoleh izin usaha kurang dari 6 (enam) bulan hingga tahun takwim berakhir, kewajiban penyampaian laporan keuangan tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 mulai berlaku pada tahun takwim berikutnya. BAB XI PENGUMUMAN LAPORAN KEUANGAN Pasal 31 (1) Lembaga Penjaminan wajib mengumumkan neraca dan perhitungan laba rugi singkat paling lambat 4 (empat) bulan setelah tahun buku berakhir, paling sedikit pada 1 (satu) surat kabar harian di Indonesia yang memiliki peredaran luas di lingkup wilayah operasional. (2) Lembaga Penjaminan wajib melaporkan pelaksanaan pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) secara tertulis kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah pelaksanaan pengumuman, dilampiri dengan bukti pengumuman. (3) Lembaga Penjaminanyang pengumuman serta pelaporan menyampaikan sebagaimana dimaksud dalamayat (1) dan (2), namun telah lewat dari jangka waktu penyampaian, dikenakan sanksi administratif peringatan dan berakhir dengan sendirinya. BAB XII SANKSI ADMINISTRATIF Pasal 32 (1) Lembaga Penjaminan yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 3 ayat (3), Pasal 3 ayat (6), Pasal 6 ayat (2), Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 ayat (1), Pasal 11, Pasal 19, Pasal 21 ayat (1), Pasal 21 ayat (4), Pasal 23 ayat (3), Pasal 23 ayat (5), Pasal 24, Pasal 25… -24- Pasal 25, dan Pasal 26 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, dikenakan sanksi administratif berupa: a. surat peringatan; b. pembekuan kegiatan usaha; atau c. pencabutan izin usaha. (2) Sanksi administratif berupa surat peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, diberikan secara tertulis paling banyak 3 (tiga) kali berturut-turut dengan masa berlaku masing- masing 60 (enam puluh) hari. (3) Dalam hal sebelum berakhirnya masa berlaku surat peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Lembaga Penjaminan telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan mencabut sanksi peringatan. (4) Dalam hal masa berlaku sanksi surat peringatan ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berakhir serta Lembaga Penjaminan tetap tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan mengenakan sanksi administratif berupa pembekuan kegiatan usaha. (5) Sanksi pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diberikan secara tertulis dan berlaku selama jangka waktu 6 (enam) bulan sejak surat sanksi pembekuan kegiatan usaha diterbitkan. (6) Selama masa berlaku sanksi pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Lembaga Penjaminan: a. dilarang melakukan Penjaminan atau Penjaminan Ulang baru; dan b. tetap bertanggung jawab untuk menyelesaikan segala kewajiban termasuk kewajiban Penjaminan atau Penjaminan Ulang yang telah dilakukan sebagaimana tercantum dalam sertifikat penjaminan dan/atau perjanjian kerja sama. (7) Dalam... -25- (7) Dalam hal masa berlaku sanksi peringatan dan/atau sanksi pembekuan kegiatan usaha berakhir pada hari libur, sanksi peringatan dan/atau sanksi pembekuan kegiatan usaha berlaku hingga hari kerja pertama berikutnya. (8) Dalam hal sebelum berakhirnya masa berlaku sanksi pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Lembaga Penjaminan telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan mencabut sanksi pembekuan kegiatan usaha dimaksud. (9) Dalam hal sampai dengan berakhirnya jangka waktu sanksi pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Lembaga Penjaminan tidak juga memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan mencabut izin usaha Lembaga Penjaminan yang bersangkutan. BAB XIII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 33 (1) Setiap sanksi administratif yang telah dikenakan terhadap Lembaga Penjaminan berdasarkan Peraturan 222/PMK.010/2008 tentang Penjaminan Kredit dan Perusahaan Penjaminan Ulang Kredit dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 99/PMK.010/2011 tentang Perubahan atas Peraturan 222/PMK.010/2008 tentang Penjaminan Kredit dan Perusahaan Penjaminan Ulang Kredit, dinyatakan tetap sah dan berlaku. (2) Lembaga Penjaminan yang belum dapat mengatasi penyebab dikenakannya sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi lanjutan sesuai dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 34 Bagi Lembaga Penjaminan yang telah memperoleh izin usaha sebelum berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan… Menteri Keuangan Nomor Perusahaan Menteri Keuangan Nomor Perusahaan -26- Keuangan ini wajib memenuhi ketentuan mengenai investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dan Pasal 8 dalam jangka waktu paling lambat 2 (dua) tahun sejak berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. BAB XIV KETENTUAN PENUTUP Pasal 35 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, ketentuan mengenai penyelenggaraan usaha Lembaga Penjaminan tunduk pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 36 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 7 April 2014 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN ttd. Ttd. MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 8 April 2014 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, Ttd. AMIR SYAMSUDIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 73 Salinan sesuai dengan aslinya KEPALA BAGIAN BANTUAN HUKUM DIREKTORAT HUKUM, Ttd. MUFLI ASMAWIDJAJA PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 6/POJK.05/2014 TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA LEMBAGA PENJAMINAN I. UMUM Lembaga Penjaminan adalah sebagai salah satu lembaga keuangan non bank yang diharapkan mampu untuk menjembatani akses UMKM pada fasilitas pembiayaan perbankan, sehingga diharapkan dengan tumbuhnya sektor UMKM dapat berdampak pada pertumbuhan ekonomi nasional. Untuk itu diperlukan pengelolaan kegiatan usaha yang efektif dan efisien yang dilaksanakan oleh Lembaga Penjaminan guna mewujudkan tujuan dimaksud yang meliputi aturan mengenai investasi, persyaratan pemberian penjaminan, pembentukan cadangan, tingkat retensi serta tingkat gearing ratio yang diperkenankan. Disamping itu dengan telah disahkannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan pada tanggal 22 November 2011, maka tugas pengawasan atas Lembaga Penjaminan beralih kepada Otoritas Jasa Keuangan sejak tanggal 31 Desember 2012, tentunya dibutuhkan landasan hukum bagi Otoritas Jasa Keuangan dalam menjalankan fungsi dan kewenangannya dalam mengawasi Lembaga Penjaminan sekaligus menyempurnakan aturan yang sebelumnya sudah ada. Sehubungan dengan hal tersebut, maka Otoritas Jasa Keuangan menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Penyelenggaraan Usaha Lembaga Penjaminan. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas Pasal 2 Cukup jelas Pasal 3 Cukup jelas Pasal 4… -2- Pasal 4 Cukup jelas Pasal 5 Cukup jelas Pasal 6 Ayat (1) Cukup Jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Aset lancar dan utang lancar yang dimaksud dalam ayat ini diperhitungkan berdasarkan standar akuntansi yang berlaku secara umum. Pasal 7 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas Huruf b Cukup jelas Huruf c Cukup jelas Huruf d Cukup jelas Huruf e Cukup jelas Huruf f Cukup jelas Huruf g Efek Beragun Aset meliputi Efek Beragun Aset kontrak investasi kolektif (KIK-EBA) dan Efek Beragun Aset yang diterbitkan oleh PT Sarana Multigriya Finansial (Persero) Huruf h Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3)… -3- Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Ayat (6) Cukup jelas Ayat (7) Yang dimaksud dengan pihak terafiliasi adalah : a. Hubungan keluarga karena perkawinan dan keturunan sampai derajat kedua, baik secara horizontal maupun vertikal; b. Hubungan antara pihak dengan pegawai, direktur, atau komisaris dari pihak tersebut; c. Hubungan antara 2 (dua) perusahaan dimana terdapat satu atau lebih anggota direksi atau dewan komisaris yang sama; d. Hubungan antara perusahaan dan pihak, baik langsung maupun tidak langsung, mengendalikan atau dikendalikan oleh perusahaan tersebut; e. hubunganantara 2 (dua) perusahaan yang dikendalikan, baik langsung maupun tidak langsung, oleh pihak yang sama; atau f. hubungan antara perusahaan dan pemegang saham utama. Ayat (8) Cukup jelas Pasal 8 Cukup jelas Pasal 9 Cukup jelas Pasal 10 Cukup jelas Pasal 11 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud memberikan pinjaman adalah bentuk kegiatan pemberian pinjaman yang mengakibatkan Lembaga Penjaminan memiliki lini bisnis sebagai pemberi pinjaman (kreditur) dengan orientasi untuk mendapatkan keuntungan dari kegiatan dimaksud. Huruf b… -4- Huruf b Yang dimaksud menerima pinjaman adalah bentuk kegiatan menerima pinjaman dalam bantuk uang tunai yang mengakibatkan Lembaga Penjaminan memiliki kewajiban hutang pinjaman dalam laporan posisi keuangan. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 12 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Yang dimaksud dengan Penjaminan bersama adalah bentuk kegiatan Penjaminan yang dilakukan oleh 2 (dua) atau lebih Lembaga Penjaminan atau dapat juga berbentuk aliansi bisnis/konsorsium antara Lembaga Penjaminan dan Perusahaan Asuransi untuk melakukan kegiatan Penjaminan atas kewajiban financial Terjamin. Ayat (3) Cukup jelas Pasal 13 Cukup jelas Pasal 14 Cukup jelas Pasal 15 Cukup jelas Pasal 16 Cukup jelas Pasal 17 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Rasio klaim diukur berdasarkan perbandingan antara jumlah klaim dengan jumlah nilai pertanggungan dalam jangka waktu paling kurang 3 (tiga)tahun. Ayat (3)… -5- Ayat (3) Cukup jelas Pasal 18 Cukup jelas Pasal 19 Cukup jelas Pasal 20 Cukup jelas Pasal 21 Cukup jelas Pasal 22 Cukupjelas Pasal 23 Cukup jelas Pasal 24 Cukup jelas Pasal 25 Cukup jelas Pasal 26 Cukup jelas Pasal 27 Cukupjelas Pasal 28 Cukup jelas Pasal 29 Ayat (1) Cukupjelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5)… -6- Ayat (5) Cukup jelas Ayat (6) Cukup jelas Ayat (7) Yang dimaksud dengan dikenakan sanksi administratif peringatan dan berakhir dengan sendirinya adalah Lembaga Penjaminan menyampaikan laporan keuangan tahunan pada tanggal 10 Mei, sementara ketentuan penyampaian laporan keuangan tahunan adalah paling lambat tanggal 30 April, sehingga pelanggaran keterlambatan penyampaian laporan dimaksud dikenakan sanksi peringatan pertama, namun dikarenakan laporan dimaksud telah diterima oleh Otoritas Jasa Keuangan, maka terhadap Lembaga Penjaminan dimaksud dikenakan sanksi administratif peringatan pertama dan berakhir dengan sendirinya. Pasal 30 Cukup jelas Pasal 31 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Yang dimaksud dengan dikenakan sanksi administratif peringatan dan berakhir dengan sendirinya adalah Lembaga Penjaminan menyampaikan laporan bahwa telah mengumumkan neraca dan perhitungan laba rugi singkat namun lewat dari ketentuan yang ditetapkan, sehingga pelanggaran keterlambatan penyampaian laporan dan mengumumkan neraca dan perhitungan laba rugi singkat dimaksud dikenakan sanksi peringatan pertama, namun dikarenakan pengumuman telah dilakukan dan pelaporannya telah diterima oleh Otoritas Jasa Keuangan, maka terhadap Lembaga Penjaminan dimaksud dikenakan sanksi administratif peringatan pertama dan berakhir dengan sendirinya. Pasal 32 Cukup jelas Pasal 33 Cukup jelas Pasal 34… -7- Pasal 34 Cukup jelas Pasal 35 Cukup jelas Pasal 36 Cukup jelas TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5528 "," POJK 6/POJK.05/2014 PENYELENGGARAAN USAHA LEMBAGA PENJAMINAN 7 April 2014 8 April 2014 8 April 2014 '21/UU/2011', '2/PERPRES/2008' 'BAB XII' " " OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 15 /POJK.03/2017 TENTANG PENETAPAN STATUS DAN TINDAK LANJUT PENGAWASAN BANK UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mendukung terciptanya stabilitas sistem keuangan, diperlukan sistem perbankan yang sehat; b. bahwa sebagai bagian dari upaya penyehatan perbankan, permasalahan yang timbul dalam bank perlu diatasi secara dini, dengan meningkatkan langkah pengawasan terhadap bank sejak dalam pengawasan normal yang kemudian berpotensi menjadi pengawasan intensif; c. bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan, perlu penyempurnaan ketentuan mengenai penetapan status dan tindak lanjut pengawasan bank umum; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf c perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Penetapan Status dan Tindak Lanjut Pengawasan Bank Umum; - 2 - Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4420) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4963); 3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867); 4. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); 5. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5872); - 3 - MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PENETAPAN STATUS DAN TINDAK LANJUT PENGAWASAN BANK UMUM. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, dan Bank Umum Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri. 2. Lembaga Penjamin Simpanan yang selanjutnya disingkat LPS adalah Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan Menjadi Undang-Undang. 3. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat OJK adalah lembaga yang independen, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. 4. Bank Sistemik adalah Bank yang karena ukuran aset, modal, dan kewajiban; luas jaringan atau kompleksitas - 4 - transaksi atas jasa perbankan; serta keterkaitan dengan sektor keuangan lain dapat mengakibatkan gagalnya sebagian atau keseluruhan Bank lain atau sektor jasa keuangan, baik secara operasional maupun finansial, jika Bank tersebut mengalami gangguan atau gagal. 5. Bank Penerima adalah Bank selain bank perantara yang menerima pengalihan aset dan/atau kewajiban dari bank asal. 6. Pemegang Saham Pengendali bagi Bank yang selanjutnya disingkat PSP adalah badan hukum, orang perseorangan, dan/atau kelompok usaha yang: a. memiliki saham perusahaan atau Bank sebesar 25% (dua puluh lima persen) atau lebih dari jumlah saham yang dikeluarkan dan mempunyai hak suara; atau b. memiliki saham perusahaan atau Bank kurang dari 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah saham yang dikeluarkan dan mempunyai hak suara namun yang bersangkutan dapat dibuktikan telah melakukan pengendalian perusahaan atau Bank, baik secara langsung maupun tidak langsung. 7. Direksi adalah: a. bagi Bank berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas; b. bagi Bank berbentuk badan hukum Perusahaan Umum Daerah atau Perusahaan Perseroan Daerah adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah; c. bagi Bank berbentuk badan hukum Koperasi adalah pengurus sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian; - 5 - d. bagi kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri adalah pimpinan kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri yaitu pemimpin kantor cabang dan pejabat satu tingkat di bawah pemimpin kantor cabang. 8. Dewan Komisaris adalah: a. bagi Bank berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas adalah dewan komisaris sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas; b. bagi Bank berbentuk badan hukum Perusahaan Umum Daerah adalah dewan pengawas sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah; c. bagi Bank berbentuk badan hukum Perusahaan Perseroan Daerah adalah komisaris sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah; d. bagi Bank berbentuk badan hukum Koperasi adalah pengawas sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. 9. Giro Wajib Minimum yang selanjutnya disingkat GWM adalah giro wajib minimum sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai giro wajib minimum. - 6 - Pasal 2 (1) Status pengawasan Bank ditetapkan oleh OJK. (2) Status pengawasan Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. pengawasan normal; b. pengawasan intensif; atau c. pengawasan khusus. Pasal 3 (1) Bank dalam pengawasan intensif ditetapkan oleh OJK dalam hal Bank dinilai memiliki potensi kesulitan yang membahayakan kelangsungan usaha. (2) Bank dinilai memiliki potensi kesulitan yang membahayakan kelangsungan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika memenuhi satu atau lebih kriteria: a. rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) sama dengan atau lebih besar dari 8% (delapan persen) namun kurang dari rasio KPMM sesuai profil risiko Bank yang wajib dipenuhi oleh Bank; b. rasio modal inti (tier 1) kurang dari persentase tertentu yang ditetapkan oleh OJK; c. rasio GWM dalam rupiah sama dengan atau lebih besar dari rasio yang ditetapkan untuk GWM dalam rupiah yang wajib dipenuhi oleh Bank, namun berdasarkan penilaian OJK Bank memiliki permasalahan likuiditas mendasar; d. rasio kredit bermasalah secara neto (Non Performing Loan/NPL net) atau rasio pembiayaan bermasalah secara neto (Non Performing Financing/NPF net) lebih dari 5% (lima persen) dari total kredit atau total pembiayaan; e. tingkat kesehatan Bank dengan peringkat komposit 4 (empat) atau peringkat komposit 5 (lima); dan/atau f. tingkat kesehatan Bank dengan peringkat komposit 3 (tiga) dan tata kelola dengan peringkat faktor tata - 7 - kelola 4 (empat) atau peringkat faktor tata kelola 5 (lima). Pasal 4 (1) Bank dalam pengawasan intensif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ditetapkan oleh OJK untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak tanggal surat pemberitahuan OJK. (2) Jangka waktu pengawasan intensif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang oleh OJK paling banyak 1 (satu) kali dan paling lama 1 (satu) tahun hanya untuk Bank dalam pengawasan intensif yang memenuhi kriteria: a. rasio kredit bermasalah secara neto (NPL net) atau rasio pembiayaan bermasalah secara neto (NPF net) lebih dari 5% (lima persen) dari total kredit atau total pembiayaan, dan penyelesaiannya bersifat kompleks; b. tingkat kesehatan Bank dengan peringkat komposit 4 (empat) atau peringkat komposit 5 (lima); dan/atau c. tingkat kesehatan Bank dengan peringkat komposit 3 (tiga) dan tata kelola dengan peringkat faktor tata kelola 4 (empat) atau peringkat faktor tata kelola 5 (lima). (3) Perpanjangan jangka waktu Bank dalam pengawasan intensif karena kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b atau huruf c disertai peningkatan tindakan pengawasan. Pasal 5 (1) Bank ditetapkan oleh OJK dalam pengawasan khusus dalam hal Bank yang ditetapkan dalam pengawasan intensif atau Bank dalam pengawasan normal, dinilai mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usaha. - 8 - (2) Bank dinilai mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam hal memenuhi satu atau lebih kriteria: a. rasio KPMM kurang dari 8% (delapan persen); dan/atau b. rasio GWM dalam rupiah kurang dari rasio yang ditetapkan untuk GWM dalam rupiah yang wajib dipenuhi oleh Bank, dan berdasarkan penilaian OJK: 1. Bank mengalami permasalahan likuiditas mendasar; atau 2. Bank mengalami perkembangan likuiditas yang memburuk dalam waktu singkat. (3) Bank ditetapkan oleh OJK dalam pengawasan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal surat pemberitahuan OJK. BAB II BANK SELAIN BANK SISTEMIK Bagian Kesatu Bank selain Bank Sistemik dalam Pengawasan Normal yang Dinilai Memiliki Permasalahan Signifikan Pasal 6 (1) Dalam hal Bank selain Bank Sistemik dalam pengawasan normal dinilai memiliki permasalahan signifikan, Bank selain Bank Sistemik wajib menyampaikan rencana tindak (action plan) kepada OJK. (2) Tata cara penyampaian rencana tindak (action plan) dan langkah perbaikan yang akan dilaksanakan oleh Bank selain Bank Sistemik yang dimuat dalam rencana tindak (action plan) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada ketentuan OJK mengenai penilaian tingkat kesehatan bank umum dan ketentuan OJK mengenai penilaian tingkat kesehatan bank umum syariah dan unit usaha syariah. - 9 - Bagian Kedua Bank selain Bank Sistemik dalam Pengawasan Intensif Pasal 7 (1) Bank selain Bank Sistemik ditetapkan oleh OJK dalam pengawasan intensif dalam hal memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3. (2) Bank selain Bank Sistemik yang ditetapkan dalam pengawasan intensif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberitahukan secara tertulis oleh OJK mengenai: a. penetapan Bank selain Bank Sistemik dalam pengawasan intensif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3; atau b. penetapan perpanjangan jangka waktu Bank selain Bank Sistemik dalam pengawasan intensif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), disertai dengan alasan penetapan serta langkah atau tindakan pengawasan yang wajib dilakukan oleh Bank selain Bank Sistemik. Pasal 8 (1) Bank selain Bank Sistemik dalam pengawasan intensif wajib melaksanakan tindakan pengawasan yang diperintahkan oleh OJK. (2) Tindakan pengawasan yang diperintahkan oleh OJK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu: a. menghapusbukukan kredit atau pembiayaan atau penyaluran dana yang tergolong macet dan memperhitungkan kerugian Bank selain Bank Sistemik dengan modal Bank selain Bank Sistemik; b. membatasi pembayaran remunerasi atau bentuk lain yang dipersamakan dengan itu kepada anggota Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau dewan pengawas syariah, atau imbalan kepada pihak terkait; - 10 - c. tidak melakukan pembayaran kembali atau pelunasan instrumen modal inti tambahan atau instrumen modal pelengkap; d. tidak melakukan atau menunda distribusi laba; e. memperkuat atau menambah modal Bank selain Bank Sistemik termasuk melalui setoran modal; f. tidak melakukan transaksi tertentu dengan pihak terkait dan/atau pihak lain yang ditetapkan oleh OJK; g. membatasi pelaksanaan rencana penerbitan produk dan/atau pelaksanaan aktivitas baru; h. tidak melakukan atau membatasi pertumbuhan aset, penyertaan, dan/atau penyediaan dana baru; i. menjual sebagian atau seluruh harta dan/atau kewajiban Bank selain Bank Sistemik kepada bank dan/atau pihak lain; j. tidak melakukan ekspansi jaringan kantor; k. tidak melakukan kegiatan usaha tertentu; l. menutup jaringan kantor Bank selain Bank Sistemik; m. tidak melakukan transaksi antar bank; n. melakukan penggabungan (merger) atau peleburan (konsolidasi) dengan bank lain; o. mengganti Direksi dan/atau Dewan Komisaris Bank selain Bank Sistemik; p. menyerahkan pengelolaan seluruh atau sebagian kegiatan Bank selain Bank Sistemik kepada pihak lain; q. menjual Bank selain Bank Sistemik kepada pembeli yang bersedia mengambil alih seluruh kewajiban Bank selain Bank Sistemik; r. menempatkan pengelola statuter; dan/atau s. tindakan pengawasan lain. Pasal 9 (1) Bank selain Bank Sistemik dalam pengawasan intensif wajib: a. menyampaikan rencana tindak (action plan) sesuai permasalahan yang dihadapi; - 11 - b. menyampaikan realisasi rencana tindak (action plan); c. menyampaikan daftar pihak terkait secara lengkap; dan d. melakukan tindakan lain dan/atau melaporkan hal-hal tertentu yang ditetapkan oleh OJK. (2) Dalam hal Bank selain Bank Sistemik ditetapkan dalam pengawasan intensif karena permasalahan permodalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf a dan huruf b, selain wajib memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank selain Bank Sistemik dan/atau PSP wajib menyampaikan rencana perbaikan permodalan (capital restoration plan) guna mengatasi permasalahan permodalan Bank selain Bank Sistemik. Pasal 10 Bank selain Bank Sistemik wajib menyampaikan rencana tindak (action plan) sesuai dengan permasalahan yang dihadapi dan menyampaikan daftar pihak terkait secara lengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a dan huruf c paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak Bank selain Bank Sistemik ditetapkan dalam pengawasan intensif. Pasal 11 (1) Rencana tindak (action plan) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a paling sedikit memuat rencana perbaikan sesuai dengan permasalahan yang dihadapi Bank selain Bank Sistemik disertai jangka waktu penyelesaian. (2) Rencana tindak (action plan) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dievaluasi oleh OJK paling lama 5 (lima) hari kerja sejak rencana tindak (action plan) diterima secara lengkap. (3) Dalam hal rencana tindak (action plan) yang disampaikan ditolak oleh OJK, Bank selain Bank Sistemik wajib mengajukan revisi rencana tindak (action plan) paling lama 5 (lima) hari kerja sejak tanggal pemberitahuan penolakan. - 12 - Pasal 12 (1) Bank selain Bank Sistemik dan/atau PSP wajib menyampaikan rencana perbaikan permodalan (capital restoration plan) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) kepada OJK paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak Bank selain Bank Sistemik ditetapkan dalam pengawasan intensif. (2) Rencana perbaikan permodalan (capital restoration plan) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menggambarkan kemampuan Bank selain Bank Sistemik untuk mencapai dan memelihara rasio KPMM yang ditetapkan oleh OJK dalam jangka waktu yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1). (3) Rencana perbaikan permodalan (capital restoration plan) Bank selain Bank Sistemik dinilai oleh OJK paling lama 5 (lima) hari kerja sejak rencana perbaikan permodalan (capital restoration plan) diterima secara lengkap. (4) Dalam hal rencana perbaikan permodalan (capital restoration plan) Bank selain Bank Sistemik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditolak, Bank selain Bank Sistemik wajib mengajukan revisi rencana perbaikan permodalan (capital restoration plan) paling lama 5 (lima) hari kerja sejak tanggal penolakan. Pasal 13 (1) Bank selain Bank Sistemik wajib menyampaikan kepada OJK realisasi rencana tindak (action plan) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf b dan/atau realisasi rencana perbaikan permodalan (capital restoration plan) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2), setiap akhir bulan paling lama pada hari kerja ketujuh bulan berikutnya. (2) Realisasi rencana tindak (action plan) dan/atau realisasi rencana perbaikan permodalan (capital restoration plan) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat paling sedikit: - 13 - a. permasalahan Bank selain Bank Sistemik; b. tindakan perbaikan yang telah dilakukan oleh Bank selain Bank Sistemik; dan c. waktu pelaksanaan perbaikan. Pasal 14 (1) Bank selain Bank Sistemik ditetapkan tidak lagi berada dalam pengawasan intensif dalam hal kondisi Bank selain Bank Sistemik membaik dan tidak memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3. (2) Penetapan sebagai Bank selain Bank Sistemik yang tidak lagi berada dalam pengawasan intensif diberitahukan secara tertulis oleh OJK kepada Bank selain Bank Sistemik. Bagian Ketiga Bank selain Bank Sistemik dalam Pengawasan Khusus Pasal 15 (1) Bank selain Bank Sistemik ditetapkan oleh OJK dalam pengawasan khusus dalam hal memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5. (2) Penetapan Bank selain Bank Sistemik dalam pengawasan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberitahukan secara tertulis oleh OJK. (3) Selain pemberitahuan kepada Bank selain Bank Sistemik sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penetapan status dalam pengawasan khusus diberitahukan oleh OJK kepada LPS. (4) Pemberitahuan kepada Bank selain Bank Sistemik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memuat penetapan Bank selain Bank Sistemik dalam pengawasan khusus disertai dengan alasan penetapan serta langkah atau tindakan pengawasan yang wajib dilakukan oleh Bank selain Bank Sistemik. - 14 - Pasal 16 (1) Bank selain Bank Sistemik dalam pengawasan khusus wajib melakukan penambahan modal untuk memenuhi rasio KPMM dan/atau kewajiban pemenuhan GWM sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Penambahan modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dipenuhi oleh Bank selain Bank Sistemik dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3). Pasal 17 (1) Bank selain Bank Sistemik dalam pengawasan khusus wajib melakukan tindakan pengawasan yang diperintahkan oleh OJK. (2) Tindakan pengawasan yang diperintahkan oleh OJK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu: a. melarang Bank selain Bank Sistemik menjual atau menurunkan jumlah aset tanpa persetujuan OJK kecuali untuk Sertifikat Bank Indonesia, Sertifikat Bank Indonesia Syariah, Sertifikat Deposito Bank Indonesia, Surat Berharga Bank Indonesia Valuta Asing, giro pada Bank Indonesia, tagihan antar Bank, dan/atau Surat Berharga Negara; b. melarang Bank selain Bank Sistemik mengubah kepemilikan bagi: 1. pemegang saham yang memiliki saham Bank selain Bank Sistemik sebesar 10% (sepuluh persen) atau lebih; dan/atau 2. PSP termasuk pihak yang melakukan pengendalian terhadap Bank selain Bank Sistemik dalam struktur kelompok usaha Bank selain Bank Sistemik, kecuali telah memperoleh persetujuan OJK; dan/atau c. memerintahkan Bank selain Bank Sistemik untuk melaporkan setiap perubahan kepemilikan saham Bank selain Bank Sistemik kurang dari 10% (sepuluh persen) kepada OJK. - 15 - Pasal 18 (1) Selain tindakan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dan Pasal 17, OJK berwenang memerintahkan Bank selain Bank Sistemik dalam pengawasan khusus untuk melakukan tindakan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2). (2) Tindakan pengawasan yang ditetapkan pada saat Bank selain Bank Sistemik dalam pengawasan intensif dinyatakan tetap berlaku. Pasal 19 (1) Bank selain Bank Sistemik dalam pengawasan khusus wajib menyampaikan kepada OJK: a. laporan keuangan terkini berupa neraca dan laporan laba rugi serta rekening administratif; b. rincian aset produktif terkini yang dikelompokkan berdasarkan kualitas; c. peringkat komposit tingkat kesehatan Bank selain Bank Sistemik yang terkini; d. informasi dan dokumen mengenai: 1. daftar terkini simpanan nasabah secara agregat yang dikelompokkan berdasarkan nilai nominal; 2. daftar terkini rincian tagihan dan kewajiban Bank selain Bank Sistemik kepada pihak terkait; dan 3. informasi lain yang diperlukan OJK; e. laporan keuangan terkini dari perusahaan yang memperoleh penyertaan modal dari Bank selain Bank Sistemik selain penyertaan modal sementara dalam rangka restrukturisasi kredit atau pembiayaan; f. laporan struktur terkini kelompok usaha terkait Bank selain Bank Sistemik, termasuk badan hukum pemegang saham Bank selain Bank Sistemik sampai dengan ultimate shareholders; dan g. laporan proyeksi arus kas untuk jangka waktu 1 (satu) bulan mendatang atau berdasarkan periode - 16 - laporan lain, yang terinci secara harian dan dengan frekuensi sesuai dengan yang ditetapkan oleh OJK. (2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan kepada OJK paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak Bank selain Bank Sistemik ditetapkan dalam pengawasan khusus. Pasal 20 (1) OJK membatasi kegiatan usaha tertentu Bank selain Bank Sistemik dalam pengawasan khusus paling lama 1 (satu) bulan dalam periode pengawasan khusus, apabila: a. OJK menilai kondisi Bank selain Bank Sistemik semakin memburuk; dan/atau b. terjadi pelanggaran ketentuan perbankan yang dilakukan oleh Direksi, Dewan Komisaris, dewan pengawas syariah dan/atau PSP. (2) Pembatasan kegiatan usaha tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberitahukan oleh OJK kepada Bank selain Bank Sistemik dan LPS. Pasal 21 (1) Bank selain Bank Sistemik dalam pengawasan khusus yang dikenakan pembatasan kegiatan usaha tertentu dapat diumumkan oleh OJK pada situs OJK. (2) Pengumuman Bank selain Bank Sistemik dalam pengawasan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan: a. alasan pembatasan kegiatan usaha tertentu; dan b. tindakan perbaikan yang wajib dilakukan oleh Bank selain Bank Sistemik dan/atau larangan yang diperintahkan oleh OJK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dan Pasal 17. (3) Bank selain Bank Sistemik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang telah melakukan perbaikan sehingga tidak memenuhi kriteria Bank selain Bank Sistemik dalam pengawasan khusus sebagaimana diatur dalam Pasal 5, diumumkan oleh OJK pada situs OJK. - 17 - Pasal 22 (1) Bank selain Bank Sistemik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 wajib memberitahukan kepada seluruh jaringan kantor mengenai kegiatan usaha tertentu yang dikenakan pembatasan dan perintah yang ditetapkan OJK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dan Pasal 17. (2) Pemberitahuan kepada seluruh jaringan kantor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan pada tanggal diterimanya pemberitahuan pembatasan kegiatan usaha tertentu dari OJK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2). Pasal 23 Bank selain Bank Sistemik dalam pengawasan khusus ditetapkan oleh OJK tidak dapat disehatkan, apabila: a. jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) belum terlampaui namun kondisi Bank selain Bank Sistemik menurun sehingga: 1. rasio KPMM sama dengan atau kurang dari 4% (empat persen) dan dinilai tidak dapat ditingkatkan menjadi 8% (delapan persen); dan/atau 2. rasio GWM dalam rupiah sama dengan 0% (nol persen) dan dinilai tidak dapat diselesaikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; atau b. jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) terlampaui dan: 1. rasio KPMM Bank selain Bank Sistemik kurang dari 8% (delapan persen); dan/atau 2. rasio GWM dalam rupiah kurang dari rasio yang ditetapkan untuk GWM dalam rupiah yang wajib dipenuhi oleh Bank selain Bank Sistemik. Pasal 24 Dalam hal Bank selain Bank Sistemik dalam pengawasan khusus memenuhi kriteria sebagai Bank selain Bank Sistemik - 18 - yang tidak dapat disehatkan, OJK memberitahukan secara tertulis kepada: a. Bank selain Bank Sistemik dalam pengawasan khusus yang ditetapkan tidak dapat disehatkan; dan b. LPS untuk memperoleh keputusan terhadap penyelesaian Bank selain Bank Sistemik sebagaimana dimaksud dalam huruf a. Pasal 25 (1) Bank selain Bank Sistemik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 yang diselamatkan oleh LPS, tetap wajib melaksanakan tindakan pengawasan yang telah ditetapkan oleh OJK. (2) Bank selain Bank Sistemik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 yang diselamatkan oleh LPS, dikecualikan dari penetapan sebagai Bank selain Bank Sistemik dalam pengawasan intensif atau Bank selain Bank Sistemik dalam pengawasan khusus. Pasal 26 Dalam hal LPS memutuskan untuk tidak melakukan penyelamatan terhadap Bank selain Bank Sistemik, OJK melakukan pencabutan izin usaha Bank selain Bank Sistemik setelah memperoleh pemberitahuan keputusan dari LPS. BAB III BANK SISTEMIK Bagian Kesatu Bank Sistemik dalam Pengawasan Normal yang Dinilai Memiliki Permasalahan Signifikan Pasal 27 (1) Dalam hal Bank Sistemik dalam pengawasan normal dinilai memiliki permasalahan signifikan, Bank Sistemik wajib: - 19 - a. menerapkan rencana aksi (recovery plan) untuk permasalahan keuangan; dan/atau b. menyampaikan rencana tindak (action plan) kepada OJK untuk permasalahan selain permasalahan keuangan. (2) Tata cara penyampaian rencana tindak (action plan) dan langkah perbaikan yang akan dilaksanakan oleh Bank Sistemik yang dimuat dalam rencana tindak (action plan) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada ketentuan OJK yang mengatur mengenai penilaian tingkat kesehatan bank umum atau ketentuan OJK yang mengatur mengenai penilaian tingkat kesehatan bank umum syariah dan unit usaha syariah. Bagian Kedua Bank Sistemik dalam Pengawasan Intensif Pasal 28 (1) Bank Sistemik ditetapkan dalam pengawasan intensif dalam hal memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3. (2) Bank Sistemik yang ditetapkan dalam pengawasan intensif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberitahukan secara tertulis oleh OJK mengenai: a. penetapan Bank Sistemik dalam pengawasan intensif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3; atau b. penetapan perpanjangan jangka waktu Bank Sistemik dalam pengawasan intensif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), disertai dengan alasan penetapan serta langkah atau tindakan pengawasan yang wajib dilakukan oleh Bank Sistemik. Pasal 29 (1) Bank Sistemik yang ditetapkan dalam pengawasan intensif, wajib: a. menerapkan rencana aksi (recovery plan) untuk mengatasi permasalahan keuangan; dan/atau - 20 - b. menyampaikan rencana tindak (action plan) untuk mengatasi selain permasalahan keuangan. (2) Bank Sistemik yang ditetapkan dalam pengawasan intensif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga wajib menyampaikan daftar pihak terkait secara lengkap. (3) Ketentuan mengenai penyampaian rencana tindak (action plan) dan laporan realisasi rencana tindak (action plan) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, wajib mengacu pada ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal 13. Pasal 30 Bank Sistemik yang ditetapkan dalam pengawasan intensif selain menerapkan rencana aksi (recovery plan) dan rencana tindak (action plan), wajib melaksanakan tindakan pengawasan yang diperintahkan oleh OJK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2). Pasal 31 (1) Dalam rangka persiapan penanganan permasalahan solvabilitas, OJK memberitahukan penetapan Bank Sistemik yang ditetapkan dalam pengawasan intensif kepada LPS. (2) Dalam rangka persiapan penanganan permasalahan solvabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penilaian aset dan/atau kewajiban (due diligence) Bank Sistemik dalam pengawasan intensif dilakukan oleh LPS setelah berkoordinasi dengan OJK. Pasal 32 (1) Bank Sistemik ditetapkan tidak lagi berada dalam pengawasan intensif dalam hal kondisi Bank Sistemik membaik dan tidak memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3. (2) Penetapan sebagai Bank Sistemik yang tidak lagi berada dalam pengawasan intensif diberitahukan secara tertulis oleh OJK kepada Bank Sistemik yang bersangkutan. - 21 - (3) Pemberitahuan penetapan sebagai Bank Sistemik yang tidak lagi berada dalam pengawasan intensif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) karena permasalahan solvabilitas disampaikan juga kepada LPS. Bagian Ketiga Bank Sistemik dalam Pengawasan Khusus Pasal 33 Bank Sistemik ditetapkan oleh OJK dalam pengawasan khusus apabila memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5. Pasal 34 Bank Sistemik yang ditetapkan dalam pengawasan khusus wajib menerapkan rencana aksi (recovery plan) untuk mengatasi permasalahan keuangan. Pasal 35 (1) Penetapan Bank Sistemik dalam pengawasan khusus diberitahukan secara tertulis oleh OJK kepada Bank Sistemik yang bersangkutan. (2) Pemberitahuan kepada Bank Sistemik yang ditetapkan dalam pengawasan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan alasan penetapan serta langkah atau tindakan pengawasan yang wajib dilaksanakan oleh Bank Sistemik. (3) Selain pemberitahuan kepada Bank Sistemik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penetapan Bank Sistemik dalam pengawasan khusus diberitahukan oleh OJK kepada LPS. Pasal 36 (1) Dalam hal Bank Sistemik ditetapkan dalam pengawasan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33, OJK meminta LPS untuk meningkatkan intensitas persiapan penanganan permasalahan solvabilitas Bank Sistemik - 22 - yang ditetapkan sebagai Bank Sistemik dalam pengawasan khusus. (2) Dalam rangka peningkatan intensitas persiapan penanganan permasalahan solvabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), LPS dapat melakukan langkah yang diperlukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, setelah berkoordinasi dengan OJK. Pasal 37 (1) Bank Sistemik dalam pengawasan khusus wajib melakukan penambahan modal untuk memenuhi rasio KPMM dan/atau kewajiban pemenuhan GWM sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Penambahan modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dipenuhi dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3). Pasal 38 (1) Bank Sistemik dalam pengawasan khusus wajib melakukan tindakan pengawasan yang diperintahkan oleh OJK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dan Pasal 18. (2) Bank Sistemik yang ditetapkan dalam pengawasan khusus wajib menyampaikan laporan, data atau informasi kepada OJK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19. Pasal 39 (1) OJK meminta penyelenggaraan Rapat Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) dalam hal Bank Sistemik dalam pengawasan khusus memenuhi kriteria: a. jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) belum terlampaui namun: 1. rasio KPMM sama dengan atau lebih dari 4% (empat persen) namun kurang dari 8% (delapan persen) dan OJK menilai Bank Sistemik sudah tidak dapat disehatkan; dan/atau 2. rasio GWM dalam rupiah sama dengan 0% (nol persen) dan dinilai tidak dapat diselesaikan - 23 - sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan; atau b. jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) terlampaui dan: 1. rasio KPMM Bank Sistemik kurang dari 8% (delapan persen); dan/atau 2. rasio GWM dalam rupiah kurang dari rasio yang ditetapkan untuk GWM dalam rupiah yang wajib dipenuhi oleh Bank Sistemik. (2) OJK meminta penyelenggaraan Rapat KSSK untuk menetapkan langkah penanganan permasalahan Bank Sistemik dalam pengawasan khusus yang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 40 Dalam hal Bank Sistemik dalam pengawasan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (2) diputuskan oleh KSSK diserahkan kepada LPS untuk dilakukan penanganan berdasarkan Undang-Undang mengenai pencegahan dan penanganan krisis sistem keuangan dan Undang-Undang mengenai lembaga penjamin simpanan, OJK memberitahukan kepada Bank Sistemik mengenai keputusan KSSK tersebut. BAB IV KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 41 Penyampaian laporan dan informasi sebagaimana diatur dalam Peraturan OJK ini disampaikan kepada OJK dengan alamat: a. Departemen Pengawasan Bank, Departemen Pengawasan Perbankan Syariah atau Kantor Regional OJK di Jakarta, bagi Bank yang berkantor Pusat di wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta; atau b. Kantor Regional atau Kantor OJK setempat, bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta. - 24 - BAB V SANKSI Pasal 42 Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), Pasal 8 ayat (1), Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11 ayat (3), Pasal 12 ayat (1), Pasal 12 ayat (4), Pasal 13 ayat (1), Pasal 16, Pasal 17 ayat (1), Pasal 19 ayat (1), Pasal 19 ayat (2), Pasal 22, Pasal 25 ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 29, Pasal 30, Pasal 34, Pasal 37 ayat (1), Pasal 37 ayat (2) dan/atau Pasal 38 dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan atau sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, berupa: a. teguran tertulis; dan/atau b. pemberhentian anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris Bank. BAB VI KETENTUAN PERALIHAN Pasal 43 Pada saat Peraturan OJK ini mulai berlaku, jangka waktu bagi Bank yang sebelumnya telah ditetapkan dalam pengawasan intensif dan jangka waktu Bank yang telah ditetapkan dalam pengawasan khusus tetap mengacu pada jangka waktu yang telah ditetapkan sebelumnya oleh OJK. - 25 - BAB VII KETENTUAN PENUTUP Pasal 44 Dengan berlakunya Peraturan OJK ini: a. Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/3/PBI/2011 tentang Penetapan Status dan Tindak Lanjut Pengawasan Bank (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5190); dan b. Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/2/PBI/2013 tentang Penetapan Status dan Tindak Lanjut Pengawasan Bank Umum Konvensional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5417), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 45 Peraturan OJK ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. - 26 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan OJK ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 4 April 2017 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 7 April 2017 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 65 Salinan ini sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 15 /POJK.03/2017 TENTANG PENETAPAN STATUS DAN TINDAK LANJUT PENGAWASAN BANK UMUM I. UMUM Sistem perbankan yang sehat merupakan salah satu prasyarat untuk mendukung terciptanya stabilitas sistem keuangan, pertumbuhan perekonomian nasional serta terpeliharanya kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankan. Oleh karena itu setiap permasalahan Bank perlu diselesaikan dengan cepat agar tidak mengganggu stabilitas sistem keuangan dan menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat. Penanganan terhadap permasalahan Bank dilakukan bukan hanya pada saat Bank ditetapkan dalam pengawasan intensif namun sejak saat Bank dalam pengawasan normal memiliki permasalahan signifikan dan berpotensi ditetapkan menjadi Bank dalam pengawasan intensif. Hal tersebut merupakan langkah preventif yang bertujuan untuk mengatasi permasalahan Bank sedini mungkin sehingga tidak akan mengganggu kelangsungan usaha Bank dan stabilitas sistem keuangan. Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan, Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) dibentuk. KSSK menyelenggarakan pencegahan dan penanganan krisis sistem keuangan untuk melaksanakan kepentingan dan ketahanan negara di bidang perekonomian. Setiap anggota KSSK, bertindak untuk dan atas nama lembaga yang dipimpinnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. - 2 - Oleh karena itu diperlukan penyempurnaan mekanisme tindak lanjut penanganan permasalahan Bank Sistemik (systemically important bank) melalui perubahan peraturan mengenai penetapan status dan tindak lanjut pengawasan bank umum. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan “pengawasan normal” adalah pengawasan terhadap Bank yang tidak memenuhi kriteria sebagai Bank yang dinilai memiliki potensi kesulitan yang membahayakan kelangsungan usaha atau tidak memenuhi kriteria sebagai Bank yang dinilai mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usaha. Huruf b Yang dimaksud dengan “pengawasan intensif” adalah suatu peningkatan proses pengawasan terhadap Bank yang sebelumnya berada dalam pengawasan normal dengan tujuan untuk mengembalikan kondisi Bank. Tindakan untuk mengembalikan kondisi Bank dilakukan dengan menetapkan tindakan pengawasan (supervisory actions) yang sesuai dengan permasalahan Bank. Huruf c Yang dimaksud dengan “pengawasan khusus” adalah suatu peningkatan proses pengawasan terhadap Bank yang sebelumnya berada dalam pengawasan normal atau intensif dengan tujuan untuk mengembalikan kondisi Bank. Tindakan untuk mengembalikan kondisi Bank dilakukan dengan menetapkan tindakan pengawasan (supervisory actions) yang sesuai dengan permasalahan Bank. - 3 - Pasal 3 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Kewajiban Bank untuk memiliki rasio KPMM sesuai dengan profil risiko Bank mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai kewajiban penyediaan modal minimum bank umum dan ketentuan OJK yang mengatur mengenai kewajiban penyediaan modal minimum bank umum syariah. Huruf b Perhitungan rasio modal inti (tier 1) sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai kewajiban penyediaan modal minimum bank umum dan ketentuan OJK yang mengatur mengenai kewajiban penyediaan modal minimum bank umum syariah. Modal inti (tier 1) bagi kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri adalah dana usaha yang telah dialokasikan menjadi Capital Equivalency Maintained Assets (CEMA) sebagaimana dimaksud dalam ketentuan OJK yang mengatur mengenai kewajiban penyediaan modal minimum bank umum. Huruf c Yang dimaksud dengan “GWM dalam rupiah” adalah GWM primer bagi bank umum dan GWM dalam rupiah bagi bank umum syariah. Ketentuan mengenai GWM dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai giro wajib minimum. Yang dimaksud dengan “permasalahan likuiditas mendasar” adalah: 1. perubahan posisi Bank di pasar uang dari posisi pemberi pinjaman (net lender) menjadi posisi penerima pinjaman (net borrower); - 4 - 2. posisi arus kas yang semakin buruk sebagai akibat maturity mismatch yang besar, terutama pada skala waktu jangka pendek; 3. upaya Bank untuk memperoleh dana di pasar uang dengan suku bunga atau tingkat imbalan yang lebih tinggi dari suku bunga wajar atau suku bunga pasar; 4. ketergantungan pada agunan untuk memperoleh dana; 5. peningkatan pencairan deposito sebelum jatuh tempo; dan/atau 6. permasalahan likuiditas mendasar lain. Huruf d Yang dimaksud dengan “kredit bermasalah (NPL) atau pembiayaan bermasalah (NPF)” adalah kredit atau pembiayaan yang memiliki kualitas kurang lancar, diragukan, atau macet sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penilaian kualitas aset bank umum dan ketentuan OJK mengenai penilaian kualitas aset bank umum syariah dan unit usaha syariah. Formula perhitungan rasio kredit bermasalah secara neto (NPL net) adalah: Kredit Bermasalah - Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN) Kredit Bermasalah Total Kredit Formula perhitungan rasio pembiayaan bermasalah secara neto (NPF net) adalah: Pembiayaan Bermasalah – CKPN Pembiayaan Bermasalah Total Pembiayaan Huruf e Yang dimaksud dengan “peringkat komposit tingkat kesehatan Bank” adalah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan OJK yang mengatur mengenai penilaian tingkat kesehatan bank umum dan ketentuan OJK yang mengatur mengenai penilaian tingkat kesehatan bank umum syariah dan unit usaha syariah. - 5 - Huruf f Yang dimaksud dengan “peringkat faktor tata kelola” adalah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan OJK mengenai penerapan tata kelola bagi bank umum dan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pelaksanaan good corporate governance bagi bank umum syariah dan unit usaha syariah. Pasal 4 Ayat (1) Perhitungan jangka waktu Bank dalam pengawasan intensif paling lama 1 (satu) tahun termasuk jangka waktu penyusunan dan revisi rencana tindak (action plan). Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan “penyelesaian bersifat kompleks” antara lain penyelesaian kredit bermasalah (NPL) atau pembiayaan bermasalah (NPF) untuk kredit sindikasi atau pembiayaan sindikasi dan/atau kredit atau pembiayaan yang direstrukturisasi secara menyeluruh yang mencakup kegiatan usaha dari hulu sampai dengan hilir. Huruf b Yang dimaksud dengan “peringkat komposit tingkat kesehatan Bank” adalah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan OJK yang mengatur mengenai penilaian tingkat kesehatan bank umum dan ketentuan OJK yang mengatur mengenai penilaian tingkat kesehatan bank umum syariah dan unit usaha syariah. Huruf c Yang dimaksud dengan “peringkat faktor tata kelola” adalah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan OJK yang mengatur mengenai penerapan tata kelola bagi bank umum dan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pelaksanaan good corporate governance bagi bank umum syariah dan unit usaha syariah. - 6 - Ayat (3) Yang dimaksud dengan “peningkatan tindakan pengawasan” adalah peningkatan jumlah tindakan pengawasan dan/atau penerapan tindakan pengawasan yang berdampak lebih berat bagi Bank dari tindakan pengawasan yang ditetapkan sebelumnya. Pasal 5 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan “rasio KPMM” adalah rasio sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai kewajiban penyediaan modal minimum bank umum dan ketentuan OJK yang mengatur mengenai kewajiban penyediaan modal minimum bank umum syariah. Huruf b Yang dimaksud dengan “rasio GWM dalam rupiah” adalah rasio sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai giro wajib minimum. Angka 1 Yang dimaksud dengan “permasalahan likuiditas mendasar” adalah: a) perubahan posisi Bank di pasar uang dari posisi pemberi pinjaman (net lender) menjadi posisi penerima pinjaman (net borrower); b) posisi arus kas yang semakin buruk sebagai akibat maturity mismatch yang besar, terutama pada skala waktu jangka pendek; c) upaya Bank untuk memperoleh dana di pasar uang dengan suku bunga atau tingkat imbalan yang lebih tinggi dari suku bunga wajar atau suku bunga pasar; d) ketergantungan pada agunan untuk memperoleh dana; - 7 - e) peningkatan pencairan deposito sebelum jatuh tempo; dan/atau f) permasalahan likuiditas mendasar lain. Angka 2 Yang dimaksud dengan “Bank mengalami perkembangan likuiditas yang memburuk” adalah apabila kecenderungan dari rasio GWM Bank semakin menurun. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 6 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “Bank selain Bank Sistemik dalam pengawasan normal dinilai memiliki permasalahan signifikan” adalah Bank yang memperoleh penilaian tingkat kesehatan dengan peringkat komposit 3 (tiga) namun berpotensi ditetapkan dalam pengawasan intensif sebagaimana diatur dalam ketentuan OJK mengenai penilaian tingkat kesehatan bank umum dan ketentuan OJK mengenai penilaian tingkat kesehatan bank umum syariah dan unit usaha syariah. Rencana tindak (action plan) memuat langkah perbaikan yang akan dilaksanakan oleh Bank selain Bank Sistemik dalam rangka mengatasi permasalahan signifikan yang dihadapi beserta target waktu penyelesaian permasalahan. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Ayat (1) Tindakan pengawasan yang diperintahkan oleh OJK disesuaikan dengan permasalahan Bank selain Bank Sistemik. - 8 - Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Bagi Bank selain Bank Sistemik umum konvensional, yang dimaksud dengan “remunerasi” adalah remunerasi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan OJK mengenai tata kelola dalam pemberian remunerasi bagi bank umum. Bagi Bank selain Bank Sistemik umum syariah, yang dimaksud dengan “remunerasi” adalah imbalan yang ditetapkan dan diberikan kepada anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, anggota dewan pengawas syariah dan/atau pegawai baik yang bersifat tetap maupun variabel dalam bentuk tunai maupun tidak tunai sesuai dengan tugas, wewenang, dan tanggung jawabnya. Yang dimaksud dengan “pihak terkait” adalah pihak terkait sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai batas maksimum pemberian kredit bagi bank umum. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Yang dimaksud dengan “distribusi laba“ antara lain berupa pembayaran dividen dan pembayaran bonus kepada Direksi dan/atau Dewan Komisaris. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Yang dimaksud dengan “transaksi tertentu“ antara lain pencairan dana, pemberian fasilitas penyediaan dana seperti kredit atau pembiayaan, surat berharga, letter of credit, standby letter of credit, atau yang sejenis dengan itu. Yang dimaksud dengan “pihak terkait” adalah pihak terkait sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai batas maksimum pemberian kredit bagi bank umum. - 9 - Yang dimaksud dengan “pihak lain” adalah orang perseorangan atau badan hukum tertentu yang bukan pihak terkait. Huruf g Yang dimaksud dengan “penerbitan produk dan/atau pelaksanaan aktivitas“ antara lain penerbitan surat utang, sekuritisasi aset, dan kerjasama pemasaran. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Cukup jelas. Huruf k Yang dimaksud dengan “kegiatan usaha” adalah usaha bank sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai perbankan dan Undang-Undang mengenai perbankan syariah. Huruf l Cukup jelas. Huruf m Cukup jelas. Huruf n Cukup jelas. Huruf o Penggantian Direksi dan/atau Dewan Komisaris Bank selain Bank Sistemik dapat dilakukan sebagian atau seluruh anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris. Huruf p Cukup jelas. Huruf q Cukup jelas. Huruf r Yang dimaksud dengan “pengelola statuter” adalah pengelola statuter sebagaimana dimaksud dalam ketentuan OJK yang mengatur mengenai tata cara penetapan pengelola statuter pada lembaga jasa keuangan. - 10 - Huruf s Cukup jelas. Pasal 9 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Contoh tindakan lainnya antara lain mengkinikan rencana bisnis (business plan). Ayat (2) Rencana perbaikan permodalan (capital restoration plan) dapat merupakan bagian dari rencana tindak (action plan). Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Cukup jelas. - 11 - Pasal 16 Ayat (1) Penambahan modal Bank selain Bank Sistemik dapat dilakukan baik oleh pemegang saham Bank selain Bank Sistemik maupun dari investor baru. Yang dimaksud dengan “ketentuan perundang-undangan” adalah ketentuan peraturan peraturan perundang-undangan mengenai kewajiban penyediaan modal minimum bank umum, ketentuan OJK yang mengatur mengenai kewajiban penyediaan modal minimum bank umum syariah, dan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai giro wajib minimum. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 17 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Angka 1 Yang dimaksud dengan “memiliki” adalah: a. pemegang saham yang secara sendiri atau bersama-sama dengan pemegang saham terkait lain; b. pemegang saham yang bertindak atas nama pemegang saham lain yang menyebabkan pemegang saham tersebut; atau c. pemegang saham yang memiliki hak opsi atau hak lain untuk memiliki saham yang apabila digunakan akan menyebabkan pemegang saham tersebut, mempunyai saham Bank selain Bank Sistemik sebesar 10% (sepuluh persen) atau lebih. Termasuk pemegang saham yang secara bersama-sama dengan - 12 - pemegang saham terkait lain sebagaimana dimaksud dalam huruf a adalah pemegang saham yang mempunyai keterkaitan dengan pemegang saham lain dalam bentuk hubungan kepemilikan, hubungan keluarga sampai dengan derajat kedua, dan/atau melakukan kerjasama untuk mencapai tujuan bersama dalam mengendalikan Bank selain Bank Sistemik (acting in concert). Angka 2 Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Laporan struktur kelompok usaha memuat orang perseorangan dan/atau badan hukum pemegang saham Bank selain Bank Sistemik sampai dengan ultimate shareholders. Huruf g Yang dimaksud dengan “laporan proyeksi arus kas” adalah laporan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan OJK mengenai penerapan manajemen risiko bagi bank umum. - 13 - Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 20 Ayat (1) Tindakan membatasi kegiatan usaha tertentu dimaksudkan antara lain untuk meminimalisasi dampak kerugian, memberikan perlindungan kepada nasabah, dan/atau meminimalisasi gangguan terhadap stabilitas sistem keuangan. Yang dimaksud dengan “kegiatan usaha Bank” adalah kegiatan usaha Bank sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai perbankan atau Undang-Undang mengenai perbankan syariah. Huruf a Yang dimaksud dengan “kondisi Bank semakin memburuk” yaitu: 1) rasio KPMM Bank selain Bank Sistemik menurun dengan cepat dan dinilai tidak dapat ditingkatkan menjadi 8% (delapan persen); dan/atau 2) GWM dalam rupiah Bank selain Bank Sistemik menurun dengan cepat dan tidak dapat diselesaikan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai giro wajib minimum. Huruf b Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Cukup jelas. - 14 - Pasal 23 Huruf a Angka 1 Cukup jelas. Angka 2 Yang dimaksud dengan “ketentuan peraturan perundang-undangan” adalah ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai giro wajib minimum. Huruf b Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Ayat (1) Pilihan bentuk penyelamatan oleh LPS dilakukan dengan mengacu pada Undang-Undang mengenai pencegahan dan penanganan krisis sistem keuangan dan Undang-Undang mengenai lembaga penjamin simpanan, seperti penyertaan modal sementara, pengalihan sebagian atau seluruh aset dan/atau kewajiban Bank selain Bank Sistemik kepada Bank Penerima, atau pengalihan sebagian atau seluruh aset dan/atau kewajiban Bank selain Bank Sistemik kepada bank perantara. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “Bank Sistemik dalam pengawasan normal dinilai memiliki permasalahan signifikan” adalah Bank Sistemik yang memperoleh penilaian tingkat kesehatan dengan peringkat komposit 3 (tiga) namun berpotensi ditetapkan dalam pengawasan intensif sebagaimana diatur dalam ketentuan OJK - 15 - yang mengatur mengenai penilaian tingkat kesehatan bank umum dan ketentuan OJK yang mengatur mengenai penilaian tingkat kesehatan bank umum syariah dan unit usaha syariah. Huruf a Penerapan rencana aksi (recovery plan) mengacu kepada ketentuan OJK mengenai rencana aksi (recovery plan) bagi Bank Sistemik. Huruf b Yang dimaksud dengan “permasalahan selain permasalahan keuangan” adalah permasalahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf e dan huruf f. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Ayat (1) Huruf a Penerapan rencana aksi (recovery plan) untuk mengatasi permasalahan terkait kesulitan keuangan bertujuan agar Bank Sistemik dalam status pengawasan intensif dapat kembali menjadi Bank Sistemik dalam status pengawasan normal. Huruf b Rencana tindak (action plan) memuat langkah perbaikan untuk mengatasi permasalahan yang tidak terkait dengan kesulitan keuangan dan bertujuan agar Bank Sistemik dalam status pengawasan intensif dapat kembali dalam pengawasan normal. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “pihak terkait” adalah pihak terkait sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai batas maksimum pemberian kredit bagi bank umum. - 16 - Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 Ayat (1) Persiapan penanganan permasalahan solvabilitas antara lain berupa pelaksanaan penilaian aset dan/atau kewajiban Bank Sistemik (due diligence). Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 32 Cukup jelas. Pasal 33 Cukup jelas. Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Cukup jelas. Pasal 36 Cukup jelas. Pasal 37 Ayat (1) Penambahan modal Bank Sistemik dapat dilakukan oleh pemegang saham Bank Sistemik atau dari investor baru. Ayat (2) Cukup jelas. - 17 - Pasal 38 Cukup jelas. Pasal 39 Ayat (1) Huruf a Angka 1 Bank Sistemik dinilai sudah tidak dapat disehatkan apabila penerapan rencana aksi (recovery plan) selama jangka waktu Bank Sistemik dalam pengawasan khusus sudah tidak memungkinkan lagi untuk meningkatkan rasio KPMM menjadi paling sedikit sesuai profil risiko. Angka 2 Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 40 Cukup jelas. Pasal 41 Cukup jelas. Pasal 42 Cukup jelas. Pasal 43 Cukup jelas. Pasal 44 Cukup jelas. - 18 - Pasal 45 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6039 "," POJK 15/POJK.03/2017 PENETAPAN STATUS DAN TINDAK LANJUT PENGAWASAN BANK UMUM 4 April 2017 7 April 2017 7 April 2017 '15/2/PBI/2013', '13/3/PBI/2011' '21/UU/2008', '21/UU/2011', '24/UU/2004', '9/UU/2016', '7/UU/2009', '3/PERPPU/2008', '7/UU/1992', '10/UU/1998' 'BAB V' " " - 1 - OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 59 /POJK.04/2016 TENTANG DIREKSI DAN DEWAN KOMISARIS LEMBAGA KLIRING DAN PENJAMINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : bahwa dalam rangka meningkatkan tata kelola Lembaga Kliring dan Penjaminan yang baik dan berdaya saing global, serta meningkatkan kompetensi dan integritas Direksi dan Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan, perlu menyempurnakan peraturan mengenai Direksi dan Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan dengan menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Direksi dan Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); - 2 - MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG DIREKSI DAN DEWAN KOMISARIS LEMBAGA KLIRING DAN PENJAMINAN. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Direksi adalah organ Lembaga Kliring dan Penjaminan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan Lembaga Kliring dan Penjaminan untuk kepentingan Lembaga Kliring dan Penjaminan, sesuai dengan maksud dan tujuan Lembaga Kliring dan Penjaminan serta mewakili Lembaga Kliring dan Penjaminan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar. 2. Dewan Komisaris adalah organ Lembaga Kliring dan Penjaminan yang bertugas melakukan pengawasan secara umum dan/atau khusus sesuai dengan anggaran dasar serta memberi nasihat kepada Direksi. 3. Lembaga Kliring dan Penjaminan adalah Pihak yang menyelenggarakan jasa kliring dan penjaminan penyelesaian Transaksi Bursa. 4. Anggota Kliring adalah Anggota Bursa Efek atau pihak lain, yang memenuhi persyaratan untuk mendapatkan layanan jasa Kliring dan Penjaminan Penyelesaian Transaksi Bursa berdasarkan peraturan Lembaga Kliring dan Penjaminan. 5. Komite Remunerasi adalah komite ad hoc yang dibentuk oleh dan bertanggung jawab kepada Dewan Komisaris dalam membantu melaksanakan fungsi dan tugas Dewan Komisaris untuk mengkaji dan mengusulkan gaji dan manfaat lain bagi anggota Direksi, serta honorarium - 3 - termasuk metode penentuannya, bagi anggota Dewan Komisaris. 6. Komite Penilaian Kemampuan Dan Kepatutan adalah komite ad hoc yang dibentuk oleh Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal Otoritas Jasa Keuangan untuk melakukan penilaian kemampuan dan kepatutan calon anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan. 7. Rapat Umum Pemegang Saham, yang selanjutnya disingkat RUPS, adalah organ Lembaga Kliring dan Penjaminan yang mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi atau Dewan Komisaris dalam batas yang ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan/atau anggaran dasar. BAB II DIREKSI LEMBAGA KLIRING DAN PENJAMINAN Bagian Kesatu Keanggotaan Direksi Pasal 2 (1) Lembaga Kliring dan Penjaminan wajib mempunyai paling sedikit 2 (dua) orang anggota Direksi. (2) Satu di antara anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan wajib ditetapkan sebagai direktur utama Lembaga Kliring dan Penjaminan dengan tugas utama paling sedikit: 1. mengambil keputusan yang bersifat final jika rapat Direksi tidak dapat mengambil keputusan; dan 2. melakukan koordinasi kegiatan di Lembaga Kliring dan Penjaminan, kegiatan hubungan masyarakat, kegiatan hukum dan peraturan, dan kegiatan pemeriksaan internal. (3) Anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan selain direktur utama wajib ditetapkan sebagai anggota Direksi - 4 - Lembaga Kliring dan Penjaminan yang paling sedikit bertanggung jawab terhadap 1 (satu) atau lebih kegiatan sebagai berikut: a. kliring; b. penjaminan dan pengelolaan risiko; c. riset dan pengembangan; d. teknologi informasi; e. hukum; dan f. keuangan dan sumber daya manusia serta administrasi umum. Pasal 3 (1) Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan wajib menyampaikan jadwal dan agenda RUPS dalam rangka pengangkatan anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 121 (seratus dua puluh satu) hari sebelum RUPS pengangkatan anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan. (2) Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan menelaah jumlah kebutuhan dan jabatan anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan serta mengajukan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 116 (seratus enam belas) hari sebelum RUPS pengangkatan anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan. (3) Dalam menelaah jumlah kebutuhan dan jabatan anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan, Dewan Komisaris dapat membentuk komite dengan atau tanpa melibatkan pihak lain, dengan berpedoman pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Perizinan Lembaga Kliring dan Penjaminan dan struktur organisasi Lembaga Kliring dan Penjaminan. (4) Dalam menentukan jabatan anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan, Dewan Komisaris wajib memperhatikan kegiatan yang menjadi tanggung jawab - 5 - masing-masing jabatan anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) dan ayat (3). (5) Apabila dalam batas waktu pengajuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Dewan Komisaris belum mengajukan jumlah kebutuhan dan jabatan anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan, Otoritas Jasa Keuangan berwenang menetapkan langsung jumlah kebutuhan dan jabatan anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan. (6) Otoritas Jasa Keuangan berwenang menetapkan jumlah kebutuhan dan jabatan anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan paling lambat 106 (seratus enam) hari sebelum RUPS pengangkatan anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan. (7) Apabila sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (6), Otoritas Jasa Keuangan belum menetapkan jumlah kebutuhan dan jabatan anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan, berlaku jumlah kebutuhan dan jabatan anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan periode sebelumnya. Pasal 4 Dengan memperhatikan perkembangan kegiatan dan kebutuhan operasional Lembaga Kliring dan Penjaminan, Otoritas Jasa Keuangan dapat menambah anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan dalam Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan yang sedang menjabat. Bagian Kedua Persyaratan Anggota Direksi dan Susunan Direksi Pasal 5 Anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan wajib memenuhi persyaratan: a. integritas meliputi: - 6 - 1. orang perseorangan warga negara Indonesia dan cakap melakukan perbuatan hukum; 2. memiliki akhlak dan moral yang baik; 3. tidak pernah dinyatakan pailit atau menjadi anggota Dewan Komisaris dan/atau anggota Direksi yang dinyatakan bersalah atau turut bersalah menyebabkan suatu perusahaan dinyatakan pailit; 4. tidak pernah dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana dalam jangka waktu tertentu sebelum dicalonkan; 5. tidak pernah melakukan perbuatan tercela yang dibuktikan dengan menyampaikan paling sedikit Surat Keterangan Catatan Kepolisian dimana jangka waktu tanggal diterbitkannya sampai dengan diajukan ke Otoritas Jasa Keuangan tidak lebih dari 6 (enam) bulan atau sesuai dengan masa berlaku yang diberikan dari kepolisian jika kurang dari 6 (enam) bulan; 6. tidak pernah melakukan pelanggaran yang material atas ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan; dan 7. mempunyai komitmen terhadap pengembangan Lembaga Kliring dan Penjaminan dan Pasar Modal Indonesia; dan b. kompetensi meliputi: 1. mempunyai pemahaman terhadap peraturan perundang-undangan di bidang Pasar Modal dan pengetahuan yang luas tentang Pasar Modal termasuk perkembangan Pasar Modal internasional; 2. memahami prinsip tata kelola perusahaan yang baik dan prinsip pengelolaan risiko; dan 3. memiliki latar belakang dan/atau pengalaman yang cukup. - 7 - Pasal 6 Berdasarkan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b angka 3, anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. paling sedikit seorang anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan wajib mempunyai pengalaman dalam posisi manajerial pada bidang pengelolaan risiko dan/atau pengelolaan investasi pada perusahaan yang bergerak di bidang keuangan, atau posisi manajerial yang membawahi jasa kustodian paling rendah 1 (satu) tingkat di bawah anggota Direksi pada Bank Kustodian, paling singkat 5 (lima) tahun; b. anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan lainnya wajib berpengalaman pada: 1. posisi anggota Direksi pada perusahaan yang bergerak di bidang keuangan paling singkat 5 (lima) tahun; 2. posisi manajerial pada bidang teknologi informasi paling singkat 3 (tiga) tahun dan memiliki pengetahuan yang cukup mengenai sistem informasi perusahaan yang bergerak di bidang keuangan; 3. posisi manajerial paling sedikit 1 (satu) tingkat di bawah direktur atau jabatan yang setara pada institusi pengawas Pasar Modal dan/atau organisasi yang diberi kewenangan oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal untuk mengatur pelaksanaan kegiatannya, paling singkat 3 (tiga) tahun; dan/atau 4. mempunyai pengalaman sebagai profesional di bidang hukum, akuntansi, atau keuangan yang berpraktik secara aktif dalam bidang Pasar Modal, paling singkat 5 (lima) tahun; dan c. jangka waktu atau masa pengalaman anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b dihitung sampai dengan tanggal pelaksanaan RUPS pengangkatan anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan. - 8 - Pasal 7 Anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan yang diajukan sebagai direktur utama Lembaga Kliring dan Penjaminan, wajib mempunyai jiwa kepemimpinan yang kuat. Bagian Ketiga Tata Cara Pencalonan dan Pengajuan Anggota Direksi Pasal 8 (1) Pencalonan dan pengajuan calon anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan dilakukan oleh pemegang saham atau kelompok pemegang saham Lembaga Kliring dan Penjaminan yang memiliki paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari saham Lembaga Kliring dan Penjaminan yang telah dikeluarkan dan mempunyai hak suara. (2) Dalam pencalonan anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan, pemegang saham atau kelompok pemegang saham yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) secara bersama-sama bertanggung jawab untuk: a. mencari dan menyeleksi calon anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2; b. meneliti bahwa setiap calon anggota Direksi tersebut mempunyai keahlian, pengalaman, dan tanggung jawab untuk setiap jabatan dan kegiatan yang menjadi tugas jabatannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 5, dan Pasal 6; dan c. merekomendasikan gaji serta manfaat lain bagi setiap calon anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan dengan mempertimbangkan usulan Komite Remunerasi (jika ada). (3) Calon anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan wajib diajukan kepada Otoritas Jasa Keuangan oleh pemegang saham atau kelompok pemegang saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam 1 (satu) - 9 - kesatuan paket calon Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan, dengan memenuhi ketentuan jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 5, Pasal 6, dan Pasal 7. (4) Pengajuan secara paket sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak berlaku untuk pengajuan calon anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan untuk mengisi jabatan anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan yang lowong atau untuk menambah calon anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan. Pasal 9 (1) Dalam pengajuan calon anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan kepada Otoritas Jasa Keuangan, pemegang saham atau kelompok pemegang saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) wajib melampirkan dalam rangkap 2 (dua) dokumen sebagai berikut: a. riwayat hidup calon anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan; b. fotokopi Kartu Tanda Penduduk calon anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan; c. fotokopi ijazah dan sertifikat keahlian yang menunjukkan keahlian dari calon anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan (jika ada); d. surat pernyataan dari setiap Pihak yang diajukan sebagai calon anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan yang memuat paling sedikit: 1. menyatakan bahwa yang bersangkutan telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 7; 2. menyatakan tentang ada tidaknya hubungan Afiliasi calon anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan dengan calon anggota Direksi lain dari Lembaga Kliring dan Penjaminan, anggota Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan - 10 - Penjaminan, Perusahaan Efek dan/atau Anggota Kliring dalam paket yang diajukan; 3. bersedia tanpa syarat mengikuti proses penilaian kemampuan dan kepatutan yang dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan dan bersedia dipilih menjadi calon anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan oleh Otoritas Jasa Keuangan untuk jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) dan ayat (3), yang berbeda dengan jabatan yang diajukan oleh pemegang saham atau kelompok pemegang saham Lembaga Kliring dan Penjaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1); 4. bersedia untuk diangkat menjadi anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan oleh RUPS yang bertanggung jawab untuk kegiatan yang menjadi tugasnya dan untuk bekerja sama sebaik-baiknya dengan anggota Dewan Komisaris dan anggota Direksi lain dari Lembaga Kliring dan Penjaminan dalam rangka pelaksanaan kegiatan Lembaga Kliring dan Penjaminan yang teratur, wajar, dan efisien; 5. menyatakan tidak melakukan perangkapan jabatan sebagai anggota direksi, anggota dewan komisaris, atau pegawai pada perusahaan atau institusi lain, apabila yang bersangkutan terpilih sebagai anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan; 6. menyatakan bahwa calon anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan setelah menjadi anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan tidak akan menggunakan aset Lembaga Kliring dan Penjaminan atau melakukan transaksi dan memberi manfaat dalam bentuk apapun kepada Afiliasi dari calon anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan, anggota Direksi lain dari Lembaga - 11 - Kliring dan Penjaminan, Afiliasi dari anggota Direksi lain Lembaga Kliring dan Penjaminan, anggota Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan, dan/atau Afiliasi dari anggota Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan; dan 7. menyatakan paling sedikit: a) kesediaan untuk tidak memiliki saham atau sebagai pengendali baik langsung atau tidak langsung Perusahaan Efek dan/atau Anggota Kliring selama menjabat sebagai anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan paling lambat 6 (enam) bulan sejak RUPS pengangkatan anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan dan dalam jangka waktu tersebut yang bersangkutan bersedia untuk tidak memiliki hak suara dalam RUPS; b) kesediaan untuk tidak mengendalikan baik langsung atau tidak langsung Emiten atau Perusahaan Publik; dan/atau c) kesediaan untuk tidak mentransaksikan saham Emiten atau Perusahaan Publik yang dimilikinya sampai dengan 6 (enam) bulan setelah masa jabatannya berakhir. e. Surat Keterangan Catatan Kepolisian; f. jawaban atas pertanyaan sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini; g. pasfoto berwarna terbaru ukuran 10x15 cm dengan latar belakang berwarna merah sebanyak 3 (tiga) lembar; h. surat keterangan mengenai proses mencari, menyeleksi dan meneliti calon anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan dari pemegang saham atau kelompok pemegang saham Lembaga - 12 - Kliring dan Penjaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), termasuk rekomendasi mengenai gaji dan manfaat lain apabila calon anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan diangkat menjadi anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan, yang menyatakan bahwa proses tersebut telah dilakukan secara profesional dan tidak terdapat kepentingan lain termasuk kepentingan karena hubungan Afiliasi, melainkan hanya untuk kepentingan Lembaga Kliring dan Penjaminan khususnya dan Pasar Modal pada umumnya; dan i. rencana strategis calon anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan yang sejalan dengan visi dan misi Lembaga Kliring dan Penjaminan. (2) Pengajuan nama calon anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan oleh pemegang saham atau kelompok pemegang saham Lembaga Kliring dan Penjaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dan ayat (3) beserta dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi syarat dan diterima secara lengkap oleh Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 56 (lima puluh enam) hari sebelum RUPS pengangkatan anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan. Bagian Keempat Penilaian Kemampuan dan Kepatutan Calon Anggota Direksi Pasal 10 (1) Setiap calon anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan yang diajukan wajib menjalani penilaian kemampuan dan kepatutan yang dilakukan oleh Komite Penilaian Kemampuan Dan Kepatutan. (2) Anggota Komite Penilaian Kemampuan Dan Kepatutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari 5 (lima) orang, yaitu Deputi Komisioner sebagai ketua merangkap - 13 - anggota, dan 4 (empat) pejabat paling rendah setingkat direktur sebagai anggota. (3) Setiap pelaksanaan penilaian kemampuan dan kepatutan wajib dihadiri paling sedikit 3 (tiga) orang anggota Komite Penilaian Kemampuan Dan Kepatutan. (4) Komite Penilaian Kemampuan Dan Kepatutan melakukan penilaian kemampuan dan kepatutan calon anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan paling sedikit melalui penelitian administratif dan wawancara, dan/atau permintaan presentasi yang paling sedikit meliputi rencana strategis pengembangan Lembaga Kliring dan Penjaminan ke depan. (5) Komite Penilaian Kemampuan Dan Kepatutan melakukan penilaian kemampuan dan kepatutan atas setiap calon anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan secara individual sesuai dengan jabatan yang diusulkan. (6) Dalam hal diperlukan, Komite Penilaian Kemampuan Dan Kepatutan dapat melakukan penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap calon anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) untuk jabatan anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan yang lain. (7) Dalam melakukan penilaian kemampuan dan kepatutan calon anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan, Komite Penilaian Kemampuan Dan Kepatutan dapat dibantu oleh narasumber dengan keahlian tertentu yang berasal dari luar Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 11 (1) Penilaian kemampuan dan kepatutan dilakukan untuk menentukan dan menilai bahwa calon anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 7, serta merupakan calon terbaik untuk menduduki setiap jabatan anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan. - 14 - (2) Komite Penilaian Kemampuan Dan Kepatutan dalam melakukan penilaian kemampuan dan kepatutan calon anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan untuk setiap jabatan wajib memperhatikan komposisi calon anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan sebagaimana dimaksud Pasal 6. Pasal 12 Otoritas Jasa Keuangan berwenang untuk menghentikan proses pencalonan atas calon anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan apabila calon tersebut menjalani proses hukum. Pasal 13 Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal menetapkan calon anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan untuk setiap jabatan dengan memperhatikan hasil penilaian kemampuan dan kepatutan yang dilakukan oleh Komite Penilaian Kemampuan Dan Kepatutan. Pasal 14 Berdasarkan hasil penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (4), ayat (5), dan ayat (6), Otoritas Jasa Keuangan dapat menentukan posisi jabatan calon anggota Direksi yang berbeda dengan posisi jabatan yang diajukan oleh pemegang saham atau kelompok pemegang saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1). Pasal 15 (1) Dalam hal tidak terdapat calon anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan yang terpilih dari hasil penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (4) untuk 1 (satu) atau lebih jabatan anggota Direksi, Otoritas Jasa Keuangan menyampaikan kepada setiap pemegang saham atau kelompok pemegang saham sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 ayat (1) - 15 - untuk mengajukan calon anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan lain untuk posisi jabatan yang calonnya belum terpilih oleh Otoritas Jasa Keuangan dalam proses penilaian kemampuan dan kepatutan, paling lambat 35 (tiga puluh lima) hari setelah permohonan memenuhi syarat dan diterima secara lengkap oleh Otoritas Jasa Keuangan. (2) Pemegang saham atau kelompok pemegang saham Lembaga Kliring dan Penjaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dapat mengajukan kembali calon anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan lain untuk posisi jabatan yang calonnya belum terpilih oleh Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 14 (empat belas hari) sebelum RUPS pengangkatan anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan, dengan memenuhi ketentuan dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, dan Pasal 9 ayat (1). (3) Otoritas Jasa Keuangan melakukan penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap calon anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 16 (1) Apabila semua dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) sudah lengkap dan calon anggota Direksi telah memenuhi persyaratan, Otoritas Jasa Keuangan menyampaikan daftar calon anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan terpilih untuk setiap jabatan anggota Direksi beserta fotokopi dokumen calon anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan kepada Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum RUPS pengangkatan anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan. (2) Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan wajib menyampaikan kepada semua pemegang saham, daftar calon anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan - 16 - beserta fotokopi dokumen lengkap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lambat 1 (satu) hari kerja setelah diterimanya daftar calon anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan dari Otoritas Jasa Keuangan. (3) Daftar calon anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan beserta fotokopi dokumen lengkap sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tersebut wajib tersedia dan dapat diakses oleh pemegang saham dan publik. Bagian Kelima RUPS dan Tata Cara Pengangkatan Anggota Direksi Pasal 17 (1) Pengumuman mengenai akan diadakannya pemanggilan RUPS pengangkatan anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan dilakukan paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum dilakukannya pemanggilan RUPS, dengan memuat paling sedikit rencana pengangkatan anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan. (2) Pemanggilan RUPS Lembaga Kliring dan Penjaminan untuk mengangkat anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan dilakukan paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum RUPS dimaksud, dengan tidak memperhitungkan tanggal pemanggilan dan tanggal RUPS, dengan memuat paling sedikit rencana pengangkatan anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan. Pasal 18 (1) Pengangkatan anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan dilakukan oleh RUPS berdasarkan calon anggota Direksi yang dipilih oleh Otoritas Jasa Keuangan sesuai dengan jabatannya masing-masing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1). - 17 - (2) Prosedur pengangkatan calon anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula untuk pengangkatan calon anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan untuk mengisi jabatan anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan yang lowong atau untuk menambah calon anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan. (3) RUPS untuk mengangkat anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan wajib dipimpin oleh komisaris utama atau salah satu anggota Dewan Komisaris dalam hal komisaris utama berhalangan. Pasal 19 (1) Pada saat RUPS pengangkatan anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan, calon anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan yang telah ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan wajib menjelaskan rencana strategis kepada pemegang saham. (2) Penjelasan dapat juga disampaikan dalam forum lainnya sebelum RUPS yang memungkinkan pemegang saham melakukan interaksi dengan calon anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan. Pasal 20 RUPS menyetujui dan menetapkan gaji dan manfaat lain bagi anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan yang diajukan oleh pemegang saham atau kelompok pemegang saham Lembaga Kliring dan Penjaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1). Bagian Keenam Larangan Anggota Direksi Pasal 21 (1) Anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan dilarang mempunyai hubungan Afiliasi dengan anggota Direksi lain dari Lembaga Kliring dan Penjaminan - 18 - dan/atau anggota Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan. (2) Anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan dilarang memiliki saham atau sebagai pengendali baik langsung atau tidak langsung Perusahaan Efek. (3) Dalam hal anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan memiliki saham atau sebagai pengendali baik langsung atau tidak langsung Perusahaan Efek, saham tersebut wajib dialihkan paling lambat 6 (enam) bulan sejak RUPS pengangkatan anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan, dan dalam jangka waktu tersebut yang bersangkutan dilarang menggunakan hak suara dalam RUPS Perusahaan Efek dimaksud. (4) Anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan dilarang mengendalikan baik langsung atau tidak langsung Emiten atau Perusahaan Publik dan/atau dilarang mentransaksikan saham Emiten atau Perusahaan Publik. (5) Dalam hal anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan diangkat oleh RUPS telah memiliki saham Emiten atau Perusahaan Publik, saham tersebut tidak dapat ditransaksikan sampai dengan 6 (enam) bulan setelah masa jabatannya berakhir. (6) Anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan dilarang melakukan perangkapan jabatan sebagai anggota direksi, anggota dewan komisaris, atau pegawai pada perusahaan atau institusi lain dalam jabatan apapun. Bagian Ketujuh Jabatan Anggota Direksi Pasal 22 (1) Masa jabatan anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan adalah 3 (tiga) tahun terhitung sejak RUPS pengangkatan anggota Direksi Lembaga Kliring dan - 19 - Penjaminan sampai dengan penutupan RUPS tahun ketiga dan hanya dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan, dengan ketentuan sebagai berikut: a. apabila seorang anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan diangkat untuk mengisi jabatan anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan yang lowong atau untuk menambah calon anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan, masa jabatan anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan tersebut berlaku selama sisa masa jabatan anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan yang sedang menjabat; b. penghitungan 1 (satu) kali masa jabatan bagi seorang anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan adalah jika yang bersangkutan menjabat selama paling sedikit 2/3 (dua per tiga) dari masa jabatan Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan; dan c. keseluruhan masa jabatan anggota Direksi pada Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, serta Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian paling banyak 3 (tiga) kali masa jabatan. (2) Berakhirnya masa jabatan Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan wajib diatur berbeda dengan berakhirnya masa jabatan Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan. Pasal 23 (1) Dalam hal anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan tidak lagi memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 7, berlaku ketentuan sebagai berikut: a. anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan tersebut wajib diganti dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) bulan sejak yang bersangkutan - 20 - dinyatakan oleh Otoritas Jasa Keuangan tidak lagi memenuhi syarat; b. pemegang saham atau kelompok pemegang saham Lembaga Kliring dan Penjaminan yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) wajib segera mengajukan calon pengganti anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan kepada Otoritas Jasa Keuangan sesuai dengan prosedur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dan Pasal 9; dan c. calon anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan pengganti tersebut wajib memenuhi Pasal 5 sampai dengan Pasal 7. (2) Dalam hal terdapat jabatan anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan yang lowong, berlaku ketentuan sebagai berikut: a. jabatan anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan tersebut wajib diisi dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) bulan sejak jabatan anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan dimaksud lowong; dan b. pemegang saham atau kelompok pemegang saham Lembaga Kliring dan Penjaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) wajib segera mengajukan calon anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan yang akan mengisi jabatan lowong kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, dan Pasal 9. (3) Dalam hal terjadi: a. jabatan direktur utama Lembaga Kliring dan Penjaminan lowong, salah satu anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan wajib ditunjuk berdasarkan keputusan Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan yang bertindak sebagai pejabat sementara untuk melaksanakan tugas dan wewenang direktur utama yang lowong tersebut - 21 - sampai dengan diangkatnya pengganti, setelah mendapat persetujuan Dewan Komisaris; b. jabatan anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan selain direktur utama lowong, tugas dan wewenang anggota Direksi tersebut berdasarkan keputusan rapat Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan wajib dialihkan kepada anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan yang lain sampai dengan diangkatnya pengganti, setelah mendapat persetujuan Dewan Komisaris; dan c. penunjukan sementara direktur utama Lembaga Kliring dan Penjaminan atau pengalihan tugas dan wewenang anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan wajib dilaporkan oleh Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 2 (dua) hari setelah penunjukan atau pengalihan. (4) Otoritas Jasa Keuangan dapat menetapkan jabatan anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan yang lowong sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak wajib diisi setelah mempertimbangkan perkembangan kegiatan dan operasional Lembaga Kliring dan Penjaminan. (5) Batas waktu penggantian dan/atau pengisian anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat ditentukan lain oleh Otoritas Jasa Keuangan. (6) Dalam hal terdapat jabatan anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan yang lowong atau dalam hal adanya pengunduran diri anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan, Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan wajib melaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 5 (lima) hari kerja sejak diketahui atau diterimanya surat pengunduran diri oleh Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan. (7) Dalam pengisian jabatan anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan yang lowong dan/atau diperlukannya - 22 - tambahan anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan, berlaku ketentuan sebagai berikut: a. pengisian dan/atau penambahan anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan wajib memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 9; b. calon anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan yang akan diajukan wajib bersedia bekerja sama dengan anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan yang ada; dan c. penambahan anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan yang baru wajib memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, dan pelaksanaannya wajib memenuhi ketentuan Pasal 5 sampai dengan Pasal 9. Pasal 24 Masa jabatan anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan berakhir dengan sendirinya apabila: a. kehilangan kewarganegaraan Indonesia; b. tidak cakap melakukan perbuatan hukum; c. dinyatakan pailit atau menjadi anggota Dewan Komisaris dan/atau anggota Direksi yang dinyatakan bersalah atau turut bersalah menyebabkan suatu perusahaan dinyatakan pailit; d. dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana; e. berhalangan tetap; f. meninggal dunia; dan/atau g. masa jabatan berakhir. Pasal 25 (1) Anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan dapat diberhentikan dari jabatannya oleh Otoritas Jasa Keuangan apabila: a. tidak memiliki akhlak dan moral yang baik; b. melakukan perbuatan tercela di sektor jasa keuangan; - 23 - c. melakukan pelanggaran yang cukup material atas ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan; d. tidak mempunyai komitmen terhadap pengembangan Lembaga Kliring dan Penjaminan; dan/atau e. gagal atau tidak cakap menjalankan tugas. (2) Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan memberhentikan sementara dan/atau terjadi kekosongan atas seluruh anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan, Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal Otoritas Jasa Keuangan dapat menunjuk dan menetapkan Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan untuk melaksanakan fungsi Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan hingga diangkatnya anggota Direksi yang baru oleh RUPS. (3) Dalam hal tidak terdapat anggota Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan yang dapat melaksanakan fungsi Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), berdasarkan usulan Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal, Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan dapat menunjuk dan menetapkan pihak lain sebagai manajemen sementara Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan. Pasal 26 (1) Pembagian tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) dan ayat (3) wajib ditetapkan dalam struktur organisasi Lembaga Kliring dan Penjaminan dan uraian jabatan Lembaga Kliring dan Penjaminan. (2) Penetapan dan/atau perubahan struktur organisasi Lembaga Kliring 1 (satu) tingkat di bawah anggota Direksi wajib mendapat persetujuan Otoritas Jasa Keuangan. dan Penjaminan sampai - 24 - Pasal 27 Dalam hal Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan menganggap anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan yang bertanggung jawab dan menjalankan tugas atas beberapa kegiatan sebagaimana ditetapkan pada saat yang bersangkutan diangkat, tidak dapat melaksanakan sebagian tugasnya, berdasarkan keputusan rapat Direksi, sebagian tugasnya dapat dialihkan kepada anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan lain yang dianggap mampu untuk menjalankan tugas setelah mendapatkan persetujuan Dewan Komisaris dan Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 28 Anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan yang tidak lagi menjabat sebagai anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan karena sebab apapun, tidak berhak menerima gaji dan manfaat lainnya dari Lembaga Kliring dan Penjaminan kecuali hak atas uang kompensasi atau jasa penghargaan sepanjang disetujui oleh RUPS dengan ketentuan jumlah kompensasi atau jasa penghargaan dimaksud tidak lebih besar dari jumlah gaji dari sisa masa jabatan. BAB III DEWAN KOMISARIS LEMBAGA KLIRING DAN PENJAMINAN Bagian Kesatu Keanggotaan Dewan Komisaris Pasal 29 (1) Lembaga Kliring dan Penjaminan wajib mempunyai paling sedikit 2 (dua) orang anggota Dewan Komisaris. (2) Satu di antara anggota Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan wajib ditetapkan sebagai komisaris utama. - 25 - Pasal 30 (1) Direksi Lembaga Kliring Dan Penjaminan wajib menyampaikan jadwal dan agenda RUPS dalam rangka pengangkatan anggota Dewan Komisaris Lembaga Kliring Dan Penjaminan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 60 (enam puluh) hari sebelum RUPS pengangkatan anggota Dewan Komisaris Lembaga Kliring Dan Penjaminan. (2) Otoritas Jasa Keuangan berwenang menetapkan jumlah kebutuhan anggota Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan paling lambat 50 (lima puluh) hari sebelum RUPS pengangkatan anggota Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan. (3) Apabila sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Otoritas Jasa Keuangan belum menetapkan jumlah kebutuhan anggota Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan, berlaku jumlah kebutuhan anggota Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan periode sebelumnya. (4) Dengan memperhatikan perkembangan kegiatan dan kebutuhan operasional Lembaga Kliring dan Penjaminan, Otoritas Jasa Keuangan dapat menambah anggota Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan dalam Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan yang sedang menjabat. Bagian Kedua Persyaratan Anggota Dewan Komisaris dan Susunan Dewan Komisaris Pasal 31 Anggota Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. integritas meliputi: 1. orang perseorangan warga negara Indonesia dan cakap melakukan perbuatan hukum; 2. memiliki akhlak dan moral yang baik; - 26 - 3. tidak pernah dinyatakan pailit atau menjadi anggota Dewan Komisaris dan/atau anggota Direksi yang dinyatakan bersalah atau turut bersalah menyebabkan suatu perusahaan dinyatakan pailit; 4. tidak pernah dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana dalam jangka waktu tertentu sebelum dicalonkan; 5. tidak pernah melakukan perbuatan tercela yang dibuktikan dengan menyampaikan paling sedikit Surat Keterangan Catatan Kepolisian dimana jangka waktu tanggal diterbitkannya sampai dengan diajukan ke Otoritas Jasa Keuangan tidak lebih dari 6 (enam) bulan atau sesuai dengan masa berlaku yang diberikan dari kepolisian 6 (enam) bulan; jika kurang dari 6. tidak pernah melakukan pelanggaran yang material atas ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan; dan 7. mempunyai komitmen terhadap pengembangan Lembaga Kliring dan Penjaminan dan Pasar Modal Indonesia; dan b. kompetensi meliputi: 1. mempunyai pemahaman terhadap peraturan perundang-undangan di bidang Pasar Modal dan pengetahuan yang luas tentang Pasar Modal; 2. memahami prinsip tata kelola perusahaan yang baik dan prinsip-prinsip pengelolaan risiko; dan 3. memiliki latar belakang dan/atau pengalaman yang cukup. Pasal 32 (1) Berdasarkan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 huruf b angka 3, anggota Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut: - 27 - a. berpengalaman pada posisi anggota Direksi pada perusahaan yang bergerak di bidang Pasar Modal atau keuangan paling singkat 2 (dua) tahun; b. berpengalaman pada posisi manajemen pada institusi Pasar Modal paling singkat 5 (lima) tahun atau pernah menjadi pimpinan pada institusi pengawas jasa keuangan; c. berpengalaman pada posisi direktur pada organisasi yang diberi kewenangan oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal untuk mengatur pelaksanaan kegiatannya paling singkat 2 (dua) tahun; atau d. merupakan profesional di bidang hukum, akuntansi, atau keuangan yang berpraktik secara aktif dalam bidang Pasar Modal paling singkat 5 (lima) tahun. (2) Komposisi Dewan Komisaris diatur sebagai berikut: a. dalam hal jumlah anggota Dewan Komisaris terdiri dari 4 (empat) orang atau kurang, maka komposisi anggota Dewan Komisaris wajib mempunyai latar belakang dan/atau pengalaman yang berbeda; dan b. dalam hal jumlah anggota Dewan Komisaris terdiri dari 5 (lima) orang atau lebih, paling sedikit komposisi anggota Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud dalam huruf a tetap wajib dipenuhi. (3) Dua atau lebih anggota Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan dilarang berasal dari perusahaan yang sama atau berasal dari 2 (dua) atau lebih perusahaan yang dikendalikan baik langsung maupun tidak langsung oleh Pihak yang sama. (4) Jangka waktu atau masa pengalaman calon anggota Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sampai dengan tanggal pelaksanaan RUPS pengangkatan anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan. - 28 - Bagian Ketiga Tata Cara Pencalonan dan Pengajuan Anggota Dewan Komisaris Pasal 33 (1) Pencalonan dan pengajuan calon anggota Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan dilakukan oleh pemegang saham atau kelompok pemegang saham Lembaga Kliring dan Penjaminan yang memiliki paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari saham Lembaga Kliring dan Penjaminan yang telah dikeluarkan dan mempunyai hak suara. (2) Dalam pencalonan anggota Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan, pemegang saham atau kelompok pemegang saham sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) secara bersama-sama bertanggung jawab untuk: a. mencari dan menyeleksi calon anggota Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30; dan b. meneliti tingkat keahlian, pengalaman dan tanggung jawab sebagai anggota Dewan Komisaris sesuai Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini; c. merekomendasikan honorarium bagi setiap calon anggota Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan dengan mempertimbangkan usulan Komite Remunerasi (jika ada). (3) Calon anggota Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan wajib diajukan kepada Otoritas Jasa Keuangan oleh pemegang saham atau kelompok pemegang saham Lembaga Kliring dan Penjaminan dalam 1 (satu) kesatuan paket calon anggota Dewan Komisaris. (4) Pengajuan secara paket sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak berlaku untuk pengajuan calon anggota Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan untuk mengisi jabatan anggota Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan yang lowong atau untuk menambah calon anggota Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan. - 29 - Pasal 34 (1) Dalam pengajuan calon anggota Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan kepada Otoritas Jasa Keuangan, pemegang saham atau kelompok pemegang saham Lembaga Kliring dan Penjaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) wajib melampirkan dalam rangkap 2 (dua) dokumen sebagai berikut: a. riwayat hidup calon anggota Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan; b. fotokopi Kartu Tanda Penduduk calon anggota Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan; c. fotokopi ijazah dan sertifikat keahlian yang menunjukkan tingkat keahlian dari calon anggota Dewan Komisaris (jika ada); d. surat pernyataan dari setiap pihak yang diajukan sebagai calon anggota Dewan Komisaris yang memuat paling sedikit: 1. menyatakan bahwa calon anggota Dewan Komisaris telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 dan Pasal 32; 2. menyatakan tentang ada tidaknya hubungan Afiliasi calon anggota Dewan Komisaris dengan Anggota Bursa Efek yang merupakan Anggota Kliring Lembaga Kliring dan Penjaminan; 3. bersedia tanpa syarat mengikuti proses penilaian kemampuan dan kepatutan yang dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan; dan 4. bersedia untuk dipilih menjadi anggota Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan dan untuk bekerja sama sebaik-baiknya dengan anggota Dewan Komisaris lain dan anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan dalam rangka pelaksanaan kegiatan Lembaga Kliring dan Penjaminan yang teratur, wajar, dan efisien. e. Surat Keterangan Catatan Kepolisian; - 30 - f. jawaban atas pertanyaan sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini; g. pasfoto berwarna terbaru ukuran 10x15 cm dengan latar belakang berwarna merah sebanyak 3 (tiga) lembar; dan h. surat keterangan mengenai proses mencari, menyeleksi dan meneliti calon anggota Dewan Komisaris dari pemegang saham atau kelompok pemegang saham Lembaga Kliring dan Penjaminan termasuk rekomendasi mengenai honorarium apabila calon anggota Dewan Komisaris diangkat menjadi anggota Dewan Komisaris, yang menyatakan bahwa proses tersebut telah dilakukan secara profesional dan tidak ada kepentingan lain termasuk kepentingan karena hubungan Afiliasi, selain hanya untuk kepentingan Lembaga Kliring dan Penjaminan khususnya dan Pasar Modal pada umumnya. (2) Pengajuan nama calon anggota Dewan Komisaris oleh pemegang saham atau kelompok pemegang saham Lembaga Kliring dan Penjaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) dan ayat (3) beserta dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi syarat dan diterima secara lengkap oleh Otoritas Jasa keuangan paling lambat 35 (tiga puluh lima hari) hari sebelum RUPS pengangkatan anggota Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan. Bagian Keempat Penilaian Kemampuan dan Kepatutan Calon Anggota Dewan Komisaris Pasal 35 (1) Setiap calon anggota Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan yang diajukan wajib menjalani penilaian - 31 - kemampuan dan kepatutan yang dilakukan oleh Komite Penilaian Kemampuan Dan Kepatutan. (2) Anggota Komite Penilaian Kemampuan Dan Kepatutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari 5 (lima) orang, yaitu Deputi Komisioner sebagai Ketua merangkap anggota, dan 4 (empat) pejabat paling rendah setingkat direktur sebagai anggota. (3) Setiap pelaksanaan penilaian kemampuan dan kepatutan wajib dihadiri paling sedikit 3 (tiga) orang anggota Komite Penilaian Kemampuan Dan Kepatutan. (4) Komite Penilaian Kemampuan Dan Kepatutan melakukan penilaian kemampuan dan kepatutan calon anggota Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan paling sedikit melalui penelitian administratif dan wawancara, dan/atau permintaan presentasi. (5) Dalam melakukan penilaian kemampuan dan kepatutan calon anggota Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan, Komite Penilaian Kemampuan Dan Kepatutan dapat dibantu oleh narasumber dengan keahlian tertentu yang berasal dari luar Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 36 (1) Penilaian kemampuan dan kepatutan dilakukan untuk menilai bahwa calon anggota Dewan Komisaris memenuhi persyaratan integritas dan kompetensi sebagaimana dimaksud dalam 31 dan Pasal 32. (2) Komite Penilaian Kemampuan Dan Kepatutan dalam melakukan penilaian kemampuan dan kepatutan calon anggota Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan wajib memperhatikan komposisi calon anggota Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32. Pasal 37 Otoritas Jasa Keuangan berwenang untuk menghentikan proses pencalonan atas calon anggota Dewan Komisaris - 32 - Lembaga Kliring dan Penjaminan apabila calon tersebut menjalani proses hukum. Pasal 38 Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal menetapkan calon anggota Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan dengan memperhatikan hasil penilaian kemampuan dan kepatutan yang dilakukan oleh Komite Penilaian Kemampuan Dan Kepatutan. Pasal 39 (1) Dalam hal tidak terdapat calon anggota Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan yang terpilih dari hasil penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (4), untuk 1 (satu) atau lebih jabatan anggota Dewan Komisaris, Otoritas Jasa Keuangan menyampaikan kepada setiap pemegang saham atau kelompok pemegang saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) untuk mengajukan calon anggota Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan lain untuk posisi jabatan yang calonnya belum terpilih oleh Otoritas Jasa Keuangan dalam proses penilaian kemampuan dan kepatutan, paling lambat 14 (empat belas) hari setelah permohonan memenuhi syarat dan diterima secara lengkap oleh Otoritas Jasa Keuangan. (2) Pemegang saham atau kelompok pemegang saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) dapat mengajukan kembali calon anggota Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan lain untuk posisi jabatan yang calonnya belum terpilih oleh Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 14 (empat belas hari) sebelum RUPS pengangkatan anggota Dewan Komisaris, dengan memenuhi ketentuan dalam Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, dan Pasal 34 ayat (1). - 33 - (3) Otoritas Jasa Keuangan melakukan penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap calon anggota Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Pasal 40 (1) Apabila semua dokumen sebagaimana dimaksud Pasal 34 ayat (1) sudah lengkap dan telah memenuhi semua persyaratan, Otoritas Jasa Keuangan menyampaikan daftar calon anggota Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan terpilih beserta fotokopi dokumen calon anggota Dewan Komisaris kepada Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum RUPS pengangkatan anggota Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan. (2) Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan wajib menyampaikan kepada semua pemegang saham daftar calon anggota Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan beserta fotokopi dokumen lengkap paling lambat 1 (satu) hari kerja setelah diterimanya daftar calon anggota Dewan Komisaris dari Otoritas Jasa Keuangan. (3) Daftar calon anggota Dewan Komisaris beserta fotokopi dokumen lengkap sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib tersedia dan dapat diakses oleh pemegang saham dan publik. Bagian Kelima RUPS dan Tata Cara Pengangkatan Anggota Dewan Komisaris Pasal 41 (1) Pengumuman mengenai akan diadakannya pemanggilan RUPS pengangkatan anggota Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan dilakukan paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum dilakukannya pemanggilan RUPS, dengan memuat paling sedikit rencana - 34 - pengangkatan anggota Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan. (2) Pemanggilan RUPS pengangkatan anggota Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan dilakukan paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum RUPS dimaksud, dengan tidak memperhitungkan tanggal pemanggilan dan tanggal RUPS, dengan memuat paling sedikit rencana pengangkatan anggota Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan. Pasal 42 (1) Pengangkatan anggota Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan dilakukan oleh RUPS berdasarkan calon anggota Dewan Komisaris yang dipilih oleh Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1). (2) Prosedur pengangkatan calon anggota Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula untuk pengangkatan calon anggota Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan untuk mengisi jabatan anggota Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan yang lowong atau untuk menambah calon anggota Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan. (3) RUPS untuk mengangkat anggota Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan wajib dipimpin oleh direktur utama atau salah satu anggota Direksi dalam hal direktur utama berhalangan. Bagian Keenam Jabatan Anggota Dewan Komisaris Pasal 43 Masa jabatan anggota Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan adalah 3 (tiga) tahun terhitung sejak RUPS pengangkatan anggota Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan sampai dengan penutupan RUPS tahun ketiga - 35 - dan hanya dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan dengan ketentuan sebagai berikut: a. apabila seorang anggota Dewan Komisaris diangkat karena menggantikan jabatan anggota Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan yang lowong dan/atau ada tambahan anggota Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan baru, masa jabatan anggota Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan tersebut berlaku selama sisa masa jabatan anggota Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan yang sedang menjabat; b. penghitungan 1 (satu) kali masa jabatan bagi seorang anggota Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan adalah jika yang bersangkutan menjabat selama paling sedikit 2/3 (dua per tiga) dari masa jabatan Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan; dan c. keseluruhan masa jabatan anggota Dewan Komisaris pada Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, serta Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian paling banyak 3 (tiga) kali masa jabatan. Pasal 44 (1) Dalam hal anggota Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan tidak lagi memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 dan Pasal 32, berlaku ketentuan sebagai berikut: a. anggota Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan tersebut wajib diganti dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) bulan sejak yang bersangkutan dinyatakan oleh Otoritas Jasa Keuangan tidak lagi memenuhi syarat; b. pemegang saham atau kelompok pemegang saham Lembaga Kliring dan Penjaminan yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) wajib segera mengajukan calon pengganti anggota Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan kepada Otoritas Jasa Keuangan sesuai - 36 - dengan prosedur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 dan Pasal 34; dan c. calon anggota Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan pengganti tersebut wajib memenuhi ketentuan Pasal 31 dan Pasal 32. (2) Dalam hal terdapat jabatan anggota Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan yang lowong, Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan wajib melaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 5 (lima) hari kerja sejak diketahui oleh Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan. (3) Dalam pengisian jabatan anggota Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan untuk menggantikan anggota Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan yang lowong dan/atau diperlukannya tambahan anggota Dewan Komisaris baru, berlaku ketentuan sebagai berikut: a. penggantian atau penambahan anggota Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan wajib memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 31 sampai dengan Pasal 34; b. calon anggota Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan yang akan diajukan wajib bersedia bekerja sama dengan dan tidak memperoleh keberatan dari anggota Dewan Komisaris yang ada; dan c. Penambahan anggota Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan baru wajib memperhatikan ketentuan Pasal 31 dan pelaksanaannya wajib memenuhi ketentuan Pasal 32 sampai dengan Pasal 35. (4) Otoritas Jasa Keuangan dapat menetapkan jabatan anggota Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan yang lowong sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak wajib diisi setelah mempertimbangkan perkembangan kegiatan dan operasional Lembaga Kliring dan Penjaminan. - 37 - (5) Batas waktu penggantian anggota Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditentukan lain oleh Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 45 Masa jabatan anggota Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan berakhir dengan sendirinya apabila: a. kehilangan kewarganegaraan Indonesia; b. tidak cakap melakukan perbuatan hukum; c. dinyatakan pailit atau menjadi anggota Dewan Komisaris atau anggota Direksi yang dinyatakan bersalah atau turut bersalah menyebabkan suatu perusahaan dinyatakan pailit; d. dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana; e. berhalangan tetap; f. meninggal dunia; dan/atau g. masa jabatan berakhir. Pasal 46 Anggota Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan dapat diberhentikan dari jabatannya oleh Otoritas Jasa Keuangan apabila: a. tidak memiliki akhlak dan moral yang baik; b. melakukan perbuatan tercela di sektor jasa keuangan; c. melakukan pelanggaran yang cukup material atas ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan; d. tidak mempunyai komitmen terhadap pengembangan Lembaga Kliring dan Penjaminan; dan/atau e. gagal atau tidak cakap menjalankan tugas. Pasal 47 Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan wajib mengadakan rapat paling sedikit 1 (satu) bulan sekali yang dipimpin oleh komisaris utama atau salah satu anggota Dewan Komisaris dalam hal komisaris utama berhalangan. - 38 - Pasal 48 Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan dalam melaksanakan tugasnya dapat membentuk komite audit dan Komite Remunerasi, dengan ketentuan sebagai berikut: a. ketua komite audit dan ketua Komite Remunerasi adalah salah seorang anggota Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan; b. komite audit bertugas untuk memberikan pendapat profesional yang independen kepada Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan terhadap laporan atau hal yang disampaikan oleh Direksi kepada Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan serta mengidentifikasikan hal yang memerlukan perhatian Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan; dan c. anggota komite audit wajib memiliki keahlian dan pengalaman di bidang hukum, akuntansi, atau keuangan. Pasal 49 Anggota Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan diberi honorarium yang jumlahnya diusulkan atau direkomendasikan oleh pemegang saham atau kelompok pemegang saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2) huruf c dengan mempertimbangkan usulan Komite Remunerasi (jika ada), sebelum pelaksanaan RUPS pengangkatan anggota Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan. Pasal 50 Honorarium bagi anggota Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 wajib mendapat persetujuan dan ditetapkan oleh RUPS. Pasal 51 Anggota Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan yang tidak lagi menjabat sebagai anggota Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan karena sebab apapun, tidak - 39 - berhak menerima honorarium dari Lembaga Kliring dan Penjaminan, kecuali hak atas uang kompensasi atau jasa penghargaan sepanjang disetujui oleh RUPS dengan ketentuan jumlah kompensasi atau jasa penghargaan dimaksud tidak lebih besar dari jumlah honorarium dari sisa masa jabatan. BAB IV KETENTUAN SANKSI Pasal 52 (1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, termasuk pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut berupa: a. peringatan tertulis; b. denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu; c. pembatasan kegiatan usaha; d. pembekuan kegiatan usaha; e. pencabutan izin usaha; f. pembatalan persetujuan; dan g. pembatalan pendaftaran. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului pengenaan sanksi administratif berupa peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. (3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g. - 40 - Pasal 53 Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. BAB V KETENTUAN PERALIHAN Pasal 54 Dalam hal terdapat pengajuan pengisian jabatan anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan untuk mengganti seluruhnya, mengisi jabatan anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris yang lowong atau tidak memenuhi syarat, menambah anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan sebelum berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, tata cara pengajuan anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Direksi dan Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan yang berlaku pada saat pengajuan. BAB VI KETENTUAN PENUTUP Pasal 55 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku: 1. Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor Kep-13/BL/2009 tanggal 30 Januari 2009 tentang Direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan, beserta Peraturan Nomor III.B.3 yang merupakan lampirannya; dan - 41 - 2. Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor Kep-107/BL/2008 tanggal 10 April 2008 tentang Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan, beserta Peraturan Nomor III.B.8 yang merupakan lampirannya, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 56 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 20 Desember 2016 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 28 Desember 2016 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H.LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 313 Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana - 2 - PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 59 /POJK.04/2016 TENTANG DIREKSI DAN DEWAN KOMISARIS LEMBAGA KLIRING DAN PENJAMINAN I. UMUM Bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan yang menetapkan kewenangan pengaturan dan pengawasan kegiatan di bidang jasa keuangan termasuk Pasar Modal beralih dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa Keuangan, Otoritas Jasa Keuangan berkepentingan untuk menjaga agar Pasar Modal tetap terselenggara secara teratur, wajar, transparan dan efisien. Untuk mewujudkan hal tersebut perlu dilakukan penyempurnaan terhadap ketentuan yang berlaku bagi setiap Pihak yang menyelenggarakan kegiatan di bidang Pasar Modal salah satunya adalah Lembaga Kliring Dan Penjaminan yang didirikan untuk menyelenggarakan jasa kliring dan penjaminan penyelesaian Transaksi Bursa. Dalam rangka meningkatkan tata kelola Lembaga Kliring dan Penjaminan yang baik dan berdaya saing global, diperlukan Direksi dan Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan yang memiliki kompetensi dan integritas yang tinggi serta memenuhi persyaratan sebagaimana dipersyaratkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pengaturan mengenai Direktur Lembaga Kliring Dan Penjaminan saat ini telah diatur dalam Peraturan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor III.B.3 tentang Direktur Lembaga Kliring Dan Penjaminan, Lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal - 2 - Nomor Kep-13/BL/2009 tanggal 30 Januari 2009 (Peraturan Nomor III.B.3 tentang Direktur Lembaga Kliring Dan Penjaminan), sedangkan pengaturan mengenai Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan diatur dalam Peraturan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor III.B.8 tentang Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor Kep-107/BL/2008 tanggal 10 April 2008 (Peraturan Nomor III.B.8 tentang Komisaris Lembaga Kliring Dan Penjaminan). Memperhatikan hal tersebut perlu untuk dilakukan perubahan dan penggabungan terhadap Peraturan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor III.B.3 tentang Direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan dan Peraturan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor III.B.8 tentang Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan dengan menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Direksi Dan Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “keputusan yang bersifat final” adalah keputusan yang ditetapkan direktur utama Lembaga Kliring dan Penjaminan dalam hal terdapat perbedaan pendapat antara anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan sehingga rapat Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan tidak dapat mengambil keputusan, maka keputusan akan ditentukan oleh direktur utama. Keputusan yang ditetapkan oleh direktur utama adalah salah satu dari dua atau lebih pendapat yang disampaikan dalam rapat Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan. Ayat (3) Cukup jelas. - 3 - Pasal 3 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Perizinan Lembaga Kliring dan Penjaminan yang berlaku adalah Peraturan Nomor III.B.1, lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor Kep- 07/PM/1996 tanggal 17 Januari 1996 tentang Perizinan Lembaga Kliring dan Penjaminan. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Huruf a Angka 1 Cukup jelas. Angka 2 Cukup jelas. Angka 3 Cukup jelas. Angka 4 Yang dimaksud dengan dengan “tindak pidana” adalah : 1. tindak pidana di bidang keuangan, yaitu tindak pidana di bidang Perbankan, tindak pidana di bidang Pasar - 4 - Modal, dan tindak pidana di bidang Industri Keuangan Non Bank yang terbukti dilakukan dalam waktu 20 (dua puluh) tahun terakhir sebelum dicalonkan; 2. tindak pidana khusus, yaitu tindak pidana selain yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan ancaman hukuman pidana penjara 1 (satu) tahun atau lebih, paling sedikit: korupsi; narkotika/psikotropika; penyelundupan; kepabeanan; cukai; perdagangan orang; perdagangan senjata gelap; terorisme; pemalsuan uang; di bidang perpajakan; di bidang kehutanan; di bidang lingkungan hidup; di bidang kelautan dan perikanan yang terbukti dilakukan dalam waktu 20 (dua puluh) tahun terakhir sebelum dicalonkan; dan 3. tindak pidana kejahatan, yaitu tindak pidana yang tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan ancaman hukuman pidana penjara 1 (satu) tahun atau lebih yang terbukti dilakukan dalam waktu 10 (sepuluh) tahun terakhir sebelum dicalonkan. Penilaian terhadap kriteria pada angka ini dilakukan paling sedikit berdasarkan informasi yang diperoleh Otoritas Jasa Keuangan atau informasi yang diketahui oleh umum, bahwa yang bersangkutan pernah dihukum karena melakukan tindak pidana di bidang keuangan atau tindak pidana khusus dalam waktu 20 (dua puluh) tahun terakhir sebelum dicalonkan atau pernah dihukum karena melakukan tindak pidana kejahatan dalam waktu 10 (sepuluh) tahun terakhir sebelum dicalonkan. Yang dimaksud dengan “sebelum dicalonkan” adalah terhitung sejak tanggal permohonan pengajuan nama calon anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan diterima secara lengkap oleh Otoritas Jasa Keuangan. Angka 5 Cukup jelas. Angka 6 Cukup jelas. - 5 - Angka 7 Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Pasal 6 Huruf a Dalam hal calon Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan terdiri dari 4 (empat) orang dan setelah komposisi Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan memenuhi persyaratan pengalaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a, maka calon anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan lainnya tetap wajib memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a. Huruf b Dalam hal calon Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan terdiri dari 5 (lima) orang dan setelah komposisi direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan memenuhi persyaratan pengalaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b, maka calon anggota Direksi lainnya tetap wajib memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 huruf b. Huruf c Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. - 6 - Huruf c Rekomendasi gaji dan manfaat lain bagi calon anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan ditentukan berdasarkan kelayakan yang berlaku pada umumnya untuk masing-masing jabatan anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya berdasarkan keahlian, dan pengalaman masing- masing calon anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Yang dimaksud dengan proses hukum pada ayat ini adalah proses penyidikan atau peradilan (termasuk banding dan kasasi) dalam perkara tindak pidana yang meliputi: 1. tindak pidana di bidang keuangan, yaitu tindak pidana di bidang Perbankan, di bidang Pasar Modal dan di bidang Industri Keuangan Non Bank; 2. tindak pidana khusus, yaitu tindak pidana selain yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan ancaman hukuman pidana penjara 1 (satu) tahun atau lebih, paling sedikit: korupsi; narkotika/psikotropika; penyelundupan; kepabeanan; cukai; perdagangan orang; perdagangan senjata gelap; terorisme; pemalsuan uang; di bidang perpajakan; di - 7 - bidang kehutanan; di bidang lingkungan hidup; dibidang kelautan dan perikanan; dan 3. tindak pidana kejahatan, yaitu tindak pidana yang tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan ancaman hukuman pidana penjara 1 (satu) tahun atau lebih. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Cukup jelas. - 8 - Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Pembuktian pailit didasarkan pada keputusan pengadilan niaga. Huruf d Yang dimaksud dengan dengan “tindak pidana” adalah: 1. tindak pidana di bidang keuangan, yaitu tindak pidana di bidang Perbankan, tindak pidana di bidang Pasar Modal, dan tindak pidana di bidang Industri Keuangan Non Bank; 2. tindak pidana khusus, yaitu tindak pidana selain yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan ancaman hukuman pidana penjara 1 (satu) tahun atau lebih, paling sedikit: korupsi; narkotika/psikotropika; penyelundupan; kepabeanan; cukai; perdagangan orang; perdagangan senjata gelap; terorisme; pemalsuan uang; di bidang perpajakan; di bidang kehutanan; di bidang lingkungan hidup; di bidang kelautan dan perikanan; dan 3. tindak pidana kejahatan, yaitu tindak pidana yang tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan ancaman hukuman pidana penjara 1 (satu) tahun atau lebih. Huruf e Yang dimaksud dengan “berhalangan tetap” paling sedikit sakit permanen yang mengakibatkan tidak dapat melakukan aktivitas pekerjaan yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. - 9 - Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 Huruf a Angka 1 Cukup jelas. Angka 2 Cukup jelas. Angka 3 Cukup jelas. Angka 4 Yang dimaksud dengan dengan “tindak pidana” adalah: 1. tindak pidana di bidang keuangan, yaitu tindak pidana di bidang Perbankan, tindak pidana di bidang Pasar Modal, dan tindak pidana di bidang Industri Keuangan Non Bank yang terbukti dilakukan dalam waktu 20 (dua puluh) tahun terakhir sebelum dicalonkan; 2. tindak pidana khusus, yaitu tindak pidana selain yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan ancaman hukuman pidana penjara 1 (satu) tahun atau lebih, paling sedikit: korupsi; - 10 - narkotika/psikotropika; penyelundupan; kepabeanan; cukai; perdagangan orang; perdagangan senjata gelap; terorisme; pemalsuan uang; di bidang perpajakan; di bidang kehutanan; di bidang lingkungan hidup; di bidang kelautan dan perikanan yang terbukti dilakukan dalam waktu 20 (dua puluh) tahun terakhir sebelum dicalonkan; dan 3. tindak pidana kejahatan, yaitu tindak pidana yang tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan ancaman hukuman pidana penjara 1 (satu) tahun atau lebih yang terbukti dilakukan dalam waktu 10 (sepuluh) tahun terakhir sebelum dicalonkan. Penilaian terhadap kriteria pada huruf ini dilakukan paling sedikit berdasarkan informasi yang diperoleh Otoritas Jasa Keuangan atau informasi yang diketahui oleh umum, bahwa yang bersangkutan pernah dihukum karena melakukan tindak pidana di bidang keuangan dan tindak pidana khusus dalam waktu 20 (dua puluh) tahun terakhir sebelum dicalonkan atau pernah dihukum karena melakukan tindak pidana kejahatan dalam waktu 10 (sepuluh) tahun terakhir sebelum dicalonkan. Yang dimaksud dengan “sebelum dicalonkan” adalah terhitung sejak tanggal permohonan pengajuan nama calon anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan diterima secara lengkap oleh Otoritas Jasa Keuangan. Angka 5 Cukup jelas. Angka 6 Cukup jelas. Angka 7 Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Pasal 32 Cukup jelas. - 11 - Pasal 33 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Rekomendasi honorarium bagi calon anggota Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan wajib ditentukan berdasarkan kelayakan yang berlaku pada umumnya untuk masing-masing anggota Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya berdasarkan keahlian, dan pengalaman masing-masing calon anggota Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Cukup jelas. Pasal 36 Cukup jelas. Pasal 37 Cukup jelas. Pasal 38 Cukup jelas. - 12 - Pasal 39 Cukup jelas. Pasal 40 Cukup jelas. Pasal 41 Cukup jelas. Pasal 42 Cukup jelas. Pasal 43 Cukup jelas. Pasal 44 Cukup jelas. Pasal 45 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Yang dimaksud dengan dengan “tindak pidana” adalah: 1. tindak pidana di bidang keuangan, yaitu tindak pidana di bidang Perbankan, tindak pidana di bidang Pasar Modal, dan tindak pidana di bidang Industri Keuangan Non Bank; 2. tindak pidana khusus, yaitu tindak pidana selain yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan ancaman hukuman pidana penjara 1 (satu) tahun atau lebih, paling sedikit: korupsi; narkotika/ psikotropika; penyelundupan; kepabeanan; cukai; perdagangan orang; perdagangan senjata gelap; terorisme; pemalsuan uang; di - 13 - bidang perpajakan; di bidang kehutanan; di bidang lingkungan hidup; di bidang kelautan dan perikanan; dan 3. tindak pidana kejahatan, yaitu tindak pidana yang tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan ancaman hukuman pidana penjara 1 (satu) tahun atau lebih. Huruf e Yang dimaksud “berhalangan tetap” paling sedikit sakit permanen yang mengakibatkan tidak dapat melakukan aktivitas pekerjaan yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Pasal 46 Cukup jelas. Pasal 47 Cukup jelas. Pasal 48 Cukup jelas. Pasal 49 Cukup jelas. Pasal 50 Cukup jelas. Pasal 51 Cukup jelas. Pasal 52 Cukup jelas. - 14 - Pasal 53 Cukup jelas. Pasal 54 Pada saat peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Direksi dan Dewan Komisaris yang berlaku yang berlaku adalah: 1. Peraturan Nomor III.B.3, lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor Kep-13/BL/2009 tanggal 30 Januari 2009 tentang Direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan; dan 2. Peraturan Nomor III.B.8, lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor Kep- 107/BL/2008 tanggal 10 April 2008 tentang Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan. Pasal 55 Cukup jelas. Pasal 56 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6001 "," POJK 59/POJK.04/2016 DIREKSI DAN DEWAN KOMISARIS LEMBAGA KLIRING DAN PENJAMINAN 20 Desember 2016 28 Desember 2016 28 Desember 2016 'Kep-13/BL/2009|KEPTA-BAPEPAM-LK/2009', 'Kep-107/BL/2008|KEPTA-BAPEPAM-LK/2008', 'Kep-13/BL/2009|KEPTA-BAPEPAM-LK/2009 | Lampiran Peraturan Nomor III.B.3', 'Kep-107/BL/2008|KEPTA-BAPEPAM-LK/2008 | Lampiran Peraturan Nomor III.B.8' '21/UU/2011', '8/UU/1995' 'BAB IV' " " - 1 - OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 47 /POJK.04/2015 TENTANG PEDOMAN PENGUMUMAN HARIAN NILAI AKTIVA BERSIH REKSA DANA TERBUKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan maka sejak tanggal 31 Desember 2012 pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal termasuk pengumuman harian nilai aktiva bersih Reksa Dana terbuka beralih dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa Keuangan; b. bahwa dalam rangka memberikan kejelasan dan kepastian mengenai pengaturan atas pengumuman harian nilai aktiva bersih Reksa Dana terbuka perlu mengganti peraturan mengenai Pedoman Pengumuman Harian Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana terbuka yang diterbitkan sebelum terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Pedoman Pengumuman Harian Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana terbuka; - 2 - Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PEDOMAN PENGUMUMAN HARIAN NILAI AKTIVA BERSIH REKSA DANA TERBUKA. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Reksa Dana Pasar Uang adalah Reksa Dana yang hanya melakukan investasi pada: a. instrumen pasar uang dalam negeri; dan/atau b. Efek bersifat utang yang: 1) diterbitkan dengan jangka waktu tidak lebih dari 1 (satu) tahun; dan/atau 2) sisa jatuh temponya tidak lebih dari dari 1 (satu) tahun. 2. Reksa Dana Pendapatan Tetap adalah Reksa Dana yang melakukan investasi paling sedikit 80% (delapan puluh persen) dari Nilai Aktiva Bersih dalam bentuk Efek bersifat utang. 3. Reksa Dana Saham adalah Reksa Dana yang melakukan investasi paling sedikit 80% (delapan puluh persen) dari Nilai Aktiva Bersih dalam bentuk Efek bersifat ekuitas. - 3 - 4. Reksa Dana Campuran adalah Reksa Dana yang melakukan investasi pada Efek bersifat ekuitas, Efek bersifat utang, dan/atau instrumen pasar uang dalam negeri yang masing-masing paling banyak 79% (tujuh puluh sembilan persen) dari Nilai Aktiva Bersih, dimana dalam portofolio Reksa Dana tersebut wajib terdapat Efek bersifat ekuitas dan Efek bersifat utang. BAB II PENGELOLAAN REKSA DANA Bagian Kesatu Reksa Dana Pasar Uang Pasal 2 Reksa Dana Pasar Uang hanya dapat melakukan investasi pada: a. instrumen pasar uang dalam negeri; dan/atau b. Efek bersifat utang yang: 1. diterbitkan dengan jangka waktu tidak lebih dari 1 (satu) tahun; dan/atau 2. sisa jatuh temponya tidak lebih dari 1 (satu) tahun. Pasal 3 Reksa Dana Pasar Uang dilarang memungut biaya penjualan dan biaya pembelian kembali Unit Penyertaan. Bagian Kedua Reksa Dana Pendapatan Tetap Pasal 4 Reksa Dana Pendapatan Tetap wajib melakukan investasi paling sedikit 80% (delapan puluh persen) dari Nilai Aktiva Bersih dalam bentuk Efek bersifat utang. - 4 - Bagian Ketiga Reksa Dana Saham Pasal 5 Reksa Dana Saham wajib melakukan investasi paling sedikit 80% (delapan puluh persen) dari Nilai Aktiva Bersih dalam bentuk Efek bersifat ekuitas. Bagian Keempat Reksa Dana Campuran Pasal 6 (1) Reksa Dana Campuran wajib melakukan investasi pada Efek bersifat ekuitas, Efek bersifat utang, dan/atau instrument pasar uang dalam negeri. (2) Investasi pada Efek dan/atau pasar uang dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) masing-masing paling banyak 79% (tujuh puluh sembilan persen) dari Nilai Aktiva Bersih, dimana dalam portofolio Reksa Dana tersebut wajib terdapat Efek bersifat ekusitas dan Efek bersifat utang. BAB III PEDOMAN PENGHITUNGAN HARIAN NILAI AKTIVA BERSIH REKSA DANA TERBUKA Pasal 7 (1) Bank Kustodian Reksa Dana Terbuka wajib menghitung pada setiap hari bursa: a. Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana per Unit Penyertaan atau per saham; b. Hasil investasi Reksa Dana dalam 30 (tiga puluh) hari terakhir, dihitung sesuai dengan peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Informasi Dalam Ikhtisar Keuangan Singkat Reksa Dana; - 5 - c. Hasil investasi Reksa Dana dalam 1 (satu) tahun terakhir, dihitung sesuai dengan peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Informasi Dalam Ikhtisar Keuangan Singkat Reksa Dana; dan d. Hasil investasi riil dalam 1 (satu) tahun terakhir setelah memperhitungkan biaya penjualan dan biaya pembelian kembali Unit Penyertaan atau saham, dihitung sesuai dengan peraturan perundang- undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Informasi Dalam Ikhtisar Keuangan Singkat Reksa Dana. (2) Besarnya biaya penjualan dan pembelian kembali yang dibebankan dalam perhitungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d sesuai dengan yang ditetapkan dalam Kontrak Investasi Kolektif dan Prospektus. Pasal 8 Penghitungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 wajib: a. disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, paling lambat pukul 10.00 WIB hari bursa berikutnya; dan b. diumumkan kepada masyarakat melalui paling sedikit 1 (satu) surat kabar harian berbahasa Indonesia yang berperedaran nasional paling lambat pada hari bursa berikutnya. BAB IV KETENTUAN SANKSI Pasal 9 (1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan - 6 - Otoritas Jasa Keuangan ini, termasuk pihak-pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut berupa: a. Peringatan tertulis; b. Denda, yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu; c. Pembatasan kegiatan usaha; d. Pembekuan kegiatan usaha; e. Pencabutan izin usaha; f. Pembatalan persetujuan; dan g. Pembatalan pendaftaran. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului pengenaan sanksi administratif berupa peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. (3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g. Pasal 10 Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 11 Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 kepada masyarakat. - 7 - BAB V KETENTUAN PENUTUP Pasal 12 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor: Kep-516/BL/2012 tanggal 21 September 2012, tentang Pedoman Pengumuman Harian Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana Terbuka beserta Peraturan Nomor IV.C.3 yang merupakan lampirannya, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 13 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 23 Desember 2015 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 29 Desember 2015 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 398 Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Sudarmaji - 2 - PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 47 /POJK.04/2015 TENTANG PEDOMAN PENGUMUMAN HARIAN NILAI AKTIVA BERSIH REKSA DANA TERBUKA I. UMUM Bahwa sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya beralih dari Menteri Keuangan dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa Keuangan. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, perlu dilakukan penataan kembali struktur Peraturan yang ada, khususnya yang terkait sektor Pasar Modal dengan cara melakukan konversi Peraturan Bapepam dan LK terkait sektor Pasar Modal menjadi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Penataan dimaksud dilakukan agar terdapat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan terkait sektor Pasar Modal yang selaras dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan sektor lainnya. Berdasarkan latar belakang pemikiran dan aspek tersebut, perlu mengganti Peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Pedoman Pengumuman Harian Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana Terbuka, yaitu Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor: KEP- 516/BL/2012 tanggal 21 September 2012, tentang Pedoman Pengumuman Harian Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana Terbuka beserta Peraturan Bapepam dan LK Nomor IV.C.3 sebagai lampirannya menjadi - 2 - Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Pedoman Pengumuman Harian Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana Terbuka. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mlai berlaku, peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Informasi Dalam Ikhtisar Keuangan Singkat Reksa Dana yang berlaku adalah Peraturan Nomor VIII.G.9, lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor KEP-99/PM/1996 tanggal 28 Mei 1996 tentang Informasi Dalam Ikhtisar Keuangan Singkat Reksa Dana. Huruf c Cukup jelas. - 3 - Huruf d Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5816 - 2 - OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA LAMPIRAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 47 /POJK.04/2015 TENTANG PEDOMAN PENGUMUMAN HARIAN NILAI AKTIVA BERSIH REKSA DANA TERBUKA - 2 - NILAI AKTIVA BERSIH REKSA DANA TERBUKA Tanggal: ………………….. Nama Jenis Nilai Aktiva Bersih per unit (Rp) Hasil investasi dalam 30 hari terakhir (%) Hasil investasi dalam 1 tahun terakhir (%) Hasil investasi riil dalam 1 tahun terakhir (%) Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 23 Desember 2015 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN ttd Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Sudarmaji MULIAMAN D. HADAD "," POJK 47/POJK.04/2015 PEDOMAN PENGUMUMAN HARIAN NILAI AKTIVA BERSIH REKSA DANA TERBUKA 23 Desember 2015 29 Desember 2015 29 Desember 2015 'Kep-516/BL/2012|KEPTA-BAPEPAM-LK/2012', 'Kep-516/BL/2012|KEPTA-BAPEPAM-LK/2012 | Lampiran Peraturan Nomor IV.C.3' '21/UU/2011', '8/UU/1995' 'BAB IV' " " - 2 - OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 39 /POJK.04/2016 TENTANG TATA CARA PERMOHONAN IZIN USAHA REKSA DANA BERBENTUK PERSEROAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, sejak tanggal 31 Desember 2012 pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal termasuk Reksa Dana Berbentuk Perseroan beralih dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa Keuangan; b. bahwa dalam rangka memberikan kejelasan dan kepastian mengenai pengaturan terhadap tata cara permohonan izin usaha Reksa Dana berbentuk Perseroan perlu mengganti peraturan mengenai Tata Cara Permohonan Izin Usaha Reksa Dana Berbentuk Perseroan yang diterbitkan sebelum terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan; - 2 - c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Tata Cara Permohonan Izin Usaha Reksa Dana Berbentuk Perseroan; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG TATA CARA PERMOHONAN IZIN USAHA REKSA DANA BERBENTUK PERSEROAN. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan Reksa Dana Berbentuk Perseroan adalah Emiten yang kegiatan usahanya menghimpun dana dengan menjual saham, dan selanjutnya dana dari penjualan saham tersebut diinvestasikan pada berbagai jenis Efek yang diperdagangkan di Pasar Modal dan pasar uang. BAB II TATA CARA PERMOHONAN IZIN USAHA REKSA DANA BERBENTUK PERSEROAN Pasal 2 Permohonan izin usaha sebagai Reksa Dana Berbentuk Perseroan dilakukan dengan cara sebagai berikut: - 3 - a. mengisi formulir permohonan izin usaha yang bentuk dan isinya sesuai dengan format surat Permohonan Izin Usaha Reksa Dana Berbentuk Perseroan sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini; b. menyertakan dokumen sebagai berikut: 1. anggaran dasar Reksa Dana Berbentuk Perseroan yang telah mendapat pengesahan dan persetujuan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia; 2. kontrak pengelolaan Reksa Dana Berbentuk Perseroan; 3. kontrak antara Reksa Dana Berbentuk Perseroan dengan Bank Kustodian; 4. penunjukan Konsultan Hukum; dan 5. penunjukan Akuntan; c. menyertakan dokumen tentang anggota direksi Reksa Dana Berbentuk Perseroan: 1. riwayat hidup; 2. bukti kewarganegaraan; dan 3. fotokopi ijazah terakhir; d. menyertakan dokumen tentang Manajer Investasi: 1. rencana pemasaran dan operasional; 2. struktur organisasi; 3. pengalaman sebagai Manajer Investasi; 4. fotokopi izin orang perseorangan pegawai penanggung jawab yang ditunjuk sebagai Wakil Manajer Investasi; dan 5. fotokopi izin usaha Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan sebagai Manajer Investasi; e. menyertakan dokumen tentang Bank Kustodian: 1. rencana operasional berkenaan dengan Reksa Dana Berbentuk Perseroan; dan 2. nama dan nomor telepon penanggung jawab Bank Kustodian; dan f. menyertakan neraca pembukaan. - 4 - Pasal 3 Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 diajukan kepada Otoritas Jasa Keuangan dalam rangkap 4 (empat). Pasal 4 Dalam hal permohonan izin usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 tidak memenuhi syarat, Otoritas Jasa Keuangan memberikan surat pemberitahuaan kepada pemohon yang menyatakan bahwa: a. permohonannya tidak lengkap; atau b. permohonannya ditolak. Pasal 5 Dalam hal permohonan izin usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 memenuhi syarat, Otoritas Jasa Keuangan memberikan surat izin usaha kepada pemohon. Pasal 6 Reksa Dana Berbentuk Perseroan yang telah mendapat izin usaha dapat dicabut izin usahanya. Pasal 7 Reksa Dana Berbentuk Perseroan yang telah mendapat izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan harus menyampaikan Pernyataan Pendaftaran untuk melakukan Penawaran Umum dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal ditetapkan. BAB III KETENTUAN SANKSI Pasal 8 (1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, termasuk pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut, berupa: a. peringatan tertulis; b. denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu; - 5 - c. pembatasan kegiatan usaha; d. pembekuan kegiatan usaha; e. pencabutan izin usaha; f. pembatalan persetujuan; dan g. pembatalan pendaftaran. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului pengenaan sanksi administratif berupa peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. (3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g. Pasal 9 Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 10 Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 kepada masyarakat. BAB IV KETENTUAN PENUTUP Pasal 11 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor: Kep-17/PM/1996 tanggal 17 Januari 1996 tentang Tata Cara Permohonan Izin Usaha Reksa Dana Berbentuk - 6 - Perseroan beserta Peraturan Nomor IV.A.1 yang merupakan lampirannya, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 12 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 2 Desember 2016 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 7 Desember 2016 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 268 Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana - 2 - PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 39 /POJK.04/2016 TENTANG TATA CARA PERMOHONAN IZIN USAHA REKSA DANA BERBENTUK PERSEROAN I. UMUM Bahwa sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya beralih dari Menteri Keuangan dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa Keuangan. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, perlu dilakukan penataan kembali struktur peraturan yang ada, khususnya yang terkait sektor Pasar Modal dengan cara melakukan konversi Peraturan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan terkait sektor Pasar Modal menjadi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Penataan dimaksud dilakukan agar terdapat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan terkait sektor Pasar Modal yang selaras dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan sektor lainnya. Berdasarkan latar belakang pemikiran dan aspek tersebut, perlu mengganti peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Tata Cara Permohonan Izin Usaha Reksa Dana Berbentuk Perseroan yaitu Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor: KEP-17/PM/1996 tanggal 17 Januari 1996 tentang Tata Cara Permohonan Izin Usaha Reksa Dana Berbentuk Perseroan beserta Peraturan Nomor IV.A.1 yang merupakan lampirannya, menjadi Peraturan - 2 - Otoritas Jasa Keuangan tentang Tata Cara Permohonan Izin Usaha Reksa Dana Berbentuk Perseroan. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. - 3 - Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5694 - 2 - OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA LAMPIRAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 39 /POJK.04/2016 TENTANG TATA CARA PERMOHONAN IZIN USAHA REKSA DANA BERBENTUK PERSEROAN - 2 - PERMOHONAN IZIN USAHA REKSA DANA BERBENTUK PERSEROAN Nomor : Lampiran : Perihal : Permohonan Izin Usaha Reksa Dana Berbentuk Perseroan. Yth. …………........................20... KEPADA Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal Otoritas Jasa Keuangan di – Jakarta Dengan ini kami mengajukan permohonan izin usaha untuk mendirikan Reksa Dana. Sebagai bahan pertimbangan, bersama ini kami sampaikan data sebagai berikut: 1. Nama Pemohon : ................................................................ 2. Alamat Pemohon : ................................................................ ......................... (Nama Jalan & Nomor) …………………… -  Kota & Kode Pos) 3. Nama Reksa Dana 4. Alamat Reksa Dana : ................................................................ : ................................................................ .......................... (Nama Jalan & Nomor) ……………… -  Kota & Kode Pos) 5. Nomor Telepon Reksa Dana : .......................................................... 6. Nomor Pokok Wajib Pajak : ...- 7. Anggota direksi Reksa Dana : N a m a Kewarganegaraan a. b. c. d. e. Alamat - 3 - 8. a. Nomor dan tanggal akta pendirian : ................................................................ beserta perubahan anggaran dasar b. Nomor dan tanggal pengesahan persetujuan Kehakiman 9. Reksa Dana terbuka / tertutup 10. Struktur permodalan: a. Modal dasar b. Modal ditempatkan dan disetor penuh 11. Jenis saham yang diterbitkan 12. Dalam hal ini kami menunjuk: a. Manajer Investasi 1) N a m a 2) A l a m a t 3) Nomor Pokok Wajib Pajak perusahaan 4) Anggota direksi dan anggota dewan komisaris: N a m a a. b. c. d. e. : ................................................................ : ................................................................ dan Menteri : ............................................................... : ............................................................... : ................................................................ : ............................................................... : ............................................................... : ............................................................... : ............................................................... Kewarganegaraan Alamat - 4 - b. Bank Kustodian 1) N a m a 2) A l a m a t 3) Nomor Pokok Wajib Pajak perusahaan 4) Anggota direksi dan anggota dewan komisaris: N a m a a. b. c. d. e. c. Akuntan 1) N a m a 2) A l a m a t 3) Nomor Pokok Wajib Pajak 4) Nomor pendaftaran di Otoritas Jasa Keuangan d. Konsultan Hukum 1) N a m a 2) A l a m a t 3) Nomor Pokok Wajib Pajak 4) Nomor pendaftaran di Otoritas Jasa Keuangan : ................................................................ : ................................................................ : ................................................................ : ................................................................ Kewarganegaraan Alamat : ................................................................ : ................................................................ : ................................................................ : ................................................................ : ................................................................ : ................................................................ : ................................................................ : ................................................................ - 5 - Melengkapi permohonan ini, kami lampirkan dokumen-dokumen sebagai berikut: a. anggaran dasar Reksa Dana Berbentuk Perseroan yang telah mendapat pengesahan dan persetujuan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia; b. kontrak pengelolaan Reksa Dana Berbentuk Perseroan; c. kontrak antara Reksa Dana Berbentuk Perseroan dengan Bank Kustodian; d. penunjukan Konsultan Hukum; f. penunjukan Akuntan; g. dokumen tentang anggota direksi Reksa Dana Berbentuk Perseroan: 1) riwayat hidup; 2) bukti kewarganegaraan; 3) fotokopi ijazah; h. dokumen tentang Manajer Investasi : 1) rencana pemasaran dan operasional; 2) struktur organisasi; 3) pengalaman sebagai Manajer Investasi; 4) fotokopi izin orang perseorangan pegawai penanggung jawab yang ditunjuk sebagai Wakil Manajer Investasi; 5) fotokopi izin usaha Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan sebagai Manajer Investasi; i. dokumen tentang Bank Kustodian: 1) rencana operasional berkenaan dengan Reksa Dana Berbentuk Perseroan; 2) fotokopi persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan; 3) nama dan nomor telepon Penanggung jawab Bank Kustodian; j. jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang terdapat pada Daftar Pertanyaan dan Daftar Afiliasi direksi dan setiap Pihak yang melakukan pengendalian atas perusahaan (Daftar A) serta penjelasan atas jawaban “ya” (Daftar B); dan k. neraca pembukaan. - 6 - Demikian permohonan kami ajukan dan atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih. Pemohon, meterai ....................................... (nama lengkap) - 7 - DAFTAR PERTANYAAN I. PETUNJUK DALAM MENJAWAB PERTANYAAN: 1. Semua pertanyaan wajib dijawab oleh setiap anggota direksi dan Pihak yang melakukan pengendalian atas perusahaan. 2. Berilah tanda √ dalam kotak di depan kata “ya”, jika jawaban Saudara “Ya”, atau berilah tanda √ dalam kotak di depan kata “tidak” jika jawaban atas pertanyaan berikut adalah “Tidak”. Untuk setiap jawaban ""ya"" setiap anggota direksi dan Pihak yang melakukan pengendalian atas perusahaan wajib memberikan jawaban secara rinci dan jelas dalam Daftar B, antara lain memuat: a. perusahaan dan pihak-pihak yang terkait; b. kasus dan tanggal dari tindakan yang dilakukan; c. pengadilan atau lembaga yang mengambil tindakan; dan d. tindakan dan sanksi yang dikenakan. II. INTEGRITAS SETIAP ANGGOTA DIREKSI DAN SETIAP PIHAK YANG MELAKUKAN PENGENDALIAN ATAS PERUSAHAAN. Definisi: Investasi adalah kegiatan atas Efek, perbankan, asuransi, atau usaha perumahan/real estat, termasuk kegiatan baik langsung atau tidak langsung berhubungan dengan Perusahaan Efek, Penasihat Investasi, dan perusahaan lain yang bergerak di bidang keuangan Jawablah pertanyaan dibawah ini: 1. Dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun terakhir, apakah Saudara pernah dihukum atau mengaku bersalah atau tidak membantah atas tuduhan: a. Tindak pidana atau kejahatan melibatkan Investasi atau usaha berhubungan dengan Investasi, penipuan, pernyataan palsu atau penggelapan, penyuapan, pemalsuan, atau pemerasan?  ya  tidak b. Atau kejahatan lain?  ya  tidak - 8 - 2. Apakah pengadilan : a. Pernah memutuskan Saudara bangkrut?  ya  tidak b. Dalam 10 (sepuluh) tahun terakhir ini melarang Saudara dalam kegiatan yang berhubungan dengan Investasi?  ya  tidak c. Pernah memutuskan bahwa Saudara menyebabkan suatu usaha yang berhubungan dengan Investasi, izin usahanya atau izin untuk menjalankan usahanya ditolak, dibekukan, dicabut atau dibatasi?  ya  tidak 3. Apakah Otoritas Jasa Keuangan pernah: a. Menemukan Saudara membuat pernyataan palsu atau melakukan kelalaian?  ya  tidak b. Menemukan Saudara terlibat dalam pelanggaran peraturan perundang-undangan yang berlaku?  ya  tidak c. Menemukan Saudara menyebabkan ditolaknya, dibekukannya, dicabutnya atau dibatasinya izin usaha Saudara atau izin menjalankan usaha Saudara yang berhubungan dengan Investasi?  ya  tidak d. Menolak, menghentikan untuk sementara atau mencabut izin usaha Saudara, memberi sanksi dengan membatasi kegiatan Saudara?  ya  tidak 4. Apakah lembaga/instansi lain yang berwenang di Indonesia atau negara lain pernah: a. Mendapatkan Saudara membuat pernyataan palsu atau tidak menyatakan fakta yang benar atau tidak jujur, tidak adil atau tidak etis?  ya  tidak - 9 - b. Menemukan Saudara terlibat dalam pelanggaran peraturan Investasi, atau peraturan perundang-undangan yang berlaku?  ya  tidak 5. Apakah suatu Bursa Efek pernah: a. Menemukan Saudara membuat pernyataan palsu atau tidak menyatakan fakta yang sebenarnya.  ya  tidak b. Menemukan Saudara terlibat dalam pelanggaran peraturan perundang-undangan yang berlaku?  ya  tidak c. Menemukan Saudara menyebabkan Izin Usaha atau persetujuan untuk menjalankan usaha suatu Reksa Dana yang berhubungan dengan Investasi yang menyebabkan dibekukan, dicabut atau dibatasi?  ya  tidak d. Mengambil tindakan disipliner terhadap Saudara dengan mengeluarkan atau membekukan dari keanggotaan, dengan mencegah atau membekukan hubungannya dengan anggota lain, atau dengan membatasi kegiatannya?  ya  tidak 6. Apakah pengadilan dari negara lain, badan peraturan, atau Bursa Efek memerintahkan diambilnya tindakan terhadap Saudara sehubungan dengan Investasi atau penipuan?  ya  tidak 7. Apakah Saudara sedang menghadapi perkara dalam sidang pengadilan?  ya  tidak 8. Apakah suatu perusahaan asuransi pernah menolak membayar kepada atau mencabut pertanggungan Saudara?  ya  tidak - 10 - 9. Apakah Saudara mempunyai kewajiban atas dasar keputusan pengadilan atau perikatan lain yang dibuatnya dengan pihak lain yang tidak dapat dilaksanakan?  ya  tidak 10. Apakah Saudara pernah menjadi anggota direksi dan atau anggota dewan komisaris Perusahaan Efek, Penasihat Investasi Perorangan atau Pihak yang melakukan pengendalian atas Perusahaan Efek yang dinyatakan bangkrut?  ya  tidak .............................., .............. Yang membuat pernyataan .......................................... (nama lengkap) - 11 - DAFTAR A AFILIASI DIREKSI Daftar ini memuat keterangan tentang Afiliasi dari semua anggota direksi dengan: 1. Reksa Dana itu sendiri selain sebagai anggota direksi; 2. Perusahaan Efek yang bertindak sebagai Manajer Investasi-nya; 3. Bank Kustodian; 4. Akuntan atau Konsultan Hukum yang akan atau memberikan jasa profesional kepada Reksa Dana dan/atau Afiliasi dari profesi dimaksud; 5. Perusahaan Efek lain; dan 6. Orang perseorangan yang mempunyai hubungan usaha penting dan relevan atau hubungan profesi dengan Reksa Dana dimaksud, Manajer Investasi Reksa Dana atau dengan Reksa Dana lain. Beri tanda √ apabila ada afiliasi Nama Lengkap Anggota Direksi/Pihak yang melakukan pengendalian 1 Afiliasi sebagaimana dijelaskan di atas dengan angka 2 3 4 5 6 - 12 - DAFTAR B PENJELASAN ATAS JAWABAN ""YA"" Daftar pertanyaan Nomor 1 sampai dengan 10. Diisi dengan penjelasan rinci terhadap ""ya"" atas pertanyaan nomor 1 sampai dengan 10. No Nomor Pertanyaan/Daftar Penjelasan ..............., ......................... 20.. Yang membuat pernyataan meterai .............................................. (Nama Lengkap) Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 2 Desember 2016 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana MULIAMAN D. HADAD - 13 - "," POJK 39/POJK.04/2016 TATA CARA PERMOHONAN IZIN USAHA REKSA DANA BERBENTUK PERSEROAN 2 Desember 2016 7 Desember 2016 7 Desember 2016 'Kep-17/PM/1996|KEPTA-BAPEPAM/1996', 'Kep-17/PM/1996|KEPTA-BAPEPAM/1996 | Lampiran Peraturan Nomor IV.A.1' '8/UU/1995', '21/UU/2011' 'BAB III' " " OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 73 /POJK.05/2016 TENTANG TATA KELOLA PERUSAHAAN YANG BAIK BAGI PERUSAHAAN PERASURANSIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Tata Kelola Perusahaan Yang Baik Bagi Perusahaan Perasuransian; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); 2. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5618); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG TATA KELOLA PERUSAHAAN YANG BAIK BAGI PERUSAHAAN PERASURANSIAN. - 2 - BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Perusahaan Perasuransian adalah perusahaan asuransi, perusahaan asuransi syariah, perusahaan reasuransi, perusahaan reasuransi syariah, perusahaan pialang asuransi, perusahaan pialang reasuransi, dan perusahaan penilai kerugian asuransi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. 2. Asuransi adalah perjanjian antara dua pihak, yaitu perusahaan asuransi dan pemegang polis, yang menjadi dasar bagi penerimaan premi oleh perusahaan asuransi sebagai imbalan untuk: a. memberikan penggantian kepada tertanggung atau pemegang polis karena kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita tertanggung atau pemegang polis karena terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti; atau b. memberikan pembayaran yang didasarkan pada meninggalnya tertanggung atau pembayaran yang didasarkan pada hidupnya tertanggung dengan manfaat yang besarnya telah ditetapkan dan/atau didasarkan pada hasil pengelolaan dana, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. 3. Asuransi Syariah adalah kumpulan perjanjian, yang terdiri atas perjanjian antara perusahaan asuransi syariah dan pemegang polis dan perjanjian di antara para pemegang polis, dalam rangka pengelolaan kontribusi berdasarkan prinsip syariah guna saling menolong dan melindungi dengan cara: - 3 - a. memberikan penggantian kepada peserta atau pemegang polis karena kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita peserta atau pemegang polis karena terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti; atau b. memberikan pembayaran yang didasarkan pada meninggalnya peserta atau pembayaran yang didasarkan pada hidupnya peserta dengan manfaat yang besarnya telah ditetapkan dan/atau didasarkan pada hasil pengelolaan dana, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. 4. Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perasuransian berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. 5. Usaha Perasuransian adalah segala usaha menyangkut jasa pertanggungan atau pengelolaan risiko, pertanggungan ulang risiko, pemasaran dan distribusi produk asuransi atau produk asuransi syariah, konsultasi dan keperantaraan asuransi, asuransi syariah, reasuransi, atau reasuransi syariah, atau penilaian kerugian asuransi atau asuransi syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. 6. Usaha Asuransi Umum adalah usaha jasa pertanggungan risiko yang memberikan penggantian kepada tertanggung atau pemegang polis karena kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita tertanggung atau pemegang polis karena terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. - 4 - 7. Usaha Asuransi Jiwa adalah usaha yang menyelenggarakan jasa penanggulangan risiko yang memberikan pembayaran kepada pemegang polis, tertanggung, atau pihak lain yang berhak dalam hal tertanggung meninggal dunia atau tetap hidup, atau pembayaran lain kepada pemegang polis, tertanggung, atau pihak lain yang berhak pada waktu tertentu yang diatur dalam perjanjian, yang besarnya telah ditetapkan dan/atau didasarkan pada hasil pengelolaan dana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. 8. Usaha Reasuransi adalah usaha jasa pertanggungan ulang terhadap risiko yang dihadapi oleh perusahaan asuransi, perusahaan penjaminan, atau perusahaan reasuransi lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. 9. Usaha Asuransi Umum Syariah adalah usaha pengelolaan risiko berdasarkan Prinsip Syariah guna saling menolong dan melindungi dengan memberikan penggantian kepada peserta atau pemegang polis karena kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita peserta atau pemegang polis karena terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. 10. Usaha Asuransi Jiwa Syariah adalah usaha pengelolaan risiko berdasarkan Prinsip Syariah guna saling menolong dan melindungi dengan memberikan pembayaran yang didasarkan pada meninggal atau hidupnya peserta, atau pembayaran lain kepada peserta atau pihak lain yang berhak pada waktu tertentu yang diatur dalam perjanjian, yang besarnya telah ditetapkan dan/atau didasarkan pada hasil pengelolaan dana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. - 5 - 11. Usaha Reasuransi Syariah adalah usaha pengelolaan risiko berdasarkan Prinsip Syariah atas risiko yang dihadapi oleh perusahaan asuransi syariah, perusahaan penjaminan syariah, atau perusahaan reasuransi syariah lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. 12. Perusahaan Asuransi Umum adalah perusahaan yang menyelenggarakan Usaha Asuransi Umum. 13. Perusahaan Asuransi Jiwa adalah perusahaan yang menyelenggarakan Usaha Asuransi Jiwa. 14. Perusahaan Reasuransi adalah perusahaan yang menyelenggarakan Usaha Reasuransi. 15. Perusahaan Asuransi Umum Syariah adalah perusahaan yang menyelenggarakan Usaha Asuransi Umum Syariah. 16. Perusahaan Asuransi Jiwa Syariah adalah perusahaan yang menyelenggarakan Usaha Asuransi Jiwa Syariah. 17. Perusahaan Reasuransi Syariah adalah perusahaan yang menyelenggarakan Usaha Reasuransi Syariah. 18. Perusahaan Asuransi adalah Perusahaan Asuransi Umum dan Perusahaan Asuransi Jiwa sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. 19. Perusahaan Asuransi Syariah adalah Perusahaan Asuransi Umum Syariah dan Perusahaan Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. 20. Perusahaan Pialang Asuransi adalah perusahaan yang menyelenggarakan usaha jasa konsultasi dan/atau keperantaraan dalam penutupan asuransi atau asuransi syariah serta penanganan penyelesaian klaimnya dengan bertindak untuk dan atas nama pemegang polis, tertanggung, atau peserta. 21. Perusahaan Pialang Reasuransi adalah perusahaan yang menyelenggarakan usaha jasa konsultasi dan/atau keperantaraan dalam penempatan reasuransi atau penempatan reasuransi syariah serta penanganan penyelesaian klaimnya dengan bertindak untuk dan atas - 6 - nama perusahaan asurani, perusahaan asuransi syariah, perusahaan penjaminan, perusahaan penjaminan syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah yang melakukan penempatan reasuransi atau reasuransi syariah. 22. Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi adalah perusahaan yang menyelenggarakan usaha jasa penilaian klaim dan/atau jasa konsultasi atas objek asuransi. 23. Perusahaan adalah Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah. 24. Agen Asuransi adalah orang yang bekerja sendiri atau bekerja pada badan usaha, yang bertindak untuk dan atas nama Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah dan memenuhi persyaratan untuk mewakili Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah memasarkan produk asuransi atau produk asuransi syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. 25. Tata Kelola Perusahaan Yang Baik Bagi Perusahaan Perasuransian yang selanjutnya disebut Tata Kelola Perusahaan Yang Baik, adalah struktur dan proses yang digunakan dan diterapkan organ Perusahaan Perasuransian untuk meningkatkan pencapaian sasaran hasil usaha dan mengoptimalkan nilai Perusahaan Perasuransian bagi seluruh pemangku kepentingan khususnya pemegang polis, tertanggung, peserta, dan/atau pihak yang berhak memperoleh manfaat, secara akuntabel dan berlandaskan peraturan perundang- undangan serta nilai-nilai etika. 26. Organ Perusahaan Perasuransian adalah rapat umum pemegang saham, direksi, dewan komisaris, dan dewan pengawas syariah bagi Perusahaan Perasuransian yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas atau yang setara dengan rapat umum pemegang saham, direksi, dan dewan komisaris bagi Perusahaan Perasuransian yang berbentuk badan hukum koperasi. - 7 - 27. Pemangku Kepentingan adalah pihak yang memiliki kepentingan terhadap Perusahaan Perasuransian, baik langsung maupun tidak langsung, meliputi pemegang polis, tertanggung, peserta, pihak yang berhak memperoleh manfaat, pemegang saham atau yang setara, pegawai, kreditur, penyedia jasa, dan/atau pemerintah. 28. Rapat Umum Pemegang Saham yang selanjutnya disingkat RUPS, adalah rapat umum pemegang saham sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas bagi Perusahaan Perasuransian yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas atau yang setara dengan RUPS bagi Perusahaan Perasuransian yang berbentuk badan hukum koperasi. 29. Direksi adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas bagi Perusahaan Perasuransian yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas atau yang setara dengan Direksi bagi Perusahaan Perasuransian yang berbentuk badan hukum koperasi. 30. Dewan Komisaris adalah dewan komisaris sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas bagi Perusahaan Perasuransian yang berbentuk badan hukum hukum perseroan terbatas atau yang setara dengan Dewan Komisaris bagi Perusahaan Perasuransian yang berbentuk badan hukum koperasi. 31. Komisaris Independen adalah anggota Dewan Komisaris yang tidak terafiliasi dengan pemegang saham atau yang setara, anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris lainnya dan/atau anggota dewan pengawas syariah, yaitu tidak memiliki hubungan keuangan, kepengurusan, kepemilikan saham, dan/atau hubungan keluarga dengan pemegang saham atau yang setara, anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris lainnya dan/atau anggota dewan pengawas syariah atau hubungan lain yang dapat mempengaruhi kemampuannya untuk bertindak independen. - 8 - 32. Dewan Pengawas Syariah yang selanjutnya disingkat DPS adalah bagian dari organ Perusahaan yang mempunyai tugas dan fungsi pengawasan terhadap penyelenggaraan kegiatan usaha Perusahaan agar sesuai dengan Prinsip Syariah. 33. Afiliasi adalah hubungan antara seseorang atau badan hukum dengan satu orang atau lebih, atau badan hukum lain, sedemikian rupa sehingga salah satu dari mereka dapat mempengaruhi pengelolaan atau kebijakan dari orang yang lain atau badan hukum yang lain atau sebaliknya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. 34. Benturan Kepentingan adalah keadaan dimana terdapat konflik antara kepentingan ekonomis Perusahaan Perasuransian dan kepentingan ekonomis pribadi pemegang saham atau yang setara, anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, anggota DPS, dan/atau pegawai Perusahaan Perasuransian. 35. Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat OJK, adalah lembaga yang independen yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. 36. Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya, yang selanjutnya disebut Kepala Eksekutif, adalah anggota Dewan Komisioner OJK yang bertugas memimpin pelaksanaan pengawasan kegiatan lembaga jasa keuangan non-bank. BAB II PENERAPAN TATA KELOLA PERUSAHAAN YANG BAIK Pasal 2 (1) Perusahaan Perasuransian wajib menerapkan prinsip Tata Kelola Perusahaan Yang Baik dalam setiap kegiatan usahanya pada seluruh tingkatan atau jenjang organisasi. - 9 - (2) Prinsip Tata Kelola Perusahaan Yang Baik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. keterbukaan (transparency), yaitu keterbukaan dalam proses pengambilan keputusan dan keterbukaan dalam pengungkapan dan penyediaan informasi yang relevan mengenai Perusahaan Perasuransian, yang mudah diakses oleh Pemangku Kepentingan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perasuransian serta standar, prinsip, dan praktik penyelenggaraan Usaha Perasuransian yang sehat; b. akuntabilitas (accountability), yaitu kejelasan fungsi dan pelaksanaan pertanggungjawaban Organ Perusahaan Perasuransian sehingga kinerja Perusahaan Perasuransian, dapat berjalan secara transparan, wajar, efektif, dan efisien; c. pertanggungjawaban (responsibility), yaitu kesesuaian pengelolaan Perusahaan Perasuransian dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perasuransian dan nilai-nilai etika serta standar, prinsip, dan praktik penyelenggaraan Usaha Perasuransian yang sehat; d. kemandirian (independency), yaitu keadaan Perusahaan Perasuransian yang dikelola secara mandiri dan profesional serta bebas dari Benturan Kepentingan dan pengaruh atau tekanan dari pihak manapun yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perasuransian dan nilai-nilai etika serta standar, prinsip, dan praktik penyelenggaraan Usaha Perasuransian yang sehat; dan e. kesetaraan dan kewajaran (fairness), yaitu kesetaraan, keseimbangan, dan keadilan di dalam memenuhi hak-hak Pemangku Kepentingan yang timbul berdasarkan perjanjian, ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perasuransian, dan di bidang - 10 - nilai-nilai etika serta standar, prinsip, dan praktik penyelenggaraan Usaha Perasuransian yang sehat. Pasal 3 Penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik bertujuan untuk: a. mengoptimalkan nilai Perusahaan Perasuransian bagi Pemangku Kepentingan khususnya pemegang polis, tertanggung, peserta, dan/atau pihak yang berhak memperoleh manfaat; b. meningkatkan pengelolaan Perusahaan Perasuransian secara profesional, efektif, dan efisien; c. meningkatkan kepatuhan Organ Perusahaan Perasuransian dan DPS serta jajaran dibawahnya agar dalam membuat keputusan dan menjalankan tindakan dilandasi pada etika yang tinggi, kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, dan kesadaran atas tanggung jawab sosial Perusahaan Perasuransian terhadap Pemangku Kepentingan maupun kelestarian lingkungan; d. mewujudkan Perusahaan Perasuransian yang lebih sehat, dapat diandalkan, amanah, dan kompetitif; dan e. meningkatkan kontribusi Perusahaan Perasuransian dalam perekonomian nasional. Pasal 4 Pelaksanaan prinsip Tata Kelola Perusahaan Yang Baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) wajib dituangkan dalam suatu pedoman yang paling sedikit harus diwujudkan dalam: a. pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Direksi, Dewan Komisaris, dan DPS; b. pelaksanaan tugas satuan kerja dan komite yang menjalankan fungsi pengendalian internal Perusahaan Perasuransian; c. penerapan fungsi kepatuhan, auditor internal, dan auditor eksternal; - 11 - d. penerapan manajemen risiko, termasuk sistem pengendalian internal dan penerapan tata kelola teknologi informasi; e. penerapan kebijakan remunerasi; f. rencana strategis Perusahaan Perasuransian; dan g. transparansi kondisi keuangan dan non keuangan Perusahaan Perasuransian. BAB III RAPAT UMUM PEMEGANG SAHAM Pasal 5 (1) RUPS Perusahaan Perasuransian wajib diselenggarakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan dan anggaran dasar Perusahaan Perasuransian yang transparan dan dapat dipertanggungjawabkan. (2) Dalam mengambil keputusan, RUPS harus berupaya menjaga keseimbangan kepentingan semua pihak, khususnya kepentingan pemegang polis, tertanggung, peserta, pihak yang berhak memperoleh manfaat, dan kepentingan pemegang saham minoritas. (3) Setiap penyelenggaraan RUPS wajib dibuatkan risalah RUPS yang paling sedikit memuat waktu, agenda, peserta, pendapat yang berkembang dalam RUPS, dan keputusan RUPS. BAB IV DIREKSI Pasal 6 (1) Perusahaan wajib memiliki anggota Direksi paling sedikit 3 (tiga) orang. (2) Paling sedikit separuh dari jumlah anggota Direksi Perusahaan harus memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang pengelolaan risiko sesuai dengan bidang usaha Perusahaan. (3) Perusahaan Pialang Asuransi dan Perusahaan Pialang Reasuransi wajib memiliki anggota Direksi paling sedikit 2 (dua) orang. - 12 - (4) Seluruh anggota Direksi Perusahaan Perasuransian harus memiliki pengetahuan sesuai dengan bidang usaha perusahaan yang relevan dengan jabatannya. (5) Perusahaan Perasuransian yang seluruh pemiliknya warga Negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia yang seluruh atau mayoritas pemiliknya warga negara Indonesia, seluruh anggota Direksi harus warga negara Indonesia. (6) Anggota Direksi Perusahaan Perasuransian yang di dalamnya terdapat penyertaan langsung pihak asing harus warga negara Indonesia dan warga negara asing, atau seluruhnya warga negara Indonesia. Pasal 7 (1) Perusahaan wajib memiliki seorang direktur kepatuhan paling lambat 3 (tiga) tahun sejak Peraturan OJK ini diundangkan. (2) Direktur kepatuhan Perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang merangkap fungsi lain. Pasal 8 (1) Dalam hal Perusahaan belum memiliki direktur kepatuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) maka Perusahaan wajib menunjuk anggota Direksi yang membawahkan fungsi kepatuhan. (2) Anggota Direksi yang membawahkan fungsi kepatuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dirangkap oleh anggota Direksi yang membawahkan fungsi teknik asuransi, fungsi keuangan, atau fungsi pemasaran. Pasal 9 (1) Perusahaan wajib memiliki satuan kerja atau pegawai yang melaksanakan fungsi kepatuhan. (2) Satuan kerja atau pegawai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas membantu Direksi dalam memastikan kepatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang- - 13 - undangan di bidang Usaha Perasuransian dan peraturan perundang-undangan lainnya. (3) Satuan kerja atau pegawai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggungjawab kepada direktur kepatuhan/anggota Direksi yang membawahkan fungsi kepatuhan. Pasal 10 Anggota Direksi Perusahaan Perasuransian wajib memenuhi kriteria sebagai berikut: a. telah mendapat persetujuan dari OJK; b. berdomisili di Indonesia; c. mampu untuk bertindak dengan itikad baik, jujur, dan profesional; d. mampu bertindak untuk kepentingan Perusahaan Perasuransian dan pemegang polis, tertanggung, peserta, dan/atau pihak yang berhak memperoleh manfaat; e. mendahulukan kepentingan Perusahaan Perasuransian dan pemegang polis, tertanggung, peserta, dan/atau pihak yang berhak memperoleh manfaat dari pada kepentingan pribadi; f. mampu mengambil keputusan berdasarkan penilaian independen dan objektif untuk kepentingan Perusahaan Perasuransian dan pemegang polis, tertanggung, peserta, dan/atau pihak yang berhak memperoleh manfaat; dan g. mampu menghindarkan penyalahgunaan kewenangannya untuk mendapatkan keuntungan pribadi yang tidak semestinya atau menyebabkan kerugian bagi Perusahaan Perasuransian. Pasal 11 Direksi Perusahaan Perasuransian wajib: a. menjamin pengambilan keputusan yang efektif, tepat, dan cepat serta dapat bertindak secara independen, tidak mempunyai kepentingan yang dapat mengganggu - 14 - kemampuannya untuk melaksanakan tugas secara mandiri, dan kritis. b. mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan, anggaran dasar, dan peraturan internal lain dari Perusahaan Perasuransian dalam melaksanakan tugasnya; c. mengelola Perusahaan Perasuransian sesuai dengan kewenangan dan tanggung jawabnya; d. memastikan pelaksanaan dan penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik; e. mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugasnya kepada RUPS; f. memastikan agar Perusahaan Perasuransian memperhatikan kepentingan semua pihak, khususnya kepentingan pemegang polis, tertanggung, peserta, dan/atau pihak yang berhak memperoleh manfaat; g. memastikan agar informasi mengenai Perusahaan Perasuransian diberikan kepada Dewan Komisaris dan DPS secara tepat waktu dan lengkap; dan h. membantu memenuhi kebutuhan DPS dalam menggunakan anggota komite investasi, pegawai Perusahaan, dan tenaga ahli profesional yang struktur organisasinya berada di bawah Direksi. Pasal 12 (1) Anggota Direksi Perusahaan Perasuransian dilarang merangkap jabatan pada perusahaan lain kecuali sebagai anggota Dewan Komisaris pada 1 (satu) Perusahaan Perasuransian lain yang memiliki bidang usaha yang berbeda. (2) Tidak termasuk rangkap jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila anggota Direksi selain direktur utama yang bertanggung jawab terhadap pengawasan atas penyertaan pada anak perusahaan, menjalankan tugas fungsional menjadi anggota Dewan Komisaris pada anak perusahaan yang dikendalikan oleh Perusahaan - 15 - Perasuransian, sepanjang perangkapan jabatan tersebut tidak mengakibatkan yang bersangkutan mengabaikan pelaksanaan tugas dan wewenang sebagai anggota Direksi Perusahaan Perasuransian. (3) Direktur utama Perusahaan Perasuransian dilarang merangkap jabatan sebagai anggota Dewan Komisaris pada anak perusahaan yang dikendalikan oleh Perusahaan Perasuransian yang bersangkutan. Pasal 13 (1) Perusahaan Perasuransian dilarang mengangkat anggota Direksi yang berasal dari pegawai atau pejabat aktif OJK. (2) Perusahaan Perasuransian dilarang mengangkat anggota Direksi yang berasal dari mantan pegawai atau pejabat OJK apabila yang bersangkutan berhenti bekerja dari OJK kurang dari 1 (satu) tahun. Pasal 14 Perusahaan Perasuransian dilarang mengangkat anggota Direksi yang pernah menjadi anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, atau anggota DPS yang dinyatakan bersalah atau lalai menyebabkan: a. suatu Perusahaan Perasuransian dikenai sanksi pembatasan kegiatan usaha dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun terakhir sebelum pengangkatannya; b. suatu perusahaan di bidang jasa keuangan dicabut izin usahanya karena melakukan pelanggaran dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun terakhir sebelum pengangkatannya; dan/atau c. suatu perusahaan di bidang jasa keuangan atau di bidang non jasa keuangan dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dalam jangka waktu 5 (lima) tahun terakhir sebelum pengangkatannya. - 16 - Pasal 15 (1) Direksi Perusahaan Perasuransian wajib menyelenggarakan rapat Direksi secara berkala paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) bulan. (2) Hasil rapat Direksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dituangkan dalam risalah rapat Direksi dan didokumentasikan dengan baik. (3) Perbedaan pendapat (dissenting opinions) yang terjadi dalam keputusan rapat Direksi wajib dicantumkan secara jelas dalam risalah rapat Direksi disertai alasan perbedaan pendapat (dissenting opinions) tersebut. (4) Anggota Direksi Perusahaan Perasuransian yang hadir maupun yang tidak hadir dalam rapat Direksi berhak menerima salinan risalah rapat Direksi. (5) Jumlah rapat Direksi yang telah diselenggarakan dan jumlah kehadiran masing-masing anggota Direksi Perusahaan Perasuransian harus dimuat dalam laporan penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik. Pasal 16 Anggota Direksi Perusahaan Perasuransian wajib mengungkapkan mengenai: a. kepemilikan sahamnya yang mencapai 5% (lima persen) atau lebih pada Perusahaan Perasuransian tempat anggota Direksi dimaksud menjabat dan/atau pada perusahaan lain yang berkedudukan di dalam dan di luar negeri; dan b. hubungan keuangan dan hubungan keluarga dengan anggota Direksi lain, anggota Dewan Komisaris, anggota DPS, dan/atau pemegang saham atau yang setara Perusahaan Perasuransian tempat anggota Direksi dimaksud menjabat, kepada Perusahaan Perasuransian tempat anggota Direksi dimaksud menjabat dan dicantumkan dalam laporan penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik. - 17 - Pasal 17 Anggota Direksi Perusahaan Perasuransian dilarang: a. melakukan transaksi yang mempunyai Benturan Kepentingan dengan kegiatan Perusahaan Perasuransian tempat anggota Direksi dimaksud menjabat; b. memanfaatkan jabatannya pada Perusahaan Perasuransian tempat anggota Direksi dimaksud menjabat untuk kepentingan pribadi, keluarga, dan/atau pihak lain yang dapat merugikan atau mengurangi keuntungan Perusahaan Perasuransian tempat anggota Direksi dimaksud menjabat; c. mengambil dan/atau menerima keuntungan pribadi dari Perusahaan Perasuransian tempat anggota Direksi dimaksud menjabat, selain remunerasi dan fasilitas yang ditetapkan berdasarkan keputusan RUPS; dan d. memenuhi permintaan pemegang saham yang terkait dengan kegiatan operasional Perusahaan Perasuransian tempat anggota Direksi dimaksud menjabat, selain yang telah ditetapkan dalam RUPS. Pasal 18 Direksi wajib memastikan bahwa aset dan lokasi usaha serta fasilitas Perusahaan Perasuransian memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pelestarian lingkungan, kesehatan, dan keselamatan kerja. BAB V DEWAN KOMISARIS Pasal 19 (1) Perusahaan wajib memiliki anggota Dewan Komisaris paling sedikit 3 (tiga) orang. (2) Paling sedikit separuh dari jumlah anggota Dewan Komisaris Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Komisaris Independen. - 18 - (3) Perusahaan Pialang Asuransi dan Perusahaan Pialang Reasuransi wajib memiliki anggota Dewan Komisaris paling sedikit 2 (dua) orang. (4) Pengangkatan Komisaris Independen Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah dilakukan oleh RUPS dan harus dinyatakan secara jelas dalam akta notaris yang memuat keputusan RUPS mengenai pengangkatan tersebut. (5) Perusahaan Perasuransian yang seluruh pemiliknya warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia yang seluruh atau mayoritas pemiliknya warga negara Indonesia, seluruh anggota Dewan Komisaris harus warga negara Indonesia. (6) Anggota Dewan Komisaris Perusahaan Perasuransian yang di dalamnya terdapat penyertaan langsung pihak asing harus warga negara Indonesia dan warga negara asing, atau seluruhnya warga negara Indonesia. Pasal 20 (1) Paling sedikit separuh dari jumlah anggota Dewan Komisaris Perusahaan Perasuransian wajib berdomisili di Indonesia. (2) Anggota Dewan Komisaris Perusahaan Perasuransian wajib memenuhi kriteria sebagai berikut: a. telah mendapat persetujuan dari OJK; b. memiliki pengetahuan sesuai dengan bidang usaha Perusahaan yang relevan dengan jabatannya; c. mampu untuk bertindak dengan itikad baik, jujur dan profesional; d. mampu bertindak untuk kepentingan Perusahaan Perasuransian dan pemegang polis, tertanggung, peserta, dan/atau pihak yang berhak memperoleh manfaat; e. mendahulukan kepentingan Perusahaan Perasuransian dan pemegang polis, tertanggung, peserta, dan/atau pihak yang berhak memperoleh manfaat daripada kepentingan pribadi; - 19 - f. mampu mengambil keputusan berdasarkan penilaian independen dan objektif untuk kepentingan Perusahaan Perasuransian dan pemegang polis, tertanggung, peserta, dan/atau pihak yang berhak memperoleh manfaat; dan g. mampu menghindarkan penyalahgunaan kewenangannya untuk mendapatkan keuntungan pribadi yang tidak semestinya atau menyebabkan kerugian bagi Perusahaan Perasuransian. Pasal 21 Dewan Komisaris Perusahaan Perasuransian wajib: a. menjamin pengambilan keputusan yang efektif, tepat, dan cepat serta dapat bertindak secara independen, tidak mempunyai kepentingan yang dapat mengganggu kemampuannya untuk melaksanakan tugas secara mandiri dan kritis; b. melaksanakan tugas pengawasan dan pemberian nasihat kepada Direksi; c. mengawasi Direksi dalam menjaga keseimbangan kepentingan semua pihak, khususnya kepentingan pemegang polis, tertanggung, peserta, dan/atau pihak yang berhak memperoleh manfaat; d. menyusun laporan kegiatan Dewan Komisaris yang merupakan bagian dari laporan penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik; e. memantau efektifitas penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik; dan f. membantu memenuhi kebutuhan DPS dalam menggunakan anggota komite yang struktur organisasinya berada dibawah Dewan Komisaris. Pasal 22 Anggota Dewan Komisaris Perusahaan Perasuransian berhak memperoleh informasi dari Direksi mengenai Perusahaan Perasuransian secara lengkap dan tepat waktu. - 20 - Pasal 23 Anggota Dewan Komisaris Perusahaan Perasuransian dilarang merangkap jabatan sebagai anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi, atau anggota DPS pada Perusahaan Perasuransian yang memiliki bidang usaha yang sama. Pasal 24 (1) Perusahaan Perasuransian dilarang mengangkat anggota Dewan Komisaris yang berasal dari pegawai atau pejabat aktif OJK. (2) Perusahaan Perasuransian dilarang mengangkat anggota Dewan Komisaris yang berasal dari mantan pegawai atau pejabat OJK apabila yang bersangkutan berhenti bekerja dari OJK kurang dari 6 (enam) bulan. Pasal 25 Perusahaan Perasuransian dilarang mengangkat anggota Dewan Komisaris yang pernah menjadi anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, atau anggota DPS yang dinyatakan bersalah atau lalai menyebabkan: a. suatu Perusahaan Perasuransian dikenai sanksi pembatasan kegiatan usaha dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun terakhir sebelum pengangkatannya; b. suatu perusahaan di bidang jasa keuangan dicabut izin usahanya karena melakukan pelanggaran dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun terakhir sebelum pengangkatannya; dan/atau c. suatu perusahaan di bidang jasa keuangan atau di bidang non jasa keuangan dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dalam jangka waktu 5 (lima) tahun terakhir sebelum pengangkatannya. Pasal 26 (1) Dewan Komisaris Perusahaan Perasuransian wajib menyelenggarakan rapat Dewan Komisaris secara berkala paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) bulan. - 21 - (2) Rapat Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam periode 1 (satu) tahun dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. paling sedikit 4 (empat) kali rapat diantaranya dilakukan dengan mengundang Direksi; dan b. paling sedikit 1 (satu) kali rapat diantaranya dilakukan dengan mengundang auditor eksternal. (3) Anggota Dewan Komisaris Perusahaan Perasuransian wajib menghadiri rapat Dewan Komisaris paling sedikit 80% (delapan puluh persen) dari jumlah rapat Dewan Komisaris dalam periode 1 (satu) tahun. (4) Rapat Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dihadiri oleh seluruh anggota Dewan Komisaris secara fisik paling sedikit 4 (empat) kali dalam 1 (satu) tahun. (5) Hasil rapat Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dituangkan dalam risalah rapat Dewan Komisaris dan didokumentasikan dengan baik. (6) Perbedaan pendapat (dissenting opinions) yang terjadi dalam keputusan rapat Dewan Komisaris wajib dicantumkan secara jelas dalam risalah rapat Dewan Komisaris disertai alasan perbedaan pendapat (dissenting opinions) tersebut. (7) Anggota Dewan Komisaris Perusahaan Perasuransian yang hadir maupun yang tidak hadir dalam rapat Dewan Komisaris berhak menerima salinan risalah rapat Dewan Komisaris. (8) Jumlah rapat Dewan Komisaris yang telah diselenggarakan dan jumlah kehadiran masing-masing anggota Dewan Komisaris harus dimuat dalam laporan penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik. Pasal 27 Anggota Dewan Komisaris Perusahaan Perasuransian wajib mengungkapkan mengenai: a. kepemilikan sahamnya yang mencapai 5% (lima persen) atau lebih pada Perusahaan Perasuransian tempat - 22 - anggota Dewan Komisaris dimaksud menjabat dan/atau pada perusahaan lain yang berkedudukan di dalam dan di luar negeri; dan b. hubungan keuangan dan hubungan keluarga dengan anggota Dewan Komisaris lain, anggota Direksi, anggota DPS, dan/atau pemegang saham atau yang setara Perusahaan Perasuransian tempat anggota Dewan Komisaris dimaksud menjabat, kepada Perusahaan Perasuransian tempat anggota Dewan Komisaris dimaksud menjabat dan dicantumkan dalam laporan penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik. Pasal 28 Anggota Dewan Komisaris Perusahaan Perasuransian dilarang: a. melakukan transaksi yang mempunyai Benturan Kepentingan dengan kegiatan Perusahaan Perasuransian tempat anggota Dewan Komisaris dimaksud menjabat; b. memanfaatkan jabatannya pada Perusahaan Perasuransian tempat anggota Dewan Komisaris dimaksud menjabat untuk kepentingan pribadi, keluarga, dan/atau pihak lain yang dapat merugikan atau mengurangi keuntungan Perusahaan Perasuransian tempat anggota Dewan Komisaris dimaksud menjabat; c. mengambil dan/atau menerima keuntungan pribadi dari Perusahaan Perasuransian tempat anggota Dewan Komisaris dimaksud menjabat, selain remunerasi dan fasilitasi yang ditetapkan berdasarkan keputusan RUPS; dan d. mencampuri kegiatan operasional Perusahaan Perasuransian yang menjadi tanggung jawab Direksi. Pasal 29 Komisaris Independen mempunyai tugas pokok melakukan fungsi pengawasan untuk menyuarakan kepentingan pemegang polis, tertanggung, peserta, dan/atau pihak yang berhak memperoleh manfaat. - 23 - Pasal 30 Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah dilarang memberhentikan Komisaris Independen karena tindakan Komisaris Independen dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29. Pasal 31 Komisaris Independen Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. tidak mempunyai hubungan Afiliasi dengan anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris lainnya, anggota DPS, atau pemegang saham atau yang setara pada Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah, dalam Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah yang sama; b. tidak pernah menjadi anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, anggota DPS atau menduduki jabatan 1 (satu) tingkat dibawah Direksi pada Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah yang sama atau perusahaan lain yang memiliki hubungan Afiliasi dengan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah tersebut dalam jangka waktu 6 (enam) bulan terakhir; c. memahami peraturan perundang-undangan di bidang perasuransian dan peraturan perundang-undangan lain yang relevan; d. memiliki pengetahuan yang baik mengenai kondisi keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah tempat Komisaris Independen dimaksud menjabat; e. memiliki pengetahuan yang baik mengenai kepentingan pemegang polis, tertanggung, peserta, dan/atau pihak yang berhak memperoleh manfaat; berkewarganegaraan Indonesia; dan f. g. berdomisili di Indonesia. - 24 - Pasal 32 (1) Dalam hal Komisaris Independen menilai terdapat kebijakan atau tindakan anggota Direksi yang merugikan atau berpotensi merugikan kepentingan pemegang polis, tertanggung, peserta, dan/atau pihak yang berhak memperoleh manfaat, Komisaris Independen wajib mengusulkan penyelenggaraan rapat Dewan Komisaris. (2) Rapat Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan dalam rangka membahas hasil penilaian Komisaris Independen atas kebijakan atau tindakan anggota Direksi yang merugikan atau berpotensi merugikan kepentingan pemegang polis, tertanggung, peserta, dan/atau pihak yang berhak memperoleh manfaat. (3) Dalam hal anggota Dewan Komisaris lainnya tidak bersedia menerima usul penyelenggaraan rapat Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Komisaris Independen wajib melaporkan secara lengkap dan komprehensif kepada Kepala Eksekutif dan ditembuskan kepada Direksi paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak anggota Dewan Komisaris lainnya tidak bersedia menerima usul penyelenggaraan rapat Dewan Komisaris. (4) Dalam hal hasil keputusan rapat Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menolak atau tidak setuju dengan hasil penilaian Komisaris Independen atas kebijakan atau tindakan anggota Direksi yang merugikan atau berpotensi merugikan kepentingan pemegang polis, tertanggung, peserta, dan/atau pihak yang berhak memperoleh manfaat, Komisaris Independen wajib melaporkan secara lengkap dan komprehensif kepada Kepala Eksekutif dan ditembuskan kepada Direksi paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak hasil keputusan rapat Dewan Komisaris. - 25 - Pasal 33 Komisaris Independen dilarang merangkap jabatan sebagai anggota Komisaris Independen pada Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah yang memiliki bidang usaha yang sama. Pasal 34 (1) Komisaris Independen wajib membuat laporan tahunan mengenai pelaksanaan tugasnya terkait dengan perlindungan kepentingan pemegang polis, tertanggung, peserta, dan/atau pihak yang berhak memperoleh manfaat, baik menyangkut pelayanan maupun penyelesaian klaim, termasuk laporan mengenai perselisihan yang sedang dalam proses penyelesaian pada badan mediasi, badan arbitrase, atau badan peradilan. (2) Laporan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi bagian dari laporan Dewan Komisaris dan dicantumkan dalam laporan penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik. BAB VI DEWAN PENGAWAS SYARIAH Pasal 35 (1) Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi Syariah, dan Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang menyelenggarakan sebagian usahanya berdasarkan Prinsip Syariah wajib memiliki DPS. (2) DPS terdiri atas 1 (satu) orang ahli syariah atau lebih yang diangkat oleh RUPS atas rekomendasi Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (3) DPS harus memenuhi kriteria sebagai berikut: a. telah mendapat persetujuan dari OJK; b. mampu untuk bertindak dengan itikad baik, jujur dan profesional; - 26 - c. mampu bertindak untuk kepentingan Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi Syariah, dan Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang menyelenggarakan sebagian usahanya berdasarkan Prinsip Syariah dan pemegang polis, tertanggung, peserta, dan/atau pihak yang berhak memperoleh manfaat; d. mendahulukan kepentingan Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi Syariah, dan Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang menyelenggarakan sebagian usahanya berdasarkan Prinsip Syariah dan pemegang polis, tertanggung, peserta, dan/atau pihak yang berhak memperoleh manfaat dari pada kepentingan pribadi; e. mampu mengambil keputusan berdasarkan penilaian independen dan objektif untuk kepentingan Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi Syariah, dan Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang menyelenggarakan sebagian usahanya berdasarkan Prinsip Syariah dan pemegang polis, tertanggung, peserta, dan/atau pihak yang berhak memperoleh manfaat; dan f. mampu menghindarkan penyalahgunaan kewenangannya untuk mendapatkan keuntungan pribadi yang tidak semestinya atau menyebabkan kerugian bagi Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi Syariah, dan Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang menyelenggarakan sebagian usahanya berdasarkan Prinsip Syariah. (4) Pengangkatan DPS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dinyatakan secara jelas dalam akta notaris. Pasal 36 Paling sedikit separuh dari jumlah anggota DPS wajib berdomisili di Indonesia. - 27 - Pasal 37 DPS wajib menjamin pengambilan keputusan yang efektif, tepat, dan cepat serta dapat bertindak secara independen, tidak mempunyai kepentingan yang dapat mengganggu kemampuannya untuk melaksanakan tugas secara mandiri dan krisis. Pasal 38 (1) DPS wajib melaksanakan tugas pengawasan dan pemberian nasihat dan saran kepada Direksi agar kegiatan usaha sesuai dengan Prinsip Syariah. (2) Pelaksanaan tugas pengawasan dan pemberian nasihat dan saran yang dilakukan DPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap: a. kegiatan dalam pengelolaan kekayaan dan kewajiban, baik dana tabbaru’, dana tanahud, dana perusahaan, maupun dana investasi peserta; b. produk asuransi syariah yang dipasarkan; dan c. praktik pemasaran produk asuransi syariah. Pasal 39 (1) Dalam pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, DPS dapat menggunakan bantuan dari: a. anggota komite yang struktur organisasinya berada di bawah Dewan Komisaris; dan/atau b. anggota komite, pegawai, dan tenaga ahli profesional Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi Syariah, dan Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang menyelenggarakan sebagian usahanya berdasarkan Prinsip Syariah yang struktur organisasinya berada dibawah Direksi. (2) Penggunaan bantuan dari anggota komite, pegawai, dan tenaga ahli profesional Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi Syariah, dan Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang menyelenggarakan sebagian usahanya berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) - 28 - harus terlebih dahulu diberitahukan secara tertulis oleh DPS kepada Direksi dan/atau Dewan Komisaris. Pasal 40 Anggota DPS berhak memperoleh informasi dari Direksi mengenai Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi Syariah, dan Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang menyelenggarakan sebagian usahanya berdasarkan Prinsip Syariah secara lengkap dan tepat waktu. Pasal 41 (1) Anggota DPS dilarang merangkap sebagai anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris pada Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi Syariah, dan Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang menyelenggarakan sebagian usahanya berdasarkan Prinsip Syariah yang sama. (2) Anggota DPS hanya dapat merangkap jabatan sebagai anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, atau anggota DPS paling banyak pada 4 (empat) lembaga jasa keuangan lainnya. Pasal 42 Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi Syariah, dan Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang menyelenggarakan sebagian usahanya berdasarkan Prinsip Syariah dilarang mengangkat anggota DPS yang pernah menjadi anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, atau anggota DPS yang dinyatakan bersalah atau lalai menyebabkan: a. suatu Perusahaan Perasuransian dikenai sanksi pembatasan kegiatan usaha dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun terakhir sebelum pengangkatannya; b. suatu perusahaan di bidang jasa keuangan dicabut izin usahanya karena melakukan pelanggaran dalam jangka - 29 - waktu 3 (tiga) tahun terakhir sebelum pengangkatannya; dan/atau c. suatu perusahaan di bidang jasa keuangan atau di bidang non jasa keuangan dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dalam jangka waktu 5 (lima) tahun terakhir sebelum pengangkatannya. Pasal 43 (1) DPS wajib menyelenggarakan rapat DPS secara berkala paling sedikit 6 (enam) kali dalam 1 (satu) tahun. (2) Hasil rapat DPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dituangkan dalam risalah rapat DPS dan didokumentasikan dengan baik. (3) Perbedaan pendapat (dissenting opinions) yang terjadi dalam keputusan rapat DPS wajib dicantumkan secara jelas dalam risalah rapat DPS disertai alasan perbedaan pendapat (dissenting opinions) tersebut. (4) Anggota DPS yang hadir maupun yang tidak hadir dalam rapat DPS berhak menerima salinan risalah rapat DPS. (5) Jumlah rapat DPS yang telah diselenggarakan dan jumlah kehadiran masing-masing anggota DPS harus dimuat dalam laporan penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik. Pasal 44 Anggota DPS dilarang: a. melakukan transaksi yang mempunyai Benturan Kepentingan dengan kegiatan Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi Syariah, dan Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang menyelenggarakan sebagian usahanya berdasarkan Prinsip Syariah tempat anggota DPS dimaksud menjabat; b. memanfaatkan jabatannya untuk kepentingan pribadi, keluarga, dan/atau pihak lain yang dapat merugikan atau mengurangi keuntungan Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi Syariah, dan Perusahaan - 30 - Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang menyelenggarakan sebagian usahanya berdasarkan Prinsip Syariah tempat anggota DPS dimaksud menjabat; dan c. mengambil dan/atau menerima keuntungan pribadi dari Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi Syariah, dan Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang menyelenggarakan sebagian usahanya berdasarkan Prinsip Syariah tempat anggota DPS dimaksud menjabat, selain remunerasi dan fasilitas lainnya yang ditetapkan berdasarkan keputusan RUPS. Pasal 45 (1) Dalam hal DPS menilai terdapat kebijakan atau tindakan anggota Direksi yang terkait dengan hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) yang tidak sesuai dengan Prinsip Syariah, DPS wajib meminta penjelasan kepada anggota Direksi atas kebijakan anggota Direksi yang tidak sesuai dengan Prinsip Syariah. (2) Dalam hal Direksi menolak hasil penilaian DPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1), DPS wajib melaporkan secara lengkap dan komprehensif kepada Kepala Eksekutif dan ditembuskan kepada Direksi paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak penjelasan anggota Direksi diterima oleh DPS. (3) Dalam hal Direksi menerima hasil penilaian DPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1), DPS meminta Direksi untuk melakukan perbaikan terhadap kebijakan atau tindakan anggota Direksi tersebut agar sesuai dengan Prinsip Syariah. (4) Dalam hal anggota Direksi tidak melakukan perbaikan terhadap kebijakan atau tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), DPS wajib segera melaporkan secara lengkap dan komprehensif kepada Kepala Eksekutif dan ditembuskan kepada Direksi paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak diketahui anggota Direksi tidak melakukan upaya perbaikan dimaksud. - 31 - BAB VII PEMEGANG SAHAM Pasal 46 Pemegang saham atau yang setara pada Perusahaan Perasuransian melalui RUPS berupaya memastikan Perusahaan Perasuransian dijalankan berdasarkan praktik Usaha Perasuransian yang sehat dan mendahulukan pemenuhan kewajiban yang terkait dengan kepentingan pemegang polis, tertanggung, peserta, dan/atau pihak yang berhak memperoleh manfaat. Pasal 47 (1) Pemegang saham atau yang setara pada Perusahaan Perasuransian dilarang mencampuri kegiatan operasional Perusahaan Perasuransian yang menjadi tanggung jawab Direksi sesuai dengan ketentuan anggaran dasar Perusahaan Perasuransian dan ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali dalam rangka melaksanakan hak dan kewajiban selaku RUPS. (2) Pemegang saham atau yang setara pada Perusahaan Perasuransian yang menjabat sebagai anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, atau anggota DPS pada Perusahaan Perasuransian yang sama wajib mendahulukan kepentingan Perusahaan Perasuransian dan pemegang polis, tertanggung, peserta, dan/atau pihak yang berhak memperoleh manfaat dari kepentingannya sebagai pemegang saham atau yang setara. Pasal 48 (1) Pemegang saham atau yang setara pada Perusahaan Perasuransian harus memenuhi kriteria sebagai berikut: a. tidak terlibat sebagai pihak yang dilarang menjadi pemegang saham atau yang setara perusahaan di bidang jasa keuangan dan/atau pengurus perusahaan di bidang jasa keuangan; - 32 - b. tidak pernah melanggar komitmen yang telah disepakati dengan OJK; c. tidak sedang dalam pengenaan sanksi dari OJK; d. tidak tercatat dalam daftar kredit macet; e. memiliki sumber dana yang tidak berasal dari tindak pidana kejahatan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai tindak pidana pencucian uang; f. memiliki komitmen terhadap pengembangan operasional Perusahaan Perasuransian; g. memiliki komitmen untuk mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan; dan h. memiliki reputasi yang baik (2) Ketentuan mengenai kriteria pemegang saham atau yang setara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku bagi Perusahaan Perasuransian yang melakukan perubahan pemegang saham atau yang setara dan/atau Perusahaan Perasuransian yang mengajukan permohonan izin usaha. BAB VIII KOMITE DAN AUDITOR EKSTERNAL Pasal 49 (1) Direksi Perusahaan wajib membentuk komite investasi. (2) Anggota komite investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagai berikut: a. bagi Perusahaan Asuransi Jiwa dan Perusahaan Asuransi Jiwa Syariah paling sedikit terdiri atas: 1. anggota Direksi yang membawahkan fungsi pengelolaan investasi; dan 2. aktuaris perusahaan; b. bagi Perusahaan Asuransi Umum, Perusahaan Asuransi Umum Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah paling sedikit terdiri atas: 1. anggota Direksi yang membawahkan fungsi pengelolaan investasi; dan - 33 - 2. aktuaris perusahaan atau tenaga ahli perusahaan. (3) Komite investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas membantu Direksi dalam merumuskan kebijakan investasi dan mengawasi pelaksanaan kebijakan investasi yang telah ditetapkan. Pasal 50 (1) Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah wajib memiliki satuan kerja atau komite pengembangan produk asuransi. (2) Satuan kerja atau komite sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan tugas: a. menyusun rencana strategis pengembangan dan pemasaran produk asuransi sebagai bagian dari rencana strategis kegiatan usaha Perusahaan; b. mengevaluasi kesesuaian produk asuransi baru yang akan dipasarkan dengan rencana strategis pengembangan dan pemasaran produk asuransi; dan c. mengevaluasi kinerja produk asuransi dan mengusulkan perubahan atau penghentian pemasarannya. (3) Satuan kerja atau komite sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggungjawab kepada anggota Direksi yang membawahkan fungsi pengembangan produk asuransi. Pasal 51 (1) Dalam rangka mendukung efektifitas pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya, Dewan Komisaris Perusahaan wajib membentuk: a. komite audit; dan b. komite pemantau risiko. (2) Salah seorang anggota komite pada Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Komisaris Independen yang sekaligus berkedudukan sebagai ketua komite. - 34 - (3) Salah seorang anggota komite audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah pihak lain di luar Perusahaan yang tidak memiliki hubungan keuangan, kepengurusan, kepemilikan saham dan/atau hubungan keluarga dengan Dewan Komisaris, Direksi dan/atau pemegang saham pengendali atau hubungan lain yang dapat mempengaruhi kemampuannya untuk bertindak independen. (4) Selain komite sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Dewan Komisaris Perusahaan dapat membentuk komite lain guna menunjang pelaksanaan tugas Dewan Komisaris. Pasal 52 (1) Komite audit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) huruf a bertugas membantu Dewan Komisaris dalam memantau dan memastikan efektifitas sistem pengendalian internal dan pelaksanaan tugas auditor internal dan auditor eksternal dengan melakukan pemantauan dan evaluasi atas perencanaan dan pelaksanaan audit dalam rangka menilai kecukupan pengendalian internal termasuk proses pelaporan keuangan. (2) Komite pemantau risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) huruf b bertugas membantu Dewan Komisaris dalam memantau pelaksanaan manajemen risiko yang disusun oleh Direksi serta menilai toleransi risiko yang dapat diambil oleh Perusahaan. Pasal 53 Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan, susunan keanggotaan, dan masa kerja komite sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 diatur dalam Surat Edaran OJK. - 35 - Pasal 54 (1) Auditor eksternal Perusahaan wajib ditunjuk oleh RUPS dari calon auditor eksternal yang diajukan oleh Dewan Komisaris berdasarkan usulan komite audit. (2) Auditor eksternal Perusahaan Pialang Asuransi dan Perusahaan Pialang Reasuransi wajib ditunjuk oleh RUPS dari calon auditor eksternal yang diajukan oleh Dewan Komisaris. (3) Pencalonan auditor eksternal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib disertai: a. alasan pencalonan dan besarnya honorarium atau imbal jasa yang diusulkan untuk auditor eksternal tersebut; dan b. pernyataan kesanggupan yang ditandatangani oleh auditor eksternal, untuk bebas dari pengaruh Direksi, Dewan Komisaris, DPS, dan pihak yang berkepentingan di perusahaan dan kesediaan untuk memberikan informasi terkait dengan hasil auditnya kepada Kepala Eksekutif. (4) Perusahaan Perasuransian wajib menyediakan semua catatan akuntansi dan data penunjang yang diperlukan bagi auditor eksternal sehingga memungkinkan auditor eksternal memberikan pendapatnya tentang kewajaran, ketaatan, dan kesesuaian laporan keuangan Perusahaan Perasuransian dengan standar audit yang berlaku. BAB IX PRAKTIK DAN KEBIJAKAN REMUNERASI Pasal 55 (1) Perusahaan Perasuransian wajib menerapkan kebijakan remunerasi bagi anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, DPS, dan pegawai yang mendorong perilaku berdasarkan prinsip kehati-hatian (prudent behaviour) yang sejalan dengan kepentingan jangka panjang Perusahaan Perasuransian dan perlakuan adil terhadap - 36 - pemegang polis, tertanggung, peserta, dan/atau pihak yang berhak memperoleh manfaat. (2) Kebijakan remunerasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memperhatikan paling sedikit; a. kinerja keuangan dan pemenuhan kewajiban Perusahaan Perasuransian sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; b. prestasi kerja individual; c. kewajaran dengan peer group; dan d. pertimbangan sasaran dan strategi jangka panjang Perusahaan Perasuransian. BAB X TATA KELOLA INVESTASI Pasal 56 (1) Perusahaan wajib menyusun kebijakan dan strategi investasi secara tertulis. (2) Ketaatan terhadap kebijakan dan strategi investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dievaluasi secara berkala, paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun. (3) Kebijakan dan strategi investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat; a. profil kekayaan dan kewajiban Perusahaan; b. kesesuaian antara durasi kekayaan dan durasi kewajiban Perusahaan; c. tujuan investasi; d. sasaran tingkat hasil investasi yang diharapkan, termasuk tolak ukur hasil investasi (yield’s benchmark) yang digunakan; e. dasar penilaian dan batasan kualitatif untuk setiap jenis aset investasi; f. batas maksimum alokasi investasi untuk setiap jenis aset investasi; g. batas maksimum proporsi kekayaan Perusahaan yang dapat ditempatkan pada satu pihak; - 37 - h. batas maksimum jumlah aset yang tidak ditempatkan (idle assets) dalam bentuk investasi; i. j. objek investasi yang dilarang untuk penempatan investasi; tingkat likuiditas minimum portofolio investasi Perusahaan untuk mendukung ketersediaan dana guna pembayaran manfaat asuransi; k. sistem pengawasan dan pelaporan pelaksanaan pengelolaan investasi; l. ketentuan mengenai penggunaan manajer investasi, penasihat investasi, tenaga ahli, dan penyedia jasa lain yang digunakan dalam pengelolaan investasi; m. ketentuan penggunaan instrumen derivatif dan produk keuangan terstruktur lainnya untuk tujuan lindung nilai; n. pembatasan wewenang transaksi investasi untuk setiap level manajemen dan pertanggungjawabannya; dan o. tindakan yang akan diterapkan kepada Direksi atas pelanggaran kebijakan investasi. (4) Kebijakan dan strategi investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib: a. ditetapkan oleh Direksi; b. disosialisasikan kepada pegawai yang terlibat dalam pengelolaan investasi; dan c. disampaikan kepada Kepala Eksekutif paling lama 1 (satu) bulan setelah ditetapkan oleh Direksi. Pasal 57 (1) Direksi Perusahaan wajib menyusun rencana pengelolaan investasi tahunan yang paling sedikit memuat: a. rencana komposisi jenis investasi; b. perkiraan tingkat hasil investasi untuk setiap jenis investasi; dan c. pertimbangan yang mendasari rencana komposisi jenis investasi. - 38 - (2) Rencana pengelolaan investasi tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mencerminkan kebijakan dan strategi investasi. Pasal 58 Dalam mengelola investasi, Direksi Perusahaan wajib melakukan: a. analisis terhadap risiko investasi yang antara lain meliputi risiko pasar, risiko likuiditas, dan risiko operasional serta rencana penanggulangannya dalam peningkatan risiko investasi; dan b. kajian yang memadai dan terdokumentasi dalam menempatkan, mempertahankan, dan melepaskan investasi. Pasal 59 Direksi Perusahaan wajib mengambil keputusan investasi secara profesional dan mengoptimalkan nilai Perusahaan bagi Pemangku Kepentingan khususnya pemegang polis, tertanggung, peserta, dan/atau pihak yang berhak memperoleh manfaat. Pasal 60 Perusahaan wajib memiliki satuan kerja atau pegawai yang melaksanakan fungsi pengelolaan investasi yang memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. menyelenggarakan fungsi analisis dan melaksanakan, memantau, dan melaporkan pengelolaan investasi; b. memiliki dan menerapkan sistem dan prosedur pengendalian internal untuk memastikan bahwa investasi dilakukan sesuai dengan kebijakan dan strategi investasi serta tidak melanggar ketentuan peraturan perundang- undangan; dan c. memiliki integritas dan keahlian serta pengalaman di bidang investasi. hal terjadi - 39 - Pasal 61 (1) Perusahaan yang menempatkan investasi pada instrumen investasi pasar modal wajib menatausahakan efek pada pihak yang tidak memiliki hubungan Afiliasi dengan Perusahaan. (2) Perusahaan yang memiliki investasi dalam bentuk saham yang diperdagangkan di bursa efek harus memiliki akses informasi yang memungkinkan secara langsung memonitor mutasi portofolio investasinya. (3) Perusahaan yang memiliki paling sedikit 50% (lima puluh persen) dari portofolio investasi yang dikelolanya sendiri dalam bentuk saham, surat utang korporasi, dan/atau sukuk korporasi, wajib memiliki tenaga ahli bidang investasi yang telah lulus ujian sebagai wakil manajer investasi. Pasal 62 (1) Perusahaan dapat melakukan alih daya pengelolaan investasinya kepada pihak lain. (2) Pengalihdayaan pengelolaan investasi kepada pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. pihak lain tersebut telah memiliki izin usaha sebagai perusahaan efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai manajer investasi dari OJK; b. pihak lain tersebut tidak sedang dikenakan sanksi administratif berupa pembatasan kegiatan usaha atau pembekuan kegiatan usaha oleh OJK, pada saat perjanjian pengalihdayaan pengelolaan investasi berlaku; c. pihak lain tersebut memiliki wakil manajer investasi yang berpengalaman mengelola dana paling sedikit Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah) pada saat penunjukan sebagai pengelola investasi perusahaan; dan d. wakil manajer investasi sebagaimana dimaksud pada huruf c tidak sedang atau tidak pernah dikenai - 40 - sanksi administratif oleh OJK dalam jangka waktu 5 (lima) tahun terakhir. (3) Pengalihdayaan pengelolaan investasi kepada pihak lain wajib memenuhi ketentuan mengenai jenis, batasan, dan penilaian investasi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kesehatan keuangan Perusahaan. (4) Perusahaan dilarang mengalihdayakan pengelolaan investasi kepada pihak lain yang terafiliasi dengan Perusahaan apabila anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, atau anggota DPS Perusahaan yang bersangkutan merangkap jabatan sebagai anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, atau anggota DPS pada pihak lain dimaksud. Pasal 63 (1) Pengalihdayaan pengelolaan investasi kepada pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) wajib dituangkan dalam perjanjian tertulis dalam bentuk akta notaris. (2) Perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memuat ketentuan paling sedikit mengenai: a. hak dan kewajiban masing-masing pihak; b. jenis dan batasan instrumen investasi; c. besarnya biaya yang dibebankan; d. jenis dan laporan rutin atas pengelolaan investasi dimaksud; e. adanya hak perusahaan untuk mendapatkan informasi dan dokumen lain yang terkait dengan pengelolaan investasi dimaksud; f. ganti kerugian dalam hal pihak lain melanggar ketentuan kerjasama atau terjadi kelalaian pihak lain yang mengakibatkan Perusahaan mengalami kerugian; - 41 - g. penatausahaan kekayaan yang dikelola pihak lain pada kustodian yang tidak memiliki hubungan Afiliasi dengan Perusahaan dan pihak lain tersebut; h. penyelesaian perselisihan dan pengakhiran perjanjian; dan i. kesediaan para pihak memberikan informasi terkait dengan pengelolaan investasi Perusahaan kepada OJK. Pasal 64 (1) Direksi Perusahaan wajib mengetahui portofolio penempatan investasi yang dilakukan oleh pihak lain. (2) Pengalihdayaan pengelolaan investasi kepada pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) tidak mengurangi tanggung jawab Direksi dalam pengelolaan investasi. BAB XI TATA KELOLA TEKNOLOGI INFORMASI Pasal 65 (1) Perusahaan Perasuransian wajib menerapkan tata kelola teknologi informasi yang efektif (2) Tata kelola teknologi informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat: a. struktur organisasi sistem informasi; b. pedoman penggunaan sistem informasi yang dilengkapi dengan instruksi atau perintah kerja untuk setiap fungsi (standard operating prosedure); dan c. pedoman manajemen pengamanan data dan pedoman manajemen insiden (disaster recovery plan). - 42 - BAB XII MANAJEMEN RISIKO DAN PENGENDALIAN INTERNAL Pasal 66 (1) Perusahaan Perasuransian wajib menerapkan manajemen risiko dengan mengidentifikasi, menilai, memantau dan mengelola risiko usaha secara efektif. (2) Manajemen risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disesuaikan dengan tujuan, kebijakan usaha, ukuran dan kompleksitas usaha serta kemampuan Perusahaan Perasuransian. (3) Perusahaan Perasuransian wajib memiliki fungsi manajemen risiko untuk memantau penerapan manajemen risiko pada Perusahaan Perasuransian. Pasal 67 (1) Direksi Perusahaan Perasuransian wajib menetapkan pengendalian internal yang efektif dan efisien untuk memberikan keyakinan yang memadai bahwa kegiatan usaha dijalankan sesuai dengan sasaran dan strategi bisnis serta anggaran dasar dan aturan internal lain Perusahaan Perasuransian, dan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Pengendalian internal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit mencakup hal-hal sebagai berikut: a. lingkungan pengendalian internal dalam Perusahaan Perasuransian yang disiplin dan terstruktur; b. pengkajian dan pengelolaan risiko usaha, yaitu suatu proses untuk mengidentifikasi, menganalisis, menilai, dan mengelola risiko usaha; c. aktivitas pengendalian, yaitu tindakan yang dilakukan dalam suatu proses pengendalian terhadap kegiatan Perusahaan Perasuransian pada setiap tingkat dan unit dalam struktur organisasi Perusahaan Perasuransian, antara lain mengenai kewenangan, otorisasi, verifikasi, rekonsiliasi, - 43 - penilaian atas prestasi kerja, pembagian tugas dan keamanan terhadap aset Perusahaan Perasuransian; d. sistem informasi dan komunikasi, yaitu suatu proses penyajian laporan mengenai kegiatan operasional, finansial, dan ketaatan atas peraturan perundang- undangan di bidang usaha perasuransian; e. tata cara monitoring, yaitu proses penilaian terhadap kualitas sistem pengendalian internal termasuk fungsi internal audit pada setiap tingkat dan unit struktur organisasi Perusahaan Perasuransian, sehingga dapat dilaksanakan secara optimal; dan f. mekanisme pelaporan kepada Direksi dengan tembusan kepada komite audit, dalam hal terjadi penyimpangan kualitas sistem pengendalian internal termasuk fungsi internal audit pada setiap tingkat dan unit struktur organisasi Perusahaan Perasuransian. BAB XIII RENCANA STRATEGIS PERUSAHAAN ASURANSI DAN PERUSAHAAN REASURANSI Pasal 68 (1) Perusahaan wajib menyusun rencana strategis dalam bentuk: a. rencana korporasi (corporate plan) yang mencakup rumusan mengenai tujuan dan sasaran yang hendak dicapai oleh Perusahaan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun; dan b. rencana bisnis (business plan) yang menggambarkan rencana kegiatan usaha Perusahaan dalam jangka waktu 1 (satu) tahun dan 3 (tiga) tahun. (2) Rencana korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a paling sedikit memuat: a. evaluasi pelaksanaan rencana korporasi periode sebelumnya; b. posisi Perusahaan saat ini; - 44 - c. asumsi yang digunakan dalam menyusun rencana korporasi; dan d. tujuan, sasaran, dan strategi pencapaiannya. (3) Rencana bisnis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b paling sedikit meliputi: a. ringkasan eksekutif; b. kebijakan dan strategi manajemen; c. penerapan manajemen risiko dan kepatuhan; d. kinerja Perusahaan saat ini; e. proyeksi laporan keuangan beserta asumsi yang digunakan; f. proyeksi rasio-rasio dan pos-pos tertentu lainnya; g. rencana permodalan; h. rencana investasi; i. rencana reasuransi; j. rencana pengembangan produk dan pemasaran produk; k. rencana pengembangan dan/atau perubahan jaringan kantor; l. rencana pengembangan organisasi dan sumber daya manusia (SDM); dan m. informasi lainnya. (4) Perusahaan wajib menyampaikan rencana korporasi dan rencana bisnis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada OJK paling lambat pada tanggal 31 Oktober. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk, susunan dan tata cara penyusunan serta penyampaian rencana korporasi dan rencana bisnis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (4) diatur dalam Surat Edaran OJK. BAB XIV KETERBUKAAN INFORMASI Pasal 69 (1) Perusahaan Perasuransian wajib memberikan informasi kepada OJK secara lengkap, tepat waktu dan dengan cara yang efisien. - 45 - (2) Perusahaan wajib memiliki sistem pelaporan keuangan yang dapat diandalkan untuk keperluan pengawasan dan Pemangku Kepentingan lain. Pasal 70 (1) Perusahaan Perasuransian wajib mengungkapkan kepada OJK mengenai hal-hal penting, paling sedikit meliputi: a. pengunduran diri atau pemberhentian auditor eksternal; b. transaksi material dengan pihak terkait; c. klaim material yang diajukan oleh dan/atau terhadap Perusahaan Perasuransian; d. Benturan Kepentingan yang sedang berlangsung dan/atau yang mungkin akan terjadi; dan e. informasi material lain mengenai Perusahaan Perasuransian. (2) Pengungkapan hal-hal penting sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimuat dalam laporan penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengungkapan hal-hal penting sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Surat Edaran OJK. BAB XV HUBUNGAN DENGAN PEMANGKU KEPENTINGAN Pasal 71 (1) Perusahaan Perasuransian, wajib melindungi kepentingan pemegang polis, tertanggung, peserta, dan/atau pihak yang berhak memperoleh manfaat, agar pemegang polis, tertanggung, peserta, dan/atau pihak yang berhak memperoleh manfaat tersebut dapat menerima haknya sesuai polis asuransi. (2) Dalam rangka melindungi hak dan kepentingan pemegang polis, tertanggung, peserta, dan/atau pihak yang berhak memperoleh manfaat sebagaimana dimaksud pada ayat - 46 - (1), Perusahaan Perasuransian wajib melakukan hal-hal sebagai berikut: a. bagi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah memenuhi kewajiban sesuai yang diperjanjikan dengan pemegang polis, tertanggung, peserta, dan/atau pihak yang berhak memperoleh manfaat; b. bagi Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, dan Perusahaan Pialang Asuransi mengevaluasi kebutuhan pemegang tertanggung, atau peserta dan/atau pihak yang memperoleh manfaat; c. bagi Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, dan Perusahaan Pialang Asuransi mengungkapkan informasi yang material dan relevan bagi pemegang polis, tertanggung, peserta, dan/atau pihak yang berhak memperoleh manfaat; dan d. bagi Perusahaan Perasuransian bertindak dengan integritas, kompetensi, serta utmost good faith. Pasal 72 Perusahaan Perasuransian wajib: a. menghormati hak Pemangku Kepentingan; dan b. melaksanakan kewajiban yang timbul berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan/atau perjanjian yang dibuat dengan pegawai, pemegang polis, tertanggung, peserta, dan/atau Pemangku Kepentingan lainnya. BAB XVI ETIKA BISNIS Pasal 73 (1) Direksi, Dewan Komisaris, DPS, dan pegawai Perusahaan Perasuransian dilarang menawarkan atau memberikan sesuatu, baik langsung maupun tidak langsung kepada pihak lain, untuk mempengaruhi pengambilan keputusan polis, - 47 - yang terkait dengan transaksi asuransi, dengan melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku. (2) Direksi, Dewan Komisaris, DPS, dan pegawai Perusahaan Perasuransian dilarang menerima sesuatu untuk kepentingan pribadinya dengan melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku, baik langsung maupun tidak langsung, dari siapapun, yang dapat mempengaruhi pengambilan keputusan yang terkait dengan transaksi asuransi. Pasal 74 Perusahaan Perasuransian wajib membuat pedoman tentang perilaku etis, yang memuat nilai etika berusaha, sebagai panduan bagi Organ Perusahaan Perasuransian dan seluruh pegawai Perusahaan Perasuransian. Pasal 75 (1) Perusahaan Perasuransian dapat memberikan donasi untuk tujuan amal dalam batas kepatutan dan kewajaran serta tidak mengganggu kesehatan keuangan Perusahaan Perasuransian. (2) Perusahaan Perasuransian dapat memberikan donasi selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan serta tidak mengganggu kesehatan keuangan Perusahaan Perasuransian. BAB XVII PENILAIAN SENDIRI (SELF ASSESSMENT) DAN LAPORAN PENERAPAN TATA KELOLA PERUSAHAAN YANG BAIK Pasal 76 (1) Perusahaan Perasuransian wajib melakukan penilaian sendiri (self assessment) atas penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik secara berkala. (2) Penilaian sendiri (self assessment) atas penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik sebagaimana dimaksud - 48 - pada ayat (1) dilakukan berdasarkan pedoman Tata Kelola Perusahaan Yang Baik dan checklist penilaian sendiri (self assessment) yang berlaku. Pasal 77 (1) Perusahaan Perasuransian wajib menyusun laporan penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik pada setiap akhir tahun buku. (2) Laporan penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit terdiri dari: a. transparansi penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik yang paling sedikit meliputi pengungkapan seluruh aspek pelaksanaan prinsip Tata Kelola Perusahaan Yang Baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4; b. penilaian sendiri (self assessment) atas penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76; dan c. rencana tindak (action plan) yang meliputi tindakan korektif (corrective action) yang diperlukan dan waktu penyelesaian serta kendala/hambatan penyelesaiannya, apabila masih terdapat kekurangan dalam penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk susunan dan tata cara penyampaian laporan penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Surat Edaran OJK. Pasal 78 (1) Perusahaan Perasuransian wajib menyampaikan laporan penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik kepada Kepala Eksekutif dalam bentuk hasil cetak komputer (hard copy) dan elektronik (soft copy). - 49 - (2) Laporan penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan paling lambat tanggal 28 Februari tahun berikutnya. (3) Apabila tanggal 28 Februari sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah hari libur, maka batas akhir penyampaian laporan adalah hari kerja pertama setelah tanggal 28 Februari dimaksud. BAB XVIII MONITORING DAN EVALUASI PENERAPAN TATA KELOLA PERUSAHAAN YANG BAIK Pasal 79 OJK melakukan monitoring dan evaluasi terhadap laporan penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik yang disampaikan oleh Perusahaan Perasuransian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78. BAB XIX SANKSI Pasal 80 (1) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), Pasal 4, Pasal 5 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 6 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 7, Pasal 8 ayat (1), Pasal 9 ayat (1), Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 20, Pasal 21, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26 ayat (1), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6), Pasal 27, Pasal 28, Pasal 30, Pasal 32 ayat (1), ayat (3), dan ayat (4), Pasal 33, Pasal 34 ayat (1), Pasal 35 ayat (1), Pasal 36, Pasal 37, Pasal 38 ayat (1), Pasal 41 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 42, Pasal 43 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 44, Pasal 45 ayat (1), ayat (2), dan (4), Pasal 47, - 50 - Pasal 48 ayat (1), Pasal 49 ayat (1), Pasal 50 ayat (1), Pasal 51 ayat (1), Pasal 54, Pasal 55 ayat (1), Pasal 56 ayat (1) dan ayat (4), Pasal 57 ayat (1), Pasal 58, Pasal 59, Pasal 60, Pasal 61 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 62 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), Pasal 63, Pasal 64 ayat (1), Pasal 65 ayat (1), Pasal 66 ayat (1) dan (3), Pasal 67 ayat (1), Pasal 68 ayat (1) dan ayat (4), Pasal 69, Pasal 70 ayat (1), Pasal 71, Pasal 72, Pasal 73, Pasal 74, Pasal 76 ayat (1), Pasal 77 ayat (1), dan Pasal 78 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan OJK ini dikenakan sanksi administratif; a. peringatan tertulis; b. pembatasan kegiatan usaha untuk sebagian/seluruh kegiatan usaha; atau c. pencabutan izin usaha. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara bertahap. (3) Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK dapat mengenakan sanksi tambahan berupa larangan menjadi pemegang saham, pengendali, direksi, dewan komisaris, atau yang setara dengan pemegang saham, pengendali, direksi, dan dewan komisaris, atau menduduki jabatan eksekutif di bawah direksi, atau yang setara dengan jabatan eksekutif di bawah direksi, pada perusahaan perasuransian (4) Prosedur dan tata cara pengenaan sanksi diatur dalam Peraturan OJK mengenai prosedur dan tata cara pengenaan sanksi administratif. (5) Dalam hal Peraturan OJK mengenai prosedur dan tata cara pengenaan sanksi administratif belum diundangkan, ketentuan mengenai prosedur dan tata cara pengenaan sanksi administratif tunduk pada Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2008. - 51 - BAB XX KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 81 Bagi Perusahaan Perasuransian yang merupakan perusahaan terbuka, selain ketentuan dalam Peraturan OJK ini berlaku juga ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal. BAB XXI KETENTUAN PERALIHAN Pasal 82 Bagi Perusahaan yang telah memperoleh izin usaha sebelum Peraturan OJK ini diundangkan dan belum memenuhi ketentuan anggota komite audit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (3) harus melakukan penyesuaian paling lama 3 (tiga) tahun sejak Peraturan OJK ini diundangkan. BAB XXII KETENTUAN PENUTUP Pasal 83 Pada saat Peraturan OJK ini mulai berlaku ketentuan mengenai tata Perusahaan Perasuransian kelola perusahaan yang baik bagi berbentuk badan hukum perseroan terbatas dan koperasi tunduk pada Peraturan OJK ini. Peraturan OJK ini Pasal 84 mulai berlaku pada tanggal diundangkan, kecuali ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (1) dan Pasal 77 ayat (2) huruf b bagi perusahaan penilai kerugian asuransi mulai berlaku sejak ditetapkannya Pedoman Tata Kelola Perusahaan Yang Baik - 52 - bagi Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi dan checklist penilaian sendiri (self assessment) oleh komite yang dibentuk oleh pemerintah yang bertugas menyusun kebijakan tata kelola. Pasal 85 (1) Dengan berlakunya Peraturan OJK ini, ketentuan dalam Peraturan OJK Nomor 2/POJK.05/2014 tanggal 28 Maret 2014 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 71) tentang Tata Kelola Perusahaan Yang Baik Bagi Perusahaan Perasuransian yang berlaku bagi Perusahaan Perasuransian berbentuk badan hukum perseroan terbatas dan koperasi dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. (2) Dengan berlakunya Peraturan OJK ini, ketentuan dalam Peraturan OJK Nomor 2/POJK.05/2014 tanggal 28 Maret 2014 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 71) tentang Tata Kelola Perusahaan Yang Baik Bagi Perusahaan Perasuransian yang berlaku bagi Perusahaan Perasuransian berbentuk badan hukum usaha bersama dicabut dan dinyatakan tidak berlaku sejak berlakunya Peraturan Pemerintah mengenai Perusahaan Perasuransian berbentuk usaha bersama. (3) Peraturan pelaksanaan Peraturan OJK Nomor 2/POJK.05/2014 tanggal 28 Maret 2014 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 71) tentang Tata Kelola Perusahaan Yang Baik Bagi Perusahaan Perasuransian dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan OJK ini. Peraturan OJK ini diundangkan. Pasal 86 mulai berlaku pada tanggal - 53 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan OJK ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 23 Desember 2016 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 28 Desember 2016 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 306 Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana "," POJK 73/POJK.05/2016 TATA KELOLA PERUSAHAAN YANG BAIK BAGI PERUSAHAAN PERASURANSIAN 23 Desember 2016 28 Desember 2016 28 Desember 2016 '2/POJK.05/2014' '40/UU/2014', '21/UU/2011' 'BAB XIX' " " OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 13 /POJK.05/2014 TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA LEMBAGA KEUANGAN MIKRO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 15, Pasal 21 ayat (4), Pasal 32, dan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Penyelenggaraan Usaha Lembaga Keuangan Mikro; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); 2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5394); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 89 Tahun 2014 tentang Suku Bunga Pinjaman atau Imbal Hasil Pembiayaan dan Luas Cakupan Wilayah Usaha Lembaga Keuangan Mikro) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 321, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5616); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA LEMBAGA KEUANGAN MIKRO. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Lembaga... -2- 1. Lembaga Keuangan Mikro yang selanjutnya disingkat LKM adalah lembaga keuangan yang khusus didirikan untuk memberikan jasa pengembangan usaha dan pemberdayaan masyarakat, baik melalui pinjaman atau pembiayaan dalam usaha skala mikro kepada anggota dan masyarakat, pengelolaan simpanan, maupun pemberian jasa konsultasi pengembangan usaha yang tidak semata-mata mencari keuntungan. 2. Pinjaman adalah penyediaan dana oleh LKM kepada masyarakat yang harus dikembalikan sesuai dengan yang diperjanjikan. 3. Pembiayaan adalah penyediaan dana oleh LKM kepada masyarakat yang harus dikembalikan sesuai dengan yang diperjanjikan dengan prinsip syariah. 4. Simpanan adalah dana yang dipercayakan oleh masyarakat kepada LKM dalam bentuk tabungan dan/atau deposito berdasarkan perjanjian penyimpanan dana. 5. Penyimpan adalah pihak yang menempatkan dananya pada LKM berdasarkan perjanjian. 6. Prinsip Syariah adalah ketentuan hukum Islam berdasarkan fatwa atau pernyataan kesesuaian syariah dari Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI). 7. Direksi: a. bagi LKM berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan mengenai perseroan terbatas; b. bagi LKM berbentuk badan hukum Koperasi adalah pengurus sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan mengenai perkoperasian. 8. Dewan Komisaris: a. bagi LKM berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas adalah dewan komisaris sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan mengenai perseroan terbatas; b. bagi... -3- b. bagi LKM berbentuk badan hukum Koperasi adalah pengawas sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan mengenai perkoperasian. 9. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat OJK adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain yang mempunyai fungsi, tugas dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang mengenai OJK. BAB II KEGIATAN USAHA Bagian Kesatu Umum Pasal 2 (1) Kegiatan usaha LKM meliputi jasa pengembangan usaha dan pemberdayaan masyarakat, baik melalui Pinjaman atau Pembiayaan dalam usaha skala mikro kepada anggota dan masyarakat, pengelolaan Simpanan, maupun pemberian jasa konsultasi pengembangan usaha. (2) Kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara konvensional atau berdasarkan Prinsip Syariah. Bagian Kedua Penyaluran Pinjaman atau Pembiayaan Pasal 3 (1) Dalam menjalankan kegiatan usaha penyaluran Pinjaman atau Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), LKM wajib melakukan analisis atas kelayakan penyaluran Pinjaman atau Pembiayaan. (2) Penyaluran Pinjaman atau Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam rangka pengembangan usaha dan pemberdayaan masyarakat. Pasal 4 (1) Dalam menjalankan kegiatan penyaluran Pinjaman atau Pembiayaan kepada anggota atau masyarakat, LKM menetapkan... -4- menetapkan suku bunga maksimum Pinjaman atau imbal hasil maksimum Pembiayaan yang akan diterapkan, sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku. (2) LKM wajib melaporkan suku bunga maksimum Pinjaman atau imbal hasil maksimum Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada OJK setiap 4 (empat) bulan. (3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib disampaikan paling lambat minggu terakhir bulan April, bulan Agustus, dan bulan Desember sesuai dengan format dalam Lampiran I yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini. (4) Dalam hal LKM bermaksud menaikkan suku bunga maksimum Pinjaman atau imbal hasil maksimum Pembiayaan sebelum periode pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berakhir, LKM wajib terlebih dahulu melaporkan kepada OJK sesuai dengan format dalam Lampiran II yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini. (5) LKM dilarang menerapkan suku bunga Pinjaman atau imbal hasil Pembiayaan melebihi suku bunga maksimum Pinjaman atau imbal hasil maksimum Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (4). Pasal 5 LKM wajib mengumumkan suku bunga maksimum Pinjaman atau imbal hasil maksimum Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 melalui surat kabar harian lokal atau papan pengumuman di kantor LKM yang mudah diketahui oleh masyarakat. Pasal 6 (1) Batas Pinjaman atau Pembiayaan terendah yang dilayani oleh LKM sebesar Rp50.000,- (lima puluh ribu Rupiah). (2) LKM dilarang menolak batas Pinjaman atau Pembiayaan terendah sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 7... -5- Pasal 7 (1) LKM setiap saat wajib memenuhi batas maksimum pemberian Pinjaman atau Pembiayaan kepada setiap nasabah. (2) Batas maksimum pemberian Pinjaman atau Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebagai berikut: a. paling tinggi 10% (sepuluh persen) dari modal LKM untuk nasabah kelompok; b. paling tinggi 5% (lima persen) dari modal LKM untuk 1 (satu) nasabah. (3) Modal LKM sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dihitung dari: a. penjumlahan dari modal disetor, tambahan modal disetor, cadangan, hibah, dan saldo laba atau rugi dalam hal LKM berbentuk badan hukum perseroan terbatas; atau b. penjumlahan dari simpanan pokok, simpanan wajib, dana cadangan, hibah, dan sisa hasil usaha, dalam hal LKM berbentuk badan hukum koperasi. Pasal 8 (1) LKM wajib melakukan penilaian kualitas Pinjaman atau Pembiayaan yang disalurkan. (2) Penilaian kualitas Pinjaman atau Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan menjadi 3 (tiga) kelompok yaitu: a. lancar; b. diragukan; dan c. macet. (3) Ketentuan mengenai parameter pengukuran kualitas Pinjaman atau Pembiayaan sebagaimana tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini. Pasal 9 LKM wajib membentuk penyisihan penghapusan Pinjaman atau Pembiayaan paling kurang: a. 0%... -6- a. 0% (nol persen) dari Pinjaman atau Pembiayaan dengan kualitas lancar; b. 50% (lima puluh persen) dari Pinjaman atau Pembiayaan dengan kualitas diragukan; dan c. 100% (seratus persen) dari Pinjaman atau Pembiayaan dengan kualitas macet. Bagian Ketiga Pengelolaan Simpanan Pasal 10 Dalam menjalankan kegiatan pengelolaan Simpanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), LKM wajib mengadministrasikan Simpanan Penyimpan dan memberikan tanda bukti Simpanan. Pasal 11 (1) LKM dilarang menolak batas nilai minimum untuk layanan pembukaan Simpanan. (2) Batas nilai minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebesar Rp5.000,- (lima ribu Rupiah). BAB III SUMBER PENDANAAN Pasal 12 (1) Sumber pendanaan LKM hanya dapat berasal dari: a. ekuitas; b. Simpanan; c. pinjaman; dan/atau d. hibah. (2) LKM dilarang menerima pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c kecuali dari warga negara Indonesia dan/atau badan usaha yang didirikan dan beroperasi di wilayah Republik Indonesia berdasarkan perjanjian pinjam meminjam. BAB IV... -7- BAB IV AKAD YANG DIGUNAKAN DALAM KEGIATAN USAHA DAN SUMBER PENDANAAN BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH Pasal 13 (1) LKM yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah wajib menggunakan akad yang sesuai dengan Prinsip Syariah. (2) Akad yang sesuai dengan Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. kegiatan usaha penghimpunan Simpanan dilakukan dengan menggunakan akad wadiah, mudharabah, atau akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah serta disetujui oleh OJK. b. kegiatan usaha penyaluran Pembiayaan dilakukan dengan menggunakan akad mudharabah, musyarakah, murabahah, ijarah, salam, istishna, ijarah muntahiah bit tamlik atau akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah serta disetujui oleh OJK. c. kegiatan jasa pemberian konsultasi dan pengembangan usaha dilakukan dengan menggunakan akad ijarah, ju’alah atau akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah serta disetujui oleh OJK. d. kegiatan pendanaan melalui penerimaan pinjaman dilakukan dengan menggunakan akad qordh, mudharabah, musyarakah atau akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah serta disetujui oleh OJK. (3) Untuk dapat memperoleh persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), LKM mengajukan permohonan kepada OJK dengan melampirkan fatwa DSN MUI. (4) Selain melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), LKM yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah dapat melakukan pengelolaan dana sosial berupa zakat, infak, dan sodaqoh. (5) Pembukuan... -8- (5) Pembukuan atas pengelolaan dana sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dilakukan secara terpisah. Pasal 14 Ketentuan lebih lanjut mengenai akad-akad sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 diatur dengan Surat Edaran OJK. BAB V KESEHATAN LKM Pasal 15 LKM wajib memelihara tingkat kesehatan melalui pemenuhan rasio likuiditas dan solvabilitas. Pasal 16 (1) Rasio likuiditas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dihitung dengan menggunakan cash ratio yang membandingkan kas dan setara kas yang dimiliki dengan liabilitas lancar. (2) Bagi LKM yang menyelenggarakan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah, rasio likuiditas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan menggunakan cash ratio yang membandingkan kas dan setara kas yang dimiliki dengan dana pihak ketiga sesuai dengan standar akuntansi keuangan syariah yang berlaku umum. (3) LKM wajib menjaga rasio likuiditas paling kurang 3% (tiga persen). Pasal 17 (1) Rasio solvabilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dihitung dengan membandingkan total aset dengan total liabilitas. (2) LKM wajib menjaga rasio solvabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling kurang 110% (seratus sepuluh persen). BAB VI PENEMPATAN DANA Pasal 18 (1) LKM hanya dapat menempatkan kelebihan dana yang dimilikinya pada: a. tabungan... -9- a. tabungan pada bank; dan/atau b. deposito berjangka dan/atau sertifikat deposito pada bank. (2) Bagi LKM yang menyelenggarakan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah, kelebihan dana dalam bentuk tabungan, deposito berjangka dan/atau sertifikat deposito wajib ditempatkan pada bank umum syariah, unit usaha syariah dan/atau bank pembiayaan rakyat syariah. (3) Dalam hal bank umum syariah, unit usaha syariah dan/atau bank pembiayaan rakyat syariah tidak terdapat dalam wilayah usaha LKM, maka LKM dapat menempatkan kelebihan dana yang dimilikinya pada bank konvensional. BAB VII TATA CARA MEMPEROLEH INFORMASI TENTANG PENYIMPAN DAN SIMPANAN PADA LKM Pasal 19 LKM dilarang mengungkapkan informasi mengenai data Penyimpan dan Simpanan kecuali diberikan untuk kepentingan: a. perpajakan; b. peradilan dalam perkara pidana; c. peradilan dalam perkara perdata; atau d. permintaan informasi dari ahli waris yang sah dalam hal Penyimpan meninggal dunia. Pasal 20 (1) Permohonan pembukaan informasi terkait data Penyimpan dan Simpanan sehubungan dengan kepentingan perpajakan diajukan berdasarkan permintaan tertulis dari Kementerian/instansi yang membawahi perpajakan kepada OJK dengan menyebutkan: a. nama dan jabatan pejabat pajak; b. nama Penyimpan selaku wajib pajak; c. nama... -10- c. nama LKM tempat Penyimpan memiliki Simpanan; dan d. keterangan yang diminta beserta alasan diperlukannya keterangan. (2) Permintaan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh kepala kantor pajak setempat. (3) Persetujuan atau penolakan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh OJK dalam jangka waktu paling lambat 15 (lima belas) hari kerja setelah surat permintaan diterima secara lengkap dan benar. Pasal 21 (1) Permohonan pembukaan informasi terkait data Penyimpan dan Simpanan sehubungan dengan kepentingan peradilan dalam perkara pidana diajukan berdasarkan permintaan tertulis dari Kejaksaan, Kepolisian atau Pengadilan, kepada OJK dengan menyebutkan: a. nama dan jabatan jaksa, polisi, atau hakim; b. nama Penyimpan selaku saksi, tersangka atau terdakwa; c. nama LKM tempat Penyimpan memiliki Simpanan; d. keterangan yang diminta; dan e. hubungan perkara pidana yang bersangkutan dengan keterangan yang diperlukan serta alasan diperlukannya keterangan. (2) Permintaan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh pimpinan kejaksaan, kepala kepolisian, dan ketua pengadilan. (3) Persetujuan atau penolakan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh OJK dalam jangka waktu paling lambat 15 (lima belas) hari kerja setelah surat permintaan diterima secara lengkap dan benar. (4) Khusus untuk perkara pidana berat seperti terorisme dan tindak pidana korupsi, pemberian perintah atau izin tertulis membuka informasi dilaksanakan oleh OJK dalam jangka waktu paling lambat 10(sepuluh)hari kerja setelah... -11- setelah surat permintaan diterima secara lengkap dan benar. Pasal 22 Pembukaan informasi terkait data Penyimpan dan Simpanan untuk kepentingan peradilan dalam perkara perdata, LKM tidak memerlukan perintah atau izin tertulis dari OJK. Pasal 23 Permohonan informasi terkait data Penyimpan dan Simpanan yang berasal dari ahli waris yang sah dalam hal Penyimpan telah meninggal dunia, LKM tidak memerlukan izin dari OJK. Pasal 24 LKM dilarang memberikan informasi Penyimpan dan Simpanan tanpa persetujuan OJK, kecuali dalam hal permintaan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 dan Pasal 23 Peraturan OJK ini. BAB VIII PELAPORAN BERKALA Pasal 25 (1) LKM wajib menyampaikan laporan keuangan secara berkala setiap 4 (empat) bulan untuk periode yang berakhir pada tanggal 30 April, 31 Agustus, dan 31 Desember kepada OJK. (2) Penyampaian laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lambat pada akhir bulan berikutnya. (3) Dalam hal LKM memperoleh izin usaha kurang dari 4 (empat) bulan dari kewajiban penyampaian pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kewajiban penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mulai berlaku untuk periode penyampaian laporan keuangan berikutnya. (4) Dalam hal batas akhir penyampaian laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) jatuh pada hari libur, batas akhir penyampaian laporan adalah hari kerja pertama berikutnya. Pasal 26... -12- Pasal 26 (1) Dalam rangka menerapkan prinsip keterbukaan, LKM wajib mengumumkan laporan posisi keuangan dan laporan kinerja keuangan singkat untuk setiap periode tahun takwim melalui surat kabar harian lokal atau pada papan pengumuman di kantor LKM yang bersangkutan yang mudah diketahui oleh masyarakat paling lambat 4 (empat) bulan setelah tahun takwim berakhir. (2) Dalam hal LKM memperoleh izin usaha kurang dari 6 (enam) bulan hingga tahun takwim berakhir, kewajiban pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mulai berlaku pada tahun takwim berikutnya. (3) Bukti pengumuman laporan posisi keuangan dan laporan kinerja keuangan singkat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaporkan kepada OJK paling lambat 20 (dua puluh) hari kerja setelah tanggal pengumuman. Pasal 27 Ketentuan mengenai laporan keuangan LKM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 diatur dengan Surat Edaran OJK. BAB IX LARANGAN Pasal 28 Dalam melakukan kegiatan usaha, LKM dilarang: a. menerima Simpanan berupa giro dan ikut serta dalam lalu lintas pembayaran; b. melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing; c. melakukan usaha perasuransian sebagai penanggung; d. bertindak sebagai penjamin; e. memberi Pinjaman atau Pembiayaan kepada LKM lain, kecuali dalam rangka mengatasi kesulitan likuiditas bagi LKM lain dalam wilayah kabupaten/kota yang sama; f. melakukan penyaluran Pinjaman atau Pembiayaan di luar cakupan wilayah usaha; dan/atau g. melakukan usaha di luar kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Peraturan OJK ini. BAB X... -13- BAB X PROSEDUR PENYEHATAN LKM Pasal 29 (1) Dalam hal LKM mengalami kesulitan likuiditas dan solvabilitas yang membahayakan keberlangsungan usahanya, OJK dapat melakukan tindakan agar: a. pemegang saham atau anggota menambah modal; b. pemegang saham atau rapat anggota mengganti Direksi dan/atau Dewan Komisaris LKM; c. LKM menghapusbukukan Pinjaman atau Pembiayaan yang macet dan memperhitungkan kerugian LKM dengan modalnya; d. LKM melakukan penggabungan atau peleburan dengan LKM lain; e. kepemilikan LKM dialihkan kepada pihak lain yang bersedia mengambil alih seluruh kewajiban; f. LKM menyerahkan pengelolaan seluruh atau sebagian kegiatan LKM kepada pihak lain; dan/atau g. LKM menjual sebagian atau seluruh harta dan/atau kewajiban LKM kepada LKM lain atau pihak lain. (2) Likuiditas dan solvabilitas yang dinilai membahayakan keberlangsungan usaha LKM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila rasio likuiditas kurang dari 3% (tiga persen) dan rasio solvabilitas kurang dari 100% (seratus persen). (3) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal pemberitahuan dari OJK untuk melakukan tindakan penyehatan. (4) OJK dapat memperpanjang jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sebanyak 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan. (5) Dalam hal tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat mengatasi kesulitan likuiditas dan solvabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (2), OJK mencabut izin usaha LKM yang bersangkutan dan memerintahkan Direksi LKM untuk segera menyelenggarakan... -14- menyelenggarakan rapat umum pemegang saham atau rapat anggota guna membubarkan badan hukum LKM dan membentuk tim likuidasi. (6) Ketentuan mengenai pembubaran LKM dan pembentukan tim likudasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur tersendiri dalam Peraturan OJK mengenai Perizinan Usaha dan Kelembagaan LKM. BAB XI SANKSI Pasal 30 (1) LKM yang tidak memenuhi ketentuan dalam Pasal 3 ayat (1), Pasal 4 ayat (2), Pasal 4 ayat (3), Pasal 4 ayat (4), Pasal 4 ayat (5), Pasal 5, Pasal 6 ayat (2), Pasal 7 ayat (1), Pasal 8 ayat (1), Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11 ayat (1), Pasal 13 ayat (1), Pasal 26 ayat (3), dan Pasal 28 Peraturan OJK ini, dikenakan sanksi administratif berupa peringatan tertulis. (2) Sanksi peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberikan paling banyak 3 (tiga) kali berturut- turut dengan masa berlaku masing-masing 40 (empat puluh) hari kerja. (3) Dalam hal sebelum berakhirnya masa berlaku sanksi peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2), LKM telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK atau Pemerintah Kabupaten/Kota setempat atau pihak lain yang ditunjuk oleh OJK mencabut sanksi peringatan tertulis. (4) Dalam hal masa berlaku peringatan tertulis ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berakhir dan LKM tetap tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK meminta pemegang saham atau rapat anggota koperasi untuk mengganti Direksi LKM dalam jangka waktu paling lambat 6 (enam) bulan sejak pemberitahuan dari OJK. (5) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berakhir dan rapat umum pemegang saham atau rapat anggota tidak mengganti Direksi LKM dimaksud, OJK... -15- OJK memberhentikan Direksi LKM dan selanjutnya menunjuk serta mengangkat pengganti sementara sampai rapat umum pemegang saham atau rapat anggota Koperasi mengangkat pengganti yang tetap dengan persetujuan OJK. Pasal 31 (1) LKM yang tidak memenuhi ketentuan dalam Pasal 25 ayat (1) Peraturan OJK ini, dikenakan sanksi administratif berupa denda. (2) Pengenaan sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberlakukan dengan ketentuan: a. bagi LKM yang cakupan wilayah usahanya pada 1 (satu) desa/kelurahan dikenakan denda sebesar Rp10.000,00 (sepuluh ribu rupiah) untuk setiap hari keterlambatan dan paling banyak Rp 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah); b. bagi LKM yang cakupan wilayah usahanya pada 1 (satu) kecamatan dikenakan denda sebesar Rp20.000,00 (dua puluh ribu rupiah) untuk setiap hari keterlambatan dan paling banyak Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah); c. bagi LKM yang cakupan wilayah usahanya pada 1(satu) Kabupaten/Kota dikenakan denda sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) untuk setiap hari keterlambatan dan paling banyak Rp2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah); (3) Dalam rangka pengenaan sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tanggal penyampaian laporan adalah: a. tanggal penerimaan oleh OJK atau Pemerintah Kabupaten/Kota setempat atau pihak lain yang ditunjuk oleh OJK, apabila laporan diserahkan langsung; atau b. tanggal pengiriman dalam tanda bukti pengiriman melalui kantor pos atau perusahaan jasa pengiriman... -16- pengiriman/titipan, apabila laporan tidak diserahkan secara langsung. (4) Denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib disetor ke OJK. (5) Dalam hal LKM belum membayar denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), denda tersebut dinyatakan sebagai utang LKM kepada OJK dan harus dicantumkan dalam laporan keuangan LKM yang bersangkutan. Pasal 32 (1) Dalam hal LKM tidak dapat memenuhi ketentuan dalam Pasal 12 ayat (2), Pasal 16 ayat (3), Pasal 17 ayat (2), Pasal 18 ayat (1) dan Pasal 18 ayat (2) Peraturan OJK ini, OJK menyampaikan pemberitahuan tertulis kepada LKM untuk memenuhi ketentuan dimaksud dalam jangka waktu paling lama 40 (empat puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal pemberitahuan dari OJK. (2) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah berakhir dan LKM tidak dapat memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2), Pasal 18 ayat (1) dan Pasal 18 ayat (2) Peraturan OJK ini, maka LKM yang bersangkutan dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 Peraturan OJK ini. BAB XII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 33 Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 dan Pasal 31 Peraturan OJK ini bagi Bank Desa, Lumbung Desa, Bank Pasar, Bank Pegawai, Badan Kredit Desa (BKD), Badan Kredit Kecamatan (BKK), Kredit Usaha Rakyat Kecil (KURK), Lembaga Perkreditan Kecamatan (LPK), Bank Karya Produksi Desa (BKPD), Badan Usaha Kredit Pedesaan (BUKP), Baitul Maal wa Tamwil (BMT), Baitul Tamwil Muhammadiyah (BTM), dan/atau lembaga-lembaga lainnya yang dipersamakan dengan itu dan telah beroperasi sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang... -17- tentang Lembaga Keuangan Mikro serta telah mendapatkan izin usaha dari OJK, mulai berlaku setelah 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal berlakunya Peraturan OJK ini. BAB XIII PENUTUP Pasal 34 Peraturan OJK ini mulai berlaku pada tanggal 8 Januari 2015. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan OJK ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 31 Oktober 2014 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Ttd. MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 11 Nopember 2014 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, Ttd. YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 343 Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum, Ttd. Tini Kustini "," POJK 13/POJK.05/2014 PENYELENGGARAAN USAHA LEMBAGA KEUANGAN MIKRO 31 Oktober 2014 8 Januari 2015 11 Nopember 2014 '21/UU/2011', '1/UU/2013', '89/PP/2014' 'BAB XI' " " OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 31 /POJK.05/2016 TENTANG USAHA PERGADAIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan inklusi keuangan bagi masyarakat menengah ke bawah dan usaha mikro, kecil, dan menengah, perlu memperluas layanan jasa keuangan melalui penyelenggaraan usaha pergadaian; b. bahwa dalam rangka penyelenggaraan usaha pergadaian yang memberikan kemudahan akses terhadap pinjaman, khususnya bagi masyarakat menengah ke bawah dan usaha mikro, kecil, dan menengah, perlu adanya landasan hukum bagi Otoritas Jasa Keuangan dalam mengawasi usaha pergadaian di Indonesia; c. bahwa landasan hukum untuk pengawasan usaha pergadaian diperlukan untuk menciptakan usaha pergadaian yang sehat, memberikan kepastian hukum bagi pelaku usaha pergadaian, dan perlindungan kepada konsumen; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu - 2 - menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Usaha Pergadaian; Mengingat : Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG USAHA PERGADAIAN. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Usaha Pergadaian adalah segala usaha menyangkut pemberian pinjaman dengan jaminan barang bergerak, jasa titipan, jasa taksiran, dan/atau jasa lainnya, termasuk yang diselenggarakan berdasarkan prinsip syariah. 2. Perusahaan Pergadaian adalah perusahaan pergadaian swasta dan perusahaan pergadaian pemerintah yang diatur dan diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan. 3. Perusahaan Pergadaian Swasta adalah badan hukum yang melakukan Usaha Pergadaian. 4. Perusahaan Pergadaian Pemerintah adalah PT Pegadaian (Persero) sebagaimana dimaksud dalam Staatsblad Tahun 1928 Nomor 81 tentang Pandhuis Regleement dan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2011 tentang Perubahan Bentuk Badan Hukum Perusahaan Umum (Perum) Pegadaian menjadi Perusahaan Perseroan (Persero). - 3 - 5. Prinsip Syariah adalah ketentuan hukum Islam berdasarkan fatwa dan/atau pernyataan kesesuaian syariah dari Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia. 6. Direksi: a. bagi Perusahaan Pergadaian yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas; atau b. bagi Perusahaan Pergadaian yang berbentuk badan hukum koperasi adalah pengurus sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. 7. Dewan Komisaris: a. bagi Perusahaan Pergadaian yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas adalah dewan komisaris sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas; atau b. bagi Perusahaan Pergadaian yang berbentuk badan hukum koperasi adalah pengawas sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. 8. Dewan Pengawas Syariah yang selanjutnya disingkat DPS adalah bagian dari organ Perusahaan Pergadaian yang mempunyai tugas dan fungsi pengawasan terhadap penyelenggaraan kegiatan usaha agar sesuai dengan Prinsip Syariah. 9. Modal Disetor: a. bagi Perusahaan Pergadaian yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas adalah modal disetor sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas; atau b. bagi Perusahaan Pergadaian yang berbentuk badan hukum koperasi adalah simpanan pokok - 4 - dan simpanan wajib sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. 10. Gadai adalah suatu hak yang diperoleh Perusahaan Pergadaian atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh nasabah atau oleh kuasanya, sebagai jaminan atas pinjamannya, dan yang memberi wewenang kepada Perusahaan Pergadaian untuk mengambil pelunasan pinjaman dari barang itu dengan mendahului kreditur-kreditur lain, dengan pengecualian biaya untuk melelang atau menjual barang tersebut dan biaya untuk menyelamatkan barang tersebut yang dikeluarkan setelah barang itu diserahkan sebagai gadai, biaya- biaya mana harus didahulukan. 11. Uang Pinjaman adalah uang yang dipinjamkan oleh Perusahaan Pergadaian kepada nasabah. 12. Barang Jaminan adalah setiap barang bergerak yang dijadikan jaminan oleh nasabah kepada Perusahaan Pergadaian. 13. Penaksir adalah orang yang memiliki sertifikat keahlian untuk melakukan penaksiran atas nilai Barang Jaminan dalam transaksi Gadai. 14. Surat Bukti Gadai adalah surat tanda bukti perjanjian pinjam meminjam uang dengan jaminan yang ditandatangani oleh Perusahaan Pergadaian dan nasabah. 15. Nasabah adalah orang perseorangan atau badan usaha yang menerima Uang Pinjaman dengan jaminan berupa Barang Jaminan dan/atau memanfaatkan layanan lainnya yang tersedia di Perusahaan Pergadaian. 16. Lelang adalah penjualan Barang Jaminan yang terbuka untuk umum dengan penawaran harga secara tertulis dan/atau lisan yang semakin meningkat atau menurun untuk mencapai harga tertinggi yang didahului pengumuman lelang. - 5 - 17. Uang Kelebihan adalah selisih lebih dari hasil penjualan Barang Jaminan dikurangi dengan jumlah Uang Pinjaman, bunga/jasa simpan, biaya untuk melelang, dan biaya menyelamatkan barang tersebut. 18. Pemeriksaan adalah rangkaian kegiatan mencari, mengumpulkan, mengolah, dan mengevaluasi data dan/atau keterangan, serta untuk menilai dan memberikan kesimpulan mengenai penyelenggaraan usaha pada Perusahaan Pergadaian. 19. Pemeriksa adalah pegawai Otoritas Jasa Keuangan atau pihak lain yang ditunjuk oleh Otoritas Jasa Keuangan untuk melakukan Pemeriksaan. 20. Hari adalah hari kerja. 21. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat OJK adalah Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. BAB II BENTUK BADAN HUKUM, KEPEMILIKAN, DAN PERMODALAN Pasal 2 (1) Bentuk badan hukum Perusahaan Pergadaian adalah: a. perseroan terbatas; atau b. koperasi. (2) Perusahaan Pergadaian yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, sahamnya hanya dapat dimiliki oleh: a. negara Republik Indonesia; b. pemerintah daerah; c. warga negara Indonesia; dan/atau d. badan hukum Indonesia. (3) Ketentuan kepemilikan untuk Perusahaan Pergadaian yang berbentuk badan hukum koperasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b mengikuti ketentuan - 6 - peraturan perundang-undangan di bidang perkoperasian. Pasal 3 Perusahaan Pergadaian dilarang dimiliki baik secara langsung maupun tidak langsung oleh warga negara asing dan/atau badan usaha yang sebagian atau seluruhnya dimiliki oleh warga negara asing atau badan usaha asing, kecuali kepemilikan langsung maupun tidak langsung tersebut dilakukan melalui bursa efek. Pasal 4 (1) Modal Disetor Perusahaan Pergadaian ditetapkan berdasarkan lingkup wilayah usaha yaitu kabupaten/kota atau provinsi. (2) Jumlah Modal Disetor Perusahaan Pergadaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan paling sedikit: a. Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah), untuk lingkup wilayah usaha kabupaten/kota; atau b. Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah), untuk lingkup wilayah usaha provinsi. (3) Modal Disetor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus disetor secara tunai dan penuh atas nama Perusahaan Pergadaian pada salah satu bank umum atau bank umum syariah di Indonesia. BAB III PENDAFTARAN DAN PERIZINAN USAHA Bagian Kesatu Pendaftaran Pasal 5 (1) Bagi pelaku Usaha Pergadaian yang telah melakukan kegiatan Usaha Pergadaian sebelum Peraturan OJK ini - 7 - diundangkan, dapat mengajukan permohonan pendaftaran kepada OJK. (2) Bagi pelaku Usaha Pergadaian yang akan mengajukan permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan dari ketentuan bentuk badan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), ketentuan lingkup wilayah usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), dan ketentuan permodalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2). (3) Permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada OJK paling lama 2 (dua) tahun sejak Peraturan OJK ini diundangkan. (4) Permohonan pendaftaran oleh pelaku Usaha Pergadaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya. (5) Bagi pelaku Usaha Pergadaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang mengajukan permohonan pendaftaran harus menggunakan format 1 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini dan dilampiri dengan: a. akta pendirian badan usaha termasuk anggaran dasar berikut perubahannya (jika ada) yang telah disahkan/disetujui oleh instansi yang berwenang atau diberitahukan kepada instansi yang berwenang dan/atau surat bukti usaha dari instansi yang berwenang; b. bukti identitas diri dan daftar riwayat hidup yang dilengkapi dengan pas foto berwarna yang terbaru berukuran 4x6 cm dari: 1. pemilik kecuali koperasi; 2. anggota Direksi; dan 3. anggota Dewan Komisaris; - 8 - c. surat keterangan domisili perusahaan dari instansi yang berwenang; d. bukti telah melakukan kegiatan usaha; dan e. foto unit layanan (outlet) berukuran 4R/5R. (6) OJK memberikan persetujuan atas permohonan pendaftaran paling lama 10 (sepuluh) Hari sejak diterimanya dokumen permohonan pendaftaran secara lengkap dan sesuai dengan persyaratan dalam Peraturan OJK ini. (7) OJK menetapkan pendaftaran pelaku Usaha Pergadaian berupa tanda bukti terdaftar. (8) Tanda bukti terdaftar sebagaimana dimaksud pada ayat (7) harus dicantumkan pada setiap kantor atau unit layanan (outlet). Pasal 6 (1) Pelaku Usaha Pergadaian yang telah terdaftar, dapat membuka unit layanan (outlet). (2) Pembukaan unit layanan (outlet) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaporkan kepada OJK melalui laporan berkala. Pasal 7 (1) Pelaku Usaha Pergadaian yang telah terdaftar wajib menyampaikan laporan secara berkala setiap 3 (tiga) bulan untuk periode yang berakhir pada tanggal 31 Maret, 30 Juni, 30 September, dan 31 Desember kepada OJK paling sedikit berupa: a. profil pelaku Usaha Pergadaian; b. laporan keuangan; dan c. laporan operasional. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk, susunan, dan tata cara penyampaian laporan berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Surat Edaran OJK. - 9 - Pasal 8 (1) Bagi pelaku Usaha Pergadaian yang telah terdaftar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (7), wajib mengajukan permohonan izin usaha sebagai Perusahaan Pergadaian dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun sejak Peraturan OJK ini diundangkan. (2) Pelaku Usaha Pergadaian yang telah terdaftar, pada saat mengajukan izin usaha harus memenuhi ketentuan dalam Peraturan OJK ini. (3) Pelaku Usaha Pergadaian yang telah terdaftar dan berbentuk perseroan terbatas atau koperasi, pada saat mengajukan izin usaha dikecualikan dari ketentuan Modal Disetor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2). (4) Ketentuan permodalan bagi pelaku Usaha Pergadaian yang telah terdaftar dan berbentuk perseroan terbatas atau koperasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pada saat mengajukan izin usaha harus memenuhi Ekuitas sebesar: a. Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah), untuk lingkup wilayah usaha kabupaten/kota; atau b. Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah), untuk lingkup wilayah usaha provinsi. (5) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah berakhir dan pelaku Usaha Pergadaian yang telah terdaftar belum menyampaikan permohonan izin usaha, pendaftaran dinyatakan batal dan tidak berlaku. Bagian Kedua Perizinan Usaha Perusahaan Pergadaian Pasal 9 (1) Perusahaan Pergadaian melakukan kegiatan usaha setelah memperoleh izin usaha dari OJK. - 10 - (2) Untuk memperoleh izin usaha sebagai Perusahaan Pergadaian dari OJK sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direksi Perusahaan Pergadaian harus mengajukan permohonan izin usaha kepada OJK dengan menggunakan format 2 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini dan harus dilampiri dokumen berupa: a. akta pendirian perseroan terbatas atau koperasi yang telah disahkan oleh instansi yang berwenang, yang paling sedikit harus memuat: 1. nama, tempat kedudukan, dan lingkup wilayah usaha; 2. kegiatan Pergadaian; 3. permodalan; 4. kepemilikan; dan 5. wewenang, tanggung jawab, masa jabatan Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau DPS, dan perubahan anggaran dasar terakhir (jika ada) disertai dengan bukti pengesahan, persetujuan, dan/atau surat penerimaan pemberitahuan dari instansi berwenang; b. data anggota Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau DPS meliputi: 1. fotokopi tanda pengenal berupa Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang masih berlaku; 2. fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) yang masih berlaku; 3. daftar riwayat hidup dengan dilengkapi pas foto berwarna yang terbaru berukuran 4x6 cm; dan 4. surat pernyataan bermeterai dari masing- masing anggota Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau DPS yang menyatakan: a) tidak tercatat dalam daftar kredit macet di sektor jasa keuangan; usaha sebagai Perusahaan - 11 - b) tidak tercantum dalam daftar tidak lulus (DTL) di sektor jasa keuangan; pernah c) tidak dihukum karena d) tidak melakukan tindak pidana di bidang jasa keuangan dan/atau perekonomian berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam 5 (lima) tahun terakhir; pernah dihukum karena melakukan tindak pidana kejahatan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam 5 (lima) tahun terakhir; e) tidak pernah dinyatakan pailit atau dinyatakan bersalah menyebabkan suatu badan usaha dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam 5 (lima) tahun terakhir; dan f) tidak pernah menjadi pemegang saham, direksi, dewan komisaris, atau dewan pengawas syariah pada perusahaan jasa keuangan yang dicabut izin usahanya karena melakukan pelanggaran dalam 5 (lima) tahun terakhir; c. data pemegang saham atau anggota pendiri: 1. dalam hal pemegang saham atau anggota pendiri adalah warga negara Indonesia, dokumen yang dilampirkan berupa: a) fotokopi surat pemberitahuan pajak terhutang (SPT) untuk 1 (satu) tahun terakhir; b) dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b angka 1, angka 2, dan angka 3; dan c) surat pernyataan bermeterai dari yang bersangkutan yang menyatakan bahwa: - 12 - 1) setoran modal tidak berasal dari pinjaman; 2) setoran modal tidak berasal dari dan untuk tindak pencucian uang (money laundering) dan kejahatan keuangan; 3) tidak tercatat dalam daftar kredit macet di sektor jasa keuangan; 4) tidak tercantum dalam daftar tidak lulus (DTL) keuangan; di sektor 5) tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana di bidang jasa keuangan perekonomian dan/atau berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam 5 (lima) tahun terakhir; 6) tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana kejahatan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam 5 (lima) tahun terakhir; 7) tidak pernah dinyatakan pailit atau dinyatakan bersalah menyebabkan suatu badan usaha dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam 5 (lima) tahun terakhir; dan 8) tidak pernah menjadi pemegang saham, direksi, dewan komisaris, atau dewan pengawas syariah pada perusahaan jasa keuangan yang dicabut izin usahanya karena jasa pidana - 13 - melakukan pelanggaran dalam 5 (lima) tahun terakhir; 2. dalam hal pemegang saham atau anggota pendiri adalah badan hukum Indonesia, dokumen yang dilampirkan berupa: a) akta pendirian termasuk anggaran dasar berikut perubahan yang terakhir (jika ada) yang telah disahkan/disetujui oleh instansi yang berwenang atau diberitahukan kepada instansi yang berwenang; b) laporan keuangan tahunan dan laporan keuangan bulanan terakhir; c) dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b angka 1, angka 2, dan angka 3 bagi direksi; dan d) surat pernyataan bermeterai dari direksi yang menyatakan bahwa: 1) setoran modal tidak berasal dari pinjaman; 2) setoran modal tidak berasal dari dan untuk tindak pencucian uang (money laundering) dan kejahatan keuangan; 3) tidak terdapat kepemilikan asing baik secara langsung maupun tidak langsung; 4) tidak tercatat dalam daftar kredit macet di sektor jasa keuangan; 5) tidak tercantum dalam daftar tidak lulus (DTL) di sektor jasa keuangan; 6) tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana di bidang jasa keuangan perekonomian dan/atau berdasarkan putusan pengadilan yang telah pidana - 14 - mempunyai kekuatan hukum tetap dalam 5 (lima) tahun terakhir; 7) tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana kejahatan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam 5 (lima) tahun terakhir; 8) tidak pernah dinyatakan pailit atau dinyatakan bersalah menyebabkan suatu badan usaha dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam 5 (lima) tahun terakhir; dan 9) tidak pernah menjadi pemegang saham, direksi, dewan komisaris, atau dewan pengawas syariah pada perusahaan jasa keuangan yang dicabut izin usahanya karena melakukan pelanggaran dalam 5 (lima) tahun terakhir; 3. dalam hal pemegang saham adalah negara Republik Indonesia, dokumen yang dilampirkan berupa Peraturan Pemerintah mengenai penyertaan modal negara Republik Indonesia untuk pendirian Perusahaan Pergadaian; dan/atau 4. dalam hal pemegang saham adalah pemerintah daerah, dokumen dilampirkan berupa Peraturan Daerah mengenai penyertaan modal daerah untuk pendirian Perusahaan Pergadaian; d. fotokopi bukti pelunasan Modal Disetor, berupa: 1. slip setoran dari pemegang saham atau anggota pendiri ke rekening tabungan atau giro atas nama Perusahaan Pergadaian; dan yang - 15 - 2. rekening koran Perusahaan Pergadaian periode mulai dari tanggal penyetoran modal sampai dengan tanggal surat permohonan izin usaha; e. struktur organisasi yang memuat susunan personalia yang paling sedikit memiliki fungsi pemutus pinjaman, f. Penaksir, Nasabah, dan administrasi; rencana kerja untuk 1 (satu) tahun pertama yang paling sedikit memuat: 1. gambaran mengenai kegiatan usaha yang akan dilakukan; 2. target dan langkah-langkah yang dilakukan untuk mewujudkan target dimaksud; dan 3. proyeksi laporan keuangan untuk 1 (satu) tahun ke depan; g. bukti kesiapan operasional antara lain berupa: 1. bukti kepemilikan atau penguasaan gedung dan ruangan kantor atau unit layanan (outlet), berupa fotokopi sertipikat hak milik, hak guna bangunan, atau hak pakai atas nama Perusahaan Pergadaian, atau perjanjian sewa gedung/ruangan disertai foto tampak luar gedung dan foto dalam ruangan serta tata letak (lay-out) ruangan; 2. daftar inventaris dan peralatan kantor; dan 3. contoh Surat Bukti Gadai dan/atau formulir yang akan digunakan; h. fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atas nama Perusahaan Pergadaian; i. j. bukti setor pelunasan biaya perizinan; bukti sertifikat Penaksir yang diterbitkan oleh lembaga sertifikasi profesi atau pihak lain yang ditunjuk OJK sebagai lembaga penerbit sertifikasi Penaksir; k. surat rekomendasi DPS dari Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia, bagi pelayanan - 16 - Perusahaan Pergadaian yang akan menyelenggarakan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah; dan l. pedoman penerapan anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme. (3) OJK memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lama 10 (sepuluh) Hari sejak permohonan izin usaha dan dokumen diterima secara lengkap serta sesuai dengan persyaratan dalam Peraturan OJK ini. (4) OJK menyampaikan pernyataan lengkap atau permintaan kelengkapan dokumen kepada pemohon paling lama 10 (sepuluh) Hari setelah permohonan diterima. (5) Dalam hal permohonan izin usaha yang disampaikan tidak lengkap, pemohon harus menyampaikan kekurangan dokumen tersebut paling lama 10 (sepuluh) Hari sejak tanggal surat permintaan kelengkapan dokumen dari OJK. (6) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) telah berakhir dan pemohon tidak menyampaikan kelengkapan dokumen, permohonan izin usaha dinyatakan batal. (7) Penolakan atas permohonan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disertai dengan alasan penolakan. (8) Dalam hal permohonan izin usaha disetujui, OJK menetapkan keputusan pemberian izin usaha sesuai lingkup wilayah usaha sebagai: a. perusahaan pergadaian, bagi Perusahaan Pergadaian yang menjalankan kegiatan usaha secara konvensional; atau b. perusahaan pergadaian syariah, bagi Perusahaan Pergadaian yang menjalankan seluruh kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah. - 17 - (9) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara permohonan izin usaha Perusahaan Pergadaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Surat Edaran OJK. Pasal 10 Nama Perusahaan Pergadaian harus dicantumkan secara jelas dalam anggaran dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) huruf a angka 1 yang dimulai dengan bentuk badan hukum dan memuat kata: a. Gadai atau kata yang mencirikan kegiatan Gadai, bagi Perusahaan Pergadaian yang menjalankan kegiatan usaha secara konvensional; atau b. Gadai atau kata yang mencirikan kegiatan Gadai diikuti dengan kata syariah, bagi Perusahaan Pergadaian yang menjalankan seluruh kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah. Pasal 11 (1) Perusahaan Pergadaian yang telah memperoleh izin usaha dari OJK wajib melakukan kegiatan usaha paling lama 30 (tiga puluh) Hari sejak tanggal izin usaha ditetapkan. (2) Perusahaan Pergadaian wajib menyampaikan laporan pelaksanaan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada OJK paling lama 15 (lima belas) Hari sejak tanggal dimulainya kegiatan usaha. (3) Laporan pelaksanaan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dilakukan dengan menggunakan format 3 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini dengan dilampiri fotokopi Surat Bukti Gadai. Pasal 12 (1) Perusahaan Pergadaian dilarang membuka atau memindahkan alamat unit layanan (outlet) di luar - 18 - wilayah usaha yang ditetapkan dalam keputusan pemberian izin usaha dari OJK. (2) Ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara pembukaan atau pemindahan alamat unit layanan (outlet) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Surat Edaran OJK. BAB IV PENYELENGGARAAN USAHA Pasal 13 (1) Kegiatan usaha Perusahaan Pergadaian meliputi: a. penyaluran Uang Pinjaman dengan jaminan berdasarkan hukum Gadai; b. penyaluran Uang Pinjaman dengan jaminan berdasarkan fidusia; c. pelayanan jasa dan/atau titipan barang berharga; d. pelayanan jasa taksiran. (2) Selain melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Perusahaan Pergadaian dapat melakukan kegiatan usaha lainnya, yaitu: a. kegiatan lain yang tidak komisi terkait Usaha Pergadaian yang memberikan pendapatan berdasarkan (fee based income) sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di bidang jasa keuangan; dan/atau b. kegiatan usaha lain dengan persetujuan OJK. (3) Kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat dilakukan secara konvensional atau berdasarkan Prinsip Syariah. (4) Pelaksanaan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (3), wajib menggunakan akad dengan ketentuan: - 19 - a. memenuhi prinsip keadilan (‘adl), keseimbangan (tawazun), kemaslahatan universalisme (alamiyah); b. tidak mengandung gharar, maysir, riba, zhulm, risywah, dan objek haram; dan c. tidak bertentangan dengan ketentuan hukum Islam berdasarkan fatwa dan/atau pernyataan kesesuaian syariah dari Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan usaha lain dengan persetujuan OJK sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b diatur dalam Surat Edaran OJK. Pasal 14 (1) Perusahaan Pergadaian yang akan melakukan kegiatan usaha lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) huruf b, harus tidak sedang dikenakan sanksi oleh OJK. (2) Perusahaan Pergadaian yang akan melakukan kegiatan usaha lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib mengajukan permohonan kepada OJK dan harus melampirkan dokumen yang berisi uraian paling sedikit mengenai: a. kegiatan usaha yang akan dilakukan; dan b. hak dan kewajiban para pihak. (3) OJK melakukan analisis atas dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan mengeluarkan surat persetujuan atau penolakan paling lama 20 (dua puluh) Hari setelah permohonan diterima secara lengkap dan sesuai dengan persyaratan dalam Peraturan OJK ini. Pasal 15 Perusahaan Pergadaian yang menyelenggarakan kegiatan usaha penyaluran Uang Pinjaman dengan jaminan berdasarkan fidusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal (maslahah), dan - 20 - 13 ayat (1) huruf b wajib melakukan mitigasi risiko, yang dapat dilakukan dengan: a. mengalihkan risiko usaha melalui mekanisme asuransi kredit atau penjaminan kredit; b. mengalihkan risiko atas barang yang menjadi agunan melalui mekanisme asuransi; dan/atau c. melakukan pendaftaran jaminan fidusia atas barang yang menjadi jaminan dari kegiatan usaha. Pasal 16 Perusahaan Pergadaian wajib mencantumkan keterangan/informasi secara jelas di setiap kantor atau unit layanan (outlet) hal sebagai berikut: a. nama dan/atau logo Perusahaan Pergadaian; b. nomor dan tanggal izin usaha dan pernyataan bahwa Perusahaan Pergadaian diawasi oleh OJK; hari dan jam operasional; dan c. d. tingkat bunga pinjaman atau imbal jasa/imbal hasil bagi Perusahaan Pergadaian yang menyelenggarakan kegiatan usahanya berdasarkan Prinsip Syariah, dan biaya administrasi. Pasal 17 (1) Perusahaan Pergadaian wajib menetapkan Barang Jaminan yang dapat diterima sebagai jaminan. (2) Penetapan Barang Jaminan yang dapat diterima sebagai jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan sesuai dengan kriteria Barang Jaminan. (3) Ketentuan mengenai kriteria Barang Jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Surat Edaran OJK. Pasal 18 Perusahaan Pergadaian yang menyalurkan Uang Pinjaman berdasarkan hukum Gadai dilarang untuk: a. menggunakan Barang Jaminan; - 21 - b. menyimpan Barang Jaminan di tempat Nasabah; c. memiliki Barang Jaminan; dan/atau d. menggadaikan kembali Barang Jaminan kepada pihak lain. Pasal 19 (1) Perusahaan Pergadaian wajib memiliki paling sedikit 1 (satu) orang Penaksir untuk melakukan penaksiran atas Barang Jaminan pada setiap unit pelayanan (outlet). (2) Dalam melakukan penaksiran, Penaksir wajib dilengkapi pedoman tertulis yang ditetapkan oleh Perusahaan Pergadaian. (3) Penaksir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus lulus sertifikasi penaksiran Barang Jaminan. Pasal 20 (1) Perusahaan Pergadaian wajib memberikan nilai taksiran atas setiap Barang Jaminan kepada Nasabah. (2) Dalam rangka memenuhi kualitas penaksiran Barang Jaminan, Perusahaan Pergadaian wajib: a. menyediakan alat penaksir; dan b. menetapkan daftar harga pasar Barang Jaminan yang wajar. Pasal 21 (1) Perusahaan Pergadaian wajib memenuhi nilai minimum perbandingan antara Uang Pinjaman dan nilai taksiran Barang Jaminan dalam memberikan Uang Pinjaman kepada Nasabah, kecuali apabila Nasabah menyatakan secara tertulis menghendaki Uang Pinjaman yang lebih rendah. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai nilai minimum perbandingan antara Uang Pinjaman dan nilai taksiran Barang Jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Surat Edaran OJK. - 22 - Pasal 22 (1) Perusahaan Pergadaian wajib memiliki tempat penyimpanan Barang Jaminan berdasarkan hukum Gadai dan barang titipan yang memenuhi persyaratan keamanan dan keselamatan. (2) Perusahaan Pergadaian wajib memiliki pedoman tertulis dalam menjaga keamanan dan keselamatan Barang Jaminan berdasarkan hukum Gadai dan barang titipan. (3) Perusahaan Pergadaian wajib mengasuransikan Barang Jaminan berdasarkan hukum Gadai dan barang titipan dalam rangka memitigasi risiko. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan tempat penyimpanan Barang Jaminan berdasarkan hukum Gadai dan barang titipan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Surat Edaran OJK. Pasal 23 (1) Perusahaan Pergadaian wajib menyerahkan Surat Bukti Gadai kepada Nasabah pada saat menerima Barang Jaminan. (2) Surat Bukti Gadai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disusun dengan memenuhi ketentuan perjanjian sebagaimana diatur dalam Peraturan OJK mengenai perlindungan konsumen sektor jasa keuangan. (3) Perusahaan Pergadaian wajib menyimpan paling sedikit 1 (satu) salinan Surat Bukti Gadai untuk setiap transaksi. Pasal 24 (1) Jangka waktu pinjaman kepada Nasabah dengan jaminan berdasarkan hukum Gadai paling lama 4 (empat) bulan. (2) Dalam hal Uang Pinjaman dengan jaminan berdasarkan hukum Gadai belum dilunasi sampai - 23 - dengan tanggal jatuh tempo, Perusahaan Pergadaian dapat melelang Barang Jaminan. (3) Sebelum pelaksanaan Lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (2), berdasarkan kesepakatan antara Perusahaan Pergadaian dengan Nasabah, Barang Jaminan dapat dijual dengan cara: a. Nasabah menjual sendiri Barang Jaminannya; atau b. Nasabah memberikan kuasa kepada Perusahaan Pergadaian untuk Jaminannya. (4) Dalam hal Perusahaan Pergadaian bersepakat dengan Nasabah untuk melakukan cara penjualan sebagaimana dimaksud pada ayat menjualkan Barang (3), maka penjualan dimaksud dilaksanakan paling lama 20 (dua puluh) Hari setelah tanggal jatuh tempo. (5) Kesepakatan antara Perusahaan Pergadaian dengan Nasabah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus dimuat dalam Surat Bukti Gadai. (6) Penjualan Barang Jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dilakukan apabila nilai penjualan dapat memenuhi kewajiban Nasabah terhadap Perusahaan Pergadaian. (7) Barang Jaminan yang dijual oleh Nasabah sebelum tanggal Lelang, dilarang dibeli secara langsung maupun tidak langsung oleh Perusahaan Pergadaian atau pegawainya. (8) Perusahaan Pergadaian wajib memiliki pedoman tertulis untuk melakukan penjualan Barang Jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (3). Pasal 25 (1) Dalam hal Nasabah telah melunasi Uang Pinjaman beserta bunga pinjaman atau imbal jasa/imbal hasil bagi Perusahaan Pergadaian yang menyelenggarakan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah, Perusahaan Pergadaian wajib mengembalikan Barang - 24 - Jaminan kepada Nasabah dalam kondisi fisik yang sama seperti saat penyerahan Barang Jaminan. (2) Dalam hal Barang Jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hilang atau rusak, Perusahaan Pergadaian wajib menggantinya dengan: a. uang atau barang yang nilainya sama atau setara dengan nilai Barang Jaminan pada saat Barang Jaminan tersebut hilang atau rusak, untuk Barang Jaminan berupa perhiasan; atau b. uang atau barang yang nilainya sama atau setara dengan nilai Barang Jaminan pada saat Barang Jaminan tersebut dijaminkan, untuk Barang Jaminan selain perhiasan. Pasal 26 Syarat dan tata cara penjualan Barang Jaminan berdasarkan hukum Gadai dengan cara Lelang berpedoman pada ketentuan peraturan perundang- undangan. Pasal 27 (1) Perusahaan Pergadaian wajib mengembalikan Uang Kelebihan dari hasil penjualan Barang Jaminan dengan cara Lelang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 atau berdasarkan kuasa menjual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (3) huruf b kepada Nasabah. (2) Perusahaan Pergadaian wajib mencatat secara terpisah Uang Kelebihan dari hasil penjualan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Ketentuan lebih pengembalian Uang lanjut mengenai tata cara Kelebihan dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Surat Edaran OJK. sebagaimana - 25 - Pasal 28 (1) Perusahaan Pergadaian wajib memiliki dan melaksanakan mekanisme penanganan pengaduan dan penyelesaian sengketa bagi Nasabah. (2) Mekanisme penanganan pengaduan dan penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dicantumkan dalam Surat Bukti Gadai. (3) Ketentuan mengenai penanganan pengaduan dan penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud ayat (1) berpedoman pada Peraturan OJK mengenai perlindungan konsumen sektor jasa keuangan dan Peraturan OJK mengenai lembaga alternatif penyelesaian sengketa pelaksanaannya. Pasal 29 (1) Perusahaan Pergadaian yang menyelenggarakan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3) wajib mengangkat paling sedikit 1 (satu) orang DPS. (2) DPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diangkat dalam rapat umum pemegang saham atau rapat anggota setelah memperoleh rekomendasi Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia. (3) Bagi Perusahaan Pergadaian yang berbentuk badan hukum koperasi, pengangkatan DPS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat pula dilakukan setelah memperoleh sertifikasi pelatihan DPS dari Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia. (4) DPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diangkat oleh 1 (satu) atau beberapa Perusahaan Pergadaian secara bersama-sama. (5) DPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai tugas pengawasan dan pemberian nasihat kepada Direksi agar kegiatan usahanya sesuai dengan Prinsip Syariah. beserta peraturan - 26 - (6) Tugas pengawasan dan pemberian nasihat sebagaimana dimaksud pada ayat (5) paling sedikit dilakukan terhadap: a. kegiatan operasional Perusahaan Pergadaian; b. pedoman operasional dan produk yang dipasarkan; dan c. pengembangan, pengkajian, dan rekomendasi kegiatan usaha Perusahaan Pergadaian yang antara lain mencakup produk, operasional, dan pemasaran. Pasal 30 (1) Perusahaan Pergadaian dapat menyelenggarakan sebagian kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3) dengan wajib terlebih dahulu memperoleh persetujuan dari OJK. (2) Perusahaan Pergadaian yang menyelenggarakan sebagian kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah, wajib: a. mempunyai pembukuan terpisah untuk kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah dari kegiatan usaha konvensional; dan b. menunjuk pegawai yang bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan usaha yang dilakukan berdasarkan Prinsip Syariah. Pasal 31 (1) Untuk memperoleh persetujuan menyelenggarakan sebagian kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1), Direksi Perusahaan Pergadaian harus mengajukan permohonan persetujuan kepada OJK dengan menggunakan format 4 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini dan harus dilampiri dokumen: - 27 - a. surat rekomendasi DPS dari Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia atau bukti sertifikasi pelatihan DPS dari Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia; b. daftar riwayat hidup pegawai yang bertanggung jawab atas kegiatan usaha yang dilakukan berdasarkan Prinsip Syariah, dilengkapi dengan pas foto berwarna yang terbaru berukuran 4x6 cm; dan c. contoh Surat Bukti Gadai dan/atau formulir berdasarkan Prinsip digunakan. Syariah yang akan (2) OJK memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 10 (sepuluh) Hari sejak permohonan persetujuan dan dokumen diterima secara lengkap serta sesuai dengan persyaratan dalam Peraturan OJK ini. (3) OJK menyampaikan pernyataan lengkap atau permintaan kelengkapan dokumen kepada pemohon paling lama 10 (sepuluh) Hari setelah permohonan diterima. (4) Dalam hal permohonan persetujuan menyelenggarakan sebagian kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah yang disampaikan tidak lengkap, pemohon harus menyampaikan kekurangan dokumen tersebut paling lama 10 (sepuluh) Hari sejak tanggal surat permintaan kelengkapan dokumen dari OJK. (5) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) telah berakhir dan pemohon tidak menyampaikan kelengkapan dokumen, permohonan persetujuan dinyatakan batal. (6) Penolakan atas permohonan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disertai dengan alasan penolakan. (7) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disetujui, OJK menetapkan surat persetujuan - 28 - penyelenggaraan sebagian kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah. BAB V PELAPORAN Bagian Kesatu Perubahan Modal Disetor, Perubahan Alamat Kantor Pusat, dan Perubahan Nama Perusahaan Pergadaian Pasal 32 (1) Perusahaan Pergadaian wajib melaporkan perubahan Modal Disetor secara tertulis kepada OJK paling lama 15 (lima belas) Hari setelah diterbitkannya persetujuan atau surat penerimaan pemberitahuan dari instansi yang berwenang, atau disetujui oleh rapat anggota. (2) Pelaporan perubahan Modal Disetor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan oleh Direksi Perusahaan Pergadaian dengan menggunakan format 5 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini dengan dilampiri dokumen: a. perubahan anggaran dasar yang disertai dengan bukti persetujuan dari instansi berwenang bagi Perusahaan Pergadaian yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas; b. akta risalah rapat anggota dan/atau perubahan anggaran dasar bagi Perusahaan Pergadaian yang berbentuk badan hukum koperasi; dan c. surat pernyataan bahwa setoran modal tidak berasal dari pinjaman dan/atau tindak pidana pencucian uang. Pasal 33 (1) Perusahaan Pergadaian wajib melaporkan perubahan alamat kantor pusat secara tertulis kepada OJK paling - 29 - lama 10 (sepuluh) Hari terhitung sejak tanggal pemindahan. (2) Pelaporan perubahan alamat kantor sebagaimana dimaksud pada ayat pusat (1) harus disampaikan oleh Direksi Perusahaan Pergadaian dengan menggunakan format 6 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini dengan dilampiri dokumen: a. bukti penguasaan gedung atas kantor pusat yang baru; dan b. fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) yang telah mencantumkan alamat kantor pusat yang baru. Pasal 34 (1) Perusahaan Pergadaian yang melakukan perubahan nama wajib melaporkan perubahan nama paling lama 15 (lima belas) Hari setelah diterbitkannya persetujuan dari instansi berwenang, atau disetujui oleh rapat anggota. (2) Laporan perubahan nama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan oleh Direksi Perusahaan Pergadaian sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini dengan dilampiri dokumen: a. perubahan anggaran dasar yang disertai dengan bukti persetujuan dari instansi berwenang bagi Perusahaan Pergadaian yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas; b. akta risalah rapat anggota dan/atau perubahan anggaran dasar bagi Perusahaan Pergadaian yang berbentuk badan hukum koperasi; dan c. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atas nama Perusahaan Pergadaian yang baru. dengan menggunakan format 7 - 30 - Bagian Kedua Pelaporan Perusahaan Pergadaian Pasal 35 (1) Perusahaan Pergadaian wajib menyampaikan laporan secara berkala setiap 3 (tiga) bulan untuk periode yang berakhir pada tanggal 31 Maret, 30 Juni, 30 September, dan 31 Desember kepada OJK. (2) Selain laporan berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (1), menyampaikan Perusahaan laporan diperlukan oleh OJK. (3) Perusahaan Pergadaian yang menyelenggarakan sebagian kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah wajib menyampaikan laporan kegiatan usaha yang dilakukan berdasarkan Prinsip Syariah dalam laporan berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (4) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan kepada OJK paling lambat pada akhir bulan berikutnya. (5) Apabila batas akhir penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) jatuh pada hari libur, batas akhir penyampaian laporan adalah hari kerja pertama berikutnya. (6) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh Perusahaan Pergadaian berupa: a. b. c. profil Perusahaan Pergadaian; laporan keuangan; dan laporan operasional. (7) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk, susunan, dan tata cara penyampaian laporan berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Surat Edaran OJK. Pergadaian sewaktu-waktu wajib bila - 31 - BAB VI PENGGABUNGAN, PELEBURAN, PENGAMBILALIHAN, DAN PEMISAHAN Pasal 36 (1) Perusahaan Pergadaian yang melakukan penggabungan atau peleburan wajib menyampaikan laporan penggabungan atau peleburan kepada OJK paling lama 15 (lima belas) Hari terhitung sejak tanggal diterimanya persetujuan atau pengesahan perubahan anggaran dasar dari instansi berwenang. (2) Laporan penggabungan atau peleburan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan oleh Direksi Perusahaan Pergadaian dengan menggunakan format 8 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini dengan dilampiri dengan dokumen: a. risalah rapat umum pemegang saham atau rapat anggota; b. akta hasil penggabungan atau peleburan yang telah disetujui atau disahkan oleh instansi yang berwenang; c. akta pendirian atas Perusahan Pergadaian hasil peleburan yang telah disahkan oleh instansi berwenang; dan d. data pemegang saham atau anggota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) huruf c, dalam hal terdapat pemegang saham baru atau anggota baru. (3) Berdasarkan laporan penggabungan atau peleburan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), OJK menetapkan: a. pencabutan izin usaha Perusahaan Pergadaian yang menggabungkan diri atau yang melakukan peleburan; dan/atau - 32 - b. pemberian izin usaha kepada Perusahaan Pergadaian hasil peleburan. (4) Sebelum pemberian izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b diberikan, Perusahaan Pergadaian hasil peleburan dilarang menjalankan kegiatan usaha. Pasal 37 (1) Perusahaan Pergadaian yang diambil alih wajib menyampaikan laporan pengambilalihan kepada OJK paling lama 15 (lima belas) Hari sejak tanggal akta pengambilalihan yang dibuat di hadapan notaris. (2) Laporan pengambilalihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan oleh Direksi Perusahaan Pergadaian dengan menggunakan format 9 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini dengan dilampiri dokumen: a. risalah rapat umum pemegang saham atau rapat anggota; b. akta pengambilalihan; dan c. data pemegang saham atau anggota pendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) huruf c. Pasal 38 (1) Perusahaan Pergadaian yang melakukan pemisahan wajib menyampaikan laporan pemisahan kepada OJK paling lama 15 (lima belas) Hari terhitung sejak tanggal akta pemisahan yang dibuat di hadapan notaris. (2) Pemisahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan cara: a. pemisahan murni; atau b. pemisahan tidak murni. (3) Pemisahan murni sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a mengakibatkan seluruh aset dan liabilitas - 33 - Perusahaan Pergadaian beralih karena hukum kepada 2 (dua) Perusahaan Pergadaian lain atau lebih yang menerima peralihan dan Perusahaan Pergadaian yang melakukan pemisahan tersebut berakhir karena hukum. (4) Pemisahan tidak murni sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b mengakibatkan sebagian aset dan liabilitas Perusahaan Pergadaian beralih karena hukum kepada 1 (satu) Perusahaan Pergadaian lain atau lebih yang menerima peralihan dan Perusahaan Pergadaian yang melakukan pemisahan tersebut tetap ada. (5) Laporan pemisahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan oleh Direksi Perusahaan Pergadaian dengan menggunakan format 10 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini dengan dilampiri dengan dokumen: a. b. akta pemisahan. (6) Berdasarkan laporan pemisahan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), OJK mencabut izin usaha Perusahaan Pergadaian yang melakukan pemisahan murni sebagaimana dimaksud pada ayat (3). Pasal 39 Perusahaan Pergadaian yang melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, dan pemisahan wajib memenuhi ketentuan dalam peraturan OJK ini dan peraturan penggabungan, pemisahan. perundang-undangan peleburan, lain pengambilalihan, risalah rapat umum pemegang saham atau rapat anggota; dan mengenai dan - 34 - BAB VII ASOSIASI PERUSAHAAN PERGADAIAN Pasal 40 (1) Dalam hal telah terbentuk asosiasi yang menaungi Perusahaan Pergadaian di Indonesia, Perusahaan Pergadaian wajib terdaftar sebagai anggota asosiasi dengan ketentuan sebagai berikut: a. bagi Perusahaan Pergadaian yang telah mendapatkan izin usaha sebelum terbentuknya asosiasi, paling lama 3 (tiga) bulan sejak asosiasi terbentuk; b. bagi Perusahaan Pergadaian yang mendapatkan izin usaha setelah asosiasi terbentuk, paling lama 3 (tiga) bulan sejak mendapatkan izin usaha. (2) Asosiasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendapat persetujuan dari OJK. (3) Asosiasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai tugas paling sedikit: a. mengkoordinasikan penyusunan standar praktik dan kode etik Perusahaan Pergadaian; dan b. mengadakan pendidikan dan pelatihan yang berkelanjutan. (4) Pelaksanaan tugas asosiasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaporkan kepada OJK. BAB VIII PENGAWASAN DAN PEMERIKSAAN Bagian Kesatu Pengawasan Perusahaan Pergadaian Pasal 41 (1) Pengawasan terhadap dilakukan oleh OJK. Perusahaan Pergadaian - 35 - (2) Pengawasan terhadap Perusahaan Pergadaian dilakukan berdasarkan Peraturan OJK ini dan peraturan pelaksanaannya. Bagian Kedua Pemeriksaan Perusahaan Pergadaian Pasal 42 (1) Dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1), OJK berwenang melakukan Perusahaan Pergadaian. (2) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh tim Pemeriksa yang dapat terdiri dari: a. pegawai OJK yang ditugaskan untuk melakukan Pemeriksaan; b. pihak lain yang ditunjuk oleh OJK; atau c. gabungan antara pegawai OJK dan pihak lain yang ditunjuk oleh OJK. Pasal 43 Pelaksanaan Pemeriksaan terhadap setiap Perusahaan Pergadaian dilakukan: a. secara berkala sesuai dengan rencana Pemeriksaan tahunan yang ditetapkan oleh OJK; dan/atau b. setiap waktu bila diperlukan. Pasal 44 (1) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 dilaksanakan oleh Pemeriksa berdasarkan surat perintah Pemeriksaan dan surat pemberitahuan Pemeriksaan. (2) Sebelum dilakukan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terlebih dahulu disampaikan surat pemberitahuan Perusahaan Pergadaian. Pemeriksaan kepada Pemeriksaan terhadap - 36 - (3) Surat pemberitahuan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memuat informasi sebagai berikut: a. nomor dan tanggal surat perintah Pemeriksaan; b. nama Pemeriksa; c. tujuan Pemeriksaan; d. jangka waktu Pemeriksaan; e. dokumen yang diperlukan untuk Pemeriksaan; dan f. batas waktu penyampaian dokumen kepada Pemeriksa. (4) Surat pemberitahuan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan paling lambat 3 (tiga) Hari sebelum tanggal pelaksanaan kegiatan Pemeriksaan. (5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikecualikan apabila pemberitahuan Pemeriksaan penyampaian diduga surat akan mempersulit atau menghambat proses Pemeriksaan atau akan memungkinkan dilakukannya tindakan untuk mengaburkan keadaan yang sebenarnya atau menyembunyikan atau menghilangkan data, keterangan, atau laporan, yang diperlukan dalam pelaksanaan kegiatan Pemeriksaan. Pasal 45 (1) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 dilakukan melalui tahapan sebagai berikut: a. persiapan Pemeriksaan; b. pelaksanaan kegiatan Pemeriksaan; dan c. pelaporan hasil Pemeriksaan. (2) Persiapan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dibuat berdasarkan hasil analisis laporan berkala dan data lain yang mendukung. (3) Pelaksanaan kegiatan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan dengan cara Pemeriksaan di Perusahaan Pergadaian, - 37 - Pemeriksaan di kantor OJK, atau Pemeriksaaan di tempat lain yang ditentukan oleh OJK. Pasal 46 (1) Pada saat akan dimulai Pemeriksaan, Pemeriksa menunjukkan surat perintah Pemeriksaan dan tanda pengenal Pemeriksa. (2) Dalam hal Pemeriksa tidak dapat memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Perusahaan Pergadaian yang akan diperiksa dapat menolak dilakukannya Pemeriksaan. (3) Pemeriksa wajib merahasiakan data, dokumen, dan/atau keterangan yang diperoleh selama Pemeriksaan terhadap pihak yang tidak berhak, kecuali dalam rangka pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenangnya berdasarkan keputusan OJK atau diwajibkan oleh undang-undang. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara Pemeriksaan diatur dalam Surat Edaran OJK. Pasal 47 (1) Dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (2), Perusahaan Pergadaian yang diperiksa dilarang menolak dan/atau menghambat kelancaran proses Pemeriksaan. (2) Dalam pelaksanaan Pemeriksaan, Perusahaan Pergadaian yang diperiksa wajib untuk: a. memenuhi permintaan untuk memberikan atau meminjamkan buku, berkas, catatan, disposisi, memorandum, dokumen, data termasuk salinannya; elektronik, b. memberikan keterangan dan penjelasan yang berkaitan dengan aspek yang diperiksa baik lisan maupun tertulis; c. memberi kesempatan kepada Pemeriksa untuk memasuki dan memeriksa tempat atau ruangan yang dipandang perlu; - 38 - d. memberi kesempatan kepada Pemeriksa untuk meneliti keberadaan dan penggunaan sarana fisik yang berkaitan dengan aspek yang diperiksa; dan/atau e. menghadirkan pihak ketiga termasuk auditor independen untuk memberikan data, dokumen, dan/atau keterangan kepada Pemeriksa terkait dengan Pemeriksaan. (3) Perusahaan Pergadaian yang diperiksa dinyatakan menghambat kelancaran proses Pemeriksaan apabila tidak melaksanakan kewajiban dimaksud pada ayat (2) atau meminjamkan buku, memberikan catatan, dokumen, atau keterangan yang tidak benar. Pasal 48 (1) Setelah pelaksanaan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) huruf b berakhir, Pemeriksa menyusun laporan hasil Pemeriksaan. (2) Laporan hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari: a. laporan hasil Pemeriksaan sementara; dan b. laporan hasil Pemeriksaan final. (3) Pemeriksa menyampaikan laporan hasil Pemeriksaan sementara kepada Perusahaan Pergadaian paling lama 30 (tiga puluh) Hari setelah berakhirnya pelaksanaan Pemeriksaan. (4) Dalam hal hasil Pemeriksaan terdapat rekomendasi OJK yang harus dilakukan oleh Perusahaan Pergadaian, maka Perusahaan Pergadaian wajib melakukan rekomendasi tersebut. (5) Perusahaan Pergadaian wajib melakukan langkah- langkah tindak lanjut sesuai rekomendasi yang terdapat dalam (6) Perusahaan pelaksanaan laporan hasil sebagaimana dimaksud pada ayat (4). Pergadaian wajib langkah-langkah Pemeriksaan tindak melaporkan lanjut sebagaimana - 39 - sebagaimana dimaksud pada ayat (5) kepada OJK paling sedikit setiap bulan atau sesuai laporan hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (7) Kewajiban melakukan rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berakhir dalam hal OJK menilai bahwa Perusahaan Pergadaian melakukan rekomendasi tersebut. (8) Penilaian OJK sebagaimana dimaksud pada ayat (7) disampaikan kepada Perusahaan Pergadaian melalui surat. (9) Perusahaan Pergadaian yang diperiksa dapat mengajukan tanggapan atas laporan hasil Pemeriksaan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada OJK paling lambat 20 (dua puluh) Hari setelah tanggal ditetapkannya laporan hasil Pemeriksaan sementara. (10) Apabila setelah lewat jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (9) Perusahaan Pergadaian tidak memberikan tanggapan atas Pemeriksaan sementara secara laporan hasil tertulis, OJK menetapkan laporan hasil Pemeriksaan sementara menjadi laporan hasil Pemeriksaan final paling lambat 15 (lima belas) Hari setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud ayat (9) berakhir. (11) Dalam hal Perusahaan Pergadaian menyampaikan tanggapan yang tidak memuat sanggahan atas laporan hasil Pemeriksaan sementara yang telah disampaikan sehingga tidak diperlukan adanya pembahasan, OJK menetapkan laporan hasil Pemeriksaan sementara menjadi laporan hasil Pemeriksaan final paling lambat 15 (lima belas) Hari setelah diterimanya tanggapan dari Perusahaan Pergadaian yang diperiksa. (12) Dalam hal Perusahaan Pergadaian menyampaikan tanggapan yang memuat sanggahan atas laporan hasil Pemeriksaan sementara yang telah disampaikan dan diperlukan adanya pembahasan atas laporan telah - 40 - hasil Pemeriksaan sementara, maka OJK dapat mengundang Perusahaan Pergadaian yang bersangkutan guna melakukan pembahasan atas tanggapan yang disampaikan. (13) Proses pembahasan atas tanggapan laporan hasil Pemeriksaan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (12) paling lambat 15 (lima belas) Hari sejak diterimanya surat tanggapan. (14) Berdasarkan hasil pembahasan sebagaimana dimaksud pada ayat (13), OJK menetapkan laporan hasil Pemeriksaan sementara menjadi laporan hasil Pemeriksaan final paling lambat 15 (lima belas) Hari setelah selesainya pembahasan bersama Perusahaan Pergadaian yang diperiksa. (15) Laporan hasil Pemeriksaan final sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b bersifat rahasia. (16) Ketentuan lebih lanjut mengenai laporan hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Surat Edaran OJK. Bagian Ketiga Kerja Sama Dengan Pihak Tertentu Pasal 49 (1) OJK dapat bekerja sama dengan pihak tertentu untuk dan atas nama OJK melaksanakan sebagian fungsi pengawasan Perusahaan Pergadaian. (2) Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan kesepakatan antara OJK dengan pihak tertentu yang menerima kerja sama. (3) Pihak tertentu yang melakukan kerja sama harus melaporkan rencana dan pelaksanaan sebagian tugas pengawasan Perusahaan Pergadaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada OJK. (4) Ketentuan mengenai kerja sama OJK dengan pihak tertentu untuk melaksanakan sebagian fungsi pengawasan Perusahaan Pergadaian sebagaimana - 41 - dimaksud pada ayat (1) dan pelaporan rencana serta pelaksanaan pengawasan Perusahaan Pergadaian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran OJK. BAB IX PENCABUTAN IZIN USAHA Pasal 50 (1) Pencabutan izin usaha Perusahaan Pergadaian dilakukan oleh OJK. (2) Pencabutan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam hal Perusahaan Pergadaian: a. bubar karena pailit; b. bubar karena keputusan rapat umum pemegang saham atau rapat anggota, atau menurut anggaran dasar jangka waktunya berakhir; c. bubar karena penggabungan, peleburan, atau pemisahan; d. melakukan perubahan kegiatan usaha sehingga tidak lagi menjadi Perusahaan Pergadaian; atau e. dikenakan sanksi pencabutan izin usaha. (3) Sebelum pencabutan izin usaha ditetapkan oleh OJK, Perusahaan Pergadaian wajib melakukan penyelesaian kewajibannya kepada Nasabah. penyelesaian (4) Prosedur dimaksud pada ayat (3) wajib dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan dan memperhatikan kepentingan Nasabah. Pasal 51 (1) Perusahaan Pergadaian yang dinyatakan pailit wajib menyampaikan laporan kepada OJK paling lama 20 (dua puluh) Hari sejak ditetapkannya putusan pailit. (2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan oleh Direksi Perusahaan Pergadaian administratif berupa kewajiban sebagaimana - 42 - dengan menggunakan format 11 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini dengan dilampiri dokumen: a. dokumen yang menjadi dasar ditetapkannya putusan pailit atau penetapan pembubaran; dan izin usaha sebagai Perusahaan b. fotokopi Pergadaian. (3) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), OJK mencabut izin usaha Perusahaan Pergadaian. Pasal 52 (1) Perusahaan Pergadaian yang akan melakukan pembubaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2) huruf b atau melakukan perubahan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2) huruf d, wajib mendapatkan persetujuan dari OJK. pembubaran (2) Permohonan persetujuan atau perubahan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan oleh Direksi Perusahaan Pergadaian dengan menggunakan format 12 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini dengan dilampiri dokumen: a. rancangan akta pembubaran atau rancangan akta perubahan anggaran dasar yang memuat rencana kegiatan usaha yang baru; dan b. rencana penyelesaian hak dan kewajiban. (3) Perusahaan Pergadaian yang telah memperoleh persetujuan pembubaran atau perubahan kegiatan usaha dari OJK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib melaporkan pembubaran atau perubahan kegiatan usaha paling lama 20 (dua puluh) Hari sejak tanggal ditetapkannya akta pembubaran atau sejak perubahan anggaran dasar disahkan oleh instansi berwenang, dengan menggunakan format 13 - 43 - sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini dengan dilampiri dokumen: a. risalah rapat umum pemegang saham atau rapat anggota; b. perubahan anggaran dasar yang telah disahkan oleh instansi berwenang; dan c. bukti penyelesaian hak dan kewajiban. Pasal 53 Perusahaan Pergadaian yang telah dicabut izin usahanya dilarang untuk menggunakan kata Gadai atau kata yang mencirikan kegiatan Gadai dalam nama perusahaan. Pasal 54 OJK dapat mengumumkan pelaku usaha yang telah terdaftar atau memiliki izin usaha dari OJK. BAB X PERUSAHAAN PERGADAIAN PEMERINTAH Pasal 55 (1) Perusahaan Pergadaian Pemerintah dinyatakan telah memperoleh izin usaha dari OJK berdasarkan Peraturan OJK ini. (2) Permodalan Perusahaan Pergadaian Pemerintah mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. (3) Perusahaan Pergadaian Pemerintah dikecualikan dari ketentuan Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 11, Pasal 12, dan Pasal 19 ayat (3) Peraturan OJK ini. Pasal 56 (1) Untuk memperoleh persetujuan menyelenggarakan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1), - 44 - Perusahaan Pergadaian Pemerintah wajib membentuk unit usaha syariah. (2) Unit usaha syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan unit kerja dari kantor pusat Perusahaan Pergadaian Pemerintah yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah. Pasal 57 (1) Perusahaan Pergadaian Pemerintah yang mempunyai unit usaha syariah wajib memenuhi ketentuan: a. mempunyai modal kerja yang disisihkan untuk kegiatan unit usaha syariah; b. mempunyai pimpinan unit usaha syariah yang bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan usaha yang dilakukan berdasarkan Prinsip Syariah; dan c. mempunyai pembukuan terpisahkan untuk unit usaha syariah. (2) Pimpinan unit usaha syariah Perusahaan Pergadaian Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b wajib memenuhi ketentuan: a. diangkat oleh Direksi Perusahaan Pergadaian Pemerintah; dan b. tidak melakukan rangkap jabatan pada fungsi lain selain pada fungsi yang bertujuan untuk mendukung pelaksanaan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah. Pasal 58 Untuk membentuk unit usaha syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1), Direksi Perusahaan Pergadaian Pemerintah harus mengajukan permohonan izin unit usaha syariah kepada OJK dengan dilampiri: a. anggaran dasar Perusahaan Pergadaian Pemerintah yang memuat maksud dan tujuan melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah; - 45 - b. surat keputusan dari rapat umum pemegang saham atau Direksi, yang membuktikan adanya modal kerja yang disisihkan untuk unit usaha syariah; c. dokumen DPS, meliputi: 1. keputusan rapat umum pemegang saham mengenai pengangkatan DPS; dan 2. surat rekomendasi DPS dari Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia; d. dokumen pimpinan unit usaha syariah meliputi: 1. surat keputusan Direksi Perusahaan Pergadaian Pemerintah mengenai pengangkatan pimpinan unit usaha syariah; 2. surat pernyataan dari pimpinan unit usaha syariah dan diketahui oleh Direksi Perusahaan Pergadaian Pemerintah yang menyatakan bahwa pimpinan unit usaha syariah tidak rangkap jabatan pada fungsi lain selain pada fungsi yang bertujuan untuk mendukung pelaksanaan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah; dan 3. daftar riwayat hidup pimpinan unit usaha syariah, dilengkapi dengan pas foto berwarna yang terbaru berukuran 4x6 cm; dan e. contoh Surat Bukti Gadai dan/atau formulir berdasarkan Prinsip Syariah yang akan digunakan. Pasal 59 (1) Laporan berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) bagi Perusahaan Pergadaian Pemerintah berupa laporan unit usaha syariah dalam hal Perusahaan Pergadaian Pemerintah telah memiliki izin pembukaan unit usaha syariah. (2) Selain laporan berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1), Perusahaan Pergadaian Pemerintah wajib menyampaikan kepada OJK: a. laporan keuangan tahunan yang telah diaudit oleh akuntan publik paling lambat 4 (empat) bulan setelah tahun buku berakhir; dan - 46 - b. laporan bulanan sesuai peraturan perundang- undangan. BAB XI SANKSI Pasal 60 (1) Perusahaan Pergadaian yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, Pasal 11 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 12 ayat (1), Pasal 13 ayat (4), Pasal 14 ayat (2), Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 18, Pasal 19 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 21 ayat (1), Pasal 22 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 23 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 24 ayat (7) dan ayat (8), Pasal 25 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 32 ayat (1), Pasal 33 ayat (1), Pasal 34 ayat (1), Pasal 35 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), Pasal 36 ayat (1) dan ayat (4), Pasal 37 ayat (1), Pasal 38 ayat (1), Pasal 39, Pasal 40 ayat (1), Pasal 47 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 48 ayat (4), ayat (5), dan ayat (6), Pasal 50 ayat (3) dan ayat (4), Pasal 51 ayat (1), Pasal 52 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 56 ayat (1), Pasal 57 ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 59 ayat (2) Peraturan OJK ini dikenakan sanksi administratif berupa: a. peringatan; b. pembekuan kegiatan usaha; c. pembatalan persetujuan penyelenggaraan sebagian kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah; d. pencabutan izin unit usaha syariah bagi Perusahaan Pergadaian Pemerintah; dan/atau e. pencabutan izin usaha. - 47 - (2) Peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diberikan paling banyak 3 (tiga) kali berturut-turut dengan jangka waktu paling lama masing-masing 40 (empat puluh) Hari. (3) Dalam hal sebelum berakhirnya jangka waktu sanksi peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Perusahaan Pergadaian telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK mencabut sanksi peringatan. (4) Dalam hal masa berlaku peringatan ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berakhir dan Perusahaan Pergadaian tetap tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK mengenakan sanksi pembekuan kegiatan usaha. (5) Sanksi pembekuan kegiatan usaha diberikan secara tertulis dan berlaku sejak ditetapkan untuk jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan. (6) Dalam hal sebelum berakhirnya jangka waktu pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Perusahaan Pergadaian telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK mencabut sanksi pembekuan kegiatan usaha. (7) Dalam hal sampai dengan berakhirnya jangka waktu pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Perusahaan Pergadaian tidak juga memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK melakukan: a. pembatalan persetujuan penyelenggaraan sebagian kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah; b. pencabutan izin unit usaha syariah bagi Perusahaan Pergadaian Pemerintah; atau c. pencabutan izin usaha. Pasal 61 (1) Bagi pelaku Usaha Pergadaian yang telah terdaftar di OJK dan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana - 48 - dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 7 ayat (1) Peraturan OJK ini dikenakan sanksi berupa peringatan paling banyak 2 (dua) kali berturut-turut dengan jangka waktu paling lama masing-masing 1 (satu) bulan. (2) Dalam hal sebelum berakhirnya jangka waktu sanksi peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pelaku Usaha Pergadaian telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK mencabut sanksi peringatan. (3) Dalam hal masa berlaku peringatan kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakhir dan pelaku Usaha Pergadaian tetap tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK membatalkan pendaftaran. BAB XII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 62 Perusahaan Pergadaian Pemerintah harus menyesuaikan kegiatan usahanya sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat (1) dan ayat (2) paling lambat 2 (dua) tahun sejak Peraturan OJK ini diundangkan. Pasal 63 Kegiatan usaha Perusahaan Pergadaian Pemerintah yang telah mendapat persetujuan OJK sebelum Peraturan OJK ini diundangkan, dinyatakan tetap berlaku. Pasal 64 Permohonan izin pembukaan unit usaha syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 harus diajukan oleh Perusahaan Pergadaian Pemerintah kepada OJK paling lambat 1 (satu) tahun sejak Peraturan OJK ini diundangkan. - 49 - BAB XIII KETENTUAN PENUTUP Pasal 65 Peraturan OJK ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan OJK ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 29 Juli 2016 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 29 Juli 2016 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 152 Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana "," POJK 31/POJK.05/2016 USAHA PERGADAIAN 29 Juli 2016 29 Juli 2016 29 Juli 2016 '21/UU/2011' 'BAB XI' " " OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 53 /POJK.04/2016 TENTANG PEMELIHARAAN DOKUMEN OLEH BIRO ADMINISTRASI EFEK DAN EMITEN YANG MENYELENGGARAKAN ADMINISTRASI EFEK SENDIRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, sejak tanggal 31 Desember 2012 fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal termasuk Biro Administrasi Efek beralih dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa Keuangan; b. bahwa dalam rangka memberikan kejelasan dan kepastian mengenai pengaturan terhadap pemeliharaan dokumen oleh Biro Administrasi Efek dan Emiten yang menyelenggarakan administrasi Efek sendiri, peraturan mengenai Pemeliharaan Dokumen oleh Biro Administrasi Efek dan Emiten yang Menyelenggarakan Administrasi Efek Sendiri, yang diterbitkan sebelum terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan perlu diubah ke dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan; - 2 - c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Pemeliharaan Dokumen oleh Biro Administrasi Efek dan Emiten yang Menyelenggarakan Administrasi Efek Sendiri; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PEMELIHARAAN DOKUMEN OLEH BIRO ADMINISTRASI EFEK DAN EMITEN YANG MENYELENGGARAKAN ADMINISTRASI EFEK SENDIRI. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, yang dimaksud dengan: 1. Biro Administrasi Efek adalah Pihak yang berdasarkan kontrak dengan Emiten melaksanakan pencatatan pemilikan Efek dan pembagian hak yang berkaitan dengan Efek. 2. Emiten adalah Pihak yang melakukan Penawaran Umum. 3. Perusahaan Publik adalah Perseroan yang memenuhi kriteria jumlah pemegang saham dan modal disetor sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal. - 3 - BAB II PEMELIHARAAN DOKUMEN Bagian Kesatu Biro Administrasi Efek Pasal 2 Biro Administrasi Efek wajib mengadministrasikan, menyimpan, dan memelihara catatan, pembukuan, data, dan keterangan dalam bentuk cetak dan elektronik yang berhubungan dengan: a. Emiten yang Efek-nya diadministrasikan oleh Biro Administrasi Efek; b. jasa administrasi Efek yang diberikan; dan c. manajemen Biro Administrasi Efek. Pasal 3 Dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a paling sedikit terdiri dari: a. anggaran dasar Emiten beserta semua perubahannya; dan b. kontrak pengelolaan administrasi Efek Emiten. Pasal 4 Dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b paling sedikit terdiri dari: a. salinan laporan kegiatan operasional Biro Administrasi Efek yang terdiri dari laporan kegiatan registrasi, daftar komposisi denominasi surat Efek, dan daftar penyebaran Efek; b. buku daftar pemegang saham dan dokumen pendukungnya; c. notulen Rapat Umum Pemegang Saham dan notulen rapat yang berkaitan dengan jasa administrasi Efek lainnya; - 4 - d. pembagian dividen, saham bonus, Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu, dan hak atas Efek lainnya; dan e. registrasi kepemilikan 5% (lima persen) atau lebih saham dan setiap perubahan kepemilikan saham Emiten atau Perusahaan Publik. Pasal 5 Dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c paling sedikit terdiri dari: a. anggaran dasar beserta perubahannya; b. catatan kegiatan Biro Administrasi Efek termasuk catatan mengenai pelanggaran yang pernah dilakukan; dan c. dokumen lain termasuk surat menyurat, memorandum, makalah, buku, pemberitahuan pengumuman, edaran, dan catatan lain yang dibuat atau diterima oleh Biro Administrasi Efek sehubungan dengan pelaksanaan kegiatan usahanya. Pasal 6 Dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 4 wajib tersedia setiap saat untuk kepentingan pemeriksaan Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 7 Biro Administrasi Efek wajib menjaga setiap Efek maupun catatan pembukuan dalam pengelolaannya dan wajib membuat salinan dari catatan pembukuan yang disimpan di tempat yang terpisah dan aman. Pasal 8 Dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 wajib disimpan paling singkat selama 5 (lima) tahun. - 5 - Bagian Kedua Emiten Yang Menyelenggarakan Administrasi Efek Sendiri Pasal 9 (1) Emiten yang menyelenggarakan administrasi Efek sendiri seperti registrasi Efek, pembagian dividen, Saham Bonus, Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu, pembagian hak atas Efek lainnya, dan penyelenggaraan administrasi lainnya wajib mengadministrasikan, menyimpan dan memelihara catatan, pembukuan, data, dan keterangan dalam bentuk cetak dan dalam bentuk elektronik yang berhubungan dengan pengelolaan administrasi Efek tersebut. (2) Dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib tersedia setiap saat untuk kepentingan pemeriksaan Otoritas Jasa Keuangan. BAB III KETENTUAN SANKSI Pasal 10 (1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, termasuk pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut, berupa: a. peringatan tertulis; b. denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu; c. pembatasan kegiatan usaha; d. pembekuan kegiatan usaha; e. pencabutan izin usaha; f. pembatalan persetujuan; dan g. pembatalan pendaftaran. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului - 6 - pengenaan sanksi administratif berupa peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. (3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g. Pasal 11 Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 12 Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 kepada masyarakat. BAB IV KETENTUAN PENUTUP Pasal 13 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor Kep-76/PM/1996 tanggal 17 Januari 1996 tentang Pemeliharaan Dokumen Oleh Biro Administrasi Efek dan Emiten Yang Menyelenggarakan Administrasi Efek Sendiri, beserta Peraturan Nomor X.H.2 yang merupakan lampirannya, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. - 7 - Pasal 14 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 2 Desember 2016 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 7 Desember 2016 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 282 Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 53 /POJK.04/2016 TENTANG PEMELIHARAAN DOKUMEN OLEH BIRO ADMINISTRASI EFEK DAN EMITEN YANG MENYELENGGARAKAN ADMINISTRASI EFEK SENDIRI I. UMUM Bahwa sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya beralih dari Menteri Keuangan dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa Keuangan. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, perlu dilakukan penataan kembali struktur peraturan yang ada, khususnya yang terkait sektor Pasar Modal dengan cara melakukan konversi Peraturan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan terkait sektor Pasar Modal menjadi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Penataan dimaksud dilakukan agar terdapat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan terkait sektor Pasar Modal yang selaras dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan sektor lainnya. Berdasarkan latar belakang pemikiran dan aspek tersebut, perlu untuk mengganti peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Pemeliharaan Dokumen Oleh Biro Administrasi Efek dan Emiten Yang Menyelenggarakan Administrasi Efek Sendiri yaitu Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor: Kep-76/PM/1996 tanggal 17 Januari 1996 tentang Pemeliharaan Dokumen Oleh Biro Administrasi Efek dan Emiten Yang Menyelenggarakan Administrasi Efek Sendiri, beserta Peraturan Nomor X.H.2 yang merupakan lampirannya, - 2 - menjadi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Pemeliharaan Dokumen Oleh Biro Administrasi Efek dan Emiten Yang Menyelenggarakan Administrasi Efek Sendiri. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Catatan, pembukuan, data, dan keterangan yang berhubungan dengan manajemen Biro Administrasi Efek antara lain: a. peraturan kepegawaian; b. standar operasional prosedur (SOP) kegiatan operasional; c. struktur organisasi; d. uraian tugas Dewan Komisaris, Direksi, dan pegawai; e. daftar pegawai perusahaan; dan f. surat keterangan domisili. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Dokumen notulen Rapat Umum Pemegang Saham dapat berupa berita acara Rapat Umum Pemegang Saham, akta Rapat Umum Pemegang Saham atau risalah rapat Rapat Umum Pemegang Saham. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. - 3 - Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5978 "," POJK 53/POJK.04/2016 PEMELIHARAAN DOKUMEN OLEH BIRO ADMINISTRASI EFEK DAN EMITEN YANG MENYELENGGARAKAN ADMINISTRASI EFEK SENDIRI 2 Desember 2016 7 Desember 2016 7 Desember 2016 'Kep-76/PM/1996|KEPTA-BAPEPAM/1996', 'Kep-76/PM/1996|KEPTA-BAPEPAM/1996 | Lampiran Peraturan Nomor X.H.2' '21/UU/2011', '8/UU/1995' 'BAB III' " " OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 18 /POJK.03/2016 TENTANG PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO BAGI BANK UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa situasi lingkungan eksternal dan internal perbankan mengalami perkembangan pesat yang akan diikuti oleh semakin kompleksnya risiko bagi kegiatan usaha perbankan tersebut; b. bahwa semakin kompleksnya risiko bagi kegiatan usaha perbankan akan meningkatkan kebutuhan praktek tata kelola yang baik (good governance) serta fungsi identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan pengendalian risiko bank; c. bahwa peningkatan fungsi identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan pengendalian risiko dimaksudkan agar aktivitas usaha yang dilakukan oleh bank tidak menimbulkan kerugian yang melebihi kemampuan bank atau yang dapat mengganggu kelangsungan usaha bank; d. bahwa pengelolaan setiap aktivitas fungsional bank harus sedapat mungkin terintegrasi ke dalam suatu sistem dan proses pengelolaan risiko yang akurat dan komprehensif; - 2 - e. bahwa dalam rangka menciptakan prakondisi dan infrastruktur pengelolaan risiko, bank wajib mengambil langkah-langkah persiapan pelaksanaan pengelolaan risikonya; f. bahwa transparansi merupakan salah satu aspek yang perlu diperhatikan dalam pengendalian risiko yang dihadapi bank; g. bahwa peningkatan kualitas penerapan manajemen risiko akan mendukung efektivitas kerangka pengawasan bank berbasis risiko; h. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, dan huruf g perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO BAGI BANK UMUM. - 3 - BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri, yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional. 2. Risiko adalah potensi kerugian akibat terjadinya suatu peristiwa tertentu. 3. Manajemen Risiko adalah serangkaian metodologi dan prosedur yang digunakan untuk mengidentifikasi, mengukur, memantau, dan mengendalikan Risiko yang timbul dari seluruh kegiatan usaha Bank. 4. Risiko Kredit adalah Risiko akibat kegagalan pihak lain dalam memenuhi kewajiban kepada Bank, termasuk Risiko Kredit akibat kegagalan debitur, Risiko konsentrasi kredit, counterparty credit risk, dan settlement risk. 5. Risiko Pasar adalah Risiko pada posisi neraca dan rekening administratif, termasuk transaksi derivatif, akibat perubahan secara keseluruhan dari kondisi pasar, termasuk Risiko perubahan harga option. 6. Risiko Likuiditas adalah Risiko akibat ketidakmampuan Bank untuk memenuhi kewajiban yang jatuh tempo dari sumber pendanaan arus kas dan/atau dari aset likuid berkualitas tinggi yang dapat diagunkan, tanpa mengganggu aktivitas dan kondisi keuangan Bank. - 4 - 7. Risiko Operasional adalah Risiko akibat ketidakcukupan dan/atau tidak berfungsinya proses internal, kesalahan manusia, kegagalan sistem, dan/atau adanya kejadian-kejadian eksternal yang mempengaruhi operasional Bank. 8. Risiko Kepatuhan adalah Risiko akibat Bank tidak mematuhi dan/atau tidak melaksanakan peraturan perundang-undangan dan ketentuan. 9. Risiko Hukum adalah Risiko akibat tuntutan hukum dan/atau kelemahan aspek yuridis. 10. Risiko Reputasi adalah Risiko akibat menurunnya tingkat kepercayaan pemangku kepentingan (stakeholder) yang bersumber dari persepsi negatif terhadap Bank. 11. Risiko Stratejik adalah Risiko akibat ketidaktepatan dalam pengambilan dan/atau pelaksanaan suatu keputusan stratejik serta kegagalan dalam mengantisipasi perubahan lingkungan bisnis. 12. Direksi: a. bagi Bank berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas; b. bagi Bank berbentuk badan hukum: 1) Perusahaan Umum Daerah atau Perusahaan Perseroan Daerah adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015; 2) Perusahaan Daerah adalah direksi pada Bank yang belum berubah bentuk menjadi Perusahaan Umum Daerah atau Perusahaan Perseroan Daerah sesuai Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan - 5 - Daerah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor Tahun 2015; 9 c. bagi Bank berbentuk badan hukum Koperasi adalah pengurus sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian; d. bagi Bank yang berstatus sebagai kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri adalah pemimpin kantor cabang dan pejabat satu tingkat di bawah pemimpin kantor cabang. 13. Dewan Komisaris: a. bagi Bank berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas adalah dewan komisaris sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas; b. bagi Bank berbentuk badan hukum: 1) Perusahaan Umum Daerah adalah dewan pengawas sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 9 Tahun 2015; 2) Perusahaan Perseroan Daerah adalah komisaris sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 9 Tahun 2015; 3) Perusahaan Daerah adalah pengawas pada Bank yang belum berubah bentuk menjadi Perusahaan Umum Daerah atau Perusahaan Perseroan Daerah sesuai Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015; - 6 - c. bagi Bank berbentuk badan hukum Koperasi adalah pengawas sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian; d. bagi Bank yang berstatus sebagai kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri adalah pihak yang ditunjuk untuk melaksanakan fungsi pengawasan. 14. Perusahaan Anak adalah badan hukum atau perusahaan yang dimiliki dan/atau dikendalikan oleh Bank secara langsung maupun tidak langsung, baik di dalam maupun di luar negeri yang melakukan kegiatan usaha di bidang keuangan, yang terdiri atas: a. perusahaan subsidiari (subsidiary company) yaitu Perusahaan Anak dengan kepemilikan Bank lebih dari 50% (lima puluh persen); b. perusahaan partisipasi (participation company) adalah Perusahaan Anak dengan kepemilikan Bank 50% (lima puluh persen) atau kurang, namun Bank memiliki pengendalian terhadap perusahaan; c. perusahaan dengan kepemilikan Bank lebih dari 20% (dua puluh persen) sampai dengan 50% (lima puluh persen) yang memenuhi persyaratan yaitu: 1) kepemilikan Bank dan para pihak lainnya pada Perusahaan Anak adalah masing- masing sama besar; dan 2) masing-masing pemilik melakukan pengendalian secara bersama terhadap Perusahaan Anak; d. entitas lain yang berdasarkan standar akuntansi keuangan harus dikonsolidasikan. - 7 - BAB II RUANG LINGKUP MANAJEMEN RISIKO Pasal 2 (1) Bank wajib menerapkan Manajemen Risiko secara efektif, baik untuk Bank secara individu maupun untuk Bank secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak. (2) Penerapan Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit mencakup: a. pengawasan aktif Direksi dan Dewan Komisaris; b. kecukupan kebijakan dan prosedur Manajemen Risiko serta penetapan limit Risiko; c. kecukupan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan pengendalian Risiko, serta sistem informasi Manajemen Risiko; dan d. sistem pengendalian intern yang menyeluruh. Pasal 3 Penerapan Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 wajib disesuaikan dengan tujuan, kebijakan usaha, ukuran dan kompleksitas usaha, serta kemampuan Bank. Pasal 4 (1) Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 mencakup: a. Risiko Kredit; b. Risiko Pasar; c. Risiko Likuiditas; d. Risiko Operasional; e. Risiko Hukum; f. Risiko Reputasi; g. Risiko Stratejik; dan h. Risiko Kepatuhan. (2) Bank wajib menerapkan Manajemen Risiko untuk seluruh Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1). - 8 - BAB III PENGAWASAN AKTIF DIREKSI DAN DEWAN KOMISARIS Bagian Kesatu Umum Pasal 5 Bank wajib menetapkan wewenang dan tanggung jawab yang jelas pada setiap jenjang jabatan yang terkait dengan penerapan Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2. Bagian Kedua Wewenang dan Tanggung Jawab Direksi Pasal 6 (1) Wewenang dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 bagi Direksi paling sedikit: a. menyusun kebijakan dan strategi Manajemen Risiko secara tertulis dan komprehensif; b. bertanggung jawab atas pelaksanaan kebijakan Manajemen Risiko dan eksposur Risiko yang diambil oleh Bank secara keseluruhan; c. mengevaluasi dan memutuskan transaksi yang memerlukan persetujuan Direksi; d. mengembangkan budaya Manajemen Risiko pada seluruh jenjang organisasi; e. memastikan peningkatan kompetensi sumber daya manusia yang terkait dengan Manajemen Risiko; f. memastikan bahwa fungsi Manajemen Risiko telah beroperasi secara independen; dan g. melaksanakan kaji ulang secara berkala untuk memastikan: 1. keakuratan metodologi penilaian Risiko; 2. kecukupan implementasi sistem informasi Manajemen Risiko; dan - 9 - 3. ketepatan kebijakan dan prosedur Manajemen Risiko serta penetapan limit Risiko. (2) Dalam rangka melaksanakan wewenang dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direksi harus memiliki pemahaman yang memadai mengenai Risiko yang melekat pada seluruh aktivitas fungsional Bank dan mampu mengambil tindakan yang diperlukan sesuai dengan profil Risiko Bank. Bagian Ketiga Wewenang dan Tanggung Jawab Dewan Komisaris Pasal 7 Wewenang dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 bagi Dewan Komisaris paling sedikit: a. menyetujui dan mengevaluasi kebijakan Manajemen Risiko; b. mengevaluasi pertanggungjawaban Direksi atas pelaksanaan kebijakan sebagaimana dimaksud pada huruf a; dan c. mengevaluasi dan memutuskan permohonan Direksi yang berkaitan dengan transaksi yang memerlukan persetujuan Dewan Komisaris. BAB IV KEBIJAKAN DAN PROSEDUR MANAJEMEN RISIKO SERTA PENETAPAN LIMIT RISIKO Bagian Kesatu Kebijakan Manajemen Risiko Pasal 8 Kebijakan Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b paling sedikit memuat: a. penetapan Risiko yang terkait dengan produk dan transaksi perbankan; Manajemen Risiko - 10 - b. penetapan penggunaan metode pengukuran dan sistem informasi Manajemen Risiko; c. penentuan limit dan penetapan toleransi Risiko; d. penetapan penilaian peringkat Risiko; e. penyusunan rencana darurat (contingency plan) dalam kondisi terburuk (worst case scenario); dan f. penetapan sistem pengendalian intern dalam penerapan Manajemen Risiko. Bagian Kedua Prosedur Manajemen Risiko dan Penetapan Limit Risiko Pasal 9 (1) Prosedur Manajemen Risiko dan penetapan limit Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b wajib disesuaikan dengan tingkat Risiko yang akan diambil (risk appetite) terhadap Risiko Bank. (2) Prosedur Manajemen Risiko dan penetapan limit Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat: a. akuntabilitas dan jenjang delegasi wewenang yang jelas; b. pelaksanaan kaji ulang terhadap prosedur Manajemen Risiko dan penetapan limit Risiko secara berkala; dan c. dokumentasi prosedur Manajemen Risiko dan penetapan limit Risiko secara memadai. (3) Penetapan limit Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib mencakup: a. limit secara keseluruhan; b. limit per jenis Risiko; dan c. limit per aktivitas fungsional tertentu yang memiliki eksposur Risiko. - 11 - BAB V PROSES IDENTIFIKASI, PENGUKURAN, PEMANTAUAN, DAN PENGENDALIAN RISIKO SERTA SISTEM INFORMASI MANAJEMEN RISIKO Bagian Kesatu Umum Pasal 10 (1) Bank wajib melakukan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan pengendalian Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf c terhadap faktor-faktor Risiko (risk factors) yang bersifat material. (2) Pelaksanaan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan pengendalian Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib didukung oleh: a. sistem informasi manajemen yang tepat waktu; dan b. laporan yang akurat dan informatif mengenai kondisi keuangan, kinerja aktivitas fungsional, dan eksposur Risiko Bank. Bagian Kedua Proses Identifikasi, Pengukuran, Pemantauan, dan Pengendalian Risiko Pasal 11 (1) Dalam rangka melaksanakan proses identifikasi Risiko, Bank wajib melakukan analisis paling sedikit terhadap: a. karakteristik Risiko yang melekat pada Bank; dan b. Risiko dari produk dan kegiatan usaha Bank. (2) Dalam rangka melaksanakan pengukuran Risiko, Bank wajib paling sedikit melakukan: - 12 - a. evaluasi secara berkala terhadap kesesuaian asumsi, sumber data, dan prosedur yang digunakan untuk mengukur Risiko; dan b. penyempurnaan terhadap sistem pengukuran Risiko dalam hal terdapat perubahan kegiatan usaha Bank, produk, transaksi dan faktor Risiko, yang bersifat material. (3) Dalam rangka melaksanakan pemantauan Risiko, Bank wajib paling sedikit melakukan: a. evaluasi terhadap eksposur Risiko; dan b. penyempurnaan proses pelaporan dalam hal terdapat perubahan kegiatan usaha, produk, transaksi, faktor Risiko, teknologi informasi, dan sistem informasi Manajemen Risiko Bank yang bersifat material. (4) Bank wajib melaksanakan proses pengendalian Risiko untuk mengelola Risiko tertentu yang dapat membahayakan kelangsungan usaha Bank. (5) Dalam melaksanakan fungsi pengendalian Risiko suku bunga, Risiko nilai tukar, dan Risiko Likuiditas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b dan huruf c, Bank paling sedikit menerapkan Assets and Liabilities Management (ALMA). Bagian Ketiga Sistem Informasi Manajemen Risiko Pasal 12 (1) Sistem informasi Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf c, mencakup laporan atau informasi paling sedikit mengenai: a. eksposur Risiko; b. kepatuhan terhadap kebijakan dan prosedur Manajemen Risiko serta penetapan limit Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dan Pasal 9; dan - 13 - c. realisasi pelaksanaan Manajemen Risiko dibandingkan dengan target yang ditetapkan. (2) Laporan atau informasi yang dihasilkan dari sistem informasi Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan secara rutin kepada Direksi. BAB VI SISTEM PENGENDALIAN INTERN Bagian Kesatu Umum Pasal 13 Bank wajib melaksanakan sistem pengendalian intern secara efektif terhadap pelaksanaan kegiatan usaha dan operasional pada seluruh jenjang organisasi Bank. Pasal 14 (1) Pelaksanaan sistem pengendalian intern sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 paling sedikit mampu secara tepat waktu mendeteksi kelemahan dan penyimpangan yang terjadi. (2) Sistem pengendalian intern sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memastikan: a. kepatuhan terhadap peraturan dan perundang- undangan serta kebijakan atau ketentuan intern Bank; b. tersedianya informasi keuangan dan manajemen yang lengkap, akurat, tepat guna, dan tepat waktu; c. d. efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan operasional; dan efektivitas budaya Risiko (risk culture) pada organisasi Bank secara menyeluruh. - 14 - Bagian Kedua Sistem Pengendalian Intern dalam Penerapan Manajemen Risiko Pasal 15 (1) Sistem pengendalian intern dalam penerapan Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf d paling sedikit mencakup: a. kesesuaian sistem pengendalian intern dengan jenis dan tingkat Risiko yang melekat pada kegiatan usaha Bank; b. penetapan wewenang dan tanggung jawab untuk pemantauan kepatuhan kebijakan dan prosedur Manajemen Risiko, serta penetapan limit Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dan Pasal 9; c. penetapan jalur pelaporan dan pemisahan fungsi yang jelas dari satuan kerja operasional kepada satuan kerja yang melaksanakan fungsi pengendalian; d. struktur organisasi yang menggambarkan secara jelas kegiatan usaha Bank; e. pelaporan keuangan dan kegiatan operasional yang akurat dan tepat waktu; f. kecukupan prosedur untuk memastikan kepatuhan Bank terhadap ketentuan dan perundang-undangan; g. kaji ulang yang efektif, independen, dan obyektif terhadap prosedur penilaian kegiatan operasional Bank; h. pengujian dan kaji ulang yang memadai terhadap sistem informasi Manajemen Risiko; i. dokumentasi secara lengkap dan memadai terhadap prosedur operasional, cakupan, dan temuan audit, serta tanggapan pengurus Bank berdasarkan hasil audit; dan - 15 - j. verifikasi dan kaji ulang secara berkala dan berkesinambungan terhadap penanganan kelemahan Bank yang bersifat material dan tindakan pengurus Bank untuk memperbaiki penyimpangan yang terjadi. (2) Penilaian terhadap sistem pengendalian intern dalam penerapan Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan oleh satuan kerja audit intern. BAB VII ORGANISASI DAN FUNGSI MANAJEMEN RISIKO Bagian Kesatu Umum Pasal 16 Dalam rangka pelaksanaan proses dan sistem Manajemen Risiko yang efektif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Bank wajib membentuk: a. komite Manajemen Risiko; dan b. satuan kerja Manajemen Risiko. Bagian Kedua Komite Manajemen Risiko Pasal 17 (1) Komite Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf a paling sedikit terdiri atas: a. mayoritas Direksi; dan b. pejabat eksekutif terkait. (2) Wewenang dan tanggung jawab komite Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah memberikan rekomendasi kepada direktur utama, yang paling sedikit mencakup: a. penyusunan kebijakan, strategi, dan pedoman penerapan Manajemen Risiko; - 16 - b. perbaikan atau penyempurnaan pelaksanaan Manajemen Risiko berdasarkan hasil evaluasi pelaksanaan Manajemen Risiko; dan c. penetapan hal-hal yang terkait dengan keputusan bisnis yang menyimpang dari prosedur normal. Bagian Ketiga Satuan Kerja Manajemen Risiko Pasal 18 (1) Struktur organisasi satuan kerja Manajemen Risiko Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf b disesuaikan dengan ukuran dan kompleksitas usaha Bank serta Risiko yang melekat pada Bank. (2) Satuan kerja Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus independen terhadap satuan kerja operasional (risk-taking unit) dan terhadap satuan kerja yang melaksanakan fungsi pengendalian intern. (3) Satuan kerja Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bertanggung jawab langsung kepada direktur utama atau kepada direktur yang ditugaskan secara khusus. (4) Wewenang dan tanggung jawab satuan kerja Manajemen Risiko meliputi: a. pemantauan pelaksanaan strategi Manajemen Risiko yang telah disetujui oleh Direksi; b. pemantauan posisi Risiko secara keseluruhan (composite), per jenis Risiko, dan per jenis aktivitas fungsional serta melakukan stress testing; c. kaji ulang secara berkala terhadap proses Manajemen Risiko; d. pengkajian usulan aktivitas dan/atau produk baru; e. evaluasi terhadap akurasi model dan validitas data yang digunakan untuk mengukur Risiko, - 17 - bagi Bank yang menggunakan model untuk keperluan intern (internal model); f. memberikan rekomendasi kepada satuan kerja operasional (risk-taking unit) dan/atau kepada komite Manajemen Risiko, sesuai kewenangan yang dimiliki; dan g. menyusun dan menyampaikan laporan profil Risiko kepada direktur utama atau direktur yang ditugaskan secara khusus dan komite Manajemen Risiko secara berkala. Bagian Keempat Hubungan Satuan Kerja Operasional dengan Satuan Kerja Manajemen Risiko Pasal 19 Satuan kerja operasional (risk-taking unit) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) wajib menginformasikan eksposur Risiko yang melekat pada satuan kerja yang bersangkutan kepada satuan kerja Manajemen Risiko secara berkala. BAB VIII PENGELOLAAN RISIKO PRODUK DAN AKTIVITAS BARU Pasal 20 (1) Bank wajib memiliki kebijakan dan prosedur secara tertulis untuk mengelola Risiko yang melekat pada produk atau aktivitas baru Bank. (2) Kebijakan dan prosedur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit mencakup: a. sistem dan prosedur (standard operating procedures) serta kewenangan dalam pengelolaan produk dan aktivitas baru; b. identifikasi seluruh Risiko yang melekat pada produk atau aktivitas baru, baik yang terkait dengan Bank maupun nasabah; - 18 - c. masa uji coba metode pengukuran dan pemantauan Risiko terhadap produk dan aktivitas baru; d. sistem informasi akuntansi untuk produk dan aktivitas baru; e. f. analisa aspek hukum untuk produk dan aktivitas baru; dan transparansi informasi kepada nasabah. (3) Produk atau aktivitas Bank merupakan suatu produk baru atau aktivitas baru jika memenuhi kriteria: a. tidak pernah diterbitkan atau dilakukan sebelumnya oleh Bank; atau b. telah diterbitkan atau dilaksanakan sebelumnya oleh Bank namun dilakukan pengembangan yang mengubah atau meningkatkan eksposur Risiko tertentu pada Bank. Pasal 21 Bank dilarang menugaskan atau menyetujui pengurus dan/atau pegawai Bank untuk memasarkan produk atau melaksanakan aktivitas yang bukan merupakan produk atau aktivitas Bank dengan menggunakan sarana atau fasilitas Bank. Pasal 22 Bank wajib menerapkan transparansi informasi produk atau aktivitas Bank kepada nasabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) huruf f, baik secara tertulis maupun lisan. - 19 - BAB IX PELAPORAN Bagian Kesatu Laporan Profil Risiko serta Laporan Produk dan Aktivitas Baru Pasal 23 (1) Bank wajib menyampaikan laporan profil Risiko kepada Otoritas Jasa Keuangan. (2) Laporan profil Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang disampaikan oleh satuan kerja Manajemen Risiko, wajib memuat substansi yang sama dengan laporan profil Risiko yang disampaikan oleh satuan kerja Manajemen Risiko kepada direktur utama dan komite Manajemen Risiko. (3) Laporan profil Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara triwulanan untuk posisi bulan Maret, bulan Juni, bulan September, dan bulan Desember. (4) Laporan profil Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling lambat 15 (lima belas) hari kerja setelah akhir bulan laporan. (5) Dalam hal diperlukan, Otoritas Jasa Keuangan dapat meminta Bank menyampaikan laporan profil Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di luar jangka waktu yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (3). Pasal 24 (1) Bank wajib menyampaikan laporan produk atau aktivitas baru kepada Otoritas Jasa Keuangan, yang terdiri atas: a. Laporan rencana penerbitan produk atau pelaksanaan aktivitas baru; dan b. Laporan realisasi penerbitan produk atau pelaksanaan aktivitas baru. - 20 - (2) Laporan rencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a wajib disampaikan paling lambat 60 (enam puluh) hari sebelum penerbitan atau pelaksanaan produk atau aktivitas baru. (3) Laporan realisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b wajib disampaikan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah produk atau aktivitas baru dilakukan. (4) Selain memenuhi ketentuan pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), rencana penerbitan produk atau pelaksanaan aktivitas baru yang memenuhi kriteria dalam Pasal 20 ayat (3) huruf a wajib dicantumkan dalam rencana bisnis Bank. (5) Berdasarkan hasil evaluasi terhadap laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, Otoritas Jasa Keuangan dapat melarang Bank untuk menerbitkan produk atau melaksanakan aktivitas baru yang direncanakan. (6) Dalam hal dikemudian hari berdasarkan evaluasi Otoritas Jasa Keuangan, produk yang diterbitkan atau aktivitas yang dilaksanakan memenuhi kondisi: a. tidak sesuai dengan rencana penerbitan produk atau aktivitas baru yang dilaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan; b. berpotensi menimbulkan kerugian yang signifikan terhadap kondisi keuangan Bank; dan/atau c. tidak sesuai dengan ketentuan, Otoritas Jasa Keuangan dapat memerintahkan Bank untuk menghentikan produk yang diterbitkan atau aktivitas yang dilaksanakan. (7) Laporan rencana dan realisasi atas penerbitan produk atau pelaksanaan aktivitas tertentu diatur secara tersendiri dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan. - 21 - Bagian Kedua Laporan Lain Pasal 25 (1) Bank wajib menyampaikan laporan lain kepada Otoritas Jasa Keuangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23, dalam hal terdapat kondisi yang berpotensi menimbulkan kerugian yang signifikan terhadap kondisi keuangan Bank. (2) Bank wajib menyampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan laporan lain yang terkait dengan penerapan Manajemen Risiko dan/atau terkait dengan penerbitan produk atau pelaksanaan aktivitas tertentu secara berkala atau sewaktu-waktu dalam hal diperlukan. (3) Format dan tata cara pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur tersendiri dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan. Bagian Ketiga Batas Waktu Penyampaian Laporan Pasal 26 Bank dianggap terlambat menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 dan Pasal 24 apabila laporan disampaikan melampaui batas waktu penyampaian. Bagian Keempat Alamat Penyampaian Pasal 27 Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23, Pasal 24, dan Pasal 25 disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan alamat: a. Departemen Pengawasan Bank terkait, bagi Bank yang berkantor pusat atau kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri yang berada di wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta; atau - 22 - b. Kantor Regional Otoritas Jasa Keuangan atau Kantor Otoritas Jasa Keuangan setempat sesuai wilayah tempat kedudukan kantor pusat Bank. BAB X KETENTUAN LAIN-LAIN Bagian Kesatu Penilaian Penerapan Manajemen Risiko Pasal 28 Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan penilaian terhadap penerapan Manajemen Risiko pada Bank. Pasal 29 Bank wajib menyediakan data dan informasi yang berkaitan dengan penerapan Manajemen Risiko kepada Otoritas Jasa Keuangan. Bagian Kedua Aspek Pengungkapan Kinerja dan Kebijakan Manajemen Risiko Pasal 30 (1) Bank wajib melakukan pengungkapan Manajemen Risiko dalam laporan publikasi tahunan Bank. (2) Pengungkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit mencakup kinerja Manajemen Risiko dan arah kebijakan Manajemen Risiko. - 23 - BAB XI SANKSI Pasal 31 (1) Bank yang terlambat menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1), Pasal 24 ayat (1) huruf b, Pasal 24 ayat (3), Pasal 24 ayat (7) atau Pasal 25 ayat (2), dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari keterlambatan per laporan. (2) Bank yang belum menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1), Pasal 24 ayat (1) huruf b, Pasal 24 ayat (3), Pasal 24 ayat (7) atau Pasal 25 ayat (2) setelah 1 (satu) bulan sejak batas akhir waktu penyampaian laporan, dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) per laporan. (3) Bank yang belum menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1), Pasal 24 ayat (1) huruf b, Pasal 24 ayat (3), Pasal 24 ayat (7) atau Pasal 25 ayat (2) dan telah dikenakan sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tetap wajib menyampaikan laporan kepada Otoritas Jasa Keuangan. (4) Bank yang tidak menyampaikan laporan rencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) huruf a dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). (5) Bank yang menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1), Pasal 24 ayat (1) huruf b, Pasal 24 ayat (3), Pasal 24 ayat (7) atau Pasal 25 ayat (2), namun: a. dinilai tidak lengkap secara signifikan; dan/atau b. tidak dilampiri dengan dokumen dan informasi yang material, sesuai dengan format yang ditentukan, dikenakan sanksi administratif berupa denda Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). sebesar - 24 - (6) Bank dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) setelah: a. Bank diberikan 2 (dua) kali surat teguran oleh Otoritas Jasa Keuangan dengan tenggang waktu 7 (tujuh) hari kerja untuk setiap surat teguran; dan b. Bank tidak memperbaiki laporan dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah surat teguran terakhir. Pasal 32 Bank yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 2 ayat (1), Pasal 3, Pasal 4 ayat (2), Pasal 5, Pasal 9 ayat (1), Pasal 9 ayat (3), Pasal 10, Pasal 11 ayat (1), Pasal 11 ayat (2), Pasal 11 ayat (3), Pasal 11 ayat (4), Pasal 12 ayat (2), Pasal 13, Pasal 14 ayat (2), Pasal 15 ayat (2), Pasal 16, Pasal 19, Pasal 20 ayat (1), Pasal 21, Pasal 22, Pasal 29 atau Pasal 30 ayat (1) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dan ketentuan pelaksanaan terkait lainnya dapat dikenakan sanksi administratif berupa: a. teguran tertulis; b. penurunan tingkat kesehatan Bank; c. pembekuan kegiatan usaha tertentu; d. pencantuman anggota pengurus, pegawai Bank, dan/atau pemegang saham dalam daftar pihak-pihak yang mendapat predikat Tidak Lulus dalam penilaian kemampuan dan kepatutan atau dalam catatan administrasi Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana diatur dalam ketentuan Otoritas Jasa Keuangan; dan/atau e. pemberhentian pengurus Bank. - 25 - BAB XII KETENTUAN PENUTUP Pasal 33 Ketentuan lebih lanjut mengenai penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum diatur dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 34 (1) Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku: a. Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003 tanggal 19 Mei 2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4292); dan b. Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/25/PBI/2009 tanggal 1 Juli 2009 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 103, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5029), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. (2) Peraturan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003 tanggal 19 Mei 2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum dan Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/25/PBI/2009 tanggal 1 Juli 2009 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. - 26 - (3) Dengan berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, pengaturan yang sebelumnya mengacu pada ketentuan Bank Indonesia mengenai penerapan Manajemen Risiko bagi bank umum menjadi mengacu pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 35 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 16 Maret 2016 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 22 Maret 2016 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 53 Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 18 /POJK.03/2016 TENTANG PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO BAGI BANK UMUM I. UMUM Kegiatan usaha Bank senantiasa dihadapkan pada risiko-risiko yang berkaitan erat dengan fungsinya sebagai lembaga intermediasi keuangan. Pesatnya perkembangan lingkungan eksternal dan internal perbankan juga menyebabkan semakin kompleksnya risiko kegiatan usaha perbankan. Oleh karena itu, agar mampu beradaptasi dalam lingkungan bisnis perbankan, Bank dituntut untuk menerapkan Manajemen Risiko. Dalam kaitan ini, prinsip-prinsip Manajemen Risiko yang akan dianut dan diterapkan pada perbankan Indonesia diarahkan sejalan dengan rekomendasi yang dikeluarkan oleh Bank for International Settlements melalui Basel Committee on Banking Supervision. Prinsip-prinsip tersebut pada dasarnya merupakan standar bagi dunia perbankan untuk dapat beroperasi secara lebih berhati-hati dalam ruang lingkup perkembangan kegiatan usaha dan operasional perbankan yang sangat pesat dewasa ini. Melalui penerapan Manajemen Risiko, Bank diharapkan dapat mengukur dan mengendalikan Risiko yang dihadapi dalam melakukan kegiatan usahanya dengan lebih baik. Selanjutnya, penerapan Manajemen Risiko yang dilakukan perbankan akan mendukung efektivitas kerangka pengawasan Bank berbasis Risiko yang dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan. - 2 - Upaya penerapan Manajemen Risiko dimaksud tidak hanya ditujukan bagi kepentingan Bank tetapi juga bagi kepentingan nasabah. Salah satu aspek penting dalam melindungi kepentingan nasabah dan dalam rangka pengendalian Risiko adalah transparansi informasi terkait produk atau aktivitas Bank. Penerapan Manajemen Risiko dapat bervariasi antara satu Bank dengan Bank lain sesuai dengan tujuan, kebijakan usaha, ukuran dan kompleksitas usaha, kemampuan keuangan, infrastruktur pendukung serta kemampuan sumber daya manusia. Otoritas Jasa Keuangan menetapkan ketentuan ini sebagai standar minimal yang harus dipenuhi oleh perbankan Indonesia dalam menerapkan Manajemen Risiko. Dengan ketentuan ini, Bank diharapkan mampu melaksanakan seluruh aktivitasnya secara terintegrasi dalam suatu sistem pengelolaan Risiko yang akurat dan komprehensif. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Termasuk dalam cakupan penerapan Manajemen Risiko adalah penerapan program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 3 Kompleksitas usaha antara lain keragaman dalam jenis transaksi, produk atau jasa, dan jaringan usaha. Kemampuan Bank antara lain kemampuan keuangan, infrastruktur pendukung, dan kemampuan sumber daya manusia. - 3 - Pasal 4 Ayat (1) Huruf a Termasuk dalam kelompok Risiko Kredit adalah Risiko konsentrasi kredit, counterparty credit risk, dan settlement risk. Risiko konsentrasi kredit merupakan Risiko yang timbul akibat terkonsentrasinya penyediaan dana kepada 1 (satu) pihak atau sekelompok pihak, industri, sektor, dan/atau area geografis tertentu yang berpotensi menimbulkan kerugian cukup besar yang dapat mengancam kelangsungan usaha Bank. Counterparty credit risk merupakan Risiko yang timbul akibat terjadinya kegagalan pihak lawan dalam memenuhi kewajibannya dan timbul dari jenis transaksi yang memiliki karakteristik tertentu, misalnya transaksi yang dipengaruhi oleh pergerakan nilai wajar atau nilai pasar. Settlement risk merupakan Risiko yang timbul akibat kegagalan penyerahan kas dan/atau instrumen keuangan pada tanggal penyelesaian (settlement date) yang telah disepakati dari transaksi penjualan dan/atau pembelian instrumen keuangan. Huruf b Risiko Pasar meliputi antara lain Risiko suku bunga, Risiko nilai tukar, Risiko komoditas, dan Risiko ekuitas. Yang dimaksud dengan “Risiko suku bunga” adalah Risiko akibat perubahan harga instrumen keuangan dari posisi trading book atau akibat perubahan nilai ekonomis dari posisi banking book, yang disebabkan oleh perubahan suku bunga. Dalam kategori Risiko suku bunga termasuk pula Risiko suku bunga dari posisi banking book yang antara lain meliputi repricing risk, yield curve risk, basis risk, dan optionality risk. Yang dimaksud dengan “Risiko nilai tukar” adalah Risiko akibat perubahan nilai posisi trading book dan banking - 4 - book yang disebabkan oleh perubahan nilai tukar valuta asing atau perubahan harga emas. Yang dimaksud dengan “Risiko komoditas” adalah Risiko akibat perubahan harga instrumen keuangan dari posisi trading book dan banking book yang disebabkan oleh perubahan harga komoditas. Yang dimaksud dengan “Risiko ekuitas” adalah Risiko akibat perubahan harga instrumen keuangan dari posisi trading book yang disebabkan oleh perubahan harga saham. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Risiko Hukum timbul antara lain karena ketiadaan peraturan perundang-undangan yang mendukung atau kelemahan perikatan seperti tidak dipenuhinya syarat sahnya kontrak atau pengikatan agunan yang tidak sempurna. Huruf f Risiko Reputasi timbul antara lain karena adanya pemberitaan media dan/atau rumor mengenai Bank yang bersifat negatif, serta adanya strategi komunikasi Bank yang kurang efektif. Huruf g Risiko Stratejik timbul antara lain karena Bank menetapkan strategi yang kurang sejalan dengan visi dan misi Bank, melakukan analisis lingkungan stratejik yang tidak komprehensif, dan/atau terdapat ketidaksesuaian rencana stratejik (strategic plan) antar level stratejik. Selain itu, Risiko Stratejik juga timbul karena kegagalan dalam mengantisipasi perubahan lingkungan bisnis mencakup kegagalan dalam mengantisipasi perubahan teknologi, perubahan kondisi ekonomi makro, dinamika kompetisi di pasar, dan perubahan kebijakan otoritas terkait. - 5 - Huruf h Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Ayat (1) Huruf a Termasuk dalam kebijakan dan strategi Manajemen Risiko adalah penetapan dan persetujuan limit Risiko baik Risiko secara keseluruhan (composite), per jenis Risiko, maupun per aktivitas fungsional. Kebijakan dan strategi Manajemen Risiko disusun paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun atau frekuensi yang lebih tinggi dalam hal terdapat perubahan faktor-faktor yang mempengaruhi kegiatan usaha Bank secara signifikan. Huruf b Termasuk tanggung jawab atas pelaksanaan kebijakan Manajemen Risiko adalah: 1. mengevaluasi dan memberikan arahan berdasarkan laporan yang disampaikan oleh satuan kerja Manajemen Risiko; dan 2. penyampaian laporan pertanggungjawaban kepada Dewan Komisaris secara triwulanan. Huruf c Transaksi yang memerlukan persetujuan Direksi antara lain transaksi yang telah melampaui kewenangan pejabat Bank satu tingkat di bawah Direksi, sesuai dengan kebijakan dan prosedur intern Bank yang berlaku. Huruf d Pengembangan budaya Manajemen Risiko antara lain meliputi komunikasi yang memadai kepada seluruh jenjang organisasi tentang pentingnya pengendalian intern yang efektif. - 6 - Huruf e Peningkatan kompetensi sumber daya manusia antara lain melalui program pendidikan dan pelatihan secara berkesinambungan mengenai penerapan Manajemen Risiko. Huruf f Yang dimaksud dengan independen antara lain adanya pemisahan fungsi antara satuan kerja Manajemen Risiko yang melakukan identifikasi, pengukuran, dan pemantauan Risiko dengan satuan kerja yang melakukan dan menyelesaikan transaksi. Huruf g Kaji ulang secara berkala antara lain dimaksudkan untuk mengantisipasi jika terjadi perubahan faktor eksternal dan faktor internal. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 7 Huruf a Evaluasi kebijakan Manajemen Risiko dilakukan oleh Dewan Komisaris paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun atau frekuensi yang lebih tinggi dalam hal terdapat perubahan faktor-faktor yang mempengaruhi kegiatan usaha Bank secara signifikan. Huruf b Evaluasi pertanggungjawaban Direksi atas pelaksanaan kebijakan Manajemen Risiko dilakukan oleh Dewan Komisaris paling sedikit secara triwulanan. Huruf c Yang dimaksud dengan “transaksi yang memerlukan persetujuan Dewan Komisaris” adalah transaksi yang telah melampaui kewenangan Direksi untuk memutuskan transaksi, sesuai dengan kebijakan dan prosedur intern Bank yang berlaku. - 7 - Pasal 8 Kebijakan Manajemen Risiko ditetapkan antara lain dengan cara menyusun strategi Manajemen Risiko untuk memastikan bahwa: a. Bank tetap mempertahankan eksposur Risiko sesuai kebijakan dan prosedur intern Bank dan peraturan perundang-undangan serta ketentuan lain; dan b. Bank dikelola oleh sumber daya manusia yang memiliki pengetahuan, pengalaman, dan keahlian di bidang Manajemen Risiko sesuai kompleksitas usaha Bank. Penyusunan strategi Manajemen Risiko dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi keuangan Bank, organisasi Bank, dan Risiko yang timbul sebagai akibat perubahan faktor eksternal dan faktor internal. Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Toleransi Risiko merupakan potensi kerugian yang dapat diserap oleh permodalan Bank. Huruf d Penetapan penilaian peringkat Risiko merupakan dasar bagi Bank untuk mengategorikan peringkat Risiko Bank. Peringkat Risiko bagi Bank dikategorikan menjadi 5 (lima) peringkat, yaitu: 1. Peringkat 1 (Low); 2. Peringkat 2 (Low to Moderate); 3. Peringkat 3 (Moderate); 4. Peringkat 4 (Moderate to High); dan 5. Peringkat 5 (High). Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. - 8 - Pasal 9 Ayat (1) Tingkat Risiko yang akan diambil (risk appetite) memperhatikan pengalaman yang dimiliki Bank dalam mengelola Risiko. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Pengertian secara berkala paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun atau frekuensi yang lebih tinggi, sesuai jenis Risiko, kebutuhan, dan perkembangan Bank. Huruf c Yang dimaksud dengan “dokumentasi yang memadai” adalah dokumentasi yang tertulis, lengkap, dan memudahkan untuk dilakukan jejak audit (audit trail) untuk keperluan pengendalian intern Bank. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 10 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “faktor-faktor Risiko” adalah berbagai parameter yang mempengaruhi eksposur Risiko. Yang dimaksud dengan “faktor-faktor Risiko (risk factors) yang bersifat material” adalah faktor-faktor Risiko baik kuantitatif maupun kualitatif yang berpengaruh secara signifikan terhadap kondisi keuangan Bank. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 11 Ayat (1) Proses identifikasi Risiko antara lain dapat didasarkan pada pengalaman kerugian Bank yang pernah terjadi. - 9 - Ayat (2) Untuk memperkirakan Risiko, Bank dapat menggunakan berbagai pendekatan, baik kualitatif maupun kuantitatif, disesuaikan dengan tujuan usaha, kompleksitas usaha, dan kemampuan Bank. Huruf a Pengertian secara berkala paling sedikit secara triwulanan atau frekuensi yang lebih tinggi, sesuai dengan perkembangan usaha Bank dan kondisi eksternal yang langsung mempengaruhi kondisi Bank. Huruf b Yang dimaksud dengan “perubahan yang bersifat material” adalah perubahan kegiatan usaha Bank, produk, transaksi, dan/atau faktor Risiko, yang dapat mempengaruhi kondisi keuangan Bank. Ayat (3) Huruf a Evaluasi terhadap eksposur Risiko dilakukan dengan cara pemantauan dan pelaporan Risiko yang bersifat material atau yang berdampak kepada kondisi permodalan Bank, yang antara lain didasarkan atas penilaian potensi Risiko dengan menggunakan historical trend. Huruf b Cukup jelas. Ayat (4) Pengendalian Risiko dapat dilakukan antara lain dengan cara lindung nilai, metode mitigasi Risiko, dan penambahan modal untuk menyerap potensi kerugian. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 12 Ayat (1) Huruf a Laporan atau informasi eksposur Risiko mencakup eksposur kuantitatif dan kualitatif, secara keseluruhan - 10 - (composite) maupun rincian per jenis Risiko dan per jenis aktivitas fungsional. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Ayat (2) Laporan atau informasi yang disampaikan kepada Direksi dapat ditingkatkan frekuensinya sesuai kebutuhan Bank. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Informasi keuangan dan manajemen yang lengkap, akurat, tepat guna, dan tepat waktu diperlukan dalam rangka pengambilan keputusan yang tepat dan dapat dipertanggungjawabkan, serta dikomunikasikan kepada pihak yang berkepentingan. Huruf c Efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan operasional antara lain diperlukan untuk melindungi aset dan sumber daya Bank lainnya dari Risiko terkait. Huruf d Efektivitas budaya Risiko (risk culture) dimaksudkan untuk mengidentifikasi kelemahan dan penyimpangan secara lebih dini dan menilai kembali kewajaran kebijakan dan prosedur yang ada pada Bank secara berkesinambungan. - 11 - Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Huruf a Komite Manajemen Risiko harus bersifat non-struktural. Huruf b Satuan kerja Manajemen Risiko harus bersifat struktural. Pasal 17 Ayat (1) Keanggotaan komite Manajemen Risiko dapat berupa keanggotaan tetap dan tidak tetap, sesuai kebutuhan Bank. Huruf a Salah satu anggota dari mayoritas Direksi dalam komite Manajemen Risiko adalah direktur yang membawahkan fungsi kepatuhan. Huruf b Yang dimaksud dengan “pejabat eksekutif” adalah pejabat yang bertanggung jawab langsung kepada Direksi atau mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kebijakan atau operasional Bank. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Termasuk dalam keputusan bisnis yang menyimpang dari prosedur normal antara lain pelampauan ekspansi usaha yang signifikan dibandingkan rencana bisnis Bank dan pengambilan posisi atau eksposur Risiko yang menyimpang dari limit yang telah ditetapkan. - 12 - Pasal 18 Ayat (1) Pengaturan ini dimaksudkan agar Bank dapat menentukan struktur organisasi yang tepat dan sesuai kondisi Bank, termasuk kemampuan keuangan dan sumber daya manusia. Ayat (2) Pengertian independen antara lain tercermin dari adanya: a. pemisahan fungsi dan tugas antara satuan kerja Manajemen Risiko dengan satuan kerja operasional (risk- taking unit) dan satuan kerja yang melaksanakan fungsi pengendalian intern; dan b. proses pengambilan keputusan yang tidak memihak atau menguntungkan satuan kerja operasional tertentu atau mengabaikan satuan kerja operasional lainnya. Ayat (3) Mengingat ukuran dan kompleksitas usaha Bank yang berbeda, satuan kerja Manajemen Risiko dapat bertanggung jawab langsung kepada direktur yang ditugaskan secara khusus oleh Bank seperti direktur yang membawahkan fungsi kepatuhan atau direktur Manajemen Risiko. Istilah direktur utama dapat dipersamakan dengan presiden direktur. Ayat (4) Wewenang dan tanggung jawab satuan kerja Manajemen Risiko disesuaikan dengan tujuan usaha, kompleksitas usaha, dan kemampuan Bank. Huruf a Cukup jelas. Huruf b Stress testing dilakukan guna mengetahui dampak dari implementasi kebijakan dan strategi Manajemen Risiko terhadap kinerja dan pendapatan masing-masing satuan kerja operasional atau aktivitas fungsional Bank. Huruf c Kaji ulang antara lain dilakukan berdasarkan temuan audit intern dan/atau perkembangan praktek-praktek Manajemen Risiko yang berlaku secara internasional. - 13 - Huruf d Termasuk dalam pengkajian adalah penilaian kemampuan Bank untuk melakukan aktivitas dan/atau produk baru dan kajian usulan perubahan sistem dan prosedur. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Rekomendasi antara lain memuat rekomendasi yang terkait dengan besaran atau maksimum eksposur Risiko yang wajib dipelihara oleh Bank. Huruf g Profil Risiko merupakan gambaran secara menyeluruh atas besarnya potensi Risiko yang melekat pada seluruh portofolio atau eksposur Bank. Frekuensi penyampaian laporan ditingkatkan dalam hal kondisi pasar berubah dengan cepat. Untuk eksposur Risiko yang berubah relatif lama, seperti Risiko Kredit, penyampaian laporan disampaikan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) bulan. Pasal 19 Frekuensi penyampaian informasi eksposur Risiko disesuaikan dengan karakteristik jenis Risiko. Termasuk dalam definisi satuan kerja operasional (risk-taking unit) antara lain satuan kerja perkreditan, treasuri, dan pendanaan. Pasal 20 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “produk Bank” adalah instrumen keuangan yang diterbitkan oleh Bank. Yang dimaksud dengan “aktivitas Bank” adalah jasa yang disediakan oleh Bank kepada nasabah, antara lain jasa keagenan dan/atau kustodian. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. - 14 - Huruf b Cukup jelas. Huruf c Masa uji coba dimaksudkan untuk memastikan bahwa metode pengukuran dan pemantauan Risiko telah teruji. Huruf d Sistem informasi akuntansi paling kurang menggambarkan profil Risiko dan tingkat keuntungan maupun kerugian untuk produk atau aktivitas baru secara akurat. Huruf e Analisa aspek hukum mencakup kemungkinan adanya Risiko Hukum yang ditimbulkan oleh produk atau aktivitas baru serta kesesuaian dengan ketentuan dan peraturan perundang-undangan. Huruf f Aspek-aspek dalam menerapkan transparansi informasi kepada nasabah memperhatikan paling sedikit: 1. informasi yang disampaikan lengkap, benar, dan tidak menyesatkan nasabah; 2. informasi yang berimbang antara potensi manfaat yang mungkin diperoleh dengan Risiko yang mungkin timbul bagi nasabah; dan 3. informasi yang disampaikan tidak menyamarkan, mengurangi, atau menutupi hal-hal yang penting terkait dengan Risiko yang mungkin timbul. Ayat (3) Huruf a Termasuk dalam kriteria tidak pernah diterbitkan atau dilakukan sebelumnya adalah produk atau aktivitas yang telah diterbitkan atau dilakukan oleh Bank lain namun belum pernah diterbitkan atau dilakukan oleh Bank yang bersangkutan. Huruf b Perubahan eksposur Risiko dalam pengaturan ini tidak mencakup perubahan eksposur Risiko yang terkait produk atau aktivitas konvensional seperti giro, - 15 - tabungan, deposito, kredit, produk derivatif yang bersifat plain vanilla, dan aktivitas kustodian. Pasal 21 Termasuk dalam kategori tindakan menyetujui adalah mengetahui namun tidak melarang atau membiarkan terjadinya pemasaran produk atau aktivitas yang bukan merupakan produk atau aktivitas Bank dengan menggunakan sarana atau fasilitas Bank oleh pengurus dan/atau pegawai. Pasal 22 Cakupan transparansi informasi yang perlu diungkapkan kepada nasabah mengacu pada ketentuan yang mengatur mengenai transparansi informasi produk Bank. Selain itu transparansi informasi juga mencakup prosedur, skim, dan materi yang perlu diungkapkan, seperti karakteristik produk atau aktivitas, Risiko, serta hak dan kewajiban nasabah. Pasal 23 Ayat (1) Laporan profil Risiko memuat antara lain informasi tentang tingkat dan tren seluruh eksposur Risiko. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Laporan profil Risiko disajikan secara komparatif dengan posisi triwulan sebelumnya. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 24 Ayat (1) Cukup jelas. - 16 - Ayat (2) Produk atau aktivitas baru yang wajib dilaporkan mencakup seluruh produk atau aktivitas baru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3). Laporan rencana penerbitan produk atau pelaksanaan aktivitas baru paling sedikit memuat hal-hal yang ditetapkan dalam Pasal 20 ayat (2). Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Rencana penerbitan produk atau pelaksanaan aktivitas baru dicantumkan dalam rencana bisnis Bank untuk tahun yang sama dengan rencana penerbitan produk atau pelaksanaan aktivitas baru. Ayat (5) Evaluasi Otoritas Jasa Keuangan mencakup antara lain aspek kesiapan Bank, penerapan Manajemen Risiko, transparansi informasi produk, dan perlindungan nasabah. Ayat (6) Huruf a Ketidaksesuaian tersebut meliputi antara lain prosedur, skim, karakteristik produk atau aktivitas, Risiko serta hak dan kewajiban nasabah. Huruf b Kondisi yang berpotensi menimbulkan kerugian yang signifikan terhadap kondisi keuangan Bank antara lain dapat disebabkan oleh Risiko Reputasi dan Risiko Pasar dari penerbitan produk atau pelaksanaan aktivitas Bank. Huruf c Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Pasal 25 Ayat (1) Cukup jelas. - 17 - Ayat (2) Laporan terkait penerapan Manajemen Risiko meliputi antara lain laporan proyeksi arus kas dan laporan profil maturitas dalam rangka penerapan Manajemen Risiko untuk Risiko Likuiditas. Laporan terkait aktivitas tertentu meliputi antara lain laporan pelaksanaan keagenan reksadana dan/atau laporan pelaksanaan kegiatan bancassurance. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Penilaian terhadap Manajemen Risiko Bank termasuk penilaian Risiko yang melekat (inherent risk) dan kecukupan sistem pengendalian Risiko (risk control system). Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Kinerja Manajemen Risiko merupakan hasil penerapan Manajemen Risiko untuk periode awal tahun (bulan Januari) sampai dengan akhir tahun (bulan Desember) termasuk profil Risiko, sedangkan arah kebijakan Manajemen Risiko merupakan arah dan strategi Manajemen Risiko periode 1 (satu) tahun ke depan. - 18 - Pasal 31 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “hari” adalah hari kerja. Ayat (2) Bank yang telah dikenakan sanksi administratif berupa denda dalam ayat ini tidak dikenakan sanksi keterlambatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Bank yang telah dikenakan sanksi administratif berupa denda pada ayat ini tidak dikenakan sanksi keterlambatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 32 Cukup jelas. Pasal 33 Cukup jelas. Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5861 "," POJK 8/POJK.03/2016 PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM MELAKSANAKAN AKTIVITAS KEAGENAN PRODUK KEUANGAN LUAR NEGERI OLEH BANK UMUM 26 Januari 2016 27 Januari 2016 27 Januari 2016 '12/9/PBI/2010' '21/UU/2011', '10/UU/1998', '7/UU/1992' 'BAB IX' " " OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 41 /POJK.05/2015 TENTANG TATA CARA PENETAPAN PENGELOLA STATUTER PADA LEMBAGA JASA KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan kegiatan sektor jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf g serta Pasal 9 huruf e dan huruf f Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, Otoritas Jasa Keuangan mempunyai wewenang menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan pengelola statuter pada lembaga jasa keuangan serta melakukan penunjukan dan menetapkan penggunaan pengelola statuter; b. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 62 ayat (6) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian, perlu mengatur mengenai penetapan, tugas, masa tugas, dan pemberhentian pengelola statuter, serta hak dan kewajiban direksi, dewan komisaris, dan/atau dewan pengawas syariah nonaktif; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Tata Cara Penetapan Pengelola Statuter pada Lembaga Jasa Keuangan; - 2 - Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); 2. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5618); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG TATA CARA PENETAPAN PENGELOLA STATUTER PADA LEMBAGA JASA KEUANGAN. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 1. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat OJK adalah Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. 2. Pengelola Statuter adalah orang perseorangan atau badan hukum yang ditetapkan OJK untuk melaksanakan kewenangan OJK sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. 3. Lembaga Jasa Keuangan adalah lembaga jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. 4. Dewan Komisioner adalah dewan komisioner sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. 5. Direksi adalah organ lembaga jasa keuangan yang melakukan fungsi pengurusan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas bagi Lembaga Jasa Keuangan - 3 - berbentuk badan hukum perseroan terbatas atau yang setara dengan Direksi bagi Lembaga Jasa Keuangan yang berbentuk badan hukum koperasi, usaha bersama, dana pensiun, perusahaan daerah, perusahaan umum daerah, atau perusahaan perseroan daerah. 6. Dewan Komisaris adalah organ Lembaga Jasa Keuangan yang melakukan fungsi pengawasan dan pemberian nasihat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas bagi Lembaga Jasa Keuangan yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas atau yang setara dengan Dewan Komisaris bagi Lembaga Jasa Keuangan yang berbentuk badan hukum koperasi, usaha bersama, dana pensiun, perusahaan daerah, perusahaan umum daerah, atau perusahaan perseroan daerah. 7. Dewan Pengawas Syariah adalah bagian dari organ Lembaga Jasa Keuangan yang menyelenggarakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, yang melakukan fungsi pengawasan atas penyelenggaraan usaha Lembaga Jasa Keuangan agar sesuai dengan prinsip syariah. 8. Konsumen adalah konsumen sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. BAB II PENETAPAN PENGELOLA STATUTER Pasal 2 (1) OJK dapat melakukan penunjukan dan menetapkan penggunaan Pengelola Statuter untuk mengambil alih seluruh wewenang dan fungsi Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau Dewan Pengawas Syariah Lembaga Jasa Keuangan. - 4 - (2) Penunjukan dan penetapan penggunaan Pengelola Statuter dilakukan berdasarkan ketentuan undang- undang di sektor jasa keuangan. (3) Penunjukan dan penetapan penggunaan Pengelola Statuter selain dilakukan berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dapat pula dilakukan apabila berdasarkan penilaian OJK, Lembaga Jasa Keuangan memenuhi kriteria sebagai berikut: a. kondisi keuangan Lembaga Jasa Keuangan dapat membahayakan kepentingan Konsumen, sektor jasa keuangan, dan/atau pemegang saham; b. penyelenggaraan kegiatan usaha Lembaga Jasa Keuangan tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan; c. Lembaga Jasa Keuangan telah dikenai sanksi pembatasan kegiatan usaha; d. Lembaga Jasa Keuangan dimanfaatkan oleh pihak tertentu untuk memfasilitasi dan/atau melakukan tindak pidana di sektor jasa keuangan; e. pemegang saham, Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau Dewan Pengawas Syariah Lembaga Jasa Keuangan diduga melakukan tindak pidana di sektor jasa keuangan yang dapat mengganggu operasional pada Lembaga Jasa Keuangan yang bersangkutan; f. Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau Dewan Pengawas Syariah Lembaga Jasa Keuangan dinilai tidak mampu mengatasi permasalahan yang terjadi di Lembaga Jasa Keuangan; dan/atau g. Lembaga Jasa Keuangan tidak memenuhi perintah tertulis untuk mengganti Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau Dewan Pengawas Syariah. (4) Penunjukan dan penetapan penggunaan Pengelola Statuter sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Dewan Komisioner berdasarkan usulan dari kepala eksekutif masing-masing sektor jasa keuangan. - 5 - (5) Penunjukan dan penetapan penggunaan Pengelola Statuter untuk Lembaga Jasa Keuangan yang secara khusus dibentuk berdasarkan peraturan perundang- undangan atau dibentuk oleh Pemerintah hanya dilakukan setelah terlebih dahulu berkoordinasi dengan Pemerintah. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria penunjukan dan penetapan penggunaan Pengelola Statuter sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Surat Edaran OJK. Pasal 3 (1) Pada saat penunjukan dan penetapan penggunaan Pengelola Statuter dilakukan oleh OJK maka: a. Pengelola Statuter mengambil alih seluruh wewenang dan fungsi Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau Dewan Pengawas Syariah Lembaga Jasa Keuangan; dan b. Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau Dewan Pengawas Syariah Lembaga Jasa Keuangan dinyatakan nonaktif. (2) Sejak pengambilalihan wewenang dan fungsi Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau Dewan Pengawas Syariah: a. dilarang menjalankan wewenang dan fungsi selaku Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau Dewan Pengawas Syariah. b. wajib membantu Pengelola Statuter dalam menjalankan wewenang, fungsi, dan tugasnya. (3) Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau Dewan Pengawas Syariah nonaktif dilarang mengundurkan diri selama wewenang dan fungsinya diambil alih oleh Pengelola Statuter. - 6 - (4) OJK dapat mengaktifkan kembali sebagian atau seluruh Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau Dewan Pengawas Syariah nonaktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b setelah penggunaan Pengelola Statuter berakhir. (5) Dalam hal OJK mengaktifkan kembali sebagian Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau Dewan Pengawas Syariah setelah penggunaan Pengelola Statuter berakhir, OJK memberikan perintah tertulis kepada Lembaga Jasa Keuangan untuk menyelenggarakan rapat umum pemegang saham untuk menunjuk Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau Dewan Pengawas Syariah. (6) Dalam hal OJK tidak mengaktifkan kembali seluruh Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau Dewan Pengawas Syariah, OJK memberikan perintah tertulis kepada Pengelola Statuter untuk menyelenggarakan rapat umum pemegang saham untuk menunjuk Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau Dewan Pengawas Syariah yang baru sebelum penggunaan Pengelola Statuter berakhir. Pasal 4 (1) Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau Dewan Pengawas Syariah nonaktif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b berhak memperoleh remunerasi yang besarannya ditetapkan oleh rapat umum pemegang saham dengan mempertimbangkan kondisi keuangan Lembaga Jasa Keuangan, paling tinggi sebesar 50% (lima puluh persen) dari remunerasi yang diterima sebelum Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau Dewan Pengawas Syariah dinonaktifkan. (2) Dalam hal Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau Dewan Pengawas Syariah nonaktif ditunjuk menjadi Pengelola Statuter maka remunerasi bagi Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau Dewan Pengawas Syariah dimaksud berlaku ketentuan remunerasi bagi Pengelola Statuter. - 7 - BAB III PIHAK YANG DITUNJUK SEBAGAI PENGELOLA STATUTER Pasal 5 (1) OJK menunjuk orang perseorangan atau badan hukum sebagai Pengelola Statuter. (2) Orang perseorangan yang dapat menjadi Pengelola Statuter sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus: a. memenuhi persyaratan yang setara dengan Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau Dewan Pengawas Syariah Lembaga Jasa Keuangan sesuai dengan wewenang dan fungsi yang diambil alih, berdasarkan penilaian OJK; dan b. tidak memiliki benturan kepentingan dengan Lembaga Jasa Keuangan yang akan dikelola, pemegang saham, Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau Dewan Pengawas Syariah dari Lembaga Jasa Keuangan yang akan dikelola. (3) Direksi, Dewan Komisaris, Dewan Pengawas Syariah, dan/atau pegawai Lembaga Jasa Keuangan yang tidak menyebabkan Lembaga Jasa Keuangan bermasalah dapat ditunjuk sebagai Pengelola Statuter. (4) Badan hukum yang dapat menjadi Pengelola Statuter sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Lembaga Jasa Keuangan sejenis dan tidak memiliki benturan kepentingan dengan pemegang saham, Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau Dewan Pengawas Syariah dari Lembaga Jasa Keuangan yang akan dikelola. (5) Dalam hal Pengelola Statuter berbentuk badan hukum, anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, anggota Dewan Pengawas Syariah, dan/atau pegawai badan hukum yang ditugaskan untuk menjalankan wewenang, fungsi, dan tugas Pengelola Statuter harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b. - 8 - BAB IV TUGAS, WEWENANG, HAK, DAN TANGGUNG JAWAB PENGELOLA STATUTER Pasal 6 (1) Pengelola Statuter memiliki seluruh wewenang dan fungsi Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau Dewan Pengawas Syariah. (2) Pengelola Statuter yang telah ditetapkan oleh OJK mempunyai tugas: a. menyelamatkan kekayaan dan/atau kumpulan dana Lembaga Jasa Keuangan dan/atau Konsumen; b. mengendalikan dan mengelola kegiatan usaha dari Lembaga Jasa Keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; c. menyusun rencana kerja yang paling sedikit memuat langkah-langkah penyelamatan yang akan dilakukan apabila Lembaga Jasa Keuangan tersebut masih dapat diselamatkan; d. mengajukan usulan agar OJK mencabut izin usaha Lembaga Jasa Keuangan apabila Lembaga Jasa Keuangan tersebut dinilai tidak dapat diselamatkan; e. memenuhi ketentuan peraturan perundang- undangan di sektor jasa keuangan; f. mematuhi setiap perintah tertulis dari OJK mengenai pengendalian dan pengelolaan kegiatan usaha dari Lembaga Jasa Keuangan; g. mencegah dan mengurangi kerugian Konsumen, masyarakat, dan sektor jasa keuangan; h. memberantas kejahatan keuangan yang dilakukan pihak tertentu di sektor jasa keuangan; dan melaporkan kegiatannya kepada OJK. i. (3) Dalam melaksanakan wewenang, fungsi, dan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Pengelola Statuter dapat menempuh langkah-langkah: a. menyelamatkan kelangsungan usaha Lembaga Jasa Keuangan tertentu; - 9 - b. membatalkan atau mengakhiri perjanjian yang dibuat oleh Lembaga Jasa Keuangan dengan pihak ketiga yang merugikan dan/atau menurut Pengelola Statuter dapat merugikan kepentingan Lembaga Jasa Keuangan dan/atau Konsumen; c. melakukan pengalihan sebagian atau seluruh portofolio kekayaan atau usaha dan/atau kumpulan dana dari Lembaga Jasa Keuangan yang menurut Pengelola Statuter dapat mencegah kerugian yang lebih besar bagi Lembaga Jasa Keuangan; dan/atau d. melakukan pengalihan sebagian atau seluruh portofolio kekayaan dan/atau kumpulan dana dari Konsumen yang menurut Pengelola Statuter dapat mencegah kerugian yang lebih besar bagi Konsumen. Pasal 7 (1) Pengelola Statuter dapat meminta pihak yang sedang atau pernah menjabat sebagai anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, anggota Dewan Pengawas Syariah, pegawai dari Lembaga Jasa Keuangan, dan/atau pihak lain yang memiliki informasi dan/atau dokumen tertentu yang berkaitan dengan kegiatan usaha Lembaga Jasa Keuangan untuk memberikan informasi dan/atau dokumen dimaksud kepada Pengelola Statuter. (2) Pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib memberikan informasi dan/atau dokumen tertentu yang berkaitan dengan kegiatan usaha Lembaga Jasa Keuangan kepada Pengelola Statuter. Pasal 8 (1) Pengelola Statuter berhak atas remunerasi. (2) Besaran remunerasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh OJK dengan mempertimbangkan antara lain kewajaran, kompleksitas permasalahan pada Lembaga Jasa Keuangan, dan ukuran aset dari Lembaga Jasa Keuangan. - 10 - Pasal 9 (1) Pengelola Statuter menyampaikan laporan bulanan Pengelola Statuter kepada OJK paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya. (2) Apabila batas waktu penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jatuh pada hari libur, maka batas akhir penyampaian adalah hari kerja berikutnya. (3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit berisi informasi mengenai: a. hal-hal yang telah dilakukan selama periode pelaporan; b. perkembangan kesehatan keuangan Lembaga Jasa Keuangan selama periode pelaporan; c. permasalahan yang dihadapi dalam melaksanakan tugasnya; d. langkah-langkah strategis yang akan dilakukan setelah periode pelaporan; dan e. rekomendasi kepada OJK. (4) Dalam hal diperlukan, OJK dapat meminta Pengelola Statuter untuk menyampaikan laporan di luar laporan bulanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 10 Pengelola Statuter mempertanggungjawabkan segala keputusan dan tindakannya dalam melaksanakan wewenang, fungsi, dan tugasnya kepada OJK. BAB V BIAYA PENGELOLA STATUTER Pasal 11 (1) Biaya penyelenggaraan usaha Lembaga Jasa Keuangan selama masa penggunaan Pengelola Statuter dibebankan kepada Lembaga Jasa Keuangan. (2) Biaya remunerasi Pengelola Statuter sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dibebankan kepada Lembaga Jasa Keuangan. - 11 - (3) Dalam hal biaya remunerasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak mencukupi, OJK dapat menetapkan tambahan remunerasi dan/atau penghasilan lain Pengelola Statuter yang menjadi beban OJK. BAB VI PENGAKHIRAN PENGELOLA STATUTER Pasal 12 (1) Penggunaan Pengelola Statuter pada Lembaga Jasa Keuangan berakhir apabila: a. OJK memutuskan penggunaan Pengelola Statuter tidak diperlukan lagi; atau b. Lembaga Jasa Keuangan telah dicabut izin usahanya. (2) OJK berwenang untuk melakukan penggantian Pengelola Statuter apabila dinilai bahwa Pengelola Statuter melakukan kecurangan, tidak jujur, lalai, tidak mampu, dan/atau tidak mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengakhiran Pengelola Statuter sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan penggantian Pengelola Statuter sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Surat Edaran OJK. Pasal 13 (1) Dalam hal penggunaan Pengelola Statuter telah berakhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1), Pengelola Statuter menyampaikan laporan pertanggungjawaban kepada OJK. (2) Penyampaian laporan pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak berakhirnya penggunaan Pengelola Statuter. (3) Laporan pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit berisi informasi mengenai: a. hal-hal yang telah dilakukan selama menjalankan tugas sebagai Pengelola Statuter; - 12 - b. perkembangan kesehatan keuangan Lembaga Jasa Keuangan selama menjalankan tugas sebagai Pengelola Statuter; c. permasalahan yang dihadapi dalam melaksanakan tugasnya; dan (4) Dalam d. rekomendasi kepada OJK. hal OJK telah menyetujui laporan pertanggungjawaban Pengelola Statuter sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Lembaga Jasa Keuangan wajib menerima laporan pertanggungjawaban Pengelola Statuter yang telah disetujui oleh OJK tersebut. BAB VII SANKSI Pasal 14 (1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 53 dan Pasal 54 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, OJK berwenang menetapkan sanksi administratif kepada pihak yang melanggar ketentuan dalam Pasal 3 ayat (3), ayat (4), Pasal 7 ayat (2), dan Pasal 13 ayat (4) Peraturan OJK ini berupa: a. b. teguran tertulis; dan/atau larangan menjadi pemegang saham, pengendali, Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau Dewan Pengawas Syariah paling lama 5 (lima) tahun di sektor jasa keuangan. (2) Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK dapat menetapkan sanksi administratif tambahan atau tindakan tertentu sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan kepada pihak yang melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1). - 13 - BAB VIII KETENTUAN PENUTUP Pasal 15 Peraturan OJK ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan OJK ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 21 Desember 2015 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 28 Desember 2015 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 368 Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Sudarmaji "," POJK 41/POJK.05/2015 TATA CARA PENETAPAN PENGELOLA STATUTER PADA LEMBAGA JASA KEUANGAN 21 Desember 2015 28 Desember 2015 28 Desember 2015 '21/UU/2011', '40/UU/2014' 'BAB VII' " " OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 44 /POJK.04/2016 TENTANG LAPORAN LEMBAGA PENYIMPANAN DAN PENYELESAIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, sejak tanggal 31 Desember 2012 fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal termasuk terkait dengan pengaturan mengenai Laporan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian beralih dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa Keuangan; b. bahwa dalam rangka memberikan kejelasan dan kepastian mengenai pengaturan terhadap laporan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, peraturan mengenai laporan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang diterbitkan sebelum terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan perlu diubah ke dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Laporan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian; - 2 - Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG LAPORAN LEMBAGA PENYIMPANAN DAN PENYELESAIAN. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian adalah Pihak yang menyelenggarakan kegiatan Kustodian sentral bagi Bank Kustodian, Perusahaan Efek, dan Pihak lain. 2. Transaksi Bursa adalah kontrak yang dibuat oleh Anggota Bursa Efek sesuai dengan persyaratan yang ditentukan oleh Bursa Efek mengenai jual beli Efek, pinjam meminjam Efek, atau kontrak lain mengenai Efek atau harga Efek. BAB II JENIS LAPORAN Pasal 2 Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian wajib menyampaikan laporan kegiatan kepada Otoritas Jasa Keuangan yang meliputi: a. laporan harian mengenai mutasi penyimpanan dan penyelesaian Transaksi Bursa; - 3 - b. laporan bulanan yang memuat: 1. rekapitulasi kegiatan selama periode tersebut dilengkapi dengan statistik perkembangan volume penyimpanan dan penyelesaian; 2. laporan mengenai jumlah Emiten yang pencatatan Efek-nya pada buku daftar pemegang saham Emiten diwakili oleh Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian; dan 3. kegiatan pemakai jasa Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian; c. laporan keuangan tengah tahunan dan laporan keuangan tahunan yang telah diaudit oleh Akuntan yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan disertai pendapat dari Akuntan tersebut; d. laporan realisasi anggaran dan penggunaan laba; e. laporan penyelenggaraan Rapat Umum Pemegang Saham; f. laporan mengenai perubahan status pemakai jasa Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian; g. laporan mengenai pengenaan sanksi oleh Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian terhadap pemakai jasa Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian; h. laporan mengenai peristiwa khusus seperti kesulitan keuangan pemakai jasa Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian; dan i. laporan posisi rekening Efek nasabah atas kepemilikan 5% (lima persen) atau lebih saham dan setiap perubahan kepemilikan atas saham Emiten atau Perusahaan Publik dimaksud pada rekening Efek pada Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, yang paling sedikit memuat: 1. nama pemegang rekening Efek; 2. nama nasabah (pemegang sub rekening Efek), domisili (jika ada), dan kewarganegaraan (untuk badan hukum sebutkan nama negara dimana badan hukum tersebut didirikan); 3. nama Emiten atau Perusahaan Publik penerbit saham; - 4 - 4. persentase kepemilikan saham terakhir sebelum perubahan, setelah perubahan dan perubahannya pada saat dilaporkan dari total saham yang diterbitkan Emiten atau Perusahaan Publik; dan 5. tanggal pemindahbukuan pada sub rekening Efek atau tanggal pertama kali tercatat pada sub rekening Efek untuk saham yang baru tercatat dalam penitipan kolektif pada Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian. BAB III PENYAMPAIAN LAPORAN LEMBAGA PENYIMPANAN DAN PENYELESAIAN Bagian Kesatu Dokumen Elektronik Pasal 3 Penyampaian laporan kegiatan oleh Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian kepada Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dapat dilakukan secara melalui dokumen cetak atau dalam bentuk dokumen elektronik. Pasal 4 Penerimaan Otoritas Jasa Keuangan terhadap laporan kegiatan yang disampaikan oleh Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3 dihitung berdasarkan waktu diterimanya laporan tersebut oleh Otoritas Jasa Keuangan dalam bentuk dokumen cetak atau dalam bentuk dokumen elektronik. - 5 - Bagian Kedua Jangka Waktu Penyampaian dan Pengumuman Laporan Pasal 5 Laporan harian mengenai mutasi penyimpanan dan penyelesaian Transaksi Bursa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat pada hari kerja berikutnya. Pasal 6 (1) Laporan bulanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b meliputi jumlah dan jenis Efek yang dimutasikan serta keterangan lain yang diminta oleh Otoritas Jasa Keuangan yang berkaitan dengan fungsinya sebagai Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian. (2) Laporan bulanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat pada hari ke-12 (dua belas) bulan berikutnya. Pasal 7 (1) Laporan keuangan tengah tahunan wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak tanggal akhir periode. (2) Laporan keuangan tahunan wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 90 (sembilan puluh) hari sejak tanggal akhir tahun buku. (3) Laporan keuangan tengah tahunan dan laporan keuangan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib diumumkan paling sedikit dalam 2 (dua) surat kabar harian berbahasa Indonesia yang 1 (satu) diantaranya berperedaran nasional dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal laporan Akuntan yang bersangkutan. (4) Dalam hal Akuntan memberikan pendapat selain wajar tanpa pengecualian terhadap laporan keuangan tengah tahunan dan laporan keuangan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Otoritas Jasa - 6 - Keuangan dapat memanggil anggota Direksi dan/atau melakukan pemeriksaan untuk memperoleh keterangan lebih lanjut. Pasal 8 Laporan realisasi anggaran dan penggunaan laba sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf d wajib disusun secara triwulanan dan disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan melalui dewan komisaris, dengan ketentuan bahwa laporan tersebut disampaikan secara kumulatif triwulanan dan diterima oleh Otoritas Jasa Keuangan paling lambat pada hari ke-12 (dua belas) setelah berakhirnya triwulan yang bersangkutan. Pasal 9 Laporan penyelenggaraan Rapat Umum Pemegang Saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf e wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah tanggal penyelenggaraan Rapat Umum Pemegang Saham Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian. Pasal 10 Laporan mengenai perubahan status pemakai jasa Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf f wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah adanya perubahan tersebut. Pasal 11 Laporan mengenai pengenaan sanksi oleh Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian terhadap pemakai jasa Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian serta laporan mengenai peristiwa khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf g dan huruf h wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat pada hari kerja berikutnya. - 7 - Pasal 12 Laporan mengenai kepemilikan dan setiap perubahan kepemilikan saham Emiten atau Perusahaan Publik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf i wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan tembusan kepada Bursa Efek di Indonesia dimana saham tersebut dicatatkan dan kepada Lembaga Kliring dan Penjaminan paling lambat pada hari kerja berikutnya setelah pemindahbukuan atau setelah pencatatan untuk saham yang pertama kali dicatat pada sub rekening Efek pada Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian. Pasal 13 Bursa Efek wajib mengumumkan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 pada sistem pelaporan elektronik Bursa Efek yang dapat diakses setiap saat oleh masyarakat paling lambat pada hari bursa berikutnya setelah Bursa Efek menerima tembusan laporan tersebut. Pasal 14 Dalam hal batas waktu penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 8 jatuh pada hari libur, laporan tersebut wajib disampaikan pada hari kerja berikutnya. BAB IV KETENTUAN SANKSI Pasal 15 (1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, termasuk pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut berupa: a. peringatan tertulis; - 8 - b. denda, yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu; c. pembatasan kegiatan usaha; d. pembekuan kegiatan usaha; e. pencabutan izin usaha; f. pembatalan persetujuan; dan g. pembatalan pendaftaran. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului pengenaan sanksi administratif berupa peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. (3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g. Pasal 16 Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 17 Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 kepada masyarakat. BAB V KETENTUAN PENUTUP Pasal 18 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor Kep-182/BL/2009 tanggal 30 Juni - 9 - 2009 tentang Laporan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, beserta Peraturan Nomor X.C.1 yang merupakan lampirannya, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 19 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 2 Desember 2016 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 7 Desember 2016 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 273 Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 44 /POJK.04/2016 TENTANG LAPORAN LEMBAGA PENYIMPANAN DAN PENYELESAIAN I. UMUM Bahwa sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya beralih dari Menteri Keuangan dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa Keuangan. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, perlu dilakukan penataan kembali struktur peraturan yang ada, khususnya yang terkait sektor Pasar Modal dengan cara melakukan konversi Peraturan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan terkait sektor Pasar Modal menjadi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Penataan dimaksud dilakukan agar terdapat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan terkait sektor Pasar Modal yang selaras dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan sektor lainnya. Berdasarkan latar belakang pemikiran dan aspek tersebut, perlu untuk mengganti Peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Laporan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yaitu Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor Kep-182/BL/2009 tanggal 30 Juni 2009 tentang Laporan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian beserta Peraturan Nomor X.C.1 yang merupakan lampirannya menjadi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Laporan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian. - 2 - II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. - 3 - Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5969 "," POJK 44/POJK.04/2016 LAPORAN LEMBAGA PENYIMPANAN DAN PENYELESAIAN 2 Desember 2016 7 Desember 2016 7 Desember 2016 'Kep-182/BL/2009|KEPTA-BAPEPAM-LK/2009', 'Kep-182/BL/2009|KEPTA-BAPEPAM-LK/2009 | lampiran Peraturan Nomor X.C.1' '21/UU/2011', '8/UU/1995' 'BAB IV' " " OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 16 /POJK.03/2017 TENTANG BANK PERANTARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mewujudkan stabilitas sistem keuangan diperlukan upaya pencegahan dan penanganan bank bermasalah; b. bahwa salah satu bentuk tindak lanjut atas penanganan permasalahan bank dapat dilakukan melalui pendirian bank perantara; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Bank Perantara. Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Repulik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang - 2 - Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867); 3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); 4. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5872); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG BANK PERANTARA. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah Bank sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, dan Bank Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 tentang Perbankan Syariah. - 3 - 2. Bank Umum Konvensional adalah bank umum yang menjalankan kegiatan usaha secara konvensional dalam kegiatan memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. 3. Bank Umum Syariah adalah bank umum yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah dalam kegiatan memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. 4. Bank Perantara adalah bank umum yang didirikan oleh Lembaga Penjamin Simpanan untuk digunakan sebagai sarana resolusi dengan menerima pengalihan sebagian atau seluruh aset dan/atau kewajiban bank yang ditangani Lembaga Penjamin Simpanan, selanjutnya menjalankan kegiatan usaha perbankan, dan akan dialihkan kepemilikannya kepada pihak lain. 5. Bank Asal adalah Bank yang sebagian atau seluruh aset dan/atau kewajibannya dialihkan kepada Bank Perantara. 6. Unit Usaha Syariah adalah unit kerja dari kantor pusat Bank Umum Konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor atau unit yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. 7. Lembaga Penjamin Simpanan yang selanjutnya disingkat LPS adalah Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan Menjadi Undang-Undang. 8. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat OJK adalah lembaga yang independen, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan - 4 - sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 2 Bank Perantara hanya dapat didirikan dan melakukan kegiatan usaha setelah mendapat izin dari OJK. Pasal 3 Bentuk badan hukum Bank Perantara adalah perseroan terbatas. Pasal 4 Menurut jenisnya, Bank Perantara terdiri atas: a. Bank Perantara yang melakukan kegiatan usaha sebagai Bank Umum Konvensional; b. Bank Perantara yang melakukan kegiatan usaha sebagai Bank Umum Syariah. BAB II PENDIRIAN BANK PERANTARA Pasal 5 (1) Bank Perantara hanya dapat didirikan dan dimiliki oleh LPS. (2) Dalam pendirian Bank Perantara oleh LPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak berlaku: a. ketentuan yang mewajibkan perseroan terbatas didirikan oleh 2 (dua) orang atau lebih sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai perseroan terbatas; dan b. batas maksimum kepemilikan saham sebagaimana diatur dalam ketentuan OJK mengenai kepemilikan saham bank umum. Pasal 6 Pemberian izin Bank Perantara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dilakukan melalui 2 (dua) tahap, yaitu: - 5 - a. persetujuan prinsip untuk melakukan persiapan pendirian Bank Perantara; dan b. izin usaha untuk melakukan kegiatan usaha Bank Perantara setelah persiapan pendirian Bank Perantara sebagaimana dimaksud dalam huruf a selesai dilakukan. Bagian Pertama Persetujuan Prinsip Pasal 7 Permohonan persetujuan prinsip pendirian Bank Perantara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a diajukan oleh LPS. Pasal 8 (1) Modal dasar untuk mendapatkan persetujuan prinsip paling sedikit sebesar modal dasar untuk pendirian perseroan terbatas. (2) Modal dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) seluruhnya harus ditempatkan dan disetor penuh. Pasal 9 Permohonan untuk mendapatkan persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a diajukan oleh LPS kepada OJK, disertai dengan dokumen: a. anggaran dasar yang paling sedikit memuat: 1. nama dan tempat kedudukan; 2. kegiatan usaha sebagai Bank; 3. permodalan; 4. kepemilikan; 5. wewenang, tanggung jawab, dan masa jabatan anggota direksi dan anggota dewan komisaris, serta anggota dewan pengawas syariah bagi Bank Perantara yang melakukan kegiatan usaha sebagai Bank Umum Syariah; dan - 6 - 6. persyaratan bahwa pengangkatan anggota direksi dan anggota dewan komisaris, serta anggota dewan pengawas syariah bagi Bank Perantara yang melakukan kegiatan usaha sebagai Bank Umum Syariah harus memperoleh persetujuan OJK terlebih dahulu; b. bukti setoran modal; dan c. struktur organisasi dan sumber daya manusia, pedoman manajemen risiko, tata kelola perusahaan yang baik, prosedur kerja, rencana sistem teknologi informasi yang akan digunakan, rencana bisnis, dan proyeksi neraca, laba rugi, serta laporan arus kas bulanan. Pasal 10 Persyaratan dokumen permohonan untuk mendapatkan persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf c dapat diganti dengan surat pernyataan dari LPS yang menyatakan bahwa persyaratan dokumen akan dipenuhi dengan menggunakan data dan/atau dokumen calon Bank Asal yang akan dialihkan sebagian atau seluruh aset dan/atau kewajiban pada saat pengajuan permohonan izin usaha Bank Perantara. Pasal 11 (1) Dalam rangka memberikan persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a, OJK melakukan penilaian atas kelengkapan dokumen. (2) Berdasarkan hasil penilaian atas kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK dapat meminta LPS untuk melengkapi dan/atau melakukan perbaikan dokumen permohonan untuk mendapatkan persetujuan prinsip. Pasal 12 Persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a diberikan oleh OJK paling lama 30 (tiga puluh) hari - 7 - kerja setelah dokumen permohonan untuk mendapatkan persetujuan prinsip diterima secara lengkap. Pasal 13 Persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 berlaku paling lama sampai dengan persetujuan izin usaha diberikan oleh OJK. Pasal 14 Bank Perantara hanya dapat melakukan kegiatan usaha setelah memperoleh izin usaha dari OJK. Bagian Kedua Izin Usaha Pasal 15 Pengajuan permohonan izin usaha pendirian Bank Perantara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b dilakukan dalam hal calon Bank Asal telah ditetapkan sebagai Bank dalam pengawasan khusus. Pasal 16 (1) Modal disetor untuk mendapatkan izin usaha pendirian Bank Perantara adalah sebesar permodalan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan mengenai kewajiban penyediaan modal minimum. (2) Jumlah modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) seluruhnya harus ditempatkan dan disetor penuh pada saat pengajuan permohonan izin usaha Bank Perantara. Pasal 17 Permohonan untuk mendapatkan izin usaha Bank Perantara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b diajukan oleh LPS kepada OJK, disertai dengan dokumen: - 8 - a. bukti pelunasan modal disetor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2); b. susunan direksi, dewan komisaris, dan dewan pengawas syariah bagi Bank Perantara yang melakukan kegiatan usaha sebagai Bank Umum Syariah; c. rencana tindak (action plan) paling sedikit meliputi cara dan jadwal pengalihan, pemenuhan dan pengelolaan sumber daya manusia, serta migrasi infrastruktur Bank Perantara; d. dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf c dalam hal dokumen belum dipenuhi pada saat permohonan untuk mendapatkan persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10; e. bukti kesiapan operasional; dan f. dokumen administratif yang diperlukan dalam rangka penilaian kemampuan dan kepatutan calon anggota direksi dan calon anggota dewan komisaris. Pasal 18 (1) Dalam rangka memberikan persetujuan atas permohonan izin usaha, OJK melakukan: a. penilaian atas kelengkapan dokumen; dan b. penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap calon anggota direksi dan calon anggota dewan komisaris, serta wawancara terhadap calon anggota dewan pengawas syariah bagi Bank Perantara yang melakukan kegiatan usaha sebagai Bank Umum Syariah. (2) Berdasarkan hasil penilaian atas kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK dapat meminta LPS untuk melengkapi dan/atau melakukan perbaikan dokumen, dan/atau mengajukan calon anggota direksi, calon anggota dewan komisaris dan/atau calon anggota dewan pengawas syariah bagi Bank Perantara - 9 - yang melakukan kegiatan usaha sebagai Bank Umum Syariah. Pasal 19 OJK memberikan persetujuan atas permohonan izin usaha Bank Perantara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 setelah terdapat keputusan yang menetapkan penyelamatan Bank Asal dilakukan melalui pendirian Bank Perantara. Pasal 20 (1) Bank Perantara yang telah mendapat izin usaha dari OJK harus melaksanakan kegiatan usaha perbankan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak izin usaha diberikan oleh OJK. (2) Pelaksanaan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilaporkan oleh direksi Bank Perantara kepada OJK paling lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah tanggal pelaksanaan kegiatan operasional. (3) Berdasarkan permintaan LPS, OJK dapat memberikan persetujuan untuk memperpanjang jangka waktu pelaksanaan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 21 Dalam kondisi tertentu, LPS dapat mengajukan permohonan persetujuan prinsip dan izin usaha Bank Perantara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 pada waktu yang sama. Pasal 22 Permohonan persetujuan prinsip dan izin usaha Bank Perantara pada waktu yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 disertai dengan kelengkapan dokumen - 10 - sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a dan huruf c, serta Pasal 17 huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, dan huruf f. Pasal 23 Pemberian persetujuan atas permohonan pendirian Bank Perantara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 diberikan oleh OJK berupa: a. persetujuan prinsip; dan b. izin usaha, yang diterbitkan secara bersamaan. Pasal 24 Dalam rangka memberikan persetujuan atas permohonan pendirian Bank Perantara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23, OJK melakukan langkah-langkah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Pasal 18, dan Pasal 19. BAB III KEGIATAN USAHA DAN JARINGAN KANTOR Pasal 25 Bank Perantara dapat menggunakan sebagian atau seluruh sarana dan prasarana Bank Asal. Bagian Pertama Pengalihan Aset dan/atau Kewajiban Pasal 26 (1) Bank Perantara menerima pengalihan aset dan/atau kewajiban dari 1 (satu) Bank Asal. (2) Dalam kondisi tertentu, 1 (satu) Bank Perantara dapat digunakan untuk menerima pengalihan aset dan/atau kewajiban lebih dari 1 (satu) Bank Asal. - 11 - Pasal 27 (1) Bank Perantara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a: a. menerima pengalihan aset dan/atau kewajiban dari 1 (satu) atau lebih Bank Asal berupa Bank yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional; dan/atau b. menerima pengalihan aset dan/atau kewajiban selain aset dan/atau kewajiban Unit Usaha Syariah pada 1 (satu) atau lebih Bank Asal yang melakukan kegiatan usaha sebagai Bank Umum Konvensional yang memiliki Unit Usaha Syariah. (2) Bank Perantara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b: a. menerima pengalihan aset dan/atau kewajiban dari 1 (satu) atau lebih Bank Asal berupa Bank yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah; dan/atau b. menerima pengalihan aset dan/atau kewajiban Unit Usaha Syariah pada 1 (satu) atau lebih Bank Asal yang melakukan kegiatan usaha sebagai Bank Umum Konvensional yang memiliki Unit Usaha Syariah. Pasal 28 Bank Perantara hanya dapat menerima pengalihan sebagian atau seluruh aset dan/atau kewajiban Bank Asal yang memiliki kriteria tertentu. Pasal 29 (1) Dalam hal terdapat sebagian atau seluruh aset dan/atau kewajiban Bank Asal lain yang akan dialihkan kepada Bank Perantara yang telah melakukan kegiatan usaha, Bank Perantara paling sedikit harus menyampaikan perubahan: a. rencana bisnis; - 12 - b. rencana tindak (action plan) paling sedikit meliputi cara dan jadwal pengalihan, pemenuhan dan pengelolaan sumber daya manusia, serta migrasi infrastruktur dari Bank Asal yang akan dialihkan kepada Bank Perantara; dan c. rencana kebutuhan modal, kepada OJK paling lama 5 (lima) hari sebelum peralihan dilakukan. (2) Dalam hal diperlukan peningkatan modal sebagai akibat penambahan pengalihan aset dari Bank Asal lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Perantara harus meningkatkan permodalan terlebih dahulu paling lambat pada saat pengalihan. Pasal 30 OJK dapat meminta LPS untuk mengganti anggota direksi, anggota dewan komisaris, dan/atau anggota dewan pengawas syariah Bank Perantara yang telah melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, dalam hal menurut OJK anggota direksi, anggota dewan komisaris, dan/atau anggota dewan pengawas syariah Bank Perantara dimaksud dinilai tidak lagi memenuhi persyaratan kompetensi akibat penambahan pengalihan sebagian atau seluruh aset dan kewajiban. Bagian Kedua Operasional Bank Perantara Pasal 31 (1) Bank Perantara dapat menjalankan produk dan kegiatan usaha yang dilakukan oleh Bank Asal. (2) Perizinan untuk menjalankan produk dan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dimiliki oleh Bank Asal demi hukum beralih kepada Bank Perantara sejak akta pengalihan sebagian atau seluruh aset dan/atau kewajiban ditandatangani. - 13 - Pasal 32 Bank Perantara wajib memenuhi seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan bagi Bank Umum Konvensional dan/atau Bank Umum Syariah kecuali diatur lain dalam Peraturan OJK ini. Pasal 33 (1) Bank Perantara wajib memenuhi persyaratan modal inti sesuai dengan kegiatan usaha yang dilakukan oleh Bank Perantara paling lama 1 (satu) tahun sejak Bank Perantara memulai kegiatan usaha. (2) Dalam hal Bank Perantara tidak dapat memenuhi persyaratan modal inti sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Perantara wajib menyesuaikan kegiatan usaha Bank sesuai dengan modal inti yang dimiliki, paling lama 1 (satu) tahun sejak berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Bagian Ketiga Jaringan Kantor Pasal 34 (1) Bank Perantara dapat melakukan pembukaan jaringan kantor baru untuk mendukung operasional Bank Perantara. (2) Pembukaan jaringan kantor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus didukung oleh ketersediaan alokasi modal inti. (3) Dalam menghitung ketersediaan alokasi modal inti sebagaimana dimaksud pada ayat (2), jaringan kantor yang berasal dari Bank Asal tidak termasuk dalam perhitungan ketersediaan alokasi modal inti. - 14 - BAB IV PENGAKHIRAN BANK PERANTARA Pasal 35 Bank Perantara sudah tidak lagi menjadi Bank Perantara dalam hal LPS: a. menjual saham Bank Perantara kepada pihak lain; atau b. setelah mengalihkan seluruh aset dan/atau kewajiban Bank Perantara kepada Bank atau pihak lain. Pasal 36 (1) Dalam hal LPS melakukan penjualan saham Bank Perantara kepada pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf a: a. penjualan saham wajib memenuhi persyaratan jumlah pemegang saham sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang- undangan; b. pihak yang membeli saham Bank Perantara yang telah dijual dapat memiliki saham Bank melebihi batas maksimum sebagaimana pemegang saham yang memiliki Bank dalam penanganan atau penyelamatan oleh LPS sebagaimana diatur dalam ketentuan OJK mengenai kepemilikan saham bank umum; dan c. dalam hal pada saat beralihnya sebagian atau seluruh kepemilikan Bank Perantara dari LPS kepada pemegang saham baru masih terdapat kewajiban keuangan yang harus dipenuhi, kewajiban keuangan harus dipenuhi oleh pemegang saham baru pada saat kepemilikan Bank Perantara beralih. (2) Pihak yang membeli saham Bank Perantara yang melebihi batas maksimum kepemilikan saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b hanya dapat memiliki saham Bank melebihi batas maksimum kepemilikan saham - 15 - kepemilikan saham paling lama 20 (dua puluh) tahun sejak pembelian saham Bank Perantara dari LPS. Pasal 37 Dalam hal LPS mengalihkan seluruh aset dan/atau kewajiban Bank Perantara kepada Bank atau pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf b, pengalihan seluruh aset dan/atau kewajiban dapat dilakukan secara sekaligus atau secara bertahap. Pasal 38 (1) LPS mengajukan permohonan pencabutan izin usaha Bank Perantara kepada OJK paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak pengalihan seluruh aset dan/atau kewajiban kepada Bank atau pihak lain selesai dilakukan. (2) Tata cara pencabutan izin usaha Bank Perantara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pencabutan izin usaha atas permintaan pemegang saham bank umum. Pasal 39 LPS membubarkan badan hukum Bank Perantara setelah dilakukan pencabutan izin usaha oleh OJK. BAB V KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 40 (1) LPS mengajukan permohonan pencabutan izin usaha Bank Asal kepada OJK paling lama 5 (lima) hari kerja sejak pengalihan aset dan/atau kewajiban selesai dilakukan. (2) LPS melakukan proses likuidasi dan pembubaran badan hukum Bank Asal setelah dilakukan pencabutan izin usaha oleh OJK. - 16 - (3) Berdasarkan permintaan LPS, OJK dapat memberikan persetujuan untuk memperpanjang jangka waktu permohonan pencabutan izin usaha Bank Asal sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 41 (1) Bank Perantara dikecualikan dari status pengawasan sebagai bank dalam pengawasan intensif atau bank dalam pengawasan khusus. (2) Bank Perantara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap berkewajiban pengawasan yang diperintahkan oleh OJK. BAB VI SANKSI Pasal 42 Bank Perantara yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32, Pasal 33, dan Pasal 36 ayat (1) huruf a dikenakan sanksi administratif berupa: a. teguran tertulis; b. larangan melakukan ekspansi kegiatan usaha; c. larangan pembukaan jaringan kantor; d. pembekuan kegiatan usaha tertentu; dan/atau e. pencantuman anggota direksi, anggota dewan komisaris, dan/atau pejabat eksekutif dalam daftar pihak yang mendapat predikat Tidak Lulus dalam uji kemampuan dan kepatutan sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai uji kemampuan dan kepatutan (fit and proper test). melaksanakan tindakan - 17 - BAB VII KETENTUAN PENUTUP Pasal 43 Peraturan OJK ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan OJK ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 4 April 2017 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 7 April 2017 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 66 Salinan ini sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana - 2 - PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 16 /POJK.03/2017 TENTANG BANK PERANTARA I. UMUM Krisis keuangan tahun 1997-1998 memberikan pembelajaran bagi pihak terkait dalam menangani stabilitas sistem keuangan. Upaya perbaikan dilakukan untuk mengantisipasi gagalnya sistem keuangan khususnya pada perbankan. Semangat dari penerbitan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan adalah penanganan permasalahan Bank dengan menggunakan sumber daya Bank itu sendiri dan pendekatan bisnis tanpa menggunakan anggaran negara. Bank yang tidak mampu menyelesaikan permasalahan yang dihadapi maka akan diambil alih oleh Lembaga Penjamin Simpanan untuk dilakukan penanganan. Salah satu pilihan penyelesaian penanganan Bank bermasalah adalah melalui pembentukan Bank Perantara. Pembentukan Bank Perantara merupakan sarana untuk memisahkan aset dan kewajiban Bank bermasalah yang dinilai mempunyai kualitas yang baik dengan aset dan kewajiban yang dinilai buruk. Dengan pemisahan tersebut, Bank Perantara akan menerima pengalihan aset dan kewajiban yang mempunyai kualitas baik dan selanjutnya Bank Perantara menjalankan kegiatan usaha perbankan dan akan dialihkan kepemilikannya kepada pihak lain. - 2 - II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Ayat (1) Jumlah modal dasar untuk pendirian perseroan terbatas mengacu pada Undang-Undang mengenai perseroan terbatas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 9 Huruf a Angka 1 Cukup jelas. Angka 2 Cukup jelas. - 3 - Angka 3 Cukup jelas. Angka 4 Cukup jelas. Angka 5 Wewenang, tanggung jawab, dan masa jabatan anggota dewan pengawas syariah disampaikan dalam hal Bank Perantara berupa Bank Perantara yang melakukan kegiatan usaha sebagai Bank Umum Syariah. Angka 6 Persyaratan dan tata cara pengangkatan calon anggota direksi dan calon anggota dewan komisaris mengacu pada ketentuan OJK yang mengatur mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan. Persyaratan bahwa anggota dewan pengawas syariah harus memperoleh persetujuan OJK terlebih dahulu, dipenuhi dalam hal Bank Perantara yang melakukan kegiatan usaha sebagai Bank Umum Syariah. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. - 4 - Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Yang dimaksud dengan “Bank dalam pengawasan khusus” adalah status pengawasan bank sebagaimana diatur dalam Peraturan OJK mengenai penetapan status dan tindak lanjut pengawasan bank umum. Pasal 16 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “sebesar permodalan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai kewajiban penyediaan modal minimum” adalah pemenuhan kewajiban penyediaan modal minimum sesuai dengan profil risiko. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 17 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Susunan dewan pengawas syariah disampaikan dalam hal Bank Perantara yang melakukan kegiatan usaha sebagai Bank Umum Syariah. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Dokumen harus disampaikan pada saat pengajuan izin usaha karena dokumen dimaksud telah digantikan dengan surat pernyataan dari LPS dalam pengajuan persetujuan prinsip. Huruf e Bukti kesiapan operasional antara lain: 1) daftar aktiva tetap dan inventaris; dan 2) formulir atau warkat yang akan digunakan untuk operasional Bank Perantara. - 5 - Huruf f Cukup jelas. Pasal 18 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap calon anggota direksi dan calon anggota dewan komisaris dilakukan dengan mengacu pada ketentuan OJK yang mengatur mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas Pasal 21 Yang dimaksud dengan “kondisi tertentu” adalah kondisi krisis sistem keuangan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai pencegahan dan penanganan krisis sistem keuangan. Pasal 22 Pemenuhan persyaratan pelunasan modal disetor untuk memperoleh izin usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf a termasuk pula pemenuhan persyaratan bukti setoran modal dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1). Pasal 23 Cukup jelas. - 6 - Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Yang dimaksud dengan “sarana dan prasarana Bank Asal” antara lain jaringan kantor, sumber daya manusia, sistem teknologi informasi, dan/atau prosedur kerja. Pasal 26 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “kondisi tertentu” adalah kondisi yang berdasarkan pertimbangan LPS, 1 (satu) Bank Perantara dapat digunakan untuk menerima pengalihan aset dan/atau kewajiban lebih dari 1 (satu) Bank Asal. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Kriteria aset dan kewajiban tertentu yang dapat dialihkan mengacu pada Undang-Undang mengenai pencegahan dan penanganan krisis sistem keuangan. Pasal 29 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Rencana kebutuhan modal diperlukan dalam rangka peningkatan permodalan Bank untuk menyerap peningkatan risiko dari aset yang diterima dari Bank Asal lain. - 7 - Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 Cukup jelas. Pasal 32 Cukup jelas. Pasal 33 Ayat (1) Ketentuan kegiatan usaha sesuai dengan modal inti mengacu pada ketentuan OJK yang mengatur mengenai kegiatan usaha dan jaringan kantor berdasarkan modal inti. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Cukup jelas. Pasal 36 Ayat (1) Huruf a Ketentuan peraturan perundang-undangan antara lain Undang-Undang mengenai perbankan, Undang-Undang mengenai perseroan terbatas, Undang-Undang mengenai perbankan syariah, dan ketentuan peraturan perundang- undangan mengenai bank umum. Huruf b Cukup jelas. - 8 - Huruf c Kewajiban keuangan antara lain mengenai kewajiban tambahan modal sebagai penyangga (buffer) dalam bentuk capital conservation buffer, countercyclical buffer, dan/atau capital surcharge bagi bank sistemik. Huruf d Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 37 Cukup jelas. Pasal 38 Cukup jelas. Pasal 39 Cukup jelas. Pasal 40 Cukup jelas. Pasal 41 Cukup jelas. Pasal 42 Cukup jelas. Pasal 43 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6040 "," POJK 16/POJK.03/2017 BANK PERANTARA 4 April 2017 7 April 2017 7 April 2017 '21/UU/2008', '21/UU/2011', '9/UU/2016', '7/UU/1992', '10/UU/1998' 'BAB VI' " " - 1 - OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 28 /POJK.04/2017 TENTANG PEMELIHARAAN DOKUMEN OLEH WALI AMANAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, sejak tanggal 31 Desember 2012 fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor pasar modal termasuk pengaturan mengenai pemeliharaan dokumen oleh wali amanat beralih dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa Keuangan; b. bahwa untuk memberikan kejelasan dan kepastian mengenai pengaturan terhadap pemeliharaan dokumen oleh wali amanat, ketentuan peraturan perundang- undangan di sektor pasar modal mengenai pemeliharaan dokumen oleh wali amanat yang diterbitkan sebelum terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan perlu diubah ke dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Pemeliharaan Dokumen oleh Wali Amanat; - 2 - Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PEMELIHARAAN DOKUMEN OLEH WALI AMANAT. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Wali Amanat adalah pihak yang mewakili kepentingan pemegang efek yang bersifat utang. 2. Emiten adalah pihak yang melakukan Penawaran Umum. 3. Efek adalah surat berharga, yaitu surat pengakuan utang, surat berharga komersial, saham, obligasi, tanda bukti utang, unit penyertaan kontrak investasi kolektif, kontrak berjangka atas Efek, dan setiap derivatif dari Efek. 4. Sukuk adalah Efek syariah berupa sertifikat atau bukti kepemilikan yang bernilai sama dan mewakili bagian yang tidak terpisahkan atau tidak terbagi (syuyu’/undivided share), atas aset yang mendasarinya. 5. Kontrak Perwaliamanatan adalah perjanjian antara Emiten dan Wali Amanat dalam rangka penerbitan Efek bersifat utang dan/atau Sukuk yang dibuat dalam bentuk akta notariil. - 3 - BAB II PEMELIHARAAN DOKUMEN Pasal 2 Setiap Wali Amanat wajib mengadministrasikan, menyimpan, dan memelihara catatan, pembukuan, data, dan keterangan tertulis yang berhubungan dengan Emiten yang menggunakan jasa Wali Amanat. Pasal 3 (1) Dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 wajib disimpan di tempat yang aman dan terpisah dari kegiatan bank lainnya dan wajib tersedia setiap saat untuk kepentingan pemeriksaan Otoritas Jasa Keuangan. (2) Dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 wajib disimpan paling singkat untuk jangka waktu 5 (lima) tahun sejak seluruh kewajiban Emiten terhadap pemegang Efek bersifat utang dan/atau Sukuk telah dipenuhi. BAB III KETENTUAN SANKSI Pasal 4 (1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang pasar modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, termasuk pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut, berupa: a. peringatan tertulis; b. denda, yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu; c. pembatasan kegiatan usaha; d. pembekuan kegiatan usaha; e. pencabutan izin usaha; - 4 - f. pembatalan persetujuan; dan/atau g. pembatalan pendaftaran. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului pengenaan sanksi administratif berupa peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. (3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g. Pasal 5 Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 6 Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 kepada masyarakat. BAB IV KETENTUAN PENUTUP Pasal 7 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor Kep-78/PM/1996 tentang Pemeliharaan Dokumen oleh Wali Amanat, beserta Peraturan Nomor X.I.2 yang merupakan lampirannya, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. - 5 - Pasal 8 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 21 Juni 2017 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 22 Juni 2017 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 128 Salinan ini sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 28 /POJK.04/2017 TENTANG PEMELIHARAAN DOKUMEN OLEH WALI AMANAT I. UMUM Bahwa sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya beralih dari Menteri Keuangan dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa Keuangan. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, perlu dilakukan penataan kembali struktur peraturan yang ada, khususnya yang terkait sektor pasar modal dengan cara melakukan konversi Peraturan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan terkait sektor pasar modal menjadi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Penataan dimaksud dilakukan agar terdapat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan terkait sektor pasar modal yang selaras dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan sektor lainnya. Berdasarkan latar belakang pemikiran dan aspek tersebut, perlu mengganti ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor pasar modal yang mengatur mengenai pemeliharaan dokumen oleh Wali Amanat yaitu Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor Kep- 78/PM/1996 tentang Pemeliharaan Dokumen oleh Wali Amanat, beserta Peraturan Nomor X.I.2 yang merupakan lampirannya, menjadi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Pemeliharaan Dokumen oleh Wali Amanat. - 2 - II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Catatan, pembukuan, data, dan keterangan tertulis yang wajib diadministrasikan, disimpan, dan dipelihara antara lain: a. Kontrak Perwaliamanatan; b. kontrak yang berkaitan dengan pemberian jaminan dan bukti pemilikan atau penguasaan atas harta yang dijaminkan; c. catatan, risalah, dan/atau laporan mengenai jumlah dan jenis Efek bersifat utang dan/atau Sukuk yang masih beredar dan yang telah dilunasi; d. catatan, risalah, dan/atau laporan mengenai pelaksanaan pengawasan terhadap Emiten termasuk tindakan yang dilakukan oleh Wali Amanat karena tidak dipenuhinya persyaratan Kontrak Perwaliamanatan, antara lain tidak dibayarnya pokok dan bunga, atau adanya pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal yang dilakukan oleh Emiten; e. f. catatan, risalah, dan/atau laporan mengenai rapat umum pemegang Efek bersifat utang dan/atau Sukuk; catatan, risalah, dan/atau laporan mengenai jumlah dan jenis Efek bersifat utang dan/atau Sukuk yang dapat dikonversikan menjadi saham; g. daftar Emiten yang menggunakan jasa Wali Amanat; dan h. buku pedoman operasional Wali Amanat. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. - 3 - Pasal 5 Yang dimaksud dengan “tindakan tertentu” antara lain berupa perintah untuk menyalin atau melakukan dokumentasi ulang atas dokumen yang rusak. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6075 "," POJK 8/POJK.04/2017 BENTUK DAN ISI PROSPEKTUS DAN PROSPEKTUS RINGKAS DALAM RANGKA PENAWARAN UMUM EFEK BERSIFAT EKUITAS 14 Maret 2017 14 Maret 2017 14 Maret 2017 'Kep-51/PM/1996|KEPTA-BAPEPAM/1996', 'SE-05/BL/2006|SE-BAPEPAM/2006', 'Kep-43/PM/2000|KEPTA-BAPEPAM/2000', 'Kep-51/PM/1996|KEPTA-BAPEPAM/1996 | Lampiran Peraturan Nomor IX.C.3' '21/UU/2011', ' 8/UU/1995' 'BAB VII' " " OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 56 /POJK.03/2016 TENTANG KEPEMILIKAN SAHAM BANK UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka menghadapi dinamika perkembangan perekonomian regional dan global, industri perbankan nasional perlu meningkatkan ketahanan; b. bahwa peningkatan ketahanan perbankan dilakukan melalui peningkatan penerapan prinsip kehati-hatian dan tata kelola; c. bahwa untuk meningkatkan pelaksanaan prinsip kehati-hatian dan tata kelola, diperlukan penataan struktur kepemilikan saham bank; d. bahwa penataan struktur kepemilikan saham bank dilakukan melalui penerapan batas maksimum kepemilikan saham sehingga dapat mengurangi dominasi kepemilikan yang dapat berdampak negatif terhadap operasional bank; e. bahwa penerapan batas maksimum kepemilikan saham juga akan berdampak positif untuk mendorong konsolidasi perbankan dalam rangka memperkuat ketahanan industri perbankan nasional; - 2 - f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf e, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Kepemilikan Saham Bank Umum; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867); 3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG KEPEMILIKAN SAHAM BANK UMUM. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1998 dan bank umum - 3 - syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, tidak termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri. 2. Tata Kelola adalah tata kelola sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang mengatur mengenai penerapan tata kelola bagi bank umum, bank umum syariah, dan unit usaha syariah. 3. Tingkat Kesehatan Bank adalah tingkat kesehatan bank sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang mengatur mengenai penilaian tingkat kesehatan bank umum, bank umum syariah, dan unit usaha syariah. 4. Modal adalah modal disetor Bank. BAB II BATAS MAKSIMUM KEPEMILIKAN SAHAM Pasal 2 (1) Dalam rangka penataan struktur kepemilikan, Otoritas Jasa Keuangan menetapkan batas maksimum kepemilikan saham pada Bank berdasarkan: a. kategori pemegang saham; dan b. keterkaitan antar pemegang saham. (2) Batas maksimum kepemilikan saham pada Bank bagi setiap kategori pemegang saham ditetapkan: a. 40% (empat puluh persen) dari Modal Bank, untuk kategori pemegang saham berupa badan hukum lembaga keuangan bank dan lembaga keuangan bukan bank; b. 30% (tiga puluh persen) dari Modal Bank, untuk kategori pemegang saham berupa badan hukum bukan lembaga keuangan; dan c. 20% (dua puluh persen) dari Modal Bank, untuk kategori pemegang saham perorangan. - 4 - (3) Batas maksimum kepemilikan saham sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c pada bank umum syariah adalah sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari Modal Bank. (4) Lembaga keuangan bukan bank sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a adalah lembaga keuangan bukan bank yang memenuhi kriteria: a. dalam pendiriannya sesuai peraturan perundang- undangan dimungkinkan melakukan kegiatan penyertaan dalam jangka panjang; dan b. diawasi dan diatur oleh otoritas lembaga keuangan. (5) Lembaga keuangan bukan bank yang tidak memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (4), diperlakukan sebagai badan hukum bukan lembaga keuangan yang hanya dapat memiliki saham dengan batas maksimum kepemilikan saham pada Bank sebesar 30% (tiga puluh persen) dari Modal Bank. Pasal 3 Batas maksimum kepemilikan saham tidak berlaku bagi: a. Pemerintah Pusat; dan b. lembaga yang memiliki fungsi melakukan penanganan dan/atau penyelamatan Bank. Pasal 4 (1) Keterkaitan antar pemegang saham Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b didasarkan pada: a. adanya hubungan kepemilikan; b. adanya hubungan keluarga sampai dengan derajat kedua; dan/atau c. adanya kerjasama atau tindakan yang sejalan untuk mencapai tujuan bersama dalam mengendalikan Bank (acting in concert) dengan atau tanpa perjanjian tertulis sehingga secara bersama-sama mempunyai hak opsi atau hak - 5 - lainnya untuk memiliki saham Bank. (2) Pemegang saham yang memiliki keterkaitan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebagai 1 (satu) pihak. (3) Batas maksimum kepemilikan saham bagi pemegang saham yang ditetapkan sebagai 1 (satu) pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah: a. jumlah keseluruhan kepemilikan saham dalam 1 (satu) pihak sebesar batas kepemilikan yang tertinggi dari kategori pemegang saham dalam satu pihak; dan b. komposisi kepemilikan masing-masing pemegang saham dalam 1 (satu) pihak paling tinggi sebesar batas maksimum kepemilikan sesuai kategori pemegang saham. Pasal 5 (1) Pemegang saham Bank yang memenuhi kriteria sebagai pemegang saham pengendali selain tunduk pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, juga tunduk pada ketentuan yang mengatur mengenai pemegang saham pengendali. (2) Calon pemegang saham pengendali yang merupakan warga negara asing dan/atau badan hukum yang berkedudukan di luar negeri, di samping tunduk pada ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus memenuhi persyaratan: a. memiliki komitmen untuk mendukung pengembangan perekonomian Indonesia melalui Bank yang dimiliki; b. memperoleh rekomendasi dari otoritas pengawasan dari negara asal bagi badan hukum lembaga keuangan; dan c. memiliki peringkat paling rendah: 1. 1 (satu) tingkat (notch) di atas peringkat investasi terendah bagi badan hukum lembaga keuangan bank; - 6 - 2. 2 (dua) tingkat (notch) di atas peringkat investasi terendah bagi badan hukum lembaga keuangan bukan bank; atau 3. 3 (tiga) tingkat (notch) di atas peringkat investasi terendah bagi badan hukum bukan lembaga keuangan. Pasal 6 (1) Badan hukum lembaga keuangan bank dapat memiliki saham Bank lebih dari 40% (empat puluh persen) dari Modal Bank sepanjang memperoleh persetujuan Otoritas Jasa Keuangan. (2) Badan hukum lembaga keuangan bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan: a. memperoleh penilaian Tingkat Kesehatan Bank dengan Peringkat Komposit 1 atau Peringkat Komposit 2 atau peringkat Tingkat Kesehatan Bank yang setara bagi lembaga keuangan bank yang berkedudukan di luar negeri; b. memenuhi ketentuan Kewajiban Penyediaan Modal Minimum sesuai profil risiko; c. memiliki modal inti (tier 1) paling sedikit sebesar 6% (enam persen); d. mendapatkan rekomendasi dari otoritas pengawasan lembaga keuangan bank, bagi lembaga keuangan bank yang berkedudukan di luar negeri; e. merupakan lembaga keuangan bank yang telah berbentuk perseroan terbuka (go public); f. berkomitmen untuk memenuhi kewajiban membeli surat utang bersifat ekuitas yang diterbitkan oleh Bank yang akan dimiliki; g. berkomitmen untuk memiliki Bank paling kurang dalam jangka waktu tertentu; dan h. berkomitmen untuk mendukung pengembangan perekonomian Indonesia melalui Bank yang dimiliki. - 7 - Pasal 7 Bank yang dapat dimiliki oleh badan hukum lembaga keuangan bank dengan jumlah lebih dari 40% (empat puluh persen) dari Modal Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 paling sedikit memenuhi kriteria: a. harus melakukan go public untuk mencapai kepemilikan publik paling sedikit sebesar 20% (dua puluh persen) dari Modal Bank, yang dilakukan paling lambat 5 (lima) tahun sejak badan hukum lembaga keuangan bank memiliki saham sesuai persetujuan Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1); dan b. harus memiliki persetujuan untuk menerbitkan surat utang yang bersifat ekuitas. Pasal 8 (1) Badan hukum lembaga keuangan bank yang akan menjadi pemegang saham Bank dan telah memperoleh persetujuan Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dapat melakukan pembelian saham Bank dengan tahapan: a. melakukan pembelian saham sampai dengan batas maksimum kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4; dan b. dapat meningkatkan saham Bank sesuai dengan batas kepemilikan yang telah disetujui Otoritas Jasa Keuangan dalam hal Bank yang dimiliki memperoleh penilaian Tingkat Kesehatan Bank dan penilaian Tata Kelola peringkat 1 (satu) atau 2 (dua) selama 3 (tiga) periode penilaian berturut- berturut dalam periode 5 (lima) tahun, terhitung sejak persetujuan Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1). (2) Selama Bank yang dimiliki tidak dapat memperoleh penilaian Tingkat Kesehatan Bank dan penilaian Tata Kelola sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, badan hukum lembaga keuangan bank hanya dapat memiliki saham sampai dengan batas - 8 - maksimum sebesar 40% (empat puluh persen) dari Modal Bank. Pasal 9 Tahapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 tidak berlaku bagi badan hukum lembaga keuangan bank yang telah memiliki saham Bank sebelum tanggal 13 Juli 2012 dan telah memperoleh persetujuan Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1). BAB III KEWAJIBAN PENERAPAN BATAS MAKSIMUM KEPEMILIKAN SAHAM Pasal 10 (1) Pemegang saham yang memiliki saham Bank lebih dari batas maksimum kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4, wajib menyesuaikan dengan batas maksimum kepemilikan saham apabila: a. Bank mengalami penurunan penilaian Tingkat Kesehatan Bank dan/atau penilaian Tata Kelola menjadi Peringkat 3, Peringkat 4 atau Peringkat 5 selama 3 (tiga) periode penilaian berturut- berturut; atau b. pemegang saham atas inisiatif sendiri melakukan penjualan saham yang dimiliki. (2) Pemegang saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyesuaikan dengan batas maksimum kepemilikan saham dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun setelah periode penilaian terakhir atau penjualan saham yang dimiliki. Pasal 11 (1) Pemegang saham yang akan memiliki: a. Bank dalam penanganan atau penyelamatan oleh Lembaga Penjamin Simpanan; b. Bank dalam pengawasan khusus; atau - 9 - c. Bank dalam pengawasan intensif, dapat memiliki saham Bank lebih dari batas maksimum kepemilikan saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4 dalam jangka waktu tertentu. (2) Pemegang saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyesuaikan dengan batas maksimum kepemilikan saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4 dengan jangka waktu: a. paling lama 20 (dua puluh) tahun sejak membeli: 1. Bank dalam penanganan atau penyelamatan oleh Lembaga Penjamin Simpanan; atau 2. Bank dalam pengawasan khusus; atau b. paling lama 15 (lima belas) tahun sejak membeli Bank dalam pengawasan intensif. Pasal 12 (1) Pemegang saham pada Bank yang melakukan penggabungan atau peleburan dapat memiliki saham Bank hasil penggabungan atau peleburan lebih dari batas maksimum kepemilikan saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4 dalam jangka waktu tertentu. (2) Bagi pemegang saham pada Bank hasil penggabungan atau peleburan yang berasal dari Bank yang memperoleh penilaian Tingkat Kesehatan Bank dan penilaian Tata Kelola dengan Peringkat 1 atau Peringkat 2 wajib menyesuaikan dengan batas maksimum kepemilikan saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4 paling lama 10 (sepuluh) tahun sejak: a. penurunan peringkat Tingkat Kesehatan Bank dan/atau penilaian Tata Kelola Bank hasil penggabungan atau peleburan menjadi Peringkat 3, Peringkat 4 atau Peringkat 5 selama 3 (tiga) periode berturut-turut; atau b. penjualan saham atas inisiatif sendiri, - 10 - yang terjadi dalam periode paling lama 10 (sepuluh) tahun setelah penggabungan atau peleburan. (3) Bagi pemegang saham pada Bank hasil penggabungan atau peleburan yang berasal dari Bank yang memperoleh penilaian Tingkat Kesehatan Bank dan/atau penilaian Tata Kelola dengan Peringkat 3, Peringkat 4 atau Peringkat 5 wajib menyesuaikan dengan batas maksimum kepemilikan saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4 paling lama 20 (dua puluh) tahun sejak penggabungan atau peleburan. Pasal 13 Bagi pemegang saham pada bank umum syariah hasil pemisahan (spin off) unit usaha syariah, diatur sebagai berikut: a. dapat memiliki saham lebih dari batas maksimum kepemilikan saham; dan b. wajib menyesuaikan kepemilikan saham dengan batas maksimum kepemilikan saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4 paling lama akhir Desember 2028. Pasal 14 Bagi Pemerintah Daerah yang telah memiliki saham bank pembangunan daerah dapat menyesuaikan dengan batas maksimum kepemilikan saham. Pasal 15 Dalam hal bank pembangunan daerah memperoleh penilaian Tingkat Kesehatan Bank dan/atau penilaian Tata Kelola dengan Peringkat 3, Peringkat 4 atau Peringkat 5 dan memerlukan tambahan modal maka: a. penambahan modal diutamakan berasal dari investor yang tidak terkait dengan Pemerintah Daerah; dan b. Pemerintah Daerah dapat tetap mempertahankan kepemilikan Pemerintah Daerah sebagai pemegang saham mayoritas. - 11 - Pasal 16 (1) Bank yang dimiliki oleh pemegang saham yang wajib menyesuaikan dengan batas maksimum kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, wajib menyusun rencana tindak dalam rangka menyesuaikan dengan batas maksimum kepemilikan saham. (2) Rencana tindak dalam rangka menyesuaikan dengan batas maksimum kepemilikan saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mendapatkan persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dan disampaikan paling lambat 4 (empat) bulan sejak timbulnya kewajiban menyesuaikan dengan batas maksimum kepemilikan saham untuk memperoleh persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan. (3) Rencana tindak dalam rangka menyesuaikan dengan batas maksimum kepemilikan saham sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit memuat cara penyesuaian batas maksimum kepemilikan saham, tahapan pelaksanaan, dan jangka waktu. (4) Bank wajib menyampaikan laporan pelaksanaan rencana tindak dalam rangka menyesuaikan dengan batas maksimum kepemilikan saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja sejak realisasi rencana tindak atau sesuai dengan tahapan rencana tindak. (5) Penyampaian rencana tindak dan laporan pelaksanaan rencana tindak dalam rangka menyesuaikan dengan batas maksimum kepemilikan saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (4) ditujukan kepada: a. Departemen Pengawasan Bank terkait, Departemen Perbankan Syariah atau Kantor Regional Otoritas Jasa Keuangan di Jakarta, bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta; atau - 12 - b. Kantor Regional Otoritas Jasa Keuangan atau Kantor Otoritas Jasa Keuangan setempat, bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta. BAB IV KONSEKUENSI KEWAJIBAN PEMENUHAN BATAS MAKSIMUM KEPEMILIKAN Pasal 17 (1) Pemegang saham yang tidak memenuhi kewajiban penyesuaian dengan batas maksimum kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1), Pasal 10 ayat (2), Pasal 11 ayat (2), Pasal 12 ayat (2), Pasal 12 ayat (3), dan/atau Pasal 13 huruf b, dikenakan pembatasan berupa: a. hak yang bersangkutan dalam perhitungan kuorum dan pengambilan keputusan dalam RUPS hanya diperhitungkan paling tinggi sebesar batas maksimum kepemilikan saham Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4; dan b. pembayaran dividen untuk kelebihan saham yang dimiliki ditunda sampai dengan yang bersangkutan melakukan penyesuaian dengan batas maksimum kepemilikan saham. (2) Selain pembatasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terhadap pemegang saham yang tidak memenuhi kewajiban penyesuaian batas maksimum kepemilikan saham dapat dilakukan penilaian kembali kemampuan dan kepatutan. (3) Pembatasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menghilangkan kewajiban pemegang saham untuk melakukan penyesuaian kepemilikan dengan batas maksimum kepemilikan saham. - 13 - Pasal 18 Bank yang dimiliki oleh pemegang saham yang tidak memenuhi kewajiban penyesuaian batas maksimum kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1), Pasal 10 ayat (2), Pasal 11 ayat (2), Pasal 12 ayat (2), Pasal 12 ayat (3), dan/atau Pasal 13 huruf b: a. wajib mencatat hak yang bersangkutan selaku pemegang saham paling tinggi sebesar batas maksimum kepemilikan saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4; b. wajib memastikan penggunaan hak suara bagi yang bersangkutan dan perhitungan kuorum dalam RUPS paling tinggi sebesar batas maksimum kepemilikan saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4; c. wajib menunda pembayaran dividen bagi kelebihan saham yang dimiliki pemegang saham yang bersangkutan sampai dengan yang bersangkutan melakukan penyesuaian dengan batas maksimum kepemilikan saham; dan d. dilarang memberikan atau memperpanjang jangka waktu fasilitas penyediaan dana kepada pemegang saham yang bersangkutan, termasuk kepada pihak terkait dengan pemegang saham. BAB V KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 19 Otoritas Jasa Keuangan berdasarkan pertimbangan tertentu dapat memberikan persetujuan kepada pemegang saham untuk memiliki saham Bank melebihi batas maksimum kepemilikan saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4 untuk jangka waktu tertentu. - 14 - Pasal 20 Otoritas Jasa Keuangan dapat memerintahkan pemegang saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 agar Bank yang dimiliki melakukan penggabungan atau peleburan. BAB VI SANKSI Pasal 21 (1) Bank yang melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1), Pasal 16 ayat (2), Pasal 16 ayat (4), dan/atau Pasal 18 dikenakan sanksi administratif berupa: a. teguran tertulis; b. larangan pembukaan jaringan kantor baru; dan/atau c. pembekuan kegiatan usaha tertentu. (2) Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan penilaian kembali kemampuan dan kepatutan terhadap anggota direksi dan/atau anggota dewan komisaris pada Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1). BAB VII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 22 (1) Pemegang saham yang telah mempunyai kewajiban untuk melakukan penyesuaian dengan batas maksimum kepemilikan saham pada Bank yang berdasarkan hasil penilaian Tingkat Kesehatan Bank dan/atau penilaian Tata Kelola memperoleh Peringkat 3, Peringkat 4 atau Peringkat 5 pada posisi penilaian akhir bulan Desember 2013, tetap harus melakukan penyesuaian kepemilikan saham dengan batas maksimum kepemilikan saham dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4 paling lambat pada tanggal 1 Januari 2019. sebagaimana - 15 - (2) Pemegang saham yang telah mempunyai kewajiban untuk melakukan penyesuaian dengan batas maksimum kepemilikan saham pada Bank yang berdasarkan penilaian Tingkat Kesehatan Bank dan/atau penilaian Tata Kelola memperoleh Peringkat 1 atau Peringkat 2 pada posisi penilaian akhir bulan Desember 2013, namun sejak tanggal 1 Januari 2014 sampai dengan sebelum berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini: a. Bank mengalami penurunan penilaian Tingkat Kesehatan Bank dan/atau penilaian Tata Kelola menjadi Peringkat 3, Peringkat 4 atau Peringkat 5 selama 3 (tiga) periode penilaian berturut-turut; atau b. pemegang saham atas inisiatif sendiri melakukan penjualan saham yang dimiliki, tetap harus melakukan penyesuaian kepemilikan saham dengan batas maksimum kepemilikan saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4 paling lama 5 (lima) tahun setelah periode penilaian terakhir atau penjualan saham yang dimiliki. (3) Bank yang dimiliki oleh pemegang saham yang wajib melakukan penyesuaian dengan batas maksimum kepemilikan saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), harus menyusun dan menyampaikan rencana tindak dan laporan pelaksanaan rencana tindak dalam rangka menyesuaikan dengan batas maksimum kepemilikan saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16. (4) Pemegang saham yang tidak memenuhi kewajiban penyesuaian dengan batas maksimum kepemilikan saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dikenakan konsekuensi kewajiban pemenuhan batas maksimum kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17. (5) Bank yang dimiliki oleh pemegang saham yang tidak memenuhi kewajiban penyesuaian dengan batas - 16 - maksimum kepemilikan saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus melakukan tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18. BAB VIII KETENTUAN PENUTUP Pasal 23 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/8/PBI/2012 tanggal 13 Juli 2012 tentang Kepemilikan Saham Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5327) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 24 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. - 17 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 7 Desember 2016 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 9 Desember 2016 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 287 Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 56 /POJK.03/2016 TENTANG KEPEMILIKAN SAHAM BANK UMUM I. UMUM Krisis keuangan global yang dipicu oleh kegagalan penerapan Tata Kelola pada Bank menyebabkan Basel Committee on Banking Supervision (BCBS) menerbitkan pedoman bertajuk Principles for Enhancing Corporate Governance, yang mewajibkan otoritas pengawas mengambil langkah-langkah guna memastikan bahwa struktur kepemilikan tidak menjadi penghalang terwujudnya Tata Kelola yang baik. Seiring dengan rencana integrasi sektor keuangan Association of South-East Asian Nations (ASEAN) pada tahun 2020 yang memungkinkan bank-bank dengan kualifikasi tertentu (Qualified ASEAN Banks) bebas beroperasi di kawasan ASEAN, perbankan nasional perlu meningkatkan ketahanan, daya saing, dan efisiensi. Di samping itu, dengan memperhatikan dan mempelajari beberapa kasus Bank bermasalah di Indonesia pasca krisis keuangan tahun 1997, diindikasikan bahwa dominasi kepemilikan oleh 1 (satu) pihak pada Bank berkaitan erat dan berhubungan negatif dengan penerapan Tata Kelola di perbankan. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Otoritas Jasa Keuangan memandang perlu untuk mengatur struktur kepemilikan Bank dengan menetapkan batas maksimum kepemilikan saham guna meningkatkan ketahanan perbankan melalui penerapan prinsip kehati–hatian dan kualitas penerapan Tata Kelola pada Bank sehingga diharapkan - 2 - dapat mendorong konsolidasi perbankan yang pada akhirnya dapat memperkuat ketahanan perbankan nasional. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan “badan hukum” adalah badan hukum Indonesia atau badan hukum asing. Huruf b Yang dimaksud dengan “badan hukum” adalah badan hukum Indonesia atau badan hukum asing. Huruf c Yang dimaksud dengan “perorangan” adalah orang perseorangan baik warga negara Indonesia atau warga negara asing. Ayat (3) Penetapan batas maksimum kepemilikan saham pada ayat ini sesuai dengan Undang-Undang mengenai Perbankan Syariah. Yang dimaksud dengan “perorangan” adalah orang perseorangan baik warga negara Indonesia atau warga negara asing. Ayat (4) Contoh lembaga keuangan bukan bank yang memenuhi kriteria ayat ini antara lain perusahaan pembiayaan, perusahaan asuransi, dan dana pensiun. Ayat (5) Contoh lembaga keuangan bukan bank antara lain special purpose vehicle, pengelola dana keuangan (fund management), dan hedge fund. - 3 - Pasal 3 Huruf a Pemerintah Pusat yaitu Pemerintah Republik Indonesia. Kepemilikan saham Pemerintah Pusat pada Bank dapat berupa kepemilikan secara langsung maupun tidak langsung melalui badan hukum yang dikendalikan langsung oleh Pemerintah Pusat. Kepemilikan Pemerintah Pusat pada Bank yang dapat melebihi batas maksimum kepemilikan saham dimaksudkan untuk mendukung pencapaian tujuan meningkatkan kesejahteraan umum. Huruf b Lembaga yang memiliki fungsi melakukan penanganan dan/atau penyelamatan Bank antara lain Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Lembaga Penjamin Simpanan. Pasal 4 Ayat (1) Huruf a Hubungan kepemilikan terjadi dalam hal antara pemegang saham: 1. perorangan dengan badan hukum; atau 2. badan hukum dengan badan hukum, mempunyai keterkaitan kepemilikan pada badan hukum tersebut dengan jumlah kepemilikan paling kurang memenuhi batas sebagai pemegang saham pengendali. Penelusuran hubungan kepemilikan dilakukan sampai dengan ultimate shareholder. Contoh: Sdr. A memiliki saham Bank X sebesar 10% dari Modal Bank X. PT B berupa badan hukum bukan lembaga keuangan memiliki saham Bank X sebesar 25% dari Modal Bank X. Sdr. A memiliki PT B sebesar 30% dari modal PT B maka antara Sdr. A dan PT B terdapat keterkaitan karena hubungan kepemilikan. - 4 - Huruf b Yang dimaksud dengan “memiliki hubungan keluarga sampai dengan derajat kedua” adalah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang mengatur mengenai batas maksimum pemberian kredit. Huruf c Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) PT A berupa badan hukum lembaga keuangan memiliki saham Bank X sebesar 60% dari Modal Bank X. PT B berupa badan hukum bukan lembaga keuangan memiliki saham Bank X sebesar 20% dari Modal Bank X. PT A dan PT B memiliki pemegang saham pengendali yang sama yaitu Sdr. Z maka PT A dan PT B merupakan 1 (satu) pihak. Sesuai dengan kategori pemegang saham, batas maksimum kepemilikan saham PT A adalah 40% dari Modal Bank X dan PT B adalah 30% dari Modal Bank X. Dengan demikian batas maksimum kepemilikan saham PT A dan PT B pada Bank X secara bersama-sama sebagai 1 (satu) pihak adalah sebesar 40% dari Modal Bank X, dengan batasan kepemilikan saham PT B paling tinggi sebesar 30%. Contoh kemungkinan komposisi antara lain sebagai berikut: a. jika PT A memiliki saham 40% dari Modal Bank X, maka kepemilikan saham PT B pada Bank X adalah 0%; b. c. jika PT A memiliki saham 30% dari Modal Bank X, maka kepemilikan saham PT B pada Bank X adalah 10%; atau jika PT A memiliki saham 10% dari Modal Bank X, maka kepemilikan saham PT B pada Bank X adalah 30%. Pasal 5 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “ketentuan yang mengatur mengenai pemegang saham pengendali” adalah ketentuan yang mengatur mengenai bank umum, bank umum syariah, serta - 5 - penilaian kemampuan dan kepatutan bagi pihak utama lembaga jasa keuangan. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Rekomendasi dimaksud paling sedikit memuat keterangan mengenai reputasi yang baik dan tidak pernah melakukan perbuatan tercela di bidang perbankan. Huruf c Peringkat yang digunakan adalah hasil penilaian lembaga pemeringkat yang diakui oleh Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 6 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “Kewajiban Penyediaan Modal Minimum” adalah kewajiban penyediaan modal minimum sebagaimana diatur dalam ketentuan Otoritas Jasa Keuangan mengenai kewajiban penyediaan modal minimum bagi Bank atau ketentuan serupa yang diatur oleh otoritas pengawasan lembaga keuangan bank di tempat kedudukan bank tersebut. Huruf c Yang dimaksud dengan “modal inti” adalah modal inti sebagaimana diatur dalam ketentuan Otoritas Jasa Keuangan mengenai kewajiban penyediaan modal minimum bagi Bank atau ketentuan serupa yang diatur oleh otoritas pengawasan lembaga keuangan bank di tempat kedudukan bank tersebut. - 6 - Huruf d Rekomendasi dari otoritas pengawasan lembaga keuangan bank paling sedikit memuat keterangan mengenai reputasi yang baik dan tidak pernah melakukan perbuatan tercela di bidang perbankan. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Yang dimaksud dengan “surat utang yang bersifat ekuitas” adalah surat utang yang dapat dikonversi menjadi saham atau yang mengandung hak opsi untuk memperoleh saham. Huruf g Penetapan jangka waktu tertentu untuk memiliki Bank ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan. Huruf h Yang dimaksud dengan “pengembangan perekonomian” adalah pengembangan perekonomian pada sektor yang menjadi prioritas Pemerintah Republik Indonesia dan menunjang pertumbuhan ekonomi Indonesia. Pasal 7 Huruf a Go public dapat dilakukan melalui penawaran umum atau tanpa penawaran umum. Huruf b Yang dimaksud dengan “surat utang yang bersifat ekuitas” adalah surat utang yang dapat dikonversi menjadi saham atau yang mengandung hak opsi untuk memperoleh saham. Persetujuan untuk menerbitkan surat utang yang bersifat ekuitas dilakukan setelah badan hukum lembaga keuangan bank merealisasikan pembelian saham lebih dari 40% (empat puluh persen) sesuai persetujuan Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 8 Cukup jelas. - 7 - Pasal 9 Tanggal 13 Juli 2012 merupakan tanggal pertama kali diberlakukannya ketentuan yang mengatur mengenai batas maksimum kepemilikan saham. Pasal 10 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan “3 (tiga) periode penilaian berturut-turut” adalah periode penilaian Tingkat Kesehatan Bank dan/atau penilaian Tata Kelola termasuk periode penilaian Tingkat Kesehatan Bank dan/atau penilaian Tata Kelola sebelum berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Contoh: Bank A memperoleh penilaian Tingkat Kesehatan Bank dan/atau penilaian Tata Kelola pada 2 (dua) periode penilaian sebelum berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini masing-masing Peringkat 3 atau Peringkat 4 untuk masing-masing periode. Dengan demikian apabila Bank A memperoleh penilaian Tingkat Kesehatan Bank dan/atau penilaian Tata Kelola untuk 1 (satu) periode penilaian masing-masing Peringkat 3 atau Peringkat 4 setelah Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini berlaku maka pemegang saham yang mempunyai saham melebihi batas maksimum kepemilikan saham pada Bank A dimaksud wajib melakukan penyesuaian sesuai dengan batas maksimum kepemilikan saham. Huruf b Kewajiban melakukan penyesuaian dengan batas maksimum kepemilikan saham hanya untuk pemegang saham yang melakukan penjualan saham. Ayat (2) Cukup jelas. - 8 - Pasal 11 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “Bank dalam pengawasan khusus” adalah Bank dalam pengawasan khusus sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang mengatur mengenai penetapan status dan tindak lanjut pengawasan bank. Huruf c Yang dimaksud dengan “Bank dalam pengawasan intensif” adalah Bank dalam pengawasan intensif sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang mengatur mengenai penetapan status dan tindak lanjut pengawasan bank. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 12 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Apabila kondisi pada huruf a atau huruf b terjadi dalam periode lebih dari 10 (sepuluh) tahun setelah penggabungan atau peleburan, maka pemegang saham Bank dimaksud menyesuaikan batas maksimum kepemilikan saham dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun setelah periode penilaian terakhir atau penjualan saham yang dimiliki sebagaimana diatur dalam Pasal 10. Huruf a Contoh 1: Bank A (Tingkat Kesehatan Bank Peringkat 1 dan Tata Kelola Peringkat 2), melakukan penggabungan dengan Bank B (Tingkat Kesehatan Bank Peringkat 1 dan Tata Kelola Peringkat 1), menjadi Bank A pada bulan Oktober 2016. - 9 - Selanjutnya Bank A (hasil penggabungan) mengalami penurunan Tingkat Kesehatan Bank dan/atau Tata Kelola pada posisi penilaian bulan Desember 2024, bulan Juni 2025, dan bulan Desember 2025 menjadi Peringkat 3, Peringkat 4 atau Peringkat 5. Dengan demikian pemegang saham Bank A yang memiliki saham di atas batas maksimum kepemilikan saham wajib menyesuaikan dengan batas maksimum kepemilikan saham paling lama pada bulan Desember 2035. Contoh 2: Bank A (Tingkat Kesehatan Bank Peringkat 1 dan Tata Kelola Peringkat 2) melakukan penggabungan dengan Bank B (Tingkat Kesehatan Bank Peringkat 1 dan Tata Kelola Peringkat 1) menjadi Bank A pada bulan Oktober 2016. Selanjutnya Bank A (hasil penggabungan) mengalami penurunan Tingkat Kesehatan Bank dan/atau Tata Kelola pada posisi penilaian bulan Desember 2026, bulan Juni 2027, dan bulan Desember 2027 menjadi Peringkat 3, Peringkat 4 atau Peringkat 5. Mengingat penurunan Tingkat Kesehatan Bank dan/atau Tata Kelola terjadi setelah melewati 10 (sepuluh) tahun sejak penggabungan maka tidak ada perpanjangan waktu. Dengan demikian, pemegang saham Bank A yang memiliki saham di atas batas maksimum kepemilikan saham wajib menyesuaikan dengan batas maksimum kepemilikan saham dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun yaitu paling lama pada bulan Desember 2032. Huruf b Kewajiban melakukan penyesuaian dengan batas maksimum kepemilikan saham hanya untuk pemegang saham yang melakukan penjualan saham. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “Bank yang memperoleh penilaian Tingkat Kesehatan Bank dan/atau penilaian Tata Kelola - 10 - dengan Peringkat 3, Peringkat 4 atau Peringkat 5” adalah salah satu Bank atau beberapa Bank atau semua Bank yang melakukan penggabungan atau peleburan. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Pemerintah Daerah yaitu Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten atau Pemerintah Kota di wilayah Negara Republik Indonesia. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Posisi timbulnya kewajiban menyesuaikan dengan batas maksimum kepemilikan saham Bank terhitung sejak posisi penilaian Tingkat Kesehatan Bank dan/atau penilaian Tata Kelola terakhir. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Huruf a Yang dimaksud dengan “hak selaku pemegang saham” adalah hak untuk menghadiri dan mengeluarkan suara dalam RUPS - 11 - atau hak untuk menerima dividen yang dibagikan. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Yang dimaksud dengan “penyediaan dana” adalah penyediaan dana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang mengatur mengenai penilaian kualitas aset bank umum. Yang dimaksud dengan “pihak terkait” adalah pihak terkait sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang mengatur mengenai batas maksimum pemberian kredit. Pasal 19 Pertimbangan tertentu antara lain untuk mendukung stabilitas sistem keuangan dan/atau mendorong perkembangan perekonomian nasional. Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Termasuk pengertian pembekuan kegiatan usaha tertentu yaitu larangan penambahan produk dan/atau aktivitas baru. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 22 Cukup jelas. - 12 - Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5981 "," POJK 56/POJK.03/2016 KEPEMILIKAN SAHAM BANK UMUM 7 Desember 2016 9 Desember 2016 9 Desember 2016 '14/8/PBI/2012' '21/UU/2008', '21/UU/2011', '7/UU/1992', '10/UU/1998' 'BAB VI' " " OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 35 /POJK.04/2014 TENTANG SEKRETARIS PERUSAHAAN EMITEN ATAU PERUSAHAAN PUBLIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mendorong kinerja Emiten atau Perusahaan Publik, melindungi kepentingan pemangku kepentingan dan meningkatkan kepatuhan terhadap peraturan perundang- undangan, diperlukan penerapan tata kelola perusahaan yang baik; b. bahwa dalam rangka meningkatkan keterbukaan, layanan, dan komunikasi kepada para pemangku kepentingan sebagai penerapan prinsip tata kelola perusahaan yang baik oleh Emiten atau Perusahaan Publik, kualifikasi dan peran sekretaris perusahaan perlu ditingkatkan melalui penyempurnaan peraturan mengenai sekretaris perusahaan Emiten atau Perusahaan Publik; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Sekretaris Perusahaan Emiten atau Perusahaan Publik; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar... -2- Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG SEKRETARIS PERUSAHAAN EMITEN ATAU PERUSAHAAN PUBLIK. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Sekretaris Perusahaan adalah orang perseorangan atau penanggung jawab dari unit kerja yang menjalankan fungsi sekretaris perusahaan. 2. Situs Web adalah kumpulan halaman web yang memuat informasi atau data yang dapat diakses melalui suatu sistem jaringan internet. Pasal 2 (1) Emiten atau Perusahaan Publik wajib memiliki fungsi sekretaris perusahaan. (2) Fungsi sekretaris perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh: a. b. orang perseorangan; atau unit kerja. (3) Unit... -3- (3) Unit kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dipimpin oleh seorang penanggung jawab. Pasal 3 (1) Sekretaris Perusahaan diangkat dan diberhentikan berdasarkan keputusan Direksi. (2) Sekretaris Perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dirangkap oleh seorang anggota Direksi. (3) Sekretaris Perusahaan dilarang merangkap jabatan apapun di Emiten atau Perusahaan Publik lain. Pasal 4 (1) Dalam hal terjadi kekosongan Sekretaris Perusahaan, Emiten atau Perusahaan Publik wajib menunjuk penggantinya dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari sejak terjadinya kekosongan Sekretaris Perusahaan. (2) Selama terjadi kekosongan Sekretaris Perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Sekretaris Perusahaan dirangkap oleh seorang anggota Direksi atau orang perseorangan yang ditunjuk sebagai Sekretaris Perusahaan sementara tanpa memperhatikan persyaratan Sekretaris Perusahaan sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. BAB II TUGAS DAN TANGGUNG JAWAB Pasal 5 Fungsi sekretaris perusahaan melaksanakan tugas paling kurang: a. mengikuti perkembangan Pasar Modal khususnya peraturan... -4- peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang Pasar Modal; b. memberikan masukan kepada Direksi dan Dewan Komisaris Emiten atau Perusahaan Publik untuk mematuhi ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang Pasar Modal; c. membantu Direksi dan Dewan Komisaris dalam pelaksanaan tata kelola perusahaan yang meliputi: 1. keterbukaan informasi kepada masyarakat, termasuk ketersediaan informasi pada Situs Web Emiten atau Perusahaan Publik; 2. penyampaian laporan kepada Otoritas Jasa Keuangan tepat waktu; 3. 4. penyelenggaraan dan dokumentasi Rapat Umum Pemegang Saham; penyelenggaraan dan dokumentasi rapat Direksi dan/atau Dewan Komisaris; dan 5. pelaksanaan program orientasi terhadap perusahaan bagi Direksi dan/atau Dewan Komisaris. d. sebagai penghubung antara Emiten atau Perusahaan Publik dengan pemegang saham Emiten atau Perusahaan Publik, Otoritas Jasa Keuangan, dan pemangku kepentingan lainnya. Pasal 6 (1) Sekretaris Perusahaan dan pegawai dalam unit kerja yang menjalankan fungsi sekretaris perusahaan wajib menjaga kerahasiaan dokumen, data dan informasi yang bersifat rahasia kecuali dalam rangka memenuhi kewajiban sesuai dengan peraturan perundang-undangan atau ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan. (2) Sekretaris... -5- (2) Sekretaris Perusahaan dan pegawai dalam unit kerja yang menjalankan fungsi sekretaris perusahaan dilarang mengambil keuntungan pribadi baik secara langsung maupun tidak langsung, yang merugikan Emiten atau Perusahaan Publik. Pasal 7 Dalam rangka meningkatkan pengetahuan dan pemahaman untuk membantu pelaksanaan tugasnya, Sekretaris Perusahaan harus mengikuti pendidikan dan/atau pelatihan. Pasal 8 (1) Sekretaris Perusahaan bertanggung jawab kepada Direksi. (2) Setiap informasi yang disampaikan oleh sekretaris perusahaan kepada masyarakat merupakan informasi resmi dari Emiten atau Perusahaan Publik. BAB III PERSYARATAN SEKRETARIS PERUSAHAAN Pasal 9 (1) Sekretaris Perusahaan harus memenuhi persyaratan paling kurang: a. cakap melakukan perbuatan hukum; b. memiliki pengetahuan dan pemahaman di bidang hukum, keuangan, dan tata kelola perusahaan; c. memahami kegiatan usaha Emiten atau Perusahaan Publik; d. dapat berkomunikasi dengan baik; dan e. berdomisili di Indonesia. (2) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib… -6- wajib dipenuhi Sekretaris Perusahaan selama menjabat. BAB IV PELAPORAN DAN PENGUNGKAPAN Pasal 10 (1) Emiten atau Perusahaan Publik wajib: a. menyampaikan laporan kepada Otoritas Jasa Keuangan mengenai pengangkatan dan pemberhentian Sekretaris Perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1); b. memuat dalam Situs Web Emiten atau Perusahaan Publik mengenai pengangkatan dan pemberhentian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan kekosongan Sekretaris Perusahaan dimaksud dalam Pasal 4, dengan disertai informasi pendukung. (2) Pelaporan kepada Otoritas Jasa Keuangan dan pemuatan informasi dalam Situs Web sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam waktu paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah terjadinya pengangkatan pemberhentian. Pasal 11 (1) Sekretaris Perusahaan wajib membuat laporan secara berkala paling kurang 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun mengenai pelaksanaan fungsi sekretaris perusahaan kepada Direksi dan ditembuskan kepada Dewan Komisaris. (2) Emiten atau Perusahaan Publik wajib mengungkapkan uraian singkat pelaksanaan fungsi sekretaris perusahaan dan informasi mengenai... dan sebagaimana -7- mengenai pendidikan dan/atau pelatihan yang diikuti dimaksud dalam Pasal 7 dalam laporan tahunan Emiten atau Perusahaan Publik. BAB V KETENTUAN SANKSI Pasal 12 (1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, termasuk pihak-pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut, berupa: a. peringatan tertulis; b. denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu; c. pembatasan kegiatan usaha; d. pembekuan kegiatan usaha; e. pencabutan izin usaha; f. g. pembatalan persetujuan; dan pembatalan pendaftaran. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului pengenaan sanksi administratif berupa peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. (3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan sanksi Sekretaris Perusahaan sebagaimana administratif sebagaimana... -8- sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g. Pasal 13 Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 14 Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 kepada masyarakat. BAB VI KETENTUAN PERALIHAN Pasal 15 Emiten atau Perusahaan Publik wajib menyesuaikan dengan ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini paling lambat 6 (enam) bulan sejak diundangkannya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. BAB VII KETENTUAN PENUTUP Pasal 16 Ketentuan peraturan perundang-undangan lain terkait sekretaris perusahaan tetap berlaku bagi Emiten atau Perusahaan Publik sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 17 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor: KEP-63/PM/1996 tanggal 17 Januari 1996... -9- 1996 tentang Pembentukan Sekretaris Perusahaan beserta Peraturan Nomor IX.I.4 yang merupakan lampirannya dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 18 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 8 Desember 2014 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Ttd. MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 8 Desember 2014 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, Ttd. YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 377 Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum, Ttd. Tini Kustini "," POJK 35/POJK.04/2014 SEKRETARIS PERUSAHAAN EMITEN ATAU PERUSAHAAN PUBLIK 8 Desember 2014 8 Desember 2014 8 Desember 2014 'KEP-63/PM/1996|KEPTA-BAPEPAM/1996', 'KEP-63/PM/1996|KEPTA-BAPEPAM/1996 | Lampiran Peraturan Nomor IX.I.4' '8/UU/1995', '21/UU/2011' 'BAB V' " " - 1 - OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 25 /POJK.03/2015 TENTANG PENYAMPAIAN INFORMASI NASABAH ASING TERKAIT PERPAJAKAN KEPADA NEGARA MITRA ATAU YURISDIKSI MITRA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka menjaga stabilitas sistem keuangan, pemerintah Indonesia bersama-sama dengan instansi terkait perlu melakukan koordinasi secara regional maupun global; b. bahwa Otoritas Jasa Keuangan sesuai dengan tugas dan kewenangannya merupakan salah satu instansi yang perlu mendukung koordinasi dalam rangka mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil serta mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat; c. bahwa salah satu bentuk koordinasi sebagaimana dimaksud pada huruf a adalah tukar menukar informasi keuangan dengan negara atau yurisdiksi lain dalam rangka mendukung program pencegahan penghindaran pajak; d. bahwa dalam rangka tukar menukar informasi untuk pencegahan penghindaran pajak, dilakukan perjanjian antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah negara atau yurisdiksi lain; - 2 - e. bahwa salah satu perjanjian sebagaimana dimaksud dalam huruf d adalah perjanjian pertukaran informasi secara otomatis yang menimbulkan konsekuensi bagi lembaga jasa keuangan tertentu untuk menyampaikan informasi keuangan nasabah asing tertentu kepada negara mitra atau yurisdiksi mitra melalui otoritas pajak Indonesia secara berkala; f. bahwa penyampaian informasi keuangan sebagaimana dimaksud dalam huruf e harus mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan; g. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf f, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Penyampaian Informasi Nasabah Asing Terkait Perpajakan kepada Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608); 3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867); 4. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); - 3 - 5. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5618); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PENYAMPAIAN INFORMASI NASABAH ASING TERKAIT PERPAJAKAN KEPADA NEGARA MITRA ATAU YURISDIKSI MITRA. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Lembaga Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat LJK, adalah LJK sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, yang memenuhi kriteria dalam perjanjian pertukaran informasi secara otomatis antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah negara mitra atau yurisdiksi mitra. 2. Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra adalah negara atau yurisdiksi yang terikat dengan negara Indonesia dalam konvensi tentang bantuan administratif bersama di bidang perpajakan, persetujuan antar pemerintah (Intergovernmental Agreement/IGA) di bidang perpajakan, atau perjanjian bilateral maupun multilateral lainnya di bidang perpajakan. - 4 - 3. Pertukaran Informasi secara Otomatis adalah pertukaran informasi berkenaan dengan keperluan perpajakan antara Pemerintah Indonesia dengan pemerintah Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra yang dilakukan secara berkala pada waktu tertentu, sistematis, dan berkesinambungan yang jenis dan tata cara pertukaran informasinya diatur berdasarkan perjanjian antara negara Indonesia dengan Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra. 4. Perusahaan Asing adalah: a. badan hukum yang didirikan atau berkedudukan di Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra; b. kantor cabang atau kantor perwakilan dari badan hukum yang didirikan, atau berkedudukan di Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra; c. badan hukum yang didirikan atau berkedudukan di Indonesia atau di luar Indonesia yang bukan Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra, yang dimiliki oleh wajib pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra berupa perorangan atau badan hukum paling sedikit sebesar persentase tertentu yang tercantum dalam perjanjian Pertukaran Informasi secara Otomatis; atau d. kantor cabang atau kantor perwakilan dari badan hukum yang didirikan atau berkedudukan di Indonesia atau di luar Indonesia yang bukan Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra, yang dimiliki oleh wajib pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra berupa perorangan atau badan hukum paling sedikit sebesar persentase tertentu yang tercantum dalam perjanjian Pertukaran Informasi secara Otomatis. - 5 - 5. Nasabah Asing adalah: a. bagi Bank Umum adalah nasabah perorangan atau Perusahaan Asing yang memenuhi kriteria tertentu sebagaimana diatur dalam perjanjian Pertukaran Informasi secara Otomatis, yang memiliki rekening dan/atau menggunakan jasa di Bank Umum atau Bank Umum yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah; b. bagi Perusahaan Efek dan Bank Kustodian adalah nasabah perorangan atau Perusahaan Asing yang memenuhi kriteria tertentu sebagaimana diatur dalam perjanjian Pertukaran Informasi secara Otomatis, yang memiliki rekening efek pada dan/atau menggunakan jasa Perusahaan Efek dan/ atau Bank Kustodian secara langsung (direct customer); c. bagi Perusahaan Asuransi Jiwa dan Perusahaan Asuransi Jiwa Syariah adalah pemegang polis atau peserta berupa perorangan atau Perusahaan Asing yang memenuhi kriteria tertentu sebagaimana diatur dalam perjanjian Pertukaran Informasi secara Otomatis; dan/atau d. bagi LJK selain angka 5 huruf a, huruf b, dan huruf c, adalah nasabah yang memenuhi kriteria sesuai perjanjian terkait perpajakan antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra yang akan diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan, yang merupakan wajib pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra. - 6 - BAB II PELAPORAN Pasal 2 (1) Dalam rangka penerapan perjanjian Pertukaran Informasi secara Otomatis, LJK wajib menyampaikan laporan kepada otoritas pajak Indonesia berupa informasi Nasabah Asing terkait perpajakan untuk diteruskan kepada otoritas pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra. (2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan laporan mengenai informasi Nasabah Asing yang memiliki saldo rekening atau nilai rekening paling sedikit sesuai dengan perjanjian Pertukaran Informasi secara Otomatis. (3) Informasi Nasabah Asing sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit meliputi: a. b. Informasi nasabah; dan Informasi keuangan nasabah. Pasal 3 Dalam rangka penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), LJK wajib: a. melakukan identifikasi terhadap: 1. nasabah; atau 2. calon nasabah, untuk memastikan bahwa nasabah atau calon nasabah dimaksud memenuhi kriteria Nasabah Asing atau calon Nasabah Asing; b. meminta informasi dan/atau dokumen yang diperlukan dalam rangka verifikasi bahwa nasabah atau calon nasabah memenuhi kriteria Nasabah Asing atau calon Nasabah Asing; - 7 - c. meminta Nasabah Asing dan/atau calon Nasabah Asing untuk menyampaikan pernyataan persetujuan, instruksi atau pemberian kuasa secara tertulis dan sukarela kepada LJK untuk memberikan informasi Nasabah Asing dan/atau calon Nasabah Asing kepada otoritas pajak Indonesia untuk diteruskan kepada otoritas pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra; dan d. melakukan penyaringan Nasabah Asing yang memiliki saldo rekening atau nilai paling sedikit sesuai dengan yang ditetapkan dalam perjanjian Pertukaran Informasi secara Otomatis. Pasal 4 Dalam hal calon Nasabah Asing tidak bersedia menyampaikan pernyataan persetujuan, instruksi, pemberian kuasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c, LJK wajib: a. menjelaskan ketentuan terkait Pertukaran Informasi secara Otomatis; dan b. menolak melakukan hubungan usaha dengan calon Nasabah Asing tersebut. Pasal 5 (1) Dalam hal Nasabah Asing tidak bersedia menyampaikan pernyataan persetujuan, instruksi, pemberian kuasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c, LJK wajib: a. menjelaskan konsekuensi bagi Nasabah Asing apabila tidak bersedia memberikan informasi sesuai Perjanjian Pertukaran Informasi secara Otomatis; b. meminta Nasabah Asing menyampaikan pernyataan keberatan secara tertulis, dan c. tidak melayani transaksi baru terkait rekening Nasabah Asing tersebut. (2) Penghentian layanan transaksi baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dikecualikan bagi transaksi: - 8 - a. untuk pemenuhan kewajiban yang telah diperjanjikan sebelumnya antara Nasabah Asing dengan LJK; b. untuk penutupan rekening; c. untuk pemenuhan kewajiban berdasarkan peraturan perundang-undangan. Pasal 6 Penyampaian laporan informasi Nasabah Asing oleh LJK kepada otoritas pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dapat dilakukan: a. melalui Otoritas Jasa Keuangan; atau b. langsung kepada otoritas pajak. Pasal 7 (1) Penyampaian laporan informasi Nasabah Asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a, disampaikan paling lambat 60 hari sebelum batas waktu pelaporan kepada otoritas pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra berdasarkan perjanjian Pertukaran Informasi secara Otomatis. (2) Dalam hal batas waktu pelaporan informasi Nasabah Asing jatuh pada hari libur, maka pelaporan dilakukan pada hari kerja setelahnya. Pasal 8 Dalam rangka penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a, LJK wajib menyampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan nama pejabat yang bertanggung jawab (responsible officer) atas pelaporan informasi Nasabah Asing. - 9 - Pasal 9 (1) LJK dapat mendelegasikan pelaksanaan pelaporan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 kepada LJK lain yang menjadi selling agent dan/atau kustodian. (2) Pendelegasian pelaksanaan pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan kesepakatan tertulis. (3) Pendelegasian pelaksanaan pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak meniadakan tanggung jawab LJK yang mendelegasikan pelaksanaan pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3. BAB III SANKSI Pasal 10 LJK yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan/atau Pasal 8 dikenakan sanksi administratif berupa teguran atau peringatan tertulis. BAB IV PENUTUP Pasal 11 Ketentuan lebih lanjut dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini diatur dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan. - 10 - Pasal 12 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 4 Desember 2015 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 11 Desember 2015 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 291 Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Sudarmaji - 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 25 /POJK.03/2015 TENTANG PENYAMPAIAN INFORMASI NASABAH ASING TERKAIT PERPAJAKAN KEPADA NEGARA MITRA ATAU YURISDIKSI MITRA I. UMUM Dalam rangka menjaga stabilitas sistem keuangan dilakukan koordinasi dengan negara lain baik secara regional maupun global. Salah satu koordinasi tersebut dimaksudkan untuk mendukung upaya pencegahan penghindaran pajak (tax avoidance), pengelakan pajak (tax evasion), dan untuk meningkatkan kepatuhan warga negara Indonesia yang berdomisili di negara lain terhadap pemenuhan ketentuan pajak Indonesia, dan sebaliknya. Bentuk koordinasi yang dilakukan untuk mendukung upaya pencegahan penghindaran pajak tersebut adalah berupa kegiatan tukar menukar informasi keuangan wajib pajak dengan negara lain. Kegiatan dimaksud diawali dengan perjanjian antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra yaitu pemerintah dari negara yang telah berkomitmen untuk mencegah penghindaran pajak oleh wajib pajak baik melalui perjanjian bilateral maupun multilateral. Komitmen pemerintah Indonesia terhadap upaya penghindaran dan pengelakan pajak telah disahkan dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 159 Tahun 2014 tanggal 17 Oktober 2014 tentang Pengesahan Convention on Mutual Administrative Assistance in Tax Matters (Konvensi tentang Bantuan Administratif Bersama di Bidang perpajakan). - 2 - Perjanjian negara untuk mendukung penghindaran pajak mewajibkan masing-masing otoritas pajak negara dimaksud melakukan penyampaian informasi atas wajib pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra yang berada di negaranya. Salah satu pihak yang berperan penting dalam penyampaian informasi tersebut adalah Lembaga Jasa Keuangan (LJK) yang menjadi tempat penyimpanan atau investasi dan pelayanan jasa keuangan nasabah yang merupakan wajib pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra. Pertukaran informasi antara pemerintah Indonesia dengan otoritas pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra yang dilakukan oleh pejabat berwenang atau competent authority di Indonesia dilaksanakan berdasarkan komitmen pemerintah Indonesia antara lain pada: Konvensi Bantuan Administratif Bersama di Bidang Perpajakan, Persetujuan antar Pemerintah (Intergovernmental Agreement/IGA) di Bidang Perpajakan, atau Perjanjian Bilateral maupun Multilateral lainnya di Bidang Perpajakan. Pertukaran informasi tersebut meliputi 3 (tiga) jenis yaitu Pertukaran informasi yang dilakukan berdasarkan permintaan, secara spontan, dan secara otomatis. Persamaan dari ketiga jenis Pertukaran Informasi tersebut adalah adanya perjanjian negara yang mendasari, sedangkan perbedaannya yaitu pada: 1. pertukaran informasi berdasarkan permintaan, terdapat permintaan atas wajib pajak tertentu terlebih dahulu, 2. pertukaran secara spontan, salah satu negara mempunyai inisiatif untuk melaporkan wajib pajak tertentu, 3. pertukaran informasi secara otomatis, penyampaian informasi keuangan wajib pajak yang tidak berdasarkan permintaan ataupun insiatif, melainkan berdasarkan pemenuhan kriteria wajib pajak dalam perjanjian antar negara yang dilakukan melalui sistem yang telah disepakati, disampaikan secara berkala dan berkesinambungan. Lebih lanjut, Pertukaran Informasi secara Otomatis yaitu pertukaran informasi keuangan nasabah LJK yang merupakan wajib pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra yang berada di Indonesia untuk disampaikan kepada otoritas pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra dimaksud, dan dapat berlaku sebaliknya bagi wajib pajak Indonesia yang merupakan nasabah LJK di Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra yang akan disampaikan informasi keuangannya kepada Otoritas Pajak di Indonesia. - 3 - Pertukaran Informasi secara Otomatis dapat dilakukan dengan adanya surat pernyataan sukarela dari nasabah wajib pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra. Perjanjian negara dalam rangka melakukan Pertukaran Informasi secara Otomatis meliputi antara lain: tata cara melakukan due diligence, jenis informasi yang dipertukarkan, periode laporan (berkala), dan waktu penyampaian laporan. Penyampaian informasi keuangan dilakukan melalui sistem yang telah disepakati dan dilakukan secara berkesinambungan. Pemerintah telah menetapkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 125/PMK.010/2015 tanggal 7 Juli 2015 yang memungkinkan LJK menyampaikan informasi keuangan nasabah yang merupakan wajib pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra kepada otoritas pajak di Indonesia dan otoritas pajak di Negara Mitra berdasarkan persetujuan tertulis secara sukarela dari Nasabah wajib pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra dimaksud, kepada LJK. Untuk mendukung pemerintah dan LJK dalam proses penyampaian informasi nasabah LJK yang merupakan wajib pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra agar tetap mematuhi peraturan perundang-undangan, maka diperlukan pengaturan mengenai penyampaian informasi nasabah dimaksud dalam rangka perjanjian Pertukaran Informasi Terkait Perpajakan antara Indonesia dengan Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “otoritas pajak Indonesia” adalah Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Ayat (2) Yang dimaksud dengan nilai rekening antara lain nilai tunai kontrak asuransi, atau nilai anuitas atau surrender value. - 4 - Ayat (3) Huruf a Informasi nasabah termasuk antara lain informasi mengenai nama dan nomor rekening. Nomor rekening antara lain berupa: 1) rekening bagi Bank; 2) polis asuransi bagi Perusahaan Asuransi Jiwa dan Perusahaan Asuransi Jiwa Syariah; dan/atau 3) nomor sub rekening efek bagi Perusahan Efek dan Bank Kustodian. Huruf b Cukup jelas. Pasal 3 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Informasi dan/atau dokumen yang diminta antara lain adalah alamat korespondensi di Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra, nomor identitas pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra, dan informasi dan/atau dokumen lainnya sesuai perjanjian Pertukaran Informasi secara Otomatis yang akan diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan. Huruf c Pernyataan persetujuan/instruksi/pemberian kuasa tertulis Nasabah Asing perlu diperoleh agar pemberian informasi kepada otoritas pajak sesuai dengan peraturan perundang-undangan terkait kerahasiaan data nasabah. Huruf d Yang dimaksud dengan nilai termasuk nilai tunai kontrak asuransi, atau nilai anuitas atau surrender value. Pasal 4 Ketentuan terkait Pertukaran Informasi secara Otomatis antara lain: a. penyampaian informasi Nasabah Asing kepada Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra; - 5 - b. pentingnya pernyataan persetujuan/instruksi/pemberian kuasa untuk dapat menyampaikan informasi Nasabah Asing kepada Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra. Pasal 5 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “transaksi” adalah transaksi keuangan, termasuk: a. setoran, penarikan, transfer, pembukaan rekening atau pembuatan kontrak bagi nasabah perbankan; b. pembukaan rekening, transaksi beli atau pengalihan bagi nasabah pasar modal; c. penutupan polis baru bagi perusahaan asuransi jiwa dan perusahaan asuransi jiwa syariah. Ayat (2) Huruf a Contoh pemenuhan kewajiban yang telah diperjanjikan sebelumnya antara lain: 1) pembayaran premi asuransi; 2) pembayaran angsuran kredit. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Contoh pemenuhan kewajiban berdasarkan peraturan perundang-undangan antara lain: 1) pemenuhan kewajiban pajak; 2) pelaksanaan eksekusi atas putusan pengadilan. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. - 6 - Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Yang dimaksud ketentuan lebih lanjut antara lain mengenai: a. penunjukan responsible officer; b. tata cara pelaporan informasi Nasabah Asing; c. informasi Nasabah Asing yang harus dilaporkan. Pasal 12 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5773 "," POJK 5/POJK.03/2015 KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM DAN PEMENUHAN MODAL INTI MINIMUM BANK PERKREDITAN RAKYAT 31 Maret 2015 1 April 2015 1 April 2015 '8/18/PBI/2006 | kecuali Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4 dan Pasal 5 dinyatakan tetap berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 2019.' '21/UU/2011', '7/UU/1992', '10/UU/1998' 'BAB V' " " OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 62 /POJK.05/2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 13/POJK.05/2014 TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA LEMBAGA KEUANGAN MIKRO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mendorong pengembangan lembaga keuangan mikro, perlu melakukan penyempurnaan terhadap ketentuan mengenai penyelenggaraan usaha lembaga keuangan mikro; b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Perubahan atas Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 13/POJK.05/2014 tentang Penyelenggaraan Usaha Lembaga Keuangan Mikro; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); 2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro (Lembaran Negara Republik - 2 - Indonesia Tahun 2013 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5394); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 89 Tahun 2014 tentang Suku Bunga Pinjaman atau Imbal Hasil Pembiayaan dan Luas Cakupan Wilayah Usaha Lembaga Keuangan Mikro (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 321, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5616); 4. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 13/POJK.05/2014 tentang Penyelenggaraan Usaha Lembaga Keuangan Mikro (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 343, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5622); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 13/POJK.05/2014 TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA LEMBAGA KEUANGAN MIKRO. Pasal I Beberapa ketentuan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 13/POJK.05/2014 tentang Penyelenggaraan Usaha Lembaga Keuangan Mikro (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 343, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5622) diubah sebagai berikut: 1. Ketentuan Pasal 2 ditambah 1 (satu) ayat baru, yaitu ayat (2a), sehingga Pasal 2 berbunyi sebagai berikut: Pasal 2 (1) Kegiatan usaha LKM meliputi jasa pengembangan usaha dan pemberdayaan masyarakat, baik melalui Pinjaman atau Pembiayaan dalam usaha skala mikro kepada anggota dan masyarakat, - 3 - pengelolaan Simpanan, maupun pemberian jasa konsultasi pengembangan usaha. (2) Kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara konvensional atau berdasarkan Prinsip Syariah. (2a) Selain kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1), LKM dapat melakukan kegiatan berbasis fee sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan. 2. Ketentuan dalam Pasal 7 ayat (2) tetap dengan perubahan Penjelasan Pasal 7 ayat (2) menjadi sebagaimana diterapkan dalam penjelasan pasal demi pasal Peraturan OJK ini. 3. Ketentuan ayat (4) dan ayat (5) Pasal 13 diubah, sehingga Pasal 13 berbunyi sebagai berikut: Pasal 13 (1) LKM yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah wajib menggunakan akad yang sesuai dengan Prinsip Syariah. (2) Akad yang sesuai dengan Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. kegiatan usaha penghimpunan Simpanan dilakukan dengan menggunakan akad wadiah, mudharabah, atau akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah serta disetujui oleh OJK. b. kegiatan usaha penyaluran Pembiayaan dilakukan dengan menggunakan akad mudharabah, musyarakah, murabahah, ijarah, salam, istishna, ijarah muntahiah bit tamlik, atau akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah serta disetujui oleh OJK. - 4 - c. kegiatan jasa pemberian konsultasi dan pengembangan usaha dilakukan dengan menggunakan akad ijarah, ju’alah atau akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah serta disetujui oleh OJK. d. kegiatan pendanaan melalui penerimaan pinjaman dilakukan dengan menggunakan akad qordh, mudharabah, musyarakah, atau akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah serta disetujui oleh OJK. (3) Untuk dapat memperoleh persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), LKM mengajukan permohonan kepada OJK dengan melampirkan fatwa DSN MUI. (4) Selain melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), LKM yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah dapat melakukan pengelolaan dana sosial dan kebajikan berupa zakat, infak, sedekah, dan wakaf sesuai ketentuan peraturan perundangan yang berlaku. (5) Pembukuan atas pengelolaan dana sosial dan kebajikan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dilakukan secara terpisah. 4. Ketentuan Pasal 17 ditambah 1 (satu) ayat baru, yaitu ayat (1a), sehingga Pasal 17 berbunyi sebagai berikut: Pasal 17 (1) Rasio solvabilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dihitung dengan membandingkan total aset dengan total liabilitas. (1a) Bagi LKM yang menyelenggarakan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah, rasio solvabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan membandingkan total aset dengan total liabilitas dan dana syirkah temporer sesuai - 5 - dengan standar akuntansi keuangan syariah yang berlaku. (2) LKM wajib menjaga rasio solvabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling kurang 110% (seratus sepuluh persen). Pasal II Peraturan OJK ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan OJK ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 23 Desember 2015 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 29 Desember 2015 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 413 Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Sudarmaji "," POJK 62/POJK.05/2015 PERUBAHAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 13/POJK.05/2014 TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA LEMBAGA KEUANGAN MIKRO 23 Desember 2015 29 Desember 2015 29 Desember 2015 '13/POJK.05/2014' '13/POJK.05/2014', '21/UU/2011', '1/UU/2013', '89/PP/2014' " " PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 77 TAHUN 1992 TENTANG DANA PENSIUN LEMBAGA KEUANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa dalam rangka pelaksanaan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun diperlukan adanya ketentuan yang mengatur mengenai pembentukan Dana Pensiun Lembaga Keuangan dan penyelenggaraan Program Pensiun; b. bahwa untuk penyelenggaraan Program Pensiun oleh Dana Pensiun Lembaga Keuangan diperlukan ketentuan mengenai kepengurusan, pengelolaan kekayaan Dana Pensiun, penyediaan Manfaat Pensiun yang berkesinambungan, dan jaminan atas hak-hak Peserta termasuk dalam hal terjadi penggabungan, konsolidasi dan likuidasi Dana Pensiun; c. bahwa sehubungan dengan itu, dipandang perlu untuk menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Dana Pensiun Lembaga Keuangan. Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-undang Dasar 1945; 2. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3477); MEMUTUSKAN Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG DANA PENSIUN LEMBAGA KEUANGAN. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Yang dimaksud dalam Peraturan Pemerintah ini dengan : 1. Dana Pensiun adalah Dana Pensiun Lembaga Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Undang- undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun; 2. Perusahaan Asuransi Jiwa adalah perusahaan asuransi jiwa sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian; 3. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan; 4. Janda/duda adalah istri/suami yang sah dari Peserta atau pensiunan yang meninggal dunia, yang telah terdaftar pada Dana Pensiun Lembaga Keuangan sebelum peserta meninggal dunia atau pensiun; 5. Anak adalah semua anak yang sah dari Peserta atau pensiunan, yang telah terdaftar pada Dana Pensiun Lembaga Keuangan sebelum Peserta meninggal dunia atau pensiun; 6. Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia. BAB II PENGESAHAN DANA PENSIUN Bagian Pertama Persyaratan Dan Tata Cara Pengesahan Pasal 2 (1) Pendirian Dana Pensiun dapat dilakukan oleh Bank atau Perusahaan Asuransi Jiwa. (2) Pendirian Dana Pensiun harus mendapat pengesahan Menteri. Pasal 3 (1) Permohonan pengesahan Dana Pensiun diajukan oleh Bank atau Perusahaan Asuransi Jiwa dengan menggunakan formulir yang ditetapkan Menteri. (2) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilengkapi dengan Peraturan Dana Pensiun serta program kerja yang diperlukan untuk bertindak sebagai Pengurus. Bagian Kedua Peraturan Dana Pensiun Pasal 4 (1) Peraturan Dana Pensiun ditetapkan oleh Pendiri dan sekurang-kurangnya memuat ketentuan sebagai berikut : a. tanggal pembentukan Dana Pensiun dan nama Dana Pensiun yang secara jelas menunjukkan nama Bank atau Perusahaan Asuransi Jiwa yang menjadi Pendiri; b. pembentukan kekayaan Dana Pensiun yang terpisah dari kekayaan Bank atau Perusahaan Asuransi yang menjadi pendiri; c. persyaratan untuk menjadi Peserta; d. hak Peserta untuk menentukan usia pensiun; e. hak dan kewajiban pengurus; f. hak Peserta untuk menetapkan pilihan jenis investasi yang tersedia; g. pilihan jenis investasi yang tersedia bagi peserta, serta tata cara pemilihan dan perubahannya; h. tata cara penentuan nilai kekayaan tiap-tiap Peserta yang harus dilakukan oleh Pengurus; i. hak peserta untuk memilih bentuk anuitas seumur hidup, dan memilih Perusahaan Asuransi Jiwa dalam rangka pembayaran Manfaat Pensiun, beserta tata caranya; j. tata cara penarikan suatu jumlah dana tertentu oleh Peserta apabila dimungkinkan, pembayaran Manfaat Pensiun sekaligus dan pengalihan kepesertaan ke Dana Pensiun Lembaga Keuangan lain; k. tata penunjukan dan penggantian pihak yang berhak atas Manfaat Pensiun apabila Peserta meninggal dunia; l. biaya yang dapat dipungut dari Peserta, atau dibebankan pada rekening Peserta; m. tata cara perubahan Peraturan Dana Pensiun; (2) Kekayaan Dana Pensiun sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b dihimpun dari : a. iuran Peserta; b. hasil investasi; c. pengalihan dari Dana Pensiun lain. (3) Pilihan jenis investasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf g ditetapkan oleh Pendiri dan harus memenuhi ketentuan investasi yang ditetapkan Menteri. Pasal 5 Peraturan Dana Pensiun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) menjadi dasar penyelenggaraan Program Pensiun Iuran Pasti. Bagian Ketiga Perubahan Peraturan Dana Pensiun Pasal 6 (1) Perubahan Peraturan Dana Pensiun dilakukan oleh Pendiri. (2) Perubahan Peraturan Dana Pensiun harus mendapat pengesahan Menteri. Pasal 7 (1) Untuk mendapat pengesahan Menteri sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (2), Pendiri mengajukan permohonan tertulis kepada Menteri yang memuat uraian tentang latar belakang dan tujuan perubahan Peraturan Dana Pensiun, serta dilengkapi dengan : a. Peraturan Dana Pensiun yang baru; b. dokumen lain yang dapat ditetapkan menteri. (2) Dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak diterimanya permohonan pengesahan perubahan peraturan Dana Pensiun secara lengkap dan memenuhi ketentuan Undang-undang Dana Pensiun dan peraturan pelaksanaannya, maka peraturan Perubahan Peraturan Dana pensiun tersebut wajib disahkan Menteri dan dicatat dalam Buku Daftar Umum yang disediakan untuk itu. (3) Dalam hal permohonan ditolak, Menteri wajib menyampaikan surat pemberitahuan penolakan yang disertai alasan penolakan, dalam jangka waktu sebagai mana dimaksud dalam ayat (2). (4) Perubahan Peraturan Dana Pensiun berlaku sejak tanggal pengesahan Menteri. (5) Pengurus mengumumkan pengesahan sebagaimana dimaksud dalam penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Pasal 8 Perubahan Peraturan Dana Pensiun yang menyebabkan kenaikan biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf l tidak dapat berlaku surut. BAB III KEPENGURUSAN DANA PENSIUN Pasal 9 Pendiri Dana Pensiun bertindak sebagai Pengurus Dana Pensiun dan bertanggung jawab atas pengelolaan dan investasi Dana Pensiun. Pasal 10 (1) Pengurus wajib mengelola dana Pensiun dengan mengutamakan kepentingan peserta dan pihak lain yang berhak. (2) Pengurus wajib memelihara buku, catatan dan dokumen yang diperlukan dalm rangka kegiatan Dana Pensiun. (3) Pengurus wajib bertindak teliti, terampil, bijaksana dan cermat dalam melaksanakan tanggung jawabnya mengelola Dana pensiun. (4) Pengurus wajib merahasiakan keterangan pribadi yang menyangkut masing-masing peserta. Pasal 11 Pengurus wajib menyampaikan laporan berkala kepada Menteri, yang terdiri dari : a. Laporan teknis; b. Laporan keuangan yang telah diaudit oleh akuntan publik, menurut bentuk, susunan, dan waktu yang ditetapkan oleh Menteri. ayat (2) dengan Pasal 12 (1) Untuk kepentingan Peserta, Pengurus wajib memberikan informasi mengenai kemungkinan timbulnya risiko kerugian atas pilihan investasi yang dilakukan oleh peserta melalui Dana Pensiun. (2) Pengurus wajib menyampaikan keterangan kepada peserta mengenai : a. neraca dan perhitungan hasil usaha menurut bentuk, susunan dan waktu yang ditetapkan menteri; b. hal-hal yang timbul dalam rangka kepesertaan dalam bentuk dan waktu yang ditetapkan Menteri; c. setiap perubahan Peraturan Dana Pensiun. Pasal 13 Selambat-lambatnya 30 (tigapuluh) hari setelah berakhirnya tahun takwim, pengurus wajib menyerahkan kepada Peserta : a. Posisi dana pada akhir tahun takwim bersangkutan; b. tanda bukti penarikan dana oleh Peserta yang bersangkutan beserta pajak yang telah dipungut dari penarikan dana dimaksud dalam 1 (satu) tahun takwim. Pasal 14 Pengurus bertanggung jawab atas segala kerugian yang timbul pada kekayaan Dana Pensiun akibat tindakan Pengurus yang melanggar atau melalaikan tugas dan/atau kewajibannya sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Dana Pensiun dan peraturan perundang-undangan tentang Dana Pensiun, serta wajib mengembalikan kepada Dana Pensiun segala kenikmatan yang diperoleh atas atau dari kekayaan Dana Pensiun secara melawan hukum. Pasal 15 Dewan komisaris atau yang setara dengan itu dari Pendiri Dana Pensiun bertindak sebagai Dewan Pengawas dan bertanggung jawab mengawasi pengelolaan dan investasi Dana Pensiun. Pasal 16 Tugas dan wewenang Dewan Pengawas : a. melakukan pengawasan atas pengelolaan Dana Pensiun oleh Pengurus; b. menyampaikan laporan tahunan secara tertulis atas hasil pengawasannya; c. menunjuk akuntan publik untuk mengaudit laporan keuangan Dana Pensiun. BAB IV IURAN DANA PENSIUN Pasal 17 Besarnya iuran maksimum Peserta ditetapkan Menteri. Pasal 18 (1) Pemberi Kerja dapat membayar iuran kepada Dana Pensiun untuk dan atas nama karyawan. (2) Dalam hal Pemberi Kerja membayar iuran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka Pemberi Kerja wajib menyatakan secara tertulis kewajibannya untuk membayar seluruh iuran secara tunai. (3) Pernyataan tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) sekurang-kurangnya memuat ketentuan mengenai : a. besarnya iuran; b. saat jatuh tempo iuran. (4) Perubahan pernyataan tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) yang menyebabkan penurunan besarnya iuran tidak dapat berlaku surut. (5) Pernyataan tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan perubahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), disampaikan kepada Menteri serta diumumkan kepada karyawan yang berhak. BAB V HAK PESERTA Pasal 19 (1) Dalam hal peserta meninggal dunia, manfaat pensiun dibayarkan kepada Janda/Duda atau Anak. (2) Manfaat Pensiun bagi Janda/Duda dibayarkan seumur hidup. (3) Dalam hal tidak ada Janda/Duda yang sah, atau Janda/Duda kawin lagi, Manfaat Pensiun dibayarkan kepada Anak. (4) Manfaat Pensiun kepada Anak wajib dibayarkan sampai Anak tersebut mencapai usia sekurang- kurangnya 21 (dua puluh satu) tahun. Pasal 20 (1) Dalam hal tidak ada Janda/Duda yang sah, atau Janda/Duda meninggal dunia, atau Janda/Duda kawin lagi, Manfaat Pensiun dibayarkan kepada Anak. (2) Pembayaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara sekaligus. Pasal 21 (1) Pengurus atas permintaan Peserta pada saat pensiun, membeli anuitas seumur hidup dari Perusahaan Asuransi Jiwa yang dipilihnya, dengan syarat : a. anuitas yang dipilihnya menyediakan Manfaat Pensiun bagi Janda/Duda atau Anak sekurang- kurangnya 60% dan sebanyak-banyaknya 100% dari Manfaat Pensiun yang diterima Peserta; b. anuitas yang dipilih memenuhi ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang Dana Pensiun dan peraturan pelaksanaannya serta Peraturan Dana Pensiun. (2) Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a tidak berlaku dalam hal pembelian anuitas didasarkan pada permintaan dan pilihan Janda/Duda atau Anak. Pasal 22 Apabila pembayaran Manfaat Pensiun berakhir, dan ternyata jumlah seluruh Manfaat Pensiun yang telah dibayarkan kurang dari jumlah haknya pada saat dimulainya pembayaran Manfaat Pensiun, maka Perusahaan Asuransi Jiwa wajib membayarkan selisihnya sekaligus kepada ahli waris yang sah dari Peserta. BAB VI LIKUIDASI DANA PENSIUN Pasal 23 Dalam hal Dana Pensiun bubar, maka likuidator mengalihkan dana yang merupakan hak Peserta ke Dana Pensiun lain. BAB VII KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 24 (1) Dalam hal 2 (dua) atau lebih Bank atau Perusahaan Asuransi Jiwa yang menyelenggarakan Dana Pensiun menggabungkan diri, maka Dana Pensiun yang diselenggarakan Bank atau Perusahaan Asuransi jiwa yang menggabungkan diri wajib bergabung ke Dana Pensiun dari Bank atau Perusahaan Asuransi Jiwa yang menerima penggabungan. (2) Dalam hal terjadi penggabungan Dana Pensiun sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka kepesertaan, kewajiban dan kekayaan Dana Pensiun yang menggabungkan diri beralih ke Dana Pensiun dari Bank atau Perusahaan Asuransi Jiwa yang menerima penggabungan. Pasal 25 (1) Dalam hal 2 (dua) atau lebih Bank atau Perusahaan Asuransi Jiwa yang menyelenggarakan Dana Pensiun melakukan konsolidasi, maka Dana Pensiun dari Bank atau Perusahaan Asuransi Jiwa wajib digabungkan menjadi 1 (satu) Dana Pensiun. (2) Pada saat terbentuknya Bank atau Perusahaan Asuransi Jiwa hasil konsolidasi, maka terbentuk pula Dana Pensiun yang menerima dan bertanggung jawab atas pengalihan kepesertaan, kewajiban dan kekayaan dari Dana Pensiun yang menggabungkan diri. (3) Bank atau Perusahaan Asuransi Jiwa hasil konsolidasi selaku Pendiri Dana Pensiun sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) wajib mengajukan permohonan pengesahan Peraturan Dana Pensiun. Pasal 26 Ketentuan Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 25 ayat (2) tidak mengurangi hak peserta untuk mengalihkan kepesertaannya ke Dana Pensiun lain. Pasal 27 Pelaksanaan lebih lanjut ketentuan Pasal 24 dan Pasal 25 ditetapkan oleh Menteri. BAB VIII KETENTUAN PENUTUP Pasal 28 Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 30 November 1992 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA ttd. S O E H A R T O Diundangkan di Jakarta pada tanggal 30 November 1992 MENTERI SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA ttd. M O E R D I O N O LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1992 NOMOR 127 Salinan sesuai dengan aslinya SEKRETARIAT KABINET RI Ketua Biro Hukum dan Perundang-undangan ttd. Bambang Kuswoyo, S.S., LL.M. "," 77/PP/1992 DANA PENSIUN LEMBAGA KEUANGAN 30 November 1992 30 November 1992 30 November 1992 '11/UU/1992', 'UUD 1945 | Pasal 5 Ayat (2)' " " PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 76 TAHUN 1992 TENTANG DANA PENSIUN PEMBERI KERJA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa dalam rangka pelaksanaan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun diperlukan adanya ketentuan yang mengatur mengenai pembentukan Dana Pensiun Pemberi Kerja dan penyelengaraan Program Pensiun; b. bahwa untuk penyelengaraan Program Pensiun oleh Dana Pensiun Pemberi Kerja diperlukan ketentuan mengenai kepengurusan, pengelolaan kekayaan Dana Pensiun, penyediaan Manfaat Pensiun secara berkesinambungan, dan jaminan atas hak-hak Peserta termasuk dalan hal terjadi penangguhan pemupukan Manfaat Pensiun, pemisahan dan penggabungan serta likuidasi Dana Pensiun Pemberi Kerja; c. bahwa sehubungan dengan itu, dipandang perlu untuk menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Dana Pensiun Pemberi Kerja; Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-undang Dasar 1945; 2. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3477); MEMUTUSKAN Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG DANA PENSIUN PEMBERI KERJA BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Dana Pensiun adalah Dana Pensiun Pemberi Kerja sebagaimana dimaksud dalam Undang- undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun; 2. Penerima Titipan adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan; 3. Janda/Duda adalah istri/suami yang sah dari Peserta atau pensiunan yang meninggal dunia, yang telah terdaftar pada Dana Pensiun sebelum Peserta meninggal dunia atau pensiun; 4. Anak adalah semua anak yang sah dari Peserta atau pensiunan, yang telah terdaftar pada Dana Pensiun sebelum Peserta meninggal dunia atau pensiun; 5. Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia. BAB II PENGESAHAN DANA PENSIUN Bagian Pertama Persyaratan Dan Tata Cara Pengesahan Pasal 2 Setiap pembentukan Dana Pensiun oleh Pemberi Kerja wajib mendapat pengesahan Menteri. Pasal 3 (1) Permohonan pengesahan Dana Pensiun diajukan oleh Pendiri dengan menggunakan formulir yang ditetapkan Menteri, dengan melampirkan: a. Peraturan Dana Pensiun; b. pernyataan tertulis Pendiri dan Mitra Pendiri bila ada; c. surat penunjukan Pengurus, Dewan Pengawas, dan Penerima Titipan; d. arahan investasi; e. laporan aktuaris, apabila Dana Pensiun menyelenggarakan Program Pensiun Manfaat Pasti; f. surat perjanjian antara Pengurus dengan Penerima Titipan. (2) Ketentuan pelaksanan mengenai tata cara permohonan pengesahan Dana Pensiun sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan Menteri. Bagian Kedua Peraturan Dana Pensiun Pasal 4 Peraturan Dana Pensiun sekurang-kurangnya memuat ketentuan sebagai berikut : a. nama Dana Pensiun; b. nama Pendiri; c. karyawan atau kelompok karyawan yang berhak menjadi Peserta; d. nama Mitra Pendiri, apabila ada e. tanggal pembentukan Dana Pensiun; f. maksud dan tujuan pembentukan Dana Pensiun; g. pembentukan kekayaan Dana Pensiun yang terpisah dari kekayaan Pemberi kerja; h. tata cara penunjukan, penggantian dan penunjukan kembali Pengurus dan Dewan Pengawas; i. masa jabatan Pengurus dan Dewan Pengawas; j. pedoman penggunaan jasa Penerima Titipan; k. syarat untuk menjadi Peserta; l. hak, kewajiban dan tanggung jawab Pengurus, Dewan Pengawas, Peserta dan Pemberi Kerja, termasuk kewajiban Pemberi Kerja untuk membayar iuran; m. besar iuran untuk Program Pensiun; n. rumus Manfat Pensiun dan faktor-faktor yang mempengaruhi perhitungannya; o. tata cara pembayaran Manfaat Pensiun dan manfaat lainnya; p. tata cara penunjukan dan penggantian pihak yang berhak atas Manfaat Pensiun apabila Peserta meninggal dunia; q. biaya yang merupakan beban Dana Pensiun; r . tata cara perubahan Peraturan Dana Pensiun; s. tata cara pembubaran dan penyelesaian Dana Pensiun. Pasal 5 Peraturan Dana Pensiun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 hanya dapat menjadi dasar penyelenggaraan 1 (satu) jenis Program Pensiun. Bagian Ketiga Pernyataan Tertulis Pendiri Dan Mitra Pendiri Pasal 6 Pernyataan tertulis Pendiri dan pernyataan tertulis Mitra Pendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b harus disetujui oleh pemilik perusahaan, atau rapat umum pemegang saham, atau yang setara dengan itu, serta memuat : a. ringkasan Peraturan Dana Pensiun; b. kesediaan untuk membiayai penyelenggaraan Dana Pensiun dan peraturan pelaksanannya serta Peraturan Dana Pensiun. Bagian Keempat Penitipan Kekayaan Dana Pensiun Pasal 7 (1) Perjanjian penitipan kekayaan Dana Pensiun antar Pengurus dan Penerima Titipan sekurang- kurangnya memuat ketentuan: a. tugas, wewenang dan tanggung jawab Penerima Titipan; b. biaya penitipan yang dibebankan kepada Dana Pensiun; c. pernyataan Penerima Titipan untuk memberikan informasi dan menyediakan buku, catatan, dan dokumen yang berkenaan dengan kekayaan Dana Pensiun yang dititipkan dalam rangka pemeriksaan, baik yang dilakukan oleh Menteri, atau oleh akuntan publik dan atau oleh aktuaris yang ditunjuk Menteri atau oleh Dewan Pengawas maupun auditor yang ditunjuk Dewan Pengawas. (2) Perubahan perjanjian penitipan dan atau perubahan penunjukan Penerima Titipan wajib dilaporkan kepada Menteri selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja sebelum berlakunya perubahan. Pasal 8 (1) Penerima Titipan bertanggung jawab atas pengamanan kekayaan Dana Pensiun sesuai dengan ketentuan Undang-undang Dana Pensiun dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (2) Penerima Titipan wajib mencatat dan membukukan kekayaan Dana Pensiun secara terpisah dari kekayaan Penerima Titipan. (3) Kekayaan Dana Pensiun yang ditittipkan dikecualikan dari setiap tuntutan hukum terhadap kekayaan Penerima Titipan Bagian Kelima Perubahan Peraturan Dana Pensiun Pasal 9 (1) Perubahan Peraturan Dana Pensiun dilakukan oleh Pendiri, dan harus mendapatkan pengesahan Menteri. (2) Pengesahan Menteri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak diperlukan dalam hal penangguhan dan pengakhiran penangguhan kepesertaan karyawan Mitra Pendiri. (3) Perubahan Peraturan Dana Pensiun sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pemberlakuannya harus dinyatakan dalam pernyataan tertulis Pendiri. (4) Dalam hal perubahan Peraturan Dana Pensiun dimaksud mengakibatkan perubahan atas pendanaan dan atau besarnya Manfaat Pensiun, maka pernyataan Pendiri sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) harus mendapat persetujuan pemilik perusahaan atau rapat umum pemegang saham atau yang setara dengan itu. Pasal 10 (1) Untuk mendapat pengesahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), Pendiri mengajukan permohonan tertulis kepada Menteri yang memuat uraian tentang latar belakang dan tujuan perubahan Peraturan Dana Pensiun, serta dilengkapi dengan: a. Peraturan Dana Pensiun yang baru; b. pernyataan tertulis Pendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) atau ayat (4); c. laporan aktuaris, apabila perubahan Peraturan Dana Pensiun mengakibatkan perubahan dalam hal pendanaan dan Manfaat Pensiun, bagi Dana Pensiun yang menyelenggarakan Program Pensiun Manfaat Pasti. (2) Dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak diterimanya permohonan pengesahan perubahan Peraturan Dana Pensiun secara lengkap dan memenuhi ketentuan Undang-undang Dana Pensiun dan Peraturan Pemerintah ini serta peraturan pelaksanaannya, maka Peraturan Dana Pensiun tersebut wajib disahkan Menteri dan dicatat dalam Buku Daftar Umum yang disediakan untuk itu. (3) Dalam hal permohonan ditolak, Menteri wajib menyampaikan surat pemberitahuan penolakan yang disertai alasan penolakan, dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2). (4) Perubahan Peraturan Dana Pensiun berlaku sejak tanggal pengesahan Menteri. (5) Pengurus wajib mengumumkan pengesahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Bagian Keenam Penangguhan Pembayaran Iuran Pasal 11 (1) Atas permohonan Pendiri, Menteri dapat memberikan persetujuan untuk menangguhkan pembayaran iuran dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal persetujuan. (2) Atas permohonan Pendiri, Menteri dapat menetapkan tanggal mulai berlakunya penangguhan sebelum tanggal persetujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), paling lama sejak tanggal pengiriman permohonan. (3) Penangguhan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan apabila Pendiri mengalami kerugian selama 3 (tiga) tahun berturut-turut. (4) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diajukan secara tertulis kepada Menteri dan dilampiri bukti-bukti yang mendukung adanya kerugian sebagaimana dimaksud dalam ayat (3). Pasal 12 (1) Iuran sampai dengan tanggal mulai berlakunya penangguhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) atau ayat (2) harus tetap dibayarkan kepada Dana Pensiun. (2) Selama masa penangguhan, ketentuan-ketentuan lain dari Peraturan Dana Pensiun, termasuk ketentuan tentang pembayaran Manfaat Pensiun, tetap berlaku. Pasal 13 (1) Pada masa penangguhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) atau ayat (2), Pendiri dapat mengakhiri penangguhan pembayaran iuran dengan cara menyetor iuran kepada Dana Pensiun. (2) Berakhirnya penangguhan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaporkan kepada Menteri dengan melampirkan bukti pembayaran iuran. Pasal 14 Apabila masa penangguhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) atau ayat (2) berakhir, ternyata Pendiri tetap tidak dapat membayar iuran, maka Dana Pensiun dimaksud harus dibubarkan dengan memenuhi ketentuan tentang pembubaran sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Dana Pensiun dan peraturan pelaksanaannya. BAB III KEPENGURUSAN Bagian Pertama Pengurus Pasal 15 (1) Dalam rangka pengelolaan Dana Pensiun, Pendiri menunjuk Pengurus. (2) Pengurus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bertanggung jawab kepada Pendiri. (3) Pengurus ditunjuk untuk masa jabatan paling lama 5 (lima) tahun dan dapat ditunjuk kembali. Pasal 16 (1) Penunjukan Pengurus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) ditetapkan dengan surat penunjukkan. (2) Surat penunjukkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya memuat: a. nama orang atau badan usaha yang ditunjuk sebagai Pengurus; b. masa jabatan Pengurus. (3) Surat penunjukkan Pengurus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilampiri pernyataan tertulis Pengurus tentang kesediaannya untuk ditunjuk sebagai Pengurus, dan mengelola Dana Pensiun sesuai dengan Peraturan Dana Pensiun dan Undang-undang Dana Pensiun serta peraturan pelaksanaannya. Pasal 17 (1) Pengurus wajib mengelola Dana Pensiun dengan mengutamakan kepentingan Peserta dan pihak lain yang berhak atas Manfaat Pensiun. (2) Pengurus wajib memelihara buku, catatan dan dokumen yang diperlukan dalam rangka pengelolaan Dana Pensiun. (3) Pengurus wajib bertindak teliti, terampil, bijaksana dan cermat dalam melaksanakan tanggung jawabnya mengelola Dana Pensiun. (4) Pengurus wajib merahasiakan keterangan pribadi yang menyangkut masing-masing Peserta. Pasal 18 (1) Pengurus wajib menyampaikan secara berkala kepada Menteri: a. laporan keuangan yang telah diaudit oleh akuntan publik. b. laporan teknis yang disusun oleh Pengurus atau oleh Pengurus dan aktuaris sesuai ketentuan yang ditetapkan Menteri; c. laporan aktuaris sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun sekali. (2) Pengurus wajib menyampaikan keterangan kepada Peserta mengenai: a. neraca dan perhitungan hasil usaha menurut bentuk, susunan dan waktu yang ditetapkan Menteri; b. hal-hal yang timbul dalam rangka kepesertaan dalam bentuk dan waktu yang ditetapkan Menteri; c. setiap perubahan Peraturan Dana Pensiun. Pasal 19 Perubahan Pengurus dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dan wajib dilaporkan kepada Menteri selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja sebelum berlakunya perubahan. Pasal 20 Jabatan anggota Pengurus berakhir apabila : a. masa jabatan berakhir; atau b. meninggal dunia; atau c. mengundurkan diri; atau d. diberhentikan oleh Pendiri; atau e. dijatuhi hukuman pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Pasal 21 Pengurus, masing-masing atau bersama-sama, bertanggung jawab secara pribadi atas segala kerugian yang timbul pada kekayaan Dana Pensiun akibat tindakan Pengurus yang melanggar atau melalaikan tugas dan/atau kewajibannya sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Dana Pensiun dan peraturan perundang-undangan tentang Dana Pensiun, serta wajib mengembalikan kepada Dana Pensiun segala kenikmatan yang diperoleh atas atau dari kekayaan Dana Pensiun secara melawan hukum. Bagian Kedua Dewan Pengawas Pasal 22 (1) Dalam rangka pengawasan pengelolaan Dana Pensiun, Pendiri menunjuk anggota Dewan Pengawas. (2) Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bertanggungjawab kepada Pendiri. (3) Anggota Dewan Pengawas ditunjuk untuk masa jabatan paling lama 5 (lima) tahun dan dapat ditunjuk kembali. Pasal 23 (1) Penunjukan anggota Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1), ditetapkan dengan surat penunjukan. (2) Surat penunjukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), sekurang-kurangnya memuat: a. nama dan alamat anggota Dewan Pengawas ; b. masa jabatan anggota Dewan Pengawas. (3) Surat penunjukan anggota Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilampiri dengan pernyataan tertulis anggota Dewan Pengawas tentang kesediaannya untuk ditunjuk sebagai anggota Dewan Pengawas guna melakukan pengawasan pengelolaan Dana Pensiun. Pasal 24 (1) Anggota Dewan Pengawas yang mewakili Peserta adalah karyawan yang menjadi Peserta dan atau pensiunan. (2) Dalam hal anggota Dewan Pengawas yang mewakili peserta lebih dari 1 (satu) orang, sekurang- kurangnya 1 (satu) orang diantaranya adalah pensiunan, apabila jumlah pensiunan lebih dari 50 (lima puluh) orang. (3) Direksi atau pejabat yang setingkat dengan itu dari Pemberi Kerja, tidak dapat ditunjuk sebagai wakil Peserta dalam Dewan Pengawas. (4) Anggota Dewan Pengawas yang mewakili Pemberi Kerja dapat berasal dari karyawan atau bukan karyawan. (5) Wakil Peserta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan oleh Peserta. Pasal 25 Tugas dan Wewenang Dewan Pengawas: a. melakukan pengawasan atas pengelolaan Dana Pensiun oleh Pengurus; b. menyampaikan laporan tahunan secara tertulis atas hasil pengawasannya kepada Pendiri dan salinannya diumumkan kepada Peserta; c. menunjuk akuntan publik untuk mengaudit laporan keuangan Dana Pensiun d. menunjuk aktuaris untuk menyusun laporan aktuaris bagi Dana Pensiun yang menyelenggarakan Program Pensiun Manfaat Pasti; e. menetapkan arahan investasi bersama Pendiri, dalam hal Dana Pensiun menyelenggarakan Program Pensiun Iuran Pasti. Pasal 26 Perubahan anggota Dewan Pengawas dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 dan 24 serta wajib dilaporkan kepada Menteri dalam jangka waktu selambat- lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja setelah tanggal perubahaannya. Pasal 27 Jabatan anggota Dewan Pengawas berakhir apabila: a. masa jabatan berakhir; atau b. meninggal dunis; atau c. mengundurkan diri; atau d. diberhentikan oleh Pendiri; atau e. dijatuhi hukuman pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; atau f. wakil Peserta yang bersangkutan berhenti bekerja bukan karena pensiun. BAB IV HAK PESERTA Pasal 28 (1) Peserta berhak atas Manfaat Pensiun berdasarkan Peraturan Dana Pensiun. (2) Peserta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri dari karyawan, pensiunan dan bekas karyawan yang masih berhak atas Manfaat Pensiun. Pasal 29 (1) Dalam hal Peserta meninggal dunia, Manfaat Pensiun dibayarkan kepada Janda/Duda atau Anak. (2) Manfaat Pensiun bagi Janda/Duda dibayarkan seumur hidup. (3) Dalam hal tidak ada Janda/Duda yang sah, atau Janda/Duda meninggal dunia, atau Janda/Duda kawin lagi, Manfaat Pensiun dibayarkan kepada Anak. (4) Manfaat Pensiun kepada Anak wajib dibayarkan sampai Anak tersebut mencapai usia sekurang- kurangnya 21 (dua puluh satu) tahun. Pasal 30 (1) Dalam hal Peserta meninggal dunia dan tidak ada Janda/Duda atau Anak, maka dana yang merupakan hak Peserta dibayarkan kepada pihak yang ditunjuk oleh Peserta. (2) Pembayaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara sekaligus. Pasal 31 (1) Pengurus Dana Pensiun yang menyelenggarakan Program Pensiun Iuran Pasti, atas permintaan dan pilihan Peserta, membeli anuitas seumur hidup dari Perusahaan Asuransi Jiwa, dengan syarat: a. anuitas yang dipilih menyediakan Manfaat Pensiun bagi Janda/Duda atau Anak sekurang- kurangnya 60% dan sebanyak-banyaknya 100% dari Manfaat Pensiun yang diterima Peserta; b. anuitas yang dipilih memenuhi ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang Dana Pensiun dan peraturan pelaksanaannya serta Peraturan Dana Pensiun. (2) Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a tidak berlaku bagi pembelian anuitas berdasarkan permintaan dan pilihan Janda/Duda atau Anak. Pasal 32 (1) Pada Dana Pensiun yang menyelenggarakan Program Pensiun Manfaat Pasti, apabila pembayaran Manfaat Pensiun berakhir, dan ternyata jumlah seluruh Manfaat Pensiun yang telah dibayarkan kurang dari himpunan iuran Peserta beserta hasil pengembangannya sampai dengan saat dimulainya pembayaran Manfaat Pensiun, maka Pengurus wajib membayarkan selisihnya sekaligus kepada ahli waris yang sah dari Peserta. (2) Pada Program Pensiun Iuran Pasti, apabila pembayaran Manfaat Pensiun berakhir, dan ternyata jumlah seluruh Manfaat Pensiun yang telah dibayarkan kurang dari jumlah haknya pada saat dimulainya pembayaran Manfaat Pensiun, maka Perusahaan Asuransi Jiwa wajib membayarkan selisihnya sekaligus kepada ahli waris yang sah dari Peserta. BAB V PENANGGUHAN ATAU PENGAKHIRAN KEPESERTAAN KARYAWAN MITRA PENDIRI Pasal 33 (1) Penangguhan kepesertaan karyawan Mitra Pendiri dapat dilakukan oleh Pendiri untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak Mitra Pendiri telah 3 (tiga) bulan berturut-turut tidak membayar iuran, dengan melakukan perubahan Peraturan Dana Pensiun. (2) PerubahanPeraturan Dana Pensiun sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilaporkan kepada Menteri dengan melampirkan pernyataan tertulis Pendiri tentang penangguhan kepesertaan Mitra Pendiri dan bukti yang menunjukkan bahwa Mitra Pendiri tidak membayar iuran. (3) Apabila sebelum jangka waktu penangguhan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berakhir ternyata Mitra Pendiri telah membayar iurannya, maka Pendiri mengakhiri penangguhan kepesertaan karyawan Mitra Pendiri dengan melakukan perubahan Peraturan Dana Pensiun. (4) Perubahan Peraturan Dana Pensiun dalam rangka pengakhiran penangguhan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), wajib dilaporkan kepada Menteri dengan melampirkan pernyataan tertulis Pendiri tentang pengakhiran penangguhan kepesertaan Mitra Pendiri dam bukti pembayaran iuran Mitra Pendiri. (5) Selama masa penangguhan, ketentuan-ketentuan lain dari Peraturan Dana Pensiun, termasuk ketentuan tentang pembyaran Manfaat Pensiun, tetap berlaku. Pasal 34 Dalam hal jangka waktu penangguhan kepesertaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) berakhir dan ternyata Mitra Pendiri tetap tidak membayar iuran, Pendiri wajib mengakhiri kepesertaan karyawan Mitra Pendiri dengan melakukan perubahan Peraturan Dana Pensiun. Pasal 35 (1) Dalam hal Pendiri mengakhiri kepasertaan karyawan Mitra Pendiri, Pendiri wajib: a. mengajukan permohonan pengesahan perubahan Peraturan Dana Pensiun; dan b. memerintahkan Pengurus mengalaihkan kekayaan, kewajiban, dan kelompok karyawan Mitra Pendiri, berdasarkan pilihan Peserta kepada Dana Pensiun lembaga Keuangan atau Dana Pensiun Pemberi Kerja lain. (2) Bagi pensiunan,Janda/Duda atau Anak yang telah menerima pembayaran Manfaat Pensiun dan bagi Peserta yang telah berhak menerima pembayaran Manfaat Pensiun, pengalihan pembayaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dilakukan dengan membelai anuitas dari Perusahaan Asuransi Jiwa. (3) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dilengkapi pula dengan: a. pernyataan tertulis Pendiri tentang berakhirnya kepesertaan karyawan Mitra Pendiri; b. bukti yang menunjukkan bahwa Mirtra Pendiri tidak membayar iuran; c. laporan keuangan sebelum dan sesudah berakhirnya kepesertaan karyawan Mitra Pendiri, yang telah diaudit oleh akuntan publik; d. laporan aktuaris sebelum dan sesudah berakhirnya kepesertaan karyawan Mitra Pendiri, apabila Dana Pensiun menyelenggarkan Program Pensiun Manfaat Pasti. (4) Biaya yang timbul sebagai akibat pengalihan kekayaan dan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) huruf c dan huruf d menjadi tanggung jawab Mitra Pendiri. BAB VI PENGGABUNGAN ATAU PEMISAHAN DANA PENSIUN Pasal 36 (1) Penggabungan Dana Pensiun hanya dapat dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. Dana Pensiun yang melakukan penggabungan memiliki Program Pensiun yang sama, dan b. harus ada Pemberi Kerja yang bertanggung jawab atas kewajiban yang berkaitan dengan masa kerja Peserta, sebagaimana detetapkan dalam Peraturan Dana Pensiun sebelum berlakunya pengabungan. (2) Penggabungan Dana Pensiun sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus mendapat pengesahan atau persetujuan Menteri. Pasal 37 (1) Dalam hal penggabungan Dana Pensiun menyebabkan perubahan Perturan Dana Pensiun dari Dana Pensiun yang menerima penggabungan, maka Pendiri dana Pensiun yang menerima penggabungan mengajukan permohonanpengesahan perubahan Peraturan Dana Pensiun dan Pendiri Dana Pensiun yang menggabungkan diri mengajukan permohonan pembubaran Dna Pensiun, yang diajukan secara bersama-bersama. (2) Dalam hal penggabungan Dana Pensiun tidak menyebabkan perubahan Peraturan Dana Pensiun dari Dana Pensiun yang menerima penggabungan, maka Pendiri Dana Pensiun yang menerima penggabungan mengajukan permohonan persetujuan atas penggabungan Dana Pensiun dan Pendiri Dana Pensiun yang menggabungkan diri mengajukan permohonan pembubaran Dana Pensiun, yang diajukan secara bersama-bersama. (3) Permohonan persetujuan penggabungan Dana Pensiun sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus dilengkapi dengan: a. pernyataan tertulis Pendiri dari Dana Pen siun yang menerima penggabungan tentang kesediaannya untuk menerima kepesertaan, kekayaan dan kewajiban dari Dana Pensiun yang menggabungkan diri; b. laporan keuangan dari Dana Pensiun yang menerima penggabungan sebelum dan sesudah penggabungan serta laporan keuangan dari Dana Pensiun yang menggabungkan diri pada saat penggabungan, yang telah diaudit oleh akuntan publik; c. laporan aktuaris dari Dana Pensiun yang menerima penggabungan sebelum dan sesudah penggabungan serta laporan aktuaris dari Dana Pensiun yang menggabungkan diri pada saat penggabungan, bagi Dana Pensiun yang menyelenggarakan Program Pensiun Manfaat Pasti. Pasal 38 (1) Permohonan pengesahan penggabungan Dana Pensiun sebagimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) dilakukan berdasarkan tata cara sebagimana dimaksud dalam Pasal 9 dan Pasal 10 serta dilengkapi pula dengan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (3). (2) Dalam rangka penggabungan sebagaimana dimaksud dala Pasal 37 ayat (1) atau ayat (2), Menteri menetapkan pada tanggal yang sama keputusan pengesahan perubahan Peraturan Dana Pensiun atau persetujuan penggabungan Dana Pensiun dan keputusan pembubaran Dana Pensiun yang menggabungkan diri. Pasal 39 (1) Pengurus Dana Pensiun yang menerima penggabungan mengumumkan pembubaran Dana Pensiun yang menggabungkan diri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. (2) Status badan hukum Dana Pensiun yang menggabungkan diri berakhir sejak pengumuman sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). Pasal 40 Sejak tanggal pengesahan atau persetujuan Menteri atas penggabungan Dana Pensiun, maka seluruh kepesertaan, kekayaan dan kewajiban Dana Pensiun yang menggabungkan diri beralih ke Dana Pensiun yang menerima penggabungan. Pasal 41 (1) Pemisahan Dana Pensiun hanya dapat dilakukan apabila ada Pemberi Kerja yang bertanggung jawab atas kewajiban yang berkaitan dengan masa kerja Peserta sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Dana Pensiun sebelum berlakunya pemisahan. (2) Pemisahan Dana Pensiun sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus mendapat pengesahan atau persetujuan Menteri. Pasal 42 (1) Dalam hal pemisahan Dana Pensiun menyebabkan perubahan Peraturan Dana Pensiun dari Dana Pensiun yang melakukan pemisahan, maka Pendiri Dana Pensiun yang melakukan pemisahan mengajukan permohonan pengesahan perubahan Peraturan Dana Pensiun dan Pendiri Dana Pensiun yang baru mengajukan permohonan pendirian Dana Pensiun, yang diajukan secara bersama-sama. (2) Dalam hal pemisahan Dana Pensiun tidak menyebabkan perubahan Peraturan Dana Pensiun, maka pendiri Dana Pensiun melakukan pemisahan Dana Pensiun dan Pensiri Dana Pensiun yang baru mengajukan permohonan pendirian Dana Pensiun, yang diajukan secara bersama-sama. (3) Permohonan persetujuan pemisahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus dilengkapi dengan: a. Pernyataan tertulis Pendiri dari Dana Pensiun yang melakukan pemisahan tentang kesediaannya untuk memisahkan sebagian kepesertaan, kekayaan, dan kewajiban ke Dana Pensiun yang baru; b. Pernyataan tertulis Pendiri dari Dana Pensiun baru tentang kesediaannya untuk menerima sebagian kepesertaan, kekayaan dan kewajiban dari Dana Pensiun yang melakukan pemisahan; menjadi kepesertaan, kekayaan, kekayaan dan kewajiban awal Dana Pensiunnya. c. laporan keuangan dari Dana Pensiun yang melakukan pemisahan sebelum dan sesudah pemisahan serta laporan keuangan dari Dana Pensiun yang baru, yang telah diaudit oleh akuntan publik; d. laporan aktuaris dari Dana Pensiun yang melakukan pemisahan sebelum dan sesudah pemisahan serta laporan aktuaris dari Dana Pensiun yang baru, apabila Dana Pensiun menyelenggarakan Program Pensiun Manfaat Pasti. Pasal 43 (1) Permohonan pengesahan pemisahan Dana Pensiun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1) dilakukan berdasarkan tata cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan Pasal 10 dan dilengkapi pula dengan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (3). (2) Dalam rangka pemisahan sebagaimana dimaksud dlam Pasal 42 ayat (1) atau ayat (2), Menteri menetapkan pada tanggal yang sama keputusan pengesahanperubahan Peraturan Dana Pensiun dan pengesahan atau pembentukan Dana Pensiun baru. (3) Pengurus wajib mengumumkan pengesahan Menteri atas perubahan Peraturan Dana Pensiun dan pembentukan Dana Pensiun baru sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Pasal 44 Sejak tanggal pengesahan atau persetujuan Menteri atas pemisahan Dana Pensiun,maka sebagian kepesertaan, kekayaan dan kewajiban dari Dana Pensiun yang melakukan pemisahan beralih ke Dana Pensiun yang baru. Pasal 45 Penggabungan dan pemisahan Dana Pensiun tidak boleh menyebabkan berkurangnya hak Peserta sampai pada saat pengesahan atau persetujuan Menteri. BAB VII PENGALIHAN KEPESERTAAN Pasal 46 (1) Pengalihan Peserta dari suatu Dana Pensiun ke Dana Pensiun yang lain, yang merupakan kebijaksanaan Pemberi Kerja, hanya dapat dilakukan dengan ketentuan : a kedua Dana Pensiun memiliki Program Pensiun yang sama; b harus ada Pemberi Kerja yang bertanggung jawab atas kewajiban yang berkaitan dengan masa kerja kelompok karyawan yang dialihkan sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Dana Pesniun sebelum berlakunya pengalihan. (2) Dalam hal pengalihan Peserta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan pengalihan kelompok Peserta yang ditetapkan dalam Peraturan Dana Pensiun atau pengalihan Mitra Pendiri, maka pengalihan harus dilakukan dengan merubah Peraturan Dana Pensiun. Pasal 47 (1) Pendiri Dana Pensiun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (2) mengajukan permohonan pengesahan atas perubahan Peraturan Dana Pensiun dengan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan Pasal 10. (2) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilampiri dengan : a Pernyataan tertulis Pendiri dari Dana Pensiun yang mengalihkan tentang kesediaannya untuk melakukan pengalihan kelompok Peserta atau Mitra Pendiri; b pernyataan tertulis Pendiri atau Mitra Pendiri dari Dana Pensiun yang menerima pengalihan tentang kesediaannya untuk menerima pengalihan. c laporan keuangan sebelum dan sesudah pengalihan dari Dana Pensiun yang melakukan pengalihan dan Dana Pensiun yang menerima pengalihan, yang telah diaudit oleh akuntan publik; d laporan aktuaris sebelum dan sesudah pengalihan dari Dana Pensiun yang melakukan pengalihan dan Dana Pensiun yang menerima pengalihan, apabila Dana Pensiun menyelenggarakan Program Pensiun Manfaat Pasti; (3) Dalam hal Pemberi Kerja dari kelompok Peserta yang dialihkan atau Mitra Pendiri yang dialihkan menjadi Mitra Pendiri dari Dana Pensiun yang menerima pengalihan, maka permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus delengkapi dengan pernyataan tertulisnya selaku Mitra Pendiri, tentang kesediaannya untuk tunduk pada Peraturan Dana Pensiun dari Dana Pensiun yang menerima pengalihan, serta pemberian kuasa penuh kepada Pendiri untuk melaksanakan Peraturan Dana Pensiun. Pasal 48 (1) Dalam hal pengalihan mengakibatkan perubahan Peraturan Dana Pensiun yang melakukan pengalihan dan perubahan Peraturan Dana Pensiun yang menerima pengalihan, maka Menteri menetapkan pada tanggal yang sama keputusan pengesahan perubahan Peraturan Dana Pensiun dari Dana Pensiun yang menerima pengalihan dan perubahan Peraturan Dana Pensiun dari Dana Pensiun yang melakukan pengalihan. (2) Dengan pengesahan Menteri tentang perubahan Peraturan Dana Pensiun, maka seluruh kepesertaan dan kewajiban serta kekayaan dari kelompok peserta yang dialihkan beralih ke Dana Pensiun yang menerima pengalihan. Pasal 49 Pengalihan kepesertaan tidak boleh menyebabkan berkurangnya hak Peserta sampai pada saat pengalihan. BAB VIII PEMBAGIAN KEKAYAAN DANA PENSIUN YANG DILIKUIDASI Pasal 50 (1) Pembagian kekayaan Dana Pensiun yang dilikuidasi dilakukan dengan urutan sebagai berikut : a Peserta, pensiunan, Janda/Duda, Anak, dan pihak lain yang berhak atas Manfaat Pensiun; d Pihak-pihak selain pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf a (2) Pembagian kekayaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan setelah dipenuhi kewajiban kepada negara. Pasal 51 (1) Pada Dana Pensiun yang menyelenggarakan Program Pensiun Manfaat Pasti, dalam hal masih terdapat kelebihan kekayaan setelah seluruh kewajiban kepada pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 diselesaikan, maka kelebihan dimaksud wajib dipergunakan untuk meningkatkan Manfaat Pensiun bagi Peserta, pensiunan, Janda/Duda, Anak dan pihak lain yang berhak sampai batas maksimum yang ditetapkan Menteri. (2) Dalam hal masih terdapat kelebihan kekayaan setelah dilakukan peningkatan Manfaat Pensiun sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka kelebihan dimaksud wajib dibagikan secara sekaligus kepada Peserta, pensiunan, Janda/Duda, Anak dan pihak lain yang berhak atas Manfaat Pensiun, secara berimbang sebanding dengan besar Manfaat Pensiun yang menjadi hak masing-masing pihak. (3) Dalam rangka peningkatan Manfaat Pensiun sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Peserta yang memiliki masa kepesertaan kurang dari 3 (tiga) tahun berhak atas Manfaat Pensiun berdasarkan rumus Manfaat Pensiun yang ditetapkan dalam Peraturan Dana Pensiun. Pasal 52 Pada Dana Pensiun yang menyelenggarakan Program Pensiun Manfaat Pasti, dalam hal sisa kekayaan tidak cukup untuk memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) huruf a, maka Manfaat Pensiun bagi Peserta, pensiunan, Janda/Duda, Anak dan pihak lain yang berhak dikurangi secara berimbang, sehingga jumlah seluruh kewajiban terhadap pihak-pihak tersebut sama dengan sisa kekayaan Dana Pensiun. Pasal 53 (1) Bagi Peserta yang belum berhak menerima pembayaran Manfaat Pensiun dari Dana Pensiun yang dilikuidasi, haknya dialihkan ke Dana Pensiun Lembaga Keuangan. (2) Bagi Pensiunan, Janda/Duda atau Anak yang telah menerima pembayaran Manfaat Pensiun dan bagi Peserta yang telah berhak menerima pembayaran Manfaat Pensiun dari Dana Pensiun yang dilikuidasi, haknya dibagikan dengan membeli anuitas dari Peresahaan Asuransi jiwa berdasarkan pilihan Peserta atau pihak yang berhak. (3) Dalam hal pembagian hak Peserta, pensiunan, Janda/Duda atau anak atau pihak lain yang berhak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) menghasilkan Manfaat Pensiun yang lebih kecil dari jumlah tertentu yang ditetapkan oleh Menteri berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (3) Undang-undang Dana Pensiun, maka nilai sekarang Manfaat Pensiun tersebut dapat dibayarkan sekaligus. BAB IX KETENTUAN PERALIHAN Pasal 54 (1) Setiap Yayasan Dana Pensiun yang dinyatakan telah mendapatkan pengesahan sebagai Dana Pensiun berdasarkan Undang-undang Dana Pensiun, wajib menyesuaikan diri dengan ketentuan Undang-undang Dana Pensiun dan peraturan pelaksanaannya. (2) Penyesuaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh Pendiri dengan mengajukan permohonan kepada Menteri. (3) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilampiri dengan ; a. Peraturan Dana Pensiun yang baru; b. anggaran Dasar dan peraturan pensiun Yayasan Dana Pensiun yang berlaku sampai dengan tangggal 20 April 1992; c. pernyataan tertulis Pendiri dan pernyataan tertulis Mitra Pendiri bila ada; d. surat penunjukan Pengurus, Dewan Pengawas, dan Penerima Titipan; e. arahan investasi, f. Laporan aktuaris per tanggal 31 desember 1991 apabila Yayasan dana Pensiun menyelenggarakan Program Pensiun Manfaat Pasti; g. surat perjanjian antara Pengurus dan Penerima titipan; h. Laporan Keuangan per tanggal 31 Desember 1991 yang telah diaudit oleh akuntan Publik; i. Rekapitulasi Peserta bagi Dana Pensiun yang menyelenggarakan pembayaran uang secara sekaligus; j. Nomor Pokok Wajib Pajak Dana Pensiun. (4) Pernyataan tertulis Pendiri dan Mitra Pendiri sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf c harus memenuhi ketentuan Pasal 6 dan memuat pernyataan tentang pemberlakuan Peraturan Dana Pensiun. Pasal 55 (1) Dana Pensiun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 tetap dapat melanjutkan Program Pensiun yang menjanjikan pembayaran uang sekaligus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (4) Undang-undang dana Pensiun bagi karyawan yang telah menjadi Peserta sebelum tanggal 20 April 1992. (2) Dalam hall dana Pensiun sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) menyelenggarakan Program Pensiun bagi karyawan yang menjadi Peserta setelah tanggal 20 April 1992, maka Program Pensiun yang diselenggarakan harus berdasarkan Undang-undang Dana Pensiun dan perturan pelaksanaannya. (3) Peserta Program Pensiun sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat beralih menjadi Pesertta ke Program Pensiun sebagaimana dimaksud dalam ayat (2). (4) Bagi Peserta yang beralih kepesertaannya sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), pada saat pensiun, dapat memilih untuk menerima pembayaran Manfaat Pensiun secara sekaligus sampai sebanyak-banyak 20% (dua puluh per seratus) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (4) Undang-undang Dana Pensiun, atau sebesar yang seharusnya diterima pada tanggal 20 April 1992 berdasarkan Program Pensiun sebagaiman dimaksud dlam ayat (1). Pasal 56 Dana Pensiun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, yang sebelum tanggal 20 April 1992 telah menetapkan Manfaat Pensiun secara berkala melebihi Manfaat Pensiun maksimum sebagaimana ditetapkan Menteri berdasarkan ketentuan Pasal 18 ayat (2) Undang-undang Dana Pensiun, tetap dapat melanjutkan pembayaran dimaksud sampai diselesaikannya seluruh kewajiban bagi karyawan yang telah menjadi Peserta sebelum tanggal 20 April 1992. BAB X KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 57 (1) Setiap orang atau badan usaha yang telah menjalankan program yang menjanjikan pembayaran sejumlah uang yang dikaitkan dengan pencapaian usia tertentu sebelum tanggal 20 April 1992, dengan nama apapun baik dengan atau tanpa iuran, apabila tetap melanjutkan program tersebut wajib mengajukan permohonan pengesahan pembentukan Dana Pensiun kepada Menteri selambat-lambatnya sebelau tanggal 20 April 1993. (2) Permohonan pengesahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan oleh Pendiri dengan memenuhi persyaratan dan tata cara pengesahan dalam Peraturan Pemerintah ini. (3) Persyaratan sebagimana dimaksud dalam ayat (2) dilengkapi pula dengan : a. Dokumen yang menunjukkan Program Pensiun telah diselenggarakan sebelum tanggal 20 April 1992; b. rekapitulasi Peserta bagi yang menyelenggarakan pembayaran uang secara sekaligus. (4) Ketentuan mengenai penyesuaian investasi, pembayaran Manfaat Pensiun sekaligus, dan pembayaran Manfaat Pensiun maksimum secara berkala, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (3) Undang-undang Dana Pensiun, serta ketentuan Pasal 55 dan Pasal 56 Peraturan Pemerintah ini berlaku pula bagi Dana Pensiun yang mendapat pengesahan Menteri berdasarkan ketentuan dalam ayat (1), ayat (2) dan ayat (3). Pasal 58 Terhitung sejak tanggal 1 Januari 1993, Perusahaan Asuransi Jiwa dilarang menjual program yang didalamnya terkandung janji Pemberi Kerja kepada karyawannya untuk membayarkan sejumlah uang yang pembayarannya dikaitkan dengan pencapaian usia tertentu. Pasal 59 Perusahaan Asuransi Jiwa yang telah menjual program sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 sebelum tanggal 1 Januari 1993 tetap dapat melanjutkan program tersebut sampai berakhirnya perjanjian pertanggungan dimaksud. BAB XI KETENTUAN PENUTUP Pasal 60 Peraturan Pemerintah ihi mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 30 Nopember 1992 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA ttd. S O E H A R T O Diundangkan di Jakarta pada tanggal 30 Nopember 1992 MENTERI/SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA ttd. M O E R D I O N O LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1992 NOMOR 120 Salinan sesuai dengan aslinya SEKRETARIAT KABINET RI Kepala Biro Hukum dan Perundang-undangan Kasowo, S.H. LL.M. "," 76/PP/1992 DANA PENSIUN PEMBERI KERJA 30 Nopember 1992 30 Nopember 1992 30 Nopember 1992 'UUD 1945 | Pasal 5 ayat (2)', '11/UU/1992' " " No.18 /34/ DPPK Jakarta, 13 Desember 2016 S U R A T E D A R A N Kepada SEMUA BANK UMUM DEVISA DI INDONESIA Perihal : Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak Domestik Sehubungan dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/18/PBI/2016 tentang Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak Domestik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 183, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5926), yang selanjutnya disebut PBI, perlu mengatur ketentuan pelaksanaan mengenai Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak Domestik dalam Surat Edaran Bank Indonesia sebagai berikut: I. TRANSAKSI 1. Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan pihak domestik atas dasar suatu kontrak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) PBI diatur sebagai berikut: a. Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah untuk kepentingan sendiri adalah apabila Bank berperan sebagai counterparty dalam bertransaksi dengan pihak domestik, dimana kedudukan Bank dan pihak domestik setara. Contoh: Bank A melakukan Transaksi Spot USD/IDR sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat) dengan Nasabah X. Dalam hal ini, posisi Bank A sebagai counterparty dari Nasabah X. b. Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah untuk kepentingan pihak domestik adalah apabila Bank bertransaksi atas nama pihak … 2 pihak domestik, dimana Bank bertindak sebagai pihak yang mewakili kepentingan pihak domestik. Contoh: Nasabah A meminta kepada Bank B untuk mewakili Nasabah A tersebut untuk melakukan transaksi dengan Bank X Ltd di luar negeri. Dalam hal ini, transaksi yang terjadi adalah antara Nasabah A dengan Bank X Ltd, dimana posisi Bank B hanya merupakan perantara. c. Kontrak yang digunakan dalam Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah berupa: 1) konfirmasi tertulis berupa kontrak transaksi valuta asing (derivatif) yang lazim digunakan oleh pelaku pasar dan/atau diterbitkan oleh asosiasi terkait; dan/atau 2) konfirmasi tertulis yang menunjukkan terjadinya transaksi yang antara lain berupa dealing conversation atau print out dari Society of Worldwide Interbank Financial Telecommunication (SWIFT). d. Kontrak yang digunakan dalam Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah yang dilakukan Bank untuk kepentingan sendiri paling kurang berisi: 1) nomor kontrak; 2) tanggal transaksi dan tanggal valuta; 3) nilai nominal transaksi; 4) nama counterparty; 5) mata uang (denominasi); dan 6) rekening bank koresponden. e. Kontrak yang digunakan dalam Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah yang dilakukan Bank untuk kepentingan Nasabah paling kurang berisi: 1) nomor kontrak; 2) hak dan kewajiban dari kedua belah pihak (Bank dan Nasabah) dalam hal Bank diberi kewenangan untuk mewakili Nasabah; 3) tanggal transaksi dan tanggal valuta; 4) nilai nominal transaksi; 5) pagu Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah; 6) jenis … 3 6) 7) jenis valuta yang diperjualbelikan; jenis transaksi yang digunakan; 8) besarnya komisi; dan 9) rekening bank koresponden. f. Kontrak transaksi valuta asing (derivatif) yang digunakan oleh pelaku pasar dapat berupa perjanjian induk derivatif Indonesia sebagaimana contoh kontrak transaksi valuta asing (derivatif) yang tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini. g. Penggunaan kontrak sebagaimana dimaksud pada huruf f dalam Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah merupakan tanggung jawab masing-masing pihak yang melakukan transaksi. h. Dalam hal kontrak yang digunakan Bank dalam Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah sebagaimana dimaksud dalam huruf d dan huruf e mencantumkan penggunaan acuan kurs dalam penyelesaian transaksi pada saat jatuh waktu, Bank harus mengacu pada kurs yang diterbitkan Bank Indonesia. i. Kurs yang diterbitkan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam huruf h yang selanjutnya disebut Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) merupakan representasi harga Spot Dolar Amerika Serikat (US Dollar) terhadap Rupiah dari transaksi antar-Bank di pasar domestik termasuk transaksi Bank dengan bank di luar negeri, yang dilaporkan Bank melalui Sistem Monitoring Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah (SISMONTAVAR). j. JISDOR yang diterbitkan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam huruf i diatur sebagai berikut: 1) Bank Indonesia menerbitkan JISDOR setiap hari kerja melalui website Bank Indonesia dan/atau media lainnya. 2) Penggunaan JISDOR berlaku untuk transaksi US Dollar terhadap Rupiah. 2. Bank wajib memberikan edukasi tentang Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah kepada Nasabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf c PBI antara lain melalui seminar, workshop, Focus Group Discussion (FGD), dan kegiatan sejenis yang bertujuan … 4 bertujuan untuk memberikan pemahaman kepada Nasabah mengenai manfaat dan risiko Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah. 3. Dalam melakukan Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah dengan Nasabah, Bank wajib menggunakan kuotasi harga (kurs) valuta asing terhadap Rupiah yang ditetapkan oleh Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) PBI. Contoh: Bank A melakukan Transaksi Spot USD/IDR dengan Nasabah B. Dalam hal ini, Bank A wajib menggunakan kuotasi harga USD/IDR yang ditetapkan oleh Bank A, dan bukan berasal dari Nasabah B. 4. Transaksi yang dilakukan oleh Bank dengan Kegiatan Usaha Penukaran Valuta Asing (KUPVA) berupa pembelian valuta asing terhadap Rupiah oleh KUPVA dengan Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 PBI diatur sebagai berikut: a. Underlying Transaksi berupa kegiatan usaha jual beli Uang Kertas Asing (UKA) oleh Kegiatan Usaha Penukaran Valuta Asing (KUPVA) Bank dan KUPVA bukan Bank yang memiliki izin dari Bank Indonesia yang masih berlaku untuk memenuhi kebutuhan Nasabah KUPVA; b. Bank dapat memenuhi kebutuhan pembelian valuta asing terhadap Rupiah yang dilakukan KUPVA hanya dalam bentuk UKA; c. Penyerahan UKA dalam penyelesaian transaksi pembelian valuta asing terhadap Rupiah dari Bank kepada KUPVA harus dilakukan secara fisik; d. Penyerahan dana Rupiah dalam penyelesaian transaksi pembelian valuta asing terhadap Rupiah dapat dilakukan melalui pemindahbukuan rekening. 5. Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah meliputi transaksi pembelian dan penjualan dalam denominasi seluruh valuta asing terhadap Rupiah. 6. Untuk pembelian dan penjualan valuta asing terhadap Rupiah, selain US Dollar terhadap Rupiah sebagaimana dimaksud dalam angka 5 (misalnya Yen terhadap Rupiah, Euro terhadap Rupiah), perhitungan jumlah tertentu (threshold) kewajiban Underlying Transaksi adalah sebagai berikut : Keterangan … 5 (𝑘𝑢𝑟𝑠 𝑏𝑒𝑙𝑖 𝑈𝑆𝐷+𝑘𝑢𝑟𝑠 𝑗𝑢𝑎𝑙 𝑈𝑆𝐷) 2 (𝑘𝑢𝑟𝑠 𝑏𝑒𝑙𝑖 𝑛𝑜𝑛 𝑈𝑆𝐷+𝑘𝑢𝑟𝑠 𝑗𝑢𝑎𝑙 𝑛𝑜𝑛 𝑈𝑆𝐷) 2 x threshold dalam USD Keterangan: Kurs pada rumus adalah terhadap Rupiah 7. Kurs sebagaimana dimaksud dalam angka 6 merupakan kurs penutupan Bank Indonesia pada 1 (satu) hari kerja sebelumnya (H-1), yang tersedia pada sistem Laporan Harian Bank Umum (LHBU). 8. Pembelian dan penjualan valuta asing terhadap Rupiah dapat dilakukan untuk: a. b. jenis valuta asing yang sama dengan yang tercantum dalam dokumen Underlying Transaksi; atau jenis valuta asing yang berbeda dengan dokumen Underlying Transaksi apabila disertai dengan dokumen yang dapat menjelaskan alasan perbedaan tersebut. 9. Pembelian valuta asing terhadap Rupiah oleh Nasabah kepada Bank tanpa Underlying Transaksi hanya dapat dilakukan paling banyak: a. sebesar USD25,000.00 (dua puluh lima ribu dolar Amerika Serikat) atau ekuivalennya per bulan per Nasabah melalui Transaksi Spot; b. sebesar USD100,000.00 (seratus ribu dolar Amerika Serikat) atau ekuivalennya per bulan per Nasabah melalui Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah yang standar (plain vanilla). 10. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka 9 huruf a berlaku pula untuk pembelian valuta asing terhadap Rupiah yang dilakukan dalam rangka transaksi swap jual (Spot beli pada near leg). Contoh: Perusahaan A melakukan transaksi swap jual valuta asing terhadap Rupiah dengan nominal sebesar USD30,000.00 (tiga puluh ribu dolar Amerika Serikat). Atas transaksi dimaksud, Perusahaan A wajib menyampaikan dokumen Underlying Transaksi karena terdapat pembelian valuta asing terhadap Rupiah pada near leg (Spot) sebesar USD30,000.00 (tiga puluh ribu dolar Amerika Serikat). 11. Dokumen … 6 11. Dokumen Underlying Transaksi untuk transaksi swap jual sebagaimana dimaksud pada angka 10 dapat menggunakan Underlying Transaksi dari transaksi swap jual dimaksud, termasuk Underlying Transaksi berupa penjualan valuta asing terhadap Rupiah. 12. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka 9 huruf b berlaku pula untuk pembelian valuta asing terhadap Rupiah yang dilakukan dalam rangka transaksi swap beli (forward beli pada far leg). Contoh: Perusahaan B melakukan transaksi swap jual valuta asing terhadap Rupiah dengan nominal sebesar USD150,000.00 (seratus lima puluh ribu dolar Amerika Serikat). Atas transaksi dimaksud, Perusahaan B wajib menyampaikan dokumen Underlying Transaksi karena terdapat pembelian valuta asing terhadap Rupiah pada far leg (forward) sebesar USD150,000.00 (seratus lima puluh ribu dolar Amerika Serikat). 13. Pembelian valuta asing terhadap Rupiah oleh Nasabah kepada Bank dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. Perhitungan 1 (satu) bulan didasarkan pada bulan kalender, yaitu sejak tanggal permulaan bulan kalender sampai dengan tanggal berakhirnya bulan kalender. Contoh: Pada tanggal 2 November 20xx, Nasabah melakukan pembelian valuta asing terhadap Rupiah melalui Transaksi Spot sebesar USD10,000.00 (sepuluh ribu dolar Amerika Serikat). Pada tanggal 4 November 20xx, Nasabah kembali melakukan pembelian valuta asing terhadap Rupiah melalui Transaksi Spot sebesar USD15,000.00 (lima belas ribu dolar Amerika Serikat) dan melalui transaksi forward sebesar USD30,000.00 (tiga puluh ribu dolar Amerika Serikat). Selanjutnya pada tanggal 6 November 20xx, Nasabah kembali melakukan pembelian valuta asing terhadap Rupiah melalui transaksi forward sebesar USD70,000.00 (tujuh puluh ribu dolar Amerika Serikat). Seluruh transaksi tersebut telah mencapai batas maksimum yang diperhitungkan sebagai transaksi pembelian valuta asing terhadap Rupiah tanpa Underlying Transaksi pada bulan November 20xx, yaitu Transaksi Spot sebesar USD25,000.00 (dua puluh lima ribu dolar Amerika Serikat) dan Transaksi Derivatif … 7 Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah sebesar USD100,000.00 (seratus ribu dolar Amerika Serikat). Nasabah dapat kembali melakukan pembelian valuta asing terhadap Rupiah tanpa Underlying Transaksi melalui Transaksi Spot dan Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah paling banyak sebesar threshold pada bulan berikutnya. b. Perhitungan nominal transaksi didasarkan pada tanggal transaksi. Contoh: Pada tanggal 11 November 20xx, Nasabah melakukan pembelian valuta asing terhadap Rupiah melalui Transaksi Spot beli sebesar USD5,000.00 (lima ribu dolar Amerika Serikat). Kemudian, Nasabah kembali melakukan Transaksi Spot beli valuta asing terhadap Rupiah pada tanggal 30 November 20xx sebesar USD10,000.00 (sepuluh ribu dolar Amerika Serikat). Perhitungan transaksi pembelian valuta asing terhadap Rupiah oleh Nasabah sampai dengan tanggal 30 November 20xx adalah sebesar USD15,000.00 (lima belas ribu dolar Amerika Serikat). c. Perhitungan nominal transaksi pembelian valuta asing terhadap Rupiah didasarkan pada jenis transaksi (Transaksi Spot dan Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah). Contoh: Pada tanggal 11 November 20xx, Nasabah melakukan pembelian valuta asing terhadap Rupiah melalui Transaksi Spot sebesar USD10,000.00 (sepuluh ribu dolar Amerika Serikat). Kemudian Nasabah melakukan pembelian valuta asing terhadap Rupiah melalui transaksi forward pada tanggal 17 November 20xx sebesar USD20,000.00 (dua puluh ribu dolar Amerika Serikat). Pada tanggal 18 November 20xx, Nasabah kembali melakukan pembelian valuta asing terhadap Rupiah melalui Transaksi Spot sebesar USD15,000.00 (lima belas ribu dolar Amerika Serikat) dan melalui transaksi option sebesar USD40,000.00 (empat puluh ribu dolar Amerika Serikat). Perhitungan transaksi pembelian valuta asing terhadap Rupiah oleh Nasabah pada akhir bulan November 20xx adalah sebesar USD25,000.00 (dua puluh lima ribu dolar Amerika Serikat) melalui Transaksi Spot dan … d P hi 8 dan sebesar USD60,000.00 (enam puluh ribu dolar Amerika Serikat) melalui Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah (forward dan option). d. Perhitungan nominal transaksi didasarkan pada akumulasi seluruh transaksi dalam 1 (satu) bulan kalender yang dilakukan oleh masing-masing Nasabah baik secara tunai maupun non tunai dalam bentuk simpanan valuta asing. Contoh: Nasabah A melakukan pembelian valuta asing terhadap Rupiah di Bank X melalui Transaksi Spot sebesar USD5,000.00 (lima ribu dolar Amerika Serikat) pada tanggal 11 November 20xx. Kemudian, pada tanggal 13 November 20xx Nasabah A melakukan konversi simpanan Rupiah menjadi simpanan valuta asing dalam US Dollar dengan cara pembelian valuta asing terhadap Rupiah melalui Transaksi Spot di Bank X sebesar USD20,000.00 (dua puluh ribu dolar Amerika Serikat). Selanjutnya, pada tanggal 14 November 20xx Nasabah A melakukan lagi konversi simpanan Rupiah menjadi simpanan valuta asing dalam US Dollar dengan cara pembelian valuta asing terhadap Rupiah melalui transaksi forward di Bank X sebesar USD30,000.00 (tiga puluh ribu dolar Amerika Serikat). Perhitungan kumulatif transaksi Nasabah A pada akhir bulan November 20xx adalah sebesar USD25,000.00 (dua puluh lima ribu dolar Amerika Serikat) untuk pembelian melalui Transaksi Spot dan sebesar USD30,000.00 (tiga puluh ribu dolar Amerika Serikat) untuk pembelian melalui Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah (forward). e. Untuk Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah melalui rekening gabungan (joint account) yang dimiliki lebih dari 1 (satu) Nasabah, jumlah nominal Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah dihitung per rekening gabungan (joint account). Contoh: Nasabah A dan Nasabah B memiliki joint account. Pada tanggal 11 November 20xx, Nasabah A melakukan Transaksi Spot pembelian valuta asing terhadap Rupiah melalui joint account sebesar … 9 sebesar USD15,000.00 (lima belas ribu dolar Amerika Serikat). Atas transaksi tersebut, Nasabah A tidak wajib menyampaikan dokumen Underlying Transaksi. Pada tanggal 24 November 20xx, Nasabah B melakukan Transaksi Spot pembelian valuta asing terhadap Rupiah melalui joint account yang sama sebesar USD20,000.00 (dua puluh ribu dolar Amerika Serikat). Atas pembelian valuta asing tersebut, Nasabah B wajib menyampaikan dokumen Underlying Transaksi dan dokumen pendukung paling lambat pada tanggal 26 November 20xx karena jumlah pembelian valuta asing terhadap Rupiah yang dilakukan melalui joint account pada bulan November 20xx telah melebihi USD25,000.00 (dua puluh lima ribu dolar Amerika Serikat), yaitu sebesar USD35,000.00 (tiga puluh lima ribu dolar Amerika Serikat). 14. Penjualan valuta asing terhadap Rupiah melalui Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah oleh Nasabah kepada Bank tanpa Underlying Transaksi hanya dapat dilakukan paling banyak: a. sebesar USD5,000,000.00 (lima juta dolar Amerika Serikat) atau ekuivalennya per transaksi per Nasabah melalui transaksi forward; b. sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat) atau ekuivalennya per transaksi per Nasabah melalui transaksi option. II. UNDERLYING TRANSAKSI 1. Underlying Transaksi berupa pemberian kredit atau pembiayaan Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf c PBI diatur sebagai berikut: a. Fasilitas pemberian kredit termasuk pemberian kredit antarnasabah yang belum ditarik, tidak dapat menjadi Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (5) huruf c PBI. b. Underlying Transaksi berupa kredit termasuk pemberian kredit antarnasabah baik dalam bentuk tunai maupun barang yang telah ditarik, nominal Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah paling banyak sama dengan nominal kredit yang telah ditarik. Contoh: … 10 Contoh: Pada tanggal 10 Januari 20xx, PT B mendapatkan komitmen kredit valuta asing sebesar USD50,000,000.00 (lima puluh juta dolar Amerika Serikat) dari C Ltd. di luar negeri yang merupakan perusahaan afiliasi PT B. Kredit valuta asing tersebut diberikan dalam bentuk tunai dan barang. Pada tanggal 1 Februari 20xx, PT B melakukan penarikan pinjaman dari C Ltd. dalam bentuk tunai sebesar USD10,000,000.00 (sepuluh juta dolar Amerika Serikat) dan dalam bentuk barang sebesar USD5,000,000.00 (lima juta dolar Amerika Serikat). Atas penarikan kredit ini, PT B dapat melakukan pembelian valuta asing terhadap Rupiah melalui transaksi forward untuk kepentingan lindung nilai kredit tersebut paling banyak sebesar jumlah dari kredit yang ditarik dalam bentuk tunai dan barang, yaitu USD15,000,000.00 (lima belas juta dolar Amerika Serikat). c. Underlying Transaksi berupa kredit termasuk pemberian kredit antarnasabah yang telah ditarik, jatuh waktu Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah paling lama sama dengan jatuh waktu pelunasan kredit yang ditarik tersebut. Contoh: Pada tanggal 2 Januari 20xx, PT A melakukan penarikan kredit valuta asing dari Bank X sebesar USD2,000,000.00 (dua juta dolar Amerika Serikat) dengan jatuh waktu pelunasan kredit pada tanggal 30 Juni 20xx. PT A dapat melakukan pembelian valuta asing terhadap Rupiah melalui transaksi forward paling banyak sebesar USD2,000,000.00 (dua juta dolar Amerika Serikat) dengan jatuh waktu transaksi forward paling lama sama dengan tanggal pelunasan kredit yaitu tanggal 30 Juni 20xx. d. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c berlaku pula untuk pembiayaan Bank berdasarkan prinsip Syariah. 2. Underlying Transaksi berupa kegiatan jual beli UKA oleh KUPVA sebagaimana dimaksud dalam butir I.4.a diatur sebagai berikut: a. merupakan … 11 a. merupakan jumlah kebutuhan pembelian valuta asing terhadap Rupiah yang dihitung berdasarkan besarnya selisih antara total penjualan valuta asing dengan total pembelian valuta asing (net jual) KUPVA kepada Nasabah selama 1 (satu) bulan terakhir dari bulan dilakukannya pembelian valuta asing terhadap Rupiah oleh KUPVA kepada Bank; Contoh: Tanggal 10 November 20xx, KUPVA XYZ melakukan pembelian valuta asing kepada Bank ABC sebesar USD300,000.00 (tiga ratus ribu dolar Amerika Serikat) dengan menggunakan dokumen Underlying Transaksi berupa data net jual KUPVA XYZ kepada Nasabah bulan Oktober 20xx sebesar USD559,000.00 (lima ratus lima puluh sembilan ribu dolar Amerika Serikat). Tanggal 24 November 20xx, KUPVA XYZ melakukan pembelian valuta asing lagi kepada Bank ABC sebesar USD150,000.00 (seratus lima puluh ribu dolar Amerika Serikat) dengan tetap menggunakan dokumen Underlying Transaksi berupa data net jual KUPVA XYZ kepada Nasabah bulan Oktober 20xx sebesar USD559,000.00 (lima ratus lima puluh sembilan ribu dolar Amerika Serikat). Sampai dengan akhir bulan November 20xx, KUPVA XYZ masih dapat melakukan pembelian valuta asing kepada Bank sepanjang tidak melampaui sisa plafon dokumen Underlying Transaksi berupa data net jual KUPVA XYZ kepada Nasabah pada bulan Oktober 20xx, yaitu sebesar USD109,000.00 (seratus sembilan ribu dolar Amerika Serikat). b. perhitungan net jual sebagaimana dimaksud dalam huruf a, tidak memperhitungkan transaksi jual beli UKA KUPVA dengan Bank dan/atau KUPVA lainnya. Contoh perhitungan jumlah kebutuhan pembelian valuta asing terhadap Rupiah oleh KUPVA kepada Bank tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini; 3. Underlying Transaksi penjualan valuta asing terhadap Rupiah melalui transaksi forward berupa kepemilikan dana valuta asing di dalam negeri … 12 negeri dan/atau di luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat 6 PBI diatur sebagai berikut: a. Nominal paling banyak sebesar saldo dan/atau jumlah kepemilikan dana valuta asing di dalam negeri dan/atau di luar negeri. Contoh: Nasabah A memiliki deposito valuta asing di Bank X sebesar USD20,000,000.00 (dua puluh juta dolar Amerika Serikat). Berdasarkan Underlying Transaksi berupa deposito valuta asing tersebut, Nasabah A dapat melakukan penjualan valuta asing terhadap Rupiah melalui transaksi forward paling banyak sebesar USD20,000,000.00 (dua puluh juta dolar Amerika Serikat). b. Dalam hal dana valuta asing ditempatkan pada instrumen yang memiliki tanggal jatuh waktu antara lain berupa deposito dan/atau Negotiable Certificate of Deposit (NCD), jatuh waktu penjualan valuta asing terhadap Rupiah melalui transaksi forward paling lama sama dengan jatuh waktu penempatan dana tersebut. Contoh: Nasabah A memiliki deposito dalam valuta asing yang akan jatuh waktu tanggal 31 Maret 20xx. Atas kepemilikan deposito dalam valuta asing tersebut, Nasabah A dapat melakukan penjualan dalam valuta asing terhadap Rupiah melalui transaksi forward dengan jatuh waktu paling lama tanggal 31 Maret 20xx. c. Dalam hal dana valuta asing ditempatkan pada instrumen yang tidak memiliki tanggal jatuh waktu antara lain berupa tabungan atau giro, jatuh waktu penjualan valuta asing terhadap Rupiah melalui transaksi forward tidak dibatasi. Contoh: Pada tanggal 2 Januari 20xx, Nasabah A memiliki rekening valuta asing dalam bentuk tabungan sebesar USD20,000,000.00 (dua puluh juta dolar Amerika Serikat). Atas kepemilikan dana valuta asing tersebut, pada tanggal 2 Januari 20xx, Nasabah A dapat melakukan penjualan valuta asing terhadap Rupiah melalui transaksi forward sebesar USD12,000,000.00 (dua belas juta dolar Amerika Serikat) yang jatuh waktu pada tanggal 2 Februari 20xx dan … 13 dan sebesar USD8,000,000.00 (delapan juta dolar Amerika Serikat) yang jatuh waktu pada tanggal 2 Juni 20xx. d. Dalam hal kepemilikan dana valuta asing berupa instrumen yang tidak memiliki tanggal jatuh waktu sebagaimana dimaksud dalam butir c, saldo rekening valuta asing pada instrumen tersebut paling kurang sama dengan nominal penjualan valuta asing terhadap Rupiah melalui transaksi forward untuk sepanjang waktu transaksi forward dimaksud. Contoh: Pada tanggal 5 Februari 20xx, PT B memiliki tabungan dalam valuta asing sebesar USD6,000,000.00 (enam juta dolar Amerika Serikat). Pada tanggal yang sama, PT B melakukan penjualan valuta asing terhadap Rupiah melalui transaksi forward sebesar USD6,000,000.00 (enam juta dolar Amerika Serikat) dengan jangka waktu 1 (satu) bulan. PT B harus memiliki saldo tabungan valuta asing dengan jumlah paling kurang USD6,000,000.00 (enam juta dolar Amerika Serikat) selama 1 (satu) bulan ke depan sampai dengan transaksi forward tersebut jatuh waktu. 4. Dalam hal nilai nominal Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) PBI tidak dalam kelipatan USD5,000.00 (lima ribu dolar Amerika Serikat) maka terhadap nilai nominal Underlying Transaksi dimaksud dapat dilakukan pembulatan ke atas dalam kelipatan USD5,000.00 (lima ribu dolar Amerika Serikat). Contoh 1: Perusahaan A memiliki kewajiban kepada vendor di luar negeri sebesar USD73,500.00 (tujuh puluh tiga ribu lima ratus dolar Amerika Serikat). Atas dasar Underlying Transaksi dimaksud, Perusahaan A dapat melakukan Transaksi Spot beli sebesar USD75,000.00 (tujuh puluh lima ribu dolar Amerika Serikat). Contoh 2: Perusahaan B memiliki kewajiban kepada vendor di luar negeri sebesar USD61,000.00 (enam puluh satu ribu dolar Amerika Serikat). Atas dasar Underlying Transaksi dimaksud, Perusahaan A dapat melakukan Transaksi Spot beli sebesar USD65,000.00 (enam puluh lima ribu dolar Amerika Serikat). 5. Dalam … 14 5. Dalam hal nilai nominal Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud pada Pasal 6 ayat (5) PBI tidak dalam kelipatan USD10,000.00 (sepuluh ribu dolar Amerika Serikat) maka terhadap nilai nominal Underlying Transaksi dimaksud dapat dilakukan pembulatan ke atas dalam kelipatan USD10,000.00 (sepuluh ribu dolar Amerika Serikat). Contoh: Perusahaan B memiliki utang dalam valuta asing dengan nominal sebesar USD1,432,500.00 (satu juta empat ratus tiga puluh dua ribu lima ratus dolar Amerika Serikat). Perusahaan B dapat melakukan lindung nilai dengan melakukan transaksi forward beli sebesar USD1,440,000.00 (satu juta empat ratus empat puluh ribu dolar Amerika Serikat). III. PENYELESAIAN TRANSAKSI 1. Kewajiban penyelesaian Transaksi Spot dengan pemindahan dana pokok secara penuh (full movement of fund) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) PBI diatur sebagai berikut: a. pemindahan dana pokok secara penuh (full movement of fund) dilakukan secara riil atas nilai pokok masing-masing transaksi jual dan/atau transaksi beli yang disepakati pada awal transaksi tersebut; b. pemindahan dana pokok secara penuh (full movement of fund) tersebut didukung oleh tersedianya sejumlah dana riil yang cukup untuk membiayai transaksi dimaksud (good fund), dan bukan didasarkan pada aspek pencatatan dalam pembukuan (akuntansi); dan c. dana pokok tersebut digunakan untuk proses penyelesaian Transaksi Spot pada tanggal valuta, dan tercatat pada sistem treasury Bank, yang dapat dibuktikan dari urutan waktu penyelesaian transaksi. Contoh: Nasabah A melakukan transaksi pembelian Spot US Dollar terhadap Rupiah dengan Bank B sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat) pada kurs Spot USD/IDR 13.000,00. Pada tanggal valuta, Nasabah A wajib melakukan penyerahan dana Rupiah melalui pemindahan dana pokok secara … 15 secara penuh (full movement of fund) sebesar Rp13.000.000.000,00 (tiga belas miliar rupiah) secara riil pada saat proses penyelesaian transaksi tersebut dilakukan, dan tercatat pada sistem treasury Bank yang dapat dibuktikan berdasarkan urutan waktu penyelesaian transaksi. Bank B wajib melakukan penyerahan dana US Dollar melalui pemindahan dana pokok secara penuh (full movement of fund) sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat) secara riil pada saat proses penyelesaian transaksi tersebut dilakukan, dan tercatat pada sistem treasury Bank, yang dapat dibuktikan berdasarkan urutan waktu penyelesaian transaksi. 2. Penyelesaian Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah antara Bank dengan Nasabah dan antar-Bank yang dapat dilakukan secara netting hanya berlaku untuk perpanjangan transaksi (roll over), percepatan penyelesaian transaksi (early termination), dan pengakhiran transaksi (unwind) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) dan ayat (3) PBI. 3. Kewajiban pemindahan dana pokok secara penuh (full movement of fund) untuk penyelesaian penjualan valuta asing terhadap Rupiah oleh Nasabah kepada Bank melalui transaksi forward dengan nominal transaksi paling banyak sebesar jumlah tertentu (threshold) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (4) dan ayat (5) PBI diatur sebagai berikut: a. Kewajiban penyelesaian dengan pemindahan dana pokok secara penuh (full movement of fund) dilakukan pada saat jatuh waktu transaksi forward jual. b. Dalam hal sebelum berakhirnya kontrak transaksi forward jual awal dilakukan perpanjangan transaksi (roll over) atau percepatan penyelesaian transaksi (early termination), kewajiban penyelesaian dengan pemindahan dana pokok secara penuh (full movement of fund) dilakukan pada saat berakhirnya kontrak perpanjangan transaksi (roll over) atau kontrak percepatan penyelesaian transaksi (early termination). c. Penyelesaian penjualan valuta asing terhadap Rupiah melalui transaksi forward paling banyak sejumlah threshold tidak dapat dilakukan melalui pengakhiran transaksi (unwind) karena tidak terdapat … 16 terdapat pemindahan dana pokok secara penuh (full movement of fund). d. Perpanjangan transaksi (roll over) atau percepatan penyelesaian transaksi (early termination) sebagaimana dimaksud dalam huruf b dapat dilakukan sepanjang didukung oleh Underlying Transaksi dari transaksi forward jual awal. Contoh 1: Perpanjangan transaksi (roll over) penjualan valuta asing terhadap Rupiah melalui transaksi forward dengan nominal transaksi paling banyak sebesar threshold. Nasabah A merupakan eksportir barang-barang kerajinan. Pada tanggal 15 Januari 20xx, Nasabah A melakukan ekspor dengan nilai sebesar USD4,000,000.00 (empat juta dolar Amerika Serikat) yang akan dibayar pada saat barang diterima yaitu pada tanggal 15 April 20xx. Atas penerimaan tersebut, pada tanggal 15 Januari 20xx Nasabah A melakukan transaksi forward jual USD/IDR kepada Bank B sebesar USD4,000,000.00 (empat juta dolar Amerika Serikat) dengan forward rate USD/IDR 13.000,00 dan jangka waktu 3 (tiga) bulan (jatuh waktu pada tanggal 15 April 20xx) tanpa menyerahkan dokumen Underlying Transaksi. Nasabah A mengalami kesulitan dalam produksi sehingga terjadi keterlambatan pengiriman barang yang berdampak terhadap keterlambatan pembayaran dari importir di luar negeri. Pembayaran baru akan diterima pada tanggal 15 Mei 20xx. Atas keterlambatan tersebut, pada tanggal 13 April 20xx Nasabah A meminta kepada Bank B untuk melakukan perpanjangan (roll over) transaksi forward jual awal selama 1 (satu) bulan dengan jatuh waktu pada tanggal 15 Mei 20xx. Nasabah A memperpanjang transaksi forward jual awal dengan cara membuka transaksi swap buy-sell kepada Bank sebesar USD4,000,000.00 (empat juta dolar Amerika Serikat) dengan swap rate USD/IDR 13.300,00. Kurs Spot USD/IDR tanggal 13 April 20xx adalah Rp13.100,00. Atas transaksi swap buy-sell dalam rangka perpanjangan (roll over) tersebut, Nasabah A wajib menyerahkan dokumen Underlying … 17 Underlying Transaksi dari Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah awal. Pada saat perpanjangan transaksi (roll over) dilakukan, Nasabah A membayar selisih kurs kepada Bank B sebesar Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah) yang berasal dari perhitungan ((Rp13.100,00-Rp13.000,00) x USD4,000,000.00). Pada tanggal 15 Mei 20xx (yang merupakan tanggal jatuh waktu kontrak perpanjangan transaksi forward), Nasabah A menyerahkan USD4,000,000.00 (empat juta dolar Amerika Serikat), kepada Bank B untuk penyelesaian kontrak dan menerima Rupiah sebesar Rp53.200.000.000,00 (lima puluh tiga miliar dua ratus juta rupiah) yang berasal dari perhitungan (Rp13.300,00 x USD4,000,000.00). Contoh 2: Percepatan penyelesaian transaksi (early termination) penjualan valuta asing terhadap Rupiah melalui transaksi forward dengan nominal transaksi paling banyak sebesar threshold. PT C merupakan eksportir kerajinan. Pada tanggal 10 Januari 20xx, PT C melakukan ekspor barang ke luar negeri dengan nilai nominal sebesar USD2,000,000.00 (dua juta dolar Amerika Serikat) yang pembayarannya akan diterima 3 (tiga) bulan kemudian yaitu pada tanggal 10 April 20xx. Pada tanggal yang sama, PT C melakukan lindung nilai dengan transaksi forward jual valuta asing terhadap Rupiah kepada Bank D sebesar USD2,000,000.00 (dua juta dolar Amerika Serikat) dengan forward … 18 forward rate USD/IDR 13.000,00 tanpa menyerahkan dokumen Underlying Transaksi. Pada awal Maret 20xx, lini produksi PT C melakukan percepatan produksi sehingga dapat melakukan pengiriman barang 1 (satu) bulan lebih cepat sehingga pembayaran dapat diterima lebih cepat menjadi tanggal 10 Maret 20xx. Dengan mempertimbangkan percepatan penerimaan tersebut, pada tanggal 8 Maret 20xx, PT C meminta Bank D untuk melakukan percepatan penyelesaian transaksi (early termination) sebesar USD2,000,000.00 (dua juta dolar Amerika Serikat) dengan melakukan transaksi swap sell-buy dengan kurs Spot Rp13.100 dan swap rate Rp13.200,00. Atas transaksi swap tersebut, PT C wajib menyerahkan dokumen Underlying Transaksi atas transaksi forward jual awal. Pada tanggal 10 Maret 20xx, PT C menyerahkan dana valuta asing sebesar USD2,000,000.00 (dua juta dolar Amerika Serikat) kepada Bank D dan menerima dana Rupiah sebesar Rp26.200.000.000,00 (dua puluh enam miliar dua ratus juta rupiah) yang berasal dari perhitungan (Rp13.100,00 x USD2,000,000.00) yang diselesaikan dengan pemindahan dana pokok secara penuh (full movement of fund). Pada tanggal 10 April 20xx dimana transaksi forward jual jatuh waktu, PT C menyerahkan dana Rupiah kepada Bank D sebesar Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah) yang berasal dari perhitungan ((Rp13.200,00 – Rp13.000,00) x USD2,000,000.00). Contoh 3: Penyelesaian penjualan valuta asing terhadap Rupiah melalui transaksi forward paling banyak sejumlah threshold tidak dapat dilakukan … 19 dilakukan melalui pengakhiran transaksi (unwind) karena tidak terdapat pemindahan dana pokok secara penuh (full movement of fund). Nasabah A melakukan transaksi forward jual dengan tenor 1 (satu) bulan sebesar USD2,000,000.00 (dua juta dolar Amerika Serikat) pada tanggal 15 Januari 20xx kepada Bank C dengan forward rate USD/IDR 13.000,00 dan hanya menyampaikan dokumen pendukung. Setelah transaksi berjalan 2 (dua) minggu, nilai tukar Rupiah melemah hingga mencapai kurs Spot USD/IDR 13.500,00, Nasabah A ingin melakukan pengakhiran transaksi (unwind) atas transaksi tersebut tanpa melakukan pemindahan dana pokok secara penuh (full movement of fund). Hal tersebut tidak dapat dilakukan. 4. Penyelesaian transaksi secara netting atas perpanjangan transaksi (roll over), percepatan penyelesaian transaksi (early termination), dan pengakhiran transaksi (unwind) tidak dapat dilakukan untuk transaksi forward jual valuta asing terhadap Rupiah oleh Nasabah kepada Bank dengan menggunakan Underlying Transaksi berupa kepemilikan dana valuta asing di dalam negeri dan di luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (7) PBI. Contoh: Nasabah A melakukan transaksi forward jual dengan tenor 1 (satu) bulan sebesar USD10,000,000.00 (sepuluh juta dolar Amerika Serikat) pada tanggal 15 Januari 20xx kepada Bank C dengan forward rate USD/IDR 13.000,00. Atas transaksi tersebut, Nasabah A menggunakan simpanan valuta asing pada Bank sebagai Underlying Transaksi. Setelah transaksi berjalan 2 (dua) minggu, nilai tukar Rupiah melemah hingga mencapai kurs spot USD/IDR 13.500,00, Nasabah A ingin melakukan pengakhiran transaksi (unwind) atas transaksi tersebut secara netting. Penyelesaian secara netting atas transaksi tersebut tidak dapat dilakukan. 5. Penyelesaian Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah oleh Nasabah kepada Bank atas perpanjangan transaksi (roll over), percepatan penyelesaian transaksi (early termination), dan pengakhiran … 20 pengakhiran transaksi (unwind) untuk Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah yang standar (plain vanilla) dengan nilai nominal paling banyak sebesar threshold sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2) PBI dapat dilakukan secara netting sepanjang didukung dengan Underlying Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah awal. IV. TRANSAKSI STRUCTURED PRODUCT 1. Bank dilarang melakukan transaksi structured product valuta asing terhadap Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) PBI. 2. Larangan transaksi structured product sebagaimana dimaksud pada angka 1 dikecualikan untuk structured product valuta asing terhadap Rupiah berupa Call Spread Option yang didukung oleh Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) PBI. 3. Yang dimaksud dengan Call Spread Option sebagaimana dimaksud dalam angka 2 adalah gabungan beli call option dan jual call option yang dilakukan secara simultan dalam satu kontrak transaksi dengan strike price yang berbeda dan nominal yang sama. Contoh: Atas kewajiban valuta asing yang dimilikinya sebesar USD5,000,000.00 (lima juta dolar Amerika Serikat), Nasabah A melakukan transaksi Call Spread Option yaitu dengan cara melakukan pembelian Call Option dengan strike price 1 sebesar Rp13.000,00 dan penjualan Call Option dengan strike price 2 sebesar Rp14.000,00 yang dilakukan secara simultan dengan nominal USD5,000,000.00 (lima juta dolar Amerika Serikat). 4. Bank yang melakukan transaksi structured product valuta asing terhadap Rupiah berupa Call Spread Option dengan Nasabah diatur sebagai berikut: a. Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah dalam bentuk structured product valuta asing terhadap Rupiah berupa Call Spread Option wajib memiliki Underlying Transaksi. Contoh … 21 Contoh: Nasabah A melakukan transaksi Call Spread Option dengan Bank B sebesar USD10,000.00 (sepuluh ribu dolar Amerika Serikat) dengan tenor 2 (dua) tahun, maka transaksi dimaksud wajib memiliki Underlying Transaksi paling sedikit sebesar USD10,000.00 (sepuluh ribu dolar Amerika Serikat). b. Nominal transaksi structured product valuta asing terhadap Rupiah berupa Call Spread Option tidak melebihi nominal Underlying Transaksi. Contoh: PT X melakukan transaksi Call Spread Option valuta asing terhadap Rupiah dengan menggunakan Underlying Transaksi berupa utang luar negeri sebesar USD100,000.00 (seratus ribu dolar Amerika Serikat) maka transaksi Call Spread Option dapat dilakukan sepanjang tidak melebihi nominal Underlying Transaksi, yaitu sebesar USD100,000.00 (seratus ribu dolar Amerika Serikat). c. Jangka waktu transaksi structured product valuta asing terhadap Rupiah berupa Call Spread Option tidak melebihi jangka waktu Underlying Transaksi. Contoh: PT C memiliki Underlying Transaksi berupa pinjaman dengan jangka waktu 2 (dua) tahun maka transaksi Call Spread Option dapat dilakukan paling lama 2 (dua) tahun. d. Transaksi Call Spread Option valuta asing terhadap Rupiah merupakan satu kesatuan transaksi yang dilakukan secara simultan sehingga perhitungan nominal transaksi tidak dihitung 2 (dua) kali. Contoh: Nasabah B melakukan transaksi Call Spread Option sebesar USD200,000.00 (dua ratus ribu dolar Amerika Serikat). Meskipun transaksi Call Spread Option merupakan gabungan dari 2 (dua) transaksi Call Option (beli dan jual) maka nominal tetap dihitung sebesar USD200,000.00 (dua ratus ribu dolar Amerika Serikat) dan bukan USD400,000.00 (empat ratus ribu dolar Amerika Serikat). 5. Transaksi … 22 5. Transaksi structured product valuta asing terhadap Rupiah berupa Call Spread Option wajib dilakukan secara dynamic hedging sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) PBI. 6. Dynamic hedging sebagaimana dimaksud dalam angka 5 diatur sebagai berikut: a. Dynamic hedging dilakukan untuk memastikan pelaku transaksi Call Spread Option tidak terekspos pada risiko nilai tukar akibat kurs pasar melampaui kisaran kurs Call Spread Option awal. Contoh: Nasabah A melakukan transaksi Call Spread Option dengan Bank B dengan strike price 1 sebesar USD/IDR 13.000,00 dan strike price 2 sebesar USD/IDR 15.000,00, dengan tenor 3 (tiga) tahun dengan Underlying Transaksi berupa utang luar negeri. Apabila pada tahun ke 2 (dua) Nasabah A menilai bahwa nilai tukar Rupiah akan lebih besar daripada strike price 2 sebesar USD/IDR 15.000,00, maka Nasabah A melakukan transaksi Call Spread Option berikutnya (dynamic hedging) dengan strike price 3 sama dengan strike price 2 sebesar USD/IDR 15.000,00 dan strike price 4 sebesar USD/IDR 16.000,00. b. Dynamic hedging wajib dilakukan dengan persyaratan sebagai berikut: 1) Kisaran kurs tidak overlap dengan kisaran kurs transaksi Call Spread Option awal. Contoh: Nasabah A melakukan transaksi Call Spread Option dengan Bank B dengan strike price 1 sebesar USD/IDR 13.000,00 dan strike price 2 sebesar USD/IDR 15.000,00 dengan tenor 3 (tiga) tahun dengan Underlying Transaksi berupa utang luar negeri. Apabila pada tahun ke 2 (dua) nilai tukar Rupiah ditransaksikan mencapai USD/IDR 15.100,00 sehingga melampaui strike price 2 yaitu USD/IDR 15.000,00, maka Nasabah A melakukan transaksi Call Spread Option berikutnya dengan strike price 3 sebesar USD/IDR 14.500,00 dan strike price 4 sebesar USD/IDR 16.500,00 (overlap). Hal tersebut bukan merupakan dynamic hedging karena terjadi overlap, sehingga transaksi tersebut … 23 tersebut dianggap sebagai kontrak Call Spread Option yang berbeda dan tidak dapat menggunakan Underlying Transaksi yang sama dengan transaksi Call Spread Option awal. 2) Kisaran kurs tidak memiliki gap dengan kisaran kurs transaksi Call Spread Option awal. Contoh: PT X melakukan transaksi Call Spread Option dengan Bank C dengan strike price 1 sebesar USD/IDR 14.000,00 dan strike price 2 sebesar USD/IDR 16.000,00 dengan tenor 4 (empat) tahun dengan Underlying Transaksi berupa pinjaman. Apabila pada tahun ke 2 (dua) nilai tukar Rupiah ditransaksikan mencapai USD/IDR 16.500,00 sehingga melampaui strike price 2 yaitu USD/IDR 16.000,00, maka PT X melakukan transaksi Call Spread Option berikutnya dengan strike price 3 sebesar USD/IDR 16.500,00 dan strike price 4 sebesar USD/IDR 17.500,00 (gap). Hal tersebut bukan merupakan dynamic hedging karena terjadi gap, sehingga transaksi tersebut dianggap sebagai kontrak Call Spread Option yang berbeda dan tidak dapat menggunakan Underlying Transaksi yang sama dengan transaksi Call Spread Option awal. 3) Menggunakan Underlying Transaksi yang sama dan belum jatuh waktu. Contoh: Nasabah A melakukan transaksi Call Spread Option dengan Bank B dengan strike price 1 sebesar USD/IDR 13.000,00 dan strike price 2 sebesar USD/IDR 15.000,00, dengan tenor 3 (tiga) tahun dan Underlying Transaksi berupa utang luar negeri. Apabila pada tahun ke 2 (dua) nilai tukar Rupiah mencapai USD/IDR 15.500,00 sehingga melampaui strike price 2 yaitu USD/IDR 15.000,00, maka Nasabah A melakukan transaksi Call Spread Option berikutnya dengan strike price 3 sebesar USD/IDR 15.000,00 dan strike price 4 sebesar USD/IDR 16.000,00. Hal … 24 Hal tersebut merupakan dynamic hedging dan dapat menggunakan Underlying Transaksi yang sama dengan transaksi Call Spread Option awal. 4) Nominal tidak bersifat kumulatif. Contoh: Pada tanggal 1 Februari 20xx, PT A melakukan transaksi lindung nilai atas utang valuta asing yang dimilikinya sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat) melalui Call Spread Option dengan strike price 1 sebesar USD/IDR 13.000,00 dan strike price 2 sebesar USD/IDR 14.000,00, dengan nominal sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat). Pada tanggal 1 Agustus 20xx, nilai tukar Rupiah melemah menjadi sebesar USD/IDR 14.100,00 sehingga PT A melakukan dynamic hedging dengan melakukan transaksi Call Spread Option berikutnya pada strike price 3 sebesar USD/IDR 14.000,00 dan strike price 4 sebesar USD/IDR 15.000,00, dengan nominal sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat). Nominal transaksi Call Spread Option tersebut dihitung bukan kumulatif namun mengacu kepada nominal transaksi Call Spread Option awal sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat). 5) Memiliki jangka waktu paling kurang 6 (enam) bulan untuk transaksi Call Spread Option awal yang memiliki sisa jatuh waktu 6 (enam) bulan atau lebih. Contoh: Pada tanggal 1 Februari 20xx, PT B melakukan transaksi lindung nilai atas utang valuta asing yang dimilikinya sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat) melalui Call Spread Option dengan strike price 1 sebesar USD/IDR 13.000,00 dan strike price 2 sebesar USD/IDR 14.000,00 dengan nominal sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat), dengan jangka waktu selama 2 (dua) tahun. Pada tanggal 1 April 20xx, nilai tukar Rupiah melemah menjadi sebesar USD/IDR 14.100,00 sehingga PT B wajib melakukan dynamic hedging dengan melakukan pembelian … 25 pembelian Call Spread Option pada strike price 3 sebesar USD/IDR 14.000,00 dan strike price 4 sebesar USD/IDR 15.000,00, dengan nominal sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat) dengan jangka waktu minimal sampai dengan 1 Oktober 20xx atau minimal 6 (enam) bulan. 6) Mengikuti sisa jatuh waktu transaksi Call Spread Option awal untuk transaksi Call Spread Option awal yang memiliki sisa jatuh waktu kurang dari 6 (enam) bulan. Contoh: Pada tanggal 1 Maret 20xx, PT C melakukan transaksi Call Spread Option sebesar USD2,000,000.00 (dua juta dolar Amerika Serikat) dengan strike price 1 sebesar USD/IDR 14.000,00 dan strike price 2 sebesar USD/IDR 15.000,00 dengan jangka waktu 3 (tiga) bulan atau tanggal 1 Juni 20xx. Pada tanggal 10 April 20xx nilai tukar Rupiah melemah menjadi sebesar USD/IDR 15.200,00. Atas dasar hal tersebut PT C wajib melakukan dynamic hedging dengan melakukan transaksi Call Spread Option yang kedua pada strike price 3 sebesar USD/IDR 15.000,00 dan strike price 4 sebesar USD/IDR 16.000,00 dengan jangka waktu paling lama sampai dengan jatuh waktu transaksi Call Spread Option awal, yaitu pada tanggal 1 Juni 20xx. 7) Dilakukan paling lambat 1 (satu) hari kerja apabila kurs pasar melampaui kisaran kurs Call Spread Option awal. Contoh: Pada tanggal 1 Januari 20xx, Nasabah Y melakukan transaksi Call Spread Option dengan Bank Z dengan strike price 1 sebesar USD/IDR 13.000,00 dan strike price 2 sebesar USD/IDR 15.000,00 dengan tenor 3 (tiga) tahun dan Underlying Transaksi berupa utang luar negeri. Apabila pada tanggal 1 September 20xx kurs pasar (kurs penutupan Bank Indonesia hari yang sama dalam LHBU) melampaui strike price 2 yaitu sebesar USD/IDR 15.200,00 maka Nasabah Y wajib melakukan transaksi Call Spread Option berikutnya (dynamic hedging) dengan strike price 3 sebesar … 26 sebesar USD/IDR 15.000,00 dan strike price 4 sebesar USD/IDR 16.500,00 (dynamic hedging) paling lambat pada 1 (satu) hari kerja berikutnya yaitu pada tanggal 2 September 20xx. 8) Kurs pasar sebagaimana dimaksud pada butir 7) adalah kurs penutupan Bank Indonesia hari yang sama dalam LHBU (setelah pukul 16.00); atau acuan kurs lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. 7. Transaksi Spot yang dilakukan dalam rangka transaksi structured product valuta asing terhadap Rupiah berupa Call Spread Option dapat menggunakan Underlying Transaksi yang sama dengan transaksi Call Spread Option awal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 PBI. Contoh 1: Perusahaan A melakukan transaksi Call Spread Option USD/IDR dengan tenor 1 (satu) tahun, nominal sebesar USD2,000,000.00 (dua juta dolar Amerika Serikat), dengan strike price 1 sebesar USD/IDR 13.000,00 dan strike price 2 sebesar USD/IDR 15.000,00, dan Underlying Transaksi berupa pinjaman sebesar USD2,000,000.00 (dua juta dolar Amerika Serikat). Pada saat transaksi Call Spread Option jatuh waktu, kurs pasar berada pada level USD/IDR 13.500,00 sehingga perusahaan A melakukan eksekusi (exercise) transaksi Call Spread Option dan melakukan pembelian valuta asing terhadap Rupiah melalui Transaksi Spot pada strike price 1 sebesar USD/IDR 13.000,00. Contoh 2: PT X melakukan transaksi Call Spread Option USD/IDR dengan tenor 1 (satu) tahun, nominal sebesar USD3,000,000.00 (tiga juta dolar Amerika Serikat), dengan strike price 1 sebesar USD/IDR 12.000,00 dan strike price 2 sebesar USD/IDR 14.000,00, dan Underlying Transaksi berupa pinjaman sebesar USD3,000,000.00 (tiga juta dolar Amerika Serikat). Pada saat transaksi Call Spread Option, jatuh waktu kurs pasar berada pada level USD/IDR 11.500,00 dan PT X tidak melakukan eksekusi (exercise) transaksi Call Spread Option tersebut, dan melakukan pembelian valuta asing terhadap Rupiah melalui Transaksi Spot beli pada kurs pasar yaitu USD/IDR 11.500,00 dengan nominal sebesar USD3,000,000.00 (tiga juta dolar Amerika Serikat). PT X… 27 PT X dapat menggunakan Underlying Transaksi yang sama dengan Underlying Transaksi Call Spread Option awal berupa pinjaman untuk melakukan Transaksi Spot dimaksud. Contoh 3: PT X melakukan transaksi Call Spread Option USD/IDR dengan tenor 1 (satu) tahun, nominal sebesar USD3,000,000.00 (tiga juta dolar Amerika Serikat), dengan strike price 1 sebesar USD/IDR 13.000,00 dan strike price 2 sebesar USD/IDR 14.000,00, dan Underlying Transaksi berupa pinjaman sebesar USD3,000,000.00 (tiga juta dolar Amerika Serikat). Pada saat transaksi Call Spread Option jatuh waktu, kurs pasar melemah dan berada pada level USD/IDR 14.200,00. PT X dapat melakukan pembelian valuta asing terhadap Rupiah melalui Transaksi Spot pada kurs USD/IDR 13.200,00 (dari perhitungan Rp14.200,00-(Rp14.000,00-Rp13.000,00)) dengan nominal sebesar USD3,000,000.00 (tiga juta dolar Amerika Serikat). PT X dapat menggunakan Underlying Transaksi yang sama dengan Underlying Transaksi Call Spread Option awal berupa pinjaman untuk melakukan Transaksi Spot dimaksud. V. PENGATURAN UNDERLYING DAN TRANSAKSI VALUTA ASING TERHADAP RUPIAH DALAM RANGKA TAX AMNESTY Underlying Transaksi berupa investasi dan/atau transaksi yang dilakukan dalam rangka pelaksanaan kebijakan Pemerintah terkait perpajakan berupa tax amnesty diatur sebagai berikut: 1. Underlying Transaksi berupa kebijakan tax amnesty yang dapat digunakan dalam rangka Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah adalah yang mengakibatkan adanya pengalihan harta ke wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (repatriasi dana) dan didukung oleh dokumen repatriasi dana dalam rangka tax amnesty. Contoh: Wajib Pajak A (Nasabah Domestik) melakukan deklarasi dana sebesar USD50,000,000.00 (lima puluh juta dolar Amerika Serikat) dan repatriasi dana valuta asing dalam rangka kebijakan tax amnesty sebesar USD10,000,000.00 (sepuluh juta dolar Amerika Serikat). Maka Wajib … 28 Wajib Pajak A dapat menggunakan bukti repatriasi dana sebesar USD10,000,000.00 (sepuluh juta dolar Amerika Serikat) sebagai Underlying Transaksi dalam melakukan Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah. 2. Dokumen repatriasi dana dalam rangka tax amnesty dapat digunakan sebagai Underlying Transaksi pada saat wajib pajak melakukan lindung nilai terhadap investasi dana repatriasi di pasar domestik, antara lain investasi saham, obligasi, dan penempatan dana pada Bank. Contoh: Wajib Pajak B melakukan repatriasi dana valuta asing dalam rangka kebijakan tax amnesty sebesar USD100,000,000.00 (seratus juta dolar Amerika Serikat). Dana valuta asing tersebut kemudian dijual untuk memperoleh Rupiah (konversi dari valuta asing ke Rupiah) untuk diinvestasikan sebesar ekuivalen USD40,000,000.00 (empat puluh juta dolar Amerika Serikat) pada surat berharga negara, USD40,000,000.00 (empat puluh juta dolar Amerika Serikat) pada saham, dan USD20,000,000.00 (dua puluh juta dolar Amerika Serikat) pada deposito Rupiah. Wajib Pajak B kemudian melakukan lindung nilai terhadap investasi dimaksud melalui transaksi forward beli total sebesar USD100,000,000.00 (seratus juta dolar Amerika Serikat). Wajib Pajak B menggunakan Underlying Transaksi berupa dokumen repatriasi dana dalam rangka tax amnesty. 3. Dokumen repatriasi dana dalam rangka tax amnesty digunakan sebagai Underlying Transaksi paling singkat 3 (tiga) tahun sebagaimana diatur dalam ketentuan Pemerintah yang mengatur mengenai pengampunan pajak (dalam masa periode kewajiban menginvestasikan dana repatriasi di dalam negeri). Contoh: Wajib Pajak C melakukan repatriasi dana dalam rangka kebijakan tax amnesty sebesar ekuivalen Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah). Dana yang direpatriasi tersebut diinvestasikan dalam portofolio saham selama 4 (empat) tahun. Bukti dokumen repatriasi dana dalam rangka kebijakan tax amnesty tersebut dapat dijadikan dokumen Underlying Transaksi, dalam masa periode kewajiban menginvestasikan … 29 menginvestasikan dana repatriasi di dalam negeri yaitu selama 4 (empat) tahun. 4. Underlying Transaksi berupa dokumen repatriasi dana dalam rangka tax amnesty hanya dapat digunakan 1 (satu) kali pada saat terjadinya konversi dana masuk (dari valuta asing ke Rupiah) dan 1 (satu) kali pada saat terjadinya konversi dana keluar (dari Rupiah ke valuta asing). Contoh 1 (dokumen disampaikan 1 (satu) kali pada saat konversi): Wajib Pajak D melakukan repatriasi dana valuta asing dalam rangka kebijakan tax amnesty sebesar USD10,000,000.00 (sepuluh juta dolar Amerika Serikat). Dana valuta asing tersebut kemudian dijual untuk memperoleh Rupiah untuk diinvestasikan dalam aset-aset Rupiah ekuivalen sebesar USD10,000,000.00 (sepuluh juta dolar Amerika Serikat). Wajib Pajak D hanya bisa menggunakan Underlying Transaksi berupa dokumen repatriasi dana dalam rangka tax amnesty 1 (satu) kali, yaitu pada saat wajib pajak D melakukan konversi dana keluar sebesar USD10,000,000.00 (sepuluh juta dolar Amerika Serikat). Contoh 2 (Penggunaan dokumen di akhir periode kebijakan tax amnesty): Wajib pajak E melakukan repatriasi dana tax amnesty dan melakukan konversi dana masuk (valuta asing ke Rupiah) sebesar USD15,000,000.00 (lima belas juta dolar Amerika Serikat). Dalam masa periode kewajiban menginvestasikan dana repatriasi di dalam negeri, dana repatriasi tersebut diinvestasikan/ditempatkan dalam aset-aset Rupiah. Dengan demikian, wajib pajak E dapat menggunakan Underlying Transaksi berupa dokumen repatriasi dana dalam rangka tax amnesty untuk melakukan konversi dana keluar (Rupiah ke valuta asing) sebesar ekuivalen USD15,000,000.00 (lima belas juta dolar Amerika Serikat) dari hasil likuidasi aset Rupiah pada akhir periode kewajiban menginvestasikan dana repatriasi di dalam negeri. 5. Dalam hal wajib pajak menggunakan dokumen repatriasi dana dalam rangka tax amnesty sebagai Underlying Transaksi pada saat dilakukan konversi dana keluar sebelum periode kewajiban menginvestasikan dana repatriasi di dalam negeri berakhir, maka hasil konversi tersebut hanya dapat diinvestasikan dalam mata uang valuta asing hingga periode … 30 periode kewajiban menginvestasikan dana repatriasi di dalam negeri berakhir. Contoh (penggunaan dokumen dalam masa periode kebijakan tax amnesty): Pada tanggal 1 Desember 2016, wajib pajak F melakukan repatriasi dana dengan melakukan konversi dari valuta asing ke Rupiah sebesar USD5,000,000.00 (lima juta dolar Amerika Serikat), dan dilakukan investasi pada aset Rupiah. Pada tanggal 1 Juni 2017, sebelum berakhirnya periode kewajiban menginvestasikan dana repatriasi di dalam negeri, dana tersebut dikonversi dari Rupiah ke valuta asing dengan menggunakan Underlying Transaksi berupa dokumen repatriasi dana dalam rangka tax amnesty. Selanjutnya, wajib pajak F hanya dapat melakukan investasi dalam mata uang valuta asing di pasar keuangan domestik sejak 1 Juni 2017 hingga berakhirnya periode kewajiban menginvestasikan dana repatriasi di dalam negeri. 6. Wajib pajak dapat melakukan konversi dana keluar dilakukan secara bertahap, dengan menggunakan Underlying Transaksi berupa dokumen repatriasi dana dalam rangka tax amnesty, dengan tidak melampaui nominal Underlying Transaksi dana repatriasi. Contoh (pembelian secara bertahap bertahap): Pada tanggal 1 Desember 2016, wajib pajak F melakukan repatriasi dana dengan melakukan konversi dari valuta asing ke Rupiah sebesar USD50,000,000.00 (lima puluh juta dolar Amerika Serikat), dan dilakukan investasi pada aset Rupiah. Pada tanggal 1 Maret 2017, sebelum berakhirnya periode kewajiban menginvestasikan dana repatriasi di dalam negeri, dana tersebut dikonversi sebagian dari Rupiah ke valuta asing sebesar ekuivalen USD20,000,000 (dua puluh juta dolar Amerika Serikat) dengan menggunakan Underlying Transaksi berupa dokumen repatriasi dana dalam rangka tax amnesty, maka wajib pajak F hanya bisa melakukan investasi dana tersebut dalam mata uang asing. Pada tanggal 1 Desember 2017, wajib pajak F kembali melakukan konversi sebagian dari Rupiah ke valuta asing sebesar ekuivalen USD10,000,000.00 (sepuluh juta dolar Amerika Serikat), maka wajib pajak dapat menggunakan Underlying Transaksi berupa dokumen repatriasi dana dalam rangka tax amnesty yang sama, namun wajib pajak F … 31 pajak F hanya bisa melakukan investasi dana tersebut dalam mata uang asing. Pada tanggal 1 Desember 2018, wajib pajak F kembali melakukan konversi sebagian dari Rupiah ke valuta asing sebesar ekuivalen USD15,000,000.00 (lima belas juta dolar Amerika Serikat), maka wajib pajak dapat kembali menggunakan Underlying Transaksi berupa dokumen repatriasi dana dalam rangka tax amnesty yang sama, dan hanya dapat diinvestasikan dalam mata uang asing hingga berakhirnya periode kewajiban menginvestasikan dana repatriasi di dalam negeri. 7. Kewajiban memiliki Underlying Transaksi berupa repatriasi dana untuk Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah oleh wajib pajak tidak berlaku untuk perpanjangan transaksi (roll over) atau pengakhiran transaksi (unwind) dalam rangka penyelesaian Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah dalam rangka lindung nilai. Contoh 1 (perpanjangan transaksi lindung nilai (roll over)): Pada tanggal 1 Desember 2016, Wajib Pajak G melakukan transaksi forward beli USD/IDR sebesar USD10,000,000.00 (sepuluh juta dolar Amerika Serikat) dengan tenor selama 1 (satu) tahun dan jatuh waktu tanggal 1 Desember 2017, dengan menggunakan Underlying Transaksi berupa dokumen repatriasi dana dalam rangka tax amnesty. Pada saat transaksi forward tersebut akan jatuh waktu, Wajib Pajak F melakukan perpanjangan transaksi (roll over) selama 1 (satu) tahun dan jatuh waktu pada tanggal 1 Desember 2018. Wajib Pajak G melakukan transaksi swap beli USD/IDR (sell buy) kepada Bank yang sama sebesar USD10,000,000.00 (sepuluh juta dolar Amerika Serikat). Atas perpanjangan transaksi (roll over) tersebut, Wajib Pajak G tidak wajib menyerahkan dokumen Underlying Transaksi baru. Contoh 2 (pengakhiran transaksi lindung nilai (unwind)): Pada tanggal 1 Januari 20xx, Wajib Pajak H melakukan transaksi forward beli USD/IDR sebesar USD20,000,000.00 (dua puluh juta dolar Amerika Serikat) dengan tenor 9 (sembilan) bulan dan jatuh waktu tanggal 1 Oktober 20xx, dengan menggunakan Underlying Transaksi berupa dokumen repatriasi dana dalam rangka tax amnesty. Pada bulan ke-6 (enam) yaitu tanggal 1 Juli 20xx, Wajib Pajak H melakukan pengakhiran transaksi (unwind) atas transaksi forward dimaksud … 32 dimaksud. Wajib Pajak H melakukan Transaksi Spot jual USD/IDR sebesar USD20,000,000.00 (dua puluh juta dolar Amerika Serikat) dengan Bank yang sama. Atas pengakhiran transaksi (unwind) tersebut, Wajib Pajak H tidak wajib menyerahkan dokumen Underlying Transaksi baru. 8. Dalam hal dilakukan percepatan penyelesaian transaksi (early termination) atas Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah yang menggunakan Underlying Transaksi berupa dokumen repatriasi dana dalam rangka tax amnesty, maka hasil konversi dana keluar (Rupiah ke valuta asing) tersebut hanya dapat diinvestasikan dalam mata uang valuta asing hingga berakhirnya periode kewajiban menginvestasikan dana repatriasi di dalam negeri. Contoh: Pada tanggal 1 Januari 20xx, wajib pajak AA melakukan transaksi forward beli USD/IDR sebesar USD20,000,000.00 (dua puluh juta dolar Amerika Serikat) dengan tenor 9 (sembilan) bulan dan jatuh waktu tanggal 1 Oktober 20xx, dengan menggunakan Underlying Transaksi berupa dokumen repatriasi dana dalam rangka tax amnesty. Pada bulan ke-6 (enam) yaitu tanggal 1 Juli 20xx, wajib pajak AA melakukan percepatan penyelesaian transaksi (early termination) atas transaksi forward dimaksud. Wajib pajak AA melakukan transaksi swap jual USD/IDR (buy sell) kepada Bank yang sama sebesar USD20,000,000.00 (dua puluh juta dolar Amerika Serikat). Atas percepatan penyelesaian transaksi (early termination) tersebut, wajib pajak AA tidak wajib menyerahkan dokumen Underlying Transaksi baru. Namun demikian, dana valuta asing hasil konversi sebesar USD20,000,000.00 (dua puluh juta dolar Amerika Serikat) tersebut hanya dapat diinvestasikan dalam instrumen valuta asing di pasar keuangan domestik sejak 1 Juli 20xx hingga berakhirnya periode kewajiban menginvestasikan dana repatriasi di dalam negeri. 9. Dalam hal dilakukan pengakhiran transaksi (unwind) terhadap Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah menggunakan Underlying Transaksi berupa dokumen repatriasi dana dalam rangka tax amnesty, maka wajib pajak dapat menggunakan dokumen repatriasi dana dalam rangka tax amnesty yang sama paling banyak 1 (satu) … 33 (satu) kali untuk Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah dalam masa periode kewajiban menginvestasikan dana repatriasi di dalam negeri. Contoh: Pada tanggal 1 Januari 20xx, wajib pajak X melakukan transaksi forward beli USD/IDR sebesar USD20,000,000.00 (dua puluh juta dolar Amerika Serikat) dengan tenor 9 (sembilan) bulan dan jatuh waktu tanggal 1 Oktober 20xx, dengan menggunakan Underlying Transaksi berupa dokumen repatriasi dana dalam rangka tax amnesty. Pada bulan ke-6 (enam) yaitu tanggal 1 Juli 20xx, wajib pajak X melakukan pengakhiran transaksi (unwind) atas transaksi forward dimaksud. Wajib pajak X hanya dapat kembali menggunakan Underlying Transaksi yang sama sebanyak 1 (satu) kali untuk melakukan transaksi valuta asing terhadap Rupiah. 10. Underlying Transaksi berupa dokumen repatriasi dana dalam rangka tax amnesty sebagaimana dimaksud dalam angka 1 sampai dengan angka 9 diatur sebagai berikut: a. gateway awal (Bank), dokumen berupa Surat Keterangan Pengampunan Pajak (SKPP) dalam rangka pengalihan harta untuk menampung pengalihan dana wajib pajak dalam rangka Pengampunan Pajak; b. gateway tujuan (Bank), antara lain berupa surat keterangan mengenai riwayat investasi; c. Penyampaian dokumen Underlying Transaksi pada huruf a dan b disertai dengan dokumen pendukung berupa pernyataan tertulis bermeterai cukup yang ditandatangani oleh wajib pajak atau pernyataan tertulis yang authenticated dari wajib pajak yang memuat informasi mengenai: a) keaslian dan kebenaran dokumen Underlying Transaksi; b) penggunaan dokumen Underlying Transaksi hanya digunakan untuk pembelian valuta asing terhadap Rupiah paling banyak sebesar nominal Underlying Transaksi dalam rangka tax amnesty dalam sistem perbankan di Indonesia; c) hanya digunakan paling banyak 1 (satu) kali di seluruh sistem perbankan di Indonesia untuk tujuan konversi dana keluar. VI. DOKUMEN … 34 VI. DOKUMEN TRANSAKSI 1. Bank wajib memastikan Nasabah memiliki Underlying Transaksi yang dibuktikan dengan penyampaian dokumen Underlying Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah dan dokumen pendukung untuk: a. transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah di atas jumlah tertentu (threshold); atau b. transaksi structured product valuta asing terhadap Rupiah berupa Call Spread Option. 2. Penilaian atas kewajaran atau kelaziman nominal Underlying Transaksi yang diajukan oleh Nasabah dilakukan oleh Bank. 3. Bank harus menerapkan prosedur dan sistem pengendalian dokumen (document control/procedure) untuk memastikan agar: a. dokumen yang telah digunakan Nasabah sebagai Underlying Transaksi dari Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah tertentu dapat digunakan untuk Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah yang lain sepanjang tidak melampaui nominal Underlying Transaksi. Contoh: Pada bulan Januari 20xx, Nasabah X melakukan pembelian valuta asing terhadap Rupiah melalui transaksi forward sebesar USD5,000,000.00 (lima juta dolar Amerika Serikat) kepada Bank A. Atas transaksi tersebut, Nasabah X menyerahkan dokumen Underlying Transaksi berupa dokumen pembayaran lisensi kepada principal di luar negeri sebesar USD7,000,000.00 (tujuh juta dolar Amerika Serikat). Transaksi dilakukan di kantor cabang Bank A di Jakarta. Pada bulan Februari 20xx, Nasabah X kembali berencana untuk melakukan pembelian valuta asing terhadap Rupiah melalui kantor cabang Bank A di Surabaya. Nasabah X dapat melakukan transaksi forward beli sebesar USD2,000,000.00 (dua juta dolar Amerika Serikat) karena transaksi forward tersebut belum melebihi nominal Underlying Transaksi. b. Apabila dalam satu rangkaian aktivitas ekonomi terdapat beberapa jenis dokumen Underlying Transaksi maka yang digunakan sebagai dokumen untuk Transaksi Valuta Asing Terhadap … 35 Terhadap Rupiah adalah salah satu dari dokumen Underlying Transaksi tersebut. Dalam hal Nasabah telah melakukan pembelian valuta asing terhadap Rupiah dengan menggunakan salah satu dokumen Underlying Transaksi tersebut maka Nasabah tidak dapat melakukan pembelian valuta asing terhadap Rupiah dengan menggunakan dokumen Underlying Transaksi lainnya yang berasal dari satu rangkaian kegiatan ekonomi yang sama. Contoh: Pada bulan Februari 20xx, Nasabah Y yang merupakan importir makanan dan minuman memesan barang dan menerbitkan purchase order kepada eksportir di luar negeri. Nasabah Y melakukan pembelian valuta asing terhadap Rupiah dengan menggunakan dokumen Underlying Transaksi berupa purchase order tersebut. Atas pembelian barang tersebut, Nasabah Y memperoleh invoice yang diterbitkan eksportir di luar negeri. Atas invoice tersebut, Nasabah Y bermaksud melakukan pembelian valuta asing terhadap Rupiah meskipun sebelumnya telah melakukan pembelian dengan menggunakan dokumen Underlying Transaksi berupa purchase order. Nasabah Y tidak dapat menggunakan invoice dari kegiatan ekonomi yang sama untuk melakukan pembelian valuta asing terhadap Rupiah. 4. Dalam hal Underlying Transaksi berupa kegiatan perdagangan barang dan jasa di dalam dan di luar negeri yang bersifat final, dokumen Underlying Transaksi antara lain berupa fotokopi invoice, list of invoices, Letter of Credit (L/C), atau fotokopi kontrak jasa konsultan. 5. Dalam hal dokumen Underlying Transaksi atas kegiatan perdagangan dan investasi berupa list of invoices, Bank harus memastikan ketersediaan invoices yang terdapat dalam list of invoices. 6. Dalam hal Underlying Transaksi berupa kegiatan perdagangan barang dan jasa di dalam dan di luar negeri yang berupa perkiraan maka dokumen Underlying Transaksi antara lain berupa perkiraan kebutuhan biaya sekolah, perkiraan kebutuhan biaya berobat, proforma invoice yang dilengkapi dengan invoice final pada saat invoice diterbitkan, atau proyeksi arus kas untuk kegiatan ekspor impor yang berisi … 36 berisi paling kurang rincian sumber penerimaan dan pengeluaran valuta asing yang menunjukkan selisih bersih kekurangan atau kelebihan valuta asing secara bulanan. 7. Dalam hal dokumen Underlying Transaksi merupakan bukti tagihan atas kegiatan pembelian barang dari luar negeri (impor), Bank harus memastikan Nasabah menyampaikan dokumen yang menunjukkan bahwa barang dimaksudkan untuk masuk dan diterima di wilayah pabean Indonesia. 8. Rincian dokumen Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud pada angka 4, angka 5, angka 6, dan angka 7 tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini. 9. Dalam hal Underlying Transaksi adalah kegiatan investasi berupa direct investment, portfolio investment, pinjaman, modal, dan investasi lainnya di dalam dan di luar negeri yang bersifat final, dokumen Underlying Transaksi antara lain berupa surat perjanjian jual beli surat berharga atau surat permintaan penyetoran rekening saldo oleh otoritas yang berwenang. 10. Dalam hal Underlying Transaksi adalah kegiatan investasi di dalam dan di luar negeri berupa perkiraan maka dokumen Underlying Transaksi berupa proyeksi arus kas yang terkait dengan proyek tertentu. 11. Dokumen Underlying Transaksi atas kepemilikan dana valuta asing di dalam negeri dan di luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (6) PBI antara lain berupa buku tabungan, giro (rekening koran), bilyet deposito, dan bukti kepemilikan sertifikat deposito (negotiable certificate of deposit). 12. Rincian dokumen Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud pada angka 9, angka 10, dan angka 11 tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini. 13. Dokumen tagihan dalam valuta asing dari transaksi yang dikecualikan dari kewajiban penggunaan Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) PBI dapat dijadikan sebagai dokumen Underlying Transaksi dengan melampirkan fotokopi persetujuan … 37 persetujuan pengecualian kewajiban penggunaan Rupiah dari Bank Indonesia. 14. Untuk transaksi pembelian valuta asing terhadap Rupiah di atas jumlah tertentu (threshold) dan transaksi structured product valuta asing terhadap Rupiah berupa Call Spread Option, dokumen yang disampaikan berupa: a. dokumen Underlying Transaksi yang dapat dipertanggungjawabkan baik yang bersifat final maupun berupa perkiraan; b. dokumen pendukung berupa: 1) fotokopi dokumen identitas Nasabah dan fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP); dan 2) pernyataan tertulis bermeterai cukup yang ditandatangani oleh pihak yang berwenang dari Nasabah atau pernyataan tertulis yang authenticated dari Nasabah yang memuat informasi mengenai: a) keaslian dan kebenaran dokumen Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud pada huruf a; b) penggunaan dokumen Underlying Transaksi hanya digunakan untuk pembelian valuta asing terhadap Rupiah paling banyak sebesar nominal Underlying Transaksi dalam sistem perbankan di Indonesia; dan c) jumlah kebutuhan, tujuan penggunaan, dan tanggal penggunaan valuta asing, dalam hal dokumen Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud pada huruf a berupa perkiraan. c. Dalam hal dokumen Underlying Transaksi dimiliki oleh Nasabah yang berbentuk badan usaha selain Bank, pernyataan tertulis ditandatangani oleh pejabat yang berwenang dari badan usaha selain Bank. Yang dimaksud dengan pejabat yang berwenang dari badan usaha selain Bank adalah: 1) pejabat yang memiliki kewenangan berdasarkan anggaran dasar badan usaha dimaksud; atau 2) pihak … 38 2) pihak yang diberi kewenangan melalui surat kuasa oleh pejabat sebagaimana dimaksud pada angka 1). Surat kuasa ini diperlukan untuk menandatangani pernyataan tertulis yang terkait dengan Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah dengan Bank. Contoh pernyataan tertulis yang authenticated untuk pembelian valuta asing terhadap Rupiah di atas threshold dan transaksi structured product valuta asing terhadap Rupiah berupa Call Spread Option sebagaimana tercantum dalam Lampiran V yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini. Contoh surat kuasa sebagaimana tercantum dalam Lampiran VII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini. d. Dalam hal dokumen Underlying Transaksi dimiliki oleh Nasabah perorangan maka yang dimaksud dengan pihak yang berwenang adalah dirinya sendiri atau pihak yang diberi kuasa oleh Nasabah perorangan dimaksud. 15. Untuk transaksi penjualan valuta asing terhadap Rupiah melalui transaksi forward atau option di atas threshold, dokumen yang disampaikan berupa: a. dokumen Underlying Transaksi yang dapat dipertanggungjawabkan, baik yang bersifat final maupun berupa perkiraan; dan b. dokumen pendukung berupa pernyataan tertulis bermeterai cukup yang ditandatangani oleh pihak yang berwenang dari Nasabah atau pernyataan tertulis yang authenticated dari Nasabah yang memuat informasi mengenai keaslian dan kebenaran dokumen Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud pada huruf a dan dokumen Underlying Transaksi hanya digunakan untuk penjualan valuta asing terhadap Rupiah paling banyak sebesar nominal Underlying Transaksi dalam sistem perbankan di Indonesia. c. Dalam hal dokumen Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud pada huruf a berupa perkiraan maka di dalam pernyataan tertulis sebagaimana dimaksud pada huruf b ditambahkan ... 39 ditambahkan informasi terkait sumber, jumlah, dan waktu penerimaan valuta asing. d. Dalam hal dokumen Underlying Transaksi dimiliki oleh Nasabah yang berbentuk badan usaha selain Bank maka pernyataan tertulis ditandatangani oleh pejabat yang berwenang dari badan usaha selain Bank. Yang dimaksud dengan pejabat yang berwenang dari badan usaha selain Bank adalah: 1) pejabat yang memiliki kewenangan berdasarkan anggaran dasar badan usaha dimaksud; atau 2) pihak yang diberi kewenangan melalui surat kuasa oleh pejabat sebagaimana dimaksud pada angka 1). Surat kuasa ini diperlukan untuk menandatangani pernyataan tertulis yang terkait dengan Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah dengan Bank. Contoh pernyataan tertulis yang authenticated untuk penjualan valuta asing terhadap Rupiah melalui transaksi forward atau option di atas threshold sebagaimana tercantum dalam Lampiran VI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini. Contoh surat kuasa sebagaimana tercantum dalam Lampiran VII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini. e. Dalam hal dokumen Underlying Transaksi dimiliki oleh Nasabah perorangan maka yang dimaksud dengan pihak yang berwenang adalah dirinya sendiri atau pihak yang diberi kuasa oleh Nasabah perorangan dimaksud. 16. Untuk pembelian valuta asing terhadap Rupiah paling banyak sebesar threshold, pernyataan tertulis bermeterai cukup yang ditandatangani oleh Nasabah yang bersangkutan untuk Nasabah perorangan atau pihak yang berwenang dari Nasabah badan usaha selain Bank, atau pernyataan tertulis yang authenticated dari Nasabah berisi informasi bahwa pembelian valuta asing terhadap Rupiah tidak melebihi threshold per bulan per Nasabah dalam sistem perbankan di Indonesia. Yang … 40 Yang dimaksud dengan pejabat yang berwenang dari badan usaha selain Bank adalah: a. pejabat yang memiliki kewenangan berdasarkan anggaran dasar badan usaha dimaksud; atau b. pihak yang diberi kewenangan melalui surat kuasa oleh pejabat sebagaimana dimaksud pada huruf a. Surat kuasa ini diperlukan untuk menandatangani pernyataan tertulis yang terkait dengan Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah dengan Bank. Contoh pernyataan tertulis yang authenticated untuk pembelian valuta asing terhadap Rupiah paling banyak sebesar threshold sebagaimana tercantum dalam Lampiran X yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini. 17. Pernyataan tertulis yang authenticated sebagaimana dimaksud dalam angka 14, angka 15, dan angka 16 dapat berupa surat elektronik resmi (official email), SWIFT message, negative confirmation, atau sistem business internet banking. 18. Untuk Transaksi Spot, dokumen Underlying Transaksi dan/atau dokumen pendukung dilampirkan untuk setiap transaksi pada tanggal transaksi. Dalam hal dokumen Underlying Transaksi dan/atau dokumen pendukung tidak dapat diterima pada tanggal transaksi maka dokumen Underlying Transaksi dan/atau dokumen pendukung wajib diterima oleh Bank paling lambat pada tanggal valuta. 19. Untuk Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah yang standar (plain vanilla) dan transaksi structured product valuta asing terhadap Rupiah berupa Call Spread Option, dokumen Underlying Transaksi dan/atau dokumen pendukung dilampirkan untuk setiap transaksi pada tanggal transaksi. Dalam hal dokumen Underlying Transaksi dan/atau dokumen pendukung tidak dapat diterima pada tanggal transaksi maka dokumen Underlying Transaksi dan/atau dokumen pendukung wajib diterima oleh Bank paling lambat pada 5 (lima) hari kerja setelah tanggal transaksi. Contoh 1: Perusahaan A merupakan eksportir, dan akan melakukan transaksi forward jual USD/IDR sebesar USD30,000,000.00 (tiga puluh juta dolar … 41 dolar Amerika Serikat) pada tanggal 2 Desember 20xx dengan tenor 3 (tiga) bulan. Pada saat transaksi forward dilakukan, Perusahaan A wajib menyampaikan dokumen Underlying Transaksi dan dokumen pendukung paling lambat pada tanggal 7 Desember 20xx (5 (lima) hari kerja), baik apabila akan diselesaikan secara netting maupun diselesaikan dengan pemindahan dana pokok secara penuh (full movement of fund). Contoh 2: Individu B merupakan importir dan akan melakukan transaksi forward beli USD/IDR sebesar USD80,000.00 (delapan puluh ribu dolar Amerika Serikat) pada tanggal 9 Januari 20xx dengan tenor 2 (dua) bulan (jatuh waktu tanggal 9 Maret 20xx) dan tidak wajib menyampaikan dokumen Underlying Transaksi. Pada tanggal 9 Februari 20xx, individu B memutuskan untuk melakukan unwind posisi forward beli di atas dengan melakukan transaksi forward jual dengan tenor 1 (satu) bulan, jatuh waktu 9 Maret 20xx. Untuk penyelesaian transaksi ini, individu B wajib menyampaikan dokumen Underlying Transaksi dan dokumen pendukung paling lambat tanggal 16 Februari 20xx (5 (lima) hari kerja setelah tanggal transaksi forward yang kedua). Dalam hal sampai dengan tanggal 16 Februari 20xx individu B tidak dapat menyampaikan dokumen Underlying Transaksi dan dokumen pendukung maka penyelesaian transaksi forward beli dan forward jual dilakukan dengan pemindahan dana pokok secara penuh (full movement of fund). 20. Dalam hal Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah memiliki jatuh waktu kurang dari 5 (lima) hari kerja setelah tanggal transaksi maka penyampaian dokumen Underlying Transaksi dan/atau dokumen pendukung Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah dilakukan paling lambat pada tanggal jatuh waktu. Contoh: Individu C melakukan transaksi forward beli USD/IDR sebesar USD80,000.00 (delapan puluh ribu dolar Amerika Serikat) pada tanggal 12 Januari 20xx dengan tenor 2 (dua) bulan (jatuh waktu tanggal 12 Maret 20xx) dan tidak wajib menyampaikan dokumen Underlying Transaksi. Pada tanggal 9 Maret 20xx, individu C bermaksud untuk melakukan unwind transaksi dan diselesaikan secara … 42 secara netting melalui transaksi forward jual 3 (tiga) hari (jatuh waktunya sama dengan jatuh waktu transaksi forward awal). Individu C wajib menyampaikan dokumen Underlying Transaksi dan dokumen pendukung paling lambat tanggal jatuh waktu transaksi forward, yaitu tanggal 12 Maret 20xx. Dalam hal sampai dengan tanggal 12 Maret 20xx individu C tidak dapat menyampaikan dokumen Underlying Transaksi dan dokumen pendukung maka penyelesaian transaksi forward beli dan forward jual dilakukan dengan pemindahan dana pokok secara penuh (full movement of fund). 21. Dalam hal Nasabah melakukan pembelian valuta asing terhadap Rupiah secara berangsur (bertahap) sehingga melebihi threshold yaitu USD25,000.00 (dua puluh lima ribu dolar Amerika Serikat) untuk Transaksi Spot dan USD100,000.00 (seratus ribu dolar Amerika Serikat) untuk Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah dalam 1 (satu) bulan yang sama maka dokumen Underlying Transaksi disampaikan untuk pembelian valuta asing terhadap Rupiah yang melebihi threshold. Contoh 1: Pada tanggal 10 November 20xx, Nasabah melakukan pembelian valuta asing terhadap Rupiah melalui Transaksi Spot sebesar USD5,000.00 (lima ribu dolar Amerika Serikat). Kemudian pada tanggal 14 November 20xx, Nasabah yang sama melakukan pembelian valuta asing terhadap Rupiah melalui Transaksi Spot sebesar USD10,000.00 (sepuluh ribu dolar Amerika Serikat). Selanjutnya, pada tanggal 19 November 20xx, Nasabah kembali melakukan pembelian valuta asing terhadap Rupiah melalui Transaksi Spot sebesar USD32,500.00 (tiga puluh dua ribu lima ratus dolar Amerika Serikat). Pembelian valuta asing terhadap Rupiah melalui Transaksi Spot yang dilakukan pada tanggal 19 November 20xx tersebut telah melampaui batas maksimal pembelian valuta asing terhadap Rupiah melalui Transaksi Spot tanpa Underlying Transaksi sebesar USD25,000.00 (dua puluh lima ribu dolar Amerika Serikat). Dengan demikian untuk pembelian valuta asing terhadap Rupiah melalui Transaksi Spot yang dilakukan pada tanggal 19 November 20xx tersebut, Bank wajib meminta Nasabah untuk menyediakan dokumen Underlying … 43 Underlying Transaksi sebesar USD32,500.00 (tiga puluh dua ribu lima ratus dolar Amerika Serikat). Contoh 2: Pada tanggal 12 November 20xx, Nasabah melakukan pembelian valuta asing terhadap Rupiah melalui transaksi forward sebesar USD40,000.00 (empat puluh ribu dolar Amerika Serikat). Kemudian, pada tanggal 17 November 20xx, Nasabah yang sama melakukan pembelian valuta asing terhadap Rupiah melalui transaksi Call Spread Option sebesar USD50,000.00 (lima puluh ribu dolar Amerika Serikat). Selanjutnya, pada tanggal 21 November 20xx, Nasabah kembali melakukan pembelian valuta asing terhadap Rupiah melalui transaksi forward sebesar USD22,500.00 (dua puluh dua ribu lima ratus dolar Amerika Serikat). Pembelian yang dilakukan pada tanggal 21 November 20xx tersebut telah melampaui batas maksimal pembelian valuta asing terhadap Rupiah melalui Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah tanpa Underlying Transaksi sebesar USD100,000.00 (seratus ribu dolar Amerika Serikat). Dengan demikian untuk pembelian melalui transaksi forward yang dilakukan pada tanggal 21 November 20xx tersebut, Bank wajib meminta Nasabah untuk menyampaikan dokumen Underlying Transaksi sebesar USD22,500.00 (dua puluh dua ribu lima ratus dolar Amerika Serikat). 22. Penyampaian dokumen Underlying Transaksi dan dokumen pendukung Transaksi Derivatif Valuta Asing terhadap Rupiah paling banyak sebesar threshold yang akan diselesaikan secara netting, wajib diterima oleh Bank paling lambat pada: a. b. 5 (lima) hari kerja setelah tanggal transaksi, dalam hal perpanjangan transaksi (roll over), percepatan penyelesaian transaksi (early termination), dan pengakhiran transaksi (unwind) dilakukan melalui Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah; atau c. tanggal jatuh waktu, dalam hal perpanjangan transaksi (roll over), percepatan penyelesaian transaksi (early termination), dan pengakhiran … tanggal valuta, dalam hal pengakhiran transaksi (unwind) dilakukan melalui Transaksi Spot; 44 pengakhiran transaksi (unwind) dilakukan melalui Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah yang memiliki jatuh waktu kurang dari 5 (lima) hari kerja setelah tanggal transaksi. 23. Untuk pembelian valuta asing terhadap Rupiah melalui Transaksi Derivatif paling banyak sebesar threshold yang akan diselesaikan secara netting, dokumen pendukung mengacu pada dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam angka 14 huruf b. Contoh pernyataan tertulis yang authenticated untuk pembelian derivatif valuta asing terhadap Rupiah paling banyak sebesar threshold yang akan diselesaikan secara netting sebagaimana tercantum dalam Lampiran VIII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini. 24. Untuk penjualan valuta asing terhadap Rupiah melalui transaksi forward atau option paling banyak sebesar threshold yang akan diselesaikan secara netting, dokumen pendukung mengacu pada dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam angka 15 huruf b. 25. Contoh pernyataan tertulis yang authenticated untuk transaksi forward atau option penjualan valuta asing terhadap Rupiah paling banyak sebesar threshold yang akan diselesaikan secara netting sebagaimana tercantum dalam Lampiran IX yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini. Bank dapat menerima dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam angka 14 huruf b dan angka 15 huruf b secara berkala paling kurang 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun kalender apabila : a. dokumen Underlying Transaksi bersifat final; dan b. Bank telah mengetahui track record Nasabah dengan baik antara lain dari Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah yang dilakukan Nasabah secara reguler dari waktu ke waktu. Contoh: PT A melakukan pembelian valuta asing terhadap Rupiah kepada Bank X pada tanggal 19 November 2016 sebesar USD120,000.00 (seratus dua puluh ribu dolar Amerika Serikat). Atas pembelian ini Bank X wajib memastikan PT A menyampaikan dokumen Underlying Transaksi dan dokumen pendukung berupa fotokopi dokumen identitas Nasabah dan fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), serta … 45 serta pernyataan tertulis bermeterai cukup atau pernyataan tertulis yang authenticated. Pada tanggal 15 Desember 2016, PT A melakukan pembelian valuta asing terhadap Rupiah kepada Bank X sebesar USD150,000.00 (seratus lima puluh ribu dolar Amerika Serikat). Atas pembelian ini, Bank X wajib memastikan PT A menyampaikan dokumen Underlying Transaksi. Pada tanggal 20 Januari 2017, PT A kembali melakukan pembelian valuta asing terhadap Rupiah kepada Bank X sebesar USD130,000.00 (seratus tiga puluh ribu dolar Amerika Serikat). Atas pembelian ini Bank X wajib memastikan PT A menyampaikan dokumen Underlying Transaksi dan dokumen pendukung berupa fotokopi dokumen identitas Nasabah dan fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), serta pernyataan tertulis bermeterai cukup atau pernyataan tertulis yang authenticated. 26. Nasabah yang melakukan pembelian valuta asing terhadap Rupiah paling banyak sebesar threshold yaitu USD25,000.00 (dua puluh lima ribu dolar Amerika Serikat) untuk Transaksi Spot dan USD100,000.00 (seratus ribu dolar Amerika Serikat) untuk Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah per bulan per Nasabah, dokumen pendukung berupa pernyataan tertulis bermeterai cukup atau pernyataan tertulis yang authenticated disampaikan paling kurang 1 (satu) kali dalam 1 (satu) bulan kalender. Contoh: Nasabah B melakukan pembelian valuta asing terhadap Rupiah melalui Transaksi Spot kepada Bank Y pada tanggal 19 November 20xx sebesar USD5,000.00 (lima ribu dolar Amerika Serikat). Atas pembelian ini, Bank Y wajib meminta Nasabah B untuk menyampaikan dokumen berupa pernyataan tertulis bermeterai cukup atau pernyataan tertulis yang authenticated. Selanjutnya, pada tanggal 26 November 20xx, Nasabah B melakukan pembelian valuta asing terhadap Rupiah melalui Transaksi Spot kepada Bank Y sebesar USD3,000.00 (tiga ribu dolar Amerika Serikat). Atas pembelian ini, Nasabah B tidak wajib menyampaikan kepada Bank Y dokumen berupa pernyataan tertulis bermeterai cukup atau pernyataan … 46 pernyataan tertulis yang authenticated karena telah disampaikan pada transaksi sebelumnya (19 November 20xx). Pada tanggal 16 Desember 20xx, Nasabah B melakukan pembelian valuta asing terhadap Rupiah melalui Transaksi Spot kepada Bank Y sebesar USD5,000.00 (lima ribu dolar Amerika Serikat). Atas pembelian ini, Bank Y wajib memastikan Nasabah B menyampaikan kembali dokumen berupa pernyataan tertulis bermeterai cukup atau pernyataan tertulis yang authenticated mengingat transaksi dilakukan dalam bulan yang berbeda. 27. Penyampaian dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam angka 25 dan angka 26 dilakukan pada transaksi pertama. 28. Dalam hal terdapat jenis dokumen selain sebagaimana tercantum dalam Lampiran III dan Lampiran IV, Bank dapat: a. mengajukan terlebih dahulu jenis dokumen tersebut kepada Indonesia Foreign Exchange Market Committee (IFEMC) untuk dikonsultasikan kepada Bank Indonesia; atau b. mengajukan secara tertulis kepada Bank Indonesia, cq. Departemen Pengembangan Pasar Keuangan. VII. LARANGAN KREDIT KEPADA NASABAH Larangan pemberian kredit atau pembiayaan dalam valuta asing dan/atau Rupiah kepada Nasabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 PBI diatur sebagai berikut: a. Larangan pemberian kredit atau pembiayaan dalam valuta asing dan/atau Rupiah kepada Nasabah hanya untuk kredit atau pembiayaan yang diberikan Bank secara khusus untuk membiayai kegiatan Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah kepada Nasabah. b. Pemberian kredit atau pembiayaan Bank dalam valuta asing dan/atau dalam Rupiah untuk kegiatan perdagangan dan investasi, dapat menjadi Underlying Transaksi dari Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah dalam rangka lindung nilai. Contoh: Nasabah mengajukan permintaan kredit kepada Bank A sebesar USD100,000,000.00 (seratus juta dolar Amerika Serikat) untuk tujuan … 47 tujuan investasi berupa pembangunan pabrik. Bank menyetujui permohonan kredit Nasabah dengan perjanjian kredit sebagai berikut: 1) Kredit diberikan dalam USD. 2) Bunga kredit berupa variable rate yaitu 6 Months USD LIBOR + 300 bps dengan repricing date setiap 6 (enam) bulan sekali. 3) Jangka waktu kredit selama 5 (lima) tahun dengan mekanisme pembayaran prinsipal kredit secara balloon payment pada akhir tahun ke-5 (lima) dan pembayaran bunga secara semesteran. Dalam rangka memenuhi kewajiban pembayaran bunga kredit berupa variable rate tersebut, Nasabah memiliki kebutuhan untuk menerima dana pencairan kredit dalam mata uang Rupiah dan membayar bunga kredit dalam fixed rate. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, Nasabah melakukan kontrak Cross-Currency Swap (CCS) valuta asing terhadap Rupiah yang berjangka waktu 5 (lima) tahun dengan Bank A sesuai mekanisme sebagai berikut: a) Pada awal kontrak, Nasabah memberikan prinsipal sebesar USD100,000,000.00 (seratus juta dolar Amerika Serikat), sedangkan Bank A memberikan sejumlah nominal tertentu dalam Rupiah yang ekuivalen dengan USD100,000,000.00 (seratus juta dolar Amerika Serikat), sesuai dengan kurs yang berlaku saat itu kepada Nasabah. b) Setiap 6 (enam) bulan sampai akhir kontrak, Nasabah (fixed payer) membayar 10% dalam mata uang Rupiah kepada Bank A, sedangkan Bank A (variable payer) membayar 6 months LIBOR + 300 bps dalam mata uang USD kepada Nasabah. c) Pada akhir kontrak, Nasabah memberikan nominal tertentu dalam Rupiah yang ekuivalen dengan USD100,000,000.00 (seratus juta dolar Amerika Serikat), sesuai dengan kurs yang disepakati kepada Bank A, sedangkan Bank A menyerahkan USD100,000,000.00 (seratus juta dolar Amerika Serikat), kepada Nasabah. d) Dalam hal ini, kredit yang diberikan oleh Bank A kepada Nasabah bukan ditujukan untuk melakukan Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah melainkan untuk pembangunan pabrik. Selanjutnya, pada saat Nasabah melakukan kontrak derivatif … 48 derivatif Cross-Currency Swap (CCS) valuta asing terhadap Rupiah dengan Bank A, kredit yang didapatkan dari Bank A dijadikan Underlying Transaksi dalam kontrak derivatif dengan Bank A. VIII. PELAPORAN 1. Bank menyampaikan laporan Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah, termasuk transaksi structured product valuta asing terhadap Rupiah berupa Call Spread Option, melalui sistem pelaporan Bank Indonesia, yaitu Laporan Harian Bank Umum (LHBU). 2. Mekanisme pelaporan Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah mengacu kepada ketentuan yang mengatur mengenai Laporan Harian Bank Umum (LHBU). IX. TATA CARA PENGENAAN SANKSI 1. Dalam hal Bank dikenakan sanksi berupa teguran tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) dan Pasal 23 ayat (1) PBI maka teguran tertulis tersebut disampaikan oleh Bank Indonesia kepada Bank yang bersangkutan, dengan tembusan kepada Otoritas Jasa Keuangan. 2. Dalam mengenakan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) PBI berlaku ketentuan sebagai berikut: a. Besarnya kewajiban membayar adalah 1% (satu persen) dari nilai nominal transaksi yang dilanggar untuk setiap pelanggaran dengan jumlah sanksi paling sedikit sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Contoh 1: Pada tanggal 5 September 20xx, Nasabah A melakukan pembelian valuta asing terhadap Rupiah melalui Transaksi Spot sebesar USD15,000.00 (lima belas ribu dolar Amerika Serikat). Kemudian, pada tanggal 15 September 20xx, Nasabah A melakukan pembelian valuta asing terhadap Rupiah melalui Transaksi Spot sebesar USD15,000.00 (lima belas ribu dolar Amerika Serikat). Total pembelian valuta asing terhadap Rupiah Nasabah … 49 Nasabah A pada bulan September 20XX adalah sebesar USD30,000.00 (tiga puluh ribu dolar Amerika Serikat). Pembelian valuta asing terhadap Rupiah pada tanggal 15 September 20xx, tidak didukung dengan dokumen Underlying Transaksi, sehingga terdapat pelanggaran karena total Transaksi Spot melebihi threshold sebesar USD5,000.00 (lima ribu dolar Amerika Serikat) tanpa didukung dengan dokumen Underlying Transaksi. Kurs JISDOR tanggal 15 September 20xx adalah USD/IDR 10.000,00. Atas pelanggaran tersebut, Bank dikenakan sanksi berupa teguran tertulis dan kewajiban membayar dari nilai nominal USD5,000.00 x 1% x Rp10.000,00 yaitu sebesar Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah). Namun demikian, karena dalam PBI diatur bahwa sanksi kewajiban membayar paling sedikit sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) maka Bank dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). Contoh 2: Pada tanggal 12 September 20xx, Nasabah melakukan pembelian valuta asing terhadap Rupiah melalui transaksi forward 1 (satu) bulan sebesar USD160,000.00 (seratus enam puluh ribu dolar Amerika Serikat). Sampai dengan 5 (lima) hari kerja setelah tanggal transaksi, yaitu tanggal 17 September 20xx, Nasabah tidak menyampaikan dokumen Underlying Transaksi dan dokumen pendukung, sehingga terdapat pelanggaran karena total transaksi forward melebihi threshold sebesar USD60,000.00 (enam puluh ribu dolar Amerika Serikat) tanpa didukung dengan dokumen Underlying Transaksi. Kurs JISDOR tanggal 17 September 20xx adalah USD/IDR 10.000,00. Atas pelanggaran tersebut, Bank dikenakan sanksi berupa teguran tertulis dan kewajiban membayar dari nilai nominal USD60,000.00 x 1% x Rp10.000,00 yaitu sebesar Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah). Namun demikian, karena dalam PBI diatur bahwa sanksi kewajiban membayar paling sedikit … 50 sedikit sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) maka Bank dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). b. Untuk pelanggaran terhadap larangan pemberian kredit atau pembiayaan, besarnya kewajiban membayar adalah 1% (satu persen) dari nilai persetujuan kredit atau pembiayaan yang digunakan untuk Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah dengan jumlah sanksi paling sedikit sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Contoh: Pada tanggal 13 September 20xx, Bank B memberikan kredit kepada Nasabah A sebesar USD10,000,000.00 (sepuluh juta dolar Amerika Serikat) yang digunakan untuk membiayai kegiatan Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah Nasabah A yang tidak terkait dengan kegiatan ekspor dan/atau impor. Kurs JISDOR tanggal 13 September 20xx adalah Rp11.000,00. Dalam hal ini, Bank B telah melakukan pelanggaran larangan pemberian kredit untuk membiayai kegiatan Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah dan dikenakan sanksi berupa teguran tertulis dan kewajiban membayar sebesar Rp1.100.000.000,00 (satu miliar seratus juta rupiah) yang berasal dari perhitungan (USD10,000,000.00 x 1% x Rp11.000,00), dengan pembayaran sanksi paling banyak sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). c. Untuk pelanggaran terhadap larangan pemberian cerukan dan/atau fasilitas lain yang dapat dipersamakan dengan cerukan, besarnya kewajiban membayar adalah 1% (satu persen) dari nilai cerukan dan/atau fasilitas lain yang dapat dipersamakan dengan cerukan yang diberikan oleh Bank kepada Nasabah dengan jumlah sanksi paling sedikit sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Contoh: PT X tidak memiliki rekening valuta asing maupun rekening Rupiah di Bank Y. Pada tanggal 15 September 20xx, PT X melakukan … 51 melakukan transaksi forward jual USD/IDR 1 (satu) bulan dengan Bank Y sebesar USD2,000,000.00 (dua juta dolar Amerika Serikat) pada kurs USD/IDR 11.500,00. Untuk itu Bank Y melakukan penyerahan dana Rupiah terlebih dahulu kepada PT X sebesar Rp23.000.000.000,00 (dua puluh tiga miliar rupiah), dengan harapan pada akhir hari tanggal valuta PT X akan menyerahkan dana sebesar USD2,000,000.00 (dua juta dolar Amerika Serikat). Namun demikian, sampai dengan akhir hari tanggal 15 Oktober 20xx waktu penyelesaian transaksi US Dollar PT X tidak dapat memenuhi janjinya menyerahkan dana sebesar USD2,000,000.00 (dua juta dolar Amerika Serikat). Dengan demikian, Bank Y telah memberikan cerukan senilai USD2,000,000.00 (dua juta dolar Amerika Serikat) kepada PT X dalam rangka Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah. Kurs JISDOR tanggal 15 Oktober 20xx adalah Rp11.000,00. Atas pelanggaran dimaksud, Bank Y dikenakan sanksi berupa teguran tertulis dan kewajiban membayar sebesar Rp220.000.000,00 (dua ratus dua puluh juta rupiah) yang berasal dari perhitungan (USD2,000,000.00 x 1% x Rp11.000,00). d. Pengenaan sanksi kewajiban membayar dilakukan oleh Bank Indonesia dengan cara mendebet rekening giro Rupiah Bank yang bersangkutan di Bank Indonesia. X. PENUTUP 1. Pada saat Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku: a. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 16/14/DPM tanggal 17 September 2014 perihal Transaksi Valuta Asing terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak Domestik; b. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/15/DPM tanggal 12 Juni 2015 perihal Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 16/14/DPM tanggal 17 September 2014 perihal Transaksi Valuta Asing terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak Domestik; c. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/20/DPM tanggal 28 Agustus 2015 perihal Perubahan Kedua atas Surat Edaran Bank Indonesia … 52 Indonesia Nomor 16/14/DPM tanggal 17 September 2014 perihal Transaksi Valuta Asing terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak Domestik; d. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/23/DPM tanggal 30 September 2015 perihal Perubahan Ketiga atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 16/14/DPM tanggal 17 September 2014 perihal Transaksi Valuta Asing terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak Domestik; dan e. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/49/DPM tanggal 21 Desember 2015 perihal Perubahan Keempat atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 16/14/DPM tanggal 17 September 2014 perihal Transaksi Valuta Asing terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak Domestik, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. 2. Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 13 Desember 2016. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA, NANANG HENDARSAH KEPALA DEPARTEMEN PENGEMBANGAN PASAR KEUANGAN "," SE-BI 18/34/DPPK|SE-BI/2016 Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak Domestik 13 Desember 2016 13 Desember 2016 '16/14/DPM|SE-BI/2014', '17/23/DPM|SE-BI/2015', '17/15/DPM|SE-BI/2015', '17/20/DPM|SE-BI/2015', '17/49/DPM|SE-BI/2015' '18/18/PBI/2016' 'Romawi IX' " " No.13/32/DASP Jakarta, 23 Desember 2011 SURAT EDARAN Kepada SEMUA BANK UMUM DAN LEMBAGA KUSTODIAN BUKAN BANK DI INDONESIA Perihal : Perizinan, Pelaporan, dan Pengawasan Sub-Registry ----------------------------------------------------------------- Sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/2/PBI/2008 tentang Bank Indonesia–Scripless Securities Settlement System (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4809) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 12/12/PBI/2010 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5146), Bank Indonesia melaksanakan kegiatan Penatausahaan Surat Berharga. Kegiatan Penatausahaan Surat Berharga tersebut mencakup pencatatan kepemilikan, kliring, setelmen dan pembayaran kupon (bunga) atau imbalan dan nilai pokok/nominal Surat Berharga. Pelaksanaan Penatausahaan Surat Berharga dilakukan secara two-tier system, yang terdiri dari Central Registry yang dilaksanakan oleh Bank Indonesia dan Sub-Registry yang dilaksanakan oleh Bank dan Kustodian yang memenuhi persyaratan dan mendapat persetujuan dari Bank Indonesia. Central Registry melakukan penatausahaan Rekening Surat Berharga untuk Bank, Sub-Registry dan pihak lain pemilik Rekening Surat Berharga di Bank Indonesia–Scripless Securities Settlement System. Sedangkan Sub-Registry melakukan penatausahaan Rekening Surat Berharga untuk kepentingan nasabah Sub-Registry. Pencatatan ... 2 Pencatatan Rekening Surat Berharga Sub-Registry di Central Registry bersifat global (omnibus account), sedangkan pencatatan individual Rekening Surat Berharga nasabah dilakukan oleh Sub-Registry dengan menggunakan sistem yang dimiliki Sub-Registry. Untuk mengatur terselenggaranya sistem Penatausahaan Surat Berharga yang efisien, aman, dan terpercaya, Bank Indonesia sebagai Central Registry memandang perlu untuk mengatur kembali tata cara perizinan, pelaporan dan pengawasan Sub-Registry sebagai berikut: I. KETENTUAN UMUM Dalam Surat Edaran ini yang dimaksud dengan: 1. Kustodian adalah pihak yang memberikan jasa penitipan efek dan harta lain yang berkaitan dengan efek serta jasa lainnya, termasuk menerima deviden, bunga dan hak-hak lain, menyelesaikan transaksi efek, dan mewakili pemegang rekening yang menjadi nasabahnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Pasar Modal. 2. Bank Kustodian adalah bank umum yang telah memperoleh persetujuan dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) untuk menjalankan usaha sebagai Kustodian. 3. Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, yang selanjutnya disebut sebagai LPP, adalah pihak yang menyelenggarakan kegiatan Kustodian sentral bagi Bank Kustodian, perusahaan efek dan pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang tentang Pasar Modal. 4. Perusahaan Efek adalah pihak yang melakukan kegiatan usaha sebagai penjamin emisi efek, perantara pedagang efek, dan/atau manajer investasi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Pasar Modal. 5. Surat Berharga adalah surat berharga yang diterbitkan oleh Bank Indonesia, pemerintah dan/atau lembaga lain, yang ditatausahakan ... 3 ditatausahakan dalam Bank Indonesia–Scripless Securities Settlement System. 6. Bank Indonesia–Scripless Securities Settlement System, yang selanjutnya disingkat BI-SSSS, adalah sarana Transaksi dengan Bank Indonesia termasuk penatausahaannya dan Penatausahaan Surat Berharga secara elektronik dan terhubung langsung antara Peserta, Penyelenggara dan Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement. 7. Penatausahaan Surat Berharga adalah kegiatan yang mencakup pencatatan kepemilikan, kliring dan setelmen serta pembayaran kupon (bunga) atau imbalan dan nilai pokok nominal Surat Berharga. 8. Penyelenggara BI-SSSS, yang selanjutnya disebut Penyelenggara, adalah pihak pengelola BI-SSSS yang menyelenggarakan kegiatan Transaksi Dengan Bank Indonesia dan penatausahaannya serta Penatausahaan Surat Berharga. 9. Peserta BI-SSSS, yang selanjutnya disebut Peserta, adalah pengguna BI-SSSS yang memenuhi persyaratan dan/atau disetujui oleh Bank Indonesia untuk melakukan kegiatan Transaksi Dengan Bank Indonesia dan/atau Penatausahaan Surat Berharga. 10. Central Registry adalah Bank Indonesia yang melakukan fungsi Penatausahaan Surat Berharga untuk kepentingan Peserta yang memiliki Rekening Surat Berharga di BI-SSSS. 11. Sub-Registry adalah Bank dan lembaga yang melakukan kegiatan Kustodian yang memenuhi persyaratan dan disetujui oleh Bank Indonesia melakukan fungsi Penatausahaan Surat Berharga untuk kepentingan nasabah. 12. Pengurus Sub-Registry adalah Direksi dan Dewan Komisaris dari Bank dan lembaga yang melakukan kegiatan Sub- Registry. 13. Pengelola ... 4 13. Pengelola Sub-Registry adalah pejabat yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan operasional Sub-Registry. 14. Sistem Informasi BI-SSSS yang selanjutnya disingkat SI BI- SSSS adalah sistem yang disediakan oleh Bank Indonesia bagi Sub-Registry sebagai sarana pelaporan dan rekonsiliasi data BI-SSSS terkait penatausahaan individual nasabah. 15. Guest Bank SI BI-SSSS adalah perangkat SI BI-SSSS di Bank Indonesia yang dapat digunakan oleh Sub-Registry untuk melakukan download dan upload laporan dalam kondisi SI BI-SSSS pada Sub-Registry tidak dapat digunakan. II. PERSYARATAN SUB-REGISTRY Pihak yang dapat disetujui sebagai Sub-Registry yaitu Bank, LPP dan Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan Kustodian, yang memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 1. berkedudukan di wilayah hukum Indonesia; 2. tidak sedang dalam proses likuidasi atau kepailitan; 3. memiliki izin usaha yang masih berlaku dari Bapepam-LK; 4. telah mempunyai pengalaman paling kurang 3 (tiga) tahun dalam kegiatan penatausahaan Surat Berharga dan/atau paling kurang 3 (tiga) tahun dalam kegiatan penyimpanan Surat Berharga sejak memperoleh izin usaha dari Bapepam- LK; 5. memenuhi persyaratan permodalan sebagai berikut : a. bagi Bank, yang selanjutnya disebut Bank Kustodian harus memenuhi persyaratan Kewajiban Penyediaan Modal Minimum yang selanjutnya disebut KPMM sesuai ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai KPMM; b. bagi LPP dan Perusahaan Efek yang selanjutnya disebut lembaga Kustodian bukan Bank, harus memiliki modal disetor paling sedikit Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar Rupiah); 6. memiliki ... 5 6. memiliki sistem penatausahaan surat berharga yang terintegrasi dengan dan antar kantor cabang yang dimiliki di dalam negeri; 7. memiliki sistem penatausahaan surat berharga tanpa warkat (scripless) secara book-entry yang aman, akurat, dan terpercaya yang paling kurang dapat menatausahakan transaksi outright, repo, dan pengagunan; 8. Pengurus Sub-Registry tidak termasuk dalam Daftar Hitam Nasional (DHN), Daftar Kredit Macet dan Daftar Tidak Lulus Fit and Proper Test; 9. Pengelola Sub-Registry tidak termasuk dalam DHN dan Daftar Kredit Macet; 10. memiliki unit kerja terpisah yang khusus menangani kegiatan Kustodian dengan manajemen dan staf yang profesional di bidang penatausahaan dan/atau penyimpanan Surat Berharga; 11. Surat Berharga yang dicatat dan/atau disimpan paling sedikit telah mencapai nilai nominal rata-rata bulanan Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun Rupiah) dalam 6 (enam) bulan terakhir, terdiri dari Surat Berharga yang dapat diperdagangkan di pasar uang dan/atau pasar modal; 12. memenuhi persyaratan sebagai peserta BI-SSSS sesuai ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai BI-SSSS; 13. menyediakan Jaringan Komunikasi berupa leased line atau dial up untuk mengakses SI BI-SSSS. Dalam hal menggunakan leased line, Sub-Registry dapat menggunakan jaringan yang digunakan untuk menyampaikan Laporan Harian Bank Umum (LHBU) atau Laporan Berkala Bank Umum (LBBU). III. TATA ... 6 III. TATA CARA PENGAJUAN PERMOHONAN DAN PERSETUJUAN SEBAGAI SUB-REGISTRY A. Tata Cara Permohonan 1. Kustodian yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam angka II dapat mengajukan surat permohonan sebagaimana contoh pada Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini, kepada : BANK INDONESIA Direktorat Akunting dan Sistem Pembayaran c.q. Bagian Penyelenggaraan Setelmen Gedung D Lantai 3 Jl. M.H. Thamrin No. 2, Jakarta 10350. 2. Penyampaian Surat permohonan sebagai Sub-Registry sebagaimana dimaksud dalam angka 1, dilakukan bersamaan dengan surat permohonan sebagai peserta BI-SSSS. 3. Surat permohonan sebagai Sub-Registry dan permohonan akses ke SI BI-SSSS dilengkapi dengan dokumen sebagai berikut: a. fotokopi surat persetujuan sebagai Bank Kustodian atau izin usaha sebagai Kustodian untuk lembaga Kustodian bukan Bank dari Bapepam-LK; b. keterangan mengenai posisi KPMM terakhir untuk Bank Kustodian, atau jumlah modal disetor untuk lembaga Kustodian bukan Bank; c. keterangan mengenai fasilitas jaringan usaha pencatatan dan/atau penyimpanan surat berharga yang terintegrasi dengan dan antar kantor cabang yang dimiliki di dalam negeri; d. fotokopi bukti hasil pemeriksaan oleh auditor independen mengenai keamanan sistem pencatatan surat ... 7 surat berharga secara scripless; e. riwayat pekerjaan atau keahlian di bidang Kustodian dari Pengurus dan Pengelola dalam hal calon Sub-Registry merupakan non bank, atau riwayat pekerjaan atau keahlian di bidang Kustodian dari Pengelola dalam hal calon Sub- Registry merupakan Bank Kustodian; f. data mengenai jumlah dan nilai nominal transaksi pencatatan dan/atau penyimpanan surat berharga dalam 6 (enam) bulan terakhir; dan g. laporan keuangan tahunan terakhir yang telah diaudit oleh akuntan publik. B. Persetujuan Sebagai Sub-Registry 1. Dalam hal dokumen telah diterima lengkap, Bank Indonesia dapat melakukan peninjauan langsung ke tempat kedudukan calon Sub-Registry dalam rangka meneliti kebenaran persyaratan sebagaimana dimaksud pada angka II. 2. Dalam hal dokumen tidak lengkap, Bank Indonesia memberitahukan kepada pemohon secara tertulis untuk melengkapi dokumen yang belum disampaikan. 3. Bank Indonesia memberitahukan persetujuan atau penolakan untuk menjadi Sub-Registry kepada pemohon paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja setelah dokumen sebagaimana dimaksud pada butir A.3 diterima lengkap oleh Bank Indonesia. 4. Dalam hal pemohon telah disetujui menjadi Sub-Registry, Bank Indonesia akan memberikan: a. Surat persetujuan sebagai Sub-Registry dan pemberian akses ke SI BI-SSSS yang disampaikan bersamaan dengan surat persetujuan sebagai peserta BI-SSSS, dengan dilampiri: 1) User-ID ... 8 1) user-ID dan password untuk login ke jaringan Bank Indonesia bagi akses yang dilakukan melalui dial up; dan 2) user-ID dan password administrator lokal SI-BI- SSSS yang terdiri dari Administrator1 dan Administrator2; b. Surat pemberitahuan tanggal efektif kepersertaan BI-SSSS dengan dilampiri Surat Perjanjian Penggunaan BI-SSSS sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai BI-SSSS; dan c. Pelatihan SI BI-SSSS dan BI-SSSS. IV. KEGIATAN OPERASIONAL SUB-REGISTRY A. Tugas dan Kewajiban Sub-Registry 1. Tugas Sub-Registry a. Memelihara rekening Surat Berharga atas nama nasabah sesuai Peraturan Bank Indonesia yang mengatur mengenai BI-SSSS. b. Melaksanakan setelmen transaksi Surat Berharga untuk dan atas nama nasabah. c. Melakukan pencatatan Surat Berharga pada saat penerbitan atas nama nasabah. d. Mencatat kepemilikan dan perubahan kepemilikan Surat Berharga atas nama nasabah secara terpisah dari aset Sub-Registry. e. Menyampaikan bukti pencatatan Surat Berharga kepada nasabah yang antara lain berisi saldo akhir Rekening Surat Berharga yang memuat masing- masing seri Surat Berharga dan perubahan pencatatan kepemilikan Surat Berharga, termasuk pencatatan Surat Berharga yang ditransaksikan secara repo dan diagunkan kepada pihak lain. f. Menyampaikan bukti pencatatan agunan bagi pihak penerima ... 9 penerima agunan. g. Melakukan pembayaran kupon (bunga) atau imbalan dan nilai pokok/nominal Surat Berharga pada saat jatuh waktu kepada nasabah pemilik Surat Berharga sesuai pencatatan pada sistem internal Sub-Registry. h. Melakukan pemotongan dan administrasi pajak atas diskonto, capital gain dan kupon (bunga) atau imbalan Surat Berharga atas nama nasabah sesuai peraturan pajak yang berlaku. 2. Kewajiban Sub-Registry a. Menjamin kebenaran penatausahaan dan laporan kepemilikan Surat Berharga atas nama seluruh nasabah sesuai dengan saldo keseluruhan pada Rekening Surat Berharga (omnibus account) di Central Registry. b. Menyelesaikan masalah perbedaan pencatatan kepemilikan Surat Berharga antara Sub-Registry dengan nasabah. c. Memenuhi jumlah minimum pencatatan kepemilikan Surat Berharga rata-rata bulanan paling sedikit sebesar Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar Rupiah) dalam 12 (dua belas) bulan terakhir. d. Menjaga agar posisi KPMM bagi Bank Kustodian atau modal disetor bagi lembaga Kustodian bukan Bank tidak kurang dari posisi KPMM atau modal disetor sesuai ketentuan yang berlaku selama 3 (tiga) bulan berturut-turut. e. Menjaga pemenuhan persyaratan sebagai Sub- Registry sebagaimana dimaksud pada angka II, kecuali butir II.4 dan II.11. f. Melaporkan ... 10 f. Melaporkan data nasabah secara lengkap dan benar yang meliputi informasi: account identifier data (AID), nama nasabah, alamat nasabah, status residensial dan jenis usaha/tipe investor, dengan tata cara pengisian sebagaimana Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini. g. Menjaga keamanan SI BI-SSSS dan kerahasiaan data termasuk user administrator lokal yang disampaikan oleh Bank Indonesia. h. Menyediakan Ketentuan dan Prosedur Tertulis, minimal mencakup penatausahaan Surat Berharga dan penggunaan SI BI-SSSS di internal Sub-Registry antara lain mengenai pemberian akses dan pengamanan penggunaan aplikasi SI BI-SSSS dari pihak yang tidak berwenang. i. Menyampaikan laporan kepada Central Registry dengan benar dan tepat waktu melalui sarana BI- SSSS Terminal (ST), SI BI-SSSS dan atau sarana lain. j. Melakukan rekonsiliasi secara harian antara data setelmen yang dilaporkan kepada Central Registry dengan data setelmen transaksi yang terjadi di Sub- Registry untuk menjamin kebenaran data laporan yang disampaikan kepada Central Registry. k. Melakukan koreksi data pelaporan melalui SI BI- SSSS, dalam hal terdapat kesalahan laporan : 1) 2) laporan harian; laporan hasil transaksi penerbitan Surat Berharga dan transaksi switching; dan/atau 3) laporan bulanan posisi kepemilikan Surat Berharga ... buyback/debt 11 Berharga atas nama nasabah individual Sub- Registry. B. Pelaporan oleh Sub-Registry Sehubungan dengan kewajiban pelaporan oleh Sub-Registry sebagaimana tercantum pada butir A.2.i, maka diatur mengenai jenis, periode, tata cara pelaporan dan penggunaan sarana SI BI-SSSS sebagai berikut: 1. Jenis, periode dan tata cara pelaporan Sub-Registry wajib menyampaikan beberapa jenis laporan kepada Bank Indonesia - Central Registry, dengan menggunakan sarana BI-SSSS, SI BI-SSSS, atau surat yang dapat disampaikan terlebih dahulu melalui sarana lainnya misalnya faksimili, dengan pengaturan sebagai berikut : a. Laporan harian mengenai informasi setelmen transaksi Surat Berharga yang memuat perubahan pencatatan kepemilikan Surat Berharga antar nasabah individual dalam Sub-Registry yang sama (in house transfer). Laporan ini disampaikan melalui BI-SSSS pada hari yang sama dengan tanggal perubahan pencatatan kepemilikan individual dalam sistem pencatatan Sub-Registry. b. Laporan hasil transaksi penerbitan surat berharga negara (SBN) dan transaksi buyback/debt switching yang lelang atau transaksinya tidak dilakukan melalui BI-SSSS. Penerbitan SBN yang transaksinya tidak dilakukan melalui BI-SSSS antara lain penerbitan obligasi ritel Indonesia (ORI), penerbitan Sukuk Ritel, penerbitan SBN dalam rangka buyback debt/switching, penerbitan SBN dalam rangka transaksi private placement, transaksi SBN secara langsung ... 12 langsung dengan Pemerintah, dan transaksi peminjaman SBN untuk Primary Dealer. Penyampaian laporan dilakukan pada hari pelaksanaan setelmen dan Sub-Registry dapat mengetahui status pelaporan dimaksud melalui SI BI-SSSS dengan contoh format dan tata cara penyampaian laporan pada Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini. c. Laporan Bulanan Posisi Kepemilikan Surat Berharga atas nama nasabah individual Sub-Registry disampaikan melalui SI BI-SSSS paling lambat 2 (dua) hari kerja pada bulan berikutnya sesuai dengan window time yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dengan tata cara dan contoh format pada Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini. d. Laporan Tahunan berupa laporan rencana bisnis (bussiness plan) Sub-Registry pada tahun berikutnya, yang memuat antara lain : 1) 2) 3) target volume penatausahaan Surat Berharga; rencana program peningkatan pelayanan; rencana pengembangan sistem penatausahaan internal. Laporan ini disampaikan paling lama 1 (satu) bulan setelah berakhir tahun kalender. e. Laporan perubahan Pengurus Sub-Registry dan/atau Pengelola Sub-Registry yang disampaikan paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah terjadi perubahan. f. Laporan hasil pemeriksaan auditor independen mengenai keamanan sistem internal pencatatan Surat ... 13 Surat Berharga secara scripless yang disampaikan paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal laporan. g. Laporan hasil audit (berupa fotokopi) dari otoritas pengawas Kustodian mengenai keamanan sistem pencatatan Surat Berharga secara scripless, dalam hal tidak terdapat pemeriksaan oleh auditor independen selama periode tahun yang bersangkutan disampaikan paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal laporan; dan h. Laporan lainnya sesuai permintaan Bank Indonesia sesuai jangka waktu yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Laporan sebagaimana huruf d sampai dengan huruf h disampaikan melalui surat yang dapat disampaikan terlebih dahulu dengan menggunakan sarana lain misalnya faksimili, yang ditujukan kepada: BANK INDONESIA Bagian Penyelenggaraan Setelmen Direktorat Akunting dan Sistem Pembayaran Gedung D Lantai 3 Jl. M.H. Thamrin No. 2, Jakarta 10350 2. Pengiriman Laporan melalui SI BI-SSSS a. Penggunaan SI BI-SSSS SI BI-SSSS digunakan oleh Sub-Registry untuk : 1) penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada butir 1.b dan butir 1.c; dan 2) penyampaian data laporan harian sebagaimana dimaksud pada butir 1.a dalam hal tidak dapat dilakukan melalui ST Client. b. Dalam hal Sub-Registry tidak dapat menyampaikan Laporan melalui SI BI-SSSS sebagaimana dimaksud pada huruf a, Sub-Registry dapat menyampaikan Laporan ... 14 Laporan dimaksud melalui Guest Bank SI BI-SSSS di Bank Indonesia – Central Registry dengan pemberitahuan secara tertulis kepada Bank Indonesia. Pemberitahuan secara tertulis tersebut disampaikan sebelumnya melalui faksimili dan/atau sarana lainnya dengan menjelaskan alasan yang menyebabkan laporan tidak dapat disampaikan melalui SI BI-SSSS. c. Pengelolaan dan kewenangan Pengguna SI BI-SSSS 1) Pengelolaan user-ID dan password akses ke jaringan Bank Indonesia dan akses aplikasi SI BI-SSSS level Administrator lokal Sub-Registry dilakukan oleh Bank Indonesia. 2) Administrator Lokal merupakan pengguna SI BI-SSSS pada masing-masing Sub-Registry yang berwenang untuk: a) Membuat user setingkat Administrator Lokal (cloning); dan b) Melakukan kegiatan menambah (insert), menghapus (delete), reset password untuk user dan user group. 3) Pengelolaan user ID dan password user untuk akses ke aplikasi SI BI-SSSS dilakukan oleh masing-masing Sub-Registry. 4) Dalam hal Sub-Registry tidak dapat melakukan akses ke jaringan Bank Indonesia atau Administrator Lokal Sub-Registry tidak dapat melakukan akses ke aplikasi SI BI-SSSS yang diakibatkan karena kesalahan password, Sub- Registry dapat menyampaikan permintaan reset password kepada Bank Indonesia. Permintaan reset password sebagaimana dimaksud pada butir ... 15 butir 1), disampaikan Sub-Registry secara tertulis yang ditandatangani oleh Pengelola Sub-Registry dan dapat didahului melalui faksimili kepada: BANK INDONESIA Bagian Penyelenggaraan Setelmen Direktorat Akunting dan Sistem Pembayaran Gedung D Lantai 3 Jl. M.H. Thamrin No. 2, Jakarta 10350, d. Waktu pelaporan pada SI BI-SSSS 1) Waktu penyampaian laporan melalui SI BI- SSSS dengan ketentuan sebagai berikut : WINDOW TIME PELAPORAN SUB-REGISTRY JENIS LAPORAN DARI SAMPAI Distribusi Allotment Perdana 10.00 14.00 Transaksi buyback/debtswitching Transaksi Koreksi Laporan Bulanan Transaksi secara batch 08.00 12.00 07.00 20.00 Permintaan Sub- Registry 2) Dalam hal Sub-Registry tidak dapat menyampaikan laporan Distribusi Allotment Perdana dan Laporan Transaksi buyback/debtswitching pada window time yang ditentukan pada angka 1), maka Sub-Registry dapat mengajukan perpanjangan waktu melalui surat kepada Central Registry dan menjelaskan penyebab laporan tidak dapat disampaikan pada waktu yang ditentukan. Surat dimaksud dapat disampaikan terlebih dahulu melalui sarana ... 10.00 12.00 16 sarana lainnya misalnya faksimili kepada : BANK INDONESIA Bagian Penyelenggaraan Setelmen Direktorat Akunting dan Sistem Pembayaran Gedung D Lantai 3 Jl. M.H. Thamrin No. 2, Jakarta 10350 e. Status laporan pada SI BI-SSSS Dalam penyampaian laporan melalui SI BI-SSSS, Sub-Registry perlu memperhatikan status hasil upload laporan bulanan pada Aplikasi SI BI-SSSS, serta melakukan tindak lanjut yang diperlukan sesuai dengan waktu yang ditentukan. Status hasil upload laporan bulanan pada SI BI-SSSS adalah sebagai berikut : 1) Status “Diterima” yaitu pengiriman laporan dalam batas waktu yang ditentukan dan kebenaran isi laporan diterima dengan benar. 2) Status “Koreksi” yaitu pengiriman laporan dalam batas waktu yang ditentukan dan kebenaran isi laporan tidak benar. 3) Status “Diterima Terlambat” yaitu pengiriman laporan melewati batas waktu yang ditentukan dan kebenaran isi laporan diterima dengan benar. 4) Status “Koreksi Terlambat” yaitu pengiriman laporan melewati batas waktu yang ditentukan dan kebenaran isi laporan tidak benar. Tindak lanjut yang harus dilakukan oleh Sub- Registry pada status angka 2) atau 4), mengacu pada Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini. V. PENGAWASAN ... 17 V. PENGAWASAN SUB-REGISTRY 1. Bank Indonesia – Central Registry berwenang melakukan pengawasan terhadap Sub-Registry dengan ruang lingkup pengawasan, yaitu: a. pengawasan terhadap pelaksanaan tugas dan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam butir IV.A; dan b. pengawasan terhadap pelaporan oleh Sub-Registry sebagaimana dimaksud dalam butir IV.B. 2. Metode pengawasan sebagaimana dimaksud pada angka 1 dapat dilakukan dengan cara: a. Pengawasan tidak langsung melalui laporan yang disampaikan kepada Bank Indonesia. Dalam hal diperlukan, Bank Indonesia dapat meminta data/informasi kepada Sub-Registry. b. Pengawasan langsung dengan melakukan pemeriksaan terhadap Sub-Registry. 3. Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam butir 2.b dilakukan sewaktu-waktu oleh Bank Indonesia. 4. Dalam rangka pengawasan terhadap Sub-Registry, Bank Indonesia dapat berkoordinasi dengan otoritas pengawas Kustodian. 5. Dalam rangka pelaksanaan pengawasan, Sub-Registry wajib memberikan informasi yang lengkap dan benar sesuai permintaan Bank Indonesia. 6. Dalam hal berdasarkan hasil pengawasan terdapat hasil temuan yang wajib ditindaklanjuti oleh Sub-Registry, Bank Indonesia menyampaikan hasil temuan dimaksud melalui surat dan/atau melalui sarana lainnya. 7. Berdasarkan hasil pengawasan, Sub-Registry wajib melakukan tindak lanjut terhadap hasil temuan sebagai berikut : a. Sub-Registry ... 18 a. Sub-Registry yang belum memenuhi kewajiban dan/atau melakukan kesalahan dalam melaksanakan tugas dan/atau pelaporan sebagaimana dimaksud dalam butir IV.A dan/atau IV.B, wajib : 1) memenuhi kewajiban pelaporan dengan data yang benar atau melakukan koreksi kesalahan dengan data yang benar terhadap Laporan Harian sebagaimana dimaksud dalam butir IV.B.1.a dan laporan hasil transaksi penerbitan Surat Berharga dan transaksi buyback/debt switching yang transaksinya tidak dilakukan melalui BI-SSSS sebagaimana dimaksud dalam butir IV.B.1.b, paling lama 2 (dua) hari kerja sejak tanggal pemberitahuan hasil temuan oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam angka 6; 2) memenuhi kewajiban pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam butir IV.A.1, atau memenuhi kewajiban pelaporan dengan data yang benar sebagaimana dimaksud dalam butir IV.B.1; 3) melakukan koreksi kesalahan atas laporan harian paling lama 2 (dua) hari kerja sejak tanggal pemberitahuan hasil temuan oleh Bank Indonesia; 4) melakukan koreksi kesalahan atas laporan dimaksud dalam butir IV.B.1.b, butir IV.B.1.d dan butir IV.B.1.h paling lama 5 (lima) hari kerja sejak tanggal pemberitahuan hasil temuan oleh Bank Indonesia; dan/atau 5) melakukan koreksi kesalahan atas laporan dengan data yang benar terhadap Laporan Bulanan dengan status ”koreksi” atau ”koreksi terlambat” dengan mekanisme sebagai berikut : a) Apabila Sub-Registry menyampaikan laporan dalam ... 19 dalam periode waktu yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada butir IV.B.1.c, maka koreksi kesalahan laporan dilakukan paling lama 1(satu) hari kerja sejak batas waktu yang ditetapkan. b) Apabila Sub-Registry menyampaikan laporan melewati batas waktu yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada butir IV.B.1.c, maka koreksi kesalahan laporan dilakukan paling lama 1 (satu) hari kerja sejak laporan tersebut disampaikan. b. Sub-Registry yang tidak memenuhi persyaratan pemenuhan jumlah minimum pencatatan kepemilikan Surat Berharga rata-rata bulanan paling sedikit Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar Rupiah) dalam 12 (dua belas) bulan terakhir sebagaimana dimaksud dalam butir IV.A.2.c wajib membuat rencana tindakan (action plan) dalam rangka memenuhi kewajiban dimaksud, dengan ketentuan sebagai berikut: 1) Rencana tindakan disampaikan kepada Bank Indonesia-Central Registry paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal surat pemberitahuan hasil temuan oleh Bank Indonesia. 2) Rencana tindakan sebagaimana dimaksud dalam butir 1) wajib dipenuhi sesuai dengan batas waktu pemenuhan yang diusulkan Sub-Registry paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal surat penyampaian rencana tindakan Sub-Registry, termasuk apabila terdapat perubahan. VI. SANKSI TERHADAP SUB-REGISTRY A. Teguran tertulis Dalam hal Sub-Registry tidak melakukan kewajiban pelaporan sebagaimana ... 20 sebagaimana dimaksud pada butir IV.B dan V.7 maka pengenaan sanksi dilakukan dengan prosedur sebagai berikut: 1. 2. teguran tertulis pertama; teguran tertulis kedua, dilakukan 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal teguran tertulis pertama dalam hal Sub- Registry tidak memenuhi kewajibannya; 3. teguran tertulis ketiga, dilakukan 6 (enam) hari kerja sejak tanggal teguran tertulis kedua dalam hal Sub- Registry tidak memenuhi kewajibannya. B. Pencabutan Persetujuan Sebagai Sub-Registry 1. Persetujuan Bank Kustodian dan lembaga Kustodian bukan Bank sebagai Sub-Registry dapat dicabut oleh Bank Indonesia apabila: a. izin usaha sebagai Kustodian dicabut oleh Bapepam-LK; b. posisi KPMM Bank Kustodian atau modal disetor lembaga Kustodian bukan Bank kurang dari persyaratan yang ditentukan sesuai ketentuan yang berlaku selama 3 (tiga) bulan berturut-turut; c. Sub-Registry tetap tidak dapat memenuhi kewajibannya dalam jangka waktu 5 (lima) hari kerja setelah teguran tertulis ketiga; d. terdapat keputusan atau surat permintaan dari otoritas pengawas terkait untuk mencabut persetujuan Bank Kustodian dan lembaga Kustodian bukan Bank sebagai Sub-Registry; e. terdapat putusan pailit dari pengadilan niaga yang telah berkekuatan hukum tetap atas lembaga Kustodian bukan Bank; f. status Sub-Registry sebagai Peserta dicabut oleh Penyelenggara; g. terdapat ... 21 g. terdapat permohonan tertulis dari Sub-Registry yang bersangkutan sepanjang Sub-Registry tersebut telah menyelesaikan seluruh kewajiban yang terkait dengan Penatausahaan Surat Berharga kepada nasabah, dengan menggunakan contoh surat sebagaimana Lampiran III. 2. Bank Indonesia menyampaikan surat pemberitahuan mengenai pencabutan sebagai Sub-Registry kepada Sub- Registry. 3. Sub-Registry yang dicabut persetujuannya sebagai Sub- Registry sebagaimana dimaksud dalam butir 1.a sampai dengan butir 1.f, harus menyelesaikan pencatatan perpindahan kepemilikan Surat Berharga individual nasabah kepada Sub-Registry lainnya yang ditunjuk oleh nasabah paling lama 5 (lima) hari kerja setelah tanggal pemberitahuan pencabutan sebagai Sub-Registry. 4. Bank Indonesia mengumumkan pencabutan persetujuan Sub-Registry melalui sarana BI-SSSS dan/atau sarana informasi lainnya. VII. KETENTUAN PENUTUP Pada saat Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku : 1. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 10/29/DPM tanggal 2 September 2008 perihal Tata Cara Pengajuan, Pelaporan dan Pengawasan Sub-Registry; 2. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/14/DPM tanggal 18 Mei 2009 perihal perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia No.10/29/DPM tanggal 2 September 2008 perihal Tata cara pengajuan, Pelaporan dan Pengawasan Sub- Registry; dan 3. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 12/5/DASP tanggal 1 Februari 2010 perihal Perubahan Kedua atas Surat Edaran Bank ... 22 Bank Indonesia No. 10/29/DPM tanggal 2 September 2008 perihal Tata Cara Pengajuan, Pelaporan dan Pengawasan Sub- Registry, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 23 Desember 2011. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA, RONALD WAAS DIREKTUR AKUNTING DAN SISTEM PEMBAYARAN "," SE-BI 13/32/DASP|SE-BI/2011 Perizinan, Pelaporan, dan Pengawasan Sub-Registry 23 Desember 2011 23 Desember 2011 '10/29/DPM|SE-BI/2008', '11/14/DPM|SE-BI/2009', '12/5/DASP|SE-BI/2010' '10/2/PBI/2008', '12/12/PBI/2010' 'Romawi VI' " " No. 5/ 6 /DPM Jakarta, 21 Maret 2003 SURAT EDARAN Perihal: Tata Cara Penatausahaan Surat Utang Negara Sehubungan dengan ditetapkannya Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/4/PBI/2003 tanggal 21 Maret 2003 tentang Penerbitan, Penjualan dan Pembelian serta Penatausahaan Surat Utang Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4278), maka dipandang perlu untuk menetapkan petunjuk pelaksanaan mengenai Tata Cara Penatausahaan Surat Utang Negara. I. Ketentuan Umum Bank Indonesia menatausahakan Surat Utang Negara yang selanjutnya disebut SUN, dengan menggunakan Bank Indonesia Sistem Kliring, Registrasi, Informasi dan Penatausahaan (BI–SKRIP) yang terdiri dari pencatatan kepemilikan SUN, kliring dan setelmen transaksi SUN baik di Pasar Perdana maupun di Pasar Sekunder, serta pembayaran bunga (kupon) dan pokok SUN. 1. Pencatatan kepemilikan SUN. a. Pencatatan kepemilikan SUN dilakukan oleh: 1) Central Registry, yaitu Bank Indonesia cq. Bagian Penyelesaian Transaksi Pasar Uang, Direktorat Pengelolaan Moneter yang selanjutnya disebut Bagian PTPU-DPM, yang melakukan fungsi pencatatan kepemilikan surat berharga termasuk SUN untuk kepentingan Bank, Sub-Registry, dan pihak … pihak lain yang disetujui oleh Bank Indonesia untuk memiliki rekening surat berharga di Central Registry; 2) Sub-Registry, yaitu Bank dan lembaga kustodian yang ditunjuk Bank Indonesia untuk melakukan pencatatan kepemilikan surat berharga termasuk SUN untuk kepentingan nasabah. b. Rekening surat berharga di Central Registry terdiri dari: 1) rekening investasi untuk menampung pencatatan kepemilikan SUN yang diterbitkan Pemerintah dalam rangka program rekapitalisasi perbankan dan belum diperdagangkan oleh pemilik rekening surat berharga; 2) rekening perdagangan untuk menampung kepemilikan SUN yang dapat diperdagangkan; dan 3) rekening agunan untuk menampung pencatatan kepemilikan SUN yang diagunkan dan tidak dapat diperdagangkan selama jangka waktu agunan belum berakhir. c. Rekening surat berharga di Sub-Registry terdiri dari rekening perdagangan dan rekening agunan. 2. Kliring dan Setelmen transaksi SUN a. Setelmen transaksi SUN baik di Pasar Perdana maupun di Pasar Sekunder dilakukan oleh Bank Indonesia dan Sub-Registry. b. Setelmen transaksi SUN terdiri dari setelmen surat berharga (securities settlement) dan setelmen dana (fund settlement). c. Setelmen surat berharga dilakukan oleh Central Registry, secara setelmen gross dengan memindahkan kepemilikan SUN pada rekening surat berharga antar para pihak yang bertransaksi di Central Registry melalui sistem Book Entry Registry yang selanjutnya disebut BER. d. Setelmen … pencatatan d. Setelmen dana dilakukan oleh Bank Indonesia cq. Bagian PTPU- DPM, secara setelmen gross atau net dengan melakukan pemindahan dana antar rekening giro Rupiah Bank di Bank Indonesia melalui Sistem Bank Indonesia Real Time Gross Settlement yang selanjutnya disebut Sistem BI-RTGS. e. Sub-Registry dan pihak lain pemilik rekening surat berharga di Central Registry yang tidak memiliki rekening giro Rupiah di Bank Indonesia, wajib menunjuk Bank untuk melakukan setelmen dana dalam rangka transaksi SUN dan untuk menampung penerimaan dana dari Central Registry dalam rangka pembayaran kupon (bunga) serta pokok SUN pada saat jatuh waktu. f. Bank, Sub-Registry dan pihak lain pemilik rekening surat berharga di Central Registry yang melakukan transaksi SUN wajib memiliki saldo SUN yang mencukupi pada rekening surat berharga di Central Registry untuk memenuhi kewajiban setelmen surat berharga. g. Bank yang melakukan transaksi SUN atau Bank yang ditunjuk untuk melakukan setelmen dana wajib memiliki saldo yang mencukupi pada rekening giro Rupiah Bank di Bank Indonesia untuk memenuhi kewajiban setelmen dana. h. Setelmen transaksi SUN dapat dilakukan secara : 1) Free of Payment (FoP) yaitu setelmen surat berharga dan setelmen dana dilakukan secara tidak bersamaan atau tanpa setelmen dana. Setelmen surat berharga dilakukan di Central Registry, sedangkan setelmen dana dapat dilakukan di Bank Indonesia, Bank, tunai antar para pihak, atau dengan cara lain. 2) Delivery … 2) Delivery Versus Payment (DVP) yaitu setelmen surat berharga dan setelmen dana dilakukan secara bersamaan di Bank Indonesia. 3. Pembayaran bunga (kupon) dan pokok SUN a. Bank Indonesia melakukan pembayaran bunga (kupon) dan pokok SUN atas beban Pemerintah pada saat jatuh waktu berdasarkan pencatatan kepemilikan SUN di Central Registry, sesuai dengan ketentuan dan persyaratan (terms and conditions) Menteri Keuangan Republik Indonesia dan berdasarkan surat dari Menteri Keuangan Republik Indonesia. b. Dalam hal Pemerintah melakukan : 1) pembelian kembali SUN dalam rangka pelunasan sebelum jatuh waktu (redemption/buy back), dan atau 2) pembelian/penjualan SUN di pasar sekunder dalam rangka pengelolaan utang (debt portfolio management). maka pembayaran pokok SUN dilakukan atas beban Pemerintah dan berdasarkan surat dari Menteri Keuangan Republik Indonesia. II. Tata Cara Pencatatan Kepemilikan SUN A. Tata Cara Pembukaan Rekening Surat Berharga 1. Sub-Registry wajib membuka rekening surat berharga di Central Registry. 2. Bank dan pihak lain yang disetujui oleh Bank Indonesia untuk memiliki rekening surat berharga di Central Registry yang akan melakukan transaksi SUN wajib membuka berharga di Central Registry. rekening surat 3. Bank … 3. Bank dan pihak lain yang akan melakukan transaksi SUN melalui Sub-Registry wajib membuka rekening surat berharga di Sub- Registry. 4. Permohonan pembukaan rekening surat berharga di Central Registry diajukan kepada Central Registry dengan alamat : Bank Indonesia – Direktorat Pengelolaan Moneter cq. Bagian Penyelesaian Transaksi Pasar Uang Gedung B Lantai 11, Jl. MH. Thamrin No.2 Jakarta 10010. Khusus bagi Bank, Sub-Registry, dan pihak lain yang disetujui oleh Bank Indonesia untuk memiliki rekening surat berharga di Central Registry yang berkedudukan di luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia (di luar wilayah DKI Jakarta, Depok, Serang, Pandeglang, Lebak, Tangerang, Bogor, Karawang dan Bekasi) wajib menyampaikan tembusan permohonan tersebut kepada Kantor Bank Indonesia setempat. 5. Surat permohonan sebagaimana dimaksud dalam angka 4 wajib dilengkapi dengan: a. informasi pemohon dengan menggunakan formulir BER-01 sebagaimana contoh Lampiran 1; b. contoh stempel Perusahaan dan contoh specimen tandatangan pejabat Perusahaan yang berwenang, sekurang-kurangnya 2 (dua) orang, untuk melakukan pemindahan kepemilikan SUN pada rekening surat berharga, dengan menggunakan formulir BER-02 sebagaimana contoh Lampiran 2; c. contoh specimen tanda tangan pejabat Bank yang berwenang, sekurang-kurangnya 2 (dua) orang, untuk melakukan pendebetan rekening giro Rupiah Bank di Bank Indonesia dalam rangka setelmen dana untuk transaksi pembelian SUN baik … baik untuk dan atas nama sendiri maupun untuk dan atas nama pihak lain, dengan menggunakan formulir BER-03 sebagaimana contoh Lampiran 3. 6. Pembukaan rekening surat berharga di Sub-Registry mengikuti prosedur yang berlaku di masing-masing Sub-Registry. B. Tata Cara Pencatatan Kepemilikan SUN 1. Pencatatan kepemilikan SUN dilakukan tanpa warkat (scripless) dan secara book entry dalam sistem BER. 2. Pencatatan kepemilikan SUN dalam sistem BER mencakup seluruh jumlah SUN yang dimiliki oleh pihak yang memiliki rekening surat berharga di Central Registry dan di Sub-Registry. 3. Catatan kepemilikan SUN di Central Registry dan di Sub-Registry merupakan bukti kepemilikan yang sah. 4. Sebagai bukti pencatatan kepemilikan SUN, Central Registry dan Sub-Registry menerbitkan Konfirmasi Pencatatan Surat Berharga yang selanjutnya disebut KPS, yang terdiri dari : a. KPS harian, yaitu KPS yang diterbitkan pada akhir hari dalam hal terjadi perubahan pencatatan kepemilikan SUN. KPS harian memuat saldo rekening surat berharga. b. KPS bulanan, yaitu KPS yang diterbitkan setiap akhir bulan yang memuat saldo akhir dari masing-masing seri SUN yang dimiliki pemilik rekening surat berharga. 5. KPS harian dapat diambil oleh pemilik rekening SUN pada 1 (satu) hari kerja setelah tanggal setelmen, sedangkan KPS bulanan dapat diambil pada 2 (dua) hari kerja setelah akhir bulan. 6. KPS harian yang diterbitkan oleh Central Registry menggunakan formulir BER-04 sebagaimana contoh Lampiran 4 sedangkan KPS bulanan … bulanan menggunakan formulir BER-05 sebagaimana contoh Lampiran 5. 7. KPS harian dan KPS bulanan yang diterbitkan oleh Sub-Registry menggunakan format yang ditetapkan oleh masing-masing Sub- Registry. 8. Dalam hal terdapat perbedaan pencatatan kepemilikan SUN antara Central Registry dengan pemilik rekening surat berharga di Central Registry maka pemilik rekening surat berharga tersebut wajib melaporkan perbedaan dimaksud kepada Central Registry dengan menggunakan formulir BER-06 sebagaimana contoh Lampiran 6, paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah tanggal penerbitan KPS harian dan atau 3 (tiga) hari kerja setelah tanggal penerbitan KPS bulanan. 9. Dalam hal pemilik rekening surat berharga di Central Registry telah melaporkan perbedaan pencatatan sebagaimana dimaksud dalam angka 8, Central Registry Bank Indonesia cq. Bagian PTPU-DPM memberikan keputusan final terhadap perbedaan pelaporan selambat-lambatnya 2 (dua) hari kerja setelah tanggal penerimaan laporan. 10. Apabila setelah jangka waktu sebagaimana ditetapkan dalam angka 8, pemilik rekening surat berharga di Central Registry tidak melaporkan perbedaan pencatatan kepemilikan SUN, maka pencatatan kepemilikan SUN yang dianggap final adalah pencatatan di Central Registry, kecuali ada pembuktian lain dari pemilik rekening surat berharga di Central Registry yang dapat diterima oleh Central Registry. C. Tata … C. Tata Cara Pemindahan Pencatatan SUN dari Rekening Investasi ke Rekening Perdagangan 1. Dalam hal Bank peserta program rekapitalisasi perbankan akan melakukan perdagangan SUN yang masih tercatat di rekening investasi, Bank tersebut wajib memindahkan pencatatan SUN dari rekening investasi ke rekening perdagangan dan melaporkan kepada Central Registry dengan formulir BER-07 sebagaimana contoh Lampiran 7. 2. Pada tanggal diterimanya laporan sebagaimana dimaksud dalam angka 1, Central Registry memindahkan pencatatan SUN dari rekening investasi ke rekening perdagangan. 3. SUN yang telah dipindahkan pencatatannya oleh Central Registry sebagaimana dimaksud dalam angka 2, efektif diperdagangkan pada 1 (satu) hari kerja berikutnya. 4. Pada akhir hari, Central Registry menerbitkan KPS harian sebagai bukti perpindahan pencatatan SUN dari rekening investasi ke rekening perdagangan. D. Tata Cara Pencatatan Agunan SUN 1. Pencatatan Agunan SUN di Central Registry a. Pemilik rekening surat berharga di Central Registry yang akan mengagunkan SUN, menyampaikan Permohonan Penerbitan Surat Keterangan Surat Berharga Diagunkan yang selanjutnya disebut PP-SKSD dengan menggunakan formulir BER-08 sebagaimana contoh Lampiran 8. b. Permohonan pencatatan agunan sebagaimana dimaksud dalam huruf a wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1) Pengisian data lengkap dan benar; 2) Tanda tangan sesuai dengan specimen; 3) SUN … dapat 3) SUN yang akan diagunkan tidak sedang diagunkan; 4) Jumlah SUN yang akan diagunkan tidak melebihi saldo SUN pada rekening perdagangan; 5) Pada saat agunan jatuh waktu, sisa jangka waktu SUN sekurang-kurangnya 2 (dua) hari kerja. c. Dalam hal formulir sebagaimana dimaksud dalam huruf b belum diisi secara lengkap dan atau tidak benar, maka Central Registry mengembalikan kepada pemohon. d. Central Registry menerima pengajuan formulir sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan perbaikannya dari pukul 08.00 WIB sampai dengan pukul 16.00 WIB. e. Berdasarkan data formulir PP-SKSD, Central Registry melakukan pemindahan pencatatan SUN dari perdagangan ke rekening agunan. rekening f. Central Registry menerbitkan Surat Keterangan Surat Berharga Diagunkan yang selanjutnya disebut SKSD dengan formulir BER-09 sebagaimana contoh Lampiran 9, dan dapat diambil oleh pemberi agunan pada hari yang sama dengan tanggal pengagunan. g. Pada akhir hari, Central Registry menerbitkan KPS sebagai bukti pemindahan SUN dari rekening perdagangan ke rekening agunan, dan dapat diambil oleh pemilik rekening SUN pada 1 (satu) hari kerja setelah tanggal pencatatan pemindahan. h. Pada saat periode SKSD berakhir, Central Registry melakukan penglepasan agunan secara otomatis pada sistem BER yang pelaksanaannya dilakukan pada awal hari kerja berikutnya setelah tanggal jatuh waktu SKSD, dengan memindahkan … memindahkan pencatatan SUN yang diagunkan dari rekening agunan ke rekening perdagangan. i. Pemilik rekening surat berharga di Central Registry dapat mengajukan permohonan penglepasan agunan SUN sebelum jatuh waktu SKSD kepada Central Registry dari pukul 08.00 WIB sampai dengan pukul 16.00 WIB dengan persyaratan sebagai berikut: 1) Pemberi agunan menyampaikan surat permohonan penglepasan agunan SUN yang dilampiri dengan SKSD asli yang telah diterbitkan; atau 2) Penerima agunan menyampaikan surat permohonan penglepasan agunan dan pemindahan kepemilikan SUN yang dilampiri dengan SKSD asli, Surat Permohonan Perpindahan Registrasi Free of Payment yang selanjutnya disebut SPPR-FoP dari pihak pemberi agunan, dan surat kuasa yang ditandatangani oleh kedua belah pihak untuk memindahkan kepemilikan SUN (baik sebagian atau seluruhnya) dari pemberi agunan kepada penerima agunan. 2. Pencatatan Agunan SUN dalam rangka Fasilitas Bank Indonesia a. Pencatatan agunan SUN oleh Bank dalam rangka pengajuan permohonan Fasilitas Likuiditas Intrahari, Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek atau fasilitas Bank Indonesia dilakukan sesuai dengan prosedur pencatatan agunan Central Registry sebagaimana dimaksud dalam angka 1. lainnya, di b. Persyaratan SUN yang dapat diagunkan dalam rangka fasilitas Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam huruf a, tunduk pada … pada ketentuan yang berlaku mengenai masing-masing fasilitas dimaksud. 3. Pencatatan Agunan SUN di Sub-Registry a. Pemilik rekening surat berharga di Sub-Registry yang akan mengagunkan SUN, menyampaikan PP-SKSD kepada Sub- Registry. b. Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, Sub-Registry menerbitkan SKSD. c. Sub-Registry wajib menyampaikan laporan mengenai posisi pencatatan agunan (dilampiri dengan fotokopi SKSD yang telah diterbitkan) kepada Central Registry, pada hari kerja yang sama dengan tanggal penerbitan SKSD. d. Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud dalam huruf c, Central Registry memindahkan SUN yang diagunkan dari rekening perdagangan ke rekening agunan Sub Registry. e. Pada saat periode SKSD berakhir, apabila Sub-Registry tidak melaporkan perpanjangan SKSD, Central Registry melakukan penglepasan agunan secara otomatis pada sistem BER yang pelaksanaannya dilakukan pada awal hari kerja berikutnya setelah tanggal jatuh waktu SKSD, dengan memindahkan pencatatan SUN yang diagunkan dari rekening agunan ke rekening perdagangan Sub-Registry. III. Tata Cara Setelmen Transaksi SUN A. Prinsip-prinsip Setelmen Transaksi SUN 1. Bank Indonesia melakukan setelmen transaksi SUN untuk transaksi penjualan di Pasar Perdana, transaksi Outright dan Repo di Pasar … di Pasar Sekunder, pemindahan kepemilikan lainnya dalam rangka hibah, warisan, dan pelunasan kewajiban/utang. 2. Setelmen transaksi SUN di Pasar Perdana dilakukan secara FoP dan DVP. 3. Setelmen transaksi Outright dan Repo SUN di Pasar Sekunder dilakukan secara DVP. 4. Setelmen transaksi SUN dalam rangka, hibah, warisan, dan pelunasan kewajiban/utang dilakukan secara FoP. 5. Bank Indonesia melakukan setelmen hasil lelang SUN di Pasar Perdana dengan ketentuan sebagai berikut : a. setelmen hasil lelang Surat Perbendaharaan Negara yang selanjutnya disebut SPN dilakukan pada hari kerja berikutnya setelah hari pelaksanaan lelang (T+1); b. setelmen hasil lelang Obligasi Negara yang selanjutnya disebut ON dilakukan selambat-lambatnya 5 (lima) hari kerja setelah pengumuman hasil pemenang lelang Obligasi Negara (T+5). 6. Bank Indonesia cq. Bagian PTPU-DPM melakukan setelmen transaksi SUN di Pasar Sekunder pada hari yang sama (same day settlement) atau pada tanggal valuta yang ditetapkan untuk transaksi titipan. Tanggal valuta transaksi titipan maksimum 3 (tiga) hari kerja setelah tanggal diterimanya permohonan transaksi titipan (T+3). 7. Setelmen transaksi SUN secara Repo yang ditatausahakan oleh Central Registry adalah transaksi Repo yang dilakukan antar pemilik rekening surat berharga di Central Registry. 8. Dalam hal pemilik rekening surat berharga di Central Registry yang melakukan setelmen transaksi SUN secara DVP tidak memiliki … memiliki rekening giro Rupiah di Bank Indonesia, yang bersangkutan wajib menunjuk Bank untuk melakukan setelmen dana. 9. Setelmen transaksi SUN di Pasar Sekunder dilakukan oleh Bank Indonesia sebagai berikut : a. untuk setelmen transaksi secara DVP dilakukan berdasarkan Surat Permohonan Perpindahan Registrasi-Delivery Versus Payment yang selanjutnya disebut SPPR-DVP yang diajukan oleh penjual dan Surat Perintah Penyelesaian Pembayaran- Delivery Versus Payment yang selanjutnya disebut SPPP- DVP yang diajukan oleh pembeli. b. untuk setelmen secara FoP dilakukan berdasarkan SPPR-FoP yang diajukan penjual SUN. c. untuk transaksi Repo dilakukan berdasarkan Surat Permohonan Perpindahan Registrasi Repo yang selanjutnya disebut SPPR-Repo yang diajukan penjual dan Surat Perintah Penyelesaian Pembayaran Repo yang selanjutnya disebut SPPP-Repo yang diajukan oleh pembeli atau Bank yang ditunjuk untuk melakukan setelmen dana. B. Tata Cara Setelmen Transaksi SUN di Pasar Perdana 1. Pencatatan Penerbitan SUN Bank Indonesia melakukan pencatatan penerbitan SUN dalam sistem BER di Central Registry, sesuai ketentuan dan persyaratan (terms and conditions) yang ditetapkan Menteri Republik Indonesia. Keuangan 2. Setelmen … 2. Setelmen Hasil Lelang SUN secara DVP a. Berdasarkan keputusan hasil Lelang SUN oleh Menteri Keuangan Republik Indonesia, Bank Indonesia cq. Bagian PTPU-DPM melakukan setelmen Lelang SUN kepada pemenang lelang dengan cara sebagai berikut : 1) Setelmen dana Setelmen dana dilakukan dengan mendebet rekening giro Rupiah di Bank Indonesia milik pemenang lelang atau Bank yang ditunjuk oleh pemenang lelang untuk setelmen dana, dan mengkredit rekening giro Rupiah Pemerintah di Bank Indonesia sebesar harga setelmen SUN. Pendebetan dan pengkreditan dilakukan melalui Sistem BI-RTGS secara netting untuk masing-masing Bank pembayar. 2) Setelmen surat berharga Setelmen surat berharga dilakukan dengan mengkredit rekening surat berharga pada rekening pemenang lelang di Central Registry sebesar nilai nominal SUN yang dimenangkan. Setelmen perdagangan surat berharga dilakukan setelah setelmen dana sebagaimana dimaksud dalam angka 1) berhasil dilakukan. Selanjutnya pada tanggal setelmen yang sama, setelmen surat berharga bagi nasabah Sub-Registry dilakukan oleh Sub-Registry dengan mengkredit rekening surat berharga pada rekening perdagangan nasabah sebesar nilai nominal SUN yang dimenangkan oleh masing-masing nasabah. b. Dalam hal saldo rekening giro Rupiah Bank di Bank Indonesia tidak mencukupi untuk setelmen dana sampai dengan … dengan pukul 17.00 WIB atau saat cut-off warning Sistem BI- RTGS, sistem secara otomatis membatalkan transaksi SUN dimaksud. c. Akibat batalnya transaksi hasil Lelang SUN sebagaimana dimaksud dalam huruf b, jumlah berkurang sebesar nilai nominal SUN yang batal. 3. Setelmen Hasil Penjualan dan Penempatan SUN secara FoP a. Berdasarkan surat Menteri Keuangan Republik Indonesia mengenai setelmen hasil penjualan SUN atau penempatan lainnya dalam rangka program Pemerintah, Bank Indonesia cq. Central Registry melakukan setelmen SUN secara FoP kepada pembeli atau penerima SUN dengan mengkredit rekening surat berharga pembeli atau penerima di Central Registry sebesar nilai nominal SUN. b. Dalam hal penjualan SUN sebagaimana dimaksud dalam huruf a tidak dalam rangka program rekapitalisasi perbankan maka pengkreditan rekening surat berharga dilakukan pada rekening perdagangan. C. Tata Cara Setelmen Transaksi SUN di Pasar Sekunder 1. Setelmen Transaksi Outright secara DVP a. Pemilik rekening surat berharga di Central Registry yang menjual SUN, menyerahkan SPPR-DVP kepada Central Registry dari pukul 08.00 WIB sampai dengan pukul 16.00 WIB dengan menggunakan formulir BER-10 sebagaimana contoh Lampiran 10. penerbitan SUN akan setelmen b. Pemilik … b. Pemilik rekening surat berharga di Central Registry yang membeli SUN menyerahkan SPPP-DVP kepada Bagian PTPU-DPM, dari pukul 08.00 WIB sampai dengan pukul 16.00 WIB dengan menggunakan sebagaimana contoh Lampiran 11. formulir BER-11 c. SPPP-DVP sebagaimana dimaksud dalam huruf b yang disampaikan oleh Sub-Registry dan pihak lain yang tidak memiliki rekening giro Rupiah di Bank Indonesia, wajib ditandatangani oleh Bank yang ditunjuk untuk melakukan setelmen dana dengan cara membubuhkan tandatangan pejabat Bank yang berwenang untuk melakukan pendebetan rekening giro Rupiah Bank di Bank Indonesia dan stempel Bank pada formulir SPPP-DVP. d. Permohonan setelmen transaksi SUN sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1) pengisian data lengkap dan benar; 2) tanda tangan sesuai dengan specimen; 3) SUN yang ditransaksikan tidak sedang diagunkan; 4) sisa jangka waktu SUN sekurang-kurangnya 2 (dua) hari kerja pada saat setelmen dilakukan. e. Dalam hal formulir sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b belum diisi secara lengkap dan atau tidak benar, maka formulir dimaksud dikembalikan kepada pihak yang mengajukan, untuk disampaikan kembali setelah diperbaiki selambat-lambatnya pukul 16.00 WIB. f. Berdasarkan data formulir SPPR-DVP dan SPPP-DVP yang telah diinput ke dalam sistem BER, secara otomatis sistem akan melakukan pencocokan data. g. Dalam … g. Dalam hal data SPPR-DVP dengan SPPP-DVP tidak cocok, setelmen transaksi SUN dimaksud tidak dapat diteruskan ke Sistem BI-RTGS untuk setelmen dana. h. Dalam hal data SPPR-DVP dengan SPPP-DVP telah cocok, Bagian PTPU-DPM melakukan setelmen dana melalui Sistem BI-RTGS dengan mendebet rekening giro Rupiah di Bank Indonesia milik pembeli atau Bank yang ditunjuk oleh pembeli, dan mengkredit rekening giro Rupiah Bank di Bank Indonesia milik penjual atau Bank yang ditunjuk oleh penjual sebesar nilai transaksi SUN. i. Dalam hal setelmen dana di Sistem BI-RTGS sebagaimana huruf h berhasil dilakukan, sistem BER secara otomatis melakukan setelmen surat berharga dengan mendebet rekening surat berharga milik penjual dan mengkredit rekening surat berharga milik pembeli di Central Registry sebesar nilai nominal SUN yang ditransaksikan. j. Dalam hal saldo rekening surat berharga milik penjual SUN di Central Registry tidak mencukupi untuk setelmen surat berharga dan atau saldo rekening giro Rupiah di Bank Indonesia milik pembeli atau Bank yang ditunjuk oleh pembeli tidak mencukupi untuk setelmen dana sampai dengan pukul 17.00 WIB atau saat cut-off warning Sistem BI-RTGS, maka sistem secara otomatis membatalkan setelmen transaksi SUN dimaksud. k. Dalam hal setelmen transaksi SUN batal sebagaimana dimaksud dalam huruf j, penjual dan pembeli dapat mengambil formulir setelmen yang telah dicap “BATAL” pada 1 (satu) hari kerja setelah hari pembatalan setelmen transaksi SUN. l. Pada … l. Pada akhir hari, Central Registry menerbitkan KPS sebagai bukti perpindahan pencatatan kepemilikan SUN bagi penjual dan pembeli SUN. 2. Setelmen Transaksi Repo secara DVP a. Pemilik rekening surat berharga di Central Registry yang menjual SUN secara Repo, menyerahkan SPPR-Repo kepada Central Registry dari pukul 08.00 WIB sampai dengan pukul 16.00 WIB dengan menggunakan formulir BER-12 sebagaimana contoh Lampiran 12. b. Pemilik rekening surat berharga di Central Registry yang membeli SUN secara Repo, menyerahkan SPPP-Repo dengan menggunakan formulir BER-13 sebagaimana contoh Lampiran 13 kepada Bagian PTPU-DPM, dari pukul 08.00 WIB sampai dengan pukul 16.00 WIB. c. SPPP-Repo sebagaimana dimaksud dalam huruf b yang disampaikan oleh Sub-Registry dan pihak lain yang tidak memiliki rekening giro Rupiah di Bank Indonesia, wajib ditandatangani oleh Bank yang ditunjuk untuk melakukan setelmen dana dengan cara membubuhkan tandatangan pejabat Bank yang berwenang untuk melakukan pendebetan rekening giro Rupiah Bank di Bank Indonesia dan stempel Bank pada formulir SPPP-Repo. d. Permohonan setelmen transaksi SUN secara Repo sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1) pengisian data lengkap dan benar; 2) tanda tangan sesuai dengan specimen; 3) SUN yang direpokan tidak sedang diagunkan; 4) pada … 4) pada saat Repo jatuh waktu, SUN yang direpokan masih mempunyai sisa jangka waktu sekurang-kurangnya 2 (dua) hari kerja. e. Dalam hal formulir sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b belum diisi secara lengkap dan atau tidak benar, maka formulir dimaksud dikembalikan kepada pihak yang mengajukan, untuk disampaikan kembali setelah diperbaiki selambat-lambatnya pukul 16.00 WIB. f. Berdasarkan data formulir SPPR-Repo dan SPPP-Repo yang telah diinput ke dalam sistem BER, secara otomatis sistem akan melakukan pencocokan data. g. Dalam hal data SPPR-Repo dengan SPPP-Repo tidak cocok, setelmen transaksi SUN dimaksud tidak dapat diteruskan ke Sistem RTGS untuk setelmen dana. h. Dalam hal data SPPR-Repo dengan SPPP-Repo telah cocok, Bagian PTPU-DPM melakukan setelmen dana melalui Sistem BI-RTGS dengan mendebet rekening giro Rupiah di Bank Indonesia milik pembeli Repo atau Bank yang ditunjuk oleh pembeli Repo, dan mengkredit rekening giro Rupiah di Bank Indonesia milik penjual Repo atau Bank yang ditunjuk oleh penjual Repo sebesar nilai transaksi Repo. i. Dalam hal setelmen dana di Sistem BI-RTGS sebagaimana dimaksud dalam huruf h berhasil dilakukan, sistem BER secara otomatis melakukan setelmen surat berharga dengan mendebet rekening surat berharga milik penjual Repo dan mengkredit rekening surat berharga milik pembeli Repo di Central Registry sebesar nilai nominal SUN ditransaksikan. j. Dalam … yang j. Dalam hal saldo rekening surat berharga milik penjual SUN di Central Registry tidak mencukupi untuk setelmen surat berharga dan atau saldo rekening giro Rupiah di Bank Indonesia milik pembeli SUN atau Bank yang ditunjuk oleh pembeli SUN tidak mencukupi untuk setelmen dana sampai dengan pukul 17.00 WIB atau saat cut-off warning Sistem BI- RTGS, maka sistem secara otomatis membatalkan setelmen transaksi SUN dimaksud. k. Dalam hal setelmen transaksi SUN batal sebagaimana dimaksud dalam huruf j, penjual dan pembeli Repo dapat mengambil formulir setelmen yang telah dicap “BATAL” pada 1 (satu) hari kerja setelah hari pembatalan setelmen transaksi SUN. l. Pada akhir hari, Central Registry menerbitkan KPS sebagai bukti perpindahan pencatatan kepemilikan SUN bagi penjual dan pembeli Repo m. Pada saat Repo jatuh waktu, berlaku ketentuan sebagai berikut: 1) Setelmen transaksi repo saat jatuh waktu dilakukan secara otomatis pada awal hari setelah sistem BER dibuka. 2) Dalam hal saldo SUN pada rekening surat berharga pembeli SUN tidak mencukupi, setelmen transaksi Repo jatuh waktu tidak dapat diteruskan ke Sistem BI-RTGS untuk setelmen dana. 3) Dalam hal saldo SUN pada rekening surat berharga pembeli Repo mencukupi, setelmen dana melalui Sistem BI-RTGS dilakukan dengan mendebet rekening giro Rupiah penjual Repo atau Bank yang ditunjuk oleh penjual Repo dan mengkredit rekening giro Rupiah pembeli … pembeli Repo atau Bank yang ditunjuk oleh pembeli Repo, sebesar nilai transaksi Repo jatuh waktu. 4) Dalam hal setelmen dana di sebagaimana dimaksud dalam Sistem BI-RTGS angka 3) berhasil dilakukan, sistem BER secara otomatis melakukan setelmen surat berharga dengan mendebet rekening surat berharga milik pembeli Repo dan mengkredit rekening surat berharga milik penjual Repo di Central Registry sebesar nilai nominal Repo jatuh waktu. 5) Dalam hal saldo rekening surat berharga milik pembeli Repo di Central Registry tidak mencukupi untuk setelmen surat berharga dan atau saldo rekening giro Rupiah Bank penjual Repo atau Bank yang ditunjuk penjual Repo tidak mencukupi untuk setelmen dana sampai dengan pukul 17.00 WIB atau saat cut-off warning Sistem BI-RTGS, maka sistem secara otomatis membatalkan setelmen transaksi Repo jatuh waktu. 6) Dalam hal setelmen transaksi Repo jatuh waktu batal sebagaimana dimaksud dalam angka 5), maka setelmen transaksi Repo dimaksud dianggap sebagai setelmen transaksi Outright. 7) Pada akhir hari, Central Registry menerbitkan KPS sebagai bukti perpindahan pencatatan kepemilikan SUN bagi pembeli dan penjual Repo. 8) Dalam hal setelmen Repo jatuh waktu akan dilakukan sebelum tanggal jatuh waktu, maka berlaku ketentuan sebagai berikut: a) terdapat kesepakatan antara penjual dan pembeli Repo; b) Penjual … b) Penjual dan pembeli Repo menyampaikan surat permohonan perubahan setelmen Repo jatuh waktu dengan menggunakan formulir BER-14 sebagaimana contoh Lampiran 14 dan formulir BER-15 sebagaimana contoh Lampiran 15, dari pukul 08.00 WIB sampai dengan pukul 16.00 WIB. 3. Setelmen Pemindahan Kepemilikan Lainnya secara FoP a. Pemilik rekening surat berharga di Central Registry yang akan memindahkan kepemilikan SUN menyerahkan SPPR-FoP dengan menggunakan formulir BER-16 sebagaimana contoh Lampiran 16 kepada Central Registry dari pukul 08.00 WIB sampai dengan pukul 16.00 WIB. b. Permohonan setelmen transaksi SUN sebagaimana dimaksud dalam huruf a wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1) pengisian data lengkap dan benar; 2) tanda tangan sesuai dengan specimen; 3) SUN yang ditransaksikan tidak sedang diagunkan; 4) sisa jangka waktu SUN sekurang-kurangnya 2 (dua) hari kerja pada saat setelmen dilakukan. c. Dalam hal formulir sebagaimana dimaksud dalam huruf b belum diisi secara lengkap dan atau tidak benar, maka formulir dimaksud dikembalikan kepada pihak yang mengajukan, untuk disampaikan kembali setelah diperbaiki selambat-lambatnya pukul 16.00 WIB. d. Berdasarkan data formulir SPPR-FoP yang telah diinput ke dalam sistem BER, setelmen surat berharga dilakukan secara otomatis oleh sistem BER dengan mendebet rekening surat berharga pemberi SUN dan mengkredit rekening surat berharga … berharga penerima SUN sebesar nilai nominal SUN yang dipindahkan. e. Dalam hal saldo rekening surat berharga milik pemberi SUN di Central Registry tidak mencukupi sampai dengan pukul 17.00 WIB atau saat cut-off warning Sistem BI-RTGS, maka sistem secara otomatis membatalkan setelmen transaksi SUN dimaksud. f. Dalam hal setelmen transaksi SUN batal sebagaimana dimaksud alam huruf f, pemberi SUN dapat mengambil formulir setelmen yang telah dicap “BATAL” pada 1 (satu) hari kerja setelah hari pembatalan setelmen transaksi SUN. g. Pada akhir hari, Central Registry menerbitkan KPS sebagai bukti perpindahan pencatatan kepemilikan SUN bagi pemberi dan penerima SUN. IV. Tata Cara Pembayaran Bunga (Kupon) Dan Pelunasan Pokok Sun A. Tata Cara Pembayaran Bunga (Kupon) Sebelum Jatuh Waktu 1. Berdasarkan surat Menteri Keuangan Republik Indonesia, Bank Indonesia melakukan pembayaran accrued interest atas bunga (kupon) Obligasi Negara yang dilunasi Pemerintah sebelum jatuh waktu, dengan mengkredit : a. rekening giro Rupiah Bank sebagai pemilik Obligasi Negara pada Bank Indonesia; dan atau b. rekening giro Rupiah Bank di Bank Indonesia, bagi Bank yang ditunjuk oleh Sub-Registry dan pihak lain pemilik Obligasi Negara yang tidak memiliki rekening giro Rupiah di Bank Indonesia. 2. Sub-Registry … 2. Sub-Registry pada hari yang sama wajib melakukan pembayaran accrued interest dengan mengkredit rekening dana nasabah sebesar nilai accrued interest yang menjadi hak nasabah. B. Tata Cara Pembayaran Bunga (Kupon) Saat Jatuh Waktu 1. Pembayaran bunga (kupon) Obligasi Negara didasarkan pada posisi pencatatan kepemilikan Obligasi Negara di Central Registry pada 2 (dua) hari kerja sebelum tanggal jatuh waktu pembayaran kupon Obligasi Negara (T-2). 2. Central Registry dan Sub-Registry menerbitkan surat konfirmasi jatuh waktu bunga (kupon) Obligasi Negara bagi pemilik Obligasi Negara yang tercatat pada masing-masing Registry pada akhir hari (T-2) dengan menggunakan formulir BER-17 sebagaimana contoh Lampiran 17. 3. Surat konfirmasi sebagaimana dimaksud dalam angka 2 dapat diambil di Central Registry pada 1 (satu) hari kerja sebelum jatuh waktu pembayaran bunga (kupon) Obligasi Negara (T-1). 4. Dalam hal terdapat perbedaan perhitungan bunga (kupon) Obligasi Negara antara Central Registry dengan pemilik rekening surat berharga di Central Registry, maka perbedaan tersebut wajib dilaporkan kepada Central Registry dengan menggunakan formulir BER-06 sebagaimana contoh Lampiran 6, selambat- lambatnya pada pukul 12.00 WIB pada 1 (satu) hari kerja sebelum tanggal jatuh waktu pembayaran bunga (kupon) (T-1). 5. Apabila setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam angka 4, pemilik rekening surat berharga di Central Registry tidak melaporkan perbedaan perhitungan bunga perhitungan bunga (kupon) yang dianggap (kupon), maka final adalah perhitungan bunga (kupon) pada Central Registry, kecuali ada pembuktian … pembuktian lain dari pihak-pihak selain pemilik rekening surat berharga di Central Registry yang dapat diterima oleh Central Registry. 6. Bank Indonesia cq. Bagian PTPU-DPM selaku agen pembayar melakukan pembayaran bunga (kupon) pada tanggal jatuh waktu (T-0), dengan mengkredit : a. rekening giro Rupiah di Bank Indonesia pemilik Obligasi Negara; dan atau b. rekening giro Rupiah Bank di Bank Indonesia, bagi Bank yang ditunjuk oleh Sub-Registry dan pihak lain pemilik Obligasi Negara yang tidak memiliki rekening giro Rupiah di Bank Indonesia. 7. Sub-Registry pada hari yang sama (T-0) wajib melakukan pembayaran bunga (kupon) dengan mengkredit rekening nasabah sebesar nilai bunga (kupon) yang menjadi hak nasabah. C. Tata Cara Pelunasan Pokok SUN Sebelum Jatuh Waktu 1. Bank Indonesia atas permintaan Pemerintah sebagai penerbit SUN dapat melakukan pelunasan SUN sebelum jatuh waktu sebagaimana diatur dalam ketentuan dan persyaratan (terms and conditions) yang ditetapkan Menteri Keuangan Indonesia atas beban Pemerintah. 2. Tata cara pelunasan SUN sebelum jatuh waktu : a. Berdasarkan surat Menteri Keuangan Republik Indonesia, pelunasan SUN dilakukan oleh Bank Indonesia berdasarkan tanggal dan harga pasar yang telah ditetapkan Keuangan Republik Indonesia. Republik Menteri b. Setelmen pembelian kembali SUN dilakukan secara DVP atau FoP. c. Pemilik … c. Pemilik rekening surat berharga di Central Registry yang akan menjual SUN sebelum jatuh waktu, menyerahkan SPPR-DVP dengan menggunakan formulir BER-10 sebagaimana contoh Lampiran 10 atau SPPR-FoP kepada Central Registry dengan atau formulir BER-16 sebagaimana contoh Lampiran 16. d. Central Registry melakukan pelunasan SUN sebelum jatuh waktu dengan mendebet rekening surat berharga penjual sebesar nilai nominal SUN yang dibeli kembali oleh Pemerintah. e. Bank Indonesia cq. Bagian PTPU-DPM selaku agen pembayar melakukan pembayaran pokok SUN pada tanggal pelunasan yang telah ditetapkan oleh Menteri Keuangan Republik Indonesia, dengan mendebet rekening giro Pemerintah di Bank Indonesia dan mengkredit : 1) rekening giro Rupiah di Bank Indonesia pemilik SUN; dan atau 2) rekening giro Rupiah Bank di Bank Indonesia, bagi Bank yang ditunjuk oleh Sub-Registry dan pihak lain pemilik SUN yang tidak memiliki rekening giro Rupiah di Bank Indonesia. sebesar nilai pokok SUN yang ditetapkan f. Sub-Registry pada hari yang sama (T-0) wajib melakukan pembayaran pokok SUN dengan mengkredit rekening dana nasabah sebesar nilai pokok SUN yang menjadi hak nasabah. 3. Bank Indonesia akan mengumumkan SUN yang telah dibeli kembali oleh Pemerintah pada hari kerja pertama minggu berikutnya melalui Pusat Informasi Pasar Uang (PIPU). D. Tata … D. Tata Cara Pelunasan Pokok SUN Pada Saat Jatuh Waktu 1. Pada saat jatuh waktu, SUN dilunasi sebesar seratus persen dari nilai nominal SUN. 2. Pembayaran pelunasan pokok SUN didasarkan pada posisi pencatatan kepemilikan SUN di Central Registry pada 2 (dua) hari kerja sebelum tanggal jatuh waktu pembayaran pokok (T-2). 3. Central Registry menerbitkan surat konfirmasi jatuh waktu pokok SUN untuk pemilik rekening surat berharga di Central Registry pada akhir hari (T-2) dengan menggunakan formulir BER-17 sebagaimana contoh Lampiran 17. 4. Surat konfirmasi tersebut dapat diambil di Central Registry pada 1 (satu) hari kerja sebelum tanggal jatuh waktu pembayaran pokok SUN (T-1). 5. Dalam hal terdapat perbedaan perhitungan pokok SUN antara Central Registry dengan pemilik rekening surat berharga di Central Registry, maka perbedaan tersebut wajib dilaporkan kepada Central Registry dengan menggunakan formulir BER-06 sebagaimana contoh Lampiran 6, selambat-lambatnya pada pukul 12.00 WIB, 1 (satu) hari kerja sebelum tanggal jatuh waktu pembayaran pokok (T-1). 6. Apabila setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam angka 5, pemilik rekening surat berharga di Central Registry tidak melaporkan perbedaan perhitungan pokok jatuh waktu, maka perhitungan pokok yang dianggap final adalah yang tercatat pada Central Registry, kecuali ada pembuktian lain dari pihak-pihak selain pemilik rekening surat berharga di Central Registry yang dapat diterima oleh Central Registry. 7. Bank … 7. Bank Indonesia selaku agen pembayar melakukan pembayaran pokok SUN pada tanggal jatuh waktu (T-0), dengan mendebet rekening giro Pemerintah di Bank Indonesia dan mengkredit: a. Rekening giro Rupiah Bank sebagai pemilik SUN pada Bank Indonesia; dan b. Rekening giro Rupiah Bank di Bank Indonesia, bagi Bank yang ditunjuk oleh Sub-Registry dan pihak lain pemilik SUN yang tidak memiliki rekening giro Rupiah di Bank Indonesia. sebesar nilai pokok SUN 8. Sub-Registry pada hari yang sama (T-0) wajib melakukan pembayaran pokok SUN dengan mengkredit rekening nasabah sebesar nilai pokok SUN yang menjadi hak nasabah. VI. Kondisi Diluar Tanggung Jawab Bank Indonesia Bank Indonesia sebagai Central Registry tidak bertanggung jawab atas tidak terlaksananya transaksi dan atau kerugian yang mungkin timbul yang disebabkan antara lain namun tidak terbatas pada: 1. Keterlambatan informasi atau ketidakakuratan data yang diterima oleh Bank Indonesia mengenai pejabat yang berwenang untuk melakukan perintah setelmen transaksi SUN. 2. Ketidakmampuan atau keterlambatan pengisian dana oleh Pemerintah pada rekening giro Pemerintah di Bank Indonesia yang mengakibatkan tidak terbayar atau keterlambatan atas pembayaran bunga (kupon) atau pokok SUN pada saat jatuh waktu. 3. Keadaan bencana alam, kebakaran, banjir, tidak berfungsinya sistem kelistrikan secara nasional/regional, taufan, pemogokan, embargo, perang, invasi, huru-hara, revolusi, terorisme, dan berbagai gangguan alam … alam serta kemasyarakatan lainnya yang dapat mengganggu jalannya transaksi SUN, penyelesaian administrasi dan sistem pembayaran. Dengan diberlakukannya Surat Edaran ini maka Surat Edaran Bank Indonesia No. 3/24/DPM tanggal 16 November 2001 perihal Tata Cara Penatausahaan Obligasi Pemerintah dinyatakan tidak berlaku. Ketentuan dalam Surat Edaran ini berlaku sejak tanggal 21 Maret 2003. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA Ttd TARMIDEN SITORUS DIREKTUR PENGELOLAAN MONETER Surat Lampiran Surat Edaran Bank Indonesia No.5/ 6 /DPM tanggal 21 Maret 2003 Lampiran 1 BI-SKRIP Informasi Pemohon Rekening Surat Berharga Nomor: X Rekening Baru Perubahan Rekening (Diisi bila ada perubahan data peserta) Nama Pemegang Rekening Surat Berharga (Nama peserta pemegang rekening) No. Rekening Surat Berharga (Diisi bila ada perubahan data) Contact Person / No. Telepon/No. fax : Orang ygdapat dihubungi JENIS PESERTA x Bank TIPE REKENING Investasi (diisi oleh peserta bank rekap) Sub Registry (Apabila ditunjuk/disetujui oleh BI) x Perdagangan Lainnya Alamat Baru x Agunan / Collateral ALAMAT SURAT MENYURAT (harap melengkapi kedua kotak untuk perubahan alamat) Alamat Lama (atau alamat semula jika merupakan rkg baru) (Diisi alamat sekarang) (Diisi apabila ada perubahan alamat) INSTRUKSI BANK PEMBAYAR / PENERIMA Nama Bank / Peserta Nama Bank yang ditunjuk Sub-Reg / peserta non bank Kode/No. Rek. Giro Bank di BI-RTGS Nama Rekening di bank yang ditunjuk Nomor Rekening di bank yang ditunjuk PEJABAT BERWENANG (untuk konfirmasi transaksi lebih lanjut) Nama Jabatan Nomor telepon TANDA TANGAN Tanda tangan Pejabat Berwenang Meterai + Stempel Perusahaan Nama Bank yg ditunjuk untuk menerima pembayaran bunga OP dan menerima/membayar transaksi OP Tanggal: BER-01 Lampiran Surat Edaran Bank Indonesia No.5/ 6 /DPM tanggal 21 Maret 2003 Lampiran 2 BI-SKRIP Contoh Tandatangan dan Stempel Perusahaan Untuk Setelmen Surat Berharga Nomor : Contoh tanda tangan pejabat yang berwenang Tambahan contoh tanda tangan pejabat yang berwenang Nama Pemilik Rekening Surat Berharga Nomor Rekening Surat Berharga Daftar pejabat yang berwenang melakukan perintah atas pemindahan kepemilikan Rekening Surat Berharga pada: N a m a Jabatan Resmi Contoh Tanda Tangan Penandatanganan dilakukan oleh : “……..orang” (diisi sesuai dengan kebijakan perusahaan) dari pejabat yang berwenang di atas, yang bertindak atas nama perusahaan sesuai dengan stempel perusahaan sebagaimana dicontohkan di bawah. Contoh Stempel Perusahaan Tanda Tangan Pejabat yang Berwenang : BER-02 Lampiran Surat Edaran Bank Indonesia No.5/ 6 /DPM tanggal 21 Maret 2003 Lampiran 3 BI-SKRIP Contoh Tandatangan dan Stempel Perusahaan Untuk Setelmen Dana di Rekening Giro BI-RTGS Nomor : Contoh tanda tangan pejabat yang berwenang Tambahan contoh tanda tangan pejabat yang berwenang Nama Bank Pemegang Rekening Giro di Bank Indonesia (peserta BI-RTGS) Kode/Nomor Rekening Giro di BI-RTGS Daftar pejabat yang berwenang melakukan perintah atas pendebetan Rekening Giro BI-RTGS di Bank Indonesia di atas sehubungan dengan transaksi pembelian Surat Berharga : N a m a Jabatan Resmi Contoh Tanda Tangan Penandatanganan dilakukan oleh : “……..orang” (isi sesuai kebijakan perusahaan) dari pejabat yang berwenang di atas, yang bertindak atas nama perusahaan sesuai dengan stempel perusahaan sebagaimana dicontohkan di bawah Contoh Stempel Perusahaan Tanda Tangan Pejabat yang Berwenang : BER-03 Lampiran Surat Edaran Bank Indonesia No.5/ 6 /DPM tanggal 21 Maret 2003 Lampiran 4 Bank Indonesia Central Registry KONFIRMASI PENCATATAN SURAT BERHARGA (Harian) Kepada : (Nama dan alamat pemegang rekening) Nomor Rekening Surat Berharga : Mohon mengkutip nomor rekening ini pada seluruh transaksi, surat-menyurat dan apabila membutuhkan konfirmasi [Nama Pemegang Rekening Surat Berharga] [Tipe Rekening] Saldo surat berharga di bawah ini dicatat atas nama pemegang rekening tersebut di atas pada [tanggal] Rincian Surat Berharga Rujukan No Deskripsi Transaksi Seri …… Seri ……. Tingkat Kupon Jatuh Waktu Saldo Transaksi Awal Mutasi Saldo Debit Kredit Akhir Total Jakarta,……… Central Registry Bagian Penyelesaian Transaksi Pasar Uang Bank Indonesia BER-04 Lampiran Surat Edaran Bank Indonesia No.5/ 6 /DPM tanggal 21 Maret 2003 Lampiran 5 Bank Indonesia Central Registry KONFIRMASI PENCATATAN SURAT BERHARGA (Bulanan) Kepada: [Nama dan alamat pemegang rekening ] Nomor Rekening Surat Berharga: Mohon mengkutip nomor rekening ini pada semua transaksi, surat menyurat dan jika membutuhkan konfirmasi [Nama Pemegang Rekening Surat Berharga] [Tipe Rekening] Saldo surat berharga di bawah ini dicatat atas nama pemegang rekening tersebut di atas pada [tanggal] Rincian Surat Berharga Saldo No. Seri Tingkat Kupon Jatuh Waktu Rp xx.xxx.xxx.xx Rp xx.xxx.xxx.xx Rp xx.xxx.xxx.xx T O T A L Rp xx.xxx.xxx.xx Jakarta,……… Central Registry Bagian Penyelesaian Transaksi Pasar Uang Bank Indonesia BER-05 Lampiran Surat Edaran Bank Indonesia No.5/ 6 /DPM tanggal 21 Maret 2003 Lampiran 6 Nama Sub Registry HASIL REKONSILIASI POSISI ANTARA CENTRAL REGISTRY DENGAN NASABAH Kepada: Central Registry [Nama] [Nomor Rekening Surat Berharga] [Tipe Rekening] Rekonsiliasi Saldo Rekening Rekonsiliasi Pembayaran Kupon / Pokok Jatuh Waktu Berdasarkan atas KPS Bulanan (BER-05) tanggal : ________ dengan saldo Rp___________ Konfirmasi kupon / pokok (BER-18) tanggal : ________ dengan saldo Rp___________ dibandingkan dengan laporan pencatatan kami pada tanggal yang sama menunjukkan saldo sebesar Rp_____________, sehingga terdapat perbedaan sebesar Rp ________________, pada rincian rekening berikut (jika ada): Tanggal Referensi Keterangan/Transaksi Jumlah Total Rp Jakarta,……… [TTD Pejabat Berwenang] BER-06 Lampiran Surat Edaran Bank Indonesia No.5/ 6 /DPM tanggal 21 Maret 2003 BI-SKRIP Pemberitahuan Pemindahan Surat Berharga dari Portofolio Investasi ke Portofolio Perdagangan Nomor _________ Kepada : Saya/Kami: PEMILIK Nama Pemegang Rekening Surat Berharga (pemilik rekening di central registry) Alamat : Contact Person : Nomor Rekening Surat Berharga Investasi Nomor Rekening Surat Berharga Perdagangan No. Telp/Fax : Dengan ini memberitahukan kepada Central Registry untuk memindahkan surat berharga kami dari rekening Investasi ke rekening Perdagangan, dengan perincian sebagai berikut: Seri Tgl. Terbit Tgl. Jatuh Waktu VR0001 VR0002 VR0005 dst FR0001 FR0002 FR0003 FR0004 FR0005 dst Jumlah Rekening Portofolio Perdagangan Yang Telah Dipindahkan Tambahan Total Telah Dipindahkan Central Registry cq. Bagian PTPU Lampiran 7 Total Prosentase yang diperdagangkan Tanggal Setelmen : Tanda tangan Pejabat yang Berwenang : Meterai + Stempel Perusahaan Tanggal Pengajuan Formulir: BER-07 Lampiran Surat Edaran Bank Indonesia No.5/ 6 /DPM tanggal 21 Maret 2003 Lampiran 8 Permohonan Penerbitan Surat Keterangan Surat Berharga yang Diagunkan (PP-SKSD) Nomor _________ Kepada : Central Registry cq. Bag. PTPU Saya/Kami: PIHAK PEMBERI AGUNAN Nama Pemegang Rekening Surat Berharga (Nama Peserta Bank/Sub Reigistry di Central Registry) Nomor Rekening Surat Berharga Contact Person / Nomor Telp/Fax Dengan ini mengajukan permohonan kepada Central Registry untuk menerbitkan Surat Keterangan Surat Berharga yang Diagunkan (SKSD), untuk diagunkan kepada pihak penerima agunan sebagai berikut: PIHAK PENERIMA AGUNAN Nama Alamat Dan untuk memindahkan seluruh kepemilikan Saya/Kami dari rekening perdagangan ke rekening collateral, atas surat berharga sebagai berikut : Jenis Surat Berharga Seri Surat Berharga Tanggal Jatuh Waktu (Obligasi Pemerintah) (FR/VR) Nilai nominal yang diagunkan Tanggal Jatuh Waktu SKSD Tanggal Penerbitan SKSD Tanda tangan Pejabat yang Berwenang : Meterai + Stempel Perusahaan (Tanggal jatuh waktu surat berharga) Rp (Khusus FLI tgl.jatuh waktu min.10 hk setelah digunakan) (Tanggal settlemen) Tanggal Pengajuan Formulir: BER-08 Lampiran Surat Edaran Bank Indonesia No.5/ 6 /DPM tanggal 21 Maret 2003 Lampiran 9 SURAT KETERANGAN SURAT BERHARGA YANG DIAGUNKAN (SKSD) Nomor Kepada (“Penerima Agunan”) [Nama Pemegang Rekening Surat Berharga] No. Rek. Surat Berharga : Mohon mengkutip nomor rekening ini pada semua transaksi, surat menyurat dan jika membutuhkan informasi Surat ini menunjukkan bahwa nilai nominal surat berharga telah diagunkan oleh pemilik rekening sejak [tanggal] sampai dengan dan termasuk [tanggal] untuk untung Penerima Agunan. Jika terdapat tuntutan yang berkaitan dengan Agunan ini, maka tuntutan harus diajukan kepada Registry sebelum berakhirnya masa berlaku SKSD. Surat ini dinyatakan tidak berlaku setelah jatuh waktu SKSD. Rincian Surat Berharga Seri Surat Berharga Tingkat kupon : : Tanggal Jatuh Tempo : Jumlah Nominal Rp xx.xxx.xxx.xx Jakarta, ....... Central Registry Bagian Penyelesaian Transaksi Pasar Uang Bank Indonesia Catatan: 1. Dokumen ini adalah dokumen berharga. Harus dipelihara dengan aman. 2. Dalam hal lembaran asli dikembalikan kepada Registry sebelum tanggal berakhir SKSD oleh Pemegang Rekening, maka Surat Berharga harus diserahkan kembali kepada Pemegang Rekening. 3. Dalam hal lembaran asli dikembalikan kepada Registry sebelum tanggal berakhir SKSD oleh Penerima Agunan dengan Surat Kuasa pengalihan hak kepemilikan dari Pemegang Rekening, maka kepemilikan Surat Berharga akan beralih kepada Penerima Agunan. 4. Hak untuk menerima pembayaran kupon akan tetap berada pada Pemegang Rekening selama masa berlakunya SKSD ini. 5. Dokumen ini tidak dapat diperdagangkan. BER-09 Lampiran Surat Edaran Bank Indonesia No.5/ 6 /DPM tanggal 21 Maret 2003 Lampiran 10 BI-SKRIP Surat Permohonan Perpindahan Registrasi – DVP Nomor : Kepada : Saya/Kami: Central Registry cq. Bagian PTPU PENJUAL Nama Pemegang Rekening Surat Berharga di Central Registry : (Nama peserta /SR ) Nama Nasabah di Sub Registry : (Nama pemegang rekening surat berharga) Dengan ini memindahkan kepemilikan Surat Berharga kepada PEMBELI Nama Pemegang Rekening Surat Berharga di Central Registry : (Nama peserta/ SR ) Nama Nasabah di Sub-Registry : (Nama pemegang rekening surat berharga) Seluruh kepemilikan saya/kami dan hak penerimaan pembayaran kupon atas surat berharga berikut : Jenis Surat Berharga Seri Surat Berharga Tanggal Jatuh Waktu (Obligasi Pemerintah) (FR/VR) Nilai Nominal Nilai Transaksi Tgl Setelmen Tgl.Transaksi (Tgl.jatuh waktu Obligasi Pemerintah) Rp Rp Accrued Interest Rp Tgl.Pemindahan Kepemilikan OP di Central Registry Dengan syarat bahwa surat berharga tidak akan dipindahtangankan, kecuali pihak pembeli telah melunasi pembayaran sesuai dengan persyaratan sebagai berikut : Jumlah Pembayaran Rp (jlh yg.dibayarkan melalui BI-RTGS) Bank Penerima Pembayaran No. Rek. Giro Bank Penerima di BI Tanda Tangan Pejabat yang Berwenang : Meterai + Stempel Perusahaan (Bank yg.ditunjuk utk menerima / membayar transaksi) Nomor Rekening Surat Berharga di Central Registry : Contact Person / Telepon/Fax : Nomor Rekening Surat Berharga di Central Registry: Tanggal Pengajuan Formulir: BER-10 Lampiran Surat Edaran Bank Indonesia No.5/ 6 /DPM tanggal 21 Maret 2003 Lampiran 11 BI-SKRIP Surat Perintah Penyelesaian Pembayaran – DVP Nomor : Kepada : Saya/Kami : Bagian PTPU PEMBELI / PIHAK PEMBAYAR Nama Bank Pembayar / Pemegang Rekening Giro di BI-RTGS : (Nama peserta bank atau Sub Registry di Central Registry) Nama Pembeli / Sub Registry Pembeli Surat Berharga : (Nama pemilik rekening surat berharga) Dengan ini memindahkan dana kepada PENJUAL / PIHAK PENERIMA DANA Nama Penjual Bank Penerima )No. Rek Surat Berharga di Central Registry Kode/Nomor Rekening Giro di BI-RTGS Jumlah (dalam huruf) (jlh yg dibayarkan melalui BI-RTGS dalam huruf) Kode/Nomor Rek.Giro di BI- RTGS : Contact Person / Telepon/Fax : (Pemilik surat berharga) (Bank yg ditunjuk untuk menerima pembayaran transaksi) Rp. Dengan syarat bahwa pembayaran tidak akan dilakukan kecuali surat berharga telah diserahkan ke rekening surat berharga Saya/Kami : Nama Pembeli Nama Registry Nomor Rekening Surat Berharga Untuk surat berharga sebagai berikut : Jenis Surat Berharga Seri Surat Berharga Tanggal Jatuh Waktu Nilai Nominal Nilai Transaksi Tgl Setelmen Tgl.Transaksi (diisi Central Registry atau nama Sub Registry) No. rek. surat berharga di Central Registry (Obligasi Pemerintah) (FR/VR) (Tgl.jatuh waktu Obligasi Pemerintah) Rp Rp Accrued Interest Tgl.Pemindahan Kepemilikan OP di Central Registry Rp PENGESAHAN BANK YANG DITUNJUK MELAKUKAN PEMBAYARAN : Tanda Tangan Pejabat Berwenang : Meterai + Stempel Perusahaan (Khusus ditandatangani bila pejabat yang berwenang melakukan pemindahan Portofolio dan pembayaran berbeda) untuk Tanda Tangan Pejabat Berwenang : Meterai + Stempel Perusahaan Tanggal Pengajuan Formulir : BER-11 Lampiran Surat Edaran Bank Indonesia No.5/ 6 /DPM tanggal 21 Maret 2003 Lampiran 16 BI-SKRIP Surat Permohonan Perpindahan Registrasi – Free of Payment Nomor : Kepada : Saya/Kami : Central Registry cq. Bag. PTPU PENJUAL/PEMBERI HIBAH/PEWARIS Nama Pemegang Rekening Surat Berharga di Central Registry : (Nama peserta Bank atau Sub Registry di Central Registry) Nama Nasabah di Sub Registry (Nama pemegang rekening Surat Berharga) Dengan ini memindahkan surat berharga kepada PEMBELI/PENERIMA HIBAH/WARISAN Nama Pemegang Rekening Surat Berharga di Central Registry (Nama peserta Bank atau Sub Registry di Central Registry) Nama Nasabah di Sub Registry : (Nama pembeli Surat Berharga) Seluruh kepemilikan Saya/Kami atas, dan hak penerimaan pembayaran kupon atas surat berharga sebagai berikut : Jenis Surat Berharga Seri Surat Berharga Tanggal Jatuh Waktu (Obligasi Pemerintah) (FR/VR) Nilai Nominal Nilai Transaksi Jenis Transaksi Tgl Setelmen (Tgl.jatuh waktu Obligasi Pemerintah) Rp Rp Tgl.Transaksi Tanda Tangan Pejabat yang Berwenang : Meterai + Stempel Perusahaan Accrued Interest Rp outright / repo/ hibah / warisan / pelunasan kewajiban / ............................ (diisi sesuai dengan dasar transaksi) Tgl.Pemindahan Kepemilikan OP di Central Registry Nomor Rekening Central Registry : Surat Berharga Contact Person / Telepon/Fax : di Nomor Rekening Central Registry : Surat Berharga di Tanggal Pengajuan Formulir: BER-16 Lampiran Surat Edaran Bank Indonesia No.5/ 6 /DPM tanggal 21 Maret 2003 BI-SKRIP Surat Permohonan Perpindahan Registrasi – Repo Nomor : Kepada : Central Registry cq. Bag. PTPU Saya/Kami : PENJUAL Nama Pemegang Rekening Surat Berharga di Central Registry : (Nama peserta bank atau Sub Registry di Central Registry/pemilik rekening Surat Berharga ) Dengan ini memindahkan kepemilikan Surat Berharga kepada PEMBELI Nama Pemegang Rekening Surat Berharga di Central Registry : (Nama peserta bank atau sub Registry di Central Registry/ pemilik rekening Surat Berharga) Lampiran 12 Nomor Rekening Surat Berharga di Central Registry : Nomor Rekening Surat Berharga di Central Registry : Seluruh kepemilikan saya/kami dan hak penerimaan pembayaran kupon atas surat berharga sebagai berikut : Jenis Surat Berharga Seri Surat Berharga Tanggal Jatuh Waktu (Obligasi Pemerintah) (FR/VR) Nilai Nominal Nilai Transaksi Tgl Setelmen Tgl.Transaksi (Tgl.jatuh waktu Obligasi Pemerintah) Rp Rp Accrued Interest Tgl.Pemindahan Kepemilikan OP di Central Registry Dengan syarat bahwa surat berharga tidak akan dipindahtangankan, kecuali Pihak Pembeli telah melunasi pembayaran (dengan Prinsip DVP) sebagai berikut : Jumlah Pembayaran Rp (jlh yg dibayarkan melalui BI-RTGS) Bank Penerima Pembayaran No. Rek. Giro Bank Penerima di BI-RTGS Selanjutnya Saya/Kami mohon pembalikan transaksi ini atas dasar prinsip DVP dengan mendebet rekening giro bank Saya/Kami di BI sebesar jumlah tersebut di bawah dan mengkredit rekening surat berharga Saya/Kami sebesar jumlah nominal surat berharga di atas, sebagai berikut : Tanggal Setelmen Pembalikan Bank Pembayar (Tgl.pelunasan repo) (Bank yg ditunjuk utk melaksanakan pembayaran) No. Rek. Giro Bank Pembayar di BI-RTGS Jumlah Pembayaran Rp (Jlh yg.disepakati utk melakukan pembayaran kembali) Dalam hal pada saat jatuh waktu repo saldo rekening giro Bank Saya/Kami di BI dan atau saldo rekening surat berharga counterparty tidak mencukupi sehingga tidak dapat dilakukan setelmen, maka Saya/Kami sepakat menganggap sebagai setelmen outright. PENGESAHAN BANK YANG DITUNJUK MELAKUKAN PEMBAYARAN : Tanda Tangan Pejabat Berwenang : Meterai + Stempel Perusahaan Tanda Tangan Pejabat Berwenang : Meterai + Stempel Perusahaan (Bank yg ditunjuk utk menerima pembayaran transaksi) Tanggal Pengajuan Formulir: BER-12 Lampiran Surat Edaran Bank Indonesia No.5/ 6 /DPM tanggal 21 Maret 2003 Lampiran 13 BI-SKRIP Surat Perintah Penyelesaian Pembayaran – Repo Nomor : Kepada : Saya/Kami : Bagian PTPU PEMBELI / PIHAK PEMBAYAR Nama Bank Pembeli / Pemegang Rekening Giro di BI-RTGS : (Nama peserta bank atau Sub Registry/pemilik rekening surat berharga) Contact Person / Telepon/Fax : (Personil yang mudah dihubungi) Dengan ini memindahkan kepada PENJUAL / PIHAK PENERIMA DANA Nama Bank Penjual No. Rek. Surat Berharga Kode/Nomor Rekening Giro di BI-RTGS Jumlah (dalam huruf) Kode/Nomor Rek.Giro di BI-RTGS: (Jlh.yg.diteima melalui BI RTGS dalam huruf) Rp. Dengan syarat bahwa pembayaran tidak akan dilakukan kecuali surat berharga telah diserahkan ke rekening surat berharga Saya/Kami : Nama Bank Pembeli Nama Registry Central Registry Nomor Rekening Surat Berharga Untuk surat berharga sebagai berikut : Jenis Surat Berharga Seri Surat Berharga Tanggal Jatuh Waktu Nilai Nominal Nilai Transaksi Repo rate (%) Tgl Setelmen No. rek. surat berharga di Central Registry (Obligasi Pemerintah) (FR/VR) Tgl.jatuh waktu Obligasi Pemerintah Rp Rp Accrued Interest Rp Tgl.Pemindahan Kepemilikan OP di Central Registry Tgl.Transaksi Selanjutnya saya/kami mohon pembalikan transaksi ini atas dasar prinsip DVP dengan mendebet rekening surat berharga Saya/Kami sebesar jumlah nominal tersebut di atas setelah rekening giro bank saya/kami di BI dikredit sebagai berikut : Tanggal Setelmen Pembalikan (Tgl.pelunasan Repo) Bank Penerima No. Rek. Giro Bank di BI-RTGS Jumlah Pembayaran (Bank yg.ditunjuk untuk menerima pembayran kembali) Rp. (Jlh yg.disepakati utk.melakukan pembayaran kembali) Dalam hal pada saat jatuh waktu repo saldo rekening surat berharga Saya/Kami dan atau saldo rekening giro counterparty di BI tidak mencukupi sehingga tidak dapat dilakukan setelmen, maka saya/kami sepakat menganggap sebagai setelmen outright. PENGESAHAN BANK UNTUK MELAKUKAN PEMBAYARAN Tanda Tangan Pejabat yang berwenang : Meterai + Stempel Perusahaan Tanggal Pengajuan Formulir: BER-13 Tanda Tangan Pejabat yang Berwenang : Meterai + stempel perusahaan Lampiran Surat Edaran Bank Indonesia No.5/ 6 /DPM tanggal 21 Maret 2003 BI-SKRIP Nomor : Kepada : Central Registry cq. Bag. PTPU Saya/Kami : PENJUAL Nama Pemegang Rekening Surat Berharga di Central Registry : (Nama peserta Bank atau Sub Registry/pemilik rekening surat berharga) Contact Person / Telepon /Fax: Sesuai dengan SPPR-Repo kami No…………..tanggal …………….dengan pihak : PEMBELI Nama Pemegang Rekening Surat Berharga di Central Registry : (Nama peserta bank atau sub registry/pemilik rekeninh surat berharga) Nomor Dengan transaksi repo sebagai berikut : Jenis Surat Berharga Seri Surat Berharga Tanggal Jatuh Waktu Nilai Nominal Nilai Transaksi Pembalikan Tanggal Setelmen Pembalikan (Obligasi Pemerintah) (FR/VR) (Tgl. Jatuh waktu Obligasi Pemerintah) Rp Rp Saya/Kami mohon perubahan atas setelemen pembalikan tersebut di atas sesuai prinsip DVP dengan mendebet rekening giro bank Saya/Kami di BI sebesar jumlah tersebut di bawah dan mengkredit rekening surat berharga Saya/Kami sebesar jumlah nominal surat berharga di atas, sehingga menjadi sebagai berikut : Tanggal Setelmen Pembalikan Bank Pembayar No. Rek. Giro Bank Pembayar di BI -RTGS Jumlah Pembayaran Rp PENGESAHAN BANK UNTUK MELAKUKAN PEMINDAHBUKUAN Tanda Tangan Pejabat Berwenang : Meterai + Stempel Perusahaan Tanda Tangan Pejabat Berwenang : Meterai + Stempel Perusahaan Lampiran 14 Surat Permohonan Setelmen Kepemilikan Obligasi Repo Sebelum Jatuh Waktu Nomor Rekening Surat Berharga di Central Registry : Rekening Surat Berharga di Central Registry : Tanggal Pengajuan Formulir: BER-14 Lampiran Surat Edaran Bank Indonesia No.5/ 6 /DPM tanggal 21 Maret 2003 Lampiran 15 BI-SKRIP Surat Permohonan Setelmen Dana Obligasi Repo Sebelum Jatuh Waktu Nomor : Kepada : Saya/Kami : Bagian PTPU PEMBELI / PIHAK PEMBAYAR Nama Bank Pembayar / Pemegang Rekening Giro di BI : Contact Person / Telepon/Fax : Sesuai dengan SPPP-Repo kami No…………..tanggal …………….dengan pihak : PENJUAL Nama Pemegang Rekening Surat Berharga di Central Registry : Nomor Nama Nasabah di Sub Registry : Dengan transaksi repo sebagai berikut : Jenis Surat Berharga Seri Surat Berharga Tanggal Jatuh Waktu Nilai Nominal Nilai Transaksi Pembalikan Tgl Setelmen Pembalikan Rp Rp Saya/Kami mohon perubahan atas setelmen tersebut di atas sesuai prinsip DVP dengan mendebet rekening surat berharga Saya/Kami sebesar jumlah nominal tersebut di atas setelah rekening giro bank Saya/Kami di BI dikredit, sehingga menjadi sebagai berikut : Tanggal Setelmen Pembalikan Bank Penerima No. Rek. Giro Bank di BI-RTGS Jumlah Pembayaran Kode/Nomor Rek.Giro di BI : Rekening Surat Berharga di Central Registry : Rp. PENGESAHAN BANK UNTUK MELAKUKAN PEMBAYARAN Tanda Tangan Pejabat yang berwenang : Meterai + Stempel Perusahaan Tanda Tangan Pejabat yang Berwenang : Meterai + stempel perusahaan Tanggal Pengajuan Formulir: BER-15 Lampiran Surat Edaran Bank Indonesia No.5/ 6 /DPM tanggal 21 Maret 2003 Lampiran 17 Bank Indonesia Central Registry PEMBERITAHUAN KUPON / POKOK SURAT BERHARGA JATUH WAKTU Kepada: [Nama dan alamat pemegang rekening ] Nomor Rekening Surat Berharga: Mohon mengkutip nomor rekening ini pada semua transaksi, surat menyurat dan jika membutuhkan konfirmasi [Nama Pemegang Rekening Surat Berharga] [Tipe Rekening] Pembayaran kupon/pokok Surat Berharga akan dilakukan pada [tanggal] dengan cara pengkreditan pada rekening bank berikut : Nama Bank Kode/ No. Rek. Giro di BI Untuk untung Rekening Nomor Rekening Nama pemegang rekening di bank yang ditunjuk di atas Nomor rekening di bank yang ditunjuk di atas Rincian Surat Berharga No. Seri Tingkat Kupon Jatuh Waktu Rp xx.xxx.xxx.xx Rp xx.xxx.xxx.xx Rp xx.xxx.xxx.xx Saldo Kupon/ Pokok Jatuh Waktu T O T A L Rp xx.xxx.xxx.xx Jakarta,……… Central Registry Bagian Penyelesaian Transaksi Pasar Uang Bank Indonesia BER-17 "," SE-BI 5/6/DPM|SE-BI/2003 Tata Cara Penatausahaan Surat Utang Negara 21 Maret 2003 21 Maret 2003 '3/24/DPM|SE-BI/2001' '5/4/PBI/2003' " " No. 9/14/DPbS Jakarta, 21 Juni 2007 S U R A T E D A R A N Kepada SEMUA BANK PERKREDITAN RAKYAT BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH DI INDONESIA Perihal : Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 8/26/DPbS tanggal 14 November 2006 perihal Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bagi Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah Sehubungan dengan telah dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/22/PBI/2006 tanggal 5 Oktober 2006 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum bagi Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 79, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4648) dan Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/24/PBI/2006 tanggal 5 Oktober 2006 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bagi Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 81, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4650), perlu dilakukan beberapa perubahan terhadap Surat Edaran Bank Indonesia No.8/26/DPbS tanggal 14 November 2006 perihal Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bagi Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah sebagai berikut : 1. Ketentuan … 1. Ketentuan angka I. UMUM butir 2 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut : 2. Kewajiban penyediaan modal minimum bagi BPRS didasarkan pada risiko aktiva dalam arti luas, baik aktiva yang tercantum dalam neraca maupun aktiva yang bersifat administratif sebagaimana tercermin pada kewajiban yang bersifat komitmen yang disediakan oleh BPRS bagi pihak ketiga. Secara teknis, kewajiban penyediaan modal minimum diukur dari persentase tertentu terhadap Aktiva Tertimbang Menurut Risiko (ATMR). 2. Ketentuan angka III. TATA CARA PERHITUNGAN KEBUTUHAN MODAL MINIMUM butir 1 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut : 1. Dasar Perhitungan Kebutuhan Modal Minimum a. Perhitungan kebutuhan modal minimum didasarkan pada ATMR dengan memperhitungkan risiko kredit dari pembiayaan (credit risk). Pengertian aktiva dalam perhitungan ATMR ini mencakup baik aktiva yang tercantum dalam neraca maupun pos tertentu dalam aktiva yang bersifat administratif yang masih bersifat komitmen yang disediakan oleh BPRS bagi pihak ketiga. b. Dalam menghitung ATMR dengan memperhitungkan risiko kredit dari pembiayaan (credit risk), terhadap masing-masing pos aktiva neraca diberikan bobot risiko yang besarnya didasarkan pada kadar risiko yang terkandung pada aktiva itu sendiri, golongan nasabah, golongan penjamin, sifat agunan serta jenis sumber dana. c. Penghitungan ATMR untuk aktiva produktif dibedakan sebagai berikut: 1) Penyediaan dana dan/atau tagihan dalam berbagai bentuk aktiva produktif yang sumber dananya berasal dari dana pihak ketiga dengan prinsip Mudharabah Mutlaqah berdasarkan sistem bagi untung … untung (profit sharing/net profit sharing) diberikan bobot sebesar 1% (satu perseratus); 2) Penyediaan dana dan/atau tagihan dalam berbagai bentuk aktiva produktif yang sumber dananya berasal dari modal sendiri dan/atau dana pihak ketiga dengan prinsip Wadiah, Qardh dan Mudharabah Mutlaqah berdasarkan sistem bagi pendapatan (net revenue sharing/gross profit sharing) yang dibedakan sebagai berikut: a) Penempatan pada Bank Indonesia, atau diberikan kepada atau dijamin oleh pemerintah (termasuk yang dijamin oleh Lembaga Penjamin Simpanan) diberikan bobot sebesar 0% (nol perseratus); b) Diberikan kepada bank lain atau dijamin oleh bank umum lain diberikan bobot sebesar 20% (dua puluh perseratus). Yang dimaksud bank umum lain disini termasuk bank umum konvensional; c) Diberikan kepada atau dijamin oleh pemerintah daerah diberikan bobot sebesar 20% (dua puluh perseratus); d) Diberikan kepada atau dijamin oleh BUMN/BUMD, diberikan bobot sebesar 50% (lima puluh perseratus). Dalam hal dijamin oleh BUMD, hanya dapat diakui bobot risiko sebesar 50% (lima puluh perseratus) apabila BUMD tersebut telah melakukan kerjasama penjaminan pembiayaan dengan BUMN. 3) Penyediaan dana dalam bentuk piutang untuk kepemilikan rumah yang bertujuan untuk dihuni dan dijamin oleh hak tanggungan pertama serta sumber dananya berasal dari modal sendiri dan/atau dana pihak ketiga dengan prinsip Wadiah, Qardh dan Mudharabah Mutlaqah berdasarkan sistem bagi pendapatan (net revenue sharing … sharing/gross profit sharing) diberikan bobot sebesar 35% (tiga puluh lima perseratus); 4) Penyediaan dana dan/atau tagihan dalam berbagai bentuk aktiva produktif kepada pegawai/pensiunan di luar kepemilikan rumah serta usaha mikro dan kecil (UMK) yang sumber dananya berasal dari modal sendiri dan/atau dana pihak ketiga dengan prinsip Wadiah, Qardh dan Mudharabah Muthlaqah berdasarkan sistem bagi pendapatan (net revenue sharing/gross profit sharing) diberikan bobot sebesar 50% (lima puluh perseratus), dengan persyaratan sebagai berikut : a) Plafon penyediaan dana keseluruhan maksimum Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) per pegawai/pensiunan; b) 1. Pegawai/pensiunan dijamin dengan asuransi jiwa dari perusahaan asuransi yang berstatus sebagai BUMN atau perusahaan asuransi swasta yang memenuhi persyaratan kesehatan keuangan perusahaan asuransi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku; atau 2. Penyediaan dana kepada pegawai/pensiunan yang penyediaan dananya dijamin oleh perusahaan BUMN penjaminan pembiayaan atau perusahaan BUMD penjaminan pembiayaan yang telah melakukan kerjasama penjaminan pembiayaan dengan BUMN. c) Pembayaran angsuran/pelunasan atas penyediaan dana bersumber dari gaji/pensiun berdasarkan Surat Kuasa Memotong Gaji/Pensiun kepada BPRS pemberi penyediaan dana. Dalam hal pembayaran gaji/pensiun dilakukan melalui bank lain atau BUMN lain, maka BPRS pemberi penyediaan dana harus memiliki perjanjian kerja sama dengan bank lain atau BUMN lain pembayar gaji/pensiun tersebut; dan d) BPRS… d) BPRS menyimpan asli surat pengangkatan pegawai atau surat keputusan pensiun atau Kartu Registrasi Induk Pensiun (KARIP) dan polis pertanggungan asuransi jiwa debitur, atau dokumen yang dapat dipersamakan dengan itu untuk penjaminan oleh perusahaan BUMN/BUMD penjaminan pembiayaan . Yang dimaksud “Pegawai” adalah pegawai negeri sipil (PNS), anggota TNI/POLRI, pegawai lembaga negara dan pegawai Badan Usaha Milik Negara/Daerah. 5) Penyediaan dana dan/atau tagihan kepada usaha mikro dan usaha kecil (UMK) yang sumber dananya berasal dari modal sendiri dan/atau dana pihak ketiga dengan prinsip Wadiah, Qardh dan Mudharabah Muthlaqah berdasarkan sistem bagi pendapatan (net revenue sharing/gross profit sharing) diberikan bobot sebesar 85% (delapan puluh lima perseratus). Penyediaan dana dan/atau tagihan kepada usaha mikro adalah penyediaan dana dan/atau tagihan kepada usaha mikro dengan plafon sampai dengan Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). Penyediaan dana dan/atau tagihan kepada usaha kecil adalah penyediaan dana dan/atau tagihan kepada usaha kecil dengan plafon lebih besar dari Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sampai dengan Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). 6) Penyediaan dana dan/atau tagihan dalam berbagai bentuk aktiva produktif yang berdasarkan sistem bagi untung (profit sharing/net profit sharing) yang sumber dananya dari modal sendiri dan/atau dana pihak ketiga dengan prinsip Wadiah, Qardh, dan Mudharabah Mutlaqah berdasarkan sistem bagi pendapatan (net revenue sharing/gross profit sharing) diberikan bobot sebesar 150% (seratus lima puluh perseratus). 3. Ketentuan … 3. Ketentuan angka III. TATA CARA PERHITUNGAN KEBUTUHAN MODAL MINIMUM butir 2 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut : 2. Dengan memperhatikan prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud pada angka 1, maka rincian bobot risiko untuk semua aktiva Neraca adalah sebagai berikut: 0% : 1. Kas 2. Emas dan mata uang emas 3. Commemorative coins 4. Penempatan pada Bank Indonesia 5. Penyediaan dana dan/atau tagihan kepada atau dijamin oleh Pemerintah Pusat atau bank sentral dalam bentuk penempatan pada bank lain, pembiayaan Mudharabah dan Musyarakah, piutang Murabahah, piutang Salam, piutang Istishna’, piutang Qardh serta Ijarah 6. Penyediaan dana dan/atau tagihan dalam bentuk pembiayaan Mudharabah dan Musyarakah, piutang Murabahah, piutang Salam, piutang Istishna’, piutang Qardh, Ijarah, piutang transaksi multijasa yang dijamin uang kas, uang kertas asing, emas, mata uang emas, deposito, dan tabungan pada BPRS yang bersangkutan sebesar nilai dari jaminan tersebut. 1% : Penyediaan dana dan/atau tagihan dalam bentuk penempatan pada bank lain, pembiayaan Mudharabah dan Musyarakah, piutang Murabahah, piutang Salam, piutang Istishna’, Ijarah, piutang transaksi multijasa yang sumber dananya berasal dari dana pihak ketiga dengan prinsip Mudharabah Mutlaqah berdasarkan sistem bagi untung (profit sharing/net profit sharing). 20%… 20%: Penyediaan dana dan/atau tagihan kepada bank lain/Pemerintah Daerah atau dijamin oleh bank umum lain/Pemerintah Daerah dalam bentuk penempatan pada bank lain, pembiayaan Mudharabah dan Musyarakah, piutang Murabahah, piutang Salam, piutang Istishna’, piutang Qardh serta Ijarah, yang sumber dananya berasal dari modal sendiri dan/atau dana pihak ketiga dengan prinsip Wadiah, Qardh dan Mudharabah Mutlaqah berdasarkan sistem bagi pendapatan (net revenue sharing/gross profit sharing); 35%: Penyediaan dana dan/atau tagihan dalam bentuk piutang untuk kepemilikan rumah yang dijamin oleh hak tanggungan pertama dan bertujuan untuk dihuni yang sumber dananya berasal dari modal sendiri dan/atau dana pihak ketiga dengan prinsip Wadiah, Qardh dan Mudharabah Mutlaqah berdasarkan sistem bagi pendapatan (net revenue sharing/gross profit sharing); 50%: Penyediaan dana dan/atau tagihan kepada atau dijamin BUMN/BUMD dalam bentuk pembiayaan Mudharabah dan Musyarakah, piutang Murabahah, piutang Salam, piutang Istishna’, piutang Qardh serta Ijarah yang sumber dananya berasal dari modal sendiri dan/atau dana pihak ketiga dengan prinsip Wadiah, Qardh dan Mudharabah Mutlaqah berdasarkan sistem bagi pendapatan (net revenue sharing/gross profit sharing); 50%: Penyediaan dana dan/atau tagihan kepada pegawai/pensiunan di luar kepemilikan rumah serta usaha mikro dan kecil (UMK) dalam bentuk pembiayaan Mudharabah dan Musyarakah, piutang Murabahah, piutang Salam, piutang Istishna’, piutang Qardh, Ijarah, piutang transaksi multijasa yang sumber dananya … dananya berasal dari modal sendiri dan/atau dana pihak ketiga dengan prinsip Wadiah, Qardh dan Mudharabah Mutlaqah berdasarkan sistem bagi pendapatan (net revenue sharing/gross profit sharing); 85%: Penyediaan dana atau tagihan yang diberikan kepada usaha mikro dan usaha kecil (UMK) dalam bentuk pembiayaan Mudharabah dan Musyarakah, piutang Murabahah, piutang Salam, piutang Istishna’, piutang Qardh serta Ijarah yang sumber dananya berasal dari modal sendiri dan/atau dana pihak ketiga dengan prinsip Wadiah, Qardh dan Mudharabah Mutlaqah berdasarkan sistem bagi pendapatan (net revenue sharing/gross profit sharing); 100%: 1. Persediaan 2. Aktiva tetap dan inventaris (nilai buku). 3. Rupa-rupa aktiva. 4. Lainnya. yang sumber dananya berasal dari modal sendiri dan/atau dana pihak ketiga dengan prinsip Wadiah, Qardh dan Mudharabah Mutlaqah berdasarkan sistem bagi pendapatan (net revenue sharing/gross profit sharing); 150%: Penyediaan dana dalam berbagai bentuk aktiva produktif yang berdasarkan sistem bagi untung (profit sharing/net profit sharing) yang sumber dananya dari modal sendiri dan/atau dana pihak ketiga dengan prinsip Wadiah, Qardh, dan Mudharabah Mutlaqah berdasarkan sistem bagi pendapatan (net revenue sharing/gross profit sharing). 4. Ketentuan… 4. Ketentuan angka III. TATA CARA PERHITUNGAN KEBUTUHAN MODAL MINIMUM butir 3 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut : 3. Bobot Risiko Aktiva Administratif 3.1. Aktiva administratif yang diperjanjikan untuk dapat dibatalkan sewaktu-waktu tanpa syarat atau dibatalkan secara otomatis oleh bank apabila kondisi nasabah mengalami penurunan kualitas menjadi Kurang Lancar atau Diragukan atau Macet, tidak perlu dihitung bobot risikonya. 3.2. Perhitungan bobot risiko untuk aktiva administratif hanya dilakukan terhadap fasilitas pembiayaan Mudharabah dan Musyarakah yang belum digunakan yang disediakan kepada nasabah sampai dengan akhir tahun takwim yang berjalan, melalui 2 (dua) tahap 3.2.1. Tahap pertama Aktiva Administratif terlebih dahulu ditetapkan faktor konversinya, yaitu faktor tertentu yang digunakan untuk mengkonversikan aktiva administratif ke dalam aktiva neraca yang menjadi padanannya yang didasarkan pada kemungkinan menjadi aktiva yang efektif. Faktor konversi aktiva administratif, ditetapkan sebesar 50% (lima puluh perseratus). 3.2.2. Tahap Kedua Bobot risiko aktiva administratif dihitung dengan mengalikan faktor konversi dengan bobot risiko aktiva neraca padanannya. 3.3. Atas dasar perhitungan sebagaimana dimaksud pada angka 3.2., maka pengelompokan besarnya bobot risiko masing-masing aktiva administratif menjadi sebagai berikut: 0% : 1. Fasilitas pembiayaan Mudharabah dan Musyarakah yang belum digunakan oleh nasabah sampai dengan akhir tahun … tahun takwim yang berjalan, kepada atau dijamin oleh pemerintah pusat atau bank sentral. 2. Fasilitas pembiayaan Mudharabah dan Musyarakah yang belum digunakan oleh nasabah sampai dengan akhir tahun takwim yang berjalan, yang dijamin dengan uang kas, uang kertas asing, emas, mata uang emas, serta giro, deposito dan tabungan pada BPRS yang bersangkutan sebesar nilai jaminannya. 0,5% : Fasilitas pembiayaan Mudharabah dan Musyarakah yang belum digunakan oleh nasabah sampai dengan akhir tahun takwim yang berjalan yang sumber dananya berasal dari dana pihak ketiga dengan prinsip Mudharabah Mutlaqah berdasarkan sistem bagi untung (profit sharing/net profit sharing) 10 % : Fasilitas pembiayaan Mudharabah dan Musyarakah yang belum digunakan oleh nasabah sampai dengan akhir tahun takwim yang berjalan, yang sumber dananya berasal dari modal sendiri dan/atau dana pihak ketiga dengan prinsip Wadiah, Qardh dan Mudharabah Mutlaqah berdasarkan sistem bagi pendapatan (net revenue sharing/gross profit sharing), kepada bank lain/pemerintah daerah atau dijamin bank umum lain/pemerintah daerah. 25 % : Fasilitas pembiayaan Mudharabah dan Musyarakah yang belum digunakan oleh nasabah sampai dengan akhir tahun takwim yang berjalan, yang sumber dananya berasal dari modal sendiri dan/atau dana pihak ketiga dengan prinsip Wadiah, Qardh dan Mudharabah Mutlaqah berdasarkan sistem bagi pendapatan (net revenue sharing/gross profit sharing), kepada atau dijamin BUMN/BUMD. 25% … 25 % : Fasilitas pembiayaan Mudharabah dan Musyarakah yang belum digunakan oleh nasabah sampai dengan akhir tahun takwim yang berjalan, yang sumber dananya berasal dari modal sendiri dan/atau dana pihak ketiga dengan prinsip Wadiah, Qardh dan Mudharabah Mutlaqah berdasarkan sistem bagi pendapatan (net revenue sharing/gross profit sharing), kepada pegawai/pensiunan diluar kepemilikan rumah serta usaha mikro dan kecil (UMK). 42,5% : Fasilitas pembiayaan Mudharabah dan Musyarakah yang belum digunakan oleh nasabah sampai dengan akhir tahun takwim yang berjalan, yang sumber dananya berasal dari modal sendiri dan/atau dana pihak ketiga dengan prinsip Wadiah, Qardh dan Mudharabah Mutlaqah berdasarkan sistem bagi pendapatan (net revenue sharing/gross profit sharing), kepada usaha mikro dan usaha kecil (UMK). 50% : Fasilitas pembiayaan Mudharabah dan Musyarakah yang belum digunakan oleh nasabah sampai dengan akhir tahun takwim yang berjalan, yang sumber dananya berasal dari modal sendiri dan/atau dana pihak ketiga dengan prinsip Wadiah, Qardh dan Mudharabah Mutlaqah berdasarkan sistem bagi pendapatan (net revenue sharing/gross profit sharing), kepada atau dijamin oleh pihak lainnya. 75 % : Fasilitas pembiayaan Mudharabah dan Musyarakah yang belum digunakan oleh nasabah sampai dengan akhir tahun takwim yang berjalan, yang berdasarkan sistem bagi untung (profit sharing/net profit sharing) dan sumber dananya dari modal sendiri dan/atau dana pihak ketiga dengan prinsip Wadiah, Qardh dan Mudharabah Mutlaqah … Mutlaqah berdasarkan sistem bagi pendapatan (net revenue sharing/gross profit sharing). 5. Ketentuan angka III. TATA CARA PERHITUNGAN KEBUTUHAN MODAL MINIMUM butir 4 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut : 4. Kebutuhan modal minimum BPRS dihitung dengan cara sebagai berikut: 4.1. Dengan melakukan penjumlahan ATMR, yaitu: a. ATMR aktiva neraca yang diperoleh dengan cara mengalikan nilai nominal aktiva yang bersangkutan dengan bobot risiko tersebut pada angka III.2; b. ATMR aktiva administratif yang diperoleh dengan cara mengalikan nilai nominal rekening administratif yang bersangkutan dengan bobot risiko tersebut pada angka III.3.3.; 4.2. Jumlah kewajiban penyediaan modal minimum BPRS adalah 8% (delapan perseratus) dari jumlah ATMR pada angka 4.1. 4.3. Dihitung jumlah modal inti dan modal pelengkap. 4.4. Dengan membandingkan jumlah modal pada angka 4.3. dengan kewajiban penyediaan modal minimum tersebut pada angka 4.2., dapat diketahui kelebihan atau kekurangan modal dari BPRS yang bersangkutan. Formulir perhitungan kebutuhan modal minimum BPRS adalah seperti contoh pada Lampiran Surat Edaran Bank Indonesia ini. 6. Ketentuan angka IV. PENYAMPAIAN LAPORAN ditambahkan angka 4, yang berbunyi sebagai berikut : 4. Pelaporan perhitungan dan penyampaian laporan kewajiban penyediaan modal minimum sebagaimana dimaksud pada angka 1 sampai dengan angka 3, ditetapkan sebagai berikut : a. apabila … a. apabila disampaikan langsung kepada Bank Indonesia, maka tanggal penerimaan Bank Indonesia dianggap sebagai tanggal penyampaian laporan. Dalam hal laporan dikirim melalui pos, maka tanggal stempel pos dianggap sebagai tanggal penyampaian laporan. b. apabila tanggal 21 jatuh pada hari libur atau hari Sabtu, maka laporan tersebut disampaikan pada hari kerja sebelumnya. PENUTUP Ketentuan dalam Surat Edaran ini mulai berlaku sejak tanggal 21 Juni 2007. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran Bank Indonesia dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA, SITI CH. FADJRIJAH DEPUTI GUBERNUR "," SE-BI 9/14/DPbS|SE-BI/2007 Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 8/26/DPbS tanggal 14 November 2006 perihal Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bagi Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah 21 Juni 2007 21 Juni 2007 '8/26/DPbS|SE-BI/2006' '8/22/PBI/2006', '8/26/DPbS|SE-BI/2006', '8/24/PBI/2006' " " No.16/3 /DPTP Jakarta, 3 Maret 2014 S U R A T E D A R A N Kepada SEMUA BANK UMUM DI INDONESIA DAN PT. PERMODALAN NASIONAL MADANI (PERSERO) Perihal : Pelaksanaan Pengalihan Pengelolaan Kredit Likuiditas Bank Indonesia Dalam Rangka Kredit Program Sehubungan dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/20/PBI/2003 tentang Pengalihan Pengelolaan Kredit Likuiditas Bank Indonesia Dalam Rangka Kredit Program (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 105, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4322) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/19/PBI/2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/20/PBI/2003 tentang Pengalihan Pengelolaan Kredit Likuiditas Bank Indonesia Dalam Rangka Kredit Program (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 262, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5370), perlu diatur ketentuan pelaksanaan mengenai pengalihan pengelolaan Kredit Likuiditas Bank Indonesia dalam Surat Edaran Bank Indonesia sebagai berikut: I. UMUM A. Pengalihan pengelolaan Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) dalam rangka kredit program dari Bank Indonesia kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang ditunjuk Pemerintah, yaitu: 1. PT... 2 1. PT. Bank Tabungan Negara (Persero), Tbk, untuk selanjutnya disebut PT. BTN; dan 2. PT. Permodalan Nasional Madani (Persero), untuk selanjutnya disebut PT. PNM, dilakukan dengan Perjanjian Pengalihan Pengelolaan KLBI. Perjanjian Pengalihan Pengelolaan KLBI dapat diubah secara tertulis sesuai kesepakatan antara Bank Indonesia dengan masing-masing BUMN yang ditunjuk antara lain disebabkan oleh perubahan kebijakan, wewenang dan tanggung jawab, serta batas waktu penyampaian laporan. B. KLBI yang dialihkan pengelolaannya meliputi baki debet dan kelonggaran tarik posisi tanggal 16 November 1999 berdasarkan hasil rekonsiliasi antara Bank Indonesia dan Bank Pelaksana. Yang dimaksud dengan baki debet adalah jumlah KLBI pada posisi tertentu yang telah ditarik Bank Pelaksana dan masih tercatat dalam rekening pinjaman Bank Pelaksana di Bank Indonesia. C. Bank Indonesia tetap memiliki hak tagih atas KLBI yang telah dialihkan kepada BUMN dan memiliki hak tagih atas angsuran KLBI yang telah dikelola oleh BUMN, sampai dengan KLBI dimaksud jatuh tempo dan dilunasi atau dilunasi sebelum KLBI jatuh tempo. Yang dimaksud dengan jatuh tempo KLBI adalah tanggal jatuh tempo pembayaran angsuran terakhir atau pelunasan KLBI sebagaimana disepakati dalam Surat Persetujuan Kredit (SPK). Dalam hal terdapat SPK individual maka yang menjadi acuan untuk penetapan tanggal jatuh tempo KLBI adalah SPK individual antara Bank Indonesia dengan Bank Pelaksana. D. Bunga atas KLBI yang masih berjalan dan telah dialihkan pengelolaannya kepada BUMN tetap merupakan hak Bank Indonesia dan tetap dihitung dan dibebankan kepada Bank Pelaksana sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia. E. Ketentuan... 3 E. Ketentuan KLBI untuk masing-masing skim kredit atau proyek yang berjalan tetap berlaku sampai dengan KLBI jatuh tempo dan dilunasi atau dilunasi sebelum KLBI jatuh tempo. F. Terhadap KLBI yang dialihkan pengelolaannya, Bank Indonesia berwenang untuk: a. memberikan keputusan atas permohonan pencairan kelonggaran tarik yang diajukan oleh Bank Pelaksana melalui BUMN, dengan memperhatikan ketersediaan kelonggaran tarik dan kesesuaian dengan SPK proyek yang bersangkutan serta ketentuan yang berlaku; b. memberitahukan keputusan atas permohonan pencairan kelonggaran tarik yang diajukan oleh Bank Pelaksana; c. mengadministrasikan KLBI; d. menghitung dan membebankan bunga KLBI yang menjadi hak Bank Indonesia; e. mendebet rekening Bank Pelaksana pada saat jatuh tempo angsuran KLBI dan memindahbukukan angsuran KLBI dimaksud untuk untung rekening BUMN; f. menarik kembali KLBI yang jatuh tempo, KLBI yang dilunasi dan KLBI yang tidak sesuai dengan ketentuan, baik dari Bank Pelaksana maupun BUMN; g. melakukan pengawasan dan pemeriksaan terhadap pelaksanaan pengelolaan KLBI oleh BUMN dan penyaluran KLBI oleh Bank Pelaksana, termasuk melakukan pemeriksaan langsung terhadap proyek yang dibiayai dengan KLBI maupun proyek yang dibiayai dengan KLBI yang disalurkan oleh BUMN; h. mengenakan sanksi dan/atau denda kepada Bank Pelaksana dan atau BUMN dalam hal terjadi pelanggaran atas ketentuan Bank Indonesia yang mengatur kredit program dan pelaksanaan pengalihan; dan i. menyediakan kelonggaran tarik KLBI sesuai SPK dari Bank Indonesia kepada Bank Pelaksana. G. BUMN... 4 G. BUMN wajib mengembalikan KLBI pada saat jatuh tempo, sehingga tidak dimungkinkan adanya perpanjangan jangka waktu KLBI. H. Bank Pelaksana wajib mengembalikan angsuran terakhir KLBI kepada Bank Indonesia pada saat jatuh tempo sebagaimana diperjanjikan dalam SPK dan Akte F. II. WEWENANG DAN TANGGUNG JAWAB BUMN DALAM PENGELOLAAN KLBI Dalam rangka pengelolaan atas KLBI yang masih berjalan dan pengelolaan hasil angsuran pokok KLBI, BUMN memiliki wewenang dan tanggung jawab sebagai berikut: 1. menerima permohonan pencairan kelonggaran tarik dari Bank Pelaksana; 2. menganalisa persyaratan teknis dan finansial terhadap permohonan yang diajukan oleh Bank Pelaksana sesuai SPK dan ketentuan masing-masing skim kredit dan bertanggung jawab atas hasil analisis dimaksud. Permohonan dapat berupa permohonan pencairan kelonggaran tarik, perubahan jadwal pembayaran angsuran, penggantian debitur, dan hal-hal lain yang dapat mengubah SPK dan/atau Akte F yang telah disetujui oleh Bank Indonesia; 3. membuat rekomendasi untuk Bank Indonesia atas permohonan pencairan kelonggaran tarik yang diajukan oleh Bank Pelaksana sebagai dasar analisis sebagaimana dimaksud dalam angka 1; 4. untuk dan atas nama Bank Indonesia menerbitkan perubahan SPK dan Akte F dan/atau perubahan jadwal angsuran KLBI dalam hal terjadi pelunasan dini atau terjadi penggantian debitur (novasi) untuk skim KKPA bertahap (multi years) dan PIR Trans Pasca Konversi; 5. memberitahukan keputusan atas permohonan pencairan kelonggaran tarik kepada Bank Pelaksana; 6. mengadministrasikan kelonggaran tarik KLBI yang dikelolanya; 7. melaksanakan... 5 7. melaksanakan pengawasan dan pemantauan atas penyaluran KLBI di masing-masing Bank Pelaksana, sehingga penyaluran KLBI dimaksud mencapai sasaran yang telah ditentukan; 8. melakukan koordinasi dengan Bank Pelaksana, sehingga penyaluran KLBI dimaksud mencapai sasaran akhir secara efektif dan efisien; 9. mengelola hasil angsuran pokok KLBI yang diterima dari masing-masing Bank Pelaksana untuk disalurkan kembali (relending) melalui Bank Pelaksana sampai dengan jatuh tempo KLBI. Penyaluran kembali KLBI dimaksud harus sesuai dengan skim KLBI yang dialihkan kepada masing-masing BUMN dan sesuai dengan ketentuan KLBI masing-masing skim kredit, kecuali ketentuan yang mengatur tata cara penyediaan plafon, pelimpahan, pelunasan, pengenaan sanksi dan pelaporan. Dalam hal BUMN bermaksud melakukan penyesuaian terhadap ketentuan KLBI diluar hal-hal yang telah disebutkan, BUMN harus mengajukan permohonan kepada Bank Indonesia. Keputusan atas permohonan dimaksud disampaikan oleh Bank Indonesia secara tertulis kepada BUMN; 10. mengupayakan agar Bank Pelaksana dapat memenuhi kewajibannya kepada Bank Indonesia sesuai jangka waktu yang telah ditetapkan, termasuk upaya penagihan terhadap KLBI yang belum dilunasi pada saat jatuh tempo; 11. mengembalikan dana angsuran KLBI yang dikelola pada saat jatuh tempo KLBI. Untuk keperluan tersebut, BUMN wajib menyediakan dana pada rekening giro di Bank Indonesia minimal sebesar kumulatif angsuran KLBI yang telah diterima dan jatuh tempo, pada saat jatuh tempo KLBI; 12. menyampaikan laporan perkembangan penerimaan angsuran, penyesuaian baki debet, penyaluran kembali dan pelunasan KLBI; 13. melakukan... 6 13. melakukan pengamanan kredit dan melakukan konsultasi mengenai hal tersebut kepada Bank Indonesia; dan 14. mengadministrasikan dana KLBI yang telah dialihkan dari Bank Indonesia kepada Bank Pelaksana dan penyaluran KLBI yang dilaksanakan oleh masing-masing Bank Pelaksana. III. TATA CARA PEMBAYARAN ANGSURAN KLBI A. Skim Kredit Dengan Pola Channeling 1. Bank Pelaksana wajib menyampaikan laporan angsuran KLBI kepada Bank Indonesia sesuai dengan ketentuan yang berlaku untuk masing-masing skim KLBI. 2. Bank Indonesia mendebet rekening giro Bank Pelaksana atas dasar laporan sebagaimana dimaksud dalam angka 1 untuk mengurangi baki debet pinjaman KLBI Bank Pelaksana. B. Skim Kredit dengan Pola Executing 1. Bank Indonesia mendebet rekening giro Bank Pelaksana yang ada di Bank Indonesia sesuai dengan jadwal angsuran. 2. Bank Indonesia memindahbukukan angsuran KLBI untuk untung rekening giro BUMN di Bank Indonesia bagi KLBI yang belum jatuh tempo. 3. Untuk pelunasan KLBI yang telah jatuh tempo, hasil pendebetan rekening giro Bank Pelaksana untuk untung Bank Indonesia. 4. Bank Indonesia mendebet rekening giro Bank Pelaksana sebagaimana dimaksud dalam angka 1 untuk mengurangi baki debet pinjaman KLBI Bank Pelaksana. C. BUMN dapat mengajukan permintaan secara tertulis untuk mendapatkan dokumen berupa fotokopi warkat pembukuan mutasi transaksi KLBI kepada Bank Indonesia untuk keperluan administrasi kantor BUMN. IV. TATA... 7 IV. TATA CARA PEMBAYARAN BUNGA KLBI A. Skim Kredit dengan Pola Channeling 1. Bank Pelaksana wajib menyampaikan laporan penerimaan bunga dari nasabah kepada Bank Indonesia sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur masing-masing skim KLBI. 2. Bank Indonesia mendebet rekening giro Bank Pelaksana di Bank Indonesia sebesar bunga yang menjadi hak Bank Indonesia berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud dalam angka 1. 3. Dalam hal masih terdapat bunga yang belum dilunasi sejak jatuh tempo dan berdasarkan laporan Bank Pelaksana terdapat penerimaan bunga dari nasabah maka Bank Indonesia akan menarik bunga KLBI yang menjadi hak Bank Indonesia. B. Skim Kredit dengan Pola Executing 1. Bank Indonesia mendebet rekening giro Bank Pelaksana sebesar bunga yang harus dibayarkan oleh Bank Pelaksana sesuai dengan ketentuan yang mengatur masing-masing skim KLBI yang berlaku. 2. Penghitungan dan pembebanan bunga KLBI menggunakan tanggal valuta yang sama dengan tanggal pembukuan. V. TATA CARA PELUNASAN KLBI A. Skim Kredit dengan Pola Channeling 1. Pada saat jatuh tempo KLBI, Bank Pelaksana wajib menyampaikan laporan pembayaran pelunasan dari nasabah yang telah diterima namun belum disetor kepada Bank Indonesia. 2. Bank Indonesia mendebet rekening giro Bank Pelaksana di Bank Indonesia berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud dalam angka 1. 3. Dalam... 8 3. Dalam hal masih terdapat KLBI yang belum dilunasi pada saat jatuh tempo, Bank Indonesia akan menarik sisa KLBI tersebut berdasarkan laporan pembayaran pelunasan dari nasabah yang disampaikan oleh Bank Pelaksana sampai dengan KLBI tersebut lunas sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia mengenai masing-masing skim kredit program. Dalam hal ini tidak perlu dilakukan penyesuaian SPK dan Surat Perjanjian Penerusan Kredit (SPPK). B. Skim Kredit dengan Pola Executing 1. Pada saat jatuh tempo KLBI, Bank Indonesia langsung mendebet rekening giro Bank Pelaksana sebesar saldo baki debet yang masih terutang. 2. Pada hari yang sama Bank Indonesia mendebet rekening giro BUMN sebesar jumlah angsuran KLBI yang telah diterima oleh BUMN. C. Pelunasan KLBI Lebih Cepat 1. Pelunasan KLBI lebih cepat oleh debitur dan/atau Bank Pelaksana a. Dalam hal debitur dan/atau Bank Pelaksana melunasi KLBI sebelum tanggal jatuh tempo maka Bank Pelaksana harus melaporkan pelunasan tersebut kepada Bank Indonesia dengan tembusan kepada BUMN, paling lambat 14 (empat belas) hari kalender terhitung sejak tanggal pelunasan dimaksud. b. Laporan pelunasan KLBI lebih cepat dimaksud paling kurang memuat informasi mengenai tanggal pelunasan, nama skim, nama proyek, nomor SPK, dan jumlah KLBI yang dilunasi. c. Untuk skim KIK Pasca Konversi PIR-Trans, laporan pelunasan KLBI lebih cepat sebagaimana dimaksud dalam huruf b ditambahkan informasi mengenai jumlah petani, tahap konversi, dan tahun tanam. d. Atas... 9 d. Atas dasar laporan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, Bank Indonesia mendebet rekening giro Bank Pelaksana sebesar baki debet KLBI yang dilunasi lebih cepat. e. Jumlah angsuran pokok KLBI yang telah diterima oleh BUMN akan didebet oleh Bank Indonesia pada saat jatuh tempo KLBI. 2. Pelunasan KLBI lebih cepat karena pembatalan SPK atau hal lain yang dapat membatalkan SPK a. Dalam hal proyek yang dibiayai oleh KLBI dibatalkan oleh Bank Indonesia karena adanya pelanggaran ketentuan atau hal lain yang dapat menyebabkan batalnya SPK maka Bank Indonesia mendebet rekening giro Bank Pelaksana sebesar baki debet KLBI yang dibatalkan. b. Jumlah angsuran pokok KLBI yang telah diterima oleh BUMN didebet oleh Bank Indonesia pada saat jatuh tempo KLBI. Atas dana angsuran KLBI yang telah dikelola BUMN untuk skim KLBI yang dipercepat pelunasannya sebagaimana dimaksud dalam angka 1 dan angka 2 maka Bank Indonesia menerbitkan Surat Penegasan kepada BUMN untuk mengelola angsuran KLBI yang telah diterima BUMN sebelum percepatan pelunasan sebagaimana dimaksud dalam angka 1 dan angka 2, sampai dengan jatuh tempo KLBI sesuai dengan masing-masing SPK. Surat Penegasan dimaksud memuat paling kurang: a. nomor SPK; b. Bank Pelaksana; c. skim Kredit; d. nama debitur; e. jumlah angsuran KLBI yang telah diterima BUMN; dan f. tanggal jatuh tempo KLBI sesuai dengan masing-masing SPK. VI. PENYALURAN... 10 VI. PENYALURAN KEMBALI (RELENDING) ANGSURAN KLBI OLEH BUMN A. BUMN wajib menyampaikan rencana penyaluran kembali (relending) angsuran pokok KLBI yang dikelolanya kepada Bank Indonesia untuk 1 (satu) tahun anggaran berikutnya berdasarkan besarnya angsuran KLBI yang akan diterima dan dapat dikelola selama 1 (satu) tahun anggaran tersebut. Rencana dimaksud paling kurang menyebutkan rencana besarnya KLBI yang akan disalurkan kembali. B. Rencana penyaluran kembali KLBI dihitung dari jumlah angsuran KLBI yang akan diterima oleh BUMN pada tahun anggaran berikutnya, setelah memperhitungkan pelunasan KLBI pada tahun berikutnya dan saldo angsuran KLBI pada tahun sebelumnya. Contoh: Jumlah angsuran KLBI yang akan diterima oleh BUMN A pada tahun 2013 adalah sebesar Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah), sedangkan jumlah pelunasan KLBI yang jatuh tempo pada tahun 2013 sebesar Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah). Saldo angsuran KLBI pada tahun 2012 adalah Rp0,00. Berdasarkan data tersebut, maka rencana penyaluran kembali KLBI yang harus disampaikan oleh BUMN A adalah sebagai berikut: (Angsuran yang akan diterima pada tahun 2013) – (pelunasan KLBI tahun 2013) + (saldo angsuran KLBI tahun 2012) Dengan demikian, rencana penyaluran angsuran KLBI adalah: = Rp100.000.000.000,00 – Rp20.000.000.000,00 + Rp0,00 = Rp80.000.000.000,00. C. Dalam hal BUMN merencanakan penyaluran kembali kurang dari perhitungan sebagaimana dimaksud dalam huruf B maka: 1. BUMN... 11 1. BUMN menyampaikan rencana penyaluran kembali KLBI kepada Bank Indonesia disertai dengan alasan yang mendasari rencana penyaluran kembali KLBI dimaksud untuk mendapatkan persetujuan Bank Indonesia. 2. Dalam hal Bank Indonesia menyetujui permohonan BUMN sebagaimana dimaksud dalam angka 1 maka BUMN hanya akan memperoleh dana kelolaan sebesar rencana penyaluran KLBI. D. Laporan rencana penyaluran kembali KLBI sebagaimana dimaksud dalam huruf A disampaikan kepada Bank Indonesia paling lambat pada akhir bulan November tahun berjalan. E. Dalam hal akhir bulan November jatuh pada hari libur, penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam huruf D dilaksanakan pada hari kerja sebelumnya. F. Laporan rencana penyaluran kembali KLBI sebagaimana dimaksud dalam huruf A dapat diubah paling banyak 1 (satu) kali dan paling lambat harus diterima oleh Bank Indonesia 6 (enam) bulan sebelum berakhirnya tahun anggaran berjalan. G. Penyaluran kembali KLBI oleh BUMN kepada Bank Pelaksana harus sesuai dengan rencana penyaluran yang disampaikan oleh BUMN kepada Bank Indonesia. H. Bank Indonesia akan mengevaluasi realisasi penyaluran kembali KLBI yang dilakukan oleh BUMN untuk posisi akhir tahun atas dasar kompilasi laporan bulanan BUMN. I. BUMN dilarang menyalurkan kembali angsuran KLBI yang dikelolanya selain untuk tujuan kredit atau pembiayaan. J. Ketentuan penyaluran kembali KLBI harus sesuai dengan ketentuan masing-masing skim KLBI. BUMN dapat menetapkan ketentuan mengenai tata cara penyediaan plafon, tata cara pelimpahan, tata cara pelunasan, pengenaan sanksi, dan pelaporan, berbeda dengan ketentuan skim KLBI. K. Perubahan atau penyesuaian ketentuan pemberian KLBI di luar skim KLBI sebagaimana dimaksud dalam huruf J tidak menunda... 12 menunda pelaksanaan pembayaran kembali KLBI kepada Bank Indonesia pada saat jatuh tempo KLBI. L. Dalam hal diperlukan penyesuaian ketentuan pemberian KLBI di luar skim KLBI sebagaimana dimaksud dalam huruf J, BUMN harus mengajukan permohonan penyesuaian skim KLBI kepada Bank Indonesia. Atas dasar permohonan tersebut, Bank Indonesia menyampaikan persetujuan atau penolakan kepada BUMN. M. Pada saat jatuh tempo KLBI, Bank Indonesia akan mendebet rekening giro BUMN yang ada di Bank Indonesia sebesar jumlah KLBI yang dikelola oleh BUMN. Untuk keperluan tersebut, BUMN wajib menyediakan dana pada rekening giro yang ada di Bank Indonesia minimal sebesar kumulatif angsuran KLBI yang dikelola dan jatuh tempo. N. Dalam hal KLBI jatuh tempo pada hari libur, kewajiban penyediaan dana pada rekening giro BUMN yang ada di Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam huruf M dilakukan pada hari kerja sebelumnya. VII. PELAPORAN A. Bank Pelaksana wajib menyampaikan laporan kepada Bank Indonesia sesuai dengan ketentuan yang berlaku untuk masing- masing skim kredit program, dengan tembusan kepada BUMN. B. Kantor Pusat BUMN wajib menyampaikan laporan secara bulanan kepada Bank Indonesia cq. Departemen Pengelolaan Pinjaman dan Transaksi Pemerintah yang memuat informasi mengenai penerimaan angsuran, penyesuaian baki debet, penyaluran kembali, dan pelunasan KLBI, paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya. Dalam hal tanggal 15 jatuh pada hari libur, penyampaian laporan dilaksanakan pada hari kerja sebelumnya. C. Laporan sebagaimana dimaksud dalam huruf B disusun dengan mengacu pada format sebagaimana dimaksud dalam Lampiran I dan Lampiran II untuk PT. BTN, serta Lampiran III dan Lampiran... 13 Lampiran IV untuk PT. PNM, yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini. VIII. TATA CARA PENGENAAN SANKSI A. BUMN yang terlambat menyampaikan rencana penyaluran kembali sebagaimana dimaksud dalam butir VI.D dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk setiap keterlambatan. B. BUMN yang menyalurkan kembali angsuran pokok KLBI yang tidak sesuai dengan rencana penyaluran yang disampaikan kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam butir VI.G dikenakan sanksi berupa tidak dilimpahkannya angsuran KLBI yang diterima dari Bank Pelaksana kepada BUMN sebesar jumlah KLBI yang tidak disalurkan sesuai dengan rencana penyaluran. Contoh: BUMN B menyampaikan rencana penyaluran kembali KLBI tahun 2013 kepada Bank Indonesia sebesar Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah). Atas dasar evaluasi yang dilakukan Bank Indonesia, realisasi penyaluran kembali KLBI yang dilakukan BUMN B selama tahun 2013 ternyata hanya mencapai Rp75.000.000.000,00 (tujuh puluh lima miliar rupiah). Atas pelanggaran tersebut, BUMN B dikenakan sanksi berupa tidak dilimpahkannya angsuran KLBI yang diterima dari Bank Pelaksana sebesar Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah). C. BUMN yang menyalurkan kembali angsuran KLBI yang tidak sesuai dengan tujuan kredit atau pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam butir VI.I dikenakan sanksi berupa: 1. penarikan kembali angsuran KLBI yang disalurkan oleh BUMN di luar tujuan kredit atau pembiayaan dengan cara mendebet rekening giro BUMN yang ada di Bank Indonesia sebesar angsuran KLBI yang disalurkan oleh BUMN di luar tujuan kredit atau pembiayaan; dan 2. kewajiban… 14 2. kewajiban membayar sebesar suku bunga Jakarta Interbank Offered Rate (JIBOR) overnight ditambah 200 bps dikalikan jumlah angsuran KLBI yang disalurkan di luar tujuan kredit atau pembiayaan, dan dihitung selama pelanggaran. Contoh 1: Berdasarkan pemeriksaan Bank Indonesia pada tanggal 1 Februari 2013, diketahui bahwa BUMN A telah melakukan pelanggaran berupa penggunaan angsuran KLBI sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) yang ditempatkan dalam bentuk deposito terhitung sejak tanggal 3 Desember 2012. Atas temuan Bank Indonesia tersebut, BUMN A menghentikan penempatan deposito pada tanggal 1 Februari 2013 dan Bank Indonesia telah melakukan penarikan angsuran KLBI pada tanggal 20 Februari 2013. Atas pelanggaran tersebut, BUMN A dikenakan sanksi sebagai berikut: a. penarikan kembali angsuran KLBI dengan cara mendebet rekening giro BUMN A yang ada di Bank Indonesia pada tanggal 20 Februari 2013 sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah); dan b. kewajiban membayar sebesar: ((suku bunga JIBOR overnight tanggal 3 Desember 2012 + 200 bps)/360) X jumlah hari pelanggaran (sejak tanggal 3 Desember 2012 s.d tanggal 1 Februari 2013 (61 hari)) X Rp1.000.000.000,00 Dengan demikian, perhitungan sanksi adalah: ( Suku bunga JIBOR overnight + 200 bps 360 ) X jumlah hari X nominal = ((4,16840%+2%)/360) X 61 X Rp1.000.000.000,00 = Rp10.452.011,11 Contoh 2: Berdasarkan pemeriksaan Bank Indonesia pada tanggal 1 Februari 2013, diketahui bahwa BUMN B telah melakukan pelanggaran berupa penggunaan angsuran KLBI… 15 KLBI sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) yang ditempatkan dalam bentuk deposito terhitung sejak tanggal 3 Desember 2012. Atas temuan tersebut, BUMN B tidak menghentikan penempatan deposito dan Bank Indonesia melakukan penarikan angsuran KLBI pada tanggal 20 Februari 2013. Atas pelanggaran tersebut, BUMN B dikenakan sanksi sebagai berikut: a. penarikan kembali angsuran KLBI dengan cara mendebet rekening giro BUMN B yang ada di Bank Indonesia pada tanggal 20 Februari 2013 sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah); dan b. kewajiban membayar sebesar: ((suku bunga JIBOR overnight tanggal 3 Desember 2012 + 200 bps)/360) X jumlah hari pelanggaran (sejak tanggal 1 Desember 2012 sampai dengan tanggal 20 Februari 2013 (80 Rp1.000.000.000,00 Dengan demikian, perhitungan sanksi adalah: ( Suku bunga JIBOR overnight + 200 bps 360 hari)) X ) X jumlah hari X nominal = ((4,16840%+2%)/360) X 80X Rp1.000.000.000,00 = Rp13.707.555,56 D. BUMN yang menyalurkan kembali angsuran KLBI tidak sesuai dengan ketentuan skim KLBI sebagaimana dimaksud dalam butir VI.J. dikenakan sanksi berupa tidak dilimpahkannya angsuran KLBI dari Bank Pelaksana yang seharusnya dapat dikelola oleh BUMN sebesar jumlah KLBI yang disalurkan tidak sesuai dengan ketentuan skim KLBI. Contoh: Berdasarkan pemeriksaan Bank Indonesia pada tanggal 1 Februari 2013, diketahui bahwa BUMN A telah melakukan pelanggaran berupa penggunaan angsuran KLBI sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) yang disalurkan untuk pemberian kredit konsumsi kepada karyawan sehingga tidak sesuai… 16 sesuai dengan skim KLBI yang ditetapkan. Atas pelanggaran tersebut, BUMN A dikenakan sanksi berupa angsuran KLBI sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dari Bank Pelaksana tidak dilimpahkan kepada BUMN A. E. BUMN yang tidak dapat menyediakan dana pada rekening giro yang ada di Bank Indonesia sebesar kumulatif angsuran KLBI yang terutang sebagaimana dimaksud dalam butir VI. M. dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar suku bunga JIBOR overnight ditambah 200 bps dikalikan jumlah KLBI terutang, yang dihitung selama pelanggaran. Contoh: Skim KLBI jatuh tempo pada tanggal 31 Januari 2013 sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Pada tanggal tersebut, saldo rekening giro BUMN B hanya sebesar Rp700.000.000,00 (tujuh ratus juta rupiah). BUMN B baru dapat menyediakan kekurangan dana sebesar Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) pada tanggal 28 Februari 2013. Atas pelanggaran tersebut, BUMN B dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar: ((suku bunga JIBOR overnight tanggal 31 Januari 2013 + 200 bps)/360) X jumlah hari pelanggaran (sejak tanggal 31 Januari 2013 sampai dengan tanggal 28 Februari 2013 (29 hari)) X Rp300.000.000,00. Dengan demikian, perhitungan sanksi adalah: ( Suku bunga JIBOR overnight + 200 bps 360 ) X jumlah hari X nominal = ((4,18960% + 2%)/360) X 29 X Rp300.000.000,00 = Rp1.495.820,00 F. Bank Pelaksana yang tidak melaporkan pelunasan KLBI lebih cepat sebagaimana dimaksud dalam butir V.C.1 dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar suku bunga JIBOR overnight ditambah 200 bps dikalikan jumlah angsuran KLBI yang dilunasi lebih cepat, dan dihitung selama pelanggaran. Contoh… 17 Contoh: Bank Pelaksana A tidak melaporkan pelunasan lebih cepat untuk skim KLBI yang debiturnya melakukan pelunasan lebih cepat pada tanggal 3 Desember 2012 sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Bank Pelaksana A baru melaporkan pelunasan kepada Bank Indonesia pada tanggal 1 Februari 2013. Atas pelanggaran tersebut, Bank Pelaksana A dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar: ((suku bunga JIBOR overnight tanggal 3 Desember 2012 + 200 bps)/360) X (jumlah hari pelanggaran yang dihitung sejak tanggal 3 Desember 2012 sampai dengan tanggal 1 Februari 2013 (61 hari)) X Rp100.000.000,00. Dengan demikian, perhitungan sanksi adalah: ( Suku bunga JIBOR overnight + 200 bps 360 ) X jumlah hari X nominal = ((4,16840% + 2%)/360) X 61 X Rp100.000.000,00 = Rp1.045.201,11 G. BUMN yang terlambat menyampaikan laporan yang memuat informasi mengenai penerimaan angsuran, penyesuaian baki debet, penyaluran kembali, dan pelunasan KLBI sebagaimana dimaksud dalam butir VII.B dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk setiap keterlambatan. H. Pengenaan sanksi kewajiban membayar dilakukan oleh Bank Indonesia cq. Departemen Pengelolaan Pinjaman dan Transaksi Pemerintah dengan cara mendebet rekening giro masing-masing BUMN atau Bank Pelaksana di Bank Indonesia. IX. PENUTUP Dengan berlakunya Surat Edaran Bank Indonesia ini maka Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 5/30/BKr tanggal 18 November 2003 sebagaimana telah diubah dengan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 6/28/BKr tanggal 9 Juli 2004 perihal Perubahan Atas Surat Edaran Bank Indonesia No.5/30/BKr Tanggal 18 November 2003 Perihal Pelaksanaan Pengalihan Pengelolaan… 18 Pengelolaan Kredit Likuiditas Bank Indonesia Dalam Rangka Kredit Program, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 3 Maret 2014 Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA, HILZAHRA PHENI KEPALA DEPARTEMEN PENGELOLAAN PINJAMAN DAN TRANSAKSI PEMERINTAH "," SE-BI 16/3/DPTP|SE-BI/2014 Pelaksanaan Pengalihan Pengelolaan Kredit Likuiditas Bank Indonesia Dalam Rangka Kredit Program 3 Maret 2014 3 Maret 2014 '5/30/BKr|SE-BI/2003', '6/28/BKr|SE-BI/2004' '14/19/PBI/2012', '5/20/PBI/2003' 'Romawi VIII' " " No 18/35/DPPK Jakarta, 13 Desember 2016 S U R A T E D A R A N Kepada SEMUA BANK UMUM DEVISA DI INDONESIA Perihal : Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak Asing Sehubungan dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/19/PBI/2016 tentang Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 184, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5927), yang selanjutnya disebut PBI, perlu mengatur ketentuan pelaksanaan mengenai Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak Asing dalam Surat Edaran Bank Indonesia sebagai berikut: I. TRANSAKSI 1. Badan hukum asing atau lembaga asing yang memiliki kegiatan yang bersifat nirlaba sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 4 huruf c PBI antara lain ASEAN Secretary, World Bank, Asian Development Bank, dan lembaga asing lainnya yang memenuhi kriteria sebagai lembaga multilateral yang bersifat nirlaba. 2. Bank dapat melakukan Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah dengan Pihak Asing atas dasar suatu kontrak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) PBI. 3. Kontrak yang digunakan dalam Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah berupa: a. konfirmasi tertulis berupa kontrak transaksi valuta asing (derivatif) yang lazim digunakan oleh pelaku pasar dan/atau diterbitkan oleh asosiasi terkait; dan/atau b. konfirmasi tertulis yang menunjukkan terjadinya transaksi yang antara lain berupa dealing conversation atau print out dari Society … 2 Society of Worldwide Interbank Financial Telecommunication (SWIFT). 4. Kontrak yang digunakan dalam Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah yang dilakukan Bank untuk kepentingan sendiri paling kurang berisi: a. nomor kontrak; b. tanggal transaksi dan tanggal valuta; c. nilai nominal transaksi; d. nama counterparty; e. mata uang (denominasi); dan f. rekening bank koresponden. 5. Kontrak yang digunakan dalam Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah yang dilakukan Bank untuk kepentingan Pihak Asing paling kurang berisi: a. nomor kontrak; b. hak dan kewajiban dari kedua belah pihak (Bank dan Pihak Asing) dalam hal Bank diberi kewenangan untuk mewakili Pihak Asing; c. tanggal transaksi dan tanggal valuta; d. nilai nominal transaksi; e. f. g. h. besarnya komisi; dan i. pagu Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah; jenis valuta yang diperjualbelikan; jenis transaksi yang digunakan; rekening bank koresponden. 6. Kontrak transaksi valuta asing (derivatif) yang digunakan oleh pelaku pasar dapat berupa perjanjian induk derivatif Indonesia sebagaimana contoh kontrak transaksi valuta asing (derivatif) yang tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini. 7. Penggunaan kontrak sebagaimana dimaksud pada angka 6 dalam Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah merupakan tanggung jawab masing-masing pihak yang melakukan transaksi. 8. Dalam hal kontrak yang digunakan Bank dalam Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah sebagaimana dimaksud dalam angka 4 dan angka 5 mencantumkan penggunaan acuan kurs dalam penyelesaian … 3 penyelesaian transaksi pada saat jatuh waktu, Bank harus mengacu kepada kurs yang diterbitkan Bank Indonesia. 9. Kurs yang diterbitkan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam angka 8 yang selanjutnya disebut Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) merupakan representasi harga Spot Dolar Amerika Serikat (US Dollar) terhadap Rupiah dari transaksi antar- Bank di pasar domestik termasuk transaksi Bank dengan bank di luar negeri, yang dilaporkan Bank melalui Sistem Monitoring Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah (SISMONTAVAR). 10. JISDOR yang diterbitkan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam angka 9 diatur sebagai berikut: a. Bank Indonesia menerbitkan JISDOR setiap hari kerja melalui website Bank Indonesia dan/atau media lainnya. b. Penggunaan JISDOR berlaku untuk transaksi US Dollar terhadap Rupiah. 11. Dalam melakukan Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah dengan Pihak Asing, Bank wajib menggunakan kuotasi harga (kurs) valuta asing terhadap Rupiah yang ditetapkan oleh Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) PBI. Contoh: Bank A melakukan Transaksi Spot USD/IDR dengan Pihak Asing B. Dalam hal ini, Bank A wajib menggunakan kuotasi harga USD/IDR yang ditetapkan oleh Bank A, dan bukan berasal dari Pihak Asing B. 12. Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah meliputi transaksi pembelian dan penjualan dalam denominasi seluruh valuta asing terhadap Rupiah. 13. Untuk pembelian dan penjualan valuta asing terhadap Rupiah, selain US Dollar terhadap Rupiah sebagaimana dimaksud dalam angka 12 (misalnya Yen terhadap Rupiah, Euro terhadap Rupiah), perhitungan jumlah tertentu (threshold) kewajiban Underlying Transaksi adalah sebagai berikut : (𝑘𝑢𝑟𝑠 𝑏𝑒𝑙𝑖 𝑈𝑆𝐷+𝑘𝑢𝑟𝑠 𝑗𝑢𝑎𝑙 𝑈𝑆𝐷) 2 (𝑘𝑢𝑟𝑠 𝑏𝑒𝑙𝑖 𝑛𝑜𝑛 𝑈𝑆𝐷+𝑘𝑢𝑟𝑠 𝑗𝑢𝑎𝑙 𝑛𝑜𝑛 𝑈𝑆𝐷) 2 x threshold dalam USD Keterangan: Kurs pada rumus adalah terhadap Rupiah 14. Kurs … 4 14. Kurs sebagaimana dimaksud dalam angka 13 merupakan kurs penutupan Bank Indonesia pada 1 (satu) hari kerja sebelumnya (H-1), yang tersedia pada sistem Laporan Harian Bank Umum (LHBU). 15. Pembelian valuta asing terhadap Rupiah dapat dilakukan untuk: a. b. jenis valuta asing yang sama dengan yang tercantum dalam dokumen Underlying Transaksi; atau jenis valuta asing yang berbeda dengan dokumen Underlying Transaksi apabila disertai dengan dokumen yang dapat menjelaskan alasan perbedaan tersebut. 16. Pembelian valuta asing terhadap Rupiah oleh Pihak Asing kepada Bank tanpa Underlying Transaksi hanya dapat dilakukan paling banyak: a. sebesar USD25,000.00 (dua puluh lima ribu dolar Amerika Serikat) atau ekuivalennya per bulan per Pihak Asing melalui Transaksi Spot; b. sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat) atau ekuivalennya per transaksi per Pihak Asing maupun per posisi (outstanding) per Bank melalui Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah yang standar (plain vanilla) melalui transaksi forward, option, dan swap termasuk cross currency swap (CCS). 17. Pembelian valuta asing terhadap Rupiah oleh Pihak Asing melalui Transaksi Spot kepada Bank tanpa Underlying Transaksi dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. Perhitungan 1 (satu) bulan didasarkan pada bulan kalender, yaitu sejak tanggal permulaan bulan kalender sampai dengan tanggal berakhirnya bulan kalender. Contoh: Jika pada bulan November 20xx, Pihak Asing hanya melakukan pembelian valuta asing terhadap Rupiah tanpa Underlying Transaksi 1 (satu) kali pada tanggal 25 November 20xx sebesar USD25,000.00 (dua puluh lima ribu dolar Amerika Serikat) maka hal tersebut diperhitungkan sebagai jumlah paling banyak yang telah digunakan dalam bulan November 20xx. Pihak Asing dapat kembali menggunakan jumlah … 5 jumlah paling banyak sebesar ekuivalen USD25,000.00 (dua puluh lima ribu dolar Amerika Serikat) tersebut selama periode Desember 20xx. b. Perhitungan nominal transaksi didasarkan pada tanggal transaksi. Contoh: Pada tanggal 11 November 20xx, Pihak Asing melakukan pembelian valuta asing terhadap Rupiah melalui Transaksi Spot beli sebesar USD5,000.00 (lima ribu dolar Amerika Serikat). Kemudian, Pihak Asing kembali melakukan Transaksi Spot beli valuta asing terhadap Rupiah pada tanggal 30 November 20xx sebesar USD10,000.00 (sepuluh ribu dolar Amerika Serikat). Perhitungan transaksi pembelian valuta asing terhadap Rupiah oleh Pihak Asing sampai dengan tanggal 30 November 20xx adalah sebesar USD15,000.00 (lima belas ribu dolar Amerika Serikat). c. Perhitungan nominal transaksi pembelian valuta asing terhadap Rupiah didasarkan pada jenis transaksi (Transaksi Spot dan Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah). Contoh: Pada tanggal 11 November 20xx, Pihak Asing A melakukan pembelian valuta asing terhadap Rupiah melalui Transaksi Spot sebesar USD10,000.00 (sepuluh ribu dolar Amerika Serikat). Kemudian Pihak Asing A melakukan pembelian valuta asing terhadap Rupiah melalui transaksi forward pada tanggal 17 November 20xx sebesar USD20,000.00 (dua puluh ribu dolar Amerika Serikat). Pada tanggal 18 November 20xx, Pihak Asing A kembali melakukan pembelian valuta asing terhadap Rupiah melalui Transaksi Spot sebesar USD15,000.00 (lima belas ribu dolar Amerika Serikat) dan melalui transaksi option sebesar USD40,000.00 (empat puluh ribu dolar Amerika Serikat). Perhitungan transaksi pembelian valuta asing terhadap Rupiah oleh Pihak Asing A pada akhir bulan November 20xx adalah sebesar USD25,000.00 (dua puluh lima ribu dolar Amerika Serikat) melalui Transaksi Spot dan sebesar USD60,000.00 (enam puluh ribu dolar Amerika Serikat) … 6 Serikat) melalui Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah (forward dan option). d. Perhitungan nominal transaksi didasarkan pada akumulasi seluruh transaksi dalam 1 (satu) bulan kalender yang dilakukan oleh masing-masing Pihak Asing secara individual baik secara tunai maupun non-tunai dalam bentuk simpanan valuta asing. Contoh: Pihak Asing X melakukan pembelian valuta asing terhadap Rupiah di Bank Y secara tunai sebesar USD5,000.00 (lima ribu dolar Amerika Serikat) pada tanggal 11 November 20xx. Kemudian, pada tanggal 15 November 20xx Pihak Asing X melakukan konversi simpanan Rupiah menjadi simpanan valuta asing dalam US Dollar di Bank Y sebesar USD10,000.00 (sepuluh ribu dolar Amerika Serikat). Perhitungan kumulatif transaksi yang dilakukan oleh Pihak Asing X dalam periode bulan November 20xx adalah sebesar USD15,000.00 (lima belas ribu dolar Amerika Serikat). e. Untuk Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah melalui rekening gabungan (joint account) yang dimiliki lebih dari 1 (satu) Pihak Asing, Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah tanpa Underlying Transaksi hanya dapat dilakukan paling banyak sebesar threshold per rekening gabungan (joint account). Contoh: Pihak Asing A dan B memiliki joint account. Pada tanggal 10 November 20xx, Pihak Asing A melakukan Transaksi Spot pembelian valuta asing terhadap Rupiah melalui joint account sebesar USD20,000.00 (dua puluh ribu dolar Amerika Serikat). Atas transaksi tersebut Pihak Asing A wajib menyampaikan dokumen pendukung paling lambat pada tanggal 12 November 20xx. Pada tanggal 24 November 20xx, Pihak Asing B melakukan Transaksi Spot pembelian valuta asing terhadap Rupiah melalui joint account sebesar USD30,000.00 (tiga puluh ribu dolar Amerika Serikat). Atas pembelian valuta asing tersebut, Pihak Asing B wajib menyampaikan dokumen Underlying … 7 Underlying Transaksi dan dokumen pendukung paling lambat pada tanggal 26 November 20xx karena jumlah pembelian valuta asing terhadap Rupiah yang dilakukan melalui joint account pada bulan November 20xx telah melebihi threshold USD25,000.00 (dua puluh lima ribu dolar Amerika Serikat), yaitu sebesar USD50,000.00 (lima puluh ribu dolar Amerika Serikat). 18. Penjualan valuta asing terhadap Rupiah melalui Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah oleh Pihak Asing kepada Bank tanpa Underlying Transaksi hanya dapat dilakukan paling banyak: a. sebesar USD5,000,000.00 (lima juta dolar Amerika Serikat) atau ekuivalennya per transaksi per Pihak Asing melalui transaksi forward; b. sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat) atau ekuivalennya per transaksi per Pihak Asing maupun per posisi (outstanding) per Bank melalui transaksi option dan swap. II. UNDERLYING TRANSAKSI 1. Underlying Transaksi berupa pemberian kredit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (5) huruf c PBI diatur sebagai berikut: a. Fasilitas pemberian kredit termasuk pemberian kredit antarnasabah yang belum ditarik, tidak dapat menjadi Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (5) huruf c PBI. b. Fasilitas pemberian kredit antarnasabah yang telah ditarik dapat menjadi Underlying Transaksi sepanjang kredit antarnasabah merupakan kredit yang diberikan oleh Pihak Asing kepada nasabah di dalam negeri. c. Underlying Transaksi berupa kredit termasuk pemberian kredit antarnasabah baik dalam bentuk tunai maupun barang yang telah ditarik, nominal Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah paling banyak sama dengan nominal kredit yang telah ditarik. Contoh 1: … 8 Contoh 1: Pada tanggal 18 Januari 20xx, Pihak Asing di luar negeri berencana memberikan kredit kepada PT A sebesar Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah) dimana sumber Rupiah tersebut diperoleh dari hasil penjualan valuta asing terhadap Rupiah. Dalam pelaksanaannya, realisasi penarikan kredit oleh PT A adalah sebesar Rp140.000.000.000,00 (seratus empat puluh miliar rupiah). Sehingga, pembelian derivatif valuta asing terhadap Rupiah melalui transaksi forward untuk kepentingan lindung nilai kredit tersebut oleh pihak kreditur (Pihak Asing di luar negeri) paling banyak dilakukan sebesar ekuivalen Rp140.000.000.000,00 (seratus empat puluh miliar rupiah). Contoh 2: Pada tanggal 10 Januari 20xx, C Ltd. yang merupakan Pihak Asing memberikan kredit dalam bentuk barang modal ekuivalen sebesar Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) kepada PT B yang merupakan perusahaan afiliasi dari C Ltd. Pada tanggal 1 Februari 20xx, PT B melakukan penarikan kredit dari C Ltd. dalam bentuk barang senilai Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah). Atas penarikan kredit ini, C Ltd. melakukan pembelian valuta asing terhadap Rupiah melalui transaksi forward paling banyak sebesar ekuivalen Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah). d. Underlying Transaksi berupa kredit termasuk pemberian kredit antarnasabah yang telah ditarik, jatuh waktu Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah paling lama sama dengan jatuh waktu pelunasan kredit yang ditarik tersebut. Contoh: Pada tanggal 2 Januari 20xx, Z Ltd. sebagai head office (Pihak Asing) dari PT A memberikan kredit dalam mata uang Rupiah kepada PT A sebesar Rp14.000.000.000,00 (empat belas miliar rupiah) yang Rupiahnya diperoleh melalui penjualan valuta asing terhadap Rupiah, dan jatuh waktu pelunasan kredit pada … 9 pada tanggal 30 Juni 20xx. Z Ltd. dapat melakukan pembelian valuta asing terhadap Rupiah melalui transaksi forward untuk kepentingan lindung nilai kredit tersebut paling banyak sebesar ekuivalen Rp14.000.000.000,00 (empat belas miliar rupiah) dengan jatuh waktu transaksi forward paling lama sama dengan tanggal pelunasan kredit yaitu tanggal 30 Juni 20xx. 2. Underlying Transaksi penjualan valuta asing terhadap Rupiah melalui transaksi forward dan transfer Rupiah berupa kepemilikan dana valuta asing di dalam negeri dan/atau di luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (6) PBI diatur sebagai berikut: a. Nominal transaksi penjualan valuta asing terhadap Rupiah melalui transaksi forward paling banyak sebesar saldo dan/atau jumlah kepemilikan dana valuta asing Pihak Asing di dalam negeri dan/atau di luar negeri. Contoh: Perusahaan A Ltd. yang merupakan Pihak Asing memiliki deposito valuta asing di Bank X sebesar USD10,000,000.00 (sepuluh juta dolar Amerika Serikat). Berdasarkan Underlying Transaksi berupa deposito valuta asing tersebut, Perusahaan A Ltd. dapat melakukan penjualan valuta asing terhadap Rupiah melalui transaksi forward paling banyak sebesar USD10,000,000.00 (sepuluh juta dolar Amerika Serikat). b. Transfer Rupiah ke rekening Pihak Asing dengan Underlying Transaksi berupa kepemilikan dana valuta asing Pihak Asing di dalam negeri dan/atau di luar negeri merupakan transfer Rupiah yang berasal dari penjualan valuta asing terhadap Rupiah melalui Transaksi Spot. Contoh: Corporation B Ltd. yang merupakan Pihak Asing memiliki deposit on-call valuta asing di Bank X senilai USD15,000,000.00 (lima belas juta dolar Amerika Serikat). Atas Underlying Transaksi berupa deposit on-call valuta asing ini, Corporation B Ltd. dapat menerima transfer Rupiah ke rekening Corporation B Ltd. paling banyak sebesar ekuivalen USD15,000,000.00 … 10 USD15,000,000.00 (lima belas juta dolar Amerika Serikat) yang berasal dari hasil penjualan deposit on-call valuta asing dan memperoleh Rupiah melalui Transaksi Spot. c. Dalam hal dana valuta asing ditempatkan pada instrumen yang memiliki tanggal jatuh waktu antara lain berupa deposito dan/atau Negotiable Certificate of Deposit (NCD), jatuh waktu penjualan valuta asing terhadap Rupiah melalui transaksi forward paling lama sama dengan jatuh waktu penempatan dana. Contoh: Perusahaan A Ltd. memiliki NCD dalam valuta asing yang akan jatuh waktu pada tanggal 31 Maret 20xx. Atas kepemilikan NCD dalam valuta asing tersebut, Perusahaan A Ltd. dapat melakukan penjualan valuta asing terhadap Rupiah melalui transaksi forward dengan jatuh waktu paling lama tanggal 31 Maret 20xx. d. Dalam hal dana valuta asing ditempatkan pada instrumen yang tidak memiliki tanggal jatuh waktu antara lain berupa tabungan atau giro, jatuh waktu penjualan valuta asing terhadap Rupiah melalui transaksi forward tidak dibatasi. Contoh: Pada tanggal 2 Januari 20xx, A Ltd. memiliki rekening valuta asing dalam bentuk giro sebesar USD20,000,000.00 (dua puluh juta dolar Amerika Serikat). Atas kepemilikan dana valuta asing tersebut, pada tanggal 2 Januari 20xx, A Ltd. melakukan penjualan valuta asing terhadap Rupiah melalui transaksi forward sebesar USD14,000,000.00 (empat belas juta dolar Amerika Serikat) yang jatuh waktu pada tanggal 2 Februari 20xx dan sebesar USD6,000,000.00 (enam juta dolar Amerika Serikat) yang jatuh waktu pada tanggal 2 Juni 20xx. e. Dalam hal kepemilikan dana valuta asing berupa instrumen yang tidak memiliki tanggal jatuh waktu sebagaimana dimaksud dalam huruf d, saldo rekening valuta asing pada instrumen tersebut paling kurang sama dengan nominal penjualan valuta asing terhadap Rupiah melalui transaksi forward untuk sepanjang waktu transaksi forward dimaksud. Contoh: … 11 Contoh: Pada tanggal 5 Februari 20xx, B Ltd. memiliki tabungan dalam valuta asing sebesar USD6,000,000.00 (enam juta dolar Amerika Serikat). Pada tanggal yang sama, B Ltd. melakukan penjualan valuta asing terhadap Rupiah melalui transaksi forward sebesar USD6,000,000.00 (enam juta dolar Amerika Serikat) dengan jangka waktu 1 (satu) bulan. B Ltd. harus memiliki saldo tabungan valuta asing dengan jumlah tidak kurang dari USD6,000,000.00 (enam juta dolar Amerika Serikat) selama 1 (satu) bulan ke depan sampai dengan transaksi forward tersebut jatuh waktu. 3. Dalam hal nilai nominal Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) PBI tidak dalam kelipatan USD5,000.00 (lima ribu dolar Amerika Serikat) maka terhadap nilai nominal Underlying Transaksi dimaksud dapat dilakukan pembulatan ke atas dalam kelipatan USD5,000.00 (lima ribu dolar Amerika Serikat). Contoh 1: Perusahaan A memiliki kewajiban kepada vendor di luar negeri sebesar USD73,500.00 (tujuh puluh tiga ribu lima ratus dolar Amerika Serikat). Atas dasar Underlying Transaksi dimaksud, Perusahaan A dapat melakukan Transaksi Spot beli sebesar USD75,000.00 (tujuh puluh lima ribu dolar Amerika Serikat). Contoh 2: Perusahaan B memiliki kewajiban kepada vendor di luar negeri sebesar USD61,000.00 (enam puluh satu ribu dolar Amerika Serikat). Atas dasar Underlying Transaksi dimaksud, Perusahaan A dapat melakukan Transaksi Spot beli sebesar USD65,000.00 (enam puluh lima ribu dolar Amerika Serikat). 4. Dalam hal nilai nominal Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud pada Pasal 6 ayat (4) PBI tidak dalam kelipatan USD10,000.00 (sepuluh ribu dolar Amerika Serikat) maka terhadap nilai nominal Underlying Transaksi dimaksud dapat dilakukan pembulatan ke atas dalam kelipatan USD10,000.00 (sepuluh ribu dolar Amerika Serikat). Contoh: … 12 Contoh: Perusahaan B memiliki utang dalam valuta asing dengan nominal sebesar USD1,432,500.00 (satu juta empat ratus tiga puluh dua ribu lima ratus dolar Amerika Serikat). Perusahaan B dapat melakukan untuk kepentingan lindung nilai kredit tersebut dengan melakukan transaksi forward beli sebesar USD1,440,000.00 (satu juta empat ratus empat puluh ribu dolar Amerika Serikat). 5. Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah atas investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 PBI, diatur sebagai berikut: a. Dalam hal Underlying Transaksi dari Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah berupa realisasi investasi: 1) telah terjadi aliran dana dari Pihak Asing untuk penyelesaian transaksi kegiatan investasi dimaksud; 2) nilai Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah untuk investasi paling banyak sebesar nilai realisasi investasi yang tercantum dalam dokumen Underlying Transaksi; dan 3) jangka waktu Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah paling lama sama dengan sisa jangka waktu Underlying Transaksi. b. Untuk Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah atas investasi yang masih dalam proses: 1) 2) Pihak Asing yang bersangkutan telah tercatat sebagai investor atas investasi dimaksud; 3) nilai Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah paling banyak sebesar nilai rencana investasi yang tercantum dalam dokumen Underlying Transaksi; dan 4) jangka waktu Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah paling lama sama dengan sisa jangka waktu Underlying Transaksi. Contoh 1: Pihak Otoritas Bursa Efek Indonesia (BEI) akan menyelenggarakan Initial Public Offering (IPO) saham PT JKL dengan tanggal penawaran 17 sampai dengan 21 November … telah terjadi aliran dana dari Pihak Asing atas rencana investasi dimaksud; 13 November 20xx dan tanggal penyetoran dana tunai 25 November 20xx. Pada tanggal penawaran, para investor dipersyaratkan untuk membuktikan komitmen berupa jaminan aset saham yang tercatat pada underwriter IPO atau penyetoran dana Rupiah sebesar nilai penawaran yang diajukan. Berdasarkan informasi IPO tersebut, pada tanggal 21 November 20xx Pihak Asing memasukkan penawaran saham PT JKL sebesar Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah). Selanjutnya pada tanggal 22 November 20xx, Pihak Asing melakukan Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah dengan Bank yaitu transaksi forward jual USD/IDR Bank kepada Pihak Asing sebesar ekuivalen Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dengan tujuan Pihak Asing dapat memperoleh dana Rupiah pada tanggal 25 November 20xx untuk keperluan penyetoran dana pada underwriter IPO. Dalam hal ini, Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah dilakukan pada tanggal 22 November 20xx dengan tanggal jatuh waktu 25 November 20xx, dimana tanggal jatuh waktu tersebut merupakan tanggal penyelesaian transaksi pembelian saham tersebut. Contoh 2: Pihak Asing melakukan pembelian Obligasi Negara tenor 5 (lima) tahun sebesar Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) pada tanggal transaksi 10 November 20xx dengan tanggal penyelesaian transaksi pembelian Obligasi Negara pada 13 November 20xx dan akan dimiliki sampai dengan tanggal 10 Desember 20xx. Atas kepemilikan Obligasi Negara tersebut, Pihak Asing berencana untuk melakukan Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah. Bank dapat memenuhi kebutuhan Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah dengan Pihak Asing atas pembelian Obligasi Negara … 14 Negara tersebut melalui transaksi swap jual USD/IDR Bank kepada Pihak Asing (Bank beli USD/IDR pada first leg dan jual USD/IDR pada second leg) sebesar ekuivalen Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah). Dalam hal ini, transaksi dapat dilakukan pada tanggal 11 November 20xx dengan tanggal valuta (first leg) pada 13 November 20xx dan tanggal jatuh waktu (second leg) pada 10 Desember 20xx yang akan digunakan untuk repatriasi. Dana Rupiah yang diperoleh pada tanggal 13 November 20xx dipergunakan untuk melakukan penyelesaian transaksi Obligasi Negara tersebut. III. PENYELESAIAN TRANSAKSI 1. Kewajiban penyelesaian Transaksi Spot dengan pemindahan dana pokok secara penuh (full movement of fund) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) PBI diatur sebagai berikut: a. pemindahan dana pokok secara penuh (full movement of fund) dilakukan secara riil atas nilai pokok masing-masing transaksi jual dan/atau transaksi beli yang disepakati pada awal transaksi tersebut; b. pemindahan dana pokok secara penuh (full movement of fund) tersebut didukung oleh tersedianya sejumlah dana riil yang cukup untuk membiayai transaksi dimaksud (good fund), dan bukan didasarkan pada aspek pencatatan dalam pembukuan (akuntansi); dan c. dana pokok tersebut digunakan untuk proses penyelesaian Transaksi Spot pada tanggal valuta, dan tercatat pada sistem treasury Bank, yang dapat dibuktikan dari urutan waktu penyelesaian transaksi. Contoh: Pihak Asing melakukan transaksi pembelian Spot USD terhadap Rupiah dengan Bank B sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat) pada kurs spot USD/IDR 11.000,00. Pada tanggal valuta, Pihak Asing wajib melakukan penyerahan dana Rupiah melalui pemindahan dana pokok secara penuh (full movement of fund) sebesar Rp11.000.000.000,00 … 15 Rp11.000.000.000,00 (sebelas miliar rupiah) secara riil pada saat proses penyelesaian transaksi tersebut dilakukan, dan tercatat pada sistem treasury Bank, yang dapat dibuktikan berdasarkan urutan waktu penyelesaian transaksi. Bank B wajib melakukan penyerahan dana US Dollar melalui pemindahan dana pokok secara penuh (full movement of fund) sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat) secara riil pada saat proses penyelesaian transaksi tersebut dilakukan, dan tercatat pada sistem treasury Bank, yang dapat dibuktikan berdasarkan urutan waktu penyelesaian transaksi. 2. Penyelesaian Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak Asing yang dapat dilakukan secara netting hanya berlaku untuk perpanjangan transaksi (roll over), percepatan penyelesaian transaksi (early termination), dan pengakhiran transaksi (unwind) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) dan ayat (3) PBI. 3. Kewajiban pemindahan dana pokok secara penuh (full movement of fund) untuk penyelesaian penjualan valuta asing terhadap Rupiah oleh Pihak Asing kepada Bank melalui transaksi forward dengan nominal transaksi paling banyak sebesar jumlah tertentu (threshold) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (4) dan ayat (5) PBI diatur sebagai berikut: a. Kewajiban penyelesaian dengan pemindahan dana pokok secara penuh (full movement of fund) dilakukan pada saat jatuh waktu transaksi forward jual. b. Dalam hal sebelum berakhirnya kontrak transaksi forward jual awal dilakukan perpanjangan transaksi (roll over) atau percepatan penyelesaian transaksi (early termination), kewajiban penyelesaian dengan pemindahan dana pokok secara penuh (full movement of fund) dilakukan pada saat berakhirnya kontrak perpanjangan transaksi (roll over) atau kontrak percepatan penyelesaian transaksi (early termination). c. Penyelesaian penjualan valuta asing terhadap Rupiah melalui transaksi forward paling banyak sejumlah threshold tidak dapat dilakukan melalui pengakhiran transaksi (unwind) karena … 16 karena tidak terdapat pemindahan dana pokok secara penuh (full movement of fund). d. Perpanjangan transaksi (roll over) atau percepatan penyelesaian transaksi (early termination) sebagaimana dimaksud dalam huruf b dapat dilakukan sepanjang didukung oleh Underlying Transaksi dari transaksi forward jual awal. Contoh 1: Perpanjangan transaksi (roll over) penjualan valuta asing terhadap Rupiah melalui transaksi forward dengan nominal transaksi paling banyak sebesar threshold. Pada tanggal 15 Januari 20xx, Pihak Asing A melakukan ekspor dari Indonesia dengan nilai sebesar USD4,000,000.00 (empat juta dolar Amerika Serikat) yang akan dibayar pada saat barang diterima yaitu pada tanggal 15 April 20xx. Atas rencana penerimaan valuta asing tersebut, pada tanggal 15 Januari 20xx Pihak Asing A melakukan transaksi forward jual USD/IDR kepada Bank B sebesar USD4,000,000.00 (empat juta dolar Amerika Serikat) dengan forward rate USD/IDR 13.000,00 dan jangka waktu 3 (tiga) bulan (jatuh waktu pada tanggal 15 April 20xx) dengan hanya menyerahkan dokumen pendukung. Karena pengapalan mengalami keterlambatan yang berdampak terhadap penerimaan barang oleh importir sehingga pembayaran importir juga mengalami keterlambatan. Penerimaan hasil ekspor baru akan diterima pada tanggal 15 Mei 20xx. Atas hal tersebut, pada tanggal 13 April 20xx, Pihak Asing A meminta kepada Bank B untuk melakukan perpanjangan (roll over) transaksi forward jual selama 1 (satu) bulan dengan jatuh waktu pada tanggal 15 Mei 20xx. Pihak Asing A memperpanjang transaksi forward jual dengan cara membuka transaksi swap buy-sell kepada Bank B sebesar USD4,000,000.00 (empat juta dolar Amerika Serikat) dengan swap rate USD/IDR 13.300,00. Kurs Spot USD/IDR tanggal 13 April 20xx adalah Rp13.100,00. Atas … 17 Atas transaksi swap buy-sell dalam rangka perpanjangan transaksi (roll over) tersebut, Pihak Asing A wajib menyerahkan dokumen Underlying Transaksi dari Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah awal. Pada saat perpanjangan transaksi (roll over) dilakukan (15 April 20xx), Pihak Asing A membayar selisih kurs kepada Bank B sebesar Rp400.000.000,00 (empat ratus juta Rupiah) yang berasal dari perhitungan ((Rp13.100,00-Rp13.000,00) x USD4,000,000.00). Pada tanggal 15 Mei 20xx yang merupakan tanggal jatuh waktu kontrak perpanjangan transaksi forward, Pihak Asing A menyerahkan USD4,000,000.00 (empat juta dolar Amerika Serikat) kepada Bank B untuk penyelesaian kontrak dan menerima Rupiah sebesar Rp53.200.000.000,00 (lima puluh tiga miliar dua ratus juta rupiah) yang berasal dari perhitungan (Rp13.300,00 x USD4,000,000.00). Contoh 2: Percepatan penyelesaian transaksi (early termination) penjualan valuta asing terhadap Rupiah melalui transaksi forward dengan nominal transaksi paling banyak sebesar threshold. Pada tanggal 10 Januari 20xx, Pihak Asing C melakukan ekspor barang ke luar negeri dengan nilai nominal sebesar USD2,000,000.00 (dua juta dolar Amerika Serikat) yang pembayarannya akan diterima 3 (tiga) bulan kemudian yaitu pada tanggal 10 April 20xx. Pada tanggal yang sama, Pihak Asing … 18 Asing C melakukan lindung nilai dengan transaksi forward jual valuta asing terhadap Rupiah kepada Bank D sebesar USD2,000,000.00 (dua juta dolar Amerika Serikat) dengan forward rate USD/IDR 13.000,00, dengan hanya menyerahkan dokumen pendukung. Pada awal Maret 20xx, lini produksi Pihak Asing C melakukan percepatan produksi sehingga dapat melakukan pengiriman barang 1 (satu) bulan lebih cepat sehingga pembayaran dapat diterima lebih cepat menjadi tanggal 10 Maret 20xx. Dengan mempertimbangkan percepatan penerimaan tersebut, pada tanggal 8 Maret 20xx, Pihak Asing C meminta Bank D untuk melakukan percepatan penyelesaian transaksi (early termination) sebesar USD2,000,000.00 (dua juta dolar Amerika Serikat). Pihak Asing C melakukan percepatan penyelesaian transaksi (early termination) dengan cara melakukan swap sell-buy dengan Bank D dengan kurs Spot Rp13.100,00 dan swap rate Rp13.200,00. Atas transaksi swap dalam rangka early termination tersebut, Pihak Asing C wajib menyerahkan dokumen Underlying Transaksi penjualan forward awal. Pada tanggal 10 Maret 20xx, Pihak Asing C menyerahkan dana valuta asing sebesar USD2,000,000.00 (dua juta dolar Amerika Serikat) kepada Bank D dan menerima dana Rupiah sebesar Rp26.200.000.000,00 (dua puluh enam miliar dua ratus juta rupiah) yang berasal dari perhitungan (Rp13.100,00 x USD2,000,000.00) yang diselesaikan dengan pemindahan dana pokok secara penuh (full movement of fund). Pada tanggal 10 April 20xx dimana transaksi forward jual dan far leg swap sell-buy jatuh waktu, Pihak Asing C menyerahkan dana Rupiah kepada Bank D sebesar Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah) yang berasal dari perhitungan ((Rp13.200,00 USD2,000,000.00). – Rp13.000,00) x Contoh 3: … 19 Contoh 3: Penyelesaian penjualan valuta asing terhadap Rupiah melalui transaksi forward paling banyak sejumlah threshold tidak dapat dilakukan melalui pengakhiran transaksi (unwind) karena tidak terdapat pemindahan dana pokok secara penuh (full movement of fund). Investor A melakukan transaksi forward jual dengan tenor 1 (satu) bulan sebesar USD2,000,000.00 (dua juta dolar Amerika Serikat) pada tanggal 15 Januari 20xx kepada Bank C dengan forward rate USD/IDR 13.000,00, dan hanya menyampaikan dokumen pendukung. Setelah transaksi berjalan 2 (dua) minggu, nilai tukar Rupiah melemah hingga mencapai kurs Spot USD/IDR 13.500,00, Pihak Asing A ingin melakukan pengakhiran transaksi (unwind) atas transaksi tersebut tanpa melakukan pemindahan dana pokok secara penuh (full movement of fund). Hal tersebut tidak dapat dilakukan. 4. Penyelesaian transaksi secara netting atas perpanjangan transaksi (roll over), percepatan penyelesaian transaksi (early termination), dan pengakhiran transaksi (unwind) tidak dapat dilakukan untuk transaksi forward jual valuta asing terhadap Rupiah oleh Pihak Asing kepada Bank dengan menggunakan Underlying Transaksi berupa kepemilikan dana valuta asing di dalam negeri dan di luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (7) PBI. Contoh: A Ltd. yang merupakan Pihak Asing melakukan transaksi forward jual dengan tenor 1 (satu) bulan sebesar USD10,000,000.00 (sepuluh … 20 (sepuluh juta dolar Amerika Serikat) pada tanggal 15 Januari 20xx kepada Bank C dengan forward rate USD/IDR 13.000,00. Atas transaksi tersebut, A Ltd. menggunakan simpanan valuta asing pada Bank sebagai Underlying Transaksi. Setelah transaksi berjalan 2 (dua) minggu, nilai tukar Rupiah melemah hingga mencapai kurs Spot USD/IDR 13.500,00, A Ltd. ingin melakukan pengakhiran transaksi (unwind) atas transaksi tersebut dengan penyelesaian secara netting. Penyelesaian secara netting atas transaksi tersebut tidak dapat dilakukan. 5. Penyelesaian Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah oleh Pihak Asing kepada Bank atas perpanjangan transaksi (roll over), percepatan penyelesaian transaksi (early termination), dan pengakhiran transaksi (unwind) untuk Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah yang standar (plain vanilla) dengan nilai nominal paling banyak sebesar threshold sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) PBI dapat dilakukan secara netting sepanjang didukung dengan Underlying Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah awal. IV. TRANSAKSI STRUCTURED PRODUCT 1. Bank dilarang melakukan transaksi structured product valuta asing terhadap Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) PBI. 2. Larangan transaksi structured product sebagaimana dimaksud pada angka 1 dikecualikan untuk structured product valuta asing terhadap Rupiah berupa Call Spread Option yang didukung oleh Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3) PBI. 3. Yang dimaksud dengan Call Spread Option sebagaimana dimaksud dalam angka 2 adalah gabungan beli call option dan jual call option yang dilakukan secara simultan dalam satu kontrak transaksi dengan strike price yang berbeda dan nominal yang sama. Contoh: … 21 Contoh: Atas kewajiban valuta asing yang dimilikinya sebesar USD5,000,000.00 (lima juta dolar Amerika Serikat), Pihak Asing A melakukan transaksi Call Spread Option yaitu dengan cara melakukan pembelian Call Option dengan strike price 1 sebesar Rp13.000,00 dan penjualan Call Option dengan strike price 2 sebesar Rp14.000,00 yang dilakukan secara simultan dengan nominal USD5,000,000.00 (lima juta dolar Amerika Serikat). 4. Bank yang melakukan transaksi structured product valuta asing terhadap Rupiah berupa Call Spread Option dengan Pihak Asing diatur sebagai berikut: a. Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah dalam bentuk structured product valuta asing terhadap Rupiah berupa Call Spread Option wajib memiliki Underlying Transaksi. Contoh: Pihak Asing A melakukan transaksi Call Spread Option dengan Bank B sebesar USD10,000.00 (sepuluh ribu dolar Amerika Serikat) dengan tenor 2 (dua) tahun, maka transaksi dimaksud wajib memiliki Underlying Transaksi paling sedikit sebesar USD10,000.00 (sepuluh ribu dolar Amerika Serikat). b. Nominal transaksi structured product valuta asing terhadap Rupiah berupa Call Spread Option tidak melebihi nominal Underlying Transaksi. Contoh: X Ltd melakukan transaksi Call Spread Option valuta asing terhadap Rupiah dengan menggunakan Underlying Transaksi berupa obligasi sebesar USD100,000.00 (seratus ribu dolar Amerika Serikat) maka transaksi Call Spread Option dapat dilakukan sepanjang tidak melebihi nominal Underlying Transaksi … 22 Transaksi, yaitu sebesar USD100,000.00 (seratus ribu dolar Amerika Serikat). c. Jangka waktu transaksi structured product valuta asing terhadap Rupiah berupa Call Spread Option tidak melebihi jangka waktu Underlying Transaksi. Contoh: C Ltd. memiliki Underlying Transaksi berupa pinjaman dengan jangka waktu 2 (dua) tahun, maka transaksi Call Spread Option dapat dilakukan paling lama 2 (dua) tahun. d. Transaksi Call Spread Option valuta asing terhadap Rupiah merupakan satu kesatuan transaksi yang dilakukan secara simultan sehingga perhitungan nominal transaksi tidak dihitung 2 (dua) kali. Contoh: Z Ltd. melakukan transaksi Call Spread Option sebesar USD200,000.00 (dua ratus ribu dolar Amerika Serikat). Meskipun transaksi Call Spread Option merupakan gabungan dari 2 (dua) transaksi Call Option (beli dan jual) maka nominal tetap dihitung sebesar USD200,000.00 (dua ratus ribu dolar Amerika Serikat) dan bukan USD400,000.00 (empat ratus ribu dolar Amerika Serikat) 5. Transaksi structured product valuta asing terhadap Rupiah berupa Call Spread Option wajib dilakukan secara dynamic hedging sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) PBI. 6. Dynamic hedging sebagaimana dimaksud dalam angka 5 diatur sebagai berikut: a. Dynamic hedging dilakukan untuk memastikan pelaku transaksi Call Spread Option tidak terekspos pada risiko nilai tukar akibat kurs pasar melampaui kisaran kurs Call Spread Option awal. Contoh: A Ltd. melakukan transaksi Call Spread Option dengan Bank B dengan strike price 1 sebesar USD/IDR 13.000,00 dan strike price 2 sebesar USD/IDR 15.000,00, dengan tenor 3 (tiga) tahun dengan Underlying Transaksi berupa pinjaman. Apabila pada tahun ke 2 (dua) A Ltd. Menilai bahwa nilai tukar Rupiah akan … 23 akan lebih besar strike price 2 sebesar USD/IDR 15.000,00, maka A Ltd. melakukan transaksi Call Spread Option berikutnya (dynamic hedging) dengan strike price 3 sama dengan strike price 2 sebesar USD/IDR 15.000,00 dan strike price 4 sebesar USD/IDR 16.000,00. b. Dynamic hedging wajib dilakukan dengan persyaratan sebagai berikut: 1) Kisaran kurs tidak overlap dengan kisaran kurs transaksi Call Spread Option awal. Contoh: A Ltd. melakukan transaksi Call Spread Option dengan Bank B dengan strike price 1 sebesar USD/IDR 13.000,00 dan strike price 2 sebesar USD/IDR 15.000,00 dengan tenor 3 (tiga) tahun dengan Underlying Transaksi berupa pinjaman. Apabila pada tahun ke 2 (dua) nilai tukar Rupiah ditransaksikan mencapai USD/IDR 15.100,00 sehingga melampaui strike price 2 yaitu USD/IDR 15.000,00, maka A Ltd. melakukan transaksi Call Spread Option berikutnya dengan strike price 3 sebesar USD/IDR 14.500,00 dan strike price 4 sebesar USD/IDR 16.500,00 (overlap). Hal tersebut bukan merupakan dynamic hedging karena terjadi overlap, sehingga transaksi tersebut dianggap sebagai kontrak Call Spread Option yang berbeda dan tidak dapat menggunakan Underlying Transaksi yang sama dengan transaksi Call Spread Option awal. 2) Kisaran kurs tidak memiliki gap dengan kisaran kurs transaksi Call Spread Option awal. Contoh: X Ltd. melakukan transaksi Call Spread Option dengan Bank C dengan strike price 1 sebesar USD/IDR 14.000,00 dan strike price 2 sebesar USD/IDR 16.000,00 dengan tenor 4 (empat) tahun dengan Underlying Transaksi berupa pinjaman. Apabila pada tahun ke 2 (dua) nilai tukar Rupiah ditransaksikan mencapai USD/IDR 16.500,00 sehingga melampaui strike price 2 yaitu USD/IDR … 24 USD/IDR 16.000,00, maka A Ltd. melakukan transaksi Call Spread Option berikutnya dengan strike price 3 sebesar USD/IDR 16.500,00 dan strike price 4 sebesar USD/IDR 17.500,00 (gap). Hal tersebut bukan merupakan dynamic hedging karena terjadi gap, sehingga transaksi tersebut dianggap sebagai kontrak Call Spread Option yang berbeda dan tidak dapat menggunakan Underlying Transaksi yang sama dengan transaksi Call Spread Option awal. 3) Menggunakan Underlying Transaksi yang sama dan belum jatuh waktu. Contoh: A Ltd. melakukan transaksi Call Spread Option dengan Bank B dengan strike price 1 sebesar USD/IDR 13.000,00 dan strike price 2 sebesar USD/IDR 15.000,00, dengan tenor 3 (tiga) tahun dengan Underlying Transaksi berupa obligasi. Apabila pada tahun ke 2 (dua) nilai tukar Rupiah mencapai USD/IDR 15.500,00 sehingga melampaui strike price 2 yaitu USD/IDR 15.000,00, maka A Ltd. melakukan transaksi Call Spread Option berikutnya dengan strike price 3 sebesar USD/IDR 15.000,00 dan strike price 4 sebesar USD/IDR 16.000,00. Hal tersebut merupakan dynamic hedging dan dapat menggunakan Underlying Transaksi yang sama dengan transaksi Call Spread Option awal. 4) Nominal tidak bersifat kumulatif. Contoh: Pada tanggal 1 Februari 20xx, A Ltd. melakukan transaksi lindung nilai atas kewajiban valuta asing yang dimilikinya sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat) melalui Call Spread Option dengan strike price 1 sebesar USD/IDR 13.000,00 dan strike price 2 sebesar USD/IDR 14.000,00 dengan nominal sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat). Pada tanggal 1 Agustus 20xx, nilai tukar Rupiah melemah menjadi sebesar USD/IDR 14.100,00 sehingga A Ltd. melakukan … 25 melakukan dynamic hedging dengan melakukan transaksi Call Spread Option berikutnya pada strike price 3 sebesar USD/IDR 14.000,00 dan strike price 4 sebesar USD/IDR 15.000,00, dengan nominal sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat). Nominal transaksi Call Spread Option tersebut dihitung bukan kumulatif namun mengacu kepada nominal transaksi Call Spread Option awal USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat). sebesar 5) Memiliki jangka waktu paling kurang 6 (enam) bulan untuk transaksi Call Spread Option awal yang memiliki sisa jatuh waktu 6 (enam) bulan atau lebih. Contoh: Pada tanggal 1 Februari 20xx, Pihak Asing B melakukan transaksi lindung nilai atas investasi yang dimilikinya sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat) melalui Call Spread Option dengan strike price 1 sebesar USD/IDR 13.000,00 dan strike price 2 sebesar USD/IDR 14.000,00 dengan nominal sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat), dengan jangka waktu selama 2 (dua) tahun. Pada tanggal 1 April 20xx, nilai tukar Rupiah melemah menjadi sebesar USD/IDR 14.100,00 sehingga Pihak Asing B melakukan dynamic hedging dengan melakukan pembelian Call Spread Option pada strike price 3 sebesar USD/IDR 14.000,00 dan strike price 4 sebesar USD/IDR 15.000,00, dengan nominal sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat) dengan jangka waktu minimal sampai dengan 1 Oktober 20xx atau minimal 6 (enam) bulan. 6) Mengikuti sisa jatuh waktu transaksi Call Spread Option awal untuk transaksi Call Spread Option awal yang memiliki sisa jatuh waktu kurang dari 6 (enam) bulan. Contoh: Pada tanggal 1 Maret 20xx, Pihak Asing C melakukan transaksi Call Spread Option sebesar USD2,000,000.00 (dua … 26 (dua juta dolar Amerika Serikat) dengan strike price 1 sebesar USD/IDR 14.000,00 dan strike price 2 sebesar USD/IDR 15.000,00 dengan jangka waktu 3 (tiga) bulan atau tanggal 1 Juni 20xx. Pada tanggal 10 April 20xx, nilai tukar Rupiah melemah menjadi sebesar USD/IDR 15.200,00. Atas dasar hal tersebut Pihak Asing C melakukan dynamic hedging dengan melakukan transaksi Call Spread Option yang kedua pada strike price 3 sebesar USD/IDR 15.000,00 dan strike price 4 sebesar USD/IDR 16.000,00 dengan jangka waktu paling lama sampai dengan jatuh waktu transaksi Call Spread Option awal, yaitu pada tanggal 1 Juni 20xx. 7) Dilakukan paling lambat 1 (satu) hari kerja apabila kurs pasar melampaui kisaran kurs Call Spread Option awal. Contoh: Pada tanggal 1 Januari 20xx, Y Ltd. melakukan transaksi Call Spread Option dengan Bank Z dengan strike price 1 sebesar USD/IDR 13.000,00 dan strike price 2 sebesar USD/IDR 15.000,00 dengan tenor 3 (tiga) tahun dengan Underlying Transaksi berupa utang. Apabila pada tanggal 1 September 20xx kurs pasar (kurs penutupan Bank Indonesia hari yang sama dalam LHBU) melampaui strike price 2 yaitu sebesar USD/IDR 15.200,00 maka Y Ltd. wajib melakukan transaksi Call Spread Option berikutnya (dynamic hedging) dengan strike price 3 sebesar USD/IDR 15.000,00 dan strike price 4 sebesar USD/IDR 16.500,00 (dynamic hedging) paling lambat pada 1 (satu) hari kerja berikutnya yaitu pada tanggal 2 September 20xx. 8) Kurs pasar sebagaimana dimaksud pada butir 7) adalah kurs penutupan Bank Indonesia hari yang sama dalam LHBU (setelah pukul 16.00); atau acuan kurs lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. 7. Transaksi Spot yang dilakukan dalam rangka transaksi structured product valuta asing terhadap Rupiah berupa Call Spread Option dapat menggunakan Underlying Transaksi yang sama dengan transaksi … 27 transaksi Call Spread Option awal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 PBI. Contoh 1: Pihak Asing A melakukan transaksi Call Spread Option USD/IDR dengan tenor 1 (satu) tahun dengan nominal sebesar USD2,000,000.00 (dua juta dolar Amerika Serikat) dengan strike price 1 sebesar USD/IDR 13.000,00 dan strike price 2 sebesar USD/IDR 15.000,00, dengan Underlying Transaksi berupa pinjaman sebesar USD2,000,000.00 (dua juta dolar Amerika Serikat). Pada saat transaksi Call Spread Option jatuh waktu, kurs pasar berada pada level USD/IDR 13.500,00 sehingga Pihak Asing A melakukan eksekusi (exercise) transaksi Call Spread Option, dan melakukan pembelian valuta asing terhadap Rupiah melalui Transaksi Spot pada kurs pasar yaitu sebesar USD/IDR 13.000,00, dengan nominal sebesar USD2,000,000.00 (dua juta dolar Amerika Serikat). Contoh 2: Pihak Asing X melakukan transaksi Call Spread Option USD/IDR dengan tenor 1 (satu) tahun dengan nominal sebesar USD2,000,000.00 (dua juta dolar Amerika Serikat) dengan strike price 1 sebesar USD/IDR 12.000,00 dan strike price 2 sebesar USD/IDR 14.000,00, dengan Underlying Transaksi berupa pinjaman sebesar USD2,000,000.00 (dua juta dolar Amerika Serikat). Pada saat transaksi Call Spread Option jatuh waktu, kurs pasar berada pada level USD/IDR 11.500,00 dan Pihak Asing X tidak melakukan eksekusi (exercise) transaksi Call Spread Option tersebut, dan melakukan pembelian valuta asing terhadap Rupiah melalui Transaksi Spot beli pada kurs pasar yaitu USD/IDR 11.500,00 dengan nominal sebesar USD2,000,000.00 (dua juta dolar Amerika Serikat). Pihak Asing X dapat menggunakan Underlying Transaksi yang sama dengan Underlying Transaksi Call Spread Option awal berupa pinjaman untuk melakukan Transaksi Spot dimaksud. Contoh 3: X Ltd. melakukan transaksi Call Spread Option USD/IDR dengan tenor 1 (satu) tahun, nominal sebesar USD3,000,000.00 (tiga juta dolar Amerika Serikat), dengan strike price 1 sebesar USD/IDR 13.000,00 dan strike price 2 sebesar USD/IDR 14.000,00, dan Underlying … 28 Underlying Transaksi berupa pinjaman sebesar USD3,000,000.00 (tiga juta dolar Amerika Serikat). Pada saat transaksi Call Spread Option jatuh waktu, kurs pasar melemah dan berada pada level USD/IDR 14.200,00. X Ltd. dapat melakukan pembelian valuta asing terhadap Rupiah melalui Transaksi Spot pada kurs USD/IDR 13.200,00 (dari perhitungan Rp14.200,00-(Rp14.000,00- Rp13.000,00)) dengan nominal sebesar USD3,000,000.00 (tiga juta dolar Amerika Serikat). X Ltd. dapat menggunakan Underlying Transaksi yang sama dengan Underlying Transaksi Call Spread Option awal berupa pinjaman untuk melakukan Transaksi Spot dimaksud. V. PENGATURAN UNDERLYING DAN TRANSAKSI VALUTA ASING TERHADAP RUPIAH DALAM RANGKA TAX AMNESTY Underlying Transaksi berupa investasi dan/atau transaksi yang dilakukan dalam rangka pelaksanaan kebijakan Pemerintah terkait perpajakan berupa tax amnesty diatur sebagai berikut: 1. Underlying Transaksi berupa kebijakan tax amnesty yang dapat digunakan dalam rangka Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah adalah yang mengakibatkan adanya pengalihan harta ke wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (repatriasi dana) dan didukung oleh dokumen repatriasi dana dalam rangka tax amnesty. Contoh: Wajib Pajak A (Pihak Asing) melakukan deklarasi dana sebesar USD50,000,000.00 (lima puluh juta dolar Amerika Serikat) dan repatriasi dana valuta asing dalam rangka kebijakan tax amnesty sebesar USD10,000,000.00 (sepuluh juta dolar Amerika Serikat). Maka Wajib Pajak A dapat menggunakan bukti repatriasi dana sebesar USD10,000,000.00 (sepuluh juta dolar Amerika Serikat) sebagai Underlying Transaksi dalam melakukan Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah. 2. Dokumen repatriasi dana dalam rangka tax amnesty dapat digunakan sebagai Underlying Transaksi pada saat wajib pajak melakukan lindung nilai terhadap investasi dana repatriasi di pasar domestik, antara lain investasi saham, obligasi, dan penempatan dana pada Bank. Contoh: … 29 Contoh: Wajib Pajak B melakukan repatriasi dana valuta asing dalam rangka kebijakan tax amnesty sebesar USD100,000,000.00 (seratus juta dolar Amerika Serikat). Dana valuta asing tersebut kemudian dijual untuk memperoleh Rupiah (konversi dari valuta asing ke Rupiah) untuk diinvestasikan sebesar ekuivalen USD40,000,000.00 (empat puluh juta dolar Amerika Serikat) pada surat berharga negara, USD40,000,000.00 (empat puluh juta dolar Amerika Serikat) pada saham, dan USD20,000,000.00 (dua puluh juta dolar Amerika Serikat) pada deposito Rupiah. Wajib Pajak B kemudian melakukan lindung nilai terhadap investasi dimaksud melalui transaksi forward beli total sebesar USD100,000,000.00 (seratus juta dolar Amerika Serikat). Wajib Pajak B menggunakan Underlying Transaksi berupa dokumen repatriasi dana dalam rangka tax amnesty. 3. Dokumen repatriasi dana dalam rangka tax amnesty digunakan sebagai Underlying Transaksi paling singkat 3 (tiga) tahun sebagaimana diatur dalam ketentuan Pemerintah yang mengatur mengenai pengampunan pajak (dalam masa periode kewajiban menginvestasikan dana repatriasi di dalam negeri). Contoh: Wajib Pajak C melakukan repatriasi dana dalam rangka kebijakan tax amnesty sebesar ekuivalen Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah). Dana yang direpatriasi tersebut diinvestasikan dalam portofolio saham selama 4 (empat) tahun. Bukti dokumen repatriasi dana dalam rangka kebijakan tax amnesty tersebut dapat dijadikan dokumen Underlying Transaksi, dalam masa periode kewajiban menginvestasikan dana repatriasi di dalam negeri yaitu selama 4 (empat) tahun. 4. Underlying Transaksi berupa dokumen repatriasi dana dalam rangka tax amnesty hanya dapat digunakan 1 (satu) kali pada saat terjadinya konversi dana masuk (dari valuta asing ke Rupiah) dan 1 (satu) kali pada saat terjadinya konversi dana keluar (dari Rupiah ke valuta asing). Contoh 1 … 30 Contoh 1 (dokumen disampaikan 1 (satu) kali pada saat konversi): Wajib Pajak D melakukan repatriasi dana valuta asing dalam rangka kebijakan tax amnesty sebesar USD10,000,000.00 (sepuluh juta dolar Amerika Serikat). Dana valuta asing tersebut kemudian dijual untuk memperoleh Rupiah untuk diinvestasikan dalam aset- aset Rupiah ekuivalen sebesar USD10,000,000.00 (sepuluh juta dolar Amerika Serikat). Wajib Pajak D hanya bisa menggunakan Underlying Transaksi berupa dokumen repatriasi dana dalam rangka tax amnesty 1 (satu) kali, yaitu pada saat wajib pajak D melakukan konversi dana keluar sebesar USD10,000,000.00 (sepuluh juta dolar Amerika Serikat). Contoh 2 (Penggunaan dokumen di akhir periode kebijakan tax amnesty): Wajib pajak E melakukan repatriasi dana tax amnesty dan melakukan konversi dana masuk (valuta asing ke Rupiah) sebesar USD15,000,000.00 (lima belas juta dolar Amerika Serikat). Dalam masa periode kewajiban menginvestasikan dana repatriasi di dalam negeri, dana repatriasi tersebut diinvestasikan/ditempatkan dalam aset-aset Rupiah. Dengan demikian, wajib pajak E dapat menggunakan Underlying Transaksi berupa dokumen repatriasi dana dalam rangka tax amnesty untuk melakukan konversi dana keluar (Rupiah ke valuta asing) sebesar ekuivalen USD15,000,000.00 (lima belas juta dolar Amerika Serikat) dari hasil likuidasi aset Rupiah pada menginvestasikan dana repatriasi di dalam negeri. 5. Dalam hal wajib pajak menggunakan dokumen repatriasi dana dalam rangka tax amnesty sebagai Underlying Transaksi pada saat dilakukan konversi dana keluar sebelum periode kewajiban menginvestasikan dana repatriasi di dalam negeri berakhir, maka hasil konversi tersebut hanya dapat diinvestasikan dalam mata uang valuta asing hingga periode kewajiban menginvestasikan dana repatriasi di dalam negeri berakhir. Contoh (penggunaan dokumen dalam masa periode kebijakan tax amnesty): Pada tanggal 1 Desember 2016, wajib pajak F melakukan repatriasi dana dengan melakukan konversi dari valuta asing ke Rupiah sebesar … akhir periode kewajiban 31 sebesar USD5,000,000.00 (lima juta dolar Amerika Serikat), dan dilakukan investasi pada aset Rupiah. Pada tanggal 1 Juni 2017, sebelum berakhirnya periode kewajiban menginvestasikan dana repatriasi di dalam negeri, dana tersebut dikonversi dari Rupiah ke valuta asing dengan menggunakan Underlying Transaksi berupa dokumen repatriasi dana dalam rangka tax amnesty. Selanjutnya, wajib pajak F hanya dapat melakukan investasi dalam mata uang valuta asing di pasar keuangan domestik sejak 1 Juni 2017 hingga berakhirnya periode kewajiban menginvestasikan dana repatriasi di dalam negeri. 6. Wajib pajak dapat melakukan konversi dana keluar dilakukan secara bertahap, dengan menggunakan Underlying Transaksi berupa dokumen repatriasi dana dalam rangka tax amnesty, dengan tidak melampaui nominal Underlying Transaksi dana repatriasi. Contoh (pembelian secara bertahap bertahap): Pada tanggal 1 Desember 2016, wajib pajak F melakukan repatriasi dana dengan melakukan konversi dari valuta asing ke Rupiah sebesar USD50,000,000.00 (lima puluh juta dolar Amerika Serikat), dan dilakukan investasi pada aset Rupiah. Pada tanggal 1 Maret 2017, sebelum berakhirnya periode kewajiban menginvestasikan dana repatriasi di dalam negeri, dana tersebut dikonversi sebagian dari Rupiah ke valuta asing sebesar ekuivalen USD20,000,000 (dua puluh juta dolar Amerika Serikat) dengan menggunakan Underlying Transaksi berupa dokumen repatriasi dana dalam rangka tax amnesty, maka wajib pajak F hanya bisa melakukan investasi dana tersebut dalam mata uang asing. Pada tanggal 1 Desember 2017, wajib pajak F kembali melakukan konversi sebagian dari Rupiah ke valuta asing sebesar ekuivalen USD10,000,000.00 (sepuluh juta dolar Amerika Serikat), maka wajib pajak dapat menggunakan Underlying Transaksi berupa dokumen repatriasi dana dalam rangka tax amnesty yang sama, namun wajib pajak F hanya bisa melakukan investasi dana tersebut dalam mata uang asing. Pada tanggal 1 Desember 2018, wajib pajak F kembali melakukan konversi sebagian dari Rupiah ke valuta asing sebesar ekuivalen USD15,000,000.00 (lima belas juta dolar Amerika Serikat), maka wajib … 32 wajib pajak dapat kembali menggunakan Underlying Transaksi berupa dokumen repatriasi dana dalam rangka tax amnesty yang sama, namun wajib pajak F hanya bisa melakukan investasi dana tersebut dalam mata uang asing hingga berakhirnya periode kewajiban menginvestasikan dana repatriasi di dalam negeri. 7. Kewajiban memiliki Underlying Transaksi berupa repatriasi dana untuk Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah oleh wajib pajak tidak berlaku untuk perpanjangan transaksi (roll over) atau pengakhiran transaksi (unwind) dalam rangka penyelesaian Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah dalam rangka lindung nilai. Contoh 1 (perpanjangan transaksi lindung nilai (roll over)): Pada tanggal 1 Desember 2016, Wajib Pajak G melakukan transaksi forward beli USD/IDR sebesar USD10,000,000.00 (sepuluh juta dolar Amerika Serikat) dengan tenor selama 1 (satu) tahun dan jatuh waktu tanggal 1 Desember 2017, dengan menggunakan Underlying Transaksi berupa dokumen repatriasi dana dalam rangka tax amnesty. Pada saat transaksi forward tersebut akan jatuh waktu, Wajib Pajak F melakukan perpanjangan transaksi (roll over) selama 1 (satu) tahun dan jatuh waktu pada tanggal 1 Desember 2018. Wajib Pajak G melakukan transaksi swap beli USD/IDR (sell buy) kepada Bank yang sama sebesar USD10,000,000.00 (sepuluh juta dolar Amerika Serikat). Atas perpanjangan transaksi (roll over) tersebut, Wajib Pajak G tidak wajib menyerahkan dokumen Underlying Transaksi baru. Contoh 2 (pengakhiran transaksi lindung nilai (unwind)): Pada tanggal 1 Januari 20xx, Wajib Pajak H melakukan transaksi forward beli USD/IDR sebesar USD20,000,000.00 (dua puluh juta dolar Amerika Serikat) dengan tenor 9 (sembilan) bulan dan jatuh waktu tanggal 1 Oktober 20xx, dengan menggunakan Underlying Transaksi berupa dokumen repatriasi dana dalam rangka tax amnesty. Pada bulan ke-6 (enam) yaitu tanggal 1 Juli 20xx, Wajib Pajak H melakukan pengakhiran transaksi (unwind) atas transaksi forward dimaksud. Wajib Pajak H melakukan Transaksi Spot jual USD/IDR sebesar USD20,000,000.00 (dua puluh juta dolar Amerika Serikat) dengan Bank yang sama. Atas pengakhiran transaksi (unwind) … 33 (unwind) tersebut, Wajib Pajak H tidak wajib menyerahkan dokumen Underlying Transaksi baru. 8. Dalam hal dilakukan percepatan penyelesaian transaksi (early termination) atas Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah yang menggunakan Underlying Transaksi berupa dokumen repatriasi dana dalam rangka tax amnesty, maka hasil konversi dana keluar (Rupiah ke valuta asing) tersebut hanya dapat diinvestasikan dalam mata uang valuta asing hingga berakhirnya periode kewajiban menginvestasikan dana repatriasi di dalam negeri. Contoh: Pada tanggal 1 Januari 20xx, wajib pajak AA melakukan transaksi forward beli USD/IDR sebesar USD20,000,000.00 (dua puluh juta dolar Amerika Serikat) dengan tenor 9 (sembilan) bulan dan jatuh waktu tanggal 1 Oktober 20xx, dengan menggunakan Underlying Transaksi berupa dokumen repatriasi dana dalam rangka tax amnesty. Pada bulan ke-6 (enam) yaitu tanggal 1 Juli 20xx, wajib pajak AA melakukan percepatan penyelesaian transaksi (early termination) atas transaksi forward dimaksud. Wajib pajak AA melakukan transaksi swap jual USD/IDR (buy sell) kepada Bank yang sama sebesar USD20,000,000.00 (dua puluh juta dolar Amerika Serikat). Atas percepatan penyelesaian transaksi (early termination) tersebut, wajib pajak AA tidak wajib menyerahkan dokumen Underlying Transaksi baru. Namun demikian, dana valuta asing hasil konversi sebesar USD20,000,000.00 (dua puluh juta dolar Amerika Serikat) tersebut hanya dapat diinvestasikan dalam instrumen valuta asing di pasar keuangan domestik sejak 1 Juli 20xx hingga berakhirnya periode kewajiban menginvestasikan dana repatriasi di dalam negeri. 9. Dalam hal dilakukan pengakhiran transaksi (unwind) terhadap Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah menggunakan Underlying Transaksi berupa dokumen repatriasi dana dalam rangka tax amnesty, maka wajib pajak dapat menggunakan dokumen repatriasi dana dalam rangka tax amnesty yang sama paling banyak 1 (satu) kali untuk Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah … 34 Rupiah dalam masa periode kewajiban menginvestasikan dana repatriasi di dalam negeri. Contoh: Pada tanggal 1 Januari 20xx, wajib pajak X melakukan transaksi forward beli USD/IDR sebesar USD20,000,000.00 (dua puluh juta dolar Amerika Serikat) dengan tenor 9 (sembilan) bulan dan jatuh waktu tanggal 1 Oktober 20xx, dengan menggunakan Underlying Transaksi berupa dokumen repatriasi dana dalam rangka tax amnesty. Pada bulan ke-6 (enam) yaitu tanggal 1 Juli 20xx, wajib pajak X melakukan pengakhiran transaksi (unwind) atas transaksi forward dimaksud. Wajib pajak X hanya dapat kembali menggunakan Underlying Transaksi yang sama sebanyak 1 (satu) kali untuk melakukan transaksi valuta asing terhadap Rupiah. 10. Underlying Transaksi berupa dokumen repatriasi dana dalam rangka tax amnesty sebagaimana dimaksud dalam angka 1 sampai dengan angka 9 diatur sebagai berikut: a. gateway awal (Bank), dokumen berupa Surat Keterangan Pengampunan Pajak (SKPP) dalam rangka pengalihan harta untuk menampung pengalihan dana wajib pajak dalam rangka Pengampunan Pajak; b. gateway tujuan (Bank), antara lain berupa surat keterangan mengenai riwayat investasi; c. Penyampaian dokumen Underlying Transaksi pada huruf a dan b disertai dengan dokumen pendukung berupa pernyataan tertulis bermeterai cukup yang ditandatangani oleh wajib pajak atau pernyataan tertulis yang authenticated dari wajib pajak yang memuat informasi mengenai: a) keaslian dan kebenaran dokumen Underlying Transaksi; b) penggunaan dokumen Underlying Transaksi hanya digunakan untuk pembelian valuta asing terhadap Rupiah paling banyak sebesar nominal Underlying Transaksi dalam rangka tax amnesty dalam sistem perbankan di Indonesia; c) hanya digunakan paling banyak 1 (satu) kali di seluruh sistem perbankan di Indonesia untuk tujuan konversi dana keluar. VI. CERUKAN … 35 VI. CERUKAN INTRAHARI RUPIAH DAN VALUTA ASING 1. Persyaratan untuk cerukan intrahari Rupiah dan valuta asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf e PBI, diatur sebagai berikut: a. cerukan intrahari diberikan kepada penerima dana yang tercantum dalam dokumen konfirmasi dan dilaksanakan pada tanggal valuta pembayaran yang tercantum dalam konfirmasi dimaksud; b. nilai dana yang akan diterima yang tercantum pada dokumen konfirmasi dimaksud, ditambah dengan saldo rekening penerima dana sekurang-kurangnya sama atau lebih besar dari nilai transaksi pembayaran yang dilaksanakan; c. transaksi pembayaran dilakukan setelah dokumen konfirmasi sebagaimana dimaksud dalam huruf b diterima terlebih dahulu; dan d. penerimaan dana sebagaimana tercantum dalam dokumen konfirmasi harus direalisasikan pada tanggal pembayaran dilaksanakan. VII. TRANSFER RUPIAH KEPADA PIHAK ASING 1. Bank dapat melakukan Transfer Rupiah ke rekening yang dimiliki Pihak Asing dan/atau yang dimiliki secara gabungan (joint account) antara Pihak Asing dengan bukan Pihak Asing pada Bank di dalam negeri dengan nominal di atas ekuivalen USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat) per hari per Pihak Asing sepanjang didukung Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dan ayat (2) PBI. 2. Bank penerima dari suatu Transfer Rupiah yang ditujukan kepada Pihak Asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) PBI adalah Bank yang menerima dana Rupiah (rekening Pihak Asing di- kredit-kan). Dalam hal ini Bank dimaksud wajib melakukan verifikasi terhadap status pihak penerima dana Rupiah dan dokumen Underlying Transaksi. Contoh: Pihak Asing A yang memiliki rekening pada Bank C melakukan penjualan USD/IDR melalui transaksi Spot sebesar USD1,500,000.00 … 36 USD1,500,000.00 (satu juta lima ratus ribu dolar Amerika Serikat) dengan Bank X. Pihak Asing A melakukan transfer USD ke Bank X dan Bank X melakukan transfer Rupiah ke rekening Pihak Asing A pada Bank C. Atas penambahan Rupiah pada rekening Pihak Asing tersebut, Bank C wajib melakukan verifikasi terhadap status penerima dana (Pihak Asing A) dan dokumen Underlying Transaksi. 3. Perhitungan nilai ekuivalen valuta asing ke dalam nilai Rupiah untuk nominal Transfer Rupiah ke rekening yang dimiliki Pihak Asing dan/atau yang dimiliki secara gabungan (joint account) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) huruf a PBI menggunakan kurs JISDOR. VIII. DOKUMEN TRANSAKSI 1. Bank wajib memastikan Pihak Asing memiliki Underlying Transaksi yang dibuktikan dengan penyampaian dokumen Underlying Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah dan dokumen pendukung untuk: a. Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah di atas jumlah tertentu (threshold); atau b. transaksi structured product valuta asing terhadap Rupiah berupa Call Spread Option. 2. Penilaian atas kewajaran atau kelaziman nominal Underlying Transaksi yang diajukan oleh Pihak Asing dilakukan oleh Bank. 3. Bank harus menerapkan prosedur dan sistem pengendalian dokumen (document control/procedure) untuk memastikan agar: a. dokumen yang telah digunakan Pihak Asing sebagai Underlying Transaksi dari Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah tertentu dapat digunakan untuk Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah yang lain sepanjang tidak melampaui nominal Underlying transaksi. Contoh: Pada bulan Januari 20xx, Pihak Asing X melakukan pembelian valuta asing terhadap Rupiah melalui transaksi forward sebesar USD1,500,000.00 (satu juta lima ratus ribu dolar Amerika Serikat) kepada Bank A. Atas transaksi tersebut, Pihak Asing X menyerahkan dokumen Underlying Transaksi berupa … 37 berupa hasil investasi di pasar saham sebesar ekuivalen USD2,000,000.00 (dua juta dolar Amerika Serikat) yang diterimanya di Indonesia. Transaksi dilakukan di kantor cabang Bank A di Jakarta. Pada bulan Februari 20xx, Pihak Asing X kembali berencana untuk melakukan pembelian valuta asing terhadap Rupiah melalui transaksi forward dengan Underlying Transaksi yang sama melalui kantor cabang Bank A di Surabaya. Pihak Asing X dapat melakukan transaksi forward beli sebesar USD500,000.00 (lima ratus ribu dolar Amerika Serikat) karena transaksi forward tersebut tidak melebihi nominal Underlying Transaksi. b. Apabila dalam satu rangkaian aktivitas ekonomi terdapat beberapa jenis dokumen Underlying Transaksi maka yang digunakan sebagai dokumen untuk Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah adalah salah satu dari dokumen Underlying Transaksi tersebut. Dalam hal Pihak Asing telah melakukan pembelian valuta asing terhadap Rupiah dengan menggunakan salah satu dokumen Underlying Transaksi tersebut maka Pihak Asing tidak dapat melakukan pembelian valuta asing terhadap Rupiah dengan menggunakan dokumen Underlying Transaksi lainnya yang berasal dari satu rangkaian kegiatan ekonomi yang sama. Contoh: Pada bulan Januari 20xx, Y Ltd. sebagai Pihak Asing melakukan ekspansi pabrik dengan melakukan impor barang modal. Untuk itu Y Ltd. melakukan pembelian valuta asing terhadap Rupiah sebesar USD20,000,000.00 (dua puluh juta dolar Amerika Serikat) melalui transaksi forward dengan menggunakan dokumen Underlying Transaksi berupa purchase order. Pada bulan Februari 20xx, Y Ltd. memperoleh invoice dari eksportir di luar negeri. Atas invoice dimaksud, Y Ltd. melakukan pembelian valuta asing sebesar USD20,000,000.00 (dua puluh juta dolar Amerika Serikat), meskipun sebelumnya telah melakukan pembelian dengan menggunakan dokumen Underlying Transaksi berupa purchase … 38 purchase order. Y Ltd. tidak dapat menggunakan invoice dari kegiatan ekonomi yang sama untuk melakukan pembelian valuta asing terhadap Rupiah 4. Dalam hal Underlying Transaksi adalah kegiatan perdagangan barang dan jasa di dalam dan di luar negeri yang bersifat final maka dokumen Underlying Transaksi antara lain berupa fotokopi invoice, list of invoices, atau fotokopi tax invoice. 5. Dalam hal dokumen Underlying Transaksi atas kegiatan perdagangan dan investasi berupa list of invoices, Bank harus memastikan ketersediaan invoices yang terdapat dalam list of invoices. 6. Dalam hal Underlying Transaksi adalah kegiatan perdagangan barang dan jasa di dalam dan di luar negeri berupa perkiraan maka dokumen Underlying Transaksi antara lain berupa proyeksi arus kas yang dikeluarkan oleh Pihak Asing untuk tujuan pembayaran biaya operasional dari representative office Badan Hukum Asing. 7. Rincian dokumen Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud pada angka 4, angka 5, dan angka 6 tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini. 8. Dalam hal Underlying Transaksi adalah kegiatan investasi berupa foreign direct investment, portfolio investment, pinjaman, modal, dan investasi lainnya di dalam dan di luar negeri yang bersifat final, dokumen Underlying Transaksi antara lain berupa bukti konfirmasi penjualan dan pembelian Surat Berharga, bukti perjanjian kredit, atau bukti pendukung keikutsertaan Pihak Asing dalam tender dan penyediaan jaminan/bank garansi dalam mata uang Rupiah. 9. Dalam hal Underlying Transaksi adalah kegiatan investasi di dalam dan di luar negeri yang berupa perkiraan maka dokumen Underlying Transaksi antara lain Memorandum of Understanding dan/atau Agreement untuk pembelian dan penjualan aset di dalam negeri dalam rangka merger dan/atau akuisisi sesuai dengan ketentuan yang berlaku, dan dokumen estimasi mengenai dividen yang akan diterima. 10. Dokumen Underlying Transaksi atas kepemilikan dana valuta asing di dalam negeri dan di luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal … 39 Pasal 4 ayat (6) PBI antara lain berupa buku tabungan, giro (rekening koran), bilyet deposito, dan bukti kepemilikan sertifikat deposito (negotiable certificate of deposit). 11. Rincian dokumen Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud pada angka 8, angka 9, dan angka 10 tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini. 12. Dokumen tagihan dalam valuta asing dari transaksi yang dikecualikan dari kewajiban penggunaan Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) PBI dapat dijadikan sebagai dokumen Underlying Transaksi dengan melampirkan fotokopi persetujuan pengecualian kewajiban penggunaan Rupiah dari Bank Indonesia. 13. Untuk transaksi pembelian valuta asing terhadap Rupiah melalui Transaksi Spot dengan nilai nominal di atas USD25,000.00 (dua puluh lima ribu dolar Amerika Serikat), dokumen yang disampaikan Pihak Asing kepada Bank berupa: a. Dokumen Underlying Transaksi yang dapat dipertanggungjawabkan, baik yang bersifat final maupun berupa perkiraan; dan b. dokumen pendukung berupa pernyataan tertulis yang authenticated dari Pihak Asing yang memuat informasi mengenai: 1) keaslian dan kebenaran dokumen Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud pada huruf a; 2) penggunaan dokumen Underlying Transaksi hanya untuk Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah paling banyak sebesar nominal Underlying Transaksi dalam sistem perbankan di Indonesia; dan 3) jumlah kebutuhan, tujuan penggunaan, dan tanggal penggunaan valuta asing, dalam hal dokumen Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud pada huruf a berupa perkiraan. Contoh pernyataan tertulis yang authenticated untuk pembelian valuta asing terhadap Rupiah melalui Transaksi Spot di atas USD25,000.00 (dua puluh lima ribu dolar Amerika Serikat) … 40 Serikat) adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini. 14. Untuk pembelian valuta asing melalui Transaksi Spot paling banyak sebesar USD25,000.00 (dua puluh lima ribu dolar Amerika Serikat), pernyataan tertulis yang authenticated dari Pihak Asing memuat informasi bahwa pembelian valuta asing terhadap Rupiah tidak melebihi USD25,000.00 (dua puluh lima ribu dolar Amerika Serikat) per bulan per Pihak Asing dalam sistem perbankan di Indonesia. Contoh pernyataan tertulis yang authenticated untuk pembelian valuta asing terhadap Rupiah melalui Transaksi Spot paling banyak sebesar USD25,000.00 (dua puluh lima ribu dolar Amerika Serikat) adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran V yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini. 15. Untuk Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah yang standar (plain vanilla) dengan nilai nominal di atas USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat) dan transaksi structured product valuta asing terhadap Rupiah berupa Call Spread Option maka dokumen yang disampaikan Pihak Asing kepada Bank berupa: a. Dokumen Underlying Transaksi yang dapat dipertanggungjawabkan, baik yang bersifat final maupun yang berupa perkiraan; dan b. dokumen pendukung berupa pernyataan tertulis yang authenticated dari Pihak Asing yang memuat informasi mengenai: 1) keaslian dan kebenaran dokumen Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud pada huruf a; 2) penggunaan dokumen Underlying Transaksi hanya untuk Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah paling banyak sebesar nominal Underlying Transaksi dalam sistem perbankan di Indonesia; 3) jumlah kebutuhan, tujuan penggunaan, dan tanggal penggunaan valuta asing, dalam hal dokumen Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud pada huruf a berupa perkiraan pembelian valuta asing terhadap Rupiah; dan 4) sumber … 41 4) sumber, jumlah, dan waktu penerimaan valuta asing, dalam hal dokumen Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud pada huruf a berupa perkiraan penjualan valuta asing terhadap Rupiah. Contoh pernyataan tertulis yang authenticated untuk Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah yang standar (plain vanilla) dengan nilai nominal di atas USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat) dan transaksi structured product valuta asing terhadap Rupiah berupa Call Spread Option adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran VI dan Lampiran VII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini. 16. Untuk Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah paling banyak sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat) yang diselesaikan secara netting maka dokumen pendukung mengacu pada dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada angka 15. Contoh dokumen pendukung berupa pernyataan tertulis yang authenticated untuk Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah paling banyak sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat) yang diselesaikan secara netting adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran VIII dan Lampiran IX yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini. 17. Pernyataan tertulis yang authenticated sebagaimana dimaksud pada angka 13, angka 14, angka 15, dan angka 16 dapat berupa surat elektronik resmi (official email), SWIFT message, negative confirmation, atau sistem business internet banking. 18. Untuk Transaksi Spot di atas USD25,000.00 (dua puluh lima ribu dolar Amerika Serikat), dokumen Underlying Transaksi dan dokumen pendukung dilampirkan untuk setiap transaksi pada tanggal transaksi. Apabila dokumen Underlying Transaksi dan dokumen pendukung tidak dapat diterima pada tanggal transaksi maka dokumen Underlying Transaksi dan dokumen pendukung wajib diterima oleh Bank paling lambat pada tanggal valuta. 19. Dalam … 42 19. Dalam hal Pihak Asing melakukan pembelian valuta asing terhadap Rupiah melalui Transaksi Spot paling banyak sebesar USD25,000.00 (dua puluh lima ribu dolar Amerika Serikat) secara berangsur (bertahap) mencapai nilai di atas USD25,000.00 (dua puluh lima ribu dolar Amerika Serikat) atau ekuivalennya dalam 1 (satu) bulan yang sama maka dokumen Underlying Transaksi dilampirkan untuk pembelian valuta asing terhadap Rupiah yang melebihi USD25,000.00 (dua puluh lima ribu dolar Amerika Serikat) atau ekuivalennya. Contoh: Pada tanggal 10 November 20xx, Pihak Asing melakukan pembelian valuta asing terhadap Rupiah sebesar USD10,000.00 (sepuluh ribu dolar Amerika Serikat). Kemudian pada tanggal 14 November 20xx, Pihak Asing yang sama melakukan pembelian valuta asing terhadap Rupiah sebesar USD15,000.00 (lima belas ribu dolar Amerika Serikat). Selanjutnya pada tanggal 19 November 20xx, Pihak Asing kembali melakukan pembelian valuta asing terhadap Rupiah sebesar USD60,000.00 (enam puluh ribu dolar Amerika Serikat) maka transaksi pembelian yang dilakukan pada tanggal 19 November 20xx tersebut telah melampaui USD25,000.00 (dua puluh lima ribu dolar Amerika Serikat). Dengan demikian untuk pembelian yang dilakukan pada tanggal 19 November 20xx tersebut, Pihak Asing menyediakan dokumen Underlying Transaksi sebesar USD60,000.00 (enam puluh ribu dolar Amerika Serikat). 20. Untuk Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah yang standar (plain vanilla) di atas USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat) dan transaksi structured product valuta asing terhadap Rupiah berupa Call Spread Option, dokumen Underlying Transaksi dan dokumen pendukung dilampirkan pada tanggal transaksi. Dalam hal dokumen Underlying Transaksi dan/atau dokumen pendukung tidak dapat diterima pada tanggal transaksi maka dokumen Underlying Transaksi dan/atau dokumen pendukung wajib diterima oleh Bank paling lambat pada 5 (lima) hari kerja setelah tanggal transaksi. Contoh: … 43 Contoh: Pihak Asing akan melakukan investasi penyertaan langsung dan akan melakukan transaksi forward jual USD/IDR dengan Bank sebesar USD30,000,000.00 (tiga puluh juta dolar Amerika Serikat) pada tanggal 18 November 20xx dengan tenor 3 (tiga) bulan. Pada saat transaksi forward dilakukan, Bank wajib memastikan bahwa Pihak Asing menyampaikan dokumen Underlying Transaksi dan dokumen pendukung paling lambat pada tanggal 25 November 20xx, baik Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah akan diselesaikan secara netting maupun diselesaikan dengan pemindahan dana pokok secara penuh (full movement of fund). 21. Dalam hal Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah memiliki Underlying Transaksi dengan jatuh waktu kurang dari 5 (lima) hari kerja setelah tanggal transaksi, dokumen Underlying Transaksi dan/atau dokumen pendukung Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah wajib diterima oleh Bank paling lambat pada tanggal jatuh waktu. Contoh: C Ltd. melakukan transaksi forward beli USD/IDR sebesar USD80,000.00 (delapan puluh ribu dolar Amerika Serikat) pada tanggal 12 Desember 2016 dengan tenor 2 (dua) bulan (jatuh waktu tanggal 12 Februari 2017) dan tidak wajib menyampaikan dokumen Underlying Transaksi. Pada tanggal 9 Februari 2017, C Ltd. bermaksud untuk melakukan unwind transaksi dan diselesaikan secara netting melalui transaksi forward jual 3 (tiga) hari (jatuh waktunya sama dengan jatuh waktu forward awal). C Ltd. wajib menyampaikan dokumen Underlying Transaksi dan dokumen pendukung paling lambat tanggal jatuh waktu transaksi forward, yaitu tanggal 12 Februari 2017. Dalam hal sampai dengan tanggal 12 Februari 2017 C Ltd. tidak dapat menyampaikan dokumen Underlying Transaksi dan dokumen pendukung maka penyelesaian transaksi forward beli dan forward jual dilakukan dengan pemindahan dana pokok secara penuh (full movement of fund). 22. Penyampaian dokumen Underlying Transaksi dan dokumen pendukung Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah paling banyak sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat) … 44 Serikat) yang akan diselesaikan secara netting, wajib diterima oleh Bank paling lambat pada: a. tanggal valuta, dalam hal perpanjangan transaksi (roll over), percepatan penyelesaian transaksi (early termination), dan pengakhiran transaksi (unwind) dilakukan melalui Transaksi Spot; b. 5 (lima) hari kerja setelah tanggal transaksi, dalam hal perpanjangan transaksi (roll over), percepatan penyelesaian transaksi (early termination), dan pengakhiran transaksi (unwind) dilakukan melalui Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah; atau c. tanggal jatuh waktu, dalam hal perpanjangan transaksi (roll over), percepatan penyelesaian transaksi (early termination), dan pengakhiran transaksi (unwind) dilakukan melalui Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah yang memiliki jatuh waktu kurang dari 5 (lima) hari kerja setelah tanggal transaksi. Contoh: Pihak Asing melakukan transaksi forward beli USD/IDR sebesar USD800,000.00 (delapan ratus ribu dolar Amerika Serikat) pada tanggal 19 November 2016 dengan tenor 1 (satu) bulan (jatuh waktu tanggal 19 Desember 2016) dan tidak wajib menyampaikan dokumen Underlying Transaksi. Pada tanggal 16 Desember 2016, Pihak Asing bermaksud untuk melakukan unwind transaksi dan diselesaikan secara netting melalui transaksi forward jual 3 (tiga) hari (jatuh waktunya sama dengan jatuh waktu forward awal yaitu tanggal 19 Desember 2016). Bank wajib memastikan Pihak Asing untuk menyampaikan dokumen Underlying Transaksi atas forward beli USD/IDR sebesar USD800,000.00 (delapan ratus ribu dolar Amerika Serikat) dan dokumen pendukung paling lambat pada tanggal jatuh waktu transaksi forward yaitu 19 Desember 2016. Dalam hal Bank tidak menerima dokumen Underlying Transaksi dan dokumen pendukung dari Pihak Asing, penyelesaian transaksi forward beli dan forward jual dilakukan … 45 dilakukan dengan pemindahan dana pokok secara penuh (full movement of fund). 23. Bank dapat menerima dokumen pendukung secara berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 PBI untuk Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah oleh Pihak Asing apabila: a. dokumen Underlying Transaksi bersifat final; dan b. Bank telah mengetahui track record Pihak Asing dengan baik antara lain dari Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah yang dilakukan Pihak Asing secara reguler dari waktu ke waktu. Bank yang melakukan fungsi kustodian dapat menerima dokumen pendukung dari Pihak Asing paling kurang 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun kalender. Contoh: Pihak Asing ABC Ltd. melakukan penjualan valuta asing terhadap Rupiah kepada Bank X yang merupakan bank kustodian pada tanggal 13 November 2016 sebesar USD1,200,000.00 (satu juta dua ratus ribu dolar Amerika Serikat). Atas transaksi ini Bank X wajib memastikan ABC Ltd. menyampaikan dokumen Underlying Transaksi dan dokumen pendukung pernyataan tertulis yang authenticated. Pada tanggal 19 Desember 2016 ABC Ltd. melakukan penjualan valuta asing terhadap Rupiah kepada Bank X sebesar USD1,500,000.00 (satu juta lima ratus ribu dolar Amerika Serikat). Atas penjualan ini, Bank X wajib memastikan ABC Ltd. menyampaikan dokumen Underlying Transaksi. Pada tanggal 20 Januari 2017, ABC Ltd. kembali melakukan penjualan valuta asing terhadap Rupiah kepada Bank X sebesar USD1,300,000.00 (satu juta tiga ratus ribu dolar Amerika Serikat). Atas penjualan ini Bank X wajib memastikan ABC Ltd. menyampaikan dokumen Underlying Transaksi dan dokumen pendukung berupa pernyataan tertulis yang authenticated. 24. Bank yang tidak melakukan fungsi kustodian dapat menerima dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam angka 13 huruf b dan angka 15 huruf b dari Pihak Asing paling kurang 1 (satu) kali dalam 1 (satu) bulan kalender apabila: a. dokumen Underlying Transaksi bersifat final; dan b. Bank … 46 b. Bank telah mengetahui track record Pihak Asing dengan baik antara lain dari Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah yang dilakukan Pihak Asing secara reguler dari waktu ke waktu. 25. Pihak Asing yang melakukan pembelian valuta asing terhadap Rupiah melalui Transaksi Spot paling banyak sebesar USD25,000.00 (dua puluh lima ribu dolar Amerika Serikat) per bulan, dokumen pendukung disampaikan paling kurang 1 (satu) kali dalam 1 (satu) bulan kalender. Contoh: Pihak Asing C melakukan pembelian valuta asing terhadap Rupiah melalui Transaksi Spot kepada Bank Y pada tanggal 19 November 20xx sebesar USD10,000.00 (sepuluh ribu dolar Amerika Serikat). Atas pembelian ini Bank Y wajib memastikan Pihak Asing C menyampaikan dokumen berupa pernyataan tertulis yang authenticated. Pada tanggal 26 November 20xx Pihak Asing C melakukan pembelian valuta asing terhadap Rupiah melalui Transaksi Spot kepada Bank Y sebesar USD5,000.00 (lima ribu dolar Amerika Serikat). Atas pembelian ini, Pihak Asing C tidak wajib menyampaikan dokumen berupa pernyataan tertulis yang authenticated. Pada tanggal 16 Desember 20xx Pihak Asing C melakukan pembelian valuta asing terhadap Rupiah melalui Transaksi Spot kepada Bank Y sebesar USD20,000.00 (dua puluh ribu dolar Amerika Serikat). Atas pembelian ini, Bank Y wajib memastikan Pihak Asing C menyampaikan dokumen berupa pernyataan tertulis yang authenticated. 26. Penyampaian dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada angka 23, angka 24, dan angka 25 dilakukan pada transaksi pertama. 27. Dalam hal terdapat jenis dokumen selain sebagaimana tercantum dalam Lampiran II dan Lampiran III, Bank dapat: a. mengajukan terlebih dahulu jenis dokumen tersebut kepada Indonesia Foreign Exchange Market Committee (IFEMC) untuk dikonsultasikan kepada Bank Indonesia; atau b. mengajukan secara tertulis kepada Bank Indonesia cq. Departemen Pengembangan Pasar Keuangan. IX. PELAPORAN … 47 IX. PELAPORAN 1. Bank menyampaikan laporan Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah termasuk transaksi structured product valuta asing terhadap Rupiah berupa Call Spread Option melalui sistem pelaporan Bank Indonesia, yaitu Laporan Harian Bank Umum (LHBU). 2. Mekanisme pelaporan Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah mengacu kepada ketentuan yang mengatur mengenai Laporan Harian Bank Umum (LHBU). X. TATA CARA PENGENAAN SANKSI 1. Dalam hal Bank dikenakan sanksi berupa teguran tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 dan Pasal 29 ayat (1) PBI maka surat teguran tertulis tersebut disampaikan oleh Bank Indonesia kepada Bank yang bersangkutan, dengan tembusan kepada Otoritas Jasa Keuangan. 2. Dalam mengenakan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) PBI berlaku ketentuan sebagai berikut: a. Besarnya kewajiban membayar adalah 1% (satu persen) dari nilai nominal transaksi yang dilanggar untuk setiap pelanggaran dengan jumlah sanksi paling sedikit sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Contoh: Pada tanggal 5 September 20xx, Pihak Asing melakukan pembelian valuta asing terhadap Rupiah melalui Transaksi Spot sebesar USD60,000.00 (enam puluh ribu dolar Amerika Serikat) di Bank A. Atas pembelian valuta asing terhadap Rupiah tanggal 5 September 20xx, Bank A tidak meminta Pihak Asing untuk memberikan dokumen Underlying Transaksi, dan dengan demikian terdapat pelanggaran yang melebihi threshold sebesar USD35,000.00 (tiga puluh lima ribu dolar Amerika Serikat). Atas pelanggaran tersebut, Bank A dikenakan sanksi berupa teguran tertulis dan kewajiban membayar … 48 membayar yang dihitung dari nilai nominal USD35,000.00 x 1%, yaitu USD350.00 (jika kurs JISDOR pada tanggal 15 September 20XX adalah sebesar USD/IDR 10.000,00 maka ekuivalen perhitungan sanksi adalah Rp3.500.000,00) tetapi minimal sanksi yang harus dibayar adalah sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). b. Pengenaan sanksi kewajiban membayar dilakukan oleh Bank Indonesia dengan cara mendebet rekening giro Rupiah Bank yang bersangkutan di Bank Indonesia. XI. PENUTUP 1. Pada saat Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku: a. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 16/15/DPM tanggal 17 September 2014 perihal Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak Asing; b. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/16/DPM tanggal 12 Juni 2015 perihal Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 16/15/DPM tanggal 17 September 2014 perihal Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak Asing; c. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/21/DPM tanggal 28 Agustus 2015 perihal Perubahan Kedua atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 16/15/DPM tanggal 17 September 2014 perihal Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak Asing; dan d. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/50/DPM tanggal 21 Desember 2015 perihal Perubahan Ketiga atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 16/15/DPM tanggal 17 September 2014 perihal Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak Asing, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. 2. Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 13 Desember 2016. Agar … 49 Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA, NANANG HENDARSAH KEPALA DEPARTEMEN PENGEMBANGAN PASAR KEUANGAN "," SE-BI 18/35/DPPK|SE-BI/2016 Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak Asing 13 Desember 2016 13 Desember 2016 '17/50/DPM|SE-BI/2015', '17/21/DPM|SE-BI/2015', '16/15/DPM|SE-BI/2014', '17/16/DPM|SE-BI/2015' '18/19/PBI/2016' 'Romawi X' " " 1 No. 17/35/DPSP Jakarta, 13 November 2015 S U R A T E D A R A N Kepada SEMUA PESERTA SISTEM BANK INDONESIA-REAL TIME GROSS SETTLEMENT DAN SISTEM KLIRING NASIONAL BANK INDONESIA Perihal : Batas Nilai Nominal Transfer Dana Melalui Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement dan Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia Sehubungan dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/9/PBI/2015 tentang Penyelenggaraan Transfer Dana dan Kliring Berjadwal Oleh Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 122, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5704) dan Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/18/PBI/2015 tentang Penyelenggaraan Transaksi, Penatausahaan Surat Berharga, dan Setelmen Dana Seketika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 273, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5762) serta dalam rangka menjaga kelancaran kegiatan operasional Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement dalam masa awal implementasi penyempurnaan Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement, perlu diatur ketentuan pelaksanaan mengenai batas nilai nominal transfer dana melalui Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement dan Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia dalam Surat Edaran Bank Indonesia sebagai berikut: I. KETENTUAN UMUM Dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri dan Bank... 2 Bank Umum Syariah termasuk Unit Usaha Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah. 2. Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement yang selanjutnya disebut Sistem BI-RTGS adalah infrastruktur yang digunakan sebagai sarana transfer dana elektronik yang setelmennya dilakukan seketika per transaksi secara individual. 3. Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia yang selanjutnya disingkat SKNBI adalah infrastruktur yang digunakan oleh Bank Indonesia dalam Penyelenggaraan Transfer Dana dan Kliring Berjadwal untuk memproses Data Keuangan Elektronik pada Layanan Transfer Dana, Layanan Kliring Warkat Debit, Layanan Pembayaran Reguler, dan Layanan Penagihan Reguler. 4. Penyelenggara adalah Bank Indonesia sebagai penyelenggara Sistem BI-RTGS dan penyelenggara SKNBI. 5. Peserta Sistem BI-RTGS adalah pihak yang telah memenuhi persyaratan dan telah memperoleh persetujuan dari Penyelenggara sebagai peserta dalam penyelenggaraan Sistem BI- RTGS. 6. Peserta SKNBI adalah pihak yang telah memenuhi persyaratan dan telah memperoleh persetujuan dari Penyelenggara sebagai peserta dalam penyelenggaraan SKNBI. 7. Setelmen Dana adalah proses penyelesaian akhir transaksi keuangan melalui pendebitan dan pengkreditan Rekening Setelmen Dana, Rekening Surat Berharga, dan/atau rekening lainnya di Bank Indonesia. II. BATAS NILAI NOMINAL TRANSFER DANA MELALUI SISTEM BI-RTGS A. Penyelenggara menetapkan batas nilai nominal transfer dana antar Bank Peserta Sistem BI-RTGS untuk kepentingan nasabah. B. Batas nilai nominal transfer dana sebagaimana dimaksud dalam huruf A berlaku untuk transaksi single credit dan transaksi multiple credit. C. Batas... 3 C. Batas nilai nominal transfer dana sebagaimana dimaksud dalam huruf B diatur sebagai berikut: 1. Terhitung sejak tanggal 16 November 2015 sampai dengan tanggal 30 Juni 2016, batas nilai nominal transfer dana adalah di atas Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) per instruksi Setelmen Dana. 2. Terhitung sejak tanggal 1 Juli 2016, batas nilai nominal transfer dana adalah di atas Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) per instruksi Setelmen Dana. III. BATAS NILAI NOMINAL TRANSFER DANA MELALUI SKNBI A. Penyelenggara menetapkan batas nilai nominal transfer dana antar Peserta SKNBI yang dapat diperhitungkan dalam layanan transfer dana. B. Batas nilai nominal transfer dana sebagaimana dimaksud dalam huruf A diatur sebagai berikut: 1. Terhitung sejak tanggal 16 November 2015 sampai dengan tanggal 30 Juni 2016, nilai nominal transfer dana tidak dibatasi. 2. Terhitung sejak tanggal 1 Juli 2016, nilai nominal transfer dana dibatasi paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) per transaksi. IV. PENGUMUMAN A. Seluruh Peserta Sistem BI-RTGS dan Peserta SKNBI harus mengumumkan batas nilai nominal transfer dana melalui Sistem BI-RTGS dan SKNBI kepada nasabah. B. Pengumuman sebagaimana dimaksud dalam huruf A harus diletakkan di setiap kantor Peserta Sistem BI-RTGS dan Peserta SKNBI pada tempat yang mudah dilihat oleh nasabah. V. KETENTUAN PENUTUP Pada saat Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku maka: A. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 7/47/DASP tanggal 13 Oktober 2005 perihal Batasan Nilai Nominal Per Transaksi Antar Bank... 4 Bank untuk Kepentingan Nasabah melalui Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement Sehubungan dengan Hari Libur Nasional Tertentu; dan B. ketentuan mengenai batas nilai nominal transfer dana yang dapat diperhitungkan dalam layanan transfer dana melalui SKNBI sebagaimana dimaksud dalam butir VI.A.5 Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/13/DPSP tanggal 5 Juni 2015 perihal Penyelenggaraan Transfer Dana dan Kliring Berjadwal Oleh Bank Indonesia, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 16 November 2015 Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA, BRAMUDIJA HADINOTO KEPALA DEPARTEMEN PENYELENGGARAAN SISTEM PEMBAYARAN "," SE-BI 17/35/DPSP|SE-BI/2015 Batas Nilai Nominal Transfer Dana Melalui Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement dan Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia 13 November 2015 16 November 2015 '17/13/DPSP|SE-BI/2015 | butir VI.A.5', '7/47/DASP|SE-BI/2005' '17/9/PBI/2015', '17/18/PBI/2015' " " No. 14/ 5 /DSM Jakarta, 27 Januari 2012 S U R A T E D A R A N Kepada SEMUA BANK UMUM DI INDONESIA Perihal : Perubahan Kedua atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/2/DSM tanggal 22 Januari 2009 perihal Laporan Bulanan Bank Umum Sehubungan dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/40/PBI/2008 tentang Laporan Bulanan Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 205, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4950) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 12/2/PBI/2010 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 40, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5113) dan dalam rangka menyelaraskan ketentuan Bank Indonesia dengan standar akuntansi keuangan yang berlaku di Indonesia, perlu dilakukan perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/2/DSM tanggal 22 Januari 2009 sebagaimana telah diubah dengan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 12/7/DSM tanggal 10 Maret 2010 sebagai berikut: 1. Ketentuan ... 1. Ketentuan dalam angka II mengenai format Laporan dan tata cara pelaporan dalam Pedoman Penyusunan Laporan Bulanan Bank Umum (LBU) 2008 diubah sehingga Pedoman Penyusunan Laporan Bulanan Bank Umum (LBU) 2008 menjadi sebagaimana terlampir yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini. 2. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka 1 mulai berlaku sejak pelaporan data bulan Januari 2012 yang disampaikan pada bulan Februari 2012. Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 27 Januari 2012 Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran Bank Indonesia dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA, HARTADI A. SARWONO DEPUTI GUBERNUR "," SE-BI 14/5/DSM|SE-BI/2012 Perubahan Kedua atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/2/DSM tanggal 22 Januari 2009 perihal Laporan Bulanan Bank Umum 27 Januari 2012 27 Januari 2012 '11/2/DSM|SE-BI/2009' '12/7/DSM|SE-BI/2010' '10/40/PBI/2008', '12/2/PBI/2010', '12/7/DSM|SE-BI/2010', '11/2/DSM|SE-BI/2009' " " No. 7/16/DPM Jakarta, 31 Mei 2005 SURAT EDARAN Perihal : Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 7/7/DPM tanggal 29 Maret 2005 perihal Laporan Harian Bank Umum --------------------------------------------------------------------------------- Sehubungan dengan diperlukannya perpanjangan masa peralihan yang lebih memadai dari sistem Pusat Informasi Pasar Uang ke sistem Laporan Harian Bank Umum maka Surat Edaran Nomor 7/7/DPM tanggal 29 Maret 2005 tentang Laporan Harian Bank Umum, yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/10/PBI/2005 tentang Laporan Harian Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 25, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4483) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/12/PBI/2005 tanggal 31 Mei 2005 (Lembaran Negara Tahun 2005 Nomor 45, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4499), perlu dilakukan perubahan sebagai berikut: 1. Ketentuan butir V.E.1 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Penyampaian dan atau koreksi LHBU oleh Bank Pelapor dilakukan setiap Hari Kerja. 2. Ketentuan angka VI.4 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: 4. Untuk penambahan setiap user id, Bank Pelapor dikenakan biaya yang terdiri dari biaya lisensi sistem LHBU dan biaya pemeliharaan sistem LHBU yang masing-masing besarnya ditetapkan dalam surat edaran Bank Indonesia yang mengatur mengenai biaya LHBU dan biaya PIPU. 3. Ketentuan angka VI ditambah 1 angka, yakni angka 5 yang berbunyi sebagai berikut: 5. Dalam hal Bank Pelapor menambah fasilitas user id sebagaimana dimaksud pada angka 3, Bank Pelapor mengajukan permohonan secara tertulis kepada Bank Indonesia cq. Satuan kerja yang membidangi Manajemen Informasi, Jl. M.H. Thamrin No.2, Jakarta, 10110. 4. Lampiran ... 2 4. Lampiran 4 sebagaimana dimaksud pada butir VII.1.d diubah sehingga menjadi sebagaimana contoh terlampir. 5. Ketentuan angka VII.3 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: 3. a. Dalam rangka perolehan informasi hasil olahan LHBU sebagaimana dimaksud pada angka 2, Pelanggan PIPU dikenakan biaya PIPU yang dituangkan dalam Perjanjian Penggunaan PIPU. b. Biaya PIPU sebagaimana dimaksud pada huruf a terdiri dari biaya lisensi sistem LHBU, biaya pemeliharaan sistem LHBU dan biaya perolehan informasi hasil olahan LHBU yang masing-masing besarnya ditetapkan dalam surat edaran Bank Indonesia yang mengatur mengenai biaya LHBU dan biaya PIPU. 6. Ketentuan angka X diubah sehingga berbunyi sebagai berikut : Dengan diberlakukannya Surat Edaran ini maka sejak tanggal 26 Agustus 2005 Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 5/28/DPM tanggal 17 November 2003 perihal Tata Cara Penyelenggaraan Pusat Informasi Pasar Uang, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Ketentuan dalam Surat Edaran ini mulai berlaku pada tanggal 31 Mei 2005. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar maklum. BANK INDONESIA, BUDI MULYA DIREKTUR PENGELOLAAN MONETER "," SE-BI 7/16/DPM|SE-BI/2005 Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 7/7/DPM tanggal 29 Maret 2005 perihal Laporan Harian Bank Umum 31 Mei 2005 31 Mei 2005 '7/7/DPM|SE-BI/2005' '5/28/DPM|SE-BI/2003' '7/12/PBI/2005', '7/7/DPM|SE-BI/2005', '7/10/PBI/2005' " " No. 11/ 5 /DPNP Jakarta, 28 Januari 2009 SURAT EDARAN Kepada SEMUA BANK UMUM DI INDONESIA Perihal : Bank Umum Dengan telah diterbitkannya Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/1/PBI/2009 tentang Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4976) dan mempertimbangkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4292), maka perlu untuk mengatur lebih lanjut ketentuan pelaksanaan mengenai Bank Umum dalam Surat Edaran yang mencakup hal-hal sebagai berikut : I. UMUM 1. Kondisi persaingan yang semakin tajam memaksa perbankan nasional aktif dalam menciptakan peluang-peluang yang dapat meningkatkan pelayanan kepada nasabah antara lain melalui perluasan produk/jasa, pasar dan jaringan. 2. Sebagai … 2. Sebagai regulator, Bank Indonesia berkepentingan untuk melindungi nasabah dan memelihara kelangsungan usaha Bank. Sehubungan dengan hal tersebut Bank diwajibkan untuk menyampaikan permohonan izin atau laporan kepada Bank Indonesia sebelum dan/atau setelah Bank melakukan perluasan produk/jasa, pasar dan jaringan. 3. Pengajuan permohonan izin atau rencana dan/atau penyampaian laporan oleh Bank kepada Bank Indonesia tersebut di atas dilakukan dengan menggunakan format pada lampiran, yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Surat Edaran ini. II. MANAJEMEN RISIKO Perluasan jaringan kantor Bank selain memberikan peluang dalam memperluas pelayanan Bank kepada nasabah juga berpotensi menimbulkan risiko yang dapat merugikan Bank maupun nasabah. Dalam melakukan perluasan jaringan kantor, Bank harus melakukan pengkajian terhadap risiko yang mungkin timbul dari pembukaan jaringan kantor tersebut. Untuk itu Bank harus memperhatikan kondisi keuangan Bank, tingkat kejenuhan jumlah kantor Bank, tingkat persaingan Bank yang sehat, tingkat pemerataan pembangunan ekonomi nasional, dan pelayanan terhadap nasabah. III. PEJABAT EKSEKUTIF Pengangkatan, pemberhentian atau penggantian Pejabat Eksekutif wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia. Apabila … Apabila berdasarkan penelitian dan penilaian Bank Indonesia, Pejabat Eksekutif dimaksud memiliki rekam jejak negatif, maka Bank wajib segera membatalkan pengangkatan dan mengganti pejabat yang bersangkutan. Dalam rangka penelitian dan penilaian dimaksud, apabila dipandang perlu Bank Indonesia dapat melakukan wawancara untuk klarifikasi dan konfirmasi guna memastikan kelayakan yang bersangkutan. IV. KANTOR WILAYAH DAN KANTOR FUNGSIONAL YANG MELAKUKAN KEGIATAN OPERASIONAL Kegiatan operasional adalah kegiatan penghimpunan dan/atau penyaluran dana dengan melakukan satu atau lebih kegiatan di bawah ini: a. penerimaan nasabah; b. penerimaan/pengeluaran kas; c. pemrosesan permohonan penyaluran/penghimpunan dana; atau d. memberikan keputusan atas permohonan penyaluran/penghimpunan dana. V. KEGIATAN PAMERAN Kegiatan pameran yang dilakukan dalam rangka promosi, tidak bersifat permanen, dan hanya menerima setoran awal/titipan kas sesuai persyaratan setoran minimal pembukaan rekening tidak termasuk dalam Kegiatan Pelayanan Kas sehingga tidak perlu dilaporkan kepada Bank Indonesia. Dengan demikian, seandainya persyaratan setoran awal minimal dalam pembukaan rekening tabungan adalah sebesar Rp.500.000,00 (lima ratus ribu Rupiah), maka setoran awal yang boleh diterima Bank adalah sebesar Rp.500.000,00 (lima ratus ribu Rupiah). Apabila Bank menerima setoran awal … awal lebih dari Rp.500.000,00 (lima ratus ribu Rupiah) maka kegiatan tersebut tidak dapat digolongkan sebagai kegiatan pameran, tetapi sebagai Kegiatan Pelayanan Kas. Dalam hal kegiatan pameran dilaksanakan dalam jangka waktu lebih dari 30 (tiga puluh) hari maka kegiatan tersebut tidak dapat digolongkan sebagai kegiatan pameran, tetapi sebagai Kegiatan Pelayanan Kas. VI. PERUBAHAN NAMA BANK Perubahan nama Bank wajib dilakukan mengikuti ketentuan perundang- undangan yang berlaku, termasuk ketentuan yang dikeluarkan oleh instansi di luar Bank Indonesia antara lain Departemen Perindustrian dan Perdagangan, serta Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia. Dalam hal instansi terkait sebagaimana dimaksud di atas mengeluarkan dokumen persetujuan perubahan nama Bank, maka dokumen persetujuan dimaksud disampaikan kepada Bank Indonesia bersamaan dengan pengajuan permohonan perubahan nama Bank sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia tentang Bank Umum. VII. RENCANA PERUBAHAN JARINGAN KANTOR DALAM RENCANA BISNIS BANK 1. Bank yang akan melaksanakan pembukaan, perubahan status, pemindahan alamat, dan/atau penutupan jaringan kantor Bank yang meliputi Kantor Wilayah, Kantor Cabang, Kantor Cabang Pembantu, Kantor Fungsional, Kantor Kas dan/atau Kegiatan Pelayanan Kas wajib mencantumkan rencana dimaksud dalam Rencana Bisnis Bank pada bagian Rencana Perubahan Jaringan Kantor. 2. Rencana ... 2. Rencana alamat lokasi pembukaan, perubahan status, pemindahan alamat, dan/atau penutupan Kantor Wilayah, Kantor Cabang, Kantor Cabang Pembantu, Kantor Fungsional, Kantor Kas dan/atau Kegiatan Pelayanan Kas sebagaimana dimaksud pada angka 1 dilaporkan sebagai berikut: a) dalam hal rencana lokasi kantor berada di wilayah propinsi DKI Jakarta, paling kurang menyebutkan nama propinsi DKI Jakarta. b) dalam hal rencana lokasi kantor berada di luar wilayah propinsi DKI Jakarta maka paling kurang menyebutkan nama kabupaten/ kotamadya dimana lokasi kantor akan dibuka dan/atau dipindahkan. VIII. LAPORAN PELAKSANAAN PERUBAHAN JARINGAN KANTOR DALAM LAPORAN REALISASI RENCANA BISNIS BANK TRIWULANAN 1. Bank yang telah melaksanakan pembukaan, perubahan status, pemindahan alamat, dan/atau penutupan jaringan kantor Bank yang meliputi Kantor Wilayah, Kantor Cabang, Kantor Cabang Pembantu, Kantor Fungsional, Kantor Kas dan/atau Kegiatan Pelayanan Kas wajib mencantumkan pelaksanaan dimaksud dalam Laporan Realisasi Rencana Bisnis Bank triwulanan. 2. Informasi pelaksanaan perubahan jaringan kantor Bank dalam Laporan Realisasi Rencana Bisnis Bank triwulanan wajib menyebutkan alamat lengkap lokasi: a) pembukaan Kantor Kas dan/atau Kegiatan Pelayanan Kas; b) pemindahan … b) pemindahan Kantor Wilayah, Kantor Kas, Kegiatan Pelayanan Kas, dan/atau Kantor Fungsional yang tidak melakukan kegiatan operasional; dan/atau c) penutupan Kantor Wilayah, Kantor Kas, dan/atau Kegiatan Pelayanan Kas. IX. FORMAT SURAT PERMOHONAN IZIN ATAU RENCANA DAN LAPORAN 1. Pengajuan permohonan izin atau rencana dan/atau penyampaian laporan sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia tersebut wajib diajukan oleh Bank kepada Bank Indonesia dengan menggunakan format sebagaimana dalam Lampiran 1 sampai dengan Lampiran 31.a sesuai jenis peruntukannya dengan berpedoman kepada tata cara penyampaian surat dan tembusan sebagaimana diatur dalam Lampiran A. 2. Dalam hal format lampiran tidak diatur secara khusus dalam Surat Edaran ini, maka format penyampaian pengajuan permohonan atau rencana dan/atau penyampaian laporan diserahkan kepada masing- masing Bank. X. PENYAMPAIAN PERMOHONAN IZIN ATAU RENCANA DAN LAPORAN 1. Penyampaian permohonan izin yang diajukan kepada Gubernur Bank Indonesia/Pimpinan Bank Indonesia, Up. Direktorat Perizinan dan Informasi Perbankan (DPIP), dialamatkan ke Jl. M.H. Thamrin No.2 Jakarta 10350. 2. Penyampaian … 2. Penyampaian laporan pelaksanaan yang diajukan kepada Bank Indonesia, Up. Direktorat Pengawasan Bank (DPB), dialamatkan ke Jl. M.H. Thamrin No.2 Jakarta 10350, kecuali laporan pengangkatan, pemberhentian, penggantian, atau pengangkatan sementara Pejabat Eksekutif disampaikan kepada alamat sebagaimana angka 1. 3. Penyampaian permohonan izin dan laporan pelaksanaan yang diajukan kepada Pimpinan Bank Indonesia dan/atau Bank Indonesia, Up. Kantor Bank Indonesia, bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia dialamatkan dengan mengacu kepada pembagian wilayah kerja kantor Bank Indonesia pada Lampiran B. 4. Penyampaian rencana yang diajukan kepada Bank Indonesia Up. Direktorat Perizinan dan Informasi Perbankan (DPIP) dialamatkan ke Jl.M.H. Thamrin No.2 Jakarta 10350, bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia atau Kantor Bank Indonesia setempat bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia dengan mengacu kepada pembagian wilayah kerja kantor Bank Indonesia pada Lampiran B. 5. Penyampaian permohonan izin dan laporan lainnya selain sebagaimana dimaksud dalam angka IX.1, dialamatkan kepada Bank Indonesia Up. Direktorat Pengawasan Bank (DPB), Jl. M.H. Thamrin No.2 Jakarta 10350, bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia, atau Kantor Bank Indonesia setempat bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia dengan mengacu kepada pembagian wilayah kerja kantor Bank Indonesia pada Lampiran B. XI. PERALIHAN … XI. PERALIHAN KANTOR KAS Sebagaimana telah diatur dalam Pasal 1 angka 5 PBI tentang Bank Umum yang dimaksud dengan Kantor Kas adalah kantor Bank yang semata-mata melakukan kegiatan pelayanan kas dengan alamat tempat usaha yang jelas dimana Kantor Kas tersebut melakukan usahanya, termasuk memberikan pelayanan kepada nasabah baru. Bagi Kantor Kas yang melakukan kegiatan usaha tidak sesuai dengan pengertian tersebut, wajib menyesuaikan kegiatannya paling lambat akhir tahun 2009 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 PBI tentang Bank Umum. Penyesuaian tersebut dapat berupa memindahkan aktivitas yang tidak termasuk kegiatan Kantor Kas ke kantor lain atau meningkatkan status Kantor Kas tersebut menjadi sekurang- kurangnya Kantor Cabang Pembantu. XII. PENUTUP Dengan berlakunya Surat Edaran ini maka: 1. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 3/8/DPNP tanggal 16 Maret 2001 tentang Bank Umum; dan 2. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 3/17/DPNP tanggal 27 Juli 2001 tentang Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia No.3/8/DPNP tanggal 16 Maret 2001 tentang Bank Umum; dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Ketentuan dalam Surat Edaran ini mulai berlaku sejak tanggal 28 Januari 2009. Agar … Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA, HALIM ALAMSYAH DIREKTUR PENELITIAN DAN PENGATURAN PERBANKAN "," SE-BI 11/5/DPNP|SE-BI/2009 Bank Umum 28 Januari 2009 28 Januari 2009 '3/17/DPNP|SE-BI/2001', '3/8/DPNP|SE-BI/2001' '11/1/PBI/2009', '5/8/PBI/2003' " " No. 11/ 30 /DPNP Jakarta, 30 Oktober 2009 S U R A T E D A R A N Kepada SEMUA BANK UMUM DI INDONESIA Perihal : Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 10/19/DPNP tentang Lembaga Pemeringkat dan Peringkat yang Diakui Bank Indonesia Sehubungan dengan penyempurnaan daftar peringkat yang diterbitkan oleh Lembaga Pemeringkat yang diakui Bank Indonesia dan penutupan kegiatan operasional PT Moody’s Indonesia, maka dipandang perlu untuk mencabut dan mengganti Lampiran 1, Lampiran 2, dan Lampiran 3 dalam Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 10/19/DPNP tanggal 30 April 2008 tentang Lembaga Pemeringkat dan Peringkat yang Diakui Bank Indonesia dengan Lampiran 1, Lampiran 2, dan Lampiran 3 pada Surat Edaran ini. Ketentuan dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal 30 Oktober 2009. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA, HALIM ALAMSYAH DIREKTUR PENELITIAN DAN PENGATURAN PERBANKAN Lampiran Surat Edaran Bank Indonesia No. 11/30/DPNP tanggal 30 Oktober 2009 Lampiran 1 Lembaga Pemeringkat dan Peringkat yang Diakui Bank Indonesia Lembaga Pemeringkat Moody’s Peringkat Jangka Pendek Peringkat Jangka Menengah dan Jangka Panjang P-1; P-2; P-3; NP Aaa; Aa1; Aa2; Aa3; A1; A2; A3; Baa1; Baa2; Baa3; Ba1; Ba2; Ba3; B1; B2; B3; Caa1; Caa2; Caa3; Ca; C Standard and Poor’s A-1; A-2; A-3; B; B-1; B-2; B-3; C; D Fitch Ratings PT. Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) PT. Fitch Ratings Indonesia F1+; F1; F2; F3; B; C; D idA1; idA2; idA3; idA4; idB; idC; idSD; idD F1+(idn); F1(idn); F2(idn); F3(idn); B(idn); C(idn); D(idn) AAA; AA+; AA; AA-; A+; A; A-; BBB+; BBB; BBB-; BB+; BB; BB-; B+; B; B-; CCC+; CCC; CCC-; CC; C; D AAA; AA+; AA; AA-; A+; A; A-; BBB+; BBB; BBB-; BB+; BB; BB-; B+; B; B-; CCC; CC; C; RD; D idAAA; idAA+; idAA; idAA-; idA+; idA; idA-; idBBB+; idBBB; idBBB-; idBB+; idBB; idBB-; idB+; idB; idB-; idCCC; idSD; idD AAA(idn); AA+(idn); AA(idn); AA-(idn); A+(idn); A(idn); A-(idn); BBB+(idn); BBB(idn); BBB-(idn); BB+(idn); BB(idn); BB-(idn); B+(idn); B(idn); B-(idn); CCC(idn); CC(idn); C(idn); DDD(idn); DD(idn); D(idn); E Lampiran Surat Edaran Bank Indonesia No. 11/30/DPNP tanggal 30 Oktober 2009 Lampiran 2 Lembaga Pemeringkat dan Peringkat Investasi Minimum (Investment Grade) Dalam Rangka Menggolongkan Surat Berharga yang Dimiliki Bank dalam Kategori Kualifikasi (Qualifying) atau Dinilai Lancar Peringkat Investasi Minimum Lembaga Pemeringkat Moody’s Standard and Poor’s Fitch Ratings PT. Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) PT. Fitch Ratings Indonesia Surat Berharga Jangka Pendek P-3 A-3 F3 idA4 F3(idn) Surat Berharga Jangka Menengah dan Jangka Panjang Baa3 BBB- BBB- idBBB- BBB- (idn) Lampiran Surat Edaran Bank Indonesia No. 11/30/DPNP tanggal 30 Oktober 2009 Lampiran 3 Lembaga Pemeringkat dan Peringkat Minimum Dalam Rangka Menggolongkan Surat Berharga yang Dimiliki Bank yang Dinilai Kurang Lancar Peringkat Minimum Lembaga Pemeringkat Moody’s Standard and Poor’s Fitch Ratings PT. Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) PT. Fitch Ratings Indonesia Surat Berharga Jangka Pendek NP B B idB B (idn) Surat Berharga Jangka Menengah dan Jangka Panjang Ba1 BB+ BB+ idBB+ BB+ (idn) "," SE-BI 11/30/DPNP|SE-BI/2009 Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 10/19/DPNP tentang Lembaga Pemeringkat dan Peringkat yang Diakui Bank Indonesia 30 Oktober 2009 30 Oktober 2009 '10/19/DPNP|SE-BI/2008' '10/19/DPNP|SE-BI/2008' " " No. 16/ 17 /DSta Jakarta, 22 Oktober 2014 S U R A T E D A R A N Kepada SEMUA BANK Perihal : Perubahan Keempat atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 13/3/DPM tanggal 4 Februari 2011 perihal Laporan Harian Bank Umum Sehubungan dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/8/PBI/2011 tentang Laporan Harian Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 15, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5194) dan Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/1/PBI/2005 tentang Pinjaman Luar Negeri Bank (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4467) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/7/PBI/2014 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5523) maka perlu dilakukan perubahan keempat atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 13/3/DPM tanggal 4 Februari 2011 perihal Laporan Harian Bank Umum sebagai berikut: 1. Mengubah cakupan informasi yang harus disampaikan oleh Bank dalam Form 407 pada angka II Penjelasan Formulir dan Cakupan Informasi Yang Dilaporkan – Lampiran 1 Pedoman Penyusunan Laporan Harian Bank Umum, menjadi sebagaimana tercantum dalam Lampiran 1. 2. Menambahkan sandi jenis pengecualian Pinjaman Luar Negeri (PLN) yaitu sandi 70 sampai dengan 75 dalam Form 407 pada angka III Penjelasan Pengisian Field atau Kolom – Lampiran 1 Pedoman Penyusunan Laporan Harian Bank Umum, menjadi sebagaimana tercantum… 2 tercantum dalam Lampiran 1. 3. Menambahkan sandi yang divalidasi di kolom jenis PLN yaitu sandi 70 sampai dengan 75 dalam Form 407 pada Bab 2 Sistem Validasi – Lampiran 2 Petunjuk Teknis Aplikasi Laporan Harian Bank Umum, menjadi sebagaimana tercantum dalam Lampiran 2. 4. Menambahkan sandi jenis PLN yang dikecualikan yaitu sandi 70 sampai dengan 75 dalam Form 407 pada Bab 5 – Template dan Spesifikasi – Lampiran 2 Petunjuk Teknis Aplikasi Laporan Harian Bank Umum, menjadi sebagaimana tercantum dalam Lampiran 2. 5. Lampiran 1 sebagaimana dimaksud pada angka 1 dan angka 2 serta Lampiran 2 sebagaimana dimaksud pada angka 3 dan angka 4 merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini. Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 3 November 2014. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA, HENDY SULISTIOWATY KEPALA DEPARTEMEN STATISTIK "," SE-BI 16/17/DSta|SE-BI/2014 Perubahan Keempat atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 13/3/DPM tanggal 4 Februari 2011 perihal Laporan Harian Bank Umum 22 Oktober 2014 3 November 2014 '13/3/DPM|SE-BI/2011' '13/3/DPM|SE-BI/2011', '7/1/PBI/2005', '13/8/PBI/2011', '16/7/PBI/2014' " " No. 18/28/DPU Oktober 2016 Jakarta, 24 November 2016 S U R A T E D A R A N Perihal : Tata Cara Klarifikasi atas Uang Rupiah yang Diragukan Keasliannya Sehubungan dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/7/PBI/2012 tentang Pengelolaan Uang Rupiah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5323), perlu mengatur ketentuan mengenai klarifikasi atas Uang Rupiah yang diragukan keasliannya dalam Surat Edaran Bank Indonesia sebagai berikut: I. KETENTUAN UMUM A. Definisi Dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Uang Rupiah adalah Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai mata uang. 2. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan dan Bank Umum Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah. B. Pihak yang Meminta Klarifikasi atas Uang Rupiah yang Diragukan Keasliannya 1. Masyarakat dapat meminta klarifikasi kepada Bank Indonesia tentang Uang Rupiah yang diragukan keasliannya. 2. Masyarakat sebagaimana dimaksud dalam angka 1 meliputi: a. Bank . . . a. Bank atau pihak lain yang ditunjuk oleh Bank untuk melakukan pengolahan Uang Rupiah; dan b. pihak selain Bank. 3. Yang dimaksud dengan pihak selain Bank sebagaimana dimaksud dalam butir 2.b antara lain sebagai berikut: a. perseorangan; b. badan hukum; dan c. lembaga yang melakukan fungsi penyelidikan dan penyidikan. II. TATA CARA MEMPERLAKUKAN UANG RUPIAH YANG DIRAGUKAN KEASLIANNYA A. Bank atau Pihak Lain yang Ditunjuk oleh Bank untuk Melakukan Pengolahan Uang Rupiah 1. Bank yang menerima atau menemukan Uang Rupiah yang diragukan keasliannya harus melakukan hal sebagai berikut: a. dalam hal Uang Rupiah yang diragukan keasliannya diperoleh dari kegiatan layanan kas (front office), Bank harus: 1) menahan Uang Rupiah yang diragukan keasliannya yang diterima dari nasabah; 2) mencatat identitas lengkap nasabah yang menyerahkan, menyetorkan, atau menukarkan Uang Rupiah yang diragukan keasliannya, dan memberikan tanda terima atas Uang Rupiah yang diragukan keasliannya kepada nasabah; 3) menginformasikan kepada nasabah bahwa Uang Rupiah yang diragukan keasliannya tidak dikembalikan untuk keperluan klarifikasi kepada Bank Indonesia, dan akan diberikan penggantian sebesar nilai nominal apabila dinyatakan asli oleh Bank Indonesia; dan 4) menjaga kondisi fisik Uang Rupiah yang diragukan keasliannya dengan tidak merusak fisik Uang Rupiah yang diragukan keasliannya tersebut seperti merobek, memotong, dan mencoret-coret; b. dalam . . . b. dalam hal Uang Rupiah yang diragukan keasliannya diperoleh dari kegiatan pengolahan Uang Rupiah atau berasal dari pihak lain yang ditunjuk oleh Bank untuk melakukan kegiatan pengolahan Uang Rupiah (back office) sebagaimana dimaksud dalam angka 2 maka Bank harus menjaga kondisi fisik Uang Rupiah yang diragukan keasliannya dengan tidak merusak fisik Uang Rupiah yang diragukan keasliannya tersebut seperti merobek, memotong, dan mencoret-coret; dan c. selain langkah sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, Bank juga harus menjaga agar Uang Rupiah yang diragukan keasliannya tidak diedarkan kembali. 2. Pihak lain yang ditunjuk oleh Bank untuk melakukan pengolahan Uang Rupiah, yang menemukan Uang Rupiah yang diragukan keasliannya harus melakukan langkah sebagai berikut: a. menjaga agar Uang Rupiah yang diragukan keasliannya tidak disetorkan kepada Bank Indonesia; b. menjaga kondisi fisik Uang Rupiah yang diragukan keasliannya dengan tidak merusak fisik Uang Rupiah yang diragukan keasliannya tersebut seperti merobek, memotong, dan mencoret-coret; c. melaporkan kepada Bank mengenai penemuan Uang Rupiah yang diragukan keasliannya; dan d. menyerahkan fisik Uang Rupiah yang diragukan keasliannya kepada Bank atau meminta klarifikasi kepada Bank Indonesia atas persetujuan Bank. B. Pihak selain Bank Pihak selain Bank yang menemukan Uang Rupiah yang diragukan keasliannya harus melakukan langkah sebagai berikut: 1. menjaga . . . a. menjaga kondisi fisik Uang Rupiah yang diragukan keasliannya dengan tidak merusak fisik Uang Rupiah yang diragukan keasliannya tersebut seperti merobek, memotong, dan mencoret-coret; dan b. menjaga agar Uang Rupiah yang diragukan keasliannya tidak diedarkan kembali. III. PERMINTAAN KLARIFIKASI ATAS UANG RUPIAH YANG DIRAGUKAN KEASLIANNYA A. Permintaan klarifikasi oleh Bank atau pihak lain yang ditunjuk oleh Bank untuk melakukan pengolahan Uang Rupiah dilakukan dengan cara: 1. menyampaikan surat permintaan klarifikasi yang ditandatangani oleh pejabat yang berwenang dengan mengacu pada Lampiran I yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini, disertai dokumen digital (softcopy) yang berisi rincian Uang Rupiah yang dimintakan klarifikasi; 2. menyampaikan fisik Uang Rupiah yang diragukan keasliannya sebagai lampiran dari surat permintaan klarifikasi sebagaimana dimaksud dalam angka 1; 3. menandatangani berita acara serah terima fisik Uang Rupiah yang diragukan keasliannya oleh petugas Bank atau pihak lain yang ditunjuk oleh Bank untuk melakukan pengolahan Uang Rupiah dalam rangkap 2 (dua) dengan mengacu pada Lampiran II yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini; dan 4. menerima salinan berita acara serah terima fisik Uang Rupiah yang diragukan keasliannya sebagaimana dimaksud dalam angka 3. B. Permintaan klarifikasi oleh pihak selain Bank sebagaimana dimaksud dalam butir I.B.3 dilakukan dengan cara: 1. menyampaikan secara langsung kepada Bank Indonesia surat permintaan klarifikasi yang ditandatangani oleh pihak yang meminta klarifikasi dengan mengacu pada Lampiran III yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini; 2. menyampaikan . . . 2. menyampaikan fisik Uang Rupiah yang diragukan keasliannya sebagai lampiran dari surat permintaan klarifikasi sebagaimana dimaksud dalam angka 1; 3. menandatangani berita acara serah terima fisik Uang Rupiah yang diragukan keasliannya dalam rangkap 2 (dua) dengan mengacu pada Lampiran II; dan 4. menerima salinan berita acara serah terima fisik Uang Rupiah yang diragukan keasliannya sebagaimana dimaksud dalam angka 3. C. Dalam hal permintaan klarifikasi tidak disampaikan secara langsung, sehingga berita acara serah terima fisik Uang Rupiah yang diragukan keasliannya sebagaimana dimaksud dalam butir B.3 tidak dapat dibuat, Bank Indonesia mencatat surat permintaan klarifikasi beserta dengan fisik Uang Rupiah yang diragukan keasliannya sesuai dengan yang diterima oleh Bank Indonesia. Bukti pencatatan dimaksud disampaikan kepada pihak yang meminta klarifikasi bersamaan dengan hasil penelitian. D. Alamat Permintaan Klarifikasi atas Uang Rupiah yang Diragukan Keasliannya Permintaan klarifikasi terhadap Uang Rupiah yang diragukan keasliannya oleh masyarakat sebagaimana dimaksud dalam butir III.A dan butir III.B disampaikan kepada: 1. Departemen Pengelolaan Uang Kompleks Perkantoran Bank Indonesia Gedung C lantai 7 Jalan M. H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350, bagi masyarakat yang berada di wilayah DKI Jakarta, Kota Tangerang Selatan, Kabupaten/Kota Bekasi, Kabupaten/Kota Bogor, Kabupaten Karawang, dan Kota Depok; atau 2. Kantor Perwakilan Bank Indonesia Dalam Negeri setempat, bagi masyarakat yang berada di luar wilayah sebagaimana dimaksud dalam angka 1, dengan alamat Kantor Perwakilan Bank Indonesia Dalam Negeri mengacu pada website Bank Indonesia. IV. PENELITIAN . . . IV. PENELITIAN ATAS UANG RUPIAH YANG DIRAGUKAN KEASLIANNYA A. Bank Indonesia melakukan penelitian terhadap Uang Rupiah yang diragukan keasliannya yang dimintakan klarifikasi oleh masyarakat. B. Berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud dalam huruf A, Bank Indonesia menyatakan: 1. Uang Rupiah yang dimintakan klarifikasi dinyatakan sebagai Uang Rupiah asli; atau 2. Uang Rupiah yang dimintakan klarifikasi dinyatakan sebagai Uang Rupiah tidak asli. V. TINDAK LANJUT HASIL PENELITIAN A. Informasi Hasil Penelitian atas Uang Rupiah yang Diragukan Keasliannya 1. Bank Indonesia menyampaikan informasi hasil penelitian atas Uang Rupiah yang diragukan keasliannya kepada masyarakat paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak Bank Indonesia menerima permintaan klarifikasi sebagaimana dimaksud dalam angka III. 2. Informasi hasil penelitian sebagaimana dimaksud dalam angka 1 ditembuskan kepada kantor pusat Bank dalam hal permintaan klarifikasi diajukan oleh kantor Bank. 3. Penyampaian informasi hasil penelitian dapat melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud dalam angka 1 apabila dalam melakukan penelitian atas Uang Rupiah yang diragukan keasliannya diperlukan pemeriksaan laboratorium secara mendalam, dengan pemberitahuan secara tertulis kepada pihak yang mengajukan permintaan klarifikasi. 4. Bank harus menginformasikan hasil penelitian atas Uang Rupiah yang diragukan keasliannya dari Bank Indonesia kepada nasabah sebagaimana dimaksud dalam butir II.A.1.a. 5. Pihak lain yang ditunjuk oleh Bank untuk melakukan pengolahan Uang Rupiah harus menginformasikan hasil penelitian . . . penelitian atas Uang Rupiah yang diragukan keasliannya dari Bank Indonesia kepada Bank sebagaimana dimaksud dalam butir II.A.2. B. Penggantian Uang Rupiah yang Dinyatakan Asli 1. Berdasarkan hasil penelitian atas Uang Rupiah yang diragukan keasliannya, Bank Indonesia memberikan penggantian atas Uang Rupiah yang dinyatakan asli sebagaimana dimaksud dalam butir IV.B.1, sebesar nilai nominal. 2. Dalam hal Uang Rupiah yang dinyatakan asli sebagaimana dimaksud dalam angka 1 dalam kondisi lusuh, cacat, atau rusak sebagian maka besarnya penggantian mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penukaran Uang Rupiah. 3. Penggantian sebagaimana dimaksud dalam angka 1 dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. penggantian secara tunai atau transfer, dalam hal pihak yang meminta klarifikasi adalah pihak selain Bank atau pihak lain yang ditunjuk oleh Bank untuk melakukan pengolahan Uang Rupiah; atau b. penggantian dengan cara mengkredit rekening Bank yang bersangkutan, dalam hal pihak yang meminta klarifikasi adalah Bank. 4. Dalam hal Uang Rupiah sebagaimana dimaksud dalam butir IV.B.1 merupakan milik nasabah Bank sebagaimana dimaksud dalam butir II.A.1.a maka Bank yang mengajukan klarifikasi harus memberikan penggantian dari Bank Indonesia kepada nasabah yang bersangkutan. C. Tindak Lanjut Terhadap Uang Rupiah yang Dinyatakan Tidak Asli 1. Dalam hal Uang Rupiah dinyatakan tidak asli sebagaimana dimaksud dalam butir IV.B.2, Bank Indonesia: a. tidak memberikan penggantian sebagaimana dimaksud dalam butir V.B; dan b. tidak . . . b. tidak mengembalikan fisik Uang Rupiah yang dinyatakan tidak asli. 2. Terhadap fisik Uang Rupiah sebagaimana dimaksud dalam angka 1, Bank Indonesia melakukan langkah sebagai berikut: a. melakukan klasifikasi terhadap Uang Rupiah tidak asli; b. menatausahakan Uang Rupiah tidak asli sampai dengan penyerahan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia; dan c. memberikan tanda terhadap fisik Uang Rupiah tidak asli tersebut. 3. Bank Indonesia menyerahkan fisik Uang Rupiah tidak asli yang telah diberikan tanda sebagaimana dimaksud dalam butir 2.c kepada kantor Kepolisian Negara Republik Indonesia setempat sebagai berikut: a. penyerahan fisik Uang Rupiah tidak asli dilakukan setiap bulan paling lama tanggal 15 bulan berikutnya; b. dalam hal tanggal 15 jatuh pada hari libur maka penyerahan fisik Uang Rupiah tidak asli tersebut dilakukan pada hari kerja berikutnya; c. penyerahan fisik Uang Rupiah tidak asli sebagaimana dimaksud dalam huruf a dilakukan dengan berita acara serah terima yang ditandatangani oleh pejabat atau pegawai Bank Indonesia dan petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia. 4. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam butir 1.b, butir 2.c, dan angka 3 tidak berlaku apabila permintaan klarifikasi diajukan oleh lembaga yang melakukan fungsi penyelidikan dan penyidikan. VI. LAIN-LAIN A. Ketentuan mengenai tata cara klarifikasi terhadap Uang Rupiah yang diragukan keasliannya, dalam rangka membawa masuk Uang Rupiah dari luar wilayah pabean Republik Indonesia tunduk pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur . . . mengatur mengenai persyaratan dan tata cara membawa Uang Rupiah keluar atau masuk wilayah pabean Republik Indonesia, kecuali ketentuan mengenai tindak lanjut bagi Uang Rupiah yang dinyatakan tidak asli tunduk pada ketentuan sebagaimana diatur dalam butir V.C.1, butir V.C.2, dan butir V.C.3 Surat Edaran Bank Indonesia ini. B. Ketentuan mengenai tata cara klarifikasi terhadap Uang Rupiah yang diragukan keasliannya bagi kantor cabang bank asing mengacu pada ketentuan mengenai tata cara klarifikasi terhadap Uang Rupiah yang diragukan keasliannya yang berlaku bagi Bank. VII. KETENTUAN PENUTUP Dengan berlakunya Surat Edaran Bank Indonesia ini maka Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 6/49/DPU tanggal 14 Desember 2004 perihal Permintaan Klarifikasi oleh Masyarakat dan Bank atas Uang yang Diragukan Keasliannya dan Laporan Penemuan Uang Palsu oleh Bank, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 24 November 2016 Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA, SUHAEDI KEPALA DEPARTEMEN PENGELOLAAN UANG "," SE-BI 18/28/DPU|SE-BI/2016 Tata Cara Klarifikasi atas Uang Rupiah yang Diragukan Keasliannya 24 November 2016 24 November 2016 '6/49/DPU|SE-BI/2004' '14/7/PBI/2012' " " No.15/25/DPNP Jakarta, 9 Juli 2013 S U R A T E D A R A N Kepada SEMUA BANK UMUM DI INDONESIA Perihal : Pencabutan Beberapa Surat Edaran Bank Indonesia Sehubungan dengan kedudukan dan kewenangan Bank Indonesia untuk menetapkan peraturan berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-UndangNomor2Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962)dan telah dicabutnyaperaturanyang mendasari penerbitan beberapa Surat Edaran Bank Indonesia,sertadengan telah diterbitkannya beberapa ketentuan Bank Indonesia,beberapa Surat Edaran Bank Indonesiasebagai berikut: 1. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 5/87/UPPB/PbB tanggal 13 September 1972 perihal Kerjasama antara Bank Pemerintah - Bank Swasta Nasional dan antara Bank Swasta Nasional - Bank Asing; 2. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 12/4/UPPB tanggal 25 Juli 1979 perihal Informasi mengenai Tingkat Kesehatan Bank dalam rangka Kerjasama (Joint Financing) antara Bank Pemerintah, Bank Swasta Nasional dan Bank Pembangunan Daerah; 3. Surat... 3. 4. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 18/54/UPPB tanggal 25 Maret 1986 perihal Kegiatan Kas di Luar Kantor Bank; Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 25/4/BPPP tanggal 26 Februari 1993 perihal Peraturan Pemerintah dan Keputusan Menteri Keuangan tentang Bank Umum; 5. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 27/4/UPPB tanggal 25 Januari 1995 tentang Kriteria Perbuatan Tercela Orang-orang yang Dilarang Menjadi Pemegang Saham dan/atau Pengurus Bank; 6. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 27/8/UPPB tanggal 31 Maret 1995 perihal Kewajiban Bank Umum untuk Menerapkan Standar Pelaksanaan Fungsi Audit Intern Bank; dan 7. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 31/9/UPPB tanggal 12 November 1998 tentang Perubahan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 26/20/KEP/DIR tanggal 29 Mei 1993 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Surat Edaran Bank Indonesia ini mulaiberlaku pada tanggal 9 Juli 2013 Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA, JONI SWASTANTO KEPALA DEPARTEMEN PENELITIAN DAN PENGATURAN PERBANKAN "," SE-BI 15/25/DPNP|SE-BI/2013 Pencabutan Beberapa Surat Edaran Bank Indonesia 9 Juli 2013 9 Juli 2013 '27/4/UPPB|SE-BI/1995', '25/4/BPPP|SE-BI/1993', '18/54/UPPB|SE-BI/1986', '12/4/UPPB|SE-BI/1979', '5/87/UPPB/PbB|SE-BI/1972', '27/8/UPPB|SE-BI/1995', '31/9/UPPB|SE-BI/1998', '26/20/KEP/DIR|SKDIR-BI/1993' '23/UU/1999', '6/UU/2009', '2/PERPPU/2008' " " No. 15/16/DInt Jakarta, 29 April 2013 SURAT EDARAN Perihal : Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Berupa Realisasi dan Posisi Utang Luar Negeri Sehubungan dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/21/PBI/2012 tentang Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 273, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5377) diperlukan pengaturan mengenai pelaporan kegiatan Lalu Lintas Devisa berupa realisasi dan posisi Utang Luar Negeri yang dimaksudkan untuk memperoleh informasi mengenai Utang Luar Negeri untuk penyusunan statistik, terutama statistik Neraca Pembayaran Indonesia, Posisi Investasi Internasional Indonesia, dan Statistik Utang Luar Negeri Indonesia untuk mendukung perumusan kebijakan, baik di bidang moneter, perbankan, maupun sistem pembayaran. Dengan demikian perlu diatur ketentuan pelaksanaan mengenai pelaporan kegiatan Lalu Lintas Devisa berupa realisasi dan posisi Utang Luar Negeri dalam Surat Edaran Bank Indonesia sebagai berikut: I. UMUM Dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini, yang dimaksud dengan: 1. Pelapor Utang Luar Negeri yang selanjutnya disebut Pelapor ULN adalah Penduduk yang memiliki kewajiban utang luar negeri kepada bukan Penduduk. 2. Utang Luar Negeri yang selanjutnya disebut ULN adalah utang Penduduk kepada bukan Penduduk, dalam valuta asing dan/atau Rupiah, termasuk di dalamnya pembiayaan berdasarkan prinsip syariah. 3. Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah adalah pembiayaan berdasarkan prinsip hukum Islam berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan … penetapan fatwa di bidang syariah sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan mengenai perbankan syariah. 4. Perjanjian Kredit (Loan Agreement) adalah perjanjian tertulis yang berisi syarat dan kondisi pinjaman yang antara lain mengatur besarnya plafon kredit, suku bunga, jangka waktu, dan cara-cara pelunasannya. 5. Surat Utang (Debt Securities) adalah surat pengakuan utang yang dapat diperdagangkan di pasar uang atau pasar modal di dalam maupun di luar negeri. 6. Utang Dagang (Trade Credits) adalah utang yang timbul dalam rangka kredit yang diberikan oleh supplier atas transaksi barang dan/atau jasa. 7. Utang Lainnya (Other Loans) yaitu seluruh utang yang tidak termasuk utang berdasarkan Perjanjian Kredit (Loan Agreement), Surat Utang (Debt Securities), dan Utang Dagang (Trade Credits) antara lain berupa pembayaran klaim asuransi dan deviden yang sudah ditetapkan namun belum dibayar. 8. Laporan Utang Luar Negeri yang selanjutnya disebut Laporan ULN adalah laporan kegiatan Lalu Lintas Devisa yang meliputi keterangan dan data mengenai profil, realisasi, dan posisi Kewajiban Finansial Luar Negeri dalam bentuk ULN. II. PELAPOR ULN A. Pelapor ULN meliputi: 1. Berdasarkan jenis usaha: a. lembaga keuangan: 1) Bank; 2) lembaga keuangan bukan Bank. b. bukan lembaga keuangan. 2. Berdasarkan kepemilikan usaha: a. badan usaha milik negara; b. badan usaha milik daerah; c. badan usaha milik swasta; d. badan lainnya yang bukan merupakan badan usaha baik berbentuk badan hukum maupun tidak berbentuk badan hukum, … hukum, antara lain yayasan, koperasi, lembaga swadaya masyarakat, dan lembaga pendidikan yang didirikan oleh pemerintah atau masyarakat; e. perseorangan. B. Dalam hal Pelapor ULN adalah badan usaha, pelaporan dilakukan oleh kantor pusat badan usaha yang bersangkutan. C. Dalam hal Pelapor ULN adalah perseorangan, pelaporan dilakukan oleh perseorangan yang bersangkutan. D. Dalam hal Pelapor ULN mempunyai kantor cabang luar negeri, utang kantor cabang luar negeri tersebut dilaporkan oleh kantor pusat Pelapor ULN. E. Pendaftaran Profil Pelapor ULN 1. Pelapor ULN yang baru pertama kali melaporkan ULN harus mengisi data Profil Pelapor ULN. 2. Data Profil Pelapor ULN disampaikan dengan menyertakan dokumen pendukung yang terdiri atas fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), fotokopi Anggaran Dasar, dan Surat Penunjukan penanggung jawab Laporan ULN sebagaimana dimaksud pada Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini. Khusus untuk Pelapor ULN perseorangan cukup menyampaikan fotokopi NPWP. 3. Dalam hal terdapat perubahan atas data Profil Pelapor ULN, maka Pelapor ULN harus menyampaikan perubahan data tersebut kepada Bank Indonesia. 4. Perubahan data Profil Pelapor ULN disampaikan kepada Bank Indonesia dengan menyertakan dokumen pendukung perubahan data sebagaimana dimaksud dalam Formulir Pendaftaran Profil Pelapor ULN pada halaman 1 Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini. 5. Dalam hal pelaporan dilakukan oleh pihak lain, dokumen pendukung yang disampaikan sebagaimana dimaksud pada huruf b juga disertakan dengan Surat Kuasa kepada pihak lain yang ditunjuk untuk menyampaikan Laporan ULN sebagaimana dimaksud pada Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan … terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini. Surat Kuasa tersebut sekaligus berfungsi sebagai Surat Penunjukan. F. Sandi Pelapor 1. Pelapor ULN yang baru pertama kali melapor mengajukan surat permohonan untuk memperoleh Sandi Pelapor dengan melampirkan fotokopi NPWP, fotokopi Anggaran Dasar, dan Surat Penunjukan penanggung jawab Laporan ULN. Khusus untuk Pelapor ULN perseorangan cukup menyampaikan fotokopi E-KTP dan NPWP. 2. Surat permohonan sebagaimana dimaksud pada huruf a disampaikan kepada Bank Indonesia. 3. Berdasarkan surat permohonan sebagaimana dimaksud pada huruf b, Bank Indonesia memberitahukan secara tertulis kepada Pelapor ULN mengenai Sandi Pelapor. 4. Pelapor ULN yang telah menerima Sandi Pelapor dari Bank Indonesia menyampaikan Laporan ULN dengan menggunakan Sandi Pelapor tersebut. III. CAKUPAN DAN JENIS LAPORAN ULN A. Cakupan Laporan ULN 1. ULN yang wajib dilaporkan meliputi: a. ULN berdasarkan Perjanjian Kredit (Loan Agreement); b. ULN berdasarkan Surat Utang (Debt Securities), yang meliputi antara lain Letter of Credit (LC) impor yang diakseptasi oleh Bank (Banker’s Acceptance), Obligasi, Commercial Papers (CP), Promissory Notes (PN), Medium Term Notes (MTN), dan Floating Rate Notes (FRN); c. ULN berdasarkan Utang Dagang (Trade Credits); d. ULN berdasarkan Utang Lainnya (Other Loans). 2. ULN lembaga keuangan dan bukan lembaga keuangan wajib dilaporkan seluruhnya tanpa batasan minimum. 3. ULN perseorangan yang wajib dilaporkan meliputi: a. ULN dengan nominal paling sedikit USD200.000,00 (dua ratus ribu dollar Amerika Serikat) atau ekuivalen dengan mata uang lain … lain dengan kurs yang berlaku pada saat dokumen utang ditandatangani atau diterbitkan; dan/atau b. ULN yang apabila dijumlahkan telah mencapai USD200.000,00 (dua ratus ribu dollar Amerika Serikat) atau ekuivalen dengan mata uang lain dengan kurs yang berlaku pada saat dokumen ULN ditandatangani atau diterbitkan, sebagaimana dijelaskan pada Lampiran III. 4. ULN yang dilaporkan tidak termasuk penerusan pinjaman utang pemerintah (two step loan), giro, tabungan, dan deposito. B. Jenis Laporan ULN Jenis Laporan ULN meliputi: 1. Laporan Data Pokok ULN dan/atau perubahannya merupakan laporan yang berisi profil ULN yang disampaikan apabila terdapat perjanjian ULN baru dan/atau perubahannya dan didasarkan pada: a. penandatanganan Perjanjian Kredit (Loan Agreement); b. penerbitan Surat Utang (Debt Securities); c. pengakuan atas Utang Dagang (Trade Credits); dan/atau d. Utang Lainnya (Other Loans). 2. Laporan Data Rekapitulasi ULN merupakan laporan yang berisi transaksi penarikan dan/atau pembayaran ULN sehingga mencerminkan realisasi dan posisi ULN yang disampaikan secara bulanan. 3. Laporan ULN sebagaimana dimaksud pada angka 1 dan angka 2 disampaikan sesuai Lampiran III. IV. PETUGAS DAN PENANGGUNG JAWAB LAPORAN ULN A. Pelapor ULN menunjuk petugas dan/atau penanggung jawab untuk menyusun, memverifikasi dan menyampaikan Laporan ULN. Contoh Surat Penunjukan sebagaimana dimaksud pada Lampiran I. B. Pelapor ULN dapat memberikan kuasa kepada pihak lain untuk melakukan pelaporan ULN. Contoh Surat Kuasa sebagaimana dimaksud pada Lampiran II. C. Nama petugas dan/atau penanggung jawab yang ditunjuk untuk menyusun dan menyampaikan laporan ULN harus selalu dikinikan. D. Pengkinian … D. Pengkinian dilakukan dengan menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Bank Indonesia. V. FORMAT LAPORAN ULN DAN TATA CARA PENGISIAN LAPORAN ULN Format Laporan ULN dan tata cara pengisian Laporan ULN diatur lebih lanjut pada Lampiran III. VI. PENYAMPAIAN LAPORAN ULN DAN/ATAU KOREKSI LAPORAN ULN A. Tata Cara Penyampaian Laporan ULN 1. Pelapor ULN Bank, lembaga keuangan bukan Bank, dan bukan lembaga keuangan: a. ULN atas dasar Perjanjian Kredit (Loan Agreement) dengan nominal komitmen paling sedikit USD200.000,00 (dua ratus ribu dollar Amerika Serikat) atau ekuivalen dengan mata uang lain dengan kurs yang berlaku pada saat Perjanjian Kredit (Loan Agreement) ditandatangani, dilaporkan per ULN. b. ULN atas dasar Perjanjian Kredit (Loan Agreement) dengan nominal komitmen di bawah USD200.000,00 (dua ratus ribu dollar Amerika Serikat) atau ekuivalen dengan mata uang lain dengan kurs yang berlaku pada saat Perjanjian Kredit (Loan Agreement) ditandatangani, dapat dilaporkan secara gabungan. Penggabungan dilakukan dengan syarat memiliki kesamaan informasi valuta, negara kreditur, status kreditur, dan jangka waktu (original maturity). c. ULN atas dasar Surat Utang (Debt Securities) yang berjumlah paling sedikit USD200.000,00 (dua ratus ribu dollar Amerika Serikat) atau ekuivalen dengan mata uang lain dengan kurs yang berlaku pada saat Surat Utang (Debt Securities) diterbitkan, dilaporkan per ULN. d. ULN atas dasar Surat Utang (Debt Securities) yang memiliki jumlah di bawah USD200.000,00 (dua ratus ribu dollar Amerika Serikat) atau ekuivalen dengan mata uang lain dengan kurs yang berlaku pada saat Surat Utang (Debt Securities) diterbitkan, dapat digabungkan. Penggabungan dilakukan … dilakukan dengan syarat memiliki kesamaan informasi valuta, negara kreditur, status kreditur, dan jangka waktu (original maturity). e. ULN atas dasar Utang Dagang (Trade Credits) yang berjumlah paling sedikit USD200.000,00 (dua ratus ribu dollar Amerika Serikat) atau ekuivalen dengan mata uang lain dengan kurs yang berlaku pada saat Utang Dagang (Trade Credits) diakui, dilaporkan per ULN. f. ULN atas dasar Utang Dagang (Trade Credits) yang memiliki jumlah di bawah USD200.000,00 (dua ratus ribu dollar Amerika Serikat) atau ekuivalen dengan mata uang lain dengan kurs yang berlaku pada saat Utang Dagang (Trade Credits) diakui, dapat digabungkan. Penggabungan dilakukan dengan syarat memiliki kesamaan informasi valuta, negara kreditur, status kreditur, dan jangka waktu (original maturity). g. ULN atas dasar Utang Lainnya (Other Loans) yang berjumlah paling sedikit USD200.000,00 (dua ratus ribu dollar Amerika Serikat) atau ekuivalen dengan mata uang lain dengan kurs yang berlaku pada saat Utang Lainnya (Other Loans) diakui, dilaporkan per ULN. h. ULN atas dasar Utang Lainnya (Other Loans) yang memiliki jumlah di bawah USD200.000,00 (dua ratus ribu dollar Amerika Serikat) atau ekuivalen dengan mata uang lain dengan kurs yang berlaku pada saat Utang Lainnya (Other Loans) diakui, dapat digabungkan. Penggabungan dilakukan dengan syarat memiliki kesamaan informasi valuta, negara kreditur, status kreditur, dan jangka waktu (original maturity). 2. Pelapor ULN Perseorangan: a. ULN atas dasar Perjanjian Kredit (Loan Agreement) dengan nominal komitmen paling sedikit USD200.000,00 (dua ratus ribu dollar Amerika Serikat) atau ekuivalen dengan mata uang lain dengan kurs yang berlaku pada saat Perjanjian Kredit (Loan Agreement) ditandatangani, dilaporkan per ULN. b. ULN atas dasar Perjanjian Kredit (Loan Agreement) yang per ULN berjumlah di bawah USD200.000,00 (dua ratus ribu dollar … dollar Amerika Serikat) atau ekuivalen dengan mata uang lain dengan kurs yang berlaku pada saat Perjanjian Kredit (Loan Agreement) ditandatangani, dilaporkan setelah total nominal per ULN tersebut mencapai USD200.000,00 (dua ratus ribu dollar Amerika Serikat) atau ekuivalen dengan mata uang lain dengan kurs yang berlaku pada saat Perjanjian Kredit (Loan Agreement) ditandatangani, dan dapat dilaporkan secara gabungan. Penggabungan dilakukan dengan syarat memiliki kesamaan informasi negara kreditur dan jangka waktu (original maturity). c. ULN atas dasar Surat Utang (Debt Securities) yang berjumlah paling sedikit USD200.000,00 (dua ratus ribu dollar Amerika Serikat) atau ekuivalen dengan mata uang lain dengan kurs yang berlaku pada saat Surat Utang (Debt Securities) diterbitkan, dilaporkan per ULN. d. ULN atas dasar Surat Utang (Debt Securities) yang per ULN berjumlah di bawah USD200.000,00 (dua ratus ribu dollar Amerika Serikat) atau ekuivalen dengan mata uang lain dengan kurs yang berlaku pada saat Surat Utang (Debt Securities) diterbitkan, dilaporkan setelah total nominal per ULN tersebut mencapai USD200.000,00 (dua ratus ribu dollar Amerika Serikat) atau ekuivalen dengan mata uang lain dengan kurs yang berlaku pada saat Surat Utang (Debt Securities) diterbitkan, dan dapat dilaporkan secara gabungan. Penggabungan dilakukan dengan syarat memiliki kesamaan informasi negara kreditur dan jangka waktu (original maturity). e. ULN atas dasar Utang Dagang (Trade Credits) yang berjumlah paling sedikit USD200.000,00 (dua ratus ribu dollar Amerika Serikat) atau ekuivalen dengan mata uang lain dengan kurs yang berlaku pada saat Utang Dagang (Trade Credits) diakui, dilaporkan per ULN. f. ULN atas dasar Utang Dagang (Trade Credits) yang per ULN berjumlah di bawah USD200.000,00 (dua ratus ribu dollar Amerika … Amerika Serikat) atau ekuivalen dengan mata uang lain dengan kurs yang berlaku pada saat Utang Dagang (Trade Credits) diakui, dilaporkan setelah total nominal per ULN tersebut mencapai USD200.000,00 (dua ratus ribu dollar Amerika Serikat) atau ekuivalen dengan mata uang lain dengan kurs yang berlaku pada saat Utang Dagang (Trade Credits) diakui, dan dapat dilaporkan secara gabungan. Penggabungan dilakukan dengan syarat memiliki kesamaan informasi negara kreditur dan jangka waktu (original maturity). g. ULN atas dasar Utang Lainnya (Other Loans), yang berjumlah paling sedikit USD200.000,00 (dua ratus ribu dollar Amerika Serikat) atau ekuivalen dengan mata uang lain dengan kurs yang berlaku pada saat Utang Lainnya (Other Loans) diakui, dilaporkan per ULN. h. ULN atas dasar Utang Lainnya (Other Loans) yang per ULN berjumlah di bawah USD200.000,00 (dua ratus ribu dollar Amerika Serikat) atau ekuivalen dengan mata uang lain dengan kurs yang berlaku pada saat Utang Lainnya (Other Loans) diakui, dilaporkan setelah total nominal per ULN tersebut mencapai USD200.000,00 (dua ratus ribu dollar Amerika Serikat) atau ekuivalen dengan mata uang lain dengan kurs yang berlaku pada saat Utang Lainnya (Other Loans) diakui, dan dapat dilaporkan secara gabungan. Penggabungan dilakukan dengan syarat memiliki kesamaan informasi negara kreditur dan jangka waktu (original maturity). B. Media Penyampaian Laporan ULN Penyampaian Laporan ULN dan/atau koreksi Laporan ULN kepada Bank Indonesia dilakukan secara online dengan menggunakan media internet pada website Pelaporan Realisasi ULN di Bank Indonesia dengan alamat https://www.bi.go.id/lkpbuv2. Tata Cara Pelaporan mengacu pada Petunjuk Teknis Aplikasi Pelaporan Utang Luar … Luar Negeri sebagaimana terdapat dalam website Pelaporan https://www.bi.go.id/lkpbuv2. C. Jangka Waktu Penyampaian Laporan ULN 1. Laporan Data Pokok ULN dan/atau Perubahannya Batas akhir penyampaian Laporan Data Pokok ULN dan/atau perubahannya adalah: a. Laporan Data Pokok ULN dan/atau perubahannya disampaikan kepada Bank Indonesia paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya pukul 14.00 WIB setelah penandatanganan Perjanjian Kredit (Loan Agreement), penerbitan Surat Utang (Debt Securities), pengakuan utang atas Utang Dagang (Trade Credits), dan/atau pengakuan utang atas Utang Lainnya (Other Loans). Contoh: Laporan Data Pokok ULN atas Perjanjian Kredit (Loan Agreement) yang ditandatangani pada tanggal 5 Oktober 2014 disampaikan kepada Bank Indonesia paling lambat pada tanggal 15 November 2014 pukul 14.00 WIB. b. Dalam hal penarikan ULN atas dasar Perjanjian Kredit (Loan Agreement) telah dilakukan sebelum tanggal penandatanganan Perjanjian Kredit (Loan Agreement), Laporan Data Pokok ULN dan/atau perubahannya disampaikan kepada Bank Indonesia paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya pukul 14.00 WIB setelah tanggal penarikan ULN atas dasar Perjanjian Kredit (Loan Agreement). Contoh: Laporan Data Pokok ULN atas Perjanjian Kredit (Loan Agreement) yang ditandatangani pada tanggal 1 November 2014 tetapi penarikannya dilakukan pada tanggal 28 Oktober 2014 maka disampaikan kepada Bank Indonesia paling lambat tanggal 15 November 2014 pukul 14.00 WIB. c. Dalam hal batas akhir pelaporan tersebut jatuh pada hari Sabtu, Minggu, hari libur, dan/atau cuti bersama yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, Laporan Data Pokok ULN dan/atau perubahannya disampaikan pada Hari berikutnya. Contoh: … Contoh: Batas akhir penyampaian Laporan Data Pokok periode Oktober 2014 seharusnya pada tanggal 15 November 2014, namun karena tanggal tersebut jatuh pada hari Sabtu, maka batas akhir penyampaian Laporan Data Pokok ULN menjadi hari Senin tanggal 17 November 2014. d. Dalam hal terjadi gangguan teknis di Bank Indonesia pada tanggal batas akhir penyampaian Laporan Data Pokok ULN, Laporan Data Pokok ULN disampaikan pada Hari berikutnya. Contoh: Gangguan teknis terjadi pada hari Rabu tanggal 15 Oktober 2014. Gangguan teknis baru dapat diatasi setelah melewati pukul 14.00 WIB, maka batas waktu penyampaian Laporan Data Pokok ULN periode September 2014 berakhir pada hari Kamis tanggal 16 Oktober 2014. 2. Laporan Data Rekapitulasi ULN Batas akhir penyampaian Laporan Data Rekapitulasi ULN adalah: a. Laporan Data Rekapitulasi ULN disampaikan secara bulanan kepada Bank Indonesia paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya pukul 24.00 WIB. Contoh: Perusahaan “A” memiliki ULN atas dasar Perjanjian Kredit (Loan Agreement) yang ditandatangani dan ditarik pada tanggal 2 Juni 2014 sebesar ekuivalen Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah). Laporan Data Rekapitulasi ULN dilaporkan kepada Bank Indonesia paling lambat pukul 24.00 WIB tanggal 15 Juli 2014 dan disampaikan setiap bulan sampai jangka waktu pinjaman berakhir. b. Dalam hal hari terakhir penyampaian Laporan Data Rekapitulasi ULN jatuh pada hari Sabtu, Minggu, hari libur, dan/atau cuti bersama yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, maka batas akhir penyampaian Laporan Data Rekapitulasi ULN adalah pada Hari berikutnya. Contoh: … Contoh: Batas akhir penyampaian Laporan Data Rekapitulasi ULN periode Oktober 2014 seharusnya pada tanggal 15 November 2014, namun karena tanggal tersebut jatuh pada hari Sabtu, maka batas akhir penyampaian Laporan Data Rekapitulasi ULN menjadi hari Senin tanggal 17 November 2014. c. Dalam hal terjadi gangguan teknis pada batas akhir penyampaian Laporan Data Rekapitulasi ULN, Pelapor ULN harus menyampaikan Laporan Data Rekapitulasi ULN pada Hari berikutnya secara offline. d. Pelapor ULN yang tidak dapat menyampaikan Laporan Data Rekapitulasi ULN karena keadaan memaksa (force majeure) harus segera memberitahukan secara tertulis disertai penjelasan mengenai penyebab terjadinya keadaan memaksa (force majeure) yang ditandatangani oleh pejabat Pelapor ULN yang berwenang dengan melampirkan surat keterangan dari penguasa atau pejabat dari instansi terkait di daerah setempat yang ditujukan kepada Bank Indonesia. 3. Koreksi Laporan ULN Batas akhir penyampaian koreksi Laporan ULN adalah: a. Koreksi Laporan Data Pokok ULN disampaikan kepada Bank Indonesia paling lambat tanggal 20 pukul 14.00 WIB pada bulan penyampaian Laporan ULN. Contoh: Perusahaan “A” memiliki ULN atas dasar Perjanjian Kredit (Loan Agreement) yang ditandatangani dan ditarik pada tanggal 2 Juni 2014 sebesar ekuivalen Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah). Koreksi Laporan Data Pokok ULN dilaporkan paling lambat tanggal 20 Juli 2014 pukul 14.00 WIB. b. Koreksi Laporan Data Rekapitulasi ULN disampaikan kepada Bank Indonesia paling lambat tanggal 20 pukul 24.00 WIB pada bulan penyampaian Laporan ULN. Contoh: … Contoh: Perusahaan “B” memiliki ULN atas dasar Perjanjian Kredit (Loan Agreement) yang melakukan realisasi pembayaran bunga dan pokok pada bulan Juni 2014. Laporan Data Rekapitulasi ULN telah disampaikan pada tanggal 1 Juli 2014. Koreksi Laporan Data Rekapitulasi ULN dilaporkan paling lambat tanggal 20 Juli 2014 pukul 24.00 WIB. c. Dalam hal hari terakhir penyampaian koreksi Laporan ULN jatuh pada hari Sabtu, Minggu, hari libur, dan/atau cuti bersama yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, maka batas akhir penyampaian koreksi Laporan ULN adalah pada Hari berikutnya. Contoh: Perusahaan “C” memiliki ULN atas dasar Perjanjian Kredit (Loan Agreement) yang ditandatangani dan ditarik pada tanggal 2 Juni 2014 sebesar ekuivalen Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah). Koreksi Laporan Data Pokok ULN dilaporkan paling lambat tanggal 20 Juli 2014. Apabila tanggal 20 Juli 2014 jatuh pada hari Minggu maka batas akhir penyampaian koreksi Laporan Data Pokok ULN menjadi hari Senin tanggal 21 Juli 2014 pada pukul 24.00 WIB. D. Gangguan Teknis Dalam hal terjadi gangguan teknis di Bank Indonesia pada hari terakhir penyampaian Laporan ULN dan/atau koreksi Laporan ULN, Laporan ULN dan/atau koreksi Laporan ULN disampaikan pada Hari berikutnya secara: 1. online jika gangguan teknis telah dapat diatasi; atau 2. offline dalam jam kerja kantor Bank Indonesia jika gangguan teknis belum dapat diatasi. Contoh: 1. Gangguan teknis terjadi pada hari Rabu tanggal 15 Oktober 2014. Pada pada hari Kamis tanggal 16 Oktober 2014 gangguan teknis sudah dapat diatasi, maka Laporan Data Rekapitulasi ULN dan/atau koreksi Laporan Data Rekapitulasi ULN periode September … September 2014 tetap disampaikan secara online paling lambat tanggal 16 Oktober 2014. 2. Gangguan teknis terjadi pada hari Rabu tanggal 15 Oktober 2014. Pada pada hari Kamis tanggal 16 Oktober 2014 gangguan teknis belum dapat diatasi, maka Laporan Data Rekapitulasi ULN dan/atau koreksi Laporan Data Rekapitulasi ULN periode September 2014 tetap disampaikan secara offline paling lambat tanggal 16 Oktober 2014. E. Penerimaan Laporan ULN, Perubahan Laporan ULN dan/atau Koreksi Laporan ULN 1. Laporan ULN, perubahan Laporan ULN dan/atau koreksi Laporan ULN secara online dinyatakan diterima oleh Bank Indonesia apabila seluruh Laporan ULN, perubahan Laporan ULN, dan/atau koreksi Laporan ULN lolos verifikasi yang dibuktikan dengan adanya tanda terima dari sistem Bank Indonesia. 2. Laporan ULN, perubahan Laporan ULN dan/atau koreksi Laporan ULN secara offline dinyatakan diterima oleh Bank Indonesia apabila softcopy seluruh Laporan ULN, perubahan Laporan ULN dan/atau koreksi Laporan ULN berhasil di-upload dan lolos verifikasi yang dibuktikan dengan adanya tanda terima dari sistem Bank Indonesia. F. Penelitian Kebenaran Laporan ULN 1. Bank Indonesia dapat melakukan penelitian terhadap kebenaran Laporan ULN dan/atau koreksi Laporan ULN yang disampaikan Pelapor ULN. 2. Penelitian sebagaimana dimaksud pada huruf a dapat dilakukan melalui kerja sama dengan pihak lain. 3. Bank Indonesia dapat menyampaikan surat permintaan informasi, bukti pembukuan, catatan, dan dokumen lain. 4. Pelapor ULN harus menyampaikan informasi, bukti pembukuan, catatan, dan dokumen lain yang diperlukan sebagaimana dimaksud … dimaksud pada huruf c paling lama 14 (empat belas) Hari sejak tanggal diterimanya surat permintaan. 5. Dalam hal Pelapor ULN tidak menindaklanjuti surat permintaan dengan penyampaian bukti-bukti sesuai jangka waktu sebagaimana dimaksud pada huruf d maka laporan ULN yang disampaikan oleh Pelapor ULN kepada Bank Indonesia dinyatakan tidak benar. VII. SANKSI Bank Indonesia memberitahukan secara tertulis kepada Pelapor ULN mengenai pelanggaran yang dilakukan dan besarnya sanksi administratif berupa denda yang dikenakan sebagai berikut: 1. Denda Atas Keterlambatan Penyampaian Laporan Data Rekapitulasi ULN a. Pelapor ULN dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan Data Rekapitulasi ULN apabila penyampaian Laporan Data Rekapitulasi ULN melampaui batas akhir sebagaimana dimaksud dalam butir VI.3 sampai dengan akhir bulan setelah berakhirnya bulan bersangkutan. Laporan Rekapitulasi ULN yang b. Pelapor ULN yang terlambat menyampaikan Laporan Data Rekapitulasi ULN sebagaimana dimaksud pada huruf a dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) per Hari keterlambatan dengan denda paling banyak sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah). Contoh: Perusahaan “A” menyampaikan Laporan Data Rekapitulasi ULN selama bulan Agustus 2014 ke Bank Indonesia pada tanggal 17 September 2014. Batas akhir penyampaian Laporan Data Rekapitulasi ULN untuk bulan Agustus 2014 seharusnya pada tanggal 15 September 2014. Terkait dengan kasus ini, maka perusahaan “A” dikenakan sanksi administratif berupa denda sebagai berikut: Sanksi … Sanksi administratif berupa denda atas keterlambatan penyampaian Laporan Data Rekapitulasi ULN: 2 (dua) hari x Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) = Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah). 2. Denda Atas Tidak Menyampaikan Laporan Data Rekapitulasi ULN a. Pelapor ULN dinyatakan tidak menyampaikan Laporan Data Rekapitulasi ULN apabila Bank Indonesia belum menerima Laporan Data Rekapitulasi ULN setelah melampaui akhir bulan penyampaian Laporan Data Rekapitulasi ULN yang bersangkutan. b. Pelapor ULN yang dinyatakan tidak menyampaikan Laporan Data Rekapitulasi ULN sebagaimana dimaksud pada huruf a dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) per Laporan Data Rekapitulasi ULN. Contoh: Perusahaan “B” memiliki ULN atas dasar Perjanjian Kredit (Loan Agreement) yang ditandatangani pada tanggal 2 Juni 2014 sebesar ekuivalen Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah). Laporan Data Rekapitulasi ULN wajib disampaikan kepada Bank Indonesia pada tanggal 15 Juli 2014. Perusahaan “B” sampai dengan tanggal 31 Juli 2014 (akhir bulan periode Laporan Data Rekapitulasi ULN Juni) tidak menyampaikan Laporan Data Rekapitulasi ULN atas dasar Perjanjian Kredit (Loan Agreement) tersebut kepada Bank Indonesia, maka Perusahaan “B” dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). 3. Denda Atas Ketidaklengkapan dan/atau Ketidakbenaran Laporan Data Rekapitulasi ULN a. Pelapor ULN wajib menyusun dan menyampaikan Laporan Data Rekapitulasi ULN kepada Bank Indonesia secara benar, lengkap, dan tepat waktu. b. Pelapor ULN bertanggung jawab atas kebenaran dan kelengkapan isi Laporan Data Rekapitulasi ULN serta ketepatan waktu … waktu penyampaian Laporan Data Rekapitulasi ULN sebagaimana dimaksud pada huruf a. c. Pelapor ULN yang menyampaikan Laporan Data Rekapitulasi ULN secara tidak benar dan/atau tidak lengkap, dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) untuk setiap baris (record) yang tidak benar dan/atau tidak lengkap dan paling banyak seluruhnya sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) per Laporan Data Rekapitulasi ULN. Contoh: Perusahaan “C” melakukan penarikan ULN sebesar USD10.000 dan dilaporkan ke Bank Indonesia sebesar USD100.000. Dari Laporan Data Rekapitulasi ULN yang disampaikan ada ketidakbenaran dalam pelaporan nilai nominal ULN. Terkait ketidakbenaran Laporan Data Rekapitulasi ULN di atas maka Perusahaan “C” dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar: 1 (satu) record x Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) = Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah). 4. Tata Cara Pengenaan Sanksi a. Bank Indonesia akan menyampaikan Surat Pemberitahuan sanksi administratif berupa denda kepada Pelapor ULN yang melanggar ketentuan pelaporan sebagaimana dimaksud dalam butir VII. Surat tersebut antara lain mencantumkan jenis pelanggaran, menetapkan sanksi administratif berupa denda, besarnya denda yang harus dibayar, dan rekening tujuan pembayaran sanksi denda. b. Pembayaran sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud dalam butir VII.1, butir VII.2, dan butir VII.3 disetorkan ke Bank Indonesia c. Pembayaran sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud dalam butir VII.1, butir VII.2, dan butir VII.3 dilakukan paling lambat 1 (satu) bulan setelah Pelapor ULN menerima … menerima Surat Pemberitahuan sanksi administratif berupa denda dari Bank Indonesia. d. Pelapor ULN harus menyampaikan bukti pembayaran sanksi denda sebagaimana dimaksud pada huruf c kepada Bank Indonesia paling lambat 1 (satu) bulan setelah Surat Pemberitahuan sanksi administratif berupa denda diterima oleh Pelapor ULN. Contoh: Perusahaan terlambat menyampaikan Laporan Data Rekapitulasi ULN untuk September 2014 yaitu pada tanggal 17 Oktober 2014. Atas keterlambatan tersebut, Bank Indonesia menyampaikan Surat Pemberitahuan sanksi administratif berupa denda yang diterima Pelapor ULN pada tanggal 5 November 2014. Pelapor ULN harus menyetor sanksi denda keterlambatan ke rekening Bank Indonesia dan menyampaikan tembusan bukti penyetoran denda tersebut ke Bank Indonesia paling lambat tanggal 5 Desember 2014. VIII. KEADAAN MEMAKSA (FORCE MAJEURE) A. Pelapor ULN yang mengalami keadaan memaksa (force majeure) selama satu periode penyampaian Laporan ULN atau lebih, dikecualikan dari kewajiban menyampaikan Laporan ULN dan/atau koreksi Laporan ULN sebagaimana dimaksud dalam butir VI. B. Pelapor ULN yang mengalami keadaan memaksa (force majeure) kurang dari 1 (satu) periode penyampaian Laporan ULN dikecualikan dari kewajiban menyampaikan Laporan ULN dan/atau koreksi Laporan ULN dalam batas akhir sebagaimana dimaksud dalam butir VI. C. Pelapor ULN sebagaimana dimaksud pada angka 2 wajib menyampaikan Laporan ULN dan/atau koreksi Laporan ULN sebagaimana dimaksud dalam butir VI setelah Pelapor ULN kembali melakukan kegiatan operasional secara normal. D. Pelapor ULN yang mengalami keadaan memaksa (force majeure) sebagaimana dimaksud pada angka 1 dan angka 2 wajib menyampaikan permohonan untuk memperoleh pengecualian secara … secara tertulis kepada Bank Indonesia dengan disertai penjelasan mengenai keadaan memaksa (force majeure) yang dialami. E. Pengecualian sebagaimana dimaksud pada angka 1 dan angka 2 berlaku setelah Pelapor ULN memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia. IX. ALAMAT SURAT MENYURAT DAN HELP DESK A. Penyampaian surat menyurat dan komunikasi dengan Bank Indonesia terkait pelaksanaan Surat Edaran Bank Indonesia ini, serta pertanyaan yang berkaitan dengan teknis dan cara pelaporan, program data entry, serta materi Laporan ditujukan kepada: Bank Indonesia Departemen Internasional c.q. Divisi Penatausahaan dan Publikasi Pinjaman Luar Negeri Menara Sjafruddin Prawiranegara Lt.5 Jalan MH. Thamrin No. 2 Jakarta 10350 E-mail: aplnsiul@bi.go.id Telepon: 021-3818126, 021-3818127, 021-3500401 - 405, 021- 2310108 ext. 4077, 4124, 4219, 4556, 4572, 4657, 4658, 4926 B. Dalam hal terjadi perubahan alamat surat menyurat dan komunikasi akan diberitahukan melalui surat dan/atau media lainnya. X. PERALIHAN Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 13/1/DInt tanggal 20 Januari 2011 tentang Kewajiban Pelaporan Utang Luar Negeri tetap berlaku sampai dengan pelaporan data bulan Juni 2013 yang disampaikan pada bulan Juli 2013. XI. PENUTUP A. Sanksi administratif berupa denda sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/21/PBI/2012 tanggal 21 Desember 2012 tentang Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa mulai berlaku sejak pelaporan data bulan Januari 2014 yang disampaikan pada bulan Februari 2014. B. Surat… B. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 13/1/DInt tanggal 20 Januari 2011 perihal Kewajiban Pelaporan Utang Luar Negeri dicabut dan dinyatakan tidak berlaku sejak pelaporan data bulan Juli 2013 yang disampaikan pada bulan Agustus 2013. Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 29 April 2013. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA, JEFFREY KAIRUPAN KEPALA DEPARTEMEN INTERNASIONAL "," SE-BI 15/16/DInt|SE-BI/2013 Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Berupa Realisasi dan Posisi Utang Luar Negeri 29 April 2013 29 April 2013 '13/1/DInt|SE-BI/2011' '14/21/PBI/2012' 'Romawi VII' " " No.11/ 14 /DPM Jakarta, 18 Mei 2009 SURAT EDARAN Kepada SEMUA BANK UMUM DAN LEMBAGA KUSTODIAN BUKAN BANK DI INDONESIA Perihal : Perubahan Atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 10/29/DPM tanggal 2 September 2008 perihal Tata Cara Pengajuan Permohonan, Pelaporan, dan Pengawasan Sub- Registry Sehubungan dengan implementasi sistem informasi Bank Indonesia - Scripless Securities Settlement System, perlu dilakukan perubahan terhadap Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 10/29/DPM Tanggal 2 September 2008 Perihal Tata Cara Pengajuan Permohonan, Pelaporan, dan Pengawasan Sub-Registry yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/2/PBI/2008 tanggal 4 Februari 2008 tentang Bank Indonesia - Scripless Securities Settlement System (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4809) sebagai berikut : 1. Ketentuan Bab I diubah dengan menambah 1 (satu) butir, yakni butir I.14 yang berbunyi sebagai berikut : 14. Sistem Informasi BI-SSSS adalah sistem yang disediakan oleh Bank Indonesia bagi Sub-Registry sebagai sarana pelaporan dan rekonsiliasi data BI-SSSS terkait penatausahaan individual nasabah. 2. Ketentuan … 2 2. Ketentuan butir IV.A. diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: A. Pelaksanaan Tugas Sub-Registry 1. Melaksanakan setelmen transaksi Surat Berharga untuk dan atas nama nasabah; 2. Mencatat kepemilikan dan perubahan kepemilikan Surat Berharga atas nama nasabah secara terpisah dari aset Sub-Registry; 3. Memelihara Rekening Surat Berharga selain untuk dan atas nama diri sendiri, Pengurus Sub-Registry, dan Pengelola Sub-Registry; 4. Menyampaikan bukti pencatatan Surat Berharga kepada nasabah yang antara lain berisi saldo akhir Rekening Surat Berharga yang memuat masing-masing seri Surat Berharga dan perubahan pencatatan kepemilikan Surat Berharga, termasuk pencatatan Surat Berharga yang ditransaksikan secara repo dan diagunkan kepada pihak lain; 5. Menyampaikan bukti pencatatan agunan bagi pihak penerima agunan; 6. Melakukan pencatatan Surat Berharga pada saat penerbitan atas nama nasabah; 7. Melakukan pembayaran kupon (bunga) atau imbalan dan nilai pokok/nominal Surat Berharga pada saat jatuh waktu kepada nasabah pemilik Surat Berharga sesuai pencatatan pada sistem internal Sub- Registry; 8. Melakukan pemotongan dan administrasi pajak atas diskonto, capital gain dan kupon (bunga) atau imbalan Surat Berharga atas nama nasabah sesuai peraturan pajak yang berlaku; 9. Menjamin kebenaran pencatatan dan laporan kepemilikan Surat Berharga atas nama seluruh nasabah sesuai dengan saldo keseluruhan pada Rekening Surat Berharga (omnibus account) di Central Registry; 10. Menyelesaikan masalah perbedaan pencatatan kepemilikan Surat Berharga antara Sub-Registry dengan nasabah; 11. Memenuhi … 3 11. Memenuhi jumlah minimum pencatatan kepemilikan Surat Berharga rata-rata bulanan paling sedikit sebesar Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar Rupiah) dalam 12 (dua belas) bulan terakhir; 12. Menjaga agar posisi KPMM bagi Bank Kustodian atau modal disetor bagi lembaga Kustodian bukan Bank tidak kurang dari posisi KPMM atau modal disetor sesuai ketentuan yang berlaku selama 3 (tiga) bulan berturut-turut. 3. Ketentuan butir IV.B diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut : B. Kewajiban Pelaporan 1. Jenis Laporan Sub-Registry wajib menyampaikan laporan-laporan kepada Bank Indonesia - Central Registry, sebagai berikut : a) Laporan Harian mengenai informasi setelmen transaksi Surat Berharga yang memuat perubahan pencatatan kepemilikan Surat Berharga antar nasabah individual dalam Sub-Registry yang sama; b) Laporan hasil transaksi penerbitan Surat Berharga dan transaksi buyback/debt switching yang transaksinya tidak dilakukan melalui BI-SSSS; c) Laporan Bulanan Posisi Kepemilikan Surat Berharga atas nama nasabah individual Sub-Registry sebagaimana contoh Lampiran 2; d) Laporan Tahunan berupa laporan rencana bisnis (bussiness plan) Sub-Registry pada tahun berikutnya, yang memuat antara lain target volume Penatausahaan Surat Berharga, rencana program peningkatan pelayanan, dan rencana pengembangan sistem penatausahaan internal; e) Laporan perubahan Pengurus Sub-Registry dan/atau Pengelola Sub-Registry; f) Laporan hasil pemeriksaan auditor independen mengenai keamanan sistem pencatatan Surat Berharga secara scripless; g) Laporan … 4 g) Laporan hasil audit (berupa fotokopi) dari otoritas pengawas Kustodian mengenai keamanan sistem pencatatan Surat Berharga secara scripless, dalam hal tidak terdapat pemeriksaan oleh auditor independen selama periode tahun yang bersangkutan; dan h) Laporan lainnya sesuai permintaan Bank Indonesia. 2. Tata Cara Penyampaian Laporan Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam butir 1 ditujukan kepada : Bank Indonesia-Direktorat Pengelolaan Moneter cq. Bagian Penyelesaian Transaksi Pengelolaan Moneter Menara Sjafruddin Prawiranegara Lantai 11 Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350 dengan ketentuan sebagai berikut : a) Laporan Harian disampaikan melalui BI-SSSS pada hari yang sama dengan tanggal perubahan pencatatan kepemilikan individual dalam sistem pencatatan Sub-Registry. Tata cara penyampaian Laporan Harian mengacu pada Pedoman Penyampaian Laporan Sub-Registry sebagaimana Lampiran 3. Dalam hal Sub-Registry tidak dapat menyampaikan Laporan Harian melalui BI-SSSS, Sub-Registry dapat menyampaikan Laporan Harian melalui Sistem Informasi BI-SSSS atau sarana lainnya dengan pemberitahuan sebelumnya secara tertulis kepada Bank Indonesia dengan menjelaskan penyebab laporan tidak dapat disampaikan melalui BI-SSSS. b) Laporan hasil transaksi penerbitan Surat Berharga dan transaksi buyback/debt switching yang transaksinya tidak dilakukan melalui BI-SSSS disampaikan pada hari yang sama dengan tanggal setelmen transaksi melalui Sistem Informasi BI-SSSS. c) Laporan … 5 c) Laporan Bulanan disampaikan paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah akhir bulan melalui sarana surat elektronis (e-mail) dengan alamat Sub_Reg_BI-SSSS@bi.go.id. d) Laporan Tahunan yang merupakan laporan rencana bisnis (bussiness plan) Sub-Registry pada tahun berikutnya disampaikan paling lambat 1 (satu) bulan setelah berakhir tahun kalender. e) Laporan Perubahan Pengurus Sub-Registry dan/atau Pengelola Sub-Registry disampaikan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah terjadi perubahan. f) Laporan hasil pemeriksaan auditor independen mengenai keamanan sistem pencatatatan Surat Berharga secara scripless disampaikan paling lambat 1 (satu) bulan sejak tanggal laporan. g) Fotokopi laporan hasil audit dari otoritas pengawas Kustodian mengenai keamanan sistem pencatatan Surat Berharga secara scripless disampaikan paling lambat 1 (satu) bulan sejak tanggal laporan. h) Laporan lainnya disampaikan sesuai jangka waktu yang akan ditetapkan dalam surat pemberitahuan Bank Indonesia. 3. Tata Cara Penggunaan Sistem Informasi BI-SSSS a) Persyaratan Penggunaan Sistem Informasi BI-SSSS Dalam hal permohonan untuk menjadi Sub-Registry disetujui dan telah menjadi Peserta, Sub-Registry mengajukan permintaan untuk dapat menggunakan Sistem Informasi BI-SSSS dengan prosedur sebagai berikut : 1) Sub-Registry harus menyediakan jaringan komunikasi berupa leased line atau dial up untuk dapat mengakses Sistem Informasi BI-SSSS. 2) Dalam hal jaringan komunikasi berupa leased line, Sub- Registry dapat menggunakan leased line yang digunakan untuk pelaporan ke Bank Indonesia (ekstra net) misalnya Laporan … 6 Laporan Harian Bank Umum (LHBU) atau Laporan Berkala Bank Umum (LBBU). 3) Sub-Registry menyampaikan surat permohonan akses ke Sistem Informasi BI-SSSS kepada Bank Indonesia dengan alamat sebagai berikut : Bank Indonesia-Direktorat Pengelolaan Moneter cq. Bagian Penyelenggaraan Transaksi Pengelolaan Moneter Menara Sjafruddin Prawiranegara, Lantai 11 Jl. M.H. Thamrin No.2 Jakarta 10350 4) Surat permohonan sebagaimana dimaksud pada butir 3) disertai dengan data pengguna yang akan diberikan akses untuk menggunakan aplikasi Sistem Informasi BI-SSSS. 5) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada butir 3), Bank Indonesia memberikan akses kepada Sub-Registry dengan ketentuan sebagai berikut : (a) user-ID berikut password pengamanan untuk login ke jaringan Bank Indonesia bagi akses yang dilakukan melalui dial up; dan (b) paling sedikit 2 (dua) user-ID Operator dan 2 (dua) user- ID Supervisor berikut password pengamanan untuk menggunakan aplikasi Sistem Informasi BI-SSSS. b) Penggunaan Sistem Informasi BI-SSSS 1) Sub-Registry bertanggung jawab atas penggunaan dan pengamanan Sistem Informasi BI-SSSS. 2) Sub-Registry menyediakan ketentuan internal mengenai penggunaan Sistem Informasi BI-SSSS antara lain pemberian akses dan pengamanan penggunaan aplikasi Sistem Informasi BI-SSSS dari pihak yang tidak berwenang. 3) Sub-Registry … 7 3) Sub-Registry melakukan rekonsiliasi secara harian antara data setelmen yang telah dilaporkan kepada Central Registry dengan data setelmen transaksi yang terjadi di Sub-Registry untuk menjamin kebenaran data laporan yang disampaikan kepada Central Registry. 4) Sub-Registry melakukan koreksi data pelaporan melalui Sistem Informasi BI-SSSS, dalam hal terdapat kesalahan laporan sebagaimana dimaksud pada butir 1.a) dan butir 1.b). c) Pengelolaan Pengguna 1) Pengelolaan user-ID dan password akses jaringan Bank Indonesia dan akses aplikasi Sistem Informasi BI-SSSS dilakukan oleh Bank Indonesia. 2) Dalam hal terjadi perubahan pengguna yang akan mengakses jaringan Bank Indonesia dan aplikasi Sistem Informasi BI- SSSS, Sub-Registry menyampaikan perubahan dimaksud kepada Bank Indonesia melalui surat untuk melakukan perubahan user-ID dan password. 3) Dalam hal Sub-Registry tidak dapat melakukan akses ke jaringan Bank Indonesia atau aplikasi Sistem Informasi BI- SSSS yang diakibatkan kesalahan password, Sub-Registry dapat menyampaikan permintaan reset password kepada Bank Indonesia. 4) Permintaan perubahan user-ID, password dan/atau reset password sebagaimana dimaksud pada butir 2) dan butir 3), disampaikan Sub-Registry secara tertulis kepada : Bank Indonesia -Direktorat Pengelolaan Moneter cq. Bagian Penyelesaian Transaksi Pengelolaan Moneter Menara Sjafruddin Prawiranegara, Lantai 11 Jl. M.H. Thamrin No.2 Jakarta 10350 4. Ketentuan … 8 4. Ketentuan butir V.7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut : 7. Berdasarkan hasil pengawasan, Sub-Registry wajib melakukan tindak lanjut terhadap hasil temuan sebagai berikut : a. Sub-Registry yang belum memenuhi kewajiban dan/atau melakukan kesalahan dalam melaksanakan tugas dan/atau pelaporan sebagaimana dimaksud dalam butir IV.A dan butir IV.B, wajib : 1) memenuhi kewajiban pelaporan dengan data yang benar atau melakukan koreksi kesalahan dengan data yang benar terhadap Laporan Harian sebagaimana dimaksud dalam butir IV.B.1.a) dan laporan hasil transaksi penerbitan Surat Berharga dan transaksi buyback/debt switching yang transaksinya tidak dilakukan melalui BI-SSSS sebagaimana dimaksud dalam butir IV.B.1.b), paling lambat 2 (dua) hari kerja sejak tanggal pemberitahuan hasil temuan oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam butir 6; dan/atau 2) memenuhi kewajiban pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam butir IV.A.1 sampai dengan butir IV.A.10, atau memenuhi kewajiban pelaporan dengan data yang benar sebagaimana dimaksud dalam butir IV.B.1.c) sampai dengan butir IV.B.1.h), paling lambat 5 (lima) hari kerja sejak tanggal pemberitahuan hasil temuan oleh Bank Indonesia; dan/atau 3) melakukan koreksi kesalahan atas laporan dengan data yang benar terhadap Laporan Bulanan, dan laporan lainnya sesuai permintaan Bank Indonesia, paling lambat 5 (lima) hari kerja sejak tanggal pemberitahuan hasil temuan oleh Bank Indonesia. b. Sub-Registry yang tidak memenuhi persyaratan pemenuhan jumlah minimum pencatatan kepemilikan Surat Berharga rata-rata bulanan paling sedikit Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar Rupiah) dalam 12 (dua belas) bulan terakhir sebagaimana dimaksud dalam butir IV.A.11 dan pemenuhan persyaratan sebagai Sub-Registry sebagaimana … 9 sebagaimana dimaksud dalam butir IV.C terkait dengan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam butir II.6 sampai dengan butir II.9, wajib membuat rencana tindakan (action plan) dalam rangka memenuhi persyaratan dimaksud, dengan ketentuan sebagai berikut : 1) Rencana tindakan disampaikan kepada Bank Indonesia-Central Registry paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal surat pemberitahuan hasil temuan oleh Bank Indonesia. 2) Rencana tindakan sebagaimana dimaksud dalam butir 1) wajib dipenuhi sesuai dengan batas waktu pemenuhan yang diusulkan Sub-Registry paling lambat 3 (tiga) bulan sejak tanggal surat penyampaian rencana tindakan Sub-Registry, termasuk apabila terdapat perubahan. 5. Lampiran 3 diubah sebagaimana tercantum dalam Lampiran 3 yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Surat Edaran ini. Ketentuan dalam Surat Edaran ini mulai berlaku pada tanggal 18 Mei 2009. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA, EDDY SULAEMAN YUSUF DIREKTUR PENGELOLAAN MONETER "," SE-BI 11/14/DPM|SE-BI/2009 Perubahan Atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 10/29/DPM tanggal 2 September 2008 perihal Tata Cara Pengajuan Permohonan, Pelaporan, dan Pengawasan Sub-Registry 18 Mei 2009 18 Mei 2009 '10/29/DPM|SE-BI/2008' '10/2/PBI/2008', '10/29/DPM|SE-BI/2008' " " 1 No. 10/ 6 /DSM Jakarta, 13 Februari 2008 S U R A T E D A R A N Kepada SEMUA BANK UMUM DI INDONESIA Perihal : Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 5/31/DSM tanggal 1 Desember 2003 perihal Laporan Bulanan Bank Umum Syariah Sehubungan dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/3/PBI/2008 tanggal 4 Februari 2008 tentang Laporan Kantor Pusat Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4810), perlu dilakukan perubahan terhadap Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 5/31/DSM tanggal 1 Desember 2003 perihal Laporan Bulanan Bank Umum Syariah sebagai berikut: 1. Ketentuan Bab III Laporan per Kantor Bank Pelapor Butir III.39.1 mengenai Daftar Kegiatan Kustodian (Form-39) pada Lampiran Surat Edaran berupa Buku Pedoman Penyusunan Laporan Bulanan Bank Umum Syariah dihapus. 2. Ketentuan Bab III Laporan per Kantor Bank Pelapor Butir III.39.2 mengenai Sandi Daftar Kegiatan Kustodian pada Lampiran Surat Edaran berupa Buku Pedoman Penyusunan Laporan Bulanan Bank Umum Syariah dihapus. 3. Ketentuan Bab III Laporan per Kantor Bank Pelapor Butir III.39.3 mengenai Penjelasan Daftar Kegiatan Kustodian pada Lampiran Surat Edaran berupa Buku Pedoman Penyusunan Laporan Bulanan Bank Umum Syariah dihapus. Ketentuan … 2 Ketentuan dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 13 Februari 2008. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA, HARTADI A. SARWONO DEPUTI GUBERNUR "," SE-BI 10/6/DSM|SE-BI/2008 Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 5/31/DSM tanggal 1 Desember 2003 perihal Laporan Bulanan Bank Umum Syariah 13 Februari 2008 13 Februari 2008 '5/31/DSM|SE-BI/2003' '5/31/DSM|SE-BI/2003', '10/3/PBI/2008' " " No. 8/12/DASP Jakarta, 11 April 2006 S U R A T E D A R A N Kepada SEMUA PESERTA SISTEM BANK INDONESIA REAL TIME GROSS SETTLEMENT (BI-RTGS) DI INDONESIA Perihal : Penetapan Biaya Penggunaan Sistem Bank Indonesia Real Time Gross Settlement Selama Periode Uji Coba Treasury Single Account Pemerintah Melalui Mekanisme Rekening Pengeluaran Kuasa Bendahara Umum Negara Pusat/Daerah pada Bank Umum Dalam rangka melakukan pengelolaan keuangan negara yang lebih efektif dan efisien (cash management), Pemerintah merencanakan untuk menerapkan Treasury Single Account (TSA). Dalam rangka memperlancar penerapan TSA dimaksud, Pemerintah memerlukan uji coba penerapan TSA (Uji Coba TSA) dengan melibatkan beberapa Bank Peserta Sistem Bank Indonesia Real Time Gross Settlement (Sistem BI-RTGS). Pelaksanaan Uji Coba TSA dilakukan antara lain melalui mekanisme Rekening Pengeluaran Kuasa Bendahara Umum Negara Pusat/Daerah (RPK-BUN-P) pada Bank Umum. Sehubungan dengan hal tersebut, sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.6/8/PBI/2004 tanggal 11 Maret 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2004 Nomor 28, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4373) tentang Sistem Bank Indonesia Real Time Gross Settlement sebagaimana telah diubah dengan PBI No.6/13/PBI/2004 tanggal 9 Juni 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2004 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4387), perlu diatur penetapan … penetapan biaya penggunaan Sistem BI-RTGS selama periode Uji Coba TSA Pemerintah sebagai berikut: I. BANK PESERTA UJI COBA TSA 1. Pemerintah menetapkan beberapa Bank Peserta Sistem BI-RTGS yang merupakan mitra kerja Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) sebagai Bank Peserta Uji Coba TSA. 2. Penetapan Bank sebagai Peserta Uji Coba TSA oleh Pemerintah diberitahukan secara tertulis oleh Bank yang ditetapkan tersebut kepada Bank Indonesia c.q Direktorat Akunting dan Sistem Pembayaran, Jl. M.H. Thamrin No.2 Jakarta, mengenai hal-hal sebagai berikut: a. penetapan sebagai Bank Peserta Uji Coba TSA dengan melampirkan surat penetapan dari Pemerintah; dan b. nama kantor bank yang ditunjuk untuk menangani Uji Coba TSA. II. JENIS TRANSAKSI DAN PENGGUNAAN TRANSACTION REFERENCE NUMBER (TRN) DALAM UJI COBA TSA Jenis transaksi Uji Coba TSA dan TRN yang digunakan diatur sebagai berikut: 1. Pemindahan dana dari RPK-BUN-P yang berada di Kantor Bank Peserta Uji Coba TSA di wilayah tertentu kepada rekening bendaharawan gaji di Bank lain, menggunakan TRN IFTSA000; 2. Pelimpahan penerimaan pajak yang dilakukan setiap hari pada setiap hari kerja dari Bank Persepsi di wilayah Uji Coba TSA kepada rekening KPPN peserta Uji Coba TSA di Kantor Bank Indonesia yang mewilayahi KPPN tersebut, menggunakan TRN BIRSA501; 3. Pemindahan kelebihan dana dari RPK-BUN-P yang berada di Kantor Bank Peserta Uji Coba TSA kepada rekening nomor 502.000000 ”Bendahara Umum Negara” di Bank Indonesia, menggunakan TRN BIRSA502; 4. Pemindahan… 4. Pemindahan dana dari rekening KPPN yang berada di Kantor Bank Peserta Uji Coba TSA di wilayah tertentu kepada rekening rekanan KPPN yang berada di Bank lain, menggunakan TRN IFT00000; 5. Dalam pelaksanaan transaksi sebagaimana dimaksud pada angka 1 sampai dengan 3, Bank Peserta Uji Coba TSA harus mencantumkan keterangan ”Transaksi dalam rangka Uji Coba TSA di wilayah KPPN ............. (nama wilayah)” pada field Payment Detail. 6. Dalam pelaksanaan transaksi sebagaimana dimaksud pada angka 1 dan 3, Bank Peserta Uji Coba TSA harus mencantumkan keterangan nomor dan nama RPK-BUN-P pada field Originating Party. 7. Dalam hal pelimpahan pajak belum dilakukan setiap hari pada setiap hari kerja sebagaimana dimaksud dalam angka 2 namun dilakukan pada hari kerja tertentu maka pelimpahan pajak tetap menggunakan TRN sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia No. 7/62/DASP tanggal 30 Desember 2005 perihal Sistem Bank Indonesia Real Time Gross Settlement dan dikenakan biaya sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia No.4/14/DASP tanggal 24 September 2002 perihal Biaya Dalam Penggunaan Sistem Bank Indonesia Real Time Gross Settlement. III. PENGENAAN BIAYA TRANSAKSI DALAM UJI COBA TSA Pengenaan biaya transaksi dalam Uji Coba TSA diatur sebagai berikut : 1. Untuk transaksi sebagaimana dimaksud pada butir II.1, II.2, dan II.3, Bank Peserta Uji Coba TSA dikenakan biaya transaksi sebesar Rp 0,00 (nol rupiah) per transaksi. 2. Untuk transaksi sebagaimana dimaksud pada butir II.4, Bank Peserta Uji Coba TSA dikenakan biaya transaksi sebagaimana diatur pada Surat Edaran Bank Indonesia No.4/14/DASP tanggal 24 September 2002 perihal Biaya Dalam Penggunaan Sistem BI-RTGS. 3. Bank … 3. Bank Peserta Sistem BI-RTGS yang menggunakan TRN Uji Coba TSA diluar kepentingan Uji Coba TSA Pemerintah dikenakan biaya sebesar Rp 100.000,00 (seratus ribu rupiah) per transaksi. IV. PENUTUP 1. Ketentuan dalam Surat Edaran ini mulai berlaku pada saat dilakukan Uji Coba TSA oleh Pemerintah sampai dengan berakhirnya masa Uji Coba TSA. 2. Waktu pelaksanaan dan berakhirnya Uji Coba TSA sebagaimana dimaksud pada angka 1 diumumkan oleh Bank Indonesia melalui sarana administrative message Sistem BI-RTGS. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA, EDI SISWANTO DIREKTUR AKUNTING DAN SISTEM PEMBAYARAN DASP "," SE-BI 8/12/DASP|SE-BI/2006 Penetapan Biaya Penggunaan Sistem Bank Indonesia Real Time Gross Settlement Selama Periode Uji Coba Treasury Single Account Pemerintah Melalui Mekanisme Rekening Pengeluaran Kuasa Bendahara Umum Negara Pusat/Daerah pada Bank Umum 11 April 2006 pada saat dilakukan Uji Coba TSA oleh Pemerintah '6/8/PBI/2004', '6/13/PBI/2004' " " No.17/ 25 /DKMP Jakarta, 12 Oktober 2015 S U R A T E D A R A N Kepada SEMUA BANK UMUM, BANK UMUM SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH DI INDONESIA Perihal : Rasio Loan to Value atau Rasio Financing to Value untuk Kredit atau Pembiayaan Properti dan Uang Muka untuk Kredit atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor. Sehubungan dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/10/PBI/2015 tentang Rasio Loan to Value atau Rasio Financing to Value untuk Kredit atau Pembiayaan Properti dan Uang Muka untuk Kredit atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 141, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5706), perlu diatur ketentuan pelaksanaan mengenai rasio Loan to Value atau rasio Financing to Value untuk Kredit atau Pembiayaan Properti dan Uang Muka untuk Kredit atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor dalam Surat Edaran Bank Indonesia sebagai berikut: I. KETENTUAN UMUM Dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang yang mengatur mengenai perbankan, termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri dan Bank Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah. 2. Bank ... 2 2. Bank Umum adalah Bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional. 3. Bank Umum Syariah yang selanjutnya disingkat BUS adalah bank syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. 4. Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disingkat UUS adalah unit kerja dari kantor pusat Bank Umum konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor atau unit yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, atau unit kerja di kantor cabang dari suatu Bank yang berkedudukan di luar negeri yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang pembantu syariah dan/atau unit usaha syariah. 5. Kredit adalah kredit sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang yang mengatur mengenai perbankan. 6. Pembiayaan adalah pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah. 7. Properti adalah Rumah Tapak, Rumah Susun, dan Rumah Kantor atau Rumah Toko. 8. Rumah Tapak adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal yang merupakan kesatuan antara tanah dan bangunan dengan bukti kepemilikan berupa surat keterangan, sertifikat, atau akta yang dikeluarkan oleh lembaga atau pejabat yang berwenang. 9. Rumah Susun adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional baik dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan yang masing- masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, antara lain griya tawang, kondominium, apartemen, dan flat. 10. Rumah Kantor atau Rumah Toko adalah tanah berikut bangunan yang izin pendiriannya sebagai rumah tinggal sekaligus untuk tujuan komersial antara lain perkantoran, pertokoan, atau gudang. 11. Kredit Properti yang selanjutnya disingkat KP adalah kredit konsumsi yang terdiri atas: a. Kredit ... 3 a. Kredit yang diberikan Bank untuk pembelian Rumah Tapak, termasuk Kredit konsumsi beragun Rumah Tapak, yang selanjutnya disebut KP Rumah Tapak; b. Kredit yang diberikan Bank untuk pembelian Rumah Susun, termasuk Kredit konsumsi beragun Rumah Susun, yang selanjutnya disebut KP Rusun; dan c. Kredit yang diberikan Bank untuk pembelian Rumah Toko dan/atau Rumah Kantor, termasuk Kredit konsumsi beragun Rumah Toko dan/atau Rumah Kantor, yang selanjutnya disebut KP Ruko atau KP Rukan. 12. Pembiayaan Properti yang selanjutnya disebut KP Syariah adalah Pembiayaan konsumsi yang terdiri atas: a. Pembiayaan yang diberikan Bank untuk pembelian Rumah Tapak, termasuk Pembiayaan konsumsi beragun Rumah Tapak, yang selanjutnya disebut KP Rumah Tapak Syariah; b. Pembiayaan yang diberikan Bank untuk pembelian Rumah Susun, termasuk Pembiayaan konsumsi beragun Rumah Susun, yang selanjutnya disebut KP Rusun Syariah; dan c. Pembiayaan yang diberikan Bank untuk pembelian Rumah Toko dan/atau Rumah Kantor, termasuk Pembiayaan konsumsi beragun Rumah Toko dan/atau Rumah Kantor, yang selanjutnya disebut KP Ruko Syariah atau KP Rukan Syariah. 13. Akad Murabahah adalah akad pembiayaan suatu barang dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga yang lebih sebagai keuntungan yang disepakati. 14. Akad Istishna’ adalah akad pembiayaan barang dalam bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan atau pembeli (mustashni’) dan penjual atau pembuat (shani’). 15. Musyarakah Mutanaqisah yang selanjutnya disingkat MMQ adalah musyarakah atau syirkah dalam rangka kepemilikan Properti antara Bank dengan nasabah dengan kondisi penyertaan kepemilikan Properti oleh Bank akan berkurang disebabkan pembelian ... 4 pembelian secara bertahap oleh nasabah. 16. Akad Ijarah Muntahiya Bittamlik yang selanjutnya disebut Akad IMBT adalah akad penyediaan dana dalam rangka memindahkan hak guna atau manfaat dari suatu barang atau jasa berdasarkan transaksi sewa dengan opsi pemindahan kepemilikan barang. 17. Akad Qardh adalah akad pinjaman dana kepada nasabah dengan ketentuan bahwa nasabah wajib mengembalikan dana yang diterimanya pada waktu yang telah disepakati. 18. Uang Jaminan yang selanjutnya disebut Deposit adalah uang yang harus diserahkan oleh nasabah kepada Bank dalam rangka kepemilikan Properti yang dilakukan dengan Akad IMBT. 19. Rasio Loan to Value yang selanjutnya disebut Rasio LTV adalah angka rasio antara nilai Kredit yang dapat diberikan oleh Bank terhadap nilai agunan berupa Properti pada saat pemberian Kredit berdasarkan harga penilaian terakhir. 20. Rasio Financing to Value yang selanjutnya disebut Rasio FTV adalah angka rasio antara nilai Pembiayaan yang dapat diberikan oleh Bank terhadap nilai agunan berupa Properti pada saat pemberian Pembiayaan berdasarkan harga penilaian terakhir. 21. Kredit atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disebut KKB atau KKB Syariah adalah Kredit atau Pembiayaan yang diberikan Bank untuk pembelian kendaraan bermotor. 22. Uang Muka adalah pembayaran di muka sebesar persentase tertentu dari harga pembelian Properti atau kendaraan bermotor yang sumber dananya berasal dari debitur atau nasabah. 23. Laporan Bulanan Bank Umum yang selanjutnya disebut LBU adalah Laporan Bulanan Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan bulanan bank umum. 24. Laporan Stabilitas Moneter dan Sistem Keuangan Bulanan Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disebut LSMK adalah Laporan Stabilitas Moneter dan Sistem Keuangan Bulanan Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur ... 5 mengatur mengenai laporan stabilitas moneter dan sistem keuangan bulanan bank umum syariah dan unit usaha syariah. II. FASILITAS KREDIT, NILAI AGUNAN, DAN PENILAIAN AGUNAN A. Perhitungan Kredit dan Nilai Agunan untuk Bank Umum Perhitungan Kredit dan nilai agunan dalam perhitungan Rasio LTV untuk Bank Umum ditetapkan sebagai berikut: 1. Kredit ditetapkan berdasarkan plafon Kredit yang diterima oleh debitur sebagaimana tercantum dalam perjanjian Kredit; dan 2. nilai agunan ditetapkan berdasarkan nilai taksiran yang dilakukan penilai intern Bank atau penilai independen terhadap Properti yang menjadi agunan. B. Perhitungan Pembiayaan dan Nilai Agunan untuk BUS dan UUS Perhitungan Pembiayaan dan nilai agunan dalam perhitungan Rasio FTV untuk BUS dan UUS ditetapkan sebagai berikut: 1. Pembiayaan ditetapkan berdasarkan jenis akad yang digunakan, yaitu: a. Pembiayaan berdasarkan Akad Murabahah atau Akad Istishna’ ditetapkan berdasarkan harga pokok Pembiayaan yang diberikan kepada nasabah sebagaimana tercantum dalam akad Pembiayaan; b. Pembiayaan berdasarkan Akad MMQ ditetapkan berdasarkan penyertaan Bank dalam rangka kepemilikan Properti sebagaimana tercantum dalam akad Pembiayaan; dan c. Pembiayaan berdasarkan Akad IMBT ditetapkan berdasarkan hasil pengurangan harga Properti dengan Deposit sebagaimana tercantum dalam akad Pembiayaan. 2. Nilai agunan ditetapkan berdasarkan nilai taksiran yang dilakukan penilai intern Bank atau penilai independen terhadap Properti yang menjadi agunan. C. Tata ... 6 C. Tata Cara Penilaian Agunan 1. Tata cara penilaian agunan ditetapkan sebagai berikut: a. Apabila Kredit atau Pembiayaan untuk 1 (satu) atau beberapa debitur atau nasabah secara keseluruhan pada proyek yang sama sampai dengan Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) maka nilai agunan didasarkan pada taksiran yang dilakukan oleh penilai intern Bank atau penilai independen; dan b. Apabila Kredit atau Pembiayaan untuk 1 (satu) atau beberapa debitur atau nasabah secara keseluruhan pada proyek yang sama di atas Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) maka nilai agunan didasarkan pada taksiran yang dilakukan oleh penilai independen. 2. Proyek yang sama sebagaimana dimaksud dalam angka 1 adalah properti yang berada pada area yang sama dan dibangun oleh pengembang yang sama, yaitu Rumah Tapak, Rumah Susun, Rumah Kantor atau Rumah Toko, dihitung untuk masing-masing unit. Contoh: a. Bank memberikan Kredit atau Pembiayaan kepada 3 (tiga) orang debitur atau nasabah untuk pembelian Rumah Tapak dalam satu cluster yang merupakan KP pertama, masing- masing dengan nilai Kredit atau Pembiayaan sebesar Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). Penilaian agunan tersebut didasarkan pada taksiran yang dilakukan oleh penilai intern Bank atau penilai independen. b. Bank memberikan Kredit atau Pembiayaan kepada 1 (satu) orang debitur atau nasabah untuk pembelian 1 (satu) Rumah Tapak yang merupakan KP pertama dengan nilai Kredit atau Pembiayaan sebesar Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah). Penilaian agunan tersebut didasarkan pada taksiran yang dilakukan oleh penilai independen. c. Bank ... 7 c. Bank memberikan Kredit atau Pembiayaan kepada 1 (satu) orang debitur atau nasabah untuk pembelian 3 (tiga) Rumah Tapak yang telah tersedia secara utuh masing- masing dengan nilai Kredit atau Pembiayaan sebesar Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). Penilaian agunan tersebut didasarkan pada taksiran yang dilakukan oleh penilai intern Bank atau penilai independen. 3. Penetapan nilai taksiran sebagaimana dimaksud dalam angka 1 mengacu pada metode dan prinsip yang berlaku umum dalam penilaian agunan yang ditetapkan oleh asosiasi dan/atau institusi yang berwenang. III. TATA CARA PERHITUNGAN RASIO LTV ATAU RASIO FTV UNTUK KREDIT ATAU PEMBIAYAAN PROPERTI Tata cara perhitungan Rasio LTV atau Rasio FTV untuk Kredit atau Pembiayaan Properti ditetapkan sebagai berikut: A. Rasio LTV atau Rasio FTV untuk KP dan KP Syariah 1. Rasio LTV atau Rasio FTV untuk KP dan KP Syariah pertama ditetapkan paling tinggi sebesar: a. 90% (sembilan puluh persen) untuk KP Rusun dan KP Rusun Syariah dengan luas bangunan 22m2 (dua puluh dua meter persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi); b. 85% (delapan puluh lima persen) untuk KP Rumah Tapak Syariah dan KP Rusun Syariah berdasarkan akad MMQ atau Akad IMBT, dengan luas bangunan di atas 70m2 (tujuh puluh meter persegi); dan c. 80% (delapan puluh persen) untuk KP Rusun, KP Rumah Tapak, KP Rusun Syariah, dan KP Rumah Tapak Syariah berdasarkan Akad Murabahah atau Akad Istishna’, dengan luas bangunan di atas 70m2 (tujuh puluh meter persegi). 2. Rasio LTV atau Rasio FTV untuk KP dan KP Syariah kedua diatur sebagai berikut: a. Untuk ... 8 a. Untuk KP kedua ditetapkan paling tinggi sebesar: 1) 80% (delapan puluh persen) untuk KP Rumah Tapak dengan luas bangunan 22m2 (dua puluh dua meter persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi); 2) 80% (delapan puluh persen) untuk KP Rusun dengan luas bangunan sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi); 3) 80% (delapan puluh persen) untuk KP Ruko atau KP Rukan; dan 4) 70% (tujuh puluh persen) untuk KP Rumah Tapak dan KP Rusun dengan luas bangunan di atas 70m2 (tujuh puluh meter persegi). b. Untuk KP Syariah kedua berdasarkan Akad Murabahah atau Akad Istishna’ ditetapkan paling tinggi sebesar: 1) 80% (delapan puluh persen) untuk KP Rumah Tapak Syariah dengan luas bangunan 22m2 (dua puluh dua meter persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi); 2) 80% (delapan puluh persen) untuk KP Rusun Syariah dengan luas bangunan sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi); 3) 80% (delapan puluh persen) untuk KP Ruko Syariah atau KP Rukan Syariah; dan 4) 70% (tujuh puluh persen) untuk KP Rumah Tapak Syariah dan KP Rusun Syariah dengan luas bangunan di atas 70m2 (tujuh puluh meter persegi). c. Untuk KP Syariah kedua berdasarkan akad MMQ dan Akad IMBT ditetapkan paling tinggi sebesar: 1) 80% (delapan puluh persen) untuk KP Rumah Tapak Syariah dengan luas bangunan 22m2 (dua puluh dua meter persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi); 2) 80% ... 9 2) 80% (delapan puluh persen) untuk KP Rusun Syariah dengan luas bangunan sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi); 3) 80% (delapan puluh persen) untuk KP Ruko Syariah atau KP Rukan Syariah; dan 4) 75% (tujuh puluh lima persen) untuk KP Rumah Tapak Syariah dan KP Rusun Syariah dengan luas bangunan di atas 70m2 (tujuh puluh meter persegi). 3. Rasio LTV atau Rasio FTV untuk KP dan KP Syariah ketiga dan seterusnya diatur sebagai berikut: a. Untuk KP ketiga dan seterusnya ditetapkan paling tinggi sebesar: 1) 70% (tujuh puluh persen) untuk KP Rumah Tapak dengan luas bangunan 22m2 (dua puluh dua meter persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi); 2) 70% (tujuh puluh persen) untuk KP Rusun dengan luas bangunan sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi); 3) 70% (tujuh puluh persen) untuk KP Ruko atau KP Rukan; dan 4) 60% (enam puluh persen) untuk KP Rumah Tapak dan KP Rusun dengan luas bangunan di atas 70m2 (tujuh puluh meter persegi). b. Untuk KP Syariah ketiga dan seterusnya berdasarkan Akad Murabahah atau Akad Istishna’ ditetapkan paling tinggi sebesar: 1) 70% (tujuh puluh persen) untuk KP Rumah Tapak Syariah dengan luas bangunan 22m2 (dua puluh dua meter persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi); 2) 70% ... 10 2) 70% (tujuh puluh persen) untuk KP Rusun Syariah dengan luas bangunan sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi); 3) 70% (tujuh puluh persen) untuk KP Ruko Syariah atau KP Rukan Syariah; dan 4) 60% (enam puluh persen) untuk KP Rumah Tapak Syariah dan KP Rusun Syariah dengan luas bangunan di atas 70m2 (tujuh puluh meter persegi). c. Untuk KP Syariah ketiga dan seterusnya berdasarkan akad MMQ dan Akad IMBT ditetapkan paling tinggi sebesar: 1) 70% (tujuh puluh persen) untuk KP Rumah Tapak Syariah dengan luas bangunan 22m2 (dua puluh dua meter persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi); 2) 70% (tujuh puluh persen) untuk KP Rusun Syariah dengan luas bangunan sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi); 3) 70% (tujuh puluh persen) untuk KP Ruko Syariah atau KP Rukan Syariah; dan 4) 65% (enam puluh lima persen) untuk KP Rumah Tapak Syariah dan KP Rusun Syariah dengan luas bangunan di atas 70m2 (tujuh puluh meter persegi). 4. Penetapan Rasio LTV atau Rasio FTV sebagaimana dimaksud dalam angka 1, angka 2, dan angka 3 berlaku apabila Bank memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. rasio Kredit atau Pembiayaan bermasalah dari total Kredit atau Pembiayaan secara bruto (gross) kurang dari 5% (lima persen); dan b. rasio KP atau KP Syariah bermasalah dari total KP atau KP Syariah secara bruto (gross) kurang dari 5% (lima persen). 5. Bagi Bank yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam angka 4, maka Rasio LTV atau Rasio FTV diatur sebagai berikut: a. Rasio ... 11 a. Rasio LTV atau Rasio FTV untuk KP dan KP Syariah pertama ditetapkan paling tinggi sebesar: 1) 90% (sembilan puluh persen) untuk KP Rusun Syariah berdasarkan akad MMQ atau Akad IMBT dengan luas bangunan 22m2 (dua puluh dua meter persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi); 2) 80% (delapan puluh persen) untuk KP Rusun dengan luas bangunan 22m2 (dua puluh dua meter persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi); 3) 80% (delapan puluh persen) untuk KP Rumah Tapak Syariah dan KP Rusun Syariah berdasarkan akad MMQ atau Akad IMBT dengan luas bangunan di atas 70m2 (tujuh puluh meter persegi); dan 4) 70% (tujuh puluh persen) untuk KP Rumah Tapak, KP Rusun, KP Rumah Tapak Syariah, dan KP Rusun Syariah berdasarkan Akad Murabahah atau Akad Istishna’ dengan luas bangunan di atas 70m2 (tujuh puluh meter persegi). b. Rasio LTV atau Rasio FTV untuk KP dan KP Syariah kedua diatur sebagai berikut: 1) Untuk KP kedua ditetapkan paling tinggi sebesar: a) 70% (tujuh puluh persen) untuk KP Rumah Tapak dengan luas bangunan 22m2 (dua puluh dua meter persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi); b) 70% (tujuh puluh persen) untuk KP Rusun dengan luas bangunan sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi); c) 70% (tujuh puluh persen) untuk KP Ruko atau KP Rukan; dan d) 60% (enam puluh persen) untuk KP Rumah Tapak dan KP Rusun dengan luas bangunan di atas 70m2 (tujuh puluh meter persegi). 2) Untuk... 12 2) Untuk KP Syariah kedua berdasarkan Akad Murabahah atau Akad Istishna’ ditetapkan paling tinggi sebesar: a) 70% (tujuh puluh persen) untuk KP Rumah Tapak Syariah dengan luas bangunan 22m2 (dua puluh dua meter persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi); b) 70% (tujuh puluh persen) untuk KP Rusun Syariah dengan luas bangunan sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi); c) 70% (tujuh puluh persen) untuk KP Ruko Syariah atau KP Rukan Syariah; dan d) 60% (enam puluh persen) untuk KP Rumah Tapak Syariah dan KP Rusun Syariah dengan luas bangunan di atas 70m2 (tujuh puluh meter persegi). 3) Untuk KP Syariah kedua berdasarkan akad MMQ dan Akad IMBT ditetapkan paling tinggi sebesar: a) 80% (delapan puluh persen) untuk KP Rumah Tapak Syariah dengan luas bangunan 22m2 (dua puluh dua meter persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi); b) 80% (delapan puluh persen) untuk KP Rusun Syariah dengan luas bangunan sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi); c) 80% (delapan puluh persen) untuk KP Ruko Syariah atau KP Rukan Syariah; dan d) 75% (tujuh puluh lima persen) untuk KP Rumah Tapak Syariah dan KP Rusun Syariah dengan luas bangunan di atas 70m2 (tujuh puluh meter persegi). c. Rasio LTV atau Rasio FTV untuk KP dan KP Syariah ketiga dan seterusnya diatur sebagai berikut: 1) Untuk KP ketiga dan seterusnya ditetapkan paling tinggi sebesar: a) 60% (enam puluh persen) untuk KP Rumah Tapak dengan luas bangunan 22m2 (dua puluh dua meter persegi) ... 13 persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi); b) 60% (enam puluh persen) untuk KP Rusun dengan luas bangunan sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi); c) 60% (enam puluh persen) untuk KP Ruko atau KP Rukan; dan d) 50% (lima puluh persen) untuk KP Rumah Tapak dan KP Rusun dengan luas bangunan di atas 70m2 (tujuh puluh meter persegi). 2) Untuk KP Syariah ketiga dan seterusnya berdasarkan Akad Murabahah atau Akad Istishna’ ditetapkan paling tinggi sebesar: a) 60% (enam puluh persen) untuk KP Rumah Tapak Syariah dengan luas bangunan 22m2 (dua puluh dua meter persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi); b) 60% (enam puluh persen) untuk KP Rusun Syariah dengan luas bangunan sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi); c) 60% (enam puluh persen) untuk KP Ruko Syariah atau KP Rukan Syariah; dan d) 50% (lima puluh persen) untuk KP Rumah Tapak Syariah dan KP Rusun Syariah dengan luas bangunan di atas 70m2 (tujuh puluh meter persegi). 3) Untuk KP Syariah ketiga dan seterusnya berdasarkan akad MMQ dan Akad IMBT ditetapkan paling tinggi sebesar: a) 70% (tujuh puluh persen) untuk KP Rumah Tapak Syariah dengan luas bangunan 22m2 (dua puluh dua meter persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi); b) 70% (tujuh puluh persen) untuk KP Rusun Syariah dengan luas bangunan sampai dengan 70m2 (tujuh puluh ... 14 puluh meter persegi); c) 70% (tujuh puluh persen) untuk KP Ruko Syariah atau KP Rukan Syariah; dan d) 60% (enam puluh persen) untuk KP Rumah Tapak Syariah dan KP Rusun Syariah dengan luas bangunan di atas 70m2 (tujuh puluh meter persegi). 6. Bank dilarang memberikan Kredit atau Pembiayaan untuk pemenuhan Uang Muka dalam rangka KP dan KP Syariah kepada debitur atau nasabah. Termasuk pengertian debitur atau nasabah antara lain debitur yang merupakan karyawan Bank yang bersangkutan. 7. Penentuan urutan KP atau KP Syariah sebagaimana dimaksud angka 1, angka 2, angka 3, dan angka 5 dilakukan dengan memperhitungkan seluruh KP dan/atau KP Syariah yang telah diterima debitur atau nasabah di Bank yang sama maupun Bank lainnya, dengan ketentuan sebagai berikut: a. berdasarkan urutan tanggal perjanjian KP dan/atau akad KP Syariah; dan b. dalam hal terdapat tanggal perjanjian KP dan/atau akad KP Syariah yang sama maka penentuan urutan diawali dari KP atau KP Syariah dengan nilai agunan paling rendah. B. Perhitungan Rasio Kredit Bermasalah atau Rasio Pembiayaan Bermasalah dan Perhitungan Rasio KP Bermasalah atau Rasio KP Syariah Bermasalah 1. Perhitungan rasio Kredit bermasalah atau rasio Pembiayaan bermasalah sebagaimana dimaksud dalam butir A.4.a dilakukan dengan membagi hasil penjumlahan Kredit atau Pembiayaan dengan kualitas kurang lancar (KL), diragukan (D), dan macet (M) kepada pihak ketiga bukan Bank terhadap total Kredit atau Pembiayaan kepada pihak ketiga bukan Bank. Formula perhitungan rasio Kredit bermasalah adalah sebagai berikut: Kredit kualitas KL + Kredit kualitas D + Kredit kualitas M Total Kredit x 100% Formula ... 15 Formula perhitungan rasio Pembiayaan bermasalah adalah sebagai berikut: Pembiayaan kualitas KL + Pembiayaan kualitas D + Pembiayaan kualitas M Total Pembiayaan x 100% 2. Perhitungan Rasio KP bermasalah atau Rasio KP Syariah bermasalah a. Perhitungan rasio KP bermasalah sebagaimana dimaksud dalam butir A.4.b dilakukan dengan membandingkan antara hasil penjumlahan Kredit kepada sektor rumah tangga untuk kepemilikan perumahan dan jumlah Kredit konsumsi lainnya yang beragun Properti dengan kualitas kurang lancar (KL), diragukan (D), dan macet (M) terhadap total Kredit kepada sektor rumah tangga untuk kepemilikan perumahan dan Kredit konsumsi lainnya yang beragun Properti. Formula perhitungan rasio KP bermasalah adalah sebagai berikut: KP kualitas KL + KP kualitas D + KP kualitas M Total KP x 100% b. Rasio KP Syariah bermasalah dihitung sebagai berikut: 1) Membagi hasil penjumlahan Pembiayaan kepada sektor rumah tangga untuk kepemilikan perumahan dan jumlah Pembiayaan konsumsi lainnya yang beragun properti dengan kualitas kurang lancar (KL), diragukan (D) dan macet (M) terhadap total Pembiayaan kepada sektor rumah tangga untuk kepemilikan perumahan dan Pembiayaan konsumsi lainnya yang beragun Properti. 2) Pembiayaan yang diperhitungkan sebagaimana dalam angka 1) adalah pembiayaan yang menggunakan Akad Murabahah, Akad Istishna’, akad MMQ, dan Akad IMBT. Formula ... 16 Formula perhitungan rasio KP Syariah bermasalah adalah sebagai berikut: KP Syariah kualitas KL + KP Syariah kualitas D + KP Syariah kualitas M Total KP Syariah x 100% 3. Bagi Bank Umum yang memiliki UUS, perhitungan rasio Kredit bermasalah dan rasio KP bermasalah bagi Bank Umum dan perhitungan rasio Pembiayaan bermasalah dan rasio KP Syariah bermasalah bagi UUS, dilakukan secara terpisah. C. Sumber Data dan Nilai yang digunakan 1. Penetapan masing-masing komponen dalam perhitungan rasio Kredit bermasalah atau rasio Pembiayaan bermasalah dan perhitungan rasio KP bermasalah atau rasio KP Syariah bermasalah dilakukan berdasarkan LBU atau LSMK periode 2 (dua) bulan sebelum tanggal perjanjian Kredit atau akad Pembiayaan ditandatangani. 2. Nilai Kredit bermasalah berasal dari LBU form 11 (Daftar Rincian Kredit Yang Diberikan) yaitu hasil penjumlahan nilai dalam bulan laporan (Kolom XXIV) untuk golongan debitur dengan sandi pihak ketiga bukan bank (Kolom IV) dengan kualitas KL, D, dan M. 3. Nilai total Kredit berasal dari LBU form 11 (Daftar Rincian Kredit Yang Diberikan) yaitu hasil penjumlahan nilai dalam bulan laporan (Kolom XXIV) untuk golongan debitur dengan sandi pihak ketiga bukan bank (Kolom IV). 4. Nilai Pembiayaan bermasalah berasal dari LSMK untuk golongan nasabah dengan sandi pihak ketiga bukan bank (kolom II) yaitu penjumlahan dari: a. saldo harga pokok (Kolom XIX) pada form 10 (Daftar Rincian Piutang Murabahah) untuk Akad Murabahah; b. saldo harga pokok (Kolom XVIII) pada form 11 (Daftar Rincian Piutang Istishna’) untuk Akad Istishna’; c. jumlah bulan laporan (Kolom XVIII b) pada form 12 (Daftar Rincian Piutang Qardh) untuk Akad Qardh; d. jumlah ... 17 d. jumlah bulan laporan (Kolom XXI B) pada form 13 (Daftar Rincian Bagi Hasil) untuk akad bagi hasil; e. hasil penjumlahan dari harga perolehan (Kolom XVII B. 3) dikurangi dengan akumulasi penyusutan/amortisasi (Kolom XXII) dan cadangan kerugian penurunan nilai aset Ijarah (Kolom XXIII) dan ditambahkan dengan tunggakan pokok (Kolom XXIV B) pada form 14 (Daftar Rincian Pembiayaan Sewa) untuk akad sewa, dengan formula sebagai berikut: Harga Perolehan - (Akumulasi Penyusutan/Amortisasi + Cadangan Kerugian Penurunan Nilai Aset Ijarah) + Tunggakan Pokok; dan jumlah bulan laporan (Kolom XI) pada form 18 (Daftar Rincian Pembiayaan Salam) untuk akad salam, dengan kualitas KL, D, dan M. f. 5. Nilai Pembiayaan berasal dari LSMK untuk golongan nasabah dengan sandi pihak ketiga bukan bank (kolom II) yaitu penjumlahan dari: a. saldo harga pokok (Kolom XIX) pada form 10 (Daftar Rincian Piutang Murabahah) untuk Akad Murabahah; b. saldo harga pokok (Kolom XVIII) pada form 11 (Daftar Rincian Piutang Istishna’) untuk Akad Istishna’; c. jumlah bulan laporan (Kolom XVIII b) pada form 12 (Daftar Rincian Piutang Qardh) untuk Akad Qardh; d. jumlah bulan laporan (Kolom XXI B) pada form 13 (Daftar Rincian Bagi Hasil) untuk akad bagi hasil; e. hasil penjumlahan dari harga perolehan (Kolom XVII B. 3) dikurangi dengan akumulasi penyusutan/amortisasi (Kolom XXII) dan cadangan kerugian penurunan nilai aset Ijarah (Kolom XXIII) dan ditambahkan dengan tunggakan pokok (Kolom XXIV B) pada form 14 (Daftar Rincian Pembiayaan Sewa) untuk akad sewa, dengan formula sebagai berikut: Harga Perolehan - (Akumulasi Penyusutan/Amortisasi + Cadangan Kerugian Penurunan Nilai Aset Ijarah) + Tunggakan Pokok; dan ... 18 dan f. jumlah bulan laporan (Kolom XI) pada form 18 (Daftar Rincian Pembiayaan Salam) untuk akad salam, 6. Mengingat LBU dan LSMK belum dapat memberikan informasi yang diperlukan untuk menghitung rasio KP bermasalah dan rasio KP Syariah bermasalah sebagaimana dimaksud dalam angka 1, Bank menyampaikan laporan offline mengenai KP/KP Syariah kepada Bank Indonesia sampai dengan batas waktu yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. 7. Penyampaian laporan offline sebagaimana dimaksud dalam angka 6 diatur dengan ketentuan sebagai berikut: a. Periode penyampaian laporan: 1) Untuk laporan bulan April s.d. Oktober 2015 diserahkan paling lambat tanggal 20 November 2015. 2) Untuk laporan bulan November 2015 dan seterusnya diserahkan masing-masing paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya. 3) Dalam hal tanggal 20 jatuh pada hari libur maka Bank menyampaikan laporan pada hari kerja berikutnya. b. Laporan offline dan petunjuk pengisian mengacu pada format sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini. c. Laporan offline disampaikan kepada Bank Indonesia c.q. Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan. Khusus untuk Bank yang berkantor pusat di luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia, laporan offline juga ditembuskan kepada Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat. Penyampaian laporan offline kepada Kantor Pusat Bank Indonesia dan tembusan kepada Kantor Perwakilan dilakukan melalui email sesuai dengan daftar alamat email penyampaian laporan offline sebagaimana tercantum dalam Lampiran ... 19 Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini. d. Tata cara penyampaian laporan offline melalui email diatur sebagai berikut: 1) Bank mengirimkan 2 (dua) email kepada Bank Indonesia setiap bulan sebagai berikut: a) Email berisi file terenkripsi sebagaimana format yang tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini; dan b) Email berisi password yang disampaikan setelah melakukan pengiriman file. 2) Subjek email disamakan dengan nama file sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini. e. Dalam hal penyampaian laporan offline melalui email tidak dapat dilakukan, Bank menyampaikan laporan dalam bentuk soft copy dan hard copy kepada: Bank Indonesia c.q. Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan Divisi Pengelolaan dan Pengawasan 1 Jl. M. H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350. Khusus untuk Bank yang berkantor pusat di luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia, tembusan laporan offline dalam bentuk soft copy dan hard copy juga disampaikan kepada Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat. f. Batas waktu penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam huruf e mengikuti ketentuan sebagaimana diatur dalam huruf a. g. Dalam hal Bank tidak menyampaikan laporan offline sesuai periode dan format sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, maka Bank Indonesia dapat melakukan tindakan ... 20 tindakan misalnya meminta Bank untuk menyampaikan laporan offline atau melakukan koordinasi dengan otoritas pengawasan Bank. h. Bank harus menyampaikan secara tertulis mengenai nama petugas dan penanggung jawab yang ditunjuk untuk menyusun dan menyampaikan laporan offline, serta alamat email pengirim laporan sebagaimana dimaksud dalam angka 3, termasuk apabila terdapat perubahannya kepada: 1) Bank Indonesia c.q. Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan; 2) Khusus untuk Bank yang berkantor pusat di luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia, nama petugas dan penanggungjawab serta alamat email pengirim laporan yang ditunjuk Bank juga ditembuskan kepada Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat. i. Untuk pertama kali, nama petugas dan penanggungjawab yang ditunjuk serta alamat email pengirim laporan sebagaimana dimaksud dalam huruf h disampaikan paling lambat tanggal 20 Oktober 2015. D. Kewajiban Administratif Dalam rangka penetapan Rasio LTV dan/atau Rasio FTV, Bank wajib: 1. Memperlakukan debitur atau nasabah suami dan istri sebagai 1 (satu) debitur atau nasabah kecuali terdapat perjanjian pemisahan harta yang dibuktikan dengan fotokopi perjanjian yang disahkan/dilegalisir oleh notaris; 2. Meminta surat pernyataan dari calon debitur atau nasabah yang paling kurang memuat keterangan mengenai KP dan/atau KP Syariah yang masih berjalan (outstanding) dan/atau yang sedang dalam proses pengajuan permohonan, baik pada Bank yang sama maupun pada Bank yang lain; dan 3. Menolak permohonan KP dan/atau KP Syariah yang diajukan apabila calon debitur atau nasabah tidak bersedia menyerahkan ... 21 menyerahkan surat pernyataan sebagaimana dimaksud dalam angka 2. E. Contoh Perhitungan dan Penetapan Rasio LTV atau Rasio FTV untuk Kredit atau Pembiayaan Properti Perhitungan dan penetapan Rasio LTV atau Rasio FTV untuk KP atau KP Syariah adalah sebagaimana contoh yang tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini. IV. TATA CARA PERHITUNGAN RASIO LTV ATAU RASIO FTV UNTUK TAMBAHAN KREDIT ATAU PEMBIAYAAN (TOP UP) DAN UNTUK KREDIT ATAU PEMBIAYAAN YANG DIAMBIL ALIH (TAKE OVER) A. Tambahan Kredit atau Pembiayaan (Top Up) Dalam hal Bank memberikan tambahan Kredit atau Pembiayaan (top up) dengan agunan berupa Properti yang masih menjadi agunan dari KP atau KP Syariah sebelumnya, berlaku ketentuan sebagai berikut: 1. Tambahan Kredit atau Pembiayaan (top up) tersebut diperlakukan sebagai Kredit atau Pembiayaan baru. 2. Yang dimaksud dengan diperlakukan sebagai Kredit atau Pembiayaan baru adalah tambahan Kredit atau Pembiayaan tersebut diperhitungkan sebagai KP atau KP Syariah yang berikutnya. 3. Urutan Kredit atau Pembiayaan dan besaran Rasio LTV atau Rasio FTV Kredit atau Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam angka 1 mengacu pada Rasio LTV atau Rasio FTV sebagaimana dimaksud dalam butir III.A. 4. Jumlah tambahan Kredit atau Pembiayaan (top up) yang diberikan oleh Bank wajib memperhitungkan jumlah baki debet Kredit atau Pembiayaan sebelumnya yang menggunakan agunan yang sama. 5. Mekanisme tambahan Kredit atau Pembiayaan (top up) sebagaimana dimaksud dalam angka 1 mengikuti ketentuan terkait ... 22 terkait yang dikeluarkan oleh pihak yang berwenang. B. Kredit atau Pembiayaan yang Diambil Alih (Take Over) Dalam hal Bank memberikan Kredit atau Pembiayaan dengan cara mengambil alih (take over) Kredit atau Pembiayaan dari Bank lain berlaku ketentuan sebagai berikut: 1. Pengambilalihan Kredit atau Pembiayaan yang hanya ditujukan untuk pelunasan Kredit atau Pembiayaan sebelumnya di Bank lain tidak diperlakukan sebagai Kredit atau Pembiayaan baru; atau 2. Pengambilalihan Kredit atau Pembiayaan yang disertai dengan tambahan Kredit atau Pembiayaan (top up) diperlakukan sebagai Kredit atau Pembiayaan baru sebagaimana dimaksud dalam huruf A. 3. Mekanisme pengambilalihan Kredit atau Pembiayaan (take over) sebagaimana dimaksud dalam angka 1 dan angka 2 mengikuti ketentuan terkait yang dikeluarkan oleh pihak yang berwenang. C. Contoh Perhitungan dan Penetapan Rasio LTV atau Rasio FTV untuk tambahan Kredit atau Pembiayaan (Top Up) dan pengambilalihan Kredit atau Pembiayaan (Take Over) Perhitungan dan penetapan Rasio LTV atau Rasio FTV untuk tambahan Kredit atau Pembiayaan (top up) dan pengambilalihan Kredit atau Pembiayaan (take over) adalah sebagaimana contoh yang tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini. V. TATA CARA PERHITUNGAN RASIO LTV ATAU RASIO FTV UNTUK PEMBERIAN KP ATAU KP SYARIAH JIKA PROPERTI YANG AKAN DIBIAYAI BELUM TERSEDIA SECARA UTUH A. Persyaratan KP atau KP Syariah dengan Properti yang Belum Tersedia Secara Utuh 1. Dalam hal Bank akan memberikan KP atau KP Syariah dengan Properti yang akan dibiayai belum tersedia secara utuh maka berlaku persyaratan sebagai berikut: a. Kredit ... 23 a. Kredit atau Pembiayaan merupakan KP atau KP Syariah urutan pertama dari seluruh KP dan KP Syariah yang telah diterima debitur atau nasabah di Bank yang sama maupun Bank lainnya; b. Terdapat perjanjian kerjasama antara Bank dengan pengembang yang paling kurang memuat kesanggupan pengembang untuk menyelesaikan Properti sesuai dengan yang diperjanjikan dengan debitur atau nasabah; dan c. Terdapat jaminan yang diberikan oleh pengembang kepada Bank baik yang berasal dari pengembang sendiri atau pihak lain yang dapat digunakan untuk menyelesaikan kewajiban pengembang apabila Properti tidak dapat diselesaikan dan/atau tidak dapat diserahterimakan sesuai perjanjian. 2. Jaminan yang diberikan oleh pengembang kepada Bank dapat berupa aset tetap, aset bergerak, bank guarantee, standby letter of credit, dan/atau dana yang dititipkan dan/atau disimpan dalam escrow account di Bank pemberi Kredit atau Pembiayaan. 3. Dana yang dititipkan dan/atau disimpan dalam escrow account di Bank pemberi Kredit atau Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam angka 2 adalah dana yang ditahan di Bank atas nama pengembang yang digunakan untuk menyelesaikan pembangunan Properti. 4. Nilai jaminan yang diberikan oleh pengembang paling kurang sebesar selisih antara komitmen Kredit atau Pembiayaan dengan pencairan yang telah dilakukan oleh Bank. 5. Jaminan yang diberikan oleh pihak lain dapat berbentuk corporate guarantee, stand by letter of credit, atau bank guarantee. 6. Bank harus dapat memastikan bahwa jaminan sebagaimana dimaksud dalam butir 1.c dapat dieksekusi dalam hal pengembang tidak dapat menyelesaikan kewajibannya, yang paling kurang tertuang dalam perjanjian kerjasama antara pengembang dengan Bank. B. Laporan ... 24 B. Laporan Perkembangan Pembangunan Properti 1. Dalam hal Bank memberikan KP atau KP Syariah sebagaimana dimaksud dalam huruf A maka pencairan KP atau KP Syariah dimaksud hanya dapat dilakukan secara bertahap sesuai perkembangan pembangunan Properti yang dibiayai. 2. Perkembangan pembangunan Properti yang dibiayai didasarkan atas laporan perkembangan pembangunan Properti yang berasal dari: a. pengembang, apabila Kredit atau Pembiayaan untuk 1 (satu) atau beberapa debitur atau nasabah secara keseluruhan pada proyek yang sama bernilai sampai dengan Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); atau b. penilai independen, apabila Kredit atau Pembiayaan untuk 1 (satu) atau beberapa debitur atau nasabah secara keseluruhan pada proyek yang sama bernilai di atas Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). 3. Proyek yang sama sebagaimana dimaksud dalam angka 2 adalah Properti yang berada pada area yang sama dan dibangun oleh pengembang yang sama, yaitu Rumah Tapak, Rumah Susun, Rumah Kantor atau Rumah Toko, dihitung untuk masing-masing unit. Contoh: a. Bank memberikan Kredit atau Pembiayaan kepada 3 (tiga) orang debitur atau nasabah untuk pembelian Rumah Tapak dalam satu cluster yang merupakan KP pertama, masing- masing dengan nilai Kredit atau Pembiayaan sebesar Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). Untuk penilaian perkembangan pembangunan Properti, digunakan laporan perkembangan pembangunan Properti dari pengembang. b. Bank memberikan Kredit atau Pembiayaan kepada 1 (satu) orang debitur atau nasabah untuk pembelian 1 (satu) Rumah Tapak yang merupakan KP pertama dengan nilai Kredit atau Pembiayaan sebesar Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah). Untuk penilaian perkembangan pembangunan ... 25 pembangunan Properti, digunakan laporan perkembangan pembangunan Properti dari penilai independen. C. Contoh Perhitungan dan Penetapan Rasio LTV atau Rasio FTV untuk Properti yang Dibiayai Belum Tersedia Secara Utuh Perhitungan dan penetapan Rasio LTV atau Rasio FTV untuk Properti yang dibiayai belum tersedia secara utuh adalah sebagaimana contoh yang tercantum dalam Lampiran V yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini. VI. TATA CARA PERHITUNGAN UANG MUKA KKB ATAU KKB SYARIAH A. Uang Muka KKB atau KKB Syariah 1. Uang Muka yang harus dipenuhi oleh debitur atau nasabah dalam rangka KKB atau KKB Syariah ditetapkan sebagai berikut: a. paling rendah 20% (dua puluh persen) untuk pembelian kendaraan bermotor roda dua; b. paling rendah 20% (dua puluh persen) untuk pembelian kendaraan bermotor roda tiga atau lebih dalam rangka keperluan produktif apabila memenuhi salah satu syarat sebagai berikut: 1) merupakan kendaraan yang memiliki izin untuk angkutan orang atau barang yang dikeluarkan oleh pihak berwenang; atau 2) diajukan oleh perorangan atau badan hukum yang memiliki izin usaha tertentu yang dikeluarkan oleh pihak berwenang dan digunakan untuk mendukung kegiatan operasional dari usaha yang dimilikinya; dan c. paling rendah 25% (dua puluh lima persen) untuk pembelian kendaraan bermotor roda tiga atau lebih yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam huruf b. 2. Ketentuan mengenai Uang Muka sebagaimana dimaksud dalam angka 1 yang harus dipenuhi oleh debitur atau nasabah berlaku ... 26 berlaku apabila Bank memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. rasio Kredit atau Pembiayaan bermasalah dari total Kredit atau Pembiayaan secara bruto (gross) kurang dari 5% (lima persen); dan b. rasio KKB atau KKB Syariah bermasalah dari total KKB atau KKB Syariah secara bruto (gross) kurang dari 5% (lima persen). 3. Bagi Bank yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam angka 2 maka Uang Muka yang harus dipenuhi oleh debitur atau nasabah dalam rangka KKB atau KKB Syariah ditetapkan sebagai berikut: a. paling rendah 25% (dua puluh lima persen) untuk pembelian kendaraan bermotor roda dua; b. paling rendah 20% (dua puluh persen) untuk pembelian kendaraan bermotor roda tiga atau lebih untuk keperluan produktif apabila memenuhi salah satu syarat sebagai berikut: 1) merupakan kendaraan yang memiliki izin untuk angkutan orang atau barang yang dikeluarkan oleh pihak berwenang; atau 2) diajukan oleh perorangan atau badan hukum yang memiliki izin usaha tertentu yang dikeluarkan oleh pihak berwenang dan digunakan untuk mendukung kegiatan operasional dari usaha yang dimilikinya; dan c. paling rendah 30% (tiga puluh persen) untuk pembelian kendaraan bermotor roda tiga atau lebih yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam huruf b. B. Bank dilarang memberikan Kredit atau Pembiayaan untuk pemenuhan Uang Muka dalam rangka KKB dan KKB Syariah kepada debitur atau nasabah. Termasuk pengertian debitur atau nasabah antara lain debitur yang merupakan karyawan bank yang bersangkutan. C. Perhitungan ... 27 C. Perhitungan Rasio Kredit atau Pembiayaan Bermasalah dan Perhitungan Rasio KKB atau KKB Syariah Bermasalah 1. Perhitungan rasio Kredit bermasalah atau rasio Pembiayaan bermasalah mengacu pada perhitungan sebagaimana dimaksud dalam butir III.B.1. 2. Perhitungan rasio KKB bermasalah atau rasio KKB Syariah bermasalah dilakukan dengan membandingkan antara jumlah Kredit atau Pembiayaan kepada sektor rumah tangga untuk kepemilikan kendaraan bermotor dengan kualitas kurang lancar (KL), diragukan (D), dan macet (M) terhadap total Kredit atau Pembiayaan kepada sektor rumah tangga untuk kepemilikan kendaraan bermotor. Formula perhitungan rasio KKB bermasalah adalah sebagai berikut: KKB kualitas KL + KKB kualitas D + KKB kualitas M Total KKB x 100% Formula perhitungan rasio KKB Syariah bermasalah adalah sebagai berikut: KKB Syariah kualitas KL + KKB Syariah kualitas D + KKB Syariah kualitas M x 100% Total KKB Syariah D. Sumber Data dan Nilai yang Digunakan 1. Penetapan masing-masing komponen dalam perhitungan rasio Kredit bermasalah atau rasio Pembiayaan bermasalah dan perhitungan rasio KKB bermasalah atau rasio KKB Syariah bermasalah dilakukan berdasarkan LBU atau LSMK periode 2 (dua) bulan sebelum tanggal perjanjian kredit atau akad pembiayaan ditandatangani. 2. Perhitungan nilai Kredit bermasalah dan nilai total Kredit mengacu pada ketentuan sebagaimana dimaksud dalam butir III.C.2 dan butir III.C.3. 3. Nilai Pembiayaan bermasalah dan nilai Pembiayaan mengacu pada ketentuan sebagaimana dimaksud dalam butir III.C.4 dan III.C.5. 4. Nilai ... 28 4. Nilai KKB bermasalah dan KKB untuk Bank Umum a. Mengingat LBU belum dapat memberikan informasi yang diperlukan untuk menghitung rasio KKB bermasalah sebagaimana dimaksud dalam angka 1, Bank menyampaikan laporan offline mengenai KKB kepada Bank Indonesia sampai dengan batas waktu yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. b. Penyampaian laporan offline sebagaimana dimaksud dalam huruf a mengacu pada ketentuan sebagaimana dimaksud dalam butir III.C.7. 5. Nilai KKB Syariah bermasalah dan KKB Syariah untuk BUS dan UUS a. Nilai KKB Syariah bermasalah berasal dari hasil penjumlahan angka dalam: 1) form 10 untuk Akad Murabahah, golongan nasabah dengan sandi pihak ketiga bukan bank (Kolom II) yaitu hasil penjumlahan saldo harga pokok (Kolom XIX) dengan sektor ekonomi (Kolom XIII) sandi 002100, 002200, 002300, dan 002900 untuk kualitas KL, D, dan M; 2) form 11 untuk Akad Istishna’, golongan nasabah dengan sandi pihak ketiga bukan bank (Kolom II) yaitu hasil penjumlahan saldo harga pokok (Kolom XVIII) dengan sektor ekonomi (Kolom XIII) sandi 002100, 002200, 002300, dan 002900 untuk kualitas KL, D, dan M; 3) form 12 untuk Akad Qardh, golongan nasabah dengan sandi pihak ketiga bukan bank (Kolom II) yaitu hasil penjumlahan jumlah bulan laporan (Kolom XVIII b) dengan sektor ekonomi (Kolom XIII) sandi 002100, 002200, 002300, dan 002900 untuk kualitas KL, D, dan M; 4) form ... 29 4) form 13 untuk akad bagi hasil, golongan nasabah dengan sandi pihak ketiga bukan bank (Kolom II) yaitu hasil penjumlahan jumlah bulan laporan (Kolom XXI B) dengan sektor ekonomi (Kolom XIII) sandi 002100, 002200, 002300, dan 002900 untuk kualitas KL, D, dan M; dan 5) form 14 untuk akad sewa, golongan nasabah dengan sandi pihak ketiga bukan bank (Kolom II) yaitu hasil penjumlahan dari harga perolehan (Kolom XVII B.3) dikurangi dengan akumulasi penyusutan/amortisasi (Kolom XXII) dan cadangan kerugian penurunan nilai aset ijarah (Kolom XXIII) dan ditambahkan dengan tunggakan pokok (Kolom XXIV B), dengan formula sebagai berikut: Harga Perolehan - (Akumulasi Penyusutan/Amortisasi + Cadangan Kerugian Penurunan Nilai Aset Ijarah) + Tunggakan Pokok Penjumlahan di atas dilakukan untuk sektor ekonomi (Kolom XIII) dengan sandi sektor 002100, 002200, 002300, dan 002900 untuk kualitas KL, D, dan M. b. Nilai KKB Syariah berasal dari hasil penjumlahan angka dalam: 1) form 10 untuk Akad Murabahah, golongan nasabah dengan sandi pihak ketiga bukan bank (Kolom II) yaitu hasil penjumlahan saldo harga pokok (Kolom XIX) dengan sektor ekonomi (Kolom XIII) sandi 002100, 002200, 002300, dan 002900; 2) form 11 untuk Akad Istishna’, golongan nasabah dengan sandi pihak ketiga bukan bank (Kolom II) yaitu hasil penjumlahan saldo harga pokok (Kolom XVIII) dengan sektor ekonomi (Kolom XIII) sandi 002100, 002200, 002300, dan 002900; 3) form 12 untuk Akad Qardh, golongan nasabah dengan sandi pihak ketiga bukan bank (Kolom II) yaitu hasil penjumlahan jumlah bulan laporan (Kolom XVIII b) dengan ... 30 dengan sektor ekonomi (Kolom XIII) sandi 002100, 002200, 002300, dan 002900; 4) form 13 untuk akad bagi hasil, golongan nasabah dengan sandi pihak ketiga bukan bank (Kolom II) yaitu hasil penjumlahan jumlah bulan laporan (Kolom XXI B) dengan sektor ekonomi (Kolom XIII) sandi 002100, 002200, 002300, dan 002900; dan 5) form 14 untuk akad sewa, golongan nasabah dengan sandi pihak ketiga bukan bank (Kolom II) yaitu hasil penjumlahan dari harga perolehan (Kolom XVII B.3) dikurangi dengan akumulasi penyusutan/amortisasi (Kolom XXII) dan cadangan kerugian penurunan nilai aset ijarah (Kolom XXIII) dan ditambahkan dengan tunggakan pokok (Kolom XXIV B), dengan formula sebagai berikut: Harga Perolehan - (Akumulasi Penyusutan/Amortisasi + Cadangan Kerugian Penurunan Nilai Aset Ijarah) + Tunggakan Pokok Penjumlahan di atas dilakukan untuk sektor ekonomi (Kolom XIII) dengan sandi sektor 002100, 002200, 002300, dan 002900. c. Sandi sektor 002100, 002200, 002300, dan 002900 sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan stabilitas moneter dan sistem keuangan bulanan bank umum syariah dan unit usaha syariah, yaitu sebagai berikut: Sandi Sektor 002100 Sektor 002200 002300 002900 Rumah Tangga untuk Pemilikan Mobil Roda Empat Rumah Tangga untuk Pemilikan Sepeda Bermotor Rumah Tangga untuk Pemilikan Truk dan Kendaraan Bermotor Roda Enam atau lebih Rumah Tangga untuk Pemilikan Kendaraan Bermotor lainnya 6. Contoh ... 31 6. Contoh Perhitungan dan Penetapan Uang Muka KKB atau KKB Syariah Perhitungan dan penetapan Uang Muka KKB atau KKB Syariah adalah sebagaimana contoh yang tercantum dalam Lampiran VI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini. VII. TATA CARA PENGENAAN SANKSI KEWAJIBAN MEMBAYAR A. Bank yang melanggar ketentuan mengenai besaran Rasio LTV atau Rasio FTV dan Uang Muka KKB atau KKB Syariah, pemberian Kredit atau Pembiayaan untuk Uang Muka, pemberian Kredit atau Pembiayaan untuk Properti yang dibiayai belum tersedia secara utuh dan tidak menyampaikan dan/atau tidak melaksanakan action plan dikenakan sanksi kewajiban membayar sebagaimana tercantum dalam Pasal 22 Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/10/PBI/2015 tentang Rasio Loan to Value atau Rasio Financing to Value untuk Kredit atau Pembiayaan Properti dan Uang Muka untuk Kredit atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor. B. Perhitungan sanksi kewajiban membayar bagi Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf A, dilakukan dengan formula sebagai berikut: 1. Pelanggaran besaran Rasio LTV sebagaimana dimaksud dalam butir III.A.1, butir III.A.2, butir III.A.3, dan butir III.A.5: 1% x (Plafon KP yang diberikan – Plafon KP yang seharusnya). 2. Pelanggaran besaran Rasio FTV sebagaimana dimaksud dalam butir III.A.1, butir III.A.2, butir III.A.3, dan butir III.A.5: 1% x (Plafon KP Syariah yang diberikan – Plafon KP Syariah yang seharusnya). 3. Pelanggaran larangan pemberian Kredit untuk Uang Muka pembelian Properti sebagaimana dimaksud dalam butir III.A.6: 1% x Uang Muka yang diberikan. 4. Pelanggaran ... 32 4. Pelanggaran larangan pemberian Pembiayaan untuk Uang Muka pembelian Properti sebagaimana dimaksud dalam butir III.A.6: 1% x Uang Muka yang diberikan. 5. Pelanggaran pemberian Kredit untuk Properti yang belum tersedia secara utuh sebagaimana dimaksud dalam butir V.A: 1% x Plafon KP untuk Properti yang belum tersedia secara utuh. 6. Pelanggaran pemberian Pembiayaan untuk Properti yang belum tersedia secara utuh sebagaimana dimaksud dalam butir V.A: 1% x Plafon KP Syariah untuk Properti yang belum tersedia secara utuh. 7. Pelanggaran besaran Uang Muka KKB sebagaimana dimaksud dalam butir VI.A.1 dan butir VI.A.3: 1% x (Plafon KKB yang diberikan – Plafon KKB yang seharusnya). 8. Pelanggaran besaran Uang Muka KKB Syariah sebagaimana dimaksud dalam butir VI.A.1 dan butir VI.A.3: 1% x (Plafon KKB Syariah yang diberikan – Plafon KKB Syariah yang seharusnya). 9. Pelanggaran larangan pemberian Kredit untuk Uang Muka KKB sebagaimana dimaksud dalam butir VI.B: 1% x Uang Muka yang diberikan. 10. Pelanggaran larangan pemberian Pembiayaan untuk Uang Muka KKB Syariah sebagaimana dimaksud dalam butir VI.B: 1% x Uang Muka yang diberikan. 11. Pelanggaran kewajiban penyampaian dan/atau pelaksanaan action plan atas pelanggaran KP dan KKB: 1% x Plafon Kredit untuk setiap Kredit yang melanggar ketentuan Sanksi tersebut dikenakan setiap akhir bulan untuk periode paling lama 12 (dua belas) bulan. 12. Pelanggaran tidak menyampaikan dan/atau tidak melaksanakan action plan atas pelanggaran KP Syariah dan KKB Syariah: 1% x Plafon Pembiayaan untuk setiap Pembiayaan yang melanggar ketentuan. Sanksi ... 33 Sanksi tersebut dikenakan setiap akhir bulan untuk periode paling lama 12 (dua belas) bulan. C. Contoh Perhitungan Sanksi Kewajiban Membayar Perhitungan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud dalam huruf B adalah sebagaimana contoh yang tercantum dalam Lampiran VII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini. VIII. PENUTUP Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 12 Oktober 2015. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA, ERWIN RIJANTO DEPUTI GUBERNUR "," SE-BI 17/25/DKMP|SE-BI/2015 Rasio Loan to Value atau Rasio Financing to Value untuk Kredit atau Pembiayaan Properti dan Uang Muka untuk Kredit atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor. 12 Oktober 2015 12 Oktober 2015 '17/10/PBI/2015' 'Romawi VII' " " No.13/ 3 /DPM Jakarta, 4 Februari 2011 SURAT EDARAN Perihal : Laporan Harian Bank Umum Sehubungan dengan diterbitkannya Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/ 8 /PBI/2011 tanggal 4 Februari 2011 tentang Laporan Harian Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 15 , Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5194), perlu diatur kembali ketentuan pelaksanaan mengenai Laporan Harian Bank Umum dalam Surat Edaran Bank Indonesia sebagai berikut : I. KETENTUAN UMUM Dalam rangka meningkatkan efektifitas dan efisiensi penyelenggaraan sistem Laporan Harian Bank Umum guna menghasilkan informasi yang lebih utuh, komprehensif, dan berkualitas, perlu dilakukan perluasan cakupan kandungan informasi yang dilaporkan, penyempurnaan sistem dan tata cara pelaporan Laporan Harian Bank Umum. Terkait dengan perluasan cakupan kandungan informasi tersebut, perlu dilakukan penyempurnaan terhadap Pedoman Penyusunan LHBU (yang selanjutnya disebut Pedoman) sebagaimana tercantum dalam Lampiran 1 dan Petunjuk Teknis Aplikasi LHBU sebagaimana tercantum dalam Lampiran 2 yang merupakan satu kesatuan dan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran ini. II. BANK PELAPOR Bank Pelapor terdiri dari : 1. Kantor pusat Bank yang berbadan hukum Indonesia, yaitu: a. Kantor ... 2 a. Kantor pusat dari Bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional. b. Kantor pusat dari Bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. 2. Kantor Cabang Bank Asing. 3. Unit Usaha Syariah. III. RUANG LINGKUP DATA LHBU Jenis data yang wajib disampaikan oleh Bank Pelapor kepada Bank Indonesia terdiri dari: A. Data Transaksional 1. Pasar Uang Antar Bank (PUAB), terdiri dari: a. PUAB pagi rupiah; b. PUAB sore rupiah; c. PUAB valuta asing; dan d. PUAB luar negeri. 2. Pasar Uang Antar Bank berdasarkan Prinsip Syariah (PUAS). 3. Perdagangan surat berharga di pasar sekunder yang meliputi transaksi Sertifikat Bank Indonesia, Sertifikat Deposito, dan Commercial Paper. 4. Transaksi valuta asing, terdiri dari : a. transaksi tod/tom/spot; b. transaksi derivatif berupa forward, swap, option; dan c. transaksi derivatif lainnya selain sebagaimana dimaksud pada huruf b. B. Data Non Transaksional 1. Posisi akhir hari transaksi derivatif jual valuta asing bukan investasi dengan pihak asing. 2. Posisi ... 3 2. Posisi akhir hari transaksi derivatif beli valuta asing bukan investasi dengan pihak asing. 3. Posisi rekapitulasi transaksi derivatif. 4. Posisi Devisa Neto (PDN) untuk posisi akhir hari, terdiri dari: a. data gabungan yang mencakup kantor-kantor Bank Pelapor di dalam negeri; dan b. data gabungan yang mencakup kantor-kantor Bank Pelapor di dalam negeri dan di luar negeri. Dalam hal Bank Pelapor sebagaimana dimaksud pada huruf b tidak memiliki kantor di luar negeri maka Bank Pelapor tetap mengirimkan form header. 5. Pos-Pos Tertentu Neraca, terdiri dari: a. data posisi pos-pos tertentu dari neraca gabungan kantor-kantor Bank Pelapor dalam negeri; dan b. data posisi pos-pos tertentu dari neraca gabungan kantor-kantor Bank Pelapor dalam negeri dan luar negeri. Dalam hal Bank Pelapor sebagaimana dimaksud dalam huruf b tidak memiliki kantor di luar negeri maka Bank Pelapor tetap mengirimkan form header. 6. Proyeksi arus kas, terdiri dari: a. proyeksi arus kas rupiah; dan b. proyeksi arus kas valuta asing. 7. Suku bunga penawaran rupiah dan valuta asing (USD). 8. Tingkat imbalan deposito investasi mudharabah Bank syariah dalam rupiah. 9. Suku bunga dasar kredit rupiah dan valuta asing (USD). 10. Suku bunga kredit rupiah dan valuta asing (USD). 11. Suku ... 4 11. Suku bunga deposito berjangka rupiah dan valuta asing (USD), diskonto sertifikat deposito rupiah dan valuta asing (USD), dan suku bunga tabungan rupiah. 12. Posisi saldo harian pinjaman luar negeri jangka pendek Bank. 13. Posisi harian dana usaha kantor cabang bank asing. IV. JENIS LAPORAN A. Jenis Form LHBU 1. Data transaksional LHBU disampaikan dengan menggunakan jenis form sebagai berikut: a. Form 101 (PUAB); b. Form 102 (PUAS); c. Form 201 (Transaksi Tod/Tom/Spot); d. Form 202 (Transaksi Forward/Swap/Option); e. Form 203 (Transaksi Derivatif Lainnya); dan f. Form 301 (Perdagangan Surat Berharga di Pasar Sekunder), sebagaimana dimaksud dalam Pedoman sebagaimana Lampiran 1. 2. Data non transaksional LHBU disampaikan dengan menggunakan jenis form sebagai berikut: a. Form 204 (Posisi Akhir Hari Transaksi Derivatif Jual Valuta Asing Bukan Investasi dengan Pihak Asing); b. Form 205 (Posisi Akhir Hari Transaksi Derivatif Beli Valuta Asing Bukan Investasi dengan Pihak Asing); c. Form 206 (Rekapitulasi Transaksi Derivatif); d. Form 401 (PDN Gabungan Kantor Dalam Negeri); e. Form 402 (PDN Gabungan Kantor Dalam Negeri dan Luar Negeri); f. Form ... 5 f. Form 403 (Pos-Pos tertentu Neraca Gabungan Kantor Dalam Negeri); g. Form 404 (Pos-pos tertentu Neraca Gabungan Kantor Dalam Negeri dan Luar Negeri); h. Form 405 (Laporan Proyeksi Arus Kas Rupiah); i. Form 406 (Laporan Proyeksi Arus Kas Valuta Asing); j. Form 407 (Laporan Saldo Harian Pinjaman Luar Negeri Jangka Pendek Bank); k. Form 408 (Laporan Posisi Harian Dana Usaha Kantor Cabang Bank Asing); l. Form 501 (Suku Bunga Penawaran); m. Form 601 (Suku Bunga Dasar Kredit); n. Form 602 (Suku Bunga Kredit); o. Form 603 (Suku Bunga Deposito Berjangka, Suku Bunga Tabungan dan Diskonto Sertifikat Deposito); dan p. Form 604 (Tingkat Imbalan Deposito Investasi Mudharabah Bank Syariah), sebagaimana dimaksud dalam Pedoman sebagaimana Lampiran 1. B. Jenis Form LHBU yang disampaikan oleh Bank Pelapor 1. Penyampaian jenis form LHBU bagi kantor pusat Bank dan kantor cabang bank asing yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional diatur sebagai berikut: a. Bank yang berstatus Bank devisa wajib menyampaikan form 101, form 102, form 201, form 202, form 203, form 204, form 205, form 206, form 301, form 401, form 402, form 403, form 404, form 405, form 406, form 407, form 501, form 601, form 602, dan form 603. Selain ... 6 Selain jenis-jenis form di atas, kantor cabang bank asing wajib menyampaikan form 408. Bank Pelapor yang tidak memiliki kantor di luar negeri tetap wajib menyampaikan form header untuk form 402 dan form 404. b. Bank yang berstatus Bank non devisa wajib menyampaikan form 101, form 102, form 301, form 403, form 405, form 407, form 501, form 601, form 602, dan form 603. 2. Penyampaian jenis form LHBU bagi kantor pusat Bank dan kantor cabang bank asing yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah diatur sebagai berikut: a. Bank yang berstatus Bank devisa wajib menyampaikan form 102, form 201, form 401, form 402, form 403, form 404, form 405, form 406, form 407, dan form 604. Selain jenis-jenis form di atas, kantor cabang bank asing berdasarkan prinsip syariah wajib menyampaikan form 408. Bank Pelapor yang tidak memiliki kantor di luar negeri tetap wajib menyampaikan form header untuk form 402 dan form 404. b. Bank yang berstatus Bank non devisa wajib menyampaikan form 102, form 403, form 405, form 407 dan form 604. 3. Jenis laporan yang wajib disampaikan oleh Unit Usaha Syariah adalah form 102, form 201, dan form 604. V. PENYAMPAIAN DATA LHBU DAN KOREKSI LHBU Penyampaian data LHBU dan koreksi LHBU diatur sebagai berikut: A. Penyampaian data 1. Data Transaksional Bank ... 7 Bank Pelapor wajib menyampaikan data transaksional berikut form header setiap Hari Kerja secara on-line dan real time atau segera setelah terjadinya transaksi pada tanggal laporan. 2. Data Non Transaksional Bank Pelapor wajib menyampaikan data non transaksional berikut form header setiap Hari Kerja secara on-line diatur sebagai berikut: a. Data posisi akhir hari transaksi derivatif jual valuta asing bukan investasi dengan pihak asing yang disampaikan adalah data pada posisi tanggal laporan. Contoh: Data posisi akhir hari transaksi derivatif jual valuta asing bukan investasi dengan pihak asing pada tanggal 7 Februari 2011 wajib disampaikan oleh Bank Pelapor dan diterima oleh Bank Indonesia pada tanggal tersebut (7 Februari 2011) paling lama pukul 23.59 WIB. b. Data posisi akhir hari transaksi derivatif beli valuta asing bukan investasi dengan pihak asing yang disampaikan adalah data pada posisi tanggal laporan. Contoh: Data posisi akhir hari transaksi derivatif beli valuta asing bukan investasi dengan pihak asing pada tanggal 7 Februari 2011 wajib disampaikan oleh Bank Pelapor dan diterima oleh Bank Indonesia pada tanggal tersebut (7 Februari 2011) paling lama pukul 23.59 WIB. c. Data posisi devisa neto yang disampaikan adalah data pada posisi 2 (dua) hari kerja sebelumnya (H-2). Contoh: Data ... 8 Data posisi devisa neto yang disampaikan pada tanggal 9 Februari 2011 adalah data untuk posisi tanggal 7 Februari 2011. Data ini wajib disampaikan oleh Bank Pelapor dan diterima oleh Bank Indonesia paling lama pukul 23.59 WIB. d. Data pos-pos tertentu neraca yang disampaikan adalah data pada posisi 2 (dua) hari kerja sebelumnya (H-2). Contoh: Data pos-pos tertentu neraca yang disampaikan pada tanggal 9 Februari 2011 adalah data untuk posisi tanggal 7 Februari 2011. Data ini wajib disampaikan oleh Bank Pelapor dan diterima oleh Bank Indonesia paling lama pukul 23.59 WIB. e. Data posisi rekapitulasi transaksi derivatif yang disampaikan adalah data pada posisi 2 (dua) hari kerja sebelumnya (H-2). Contoh: Data posisi rekapitulasi transaksi derivatif yang disampaikan pada tanggal 9 Februari 2011 adalah data untuk posisi tanggal 7 Februari 2011. Data ini wajib disampaikan oleh Bank Pelapor dan diterima oleh Bank Indonesia paling lama pukul 23.59 WIB. f. Data posisi saldo harian pinjaman luar negeri jangka pendek Bank yang disampaikan adalah data pada posisi 2 (dua) hari kerja sebelumnya (H-2). Contoh: Data posisi saldo harian pinjaman luar negeri jangka pendek Bank yang disampaikan pada tanggal 9 Februari 2011 adalah data untuk posisi tanggal 7 Februari 2011. Data ini wajib disampaikan oleh Bank Pelapor dan diterima oleh Bank Indonesia paling lama pukul 23.59 WIB. g. Data ... 9 g. Data posisi harian dana usaha kantor cabang bank asing yang disampaikan adalah data pada posisi 2 (dua) hari kerja sebelumnya (H-2). Contoh: Data posisi harian dana usaha kantor cabang bank asing yang disampaikan pada tanggal 9 Februari 2011 adalah data untuk posisi tanggal 7 Februari 2011. Data ini wajib disampaikan oleh Bank Pelapor dan diterima oleh Bank Indonesia paling lama pukul 23.59 WIB h. Data proyeksi arus kas yang disampaikan mencakup proyeksi penerimaan dan pengeluaran dalam rupiah dan valuta asing atas pos-pos sebagaimana diatur dalam Pedoman dalam Lampiran 1, selama 3 (tiga) bulan mendatang dan dikelompokkan menjadi 4 (empat) periode sebagai berikut: 1) periode I berisi proyeksi arus kas harian 14 (empat belas) hari kalender sejak tanggal laporan; 2) periode II berisi proyeksi arus kas secara kumulatif terhitung sejak hari ke-15 (lima belas) sampai dengan hari ke-21 (duapuluh satu); 3) periode III berisi proyeksi arus kas secara kumulatif sejak hari ke-22 (dua puluh dua) sampai dengan hari ke-28 (dua puluh delapan); dan 4) periode IV berisi proyeksi arus kas secara kumulatif bulan ke-2 (dua) dan ke-3 (tiga) sejak hari ke-29 (dua puluh sembilan) sampai dengan hari ke-90 (sembilan puluh). Proyeksi arus kas dalam valuta asing selain USD dikonversi terlebih dahulu ke dalam mata uang USD. Pelaporan proyeksi arus kas dalam valuta asing yang telah dikonversi tersebut digabungkan ... 10 digabungkan secara keseluruhan dengan arus kas dalam mata uang USD. Contoh: Data proyeksi arus kas yang dilaporkan pada tanggal 31 Januari 2011 adalah perkiraan penerimaan dan pengeluaran untuk: 1) tanggal 1 Februari 2011 sampai dengan 14 Februari 2011; 2) tanggal 15 Februari 2011 sampai dengan 21 Februari 2011 secara kumulatif untuk minggu ke-3 (tiga); 3) tanggal 22 Februari 2011 sampai dengan 28 Februari 2011 secara kumulatif untuk minggu ke-4 (empat); dan 4) tanggal 1 Maret 2011 sampai dengan 2 Mei 2011 secara kumulatif untuk bulan ke-2 (dua) dan ke-3 (tiga). Data proyeksi arus kas tersebut wajib disampaikan oleh Bank Pelapor dan diterima oleh Bank Indonesia pada tanggal 31 Januari 2011 paling lama pukul 23.59 WIB. i. Data suku bunga penawaran dalam rupiah dan valuta asing (USD) wajib disampaikan oleh Bank Pelapor pada tanggal laporan. Contoh: Data suku bunga penawaran pada tanggal 7 Februari 2011 wajib disampaikan oleh Bank Pelapor dan diterima oleh Bank Indonesia pada tanggal tersebut (7 Februari 2011) paling lama pukul 10.30 WIB. j. Data suku bunga dasar kredit dalam rupiah dan valuta asing (USD), suku bunga kredit dalam rupiah dan valuta asing (USD), suku bunga deposito berjangka dalam rupiah dan valuta asing (USD), diskonto sertifikat deposito dalam rupiah dan valuta asing (USD), suku bunga tabungan dalam rupiah dan tingkat ... 11 tingkat imbalan deposito investasi mudharabah Bank syariah dalam rupiah yang disampaikan adalah data yang berlaku pada tanggal laporan. Contoh: Data suku bunga kredit atau tingkat imbalan deposito investasi mudharabah Bank syariah pada tanggal 7 Februari 2011 wajib disampaikan oleh Bank Pelapor dan diterima oleh Bank Indonesia pada tanggal 7 Februari 2011 paling lama pukul 18.00 WIB. B. Tata Cara Penyampaian LHBU Tata cara penyampaian LHBU diatur sebagai berikut: 1. Sebelum data disampaikan, Bank Pelapor harus melakukan validasi teknis sesuai dengan spesifikasi yang telah ditetapkan pada Pedoman sebagaimana dimaksud pada Lampiran 1 dan Petunjuk Teknis Aplikasi LHBU sebagaimana dimaksud pada Lampiran 2. 2. Setelah data disampaikan, Bank Pelapor harus memastikan bahwa status data transaksional dengan Bank Pelapor lain sebagai lawan transaksi/counterpart telah cocok/matching, melalui laporan absensi LHBU. 3. Bank Pelapor wajib mengirim seluruh form sesuai dengan jenis laporan dan status Bank sebagaimana dimaksud pada butir IV.B. 4. Dalam hal Bank Pelapor tidak memiliki data transaksional (tidak melakukan transaksi) dan/atau tidak memiliki data non transaksional, kewajiban penyampaian LHBU tetap berlaku dengan cara mengirimkan form header. 5. Dalam hal Bank Pelapor melakukan merger atau konsolidasi dengan Bank Pelapor lain, masing-masing wajib menyampaikan data LHBU sampai dengan hari terakhir sebelum tanggal dilakukannya ... 12 dilakukannya merger atau konsolidasi secara operasional masing- masing Bank Pelapor. Contoh : Apabila pada tanggal 8 Februari 2011 Bank X dimerger atau dikonsolidasi dengan Bank Y, maka masing-masing Bank peserta merger atau konsolidasi wajib menyampaikan LHBU untuk data posisi tanggal 7 Februari 2011. 6. Dalam hal Bank Pelapor melakukan transaksi PUAB rupiah over weekend dan/atau transaksi PUAB rupiah dengan jangka waktu melewati hari libur nasional maka transaksi dimaksud tetap diperlakukan sebagai laporan PUAB rupiah overnight. Contoh : Transaksi yang dilakukan pada tanggal transaksi/valuta hari Senin tanggal 14 Februari 2011 dan jatuh waktu pelunasan pada hari Rabu tanggal 16 Februari 2011 karena hari Selasa tanggal 15 Februari 2011 merupakan hari libur nasional, diperlakukan sebagai transaksi overnight. C. Batas Waktu Penyampaian LHBU Batas waktu penyampaian LHBU ditetapkan sebagai berikut: 1. Pukul 07.00 WIB sampai dengan pukul 10.30 WIB untuk data suku bunga penawaran dalam rupiah dan valuta asing. 2. Pukul 07.00 WIB sampai dengan pukul 12.00 WIB untuk data PUAB pagi rupiah. 3. Pukul 12.01 WIB sampai dengan pukul 18.00 WIB untuk data PUAB sore rupiah. 4. Pukul 07.00 WIB sampai dengan pukul 18.00 WIB untuk data: a. PUAB valuta asing; b. PUAS; c. perdagangan ... 13 c. perdagangan surat berharga di pasar sekunder; d. tingkat imbalan deposito investasi mudharabah Bank syariah dalam rupiah; e. suku bunga dasar kredit dalam rupiah dan valuta asing (USD); f. suku bunga kredit dalam rupiah dan valuta asing (USD); dan g. suku bunga deposito berjangka dalam rupiah dan valuta asing (USD), diskonto sertifikat deposito dalam rupiah dan valuta asing (USD), serta suku bunga tabungan dalam rupiah. 5. Pukul 07.00 WIB sampai dengan pukul 23.59 WIB untuk data: a. PUAB luar negeri; b. transaksi valuta asing; c. posisi akhir hari transaksi derivatif jual valuta asing bukan investasi dengan pihak asing; d. posisi akhir hari transaksi derivatif beli valuta asing bukan investasi dengan pihak asing; e. rekapitulasi posisi transaksi derivatif; f. posisi devisa neto; g. pos-pos tertentu neraca; h. proyeksi arus kas; i. posisi saldo harian pinjaman luar negeri jangka pendek Bank; dan j. posisi harian dana usaha kantor cabang bank asing. D. Tata Cara dan Batas Waktu Koreksi LHBU 1. Dalam hal terjadi kesalahan atas data suku bunga penawaran yang disampaikan, Bank Pelapor wajib menyampaikan koreksi terhadap data dimaksud pada tanggal pelaporan paling lama pukul 11.00 WIB pada hari kerja yang sama. Contoh ... 14 Contoh: Dalam hal terjadi kesalahan atas data suku bunga penawaran yang disampaikan pada tanggal 7 Februari 2011 maka koreksi atas kesalahan data tersebut wajib disampaikan oleh Bank Pelapor pada tanggal 7 Februari 2011 paling lama pukul 11.00 WIB. 2. Dalam hal terjadi kesalahan atas data yang disampaikan: a. PUAB pagi rupiah; b. PUAB sore rupiah; c. PUAB valuta asing; d. PUAS; e. perdagangan surat berharga di pasar sekunder; f. PDN gabungan kantor dalam negeri; g. PDN gabungan kantor dalam negeri dan luar negeri; h. pos-pos tertentu neraca gabungan kantor dalam negeri; i. pos-pos tertentu neraca gabungan kantor dalam negeri dan luar negeri; j. proyeksi arus kas rupiah; k. proyeksi arus kas valuta asing; l. tingkat imbalan deposito investasi mudharabah Bank syariah dalam rupiah; m. suku bunga dasar kredit rupiah dan valuta asing (USD); n. suku bunga kredit rupiah dan valuta asing (USD); dan o. suku bunga deposito berjangka rupiah dan valuta asing (USD), diskonto sertifikat deposito rupiah dan valuta asing (USD), dan suku bunga tabungan rupiah. Bank Pelapor wajib menyampaikan koreksi segera setelah diketahui adanya kesalahan dan tetap dalam batas waktu penyampaian sebagaimana dimaksud pada huruf C. Contoh ... 15 Contoh : Dalam hal terjadi kesalahan atas data transaksi PUAB pagi rupiah pada tanggal 7 Februari 2011 maka koreksi atas kesalahan data tersebut disampaikan oleh Bank Pelapor sejak tanggal 7 Februari 2011 paling lama pukul 12.00 WIB. 3. Dalam hal terjadi kesalahan atas data yang disampaikan: a. PUAB luar negeri; b. transaksi tod/tom/spot; c. transaksi derivatif berupa forward, swap, option; d. transaksi derivatif lainnya; e. posisi akhir hari transaksi derivatif jual valuta asing bukan investasi dengan pihak asing; f. posisi akhir hari transaksi derivatif beli valuta asing bukan investasi dengan pihak asing; g. posisi rekapitulasi transaksi derivatif; h. posisi saldo harian pinjaman luar negeri jangka pendek Bank; dan i. posisi harian dana usaha kantor cabang bank asing. Bank Pelapor wajib menyampaikan koreksi terhadap data dimaksud paling lama pukul 16.00 WIB pada hari kerja berikutnya. Contoh : Dalam hal terjadi kesalahan atas data transaksi valuta asing pada tanggal 7 Februari 2011 maka koreksi atas kesalahan data tersebut disampaikan oleh Bank Pelapor sejak tanggal 7 Februari 2011 sampai dengan tanggal 8 Februari 2011 paling lama pukul 16.00 WIB. E. Gangguan ... 16 E. Gangguan Teknis dan Keadaan Memaksa (Force Majeure) 1. Dalam hal Bank Pelapor mengalami gangguan teknis sehingga tidak dapat menyampaikan data dan/atau koreksi LHBU secara on- line, Bank Pelapor memberitahukan secara lisan kepada Bank Indonesia c.q. Unit Khusus Manajemen Informasi segera setelah mengalami gangguan sebelum batas waktu laporan dan wajib ditegaskan secara tertulis pada Hari Kerja yang sama. 2. Pemberitahuan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada angka 1, ditandatangani oleh pejabat yang berwenang dan disampaikan kepada Bank Indonesia c.q. Unit Khusus Manajemen Informasi, Jl. M.H. Thamrin Nomor 2 Jakarta 10350. 3. Dalam hal Bank Pelapor tidak menyampaikan pemberitahuan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada angka 2, Bank Pelapor dianggap tidak menyampaikan LHBU baik secara on-line maupun secara off-line. 4. Bagi Bank Pelapor yang berada di luar wilayah kerja kantor Pusat Bank Indonesia, selain menyampaikan pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada angka 2, juga wajib menyampaikan tembusan pemberitahuan dimaksud kepada Kantor Bank Indonesia yang mewilayahi Bank Pelapor. 5. Bank Pelapor yang tidak dapat menyampaikan data dan/atau koreksi LHBU secara on-line karena gangguan teknis atau gangguan lainnya pada sistem dan/atau jaringan komunikasi di Bank Pelapor maupun di Bank Indonesia wajib menyampaikan data dan/atau koreksi LHBU secara off-line kepada: a. Bank Indonesia c.q. Unit Khusus Manajemen Informasi, Jl. M.H. Thamrin Nomor 2 Jakarta 10350, bagi Bank Pelapor yang berada di wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia atau yang ... 17 yang memiliki kantor cabang di wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia. b. Kantor Bank Indonesia yang mewilayahi, bagi Bank Pelapor yang berada di luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada huruf a. 6. Penyampaian data dan/atau koreksi LHBU sebagaimana dimaksud pada angka 5 diatur sebagai berikut: a. Paling lambat 2 (dua) jam setelah batas waktu pelaporan pada Hari Kerja yang sama untuk data atau koreksi data sebagai berikut: 1) PUAB pagi rupiah; 2) PUAB sore rupiah; 3) PUAB valuta asing; 4) PUAS; 5) perdagangan surat berharga di pasar sekunder; 6) tingkat imbalan deposito investasi mudharabah Bank syariah dalam rupiah; 7) suku bunga dasar kredit rupiah dan valuta asing (USD); 8) suku bunga kredit rupiah dan valuta asing (USD); dan 9) suku bunga deposito berjangka rupiah dan valuta asing (USD), diskonto sertifikat deposito rupiah dan valuta asing (USD), dan suku bunga tabungan rupiah. b. Paling lama pukul 10.00 WIB pada Hari Kerja berikutnya untuk data atau koreksi data sebagai berikut: 1) PUAB luar negeri; 2) transaksi tod/tom/spot; 3) transaksi derivatif berupa forward, swap, option; 4) transaksi derivatif lainnya; 5) posisi ... 18 5) posisi akhir hari transaksi derivatif jual valuta asing bukan investasi dengan pihak asing; 6) posisi akhir hari transaksi derivatif beli valuta asing bukan investasi dengan pihak asing; 7) posisi rekapitulasi transaksi derivatif; 8) PDN gabungan kantor dalam negeri; 9) PDN gabungan kantor dalam negeri dan luar negeri; 10) pos-pos tertentu neraca gabungan kantor dalam negeri; 11) pos-pos tertentu neraca gabungan kantor dalam negeri dan luar negeri; 12) proyeksi arus kas rupiah; 13) proyeksi arus kas valuta asing; 14) posisi saldo harian pinjaman luar negeri jangka pendek Bank; dan 15) posisi harian dana usaha kantor cabang bank asing. c. Paling lama pukul 11.00 WIB pada Hari Kerja yang sama untuk data atau koreksi data suku bunga penawaran. 7. Bank Pelapor yang tidak dapat menyampaikan data atau koreksi LHBU karena terjadi keadaan memaksa (force majeure) harus segera memberitahukan secara tertulis disertai penjelasan mengenai penyebab terjadinya keadaan memaksa (force majeure). 8. Pemberitahuan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada angka 5 ditandatangani oleh pejabat dan/atau instansi yang berwenang dan disampaikan kepada: a. Bank Indonesia c.q. Unit Khusus Manajemen Informasi, Jl. M.H. Thamrin Nomor 2 Jakarta 10350 bagi Bank Pelapor yang berada di wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia atau yang memiliki ... 19 memiliki kantor cabang di wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia. b. Kantor Bank Indonesia yang mewilayahi, bagi Bank Pelapor yang berada di luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada huruf a. F. Penyampaian dan/atau Koreksi LHBU Setelah Batas Waktu 1. Bank Pelapor yang dianggap tidak menyampaikan LHBU dan/atau koreksi LHBU sampai dengan batas waktu yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada huruf C dan huruf D tetap wajib menyampaikan secara on-line data LHBU dan/atau koreksi data LHBU sebagai berikut: a. paling lama 1 (satu) jam setelah batas waktu penyampaian koreksi secara on-line, untuk data PUAB pagi rupiah, PUAB sore rupiah, PUAB valuta asing, dan PUAS. b. paling lama pukul 16.00 WIB pada 5 (lima) Hari Kerja setelah tanggal penyampaian koreksi untuk data: 1) PUAB luar negeri; 2) transaksi valuta asing; 3) posisi akhir hari transaksi derivatif jual valuta asing bukan investasi dengan pihak asing; 4) posisi akhir hari transaksi derivatif beli valuta asing bukan investasi dengan pihak asing; 5) posisi rekapitulasi transaksi derivatif; 6) posisi devisa neto; 7) pos-pos tertentu neraca; 8) proyeksi arus kas; 9) posisi saldo harian pinjaman luar negeri jangka pendek Bank; dan 10) posisi ... 20 10) posisi harian dana usaha kantor cabang bank asing. 2. Dalam hal Bank Pelapor tidak dapat menyampaikan LHBU dan/atau koreksi LHBU secara on-line dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada angka 1 karena gangguan teknis atau gangguan lainnya, Bank Pelapor tetap wajib menyampaikan LHBU dan/atau koreksi dimaksud secara off-line dengan tata cara sebagaimana dimaksud pada butir E.5. VI. HASIL OLAHAN DAN PENGGUNA LHBU 1. LHBU yang disampaikan oleh Bank Pelapor diproses oleh Bank Indonesia menjadi hasil olahan LHBU berupa: a. informasi yang disediakan oleh LHBU dalam bentuk agregat, termasuk Data JIBOR; dan b. data individual Bank Pelapor 2. Bank Pelapor dapat memperoleh hasil olahan LHBU sebagaimana dimaksud pada angka 1 (satu) termasuk data individual tertentu Bank Pelapor lainnya yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. 3. Dalam rangka memperoleh hasil olahan LHBU sebagaimana dimaksud pada angka 2, Bank Pelapor mendapatkan hak akses terhadap sistem LHBU di Bank Indonesia tanpa dikenakan biaya paling banyak 2 (dua) fasilitas user id untuk Bank devisa dan 1 (satu) fasilitas user id untuk Bank non devisa. 4. Dalam hal Bank Pelapor bermaksud menambah user id sebagaimana dimaksud pada angka 3, Bank Pelapor dikenakan biaya untuk setiap penambahan user id tersebut yang terdiri dari biaya lisensi sistem LHBU dan biaya pemeliharaan sistem LHBU yang masing-masing besarnya ditetapkan dalam Surat Edaran Bank Indonesia yang mengatur mengenai biaya LHBU. 5. Untuk ... 21 5. Untuk penambahan user id sebagaimana dimaksud pada angka 4, Bank Pelapor mengajukan permohonan secara tertulis yang ditujukan kepada Bank Indonesia c.q. Unit Khusus Manajemen Informasi, Jl. M.H. Thamrin No.2, Jakarta 10350. VII. Data JIBOR 1. Bank Indonesia menetapkan Data JIBOR berdasarkan data suku bunga penawaran pada setiap Hari Kerja pada tanggal laporan. 2. Bank Indonesia menetapkan Bank-Bank Pelapor yang datanya digunakan dalam perhitungan data JIBOR. 3. Penetapan Bank Pelapor sebagaimana dimaksud pada angka 2 disampaikan melalui surat. 4. Penetapan Bank Pelapor sebagaimana dimaksud pada angka 2 didasarkan antara lain pada keaktifan transaksi Bank di PUAB. 5. Bank Indonesia melakukan review secara berkala setiap 1 (satu) tahun sekali terhadap daftar Bank Pelapor yang datanya digunakan dalam perhitungan data JIBOR. 6. Dalam hal diperlukan, sewaktu-waktu Bank Indonesia dapat melakukan review terhadap daftar Bank Pelapor yang datanya digunakan dalam perhitungan data JIBOR. 7. Berdasarkan review sebagaimana dimaksud pada angka 5 dan angka 6, Bank Indonesia dapat melakukan antara lain penambahan, pengurangan dan/atau penggantian Bank-Bank Pelapor yang datanya digunakan dalam perhitungan data JIBOR. VIII. PELANGGAN LHBU 1. Tata cara menjadi Pelanggan LHBU diatur sebagai berikut: a. Calon ... 22 a. Calon Pelanggan LHBU mengajukan permohonan menjadi Pelanggan LHBU secara tertulis kepada Bank Indonesia sebagaimana contoh pada Lampiran 3. b. Permohonan menjadi Pelanggan LHBU sebagaimana dimaksud pada huruf a disampaikan kepada Bank Indonesia c.q. Unit Khusus Manajemen Informasi, Jl. M.H. Thamrin No.2, Jakarta, 10350. c. Bank Indonesia memberitahukan secara tertulis kepada calon Pelanggan LHBU mengenai disetujui atau tidak disetujuinya permohonan sebagaimana dimaksud pada huruf a dalam jangka waktu 10 (sepuluh) Hari Kerja setelah permohonan diterima secara lengkap. d. Dalam hal permohonan disetujui oleh Bank Indonesia, calon Pelanggan LHBU harus menandatangani Perjanjian Penggunaan LHBU dengan Bank Indonesia sebagaimana contoh pada Lampiran 4. 2. Pelanggan LHBU dapat memperoleh hasil olahan LHBU dalam bentuk agregat dan data individual tertentu Bank Pelapor sebagaimana dimaksud pada butir VI.1. 3. Dalam rangka memperoleh informasi hasil olahan LHBU sebagaimana dimaksud pada angka 2, Pelanggan LHBU dikenakan biaya LHBU sebagaimana dituangkan dalam Perjanjian Penggunaan LHBU. 4. Biaya LHBU sebagaimana dimaksud pada angka 3 terdiri dari biaya lisensi sistem LHBU, biaya pemeliharaan sistem LHBU dan biaya perolehan informasi hasil olahan LHBU yang masing-masing besarnya ditetapkan dalam Surat Edaran Bank Indonesia yang mengatur mengenai biaya LHBU. IX. PENGAWASAN ... 23 IX. PENGAWASAN 1. Bank Indonesia melakukan pengawasan atas pelaporan LHBU oleh Bank Pelapor . 2. Dalam rangka pengawasan sebagaimana dimaksud pada angka 1, Bank Indonesia dapat: a. meminta keterangan dan/atau data yang terkait kepada Bank Pelapor; dan/atau b. melakukan pemeriksaan (on site supervison) terhadap Bank Pelapor . X. TATA CARA PENGENAAN SANKSI Tata cara pengenaan sanksi kewajiban membayar diatur sebagai berikut: 1. Bank Pelapor yang tidak menyampaikan secara on-line atau off-line data transaksional yaitu PUAB, PUAS dan perdagangan surat berharga di pasar sekunder, dalam batas waktu yang ditetapkan dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini, dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) untuk setiap data transaksional yang tidak disampaikan dengan sanksi kewajiban membayar paling banyak sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) per hari untuk keseluruhan data. Contoh; a. Pada tanggal 7 Februari 2011, Bank A dan Bank B melakukan: - PUAB pagi rupiah (form 101) sebanyak 7 (tujuh) kali transaksi; - PUAB sore rupiah (form 101) sebanyak 7 (tujuh) kali transaksi; - PUAB valuta asing (form 101) sebanyak 7 (tujuh) kali transaksi; dan - Perdagangan Surat Berharga di Pasar Sekunder (form 301) sebanyak 7 (tujuh) kali transaksi. b. Sampai ... 24 b. Sampai dengan batas waktu penyampaian laporan untuk masing- masing transaksi tersebut, Bank B tidak menyampaikan seluruh laporan transaksi tersebut di atas. c. Atas kesalahan tidak menyampaikan seluruh data transaksi tersebut, Bank B dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) dan bukan sebesar 28 (dua puluh delapan) x Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) atau sebesar Rp7.000.000,00 (tujuh juta rupiah). 2. Bank Pelapor yang tidak menyampaikan secara on-line atau off-line data transaksional yaitu transaksi valuta asing dalam batas waktu yang ditetapkan dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini, dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) untuk setiap data transaksional yang tidak disampaikan dan paling banyak Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) per hari untuk keseluruhan data. Contoh: Tanggal 7 Februari 2011, Bank A tidak menyampaikan: - Transaksi Tod/Tom/Spot (form 201) sebanyak 10 (sepuluh) kali transaksi; - Transaksi Forward, Swap, Option (form 202) sebanyak 7 (tujuh) kali transaksi; dan - Transaksi Derivatif Lainnya (form 203) sebanyak 7 (tujuh) kali transaksi. Sampai dengan batas waktu penyampaian laporan untuk masing- masing transaksi tersebut, Bank A tidak menyampaikan seluruh laporan transaksi tersebut di atas. Atas kesalahan tidak menyampaikan seluruh data transaksi tersebut, Bank A dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp5.000.000,00 ... 25 Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) dan bukan sebesar 24 (dua puluh empat) xRp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) atau sebesar Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah). 3. Bank pelapor yang tidak menyampaikan secara on-line atau off-line data non transaksional sebagaimana dimaksud pada butir III.B dalam batas waktu yang ditetapkan dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini, dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) untuk setiap data non transaksional yang tidak disampaikan. Contoh: a. Suku Bunga Dasar Kredit (form 601) Sebagai dasar dalam pengenaan sanksi, suku bunga dasar kredit memiliki paling banyak 2 (dua) jenis data yang wajib disampaikan yaitu (1) suku bunga dasar kredit dalam rupiah, dan (2) suku bunga dasar kredit dalam USD. Misalnya: Pada tanggal 7 Februari 2011, Bank A tidak menyampaikan data suku bunga dasar kredit sampai dengan batas waktu pelaporan. Berdasarkan penelitian Bank Indonesia, Bank A pada tanggal tersebut memiliki data suku bunga dasar kredit, baik dalam rupiah maupun USD. Karena memiliki data suku bunga dasar kredit namun tidak disampaikan kepada Bank Indonesia maka Bank A dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar 2 (dua) x Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) = Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah). Apabila pada tanggal tersebut Bank A ternyata hanya memiliki salah satu dari 2 (dua) jenis data dimaksud maka Bank A dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar 1 (satu) x Rp250.000,00 (dua ratus ... 26 ratus lima puluh ribu rupiah) = Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah). b. Suku Bunga Kredit Rupiah dan USD (form 602) Sebagai dasar dalam pengenaan sanksi, suku bunga kredit rupiah dan valas (USD) memiliki paling banyak 6 (enam) jenis data yang wajib disampaikan yaitu (1) suku bunga kredit modal kerja dalam rupiah, (2) suku bunga kredit modal kerja dalam USD, (3) suku bunga kredit investasi dalam rupiah, (4) suku bunga kredit investasi dalam USD, (5) suku bunga kredit konsumsi dalam rupiah, dan (6) suku bunga kredit konsumsi dalam USD. Misalnya: Pada tanggal 7 Februari 2011, Bank A tidak menyampaikan data suku bunga kredit sampai dengan batas waktu pelaporan. Berdasarkan penelitian Bank Indonesia, Bank A pada tanggal tersebut memiliki data suku bunga kredit (6 jenis). Karena memiliki data suku bunga kredit secara lengkap namun tidak disampaikan kepada Bank Indonesia maka Bank A dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar 6 (enam) x Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) = Rp1.500.000,00 (satu juta lima ratus ribu rupiah). Apabila pada tanggal tersebut Bank A ternyata hanya memiliki 4 (empat) jenis data suku bunga kredit maka Bank A dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar 4 (empat) x Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) = Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah). c. Suku Bunga Deposito Berjangka, Sertifikat Deposito dan Tabungan (form 603) Sebagai dasar dalam pengenaan sanksi, suku bunga deposito berjangka, sertifikat deposito dan tabungan memiliki paling banyak 5 (lima) ... 27 5 (lima) jenis data yang wajib disampaikan yaitu (1) suku bunga deposito berjangka dalam Rupiah, (2) suku bunga deposito berjangka dalam USD, (3) suku bunga sertifikat deposito dalam rupiah, (4) suku bunga sertifikat deposito dalam USD, dan (5) suku bunga tabungan dalam rupiah. Misalnya: Pada tanggal 7 Februari 2011, Bank A tidak menyampaikan data suku bunga deposito berjangka, sertifikat deposito dan tabungan sampai dengan batas waktu pelaporan. Berdasarkan penelitian Bank Indonesia, Bank A pada tanggal tersebut memiliki data suku bunga deposito berjangka, sertifikat deposito dan tabungan (5 jenis). Karena memiliki data suku bunga deposito secara lengkap namun tidak disampaikan kepada Bank Indonesia maka Bank A dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar 5 (lima) x Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) = Rp1.250.000,00 (satu juta dua ratus lima puluh ribu rupiah). Apabila pada tanggal tersebut Bank A ternyata hanya memiliki 3 (tiga) jenis data suku bunga deposito berjangka, sertifikat deposito dan tabungan maka Bank A dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar 3 (tiga) x Rp250.000,00 (tujuh ratus lima puluh ribu rupiah) = Rp750.000,00 (tujuh ratus lima puluh ribu rupiah). d. Suku Bunga Penawaran (form 501) Pada tanggal 7 Februari 2011 Bank devisa A melaporkan suku bunga penawaran (Form 501). Sampai dengan batas waktu penyampaian, Bank A tidak mengirimkan data suku bunga penawaran rupiah dan USD. Atas kesalahan tidak menyampaikan data, Bank A dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar 2 (dua) x Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) atau sebesar Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) 4. Bank ... 28 4. Bank Pelapor yang tidak menyampaikan secara on-line atau off-line form header LHBU dalam batas waktu yang ditetapkan, dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk setiap form header yang tidak disampaikan. Contoh: Pada tanggal 7 Februari 2011 Bank A tidak mempunyai data suku bunga kredit (form 602) dan Bank A tidak menyampaikan form header dimaksud sampai batas waktu penyampaian form pukul 18.00 WIB, maka Bank A dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) karena tidak menyampaikan form header tersebut. 5. Bank Pelapor yang menyampaikan data transaksional dan non transaksional LHBU secara tidak benar untuk data-data: a. PUAB; b. PUAS; c. perdagangan surat berharga di pasar sekunder; d. posisi devisa neto; e. pos-pos tertentu neraca; f. proyeksi arus kas; g. suku bunga penawaran; h. tingkat imbalan deposito investasi mudharabah Bank syariah dalam rupiah; i. suku bunga dasar kredit rupiah dan valuta asing; j. suku bunga kredit rupiah dan valuta asing; k. suku bunga deposito berjangka rupiah dan valuta asing (USD) diskonto sertifikat deposito rupiah dan valuta asing (USD), dan suku bunga tabungan rupiah; l. posisi ... 29 l. posisi saldo harian pinjaman luar negeri jangka pendek Bank; dan/atau m. posisi harian dana usaha kantor cabang bank asing, dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) untuk setiap butir (item) kesalahan dengan sanksi kewajiban membayar paling banyak sebesar Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah) setiap form per hari. Contoh: a. Untuk data transaksional : Tanggal 7 Februari 2011 Bank A melakukan 30 (tiga puluh) transaksi PUAB dengan informasi sebagai berikut: 1. PUAB pagi rupiah (form 101) sebanyak 10 (sepuluh) kali transaksi; 2. PUAB sore rupiah (form 101) sebanyak 10 (sepuluh) kali transaksi 3. PUAB valas (form 101) sebanyak 10 (sepuluh) kali transaksi Berdasarkan hasil penelitian Bank Indonesia, terdapat 42 (empat puluh dua) item data tidak benar untuk form 101 yang disampaikan. Atas ketidakbenaran data dimaksud Bank A dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah) dan bukan sebesar 42 (empat puluh dua) xRp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) atau sebesar Rp2.100.000,00 (dua juta seratus ribu rupiah). b. Untuk data non transaksional : Pada tanggal 7 Februari 2011, Bank A menyampaikan data secara tidak benar form 603 (suku bunga deposito berjangka, sertifikat deposito dan tabungan) sampai dengan batas waktu pelaporan. Berdasarkan penelitian Bank Indonesia, Bank A pada tanggal tersebut ... 30 tersebut memiliki 5 jenis data dan 42 item yang terdiri dari suku bunga deposito berjangka (USD dan IDR), sertifikat deposito (USD dan IDR) dan tabungan (IDR). Karena memiliki data secara lengkap dan seluruh data yang disampaikan pada LHBU tidak benar, maka Bank A dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah) dan bukan sebesar 42 (empat puluh dua) x Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) atau sebesar Rp2.100.000,00 (dua juta seratus ribu rupiah). c. Untuk data transaksional dan non transaksional: Tanggal 7 Februari 2011 Bank A menyampaikan: - form 101 dengan jumlah transaksi sebanyak 15 (lima belas) transaksi; - form 401; - form 402; - form 403; - form 404; - form 405; dan - form 406. Berdasarkan hasil penelitian Bank Indonesia, terdapat 50 (lima puluh) item data tidak benar untuk seluruh form yang disampaikan sebagai berikut: - - - - - - - sebanyak 20 (dua puluh) item tidak benar pada form 101; sebanyak 5 (lima) item tidak benar pada form 401; sebanyak 5 (lima) item tidak benar pada form 402; sebanyak 5 (lima) item tidak benar pada form 403; sebanyak 5 (lima) item tidak benar pada form 404; sebanyak 5 (lima) item tidak benar pada form 405; dan sebanyak 5 (lima) item tidak benar pada form 406. Atas ... 31 Atas ketidakbenaran data dimaksud Bank A akan dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp2.500.000,00 (50 item x Rp50.000,00) karena nilai kesalahan yang dilakukan oleh Bank A untuk data transaksional dan data non transaksional tersebut di atas. 6. Bank Pelapor yang menyampaikan data transaksional dan non transaksional LHBU secara tidak benar untuk data-data: a. transaksi valuta asing; b. posisi akhir hari transaksi derivatif jual valuta asing bukan investasi dengan pihak asing; c. posisi akhir hari transaksi derivatif beli valuta asing bukan investasi dengan pihak asing; dan/atau d. rekapitulasi transaksi derivatif, dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) untuk setiap butir (item) kesalahan dan paling banyak sebesar Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah) per hari. Contoh: a. Tanggal 7 Februari 2011 Bank A melakukan transaksi spot (form 201) USD/IDR dengan nasabahnya dengan kurs Rp9.300,00 (sembilan ribu tiga ratus rupiah) dan volume USD1.000.000,00 (satu juta US dollar). Namun demikian, Bank A melaporkan kurs sebesar Rp3.900,00 (tiga ribu sembilan ratus rupiah). Atas kesalahan pelaporan kurs tersebut, Bank A dikenakan sanksi sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) karena kesalahan menyampaikan 1 (satu) item data pada kolom kurs. b. Pada tanggal 7 Februari 2011, Bank A menyampaikan : - form 201 dengan jumlah transaksi sebanyak 15 (lima belas) transaksi; - form ... 32 - form 202 dengan jumlah transaksi sebanyak 10 (sepuluh) transaksi; - form 203 dengan jumlah transaksi sebanyak 15 (lima belas) transaksi; - form 204; - form 205; dan - form 206. Berdasarkan hasil penelitian Bank Indonesia, terdapat 48 (empat puluh delapan) item data tidak benar untuk data transaksional yang meliputi kurs, volume, nama penjual dan jangka waktu masing- masing sebagai berikut: - - - sebanyak 20 (dua puluh) item tidak benar pada form 201; sebanyak 10 (sepuluh) item tidak benar pada form 202; dan sebanyak 15 (lima belas) item tidak benar pada form 203. Sementara itu, untuk data non transaksional juga terdapat data tidak benar untuk posisi yang dilaporkan sebagai berikut: - - - sebanyak 1 (satu) item tidak benar pada form 204; sebanyak 1(satu) item tidak benar pada form 205; dan sebanyak 1(satu) item tidak benar pada form 206. Atas ketidakbenaran data dimaksud Bank A akan dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah) karena nilai kesalahan yang dilakukan oleh Bank A untuk data transaksional dan data non transaksional tersebut di atas telah melebihi sanksi kewajiban membayar paling banyak sebesar Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah). 7. Dalam hal Bank Pelapor tidak menyampaikan form header dan terdapat transaksi yang wajib disampaikan Bank Pelapor sesuai dengan Surat Edaran Bank Indonesia ini maka Bank Pelapor dikenakan sanksi tidak menyampaikan ... 33 menyampaikan form header sebagaimana dimaksud pada angka 4 dan sanksi tidak menyampaikan data sebagaimana dimaksud pada angka 1, angka 2 dan/atau angka 3. Contoh: a. Untuk data transaksional: 1. Tanggal 7 Februari 2011, Bank A dan Bank B melakukan transaksi PUAB pagi (form 101) sebanyak 10 (sepuluh) kali transaksi, PUAB sore (form 101) sebanyak 10 (sepuluh) kali transaksi, PUAS (form 102) dan transaksi pasar sekunder surat berharga (form 301) sebanyak 10 (sepuluh) kali transaksi. 2. Sampai dengan batas waktu penyampaian laporan untuk masing-masing transaksi tersebut, Bank B tidak menyampaikan seluruh laporan transaksi tersebut diatas. 3. Atas kesalahan tidak menyampaikan seluruh data transaksi tersebut, Bank B dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) dan bukan sebesar 30 (tiga puluh) x Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) atau sebesar Rp7.500.000,00 (tujuh juta lima ratus ribu rupiah). 4. Disamping itu, Bank B dikenakan pula sanksi tidak menyampaikan form header (form 101, 102 dan 301) sehingga dikenakan kewajiban membayar Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah). 5. Jumlah seluruh kewajiban yang harus dibayar oleh Bank B adalah Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) + Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah) = Rp8.000.000,00 (delapan juta rupiah). b. Untuk ... 34 b. Untuk data non transaksional: 1. Tanggal 7 Februari 2011 Bank A wajib menyampaikan form data non transaksional suku bunga kredit (form 602) yang seluruhnya berisi 6 (enam) data yaitu terdiri dari data suku bunga kredit modal kerja dalam rupiah dan valuta asing, suku bunga kredit investasi dalam rupiah dan valuta asing, dan suku bunga kredit konsumsi dalam rupiah dan valuta asing, namun tidak menyampaikan 6 (enam) data tersebut maka Bank A dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar 6 (enam) x Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) = Rp1.500.000,00 (satu juta lima ratus ribu rupiah). 2. Disamping itu, Bank A dikenakan pula sanksi tidak menyampaikan form header sehingga dikenakan kewajiban membayar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah). 3. Jumlah seluruh kewajiban yang harus dibayar oleh Bank A adalah Rp1.500.000,00 (satu juta lima ratus ribu Rupiah + Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) = Rp2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah). 8. Bank Indonesia memberitahukan secara tertulis kepada Bank Pelapor mengenai pelanggaran yang dilakukan oleh Bank Pelapor dan besarnya sanksi kewajiban membayar yang dikenakan. 9. Pengenaan sanksi kewajiban membayar dilakukan dengan cara mendebet rekening giro rupiah Bank Pelapor pada Bank Indonesia. 10. Tata cara pengenaan sanksi terhadap Pelanggan LHBU diatur dalam Perjanjian Penggunaan LHBU sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 4. 11. Bank Pelapor yang melakukan pelanggaran terhadap butir V.F.1 dan butir V.F.2, dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. XI. PENYAMPAIAN ... 35 XI. PENYAMPAIAN PERTANYAAN Apabila dalam pelaksanaan penyusunan dan penyampaian LHBU terdapat hal-hal yang kurang jelas, Bank Pelapor dapat menyampaikan pertanyaan yang berkaitan dengan sistem, materi, dan ketentuan LHBU kepada Helpdesk Bank Indonesia, Jl. M.H. Thamrin Nomor 2 Jakarta 10350, Telp 021-3818000 (hunting), email address: helpdesk@bi.go.id. XII. LAIN-LAIN Lampiran 1 sampai dengan Lampiran 4 merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini. XIII. PENUTUP ... 36 XIII. PENUTUP Dengan berlakunya Surat Edaran Bank Indonesia ini maka Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 9/2/DPM tanggal 5 Maret 2007 perihal Laporan Harian Bank Umum dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Ketentuan dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 7 Februari 2011. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA, HENDAR DIREKTUR PENGELOLAAN MONETER "," SE-BI 13/3/DPM|SE-BI/2011 Laporan Harian Bank Umum 4 Februari 2011 7 Februari 2011 '9/2/DPM|SE-BI/2007' '13/8/PBI/2011' 'Romawi X' " " No.12/ 22 /DPM Jakarta, 2 Agustus 2010 SURAT EDARAN Kepada SEMUA BANK UMUM DAN BANK UMUM SYARIAH DI INDONESIA Perihal : Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 12/12/DPD tanggal 8 April 2010 perihal Transaksi Repurchase Agreement Chinese Yuan terhadap Surat Berharga Rupiah Bank kepada Bank Indonesia Sehubungan dengan dilakukannya penyempurnaan organisasi di Bank Indonesia, khususnya yang terkait dengan pengelolaan nilai tukar, perlu untuk melakukan perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 12/12/DPD tanggal 8 April 2010 perihal Transaksi Repurchase Agreement Chinese Yuan terhadap Surat Berharga Rupiah Bank kepada Bank Indonesia sebagai berikut : 1. Ketentuan Romawi I angka 1 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: 1. Pengajuan rencana kebutuhan CNY Bank kepada Bank Indonesia dilakukan melalui Reuters Monitoring Dealing System (RMDS) dan ditujukan kepada Direktorat Pengelolaan Moneter cq. Biro Operasi Moneter - Tim Operasi Moneter Valas (DPM cq. BOpM-Tim OMV), pada setiap hari Rabu pukul 09.00 WIB sampai dengan 11.00 WIB, dengan dealing code BIRU. 2. Ketentuan … 2 2. Ketentuan Romawi II angka 3 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: 3. Haircut Surat Berharga mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kriteria dan persyaratan surat berharga, peserta dan lembaga perantara dalam operasi moneter. Ketentuan dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 2 Agustus 2010. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA, HENDAR DIREKTUR PENGELOLAAN MONETER "," SE-BI 12/22/DPM|SE-BI/2010 Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 12/12/DPD tanggal 8 April 2010 perihal Transaksi Repurchase Agreement Chinese Yuan terhadap Surat Berharga Rupiah Bank kepada Bank Indonesia 2 Agustus 2010 2 Agustus 2010 '12/12/DPD|SE-BI/2010' '12/12/DPD|SE-BI/2010' " " No. 8/20/DASP Jakarta, 11 Oktober 2006 S U R A T E D A R A N Kepada SEMUA PESERTA SISTEM BANK INDONESIA REAL TIME GROSS SETTLEMENT (BI-RTGS) DAN SISTEM KLIRING NASIONAL BANK INDONESIA (SKNBI) DI INDONESIA Perihal : Penetapan Biaya Penggunaan Sistem Bank Indonesia Real Time Gross Settlement dan Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia Dalam Rangka Pelaksanaan Uji Coba Treasury Single Account Pemerintah Dalam rangka melakukan pengelolaan keuangan negara (cash management) yang lebih efektif dan efisien, Pemerintah akan menerapkan Treasury Single Account (TSA). Berkenaan dengan hal tersebut, untuk memperlancar penerapan TSA dimaksud, Pemerintah melibatkan Peserta Sistem Bank Indonesia Real Time Gross Settlement (Sistem BI-RTGS) dan Peserta Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI) untuk melakukan transaksi dalam rangka uji coba TSA melalui Sistem BI-RTGS dan SKNBI. Sehubungan dengan hal tersebut, sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.6/8/PBI/2004 tentang Sistem Bank Indonesia Real Time Gross Settlement (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2004 Nomor 28, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4373) sebagaimana telah diubah dengan PBI No.6/13/PBI/2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2004 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4387) dan PBI No. 7/18/PBI/2005 tentang Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2005 Nomor … Nomor 65, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4516), perlu diatur penetapan biaya penggunaan Sistem BI-RTGS dan SKNBI selama periode uji coba TSA Pemerintah sebagai berikut: I. PELAKSANA UJI COBA TSA 1. Pemerintah c.q. Direktorat Jenderal Perbendaharaan, Departemen Keuangan Republik Indonesia, menetapkan Bank dan Pihak Selain Bank yang merupakan mitra kerja Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) sebagai pelaksana uji coba TSA. 2. Penetapan Bank dan Pihak Selain Bank sebagai pelaksana uji coba TSA sebagaimana dimaksud dalam angka 1 diberitahukan secara tertulis oleh Pemerintah c.q. Direktorat Jenderal Perbendaharaan, Departemen Keuangan Republik Indonesia, kepada Bank Indonesia. 3. Dalam pelaksanaan uji coba TSA, Pemerintah c.q. Direktorat Jenderal Perbendaharaan, Departemen Keuangan Republik Indonesia melibatkan Peserta Sistem BI – RTGS dan/atau Peserta SKNBI sebagai berikut : a. Kantor Pusat Peserta Sistem BI – RTGS dan/atau Kantor Pusat Peserta SKNBI yang menjadi mitra kerja KPPN; b. Kantor Cabang Peserta Sistem BI – RTGS dan/atau Kantor Cabang Peserta SKNBI yang menjadi mitra kerja KPPN sebagaimana dimaksud dalam huruf a; dan c. Kantor lainnya dari Peserta Sistem BI – RTGS dan/atau Kantor lainnya dari Peserta SKNBI yang melakukan transaksi terkait uji coba TSA. II. JENIS TRANSAKSI, PENGGUNAAN TRANSACTION REFERENCE NUMBER (TRN) DAN SANDI TRANSAKSI DALAM UJI COBA TSA 1. Jenis transaksi, penggunaan TRN, dan sandi transaksi dalam rangka uji coba TSA diatur sebagaimana tercantum pada Lampiran Surat Edaran ini. 2. Peserta Sistem BI – RTGS yang melakukan transaksi dalam rangka uji coba TSA harus menggunakan TRN serta mengisi payment detail yang telah … telah ditetapkan oleh Bank Indonesia sebagaimana tercantum pada Lampiran Surat Edaran ini. 3. Peserta SKNBI yang melakukan transaksi dalam rangka uji coba TSA harus menggunakan sandi transaksi serta mengisi keterangan yang telah ditetapkan oleh Bank Indonesia sebagaimana tercantum pada Lampiran Surat Edaran ini. 4. Khusus untuk TRN IFTSA001 hanya digunakan untuk transaksi dengan nilai nominal paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah), sedangkan untuk transaksi dengan nilai nominal dibawah Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) harus melalui SKNBI. III. PENGENAAN BIAYA TRANSAKSI DALAM UJI COBA TSA Pengenaan biaya transaksi dalam uji coba TSA diatur sebagai berikut : 1. Peserta Sistem BI-RTGS atau Peserta SKNBI yang melakukan transaksi dengan menggunakan TRN atau sandi transaksi dalam rangka uji coba TSA sebagaimana dimaksud pada butir II.1 dikenakan biaya transaksi sebesar Rp0,00 (nol rupiah) per transaksi. 2. Dalam hal Peserta Sistem BI-RTGS atau Peserta SKNBI sebagaimana dimaksud dalam angka 1 menggunakan TRN atau sandi transaksi selain TRN atau sandi transaksi yang tercantum pada Lampiran Surat Edaran ini, maka Peserta Sistem BI-RTGS atau Peserta SKNBI tersebut dikenakan biaya transaksi melalui Sistem BI-RTGS dan SKNBI sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai biaya dalam penggunaan Sistem BI-RTGS dan biaya dalam penyelenggaraan SKNBI. 3. Peserta Sistem BI-RTGS atau Peserta SKNBI yang menggunakan TRN atau sandi transaksi uji coba TSA selain untuk transaksi uji coba TSA dikenakan biaya sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per transaksi. 4. Pengenaan biaya sebagaimana dimaksud pada angka 3 dilakukan dengan cara mendebet Rekening Giro Peserta Sistem BI-RTGS atau Peserta SKNBI di Bank Indonesia pada saat Bank Indonesia mengetahui … mengetahui adanya kesalahan penggunaan TRN dan/atau sandi transaksi. IV. MASA TRANSISI SISTEM 1. Khusus untuk transaksi uji coba TSA yang dilakukan melalui SKNBI, mekanisme pembebanan biaya transaksi Rp0,00 (nol rupiah) dilakukan sebagai berikut : a. Indonesia yang mengatur mengenai biaya Bank yang melakukan transaksi uji coba TSA melalui SKNBI dikenakan biaya transaksi kliring kredit sesuai dengan ketentuan Bank penyelenggaraan SKNBI. b. Bank Indonesia mengembalikan biaya transaksi kliring kredit sebagaimana dimaksud dalam huruf a kepada Bank yang dilakukan pada awal bulan berikutnya. 2. Mekanisme sebagaimana dimaksud dalam angka 1 dilakukan sampai dengan akhir Desember 2007 3. Dalam hal pelimpahan pajak belum dilakukan setiap hari namun dilakukan pada hari kerja tertentu maka TRN BIRSA501 belum dapat digunakan sehingga pelimpahan pajak tetap menggunakan TRN sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia No. 7/62/DASP tanggal 30 Desember 2005 perihal Sistem Bank Indonesia Real Time Gross Settlement serta dikenakan biaya sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia No. 4/14/DASP tanggal 24 September 2002 perihal Biaya Dalam Penggunaan Sistem Bank Indonesia Real Time Gross Settlement. V. PENUTUP Dengan berlakunya Surat Edaran ini, maka Surat Edaran Bank Indonesia No.8/12/DASP tanggal 11 April 2006 perihal Penetapan Biaya Penggunaan Sistem Bank Indonesia Real Time Gross Settlement Selama Periode Uji Coba Treasury Single Account Pemerintah Melalui Mekanisme Rekening Pengeluaran Kuasa Bendahara Umum Negara Pusat/Daerah pada Bank Umum dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Ketentuan … dalam Ketentuan dalam Surat Edaran ini mulai berlaku pada tanggal 11 Oktober 2006. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA, EDI SISWANTO DIREKTUR AKUNTING DAN SISTEM PEMBAYARAN DASP "," SE-BI 8/20/DASP|SE-BI/2006 Penetapan Biaya Penggunaan Sistem Bank Indonesia Real Time Gross Settlement dan Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia Dalam Rangka Pelaksanaan Uji Coba Treasury Single Account Pemerintah 11 Oktober 2006 11 Oktober 2006 '8/12/DASP|SE-BI/2006' '6/8/PBI/2004', '7/18/PBI/2005', '6/13/PBI/2004' " " No. 18/33/DKSP Jakarta, 2 Desember 2016 S U R A T E D A R A N Perihal : Perubahan Keempat atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/10/DASP tanggal 13 April 2009 perihal Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu Sehubungan dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/11/PBI/2009 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5000) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/2/PBI/2012 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5275) dan dalam rangka menyelaraskan dengan kondisi ekonomi terkini, mendorong efisiensi dan akseptasi masyarakat terhadap Kartu Kredit, serta meningkatkan penerapan perlindungan konsumen Pemegang Kartu Kredit dan penerapan manajemen risiko operasional oleh Penerbit Kartu Kredit, perlu melakukan perubahan keempat atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/10/DASP tanggal 13 April 2009 perihal Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu sebagaimana telah diubah beberapa kali dengan Surat Edaran Bank Indonesia: a. Nomor 14/17/DASP tanggal 7 Juni 2012; b. Nomor 16/25/DKSP tanggal 31 Desember 2014; dan c. Nomor 17/51/DKSP tanggal 30 Desember 2015, sebagai berikut: 1. Ketentuan butir VII.A.5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: 5. Penerbit Kartu Kredit wajib: a. menerapkan batas maksimum suku bunga Kartu Kredit dengan ketentuan sebagai berikut: 1) batas … 2 1) batas maksimum suku bunga Kartu Kredit ditetapkan sebesar 2,25% (dua koma dua puluh lima persen) per bulan atau 26,95% (dua puluh enam koma sembilan puluh lima persen) per tahun; 2) batas maksimum suku bunga Kartu Kredit sebagaimana dimaksud dalam angka 1) wajib diterapkan oleh Penerbit Kartu Kredit untuk transaksi pembelanjaan maupun transaksi tarik tunai; dan 3) Bank Indonesia dapat melakukan peninjauan kembali (review) atas besarnya batas maksimum suku bunga Kartu Kredit sebagaimana dimaksud dalam angka 1); b. melakukan penghitungan bunga yang timbul atas transaksi Kartu Kredit dengan ketentuan sebagai berikut: 1) penghitungan hari bunga atas utang Kartu Kredit didasarkan dan dimulai dari tanggal pembukuan (posting) Penerbit Kartu Kredit yang merupakan tanggal riil Penerbit Kartu Kredit melakukan pembayaran kepada Acquirer atas transaksi pembelanjaan Pemegang Kartu Kredit, atau melakukan pembayaran kepada penyelenggara ATM atas transaksi tarik tunai menggunakan Kartu Kredit; 2) penghitungan bunga Kartu Kredit untuk tagihan berikutnya dilakukan berdasarkan jumlah sisa tagihan Kartu Kredit atas transaksi pembelanjaan dan/atau tarik tunai yang belum terbayar (outstanding); 3) biaya terutang, denda terutang, bunga terutang, dan tagihan yang belum jatuh tempo, dilarang digunakan sebagai komponen penghitungan bunga Kartu Kredit; 4) untuk transaksi pembelanjaan, bunga dibebankan apabila Pemegang Kartu Kredit: a) tidak melakukan pembayaran; b) melakukan … 3 b) melakukan pembayaran kurang dari total tagihan Kartu Kredit (pembayaran tidak penuh); atau c) melakukan pembayaran penuh setelah tanggal jatuh tempo pembayaran. Bunga dari transaksi pembelanjaan tidak dibebankan apabila Pemegang Kartu Kredit telah melakukan pembayaran penuh paling lambat pada tanggal jatuh tempo, atau pada kelonggaran waktu pembayaran yang diberikan oleh Penerbit Kartu Kredit; 5) untuk transaksi tarik tunai, bunga dibebankan dan dihitung mulai dari tanggal pembukuan (posting) sampai dengan tanggal dilakukannya pembayaran secara penuh oleh Pemegang Kartu Kredit, dengan contoh penghitungan mengacu pada contoh 3 dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini; dan 6) penetapan bunga harian didasarkan pada perhitungan jumlah hari kalender dalam setahun yaitu 365 (tiga ratus enam puluh lima) hari. 2. Ketentuan butir VII.A.12 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: 12. Dalam rangka pengakhiran dan/atau penutupan fasilitas Kartu Kredit atas permintaan Pemegang Kartu Kredit, berlaku ketentuan sebagai berikut: a. permohonan pengakhiran dan/atau penutupan fasilitas Kartu Kredit oleh Pemegang Kartu Kredit dilakukan secara tertulis. Termasuk permohonan tertulis dalam hal ini adalah permohonan tertulis yang disampaikan melalui faksimili atau e-mail, serta permohonan melalui pembicaraan telepon yang dituangkan dalam catatan resmi Penerbit Kartu Kredit yang bersangkutan dan telah dikonfirmasikan kepada Pemegang Kartu Kredit; b) Penerbit … 4 b. Penerbit Kartu Kredit dilarang menghambat keinginan Pemegang Kartu Kredit untuk melakukan pengakhiran dan/atau penutupan fasilitas Kartu Kredit, antara lain dengan: 1) memberlakukan persyaratan batas waktu minimal penggunaan Kartu Kredit untuk dapat diakhiri, seperti penetapan persyaratan pengakhiran dan/atau penutupan penggunaan Kartu Kredit yang hanya dapat dilakukan oleh Pemegang Kartu Kredit setelah Pemegang Kartu Kartu Kredit menggunakan Kartu Kredit paling kurang 3 (tiga) tahun atau lebih; dan/atau 2) menunda proses permohonan pengakhiran dan/atau penutupan fasilitas Kartu Kredit yang diajukan Pemegang Kartu Kredit dengan berbagai alasan; c. Penerbit Kartu Kredit wajib melakukan pemblokiran Kartu Kredit sejak menerima permohonan pengakhiran dan/atau penutupan fasilitas Kartu Kredit yang diajukan Pemegang Kartu Kredit sebagaimana dimaksud dalam huruf a; d. terhadap Kartu Kredit yang telah diblokir sebagaimana dimaksud dalam huruf c, Penerbit dilarang mengenakan biaya dan denda tambahan selain biaya dan denda terkait dengan transaksi yang telah dilakukan oleh Pemegang Kartu Kredit sebelum dilakukannya pemblokiran, atau biaya dan denda terkait dengan kewajiban yang belum dipenuhi oleh Pemegang Kartu Kredit; e. setelah melakukan pemblokiran sebagaimana dimaksud dalam huruf c, Penerbit Kartu Kredit harus melakukan pengakhiran dan/atau penutupan fasilitas Kartu Kredit dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak: 1) tanggal diterimanya permohonan dalam hal Pemegang Kartu Kredit tidak memiliki kewajiban kepada Penerbit Kartu Kredit; atau 1) tanggal … 5 2) tanggal diterimanya pelunasan seluruh kewajiban Pemegang Kartu Kredit oleh Penerbit Kartu Kredit, dalam hal Pemegang Kartu Kredit masih memiliki kewajiban kepada Penerbit Kartu Kredit; f. dalam hal terdapat saldo kredit, Penerbit Kartu Kredit harus mengembalikan saldo kredit kepada Pemegang Kartu Kredit paling lambat pada tanggal dilakukannya pengakhiran dan/atau penutupan fasilitas Kartu Kredit oleh Penerbit Kartu Kredit. Pengembalian saldo kredit wajib dilakukan melalui transfer ke rekening simpanan yang ditentukan oleh Pemegang Kartu Kredit. Pengembalian saldo kredit berlaku apabila saldo kredit tersebut berjumlah lebih besar dari biaya transfer pengembalian. Biaya transfer saldo kredit menjadi beban Pemegang Kartu Kredit yang dapat dibebankan pada saldo kredit tersebut; g. pengakhiran dan/atau penutupan fasilitas Kartu Kredit dapat dilakukan untuk kartu utama dan/atau kartu tambahan dengan ketentuan sebagai berikut: 1) pengakhiran dan/atau penutupan fasilitas Kartu Kredit untuk kartu utama dilakukan terhadap kartu utama dan kartu tambahan apabila ada; 2) pengakhiran dan/atau penutupan fasilitas Kartu Kredit untuk kartu tambahan dilakukan hanya terhadap kartu tambahan; h. Penerbit Kartu Kredit wajib memberikan pernyataan penutupan (closing statement) Kartu Kredit kepada Pemegang Kartu Kredit, yang paling sedikit memuat pernyataan bahwa: 1) fasilitas Kartu Kredit yang diberikan kepada Pemegang Kartu Kredit telah diakhiri dan/atau ditutup; 2) Pemegang … 6 2) Pemegang Kartu Kredit telah menyelesaikan seluruh kewajibannya kepada Penerbit Kartu Kredit sehubungan dengan fasilitas Kartu Kredit yang telah diakhiri dan/atau ditutup; dan 3) Pemegang Kartu Kredit tidak akan dikenakan biaya dalam bentuk apapun di kemudian hari sehubungan dengan fasilitas Kartu Kredit yang telah diakhiri dan/atau ditutup; i. dalam hal terdapat alasan yang cukup bagi Penerbit Kartu Kredit untuk menutup Kartu Kredit, maka Penerbit Kartu Kredit dapat menutup Kartu Kredit dengan tetap wajib menyampaikan pernyataan penutupan (closing statement), dengan dilengkapi informasi paling sedikit mengenai alasan pengakhiran dan/atau penutupan Kartu Kredit, serta informasi terkait mekanisme pemenuhan kewajiban yang masih harus diselesaikan oleh Pemegang Kartu Kredit; dan j. pernyataan penutupan (closing statement) sebagaimana dimaksud dalam huruf h dan huruf i disampaikan dalam bentuk surat dan/atau surat elektronik yang harus sudah sampai pada alamat Pemegang Kartu Kredit paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah tanggal dilakukannya pengakhiran dan/atau penutupan fasilitas Kartu Kredit. Pada saat Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku, Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 14/34/DASP tanggal 27 November 2012 perihal Batas Maksimum Suku Bunga Kartu Kredit, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku setelah 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal diterbitkan. Agar … 7 Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA, ENI V. PANGGABEAN KEPALA DEPARTEMEN KEBIJAKAN DAN PENGAWASAN SISTEM PEMBAYARAN "," SE-BI 18/33/DKSP|SE-BI/2016 Perubahan Keempat atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/10/DASP tanggal 13 April 2009 perihal Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu 2 Desember 2016 setelah 6 (enam) bulan terhitung sejak 2 Desember 2016 '11/10/DASP|SE-BI/2009' '14/17/DASP|SE-BI/2012', '16/25/DKSP|SE-BI/2014', '17/51/DKSP|SE-BI/2015' '14/34/DASP|SE-BI/2012' '11/10/DASP|SE-BI/2009', '14/2/PBI/2012', '11/11/PBI/2009', '14/17/DASP|SE-BI/2012', '16/25/DKSP|SE-BI/2014', '17/51/DKSP|SE-BI/2015' " " No.18/1/DPSP Jakarta, 5 Januari 2016 S U R A T E D A R A N Perihal : Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/32/DPSP tanggal 13 November 2015 perihal Tata Cara Lelang Surat Berharga Negara di Pasar Perdana dan Penatausahaan Surat Berharga Negara Sehubungan dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/13/PBI/2008 tentang Lelang dan Penatausahaan Surat Berharga Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4888) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/19/PBI/2015 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 274, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5763) dan Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/18/PBI/2015 tentang Penyelenggaraan Transaksi, Penatausahaan Surat Berharga, dan Setelmen Dana Seketika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 273, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5762) serta Peraturan Menteri Keuangan Nomor 203/PMK.08/2015 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 43/PMK.08/2013 tentang Lelang Surat Utang Negara Dalam Mata Uang Rupiah dan Valuta Asing di Pasar Perdana Domestik, perlu melakukan perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/32/DPSP tanggal 13 November 2015 perihal Tata Cara Lelang Surat Berharga Negara di Pasar Perdana dan Penatausahaan Surat Berharga Negara sebagai berikut: 1. Ketentuan butir II.A.1.g.2) diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: 2) Pengajuan penawaran Lelang SBN dalam Rupiah dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a) Lelang SUN dalam Rupiah Dalam hal Dealer Utama mengajukan penawaran Lelang SUN dalam Rupiah untuk dan atas nama diri sendiri atau untuk ... 2 untuk dan atas nama pihak lain selain Bank Indonesia dan LPS, maka pengajuan penawaran dilakukan dengan tata cara sebagai berikut: (1) pengajuan penawaran pada lelang Obligasi Negara dilakukan dengan cara Penawaran Pembelian Kompetitif (Competitive Bidding) dan/atau Penawaran Pembelian Nonkompetitif (Non-competitive Bidding); (2) pengajuan penawaran pada lelang SPN dilakukan dengan cara Penawaran Pembelian Kompetitif (Competitive Bidding). b) Lelang SBSN dalam Rupiah (1) Dalam hal Peserta Lelang mengajukan penawaran Lelang SBSN dalam Rupiah untuk dan atas nama diri sendiri dan/atau melalui Peserta Lelang lain maka penawaran hanya dapat dilakukan dengan cara Penawaran Pembelian Kompetitif (Competitive Bidding). (2) Dalam hal Peserta Lelang mengajukan penawaran Lelang SBSN dalam Rupiah untuk dan atas nama pihak lain selain Bank Indonesia dan LPS maka pengajuan penawaran dilakukan dengan tata cara sebagai berikut: (a) pengajuan penawaran pada lelang SBSN jangka pendek dilakukan dengan cara Penawaran Pembelian Kompetitif (Competitive Bidding); (b) pengajuan penawaran pada lelang SBSN jangka panjang dilakukan dengan cara Penawaran Pembelian Kompetitif (Competitive Bidding) dan/atau Penawaran Pembelian Nonkompetitif (Non-competitive Bidding). 2. Ketentuan butir II.B.1.e.1)d) diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: d) Pengajuan penawaran dibatasi paling banyak sebesar Penawaran Pembelian Nonkompetitif (Non-competitive Bidding) dalam lelang SUN pada masing-masing seri SUN yang ditawarkan. 3. Ketentuan ... 3 3. Ketentuan butir II.C.1.i diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: i. Lelang SUN dalam valuta asing dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: 1) Penawaran lelang SUN dalam valuta asing dilakukan dengan mengajukan Penawaran Pembelian Kompetitif (Competitive Bidding) dan/atau Penawaran Pembelian Nonkompetitif (Non-competitive Bidding) dalam suatu periode waktu (window time) penawaran yang telah ditentukan dan diumumkan sebelumnya. 2) Dalam hal Dealer Utama mengajukan penawaran lelang SUN dalam valuta asing untuk dan atas nama diri sendiri atau untuk dan atas nama pihak lain selain Bank Indonesia dan LPS, maka pengajuan penawaran dilakukan dengan tata cara sebagai berikut: a) penawaran pada lelang Obligasi Negara dalam valuta asing dilakukan dengan cara Penawaran Pembelian Kompetitif (Competitive Bidding) dan/atau Penawaran Pembelian Nonkompetitif (Non-competitive Bidding); b) penawaran pada lelang SPN dalam valuta asing dilakukan dengan cara Penawaran Pembelian Kompetitif (Competitive Bidding). 3) LPS dapat mengajukan penawaran lelang SUN dalam valuta asing berupa SPN dan Obligasi Negara dalam valuta asing dengan tata cara sebagai berikut: a) penawaran dilakukan secara langsung tanpa melalui Dealer Utama; dan b) penawaran hanya untuk Penawaran Pembelian Nonkompetitif (Non-competitive Bidding). 4) Lelang SUN dalam valuta asing dilaksanakan pada hari Senin antara pukul 09.00 WIB sampai dengan pukul 11.00 WIB atau pada hari kerja dan waktu lain yang ditetapkan Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko untuk dan atas nama Menteri. 5) Dalam hal terdapat perubahan jadwal lelang SUN dalam valuta asing, Bank Indonesia mengumumkan perubahan jadwal ... 4 jadwal pelaksanaan lelang sebagaimana dimaksud dalam angka 4) melalui Bloomberg, Sistem LHBU, dan/atau sarana komunikasi lain yang digunakan Bank Indonesia. 6) Sarana yang digunakan untuk pengajuan penawaran lelang SUN dalam valuta asing adalah terminal Bloomberg atau sarana lain yang ditetapkan Bank Indonesia. 7) Dalam hal Bank mengajukan penawaran lelang SUN dalam valuta asing melalui Dealer Utama, Bank yang bersangkutan harus menetapkan Batas Paling Tinggi Nominal Penawaran (Broker Bidding Limit) per hari untuk lelang SUN dalam valuta asing bagi Dealer Utama. 8) Peserta Transaksi yang tidak memiliki Rekening Surat Berharga yang mengajukan penawaran lelang SUN dalam valuta asing harus menunjuk Sub-Registry untuk pelaksanaan Setelmen hasil lelang SUN dalam valuta asing. 9) Sub-Registry yang ditunjuk untuk pelaksanaan Setelmen hasil lelang SUN dalam valuta asing harus menetapkan Batas Paling Tinggi Nominal Penawaran (Broker Bidding Limit) per hari untuk lelang SUN dalam valuta asing bagi Peserta Transaksi untuk kepentingan nasabah Sub-Registry. 10) Penetapan Batas Paling Tinggi Nominal Penawaran (Broker Bidding Limit) per hari untuk lelang SUN dalam valuta asing sebagaimana dimaksud dalam angka 7) dan angka 9) harus diatur dalam suatu perjanjian antara Bank atau Sub- Registry dengan Dealer Utama. 11) Peserta Transaksi harus menyampaikan penawaran lelang SUN dalam valuta asing dengan informasi yang lengkap dan benar berdasarkan dokumen instruksi transaksi. 12) Peserta Transaksi bertanggung jawab atas kebenaran data penawaran pembelian lelang SUN dalam valuta asing. 4. Di antara angka III dan angka IV disisipkan 1 (satu) angka baru yakni angka IIIA yang berbunyi sebagai berikut: IIIA. LAIN-LAIN ... 5 IIIA. LAIN-LAIN Dalam hal terdapat situasi atau kondisi yang terjadi akibat adanya gangguan atau kerusakan pada perangkat keras, perangkat lunak, jaringan komunikasi, aplikasi, maupun sarana pendukung teknologi informasi yang ada pada Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko dan/atau Bank Indonesia yang mempengaruhi kelancaran pelaksanaan Lelang SBN dan/atau Lelang SBN Tambahan pada tahapan persiapan, tahapan pelaksanaan, atau tahapan Setelmen maka Bank Indonesia akan mengumumkan keputusan Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko untuk dan atas nama Menteri terhadap pelaksanaan Lelang dan Setelmen melalui Sistem LHBU dan/atau sarana komunikasi lain yang digunakan Bank Indonesia. Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 5 Januari 2016. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA, BRAMUDIJA HADINOTO KEPALA DEPARTEMEN PENYELENGGARAAN SISTEM PEMBAYARAN "," SE-BI 18/1/DPSP|SE-BI/2016 Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/32/DPSP tanggal 13 November 2015 perihal Tata Cara Lelang Surat Berharga Negara di Pasar Perdana dan Penatausahaan Surat Berharga Negara 5 Januari 2016 5 Januari 2016 '17/32/DPSP|SE-BI/2015' '203/PMK.08/2015|PER-MENKEU/2015', '17/32/DPSP|SE-BI/2015', '10/13/PBI/2008', '17/18/PBI/2015', '43/PMK.08/2013|PER-MENKEU/2013', '17/19/PBI/2015' " " No. 9/10/DASP Jakarta, 9 April 2007 S U R A T E D A R A N Kepada SEMUA PESERTA SISTEM KLIRING NASIONAL BANK INDONESIA DI INDONESIA Perihal: Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 7/26/DASP tanggal 22 Juli 2005 perihal Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia Dalam rangka lebih mendukung kelancaran penyelenggaraan Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI), dipandang perlu untuk melakukan perubahan terhadap beberapa ketentuan dalam Lampiran Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 7/26/DASP tanggal 22 Juli 2005 perihal Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SE SKNBI) yang berkaitan dengan penyelenggara, kepesertaan, kewajiban Peserta, pendanaan awal (prefund), kondisi gangguan dan Keadaan Darurat serta cara pengenaan sanksi sebagai berikut: 1. Ketentuan huruf A mengenai Tanggung Jawab PKN dan huruf B mengenai Tanggung Jawab PKL pada Bab II tentang Penyelenggara; 2. Ketentuan mengenai tata cara pendaftaran menjadi Peserta dan penggantian Tanda Pengenal Petugas Kliring (TPPK) di Wilayah Kliring yang menggunakan proximity dalam hal terjadi perubahan nama Bank, perubahan sebutan nama kantor Peserta, perubahan alamat Peserta, penggabungan usaha (merger), peleburan usaha (konsolidasi), dan perubahan Bank Konvensional menjadi Bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, pada Bab III tentang Kepesertaan; 3. Ketentuan … 3. Ketentuan butir A.1 mengenai penyediaan TPK Utama dan TPK Back-up serta sarana pendukung yang ditetapkan Bank Indonesia pada Bab IV tentang Kewajiban dan Tanggung Jawab Bank sebagai Peserta; 4. Ketentuan butir A.1 mengenai cara penghitungan pendanaan awal (prefund) pada Bab VI tentang Pendanaan Awal (Prefund); 5. Ketentuan pada Bab XII tentang Kondisi Gangguan dan Keadaan Darurat; 6. Ketentuan huruf A mengenai cara pengenaan sanksi terkait penolakan Warkat Debet dan DKE Debet pada Kliring pengembalian dalam kondisi gangguan dan/atau Keadaan Darurat pada Bab XV tentang Sanksi; 7. Ketentuan mengenai jenis-jenis laporan yang didistribusikan kepada Peserta dalam Kliring Debet pada Lampiran 7.4 tentang Jenis Laporan Kliring Debet pada Bab VII tentang Penyelenggaraan Kliring Debet; dan 8. Ketentuan mengenai jenis-jenis laporan yang didistribusikan kepada Peserta dalam Kliring Kredit pada Lampiran 8 tentang Jenis Laporan Kliring Kredit pada Bab VIII tentang Penyelenggaraan Kliring Kredit, diubah menjadi sebagaimana tercantum dalam lampiran Surat Edaran ini, yang merupakan satu kesatuan dan bagian yang tidak terpisahkan dari Surat Edaran ini. Ketentuan dalam Surat Edaran ini berlaku sejak tanggal 23 April 2007. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA, EDI SISWANTO DIREKTUR AKUNTING DAN SISTEM PEMBAYARAN "," SE-BI 9/10/DASP|SE-BI/2007 Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 7/26/DASP tanggal 22 Juli 2005 perihal Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia 9 April 2007 23 April 2007 '7/26/DASP|SE-BI/2005' '7/26/DASP|SE-BI/2005' " " No. 5/ 4 /DPM Jakarta, 21 Maret 2003 SURAT EDARAN Perihal: Tata Cara Lelang Surat Utang Negara di Pasar Perdana Sehubungan dengan ditetapkannya Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/4/PBI/2003 tanggal 21 Maret 2003 tentang Penerbitan, Penjualan dan Pembelian serta Penatausahaan Surat Utang Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4278), maka dipandang perlu untuk menetapkan petunjuk pelaksanaan mengenai Tata Cara Lelang Surat Utang Negara di Pasar Perdana. I. Ketentuan Umum 1. Surat Utang Negara yang selanjutnya disebut SUN yang diterbitkan dan dijual dengan cara lelang di Pasar Perdana terdiri dari : a. Surat Perbendaharaan Negara yang selanjutnya disebut SPN yaitu SUN dalam mata uang Rupiah yang berjangka waktu sampai dengan 12 (dua belas) bulan, dengan pembayaran bunga secara diskonto; dan b. Obligasi Negara yang selanjutnya disebut ON yaitu SUN dalam mata uang Rupiah yang berjangka waktu lebih dari 12 (dua belas) bulan dengan kupon dan atau dengan pembayaran bunga secara diskonto. 2. Pihak yang dapat membeli SUN di Pasar Perdana yaitu orang perorangan, perusahaan, usaha bersama, asosiasi atau kelompok yang terorganisasi. 3. Pihak… 3. Pihak yang dapat mengikuti Lelang SUN di Pasar Perdana yang selanjutnya disebut Peserta Lelang terdiri dari Bank, Perusahaan Pialang Pasar Uang dan Perusahaan Efek yang telah ditunjuk oleh Menteri Keuangan Republik Indonesia. 4. Pembeli yang bukan Peserta Lelang mengajukan penawaran pembelian SUN melalui Peserta Lelang. 5. Penawaran pembelian lelang dapat dilakukan dengan cara Penawaran Pembelian Kompetitif atau dengan cara kombinasi Penawaran Pembelian Kompetitif dan Penawaran Pembelian Non-kompetitif. 6. Penawaran Pembelian Kompetitif (competitive bidding) adalah pengajuan penawaran pembelian dengan mencantumkan volume dan tingkat imbal hasil (yield) yang diinginkan penawar. 7. Penawaran Pembelian Non-kompetitif (non-competitive bidding) adalah pengajuan penawaran pembelian dengan mencantumkan volume tanpa tingkat imbal hasil (yield) yang diinginkan penawar. 8. Persentase untuk Penawaran Pembelian Kompetitif dan Penawaran Pembelian Non-kompetitif ditentukan sebelum Lelang SUN. Dalam hal Penawaran Pembelian Kompetitif melebihi target yang ditetapkan sedangkan Penawaran Pembelian Non-kompetitif lebih kecil dari target yang ditetapkan, atau sebaliknya, alokasi persentase Penawaran Pembelian Kompetitif dan Penawaran Pembelian Non-kompetitif dapat disesuaikan untuk menyerap kelebihan atau kekurangan pada salah satu jenis penawaran lelang. 9. Setelmen hasil Lelang SUN di Pasar Perdana dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut : a. SPN… a. SPN dilakukan pada satu hari kerja berikutnya pelaksanaan lelang SPN (T+1); setelah hari b. ON selambat-lambatnya dilakukan pada 5 hari kerja berikutnya setelah pengumuman hasil pengumuman pemenang lelang ON (T+5). 10. Pihak pembeli SUN wajib memiliki : a. Rekening surat berharga di Central Registry atau Sub-Registry untuk melakukan setelmen hasil Lelang SUN; b. Rekening giro Rupiah di Bank Indonesia atau menunjuk Bank untuk melakukan setelmen dana. 11. Dalam rangka setelmen hasil Lelang SUN di Pasar Perdana, Bank Indonesia berwenang melakukan pendebetan rekening giro Rupiah Bank di Bank Indonesia milik pemenang Lelang SUN atau Bank yang ditunjuk untuk setelmen dana. 12. Setelmen hasil Lelang SUN terdiri dari: a. Setelmen surat berharga (securities settlement) Setelmen surat berharga dilakukan oleh Central Registry secara gross dengan cara mengkredit rekening surat berharga pembeli SUN di Central Registry sebesar nilai nominal SUN. b. Setelmen dana (fund settlement) Setelmen dana dilakukan Bank Indonesia cq. Bagian Penyelesaian Transaksi Pasar Uang, Direktorat Pengelolaan Moneter, yang selanjutnya disebut Bagian PTPU-DPM secara gross atau netting dengan mendebet rekening giro Rupiah di Bank Indonesia milik pemenang Lelang SUN atau Bank yang ditunjuk, dan mengkredit rekening giro Rupiah Pemerintah di Bank Indonesia melalui Sistem Bank Indonesia Real Time Gross Settlement yang selanjutnya disebut Sistem BI-RTGS sebesar harga setelmen Lelang SUN. II. Tata… II. Tata Cara Lelang SUN A. Ketentuan dan Persyaratan 1. Lelang SUN dilakukan berdasarkan target kuantitas dengan memperhatikan tingkat diskonto atau yield dari penawaran yang diterima. 2. Bank dan Perusahaan Efek dapat mengajukan penawaran Lelang SUN untuk dan atas nama diri sendiri dan pihak lain yaitu orang perorangan, perusahaan, usaha bersama, asosiasi atau kelompok yang terorganisasi. 3. Perusahaan Pialang Pasar Uang hanya dapat mengajukan penawaran Lelang SUN untuk kepentingan pihak lain yaitu orang perorangan, perusahaan, usaha bersama, asosiasi atau kelompok yang terorganisasi. 4. Dalam hal Peserta Lelang mengajukan penawaran pembelian SUN untuk dan atas nama diri sendiri maka penawaran pembelian hanya dapat dilakukan dengan cara Penawaran Pembelian Kompetitif. 5. Dalam hal Peserta Lelang mengajukan penawaran pembelian SUN untuk dan atas nama pihak lain yaitu orang perorangan, perusahaan, usaha bersama, asosiasi atau kelompok yang terorganisasi, maka pengajuan penawaran dapat dilakukan dengan cara Penawaran Pembelian Kompetitif dan atau Penawaran Pembelian Non-kompetitf. 6. Dalam hal Lelang SUN dilaksanakan, maka pelaksanaan dilakukan pada hari Selasa, atau pada hari kerja lain apabila hari Selasa jatuh pada hari libur. Setiap perubahan jadwal Lelang SUN diumumkan oleh Bank Indonesia melalui Pusat Informasi Pasar Uang yang selanjutnya disebut PIPU dan atau sarana lain yang ditetapkan Bank Indonesia. 7. Sarana yang digunakan untuk pengajuan penawaran Lelang SUN adalah Automatic Bidding System yang selanjutnya disebut ABS, Reuters Monitor Dealing System yang selanjutnya disebut RMDS, atau sarana lain yang ditetapkan Bank Indonesia, dan diumumkan sebelum pelaksanaan Lelang SUN. 8. Bank… 8. Bank Indonesia mengumumkan rencana target kuantitas lelang berupa target indikatif selambat-lambatnya 1 (satu) hari kerja sebelum hari pelaksanaan Lelang SUN melalui PIPU dan atau sarana lain yang ditetapkan Bank Indonesia. 9. Dalam hal Lelang SUN menggunakan ABS, maka persyaratan administrasi bagi Peserta Lelang adalah sebagai berikut : a. Peserta Lelang wajib menyampaikan sebanyak-banyaknya 3 (tiga) nama pejabat yang berwenang (authorized dealer) untuk melakukan transaksi Lelang SUN dan User Unique Identification yang selanjutnya disebut UUID dari masing-masing bersangkutan. pejabat yang b. Persyaratan administrasi bagi Peserta Lelang tersebut disampaikan kepada Bank Indonesia cq. Bagian Operasi Pasar Uang, Direktorat Pengelolaan Moneter yang selanjutnya disebut Bagian OPU-DPM, Gedung B Lantai 10, Jl. M.H. Thamrin No. 2, Jakarta 10010, dengan menggunakan formulir sebagaimana contoh Lampiran 1. c. Dalam hal terjadi perubahan pejabat yang berwenang (authorized dealer) dan atau UUID sebagaimana dimaksud pada huruf a, Peserta Lelang wajib melaporkan perubahan tersebut kepada Bank Indonesia cq. Bagian OPU-DPM, dengan menggunakan formulir sebagaimana contoh Lampiran 2. Laporan perubahan dimaksud wajib disampaikan selambat-lambatnya 1 (satu) hari kerja sebelum pejabat yang bersangkutan melakukan transaksi Lelang SUN. d. Peserta Lelang wajib menjaga keamanan penggunaan UUID serta bertanggung jawab penuh atas transaksi Lelang SUN yang diajukan kepada Bank Indonesia. e. Tata… e. Tata cara pelaksanaan Lelang SUN dengan menggunakan sarana ABS mengikuti mekanisme dalam Standard Operating Procedure (SOP) ABS sebagaimana Lampiran 2a. 10. Dalam hal pelaksanaan Lelang SUN menggunakan sarana lelang lain, persyaratan administrasi dan mekanisme lelang akan ditetapkan oleh Bank Indonesia. B. Tatacara Pelaksanaan Lelang SUN 1. Bank Indonesia mengumumkan target indikatif dan tanggal pelaksanaan Lelang SUN melalui PIPU dan atau sarana lain yang ditetapkan Bank Indonesia. 2. Pengumuman rencana Lelang SUN antara lain memuat: a. waktu pelaksanaan lelang; b. target indikatif yang ditawarkan; c. jangka waktu SUN; d. tanggal penerbitan dan tanggal jatuh tempo; e. mata uang; f. waktu pembukaan dan penutupan penawaran pembelian (bid); g. waktu pengumuman hasil lelang; h. tanggal setelmen; i. alokasi untuk Penawaran Pembelian Non-kompetitif dalam hal dilakukan kombinasi lelang kompetitif dan non-kompetitif; j. sarana pengajuan penawaran lelang. 3. Pada hari pelaksanaan Lelang SUN, Peserta Lelang mengajukan penawaran kuantitas dan tingkat diskonto atau yield menurut jangka waktu untuk Penawaran Pembelian Kompetitif atau penawaran kuantitas untuk Penawaran Pembelian Non-kompetitif, dari pukul 10.00 WIB sampai dengan pukul 12.00 WIB. 4. Peserta… 4. Peserta Lelang mengajukan penawaran Lelang SUN kepada Bank Indonesia cq. Bagian OPU-DPM, dengan ketentuan penyampaian sebagai berikut : a. Bank Pengajuan penawaran dilakukan oleh : 1) Kantor Pusat Bank dalam hal : a) berkedudukan di wilayah kerja Kantor Pusat Indonesia yang selanjutnya disebut KPBI; atau Bank b) berkedudukan di wilayah kerja Kantor Bank Indonesia yang selanjutnya disebut KBI dan tidak memiliki kantor cabang di wilayah kerja KPBI. 2) Kantor cabang Bank yang berada di wilayah kerja KPBI dalam hal Bank berkantor pusat di wilayah kerja KBI. Penunjukan kantor cabang Bank dimaksud wajib disampaikan kepada Bank Indonesia cq. Bagian OPU-DPM, selambat- lambatnya 1 (satu) hari kerja sebelum transaksi Lelang SUN dan tetap berlaku sampai dengan ada surat pencabutan penunjukan dimaksud. b. Perusahaan Pialang Pasar Uang dan Perusahaan Efek Pengajuan penawaran dilakukan oleh kantor Pialang Pasar Uang dan Perusahaan Efek. pusat Perusahaan 5. Penawaran Lelang SUN yang mencakup penawaran kuantitas dan tingkat diskonto atau yield menurut jangka waktu diatur dengan ketentuan sebagai berikut : a. pengajuan penawaran kuantitas dari masing-masing Lelang sekurang-kurangnya 1.000 (seribu) unit Peserta atau Rp1.000.000.000,00 (satu miliar Rupiah), dan selebihnya dengan kelipatan 100 (seratus) unit atau Rp100.000.000,00 (seratus juta Rupiah); b. penawaran… b. penawaran yang diajukan oleh Perusahaan Pialang Pasar Uang atau Perusahaan Efek, wajib disertai konfirmasi langsung dari Bank yang ditunjuk sebagai Bank pembayar untuk melakukan setelmen dana; c. Bank sebagaimana dimaksud dalam huruf b, wajib menyampaikan konfirmasi kepada Bank Indonesia cq. Bagian OPU-DPM, selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) menit setelah penutupan waktu Lelang SUN melalui RMDS atau telepon yang ditegaskan dengan faksimili dengan menggunakan formulir sebagaimana contoh Lampiran 3. d. penawaran diskonto atau yield diajukan dengan kelipatan 0,01% (satu per sepuluh ribu). 6. Peserta Lelang bertanggung jawab atas kebenaran data penawaran pembelian yang diajukan. 7. Peserta Lelang yang telah mengajukan penawaran dilarang membatalkan penawarannya. C. Penentuan Pemenang Lelang SUN 1. Menteri Keuangan Republik Indonesia menetapkan pemenang Lelang SUN di Pasar Perdana. hasil dan 2. Metode penentuan pemenang Lelang SUN dilakukan dengan sistem Stop-out Rate yaitu penjualan SUN berdasarkan target indikatif SUN yang akan dijual Pemerintah. 3. Stop-out Rate yang selanjutnya disebut SOR adalah tingkat diskonto atau yield tertinggi yang dihasilkan dari penawaran Lelang SUN di Pasar Perdana dalam rangka mencapai target indikatif SUN yang akan dijual Pemerintah. SOR ditetapkan oleh Menteri Keuangan Republik Indonesia. 4. Penentuan… 4. Penentuan harga pemenang Lelang SUN dilakukan dengan metode harga beragam (multiple price) atau harga seragam (uniform price). 5. Penentuan harga dan kuantitas bagi masing-masing pemenang lelang dilakukan sebagai berikut: a. Metode harga beragam (multiple Price) 1) Penawaran Pembelian Kompetitif i. Dalam hal penawaran tingkat diskonto atau yield lebih rendah dari SOR, Peserta Lelang memperoleh seluruh penawaran kuantitas SUN yang diajukan dengan tingkat diskonto atau yield yang diajukan. ii. Dalam hal penawaran tingkat diskonto atau yield sama dengan SOR, Peserta Lelang dapat memperoleh seluruh atau sebagian penawaran kuantitas SUN yang diajukan berdasarkan perhitungan secara proporsional, dengan tingkat diskonto atau yield yang diajukan. Perhitungan penetapan pemenang Lelang SUN dengan metode harga beragam (multiple price) sebagaimana contoh Lampiran 4. 2) Penawaran Pembelian Non-kompetitif i. Penetapan harga SUN bagi pemenang Lelang SUN dihitung berdasarkan harga rata-rata tertimbang (weighted average price) dari hasil lelang Penawaran Pembelian Kompetitif. ii. Penetapan kuantitas SUN bagi pemenang lelang dilakukan sebagai berikut : (1) Dalam hal jumlah penawaran lebih kecil dari alokasi maksimum untuk lelang non-kompetitif, Peserta Lelang memperoleh seluruh kuantitas yang diajukan. (2) Dalam… (2) Dalam hal jumlah penawaran lebih besar dari alokasi maksimum untuk lelang non-kompetitif, Peserta Lelang memperoleh sebagian penawaran kuantitas yang diajukan, berdasarkan perhitungan secara proporsional. b. Metode harga seragam (Uniform Price) 1) Penawaran Pembelian Kompetitif i. Dalam hal penawaran tingkat diskonto atau yield lebih rendah dari SOR, Peserta Lelang yang bersangkutan memperoleh seluruh penawaran kuantitas SUN yang diajukan. ii. Dalam hal penawaran tingkat diskonto atau yield sama dengan SOR, Peserta Lelang yang bersangkutan dapat memperoleh seluruh penawaran kuantitas SUN sebesar nilai rata-rata tertimbang (weighted average price) SOR atau sebagian dari penawaran kuantitas SUN berdasarkan perhitungan secara proporsional. Perhitungan penetapan pemenang Lelang SUN dengan metode harga seragam sebagaimana contoh Lampiran 5. iii. Penetapan harga bagi seluruh pemenang Lelang SUN adalah harga rata-rata tertimbang (weighted average price) pemenang Lelang SUN pada Penawaran Pembelian Kompetitif. 2) Penawaran Pembelian Non-kompetitif i. Penetapan harga SUN bagi pemenang Lelang SUN dengan Penawaran Pembelian Non-kompetitif adalah sebesar harga rata-rata tertimbang (weighted average price) hasil lelang Penawaran Pembelian Kompetitif. ii. Penetapan… ii. Penetapan kuantitas SUN bagi pemenang Lelang SUN dilakukan sebagai berikut : 1) Dalam hal jumlah penawaran lebih kecil dari alokasi maksimum untuk lelang non-kompetitif, Peserta Lelang memperoleh seluruh penawaran kuantitas yang diajukan. 2) Dalam hal jumlah penawaran lebih besar dari alokasi maksimum untuk lelang non-kompetitif, Peserta Lelang memperoleh sebagian penawaran yang diajukan, berdasarkan perhitungan secara proporsional. 6. Dalam hal penawaran yang diajukan menghasilkan tingkat diskonto atau yield di luar batas kewajaran, Menteri Keuangan Republik Indonesia dapat menyesuaikan realisasi kuantitas Lelang SUN atau membatalkan seluruh pelaksanaan Lelang SUN. D. Pengumuman Hasil Lelang SUN 1. Bank Indonesia mengumumkan hasil Lelang SUN melalui ABS, PIPU dan atau sarana lain yang ditetapkan Bank Indonesia pada akhir hari pelaksanaan Lelang SUN. Pengumuman sekurang-kurangnya mencakup: a. kuantitas lelang secara keseluruhan; b. rata-rata tertimbang tingkat diskonto atau yield; c. penawaran tingkat diskonto atau yield terendah dan tertinggi. 2. Bank Indonesia mengumumkan hasil lelang SUN berupa kuantitas dan tingkat diskonto atau yield kepada Peserta Lelang yang memenangkan Lelang SUN melalui ABS, RMDS, atau sarana lain yang ditetapkan Bank Indonesia pada akhir hari pelaksanaan Lelang SUN. 3. Dalam… 3. Dalam hal Menteri Keuangan Republik Indonesia menolak seluruh atau sebagian penawaran pembelian Lelang SUN, Bank Indonesia mengumumkan pembatalan dimaksud. III. Perhitungan Harga Setelmen Hasil Lelang SUN 1. Jangka waktu SUN dinyatakan dalam jumlah hari dan dihitung dari tanggal setelmen sampai dengan tanggal jatuh tempo. 2. Jumlah hari bunga (day count) untuk perhitungan accrued interest menggunakan basis Actual per Actual (A/A). 3. Perhitungan harga setelmen dana dilakukan sebagai berikut: a. Untuk SPN : Harga setelmen = (Harga bersih per unit SPN yang sudah dibulatkan) x (jumlah unit dimenangkan) SPN yang b. Untuk ON dengan sistem kupon : Harga setelmen = (Harga bersih per unit ON yang sudah dibulatkan ditambah accrued interest per unit ON yang sudah dibulatkan) x (jumlah unit ON yang dimenangkan) c. Untuk ON dengan sistem diskonto (zero coupon bonds) Harga setelmen = (Harga bersih per unit ON yang sudah dibulatkan) x (jumlah unit dimenangkan) ON Rumus harga per unit SPN dan ON sebagaimana contoh Lampiran 6. IV. Tata Cara Setelmen dan Pencatatan Kepemilikan SUN Tata cara setelmen Lelang SUN dan pencatatan kepemilikan SUN dilakukan sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang berlaku mengenai tata cara penatausahaan SUN. V. Pembatalan… yang V. Pembatalan Transaksi Hasil Lelang Dalam hal Peserta Lelang yang memenangkan Lelang SUN tidak melunasi kewajibannya sampai dengan batas akhir waktu setelmen akibat Bank yang melakukan setelmen dana tidak memiliki saldo yang mencukupi pada rekening giro Rupiah Bank di Bank Indonesia maka seluruh hasil Lelang SUN yang setelmennya dilakukan melalui Bank tersebut batal. VI. Pengenaan Sanksi 1. Dalam hal Peserta Lelang melakukan Penawaran Pembelian Non- kompetitif untuk dan atas nama diri sendiri, Peserta Lelang dikenakan sanksi tidak boleh mengikuti Lelang SUN sebanyak 3 (tiga) kali berturut- turut. 2. Terhadap setiap pembatalan penawaran lelang dan pembatalan transaksi sebagaimana dimaksud dalam butir V, maka Peserta Lelang yang terkait dengan pembatalan dimaksud dikenakan sanksi tidak boleh mengikuti lelang SUN sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut. Ketentuan dalam Surat Edaran ini berlaku sejak tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA Ttd TARMIDEN SITORUS DIREKTUR PENGELOLAAN MONETER Lampiran Surat Edaran Bank Indonesia No. 5/ 4 /DPM tanggal 21 Maret 2003 Lampiran 1 Daftar Pejabat Yang Berwenang Melakukan Transaksi Lelang Surat Utang Negara Dengan Menggunakan Sarana Automatic Bidding System (ABS) Nomor:…………….. Nama Bank/Perusahaan Pialang Pasar Uang/Perusahaan Efek Daftar pejabat yang berwenang melakukan transaksi Lelang SUN dengan menggunakan sarana ABS: No. Nama 1. 2. 3. Jabatan Resmi UUID Tanda tangan pejabat yang berwenang: Formulir disahkan oleh pejabat yang berwenang dan bertindak atas nama perusahaan sesuai AD/ART perusahaan disertai stempel perusahaan Lampiran Surat Edaran Bank Indonesia No. 5/ 4 /DPM tanggal 21 Maret 2003 Lampiran 2 Perubahan Daftar Pejabat Yang Berwenang Melakukan Transaksi Lelang Surat Utang Negara Dengan Menggunakan Sarana Automatic Bidding System (ABS) Nomor:…………….. Nama Bank/Perusahaan Pialang Pasar Uang/Perusahaan Efek Daftar lama pejabat yang berwenang: No. Nama 1. 2. 3. Daftar baru pejabat yang berwenang: No. Nama 1. 2. 3. Jabatan Resmi UUID Jabatan Resmi UUID Tanda tangan pejabat yang berwenang: Formulir disahkan oleh pejabat yang berwenang dan bertindak atas nama perusahaan sesuai AD/ART perusahaan disertai stempel perusahaan Lampiran Surat Edaran Bank Indonesia No. 5/ 4 /DPM tanggal 21 Maret 2003 Lampiran 3 Kepada : Bank Indonesia – Direktorat Pengelolaan Moneter cq. Bagian Operasi Pasar Uang Gedung B, Lt. 10 Jl. M.H. Thamrin No.2 Jakarta 10010 Perihal : Konfirmasi Penawaran Lelang Surat Utang Negara (SUN) Dengan ini kami menyampaikan konfirmasi mengenai pengajuan penawaran Lelang SUN melalui Bank/Perusahaan Pialang Pasar Uang/Perusahaan Efek : (Diisi Nama Bank/Pialang) untuk Lelang SUN tanggal: ……………………… dan jumlah Rp ….. (terbilang …… Rupiah) Apabila pengajuan penawaran kami diterima maka untuk setelmen lelang SUN dapat dilakukan dengan mendebet rekening giro Rupiah kami di Bank Indonesia no………... sejumlah penawaran lelang SUN yang dimenangkan. Adapun perincian penawaran lelang SUN yang kami ajukan adalah sebagai berikut: No. Jenis SUN Jangka Waktu Tingkat Diskonto/Yield Penawaran Kompetitif Penawaran Non- Kompetitif Total Penawaran Jumlah: Demikian kami sampaikan konfirmasi penawaran lelang SUN dan terima kasih atas perhatiannya. Jakarta, ………………………. Nama Bank (Materai secukupnya) Tanda tangan Nama pejabat yang berwenang. Lampiran Surat Edaran Bank Indonesia No. 5/ 4 /DPM tanggal 21 Maret 2003 Lampiran 4 Contoh Perhitungan Hasil Lelang SUN SOR dengan Multiple Price • Target indikatif : Rp 10 Triliun • Dengan alokasi Penawaran Pembelian Kompetitif 60% dan untuk Penawaran Pembelian Non-Kompetitif 40% Rincian Penawaran Pembelian Kompetitif (Tabel -1): P E N A W A R A N NO NOMINAL (RP MILIAR) 1 50 50 2 450 500 3 250 750 4 1.250 2.000 5 500 2.500 6 2.000 4.500 7 250 8 1.500 6.250 9 750 4.750 7.000 10 250 7.250 0,7 6,9 10,3 27,6 34,5 62,1 65,5 86,2 96,6 100,0 13,6250 13,7500 13,7500 14,0000 14,0000 14,0000 14,0000 14,2500 14,3750 KUMULATIF (RP MILIAR) KUMULATIF (%) DISKONTO (%) Rata-Rata Tertimbang (%) 13,6250 13,7380 13,7420 13,9030 13,9230 13,9570 13,9690 13,9990 14,0120  Weighted average pada kumulatif 14,0000 13,9590 239 13,9673% Rp 6 triliun = 1.432 0 H A S I L NOMINAL DIMENANGKAN (RP MILIAR) 50 450 250 1.193 477 1.909 KUMULATIF (RP MILIAR) 50 500 750 1.943 2.420 4.330 4.568 6.000 6.000 0 6.000 Rincian Penawaran Pembelian Non-Kompetitif (Tabel -2): P E N A W A R A N H A S I L NO NOMINAL (RP MILIAR) 1 375 375 2 400 775 3 450 4 500 5 525 6 550 7 575 8 600 9 625 10 650 5250 7.14 1225 1725 2250 2800 3375 3975 4600 14.76 23.33 32.86 42.86 53.33 64.29 75.71 87.62 100.00  KUMULATIF (RP MILIAR) KUMULATIF (%) NOMINAL DIMENANGKAN (RP MILIAR) 286 305 343 381 400 419 438 457 KUMULATIF (RP MILIAR) 286 590 933 1314 1714 2133 2571 3029 476 3505 495 4000 Berdasarkan penawaran yang masuk, Menteri Keuangan Republik Indonesia menetapkan SOR pada tingkat 14,0000%. Jumlah penawaran yang masuk melebihi target indikatif sebesar Rp10 triliun, dimana untuk Penawaran Pembelian Kompetitif sebesar 60% atau Rp6 triliun dan Lampiran Surat Edaran Bank Indonesia No. 5/ 4 /DPM tanggal 21 Maret 2003 Lanj. Lampiran 4 untuk Penawaran Pembelian Non-kompetitif sebesar 40% atau Rp4 triliun. Jumlah penawaran yang masuk melebihi target indikatif baik pada Penawaran Pembelian Kompetitif maupun Penawaran Pembelian Non-kompetitif, maka tidak semua peserta memenangkan lelang. Pemenang lelang ditentukan sebagai berikut: 1. Untuk Peserta Lelang dengan Penawaran Pembelian Kompetitif Pemenang lelang adalah Peserta Lelang yang mengajukan penawaran dengan tingkat diskonto atau yield yang sama atau lebih kecil dari SOR (stop-out rate) yaitu 14,0000%. Dengan demikian pemenang lelang adalah Peserta Lelang yang mengajukan penawaran tingkat diskonto atau yield sama atau lebih kecil dari 14,0000%, yaitu peserta 1 s.d. peserta 8. Peserta 4 s.d. peserta 8 memenangkan lelang secara proposional sesuai bobot jumlah penawaran masing-masing dibandingkan jumlah penawaran untuk tingkat diskonto atau yield 14,0000%. Rincian jumlah yang dimenangkan Peserta Lelang kompetitif secara proporsional dapat dilihat pada tabel kanan atas (Tabel-1). 2. Untuk Peserta Lelang dengan Penawaran Pembelian Non-Kompetitif Seluruh Peserta Lelang non-kompetitif memperoleh yield sebesar 13,9673% atau sebesar rata-rata tertimbang (weighted average) yang diperoleh dari pemenang lelang kompetitif. Kuantitas SUN yang diperoleh berdasarkan perhitungan secara proposional. Rincian jumlah yang dimenangkan untuk Peserta Lelang non-kompetitif secara proporsional dapat dilihat pada tabel kanan atas (Tabel 2). Lampiran Surat Edaran Bank Indonesia No. 5/ 4 /DPM tanggal 21 Maret 2003 Lampiran 5 Contoh Perhitungan Hasil Lelang SUN SOR dengan Uniform Price • Target indikatif : Rp 10 Triliun • Dengan perbandingan Penawaran Pembelian Kompetitif 60% dan untuk Penawaran Pembelian Non-Kompetitif 40% Rincian Penawaran Pembelian Kompetitif (Tabel-1): P E N A W A R A N NO NOMINAL (RP MILIAR) 1 2 3 4 50 50 1.250 2.000 7 250 8 2.000 4.500 4.750 1.500 6.250 0,7 450 500 6,9 250 750 10,3 27,6 5 500 2.500 34,5 6 62,1 65,5 86,2 9 750 7.000 96,6 10 250 7.250 100,0 13,6250 13,7500 13,7500 14,0000 14,0000 14,0000 14,0000 14,2500 14,3750 KUMULATIF (RP MILIAR) KUMULATIF (%) DISKONTO (%) Rata-Rata Tertimbang (%) 13,6250 13,7380 13,7420 13,9030 13,9230 13,9570 13,9690 13,9990 14,0120  Weighted average pada kumulatif 14,0000 13,9590 239 13,9673% Rp 6 triliun = H A S I L NOMINAL DIMENANGKAN (RP MILIAR) KUMULATIF (RP MILIAR) 50 50 450 500 250 750 1.193 1.943 477 2.420 1.909 4.330 4.568 1.432 6.000 0 6.000 0 6.000 Rincian Penawaran Pembelian Non-Kompetitif (Tabel-2): P E N A W A R A N H A S I L NO NOMINAL (RP MILIAR) 1 375 375 2 400 775 3 450 4 500 5 525 6 550 7 575 8 600 9 625 10 650 5250 7.14 1225 1725 2250 2800 3375 3975 4600 14.76 23.33 32.86 42.86 53.33 64.29 75.71 87.62 100.00  KUMULATIF (RP MILIAR) KUMULATIF (%) NOMINAL DIMENANGKAN (RP MILIAR) 286 305 343 381 400 419 438 457 KUMULATIF (RP MILIAR) 286 590 933 1314 1714 2133 2571 3029 476 3505 495 4000 Berdasarkan penawaran yang masuk, Menteri Keuangan Republik Indonesia menetapkan SOR pada tingkat 14%. Lampiran Surat Edaran Bank Indonesia No. 5/ 4 /DPM tanggal 21 Maret 2003 Lanj. Lampiran 5 Jumlah penawaran yang masuk melebihi target indikatif sebesar Rp10 triliun, dimana untuk Penawaran Pembelian Kompetitif sebesar 60% atau Rp6 triliun dan untuk Penawaran Pembelilan Non-kompetitif sebesar 40% atau Rp4 triliun. Jumlah penawaran yang masuk baik pada Penawaran Pembelian Kompetiitif maupun Penawaran pembelian Non-kompetitif melebihi target indikatif, maka tidak semua Peserta Lelang memenangkan lelang. Pemenang lelang ditentukan sebagai berikut: 1. Untuk Peserta Lelang dengan Penawaran Pembelian Kompetitif Pemenang lelang adalah Peserta Lelang yang mengajukan penawaran dengan tingkat diskonto atau yield yang sama atau lebih kecil dari SOR (stop-out rate) yaitu 14,0000%. Dengan demikian pemenang lelang adalah Peserta Lelang yang mengajukan penawaran tingkat diskonto atau yield sama atau lebih kecil dari 14,0000%, yaitu peserta 1 s.d. peserta 8. Namun besar tingkat diskonto atau yield yang dimenangkan adalah seragam yang dihitung berdasarkan rata-rata tertimbang (weighted average) dari lelang tersebut dengan kumulatif sebesar Rp6 triliun. Dalam hal ini, Peserta Lelang 1 s.d. peserta 8 memenangkan lelang dengan harga yang sama (uniform) sebesar 13,9673%. Rincian jumlah yang dimenangkan Peserta Lelang kompetitif secara proporsional dapat dilihat pada tabel kanan atas (Tabel –1). 2. Untuk Peserta Lelang dengan Penawaran Pembelian Non-Kompetitif Seluruh Peserta Lelang non-kompetitif memperoleh yield sebesar 13,9673% atau sebesar rata-rata tertimbang (weighted average) yang diperoleh dari peserta kompetitif. Besarnya SUN yang diperoleh berdasarkan perhitungan secara proposional. Rincian jumlah yang dimenangkan untuk Peserta Lelang non-kompetitif secara proporsional dapat dilihat pada tabel kanan atas (Tabel- 2). Lampiran Surat Edaran Bank Indonesia No. 5/ 4 /DPM tanggal 21 Maret 2003 Lampiran 6 PERHITUNGAN HARGA SETELMEN SURAT PERBENDAHARAAN NEGARA Cara perhitungan Harga Setelmen per unit Surat Perbendaharaan Negara (SPN) adalah sebagai berikut: PSPN = dimana, PSPN N 1 i+ ×    365 D    = Harga Setelmen per unit SPN; N = nilai nominal SPN per unit; i = Yield dalam persentase, sampai dengan 4 (empat) desimal; D = jumlah hari sebenarnya (actual days) yang dihitung sejak 1 (satu) hari sesudah tanggal Setelmen sampai dengan tanggal jatuh tempo. Harga Setelmen dibulatkan ke dalam rupiah penuh, dengan ketentuan apabila dibawah dan sama dengan 50 (lima puluh) sen dibulatkan menjadi nol, sedangkan di atas 50 (lima puluh) sen dibulatkan menjadi Rp1,00 (satu rupiah). Contoh Penghitungan Harga Setelmen SPN Pada tanggal 19 Februari 2003, Pemerintah menerbitkan SPN dengan nilai nominal per unit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah). SPN ini jatuh tempo pada tanggal 19 Maret 2003. Jika Yield yang disepakati sebesar 12,0000% (dua belas persen) dan setelmen dilakukan pada tanggal 19 Februari 2003, maka Harga Setelmen per unit SPN dihitung sebagai berikut: N = Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah); i = 12,00% (dua belas persen); Lampiran Surat Edaran Bank Indonesia No. 5/ 4 /DPM tanggal 21 Maret 2003 Lanj. Lampiran 6 D = 28 (dua puluh delapan) hari, yaitu jumlah hari sebenarnya yang dihitung sejak 1 (satu) hari sesudah tanggal setelmen (20 Februari 2003) sampai dengan tanggal jatuh tempo (19 Maret 2003); PSPN = 1 12,00%× +   Rp1.000.000,00  365 28    = Rp990.878,49 ≈ Rp990.878,00 Jadi Harga Setelmen per unit SPN setelah dibulatkan adalah Rp990.878,00 (sembilan ratus sembilan puluh ribu delapan ratus tujuh puluh delapan rupiah). PERHITUNGAN HARGA SETELMEN OBLIGASI NEGARA I. Harga Setelmen Obligasi Negara Dengan Kupon Cara perhitungan Harga Setelmen per unit Obligasi Negara dengan kupon adalah sebagai berikut: Langkah 1 : Harga bersih (clean price) per unit dihitung sebagai berikut:  P =         N     1+ n i      F 1− + E d           = N ×× n c E a  + ∑ =        F k 1    1+ N×  n i      n c k 1− + E d            dimana bunga berjalan (accrued interest) per unit dihitung sebagai berikut: AI − × ×    N n c E a    Lampiran Surat Edaran Bank Indonesia No. 5/ 4 /DPM tanggal 21 Maret 2003 Lanj. Lampiran 6 Langkah 2 : Harga Setelmen per unit dihitung sebagai berikut: PK = P AI+ II. Harga Setelmen Obligasi Negara Tanpa Kupon (Zero Coupon Bonds) Cara perhitungan Harga Setelmen per unit Obligasi Negara tanpa kupon adalah sebagai berikut: PZ = ()i1 N + 365 D dimana, PK = Harga Setelmen per unit Obligasi Negara dengan kupon; PZ = Harga Setelmen per unit Obligasi Negara tanpa kupon; P = harga bersih (clean price) per unit Obligasi Negara dengan kupon; AI = bunga berjalan (accrued interest) per unit Obligasi Negara dengan kupon; N = nilai nominal Obligasi Negara per unit; D = jumlah hari sebenarnya (actual days) yang dihitung sejak 1 (satu) hari sesudah tanggal Setelmen sampai dengan tanggal jatuh tempo; a = jumlah hari sebenarnya (actual days) dihitung dari 1 (satu) hari sesudah tanggal dimulainya periode kupon sampai dengan tanggal Setelmen; c = tingkat kupon (coupon rate); d = jumlah hari sebenarnya (actual days) yang dihitung sejak 1 (satu) hari sesudah tanggal Setelmen sampai dengan tanggal pembayaran kupon berikutnya; E = jumlah hari sebenarnya (actual days) yang dihitung sejak 1 (satu) hari sesudah tanggal dimulainya periode kupon sampai dengan tanggal pembayaran kupon berikutnya, dimana pelaksanaan Setelmen terjadi; Lampiran Surat Edaran Bank Indonesia No. 5/ 4 /DPM tanggal 21 Maret 2003 Lanj. Lampiran 6 i = Imbal Hasil sampai jatuh tempo (yield to maturity) dalam persentase, sampai dengan 2 (dua) desimal; k = 1, 2, 3, …, F; F = jumlah frekuensi pembayaran kupon yang tersisa dari tanggal Setelmen sampai dengan tanggal jatuh tempo; n = frekuensi pembayaran kupon dalam setahun. Harga bersih (clean price) dan bunga berjalan (accrued interest) masing- masing dibulatkan ke dalam rupiah penuh, dengan ketentuan apabila dibawah dan sama dengan 50 (lima puluh) sen dibulatkan menjadi nol, sedangkan di atas 50 (lima puluh) sen dibulatkan menjadi Rp1,00 (satu rupiah). Lampiran Surat Edaran Bank Indonesia No. 5/ 4 /DPM tanggal 21 Maret 2003 Lanj. Lampiran 6 Contoh Penghitungan Harga Setelmen Obligasi Negara Dengan Kupon Pada tanggal 19 Februari 2003, Pemerintah menerbitkan Obligasi Negara dengan nilai nominal per unit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan dengan kupon sebesar 12,00% (dua belas persen) per tahun. Obligasi Negara ini jatuh tempo pada tanggal 15 Februari 2005 dan kupon dibayarkan di belakang pada tanggal 15 Februari dan 15 Agustus setiap tahunnya. Jika yield to maturity yang disepakati sebesar 12,50% (dua belas koma lima nol persen) dan Setelmen dilakukan pada tanggal 19 Februari 2003, maka Harga Setelmen per unit Obligasi Negara dihitung dengan langkah- langkah sebagai berikut: N = Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah); i = 12,50% (dua belas koma lima nol persen); c = 12,00% (dua belas persen); a = 4 (empat) hari, yaitu jumlah hari sebenarnya (actual days) yang dihitung sejak 1 (satu) hari sesudah tanggal dimulainya periode kupon (16 Februari 2003) sampai dengan tanggal Setelmen (19 Februari 2003); d = 177 (seratus tujuh puluh tujuh) hari, yaitu jumlah hari sebenarnya (actual days) yang dihitung sejak 1 (satu) hari sesudah tanggal Setelmen (20 Februari 2003) sampai dengan tanggal pembayaran kupon berikutnya (15 Agustus 2003); E = 181 (seratus delapan puluh satu) hari, yaitu jumlah hari sebenarnya (actual days) yang dihitung sejak 1 (satu) hari sesudah tanggal dimulainya periode kupon sampai dengan tanggal pembayaran kupon berikutnya, dimana pelaksanaan Setelmen terjadi (16 Februari 2003 sampai dengan 15 Agustus 2003); Lampiran Surat Edaran Bank Indonesia No. 5/ 4 /DPM tanggal 21 Maret 2003 Lanj. Lampiran 6 n = 2 (dua) kali dalam satu tahun (semiannually), yaitu setiap tanggal 15 Februari dan 15 Agustus; F = 4 (empat) kali, yaitu jumlah pembayaran kupon yang terjadi dari tanggal Setelmen sampai dengan tanggal jatuh tempo (19 Februari 2003 sampai dengan 15 Februari 2005); Langkah 1: Harga bersih (clean price) per unit dihitung sebagai berikut:  P =        Rp1.000.000,00     + 1+ 12,50%  2     4 1− + 181 177            Rp1.000.000,00×     1+ 12,50%  2     +         12,00% 2 2 1− + 181 177    Rp1.000.000,00×     + 1+ 12,50%  2     12,00% 2 1 1− + 181 177    Rp1.000.000,00×      + Rp1.000.000,00×     1+ 12,50%  2     12,00% 2 4 1− + 181 177           = Rp785.716,91 + Rp206.998,81 – Rp1.325,97 = Rp991.389,75 ≈ Rp991.390,00 Jadi harga bersih per unit Obligasi Negara setelah dibulatkan adalah Rp991.390,00 (sembilan ratus sembilan puluh satu ribu tiga ratus sembilan puluh rupiah). − Rp1.000.000,00×    12,00% 2 × 181 4    1+ 12,50%  2     12,00% 2 3 1− + 181 177    Lampiran Surat Edaran Bank Indonesia No. 5/ 4 /DPM tanggal 21 Maret 2003 Lanj. Lampiran 6 Dimana bunga berjalan (accrued interest) per unit dihitung sebagai berikut: AI = Rp1.000.000,00× = Rp1.325,97 ≈ Rp1.326,00 Jadi bunga berjalan per unit Obligasi Negara setelah dibulatkan adalah Rp1.326,00 (seribu tiga ratus dua puluh enam rupiah). Langkah 2: Harga Setelmen per unit dihitung sebagai berikut: PK = Rp991.390,00 + Rp1.326,00 = Rp992.716,00 Jadi Harga Setelmen per unit Obligasi Negara setelah dibulatkan 12,00% 2 × 181 4 adalah Rp992.716,00 (sembilan ratus sembilan puluh dua ribu tujuh ratus enam belas rupiah). Contoh Penghitungan Harga Setelmen Obligasi Negara Tanpa Kupon (Zero Coupon Bonds) Pada tanggal 19 Februari 2003, Pemerintah menerbitkan Obligasi Negara dengan nilai nominal per unit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah). Obligasi Negara ini jatuh tempo pada tanggal 15 Februari 2005. Jika yield to maturity yang disepakati sebesar 12,50% (dua belas koma lima nol persen) dan Setelmen dilakukan pada tanggal 19 Februari 2003, maka Harga Setelmen per unit Obligasi Negara dihitung sebagai berikut: N = Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah); i = 12,50% (dua belas koma lima puluh persen); Lampiran Surat Edaran Bank Indonesia No. 5/ 4 /DPM tanggal 21 Maret 2003 Lanj. Lampiran 6 D = 727 (tujuh ratus dua puluh tujuh) hari, yaitu jumlah hari sebenarnya (actual days) yang dihitung sejak 1 (satu) hari sesudah tanggal Setelmen (20 Februari 2003) sampai dengan tanggal jatuh tempo (15 Februari 2005); PZ = Rp1.000.000,00 365 727 () 1+12,50% = Rp790.888,73 ≈ Rp790.889,00 Jadi Harga Setelmen per unit Obligasi Negara setelah dibulatkan adalah Rp790.889,00 (tujuh ratus sembilan puluh ribu delapan ratus delapan puluh sembilan rupiah). "," SE-BI 5/4/DPM|SE-BI/2003 Tata Cara Lelang Surat Utang Negara di Pasar Perdana 21 Maret 2003 21 Maret 2003 '5/4/PBI/2003' 'Romawi VI' " " No. 16/1/DKSP Jakarta, 10 Januari 2014 SURAT EDARAN Kepada SELURUH BADAN USAHA BERBADAN HUKUM INDONESIA BUKAN BANK YANG MENYELENGGARAKAN KEGIATAN TRANSFER DANA DI INDONESIA Perihal : Laporan Penyelenggaraan Transfer Dana oleh Badan Usaha Berbadan Hukum Indonesia Bukan Bank Secara On-Line Sehubungan dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/23/PBI/2012 tentang Transfer Dana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 283, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5381) dan dalam rangka mengatur pelaporan secara On- Line sebagaimana diatur dalam Butir VII.C. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 15/23/DASP tanggal 27 Juni 2013 perihal Penyelenggaraan Transfer Dana, khususnya laporan berkala berupa laporan bulanan transaksi kegiatan Transfer Dana, perlu diatur ketentuan pelaksanaan mengenai laporan penyelenggaraan transfer dana oleh badan usaha berbadan hukum Indonesia bukan Bank secara on-line dalam Surat Edaran Bank Indonesia sebagai berikut: I. UMUM Dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Transfer Dana adalah rangkaian kegiatan yang dimulai dengan perintah dari pengirim asal yang bertujuan memindahkan sejumlah dana kepada penerima yang disebutkan dalam perintah transfer dana sampai dengan diterimanya dana oleh penerima. 2. Pelapor adalah badan usaha berbadan hukum Indonesia bukan Bank yang menyelenggarakan kegiatan Transfer Dana. 3. Laporan adalah laporan mengenai kegiatan Transfer Dana yang disusun dan disampaikan oleh Pelapor secara berkala kepada Bank ... Bank Indonesia melalui Sistem Laporan Transfer Dana Bukan Bank. 4. Sistem Laporan Transfer Dana Bukan Bank yang selanjutnya disebut Sistem LTDBB adalah sistem penerimaan Laporan (capturing) yang berbasis web yang disampaikan Pelapor melalui jaringan internet. 5. Periode Pelaporan adalah tenggang waktu penyampaian Laporan yang dimulai sejak tanggal 1 sampai dengan 5 (lima) Hari Kerja setelah akhir bulan Laporan. 6. Penyampaian Laporan secara On-Line yang selanjutnya disebut On-Line adalah penyampaian Laporan yang dilakukan secara langsung dengan mengirim dan/atau mengisi data dalam bentuk tampilan form melalui Sistem LTDBB. 7. Penyampaian Laporan secara Off-Line yang selanjutnya disebut Off-Line adalah penyampaian Laporan yang dilakukan dengan menyampaikan rekaman data dalam media perekaman data elektronik kepada Bank Indonesia. 8. Hari Kerja adalah hari kerja Bank Indonesia yang mewilayahi Pelapor. II. RUANG LINGKUP LAPORAN DAN PENANGGUNG JAWAB LAPORAN A. Ruang Lingkup Laporan 1. Pelapor wajib menyusun dan menyampaikan Laporan kepada Bank Indonesia. 2. Dalam hal Pelapor memiliki kantor cabang, penyampaian Laporan dilakukan oleh kantor pusat Pelapor. 3. Laporan sebagaimana dimaksud pada angka 1 adalah data transaksi kegiatan Transfer Dana yang meliputi data: a. transaksi Transfer Dana dari Indonesia ke luar negeri; b. transaksi Transfer Dana dari luar negeri ke Indonesia; dan c. transaksi Transfer Dana dalam wilayah Republik Indonesia. B. Penanggung Jawab Laporan 1. Pelapor harus menunjuk penanggung jawab untuk penyusunan dan penyampaian Laporan. 2. Penunjukan ... 2. Penunjukan penanggung jawab sebagaimana dimaksud pada angka 1 harus diberitahukan kepada Bank Indonesia secara On-Line. 3. Penunjukan penanggung jawab sebagaimana dimaksud pada angka 1 tidak mengurangi dan/atau menghilangkan tanggung jawab Direksi bagi Pelapor berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas, Perusahaan Daerah, atau Perusahaan Umum, atau Pengurus bagi Pelapor berbentuk badan hukum Koperasi. 4. Dalam hal terjadi perubahan penanggung jawab sebagaimana dimaksud pada angka 1, Pelapor harus melaporkan perubahan tersebut secara On-Line. III. FORMAT LAPORAN A. Penyusunan Laporan mengacu pada: 1. Buku Pedoman Penyusunan dan Penyampaian Laporan sebagaimana Lampiran 1; dan 2. Petunjuk Teknis Aplikasi Laporan sebagaimana Lampiran 2, yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini. B. Laporan disusun dengan format sebagai berikut: 1. Form G0001 (Laporan Transaksi Transfer Dana Bukan Bank dari Indonesia ke luar negeri); 2. Form G0002 (Laporan Transaksi Transfer Dana Bukan Bank dari luar negeri ke Indonesia); dan 3. Form G0003 (Laporan Transaksi Transfer Dana Bukan Bank dalam wilayah Republik Indonesia), yang tercantum dalam Buku Pedoman Penyusunan dan Penyampaian Laporan sebagaimana dimaksud pada butir A.1. IV. PENYAMPAIAN LAPORAN A. Batas Waktu Penyampaian Laporan 1. Laporan sebagaimana dimaksud pada butir III.B wajib disampaikan paling lambat pada 5 (lima) Hari Kerja setelah akhir bulan Laporan. Contoh: Laporan bulan Februari 2014 dilaporkan paling lambat tanggal 7 Maret 2014. 2. Dalam ... 2. Dalam hal ditemukan kesalahan data pada Laporan yang telah disampaikan kepada Bank Indonesia, koreksi Laporan wajib disampaikan paling lambat sesuai batas waktu sebagaimana dimaksud pada angka 1. 3. Dalam hal Pelapor tidak memiliki data sebagaimana dimaksud pada butir III.B atau nihil, kewajiban penyampaian Laporan tetap berlaku dengan cara mengirimkan form header paling lambat sesuai batas waktu sebagaimana dimaksud pada angka 1. 4. Pelapor dinyatakan telah menyampaikan Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan setelah Bank Indonesia menerima Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan yang disampaikan Pelapor yang dibuktikan dengan tanda terima dari Sistem LTDBB. 5. Pelapor dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan apabila Bank Indonesia menerima Laporan, form header dan/atau koreksi Laporan melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud pada angka 1. Contoh: Pelapor dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan data Transaksi Transfer Dana dari Indonesia ke Luar Negeri untuk Laporan bulan Februari 2014 apabila Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan diterima oleh Bank Indonesia setelah tanggal 7 Maret 2014. 6. Pelapor yang terlambat menyampaikan Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan sebagaimana dimaksud pada angka 5 tetap wajib menyampaikan Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan yang belum disampaikan. B. Tata Cara Penyampaian Laporan 1. Pelapor wajib menyusun dan menyampaikan Laporan kepada Bank Indonesia secara tepat waktu, benar, akurat, dan lengkap. 2. Pelapor wajib menyampaikan Laporan sesuai dengan format sebagaimana dimaksud pada butir III.B. 3. Pelapor ... 3. Pelapor melakukan validasi teknis sesuai dengan spesifikasi yang telah ditetapkan dalam Petunjuk Teknis Aplikasi Laporan sebagaimana dimaksud pada butir III.A.2. 4. Dalam hal Pelapor melakukan penggabungan atau peleburan dengan Pelapor atau badan usaha berbadan hukum Indonesia bukan Bank lain, masing-masing Pelapor peserta penggabungan atau peleburan tetap wajib menyampaikan Laporan yang disusun secara bulanan untuk bulan Laporan sebelum dilakukan penggabungan atau peleburan. Contoh: a. Apabila pada tanggal 3 Maret 2014 Pelapor X telah mendapatkan izin penggabungan atau peleburan dengan Pelapor Y, maka masing-masing Pelapor X dan Pelapor Y wajib menyampaikan Laporan bulan Februari 2014 sampai dengan terjadinya penggabungan atau peleburan secara operasional. Sementara itu, laporan bulan Maret 2014 merupakan Laporan konsolidasi atau gabungan yang dilaporkan oleh Pelapor hasil penggabungan atau peleburan. b. Apabila pada tanggal 3 Maret 2014 Pelapor X telah mendapatkan izin penggabungan atau peleburan dengan perusahaan B, maka Pelapor X wajib menyampaikan Laporan bulan Februari 2014 sampai dengan terjadinya penggabungan atau peleburan. 5. Dalam hal Pelapor melakukan pemisahan murni, Pelapor tetap wajib menyampaikan Laporan yang disusun secara bulanan untuk bulan Laporan sebelum dilakukannya pemisahan. Contoh: Apabila pada tanggal 3 Maret 2014 Pelapor A secara operasional telah melakukan pemisahan menjadi Pelapor B dan Pelapor C, maka Pelapor A wajib menyampaikan Laporan bulan Februari 2014. Sementara itu, laporan bulan Maret 2014 merupakan Laporan yang dilaporkan oleh Pelapor B dan Pelapor C hasil pemisahan. C. Cara ... C. Cara Penyampaian Laporan, Form Header, dan/atau Koreksi Laporan, Secara On-Line, Off-Line, dan Dalam Keadaan Memaksa (Force Majeure) 1. Cara Penyampaian Laporan, Form Header, dan/atau Koreksi Laporan Secara On-Line a. Pelapor wajib menyampaikan Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan secara On-Line. b. Sistem LTDBB dibuka secara On-Line sampai dengan akhir bulan periode penyampaian Laporan. Contoh: Pelapor menyampaikan Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan bulan Februari 2014 secara On-Line sampai dengan akhir bulan Maret 2014. 2. Cara Penyampaian Laporan, form header, dan/atau Koreksi Laporan Secara Off-Line a. Penyampaian Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan secara Off-Line dilakukan apabila: 1) Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan yang akan disampaikan telah melampaui batas waktu penyampaian Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan secara On-Line; dan/atau 2) terjadi gangguan teknis terhadap Sistem LTDBB di Pelapor dan/atau Bank Indonesia. b. Penyampaian Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan yang melampaui batas waktu penyampaian Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan secara On-Line sebagaimana dimaksud pada butir C.1.b dilakukan secara Off-Line. Contoh: Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan bulan Februari 2014 disampaikan secara Off-Line, apabila Pelapor menyampaikan Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan dan diterima oleh Bank Indonesia setelah akhir bulan Maret 2014. c. Penyampaian ... c. Penyampaian Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan Secara Off-Line Karena Gangguan Teknis di Pelapor dan/atau Bank Indonesia. 1) Gangguan Teknis di Pelapor a) Dalam hal Pelapor mengalami gangguan teknis pada Hari Kerja kelima bulan Laporan berikutnya, Pelapor wajib menyampaikan pemberitahuan secara tertulis yang ditandatangani pejabat Pelapor yang berwenang mengenai gangguan teknis yang dialami, pada hari yang sama. b) Pemberitahuan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada huruf a), ditandatangani oleh pejabat Pelapor yang berwenang dan disampaikan kepada: (1) Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan Bank Indonesia, Jl. M.H. Thamrin No.2 Jakarta 10350, bagi Pelapor yang berkedudukan di wilayah DKI Jakarta, Kabupaten/Kota Bogor, Kabupaten Karawang, dan Kota Depok; atau (2) Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan Bank Indonesia, Jl. M.H. Thamrin No.2 Jakarta 10350 dengan tembusan kepada Kantor Perwakilan Bank Indonesia terdekat, bagi Pelapor yang berkedudukan di luar wilayah sebagaimana dimaksud pada angka (1). Dalam hal terjadi perubahan alamat surat menyurat dan komunikasi, akan diberitahukan melalui surat dan/atau media lainnya oleh Bank Indonesia kepada Pelapor. c) Dalam hal Pelapor tidak menyampaikan pemberitahuan tertulis sebagaimana dimaksud pada huruf a), Pelapor dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan. d) Pelapor ... d) Pelapor yang tidak dapat menyampaikan Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan secara On- Line karena gangguan teknis sebagaimana dimaksud pada huruf a) wajib menyampaikan Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan secara Off-Line paling lambat pukul 12.00 waktu setempat pada Hari Kerja berikutnya kepada: (1) Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan Bank Indonesia, Jl. M.H. Thamrin No.2 Jakarta 10350, bagi Pelapor yang berkedudukan di wilayah DKI Jakarta, Kabupaten/Kota Bogor, Kabupaten Karawang, dan Kota Depok; atau (2) Kantor Perwakilan Bank Indonesia yang mewilayahi Pelapor yang berkedudukan di luar wilayah sebagaimana dimaksud pada angka (1). Dalam hal terjadi perubahan alamat surat menyurat dan komunikasi, akan diberitahukan melalui surat dan/atau media lainnya oleh Bank Indonesia kepada Pelapor. Contoh: Pada tanggal 7 Maret 2014 Pelapor X mengalami gangguan teknis sehingga tidak dapat menyampaikan Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan secara On-Line, Pelapor X wajib menyampaikan Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan secara Off-Line paling lambat tanggal 10 Maret 2014 pukul 12:00 waktu setempat. 2) Gangguan Teknis di Bank Indonesia a) Dalam hal terjadi gangguan teknis di Bank Indonesia, Bank Indonesia memberitahukan secara tertulis dan/atau menggunakan sarana lainnya kepada Pelapor. b) Dalam ... b) Dalam hal gangguan teknis terjadi pada Hari Kerja kelima bulan Laporan berikutnya, Pelapor wajib menyampaikan Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan pada Hari Kerja berikutnya secara Off-Line. 3. Keadaan Memaksa (Force Majeure) a. Penyampaian Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan sebagaimana dimaksud pada butir IV.C.1 dan butir IV.C.2 tidak berlaku bagi Pelapor yang mengalami keadaan memaksa (force majeure). b. Pelapor yang tidak dapat menyampaikan Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan karena keadaan memaksa (force majeure) wajib segera memberitahukan secara tertulis disertai penjelasan mengenai penyebab terjadinya keadaan memaksa (force majeure) yang ditandatangani oleh pejabat yang berwenang kepada: 1) Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan Bank Indonesia, Jl. M.H. Thamrin No.2 Jakarta 10350, bagi Pelapor yang berkedudukan di wilayah DKI Jakarta, Kabupaten/Kota Bogor, Kabupaten Karawang, dan Kota Depok; atau 2) Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan Bank Indonesia, Jl. M.H. Thamrin No.2 Jakarta 10350 dengan tembusan kepada Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat, bagi Pelapor yang berkedudukan di luar wilayah sebagaimana dimaksud pada angka 1). Dalam hal terjadi perubahan alamat surat menyurat dan komunikasi, akan diberitahukan melalui surat dan/atau media lainnya oleh Bank Indonesia kepada Pelapor. c. Pelapor harus menyampaikan Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan sebagaimana dimaksud dalam butir III.B paling lambat 5 (lima) Hari Kerja setelah keadaan memaksa (force majeure) dapat diatasi. V. HAK ... V. HAK AKSES A. Dalam rangka penyusunan dan penyampaian Laporan, Bank Indonesia memberikan hak akses berupa 1 (satu) user id dan password terhadap Sistem LTDBB kepada setiap Pelapor tanpa dikenakan biaya. B. Pelapor bertanggung jawab atas hak akses terhadap Sistem LTDBB yang diberikan oleh Bank Indonesia. VI. PENYAMPAIAN PERTANYAAN Pelapor dapat menyampaikan pertanyaan yang berkaitan dengan sistem, materi, dan/ atau ketentuan Laporan kepada Bank Indonesia sebagai berikut: 1. Departemen Kebijakan dan Pengawasan Sistem Pembayaran mengenai materi dan ketentuan Laporan. 2. Departemen Pengelolaan Sistem Informasi mengenai aplikasi dan otomasi sistem penyampaian Laporan. 3. Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan mengenai akses Sistem LTDBB di Bank Indonesia. Pertanyaan yang terkait dengan hal-hal tersebut di atas disampaikan melalui Helpdesk Bank Indonesia dengan nomor telepon (021) 2981- 8000. VII. TATA CARA PENGENAAN SANKSI A. Pelapor yang terlambat menyampaikan Laporan dan/atau form header sebagaimana dimaksud pada butir IV.A.5 dan butir IV.C.2.c.1).c) dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) untuk setiap form per Hari Kerja keterlambatan dan paling banyak sebesar Rp7.500.000,00 (tujuh juta lima ratus ribu rupiah) untuk setiap form. B. Pelapor yang terlambat menyampaikan koreksi Laporan sebagaimana dimaksud pada butir IV.A.5 namun masih dalam periode On-Line sebagaimana dimaksud dalam butir IV.C.1 dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) untuk setiap form per Hari Kerja keterlambatan dan paling banyak sebesar Rp750.000,00 (tujuh ratus lima puluh ribu rupiah) untuk setiap form. C. Pelapor ... C. Pelapor yang menyampaikan koreksi Laporan melebihi periode On-line sebagaimana dimaksud pada butir IV.C.1 dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) untuk setiap item data dan paling banyak sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk setiap form. D. Pelapor dikenakan sanksi berupa teguran tertulis dalam hal: 1. belum menyampaikan Laporan dan/atau form header sampai periode penyampaian Laporan berikutnya; dan/atau 2. tidak menyampaikan pemberitahuan tertulis perihal keadaan memaksa (force majeure). E. Bank Indonesia memberitahukan secara tertulis mengenai pelanggaran, besarnya sanksi kewajiban membayar yang dikenakan kepada Pelapor, dan nomor rekening dalam rangka pengenaan sanksi kewajiban membayar. F. Pelapor yang dikenakan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud dalam huruf A, huruf B dan/atau huruf C wajib menyampaikan tanda bukti telah dilakukan kewajiban membayar kepada: 1. Departemen Kebijakan dan Pengawasan Sistem Pembayaran, Bank Indonesia, Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350, bagi Pelapor yang berkedudukan di wilayah DKI Jakarta, Kabupaten/Kota Bogor, Kabupaten Karawang, dan Kota Depok; atau 2. Kantor Perwakilan Bank Indonesi a setempat, bagi Pelapor yang berkedudukan di luar wilayah sebagaimana dimaksud pada angka 1. Dalam hal terjadi perubahan alamat surat menyurat dan komunikasi, akan diberitahukan melalui surat dan/atau media lainnya oleh Bank Indonesia kepada Pelapor. VIII. PENUTUP A. Dengan berlakunya Surat Edaran Bank Indonesia ini, ketentuan butir IV.B.1.a.1) dan Contoh 5 dalam Lampiran Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 15/23/DASP tanggal 27 Juni 2013 perihal Penyelenggaraan Transfer Dana dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. B. Ketentuan ... B. Ketentuan mengenai pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam butir VII.A sampai dengan butir VII.E mulai berlaku untuk Laporan bulan Juni 2014. C. Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA, ROSMAYA HADI KEPALA DEPARTEMEN KEBIJAKAN DAN PENGAWASAN SISTEM PEMBAYARAN "," SE-BI 16/1/DKSP|SE-BI/2014 Laporan Penyelenggaraan Transfer Dana oleh Badan Usaha Berbadan Hukum Indonesia Bukan Bank Secara On-Line 10 Januari 2014 10 Januari 2014 '15/23/DASP|SE-BI/2013 | butir IV.B.1.a.1) dan Contoh 5 dalam Lampiran' '15/23/DASP|SE-BI/2013 | Butir VII.C.', '14/23/PBI/2012' 'Romawi VII' " " No.9/26/DInt Jakarta, 9 November 2007 S U R A T E D A R A N Kepada SEMUA BANK DEVISA DI INDONESIA Perihal : Pencabutan Surat Edaran Bank Indonesia Terkait Dengan Cek, Travellers Cheque, Blanko Cek, Deposito, Sertifikat Deposito, Bilyet Deposito, Demand Draft, Time Demand Draft, Garansi Bank, Promissory Note, Standby LC Dan Letter of Credit, Serta Surat Konfirmasi Palsu Atau Hilang Dicuri. -------------------------------------------------------------------------------- Sehubungan dengan tidak berlakunya materi yang diatur dalam beberapa Surat Edaran Bank Indonesia yang berisi penerusan informasi dari bank mengenai cek, travellers cheque, blanko cek, deposito, sertifikat deposito, bilyet deposito, demand draft, time demand draft, garansi bank, promissory note, letter of credit (LC), standby LC, dan surat konfirmasi palsu atau hilang dicuri, serta dalam rangka tertib administrasi dan memberikan kejelasan status atas Surat Edaran Bank Indonesia tersebut, dipandang perlu untuk mencabut 15 (lima belas) Surat Edaran Bank Indonesia. Berdasarkan hal tersebut diatas, maka 15 (lima belas) Surat Edaran Bank Indonesia sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan satu kesatuan dan bagian yang tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Ketentuan dalam Surat Edaran ini mulai berlaku sejak tanggal 9 November 2007. Agar ........ Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA, SJAMSUL ARIFIN DIREKTUR INTERNASIONAL "," SE-BI 9/26/DInt|SE-BI/2007 Pencabutan Surat Edaran Bank Indonesia Terkait Dengan Cek, Travellers Cheque, Blanko Cek, Deposito, Sertifikat Deposito, Bilyet Deposito, Demand Draft, Time Demand Draft, Garansi Bank, Promissory Note, Standby LC Dan Letter of Credit, Serta Surat Konfirmasi Palsu Atau Hilang Dicuri. 9 November 2007 9 November 2007 " " No. 4/14/DASP Jakarta, 24 September 2002 S U R A T E D A R A N Kepada SEMUA PESERTA SISTEM BI-RTGS DI INDONESIA Perihal : Biaya Dalam Penggunaan Sistem Bank Indonesia Real Time Gross Settlement Sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/24/PBI/2000 tanggal 17 November 2000 tentang Hubungan Rekening Giro Antara Bank Indonesia Dengan Pihak Ekstern sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia No. 3/11/PBI/2001 tanggal 20 Juni 2001 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/24/PBI/2000 tentang Hubungan Rekening Giro Antara Bank Indonesia Dengan Pihak Ekstern, penarikan Rekening Giro dapat dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik dan akan diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Adapun salah satu sarana elektronik yang digunakan dalam penarikan Rekening Giro adalah melalui Sistem Bank Indonesia Real Time Gross Settlement (BI-RTGS). Sehubungan dengan hal tersebut di atas dan mengingat adanya penurunan batas nominal warkat atau data keuangan elektronik yang dapat diselesaikan melalui kliring, yang telah mengakibatkan pengalihan sebagian transaksi dari sistem kliring ke Sistem BI-RTGS, maka perlu dilakukan penyesuaian mengenai besarnya biaya dalam penggunaan Sistem BI-RTGS menjadi sebagai berikut : I. JENIS DAN BESARNYA BIAYA A. Jenis biaya dalam penggunaan Sistem BI-RTGS terdiri dari : 1. Biaya transaksi; 2. Biaya perpanjangan Jam Operasional. B. Besarnya… B. Besarnya biaya transaksi adalah sebagai berikut : 1. Biaya single credit transaction a. Untuk transaksi yang dikirim pada pukul 06.30 WIB sampai dengan pukul 15.00 WIB, besarnya biaya transaksi adalah Rp. 7.000,00 (tujuh ribu rupiah) per transaksi. b. Untuk transaksi yang dikirim setelah pukul 15.00 WIB sampai dengan cut off time, besarnya biaya transaksi adalah Rp. 15.000,00 (lima belas ribu rupiah) per transaksi. 2. Biaya multiple credit transaction a. Untuk transaksi yang dikirim pada pukul 06.30 WIB sampai dengan pukul 15.00 WIB, besarnya biaya transaksi adalah Rp. 35.000,00 (tiga puluh lima ribu rupiah) per transaksi. b. Untuk transaksi yang dikirim setelah pukul 15.00 WIB sampai dengan cut off time, besarnya biaya transaksi adalah Rp. 50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) per transaksi. 3. Biaya pengiriman Administrative Message sebesar Rp. 2.500,00 (dua ribu lima ratus rupiah) per Administrative Message. C. Besarnya biaya perpanjangan Jam Operasional adalah Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah) untuk 30 (tiga puluh) menit pertama dan Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk 30 (tiga puluh) menit kedua, dan dikenakan kepada Peserta yang mengajukan perpanjangan Jam Operasional. D. Dalam hal terjadi Contingency Plan dimana Peserta membawa Cek Bank Indonesia dan atau Bilyet Giro Bank Indonesia ke Bank Indonesia dan Bank Indonesia melakukan construct atas nama Peserta maka Peserta dikenakan biaya sebagaimana diatur dalam huruf B dan C. II. PENGHITUNGAN DAN PEMBEBANAN BIAYA A. Biaya Transaksi Bank Indonesia menghitung jumlah biaya transaksi sebagaimana dimaksud dalam angka I huruf B pada setiap akhir hari dan membebankan… membebankan biaya tersebut paling lambat pada hari kerja berikutnya. B. Biaya Perpanjangan Jam Operasional Bank Indonesia menghitung jumlah biaya perpanjangan Jam Operasional sebagaimana dimaksud dalam angka I huruf C pada saat terjadinya perpanjangan Jam Operasional dan membebankan biaya tersebut paling lambat pada hari kerja berikutnya. C. Biaya sehubungan dengan Contingency Plan Bank Indonesia menghitung jumlah biaya sehubungan dengan Contingency Plan sebagaimana dimaksud dalam angka I huruf D pada saat terjadinya Contingency Plan dan membebankan biaya tersebut paling lambat pada hari kerja berikutnya. Pembebanan biaya-biaya tersebut di atas dilakukan dengan cara mendebet Rekening Giro Peserta yang berada di Bank Indonesia. III. PENGENAAN BIAYA OLEH PESERTA KEPADA NASABAH Mengingat dalam penggunaan Sistem BI-RTGS Peserta dikenakan biaya oleh Bank Indonesia maka untuk mendukung kelancaran pelaksanaan sistem transfer dana secara elektronik melalui Sistem BI-RTGS, Peserta dapat mengenakan biaya yang wajar kepada nasabahnya. Peserta wajib mengumumkan besarnya biaya penggunaan Sistem BI-RTGS yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dan besarnya biaya penggunaan Sistem BI-RTGS yang dibebankan oleh Peserta kepada nasabahnya. Pengumuman tersebut dilakukan secara tertulis di setiap kantor Peserta pada tempat yang mudah terlihat oleh nasabah. IV. PENUTUP Dengan berlakunya Surat Edaran Bank Indonesia ini, maka : 1. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 2/25/DASP tanggal 17 November 2000 perihal Biaya Dalam Penggunaan Sistem Bank Indonesia Real Time Gross Settlement; 2. Surat… 2. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 4/4/DASP tanggal 1 Maret 2002 perihal Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 2/25/DASP tanggal 17 November 2000 perihal Biaya Dalam Penggunaan Sistem Bank Indonesia Real Time Gross Settlement, dinyatakan tidak berlaku. Ketentuan dalam Surat Edaran ini berlaku sejak tanggal 1Oktober 2002. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA, MOHAMAD ISHAK DIREKTUR AKUNTING DAN SISTEM PEMBAYARAN "," SE-BI 4/14/DASP|SE-BI/2002 Biaya Dalam Penggunaan Sistem Bank Indonesia Real Time Gross Settlement 24 September 2002 1 Oktober 2002 '4/4/DASP|SE-BI/2002', '2/25/DASP|SE-BI/2000' '3/11/PBI/2001', '2/24/PBI/2000' " " No.11/ 26 /DKBU Jakarta, 5 Oktober 2009 SURAT EDARAN Kepada SEMUA BANK UMUM DI INDONESIA Perihal : Perubahan Atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 31/17/UK tanggal 15 Januari 1999 perihal Kredit Usaha Tani Sehubungan dengan hasil evaluasi terhadap ketentuan penyaluran skim Kredit Usaha Tani (KUT), maka dipandang perlu untuk melakukan perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 31/17/UK tanggal 15 Januari 1999 perihal Kredit Usaha Tani sebagai berikut : 1. Ketentuan butir III.B diubah sehingga berbunyi sebagai berikut : B. PENARIKAN KEMBALI KLBI 1. Bank wajib mengembalikan pembayaran pelunasan pokok dan bunga KUT yang diterima dari Koperasi/LSM kepada Bank Indonesia. 2. Pengembalian pembayaran pelunasan pokok dan bunga KUT tersebut dilakukan dengan cara : a. Bank menyampaikan Laporan Pelunasan KUT sebagaimana formulir dalam Lampiran 2 Surat Edaran ini dan dapat disampaikan melalui sarana faksimili atau surat. b. Laporan sebagaimana dimaksud pada huruf a, paling lambat diterima oleh Bank Indonesia pada setiap akhir bulan. Dalam hal akhir bulan dimaksud jatuh pada hari libur maka laporan harus sudah diterima oleh Bank Indonesia pada hari kerja berikutnya. c. Atas… c. Atas dasar laporan sebagaimana dimaksud pada huruf b tersebut, Bank Indonesia akan mendebet rekening giro Bank di Bank Indonesia. 3. Dalam hal pelunasan pokok dan bunga KUT dilaporkan oleh Bank melewati batas waktu yang ditentukan sebagaimana dimaksud pada butir 2b, maka atas jumlah pelunasan pokok dan bunga KUT akan dikenakan suku bunga deposito tertinggi yang berlaku pada Bank yang bersangkutan yang dihitung sejak tanggal diterima pelunasan pokok dan bunga KUT oleh Bank sampai dengan tanggal diterimanya Laporan Pelunasan KUT tersebut oleh Bank Indonesia. 4. Tingkat suku bunga deposito tertinggi sebagaimana dimaksud pada angka 3 adalah tingkat suku bunga deposito tertinggi pada tanggal diterimanya pelunasan pokok dan bunga KUT oleh Bank. 2. Lampiran 2 diubah menjadi sebagaimana lampiran Surat Edaran ini. Ketentuan dalam Surat Edaran ini mulai berlaku pada tanggal 5 Oktober 2009. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA, RATNA E. AMIATY DIREKTUR KREDIT, BPR DAN UMKM "," SE-BI 11/26/DKBU|SE-BI/2009 Perubahan Atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 31/17/UK tanggal 15 Januari 1999 perihal Kredit Usaha Tani 5 Oktober 2009 5 Oktober 2009 '31/17/UK|SE-BI/1999' '31/17/UK|SE-BI/1999' " " BANK INDONESIA --------------- SE No.31/11/UPPB Jakarta, 12 November 1998 SURAT EDARAN kepada SEMUA BANK UMUM DI INDONESIA Perihal : Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif --------------------------------------------------- ./. Bersama ini disampaikan kepada Saudara Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/148/KEP/DIR tanggal 12 November 1998 tentang Kualitas Aktiva Produktif. Dengan dikeluarkannya Surat Edaran ini maka Surat Edaran Nomor 30/17/UPPB tanggal 27 Februari 1998 perihal Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif dinyatakan tidak berlaku. Demikian agar Saudara maklum. URUSAN PENGATURAN PENGEMBANGAN PERBANKAN DAN Erman Munzir Kepala Urusan UPPB. "," SE-BI 31/11/UPPB|SE-BI/1998 Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif 12 November 1998 '30/17/UPPB|SE-BI/1998' " " No. 8/14/DPNP Jakarta, 1 Juni 2006 S U R A T E D A R A N Kepada SEMUA BANK DAN NASABAH BANK DI INDONESIA Perihal: Mediasi Perbankan ----------------------- Sehubungan dengan telah dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/5/PBI/2006 tanggal 30 Januari 2006 tentang Mediasi Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4601) perlu diatur ketentuan pelaksanaan dalam suatu Surat Edaran Bank Indonesia, dengan pokok-pokok ketentuan sebagai berikut: I. UMUM 1. Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/5/PBI/2006 tanggal 30 Januari 2006 tentang Mediasi Perbankan dan Surat Edaran ini merupakan kelanjutan dari pengaturan tentang penyelesaian pengaduan nasabah sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/7/PBI/2005 tanggal 20 Januari 2005 dan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 7/24/DPNP tanggal 18 Juli 2005. 2. Ketentuan Mediasi perbankan selain dimaksudkan untuk membantu menjaga reputasi Bank sebagai lembaga intermediasi juga dimaksudkan untuk … untuk memberikan alternatif penyelesaian sengketa kepada Nasabah, khususnya bagi Nasabah kecil dan usaha mikro dan kecil (UMK), dalam hal pengaduan yang mereka ajukan kepada Bank tidak mendapatkan hasil penyelesaian yang memuaskan. 3. Penyelesaian Sengketa melalui Mediasi perbankan dilakukan secara sederhana, murah, cepat dan efisien. 4. Dengan mempertimbangkan bahwa Nasabah berada pada posisi sebagai penerima keputusan atas penyelesaian pengaduan Nasabah oleh Bank, maka pengajuan penyelesaian Sengketa kepada pelaksana fungsi Mediasi perbankan hanya dapat dilakukan oleh Nasabah atau Perwakilan Nasabah. 5. Dalam melaksanakan fungsi Mediasi perbankan, Bank Indonesia tidak memberikan keputusan dan atau rekomendasi penyelesaian Sengketa kepada Nasabah dan Bank. Dalam hal ini, pelaksanaan Mediasi perbankan dilakukan dengan cara memfasilitasi Nasabah dan Bank untuk mengkaji kembali pokok permasalahan Sengketa secara mendasar agar tercapai Kesepakatan. 6. Proses Mediasi dapat dilakukan di Kantor Bank Indonesia yang terdekat dengan domisili Nasabah. 7. Pelaksanaan fungsi Mediasi perbankan oleh Bank Indonesia dilakukan sampai dengan akhir tahun 2007 dan selanjutnya akan dilaksanakan oleh lembaga mediasi perbankan independen yang dibentuk oleh asosiasi perbankan. II. PENGAJUAN PENYELESAIAN SENGKETA 1. Pengajuan penyelesaian Sengketa kepada pelaksana fungsi Mediasi perbankan hanya dapat dilakukan oleh Nasabah atau Perwakilan Nasabah, termasuk lembaga, badan hukum, dan atau bank lain yang menjadi Nasabah Bank tersebut. 2. Sengketa … 2. Sengketa yang dapat diajukan penyelesaiannya kepada pelaksana fungsi Mediasi perbankan adalah Sengketa keperdataan yang timbul dari transaksi keuangan. 3. Nilai tuntutan finansial dalam Mediasi perbankan diajukan dalam mata uang Rupiah dengan batas paling banyak sebesar Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). 4. Jumlah maksimum nilai tuntutan finansial sebagaimana dimaksud pada angka 3 dapat berupa nilai kumulatif dari kerugian finansial yang telah terjadi pada Nasabah, potensi kerugian karena penundaan atau tidak dapat dilaksanakannya transaksi keuangan Nasabah dengan pihak lain, dan atau biaya-biaya yang telah dikeluarkan Nasabah untuk mendapatkan penyelesaian Sengketa. 5. Pengajuan penyelesaian Sengketa dilakukan secara tertulis dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran 1 dengan menyertakan dokumen berupa: a. fotokopi surat hasil penyelesaian pengaduan yang diberikan Bank kepada Nasabah; b. fotokopi bukti identitas Nasabah yang masih berlaku; c. surat pernyataan yang ditandatangani diatas meterai yang cukup bahwa Sengketa yang diajukan tidak sedang dalam proses atau telah mendapatkan keputusan dari lembaga arbitrase, peradilan, atau lembaga Mediasi lainnya dan belum pernah diproses dalam Mediasi perbankan yang difasilitasi oleh Bank Indonesia; d. fotokopi dokumen pendukung yang terkait dengan Sengketa yang diajukan; dan e. fotokopi surat kuasa, dalam hal pengajuan penyelesaian Sengketa dikuasakan. Formulir … Formulir Pengajuan Penyelesaian Sengketa pada Mediasi perbankan disediakan di setiap kantor Bank atau dapat dibuat sendiri oleh Nasabah dengan berpedoman pada format sebagaimana tercantum dalam Lampiran 1. 6. Pengajuan penyelesaian Sengketa sebagaimana dimaksud pada angka 2 dilakukan paling lama 60 (enam puluh) hari kerja, yang dihitung sejak tanggal surat hasil penyelesaian pengaduan Nasabah dari Bank sampai dengan tanggal diterimanya pengajuan penyelesaian Sengketa oleh pelaksana fungsi Mediasi perbankan secara langsung dari Nasabah atau tanggal stempel pos apabila disampaikan melalui pos. Contoh: apabila tanggal surat hasil penyelesaian pengaduan Nasabah dari Bank kepada Nasabah adalah pada tanggal 5 Juni 2006, maka pengajuan penyelesaian Sengketa kepada pelaksana fungsi Mediasi perbankan secara langsung dari Nasabah atau tanggal stempel pos (apabila disampaikan melalui pos) dilakukan paling lambat pada tanggal 30 Agustus 2006. 7. Sengketa yang timbul dari hasil penyelesaian pengaduan Nasabah yang telah dilakukan oleh Bank sesuai ketentuan penyelesaian pengaduan nasabah sebelum tanggal 1 Juni 2006 dapat diajukan kepada pelaksana fungsi Mediasi perbankan paling lambat tanggal 30 Juni 2006. Contoh: Nasabah yang telah mengajukan pengaduan kepada Bank dan mendapatkan surat hasil penyelesaian pengaduan dari Bank pada tanggal 1 Januari 2006 serta merasa tidak puas dengan hasil penyelesaian pengaduan oleh Bank, dapat mengajukan penyelesaian Sengketa kepada pelaksana fungsi Mediasi perbankan paling lambat tanggal 30 Juni 2006. 8. Pengajuan … 8. Pengajuan penyelesaian Sengketa oleh Nasabah ditujukan kepada Direktorat Investigasi dan Mediasi Perbankan, Bank Indonesia, Menara Radius Prawiro lantai 19, Jalan M.H. Thamrin No. 2, Jakarta 10110 dengan tembusan disampaikan kepada Bank yang bersangkutan. 9. Pelaksana fungsi Mediasi perbankan dapat menolak pengajuan penyelesaian Sengketa yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada angka 1 sampai dengan angka 7 di atas. III. PROSES BERACARA PADA MEDIASI PERBANKAN 1. Atas dasar pengajuan penyelesaian Sengketa oleh Nasabah, pelaksana fungsi Mediasi perbankan dapat melakukan klarifikasi atau meminta penjelasan kepada Nasabah dan Bank secara lisan dan atau tertulis. 2. Klarifikasi atau permintaan penjelasan sebagaimana dimaksud pada angka 1 dilakukan dalam rangka meminta informasi mengenai permasalahan yang diajukan dan upaya-upaya penyelesaian yang telah dilakukan oleh Bank. 3. Pelaksana fungsi Mediasi perbankan memanggil Nasabah dan Bank untuk menjelaskan tata cara pelaksanaan Mediasi perbankan. Apabila Nasabah dan Bank sepakat menggunakan Mediasi perbankan sebagai alternatif penyelesaian Sengketa, Nasabah dan Bank menandatangani perjanjian Mediasi (agreement to mediate). wajib 4. Perjanjian Mediasi sebagaimana dimaksud pada angka 3 memuat pernyataan kesepakatan Nasabah dan Bank untuk menggunakan Mediasi sebagai alternatif penyelesaian Sengketa dan persetujuan untuk patuh dan tunduk pada aturan Mediasi. 5. Aturan Mediasi sebagaimana dimaksud pada angka 4 memuat kondisi- kondisi yang terkait dengan proses Mediasi, yang paling kurang terdiri dari hal-hal sebagai berikut: a. Nasabah … a. Nasabah dan Bank wajib menyampaikan dan mengungkapkan seluruh informasi penting yang terkait dengan pokok Sengketa dalam pelaksanaan Mediasi. b. Seluruh informasi dari para pihak yang berkaitan dengan proses Mediasi merupakan informasi yang bersifat rahasia dan tidak dapat disebarluaskan untuk kepentingan pihak lain di luar pihak-pihak yang terlibat dalam proses Mediasi, yaitu pihak-pihak selain Nasabah, Bank, dan Mediator. c. Mediator bersikap netral, tidak memihak dan berupaya membantu para pihak untuk menghasilkan Kesepakatan. d. Kesepakatan yang dihasilkan dari proses Mediasi adalah Kesepakatan secara sukarela antara Nasabah dengan Bank dan bukan merupakan rekomendasi dan atau keputusan Mediator. e. Nasabah dan Bank tidak dapat meminta pendapat hukum (legal advice) maupun jasa konsultasi hukum (legal counsel) kepada Mediator. f. Nasabah dan Bank dengan alasan apapun tidak akan mengajukan tuntutan hukum terhadap Mediator, pegawai maupun Bank Indonesia sebagai pelaksana fungsi Mediasi perbankan, baik atas kerugian yang mungkin timbul karena pelaksanaan atau eksekusi Akta Kesepakatan, maupun oleh sebab-sebab lain yang terkait dengan pelaksanaan Mediasi. g. Nasabah dan Bank yang mengikuti proses Mediasi berkehendak untuk menyelesaikan sengketa. Dengan demikian, Nasabah dan Bank bersedia : 1) melakukan proses Mediasi dengan itikad baik; 2) bersikap koperatif dengan Mediator selama proses Mediasi berlangsung; dan 3) menghadiri … 3) menghadiri pertemuan Mediasi sesuai dengan tanggal dan tempat yang telah disepakati. h. Dalam hal proses Mediasi mengalami kebuntuan dalam upaya mencapai Kesepakatan, baik untuk sebagian maupun keseluruhan pokok Sengketa, maka Nasabah dan Bank menyetujui tindakan- tindakan yang dilakukan Mediator antara lain : 1) menghadirkan pihak lain sebagai narasumber atau sebagai tenaga ahli untuk mendukung kelancaran Mediasi; atau 2) menangguhkan proses Mediasi sementara dengan tidak melampaui batas waktu proses Mediasi; atau 3) menghentikan proses Mediasi. i. Dalam hal Nasabah dan atau Bank melakukan upaya lanjutan penyelesaian Sengketa melalui proses arbitrase atau peradilan, Nasabah dan Bank sepakat untuk: 1) tidak melibatkan Mediator maupun Bank Indonesia sebagai pelaksana fungsi Mediasi perbankan untuk memberi kesaksian dalam pelaksanaan arbitrase atau peradilan dimaksud; 2) tidak meminta Mediator maupun Bank Indonesia menyerahkan sebagian atau seluruh dokumen Mediasi yang ditatausahakan Bank Indonesia, baik berupa catatan, laporan, risalah, laporan proses Mediasi dan atau berkas lainnya yang terkait dengan proses Mediasi. j. Dalam hal Nasabah dan Bank berinisiatif untuk menghadirkan narasumber atau tenaga ahli tertentu, maka Nasabah dan Bank sepakat untuk menanggung biaya narasumber atau tenaga ahli dimaksud. k. Proses … k. Proses Mediasi berakhir dalam hal: 1) tercapainya kesepakatan; 2) berakhirnya jangka waktu Mediasi; 3) terjadi kebuntuan yang mengakibatkan dihentikannya proses Mediasi; 4) Nasabah menyatakan mengundurkan diri Mediasi; atau dari proses 5) salah satu pihak tidak mentaati perjanjian Mediasi (agreement to mediate). 6. Dalam pelaksanaan proses Mediasi, baik Nasabah maupun Bank dapat memberikan kuasa kepada pihak lain yang bertindak untuk dan atas nama Nasabah atau Bank. Dalam hal ini pihak yang menerima kuasa dapat berupa perseorangan, lembaga, atau badan hukum. 7. Pemberian kuasa sebagaimana dimaksud pada angka 6 di atas harus dilakukan dengan surat kuasa khusus tanpa hak substitusi, bermaterai cukup, dan paling kurang mencantumkan hal-hal sebagai berikut: a. identitas pihak pemberi kuasa dan penerima kuasa, dengan menyebutkan dasar kewenangannya; dan b. pemberian kewenangan kepada penerima kuasa untuk mengikuti proses Mediasi sesuai dengan aturan Mediasi, termasuk pengambilan keputusan berupa kesepakatan. Pemberian kuasa dapat pula mencakup kewenangan untuk menandatangani dokumen-dokumen yang terkait dengan proses Mediasi, antara lain perjanjian Mediasi (agreement to mediate) dan Akta Kesepakatan. 8. Proses … 8. Proses Mediasi dilaksanakan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja yang menandatangani perjanjian Mediasi (agreement to mediate) sampai dengan penandatanganan Akta Kesepakatan. 9. Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada angka 8 dapat diperpanjang sampai dengan 30 (tiga puluh) hari kerja berikutnya berdasarkan Kesepakatan Nasabah dan Bank yang dituangkan secara tertulis. 10. Kesepakatan tertulis mengenai perpanjangan waktu pelaksanaan proses Mediasi sebagaimana dimaksud pada angka 9 mencantumkan secara jelas alasan dilakukannya perpanjangan waktu, antara lain untuk menghadirkan narasumber tertentu yang memiliki keahlian dan kompetensi sesuai masalah yang disengketakan. Perpanjangan waktu dimaksud dapat dilakukan sepanjang memenuhi persyaratan : a. Para pihak memiliki itikad baik dengan mematuhi aturan Mediasi dan perjanjian Mediasi (agreement to mediate); dan b. Jangka waktu proses Mediasi hampir berakhir, namun menurut penilaian Mediator masih terdapat prospek untuk tercapai Kesepakatan. 11. Kesepakatan yang diperoleh dari proses Mediasi dituangkan dalam suatu Akta Kesepakatan yang bersifat final dan mengikat bagi Nasabah dan Bank. Yang dimaksud dengan bersifat final adalah Sengketa tersebut tidak dapat diajukan untuk dilakukan proses Mediasi ulang pada pelaksana fungsi Mediasi perbankan. Yang dimaksud dengan mengikat adalah Kesepakatan berlaku sebagai undang-undang bagi Nasabah dan Bank yang harus dilaksanakan dengan itikad baik. dihitung sejak Nasabah dan Bank IV. PUBLIKASI … IV. PUBLIKASI MEDIASI PERBANKAN 1. Bank wajib mempublikasikan adanya sarana alternatif penyelesaian sengketa melalui Mediasi perbankan kepada Nasabah dengan cara: a. menyediakan informasi dalam bentuk leaflet, booklet, poster dan/atau bentuk publikasi lainnya, termasuk website bank. Leaflet, booklet, dan/atau poster disediakan di setiap kantor Bank pada lokasi yang mudah diakses oleh Nasabah; dan 2. b. menyampaikan leaflet yang memuat informasi mengenai Mediasi perbankan kepada Nasabah. Penyampaian leaflet tersebut dilakukan bersama-sama dengan pengiriman dan/atau penyampaian surat hasil penyelesaian pengaduan sebagaimana dimaksud pada Peraturan Bank Indonesia nomor 7/7/PBI/2005 tanggal 20 Januari 2005 dan Surat Edaran Bank Indonesia nomor 7/24/DPNP tanggal 18 Juli 2005 tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah. Informasi sebagaimana dimaksud pada angka 1 yang wajib dipublikasikan oleh Bank paling kurang memuat: a. prosedur yang harus ditempuh Nasabah untuk dapat mengajukan penyelesaian Sengketa; b. persyaratan pengajuan penyelesaian Sengketa; c. batas waktu pengajuan penyelesaian Sengketa; d. nilai tuntutan finansial maksimal untuk setiap Sengketa, yaitu berupa kerugian finansial yang telah terjadi pada nasabah, potensi kerugian karena penundaan atau tidak dapat dilaksanakannya transaksi keuangan Nasabah dengan pihak lain, dan atau biaya- biaya yang telah dikeluarkan Nasabah untuk menyelesaikan Sengketa; dan e. cakupan nilai tuntutan finansial tidak termasuk nilai kerugian immateriil. 3. Penyediaan … 3. Penyediaan informasi dalam bentuk leaflet, booklet dan atau poster di setiap kantor Bank sebagaimana dimaksud pada angka 1 dilakukan paling lambat tanggal 1 September 2006. V. PENUTUP Ketentuan dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal 1 Juni 2006. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA, MAMAN H. SOMANTRI DEPUTI GUBERNUR "," SE-BI 8/14/DPNP|SE-BI/2006 Mediasi Perbankan 1 Juni 2006 1 Juni 2006 '8/5/PBI/2006' " " No.9/17/DPbS Jakarta, 8 Agustus 2007 S U R A T E D A R A N Kepada SEMUA BANK PERKREDITAN RAKYAT SYARIAH DI INDONESIA Perihal : Perubahan Atas Surat Edaran No.7/13/DPbS tentang Laporan Bulanan Bank Perkreditan Rakyat Syariah Sehubungan dengan telah dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/9/PBI/2005 tanggal 25 Januari 2005 tentang Laporan Bulanan Bank Perkreditan Rakyat Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 19, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4478) dan Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/24/PBI/2006 tanggal 5 Oktober 2006 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 81, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4650) dan telah dikeluarkannya beberapa fatwa tentang produk baru perbankan syariah, perlu dilakukan beberapa perubahan terhadap Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 7/13/DPbS tanggal 11 April 2005 perihal Laporan Bulanan Bank Perkreditan Rakyat Syariah sebagai berikut : 1. Ketentuan angka I. UMUM butir 2 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut : 2. Dalam penyusunan Laporan Bulanan, BPRS berpedoman pada ketentuan dalam buku Pedoman Penyusunan Laporan Bulanan Bank Perkreditan Rakyat Syariah Tahun 2007. 2. Ketentuan angka III. FORMAT LAPORAN BULANAN DAN TATA CARA PELAPORAN diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut : III. FORMAT … III. FORMAT LAPORAN BULANAN DAN TATA CARA PELAPORAN 1. Format Laporan Bulanan BPRS dan tata cara pelaporan diatur dalam Pedoman Penyusunan Laporan Bulanan Bank Perkreditan Rakyat Syariah Tahun 2007 yang merupakan lampiran dari Surat Edaran ini. 2. Prosedur pengoperasian aplikasi komputerisasi Laporan Bulanan BPRS diatur dalam Buku Petunjuk Teknis Aplikasi Data Entry dan Petunjuk Teknis Aplikasi Web Bank Perkreditan Rakyat Syariah Versi Tahun 2007 yang merupakan lampiran dari Surat Edaran ini. Ketentuan dalam Surat Edaran ini mulai berlaku sejak tanggal 1 Desember 2007. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA, SITI Ch. FADJRIJAH DEPUTI GUBERNUR "," SE-BI 9/17/DPbS|SE-BI/2007 Perubahan Atas Surat Edaran No.7/13/DPbS tentang Laporan Bulanan Bank Perkreditan Rakyat Syariah 8 Agustus 2007 1 Desember 2007 '7/13/DPbS|SE-BI/2005' '7/13/DPbS|SE-BI/2005', '8/24/PBI/2006', '7/9/PBI/2005' " " No.13/ 11 /DPbS Jakarta, 13 April 2011 S U R A T E D A R A N Kepada SEMUA BANK PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH DI INDONESIA Perihal: Penilaian Kualitas Aktiva Bagi Bank Pembiayaan Rakyat Syariah. Sehubungan dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/14/PBI/2011 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bagi Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5206) perlu mengatur kembali ketentuan pelaksanaan mengenai penilaian kualitas aktiva bagi Bank Pembiayaan Rakyat Syariah, sebagai berikut: I. UMUM 1. Sejalan dengan berkembangnya usaha, BPRS perlu menjaga kelangsungan usahanya, antara lain dengan meningkatkan kemampuan dan efektivitas BPRS dalam mengelola risiko kredit dan meminimalkan potensi kerugian dari penyediaan dana. 2. Pengembangan industri perbankan syariah perlu didukung antara lain dengan perangkat penilaian kualitas aktiva yang lebih menggambarkan karakteristik usaha nasabah yang dibiayai dan produk yang ditawarkan BPRS. II. PENILAIAN ... 2 II. PENILAIAN KUALITAS AKTIVA PRODUKTIF DALAM BENTUK PEMBIAYAAN 1. Kualitas Aktiva Produktif dalam bentuk Pembiayaan digolongkan menjadi 4 (empat) golongan yaitu Lancar, Kurang Lancar, Diragukan, dan Macet. 2. Penggolongan kualitas Aktiva Produktif dalam bentuk Pembiayaan dilakukan berdasarkan pada ketepatan dan/atau kemampuan membayar kewajiban oleh nasabah serta kelengkapan dokumentasi dan ketersediaan informasi yang terkait dengan Pembiayaan. 3. Penilaian terhadap ketepatan dan/atau kemampuan membayar kewajiban oleh nasabah serta kelengkapan dokumentasi dan ketersediaan informasi sebagaimana dimaksud pada angka 2. dilakukan dengan menggunakan unsur-unsur penilaian sebagaimana dimaksud dalam Lampiran yang tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini. 4. Dalam hal terdapat 2 (dua) atau lebih parameter dari unsur–unsur penilaian yang menunjukkan kualitas yang berbeda untuk 1 (satu) rekening maka penggolongan kualitas Aktiva Produktif dalam bentuk Pembiayaan menggunakan penilaian yang paling rendah. III. PENUTUP Dengan diberlakukannya Surat Edaran Bank Indonesia ini maka Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 8/24/DPbS tanggal 20 Oktober 2006 perihal Penilaian Kualitas Aktiva bagi Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Ketentuan dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar ... 3 Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA, HALIM ALAMSYAH DEPUTI GUBERNUR "," SE-BI 13/11/DPbS|SE-BI/2011 Penilaian Kualitas Aktiva Bagi Bank Pembiayaan Rakyat Syariah. 13 April 2011 13 April 2011 '8/24/DPbS|SE-BI/2006' '13/14/PBI/2011' " " No.13/12/DPU Jakarta, 29 April 2011 SURAT EDARAN Perihal : Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 10/8/DPU tanggal 28 Februari 2008 perihal Penukaran Uang Rupiah Dalam rangka meningkatkan layanan penukaran uang rupiah rusak dan menyempurnakan pedoman mengenai uang rupiah rusak yang tidak mendapatkan penggantian dari Bank Indonesia, perlu dilakukan perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 10/8/DPU tanggal 28 Februari 2008 perihal Penukaran Uang Rupiah, sebagai berikut: 1. Ketentuan butir VI.2 diubah, sehingga menjadi berbunyi sebagai berikut: 2. Kerusakan Uang diduga dilakukan secara sengaja apabila tanda-tanda kerusakan fisik Uang meyakinkan Bank Indonesia adanya dugaan unsur kesengajaan, misalnya terdapat bekas potongan dengan alat tajam atau alat lainnya, benang pengaman hilang seluruhnya atau sebagian karena dirusak, dan/atau jumlah Uang yang ditukarkan relatif banyak dengan pola kerusakan yang sama. 2. Di antara ... 2 2. Di antara bab VII dan bab VIII disisipkan 1 (satu) bab yaitu bab VIIA, yang berbunyi sebagai berikut: VIIA. UANG RUSAK YANG TIDAK MENDAPAT PENGGANTIAN 1. Bank Indonesia mengembalikan Uang Rusak yang tidak mendapat penggantian kepada masyarakat pemilik Uang Rusak. 2. Bank Indonesia memberikan tanda pada Uang Rusak yang tidak mendapat penggantian dengan mencantumkan frasa “TIDAK DIGANTI” atau tanda lainnya sebelum dikembalikan kepada pemilik Uang Rusak sebagaimana dimaksud pada angka 1. 3. Bank Indonesia dapat menahan Uang Rusak yang tidak mendapat penggantian sebagaimana dimaksud pada angka 2 untuk selanjutnya dimusnahkan, sepanjang mendapat persetujuan dari pemilik Uang Rusak dimaksud. 4. Dalam hal pemilik Uang Rusak sebagaimana dimaksud pada angka 3 menyetujui Uang Rusak miliknya dimusnahkan oleh Bank Indonesia, pemilik Uang Rusak dimaksud menandatangani surat pernyataan yang antara lain berisi persetujuan bahwa Uang Rusak miliknya dimusnahkan oleh Bank Indonesia. Ketentuan ... 3 Ketentuan dalam Surat Edaran ini mulai berlaku pada tanggal 16 Mei 2011. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA, MOKHAMMAD DAKHLAN DIREKTUR PENGEDARAN UANG "," SE-BI 13/12/DPU|SE-BI/2011 Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 10/8/DPU tanggal 28 Februari 2008 perihal Penukaran Uang Rupiah 29 April 2011 16 Mei 2011 '10/8/DPU|SE-BI/2008' '10/8/DPU|SE-BI/2008' " " No. 12/ 15 /DKBU J a k a r t a , 1 1 J u n i 2 0 1 0 SURAT EDARAN Kepada SEMUA BANK PERKREDITAN RAKYAT DI INDONESIA Perihal : Perubahan Kedua atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 8/7/DPBPR tanggal 23 Februari 2006 Perihal Laporan Bulanan Bank Perkreditan Rakyat Sehubungan dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4866), Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/20/PBI/2006 tentang Transparansi Kondisi Keuangan Bank Perkreditan Rakyat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 77, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4646), Surat Edaran Nomor 11/37/DKBU perihal Penetapan Standar Akuntansi Keuangan bagi Bank Perkreditan Rakyat, dan Surat Edaran Nomor 12/14/DKBU perihal Pelaksanaan Pedoman Akuntansi Bank Perkreditan Rakyat, serta dalam rangka meningkatkan transparansi informasi keuangan kegiatan usaha Bank Perkreditan Rakyat, dipandang perlu untuk melakukan ... melakukan perubahan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 8/7/DPBPR tanggal 23 Februari 2006 Perihal Laporan Bulanan Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana telah diubah dengan Surat Edaran No.8/29/DPBPR tanggal 12 Desember 2006 sebagai berikut : 1. Seluruh lampiran Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 8/7/DPBPR tanggal 23 Februari 2006 Perihal Laporan Bulanan Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana telah diubah dengan Surat Edaran No.8/29/DPBPR tanggal 12 Desember 2006 diubah menjadi sebagaimana lampiran Surat Edaran ini. 2. Ketentuan dalam butir VI angka 1.a. diubah menjadi sebagai berikut : “Direktorat Kredit, BPR dan UMKM cq. Bagian Informasi, Dokumentasi dan Administrasi (IDAd), Jl. M.H. Thamrin No.2 Jakarta 10350, bagi BPR pelapor yang berkedudukan di wilayah DKI Jakarta Raya, Provinsi Banten, Bogor, Depok, Karawang, dan Bekasi.” BPR wajib menyampaikan Laporan Bulanan dengan berpedoman pada Pedoman Penyusunan Laporan Bulanan dan Petunjuk Teknis Aplikasi Laporan Berkala Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana lampiran Surat Edaran ini sejak periode laporan bulan Oktober 2010 yang disampaikan pada bulan November 2010. Dalam rangka persiapan penyampaian laporan bulanan untuk periode bulan Oktober 2010, BPR melakukan uji coba penyampaian Laporan Bulanan untuk periode laporan Juli, Agustus dan September 2010 yang disampaikan paling lambat pada akhir bulan berikutnya, dengan berpedoman pada Pedoman Penyusunan Laporan Bulanan dan Petunjuk Teknis Aplikasi Laporan Berkala Bank Perkreditan Rakyat, sebagaimana lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran ini. BPR ... BPR tetap diwajibkan untuk menyampaikan Laporan Bulanan sesuai dengan Surat Edaran Nomor 8/7/DPBPR Tahun 2006 sebagaimana telah diubah dengan Surat Edaran Nomor 8/29/DPBPR Tahun 2006 perihal Laporan Bulanan Bank Perkreditan Rakyat untuk laporan periode bulan Juli, Agustus, dan September 2010. Dengan berlakunya Surat Edaran ini, Surat Edaran Nomor 8/29/DPBPR Tahun 2006 perihal Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 8/7/DPBPR tanggal 23 Februari 2006 Perihal Laporan Bulanan Bank Perkreditan Rakyat dinyatakan tidak berlaku terhitung sejak periode laporan bulan Oktober 2010. Surat Edaran ini mulai berlaku sejak tanggal 11 Juni 2010. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA, RATNA E. AMIATY DIREKTUR KREDIT, BPR dan UMKM "," SE-BI 12/15/DKBU|SE-BI/2010 Perubahan Kedua atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 8/7/DPBPR tanggal 23 Februari 2006 Perihal Laporan Bulanan Bank Perkreditan Rakyat 11 Juni 2010 11 Juni 2010 '8/7/DPBPR|SE-BI/2006' '8/29/DPBPR|SE-BI/2006' '8/29/DPBPR|SE-BI/2006 | terhitung sejak periode laporan bulan Oktober 2010' '12/14/DKBU|SE-BI', '20/UU/2008', '8/20/PBI/2006', '11/37/DKBU|SE-BI', '8/7/DPBPR|SE-BI/2006', '8/29/DPBPR|SE-BI/2006' " " No.11/ 22 /DPM Jakarta, 12 Agustus 2009 SURAT EDARAN Kepada BANK, PERUSAHAAN EFEK, DEALER UTAMA DAN LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN Perihal : Tata Cara Lelang dan Penatausahaan Surat Berharga Syariah Negara Sehubungan dengan telah ditetapkannya Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/13/PBI/2008 tanggal 21 Agustus 2008 tentang Lelang dan Penatausahaan Surat Berharga Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4888), Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/2/PBI/2008 tanggal 4 Februari 2008 perihal Bank Indonesia- Scripless Securities Settlement System (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4809), Keputusan Menteri Keuangan Nomor 215/KMK.08/2008 tanggal 15 Agustus 2008 tentang Penunjukan Bank Indonesia Sebagai Agen Penata Usaha, Agen Pembayar, dan Agen Lelang Surat Berharga Syariah Negara di Pasar Dalam Negeri dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 11/PMK.08/2009 tanggal 2 Februari 2009 tentang Penerbitan dan Penjualan Surat Berharga Syariah Negara di Pasar Perdana Dalam Negeri Dengan Cara Lelang, dipandang perlu mengatur tata cara lelang dan penatausahaan Surat Berharga Syariah Negara dalam surat edaran sebagai berikut: 2 I. KETENTUAN UMUM Dalam Surat Edaran ini yang dimaksud dengan : 1. Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya disingkat SBSN, atau dapat disebut Sukuk Negara, adalah surat berharga negara yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, dalam mata uang rupiah, sebagai bukti atas bagian penyertaan terhadap aset SBSN. 2. SBSN Jangka Pendek atau dapat disebut Surat Perbendaharaan Negara Syariah adalah SBSN yang berjangka waktu sampai dengan 12 (dua belas) bulan dengan pembayaran imbalan berupa kupon dan/atau secara diskonto. 3. SBSN Jangka Panjang adalah SBSN yang berjangka waktu lebih dari 12 (dua belas) bulan dengan pembayaran imbalan berupa kupon dan/atau secara diskonto. 4. Lelang SBSN adalah penjualan SBSN yang diikuti oleh : a. Peserta lelang, Bank Indonesia, dan/atau Lembaga Penjamin Simpanan, dalam hal lelang SBSN Jangka Pendek; atau b. Peserta lelang dan/atau Lembaga Penjamin Simpanan, dalam hal lelang SBSN Jangka Panjang, cara mengajukan dengan Penawaran Penawaran Pembelian Non-Kompetitif Pembelian Kompetitif dan/atau dalam suatu penawaran yang telah ditentukan dan diumumkan sebelumnya, melalui sistem yang disediakan agen yang melaksanakan Lelang SBSN. 5. Peserta Lelang adalah bank, perusahaan efek, dan anggota dealer utama yang ditunjuk Menteri Keuangan sebagai peserta Lelang SBSN di pasar perdana dalam negeri. 6. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 serta Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. periode waktu 3 7. Perusahaan Efek adalah perusahaan efek sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang melakukan kegiatan usaha sebagai penjamin emisi efek. 8. Dealer Utama adalah Dealer Utama sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Keuangan tentang Sistem Dealer Utama. 9. Pihak adalah orang perseorangan, atau kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum, Bank Indonesia, atau Lembaga Penjamin Simpanan. 10. Lembaga Penjamin Simpanan yang selanjutnya disebut LPS adalah lembaga yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang tentang Lembaga Penjamin Simpanan. 11. Pasar Perdana adalah kegiatan penawaran dan penjualan SBSN untuk pertama kali. 12. Pasar Sekunder adalah kegiatan perdagangan SBSN yang telah dijual di Pasar Perdana. 13. Penawaran Pembelian Kompetitif (Competitive Bidding) adalah pengajuan penawaran pembelian dengan mencantumkan : a. volume dan tingkat imbal hasil (yield) yang diinginkan penawar, dalam hal Lelang SBSN dengan pembayaran imbalan tetap (fixed coupon) atau pembayaran imbalan secara diskonto; atau b. volume dan harga (price) yang diinginkan penawar, dalam hal Lelang SBSN dengan imbalan mengambang (floating coupon). 14. Penawaran Pembelian Non-Kompetitif (Non-Competitive Bidding) adalah pengajuan penawaran pembelian dengan mencantumkan : a. volume tanpa tingkat imbal hasil (yield) yang diinginkan penawar, dalam hal Lelang SBSN dengan pembayaran imbalan tetap (fixed coupon) atau pembayaran imbalan secara diskonto; atau b. volume tanpa harga (price) yang diinginkan penawar, dalam hal Lelang SBSN dengan pembayaran imbalan mengambang (floating coupon). Pasar Modal, yang 4 15. Sistem Bank Indonesia – Real Time Gross Settlement yang selanjutnya disebut dengan Sistem BI-RTGS adalah suatu sistem transfer dana elektronik antar peserta Sistem BI-RTGS dalam mata uang rupiah yang penyelesaiannya dilakukan secara seketika per transaksi secara individual. 16. Bank Indonesia – Scripless Securities Settlement System yang selanjutnya disebut BI-SSSS adalah sarana transaksi dengan Bank Indonesia termasuk penatausahaannya dan penatausahaan surat berharga secara elektronik dan terhubung langsung antara peserta BI-SSSS, penyelenggara BI-SSSS dan Sistem BI-RTGS. 17. Laporan Harian Bank Umum yang selanjutnya disebut LHBU adalah laporan yang disusun dan disampaikan oleh Bank pelapor secara harian kepada Bank Indonesia. 18. Sub-Registry adalah Bank dan lembaga yang melakukan kegiatan kustodian, yang memenuhi persyaratan dan disetujui Bank Indonesia melakukan fungsi penatausahaan surat berharga termasuk SBSN untuk kepentingan nasabah. 19. Harga Beragam (Multiple Price) adalah harga yang dibayarkan oleh masing- masing pemenang Lelang SBSN sesuai dengan harga penawaran yang diajukannya. 20. Harga Seragam (Uniform Price) adalah tingkat harga yang sama yang dibayarkan oleh seluruh pemenang Lelang SBSN. 21. Harga Rata-rata Tertimbang (Weighted Average Price) adalah harga yang dihitung dari hasil bagi antara jumlah dari perkalian masing-masing volume SBSN dengan harga yang dimenangkan dan total volume SBSN yang terjual. 22. Imbalan adalah pembayaran yang dapat berupa sewa, bagi hasil atau marjin, atau bentuk pembayaran lainnya sesuai dengan akad penerbitan SBSN, yang diberikan kepada pemegang SBSN sampai dengan berakhirnya periode SBSN. 23. Imbal Hasil (yield) adalah keuntungan yang diharapkan oleh investor dalam persentase per tahun. 5 24. Nilai Nominal adalah nilai SBSN atas nama Bank dan/atau Sub-Registry yang tercatat dalam BI-SSSS. 25. Hari Kerja adalah hari operasional sistem pembayaran yang diselenggarakan oleh Bank Indonesia. II. TATA CARA LELANG SBSN DI PASAR PERDANA A. Ketentuan dan Persyaratan 1. Setiap Pihak dapat menyampaikan penawaran pembelian dalam Lelang SBSN. 2. Pembelian SBSN secara lelang di Pasar Perdana oleh Pihak selain Bank Indonesia dan LPS dilakukan melalui Peserta Lelang. 3. Bank Indonesia dapat membeli SBSN di Pasar Perdana hanya untuk SBSN Jangka Pendek. 4. Pembelian SBSN Jangka Pendek oleh Bank Indonesia hanya untuk dan atas nama dirinya sendiri. 5. LPS dapat membeli SBSN di Pasar Perdana untuk SBSN Jangka Pendek maupun SBSN Jangka Panjang. 6. Pembelian SBSN oleh LPS hanya untuk dan atas nama dirinya sendiri. 7. Pihak selain Bank Indonesia dapat membeli di Pasar Perdana untuk SBSN Jangka Pendek dan SBSN Jangka Panjang. 8. Pihak selain Bank Indonesia dan LPS menyampaikan penawaran pembelian SBSN melalui Peserta Lelang kepada Bank Indonesia sebagai agen lelang. 9. Pihak selain Bank Indonesia dan LPS menyampaikan penawaran pembelian SBSN untuk dan atas nama diri sendiri dan/atau pihak lain. 10. Penawaran pembelian SBSN dapat dilakukan dengan cara Penawaran Pembelian Kompetitif (Competitive Bidding) dan/atau Penawaran Pembelian Non-Kompetitif (Non-Competitive Bidding). 6 11. Bank Indonesia dan LPS hanya dapat menyampaikan Penawaran Pembelian Non-Kompetitif. 12. Peserta Lelang yang menyampaikan penawaran pembelian SBSN untuk dan atas nama diri sendiri dan/atau melalui Peserta Lelang lain, hanya dapat melakukan Penawaran Pembelian Kompetitif. 13. Peserta Lelang yang menyampaikan penawaran pembelian SBSN untuk dan atas nama Pihak selain Bank Indonesia dan LPS menyampaikan penawarannya dengan cara : a. Penawaran Pembelian Kompetitif, dalam hal penawaran pembelian SBSN Jangka Pendek; dan b. Penawaran Pembelian Kompetitif dan/atau Penawaran Pembelian Non-Kompetitif, dalam hal penawaran pembelian SBSN Jangka Panjang. 14. Sarana yang digunakan untuk pengajuan penawaran Lelang SBSN adalah BI-SSSS. 15. Dalam hal Bank mengajukan penawaran Lelang SBSN melalui Peserta Lelang maka Maksimum Nominal Penawaran (Broker Bidding Limit) per hari bagi Peserta Lelang SBSN yang ditunjuk. 16. Peserta Lelang selain Bank yang mengajukan penawaran Lelang SBSN harus menunjuk Sub-Registry untuk melakukan setelmen dan penatausahaan hasil Lelang SBSN. 17. Sub-Registry sebagaimana dimaksud pada angka 16, harus menetapkan Batas Maksimum Nominal Penawaran (Broker Bidding Limit) per hari bagi Peserta Lelang untuk kepentingan nasabah Sub-Registry. 18. Bank Indonesia mengumumkan rencana Lelang SBSN paling lambat 1 (satu) hari kerja sebelum hari pelaksanaan lelang melalui BI-SSSS, LHBU dan sarana lain yang ditetapkan Bank Indonesia. Bank yang bersangkutan harus menetapkan Batas 7 19. Pengumuman rencana Lelang SBSN sebagaimana dimaksud pada angka 18 paling kurang memuat : a. jenis dan seri; b. Peserta Lelang; c. waktu pelaksanaan lelang; d. jumlah indikatif yang ditawarkan; e. jangka waktu; f. tanggal penerbitan; g. tanggal setelmen; h. tanggal jatuh waktu; i. jenis mata uang; dan j. waktu pengumuman hasil lelang. B. Pelaksanaan Lelang 1. Penawaran Lelang SBSN dilakukan dari pukul 10.00 WIB sampai dengan pukul 12.00 WIB atau waktu lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan cq. Direktur Jenderal Pengelolaan Utang. 2. Penawaran volume dan tingkat Imbal Hasil (yield) atau harga (price) dalam Penawaran Pembelian Kompetitif dan Penawaran Pembelian Non- Kompetitif dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. penawaran volume paling rendah 1.000 (seribu) unit atau Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan selebihnya dengan kelipatan 100 (seratus) unit atau Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah); dan/atau b. penawaran tingkat Imbal Hasil (yield) diajukan dengan kelipatan 1/32 (satu per tiga puluh dua) atau 0,03125 (tiga ribu seratus dua puluh lima per seratus ribu) untuk Imbalan tetap (fixed coupon) dan SBSN tanpa kupon (zero coupon bond), sedangkan penawaran harga (price) diajukan dengan kelipatan 0,05% (lima per sepuluh ribu) untuk Imbalan mengambang (floating coupon). 8 3. Peserta Lelang, LPS dan/atau Bank Indonesia bertanggung jawab atas kebenaran data penawaran pembelian SBSN. 4. Peserta Lelang, LPS dan/atau Bank Indonesia yang telah mengajukan penawaran tidak dapat membatalkan penawarannya. C. Penentuan Pemenang Lelang 1. Menteri Keuangan menetapkan hasil Lelang SBSN di Pasar Perdana yang mencakup Nilai Nominal yang dimenangkan, tingkat Imbalan dan/atau diskonto, serta jenis dan nilai aset SBSN pada tanggal pelaksanaan lelang. 2. Penetapan hasil Lelang SBSN oleh Menteri Keuangan berupa penerimaan seluruh atau sebagian, atau penolakan seluruh penawaran Lelang SBSN yang masuk. 3. Penetapan harga SBSN bagi pemenang lelang dengan Penawaran Pembelian Kompetitif (Competitive Bidding) dilakukan dengan metode Harga Beragam (Multiple Price) atau dengan metode Harga Seragam (Uniform Price). 4. Penetapan harga SBSN bagi pemenang lelang dengan Penawaran Pembelian Non-Kompetitif (Non-Competitive Bidding) dilakukan berdasarkan Harga Rata-rata Tertimbang (Weighted Average Price) dari hasil lelang Penawaran Pembelian Kompetitif. D. Pengumuman Hasil Lelang 1. Berdasarkan penetapan hasil Lelang SBSN di Pasar Perdana dari Menteri Keuangan, Bank Indonesia mengumumkan hasil Lelang SBSN melalui BI-SSSS, LHBU dan sarana lain yang ditetapkan Bank Indonesia pada akhir hari pelaksanaan Lelang SBSN. 2. Pengumuman hasil Lelang SBSN sebagaimana dimaksud pada angka 1 paling kurang memuat Nilai Nominal secara keseluruhan yang 9 dimenangkan dan rata-rata tertimbang tingkat Imbalan dan/atau diskonto. 3. Bank Indonesia menyampaikan hasil Lelang SBSN kepada masing- masing Peserta Lelang melalui BI-SSSS paling kurang memuat nama pemenang, Nilai Nominal yang dimenangkan dan tingkat Imbalan dan/atau diskonto. 4. Dalam hal Menteri Keuangan menolak seluruh penawaran pembelian Lelang SBSN, Bank Indonesia mengumumkan penolakan dimaksud melalui BI-SSSS, LHBU dan sarana lain yang ditetapkan Bank Indonesia. III. TATA CARA PENATAUSAHAAN SBSN A. Setelmen Hasil Lelang SBSN di Pasar Perdana Bank Indonesia melakukan setelmen hasil Lelang SBSN di Pasar Perdana dengan ketentuan sebagai berikut : 1. Setelmen hasil Lelang SBSN di Pasar Perdana dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut : a. Setelmen hasil Lelang SBSN Jangka Pendek dilakukan paling lambat 2 (dua) Hari Kerja setelah tanggal pelaksanaan lelang (T+2);dan b. Setelmen hasil Lelang SBSN Jangka Panjang dilakukan paling lambat 5 (lima) Hari Kerja setelah tanggal pelaksanaan lelang (T+5). 2. Dalam pelaksanaan setelmen hasil Lelang SBSN atas nama nasabah, Sub-Registry harus menunjuk Bank pembayar yang memiliki rekening giro rupiah di Sistem BI-RTGS untuk pelaksanaan setelmen dana. 3. Berdasarkan hasil pemenang Lelang SBSN yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, Bank Indonesia melakukan setelmen hasil pemenang Lelang SBSN. 10 4. Berdasarkan setelmen hasil pemenang Lelang SBSN sebagaimana dimaksud pada penerbitan SBSN. 5. Pencatatan penerbitan SBSN sebagaimana dimaksud pada angka 4, dilakukan sesuai ketentuan dan persyaratan (terms and conditions) yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan. 6. Setelmen hasil pemenang Lelang SBSN sebagaimana dimaksud pada angka 4 dilakukan sebagai berikut : a. Setelmen Dana Setelmen dana dilakukan melalui Sistem BI-RTGS dengan mendebet rekening giro rupiah milik Bank dan/atau Bank pembayar yang ditunjuk Sub-Registry di Bank Indonesia, serta mengkredit rekening giro rupiah Pemerintah di Bank Indonesia sebesar nilai setelmen. b. Setelmen SBSN Setelmen SBSN dilakukan dengan mengkredit rekening surat berharga Peserta BI-SSSS di Central Registry sebesar total Nilai Nominal SBSN yang dimenangkan. 7. Bank dan Bank pembayar yang ditunjuk Sub-Registry harus menjamin kecukupan dana pada rekening giro rupiah Bank dan/atau Bank pembayar di Bank Indonesia untuk pelaksanaan setelmen hasil lelang SBSN. 8. Dalam hal kecukupan dana sebagaimana dimaksud pada angka 7 sampai dengan batas waktu setelmen dana di Sistem BI-RTGS (cut-off warning) tidak dipenuhi maka setelmen transaksi hasil Lelang SBSN yang dilakukan melalui Bank dan/atau Bank pembayar tersebut dinyatakan gagal. 9. Setelah pelaksanaan setelmen SBSN sebagaimana dimaksud pada angka 6 huruf b, pada hari yang sama Sub-Registry wajib mencatat kepemilikan angka 3, Bank Indonesia melakukan pencatatan 11 SBSN atas nama nasabah pemenang SBSN secara individual pada sistem Sub-Registry. B. Pembayaran Imbalan SBSN dan/atau Nilai Nominal SBSN 1. Bank Indonesia melakukan pembayaran Imbalan dan/atau Nilai Nominal SBSN berdasarkan posisi kepemilikan SBSN yang tercatat di BI-SSSS pada 2 (dua) Hari Kerja sebelum tanggal jatuh waktu pembayaran Imbalan dan/atau Nilai Nominal SBSN (T-2). 2. Pembayaran Imbalan dan/atau Nilai Nominal SBSN sebagaimana dimaksud pada angka 1 dilakukan pada tanggal jatuh waktu atau pada hari kerja berikutnya apabila tanggal jatuh waktu bertepatan dengan hari libur dengan mendebet rekening giro rupiah milik Pemerintah di Bank Indonesia dan mengkredit rekening giro rupiah milik Bank dan/atau Bank pembayar yang ditunjuk Sub-Registry di Bank Indonesia sebesar Imbalan dan/atau Nilai Nominal SBSN. 3. Pada hari yang sama dengan hari pembayaran Imbalan dan/atau Nilai Nominal SBSN oleh Bank Indonesia, Sub-Registry wajib meneruskan pembayaran Imbalan dan/atau Nilai Nominal SBSN kepada investor yang tercatat di Sub-Registry. C. Transaksi SBSN di Pasar Sekunder 1. Transaksi SBSN yang dilakukan di Pasar Sekunder antara lain transaksi jual putus (outright), transaksi penjualan dengan janji untuk membeli kembali (repurchase agreement atau repo), transaksi penjaminan SBSN (agunan), atau transaksi peminjaman SBSN dengan jaminan surat berharga lainnya (securities lending borrowing). 12 2. Prosedur setelmen transaksi SBSN di pasar sekunder sebagaimana dimaksud pada angka 1 dilakukan sesuai ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai BI-SSSS yang berlaku. IV. PENUTUP Ketentuan dalam Surat Edaran ini mulai berlaku pada tanggal 12 Agustus 2009. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA, HENDAR DIREKTUR PENGELOLAAN MONETER "," SE-BI 11/22/DPM|SE-BI/2009 Tata Cara Lelang dan Penatausahaan Surat Berharga Syariah Negara 12 Agustus 2009 12 Agustus 2009 '10/13/PBI/2008', '11/PMK.08/2009|PER-MENKEU/2009', '10/2/PBI/2008', '215/KMK.08/2008|KEP-MENKEU/2008' " " No.17/16/DPM Jakarta, 12 Juni 2015 S U R A T E D A R A N Kepada SEMUA BANK UMUM DEVISA DI INDONESIA Perihal : Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 16/15/DPM perihal Transaksi Valuta Asing terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak Asing Sehubungan dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/17/PBI/2014 tentang Transaksi Valuta Asing terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 213, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5582), sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/7/PBI/2015 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/17/PBI/2014 tentang Transaksi Valuta Asing terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 117, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5702), yang selanjutnya disebut PBI, perlu dilakukan perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 16/15/DPM tanggal 17 September 2014 perihal Transaksi Valuta Asing terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak Asing, sebagai berikut: 1. Ketentuan butir I.1 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: 1. Badan hukum asing atau lembaga asing yang memiliki kegiatan yang bersifat nirlaba sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 4 huruf c PBI antara lain ASEAN Secretary, World Bank, Asian Development Bank, dan lembaga asing lainnya yang memenuhi ... 2 memenuhi kriteria sebagai lembaga multilateral yang bersifat nirlaba. 2. Ketentuan butir I.3 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: 3. Edukasi tentang Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah kepada Pihak Asing sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 2 ayat (2) huruf f PBI antara lain dilakukan melalui seminar, workshop, Focus Group Discussion (FGD), dan kegiatan sejenis yang bertujuan untuk memberikan pemahaman kepada nasabah mengenai manfaat dan risiko Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah. 3. Ketentuan butir I.11 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: 11. Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah atas investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 PBI, diatur sebagai berikut: a. Dalam hal Underlying Transaksi dari Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah berupa realisasi investasi: 1) telah terjadi aliran dana dari Pihak Asing untuk penyelesaian transaksi kegiatan investasi dimaksud; 2) nilai Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah untuk investasi paling banyak sebesar nilai realisasi investasi yang tercantum dalam dokumen Underlying Transaksi; dan 3) jangka waktu Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah paling lama sama dengan sisa jangka waktu Underlying Transaksi. b. Untuk Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah atas investasi yang masih dalam proses: 1) telah terjadi aliran dana dari Pihak Asing atas rencana investasi dimaksud; 2) Pihak Asing yang bersangkutan telah tercatat sebagai investor atas investasi dimaksud; 3) nilai ... 3 3) nilai Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah paling banyak sebesar nilai rencana investasi yang tercantum dalam dokumen Underlying Transaksi; dan 4) jangka waktu Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah paling lama sama dengan sisa jangka waktu Underlying Transaksi. Contoh 1: Pihak Otoritas Bursa Efek Indonesia (BEI) akan menyelenggarakan Initial Public Offering (IPO) saham PT JKL dengan tanggal penawaran 17 sampai dengan 21 November 2014 dan tanggal penyetoran dana tunai 25 November 2014. Pada tanggal penawaran, para investor dipersyaratkan untuk membuktikan komitmen berupa jaminan aset saham yang tercatat pada underwriter IPO atau penyetoran dana Rupiah sebesar nilai penawaran yang diajukan. Berdasarkan informasi IPO tersebut, pada tanggal 21 November 2014 Pihak Asing memasukkan penawaran saham PT JKL sebesar Rp250.000.000,00. Selanjutnya pada tanggal 22 November 2014, Pihak Asing melakukan Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah dengan Bank yaitu transaksi forward jual USD/IDR Bank kepada Pihak Asing sebesar Rp250.000.000,00 dengan tujuan Pihak Asing dapat memperoleh dana Rupiah pada tanggal 25 November 2014 untuk keperluan penyetoran dana pada underwriter IPO. Dalam hal ini, Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah dilakukan pada tanggal 22 November 2014 dengan tanggal jatuh waktu 25 November 2014, dimana tanggal jatuh waktu tersebut merupakan tanggal penyelesaian transaksi pembelian saham tersebut. Contoh 2: Pihak Asing melakukan pembelian Obligasi Negara tenor 5 (lima) tahun sebesar Rp150.000.000,00 pada tanggal transaksi ... 4 transaksi 10 November 2014 dengan tanggal setelmen pembelian Obligasi Negara pada 13 November 2014 dan akan dimiliki sampai dengan tanggal 10 Desember 2014. Atas kepemilikan Obligasi Negara tersebut, Pihak Asing berencana untuk melakukan Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah. Bank dapat memenuhi kebutuhan Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah Pihak Asing atas pembelian Obligasi Negara tersebut melalui transaksi swap jual USD/IDR Bank kepada Pihak Asing (Bank beli USD/IDR pada first leg dan jual USD/IDR pada second leg) sebesar Rp150.000.000,00. Dalam hal ini, transaksi dapat dilakukan pada tanggal 11 November 2014 dengan tanggal valuta (first leg) pada 13 November 2014 dan tanggal jatuh waktu (second leg) pada 10 Desember 2014 yang akan digunakan untuk repatriasi. Dana Rupiah yang diperoleh pada tanggal 13 November 2014 dipergunakan untuk melakukan setelmen Obligasi Negara tersebut. 4. Ketentuan butir I.12 dihapus. 5. Ketentuan butir I.13 dihapus. 6. Ketentuan butir I.14 dihapus. 7. Ketentuan butir I.15 dihapus. 8. Ketentuan butir I.16 dihapus. 9. Ketentuan butir I.17 dihapus. 10. Ketentuan butir I.18 dihapus. 11. Ketentuan butir I.19 dihapus. 12. Ketentuan butir III.17 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: 17. Dalam hal Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah memiliki Underlying Transaksi yang memiliki jatuh waktu kurang dari 5 (lima) hari kerja setelah tanggal transaksi, dokumen Underlying Transaksi dan/atau dokumen pendukung Transaksi ... 5 Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah wajib diterima oleh Bank paling lambat pada tanggal jatuh waktu. 13. Ketentuan butir III.18 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: 18. Penyampaian dokumen Underlying Transaksi dan dokumen pendukung Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah paling banyak sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat) yang akan diselesaikan secara netting, wajib diterima oleh Bank paling lambat: a. pada tanggal valuta, dalam hal perpanjangan transaksi (roll over), percepatan penyelesaian transaksi (early termination), dan pengakhiran transaksi (unwind) dilakukan melalui Transaksi Spot; b. 5 (lima) hari kerja setelah tanggal transaksi, dalam hal perpanjangan transaksi (roll over), percepatan penyelesaian transaksi (early termination), dan pengakhiran transaksi (unwind) dilakukan melalui Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah; atau c. pada tanggal jatuh waktu, dalam hal perpanjangan transaksi (roll over), percepatan penyelesaian transaksi (early termination), dan pengakhiran transaksi (unwind) dilakukan melalui Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah yang memiliki jatuh waktu kurang dari 5 (lima) hari kerja setelah tanggal transaksi. Contoh: Pihak Asing melakukan transaksi forward beli USD/IDR sebesar USD800,000.00 pada tanggal 19 November 2014 dengan tenor 1 (satu) bulan (jatuh waktu tanggal 19 Desember 2014) dan tidak wajib menyampaikan dokumen Underlying Transaksi. Pada tanggal 16 Desember 2014, Pihak Asing bermaksud untuk melakukan unwind transaksi dan diselesaikan secara netting melalui transaksi forward jual 3 hari (jatuh waktunya sama dengan jatuh waktu forward ... 6 forward awal yaitu tanggal 19 Desember 2014). Bank wajib memastikan Pihak Asing untuk menyampaikan dokumen Underlying Transaksi atas forward beli USD/IDR sebesar USD800,000.00 dan dokumen pendukung paling lambat pada tanggal jatuh waktu transaksi forward yaitu 19 Desember 2014. Dalam hal Bank tidak menerima dokumen Underlying Transaksi dan dokumen pendukung dari Pihak Asing, penyelesaian transaksi forward beli dan forward jual dilakukan dengan pemindahan dana pokok secara penuh. 14. Ketentuan butir III.23 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: 23. Dalam hal terdapat jenis dokumen selain sebagaimana tercantum dalam Lampiran III dan Lampiran IV, Bank dapat: a. mengajukan terlebih dahulu jenis dokumen tersebut kepada Indonesia Foreign Exchange Market Committee (IFEMC) untuk dikonsultasikan kepada Bank Indonesia; atau b. mengajukan secara tertulis kepada Bank Indonesia cq. Pusat Program Transformasi Bank Indonesia–Program Pendalaman Pasar Keuangan. 15. Lampiran IV diubah sehingga menjadi sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini. 16. Menambah 1 (satu) lampiran tentang Contoh Pernyataan Tertulis yang Authenticated mengenai Rencana Pembelian Surat Berharga sebagaimana tercantum dalam Lampiran XI yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini. Surat ... 7 Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 12 Juni 2015. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA, MIRZA ADITYASWARA DEPUTI GUBERNUR SENIOR "," SE-BI 17/16/DPM|SE-BI/2015 Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 16/15/DPM perihal Transaksi Valuta Asing terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak Asing 12 Juni 2015 12 Juni 2015 '16/15/DPM|SE-BI/2014' '17/7/PBI/2015', '16/15/DPM|SE-BI/2014', '16/17/PBI/2014' " " No. 10/10/DASP Jakarta, 5 Maret 2008 S U R A T E D A R A N Kepada PESERTA SISTEM BANK INDONESIA REAL TIME GROSS SETTLEMENT DI INDONESIA Perihal : Pelaksanaan Transaksi Melalui Sistem Bank Indonesia Real Time Gross Settlement (Sistem BI-RTGS) dalam rangka Perlindungan kepada Nasabah Peserta Sistem BI-RTGS Sehubungan dengan diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/6/PBI/2008 tanggal 18 Februari 2008 tentang Sistem Bank Indonesia Real Time Gross Settlement (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4820), perlu diatur lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan transaksi melalui Sistem Bank Indonesia Real Time Gross Settlement (Sistem BI-RTGS) dalam rangka memberikan perlindungan kepada nasabah Peserta Sistem BI-RTGS sebagai berikut: A. Ketentuan Umum Dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini, yang dimaksud dengan: 1. Sistem Bank Indonesia Real Time Gross Settlement, yang selanjutnya disebut Sistem BI-RTGS, adalah suatu sistem transfer dana elektronik antar Peserta dalam mata uang Rupiah yang penyelesaiannya dilakukan secara seketika per transaksi secara individual. 2. Penyelenggara Sistem BI-RTGS, yang selanjutnya disebut Penyelenggara, adalah Bank Indonesia c.q. Direktorat Akunting dan Sistem Pembayaran (DASP). 3. Peserta Sistem BI-RTGS, yang selanjutnya disebut Peserta, adalah bank dan pihak selain bank yang telah memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Penyelenggara, serta Bank Indonesia. 4. Rekening … 2 4. Rekening Giro adalah rekening Peserta dalam mata uang Rupiah yang ditatausahakan di Bank Indonesia yang digunakan untuk penyelesaian akhir transaksi. 5. Penyelesaian Akhir (settlement), yang selanjutnya disebut Penyelesaian Akhir, adalah kegiatan pendebetan dan pengkreditan Rekening Giro Peserta di Bank Indonesia. B. Tata Cara Pengisian Instruksi Transfer 1. Peserta pengirim harus mensyaratkan kepada nasabahnya untuk mengisi instruksi transfer secara lengkap dan benar serta memperhatikan ketentuan yang berlaku, antara lain ketentuan yang mengatur mengenai tindak pidana pencucian uang dan prinsip-prinsip mengenal nasabah (know your customer principles). 2. Instruksi transfer yang dibuat oleh nasabah pengirim paling kurang memuat: a. b. c. d. identitas nasabah pengirim; identitas nasabah penerima dana; identitas Peserta penerima; dan jumlah dana yang ditransfer. 3. Identitas nasabah pengirim dan nasabah penerima sebagaimana dimaksud pada butir 2.a dan butir 2.b meliputi paling kurang nama dan nomor rekening atau, jika nasabah pengirim atau nasabah penerima dana tidak memiliki rekening pada bank Peserta, identitas tersebut meliputi paling kurang nama dan alamat. 4. Identitas Peserta penerima sebagaimana dimaksud pada butir 2.c. meliputi paling kurang nama Peserta, nama kantor Peserta, dan lokasi kantor Peserta. C. Pelaksanaan Instruksi Transfer dari Nasabah Peserta Pengirim. 1. Peserta pengirim dapat menyetujui untuk meneruskan instruksi transfer nasabah melalui Sistem BI-RTGS apabila instruksi transfer tersebut telah memuat informasi yang lengkap dan diisi dengan benar serta telah tersedia dana yang akan ditransfer. 2. Instruksi … 3 2. Instruksi transfer yang diteruskan oleh Peserta pengirim sebagaimana dimaksud pada angka 1 harus sesuai dengan instruksi transfer yang diperintahkan oleh nasabahnya. 3. Dalam hal Peserta pengirim menyetujui untuk melaksanakan instruksi transfer dari nasabahnya sebagaimana dimaksud pada angka 1, berlaku ketentuan sebagai berikut: a. untuk instruksi transfer yang diterima paling lambat pada saat berakhirnya jam pelayanan nasabah untuk transfer melalui Sistem BI-RTGS yang ditetapkan Peserta pengirim, Peserta pengirim harus dengan segera dan tanpa menunda meneruskan instruksi transfer tersebut. b. untuk instruksi transfer dari nasabah yang diterima setelah berakhirnya jam pelayanan nasabah sebagaimana dimaksud pada huruf a, paling lambat pada hari kerja berikutnya Peserta pengirim harus meneruskan instruksi transfer dengan segera dan tanpa menunda setelah Peserta berhasil melakukan log-on ke RCC, dengan memperhatikan penyelesaian transaksi-transaksi lainnya yang diprioritaskan, seperti transaksi bank dengan rekening Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) dan transaksi Kas- Penarikan Tunai. 4. Dalam hal terjadi kondisi sebagaimana dimaksud pada butir 3.b, maka pendebetan rekening nasabah pengirim harus dilakukan pada tanggal yang sama dengan tanggal penerusan instruksi transfer oleh Peserta pengirim. 5. Dalam hal Peserta pengirim tidak melaksanakan instruksi transfer dari nasabahnya sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka 3 dan angka 4, dan Peserta pengirim telah mendebet rekening nasabahnya, maka: a. nasabah Peserta berhak atas bunga sesuai dengan bunga yang berlaku untuk jenis rekening nasabah pengirim pada Peserta pengirim terhitung sejak tanggal pendebetan rekening nasabah pengirim … 4 pengirim sampai tanggal penerusan instruksi transfer. Peserta pengirim harus memperhatikan terpenuhinya hak nasabah tersebut; atau b. Peserta pengirim harus melakukan reversal, yaitu mengkredit kembali dana nasabah yang sudah didebet ke rekening nasabah sesuai tanggal pendebetan. 6. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka 5 tidak berlaku untuk transfer yang berasal dari setoran tunai. 7. Instruksi transfer yang diterima oleh Peserta dengan amanat untuk dilaksanakan pada tanggal tertentu (transaksi titipan), harus diteruskan oleh Peserta pengirim pada tanggal yang sama dengan tanggal yang diperintahkan oleh nasabah. D. Kesesuaian Penulisan Instruksi Transfer 1. Peserta pengirim bertanggungjawab atas kesesuaian penulisan instruksi transfer yang dikirim melalui Sistem BI-RTGS dengan instruksi yang dibuat oleh nasabah pengirim. 2. Dalam hal Peserta pengirim mengirimkan instruksi transfer tidak sesuai dengan instruksi transfer yang dibuat oleh nasabah pengirim, maka Peserta pengirim harus, atas beban Peserta pengirim, menerbitkan instruksi transfer baru sesuai dengan instruksi transfer nasabah pengirim tanpa menunggu pengembalian dana dari Peserta penerima atau nasabah penerima yang tidak berhak sesuai dengan prosedur sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan Sistem BI-RTGS. 3. Penerbitan instruksi transfer baru sebagaimana dimaksud pada angka 2 harus dilakukan: a. pada tanggal yang sama dengan tanggal diketahuinya ketidaksesuaian sebagaimana dimaksud pada angka 2, apabila ketidaksesuaian diketahui paling lambat 30 (tiga puluh) menit sebelum berakhirnya batas waktu (window time) jenis transaksi tersebut; atau b. paling … 5 b. paling lambat pada hari kerja berikutnya dengan ketentuan harus dengan segera dan tanpa menunda melakukan penerbitan instruksi transfer baru setelah Peserta berhasil melakukan log-on ke dalam RCC dengan memperhatikan penyelesaian transaksi-transaksi lainnya yang diprioritaskan, apabila ketidaksesuaian diketahui setelah batas waktu sebagaimana dimaksud pada huruf a. 4. Dalam hal terjadi kondisi sebagaimana dimaksud pada angka 3, nasabah Peserta berhak atas bunga sesuai dengan bunga yang berlaku untuk jenis rekening nasabah Peserta yang dibebani untuk transfer terkait, terhitung sejak tanggal pendebetan rekening nasabah Peserta sampai tanggal pelaksanaan instruksi transfer yang baru. Peserta pengirim harus memperhatikan terpenuhinya hak nasabah tersebut. 5. Dalam hal Peserta pengirim telah melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka 2, maka dana yang salah terkirim dapat diminta kembali oleh Peserta pengirim kepada Peserta penerima. E. Penyampaian Dana kepada Nasabah Peserta Penerima 1. Peserta penerima harus menyampaikan dana kepada nasabah penerima dana sebagaimana tercantum dalam confirmation advice yang diterimanya dengan memperhatikan ketentuan yang berlaku, antara lain ketentuan yang mengatur mengenai tindak pidana pencucian uang dan prinsip-prinsip mengenal nasabah (know your customer principles), serta pembatasan transaksi rupiah dan pemberian kredit valuta asing oleh bank. Confirmation advice merupakan hasil olahan komputer (computer print-out) yang tercetak di Peserta penerima, yang menunjukkan bahwa Rekening Giro Peserta penerima di Bank Indonesia telah dikredit. 2. Peserta penerima harus menyampaikan dana yang ditujukan kepada nasabah penerima dana segera setelah Penyelenggara mengkredit Rekening Giro Peserta penerima di Bank Indonesia, yang dibuktikan dengan confirmation advice, dengan ketentuan sebagai berikut: a. Transfer untuk nasabah penerima dana yang memiliki rekening di kantor Peserta penerima: 1) Untuk … 6 1) Untuk dana yang dikreditkan ke Rekening Giro Peserta penerima di Bank Indonesia paling lambat pada saat berakhirnya batas waktu penyelesaian transfer atas nama nasabah, Peserta penerima harus dengan segera dan tanpa menunda mengkredit dana tersebut ke rekening nasabah penerima pada tanggal valuta yang sama dengan tanggal pengkreditan Rekening Giro Peserta penerima di Bank Indonesia. 2) Apabila Peserta penerima tidak dapat mengkredit dana ke rekening nasabah penerima pada tanggal valuta yang sama sebagaimana dimaksud pada angka 1), paling lambat pada hari kerja berikutnya Peserta penerima harus dengan segera dan tanpa menunda mengkredit dana tersebut ke rekening nasabah penerima setelah Peserta berhasil melakukan log-on ke RCC, dengan menggunakan tanggal valuta yang sama dengan tanggal pengkreditan Rekening Giro Peserta penerima di Bank Indonesia. Alasan yang dapat diterima untuk tidak mengkredit rekening penerima pada tanggal valuta yang sama antara lain karena sistem teknologi informasi di Peserta penerima belum terintegrasi dan/atau kantor Peserta penerima berada di wilayah dengan sarana komunikasi dan transportasi yang tidak mendukung. 3) Dalam hal sistem internal Peserta penerima tidak memungkinkan Peserta penerima untuk melakukan pengkreditan pada hari kerja berikutnya dengan menggunakan tanggal valuta yang sama dengan tanggal pengkreditan Rekening Giro Peserta penerima sebagaimana dimaksud pada angka 2), maka nasabah penerima berhak atas bunga sesuai dengan bunga yang berlaku untuk jenis rekening nasabah penerima pada Peserta penerima terhitung sejak tanggal pengkreditan Rekening Giro Peserta penerima di Bank Indonesia … 7 Indonesia sampai tanggal pengkreditan rekening nasabah penerima. Peserta penerima harus memperhatikan terpenuhinya hak nasabah tersebut. 4) Untuk dana yang dikreditkan ke Rekening Giro Peserta penerima di Bank Indonesia setelah berakhirnya batas waktu penyelesaian transfer atas nama nasabah atau pada periode perpanjangan waktu penyelesaian transfer atas nama nasabah yang ditetapkan Penyelenggara, paling lambat pada hari kerja berikutnya Peserta penerima harus dengan segera dan tanpa menunda mengkredit dana tersebut ke rekening nasabah penerima setelah Peserta berhasil melakukan log-on ke RCC, dengan menggunakan tanggal valuta 1 (satu) hari setelah tanggal pengkreditan Rekening Giro Peserta penerima di Bank Indonesia. 5) Apabila Peserta penerima tidak mengkredit dana ke rekening nasabah penerima pada hari kerja berikutnya sebagaimana dimaksud pada angka 2) dan angka 4), Peserta penerima harus membayar kompensasi kepada nasabah penerima dana sesuai bunga yang berlaku untuk jenis rekening tersebut ditambah dengan tingkat kompensasi sebesar 200 (dua ratus) basis points dengan ketentuan sebagai berikut: a) untuk keterlambatan pengkreditan sebagaimana dimaksud pada angka 2), kompensasi bunga dihitung sejak tanggal valuta pengkreditan Rekening Giro Peserta penerima di Bank Indonesia. b) untuk keterlambatan pengkreditan sebagaimana dimaksud pada angka 4), kompensasi bunga dihitung sejak 1 (satu) hari setelah tanggal valuta pengkreditan Rekening Giro Peserta penerima di Bank Indonesia. 6) Ketentuan kewajiban pembayaran tambahan kompensasi sebagaimana dimaksud pada angka 5) tidak berlaku apabila Peserta … 8 Peserta penerima menunda pelaksanaan pengkreditan atas dasar permintaan pihak yang berwenang atau ketentuan yang berlaku. Yang dimaksud dengan “pihak yang berwenang” antara lain kepolisian, kejaksaan dan pengadilan. Yang dimaksud “ketentuan yang berlaku” antara lain adalah ketentuan Bank Indonesia mengenai penerapan prinsip-prinsip mengenal nasabah (know your customer principles), ketentuan Bank Indonesia mengenai pembatasan transaksi rupiah dan pemberian kredit valuta asing oleh bank, serta Undang- undang Republik Indonesia tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, khususnya yang terkait dengan pemantauan atas transaksi yang mencurigakan (suspicious transaction). b. Transfer untuk nasabah penerima dana yang tidak memiliki rekening di Peserta penerima: 1) Peserta penerima harus mengirim surat pemberitahuan mengenai telah tersedianya dana hasil transfer kepada nasabah penerima dana pada tanggal yang sama dengan tanggal pengkreditan Rekening Giro Peserta penerima di Bank Indonesia atau paling lambat pada hari kerja berikutnya. Surat pemberitahuan merupakan dasar bagi penerima dana untuk mengambil dana di kantor Peserta penerima. Penyampaian surat pemberitahuan pada hari kerja berikutnya dilakukan apabila kantor Peserta penerima sudah tutup atau pengkreditan Rekening Giro Peserta penerima dilakukan dalam periode perpanjangan Jam Operasional. 2) apabila berdasarkan pertimbangan tertentu Peserta penerima tidak dapat mengirim surat pemberitahuan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada angka 1), surat pemberitahuan harus dikirim pada tanggal diterimanya informasi transfer di Peserta penerima atau paling lambat hari kerja berikutnya. Penyampaian surat pemberitahuan pada hari diterimanya … 9 diterimanya informasi transfer di kantor Peserta penerima atau paling lambat hari kerja berikutnya berlaku jika kantor Peserta penerima berada di wilayah dengan sarana komunikasi dan transportasi yang tidak mendukung. 3. Dalam hal Peserta pengirim telah melakukan instruksi transfer sesuai dengan instruksi transfer dari nasabah pengirim namun Peserta penerima melakukan pengkreditan dana kepada nasabah penerima dana yang berbeda dari nasabah penerima dana yang tercantum dalam confirmation advice, Peserta penerima harus menyampaikan dana kepada nasabah penerima dana yang berhak pada tanggal yang sama dengan tanggal diketahuinya kesalahan tanpa menunggu pengembalian dana dari nasabah. Yang dimaksud dengan tanggal diketahuinya kesalahan adalah: a. apabila kesalahan diketahui oleh Peserta penerima, yaitu tanggal yang sama dengan tanggal diketemukannya kesalahan tersebut. b. apabila kesalahan diberitahukan oleh Peserta pengirim, yaitu tanggal pada saat Peserta penerima selesai melakukan verifikasi dan rekonsiliasi dokumen terkait dengan tranfer dana tersebut. 4. Dalam hal terjadi kondisi sebagaimana dimaksud pada angka 3, Peserta penerima harus membayar bunga kepada nasabah penerima yang berhak sesuai dengan tingkat bunga yang berlaku untuk jenis rekening nasabah penerima tersebut, terhitung sejak tanggal seharusnya rekening nasabah penerima yang berhak dikredit sesuai dengan ketentuan pada angka 2, sampai tanggal pelaksanaan pengkreditan pada rekening nasabah penerima yang berhak. 5. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka 3 dan 4 hanya berlaku untuk transfer yang ditujukan kepada nasabah penerima yang memiliki rekening pada Peserta penerima. F. Pengumuman Biaya Transfer dan Jam Pelayanan Nasabah Untuk Transfer Melalui Sistem BI-RTGS Peserta harus mengumumkan secara tertulis di setiap kantor Peserta tentang informasi besarnya biaya transfer dan jam pelayanan nasabah untuk transfer melalui … 10 melalui Sistem BI-RTGS yang ditetapkan Peserta. Informasi berupa pengumuman besarnya biaya transfer dan jam pelayanan nasabah untuk transfer melalui Sistem BI-RTGS tersebut diletakkan di setiap kantor Peserta pada tempat yang mudah terlihat oleh nasabah. Dalam menetapkan jam pelayanan nasabah untuk transfer melalui Sistem BI- RTGS, Peserta harus mengacu pada batas waktu penyelesaian transfer atas nama nasabah yang ditetapkan oleh Penyelenggara dan mempertimbangkan waktu yang diperlukan Peserta untuk menyelesaikan proses penerusan instruksi transfer dari nasabah. G. Tata Cara Penghitungan Bunga dan Kompensasi Tata cara penghitungan bunga dan kompensasi diatur sebagaimana dimaksud pada Lampiran Surat Edaran ini. H. Lain-Lain 1. Kewajiban Peserta untuk melakukan pembayaran bunga dan kompensasi dalam Surat Edaran ini tidak berlaku bagi Bank Indonesia sebagai Peserta. 2. Untuk bank syariah dan unit usaha syariah, ketentuan pengenaan bunga dan kompensasi dalam Surat Edaran ini disesuaikan dengan prinsip syariah yang berlaku. I. Penutup Ketentuan dalam Surat Edaran ini mulai berlaku pada tanggal 31 Maret 2008. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA, DYAH N.K. MAKHIJANI DIREKTUR AKUNTING DAN SISTEM PEMBAYARAN "," SE-BI 10/10/DASP|SE-BI/2008 Pelaksanaan Transaksi Melalui Sistem Bank Indonesia Real Time Gross Settlement (Sistem BI-RTGS) dalam rangka Perlindungan kepada Nasabah Peserta Sistem BI-RTGS 5 Maret 2008 31 Maret 2008 '10/6/PBI/2008' " " No. 9/32/DPNP Jakarta, 12 Desember 2007 SURAT EDARAN Kepada SEMUA BANK UMUM DI INDONESIA Perihal : Kepemilikan Tunggal pada Perbankan Indonesia Sehubungan dengan telah dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/16/PBI/2006 tanggal 5 Oktober 2006 tentang Kepemilikan Tunggal Pada Perbankan Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4642) perlu diatur ketentuan pelaksanaan dalam suatu Surat Edaran Bank Indonesia sebagai berikut: I. UMUM A. Dalam rangka melaksanakan program konsolidasi perbankan, Bank Indonesia antara lain melakukan penataan kembali struktur kepemilikan pada perbankan Indonesia melalui penerapan kebijakan kepemilikan tunggal sebagaimana tercantum dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/16/PBI/2006 tentang Kepemilikan Tunggal Pada Perbankan Indonesia (selanjutnya disebut PBI). B. Penyesuaian struktur kepemilikan dimaksud dapat dilakukan melalui beberapa cara yang telah ditentukan sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (1) PBI, sebagai berikut: 1. mengalihkan … 1. mengalihkan sebagian atau seluruh kepemilikan sahamnya pada salah satu atau lebih Bank yang dikendalikannya kepada pihak lain sehingga yang bersangkutan hanya menjadi Pemegang Saham Pengendali (selanjutnya disebut PSP) pada 1 (satu) Bank; 2. melakukan merger atau konsolidasi atas Bank-Bank yang dikendalikannya; atau 3. membentuk Perusahaan Induk di Bidang Perbankan atau Bank Holding Company (BHC). C. Dalam rangka pemenuhan kewajiban penyesuaian struktur kepemilikan Bank dimaksud perlu diatur lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan penyesuaian struktur kepemilikan dalam suatu Surat Edaran. II. PENGALIHAN SAHAM KEPADA PIHAK LAIN A. Dalam hal PSP yang memiliki 2 (dua) Bank atau lebih tidak bermaksud untuk melaksanakan merger atau konsolidasi, atau membentuk BHC bagi Bank-Bank di bawah pengendaliannya, maka PSP dapat mengalihkan sebagian atau seluruh kepemilikan sahamnya pada salah satu atau lebih Bank yang dikendalikannya kepada pihak lain sehingga yang bersangkutan hanya menjadi PSP pada 1 (satu) Bank. B. Adapun yang dimaksud dengan pihak lain adalah pihak di luar kelompok usaha dan/atau keluarga sampai dengan derajat kedua dari PSP. C. Pengalihan sebagian atau seluruh saham PSP kepada pihak lain dimaksud dilakukan sesuai dengan ketentuan yang mengatur tentang Persyaratan dan Tata Cara Merger, Konsolidasi, dan Akuisisi Bank Umum atau ketentuan tentang Persyaratan dan Tata Cara Pembelian Saham Bank Umum. III. MERGER … III. MERGER ATAU KONSOLIDASI A. Salah satu cara yang dapat dipilih oleh PSP untuk melakukan penyesuaian struktur kepemilikan Bank adalah dengan melakukan merger atau konsolidasi atas Bank-Bank yang dikendalikannya. B. Selain itu, Pasal 3 ayat (2) PBI juga telah menetapkan bahwa apabila setelah PBI dimaksud berlaku, pihak-pihak yang telah terkena kewajiban untuk melakukan penyesuaian struktur kepemilikan karena telah menjadi PSP pada lebih dari 1 (satu) Bank melakukan pembelian saham Bank lain atau menerima pengalihan saham Bank lain sehingga mengakibatkan yang bersangkutan memenuhi kriteria sebagai PSP Bank yang dibeli atau diterima pengalihannya, maka yang bersangkutan wajib melakukan merger atau konsolidasi atas Bank dimaksud dengan Bank yang telah dimiliki sebelumnya. Termasuk dalam pengertian ini adalah apabila seseorang atau badan hukum yang sebelumnya bukan merupakan PSP namun karena satu dan lain hal memenuhi kriteria sebagai PSP, maka yang bersangkutan wajib melakukan merger atau konsolidasi atas Bank-Bank yang berada di bawah pengendaliannya. C. Dalam hal Bank akan melakukan merger atau konsolidasi, dimana untuk melancarkan proses merger atau konsolidasi dimaksud perlu didahului dengan akuisisi terhadap Bank yang akan dimerger atau dikonsolidasi maka Bank Indonesia hanya dapat memberikan persetujuan apabila Bank yang diakuisisi tersebut langsung dimerger atau dikonsolidasi dengan Bank yang telah dikendalikan oleh PSP. Dengan demikian, proses merger atau konsolidasi yang didahului dengan akuisisi tersebut merupakan satu kesatuan proses tanpa jeda, yang dalam hal ini tercermin dalam rencana pelaksanaan proses dimaksud (action plan). D. Dalam … D. Dalam rangka memperlancar proses merger atau konsolidasi dimaksud Bank Indonesia dapat tidak melakukan penilaian kemampuan dan kepatutan (fit and proper test) terhadap PSP dan/atau pengurus Bank- Bank yang melakukan proses tersebut di atas, apabila yang bersangkutan telah memenuhi syarat penilaian kemampuan dan kepatutan (fit and proper test). IV. PERUSAHAAN INDUK DI BIDANG PERBANKAN A. Sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c PBI, alternatif lain untuk melakukan penyesuaian struktur kepemilikan Bank adalah dengan membentuk Perusahaan Induk di Bidang Perbankan atau Bank Holding Company (BHC), yang pembentukannya dapat dilakukan dengan cara: 1. mendirikan badan hukum baru bukan bank yang akan bertindak sebagai BHC; atau 2. menunjuk salah satu Bank yang dikendalikannya sebagai BHC. B. BHC wajib memberikan arah strategis dan mengkonsolidasikan laporan keuangan dari Bank-Bank yang menjadi anak perusahaannya. Dengan demikian, maka BHC mempunyai tugas untuk: 1. menetapkan program kerja strategis BHC; 2. memberikan arah strategis untuk jangka waktu paling sedikit 3 (tiga) tahun ke depan, dan mengkonsolidasikan program kerja Bank-Bank yang menjadi anak perusahaan; 3. menyetujui program kerja strategis Bank-Bank yang menjadi anak perusahaan. Jangka waktu program kerja strategis tersebut paling sedikit 3 (tiga) tahun ke depan; 4. mengawasi pelaksanaan program kerja strategis; dan 5. mengkonsolidasikan … 5. mengkonsolidasikan laporan keuangan anak perusahaan dengan laporan keuangan BHC serta membuat laporan konsolidasi lainnya sesuai Peraturan Bank Indonesia. C. Pembentukan BHC Bukan Bank 1. Perusahaan yang akan bertindak sebagai BHC harus berbentuk hukum Perseroan Terbatas yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia, sehingga tata cara pendiriannya mengikuti ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas. 2. Jumlah modal disetor perusahaan tersebut paling kurang sebesar jumlah seluruh nilai nominal saham yang ditanamkan PSP pada Bank. Dalam hal pada saat pembentukan BHC jumlah modal disetornya lebih kecil daripada jumlah seluruh nilai nominal saham yang ditanamkan PSP pada Bank yang diwajibkan untuk dilakukan penyesuaian struktur kepemilikannya, maka penambahan modal disetor oleh PSP dapat dilakukan melalui pengalihan saham PSP di Bank-Bank dimaksud kepada BHC. Adapun kepemilikan saham Bank oleh BHC tersebut paling tinggi sebesar modal sendiri bersih BHC. Yang dimaksud dengan modal sendiri bersih adalah penjumlahan dari modal disetor, cadangan dan laba, dikurangi penyertaan dan kerugian. 3. Prosedur pembentukan BHC dilakukan sebagai berikut: a. PSP Bank, melalui pengurus Bank, melaporkan rencana pembentukan BHC beserta rencana pengalihan saham Bank kepada BHC dalam Rencana Bisnis masing-masing Bank pada Sub Bab Kebijakan dan Strategi Manajemen. b. Rencana pembentukan BHC tersebut di atas disampaikan kepada Bank Indonesia c.q. Direktorat Perizinan dan Informasi … Informasi Perbankan dengan dilampiri dokumen pendukung yang terdiri dari: 1) 2) 3) 4) rancangan anggaran dasar BHC; rancangan akta pengalihan saham Bank kepada BHC; rencana susunan kepengurusan dan struktur organisasi BHC; 5) daftar calon pengurus BHC, disertai dengan: a) 1 (satu) buah pas foto 1 (satu) bulan terakhir ukuran 4 x 6 cm; b) fotocopy tanda pengenal yang masih berlaku berupa Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau paspor; riwayat hidup; c) d) surat pernyataan pribadi yang menyatakan tidak pernah melakukan tindakan tercela di bidang perbankan, keuangan, dan usaha lainnya, tidak pernah dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana kejahatan, dan tidak sedang dalam masa pengenaan sanksi untuk dilarang menjadi PSP, pemegang saham dan/atau pengurus pada bank dan/atau Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana diatur dalam ketentuan penilaian kemampuan dan kepatutan (fit and proper test) yang ditetapkan oleh Bank Indonesia; dan e) surat pernyataan pribadi yang menyatakan bahwa yang bersangkutan tidak pernah dinyatakan pailit dan … risalah Rapat Umum Pemegang Saham masing-masing Bank; 6) dan tidak pernah menjadi pemegang saham, anggota Direksi atau Komisaris yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perseroan dinyatakan pailit berdasarkan ketetapan pengadilan dalam waktu 5 (lima) tahun sebelum tanggal pengajuan permohonan. rancangan corporate plan BHC; 7) Daftar Isian Fit and Proper. c. Laporan rencana pembentukan BHC dimaksud disampaikan kepada Bank Indonesia paling lambat 60 (enam puluh) hari kerja sebelum pembentukan BHC. d. Bank Indonesia melakukan penilaian kemampuan dan kepatutan (fit and proper test) terhadap calon pengurus BHC dengan berpedoman kepada persyaratan dan tata cara tentang penilaian kemampuan dan kepatutan (fit and proper test). e. Bank Indonesia akan memberikan: 1) penegasan atas rencana pembentukan BHC; 2) persetujuan atau penolakan atas rencana pengalihan saham Bank kepada BHC; dan 3) persetujuan atau penolakan terhadap calon pengurus BHC; paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja setelah seluruh dokumen yang dipersyaratkan dan informasi yang diperlukan diterima secara lengkap dan benar. f. Proses pembentukan BHC wajib dilakukan paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah diterimanya penegasan pembentukan BHC sebagaimana dimaksud pada huruf e) di atas. 4. Pengalihan … 4. Pengalihan kepemilikan saham PSP pada Bank-Bank yang wajib dilakukan penyesuaian struktur kepemilikannya kepada BHC wajib dilakukan paling lambat 60 (enam puluh) hari kerja setelah pembentukan BHC. 5. Perubahan komposisi kepemilikan saham BHC yang tidak mengakibatkan perubahan pengendalian atas BHC, wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah pelaksanaan, disertai dengan: a. risalah Rapat Umum Pemegang Saham; b. data kepemilikan Bank setelah perubahan komposisi saham; c. apabila perubahan komposisi kepemilikan saham disebabkan karena adanya penambahan modal disetor, maka disertai dengan: 1) bukti penyetoran; dan 2) surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada butir IV.C.3.b.5)d) dan butir IV.C.3.b.5)e). 6. Perubahan komposisi kepemilikan saham BHC yang mengakibatkan beralihnya pengendalian atas BHC kepada pihak lain, wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sebelum pelaksanaan perubahan komposisi dilakukan. Dalam hal ini Bank wajib mengajukan calon PSP dan Bank Indonesia akan melakukan penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana diatur dalam ketentuan mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan (fit and proper test). 7. Perubahan Pengurus BHC Bukan Bank a. Calon pengurus BHC Bukan Bank wajib memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia sebelum diangkat dan menduduki jabatannya. b. Permohonan … b. Permohonan untuk memperoleh persetujuan sebagaimana dimaksud pada huruf a. diajukan kepada Bank Indonesia c.q. Direktorat Perizinan dan Informasi Perbankan, disertai dengan dokumen sebagaimana dimaksud pada butir IV.C.3.b.5). c. Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud pada huruf b., Bank Indonesia melakukan penilaian kemampuan dan kepatutan (fit and proper test). Penilaian kemampuan dan kepatutan dilakukan untuk menilai bahwa calon pengurus memenuhi persyaratan: 1) Integritas, yang antara lain meliputi: a) memiliki akhlak dan moral yang baik; b) memiliki komitmen untuk mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku; c) memiliki komitmen yang tinggi terhadap pengembangan operasional Bank yang sehat; dan d) tidak termasuk dalam DTL. 2) Kompetensi, yang antara lain meliputi: a) pengetahuan dan/atau pengalaman di bidang perbankan, keuangan, atau hukum yang memadai; dan b) kemampuan untuk melakukan perencanaan strategis dalam rangka pengembangan bank yang sehat. 3) Reputasi keuangan, yang antara lain meliputi: a) tidak mempunyai kredit macet; dan b) tidak … b) tidak pernah dinyatakan pailit atau menjadi pengurus perusahaan yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perusahaan dinyatakan pailit, dalam waktu 5 (lima) tahun sebelum dicalonkan. d. Persetujuan atau penolakan atas pengajuan calon pengurus diberikan paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja setelah seluruh dokumen yang dipersyaratkan dan informasi yang diperlukan diterima secara lengkap dan benar. e. Pengangkatan pengurus BHC Bukan Bank wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah tanggal pengangkatan efektif, disertai dengan risalah rapat umum pemegang saham. D. Penunjukan Bank menjadi BHC 1. Pembentukan BHC dapat dilakukan dengan menunjuk salah satu Bank yang dikendalikan oleh PSP menjadi BHC. BHC yang berbentuk Bank akan menjadi perusahaan induk dan tetap melakukan kegiatan operasional bank. 2. Jumlah modal disetor Bank yang ditunjuk sebagai BHC paling kurang sebesar jumlah seluruh nilai nominal saham seluruh Bank yang dikendalikannya. Dalam hal pada saat pembentukannya jumlah modal disetor BHC lebih kecil daripada jumlah seluruh nilai nominal saham yang ditanamkan PSP pada Bank yang diwajibkan untuk dilakukan penyesuaian struktur kepemilikannya maka penambahan modal disetor oleh PSP kepada BHC dapat dilakukan melalui pengalihan saham PSP di Bank-Bank dimaksud kepada BHC. Adapun kepemilikan Bank oleh BHC tersebut paling tinggi sebesar modal sendiri bersih BHC. Yang … Yang dimaksud dengan modal sendiri bersih adalah penjumlahan dari modal disetor, cadangan dan laba, dikurangi penyertaan dan kerugian. 3. Prosedur dan tata cara penunjukan Bank menjadi BHC: a. Rencana penunjukan salah satu Bank yang dikendalikan oleh PSP untuk menjadi BHC dan rencana pengalihan saham dalam rangka pembentukan BHC dilaporkan dalam Rencana Bisnis masing-masing Bank pada Sub Bab Kebijakan dan Strategi Manajemen. b. Bank yang akan menjadi BHC maupun Bank yang menjadi anak perusahaan BHC wajib melaporkan rencana penunjukan dan pengalihan saham Bank kepada BHC dengan melampirkan dokumen pendukung yang terdiri dari: 1) 2) 3) rancangan perubahan anggaran dasar BHC; dan rancangan akta pengalihan saham Bank kepada Bank yang ditunjuk sebagai BHC. c. Bank Indonesia akan memberikan penegasan atas rencana penunjukan BHC dan memberikan persetujuan atau penolakan atas rencana pengalihan saham Bank kepada BHC paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja setelah seluruh dokumen yang dipersyaratkan dan informasi yang diperlukan diterima secara lengkap. d. Pengalihan kepemilikan saham PSP pada Bank-Bank yang wajib dilakukan penyesuaian struktur kepemilikannya kepada BHC wajib dilakukan paling lambat 60 (enam puluh) hari kerja setelah pembentukan BHC. E. Penyertaan … risalah Rapat Umum Pemegang Saham masing-masing Bank; E. Penyertaan saham PSP kepada BHC dapat dilakukan dengan cara inbreng saham Bank yang dimiliki oleh PSP kepada BHC. Dengan demikian, setelah inbreng saham maka pihak yang menjadi pemegang saham Bank secara langsung adalah BHC. V. PELAPORAN A. Dalam Pasal 8 PBI diatur bahwa Bank-Bank dengan PSP yang sama wajib menyusun rencana penyesuaian struktur kepemilikan dan menyampaikan kepada Bank Indonesia paling lambat akhir Desember 2007. Dalam hal ini, PSP wajib menetapkan rencana penyesuaian struktur kepemilikan Bank yang akan dipilih dari 3 (tiga) alternatif sebagaimana diatur dalam PBI. Rencana penyesuaian struktur kepemilikan yang memuat sekurang-kurangnya cara penyesuaian yang dipilih, rencana tindak, dan jadwal waktu pelaksanaan tersebut disampaikan melalui Bank dan diketahui oleh pengurus Bank kepada Bank Indonesia c.q. Direktorat Pengawasan Bank terkait. B. Rencana penyesuaian struktur kepemilikan tersebut wajib dilakukan secara berkelanjutan dan mulai dimuat dalam Rencana Bisnis Bank tahun 2008 dan dilaporkan perkembangan pelaksanaannya kepada Bank Indonesia setiap triwulan dalam laporan Realisasi Rencana Bisnis Bank. Dalam laporan tersebut dapat dimuat hal-hal yang menjadi kendala dalam pelaksanaan penyesuaian struktur kepemilikan dan rencana tindak untuk mengatasi kendala dimaksud, termasuk jangka waktu target penyelesaiannya. C. BHC wajib melaporkan kepada Bank Indonesia: 1. program kerja strategis BHC, yang disampaikan sekali dalam setahun pada posisi akhir Desember yang disampaikan paling lambat pada akhir Februari; 2. laporan … 2. laporan pengawasan BHC kepada bank, yang disampaikan setiap semester, masing-masing untuk posisi bulan Juni dan Desember. Untuk posisi Juni disampaikan paling lambat pada akhir Agustus sedangkan untuk posisi Desember disampaikan paling lambat pada akhir Maret; dan 3. laporan lainnya sesuai Peraturan Bank Indonesia, antara lain tentang transparansi kondisi keuangan bank dan ketentuan tentang penerapan manajemen risiko secara konsolidasi bagi bank yang melakukan pengendalian terhadap perusahaan anak. VI. PENUTUP Ketentuan dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal 12 Desember 2007 Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA, HALIM ALAMSYAH DIREKTUR DIREKTORAT PENELITIAN DAN PENGATURAN PERBANKAN "," SE-BI 9/32/DPNP|SE-BI/2007 Kepemilikan Tunggal pada Perbankan Indonesia 12 Desember 2007 12 Desember 2007 '8/16/PBI/2006' " " No. 7/5/DPbS Jakarta, 8 Februari 2005 SURAT EDARAN Kepada SEMUA BANK UMUM YANG MELAKSANAKAN KEGIATAN USAHA BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH DI INDONESIA Perihal : Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah Dengan telah dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/24/PBI/2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 122, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4434) tanggal 14 Oktober 2004 tentang Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah, perlu ditetapkan ketentuan pelaksanaan mengenai Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah (selanjutnya disebut Bank) dalam Surat Edaran yang mencakup hal-hal sebagai berikut. I. UMUM 1. Pengajuan permohonan izin atau rencana dan atau penyampaian laporan sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia tersebut wajib menggunakan format sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran Surat Edaran ini. 2. Dalam… 2. Dalam hal format permohonan izin atau rencana dan atau laporan pelaksanaan tidak diatur secara khusus dalam Surat Edaran ini maka pembuatan format tersebut diserahkan kepada masing-masing Bank. 3. Laporan hasil pengawasan Dewan Pengawas Syariah kepada Direksi, Komisaris, Dewan Syariah Nasional dan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/24/PBI/2004 untuk periode Juni dan Desember wajib disampaikan kepada Bank Indonesia masing-masing selambat-lambatnya 2 (dua) bulan sejak berakhirnya periode laporan. II. PERMOHONAN IZIN, RENCANA, DAN PENYAMPAIAN LAPORAN 1. Pengajuan permohonan izin kepada Gubernur Bank Indonesia meliputi : a. Permohonan Persetujuan Prinsip Pendirian Bank, sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 1; b. Permohonan Izin Lampiran 2; Usaha Bank, sebagaimana dimaksud dalam c. Permohonan Persetujuan Pencairan Deposito Mudharabah, sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 3; d. Permohonan Persetujuan Calon Anggota Direksi, Dewan Komisaris dan atau Dewan Pengawas Syariah Bank, sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 7. e. Permohonan Izin Pembukaan Kantor Cabang Bank, sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 11. f. Permohonan Izin Pembukaan Kantor Cabang, Kantor Operasional Lainnya di Luar Negeri sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 17. g. Permohonan Izin Pembukaan Kantor Perwakilan/Jenis-jenis Kantor Yang Tidak Bersifat Operasional di Luar Negeri, sebagaimana dimaksud… dimaksud dalam Lampiran 18. h. Permohonan Izin Pemindahan Alamat Kantor Pusat atau Kantor Cabang Bank, sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 20. i. Permohonan Persetujuan Prinsip Perubahan Bentuk Badan Hukum Bank, sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 28. j. Permohonan Pengalihan Izin Usaha Bank dari Badan Hukum Lama kepada Badan Hukum Baru, sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 29. k. Permohonan Persetujuan Prinsip Penutupan Kantor Cabang, sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 31. l. Permohonan Persetujuan Penutupan Kantor Cabang, sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 32. m. Permohonan Izin Penutupan Kantor Cabang/Kantor Operasional Lainnya di Luar Negeri, sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 38. n. Permohonan Izin Penutupan Kantor Perwakilan/Jenis-jenis Kantor Yang Tidak Bersifat Operasional di Luar Negeri, sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 39. 2. Pengajuan permohonan izin atau rencana dan atau laporan kepada Bank Indonesia meliputi : a. Laporan Pelaksanaan Kegiatan Usaha Bank, sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 4. b. Laporan Perubahan Komposisi Kepemilikan Bank, sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 5. c. Laporan Perubahan Modal Dasar Bank, sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 6. d. Laporan … d. Laporan Pengangkatan Direksi, Dewan Komisaris dan Dewan Pengawas Syariah Bank, sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 8. e. Laporan Hasil Pengawasan Dewan Pengawas Syariah Bank, sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 9. f. Laporan Pengangkatan Pejabat Eksekutif dan atau Pemimpin Kantor Cabang Bank, sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 10. g. Laporan Pelaksanaan Pembukaan Kantor Cabang Bank, sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 12. h. Rencana Pembukaan Kantor dibawah Kantor Cabang, sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 13. i. Laporan Pelaksanaan Pembukaan Kantor dibawah Kantor Cabang, sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 14. j. Rencana Pembukaan Kegiatan Kas di Luar Kantor Bank, sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 15. k. Laporan Pelaksanaan Kegiatan Kas di Luar Kantor Bank, sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 16. l. Laporan Pelaksanaan Pembukaan Kantor Cabang/Kantor Operasional Lainnya/Kantor Perwakilan/Kantor Non Operasional, sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 19. m. Laporan Pelaksanaan Pemindahan Alamat Kantor Pusat/Kantor Cabang Bank, sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 21. n. Rencana Pemindahan Alamat Kantor dibawah Kantor Cabang/Kegiatan Kas di Luar Kantor Bank, sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 22. o. Laporan Pelaksanaan Pemindahan Alamat Kantor dibawah Kantor Cabang/Kegiatan Kas di Luar Kantor Bank, sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 23. p. Rencana … p. Rencana Pemindahan Alamat Kantor Cabang/Kantor Perwakilan/Jenis-jenis Kantor Lainnya di Luar Negeri, sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 24. q. Laporan Pelaksanaan Pemindahan Alamat Kantor Cabang/Kantor Perwakilan/Jenis-jenis Kantor Lainnya di Luar Negeri, sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 25. r. Permohonan Perubahan Nama Bank, sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 26. s. Laporan Pelaksanaan Perubahan Nama Bank, sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 27. t. Laporan Pelaksanaan Pengalihan Izin Usaha Bank dari Badan Hukum Lama ke Badan Hukum Baru, sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 30. u. Laporan Pelaksanaan Penutupan Kantor Cabang Bank, sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 33. v. Rencana Penutupan Kantor dibawah Kantor Cabang, sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 34. w. Laporan Pelaksanaan Penutupan Kantor dibawah Kantor Cabang, sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 35. x. Rencana Penghentian Kegiatan Kas di Luar Kantor Bank, sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 36. y. Laporan Pelaksanaan Penghentian Kegiatan Kas di Luar Kantor Bank, sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 37. z. Laporan Pelaksanaan Penutupan Kantor Cabang/Kantor Operasional Lainnya di Luar Negeri, sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 40. aa. Laporan Pelaksanaan Penutupan Kantor Cabang/Kantor Yang Tidak Bersifat Operasional Lainnya di Luar Negeri, sebagaimana dimaksud dalam… dalam lampiran 41. 3. Lampiran-lampiran sebagaimana dimaksud dalam angka 1 dan angka 2, merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Surat Edaran ini. 4. Perhitungan hari dalam hal penyampaian permohonan izin atau rencana dan atau laporan sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia tersebut didasarkan pada hari kalender. 5. Perhitungan jangka waktu pengajuan permohonan izin atau rencana dan atau penyampaian laporan oleh Bank kepada Gubernur Bank Indonesia dan atau Bank Indonesia dihitung sejak dokumen-dokumen tersebut diterima secara lengkap oleh Bank Indonesia. III. ALAMAT PENYAMPAIAN PERMOHONAN IZIN ATAU RENCANA DAN ATAU LAPORAN 1. Penyampaian permohonan izin yang diajukan kepada Gubernur Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam angka II, dialamatkan ke Direktorat Perbankan Syariah, ke Jl. M.H. Thamrin No.2 Jakarta 10110. 2. Penyampaian permohonan izin, atau rencana dan atau laporan yang diajukan kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam angka II, dialamatkan ke : - Direktorat Perbankan Syariah, ke Jl. M.H. Thamrin No.2 Jakarta 10110, bagi Bank yang berlokasi di wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia. - Kantor Bank Indonesia setempat, bagi Bank yang berlokasi di wilayah kerja Kantor Bank Indonesia setempat. IV. PENUTUP… IV. PENUTUP Ketentuan dalam Surat Edaran ini berlaku sejak tanggal 8 Februari 2005. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA, HARISMAN DIREKTUR PERBANKAN SYARIAH "," SE-BI 7/5/DPbS|SE-BI/2005 Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah 8 Februari 2005 8 Februari 2005 '6/24/PBI/2004' " " No. 17/43/DPM Jakarta, 16 November 2015 S U R A T E D A R A N Kepada SEMUA BANK UMUM SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH DI INDONESIA Perihal : Tata Cara Transaksi Fasilitas Simpanan Bank Indonesia Syariah dalam Rupiah Sehubungan dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/12/PBI/2014 tentang Operasi Moneter Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 178, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5567), dan dalam rangka upaya penguatan infrastruktur transaksi Operasi Moneter Syariah, perlu diatur kembali ketentuan pelaksanaan mengenai tata cara transaksi Fasilitas Simpanan Bank Indonesia Syariah dalam Rupiah dalam Surat Edaran Bank Indonesia sebagai berikut: I. KETENTUAN UMUM Dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah. 2. Bank Umum Syariah yang selanjutnya disingkat BUS adalah Bank Umum Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah. 3. Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disingkat UUS adalah Unit Usaha Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah. 4. Operasi Moneter Syariah yang selanjutnya disingkat OMS adalah pelaksanaan kebijakan moneter oleh Bank Indonesia dalam rangka pengendalian moneter melalui kegiatan operasi pasar terbuka … 2 terbuka dan penyediaan standing facilities berdasarkan prinsip syariah. 5. Standing Facilities Syariah adalah fasilitas yang disediakan oleh Bank Indonesia kepada Bank dalam rangka OMS. 6. Fasilitas Simpanan Bank Indonesia Syariah Dalam Rupiah yang selanjutnya disebut FASBIS adalah fasilitas simpanan yang disediakan oleh Bank Indonesia kepada Bank untuk menempatkan dana di Bank Indonesia dalam rangka Standing Facilities Syariah. 7. Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement yang selanjutnya disebut Sistem BI-RTGS adalah infrastruktur yang digunakan sebagai sarana transfer dana elektronik yang setelmennya dilakukan seketika per transaksi secara individual sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan transaksi, penatausahaan surat berharga, dan setelmen dana seketika. 8. Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System yang selanjutnya disingkat BI-SSSS adalah infrastruktur yang digunakan sebagai sarana penatausahaan transaksi dengan Bank Indonesia dan transaksi pasar keuangan, serta penatausahaan surat berharga, yang dilakukan secara elektronik sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan transaksi, penatausahaan surat berharga, dan setelmen dana seketika. 9. Sistem Bank Indonesia-Electronic Trading Platform yang selanjutnya disebut Sistem BI-ETP adalah infrastruktur yang digunakan sebagai sarana transaksi dengan Bank Indonesia dan transaksi pasar keuangan yang dilakukan secara elektronik sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan transaksi, penatausahaan surat berharga, dan setelmen dana seketika. 10. Rekening Giro adalah rekening giro milik Bank di Bank Indonesia. 11. Rekening … 3 11. Rekening Surat Berharga adalah rekening Bank pada BI-SSSS dalam mata uang Rupiah dan/atau valuta asing yang ditatausahakan di Bank Indonesia dalam rangka pencatatan kepemilikan dan setelmen atas transaksi surat berharga, transaksi dengan Bank Indonesia dan/atau transaksi pasar keuangan. II. KARAKTERISTIK FASBIS 1. FASBIS merupakan instrumen yang digunakan Bank Indonesia untuk absorbsi likuiditas perbankan syariah dalam rangka OMS. 2. FASBIS menggunakan akad wadiah (titipan). 3. FASBIS disediakan Bank Indonesia pada setiap hari kerja Bank Indonesia, termasuk pada hari kerja terbatas Bank Indonesia. 4. FASBIS dilakukan dengan mekanisme nonlelang. 5. Pengajuan transaksi FASBIS dilakukan melalui Sistem BI-ETP. 6. FASBIS tidak dapat diperdagangkan, tidak dapat diagunkan, dan tidak dapat dicairkan sebelum jatuh waktu. 7. Jangka waktu FASBIS paling lama 14 (empat belas) hari kalender dihitung dari tanggal penyelesaian transaksi sampai dengan tanggal jatuh waktu. 8. Jumlah hari dalam perhitungan imbalan FASBIS dihitung berdasarkan hari kalender. 9. Window time transaksi FASBIS ditetapkan dari pukul 16.00 WIB sampai dengan pukul 17.30 WIB atau waktu lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. 10. Bank Indonesia mengumumkan transaksi FASBIS melalui Sistem BI-ETP dan/atau sarana lainnya yang ditetapkan oleh Bank Indonesia sebelum window time FASBIS. 11. Bank Indonesia dapat memberikan imbalan atas penempatan dana Bank pada FASBIS. 12. Dalam hal Bank Indonesia memberikan imbalan FASBIS sebagaimana dimaksud dalam angka 11 maka pemberian imbalan dilaksanakan pada saat FASBIS jatuh waktu dengan perhitungan sebagai berikut: Imbalan … 4 13. Dalam hal terdapat perubahan window time dan tingkat imbalan FASBIS, pengumuman dilakukan sebelum window time FASBIS. 14. Bank Indonesia dapat menutup window time FASBIS dan mengumumkan penutupan tersebut melalui Sistem BI-ETP dan/atau sarana lainnya yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, paling lambat 1 (satu) hari kerja sebelum penutupan window time tersebut (T-1). 15. Peserta transaksi FASBIS adalah Bank. 16. Persyaratan Bank yang dapat mengajukan transaksi FASBIS sebagai berikut: a. berstatus aktif sebagai peserta Sistem BI-ETP, BI-SSSS, dan Sistem BI-RTGS; b. tidak sedang dikenakan sanksi penghentian sementara untuk mengikuti kegiatan OMS; c. harus memiliki Rekening Giro di Bank Indonesia; dan d. harus memiliki Rekening Surat Berharga pada BI-SSSS. 17. Bank bertanggung jawab atas kebenaran data penawaran transaksi FASBIS yang disampaikan kepada Bank Indonesia. 18. Bank hanya dapat mengajukan penawaran transaksi FASBIS untuk kepentingan diri sendiri. 19. Bank dilarang membatalkan pengajuan FASBIS yang telah disampaikan kepada Bank Indonesia. 20. Bank wajib menyediakan dana di Rekening Giro Rupiah yang mencukupi untuk memenuhi kewajiban setelmen FASBIS. 21. Dalam hal setelah terjadinya FASBIS, tanggal jatuh waktu FASBIS ditetapkan sebagai hari libur oleh pemerintah, pelaksanaan setelmen FASBIS dilakukan pada hari kerja berikutnya tanpa memperhitungkan tambahan tingkat imbalan FASBIS atas tambahan jangka waktu FASBIS. 22. Bank Indonesia menatausahakan FASBIS di BI-SSSS. III. TATA … 5 III. TATA CARA PENGAJUAN PENAWARAN TRANSAKSI FASBIS 1. Bank Indonesia mengumumkan rencana transaksi FASBIS melalui Sistem BI-ETP dan/atau sarana lainnya yang ditetapkan oleh Bank Indonesia sebelum window time FASBIS. 2. Pengumuman rencana transaksi FASBIS mencakup antara lain: a. sarana transaksi; b. jangka waktu; c. window time; d. e. tingkat imbalan; dan/atau tanggal dan waktu setelmen. 3. Bank mengajukan transaksi FASBIS melalui Sistem BI-ETP dalam window time yang ditetapkan dengan mencantumkan penawaran nilai nominal FASBIS kepada Bank Indonesia. 4. Pengajuan penawaran nilai nominal transaksi FASBIS dari setiap peserta transaksi FASBIS paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan selebihnya dengan kelipatan Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). 5. Setelah window time ditutup, Bank Indonesia mengumumkan penawaran transaksi FASBIS dengan cara sebagai berikut: a. secara individual kepada Bank melalui Sistem BI-ETP, antara lain berupa nilai transaksi yang diterima dan tingkat imbalan; dan b. secara keseluruhan melalui Sistem BI-ETP, antara lain berupa nilai nominal yang diterima dan tingkat imbalan. IV. SETELMEN TRANSAKSI DAN PELUNASAN FASBIS 1. Bank Indonesia melakukan setelmen FASBIS pada tanggal transaksi (same day settlement) pada awal periode pre cut-off Sistem BI-RTGS. 2. Pada saat FASBIS jatuh waktu, setelmen FASBIS dilakukan pada tanggal jatuh waktu sejak Sistem BI-RTGS dibuka sampai dengan sebelum periode cut-off warning Sistem BI-RTGS. 3. Setelmen … 6 3. Setelmen FASBIS dilakukan melalui Sistem BI-RTGS dengan mekanisme transaksi per transaksi (gross to gross) dengan mendebet Rekening Giro Rupiah Bank yang bersangkutan sebesar nilai nominal transaksi setiap penawaran FASBIS. 4. Dalam hal Bank tidak memiliki dana di Rekening Giro Rupiah yang mencukupi untuk memenuhi seluruh kewajiban setelmen FASBIS sehingga mengakibatkan kegagalan setelmen, BI-SSSS secara otomatis membatalkan transaksi FASBIS. 5. Terkait dengan perhitungan jumlah batalnya transaksi FASBIS dalam rangka pengenaan sanksi penghentian sementara mengikuti kegiatan OMS, dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) kali kegagalan setelmen FASBIS dalam 1 (satu) hari maka jumlah batalnya transaksi dihitung sebanyak 1 (satu) kali. 6. Bank Indonesia melakukan pelunasan transaksi FASBIS pada saat transaksi FASBIS jatuh waktu sebesar nilai nominal dengan mengkredit Rekening Giro Rupiah. 7. Dalam hal Bank Indonesia memberikan imbalan FASBIS sebagaimana dimaksud dalam butir II.11 maka Bank Indonesia melakukan pelunasan transaksi FASBIS pada saat transaksi FASBIS jatuh waktu dengan mengkredit Rekening Giro Rupiah sebesar nilai nominal dan tingkat imbalan FASBIS. V. TATA CARA PENGENAAN SANKSI 1. Dalam hal transaksi FASBIS dinyatakan batal sebagaimana dimaksud dalam butir IV.4, Bank dikenakan sanksi berupa: a. b. kewajiban membayar sebesar 0,01% (satu per sepuluh ribu) dari nilai transaksi FASBIS yang dinyatakan batal, paling sedikit sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). teguran tertulis, dengan tembusan kepada Otoritas Jasa Keuangan; dan 2. Dengan … 7 2. Dengan tidak mengurangi sanksi sebagaimana dimaksud dalam angka 1, dalam hal Bank melakukan transaksi OMS yang dinyatakan batal sebanyak 3 (tiga) kali dalam kurun waktu 6 (enam) bulan, Bank dikenakan sanksi berupa penghentian sementara untuk mengikuti kegiatan OMS selama 5 (lima) hari kerja berturut-turut. 3. Penyampaian surat teguran tertulis sebagaimana dimaksud dalam butir 1.a dan pemberitahuan sanksi penghentian sementara untuk mengikuti kegiatan OMS sebagaimana dimaksud dalam angka 2 dilakukan pada 1 (satu) hari kerja setelah terjadinya pembatalan transaksi. 4. Pengenaan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud dalam butir 1.b dilakukan dengan mendebet Rekening Giro Rupiah Bank yang dikenakan sanksi pada 1 (satu) hari kerja setelah terjadinya pembatalan transaksi FASBIS. VI. KETENTUAN PENUTUP Pada saat Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku maka: 1. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/8/DPM tanggal 27 Maret 2009 perihal Tata Cara Transaksi Fasilitas Simpanan Bank Indonesia Syariah dalam Rupiah (FASBIS); dan 2. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 12/23/DPM tanggal 30 Agustus 2010 perihal Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/8/DPM tanggal 27 Maret 2009 perihal Tata Cara Transaksi Fasilitas Simpanan Bank Indonesia Syariah dalam Rupiah (FASBIS), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Surat … 8 Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 16 November 2015. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA, DODDY ZULVERDI KEPALA DEPARTEMEN PENGELOLAAN MONETER "," SE-BI 17/43/DPM|SE-BI/2015 Tata Cara Transaksi Fasilitas Simpanan Bank Indonesia Syariah dalam Rupiah 16 November 2015 16 November 2015 '12/23/DPM|SE-BI/2010', '11/8/DPM|SE-BI/2008' '16/12/PBI/2014' 'Romawi V' " " No. 10/ 3 /UKMI Jakarta, 8 Februari 2008 S U R A T E D A R A N Kepada SEMUA BANK UMUM DI INDONESIA Perihal : Laporan Kantor Pusat Bank Umum Sehubungan dengan ditetapkannya Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/3/PBI/2008 tanggal 4 Februari 2008 tentang Laporan Kantor Pusat Bank Umum (LKPBU) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4810), perlu diatur ketentuan pelaksanaan dalam Surat Edaran yang mencakup hal-hal sebagai berikut : I. UMUM Untuk menciptakan keseragaman dalam penyusunan dan penyampaian LKPBU perlu ditetapkan suatu sistematika penyusunan LKPBU berupa Pedoman Penyusunan LKPBU yang selanjutnya disebut Pedoman sebagaimana tercantum dalam Lampiran 1 dan Petunjuk Teknis Aplikasi LKPBU yang selanjutnya disebut Juknis sebagaimana tercantum dalam Lampiran 2 yang merupakan satu kesatuan dan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran ini. II. BANK PELAPOR Bank Pelapor terdiri dari: 1. Kantor pusat Bank yang berbadan hukum Indonesia, yaitu: a. kantor pusat dari Bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional; b. kantor … 2 b. kantor pusat dari Bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah; 2. Kantor Cabang Bank Asing; dan 3. Unit Usaha Syariah. III. RUANG LINGKUP DATA LKPBU Jenis data yang wajib disampaikan oleh Bank Pelapor kepada Bank Indonesia terdiri dari: A. Kegiatan Kustodian; B. Surat Kredit Berdokumen Dalam Negeri (SKBDN) 1. Transaksi SKBDN; 2. Pembelian Wesel SKBDN; dan 3. Penjualan wesel SKBDN; C. Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu (APMK) dan Instrumen Prabayar. 1. Penerbit APMK, termasuk UUS yang menyelenggarakan APMK; 2. Penerbit Instrumen Prabayar (Stored Value Card); dan/atau 3. Acquirer APMK dan/atau Instrumen Prabayar; dan 4. Fraud APMK dan/atau Instrumen Prabayar; D. Remittance Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Luar Negeri; E. Mutasi Rekening Pemerintah; dan/atau F. Penanganan dan Penyelesaian Pengaduan Nasabah 1. Jenis Produk dan Permasalahan yang Diadukan; 2. Pengaduan yang Diselesaikan Dalam Masa Laporan; 3. Penyebab Pengaduan; 4. Publikasi Negatif; dan 5. Penyelesaian Sengketa. IV. FORMAT … 3 IV. FORMAT DAN JENIS LAPORAN A. Format LKPBU Format LKPBU adalah sesuai dengan: 1. Form 101 (Kegiatan Kustodian); 2. Form 201 (Transaksi SKBDN); 3. Form 202 (Pembelian Wesel SKBDN); 4. Form 203 (Penjualan Wesel SKBDN); 5. Form 301 (Penerbit APMK); 6. Form 302 (Acquirer APMK dan Instrumen Prabayar); 7. Form 303 (Penerbit Instrumen Prabayar); 8. Form 304 (Fraud APMK dan Instrumen Prabayar); 9. Form 401 (Remittance Dari Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Luar Negeri); 10. Form 501 (Mutasi Rekening Pemerintah); 11. Form 601 (Jenis Produk dan Permasalahan yang Diadukan); 12. Form 602 (Pengaduan yang Diselesaikan Dalam Masa Laporan); 13. Form 603 (Penyebab Pengaduan); 14. Form 604 (Publikasi Negatif); dan 15. Form 605 (Penyelesaian Sengketa). sebagaimana dimaksud dalam Pedoman dan Juknis pada Lampiran 1 dan Lampiran 2. B. Jenis Laporan yang disampaikan 1. Jenis Laporan yang wajib disampaikan oleh Kantor Pusat Bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional adalah sebagai berikut: a. Bank yang berstatus Bank devisa meliputi Form 101, Form 201, Form 202, Form 203, Form 301, Form 302, Form 303, Form 304, Form 401, Form 501, Form 601, Form 602, Form 603, Form 604 dan Form 605. b. Bank … 4 b. Bank yang berstatus Bank non devisa meliputi Form 101, Form 201, Form 202, Form 203, Form 301, Form 302, Form 303, Form 304, Form 501, Form 601, Form 602, Form 603, Form 604 dan Form 605. 2. Jenis Laporan yang wajib disampaikan oleh Kantor Pusat Bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah adalah sebagai berikut: a. Bank yang berstatus Bank devisa meliputi Form 101, Form 201, Form 202, Form 203, Form 301, Form 302, Form 303, Form 304, Form 401, Form 501, Form 601, Form 602, Form 603, Form 604 dan Form 605. b. Bank yang berstatus Bank non devisa meliputi Form 101, Form 201, Form 202, Form 203, Form 301, Form 302, Form 303, Form 304, Form 501, Form 601, Form 602, Form 603, Form 604 dan Form 605. 3. Jenis Laporan yang wajib disampaikan oleh Kantor Cabang Bank Asing yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional adalah Form 101, Form 201, Form 202, Form 203, Form 301, Form 302, Form 303, Form 304, Form 401, Form 501, Form 601, Form 602, Form 603, Form 604 dan Form 605. 4. Jenis Laporan yang wajib disampaikan oleh Unit Usaha Syariah adalah Form 301, Form 302, Form 303, dan Form 304. 5. Dalam hal Bank Pelapor tidak memiliki izin untuk melaksanakan kegiatan kustodian atau Bank Pelapor tidak menyelenggarakan Kegiatan APMK, Bank Pelapor tidak mengirimkan Form 101, dan atau Form 301, Form 302, Form 303, dan Form 304. V. PENYAMPAIAN… 5 V. PENYAMPAIAN DAN KOREKSI LKPBU A. Bank Pelapor harus menyampaikan Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan sebagaimana dimaksud pada butir III.A, butir III.B, butir III.C, butir III. D, dan butir III. E secara On-Line setiap bulan. B. Bank Pelapor harus menyampaikan Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan sebagaimana dimaksud pada butir III.F secara On-Line setiap triwulan. C. Bank Pelapor wajib menyampaikan Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan sebagaimana dimaksud pada huruf A paling lambat tanggal 15 pada bulan laporan berikutnya. Dalam hal tanggal 15 jatuh pada hari Sabtu, Minggu atau hari libur maka Laporan atau koreksi Laporan disampaikan pada hari kerja berikutnya. Contoh: Laporan bulan Mei 2008 dilaporkan paling lambat tanggal 15 Juni 2008. Mengingat tanggal 15 Juni 2008 jatuh pada hari Minggu, maka Laporan tersebut paling lambat disampaikan pada hari Senin tanggal 16 Juni 2008. D. Bank Pelapor wajib menyampaikan Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan sebagaimana huruf B paling lambat tanggal 15 bulan April untuk triwulan I, 15 Juli untuk triwulan II, 15 Oktober untuk triwulan III dan 15 Januari untuk triwulan IV. Dalam hal tanggal berakhirnya penyampaian Laporan jatuh pada hari Sabtu, Minggu atau hari libur maka Laporan disampaikan pada Hari Kerja berikutnya. Contoh: Laporan Penanganan dan Penyelesaian Pengaduan Nasabah selama triwulan II tahun 200X dilaporkan paling lambat tanggal 15 Juli 200X. Apabila tanggal 15 Juli 200X jatuh pada hari Sabtu, maka Laporan tersebut paling lambat disampaikan pada hari Senin tanggal 17 Juli 200X. E. Dalam … 6 E. Dalam hal Bank Pelapor menyampaikan Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan sebagaimana dimaksud pada huruf A melampaui tanggal sebagaimana dimaksud pada huruf C, Bank Pelapor dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan. Contoh: Bank dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan data Kustodian untuk Laporan Bulan Maret 2008, apabila data disampaikan setelah tanggal 15 April 2008. F. Dalam hal Bank Pelapor menyampaikan Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan sebagaimana dimaksud pada huruf B melampaui tanggal sebagaimana dimaksud pada huruf D, Bank Pelapor dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan. Contoh: Bank dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan data Jenis Produk dan Permasalahan yang Diadukan untuk Periode Laporan triwulan III tahun 2008, apabila data tersebut disampaikan setelah tanggal 15 Oktober 2008. G. Tata Cara Penyampaian Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan dilakukan sebagai berikut: 1. Sebelum Laporan disampaikan, Bank Pelapor harus melakukan validasi teknis sesuai dengan spesifikasi yang telah ditetapkan dalam Juknis sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 2. 2. Bank Pelapor wajib menyampaikan seluruh form sesuai dengan jenis Laporan sebagaimana dimaksud pada butir IV.B. Dalam hal Bank Pelapor tidak memiliki data yang wajib disampaikan selama periode Laporan, kewajiban penyampaian Laporan tetap berlaku dengan cara mengirimkan form header. 3. Pengecualian … 7 3. Pengecualian kewajiban menyampaikan form header sebagaimana dimaksud pada angka 2 hanya berlaku bagi Bank Pelapor yang tidak memiliki izin untuk melaksanakan Kegiatan Kustodian atau Bank Pelapor tidak menyelenggarakan Kegiatan APMK. 4. Dalam hal Bank Pelapor melakukan merger atau konsolidasi dengan Bank Pelapor lain, masing-masing Bank Pelapor peserta merger atau konsolidasi tetap wajib menyampaikan Laporan yang disusun secara bulanan untuk bulan Laporan sebelum dilakukan merger atau konsolidasi secara operasional masing-masing Bank Pelapor. Contoh : Apabila pada tanggal 11 Juni 2008 Bank Pelapor X secara operasional telah melakukan merger atau konsolidasi dengan Bank Pelapor Y, maka masing-masing Bank Pelapor wajib menyampaikan Laporan bulan Mei 2008. Sementara itu, Laporan bulan Juni 2008 merupakan Laporan konsolidasi atau gabungan yang dilaporkan oleh Bank Pelapor hasil merger atau konsolidasi. 5. Dalam hal Bank Pelapor melakukan merger atau konsolidasi dengan Bank Pelapor lain sebelum berakhirnya masa Laporan yang disusun secara triwulanan, penyampaian Laporan untuk masa Laporan tersebut dilaporkan oleh Bank Pelapor hasil merger atau konsolidasi. Contoh : Apabila pada tanggal 11 Juni 2008 Bank Pelapor X secara operasional telah melakukan merger atau konsolidasi dengan Bank Pelapor Y, maka Laporan triwulanan II tahun 2008 merupakan Laporan konsolidasi atau gabungan yang dilaporkan oleh Bank Pelapor hasil merger atau konsolidasi. H. Sistem LKPBU secara On Line digunakan untuk penyampaian Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan sampai dengan 1 (satu) bulan setelah bulan Laporan dan 1(satu) bulan setelah masa Laporan. Contoh … 8 Contoh: 1. Bank Pelapor menyampaikan Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan bulan Maret 2008 secara On-Line sampai dengan akhir bulan April 2008. 2. Bank Pelapor menyampaikan Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan triwulan I tahun 2008 secara On-Line sampai dengan akhir bulan April 2008. Dalam hal Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan yang disampaikan secara On-Line melebihi tanggal yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada huruf C dan huruf D, Bank Pelapor dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan sebagaimana dimaksud pada huruf A dan huruf B. I. Penyampaian Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan yang dilakukan melampaui waktu sebagaimana dimaksud pada huruf H dilakukan secara Off-Line. Contoh: 1. Laporan, form header dan/atau koreksi Laporan bulan Maret 2008 disampaikan secara Off-Line, apabila Bank Pelapor menyampaikan dan diterima Bank Indonesia setelah akhir bulan April 2008. 2. Laporan, form header dan/atau koreksi Laporan triwulan I tahun 2008 disampaikan secara Off-Line, apabila Bank Pelapor menyampaikan dan diterima Bank Indonesia setelah akhir bulan April 2008. J. Penyampaian LKPBU secara Off-Line 1. Dalam hal Bank Pelapor mengalami gangguan teknis pada akhir Periode Pelaporan sebagaimana huruf C dan/atau huruf D, Bank Pelapor wajib menyampaikan pemberitahuan secara tertulis mengenai gangguan teknis yang dialami dan rencana penyampaian Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan secara Off-Line. 2. Pemberitahuan … 9 2. Pemberitahuan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada angka 1, ditandatangani oleh pejabat berwenang dan disampaikan kepada: a. Unit Khusus Manajemen Informasi Bank Indonesia, Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350, bagi Bank Pelapor yang berkedudukan di wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia; atau b. Unit Khusus Manajemen Informasi Bank Indonesia Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350 dengan tembusan kepada Kantor Bank Indonesia setempat, bagi Bank Pelapor yang berkedudukan di luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia. 3. Bank Pelapor yang tidak dapat menyampaikan Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan secara On-Line karena gangguan teknis sebagaimana dimaksud pada angka 1 wajib menyampaikan Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan secara Off-Line kepada Bank Indonesia dengan alamat: a. Unit Khusus Manajemen Informasi Bank Indonesia, Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350 bagi Bank Pelapor yang berada di wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia paling lambat pukul 10:00 WIB pada hari kerja berikutnya; atau b. Kantor Bank Indonesia yang mewilayahi Bank Pelapor yang berada di luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia paling lambat pukul 10:00 waktu setempat pada hari kerja berikutnya. Contoh: Pada tanggal 15 April 2008 Bank Pelapor X mengalami gangguan teknis sehingga tidak dapat menyampaikan Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan secara On-Line, maka Bank Pelapor X wajib menyampaikan Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan secara Off-Line paling lambat tanggal 16 April 2008 pukul 10:00 waktu setempat. 4. Dalam … 10 4. Dalam hal terjadi gangguan teknis di Bank Indonesia, Bank Indonesia akan memberitahukan secara tertulis dan/atau menggunakan sarana lainnya kepada Bank Pelapor. 5. Dalam hal gangguan teknis sebagaimana pada angka 4 terjadi pada batas akhir tanggal penyampaian Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan sebagaimana huruf C dan/atau huruf D, Bank Pelapor wajib menyampaikan Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan pada hari kerja berikutnya secara Off-Line. 6. Bank Pelapor yang tidak dapat menyampaikan Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan karena mengalami keadaan memaksa (force majeure), wajib segera memberitahukan secara tertulis disertai penjelasan mengenai penyebab terjadinya keadaan memaksa (force majeure) yang ditandatangani oleh Pejabat yang berwenang kepada Bank Indonesia dengan alamat: a. Unit Khusus Manajemen Informasi Bank Indonesia, Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350, bagi Bank Pelapor yang berkedudukan di wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia; atau b. Unit Khusus Manajemen Informasi Bank Indonesia Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350 dengan tembusan kepada Kantor Bank Indonesia setempat, bagi Bank Pelapor yang berkedudukan di luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia. VI. HAK AKSES 1. Bank Indonesia menyediakan hak akses berupa user id Sistem LKPBU sebanyak 1 (satu) fasilitas user id kepada setiap Bank Pelapor tanpa dikenakan biaya, baik berupa biaya lisensi maupun biaya pemeliharaan. 2. Dalam … 11 2. Dalam hal Bank Pelapor meminta penambahan hak akses berupa user id Sistem LKPBU, Bank Pelapor dikenakan biaya lisensi dan biaya pemeliharaan Sistem LKPBU yang diatur sebagai berikut: a. Biaya lisensi sebesar USD1,500 (seribu lima ratus US Dollar) dikenakan 1 (satu) kali selama menggunakan hak akses Sistem LKPBU untuk setiap 1 (satu) tambahan hak akses. b. Biaya pemeliharaan sistem LKPBU sebesar USD300 (tiga ratus US Dollar) setiap tahun dikenakan untuk setiap 1 (satu) tambahan hak akses. c. Pembayaran biaya sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b dilakukan dalam ekuivalen mata uang Rupiah dengan menggunakan kurs transaksi jual Bank Indonesia pada tanggal pembayaran biaya. d. Pembayaran biaya sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b dilakukan dengan mendebet rekening giro Rupiah Bank Pelapor pada Bank Indonesia. e. Dalam rangka pendebetan rekening giro Rupiah Bank Pelapor sebagaimana dimaksud dalam huruf d, Bank Pelapor memberikan surat kuasa pendebetan kepada Bank Indonesia c.q. Unit Khusus Manajemen Informasi, sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 3. VII. PENYAMPAIAN PERTANYAAN Bank Pelapor dapat menyampaikan pertanyaan yang berkaitan dengan sistem, materi, dan/atau ketentuan Laporan kepada Bank Indonesia sebagai berikut: 1. Direktorat Statistik Ekonomi dan Moneter, Biro Neraca Pembayaran mengenai materi Form 101 dan Form 401. 2. Direktorat Internasional, Biro Hubungan dan Studi Internasional mengenai materi Form 201, Form 202 dan Form 203. 3. Direktorat … 12 3. Direktorat Akunting dan Sistem Pembayaran, Tim Manajemen Informasi dan Administrasi mengenai materi Form 301, Form 302, Form 303, dan Form 304. 4. Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter, Biro Kebijakan Moneter mengenai materi Form 501. 5. Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan; dan Direktorat Investigasi dan Mediasi Perbankan, Tim Mediasi Perbankan mengenai materi Form 601, Form 602, Form 603, Form 604 dan Form 605. 6. Direktorat Teknologi Informasi, mengenai hal-hal yang berkaitan dengan aplikasi dan sistem penyampaian Laporan. 7. Unit Khusus Manajemen Informasi, mengenai akses Sistem LKPBU di Bank Indonesia. melalui Helpdesk Bank Indonesia telepon (021) 381-8000. VIII. SANKSI 1. Bank Indonesia memberitahukan secara tertulis kepada Bank Pelapor mengenai pelanggaran yang dilakukan oleh Bank Pelapor dan besarnya sanksi kewajiban membayar yang dikenakan. 2. Pengenaan sanksi kewajiban membayar dilakukan dengan cara mendebet rekening giro Rupiah Bank Pelapor pada Bank Indonesia. IX. PENUTUP Ketentuan dalam Surat Edaran ini mulai berlaku pada tanggal 8 Februari 2008. Agar … 13 Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA RONALD WAAS DIREKTUR UNIT KHUSUS MANAJEMEN INFORMASI UKMI/DASP/DPNP/DINT/DSM "," SE-BI 10/3/UKMI|SE-BI/2008 Laporan Kantor Pusat Bank Umum 8 Februari 2008 8 Februari 2008 '10/3/PBI/2008' 'Romawi VIII' " " No. 2/ 26 /DPM Jakarta, 8 Desember 2000 SURAT EDARAN Kepada SEMUA BANK UMUM DI INDONESIA Perihal : Penetapan Obligasi Pemerintah Seri FR0006, FR0007, FR0008, FR0009 Untuk Diperdagangkan Di Pasar Sekunder Serta Peningkatan Prosentase Portofolio Obligasi Pemerintah Yang Dapat Diperdagangkan Sehubungan dengan ditetapkannya Peraturan Bank Indonesia Nomor 1/10/PBI/1999 Tanggal 3 Desember 1999 tentang Portofolio Obligasi Pemerintah Bagi Bank Umum Peserta Program Rekapitalisasi dan Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/10/PBI/2000 tanggal 29 Maret 2000 tentang Perubahan Peraturan Bank Indonesia No. 1/10/PBI/2000 tentang Portofolio Obligasi Pemerintah Bagi Bank Umum Peserta Program Rekapitalisasi, Bank Indonesia berwenang menetapkan dan mengumumkan jenis dan seri Obligasi yang dapat diperdagangkan serta meningkatkan prosentase Obligasi yang dapat diperdagangkan. Dengan mempertimbangkan bahwa transasksi perdagangan obligasi di pasar sekunder oleh perbankan (termasuk transaksi Repo) dewasa ini cenderung meningkat dan guna mengantisipasi peningkatan kebutuhan perbankan untuk menggunakan Obligasi Pemerintah dalam waktu dekat bagi keperluan-keperluan sebagai berikut : 1. sebagai agunan dalam transaksi di Pasar Uang Antar Bank dan dalam rangka memperoleh Fasilitas Likuiditas Intrahari (FLI), 2. untuk … 2 2. untuk melakukan pelunasan kewajiban dengan Obligasi Pemerintah (set-off kewajiban), 3. untuk memindahkan high coupon stapled bonds ke portofolio perdagangan dalam rangka memenuhi kebutuhan likuiditasnya dalam kaitannya dengan pelaksanaan program “Bonds Exchange Offer”, maka dipandang perlu untuk menambah seri Obligasi Pemerintah yang dapat diperdagangkan di pasar sekunder dan meningkatkan prosentase Obligasi Pemerintah dengan ketentuan sebagai berikut : I. TAMBAHAN SERI OBLIGASI YANG DAPAT DIPERDAGANGKAN 1. Obligasi Pemerintah Seri FR0006, FR0007, FR0008, FR0009 dapat diperdagangkan di pasar sekunder. 2. Bank wajib memindahbukukan Obligasi Pemerintah Seri FR0006, FR0007, FR0008, FR0009 sebesar jumlah nominal yang akan diperdagangkan dari portofolio investasi kedalam portofolio perdagangan. II. JUMLAH DAN SERI OBLIGASI YANG DAPAT DIPERDAGANGKAN 1. Jumlah prosentase Obligasi yang dapat diperdagangkan yang semula ditetapkan setinggi-tingginya sebesar 15% (lima belas perseratus) ditingkatkan menjadi setinggi-tingginya 25% (dua puluh lima perseratus) dari nilai keseluruhan Obligasi Pemerintah yang dibeli pada saat Bank menerima penyertaan tunai dari Pemerintah sehubungan dengan Program rekapitalisasi Bank Umum. 2. Bank wajib memindah-bukukan seluruh Obligasi Pemerintah yang akan diperdagangkan dari portofolio investasi ke dalam portofolio perdagangan sebesar jumlah nominalnya. 3. Obligasi … 3 3. Obligasi Pemerintah yang dapat dipindahkan kedalam portofolio perdagangan adalah Obligasi Pemerintah yang telah dapat diperdagangkan pada pasar sekunder yaitu seri FR0001, FR0002, FR0003, FR0004, FR0005, FR0006, FR0007, FR0008, FR0009, VR0001, VR0002 dan VR0005, sebagaimana ditetapkan oleh Bank Indonesia pada : - Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 2/14/DPNP/2000 Tanggal 27 Juni 2000 tentang Penetapan Obligasi Pemerintah Seri FR0002 untuk diperdagangkan di Pasar Sekunder. - Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 2/16/DPNP/2000 Tanggal 25 Juli 2000 Tentang Penetapan Obligasi Pemerintah Seri FR0003, FR0004 dan FR0005 untuk Diperdagangkan di Pasar Sekunder. III. TATA CARA PENGAJUAN PENAMBAHAN JUMLAH OBLIGASI YANG DAPAT DIPERDAGANGKAN DI PASAR SEKUNDER 1. Bank wajib melaporkan secara tertulis kepada Bank Indonesia mengenai seri dan tambahan jumlah dari Obligasi yang akan dipindahkan kedalam portofolio perdagangan; 2. Surat pelaporan sebagaimana dimaksud dalam angka 1, wajib dilengkapi dengan jumlah nominal yang akan diperdagangkan; 3. Surat pelaporan sebagaimana dimaksud dalam angka 1 dan angka 2 diajukan kepada Direktorat Pengelolaan Moneter - Bank Indonesia, Gedung B – Lantai 11, Jl. M.H.Thamrin No. 2, Jakarta, dengan tembusan kepada Direktorat Pengawasan Bank terkait. IV. PENUTUP …… 4 IV. PENUTUP Ketentuan dalam Surat Edaran ini berlaku sejak tanggal 8 Desember 2000. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA Tarmiden Sitorus Deputi Direktur DPM "," SE-BI 2/26/DPM|SE-BI/2000 Penetapan Obligasi Pemerintah Seri FR0006, FR0007, FR0008, FR0009 Untuk Diperdagangkan Di Pasar Sekunder Serta Peningkatan Prosentase Portofolio Obligasi Pemerintah Yang Dapat Diperdagangkan 8 Desember 2000 8 Desember 2000 '1/10/PBI/2000', '1/10/PBI/1999', '2/10/PBI/2000' " " No. 7/29/DASP Jakarta, 22 Juli 2005 SURAT EDARAN Kepada SEMUA BANK UMUM DI INDONESIA Perihal : Pemberian Persetujuan Terhadap Penyelenggaraan Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia oleh Penyelenggara Kliring Lokal Selain Bank Indonesia Sehubungan dengan diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/18/PBI/2005 tanggal 22 Juli 2005 tentang Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 65, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4516), perlu diatur lebih lanjut mengenai tata cara pemberian persetujuan terhadap Bank yang akan menjadi Penyelenggara Kliring Lokal Selain Bank Indonesia (PKL Selain BI) dalam Surat Edaran Bank Indonesia sebagai berikut. I. PERSYARATAN DAN TATA CARA PEMBERIAN PERSETUJUAN A. Persyaratan Penyelenggaraan Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia Persyaratan penyelenggaraan Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI) di wilayah dimana kantor-kantor Banknya tidak dapat mengikuti kegiatan Kliring di Kantor Bank Indonesia terdekat karena kondisi-kondisi tertentu, meliputi hal-hal sebagai berikut: 1. Kebutuhan Penyelenggaraan SKNBI Penyelenggaraan SKNBI kebutuhan kantor-kantor Bank di suatu wilayah didasarkan pada setempat untuk diselenggarakannya … 2 diselenggarakannya Kliring antar Bank di wilayah tersebut. Untuk itu kantor-kantor Bank di wilayah yang bersangkutan terlebih dahulu harus mengadakan kesepakatan tertulis mengenai pentingnya penyelenggaraan Kliring antar Bank di wilayah tersebut dan kesepakatan mengenai kantor Bank yang diusulkan menjadi PKL Selain BI. Kesepakatan dimaksud harus ditandatangani oleh seluruh kantor Bank calon Peserta di wilayah yang bersangkutan. 2. Jumlah minimum transaksi dan kantor Bank Jumlah minimum transaksi dan jumlah minimum kantor Bank, termasuk kantor cabang, kantor cabang pembantu, dan atau kantor kas dari Bank yang berbeda, yang harus menandatangani kesepakatan untuk mendukung penyelenggaraan SKNBI tidak dibatasi, sepanjang seluruh kantor Bank tersebut secara bersama- sama dapat membuktikan adanya kebutuhan penyelenggaraan Kliring di wilayah tersebut. 3. Lokasi Kantor Bank yang Diusulkan Menjadi PKL Selain BI Lokasi kantor Bank yang diusulkan menjadi PKL Selain BI harus mudah dijangkau oleh seluruh kantor Bank lainnya sehingga kegiatan SKNBI dapat berjalan sesuai dengan jadwal yang ditetapkan. B. Persyaratan Kantor Bank yang Diusulkan Menjadi PKL Selain BI Kantor Bank yang dapat diusulkan untuk menjadi PKL Selain BI harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1. mempunyai kesiapan dari segi organisasi yang memungkinkan ditempatkannya kegiatan penyelenggaraan SKNBI ke dalam suatu unit tersendiri dan dapat menyediakan sumber daya manusia yang mempunyai pemahaman mengenai SKNBI serta mempunyai sistem administrasi yang memadai; 2. menyediakan … 3 2. menyediakan perangkat keras Komputer Penyelenggara Kliring (KPK) untuk penyelenggaraan SKNBI sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai SKNBI; 3. memiliki ruangan dan peralatan yang mendukung untuk kegiatan penyerahan DKE kepada PKL Selain BI dan pertukaran Warkat Debet antar Peserta; dan 4. memiliki lokasi penyelenggaraan SKNBI yang mudah dijangkau oleh Peserta sehingga penyelenggaraan SKNBI dapat dilakukan sesuai dengan jadwal yang ditetapkan. Lokasi penyelenggaraan SKNBI tersebut tidak harus berada pada lokasi yang sama dengan lokasi kantor Bank yang ditunjuk sebagai PKL Selain BI. C. Tata Cara Permohonan Penyelenggaraan SKNBI Dengan memperhatikan persyaratan sebagaimana dimaksud pada huruf A dan huruf B, kantor Bank yang diusulkan sebagai PKL Selain BI mengajukan permohonan untuk diadakan penyelenggaraan SKNBI di wilayah yang bersangkutan dengan tata cara sebagai berikut: 1. Pengajuan permohonan secara tertulis oleh kantor Bank yang diusulkan sebagai PKL Selain BI kepada PKL BI sebagai berikut: a. untuk wilayah Serang, Pandeglang, Lebak, Tangerang, Bogor, Karawang, dan Bekasi diajukan kepada Bagian Kliring – Direktorat Akunting dan Sistem Pembayaran, Gedung D Lantai 2, Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10110; atau b. untuk wilayah di luar wilayah sebagaimana dimaksud pada huruf a diajukan kepada Kantor Bank Indonesia setempat. 2. Permohonan … 4 2. Permohonan sebagaimana dimaksud pada angka 1 diajukan dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran 1, dengan disertai dokumen sebagai berikut: a. kesepakatan tertulis dari kantor-kantor Bank calon Peserta mengenai perlunya penyelenggaraan SKNBI di wilayah tersebut; dan b. 3. usulan jadwal Kliring Debet yang mengacu pada ketentuan Bank Indonesia mengenai jadwal penyelenggaraan SKNBI. Berdasarkan permohonan yang diajukan, PKL BI sebagaimana dimaksud pada angka 1 melakukan pengecekan atas kebenaran permohonan tersebut, termasuk melakukan penelitian lapangan, dengan memperhatikan persyaratan penyelenggaraan SKNBI sebagaimana dimaksud pada huruf A. 4. Apabila PKL BI tidak mendukung permohonan penyelenggaraan SKNBI di wilayah tersebut, PKL BI memberitahukan kepada kantor Bank yang mengajukan permohonan penyelenggaraan SKNBI mengenai penolakan permohonan tersebut dengan menyebutkan persyaratan yang belum dipenuhi. Selanjutnya kantor Bank tersebut dapat mengajukan permohonan kembali sebagai PKL Selain BI setelah memenuhi persyaratan yang ditetapkan. 5. Apabila persyaratan sebagaimana dimaksud pada huruf A telah dipenuhi dan PKL BI telah melakukan penelitian lapangan serta PKL BI mendukung permohonan tersebut, PKL BI meneruskan permohonan penyelenggaraan SKNBI di wilayah tersebut kepada PKN disertai dengan rekomendasi dari PKL BI. 6. Berdasarkan rekomendasi yang diajukan oleh PKL BI, PKN memberikan pemberitahuan tertulis kepada PKL BI sebagai berikut: a. Apabila … 5 a. Apabila PKN menyetujui permohonan penyelenggaraan SKNBI di wilayah tersebut, PKN memberitahukan secara tertulis kepada PKL BI disertai dengan pemberitahuan mengenai persiapan teknis dan administratif yang perlu dilakukan oleh kantor Bank yang diusulkan menjadi PKL Selain BI dan seluruh kantor Bank calon Peserta SKNBI di wilayah tersebut. Selanjutnya PKL BI meneruskan pemberitahuan tersebut kepada kantor Bank mengajukan permohonan penyelenggaraan SKNBI. b. Apabila PKN tidak menyetujui permohonan penyelenggaraan SKNBI di wilayah tersebut, PKN memberitahukan kepada PKL BI mengenai penolakan permohonan tersebut dengan menyebutkan persyaratan yang belum dipenuhi. Selanjutnya PKL BI meneruskan pemberitahuan tersebut kepada kantor Bank yang yang mengajukan permohonan penyelenggaraan SKNBI. Kantor Bank tersebut dapat mengajukan permohonan kembali penyelenggaraan SKNBI di wilayah tersebut setelah seluruh persyaratan penyelenggaraan SKNBI dipenuhi. 7. Jangka waktu pemrosesan permohonan oleh PKL BI dan PKN sampai dengan disampaikannya pemberitahuan oleh PKL BI mengenai persetujuan atau penolakan sebagaimana dimaksud pada angka 6 paling lambat 60 (enam puluh) hari kalender setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap oleh PKL BI. D. Penetapan PKL Selain BI Bersamaan dengan pengajuan permohonan penyelenggaraan SKNBI sebagaimana dimaksud pada huruf C, kantor Bank yang diusulkan sebagai … 6 sebagai PKL Selain BI mengajukan permohonan untuk ditetapkan sebagai PKL Selain BI dengan tata cara sebagai berikut: 1. Pengajuan permohonan secara tertulis oleh kantor Bank yang diusulkan sebagai PKL Selain BI kepada PKL BI sebagai berikut: a. untuk wilayah Serang, Pandeglang, Lebak, Tangerang, Bogor, Karawang, dan Bekasi diajukan kepada Bagian Kliring – Direktorat Akunting dan Sistem Pembayaran, Gedung D Lantai 2, Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10110; atau b. untuk wilayah di luar wilayah sebagaimana dimaksud pada huruf a diajukan kepada Kantor Bank Indonesia setempat. 2. Permohonan sebagaimana dimaksud pada angka 1 diajukan dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran 2, dengan disertai dokumen sebagai berikut: a. kesepakatan tertulis dari kantor Bank calon Peserta mengenai usulan kantor Bank yang akan menjadi PKL Selain BI dengan memperhatikan persyaratan pada huruf B; dan b. 3. rencana struktur organisasi dan persiapan lainnya dari kantor Bank yang diusulkan menjadi PKL Selain BI. Berdasarkan permohonan yang diajukan, PKL BI sebagaimana dimaksud pada angka 1 melakukan pengecekan atas kebenaran permohonan tersebut, termasuk melakukan penelitian lapangan, dengan memperhatikan persyaratan PKL Selain BI sebagaimana dimaksud pada huruf B. 4. Apabila persyaratan sebagaimana dimaksud pada huruf B telah dipenuhi dan didukung oleh hasil penelitian lapangan yang dilakukan … 7 dilakukan oleh PKL BI, PKL BI mengeluarkan keputusan tentang penetapan sebagai PKL Selain BI yang memuat nama kantor Bank sebagai PKL Selain BI, nama Wilayah Kliring, dan tanggal dimulainya kegiatan SKNBI persiapannya termasuk dengan memperhatikan kesiapan persyaratan kepesertaan seluruh kantor Bank calon Peserta SKNBI di wilayah tersebut. 5. Keputusan tersebut disampaikan secara tertulis kepada kantor Bank yang telah disetujui menjadi PKL Selain BI dengan tembusan kepada kantor pusat Bank yang bersangkutan. Surat tersebut juga memuat hal-hal sebagai berikut : a. persiapan yang harus dilakukan antara lain berkaitan dengan instalasi aplikasi KPK dan instalasi Jaringan Komunikasi Data (JKD); b. kewajiban yang harus dipenuhi oleh PKL Selain BI sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai SKNBI; dan c. jadwal pelatihan bagi PKL Selain BI dan Peserta mengenai tata cara penyelenggaraan SKNBI. 6. PKL BI menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada PKN mengenai penetapan PKL Selain BI sebagaimana dimaksud pada angka 5 pada tanggal yang sama dengan tanggal penetapan tersebut. 7. Apabila salah satu persyaratan sebagaimana dimaksud pada huruf B tidak dipenuhi, PKL BI memberitahukan kepada kantor Bank tersebut mengenai penolakan permohonan yang bersangkutan dengan menyebutkan persyaratan yang belum dipenuhi. Selanjutnya kantor Bank tersebut dapat mengajukan permohonan … jadwal pemenuhan 8 permohonan kembali sebagai PKL Selain BI setelah memenuhi persyaratan yang ditetapkan. 8. Jangka waktu pemrosesan permohonan oleh PKL BI sampai dengan dikeluarkannya pemberitahuan PKL BI mengenai persetujuan sebagaimana dimaksud pada angka 4 atau penolakan sebagaimana dimaksud pada angka 7 paling lambat 60 (enam puluh) hari kalender setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap oleh PKL BI. E. Bantuan Keuangan Bank Indonesia memberikan bantuan keuangan kepada setiap PKL Selain BI sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) per bulan. Bantuan keuangan tersebut diberikan melalui kantor pusat Bank yang kantornya menjadi PKL Selain BI dengan cara mengkredit rekening giro Bank tersebut yang ada di Bank Indonesia setiap awal bulan. Pendistribusian bantuan keuangan tersebut kepada setiap kantor Bank yang menjadi PKL Selain BI merupakan kewenangan kantor pusat masing-masing Bank. F. Jangka Waktu Penetapan Sebagai PKL Selain BI Persetujuan PKL BI kepada kantor Bank yang ditetapkan sebagai PKL Selain BI berlaku dalam jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal efektif keputusan tentang persetujuan penetapan sebagai PKL Selain BI. G. Perpanjangan Jangka Waktu Penetapan atau Penggantian PKL Selain BI 1. Paling berakhirnya jangka waktu penetapan sebagai PKL Selain BI, seluruh Peserta kembali mengadakan kesepakatan untuk : a. mengusulkan … lambat 90 (sembilan puluh) hari kalender sebelum 9 a. mengusulkan perpanjangan jangka waktu penetapan sebagai PKL Selain BI; atau b. mengusulkan penggantian PKL Selain BI yang lama dan mengusulkan kantor Bank lain sebagai PKL Selain BI yang baru. 2. Usulan untuk memperpanjang jangka waktu penetapan sebagai PKL Selain BI atau usulan calon PKL Selain BI yang baru harus didukung dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 75% (tujuh puluh lima per seratus) dari jumlah Peserta serta harus memperhatikan persyaratan sebagai PKL Selain BI sebagaimana dimaksud pada huruf B. 3. Pengajuan permohonan perpanjangan atau penggantian PKL Selain BI sebagaimana dimaksud pada angka 1 kepada PKL BI dilakukan sesuai dengan mekanisme sebagaimana dimaksud pada huruf D, dengan ketentuan sebagai berikut : a. Permohonan diajukan paling lambat 60 (enam puluh) hari kalender sebelum tanggal berakhirnya jangka waktu penetapan sebagai PKL Selain BI dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran 3 untuk permohonan perpanjangan sebagai PKL Selain BI atau menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran 2 untuk permohonan penggantian PKL Selain BI yang baru. b. Jangka waktu pemrosesan permohonan sebagaimana dimaksud pada huruf a oleh PKL BI sampai dengan dikeluarkannya pemberitahuan PKL BI mengenai persetujuan atau penolakan atas permohonan tersebut, paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender setelah dokumen … 10 dokumen permohonan diterima secara lengkap oleh PKL BI. 4. Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada butir 3.a ditolak oleh PKL BI, maka kantor Bank yang diusulkan sebagai PKL Selain BI mengajukan permohonan kembali dengan mekanisme sebagaimana dimaksud pada huruf D. Apabila sampai dengan akhir jangka waktu penetapan PKL Selain BI yang telah ada belum ditetapkan PKL Selain BI untuk periode berikutnya, maka PKL Selain BI yang telah ada otomatis tetap menyelenggarakan SKNBI sampai dikeluarkannya persetujuan oleh PKL BI mengenai penetapan PKL Selain BI untuk periode berikutnya. H. Pengunduran Diri Sebagai PKL Selain BI 1. PKL Selain BI dapat mengundurkan diri sebagai PKL Selain BI dengan mengajukan permohonan kepada PKL BI disertai alasan pengunduran diri dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran 4 paling lambat 60 (enam puluh) hari kalender sebelum tanggal rencana pengunduran diri sebagai PKL Selain BI. 2. Pada saat yang bersamaan, apabila seluruh Peserta di Wilayah Kliring tersebut masih memandang perlu diselenggarakannya SKNBI, diajukan pula permohonan dari calon PKL Selain BI baru sesuai dengan mekanisme sebagaimana dimaksud pada huruf D paling lambat 60 (enam puluh) hari kalender sebelum tanggal pengunduran diri sebagaimana dimaksud pada angka 1 berlaku efektif. 3. Jangka waktu pemrosesan permohonan sebagaimana dimaksud pada angka 2 oleh PKL BI sampai dengan dikeluarkannya pemberitahuan PKL BI mengenai persetujuan atau penolakan atas … 11 atas permohonan tersebut, paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap oleh PKL BI. 4. Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada angka 2 ditolak oleh PKL BI, maka kantor Bank yang diusulkan sebagai PKL Selain BI mengajukan permohonan kembali dengan mekanisme sebagaimana dimaksud pada huruf D. Apabila sampai dengan tanggal pengunduran diri PKL Selain BI yang telah ada sebagaimana dimaksud pada angka 1 belum ditetapkan PKL Selain BI yang baru, maka PKL Selain BI yang telah ada tersebut otomatis tetap menyelenggarakan SKNBI sampai dikeluarkannya persetujuan oleh PKL BI mengenai penetapan PKL Selain BI yang baru. I. Penghentian Sebagai PKL Selain BI 1. Apabila PKL Selain BI tidak dapat menjalankan fungsinya sebagaimana seharusnya, maka PKL BI dapat mencabut penetapan yang bersangkutan sebagai PKL Selain BI. 2. Dalam hal terjadi kondisi sebagaimana dimaksud pada angka 1 maka penyelenggaraan SKNBI untuk sementara dilaksanakan oleh salah satu Peserta yang ditunjuk PKL BI sampai dengan disetujuinya PKL Selain BI yang definitif. PKL Selain BI yang menggantikan sementara dapat menggunakan KPK yang sebelumnya digunakan oleh PKL Selain BI yang dihentikan sepanjang KPK tersebut merupakan KPK yang disediakan oleh Bank Indonesia dan memperoleh bantuan keuangan sebagaimana dimaksud pada huruf E selama yang bersangkutan menjadi PKL Selain BI sementara. 3. Penetapan PKL Selain BI definitif dilakukan sesuai dengan mekanisme sebagaimana dimaksud pada huruf D. 4. Dengan … 12 4. Dengan dihentikannya PKL Selain BI sebagaimana dimaksud pada angka 1, maka setelah tanggal efektif penghentian, PKL Selain BI tersebut harus menyerahkan kepada PKL BI sarana penyelenggaraan SKNBI yang merupakan hak milik Bank Indonesia, dan merahasiakan serta menjamin bahwa seluruh data, dokumen, dan hal-hal lain yang terkait langsung dengan penyelenggaraan SKNBI manapun. tidak J. Pembubaran Penyelenggaraan SKNBI di suatu Wilayah Kliring 1. Penyelenggaraan SKNBI di suatu Wilayah Kliring dapat diusulkan untuk dibubarkan apabila seluruh Peserta di Wilayah Kliring tersebut tidak SKNBI. 2. Usulan pembubaran penyelenggaraan SKNBI sebagaimana dimaksud pada angka 1 diajukan oleh PKL Selain BI kepada PKL BI sebagai berikut : a. lagi membutuhkan penyelenggaraan disalahgunakan oleh pihak untuk wilayah Serang, Pandeglang, Lebak, Tangerang, Bogor, Karawang, dan Bekasi diajukan kepada Bagian Kliring – Direktorat Akunting dan Sistem Pembayaran, Gedung D Lantai 2, Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10110; atau b. untuk wilayah di luar wilayah sebagaimana dimaksud pada huruf a diajukan kepada Kantor Bank Indonesia setempat. 3. Usulan pembubaran sebagaimana dimaksud pada angka 2 diajukan dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran 5. 4. Dalam hal penyelenggaraan SKNBI diusulkan untuk dibubarkan dan PKL BI mendukung usulan pembubaran tersebut, PKL BI meneruskan usulan pembubaran kepada PKN. 5. Berdasarkan … 13 5. Berdasarkan usulan sebagaimana dimaksud pada angka 4, PKN menerbitkan keputusan mengenai pembubaran penyelenggaraan SKNBI dan disampaikan kepada PKL BI untuk diteruskan kepada PKL Selain BI. Keputusan tersebut memuat pula tanggal pembubaran penyelenggaraan SKNBI. Tanggal pembubaran ditetapkan paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender sejak tanggal keputusan PKN. 6. PKL Selain BI memberitahukan keputusan mengenai pembubaran penyelenggaraan SKNBI kepada Peserta paling lambat 3 (tiga) hari kerja setelah pemberitahuan dari PKN. 7. Dengan dibubarkannya penyelenggaraan SKNBI di suatu Wilayah Kliring tertentu, PKL Selain BI di wilayah tersebut harus menyerahkan kepada PKL BI sarana penyelenggaraan SKNBI yang merupakan hak milik Bank Indonesia, dan merahasiakan serta menjamin bahwa seluruh data, dokumen, dan hal-hal lain yang terkait langsung dengan penyelenggaraan SKNBI tidak disalahgunakan oleh pihak manapun. K. Pemindahan Lokasi Penyelenggaraan SKNBI. 1. PKL Selain BI dapat memindahkan lokasi penyelenggaraan SKNBI dengan ketentuan lokasi yang baru harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada huruf B. 2. PKL Selain BI mengajukan permohonan secara tertulis kepada PKL BI, mengenai rencana pemindahan lokasi penyelenggaraan SKNBI disertai dengan alasan pemindahan dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran 6, paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender sebelum tanggal pemindahan lokasi yang direncanakan. 3. Setelah menerima permohonan sebagaimana dimaksud pada angka 2, PKL BI segera melakukan penilaian mengenai lokasi baru … 14 baru sesuai dengan persyaratan sebagaimana dimaksud pada butir B.4. 4. Apabila lokasi baru telah memenuhi syarat, PKL BI memberikan persetujuan tertulis atas pemindahan lokasi tersebut paling lambat 7 (tujuh) hari kalender setelah permohonan diterima secara lengkap. 5. PKL Selain BI harus memberitahukan persetujuan pemindahan lokasi sebagaimana dimaksud pada angka 4 kepada seluruh Peserta paling lambat 3 (tiga) hari kerja setelah tanggal persetujuan PKL BI. II. LAIN-LAIN A. Dalam hal terdapat kebutuhan penyelenggaraan Kliring di wilayah tertentu namun Bank Indonesia yang mewilayahinya belum mengimplementasikan SKNBI, maka permohonan penyelenggaraan Kliring di wilayah tersebut tetap dapat diajukan sesuai dengan Surat Edaran ini. B. PKL Selain BI dilarang mengenakan biaya yang terkait dengan kegiatan SKNBI kepada Peserta, kecuali biaya pembuatan dan atau penggantian Tanda Pengenal Petugas Kliring (TPPK) yang besarnya diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai biaya dalam penyelenggaraan SKNBI. III. KETENTUAN PERALIHAN A. Ketentuan mengenai : 1. 2. 3. persyaratan penyelenggaraan SKNBI; persyaratan kantor Bank yang diusulkan menjadi PKL Selain BI; tata cara pemberian persetujuan penyelenggaraan SKNBI; 4. tata cara pemberian persetujuan kepada kantor Bank yang akan menjadi PKL Selain BI; 5. jangka … 15 5. 6. 7. 8. jangka waktu penetapan sebagai PKL Selain BI; perpanjangan jangka waktu penetapan atau penggantian PKL Selain BI; pengunduran diri sebagai PKL Selain BI; penghentian sebagai PKL Selain BI; 9. pembubaran penyelenggaraan SKNBI; dan 10. pemindahan lokasi penyelenggaraan SKNBI, sebagaimana diatur dalam Surat Edaran ini berlaku juga untuk wilayah tertentu dimana PKL BI menerapkan SKNBI. yang mewilayahinya belum B. Ketentuan mengenai pemberian bantuan keuangan, pengenaan biaya Kliring oleh PKL Selain BI kepada Peserta, dan sistem penyelenggaraan Kliring lokal sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 1/4/DASP tanggal 29 November 1999 perihal Pemberian Persetujuan Terhadap Pihak Lain Untuk Menyelenggarakan Kliring di Daerah yang Tidak Terdapat Kantor Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 3/25/DASP tetap berlaku di Wilayah Kliring yang belum menerapkan menerapkan SKNBI. SKNBI sampai Wilayah Kliring tersebut C. PKL Selain BI di Wilayah Kliring yang belum menerapkan SKNBI dan menggunakan sistem manual tidak dapat mengubah sistem penyelenggaraan Kliring lokal di Wilayah Kliring tersebut menjadi sistem semi otomasi, mengingat penerapan SKNBI akan dilakukan di seluruh Wilayah Kliring secara bertahap. IV. PENUTUP Dengan berlakunya Surat Edaran Bank Indonesia ini, maka ketentuan dalam Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 1/4/DASP tanggal 29 November 1999 perihal Pemberian Persetujuan Terhadap Pihak Lain Untuk Menyelenggarakan … 16 Menyelenggarakan Kliring di Daerah yang Tidak Terdapat Kantor Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 3/25/DASP dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Ketentuan dalam Surat Edaran ini dilaksanakan sejak tanggal implementasi SKNBI di Wilayah Kliring yang bersangkutan sesuai dengan pengumuman Bank Indonesia. Ketentuan dalam Surat Edaran ini mulai berlaku pada tanggal 22 Juli 2005. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA, MOHAMAD ISHAK DIREKTUR AKUNTING DAN SISTEM PEMBAYARAN DASP "," SE-BI 7/29/DASP|SE-BI/2005 Pemberian Persetujuan Terhadap Penyelenggaraan Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia oleh Penyelenggara Kliring Lokal Selain Bank Indonesia 22 Juli 2005 22 Juli 2005 '3/25/DASP|SE-BI', '1/4/DASP|SE-BI/1999' '7/18/PBI/2005' " " No. 5/19/DPM Jakarta, 19 September 2003 SURAT EDARAN Perihal: Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 5/6/DPM Tanggal 21 Maret 2003 Perihal Tata Cara Penatausahaan Surat Utang Negara Dalam rangka mendukung pelaksanaan pengagunan Surat Utang Negara oleh Bank kepada Bank Indonesia dalam rangka permohonan Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek, perlu dilakukan perubahan mengenai waktu penyampaian Permohonan Penerbitan Surat Keterangan Surat Berharga Diagunkan. Berkaitan dengan hal tersebut, maka ketentuan dalam Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 5/6/DPM tanggal 21 Maret 2003 perihal Tata Cara Penatausahaan Surat Utang Negara sebagaimana telah diubah dengan Surat Edaran Nomor 5/8/DPM perihal Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 5/6/DPM Tanggal 21 Maret 2003 Perihal Tata Cara Penatausahaan Surat Utang Negara tanggal 22 Mei 2003, diubah menjadi sebagai berikut: Ketentuan butir II.D.1.d halaman 9 diubah, sehingga menjadi berbunyi sebagai berikut: “d. Central Registry menerima pengajuan formulir sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan perbaikannya dari pukul 08.00 WIB sampai dengan pukul 17.00 WIB.” Ketentuan dalam Surat Edaran ini berlaku sejak tanggal 19 September 2003. Agar… Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA Ttd. BUDI MULYA DIREKTUR PENGELOLAAN MONETER "," SE-BI 5/19/DPM|SE-BI/2003 Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 5/6/DPM Tanggal 21 Maret 2003 Perihal Tata Cara Penatausahaan Surat Utang Negara 19 September 2003 19 September 2003 '5/6/DPM|SE-BI/2003' '5/8/DPM|SE-BI/2003' '5/8/DPM|SE-BI/2003', '5/6/DPM|SE-BI/2003' " " 8/34/DASP Jakarta,22 Desember 2006 S U R A T E D A R A N Perihal : Hubungan Rekening Giro Antara Bank Indonesia Dengan Pihak Ekstern -------------------------------------------------------------------------- Sehubungan dengan ditetapkannya Peraturan Bank Indonesia No.2/24/PBI/2000 tanggal 17 November 2000 tentang Hubungan Rekening Giro Antara Bank Dengan Pihak Ekstern (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 205, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 4025) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Bank Indonesia No.7/48/PBI/2005 tanggal 16 November 2005 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 131, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 4570), selanjutnya disebut PBI Hubungan Rekening Giro, perlu diatur kembali tata cara dan prosedur yang berkaitan dengan hubungan rekening giro antara Bank Indonesia dengan pihak ekstern sebagai berikut: I. KETENTUAN UMUM 1. Rekening Giro adalah rekening pihak eksternal tertentu di Bank Indonesia yang merupakan sarana bagi penatausahaan transaksi dari simpanan yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat. 2. Rekening Giro Rupiah adalah Rekening Giro dalam mata uang rupiah yang penarikannya dapat dilakukan dengan menggunakan Cek Bank Indonesia, Bilyet Giro Bank Indonesia, atau sarana lainnya sebagaimana ditetapkan dalam PBI Hubungan Rekening Giro. 3. Rekening Giro Valas adalah Rekening Giro dalam valuta asing yang penarikannya dapat dilakukan dengan cara pemindahbukuan atau sarana … 2 sarana lainnya sebagaimana ditetapkan dalam PBI Hubungan Rekening Giro. 4. Rekening Giro Khusus adalah Rekening Giro yang persyaratan dan tata cara pembukaan, penyetoran, penarikan dan penutupannya diatur secara khusus, yang terdiri dari escrow account, special account (Rekening Khusus atau Reksus) dan Rekening Giro Khusus Lainnya. 5. Escrow Account adalah rekening yang dibuka secara khusus untuk tujuan tertentu guna menampung dana yang dipercayakan kepada Bank Indonesia berdasarkan persyaratan tertentu sesuai dengan perjanjian tertulis. 6. Special Account (Rekening Khusus atau Reksus) adalah Rekening Giro yang digunakan khusus untuk menatausahakan pinjaman dan hibah luar negeri Pemerintah yang penarikannya dilakukan secara langsung dari rekening tersebut dan/atau melalui rekening Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) di seluruh kantor Bank Indonesia. 7. Rekening Giro Khusus Lainnya adalah Rekening Giro di luar Escrow Account dan Special Account, yang persyaratan dan tata cara pembukaan, penyetoran, penarikan dan penutupannya diatur secara khusus dalam surat atau perjanjian tertulis. 8. Pemegang Rekening Giro adalah pihak-pihak yang mempunyai Rekening Giro di Bank Indonesia, yaitu: a. Bank; b. c. d. instansi pemerintah; lembaga keuangan internasional; dan lembaga lain yang menurut Bank Indonesia dipandang perlu untuk mempunyai Rekening Giro di Bank Indonesia. 9. Pejabat Yang Mewakili adalah pejabat yang berwenang mewakili Pemegang Rekening Giro untuk melakukan penarikan dana, penandatanganan surat dan/atau kegiatan yang terkait dengan hubungan … 3 hubungan Rekening Giro dengan Bank Indonesia, yang dapat terdiri dari Pimpinan, Pejabat Penerima Kuasa dengan Hak Substitusi, dan Pejabat Penerima Kuasa Tanpa Hak Substitusi. 10. Pimpinan adalah direksi atau pejabat yang berwenang mewakili Pemegang Rekening Giro sesuai dengan ketentuan yang berlaku bagi masing-masing Pemegang Rekening Giro sebagai berikut: a. Pimpinan untuk Bank adalah direksi Dalam hal ini yang dimaksud dengan direksi adalah: 1) Bagi Bank berbentuk hukum Perseroan Terbatas, direksi adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas; 2) Bagi Bank berbentuk hukum Perusahaan Daerah, direksi adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah; 3) Bagi Bank berbentuk hukum Koperasi, direksi adalah pengurus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 Undang- Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian; 4) Bagi Kantor Cabang Bank Asing, direksi adalah Pimpinan Kantor Cabang, yaitu pemimpin Kantor Cabang dan pejabat satu tingkat di bawah pemimpin Kantor Cabang yang menerima surat kuasa atau power of attorney dari Kantor Pusat dan/atau dari Pimpinan Kantor Cabang. b. Pimpinan untuk instansi pemerintah: 1) Instansi pemerintah pusat: a) Departemen Menteri … 4 Menteri atau pejabat di bawah Menteri yang berwenang mewakili departemen, direktorat jenderal, direktorat atau unit kerja lainnya misalnya KPPN. b) Lembaga pemerintah non departemen Pejabat yang berwenang mewakili lembaga pemerintah non departemen. c) Badan Usaha Milik Negara Direksi atau yang dipersamakan dengan direksi. 2) Instansi pemerintah daerah antara lain: a) Pemerintah daerah propinsi Tingkat I adalah Gubernur. b) Pemerintah kota atau Pemerintah kabupaten adalah Walikota atau Bupati. c) Badan Usaha Milik Daerah adalah direksi atau yang dipersamakan dengan itu. c. Pimpinan untuk lembaga keuangan internasional adalah pejabat yang diberi wewenang oleh kantor pusatnya. d. Pimpinan untuk lembaga lain yang menurut Bank Indonesia dipandang perlu untuk mempunyai Rekening Giro di Bank Indonesia adalah direksi atau pejabat berwenang sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 11. Pejabat Penerima Kuasa Dengan Hak Substitusi adalah pejabat yang menerima kuasa khusus dengan satu kali hak substitusi dari Pimpinan untuk melakukan kegiatan penarikan dana, penandatanganan surat dan/atau kegiatan hubungan Rekening Giro lainnya dengan Bank Indonesia. 12. Pejabat Penerima Kuasa Tanpa Hak Substitusi adalah pejabat yang menerima kuasa khusus tanpa hak substitusi dari Pimpinan atau Pejabat Penerima Kuasa dengan Hak Substitusi untuk melakukan penarikan … 5 penarikan dana, penandatanganan surat dan/atau kegiatan yang terkait dengan hubungan Rekening Giro dengan Bank Indonesia. 13. Petugas adalah pihak penerima kuasa dari Pejabat Yang Mewakili untuk melakukan kegiatan hubungan Rekening Giro selain penarikan dana dan penandatanganan surat yang ditujukan kepada Bank Indonesia. 14. Penyetoran Rekening Giro Rupiah adalah setiap penambahan dana pada Rekening Giro Rupiah yang dilakukan dengan cara penyetoran tunai, pemindahbukuan atau transfer. 15. Penyetoran Rekening Giro Valas adalah setiap penambahan dana pada Rekening Giro Valas yang dilakukan dengan cara pemindahbukuan atau transfer. 16. Penarikan Rekening Giro Rupiah adalah setiap pengurangan dana pada Rekening Giro Rupiah yang dilakukan oleh Pemegang Rekening Giro, Bank Indonesia atau pihak yang diberi kuasa oleh Pemegang Rekening Giro dengan cara penarikan tunai, pemindahbukuan atau transfer untuk Rekening Giro Rupiah dan pemindahbukuan atau transfer untuk Rekening Giro Valas. 17. Penarikan Rekening Giro Valas adalah setiap pengurangan dana pada Rekening Giro Valas yang dilakukan oleh Pemegang Rekening Giro atau pihak yang diberi kuasa oleh Pemegang Rekening Giro dengan cara pemindahbukuan atau transfer. 18. Sarana Penarikan Rekening Giro Rupiah adalah Cek Bank Indonesia (Cek BI), Bilyet Giro Bank Indonesia (Bilyet Giro BI atau BG BI), sarana elektronik dan sarana lainnya. 19. Sarana Penarikan Rekening Giro Valas adalah SWIFT, Teleks dan sarana lainnya. 20. Dokumen adalah Dokumen Bukan Keuangan dan Warkat Pembukuan. 21. Dokumen … 6 21. Dokumen Bukan Keuangan adalah dokumen tertulis yang dibuat oleh pihak ekstern maupun intern Bank Indonesia untuk menyampaikan berita, pendapat dan/atau pesan untuk dimaklumi dan/atau dilaksanakan. 22. Warkat Pembukuan adalah dokumen tertulis yang bentuk dan penggunaannya ditetapkan menurut aturan tertentu yang berfungsi sebagai sarana penarikan atau sarana penyetoran Rekening Giro, dan digunakan sebagai bukti transaksi keuangan. II. PROSEDUR DAN TATA CARA HUBUNGAN REKENING GIRO ANTARA BANK INDONESIA DENGAN PIHAK EKSTERN Prosedur dan tata cara hubungan Rekening Giro antara Bank Indonesia dengan pihak ekstern adalah sebagaimana tercantum dalam lampiran Surat Edaran ini yang merupakan satu kesatuan dan bagian yang tidak terpisahkan dari Surat Edaran ini sebagai berikut: 1. Pedoman Hubungan Rekening Giro Rupiah, sebagaimana dimaksud pada Lampiran I; dan 2. Pedoman Hubungan Rekening Giro Valas, sebagaimana dimaksud pada Lampiran II. III. PRINSIP HUBUNGAN REKENING GIRO 1. Pemegang Rekening Giro dapat pula membuka Rekening Giro Khusus, antara lain berupa Escrow Account. 2. Setiap Bank sebagaimana dimaksud pada Ketentuan Umum butir I.8.a wajib memiliki 1 (satu) Rekening Giro Rupiah di Bank Indonesia. 3. Bank yang melakukan kegiatan dalam valuta asing wajib memiliki: a. 1 (satu) Rekening Giro Rupiah sebagaimana dimaksud pada angka 2; dan b. 1 (satu) Rekening Giro Valas di Bank Indonesia. 4. Bank … 7 4. Bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional namun juga melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, wajib memiliki: a. 1 (satu) Rekening Giro Rupiah sebagaimana dimaksud pada angka 2; dan b. 1 (satu) Rekening Giro Rupiah untuk melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. 5. Bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan melakukan kegiatan dalam valuta asing serta melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, wajib memiliki: a. 1 (satu) Rekening Giro Rupiah sebagaimana dimaksud pada angka 2; b. 1 (satu) Rekening Giro Valas sebagaimana dimaksud pada butir 3.b; c. 1 (satu) Rekening Giro Rupiah sebagaimana dimaksud pada butir 4.b; dan d. 1 (satu) Rekening Giro Valas untuk melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. 6. Pembukaan Rekening Giro Rupiah dan Rekening Giro Valas sebagaimana dimaksud pada angka 2 sampai dengan angka 5 dilakukan oleh kantor pusat Bank yang bersangkutan. 7. Bagi Bank yang kantor pusatnya berkedudukan di luar negeri, kantor Bank yang mengajukan permohonan pembukaan Rekening Giro sebagaimana dimaksud pada angka 6 adalah kantor cabang Bank tersebut di Indonesia. 8. Instansi pemerintah sebagaimana dimaksud pada Ketentuan Umum butir I.8.b meliputi pemerintah pusat dan pemerintah daerah, sepanjang Rekening Giro yang bersangkutan digunakan untuk menampung … 8 menampung dan/atau mengelola dana yang terkait dengan pelaksanaan Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah (APBD). Khusus untuk instansi pemerintah pusat terdiri dari departemen dan lembaga pemerintah non departemen serta Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Dalam pengertian instansi pemerintah ini tidak termasuk bendaharawan rutin dan bendaharawan proyek. 9. Lembaga keuangan internasional sebagaimana dimaksud pada Ketentuan Umum butir I.8.c. adalah lembaga-lembaga yang tujuan pembentukannya untuk meningkatkan kerja sama internasional di bidang ekonomi dan atau keuangan dimana Pemerintah Republik Indonesia atau Bank Indonesia menjadi anggota didalamnya, atau lembaga keuangan tersebut memberi bantuan keuangan kepada Pemerintah Republik Indonesia atau Bank Indonesia dan lembaga tersebut mensyaratkan pembukaan rekening pada Bank Indonesia. Pada saat ini lembaga keuangan internasional tersebut antara lain International Monetary Funds (IMF), Asian Development Bank (ADB), International Bank for Restructuring Development (IBRD) dan International Development Agency (IDA). 10. Lembaga lain yang menurut Bank Indonesia dipandang perlu untuk mempunyai Rekening Giro di Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada Ketentuan Umum butir I.8.d. yaitu sepanjang memenuhi kriteria sebagai berikut: a. diperlukan dalam rangka transisi tugas Bank Indonesia di bidang perbankan, dan di bidang perkreditan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 3 Tahun 2004; b. terkait … 9 b. terkait dengan tugas Bank Indonesia dalam bidang moneter, perbankan dan sistem pembayaran, seperti penyelenggara kliring di luar bank umum, penyelenggara switching, dan instansi pemerintah di luar angka 8. 11. Rekening Giro pada Bank Indonesia tidak dapat dibuka dalam bentuk rekening gabungan (joint account). Yang dimaksud rekening gabungan adalah rekening yang dimiliki oleh lebih dari 1 (satu) pihak, misalnya 1 (satu) rekening dimiliki oleh 2 (dua) instansi pemerintah. 12. Dalam hal tertentu Bank Indonesia dapat memberikan jasa giro atas Rekening Giro yang ditatausahakan di Bank Indonesia. IV. LAIN-LAIN 1. Bagi pihak-pihak yang telah memiliki Rekening Giro sebelum diberlakukannya Surat Edaran ini dan memenuhi persyaratan sebagai pihak yang dapat menjadi Pemegang Rekening Giro berdasarkan Surat Edaran ini, dianggap telah menjadi Pemegang Rekening Giro yang sah. 2. Sarana Penarikan Rekening Giro Rupiah dan/atau Rekening Giro Valas berupa surat masih dapat digunakan oleh Pemegang Rekening Giro sebagai sarana penarikan paling lama 2 (dua) tahun sejak berlakunya Peraturan Bank Indonesia No.7/48/PBI/2005 tanggal 16 November 2005 tentang Perubahan Ketiga Atas PBI No.2/24/PBI/2000 tentang Hubungan Rekening Giro Antara Bank Indonesia Dengan Pihak Ekstern. 3. Sarana Penarikan Rekening Giro Rupiah dan/atau Rekening Giro Valas yang diterbitkan oleh pihak ekstern dan telah disetujui oleh Bank Indonesia serta telah digunakan oleh Pemegang Rekening Giro sebelum diberlakukannya Surat Edaran ini antara lain berupa Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D), Surat Perintah Pembebanan SP2D (SPB-SP2D) … 10 (SPB-SP2D), dan Surat Perintah Pembukuan/Pengesahan (SP3) tetap dapat digunakan oleh Pemegang Rekening Giro sebagai sarana penarikan. V. PENUTUP Dengan berlakunya Surat Edaran ini, Surat Edaran Bank Indonesia No.4/11/DASP tanggal 13 Agustus 2002 perihal Hubungan Rekening Giro Antara Bank Indonesia Dengan Pihak Ekstern dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi. Ketentuan dalam Surat Edaran ini mulai berlaku sejak tanggal 1 Februari 2007. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. BANK INDONESIA, EDI SISWANTO DIREKTUR AKUNTING DAN SISTEM PEMBAYARAN "," SE-BI 8/34/DASP|SE-BI/2006 Hubungan Rekening Giro Antara Bank Indonesia Dengan Pihak Ekstern 22 Desember 2006 1 Februari 2007 '4/11/DASP|SE-BI/2002' '7/48/PBI/2005', '2/24/PBI/2000' " " No. 12/ 30 /DASP Jakarta, 10 November 2010 SURAT EDARAN Perihal : Perubahan atas Surat Edaran Nomor 11/32/DPM tanggal 7 Desember 2009 perihal Tata Cara Lelang Surat Utang Negara di Pasar Perdana dan Penatausahaan Surat Utang Negara Sehubungan dengan dilakukannya penyempurnaan organisasi Bank Indonesia, khususnya yang terkait dengan penyelenggaraan Bank Indonesia - Scripless Securities Settlement System, perlu untuk melakukan perubahan terhadap Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/32/DPM tanggal 7 Desember 2009 sebagai berikut: I. Alamat penyampaian bukti pembayaran biaya peminjaman Surat Utang Negara sebagaimana diatur dalam butir III.B.3.c.1)b) diubah menjadi ditujukan kepada: Bank Indonesia Direktorat Akunting dan Sistem Pembayaran Bagian Penyelenggaraan Setelmen Gedung D Lantai 3 Jl. M.H.Thamrin No. 2 Jakarta-10350 Telepon: 021-381 7575 / 021-381 7923 Faksimili: 021-2311902 II. Semua penyebutan Departemen Keuangan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan mengenai tata cara lelang Surat Utang Negara di pasar perdana dan penatausahaan Surat Utang Negara yang sudah ada sebelum Surat Edaran Bank Indonesia ini dibaca sebagai Kementerian Keuangan. Ketentuan ... 2 Ketentuan dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 10 November 2010. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA, RONALD WAAS DIREKTUR AKUNTING DAN SISTEM PEMBAYARAN "," SE-BI 12/30/DASP|SE-BI/2010 Perubahan atas Surat Edaran Nomor 11/32/DPM tanggal 7 Desember 2009 perihal Tata Cara Lelang Surat Utang Negara di Pasar Perdana dan Penatausahaan Surat Utang Negara 10 November 2010 10 November 2010 '11/32/DPM|SE-BI/2009' '11/32/DPM|SE-BI/2009' " " No. 10/7/DASP Jakarta, 21 Februari 2008 S U R A T E D A R A N Perihal : Pengawasan Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu (APMK) Sehubungan dengan diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/52/PBI/2005 tanggal 28 Desember 2005 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 148, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4583) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/8/PBI/2008 tanggal 20 Februari 2008 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/52/PBI/2005 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 34, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4822), Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/3/PBI/2008 tanggal 4 Februari 2008 tentang Laporan Kantor Pusat Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4810) dan Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/4/PBI/2008 tanggal 4 Februari 2008 tentang Laporan Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu Oleh Bank Perkreditan Rakyat dan Lembaga Selain Bank (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4811), dipandang perlu untuk mengatur kembali ketentuan mengenai pengawasan penyelenggaraan kegiatan alat pembayaran dengan menggunakan kartu dalam Surat Edaran Bank Indonesia sebagai berikut : I. PENGAWASAN … 2 I. PENGAWASAN PENYELENGGARAAN KEGIATAN ALAT PEMBAYARAN DENGAN MENGGUNAKAN KARTU (APMK) A. Obyek Pengawasan Bank Indonesia c.q. Direktorat Akunting dan Sistem Pembayaran, Bagian Pengawasan Sistem Pembayaran melakukan pengawasan terhadap: 1. Penyelenggaraan APMK (Prinsipal, Penerbit dan Acquirer); 2. Perusahaan Personalisasi; 3. Penyelenggara kegiatan kliring APMK; 4. Penyelenggara kegiatan penyelesaian akhir APMK; dan 5. Perusahaan Switching dalam hal Perusahaan Switching tersebut bekerja sama dengan Penerbit dan/atau Financial Acquirer B. Fokus Pengawasan Pengawasan terhadap penyelenggaraan APMK difokuskan pada kepatuhan terhadap ketentuan yang berlaku dalam penyelenggaraan APMK antara lain meliputi: 1. penerapan aspek manajemen risiko dalam penyelenggaraan kegiatan APMK; 2. kebenaran dan ketepatan penyampaian informasi dan laporan; dan 3. penerapan aspek perlindungan nasabah. C. Tujuan Pengawasan Pengawasan bertujuan untuk memastikan penyelenggaraan kegiatan APMK dilakukan secara efisien, cepat, aman dan handal dengan memperhatikan prinsip perlindungan nasabah. D. Metode Pengawasan Pengawasan terhadap penyelenggaraan kegiatan APMK dilakukan terutama melalui pengawasan tidak langsung dan apabila diperlukan dapat dilakukan pengawasan langsung. 1. Pengawasan … 3 1. Pengawasan Tidak Langsung Pengawasan tidak langsung dilakukan melalui penelitian, analisis dan evaluasi atas laporan berkala dan insidentil yang disampaikan oleh, serta diskusi dengan pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada butir I.A. Di samping itu, pengawasan tidak langsung dapat juga dilakukan atas dasar data dan/atau informasi lainnya yang diperoleh Bank Indonesia dari pihak lain. 2. Pengawasan Langsung Pengawasan langsung dilakukan sewaktu-waktu apabila diperlukan dengan cara melakukan pemeriksaan (on the spot) terhadap pihak- pihak sebagaimana dimaksud pada butir I.A. Dalam rangka pengawasan langsung, pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada butir I.A wajib memberikan: a. keterangan, data transaksi dan data nasabah dalam bentuk hard copy dan/atau soft copy; b. kesempatan untuk melakukan pengawasan secara langsung terhadap sarana fisik, sistem, aplikasi pendukung dan database;dan/atau c. hal-hal lain yang diperlukan Bank Indonesia dapat menugaskan pihak lain untuk dan atas nama Bank Indonesia melaksanakan pengawasan secara langsung. II. LAPORAN PENYELENGGARAAN KEGIATAN APMK Dalam rangka pengawasan tidak langsung, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring APMK, Penyelenggara Penyelesaian Akhir dan Perusahaan Switching wajib menyampaikan laporan secara On-Line atas penyelenggaraan kegiatan APMK kepada Bank Indonesia secara berkala dan menyampaikan laporan insidentil secara tertulis. Sedangkan Prinsipal dan Perusahaan Personalisasi wajib menyampaikan laporan tertulis kepada Bank Indonesia. A. Laporan … 4 A. Laporan Berkala 1. Laporan berkala merupakan laporan yang wajib disampaikan secara benar, akurat dan tepat waktu oleh pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada butir I.A sesuai dengan periode masing-masing laporan. Laporan berkala terdiri atas laporan bulanan, laporan triwulanan, dan laporan tahunan. Laporan bulanan dan triwulanan disampaikan secara On-Line. Sedangkan laporan tahunan disampaikan secara tertulis dengan hard copy. 2. Jenis Laporan Berkala Laporan berkala yang wajib disampaikan oleh pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada butir I.A meliputi : a. Prinsipal Umum Laporan Tahunan yang sekurang-kurangnya mencakup informasi: 1) rencana pengembangan produk; 2) target dan realisasinya;dan 3) anggota yang tergabung dalam jaringan Prinsipal Umum dan biaya-biaya yang dikenakan kepada anggota. b. Penerbit 1) Laporan Bulanan Penyelenggaraan Kegiatan APMK terdiri dari: a) Laporan Bulanan Penerbit Kartu Kredit; b) Laporan Bulanan Penerbit Kartu ATM dan/atau Kartu Debet;dan c) Laporan Bulanan Penerbit Instrumen Prabayar. 2) Laporan Bulanan Fraud 3) Khusus untuk Penerbit Kartu Kredit Selain Bank di samping menyampaikan laporan bulanan tersebut di atas, Penerbit wajib menyampaikan: a) Laporan … 5 a) Laporan Bulanan Kolektibilitas Kartu Kredit dengan klasifikasi: (1) Lancar, apabila pembayaran tepat waktu, perkembangan rekening baik dan tidak ada tunggakan serta sesuai dengan persyaratan kredit; (2) Dalam Perhatian Khusus, apabila terdapat tunggakan pembayaran pokok dan/atau bunga sampai dengan 90 (sembilan puluh) hari; (3) Kurang Lancar, apabila terdapat tunggakan pembayaran pokok dan/atau bunga yang telah melampaui 90 (sembilan puluh) hari sampai dengan 120 (seratus dua puluh) hari; (4) Diragukan, apabila terdapat tunggakan pembayaran pokok dan/atau bunga yang telah melampaui 120 (seratus dua puluh) hari sampai dengan 180 (seratus delapan puluh) hari; (5) Macet, apabila terdapat tunggakan pokok dan/atau bunga yang telah melampaui 180 (seratus delapan puluh) hari. b) Laporan Triwulanan Penanganan dan Penyelesaian Pengaduan Nasabah 4) Untuk Penerbit Bank, penyampaian Laporan Bulanan Kolektibilitas Kartu Kredit dilakukan sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia mengenai penilaian kualitas aktiva Bank Umum. c. Acquirer Laporan Bulanan Acquirer. d. Perusahaan … 6 d. Perusahaan Personalisasi Laporan Tahunan Perusahaan Personalisasi dengan format sebagaimana dimaksud pada Lampiran 1. e. Penyelenggara Kegiatan Kliring APMK dan/atau Kegiatan Penyelesaian Akhir APMK Laporan Triwulanan Penyelenggara Kegiatan Kliring APMK. f. Perusahaan Switching Laporan Triwulanan Perusahaan Switching. 3. Laporan tahunan Prinsipal Umum dan Perusahaan Personalisasi wajib disampaikan kepada Bank Indonesia paling lambat akhir bulan Februari tahun berikutnya. Apabila akhir bulan Februari jatuh pada hari libur maka laporan harus sudah diterima pada hari kerja berikutnya. 4. Tata cara pelaporan dan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud pada Angka 2 huruf b, huruf c, huruf e dan huruf f berpedoman pada ketentuan tentang Laporan Kantor Pusat Bank Umum dan ketentuan tentang Laporan Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu oleh Bank Perkreditan Rakyat Dan Lembaga Selain Bank B. Laporan Insidentil 1. Laporan insidentil merupakan laporan tertulis yang wajib disampaikan secara benar oleh pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada butir I.A kepada Bank Indonesia baik atas permintaan Bank Indonesia maupun atas inisiatif pihak-pihak tersebut di atas. 2. Jenis … 7 2. Jenis Laporan Insidentil a. Laporan terkait dengan implementasi teknologi pengamanan penyelenggaraan APMK antara lain laporan implementasi penggunaan teknologi chip pada APMK. b. Laporan terkait Kartu Kredit Laporan terkait Kartu Kredit wajib disampaikan oleh pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada butir I.A. dengan pengaturan sebagai berikut: 1) Penerbit Kartu Kredit Penerbit Kartu Kredit menyampaikan hal-hal sebagai berikut: a) Ketentuan pemberian Kartu Kredit meliputi: (1) usia minimum Pemegang Kartu; (2) pendapatan minimum Pemegang Kartu; (3) batas maksimum kredit Pemegang Kartu; (4) persentase minimum pembayaran oleh Pemegang Kartu; dan (5) kebijakan penetapan pemberian kartu kredit yang dikategorikan sebagai “tanpa batas” (infinite) sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia perihal prinsip perlindungan nasabah dan kehati-hatian. b) Standard Operating Procedure (SOP) meliputi: (1) prosedur pemberian persetujuan kepada calon pemegang kartu; (2) prosedur otorisasi; (3) prosedur pembukuan transaksi; (4) prosedur penghitungan biaya bunga dan denda; (5) prosedur pemberian penambahan limit kredit; (6) prosedur persetujuan pelampauan batas limit kredit; (7) prosedur … 8 (7) prosedur penagihan piutang, penanganan kredit macet dan penghapusan piutang; (8) prosedur pencantuman nasabah ke dalam Negative List; (9) prosedur pengamanan kartu (mulai dari pengawasan pemesanan bahan kartu, pencetakan, proses pengiriman dan personalisasi kartu); (10) prosedur pemilihan dan penetapan merchant (termasuk standar perjanjian); (11) prosedur penunjukan agen pemasaran dan agen penagihan atau debt collector (termasuk standar perjanjian); (12) prosedur pelaporan kepada manajemen dan pengawasan internal; (13) prosedur sistem deteksi dan penanganan fraud; (14) prosedur perencanaan darurat (Disaster Recovery Plan/DRP) dan kesinambungan usaha (Business Continuity Plan/BCP); dan (15) prosedur layanan konsumen antara lain meliputi: (a) layanan informasi dan fasilitas; dan (b) penanganan keluhan konsumen. c) Informasi tertulis yang disampaikan Penerbit kepada Pemegang Kartu sekurang-kurangnya meliputi: (1) hak dan kewajiban Pemegang Kartu; (2) persentase minimum pembayaran oleh Pemegang Kartu; (3) produk yang diterbitkan, antara lain informasi mengenai prosedur dan tata cara penggunaan kartu, fasilitas yang melekat pada kartu, tata cara pembayaran … 9 pembayaran kartu dan risiko yang mungkin timbul dari penggunaan produk tersebut; (4) tata cara penghitungan bunga; (5) tata cara penghitungan denda; (6) tata cara pengajuan pengaduan atas kartu yang diberikan dan perkiraan lamanya waktu penanganan pengaduan tersebut; (7) jenis dan besarnya biaya administrasi yang dikenakan; dan (8) formulir lembar penangihan (billing statement). 2) Financial Acquirer Kartu Kredit, wajib menyampaikan SOP sekurang-kurangnya meliputi: a) Prosedur mekanisme dan pembukuan transaksi serta otorisasi; b) Prosedur penyelesaian pembayaran; c) Prosedur pemilihan dan penetapan merchant termasuk standar perjanjian; d) Prosedur pengendalian risiko keuangan dalam hal terjadi kerugian akibat penggunaan kartu palsu; e) Prosedur penyediaan sarana pengganti (back-up system) dalam hal terjadi gangguan pada perangkat keras dan jaringan komunikasi; f) Prosedur penyediaan sarana back-up data transaksi; g) Prosedur penatausahaan arsip; dan h) Prosedur pelaporan kepada manajemen dan pengawasan internal. 3) Technical Acquirer Kartu Kredit, wajib menyampaikan SOP sekurang-kurangnya meliputi: a) Prosedur … 10 a) Prosedur penyediaan sarana pengganti (back-up system) dalam hal terjadi gangguan pada perangkat keras dan jaringan komunikasi; dan b) Prosedur penyediaan sarana back-up data transaksi. 4) Perusahaan Personalisasi Kartu Kredit, wajib menyampaikan SOP sekurang-kurangnya meliputi: a) Standar perjanjian kerjasama dengan Penerbit atau Prinsipal b) SOP sekurang-kurangnya meliputi: (1) Prosedur pengamanan kartu (2) Prosedur operasional kegiatan personalisasi; dan (3) Prosedur pengamanan kerahasiaan data. 5) Penyelenggara Kegiatan Kliring Kartu Kredit, wajib menyampaikan SOP sekurang-kurangnya meliputi: a) Persyaratan kepesertaaan; b) Prosedur operasional kegiatan kliring; c) Prosedur mekanisme dan pembukuan kliring; d) Prosedur penyelesaian transaksi; e) Prosedur DRP dan BCP; dan f) Prosedur pelaporan kepada manajemen dan pengawasan internal. 6) Perusahaan Switching Kartu Kredit, wajib menyampaikan SOP sekurang-kurangnya meliputi: a) Persyaratan kepesertaaan, penetapan penerbit dan standar perjanjian dengan Penerbit; b) SOP sekurang-kurangnya meliputi: (1) Prosedur mekanisme dan pembukuan transaksi serta otorisasi; (2) Prosedur penyelesaian pembayaran; (3) Prosedur DRP dan BCP; dan (4) Prosedur … 11 (4) Prosedur pelaporan kepada manajemen dan pengawasan internal c. Laporan terkait Kartu ATM, kartu Debet dan Kartu Prabayar 1) Penerbit kartu ATM, kartu Debet dan Kartu Prabayar wajib menyampaikan: a) SOP sekurang-kurangnya meliputi: (1) Ketentuan mengenai persyaratan calon pemegang kartu; (2) Prosedur pemberian kartu kepada calon pemegang kartu, termasuk di dalamnya: (3) Prosedur pengamanan kartu (mulai dari pengawasan pemesanan bahan kartu, pencetakan, proses pengiriman dan personalisasi kartu); (4) Prosedur sistem deteksi dan penanganan fraud; (5) Prosedur pelaporan kepada manajemen dan pengawasan internal; (6) Prosedur penunjukan merchant (termasuk lampiran perjanjian); dan (7) Prosedur layanan Prosedur layanan konsumen antara lain meliputi: (a) Layanan informasi dan fasilitas; dan (b) Penanganan keluhan konsumen. b) Perjanjian kerjasama dengan Perusahaan Switching c) Perjanjian dengan Pemegang kartu d) Informasi tertulis yang disampaikan penerbit kepada pemegang kartu sekurang-kurangnya meliputi: (1) Produk yang diterbitkan, antara lain informasi mengenai prosedur dan tata cara penggunaan kartu, fasilitas yang melekat pada kartu, tata cara pembayaran … 12 pembayaran kartu dan risiko yang mungkin timbul dari penggunaan produk tersebut; (2) Tata cara pengajuan pengaduan atas produk yang diberikan dan perkiraan lamanya waktu penanganan pengaduan tersebut; 2) Financial Acquirer kartu ATM, kartu Debet dan Kartu Prabayar wajib menyampaikan: a) Prosedur mekanisme transaksi dan otorisasi; b) Prosedur pembukuan transaksi; c) Prosedur penyelesaian pembayaran; d) Prosedur pemilihan dan penetapan merchant termasuk lampiran perjanjian; e) Prosedur penunjukan perusahaan Switching; f) Prosedur pengaturan risiko keuangan dalam hal terjadi kerugian akibat penggunaan kartu palsu; g) Prosedur penyediaan sarana pengganti (back-up system) dalam hal terjadi gangguan pada perangkat keras dan jaringan komunikasi; h) Prosedur penyediaan sarana back-up data transaksi; dan i) Prosedur pelaporan kepada manajemen dan pengawasan internal. 3) Technical acquirer kartu ATM, kartu Debet dan Kartu Prabayar wajib menyampaikan: a) Prosedur penyediaan sarana pengganti (back-up system) dalam hal terjadi gangguan pada perangkat keras dan jaringan komunikasi; dan b) Prosedur penyediaan sarana back-up data transaksi. 4) Perusahaan Personalisasi kartu ATM, kartu Debet dan Kartu Prabayar wajib menyampaikan: a) Standar … 13 a) Standar perjanjian kerjasama dengan penerbit atau prinsipal; b) SOP sekurang-kurangnya meliputi: (1) Prosedur pengamanan kartu; (2) Prosedur operasional kegiatan personalisasi; dan (3) Prosedur pengamanan kerahasiaan data. 5) Perusahaan Switching kartu ATM, kartu Debet dan Kartu Prabayar wajib menyampaikan: a) Persyaratan kepesertaaan, penetapan penerbit dan standar perjanjian dengan Penerbit; b) SOP sekurang-kurangnya meliputi: (1) Prosedur mekanisme dan pembukuan transaksi serta otorisasi; (2) Prosedur penyelesaian pembayaran; (3) Prosedur DRP dan BCP; dan (4) Prosedur pelaporan kepada manajemen dan pengawasan internal. Laporan sebagaimana dimaksud pada butir 2.a wajib disampaikan setelah implementasi teknologi pengamanan penyelenggaraan APMK dilaksanakan, sedangkan laporan sebagaimana dimaksud pada butir 2.b dan 2.c wajib disampaikan untuk pertama kali setelah mendapatkan persetujuan sebagai penyelenggara dari Bank Indonesia, dan wajib disampaikan kembali apabila terdapat perubahan atas laporan tersebut. Bagi Penerbit, Acquirer, Perusahaan Personalisasi, Penyelenggara Kliring dan Perusahaan Switching APMK yang telah menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada butir 2.b dan 2.c berdasarkan Surat Edaran No. 7/61/DASP, maka yang bersangkutan tidak lagi diwajibkan untuk menyampaikan laporan tersebut, kecuali jika terdapat perubahan. C. Penyampaian … 14 C. Penyampaian Laporan Berkala Tahunan dan Insidentil wajib disampaikan kepada: Direktorat Akunting dan Sistem Pembayaran Bank Indonesia, Gedung D Lantai 9 Jl. MH Thamrin No.2 Jakarta 10350 D. Untuk kepentingan pengawasan terkait dengan kegiatan penyelenggaraan APMK, Bank Indonesia berwenang meminta data, informasi, dan atau laporan di luar laporan-laporan sebagaimana dimaksud pada huruf A dan B. III. TATA CARA PENGENAAN SANKSI KEWAJIBAN MEMBAYAR Dalam hal Bank Indonesia mengenakan sanksi kewajiban membayar terhadap Bank terkait penyelenggaraan kegiatan APMK, sanksi kewajiban membayar tersebut dilakukan Bank Indonesia dengan cara mendebet rekening giro Bank di Bank Indonesia. Sanksi kewajiban membayar yang dikenakan terhadap Lembaga Selain Bank terkait dengan penyelenggaraan kegiatan APMK dilakukan Direktorat Akunting dan Sistem Pembayaran dengan cara menyampaikan surat pengenaan sanksi kewajiban membayar kepada Lembaga Selain Bank tersebut yang antara lain berisi informasi jumlah sanksi kewajiban membayar dimaksud dan tata cara pembayarannya kepada Bank Indonesia. IV. PENUTUP Dengan berlakunya Surat Edaran Bank Indonesia ini maka Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 7/61/DASP tanggal 30 Desember 2005 perihal Pengawasan Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Ketentuan … 15 Ketentuan dalam Surat Edaran ini mulai berlaku pada tanggal 21 Februari 2008. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA, DYAH N.K MAKHIJANI DIREKTUR AKUNTING DAN SISTEM PEMBAYARAN "," SE-BI 10/7/DASP|SE-BI/2008 Pengawasan Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu (APMK) 21 Februari 2008 21 Februari 2008 '7/61/DASP|SE-BI/2005' '10/8/PBI/2008', '10/4/PBI/2008', '7/52/PBI/2005', '10/3/PBI/2008' 'Romawi III' " " 1 No. 16/10/DSta Jakarta, 26 Mei 2014 SURAT EDARAN Kepada: SEMUA DEBITUR DEVISA UTANG LUAR NEGERI DI INDONESIA Perihal : PENARIKAN DEVISA UTANG LUAR NEGERI Sehubungan dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/10/PBI/2014 tentang Penerimaan Devisa Hasil Ekspor dan Penarikan Devisa Utang Luar Negeri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5534) maka perlu diatur ketentuan pelaksanaan mengenai kewajiban pelaporan penarikan Devisa Utang Luar Negeri dalam Surat Edaran Bank Indonesia sebagai berikut: A. UMUM Dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini, yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, termasuk kantor cabang bank asing di Indonesia, dan Bank Umum Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 2. Bank Devisa adalah Bank yang memperoleh persetujuan dari otoritas yang berwenang untuk dapat melakukan kegiatan usaha perbankan dalam valuta asing, termasuk kantor cabang bank asing di Indonesia, namun tidak termasuk kantor cabang luar negeri dari Bank yang berkantor pusat di Indonesia. 3. Penduduk adalah penduduk sebagaimana dimaksud dalam undang- undang yang mengatur mengenai lalu lintas devisa dan sistem nilai tukar. 4. Utang … 2 4. Utang Luar Negeri yang selanjutnya disingkat ULN adalah utang Penduduk kepada bukan Penduduk, dalam valuta asing. 5. Debitur Utang Luar Negeri yang selanjutnya disebut Debitur ULN adalah perorangan, badan hukum bukan bank, dan badan lainnya yang memiliki ULN. 6. Devisa Utang Luar Negeri yang selanjutnya disingkat DULN adalah devisa yang diperoleh Debitur ULN dari penarikan ULN. 7. Pelapor DULN adalah Debitur ULN. 8. Hari adalah hari kerja Bank Indonesia. 9. Dokumen Pendukung adalah dokumen yang dapat dipakai sebagai bukti keterangan. B. KEWAJIBAN PENARIKAN DULN 1. Setiap DULN wajib ditarik oleh Debitur ULN melalui Bank Devisa. 2. Kewajiban penarikan DULN oleh Debitur ULN sebagaimana diatur pada angka 1 berlaku bagi DULN yang berbentuk dana tunai yang berasal dari: a. ULN berdasarkan Perjanjian Kredit (Loan Agreement) dalam bentuk non revolving yang tidak digunakan untuk refinancing; b. selisih fasilitas refinancing dengan jumlah ULN lama; dan c. ULN berdasarkan surat utang (debt securities) dalam bentuk Bonds, Medium Term Notes (MTN), Floating Rate Notes (FRN), Promissory Notes (PN), dan Commercial Paper (CP). 3. Penarikan DULN sebagaimana dimaksud pada angka 1 harus dilaporkan oleh Pelapor DULN kepada Bank Indonesia secara lengkap, benar, dan tepat waktu. 4. Laporan penarikan DULN sebagaimana dimaksud pada angka 3 wajib disertai Dokumen Pendukung yang dapat membuktikan bahwa penarikan DULN telah dilakukan melalui Bank Devisa. 5. Nilai akumulasi penarikan DULN harus sama dengan nilai komitmen. 6. Dalam hal terdapat selisih kurang antara nilai akumulasi penarikan DULN dengan nilai komitmen maka Pelapor DULN wajib menyampaikan … 3 menyampaikan penjelasan tertulis dan Dokumen Pendukung yang memadai. 7. Dokumen Pendukung sebagaimana dimaksud pada angka 6 dinilai memadai apabila menurut Bank Indonesia dokumen yang bersangkutan dapat membuktikan terjadinya selisih kurang antara nilai akumulasi penarikan DULN dengan nilai komitmen ULN. C. PENYAMPAIAN LAPORAN, DOKUMEN PENDUKUNG, DAN PENJELASAN TERTULIS 1. Laporan penarikan DULN menggunakan laporan data rekapitulasi ULN sebagaimana diatur dalam: a. Peraturan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pelaporan kegiatan lalu lintas devisa; dan b. Surat Edaran Bank Indonesia yang mengatur mengenai pelaporan kegiatan lalu lintas devisa berupa realisasi dan posisi ULN. 2. Jangka waktu penyampaian Dokumen Pendukung adalah: a. Laporan penarikan DULN sebagaimana dimaksud pada angka 1 wajib disertai Dokumen Pendukung yang dapat membuktikan bahwa penarikan DULN telah dilakukan melalui Bank Devisa. Batas waktu penyampaian Dokumen Pendukung ke Bank Indonesia paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya. Contoh Dokumen Pendukung penarikan DULN antara lain berupa fotokopi bukti transfer masuk dan/atau SWIFT message. b. Apabila tanggal batas waktu sebagaimana dimaksud pada huruf a jatuh pada hari Sabtu atau hari libur, maka Dokumen Pendukung penarikan DULN dapat disampaikan pada Hari berikutnya. Contoh 1: Perusahaan AT melakukan penarikan DULN yang berasal dari Perjanjian Kredit (Loan Agreement) pada tanggal 23 April 2014 dan telah dilakukan penarikan pada tanggal tersebut. Batas waktu penyampaian Dokumen Pendukung penarikan DULN tersebut seharusnya pada tanggal 15 Mei 2014, namun karena tanggal 15 Mei 2014 jatuh pada hari libur nasional, maka batas waktu … 4 waktu penyampaian Dokumen Pendukung penarikan DULN menjadi tanggal 16 Mei 2014. Contoh 2: Perusahaan RH melakukan penarikan DULN yang berasal dari Perjanjian Kredit (Loan Agreement) pada tanggal 5 Mei 2014 dan telah dilakukan penarikan pada tanggal 28 Mei 2014. Batas waktu penyampaian Dokumen Pendukung penarikan DULN tersebut seharusnya pada tanggal 15 Juni 2014, namun karena tanggal 15 Juni 2014 jatuh pada hari Minggu, maka batas waktu penyampaian Dokumen Pendukung penarikan DULN menjadi hari Senin tanggal 16 Juni 2014. 3. Penyampaian Dokumen Pendukung bukti penarikan DULN kepada Bank Indonesia dapat menggunakan kurir, pos, faksimili, email, atau media lainnya. 4. Dokumen Pendukung penarikan DULN yang memuat data/informasi individual yang disampaikan kepada Bank Indonesia bersifat rahasia. 5. Keterlambatan penyampaian Dokumen Pendukung Dalam hal Pelapor DULN menyampaikan Dokumen Pendukung penarikan DULN melampaui batas akhir penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam butir 2.a sampai dengan akhir bulan yang bersangkutan, maka Pelapor DULN dianggap terlambat menyampaikan Dokumen Pendukung penarikan DULN. Contoh: Perusahaan MQ melakukan penarikan DULN yang berasal dari Perjanjian Kredit (Loan Agreement) pada tanggal 9 September 2014. Batas waktu penyampaian Dokumen Pendukung penarikan DULN tersebut seharusnya pada tanggal 15 Oktober 2014, namun Perusahaan MQ baru menyampaikan Dokumen Pendukung penarikan DULN kepada Bank Indonesia pada tanggal 20 Oktober 2014. Dengan demikian, maka perusahaan MQ terlambat menyampaikan Dokumen Pendukung selama 3 (tiga) Hari. 6. Pelapor … 5 6. Pelapor DULN tidak menyampaikan Dokumen Pendukung: a. Dalam hal Pelapor DULN tidak menyampaikan Dokumen Pendukung penarikan DULN sampai dengan akhir bulan penyampaian laporan terhitung sejak batas akhir penyampaian laporan penarikan DULN sebagaimana dimaksud dalam butir 2.a, maka Pelapor DULN dianggap tidak melakukan penarikan DULN melalui Bank Devisa. Contoh: Perusahaan HI melakukan penarikan DULN yang berasal dari Perjanjian Kredit (Loan Agreement) tanggal 7 Oktober 2014 yang ditarik pada tanggal tersebut. Batas akhir bulan penyampaian Dokumen Pendukung penarikan DULN tersebut adalah tanggal 1 Desember 2014 karena tanggal 30 November 2014 merupakan hari Minggu. Perusahaan HI baru menyampaikan Dokumen Pendukung penarikan DULN kepada Bank Indonesia pada tanggal 5 Desember 2014. Dengan demikian, Perusahaan HI dianggap tidak melakukan penarikan DULN melalui Bank Devisa, karena Perusahaan HI menyampaikan Dokumen Pendukung penarikan DULN melebihi batas akhir bulan penyampaian laporan penarikan DULN. b. Dalam hal Pelapor DULN tidak dapat memberikan Dokumen Pendukung penarikan DULN telah dilakukan melalui Bank Devisa sampai dengan akhir bulan penyampaian laporan, maka Pelapor DULN dianggap tidak melakukan penarikan DULN melalui Bank Devisa. Contoh: Perusahaan DN melakukan realisasi penarikan Perjanjian Kredit (Loan Agreement) pada tanggal 16 Juni 2014. Perusahaan DN tidak menyampaikan Dokumen Pendukung penarikan DULN kepada Bank Indonesia sampai dengan batas akhir bulan penyampaian Dokumen Pendukung penarikan DULN. Dengan demikian, Perusahaan DN dianggap tidak melakukan penarikan DULN melalui Bank Devisa. 7. Penjelasan … 6 7. Penjelasan tertulis a. Dalam hal terdapat selisih kurang antara nilai akumulasi penarikan DULN dengan nilai komitmen ULN paling banyak ekuivalen Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), maka Debitur ULN tidak perlu menyampaikan penjelasan tertulis dan Dokumen Pendukung yang memadai. Contoh: PT. AP memperoleh ULN dalam bentuk Perjanjian Kredit (Loan Agreement) dari kreditur LK di Thailand dalam mata uang USD sebesar ekuivalen Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah). Total akumulasi penarikan DULN pada saat jatuh tempo tercatat sebesar ekuivalen Rp225.000.000,00 (dua ratus dua puluh lima juta rupiah). Dengan demikian terdapat selisih kurang sebesar Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) antara nilai total akumulasi penarikan DULN dengan nilai komitmen yang diberikan oleh kreditur. Perbedaan antara nilai total akumulasi penarikan DULN dengan nilai komitmen tersebut di bawah Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) maka DULN dianggap sesuai dengan nilai komitmen ULN dan Debitur ULN tidak perlu menyampaikan penjelasan tertulis dan Dokumen Pendukung yang memadai kepada Bank Indonesia. b. Dalam hal selisih kurang antara nilai akumulasi penarikan DULN dengan nilai komitmen ULN lebih besar dari ekuivalen Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), maka DULN yang diterima dianggap sesuai dengan nilai komitmen ULN apabila Debitur ULN menyampaikan penjelasan tertulis dan Dokumen Pendukung yang memadai. Contoh: PT. SN memperoleh ULN dalam bentuk Perjanjian Kredit (Loan Agreement) dari kreditur IH di Jepang dalam mata uang USD sebesar ekuivalen Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Total akumulasi penarikan DULN pada saat jatuh tempo tercatat sebesar ekuivalen Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah). Dengan demikian terdapat selisih kurang sebesar ekuivalen Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) antara nilai total akumulasi … 7 akumulasi penarikan DULN dengan nilai komitmen. Dalam hal ini, penarikan DULN dianggap sesuai dengan nilai komitmen ULN apabila Debitur ULN menyampaikan penjelasan tertulis dan Dokumen Pendukung yang memadai kepada Bank Indonesia. c. Dalam hal masih terdapat keraguan atas kebenaran penarikan DULN yang disampaikan oleh Pelapor DULN, Bank Indonesia dapat meminta penjelasan tambahan kepada Pelapor DULN berupa pemberian keterangan secara tertulis dengan dilengkapi bukti pembukuan, catatan, dan dokumen lain yang diperlukan. d. Penjelasan tertulis dan Dokumen Pendukung yang memadai sebagai dimaksud pada huruf b harus disampaikan kepada Bank Indonesia paling lama sebelum berakhirnya jangka waktu perjanjian ULN. e. Dalam hal Pelapor DULN tidak menyampaikan penjelasan tertulis dan Dokumen Pendukung yang memadai dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada huruf d, maka Pelapor DULN dianggap tidak melakukan penarikan selisih kurang antara nilai komitmen dan nilai akumulasi penarikan DULN melalui Bank Devisa. 8. Dalam hal valuta DULN sesuai dengan valuta komitmen ULN, maka besarnya selisih kurang antara nilai akumulasi penarikan DULN dan nilai komitmen ULN dikonversikan ke rupiah menggunakan kurs tengah Bank Indonesia pada batas akhir ULN. Contoh: Perusahaan AW mendapatkan pinjaman berupa Perjanjian Kredit (Loan Agreement) pada tanggal 2 Juni 2014 sebesar SGD50,000.00 (lima puluh ribu dolar Singapura) dengan batas akhir ULN adalah 31 Desember 2014. Perusahaan AW melakukan penarikan DULN sebanyak 2 (dua) kali pada tanggal 16 Juli 2014 dan 18 Agustus 2014 masing-masing sebesar SGD20,000.00 (dua puluh ribu dolar Singapura). Dalam hal ini selisih kurang antara nilai akumulasi penarikan DULN dan nilai komitmen ULN dengan menggunakan kurs tengah Bank Indonesia tanggal 31 Desember 2014 (Rp9.000,00/SGD) adalah sebesar ((SGD50,000.00 X Rp9.000/SGD) … 8 Rp9.000,00/SGD) – ((SGD20,000.00 X Rp9.000,00/SGD) + (SGD20,000.00 X Rp9.000,00/SGD))) = Rp90.000.000,00. Dalam hal ini, Perusahaan AW wajib menyampaikan penjelasan tertulis dan Dokumen Pendukung yang memadai untuk selisih kurang tersebut. 9. Dalam hal terdapat perbedaan valuta antara DULN dan komitmen ULN, maka besarnya selisih kurang antara nilai akumulasi penarikan DULN dan nilai komitmen ULN dihitung setelah masing- masing valuta dikonversikan ke rupiah dengan menggunakan kurs tengah Bank Indonesia pada batas akhir ULN. Contoh: Perusahaan SM mendapatkan pinjaman berupa Perjanjian Kredit (Loan Agreement) pada tanggal 9 Mei 2014 sebesar USD30,000.00 (tiga puluh ribu dolar Amerika Serikat) dengan batas akhir ULN adalah 15 Oktober 2014. Perusahaan SM melakukan penarikan DULN sebanyak 2 (dua) kali pada tanggal 20 Juni 2014 dan 10 September 2014 masing-masing sebesar EUR10,000.00 (sepuluh ribu euro) dan AUD10,000.00 (sepuluh ribu dolar Australia). Dalam hal ini selisih kurang antara nilai akumulasi penarikan DULN dan nilai komitmen ULN dengan menggunakan kurs tengah Bank Indonesia tanggal 15 Oktober 2014 (Rp12,000.00/USD, Rp15.000,00/EUR dan Rp10.500,00/AUD) adalah sebesar ((USD30,000.00 X Rp12.000,00/USD) – ((EUR10,000.00 X Rp15.000,00/EUR) + (AUD10,000.00 X Rp10.500,00/AUD))) = Rp105.000.000,00. Dalam hal ini, Perusahaan SM wajib menyampaikan penjelasan tertulis dan Dokumen Pendukung yang memadai untuk selisih kurang tersebut. D. PENGENAAN SANKSI Bank Indonesia memberitahukan secara tertulis kepada Pelapor DULN mengenai pelanggaran yang dilakukan dan besarnya sanksi administratif berupa denda yang dikenakan sebagai berikut: 1. Debitur ULN yang tidak menarik DULN melalui Bank Devisa dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar 0,25% (nol koma dua puluh lima persen) dari setiap nilai nominal penarikan DULN … 9 DULN yang tidak melalui Bank Devisa, dengan nominal paling banyak sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). Contoh: Perusahaan TS memperoleh ULN dalam bentuk Perjanjian Kredit (Loan Agreement) dengan jangka waktu 3 (tiga) tahun dari kreditur DR di Malaysia sebesar USD50,000,000.00 (lima puluh juta dolar Amerika Serikat). Diperjanjikan bahwa rencana penarikan ULN tersebut dilakukan sebanyak 5 (lima) kali dengan masing-masing penarikan sebesar USD10,000,000.00 (sepuluh juta dolar Amerika Serikat) selama masa berlakunya Loan Agreement. Pada saat penarikan ketiga, penarikan DULN dilakukan di Bank XY di Singapura. Dengan demikian, Perusahaan TS dianggap tidak melakukan penarikan DULN melalui Bank Devisa. Atas pelanggaran tersebut, maka Perusahaan TS dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar (0,25% x (USD10,000,000.00 x Rp11.300,00/USD)) = Rp282.500.000,00. Mengingat maksimum sanksi administratif berupa denda paling banyak sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) maka perusahaan TS hanya dikenakan denda maksimal sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). 2. Dalam hal terdapat selisih kurang antara nilai akumulasi penarikan DULN dengan nilai komitmen ULN lebih besar ekuivalen Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan tidak dapat dijelaskan oleh Debitur ULN, maka Debitur ULN dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar 0,25% (nol koma dua puluh lima persen) dari nilai nominal selisih kurang penarikan DULN yang tidak melalui Bank Devisa, dengan nominal paling banyak sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). Contoh: Perusahaan UF memperoleh ULN dalam bentuk Perjanjian Kredit (Loan Agreement) dari kreditur AK di Amerika Serikat dalam mata uang USD sebesar ekuivalen Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah). Sampai dengan jatuh tempo ternyata jumlah yang ditarik tercatat sebesar ekuivalen Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). … 10 rupiah). Dengan demikian terdapat selisih kurang sebesar ekuivalen Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) antara nilai total akumulasi penarikan DULN dengan nilai komitmen dan tidak dapat dijelaskan oleh Debitur ULN. Dalam hal ini, Debitur ULN dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar 0,25% x Rp100.000.000,00 = Rp250.000,00. 3. Debitur ULN dikenakan denda atas keterlambatan penyampaian Dokumen Pendukung penarikan DULN apabila: a. Pelapor DULN yang dinyatakan terlambat menyampaikan Dokumen Pendukung penarikan DULN apabila penyampaian Laporan Penarikan DULN melampaui batas akhir sebagaimana dimaksud dalam butir C.2.a, dikenakan sanksi administratif berupa denda sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penerimaan devisa hasil ekspor dan penarikan devisa utang luar negeri. b. Pelapor DULN yang terlambat menyampaikan Dokumen Pendukung penarikan DULN sebagaimana dimaksud dalam butir C.2.a, dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) setiap Hari keterlambatan. Contoh 1: Perusahaan CA melakukan penarikan DULN yang berasal dari Perjanjian Kredit (Loan Agreement) pada tanggal 8 Agustus 2014. Batas waktu penyampaian Dokumen Pendukung penarikan DULN tanggal 15 September 2014. Perusahaan CA baru menyampaikan Dokumen Pendukung penarikan DULN kepada Bank Indonesia pada tanggal 19 September 2014. Dengan demikian, maka Perusahaan CA terlambat selama 4 (empat) Hari (tanggal 16 September 2014 sampai dengan tanggal 19 September 2014). Atas keterlambatan tersebut, Perusahaan CA dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar 4 x Rp500.000,00 = Rp2.000.000,00. Contoh 2: Perusahaan DU melakukan penarikan DULN yang berasal dari Perjanjian Kredit (Loan Agreement) pada tanggal 12 September 2014 … 11 2014. Batas waktu penyampaian Dokumen Pendukung penarikan DULN tersebut tanggal 15 Oktober 2014. Perusahaan DU baru menyampaikan Dokumen Pendukung penarikan DULN kepada Bank Indonesia pada tanggal 31 Oktober 2014. Dengan demikian, maka perusahaan DU terlambat selama 12 (dua belas) Hari. Atas keterlambatan tersebut, Perusahaan DU dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar 12 x Rp500.000,00 = Rp6.000.000,00. 4. Pengenaan sanksi administratif berupa denda tidak menggugurkan kewajiban penarikan DULN ke Bank Devisa. 5. Tata Cara Pengenaan Sanksi a. Bank Indonesia akan menyampaikan Surat Pemberitahuan Pengenaan Sanksi Administratif Berupa Denda kepada Pelapor DULN yang melanggar ketentuan pelaporan sebagaimana dimaksud pada angka1, angka 2, dan/atau angka 3. Surat tersebut antara lain mencantumkan jenis pelanggaran, penetapan sanksi administratif berupa denda, besarnya denda yang harus dibayar, dan rekening tujuan pembayaran sanksi denda. b. Pembayaran sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada angka1, angka 2, dan/atau angka 3 disetorkan ke Bank Indonesia. c. Pembayaran sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada angka1, angka 2, dan/atau angka 3, dilakukan paling lambat akhir bulan berikutnya setelah tanggal penerbitan Surat Pemberitahuan Pengenaan Sanksi Administratif Berupa Denda dari Bank Indonesia. d. Pelapor DULN harus menyampaikan bukti pembayaran sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada huruf c kepada Bank Indonesia paling lambat akhir bulan berikutnya setelah tanggal penerbitan Surat Pemberitahuan Pengenaan Sanksi Administratif Berupa Denda. Contoh … 12 Contoh: Perusahaan HI terlambat menyampaikan Dokumen Pendukung realisasi penarikan DULN untuk laporan realisasi penarikan DULN bulan Mei 2014 dan batas waktu penyampaian Dokumen Pendukung penarikan DULN tersebut tanggal 15 Juni 2014. Namun karena tanggal 15 Juni 2014 jatuh pada hari Minggu, maka batas waktu penyampaian Dokumen Pendukung penarikan DULN menjadi hari Senin tanggal 16 Juni 2014. Perusahaan HI tersebut baru menyampaikan Dokumen Pendukung penarikan DULN kepada Bank Indonesia pada tanggal 23 Juni 2014. Atas keterlambatan tersebut, Bank Indonesia menyampaikan Surat Pemberitahuan Sanksi Administratif Berupa Denda pada tanggal 4 Juli 2014. Perusahaan HI harus menyetor sanksi denda keterlambatan ke rekening Bank Indonesia dan menyampaikan tembusan bukti penyetoran denda tersebut ke Bank Indonesia paling lambat tanggal 31 Agustus 2014. e. Bukti pembayaran sanksi denda sebagaimana dimaksud pada huruf d antara lain berupa fotokopi bukti transfer pembayaran sanksi denda ke Bank Indonesia. E. ALAMAT SURAT MENYURAT DAN HELP DESK 1. Penyampaian surat menyurat dan komunikasi dengan Bank Indonesia terkait pelaksanaan Surat Edaran Bank Indonesia ini ditujukan kepada: Bank Indonesia Departemen Pengolahan dan Kepatuhan Laporan c.q. Divisi Pengelolaan dan Pengawasan Lalu Lintas Devisa Menara Sjafruddin Prawiranegara Lt.16 Jalan MH. Thamrin No.2 Jakarta 10350 E-mail: LLDULN@bi.go.id Telepon: 021-29818126, 021-29818127, 021-29818266, 021-29814077, 021-29814219, 021-29814556, 021-29814572, 021-29814656, 021-29814657 … 13 021-29814657, 021-29815174, 021-29815870, 021-29815871, 021-29815874, 021-29815875, 021-29815877, 021-29816036, 021- 29810000 ext : 2122, 2134, 2138, 2166. 2. Dalam hal terjadi perubahan alamat surat menyurat dan komunikasi akan diberitahukan melalui surat dan/atau media lainnya. F. PERALIHAN Penarikan DULN yang berasal dari perjanjian ULN yang ditandatangani sebelum tanggal 2 Januari 2012 tidak wajib dilakukan melalui Bank Devisa, kecuali untuk penarikan DULN yang berasal dari penambahan plafon ULN karena adanya perubahan perjanjian (amandemen) yang ditandatangani setelah tanggal 2 Januari 2012. G. PENUTUP Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 26 Mei 2014. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA, PERRY WARJIYO DEPUTI GUBERNUR "," SE-BI 16/10/DSta|SE-BI/2014 PENARIKAN DEVISA UTANG LUAR NEGERI 26 Mei 2014 26 Mei 2014 '16/10/PBI/2014' 'Huruf D' " " No. 7/7/DPM Jakarta, 29 Maret 2005 S U R A T E D A R A N Perihal : Laporan Harian Bank Umum Sehubungan dengan ditetapkannya Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/10/PBI/2005 tanggal 9 Maret 2005 tentang Laporan Harian Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 25, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4483), perlu diatur ketentuan pelaksanaan dalam Surat Edaran yang mencakup hal-hal sebagai berikut : I. KETENTUAN UMUM Untuk menciptakan keseragaman dalam penyusunan dan penyampaian Laporan Harian Bank Umum (LHBU) perlu ditetapkan suatu sistematika penyusunan LHBU berupa Pedoman Penyusunan LHBU (yang selanjutnya disebut Pedoman) sebagaimana tercantum dalam Lampiran 1 dan Petunjuk Teknis Aplikasi LHBU sebagaimana tercantum dalam Lampiran 2 yang merupakan satu kesatuan dan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran ini. II. BANK PELAPOR Bank Pelapor terdiri dari : 1. Kantor Pusat Bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional; 2. Kantor Pusat Bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah; 3. Kantor Cabang Bank Asing; dan 4. Unit Usaha Syariah. III. RUANG LINGKUP DATA LHBU Jenis data yang wajib disampaikan oleh Bank Pelapor kepada Bank Indonesia terdiri dari data transaksional dan data non transaksional. A. Data ... 2 A. Data Transaksional 1. Transaksi Pasar Uang Antar Bank (PUAB), terdiri dari data : a. PUAB pagi dalam mata uang Rupiah; b. PUAB sore dalam mata uang Rupiah; c. PUAB dalam valuta asing; dan d. PUAB luar negeri. 2. Transaksi Pasar Uang Antar Bank berdasarkan Prinsip Syariah (PUAS). 3. Transaksi Devisa, terdiri dari data : a. transaksi tod/tom/spot dalam valuta asing; b. transaksi forward, swap, option dalam valuta asing; dan c. transaksi Derivatif lainnya antara lain future untuk nilai tukar, forward, swap, option yang merupakan turunan dari suku bunga, atau turunan dari kombinasi instrumen pasar uang lainnya. 4. Perdagangan surat berharga pasar uang di pasar sekunder meliputi transaksi Sertifikat Bank Indonesia, Sertifikat Deposito, dan Commercial Paper. B. Data Non Transaksional 1. Posisi akhir hari transaksi derivatif jual bukan investasi dengan pihak- pihak tertentu. 2. Posisi Devisa Neto (PDN), terdiri dari: a. data gabungan yang mencakup kantor-kantor cabang di dalam negeri; dan b. data gabungan yang mencakup seluruh kantor cabang dalam negeri dan luar negeri, untuk posisi akhir hari. 3. Pos-pos tertentu neraca, terdiri dari : a. data posisi pos-pos tertentu neraca gabungan kantor dalam negeri; dan b. data posisi pos-pos tertentu neraca gabungan kantor dalam negeri dan luar negeri. 4. Proyeksi arus kas, terdiri dari : a. proyeksi arus kas dalam mata uang Rupiah; dan b. proyeksi ... 3 b. proyeksi arus kas dalam valuta asing. 5. Suku bunga penawaran (quotation) dalam mata uang Rupiah dan valuta asing (USD). 6. Suku bunga dasar kredit dalam mata uang Rupiah dan valuta asing (USD). 7. Suku bunga kredit dalam mata uang Rupiah dan valuta asing (USD). 8. Suku bunga deposito berjangka dalam mata uang Rupiah dan valuta asing (USD), suku bunga tabungan dalam mata uang Rupiah, dan diskonto sertifikat deposito dalam mata uang Rupiah dan valuta asing (USD). 9. Tingkat imbalan deposito investasi Mudharabah Bank syariah dalam mata uang Rupiah. IV. FORMAT DAN JENIS LAPORAN A. Format LHBU 1. Format LHBU untuk data transaksional adalah sesuai dengan Form 101 (PUAB), 102 (PUAS), 201 (Transaksi Devisa Tod/Tom/Spot), 202 (Transaksi Devisa Forward/Swap/Option), 203 (Transaksi Derivatif Lainnya), dan 301 (Pasar Sekunder Surat Berharga Pasar Uang) sebagaimana dimaksud dalam Pedoman. 2. Format LHBU untuk data non transaksional adalah sesuai dengan Form 204 (Posisi akhir hari Transaksi Derivatif Jual bukan Investasi dengan pihak-pihak tertentu), 401 (PDN gabungan kantor Dalam Negeri), 402 (PDN gabungan kantor Dalam Negeri dan Luar Negeri), 403 (Pos-pos tertentu Neraca Gabungan kantor Dalam Negeri), 404 (Pos-pos tertentu Neraca Gabungan kantor Dalam Negeri dan Luar Negeri), 405 (Laporan Proyeksi Arus Kas Rupiah), 406 (Laporan Proyeksi Arus Kas Valuta Asing), 501 (Suku Bunga Penawaran/Quotation), 601 (Suku Bunga Dasar Kredit), 602 (Suku Bunga Kredit), 603 (Suku Bunga Deposito Berjangka, Suku Bunga Tabungan dan Diskonto Sertifikat Deposito), dan 604 (Tingkat Imbalan Deposito Investasi Mudharabah Bank Syariah) sebagaimana dimaksud dalam Pedoman. B. Jenis ... 4 B. Jenis Laporan yang Disampaikan 1. Jenis laporan yang wajib disampaikan oleh Kantor Pusat Bank dan Kantor Cabang Bank Asing yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional adalah sebagai berikut: a. Bank yang berstatus Bank devisa meliputi form 101, 102, 201, 202, 203, 204, 301, 401, 402, 403, 404, 405, 406, 501, 601, 602, dan 603. b. Bank yang berstatus Bank non devisa meliputi form 101, 102, 301, 403, 405, 501, 601, 602, dan 603. 2. Jenis laporan yang wajib disampaikan oleh Kantor Pusat Bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah adalah sebagai berikut: a. Bank yang berstatus Bank devisa meliputi form 102, 201, 401, 402, 403, 404, 405, 406, dan 604. b. Bank yang berstatus Bank non devisa meliputi form 102, 403, 405, dan 604. 3. Jenis laporan yang wajib disampaikan oleh Unit Usaha Syariah adalah form 102, 201, dan 604. V. PENYAMPAIAN DAN KOREKSI LHBU A. Data LHBU yang Disampaikan 1. Penyampaian Data Transaksional Bank Pelapor wajib menyampaikan data transaksional berikut form header setiap Hari Kerja secara real time atau segera setelah terjadinya transaksi pada tanggal laporan. 2. Penyampaian Data Non Transaksional Bank Pelapor wajib menyampaikan data non transaksional sebagai berikut: a. Data posisi akhir hari transaksi derivatif jual bukan investasi dengan pihak-pihak tertentu yang disampaikan adalah data pada posisi tanggal laporan. Contoh ... 5 Contoh: Data posisi akhir hari transaksi derivatif jual bukan investasi dengan pihak-pihak tertentu pada tanggal 6 April 2005 wajib disampaikan oleh Bank Pelapor dan diterima oleh Bank Indonesia selambat- lambatnya pukul 24.00 WIB pada tanggal 6 April 2005. a. Data Posisi Devisa Neto dan pos-pos tertentu neraca yang disampaikan adalah data pada posisi 2 (dua) hari kerja sebelumnya (H-2). Contoh: Data Posisi Devisa Neto pada tanggal 6 April 2005 wajib disampaikan oleh Bank Pelapor dan diterima oleh Bank Indonesia selambat- lambatnya pukul 24.00 WIB pada tanggal 8 April 2005. b. Data proyeksi arus kas yang disampaikan adalah proyeksi penerimaan dan pengeluaran dalam Rupiah dan valuta asing atas pos-pos sebagaimana diatur dalam Pedoman untuk periode 3 (tiga) bulan yang meliputi data : 1) periode 14 (empat belas) hari kalender sejak tanggal laporan; 2) periode minggu ke-3 (tiga) sejak hari ke-15 (lima belas) sampai dengan hari ke-21 (duapuluh satu) secara kumulatif; 3) periode minggu ke-4 (empat) sejak hari ke-22 (dua puluh dua) sampai dengan hari ke-28 (dua puluh delapan) secara kumulatif; dan 4) periode bulan ke-2 (dua) dan ke-3 (tiga) sejak hari ke-29 (dua puluh sembilan) sampai dengan hari ke-90 (sembilan puluh) secara kumulatif. Proyeksi arus kas dalam valuta asing selain USD dikonversi terlebih dahulu ke dalam mata uang USD. Pelaporan proyeksi arus kas dalam valuta asing yang telah dikonversi tersebut digabungkan secara keseluruhan dengan arus kas dalam mata uang USD. Contoh ... 6 Contoh: Data proyeksi arus kas yang dilaporkan pada tanggal 4 April 2005 adalah perkiraan penerimaan dan pengeluaran untuk: 1) tanggal 5 April 2005 sampai dengan 18 April 2005; 2) tanggal 19 April 2005 sampai dengan 25 April 2005 secara kumulatif untuk minggu ke-3 (tiga); 3) tanggal 26 April 2005 sampai dengan 2 Mei 2005 secara kumulatif untuk minggu ke-4 (empat); dan 4) tanggal 3 Mei sampai dengan 3 Juli 2005 secara kumulatif untuk bulan ke-2 (dua) dan ke-3 (tiga). Data proyeksi arus kas tersebut wajib disampaikan oleh Bank Pelapor dan diterima oleh Bank Indonesia pada tanggal 4 April 2005 selambat- lambatnya pukul 24.00 WIB. c. Data suku bunga penawaran (quotation) wajib disampaikan segera setiap terjadi penawaran pada tanggal laporan. d. Data suku bunga dasar kredit, suku bunga kredit, suku bunga deposito berjangka, diskonto sertifikat deposito, suku bunga tabungan dan tingkat imbalan deposito investasi Mudharabah Bank syariah yang disampaikan adalah data yang berlaku pada tanggal laporan. Contoh: Data suku bunga kredit atau tingkat imbalan deposito investasi Mudharabah Bank syariah pada tanggal 6 April 2005 wajib disampaikan oleh Bank Pelapor dan diterima oleh Bank Indonesia pada tanggal 6 April 2005 selambat-lambatnya pukul 17.00 WIB. B. Tata Cara Penyampaian LHBU Tata cara penyampaian LHBU dilakukan sebagai berikut: 1. Sebelum data disampaikan, Bank Pelapor harus melakukan validasi teknis sesuai dengan spesifikasi yang telah ditetapkan pada Pedoman sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 1 dan Petunjuk Teknis Aplikasi LHBU sebagaimana dimaksud pada Lampiran 2. 2. Setelah ... 7 2. Setelah data disampaikan, Bank Pelapor harus memastikan bahwa status data transaksional dengan Bank transaksi/counterpart telah cocok/matching, melalui rekapitulasi laporan absensi LHBU. 3. Bank Pelapor wajib mengirim seluruh form sesuai dengan jenis laporan dan status Bank sebagaimana dimaksud pada angka IV.B. Dalam hal Bank Pelapor tidak melakukan transaksi dan atau tidak memiliki data non transaksional, kewajiban penyampaian LHBU tetap berlaku dengan cara mengirimkan form header. 4. Dalam hal Bank Pelapor merger atau konsolidasi dengan bank lain, Bank Pelapor tetap wajib menyampaikan data LHBU sampai dengan hari terakhir sebelum tanggal dilakukannya merger atau konsolidasi secara operasional masing-masing Bank Pelapor. Contoh : Apabila pada tanggal 15 Juni 2005 Bank X dimerger atau dikonsolidasi dengan Bank Y, maka masing-masing Bank wajib menyampaikan LHBU untuk data posisi tanggal 14 Juni 2005. C. Batas Waktu Penyampaian LHBU Batas waktu penyampaian dan atau koreksi LHBU diatur sebagai berikut: 1. Pukul 07.00 WIB sampai dengan pukul 12.00 WIB untuk data PUAB pagi Rupiah; 2. Setelah pukul 12.00 WIB sampai dengan pukul 18.00 WIB untuk data PUAB sore Rupiah; 3. Pukul 07.00 WIB sampai dengan pukul 17.00 WIB untuk data perdagangan surat berharga pasar uang di pasar sekunder, suku bunga penawaran (quotation), suku bunga dasar kredit, suku bunga kredit, suku bunga deposito berjangka, suku bunga tabungan, dan diskonto sertifikat deposito, dan tingkat imbalan deposito investasi mudharabah bank syariah; Pelapor lain sebagai lawan 4. Pukul ... 8 4. Pukul 07.00 WIB sampai dengan pukul 18.00 WIB untuk data PUAB valuta asing dan PUAS; 5. Pukul 07.00 WIB sampai dengan pukul 24.00 WIB untuk data PUAB luar negeri, transaksi devisa, Posisi Devisa Neto, pos-pos tertentu neraca, proyeksi arus kas, dan posisi akhir hari transaksi derivatif jual bukan investasi dengan pihak-pihak tertentu. D. Tata Cara Koreksi LHBU Tata cara koreksi LHBU dilakukan sebagai berikut : 1. Dalam hal terjadi kesalahan atas data yang disampaikan pada huruf A.1 dan A.2, Bank Pelapor wajib menyampaikan koreksi terhadap data dimaksud segera setelah diketahui adanya kesalahan dan diterima oleh Bank Indonesia dalam batas waktu sebagaimana dimaksud pada huruf C. Contoh : Dalam hal terjadi kesalahan atas data transaksi PUAB pagi Rupiah pada tanggal 6 April 2005 maka koreksi atas kesalahan data tersebut wajib disampaikan oleh Bank Pelapor dan diterima oleh Bank Indonesia pada tanggal 6 April 2005 selambat-lambatnya pukul 12.00 WIB. 2. Khusus penyampaian koreksi data transaksi devisa dapat dilakukan selambat-lambatnya pada hari kerja berikutnya sampai dengan pukul 16.00 WIB. Contoh : Dalam hal terjadi kesalahan atas data transaksi devisa pada tanggal 6 April 2005 maka koreksi atas kesalahan data tersebut wajib disampaikan oleh Bank Pelapor dan diterima oleh Bank Indonesia pada tanggal 7 April 2005 selambat-lambatnya pukul 16.00 WIB. E. Periode Penyampaian dan atau Koreksi LHBU 1. Penyampaian dan atau koreksi LHBU oleh Bank Pelapor dilakukan sebagai berikut : a. sekurang- ... 9 a. sekurang-kurangnya 2 (dua) Hari Kerja dalam setiap minggu, sejak ditetapkannya Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/10/PBI/2005 tanggal 9 Maret 2005 sampai dengan tanggal 13 Mei 2005; b. setiap Hari Kerja sejak tanggal 16 Mei 2005. 2. Penetapan Hari Kerja penyampaian dan atau koreksi LHBU oleh Bank Pelapor sebagaimana dimaksud dalam angka 1.a, diberitahukan oleh Bank Indonesia melalui surat kepada Bank Pelapor. F. Gangguan Teknis dan Keadaan Memaksa (Force Majeure) 1. Dalam hal Bank Pelapor mengalami gangguan teknis sehingga tidak dapat menyampaikan data dan atau koreksi LHBU secara On-Line, Bank Pelapor wajib menyampaikan pemberitahuan secara tertulis mengenai gangguan teknis yang dialami segera setelah mengalami gangguan pada Hari Kerja yang sama. 2. Pemberitahuan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada angka 1, ditandatangani oleh Pejabat yang berwenang kepada Satuan Kerja yang membidangi Manajemen Informasi, Jl. M.H. Thamrin Nomor 2 Jakarta 10110. Bagi Bank Pelapor yang berada di luar wilayah kerja kantor Pusat Bank Indonesia, tembusan pemberitahuan dimaksud disampaikan kepada Kantor Bank Indonesia yang mewilayahi Bank Pelapor. 3. Bank Pelapor yang tidak dapat menyampaikan data dan atau koreksi LHBU secara On-Line karena gangguan teknis atau gangguan lainnya pada sistem dan atau jaringan komunikasi di Bank Indonesia wajib menyampaikan data dan atau koreksi LHBU secara Off-Line disertai hasil cetak komputer (hard copy) pada Hari Kerja yang sama kepada : a. Satuan Kerja yang membidangi Manajemen Informasi, Jl. M.H. Thamrin Nomor 2 Jakarta 10110 bagi Bank Pelapor yang berada di wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia; b. Kantor Bank Indonesia yang mewilayahi bagi Bank Pelapor yang berada di luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia. 4. Bank ... 10 4. Bank Pelapor yang tidak dapat menyampaikan data atau koreksi LHBU karena mengalami keadaan memaksa (force majeure) wajib segera memberitahukan secara tertulis disertai penjelasan mengenai penyebab terjadinya keadaan memaksa (force majeure) yang ditandatangani oleh Pejabat yang berwenang kepada : a. Satuan Kerja yang membidangi Manajemen Informasi, Jl. M.H. Thamrin Nomor 2 Jakarta 10110 bagi Bank Pelapor yang berada di wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia; b. Kantor Bank Indonesia yang mewilayahi bagi Bank Pelapor yang berada di luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia. G. Penyampaian dan atau Koreksi LHBU Setelah Batas Waktu 1. Bank Pelapor yang dianggap tidak menyampaikan dan atau koreksi LHBU sampai dengan batas waktu yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada huruf C dan huruf D.2 tetap wajib melakukan hal-hal sebagai berikut : a. menyampaikan LHBU untuk data transaksi devisa, proyeksi arus kas, pos-pos tertentu neraca dan posisi devisa neto; dan atau b. menyampaikan koreksi LHBU untuk data transaksi devisa, secara On-Line selambat-lambatnya pukul 16.00 WIB pada 5 (lima) Hari Kerja berikutnya setelah tanggal laporan. 2. Dalam hal Bank Pelapor tidak dapat menyampaikan dan atau koreksi LHBU secara On-Line sebagaimana dimaksud pada angka 1, tata cara penyampaian dan atau koreksi LHBU dilakukan dan dialamatkan sebagaimana dimaksud pada huruf F.3. VI. HASIL OLAHAN LHBU 1. LHBU yang disampaikan oleh Bank Pelapor diproses oleh Bank Indonesia untuk menghasilkan hasil olahan LHBU berupa: a. informasi yang disediakan oleh Pusat Informasi Pasar Uang (PIPU) dalam bentuk agregat; dan b. data ... 11 b. data individual Bank Pelapor yang ditetapkan oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam angka III. 2. Bank Pelapor dapat memperoleh hasil olahan LHBU sebagaimana dimaksud dalam angka 1. 3. Dalam rangka memperoleh hasil olahan LHBU sebagaimana dimaksud dalam angka 2, Bank Pelapor mendapatkan hak akses terhadap sistem LHBU di Bank Indonesia maksimal sebanyak 2 (dua) fasilitas user id untuk bank devisa dan 1(satu) user id untuk bank non devisa. 4. Dalam hal Bank Pelapor menambah fasilitas user id sebagaimana dimaksud dalam angka 3, Bank Pelapor mengajukan permohonan secara tertulis kepada Bank Indonesia dan dikenakan biaya lisensi yang besarnya ditetapkan oleh Bank Indonesia. VII.PELANGGAN PIPU 1. Tata cara menjadi Pelanggan PIPU diatur sebagai berikut: a. Calon Pelanggan PIPU mengajukan permohonan menjadi Pelanggan PIPU secara tertulis kepada Bank Indonesia sebagaimana contoh pada Lampiran 3. b. Permohonan menjadi Pelanggan PIPU sebagaimana dimaksud dalam huruf a disampaikan kepada Bank Indonesia cq. Satker yang membidangi Manajemen Informasi, Jl. M.H. Thamrin No.2, Jakarta, 10110. c. Bank Indonesia memberitahukan secara tertulis kepada calon Pelanggan PIPU mengenai disetujui atau tidak disetujuinya permohonan sebagaimana dimaksud dalam huruf a. d. Dalam hal permohonan disetujui oleh Bank Indonesia, calon Pelanggan PIPU harus menandatangani Perjanjian Penggunaan PIPU dengan Bank Indonesia sebagaimana contoh pada Lampiran 4. 2. Pelanggan PIPU hanya dapat memperoleh hasil olahan LHBU berupa informasi PIPU dalam bentuk agregat sebagaimana dimaksud dalam angka VI.1.a. 3. Perolehan ... 12 3. Perolehan informasi hasil olahan LHBU sebagaimana dimaksud pada angka 2 dan biaya sehubungan dengan perolehan informasi oleh Pelanggan PIPU diatur dalam Perjanjian Penggunaan PIPU. VIII. SANKSI 1. Bank Indonesia memberitahukan secara tertulis kepada Bank Pelapor mengenai pelanggaran yang dilakukan oleh Bank Pelapor dan sanksi yang dikenakan. 2. Pengenaan sanksi terhadap Bank Pelapor sebagaimana dimaksud dalam angka 1 dilakukan dengan cara mendebet rekening giro Rupiah Bank Pelapor pada Bank Indonesia. 3. Tata cara pengenaan sanksi terhadap Pelanggan PIPU diatur dalam Perjanjian Penggunaan PIPU. IX.PENYAMPAIAN PERTANYAAN Apabila dalam pelaksanaan penyusunan dan penyampaian LHBU terdapat hal- hal yang kurang jelas, Bank Pelapor dapat menyampaikan pertanyaan yang berkaitan dengan sistem, materi, dan ketentuan LHBU kepada Bank Indonesia sebagai berikut: 1. Direktorat Pengelolaan Moneter, Bagian Penyelesaian Transaksi Pasar Uang mengenai materi Form 101, 102, 301, 501, 601, 602, 603, dan 604. 2. Direktorat Pengelolaan Devisa, Tim Analisis Ekonomi dan Peraturan Devisa, mengenai materi Form 201, 202, 203, dan 204. 3. Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan, Tim Pengaturan Perbankan, mengenai materi Form 401, 402, 405, dan 406. 4. Direktorat Statistik Ekonomi dan Moneter, Bagian Statistik Moneter, mengenai materi Form 403 dan 404. 5. Direktorat Teknologi Informasi, Helpdesk, mengenai hal-hal yang berkaitan dengan aplikasi dan otomasi sistem penyampaian LHBU. 6. Satuan kerja yang membidangi Manajemen Informasi, mengenai dalam sistem LHBU di Bank Indonesia. akses ke X. PENUTUP ... 13 X. PENUTUP Dengan diberlakukannya Surat Edaran ini maka sejak tanggal 1 Juni 2005 : 1. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 5/28/DPM tanggal 17 November 2003 perihal Tata Cara Penyelenggaraan Pusat Informasi Pasar Uang; dan 2. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 5/34/DPD tanggal 24 Desember 2003 perihal Tata Cara Penyampaian Data Transaksi Devisa Melalui Pusat Informasi Pasar Uang, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Ketentuan dalam Surat Edaran ini berlaku sejak tanggal 29 Maret 2005. orang mengetahuinya, memerintahkan Agar setiap Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar maklum. BANK INDONESIA, pengumuman Surat BUDI MULYA DIREKTUR PENGELOLAAN MONETER "," SE-BI 7/7/DPM|SE-BI/2005 Laporan Harian Bank Umum 29 Maret 2005 29 Maret 2005 '5/34/DPD|SE-BI/2003', '5/28/DPM|SE-BI/2003' '7/10/PBI/2005' 'Romawi VIII' " " 1 No. 18/20/DPSP Jakarta, 23 September 2016 S U R A T E D A R A N Perihal : Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/31/DPSP tanggal 13 November 2015 perihal Penyelenggaraan Penatausahaan Surat Berharga Melalui Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System Sehubungan dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/18/PBI/2015 tentang Penyelenggaraan Transaksi, Penatausahaan Surat Berharga, dan Setelmen Dana Seketika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 273, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5762), dan pelaksanaan tugas menatausahakan Surat Berharga Negara dan surat berharga yang diterbitkan oleh Bank Indonesia, Bank Indonesia mengatur penggunaan nomor tunggal identitas investor untuk setiap investor Surat Berharga yang ditatausahakan di Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System, meliputi Surat Berharga Negara dan surat berharga yang diterbitkan oleh Bank Indonesia, sehingga diperoleh informasi kepemilikan surat berharga yang terkonsolidasi. Oleh karena itu, perlu melakukan perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/31/DPSP tanggal 13 November 2015 perihal Penyelenggaraan Penatausahaan Surat Berharga Melalui Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System sebagai berikut: 1. Ketentuan butir II.A.2 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: 2. Kegiatan korespondensi terkait kegiatan penyelenggaraan BI- SSSS ditujukan kepada Penyelenggara dengan ketentuan sebagai berikut: a. Kegiatan korespondensi terkait kepesertaan dan operasional penyelenggaraan BI-SSSS ditujukan ke alamat: Bank Indonesia Departemen Penyelenggaraan Sistem Pembayaran Divisi Setelmen Dana dan Penatausahaan Surat Berharga Gedung ... 2 Gedung D Lantai 3 Jalan M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350. b. Kegiatan korespondensi terkait pemantauan kepatuhan Peserta terhadap penyelenggaraan BI-SSSS ditujukan ke alamat: Bank Indonesia Departemen Penyelenggaraan Sistem Pembayaran Divisi Kepatuhan dan Informasi Sistem Pembayaran Bank Indonesia Gedung D Lantai 3 Jalan M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350. 2. Ketentuan butir III.C.12.d diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: d. Surat permohonan dari pimpinan untuk membuat spesimen tanda tangan bagi: 1) pimpinan atau pejabat yang berwenang; atau 2) pejabat yang diberi kuasa untuk melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud pada butir c.3), dengan menggunakan format sebagaimana dimaksud pada Contoh 8.A dalam Lampiran II. 3. Ketentuan butir III.C.12.f.2) dihapus. 4. Ketentuan butir III.D diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: D. Perubahan Data Kepesertaan Ruang lingkup perubahan data kepesertaan meliputi: 1. Perubahan Participant Code Perubahan participant code dapat disebabkan antara lain karena Peserta yang bukan merupakan anggota Society for Worldwide Interbank Financial Telecommunication (SWIFT) berubah menjadi anggota Society for Worldwide Interbank Financial Telecommunication (SWIFT) atau karena adanya perubahan Society for Worldwide Interbank Financial Telecommunication (SWIFT) Bank Identifier Code (BIC) dari Peserta. Perubahan ... 3 Perubahan participant code diatur sebagai berikut: a. Peserta mengajukan surat permohonan perubahan participant code kepada Penyelenggara dengan melampirkan dokumen: 1) data kepesertaan sebagaimana dimaksud pada Contoh 2 dalam Lampiran II; dan 2) dokumen pendukung yang menunjukkan sebagai anggota Society for Worldwide Interbank Financial Telecommunication (SWIFT) atau adanya perubahan Society for Worldwide Interbank Financial Telecommunication (SWIFT) Bank Identifier Code (BIC) dari Peserta. b. Surat permohonan sebagaimana dimaksud pada huruf a ditandatangani oleh pejabat yang berwenang yang telah memiliki spesimen tanda tangan di Penyelenggara dan disampaikan kepada Penyelenggara dengan ketentuan sebagai berikut: 1) surat disampaikan ke alamat sebagaimana dimaksud pada butir II.A.2.a; dan 2) bagi Peserta yang berkedudukan di wilayah kerja Kantor Perwakilan Bank Indonesia Dalam Negeri (KPwDN), surat permohonan disampaikan dengan tembusan kepada Kantor Perwakilan Bank Indonesia Dalam Negeri (KPwDN) mewilayahi. yang c. Penyelenggara menyampaikan persetujuan atau penolakan perubahan participant code melalui surat yang penyampaiannya dapat didahului dengan faksimile kepada Peserta yang bersangkutan, paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak surat permohonan sebagaimana dimaksud dalam huruf a diterima oleh Penyelenggara secara lengkap. d. Dalam hal Penyelenggara menyetujui permohonan perubahan participant code, diatur sebagai berikut: 1) Penyelenggara menyampaikan surat persetujuan yang ... 4 yang memuat antara lain sebagai berikut: a) nama Peserta; b) participant code yang baru; dan c) permintaan agar Peserta memenuhi kelengkapan dokumen dalam rangka permintaan Connected User dan Digital Certificate untuk participant code baru. 2) Dalam rangka memenuhi permintaan sebagaimana dimaksud pada butir 1)c), Peserta menyampaikan surat kepada Penyelenggara yang memuat informasi: a) nama Peserta; b) participant code baru; dan c) Certificate Signing Request (CSR) yang dihasilkan dan disimpan di media compact disc (CD) yang bersifat read only. 3) Penyelenggara menyampaikan nama Connected User dan Digital Certificate baru kepada Peserta melalui sarana surat. 4) Penyelenggara memberitahukan tanggal efektif perubahan participant code kepada: a) Peserta yang bersangkutan melalui surat; dan b) seluruh Peserta melalui administrative message atau sarana lainnya. 5) Peserta harus mengembalikan Digital Certificate Hard Token lama, paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak Peserta menerima surat sebagaimana dimaksud dalam angka 1). e. Dalam hal Penyelenggara menolak permohonan perubahan participant code, Penyelenggara menyampaikan surat penolakan dengan disertai alasannya. 2. Perubahan Nama Peserta Perubahan nama Peserta diatur sebagai berikut: a. Peserta mengajukan surat permohonan perubahan nama ... 5 nama Peserta dalam BI-SSSS kepada Penyelenggara dengan melampirkan dokumen: 1) data kepesertaan sebagaimana dimaksud pada Contoh 2 dalam Lampiran II dengan menggunakan nama yang tercantum dalam perubahan anggaran dasar yang telah disetujui oleh lembaga yang berwenang; dan 2) fotokopi dokumen yang telah dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang atau dinyatakan sesuai asli oleh pimpinan yang telah memiliki spesimen tanda tangan di Penyelenggara berupa: a) akta perubahan anggaran dasar untuk badan hukum Indonesia; b) surat persetujuan perubahan anggaran dasar dari lembaga yang berwenang; dan c) surat keputusan dari lembaga yang berwenang tentang perubahan nama, dalam hal Peserta adalah Bank. Bagi Bank yang berkantor pusat berkedudukan di luar negeri cukup menyampaikan surat keputusan sebagaimana dimaksud pada huruf c). b. Surat permohonan sebagaimana dimaksud pada huruf a ditandatangani oleh pejabat yang berwenang yang telah memiliki spesimen tanda tangan di Penyelenggara dengan ketentuan sebagai berikut: 1) surat disampaikan ke alamat sebagaimana dimaksud dalam butir II.A.2.a; dan 2) bagi Peserta yang berkedudukan di wilayah kerja Kantor Perwakilan Bank Indonesia Dalam Negeri (KPwDN), surat permohonan disampaikan dengan tembusan kepada Kantor Perwakilan Bank Indonesia Dalam Negeri (KPwDN) mewilayahi. yang c. Penyelenggara menyampaikan persetujuan atau penolakan perubahan nama Peserta dalam BI-SSSS melalui ... 6 melalui surat yang penyampaiannya dapat didahului dengan faksimile kepada Peserta yang bersangkutan, paling lama 14 (empat belas) hari kerja setelah surat permohonan sebagaimana dimaksud pada huruf a diterima oleh Penyelenggara secara lengkap. d. Dalam hal Penyelenggara menyetujui permohonan perubahan nama Peserta dalam BI-SSSS, Penyelenggara memberitahukan kepada: 1) Peserta yang bersangkutan mengenai persetujuan dan tanggal efektif perubahan nama Peserta; dan 2) seluruh Peserta mengenai perubahan nama Peserta melalui administrative message atau sarana lain. e. Dalam hal Penyelenggara menolak permohonan perubahan nama Peserta dalam BI-SSSS, Penyelenggara menyampaikan surat penolakan dengan disertai alasannya. 3. Perubahan Kegiatan Usaha Perubahan kegiatan usaha Peserta dari bank umum konvensional menjadi bank umum syariah dapat menyebabkan adanya perubahan data Peserta antara lain nama Peserta, kegiatan usaha Peserta, dan/atau participant code. Perubahan kegiatan usaha Peserta diatur sebagai berikut: a. Peserta mengajukan surat permohonan perubahan kegiatan usaha Peserta dalam BI-SSSS kepada Penyelenggara dengan menggunakan format sebagaimana dimaksud pada Contoh 12 dalam Lampiran II. b. Surat permohonan sebagaimana dimaksud pada huruf a, dilengkapi dengan fotokopi dokumen yang telah dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang atau dinyatakan sesuai asli oleh pimpinan yang telah memiliki spesimen tanda tangan di Penyelenggara berupa: 1) akta perubahan anggaran dasar; 2) surat ... 7 2) surat persetujuan perubahan anggaran dasar dari instansi yang berwenang; dan 3) surat keputusan dari lembaga yang berwenang mengenai izin perubahan kegiatan usaha Peserta dari bank umum konvesional menjadi bank umum syariah. c. Dalam hal perubahan kegiatan usaha berdampak pada perubahan participant code maka Peserta harus mengajukan permohonan perubahan participant code dengan mengacu pada ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka 1. d. Surat permohonan sebagaimana dimaksud pada huruf a ditandatangani oleh pejabat yang berwenang yang telah memiliki spesimen tanda tangan di Penyelenggara dan disampaikan kepada Penyelenggara dengan ketentuan sebagai berikut: 1) surat disampaikan ke alamat sebagaimana dimaksud pada butir II.A.2.a; dan 2) bagi Peserta yang berkedudukan di wilayah kerja Kantor Perwakilan Bank Indonesia Dalam Negeri (KPwDN), surat permohonan disampaikan dengan tembusan kepada Kantor Perwakilan Bank Indonesia Dalam Negeri (KPwDN) mewilayahi. yang e. Penyelenggara menyampaikan persetujuan atau penolakan perubahan kegiatan usaha Peserta dalam BI-SSSS melalui surat yang penyampaiannya dapat didahului dengan faksimile kepada Peserta yang bersangkutan, paling lama 14 (empat belas) hari kerja setelah surat permohonan dan dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada huruf b diterima oleh Penyelenggara secara lengkap. f. Dalam hal Penyelenggara menyetujui permohonan perubahan kegiatan usaha Peserta dalam BI-SSSS, Penyelenggara memberitahukan kepada: 1) Peserta ... 8 1) Peserta yang bersangkutan mengenai persetujuan dan tanggal efektif perubahan kegiatan usaha Peserta; dan 2) seluruh Peserta mengenai perubahan kegiatan usaha Peserta melalui administrative message atau sarana lain. g. Dalam hal Penyelenggara menolak permohonan perubahan kegiatan usaha Peserta dalam BI-SSSS, Penyelenggara menyampaikan surat penolakan dengan disertai alasannya. 4. Perubahan Alamat Kantor Peserta Perubahan data kepesertaan yang terkait dengan perubahan alamat kantor pusat Peserta dan alamat kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri diatur sebagai berikut: a. Peserta mengajukan surat permohonan perubahan alamat kantor Peserta kepada Penyelenggara dengan melampirkan dokumen: 1) data kepesertaan sebagaimana dimaksud pada Contoh 2 dalam Lampiran II; dan 2) fotokopi surat persetujuan atau penerimaan pemberitahuan perubahan alamat kantor dari lembaga yang berwenang yang telah dilegalisasi oleh pimpinan yang telah memiliki spesimen tanda tangan di Penyelenggara. b. Surat permohonan sebagaimana dimaksud pada huruf a ditandatangani oleh pejabat yang berwenang yang telah memiliki spesimen tanda tangan di Penyelenggara dengan ketentuan sebagai berikut: 1) surat disampaikan ke alamat sebagaimana dimaksud dalam butir II.A.2.a.; dan 2) bagi Peserta yang berkedudukan di wilayah kerja Kantor Perwakilan Bank Indonesia Dalam Negeri (KPwDN), surat permohonan disampaikan dengan tembusan kepada Kantor Perwakilan Bank Indonesia ... 9 Indonesia Dalam Negeri (KPwDN) mewilayahi. c. yang Penyelenggara menyampaikan tanggapan tertulis melalui surat yang penyampaiannya dapat didahului dengan faksimile kepada Peserta yang bersangkutan paling lama 14 (empat belas) hari kerja setelah surat permohonan diterima oleh Penyelenggara mengenai: 1) persetujuan perubahan alamat kantor Peserta beserta tanggal efektif perubahan alamat kantor Peserta; atau 2) penolakan perubahan alamat kantor Peserta beserta alasan penolakan. 5. Perubahan Lokasi SPP dan Pemindahan Jaringan Komunikasi Data (JKD) Peserta Perubahan lokasi SPP dan/atau pemindahan jaringan komunikasi data (JKD) Peserta diatur sebagai berikut: a. Peserta menyampaikan surat permohonan kepada Penyelenggara mengenai perubahan lokasi SPP utama, SPP cadangan, dan/atau pemindahan jaringan komunikasi data (JKD), dengan melampirkan formulir data kepesertaan dengan format sebagaimana tercantum pada Contoh 2 dalam Lampiran II. b. Surat permohonan sebagaimana dimaksud pada huruf a ditandatangani oleh pejabat yang berwenang yang telah memiliki spesimen tanda tangan di Penyelenggara dengan ketentuan sebagai berikut: 1) surat disampaikan ke alamat sebagaimana dimaksud pada butir II.A.2.a; dan 2) bagi Peserta yang berkedudukan di wilayah kerja Kantor Perwakilan Bank Indonesia Dalam Negeri (KPwDN), surat permohonan disampaikan dengan tembusan kepada Kantor Perwakilan Bank Indonesia Dalam Negeri (KPwDN) mewilayahi. yang c. Penyelenggara menyampaikan persetujuan atau penolakan ... 10 penolakan perubahan lokasi SPP utama, SPP cadangan, dan/atau pemindahan jaringan komunikasi data (JKD) melalui surat yang penyampaiannya dapat didahului dengan faksimile kepada Peserta yang bersangkutan, paling lama 14 (empat belas) hari kerja setelah surat permohonan sebagaimana dimaksud pada huruf a diterima oleh Penyelenggara secara lengkap. d. Dalam hal Penyelenggara menyetujui permohonan perubahan lokasi SPP utama, SPP cadangan, dan/atau pemindahan jaringan komunikasi data (JKD) Peserta, Penyelenggara menyampaikan surat persetujuan yang memuat antara lain sebagai berikut: 1) perubahan lokasi SPP utama dan/atau SPP cadangan Peserta telah dicatat dalam tata usaha Penyelenggara; 2) pelaksanaan pemindahan jaringan komunikasi data (JKD); dan 3) kegiatan yang harus dilakukan oleh Peserta terkait dengan perubahan lokasi SPP utama, SPP cadangan, dan/atau jaringan komunikasi data (JKD). e. Dalam hal Penyelenggara menolak permohonan perubahan lokasi SPP utama, SPP cadangan, dan/atau pemindahan jaringan komunikasi data (JKD) Peserta, Penyelenggara menyampaikan surat penolakan dengan disertai alasannya. 6. Perubahan Data Pimpinan Perubahan data pimpinan yang meliputi nama, kewenangan, dan/atau jabatan pimpinan diatur sebagai berikut: a. Peserta mengajukan surat permohonan kepada Penyelenggara mengenai perubahan nama, kewenangan, dan/atau jabatan pimpinan dengan menggunakan format sebagaimana dimaksud pada Contoh ... 11 Contoh 13 dalam Lampiran II. b. Surat permohonan sebagaimana dimaksud pada huruf a dilengkapi dengan dokumen pendukung yang telah dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang atau dinyatakan sesuai asli oleh pimpinan yang telah memiliki spesimen tanda tangan di Penyelenggara sebagai berikut: 1) fotokopi perubahan Anggaran Dasar mengenai pengangkatan pimpinan, bagi Peserta yang berbadan hukum Indonesia; 2) fokokopi bukti identitas diri pimpinan, berupa: a) Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau Surat Izin Mengemudi (SIM) atau paspor, bagi Warga Negara Indonesia (WNI); atau b) paspor, Keterangan Izin Tinggal Sementara (KITAS), dan surat izin kerja dari otoritas berwenang, bagi Warga Negara Asing (WNA), yang masih berlaku. 3) Bagi pimpinan baru pada Peserta, selain memenuhi kelengkapan sebagaimana dimaksud pada angka 1) dan angka 2), harus melengkapi persyaratan dokumen berupa: a) fotokopi surat dari lembaga yang berwenang mengenai susunan pimpinan Peserta yang tercatat pada tata usaha lembaga yang berwenang atau persetujuan fit and proper test dari lembaga pengawas yang berwenang bagi calon Direksi Bank; b) fotokopi surat kuasa (power of attorney) dari kantor pusat Bank yang berkedudukan di luar negeri kepada pimpinan kantor cabang berikut terjemahannya dalam Bahasa Indonesia yang dibuat oleh penerjemah tersumpah, bagi kantor cabang Bank yang kantor ... 12 kantor pusatnya berkedudukan di luar negeri; dan c) fotokopi struktur organisasi yang masih berlaku, bagi kantor cabang dari Bank yang kantor pusatnya berkedudukan di luar negeri. c. Dalam hal terdapat perubahan nama, kewenangan, dan/atau jabatan pimpinan, surat permohonan perubahan data pimpinan sebagaimana dimaksud pada huruf a dilengkapi dengan surat pernyataan tetap diberlakukannya spesimen tanda tangan pimpinan dengan menggunakan format sebagaimana dimaksud pada Contoh 14 dalam Lampiran II. d. Surat permohonan sebagaimana dimaksud pada huruf a ditandatangani oleh pejabat yang berwenang yang telah memiliki spesimen tanda tangan di Penyelenggara dengan ketentuan sebagai berikut: 1) surat disampaikan ke alamat sebagaimana dimaksud dalam butir II.A.2.a; dan 2) bagi Peserta yang berkedudukan di wilayah kerja Kantor Perwakilan Bank Indonesia Dalam Negeri (KPwDN), surat permohonan disampaikan dengan tembusan kepada Kantor Perwakilan Bank Indonesia Dalam Negeri mewilayahi. (KPwDN) yang e. Dalam hal perubahan data pimpinan mencakup perubahan pimpinan baru maka pimpinan baru harus membuat spesimen tanda tangan di hadapan pejabat Penyelenggara atau pejabat Kantor Perwakilan Bank Indonesia Dalam Negeri (KPwDN) setelah surat permohonan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam huruf b diterima oleh Penyelenggara secara lengkap. f. Dalam hal Peserta yang mengajukan permohonan perubahan data pimpinan merupakan peserta Sistem BI-RTGS ... 13 BI-RTGS dan pimpinan baru telah memiliki spesimen tanda tangan di Sistem BI-RTGS maka Peserta dapat meminta penambahan kewenangan pimpinan pemilik spesimen tanda tangan di Sistem BI-RTGS dengan kewenangan dalam operasional BI-SSSS, dengan menggunakan format sebagaimana dimaksud pada Contoh 8.B dalam Lampiran II. g. Penyelenggara memberikan persetujuan atau penolakan perubahan data pimpinan melalui surat yang penyampaiannya dapat didahului dengan faksimile kepada Peserta yang bersangkutan, paling lama 14 (empat belas) hari kerja setelah surat permohonan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam huruf b diterima oleh Penyelenggara secara lengkap. h. Dalam hal Penyelenggara menyetujui permohonan perubahan data pimpinan maka: 1) Penyelenggara menyampaikan surat pemberitahuan mengenai: a) pembuatan spesimen tanda tangan bagi pimpinan baru; dan b) tanggal efektif pencabutan kewenangan pimpinan dalam hal terdapat perubahan kewenangan pimpinan; 2) spesimen tanda tangan sebagaimana dimaksud pada angka 1) berlaku efektif sejak pemberitahuan dari Penyelenggara mengenai tanggal efektif berlakunya spesimen tanda tangan atau paling lama 5 (lima) hari kerja sejak tanggal pembuatan spesimen tanda tangan. 3) data yang telah ditatausahakan di Penyelenggara dianggap masih berlaku dan segala tindakan hukum yang dilakukan oleh pimpinan sebagaimana dimaksud dalam butir 1)b) sepenuhnya ... 14 sepenuhnya menjadi tanggung jawab Peserta, dalam hal Peserta tidak memberitahukan perubahan data pimpinan kepada Penyelenggara. i. Dalam hal Penyelenggara menolak permohonan perubahan data pimpinan, Penyelenggara menyampaikan surat penolakan dengan disertai alasannya. 7. Perubahan Bank Pembayar Perubahan Bank Pembayar diatur sebagai berikut: a. Peserta mengajukan surat permohonan kepada Penyelenggara dengan melampirkan dokumen sebagai berikut: 1) surat penunjukan Bank Pembayar sebagaimana dimaksud pada Contoh 9.A dalam Lampiran II; dan 2) surat konfirmasi Bank Pembayar sebagaimana dimaksud pada Contoh 9.B dalam Lampiran II. b. Surat permohonan sebagaimana dimaksud pada huruf a ditandatangani oleh pejabat yang berwenang yang memiliki spesimen tanda tangan di Penyelenggara dengan ketentuan sebagai berikut: 1) surat disampaikan ke alamat sebagaimana dimaksud dalam butir II.A.2.a.; dan 2) bagi Peserta yang berkedudukan di wilayah kerja Kantor Perwakilan Bank Indonesia Dalam Negeri (KPwDN), surat permohonan disampaikan dengan tembusan kepada Kantor Perwakilan Bank Indonesia Dalam Negeri mewilayahi. (KPwDN) yang c. Penyelenggara menyampaikan tanggapan tertulis melalui surat yang penyampaiannya dapat didahului dengan faksimile kepada Peserta yang bersangkutan paling lama 14 (empat belas) hari kerja setelah surat permohonan diterima oleh Penyelenggara mengenai: 1) persetujuan perubahan Bank Pembayar beserta tanggal efektif perubahan Bank Pembayar; atau 2) penolakan ... 15 2) penolakan perubahan Bank Pembayar beserta alasan penolakan. 8. Perubahan Kuasa Perubahan kuasa dilakukan dalam rangka penambahan, pergantian, dan/atau pencabutan kuasa pejabat dan/atau petugas. Perubahan kuasa diatur sebagai berikut: a. Peserta mengajukan surat permohonan perubahan kuasa dengan ketentuan sebagai berikut: 1) Penambahan dan/atau pergantian kuasa pejabat, dan/atau petugas serta permintaan pembuatan spesimen tanda tangan menggunakan format sebagaimana dimaksud pada Contoh 15 dalam Lampiran II. ketentuan, persyaratan, dan prosedur pemberian kuasa berpedoman pada butir C.12.a dan butir C.12.c. 2) Pencabutan seluruh atau sebagian kuasa kepada pejabat penerima kuasa dan/atau petugas penerima kuasa, menggunakan format sebagaimana dimaksud pada Contoh 16 dalam Lampiran II. 3) Perubahan kewenangan menggunakan format sebagaimana dimaksud pada Contoh 7 dalam Lampiran II. b. Surat permohonan sebagaimana dimaksud pada huruf a ditandatangani oleh pejabat yang berwenang yang telah memiliki spesimen tanda tangan di Penyelenggara dengan ketentuan sebagai berikut: 1) surat disampaikan ke alamat sebagaimana dimaksud pada butir II.A.2.a; dan 2) bagi Peserta yang berkedudukan di wilayah kerja Kantor Perwakilan Bank Indonesia Dalam Negeri (KPwDN), surat permohonan disampaikan dengan tembusan kepada Kantor Perwakilan Bank Indonesia ... 16 Indonesia Dalam Negeri (KPwDN) yang mewilayahi. c. Penyelenggara menyampaikan tanggapan tertulis melalui surat yang penyampaiannya dapat didahului dengan faksimile kepada Peserta yang bersangkutan paling lama 5 (lima) hari kerja setelah surat permohonan diterima oleh Penyelenggara secara lengkap, mengenai: 1) persetujuan dan tanggal efektif penambahan dan/atau pergantian kuasa pejabat dan/atau petugas; atau 2) penolakan penambahan dan/atau pergantian kuasa pejabat dan/atau petugas dengan disertai alasannya. d. Dalam hal Peserta tidak mengajukan permohonan perubahan kewenangan Pejabat penerima kuasa dan/atau petugas penerima kuasa kepada Penyelenggara maka data yang telah ditatausahakan di Penyelenggara dianggap masih berlaku dan segala tindakan hukum yang dilakukan Pejabat penerima kuasa dan/atau petugas penerima kuasa tersebut sepenuhnya menjadi tanggung jawab Peserta. 9. Perubahan Penggunaan Infrastruktur a. Perubahan penggunaan infrastruktur meliputi: 1) perubahan penggunaan infrastruktur yang dikelola sendiri menjadi penggunaan infrastruktur yang dikelola pihak lain; 2) perubahan penggunaan infrastruktur yang dikelola oleh pihak lain menjadi penggunaan infrastruktur yang dikelola sendiri; atau 3) perubahan penggunaan infrastruktur yang dikelola oleh pihak lain yang berbeda. b. Prosedur perubahan data kepesertaan terkait perubahan penggunaan infrastruktur diatur sebagai berikut: 1) Peserta ... 17 1) Peserta menyampaikan surat permohonan perubahan penggunaan infrastruktur kepada Penyelenggara dengan melampirkan dokumen sebagai berikut: a) data kepesertaan sebagaimana dimaksud pada Contoh 2 dalam Lampiran II; b) surat pernyataan dari pimpinan yang menyatakan kesiapan infrastruktur dan memuat informasi spesifikasi infrastruktur sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Penyelenggara sebagaimana dimaksud dalam butir C.3.g; dan c) dalam hal Peserta menggunakan infrastruktur yang dikelola pihak lain maka selain melampirkan dokumen sebagaimana dimaksud pada huruf a) dan huruf b), Peserta juga harus melengkapi dokumen sebagaimana dimaksud dalam butir B.3.a dan butir B.3.b. 2) Surat permohonan sebagaimana dimaksud pada angka 1) ditandatangani oleh pejabat yang berwenang yang telah memiliki spesimen tanda tangan di Penyelenggara dan disampaikan kepada Penyelenggara dengan ketentuan sebagai berikut: a) surat disampaikan ke alamat sebagaimana dimaksud dalam butir II.A.2.a; dan b) bagi Peserta yang berkedudukan di wilayah kerja Kantor Perwakilan Bank Indonesia Dalam Negeri (KPwDN), surat permohonan disampaikan dengan tembusan kepada Kantor Perwakilan Bank Indonesia Dalam Negeri (KPwDN) yang mewilayahi. 3) Penyelenggara dapat melakukan pemeriksaan ke lokasi infrastruktur yang digunakan Peserta. 4) Penyelenggara ... 18 4) Penyelenggara menyampaikan tanggapan melalui surat yang penyampaiannya dapat didahului dengan faksimile kepada Peserta yang bersangkutan mengenai: a) persetujuan perubahan penggunaan infrastruktur Peserta beserta tanggal efektif perubahan penggunaan infrastruktur Peserta; atau b) penolakan perubahan infrastruktur Peserta penolakan. penggunaan beserta alasan 10. Dalam hal Peserta merupakan peserta Sistem BI-RTGS dan dokumen pendukung yang telah disampaikan kepada Penyelenggara Sistem BI-RTGS sama dengan dokumen pendukung di BI-SSSS, dokumen pendukung untuk perubahan data kepesertaan sebagaimana dimaksud pada angka 1 sampai dengan angka 9 dapat tidak disampaikan kepada Penyelenggara. 11. Dalam hal terdapat perbedaan tanda tangan antara yang tercantum pada identitas diri dengan yang tercantum pada spesimen tanda tangan pejabat atau petugas penerima kuasa yang ditatausahakan di Penyelenggara maka Peserta harus menyampaikan surat pernyataan perbedaan tanda tangan sebagaimana dimaksud pada Contoh 17 dalam Lampiran II. 5. Ketentuan butir III.F.2 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: 2. Kewajiban Sub-Registry a. Meneruskan hasil Setelmen atas transaksi Surat Berharga kepada nasabah pada tanggal yang sama dengan tanggal pelaksanaan Setelmen. b. Meneruskan pembayaran kupon/bunga atau imbalan dan pelunasan pokok/nominal Surat Berharga kepada nasabah pemilik Surat Berharga pada tanggal yang sama dengan tanggal Sub-Registry menerima pembayaran kupon/bunga atau imbalan dan pelunasan pokok/nominal Surat Berharga dari penerbit Surat Berharga. c. Menjamin ... 19 c. Menjamin kebenaran penatausahaan dan laporan kepemilikan Surat Berharga atas nama seluruh nasabah. d. Menyelesaikan masalah perbedaan pencatatan kepemilikan Surat Berharga antara Sub-Registry dengan nasabah, dalam hal terdapat perbedaan pencatatan kepemilikan Surat Berharga antara Sub-Registry dengan nasabah. e. Memenuhi jumlah minimum pencatatan kepemilikan Surat Berharga rata-rata bulanan paling sedikit sebesar Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah) dalam 12 (dua belas) bulan terakhir, bagi Sub-Registry yang telah melakukan kegiatan pencatatan kepemilikan Surat Berharga di BI-SSSS lebih dari 12 (dua belas) bulan. f. Menjaga agar posisi Kewajiban Pemenuhan Modal Minimum (KPMM) bagi Bank kustodian atau modal disetor bagi lembaga kustodian bukan Bank tidak kurang dari posisi KPMM atau modal disetor sesuai ketentuan yang berlaku. g. Mengelola dan melaporkan data nasabah secara lengkap dan benar melalui SI BI-SSSS, dengan informasi dan tata cara pengisian sebagaimana dimaksud dalam Lampiran IV. h. Menjaga keamanan SI BI-SSSS dan kerahasiaan data termasuk user administrator lokal yang disampaikan oleh Penyelenggara. i. Menyediakan KPT yang paling kurang mencakup penatausahaan Surat Berharga dan penggunaan SI BI- SSSS di internal Sub-Registry antara lain mengenai pemberian akses dan pengamanan penggunaan aplikasi SI BI-SSSS. j. Menyampaikan laporan kepada Penyelenggara dengan benar dan tepat waktu melalui SI BI-SSSS dan/atau sarana lain. k. Melakukan rekonsiliasi secara harian antara data Setelmen pada SI BI-SSSS dengan data Setelmen transaksi yang terjadi di Sub-Registry. l. Melakukan koreksi data pelaporan melalui SI BI-SSSS, dalam hal terdapat kesalahan dan menginformasikan kepada Penyelenggara melalui surat. m. Menginformasikan ... 20 m. Menginformasikan biaya yang akan dibebankan Peserta kepada nasabah terkait Setelmen melalui BI-SSSS secara transparan dan pada tempat yang mudah terlihat oleh nasabah. n. Melengkapi data nasabah sebagaimana dimaksud pada huruf g dengan nomor tunggal identitas investor sebagaimana Single Investor Identity yang digunakan di pasar modal, dan menginformasikan nomor tunggal identitas investor tersebut kepada nasabah yang bersangkutan. 6. Ketentuan butir IV.A.6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: 6. Instruksi setelmen dengan tanggal setelmen (tanggal valuta) yang jatuh pada hari Penyelenggara tidak melakukan kegiatan operasional tidak dapat dijalankan dan di-roll over ke hari kerja berikutnya. 7. Ketentuan butir IV.D.3.c.3).a) diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: a) Penunjukan Bank Pembayar oleh Sub-Registry dan Peserta yang tidak memiliki Rekening Setelmen Dana sebagaimana dimaksud pada angka 2) dilakukan dengan mengajukan surat penunjukan Bank Pembayar kepada Penyelenggara yang dilengkapi dengan surat konfirmasi sebagai Bank Pembayar. 8. Ketentuan butir IV.G.4.g. diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: g. Pembatalan karena kondisi sebagaimana dimaksud dalam butir f.1) diatur sebagai berikut: 1) Peserta mengajukan surat permohonan kepada Penyelenggara untuk pelaksanaan pembatalan Setelmen second leg sebagaimana Contoh 10 dalam Lampiran II. 2) Surat permohonan sebagaimana dimaksud pada angka 1) dapat didahului dengan mengirimkan administrative messages atau faksimile. 3) Surat permohonan sebagaimana dimaksud pada angka 1), dilengkapi dengan dokumen pendukung yaitu bukti transaksi, surat kuasa dari Peserta lawan transaksi, keputusan ... 21 keputusan lembaga berwenang, putusan pengadilan, dan/atau putusan arbitrase yang mengakibatkan transaksi Setelmen second leg harus dibatalkan. 4) Berdasarkan surat permohonan sebagaimana dimaksud pada angka 1), Penyelenggara melakukan pembatalan Setelmen second leg (cancel second leg) atas transaksi Peserta yang bersangkutan. 5) Penyelenggara menyampaikan informasi pelaksanaan pembatalan Setelmen second leg (cancel second leg) kepada kedua belah pihak Peserta yang bertransaksi. 9. Ketentuan butir IV.I.4.a diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: a. Dalam rangka penatausahaan Surat Berharga nasabah, Sub- Registry mempunyai kewajiban pelaporan dengan ketentuan sebagai berikut: 1) Laporan Harian a) Dalam hal terdapat Transaksi, Sub-Registry wajib menyampaikan laporan secara harian pada tanggal Setelmen, yang terdiri atas: (1) Laporan Setelmen transaksi antar nasabah dalam Sub-Registry yang sama (inhouse transfer); dan/atau (2) Laporan informasi data nasabah atas Setelmen transaksi Surat Berharga yang dilakukan melalui BI-SSSS. b) Laporan Harian disampaikan melalui SI BI-SSSS dengan mengacu pada tata cara dan format laporan sebagaimana dimaksud dalam Lampiran IV. 2) Laporan Bulanan a) Laporan Bulanan memuat informasi posisi kepemilikan Surat Berharga nasabah Sub-Registry pada akhir bulan. b) Laporan Bulanan disampaikan melalui SI BI-SSSS dengan mengacu pada tata cara dan format laporan sebagaimana dimaksud dalam Lampiran IV. 3) Laporan ... 22 3) Laporan Setelmen Transaksi Penerbitan Surat Berharga a) Laporan Setelmen Transaksi Penerbitan Surat Berharga memuat informasi hasil Setelmen transaksi penerbitan Surat Berharga atas nasabah yang tercatat di Sub-Registry. b) Laporan Setelmen Transaksi Penerbitan Surat Berharga sebagaimana dimaksud pada huruf a) disampaikan melalui SI BI-SSSS dengan mengacu pada tata cara dan format laporan sebagaimana dimaksud dalam Lampiran IV. 4) Laporan Setelmen Transaksi Buyback/Debt Switching a) Laporan Setelmen Transaksi Buyback/Debt b) Switching memuat informasi hasil Setelmen transaksi buyback/debt switching atas nasabah yang tercatat di Sub-Registry. Laporan Setelmen Switching sebagaimana dimaksud pada huruf a) disampaikan melalui SI BI-SSSS dengan mengacu pada tata cara dan format laporan sebagaimana dimaksud dalam Lampiran IV. 5) Laporan Data Nasabah a) Sub-Registry harus menyampaikan Laporan Data Nasabah untuk pengisian database nasabah di SI BI-SSSS, yang berisi: (1) data nasabah baru; dan/atau (2) perubahan data nasabah. b) Dalam hal nasabah tidak terdaftar dalam database nasabah di SI BI-SSSS maka Sub-Registry dianggap tidak menyampaikan Laporan Harian. c) Laporan sebagaimana dimaksud pada huruf a) disampaikan melalui SI BI-SSSS dengan mengacu pada tata cara dan format laporan sebagaimana dimaksud dalam Lampiran IV. Transaksi Buyback/Debt 6) Laporan ... 23 6) Laporan lainnya Dalam hal diperlukan, Bank Indonesia dapat meminta Sub-Registry untuk menyampaikan laporan lainnya. 10. Ketentuan butir XI.4 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: 4. Ketentuan mengenai kewajiban Peserta menyampaikan laporan berkala berupa LHPK sebagaimana dimaksud pada butir VIII.6.a.1) mulai berlaku untuk periode laporan tahun 2016. 11. Ketentuan butir XI.5 diubah sehingga menjadi sebagai berikut: 5. Ketentuan mengenai pengenaan sanksi administratif berupa kewajiban membayar atas pelanggaran kewajiban penyampaian laporan harian sebagaimana dimaksud pada butir IX.4.a, mulai berlaku pada tanggal 1 April 2017. 12. Lampiran II, Lampiran IV, dan Lampiran VIII diubah sehingga menjadi sebagaimana tercantum dalam Lampiran II, Lampiran IV, dan Lampiran VIII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini. Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 3 Oktober 2016. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA, BRAMUDIJA HADINOTO KEPALA DEPARTEMEN PENYELENGGARAAN SISTEM PEMBAYARAN "," SE-BI 18/20/DPSP|SE-BI/2016 Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/31/DPSP tanggal 13 November 2015 perihal Penyelenggaraan Penatausahaan Surat Berharga Melalui Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System 23 September 2016 3 Oktober 2016 '17/31/DPSP|SE-BI/2015' '17/31/DPSP|SE-BI/2015', '17/18/PBI/2015' " " No.11/ 27 /DKBU Jakarta, 5 Oktober 2009 SURAT EDARAN Kepada SEMUA BANK UMUM DI INDONESIA Perihal : Perubahan Atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 31/20/UK tanggal 12 Februari 1999 perihal Kredit kepada Pengusaha Kecil dan Pengusaha Mikro melalui Bank Umum. Sehubungan dengan hasil evaluasi terhadap ketentuan penyaluran skim Kredit kepada Pengusaha Kecil dan Pengusaha Mikro (KPKM) melalui Bank Umum, maka dipandang perlu untuk melakukan perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 31/20/UK tanggal 12 Februari 1999 perihal Kredit kepada Pengusaha Kecil dan Pengusaha Mikro (KPKM) melalui Bank Umum sebagai berikut : 1. Ketentuan butir V.B diubah sehingga berbunyi sebagai berikut : B. PENARIKAN KEMBALI KLBI 1. Bank wajib mengembalikan pembayaran bunga dan/atau pelunasan KPKM yang diterima dari nasabah kepada Bank Indonesia. 2. Pengembalian pembayaran bunga dan/atau pelunasan KPKM kepada Bank Indonesia tersebut dilakukan oleh Bank dengan cara : a. Bank menyampaikan laporan sebagaimana formulir dalam Lampiran 3 Surat Edaran ini dan dapat disampaikan melalui sarana faksimili atau surat. b. Laporan … b. Laporan sebagaimana dimaksud pada huruf a paling lambat diterima oleh Bank Indonesia pada setiap akhir bulan. Dalam hal akhir bulan dimaksud jatuh pada hari libur maka laporan harus sudah diterima oleh Bank Indonesia pada hari kerja berikutnya. c. Atas dasar laporan sebagaimana dimaksud pada huruf b tersebut, Bank Indonesia akan mendebet rekening giro Bank di Bank Indonesia. 3. Dalam hal pembayaran bunga dan/atau pelunasan KPKM dilaporkan oleh Bank melewati batas waktu yang ditentukan sebagaimana dimaksud pada butir 2 b, maka atas jumlah pembayaran bunga dan/atau pelunasan KPKM akan dikenakan suku bunga deposito tertinggi yang berlaku pada Bank yang bersangkutan yang dihitung sejak tanggal diterima pembayaran bunga dan/atau pelunasan KPKM oleh Bank sampai dengan tanggal diterimanya laporan tersebut oleh Bank Indonesia. 4. Tingkat suku bunga deposito tertinggi sebagaimana dimaksud pada angka 3 adalah tingkat suku bunga deposito tertinggi pada tanggal diterimanya pembayaran bunga dan/atau pelunasan KPKM oleh Bank. 2. Lampiran 3 diubah menjadi sebagaimana lampiran Surat Edaran ini. Ketentuan dalam Surat Edaran ini mulai berlaku pada tanggal 5 Oktober 2009. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA, RATNA E. AMIATY DIREKTUR KREDIT, BPR DAN UMKM Lampiran 3 LAPORAN PENERIMAAN BUNGA DAN ATAU PELUNASAN KPKM PERIODE BULAN…………………….. TAHUN………………….. NO. KETERANGAN (1) TA :…. I KREDIT MODAL KERJA -Nasabah Individual -Nasabah Kelompok II KREDIT INVESTASI -Nasabah Individual -Nasabah Kelompok TA :…. I KREDIT MODAL KERJA -Nasabah Individual -Nasabah Kelompok II KREDIT INVESTASI -Nasabah Individual -Nasabah Kelompok JUMLAH Keterangan : (1) Cukup jelas (2) Tanggal pelunasan oleh debitur (3) Jumlah pembayaran bunga yang diterima dari nasabah/debitur (sebelum dikurangi porsi bank) (4) Jumlah pembayaran pokok kredit yang diterima dari nasabah/debitur (5) Pembayaran pokok dan bunga kredit yang diterima dari nasabah/debitur (6) Imbalan yang telah dibayarkan kepada bank (7) Imbalan bagi kelompok (dalam hal KPKM diberikan kepada kelompok) (8) Imbalan yang telah dibayarkan bank dan kelompok (9) Jumlah pembayaran pokok kredit yang diterima dari nasabah/debitur (10) Jumlah pembayaran bunga yang diterima dari nasabah/debitur (sebelum dikurangi porsi bank) dikurangi dengan imbalan yang telah dibayarkan bank dan kelompok (11) Jumlah pokok dan bunga yang disetorkan ke BI (12) ……………… Tgl……... Bln……… Tahun………. PT Bank …………..… Kantor Cabang …..……… ) (…………………….) TANGGAL PELUNASAN (2) JML SETORAN NASABAH BUNGA POKOK TOTAL (3) (4) (5)=(3) +(4) IMBALAN YANG TELAH DIBAYARKAN BANK KELOMPOK TOTAL (6) (7) (8)=(6)+(7) JUMLAH DISETOR KE BI POKOK BUNGA TOTAL (9) = (4) (10)= (3)-(8) (11)=(9)+(10) "," SE-BI 11/27/DKBU|SE-BI/2009 Perubahan Atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 31/20/UK tanggal 12 Februari 1999 perihal Kredit kepada Pengusaha Kecil dan Pengusaha Mikro melalui Bank Umum. 5 Oktober 2009 5 Oktober 2009 '31/20/UK|SE-BI/1999' '31/20/UK|SE-BI/1999' " " No.7/42/DPNP Jakarta, 6 September 2005 S U R A T E D A R A N Kepada SEMUA BANK UMUM YANG MELAKSANAKAN KEGIATAN KONVENSIONAL DI INDONESIA Perihal : Giro Wajib Minimum Bank Umum Pada Bank Indonesia Dalam Rupiah Dan Valuta Asing Sehubungan dengan ditetapkannya Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/15/PBI/2004 tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum Pada Bank Indonesia Dalam Rupiah Dan Valuta Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4390) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/29/PBI/2005 tanggal 6 September 2005 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 80, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4529), dipandang perlu untuk menjelaskan lebih lanjut beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia tersebut di atas sebagai berikut: I. UMUM Stabilitas moneter merupakan hal yang sangat diperlukan dalam rangka menciptakan kondisi perekonomian yang kondusif dan stabil. Salah satu piranti … piranti moneter yang digunakan Bank Indonesia untuk mempertahankan stabilitas moneter adalah melalui penerapan Giro Wajib Minimum (GWM) kepada bank-bank di Indonesia. Beberapa indikator perekonomian mengindikasikan perlunya dilakukan perubahan dalam kebijakan Bank Indonesia yang terkait dengan pengaturan likuiditas dalam rupiah, khususnya likuiditas rupiah dari sistem perbankan. Berkenaan dengan hal tersebut, Bank Indonesia memandang perlu untuk mengubah perhitungan tambahan GWM dalam rupiah berdasarkan besarnya Dana Pihak Ketiga (DPK) dan Loan to Deposit Ratio (LDR). Sebagai kompensasi atas perubahan perhitungan tambahan GWM, Bank Indonesia memberikan jasa giro terhadap kewajiban memelihara tambahan GWM dimaksud. II. JASA GIRO Sesuai dengan Pasal 11 ayat (1) Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/15/PBI/2004 tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum Pada Bank Indonesia Dalam Rupiah Dan Valuta Asing sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/29/PBI/2005, Bank Indonesia memberikan jasa giro terhadap bagian saldo Rekening Giro Rupiah Bank yang diperuntukkan untuk pemenuhan kewajiban memelihara tambahan GWM dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) dan ayat (4) sebesar 5,5% (lima setengah perseratus) pertahun. Jasa giro dimaksud merupakan tingkat bunga efektif tahunan (effective annual rate) yang ditentukan berdasarkan periode compounding harian selama 360 (tiga ratus enam puluh) hari, dengan rumus sebagai berikut: Tingkat bunga efektif tahunan =(1 + ( Tingkat bunga tahunan 360 hari Dengan … ))360 hari – 1 Dengan demikian, jasa giro yang diberikan terhadap bagian saldo Rekening Giro Rupiah Bank yang diperuntukkan untuk pemenuhan kewajiban memelihara tambahan GWM dalam rupiah adalah sebesar 0,0149% perhari. Jasa giro sebagaimana dimaksud di atas dihitung untuk setiap hari kerja berdasarkan saldo Rekening Giro Rupiah Bank yang tercatat dan diperoleh dari sistem akunting Bank Indonesia. Pengkreditan jasa giro pada Rekening Giro Rupiah Bank, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/15/PBI/2004 tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum Pada Bank Indonesia Dalam Rupiah Dan Valuta Asing sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/29/PBI/2005, dilakukan sebagai berikut: a. tanggal 8 bagi jasa giro periode tanggal 1 sampai dengan tanggal 7 bulan yang sama; b. tanggal 16 bagi jasa giro periode tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 bulan yang sama; c. tanggal 24 bagi jasa giro periode tanggal 16 sampai dengan tanggal 23 bulan yang sama; d. tanggal 1 bulan berikutnya bagi jasa giro periode tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan sebelumnya. Pendebetan Rekening Giro Bank, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/15/PBI/2004 tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum Pada Bank Indonesia Dalam Rupiah Dan Valuta Asing sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/29/PBI/2005, sebagai akibat pembebanan sanksi kekurangan GWM, dilakukan pada hari kerja berikutnya setelah tanggal terjadinya pelanggaran GWM. Dalam … Dalam hal tanggal-tanggal untuk pengkreditan jasa giro maupun tanggal pendebetan Rekening Giro Bank jatuh pada hari libur, maka pengkreditan maupun pendebetan saldo Rekening Giro Bank tersebut dilakukan oleh Bank Indonesia pada hari kerja berikutnya. Dalam hal terjadi kesalahan dalam pengkreditan maupun pendebetan yang terkait dengan pemberian jasa giro maupun pengenaan sanksi pelanggaran GWM oleh Bank Indonesia, Bank Indonesia dapat langsung mendebet atau mengkredit rekening giro bank yang bersangkutan sebagaimana diatur dalam ketentuan yang mengatur mengenai Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement. Contoh perhitungan GWM, jasa giro dan sanksi pelanggaran GWM: Bank A memiliki rata-rata harian Dana Pihak Ketiga (DPK) dalam rupiah dalam masa laporan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 bulan Januari sebesar Rp55.000.000.000.000,00 (lima puluh lima triliun rupiah) dan perhitungan besarnya LDR pada akhir masa laporan minggu kedua adalah 80%. GWM harian yang wajib dipelihara untuk masa laporan sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan Januari adalah sebesar: 1. 5% (lima perseratus) dari Rp55.000.000.000.000,00 (lima puluh lima triliun rupiah) yaitu sebesar Rp2.750.000.000.000,00 (dua triliun tujuh ratus lima puluh miliar rupiah), sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/15/PBI/2004 tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum Pada Bank Indonesia Dalam Rupiah Dan Valuta Asing sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/29/PBI/2005; ditambah dengan 2. 3% … 2. 3% (tiga perseratus) dari Rp55.000.000.000.000,00 (lima puluh lima triliun rupiah) yaitu sebesar Rp1.650.000.000.000,00 (satu triliun enam ratus lima puluh miliar rupiah), yang merupakan tambahan GWM berdasarkan DPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf d Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/15/PBI/2004 tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum Pada Bank Indonesia Dalam Rupiah Dan Valuta Asing sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/29/PBI/2005; ditambah dengan 3. 1% (satu perseratus) dari Rp55.000.000.000.000,00 (lima puluh lima triliun rupiah) yaitu sebesar Rp550.000.000.000,00 (lima ratus lima puluh miliar rupiah), yang merupakan tambahan GWM berdasarkan LDR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4) huruf b Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/15/PBI/2004 tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum Pada Bank Indonesia Dalam Rupiah Dan Valuta Asing sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/29/PBI/2005. Saldo Rekening Giro Rupiah Bank A di Bank Indonesia pada:  tanggal 24 Januari adalah sebesar Rp4.950.000.000.000,00 (empat triliun sembilan ratus lima puluh miliar rupiah) atau 9% dari DPK dalam rupiah;  tanggal 25 Januari adalah sebesar Rp4.950.000.000.000,00 (empat triliun sembilan ratus lima puluh miliar rupiah) atau 9% dari DPK dalam rupiah;  tanggal 26 Januari adalah sebesar Rp4.565.000.000.000,00 (empat triliun lima ratus enam puluh lima miliar rupiah) atau 8,3% dari DPK dalam rupiah;  tanggal …  tanggal 27 Januari adalah sebesar Rp5.555.000.000.000,00 (lima triliun lima ratus lima puluh lima miliar rupiah) atau 10,1% dari DPK dalam rupiah;  tanggal 28 Januari adalah sebesar Rp7.051.000.000.000,00 (tujuh triliun lima puluh satu miliar rupiah) atau 12,82% dari DPK dalam rupiah;  tanggal 29 Januari adalah sebesar Rp6.050.000.000.000,00 (enam triliun lima puluh miliar rupiah) atau 11% dari DPK dalam rupiah;  tanggal 30 Januari adalah sebesar Rp4.950.000.000.000,00 (empat triliun sembilan ratus lima puluh miliar rupiah) atau 9% dari DPK dalam rupiah;  tanggal 31 Januari adalah sebesar Rp4.950.000.000.000,00 (empat triliun sembilan ratus lima puluh miliar rupiah) atau 9% dari DPK dalam rupiah. Diasumsikan tanggal 24, 25, 31 Januari dan tanggal 1 Februari adalah hari libur. Rata-rata suku bunga jangka waktu 1 (satu) hari overnight dari JIBOR pada tanggal 26 Januari adalah sebesar 8%. Saldo Rekening Giro Rupiah pada tanggal 24, 25, dan 31 Januari tidak diberikan jasa giro, karena tanggal-tanggal tersebut jatuh pada hari bukan hari kerja. Perhitungan jasa giro untuk masing-masing tanggal 27, 28, 29 dan 30 Januari adalah sebagai berikut: 0,0149% x bagian saldo Rekening Giro Rupiah Bank yang merupakan kewajiban pemeliharaan tambahan GWM; yaitu 0,0149% x Rp2.200.000.000.000,00 = Rp327.800.000,00 Sanksi … Sanksi terhadap kekurangan pemenuhan GWM pada tanggal 26 Januari dihitung sebagai berikut: Rp385.000.000.000,00 x 1,25 x 8 x 1 hari 360 x 100 = Rp106.944.444,44 Pengkreditan jasa giro untuk masing-masing tanggal 27, 28, 29 dan 30 Januari dilakukan oleh Bank Indonesia pada Rekening Giro Rupiah Bank pada tanggal 2 Februari, karena tanggal 1 Februari jatuh pada hari libur. Jasa giro yang dikreditkan ke Rekening Giro Rupiah Bank pada tanggal 2 Februari adalah sebesar: 4 x Rp327.800.000,00= Rp1.311.200.000,00 Pendebetan Rekening Giro Rupiah Bank untuk sanksi atas kekurangan GWM pada tanggal 26 Januari sebesar Rp106.944.444,44 dilakukan pada hari kerja berikutnya, yaitu pada tanggal 27 Januari. Pembulatan dalam rangka pendebetan atau pengkreditan Rekening Giro Bank oleh Bank Indonesia dilakukan dengan memperhatikan sistem akunting Bank Indonesia. III. PENUTUP Dengan berlakunya Surat Edaran Bank Indonesia ini maka Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 6/26/DPNP tanggal 30 Juni 2004 tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum Pada Bank Indonesia Dalam Rupiah Dan Valuta Asing dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Ketentuan … Ketentuan dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal 8 September 2005. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA, MAMAN H. SOMANTRI DEPUTI GUBERNUR "," SE-BI 7/42/DPNP|SE-BI/2005 Giro Wajib Minimum Bank Umum Pada Bank Indonesia Dalam Rupiah Dan Valuta Asing 6 September 2005 8 September 2005 '6/26/DPNP|SE-BI/2004' '7/29/PBI/2005', '6/15/PBI/2004' " " No.11/ 28 /DPbS Jakarta, 5 Oktober 2009 SURAT EDARAN Kepada SEMUA UNIT USAHA SYARIAH DI INDONESIA Perihal: Unit Usaha Syariah Dengan telah diterbitkannya Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/10/PBI/2009 tanggal 19 Maret 2009 tentang Unit Usaha Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4992), maka perlu diatur lebih lanjut peraturan pelaksanaan mengenai Unit Usaha Syariah, dalam Surat Edaran yang mencakup hal-hal sebagai berikut: I. PEMBUKAAN UNIT USAHA SYARIAH (UUS) 1. Permohonan izin usaha UUS diajukan oleh Bank Umum Konvensional (BUK) dengan menggunakan format surat sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 1 dan didukung dengan dokumen sebagai berikut: a. rancangan perubahan anggaran dasar, yang paling kurang memuat kegiatan usaha UUS sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. b. identitas dan dokumen pendukung calon Direktur UUS dibedakan sebagai berikut: 1) Dalam hal calon Direktur UUS bukan berasal dari salah satu anggota Direksi BUK dan telah ditetapkan sejak awal hanya bertugas ... 2 bertugas mengelola UUS. a) pas foto 1 (satu) bulan terakhir ukuran 4 x 6 cm; b) c) d) fotokopi KTP atau paspor yang masih berlaku; riwayat hidup (curriculum vitae); surat pernyataan pribadi yang menyatakan tidak pernah melakukan tindakan fraud (penipuan, penggelapan, dan/atau kecurangan) di bidang perbankan, keuangan, dan bidang usaha lainnya, tidak pernah dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana kejahatan; e) surat pernyataan pribadi yang menyatakan tidak pernah dinyatakan pailit atau tidak pernah menjadi pemegang saham, anggota Dewan Komisaris, atau anggota Direksi dari perseroan dan/atau pengurus dari badan hukum lainnya yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perseroan dan/atau badan hukum lainnya dinyatakan pailit berdasarkan penetapan pengadilan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun terakhir sebelum tanggal pengajuan permohonan; f) g) surat pernyataan pribadi yang menyatakan tidak memiliki hutang yang bermasalah; surat pernyataan bahwa tidak melanggar ketentuan rangkap jabatan sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia mengenai Bank Umum Syariah; h) surat pernyataan yang menyatakan memiliki atau tidak memiliki hubungan keluarga sampai dengan derajat kedua dengan anggota Dewan Komisaris dan/atau sesama anggota Direksi lainnya; i) surat pernyataan bahwa yang bersangkutan baik secara sendiri-sendiri ... 3 sendiri-sendiri maupun bersama-sama tidak memiliki saham melebihi 25% (dua puluh lima persen) dari modal disetor pada perusahaan lain; dan j) surat keterangan atau sertifikat dari lembaga pendidikan dan/atau pelatihan di bidang perbankan syariah yang pernah diikuti. 2) Dalam hal calon Direktur UUS berasal dari salah satu anggota Direksi BUK. a) dokumen rapat umum pemegang saham atau surat persetujuan Dewan Komisaris yang menyetujui penunjukan atau penugasan sebagai Direktur UUS; b) rincian tugas dan tanggung jawab selaku Direksi BUK selain sebagai pengelola dan penanggung jawab kegiatan operasional UUS; dan c) surat keterangan atau sertifikat dari lembaga pendidikan dan/atau pelatihan di bidang perbankan syariah yang pernah diikuti. c. identitas calon Pejabat Eksekutif didukung dengan dokumen sebagai berikut: 1) pas foto 1 (satu) bulan terakhir ukuran 4 x 6 cm; 2) fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau paspor yang masih berlaku; 3) 4) riwayat hidup (curriculum vitae); surat pernyataan pribadi yang menyatakan tidak pernah melakukan tindakan fraud (penipuan, penggelapan, dan/atau kecurangan) di bidang perbankan, keuangan, dan usaha lainnya, tidak pernah dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana kejahatan; dan 5) surat ... 4 5) surat keterangan atau sertifikat dari lembaga pendidikan dan/atau pelatihan di bidang perbankan syariah yang pernah diikuti. d. daftar calon anggota Dewan Pengawas Syariah yang didukung dengan dokumen sebagai berikut: 1) pas foto 1 (satu) bulan terakhir ukuran 4 x 6 cm; 2) fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau paspor yang masih berlaku; 3) 4) riwayat hidup (curriculum vitae); surat pernyataan pribadi yang menyatakan tidak pernah melakukan tindakan fraud (penipuan, penggelapan, dan/atau kecurangan) di bidang perbankan, keuangan, dan bidang usaha lainnya, tidak pernah dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana kejahatan; 5) surat pernyataan pribadi yang menyatakan bahwa yang bersangkutan tidak pernah dinyatakan pailit atau tidak pernah menjadi pemegang saham, anggota Dewan Komisaris, atau anggota Direksi dari perseroan dan/atau pengurus dari badan hukum lainnya yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perseroan dan/atau badan hukum lainnya dinyatakan pailit berdasarkan penetapan pengadilan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun terakhir sebelum tanggal pengajuan permohonan; 6) surat keterangan atau sertifikat dari lembaga pendidikan dan pelatihan dan/atau Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama Indonesia mengenai pendidikan dan/atau pelatihan di bidang syariah mu’amalah dan di bidang perbankan dan/atau keuangan secara umum yang pernah diikuti calon anggota Dewan ... 5 Dewan Pengawas Syariah; 7) surat pernyataan dari calon anggota Dewan Pengawas Syariah bahwa yang bersangkutan tidak melanggar ketentuan rangkap jabatan sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia tentang Unit Usaha Syariah; 8) e. f. g. surat rekomendasi calon anggota Dewan Pengawas Syariah dari Dewan Syariah Nasional - Majelis Ulama Indonesia; surat pernyataan Direksi BUK mengenai alokasi dana dari BUK untuk modal kerja UUS; studi kelayakan mengenai peluang pasar dan potensi ekonomi; rencana bisnis (business plan) UUS untuk tahun pertama dan jangka menengah (tiga tahun) yang paling kurang memuat: 1) rencana kegiatan usaha yang mencakup penghimpunan dan penyaluran dana serta langkah-langkah kegiatan yang akan dilakukan dalam mewujudkan rencana dimaksud; dan 2) proyeksi neraca dan laporan laba rugi; h. bukti kesiapan operasional paling kurang berupa: 1) kesiapan gedung dan peralatan kantor termasuk foto gedung kantor dan tata letak ruangan. Dalam hal ruangan yang ditempati UUS menyatu dengan ruangan unit kerja BUK yang lain, maka harus terdapat pemisahan yang jelas dengan cara antara lain pembedaan warna ruangan, pembuatan sekat (partisi) dan/atau pemisahan ruangan; 2) dokumen yang menunjukkan kesiapan teknologi sistem informasi yang meliputi antara lain core banking system dan jaringan telekomunikasi; 3) bukti kepemilikan atau dokumen penguasaan gedung kantor antara lain berupa bukti hak atas tanah atau surat perjanjian sewa ... 6 sewa; dan 4) i. j. k. l. contoh formulir/warkat berlogo iB yang akan digunakan untuk operasional UUS; sistem dan prosedur kerja termasuk pedoman (manual) kegiatan operasional UUS yang lengkap; rencana struktur organisasi dan nama-nama calon Pejabat Eksekutif; surat pernyataan dari BUK mengenai kesanggupan untuk menanggulangi kesulitan likuiditas yang dialami oleh UUS; dan neraca intern BUK posisi bulan terakhir sebelum permohonan izin usaha UUS yang ditandatangani oleh Direksi BUK dan diketahui oleh Dewan Komisaris. 2. Pelaksanaan pembukaan kegiatan usaha UUS dilaporkan kepada Bank Indonesia dengan menggunakan format surat sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 2. II. PENUNJUKAN DAN/ATAU PENGGANTIAN DIREKTUR UNIT USAHA SYARIAH Penunjukan dan/atau penggantian Direktur UUS dilaporkan kepada Bank Indonesia dengan menggunakan format surat sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 3 dan didukung dengan dokumen sebagaimana dimaksud dalam butir I.1.b. III. PENGANGKATAN, PEMBERHENTIAN DAN/ATAU PENGUNDURAN DIRI ANGGOTA DEWAN PENGAWAS SYARIAH 1. Permohonan persetujuan calon anggota Dewan Pengawas Syariah diajukan kepada Bank Indonesia dengan menggunakan format surat sebagaimana ... 7 sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 4 dan didukung dengan dokumen sebagaimana dimaksud pada butir I.1.d. 2. Pengangkatan anggota Dewan Pengawas Syariah dilaporkan kepada Bank Indonesia dengan menggunakan format surat sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 5 dan didukung dengan fotokopi risalah rapat umum pemegang saham atau keputusan Dewan Komisaris BUK sepanjang telah diberikan kewenangan oleh rapat umum pemegang saham. 3. Pemberhentian dan/atau pengunduran diri anggota Dewan Pengawas Syariah dilaporkan kepada Bank Indonesia dengan menggunakan format surat sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 6. IV. PENGANGKATAN, PENGGANTIAN DAN/ATAU PEMBERHENTIAN PEJABAT EKSEKUTIF 1. Pengangkatan, penggantian dan/atau pemberhentian Pejabat Eksekutif dilaporkan kepada Bank Indonesia dengan menggunakan format surat sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 7 dan didukung dengan dokumen sebagai berikut: a. bukti pengangkatan, penggantian dan/atau pemberhentian sebagai Pejabat Eksekutif dari Direksi atau pejabat yang berwenang; b. c. identitas Pejabat Eksekutif sebagaimana dimaksud dalam butir I.1.c.; dan berita acara serah terima jabatan untuk penggantian dan pemberhentian Pejabat Eksekutif. 2. Penilaian aspek integritas dan kompetensi terhadap Pejabat Eksekutif UUS dilakukan melalui penelitian data dalam Daftar Kepatutan dan Kelayakan (Daftar Tidak Lulus) dan Daftar Kredit Macet, serta dapat juga dilakukan melalui wawancara, pengamatan dan pengujian (interview ... 8 (interview, observation and test) pada saat pelaksanaan pemeriksaan UUS. V. KEGIATAN USAHA DI BIDANG DEVISA Permohonan izin kegiatan usaha perbankan syariah di bidang devisa diajukan kepada Bank Indonesia dengan menggunakan format surat sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 8 dan didukung dengan dokumen sebagai berikut: a. dokumen yang menunjukkan kesiapan teknologi sistem informasi yang mendukung kegiatan perbankan syariah di bidang devisa; b. daftar nama pejabat dan/atau pegawai yang telah mengikuti pendidikan dan/atau pelatihan mengenai aspek syariah dalam kegiatan usaha di bidang devisa disertai dengan surat keterangan atau sertifikat; dan c. daftar calon nasabah yang akan melakukan kegiatan devisa. VI. PEMBUKAAN KANTOR UNIT USAHA SYARIAH 1. KANTOR CABANG SYARIAH (KCS) a. Permohonan izin pembukaan KCS hanya dapat diajukan setelah dipenuhinya persyaratan paling kurang sebagai berikut: 1) rencana pembukaan KCS telah dicantumkan dalam rencana bisnis UUS; 2) peringkat komposit tingkat kesehatan UUS selama 2 (dua) periode penilaian terakhir paling kurang 3 (tiga); 3) modal kerja UUS paling kurang Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah); 4) tidak terdapat pelampauan dan/atau pelanggaran Batas Maksimum Penyaluran Dana (BMPD); 5) rasio Non Performing Financing (NPF) netto paling tinggi sebesar 5%; dan 6) UUS ... 9 6) UUS tidak dalam keadaan rugi yang semakin besar. b. Permohonan izin pembukaan KCS diajukan kepada Bank Indonesia dengan menggunakan format surat sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 9 dan didukung dengan dokumen sebagai berikut: 1) bukti persiapan operasional yang meliputi antara lain: a) struktur organisasi dan personalia; b) kesiapan gedung dan peralatan kantor termasuk foto gedung kantor dan tata letak ruangan. Dalam hal KCS beralamat sama dengan KC atau KCP BUK (co-location), maka harus terdapat pemisahan kantor yang jelas dengan cara antara lain pembedaan warna ruangan, pembuatan sekat (partisi) dan/atau pemisahan ruangan; c) dokumen yang menunjukkan kesiapan teknologi sistem informasi dan jaringan telekomunikasi; dan d) bukti kepemilikan atau dokumen penguasaan atas gedung kantor antara lain berupa bukti hak atas tanah atau surat perjanjian sewa; 2) hasil studi kelayakan yang paling kurang memuat potensi ekonomi, peluang pasar dan tingkat kejenuhan jumlah kantor BUS dan UUS; dan 3) rencana penghimpunan dan penyaluran dana paling kurang selama 12 (dua belas) bulan beserta penjelasannya. c. Pelaksanaan pembukaan KCS dilaporkan kepada Bank Indonesia dengan menggunakan format surat sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 10. 2. KANTOR ... 10 2. KANTOR DI BAWAH KANTOR CABANG SYARIAH a. Permohonan pembukaan Kantor di bawah KCS berupa Kantor Cabang Pembantu Syariah (KCPS) atau Kantor Kas Syariah (KKS) hanya dapat diajukan setelah dipenuhinya persyaratan paling kurang sebagai berikut: 1) rencana pembukaan Kantor di bawah KCS telah dicantumkan dalam rencana bisnis UUS; 2) modal kerja UUS paling kurang Rp100.000.000.000,00 (seratus milyar rupiah); 3) lokasi Kantor di bawah KCS berada dalam satu wilayah kerja kantor Bank Indonesia dimana lokasi KCS induknya berada; dan 4) memiliki sistem teknologi informasi yang mampu menggabungkan transaksi keuangan Kantor dibawah KCS secara otomasi dan online ke dalam laporan keuangan KCS induknya pada hari yang sama. b. Permohonan pembukaan Kantor di bawah KCS diajukan kepada Bank Indonesia dengan menggunakan format surat sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 11 dan didukung dengan dokumen sebagai berikut: 1) bukti persiapan operasional yang meliputi antara lain: a) kesiapan gedung dan peralatan kantor termasuk foto gedung kantor dan tata letak ruangan. Dalam hal Kantor di bawah KCS beralamat sama dengan kantor BUK (co-location), maka harus terdapat pemisahan yang jelas dengan cara antara lain pembedaan warna ruangan, pembuatan sekat (partisi) dan/atau pemisahan ruangan; b) dokumen ... 11 b) dokumen yang menunjukkan kesiapan teknologi sistem informasi dan jaringan telekomunikasi; dan c) bukti kepemilikan atau dokumen penguasaan atas gedung kantor antara lain berupa bukti hak atas tanah atau surat perjanjian sewa; dan 2) hasil studi kelayakan yang paling kurang memuat potensi ekonomi, peluang pasar, dan tingkat kejenuhan jumlah kantor BUS dan UUS. c. Pelaksanan pembukaan Kantor di bawah KCS dilaporkan kepada Bank Indonesia dengan menggunakan format surat sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 12. 3. KEGIATAN PERBANKAN ELEKTRONIK a. Permohonan pelaksanaan Kegiatan Perbankan Elektronik hanya dapat diajukan setelah dipenuhinya persyaratan paling kurang sebagai berikut: 1) Kegiatan Perbankan Elektronik telah dicantumkan dalam rencana bisnis UUS; 2) didukung dengan sistem teknologi informasi yang memungkinkan dilakukannya transaksi oleh nasabah secara real time dan memiliki jaringan komunikasi yang memadai dengan jangkauan luas; dan 3) didukung dengan sistem pengendalian risiko yang memadai. b. Permohonan pelaksanaan Kegiatan Perbankan Elektronik diajukan kepada Bank Indonesia dengan menggunakan format surat sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 13 dan didukung dengan dokumen sebagai berikut: 1) kesiapan ... 12 1) kesiapan sistem teknologi informasi yang memungkinkan dilakukannya transaksi oleh nasabah secara real time dan memiliki jaringan komunikasi yang memadai dengan jangkauan luas; dan 2) sistem pengendalian risiko atas Kegiatan Perbankan Elektronik. c. Pelaksanan Kegiatan Perbankan Elektronik dilaporkan kepada Bank Indonesia dengan menggunakan format surat sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 14. 4. KEGIATAN PELAYANAN KAS SYARIAH Pelaksanan Kegiatan Pelayanan Kas Syariah dilaporkan kepada Bank Indonesia dengan menggunakan format surat sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 15. 5. LAYANAN SYARIAH Pelaksanan kegiatan Layanan Syariah dilaporkan kepada Bank Indonesia dengan menggunakan format surat sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 16. 6. KANTOR CABANG SYARIAH ATAU JENIS-JENIS KANTOR LAINNYA DI LUAR NEGERI a. Permohonan izin pembukaan KCS atau jenis-jenis kantor lainnya di luar negeri hanya dapat diajukan setelah dipenuhinya persyaratan paling kurang sebagai berikut: 1) rencana pembukaan kantor di luar negeri tercantum dalam rencana bisnis UUS; 2) UUS ... 13 2) UUS telah memiliki izin untuk melakukan kegiatan usaha perbankan syariah di bidang devisa; 3) peringkat komposit tingkat kesehatan UUS selama 2 (dua) periode penilaian terakhir masing-masing paling kurang 3 (tiga); 4) modal kerja UUS paling kurang Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah); dan 5) UUS memiliki profil risiko dengan peringkat Risiko Komposit paling kurang moderate. b. Permohonan izin pembukaan KCS atau jenis-jenis kantor lainnya di luar negeri diajukan kepada Bank Indonesia dengan menggunakan format surat sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 17 dan didukung dengan dokumen sebagai berikut: 1) bukti persiapan operasional yang meliputi antara lain: a) struktur organisasi dan personalia; dan b) kesiapan gedung kantor, termasuk foto gedung kantor; 2) hasil studi kelayakan yang paling kurang memuat potensi ekonomi, peluang pasar; dan 3) rencana kegiatan usaha paling kurang selama 12 (dua belas) bulan beserta penjelasannya. c. Pelaksanaan pembukaan KCS atau jenis-jenis kantor lainnya di luar negeri dilaporkan kepada Bank Indonesia dengan menggunakan format surat sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 18 dan didukung dengan salinan/fotokopi izin pembukaan kantor dari otoritas di negara setempat. VII. PENURUNAN ... 14 VII. PENURUNAN STATUS KANTOR UNIT USAHA SYARIAH Pelaksanaan penurunan status KCS menjadi Kantor di bawah KCS dilaporkan kepada Bank Indonesia dengan menggunakan format surat sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 19. VIII. PEMINDAHAN ALAMAT KANTOR UNIT USAHA SYARIAH 1. KANTOR UNIT USAHA SYARIAH a. Permohonan izin pemindahan alamat kantor UUS diajukan kepada Bank Indonesia dengan menggunakan format surat sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 20 dan didukung dengan bukti persiapan operasional kantor UUS yang meliputi antara lain: 1) kesiapan gedung dan peralatan kantor termasuk foto gedung kantor dan tata letak ruangan. Dalam hal ruangan yang ditempati UUS menyatu dengan ruangan unit kerja BUK yang lain, maka harus terdapat pemisahan yang jelas dengan cara antara lain pembedaan warna ruangan, pembuatan sekat (partisi) dan/atau pemisahan ruangan; 2) dokumen yang menunjukkan kesiapan teknologi sistem informasi dan jaringan telekomunikasi; dan 3) bukti kepemilikan atau dokumen penguasaan atas gedung kantor antara lain berupa bukti hak atas tanah atau surat perjanjian sewa. b. Pelaksanaan pemindahan alamat kantor UUS dilaporkan kepada Bank Indonesia dengan menggunakan format surat sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 21 dan didukung dengan guntingan surat kabar yang memuat pengumuman rencana pemindahan alamat tersebut. 2. KANTOR ... 15 2. KANTOR CABANG SYARIAH a. Permohonan izin pemindahan alamat KCS diajukan kepada Bank Indonesia dengan menggunakan format surat sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 22 dan didukung dengan dokumen sebagai berikut: 1) bukti persiapan operasional yang meliputi antara lain: a) kesiapan gedung dan peralatan kantor termasuk foto gedung kantor dan tata letak ruangan. Dalam hal KCS beralamat sama dengan KC atau KCP BUK (co-location), maka harus terdapat pemisahan kantor yang jelas dengan cara antara lain pembedaan warna ruangan, pembuatan sekat (partisi) dan/atau pemisahan ruangan; b) dokumen yang menunjukkan kesiapan teknologi sistem informasi dan jaringan telekomunikasi; dan c) bukti kepemilikan atau dokumen penguasaan atas gedung kantor antara lain berupa bukti hak atas tanah atau surat perjanjian sewa; 2) hasil analisis mengenai komposisi penyebaran lokasi nasabah dan langkah-langkah antisipatif yang akan dilakukan untuk tetap mempertahankan kualitas pelayanan kepada nasabah; dan 3) hasil analisis atas kinerja pada lokasi kantor lama dan studi kelayakan usaha pada lokasi kantor yang baru. b. Pelaksanaan pemindahan alamat KCS dilaporkan kepada Bank Indonesia dengan menggunakan format surat sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 23 dan didukung dengan guntingan surat ... 16 surat kabar yang memuat pengumuman rencana pemindahan alamat tersebut. 3. KANTOR DIBAWAH KANTOR CABANG SYARIAH a. Rencana pemindahan alamat Kantor di bawah KCS diajukan kepada Bank Indonesia dengan menggunakan format surat sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 24 dan didukung dengan dokumen sebagai berikut: 1) bukti persiapan operasional Kantor di bawah KCS yang meliputi antara lain: a) kesiapan gedung dan peralatan kantor termasuk foto gedung kantor dan tata letak ruangan. Dalam hal Kantor dibawah KCS beralamat sama dengan kantor BUK (co-location), maka harus terdapat pemisahan yang jelas dengan cara antara lain pembedaan warna ruangan, pembuatan sekat (partisi) dan/atau pemisahan ruangan; b) dokumen yang menunjukkan kesiapan teknologi sistem informasi dan jaringan telekomunikasi; dan c) bukti kepemilikan atau dokumen penguasaan atas gedung kantor antara lain berupa bukti hak atas tanah atau surat perjanjian sewa; dan 2) hasil analisis atas kinerja pada lokasi kantor lama dan studi kelayakan usaha pada lokasi kantor yang baru. b. Pelaksanaan pemindahan alamat Kantor di bawah KCS dilaporkan kepada Bank Indonesia dengan menggunakan format surat sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 25 dan didukung dengan salinan pengumuman rencana pemindahan alamat tersebut. 4. KEGIATAN ... 17 4. KEGIATAN PELAYANAN KAS SYARIAH Pelaksanaan pemindahan alamat Kegiatan Pelayanan Kas Syariah dilaporkan kepada Bank Indonesia dengan menggunakan format surat sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 26. 5. LAYANAN SYARIAH Pelaksanaan pemindahan alamat kegiatan Layanan Syariah dilaporkan kepada Bank Indonesia dengan menggunakan format surat sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 27. 6. KANTOR CABANG SYARIAH ATAU JENIS-JENIS KANTOR LAINNYA DI LUAR NEGERI Pelaksanaan pemindahan alamat KCS atau jenis-jenis kantor lainnya di luar negeri dilaporkan kepada Bank Indonesia dengan menggunakan format surat sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 28 dan didukung dengan salinan/fotokopi izin dari otoritas di negara setempat. IX. PENUTUPAN KANTOR UNIT USAHA SYARIAH 1. KANTOR CABANG SYARIAH a. Permohonan izin penutupan KCS diajukan kepada Bank Indonesia dengan menggunakan format surat sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 29. b. Pelaksanaan penutupan alamat KCS dilaporkan kepada Bank Indonesia dengan menggunakan format surat sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 30 dan didukung dengan dokumen sebagai berikut: 1) bukti penyelesaian seluruh kewajiban KCS kepada nasabah dan pihak lain; dan 2) guntingan ... 18 2) guntingan surat kabar yang memuat pengumuman rencana penutupan KCS. 2. KANTOR DI BAWAH KANTOR CABANG SYARIAH Pelaksanaan penutupan Kantor di bawah KCS dilaporkan kepada Bank Indonesia dengan menggunakan format surat sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 31. 3. KEGIATAN PELAYANAN KAS SYARIAH Pelaksanaan penutupan Kegiatan Pelayanan Kas Syariah dilaporkan kepada Bank Indonesia dengan menggunakan format surat sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 32. 4. LAYANAN SYARIAH Pelaksanaan penutupan kegiatan Layanan Syariah dilaporkan kepada Bank Indonesia dengan menggunakan format surat sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 33. 5. KANTOR CABANG SYARIAH ATAU JENIS-JENIS KANTOR LAINNYA DI LUAR NEGERI Pelaksanaan penutupan KCS atau jenis-jenis kantor lainnya di luar negeri dilaporkan kepada Bank Indonesia dengan menggunakan format surat sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 34 dan didukung dengan dokumen sebagai berikut: a. bukti ... 19 a. b. bukti penyelesaian seluruh kewajiban KCS atau jenis-jenis kantor lainnya di luar negeri kepada nasabah dan pihak lain; dan salinan/fotokopi izin penutupan KCS atau jenis-jenis kantor lainnya di luar negeri dari otoritas di negara setempat. X. PEMISAHAN (SPIN-OFF) UUS DENGAN CARA PENDIRIAN BUS BARU 1. Permohonan persetujuan prinsip pendirian BUS diajukan kepada Bank Indonesia dengan menggunakan format surat sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 35 dan didukung dengan dokumen sebagai berikut: a. akta pendirian atau rancangan akta pendirian badan hukum Perseroan Terbatas (PT), termasuk anggaran dasar atau rancangan anggaran dasar yang paling kurang memuat: 1) nama dan tempat kedudukan; 2) kegiatan usaha BUS; 3) modal; 4) kepemilikan; 5) aturan tentang pengangkatan anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi, dan anggota DPS yang harus memperoleh persetujuan Bank Indonesia terlebih dahulu; 6) aturan mengenai jumlah, kewenangan, tanggung jawab, tugas dan persyaratan lainnya Dewan Komisaris, Direksi, dan DPS yang harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan; 7) aturan tentang rapat umum pemegang saham yang menetapkan bahwa tugas manajemen, remunerasi Dewan Komisaris dan Direksi, laporan pertanggungjawaban tahunan, penunjukan dan biaya jasa akuntan publik, penggunaan laba, dan ... 20 dan hal-hal lainnya yang harus sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia; dan 8) aturan mengenai rapat umum pemegang saham yang harus dipimpin oleh Presiden Komisaris atau Komisaris Utama. b. daftar calon pemegang saham berikut rincian kepemilikan masing- masing: 1) dalam hal calon pemegang saham adalah perorangan maka harus dilampiri dokumen sebagai berikut: a) pas foto 1 (satu) bulan terakhir ukuran 4 x 6 cm; b) c) d) riwayat hidup (curriculum vitae); surat pernyataan pribadi yang menyatakan tidak pernah melakukan tindakan fraud (penipuan, penggelapan, dan/atau kecurangan) di bidang perbankan, keuangan, dan usaha lainnya, serta tidak pernah dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana kejahatan; e) dalam hal calon pemegang saham perorangan sebagai PSP maka harus dilampiri tambahan dokumen sebagai berikut: i. fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau paspor yang masih berlaku; surat pernyataan pribadi yang menyatakan bahwa yang bersangkutan tidak pernah dinyatakan pailit atau tidak pernah menjadi pemegang saham, anggota Dewan Komisaris, atau anggota Direksi dari perseroan dan/atau pengurus dari badan hukum lainnya yang dinyatakan bersalah sehingga menyebabkan suatu perseroan dan/atau badan hukum lainnya dinyatakan pailit berdasarkan penetapan ... 21 penetapan pengadilan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun terakhir sebelum tanggal pengajuan permohonan; ii. surat pernyataan pribadi yang menyatakan bersedia untuk mengatasi kesulitan modal maupun likuiditas BUS; iii. surat pernyataan pribadi yang menyatakan tidak memiliki hutang bermasalah; dan iv. daftar kekayaan dan sumber pendapatan serta jumlah hutang yang dimiliki sesuai dengan laporan pajak tahun terakhir; 2) dalam hal calon pemegang saham adalah badan hukum maka harus dilampiri dokumen sebagai berikut: a) akta pendirian badan hukum, yang memuat anggaran dasar berikut perubahan-perubahan yang telah mendapat pengesahan dari instansi berwenang; b) dokumen sebagaimana dimaksud pada butir 1) huruf a) sampai dengan huruf d) dari: i. masing-masing anggota Dewan Komisaris dan anggota Direksi dalam hal bentuk badan hukum adalah Perseroan Terbatas; atau ii. masing-masing anggota pengurus dalam hal bentuk badan hukum selain Perseroan Terbatas; c) persetujuan dari otoritas yang berwenang di negara asal bagi badan hukum asing; d) daftar pemegang saham dan jumlah nominal kepemilikannya; e) laporan ... 22 e) laporan keuangan badan hukum yang telah diaudit oleh akuntan publik dengan posisi paling lama 6 (enam) bulan sebelum tanggal pengajuan permohonan persetujuan prinsip. Dalam hal badan hukum tersebut masih dalam proses audit maka laporan keuangan yang disampaikan adalah laporan keuangan audited 1 (satu) tahun sebelumnya dan laporan keuangan unaudited bulan terakhir; f) dalam hal calon pemegang saham badan hukum sebagai PSP maka harus dilampiri tambahan dokumen sebagai berikut: i. informasi mengenai pemegang saham badan hukum sampai dengan penanggung jawab terakhir (ultimate shareholders); ii. surat pernyataan pribadi dari: (1) masing-masing anggota Dewan Komisaris dan anggota Direksi dari badan hukum dimaksud dalam hal bentuk badan hukumnya adalah Perseroan Terbatas; atau (2) masing-masing anggota pengurus dari badan hukum dimaksud dalam hal bentuk badan hukumnya selain Perseroan Terbatas; yang menyatakan bahwa masing-masing tidak pernah dinyatakan pailit atau tidak pernah menjadi pemegang saham, anggota Dewan Komisaris, atau anggota Direksi dari perseroan dan/atau pengurus dari badan hukum lainnya yang dinyatakan bersalah sehingga menyebabkan suatu perseroan dan/atau ... 23 dan/atau badan hukum lainnya dinyatakan pailit berdasarkan penetapan pengadilan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun terakhir sebelum tanggal pengajuan permohonan; iii. surat pernyataan yang menyatakan bahwa badan hukum tersebut bersedia untuk mengatasi kesulitan modal maupun likuiditas BUS yang ditandatangani oleh anggota Direksi atau pengurus yang berwenang mewakili badan hukum yang bersangkutan. Dalam hal BUS merupakan bagian dari kelompok usaha yang dimiliki oleh suatu badan hukum, maka surat pernyataan dimaksud harus ditandatangani pula oleh penanggung jawab terakhir dari badan hukum tersebut (ultimate shareholders); iv. surat pernyataan bahwa badan hukum tidak memiliki hutang yang bermasalah, yang ditandatangani oleh anggota Direksi atau pengurus dari badan hukum yang bersangkutan; dan v. proyeksi laporan keuangan untuk jangka waktu paling kurang 3 (tiga) tahun; 3) dalam hal calon pemegang saham adalah pemerintah pusat atau pemerintah daerah, maka harus dilampiri dokumen sebagai berikut: a) surat keterangan yang mencantumkan nama pejabat yang berwenang mewakili pemerintah; b) dokumen sebagaimana dimaksud pada butir b.1) huruf a) dan huruf b) dari pejabat yang berwenang; c) dokumen ... 24 c) dokumen yang menyebutkan mengenai sumber dana untuk setoran modal dalam rangka pendirian BUS; dan d) dalam hal calon pemegang saham pemerintah sebagai PSP maka harus dilampiri tambahan dokumen yaitu surat pernyataan dari pejabat yang berwenang yang menyatakan bahwa pemerintah bersedia untuk mengatasi kesulitan modal maupun likuiditas BUS. c. daftar calon anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi, dan anggota DPS disertai dengan dokumen sebagai berikut: 1) pas foto 1 (satu) bulan terakhir ukuran 4 x 6 cm; 2) fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau paspor yang masih berlaku; 3) 4) riwayat hidup (curriculum vitae); surat pernyataan pribadi dari masing-masing calon yang menyatakan bahwa yang bersangkutan tidak pernah melakukan fraud (penipuan, penggelapan, dan/atau kecurangan) di bidang perbankan, keuangan, dan bidang usaha lainnya, atau tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana kejahatan; 5) surat pernyataan pribadi dari masing-masing calon yang menyatakan bahwa yang bersangkutan tidak pernah dinyatakan pailit atau tidak pernah menjadi pemegang saham, anggota Dewan Komisaris, atau anggota Direksi dari perseroan dan/atau pengurus dari badan hukum lainnya yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perseroan dan/atau badan hukum lainnya dinyatakan pailit berdasarkan penetapan pengadilan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun terakhir sebelum tanggal pengajuan permohonan; 6) surat ... 25 6) surat pernyataan pribadi dari masing-masing calon anggota Dewan Komisaris dan anggota Direksi yang menyatakan bahwa masing-masing tidak memiliki hutang yang bermasalah; 7) surat keterangan atau sertifikat dari lembaga pendidikan dan pelatihan dan/atau lembaga sertifikasi bahwa calon anggota Dewan Komisaris atau anggota Direksi pernah mengikuti pendidikan atau pelatihan, sesuai dengan persyaratan kompetensi; 8) surat keterangan atau sertifikat dari lembaga pendidikan dan pelatihan dan/atau dari Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama Indonesia mengenai pendidikan dan/atau pelatihan di bidang syariah mu’amalah dan di bidang perbankan dan/atau keuangan secara umum yang pernah diikuti calon anggota DPS; 9) surat pernyataan dari masing-masing calon anggota Dewan Komisaris, calon anggota Direksi dan calon anggota DPS bahwa yang bersangkutan tidak melanggar ketentuan rangkap jabatan sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia mengenai Bank Umum Syariah; 10) surat pernyataan dari masing-masing calon anggota Dewan Komisaris dan calon anggota Direksi bahwa yang bersangkutan memiliki atau tidak memiliki hubungan keluarga dengan calon anggota Dewan Komisaris dan/atau calon anggota Direksi lainnya sesuai ketentuan Bank Indonesia mengenai pelaksanaan tata kelola perusahaan yang baik (Good Corporate Governance); 11) surat ... 26 11) surat pernyataan dari anggota Direksi bahwa yang bersangkutan baik secara sendiri-sendiri maupun bersama- sama tidak memiliki saham melebihi 25% (dua puluh lima persen) dari modal disetor pada perusahaan lain; dan 12) surat rekomendasi dari Dewan Syariah Nasional - Majelis Ulama Indonesia bagi calon anggota DPS. d. e. f. rencana struktur organisasi dan nama-nama calon Pejabat Eksekutif; studi kelayakan mengenai peluang pasar dan potensi ekonomi; rencana bisnis (business plan) yang paling kurang memuat: 1) rencana kegiatan usaha yang mencakup penghimpunan dan penyaluran dana serta strategi pencapaiannya; dan 2) proyeksi neraca bulanan dan laporan laba rugi kumulatif bulanan, selama 12 (dua belas) bulan yang dimulai sejak BUS beroperasi; g. rencana korporasi (corporate plan) berupa rencana strategis jangka menengah dan jangka panjang dalam rangka mencapai tujuan BUS; h. pedoman manajemen risiko termasuk pedoman risk control system, rencana sistem pengendalian intern, rencana sistem teknologi informasi yang digunakan, dan pedoman mengenai pelaksanaan tata kelola perusahaan yang baik (Good Corporate Governance); i. j. sistem dan prosedur kerja yang lengkap dan komprehensif yang digunakan dalam kegiatan operasional BUS; surat pernyataan dari calon pemegang saham non bank (apabila terdapat calon pemegang saham selain BUK) bahwa sumber dana yang digunakan dalam rangka kepemilikan BUS: 1) tidak berasal dari pinjaman atau fasilitas pembiayaan dalam bentuk apapun dari bank dan/atau pihak lain; dan/atau 2) tidak ... 27 2) tidak berasal dari dan untuk tujuan pencucian uang (money laundering). Dalam hal calon pemegang saham BUS berbentuk badan hukum, maka surat pernyataan ditandatangani oleh pengurus yang berwenang mewakili badan hukum yang bersangkutan; k. surat pernyataan dari calon PSP untuk mengupayakan peningkatan modal disetor BUS secara bertahap menjadi paling kurang sebesar Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah) dalam waktu paling lambat 10 (sepuluh) tahun sejak izin usaha BUS diberikan; l. neraca proforma BUS sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku; m. neraca intern UUS posisi bulan terakhir sebelum permohonan izin prinsip pendirian BUS yang ditandatangani oleh Direktur UUS; status KCS, KCPS dan KKS dari UUS; dan rancangan akta Pemisahan UUS dari BUK. n. o. 2. Permohonan izin usaha BUS diajukan kepada Bank Indonesia dengan menggunakan format surat sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 36 dan didukung dengan dokumen sebagai berikut: a. akta pendirian badan hukum Perseroan Terbatas (PT), yang memuat anggaran dasar, yang telah disahkan oleh instansi berwenang; b. daftar pemegang saham sebagaimana dimaksud dalam angka 1 huruf b, dalam hal terjadi perubahan pemegang saham; c. daftar calon anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi, dan anggota DPS sebagaimana dimaksud dalam angka 1 huruf c, dalam hal terjadi perubahan calon anggota Dewan Komisaris, Direksi dan/atau DPS; d. fotokopi Kartu Izin Tinggal Terbatas (KITAS) atau Kartu Izin Tinggal Tetap (KITAP) dari instansi berwenang bagi warga negara asing ... 28 asing yang menjadi calon anggota Direksi dan/atau calon anggota Dewan Komisaris dan bermaksud menetap di Indonesia; e. fotokopi surat izin bekerja dari instansi berwenang bagi warga negara asing yang menjadi calon anggota Direksi dan/atau calon anggota Dewan Komisaris; f. rencana susunan dan struktur organisasi, studi kelayakan, rencana bisnis, rencana korporasi, pedoman-pedoman, serta sistem dan prosedur kerja sebagaimana dimaksud dalam angka 1 huruf d sampai dengan huruf i, dalam hal terjadi perubahan; g. neraca intern UUS posisi bulan terakhir sebelum permohonan izin usaha BUS yang ditandatangani oleh Direktur UUS yang menunjukan terpenuhinya modal minimum pendirian BUS sebesar Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah) dan/atau bukti tambahan setoran modal dari calon pemegang saham. Bukti tambahan setoran modal tersebut adalah berupa fotokopi bilyet deposito iB dari Bank Umum Syariah atau Unit Usaha Syariah di Indonesia atas nama “Dewan Gubernur Bank Indonesia qq. calon pemegang saham”, yang telah dilegalisir oleh pejabat bank penerbit deposito iB. Bilyet deposito iB tersebut harus mencantumkan keterangan bahwa pencairannya hanya dapat dilakukan setelah mendapat persetujuan tertulis dari Anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia; h. bukti kesiapan operasional paling kurang berupa: 1) kesiapan gedung dan peralatan kantor termasuk foto gedung kantor dan tata letak ruangan; 2) dokumen yang menunjukkan kesiapan teknologi sistem informasi yang meliputi antara lain core banking system dan informasi mengenai jaringan telekomunikasi; 3) bukti ... 29 3) bukti kepemilikan, atau dokumen penguasaan atas gedung kantor antara lain berupa bukti hak atas tanah atau surat perjanjian sewa; dan 4) i. contoh formulir/warkat berlogo iB yang akan digunakan untuk operasional BUS; dan akta Pemisahan UUS dari BUK. 3. Pelaksanaan pembukaan BUS dilaporkan kepada Bank Indonesia dengan menggunakan format surat sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 37. 4. Permohonan pencabutan izin usaha UUS disampaikan kepada Bank Indonesia dengan menggunakan format surat sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 38 dan didukung dengan dokumen sebagai berikut: a. guntingan surat kabar yang memuat pengumuman rencana pengalihan hak dan kewajiban UUS kepada BUS; b. bukti penyelesaian hak dan kewajiban UUS, apabila terdapat hak dan kewajiban UUS yang tidak dialihkan kepada BUS; dan c. surat pernyataan dari Direksi BUK bahwa langkah-langkah penyelesaian seluruh kewajiban UUS telah dilakukan dan apabila terdapat tuntutan di kemudian hari menjadi tanggung jawab Direksi untuk dan atas nama BUK. XI. PEMISAHAN UUS (SPIN – OFF) DENGAN CARA PENGALIHAN HAK DAN KEWAJIBAN KEPADA BUS YANG SUDAH ADA 1. Permohonan persetujuan pengalihan hak dan kewajiban UUS kepada BUS diajukan kepada Bank Indonesia dengan menggunakan format surat sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 39 dan didukung dengan dokumen sebagai berikut: a. laporan keuangan proforma BUS berupa neraca dan rekening administratif; b. langkah-langkah ... 30 b. langkah-langkah yang ditempuh dalam rangka penyelesaian seluruh hak dan kewajiban UUS kepada nasabah dan pihak lainnya, termasuk status KCS, KCPS dan KKS; dan c. rancangan akta Pemisahan UUS dari BUK. Rancangan akta Pemisahan dibuat bersama-sama oleh BUK yang memiliki UUS dan BUS. 2. Pelaksanaan pengalihan hak dan kewajiban UUS kepada BUS dilaporkan kepada Bank Indonesia dengan menggunakan format surat sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 40 dan didukung dengan dokumen sebagai berikut: a. akta Pemisahan UUS dari BUK; dan b. guntingan surat kabar yang memuat pengumuman rencana pengalihan hak dan kewajiban UUS kepada BUS. 3. Penerimaan pengalihan hak dan kewajiban UUS dilaporkan oleh BUS kepada Bank Indonesia dengan menggunakan format surat sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 41 dan didukung dengan laporan keuangan BUS. 4. Permohonan pencabutan izin usaha UUS diajukan kepada Bank Indonesia dengan menggunakan format surat sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 42 dan didukung dengan dokumen sebagai berikut: a. b. bukti penyelesaian hak dan kewajiban UUS; dan surat pernyataan dari Direksi BUK terkait bahwa langkah-langkah penyelesaian seluruh kewajiban UUS telah dilakukan dan apabila terdapat tuntutan di kemudian hari menjadi tanggung jawab Direksi untuk dan atas nama BUK. XII. PENCABUTAN ... 31 XII. PENCABUTAN IZIN USAHA UNIT USAHA SYARIAH ATAS PERMINTAAN BANK UMUM KONVENSIONAL 1. Permohonan persetujuan pencabutan izin usaha UUS diajukan kepada Bank Indonesia dengan menggunakan format surat sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 43 dan didukung dengan dokumen sebagai berikut: a. risalah rapat umum pemegang saham BUK yang memuat keputusan mengenai rencana penutupan kegiatan usaha UUS; b. rencana penyelesaian seluruh kewajiban UUS, antara lain: 1) 2) c. jumlah dana pihak ketiga atau kewajiban lainnya yang akan dialihkan kepada BUS dan/atau UUS lain; dan jumlah kewajiban UUS yang dilunasi atau diselesaikan; dan laporan keuangan UUS posisi bulan terakhir pada saat permohonan. 2. Pelaksanaan penghentian kegiatan usaha UUS dilaporkan kepada Bank Indonesia dengan menggunakan format surat sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 44 dan didukung dengan dokumen sebagai berikut: a. bukti pengumuman dalam 2 (dua) surat kabar yang mengumumkan rencana penghentian kegiatan usaha UUS; b. bukti penyelesaian seluruh kewajiban UUS; dan c. surat pernyataan dari Direktur UUS bahwa langkah-langkah penyelesaian kewajiban UUS telah dilakukan dan apabila terdapat tuntutan di kemudian hari menjadi tanggung jawab BUK. XIII. KANTOR UNIT USAHA SYARIAH TIDAK BEROPERASI PADA HARI KERJA Permohonan kantor UUS untuk tidak beroperasi pada hari kerja diajukan kepada Bank Indonesia dengan menggunakan format surat sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 45. XIV. ALAMAT ... 32 XIV. ALAMAT PERMOHONAN IZIN DAN/ATAU PENYAMPAIAN LAPORAN Permohonan izin atau rencana dan/atau penyampaian laporan diajukan kepada Bank Indonesia dengan alamat sebagai berikut: 1. Direktorat Perbankan Syariah, Jl. M.H. Thamrin No.2, Jakarta 10350; atau 2. Kantor Bank Indonesia setempat, dengan berpedoman pada Lampiran 46. XV. PENUTUP Dengan berlakunya Surat Edaran ini maka Surat Edaran No.8/8/DPbS tanggal 1 Maret 2006 perihal Perubahan Kegiatan Usaha Bank Umum Konvensional Menjadi Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah Dan Pembukaan Kantor Bank Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah Oleh Bank Umum Konvensional dinyatakan tidak berlaku bagi Unit Usaha Syariah. Ketentuan dalam Surat Edaran ini mulai berlaku pada tanggal 5 Oktober 2009. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA MULIAMAN D. HADAD DEPUTI GUBERNUR DPbS "," SE-BI 11/28/DPbS|SE-BI/2009 Unit Usaha Syariah 5 Oktober 2009 5 Oktober 2009 '8/8/DPbS|SE-BI/2006' '11/10/PBI/2009' " " No. 9/16/DASP Jakarta, 6 Agustus 2007 S U R A T E D A R A N Kepada SEMUA BANK UMUM DI INDONESIA Perihal : Perubahan Atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 7/28/DASP tanggal 22 Juli 2005 perihal Biaya dalam Penyelenggaraan Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia Sehubungan dengan kemungkinan terjadinya kondisi gangguan dan/atau Keadaan Darurat dalam penyelenggaraan Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI), perlu dilakukan perubahan terhadap ketentuan dalam Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 7/28/DASP tanggal 22 Juli 2005 perihal Biaya dalam Penyelenggaraan Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia sebagai berikut. 1. Ketentuan butir II.A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: A. Biaya proses Kliring Debet, biaya proses Kliring Kredit, dan biaya Warkat Debet reject sebagaimana dimaksud pada butir I.A, I.B, dan I.C dihitung dengan mekanisme sebagai berikut: 1. Biaya proses DKE Debet dan DKE Kredit dihitung oleh PKN pada setiap akhir bulan atas dasar total DKE Debet dan total DKE Kredit yang diterima dan diproses oleh PKN, baik yang berasal dari PKL atau dari Peserta. 2. Biaya proses DKE Debet sebagaimana dimaksud pada angka 1 dapat dihitung oleh PKL atas dasar total DKE Debet yang diterima dan diproses oleh PKL, dalam hal terjadi kondisi gangguan dan/atau Keadaaan Darurat yang menyebabkan: a. DKE … a. DKE Debet penyerahan tidak dapat dikirim oleh PKL ke Sistem Sentral Kliring (SSK); dan/atau b. proses perhitungan akhir dilakukan secara lokal dan Penyelesaian Akhir Kliring Debet penyerahan dilakukan oleh PKL. 3. Dalam hal perhitungan biaya proses DKE Debet sebagaimana dimaksud pada angka 2 dilakukan oleh PKL Selain BI, maka PKL Selain BI melakukan hal-hal sebagai berikut: a. Melalui aplikasi Komputer Penyelenggara Kliring (KPK), mencetak Laporan Daftar Pembebanan Kewajiban Membayar Atas Biaya Proses DKE Kliring Penyerahan (SKN-223102). b. Menyampaikan Laporan Daftar Pembebanan Kewajiban Membayar Atas Biaya Proses DKE Kliring Penyerahan sebagaimana dimaksud pada huruf a kepada PKL BI yang mewilayahi melalui sarana sebagai berikut: 1) 2) 3) teleks; i-teleks; atau telepon dan faksimili, yang disertai dengan angka rahasia. c. Laporan Daftar Pembebanan Kewajiban Membayar Atas Biaya Proses DKE Kliring Penyerahan sebagaimana dimaksud pada huruf b, disampaikan kepada PKL BI yang mewilayahi paling lambat pada hari kerja pertama awal bulan berikutnya. 4. Biaya proses Warkat Debet di Wilayah Kliring yang pemilahan Warkat Debetnya dilakukan secara otomasi dihitung oleh PKL pada setiap akhir bulan atas dasar total Warkat Debet yang diserahkan oleh Peserta dan diproses oleh PKL. 5. Biaya tambahan untuk pemanfaatan fasilitas pemilahan Warkat Debet di Wilayah Kliring yang pemilahan Warkat Debetnya dilakukan secara otomasi dihitung oleh PKL pada setiap akhir bulan atas dasar total Warkat Debet yang ditujukan kepada Peserta yang memanfaatkan fasilitas tersebut. 6. Biaya … 6. Biaya proses Warkat Debet reject di Wilayah Kliring yang pemilahan Warkat Debetnya dilakukan secara otomasi dihitung oleh PKL pada setiap akhir bulan atas dasar total Warkat Debet reject sesuai dengan ketentuan butir I.C.4. 7. Biaya sebagaimana dimaksud pada angka 1, angka 2, angka 4, angka 5, dan angka 6 dibebankan ke rekening giro Bank Peserta di Bank Indonesia paling lambat pada minggu pertama bulan berikutnya. 2. Ketentuan butir III.B diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: B. PKL menerbitkan laporan rincian pembebanan biaya dalam penyelenggaraan SKNBI sebagaimana dimaksud pada butir II.A.2, butir II.A.4 butir II.A.5 dan butir II.A.6 per Peserta dan menyampaikan laporan tersebut kepada masing-masing Peserta di Wilayah Kliring yang bersangkutan. Ketentuan dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal 6 Agustus 2007. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA, DYAH N. K. MAKHIJANI DIREKTUR AKUNTING DAN SISTEM PEMBAYARAN "," SE-BI 9/16/DASP|SE-BI/2007 Perubahan Atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 7/28/DASP tanggal 22 Juli 2005 perihal Biaya dalam Penyelenggaraan Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia 6 Agustus 2007 6 Agustus 2007 '7/28/DASP|SE-BI/2005' '7/28/DASP|SE-BI/2005' " " No.7/28/DASP Jakarta, 22 Juli 2005 S U R A T E D A R A N Kepada SEMUA BANK UMUM DI INDONESIA Perihal : Biaya dalam Penyelenggaraan Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia Sehubungan dengan diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/18/PBI/2005 tanggal 22 Juli 2005 tentang Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 65, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4516), perlu diatur mengenai biaya dalam penyelenggaraan Sistem Kliring Indonesia (SKNBI) dalam Surat Edaran Bank Indonesia sebagai berikut. I. Nasional Bank JENIS DAN BESARNYA BIAYA Biaya dalam penyelenggaraan SKNBI terdiri atas : A. Biaya Proses Kliring Debet Biaya Proses Kliring Debet penyerahan terdiri dari : 1. Biaya proses Kliring Debet penyerahan di Wilayah Kliring yang pemilahan Warkat Debetnya dilakukan secara otomasi adalah sebesar Rp1.500,00 (seribu lima ratus rupiah) per transaksi dengan rincian sebagai berikut: a. biaya … 2 a. biaya proses Data Keuangan Elektronik (DKE) Debet sebesar Rp1.000,00 (seribu rupiah) per DKE Debet; dan b. biaya proses Warkat Debet sebesar Rp500,00 (lima ratus rupiah) per Warkat Debet. 2. Biaya proses Kliring Debet penyerahan di Wilayah Kliring yang pemilahan Warkat Debetnya dilakukan secara manual sebesar Rp1.000,00 (seribu rupiah) per transaksi yang merupakan biaya proses DKE Debet. 3. Biaya tambahan yang dikenakan hanya kepada Peserta yang memanfaatkan fasilitas pemilahan Warkat Debet berdasarkan kantor asal Peserta penerima di Wilayah Kliring yang pemilahan Warkat Debetnya dilakukan secara Otomasi sebesar Rp100,00 (seratus rupiah) per Warkat Debet. B. Biaya proses Kliring Kredit Biaya proses Kliring Kredit adalah sebesar Rp1.000,00 (seribu rupiah) per transaksi. C. Biaya Warkat Debet Reject 1. Warkat Debet reject adalah Warkat Debet dalam Kliring penyerahan yang diproses oleh PKL di Wilayah Kliring yang pemilahan Warkat Debetnya dilakukan secara otomasi, yang tertolak oleh mesin baca pilah. 2. Biaya Warkat Debet reject adalah sebesar Rp1.000,00 (seribu rupiah) per Warkat Debet reject. 3. Biaya Warkat Debet reject dikenakan apabila total Warkat Debet reject melebihi 2% (dua persen) dari total Warkat Debet yang diserahkan oleh Peserta. 4. Dalam hal Warkat Debet reject melebihi 2% (dua persen), perhitungan biaya Warkat Debet reject dilakukan terhadap kelebihan persentase Warkat Debet reject tersebut. 5. Biaya … 3 5. Biaya Warkat Debet reject dikenakan kepada Peserta pengirim atau Peserta penerima sesuai dengan alasan yang menyebabkan Warkat Debet reject sebagaimana tercantum dalam Lampiran Surat Edaran ini. D. Biaya Pembuatan dan atau Penggantian Tanda Pengenal Petugas Kliring (TPPK) Peserta dikenakan biaya pembuatan dan atau penggantian TPPK dengan ketentuan sebagai berikut: 1. Untuk TPPK Proximity, baik yang dilengkapi dengan magnetic stripe maupun yang tidak dilengkapi dengan magnetic stripe, dikenakan biaya sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per TPPK. 2. Untuk TPPK tanpa Proximity yang dilengkapi dengan magnetic stripe dikenakan biaya sebesar Rp17.500,00 (tujuh belas ribu lima ratus rupiah) per TPPK. 3. Untuk TPPK tanpa Proximity yang tidak dilengkapi dengan magnetic stripe dikenakan biaya sebesar Rp5.000,00 (lima ribu rupiah). E. Biaya Pemanfaatan Fasilitas Perekaman Data Hasil Kliring Dalam Bentuk Compact Disk (Fasilitas CD Kliring) Biaya pemanfaatan fasilitas CD Kliring di Wilayah Kliring yang pemilahan Warkat Debetnya dilakukan secara otomasi diatur sebagai berikut: 1. Pengguna tetap dikenakan biaya sebesar Rp20.000,00 (dua puluh ribu rupiah) per CD. 2. Pengguna tidak tetap dikenakan biaya sebesar Rp25.000,00 (dua puluh lima ribu rupiah) per CD. 3. Permintaan perekaman ulang CD Kliring dikenakan biaya sebesar Rp25.000,00 (dua puluh lima ribu rupiah) per CD. II. PERHITUNGAN … 4 II. PERHITUNGAN DAN PEMBEBANAN BIAYA DALAM PENYELENGGARAAN SKNBI A. Biaya proses Kliring Debet, biaya proses Kliring Kredit, dan biaya Warkat Debet reject sebagaimana dimaksud pada butir I.A, I.B, dan I.C dihitung dengan mekanisme sebagai berikut: 1. Biaya proses DKE Debet dan DKE Kredit dihitung oleh PKN pada setiap akhir bulan atas dasar total DKE Debet dan total DKE Kredit yang diterima dan diproses oleh PKN, baik yang berasal dari PKL atau dari Peserta. 2. Biaya proses Warkat Debet di Wilayah Kliring yang pemilahan Warkat Debetnya dilakukan secara otomasi dihitung oleh PKL pada setiap akhir bulan atas dasar total Warkat Debet yang diserahkan oleh Peserta dan diproses oleh PKL. 3. Biaya tambahan untuk pemanfaatan fasilitas pemilahan Warkat Debet di Wilayah Kliring yang pemilahan Warkat Debetnya dilakukan secara otomasi dihitung oleh PKL pada setiap akhir bulan atas dasar total Warkat Debet yang ditujukan kepada Peserta yang memanfaatkan fasilitas tersebut. 4. Biaya proses Warkat Debet reject di Wilayah Kliring yang pemilahan Warkat Debetnya dilakukan secara otomasi dihitung oleh PKL pada setiap akhir bulan atas dasar total Warkat Debet reject sesuai dengan ketentuan butir I.C.4. 5. Biaya sebagaimana dimaksud pada angka 1 sampai dengan angka 4 dibebankan ke rekening giro Bank Peserta di Bank Indonesia paling berikutnya. lambat pada minggu pertama bulan B. Biaya pembuatan dan penggantian TPPK sebagaimana dimaksud pada butir I. D dihitung oleh PKL untuk setiap kali permohonan pembuatan dan atau penggantian TPPK dan pembebanan atas biaya tersebut … 5 tersebut dilakukan oleh PKL setiap kali terdapat permohonan, dengan cara sebagai berikut: 1. dalam hal TPPK digunakan untuk mengikuti kegiatan SKNBI di PKL BI, pembebanan dilakukan dengan cara pendebetan rekening giro Bank Peserta di Bank Indonesia; atau 2. dalam hal TPPK digunakan untuk mengikuti kegiatan SKNBI di PKL Selain BI, pembebanan dilakukan sesuai dengan prosedur yang ditetapkan oleh PKL Selain BI. C. Biaya fasilitas CD Kliring sebagaimana dimaksud pada butir I.E dihitung oleh PKL untuk setiap kali permohonan fasilitas CD Kliring dan pembebanan atas biaya tersebut dilakukan oleh PKL setiap kali terdapat permohonan, dengan cara pendebetan rekening giro Bank Peserta di Bank Indonesia. III. LAPORAN PEMBEBANAN BIAYA DALAM PENYELENGGARAAN SKNBI A. PKN menerbitkan laporan rincian pembebanan biaya dalam penyelenggaraan SKNBI sebagaimana dimaksud pada butir II.A.1 dan menyampaikan laporan tersebut kepada kantor pusat Bank. B. PKL menerbitkan laporan rincian pembebanan biaya dalam penyelenggaraan SKNBI sebagaimana dimaksud pada butir II.A.2, butir II.A.3 dan butir II.A.4 per Peserta dan menyampaikan laporan tersebut kepada masing-masing Peserta di Wilayah Kliring yang bersangkutan. IV. PENGUMUMAN PENGENAAN BIAYA DALAM PENYELENGGARAAN SKNBI Untuk memberikan informasi kepada nasabah Bank Peserta, Bank wajib mengumumkan besarnya biaya proses Kliring Debet dan Kliring Kredit yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Pengumuman dilakukan secara tertulis … 6 tertulis di setiap kantor Bank pada tempat yang mudah terlihat oleh nasabah. V. KETENTUAN PERALIHAN Dengan berlakunya Surat Edaran Bank Indonesia ini, Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 6/39/DASP tanggal 16 September 2004 perihal Biaya Kliring dinyatakan tetap berlaku untuk Wilayah Kliring yang belum mengimplementasikan SKNBI mengimplementasikan SKNBI. sampai Wilayah Kliring tersebut VI. PENUTUP Dengan berlakunya Surat Edaran Bank Indonesia ini, Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 6/39/DASP tanggal 16 September 2004 perihal Biaya Kliring dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Ketentuan dalam Surat Edaran ini dilaksanakan sejak tanggal implementasi SKNBI di Wilayah Kliring yang bersangkutan sesuai dengan pengumuman Bank Indonesia. Ketentuan dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 22 Juli 2005. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA, MOHAMAD ISHAK DIREKTUR AKUNTING DAN SISTEM PEMBAYARAN DASP "," SE-BI 7/28/DASP|SE-BI/2005 Biaya dalam Penyelenggaraan Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia 22 Juli 2005 22 Juli 2005 '6/39/DASP|SE-BI/2004' '7/18/PBI/2005' " " No. 18/11/DEKS Jakarta, 12 Mei 2016 S U R A T E D A R A N Perihal : Transaksi Lindung Nilai Berdasarkan Prinsip Syariah Sehubungan dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/2/PBI/2016 tentang Transaksi Lindung Nilai Berdasarkan Prinsip Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 36, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5850), perlu mengatur ketentuan pelaksanaan mengenai Transaksi Lindung Nilai Berdasarkan Prinsip Syariah dalam Surat Edaran Bank Indonesia sebagai berikut: I. KETENTUAN UMUM Dalam Surat Edaran ini yang dimaksud dengan: 1. Bank Umum Konvensional yang selanjutnya disingkat BUK adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan, termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri, yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional. 2. Bank Umum Syariah yang selanjutnya disingkat BUS adalah Bank Umum Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah. 3. Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disingkat UUS adalah Unit Usaha Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah. 4. Nasabah adalah: a. Perorangan yang memiliki kewarganegaraan Indonesia; atau b. Badan usaha selain Bank yang berbadan hukum Indonesia, berdomisili di Indonesia termasuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yang... 2 yang melaksanakan kegiatan usaha yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah. 5. Lindung Nilai Berdasarkan Prinsip Syariah (Al tahawwuth al- Islami) yang selanjutnya disebut Lindung Nilai Syariah adalah cara atau teknik lindung nilai atas risiko perubahan nilai tukar berdasarkan Prinsip Syariah. 6. Transaksi Lindung Nilai Berdasarkan Prinsip Syariah yang selanjutnya disebut Transaksi Lindung Nilai Syariah adalah transaksi yang dilakukan berdasarkan pada Prinsip Syariah dalam rangka memitigasi risiko perubahan nilai tukar atas mata uang tertentu di masa yang akan datang. 7. Underlying Transaksi adalah kegiatan yang mendasari kebutuhan untuk melakukan Transaksi Lindung Nilai Syariah, yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah. 8. Transaksi Spot adalah transaksi pembelian dan penjualan valuta asing yang penyerahan dananya dilakukan paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah tanggal transaksi. Termasuk dalam pengertian Transaksi Spot adalah transaksi dengan penyerahan valuta pada hari yang sama (today) atau dengan penyerahan 1 (satu) hari kerja setelah tanggal transaksi (tomorrow). 9. Forward Agreement (Al-muwa’adat li ‘aqd al-sharf al-fawri fi al- mustaqbal) yang selanjutnya disebut Forward Agreement adalah saling berjanji (muwa’adah) untuk melakukan Transaksi Spot dalam jumlah tertentu di masa yang akan datang dengan nilai tukar atau perhitungan nilai tukar yang disepakati pada saat saling berjanji. 10. Pemohon Transaksi Lindung Nilai Syariah yang selanjutnya disebut Pemohon adalah BUS, UUS, atau Nasabah yang memohon Transaksi Lindung Nilai Syariah. 11. Pemberi Transaksi Lindung Nilai Syariah yang selanjutnya disebut Pemberi adalah BUS, UUS atau BUK yang memberikan Transaksi Lindung Nilai Syariah. 12. Prinsip Syariah adalah prinsip syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah. 13. Transaksi... 3 13. Transaksi Lindung Nilai Syariah Sederhana (‘Aqd al-tahawwuth al- basith) yang selanjutnya disebut Transaksi Lindung Nilai Sederhana adalah transaksi lindung nilai dengan skema Forward Agreement yang diikuti dengan Transaksi Spot. 14. Transaksi Lindung Nilai Syariah Kompleks (‘Aqd al-tahawwuth al- murakkab) yang selanjutnya disebut Transaksi Lindung Nilai Kompleks adalah transaksi lindung nilai dengan skema Rangkaian Forward Agreement yang kemudian diikuti dengan Transaksi Spot. 15. Rangkaian Forward Agreement adalah Forward Agreement yang didahului dengan Transaksi Spot. II. KARAKTERISTIK DAN BATASAN TRANSAKSI LINDUNG NILAI SYARIAH A. Transaksi Lindung Nilai Syariah memiliki karakteristik sebagai berikut: 1. Didahului dengan saling berjanji (muwa’adah) antara Pemohon dan Pemberi dalam bentuk Forward Agreement atau Rangkaian Forward Agreement. 2. Dokumen dari Forward Agreement dalam mekanisme Transaksi Lindung Nilai Syariah dilarang diperjualbelikan. 3. Dilakukan dengan: a. Transaksi Lindung Nilai Sederhana; atau b. Transaksi Lindung Nilai Kompleks. 4. Setiap Transaksi Lindung Nilai Syariah wajib memiliki Underlying Transaksi. B. Transaksi Lindung Nilai Syariah harus memenuhi batasan sebagai berikut: 1. Dilakukan berdasarkan Prinsip Syariah untuk mengurangi risiko nilai tukar di masa yang akan datang. 2. Dilakukan apabila terdapat kebutuhan nyata untuk mengurangi risiko nilai tukar pada masa yang akan datang. 3. Memiliki Underlying Transaksi yang meliputi kegiatan: a. perdagangan barang dan jasa di dalam dan di luar negeri; dan/atau b. investasi... 4 b. investasi berupa direct investment, portfolio investment, pembiayaan, modal, dan investasi lainnya di dalam dan di luar negeri; 4. Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud dalam angka 3 tidak termasuk : a. penempatan dana pada BUS atau UUS berupa tabungan, giro, deposito, NCD (Negotiable Certificate of Deposit); b. kegiatan pengiriman uang oleh perusahaan transfer dana; dan c. fasilitas pembiayaan yang masih belum ditarik, antara lain berupa standby financing dan undisbursed financing. 5. Underlying Transaksi wajib didukung dengan dokumen Underlying Transaksi. 6. Nilai nominal Transaksi Lindung Nilai Syariah paling banyak sebesar nilai nominal Underlying Transaksi yang tercantum dalam dokumen Underlying Transaksi. 7. Jangka waktu Transaksi Lindung Nilai Syariah paling lama sama dengan jangka waktu Underlying Transaksi yang tercantum dalam dokumen Underlying Transaksi. 8. Nilai tukar dan perhitungan nilai tukar pada Transaksi Lindung Nilai Syariah ditentukan pada saat Forward Agreement dan tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah. 9. Pelaku Transaksi Lindung Nilai Syariah adalah: a. Nasabah selaku Pemohon kepada BUS atau UUS selaku Pemberi; b. BUS atau UUS selaku Pemohon kepada BUS lainnya atau UUS lainnya selaku Pemberi; atau c. BUS atau UUS selaku Pemohon kepada BUK selaku Pemberi. 10. Dalam hal pelaku Transaksi Lindung Nilai Syariah adalah Nasabah selaku Pemohon kepada BUS atau UUS selaku Pemberi, Pemberi wajib memastikan Pemohon untuk menyampaikan dokumen sebagai berikut: a. Dokumen Underlying Transaksi berupa: 1) dokumen yang bersifat final antara lain berupa: a) fotokopi... 5 a) fotokopi kontrak jasa konsultan yang berdomisili di luar negeri; b) fotokopi perjanjian kerja antara tenaga kerja asing yang berdomisili di luar negeri dengan Nasabah; c) fotokopi perjanjian royalti dengan pihak asing yang berdomisili di luar negeri; d) fotokopi dokumen pembiayaan (direct investment atau portfolio investment) valuta asing di luar negeri atau pembiayaan di Indonesia oleh Nasabah, yang dikecualikan dari kewajiban penggunaan Rupiah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; e) fotokopi dokumen perdagangan barang dan jasa di luar negeri dalam valuta asing oleh Nasabah yang menimbulkan tagihan atau kewajiban pembayaran valuta asing ke luar negeri; f) fotokopi dokumen perdagangan barang dan jasa milik pihak asing di Indonesia yang menimbulkan kewajiban pembayaran valuta asing ke luar negeri oleh Nasabah; 2) Dokumen yang bersifat perkiraan antara lain berupa: a) proyeksi arus kas (cash flow) terkait perdagangan barang dan jasa; dan b) dokumen perkiraan tagihan atas perdagangan barang dan jasa; dan a. Dokumen pendukung berupa: 1) fotokopi dokumen identitas Pemohon dan fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP); dan 2) pernyataan tertulis bermeterai cukup yang ditandatangani oleh pihak yang berwenang dari Pemohon atau pernyataan tertulis yang authenticated dari Pemohon yang memuat informasi mengenai: a) keaslian dan kebenaran dokumen Underlying Transaksi dan penggunaan dokumen Underlying Transaksi untuk Transaksi Lindung Nilai Syariah paling banyak sebesar nominal Underlying Transaksi... 6 Transaksi; dan b) jumlah kebutuhan, tujuan penggunaan dan tanggal penggunaan mata uang, dalam hal dokumen Underlying Transaksi berupa perkiraan. 11. Dalam hal BUS atau UUS sebagai Pemohon kepada BUS lainnya, UUS lainnya, atau BUK sebagai Pemberi, Pemberi wajib memastikan Pemohon untuk menyampaikan dokumen sebagai berikut: a. dokumen Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud dalam butir 10.a atau dokumen Underlying Transaksi antara lain berupa: 1) pinjaman atau penyertaan modal dari bank induk atau lembaga keuangan di luar negeri; dan 2) surat penunjukan sebagai bank penyedia layanan haji; dan b. Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam butir 10.b. 12. Apabila beberapa jenis dokumen Underlying Transaksi dan dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam angka 10 dan angka 11 merupakan dokumen dari satu kesatuan aktifitas atau transaksi, Pemohon menyampaikan semua dokumen dimaksud kepada Pemberi dalam satu kesatuan. III. MEKANISME TRANSAKSI LINDUNG SYARIAH SEDERHANA 1. Pemohon mengajukan permohonan secara tertulis kepada Pemberi untuk melakukan Transaksi Lindung Nilai Sederhana. 2. Pemohon dan Pemberi menyepakati Forward Agreement secara tertulis yang paling kurang mencakup: a. mata uang asing dan Rupiah; b. nilai nominal; c. jangka waktu; d. nilai tukar dan perhitungan nilai tukar; dan e. ganti rugi (ta’widh). 3. Pemberi harus memastikan Pemohon untuk menyampaikan dokumen Underlying Transaksi dan/atau dokumen pendukung Transaksi... 7 Transaksi Lindung Nilai Sederhana pada saat Forward Agreement. 4. Dalam hal Pemberi telah mengetahui track record Pemohon dengan baik dan Pemohon menyampaikan dokumen Underlying Transaksi yang bersifat final, Pemberi dapat menerima dokumen pendukung Transaksi Lindung Nilai Sederhana yang disampaikan Pemohon secara berkala. 5. Pada waktu yang diperjanjikan dalam Forward Agreement, Pemohon dan Pemberi melakukan Transaksi Lindung Nilai Sederhana, diikuti dengan pemindahan dana pokok secara penuh dari Pemberi kepada Pemohon. 6. Dalam hal tidak terjadi pemindahan dana pokok secara penuh sebagaimana dimaksud dalam angka 5 maka Transaksi Lindung Nilai Sederhana tersebut dinyatakan batal. 7. Pembatalan Transaksi Lindung Nilai Sederhana sebagaimana dimaksud dalam angka 6, yang telah diikuti dengan pemindahan dana, wajib dilakukan dengan pengembalian dana secara penuh sejumlah dana yang telah dipindahkan. 8. Dalam hal Forward Agreement tidak dipenuhi atau terjadi pembatalan Transaksi Lindung Nilai Sederhana maka pihak yang tidak memenuhi atau membatalkan dapat dikenakan ganti rugi (ta’widh) sesuai kesepakatan Pemohon dan Pemberi sebagaimana dimaksud dalam angka 2. IV. MEKANISME TRANSAKSI LINDUNG NILAI SYARIAH KOMPLEKS 1. Pemohon mengajukan permohonan secara tertulis kepada Pemberi untuk melakukan Transaksi Lindung Nilai Kompleks. 2. Pemohon dan Pemberi menyepakati Rangkaian Forward Agreement secara tertulis, dengan Forward Agreement yang paling kurang mencakup: a. mata uang asing dan Rupiah; b. nilai nominal; c. jangka waktu; d. nilai tukar dan perhitungan nilai tukar; dan e. ganti rugi (ta’widh). 3. Pemberi... 8 3. Pemberi harus memastikan Pemohon untuk menyampaikan dokumen Underlying Transaksi dan/atau dokumen pendukung Transaksi Lindung Nilai Kompleks pada saat Forward Agreement. 4. Dalam hal Pemberi telah mengetahui track record Pemohon dengan baik dan Pemohon menyampaikan dokumen Underlying Transaksi yang bersifat final, Pemberi dapat menerima dokumen pendukung Transaksi Lindung Nilai Kompleks yang disampaikan Pemohon secara berkala. 5. Pada waktu yang diperjanjikan dalam Rangkaian Forward Agreement, Pemohon dan Pemberi melakukan Transaksi Lindung Nilai Kompleks, diikuti dengan pemindahan dana pokok secara penuh dari Pemberi kepada Pemohon. 6. Dalam hal tidak terjadi pemindahan dana pokok secara penuh sebagaimana dimaksud dalam angka 5 maka Transaksi Lindung Nilai Kompleks tersebut dinyatakan batal. 7. Pembatalan Transaksi Lindung Nilai Kompleks sebagaimana dimaksud dalam angka 6 yang telah diikuti dengan pemindahan dana, wajib dilakukan dengan pengembalian dana secara penuh sejumlah dana yang telah dipindahkan. 8. Dalam hal Rangkaian Forward Agreement tidak dipenuhi atau terjadi pembatalan Transaksi Lindung Nilai Kompleks maka pihak yang tidak memenuhi atau membatalkan dapat dikenakan ganti rugi (ta’widh) sesuai kesepakatan Pemohon dan Pemberi sebagaimana dimaksud dalam angka 2. V. PELAPORAN 1. BUS atau UUS sebagai Pemohon wajib melaporkan setiap Transaksi Lindung Nilai Syariah kepada Bank Indonesia sesuai ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan harian bank umum. 2. BUS, UUS, atau BUK sebagai Pemberi wajib melaporkan setiap Transaksi Lindung Nilai Syariah kepada Bank Indonesia sesuai ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan harian bank umum. 3. Kewajiban pelaporan sebagaimana dimaksud dalam angka 1 dan angka... 9 angka 2 mulai berlaku pada tanggal 16 Mei 2016 VI. TATA CARA PENGENAAN SANKSI 1. BUS, UUS, dan BUK yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 5 ayat (3), Pasal 6, Pasal 8 ayat (1) dan (2), Pasal 10 ayat (1) dan (3), Pasal 11 ayat (1) dan (2), Pasal 12, dan/atau Pasal 15 Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/2/PBI/2016 tentang Transaksi Lindung Nilai Berdasarkan Prinsip Syariah dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. 2. BUS atau UUS sebagai Pemohon yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/2/PBI/2016 tentang Transaksi Lindung Nilai Berdasarkan Prinsip Syariah dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. 3. BUS atau UUS sebagai Pemberi kepada Nasabah yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/2/PBI/2016 tentang Transaksi Lindung Nilai Berdasarkan Prinsip Syariah dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis dan kewajiban membayar sebesar 1% (satu persen) dari nilai nominal transaksi yang dilanggar untuk setiap pelanggaran, dengan jumlah paling sedikit sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). 4. Pengenaan sanksi kewajiban membayar oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam angka 3 dilakukan dengan cara mendebet rekening giro Rupiah BUS atau UUS yang ada di Bank Indonesia. 5. BUS, UUS, atau BUK yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam angka V dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan harian bank umum. 6. Bank Indonesia dapat menginformasikan pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam angka 1, angka 2, dan angka 3 kepada.... 10 kepada otoritas pengawasan bank. VII. KORESPONDENSI 1. Penyampaian surat menyurat dan komunikasi dengan Bank Indonesia terkait pelaksanaan Surat Edaran Bank Indonesia ini, ditujukan kepada: Bank Indonesia Departemen Ekonomi dan Keuangan Syariah Kompleks Perkantoran Bank Indonesia Gedung C Lantai 3 Jl. M. H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350 2. Dalam hal terdapat perubahan alamat surat menyurat dan komunikasi, Bank Indonesia akan memberitahukan melalui surat dan/atau media lainnya. Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 16 Mei 2016 Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA, M. ANWAR BASHORI KEPALA DEPARTEMEN EKONOMI DAN KEUANGAN SYARIAH "," SE-BI 18/11/DEKS|SE-BI/2016 Transaksi Lindung Nilai Berdasarkan Prinsip Syariah 12 Mei 2016 16 Mei 2016 '18/2/PBI/2016' 'Romawi VI' " " No.18/26/DSta Jakarta, 22 November 2016 S UR A T ED A R A N Kepada SEMUA BANK UMUM DI INDONESIA Perihal : Perubahan Kedua atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 14/31/DPNP tanggal 31 Oktober 2012 perihal Laporan Kantor Pusat Bank Umum Sehubungan dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/12/PBI/2012 tentang Laporan Kantor Pusat Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 190, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5349), Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/12/PBI/2009 tentang Uang Elektronik (Electronic Money) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 65, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5001) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/17/PBI/2016 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/12/PBI/2009 tentang Uang Elektronik (Electronic Money) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 179, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5925), dan Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/11/PBI/2009 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu (APMK) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5000) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/2/PBI/2012 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/11/PBI/2009 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu (APMK) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5275) maka perlu menetapkan … 2 menetapkan Surat Edaran Bank Indonesia perihal Perubahan Kedua atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 14/31/DPNP tanggal 31 Oktober 2012 perihal Laporan Kantor Pusat Bank Umum, sebagai berikut: 1. Ketentuan dalam butir III.A.2.c diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: c. penyelenggaraan kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu (APMK) dan Uang Elektronik: 1) Penerbit kartu kredit menggunakan Form 301; 2) Penerbit selain kartu kredit menggunakan Form 302; 3) Acquirer menggunakan Form 303; 4) infrastruktur menggunakan Form 304; 5) fraud APMK dan Uang Elektronik menggunakan Form 306; 6) perkembangan LKD menggunakan Form 314; 7) transaksi LKD menggunakan Form 315; 8) Agen LKD menggunakan Form 316; 9) permasalahan LKD menggunakan Form 317; 10) kartu kredit per regional menggunakan Form 318; 11) kartu kredit per sektor usaha menggunakan Form 319; 12) kartu kredit per kelompok usia menggunakan Form 320; 13) kartu kredit per kelompok penghasilan pemegang kartu kredit menggunakan Form 321; 14) kartu kredit per limit kartu kredit menggunakan Form 322; 15) kartu kredit berdasarkan jenis transaksi menggunakan Form 323; dan/atau 16) informasi nominal revolving rate menggunakan Form 324; 2. Ketentuan dalam butir III.B diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: 1. Kantor Pusat Bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional wajib menyampaikan Laporan dengan format sebagai berikut: Form 101, Form 201, Form 202, Form 203, Form 301, Form 302, Form 303, Form 304, Form 305, Form 306, Form 314, Form 315, Form 316, Form 317, Form 318, Form 319, Form 320, Form 321, Form 322, Form 323, Form 324, Form 401, Form 402, Form 501, Form 601, Form 602, Form 603, Form 604, Form 605, Form 701, Form 702, Form 703, Form 704, Form 705, Form 706, Form 707, Form 801, Form 802, Form 803, Form 804, Form 805, Form 806, Form 807, Form 901, dan Form 902. 2. Kantor … 3 2. Kantor Pusat Bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah wajib menyampaikan Laporan dengan format sebagai berikut: Form 101, Form 201, Form 202, Form 203, Form 301, Form 302, Form 303, Form 304, Form 305, Form 306, Form 314, Form 315, Form 316, Form 317, Form 318, Form 319, Form 320, Form 321, Form 322, Form 323, Form 324, Form 401, Form 402, Form 501, Form 601, Form 602, Form 603, Form 604, Form 605, Form 701, Form 702, Form 704, Form 707, Form 801, Form 802, Form 803, Form 804, Form 805, Form 806, Form 807, Form 901, dan Form 902. 3. Kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional wajib menyampaikan Laporan dengan format sebagai berikut: Form 101, Form 201, Form 202, Form 203, Form 301, Form 302, Form 303, Form 304, Form 305, Form 306, Form 314, Form 315, Form 316, Form 317, Form 318, Form 319, Form 320, Form 321, Form 322, Form 323, Form 324, Form 401, Form 402, Form 501, Form 601, Form 602, Form 603, Form 604, Form 605, Form 701, Form 702, Form 703, Form 704, Form 705, Form 706, Form 707, Form 801, Form 802, Form 803, Form 804, Form 805, Form 806, Form 807, Form 901, dan Form 902. 4. UUS wajib menyampaikan Laporan dengan format sebagai berikut: Form 301, Form 302, Form 303, Form 304, Form 305, Form 306, Form 314, Form 315, Form 316, Form 317, Form 318, Form 319, Form 320, Form 321, Form 322, Form 323, Form 324, dan Form 902. 5. Kewajiban penggunaan Form 301, Form 302, Form 302, Form 304, Form 305, Form 306, Form 314, Form 315, Form 316, Form 317, Form 318, Form 319, Form 320, Form 321, Form 322, Form 323, dan Form 324 sebagaimana dimaksud dalam angka 1, angka 2, angka 3, dan angka 4 diatur sebagai berikut: a. Bank Pelapor yang menyelenggarakan kegiatan sebagai Penerbit kartu kredit wajib menyampaikan Form 301, Form 306, Form 318, Form 319, Form 320, Form 321, Form 322, Form 323, dan Form 324. b. Bank … 4 b. Bank Pelapor yang menyelenggarakan kegiatan sebagai Penerbit kartu ATM/Debet wajib menyampaikan Form 302 dan Form 306. c. Bank Pelapor yang menyelenggarakan kegiatan sebagai Penerbit Uang Elektronik wajib menyampaikan Form 302, Form 304, dan Form 306. d. Bank Pelapor yang menyelenggarakan kegiatan sebagai Acquirer kartu kredit wajib menyampaikan Form 303, Form 304, Form 306, Form 318, Form 319, Form 320, Form 321, Form 322, dan Form 323. e. Bank Pelapor yang menyelenggarakan kegiatan sebagai Acquirer kartu ATM/Debet dan/atau Acquirer Uang Elektronik wajib menyampaikan Form 303, Form 304, dan Form 306. f. Bank Pelapor yang menyelenggarakan kegiatan sebagai Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir wajib menyampaikan Form 305. g. Bank Pelapor yang menyelenggarakan kegiatan Layanan Keuangan Digital wajib menyampaikan Form 314, Form 315, Form 316, dan Form 317. 3. Ketentuan dalam butir III.C diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: C. Bank Pelapor yang Tidak Perlu Menyampaikan Format Laporan atas Kegiatan/Aktivitas Tertentu 1. Bank Pelapor yang tidak menyelenggarakan kegiatan kustodian tidak menyampaikan Form 101. 2. Bank Pelapor yang tidak menyelenggarakan kegiatan APMK dan Uang Elektronik tidak menyampaikan Form 301, Form 302, Form 303, Form 304, Form 305, Form 306, Form 314, Form 315, Form 316, Form 317, Form 318, Form 319, Form 320, Form 321, Form 322, Form 323, dan Form 324. 3. Bank Pelapor yang belum memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia terhadap rencana penyelenggaraan kegiatan LKD, tidak menyampaikan Form 314, Form 315, Form 316, dan Form 317. 4. Bank Pelapor yang tidak menyelenggarakan aktivitas bancassurance tidak menyampaikan Form 701. 5. Bank … 5 5. Bank Pelapor yang tidak menyelenggarakan aktivitas sebagai agen penjual efek reksadana tidak menyampaikan Form 702. 6. Bank Pelapor yang tidak menyelenggarakan aktivitas keagenan produk keuangan luar negeri tidak menyampaikan Form 703. 7. Bank Pelapor yang tidak menyelenggarakan transaksi perbankan melalui delivery channel e-banking tidak menyampaikan Form 704. 8. Bank Pelapor yang tidak menyelenggarakan kegiatan structured product tidak menyampaikan Form 705 dan Form 706. 4. Mengubah butir I.C dalam Lampiran 1 - Pedoman Penyusunan Laporan Kantor Pusat Bank Umum dengan menambahkan Form 318 sampai dengan Form 324 sehingga butir I.C menjadi sebagaimana tercantum dalam Lampiran 1 yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini. 5. Mengubah butir I.H dalam Lampiran 1 - Pedoman Penyusunan Laporan Kantor Pusat Bank Umum dengan menambahkan frasa Form 318 sampai dengan Form 324 sehingga butir I.H menjadi sebagaimana tercantum dalam Lampiran 1. 6. Mengubah butir II.III dalam Lampiran 1 - Pedoman Penyusunan Laporan Kantor Pusat Bank Umum dengan menambahkan frasa Form 318 sampai dengan Form 324 sehingga butir II.III menjadi sebagaimana tercantum dalam Lampiran 1. 7. Mengubah angka III dalam Lampiran 1 - Pedoman Penyusunan Laporan Kantor Pusat Bank Umum dengan menambahkan penjelasan pengisian field atau kolom Form 318 sampai dengan Form 324 dan menyesuaikan sandi dan keterangan pada Form 804, Form 805, Form 901 dan Form 902 sehingga angka III menjadi sebagaimana tercantum dalam Lampiran 1. 8. Mengubah Bab 2 - Sistem Validasi dalam Lampiran 2 - Petunjuk Teknis Aplikasi Laporan Kantor Pusat Bank Umum dengan menambahkan Form 318 sampai dengan Form 324 dan menambahkan sandi pada Form 804 dan Form 805, sehingga Bab 2 menjadi sebagaimana tercantum dalam Lampiran 2 yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini. 9. Mengubah … 6 9. Mengubah Bab 4 - Daftar Formulir LKPBU dalam Lampiran 2 - Petunjuk Teknis Aplikasi Laporan Kantor Pusat Bank Umum dengan menambahkan Form 318 sampai dengan Form 324 sehingga Bab 4 menjadi sebagaimana tercantum dalam Lampiran 2. 10. Mengubah Bab 5 – Spesifikasi Teknis dalam Lampiran 2 - Petunjuk Teknis Aplikasi Laporan Kantor Pusat Bank Umum dengan menambahkan Form 318 sampai dengan Form 324 dan menambahkan sandi pada Form 804 dan Form 805 sehingga Bab 5 menjadi sebagaimana tercantum dalam Lampiran 2. 11. Mengubah Lampiran 2b – Sandi Lokasi dalam Lampiran 2 - Petunjuk Teknis Aplikasi Laporan Kantor Pusat Bank Umum, sehingga menjadi sebagaimana tercantum dalam Lampiran 2. 12. Menambah 1 (satu) lampiran yaitu Lampiran 2g – Sandi Sektor Usaha dalam Lampiran 2 – Petunjuk Teknis Aplikasi Laporan Kantor Pusat Bank Umum sehingga Lampiran 2 menjadi sebagaimana Lampiran 2. Kewajiban penyampaian laporan, form header, dan/atau koreksi laporan secara On-line dan/atau Off-line pada Form 318 sampai dengan Form 324 mulai berlaku untuk pelaporan data bulan November 2016 yang disampaikan pada bulan Desember 2016. Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 22 November 2016 Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA, HENDY SULISTIOWATY KEPALA DEPARTEMEN STATISTIK 7 "," SE-BI 18/26/DSta|SE-BI/2016 Perubahan Kedua atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 14/31/DPNP tanggal 31 Oktober 2012 perihal Laporan Kantor Pusat Bank Umum 22 November 2016 22 November 2016 '14/31/DPNP|SE-BI/2012' '14/12/PBI/2012', '14/31/DPNP|SE-BI/2012', '14/2/PBI/2012', '18/17/PBI/2016', '11/11/PBI/2009', '11/12/PBI/2009' " " No. 14/23 /DASP Jakarta, 31 Agustus 2012 S U R A T E D A R A N Perihal : Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 13/22/DASP perihal Implementasi Teknologi Chip dan Penggunaan Personal Identification Number pada Kartu ATM dan/atau Kartu Debet yang diterbitkan di Indonesia Sehubungan dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/11/PBI/2009 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5000) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/2/PBI/2012 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5275) dan dalam rangka mendukung kesiapan infrastruktur penyelenggara Kartu ATM dan/atau Kartu Debet dalam proses migrasi ke teknologi chip dan penggunaan Personal Identification Number paling kurang 6 (enam) digit dalam mengakomodir kebutuhan masyarakat terhadap penggunaan Kartu ATM dan/atau Kartu Debet, perlu untuk melakukan perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 13/22/DASP perihal Implementasi Teknologi Chip dan Penggunaan Personal Identification Number pada Kartu ATM dan/atau Kartu Debet yang diterbitkan di Indonesia sebagai berikut: 1. Ketentuan ... 1. Ketentuan bab V ditambah huruf C dan huruf D sebagai berikut: C. Pihak yang memperoleh izin dari Bank Indonesia sebagai Penyelenggara Kartu ATM dan/atau Kartu Debet setelah berlakunya Surat Edaran Bank Indonesia ini, wajib mengimplementasikan teknologi chip dan penggunaan PIN paling kurang 6 (enam) digit paling lambat tanggal 31 Desember 2015. D. Penyampaian permohonan izin, laporan dan surat menyurat disampaikan kepada Bank Indonesia, dengan alamat sebagai berikut: Departemen Akunting dan Sistem Pembayaran Kompleks Perkantoran Bank Indonesia Gedung D Lantai 2 Jl MH. Thamrin No. 2 JAKARTA 10350 2. Bab VI dihapus. Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal diterbitkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA, BOEDI ARMANTO KEPALA DEPARTEMEN AKUNTING DAN SISTEM PEMBAYARAN "," SE-BI 14/23/DASP|SE-BI/2012 Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 13/22/DASP perihal Implementasi Teknologi Chip dan Penggunaan Personal Identification Number pada Kartu ATM dan/atau Kartu Debet yang diterbitkan di,Indonesia 31 Agustus 2012 31 Agustus 2012 '13/22/DASP|SE-BI' '13/22/DASP|SE-BI', '14/2/PBI/2012', '11/11/PBI/2009' " " No.13/ 8 /DPNP Jakarta, 28 Maret 2011 S U R A T E D A R A N Kepada SEMUA BANK UMUM DI INDONESIA Perihal : Uji Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test) Sehubungan dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia Nomor 12/23/PBI/2010 tentang Uji Kemampuan dan Kepatutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 155, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5180), yang selanjutnya disebut PBI Uji Kemampuan dan Kepatutan, perlu diatur kembali ketentuan pelaksanaan mengenai uji kemampuan dan kepatutan, sebagai berikut: I. UMUM Sebagaimana diatur dalam PBI Uji Kemampuan dan Kepatutan, uji kemampuan dan kepatutan dilakukan oleh Bank Indonesia terhadap: 1. Calon Pemegang Saham Pengendali (PSP), calon anggota Dewan Komisaris dan calon anggota Direksi. Uji kemampuan dan kepatutan dilakukan untuk menilai pemenuhan persyaratan yang telah ditetapkan dalam rangka memperoleh persetujuan Bank Indonesia sebelum yang bersangkutan menjadi PSP atau menjabat sebagai anggota Dewan Komisaris atau anggota Direksi. 2. PSP . . . 2. PSP, anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi, dan Pejabat Eksekutif. Uji kemampuan dan kepatutan dilakukan untuk menilai kembali kemampuan dan kepatutan terhadap pihak-pihak yang menjadi PSP atau yang sedang menjabat sebagai anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi, atau Pejabat Eksekutif. 3. Pihak-pihak yang sudah tidak menjadi atau menjabat sebagai pihak sebagaimana dimaksud pada angka 2, namun yang bersangkutan ditengarai terlibat atau bertanggung jawab terhadap perbuatan atau tindakan yang sedang dalam proses uji kemampuan dan kepatutan pada Bank atau Kantor Perwakilan Bank Asing. Uji kemampuan dan kepatutan dilakukan untuk: a. menilai kembali kemampuan dan kepatutan, dalam hal yang bersangkutan telah menjadi pemegang saham atau bekerja pada bank lain; atau b. bahan penilaian pada saat yang bersangkutan mengajukan permohonan kembali menjadi PSP, anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi, atau Pejabat Eksekutif pada bank. II. UJI KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN TERHADAP CALON PSP, CALON ANGGOTA DEWAN KOMISARIS, DAN CALON ANGGOTA DIREKSI (NEW ENTRY) A. Cakupan Uji Kemampuan dan Kepatutan 1. Faktor yang dinilai dalam uji kemampuan dan kepatutan meliputi: a. Integritas dan kelayakan keuangan bagi calon PSP. Calon . . . Calon PSP wajib memenuhi persyaratan integritas dan kelayakan keuangan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 dan Pasal 8 PBI Uji Kemampuan dan Kepatutan. Terkait dengan salah satu persyaratan integritas bagi calon PSP yaitu memiliki komitmen terhadap pengembangan operasional Bank yang sehat, calon PSP wajib menyampaikan rencana pengembangan operasional Bank yang sehat, yang paling kurang memuat arah dan strategi pengembangan Bank, dan rencana penguatan permodalan Bank untuk jangka waktu paling kurang 3 (tiga) tahun. Dalam hal diperlukan, Bank Indonesia dapat meminta pernyataan tertulis yang berisi komitmen untuk tidak melakukan pengalihan kepemilikan sahamnya di Bank dalam jangka waktu tertentu. b. Integritas, kompetensi dan reputasi keuangan bagi calon anggota Dewan Komisaris dan calon anggota Direksi. 2. Pihak-pihak yang wajib mengikuti uji kemampuan dan kepatutan adalah: a. Calon PSP, meliputi: 1) orang dan/atau badan hukum yang akan melakukan pembelian, menerima hibah, menerima hak waris atau bentuk lain pengalihan hak atas saham Bank sehingga yang bersangkutan akan menjadi PSP; 2) pemegang saham Bank yang tidak tergolong sebagai PSP (non PSP) yang melakukan pembelian saham Bank, menerima hibah saham Bank menerima hak waris . . . waris atau bentuk lain pengalihan hak atas saham Bank, sehingga mengakibatkan yang bersangkutan menjadi PSP; 3) non PSP yang melakukan penambahan setoran modal sehingga mengakibatkan yang bersangkutan menjadi PSP; 4) non PSP namun menurut Bank Indonesia dinilai melakukan Pengendalian Bank; 5) orang dan/atau badan hukum yang digolongkan sebagai pengendali Bank karena adanya perubahan struktur kelompok usaha Bank; 6) orang dan/atau badan hukum yang akan menjadi PSP pada “Bank hasil penggabungan” (merger); 7) orang dan/atau badan hukum yang akan menjadi PSP “Bank hasil peleburan” (konsolidasi); b. Calon anggota Dewan Komisaris atau calon anggota Direksi, meliputi: 1) orang yang belum pernah menjadi anggota Dewan Komisaris atau anggota Direksi Bank, yang dicalonkan menjadi anggota Dewan Komisaris atau anggota Direksi Bank; 2) orang yang sedang menjabat sebagai anggota Dewan Komisaris atau anggota Direksi Bank, yang dicalonkan menjadi anggota Dewan Komisaris atau anggota Direksi, pada Bank lainnya; 3) orang yang pernah menjabat sebagai anggota Dewan Komisaris dan/atau anggota Direksi Bank, yang dicalonkan . . . dicalonkan menjadi anggota Dewan Komisaris atau anggota Direksi, pada Bank yang sama atau pada Bank lainnya; 4) anggota Dewan Komisaris Bank yang akan beralih jabatan menjadi anggota Direksi pada Bank yang sama; 5) anggota Dewan Komisaris Bank yang akan beralih jabatan menjadi Komisaris Independen pada Bank yang sama; 6) anggota Direksi Bank yang akan beralih jabatan menjadi Direktur yang membawahkan Fungsi Kepatuhan pada Bank yang sama; 7) anggota Direksi Bank yang akan beralih jabatan menjadi anggota Dewan Komisaris pada Bank yang sama; 8) anggota Dewan Komisaris atau anggota Direksi Bank yang akan beralih jabatan ke jabatan yang lebih tinggi pada Bank yang sama, antara lain meliputi: a) anggota Dewan Komisaris Bank yang akan diangkat menjadi komisaris utama/wakil komisaris utama atau yang setara dengan itu pada Bank yang sama; b) anggota Direksi Bank yang akan diangkat menjadi direktur utama/wakil direktur utama atau yang setara dengan itu pada Bank yang sama; 9) orang . . . 9) orang yang akan menjadi anggota Dewan Komisaris atau anggota Direksi pada “Bank hasil penggabungan” yang berasal dari “Bank yang menggabungkan”; 10) orang yang akan menjadi anggota Dewan Komisaris atau anggota Direksi pada “Bank hasil penggabungan” yang berasal dari “Bank yang menerima penggabungan” (surviving bank) termasuk perpanjangan jabatan; 11) orang yang akan menjadi anggota Dewan Komisaris atau anggota Direksi “Bank hasil peleburan” yang berasal dari Bank yang melakukan peleburan; 12) orang yang dicalonkan menjadi pemimpin kantor perwakilan bank asing; 13) orang yang dicalonkan menjadi pimpinan kantor cabang bank asing. Uji kemampuan dan kepatutan tidak dilakukan terhadap perpanjangan jabatan bagi anggota Dewan Komisaris dan anggota Direksi, kecuali perpanjangan jabatan sebagaimana dimaksud pada angka 10). Termasuk dalam pengertian perpanjangan jabatan adalah setiap penugasan kembali dalam jabatan yang sama, baik sebelum maupun sesudah masa jabatan yang bersangkutan berakhir. Perpanjangan jabatan anggota Dewan Komisaris dan anggota Direksi tersebut dilaporkan kepada Bank Indonesia dengan alamat penyampaian sebagaimana diatur dalam angka III huruf D. B. Persyaratan . . . B. Persyaratan Administratif bagi Calon PSP 1. Permohonan Bank untuk memperoleh persetujuan atas calon PSP disampaikan kepada Bank Indonesia dilengkapi dengan dokumen persyaratan administratif sebagaimana diatur dalam PBI Uji Kemampuan dan Kepatutan dan ketentuan lain yang mengatur mengenai persyaratan pemegang saham Bank, yaitu: a. Ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai persyaratan dan tata cara pembukaan kantor cabang, kantor cabang pembantu, dan kantor perwakilan dari bank yang berkedudukan di luar negeri; b. Ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai persyaratan dan tata cara pembelian saham bank umum; c. Ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai persyaratan dan tata cara merger, konsolidasi dan akuisisi bank umum; dan d. Ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai bank umum. Rincian dokumen persyaratan administratif dimaksud adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran 1a dan Lampiran 1b. 2. Persyaratan laporan keuangan 3 (tiga) tahun buku terakhir dari Bank dan badan hukum yang akan melakukan pengambilalihan Bank sebagaimana tercantum dalam Lampiran 1a butir 2.c, paling kurang terdiri dari laporan neraca dan perhitungan laba rugi beserta penjelasannya yang telah diaudit oleh Akuntan Publik. Laporan keuangan tersebut disusun sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku. 3. Selain . . . 3. Selain dokumen sebagaimana dimaksud dalam angka 1, Bank juga menyampaikan Daftar Isian sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 1c dan Lampiran 1d yang telah diisi lengkap dan ditandatangani oleh calon PSP atau calon Pemegang Saham Pengendali Terakhir (PSPT). C. Persyaratan Administratif bagi Calon Anggota Dewan Komisaris dan Calon Anggota Direksi Permohonan Bank untuk memperoleh persetujuan atas calon anggota Dewan Komisaris dan calon anggota Direksi disampaikan kepada Bank Indonesia dengan dilengkapi dokumen persyaratan administratif sebagaimana diatur dalam PBI Uji Kemampuan dan Kepatutan dan ketentuan lain yang mengatur mengenai persyaratan anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi, pimpinan kantor cabang bank asing dan pemimpin kantor perwakilan bank asing, yaitu: 1. Ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai persyaratan dan tata cara pembukaan kantor cabang, kantor cabang pembantu dan kantor perwakilan dari bank yang berkedudukan di luar negeri; 2. Ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pelaksanaan fungsi kepatuhan bank umum; 3. Ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai bank umum; dan 4. Ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pelaksanaan good corporate governance bagi bank umum. Rincian dokumen persyaratan administratif dimaksud adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran 2a sampai dengan Lampiran 2f. D. Dokumen . . . D. Dokumen Pendukung Persyaratan Administratif Dalam hal menurut penilaian Bank Indonesia dianggap perlu, pihak yang diuji wajib menyampaikan dokumen pendukung atas dokumen persyaratan administratif yang dipersyaratkan sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 1a sampai dengan Lampiran 1d dan Lampiran 2a sampai dengan Lampiran 2f. Dokumen permohonan yang disampaikan Bank dinyatakan telah diterima secara lengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dan Pasal 25 PBI Uji Kemampuan dan Kepatutan, apabila dokumen persyaratan administratif dan dokumen pendukungnya telah diterima secara lengkap oleh Bank Indonesia. E. Tata Cara dan Hasil Uji Kemampuan dan Kepatutan 1. Tata cara uji kemampuan dan kepatutan sebagaimana diatur dalam Pasal 10 dan Pasal 22 PBI Uji Kemampuan dan Kepatutan dilakukan terhadap: a. b. calon PSP melalui penelitian administratif dan wawancara; calon anggota Dewan Komisaris dan calon anggota Direksi melalui: 1) penelitian administratif; dan 2) wawancara, apabila diperlukan. 2. Penelitian administratif: a. Calon PSP Dalam rangka menilai pemenuhan persyaratan integritas dan kelayakan keuangan calon PSP dilakukan penelitian, meliputi: 1) dokumen persyaratan administratif sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 1a sampai dengan Lampiran 1d; 2) catatan . . . 2) catatan administrasi Bank Indonesia antara lain berupa rekam jejak, Daftar Tidak Lulus, dan Daftar Kredit Macet; dan 3) informasi lainnya yang diperoleh Bank Indonesia dalam rangka pengawasan Bank. b. Calon anggota Dewan Komisaris dan calon anggota Direksi Dalam rangka menilai pemenuhan persyaratan integritas, reputasi keuangan dan kompetensi calon anggota Dewan Komisaris dan calon anggota Direksi dilakukan penelitian, meliputi: 1) dokumen persyaratan administratif sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 2a sampai dengan Lampiran 2f; 2) catatan administrasi Bank Indonesia antara lain berupa rekam jejak, Daftar Tidak Lulus, dan Daftar Kredit Macet; dan 3) informasi lainnya yang diperoleh Bank Indonesia dalam rangka pengawasan Bank. 3. Wawancara Wawancara dilakukan dalam rangka konfirmasi atas informasi yang telah diperoleh Bank Indonesia dan/atau untuk menggali informasi lebih lanjut dari pihak yang diuji untuk memperoleh keyakinan atas terpenuhinya persyaratan integritas, kelayakan keuangan, reputasi keuangan, dan/atau kompetensi. a. wawancara wajib dilakukan terhadap calon PSP. b. wawancara terhadap calon anggota Dewan Komisaris dan calon anggota Direksi dilakukan apabila: 1) pihak . . . 1) pihak yang diuji akan menjabat sebagai Direktur yang membawahkan Fungsi Kepatuhan; 2) pihak yang diuji akan menjabat sebagai Komisaris Independen; dan/atau 3) diperlukan klarifikasi atau penjelasan lebih lanjut dari pihak yang diuji. 4. Hasil Penilaian a. Calon PSP, calon anggota Dewan Komisaris dan/atau calon anggota Direksi yang memperoleh predikat Lulus dinyatakan memenuhi persyaratan untuk menjadi PSP, anggota Dewan Komisaris dan/atau anggota Direksi pada Bank yang mengajukan pencalonan. b. Calon PSP, calon anggota Dewan Komisaris dan/atau calon anggota Direksi yang memperoleh predikat Tidak Lulus dinyatakan tidak memenuhi persyaratan untuk menjadi PSP, anggota Dewan Komisaris dan/atau anggota Direksi pada Bank yang mengajukan pencalonan. c. Hasil uji kemampuan dan kepatutan berupa persetujuan (predikat Lulus) atau penolakan (predikat Tidak Lulus) atas permohonan calon PSP, calon anggota Dewan Komisaris atau calon anggota Direksi disampaikan secara tertulis kepada Bank yang mengajukan pencalonan. Hasil uji kemampuan dan kepatutan dapat disampaikan kepada pihak yang berkepentingan, antara lain Pemerintah, Lembaga Penjamin Simpanan, pemegang saham bank atau pihak lain yang dianggap perlu oleh Bank Indonesia. d. Dalam . . . d. Dalam hal calon PSP yang memperoleh predikat Tidak Lulus telah memiliki saham bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) PBI Uji Kemampuan dan Kepatutan maka berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36, Pasal 37, dan Pasal 38 PBI Uji Kemampuan dan Kepatutan. e. Dalam hal calon anggota Dewan Komisaris dan/atau calon anggota Direksi yang memperoleh predikat Tidak Lulus namun telah mendapat persetujuan dan diangkat sebagai anggota Dewan Komisaris atau anggota Direksi Bank sesuai keputusan RUPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) PBI Uji Kemampuan dan Kepatutan, berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2) sampai dengan ayat (4) dan Pasal 40 Uji Kemampuan dan Kepatutan, dengan ketentuan sebagai berikut: 1) calon anggota Dewan Komisaris atau calon anggota Direksi yang memperoleh predikat Tidak Lulus yang dilarang menjadi PSP atau memiliki saham pada industri perbankan apabila predikat Tidak Lulus disebabkan faktor integritas dan/atau reputasi keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 dan Pasal 20 PBI Uji Kemampuan dan Kepatutan. 2) calon anggota Dewan Komisaris atau calon anggota Direksi yang memperoleh predikat Tidak Lulus namun berasal dari peralihan jabatan sebagaimana dimaksud pada butir A.2.b.4) sampai dengan A.2.b.8), yang bersangkutan masih dapat menjalankan tugas dan . . . dan fungsinya sebagai anggota Dewan Komisaris, atau anggota Direksi pada Bank dimaksud sepanjang tidak terdapat indikasi permasalahan integritas, kelayakan keuangan, reputasi keuangan dan/atau kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 atau Pasal 28 PBI Uji Kemampuan dan Kepatutan. 3) calon anggota Dewan Komisaris atau calon anggota Direksi yang memperoleh predikat Tidak Lulus yang berasal dari Pejabat Eksekutif yang sedang menjabat pada Bank, yang bersangkutan masih dapat menjalankan tugas dan fungsinya sebagai Pejabat Eksekutif pada Bank dimaksud sepanjang tidak terdapat indikasi permasalahan integritas, kelayakan keuangan, reputasi keuangan dan/atau kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 PBI Uji Kemampuan dan Kepatutan. F. Penghentian Uji Kemampuan dan Kepatutan 1. Bank Indonesia menghentikan uji kemampuan dan kepatutan calon PSP, calon anggota Dewan Komisaris, dan calon anggota Direksi apabila pada saat penilaian dilakukan, calon tersebut sedang menjalani proses hukum dan/atau sedang menjalani proses uji kemampuan dan kepatutan pada suatu bank. 2. Yang dimaksud sedang menjalani proses hukum adalah apabila calon PSP, calon anggota Dewan Komisaris, atau calon anggota Direksi telah menyandang status tersangka atau terdakwa. 3. Yang dimaksud sedang menjalani proses uji kemampuan dan kepatutan pada suatu bank adalah apabila calon PSP, calon anggota Dewan Komisaris, atau calon anggota Direksi: a. sedang . . . a. sedang diajukan sebagai calon PSP, calon anggota Dewan Komisaris, atau calon anggota Direksi pada bank lain. Bank Indonesia menghentikan uji kemampuan dan kepatutan terhadap pencalonan yang terakhir diajukan Bank kepada Bank Indonesia. b. sedang menjalani uji kemampuan dan kepatutan yang disebabkan karena yang bersangkutan diindikasikan mempunyai permasalahan integritas, kelayakan keuangan, reputasi keuangan dan/atau kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 atau Pasal 28 PBI Uji Kemampuan dan Kepatutan. Bank Indonesia menghentikan uji kemampuan dan kepatutan terhadap pencalonan yang bersangkutan yang diajukan Bank kepada Bank Indonesia. 4. Bank Indonesia memberitahukan penghentian uji kemampuan dan kepatutan kepada Bank yang mengajukan pencalonan. 5. Calon PSP, calon anggota Dewan Komisaris, dan calon anggota Direksi yang dihentikan uji kemampuan dan kepatutan, dapat diajukan kembali kepada Bank Indonesia untuk menjadi calon PSP, calon anggota Dewan Komisaris, dan calon anggota Direksi apabila yang bersangkutan telah selesai menjalani: a. proses hukum yang dibuktikan dengan adanya: 1) Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3); atau 2) Putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang menyatakan bahwa yang bersangkutan tidak bersalah; atau b. proses . . . b. proses uji kemampuan dan kepatutan pada suatu bank yang dibuktikan dengan adanya hasil akhir uji kemampuan dan kepatutan dengan predikat Lulus dalam uji kemampuan dan kepatutan existing. G. Alamat Penyampaian Surat permohonan berikut dokumen sebagaimana dimaksud pada huruf B, C dan D di atas disampaikan oleh Bank kepada: Direktorat Perizinan dan Informasi Perbankan, Bank Indonesia Jalan M. H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350; dengan tembusan kepada: 1. Direktorat Pengawasan Bank terkait, Bank Indonesia, Jalan M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350, bagi Bank yang berkantor Pusat di wilayah Jabodetabek; atau 2. Kantor Bank Indonesia setempat, bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah Jabodetabek. III. UJI KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN BAGI PSP, ANGGOTA DEWAN KOMISARIS, ANGGOTA DIREKSI, DAN PEJABAT EKSEKUTIF (EXISTING) A. Cakupan Uji Kemampuan dan Kepatutan 1. Uji kemampuan dan kepatutan terhadap pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam butir I.2 dan butir I.3, meliputi: a. Pihak-pihak yang menjadi PSP atau sedang menjabat sebagai anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi, atau Pejabat Eksekutif pada Bank, yang terindikasi memiliki permasalahan integritas, kelayakan keuangan, reputasi keuangan . . . keuangan dan/atau kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 atau Pasal 28 PBI Uji Kemampuan dan Kepatutan; b. Pihak-pihak yang pada saat menjadi PSP atau menjabat sebagai anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi atau Pejabat Eksekutif pada suatu Bank, ditengarai terlibat atau bertanggung jawab dalam permasalahan integritas, kelayakan keuangan, reputasi keuangan dan/atau kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 atau Pasal 28 PBI Uji Kemampuan dan Kepatutan, namun pada saat dilakukan uji kemampuan dan kepatutan, yang bersangkutan: 1) telah menjadi pemegang saham bank lain atau bekerja pada bank lain; atau 2) tidak lagi menjadi pemegang saham bank atau tidak lagi bekerja pada bank. 2. Pelaksanaan uji kemampuan dan kepatutan dilakukan setiap saat apabila berdasarkan bukti, data dan informasi yang diperoleh dari hasil pengawasan (off site supervision dan/atau on site supervision) maupun informasi lainnya, terdapat indikasi: a. permasalahan integritas dan/atau kelayakan keuangan pada PSP; b. permasalahan integritas, reputasi keuangan dan/atau kompetensi pada anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi, dan Pejabat Eksekutif; atau c. pelanggaran atau penyimpangan kegiatan kantor perwakilan bank asing yang dilakukan oleh pemimpin kantor. 3. Permasalahan . . . 3. Permasalahan integritas, kelayakan keuangan, reputasi keuangan dan/atau kompetensi adalah permasalahan yang terkait dengan: a. tindakan menyembunyikan dan/atau mengaburkan pelanggaran dari suatu ketentuan atau kondisi keuangan dan/atau transaksi yang sebenarnya, antara lain: 1) pencatatan palsu dan/atau transaksi fiktif baik yang dilakukan pada sisi aktiva maupun pasiva Bank termasuk transaksi pada rekening administratif; 2) penggelapan atau manipulasi; 3) praktek bank dalam bank; 4) praktek pembukuan dan/atau laporan keuangan Bank yang tidak benar dan secara material berpengaruh terhadap keadaan keuangan Bank sehingga mengakibatkan penilaian yang keliru terhadap Bank (window dressing); 5) pembobolan teknologi sistem informasi Bank; dan/atau 6) menghilangkan atau merusak catatan pembukuan dan/atau dokumen pendukung transaksi atau catatan pembukuan Bank. b. tindakan memberikan keuntungan secara tidak wajar kepada pemegang saham, anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi, pegawai, dan/atau pihak lain yang dapat merugikan atau mengurangi keuntungan Bank, antara lain: 1) pemberian suku bunga pinjaman dibawah cost of fund. 2) transaksi valuta asing (termasuk derivasinya) yang tidak wajar dan merugikan Bank dan/atau mengurangi potensi keuntungan Bank; 3) penjualan . . . 3) penjualan dan/atau pembelian harta milik Bank dengan harga yang tidak wajar dibandingkan harga pasar; dan/atau 4) pemberian fasilitas yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku kepada anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi, Pejabat Eksekutif dan pegawai. c. tindakan melanggar prinsip kehati–hatian di bidang perbankan dan/atau asas-asas perbankan yang sehat, antara lain: 1) pemberian kredit yang tidak didasarkan pada prinsip pemberian kredit yang sehat; 2) penyediaan dana yang melanggar Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK); dan/atau 3) penyediaan dana kepada pihak atau sektor atau kegiatan yang dilarang oleh ketentuan. Prinsip kehati-hatian di bidang perbankan dan/atau asas- asas perbankan yang sehat termasuk namun tidak terbatas pada ketentuan yang mengatur mengenai kewajiban penyediaan modal minimum, posisi devisa neto, batas maksimum pemberian kredit, kualitas aktiva dan giro wajib minimum. d. terbukti melakukan Tindak Pidana Tertentu yang telah diputus oleh pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewisjde). Tindak Pidana Tertentu adalah tindak pidana asal yang disebut dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai . . . mengenai Tindak Pidana Pencucian Uang, yaitu tindak pidana korupsi, penyuapan, narkotika/psikotropika, penyelundupan tenaga kerja, penyelundupan imigran, dibidang perbankan, dibidang pasar modal, dibidang perasuransian, kepabeanan, cukai, perdagangan orang, perdagangan senjata gelap, terorisme, penculikan, pencurian, penggelapan, penipuan, pemalsuan uang, perjudian, prostitusi, dibidang perpajakan, dibidang kehutanan, dibidang lingkungan hidup, dibidang kelautan dan perikanan atau tindak pidana lainnya yang diancam dengan pidana 4 (empat) tahun atau lebih. e. terbukti menyebabkan Bank mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya atau dapat membahayakan industri perbankan. Yang dimaksud dengan menyebabkan Bank mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya atau dapat membahayakan industri perbankan, antara lain adalah tindakan yang: 1) memanfaatkan Bank untuk membiayai kepentingan sendiri dan/atau kelompok usahanya; dan/atau 2) melanggar ketentuan dan/atau komitmen kepada Bank Indonesia atau Pemerintah, yang menyebabkan Bank ditempatkan dalam pengawasan intensif atau pengawasan Pemerintah/Lembaga Penjamin Simpanan, dibekukan kegiatan usahanya dan/atau dicabut ijin usahanya. f. terbukti khusus, diambilalih . . . f. terbukti tidak melaksanakan perintah Bank Indonesia untuk melakukan dan/atau tidak melakukan tindakan tertentu (cease and desist order), dalam rangka perbaikan dan/atau penyehatan Bank. g. terbukti memiliki kredit macet. Khusus untuk kartu kredit, pengertian kredit macet tidak termasuk tagihan yang berasal dari annual fee, biaya administrasi dan/atau tagihan lainnya yang bukan berasal dari transaksi pemakaian kartu kredit. h. terbukti dinyatakan pailit dan/atau menjadi pemegang saham, anggota dewan komisaris atau anggota direksi yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perseroan dinyatakan pailit. i. PSP tidak melakukan upaya-upaya yang diperlukan apabila Bank menghadapi kesulitan permodalan maupun likuiditas, misalnya tidak melakukan upaya penambahan setoran modal Bank atau tidak melakukan upaya mencari investor baru. j. anggota Dewan Komisaris atau anggota Direksi tidak mampu melakukan pengelolaan strategis dalam rangka pengembangan Bank yang sehat. Penilaian didasarkan pada tugas dan tanggung jawab dari setiap jabatan anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi, sesuai uraian tugas yang ada pada Bank yang bersangkutan. Yang dimaksud dengan kemampuan untuk melakukan pengelolaan strategis antara lain adalah kemampuan untuk menginterpretasikan visi dan misi Bank, mengantisipasi perkembangan perekonomian, keuangan dan perbankan, menganalisa . . . menganalisa situasi industri perbankan dan sektor industri yang dibiayai. k. menolak memberikan komitmen dan/atau tidak memenuhi komitmen yang telah disampaikan kepada Bank Indonesia dan/atau instansi lain yang berwenang. Komitmen yang dimaksud antara lain adalah: 1) komitmen dalam rangka penyehatan Bank; 2) komitmen untuk tidak mengulangi tindakan atau perbuatan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b dan/atau huruf c; atau 3) komitmen untuk tidak melakukan dan/atau mengulangi perbuatan dan/atau tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 atau Pasal 28 PBI Uji Kemampuan dan Kepatutan (bagi PSP, anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi, atau Pejabat Eksekutif yang pernah memiliki predikat Tidak Lulus dalam uji kemampuan dan kepatutan dan telah menjalani masa sanksi sebagaimana dimaksud Pasal 35 ayat (1), Pasal 40 ayat (4) huruf a dan Pasal 40 ayat (5) PBI Uji Kemampuan dan Kepatutan). 4. Pelanggaran terhadap kegiatan usaha yang dilarang untuk Kantor Perwakilan Bank Asing sesuai dengan ketentuan yang berlaku, yang dilakukan atau melibatkan pemimpin kantor perwakilan bank asing. B. Tata Cara Pelaksanaan Uji Kemampuan dan Kepatutan 1. Pelaksanaan uji kemampuan dan kepatutan dilakukan setiap saat dalam rangka penilaian kembali apabila berdasarkan bukti, data dan/atau . . . 2 Uji dan/atau informasi yang diperoleh dari hasil pengawasan maupun informasi lainnya terdapat indikasi permasalahan integritas, kelayakan keuangan, reputasi keuangan, dan/atau kompetensi. 2. Uji kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud pada angka 1, dilakukan dengan langkah-langkah: a. klarifikasi bukti, data dan informasi kepada pihak-pihak yang diuji; b. penetapan dan penyampaian hasil sementara uji kemampuan dan kepatutan kepada pihak-pihak yang diuji; c. tanggapan dari pihak-pihak yang diuji terhadap hasil sementara uji kemampuan dan kepatutan; dan d. penetapan dan pemberitahuan hasil akhir uji kemampuan dan kepatutan kepada pihak-pihak yang diuji; 3. Penetapan hasil uji kemampuan dan kepatutan dilakukan berdasarkan tingkat keterlibatan atau peranan pihak-pihak yang diuji terhadap permasalahan atau tindakan pelanggaran yang dilakukan, yang dikategorikan menjadi: a. Pelaku Yang dimaksud dengan Pelaku adalah: 1) orang yang memerintahkan, menyuruh melakukan atau mengusulkan terjadinya perbuatan; 2) orang yang menyetujui, turut serta menyetujui, atau menandatangani; 3) orang yang melakukan atau turut serta melakukan suatu perbuatan berdasarkan perintah, baik dengan atau tanpa tekanan, dan yang bersangkutan patut mengetahui atau patut menduga bahwa perintah tersebut . . . tersebut bertentangan dengan ketentuan yang berlaku; atau 4) orang yang melakukan suatu perbuatan karena adanya janji atau imbalan tertentu. b. Pelaku Pembantu Yang dimaksud dengan Pelaku Pembantu adalah Orang yang karena melaksanakan tugas, jabatan dan/atau adanya suatu perintah dari pihak lain, baik dengan atau tanpa tekanan, melakukan atau turut serta melakukan suatu perbuatan, dan yang bersangkutan patut mengetahui atau patut menduga bahwa perbuatan atau perintah yang dilakukan tersebut bertentangan dengan ketentuan yang berlaku, namun yang bersangkutan telah berusaha untuk menolak melakukan perbuatan atau perintah tersebut. C. Hasil Uji Kemampuan dan Kepatutan beserta Konsekuensinya 1. Pihak-pihak yang ditetapkan dengan predikat Lulus memenuhi persyaratan untuk tetap menjadi PSP, anggota Dewan Komisaris anggota Direksi atau Pejabat Eksekutif. 2. Pihak-pihak yang dikategorikan sebagai Pelaku Pembantu dapat ditetapkan predikat Lulus apabila yang bersangkutan menyampaikan surat pernyataan yang berisi komitmen untuk tidak mengulangi tindakan pelanggaran dimasa yang akan datang. Pelanggaran atas komitmen dimaksud menjadi dasar untuk dilakukan uji kemampuan dan kepatutan kepada yang bersangkutan. 3. Pihak-pihak yang ditetapkan dengan predikat Tidak Lulus dilarang menjadi: a. PSP . . . a. PSP atau memiliki saham pada industri perbankan; dan/atau b. anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi, atau Pejabat Eksekutif pada industri perbankan. sejak tanggal surat penetapan Bank Indonesia. 4. Jangka waktu larangan terhadap pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada angka 3 tercantum dalam Lampiran 3a dan Lampiran 3b. 5. Dalam hal pihak-pihak yang ditetapkan Tidak Lulus sebagaimana dimaksud pada angka 3 juga merupakan pemegang saham pada bank lain, yang bersangkutan juga wajib mengalihkan kepemilikan sahamnya pada bank lain tersebut, dengan ketentuan sebagai berikut: a. jika bank tersebut adalah Bank Umum maka yang bersangkutan wajib mengalihkan seluruh kepemilikan sahamnya pada bank tersebut dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal surat penetapan Tidak Lulus oleh Bank Indonesia. Dalam hal tidak dialihkan dalam jangka waktu dimaksud maka berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 dan Pasal 38 PBI Uji Kemampuan dan Kepatutan; b. jika bank tersebut adalah Bank Umum Syariah atau Bank Pembiayaan Rakyat Syariah maka yang bersangkutan wajib mengalihkan kepemilikan sahamnya pada bank tersebut dengan jumlah saham, jangka waktu, dan tata cara pengalihan sesuai dengan yang diatur dalam ketentuan mengenai uji kemampuan dan kepatutan yang berlaku bagi Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah; c. jika . . . c. jika bank tersebut adalah Bank Perkreditan Rakyat maka yang bersangkutan wajib mengalihkan kepemilikan sahamnya pada Bank Perkreditan Rakyat tersebut dengan jumlah saham, jangka waktu, dan tata cara pengalihan sesuai dengan yang diatur dalam ketentuan mengenai uji kemampuan dan kepatutan yang berlaku bagi Bank Perkreditan Rakyat. 6. Dalam hal pihak-pihak yang ditetapkan dengan predikat Tidak Lulus sebagaimana dimaksud pada angka 3 sudah menjabat sebagai anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi, atau Pejabat Eksekutif pada bank lain, maka yang bersangkutan berhenti dari jabatannya sebagai anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi, atau Pejabat Eksekutif pada bank lain tersebut, dengan ketentuan sebagai berikut: a. jika bank tersebut adalah Bank Umum maka yang bersangkutan berhenti dari jabatannya sebagai anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi atau Pejabat Eksekutif pada bank lain tersebut sejak tanggal surat penetapan Tidak Lulus oleh Bank Indonesia. Bank Umum tersebut wajib menindaklanjuti pemberhentian anggota Dewan Komisaris anggota Direksi, atau Pejabat Eksekutif dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal pemberitahuan Bank Indonesia, berupa: 1) melaksanakan RUPS untuk memberhentikan (pengukuhan) anggota Dewan Komisaris atau anggota Direksi yang ditetapkan dengan predikat Tidak Lulus; atau 2) menerbitkan . . . 2) menerbitkan surat keputusan pemberhentian bagi Pejabat Eksekutif yang ditetapkan dengan predikat Tidak Lulus. b. jika bank tersebut adalah Bank Umum Syariah atau Bank Pembiayaan Rakyat Syariah maka tindaklanjut pemberhentian bagi anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi, atau Pejabat Eksekutif dimaksud mengacu kepada ketentuan yang mengatur mengenai uji kemampuan dan kepatutan yang berlaku bagi Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah. c. jika bank tersebut adalah Bank Perkreditan Rakyat maka tindaklanjut pemberhentian bagi anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi, atau Pejabat Eksekutif dimaksud mengacu kepada ketentuan yang mengatur mengenai uji kemampuan dan kepatutan yang berlaku bagi Bank Perkreditan Rakyat. d. jika bank tersebut adalah Bank Umum dan yang bersangkutan menjabat sebagai Direktur atau Pejabat Eksekutif yang hanya bertugas mengelola Unit Usaha Syariah (UUS), maka tindaklanjut pemberhentian yang bersangkutan mengacu pada ketentuan sebagaimana dimaksud pada huruf b. 7. PSP yang ditetapkan dengan predikat Tidak Lulus dan tidak mengalihkan seluruh kepemilikan sahamnya dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan maka dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak berakhirnya batas waktu tersebut, yang bersangkutan wajib menyerahkan surat kuasa menjual saham kepada: a. pihak . . . a. pihak yang ditunjuk oleh PSP dengan persetujuan Bank Indonesia; b. pihak yang ditunjuk Bank Indonesia; atau c. Bank Indonesia dengan hak substitusi. 8. Surat kuasa menjual sebagaimana dimaksud pada angka 7 dibuat dalam bentuk akta notariil yang paling kurang memuat: a. memberikan kuasa kepada penerima kuasa untuk menjual atau mengalihkan saham kepada pihak lain; b. menerima/menyetujui segala keputusan atas penjualan atau pengalihan saham yang dilakukan oleh penerima kuasa; c. membebaskan penerima kuasa atas segala akibat hukum yang timbul dari penjualan atau pengalihan saham dimaksud; d. pemberi kuasa tidak akan mencabut surat kuasa menjual yang telah diberikan kepada penerima kuasa; dan e. segala biaya yang timbul dalam rangka pelaksanaan surat kuasa menjual, menjadi beban pemberi kuasa. 9. Hak PSP terhadap pembagian deviden, berlaku ketentuan sebagai berikut : a. yang bersangkutan masih berhak menerima pembagian deviden untuk periode paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal surat penetapan Tidak Lulus oleh Bank Indonesia tersebut. Dalam hal pembagian deviden untuk periode tersebut dilakukan setelah 6 (enam) bulan sejak penetapan Tidak Lulus maka yang bersangkutan hanya menerima pembagian deviden setelah memperhitungkan biaya pelaksanaan surat kuasa menjual. b. apabila . . . b. apabila sampai dengan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada huruf a terlampaui dan PSP tidak mengalihkan kepemilikan sahamnya atau mengalihkan kepemilikan sahamnya kepada pihak yang memiliki hubungan keluarga sampai dengan derajat kedua termasuk kepada kelompok usahanya, maka pembayaran deviden ditunda sampai dengan yang bersangkutan mengalihkan kepemilikan sahamnya sesuai dengan ketentuan. D. Alamat Penyampaian Penyampaian klarifikasi dan tanggapan dari pihak-pihak yang diuji dalam proses uji kemampuan dan kepatutan, penyampaian surat pernyataan dan laporan Bank, disampaikan kepada: 1. Direktorat Pengawasan Bank terkait, Bank Indonesia, Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350, bagi Bank yang berkantor Pusat di wilayah Jabodetabek; atau 2. Kantor Bank Indonesia setempat, bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah Jabodetabek, dengan tembusan kepada Direktorat Perizinan dan Informasi Perbankan, Bank Indonesia, Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350. IV. LAPORAN RENCANA PERUBAHAN STRUKTUR KELOMPOK USAHA Laporan rencana perubahan struktur kelompok usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 PBI Uji Kemampuan dan Kepatutan mencakup seluruh pihak yang terkait dengan Bank dari segi pengendalian sampai dengan PSPT. Contoh . . . Contoh pelaporan rencana perubahan struktur kelompok usaha adalah sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 4a dan Lampiran 4b. Laporan rencana perubahan struktur kelompok usaha disampaikan kepada Bank Indonesia dengan alamat sebagaimana pada butir III.D. V. KETENTUAN LAIN-LAIN Lampiran 1a sampai dengan Lampiran 4b merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini. VI. KETENTUAN PERALIHAN 1. Hasil uji kemampuan dan kepatutan yang telah ditetapkan oleh Bank Indonesia berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/25/PBI/2003 tentang Penilaian Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test), dinyatakan tetap berlaku. 2. Terhadap uji kemampuan dan kepatutan bagi calon PSP atau PSP, calon anggota Dewan Komisaris atau anggota Dewan Komisaris, calon anggota Direksi atau anggota Direksi, dan/atau Pejabat Eksekutif yang sedang dilakukan pada saat berlakunya PBI Uji Kemampuan dan Kepatutan, maka: a. proses penilaian yang meliputi faktor yang dinilai dan tata cara penilaian serta hasil penilaian, tetap mengacu kepada Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/25/PBI/2003 tentang Penilaian Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test). b. dalam hal hasil penilaian sebagaimana dimaksud pada huruf a adalah Lulus Bersyarat, maka yang bersangkutan dinyatakan Lulus setelah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/25/PBI/2003 tentang Penilaian Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test) dan perubahan hasil penilaian dimaksud diberitahukan Bank Indonesia kepada yang bersangkutan. c. dalam . . . c. dalam hal hasil penilaian sebagaimana dimaksud pada huruf a adalah Lulus maka konsekuensi hasil penilaian mengacu kepada ketentuan dalam PBI Uji Kemampuan dan Kepatutan. d. dalam hal hasil penilaian sebagaimana dimaksud pada huruf a adalah Tidak Lulus, maka konsekuensi hasil penilaian termasuk pengenaan jangka waktu larangan untuk menjadi PSP, anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi atau Pejabat Eksekutif mengacu kepada ketentuan dalam PBI Uji Kemampuan dan Kepatutan. VII. PENUTUP Dengan berlakunya Surat Edaran ini, maka Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 6/15/DPNP tanggal 31 Maret 2004 perihal Penilaian Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Ketentuan di dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 28 Maret 2011. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA, WIMBOH SANTOSO DIREKTUR PENELITIAN DAN PENGATURAN PERBANKAN "," SE-BI 13/8/DPNP|SE-BI/2011 Uji Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test) 28 Maret 2011 28 Maret 2011 '6/15/DPNP|SE-BI/2004' '12/23/PBI/2010' " " 1 No.12/ 32 /DPbS Jakarta, 18 November 2010 S U R A T E D A R A N Kepada SEMUA BANK UMUM SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH DI INDONESIA Perihal: Rencana Bisnis Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah Sehubungan dengan diterbitkannya Peraturan Bank Indonesia Nomor 12/21/PBI/2010 tanggal 19 Oktober 2010 tentang Rencana Bisnis Bank (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 120, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5161), perlu diatur kembali ketentuan pelaksanaan mengenai Rencana Bisnis untuk Bank Umum Syariah (BUS) dan Unit Usaha Syariah (UUS) dalam suatu Surat Edaran Bank Indonesia dengan pokok-pokok sebagai berikut: I. UMUM 1. Dalam rangka mencapai tujuan usaha yang berpedoman kepada visi dan misi yang telah ditetapkan, maka BUS dan UUS perlu menyusun Rencana Bisnis dengan memperhatikan faktor eksternal dan internal, prinsip kehati-hatian, penerapan manajemen risiko dan azas perbankan yang sehat. Rencana Bisnis harus disusun secara matang, realistis dan komprehensif sehingga lebih mencerminkan kompleksitas usaha dan dapat menjadi arah kebijakan dan pengembangan usaha BUS dan UUS. 2. Rencana Bisnis adalah dokumen tertulis yang menggambarkan rencana kegiatan usaha BUS dan UUS jangka pendek (1 tahun) dan jangka menengah ... 2 menengah (3 tahun), termasuk rencana untuk meningkatkan kinerja usaha serta strategi untuk merealisasikan rencana tersebut sesuai dengan target dan waktu yang ditetapkan, dengan tetap memperhatikan pemenuhan prinsip kehati-hatian dan penerapan manajemen risiko. Penyusunan Rencana Bisnis dilakukan oleh Direksi dan harus memperoleh persetujuan Dewan Komisaris BUS atau Dewan Komisaris Bank Umum yang memiliki UUS. Selanjutnya, dalam rangka mengimplementasikan Rencana Bisnis secara efektif, Direksi wajib mengkomunikasikan Rencana Bisnis tersebut kepada pemegang saham dan pegawai pada semua jenjang organisasi yang ada pada BUS dan UUS. 3. Rencana Bisnis yang realistis diperlukan bagi Bank Indonesia selaku Otoritas Moneter sebagai salah satu pertimbangan dalam menetapkan kebijakan dan melakukan pengawasan makro prudential. 4. Rencana Bisnis UUS disusun secara tersendiri yang disajikan sebagai lampiran dan merupakan satu kesatuan dari Rencana Bisnis Bank Umum yang memiliki UUS. Dengan demikian, data keuangan dalam Rencana Bisnis UUS harus dikonsolidasikan dengan Rencana Bisnis Bank Umum yang memiliki UUS. 5. Laporan Realisasi Rencana Bisnis UUS disusun secara tersendiri yang disajikan sebagai lampiran dan merupakan satu kesatuan dari Laporan Realisasi Rencana Bisnis Bank Umum yang memiliki UUS. Dengan demikian, data keuangan dalam Laporan Realisasi Rencana Bisnis UUS harus dikonsolidasikan dengan Laporan Realisasi Bisnis Bank Umum yang memiliki UUS. 6. Laporan Pengawasan Rencana Bisnis UUS disusun secara tersendiri yang disajikan sebagai lampiran dan merupakan satu kesatuan dari Laporan Pengawasan Rencana Bisnis Bank Umum yang memiliki UUS. Dengan demikian, data keuangan dalam Laporan Pengawasan Rencana ... 3 Rencana Bisnis UUS harus dikonsolidasikan dengan Laporan Pengawasan Rencana Bisnis Bank Umum yang memiliki UUS. II. CAKUPAN DAN PENYUSUNAN RENCANA BISNIS BANK Sesuai dengan Pasal 5 Peraturan Bank Indonesia Nomor 12/21/PBI/2010, Rencana Bisnis BUS dan Rencana Bisnis UUS paling kurang mencakup: 1. Ringkasan eksekutif; 2. Kebijakan dan strategi manajemen; 3. Penerapan manajemen risiko dan kinerja BUS dan UUS saat ini; 4. Proyeksi laporan keuangan beserta asumsi yang digunakan; 5. Proyeksi rasio-rasio dan pos-pos tertentu lainnya; 6. Rencana pendanaan; 7. Rencana penanaman dana; 8. Rencana permodalan; 9. Rencana pengembangan organisasi dan sumber daya manusia (SDM); 10. Rencana penerbitan produk dan/atau pelaksanaan aktivitas baru; 11. Rencana pengembangan dan/atau perubahan jaringan kantor; dan 12. Informasi lainnya. Cakupan Rencana Bisnis yang ditetapkan Bank Indonesia bersifat minimum sehingga BUS dan UUS dapat memperluas cakupan tersebut sesuai dengan kebutuhan, dengan tetap memperhatikan hal-hal sebagaimana ditetapkan pada angka I di atas. 1. Ringkasan Eksekutif Ringkasan eksekutif ini berisi penjelasan umum, baik kuantitatif maupun kualitatif mengenai hasil yang telah dicapai pada tahun terakhir, antara lain aspek permodalan, rentabilitas, penilaian risiko khususnya risiko kredit, risiko pasar dan risiko likuiditas, serta dana pihak ketiga dan rasio keuangan. Selain itu ringkasan eksekutif juga memuat ... 4 memuat target usaha BUS dan UUS dalam jangka pendek (1 tahun) sampai dengan jangka menengah (3 tahun). Ringkasan eksekutif disusun dengan format dan cakupan paling kurang sebagai berikut: a. Visi dan Misi Bagian ini menguraikan visi dan misi yang menjadi tujuan BUS dan UUS di masa mendatang. b. Arah Kebijakan Bagian ini memberikan penjelasan mengenai arah dan kebijakan pengembangan usaha yang akan dilakukan BUS dan UUS (jangka pendek maupun jangka menengah). c. Langkah-langkah Strategis yang Akan Ditempuh Bagian ini memberikan uraian mengenai langkah-langkah strategis yang akan ditempuh BUS dan UUS untuk mencapai visi dan misi BUS dan UUS sesuai dengan arah kebijakan BUS dan UUS ke depan. d. Indikator Keuangan Utama Indikator keuangan utama antara lain memuat posisi aktual (per posisi bulan September tahun penyusunan Rencana Bisnis) maupun proyeksi. Contoh tabel indikator keuangan utama Rencana Bisnis tahun 2011 adalah sebagai berikut: Indikator Aktual Sep Des 2010 2010 Rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) Equity Coverage Ratio (ECR) Equity to Debt Ratio (EDR) Return on Asset (ROA) Mar Proyeksi Tahun 2011 Jun Des Sep Des 2012 Des 2013 Return ... 5 Aktual Indikator Sep Des 2010 2010 Return on Equity (ROE) Net Operating Margin (NOM) Income Generating Asset (IGA) Rasio Efisiensi Kegiatan Operasional (REO) Earning Asset Quality (EAQ) Rasio PPAP yang telah dibentuk terhadap PPA yang wajib dibentuk atas aset produktif Non Performing Financing (NPF) Ratio- Gross Non Performing Financing (NPF) Ratio- Net Rasio Pembiayaan terhadap Total Aset Produktif Rasio Debitur Inti terhadap Total Pembiayaan Rasio pembiayaan kepada UMKM terhadap total Pembiayaan Short Term Mismatch (STM) Rasio Deposan Inti (RDI) Financing to Deposit Ratio (FDR) e. Target Jangka Pendek dan Jangka Menengah Bagian ini menguraikan target (fokus) kegiatan usaha BUS dan UUS baik kuantitatif maupun kualitatif dalam jangka pendek maupun jangka menengah, sesuai dengan visi dan misi BUS dan UUS disertai dengan alasan pemilihan target, asumsi yang digunakan dan strategi untuk mencapai target tersebut. Target jangka pendek misalnya berupa target penurunan tingkat NPF, peningkatan fungsi intermediasi dan peningkatan efisiensi. Sementara itu, target jangka menengah misalnya target Mar Proyeksi Tahun 2011 Jun Des Sep Des 2012 Des 2013 pengembangan ... 6 pengembangan perbankan Syariah dan target penerapan tata kelola yang baik (good corporate governance). 2. Kebijakan dan Strategi Manajemen Bagian ini berisi penjelasan mengenai kebijakan dan strategi manajemen selama 1 (satu) tahun ke depan, yang paling kurang memuat: a. Analisis Posisi dalam Menghadapi Persaingan Usaha. Uraian analisis posisi BUS dan UUS dalam menghadapi persaingan usaha meliputi informasi mengenai posisi BUS dan UUS baik dalam kelompok yang sama maupun secara industri, termasuk informasi mengenai permasalahan dan hambatan yang dialami BUS dan UUS. Dalam melakukan analisis posisi, BUS dan UUS menggunakan pendekatan tertentu paling kurang berupa analisis SWOT (strengths, weaknesses, opportunities dan threats). b. Kebijakan Manajemen (Policy Statements) Uraian kebijakan manajemen meliputi informasi umum kebijakan BUS dan UUS yang ditetapkan oleh manajemen dalam pengembangan usaha BUS dan UUS di waktu yang akan datang. c. Kebijakan Manajemen Risiko dan Kepatuhan Uraian mengenai kebijakan manajemen risiko dan kepatuhan meliputi informasi mengenai langkah-langkah dalam menerapkan manajemen risiko yang disusun berdasarkan evaluasi atas profil risiko BUS dan UUS dan upaya-upaya perbaikan yang akan ditempuh serta penjelasan mengenai kebijakan dalam melaksanakan fungsi kepatuhan. d. Strategi Pengembangan Bisnis Uraian mengenai strategi pengembangan bisnis antara lain memuat informasi langkah-langkah strategis untuk mencapai tujuan usaha BUS ... 7 BUS dan UUS yang telah ditetapkan, termasuk penjelasan mengenai strategi pengembangan organisasi dan teknologi sistem informasi dan strategi untuk mengantisipasi perubahan kondisi eksternal. e. Strategi Pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) dan Kebijakan Remunerasi (Remuneration Policies) Uraian mengenai kebijakan remunerasi paling kurang meliputi informasi mengenai kebijakan umum yang mengatur mengenai pemberian gaji, bonus (benefits) dan fasilitas lain yang bersifat keuangan kepada Dewan Komisaris dan Direksi BUS, Dewan Pengawas Syariah (DPS) serta Direktur UUS, termasuk kepada pegawai. 3. Penerapan Manajemen Risiko dan Kinerja Saat Ini Bagian ini berisi penjelasan baik kuantitatif maupun kualitatif, mengenai kondisi BUS dan UUS pada saat penyusunan Rencana Bisnis BUS dan UUS dan menyoroti hal-hal utama yang perlu mendapat perhatian atau permasalahan yang dihadapi serta hasil-hasil yang telah dicapai BUS dan UUS. Bagian ini paling kurang memuat uraian mengenai: a. Penerapan Manajemen Risiko, termasuk profil risiko untuk seluruh risiko Uraian mengenai penerapan manajemen risiko meliputi evaluasi dan hasil penerapan manajemen risiko untuk periode awal tahun sampai dengan posisi akhir September tahun penyusunan Rencana Bisnis BUS dan UUS. Uraian mengenai penilaian profil risiko meliputi informasi penilaian BUS dan UUS mengenai tingkat dan trend untuk seluruh risiko. Tata ... 8 Tata cara penyusunan profil risiko dan evaluasi penerapan manajemen risiko berpedoman kepada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penerapan manajemen risiko bagi BUS dan UUS. Dalam uraian ini termasuk pula evaluasi efektivitas dan hasil penerapan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme (APU dan PPT) dan rencana kerja fungsi kepatuhan BUS dan Bank Umum yang memiliki UUS terhadap ketentuan yang berlaku dan komitmen kepada Bank Indonesia. b. Penerapan Tata Kelola yang Baik Uraian mengenai penilaian penerapan tata kelola yang baik berpedoman kepada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pelaksanaan good corporate governance bagi BUS dan UUS. c. Kinerja Keuangan, khususnya Permodalan dan Rentabilitas Uraian mengenai kinerja keuangan BUS dan UUS termasuk hasil pelaksanaan action plan dalam rangka memperbaiki kinerja BUS dan UUS sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai sistem penilaian tingkat kesehatan bagi BUS dan UUS. Uraian mengenai kinerja permodalan mencakup paling kurang kecukupan, komposisi dan proyeksi permodalan serta kemampuan permodalan BUS dan UUS dalam meng-cover risiko dari aset bermasalah, kemampuan BUS dan UUS untuk menambah modal dari laba operasional BUS dan UUS, rencana permodalan BUS dan UUS untuk mendukung pertumbuhan usaha, akses kepada sumber permodalan dan kemampuan pemegang saham untuk meningkatkan permodalan ... 9 permodalan BUS dan UUS. Uraian mengenai kinerja rentabilitas BUS dan UUS mencakup paling kurang pencapaian tingkat return yang diharapkan, proporsi aktiva produktif yang menghasilkan pendapatan terhadap aktiva, dan tingkat efisiensi. d. Realisasi Pemberian Pembiayaan kepada Debitur Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) Uraian mengenai realisasi pemberian pembiayaan ini mencerminkan peranan BUS dan UUS dalam mendukung perkembangan UMKM. Pengelompokan usaha mikro, kecil dan menengah mengacu pada kriteria usaha berdasarkan undang-undang yang berlaku mengenai Usaha Mikro, Kecil dan Menengah. e. Penerapan Kepatuhan terhadap Prinsip Syariah Uraian mengenai langkah-langkah yang akan dilakukan untuk memastikan bahwa produk dan jasa yang dilakukan oleh BUS dan UUS telah sesuai dengan prinsip syariah yang ditetapkan dalam fatwa Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama Indonesia (DSN – MUI). 4. Proyeksi Laporan Keuangan beserta Asumsinya Dalam bagian ini diuraikan mengenai kondisi keuangan dan pelaksanaan fungsi sosial BUS dan UUS posisi aktual (per posisi bulan September tahun penyusunan Rencana Bisnis) dan proyeksi untuk periode 3 (tiga) tahun ke depan. Proyeksi tahun pertama disajikan secara triwulanan sedangkan proyeksi tahun kedua dan ketiga disajikan secara tahunan (posisi akhir tahun). Dalam bagian ini diuraikan juga mengenai asumsi makro dan mikro yang digunakan dalam menyusun proyeksi keuangan dimaksud. Asumsi makro ... 10 makro antara lain tingkat pertumbuhan ekonomi dan tingkat inflasi, sedangkan asumsi mikro antara lain tingkat persaingan antar bank, pertumbuhan pembiayaan industri perbankan syariah dan tingkat imbalan pembiayaan dan dana pihak ketiga yang digunakan di dalam menyusun Rencana Bisnis. Proyeksi laporan keuangan ini disajikan dengan mengacu pada: a. Lampiran 1 : Proyeksi Neraca b. Lampiran 2 : Proyeksi Komitmen dan Kontinjensi c. Lampiran 3 : Proyeksi Laba Rugi d. Lampiran 4 : Perhitungan Distribusi Bagi Hasil e. Lampiran 5 : Laporan Penghimpunan dan Penyaluran Zakat, Infaq dan Shodaqoh (ZIS) f. Lampiran 6 : Laporan Sumber dan Penggunaan Dana Qardhul Hasan g. Lampiran 7 : Asumsi Makro dan Mikro yang Digunakan 5. Proyeksi Rasio-rasio dan Pos-Pos Tertentu Lainnya Dalam bagian ini diuraikan mengenai rasio keuangan dan posisi aktual rasio tertentu lainnya (per posisi bulan September tahun penyusunan Rencana Bisnis) dan proyeksi untuk periode 1 (satu) tahun ke depan yang disajikan secara triwulanan, yaitu sebagai berikut: a. Rasio Keuangan Pokok Proyeksi rasio keuangan pokok meliputi rasio-rasio yang paling kurang dapat memberikan informasi penilaian atas kondisi permodalan, rentabilitas, risiko kredit, risiko pasar, dan risiko likuiditas. b. Rasio-rasio Tertentu Lainnya Proyeksi ini meliputi proyeksi beberapa rasio terkait pembiayaan kepada debitur UMKM, rasio dana pendidikan dan rasio aktiva tetap ... 11 tetap yang tidak digunakan dalam operasional BUS dan UUS terhadap modal. Selain itu disajikan pula pos-pos tertentu yang memberikan informasi mengenai penghimpunan dan penyaluran dana. Proyeksi rasio keuangan pokok dan pos-pos tertentu lainnya disajikan dengan mengacu pada Lampiran 8. 6. Rencana Pendanaan Dalam bagian ini diuraikan mengenai posisi penghimpunan dana posisi aktual (per posisi bulan September tahun penyusunan Rencana Bisnis) dan rencana penghimpunan dana untuk periode 1 (satu) tahun ke depan secara triwulanan. Dalam bagian ini diuraikan juga mengenai asumsi yang digunakan dalam menyusun rencana dimaksud serta strategi BUS dan UUS untuk merealisasikan rencana tersebut. Rencana pendanaan ini disajikan dengan mengacu pada: a. Lampiran 9 : Rencana Penghimpunan Dana Pihak Ketiga b. Lampiran 10 : Rencana Penerbitan Surat Berharga c. Lampiran 11 : Rencana Pendanaan Lainnya 7. Rencana Penanaman Dana Dalam bagian ini diuraikan mengenai posisi penyaluran dana posisi aktual (per posisi bulan September tahun penyusunan Rencana Bisnis) dan rencana penyaluran dana untuk periode 1 (satu) tahun ke depan secara triwulanan yang antara lain memberikan informasi rencana penyediaan dana kepada pihak terkait, dan rincian rencana pemberian pembiayaan, termasuk rencana pemberian pembiayaan kepada kegiatan usaha tertentu. Jenis kegiatan usaha tertentu yang dicantumkan dalam rincian pemberian pembiayaan mencerminkan fokus pembiayaan BUS dan UUS berdasarkan jenis kegiatan usaha yang diprioritaskan dan/atau signifikansi ... 12 signifikansi pangsa pembiayaan maupun jumlah debitur. Dalam bagian ini diuraikan juga mengenai asumsi yang digunakan dalam menyusun rencana dimaksud serta strategi BUS dan UUS untuk merealisasikan rencana tersebut. Rencana penyaluran dana ini disajikan dengan mengacu pada: a. Lampiran 12 b. c. d. Lampiran 13 (a) Lampiran 13 (b) : Rencana Penyediaan Dana kepada Pihak Terkait : Rencana Pemberian Pembiayaan kepada Debitur Inti : Rencana Pemberian Pembiayaan berdasarkan Kegiatan Usaha Tertentu Lampiran 13 (c).1 : Rencana Pemberian Pembiayaan berdasarkan Sektor Ekonomi/Lapangan Usaha Lampiran 13 (c).2 : Rencana Pemberian Pembiayaan berdasarkan Jenis Penggunaan Lampiran 13 (c).3 : Rencana Pemberian Pembiayaan berdasarkan Propinsi Lampiran 13 (c).4 : Rencana Pemberian Pembiayaan berdasarkan Jenis Akad e. Lampiran 13 (d).1 : Rencana Pemberian Pembiayaan kepada Debitur UMKM berdasarkan Sektor Ekonomi/Lapangan Usaha Lampiran 13 (d).2 : Rencana Pemberian Pembiayaan kepada Debitur UMKM berdasarkan Jenis Penggunaan Lampiran 13 (d).3 : Rencana Pemberian Pembiayaan kepada Debitur UMKM berdasarkan Propinsi f. Lampiran 14 g. Lampiran 15 h. Lampiran 16 : Rencana Penanaman Dana dalam bentuk Surat Berharga : Rencana Penanaman Dana dalam bentuk Penyertaan Modal : Rencana Penanaman Dana Lainnya 8. Rencana ... 13 8. Rencana Permodalan Dalam bagian ini diuraikan mengenai rencana permodalan paling kurang meliputi : a. Proyeksi pemenuhan Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) Proyeksi KPMM paling kurang meliputi proyeksi modal, proyeksi Aktiva Tertimbang Menurut Risiko (ATMR) dan proyeksi rasio KPMM selama 3 (tiga) tahun mendatang. Proyeksi pemenuhan KPMM ini disajikan dengan mengacu pada Lampiran 17. b. Rencana perubahan modal Rencana perubahan modal merupakan proyeksi perubahan modal selama 3 (tiga) tahun mendatang baik terkait struktur permodalan maupun jumlah modal. Termasuk dalam rencana perubahan modal untuk BUS adalah rencana penambahan modal dari pemegang saham lama (existing share holders), rencana initial public offering (IPO), right issue, penerbitan surat berharga yang bersifat ekuitas, dan rencana penambahan modal lainnya, serta uraian mengenai rencana perubahan atau penggantian kepemilikan (apabila ada). Rencana perubahan modal untuk UUS adalah perubahan dana bersih yang ditempatkan Bank Umum yang memiliki UUS pada UUS setelah dikurangi dengan penempatan UUS pada Bank Umum yang memiliki UUS sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai Unit Usaha Syariah. Rencana perubahan modal ini disajikan dengan mengacu pada Lampiran 18. 9. Rencana ... 14 9. Rencana Pengembangan Organisasi dan Sumber Daya Manusia (SDM) Dalam bagian ini diuraikan informasi mengenai struktur organisasi dan kondisi SDM terkini, rencana pengembangan organisasi dan SDM yang sedang berlangsung maupun rencana pengembangan paling kurang selama 1 (satu) tahun ke depan yang antara lain memuat: a. Rencana Pengembangan Organisasi Rencana pengembangan organisasi antara lain mencakup rencana pembentukan/perubahan satuan kerja dan/atau komite, yang disesuaikan dengan kemampuan, ukuran dan kompleksitas usaha BUS dan UUS. b. Rencana Pengembangan Sistem Informasi Manajemen Rencana pengembangan sistem informasi manajemen antara lain mencakup pengembangan teknologi informasi yang mendukung sistem informasi untuk manajemen dan rencana pengembangan sistem akuntansi, termasuk rencana anggaran yang dialokasikan. c. Rencana Pengembangan Sumber Daya Manusia Rencana pengembangan sumber daya manusia antara lain rencana kebutuhan, pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia berikut rencana biaya/anggaran pendidikan dan pelatihan baik untuk pegawai, Direksi dan Komisaris BUS dan UUS. Lampiran 19 (a) Tabel : Kondisi dan Rencana Kebutuhan SDM. Lampiran 19 (b) Tabel : Rencana Pendidikan dan Pelatihan SDM. d. Rencana Pemanfaatan Tenaga Kerja Asing dan Outsourcing Rencana pemanfaatan tenaga kerja asing antara lain rencana pemanfaatan tenaga kerja asing sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku. Rencana pemanfaatan tenaga outsourcing yang mengacu pada peraturan perundang- undangan yang berlaku, antara lain mencakup rencana jumlah yang akan digunakan dan rencana penempatan tenaga outsourcing dimaksud ... 15 dimaksud. Rencana Pemanfaatan Tenaga Kerja Asing dan Tenaga Outsourcing disajikan dengan mengacu pada Lampiran 20. 10. Rencana Penerbitan Produk dan/atau Pelaksanaan Aktivitas Baru Dalam bagian ini diuraikan rencana penerbitan produk dan/atau pelaksanaan aktivitas baru yang tidak pernah diterbitkan atau dilaksanakan sebelumnya oleh BUS dan UUS sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai produk dan aktivitas baru bagi BUS dan UUS, paling kurang untuk periode 1 (satu) tahun ke depan. Dalam rencana penerbitan produk dan/atau pelaksanaan aktivitas baru ini diuraikan juga rencana penelitian dan pengembangan produk (product research and development) yang akan dilakukan BUS dan UUS. Rencana Penerbitan Produk dan/atau Pelaksanaan Aktivitas Baru disajikan dengan mengacu pada Lampiran 21. 11. Rencana Pengembangan dan/atau Perubahan Jaringan Kantor Rencana pengembangan dan/atau perubahan jaringan kantor meliputi rencana pembukaan, penutupan, pemindahan alamat dan penurunan atau peningkatan status kantor cabang syariah, kantor cabang pembantu syariah, kantor kas syariah, layanan syariah, kegiatan perbankan elektronik, kegiatan pelayanan kas syariah, dan kantor di luar negeri serta jenis jaringan kantor atau layanan lainnya untuk periode 1 (satu) tahun ke depan yang paling kurang mencantumkan lokasi kabupaten/kota secara jelas, khusus untuk DKI Jakarta paling kurang menyebutkan nama Propinsi DKI Jakarta. Rencana ... 16 Rencana pengembangan dan/atau perubahan jaringan kantor ini disajikan dengan mengacu pada Lampiran 22. 12. Informasi Lainnya Informasi lainnya memuat rencana-rencana lain yang perlu diuraikan (apabila ada), namun tidak termasuk dalam cakupan Rencana Bisnis yang telah ditetapkan pada angka 1 sampai dengan angka 11, antara lain langkah-langkah penyelesaian pembiayaan yang bermasalah termasuk agunan yang diambil alih (AYDA), aktiva tetap yang tidak digunakan dalam operasional BUS dan UUS, pengembangan pelayanan BUS dan UUS dan/atau linkage program. Pengembangan pelayanan mencakup antara lain informasi rencana pengembangan sarana atau media informasi kepada nasabah dan rencana upaya perlindungan nasabah. Pengertian agunan yang diambil alih (AYDA) mengacu kepada pengertian AYDA yang diatur ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penilaian kualitas aktiva BUS dan UUS. III. LAPORAN REALISASI DAN PENGAWASAN RENCANA BISNIS 1. Sesuai dengan Pasal 20 Peraturan Bank Indonesia Nomor 12/21/PBI/2010, Laporan Realisasi Rencana Bisnis wajib disampaikan BUS dan UUS secara triwulanan, yaitu untuk posisi Maret, Juni, September dan Desember. Laporan dimaksud paling kurang mencakup: a. penjelasan mengenai pencapaian Rencana Bisnis dan perbandingan antara rencana dengan realisasinya; b. penjelasan mengenai deviasi atas realisasi Rencana Bisnis, seperti penyebab dan kendala yang dihadapi; c. tindak lanjut atau upaya yang akan dilakukan untuk memperbaiki pencapaian realisasi Rencana Bisnis; d. rasio ... 17 d. rasio keuangan dan pos-pos tertentu; e. informasi lainnya, berisi penjelasan mengenai realisasi hal-hal selain yang dijelaskan pada huruf a sampai dengan huruf d, antara lain meliputi laporan realisasi perubahan jaringan kantor, laporan realisasi Tenaga Kerja Asing dan Tenaga Outsourcing dan laporan realisasi linkage program (apabila ada). Laporan Realisasi Rencana Bisnis secara umum disajikan dengan mengacu pada: a. Lampiran 23 (a) : Laporan Realisasi Rencana Bisnis b. Lampiran 23 (b) : Laporan Realisasi Rasio Keuangan Pokok dan Pos-pos Tertentu Lainnya; c. Lampiran 23 (c) : Laporan Realisasi Pengembangan dan/atau Perubahan Jaringan Kantor; d. Lampiran 23 (d) : Laporan Realisasi Pemanfaatan Tenaga Kerja Asing dan Tenaga Outsourcing; e. Lampiran 23 (e) : Laporan Realisasi Linkage Program. 2. Sesuai dengan Pasal 4 Peraturan Bank Indonesia Nomor 12/21/PBI/2010, Dewan Komisaris wajib melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan Rencana Bisnis. Hasil pengawasan tersebut selanjutnya dituangkan dalam Laporan Pengawasan Rencana Bisnis sebagaimana diwajibkan dalam Pasal 21 Peraturan Bank Indonesia tersebut. Cakupan dalam laporan yang disusun Dewan Komisaris tersebut paling kurang meliputi penilaian mengenai: a. pelaksanaan Rencana Bisnis berupa penilaian aspek kuantitatif maupun kualitatif terhadap realisasi Rencana Bisnis, termasuk penerapan kepatuhan terhadap prinsip syariah; b. faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja keuangan BUS dan UUS secara umum, khususnya terkait faktor permodalan (capital), rentabilitas ... 18 rentabilitas (earnings), kinerja profil risiko BUS dan UUS terutama risiko kredit, risiko pasar dan risiko likuiditas; dan c. upaya memperbaiki kinerja BUS dan UUS, dalam hal dari hasil penilaian sebagaimana dimaksud pada huruf b di atas terjadi penurunan kinerja. Penilaian Dewan Komisaris pada huruf a sampai huruf c dapat dilengkapi pula dengan penilaian atas faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi operasional BUS dan UUS. Dalam kaitan dengan tugas Dewan Komisaris ini, BUS dan UUS harus memiliki mekanisme internal dalam rangka penyusunan laporan tersebut di atas. Laporan Pengawasan Rencana Bisnis disajikan dengan mengacu pada Lampiran 24. IV. PERHITUNGAN JANGKA WAKTU PENYAMPAIAN LAPORAN DAN SANKSI KEWAJIBAN MEMBAYAR 1. Rencana Bisnis, penyesuaian Rencana Bisnis, Laporan Realisasi Rencana Bisnis, dan/atau Laporan Pengawasan Rencana Bisnis UUS disampaikan kepada Bank Indonesia menyatu dengan penyampaian laporan sejenis yang dilakukan oleh Bank Umum yang memiliki UUS. 2. Mengacu pada Pasal 22 dan Pasal 23 Peraturan Bank Indonesia Nomor 12/21/PBI/2010, BUS dinyatakan terlambat menyampaikan Rencana Bisnis, penyesuaian Rencana Bisnis, Laporan Realisasi Rencana Bisnis, dan/atau Laporan Pengawasan Rencana Bisnis apabila : a. BUS menyampaikan Rencana Bisnis, Laporan Realisasi Rencana Bisnis, dan/atau Laporan Pengawasan Rencana Bisnis setelah batas akhir waktu penyampaian sampai dengan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja; dan/atau b. BUS menyampaikan penyesuaian Rencana Bisnis setelah batas akhir ... 19 akhir waktu penyampaian sampai dengan paling lama 15 (lima belas) hari kerja. BUS dinyatakan tidak menyampaikan Rencana Bisnis, penyesuaian Rencana Bisnis, Laporan Realisasi Rencana Bisnis, dan/atau Laporan Pengawasan Rencana Bisnis apabila sampai dengan berakhirnya batas waktu keterlambatan, BUS belum menyampaikan laporan dimaksud. 3. Mengacu pada Pasal 27 ayat (1) Peraturan Bank Indonesia Nomor 12/21/PBI/2010, BUS yang terlambat menyampaikan: a. Rencana Bisnis atau penyesuaiannya; b. Laporan Realisasi Rencana Bisnis; c. Laporan Pengawasan Rencana Bisnis, masing-masing dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari kerja keterlambatan. 4. Mengacu pada Pasal 27 ayat (2) BUS yang dinyatakan tidak menyampaikan : a. Rencana Bisnis atau penyesuaiannya, b. Laporan Realisasi Rencana Bisnis; c. Laporan Pengawasan Rencana Bisnis masing-masing dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). 5. Contoh perhitungan jangka waktu keterlambatan penyampaian laporan dan sanksi kewajiban membayar untuk penyampaian Rencana Bisnis tahun 2012, sebagai berikut: a. Hari Sabtu dan Minggu pada bulan Desember 2011 dan Januari 2012 jatuh pada tanggal 3 dan 4, 10 dan 11, 17 dan 18, 24 dan 25, 31 Desember 2011 dan 1 Januari 2012, serta 7 dan 8, 14 dan 15, 21 dan 22, 28 dan 29 Januari 2012. Hari libur nasional diasumsikan jatuh pada tanggal 7 Desember 2011. b. Apabila Rencana Bisnis tahun 2012 disampaikan oleh BUS pada tanggal ... 20 tanggal 14 Desember 2011, maka BUS dinyatakan terlambat menyampaikan laporan Rencana Bisnis selama 9 hari kerja, yaitu sejak tanggal 1 Desember 2011 sampai dengan 14 Desember 2011 mengingat terdapat 5 hari libur (tanggal 3, 4, 7, 10, dan 11 Desember 2011). Dalam hal ini BUS akan dikenakan sanksi kewajiban membayar sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1) PBI sebesar 9 x Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah). c. Apabila Rencana Bisnis tahun 2012 disampaikan oleh BUS pada tanggal 27 Januari 2012, maka BUS dinyatakan tidak menyampaikan karena BUS menyampaikan laporan Rencana Bisnis melewati 30 (tiga puluh) hari kerja setelah batas waktu penyampaian (akhir November 2011), yaitu tanggal 12 Januari 2012. Dalam hal ini BUS akan dikenakan sanksi kewajiban membayar sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (2) PBI sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). 6. Contoh perhitungan jangka waktu keterlambatan dan sanksi kewajiban membayar atas penyampaian laporan Rencana Bisnis pada angka 5 diatas dapat digunakan sebagai acuan dalam menghitung jangka waktu keterlambatan dan sanksi kewajiban membayar atas penyampaian penyesuaian Rencana Bisnis, Laporan Realisasi Rencana Bisnis dan Laporan Pengawasan Rencana Bisnis. V. LAIN-LAIN Lampiran dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini merupakan contoh untuk menyusun Rencana Bisnis Tahun 2011. Untuk penyusunan Rencana Bisnis periode berikutnya, pencantuman tahun hendaknya disesuaikan. Lampiran- lampiran tersebut merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini. VI. PERALIHAN ... 21 VI. PERALIHAN Untuk Laporan Realisasi Rencana Bisnis dan Laporan Pengawasan Rencana Bisnis sebelum berlakunya Surat Edaran ini, tetap mengacu pada Bab III Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 6/44/DPNP tanggal 22 Oktober 2004 perihal rencana Bisnis Bank Umum, sampai dengan berakhirnya masa pelaporan realisasi rencana bisnis dan pelaporan pengawasan rencana bisnis tahun 2010. VII. PENUTUP Ketentuan dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 18 November 2010. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA, HALIM ALAMSYAH DEPUTI GUBERNUR "," SE-BI 12/32/DPbS|SE-BI/2010 Rencana Bisnis Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah 18 November 2010 18 November 2010 '12/21/PBI/2010' 'Romawi IV' " " No. 1/ 3 /DASP Jakarta, 29 Oktober 1999 S U R A T E D A R A N Kepada SEMUA BANK DI INDONESIA Perihal : Penyempurnaan SE No.1/1/UASP tanggal 13 Agustus 1999 perihal Penyelenggaraan Kliring Lokal serta Penyelesaian Akhir Transaksi Pembayaran Antar Bank atas Hasil Kliring Lokal dan Transaksi Pasar Uang Antar Bank di Jakarta. ------------------------------------------------------------------------------- ./. Berdasarkan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 1/1/UASP tanggal 13 Agustus 1999 perihal Penyelenggaraan Kliring Lokal serta Penyelesaian Akhir Transaksi Pembayaran Antar Bank atas Hasil Kliring Lokal dan Transaksi Pasar Uang Antar Bank di Jakarta, antara lain pada Lampiran 1 ditetapkan Jadwal Kliring Lokal, Penyelesaian Akhir dan Transaksi PUAB di Jakarta. Dengan Surat Edaran ini diberitahukan bahwa untuk selanjutnya khusus pada setiap hari Jum'at, Penyerahan Warkat OKJ pada jadwal Kliring Penyerahan Ritel di Jakarta sebagaimana terdapat pada Lampiran 1 dimaksud, yang semula pukul 10.30 - 13.30 WIB diubah menjadi pukul 10.30 - 14.00 WIB. Dengan adanya perubahan jadwal tersebut, maka Jadwal Kliring Lokal Penyelesaian Akhir dan Transaksi PUAB di Jakarta menjadi sebagaimana terlampir. 2 Dengan diberlakukannya ketentuan ini maka Lampiran 1 Surat Edaran Bank Indonesia No. 1/1/UASP tanggal 13 Agustus 1999 dinyatakan tidak berlaku. Ketentuan dalam Surat Edaran ini dinyatakan berlaku sejak tanggal 5 November 1999. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA DESMI DEMAS DIREKTUR AKUNTING DAN SISTEM PEMBAYARAN 3 Lampiran SE No. 1/3/DASP tgl 29 Oktober 1999 Lampiran 1 JADWAL KLIRING LOKAL, PENYELESAIAN AKHIR DAN TRANSAKSI PUAB DI JAKARTA NO. KEGIATAN* 1. KLIRING PENYERAHAN NOMINAL BESAR 1. Penyerahan Warkat secara OKJ 2. Penyediaan Informasi 3. Penyelesaian Akhir ke Akunting 4. Distribusi Warkat dan laporan 2. KLIRING PENYERAHAN RITEL 1. Penyerahan Warkat OKJ** 2. Transmit DKE SKEJ 3. Penyerahan Warkat SKEJ 4. Penyediaan Informasi 5. Penyelesaian Akhir ke Akunting 6. Distribusi warkat & Laporan 3. PENGGUNAAN BGBI/BI-LINE 1. Transaksi PUAB Pagi 2. Penyetoran Pajak (Bank Persepsi)*** 3. Transaksi Antar Kantor 4. Transaksi PUAB Sore 4. KLIRING PENGEMBALIAN NOMINAL BESAR 1. Penyerahan Warkat & disket 2. Penyediaan Informasi 3. Penyelesaian Akhir ke Akunting 4. Distribusi Warkat & laporan 5. KLIRING PENGEMBALIAN UMUM 1. Penyerahan Warkat & disket 2. Penyediaan Informasi 3. Penyelesaian Akhir ke Akunting 4. Distribusi Warkat & laporan * OKJ = Otomasi Kliring Jakarta DKE = Data Keuangan Elektronik T+0 08.30 – 10.30 12.00 – 13.00 12.00 – 13.00 13.15 10.30 - 13.30 10.30 - 15.00 14.00 - 16.00 16.30 16.30 18.00 - 19.00 08.00 - 09.00 08.00 - 12.00 08.00 - 15.00 13.00 - 17.30 14.30 - 16.00 16.30 16.30 18.00 - 19.00 - - - - ** Khusus hari Jum'at jadwal T+0 menjadi pukul 10.30 - 14.00 WIB. *** Setiap hari Selasa dan Jum'at T+1 - - - - - - - - - 06.00 - 08.00 - - - - 08.30 - 10.30 12.00 - 13.00 12.00 - 13.00 13.15 SKEJ = Sistem Kliring Elektronik Jakarta 4 "," SE-BI 1/3/DASP|SE-BI/1999 Penyempurnaan SE No.1/1/UASP tanggal 13 Agustus 1999 perihal Penyelenggaraan Kliring Lokal serta Penyelesaian Akhir Transaksi Pembayaran Antar Bank atas Hasil Kliring Lokal dan Transaksi Pasar Uang Antar Bank di Jakarta. 29 Oktober 1999 5 November 1999 '1/1/UASP|SE-BI/1999 | Lampiran 1' '1/1/UASP|SE-BI/1999' " " No.13/ 9 /DPU Jakarta, 5 April 2011 SURAT EDARAN Kepada SEMUA BANK UMUM DI INDONESIA Perihal : Penyetoran dan Penarikan Uang Rupiah oleh Bank Umum di Bank Indonesia Sehubungan dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/14/PBI/2004 tentang Pengeluaran, Pengedaran, Pencabutan dan Penarikan serta Pemusnahan Uang Rupiah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4388) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/10/PBI/2007 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 113, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4762) dan dalam rangka meningkatkan efektifitas dan efisiensi manajemen kas perbankan serta mengoptimalkan pengolahan uang oleh perbankan sehingga uang yang beredar di masyarakat meningkat kualitasnya, perlu untuk mengatur kembali ketentuan mengenai penyetoran dan penarikan uang rupiah oleh bank umum di Bank Indonesia sebagai berikut: I. KETENTUAN UMUM Dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Uang adalah uang rupiah. 2. Bank … 2 2. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, termasuk kantor cabang bank asing, dan Bank Umum Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 3. Pihak Lain adalah perusahaan yang ditunjuk oleh Bank berdasarkan suatu perjanjian untuk mewakili Bank dalam melakukan kegiatan penyetoran dan/atau penarikan Uang di Bank Indonesia. 4. Penyetoran Uang adalah kegiatan Bank melakukan penyetoran Uang ke Bank Indonesia. 5. Penarikan Uang adalah kegiatan Bank melakukan penarikan Uang yang masih layak edar (ULE) dari Bank Indonesia. 6. Uang Kertas yang selanjutnya disingkat UK adalah Uang dalam bentuk lembaran yang terbuat dari bahan kertas atau bahan lainnya. 7. Uang Logam yang selanjutnya disingkat UL adalah Uang dalam bentuk koin yang terbuat dari aluminium, aluminium bronze, kupronikel atau bahan lainnya. 8. Uang Tidak Layak Edar yang selanjutnya disingkat UTLE adalah Uang lusuh, Uang cacat, Uang rusak, dan Uang yang telah dicabut dan ditarik dari peredaran. 9. Uang Lusuh adalah Uang yang ukuran fisiknya tidak berubah dari ukuran aslinya tetapi kondisi Uang telah berubah yang disebabkan antara lain karena jamur, minyak, bahan kimia, coretan-coretan. 10. Uang Cacat adalah Uang hasil cetak yang spesifikasi teknisnya tidak sesuai dengan yang telah ditetapkan oleh Bank Indonesia. 11. Uang … 3 11. Uang Rusak adalah Uang yang ukuran atau fisiknya telah berubah dari ukuran aslinya yang antara lain karena terbakar, berlubang, hilang sebagian, atau Uang yang ukuran fisiknya tidak berubah dari ukuran aslinya antara lain karena robek, atau Uang yang mengerut. 12. Uang Palsu adalah benda yang bentuknya menyerupai Uang dan tidak memiliki tanda keaslian Uang sebagaimana ditetapkan oleh Bank Indonesia. 13. Posisi Long adalah suatu kondisi dimana Bank mengalami kelebihan likuiditas ULE dalam periode tertentu yang merupakan selisih antara saldo kas Bank yang tersedia untuk setiap pecahan (denominasi) tertentu dikurangi dengan kebutuhan kas Bank. 14. Posisi Short adalah suatu kondisi dimana Bank mengalami kekurangan likuiditas ULE dalam periode tertentu yang merupakan selisih antara saldo kas Bank yang tersedia untuk setiap pecahan (denominasi) tertentu dikurangi dengan kebutuhan kas Bank. 15. Posisi Square adalah suatu kondisi dimana Bank tidak mengalami Posisi Long atau Posisi Short. 16. Posisi Net Long adalah suatu kondisi dimana Posisi Long seluruh Bank lebih besar dibandingkan dengan Posisi Short seluruh Bank untuk pecahan (denominasi) tertentu, pada hari kerja yang sama di wilayah kerja kantor Bank Indonesia setempat. 17. Posisi Net Short adalah suatu kondisi dimana Posisi Short seluruh Bank lebih besar dibandingkan dengan Posisi Long seluruh Bank untuk pecahan (denominasi) tertentu, pada hari kerja yang sama di wilayah kerja kantor Bank Indonesia setempat. 18. Hari Kerja adalah hari kerja sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia. 19. Transaksi … 4 19. Transaksi Uang Kartal Antar Bank yang selanjutnya disingkat TUKAB adalah kegiatan antar Bank yang meliputi permintaan, penawaran dan penukaran ULE dalam rangka memenuhi kebutuhan jumlah nominal dan/atau jenis pecahan Uang. II. PRINSIP UMUM 1. Pelaksanaan Penyetoran Uang dan/atau Penarikan Uang diatur sebagai berikut: a. Penyetoran Uang dan/atau Penarikan Uang dilakukan oleh Bank yang memiliki rekening giro di Bank Indonesia. b. Bank hanya dapat melakukan 1 (satu) kali Penyetoran Uang dan/atau 1 (satu) kali Penarikan Uang di Bank Indonesia dalam 1 (satu) Hari Kerja, dengan pengaturan sebagai berikut: 1) Penyetoran Uang yang masih layak edar dan Penarikan Uang dapat dilakukan terhadap jenis pecahan yang berbeda. Contoh: Bank A melakukan Penyetoran Uang pecahan 10.000 dalam kondisi layak edar dan melakukan Penarikan Uang pecahan 20.000 dalam 1 (satu) Hari Kerja. 2) Penyetoran Uang dalam kondisi tidak layak edar dan Penarikan Uang dapat dilakukan terhadap jenis pecahan yang sama atau berbeda. Contoh: Bank B melakukan Penyetoran Uang pecahan 10.000 dalam kondisi tidak layak edar dan melakukan Penarikan Uang pecahan 10.000 dan/atau pecahan lainnya dalam 1 (satu) Hari Kerja. c. Penyetoran Uang dan/atau Penarikan Uang sebagaimana dimaksud pada huruf a dilakukan di wilayah kerja kantor Bank Indonesia setempat. Contoh … 5 Contoh: 1 (satu) kantor cabang Bank A di Bandung mewakili seluruh kantor cabang Bank A di Bandung melakukan Penyetoran Uang dan/atau Penarikan Uang di kantor Bank Indonesia Bandung. d. Bank melakukan Penyetoran Uang dan/atau Penarikan Uang melalui kantor Bank yang ditunjuk sebagai koordinator Bank dalam Bank yang sama. Contoh: 1 (satu) kantor cabang Bank A mewakili seluruh kantor cabang Bank A di dalam 1 (satu) wilayah kerja kantor Bank Indonesia setempat untuk melakukan Penyetoran Uang dan/atau Penarikan Uang di Bank Indonesia. e. Bank dapat menunjuk Pihak Lain untuk melakukan Penyetoran Uang dan/atau Penarikan Uang di Bank Indonesia, dengan menyampaikan surat pemberitahuan berikut salinan perjanjian kerjasama dengan Pihak Lain dan dokumen terkait lainnya kepada kantor Bank Indonesia setempat. f. Pihak Lain dapat melakukan Penyetoran Uang ke Bank Indonesia dan/atau Penarikan Uang dari Bank Indonesia untuk lebih dari 1 (satu) Bank dengan memperhatikan batas waktu layanan kas di Bank Indonesia yang ditetapkan oleh masing-masing kantor Bank Indonesia. g. Petugas Bank atau Pihak Lain dalam melakukan Penyetoran Uang dan/atau Penarikan Uang di Bank Indonesia harus memperlihatkan tanda pengenal dan surat tugas atau surat penunjukan kepada petugas Bank Indonesia. h. Bank dalam melakukan Penyetoran Uang dan/atau Penarikan Uang di Bank Indonesia menggunakan alat transportasi khusus dengan memenuhi aspek keamanan dan menyediakan jumlah petugas yang memadai. i. Bank … 6 i. Bank Indonesia tidak melayani kegiatan Penyetoran Uang dan/atau Penarikan Uang, apabila Bank melakukan kegiatan tersebut melampaui batas waktu layanan kas di Bank Indonesia yang ditetapkan oleh masing-masing kantor Bank Indonesia. j. Bank selama berada di dalam lingkungan kantor Bank Indonesia tidak diperkenankan untuk melakukan pengumpulan Uang yang akan disetorkan ke Bank Indonesia atau pembagian Uang yang telah ditarik dari Bank Indonesia. k. Bank Indonesia menetapkan standarisasi ULE dan UTLE yang disampaikan kepada Bank sebagai pedoman untuk melakukan penyortiran Uang antara lain untuk disetorkan kepada Bank Indonesia atau untuk melaksanakan TUKAB. 2. Penyetoran Uang diatur sebagai berikut: a. Bank yang memiliki Posisi Long hanya dapat melakukan Penyetoran Uang ke Bank Indonesia setelah terlebih dahulu mengoptimalkan TUKAB dengan Bank yang memiliki Posisi Short, dan kondisi seluruh Bank di wilayah kerja kantor Bank Indonesia setempat mengalami Posisi Net Long. b. Bank dapat melakukan penyetoran ULE dan/atau UTLE dalam 1 (satu) kali kegiatan Penyetoran Uang. c. Uang yang disetorkan oleh Bank kepada Bank Indonesia harus terlebih dahulu dilakukan pemilahan dan penyortiran, berdasarkan standarisasi ULE dan UTLE yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. d. Bank hanya dapat menyetorkan UTLE berupa Uang Lusuh dan/atau Uang yang telah dicabut dan ditarik dari peredaran ke Bank Indonesia. e. Untuk … 7 e. Untuk Uang Rusak dan/atau Uang Cacat dilakukan melalui proses penukaran Uang kepada Bank Indonesia dengan mengacu pada ketentuan penukaran Uang rupiah yang berlaku. f. Untuk UTLE berupa Uang yang telah dicabut dan ditarik dari peredaran dengan jumlah kurang dari 1 (satu) brood dilakukan penukaran di loket penukaran Uang di Bank Indonesia dengan mengacu pada ketentuan yang mengatur mengenai penukaran Uang rupiah yang berlaku. g. Bank dalam melakukan Penyetoran Uang di Bank Indonesia, menyerahkan warkat Penyetoran Uang paling lambat 30 (tiga puluh) menit sebelum berakhirnya batas waktu layanan kas yang ditetapkan oleh masing-masing kantor Bank Indonesia. h. Dalam hal Bank melakukan penyetoran ULE dan UTLE dalam 1 (satu) kali kegiatan Penyetoran Uang sebagaimana dimaksud pada huruf b, maka Bank harus menyerahkan 2 (dua) warkat Penyetoran Uang masing-masing untuk penyetoran ULE dan UTLE. i. Bank dalam melakukan Penyetoran Uang ke Bank Indonesia harus memenuhi jumlah tertentu sebagai berikut: 1) UK dalam kondisi masih layak edar paling sedikit dalam jumlah kelipatan 10 (sepuluh) brood untuk setiap jenis pecahan; 2) UK dalam kondisi tidak layak edar paling sedikit dalam jumlah kelipatan 1 (satu) brood untuk setiap jenis pecahan; 3) UL dalam kondisi masih layak edar dalam jumlah paling sedikit 10 (sepuluh) kantong plastik transparan untuk setiap jenis pecahan; 4) UL … 8 4) UL dalam kondisi tidak layak edar paling sedikit dalam jumlah kelipatan 1 (satu) kantong plastik transparan untuk setiap jenis pecahan. j. Dalam hal Bank yang menyetorkan UTLE sebagaimana dimaksud pada huruf i juga mengalami Posisi Short, maka Bank tersebut dapat pula melakukan Penarikan Uang dalam jenis pecahan yang sama atau berbeda dalam 1 (satu) Hari Kerja. 3. Penarikan Uang diatur sebagai berikut: a. Bank yang memiliki Posisi Short hanya dapat melakukan Penarikan Uang ke Bank Indonesia setelah terlebih dahulu mengoptimalkan TUKAB dengan Bank yang memiliki Posisi Long dan kondisi seluruh Bank di wilayah kerja kantor Bank Indonesia setempat mengalami posisi Net Short. b. Bank Indonesia dapat menetapkan jumlah nominal dari masing- masing jenis pecahan Uang yang dapat ditarik oleh Bank, dengan memperhatikan Posisi Long Bank di dalam wilayah kerja kantor Bank Indonesia setempat dan persediaan jenis pecahan Uang yang ada di Bank Indonesia. c. Bank dalam melakukan Penarikan Uang dari Bank Indonesia harus memenuhi jumlah tertentu sebagai berikut: 1) UK paling sedikit dalam jumlah kelipatan 10 (sepuluh) brood untuk setiap jenis pecahan; 2) UL paling sedikit dalam jumlah 10 (sepuluh) kantong plastik atau dos untuk setiap jenis pecahan. 4. Bank harus melakukan pemilahan, penyortiran dan pengemasan Uang yang akan disetorkan ke Bank Indonesia, dengan tata cara sebagai berikut: a) Pemilahan … 9 a. Pemilahan, penyortiran dan pengemasan UK 1) UK dipilah dan disortir menurut jenis pecahan dan tahun emisi, serta disusun searah; 2) UK yang telah dipilah dan disortir, dalam jumlah 100 (seratus) lembar dengan jenis pecahan dan tahun emisi yang sama diikat menjadi 1 (satu) pak dengan menggunakan ban UK Bank yang bersangkutan yang dibubuhi stempel nama Bank dan/atau Pihak Lain, tanggal pengolahan UK dan paraf petugas Bank dan/atau Pihak Lain; 3) UK yang telah diikat menjadi 1 (satu) pak, selanjutnya diikat menjadi 1 (satu) brood yang terdiri dari 10 (sepuluh) pak dengan jenis pecahan dan tahun emisi yang sama; 4) UK yang telah dipilah dan disortir, dalam jumlah 10 (sepuluh) brood dengan jenis pecahan dan tahun emisi yang sama, dikemas dalam kantong plastik transparan dan diberikan segel serta label yang dibubuhkan stempel nama Bank dan/atau Pihak Lain; 5) Dalam label Bank terdapat informasi nama Bank, tanggal penyetoran UK, kode ULE dan/atau UTLE, jenis pecahan, tahun emisi, jumlah nominal dan tanda tangan petugas Bank dan/atau Pihak Lain. b. Pemilahan, penyortiran dan pengemasan UL 1) UL dipilah dan disortir menurut jenis pecahan dan tahun emisi; 2) UL yang telah dipilah dan disortir, selanjutnya dikemas dalam kantong plastik transparan yang berisi 500 (lima ratus) keping dengan jenis pecahan dan tahun emisi yang sama dan diberikan segel serta label yang dibubuhkan stempel nama Bank dan/atau Pihak Lain; 3) Dalam … 10 3) Dalam label Bank terdapat informasi nama Bank, tanggal penyetoran UL, kode ULE dan/atau UTLE, jenis pecahan, tahun emisi, jumlah nominal dan tanda tangan petugas Bank dan/atau Pihak Lain. III. KEGIATAN PENYETORAN UANG 1. Rencana Penyetoran Uang a. Penyampaian rencana Penyetoran Uang oleh Bank kepada Bank Indonesia, diatur sebagai berikut: 1) wilayah Indonesia Bagian Barat Bank yang berada di wilayah kerja kantor Bank Indonesia tersebut, harus menyampaikan rencana Penyetoran Uang kepada Bank Indonesia paling lama pukul 16.30 WIB pada 1 (satu) Hari Kerja sebelum Penyetoran Uang. 2) sebagian wilayah Indonesia Bagian Barat, wilayah Indonesia Bagian Tengah dan wilayah Indonesia Bagian Timur Bank yang berada di wilayah kerja kantor Bank Indonesia tersebut, harus menyampaikan rencana Penyetoran Uang kepada Bank Indonesia paling lama pukul 16.45 WIB atau WITA atau WIT pada 1 (satu) Hari Kerja sebelum Penyetoran Uang. Tabel waktu dan pembagian wilayah kerja kantor Bank Indonesia adalah sebagaimana tercantum pada Lampiran 1 yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini. b. Penyampaian rencana Penyetoran Uang sebagaimana dimaksud pada huruf a dilakukan melalui faksimili atau sistem informasi yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. c. Dalam … 11 c. Dalam hal faksimili atau sistem informasi mengalami kerusakan maka rencana Penyetoran Uang dapat disampaikan melalui sarana lain yang dapat digunakan. d. Format rencana Penyetoran Uang adalah sebagaimana contoh tercantum pada Lampiran 2 yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini. 2. Kegiatan Penyetoran Uang a. Bank dapat menyetorkan ULE dalam jenis pecahan dan jumlah nominal tertentu ke Bank Indonesia, dengan pengaturan sebagai berikut: 1) Bank yang telah menyetorkan ULE tidak dapat melakukan penarikan ULE dalam jenis pecahan yang sama untuk 3 (tiga) Hari Kerja setelah Bank tersebut melakukan penyetoran ULE. Contoh: Bank A melakukan penyetoran ULE pecahan 100.000 pada tanggal 11 April 2011, maka Bank A tidak dapat melakukan penarikan ULE pecahan 100.000 pada tanggal 12 sampai dengan tanggal 14 April 2011. 2) Dalam hal terdapat Bank yang melakukan penyetoran ULE, maka pada hari yang sama Bank lain yang tidak menyetorkan ULE tidak dapat melakukan Penarikan Uang untuk jenis pecahan yang sama. Contoh: Bank A melakukan penyetoran ULE pecahan 100.000 pada tanggal 11 April 2011, maka Bank lainnya tidak dapat melakukan penarikan ULE pecahan 100.000 pada tanggal 11 April 2011. 3) Pembatasan Penarikan Uang selama 3 (tiga) Hari Kerja sebagaimana dimaksud pada angka 1), hanya berlaku bagi Bank … 12 Bank yang menyetorkan ULE, sehingga bagi Bank yang tidak menyetorkan ULE dapat melakukan Penarikan Uang untuk setiap jenis pecahan. Contoh: Bank A melakukan penyetoran ULE pecahan 100.000 pada tanggal 11 April 2011, maka Bank lainnya dapat melakukan penarikan ULE pecahan 100.000 dan/atau pecahan lain pada tanggal 12 sampai dengan tanggal 14 April 2011. 3. Bank Indonesia menghitung Uang yang disetorkan oleh Bank secara garis besar (per pak dan/atau per brood) untuk UK dan (per kantong plastik) untuk UL di loket setoran Bank Indonesia. 4. Bank Indonesia melakukan kegiatan pengolahan Uang terhadap Uang yang disetorkan oleh Bank antara lain dengan melakukan penghitungan secara rinci dan mendeteksi keaslian Uang. 5. Dalam hal berdasarkan kegiatan penghitungan rinci terhadap Uang setoran Bank ditemukan adanya campuran antara ULE dan UTLE lebih dari 20% (dua puluh persen) dari jumlah Uang yang disetorkan oleh Bank, maka: a. Bank Indonesia akan memberikan pembinaan berupa surat pembinaan tertulis dan dicatat dalam buku administrasi pembinaan (log book). b. Untuk Bank yang telah menerima surat pembinaan tertulis sebagaimana dimaksud pada huruf a sebanyak 3 (tiga) kali pada jenis pecahan Uang tertentu yang disetorkan, setelah diterbitkannya surat pembinaan tertulis yang ketiga Bank Indonesia melakukan uji petik dengan persentase tertentu terhadap jenis pecahan Uang tertentu yang disetorkan oleh Bank di loket setoran Bank Indonesia. Contoh … 13 Contoh: Pada tanggal 11 April 2011, Bank A telah menerima surat pembinaan tertulis sebanyak 3 (tiga) kali terhadap pecahan 100.000, maka sejak tanggal 12 April 2011 Bank Indonesia melakukan uji petik dengan persentase tertentu terhadap setoran Uang pecahan 100.000 yang disetorkan oleh Bank A di loket setoran Bank Indonesia. c. Dalam hal berdasarkan uji petik di loket setoran Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada huruf b, ditemukan adanya campuran antara ULE dan UTLE lebih dari 20% (dua puluh persen) dari jumlah Uang pecahan tertentu yang disetorkan oleh Bank, maka Bank Indonesia melakukan penolakan setoran Uang pecahan tertentu yang disetorkan oleh Bank tersebut. d. Pelaksanaan uji petik terhadap setoran Uang pecahan tertentu sebagaimana dimaksud pada huruf b dan penolakan terhadap setoran Uang Bank sebagaimana dimaksud pada huruf c, berlaku untuk jangka waktu 6 (enam) bulan setelah Bank Indonesia memberikan surat pembinaan tertulis ketiga kepada Bank. Contoh: Pada tanggal 11 April 2011, Bank A telah menerima surat pembinaan tertulis sebanyak 3 (tiga) kali terhadap pecahan 100.000, maka sejak tanggal 12 April 2011 sampai dengan tanggal 11 Oktober 2011, terhadap Uang pecahan 100.000 yang disetorkan oleh Bank A dilakukan uji petik di loket setoran Bank Indonesia. 6. Bank Indonesia melakukan penghitungan ulang secara rinci atas Uang yang disetorkan oleh Bank, yang dapat disaksikan oleh petugas Bank dan/atau Pihak Lain atas permintaan Bank Indonesia atau atas permintaan petugas Bank dan/atau Pihak Lain dengan mengajukan surat permintaan terlebih dahulu dan disetujui oleh Bank Indonesia. 7. Petugas … 14 7. Petugas Bank dan/atau Pihak Lain yang akan menyaksikan penghitungan ulang secara rinci atas Uang setoran sebagaimana dimaksud pada angka 6, harus memenuhi ketentuan tata tertib di area kas yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dan apabila petugas Bank dan/atau Pihak Lain tidak memenuhi ketentuan tata tertib di area kas, maka Bank Indonesia dapat menolak Petugas Bank dan/atau Pihak Lain untuk menyaksikan penghitungan secara rinci atas Uang setoran dimaksud. 8. Bank Indonesia akan memperhitungkan pada rekening giro Bank, apabila dalam penghitungan ulang secara rinci atas Uang yang disetorkan oleh Bank ditemukan adanya selisih, yang antara lain disebabkan karena: a. jumlah lembar atau keping suatu pecahan kurang atau lebih; b. terdapat pecahan (denominasi) lain; c. terdapat uang dicabut dan ditarik dari peredaran yang telah melampaui jangka waktu penggantian; d. terdapat uang rusak yang tidak mendapatkan penggantian; dan/atau e. ditemukan Uang Palsu. IV. KEGIATAN PENARIKAN UANG 1. Rencana Penarikan Uang a. Penyampaian rencana Penarikan Uang oleh Bank kepada Bank Indonesia, diatur sebagai berikut: 1) wilayah Indonesia Bagian Barat Bank yang berada di wilayah kerja kantor Bank Indonesia tersebut, harus menyampaikan rencana Penarikan Uang kepada Bank Indonesia paling lama pukul 16.30 WIB pada 1 (satu) Hari Kerja sebelum Penarikan Uang. 2) sebagian … 15 2) sebagian wilayah Indonesia Bagian Barat, wilayah Indonesia Bagian Tengah dan wilayah Indonesia Bagian Timur Bank yang berada di wilayah kerja kantor Bank Indonesia tersebut, harus menyampaikan rencana Penarikan Uang kepada Bank Indonesia paling lama pukul 16.45 WIB atau WITA atau WIT pada 1 (satu) Hari Kerja sebelum Penarikan Uang. Tabel waktu dan pembagian wilayah kerja kantor Bank Indonesia adalah sebagaimana tercantum pada Lampiran 1. b. Penyampaian rencana Penarikan Uang sebagaimana dimaksud pada huruf a dilakukan melalui faksimili atau sistem informasi yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. c. Dalam hal faksimili atau sistem informasi mengalami kerusakan maka rencana Penarikan Uang dapat disampaikan melalui sarana lain yang dapat digunakan. d. Format rencana Penarikan Uang adalah sebagaimana contoh yang tercantum pada Lampiran 3 yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini. 2. Kegiatan Penarikan Uang Jenis pecahan dan jumlah nominal Uang yang akan ditarik dituangkan oleh Bank dalam rencana Penarikan Uang sebagaimana dimaksud pada angka 1. 3. Bank Indonesia dapat melakukan pembayaran ULE yang diperoleh dari setoran Bank, tanpa melalui proses hitung ulang secara rinci oleh Bank Indonesia kepada Bank yang sama atau Bank yang berbeda dengan kemasan Uang yang masih utuh dan tersegel serta masih terdapat label Bank penyetor. Contoh … 16 Contoh: setoran ULE Bank A di kantor Bank Indonesia Surabaya yang belum dilakukan penghitungan ulang secara rinci, dapat dibayarkan kepada Bank A atau Bank B yang berada di wilayah kerja kantor Bank Indonesia Surabaya atau kantor Bank Indonesia lainnya. 4. Bank Indonesia menyampaikan informasi melalui surat, faksimili, atau surat elektronik kepada Bank yang menyetorkan ULE bahwa setorannya tersebut telah dibayarkan kepada Bank yang berbeda. Contoh: setoran ULE dari Bank A di kantor Bank Indonesia Semarang dibayarkan kepada Bank B, maka kantor Bank Indonesia Semarang menginformasikan kepada Bank A mengenai pembayaran ULE hasil setorannya dimaksud. 5. Bank dapat melakukan verifikasi atas kebenaran jumlah Uang yang ditarik dari Bank Indonesia sebelum Uang tersebut dibawa keluar dari loket bayaran Bank Indonesia. 6. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka 5 dikecualikan untuk ULE hasil setoran dari Bank yang dibayarkan oleh Bank Indonesia kepada Bank yang sama atau Bank yang berbeda tanpa melalui proses hitung ulang secara rinci sebagaimana dimaksud pada angka 3. 7. Bank tidak dapat melakukan klaim atas kekurangan jumlah Uang yang diterima dari Bank Indonesia, setelah Uang tersebut dibawa keluar dari loket bayaran Bank Indonesia. V. TRANSAKSI UANG KARTAL ANTAR BANK (TUKAB) 1. Bank harus melakukan TUKAB sepanjang masih tersedia ULE di Bank lain dengan jenis pecahan yang sama di wilayah kerja kantor Bank Indonesia. 2. Tata cara pelaksanaan TUKAB berpedoman pada kesepakatan tertulis antar Bank (By Laws) TUKAB yang berlaku. 3. Dalam … 17 3. Dalam hal Bank yang menerima pembayaran ULE hasil setoran dari Bank yang berbeda sebagaimana dimaksud pada butir IV.3 menemukan adanya selisih pada waktu dilakukan penghitungan secara rinci, maka penyelesaian adanya selisih tersebut berpedoman pada By Laws TUKAB yang berlaku. VI. PENYAMPAIAN LAPORAN DAN INFORMASI TERKAIT KEGIATAN PENYETORAN DAN PENARIKAN UANG 1. Laporan a. Laporan Proyeksi Cashflow secara bulanan 1) Bank menyampaikan Laporan Proyeksi Cashflow setiap bulan kepada Bank Indonesia mengenai: a) perkiraan jumlah ULE yang masuk dan kebutuhan Bank terhadap ULE; dan b) perkiraan jumlah UTLE yang masuk dan rencana penyetoran UTLE ke Bank Indonesia, yang dirinci dalam periode mingguan, melalui faksimili dan/atau sistem informasi yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. 2) Perkiraan jumlah ULE yang masuk dan kebutuhan Bank terhadap ULE sebagaimana dimaksud pada butir 1).a), tidak termasuk rencana Bank untuk melakukan Penyetoran Uang dan/atau Penarikan Uang ke Bank Indonesia serta rencana Bank untuk melakukan TUKAB. 3) Pelaporan sebagaimana dimaksud pada angka 1), disampaikan kepada Bank Indonesia paling lama pada tanggal 25 setiap bulannya untuk Laporan Proyeksi Cashflow bulan berikutnya. 4) Format … 18 4) Format Laporan Proyeksi Cashflow dan tata cara pengisian laporan sebagaimana dimaksud pada angka 3) adalah sebagaimana contoh yang tercantum pada Lampiran 4 yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini. 5) Dalam hal tanggal 25 sebagaimana dimaksud pada angka 3) jatuh pada hari Sabtu, Minggu, hari libur nasional atau hari libur setempat yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah, maka batas waktu penyampaian laporan dimajukan pada Hari Kerja sebelumnya. b. Laporan Realisasi TUKAB secara mingguan 1) Bank menyampaikan Laporan Realisasi TUKAB setiap minggunya melalui faksimili dan/atau sistem informasi yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. 2) Pelaporan sebagaimana dimaksud pada angka 1), disampaikan kepada Bank Indonesia paling lama hari Selasa pada minggu berikutnya. 3) Dalam hal hari Selasa minggu berikutnya sebagaimana dimaksud pada angka 2) merupakan hari libur nasional atau hari libur setempat yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah, maka batas waktu penyampaian laporan menjadi Hari Kerja berikutnya. 4) Format Laporan Realisasi TUKAB dan tata cara pengisian laporan adalah sebagaimana contoh yang tercantum pada Lampiran 5 yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini. c. Dalam … 19 c. Dalam hal sarana faksimili atau sistem informasi yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dalam penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b mengalami kerusakan, maka penyampaian laporan dimaksud dapat disampaikan melalui sarana tertulis lain. 2. Informasi Posisi Long, Posisi Short dan/atau Posisi Square a. Bank harus menyampaikan informasi Posisi Long, Posisi Short dan/atau Posisi Square kepada Bank Indonesia dalam jumlah nominal untuk masing-masing pecahan pada setiap Hari Kerja secara benar, lengkap dan sesuai dengan batas waktu yang ditetapkan melalui sistem informasi yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. b. Dalam hal sistem informasi dalam penyampaian informasi Posisi Long, Posisi Short dan/atau Posisi Square sebagaimana dimaksud pada huruf a mengalami kerusakan maka penyampaian informasi dapat disampaikan melalui faksimili atau sarana tertulis lain. c. Waktu penyampaian informasi Posisi Long, Posisi Short dan/atau Posisi Square sebagaimana dimaksud pada huruf a, diatur sebagai berikut: 1) Tahap I a) wilayah Indonesia Bagian Barat Mulai pukul 07.10 WIB sampai dengan paling lama pukul 09.00 WIB. b) sebagian wilayah Indonesia Bagian Barat, wilayah Indonesia Bagian Tengah dan wilayah Indonesia Bagian Timur Mulai … 20 Mulai pukul 07.40 WIB atau WITA atau WIT sampai dengan paling lama pukul 09.30 WIB atau WITA atau WIT. 2) Tahap II a) wilayah Indonesia Bagian Barat Mulai pukul 09.00 WIB sampai dengan paling lama pukul 16.00 WIB, sepanjang Bank mengalami perubahan Posisi Long, Posisi Short dan/atau Posisi Square pada tahap I. b) sebagian wilayah Indonesia Bagian Barat, wilayah Indonesia Bagian Tengah dan wilayah Indonesia Bagian Timur Mulai pukul 09.30 WIB atau WITA atau WIT sampai dengan paling lama pukul 16.15 WIB atau WITA atau WIT, sepanjang Bank mengalami perubahan Posisi Long, Posisi Short dan/atau Posisi Square pada tahap I. Tabel waktu penyampaian informasi Posisi Long, Posisi Short dan/atau Posisi Square, dan pembagian wilayah kerja kantor Bank Indonesia adalah sebagaimana tercantum pada Lampiran 1. d. Bank yang tidak menyampaikan informasi Posisi Long, Posisi Short dan/atau Posisi Square pada tahap I sebagaimana dimaksud pada butir c.1) tidak dapat melakukan Penyetoran Uang dan/atau Penarikan Uang di Bank Indonesia pada Hari Kerja berikutnya. e. Bank Indonesia melakukan klarifikasi data sepanjang diperlukan dan melakukan rekapitulasi atas Posisi Long, Posisi Short dan/atau Posisi Square dalam jumlah nominal untuk masing-masing pecahan yang diterima dari Bank dan menyampaikan hasil rekapitulasinya kepada Bank melalui sistem informasi yang ditetapkan oleh Bank Indonesia pada: 1) Tahap … 21 1) Tahap I a) wilayah Indonesia Bagian Barat Hasil rekapitulasi informasi Posisi Long, Posisi Short dan/atau Posisi Square disampaikan paling lama pada pukul 09.30 WIB. b) sebagian wilayah Indonesia Bagian Barat, wilayah Indonesia Bagian Tengah dan wilayah Indonesia Bagian Timur Hasil rekapitulasi informasi Posisi Long, Posisi Short dan/atau Posisi Square disampaikan paling lama pada pukul 10.00 WIB atau WITA atau WIT. 2) Tahap II a) wilayah Indonesia Bagian Barat Hasil rekapitulasi informasi Posisi Long, Posisi Short dan/atau Posisi Square (baik Bank yang menyampaikan informasi Posisi Long, Posisi Short dan/atau Posisi Square pada tahap I maupun Bank yang menyampaikan informasi pada tahap II) disampaikan paling lama pada pukul 16.15 WIB. b) sebagian wilayah Indonesia Bagian Barat, wilayah Indonesia Bagian Tengah dan wilayah Indonesia Bagian Timur Hasil rekapitulasi informasi Posisi Long, Posisi Short dan/atau Posisi Square (baik Bank yang menyampaikan informasi Posisi Long, Posisi Short dan/atau Posisi Square pada tahap I maupun Bank yang menyampaikan informasi pada tahap II) disampaikan paling lama pada pukul 16.30 WIB atau WITA atau WIT. Tabel … 22 Tabel waktu penyampaian informasi Posisi Long, Posisi Short dan/atau Posisi Square, dan pembagian wilayah kerja kantor Bank Indonesia adalah sebagaimana tercantum pada Lampiran 1. f. Hasil rekapitulasi informasi Posisi Long dan Posisi Short pada tahap I sebagaimana dimaksud pada butir e.1), menunjukkan kondisi likuiditas ULE dari Bank di wilayah kerja kantor Bank Indonesia, baik itu Posisi Net Long atau Posisi Net Short. g. Berdasarkan hasil rekapitulasi informasi Posisi Long dan Posisi Short pada tahap II sebagaimana dimaksud pada butir e.2), Bank menyampaikan rencana Penyetoran Uang dan/atau rencana Penarikan Uang melalui faksimili atau sistem informasi yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, dengan pengaturan waktu sebagaimana dimaksud dalam butir III.1.a dan butir IV.1.a. h. Berdasarkan faksimili yang disampaikan oleh Bank sebagaimana dimaksud pada huruf g, Bank Indonesia menyampaikan hasil rekapitulasi rencana Penyetoran Uang dan/atau rencana Penarikan Uang, dengan pengaturan sebagai berikut: 1) wilayah Indonesia Bagian Barat Penyampaian rekapitulasi rencana Penyetoran Uang dan/atau rencana Penarikan Uang dimulai sejak pukul 16.45 WIB. 2) sebagian wilayah Indonesia Bagian Barat, wilayah Indonesia Bagian Tengah dan wilayah Indonesia Bagian Timur Penyampaian rekapitulasi rencana Penyetoran Uang dan/atau rencana Penarikan Uang dimulai sejak pukul 17.00 WIB atau WITA atau WIT. Tabel … 23 Tabel waktu penyampaian rekapitulasi rencana Penyetoran Uang dan/atau rencana Penarikan Uang, dan pembagian wilayah kerja kantor Bank Indonesia adalah sebagaimana tercantum pada Lampiran 1. i. Hasil rekapitulasi sebagaimana dimaksud pada huruf h menunjukkan kondisi likuiditas ULE dari Bank di wilayah kerja kantor Bank Indonesia setempat, baik itu Posisi Net Long maupun Posisi Net Short yang menjadi dasar bagi Bank untuk melakukan Penyetoran Uang dan/atau Penarikan Uang. 3. Dalam hal Bank melakukan perubahan rencana Penyetoran Uang dan/atau Penarikan Uang, diatur sebagai berikut: a. Bank yang telah menyampaikan rencana Penyetoran Uang dan/atau rencana Penarikan Uang dapat menyampaikan perubahan rencana Penyetoran Uang dan/atau rencana Penarikan Uang melalui faksimili dan/atau sistem informasi yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. b. Bank hanya dapat melakukan perubahan rencana penyetoran UTLE paling banyak sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah nominal rencana penyetoran UTLE untuk masing-masing jenis pecahan sebelumnya sebagaimana dimaksud pada butir 2.g. c. Bank hanya dapat melakukan perubahan rencana penyetoran ULE paling banyak sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah nominal rencana penyetoran ULE untuk masing-masing jenis pecahan sebelumnya sebagaimana dimaksud pada butir 2.g, setelah terlebih dahulu mengoptimalkan TUKAB. d. Dalam hal perubahan rencana Penyetoran Uang dan/atau rencana Penarikan Uang sebagaimana dimaksud pada huruf a berdampak pada … 24 pada terjadinya Penarikan Uang ke Bank Indonesia maupun terdapat perubahan jumlah Penarikan Uang ke Bank Indonesia, maka Bank harus menyampaikan permohonan melalui faksimili dengan menyampaikan alasan yang dapat dipertanggungjawabkan kepada Bank Indonesia. e. Perubahan rencana Penarikan Uang sebagaimana dimaksud pada huruf d ditetapkan paling banyak sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah nominal rencana Penarikan Uang untuk masing-masing jenis pecahan sebelumnya sebagaimana dimaksud pada butir 2.g, dan dilakukan setelah Bank terlebih dahulu mengoptimalkan TUKAB. f. Penyampaian perubahan rencana Penyetoran Uang dan/atau Penarikan Uang kepada Bank Indonesia, diatur sebagai berikut: 1) wilayah Indonesia Bagian Barat Perubahan rencana Penyetoran Uang dan/atau rencana Penarikan Uang disampaikan paling lama pukul 08.00 WIB pada Hari Kerja pelaksanaan Penyetoran Uang dan/atau Penarikan Uang. 2) sebagian wilayah Indonesia Bagian Barat, wilayah Indonesia Bagian Tengah dan wilayah Indonesia Bagian Timur Perubahan rencana Penyetoran Uang dan/atau rencana Penarikan Uang disampaikan paling lama pukul 08.30 WIB atau WITA atau WIT pada Hari Kerja pelaksanaan Penyetoran Uang dan/atau Penarikan Uang. Tabel waktu penyampaian perubahan rencana Penyetoran Uang dan/atau rencana Penarikan Uang, dan pembagian wilayah kerja kantor Bank Indonesia adalah sebagaimana tercantum pada Lampiran 1. g. Ketentuan … 25 g. Ketentuan perubahan rencana Penyetoran Uang dan/atau rencana Penarikan Uang sebagaimana dimaksud pada huruf a sampai dengan huruf f tidak berlaku untuk Bank yang mengalami kondisi tertentu dan/atau keadaan memaksa. VII. PEMANTAUAN DAN PEMBINAAN ATAS KEGIATAN OPERASIONAL KAS BANK 1. Bank Indonesia melakukan pemantauan dan pembinaan terhadap Bank yang melakukan Penyetoran Uang dan/atau Penarikan Uang kepada Bank Indonesia. 2. Pemantauan sebagaimana dimaksud pada angka 1 dilakukan atas kegiatan operasional kas Bank dan/atau Pihak Lain yang ditunjuk oleh Bank meliputi antara lain kegiatan pengolahan Uang dan sarana operasional kas yang digunakan oleh Bank dan/atau Pihak Lain. 3. Bank Indonesia melakukan pembinaan dengan pengaturan sebagai berikut: a. Bank Indonesia memberikan pembinaan tertulis antara lain apabila: 1) Bank menyampaikan informasi tertulis secara tidak benar mengenai terjadinya kondisi tertentu atau keadaan memaksa; 2) Bank melakukan pengumpulan Uang yang akan disetorkan kepada Bank Indonesia atau pembagian Uang yang telah ditarik dari Bank Indonesia di lingkungan perkantoran Bank Indonesia; 3) Bank tidak menyampaikan atau terlambat menyampaikan Laporan Proyeksi Cashflow dan/atau Laporan Realisasi TUKAB. b. Bank Indonesia melakukan penolakan terhadap Penyetoran Uang atau Penarikan Uang antara lain apabila: 1) Petugas … 26 1) petugas Bank atau Pihak Lain tidak dapat memperlihatkan tanda pengenal dan surat tugas atau surat penunjukan; 2) Bank tidak menyampaikan atau terlambat menyampaikan rencana Penyetoran Uang atau Penarikan Uang dalam batas waktu yang telah ditetapkan; 3) Bank melakukan penyetoran UTLE berupa Uang Cacat dan/atau Uang Rusak; 4) Bank melakukan Penyetoran Uang atau Penarikan Uang tidak sesuai dengan jumlah minimal Uang yang dapat disetor atau ditarik; 5) terdapat selisih jumlah pak pada waktu dilakukan penghitungan secara garis besar di loket setoran Bank Indonesia, dalam hal ini penolakan dilakukan terhadap jenis pecahan dan tahun emisi yang terdapat selisih jumlah pak, dan atas penolakan tersebut dibuatkan Berita Acara Penolakan Setoran Uang; 6) Uang yang disetorkan oleh Bank dalam kondisi tercampur dengan jenis pecahan yang berbeda, dalam hal ini penolakan dilakukan terhadap jenis pecahan dan tahun emisi yang tercampur, dan atas penolakan tersebut dibuatkan Berita Acara Penolakan Setoran Uang; 7) dalam Uang yang disetorkan oleh Bank ditemukan adanya Uang Rusak dan/atau Uang Cacat, dalam hal ini penolakan dilakukan terhadap jenis pecahan dan tahun emisi yang tercampur, dan atas penolakan tersebut dibuatkan Berita Acara Penolakan Setoran Uang; 8) Bank … 27 8) Bank melakukan Penyetoran Uang dengan pecahan yang tidak sesuai dengan rencana Penyetoran Uang, dalam hal ini penolakan dilakukan terhadap Penyetoran Uang untuk pecahan yang berbeda dengan rencana Penyetoran Uang, dan atas penolakan tersebut dibuatkan Berita Acara Penolakan Setoran Uang; 9) Bank melakukan Penarikan Uang dengan pecahan yang tidak sesuai dengan rencana Penarikan Uang, dalam hal ini penolakan dilakukan terhadap Penarikan Uang untuk pecahan yang berbeda dengan rencana Penarikan Uang; 10) Bank melakukan Penarikan Uang dengan jumlah nominal yang melampaui jumlah nominal dalam rencana Penarikan Uang, dalam hal ini penolakan dilakukan terhadap Penarikan Uang untuk kelebihan jumlah nominal dimaksud. c. Bank Indonesia meminta Bank untuk melakukan koreksi terhadap warkat Penyetoran Uang apabila dalam setorannya di loket setoran Bank Indonesia ditemukan Uang Palsu. d. Uang Palsu sebagaimana dimaksud pada huruf c tidak dikembalikan kepada Bank dan diproses lebih lanjut oleh Bank Indonesia sesuai ketentuan mengenai klarifikasi atas Uang yang diragukan keasliannya. VIII. LAIN-LAIN 1. Bagi Bank yang mengalami kondisi tertentu dan/atau keadaan memaksa diatur sebagai berikut: a. Dengan persetujuan Bank Indonesia, Bank yang mengalami kondisi tertentu dan/atau keadaan memaksa dapat melakukan, antara lain: 1) Penyetoran … 28 1) Penyetoran Uang dan/atau Penarikan Uang di luar waktu layanan kas di Bank Indonesia; 2) Penyetoran Uang dan/atau Penarikan Uang di Bank Indonesia lebih dari 1 (satu) kali dalam 1 (satu) Hari Kerja; 3) Penarikan Uang dalam jenis pecahan yang sama dalam jangka waktu 3 (tiga) hari setelah Bank melakukan penyetoran ULE; 4) Penarikan Uang dalam jenis pecahan yang sama pada Hari Kerja dimana Bank melakukan penyetoran ULE. b. Yang dimaksud dengan kondisi tertentu, antara lain adalah dalam rangka pemenuhan Giro Wajib Minimum, Penarikan Uang secara besar-besaran oleh nasabah (rush), penyetoran dana tunai terkait prefund. c. Yang dimaksud dengan keadaan memaksa (force majeure) adalah keadaan yang secara nyata menyebabkan proses Penyetoran Uang dan Penarikan Uang oleh Bank ke Bank Indonesia tidak dapat berjalan normal dan di luar kemampuan Bank dan/atau Bank Indonesia untuk mengatasinya yang antara lain disebabkan oleh bencana alam, huru-hara, pemberontakan, perang, atau dikeluarkannya Peraturan Pemerintah mengenai keadaan bahaya, serta perubahan kebijakan Pemerintah. 2. Permohonan untuk melakukan Penyetoran Uang dan/atau Penarikan Uang karena kondisi tertentu dan/atau keadaan memaksa sebagaimana dimaksud pada angka 1, harus disampaikan oleh Bank secara tertulis kepada Bank Indonesia. 3. Dalam hal Bank Indonesia mengalami keadaan memaksa maka Bank dapat melakukan Penyetoran Uang ke Bank Indonesia dan/atau melakukan Penarikan Uang dari Bank Indonesia dengan mekanisme yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. IX. PENUTUP … 29 IX. PENUTUP Ketentuan dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 18 April 2011. Dengan berlakunya Surat Edaran ini maka Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 9/37/DPU tanggal 27 Desember 2007 tentang Penyetoran dan Penarikan Uang Rupiah oleh Bank Umum di Bank Indonesia dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA, MOKHAMMAD DAKHLAN DIREKTUR PENGEDARAN UANG "," SE-BI 13/9/DPU|SE-BI/2011 Penyetoran dan Penarikan Uang Rupiah oleh Bank Umum di Bank Indonesia 5 April 2011 18 April 2011 '9/37/DPU|SE-BI/2007' '9/10/PBI/2007', '6/14/PBI/2004' " " No.5/ 7 /DPM Jakarta, 21 Maret 2003 SURAT EDARAN Kepada SEMUA BANK UMUM DAN LEMBAGA KUSTODIAN DI INDONESIA Perihal : Persyaratan dan Tata Cara Penunjukan Sub-Registry Untuk Penatausahaan Surat Utang Negara Sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/4/PBI/2003 tanggal 21 Maret 2003 tentang Penerbitan, Penjualan dan Pembelian serta Penatausahaan Surat Utang Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4278), Bank Indonesia melaksanakan kegiatan penatausahaan Surat Utang Negara. Kegiatan penatausahaan Surat Utang Negara tersebut termasuk pencatatan kepemilikan Surat Utang Negara yang dilakukan secara two tier system, yang terdiri dari Central Registry yang diselenggarakan Bank Indonesia dan Sub- Registry yang ditunjuk Bank Indonesia. Central Registry melakukan pencatatan kepemilikan Surat Utang Negara atas nama Bank, Sub-Registry dan pihak lain yang disetujui Bank Indonesia untuk memiliki rekening surat berharga di Central Registry, sedangkan Sub-Registry melakukan pencatatan kepemilikan Utang Negara atas nama nasabah. Surat Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia tersebut di atas, Bank Indonesia berwenang menunjuk pihak lain dalam hal ini Sub-Registry, untuk mendukung kegiatan Central Registry dalam pencatatan kepemilikan Surat Utang Negara. Sehubungan… Sehubungan dengan itu, maka perlu ditetapkan persyaratan dan tata cara bagi Bank atau lembaga kustodian untuk dapat ditunjuk menjadi Sub-Registry. I. Persyaratan Sub-Registry 1. Bank dan lembaga kustodian yang berkedudukan di dalam wilayah hukum Indonesia. 2. Bank dan lembaga kustodian yang tidak sedang dalam proses kepailitan di pengadilan. 3. Memiliki izin kegiatan kustodian yang masih Pengawas Pasar Modal yang selanjutnya disebut Bapepam. berlaku dari Badan 4. Telah mempunyai pengalaman sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun dalam kegiatan pencatatan surat berharga, dan atau sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun dalam kegiatan penyimpanan surat berharga sejak memperoleh izin kegiatan kustodian dari Bapepam. 5. Memiliki jaringan usaha pencatatan ke luar negeri dan penyimpanan surat berharga ke luar negeri. atau 6. Memiliki jaringan usaha pencatatan surat berharga secara on line di dalam negeri. 7. Memiliki sistem pencatatan surat berharga tanpa warkat (scripless) secara book entry yang aman, akurat dan terpercaya yang sekurang- kurangnya dapat menatausahakan transaksi outright, repo, dan pengagunan. 8. Pengurus tidak termasuk dalam Daftar Orang Tercela dan atau dalam Daftar Kredit Macet. 9. Memiliki unit kerja terpisah yang khusus menangani kegiatan kustodian dengan manajemen dan staf yang profesional di bidang pencatatan dan atau penyimpanan surat berharga. 10. Bank… 10. Bank sebagai penyelenggara Sub-Registry wajib memenuhi persyaratan Kewajiban Penyediaan Modal Minimum yang selanjutnya disebut KPMM berdasarkan ketentuan Bank Indonesia. 11. Lembaga kustodian sebagai penyelenggara Sub-Registry wajib memiliki modal disetor sekurang-kurangnya Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar Rupiah). 12. Surat berharga yang dicatat dan atau disimpan sekurang-kurangnya telah mencapai nilai nominal rata-rata Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun Rupiah) dalam 6 (enam) bulan terakhir. II. Tata Cara Pengajuan Permohonan Sebagai Sub-Registry 1. Bank atau lembaga kustodian yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam angka I dapat mengajukan permohonan sebagaimana contoh Lampiran 1, kepada : Bank Indonesia - Direktorat Pengelolaan Moneter cq. Tim Pengembangan Penatausahaan Surat Berharga Gedung B Lantai 12 Jl. MH. Thamrin No. 2 Jakarta 10010 2. Surat permohonan sebagaimana dimaksud dalam angka 1 wajib dilengkapi dengan dokumen sebagai berikut : a. fotokopi surat izin melakukan kegiatan kustodian dari Bapepam; b. fotokopi anggaran dasar perusahaan dan perubahannya; c. keterangan mengenai fasilitas jaringan usaha pencatatan dan atau penyimpanan surat berharga secara on line di dalam negeri dan atau ke luar negeri; d. fotokopi bukti hasil pemeriksaan oleh auditor independen mengenai keamanan sistim pencatatan surat berharga secara scripless; e. riwayat… e. riwayat pekerjaan atau keahlian dari anggota Direksi serta tenaga ahli di bidang pencatatan dan atau penyimpanan surat berharga; f. keterangan mengenai posisi KPMM terakhir untuk Bank, atau jumlah modal disetor untuk lembaga kustodian; g. data mengenai jumlah dan nilai nominal transaksi pencatatan dan atau penyimpanan surat berharga dalam 6 (enam) bulan terakhir; dan h. laporan keuangan tahunan terakhir yang telah diaudit oleh akuntan publik. 3. Bank Indonesia melakukan seleksi atas permohonan sebagaimana dimaksud dalam angka 1 dan memberitahukan penolakan atau persetujuan kepada masing-masing pemohon selambat-lambatnya 2 (dua) minggu setelah permohonan diterima secara lengkap. III. Tugas Sub-Registry Dalam penatausahaan Surat Utang Negara, Bank dan lembaga kustodian yang ditunjuk sebagai Sub-Registry wajib melakukan hal-hal sebagai berikut : 1. Mencatat kepemilikan dan perubahan kepemilikan Surat Utang Negara atas nama nasabah secara terpisah dari aset Sub-Registry. 2. Menyampaikan Konfirmasi Pencatatan Surat berharga (KPS) kepada nasabah. 3. Melakukan pembayaran pokok dan bunga (kupon) Surat Utang Negara pada saat jatuh waktu kepada nasabah pemilik Surat Utang Negara sesuai pencatatan pada sistem book entry Sub-Registry. 4. Menjamin kebenaran pencatatan kepemilikan Surat Utang Negara atas nama seluruh nasabah sesuai dengan saldo global Surat Utang Negara di Central Registry. 5. Menyelesaikan masalah perbedaan pencatatan kepemilikan Surat Utang Negara antara Sub-Registry dengan nasabah, dengan memeriksa kembali kebenaran pencatatan yang dilakukan atas nama nasabah yang bersangkutan… bersangkutan dan mengecek saldo global Surat Utang Negara yang tercatat di Central Registry. IV. Kewajiban Pelaporan Sub-Registry 1. Bank atau lembaga kustodian yang ditunjuk sebagai Sub-Registry wajib membuat laporan antara lain sebagai berikut : a. Laporan Bulanan Posisi Kepemilikan Surat Utang Negara atas nama nasabah individual sebagaimana contoh Lampiran 2. b. Laporan Harian dan Rekapitulasi Bulanan kegiatan setelmen transaksi Surat Utang Negara yang memuat perubahan pencatatan Surat Utang Negara nasabah individual di Sub-Registry sebagaimana contoh Lampiran 3. 2. Laporan sebagaimana dimaksud dalam angka 1 wajib disampaikan selambat-lambatnya 1 (satu) hari kerja setelah tanggal pencatatan perubahan kepemilikan untuk Laporan Harian dan selambat-lambatnya 5 (lima) hari kerja setelah berakhirnya bulan yang bersangkutan untuk Laporan Bulanan, yang ditujukan kepada : Bank Indonesia – Direktorat Pengelolaan Moneter cq. Bagian Penyelesaian Transaksi Pasar Uang Gedung B Lantai 11 Jl. MH. Thamrin No. 2 Jakarta 10010 V. Pengawasan 1. Bank Indonesia berwenang melakukan pengawasan terhadap Sub-Registry atas kegiatan yang terkait dengan penatausahaan Surat Utang Negara. 2. Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam angka 1 dapat dilakukan secara langsung dengan melakukan kunjungan ke lokasi usaha Sub-Registry, maupun… maupun tidak langsung melalui laporan yang diterima dan atau laporan lain yang diminta oleh Bank Indonesia. VI. Pencabutan Penunjukan Sebagai Sub-Registry 1. Penunjukan Bank atau lembaga kustodian sebagai Sub-Registry dapat dicabut oleh Bank Indonesia dalam kondisi sebagai berikut : a. Sub-Registry sudah tidak memenuhi dimaksud dalam angka I. persyaratan sebagaimana b. Sub-Registry melakukan pelanggaran terhadap ketentuan pasar modal dan atau ketentuan Bank Indonesia yang berlaku. 2. Dalam hal pencabutan penunjukan sebagai Sub-Registry baik bersifat sementara atau permanen, Bank Indonesia tidak berkewajiban untuk memberikan alasan-alasan pencabutan. Terhadap Sub-Registry yang telah ditunjuk Bank Indonesia sebelum berlakunya Surat Edaran ini, dinyatakan telah memperoleh penunjukan sebagai Sub-Registry sepanjang memenuhi ketentuan dan persyaratan sebagaimana diatur dalam Surat Edaran ini. Dengan diberlakukannya Surat Edaran ini maka Surat Edaran Bank Indonesia No. 2/2/DPM tanggal 21 Januari 2000 perihal Persyaratan dan Tata Cara Penunjukan Sub-Registry untuk Penatausahaan Obligasi Pemerintah dinyatakan tidak berlaku. Ketentuan dalam Surat Edaran ini berlaku sejak 21 Maret 2003. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA Ttd TARMIDEN SITORUS DIREKTUR PENGELOLAAN MONETER Lampiran Surat Edaran No. 5/ 7 /DPM tanggal 21 Maret 2003 Lampiran 1 Kepada : Bank Indonesia – Direktorat Pengelolaan Moneter cq. Tim Pengembangan Penatausahaan Surat Berharga Gedung B Lantai 12 Jl. MH. Thamrin No. 2 Jakarta 10010 Perihal : Permohonan Sebagai Sub-Registry Surat Utang Negara Dengan ini kami mengajukan permohonan untuk dapat dipertimbangkan menjadi Sub-Registry dalam penatausahaan Surat Utang Negara. Sesuai dengan persyaratan sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia No. 5/ /DPM tanggal 21 Maret 2003, bersama ini kami lampirkan pula dokumen pendukung sebagai berikut : a. fotokopi surat izin melakukan kegiatan kustodian dari Bapepam; b. fotokopi anggaran dasar perusahaan dan perubahannya; c. keterangan mengenai fasilitas jaringan usaha pencatatan dan atau penyimpanan surat berharga secara on line di dalam negeri dan atau ke luar negeri; d. fotokopi bukti hasil pemeriksaan oleh auditor independen mengenai keamanan sistim pencatatan surat berharga secara scripless; e. riwayat pekerjaan atau keahlian dari anggota Direksi serta tenaga ahli di bidang pencatatan dan atau penyimpanan surat berharga; f. keterangan mengenai posisi KPMM terakhir atau modal disetor; g. data mengenai jumlah dan nilai nominal transaksi pencatatan dan atau penyimpanan surat berharga dalam 6 (enam) bulan terakhir; dan h. laporan keuangan tahunan terakhir yang telah diaudit oleh akuntan publik. Surat permohonan beserta lampiran tersebut di atas kami buat dengan sebenar- benarnya dan apabila di kemudian hari diketahui terdapat hal-hal yang tidak benar maka kami bersedia menerima risiko dan akibat dari tindakan yang diambil Bank Indonesia. Demikian atas perhatian Saudara kami ucapkan terima kasih. Jakarta,…………….. Nama Perusahaan Tandatangan pejabat berwenang Lampiran Surat Edaran No. 5/ 7 /DPM tanggal 21 Maret 2003 Lampiran 2 LAPORAN BULANAN POSISI KEPEMILIKAN SURAT UTANG NEGARA PER AKHIR BULAN ………… Nama Sub-Registry Nama Investor : Tanggal Posisi Laporan : No. Seri Surat Utang Negara Nilai Nominal (Rp miliar) I A Status Investor Bidang Usaha Investor Keterangan Keterangan : I = Indonesia / penduduk A = Asing / non penduduk Jenis Transaksi : Outright, Repo, Agunan Jakarta,……………………... Nama Sub-Registy dan Tanda tangan pejabat berwenang Lampiran Surat Edaran No. 5/ 7 /DPM tanggal 21 Maret Lampiran 3 LAPORAN HARIAN / REKAPITULASI BULANAN SETELMEN TRANSAKSI SURAT UTANG NEGARA (SUN) Nama Sub-Registry Tanggal (Periode) Laporan : : Setelmen Transaksi Jual/Beli atas nama nasabah No. Seri SUN Jenis Transaksi *) Nama Nasabah Pembeli Penjual Nilai Nominal (Rp miliar) Nilai Transaksi (Rp miliar) Harga **) Status Investor ***) I A Pihak lawan transaksi ****) TOTAL Keterangan : *) Outright, Repo, Agunan, Hibah, Warisan, Pelunasan utang atau kewajiban **) Harga clean price (tidak termasuk accrued interest) ***) I = Indonesia / penduduk A = Asing / non penduduk ****) Tidak diisi dalam hal transaksi terjadi antar nasabah Sub-Registry sendiri (Bank, Sub-Registry lain dan pihak lain lainnya yang memiliki rekening surat berharga di Central Registry Jakarta,……………………….. Nama Sub-Registry Tanda tangan pejabat berwenang "," SE-BI 5/7/DPM|SE-BI/2003 Persyaratan dan Tata Cara Penunjukan Sub-Registry Untuk Penatausahaan Surat Utang Negara 21 Maret 2003 21 Maret 2003 '2/2/DPM|SE-BI/2000' '5/4/PBI/2003' " " No. 9/5/DPM Jakarta, 26 Maret 2007 SURAT EDARAN Kepada SEMUA BANK UMUM DAN PIALANG Perihal : Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 7/1/DPM Tanggal 3 Januari 2005 Perihal Pelaksanaan Transaksi Fine Tune Operation Dalam Rangka Operasi Pasar Terbuka Sehubungan dengan penyempurnaan penilaian underlying asset dalam pelaksanaan transaksi Fine Tune Operation, dipandang perlu untuk mengubah Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 7/1/DPM tanggal 3 Januari 2005 perihal Pelaksanaan Transaksi Fine Tune Operation Dalam Rangka Operasi Pasar Terbuka, sebagai berikut: 1. Ketentuan butir III.B.4.d diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: d. Harga perdagangan SUN yang digunakan dalam perhitungan Harga Repo SUN sebagaimana dimaksud dalam huruf c, dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: 1) Harga atas setiap seri SUN yang direpokan ditetapkan oleh Bank Indonesia. 2) Harga SUN sebagaimana dimaksud pada angka 1) dihitung secara otomatis oleh sarana BI-SSSS berdasarkan harga rata-rata tertimbang transaksi perdagangan SUN sesuai serinya yang terjadi di pasar sekunder atau berdasarkan harga teoritis dalam hal seri SUN tidak memiliki data transaksi perdagangan di pasar sekunder. 2. Semua .... 2 2. Semua penyebutan unit kerja Bagian Operasi Pasar Uang (OPU) dan Bagian Penyelesaian Transaksi Pasar Uang (PTPU) sebagaimana dimaksud dalam aturan pelaksanaan transaksi Fine Tune Operation dalam rangka Operasi Pasar Terbuka yang sudah ada sebelum Surat Edaran ini diberlakukan harus dibaca menjadi Biro Operasi Moneter (BOpM) dan Bagian Penyelesaian Transaksi Pengelolaan Moneter (PTPM). Ketentuan dalam Surat Edaran ini berlaku sejak tanggal 26 Maret 2007. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA EDDY SULAEMAN YUSUF DIREKTUR PENGELOLAAN MONETER "," SE-BI 9/5/DPM|SE-BI/2007 Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 7/1/DPM Tanggal 3 Januari 2005 Perihal Pelaksanaan Transaksi Fine Tune Operation Dalam Rangka Operasi Pasar Terbuka 26 Maret 2007 26 Maret 2007 '7/1/DPM|SE-BI/2005' '7/1/DPM|SE-BI/2005' " " No.8/5/DPM Jakarta, 7 Februari 2006 SURAT EDARAN Kepada SEMUA BANK UMUM DAN PIALANG DI INDONESIA Perihal : Transaksi Reverse Repo Surat Utang Negara Dengan Bank Indonesia Dalam Rangka Operasi Pasar Terbuka Dalam rangka pelaksanaan salah satu kegiatan Operasi Pasar Terbuka melalui kegiatan jual beli surat berharga dalam bentuk Surat Utang Negara secara Reverse Repo sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 4/9/PBI/2002 tanggal 18 November 2002 tentang Operasi Pasar Terbuka (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4243) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/30/PBI/2005 tanggal 13 September 2005 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4533), dipandang perlu untuk menyusun ketentuan transaksi reverse repo Surat Utang Negara dengan Bank Indonesia dalam rangka Operasi Pasar Terbuka dalam suatu Surat Edaran Bank Indonesia sebagai berikut: I. KETENTUAN UMUM Yang dimaksud dalam Surat Edaran ini dengan: 1. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang … 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional. 2. Pialang adalah perusahaan pialang pasar uang rupiah dan valuta asing, dan perusahaan efek yang ditunjuk Menteri Keuangan Republik Indonesia sebagai peserta lelang Surat Utang Negara di pasar perdana. 3. Operasi Pasar Terbuka yang selanjutnya disebut dengan OPT adalah kegiatan transaksi di pasar uang yang dilakukan oleh Bank Indonesia dengan Bank dan pihak lain dalam rangka pengendalian moneter. 4. Surat Utang Negara yang selanjutnya disebut SUN adalah surat berharga yang berupa surat pengakuan utang dalam mata uang Rupiah maupun valuta asing yang dijamin pembayaran bunga dan pokoknya oleh Negara Republik Indonesia sesuai dengan masa berlakunya. 5. Peserta Lelang adalah Bank yang mengajukan penawaran untuk kepentingan sendiri, dan atau Pialang yang mengajukan penawaran untuk kepentingan Bank. 6. Transaksi Pembelian SUN Secara Bersyarat (Reverse Repo) yang selanjutnya disebut RR-SUN adalah transaksi pembelian bersyarat SUN oleh Bank kepada Bank Indonesia dengan kewajiban penjualan kembali sesuai dengan harga dan jangka waktu yang disepakati. 7. Reverse Repo Rate yang selanjutnya disebut RR-Rate adalah tingkat suku bunga yang dibayar Bank Indonesia atas transaksi pembelian SUN oleh Bank secara Reverse Repo. 8. Sistem Bank Indonesia - Real Time Gross Settlement yang selanjutnya disebut dengan Sistem BI-RTGS adalah suatu sistem transfer dana elektronik antar peserta Sistem BI-RTGS dalam mata uang Rupiah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang mengatur mengenai Sistem BI-RTGS. 9. Bank Indonesia - Scripless Securities Settlement System yang selanjutnya disebut dengan BI-SSSS adalah sarana transaksi dengan Bank Indonesia dan penatausahaan … 3 penatausahaan surat berharga secara elektronik sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang mengatur mengenai BI-SSSS. 10. Central Registry adalah Bank Indonesia yang melakukan fungsi penatausahaan surat berharga untuk kepentingan Bank, Sub-Registry dan pihak lain yang disetujui oleh Bank Indonesia. 11. Setelmen Dana adalah perpindahan dana antara Bank Indonesia dengan Bank pemilik rekening giro Rupiah di Bank Indonesia melalui Sistem BI-RTGS. 12. Setelmen Surat Berharga adalah perpindahan Surat Berharga antara Bank Indonesia dengan Bank pemilik rekening Surat Berharga di Central Registry melalui sarana BI-SSSS. II. MEKANISME UMUM TRANSAKSI REVERSE REPO SUN 1. Bank Indonesia melakukan transaksi RR-SUN dalam rangka kontraksi moneter dengan mekanisme lelang. 2. Transaksi RR-SUN sebagaimana dimaksud pada angka 1 dilakukan dengan prinsip penjualan untuk dibeli kembali (sell and buyback) dengan pengaturan sebagai berikut: a. Pada saat RR-SUN ditransaksikan (first leg), Bank Indonesia memindahkan pencatatan kepemilikan SUN yang ditransaksikan ke rekening perdagangan surat berharga milik Bank pemenang lelang (transfer of ownership). b. Pada saat transaksi RR-SUN jatuh waktu (second leg), Bank sebagaimana dimaksud pada huruf a wajib menjual kembali SUN ke Bank Indonesia. c. Dalam hal Bank gagal menjual kembali SUN sebagaimana dimaksud pada huruf b maka SUN yang gagal dijual kembali oleh Bank diperlakukan sebagai transaksi pembelian secara outright (beli putus) oleh Bank. 3. Harga SUN yang ditransaksikan ditetapkan oleh Bank Indonesia dengan mempertimbangkan harga pasar yang wajar. 4. Mekanisme … 4 4. Mekanisme lelang RR-SUN sebagaimana dimaksud pada angka 1 dapat dilakukan melalui: a. Metode lelang harga tetap (fixed rate tender) Bank Indonesia menentukan RR-Rate untuk setiap jangka waktu transaksi; atau, b. Metode lelang harga beragam (variable rate tender) Bank mengajukan penawaran RR-Rate untuk setiap penawaran kuantitas dan jangka waktu transaksi, dengan kelipatan penawaran RR-Rate sebesar 0,0625% (enam ratus dua puluh lima per sepuluh ribu). 5. Jangka waktu transaksi a. Transaksi RR-SUN dapat berjangka waktu 1 (satu) bulan dan 3 (tiga) bulan, yang dinyatakan dalam jumlah hari kalender dan dihitung dari tanggal penyelesaian transaksi sampai dengan tanggal jatuh waktu. b. Dalam hal tanggal jatuh waktu transaksi bertepatan dengan hari libur maka tanggal jatuh waktu transaksi sebagaimana dimaksud pada huruf a ditetapkan pada hari kerja berikutnya. 6. Peserta Lelang dapat mengajukan penawaran lelang RR-SUN, kecuali Peserta Lelang yang sedang dikenakan sanksi pemberhentian sementara untuk mengikuti kegiatan OPT, dan atau sanksi diberhentikan sementara (suspend) atau diberhentikan secara permanen (close) sebagai peserta BI-SSSS. 7. Setelmen lelang RR-SUN dilakukan pada 1 (satu) hari kerja setelah tanggal lelang (one day settlement) melalui sarana BI-SSSS yang terhubung langsung dengan Sistem BI-RTGS. III. TATA ... 5 III. TATA CARA TRANSAKSI REVERSE REPO SUN A. Pelaksanaan Lelang 1. Pelaksanaan lelang RR-SUN dilakukan pada setiap bulan. Apabila diperlukan, Bank Indonesia dapat melakukan lelang RR-SUN pada setiap minggu atau setiap dua minggu. 2. Lelang RR-SUN dilaksanakan pada hari Rabu atau pada hari kerja lain yang ditetapkan. 3. Bank Indonesia cq. Direktorat Pengelolaan Moneter (DPM) - Biro Operasi Moneter (BOpM) mengumumkan rencana lelang RR-SUN paling lambat pada 1 (satu) hari kerja sebelum pelaksanaan lelang melalui sarana BI- SSSS dan atau Pusat Informasi Pasar Uang (PIPU) dalam sarana Laporan Harian Bank Umum (LHBU) dan atau sarana lain yang ditetapkan Bank Indonesia. 4. Pengumuman rencana lelang RR-SUN sebagaimana dimaksud pada angka 3 antara lain meliputi: a. Window time lelang; b. Target indikatif dan jangka waktu transaksi; c. Jenis, seri dan harga SUN sebagai underlying asset; d. Metode lelang; e. RR-Rate yang berlaku dalam hal lelang dilakukan dengan metode fixed rate tender; f. Tanggal setelmen. 5. Dalam window time yang ditetapkan, Peserta Lelang mengajukan penawaran RR-SUN ke BOpM melalui sarana BI-SSSS antara lain meliputi penawaran kuantitas, RR-Rate dan seri SUN. 6. Pengajuan penawaran kuantitas dari setiap Bank sebagai Peserta Lelang, baik secara langsung atau melalui Pialang, dengan nominal paling sedikit sebesar … 6 sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar Rupiah) dan selebihnya dengan kelipatan Rp100.000.000,00 (seratus juta Rupiah). B. Penetapan hasil lelang 1. Bank Indonesia mengumumkan hasil lelang RR-SUN segera setelah window time lelang RR-SUN ditutup. 2. Hasil lelang RR-SUN yang dilaksanakan dengan metode fixed rate tender ditetapkan dengan cara: a. Penawaran kuantitas transaksi yang diajukan Peserta Lelang diterima seluruhnya; atau b. Perhitungan secara proporsional dengan pembulatan nominal terkecil sebesar Rp 1.000.000,00 (satu juta Rupiah). Contoh penerapan metode lelang fixed rate tender, penetapan pemenang lelang dan nilai setelmen dapat dilihat pada Lampiran-1. 3. Hasil lelang RR-SUN yang dilaksanakan dengan metode variable rate tender ditetapkan dengan cara: a. Bank Indonesia menetapkan penawaran RR-Rate tertinggi yang dapat diterima. b. Kuantitas transaksi yang dimenangkan Bank dihitung sebagai berikut: 1) dalam hal penawaran RR-Rate yang diajukan Bank lebih rendah dari RR-Rate yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada huruf a maka Bank yang bersangkutan memperoleh seluruh penawaran yang diajukan; 2) dalam hal penawaran RR-Rate yang diajukan Bank sama dengan RR-Rate yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada huruf a maka Bank yang bersangkutan penawaran lelang yang diajukan atau perhitungan secara proporsional. dapat memperoleh seluruh sebagian berdasarkan Contoh … 7 Contoh penerapan metode lelang variable rate tender, penetapan pemenang lelang dan nilai setelmen dapat dilihat pada Lampiran-2. 4. Bank Indonesia dapat menyesuaikan realisasi kuantitas hasil lelang RR- SUN dibandingkan dengan target indikatif atau membatalkan lelang RR- SUN. IV. TATA CARA SETELMEN REVERSE REPO SUN 1. Bank Indonesia cq. Bagian Penyelesaian Transaksi Pengelolaan Moneter (PTPM) melakukan setelmen lelang RR-SUN melalui BI-SSSS yang terhubung dengan Sistem BI-RTGS pada 1 (satu) hari kerja setelah tanggal lelang (one day settlement) dengan mekanisme penyelesaian transaksi per transaksi (gross to gross). 2. Setelmen sebagaimana dimaksud pada angka 1 terdiri dari: a. Setelmen hasil lelang RR-SUN (first leg) mencakup: 1) Setelmen Dana dengan cara mendebet rekening giro Rupiah Bank di Bank Indonesia sebesar hasil perkalian antara kuantitas transaksi yang dimenangkan Bank dengan harga SUN yang ditetapkan Bank Indonesia. 2) Setelmen Surat Berharga dengan cara mengkredit rekening surat berharga milik Bank di Central Registry sebesar nilai nominal SUN yang dimenangkan Bank. 3) Dalam hal SUN yang ditransaksikan memiliki pembayaran kupon dilakukan perhitungan sebagai berikut: a) Nilai Setelmen Dana sebagaimana dimaksud pada angka 1) ditambahkan dengan nilai accrued interest terhitung sejak tanggal pembayaran kupon terakhir sampai dengan tanggal transaksi RR- SUN. b) Pembayaran … 8 b) Pembayaran kupon atas seri SUN yang ditransaksikan diterima oleh Bank pemenang lelang sesuai dengan unit SUN yang dimenangkan Bank. Contoh perhitungan kupon terlampir dalam Tabel 3 pada Lampiran-1. c) Nilai atas kupon sebagaimana dimaksud pada huruf b) mengurangi kewajiban Bank Indonesia dalam rangka pelunasan transaksi RR- SUN jatuh waktu (second leg) sejak tanggal pembayaran kupon. d) Dalam hal Setelmen Dana pada saat first leg dilakukan sebelum tanggal pemberitahuan pembayaran kupon sebagaimana diinformasikan melalui BI-SSSS (laporan ex-date) maka kupon diterima oleh Bank Indonesia dan tidak mengurangi nilai Setelmen Dana dalam rangka pelunasan transaksi RR-SUN jatuh waktu. 4) Bank wajib menyediakan saldo rekening giro dalam Rupiah di Bank Indonesia yang mencukupi untuk Setelmen Dana. 5) Dalam hal Bank tidak memiliki saldo rekening giro dalam Rupiah di Bank Indonesia yang mencukupi sampai dengan waktu cut off warning Sistem BI-RTGS maka sistem secara otomatis membatalkan transaksi dan Bank dikenakan sanksi OPT. b. Setelmen RR-SUN jatuh waktu (second leg) mencakup: 1) Setelmen Dana dengan cara mengkredit rekening giro Rupiah Bank di Bank Indonesia sebesar nilai Setelmen Dana first leg jatuh waktu setelah dikurangi kupon, apabila terdapat pembayaran kupon atas seri SUN yang ditransaksikan, ditambah dengan nilai RR-Rate. 2) Setelmen Surat Berharga dengan cara mendebet rekening surat berharga milik Bank di Central Registry sebesar nilai nominal SUN yang ditransaksikan pada saat first leg. 3) Bank … 9 3) Bank wajib menyediakan seri SUN yang mencukupi dalam saldo rekening surat berharga di Central Registry untuk Setelmen Surat Berharga. 4) Dalam hal Bank tidak memiliki saldo rekening surat berharga yang mencukupi sampai dengan cut-off warning Sistem BI-RTGS maka sistem secara otomatis membatalkan setelmen RR-SUN jatuh waktu dan Bank dikenakan sanksi OPT. 5) Atas kegagalan setelmen RR-SUN jatuh waktu sebagaimana dimaksud pada angka 4), Bank tidak menerima RR-Rate dan seri SUN yang ditransaksikan diberlakukan sebagai transaksi pembelian secara lepas (outright buying) oleh Bank terhitung sejak tanggal RR-SUN jatuh waktu. 6) Dalam rangka transaksi outright sebagaimana dimaksud pada angka 5), Bank Indonesia memperhitungkan harga pasar yang wajar pada tanggal second leg dan accrued interest terhitung sejak tanggal transaksi RR-SUN (first leg) sampai dengan tanggal RR-SUN jatuh waktu (second leg) apabila SUN dimaksud memiliki kupon. 7) Hasil perhitungan sebagaimana dimaksud pada angka 6) dibebankan pada rekening giro Rupiah milik Bank di Bank Indonesia. V. TATA CARA PENGENAAN SANKSI 1. Dalam hal terdapat ketidakcukupan dana sebagaimana dimaksud pada butir IV.2.a.5) atau ketidakcukupan seri SUN sebagaimana dimaksud pada butir IV.2.b.4), Bank dikenakan sanksi OPT berupa: a. Teguran tertulis dengan tembusan kepada: 1) Direktorat Pengawasan Bank yang terkait, dalam hal sanksi diberikan kepada Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia (KPBI); atau 2) Tim … 10 2) Tim Pengawas Bank - Kantor Bank Indonesia (KBI) setempat, dalam hal sanksi diberikan kepada Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja KBI, dan b. Kewajiban membayar sebesar 10/00 (satu per seribu) dari nominal transaksi yang dibatalkan atau paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar Rupiah); dan c. Pemberhentian sementara untuk mengikuti kegiatan OPT selama 5 (lima) hari kerja dalam hal Bank dikenakan sanksi teguran tertulis dan sanksi kewajiban membayar untuk ketiga kalinya dalam jangka waktu 6 (enam) bulan karena pembatalan transaksi kegiatan OPT. 2. Penyampaian surat teguran tertulis sebagaimana dimaksud dalam butir 1.a. dan pemberitahuan sanksi pemberhentian sementara untuk mengikuti kegiatan OPT sebagaimana dimaksud dalam butir 1.c dilakukan pada 1 (satu) hari kerja setelah terjadinya pembatalan transaksi. 3. Sistem BI-SSSS akan menghitung secara otomatis besarnya sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud dalam butir 1.b. dan membebankannya melalui rekening giro Rupiah milik Bank yang bersangkutan di Bank Indonesia melalui Sistem BI-RTGS pada 1 (satu) hari kerja setelah terjadinya pembatalan transaksi. Ketentuan dalam Surat Edaran ini mulai berlaku sejak tanggal 7 Februari 2006.5. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA, BUDI MULYA DIREKTUR PENGELOLAAN MONETER "," SE-BI 8/5/DPM|SE-BI/2006 Transaksi Reverse Repo Surat Utang Negara Dengan Bank Indonesia Dalam Rangka Operasi Pasar Terbuka 7 Februari 2006 7 Februari 2006 '7/30/PBI/2005', '4/9/PBI/2002' 'Romawi V', 'Romawi IV Angka 2 Huruf a Butir 5)', 'Romawi IV Angka 2 Huruf b Butir 4)' " " No. 17/26/DSta Jakarta, 15 Oktober 2015 S U R A T E D A R A N Kepada SEMUA LEMBAGA BUKAN BANK DI INDONESIA Perihal: Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Selain Utang Luar Negeri Sehubungan dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/22/PBI/2014 tentang Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa dan Pelaporan Kegiatan Penerapan Prinsip Kehati-hatian Dalam Pengelolaan Utang Luar Negeri Korporasi Nonbank (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 397, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5654) dan dalam rangka meningkatkan kualitas statistik Lalu Lintas Devisa, perlu diatur ketentuan pelaksanaan mengenai pelaporan kegiatan Lalu Lintas Devisa lembaga bukan bank selain Utang Luar Negeri dalam Surat Edaran Bank Indonesia sebagai berikut: I. UMUM Dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Lalu Lintas Devisa yang selanjutnya disingkat LLD adalah lalu lintas devisa sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai lalu lintas devisa dan sistem nilai tukar. 2. Penduduk adalah penduduk sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai lalu lintas devisa dan sistem nilai tukar. 3. Aset Finansial Luar Negeri yang selanjutnya disingkat AFLN adalah aktiva Penduduk pada bukan Penduduk baik dalam Valuta Asing maupun Rupiah, antara lain dalam bentuk kas Valuta Asing, simpanan ... 2 simpanan, piutang dagang atau usaha, surat berharga, dan penyertaan modal. 4. Kewajiban Finansial Luar Negeri yang selanjutnya disingkat KFLN adalah pasiva Penduduk pada bukan Penduduk baik dalam Valuta Asing maupun Rupiah, antara lain dalam bentuk Utang Luar Negeri dan ekuitas dari bukan Penduduk. 5. Utang Luar Negeri yang selanjutnya disingkat ULN adalah utang Penduduk kepada bukan Penduduk dalam Valuta Asing dan/atau Rupiah, termasuk di dalamnya pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah. 6. Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan keuangan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah. 7. Lembaga Bukan Bank yang selanjutnya disingkat LBB adalah lembaga selain bank yang berstatus Penduduk. 8. Nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa LBB yang menjalankan kegiatan usaha sebagai perantara keuangan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. 9. Laporan kegiatan LLD selain ULN yang selanjutnya disebut Laporan adalah laporan atas kegiatan yang menimbulkan perpindahan AFLN dan/atau KFLN selain ULN antara Penduduk dan bukan Penduduk termasuk perpindahan AFLN dan/atau KFLN selain ULN antar Penduduk. 10. Pelapor LLD adalah Penduduk yang melakukan kegiatan LLD, baik untuk kepentingan Pelapor yang bersangkutan maupun pihak lain. 11. Periode Laporan yang selanjutnya disingkat PL adalah periode data tanggal 1 sampai dengan akhir bulan yang bersangkutan yang akan dilaporkan pada bulan berikutnya. 12. Batas Waktu Penyampaian Laporan yang selanjutnya disingkat BWPL adalah tanggal paling lama disampaikannya Laporan. 13. Batas ... 3 13. Batas Waktu Penyampaian Koreksi Laporan yang selanjutnya disingkat BWPKL adalah tanggal paling lama disampaikannya koreksi Laporan. 14. Masa Keterlambatan Penyampaian Laporan yang selanjutnya disingkat MKPL adalah periode waktu Pelapor LLD dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan. 15. Hari adalah hari kerja Bank Indonesia. 16. Jam Kerja adalah jam kerja kantor Bank Indonesia setempat sesuai dengan kedudukan Pelapor LLD. II. PELAPOR LLD A. Pelapor LLD meliputi LBB sebagai berikut: 1. badan usaha milik negara; 2. badan usaha milik daerah yang memiliki ULN; 3. lembaga keuangan bukan Bank; 4. perusahaan publik; 5. perusahaan yang bergerak di sektor pertambangan minyak dan gas; 6. perusahaan yang memiliki kegiatan ekspor dan/atau impor barang; 7. perusahaan yang bergerak di sektor jasa; 8. perusahaan penanaman modal asing; 9. badan usaha milik swasta yang memiliki ULN; 10. badan lainnya yang memiliki ULN; atau 11. Selain LBB sebagaimana dimaksud pada angka 1 sampai dengan angka 10 yang memiliki total aset atau omset penjualan bruto selama 1 (satu) tahun, jumlah yang lebih dahulu dicapai, paling sedikit Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah). B. Total aset atau omset sebagaimana dimaksud pada butir A.11 didasarkan pada laporan keuangan terakhir yang telah diaudit. C. Dalam ... 4 C. Dalam hal laporan keuangan terakhir yang telah diaudit sebagaimana dimaksud pada huruf B belum tersedia maka yang digunakan adalah laporan keuangan terakhir yang belum diaudit. D. Pelapor LLD wajib menyampaikan Laporan berdasarkan laporan keuangan dan pembukuan seperti neraca dan laba rugi serta off balance sheet Pelapor LLD. E. Pelapor LLD sebagaimana dimaksud pada butir A.11 yang mengalami penurunan total aset atau omset penjualan bruto selama 1 (satu) tahun sehingga menjadi kurang dari Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah), tetap wajib menyampaikan Laporan sepanjang masih melakukan kegiatan LLD selain ULN. F. LBB yang tidak melakukan kegiatan LLD selain ULN harus menyampaikan Surat Pernyataan Tidak Melakukan Kegiatan LLD selain ULN bermeterai cukup sebagaimana format pada Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini disertai laporan keuangan LBB. G. LBB sebagaimana dimaksud pada butir A.11 yang memiliki total aset dan total omset penjualan bruto selama 1 (satu) tahun di bawah Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah) menyampaikan Surat Pernyataan Tidak Memenuhi Batasan Aset dan Omset bermeterai cukup sebagaimana format pada Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini disertai laporan keuangan LBB. III. PROFIL ... 5 III. PROFIL PELAPOR LLD, JENIS LAPORAN, KOREKSI LAPORAN, DAN FORMAT PELAPORAN A. PROFIL PELAPOR LLD 1. Pelapor LLD yang baru pertama kali menyampaikan Laporan harus menyampaikan surat permohonan sebagaimana dimaksud dalam Lampiran III dan melengkapi data profil Pelapor LLD sebagaimana dimaksud dalam Lampiran IV, yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini. 2. Profil Pelapor LLD sebagaimana dimaksud pada angka 1 meliputi informasi mengenai identitas Pelapor LLD yang terdiri atas: a. Informasi Umum Pelapor LLD Informasi yang disampaikan mencakup antara lain nama Pelapor LLD, alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), penanggung jawab pelaporan, dan lokasi usaha Pelapor LLD. b. Informasi Keuangan Informasi yang disampaikan mencakup antara lain total ekuitas, aktiva lancar, dan kewajiban lancar. 3. Berdasarkan surat permohonan sebagaimana dimaksud pada angka 1, Bank Indonesia akan memberitahukan kepada Pelapor mengenai sandi, username dan password. B. JENIS LAPORAN 1. Laporan yang wajib disampaikan oleh Pelapor LLD kepada Bank Indonesia terdiri atas: a. Laporan transaksi perdagangan barang, jasa, dan transaksi lainnya antara Penduduk dan bukan Penduduk. Laporan meliputi seluruh transaksi penjualan dan/atau pembelian barang dan/atau jasa dengan bukan Penduduk, perolehan dan/atau pemberian hibah dari/kepada bukan Penduduk, serta transaksi lainnya dengan ... 6 dengan bukan Penduduk, sebagaimana tercatat pada laporan keuangan dan pembukuan Pelapor LLD. b. Laporan posisi dan perubahan AFLN Laporan meliputi posisi dan perubahan yaitu penambahan atau pengurangan dari seluruh aktiva yang merupakan klaim terhadap bukan Penduduk sebagaimana tercatat pada laporan keuangan dan pembukuan Pelapor LLD yang meliputi: 1) rekening giro di bank luar negeri; 2) piutang dagang atau usaha kepada bukan Penduduk; 3) surat berharga yang diterbitkan oleh bukan Penduduk yang tidak disimpan pada kustodian dalam negeri, termasuk surat berharga yang diterbitkan oleh bukan Penduduk yang dimiliki oleh Pelapor LLD yang menyelenggarakan kegiatan usaha sebagai kustodian; 4) penyertaan pada bukan Penduduk, antara lain penyertaan modal, tagihan dividen, dan laba ditahan; 5) tanah dan/atau bangunan di luar negeri; 6) aset lainnya pada bukan Penduduk antara lain kas dalam valuta asing, simpanan lainnya, pinjaman yang diberikan, pembayaran di muka, dan tagihan lainnya; 7) tagihan derivatif pada bukan Penduduk. Termasuk di dalam pelaporan posisi dan perubahan AFLN adalah kegiatan yang mengakibatkan nilai AFLN menjadi negatif. c. Laporan posisi dan perubahan ekuitas dari bukan Penduduk dan kewajiban lain yang terkait. Laporan meliputi posisi dan penambahan atau pengurangan ekuitas dari bukan Penduduk dan kewajiban terkait antara lain modal disetor dari bukan Penduduk ... 7 Penduduk, kewajiban dividen kepada bukan Penduduk, dan laba ditahan dari bukan Penduduk sebagaimana tercatat pada laporan keuangan dan pembukuan Pelapor LLD. d. Laporan posisi dan perubahan kewajiban derivatif luar negeri. Laporan meliputi posisi dan penambahan atau pengurangan kewajiban derivatif kepada bukan Penduduk sebagaimana tercatat pada laporan keuangan dan pembukuan Pelapor LLD. e. Laporan posisi komitmen dan kontinjensi luar negeri. Laporan meliputi posisi yang menjadi tagihan dan/atau kewajiban komitmen dan/atau kontinjensi kepada bukan Penduduk yang tercatat pada off-balance sheet Pelapor LLD antara lain posisi pembelian dan/atau penjualan derivatif yang masih berjalan, garansi yang diterima dan/atau diberikan, dan fasilitas pinjaman kepada bukan Penduduk yang belum ditarik. f. Laporan posisi surat berharga milik Nasabah kustodian. Laporan meliputi posisi surat berharga Penduduk yang dimiliki bukan Penduduk dan/atau surat berharga bukan Penduduk yang dimiliki Penduduk yang tercatat pada Pelapor LLD yang menyelenggarakan kegiatan usaha sebagai kustodian, beserta hasil investasi yang diakui pada PL seperti bunga dan dividen. 2. Jenis Laporan yang disampaikan oleh Pelapor LLD sebagaimana dimaksud pada angka 1 disesuaikan dengan kegiatan LLD selain ULN yang dilakukan oleh Pelapor LLD. C. KOREKSI LAPORAN 1. Dalam hal terdapat kesalahan Laporan yang telah disampaikan oleh Pelapor LLD kepada Bank Indonesia, Pelapor LLD harus menyampaikan koreksi atas kesalahan Laporan yang telah disampaikan kepada Bank Indonesia. 2. Koreksi ... 8 2. Koreksi terhadap Laporan disampaikan secara lengkap untuk setiap jenis Laporan yang dikoreksi. Contoh: Perusahaan pembiayaan telah menyampaikan Laporan penyertaan pada bukan Penduduk sebanyak 4 (empat) baris (record), namun terdapat kesalahan pengisian sandi negara anak perusahaan (investee) pada baris ke-2 Laporan. Berdasarkan hal tersebut, perusahaan pembiayaan wajib menyampaikan kembali Laporan penyertaan pada bukan Penduduk sebanyak 4 (empat) baris (record) dengan sandi negara investee yang telah dikoreksi pada baris ke-2 Laporan. 3. Koreksi Laporan sebagaimana dimaksud pada angka 2 yang terakhir diterima oleh Bank Indonesia merupakan Laporan pengganti atas Laporan yang diterima sebelumnya. D. FORMAT PELAPORAN 1. Format Laporan diatur dalam pedoman pelaporan sebagaimana Lampiran V yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini. 2. Masing-masing Laporan terdiri dari 1 (satu) atau beberapa baris (record) dan masing-masing baris memuat kolom (field) keterangan dan data yang harus dilaporkan seperti sandi transaksi dan sandi mitra transaksi. Contoh: Laporan transaksi perdagangan barang, jasa, dan transaksi lainnya antara Penduduk dan bukan Penduduk memiliki 6 (enam) kolom (field) yaitu kolom tujuan transaksi, negara mitra, hubungan keuangan, jenis valuta, nilai transaksi, dan nomor referensi. Apabila dalam 1 (satu) PL Pelapor LLD melakukan transaksi ekspor sebanyak 3 (tiga) kali maka Pelapor LLD dapat menyampaikan Laporan transaksi perdagangan barang, jasa, dan transaksi lainnya antara Penduduk dan bukan Penduduk dalam 3 (tiga) baris (record). IV. PENYAMPAIAN ... 9 IV. PENYAMPAIAN LAPORAN DAN/ATAU KOREKSI LAPORAN A. TATA CARA PELAPORAN 1. Tata cara pelaporan mengacu pada Petunjuk Teknis Aplikasi Pelaporan sebagaimana terdapat dalam website pelaporan di Bank Indonesia. 2. Pelapor LLD melaporkan seluruh kegiatan LLD selain ULN yang dilakukan selama PL. 3. Apabila dalam suatu PL tertentu Pelapor LLD tidak melakukan kegiatan LLD selain ULN, Pelapor LLD tetap harus menyampaikan laporan dengan baris (record) dikosongkan sesuai tata cara sebagaimana dimaksud dalam Petunjuk Teknis Aplikasi Pelaporan yang terdapat dalam website pelaporan di Bank Indonesia. 4. Apabila Pelapor LLD tidak lagi melakukan kegiatan LLD selain ULN, Pelapor LLD harus menyampaikan Surat Pernyataan Tidak Lagi Melakukan Kegiatan LLD Selain ULN bermeterai cukup sebagaimana format pada Lampiran VI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini disertai laporan keuangan Pelapor LLD. 5. Dalam hal Pelapor LLD sebagaimana dimaksud pada angka 4 melakukan kegiatan LLD selain ULN kembali, Pelapor LLD wajib menyampaikan Laporan sebagaimana dimaksud pada butir III.B. 6. Bagi Pelapor LLD yang memiliki 1 (satu) atau lebih kantor cabang, Laporan yang disampaikan merupakan Laporan gabungan dari kantor pusat dan seluruh kantor cabang di Indonesia. Contoh: Perusahaan perkebunan karet PT X yang berkantor pusat di Medan memiliki 2 (dua) kantor cabang yaitu di Pekanbaru dan Bandar Lampung. PT X menyampaikan 1 (satu) Laporan yang merupakan gabungan dari kegiatan yang mempengaruhi AFLN dan ekuitas dari bukan Penduduk yang dilakukan kantor ... 10 kantor pusat Medan, kantor cabang Pekanbaru, dan kantor cabang Bandar Lampung. 7. Bagi Pelapor LLD yang tergabung dalam 1 (satu) grup perusahaan, Laporan disampaikan oleh Pelapor LLD secara terpisah dari Laporan induk perusahaan. Contoh: Perusahaan pertambangan PT Y merupakan induk perusahaan (holding company) yang memiliki 3 (tiga) anak perusahaan yakni PT A, PT B, dan PT C. Laporan disampaikan secara terpisah oleh induk perusahaan dan masing-masing anak perusahaan. 8. Dalam hal kegiatan LLD yang dilakukan oleh Pelapor LLD adalah untuk kepentingan Nasabah atau pihak lain, Pelapor LLD dapat meminta keterangan dan data kepada Nasabah atau pihak lain tersebut mengenai kegiatan LLD yang dilakukan. 9. Nasabah atau pihak lain sebagaimana dimaksud pada angka 8 wajib memberikan keterangan dan data mengenai kegiatan LLD yang diminta oleh Pelapor LLD. B. MEDIA PENYAMPAIAN LAPORAN 1. Laporan dan/atau koreksi Laporan disampaikan kepada Bank Indonesia secara online dengan menggunakan media internet pada website pelaporan di Bank Indonesia dengan alamat https://www.bi.go.id/lkpbuv2. 2. Dalam hal terdapat perubahan alamat penyampaian Laporan dan/atau koreksi Laporan, Bank Indonesia akan menginformasikan perubahan alamat tersebut melalui surat atau media lainnya. 3. Dalam hal pada hari terakhir penyampaian Laporan dan/atau koreksi Laporan terjadi gangguan teknis di Bank Indonesia yang mengakibatkan Pelapor LLD tidak dapat menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan secara online ... 11 online maka Laporan dan/atau koreksi Laporan dapat disampaikan secara offline kepada Bank Indonesia pada Hari berikutnya dengan menggunakan media antara lain e-mail attachment, compact disk (CD), flash disk, dan/atau media perekaman data elektronik lainnya yang disampaikan pada Jam Kerja. C. PERIODE LAPORAN 1. Laporan sebagaimana dimaksud dalam butir III.B disampaikan secara berkala setiap bulan. 2. Laporan mencakup data kegiatan LLD selain ULN yang dilakukan sejak tanggal 1 sampai dengan akhir bulan dan/atau data posisi Laporan akhir bulan. D. BATAS WAKTU PENYAMPAIAN LAPORAN DAN/ATAU BATAS WAKTU PENYAMPAIAN KOREKSI LAPORAN 1. Batas Waktu Penyampaian Laporan Laporan disampaikan sebagai berikut: a. Laporan wajib disampaikan secara online paling lambat tanggal 15. b. Apabila hari terakhir penyampaian Laporan sebagaimana dimaksud pada huruf a jatuh pada hari Sabtu, Minggu, hari libur, dan/atau cuti bersama yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, BWPL jatuh pada Hari berikutnya. c. Apabila terjadi gangguan teknis di Bank Indonesia pada hari terakhir penyampaian Laporan sebagaimana dimaksud pada huruf a sehingga Pelapor LLD tidak dapat menyampaikan Laporan secara online, Laporan disampaikan pada Hari berikutnya secara: 1) online jika gangguan teknis telah dapat diatasi; atau 2) offline kepada Bank Indonesia selama Jam Kerja jika gangguan teknis belum dapat diatasi. Contoh: ... 12 Contoh: Gangguan teknis di Bank Indonesia terjadi pada hari Rabu tanggal 15 Juni 2016. Laporan wajib disampaikan paling lambat pada hari Kamis tanggal 16 Juni 2016 secara online. Apabila gangguan teknis masih berlangsung pada tanggal 16 Juni 2016, Laporan wajib disampaikan oleh Pelapor LLD pada hari tersebut secara offline dalam Jam Kerja. d. Laporan secara online atau offline dinyatakan diterima oleh Bank Indonesia apabila softcopy seluruh Laporan berhasil di-upload dan lolos verifikasi yang dibuktikan dengan adanya tanda terima dari sistem Bank Indonesia atau bukti tanda terima. e. Dalam hal Pelapor LLD menyampaikan Laporan secara offline menggunakan e-mail, Pelapor LLD dapat melakukan konfirmasi melalui telepon kepada petugas di Bank Indonesia untuk memastikan bahwa e-mail yang berisi softcopy Laporan telah diterima oleh Bank Indonesia. 2. Batas Waktu Penyampaian Koreksi Laporan Koreksi terhadap Laporan disampaikan sebagai berikut: a. Koreksi Laporan secara online harus disampaikan paling lambat tanggal 20. Contoh: Perusahaan Sekuritas melaporkan kepemilikan deposito pada bank di Singapura untuk PL Juni 2016 pada tanggal 6 Juli 2016. Berdasarkan konfirmasi Bank Indonesia, selain memiliki deposito, perusahaan juga memiliki simpanan (pooling account) pada grup perusahaan di Hong Kong yang belum dilaporkan. Sehubungan dengan hal tersebut, pada tanggal 14 Juli 2016 perusahaan menyampaikan koreksi Laporan aset lainnya pada bukan Penduduk. Selanjutnya karena terdapat kesalahan pada pengisian jangka waktu simpanan ... 13 simpanan (pooling account), pada tanggal 18 Juli 2016 perusahaan mengirimkan kembali koreksi Laporan tersebut. b. Apabila hari terakhir penyampaian koreksi Laporan jatuh pada hari Sabtu, Minggu, hari libur, dan/atau cuti bersama yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, BWPKL adalah pada Hari berikutnya. c. Apabila terjadi gangguan teknis di Bank Indonesia pada hari terakhir penyampaian koreksi Laporan sebagaimana dimaksud pada huruf a sehingga Pelapor LLD tidak dapat menyampaikan koreksi Laporan secara online, koreksi Laporan disampaikan pada Hari berikutnya secara: 1) online jika gangguan teknis telah dapat diatasi; atau 2) offline dalam Jam Kerja jika gangguan teknis belum dapat diatasi. Contoh: Gangguan teknis di Bank Indonesia terjadi pada hari Selasa tanggal 20 September 2016. Laporan wajib disampaikan oleh Pelapor LLD di Provinsi Jawa Barat paling lambat pada hari Rabu tanggal 21 September 2016 secara online. Apabila gangguan teknis masih berlangsung pada tanggal 21 September 2016, pelaporan wajib dilakukan oleh Pelapor LLD di Provinsi Jawa Barat pada tanggal tersebut secara offline dalam Jam Kerja. d. Koreksi Laporan secara online atau offline dinyatakan diterima oleh Bank Indonesia apabila softcopy seluruh koreksi Laporan berhasil di-upload dan lolos verifikasi yang dibuktikan dengan adanya tanda terima dari sistem Bank Indonesia atau bukti tanda terima. e. Dalam hal Pelapor LLD menyampaikan koreksi Laporan secara offline menggunakan e-mail, Pelapor LLD dapat melakukan konfirmasi melalui telepon kepada petugas di Bank Indonesia untuk memastikan bahwa e-mail yang berisi ... 14 berisi softcopy koreksi Laporan telah diterima oleh Bank Indonesia. E. MASA KETERLAMBATAN PENYAMPAIAN LAPORAN 1. MKPL adalah masa setelah berakhirnya BWPL sebagaimana dimaksud pada butir D.1 sampai dengan akhir bulan. 2. Apabila batas akhir MKPL jatuh pada hari Sabtu, Minggu, hari libur, dan/atau cuti bersama yang ditetapkan oleh Bank Indonesia maka batas akhir MKPL tidak berubah. Contoh: Batas akhir MKPL untuk Pelapor LLD di Provinsi Lampung untuk Laporan PL Juni 2016 adalah hari Sabtu tanggal 30 Juli 2016. 3. Apabila pada batas akhir MKPL terjadi gangguan teknis di Bank Indonesia maka batas akhir MKPL berubah menjadi pada Hari berikutnya, jika gangguan teknis belum dapat diatasi sampai dengan pukul 17.00 WIB. Contoh: Gangguan teknis di Bank Indonesia terjadi pada hari Rabu tanggal 31 Agustus 2016 sampai dengan pukul 17.00 WIB, maka MKPL untuk Pelapor LLD di Provinsi Sumatera Utara untuk PL Juli 2016 berakhir pada hari Kamis tanggal 1 September 2016. 4. Dalam hal batas akhir MKPL berubah menjadi pada Hari berikutnya sebagaimana dimaksud pada angka 3 maka penyampaian Laporan dilakukan secara offline dalam Jam Kerja. Contoh: Dalam hal terjadi gangguan teknis di Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam contoh angka 3 maka penyampaian Laporan PL Juli 2016 dilakukan secara offline hari Kamis tanggal 1 September 2016 dalam Jam Kerja. F. TIDAK ... 15 F. TIDAK MENYAMPAIKAN LAPORAN 1. Pelapor LLD dinyatakan tidak menyampaikan Laporan apabila sampai dengan batas akhir MKPL sebagaimana dimaksud pada huruf E, Bank Indonesia belum menerima Laporan dari Pelapor LLD. 2. Pelapor LLD sebagaimana dimaksud pada angka 1 tetap harus menyampaikan Laporan secara offline. G. PENELITIAN KEBENARAN LAPORAN 1. Bank Indonesia dapat melakukan penelitian terhadap kebenaran Laporan dan/atau koreksi Laporan Pelapor LLD. 2. Penelitian sebagaimana dimaksud pada angka 1 dapat dilakukan melalui kerja sama dengan pihak lain. 3. Bank Indonesia dapat meminta informasi, bukti pembukuan, catatan, dan/atau dokumen lain yang dilakukan melalui surat permintaan. 4. Pelapor LLD harus menyampaikan informasi, bukti pembukuan, catatan, dan/atau dokumen lain yang diminta oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada angka 3 secara tertulis paling lama 15 (lima belas) Hari sejak tanggal surat permintaan. 5. Dalam hal Pelapor LLD tidak menindaklanjuti surat permintaan dengan penyampaian bukti sesuai jangka waktu sebagaimana dimaksud pada angka 4 maka Laporan yang disampaikan Pelapor LLD kepada Bank Indonesia dinyatakan tidak benar. H. PERUBAHAN ALAMAT PELAPOR LLD 1. Dalam hal Pelapor LLD pindah alamat dari wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia (KPBI) ke wilayah kerja Kantor Perwakilan Bank Indonesia (KPwBI) atau sebaliknya, Pelapor LLD harus terlebih dahulu menyampaikan surat pemberitahuan ke KPBI dengan tembusan kepada KPwBI yang akan dituju atau ke KPwBI dengan tembusan kepada KPBI ... 16 KPBI. 2. Dalam hal Pelapor LLD pindah alamat dari satu wilayah kerja KPwBI ke wilayah kerja KPwBI lainnya, Pelapor LLD harus terlebih dahulu menyampaikan surat pemberitahuan ke KPwBI yang sebelumnya menerima Laporan dari Pelapor LLD dengan tembusan kepada KPBI dan KPwBI yang akan dituju. 3. Dalam hal Pelapor LLD pindah alamat namun tetap dalam wilayah kerja KPBI atau KPwBI yang sama, Pelapor LLD harus terlebih dahulu memberitahukan perubahan alamat tersebut ke KPBI atau KPwBI setempat. V. TATA CARA PENGENAAN SANKSI ADMINISTRATIF A. LAPORAN TIDAK BENAR 1. Pelapor LLD yang menyampaikan Laporan tidak benar dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) untuk setiap baris (record) yang tidak benar dengan denda paling banyak sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). 2. Yang dimaksud dengan setiap baris (record) yang tidak benar sebagaimana dimaksud pada angka 1 adalah jika pada baris (record) yang bersangkutan terdapat satu atau lebih kolom (field) yang diisi secara tidak lengkap dan/atau tidak akurat. Contoh 1: Dalam rangka impor, perusahaan C di Indonesia menggunakan sarana transportasi laut milik Perusahaan Australia dengan biaya senilai AUD100,000.00. Perusahaan C menyampaikan laporan transaksi perdagangan barang, jasa, dan transaksi lainnya antara Penduduk dan bukan Penduduk meliputi sandi jenis transaksi (102501T- Jasa penunjang transportasi laut), sandi negara mitra transaksi (AU), sandi hubungan keuangan (41), jenis valuta (USD), dan nilai transaksi (100000). Sandi ... 17 Mitra Sandi Transaksi Negara (1) (2) Hub. Keu. (3) 102501T AU 41 Jenis Valuta (4) Nilai (5) USD 100000 Ref (6) 1 Berdasarkan contoh tersebut terdapat kesalahan pengisian yaitu: a. sandi jenis transaksi yang diisi 102501T (Jasa penunjang transportasi laut) seharusnya 202201T (Jasa transportasi barang dalam rangka ekspor dan impor menggunakan transportasi laut), b. jenis valuta yang diisi USD seharusnya AUD. Sandi Mitra Jenis Transaksi Negara (1) (2) Hub. Keu. (3) 202201T AU 41 Valuta (4) Nilai (5) AUD 100000 Ref (6) 1 Laporan tersebut dinyatakan tidak benar sebanyak 1 (satu) baris (record) transaksi dan dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar Rp50.000,00 untuk kesalahan tersebut. Contoh 2: Perusahaan Y di Indonesia membayar pembelian barang dari Perusahaan X di India (IN) yang merupakan afiliasi pemegang saham non Special Purpose Vehicle (SPV). Pembayaran dilakukan melalui rekening giro perusahaan Y pada bank di Singapura (SG) sebesar USD200,000.00 ke rekening perusahaan X pada bank di India. Rekening giro perusahaan menggunakan valuta USD dengan posisi awal rekening giro pada bulan tersebut adalah USD2,000,000.00. Disamping itu, perusahaan Y menambah saldo rekening giro di Singapura dari rekeningnya di bank dalam negeri sebesar USD50,000.00. Perusahaan Y menyampaikan Laporan sebagai berikut: a. Laporan ... 18 a. Laporan rekening giro di luar negeri berupa negara domisili (SG), jenis valuta (SGD), posisi awal (2000000), dan posisi akhir (1850000). Sandi Rekening Giro (1) Jenis Negara Valuta Domisili (2) (3) Posisi Awal (4) 21111 SGD SG 2000000 Posisi Akhir (5) 1850000 b. Transaksi Laporan rekening giro di luar negeri, berupa: 1) Sandi transaksi pembelian barang di dalam negeri (209900T), sandi negara mitra transaksi (ID), sandi hubungan keuangan (12), dan nilai transaksi (200000). 2) Sandi transaksi bertambahnya rekening giro atas beban simpanan di bank domestik (125700T), sandi negara mitra transaksi (ID), sandi hubungan keuangan (41), dan nilai transaksi (50000). Mitra Sandi Transaksi (6) Tanggal Transaksi Negara (7) (8) Negara Hub. Keu. (8) 209900T 15062016 IN 12 125700T 15062016 ID 4I Penerima/ Pembayar (9) IN Nilai Debet Kredit (10) (10) 200000 ID 50000 Berdasarkan contoh tersebut terdapat kesalahan pengisian yaitu: a. Jenis valuta pada Laporan rekening giro yang diisi SGD seharusnya USD. Sandi Rekening Giro (1) Jenis Negara Valuta Domisili (2) (3) Posisi Awal (4) Posisi Akhir (5) 21111 USD SG 2000000 1850000 b. Transaksi ... 19 b. Transaksi pembelian barang pada Laporan rekening giro: 1) Sandi transaksi yang diisi 209900T (Pembelian barang di dalam wilayah Indonesia), seharusnya 201200T (Pembelian barang dari luar wilayah Indonesia – impor barang, f.o.b. (free on board)). 2) Negara mitra transaksi yang diisi ID seharusnya IN. 3) Negara Penerima/Pembayar yang diisi ID seharusnya IN. Sandi Transaksi (6) Tanggal (8) Mitra Transaksi Negara (7) Hub. Keu. (8) 201200T 15062016 IN 12 125700T 15062016 ID 4I Negara Penerima/ Pembayar (9) IN Nilai Debet Kredit (10) (10) 200000 ID 50000 Laporan tersebut dinyatakan tidak benar sebanyak 1 (satu) baris (record) transaksi. Perusahaan Y dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar Rp50.000,00 untuk 1 (satu) kesalahan tersebut. Contoh 3: Perusahaan D di Indonesia melakukan ekspor dengan jangka waktu pembayaran 16 (enam belas) bulan kepada perusahaan E yang merupakan perusahaan satu grup di Thailand senilai USD100,000.00. Kegiatan tersebut menyebabkan posisi piutang berjangka waktu 16 bulan kepada buyer tersebut menjadi USD925,000.00 dari posisi sebelumnya USD825,000.00. Perusahaan D menyampaikan Laporan sebagai berikut: a. Posisi piutang dagang atau usaha dengan jangka waktu (2), negara mitra (TH), sektor institusi (9500), hubungan keuangan (31), jenis valuta (USD), dan nilai posisi akhir (900000). Jangka ... 20 Jangka Waktu (1) 2 Negara (2) Sektor Institusi (3) Hub. Keu. (4) Jenis Valuta (5) TH 9500 31 USD No. Peb (6) Posisi Awal (7) Posisi Akhir (8) 825000 900000 b. Transaksi piutang dagang atau usaha kepada bukan Penduduk dengan nilai debit (75000). Sandi Transaksi (9) Ket (10) 140001A - Cara Penerimaan Pembayaran (11) RLN Tanggal Transaksi (12) Nilai Debet Kredit (13) (13) 30062016 75000 Jangka Waktu (1) 1 Berdasarkan contoh tersebut terdapat kesalahan pengisian yaitu: a. Jangka waktu piutang dagang atau usaha kepada bukan Penduduk yang diisi (2) seharusnya (1), serta nilai posisi saldo akhir yang diisi (900000) seharusnya (925000). Jenis Negara (2) Sektor Inst. (3) Hub. Keu. (4) No Valuta (5) TH 9500 31 USD PEB (6) Saldo Awal (7) Saldo Akhir (8) 825000 925000 Sandi b. Nilai debit transaksi piutang dagang atau usaha kepada bukan Penduduk yang diisi (75000) seharusnya (100000). Nilai Cara Transaksi (9) Ket (10) 140001A - Penerimaan Pembayaran (11) RLN Tanggal Transaksi (12) Debet Kredit (13) (13) 30042012 100000 Laporan tersebut dinyatakan tidak benar sebanyak 1 (satu) baris (record) posisi dan dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar Rp50.000,00 untuk kesalahan tersebut. B. TERLAMBAT MENYAMPAIKAN LAPORAN 1. Pelapor LLD yang terlambat menyampaikan Laporan dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) untuk setiap Hari keterlambatan (lima ... 21 dengan denda paling banyak sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah). 2. Jumlah hari keterlambatan dihitung mulai dari Hari setelah berakhirnya BWPL sampai dengan tanggal diterimanya Laporan oleh Bank Indonesia dalam MKPL sebagaimana dimaksud pada butir IV.E. Contoh: PT B menyampaikan Laporan kepemilikan tanah dan bangunan di luar negeri untuk PL Juli 2016 yang diterima Bank Indonesia pada hari Senin tanggal 22 Agustus 2016. Mengingat BWPL jatuh pada tanggal 15 Agustus 2016 dan tanggal 17 Agustus 2016 merupakan hari libur maka PT B dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan selama 4 (empat) Hari dan dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar Rp2.000.000,00. 3. Dalam hal terjadi gangguan teknis di Bank Indonesia dan Pelapor LLD menyampaikan Laporan secara offline, Laporan yang disampaikan pada akhir BWPL setelah Jam Kerja dianggap mengalami keterlambatan selama 1 (satu) Hari. Contoh: Terjadi gangguan teknis di Bank Indonesia pada hari Senin tanggal 15 Agustus 2016 yang belum dapat diatasi sampai dengan hari Selasa tanggal 16 Agustus 2016. PT C di Provinsi Sulawesi Utara menyampaikan laporan transaksi perdagangan barang dan jasa serta transaksi lainnya antara penduduk dengan bukan penduduk untuk PL Juli 2016 secara offline melalui CD yang diterima Bank Indonesia pada tanggal 16 Agustus 2016 pukul 19.00 WITA. Pelapor LLD dinyatakan terlambat menyampaikan laporan selama 1 (satu) Hari karena laporan diterima setelah Jam Kerja sehingga dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar Rp500.000,00. C. TIDAK ... 22 C. TIDAK MENYAMPAIKAN LAPORAN 1. Pelapor LLD yang tidak menyampaikan Laporan sampai dengan berakhirnya MKPL sebagaimana dimaksud pada butir IV.E dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) per PL. Contoh: Laporan rekening giro di bank luar negeri milik Pelapor LLD di Provinsi Kalimantan Selatan untuk PL Agustus 2016 belum diterima Bank Indonesia sampai dengan tanggal 30 September 2016 maka Pelapor LLD dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar Rp10.000.000,00 . 2. Pelapor LLD yang tidak menyampaikan Laporan sebagaimana dimaksud pada angka 1 tetap wajib menyampaikan Laporan LLD yang belum disampaikan. D. PENGENAAN SANKSI ADMINISTRATIF BERUPA DENDA 1. Pengenaan sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada huruf A, huruf B, dan huruf C tidak berlaku bagi Pelapor LLD yang baru pertama kali menyampaikan Laporan (Pelapor LLD baru). Pengenaan sanksi dimaksud mulai diberlakukan bagi Pelapor LLD baru setelah 3 (tiga) kali masa pelaporan sejak penyampaian Laporan yang pertama. Contoh: PT D mulai menyampaikan Laporan transaksi perdagangan barang, jasa, dan transaksi lainnya antara Penduduk dan bukan Penduduk kepada Bank Indonesia untuk PL Juni 2016 yang disampaikan pada bulan Juli 2016. Pengenaan sanksi administratif berupa denda untuk PT D mulai berlaku untuk PL Oktober 2016 yang disampaikan pada bulan November 2016. 2. Pengenaan sanksi administratif berupa denda bagi Pelapor LLD sebagaimana dimaksud pada huruf A, huruf B, dan huruf C didahului dengan surat pemberitahuan sanksi administratif berupa denda. 3. Pelapor ... 23 3. Pelapor LLD diberikan kesempatan untuk menyampaikan keberatan atas pengenaan sanksi administratif berupa denda dalam jangka waktu 15 (lima belas) Hari setelah tanggal surat pemberitahuan sanksi administratif berupa denda. 4. Dalam hal Bank Indonesia menolak keberatan yang disampaikan oleh Pelapor LLD, Bank Indonesia mengeluarkan surat penetapan sanksi administratif berupa denda. 5. Surat penetapan sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada angka 4 antara lain mencantumkan jenis pelanggaran, besarnya denda yang harus dibayar, dan rekening tujuan pembayaran sanksi administratif berupa denda. E. PEMBAYARAN SANKSI ADMINISTRATIF BERUPA DENDA 1. Pembayaran sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada huruf A, huruf B, dan huruf C disetorkan ke rekening Bank Indonesia. 2. Pelapor LLD harus memberikan bukti pembayaran sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada angka 1 kepada Bank Indonesia paling lama akhir bulan berikutnya setelah tanggal penerbitan surat penetapan sanksi administratif berupa denda untuk Laporan tidak benar, Laporan terlambat, dan tidak menyampaikan Laporan. Contoh: Pelapor LLD menerima surat penetapan sanksi administratif berupa denda dari Bank Indonesia pada tanggal 25 Oktober 2016. Untuk itu, Pelapor LLD harus menyetor sanksi administratif berupa denda ketidakbenaran Laporan ke rekening Bank Indonesia dan menyampaikan bukti penyetoran denda tersebut ke Bank Indonesia paling lambat tanggal 30 November 2016. VI. PENYAMPAIAN ... 24 VI. PENYAMPAIAN LAPORAN DALAM KEADAAN MEMAKSA (FORCE MAJEURE) A. Pelapor LLD yang mengalami keadaan memaksa sehingga menyebabkan keterangan dan data tidak tersedia, dikecualikan dari kewajiban menyampaikan Laporan sebagaimana angka III untuk PL dimana keterangan dan data tidak tersedia karena terjadinya keadaan memaksa. B. Pelapor LLD yang mengalami keadaan memaksa sehingga menyebabkan terhambatnya penyampaian keterangan dan data sebagaimana dimaksud dalam butir III.B dikecualikan dari kewajiban menyampaikan Laporan dalam batas waktu sebagaimana dimaksud dalam butir IV.D untuk PL dimana keterangan dan data terhambat penyediaannya karena terjadinya keadaan memaksa. C. Pelapor LLD yang mengalami keadaan memaksa sebagaimana dimaksud pada huruf A dan B harus segera menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Bank Indonesia, dengan disertai penjelasan mengenai keadaan memaksa yang dialami. D. Penjelasan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada huruf C paling kurang memuat: 1. jenis keadaan memaksa dengan melampirkan surat keterangan yang dibenarkan oleh penguasa atau pejabat dari instansi terkait di daerah setempat; 2. dampak terhadap pelaporan; dan 3. perkiraan lamanya keadaan memaksa. E. Pelapor LLD dapat menyampaikan pemberitahuan secara tertulis mengenai keadaan memaksa melalui kantor pusat Pelapor LLD, kantor cabang Pelapor LLD, atau pihak lain yang ditunjuk Pelapor LLD. F. Pemberitahuan secara tertulis mengenai keadaan memaksa yang terjadi selama 1 (satu) PL atau lebih, harus disampaikan untuk setiap PL sampai dengan berakhirnya keadaan memaksa. G. Pelapor ... 25 G. Pelapor LLD sebagaimana dimaksud pada huruf A dan huruf B wajib menyampaikan Laporan setelah Pelapor LLD kembali melakukan kegiatan operasional secara normal. Contoh 1: Pada bulan September 2016 wilayah tempat kedudukan Pelapor LLD mengalami kebakaran yang menyebabkan keterangan dan data tidak tersedia sehingga perusahaan tidak dapat menyusun Laporan untuk PL September 2016. Dalam hal ini, Pelapor LLD dikecualikan dari kewajiban menyampaikan Laporan untuk PL September 2016. Atas kondisi tersebut, Pelapor LLD menyampaikan pemberitahuan secara tertulis mengenai keadaan memaksa kepada kantor Bank Indonesia setempat. Surat pemberitahuan tersebut harus disampaikan setiap bulan selama Pelapor LLD belum dapat menyampaikan Laporan. Contoh 2: Pada tanggal 11 sampai dengan 15 November 2016 terjadi aksi demo seluruh karyawan Pelapor LLD yang mengakibatkan Pelapor LLD terhambat menyampaikan Laporan untuk PL Oktober 2016 sehingga melewati BWPL. Atas kondisi tersebut, Pelapor LLD menyampaikan pemberitahuan secara tertulis mengenai keadaan memaksa kepada kantor Bank Indonesia setempat. Dalam hal ini, Pelapor LLD dikecualikan dari kewajiban menyampaikan Laporan untuk PL Oktober 2016. Pelapor LLD dapat menyampaikan Laporan melewati BWPL dan tidak dikenai sanksi administratif berupa denda. VII. KORESPONDENSI DAN HELPDESK A. Penyampaian Laporan dan/atau koreksi Laporan secara offline, pertanyaan, surat, dan informasi lainnya berkaitan dengan pelaporan diatur sebagai berikut: 1. Bagi Pelapor LLD yang berkedudukan di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, dan Karawang ditujukan kepada: Bank ... 26 Bank Indonesia Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan Grup Pengelolaan dan Pengawasan Laporan 2 Divisi Pengelolaan dan Pengawasan LLD Menara Sjafruddin Prawiranegara, Lantai 16 Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350 2. Bagi Pelapor LLD yang berkedudukan di luar wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, dan Karawang, ditujukan kepada Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat sebagaimana tercantum dalam Lampiran V yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini. B. Helpdesk: Telepon : 021-29817040, 021-29817041, 021-29817469, 021-29817062, 021-29817607, 021-29815354, 021-29815352, 021-29816921, 021-29814678, 021-3501969, 021-29810000 ext 2122, 0-800-1501969 (bebas pulsa) Faksimili Email : 021-2311936 : lldperusahaan@bi.go.id C. Dalam hal terjadi perubahan alamat surat menyurat dan komunikasi, Bank Indonesia akan memberitahukan Pelapor LLD melalui surat dan/atau media lainnya. VIII. PENUTUP Pada saat Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku, Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 15/5/DSM tanggal 7 Maret 2013 perihal Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Selain Utang Luar Negeri dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak PL bulan Mei 2016 yang disampaikan pada bulan Juni 2016. Agar ... 27 Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA, HENDY SULISTIOWATY KEPALA DEPARTEMEN STATISTIK "," SE-BI 17/26/DSta|SE-BI/2015 Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Selain Utang Luar Negeri 15 Oktober 2015 sejak PL bulan Mei 2016 yang disampaikan pada bulan Juni 2016 '15/5/DSM|SE-BI/2013' '16/22/PBI/2014' 'Romawi V' " " Yth. 1. Direksi Perantara Pedagang Efek yang ditunjuk sebagai Gateway dalam rangka pengampunan pajak; 2. Direksi PT Bursa Efek Indonesia; 3. Direksi PT Kliring Penjaminan Efek Indonesia; dan 4. Direksi PT Kustodian Sentral Efek Indonesia, di tempat. SALINAN SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 8 /SEOJK.04/2017 TENTANG TATA CARA PERHITUNGAN MODAL KERJA BERSIH DISESUAIKAN BAGI PERANTARA PEDAGANG EFEK YANG DITUNJUK SEBAGAI GATEWAY YANG MELAKUKAN TRANSAKSI EFEK UNTUK KEPENTINGAN NASABAH DALAM RANGKA PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK Dalam rangka mendukung tugas Perantara Pedagang Efek yang ditunjuk sebagai gateway dalam pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 131, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5899), perlu diatur secara khusus mengenai tata cara perhitungan Modal Kerja Bersih Disesuaikan pada akun Utang Lembaga Kliring Penjaminan dan akun Utang Nasabah Pemilik Rekening yang timbul sebagai akibat transaksi nasabah Perantara Pedagang Efek Gateway, dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan sebagai berikut: I. KETENTUAN UMUM Dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini, yang dimaksud dengan: 1. Modal Kerja Bersih Disesuaikan yang selanjutnya disingkat MKBD adalah jumlah aset lancar Perusahaan Efek dikurangi dengan seluruh -2- liabilitas Perusahaan Efek dan ranking liabilities, ditambah dengan utang sub ordinasi, serta dilakukan penyesuaian lainnya. 2. Perantara Pedagang Efek Gateway yang selanjutnya disebut PPE Gateway adalah Perantara Pedagang Efek yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan Republik Indonesia sebagai gateway untuk penempatan dan pengelolaan dana Wajib Pajak pada instrumen investasi dalam rangka pelaksanaan Pengampunan Pajak. 3. Sistem Pusat Pelaporan MKBD yang selanjutnya disingkat SPP-MKBD adalah sistem yang dikelola oleh PT Kliring Penjaminan Efek Indonesia yang digunakan untuk menyampaikan laporan MKBD oleh Perusahaan Efek sebagaimana dimaksud dalam Surat Keputusan Nomor Kep-22/BL/2012 tanggal 30 Januari 2012 tentang Penunjukan PT Kliring Penjaminan Efek Indonesia sebagai Penerima Laporan Modal Kerja Bersih Disesuaikan. II. TATA CARA PERHITUNGAN MKBD TERKAIT TRANSAKSI NASABAH DALAM RANGKA PELAKSANAAN PENGAMPUNAN PAJAK 1. Perusahaan Efek yang menjalankan kegiatan usaha sebagai Perantara Pedagang Efek yang mengadministrasikan rekening Efek nasabah wajib memiliki MKBD paling sedikit sebesar Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah) atau 6,25% (enam koma dua lima persen) dari total liabilitas tanpa utang sub ordinasi dan utang dalam rangka penawaran umum/penawaran terbatas ditambah ranking liabilities, mana yang lebih tinggi. 2. Ketentuan tata cara perhitungan MKBD berdasarkan Surat Edaran Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor SE-07/BL/2011 tentang Pedoman Penyusunan Formulir-Formulir Modal Kerja Bersih Disesuaikan tetap berlaku bagi PPE Gateway sepanjang tidak diatur lain dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini. 3. Sub Akun Utang Transaksi Bursa dari Akun Utang Lembaga Kliring dan Penjaminan (Baris 129) dan Sub-Sub Akun Transaksi Jual Efek dari Sub Akun Utang Nasabah Pemilik Rekening Efek (Baris 133) sebagaimana dimaksud dalam Formulir V.D.5-2 tentang Laporan Neraca Percobaan Harian – Liabilitas dan Ekuitas yang merupakan lampiran dari Surat Edaran Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor SE-07/BL/2011 tentang Pedoman Penyusunan Formulir-Formulir Modal Kerja Bersih Disesuaikan yang timbul sebagai akibat transaksi nasabah -3- PPE Gateway, tidak diperhitungkan dalam perhitungan 6,25% (enam koma dua lima persen) dari total liabilitas tanpa utang sub ordinasi dan utang dalam rangka penawaran umum/penawaran terbatas ditambah ranking liabilities PPE Gateway pada saat verifikasi atas MKBD PPE Gateway. 4. Ketentuan dalam angka 3 di atas hanya berlaku jika dana dan/atau Efek nasabah PPE Gateway dalam rangka pelaksanaan pengampunan pajak yang digunakan sebagai jaminan penyelesaian transaksi nasabah tersebut disimpan di dalam sub rekening Efek dan/atau rekening dana nasabah yang berada dalam pengendalian PPE Gateway. III. VALIDASI DAN VERIFIKASI PELAPORAN MKBD PPE GATEWAY 1. Dalam hal validasi oleh SPP-MKBD atas laporan MKBD PPE Gateway sebagaimana dimaksud dalam Surat Edaran Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor 02/BL/2012 tentang Penjelasan Tambahan atas SE Nomor 07/BL/2011 dan Validasi Pelaporan Modal Kerja Bersih Disesuaikan menunjukan ketidakcukupan nilai MKBD yang dilaporkan terhadap nilai MKBD yang dipersyaratkan dalam angka II angka 1, PPE Gateway wajib menyampaikan kepada Bursa Efek dan pengelola SPP-MKBD, dokumen dan catatan perhitungan yang menunjukkan besaran nilai kewajiban (liabilitas) serta didukung dengan rincian transaksi atas nilai liabilitas tersebut yang terjadi karena transaksi nasabah PPE Gateway dalam rangka pelaksanaan pengampunan pajak dengan memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam angka II angka 3. 2. Penyampaian dokumen dan catatan perhitungan atas ketidakcukupan nilai MKBD sebagaimana dimaksud dalam angka 1 dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut: a. PPE Gateway melaporkan dokumen dan catatan perhitungan yang menunjukkan besaran nilai kewajiban (liabilitas) nasabah PPE Gateway dalam rangka pelaksanaan pengampunan pajak, yang didukung dengan rincian transaksi yang dilakukan oleh nasabah atas nilai liabilitas tersebut kepada Bursa Efek dan pengelola SPP-MKBD sesuai dengan batas waktu pelaporan MKBD sebagaimana diatur dalam Peraturan Nomor V.D.5, lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor Kep-566/BL/2011 tanggal 31 Oktober 2011 -4- tentang Pemeliharaan dan Pelaporan Modal Kerja Bersih Disesuaikan. b. Pengelola SPP-MKBD wajib melakukan verifikasi atas laporan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan berkoordinasi dengan Bursa Efek terhadap nilai minimum MKBD PPE Gateway yang disebabkan oleh transaksi nasabah PPE Gateway dalam rangka pelaksanaan pengampunan pajak. c. Dalam hal nilai MKBD dari PPE Gateway yang telah dilakukan verifikasi berdasarkan laporan dokumen dan catatan atas total liabilitas yang dilakukan nasabah dalam rangka pelaksanaan pengampunan pajak tersebut masih di bawah nilai minimum MKBD yang dipersyaratkan, maka PPE Gateway dimaksud dilarang melakukan transaksi bursa oleh Bursa Efek sebagaimana diatur dalam ketentuan angka 4 huruf d Peraturan Nomor V.D.5, lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor Kep-566/BL/2011 tanggal 31 Oktober 2011 tentang Pemeliharaan Dan Pelaporan Modal Kerja Bersih Disesuaikan. d. Dalam hal PPE Gateway tidak menyampaikan dokumen dan catatan perhitungan total liabilitas terkait transaksi nasabah dalam rangka pelaksanaan pengampunan pajak sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perhitungan nilai MKBD harian PPE Gateway sesuai dengan validasi SPP-MKBD. IV. PENUTUP Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 20 Februari 2017 KEPALA EKSEKUTIF PENGAWAS PASAR MODAL, Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana ttd NURHAIDA "," SEOJK 8/SEOJK.04/2017 TATA CARA PERHITUNGAN MODAL KERJA BERSIH DISESUAIKAN BAGI PERANTARA PEDAGANG EFEK YANG DITUNJUK SEBAGAI GATEWAY YANG MELAKUKAN TRANSAKSI EFEK UNTUK KEPENTINGAN NASABAH DALAM RANGKA PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK 20 Februari 2017 20 Februari 2017 '11/UU/2016' " " Yth. Direksi Bank Perkreditan Rakyat di tempat. SALINAN SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 39 /SEOJK.03/2017 TENTANG LAPORAN TAHUNAN DAN LAPORAN KEUANGAN PUBLIKASI BANK PERKREDITAN RAKYAT Sehubungan dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 48/POJK.03/2017 tentang Transparansi Kondisi Keuangan Bank Perkreditan Rakyat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 154 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6097) yang selanjutnya disingkat POJK TKK BPR dan dalam rangka meningkatkan pemantauan keadaan usaha Bank Perkreditan Rakyat oleh publik, harmonisasi dengan ketentuan yang berlaku serta sehubungan dengan beralihnya fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan jasa keuangan di sektor perbankan dari Bank Indonesia ke Otoritas Jasa Keuangan, perlu untuk mengatur kembali ketentuan pelaksanaan mengenai Laporan Tahunan dan Laporan Keuangan Publikasi Bank Perkreditan Rakyat dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan sebagai berikut: I. KETENTUAN UMUM 1. Dalam rangka pemantauan keadaan usaha Bank Perkreditan Rakyat (BPR) oleh publik, BPR diwajibkan untuk menyampaikan laporan dan/atau informasi sesuai dengan jenis, waktu, cakupan, dan bentuk yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan. 2. Jenis laporan dan/atau informasi yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada angka 1 adalah Laporan Tahunan dan Laporan Keuangan Publikasi. - 2 - 3. Laporan Tahunan disusun untuk memberikan gambaran lengkap mengenai kinerja BPR dalam kurun waktu 1 (satu) tahun yang antara lain berisi Laporan Keuangan Tahunan dan informasi umum. 4. Laporan Keuangan Publikasi disusun untuk memberikan informasi mengenai laporan keuangan, informasi lainnya, susunan Direksi dan Dewan Komisaris, serta komposisi pemegang saham termasuk pemegang saham pengendali secara triwulanan kepada berbagai pihak yang berkepentingan dengan perkembangan usaha BPR. 5. Mengacu pada POJK TKK BPR, agar Laporan Tahunan dan Laporan Keuangan Publikasi dapat diperbandingkan, penyajian laporan tersebut wajib didasarkan pada standar akuntansi keuangan yang berlaku bagi BPR dan Pedoman Akuntansi bagi BPR (PA BPR). 6. Mengacu pada Pasal 2 ayat (2) POJK TKK BPR, Laporan Tahunan dan Laporan Keuangan Publikasi wajib disusun dalam Bahasa Indonesia. 7. Mengacu pada Pasal 5 ayat (1) POJK TKK BPR, Laporan Keuangan Tahunan bagi BPR dengan total aset paling sedikit Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) wajib diaudit oleh akuntan publik yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan. 8. Angka dalam Laporan Tahunan dan Laporan Keuangan Publikasi disajikan dalam mata uang Rupiah dan dalam ribuan Rupiah. 9. Laporan Tahunan dan Laporan Keuangan Publikasi disampaikan oleh kantor pusat BPR. II. LAPORAN TAHUNAN 1. Laporan Tahunan paling sedikit memuat: a. Informasi Umum, yang meliputi antara lain: 1) susunan kepengurusan yang meliputi anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, serta pejabat eksekutif, dengan informasi mencakup jabatan dan ringkasan riwayat hidup; 2) kepemilikan, berupa nama pemegang saham termasuk pemegang saham pengendali dan nominal serta persentase kepemilikan saham; 3) perkembangan usaha BPR, memuat paling sedikit: a) riwayat ringkas pendirian BPR meliputi paling sedikit: (1) nomor dan tanggal akta pendirian serta perubahan anggaran dasar terakhir, pengesahan dari instansi yang berwenang; - 3 - (2) tanggal mulai beroperasi; (3) bidang usaha sesuai anggaran dasar; dan (4) tempat kedudukan dan lokasi utama kegiatan usaha; b) ikhtisar data keuangan penting, paling sedikit meliputi pendapatan dan beban operasional, pendapatan dan beban non operasional, laba sebelum Pajak Penghasilan (PPh), taksiran PPh dan laba bersih; c) rasio keuangan, disajikan paling sedikit meliputi KAP, KPMM, NPL, PPAP, ROA, BOPO, cash ratio, dan LDR; d) penjelasan mengenai NPL termasuk penyebab utama NPL; dan e) perkembangan usaha yang berpengaruh secara signifikan terhadap BPR pada periode laporan seperti penambahan atau pengurangan kegiatan usaha dan/atau jaringan kantor. 4) strategi dan kebijakan manajemen dalam mengelola dan mengembangkan usaha BPR, termasuk informasi mengenai manajemen risiko yang paling sedikit meliputi identifikasi, pengukuran, pemantauan dan pengendalian risiko; 5) laporan manajemen yang menyajikan informasi mengenai pengelolaan BPR dalam rangka tata kelola yang baik, paling sedikit meliputi: a) struktur organisasi; b) bidang usaha sesuai anggaran dasar dan kegiatan utama pada periode pelaporan; c) teknologi informasi, antara lain sistem operasional, sistem keamanan, dan penyedia jasa teknologi informasi; d) perkembangan dan target pasar; e) jumlah, jenis, dan lokasi kantor; f) kerjasama BPR dengan bank atau lembaga lain dalam rangka pengembangan usaha; g) kepemilikan oleh anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris dan pemegang saham dalam kelompok usaha BPR, dan perubahan kepemilikan dari tahun sebelumnya, jika ada; - 4 - h) keterkaitan antar pemegang saham, antar anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris, antara anggota Direksi dengan anggota Dewan Komisaris, dan/atau antara pemegang saham dengan anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris; i) sumber daya manusia (SDM), meliputi jumlah, tingkat pendidikan, dan kegiatan pengembangan SDM selama periode yang bersangkutan; j) kebijakan pemberian gaji, tunjangan, dan fasilitas bagi anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris termasuk bonus, tantiem, dan fasilitas lain; dan k) perubahan penting lain yang terjadi di BPR dan/atau di kelompok usaha BPR yang mempengaruhi operasional BPR dalam tahun yang bersangkutan. b. Laporan Keuangan Tahunan yang disusun untuk 1 (satu) Tahun Buku dan disajikan dengan perbandingan 1 (satu) Tahun Buku sebelumnya paling sedikit terdiri atas: 1) neraca; 2) laporan laba rugi dari Tahun Buku yang bersangkutan; 3) laporan perubahan ekuitas; 4) laporan arus kas; dan 5) catatan atas laporan keuangan, termasuk informasi mengenai komitmen dan kontinjensi. c. Opini dari akuntan publik apabila Laporan Keuangan Tahunan diaudit oleh akuntan publik. d. Selain pengungkapan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, mengacu pada Pasal 3 ayat (1) huruf e POJK TKK BPR, BPR wajib melakukan pengungkapan (disclosure) informasi lain yang meliputi: 1) ikhtisar kebijakan akuntansi, mencakup: a) pernyataan bahwa BPR menggunakan standar akuntansi keuangan yang berlaku bagi BPR dan PA BPR; b) dasar pengukuran dan penyusunan laporan keuangan; dan c) kebijakan akuntansi BPR yang antara lain meliputi kebijakan konsep dasar pengukuran, kredit yang diberikan, penyisihan kerugian kredit, investasi di - 5 - Sertifikat Bank Indonesia, agunan yang diambil alih, kas dan setara kas, aset tetap dan inventaris serta penyusutan, pengakuan pendapatan bunga, pengakuan beban bunga, pajak penghasilan, dan imbalan kerja. 2) Penjelasan atas pos-pos laporan keuangan yang disusun dengan memperhatikan urutan penyajian neraca, laporan laba rugi, laporan arus kas, dan laporan perubahan ekuitas serta informasi tambahan sesuai dengan ketentuan pengungkapan pada setiap pos pada bagian yang terkait, ditambah dengan pengungkapan mengenai: a) transaksi hubungan istimewa, yang meliputi: (1) rincian jumlah masing-masing pos aset, kewajiban, penghasilan, dan beban kepada pihak yang memiliki hubungan istimewa beserta persentasenya terhadap total aset, kewajiban, penghasilan dan beban; (2) penjelasan transaksi yang tidak berhubungan dengan kegiatan usaha utama dan jumlah utang atau jumlah piutang sehubungan dengan transaksi dengan pihak yang memiliki hubungan istimewa; (3) sifat hubungan, jenis, dan unsur transaksi dengan pihak yang memiliki hubungan istimewa termasuk pernyataan apakah BPR menerapkan kebijakan persyaratan yang sama bagi pihak lain yang tidak memiliki hubungan istimewa dengan BPR; dan (4) alasan serta dasar pembentukan penyisihan kerugian piutang yang terkait dengan pihak yang memiliki hubungan istimewa. b) perubahan akuntansi dan koreksi kesalahan, yang meliputi: (1) perubahan estimasi akuntansi: (a) hakikat dan alasan perubahan estimasi akuntansi; (b) jumlah perubahan estimasi yang mempengaruhi periode berjalan; dan/atau (c) pengaruh estimasi terhadap periode mendatang; (2) perubahan kebijakan akuntansi, paling sedikit meliputi: - 6 - (a) hakikat, alasan dan tujuan dilakukannya perubahan kebijakan akuntansi; (b) dampak perubahan kebijakan akuntansi terhadap periode berjalan dan periode sebelumnya yang perlu disajikan kembali secara komparatif; dan (c) pernyataan bahwa informasi komparatif telah dinyatakan kembali atau pernyataan bahwa informasi komparatif tidak disajikan karena dianggap tidak praktis. (3) kesalahan: (a) hakikat kesalahan; (b) jumlah nilai koreksi untuk periode berjalan dan periode-periode sebelumnya; (c) jumlah nilai koreksi yang terkait dengan periode- periode sebelum periode yang tercakup dalam informasi komparatif; dan (d) pernyataan bahwa informasi komparatif telah dinyatakan kembali atau pernyataan bahwa informasi komparatif tidak disajikan karena dianggap tidak praktis. 3) komitmen dan kontinjensi, yang meliputi: a) pengungkapan komitmen, terdiri atas: (1) pengungkapan kontrak atau perjanjian yang menimbulkan komitmen penggunaan dana pada masa yang akan datang, misalnya perjanjian pemberian kredit. Hal-hal yang perlu diungkapkan antara lain terdiri dari komitmen kepada pihak yang terkait, periode berlakunya komitmen, nilai keseluruhan dan bagian yang telah terealisasi, serta sanksi; dan (2) uraian mengenai sifat, jenis, jumlah, dan persyaratan komitmen; dan b) pengungkapan kontinjensi, terdiri atas: (1) pengungkapan perkara atau sengketa hukum yang berpotensi menimbulkan pengeluaran dana pada masa yang akan datang. Hal-hal yang perlu diungkapkan antara lain meliputi pihak yang terkait, nilai gugatan (perkara atau sengketa), latar belakang perkara, pokok - 7 - dan status perkara, putusan pengadilan, dan probabilitas risiko dari peristiwa kontinjensi yang diungkapkan berdasarkan prinsip manajemen risiko; (2) uraian singkat mengenai ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengikat dan dampaknya, seperti masalah ketenagakerjaan; dan (3) uraian kemungkinan kewajiban pajak tambahan yang meliputi jenis ketetapan atau tagihan pajak, jenis pajak, tahun pajak, jumlah pokok, denda, dan sikap BPR terhadap ketetapan atau tagihan pajak, seperti mengajukan keberatan, banding, dan lain-lain; 4) perkembangan terakhir standar akuntansi keuangan yang berlaku bagi BPR dan PA BPR serta peraturan lainnya, meliputi penjelasan mengenai standar akuntansi keuangan yang berlaku bagi BPR dan PA BPR serta peraturan baru yang akan diterapkan dan mempengaruhi aktivitas BPR serta estimasi dampak penerapan standar akuntansi keuangan yang berlaku bagi BPR dan PA BPR serta peraturan baru tersebut; 5) reklasifikasi, terdiri dari sifat, jumlah dan alasan reklasifikasi untuk setiap pos dalam Tahun Buku sebelum Tahun Buku terakhir yang disajikan dalam rangka laporan keuangan komparatif; 6) informasi penting lain, antara lain sifat, jenis, jumlah dan dampak dari peristiwa atau keadaan tertentu yang mempengaruhi kinerja BPR; dan 7) peristiwa setelah tanggal neraca (subsequent event), meliputi urutan peristiwa serta jumlah moneter yang mempengaruhi akun-akun laporan keuangan. e. Surat Komentar (Management Letter) atas audit Laporan Keuangan Tahunan BPR. 2. Pengungkapan sebagaimana dimaksud pada angka 1 huruf a, huruf b, dan huruf d, berpedoman pada standar akuntansi keuangan yang berlaku bagi BPR dan PA BPR. - 8 - III. LAPORAN KEUANGAN PUBLIKASI 1. Laporan Keuangan Publikasi yang diumumkan untuk laporan keuangan posisi akhir bulan Maret, bulan Juni, bulan September, dan bulan Desember disusun dengan mengacu pada Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini. 2. Laporan Keuangan Publikasi merupakan gabungan dari laporan kantor pusat BPR dan seluruh kantor cabang BPR yang bersangkutan. 3. Mengacu pada Pasal 8 ayat (4) POJK TKK, Laporan Keuangan Publikasi wajib disusun dan disajikan dalam bentuk perbandingan dengan laporan pada periode yang sama tahun sebelumnya. Posisi pembanding harus disajikan sesuai dengan format yang sama dengan posisi Laporan Keuangan Publikasi yang diumumkan. 4. Khusus untuk perlakuan akuntansi yang baru diterapkan dalam posisi Laporan, penyajian posisi pembanding mengacu pada pedoman standar akuntansi keuangan mengenai kebijakan akuntansi, perubahan estimasi akuntansi, dan kesalahan. 5. Untuk memenuhi aspek transparansi, Laporan Keuangan Publikasi memuat pengungkapan sesuai dengan standar akuntansi keuangan yang berlaku bagi BPR dan PA BPR. Pengungkapan tersebut paling sedikit terdiri atas: a. laporan keuangan yang meliputi neraca, laporan laba rugi, serta laporan komitmen dan kontinjensi; b. informasi lainnya yang paling sedikit terdiri atas: 1) Kualitas Aset Produktif (KAP) untuk: a) penempatan dana antar bank; dan b) kredit yang diberikan, baik kepada pihak terkait maupun pihak tidak terkait. 2) rasio keuangan, yang terdiri atas: a) KPMM; b) NPL (neto); c) PPAP; d) ROA; e) BOPO; - 9 - f) Cash Ratio; dan g) LDR. c. susunan Direksi dan Dewan Komisaris serta komposisi pemegang saham, termasuk pemegang saham pengendali; dan d. kantor akuntan publik yang mengaudit dan nama akuntan publik yang bertanggung jawab dalam audit BPR (partner in charge), bagi BPR yang diaudit oleh akuntan publik. 6. Aplikasi Laporan Keuangan Publikasi terintegrasi dalam Aplikasi Laporan Berkala BPR. 7. Prosedur pengoperasian aplikasi Laporan Keuangan Publikasi berpedoman pada Petunjuk Teknis Aplikasi Laporan Berkala BPR, sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang mengatur mengenai laporan bulanan BPR. IV. TATA CARA PENGENAAN SANKSI ADMINISTRATIF BERUPA DENDA 1. Contoh perhitungan pengenaan sanksi administratif berupa denda keterlambatan dan tidak menyampaikan laporan sebagai berikut: a. Laporan Tahunan 1) BPR yang terlambat menyampaikan Laporan Tahunan kepada Otoritas Jasa Keuangan dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) per hari keterlambatan. Contoh: BPR wajib menyampaikan Laporan Tahunan posisi akhir bulan Desember 2018 paling lambat pada tanggal 30 April 2019. Apabila BPR menyampaikan Laporan Tahunan tersebut pada tanggal 10 Mei 2019, BPR dikenakan sanksi administratif berupa denda keterlambatan selama 10 (sepuluh) hari sebesar Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah). 2) BPR yang tidak menyampaikan Laporan Tahunan kepada Otoritas Jasa Keuangan, dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah). Contoh: BPR wajib menyampaikan Laporan Tahunan posisi akhir bulan Desember 2018 paling lambat pada tanggal 30 April 2019. Apabila BPR menyampaikan Laporan Tahunan - 10 - tersebut setelah tanggal 31 Mei 2019, BPR dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah). 3) BPR yang telah menyampaikan Laporan Tahunan, namun penyusunan dan penyajiannya tidak sesuai dengan peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai transparansi kondisi keuangan BPR dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) apabila setelah diberi surat peringatan sebanyak 2 (dua) kali oleh Otoritas Jasa Keuangan dengan tenggang waktu 2 (dua) minggu untuk setiap surat peringatan, BPR tidak memperbaiki dan tidak menyampaikan laporan dimaksud. Contoh: a) BPR menyampaikan Laporan Tahunan pada tanggal 30 April 2019, namun laporan dimaksud tidak menyajikan perbandingan Laporan Keuangan Tahunan dengan tahun sebelumnya dan tidak ditandatangani oleh pejabat yang berwenang sesuai anggaran dasar. Apabila setelah Otoritas Jasa Keuangan memberikan surat peringatan sebanyak 2 (dua) kali dengan tenggang waktu 2 (dua) minggu untuk setiap surat peringatan untuk memperbaiki, namun tidak ditindaklanjuti dengan perbaikan serta penyampaian Laporan dimaksud, BPR yang bersangkutan dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah). b) BPR menyampaikan Laporan Tahunan pada tanggal 30 April 2019, namun laporan dimaksud tidak sesuai dengan standar akuntansi keuangan yang berlaku bagi BPR dan PA BPR. Apabila setelah Otoritas Jasa Keuangan memberikan surat peringatan sebanyak 2 (dua) kali dengan tenggang waktu 2 (dua) minggu untuk setiap surat peringatan untuk memperbaiki, namun tidak ditindaklanjuti dengan perbaikan serta penyampaian Laporan dimaksud, BPR yang bersangkutan dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah). - 11 - b. Laporan Keuangan Publikasi 1) BPR yang terlambat mengumumkan Laporan Keuangan Publikasi pada surat kabar harian lokal dan/atau menempelkannya pada papan pengumuman atau media lain, masing-masing dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) per hari keterlambatan. a) Untuk posisi Juni 2019, BPR wajib mengumumkan Laporan Keuangan Publikasi paling lambat pada tanggal 31 Juli 2019. Apabila BPR mengumumkan Laporan Keuangan Publikasi tersebut pada tanggal 7 Agustus 2019, BPR tersebut dikenakan sanksi administratif berupa denda keterlambatan selama 7 (tujuh) hari sebesar Rp350.000,00 (tiga ratus lima puluh ribu rupiah). b) Untuk posisi bulan Desember 2018, bagi BPR dengan total aset paling sedikit Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) wajib mengumumkan Laporan Keuangan Publikasi pada surat kabar harian lokal dan menempelkan pada papan pengumuman atau media lain, paling lambat pada tanggal 30 April 2019. Apabila BPR mengumumkan Laporan Keuangan Publikasi tersebut pada tanggal 10 Mei 2019, BPR dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah), dengan rincian sebagai berikut: (1) sanksi administratif berupa denda keterlambatan mengumumkan pada papan pengumuman selama 10 (sepuluh) hari sebesar Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah); dan (2) sanksi administratif berupa denda keterlambatan mengumumkan pada surat kabar harian lokal selama 10 (sepuluh) hari sebesar Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah). 2) BPR yang tidak mengumumkan Laporan Keuangan Publikasi pada surat kabar harian lokal dan/atau menempelkannya pada papan pengumuman atau media lain, masing-masing - 12 - dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah). Contoh: a) Untuk posisi akhir bulan September 2018, BPR wajib mengumumkan Laporan Keuangan Publikasi paling lambat pada tanggal 31 Oktober 2018. Apabila BPR mengumumkan Laporan Keuangan Publikasi tersebut setelah tanggal 30 November 2018, BPR dikenakan sanksi administratif berupa Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah). denda sebesar b) Untuk posisi akhir bulan Desember 2018, bagi BPR dengan total aset paling sedikit Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) wajib mengumumkan Laporan Keuangan Publikasi pada surat kabar harian lokal dan papan pengumuman atau media lainnya, paling lambat tanggal 30 April 2019. Apabila BPR mengumumkan Laporan Keuangan Publikasi tersebut setelah tanggal 31 Mei 2019, BPR tersebut dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah), dengan rincian sebagai berikut: (1) sanksi administratif berupa denda tidak mengumumkan pada papan pengumuman sebesar Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah); dan (2) sanksi administratif berupa denda tidak mengumumkan pada surat kabar harian lokal sebesar Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah). 3) BPR yang terlambat menyampaikan bukti pengumuman dan/atau rekaman data Laporan Keuangan Publikasi, masing-masing dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) per hari keterlambatan. Contoh: a) Untuk posisi akhir bulan September 2018, BPR wajib menyampaikan guntingan halaman surat kabar harian lokal dan/atau bukti pengumuman Laporan Keuangan Publikasi pada papan pengumuman atau media lainnya serta menyampaikan rekaman data paling lambat - 13 - tanggal 14 November 2018. Apabila BPR menyampaikan bukti pengumuman Laporan Keuangan Publikasi atau guntingan surat kabar dan rekaman data tanggal 21 November 2018, BPR tersebut dikenakan sanksi administratif berupa denda keterlambatan selama 7 (tujuh) hari sebesar Rp700.000,00 (tujuh ratus ribu rupiah), dengan rincian sebagai berikut: (1) sanksi administratif berupa denda keterlambatan penyampaian bukti pengumuman Laporan Keuangan Publikasi selama 7 (tujuh) hari sebesar Rp350.000,00 (tiga ratus lima puluh ribu rupiah); dan (2) sanksi administratif berupa denda keterlambatan menyampaikan rekaman data selama 7 (tujuh) hari sebesar Rp350.000,00 (tiga ratus lima puluh ribu rupiah). b) Untuk posisi akhir bulan Desember 2018, bagi BPR dengan total aset paling sedikit Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) wajib menyampaikan guntingan halaman surat kabar harian lokal dan bukti pengumuman Laporan Keuangan Publikasi pada papan pengumuman atau media lainnya serta menyampaikan rekaman data, paling lambat tanggal 14 Mei 2019. Apabila BPR menyampaikan guntingan halaman surat kabar harian lokal, bukti pengumuman Laporan Keuangan Publikasi pada papan pengumuman atau media lain serta menyampaikan rekaman data tersebut pada tanggal 24 Mei 2019, BPR dikenakan sanksi administratif berupa denda keterlambatan selama 10 (sepuluh) hari sebesar Rp1.500.000,00 (satu juta lima ratus ribu rupiah), dengan rincian sebagai berikut: (1) sanksi administratif berupa denda keterlambatan penyampaian guntingan halaman surat kabar selama 10 hari senilai Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah); (2) sanksi administratif berupa denda keterlambatan penyampaian bukti pengumuman Laporan - 14 - Keuangan Publikasi selama 10 hari senilai Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah); dan (3) sanksi administratif berupa denda keterlambatan menyampaikan rekaman data selama 10 hari senilai Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah). c) BPR yang tidak menyampaikan bukti pengumuman dan/atau rekaman data Laporan Keuangan Publikasi, masing-masing dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah). Contoh: (1) Untuk posisi bulan September 2018, BPR wajib menyampaikan guntingan halaman surat kabar harian lokal atau bukti pengumuman Laporan Keuangan Publikasi pada papan pengumuman atau media lain serta menyampaikan rekaman data, paling lambat tanggal 14 November 2018. Apabila BPR menyampaikan guntingan halaman surat kabar harian lokal atau bukti pengumuman Laporan Keuangan Publikasi pada papan pengumuman atau media lain serta menyampaikan rekaman data setelah tanggal 14 Desember 2018, BPR tersebut dikenakan sanksi administratif berupa denda tidak menyampaikan guntingan halaman surat kabar harian lokal atau bukti pengumuman Laporan Keuangan Publikasi pada papan pengumuman atau media lain serta menyampaikan rekaman data senilai Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah), dengan rincian sebagai berikut: (a) sanksi administratif berupa denda tidak menyampaikan bukti pengumuman Laporan Keuangan Publikasi senilai Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah); dan (b) sanksi administratif berupa denda tidak menyampaikan rekaman data senilai Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah). - 15 - (2) Untuk posisi akhir bulan Desember 2018, bagi BPR dengan total aset paling sedikit Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) wajib menyampaikan bukti pengumuman Laporan Keuangan Publikasi paling lambat tanggal 14 Mei 2019. Apabila BPR menyampaikan bukti pengumuman Laporan Keuangan Publikasi, guntingan halaman surat kabar, dan rekaman data setelah tanggal 14 Juni 2019, BPR tersebut dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp9.000.000,00 (sembilan juta rupiah), dengan rincian sebagai berikut: (a) sanksi administratif berupa denda tidak menyampaikan bukti pengumuman Laporan Keuangan Publikasi sebesar Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah); (b) sanksi administratif berupa denda tidak menyampaikan guntingan halaman surat kabar sebesar Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah); dan (c) sanksi administratif berupa denda tidak menyampaikan rekaman data sebesar Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah). V. ALAMAT PENYAMPAIAN LAPORAN 1. Laporan Tahunan dan bukti pengumuman Laporan Keuangan Publikasi disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan u.p. Kantor Regional atau Kantor Otoritas Jasa Keuangan yang membawahkan wilayah kantor pusat BPR. 2. Laporan Keuangan Publikasi secara daring (online) disampaikan sesuai format dan ketentuan yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan melalui sistem pelaporan Otoritas Jasa Keuangan. 3. Dalam hal penyampaian laporan melalui sistem pelaporan Otoritas Jasa Keuangan belum dapat dilakukan, BPR pelapor menyampaikan laporan secara daring (online) melalui Aplikasi Laporan Berkala BPR sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang mengatur mengenai laporan bulanan BPR. - 16 - 4. Dalam hal laporan disampaikan secara luring (offline) dalam bentuk rekaman data berupa compact disc atau media perekam data elektronik lain, laporan disampaikan kepada: a. Otoritas Jasa Keuangan u.p. Kantor Regional atau Kantor Otoritas Jasa Keuangan yang membawahkan wilayah kantor pusat BPR; atau b. Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang mengatur mengenai laporan bulanan BPR dengan tembusan kepada Otoritas Jasa Keuangan, dalam hal penyampaian laporan melalui sistem pelaporan Otoritas Jasa Keuangan belum dapat dilakukan. VI. TATA CARA PEMBAYARAN SANKSI ADMINISTRATIF BERUPA DENDA Pembayaran sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud dalam Bab VI POJK TKK BPR mengacu pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai tata cara penagihan sanksi administratif berupa denda di sektor jasa keuangan. Dalam hal penyampaian laporan secara daring (online) melalui sistem pelaporan Otoritas Jasa Keuangan belum dapat dilakukan, pembayaran sanksi administratif berupa denda atas keterlambatan dan/atau tidak menyampaikan rekaman data Laporan Keuangan Publikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 POJK TKK BPR mengacu pada ketentuan yang mengatur mengenai laporan bulanan BPR. - 17 - VII. PENUTUP Pada saat Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 15/29/DKBU perihal Laporan Keuangan Tahunan dan Laporan Keuangan Publikasi Bank Perkreditan Rakyat dan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 15/43/DPNP perihal Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 15/29/DKBU perihal Laporan Keuangan Tahunan dan Laporan Keuangan Publikasi Bank Perkreditan Rakyat dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Ketentuan dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 19 Juli 2017 KEPALA EKSEKUTIF PENGAWAS PERBANKAN OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd NELSON TAMPUBOLON Salinan ini sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana "," SEOJK 39/SEOJK.03/2017 LAPORAN TAHUNAN DAN LAPORAN KEUANGAN PUBLIKASI BANK PERKREDITAN RAKYAT 19 Juli 2017 19 Juli 2017 '15/29/DKBU|SE-BI', '15/43/DPNP|SE-BI' '48/POJK.03/2017' 'Romawi IV' " " Yth. 1. Direksi Perusahaan Pembiayaan Syariah; dan 2. Direksi Perusahaan Pembiayaan yang mempunyai Unit Usaha Syariah, di tempat. SALINAN SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 48 /SEOJK.05/2016 TENTANG BESARAN UANG MUKA (DOWN PAYMENT/URBUN) PEMBIAYAAN KENDARAAN BERMOTOR UNTUK PEMBIAYAAN SYARIAH Sehubungan dengan amanat ketentuan Pasal 12 ayat (3) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 31/POJK.05/2014 tentang Penyelenggaraan Usaha Pembiayaan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 366, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5640) dan dalam rangka mendorong pertumbuhan industri pembiayaan, perlu melakukan penyempurnaan atas pengaturan mengenai ketentuan besaran uang muka (down payment/urbun) pembiayaan kendaraan bermotor untuk pembiayaan syariah dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan sebagai berikut: I. KETENTUAN UMUM Dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Perusahaan Pembiayaan adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan untuk pengadaan barang dan/atau jasa. 2. Perusahaan Pembiayaan Syariah adalah Perusahaan Pembiayaan yang seluruh kegiatan usahanya melakukan pembiayaan syariah. 3. Pembiayaan Syariah adalah penyaluran pembiayaan yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah. 4. Prinsip Syariah adalah ketentuan hukum Islam berdasarkan fatwa dan/atau pernyataan kesesuaian syariah dari Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia. - 2 - 5. Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disingkat UUS adalah unit kerja dari kantor pusat Perusahaan Pembiayaan yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor yang melaksanakan Pembiayaan Syariah. 6. Perusahaan Syariah adalah Perusahaan Pembiayaan Syariah dan UUS. 7. Pembiayaan Jual Beli adalah pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang melalui transaksi jual beli sesuai dengan perjanjian pembiayaan syariah yang disepakati oleh para pihak. 8. Perjanjian Pembiayaan Syariah adalah kesepakatan tertulis antara Perusahaan Syariah dengan pihak lain yang memuat adanya hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak sesuai dengan Prinsip Syariah. 9. Uang Muka (Down Payment/Urbun) Pembiayaan Kendaraan Bermotor adalah pembayaran di muka atau uang muka secara tunai yang sumber dananya berasal dari konsumen (self financing) dalam rangka Pembiayaan Jual Beli untuk kendaraan bermotor. 10. Konsumen adalah perusahaan atau orang perseorangan yang melakukan Perjanjian Pembiayaan Syariah dengan Perusahaan Syariah terkait dengan kegiatan usaha Perusahaan Syariah. 11. Aset Produktif Bermasalah adalah aset produktif dengan kualitas kurang lancar, diragukan, dan/atau macet atas Pembiayaan Jual Beli untuk kendaraan bermotor, setelah memperhitungkan cadangan penyisihan penghapusan aset produktif. 12. Rasio Aset Produktif Bermasalah adalah perbandingan antara Aset Produktif Bermasalah dengan total aset produktif atas Pembiayaan Jual Beli untuk kendaraan bermotor. II. BESARAN UANG MUKA (DOWN PAYMENT/URBUN) PEMBIAYAAN KENDARAAN BERMOTOR BAGI PERUSAHAAN SYARIAH 1. Perusahaan Syariah yang mempunyai nilai Rasio Aset Produktif Bermasalah lebih rendah atau sama dengan 1% (satu persen) wajib menerapkan ketentuan besaran Uang Muka (Down Payment/Urbun) Pembiayaan Kendaraan Bermotor kepada Konsumen, dengan ketentuan: a. bagi kendaraan bermotor roda dua atau tiga, paling rendah 5% (lima persen) dari harga jual kendaraan yang bersangkutan; - 3 - b. bagi kendaraan bermotor roda empat atau lebih yang digunakan untuk tujuan produktif, paling rendah 5% (lima persen) dari harga jual kendaraan yang bersangkutan; atau c. bagi kendaraan bermotor roda empat atau lebih yang digunakan untuk tujuan non-produktif, paling rendah 5% (lima persen) dari harga jual kendaraan yang bersangkutan. 2. Perusahaan Syariah yang mempunyai nilai Rasio Aset Produktif Bermasalah lebih tinggi dari 1% (satu persen) dan lebih rendah atau sama dengan 3% (tiga persen) wajib menerapkan ketentuan besaran Uang Muka (Down Payment/Urbun) Pembiayaan Kendaraan Bermotor kepada Konsumen, dengan ketentuan: a. bagi kendaraan bermotor roda dua atau tiga, paling rendah 5% (lima persen) dari harga jual kendaraan yang bersangkutan; b. bagi kendaraan bermotor roda empat atau lebih yang digunakan untuk tujuan produktif, paling rendah 5% (lima persen) dari harga jual kendaraan yang bersangkutan; atau c. bagi kendaraan bermotor roda empat atau lebih yang digunakan untuk tujuan non-produktif, paling rendah 10% (sepuluh persen) dari harga jual kendaraan yang bersangkutan. 3. Perusahaan Syariah yang mempunyai nilai Rasio Aset Produktif Bermasalah lebih tinggi dari 3% (tiga persen) dan lebih rendah atau sama dengan 5% (lima persen) wajib menerapkan ketentuan besaran Uang Muka (Down Payment/Urbun) Pembiayaan Kendaraan Bermotor kepada Konsumen, dengan ketentuan: a. bagi kendaraan bermotor roda dua atau tiga, paling rendah 10% (sepuluh persen) dari harga jual kendaraan yang bersangkutan; b. bagi kendaraan bermotor roda empat atau lebih yang digunakan untuk tujuan produktif, paling rendah 10% (sepuluh persen) dari harga jual kendaraan yang bersangkutan; atau c. bagi kendaraan bermotor roda empat atau lebih yang digunakan untuk tujuan non-produktif, paling rendah 15% (lima belas persen) dari harga jual kendaraan yang bersangkutan. 4. Perusahaan Syariah yang mempunyai nilai Rasio Aset Produktif Bermasalah lebih tinggi dari 5% (lima persen) wajib menerapkan ketentuan besaran Uang Muka (Down Payment/Urbun) - 4 - Pembiayaan Kendaraan Bermotor kepada Konsumen, dengan ketentuan: a. bagi kendaraan bermotor roda dua atau tiga, paling rendah 15% (lima belas persen) dari harga jual kendaraan yang bersangkutan; b. bagi kendaraan bermotor roda empat atau lebih yang digunakan untuk tujuan produktif, paling rendah 20% (dua puluh persen) dari harga jual kendaraan yang bersangkutan; atau c. bagi kendaraan bermotor roda empat atau lebih yang digunakan untuk tujuan non-produktif, paling rendah 25% (dua puluh lima persen) dari harga jual kendaraan yang bersangkutan. 5. Pembiayaan kendaraan bermotor yang diberikan Perusahaan Syariah kepada Konsumen dalam rangka program kepemilikan kendaraan bermotor (car ownership program) dengan korporasi lain tidak wajib menerapkan ketentuan besaran Uang Muka (Down Payment/Urbun) Pembiayaan Kendaraan Bermotor kepada Konsumen sebagaimana diatur pada butir 1 sampai dengan butir 4. 6. Program kepemilikan kendaraan bermotor (car ownership program) sebagaimana dimaksud pada butir 5 harus dituangkan dalam perjanjian kerja sama antara Perusahaan Syariah dengan korporasi lain tersebut yang dapat memberikan kepastian tertagihnya piutang Pembiayaan Syariah yang telah diberikan. 7. Kepastian tertagihnya piutang Pembiayaan Syariah yang telah diberikan sebagaimana dimaksud pada butir 6 dapat berupa adanya: a. pembayaran angsuran melalui mekanisme pemotongan gaji dari pegawai korporasi yang bersangkutan; dan b. penjaminan atas piutang Pembiayaan Syariah. 8. Yang dimaksud dengan penjaminan atas piutang Pembiayaan Syariah sebagaimana dimaksud pada butir 7 huruf b adalah berupa: a. penjaminan syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) huruf a Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 31/POJK.05/2014 tentang Penyelenggaraan Usaha Pembiayaan Syariah; dan/atau b. penjaminan atas piutang Pembiayaan Syariah dari korporasi yang bersangkutan. - 5 - III. JANGKA WAKTU PEMBERLAKUAN BESARAN UANG MUKA (DOWN PAYMENT/URBUN) PEMBIAYAAN KENDARAAN BERMOTOR 1. Penerapan besaran Uang Muka (Down Payment/Urbun) Pembiayaan Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud dalam angka romawi II dihitung berdasarkan laporan bulanan per 30 Juni dan 31 Desember. 2. Penerapan besaran Uang Muka (Down Payment/Urbun) Pembiayaan Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud dalam angka romawi II mulai berlaku pada tanggal 1 Agustus atau 1 Februari untuk jangka waktu 6 (enam) bulan berikutnya. Contoh: Apabila berdasarkan laporan bulanan Perusahaan Syariah per 30 Juni 2017 Perusahaan Syariah memiliki nilai Rasio Aset Produktif Bermasalah lebih tinggi dari 5% (lima persen), maka Perusahaan Syariah tersebut mengenakan ketentuan besaran Uang Muka (Down Payment/Urbun) Pembiayaan Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud dalam angka romawi II butir 4. Penerapan besaran Uang Muka (Down Payment/Urbun) Pembiayaan Kendaraan Bermotor dimaksud berlaku mulai tanggal 1 Agustus 2017 sampai dengan 31 Januari 2018. Apabila berdasarkan laporan bulanan Perusahaan Syariah per 31 Desember 2017 Perusahaan Syariah memiliki nilai Rasio Aset Produktif Bermasalah Perusahaan Syariah sebesar 4,5% (empat koma lima persen), maka Perusahaan Syariah tersebut mengenakan ketentuan besaran Uang Muka (Down Payment/Urbun) Pembiayaan Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud dalam angka romawi II butir 3. Penerapan besaran Uang Muka (Down Payment/Urbun) Pembiayaan Kendaraan Bermotor dimaksud berlaku mulai tanggal 1 Februari 2018 sampai dengan 31 Juli 2018. Apabila berdasarkan laporan bulanan Perusahaan Syariah per 30 Juni 2018 Perusahaan Syariah nilai Rasio Aset Produktif Bermasalah Perusahaan Syariah sebesar dari 1,5% (satu koma lima persen), maka Perusahaan Syariah tersebut mengenakan ketentuan besaran Uang Muka (Down Payment/Urbun) Pembiayaan Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud dalam angka romawi II butir 2. Penerapan besaran Uang Muka (Down Payment/Urbun) Pembiayaan Kendaraan Bermotor dimaksud berlaku mulai tanggal 1 Agustus 2018 sampai dengan 31 Januari 2019. - 6 - IV. TATA CARA PERHITUNGAN BESARAN UANG MUKA (DOWN PAYMENT/URBUN) PEMBIAYAAN KENDARAAN BERMOTOR 1. Perhitungan besaran Uang Muka (Down Payment/Urbun) Pembiayaan Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud dalam angka romawi II dilakukan terhadap harga jual kendaraan setelah dikurangi potongan harga (discount) dan potongan lainnya. Contoh: Harga kendaraan: Rp10.000.000,00 Potongan harga (discount) dan potongan lainnya yang diberikan: Rp500.000,00 Harga jual kendaraan: Rp10.000.000,00 – Rp500.000,00 = Rp9.500.000,00 Bagi Perusahaan Pembiayaan yang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam angka romawi II butir 3, Uang Muka (Down Payment/Urbun) Pembiayaan Kendaraan Bermotor yang harus dikenakan dan dibayar tunai sekaligus adalah 10% x Rp9.500.000,00 = Rp950.000,00 2. Perhitungan besaran Uang Muka (Down Payment/Urbun) Pembiayaan Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud dalam angka romawi II tidak termasuk angsuran pertama, biaya survei, provisi, asuransi, penjaminan, fidusia, notaris, atau biaya lainnya. Contoh 1 (Biaya asuransi, penjaminan, atau biaya lainnya yang dibayar tunai oleh Konsumen): Harga kendaraan: Rp10.000.000,00 Potongan harga (discount) dan potongan lainnya yang diberikan: Rp500.000,00 Biaya asuransi, penjaminan, atau biaya lainnya yang dibayarkan oleh Konsumen secara tunai: Rp1.000.000,00 Harga jual kendaraan: Rp10.000.000,00 – Rp500.000,00 = Rp9.500.000,00 Bagi Perusahaan Pembiayaan yang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam angka romawi II butir 3, Uang Muka (Down Payment/Urbun) Pembiayaan Kendaraan Bermotor yang harus dikenakan dan dibayar tunai sekaligus adalah 10% x Rp9.500.000,00 = Rp950.000,00 - 7 - Biaya yang dibayar oleh Konsumen secara tunai sekaligus (bila biaya asuransi, penjaminan, atau biaya lainnya yang dibayar tunai oleh Konsumen) = uang muka (Rp950.000,00) + biaya asuransi, penjaminan, atau biaya lainnya (Rp1.000.000,00) = Rp1.950.000,00 Total pembiayaan oleh Perusahaan Pembiayaan kepada Konsumen = harga jual kendaraan (Rp9.500.000,00) – uang muka (Rp950.000,00) = Rp8.550.000,00 Contoh 2 (biaya asuransi, penjaminan atau biaya lainnya tidak dibayar tunai (angsuran) oleh Konsumen): Harga kendaraan: Rp10.000.000,00 Potongan harga (discount) dan potongan lainnya yang diberikan: Rp500.000,00 Biaya asuransi, penjaminan, atau biaya lainnya: Rp1.000.000,00 Harga jual kendaraan: Rp10.000.000,00 – Rp500.000,00 = Rp9.500.000,00 Uang Muka (Down Payment/Urbun) Pembiayaan Kendaraan Bermotor yang harus dikenakan adalah 10% x Rp9.500.000,00 = Rp950.000,00 Dengan demikian, biaya yang dibayar oleh Konsumen bila biaya asuransi/penjaminan atau biaya lainnya tidak dibayar tunai oleh Konsumen atau dibayar secara angsuran = uang muka (Rp950.000,00) Total Pembiayaan oleh Perusahaan Pembiayaan kepada Konsumen = biaya asuransi/penjaminan atau biaya lainnya (Rp1.000.000,00) + harga pembiayaan kendaraan bermotor (Rp8.550.000,00) = Rp9.550.000,00 3. Biaya insentif yang diberikan oleh Perusahaan Syariah kepada pihak ketiga terkait akuisisi Pembiayaan Syariah tidak dapat diperhitungkan dalam perhitungan besaran Uang Muka (Down Payment/Urbun) Pembiayaan Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud dalam angka romawi II. V. PENEGAKAN KEPATUHAN DAN SANKSI Perusahaan Syariah yang tidak memenuhi ketentuan besaran Uang Muka (Down Payment/Urbun) Pembiayaan Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini dikenakan ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 55 dan Pasal 57 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 31/POJK.05/2014 tentang Penyelenggaraan Usaha Pembiayaan Syariah. - 8 - VI. PENUTUP 1. Ketentuan dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. 2. Dengan ditetapkannya Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini, maka Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 20/SEOJK.05/2015 tentang Besaran Uang Muka (Down Payment/Urbun) Pembiayaan Kendaraan Bermotor untuk Pembiayaan Syariah, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 13 Desember 2016 KEPALA EKSEKUTIF PENGAWAS PERASURANSIAN, DANA PENSIUN, LEMBAGA PEMBIAYAAN, DAN LEMBAGA JASA KEUANGAN LAINNYA OTORITAS JASA KEUANGAN, Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana ttd FIRDAUS DJAELANI "," SEOJK 48/SEOJK.05/2016 BESARAN UANG MUKA (DOWN PAYMENT/URBUN) PEMBIAYAAN KENDARAAN BERMOTOR UNTUK PEMBIAYAAN SYARIAH 13 Desember 2016 13 Desember 2016 '20/SEOJK.05/2015' '31/POJK.05/2014 | Pasal 12 ayat (3)' " " Yth. Penyelenggara Inovasi Keuangan Digital di tempat. SALINAN SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 /SEOJK.02/2019 TENTANG PENUNJUKAN ASOSIASI PENYELENGGARA INOVASI KEUANGAN DIGITAL Dalam rangka pelaksanaan ketentuan Pasal 21 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 13/POJK.02/2018 tentang Inovasi Keuangan Digital di Sektor Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 135, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6238), perlu mengatur mengenai penunjukan terhadap asosiasi Penyelenggara Inovasi Keuangan Digital dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan sebagai berikut: I. KETENTUAN UMUM Dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini, yang dimaksud dengan: 1. Inovasi Keuangan Digital yang selanjutnya disingkat IKD adalah aktivitas pembaruan proses bisnis, model bisnis, dan instrumen keuangan yang memberikan nilai tambah baru di sektor jasa keuangan dengan melibatkan ekosistem digital. 2. Penyelenggara adalah setiap pihak yang menyelenggarakan IKD. 3. Asosiasi Penyelenggara Inovasi Keuangan Digital, yang selanjutnya disebut Asosiasi Penyelenggara IKD, adalah badan hukum berbentuk perkumpulan yang beranggotakan Penyelenggara IKD. 4. Anggota Asosiasi Penyelenggara IKD, yang selanjutnya disebut Anggota adalah Penyelenggara IKD yang telah tercatat atau terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan dan mempunyai hak dan kewajiban sesuai dengan anggaran dasar, anggaran rumah tangga, dan peraturan internal Asosiasi Penyelenggara IKD. -2- II. PERSYARATAN ASOSIASI PENYELENGGARA INOVASI KEUANGAN DIGITAL UNTUK MENDAPAT PENUNJUKAN DARI OTORITAS JASA KEUANGAN Untuk mendapat penunjukan Otoritas Jasa Keuangan, Asosiasi Penyelenggara IKD memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1. telah mendapatkan pengesahan sebagai badan hukum perkumpulan dari instansi Pemerintah yang berwenang; 2. memiliki kelengkapan organisasi, peraturan keanggotaan dan database Anggota, serta rencana kegiatan Asosiasi Penyelenggara IKD; dan 3. memiliki atau menguasai sarana dan prasarana yang memadai. III. TATA CARA PERMOHONAN PENUNJUKAN ASOSIASI PENYELENGGARA INOVASI KEUANGAN DIGITAL 1. Permohonan untuk mendapat penunjukan sebagai Asosiasi Penyelenggara IKD diajukan oleh pemohon dalam bentuk dokumen cetak kepada Otoritas Jasa Keuangan sesuai format permohonan tercantum dalam Lampiran 1 yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini, dengan dilengkapi dokumen dalam format digital yang disimpan dalam media penyimpanan digital (flash disk) atau lainnya. 2. Permohonan untuk mendapat penunjukan sebagai Asosiasi Penyelenggara IKD sebagaimana dimaksud dalam angka 1 harus disertai kelengkapan dokumen sebagai berikut: a. fotokopi dokumen pengesahan Asosiasi Penyelenggara IKD sebagai badan hukum berbentuk perkumpulan dari instansi Pemerintah yang berwenang, berikut perubahan anggaran dasar terakhir yang telah memperoleh persetujuan atau telah diterbitkan surat penerimaan pemberitahuan perubahan anggaran dasar dari instansi yang berwenang (jika ada); b. salinan kode etik Asosiasi Penyelenggara IKD; c. salinan pedoman perilaku (code of conduct) model bisnis masing- masing Anggota (jika ada); d. kelengkapan organisasi Asosiasi Penyelenggara IKD yang dilengkapi dengan dokumen: 1) struktur organisasi dan susunan pengurus sebagai berikut: a) daftar riwayat hidup terbaru yang telah ditandatangani; -3- b) fotokopi Kartu Tanda Penduduk atau Paspor yang masih berlaku; c) pasfoto berwarna terbaru ukuran 4x6 cm dengan latar belakang berwarna merah sebanyak 1 (satu) lembar; dan d) pernyataan integritas sesuai dengan format Surat Pernyataan Integritas tercantum dalam Lampiran 2 yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini; 2) struktur komite kerja Asosiasi Penyelenggara IKD yang bertanggung jawab paling sedikit atas fungsi: a) inovasi model bisnis; b) pengawasan pasar; c) pengawasan etik dan sanksi; dan d) tata kelola dan audit; 3) standar prosedur operasional dan pengawasan berbasis disiplin pasar, paling sedikit meliputi: a) penanganan keluhan dan penerusan laporan; b) penyusunan statistik keuangan dan pemantauan risiko serta penelitian tentang isu keuangan makro dan mikro; c) pemantauan kinerja Anggota, penetapan mekanisme pengaturan diri dan sanksi atas pelanggaran Anggota terhadap aturan dan kode etik; d) pelaksanaan pengawasan pasar; dan e) pelaksanaan edukasi dan perlindungan konsumen serta kerja sama domestik dan internasional; 4) dokumen terkait sistem pengendalian internal yang memadai, paling sedikit memuat: a) pengawasan terhadap risiko benturan kepentingan dalam pelaksanaan tugas dan fungsi Asosiasi Penyelenggara IKD; b) pengawasan terhadap Anggota dalam menjalankan kode etik; dan c) pengawasan dalam rangka pelaksanaan evaluasi secara berkala dan berkesinambungan atas pelaksanaan kegiatan Asosiasi Penyelenggara IKD; -4- e. salinan peraturan keanggotaan Asosiasi Penyelenggara IKD, paling sedikit memuat: 1) persyaratan dan prosedur penerimaan dan pemberhentian Anggota; 2) hak dan kewajiban Anggota; 3) kepengurusan dan keanggotaan Asosiasi Penyelenggara IKD; 4) pendanaan kegiatan Asosiasi Penyelenggara IKD; 5) biaya keanggotaan; 6) sanksi; dan 7) prosedur pengajuan keberatan Anggota kepada Asosiasi Penyelenggara IKD atas sanksi yang ditetapkan oleh Asosiasi Penyelenggara IKD; f. dokumen terkait database Anggota, yang paling sedikit memuat: 1) nama Penyelenggara IKD; 2) alamat kantor pusat, alamat kantor di lokasi lain selain kantor pusat, dan nomor telepon; 3) model bisnis Penyelenggara IKD; dan 4) nomor tanda tercatat dan/atau terdaftar Penyelenggara IKD; g. rencana kegiatan Asosiasi Penyelenggara IKD yang sejalan dengan fungsi komite kerja yang dimiliki sebagaimana dimaksud dalam angka 2 huruf d butir 2); h. surat keterangan domisili dari pengelola gedung atau instansi berwenang; i. j. salinan bukti kepemilikan atau perjanjian sewa atas kantor Asosiasi Penyelenggara IKD; bukti keberadaan pusat data dan pusat pemulihan bencana; k. daftar sarana penunjang lainnya seperti komputer, telepon, email, dan situs web dengan nama domain Indonesia yang berisi informasi umum Asosiasi Penyelenggara IKD yang dapat diakses masyarakat; dan l. daftar nama pegawai selain pengurus disertai fungsinya (jika ada). 3. Dalam rangka menilai kesiapan pemohon sebagai Asosiasi Penyelenggara IKD, Otoritas Jasa Keuangan berwenang: a. melakukan pemeriksaan di kantor Asosiasi Penyelenggara IKD; b. meminta Asosiasi Penyelenggara IKD untuk memaparkan rencana kegiatan operasional Asosiasi Penyelenggara IKD; dan/atau c. meminta data dan informasi yang dibutuhkan. -5- 4. Dalam hal permohonan untuk mendapat penunjukan sebagai Asosiasi Penyelenggara IKD pada saat diterima tidak memenuhi syarat, Otoritas Jasa Keuangan memberikan surat pemberitahuan kepada pemohon yang menyatakan bahwa permohonan belum memenuhi persyaratan. 5. Dalam hal permohonan untuk mendapat penunjukan sebagai Asosiasi Penyelenggara IKD belum memenuhi persyaratan, pemohon wajib melengkapi kekurangan yang dipersyaratkan paling lambat 20 (dua puluh) hari kerja setelah tanggal surat pemberitahuan. 6. Otoritas Jasa Keuangan melakukan proses permohonan penunjukan sebagai Asosiasi Penyelenggara IKD setelah menerima dokumen secara lengkap termasuk perubahan dokumen. 7. Pemohon yang tidak melengkapi kekurangan yang dipersyaratkan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam angka 5 dianggap membatalkan permohonan. 8. Surat penunjukan diberikan paling lambat 21 (dua puluh satu) hari kerja setelah dokumen dinyatakan lengkap. 9. Setelah Otoritas Jasa Keuangan melakukan penelaahan atas permohonan penunjukan Asosiasi Penyelenggara IKD dan dinyatakan memenuhi syarat maka penunjukan Asosiasi Penyelenggara IKD disampaikan melalui surat penetapan yang ditandatangani oleh anggota Dewan Komisioner yang membawahi Inovasi Keuangan Digital. IV. TUGAS, WEWENANG, DAN LARANGAN ASOSIASI PENYELENGGARA INOVASI KEUANGAN DIGITAL 1. Tugas Asosiasi Penyelenggara IKD Asosiasi Penyelenggara IKD yang telah mendapat penunjukan dari Otoritas Jasa Keuangan mempunyai tugas sebagai berikut: a. merumuskan aturan operasi sesuai dengan masing-masing model bisnis IKD; b. menyusun standar industri secara umum dan secara spesifik untuk masing-masing model bisnis; c. menyusun strategi dan pengembangan sumber daya manusia; d. menyusun strategi dan pengembangan ekosistem IKD; e. menerima dan meneruskan laporan serta menerima keluhan; f. menyusun statistik keuangan dan pemantauan risiko serta penelitian tentang isu makro dan mikro keuangan; -6- g. melakukan pembaharuan database Anggota jika terdapat perubahan data Anggota; h. menjadi penghubung antara Otoritas Jasa Keuangan dan Anggota untuk meningkatkan dukungan pengaturan dan pertukaran informasi; i. melaksanakan pendidikan, pelatihan, edukasi dan perlindungan konsumen serta kerja sama domestik dan internasional; j. melakukan pemantauan kinerja Anggota dan pengawasan pasar; k. menyusun evaluasi secara berkala setiap 6 (enam) bulan sekali terhadap kegiatan operasional Asosiasi Penyelenggara IKD; dan l. melakukan pengkinian data setiap terdapat perubahan antara lain anggaran dasar, alamat kantor, atau data lainnya yang disampaikan pada saat pengajuan pendaftaran Asosiasi kepada Otoritas Jasa Keuangan. 2. Kewenangan Asosiasi Penyelenggara IKD Asosiasi Penyelenggara IKD yang telah mendapat penunjukan dari Otoritas Jasa Keuangan mempunyai wewenang sebagai berikut: a. menetapkan mekanisme pengaturan diri dan sanksi atas pelanggaran Anggota terhadap aturan dan kode etik; b. menetapkan peraturan keanggotaan Asosiasi Penyelenggara IKD; c. menegakkan kode etik bagi Anggota dan peraturan keanggotaan Asosiasi Penyelenggara IKD; d. memastikan status pencatatan atau pendaftaran Penyelenggara IKD di Otoritas Jasa Keuangan sejalan dengan status keanggotaan Penyelenggara IKD pada Asosiasi; dan e. menetapkan hal lain yang menunjang kegiatan operasional Asosiasi Penyelenggara IKD. 3. Larangan Asosiasi Penyelenggara IKD Asosiasi Penyelenggara IKD yang telah mendapat penunjukan dari Otoritas Jasa Keuangan dilarang: a. memberikan perlakuan yang berbeda pada Anggota; dan/atau b. melakukan tindakan yang bertentangan dengan tugas dan kewenangannya sebagaimana dimaksud dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini, anggaran dasar, anggaran rumah tangga, dan peraturan internal Asosiasi Penyelenggara IKD. -7- V. SUMBER PENDANAAN 1. Dalam rangka menunjang kegiatannya, Asosiasi Penyelenggara IKD memperoleh pendanaan dari: a. biaya pendaftaran dan iuran rutin keanggotaan; dan b. sumber lain sepanjang ditetapkan dalam anggaran dasar, anggaran rumah tangga, dan/atau peraturan internal Asosiasi Penyelenggara IKD sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. 2. Asosiasi Penyelenggara IKD wajib membuat laporan pertanggungjawaban keuangan kepada Anggota paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun dan/atau pada saat terjadi pergantian kepengurusan. VI. PELAPORAN 1. Asosiasi Penyelenggara IKD yang telah mendapat penunjukan dari Otoritas Jasa Keuangan menyampaikan laporan kepada Otoritas Jasa Keuangan: a. Rencana strategis 1 (satu) - sampai dengan 3 (tiga) tahun dan rencana kerja tahunan; b. Laporan kinerja berkala secara triwulanan, yang berakhir pada bulan Maret, Juni, September, Desember, yang disampaikan paling lambat pada setiap tanggal 10 bulan berikutnya dari setiap akhir periode triwulan dimaksud; c. Laporan hasil pengawasan Anggota secara triwulanan, termasuk namun tidak terbatas pada jumlah Anggota, mapping Anggota, kepatuhan Anggota (pelanggaran code of conduct dan code of ethic), dan area bisnis Anggota yang berisiko, yang berakhir pada bulan Maret, Juni, September, Desember, yang disampaikan paling lambat pada setiap tanggal 10 bulan berikutnya dari setiap akhir periode triwulan dimaksud; d. Laporan rencana kegiatan operasional tahunan, paling lambat pada setiap tanggal 31 Januari, sesuai dengan format Laporan Rencana Kegiatan Operasional Tahunan tercantum dalam Lampiran 3 yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini; -8- e. Laporan pengenaan sanksi kepada Anggota atas pelanggaran code of conduct dan code of ethic, paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak terjadinya pengenaan sanksi kepada Anggota; f. Laporan penerimaan dan/atau pemberhentian Anggota, paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak terjadinya penerimaan dan/atau pemberhentian Anggota, sesuai dengan format Laporan Penerimaan dan/atau Pemberhentian Anggota, tercantum dalam Lampiran 4 yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini; g. Laporan realisasi pelaksanaan kegiatan operasional tengah tahunan, paling lambat pada setiap tanggal 31 Januari dan 31 Juli sesuai dengan format Laporan Realisasi Pelaksanaan Kegiatan Tengah Tahunan, tercantum dalam Lampiran 5 yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini; h. Laporan perubahan alamat kantor Asosiasi Penyelenggara IKD (jika ada), paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak terjadinya perubahan; dan i. Laporan perubahan anggaran dasar, anggaran rumah tangga, susunan kepengurusan Asosiasi Penyelenggara IKD, dan/atau komite kerja (jika ada), paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak terjadinya perubahan. 2. Dalam hal terdapat ketidaksesuaian, Otoritas Jasa Keuangan dapat meminta Asosiasi Penyelenggara IKD untuk melakukan penyesuaian terhadap laporan yang telah disampaikan sebagaimana dimaksud dalam angka 1, termasuk tetapi tidak terbatas pada isi laporan. 3. Dalam hal batas akhir waktu penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam angka 1 jatuh pada hari libur, laporan tersebut disampaikan paling lambat pada 1 (satu) hari kerja berikutnya. 4. Laporan sebagaimana dimaksud dalam angka 1 disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan dalam bentuk dokumen cetak dan dalam format digital dengan menggunakan media penyimpanan digital (flash disk) atau lainnya. 5. Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan telah menyediakan sistem elektronik, pelaporan sebagaimana dimaksud dalam angka 1 dapat disampaikan melalui sistem elektronik tersebut. -9- 6. Otoritas Jasa Keuangan sewaktu-waktu dapat meminta Asosiasi Penyelenggara IKD untuk menyampaikan laporan hasil pengendalian internal sebagaimana dimaksud dalam romawi III angka 2 huruf d poin 4) kepada Otoritas Jasa Keuangan. VII. PENCABUTAN PENUNJUKAN ASOSIASI PENYELENGGARA INOVASI KEUANGAN DIGITAL 1. Surat penunjukan sebagai Asosiasi Penyelenggara IKD menjadi tidak berlaku apabila: a. badan hukum Asosiasi Penyelenggara IKD bubar; dan/atau b. status badan hukum dari Asosiasi Penyelenggara IKD dicabut oleh instansi Pemerintah yang berwenang. 2. Otoritas Jasa Keuangan dapat mencabut surat penunjukan Asosiasi Penyelenggara IKD apabila mengembalikan surat penunjukan Asosiasi Penyelenggara IKD yang dimilikinya. 3. Dalam hal terdapat hal-hal sebagai berikut: a. kantor Asosiasi Penyelenggara IKD tidak ditemukan; b. Asosiasi Penyelenggara IKD melakukan pelanggaran atas ketentuan dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini; c. Asosiasi Penyelenggara IKD tidak melaksanakan tugas selama 12 (dua belas) bulan berturut-turut; dan/atau d. tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam angka romawi III, Otoritas Jasa Keuangan memberikan surat peringatan kepada Asosiasi Penyelenggara IKD. 4. Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan telah menyampaikan 3 (tiga) kali surat peringatan kepada Asosiasi Penyelenggara IKD dan asosiasi dimaksud tidak memenuhi kewajiban dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak diterbitkannya surat peringatan ketiga dimaksud maka Otoritas Jasa Keuangan dapat mencabut surat penunjukan Asosiasi Penyelenggara IKD. Asosiasi Penyelenggara IKD -10- 5. Dalam hal pencabutan surat penunjukan Asosiasi Penyelenggara IKD disebabkan karena Asosiasi Penyelenggara IKD mengembalikan surat penunjukan sebagaimana dimaksud dalam angka 2, Asosiasi Penyelenggara IKD mengajukan surat permohonan pengembalian surat penunjukan sebagai Asosiasi Penyelenggara IKD kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan disertai dokumen sebagai berikut: a. keterangan mengenai alasan pengembalian surat penunjukan tersebut; b. surat penunjukan sebagai Asosiasi Penyelenggara IKD oleh Otoritas Jasa Keuangan; c. surat pernyataan pertanggungjawaban dari pengurus Asosiasi Penyelenggara IKD atas kewajiban Asosiasi Penyelenggara IKD kepada Anggota dan/atau pihak ketiga; dan d. surat keputusan hasil rapat Anggota yang menyetujui pengembalian surat penunjukan sebagai Asosiasi Penyelenggara IKD oleh Otoritas Jasa Keuangan. 6. Dalam hal pencabutan surat penunjukan Asosiasi Penyelenggara IKD disebabkan karena ketentuan sebagaimana dimaksud dalam angka 4, Asosiasi Penyelenggara IKD menyelesaikan kewajibannya kepada Anggota dan/atau pihak ketiga. 7. Tidak berlakunya surat penunjukan Asosiasi Penyelenggara IKD sebagaimana dimaksud dalam angka 1 dan pencabutan surat penunjukan Asosiasi Penyelenggara IKD oleh Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam angka 2 dan angka 4 diumumkan oleh Otoritas Jasa Keuangan melalui laman resmi Otoritas Jasa Keuangan. 8. Dalam hal surat penunjukan Asosiasi Penyelenggara IKD menjadi tidak berlaku atau dicabut sebagaimana dimaksud dalam angka 1, angka 2, dan angka 4, Penyelenggara IKD dapat melakukan hal-hal sebagai berikut: a. mendaftar sebagai anggota Asosiasi lain yang telah mendapat penunjukan dari Otoritas Jasa Keuangan; atau b. membentuk Asosiasi baru yang selanjutnya dapat mengajukan permohonan untuk memperoleh penunjukan dari Otoritas Jasa Keuangan sebagai Asosiasi Penyelenggara IKD dengan tetap mengikuti persyaratan dan kelengkapan dokumen sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini. -11- 10. Dalam hal Penyelenggara IKD akan mengajukan keanggotaan sebagai anggota Asosiasi sehubungan dengan syarat mengikuti proses Regulatory Sandbox sebagaimana diatur dalam SEOJK tentang Regulatory Sandbox namun Asosiasi yang ditunjuk Otoritas Jasa Keuangan telah dicabut surat penunjukannya maka permohonan keanggotaannya sebagai anggota Asosiasi menunggu sampai adanya Asosiasi baru yang ditunjuk oleh Otoritas Jasa Keuangan. 11. Fungsi supervisi atas kewajiban pelaporan anggota Asosiasi yang berada dibawah kewenangan Asosiasi Penyelenggara IKD beralih ke Otoritas Jasa Keuangan hingga Penyelenggara membentuk Asosiasi baru yang ditunjuk oleh Otoritas Jasa Keuangan. 12. Segala ketentuan Asosiasi yang mencakup pengaturan kepada anggotanya meliputi kelengkapan organisasi, kode etik, dan pedoman perilaku tetap berlaku dan pengawasannya diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan hingga Penyelenggara membentuk Asosiasi baru yang ditunjuk oleh Otoritas Jasa Keuangan. VIII. KETENTUAN LAIN-LAIN Keikutsertaan dalam Asosiasi bagi Penyelenggara yang telah memiliki pengaturan di masing-masing sektor, tunduk pada ketentuan bagi masing- masing Penyelenggara. IX. KETENTUAN PENUTUP Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 5 November 2019 WAKIL KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, Salinan ini sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana ttd NURHAIDA LAMPIRAN I SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 22 /SEOJK.02/2019 TENTANG PENUNJUKAN ASOSIASI PENYELENGGARA INOVASI KEUANGAN DIGITAL -2- PERMOHONAN PENUNJUKAN ASOSIASI PENYELENGGARA INOVASI KEUANGAN DIGITAL Nomor : Lampiran : Perihal Kepada Yth. Wakil Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan di Jakarta Saya yang bertanda tangan di bawah ini: 1. Nama 2. Alamat : : ..., ..................... 20... : Permohonan Penunjukan Asosiasi Penyelenggara Inovasi Keuangan Digital ................................................................................ ................................................................................ ................................................................................ (nama jalan dan nomor) ...................................................................... – ...... (kota dan kode pos) 3. Nomor Telepon : ................................................................................ Dengan ini untuk dan atas nama*): 1. Nama Asosiasi 2. Alamat lengkap : : ................................................................................ ............................................................................... ................................................................................ (nama jalan dan nomor) ...................................................................... – ...... (kota dan kode pos) 3. Nomor Telepon 4. Nomor dan tanggal akta pendirian berikut perubahan anggaran dasar : : ................................................................................ ................................................................................ ................................................................................ ................................................................................ ................................................................................ -3- 5. Nomor dan tanggal pengesahan /persetujuan /pemberitahuan dari Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia : ................................................................................ ................................................................................ ................................................................................ ................................................................................ ................................................................................ ................................................................................ ................................................................................ ................................................................................ mengajukan permohonan penunjukan Asosiasi Penyelenggara Inovasi Keuangan Digital. Untuk melengkapi permohonan ini, kami lampirkan dokumen sebagaimana tercantum dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini. Demikian permohonan ini kami ajukan dan atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih. Ketua Asosiasi, materai ........................................... (nama jelas dan tanda tangan) Keterangan: *) pihak yang berwenang mewakili Asosiasi atau kuasanya Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 5 November 2019 WAKIL KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, Salinan ini sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana ttd NURHAIDA LAMPIRAN II SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR /SEOJK.02/2019 TENTANG PENUNJUKAN ASOSIASI PENYELENGGARA INOVASI KEUANGAN DIGITAL -2- SURAT PERNYATAAN INTEGRITAS Saya yang bertanda tangan di bawah ini: 1. Nama 2. Jabatan 3. Alamat 4. Nomor Telepon : : : ................................................................................ ................................................................................ ................................................................................ (nama jalan dan nomor) ...................................................................... – ...... (kota dan kode pos) : ................................................................................ dengan ini menyatakan bahwa saya: 1. memiliki akhlak dan moral yang baik; 2. cakap/tidak cakap*) melakukan perbuatan hukum; 3. pernah/tidak pernah*) melakukan perbuatan tercela dan/atau dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana di bidang jasa keuangan; 4. pernah/tidak pernah*) dikenakan sanksi pencabutan izin, pembatalan persetujuan, dan/atau pembatalan pendaftaran oleh Otoritas Jasa Keuangan selama 3 (tiga) tahun terakhir; 5. pernah/tidak pernah*) dinyatakan pailit atau menjadi pengurus yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perusahaan dinyatakan pailit; dan 6. memiliki komitmen yang tinggi untuk mematuhi peraturan perundangundangan. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya agar dapat dipergunakan sebagaimana mestinya. ........., ........................ 20....... (tempat dan tanggal) Pemohon, materai ........................................... (nama jelas dan tanda tangan) Keterangan: *) coret yang tidak perlu Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 5 November 2019 Salinan ini sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana WAKIL KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, ttd NURHAIDA LAMPIRAN III SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 22 /SEOJK.02/2019 TENTANG PENUNJUKAN ASOSIASI PENYELENGGARA INOVASI KEUANGAN DIGITAL -2- LAPORAN RENCANA KEGIATAN OPERASIONAL TAHUNAN TAHUN.... Nomor Kepada Yth. Wakil Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan di Jakarta Nama Asosiasi : ................................ Rencana kegiatan tahunan tahun .......... adalah sebagai berikut: No Rencana Kegiatan : Lampiran : Perihal ..., ..................... 20... : Laporan Rencana Kegiatan Operasional Tahunan Tahun.... Periode Pelaksanaan ........., ...................20....... (tempat dan tanggal) Ketua Asosiasi, ........................................... (nama jelas dan tanda tangan) Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 5 November 2019 WAKIL KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, ttd Salinan ini sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana NURHAIDA LAMPIRAN IV SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 22 /SEOJK.02/2019 TENTANG PENUNJUKAN ASOSIASI PENYELENGGARA INOVASI KEUANGAN DIGITAL -2- LAPORAN PENERIMAAN DAN/ATAU PEMBERHENTIAN ANGGOTA Nama : ............................................................................ Periode : ............................................................................ Penerimaan Anggota Asosiasi Penyelenggara IKD Nama No Penyelenggara IKD Tanda Tercatat dan/atau Terdaftar Penyelenggara IKD No. Surat Keputusan Tanggal Surat Keputusan Tanggal menjadi Anggota Pemberhentian Anggota Asosiasi Penyelenggara IKD Nama No Penyelenggara IKD Tanda Tercatat dan/atau Terdaftar Penyelenggara IKD No. Surat Keputusan Tanggal Surat Keputusan Tanggal Berhenti -3- Jumlah anggota pemegang Tanda Tercatat dan/atau Terdaftar sebagai Penyelenggara IKD: ...... ........., ........................ 20....... (tempat dan tanggal) Ketua Asosiasi, .............................................. (nama jelas dan tanda tangan) Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 5 November 2019 Salinan ini sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana WAKIL KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, ttd NURHAIDA LAMPIRAN V SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 22 /SEOJK.02/2019 TENTANG PENUNJUKAN ASOSIASI PENYELENGGARA INOVASI KEUANGAN DIGITAL -2- LAPORAN REALISASI KEGIATAN TENGAH TAHUNAN Nomor : Lampiran : Perihal Kepada Yth. Wakil Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan di Jakarta Nama Asosiasi : ................................ Realisasi pelaksanaan kegiatan tengah tahunan periode .......... adalah sebagai berikut: No Rencana Kegiatan Realisasi Kegiatan Tengah Tahunan (Terpenuhi/Tidak Terpenuhi) Keterangan ..., ..................... 20... : Laporan Realisasi Kegiatan Tengah Tahunan ........., ................... 20....... (tempat dan tanggal) Ketua Asosiasi, ........................................... (nama jelas dan tanda tangan) Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 5 November 2019 WAKIL KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, ttd NURHAIDA Salinan ini sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana "," SEOJK 22/SEOJK.02/2019 PENUNJUKAN ASOSIASI PENYELENGGARA INOVASI KEUANGAN DIGITAL 5 November 2019 5 November 2019 '13/POJK.02/2018 | Pasal 21' " " Yth. Direksi Bank Umum Syariah di tempat. SALINAN SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 34 /SEOJK.03/2015 TENTANG PERHITUNGAN ASET TERTIMBANG MENURUT RISIKO UNTUK RISIKO KREDIT DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN STANDAR BAGI BANK UMUM SYARIAH Sehubungan dengan berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 21/POJK.03/2014 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 352, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5630), selanjutnya disebut POJK KPMM BUS, perlu diatur lebih lanjut mengenai pelaksanaan Perhitungan Aset Tertimbang Menurut Risiko (ATMR) untuk Risiko Kredit dengan Menggunakan Pendekatan Standar bagi Bank Umum Syariah dalam suatu Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan, sebagai berikut: I. UMUM 1. Risiko Kredit adalah risiko akibat kegagalan nasabah atau pihak lain dalam memenuhi kewajiban kepada Bank sesuai perjanjian yang disepakati. Risiko Kredit mencakup Risiko Kredit akibat kegagalan debitur, Risiko Kredit akibat kegagalan pihak lawan (counterparty credit risk), dan Risiko Kredit akibat kegagalan setelmen (settlement risk). 2. Risiko Kredit akibat kegagalan pihak lawan (counterparty credit risk) timbul dari jenis transaksi yang secara umum memiliki karakteristik: a. transaksi dipengaruhi oleh pergerakan nilai wajar atau nilai pasar; b. nilai wajar dari transaksi dipengaruhi oleh pergerakan variabel pasar tertentu; c. transaksi... - 2 - c. transaksi menghasilkan pertukaran arus kas atau instrumen keuangan; dan d. karakteristik risiko bersifat bilateral yaitu (i) apabila nilai wajar kontrak bernilai positif maka Bank terekspos Risiko Kredit dari pihak lawan, sedangkan (ii) apabila nilai wajar kontrak bernilai negatif maka pihak lawan terekspos Risiko Kredit dari Bank. 3. Risiko Kredit akibat kegagalan setelmen (settlement risk) timbul akibat kegagalan penyerahan kas dan/atau instrumen keuangan pada tanggal penyelesaian (settlement date) yang telah disepakati dari transaksi penjualan dan/atau pembelian instrumen keuangan. 4. Sesuai POJK KPMM BUS, dalam menghitung Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) baik secara individu maupun secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak, Bank wajib memperhitungkan ATMR untuk Risiko Kredit. Dalam menghitung ATMR untuk Risiko Kredit, Bank dapat menggunakan 2 (dua) jenis pendekatan, yaitu: a. Pendekatan Standar (Standardized Approach); dan/atau b. Pendekatan berdasarkan Internal Rating (Internal Rating Based Approach). Untuk penerapan tahap awal, Bank wajib melakukan perhitungan ATMR untuk Risiko Kredit dengan menggunakan Pendekatan Standar. 5. ATMR untuk Risiko Kredit dengan menggunakan Pendekatan Standar, yang selanjutnya disebut ATMR Risiko Kredit-Pendekatan Standar, secara umum perhitungan didasarkan pada hasil peringkat yang diterbitkan oleh lembaga pemeringkat yang diakui Otoritas Jasa Keuangan. II. PERHITUNGAN ATMR RISIKO KREDIT-PENDEKATAN STANDAR A. CAKUPAN PERHITUNGAN Perhitungan ATMR Risiko Kredit-Pendekatan Standar yang wajib dihitung oleh Bank sebagaimana dimaksud dalam butir I.4 mencakup: 1. Eksposur aset dalam neraca serta kewajiban komitmen dan kontinjensi dalam transaksi rekening administratif, namun tidak termasuk: a. posisi... - 3 - a. posisi Trading Book yang telah dihitung dalam ATMR Risiko Pasar sesuai ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur mengenai ATMR untuk Risiko Pasar; b. penyertaan dan aset tidak berwujud yang telah diperhitungkan sebagai faktor pengurang modal sesuai ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur mengenai KPMM Bank Umum Syariah; c. tagihan yang akan diperhitungkan dalam eksposur sebagaimana dimaksud pada angka 2, terdiri atas: 1) tagihan transaksi lindung nilai syariah dan kewajiban komitmen yang timbul dari transaksi lindung nilai syariah; dan 2) tagihan reverse repo; d. tagihan yang timbul dari transaksi yang mengalami kegagalan penyerahan kas dan/atau instrumen keuangan yang akan diperhitungkan dalam eksposur sebagaimana dimaksud pada angka 3. 2. Eksposur yang menimbulkan Risiko Kredit akibat kegagalan pihak lawan (counterparty credit risk), antara lain transaksi lindung nilai syariah over the counter (OTC) dan transaksi repo atau reverse repo, baik atas posisi Trading Book maupun Banking Book. Definisi Trading Book maupun Banking Book mengacu pada POJK KPMM BUS; dan/atau 3. Eksposur transaksi penjualan atau pembelian instrumen keuangan yang mengalami kegagalan penyerahan kas dan/atau instrumen keuangan pada tanggal penyelesaian lebih dari 4 (empat) hari kerja, yang menimbulkan Risiko Kredit akibat kegagalan setelmen (settlement risk). Contoh transaksi antara lain transaksi penjualan atau pembelian surat berharga syariah atau valuta asing. Meskipun ATMR hanya diperhitungkan atas transaksi yang mengalami kegagalan setelmen lebih dari 4 (empat) hari kerja, Bank harus memantau Risiko Kredit akibat kegagalan setelmen atas transaksi penjualan atau pembelian instrumen keuangan sejak hari pertama terjadinya kegagalan setelmen. B. TATA... - 4 - B. TATA CARA PERHITUNGAN 1. ATMR Risiko Kredit-Pendekatan Standar merupakan hasil perkalian antara tagihan bersih dengan bobot risiko atas eksposur sebagaimana dimaksud dalam butir II.A.1 dan butir II.A.2. 2. Tagihan bersih atas eksposur sebagaimana dimaksud pada angka 1 mengacu pada penjelasan dalam butir II.C. 3. Bobot risiko sebagaimana dimaksud pada angka 1 ditetapkan: a. berdasarkan peringkat terkini dari debitur atau pihak lawan transaksi atau surat berharga syariah, untuk kategori portofolio sebagaimana dimaksud dalam butir II.E.1, butir II.E.2, butir II.E.3, butir II.E.4, butir II.E.9, butir II.E.12.c.1), butir II.E.12.c.2), dan butir II.E.12.c.3); b. sebesar persentase tertentu untuk kategori portofolio sebagaimana dimaksud dalam butir II.E.5, butir II.E.6, butir II.E.7, butir II.E.8, butir II.E.10, butir II.E.11, butir II.E.12.c.4), dan butir II.E.13. 4. Penetapan bobot risiko berdasarkan peringkat terkini sebagaimana dimaksud dalam butir 3.a mengacu pada Tabel 3, Tabel 4, Tabel 5, Tabel 6, Tabel 7, Tabel 8, Tabel 9, dan Tabel 10. 5. Perhitungan Risiko Kredit dalam rangka perhitungan KPMM untuk eksposur sebagaimana dimaksud dalam butir II.A.3 yaitu eksposur transaksi penjualan atau pembelian instrumen keuangan yang mengalami kegagalan penyerahan kas dan/atau instrumen keuangan pada tanggal penyelesaian (settlement date) lebih dari 4 (empat) hari kerja adalah: a. untuk transaksi delivery versus payment (DvP), ATMR Risiko Kredit-Pendekatan Standar diperhitungkan dengan formula: ATMR = selisih positif antara nilai wajar transaksi dengan nilai kontrak (positive current exposure) x persentase tertentu x 12,5. Persentase tertentu ditetapkan berdasarkan jumlah hari kerja pelampauan tanggal penyelesaian (settlement date) yang mengacu pada Tabel 1 di bawah ini. Tabel 1... - 5 - Tabel 1. Penetapan Persentase Tertentu Dalam Perhitungan Risiko Kredit Akibat Kegagalan Setelmen (Settlement Risk) Jumlah hari kerja sejak pelampauan tanggal penyelesaian (settlement date) 5 s.d 15 hari kerja 16 s.d 30 hari kerja 31 s.d 45 hari kerja Lebih dari 45 hari kerja Persentase Tertentu 8% 50% 75% 100% b. Untuk transaksi non delivery versus payment (non-DvP), Risiko Kredit diperhitungkan sebagai faktor pengurang modal sebesar nilai kas atau nilai wajar instrumen keuangan yang telah diserahkan Bank. C. TAGIHAN BERSIH 1. Tagihan bersih untuk eksposur aset dalam neraca sebagaimana dimaksud dalam butir A.1 diperhitungkan dengan formula: Tagihan Bersih = {Nilai tercatat aset + imbalan yang akan diterima (jika ada)} – CKPN atau PPA Khusus. Perhitungan Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN) mengacu pada standar akuntansi yang berlaku dan Penyisihan Penghapusan Aset Khusus (PPA Khusus) mengacu pada ketentuan Otoritas Jasa Keuangan mengenai penilaian kualitas aset bank umum syariah dan unit usaha syariah. Khusus untuk CKPN yang dibentuk secara kolektif, yang diperhitungkan hanya CKPN atas aset yang telah teridentifikasi mengalami penurunan nilai. 2. Tagihan bersih untuk eksposur transaksi rekening administratif sebagaimana dimaksud dalam butir A.1 diperhitungkan dengan formula: Tagihan Bersih = (nilai kewajiban komitmen atau kewajiban kontinjensi – PPA Khusus) x Faktor Konversi Kredit (FKK). Perhitungan... - 6 - Perhitungan PPA Khusus mengacu pada ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur mengenai penilaian kualitas aset bank umum syariah dan unit usaha syariah. FKK adalah sebagaimana dimaksud dalam butir D. 3. Tagihan bersih untuk eksposur yang menimbulkan Risiko Kredit akibat kegagalan pihak lawan sebagaimana dimaksud dalam butir A.2 diperhitungkan dengan formula: a. Eksposur transaksi lindung nilai syariah OTC 1) Transaksi lindung nilai syariah dengan positif mark to market Tagihan Bersih = nilai tercatat tagihan + potensi eksposur di masa depan (potential future exposure). 2) Transaksi lindung nilai syariah dengan negatif mark to market Tagihan Bersih = potensi eksposur di masa depan. Potensi eksposur di masa depan dihitung dari hasil perkalian nilai notional transaksi lindung nilai syariah OTC dengan persentase tertentu. Persentase tertentu ditetapkan berdasarkan variabel yang mendasari (underlying variable) dan sisa jangka waktu dari transaksi lindung nilai syariah OTC yang mengacu pada Tabel 2 di bawah ini. Tabel 2. Penetapan Persentase Tertentu Dalam Perhitungan Risiko Kredit Akibat Kegagalan Pihak Lawan (Counterparty Credit Risk) untuk Transaksi Lindung Nilai Syariah OTC Variabel yang Mendasari (underlying variable) Sisa Jangka Waktu ≤1 tahun > 1 tahun s.d. ≤ 5 tahun > 5 tahun Keterangan: - Sharia Compliant Profit Rate Swap 0% 0,5% 1,5% Sharia Compliant Foreign Currency Swaps 1% 5% 7,5% Lainnya 10% 12% 15% Untuk transaksi lindung nilai syariah OTC yang terdapat beberapa pertukaran notional atau prinsipal, potensi... - 7 - potensi eksposur di masa depan dari transaksi lindung nilai syariah OTC dihitung berdasarkan penjumlahan dari hasil perkalian antara masing-masing nilai notional transaksi lindung nilai syariah OTC dengan persentase tertentu yang ditetapkan berdasarkan sisa jangka waktu dari masing-masing notional transaksi dimaksud. - Untuk transaksi lindung nilai syariah OTC dengan struktur nilai tagihan atau kewajiban diselesaikan pada tanggal tertentu dan terdapat syarat dan ketentuan transaksi lindung nilai syariah OTC disesuaikan kembali sehingga nilai wajar dari transaksi lindung nilai syariah OTC adalah nol pada tanggal dimaksud, sisa jangka waktu transaksi lindung nilai syariah OTC ditetapkan sama dengan jangka waktu hingga tanggal penyesuaian berikutnya. - Transaksi lindung nilai syariah OTC dengan jenis variabel yang mendasari yang tidak dinyatakan secara spesifik dalam tabel di atas, diperlakukan sebagai “Lainnya”. b. Eksposur transaksi repo Tagihan bersih merupakan selisih positif antara nilai tercatat bersih surat berharga syariah yang menjadi underlying transaksi repo dengan nilai tercatat kewajiban repo. Nilai tercatat bersih surat berharga syariah adalah nilai tercatat surat berharga syariah setelah dikurangi dengan CKPN atas surat berharga syariah tersebut sesuai standar akuntansi yang berlaku. Khusus untuk CKPN yang dibentuk secara kolektif, yang dapat diperhitungkan hanya CKPN atas surat berharga syariah yang telah teridentifikasi mengalami penurunan nilai. Selain itu, Risiko Kredit dari penerbit surat berharga syariah yang menjadi diperhitungkan pula sebagai tagihan bersih untuk eksposur aset dalam neraca, sebagaimana dimaksud dalam butir C.1. c. Eksposur... underlying transaksi repo - 8 - c. Eksposur transaksi reverse repo Tagihan bersih merupakan nilai tercatat dari tagihan reverse repo setelah dikurangi dengan CKPN atas tagihan tersebut sesuai standar akuntansi. Khusus untuk CKPN yang dibentuk secara kolektif, yang diperhitungkan hanya CKPN atas tagihan yang telah teridentifikasi mengalami penurunan nilai. Untuk transaksi reverse repo, keberadaan agunan berupa surat berharga syariah yang menjadi underlying dari transaksi reverse repo dan/atau uang tunai diperhitungkan sebagai bentuk mitigasi Risiko Kredit atas transaksi dimaksud. Pengakuan agunan mengikuti Pendekatan Komprehensif dalam teknik mitigasi Risiko Kredit-agunan sebagaimana dimaksud dalam butir IV.B.6. D. FAKTOR KONVERSI KREDIT UNTUK EKSPOSUR TRANSAKSI REKENING ADMINISTRATIF Dalam rangka menghitung tagihan bersih untuk eksposur transaksi rekening administratif, penetapan FKK untuk transaksi rekening administratif sebagaimana dimaksud dalam butir C.2 adalah: 1. Kewajiban komitmen yang memenuhi kriteria sebagai uncommitted diberikan FKK sebesar 0% (nol persen). 2. Kewajiban komitmen dalam bentuk Letter of Credit (L/C) yang masih berlaku namun tidak termasuk standby Letter of Credit (L/C), baik terhadap Bank penerbit (issuing bank) maupun Bank yang melakukan konfirmasi (confirming bank), diberikan FKK sebesar 20% (dua puluh persen). 3. Kewajiban komitmen dengan jangka waktu perjanjian sampai dengan 1 (satu) tahun, diberikan FKK sebesar 20% (dua puluh persen). 4. Kewajiban komitmen dengan jangka waktu perjanjian lebih dari 1 (satu) tahun, diberikan FKK sebesar 50% (lima puluh persen). 5. Kewajiban kontinjensi dalam bentuk jaminan yang diterbitkan bukan dalam rangka pemberian pembiayaan, seperti bid bonds, performance bonds, atau advance payment bonds, diberikan FKK sebesar 50% (lima puluh persen). 6. Kewajiban... - 9 - 6. Kewajiban kontinjensi dalam bentuk: a. jaminan yang diterbitkan dalam rangka pemberian pembiayaan atau pengambilalihan risiko gagal bayar, termasuk berupa bank garansi dan standby Letter of Credit (L/C); atau b. akseptasi, termasuk endosemen atau aval atas surat-surat berharga; diberikan FKK sebesar 100% (seratus persen). 7. Pos transaksi rekening administratif yang timbul dari transaksi lindung nilai syariah tidak diberikan FKK dan perhitungan tagihan bersih atas eksposur tersebut dilakukan sebagaimana dimaksud dalam butir C.3.a. E. BOBOT RISIKO Dalam menentukan bobot risiko, Bank harus menggolongkan seluruh eksposur sebagaimana dimaksud dalam butir A.1 dan butir A.2 ke dalam kategori portofolio yang penetapannya didasarkan pada debitur atau pihak lawan transaksi, yaitu: 1. Tagihan kepada Pemerintah a. Tagihan kepada Pemerintah terdiri atas: 1) Tagihan kepada Pemerintah Indonesia yang mencakup tagihan kepada: a) Pemerintah Pusat Republik Indonesia; b) Bank Indonesia; c) badan-badan dan lembaga-lembaga pemerintah lainnya yang seluruh pendanaan operasionalnya berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Pemerintah Republik Indonesia; 2) Tagihan kepada pemerintah negara lain yang mencakup tagihan kepada pemerintah pusat dan bank sentral negara lain; b. Bobot risiko Tagihan kepada Pemerintah Indonesia sebagaimana dimaksud dalam butir a.1), baik dalam Rupiah maupun valuta asing adalah 0% (nol persen). c. Bobot risiko Tagihan kepada pemerintah negara lain sebagaimana dimaksud dalam butir a.2), baik dalam mata uang... - 10 - uang negara tersebut maupun valuta asing, ditetapkan sesuai peringkat internasional negara tersebut mengacu pada Tabel 3 di bawah ini. Tabel 3. Penetapan Bobot Risiko Tagihan Kepada Pemerintah Peringkat yang setara Jenis Tagihan Tagihan kepada Pemerintah Indonesia Tagihan kepada pemerintah negara lain 0% AAA s.d AA- A+ s.d A- BBB+ s.d BBB- 0% BB+ s.d B- Kurang dari B- Tanpa peringkat 20% 50% 100% 150% 100% 2. Tagihan kepada Entitas Sektor Publik a. Tagihan kepada Entitas Sektor Publik mencakup tagihan kepada: 1) Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai BUMN, kecuali BUMN berupa Bank; 2) Pemerintah daerah (provinsi, kota, dan kabupaten) di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam undang- undang mengenai pemerintahan daerah; 3) badan-badan atau lembaga-lembaga Pemerintah Republik Indonesia yang tidak memenuhi kriteria sebagai Tagihan kepada Pemerintah Indonesia. b. Bobot risiko Tagihan kepada Entitas Sektor Publik ditetapkan sesuai peringkat dengan mengacu pada Tabel 4 di bawah ini. Tabel 4. Penetapan Bobot Risiko Tagihan Kepada Entitas Sektor Publik AAA Bobot Risiko s.d AA- 20% A+ s.d A- 50% Peringkat yang setara BBB+ s.d BBB- 50% BB+ s.d B- Kurang dari B- 100% 150% Tanpa peringkat 50% 3. Tagihan... - 11 - 3. Tagihan kepada Bank Pembangunan Multilateral dan Lembaga Internasional a. Bank pembangunan multilateral merupakan lembaga keuangan internasional yang antara lain memiliki karakteristik khusus: (i) didirikan atau dimiliki oleh beberapa negara; dan (ii) menyediakan pembiayaan jangka panjang, hibah, dan/atau bantuan teknis dalam rangka pembangunan. b. Tagihan kepada bank pembangunan multilateral dan lembaga internasional mencakup tagihan kepada: 1) Bank Pembangunan Multilateral yang terdiri atas: a) Bank Pembangunan Multilateral tertentu yang telah ditetapkan oleh Basel Committee on Banking Supervision, yaitu World Bank Group yang terdiri atas International Bank for Reconstruction and Development (IBRD) dan International Finance Corporation (IFC), Asian Development Bank (ADB), African Development Bank (AfDB), European Bank for Reconstruction and Development (EBRD), Inter- American Development Bank (IADB), European Investment Bank (EIB), European Investment Fund (EIF), Nordic Investment Bank (NIB), Caribbean Development Bank (CDB), Islamic Development Bank (IDB), dan Council of Europe Development Bank (CEDB). b) Bank Pembangunan Multilateral lainnya. 2) Lembaga Internasional yaitu Bank for International Settlements, International Monetary Fund (IMF), dan European Central Bank. c. Bobot risiko Tagihan kepada bank pembangunan multilateral dan lembaga internasional mengacu pada Tabel 5 di bawah ini. Tabel 5. Penetapan Bobot Risiko Tagihan Kepada Bank Pembangunan Multilateral dan Lembaga Internasional Jenis... - 12 - Peringkat yang setara Jenis Tagihan Bank Pembangunan Multilateral tertentu dan Lembaga Internasional Bank Pembangunan Multilateral lainnya 20% 50% 50% AAA s.d AA- A+ s.d A- BBB+ s.d BBB- BB+ s.d B- Kurang dari B- Tanpa peringkat 0% 100% 150% 50% 4. Tagihan kepada Bank a. Tagihan kepada Bank mencakup tagihan kepada: 1) bank yang beroperasi di Indonesia, yang terdiri atas bank umum syariah, bank umum konvensional, bank pembiayaan rakyat syariah, dan bank perkreditan rakyat, termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri; 2) bank yang beroperasi di luar Indonesia, yang terdiri atas bank yang berbadan hukum asing dan kantor cabang dari bank yang berkantor pusat di Indonesia; 3) Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai lembaga pembiayaan ekspor Indonesia. b. Tagihan kepada Bank dibedakan menjadi: 1) tagihan jangka pendek yaitu tagihan dengan jangka waktu perjanjian sampai dengan 3 (tiga) bulan, termasuk tagihan yang tidak memiliki jangka waktu jatuh tempo namun dapat ditarik sewaktu-waktu; 2) tagihan jangka panjang yaitu tagihan dengan jangka waktu perjanjian lebih dari 3 (tiga) bulan. Tagihan Kepada Bank dengan jangka waktu perjanjian sampai dengan 3 (tiga) bulan namun dapat dipastikan akan diperpanjang (roll-over) sehingga keseluruhan jangka waktu menjadi lebih dari 3 (tiga) bulan, harus digolongkan sebagai tagihan jangka panjang. c. Bobot... - 13 - c. Bobot risiko Tagihan kepada Bank, baik tagihan jangka pendek, tagihan jangka panjang, ditetapkan sesuai peringkat dengan mengacu pada Tabel 6, Tabel 7 atau Tabel 8 di bawah ini. Tabel 6. Penetapan Bobot Risiko Tagihan Kepada Bank Dalam Bentuk Pembiayaan Peringkat yang setara Jenis Tagihan Tagihan Jangka Panjang Tagihan Jangka Pendek AAA s.d AA- 20% 20% 50% 20% A+ s.d A- BBB+ s.d BBB- 50% 20% BB+ s.d B- Kurang dari B- 100% 150% 50% 150% Tanpa peringkat 50% 20% Tabel 7. Penetapan Bobot Risiko Tagihan Kepada Bank Dalam Bentuk Surat Berharga Syariah yang Memiliki Peringkat Jangka Pendek A-1 Bobot Risiko 20% Peringkat yang setara A-2 A-3 50% 100% Kurang dari A-3 150% Tabel 8. Penetapan Bobot Risiko Tagihan Kepada Bank Dalam Bentuk Surat Berharga Syariah yang Tidak Memiliki Peringkat Jangka Pendek Peringkat yang setara Jenis Tagihan Bobot Risiko AAA s.d AA- 20% 50% A+ s.d A- BBB+ s.d BBB- 50% BB+ s.d B- Kurang dari B- 100% 150% Tanpa peringkat 50% 5. Pembiayaan Beragun Rumah Tinggal a. Pembiayaan Beragun Rumah Tinggal mencakup: 1) pembiayaan konsumsi untuk kepemilikan rumah tinggal atau apartemen atau pembiayaan konsumsi yang dijamin dengan agunan berupa rumah tinggal atau apartemen (tidak termasuk rumah toko dan rumah kantor), serta memenuhi kriteria: a) diberikan kepada debitur perorangan; b) agunan diikat dengan hak tanggungan atau fidusia... - 14 - fidusia sehingga memberikan kedudukan yang diutamakan (hak preferensi) kepada Bank; dan c) Bank memiliki sistem dan prosedur yang memadai untuk menilai dan memantau nilai agunan secara berkala. 2) pembiayaan konsumsi untuk kepemilikan rumah tinggal dalam rangka program Pemerintah Indonesia sesuai peraturan perundangan yang berlaku dan dijamin 100% (seratus persen) oleh lembaga penjaminan atau asuransi Pembiayaan berstatus BUMN yang memenuhi persyaratan pengakuan garansi dalam teknik Mitigasi Risiko Kredit (MRK) sebagaimana dimaksud dalam butir IV.C.1. b. Bobot risiko untuk Pembiayaan Beragun Rumah Tinggal ditetapkan: 1) paling rendah 35% (tiga puluh lima persen) untuk Pembiayaan Beragun Rumah Tinggal sebagaimana dimaksud dalam butir a.1). 2) paling rendah 20% (dua puluh persen) untuk Pembiayaan Beragun Rumah Tinggal sebagaimana dimaksud dalam butir a.2). 6. Pembiayaan Beragun Properti Komersial a. Pembiayaan Beragun Properti Komersial adalah pembiayaan yang memenuhi kriteria: 1) diberikan kepada perorangan atau badan usaha; 2) tujuan penggunaan dana untuk pembiayaan konstruksi atau pembangunan properti; Contoh: pembangunan perumahan, apartemen, rumah susun, ruang perkantoran, ruang komersial multifungsi, ruang komersial yang disewa banyak pihak atau pergudangan; dan 3) sumber utama pembayaran pembiayaan berasal dari arus kas dari penyewaan atau penjualan properti dimaksud. b. Bobot risiko pembiayaan Beragun Properti Komersial adalah 100% (seratus persen). 7. Pembiayaan... - 15 - 7. Pembiayaan Pegawai atau Pensiunan a. Pembiayaan Pegawai atau Pensiunan adalah pembiayaan yang memenuhi kriteria: 1) diberikan kepada pegawai atau pensiunan dari Pegawai Negeri Sipil (PNS), anggota TNI atau POLRI, pegawai lembaga negara, atau pegawai BUMN atau BUMD; 2) total plafon pembiayaan adalah Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) untuk setiap pegawai atau pensiunan; 3) pegawai atau pensiunan dijamin dengan asuransi jiwa dari perusahaan asuransi yang berstatus BUMN termasuk perusahaan asuransi merupakan anak perusahaan dari perusahaan asuransi yang berstatus BUMN atau perusahaan asuransi swasta yang memiliki peringkat paling rendah peringkat investasi dari lembaga pemeringkat yang diakui oleh Otoritas Jasa Keuangan; 4) pembayaran angsuran atau pelunasan pembiayaan bersumber dari gaji atau pensiun berdasarkan Surat Kuasa Memotong Gaji atau Pensiun kepada Bank pemberi pembiayaan. Dalam hal pembayaran gaji atau pensiun dilakukan bank lain atau BUMN lain maka Bank pemberi pembiayaan harus memiliki perjanjian kerja sama dengan bank lain atau BUMN lain pembayar gaji atau pensiun untuk melakukan pemotongan gaji atau pensiun dalam rangka pembayaran angsuran atau pelunasan pembiayaan; dan 5) Bank pemberi pembiayaan menyimpan asli surat pengangkatan pegawai atau surat keputusan jabatan atau pangkat yang terakhir atau surat keputusan pensiun atau Kartu Registrasi Induk Pensiun (KARIP) dan polis pertanggungan asuransi jiwa debitur. b. Bobot risiko Pembiayaan Pegawai atau Pensiunan adalah 50% (lima puluh persen). syariah yang 8. Tagihan... - 16 - 8. Tagihan Kepada Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Portofolio Ritel a. Tagihan Kepada Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Portofolio Ritel merupakan tagihan yang memenuhi kriteria: 1) diberikan kepada debitur yang merupakan (i) orang perorangan atau badan usaha yang memenuhi kriteria sebagai usaha mikro dan usaha kecil sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai usaha mikro, kecil, dan menengah, atau (ii) perorangan; 2) plafon pembiayaan kepada debitur paling tinggi sebesar 0,2% (nol koma dua persen) dari hasil penjumlahan plafon pembiayaan untuk seluruh debitur yang merupakan (i) orang perorangan atau badan usaha yang memenuhi kriteria sebagai usaha mikro dan usaha kecil sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai usaha mikro, kecil, dan menengah dan (ii) perorangan; 3) plafon pembiayaan kepada debitur paling tinggi sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). Maksimal plafon Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) tersebut juga dihitung dari penjumlahan plafon seluruh fasilitas yang diterima oleh 1 (satu) debitur yang memenuhi kriteria sebagai usaha mikro dan usaha kecil atau perorangan; 4) debitur tidak tergolong sebagai 50 (lima puluh) debitur terbesar Bank; 5) tagihan tidak dalam bentuk surat berharga syariah; dan 6) tagihan tidak memenuhi kriteria sebagai Pembiayaan Beragun Rumah Tinggal, Pembiayaan Beragun Properti Komersial, atau Pembiayaan Pegawai atau Pensiunan. b. Bobot risiko Tagihan Kepada Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Portofolio Ritel ditetapkan sebesar 75% (tujuh puluh lima persen). c. Pembiayaan Kendaraan Bermotor Syariah (KKB Syariah) merupakan salah satu pembiayaan yang dapat dikategorikan sebagai Tagihan Kepada Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Portofolio Ritel. 9. Tagihan... - 17 - 9. Tagihan kepada Korporasi a. Tagihan kepada Korporasi merupakan tagihan yang tidak memenuhi kategori portofolio sebagaimana dimaksud dalam angka 1 sampai dengan angka 8. b. Bobot risiko Tagihan kepada Korporasi ditetapkan sesuai peringkat dengan mengacu pada Tabel 9 atau Tabel 10 di bawah ini. Tabel 9. Penetapan Bobot Risiko Tagihan Kepada Korporasi Dalam Bentuk Pembiayaan atau Dalam Bentuk Surat Berharga yang Tidak Memiliki Peringkat Jangka Pendek Peringkat yang setara Tanpa AAA Bobot Risiko s.d AA- 20% A+ s.d A- BBB+ s.d BB- 50% 100% Kurang dari BB- 150% peringkat 100% Tabel 10. Penetapan Bobot Risiko Tagihan Kepada Korporasi Dalam Bentuk Surat Berharga yang Memiliki Peringkat Jangka Pendek A-1 Bobot Risiko 20% Peringkat yang setara A-2 A-3 50% 100% Kurang dari A-3 150% 10. Tagihan yang Telah Jatuh Tempo a. Tagihan yang Telah Jatuh Tempo adalah seluruh tagihan sebagaimana dimaksud dalam angka 1 sampai dengan angka 9, yang telah jatuh tempo lebih dari 90 (sembilan puluh) hari, baik atas pembayaran pokok dan/atau pembayaran bagi hasil atau margin atau ujrah. b. Bobot risiko Tagihan yang Telah Jatuh Tempo ditetapkan paling rendah 100% (seratus persen). 11. Aset Lainnya a. Aset berupa uang tunai, emas, dan commemorative coin, diberikan bobot risiko sebesar 0% (nol persen). b. Penyertaan yang bukan merupakan faktor pengurang modal dalam POJK KPMM BUS diberikan bobot risiko 100% (seratus persen). c. Aset Istishna’ Dalam Penyelesaian setelah dikurangi Termin Istishna’ diberikan bobot risiko 100% (seratus persen). d. Perhitungan... - 18 - d. Perhitungan bobot risiko dan/atau faktor pengurang modal terhadap tagihan atau transaksi rekening administratif dalam bentuk eksposur sekuritisasi mengacu pada ketentuan mengenai sekuritisasi aset. Untuk tagihan eksposur sekuritisasi selain yang diatur dalam ketentuan, maka penetapan bobot risiko didasarkan pada peringkat tagihan eksposur sekuritisasi mengacu pada Tabel 9. Khusus untuk tagihan eksposur sekuritisasi yang tidak memiliki peringkat maka penetapan bobot risiko ditetapkan secara konservatif yaitu bobot risiko paling tinggi diantara bobot risiko dari aset yang mendasari dan bobot risiko dari penerbit eksposur sekuritisasi. e. Aset yang diambil alih (AYDA) diberikan bobot risiko 100% (seratus persen). f. Aset lainnya, seperti persediaan, tanah, bangunan, inventaris, dan aset tetap lainnya, setelah dikurangi dengan akumulasi penyusutan diberikan bobot risiko 100% (seratus persen). 12. Pembiayaan Bagi Untung (Profit Sharing) a. Pembiayaan bagi untung (profit sharing) yang selanjutnya disebut pembiayaan PS adalah pembiayaan dengan pembagian hasil usaha dihitung dari pendapatan setelah dikurangi modal dan biaya-biaya. b. Pembiayaan PS dapat terdiri atas pembiayaan musyarakah (profit and loss sharing modes) dan pembiayaan mudharabah (profit sharing and loss bearing modes). c. Jenis pembiayaan PS adalah: 1) Pembiayaan musyarakah mutanaqisah adalah musyarakah atau syirkah yang kepemilikan aset (barang) atau modal salah satu pihak (syarik) berkurang disebabkan pembelian secara bertahap oleh pihak lainnya. Tujuan pembiayaan ini adalah untuk mengalihkan kepemilikan aset kepada nasabah. Aset musyarakah mutanaqisah dapat diijarahkan kepada nasabah atau pihak lain. Dengan demikian, bagi untung pembiayaan musyarakah mutanaqisah dapat berasal dari ujrah dari pembiayaan ijarah tersebut. 2) Pembiayaan... - 19 - 2) Pembiayaan proyek yaitu Bank menyediakan dana kepada nasabah yang bertindak sebagai pengelola (mudharib) dalam proyek pembangunan dengan pihak ketiga (ultimate customer). Ultimate customer akan membayar sesuai tahapan pembangunan kepada nasabah yang selanjutnya akan dibayarkan nasabah kepada Bank. Peran utama dari Bank dalam struktur ini adalah untuk menyediakan dana talangan kepada nasabah. Bank mensyaratkan pembayaran dari ultimate customer dilakukan melalui rekening nasabah di Bank yang khusus diperuntukkan bagi pembiayaan proyek (repayment account) dan nasabah tidak dapat menarik dana dari rekening tersebut tanpa persetujuan Bank. 3) Pembiayaan PS dengan sub kontrak yaitu pembiayaan kepemilikan aset tetap (tangible fixed assets) seperti mobil, mesin dan lain-lain. Aset tersebut kemudian disewakan atau dijual kepada end user dengan akad ijarah atau murabahah. Bagi untung Pembiayaan PS berasal dari ujrah dari pembiayaan ijarah atau margin dari pembiayaan murabahah. 4) Pembiayaan PS lainnya. d. Bobot risiko Pembiayaan Bagi Untung ditetapkan: 1) berdasarkan peringkat terkini dari nasabah end user atau ultimate customer atau 100% (seratus persen) jika tanpa peringkat (unrated), untuk kategori portofolio sebagaimana dimaksud dalam butir c.1), c.2), dan c.3); 2) sebesar 300% (tiga ratus persen) bagi nasabah berupa perusahaan terbuka atau 400% (empat ratus persen) bagi nasabah lainnya untuk kategori portofolio sebagaimana dimaksud dalam butir c.4). 13. Aset Produktif dengan Sumber Dana Profit Sharing Investment Account (PSIA) a. PSIA adalah sumber dana dengan pembagian hasil usaha dihitung dari pendapatan setelah dikurangi modal dan biaya-biaya. Sumber dana ini tidak termasuk dana dengan prinsip bagi hasil (net revenue sharing), yaitu bagi hasil yang... - 20 - yang dihitung dari pendapatan setelah dikurangi modal. b. bobot risiko Aset Produktif dengan Sumber Dana PSIA ditetapkan sebesar 1% (satu persen). III. PENGGUNAAN PERINGKAT Untuk jenis kategori portofolio yang penetapan bobot risikonya didasarkan pada peringkat maka penggunaan peringkat harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: A. UMUM 1. Peringkat yang digunakan adalah peringkat terkini yang dikeluarkan oleh lembaga pemeringkat yang diakui oleh Otoritas Jasa Keuangan. 2. Dalam satu kelompok usaha, peringkat suatu perusahaan tidak dapat digunakan untuk menetapkan bobot risiko dari perusahaan lain dalam kelompok tersebut. 3. Bank harus: a. memiliki pedoman dan prosedur untuk memastikan bahwa peringkat yang digunakan untuk menghitung ATMR Risiko Kredit-Pendekatan Standar adalah peringkat terkini; dan b. memelihara dokumentasi terkait peringkat terkini yang digunakan tersebut. Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan menilai bahwa peringkat yang digunakan Bank dalam penetapan bobot risiko mencerminkan risiko yang lebih rendah dari kondisi terkini atas debitur atau pihak lawan transaksi maka Otoritas Jasa Keuangan berwenang untuk menetapkan bobot risiko yang lebih tinggi dari yang digunakan Bank. B. TATA CARA PENGGUNAAN PERINGKAT 1. Peringkat Domestik (local rating) dan Peringkat Internasional (international rating) a. Peringkat domestik digunakan untuk penetapan bobot risiko tagihan dalam mata uang Rupiah. b. Peringkat internasional digunakan untuk penetapan bobot risiko tagihan dalam valuta asing. 2. Peringkat Surat Berharga Syariah (Issue Rating) dan Peringkat Debitur (Issuer Rating) a. Penetapan... - 21 - a. Penetapan bobot risiko atas tagihan dalam bentuk surat berharga syariah didasarkan pada peringkat dari surat berharga syariah dimaksud (issue rating). Dalam hal surat berharga syariah tidak memiliki peringkat maka penetapan bobot risiko didasarkan pada bobot risiko dari tagihan tanpa peringkat. b. Penetapan bobot risiko atas tagihan dalam bentuk selain surat berharga syariah, didasarkan pada peringkat debitur (issuer rating). Dalam hal tagihan dalam bentuk selain surat berharga syariah tidak memiliki peringkat maka penetapan bobot risiko didasarkan pada bobot risiko dari tagihan tanpa peringkat. 3. Peringkat Jangka Pendek dan Peringkat Jangka Panjang a. Peringkat jangka pendek sebagaimana dimaksud pada Tabel 7 dan Tabel 10 digunakan untuk penetapan bobot risiko dari surat berharga syariah yang memiliki peringkat jangka pendek dan diterbitkan oleh pihak yang termasuk dalam cakupan Tagihan kepada Bank atau Tagihan kepada Korporasi. b. Penetapan bobot risiko untuk Tagihan kepada Bank yang tergolong sebagai Tagihan Jangka Pendek sebagaimana dimaksud dalam butir II.E.4.b.1) namun tidak memiliki peringkat jangka pendek, mengacu pada peringkat jangka panjang sesuai Tabel 6. c. Penetapan bobot risiko untuk Tagihan kepada Korporasi yang tidak memiliki peringkat jangka pendek, mengacu pada Tabel 9. 4. Peringkat Tunggal dan Multi Peringkat Dalam hal debitur, pihak lawan, atau instrumen keuangan: a. hanya memiliki 1 (satu) peringkat maka Bank harus menggunakan hasil peringkat dimaksud; b. memiliki 2 (dua) peringkat dan masing-masing memberikan bobot risiko yang berbeda maka Bank harus menggunakan peringkat yang menghasilkan bobot risiko tertinggi; c. memiliki 3 (tiga) peringkat atau lebih dan memberikan bobot risiko yang berbeda maka Bank harus menggunakan peringkat... - 22 - peringkat yang menghasilkan bobot risiko terendah kedua. Contoh: Surat berharga syariah yang diterbitkan oleh perusahaan X dan tergolong sebagai Tagihan Kepada Korporasi memiliki peringkat AA-, A-, dan BBB+ sehingga berturut-turut setara dengan bobot risiko 20% (dua puluh persen), 50% (lima puluh persen), dan 100% (seratus persen). Untuk perhitungan ATMR Risiko Kredit- Pendekatan Standar, Bank harus menggunakan peringkat A- yaitu peringkat yang menghasilkan bobot risiko terendah kedua yaitu 50% (lima puluh persen). IV. METODE DAN TEKNIK MITIGASI RISIKO KREDIT A. UMUM 1. Dalam menghitung ATMR Risiko Kredit-Pendekatan Standar, Bank dapat mengakui keberadaan agunan, garansi, dan/atau penjaminan atau asuransi pembiayaan UMKM sebagai Teknik Mitigasi Risiko Kredit, selanjutnya disebut Teknik MRK. 2. Teknik MRK sebagaimana dimaksud pada angka 1 mencakup: a. Teknik MRK-Agunan; b. Teknik MRK-Garansi; dan/atau c. Teknik MRK-Penjaminan atau Asuransi Pembiayaan UMKM. 3. Prinsip utama dalam pengakuan Teknik MRK adalah: a. Teknik MRK hanya diakui apabila ATMR Risiko Kredit dari eksposur yang menggunakan Teknik MRK lebih rendah dari ATMR Risiko Kredit dari eksposur tersebut yang tidak menggunakan Teknik MRK. Hasil perhitungan ATMR Risiko Kredit setelah memperhitungkan dampak Teknik MRK paling rendah sebesar nol. b. Dampak keberadaan agunan, garansi, dan/atau penjaminan atau asuransi pembiayaan UMKM yang diakui sebagai Teknik MRK tidak boleh diperhitungkan ganda dalam perhitungan ATMR Risiko Kredit. Contoh: Apabila peringkat surat berharga syariah telah memperhitungkan dampak keberadaan agunan, garansi, dan/atau penjaminan atau asuransi pembiayaan UMKM maka... - 23 - maka perhitungan ATMR Risiko Kredit atas surat berharga syariah dimaksud tidak boleh memperhitungkan kembali keberadaan agunan, garansi, dan/atau penjaminan atau asuransi pembiayaan UMKM yang sama. c. Masa berlakunya pengikatan agunan, garansi, dan/atau penjaminan atau asuransi pembiayaan UMKM paling sedikit sama dengan sisa jangka waktu eksposur. 4. Selain harus memenuhi prinsip utama sebagaimana dimaksud dalam angka 3, Teknik MRK juga harus memenuhi kriteria: a. seluruh dokumen agunan, garansi, dan/atau penjaminan atau asuransi pembiayaan UMKM yang digunakan dalam Teknik MRK memenuhi persyaratan sesuai ketentuan perundang-undangan; b. Bank secara berkala melakukan reviu untuk memastikan bahwa agunan, garansi, dan/atau penjaminan atau asuransi pembiayaan UMKM tetap memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud pada huruf a; dan c. dokumentasi yang digunakan dalam Teknik MRK harus memuat klausula yang menetapkan jangka waktu yang wajar untuk eksekusi atau pencairan agunan, garansi, dan/atau penjaminan atau asuransi pembiayaan UMKM yang didasarkan pada terjadinya kondisi yang menyebabkan debitur tidak mampu melaksanakan kewajibannya sesuai dengan perjanjian penyediaan dana. 5. Apabila persyaratan sebagaimana dimaksud pada angka 3 dan angka 4 tidak dipenuhi maka keberadaan MRK tidak diakui dalam perhitungan ATMR Risiko Kredit-Pendekatan Standar. 6. Dalam rangka mengoptimalkan penggunaan Teknik MRK, Bank harus memiliki prosedur tertulis untuk mengidentifikasi, mengukur, memantau, dan mengendalikan risiko yang timbul dari penggunaan Teknik MRK, seperti risiko hukum, risiko operasional, risiko likuiditas, dan risiko pasar, termasuk prosedur untuk memastikan bahwa eksekusi agunan, garansi, dan/atau penjaminan atau asuransi pembiayaan UMKM dilakukan dalam jangka waktu yang wajar. B. TEKNIK... - 24 - B. TEKNIK MRK-AGUNAN 1. Pendekatan Teknik MRK-Agunan Pengakuan Teknik MRK-Agunan dapat menggunakan 2 (dua) pendekatan, yaitu: a. Pendekatan Sederhana (simple approach), untuk eksposur sebagaimana dimaksud dalam butir II.A.1; atau b. Pendekatan Komprehensif (comprehensive approach), untuk eksposur sebagaimana dimaksud dalam butir II.A.2. 2. Persyaratan Pengakuan a. Selain harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada butir A.3 dan butir A.4, agunan yang digunakan dalam Teknik MRK-Agunan harus memenuhi persyaratan: 1) agunan tidak diterbitkan oleh debitur atau pihak lawan transaksi yang sama; dan 2) kualitas agunan tidak berkorelasi secara positif dengan kualitas eksposur; sehingga agunan dapat memberikan perlindungan yang memadai apabila debitur atau pihak lawan transaksi tidak mampu melaksanakan kewajibannya sesuai perjanjian penyediaan dana. Contoh: Agunan berupa surat berharga yang diterbitkan oleh perusahaan X yang memiliki keterkaitan arus kas secara signifikan dengan perusahaan Y yang merupakan debitur atau pihak lawan transaksi dari Bank, dianggap memiliki korelasi positif sehingga surat berharga tersebut tidak diakui dalam Teknik MRK – Agunan. b. Apabila persyaratan sebagaimana dimaksud pada huruf a tidak terpenuhi maka keberadaan agunan dalam Teknik MRK-Agunan tidak diakui dalam perhitungan ATMR Risiko Kredit-Pendekatan Standar. 3. Jenis Agunan Keuangan yang Diakui a. Jenis agunan keuangan yang diakui (eligible financial collateral) dalam Teknik MRK-Agunan baik pada Pendekatan Sederhana maupun Pendekatan Komprehensif adalah: 1) uang... - 25 - 1) uang tunai yang disimpan pada Bank penyedia dana; 2) giro, tabungan, atau deposito yang diterbitkan oleh Bank penyedia dana; 3) emas yang disimpan pada Bank penyedia dana; 4) Surat Utang Negara (SUN) yang diterbitkan oleh Pemerintah Republik Indonesia yang meliputi Obligasi Negara dan Surat Perbendaharaan Negara sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai surat utang negara; 5) Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai surat berharga syariah negara; 6) Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS); dan/atau 7) surat-surat berharga yang diperingkat oleh lembaga pemeringkat yang diakui oleh Otoritas Jasa Keuangan dengan peringkat paling rendah: a) setara dengan BBB- jika diterbitkan oleh pihak yang termasuk dalam Tagihan kepada Pemerintah Negara Lain sebagaimana dimaksud dalam butir II.E.1.a.2); b) setara dengan BBB- jika diterbitkan oleh pihak yang termasuk dalam Tagihan kepada Entitas Sektor Publik sebagaimana dimaksud dalam butir II.E.2; c) setara dengan BBB- jika diterbitkan oleh pihak yang termasuk dalam Tagihan kepada Bank Pembangunan Multilateral dan Lembaga Internasional sebagaimana dimaksud dalam butir II.E.3; d) setara dengan BBB- jika diterbitkan oleh pihak yang termasuk dalam Tagihan kepada Bank sebagaimana dimaksud dalam butir II.E.4; e) setara dengan A- jika diterbitkan oleh pihak yang termasuk dalam Tagihan kepada Korporasi sebagaimana dimaksud dalam butir II.E.9; f) setara A-2 untuk surat berharga jangka pendek. b. Instrumen... - 26 - b. Instrumen yang mendasari (underlying) atau agunan dari transaksi reverse repo dapat diakui sebagai bentuk MRK atas transaksi reverse repo dimaksud sepanjang termasuk sebagai jenis agunan sebagaimana dimaksud pada huruf a. 4. Penggunaan Nilai Agunan a. Dalam mengakui dampak MRK dari jenis agunan sebagaimana dimaksud pada angka 3 terhadap perhitungan ATMR Risiko Kredit-Pendekatan Standar, Bank harus menggunakan nilai agunan sebesar nilai yang lebih rendah antara nilai pengikatan agunan dengan nilai wajar atau nilai pasar agunan. b. Dalam hal pengikatan agunan dilakukan atas beberapa tagihan bersih maka nilai agunan yang dapat diakui sebagai Teknik MRK-Agunan untuk seluruh tagihan bersih paling tinggi sebesar nilai agunan dan tidak melebihi total seluruh tagihan bersih. Contoh: Bank A memberikan pembiayaan kepada debitur X dan debitur Y masing-masing sebesar Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dengan agunan berupa deposito senilai Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). Agunan tersebut sebesar Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah) diikat untuk pembiayaan kepada debitur X dan sebesar Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) diikat untuk pembiayaan kepada debitur Y. Dampak MRK atas agunan berupa deposito dimaksud yang digunakan untuk menghitung ATMR Risiko Kredit - Pendekatan Standar atas debitur X adalah sebesar Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah) dan atas debitur Y adalah sebesar Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). 5. Teknik MRK - Agunan pada Pendekatan Sederhana Penggunaan Teknik MRK - Agunan pada Pendekatan Sederhana harus dilakukan: a. penilaian kembali terhadap nilai wajar atau nilai pasar agunan harus dilakukan paling sedikit 1 (satu) bulan sekali; dan b. perhitungan... - 27 - b. perhitungan nilai agunan sebagaimana dimaksud dalam butir a harus memperhitungkan pengurangan nilai (haircut) atas nilai tukar (HFX) sebagai faktor pengurang sebesar 8% (delapan persen) apabila: 1) tagihan dan agunan dalam mata uang yang berbeda; atau 2) agunan dalam bentuk emas; c. perhitungan ATMR Risiko Kredit–Pendekatan Standar atas eksposur yang telah memperhitungkan Teknik MRK– Agunan pada Pendekatan Sederhana dilakukan sebagai berikut: 1) Dampak MRK diakui menggunakan prinsip substitusi yaitu bobot risiko agunan menggantikan bobot risiko eksposur, yaitu: a) Bagian dari nilai tagihan bersih yang mendapatkan perlindungan dari agunan, selanjutnya disebut bagian yang dijamin (secured portion), dikenakan: (1) bobot risiko sebesar 0% (nol persen), apabila agunan dalam bentuk sebagaimana dimaksud dalam butir 3.a.1) sampai dengan butir 3.a.6); (2) bobot risiko dari agunan, apabila agunan dalam bentuk surat berharga sebagaimana dimaksud dalam butir 3.a.7), dengan batas bawah sebesar 20% (dua puluh persen). b) Bagian dari nilai tagihan bersih yang tidak mendapatkan perlindungan dari agunan, selanjutnya disebut bagian yang tidak dijamin (unsecured portion), dikenakan bobot risiko dari eksposur sesuai kategori portofolio sebagaimana dimaksud dalam butir II.E. 2) Apabila eksposur dijamin oleh beberapa jenis agunan dengan bobot risiko yang berbeda dan nilai total perlindungan agunan lebih tinggi dari nilai tagihan bersih maka pengakuan agunan dalam Teknik MRK- Agunan... - 28 - Agunan diprioritaskan menggunakan jenis agunan dengan bobot risiko dari yang terendah. 3) ATMR Risiko Kredit-Pendekatan Standar atas eksposur yang telah memperhitungkan Teknik MRK-Agunan pada Pendekatan Sederhana merupakan penjumlahan dari: a) hasil perkalian antara bagian tagihan bersih yang dijamin (secured portion) dengan bobot risiko agunan sebagaimana dimaksud dalam butir 1)a); dan b) hasil perkalian antara bagian tagihan bersih yang tidak dijamin (unsecured portion) dengan bobot risiko sebagaimana dimaksud dalam butir 1)b). 6. Teknik MRK-Agunan pada Pendekatan Komprehensif a. Jenis dan Besaran Pengurangan Nilai (Haircut) 1) teknik MRK - Agunan pada Pendekatan Komprehensif, dilakukan dengan cara mengurangi nilai tagihan bersih dengan nilai agunan, setelah memperhitungkan pengurangan nilai (haircut) untuk masing-masing nilai; 2) pengurangan nilai (haircut) sebagaimana dimaksud pada angka 1) dilakukan: a) pengurangan nilai (haircut) atas nilai tagihan bersih (He) merupakan faktor penambah untuk mengantisipasi peningkatan nilai tagihan bersih; b) pengurangan nilai (haircut) atas nilai agunan (Hc) merupakan faktor pengurang untuk mengantisipasi penurunan nilai agunan; yang disebabkan karena perubahan faktor pasar. 3) Pengurangan nilai (haircut) sebagaimana dimaksud pada angka 2) mengacu pada Tabel 11 di bawah ini. Tabel 11. Haircut untuk Teknik MRK-Agunan pada Pendekatan Komprehensif Peringkat... - 29 - Peringkat Efek / Surat Berharga* AAA s.d AA- atau A-1 Sisa Jatuh Tempo < 1 tahun > 1 tahun, < 5 tahun A+ s.d BBB- atau A-2 atau A-3 BB+ s.d BB- > 5 tahun < 1 tahun > 1 tahun, < 5 tahun > 5 tahun Seluruhn ya Tunai dalam mata uang yang sama Diterbitkan Pemerintah dan Bank Pembangunan Multilateral 0,5 % 2% 4% 1% 3% 6% 15% 0% Keterangan Tabel: * Ilustrasi peringkat pada Tabel 1 menggunakan notasi peringkat yang dikeluarkan oleh Lembaga Pemeringkat Standard and Poor’s. Asumsi untuk pengurangan nilai (haircut) di atas adalah: a) holding period 10 (sepuluh) hari kerja untuk tagihan bersih; dan b) revaluasi dan/atau remargining atas tagihan bersih dan agunan dilakukan secara harian. 4) Dalam hal eksposur dan agunan dalam mata uang yang berbeda maka nilai agunan selain dikenakan pengurangan nilai (haircut) sebagaimana dimaksud pada butir 2)b), juga dikenakan pengurangan nilai (haircut) atas nilai tukar (HFX) sebesar 8% (delapan persen) dengan menggunakan asumsi: a) holding period 10 (sepuluh) hari kerja untuk tagihan bersih; dan b) revaluasi atas agunan dilakukan secara harian. b. Penyesuaian pengurangan nilai (Haircut) Apabila frekuensi revaluasi dan/atau remargining aktual yang dilakukan Bank berbeda dengan asumsi sebagaimana dimaksud... Diterbitkan oleh Pihak Lainnya 1% 4% 8% 2% 6% 12% 25% - 30 - dimaksud dalam butir a.3)b) dan/atau butir a.4)b) maka pengurangan nilai (haircut) pada Tabel 11 dan/atau butir a.4), disesuaikan dengan formula sebagai berikut: keterangan: H HM NR = penyesuaian pengurangan nilai (haircut). = pengurangan nilai (haircut) berdasarkan Tabel 11 dan/atau butir a.4). = periode aktual pelaksanaan revaluasi dan/atau remargining (dinyatakan dalam hari kerja). TM = asumsi holding period minimum yaitu 10 (dinyatakan dalam hari kerja). c. Perhitungan ATMR Risiko Kredit-Pendekatan Standar atas eksposur yang telah memperhitungkan Teknik MRK- Agunan pada Pendekatan Komprehensif 1) Perhitungan ATMR Risiko Kredit-Pendekatan Standar atas eksposur yang telah memperhitungkan Teknik MRK-Agunan pada Pendekatan Komprehensif adalah hasil perkalian antara nilai tagihan bersih setelah pengakuan MRK dengan bobot risiko. 2) Nilai tagihan bersih setelah pengakuan MRK (E*) sebagaimana dimaksud pada angka 1) dihitung dengan formula: E* = max{0,[E x (1+HE) – C x (1- HC – HFX)]} keterangan: E* E HE C HC = nilai tagihan bersih setelah pengakuan MRK. = nilai tagihan bersih pengakuan MRK. = pengurangan nilai (haircut) atas tagihan bersih. = nilai agunan. = pengurangan nilai (haircut) atas nilai agunan. HFX... sebelum - 31 - HFX = pengurangan nilai (haircut) atas nilai tukar. 3) Penetapan bobot risiko sebagaimana dimaksud dalam angka 1) mengacu pada penetapan bobot risiko dari eksposur sesuai dengan kategori portofolio sebagaimana dimaksud dalam butir II.E. C. TEKNIK MRK - GARANSI 1. Persyaratan Pengakuan Selain harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam butir A.3 dan butir A.4, garansi yang diakui dalam Teknik MRK - Garansi harus memenuhi persyaratan: a. Bank memiliki hak tagih langsung kepada pihak pemberi jaminan tanpa harus melakukan tindakan hukum terlebih dahulu terhadap debitur dalam hal terjadi kondisi yang menyebabkan debitur tidak mampu melaksanakan kewajibannya sesuai perjanjian penyediaan dana; b. tagihan atau transaksi rekening administratif yang diberikan garansi harus dinyatakan secara spesifik dan jelas dalam perjanjian garansi; c. perjanjian garansi bersifat tanpa syarat (unconditional) dan tidak dapat dibatalkan (irrevocable); d. garansi harus dicairkan dalam jangka waktu paling lambat 90 (sembilan puluh) hari sejak eksposur tergolong dalam kategori portofolio Tagihan yang Telah Jatuh Tempo sebagaimana dimaksud dalam butir II.E.10; dan e. garansi yang diterbitkan oleh pihak pemberi jaminan telah diakui sebagai kewajiban dalam pembukuan pihak pemberi jaminan. 2. Penerbit Garansi yang Diakui Dampak Teknik MRK-Garansi hanya diakui apabila pihak pemberi garansi adalah: a. pihak yang termasuk dalam cakupan kategori portofolio Tagihan kepada Pemerintah Indonesia sebagaimana dimaksud dalam butir II.E.1.a.1); b. pihak... - 32 - b. pihak yang termasuk dalam cakupan kategori portofolio Tagihan kepada Pemerintah Negara Lain sebagaimana dimaksud dalam butir II.E.1.a.2), apabila pihak tersebut memiliki: 1) bobot risiko lebih rendah dari bobot risiko tagihan yang dijamin; dan 2) peringkat paling rendah BBB- atau yang setara; c. Bank umum yang berbadan hukum Indonesia, kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri, dan Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia yang memiliki bobot risiko lebih rendah dari bobot risiko tagihan yang dijamin; d. bank yang berbadan hukum asing yang tergolong sebagai prime bank sebagaimana diatur dalam ketentuan mengenai batas maksimum pemberian kredit; dan/atau e. lembaga keuangan yang bergerak di bidang penjaminan atau asuransi yang termasuk dalam cakupan kategori portofolio Tagihan kepada Entitas Sektor Publik dan Tagihan kepada Korporasi. 3. Perhitungan ATMR Risiko Kredit-Pendekatan Standar atas eksposur yang telah memperhitungkan Teknik MRK-Garansi a. Garansi yang diakui dalam Teknik MRK-Garansi untuk perhitungan bobot risiko dari tagihan bersih dilakukan: 1) bagian dari tagihan bersih yang dijamin dengan garansi atau disebut sebagai bagian yang dijamin (secured portion) diberikan bobot risiko pihak penerbit garansi sesuai dengan kategori portofolio sebagaimana dimaksud dalam butir II.E; dan 2) bagian dari tagihan bersih yang tidak dijamin dengan garansi atau disebut sebagai bagian yang tidak dijamin (unsecured portion) diberikan bobot risiko dari eksposur sesuai kategori portofolio sebagaimana dimaksud dalam butir II.E. b. Dalam hal eksposur dan garansi dalam mata uang yang berbeda maka nilai garansi dikenakan pengurangan nilai (haircut) atas nilai tukar (HFX) sebesar 8% (delapan persen) dengan formula: GA = G x (1 – HFX)... ... - 33 - GA = G x (1 – HFX) keterangan: GA G HFX = nilai Garansi setelah memperhitungkan pengurangan nilai (haircut) atas nilai tukar; = nilai Garansi; = pengurangan nilai (haircut) atas nilai tukar; c. Penggunaan pengurangan nilai (haircut) atas nilai tukar sebesar 8% (delapan persen) menggunakan asumsi 10 (sepuluh) hari kerja holding period dan revaluasi nilai pasar secara harian. Apabila frekuensi revaluasi aktual yang dilakukan Bank berbeda dengan asumsi tersebut maka Bank harus menyesuaikan pengurangan nilai (haircut) atas nilai tukar dimaksud dengan formula sebagaimana dimaksud pada butir B.6.b. d. Apabila eksposur dijamin oleh beberapa penerbit garansi dengan bobot risiko yang berbeda dan nilai total perlindungan garansi lebih tinggi dari nilai tagihan bersih maka pengakuan garansi dalam Teknik MRK-Garansi diprioritaskan menggunakan garansi dari pihak penerbit garansi dengan bobot risiko dari yang terendah. e. ATMR Risiko Kredit-Pendekatan Standar atas eksposur yang telah memperhitungkan Teknik MRK-Garansi merupakan penjumlahan dari: 1) hasil perkalian antara bagian yang dijamin (secured portion) dengan bobot risiko dari pihak penerbit garansi sesuai kategori portofolio sebagaimana dimaksud dalam butir II.E; dan 2) hasil perkalian antara bagian yang tidak dijamin (unsecured portion) dengan bobot risiko dari eksposur sesuai kategori portofolio sebagaimana dimaksud dalam butir II.E. D. TEKNIK MRK-PENJAMINAN ATAU ASURANSI PEMBIAYAAN UMKM Pengakuan penjaminan atau asuransi pembiayaan UMKM sebagai Teknik MRK dalam perhitungan ATMR Risiko Kredit-Pendekatan Standar dilakukan sebagai berikut: 1. Persyaratan... - 34 - 1. Persyaratan Pengakuan Selain harus memenuhi persyaratan pengakuan Teknik MRK- Garansi sebagaimana dimaksud dalam butir C.1, penjaminan atau asuransi pembiayaan UMKM yang diakui dalam Teknik MRK-Penjaminan atau Asuransi Pembiayaan UMKM harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam angka 2 dan angka 3. 2. Penjaminan atau asuransi pembiayaan UMKM yang diterbitkan oleh lembaga penjaminan atau perusahaan asuransi berstatus BUMN termasuk lembaga penjaminan atau perusahaan asuransi syariah yang merupakan anak perusahaan dari lembaga penjaminan atau perusahaan asuransi berstatus BUMN harus memenuhi persyaratan: a. penjaminan atau asuransi pembiayaan diberikan terhadap pembiayaan kepada usaha mikro, usaha kecil, dan usaha menengah. Pengertian usaha mikro, usaha kecil, dan usaha menengah mengacu pada undang-undang mengenai usaha mikro, kecil, dan menengah; b. skema penjaminan atau asuransi pembiayaan harus memenuhi persyaratan: 1) pangsa penjaminan pembiayaan oleh lembaga penjaminan atau perusahaan asuransi paling rendah 70% (tujuh puluh persen) dari pembiayaan yang diberikan oleh Bank; 2) Bank harus mengajukan klaim kepada lembaga penjaminan atau perusahaan asuransi paling lama 1 (satu) bulan sejak terjadi tunggakan pokok, bagi hasil/margin/ujrah, dan/atau tagihan lainnya yang menjadikan kualitas pembiayaan paling baik dinilai “Diragukan” sesuai ketentuan Otoritas Jasa Keuangan mengenai penilaian kualitas aset bank umum syariah dan unit usaha syariah, walaupun pembiayaan belum jatuh tempo; 3) pembayaran penjaminan atau asuransi pembiayaan paling lambat 15 (lima belas) hari kerja setelah klaim diajukan oleh Bank dan dokumen diterima secara lengkap... - 35 - lengkap oleh lembaga penjaminan atau perusahaan asuransi; 4) jangka waktu penjaminan atau asuransi pembiayaan paling kurang sama dengan jangka waktu pembiayaan; dan 5) penjaminan atau asuransi pembiayaan bersifat tanpa syarat (unconditional) dan tidak dapat dibatalkan (irrevocable); Persyaratan pada angka 1) sampai dengan angka 5) harus dicantumkan dalam perjanjian antara Bank dengan lembaga penjaminan atau perusahaan asuransi; c. lembaga penjaminan atau perusahaan asuransi berstatus BUMN termasuk lembaga penjaminan atau perusahaan asuransi syariah yang merupakan anak perusahaan dari lembaga penjaminan atau perusahaan asuransi berstatus BUMN memenuhi persyaratan: 1) didukung oleh dana penjaminan (modal) termasuk setoran dana dari pemerintah dengan gearing ratio yang mengacu pada ketentuan yang berlaku, paling tinggi 10 (sepuluh) kali; dan 2) mematuhi ketentuan mengenai lembaga penjaminan atau perusahaan asuransi yang diatur oleh Otoritas Jasa Keuangan; 3. Penjaminan atau Asuransi Pembiayaan yang diterbitkan oleh Lembaga Penjaminan atau Perusahaan Asuransi Berstatus Bukan BUMN harus memenuhi persyaratan: a. penjaminan atau asuransi pembiayaan diberikan terhadap pembiayaan kepada usaha mikro, usaha kecil, dan usaha menengah. Pengertian usaha mikro, usaha kecil, dan usaha menengah mengacu pada undang-undang mengenai usaha mikro, kecil, dan menengah; b. skema penjaminan atau asuransi pembiayaan memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam butir 2.b; c. lembaga penjaminan atau perusahaan asuransi berstatus bukan BUMN tersebut harus memenuhi persyaratan: 1) pendirian... - 36 - 1) pendirian lembaga penjaminan atau perusahaan asuransi sesuai peraturan mengenai lembaga penjaminan atau perusahaan asuransi; 2) memiliki peringkat dari lembaga pemeringkat yang diakui Otoritas Jasa Keuangan paling rendah setara dengan BBB-; 3) didukung oleh dana penjaminan (modal) dengan gearing ratio yang mengacu pada ketentuan yang berlaku, paling tinggi 10 (sepuluh) kali; 4) mematuhi ketentuan mengenai lembaga penjaminan atau perusahaan asuransi yang diatur oleh Otoritas Jasa Keuangan; dan 5) bukan merupakan pihak terkait dari Bank kecuali keterkaitan tersebut karena hubungan kepemilikan dengan Pemerintah Daerah. Penentuan pihak terkait Bank didasarkan pada hubungan kepemilikan, hubungan kepengurusan, dan hubungan keuangan sebagaimana dalam ketentuan yang mengatur mengenai batas maksimum pemberian kredit. 4. Perhitungan ATMR Risiko Kredit-Pendekatan Standar atas eksposur yang telah memperhitungkan Teknik MRK-Penjaminan atau Asuransi Pembiayaan UMKM a. Perhitungan ATMR Risiko Kredit-Pendekatan Standar atas eksposur yang telah memperhitungkan Teknik MRK- Penjaminan atau Asuransi Pembiayaan UMKM dan memenuhi seluruh persyaratan pada angka 1, angka 2, dan angka 3 adalah: 1) Bagian dari tagihan bersih yang mendapat perlindungan dari lembaga penjaminan atau perusahaan asuransi, selanjutnya disebut bagian yang dijamin (secured portion), dikenakan bobot risiko: a) sebesar 20% (dua puluh persen) apabila dijamin oleh lembaga penjaminan atau perusahaan asuransi berstatus BUMN termasuk lembaga penjaminan atau perusahaan asuransi syariah yang merupakan anak perusahaan dari lembaga penjaminan... - 37 - penjaminan atau perusahaan asuransi berstatus BUMN dan memenuhi seluruh kriteria sebagaimana dimaksud dalam angka 2; b) sesuai bobot risiko lembaga penjaminan atau perusahaan asuransi apabila dijamin oleh lembaga penjaminan atau perusahaan asuransi berstatus bukan BUMN dan memenuhi seluruh kriteria sebagaimana dimaksud dalam angka 3. Penetapan bobot risiko tersebut didasarkan pada peringkat lembaga penjaminan/asuransi pembiayaan sesuai kategori portofolio Tagihan kepada Entitas Sektor Publik sebagaimana dimaksud dalam butir II.E.2. c) sebesar 50% (lima puluh persen) apabila dijamin oleh lembaga penjaminan atau perusahaan asuransi berstatus BUMD yang memiliki peringkat dari lembaga pemeringkat yang diakui oleh Otoritas Jasa Keuangan setara BBB- dan mendapatkan rekomendasi dalam bentuk tertulis dari Otoritas Jasa Keuangan untuk melakukan program penjaminan serta memenuhi seluruh kriteria sebagaimana dimaksud dalam angka 3. 2) Bagian dari tagihan bersih yang tidak mendapat perlindungan dari lembaga penjaminan atau perusahaan asuransi, selanjutnya disebut bagian yang tidak dijamin (unsecured portion), dikenakan bobot risiko eksposur sesuai kategori portofolio sebagaimana dimaksud pada butir II.E. 3) ATMR Risiko Kredit-Pendekatan Standar atas eksposur yang telah memperhitungkan Teknik MRK-Penjaminan atau Asuransi Pembiayaan UMKM merupakan penjumlahan dari: a) hasil perkalian antara bagian yang dijamin (secured portion) dengan bobot risiko sebagaimana dimaksud dalam butir 1)a), butir 1)b), atau butir 1)c); dan b) hasil... - 38 - b) hasil perkalian antara bagian yang tidak dijamin (unsecured portion) dengan bobot risiko sebagaimana dimaksud dalam angka 2). b. Perhitungan ATMR Risiko Kredit-Pendekatan Standar atas eksposur yang dijamin oleh lembaga penjaminan atau perusahaan asuransi yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam angka 1, angka 2, dan angka 3 namun memenuhi persyaratan garansi sebagaimana dimaksud dalam butir C.1 dan butir C.2 dilakukan dengan mengacu pada perhitungan sebagaimana dimaksud dalam butir C.3. E. PERHITUNGAN ATMR RISIKO KREDIT-PENDEKATAN STANDAR ATAS EKSPOSUR YANG MENGGUNAKAN BEBERAPA JENIS TEKNIK MRK Dalam hal eksposur tagihan bersih memiliki beberapa jenis Teknik MRK sebagaimana dimaksud dalam butir A.2, maka: 1. Perhitungan ATMR Risiko Kredit-Pendekatan Standar atas eksposur yang menggunakan beberapa jenis teknik MRK merupakan penjumlahan: a. hasil perkalian antara (i) bagian tagihan bersih yang dijamin (secured portion) dengan Teknik MRK-Agunan dengan (ii) bobot risiko dari agunan sebagaimana dimaksud dalam butir B.5.c.1)a) dan/atau hasil perkalian antara nilai tagihan bersih setelah pengakuan MRK dengan bobot risiko sebagaimana dimaksud dalam butir B.6.c.; b. hasil perkalian antara (i) bagian tagihan bersih yang dijamin (secured portion) dengan Teknik MRK-Garansi dengan (ii) bobot risiko dari pihak penerbit garansi sebagaimana dimaksud dalam butir C.3.a.1); c. hasil perkalian antara (i) bagian tagihan bersih yang dijamin (secured portion) dengan Teknik MRK-Penjaminan atau Asuransi Pembiayaan UMKM dengan (ii) bobot risiko sebagaimana dimaksud dalam butir D.4.a.1); dan d. hasil perkalian antara (i) bagian tagihan bersih yang tidak dijamin (unsecured portion) dengan Teknik MRK dengan (ii) bobot... - 39 - bobot risiko eksposur sesuai kategori portofolio sebagaimana dimaksud dalam butir II.E. 2. Apabila nilai total perlindungan dari MRK lebih tinggi dari nilai tagihan bersih maka perhitungan ATMR sebagaimana dimaksud dalam angka 1 diprioritaskan menggunakan jenis Teknik MRK dengan bobot risiko dari yang terendah. V. PERHITUNGAN ATMR RISIKO KREDIT-PENDEKATAN STANDAR SECARA KONSOLIDASI BAGI BANK YANG MEMILIKI PERUSAHAAN ANAK Perhitungan ATMR Risiko Kredit-Pendekatan Standar secara konsolidasi didasarkan pada laporan keuangan konsolidasi yaitu penjumlahan: 1. ATMR Risiko Kredit untuk Bank secara individu; dan 2. ATMR Risiko Kredit untuk Perusahaan Anak; dengan cakupan eksposur yang diperhitungkan, tagihan bersih, penetapan bobot risiko, dan pengakuan MRK sesuai pengaturan dalam angka II, angka III, dan angka IV Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini, setelah mengeliminasi (set-off) transaksi antar entitas dalam kelompok usaha yang dikonsolidasi. VI. PELAPORAN 1. Sesuai Pasal 42 POJK KPMM BUS, Bank wajib menyampaikan laporan perhitungan KPMM baik secara individu maupun secara konsolidasi yaitu: a. laporan perhitungan ATMR Risiko Kredit untuk Bank secara individu disampaikan setiap bulan untuk posisi akhir bulan; dan b. laporan perhitungan ATMR Risiko Kredit untuk Bank secara konsolidasi disampaikan setiap triwulan untuk posisi akhir bulan Maret, Juni, September, dan Desember, bagi Bank yang memiliki Perusahaan Anak; dengan mengacu pada format dan pedoman pengisian dalam Lampiran I dan Lampiran II Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini. 2. Laporan perhitungan ATMR Risiko Kredit - Pendekatan Standar sebagaimana dimaksud pada angka 1 disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan secara online melalui Laporan Berkala Bank Umum Syariah. Tata cara penyampaian dan pengenaan sanksi mengacu pada... - 40 - pada ketentuan yang mengatur mengenai laporan berkala bank umum syariah. 3. Selama pelaporan secara online sebagaimana dimaksud dalam angka 2 belum dapat dilaksanakan maka Bank wajib menyampaikan laporan secara offline paling lambat: a. tanggal 21 (dua puluh satu) bulan berikutnya setelah bulan laporan yang bersangkutan untuk laporan perhitungan ATMR Risiko Kredit Bank secara individu sebagaimana dimaksud dalam butir 1.a; b. tanggal 21 (dua puluh satu) bulan berikutnya setelah akhir masing-masing triwulan untuk laporan perhitungan ATMR Risiko Kredit Bank secara konsolidasi, sebagaimana dimaksud dalam butir 1.b; 4. Apabila tanggal penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam angka 3 jatuh pada hari Sabtu, hari Minggu atau hari libur maka laporan disampaikan pada hari kerja berikutnya. 5. Laporan sebagaimana dimaksud dalam angka 3 disampaikan kepada: a. Departemen Perbankan Syariah, bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek), serta Provinsi Banten; atau b. Kantor Regional dan Kantor Otoritas Jasa Keuangan setempat, bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek), serta Provinsi Banten. 6. Bank yang tidak menyampaikan laporan atau menyampaikan laporan tidak sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam angka 3 dan angka 4, dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam Pasal 47 POJK KPMM BUS. VII. LAIN-LAIN Lampiran I dan Lampiran II merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini. VIII. PENUTUP Pada saat Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku: 1. Perhitungan ATMR Risiko Kredit dalam rangka perhitungan KPMM secara konsolidasi sebagaimana dimaksud dalam butir III.B.1) Surat Edaran... - 41 - Edaran Bank Indonesia Nomor 8/27/DPNP tanggal 27 November 2006 tentang Prinsip Kehati-hatian dan Laporan Dalam Rangka Penerapan Manajemen Risiko Secara Konsolidasi Bagi Bank yang Melakukan Pengendalian Terhadap Perusahaan Anak, mengikuti ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini, sejak tanggal 1 Januari 2016. 2. BAB III angka 1, angka 2, angka 3, angka 5.1, dan BAB V Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 7/53/DPbS tanggal 22 November 2005 perihal Kewajiban Penyediaan Modal Minimum bagi Bank Umum yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana telah diubah dengan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 8/10/DPbS tanggal 7 Maret 2006, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. 3. BAB V angka 1 Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 13/6/DPNP tanggal 18 Februari 2011 perihal Pedoman Perhitungan Aset Tertimbang Menurut Risiko untuk Risiko Kredit dengan Menggunakan Pendekatan Standar dicabut dan dinyatakan tidak berlaku bagi bank umum konvensional yang memiliki Unit Usaha Syariah (UUS). Perhitungan ATMR Risiko Kredit untuk UUS selanjutnya mengikuti perhitungan ATMR Risiko Kredit yang berlaku bagi bank umum konvensional. Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2016. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 21 Desember 2015 KEPALA EKSEKUTIF PENGAWAS PERBANKAN OTORITAS JASA KEUANGAN, Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Sudarmaji ttd NELSON TAMPUBOLON "," SEOJK 34/SEOJK.03/2015 PERHITUNGAN ASET TERTIMBANG MENURUT RISIKO UNTUK RISIKO KREDIT DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN STANDAR BAGI BANK UMUM SYARIAH 21 Desember 2015 1 Januari 2016 '13/6/DPNP|SE-BI/2011 | BAB V angka 1', '7/53/DPbS|SE-BI/2005', '8/10/DPbS|SE-BI/2006 | BAB III angka 1, angka 2, angka 3, angka 5.1, dan BAB V' '21/POJK.03/2014' " " -1- Yth. Wakil Penjamin Emisi Efek dan Wakil Perantara Pedagang Efek di tempat. SALINANSALINAN SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 17 /SEOJK.04/2016 TENTANG PENGAKUAN TERHADAP ASOSIASI WAKIL PENJAMIN EMISI EFEK DAN WAKIL PERANTARA PEDAGANG EFEK Dalam rangka pelaksanaan ketentuan Pasal 19 ayat (3) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 27/POJK.04/2014 tentang Perizinan Wakil Penjamin Emisi Efek dan Wakil Perantara Pedagang Efek (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 362, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5636), perlu mengatur mengenai pengakuan terhadap asosiasi Wakil Penjamin Emisi Efek dan Wakil Perantara Pedagang Efek dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan sebagai berikut: I. KETENTUAN UMUM Dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Wakil Penjamin Emisi Efek adalah orang perseorangan yang bertindak mewakili kepentingan Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek. 2. Wakil Perantara Pedagang Efek adalah orang perseorangan yang bertindak mewakili kepentingan Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Perantara Pedagang Efek. 3. Izin orang perseorangan sebagai Wakil Penjamin Emisi Efek, yang selanjutnya disebut sebagai Izin Wakil Penjamin Emisi Efek, adalah izin yang diberikan oleh Otoritas Jasa Keuangan kepada orang perseorangan untuk bertindak mewakili kepentingan Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek. -2- 4. Izin orang perseorangan sebagai Wakil Perantara Pedagang Efek, yang selanjutnya disebut Izin Wakil Perantara Pedagang Efek, adalah izin yang diberikan oleh Otoritas Jasa Keuangan kepada orang perseorangan untuk bertindak mewakili kepentingan Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Perantara Pedagang Efek. 5. Asosiasi Wakil Penjamin Emisi Efek dan Wakil Perantara Pedagang Efek, yang selanjutnya disebut Asosiasi, adalah badan hukum berbentuk perkumpulan yang beranggotakan pemegang Izin Wakil Penjamin Emisi Efek dan/atau Wakil Perantara Pedagang Efek. 6. Anggota Asosiasi, yang selanjutnya disebut Anggota, adalah orang perseorangan yang memiliki izin Wakil Penjamin Emisi Efek dan/atau Wakil Perantara Pedagang Efek dari Otoritas Jasa Keuangan dan mempunyai hak dan kewajiban sesuai dengan anggaran dasar, anggaran rumah tangga, dan peraturan internal Asosiasi. II. PERSYARATAN ASOSIASI UNTUK MENDAPAT PENGAKUAN DARI OTORITAS JASA KEUANGAN Untuk mendapat pengakuan Otoritas Jasa Keuangan, Asosiasi wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1. telah mendapatkan pengesahan sebagai badan hukum perkumpulan dari instansi Pemerintah yang berwenang; 2. memiliki Anggota paling sedikit 500 (lima ratus) orang pada saat pengajuan kepada Otoritas Jasa Keuangan; 3. memiliki kode etik Asosiasi; 4. memiliki struktur organisasi Asosiasi; 5. memiliki susunan pengurus yang merupakan pemegang Izin Wakil Penjamin Emisi Efek dan/atau Wakil Perantara Pedagang Efek, paling sedikit terdiri dari ketua atau sebutan lain, sekretaris atau sebutan lain, dan bendahara atau sebutan lain; 6. memiliki komite kerja yang bertanggung jawab paling sedikit atas fungsi: a. pengkajian dan pengembangan; -3- b. pengawasan etik; dan c. pelaksanaan kegiatan Asosiasi; 7. memiliki prosedur operasi standar pelaksanaan kegiatan Asosiasi, paling sedikit meliputi: a. pelaksanaan pendidikan berkelanjutan bagi pemegang Izin Wakil Penjamin Emisi Efek dan/atau Wakil Perantara Pedagang Efek; dan b. pelaksanaan pendidikan dan/atau pelatihan lainnya dalam rangka peningkatan kompetensi Wakil Penjamin Emisi Efek dan/atau Wakil Perantara Pedagang Efek; 8. memiliki peraturan keanggotaan yang paling sedikit memuat: a. persyaratan dan prosedur penerimaan Anggota; b. batasan keanggotaan pada Asosiasi sejenis dimana Anggota hanya dapat menjadi anggota 1 (satu) Asosiasi; c. hak dan kewajiban Anggota; d. kepengurusan dan keanggotaan Asosiasi; e. pendanaan kegiatan Asosiasi; f. biaya keanggotaan; dan g. sanksi; 9. memiliki rencana kegiatan Asosiasi, paling sedikit: a. program pendidikan berkelanjutan bagi pemegang Izin Wakil Penjamin Emisi Efek dan/atau Wakil Perantara Pedagang Efek; dan b. rencana penyelenggaraan pendidikan dan/atau pelatihan lainnya dalam rangka peningkatan kompetensi Wakil Penjamin Emisi Efek dan/atau Wakil Perantara Pedagang Efek; 10. memiliki sistem pengendalian internal yang memadai, paling sedikit; a. sistem pengawasan terhadap risiko benturan kepentingan dalam pelaksanaan tugas dan fungsi Asosiasi; b. sistem pengawasan terhadap Anggota dalam menjalankan kode etik; dan -4- c. sistem pengawasan dalam rangka pelaksanaan evaluasi secara berkala dan berkesinambungan atas pelaksanaan kegiatan Asosiasi; 11. memiliki database Anggota yang paling sedikit memuat: a. nama; b. alamat; c. nomor Izin Wakil Penjamin Emisi Efek dan/atau Wakil Perantara Pedagang Efek; d. tempat bekerja (jika ada); dan e. nomor telepon; dan 12. memiliki atau menguasai sarana dan prasarana yang memadai, paling sedikit terdiri dari: a. bangunan atau ruangan sebagai lokasi kantor Asosiasi; dan b. sarana penunjang lainnya seperti komputer, telepon dan fax. III. TATA CARA PERMOHONAN PENGAKUAN ASOSIASI 1. Permohonan untuk mendapat pengakuan sebagai Asosiasi diajukan oleh pemohon dalam bentuk dokumen cetak kepada Otoritas Jasa Keuangan sesuai dengan format surat Permohonan Pengakuan Asosiasi Wakil Penjamin Emisi Efek dan Wakil Perantara Pedagang Efek sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini. 2. Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan telah menyediakan sistem elektronik, permohonan untuk mendapat pengakuan sebagai Asosiasi dapat diajukan melalui sistem elektronik tersebut. 3. Permohonan untuk mendapat pengakuan sebagai Asosiasi sebagaimana dimaksud pada angka 1 dan angka 2 wajib disertai kelengkapan dokumen sebagai berikut: a. fotokopi dokumen pengesahan Asosiasi sebagai badan hukum berbentuk perkumpulan dari instansi Pemerintah yang berwenang; -5- b. data pemegang Izin Wakil Penjamin Emisi Efek dan/atau Wakil Perantara Pedagang Efek sebagai Anggota paling sedikit 500 (lima ratus) orang pada saat pengajuan kepada Otoritas Jasa Keuangan sesuai dengan format Data Pemegang Izin Wakil Penjamin Emisi Efek dan/atau Wakil Perantara Pedagang Efek Sebagai Anggota Asosiasi Wakil Penjamin Emisi Efek dan Wakil Perantara Pedagang Efek sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini; c. salinan kode etik Asosiasi; d. struktur organisasi Asosiasi serta susunan pengurus dan komite kerja Asosiasi yang dilengkapi dengan dokumen: 1) daftar riwayat hidup terbaru yang telah ditandatangani; 2) fotokopi Kartu Tanda Penduduk atau Paspor yang masih berlaku; 3) fotokopi Izin Wakil Penjamin Emisi Efek dan/atau Wakil Perantara Pedagang Efek yang masih berlaku; 4) pasfoto berwarna terbaru ukuran 4x6 cm dengan latar belakang berwarna merah sebanyak 1 (satu) lembar; dan 5) pernyataan integritas sesuai dengan format Surat Pernyataan Integritas sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini, untuk masing-masing pengurus dan pimpinan komite kerja Asosiasi; e. prosedur operasi standar pelaksanaan kegiatan Asosiasi, paling sedikit meliputi: 1) pelaksanaan pendidikan berkelanjutan bagi pemegang Izin Wakil Penjamin Emisi Efek dan/atau Wakil Perantara Pedagang Efek; dan 2) pelaksanaan pendidikan dan/atau pelatihan lainnya dalam rangka peningkatan kompetensi Wakil Penjamin Emisi Efek dan/atau Wakil Perantara Pedagang Efek; -6- f. salinan peraturan keanggotaan Asosiasi; g. rencana kegiatan Asosiasi, paling sedikit: 1) program pendidikan berkelanjutan bagi pemegang Izin Wakil Penjamin Emisi Efek dan/atau Wakil Perantara Pedagang Efek; dan 2) rencana penyelenggaraan pendidikan dan/atau pelatihan lainnya dalam rangka peningkatan kompetensi Wakil Penjamin Emisi Efek dan/atau Wakil Perantara Pedagang Efek; h. dokumen terkait sistem pengendalian internal yang memadai, paling sedikit: 1) sistem pengawasan terhadap risiko benturan kepentingan dalam pelaksanaan tugas dan fungsi Asosiasi; 2) sistem pengawasan terhadap Anggota dalam menjalankan kode etik; dan 3) sistem pengawasan dalam rangka pelaksanaan evaluasi secara berkala dan berkesinambungan atas pelaksanaan kegiatan Asosiasi; i. dokumen terkait database Anggota; j. surat keterangan domisili dari pengelola gedung atau instansi berwenang; dan k. fotokopi bukti kepemilikan atau perjanjian sewa atas kantor Asosiasi. 4. Dalam hal permohonan untuk mendapat pengakuan diajukan oleh pemohon dalam bentuk dokumen cetak kepada Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada angka 1, dokumen permohonan untuk mendapat pengakuan sebagai Asosiasi sebagaimana dimaksud pada angka 3 wajib pula disiapkan dalam format digital dan disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan menggunakan media digital cakram padat (compact disc) atau lainnya. -7- 5. Dalam rangka memproses permohonan pengakuan sebagai Asosiasi, Otoritas Jasa Keuangan melakukan penelaahan atas kelengkapan dokumen permohonan. 6. Dalam rangka menilai kesiapan pemohon sebagai Asosiasi, Otoritas Jasa Keuangan berwenang: a. melakukan pemeriksaan di kantor Asosiasi; b. meminta Asosiasi untuk memaparkan rencana kegiatan Asosiasi; dan/atau c. meminta data dan informasi yang dibutuhkan. 7. Pengakuan Asosiasi diberikan Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 20 (dua puluh) hari kerja sejak diterimanya permohonan pengakuan Asosiasi yang memenuhi syarat. 8. Dalam hal permohonan untuk mendapat pengakuan sebagai Asosiasi pada saat diterima tidak memenuhi syarat, paling lambat 20 (dua puluh) hari kerja sejak diterimanya permohonan Otoritas Jasa Keuangan memberikan surat pemberitahuan kepada pemohon yang menyatakan: a. permohonan belum memenuhi persyaratan; atau b. permohonan ditolak karena tidak memenuhi persyaratan. 9. Dalam hal permohonan untuk mendapat pengakuan sebagai Asosiasi belum memenuhi persyaratan, pemohon wajib melengkapi kekurangan yang dipersyaratkan dalam surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada angka 8 huruf a paling lambat 20 (dua puluh) hari kerja setelah tanggal surat pemberitahuan. 10. Penyampaian perubahan dokumen, tambahan informasi, dan/atau kelengkapan kekurangan persyaratan sebagaimana dimaksud pada angka 9 dianggap telah diterima oleh Otoritas Jasa Keuangan pada tanggal diterimanya perubahan dokumen, tambahan informasi, dan/atau kelengkapan kekurangan persyaratan tersebut. 11. Sejak diterimanya perubahan dokumen, tambahan informasi, dan/atau kelengkapan kekurangan persyaratan sebagaimana dimaksud pada angka 10, permohonan pengakuan sebagai Asosiasi -8- dianggap baru diterima oleh Otoritas Jasa Keuangan dan diproses sebagaimana dimaksud pada angka 7. 12. Pemohon yang tidak melengkapi kekurangan yang dipersyaratkan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada angka 9 dianggap membatalkan permohonan untuk mendapat pengakuan sebagai Asosiasi yang sudah diajukan kepada Otoritas Jasa Keuangan. IV. TUGAS, WEWENANG, DAN LARANGAN ASOSIASI 1. Asosiasi yang telah mendapat pengakuan dari Otoritas Jasa Keuangan mempunyai tugas dan wewenang: a. menyelenggarakan pendidikan berkelanjutan bagi pemegang Izin Wakil Penjamin Emisi Efek dan/atau Wakil Perantara Pedagang Efek sesuai dengan kurikulum yang telah ditetapkan; b. menyelenggarakan pendidikan dan/atau pelatihan lainnya dalam rangka peningkatan kompetensi Wakil Penjamin Emisi Efek dan/atau Wakil Perantara Pedagang Efek; c. menetapkan peraturan keanggotaan Asosiasi; d. menegakkan kode etik bagi Anggota; e. melakukan pengawasan terhadap Anggota dalam menjalankan profesi sebagai Wakil Penjamin Emisi Efek dan/atau Wakil Perantara Pedagang Efek dan memastikan Anggota mematuhi peraturan keanggotaan Asosiasi serta kode etik Anggota; f. melakukan pemantauan dan evaluasi secara berkala setiap 6 (enam) bulan sekali terhadap pelaksanaan kegiatan Asosiasi; g. melakukan pembaharuan database Anggota secara berkala setiap 1 (satu) bulan sekali; h. memiliki situs web dengan nama domain Indonesia yang berisi informasi umum Asosiasi yang dapat diakses masyarakat; dan i. menetapkan hal lain yang menunjang kegiatan Asosiasi. 2. Penyelenggaraan pendidikan sebagaimana dimaksud pada angka 1 huruf a dan huruf b dapat dilakukan sendiri oleh Asosiasi atau bekerja sama dengan pihak lain. -9- 3. Asosiasi bertanggung jawab secara penuh terhadap penyelenggaraan pendidikan bagi pemegang Izin Wakil Penjamin Emisi Efek dan/atau Wakil Perantara Pedagang Efek dan pendidikan dan/atau pelatihan lainnya dalam rangka peningkatan kompetensi Wakil Penjamin Emisi Efek dan/atau Wakil Perantara Pedagang Efek yang dilakukan oleh pihak lain yang melakukan kerja sama dengan Asosiasi. 4. Asosiasi yang telah mendapat pengakuan dari Otoritas Jasa Keuangan dilarang: a. memberikan perlakuan yang berbeda kepada anggotanya; dan/atau b. melakukan tindakan di luar tugas dan kewenangannya sebagaimana dimaksud dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini, anggaran dasar, anggaran rumah tangga, dan peraturan internal Asosiasi. V. SUMBER PENDANAAN 1. Dalam rangka menunjang kegiatannya, Asosiasi dapat memperoleh pendanaan dari: a. biaya pendaftaran dan iuran rutin keanggotaan; b. biaya pendidikan berkelanjutan bagi pemegang Izin Wakil Penjamin Emisi Efek dan/atau Wakil Perantara Pedagang Efek; c. biaya penyelenggaraan pendidikan dan/atau pelatihan lainnya dalam rangka peningkatan kompetensi Wakil Penjamin Emisi Efek dan/atau Wakil Perantara Pedagang Efek, seperti lokakarya, seminar dan/atau pelatihan (training) terkait penjaminan emisi Efek dan keperantaraan pedagang Efek; dan d. sumber lain sepanjang ditetapkan dalam anggaran dasar/anggaran rumah tangga atau disepakati oleh Anggota. 2. Asosiasi wajib membuat laporan pertanggungjawaban keuangan kepada Anggota paling sedikit 1 (satu) tahun sekali. -10- VI. PELAPORAN 1. Asosiasi yang telah mendapat pengakuan dari Otoritas Jasa Keuangan wajib menyampaikan laporan kepada Otoritas Jasa Keuangan: a. laporan rencana kegiatan dan anggaran tahunan, paling lambat pada setiap tanggal 15 Desember tahun sebelumnya sesuai dengan format Laporan Rencana Kegiatan Dan Anggaran Tahunan sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini; b. laporan realisasi pelaksanaan kegiatan tengah tahunan, paling lambat pada setiap tanggal 12 Januari dan 12 Juli sesuai dengan format Laporan Realisasi Pelaksanaan Kegiatan Tengah Tahunan sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini; c. laporan penerimaan dan/atau pemberhentian Anggota, paling lambat pada setiap tanggal 12 Januari dan 12 Juli sesuai dengan format Laporan Tengah Tahunan Penerimaan dan/atau Pemberhentian Anggota Asosiasi Wakil Penjamin Emisi Efek dan Wakil Perantara Pedagang Efek sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini; dan d. laporan perubahan anggaran dasar dan/atau susunan kepengurusan Asosiasi, paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak terjadinya perubahan (jika ada). 2. Dalam hal batas akhir waktu penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada angka 1 huruf a, huruf b, dan huruf c jatuh pada hari libur, laporan tersebut disampaikan paling lambat pada 1 (satu) hari kerja berikutnya. -11- VII. PENCABUTAN PENGAKUAN ASOSIASI 1. Surat Pengakuan sebagai Asosiasi menjadi tidak berlaku apabila: a. badan hukum pihak yang melakukan kegiatan sebagai Asosiasi yang mewadahi Wakil Penjamin Emisi Efek dan Wakil Perantara Pedagang Efek bubar; dan/atau b. status badan hukum dari Asosiasi dicabut oleh instansi yang berwenang. 2. Otoritas Jasa Keuangan dapat mencabut surat pengakuan Asosiasi apabila terdapat hal sebagai berikut: a. Asosiasi mengembalikan surat pengakuan Asosiasi yang dimilikinya; b. kantor Asosiasi tidak ditemukan; c. Asosiasi melakukan pelanggaran atas Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 27/POJK.04/2014 tentang Perizinan Wakil Penjamin Emisi Efek dan Wakil Perantara Pedagang Efek dan Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini; d. Asosiasi tidak melaksanakan tugas selama 12 (dua belas) bulan berturut-turut; e. Asosiasi telah menerima 3 (tiga) kali surat peringatan namun dalam waktu 1 (satu) bulan sejak diterbitkannya surat peringatan ketiga tidak memenuhi ketentuan sebagaimana tercantum dalam isi surat peringatan tersebut; dan/atau f. tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada angka II. 3. Dalam hal pencabutan surat pengakuan Asosiasi disebabkan karena Asosiasi mengembalikan surat pengakuan sebagaimana dimaksud pada angka 2 huruf a, Asosiasi wajib mengajukan surat permohonan pengembalian surat pengakuan sebagai Asosiasi kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan disertai dokumen sebagai berikut: a. keterangan mengenai alasan pengembalian surat pengakuan tersebut; -12- b. surat pengakuan sebagai Asosiasi oleh Otoritas Jasa Keuangan; dan c. Surat pernyataan pertanggungjawaban dari pengurus Asosiasi atas kewajiban Asosiasi kepada pihak ketiga dan/atau Anggota. 4. Dalam hal pencabutan surat pengakuan Asosiasi disebabkan karena ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka 2 huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf f, Asosiasi wajib menyelesaikan kewajibannya kepada Anggota dan/atau pihak ketiga. 5. Tidak berlakunya surat pengakuan Asosiasi sebagaimana dimaksud pada angka 1 dan pencabutan surat pengakuan Asosiasi sebagaimana dimaksud pada angka 2 dapat diumumkan oleh Otoritas Jasa Keuangan melalui media massa. VIII. KETENTUAN PERALIHAN Pemegang Izin Wakil Penjamin Emisi Efek dan/atau Wakil Perantara Pedagang Efek yang masa berlaku izinnya akan berakhir kurang dari 3 (tiga) bulan setelah terdapat Asosiasi yang telah mendapat pengakuan dari Otoritas Jasa Keuangan, dikecualikan dari kewajiban penyampaian dokumen fotokopi kartu Anggota Asosiasi yang mewadahi Wakil Penjamin Emisi Efek dan/atau Wakil Perantara Pedagang Efek sebagaimana dimaksud pada pasal 10 ayat (3) huruf g Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 27/POJK.04/2014 tentang Perizinan Wakil Penjamin Emisi Efek dan Wakil Perantara Pedagang Efek. IX. KETENTUAN PENUTUP Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 26 Mei 2016 KEPALA EKSEKUTIF PENGAWAS PASAR MODAL, ttd NURHAIDA "," SEOJK 17/SEOJK.04/2016 PENGAKUAN TERHADAP ASOSIASI WAKIL PENJAMIN EMISI EFEK DAN WAKIL PERANTARA PEDAGANG EFEK 26 Mei 2016 26 Mei 2016 '27/POJK.04/2014 | Pasal 19 ayat (3)' " " Yth. Direksi Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan di tempat. SALINAN SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 36 /SEOJK.03/2017 TENTANG TATA CARA PENGGUNAAN JASA AKUNTAN PUBLIK DAN KANTOR AKUNTAN PUBLIK DALAM KEGIATAN JASA KEUANGAN Sehubungan dengan telah diterbitkannya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 13/POJK.03/2017 tentang Penggunaan Jasa Akuntan Publik dan Kantor Akuntan Publik dalam Kegiatan Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6036) yang selanjutnya disebut POJK AP dan KAP, perlu diatur ketentuan pelaksanaan mengenai tata cara penggunaan jasa akuntan publik dan kantor akuntan publik dalam kegiatan jasa keuangan dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan, yang mencakup hal-hal sebagai berikut: I. KETENTUAN UMUM 1. Dalam rangka transparansi kondisi keuangan dan peningkatan kualitas informasi keuangan, pihak yang melaksanakan kegiatan jasa keuangan menggunakan jasa Akuntan Publik (AP) dan Kantor Akuntan Publik (KAP) yang terdaftar pada Otoritas Jasa Keuangan. 2. Penyediaan informasi keuangan yang berkualitas tersebut merupakan bagian dari penerapan tata kelola yang baik yang diantaranya melibatkan peran dari Komite Audit dalam rangka mengawasi efektivitas penyelenggaraan fungsi audit eksternal oleh AP dan KAP. Otoritas Jasa Keuangan menyelenggarakan kegiatan administrasi pengelolaan dalam rangka penyediaan daftar AP dan KAP yang dapat - 2 - dipergunakan oleh Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan. 3. Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan adalah pihak yang melaksanakan kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan, Pasar Modal, dan/atau Industri Keuangan Non-Bank (IKNB) yang diatur dan diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Otoritas Jasa Keuangan. 4. Menteri adalah menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang keuangan. 5. Orang Dalam KAP adalah: a. orang yang termasuk dalam penugasan audit, reviu, asurans lainnya, dan/atau non asurans yaitu: 1) rekan; 2) pimpinan; 3) karyawan profesional; dan/atau 4) penelaah, yang ikut serta dalam penugasan; b. orang yang termasuk dalam rantai pelaksana atau perintah yaitu pimpinan KAP dan semua orang yang: 1) mengawasi atau mempunyai tanggung jawab manajemen secara langsung terhadap audit; 2) mengevaluasi kinerja atau merekomendasikan kompensasi bagi rekan dalam penugasan audit; atau 3) menyediakan pengendalian mutu atau pengawasan lain atas audit; c. setiap rekan lainnya, pimpinan, atau karyawan profesional lainnya dari KAP dan afiliasi dari KAP yang telah memberikan jasa audit, reviu, asurans lainnya, dan/atau non asurans kepada Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan yang sedang diaudit atau diperiksa (klien). 6. Karyawan Kunci adalah orang perseorangan yang mempunyai wewenang dan tanggung jawab untuk merencanakan, memimpin, dan mengendalikan kegiatan lembaga yang meliputi anggota dewan komisaris, anggota direksi, dan pejabat dari perusahaan. 7. Anggota Keluarga Dekat adalah istri atau suami, orang tua, anak baik di dalam maupun di luar tanggungan, dan saudara kandung. - 3 - II. PENUNJUKAN AP DAN/ATAU KAP SERTA PERAN KOMITE AUDIT 1. Penunjukan AP dan/atau KAP yang akan memberikan jasa audit atas informasi keuangan historis tahunan diputuskan oleh Rapat Umum Pemegang Saham Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan dengan mempertimbangkan usulan dewan komisaris. 2. Usulan penunjukan AP dan/atau KAP yang diajukan oleh dewan komisaris memperhatikan rekomendasi Komite Audit. Dalam menyusun rekomendasi Komite Audit dapat mempertimbangkan: a. independensi AP, KAP, dan Orang Dalam KAP; b. ruang lingkup audit; c. imbalan jasa audit; d. keahlian dan pengalaman AP, KAP, dan Tim Audit dari KAP; e. metodologi, teknik, dan sarana audit yang digunakan KAP; f. manfaat fresh eye perspectives yang akan diperoleh melalui penggantian AP, KAP, dan Tim Audit dari KAP; g. potensi risiko atas penggunaan jasa audit oleh KAP yang sama secara berturut-turut untuk kurun waktu yang cukup panjang; dan/atau h. hasil evaluasi terhadap pelaksanaan pemberian jasa audit atas informasi keuangan historis tahunan oleh AP dan KAP pada periode sebelumnya, apabila ada. 3. Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan melaporkan penunjukan AP dan/atau KAP dalam rangka audit atas informasi keuangan historis tahunan dengan menggunakan Formulir 1 sebagaimana pada Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini. 4. Laporan penunjukan AP dan/atau KAP sebagaimana dimaksud pada angka 3 dilampiri dengan: a. dokumen penunjukan AP dan/atau KAP antara lain Ringkasan Risalah Rapat Umum Pemegang Saham atau Risalah Rapat Umum Pemegang Saham, Perjanjian Kerja antara Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan dengan KAP; dan b. rekomendasi Komite Audit dan pertimbangan yang digunakan dalam memberikan rekomendasi penunjukan AP dan/atau KAP. 5. Komite Audit melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan pemberian jasa audit atas informasi keuangan historis tahunan oleh AP dan/atau KAP, yang paling sedikit mencakup: a. kesesuaian pelaksanaan audit oleh AP dan/atau KAP dengan standar audit yang berlaku; - 4 - b. kecukupan waktu pekerjaan lapangan; c. pengkajian cakupan jasa yang diberikan dan kecukupan uji petik; dan d. rekomendasi perbaikan yang diberikan oleh AP dan/atau KAP. 6. Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan melaporkan hasil evaluasi Komite Audit terhadap pelaksanaan pemberian jasa audit atas informasi keuangan historis tahunan oleh AP dan/atau KAP, dengan menggunakan Formulir 2 sebagaimana pada Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini. 7. Laporan hasil evaluasi Komite Audit sebagaimana dimaksud pada angka 6 ditandatangani oleh Komite Audit dan disampaikan oleh direksi. III. PERJANJIAN KERJA DAN RUANG LINGKUP AUDIT 1. Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan menggunakan jasa AP dan/atau KAP untuk melaksanakan audit informasi keuangan historis tahunan berdasarkan perjanjian kerja dengan KAP. 2. Sesuai dengan POJK AP dan KAP, perjanjian kerja dimaksud dapat mencantumkan ruang lingkup audit. Khusus untuk bank, dalam perjanjian kerja wajib dicantumkan ruang lingkup audit. 3. Ruang lingkup audit untuk Bank Umum atau Bank Umum Syariah (BUS) paling sedikit meliputi: a. uji petik paling sedikit 70% (tujuh puluh persen) dari nilai nominal setiap jenis aset keuangan dan mencakup minimal 25 (dua puluh lima) debitur terbesar atau berdasarkan hasil komunikasi antara Otoritas Jasa Keuangan sektor Perbankan dengan AP; b. penggolongan Kualitas Aset Produktif dan perhitungan Penyisihan Penghapusan Aset Produktif (PPAP) sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penilaian kualitas aset bank umum atau Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai Penilaian Kualitas Aset Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah; c. penilaian terhadap Agunan Yang Diambil Alih (AYDA) sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang- undangan mengenai penilaian kualitas aset bank umum atau Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai Penilaian Kualitas Aset Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah; - 5 - d. penilaian terhadap rupa-rupa aset; e. kewajaran transaksi dengan pihak-pihak berelasi maupun transaksi yang dilakukan dengan perlakuan khusus; jumlah dan kualitas penyediaan dana kepada pihak terkait; f. g. rincian pelanggaran Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) atau Batas Maksimum Penyaluran Dana (BMPD) sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai batas maksimum pemberian kredit bank umum, yang meliputi nama debitur, kualitas penyediaan dana, persentase, dan jumlah pelanggaran BMPK atau BMPD; h. rincian pelampauan BMPK atau BMPD sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai batas maksimum pemberian kredit bank umum yang meliputi nama debitur, kualitas penyediaan dana, persentase, dan jumlah pelampauan BMPK atau BMPD; i. perhitungan Aset Tertimbang Menurut Risiko (ATMR) sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum atau Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum Syariah, untuk masing-masing risiko; j. perhitungan Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum atau Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum Syariah; transaksi spot dan transaksi derivatif; k. l. Rasio Posisi Devisa Neto (PDN) sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai posisi devisa neto bank umum; m. perhitungan sumber dan penyaluran dana zakat serta sumber dan penggunaan dana kebajikan (khusus BUS dan Unit Usaha Syariah (UUS); n. kewajaran perhitungan distribusi bagi hasil (khusus BUS dan UUS); o. keandalan sistem informasi pelaporan bank; p. hal-hal lain yang ditentukan berdasarkan hasil komunikasi Otoritas Jasa Keuangan dengan KAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 POJK AP dan KAP; dan - 6 - q. hal-hal lain yang diatur dalam Standar Akuntansi Keuangan (SAK) dan peraturan terkait akuntansi yang diterbitkan oleh Otoritas Jasa Keuangan antara lain Pedoman Akuntansi Perbankan Indonesia (PAPI) dan Pedoman Akuntansi Perbankan Syariah Indonesia (PAPSI), termasuk catatan atas laporan keuangan. 4. Ruang lingkup audit untuk Bank Perkreditan Rakyat (BPR) atau Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) paling sedikit meliputi: a. penilaian atas penggolongan kualitas aset produktif dan kecukupan penyisihan penghapusan aset produktif sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai kualitas aset produktif dan pembentukan penyisihan penghapusan aset produktif bank perkreditan rakyat atau ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penilaian kualitas aktiva bagi bank pembiayaan rakyat syariah, yang dibentuk BPR atau BPRS; b. penilaian terhadap aset lain-lain dan AYDA BPR atau BPRS sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang- undangan mengenai kualitas aset produktif dan pembentukan penyisihan penghapusan aset produktif bank perkreditan rakyat atau ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penilaian kualitas aktiva bagi bank pembiayaan rakyat syariah; c. kewajaran atas transaksi dengan pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa maupun transaksi yang dilakukan dengan perlakuan khusus; d. jumlah dan kualitas penyediaan dana kepada pihak terkait; e. rincian pelanggaran BMPK atau BMPD sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peratuan perundang-undangan mengenai batas maksimum pemberian kredit BPR atau ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai batas maksimum penyaluran dana BPRS, yang meliputi nama nasabah, kualitas penyediaan dana, persentase, dan jumlah pelanggaran BMPK atau BMPD; f. rincian pelampauan BMPK atau BMPD yang meliputi nama nasabah, kualitas penyediaan dana, persentase, dan jumlah pelanggaran BMPK atau BMPD; g. perhitungan KPMM sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai Kewajiban Penyediaan Modal Minimum dan Pemenuhan Modal Inti Minimum BPR atau Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai Kewajiban - 7 - Penyediaan Modal Minimum dan Pemenuhan Modal Inti Minimum BPRS; h. Loan to Deposit Ratio (LDR) bagi BPR atau Financing to Deposit Ratio (FDR) bagi BPRS; i. perbandingan jumlah kredit atau pembiayaan bermasalah terhadap total kredit atau total pembiayaan yang diberikan serta penyebab utamanya; j. Return on Asset (ROA) dan Beban Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO); k. keandalan sistem informasi pelaporan BPR atau BPRS; l. hal-hal lain yang ditentukan berdasarkan hasil komunikasi Otoritas Jasa Keuangan dengan KAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 POJK AP dan KAP; dan m. hal-hal lain yang diatur dalam SAK yang berlaku serta peraturan terkait akuntansi yang diterbitkan oleh Otoritas Jasa Keuangan antara lain Pedoman Akuntansi BPR atau Pedoman Akuntansi BPRS, termasuk catatan atas laporan keuangan. 5. Khusus untuk bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, ruang lingkup audit juga mencantumkan bahwa prosedur audit termasuk memperoleh bukti audit berupa pendapat dari dewan pengawas syariah mengenai ketaatan bank terhadap pelaksanaan prinsip syariah sebelum menerbitkan laporan audit atas laporan keuangan bank. 6. Dewan pengawas syariah memberikan nasihat dan saran kepada direksi serta mengawasi kegiatan bank agar sesuai dengan prinsip syariah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang mengenai Perbankan Syariah. 7. Sebagai bagian dari tugas pengawasan terhadap kegiatan bank agar sesuai dengan prinsip syariah, dewan pengawas syariah memberikan pendapat kepada AP dan KAP mengenai ketaatan bank terhadap pelaksanaan prinsip syariah. 8. Dalam mengeluarkan pendapat mengenai ketaatan bank terhadap pelaksanaan prinsip syariah, dewan pengawas syariah harus mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai tugas dan peran dewan pengawas syariah. Pendapat dari dewan pengawas syariah tidak mempengaruhi AP dalam memberikan opini. - 8 - IV. PROGRAM SERTIFIKASI DAN PENDIDIKAN PROFESIONAL BERKELANJUTAN 1. Sertifikasi a. Program sertifikasi adalah program pendidikan bagi AP dalam rangka meningkatkan kompetensi dan pengetahuan di bidang jasa keuangan dan industri yang menggunakan jasa AP. b. Materi yang dicakup dalam program sertifikasi per sektor jasa keuangan adalah masing-masing sebanyak 16 (enam belas) satuan kredit profesi, meliputi: 1) pengetahuan umum mengenai fungsi, tugas, dan wewenang Otoritas Jasa Keuangan; 2) pengetahuan mengenai Peraturan Otoritas Jasa Keuangan yang terkait dengan AP, KAP, akuntansi, pengauditan, dan jasa yang dapat diberikan kepada Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan; dan 3) pengetahuan mengenai Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai kewajiban dari Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan yang harus diungkapkan dalam laporan keuangan. 2. Sertifikasi Akuntansi Syariah a. Program sertifikasi akuntansi syariah adalah program pendidikan bagi AP yang akan memberikan jasa bagi BUS dan BPRS dalam rangka meningkatkan pengetahuan akuntansi syariah. b. Materi yang dicakup paling sedikit mengenai standar akuntansi keuangan syariah. c. KAP yang memberikan jasa audit atas informasi keuangan historis tahunan kepada Bank Umum yang memiliki UUS harus memiliki paling sedikit 1 (satu) anggota tim audit yang memiliki sertifikat program sertifikasi akuntansi syariah. 3. Pendidikan Profesional Berkelanjutan a. Pendidikan Profesional Berkelanjutan (PPL) adalah suatu pendidikan dan/atau pelatihan profesi bagi AP yang bersifat berkelanjutan dan bertujuan untuk menjaga kompetensi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang- undangan mengenai praktik akuntan publik. b. Materi yang dicakup dalam PPL meliputi pengetahuan mengenai peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan terkini, masing-masing sebanyak 5 (lima) satuan kredit pendidikan - 9 - profesional berkelanjutan (SKP) setiap tahunnya untuk setiap sektor jasa keuangan. Sebagai contoh, AP yang terdaftar pada Otoritas Jasa Keuangan sektor Perbankan dan sektor Pasar Modal harus memenuhi kegiatan PPL sebanyak 10 (sepuluh) SKP setiap tahun, yaitu 5 (lima) SKP untuk sektor Perbankan dan 5 (lima) SKP untuk sektor Pasar Modal. c. AP yang terdaftar pada Otoritas Jasa Keuangan mengikuti PPL mulai pada tahun terdaftar dengan jumlah SKP sebagaimana dimaksud dalam huruf b. 4. Penyelenggaraan Program Sertifikasi dan Pendidikan Profesional Berkelanjutan a. Kegiatan program sertifikasi dan PPL diselenggarakan oleh lembaga yang diakui oleh Otoritas Jasa Keuangan antara lain Asosiasi Profesi Akuntan Publik yang ditetapkan oleh Menteri. b. Kegiatan program sertifikasi akuntansi syariah diselenggarakan oleh lembaga yang diakui oleh Otoritas Jasa Keuangan antara lain Asosiasi Profesi Akuntan Publik dan asosiasi profesi akuntan yang ditetapkan oleh Menteri. c. Lembaga sebagaimana dimaksud dalam huruf a berkoordinasi dengan Otoritas Jasa Keuangan dalam rangka penentuan: 1) materi dan jumlah SKP dari program sertifikasi dan PPL; dan 2) penyampaian data rekapitulasi peserta sertifikasi kepada Otoritas Jasa Keuangan. d. Lembaga sebagaimana dimaksud dalam huruf b berkoordinasi dengan Otoritas Jasa Keuangan dalam rangka penentuan materi dari program sertifikasi dan penyampaian data rekapitulasi peserta sertifikasi kepada Otoritas Jasa Keuangan. V. PENGELOLAAN ADMINISTRASI AP DAN/ATAU KAP Aktivitas dalam pengelolaan administrasi AP dan/atau KAP terdaftar pada Otoritas Jasa Keuangan meliputi kegiatan pendaftaran, perubahan ruang lingkup jasa, penghentian jasa untuk sementara waktu, pengaktifan kembali, dan pengunduran diri. 1. Pendaftaran AP dan/atau KAP Sesuai dengan POJK AP dan KAP, sebelum memberikan jasa kepada Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan, AP dan KAP wajib terlebih dahulu terdaftar pada Otoritas Jasa Keuangan, dengan cara sebagai berikut: - 10 - a. AP mengajukan surat permohonan pendaftaran yang mencantumkan satu atau lebih pilihan sektor jasa keuangan, dengan menggunakan Formulir 3.1 sebagaimana pada Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini dan disertai dokumen paling sedikit: 1) fotokopi izin yang masih berlaku dari Menteri; 2) daftar riwayat hidup terbaru yang ditandatangani di atas meterai yang cukup. Daftar riwayat hidup antara lain mencakup riwayat pendidikan dan pengalaman kerja sebagai auditor, dilengkapi dengan penjelasan tentang penugasan yang pernah diterima dalam 3 (tiga) tahun terakhir pada KAP serta keterangan tentang nama perusahaan yang diaudit, tahun penugasan, dan jenis penugasan; 3) fotokopi Kartu Tanda Penduduk yang masih berlaku; 4) pas foto berwarna terbaru dengan ukuran 4x6 cm; 5) 6) fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak; fotokopi sertifikat program sertifikasi sesuai dengan sektor yang dipilih yang diperoleh dalam 2 (dua) tahun terakhir; 7) fotokopi sertifikat program sertifikasi akuntansi syariah bagi AP yang akan memberikan jasa kepada BUS dan BPRS yang diperoleh dalam 2 (dua) tahun terakhir; 8) fotokopi perjanjian kerjasama yang disahkan oleh notaris mengenai AP sebagai rekan pada KAP persekutuan atau izin sebagai KAP berbadan usaha perseorangan yang terdaftar pada Otoritas Jasa Keuangan; 9) surat pernyataan yang ditandatangani di atas meterai yang cukup oleh AP dengan menggunakan Formulir 3.2 sebagaimana pada Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini, yang menyatakan bahwa AP: a) tidak pernah dikenakan sanksi administratif berupa pembatalan Surat Tanda Terdaftar (STTD) dari Otoritas Jasa Keuangan atau otoritas sebelumnya; b) tidak pernah melakukan perbuatan tercela, dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana di bidang keuangan, dan/atau tidak tercantum dalam daftar kredit atau pembiayaan macet; dan c) tidak memiliki rangkap jabatan, yaitu: - 11 - (1) tidak bekerja pada KAP lain atau profesi penunjang lain dalam kegiatan jasa keuangan yang terdaftar pada Otoritas Jasa Keuangan; dan/atau (2) tidak bekerja pada perusahaan klien maupun kelompok usaha dari klien yang laporan keuangannya akan dikonsolidasikan; 10) dokumen persyaratan lain yang diminta oleh Otoritas Jasa Keuangan dalam hal diperlukan. Sebagai contoh, bukti keikutsertaan PPL jika pendaftaran dilakukan pada triwulan IV, surat keterangan lunas dari lembaga keuangan jika AP tercantum dalam daftar kredit atau pembiayaan macet, dan surat pengunduran diri dari jabatan sehingga tidak memiliki rangkap jabatan lagi. b. KAP mengajukan surat permohonan pendaftaran dengan menggunakan Formulir 3.3 sebagaimana pada Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini dan disertai dokumen paling sedikit: 1) 2) fotokopi izin yang masih berlaku dari Menteri; fotokopi akta pendirian KAP beserta perubahannya yang terakhir; 3) fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak atas nama KAP; 4) fotokopi surat perjanjian kerjasama dengan KAP lain tentang pengalihan tanggung jawab dalam hal AP yang bersangkutan berhalangan untuk melaksanakan tugasnya, dengan ketentuan bahwa KAP lain tersebut mempunyai Rekan AP yang terdaftar pada Otoritas Jasa Keuangan, dalam hal KAP hanya memiliki 1 (satu) orang Rekan AP yang terdaftar pada Otoritas Jasa Keuangan; 5) fotokopi perjanjian kerjasama yang disahkan oleh notaris bagi KAP yang berbentuk persekutuan; 6) fotokopi izin pendirian cabang dari Menteri bagi KAP yang mempunyai cabang; 7) fotokopi surat persetujuan dari Menteri mengenai pencantuman nama Kantor Akuntan Publik Asing (KAPA) atau Organisasi Audit Asing (OAA), dalam hal KAP bekerjasama dengan KAPA atau OAA; 8) surat pernyataan yang ditandatangani di atas meterai yang cukup oleh pemimpin Rekan KAP dengan menggunakan Formulir 3.4 sebagaimana pada Lampiran yang merupakan - 12 - bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini, yang menyatakan bahwa KAP: a) tidak pernah dikenakan sanksi administratif berupa pembatalan STTD dari Otoritas Jasa Keuangan atau otoritas sebelumnya; dan b) tidak pernah melakukan perbuatan tercela dan/atau dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana di bidang keuangan serta tidak tercantum dalam daftar kredit atau pembiayaan macet; dan 9) dokumen persyaratan lain yang diminta oleh Otoritas Jasa Keuangan dalam hal diperlukan. c. KAP menyampaikan surat permohonan pendaftaran AP dan/atau KAP kepada Otoritas Jasa Keuangan u.p. Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal secara daring (online) melalui sistem pelaporan Otoritas Jasa Keuangan. 2. Perubahan Ruang Lingkup Pemberian Jasa AP pada Sektor Jasa Keuangan a. AP yang terdaftar pada Otoritas Jasa Keuangan dapat mengajukan permohonan penambahan ruang lingkup pemberian jasa pada sektor jasa keuangan lainnya di Otoritas Jasa Keuangan. Sebagai contoh, AP telah terdaftar pada Otoritas Jasa Keuangan sektor Pasar Modal maka AP dapat mengajukan permohonan persetujuan penambahan ruang lingkup pemberian jasa pada sektor Perbankan dan/atau sektor IKNB. b. KAP menyampaikan surat permohonan penambahan ruang lingkup pemberian jasa AP kepada Otoritas Jasa Keuangan u.p. Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal secara daring (online) melalui sistem pelaporan Otoritas Jasa Keuangan. c. Surat permohonan dimaksud mencantumkan pilihan sektor jasa keuangan, dengan menggunakan Formulir 4 sebagaimana pada Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini dan disertai fotokopi sertifikat program sertifikasi sesuai dengan sektor yang dipilih. d. Dalam hal AP akan mengurangi ruang lingkup pemberian jasa, KAP menyampaikan surat permohonan kepada Otoritas Jasa Keuangan u.p. Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal secara daring (online) melalui sistem pelaporan Otoritas Jasa Keuangan. - 13 - 3. Penghentian Pemberian Jasa untuk Sementara Waktu oleh AP a. AP yang terdaftar pada Otoritas Jasa Keuangan dapat mengajukan permohonan penghentian pemberian jasa untuk sementara waktu. b. KAP menyampaikan surat permohonan persetujuan penghentian pemberian jasa untuk sementara waktu AP kepada Otoritas Jasa Keuangan u.p. Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal secara daring (online) melalui sistem pelaporan Otoritas Jasa Keuangan dengan menggunakan Formulir 5 sebagaimana pada Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini dan disertai dokumen dan informasi paling sedikit: 1) surat rekomendasi dari KAP bagi AP yang menjadi Rekan pada KAP; 2) alamat lengkap selama menjalani penghentian pemberian jasa AP untuk sementara waktu; 3) surat pernyataan bahwa AP tidak sedang dalam perikatan dengan Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan; 4) jangka waktu yang dimohonkan untuk menjalani penghentian pemberian jasa AP untuk sementara waktu; dan 5) alasan pengajuan permohonan penghentian pemberian jasa AP untuk sementara waktu. 4. Pengaktifan Kembali bagi AP dan/atau KAP a. AP dan/atau KAP yang tercatat dalam daftar AP dan KAP tidak aktif sementara waktu sebagaimana dimaksud dalam POJK AP dan KAP, dapat mengajukan permohonan pengaktifan kembali bagi AP dan/atau KAP. b. KAP menyampaikan surat permohonan persetujuan pengaktifan kembali AP atau KAP dari daftar AP dan KAP yang tidak aktif sementara waktu kepada Otoritas Jasa Keuangan u.p. Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal secara daring (online) melalui sistem pelaporan Otoritas Jasa Keuangan, masing-masing dengan menggunakan Formulir 6.1 dan Formulir 6.2 sebagaimana pada Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini, disertai dengan dokumen fotokopi sertifikat PPL sesuai jumlah SKP yang wajib dipenuhi. - 14 - Contoh perhitungan jumlah SKP: AP terdaftar di sektor Perbankan dan sektor Pasar Modal tercatat dalam daftar AP tidak aktif sementara waktu sejak tanggal 1 Januari 2017 sampai dengan tanggal 31 Desember 2019 atau 3 (tiga) tahun sehingga kewajiban PPL yang harus dipenuhi adalah sebanyak 15 (lima belas) SKP masing-masing untuk PPL sektor Perbankan dan sektor Pasar Modal. Pelaksanaan PPL dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara: 1) PPL per tahun, masing-masing sebanyak 5 (lima) SKP per sektor yang dilakukan pada tahun 2017, tahun 2018, dan tahun 2019; atau 2) PPL secara akumulasi masing-masing sebanyak 15 (lima belas) SKP per sektor yang dilakukan diantara tanggal 1 Januari 2018 sampai dengan tanggal 31 Desember 2019. 5. Pengunduran Diri AP dan/atau KAP a. AP dan/atau KAP yang telah terdaftar pada Otoritas Jasa Keuangan dapat mengajukan permohonan pengunduran diri. b. KAP yang terdaftar pada Otoritas Jasa Keuangan atau AP yang terdaftar pada Otoritas Jasa Keuangan yang tidak sedang menjadi Rekan KAP yang terdaftar pada Otoritas Jasa Keuangan menyampaikan surat permohonan pengunduran diri sebagai AP dan/atau KAP yang terdaftar kepada Otoritas Jasa Keuangan u.p. Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal secara daring (online) melalui sistem pelaporan Otoritas Jasa Keuangan, dengan menggunakan Formulir 7.1 atau Formulir 7.4 sebagaimana pada Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini dengan disertai dokumen pendukung paling sedikit: 1) surat keterangan dari KAP bagi AP yang menjadi Rekan KAP yang terdaftar pada Otoritas Jasa Keuangan dengan menggunakan Formulir 7.2 sebagaimana pada Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini; 2) surat pernyataan bahwa AP dan/atau KAP tidak sedang memberikan jasa kepada Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan dengan menggunakan Formulir 7.3 atau Formulir 7.5 sebagaimana pada Lampiran yang - 15 - merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini; dan 3) alasan pengunduran diri AP dan/atau KAP. c. Dalam hal terdapat perubahan izin usaha KAP dari Menteri yang disebabkan oleh pendirian atau perubahan nama KAP serta perubahan komposisi AP tetapi KAP tidak lagi dikategorikan sebagai KAP yang sama, KAP mengajukan permohonan pengunduran diri atas KAP yang lama kepada Otoritas Jasa Keuangan. Selanjutnya KAP mengajukan kembali permohonan pendaftaran sesuai dengan angka 1 huruf b. d. KAP dapat dikategorikan sebagai KAP yang sama sebagaimana dimaksud dalam huruf c dalam hal: 1) nama KAP tidak berubah dan tidak terjadi perubahan komposisi AP lebih dari 50% (lima puluh persen) atau lebih; atau 2) terdapat pendirian atau perubahan nama KAP, namun komposisi AP 50% (lima puluh persen) atau lebih berasal dari KAP yang sebelumnya. 6. Perubahan Data AP dan/atau KAP a. KAP menyampaikan setiap perubahan yang berkenaan dengan data dan informasi dari AP dan/atau KAP kepada Otoritas Jasa Keuangan u.p. Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal secara daring (online) melalui sistem pelaporan Otoritas Jasa Keuangan, yang mencakup informasi paling sedikit: 1) perpanjangan izin AP dari Menteri; 2) perubahan izin usaha KAP dari Menteri; 3) perpindahan AP ke KAP lain; 4) perubahan perjanjian kerjasama antar Rekan bagi KAP yang berbentuk persekutuan; 5) perubahan nama KAP; 6) perubahan alamat domisili KAP dan/atau kantor cabang KAP; 7) perubahan susunan Rekan KAP; 8) perubahan pemimpin KAP; 9) perubahan kerjasama KAP dengan KAP lain yang terdaftar pada Otoritas Jasa Keuangan; 10) perubahan kerjasama KAP dengan KAPA atau OAA; 11) pembukaan atau penutupan cabang KAP; - 16 - 12) permohonan penghentian pemberian jasa sementara waktu kepada Menteri; dan/atau 13) permohonan pengunduran diri AP atau pencabutan izin usaha KAP kepada Menteri. b. Dalam hal terdapat perubahan izin usaha KAP dari Menteri sebagaimana dimaksud dalam huruf a angka 2) disebabkan oleh pendirian atau perubahan nama KAP serta perubahan komposisi AP, tetapi KAP masih dikategorikan sebagai KAP yang sama sebagaimana dimaksud pada angka 5 huruf d maka KAP menyampaikan laporan perubahan data dimaksud kepada Otoritas Jasa Keuangan. VI. DAFTAR AP DAN KAP PADA OTORITAS JASA KEUANGAN 1. Informasi AP dan/atau KAP yang telah diberikan STTD disajikan dalam daftar AP dan KAP yang dipublikasikan pada situs web Otoritas Jasa Keuangan. 2. Daftar AP dan KAP yang dipublikasikan pada situs web Otoritas Jasa Keuangan berisi informasi paling sedikit: a. AP dan KAP yang aktif; b. AP dan KAP yang tidak aktif sementara waktu; dan c. AP dan KAP yang tidak aktif tetap, untuk masing–masing sektor jasa keuangan yaitu Perbankan, Pasar Modal, dan IKNB. 3. Daftar AP dan KAP sebagaimana dimaksud angka 2 dikinikan paling lama 5 (lima) hari kerja setelah STTD diterbitkan atau dinyatakan tidak berlaku. 4. Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan menunjuk AP sesuai dengan sektor jasa keuangan. Contoh penunjukan AP: a. PT Bank “ABC” Tbk. menunjuk AP dari daftar AP dan KAP yang aktif yang paling sedikit terdaftar pada sektor Perbankan dan sektor Pasar Modal. b. PT Bank Syariah “DEF” menunjuk AP dari daftar AP dan KAP yang aktif yang paling sedikit terdaftar pada sektor Perbankan yang memiliki pengetahuan akuntansi syariah. c. PT Bank “XYZ” yang memiliki UUS menunjuk: 1) AP dari daftar AP dan KAP yang aktif yang paling sedikit terdaftar pada sektor Perbankan; dan - 17 - 2) KAP yang memiliki paling sedikit 1 (satu) anggota tim audit yang memiliki sertifikat program sertifikasi akuntansi syariah yang melakukan pemeriksaan informasi keuangan historis tahunan untuk UUS. d. PT Asuransi “JKL” Tbk. menunjuk AP dari daftar AP dan KAP yang aktif yang paling sedikit terdaftar pada sektor IKNB dan sektor Pasar Modal. VII. INDEPENDENSI AP DAN KAP TERHADAP PIHAK YANG MELAKSANAKAN KEGIATAN JASA KEUANGAN Sesuai dengan POJK AP dan KAP diatur bahwa AP, KAP, dan Orang Dalam KAP dalam memberikan jasa kepada Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan wajib memenuhi kondisi independen selama Periode Audit dan Periode Penugasan Profesional. AP, KAP, maupun Orang Dalam KAP independen apabila dalam pemberian jasa tersebut tidak terdapat kondisi: 1. kepentingan keuangan langsung atau tidak langsung yang material kepada Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan yang sedang diaudit atau diperiksa (klien), seperti: a. memiliki investasi pada klien; dan/atau b. memiliki kepentingan keuangan lain pada klien yang dapat menimbulkan benturan kepentingan; 2. hubungan pekerjaan dengan klien, seperti: a. merangkap sebagai Karyawan Kunci pada klien; b. memiliki Anggota Keluarga Dekat yang bekerja pada klien sebagai Karyawan Kunci dalam bidang akuntansi atau keuangan; c. mempunyai mantan rekan dan/atau karyawan profesional dari KAP yang bekerja pada klien sebagai Karyawan Kunci dalam bidang akuntansi atau keuangan, kecuali setelah lebih dari 2 (dua) tahun tidak bekerja lagi pada KAP yang bersangkutan; d. mempunyai rekan dan/atau karyawan profesional dari KAP yang sebelumnya pernah bekerja pada klien sebagai Karyawan Kunci dalam bidang akuntansi atau keuangan, kecuali yang bersangkutan tidak ikut melaksanakan audit terhadap klien tersebut dalam Periode Audit; dan/atau e. memiliki jabatan di perusahaan klien maupun kelompok usaha klien yang laporannya akan dikonsolidasikan; 3. hubungan usaha secara langsung atau tidak langsung yang material dengan klien, atau dengan Karyawan Kunci yang bekerja pada klien, atau dengan pemegang saham utama klien. Tidak termasuk - 18 - hubungan usaha dalam hal AP, KAP, atau Orang Dalam KAP memberikan jasa audit, reviu, asurans lainnya, dan/atau non asurans kepada klien, atau merupakan konsumen dari produk barang atau jasa klien dalam rangka menunjang kegiatan rutin; 4. memberikan jasa non asurans kepada klien pada Periode Audit dan Periode Penugasan Profesional yang sama, seperti: a. pembukuan atau jasa lain yang berhubungan dengan catatan akuntansi atau laporan keuangan klien; b. desain sistem informasi keuangan dan implementasi; c. audit internal; d. konsultasi manajemen; e. konsultasi sumber daya manusia; f. penasihat keuangan; g. jasa perpajakan, kecuali telah memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari Komite Audit. Persetujuan Komite Audit tersebut tidak termasuk jasa perpajakan untuk mewakili klien di dalam maupun di luar pengadilan pajak dan/atau bertindak untuk dan atas nama klien dalam perhitungan dan pelaporan perpajakan; atau h. jasa lain yang dapat menimbulkan benturan kepentingan; 5. memberikan jasa atau produk kepada klien dengan dasar fee kontinjen atau komisi, atau menerima fee kontinjen atau komisi dari klien, kecuali fee kontinjen yang ditetapkan oleh pengadilan sebagai hasil penyelesaian hukum, temuan badan pengatur dan/atau perpajakan. Yang dimaksud dengan fee kontinjen adalah fee yang ditetapkan untuk pelaksanaan suatu jasa profesional yang hanya akan dibebankan apabila ada temuan atau hasil tertentu di mana jumlah fee tergantung pada temuan atau hasil tertentu tersebut; 6. memiliki sengketa hukum dengan klien; dan/atau 7. hal-hal lain yang dapat menimbulkan benturan kepentingan. VIII. LAPORAN KEPADA OTORITAS JASA KEUANGAN 1. Laporan Kegiatan Pemberian Jasa KAP a. KAP menyampaikan Laporan Berkala Kegiatan Pemberian Jasa KAP selama 1 (satu) tahun kepada Otoritas Jasa Keuangan u.p. Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal secara daring (online) melalui sistem pelaporan Otoritas Jasa Keuangan dengan menggunakan Formulir 8 sebagaimana pada Lampiran yang - 19 - merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini. b. Kegiatan pemberian jasa yang dilaporkan adalah kegiatan jasa yang diberikan kepada Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan dalam kurun waktu 1 (satu) tahun yaitu sejak tanggal 1 April sampai dengan tanggal 31 Maret tahun berikutnya atau sejak terdaftar pada Otoritas Jasa Keuangan sampai dengan tanggal 31 Maret tahun berikutnya apabila terdaftar kurang dari 1 (satu) tahun. 2. Laporan Insidentil AP a. AP menyampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan u.p. Departemen Pengawasan terkait sesuai dengan jenis lembaga sektor jasa keuangan dengan menggunakan Formulir 9 sebagaimana pada Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini, dalam hal terdapat informasi mengenai: 1) pelanggaran signifikan terhadap peraturan perundang- undangan yang dilakukan oleh Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan; 2) kelemahan yang signifikan dalam pengendalian proses penyusunan dan penyajian laporan keuangan Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan; 3) kelemahan yang signifikan dalam pengendalian intern Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan; 4) kondisi atau perkiraan kondisi yang dapat membahayakan kelangsungan usaha Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan; dan/atau 5) permintaan informasi lainnya apabila sewaktu-waktu diminta oleh Otoritas Jasa Keuangan. b. Contoh kondisi pelanggaran signifikan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan yang dilakukan oleh Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan adalah: 1) bagi bank, antara lain: a) pelanggaran BMPK atau BMPD; atau b) kekurangan Giro Wajib Minimum; 2) bagi Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan di sektor Pasar Modal, antara lain: - 20 - a) terindikasi melakukan pelanggaran pidana di bidang Pasar Modal seperti penipuan, penggelapan, insider trading, dan manipulasi pasar; atau b) pengungkapan informasi yang menyesatkan para pembaca dan pengguna laporan keuangan; 3) bagi Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan di sektor IKNB, antara lain: a) bagi perusahaan asuransi: (1) pelanggaran terhadap persyaratan minimum pemenuhan ekuitas; atau (2) pembentukan dana jaminan dengan jumlah di bawah persyaratan sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi; b) bagi dana pensiun: (1) terdapat pembayaran manfaat pensiun yang tidak sesuai dengan peraturan dana pensiun; (2) penempatan investasi melebihi batasan sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai Investasi Dana Pensiun; atau (3) penempatan investasi pada jenis investasi yang tidak diperkenankan sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai Investasi Dana Pensiun; c) bagi perusahaan pembiayaan, pelanggaran terhadap batas maksimum pemberian pembiayaan, non-performing financing, gearing ratio, financing to asset ratio, dan memiliki tingkat kesehatan keuangan kurang sehat atau tidak sehat sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai Penyelenggaraan Usaha Pembiayaan; d) bagi perusahaan modal ventura, pelanggaran terhadap gearing ratio, investment and financing to asset ratio, dan memiliki tingkat kesehatan keuangan kurang sehat atau tidak sehat sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Modal Ventura; dan - 21 - e) bagi lembaga penjaminan melanggar gearing ratio, cadangan klaim, kewajiban pembayaran klaim, dan rasio likuiditas sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai Penyelenggaraan Usaha Lembaga Penjaminan. c. Contoh kelemahan yang signifikan dalam pengendalian proses penyusunan dan penyajian laporan keuangan Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan adalah: 1) terdapat perbedaan yang material antara nilai yang disajikan oleh Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan dalam laporan keuangan sebelum diaudit atau diperiksa dengan hasil pengujian AP; 2) terdapat kendala dalam pemberian jasa asurans yang disebabkan oleh Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan; 3) konsistensi pemakaian dasar penilaian; 4) tambahan khusus bagi perusahaan asuransi, yaitu: a) perusahaan tidak memberikan seluruh data polis inforce untuk dilakukan perhitungan oleh aktuaris; b) pencatatan transaksi keuangan khususnya dari sisi liabilitas perusahaan belum dilakukan secara wajar, terdapat ketidaksesuaian pencatatan cadangan teknis dengan rincian yang diberikan; c) perusahaan baru mencatat cadangan klaim dalam proses apabila tertanggung telah melengkapi dokumen pengajuan klaim atau tidak melakukan pencatatan incurred but not reported; d) terdapat perbedaan mengenai penetapan klaim yang disetujui (claim settled) oleh kantor cabang dengan penetapan klaim yang disetujui (claim settled) oleh kantor pusat; dan e) tidak melakukan pencadangan atas permasalahan klaim (dispute claims). d. Contoh kelemahan yang signifikan dalam pengendalian intern Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan antara lain terdapat kecurangan (fraud) yang bernilai material. e. Contoh kondisi atau perkiraan kondisi yang dapat membahayakan kelangsungan usaha Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan adalah: - 22 - 1) bagi bank, antara lain: a) kekurangan KPMM; dan/atau b) rasio kredit atau pembiayaan bermasalah secara neto lebih dari 5% (lima persen) dari total kredit atau total pembiayaan; 2) bagi Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan di sektor Pasar Modal, antara lain Modal Kerja Bersih Disesuaikan (MKBD) Perusahaan Efek dan Manajer Investasi kurang dari yang dipersyaratkan dalam peraturan perundang-undangan; 3) bagi Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan di sektor IKNB, antara lain: a) bagi perusahaan asuransi: (1) tingkat solvabilitas di bawah batas minimum yang dipersyaratkan; dan (2) ketidakcukupan pembentukan cadangan teknis; b) bagi dana pensiun, pendanaan berada pada kualitas tingkat 3 (tiga); c) bagi perusahaan pembiayaan memiliki non-performing financing (NPF) lebih dari 5% (lima persen) dan rasio ekuitas terhadap modal disetor kurang dari 50% (lima puluh persen); d) bagi perusahaan modal ventura memiliki gearing ratio lebih dari 10 kali dan rasio ekuitas terhadap modal disetor kurang dari 30% (tiga puluh persen); dan e) bagi lembaga penjamin memiliki gearing ratio lebih dari 40 kali dan rasio likuiditas kurang dari 120% (seratus dua puluh persen). IX. ALAMAT PENYAMPAIAN LAPORAN 1. Dalam hal media penyampaian secara daring (online) melalui sistem pelaporan Otoritas Jasa Keuangan belum tersedia atau mengalami gangguan teknis atau terjadi keadaan kahar pada hari terakhir batas waktu penyampaian permohonan dan/atau laporan, AP dan/atau KAP menyampaikan permohonan atau laporan secara luring (offline) kepada Otoritas Jasa Keuangan u.p. Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal. - 23 - 2. Dalam hal terdapat penyampaian laporan kepada Otoritas Jasa Keuangan u.p. Departemen Pengawasan terkait sesuai dengan jenis lembaga sektor jasa keuangan, maka disampaikan sebagai berikut: a. bagi bank, dengan alamat: 1) Departemen Pengawasan Bank atau Departemen Perbankan Syariah terkait bagi Bank yang berkantor pusat atau kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri yang berada di wilayah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta; atau 2) Kantor Regional Otoritas Jasa Keuangan atau Kantor Otoritas Jasa Keuangan setempat sesuai wilayah tempat kedudukan kantor pusat bank; b. bagi Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan di sektor Pasar Modal, ditujukan kepada Departemen Pengawasan Pasar Modal terkait; dan c. bagi Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan di sektor IKNB, ditujukan kepada Departemen Pengawasan IKNB terkait. X. PENUTUP Pada saat Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku: 1. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 3/32/DPNP perihal Hubungan Antara Bank, Akuntan Publik dan Bank Indonesia; dan 2. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 7/57/DPbS perihal Hubungan Antara Bank yang Melaksanakan Kegiatan Usaha berdasarkan Prinsip Syariah, Kantor Akuntan Publik, Akuntan Publik, Dewan Pengawas Syariah dan Bank Indonesia, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Ketentuan dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 11 Juli 2017 KEPALA EKSEKUTIF PENGAWAS PERBANKAN, OTORITAS JASA KEUANGAN Salinan ini sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana ttd NELSON TAMPUBOLON "," SEOJK 36/SEOJK.03/2017 TATA CARA PENGGUNAAN JASA AKUNTAN PUBLIK DAN KANTOR AKUNTAN PUBLIK DALAM KEGIATAN JASA KEUANGAN 11 Juli 2017 11 Juli 2017 '3/32/DPNP|SE-BI', '7/57/DPbS|SE-BI' '13/POJK.03/2017' " " Yth. Penyelenggara Inovasi Keuangan Digital di tempat. SALINAN SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 /SEOJK.02/2019 TENTANG REGULATORY SANDBOX Dalam rangka pelaksanaan ketentuan Pasal 12 ayat (3) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 13/POJK.02/2018 tentang Inovasi Keuangan Digital di Sektor Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 135, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6238), perlu mengatur ketentuan pelaksanaan mengenai proses Regulatory Sandbox dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan sebagai berikut: I. KETENTUAN UMUM Dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini, yang dimaksud dengan: 1. Inovasi Keuangan Digital yang selanjutnya disingkat IKD adalah aktivitas pembaruan proses bisnis, model bisnis, dan instrumen keuangan yang memberikan nilai tambah baru di sektor jasa keuangan dengan melibatkan ekosistem digital. 2. Penyelenggara adalah setiap pihak yang menyelenggarakan IKD. 3. Klaster adalah kelompok Penyelenggara yang memiliki model bisnis yang sama secara umum, dimana pemetaan dan/atau pengelompokannya ditentukan oleh Otoritas Jasa Keuangan. 4. Regulatory Sandbox adalah mekanisme pengujian yang dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan untuk menilai keandalan proses bisnis, model bisnis, instrumen keuangan, dan tata kelola Penyelenggara. 5. Prototype adalah Penyelenggara yang model bisnis dan proses bisnisnya dijadikan sampel objek untuk diuji coba dalam Regulatory Sandbox, yang selanjutnya dijadikan acuan untuk review model bisnis yang sejenis. -2- 6. Forum Panel adalah forum yang terdiri dari perwakilan berbagai satuan kerja Otoritas Jasa Keuangan yang relevan dengan IKD. II. TUJUAN REGULATORY SANDBOX Otoritas Jasa Keuangan menyelenggarakan Regulatory Sandbox dengan tujuan untuk memastikan IKD memenuhi kriteria sebagai berikut: 1. bersifat inovatif dan berorientasi ke depan; 2. menggunakan teknologi informasi dan komunikasi sebagai sarana utama pemberian layanan kepada konsumen di sektor jasa keuangan; 3. mendukung inklusi dan literasi keuangan; 4. bermanfaat dan dapat dipergunakan secara luas; 5. dapat diintegrasikan pada layanan keuangan yang telah ada; 6. menggunakan pendekatan kolaboratif; dan 7. memperhatikan aspek perlindungan konsumen dan perlindungan data. III. MEKANISME KERJA REGULATORY SANDBOX Penyelenggaraan Regulatory Sandbox dilakukan dengan mekanisme sebagai berikut, yaitu: 1. penetapan Penyelenggara sebagai Prototype; Penetapan Prototype objek Regulatory Sandbox ditetapkan berdasarkan kesepakatan Forum Panel. 2. evaluasi dan eksperimen. IV. PENETAPAN PENYELENGGARA UNTUK DIUJI COBA DALAM REGULATORY SANDBOX 1. Penyelenggara yang akan dilakukan uji coba dalam Regulatory Sandbox harus memenuhi persyaratan paling sedikit: a. tercatat sebagai IKD di Otoritas Jasa Keuangan atau berdasarkan surat permohonan yang diajukan satuan kerja pengawas terkait di Otoritas Jasa Keuangan; b. merupakan model bisnis yang baru; c. memiliki skala usaha dengan cakupan pasar yang luas; d. terdaftar di asosiasi penyelenggara; dan -3- e. kriteria lain yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan antara lain terkait pemenuhan prinsip perlindungan konsumen, dan/atau proses bisnis yang mendukung literasi dan inklusi keuangan. 2. Otoritas Jasa Keuangan menetapkan Penyelenggara dari setiap Klaster untuk menjadi Prototype. 3. Dalam menetapkan Penyelenggara sebagai Prototype, Otoritas Jasa Keuangan memperhatikan kriteria sebagai berikut: a. memiliki kompleksitas usaha paling tinggi; b. memiliki skala bisnis terbesar; c. memiliki eksposur risiko tertinggi; dan/atau d. menggunakan teknologi tercanggih. V. EVALUASI DAN EKSPERIMEN 1. Tahap Pendalaman a. Penyelenggara yang telah mendapatkan penetapan sebagai Prototype harus mempresentasikan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling sedikit hal-hal sebagai berikut: 1) model bisnis; 2) inovasi teknologi; 3) proses bisnis; 4) 5) strategi manajemen risiko; dan rencana bisnis dan kesiapan operasional. b. Dalam rangka mengetahui lebih detail informasi usaha dan menilai kesiapan Penyelenggara, Otoritas Jasa Keuangan berwenang: 1) meminta Penyelenggara untuk memaparkan kembali rencana bisnisnya; dan/atau 2) meminta data dan informasi yang dibutuhkan paling sedikit meliputi: a) data dan informasi tentang profil Penyelenggara; b) data dan informasi tentang produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnis yang diuji coba, paling sedikit memuat: (1) unsur inovasi dalam produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnis yang akan diuji coba; (2) manfaat bagi konsumen dan/atau perekonomian; -4- (3) kerangka dan mekanisme kerja untuk penerapan perlindungan konsumen; (4) hasil identifikasi potensi risiko dan upaya mitigasi risiko yang telah atau akan dilakukan; (5) hal spesifik lainnya yang dimintakan uji coba (jika ada); dan (6) rencana yang akan dilakukan setelah uji coba dalam Regulatory Sandbox. c. Data dan informasi sebagaimana dimaksud pada huruf b angka 2) disampaikan melalui surat elektronik dan/atau melalui sistem elektronik dalam laman Otoritas Jasa Keuangan. d. Dalam hal sistem elektronik dalam laman Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada huruf c belum tersedia, Penyelenggara menyampaikan kelengkapan data dan informasi melalui surat. e. Data dan informasi harus disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 5 (lima) hari kerja sejak adanya permintaan dari Otoritas Jasa Keuangan untuk melengkapi data dan informasi. 2. Tahap Pengujian Skenario a. Pengujian dapat dilakukan dengan pendekatan melalui sistem elektronik dan/atau secara manual. b. Prototype harus menyampaikan usulan skenario uji coba produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnis kepada Otoritas Jasa Keuangan dalam jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) hari kerja setelah tanggal penetapan sebagai Prototype melalui surat elektronik sesuai dengan format tercantum dalam Lampiran 1 yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini. c. Usulan skenario berupa kejadian yang terjadi selama proses bisnis berlangsung paling sedikit meliputi: 1) aktivitas bisnis seperti akuisisi konsumen, eksekusi transaksi, pelaporan dan lainnya sesuai dengan model bisnis yang ada; 2) pengujian akurasi dan error correction menggunakan data dummy; 3) skenario pengujian manajemen risiko; -5- 4) perlindungan data dan konsumen; 5) mitigasi risiko siber; dan 6) pengujian terhadap aspek kepatuhan lainnya antara lain program anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme. d. Otoritas Jasa Keuangan menyampaikan pemberitahuan kepada Prototype atas hasil evaluasi usulan skenario Regulatory Sandbox melalui surat elektronik. 3. Tahap Pengujian dan Percobaan a. Aspek yang dipertimbangkan dalam pengujian meliputi: 1) legal dan tata kelola; 2) model dan proses bisnis; 3) teknologi informasi; 4) manajemen risiko; 5) perlindungan konsumen; 6) 7) rencana bisnis; anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme; dan 8) aspek lainnya yang diperlukan. b. Penyelenggara memiliki perangkat yang dapat meningkatkan efisiensi dan kepatuhan atas proses pemantauan yang akan dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan. c. Seluruh proses Regulatory Sandbox dilaksanakan di OJK INFINITY atau tempat lain yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan. d. Apabila diperlukan, Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan observasi onsite ke pusat data dan/atau pusat pemulihan bencana Penyelenggara. e. Penyelenggara yang sudah melakukan kegiatan usaha dan sedang menjalani periode pengujian Regulatory Sandbox, masih dapat menjalankan operasional kegiatan usahanya, kecuali dalam hal: 1) terdapat potensi merugikan konsumen; 2) bertentangan dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan yang berlaku; dan/atau 3) Penyelenggara belum memiliki mitigasi risiko yang memadai atas operasional kegiatan usahanya. -6- 4. Tahap Perbaikan a. Prototype melakukan perbaikan atas aspek pengujian sebagaimana dimaksud pada angka 3 huruf a sesuai permintaan Otoritas Jasa Keuangan, dan menyampaikan kembali laporan perbaikan yang dimintakan tersebut. b. Penyelenggara yang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud pada angka 3 huruf e harus menghentikan kegiatan usahanya sementara sampai dengan terdapat persetujuan Otoritas Jasa Keuangan atas penyelesaian perbaikan. c. Kewajiban melakukan perbaikan sebagaimana dimaksud pada huruf a berlaku juga untuk Penyelenggara yang bukan merupakan Prototype. d. Perbaikan yang dilakukan oleh Penyelenggara tidak melebihi jangka waktu pelaksanaan Regulatory Sandbox. e. Permohonan perpanjangan jangka waktu perbaikan sebagaimana dimaksud pada huruf d dilakukan secara tertulis kepada Otoritas Jasa Keuangan yang disampaikan melalui surat elektronik paling lambat 1 (satu) bulan sebelum berakhirnya jangka waktu pelaksanaan Regulatory Sandbox. 5. Tahap Penilaian a. Hasil pelaksanaan Regulatory Sandbox terhadap Penyelenggara dinyatakan dengan status: 1) direkomendasikan; 2) perbaikan; atau 3) tidak direkomendasikan. b. Otoritas Jasa Keuangan menyampaikan penetapan hasil dari Regulatory Sandbox kepada Penyelenggara melalui surat. c. Surat penetapan hasil Regulatory Sandbox sebagaimana dimaksud pada huruf b ditandatangani oleh Deputi Komisioner yang membawahkan fungsi IKD. d. Dalam hal Penyelenggara berstatus direkomendasikan, Otoritas Jasa Keuangan akan memberikan rekomendasi pendaftaran sesuai dengan aktivitas usaha dari Penyelenggara. -7- e. Dalam hal Penyelenggara berstatus perbaikan, Otoritas Jasa Keuangan dapat memberikan perpanjangan waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal penetapan status kepada Penyelenggara untuk melakukan perbaikan yang diperlukan sepanjang masih terdapat jangka waktu proses Regulatory Sandbox. f. Permohonan perpanjangan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada huruf e dilakukan secara tertulis kepada Otoritas Jasa Keuangan yang disampaikan melalui surat elektronik paling lambat 1 (satu) bulan sebelum berakhirnya jangka waktu pelaksanaan Regulatory Sandbox. g. Dalam hal jangka waktu 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan sebagaimana dimaksud dalam romawi X angka 1 berakhir dan Penyelenggara masih dalam proses perbaikan sebagaimana status yang diberikan Otoritas Jasa Keuangan maka Otoritas Jasa Keuangan memberikan status direkomendasikan atau tidak direkomendasikan atas proses Regulatory Sandbox. h. Dalam hal Penyelenggara berstatus tidak direkomendasikan, Penyelenggara tidak dapat mengajukan kembali IKD yang sama dan dikeluarkan dari pencatatan sebagai Penyelenggara. VI. PENYESUAIAN UNTUK STATUS DIREKOMENDASIKAN 1. Penyelenggara dalam Klaster sama yang tidak ditetapkan sebagai Prototype, memiliki hak yang sama untuk mengajukan permohonan pendaftaran kepada Otoritas Jasa Keuangan, dengan terlebih dahulu melakukan penyesuaian yang diperlukan sesuai hasil Regulatory Sandbox untuk Klaster tersebut. 2. Otoritas Jasa Keuangan melakukan penelaahan terhadap penyesuaian yang dilakukan oleh Penyelenggara sebagaimana dimaksud pada angka 1 dengan mengacu pada hasil penelitian terhadap Prototype sebelum memberikan rekomendasi pendaftaran. 3. Dalam hal diperlukan Otoritas Jasa Keuangan dapat meminta dokumen dan penjelasan tambahan kepada Penyelenggara sebagaimana dimaksud pada angka 2. -8- VII. EXITING PROCESS 1. Penyelenggara yang mendapat status tidak direkomendasikan dan sudah memiliki kegiatan usaha harus menghentikan kegiatan usahanya. 2. Dalam hal Penyelenggara mendapat status tidak direkomendasikan sebagaimana dimaksud dalam angka 1 maka seluruh Penyelenggara dalam Klaster yang sama harus menghentikan kegiatan usahanya. 3. Sebelum melakukan penghentian kegiatan usaha, Penyelenggara harus menyelesaikan semua kewajibannya kepada konsumen dan pihak lainnya dalam kurun waktu 6 (enam) bulan atau sisa jangka waktu kontrak terpanjang sejak penetapan status hasil uji coba. 4. Apabila Penyelenggara tidak dapat memenuhi komitmen dalam Regulatory Sandbox dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan, proses Regulatory Sandbox akan dihentikan dan dihapus status pencatatannya. 5. Apabila diperlukan, penyelenggaraan Regulatory Sandbox dapat melakukan pergantian Prototype dengan Penyelenggara yang lain sepanjang berada dalam 1 (satu) Klaster yang sama, dengan pertimbangan antara lain Prototype yang sudah dipilih sebagai sampel tidak lagi memenuhi kriteria sebagai Prototype atas Klaster sebagaimana dimaksud pada romawi IV angka 3. 6. Pergantian Prototype tidak dapat dilakukan apabila masa uji coba telah melewati 6 (enam) bulan sejak tanggal proses Regulatory Sandbox. VIII. KERJA SAMA 1. Dalam rangka mendukung pelaksanaan Regulatory Sandbox, Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan koordinasi dan/atau kerja sama dengan pihak lain. 2. Otoritas Jasa Keuangan dapat bekerjasama dengan kementerian dan/atau lembaga lain dalam hal berdasarkan hasil uji coba terdapat keterkaitan dengan kewenangan kementerian dan/atau lembaga lain. 3. Dalam kerja sama sebagaimana dimaksud pada angka 1, Otoritas Jasa Keuangan bertindak sebagai koordinator dalam hal inovasi yang diajukan oleh Prototype di bidang sektor jasa keuangan. 4. Otoritas Jasa Keuangan dapat menginformasikan hasil uji coba Regulatory Sandbox kepada instansi terkait sesuai dengan kewenangannya. -9- IX. KEWAJIBAN PELAPORAN 1. Penyelenggara yang telah tercatat sebagai IKD di Otoritas Jasa Keuangan, baik yang ditetapkan menjadi Prototype maupun yang tidak, menyampaikan laporan kinerja berkala secara triwulanan kepada Otoritas Jasa Keuangan sesuai dengan format tercantum dalam Lampiran 2 yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini. 2. Laporan kinerja berkala secara triwulanan disampaikan kepada satuan kerja yang melaksanakan fungsi IKD di Otoritas Jasa Keuangan. X. JANGKA WAKTU PELAKSANAAN REGULATORY SANDBOX 1. Regulatory Sandbox dilaksanakan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang selama 6 (enam) bulan apabila diperlukan. 2. Perpanjangan Regulatory Sandbox dapat diberikan dengan pertimbangan termasuk namun tidak terbatas pada: a. kompleksitas model bisnis; b. mitigasi risiko yang belum menyeluruh; c. adanya pengaruh terhadap perlindungan konsumen; dan d. adanya sistem keamanan yang belum memadai. XI. KETENTUAN LAIN-LAIN 1. Penyelenggara harus mengajukan permohonan pendaftaran kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 6 (enam) bulan sejak penetapan status direkomendasikan. 2. Dalam hal Penyelenggara tidak mengajukan permohonan pendaftaran hingga melewati batas waktu pendaftaran yang diberikan maka status rekomendasi pendaftaran dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. 3. Penyelenggara yang sedang dalam proses Regulatory Sandbox dapat memperoleh persetujuan Otoritas Jasa Keuangan untuk dikecualikan sementara dari peraturan Otoritas Jasa Keuangan tertentu. 4. Pengecualian sementara sebagaimana dimaksud pada angka 3 dapat dilakukan sepanjang memenuhi hal sebagai berikut: a. selama Penyelenggara berada di dalam Regulatory Sandbox; b. mendapat persetujuan satuan kerja pengawas terkait di Otoritas Jasa Keuangan; dan -10- c. hanya berlaku terhadap Peraturan Otoritas Jasa Keuangan yang bersifat non prudensial. 5. Untuk memperoleh persetujuan yang dimaksud pada angka 4 huruf b, Penyelenggara mengajukan surat permohonan persetujuan kepada satuan kerja pengawas terkait. 6. Dalam hal permohonan pengecualian sementara sebagaimana dimaksud pada angka 5 disetujui maka satuan kerja pengawas terkait akan menyampaikan surat persetujuan pengecualian sementara kepada Penyelenggara. 7. Proses uji coba dalam Regulatory Sandbox bukan merupakan proses perizinan yang dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan. 8. Selama pelaksanaan Regulatory Sandbox, Penyelenggara memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. memberitahukan setiap perubahan IKD yang dimiliki; b. berkomitmen untuk membuka setiap informasi yang berkaitan dengan pelaksanaan Regulatory Sandbox; c. mengikuti edukasi dan konseling yang diperlukan untuk pengembangan bisnis sektor jasa keuangan; d. mengikuti setiap pelaksanaan koordinasi dan kerja sama dengan otoritas atau kementerian/lembaga lain; dan e. berkolaborasi dengan lembaga jasa keuangan atau pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan. 9. Selama dalam proses Regulatory Sandbox, Penyelenggara bertanggung jawab atas hal sebagai berikut, namun tidak terbatas pada: a. kebenaran dan keakuratan data, informasi, dan dokumen yang disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan; b. keamanan dan keandalan sistem yang digunakan untuk menjalankan produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnis; c. perlindungan dan kerahasiaan data, serta perlindungan konsumen; dan d. penyelesaian hak dan kewajiban Penyelenggara IKD kepada konsumen dan/atau pihak lain yang terkait. 10. Surat-menyurat dan komunikasi dengan Otoritas Jasa Keuangan terkait pelaksanaan Regulatory Sandbox dapat disampaikan melalui surat elektronik ke OJKInfinity@ojk.go.id atau ke Grup Inovasi Keuangan Digital (GIKD) dengan alamat sebagai berikut: -11- Gedung Wisma Mulia 2 Lantai 20 Jalan Jenderal Gatot Subroto Kavling 42 Kuningan Barat, Mampang Prapatan Jakarta Selatan, DKI Jakarta 12710 XII. KETENTUAN PERALIHAN 1. Penyelenggara yang sedang dalam proses Regulatory Sandbox sebelum berlakunya Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini harus memenuhi ketentuan yang diatur dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini. 2. Penyelenggara yang telah ditetapkan sebagai Prototype sebelum berlakunya Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini harus menyesuaikan dengan ketentuan yang diatur dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini. XIII. KETENTUAN PENUTUP Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 5 November 2019 WAKIL KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, ttd NURHAIDA Salinan ini sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana LAMPIRAN 1 SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 /SEOJK.02/2019 TENTANG REGULATORY SANDBOX - 2 - Formulir Usulan Skenario Uji Coba Regulatory Sandbox Sesuai POJK No.13/POJK.02/2018 1. Informasi terkait Profil Perusahaan Saudara a. Nama Perusahaan: b. Nama Platform: c. Alamat dan Nomor Telepon: d. Email dan Website Perusahaan: e. Klaster: f. Nama dan Nomor HP Contact Person: Hari/Tanggal: Skenario 1: Legal dan Tata Kelola Hal yang Diuji: a. Catatan: Hari/Tanggal: Skenario 2: Model dan Proses Bisnis Hal yang Diuji: a. Catatan: Hari/Tanggal: Skenario 3: Teknologi Informasi Hal yang Diuji: a. a. Penjelasan/Catatan b. Kesimpulan Hari/Tanggal: Skenario 4: Manajemen Risiko Hal yang Diuji: a. Catatan: Hari/Tanggal: Skenario 5: Perlindungan Konsumen Hal yang Diuji: a. Catatan: - 3 - Hari/Tanggal: Skenario 6: Rencana Bisnis Hal yang Diuji: a. Catatan: Hari/Tanggal: Skenario 7: Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme Hal yang Diuji: a. Catatan: Hari/Tanggal: Skenario 8: Aspek lainnya (contoh: Partnership, Revenue, Risiko lainnya, dll.) Hal yang Diuji: a. Catatan: Keterangan: 1. Usulan skenario dapat berupa kejadian yang terjadi selama proses bisnis berlangsung paling sedikit meliputi: • Aktivitas bisnis meliputi akuisisi konsumen, eksekusi transaksi, pelaporan dan lainnya sesuai dengan model bisnis yang ada. • Pengujian akurasi dan error correction menggunakan data dummy. • Skenario pengujian manajemen risiko. • Perlindungan data dan konsumen. • Mitigasi risiko siber. • Pengujian terhadap aspek kepatuhan lainnya antara lain program anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 5 November 2019 WAKIL KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA ttd NURHAIDA Salinan ini sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana LAMPIRAN 2 SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 /SEOJK.02/2019 TENTANG REGULATORY SANDBOX - 2 - Laporan Triwulanan Inovasi Keuangan Digital Sesuai POJK No.13/POJK.02/2018 Kuartal [Keberapa]: [Bulan] [Tahun] A. Informasi terkait Profil Perusahaan Saudara 1. Nama Perusahaan: 2. Nama Platform/Mobile Platform: 3. Alamat dan Nomor Telepon: 4. Email dan Website Perusahaan: 5. Klaster Regulatory Sandbox OJK: 6. Nama dan Nomor HP Contact Person: B. Laporan Kinerja Berapa total transaksi (IDR & QTY) dan pengguna (QTY), berdasarkan: 1 Wilayah (Dalam Negeri – Propinsi, Luar Negeri – Benua) 2 Agregat Gender (Laki-laki/Perempuan) 3 Agregat Usia (≤25, 26-45, >45) 4 Profesi (Wiraswasta, Pegawai, Pelajar, Tidak Bekerja) C. Laporan Keuangan 1. Total Aset, Kewajiban, dan Ekuitas 2. Pendapatan 3. Beban Operasional 4. Laba/rugi D. Laporan Kerjasama 1. Berapa jumlah partner? 2. Jelaskan profil partner dan bentuk kerja sama E. Laporan Tenaga Kerja 1. Berapa jumlah karyawan? 2. Apakah terdapat pegawai Warga Negara Asing (WNA)? Ya/Tidak (Coret yang tidak perlu) 3. Jika Ya: i. Berapa total karyawan WNA? ii. Apa posisi/jabatan WNA dimaksud? F. Laporan Perlindungan Nasabah 1. Berapa banyak keluhan Nasabah? 2. Apa saja jenis keluhan Nasabah? Bagaimana penyelesaian keluhan tersebut? 3. Berapa banyak keluhan yang terselesaikan? 4. Berapa banyak keluhan yang belum terselesaikan? Bagaimana penyelesaian tahap selanjutnya? - 3 - G. Laporan Perlindungan Data 1. Apakah ada backup data? 2. Berapa frekuensi backup data? 3. Dimana lokasi data center? 4. Apakah ada disaster recovery plan? H. Laporan Risiko Siber 1. Berapa frekuensi gagal sistem? 2. Berapa frekuensi terkena serangan siber? 3. Berapa jumlah konsumen yang menjadi korban serangan siber? 4. Berapa total nominal kerugian konsumen atas serangan siber? I. Laporan Perubahan 1. Apakah dalam 3 (tiga) bulan ini telah melakukan perubahan / penambahan terhadap model bisnis / proses bisnis / kelembagaan / operasional / status hukum? Ya/Tidak (Coret yang tidak perlu) 2. Jika Ya, jelaskan perubahan/penambahan apa saja yang dilakukan? Saya menyatakan bahwa informasi yang saya cantumkan diatas adalah benar dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Tempat, Tanggal Tanda Tangan dan Stempel Perusahaan Nama Lengkap Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 5 Oktober 2019 WAKIL KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, ttd Salinan ini sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana NURHAIDA "," SEOJK 21/SEOJK.02/2019 REGULATORY SANDBOX 5 November 2019 5 November 2019 '13/POJK.02/2018 | Pasal 12 ayat (3)' " " Yth. 1. Direksi Bank Umum Syariah; dan 2. Direksi Bank Umum Konvensional yang memiliki Unit Usaha Syariah; di tempat. SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 36/SEOJK.03/2015 TENTANG PRODUK DAN AKTIVITAS BANK UMUM SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH Sehubungan dengan telah diterbitkannya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 24/POJK.03/2015 Tentang Produk dan Aktivitas Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 289, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5771) dan Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/26/PBI/2012 Tentang Kegiatan Usaha dan Jaringan Kantor Berdasarkan Modal Inti Bank (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 286, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5384), perlu diatur ketentuan pelaksanaan mengenai Produk dan Aktivitas Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan sebagai berikut: I. UMUM 1. Kegiatan usaha yang dapat dilakukan oleh Bank Umum Syariah (BUS) dan Unit Usaha Syariah (UUS), yang selanjutnya disebut Bank, dikelompokkan berdasarkan modal inti, yang selanjutnya disebut Bank Umum berdasarkan Kegiatan Usaha (BUKU). Pengelompokan Bank berdasarkan kegiatan usaha dimaksud terdiri dari 4 (empat) BUKU. Semakin tinggi modal inti Bank, maka semakin tinggi BUKU Bank dan semakin luas cakupan kegiatan usaha yang dapat dilakukan oleh Bank. Pengelompokan BUKU untuk UUS didasarkan pada modal inti Bank Umum Konvensional yang menjadi induknya. Klasifikasi BUKU mengacu pada ketentuan yang mengatur mengenai kegiatan usaha dan jaringan kantor berdasarkan modal inti bank. 2. Pelaksanaan... - 2 - 2. Pelaksanaan kegiatan usaha Bank dilakukan antara lain dengan menerbitkan Produk dan/atau melaksanakan Aktivitas tertentu untuk memenuhi kebutuhan Bank dan/atau nasabah. 3. Dalam menerbitkan Produk dan/atau melaksanakan Aktivitas, Bank perlu menerapkan Prinsip Syariah, prinsip kehati-hatian, dan prinsip perlindungan nasabah. Selain itu, Bank perlu memiliki modal yang cukup untuk mendukung penerbitan Produk dan/atau pelaksanaan Aktivitas serta menerapkan manajemen risiko yang memadai untuk memitigasi risiko yang ditimbulkan oleh Produk dan/atau Aktivitas tersebut. II. KEGIATAN USAHA BANK BERDASARKAN BUKU 1. Kegiatan usaha Bank yang meliputi Produk dan Aktivitas dikelompokkan sebagai berikut: a. Penghimpunan dana Kegiatan penghimpunan dana meliputi: 1) simpanan (giro, tabungan); 2) investasi (giro, tabungan, deposito); 3) penerbitan sertifikat deposito syariah; 4) pembiayaan yang diterima; 5) penerbitan surat berharga syariah termasuk surat berharga syariah dengan fitur ekuitas; 6) sekuritisasi aset; dan 7) kegiatan penghimpunan dana lainnya yang lazim dilakukan oleh Bank sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan Prinsip Syariah. b. Penyaluran dana Kegiatan penyaluran dana meliputi: 1) pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah, musyarakah, musyarakah mutanaqisah), prinsip sewa- menyewa (ijarah, ijarah muntahiya bittamlik, multijasa), prinsip jual beli (murabahah, istishna, salam), dan prinsip pinjam-meminjam (qardh) pembiayaan sindikasi; termasuk dalam bentuk 2) pembiayaan ulang (refinancing); 3) pengalihan utang atau pembiayaan; 4) anjak piutang syariah; 5) pembelian... - 3 - 5) pembelian surat berharga syariah; 6) penempatan pada Bank Indonesia; 7) penempatan pada bank lain; dan 8) kegiatan penyaluran dana lainnya yang lazim dilakukan oleh Bank sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan Prinsip Syariah. c. Pembiayaan perdagangan (trade finance) Kegiatan pembiayaan perdagangan (trade finance) meliputi: 1) pembiayaan perdagangan melalui penerbitan dan penerimaan Surat Kredit Berdokumen Dalam Negeri (SKBDN); 2) pembiayaan ekspor impor dengan menggunakan Letter of Credit (L/C); 3) pembiayaan ekspor impor tanpa menggunakan L/C; dan 4) kegiatan pembiayaan perdagangan (trade finance) lainnya yang lazim dilakukan oleh Bank sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan Prinsip Syariah. d. Kegiatan treasury Kegiatan treasury meliputi: 1) jual beli uang kertas asing (banknotes); 2) transaksi tunai valuta asing yaitu transaksi spot; 3) transaksi lindung nilai atas nilai tukar berdasarkan Prinsip Syariah; dan 4) kegiatan treasury lainnya yang lazim dilakukan oleh Bank sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang- undangan dan Prinsip Syariah. e. Kegiatan keagenan dan kerjasama Kegiatan keagenan dan kerjasama meliputi: 1) agen penjual efek reksa dana syariah; 2) agen penjual surat berharga syariah yang diterbitkan Pemerintah; 3) kerjasama pemasaran dengan perusahaan asuransi syariah (bancassurance) model bisnis referensi, distribusi, dan integrasi; 4) payment point; dan 5) kegiatan... - 4 - 5) kegiatan keagenan atau kerjasama lainnya yang lazim dilakukan oleh Bank sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan Prinsip Syariah. f. Kegiatan sistem pembayaran dan electronic banking Kegiatan sistem pembayaran dan electronic banking meliputi: 1) penyelenggara kliring; 2) penyelenggara penyelesaian akhir transaksi antar Bank (settlement); 3) penyelenggara transfer dana; 4) penyelenggara alat pembayaran dengan menggunakan kartu antara lain kartu Anjungan Tunai Mandiri (ATM), kartu debet, dan kartu pembiayaan (sharia card); 5) penyelenggara uang elektronik (e-money); 6) phone banking; 7) sms banking; 8) mobile banking; 9) internet banking; dan 10) kegiatan sistem pembayaran dan electronic banking lainnya yang lazim dilakukan oleh Bank sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan Prinsip Syariah. g. Kegiatan lainnya Kegiatan berupa aktivitas lainnya meliputi: 1) penyediaan Safe Deposit Box (SDB); 2) Traveller’s Cheque (TC); 3) pembayaran gaji karyawan secara massal (payroll); 4) pengelolaan kas (cash management); 5) Layanan Nasabah Prima (LNP); 6) kustodian; 7) wali amanat; 8) penitipan dengan pengelolaan (trust); 9) virtual account; 10) cash pick up and delivery; 11) agen penampungan (escrow agent); 12) bank garansi; 13) Layanan Keuangan Tanpa Kantor Dalam Rangka Keuangan Inklusif (Laku Pandai); dan 14) kegiatan... - 5 - 14) kegiatan lainnya yang lazim dilakukan oleh Bank sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan Prinsip Syariah. 2. Selain dapat melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada angka 1, Bank dapat melakukan: a. kegiatan penyertaan modal Kegiatan penyertaan modal hanya dapat dilakukan oleh BUS. Penyertaan modal adalah penanaman dana BUS dalam bentuk saham pada bank syariah dan perusahaan di bidang keuangan lainnya yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana diatur dalam peraturan perundang- undangan, termasuk penanaman dalam bentuk surat investasi konversi wajib (mandatory convertible sukuk) atau jenis transaksi tertentu yang berakibat BUS memiliki atau akan memiliki saham pada perusahaan yang bergerak di bidang keuangan yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah. b. kegiatan penyertaan modal sementara dalam rangka penyelamatan pembiayaan Kegiatan berupa penyertaan modal sementara oleh Bank pada perusahaan nasabah untuk mengatasi kegagalan pembiayaan (debt to equity swap) sebagaimana diatur dalam ketentuan mengenai penyertaan modal Bank. 3. Bank dapat melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada angka 1 dalam valuta asing sepanjang telah memperoleh persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan. III. KRITERIA PRODUK DAN AKTIVITAS BARU Produk dan/atau Aktivitas baru merupakan Produk dan/atau Aktivitas yang memenuhi kriteria sebagai berikut: a. belum pernah diterbitkan atau dilaksanakan sebelumnya oleh Bank yang bersangkutan; atau b. telah diterbitkan atau dilaksanakan sebelumnya oleh Bank namun dilakukan pengembangan fitur atau karakteristik. Yang dimaksud dengan pengembangan fitur atau karakteristik antara lain penambahan dan/atau penggantian fitur atau karakteristik yang menyebabkan perubahan atau peningkatan profil risiko Produk dan/atau Aktivitas yang telah diterbitkan sebelumnya. Contoh... - 6 - Contoh Produk yang mengalami pengembangan fitur atau karakteristik tapi tidak menyebabkan perubahan atau peningkatan profil risiko adalah Produk tabungan berjangka yang mengalami perubahan jangka waktu dan/atau perubahan nominal. Contoh Produk atau Aktivitas yang mengalami pengembangan fitur atau karakteristik dan menyebabkan perubahan atau peningkatan profil risiko antara lain: 1. Pembiayaan dengan akad musyarakah mutanaqisah untuk objek yang sebelumnya ready stock menjadi ready stock dan inden. 2. Pengembangan dari Aktivitas kerjasama yang telah dilaksanakan sebelumnya oleh Bank, misalnya Aktivitas pemasaran dengan perusahaan asuransi syariah (bancassurance) model bisnis referensi dikembangkan menjadi model bisnis distribusi atau integrasi sehingga mengakibatkan perubahan pada profil risiko Aktivitas tersebut. IV. PENCANTUMAN RENCANA PENERBITAN PRODUK DAN/ATAU PELAKSANAAN AKTIVITAS BARU DALAM RENCANA BISNIS BANK Rencana penerbitan Produk dan/atau pelaksanaan Aktivitas baru yang dicantumkan dalam rencana bisnis Bank paling sedikit memuat informasi dan penjelasan sebagai berikut: 1. jenis dan deskripsi umum Produk dan/atau Aktivitas baru; 2. waktu penerbitan Produk dan/atau pelaksanaan Aktivitas baru; 3. tujuan atau manfaat penerbitan Produk dan/atau pelaksanaan Aktivitas baru; 4. keterkaitan Produk dan/atau Aktivitas baru dengan strategi bisnis Bank; 5. risiko atas penerbitan Produk dan/atau pelaksanaan Aktivitas baru; dan 6. mitigasi risiko atas penerbitan Produk dan/atau pelaksanaan Aktivitas baru. Pencantuman rencana penerbitan Produk dan/atau pelaksanaan Aktivitas baru menggunakan format sebagaimana dimaksud pada Lampiran I. V. RUANG... - 7 - V. RUANG LINGKUP KEBIJAKAN DAN PROSEDUR DALAM RANGKA PENGELOLAAN RISIKO Ruang lingkup kebijakan dan prosedur dalam rangka pengelolaan risiko Produk dan/atau Aktivitas baru paling sedikit mencakup: 1. Identifikasi seluruh risiko yang terkait dengan Produk dan/atau Aktivitas baru; 2. Analisis aspek hukum dan aspek kepatuhan untuk Produk dan/atau Aktivitas baru; 3. Sistem dan prosedur operasional serta kewenangan dalam pengelolaan Produk dan/atau Aktivitas baru; 4. Sistem informasi akuntansi untuk Produk dan/atau Aktivitas baru; 5. Masa uji coba metode pengukuran dan pemantauan risiko terhadap Produk dan/atau Aktivitas baru, dalam hal Produk dan/atau Aktivitas baru memiliki risiko tinggi. VI. PERIZINAN PRODUK DAN/ATAU AKTIVITAS BARU 1. Bank wajib memperoleh persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan untuk menerbitkan Produk dan/atau melaksanakan Aktivitas baru apabila Produk dan/atau Aktivitas baru tidak tercantum dalam kodifikasi Produk dan Aktivitas Bank. Produk dan/atau Aktivitas tersebut harus sesuai dengan klasifikasi BUKU dan telah tercantum dalam rencana bisnis Bank apabila Produk dan/atau Aktivitas tersebut belum pernah diterbitkan atau dilaksanakan sebelumnya oleh Bank. 2. Bank menerbitkan Produk dan/atau melaksanakan Aktivitas baru tanpa persetujuan Otoritas Jasa Keuangan dalam hal Produk dan/atau Aktivitas baru telah: a. tercantum dalam kodifikasi Produk dan Aktivitas Bank; b. tercantum dalam rencana bisnis Bank; c. sesuai dengan klasifikasi BUKU; dan d. didukung dengan kesiapan operasional yang memadai. 3. Pencantuman Produk dan/atau Aktivitas baru dalam rencana bisnis Bank sebagaimana dimaksud pada angka 2 huruf b berlaku untuk Produk dan/atau Aktivitas baru karena memenuhi kriteria belum pernah diterbitkan atau dilaksanakan sebelumnya oleh Bank. 4. Definisi... - 8 - 4. Definisi atau karakteristik umum Produk dan Aktivitas Bank sebagaimana dimaksud pada angka 1 dan angka 2 mengacu pada Lampiran II. 5. Cakupan Produk dan Aktivitas Bank pada masing-masing BUKU mengacu pada Lampiran III. 6. Kodifikasi Produk dan Aktivitas Bank mengacu pada Lampiran IV. VII. PERMOHONAN PERSETUJUAN PENERBITAN PRODUK DAN/ATAU PELAKSANAAN AKTIVITAS BARU Permohonan persetujuan penerbitan Produk dan/atau pelaksanaan Aktivitas baru diajukan oleh Bank kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sebelum penerbitan Produk dan/atau pelaksanaan Aktivitas baru dengan menggunakan contoh format surat sebagaimana dimaksud dalam Lampiran V.1 disertai dengan dokumen pendukung yang paling sedikit memuat informasi dan penjelasan sebagai berikut: 1. penjelasan umum mengenai Produk dan/atau Aktivitas baru meliputi: a. jenis dan nama Produk dan/atau Aktivitas baru; b. rencana waktu penerbitan Produk dan/atau pelaksanaan Aktivitas baru; dan c. informasi mengenai fitur atau karakteristik Produk yang akan diterbitkan dan/atau Aktivitas yang akan dilaksanakan; 2. manfaat dan biaya bagi Bank; 3. manfaat dan risiko bagi nasabah; 4. standar operasional prosedur yang memuat antara lain definisi dan skema; ketentuan yang terkait; karakteristik; target pasar atau nasabah; alur proses (flowchart), unit kerja dan petugas yang terkait; prosedur pelaksanaan sesuai alur proses; jurnal pembukuan; kebijakan dalam rangka transparansi dan perlindungan nasabah; dan penanganan nasabah bermasalah (dalam hal merupakan Produk pembiayaan); 5. rencana kebijakan dan prosedur terkait dengan penerapan program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme (APU dan PPT); 6. identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan pengendalian terhadap risiko yang melekat pada Produk dan/atau Aktivitas baru; 7. hasil... - 9 - 7. hasil analisis aspek hukum dan aspek kepatuhan atas Produk dan/atau Aktivitas baru; 8. sistem informasi akuntansi termasuk penjelasan singkat mengenai keterkaitan sistem informasi akuntansi tersebut dengan sistem informasi akuntansi Bank secara menyeluruh, dan/atau sistem pencatatan administrasi; 9. opini syariah dari Dewan Pengawas Syariah (DPS) terkait Produk dan/atau Aktivitas baru paling sedikit meliputi: a. Produk dan/atau Aktivitas baru mendasarkan pada fatwa Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI); b. kesesuaian Produk dan/atau Aktivitas baru dengan fatwa DSN- MUI paling sedikit mencakup: 1) akad yang digunakan dan pemenuhan unsur-unsur dalam akad yang digunakan; 2) obyek transaksi dan tujuan penggunaan; 3) kesesuaian penetapan bonus/nisbah bagi hasil/margin/ujrah/fee dengan akad yang digunakan, termasuk dalam hal diperlukan kaji ulang (review) terhadap nisbah bagi hasil/margin/ujrah (untuk produk penyaluran dana); 4) penetapan biaya administrasi; dan 5) penetapan hadiah, denda/sanksi dan/atau ganti rugi, potongan, pelunasan dipercepat, dan perlakuan terhadap agunan, apabila ada; c. standar operasional prosedur Produk dan/atau Aktivitas baru terkait dengan pemenuhan Prinsip Syariah; dan d. hasil kaji ulang terhadap konsep akad/perjanjian/formulir aplikasi Produk dan/atau Aktivitas baru terkait dengan pemenuhan Prinsip Syariah. 10. konsep akad/perjanjian/formulir aplikasi paling sedikit meliputi: a. identitas para pihak; b. akad yang digunakan; c. uraian secara rinci dan jelas mengenai nilai dan objek perjanjian; d. hak dan kewajiban para pihak; e. mekanisme pelaksanaan akad; f. jangka waktu; g. bonus/nisbah bagi hasil/margin/ujrah/fee; h. objek... - 10 - h. objek jaminan, apabila ada; i. rincian biaya yang terkait; j. mekanisme perselisihan/sengketa; k. dalam perjanjian memuat pernyataan: “Perjanjian ini telah disesuaikan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan termasuk ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan”, dilampiri dengan pendapat dari satuan kerja yang membidangi hukum yang menyatakan bahwa konsep akad/perjanjian/formulir aplikasi telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku; dan 11. kesiapan operasional meliputi sumber daya manusia dan kesiapan teknologi informasi. Opini syariah dari DPS sebagaimana dimaksud pada angka 9 menggunakan contoh format sebagaimana dimaksud dalam Lampiran V.2. VIII. LAPORAN REALISASI PENERBITAN PRODUK DAN/ATAU PELAKSANAAN AKTIVITAS BARU 1. Laporan realisasi penerbitan Produk dan/atau pelaksanaan Aktivitas baru yang telah mendapat persetujuan Otoritas Jasa Keuangan disampaikan oleh Bank kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah penerbitan Produk dan/atau pelaksanaan Aktivitas baru dengan menggunakan contoh format surat sebagaimana dimaksud dalam Lampiran V.3 disertai dengan dokumen pendukung berupa penjelasan mengenai kesesuaian Produk baru yang diterbitkan atau Aktivitas baru yang dilaksanakan dengan Produk dan/atau Aktivitas baru yang telah disetujui oleh Otoritas Jasa Keuangan. 2. Laporan realisasi penerbitan Produk dan/atau pelaksanaan Aktivitas baru yang tidak memerlukan persetujuan Otoritas Jasa Keuangan disampaikan oleh Bank kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah penerbitan Produk dan/atau pelaksanaan Aktivitas baru dengan menggunakan contoh format surat sebagaimana dimaksud dalam Lampiran V.4 disertai dengan dokumen pendukung sebagai berikut: a. ringkasan umum mengenai Produk dan/atau Aktivitas baru paling sedikit meliputi: 1) jenis... penyelesaian perselisihan apabila terjadi - 11 - 1) jenis dan nama Produk dan/atau Aktivitas baru; 2) tanggal penerbitan Produk dan/atau pelaksanaan Aktivitas baru; 3) kesesuaian Produk baru yang diterbitkan dan/atau Aktivitas baru yang dilaksanakan dengan: a) klasifikasi BUKU; dan b) Kodifikasi Produk dan Aktivitas Bank; 4) manfaat dan biaya bagi Bank; 5) manfaat dan risiko bagi nasabah; 6) target pasar atau nasabah; 7) karakteristik Produk dan/atau Aktivitas; 8) alur proses (flowchart) dan prosedur pelaksanaan sesuai alur proses Produk dan/atau Aktivitas; 9) jurnal pembukuan; 10) kebijakan dalam rangka transparansi dan perlindungan nasabah; dan 11) penanganan nasabah bermasalah (dalam hal merupakan Produk pembiayaan); b. standar operasional prosedur yang memuat antara lain definisi dan skema; ketentuan yang terkait; karakteristik; target pasar atau nasabah; alur proses (flowchart), unit kerja dan petugas yang terkait; prosedur pelaksanaan sesuai alur proses; jurnal pembukuan; kebijakan dalam rangka transparansi dan perlindungan nasabah; dan penanganan nasabah bermasalah (dalam hal merupakan Produk pembiayaan); dan 3. Realisasi penerbitan Produk dan/atau pelaksanaan Aktivitas baru dihitung sejak tanggal Produk dan/atau Aktivitas tersebut sudah dapat dibeli atau dimanfaatkan oleh nasabah. IX. LAPORAN RENCANA PENGHENTIAN PRODUK DAN/ATAU AKTIVITAS BANK Laporan rencana penghentian Produk dan/atau Aktivitas Bank disampaikan oleh Bank kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja sebelum pelaksanaan penghentian Produk dan/atau Aktivitas Bank dengan menggunakan contoh format surat sebagaimana dimaksud dalam Lampiran V.5 disertai dengan dokumen pendukung paling sedikit memuat: 1. alasan... - 12 - 1. alasan penghentian; 2. surat pernyataan Direksi mengenai tanggung jawab atas keputusan penghentian; dan 3. penjelasan mengenai langkah-langkah yang akan ditempuh dalam rangka penyelesaian atau pengalihan seluruh kewajiban kepada nasabah dan pihak lainnya. X. LAPORAN REALISASI PENGHENTIAN PRODUK DAN/ATAU AKTIVITAS ATAS INISIATIF BANK Laporan realisasi penghentian Produk dan/atau Aktivitas Bank disampaikan oleh Bank kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah penghentian Produk dan/atau Aktivitas Bank mengacu pada format surat sebagaimana dimaksud dalam Lampiran V.6 disertai dengan dokumen pendukung paling sedikit memuat penjelasan mengenai langkah-langkah yang telah dilakukan dalam rangka penyelesaian atau pengalihan seluruh kewajiban kepada nasabah dan pihak lainnya. XI. LAPORAN REALISASI PENGHENTIAN SEMENTARA, LAPORAN PENYEMPURNAAN, DAN LAPORAN REALISASI PENERBITAN KEMBALI PRODUK DAN/ATAU PELAKSANAAN KEMBALI AKTIVITAS BANK ATAS PERINTAH OTORITAS JASA KEUANGAN 1. Laporan realisasi penghentian sementara Produk dan/atau Aktivitas Bank atas perintah Otoritas Jasa Keuangan disampaikan oleh Bank kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah penghentian Produk dan/atau Aktivitas Bank dengan menggunakan contoh format surat sebagaimana dimaksud dalam Lampiran V.7. 2. Laporan penyempurnaan Produk dan/atau Aktivitas atas penghentian sementara disampaikan oleh Bank kepada Otoritas Jasa Keuangan sesuai jangka waktu yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan dengan menggunakan contoh format surat sebagaimana dimaksud dalam Lampiran V.8. 3. Laporan realisasi penerbitan kembali Produk dan/atau pelaksanaan kembali Aktivitas Bank karena Otoritas Jasa Keuangan telah mencabut penghentian sementara disampaikan oleh Bank kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah penerbitan... - 13 - penerbitan kembali Produk dan/atau pelaksanaan kembali Aktivitas dengan menggunakan contoh format surat sebagaimana dimaksud dalam Lampiran V.9. XII. LAPORAN REALISASI PENGHENTIAN PERMANEN DAN LAPORAN RENCANA TINDAK PRODUK DAN/ATAU AKTIVITAS BANK ATAS PERINTAH OTORITAS JASA KEUANGAN 1. Laporan realisasi penghentian permanen Produk dan/atau Aktivitas Bank atas perintah Otoritas Jasa Keuangan disampaikan oleh Bank kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah penghentian Produk dan/atau Aktivitas Bank dengan menggunakan contoh format surat sebagaimana dimaksud dalam Lampiran V.10. 2. Laporan rencana tindak atas penghentian permanen Produk dan/atau Aktivitas Bank disampaikan oleh Bank kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 20 (dua puluh) hari kerja setelah tanggal surat penghentian Produk dan/atau Aktivitas dengan menggunakan contoh format surat sebagaimana dimaksud dalam Lampiran V.11. XIII. PENYAMPAIAN PENGAJUAN PERSETUJUAN DAN/ATAU PENYAMPAIAN LAPORAN 1. Permohonan persetujuan dan/atau penyampaian laporan disampaikan oleh Bank kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan alamat sebagai berikut: a. Departemen Perbankan Syariah, bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek), serta Provinsi Banten; atau b. Kantor Regional atau Kantor Otoritas Jasa Keuangan setempat bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek), serta Provinsi Banten. 2. Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan telah menyediakan sistem perizinan secara elektronik, pengajuan permohonan persetujuan dan/atau penyampaian laporan disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan mengacu pada mekanisme dan tata cara sebagaimana dalam ketentuan yang mengatur mengenai perizinan secara elektronik. XIV. LAIN-LAIN... - 14 - XIV. LAIN-LAIN Lampiran I, Lampiran II, Lampiran III, Lampiran IV, dan Lampiran V merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini. XV. PENUTUP Pada saat Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku: 1. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 10/31/DPbS tanggal 7 Oktober 2008 perihal Produk Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah; 2. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 14/7/DPbS tanggal 29 Februari 2012 perihal Produk Qardh Beragun Emas Bagi Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah; dan 3. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 14/16/DPbS tanggal 31 Mei 2012 perihal Produk Pembiayaan Kepemilikan Emas Bagi Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku bagi BUS dan UUS. Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 21 Desember 2015 KEPALA EKSEKUTIF PENGAWAS PERBANKAN OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd NELSON TAMPUBOLON Salinan Sesuai Dengan Aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Sudarmaji LAMPIRAN I SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 36/SEOJK.03/2015 TENTANG PRODUK DAN AKTIVITAS BANK UMUM SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH - 2 - RENCANA PENERBITAN PRODUK DAN/ATAU PELAKSANAAN AKTIVITAS BARU BANK : TAHUN : No. Jenis dan Nama Produk dan/atau Aktivitas Baru1) Rencana Waktu Penerbitan Produk dan/atau Pelaksanaan Aktivitas Baru Tujuan Penerbitan Produk dan/atau Pelaksanaan Aktivitas Baru Bagi Bank Bagi Nasabah Keterkaitan Produk dan/atau Aktivitas Baru dengan Strategi Bank2) Deskripsi Umum Produk dan/atau Aktivitas Baru2) Risiko yang mungkin timbul dari Penerbitan Produk dan/atau Aktivitas Baru2) Rencana Mitigasi Risiko 1) contoh penghimpunan dana – deposito mudharabah, penyaluran dana – pembiayaan musyarakah mutanaqisah, keagenan dan kerjasama – bancassurance, sistem pembayaran dan electronic banking – internet banking. 2) penjelasan yang lebih rinci dapat disertakan dalam lembaran terpisah. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 21 Desember 2015 KEPALA EKSEKUTIF PENGAWAS PERBANKAN OTORITAS JASA KEUANGAN, Salinan Sesuai Dengan Aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Sudarmaji ttd NELSON TAMPUBOLON LAMPIRAN II SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 36/SEOJK.03/2015 TENTANG PRODUK DAN AKTIVITAS BANK UMUM SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH - 2 - DEFINISI ATAU KARAKTERISTIK UMUM PRODUK DAN AKTIVITAS BANK No. Produk dan Aktivitas 1. PENGHIMPUNAN DANA a. Simpanan (Wadi’ah) 1) Giro 2) Tabungan b. Investasi (Mudharabah) 1) Giro 2) Tabungan 3) Deposito c. Sertifikat syariah 1) Tanpa (scripless) 2) Dalam bentuk warkat d. Pinjaman/pembiayaan yang diterima Pinjaman atau pembiayaan yang diterima dari bank atau pihak ketiga bukan bank yang dapat berasal dari dalam negeri (domestik) atau dari luar negeri dalam bentuk rupiah... deposito warkat Definisi atau Karakteristik Umum Simpanan nasabah pada Bank yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan menggunakan cek, bilyet giro, sarana perintah pembayaran lainnya, atau dengan perintah pemindahbukuan. Simpanan dana nasabah pada Bank yang penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat tertentu yang disepakati, tetapi tidak dapat ditarik dengan cek, bilyet giro, dan/atau alat lainnya yang dipersamakan dengan itu. Investasi dana nasabah pada Bank yang penarikannya dapat dilakukan sesuai kesepakatan dengan menggunakan cek, bilyet giro, sarana perintah pembayaran lainnya, atau dengan perintah pemindahbukuan. Investasi dana nasabah pada Bank yang penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat tertentu yang disepakati, tetapi tidak dapat ditarik dengan cek, bilyet giro, dan/atau alat lainnya yang dipersamakan dengan itu. Investasi dana nasabah pada Bank yang penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu yang disepakati berdasarkan akad antara nasabah penyimpan dan Bank. Simpanan dalam bentuk deposito yang berdasarkan Prinsip Syariah yang sertifikat bukti penyimpanannya dapat dipindahtangankan dengan syarat-syarat tertentu. - 3 - No. Produk dan Aktivitas Definisi atau Karakteristik Umum rupiah dan/atau valuta asing. Untuk pinjaman luar negeri jangka panjang, Bank harus terlebih dahulu memperoleh persetujuan masuk pasar dari Bank Indonesia. e. Penerbitan surat berharga syariah f. Penerbitan surat berharga syariah yang memiliki fitur ekuitas g. Sekuritisasi aset h. Penghimpunan dana lainnya 2. PENYALURAN DANA a. Pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil 1) Pembiayaan Mudharabah 2) Pembiayaan Musyarakah 3) Pembiayaan Musyarakah Mutanaqisah (MMQ) Surat berharga syariah yang diterbitkan oleh Bank baik yang diperjualbelikan di pasar uang maupun di pasar modal, misalnya Medium Term Notes (MTN) dan sukuk korporasi. Surat berharga syariah atau pinjaman yang memiliki fitur ekuitas antara lain berupa surat berharga syariah konversi (convertible securities), yaitu suatu jenis surat berharga syariah yang dapat dikonversikan menjadi saham dari penerbit surat berharga syariah dan biasanya pada rasio pertukaran yang sudah ditentukan terlebih dahulu pada penerbitan surat berharga syariah tersebut. Penerbitan surat berharga syariah oleh penerbit efek beragun aset yang didasarkan pada pengalihan aset keuangan dari nasabah pembiayaan asal yang diikuti dengan pembayaran yang berasal dari hasil penjualan efek beragun aset kepada pemodal. Cukup jelas. Penyediaan dana untuk kerja sama usaha antara dua pihak dimana pemilik dana menyediakan seluruh dana, sedangkan pengelola dana bertindak selaku pengelola, dan keuntungan dibagi di antara mereka sesuai dengan nisbah yang disepakati. Penyediaan dana untuk kerja sama usaha tertentu yang masing-masing pihak memberikan porsi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan akan dibagi sesuai dengan nisbah yang disepakati, sedangkan kerugian ditanggung sesuai dengan porsi dana masing-masing. Pembiayaan musyarakah yang kepemilikan aset (barang) atau modal salah satu pihak (syarik) berkurang disebabkan pembelian secara bertahap oleh pihak lainnya. b. Pembiayaan... - 4 - No. Produk dan Aktivitas b. Pembiayaan berdasarkan prinsip sewa menyewa 1) Pembiayaan Ijarah 2) Pembiayaan 3) Pembiayaan Multijasa Ijarah Muntahiyah Bittamlik (IMBT) Ijarah 4) Pembiayaan pengurusan haji c. Pembiayaan berdasarkan prinsip jual beli 1) Pembiayaan Murabahah 2) Pembiayaan Kepemilikan Emas (PKE) Definisi atau Karakteristik Umum Penyediaan dana dalam rangka pemindahan hak guna/manfaat atas suatu aset dalam waktu tertentu dengan pembayaran sewa (ujrah) tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan aset itu sendiri. Penyediaan dana dalam rangka memindahkan hak guna atau manfaat dari suatu barang atau jasa berdasarkan transaksi sewa dengan opsi pemindahan kepemilikan barang. Penyediaan dana dalam rangka pemindahan manfaat atas jasa dalam waktu tertentu dengan pembayaran sewa (ujrah). Pembiayaan yang diberikan Bank untuk nasabah dalam rangka keperluan ibadah haji. Penyediaan dana atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu untuk transaksi jual beli barang sebesar harga pokok ditambah margin berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara Bank dengan nasabah yang mewajibkan nasabah untuk melunasi hutang/kewajibannya. Pembiayaan untuk kepemilikan emas. 3) Pembiayaan Istishna’ Penyediaan dana atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu untuk transaksi jual beli barang dalam bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan atau pembeli dan penjual atau pembuat. 4) Pembiayaan Salam Penyediaan dana atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu untuk jual beli barang pesanan dengan pengiriman barang di kemudian hari oleh penjual dan pelunasannya dilakukan oleh pembeli pada saat akad disepakati sesuai dengan syarat-syarat tertentu. d. Pembiayaan... - 5 - No. Produk dan Aktivitas d. Pembiayaan berdasarkan prinsip pinjam meminjam 1) Pembiayaan Qardh 2) Pembiayaan Qardh Beragun Emas e. Pembiayaan sindikasi Penyediaan dana atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara peminjam dan pihak yang meminjamkan yang mewajibkan peminjam melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu. Pembiayaan qardh dengan agunan berupa emas yang diikat dengan akad rahn, dimana emas yang diagunkan disimpan dan dipelihara oleh Bank selama jangka waktu tertentu dengan membayar biaya penyimpanan dan pemeliharaan atas emas sebagai objek rahn. Pemberian pembiayaan bersama antara sesama Bank atau antara Bank dengan bank konvensional kepada satu nasabah, yang jumlah pembiayaannya terlalu besar apabila diberikan oleh satu Bank saja. Dalam suatu perjanjian pembiayaan sindikasi, Bank dapat bertindak antara lain sebagai arranger, underwriter, agen, atau partisipan. f. Pembiayaan (refinancing) ulang g. Pengalihan utang atau pembiayaan h. Anjak piutang syariah i. Pembelian berharga syariah j. Penempatan pada Bank Indonesia surat Pemberian fasilitas pembiayaan bagi nasabah yang telah memiliki aset sepenuhnya atau nasabah yang belum melunasi pembiayaan sebelumnya. Pemindahan utang nasabah dari lembaga keuangan konvensional ke Bank dan/atau pemindahan pembiayaan nasabah dari lembaga keuangan syariah ke Bank. Pengalihan penyelesaian piutang atau tagihan jangka pendek dari nasabah yang memiliki piutang atau tagihan kepada Bank yang kemudian menagih piutang tersebut kepada pihak yang berutang atau pihak yang ditunjuk oleh pihak yang berutang sesuai Prinsip Syariah. Pembelian surat berharga syariah baik yang diterbitkan oleh pemerintah, Bank Indonesia, atau korporasi. Tagihan atau penempatan dana Bank pada Bank Indonesia dalam bentuk giro, transaksi dalam rangka operasi pasar terbuka syariah, fasilitas penempatan Bank peserta Pasar Uang Antar Bank Syariah (PUAS) pada Bank Indonesia dan jenis tagihan atau penempatan Bank lainnya pada Bank Indonesia. k. Penempatan... Definisi atau Karakteristik Umum - 6 - No. Produk dan Aktivitas k. Penempatan pada Bank lain Definisi atau Karakteristik Umum Penanaman dana Bank pada bank lain dalam bentuk giro, tabungan, deposito, sertifikat deposito syariah, dan penanaman dana lainnya yang sejenis berdasarkan Prinsip Syariah termasuk PUAS mengacu pada ketentuan yang mengatur mengenai PUAS. l. Penyaluran dana lainnya Cukup jelas 3. PEMBIAYAAN PERDAGANGAN (TRADE FINANCE) a. Pembiayaan dengan SKBDN 1) Penerbitan dan Pembiayaan dengan SKBDN: Janji tertulis berdasarkan permintaan tertulis pemohon (applicant) yang mengikat Bank pembuka (issuing bank) untuk: a. melakukan pembayaran kepada penerima atau ordernya, atau mengaksep dan membayar wesel yang ditarik oleh penerima; b. memberi kuasa kepada bank lain untuk melakukan pembayaran kepada penerima, mengaksep dan membayar wesel yang ditarik oleh penerima; atau c. memberi kuasa kepada bank lain untuk menegosiasi wesel yang ditarik oleh penerima, atas penyerahan dokumen sepanjang persyaratan dan kondisi SKBDN dipenuhi. 2) Penerimaan dan Pembiayaan dengan SKBDN: Surat pernyataan akan membayar kepada penerima SKBDN yang diterbitkan oleh bank penerbit untuk memfasilitasi perdagangan dengan pemenuhan persyaratan tertentu sesuai dengan Prinsip Syariah. b. Pembiayaan impor dengan Letter of Credit (L/C) c. Pembiayaan ekspor dengan Letter of Credit (L/C) Surat pernyataan akan membayar kepada eksportir (beneficiary) yang diterbitkan oleh Bank (issuing bank) atas permintaan importir dengan pemenuhan persyaratan tertentu. Surat pernyataan akan membayar kepada eksportir yang diterbitkan oleh Bank penerbit untuk memfasilitasi perdagangan ekspor dengan pemenuhan persyaratan tertentu sesuai dengan Prinsip Syariah. d. Pembiyaan ekspor/impor Penyediaan fasilitas pembiayaan oleh Bank kepada nasabah untuk ekspor-impor tanpa... - 7 - No. Produk dan Aktivitas tanpa Letter of Credit (L/C) e. Pembiayaan perdagangan (trade finance) lainnya 4. TREASURY a. Jual beli uang kertas asing (banknotes) b. Transaksi valuta asing (spot) c. Transaksi lindung nilai syariah atas nilai tukar 1) Transaksi tukar sederhana 2) Transaksi kompleks 3) Transaksi syariah d. Treasury lainnya Cukup jelas. 5. KEGIATAN VALUTA ASING Cukup jelas. 6. PENYERTAAN MODAL Penanaman dana Bank dalam bentuk saham pada perusahaan yang bergerak di bidang keuangan syariah, termasuk penanaman dana dalam bentuk surat berharga syariah yang dapat dikonversi menjadi saham (convertible securities) atau jenis... lindung nilai syariah atas nilai tukar - melalui bursa komoditi Transaksi lindung nilai dengan skema berupa rangkaian transaksi jual beli komoditi dalam mata uang rupiah yang diikuti dengan jual beli komoditi dalam mata uang asing serta penyelesaiannya berupa serah terima mata uang pada saat jatuh tempo. lindung nilai syariah atas nilai tukar - Transaksi lindung nilai dengan skema berupa rangkaian transaksi spot dan forward agreement yang diikuti dengan transaksi spot pada saat jatuh tempo serta penyelesaiannya berupa serah terima mata uang. lindung nilai syariah atas nilai - tanpa L/C. Cukup jelas. Kegiatan penjualan atau pembelian banknotes atau Uang Kertas Asing (UKA). Perjanjian jual/beli valuta asing secara tunai dengan penyerahan atau penyelesaian transaksi tidak lebih dari 2 (dua) hari kerja. Transaksi lindung nilai dengan skema forward agreement yang diikuti dengan transaksi spot pada saat jatuh tempo serta penyelesaiannya berupa serah terima mata uang. Definisi atau Karakteristik Umum - 8 - No. Produk dan Aktivitas Definisi atau Karakteristik Umum jenis transaksi tertentu berdasarkan Prinsip Syariah yang berakibat Bank memiliki atau akan memiliki saham pada perusahaan yang bergerak di bidang keuangan syariah. 7. PENYERTAAN SEMENTARA 8. KEAGENAN MODAL DAN KERJASAMA a. Agen penjual efek reksa dana syariah Aktivitas Bank dalam rangka mewakili perusahaan efek sebagai manajer investasi untuk menjual efek reksa dana syariah yang dilaksanakan oleh pegawai Bank yang memiliki izin wakil agen penjual reksa dana syariah untuk menjual efek reksa dana syariah. Bank yang akan bertindak sebagai agen penjual reksa dana syariah wajib terlebih dahulu memperoleh izin sebagai sebagai Agen Penjual Reksa Dana (APERD). b. Agen penjual surat berharga syariah yang diterbitkan pemerintah c. Bancassurance bisnis referensi model Bank bertindak sebagai agen penjualan surat berharga syariah yang diterbitkan oleh pemerintah kepada nasabahnya, antara lain penjualan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) dan Surat Perbendaharaan Negara (SPN) Syariah. Aktivitas kerjasama pemasaran produk asuransi syariah dengan Bank berperan hanya mereferensikan atau merekomendasikan suatu produk asuransi syariah kepada nasabah. Peran Bank dalam melakukan pemasaran terbatas sebagai perantara dalam meneruskan informasi produk asuransi syariah dari perusahaan asuransi mitra Bank kepada nasabah atau menyediakan akses kepada perusahaan asuransi untuk menawarkan produk asuransi syariah kepada nasabah. d. Bancassurance bisnis distribusi model Aktivitas kerjasama pemasaran produk asuransi dengan Bank berperan memasarkan produk asuransi dengan cara memberikan penjelasan mengenai produk asuransi tersebut secara langsung kepada nasabah. Penjelasan dari Bank dapat dilakukan melalui tatap muka dengan nasabah dan/atau dengan menggunakan sarana komunikasi (telemarketing), termasuk melalui surat, media elektronik, dan situs Bank. e. Bancassurance bisnis integrasi model Aktivitas kerjasama pemasaran produk asuransi dengan Bank berperan memasarkan produk asuransi kepada nasabah dengan cara melakukan modifikasi dan/atau... Penyertaan modal oleh Bank dalam bentuk saham pada perusahaan nasabah untuk mengatasi kegagalan pembiayaan. - 9 - No. Produk dan Aktivitas Definisi atau Karakteristik Umum dan/atau menggabungkan produk asuransi dengan produk Bank. Aktivitas kerjasama pemasaran ini dilakukan oleh Bank dengan cara menawarkan atau menjual bundled product kepada nasabah melalui tatap muka dan/atau dengan menggunakan sarana komunikasi, termasuk melalui surat, media elektronik, dan situs Bank. Dengan demikian, peran Bank tidak hanya meneruskan dan memberikan penjelasan yang terkait dengan produk asuransi kepada nasabah, tetapi juga menindaklanjuti aplikasi nasabah atas bundled product, termasuk yang terkait dengan produk asuransi kepada perusahaan asuransi mitra Bank. f. Payment point g. Keagenan dan kerjasama lainnya 9. SISTEM PEMBAYARAN DAN ELECTRONIC BANKING a. Penyelenggara kliring b. Penyelenggara penyelesaian akhir transaksi antar bank (settlement) c. Penyelenggara transfer dana d. Penyelenggara alat pembayaran dengan menggunakan kartu selain kartu pembiayaan (sharia card) Aktivitas kerjasama Bank dengan pihak ketiga dalam rangka penerimaan tagihan melalui setoran tunai maupun non tunai, antara lain untuk penerimaan pembayaran tagihan listrik, air, telepon, telepon seluler, dan tagihan jasa internet. Cukup jelas. Penyelenggaraan pertukaran data keuangan elektronik dan/atau warkat antar peserta kliring baik atas nama peserta maupun atas nama nasabah yang perhitungannya diselesaikan pada waktu tertentu. Kegiatan pendebetan dan pengkreditan rekening giro Bank di Bank Indonesia yang dilakukan berdasarkan perhitungan hak dan kewajiban masing-masing bank yang timbul dalam penyelenggaraan Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI). Rangkaian kegiatan yang dimulai dengan perintah dari pengirim asal yang bertujuan memindahkan sejumlah dana kepada penerima yang disebutkan dalam perintah transfer dana sampai dengan diterimanya dana oleh penerima. Penyelenggara Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu (APMK) berupa kartu Anjungan Tunai Mandiri (ATM) dan/atau kartu debet. e. Penyelenggara... - 10 - No. Produk dan Aktivitas e. Penyelenggara alat pembayaran dengan menggunakan pembiayaan (sharia card) f. Penyelenggara uang elektronik (e-money) Penyelenggara alat pembayaran yang memenuhi unsur-unsur sebagai berikut: a. diterbitkan atas dasar nilai uang yang disetor terlebih dahulu oleh pemegang kepada penerbit; b. nilai uang disimpan secara elektronik dalam suatu media seperti server atau chip; c. digunakan sebagai alat pembayaran kepada pedagang yang bukan merupakan penerbit uang elektronik tersebut; dan d. nilai uang elektronik yang disetor oleh pemegang dan dikelola oleh penerbit bukan merupakan simpanan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur mengenai perbankan. g. Phone banking h. SMS banking i. Mobile banking j. Internet banking k. Sistem pembayaran dan electronic lainnya 10. KEGIATAN LAINNYA a. Safe Deposit Box (SDB) b. Traveller’s Cheque (TC) c. Payroll Jasa penyewaan kotak penyimpanan harta atau surat berharga dalam ruang khasanah Bank. Penerbitan cek perjalanan yang dapat digunakan sebagai alat pembayaran. Layanan kepada nasabah untuk melakukan pembayaran gaji kepada pegawai/karyawan secara massal. d. Cash... banking Layanan untuk bertransaksi perbankan melalui telepon dengan menghubungi nomor layanan pada Bank. Layanan informasi atau transaksi perbankan yang dapat diakses langsung melalui telepon seluler dengan menggunakan media SMS. Layanan untuk melakukan transaksi perbankan melalui telepon seluler. Layanan untuk melakukan transaksi perbankan melalui jaringan internet. Cukup jelas. kartu Definisi atau Karakteristik Umum Penyelenggara Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu (APMK) berupa kartu pembiayaan (sharia card). - 11 - No. Produk dan Aktivitas d. Cash management Definisi atau Karakteristik Umum Jasa/layanan pengelolaan kas yang diberikan kepada nasabah yang memiliki simpanan pada Bank, di mana setiap transaksi harus berdasarkan perintah nasabah. Contoh jasa/layanan cash management antara lain pendebetan atau pemindahbukuan rekening nasabah dalam rangka pembayaran tagihan atau kewajiban, transfer/pemindahbukuan dana dari satu rekening ke rekening lain milik nasabah, konsolidasi (pooling) atau distribusi dana dari kantor-kantor cabang/jaringan operasional perusahaan, dan jasa pembayaran gaji karyawan secara massal (payroll). Dalam kegiatan cash management, Bank hanya diperkenankan untuk bertindak sebagai pihak yang melakukan pembayaran (paying agent) berdasarkan perintah nasabah dan tidak bertindak sebagai agen investasi (investment agent) dana. e. Layanan Nasabah Prima (LNP) h. Kustodian Layanan terkait produk dan/atau aktivitas dengan keistimewaan tertentu bagi nasabah prima. Penitipan kolektif surat berharga (efek) seperti saham atau obligasi serta melaksanakan tugas administrasi seperti menagih hasil penjualan, menerima dividen, mengumpulkan informasi mengenai perusahaan acuan seperti misalnya rapat umum pemegang saham tahunan, menyelesaikan transaksi penjualan dan pembelian, melaksanakan transaksi dalam valuta asing apabila diperlukan, serta menyajikan laporan atas seluruh Aktivitasnya sebagai kustodian kepada kliennya. Bank yang akan bertindak sebagai Kustodian wajib terlebih dahulu memperoleh persetujuan Otoritas Jasa Keuangan. i. Wali Amanat Jasa/layanan yang diberikan kepada para pemegang efek bersifat hutang atau sukuk (investor) untuk menjadi wakil investor dalam penerbitan suatu efek bersifat hutang atau sukuk tersebut. Sebagai wakil investor, Bank selaku Wali Amanat turut serta dalam proses penerbitan sukuk dan memonitoring kewajiban emiten terhadap ketentuan yang ada dalam perjanjian perwaliamanatan hingga sukuk tersebut lunas. Bank yang akan bertindak sebagai Wali Amanat wajib terlebih dahulu terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan untuk mendapatkan Surat Tanda Terdaftar sebagai Wali Amanat. j. Virtual... - 12 - No. Produk dan Aktivitas j. Virtual Account (VA) k. Cash pick up and delivery l. Agen penampungan (escrow agent) m. Bank Garansi n. Penitipan dengan pengelolaan (trust) Definisi atau Karakteristik Umum Layanan yang diberikan Bank kepada nasabah berupa fasilitas identifikasi penerimaan pembayaran tagihan yang dimiliki nasabah kepada pihak lawan (counterparty) nasabah. Layanan penjemputan atau pengantaran uang tunai dari dan ke lokasi nasabah. Layanan jasa yang diberikan oleh Bank yang bertindak sebagai agen penampungan (escrow agent) untuk melaksanakan hak dan kewajiban yang ditetapkan dalam perjanjian agen penampungan (escrow agent). Kesanggupan tertulis yang diberikan oleh Bank kepada pihak penerima jaminan bahwa Bank akan membayar sejumlah uang kepadanya pada waktu tertentu jika pihak terjamin tidak dapat memenuhi kewajibannya. Trust adalah kegiatan penitipan dengan pengelolaan. Dalam kegiatan penitipan dengan pengelolaan terdapat 3 (tiga) pihak yang terlibat yaitu (i) settlor sebagai pihak penitip yang memiliki harta/dana dan memberikan kewenangan untuk mengelola dana kepada trustee; (ii) trustee (dalam hal ini Bank) sebagai pihak yang diberi kewenangan oleh settlor/penitip untuk mengelola harta/dana guna kepentingan penerima manfaat yaitu beneficiary; dan (iii) beneficiary sebagai pihak penerima manfaat dari harta/dana tersebut. Kegiatan trust mencakup kegiatan antara lain sebagai (i) agen pembayar (paying agent); (ii) agen investasi (investment agent) dana berdasarkan Prinsip Syariah; dan/atau (iii) agen pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah. o. Laku Pandai Kegiatan menyediakan layanan perbankan syariah dan/atau layanan keuangan syariah lainnya yang dilakukan tidak melalui jaringan kantor, namun melalui kerja sama dengan pihak lain dan perlu didukung dengan penggunaan sarana teknologi informasi. p. Kegiatan... - 13 - No. Produk dan Aktivitas p. Kegiatan lainnya Cukup jelas. Definisi atau Karakteristik Umum Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 21 Desember 2015 KEPALA EKSEKUTIF PENGAWAS PERBANKAN OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd NELSON TAMPUBOLON Salinan Sesuai Dengan Aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Sudarmaji LAMPIRAN III SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 36/SEOJK.03/2015 TENTANG PRODUK DAN AKTIVITAS BANK UMUM SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH - 2 - PRODUK DAN AKTIVITAS BUS DAN UUS BERDASARKAN KELOMPOK KEGIATAN USAHA No. Produk/Aktivitas 1. PENGHIMPUNAN DANA a. Simpanan (Wadi’ah) 1) Giro 2) Tabungan b. Investasi (Mudharabah) 1) Giro 2) Tabungan 3) Deposito c. Sertifikat deposito syariah 1) Tanpa warkat (scripless) 2) Dalam bentuk warkat d. Pinjaman/pembiayaan yang diterimaa) e. Penerbitan surat berharga syariahb) f. Penerbitan surat berharga syariah yang memiliki fitur ekuitas b) g. Sekuritisasi aset b) h. Penghimpunan dana lainnya 1) Diluar huruf a sampai dengan huruf g. 2) Huruf a sampai dengan huruf... Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan Persetujuan Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan Persetujuan Tanpa persetujuan Persetujuan Persetujuan Dilarang Persetujuan Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan Persetujuan Tanpa persetujuan Persetujuan Persetujuan Persetujuan Persetujuan Persetujuan Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan Persetujuan Tanpa persetujuan Tanpa Persetujuan Tanpa Persetujuan Tanpa Persetujuan Tanpa Persetujuan Persetujuan Persetujuan Persetujuan Persetujuan Dilarang Persetujuan Persetujuan BUKU 1 BUKU 2 BUKU 3 BUKU 4 - 3 - No. Produk/Aktivitas huruf g dengan keterangan persetujuan” tidak sesuai dengan Kodifikasi Produk dan Aktivitas Bank. 2. PENYALURAN DANA a. Pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil 1) Pembiayaan Mudharabah 2) Pembiayaan Musyarakah 3) Pembiayaan Musyarakah Mutanaqisah (MMQ) b. Pembiayaan berdasarkan prinsip sewa menyewa 1) Pembiayaan Ijarah 2) Pembiayaan 3) Pembiayaan Multijasa Tanpa Persetujuan Tanpa Persetujuan Tanpa Persetujuan Tanpa Persetujuan Tanpa Persetujuan Tanpa Persetujuan Tanpa Persetujuan Tanpa Persetujuan Tanpa Persetujuan Tanpa Persetujuan Tanpa Persetujuan Tanpa Persetujuan “tanpa namun BUKU 1 BUKU 2 BUKU 3 BUKU 4 Tanpa Persetujuan Ijarah Tanpa Persetujuan Muntahiyah Bittamlik (IMBT) Ijarah 4) Pembiayaan pengurusan haji Tanpa Persetujuan Tanpa Persetujuan Tanpa Persetujuan Tanpa Persetujuan Tanpa Persetujuan Tanpa Persetujuan Tanpa Persetujuan Tanpa Persetujuan c. Pembiayaan berdasarkan prinsip jual beli 1) Pembiayaan Murabahah Tanpa Persetujuan Tanpa Persetujuan Tanpa Persetujuan Tanpa Persetujuan 2) Pembiayaan... Tanpa Persetujuan Tanpa Persetujuan Tanpa Persetujuan Tanpa Persetujuan Tanpa Persetujuan Tanpa Persetujuan - 4 - No. Produk/Aktivitas 2) Pembiayaan Kepemilikan Emas (PKE) 3) Pembiayaan Istishna’ 4) Pembiayaan Salam d. Pembiayaan berdasarkan prinsip pinjam meminjam 1) Pembiayaan Qardh 2) Pembiayaan Beragun Emas e. Pembiayaan sindikasi f. Pembiayaan (refinancing) g. Pengalihan utang atau pembiayaan h. Anjak piutang syariah i. Pembelian surat berharga syariah j. Penempatan pada Bank Indonesia l. Penyaluran dana lainnya 1) Diluar huruf a sampai dengan huruf k 2) Huruf a sampai dengan huruf k namun tidak sesuai dengan Kodifikasi Tanpa persetujuan (partisipan) ulang Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan k. Penempatan pada bank lain Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan Persetujuan Persetujuan Persetujuan Persetujuan BUKU 1 Tanpa Persetujuan Tanpa Persetujuan Tanpa Persetujuan Qardh Tanpa Persetujuan Tanpa Persetujuan BUKU 2 Tanpa Persetujuan Tanpa Persetujuan Tanpa Persetujuan Tanpa Persetujuan Tanpa Persetujuan BUKU 3 Tanpa Persetujuan Tanpa Persetujuan Tanpa Persetujuan Tanpa Persetujuan Tanpa Persetujuan BUKU 4 Tanpa Persetujuan Tanpa Persetujuan Tanpa Persetujuan Tanpa Persetujuan Tanpa Persetujuan Produk... - 5 - No. Produk/Aktivitas Produk dan Aktivitas Bank. 3. PEMBIAYAAN PERDAGANGAN (TRADE FINANCE) a. Pembiayaan dengan SKBDN b. Pembiayaan impor dengan Letter of Credit (L/C) c. Pembiayaan ekspor dengan Letter of Credit (L/C) d. Pembiayaan ekspor-impor tanpa Letter of Credit (L/C) e. Pembiayaan perdagangan (trade finance) lainnya 1) Diluar huruf a sampai dengan huruf d 2) Huruf a sampai dengan huruf d keterangan persetujuan” 4. TREASURY a. Jual beli uang kertas asing (banknotes) b. Transaksi valuta asing (spot) Persetujuan sebagai PVA Dilarang Tanpa persetujuanc) Tanpa persetujuanc) Tanpa persetujuanc) Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan tidak sesuai dengan Kodifikasi Produk dan Aktivitas Bank. dengan “tanpa namun Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan Dilarang Dilarang Dilarang Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan Persetujuan Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan Persetujuan Persetujuan Persetujuan BUKU 1 BUKU 2 BUKU 3 BUKU 4 c. Transaksi... - 6 - No. Produk/Aktivitas c. Transaksi lindung nilai syariah atas nilai tukar 1) Transaksi lindung nilai syariah atas nilai tukar - sederhana 2) Transaksi lindung nilai syariah atas nilai tukar - kompleks 3) Transaksi lindung nilai syariah atas nilai tukar - melalui bursa komoditi syariah d. Treasury lainnya 1) Di luar huruf a sampai dengan huruf c 2) Huruf a sampai dengan huruf c dengan keterangan persetujuan” tidak sesuai dengan Kodifikasi Produk dan Aktivitas Bank. 5. KEGIATAN VALUTA ASING c) 6. PENYERTAAN MODAL 7. PENYERTAAN SEMENTARA Persetujuan (Hanya sebagai PVA) Dilarang Persetujuan 15% dari modal Persetujuan 25% dari modal Persetujuan 35% dari modal MODAL Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan Persetujuan Persetujuan Persetujuan “tanpa namun BUKU 1 Dilarang Dilarang Dilarang BUKU 2 Tanpa persetujuan Persetujuan Persetujuan BUKU 3 BUKU 4 Tanpa persetujuan Persetujuan Persetujuan Tanpa persetujuan Persetujuan Persetujuan Dilarang Persetujuan Persetujuan Persetujuan 8. KEAGENAN... - 7 - No. Produk/Aktivitas 8. KEAGENAN DAN KERJASAMA a. Agen penjual efek reksa dana syariah b. Agen penjual surat berharga syariah yang diterbitkan pemerintah c. Bancassurance model bisnis referensi d. Bancassurance model bisnis distribusi e. Bancassurance model bisnis integrasi f. Payment point g. Keagenan dan kerjasama lainnya 1) Di luar huruf a sampai dengan huruf f 2) Huruf a sampai dengan huruf f keterangan persetujuan” dengan “tanpa namun tidak sesuai dengan Kodifikasi Produk dan Aktivitas Bank. Dilarang Persetujuan Persetujuan Persetujuan Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan Persetujuan Dilarang Dilarang Persetujuan Persetujuan Persetujuan Persetujuan Persetujuan Persetujuan Persetujuan Persetujuan Persetujuan Persetujuan Persetujuan Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan Persetujuan Persetujuan BUKU 1 BUKU 2 BUKU 3 BUKU 4 9. SISTEM... - 8 - No. 9. Produk/Aktivitas SISTEM PEMBAYARAN DAN ELECTRONIC BANKING a. Penyelenggara kliring d) b. Penyelenggara penyelesaian akhir transaksi antar bank (settlement) d) c. Penyelenggara dana d) d. Penyelenggara pembayaran e. Penyelenggara pembayaran menggunakan f. Penyelenggara g. Phone banking e) h. SMS banking e) transfer alat dengan menggunakan kartu selain kartu pembiayaan (sharia card)d) alat dengan kartu pembiayaan (sharia card)d) uang elektronik (e-money) d) Persetujuan Persetujuan Persetujuan i. Mobile banking e) j. Internet banking e) k. Sistem pembayaran d) dan Persetujuan Dilarangf) Persetujuan Persetujuan Persetujuan Persetujuan Persetujuan Persetujuan Persetujuan Persetujuan Persetujuan Persetujuan Persetujuan Persetujuan Persetujuan Persetujuan Persetujuan Persetujuan Persetujuan Persetujuan Persetujuan electronic... Dilarang Persetujuan Persetujuan Persetujuan Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan Persetujuan Persetujuan Persetujuan Persetujuan Persetujuan Persetujuan Persetujuan Persetujuan Persetujuan Persetujuan Persetujuan Persetujuan BUKU 1 BUKU 2 BUKU 3 BUKU 4 - 9 - No. Produk/Aktivitas electronic banking lainnya 1) Diluar huruf a sampai dengan huruf j. 2) Diluar huruf a sampai dengan huruf j dengan keterangan persetujuan” “tanpa namun tidak sesuai dengan Kodifikasi Produk dan Aktivitas Bank. 10. KEGIATAN LAINNYA a. Safe Deposit Box (SDB) b. Traveller’s Cheque (TC) c. Payroll d. Cash management e. Layanan Nasabah Prima (LNP) h. Kustodianb) i. Wali amanat b) j. Virtual Account (VA) k. Cash pick up and delivery Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan Dilarang g) Persetujuan Dilarang Dilarang Persetujuan Persetujuan Dilarang Dilarang Persetujuan Persetujuan Persetujuan Persetujuan Persetujuan Persetujuan Persetujuan Persetujuan Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan BUKU 1 BUKU 2 BUKU 3 BUKU 4 l. Agen... - 10 - No. Produk/Aktivitas l. Agen n. Penitipan pengelolaan (trust) o. Laku Pandai p. Kegiatan lainnya 1) Diluar huruf a sampai dengan huruf o. 2) Huruf a sampai dengan huruf o keterangan persetujuan” tidak sesuai dengan Kodifikasi Produk dan Aktivitas Bank. Keterangan: a) b) c) d) e) dengan “tanpa namun Persetujuan Persetujuan Persetujuan Persetujuan penampungan (escrow agent) m. Bank Garansi dengan BUKU 1 BUKU 2 BUKU 3 BUKU 4 Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan Tanpa persetujuan Dilarang Dilarang Persetujuan Persetujuan Persetujuan Persetujuan Persetujuan Persetujuan : Pinjaman luar negeri jangka panjang harus memperoleh izin masuk pasar dari Bank Indonesia : Persetujuan mengacu pada ketentuan perundang-undangan pasar modal termasuk ketentuan di bidang pasar modal. : Bank dapat melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing sepanjang telah memperoleh persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan. : Bank wajib memperoleh izin pelaksanaan dari Bank Indonesia setelah mendapatkan persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan. : Dalam hal bank umum konvensional induk UUS telah memiliki persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan maka UUS hanya perlu melaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan menunjuk persetujuan yang telah dimiliki oleh... - 11 - oleh bank umum konvensional induk UUS. f) g) : Kecuali apabila dilakukan melalui kerja sama dengan bank lain. : Kecuali cash management berupa jasa/layanan pembayaran gaji pegawai secara massal (payroll). Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 21 Desember 2015 KEPALA EKSEKUTIF PENGAWAS PERBANKAN OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd Salinan Sesuai Dengan Aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Sudarmaji NELSON TAMPUBOLON LAMPIRAN V SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 36/SEOJK.03/2015 TENTANG PRODUK DAN AKTIVITAS BANK UMUM SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH - 2 - Lampiran V.1 Nomor Lampiran Kepada Otoritas Jasa Keuangan Up. 1) Perihal : Permohonan Persetujuan Penerbitan Produk/Pelaksanaan Aktivitas2) Baru Assalamu’alaikum Wr. Wb. Sehubungan dengan perihal tersebut di atas, dengan ini kami mengajukan permohonan persetujuan penerbitan Produk/pelaksanaan Aktivitas2) baru dengan rincian sebagai berikut: 1. Jenis Produk/Aktivitas2) : ……………………………………………… 2. Nama Produk/Aktivitas2) : ……………………………………………… 3. Rencana penerbitan Produk/pelaksanaan Aktivitas2) : ………. Sebagai bahan pertimbangan, bersama ini kami sampaikan dokumen pendukung yang dipersyaratkan sebagaimana checklist terlampir. Apabila terdapat pertanyaan atau hal-hal lainnya terkait surat permohonan ini, Saudara dapat menghubungi pegawai kami yaitu ………melalui telepon…….atau email…….. Demikian permohonan ini kami sampaikan, atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih. Wassalamu’alaikum Wr. Wb. : .................... : .................... (Tempat), (Tanggal, Bulan, Tahun) DIREKSI BANK Tembusan: Departemen Perbankan Syariah3) 1) Departemen Perbankan Syariah, Kantor Regional, atau Kantor Otoritas Jasa Keuangan setempat yang mewilayahi BUS atau UUS bersangkutan. 2) Coret yang tidak perlu. 3) Dalam hal merupakan permohonan persetujuan Produk baru dan BUS atau UUS berada diluar wilayah kerja Departemen Perbankan Syariah. CHECKLIST... - 3 - CHECKLIST DOKUMEN DALAM RANGKA PERMOHONAN PERSETUJUAN PRODUK/AKTIVITAS1) BARU No. 1. Dokumen Penjelasan umum mengenai Produk/Aktivitas1) baru. a. jenis dan nama Produk/Aktivitas1) baru; b. rencana waktu penerbitan Produk/ pelaksanaan Aktivitas1) baru; dan c. informasi mengenai fitur atau karakteristik Produk yang akan diterbitkan/Aktivitas yang akan dilaksanakan1). 2. Manfaat dan biaya bagi Bank. 3. Manfaat dan risiko bagi nasabah. 4. Standar operasional prosedur yang memuat antara lain definisi dan skema; ketentuan yang terkait; karakteristik; target pasar atau nasabah; alur proses (flowchart), unit kerja dan petugas yang terkait; prosedur pelaksanaan sesuai alur proses; jurnal pembukuan; kebijakan dalam rangka transparansi dan perlindungan nasabah; dan penanganan nasabah bermasalah (dalam hal merupakan Produk pembiayaan). 5. 6. Rencana kebijakan dan prosedur terkait dengan penerapan program APU dan PPT. Identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan pengendalian terhadap risiko yang melekat pada Produk/Aktivitas1) baru. 7. Hasil analisis aspek hukum dan aspek kepatuhan atas Produk/Aktivitas1) baru. 8. Opini syariah dari DPS terkait Produk/Aktivitas1) baru (terlampir). 9. Konsep akad/perjanjian/formulir aplikasi yang dilampiri dengan pendapat dari satuan kerja yang membidangi hukum yang menyatakan bahwa konsep akad/perjanjian/formulir aplikasi telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 10. Kesiapan operasional meliputi sumber daya manusia dan kesiapan teknologi informasi. Check Keterangan Demikian... - 4 - Demikian checklist ini telah disusun secara benar dan lengkap untuk disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan dalam rangka permohonan persetujuan Produk/Aktivitas1) baru. (Tempat), (Tanggal, Bulan,Tahun) DIREKSI BANK 1) Coret yang tidak perlu. Lampiran... - 5 - Lampiran V.2 OPINI SYARIAH DEWAN PENGAWAS SYARIAH (DPS) Nama Produk/Aktivitas1) Baru: ……………………… No Keterangan 1. Produk/Aktivitas1) baru mendasarkan pada fatwa DSN-MUI 2. Kesesuaian Produk/Aktivitas1) baru dengan fatwa DSN-MUI paling sedikit meliputi: a. akad yang digunakan dan pemenuhan unsur-unsur dalam akad yang digunakan; b. obyek transaksi dan tujuan penggunaan; c. kesesuaian penetapan bonus/nisbah bagi hasil/margin/ujrah/fee dengan akad yang digunakan, termasuk dalam hal diperlukan kaji ulang (review) terhadap nisbah bagi hasil/margin/ujrah (untuk produk penyaluran dana); d. penetapan biaya administrasi; dan e. penetapan hadiah, denda/sanksi dan/atau ganti rugi, potongan, pelunasan dipercepat, dan perlakuan terhadap agunan, apabila ada. 3. Standar operasional prosedur Produk/Aktivitas1) baru terkait dengan pemenuhan Prinsip Syariah. 4. Hasil kaji ulang terhadap konsep akad/perjanjian/formulir aplikasi Produk/Aktivitas1) baru terkait dengan pemenuhan Prinsip Syariah. Kesimpulan : …………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………… …………………………………………………… (Tempat), (Tanggal, Bulan, Tahun) (Dewan Pengawas Syariah) (Dewan Pengawas Syariah) Opini 1) coret yang tidak perlu Lampiran... - 6 - Lampiran V.3 Nomor : .................... (Tempat), (Tanggal, Bulan, Tahun) Lampiran : .................... Kepada Otoritas Jasa Keuangan Up. 1) Perihal : Laporan Realisasi Penerbitan Produk/Pelaksanaan Aktivitas2) Baru Assalamu’alaikum Wr. Wb. Sehubungan dengan surat persetujuan Otoritas Jasa Keuangan Nomor ...... tanggal ..... Hal ....., bersama ini kami laporkan bahwa telah dilaksanakan penerbitan Produk/pelaksanaan Aktivitas2) baru sebagai berikut: 1. Jenis Produk/Aktivitas2) 2. Nama Produk/Aktivitas2) 3. Tanggal penerbitan Produk/pelaksanaan Aktivitas2) : ……....................................... : ……....................................... : …………… Untuk melengkapi laporan ini, terlampir kami sampaikan dokumen pendukung berupa penjelasan mengenai kesesuaian Produk baru yang diterbitkan/Aktivitas baru yang dilaksanakan2) dengan Produk/Aktivitas2) baru yang telah disetujui oleh Otoritas Jasa Keuangan. Demikian laporan ini kami sampaikan, atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih. Wassalamu’alaikum Wr. Wb. DIREKSI BANK 1) Departemen Perbankan Syariah, Kantor Regional, atau Kantor Otoritas Jasa Keuangan setempat yang mewilayahi BUS atau UUS bersangkutan. 2) Coret yang tidak perlu. Lampiran... - 7 - Lampiran V.4 Nomor : .................... (Tempat), (Tanggal, Bulan, Tahun) Lampiran : .................... Kepada Otoritas Jasa Keuangan Up. 1) Perihal : Laporan Realisasi Penerbitan Produk/Pelaksanaan Aktivitas2) Baru Assalamu’alaikum Wr. Wb. Sehubungan dengan perihal tersebut diatas, bersama ini kami laporkan bahwa telah dilaksanakan penerbitan Produk/pelaksanaan Aktivitas2) baru sebagai berikut: 1. Jenis Produk/Aktivitas2) 2. Nama Produk/Aktivitas2) 3. Tanggal penerbitan Produk/pelaksanaan Aktivitas2) : ……....................................... : ……....................................... : …………… Untuk melengkapi laporan ini, bersama ini kami sampaikan dokumen pendukung yang dipersyaratkan sebagaimana checklist terlampir. Demikian laporan ini kami sampaikan, atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih. Wassalamu’alaikum Wr. Wb. DIREKSI BANK 1) Departemen Perbankan Syariah, Kantor Regional, atau Kantor Otoritas Jasa Keuangan setempat yang mewilayahi BUS atau UUS bersangkutan. 2) Coret yang tidak perlu. CHECKLIST... - 8 - CHECKLIST DOKUMEN DALAM RANGKA REALISASI PENERBITAN PRODUK/PELAKSANAAN AKTIVITAS1) BARU No. Dokumen 1. Ringkasan umum paling sedikit meliputi: a. jenis dan nama Produk/Aktivitas1) baru; b. tanggal penerbitan Produk/pelaksanaan Aktivitas1) baru; c. kesesuaian Produk baru yang diterbitkan atau Aktivitas1) baru yang dilaksanakan dengan: d. klasifikasi BUKU; e. Kodifikasi Produk dan Aktivitas Bank; f. manfaat dan biaya bagi Bank; g. manfaat dan risiko bagi nasabah; h. target pasar atau nasabah; i. karakteristik Produk/Aktivitas1); j. alur proses (flowchart) dan prosedur pelaksanaan sesuai alur proses Produk atau Aktivitas; k. jurnal pembukuan; l. kebijakan dalam rangka transparansi dan perlindungan nasabah; dan m. penanganan nasabah bermasalah (dalam hal merupakan Produk pembiayaan). 2. Standar operasional prosedur yang memuat antara lain definisi dan skema; ketentuan yang terkait; karakteristik; target pasar atau nasabah; alur proses (flowchart), unit kerja dan petugas yang terkait; prosedur pelaksanaan sesuai alur proses; jurnal pembukuan; kebijakan dalam rangka transparansi dan perlindungan nasabah; dan penanganan nasabah bermasalah (dalam hal merupakan Produk pembiayaan). Demikian... Check Keterangan - 9 - Demikian checklist ini telah disusun secara benar dan lengkap untuk disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan dalam rangka laporan realisasi penerbitan Produk/pelaksanaan Aktivitas1) baru. (Tempat), (Tanggal, Bulan, Tahun) DIREKSI BANK 1) Coret yang tidak perlu. Lampiran... - 10 - Lampiran V.5 Nomor : .................... (Tempat), (Tanggal, Bulan, Tahun) Lampiran : .................... Kepada Otoritas Jasa Keuangan Up. 1) Perihal : Laporan Rencana Penghentian Produk/Aktivitas2) Assalamu’alaikum Wr. Wb. Sehubungan dengan perihal tersebut di atas, dengan ini kami sampaikan laporan rencana penghentian Produk/Aktivitas2) sebagai berikut: 1. Jenis Produk/Aktivitas2) 2. Nama Produk/Aktivitas2) : …….................................................. : ……................................................. 3. Rencana tanggal penghentian : ……………………………………………… Sebagai bahan pertimbangan, bersama ini kami sampaikan dokumen pendukung yang dipersyaratkan sebagaimana checklist terlampir. Demikian laporan ini kami sampaikan, atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih. Wassalamu’alaikum Wr. Wb DIREKSI BANK 1) Departemen Perbankan Syariah, Kantor Regional, atau Kantor Otoritas Jasa Keuangan setempat yang mewilayahi BUS atau UUS bersangkutan. 2) Coret yang tidak perlu. CHECKLIST... - 11 - CHECKLIST DOKUMEN DALAM RANGKA RENCANA PENGHENTIAN PRODUK/AKTIVITAS1) No. 1. 2. Dokumen Alasan penghentian. Surat pernyataan Direksi mengenai tanggung jawab atas penghentian. 3. Penjelasan mengenai langkah-langkah yang akan ditempuh dalam rangka penyelesaian atau pengalihan seluruh kewajiban kepada nasabah dan pihak lainnya. Demikian checklist ini telah disusun secara benar dan lengkap untuk disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan dalam rangka laporan rencana penghentian Produk/Aktivitas1). (Tempat), (Tanggal, Bulan, Tahun) keputusan Check Keterangan DIREKSI BANK 1) Coret yang tidak perlu. Lampiran... - 12 - Lampiran V.6 Nomor : .................... (Tempat), (Tanggal, Bulan, Tahun) Lampiran : .................... Kepada Otoritas Jasa Keuangan Up. 1) Perihal : Laporan Realisasi Penghentian Produk/Aktivitas2) Assalamu’alaikum Wr. Wb. Sehubungan dengan surat Otoritas Jasa Keuangan Nomor ...... tanggal ..... Hal .....2)/Sehubungan dengan surat kami Nomor ...... tanggal ..... Perihal .....3)4), dengan ini kami laporkan bahwa kami telah melaksanakan penghentian Produk/Aktivitas4) sebagai berikut: 1. Jenis Produk/Aktivitas4) : ……........................................................... 2. Nama Produk/Aktivitas4) : ……........................................................... 3. Tanggal penghentian Produk/Aktivitas4) : ……………………………… Untuk melengkapi laporan ini, bersama ini kami sampaikan dokumen pendukung yang memuat penjelasan mengenai langkah-langkah yang telah dilakukan dalam rangka penyelesaian atau pengalihan seluruh kewajiban kepada nasabah dan pihak lainnya. Demikian laporan ini kami sampaikan, atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih. Wassalamu’alaikum Wr. Wb. DIREKSI BANK 1) Departemen Perbankan Syariah, Kantor Regional, atau Kantor Otoritas Jasa Keuangan setempat yang mewilayahi BUS atau UUS bersangkutan. 2) dalam hal Otoritas Jasa Keuangan memberikan penegasan. 3) dalam hal Otoritas Jasa Keuangan tidak memberikan penegasan. 4) Coret yang tidak perlu. Lampiran... - 13 - Lampiran V.7 Nomor : .................... (Tempat), (Tanggal, Bulan, Tahun) Lampiran : .................... Kepada Otoritas Jasa Keuangan Up. 1) Perihal : Laporan Realisasi Penghentian Sementara Produk/Aktivitas2) Assalamu’alaikum Wr. Wb. Sehubungan dengan surat Otoritas Jasa Keuangan Nomor ...... tanggal ..... Hal ...., dengan ini kami laporkan bahwa kami telah melaksanakan penghentian sementara Produk/Aktivitas2) sebagai berikut: 1. Jenis Produk/Aktivitas2) : ……........................................................... 2. Nama Produk/Aktivitas2) : ……........................................................... 3. Tanggal penghentian sementara Produk/Aktivitas2) : ……………………. Demikian laporan ini kami sampaikan, atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih. Wassalamu’alaikum Wr. Wb. DIREKSI BANK 1) Departemen Perbankan Syariah, Kantor Regional, atau Kantor Otoritas Jasa Keuangan setempat yang mewilayahi BUS atau UUS bersangkutan. 2) Coret yang tidak perlu. Lampiran... - 14 - Lampiran V.8 Nomor : .................... (Tempat), (Tanggal, Bulan, Tahun) Lampiran : .................... Kepada Otoritas Jasa Keuangan Up. 1) Perihal : Laporan Penyempurnaan Produk/Aktivitas2) Assalamu’alaikum Wr. Wb. Sehubungan dengan surat Otoritas Jasa Keuangan Nomor ...... tanggal ..... Hal .... dan surat kami Nomor ...... tanggal ..... perihal Laporan Realisasi Penghentian Sementara Produk/Aktivitas2, dengan ini kami laporkan bahwa kami telah menyempurnakan Produk ..... /Aktivitas2) ...... sesuai dengan permintaan Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana terlampir. Demikian laporan ini kami sampaikan, atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih. Wassalamu’alaikum Wr. Wb. DIREKSI BANK 1) Departemen Perbankan Syariah, Kantor Regional, atau Kantor Otoritas Jasa Keuangan setempat yang mewilayahi BUS atau UUS bersangkutan. 2) Coret yang tidak perlu. Lampiran... - 15 - Lampiran V.9 Nomor : .................... (Tempat), (Tanggal, Bulan, Tahun) Lampiran : .................... Kepada Otoritas Jasa Keuangan Up. 1) Perihal : Laporan Realisasi Penerbitan Kembali Produk/Pelaksanaan Kembali Aktivitas2) Assalamu’alaikum Wr. Wb. Sehubungan dengan surat Otoritas Jasa Keuangan Nomor .......... tanggal ........ Hal............, bersama ini kami laporkan bahwa telah dilaksanakan penerbitan kembali Produk/pelaksanaan kembali Aktivitas2) sebagai berikut: 1. Jenis Produk/Aktivitas2) 2. Nama Produk/Aktivitas2) : ……....................................... : ……....................................... 3. Tanggal penerbitan kembali Produk/pelaksanaan kembali Aktivitas2): .. Demikian laporan ini kami sampaikan, atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih. Wassalamu’alaikum Wr. Wb. DIREKSI BANK 1) Departemen Perbankan Syariah, Kantor Regional, atau Kantor Otoritas Jasa Keuangan setempat yang mewilayahi BUS atau UUS bersangkutan. 2) Coret yang tidak perlu. Lampiran... - 16 - Lampiran V.10 Nomor : .................... (Tempat), (Tanggal, Bulan, Tahun) Lampiran : .................... Kepada Otoritas Jasa Keuangan Up. 1) Perihal : Laporan Realisasi Penghentian Permanen Produk/Aktivitas2) Assalamu’alaikum Wr. Wb. Sehubungan dengan surat Otoritas Jasa Keuangan Nomor ...... tanggal ..... Hal ....., dengan ini kami laporkan bahwa kami telah melaksanakan penghentian permanen Produk/Aktivitas2) sebagai berikut: 1. Jenis Produk/Aktivitas2) : ……........................................................... 2. Nama Produk/Aktivitas2) : ……........................................................... 3. Tanggal penghentian permanen Produk/Aktivitas2) : …………………….. Demikian laporan ini kami sampaikan, atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih. Wassalamu’alaikum Wr. Wb. DIREKSI BANK 1) Departemen Perbankan Syariah, Kantor Regional, atau Kantor Otoritas Jasa Keuangan setempat yang mewilayahi BUS atau UUS bersangkutan. 2) Coret yang tidak perlu. Lampiran... - 17 - Lampiran V.11 Nomor : .................... (Tempat), (Tanggal, Bulan, Tahun) Lampiran : .................... Kepada Otoritas Jasa Keuangan Up. 1) Perihal : Laporan Rencana Tindak Penghentian Produk/Aktivitas2) Assalamu’alaikum Wr. Wb. Sehubungan dengan surat Otoritas Jasa Keuangan Nomor .... tanggal .... Hal ...., terlampir kami sampaikan rencana tindak atas penghentian permanen Produk ......../Aktivitas .........2) yang telah dilaksanakan pada tanggal .......... Demikian laporan kami sampaikan, atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih. Wassalamu’alaikum Wr. Wb. DIREKSI BANK 1) Departemen Perbankan Syariah, Kantor Regional, atau Kantor Otoritas Jasa Keuangan setempat yang mewilayahi BUS atau UUS bersangkutan. 2) Coret yang tidak perlu. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 21 Desember 2015 KEPALA EKSEKUTIF PENGAWAS PERBANKAN OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd NELSON TAMPUBOLON Salinan Sesuai Dengan Aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Sudarmaji "," SEOJK 36/SEOJK.03/2015 PRODUK DAN AKTIVITAS BANK UMUM SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH 21 Desember 2015 21 Desember 2015 '14/16/DPbS|SE-BI/2012', '14/7/DPbS|SE-BI/2012', '10/31/DPbS|SE-BI/2008' '24/POJK.03/2015', '14/26/PBI/2012' " " Yth. 1. Direksi Perusahaan Penjaminan; 2. Direksi Perusahaan Penjaminan Syariah; 3. Direksi Perusahaan Penjaminan Ulang; dan 4. Direksi Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah, di tempat. SALINAN SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 54 /SEOJK.05/2017 TENTANG LAPORAN PENERAPAN TATA KELOLA PERUSAHAAN YANG BAIK BAGI LEMBAGA PENJAMIN Sehubungan dengan amanat ketentuan Pasal 58 ayat (6) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 3/POJK.05/2017 tentang Tata Kelola Perusahaan Yang Baik Bagi Lembaga Penjamin (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6015), perlu untuk mengatur mengenai bentuk, susunan dan tata cara penyampaian laporan penerapan tata kelola perusahaan yang baik bagi lembaga penjamin dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan sebagai berikut: I. KETENTUAN UMUM 1. Lembaga Penjamin adalah Perusahaan Penjaminan, Perusahaan Penjaminan Syariah, Perusahaan Penjaminan Ulang, dan Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah yang menjalankan kegiatan penjaminan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan. 2. Perusahaan Penjaminan adalah badan hukum yang bergerak di bidang keuangan dengan kegiatan usaha utama melakukan Penjaminan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan. - 2 - - 2 - 3. Perusahaan Penjaminan Syariah adalah badan hukum yang bergerak di bidang keuangan dengan kegiatan usaha utama melakukan Penjaminan Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan. 4. Perusahaan Penjaminan Ulang adalah badan hukum yang bergerak di bidang keuangan dengan kegiatan usaha melakukan Penjaminan Ulang sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan. 5. Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah adalah badan hukum yang bergerak di bidang keuangan dengan kegiatan usaha melakukan Penjaminan Ulang Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan. 6. Tata Kelola Perusahaan yang Baik adalah seperangkat proses yang diberlakukan dalam Lembaga Penjamin untuk menentukan keputusan dan pengelolaan Lembaga Penjamin dengan menggunakan prinsip antara lain transparansi, akuntabilitas, tanggung jawab, independensi, dan keadilan. 7. Rapat Umum Pemegang Saham yang selanjutnya disingkat RUPS adalah rapat umum pemegang saham sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas bagi Lembaga Penjamin yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas atau yang setara dengan RUPS bagi Lembaga Penjamin yang berbentuk badan hukum perusahaan umum atau koperasi. 8. Direksi adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas bagi Lembaga Penjamin yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas atau yang setara dengan Direksi bagi Lembaga Penjamin yang berbentuk badan hukum perusahaan umum atau koperasi. 9. Dewan Komisaris adalah dewan komisaris sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas bagi Lembaga Penjamin yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas atau yang setara dengan Dewan Komisaris bagi Lembaga Penjamin yang berbentuk badan hukum perusahaan umum atau koperasi. - 3 - - 3 - 10. Dewan Pengawas Syariah yang selanjutnya disingkat DPS adalah bagian dari organ Perusahaan Penjaminan Syariah, Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah, dan Perusahaan Penjaminan yang memiliki unit usaha syariah yang mempunyai tugas dan fungsi pengawasan terhadap penyelenggaraan kegiatan penjaminan syariah dan penjaminan ulang syariah, agar sesuai dengan prinsip syariah. 11. Komisaris Independen adalah anggota Dewan Komisaris yang tidak terafiliasi dengan pemegang saham, anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris lainnya dan/atau anggota DPS, yaitu tidak memiliki hubungan keuangan, kepengurusan, kepemilikan saham dan/atau hubungan keluarga dengan pemegang saham, anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris lainnya dan/atau anggota DPS atau hubungan lain yang dapat mempengaruhi kemampuannya untuk bertindak independen. II. PENERAPAN TATA KELOLA PERUSAHAAN YANG BAIK Prinsip Tata Kelola Perusahaan yang Baik meliputi: 1. transparansi, yaitu keterbukaan dalam proses pengambilan keputusan dan keterbukaan dalam pengungkapan dan penyediaan informasi yang relevan mengenai Lembaga Penjamin, yang mudah diakses oleh pemangku kepentingan sesuai dengan peraturan perundangan-undangan di bidang penjaminan serta standar, prinsip, dan praktik penyelenggaraan usaha yang sehat; kejelasan 2. akuntabilitas, yaitu fungsi dan pelaksanaan pertanggungjawaban organ Lembaga Penjamin sehingga kinerja penyelenggaraan usaha Lembaga Penjamin dapat berjalan secara transparan, wajar, efektif, dan efisien; 3. tanggung jawab, yaitu kesesuaian pengelolaan Lembaga Penjamin dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penjaminan dan nilai etika serta standar, prinsip, dan praktik penyelenggaraan usaha yang sehat; 4. independensi, yaitu keadaan Lembaga Penjamin yang dikelola secara mandiri dan profesional serta bebas dari benturan kepentingan dan pengaruh atau tekanan dari pihak manapun yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penjaminan dan nilai etika serta standar, prinsip, dan praktik penyelenggaraan usaha yang sehat; dan - 4 - - 4 - 5. keadilan, yaitu kesetaraan dan keseimbangan di dalam memenuhi hak-hak pemangku kepentingan yang timbul berdasarkan perjanjian, ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penjaminan, dan nilai etika serta standar, prinsip, dan praktik penyelenggaraan usaha yang sehat. III. BENTUK DAN SUSUNAN LAPORAN PENERAPAN TATA KELOLA PERUSAHAAN YANG BAIK 1. Lembaga Penjamin wajib menyusun laporan penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik pada setiap akhir tahun buku. 2. Laporan penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik sebagaimana dimaksud pada angka 1 paling sedikit memuat: a. transparansi penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik paling sedikit meliputi pengungkapan seluruh aspek pelaksanaan prinsip Tata Kelola Perusahaan yang Baik sebagaimana dimaksud dalam Romawi II; b. penilaian secara mandiri (self assessment) atas penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik; dan c. rencana tindak (action plan) yang meliputi tindakan korektif (corrective action) yang diperlukan dan waktu penyelesaian serta kendala/hambatan penyelesaiannya, apabila masih terdapat kekurangan dalam penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik. 3. Bentuk dan susunan laporan penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran I, Lampiran II, dan Lampiran III yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini. IV. TRANSPARANSI PENERAPAN TATA KELOLA PERUSAHAAN YANG BAIK 1. Transparansi penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik sebagaimana dimaksud dalam Romawi III angka 2 huruf a, meliputi: a. pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Direksi, Dewan Komisaris, dan DPS; b. kelengkapan dan pelaksanaan tugas: 1) komite audit bagi Lembaga Penjamin yang memiliki lingkup wilayah operasional nasional atau provinsi, atau - 5 - - 5 - terdapat kepemilikan asing; atau 2) fungsi yang membantu Dewan Komisaris bagi Lembaga Penjamin yang memiliki lingkup wilayah operasional kabupaten, dalam memantau dan memastikan efektivitas sistem pengendalian internal; c. penerapan fungsi kepatuhan, auditor internal, dan auditor eksternal; d. penerapan manajemen risiko, sistem pengendalian internal, dan tata kelola teknologi informasi; e. penerapan kebijakan remunerasi dan fasilitas lain bagi anggota Direksi, Dewan Komisaris, DPS, dan pegawai; f. transparansi kondisi keuangan dan non-keuangan Lembaga Penjamin; g. rencana jangka panjang serta rencana kerja dan anggaran tahunan; h. pengungkapan kepemilikan saham anggota Direksi, Dewan Komisaris, dan DPS yang menjabat dan/atau pada badan usaha lain yang berkedudukan di dalam dan di luar negeri yang mencapai 5% (lima per seratus) atau lebih; i. pengungkapan hubungan keuangan dan hubungan keluarga anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, dan anggota DPS dengan anggota Direksi lain, anggota Dewan Komisaris lain, anggota DPS lain, dan/atau pemegang saham Lembaga Penjamin tempat anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, dan anggota DPS dimaksud menjabat; dan j. pengungkapan hal penting lainnya, meliputi: 1) pengunduran diri atau pemberhentian auditor eksternal; 2) transaksi material dengan pihak terkait; 3) benturan kepentingan yang sedang berlangsung dan/atau yang mungkin akan terjadi; 4) informasi material lain mengenai Lembaga Penjamin; 5) pengunduran diri Independen; sertifikasi; atau pemberhentian 6) 7) tenaga kerja asing; 8) jumlah penyimpangan internal (internal fraud); Komisaris - 6 - - 6 - 9) permasalahan hukum; dan 10) etika bisnis Lembaga Penjamin. 2. Transparansi penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik sebagaimana dimaksud dalam Romawi III angka 2 huruf a disusun oleh Lembaga Penjamin berdasarkan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini. V. PENILAIAN SECARA MANDIRI (SELF ASSESSMENT) ATAS PENERAPAN TATA KELOLA PERUSAHAAN YANG BAIK 1. Penilaian secara mandiri (self assessment) atas penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik sebagaimana dimaksud dalam Romawi III angka 2 huruf b dilakukan oleh Lembaga Penjamin berdasarkan pedoman Tata Kelola Perusahaan yang Baik. 2. Penilaian secara mandiri (self assessment) sebagaimana dimaksud pada angka 1 dituangkan dalam kertas kerja penilaian secara mandiri (self assessment) sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini. 3. Pengisian kertas kerja penilaian secara mandiri (self assessment) dilakukan dengan tahapan sebagai berikut: a. menyusun analisis penilaian secara mandiri (self assessment), dengan cara kriteria/indikator membandingkan dengan pemenuhan berdasarkan data dan informasi yang relevan; b. berdasarkan hasil analisis tersebut ditetapkan peringkat sebagai berikut: 1) peringkat 1: hasil analisis penilaian secara mandiri (self assessment) oleh Lembaga Penjamin menunjukkan bahwa pelaksanaan Tata Kelola Perusahaan yang Baik sangat sesuai dengan kriteria/indikator; 2) peringkat 2: hasil analisis penilaian secara mandiri (self assessment) oleh Lembaga Penjamin menunjukkan bahwa pelaksanaan Tata Kelola Perusahaan yang Baik sesuai dengan kriteria/indikator; setiap kondisi Lembaga Penjamin - 7 - - 7 - 3) peringkat 3: hasil analisis penilaian secara mandiri (self assessment) oleh Lembaga Penjamin menunjukkan bahwa pelaksanaan Tata Kelola Perusahaan yang Baik cukup sesuai dengan kriteria/indikator; 4) peringkat 4: hasil analisis penilaian secara mandiri (self assessment) oleh Lembaga Penjamin menunjukkan bahwa pelaksanaan Tata Kelola Perusahaan yang Baik kurang sesuai dengan kriteria/indikator; atau 5) peringkat 5: hasil analisis penilaian secara mandiri (self assessment) oleh Lembaga Penjamin menunjukkan bahwa pelaksanaan Tata Kelola Perusahaan yang Baik tidak sesuai dengan kriteria/indikator; dan c. menyusun kesimpulan umum atas hasil penilaian secara mandiri (self assessment). 4. Untuk setiap pernyataan atau pertanyaan dalam penilaian secara mandiri (self assessment) diberi nilai sebagaimana tabel berikut: Kriteria/Indikator Nilai Ya 1 2 3 4 5 Tidak 5 5 4 3 2 1 1 5. Untuk mendapatkan nilai dari masing-masing faktor, Lembaga Penjamin menggunakan rumus berikut: Bobot masing-masing faktor ditetapkan sebagaimana tabel berikut: - 8 - - 8 - a. bagi Perusahaan Penjaminan dan Perusahaan Penjaminan Ulang No. Faktor 1. Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Direksi dan Dewan Komisaris. 2. Kelengkapan dan pelaksanaan tugas: a. komite audit bagi Lembaga Penjamin yang memiliki lingkup wilayah operasional nasional atau provinsi, atau terdapat kepemilikan asing; atau b. fungsi yang membantu Dewan Komisaris bagi Lembaga Penjamin yang memiliki lingkup wilayah operasional kabupaten, dan memastikan dalam 3. Penerapan memantau efektivitas sistem pengendalian internal. fungsi kepatuhan, internal, dan auditor eksternal. 4. Penerapan manajemen risiko, sistem pengendalian internal, dan tata kelola teknologi informasi. 5. Penerapan kebijakan remunerasi dan 2.50 fasilitas lain bagi anggota Direksi, Dewan Komisaris, dan pegawai. 6. Transparansi kondisi keuangan dan non keuangan Lembaga Penjamin. 7. Rencana jangka panjang serta rencana kerja dan anggaran tahunan. 8. Pengungkapan kepemilikan saham anggota Direksi dan Dewan Komisaris yang mencapai 5% (lima per seratus) atau lebih. 9. Pengungkapan hubungan keuangan dan hubungan keluarga anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris dengan anggota Direksi lain dan anggota Dewan Komisaris 15.00 7.50 5.00 10.00 auditor 7.50 Bobot 30.00 5.00 5.00 - 9 - - 9 - lain, dan/atau pemegang saham Lembaga Penjamin tempat anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris menjabat. dimaksud 10. Pengungkapan hal penting lainnya. TOTAL 12.50 100.00 b. bagi Perusahaan Penjaminan Syariah, Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah, dan Perusahaan Penjaminan yang memiliki unit usaha syariah No. Faktor 1. Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Direksi, Dewan Komisaris, dan DPS. 2. Kelengkapan dan pelaksanaan tugas: a. komite audit bagi Lembaga Penjamin yang memiliki lingkup wilayah b. fungsi operasional nasional atau provinsi, atau terdapat kepemilikan asing; atau membantu yang Dewan Komisaris bagi Lembaga Penjamin yang memiliki lingkup wilayah operasional kabupaten, dalam memantau 3. Penerapan dan memastikan efektivitas sistem pengendalian internal. fungsi kepatuhan, internal, dan auditor eksternal. 4. Penerapan manajemen risiko, sistem pengendalian internal, dan tata kelola teknologi informasi. 5. Penerapan kebijakan remunerasi dan fasilitas lain bagi anggota Direksi, dan Dewan Komisaris, DPS. 6. Transparansi kondisi keuangan dan non keuangan Lembaga Penjamin. 15.00 2.50 10.00 auditor 7.50 Bobot 35.00 5.00 - 10 - - 1 0 - 7. Rencana jangka panjang serta rencana kerja dan anggaran tahunan. 8. Pengungkapan kepemilikan saham anggota Direksi, Dewan Komisaris, dan DPS yang mencapai 5% (lima per seratus) atau lebih. 9. Pengungkapan hubungan keuangan dan hubungan keluarga anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, dan anggota DPS dengan anggota Direksi lain, anggota Dewan Komisaris lain, anggota DPS lain, dan/atau pemegang saham Lembaga Penjamin tempat anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, dan anggota DPS dimaksud menjabat. 10. Pengungkapan hal penting lainnya. TOTAL 6. Untuk mendapatkan nilai 10.00 100.00 komposit, Lembaga Penjamin menjumlahkan nilai dari seluruh faktor. Berdasarkan nilai komposit tersebut Lembaga Penjamin menetapkan nilai komposit sebagaimana tabel berikut: Nilai Rangking 84-100 68-83 52-67 36-51 20-35 1 2 3 4 5 Predikat Sangat Baik Baik Cukup Baik Kurang Baik Tidak Baik 7. Kertas kerja penilaian secara mandiri (self assessment) dan dokumen pendukung penilaian secara mandiri (self assessment) harus didokumentasikan dengan baik sehingga memudahkan penelusuran oleh pihak yang berkepentingan. VI. RENCANA TINDAK (ACTION PLAN) 1. Rencana tindak (action plan) disusun dalam rangka meningkatkan atau menyempurnakan pelaksanaan Tata Kelola Perusahaan yang 7.50 2.50 5.00 - 11 - - 1 1 - Baik sebagai tindak lanjut atas hasil penilaian secara mandiri (self assessment). Rencana tindak (action plan) dimaksud meliputi tindakan korektif (corrective action) yang diperlukan, waktu penyelesaian, dan kendala atau hambatan dalam penyelesaiaan apabila masih terdapat kekurangan dalam penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik. 2. Rencana tindak (action plan) sebagaimana dimaksud dalam Romawi III angka 2 huruf c disusun oleh Lembaga Penjamin sesuai format sebagaimana tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini. VII. WAKTU PENYAMPAIAN LAPORAN PENERAPAN TATA KELOLA PERUSAHAAN YANG BAIK 1. Lembaga Penjamin wajib menyampaikan laporan penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat tanggal 30 April tahun berikutnya. 2. Apabila tanggal 30 April adalah hari libur, maka batas akhir penyampaian laporan adalah hari kerja pertama setelah tanggal 30 April dimaksud. VIII. TATA CARA PENYAMPAIAN LAPORAN PENERAPAN TATA KELOLA PERUSAHAAN YANG BAIK 1. Lembaga Penjamin harus menyampaikan laporan penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik yang telah ditandatangani oleh Direksi kepada Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya, dengan ketentuan sebagai berikut: a. surat pengantar penyampaian laporan penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik ditandatangani b. oleh disampaikan dalam bentuk cetak (hardcopy); dan isi laporan penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik disampaikan dalam bentuk elektronik (softcopy). 2. Alamat penyampaian laporan untuk Perusahaan Penjaminan dan Perusahaan Penjaminan Ulang: Direksi - 12 - - 1 2 - Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya Otoritas Jasa Keuangan u.p. Direktur Pengawasan Lembaga Jasa Keuangan Khusus Gedung Menara Merdeka Lantai 26 Jl. Budi Kemuliaan I Nomor 2 Jakarta 10110 3. Alamat penyampaian laporan untuk Perusahaan Penjaminan yang memiliki unit usaha syariah, disampaikan kepada: Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya Otoritas Jasa Keuangan u.p. Direktur Pengawasan Lembaga Jasa Keuangan Khusus Gedung Menara Merdeka Lantai 26 Jl. Budi Kemuliaan I Nomor 2 Jakarta 10110; dan ditembuskan kepada: Direktur IKNB Syariah Gedung Menara Merdeka Lantai 23 Jl. Budi Kemuliaan I Nomor 2 Jakarta 10110 4. Alamat penyampaian laporan untuk Perusahaan Penjaminan Syariah dan Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah: Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya Otoritas Jasa Keuangan u.p. Direktur IKNB Syariah Gedung Menara Merdeka Lantai 23 Jl. Budi Kemuliaan I Nomor 2 Jakarta 10110 5. Dalam hal terdapat perubahan alamat kantor Otoritas Jasa Keuangan untuk penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada angka 2, angka 3, dan angka 4, Otoritas Jasa Keuangan akan menyampaikan pemberitahuan mengenai perubahan alamat melalui surat atau pengumuman. - 13 - - 1 3 - IX. PENUTUP Ketentuan dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 12 Oktober 2017 KEPALA EKSEKUTIF PENGAWAS PERASURANSIAN, DANA PENSIUN, LEMBAGA PEMBIAYAAN, DAN LEMBAGA JASA KEUANGAN LAINNYA OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd RISWINANDI Salinan ini sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana LAMPIRAN I SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 54 /SEOJK.05/2017 TENTANG LAPORAN PENERAPAN TATA KELOLA PERUSAHAAN YANG BAIK BAGI LEMBAGA PENJAMIN - 1 - TRANSPARANSI PENERAPAN TATA KELOLA PERUSAHAAN YANG BAIK A. Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Direksi, Dewan Komisaris, dan DPS 1. Jumlah, nama jabatan, tanggal lulus, dan nomor fit and proper test, tanggal pengangkatan oleh RUPS, masa jabatan, kewarganegaraan, dan domisili anggota Direksi, Dewan Komisaris, dan DPS No. Nama Jabatan Tanggal Lulus dan Nomor Fit and Proper Test 1. 2. Dst. Data perizinan bagi Dewan Komisaris berkewarganegaraan asing No. KITAS Nama Jabatan Izin Kerja 1. 2. Dst. Masa Berlaku No. Izin Tanggal Pengangkatan oleh RUPS dan Masa Jabatan (tahun) Kewarga- negaraan Domisili IMTA Masa Berlaku -Biodata singkat Direksi, riwayat kerja dalam lima tahun terakhir, pendidikan, dan gelar profesi- -Biodata singkat Dewan Komisaris, riwayat kerja dalam lima tahun terakhir, pendidikan, dan gelar profesi- - 2 - -Biodata singkat DPS, riwayat kerja dalam lima tahun terakhir, pendidikan, dan gelar profesi- Dalam hal selama tahun pelaporan terdapat perubahan susunan anggota Direksi, Dewan Komisaris, dan DPS harus dicantumkan susunan keanggotaan Direksi, Dewan Komisaris, dan DPS sebelumnya dengan tabel sebagai berikut: Tanggal No. Nama Jabatan Pengangkatan oleh RUPS Tanggal Pemberhentian oleh RUPS 2. Tugas dan tanggung jawab masing-masing Direksi, Dewan Komisaris, dan DPS -Uraian singkat- 3. Rangkap jabatan Direksi, Dewan Komisaris, dan DPS a. Direksi Nama No. Nama 1. Posisi di Lembaga Penjamin Posisi di Perusahaan Lain 1. 2. Dst. Perusahaan Lain Dimaksud Bidang Usaha - 3 - 2. 1. 2. Dst. Dst. b. Dewan Komisaris Nama No. Nama 1. Posisi di Lembaga Penjamin Posisi di Perusahaan Lain 1. 2. Dst. 2. 1. 2. Dst. Dst. c. DPS Nama No. Nama 1. Posisi di Lembaga Penjamin Posisi di Perusahaan Lain 1. 2. Dst. 2. 1. 2. Dst. Dst. 4. Pelatihan Direksi, Dewan Komisaris, dan DPS Pelatihan yang terkait dengan peningkatan kemampuan Direksi, Dewan Komisaris, dan DPS dalam mencapai visi dan misi Lembaga Penjamin. Perusahaan Lain Dimaksud Bidang Usaha Perusahaan Lain Dimaksud Bidang Usaha - 4 - a. Direksi No Nama 1. 2. Dst b. Dewan Komisaris No Nama 1. 2. Dst c. DPS No Nama 1. 2. Dst 5. Pelaksanaan kegiatan dan rekomendasi Dewan Komisaris dan DPS Workshop/training/ seminar Tanggal Penyelenggara Tempat Workshop/training/ seminar Tanggal Penyelenggara Tempat Workshop/training/ seminar Tanggal Penyelenggara Tempat -Uraian singkat- 6. Pelaksanaan tugas Komisaris Independen -Uraian singkat- - 5 - 7. Frekuensi rapat Direksi, rapat Dewan Komisaris, dan rapat DPS yang diselenggarakan dalam 1 (satu) tahun a. Rapat Direksi -Uraian singkat terkait pelaksanaan rapat termasuk jumlah rapat- Jumlah Kehadiran Nama No. 1. 2. Dst. b. Rapat Dewan Komisaris Fisik Sarana Media Elektronik % Kehadiran -Uraian singkat terkait pelaksanaan rapat termasuk jumlah rapat- Jumlah Kehadiran No. 1. 2. Dst. Nama Fisik Sarana Media Elektronik % Kehadiran - 6 - c. Rapat DPS -Uraian singkat terkait pelaksanaan rapat termasuk jumlah rapat- Jumlah Kehadiran No. 1. 2. Dst. B. Kelengkapan dan pelaksanaan tugas: 1) komite audit bagi Lembaga Penjamin yang memiliki lingkup wilayah operasional nasional atau provinsi, atau terdapat kepemilikan asing; atau 2) fungsi yang membantu Dewan Komisaris bagi Lembaga Penjamin yang memiliki lingkup wilayah operasional kabupaten, dalam memantau dan memastikan efektivitas sistem pengendalian internal, terdiri atas: 1. Struktur, keanggotaan, dan keahlian komite audit/fungsi yang membantu Dewan Komisaris Nama Fisik Sarana Media Elektronik % Kehadiran -Uraian singkat- 2. Tugas dan tanggung jawab komite audit/fungsi yang membantu Dewan Komisaris -Uraian singkat- - 7 - 3. Frekuensi rapat komite audit/fungsi yang membantu Dewan Komisaris Nama Anggota No. 1. 2. Dst. 4. Program kerja komite audit/fungsi yang membantu Dewan Komisaris dan realisasinya Komite/fungsi yang membantu Dewan Komisaris Rapat Komite audit/fungsi yang membantu Dewan Komisaris Jumlah Kehadiran % Kehadiran -Uraian singkat- 5. Struktur komite lainnya -Uraian singkat- 6. Program kerja terkait tugas dan tanggung jawab komite lainnya -Uraian singkat- C. Penerapan fungsi kepatuhan, auditor internal, dan auditor eksternal 1. Fungsi kepatuhan a. Anggota Direksi yang membawahkan fungsi kepatuhan -Uraian singkat- - 8 - b. Satuan kerja atau pegawai yang melaksanakan fungsi kepatuhan -Uraian singkat- c. Pelaksanaan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan -Uraian singkat tugas satuan kerja fungsi kepatuhan dalam memastikan kebijakan, ketentuan, sistem, dan prosedur, serta kegiatan usaha yang dilakukan oleh Lembaga Penjamin sesuai dengan peraturan perundang-undangan- d. Tingkat kesehatan keuangan Lembaga Penjamin -Uraian singkat terkait rasio likuiditas, gearing ratio, dan retabilitas, hasil penilaian secara mandiri (self assessment)- e. Kepemilikan unit kerja atau fungsi dalam menangani dan menyelesaikan pengaduan yang diajukan konsumen No. Penanggung Jawab Pimpinan Unit Kerja/Pelaksana Fungsi 2. Fungsi auditor internal Efektivitas dan cakupan pelaksanaan tugas auditor internal dalam menilai seluruh aspek dan unsur kegiatan. a. Ruang lingkup pekerjaan audit -Uraian singkat- - 9 - b. Struktur atau kedudukan satuan kerja audit internal -Uraian singkat- c. Independensi auditor internal -Uraian singkat- d. Uraian tugas satuan kerja audit internal -Uraian singkat- e. Profil kepala satuan kerja audit internal -Uraian singkat- f. Jumlah pegawai pada satuan kerja audit internal -Uraian singkat- - 10 - g. Laporan hasil pelaksanaan tugas audit internal -Uraian singkat contohnya: audit kantor cabang, audit kantor pusat, dan audit teknologi sistem informasi- 3. Fungsi auditor eksternal Efektivitas pelaksanaan tugas auditor eksternal dan kepatuhan Lembaga Penjamin terhadap ketentuan, antara lain mengenai penyediaan semua catatan akuntansi dan data penunjang yang diperlukan bagi auditor eksternal, sehingga memungkinkan auditor eksternal memberikan pendapatnya tentang kewajaran, ketaatan, dan kesesuaian laporan keuangan Lembaga Penjamin dengan standar audit yang berlaku. -Uraian singkat- Kantor akuntan publik yang melakukan audit laporan keuangan Lembaga Penjamin selama 5 (lima) tahun terakhir Tahun Kantor Akuntan Publik Nama Akuntan (Perorangan) dan Nomor Pendaftaran di OJK Biaya Auditor Ekternal D. Penerapan manajemen risiko, sistem pengendalian internal, dan tata kelola teknologi informasi 1. Pengawasan aktif Direksi dan Dewan Komisaris -Uraian singkat contohnya: memastikan bahwa Lembaga Penjamin menerapkan Tata Kelola Perusahaan yang Baik- - 11 - 2. Kecukupan kebijakan, prosedur, dan penggunaan teknologi informasi -Uraian singkat- 3. Kecukupan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan dan pengendalian risiko pemanfaatan teknologi informasi -Uraian singkat- 4. Struktur organisasi sistem informasi -Uraian singkat mengenai struktur organisasi sistem informasi- 5. Sistem pengendalian internal atas penggunaan teknologi informasi -Uraian singkat terkait ketersediaan pedoman penggunaan sistem informasi dan pedoman manajemen pengamanan data dan insiden- 6. Sistem pengendalian internal yang menyeluruh -Uraian singkat- - 12 - E. Penerapan kebijakan remunerasi dan fasilitas lain bagi anggota Direksi, Dewan Komisaris, DPS, dan pegawai 1. Pengungkapan mengenai kebijakan remunerasi dan fasilitas lain bagi anggota Direksi, Dewan Komisaris, dan DPS a. Remunerasi dalam bentuk non natura, termasuk gaji dan penghasilan tetap lainnya, antara lain tunjangan (benefit), kompensasi berbasis saham, tantiem dan bentuk remunerasi lainnya -Uraian singkat- b. Fasilitas lain dalam bentuk natura/non natura yaitu penghasilan tidak tetap lainnya, termasuk tunjangan untuk perumahan, transportasi, asuransi kesehatan dan fasilitas lainnya -Uraian singkat- 2. Pengungkapan paket atau kebijakan remunerasi dalam 1 (satu) tahun a. Paket atau kebijakan remunerasi dan fasilitas lain bagi anggota Direksi, Dewan Komisaris, dan DPS yang ditetapkan RUPS -Uraian singkat- b. Remunerasi dan fasilitas lain bagi seluruh anggota Direksi, Dewan Komisaris, dan DPS paling sedikit mencakup jumlah anggota Direksi, jumlah anggota Dewan Komisaris, jumlah anggota DPS dan jumlah seluruh kebijakan remunerasi dan fasilitas lain -Uraian singkat- - 13 - Jumlah yang diterima dalam satu tahun Jumlah Direksi Direksi Nominal (Jutaan Rupiah) Dewan Komisaris DPS Nominal (Jutaan Rupiah) Keterangan: *) Termasuk gaji dan penghasilan tetap lainnya, antara lain tunjangan (benefit), kompensasi berbasis saham, tantiem, dan bentuk remunerasi lainnya dalam bentuk non natura **) Perumahan, trasportasi, asuransi kesehatan, dan sebagainya. c. Jumlah anggota Direksi, Dewan Komisaris, dan DPS yang menerima paket remunerasi dalam 1 (satu) tahun yang dikelompokkan sesuai tingkat penghasilan sebagai berikut: Jumlah Remunerasi per Orang dalam 1 (satu) tahun secara tunai Jumlah Direksi Di atas Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) Di atas Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) s.d Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) Di atas Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) s.d Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) kebawah Jumlah Komisaris Jumlah DPS Jumlah Dewan Komisaris Nominal (Jutaan Rupiah) Jumlah DPS Remunerasi *) Fasilitas lain dalam bentuk natura **) - 14 - -Uraian singkat- 3. Rasio gaji tertinggi dan terendah Gaji yang diperbandingkan dalam rasio gaji adalah imbalan yang diterima oleh anggota Direksi, Dewan Komisaris dan pegawai pada bulan terakhir tahun pelaporan. Rasio gaji tertinggi dan terendah, dalam skala perbandingan berikut: 1) rasio gaji pegawai yang tertinggi dan terendah; 2) rasio gaji anggota Direksi yang tertinggi dan terendah; 3) rasio gaji anggota Dewan Komisaris yang tertinggi dan terendah; dan 4) rasio gaji anggota Direksi tertinggi dan pegawai tertinggi. -Uraian singkat- F. Transparansi kondisi keuangan dan non keuangan Lembaga Penjamin -Uraian singkat contohnya: pengungkapan hasil rating Lembaga Penjamin yang dilakukan oleh lembaga rating, transparansi tentang jasa penjaminan yang disajikan dalam bentuk brosur, leaflet dan media promosi lainnya serta dalam website Lembaga Penjamin, transparansi tata cara pengaduan dan penyelesaian sengketa kepada terjamin, dan pembelian kembali saham (shares buy back)- G. Rencana jangka panjang serta rencana kerja dan anggaran tahunan 1. Rencana jangka panjang dan rencana kerja -Uraian singkat- - 15 - 2. Anggaran tahunan -Uraian singkat- H. Pengungkapan kepemilikan saham anggota Direksi dan Dewan Komisaris yang mencapai 5% (lima per seratus) atau lebih, yang meliputi jenis dan jumlah lembar saham Kategori No. Nama Kepemilikan Saham *) 1. A B C D 2. A B C D Dst. A B C D Keterangan: A. Lembaga Penjamin yang bersangkutan; B. Lembaga penjamin lain; C. Perusahaan jasa keuangan selain lembaga penjamin; dan D. Perusahaan lainnya yang berkedudukan di dalam maupun di luar negeri, termasuk saham yang diperoleh melalui bursa efek. Jumlah Nominal Kepemilikan Saham Persentase Kepemilikan Saham - 16 - I. Pengungkapan hubungan keuangan dan hubungan keluarga anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, dan anggota DPS dengan anggota Direksi lain, anggota Dewan Komisaris lain, anggota DPS lain, dan/atau pemegang saham Lembaga Penjamin tempat anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, dan anggota DPS dimaksud menjabat 1. Hubungan keuangan dan hubungan keluarga anggota Direksi dengan anggota Direksi lain, anggota Dewan Komisaris, anggota DPS, dan/atau pemegang saham Lembaga Penjamin tempat anggota Direksi dimaksud menjabat No. Nama 1. Hubungan dengan Direksi lainnya Dewan Komisaris DPS Pemegang saham 2. Direksi lainnya Dewan Komisaris DPS Pemegang saham Dst. Direksi lainnya Dewan Komisaris DPS Pemegang saham 2. Hubungan keuangan dan hubungan keluarga anggota Dewan Komisaris dengan anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris lain, anggota DPS, dan/atau pemegang saham Lembaga Penjamin tempat anggota Direksi Bentuk Hubungan Keuangan Ya Tidak Keluarga Ya Tidak Keterangan - 17 - dimaksud menjabat No. Nama 1. Hubungan dengan Direksi Dewan Komisaris lainnya DPS Pemegang saham 2. Direksi Dewan Komisaris lainnya DPS Pemegang saham Dst. Direksi Dewan Komisaris lainnya DPS Pemegang saham 3. Hubungan keuangan dan hubungan keluarga anggota DPS dengan anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, anggota DPS lain, dan/atau pemegang saham Lembaga Penjamin tempat anggota Direksi dimaksud menjabat No. Nama 1. Hubungan dengan Direksi Dewan Komisaris Bentuk Hubungan Keuangan Ya Tidak Keluarga Ya Tidak Keterangan Bentuk Hubungan Keuangan Ya Tidak Keluarga Ya Tidak Keterangan - 18 - No. Nama Hubungan dengan DPS lainnya Pemegang saham 2. Direksi Dewan Komisaris DPS lainnya Pemegang saham Dst. Direksi Dewan Komisaris DPS lainnya Pemegang saham Keterangan: Hubungan keuangan adalah apabila seseorang menerima penghasilan, bantuan keuangan, atau pinjaman dari anggota Dewan Komisaris dan/atau anggota Direksi Lembaga Penjamin, Lembaga Penjamin yang pemegang saham pengendalinya adalah anggota Dewan Komisaris dan/atau anggota Direksi Lembaga Penjamin, dan/atau pemegang saham pengendali Lembaga Penjamin. Hubungan keluarga adalah memiliki hubungan keluarga sampai dengan derajat kedua baik hubungan vertikal maupun horizontal, termasuk mertua, menantu dan ipar, sehingga yang dimaksud dengan keluarga meliputi orang tua kandung/tiri/angkat, saudara kandung/tiri/angkat beserta suami atau istrinya, anak kandung/tiri/angkat, kakek/nenek kandung/tiri/angkat, cucu kandung/tiri/angkat, saudara kandung/tiri/angkat dari orang tua beserta suami atau istrinya, mertua, besan, suami/istri dari anak kandung/tiri/angkat, kakek atau nenek dari suami atau istri, suami/istri dari cucu kandung/tiri/angkat, dan saudara kandung/tiri/angkat dari suami atau istri beserta suami atau istrinya. Bentuk Hubungan Keuangan Ya Tidak Keluarga Ya Tidak Keterangan - 19 - J. Pengungkapan hal penting lainnya: 1. Pengunduran diri atau pemberhentian auditor eksternal -Uraian singkat- 2. Transaksi material dengan pihak terkait -Uraian singkat- 3. Benturan kepentingan yang sedang berlangsung dan/atau yang mungkin akan terjadi Contoh benturan kepentingan yang sedang berlangsung dan/atau yang mungkin akan terjadi adalah pembelian aset Lembaga Penjamin oleh anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, dan/atau pegawai Lembaga Penjamin. No. Nama dan Jabatan Pihak yang Memiliki Benturan Kepentingan 1. 2. Dst. Keterangan: *) Tidak sesuai sistem dan prosedur yang berlaku Nama dan Jabatan Pengambil Keputusan Nilai Jenis Trans- aksi Transaksi (jutaan Rupiah) Ketera- ngan *) -Uraian singkat terkait benturan kepentingan- - 20 - 4. Informasi material lain mengenai Lembaga Penjamin -Uraian singkat- 5. Pengunduran diri atau pemberhentian Komisaris Independen -Uraian singkat- 6. Sertifikasi No 1. 2. Dst. 7. Tenaga kerja asing No. Nama Jabatan 1. 2. Dst. 8. Jumlah penyimpangan internal (internal fraud) Jumlah kasus yang dilakukan oleh Penyimpangan internal dalam 1 (satu) tahun Anggota Dewan Komisaris, Anggota Direksi, dan Anggota DPS Total penyimpangan Materi Sertifikasi Tempat/Tanggal Penyelenggara Nomor Fit and Proper Test KITAS IMTA Izin Kerja Masa Berlaku No. Izin Masa Berlaku Pegawai Tetap Pegawai Tidak Tetap - 21 - Jumlah kasus yang dilakukan oleh Penyimpangan internal dalam 1 (satu) tahun Anggota Dewan Komisaris, Anggota Direksi, dan Anggota DPS Telah diselesaikan Dalam proses penyelesaian di internal Belum diupayakan penyelesaian Telah ditindaklajuti melalui proses hukum 9. Permasalahan hukum Jumlah Kasus Permasalahan Hukum Perdata Telah mendapatkan putusan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap a. b. Dalam proses penyelesaian di pengadilan dan di lembaga alternatif penyelesaian sengketa untuk kasus perdata a. b. Total Pidana Pegawai Tetap Pegawai Tidak Tetap - 22 - 10. Etika bisnis Lembaga Penjamin -Uraian singkat terkait nilai etika bisnis Lembaga Penjamin yang menjadi panduan bagi organ Lembaga Penjamin dan seluruh karyawan- Menyetujui, DIREKSI Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 12 Oktober 2017 KEPALA EKSEKUTIF PENGAWAS PERASURANSIAN, DANA PENSIUN, LEMBAGA PEMBIAYAAN, DAN LEMBAGA JASA KEUANGAN LAINNYA OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd RISWINANDI Salinan ini sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana LAMPIRAN II SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 54 /SEOJK.05/2017 TENTANG LAPORAN PENERAPAN TATA KELOLA PERUSAHAAN YANG BAIK BAGI LEMBAGA PENJAMIN FORMAT 1 Penilaian secara mandiri (self assessment) atas Penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik bagi Perusahaan Penjaminan dan Perusahaan Penjaminan Ulang Pengantar: 1. 2. 3. Sesuai dengan SE OJK No. XX/SEOJK.05/2017, kuesioner ini merupakan salah satu ketentuan penilaian secara mandiri (self assessment ) atas Penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik bagi Lembaga Penjamin. Kuesioner ini dilakukan oleh Lembaga Penjamin yaitu Perusahaan Penjaminan yang tidak memiliki unit usaha syariah dan Perusahaan Penjaminan Ulang. Mohon untuk dapat mengisi dan mengirimkan kuesioner ini sesuai dengan ketentuan dan batas waktu yang telah ditetapkan. Petunjuk Pengisian: 1. 2. 3. 4. 5. 6. Sebelum mengisi kuesioner, bacalah petunjuk pengisian dengan cermat. Berilah tanda silang (X) pada kolom 1 Sangat Sesuai, 2 Sesuai, 3 Cukup Sesuai, 4 Kurang Sesuai dan 5 Tidak Sesuai atau pada kolom Ya dan Tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Pengisian kuesioner ini dilakukan dengan cara memberikan jawaban atas pertanyaan/pernyataan di masing-masing faktor yang ada. Kuesioner ini terdiri dari 10 faktor yang masing-masingnya memiliki pertanyaan/pernyataan terkait penilaian atas faktor tersebut. Format A sampai dengan Format J merupakan pengisian untuk masing-masing dari 10 faktor sesuai dengan ketentuan, dan Format K merupakan kesimpulan umum atas hasil penilaian sendiri (self assessment ). Isilah kuesioner dengan benar, hati-hati, dan sesuai dengan kondisi Lembaga Penjamin sebenarnya. Rincian Nilai Bobot Indikator No Faktor 1 Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Direksi dan Dewan Komisaris. 2 Kelengkapan dan pelaksanaan tugas: a. komite audit bagi Lembaga Penjamin yang memiliki lingkup wilayah operasional nasional atau provinsi, atau terdapat kepemilikan asing; atau b. fungsi yang membantu Dewan Komisaris bagi Lembaga Penjamin yang memiliki lingkup wilayah operasional kabupaten, dalam memantau dan memastikan efektivitas sistem pengendalian internal. 3 Penerapan fungsi kepatuhan, auditor internal, dan auditor eksternal. 4 Penerapan manajemen risiko, sistem pengendalian internal, dan penerapan tata kelola teknologi informasi. 5 Penerapan kebijakan remunerasi dan fasilitas lain. 6 Transparansi kondisi keuangan dan non keuangan Lembaga Penjamin. 7 Rencana jangka panjang serta rencana kerja dan anggaran tahunan. 8 Pengungkapan kepemilikan saham. 7,50 Lihat ""Format C"" 10,00 Lihat ""Format D"" 2,50 Lihat ""Format E"" 15,00 Lihat ""Format F"" 7,50 Lihat ""Format G"" 5,00 Lihat ""Format H"" 5,00 Lihat ""Format B1"" atau ""Format B2"" (isi salah satu sesuai ketentuan) Bobot (%) Keterangan 30,00 Lihat ""Format A"" 9 Pengungkapan hubungan keuangan dan hubungan keluarga anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris dengan anggota Direksi lain dan anggota Dewan Komisaris lain, dan/atau pemegang saham Lembaga Penjamin tempat anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris dimaksud menjabat. 10 Pengungkapan hal-hal penting lainnya. JUMLAH 5,00 Lihat ""Format I"" 12,50 Lihat ""Format J"" 100,00 FORMAT 1 Dashboard Penilaian Self Assessment Nilai 84-100 68-83 52-67 36-51 20-35 Ketentuan Penilaian Rangking 1 2 3 4 5 Predikat Sangat Baik Baik Cukup Baik Kurang Baik Tidak Baik Faktor 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Hasil Penilaian Sheet A B1 B2 C D E F G H I J Total Nilai Predikat Nilai - - - - - - - - - - - - Hasil Penilaian 0,20 0,40 0,60 0,80 1,00 - A B1 B2 C D E F G H I J Total Nilai A. Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Direksi dan Dewan Komisaris Kriteria/Indikator Penilaian No Pernyataan/Pertanyaan 1. Direksi 1 2 3 Direksi memiliki pengetahuan yang relevan dengan jabatan sebagai Direksi. Direksi mampu bertindak dengan itikad baik, jujur dan profesional. Direksi bertindak untuk kepentingan Lembaga Penjamin, terjamin, dan/atau penerima jaminan. 4 Direksi mendahulukan kepentingan Lembaga Penjamin, terjamin, dan/atau penerima jaminan, daripada kepentingan pribadi. 5 Direksi mampu mengambil keputusan berdasarkan penilaian independen dan objektif untuk kepentingan Lembaga Penjamin, terjamin, dan/atau penerima jaminan. 6 Direksi mampu menghindarkan penyalahgunaan kewenangan untuk mendapatkan keuntungan pribadi yang tidak semestinya atau menyebabkan kerugian bagi Lembaga Penjamin. 7 Direksi menjamin pengambilan keputusan yang efektif, tepat, dan cepat serta dapat bertindak secara independen, tidak mempunyai kepentingan yang dapat mengganggu kemampuannya untuk melaksanakan tugas secara mandiri dan kritis. 8 Direksi mematuhi peraturan perundang-undangan, anggaran dasar, dan peraturan internal lain dari Lembaga Penjamin dalam melaksanakan tugasnya. 9 Direksi mengelola Lembaga Penjamin sesuai dengan kewenangan dan tanggung jawabnya. 10 Direksi mampu mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugasnya kepada RUPS. 11 Direksi telah memastikan agar Lembaga Penjamin memperhatikan kepentingan semua pihak, khususnya kepentingan terjamin dan/atau penerima jaminan. 12 Direksi telah menyampaikan informasi secara tepat waktu dan lengkap mengenai Lembaga Penjamin kepada Dewan Komisaris. 13 Direksi mampu menghindarkan transaksi yang mempunyai benturan kepentingan dengan kegiatan Lembaga Penjamin tempat anggota Direksi dimaksud menjabat. 14 Direksi mampu untuk tidak memanfaatkan jabatannya pada Lembaga Penjamin tempat anggota Direksi dimaksud menjabat untuk kepentingan pribadi, keluarga, dan/atau pihak lain yang dapat merugikan atau mengurangi keuntungan Lembaga Penjamin tempat anggota Direksi dimaksud menjabat. 0 0 0 1 Sangat Sesuai 2 Sesuai 3 Cukup Sesuai 4 Kurang Sesuai 5 Tidak Sesuai Skor Ya Tidak 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 A. Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Direksi dan Dewan Komisaris Kriteria/Indikator Penilaian No Pernyataan/Pertanyaan 15 Direksi mampu untuk menghindari perbuatan mengambil dan/atau menerima keuntungan pribadi dari Lembaga Penjamin tempat anggota Direksi dimaksud menjabat selain remunerasi dan fasilitas yang ditetapkan berdasarkan keputusan RUPS. 16 Direksi mampu untuk menolak permintaan pemegang saham yang terkait dengan kegiatan operasional Lembaga Penjamin tempat anggota Direksi dimaksud menjabat selain yang telah ditetapkan dalam RUPS. 17 Hasil rapat Direksi secara rutin telah dituangkan dalam risalah rapat Direksi. 18 Risalah rapat yang merupakan keputusan bersama seluruh anggota Direksi telah didokumentasikan dengan baik. 19 Keputusan Direksi telah dituangkan ke dalam risalah rapat, termasuk perbedaan pendapat (dissenting opinions ) yang terjadi secara jelas. 20 Anggota Direksi Lembaga Penjamin berdomisili di Indonesia. 21 Lembaga Penjamin yang didalamnya terdapat kepemilikan asing baik secara langsung maupun tidak langsung memiliki paling sedikit 50% (lima puluh per seratus) anggota Direksi yang merupakan warga negara Indonesia. 22 Direksi berkewarganegaraan asing memiliki surat izin menetap dari instansi yang berwenang. 23 24 25 Direksi berkewarganegaraan asing memiliki surat izin bekerja dari instasi berwenang. Direksi Lembaga Penjamin memiliki komite investasi. Anggota Direksi Lembaga Penjamin tidak merangkap jabatan pada Lembaga Penjamin atau badan usaha lain. 26 Anggota Direksi tidak berasal dari pegawai atau pejabat aktif Otoritas Jasa Keuangan. 27 Direksi Lembaga Penjamin menyelenggarakan rapat Direksi secara berkala paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) bulan. 28 Direksi Lembaga Penjamin menghadiri rapat Direksi paling sedikit 50% (lima puluh per seratus) dari jumlah rapat Direksi dalam periode 1 (satu) tahun. 29 Jumlah rapat Direksi yang telah diselenggarakan dan jumlah kehadiran masing-masing anggota Direksi perusahaan harus dimuat dalam laporan penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik. 2. Dewan Komisaris 1 Dewan Komisaris mampu melaksanakan tugas pengawasan dan pemberian nasihat kepada Direksi. 2 Dewan Komisaris mampu mengawasi Direksi dalam menjaga keseimbangan kepentingan semua pihak. 0 1 Sangat Sesuai 2 Sesuai 3 Cukup Sesuai 4 Kurang Sesuai 5 Tidak Sesuai Skor Ya Tidak 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 A. Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Direksi dan Dewan Komisaris Kriteria/Indikator Penilaian No Pernyataan/Pertanyaan 3 Dewan Komisaris mampu memantau efektivitas penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik. 4 Dewan Komisaris mampu memastikan bahwa Direksi telah menindaklanjuti temuan audit dan rekomendasi dari satuan kerja audit internal Lembaga Penjamin, auditor eksternal, hasil pengawasan Otoritas Jasa Keuangan dan/atau hasil pengawasan otoritas lain. 5 Anggota Dewan Komisaris mampu untuk tidak melakukan transaksi yang mempunyai benturan kepentingan dengan kegiatan Lembaga Penjamin tempat anggota Dewan Komisaris dimaksud menjabat. 6 Anggota Dewan Komisaris mampu untuk tidak memanfaatkan jabatannya pada Lembaga Penjamin tempat anggota Dewan Komisaris dimaksud menjabat untuk kepentingan pribadi, keluarga, dan/atau pihak lain yang dapat merugikan atau mengurangi keuntungan Lembaga Penjamin tempat anggota Dewan Komisaris dimaksud menjabat. 7 Anggota Dewan Komisaris mampu untuk menghindari perbuatan mengambil dan/atau menerima keuntungan pribadi dari Lembaga Penjamin tempat anggota Dewan Komisaris dimaksud menjabat, selain remunerasi dan fasilitas yang ditetapkan berdasarkan keputusan RUPS. 8 Anggota Dewan Komisaris mampu untuk tidak mencampuri kegiatan operasional Lembaga Penjamin yang menjadi tanggung jawab Direksi. 9 Hasil rapat Dewan Komisaris dituangkan dalam risalah rapat Dewan Komisaris. 10 Risalah rapat yang merupakan keputusan bersama seluruh anggota Dewan Komisaris telah didokumentasikan dengan baik. 11 Keputusan Dewan Komisaris telah dituangkan ke dalam risalah rapat, termasuk perbedaan pendapat (dissenting opinion) yang terjadi secara jelas. 12 Dewan Komisaris mampu menjamin pengambilan keputusan yang efektif, tepat, dan cepat serta dapat bertindak secara independen dalam melaksanakan tugas. 13 14 Lembaga Penjamin memiliki paling sedikit 2 (dua) orang anggota Dewan Komisaris. Lembaga Penjamin memiliki paling sedikit 1 (satu) Dewan Komisaris yang berdomisili di Indonesia. 15 Anggota Dewan Komisaris yang berkewarganegaraan asing memiliki surat izin bekerja dari instansi berwenang. 16 Anggota Dewan Komisaris yang berkewarganegaraan asing memiliki surat izin menetap dari instansi berwenang. 1 Sangat Sesuai 2 Sesuai 3 Cukup Sesuai 4 Kurang Sesuai 5 Tidak Sesuai Skor Ya Tidak 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 A. Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Direksi dan Dewan Komisaris Kriteria/Indikator Penilaian No Pernyataan/Pertanyaan 17 Anggota Dewan Komisaris Lembaga Penjamin tidak memiliki rangkap jabatan sebagai anggota Dewan Komisaris pada lebih dari 3 (tiga) Lembaga Penjamin atau badan usaha lain. 18 Anggota Dewan Komisaris tidak berasal dari pegawai atau pejabat aktif Otoritas Jasa Keuangan. 19 Anggota Dewan Komisaris menyusun laporan kegiatan Dewan Komisaris yang merupakan bagian dari laporan penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik. 20 Anggota Dewan Komisaris Lembaga Penjamin menyelenggarakan rapat Dewan Komisaris paling sedikit 1 (satu) kali dalam 3 (tiga) bulan. 21 Anggota Dewan Komisaris menghadiri rapat Dewan Komisaris paling sedikit 75% (tujuh puluh lima per seratus) dari jumlah rapat Dewan Komisaris dalam periode 1 (satu) tahun. 22 Jumlah rapat Dewan Komisaris yang telah diselenggarakan dan jumlah kehadiran masing-masing anggota Dewan Komisaris dimuat dalam laporan penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik. Jumlah Skor Indikator Total Indikator Bobot Nilai Faktor 1 Sangat Sesuai 2 Sesuai 3 Cukup Sesuai 4 Kurang Sesuai 5 Tidak Sesuai Skor Ya Tidak 0 0 0 0 0 0 - 51 30,00 - B.1. Kelengkapan dan pelaksanaan tugas komite audit atau fungsi yang membantu Dewan Komisaris No Pernyataan/Pertanyaan 1 Sangat Sesuai 2 Sesuai Kriteria/Indikator Penilaian 5 3 Cukup Sesuai 4 Kurang Sesuai Tidak Sesuai Ya Tidak a. Bagi Lembaga Penjamin yang memiliki wilayah operasional nasional atau provinsi atau terdapat kepemilikan asing 1 Komisaris Independen tidak mempunyai hubungan afiliasi dengan anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, atau pemegang saham Lembaga Penjamin, dalam Lembaga Penjamin yang sama. 2 Komisaris Independen tidak pernah menjadi anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, atau menduduki jabatan 1 (satu) tingkat di bawah Direksi pada Lembaga Penjamin yang sama atau badan usaha lain yang memiliki hubungan afiliasi dengan Lembaga Penjamin tersebut dalam kurun waktu 6 (enam) bulan terakhir. 3 Komisaris Independen memahami peraturan perundang-undangan di bidang penjaminan, penjaminan syariah, penjaminan ulang, dan/atau penjaminan ulang syariah dan peraturan perundang-undangan lain yang relevan. 4 Komisaris Independen memiliki pengetahuan yang baik mengenai kondisi keuangan Lembaga Penjamin tempat Komisaris Independen dimaksud menjabat. 5 Komisaris Independen mampu menjalankan tugas pokok melakukan fungsi pengawasan untuk menyuarakan kepentingan terjamin, penerima jaminan, dan pemangku kepentingan lainnya. 6 Lembaga Penjamin memiliki komite audit. 7 8 9 Anggota komite audit memiliki keahlian dalam pelaksanaan tugas. Komite audit mampu membantu Dewan Komisaris dalam memantau dan memastikan efektivitas sistem pengendalian internal. Komite audit mampu membantu Dewan Komisaris dalam memantau dan memastikan efektivitas pelaksanaan tugas auditor internal dan auditor eksternal. 10 Komite audit mampu membantu Dewan Komisaris dalam melakukan pemantauan dan evaluasi atas perencanaan dan pelaksanaan audit dalam rangka menilai kecukupan pengendalian internal termasuk proses pelaporan keuangan. 11 Komite audit secara rutin melakukan rapat. 12 Lembaga Penjamin memiliki Komisaris Independen. 13 14 15 Komisaris Independen berkewarganegaraan Indonesia. Komisaris Independen berdomisili di Indonesia. Komisaris Independen melaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 10 (sepuluh) hari kalender sejak ditemukannya pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang penjaminan. 16 17 18 19 Lembaga Penjamin mengungkapkan kepada Otoritas Jasa Keuangan terkait pengunduran diri Komisaris Independen. Komisaris Independen yang mengundurkan diri menyampaikan alasan terkait pengunduran diri kepada Otoritas Jasa Keuangan. Lembaga Penjamin mengungkapkan kepada Otoritas Jasa Keuangan terkait pemberhentian Komisaris Independen. Lembaga Penjamin menyampaikan alasan pemberhentian Komisaris Independen Kepada Otoritas Jasa Keuangan. 20 Komisaris Independen melaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 10 (sepuluh) hari kalender sejak ditemukannya keadaan atau perkiraan keadaan yang dapat membahayakan kelangsungan usaha Lembaga Penjamin. 21 Komisaris Independen merupakan ketua komite audit. 22 Perusahaan memiliki struktur komite. 23 Komite audit memiliki program kerja komite. Skor 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 B.1. Kelengkapan dan pelaksanaan tugas komite audit atau fungsi yang membantu Dewan Komisaris No 24 Pernyataan/Pertanyaan Komite audit melaporkan realisasi terkait program kerja komite kepada Komisaris Independen. Jumlah Skor Indikator Total Indikator Bobot Nilai Faktor 1 Sangat Sesuai 2 Sesuai Kriteria/Indikator Penilaian 5 3 Cukup Sesuai 4 Kurang Sesuai Tidak Sesuai Ya Tidak 0 - 24 5,00 - Skor B.2. Kelengkapan dan pelaksanaan tugas komite audit atau fungsi yang membantu Dewan Komisaris No Pernyataan/Pertanyaan 1 Sangat Sesuai 2 Sesuai Kriteria/Indikator Penilaian 5 4 Kurang Sesuai Tidak Sesuai Ya Tidak 3 Skor Cukup Sesuai b. Bagi Lembaga Penjamin yang memiliki wilayah operasional kabupaten 1 Satuan kerja atau pegawai yang memantau pelaksanaan audit bersifat independen. 2 Satuan kerja atau pegawai mampu membantu Dewan Komisaris dalam memantau dan memastikan efektivitas sistem pengendalian internal. 3 Satuan kerja atau pegawai yang mampu membantu Dewan Komisaris dalam memantau dan memastikan efektivitas pelaksanaan tugas auditor internal dan auditor eksternal. 4 Satuan kerja atau pegawai mampu membantu Dewan Komisaris dalam melakukan pemantauan dan evaluasi atas perencanaan dan pelaksanaan audit dalam rangka menilai kecukupan pengendalian internal termasuk proses pelaporan keuangan. 5 6 7 8 9 Satuan kerja atau pegawai yang memantau pelaksanaan audit secara rutin melakukan rapat. Lembaga Penjamin memiliki fungsi yang membantu Dewan Komisaris dalam memantau pelaksanaan audit. Satuan kerja atau pegawai yang memantau pelaksanaan audit memiliki struktur. Satuan kerja atau pegawai yang memantau pelaksanaan audit memiliki keahlian dalam pelaksanaan tugas. Satuan kerja atau pegawai yang memantau pelaksanaan audit memiliki program kerja. 10 Satuan kerja atau pegawai yang memantau pelaksanaan audit melaporkan realisasi terkait program kerja kepada Dewan Komisaris. Jumlah Skor Indikator Total Indikator Bobot Nilai Faktor 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 - 10 5,00 - C. Penerapan fungsi kepatuhan, auditor internal, dan auditor eksternal No Pernyataan/Pertanyaan 1 Sangat Sesuai 1 Anggota Direksi yang membawahkan fungsi kepatuhan mampu memastikan bahwa kebijakan, ketentuan, sistem dan prosedur, serta kegiatan usaha yang dilakukan oleh Lembaga Penjamin telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 2 Anggota Direksi yang membawahkan fungsi kepatuhan mampu memastikan kepatuhan Lembaga Penjamin terhadap komitmen yang dibuat Lembaga Penjamin kepada Otoritas Jasa Keuangan dan/atau otoritas pengawas lain yang berwenang. 3 Satuan kerja atau pegawai yang melaksanakan fungsi kepatuhan membantu Direksi dalam memastikan kepatutan Lembaga Penjamin terhadap peraturan perundang-undangan di bidang usaha penjaminan dan peraturan perundang-undangan lainnya. 4 5 6 Satuan kerja atau pegawai yang melaksanakan fungsi kepatuhan mampu mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugas kepada anggota Direksi yang membawahkan fungsi kepatuhan. Lembaga Penjamin memiliki anggota Direksi yang membawahkan fungsi kepatuhan. Perusahaan memiliki satuan kerja atau pegawai yang melaksanakan fungsi kepatuhan. 2. Fungsi auditor internal 1 Perusahan memiliki auditor internal. 2 Auditor internal memiliki ruang lingkup pekerjaan audit. 3 Auditor internal memiliki struktur organisasi. 4 Auditor internal bersifat independen. 5 Auditor internal melaporkan hasil pelaksanaan tugas audit internal. 3. Fungsi auditor eksternal 1 Perusahaan menggunakan jasa auditor eksternal. 2 Auditor eksternal diajukan oleh Dewan Komisaris. 3 Auditor eksternal ditunjuk oleh RUPS. 4 Auditor eksternal terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan. 5 Lembaga Penjamin menyediakan semua catatan akuntansi dan data penunjang yang diperlukan bagi auditor eksternal. 6 Auditor eksternal bersifat independen. 7 Lembaga Penjamin membatasi penggunaan jasa audit atas informasi keuangan historis tahunan dari auditor eksternal yang sama paling lama untuk periode audit selama 3 (tiga) tahun buku pelaporan secara berturut-turut. Jumlah Skor Indikator Total Indikator Bobot Nilai Faktor 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 Sesuai Kriteria/Indikator Penilaian 4 Kurang Sesuai 3 Cukup Sesuai 1. Fungsi kepatuhan 0 5 Skor Tidak Sesuai Ya Tidak 0 0 0 0 0 - 18 7,50 - D. Penerapan manajemen risiko, sistem pengendalian internal, dan penerapan tata kelola teknologi informasi No Pertanyaan/Pernyataan 1 Sangat Sesuai 1 Direksi dan Dewan Komisaris Lembaga Penjamin memahami risiko yang dihadapi Lembaga Penjamin. 2 Direksi dan Dewan Komisaris Lembaga Penjamin memberikan arahan yang jelas terkait penerapan manajemen risiko. 3 Direksi dan Dewan Komisaris Lembaga Penjamin melakukan pengawasan dan mitigasi risiko secara aktif. 4 Direksi dan Dewan Komisaris Lembaga Penjamin mengembangkan budaya manajemen risiko di Lembaga Penjamin. 5 Direksi dan Dewan Komisaris Lembaga Penjamin memastikan ketersediaan struktur organisasi yang memadai. 6 Direksi dan Dewan Komisaris Lembaga Penjamin menetapkan tugas dan tanggung jawab yang jelas pada masing-masing satuan kerja. 7 Direksi dan Dewan Komisaris Lembaga Penjamin memastikan kecukupan kuantitas dan kualitas sumber daya manusia untuk mendukung penerapan manajemen risiko secara efektif. 2. Kecukupan kebijakan, prosedur, dan penetapan limit risiko 1 Penerapan manajemen risiko Lembaga Penjamin sejalan dengan visi, misi, strategi bisnis Lembaga Penjamin. 2 Penerapan manajemen risiko Lembaga Penjamin memperhatikan kecukupan kebijakan dalam pengelolaan risiko. 3 Lembaga Penjamin memiliki prosedur dan proses untuk menerapkan kebijakan manajemen risiko. 4 Penerapan manajemen risiko Lembaga Penjamin memperhatikan penetapan limit risiko dalam pengelolaan risiko. 3. Kecukupan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan dan pengendalian risiko 1 Lembaga Penjamin melakukan identifikasi seluruh risiko secara berkala. 2 Lembaga Penjamin memiliki metode atau sistem untuk melakukan identifikasi risiko pada seluruh kegiatan usaha dan aktivitas bisnis perusahaan. 3 Lembaga Penjamin melakukan pengukuran risiko secara berkala. 4 Lembaga Penjamin memiliki sistem dan prosedur pemantauan risiko. 5 Lembaga Penjamin memiliki metode pengendalian atas risiko yang sesuai dengan eksposur risiko maupun tingkat risiko yang akan diambil dan toleransi risiko. 6 Penerapan manajemen risiko Lembaga Penjamin memperhatikan kecukupan proses identifikasi dalam pengelolaan risiko. 7 Penerapan manajemen risiko Lembaga Penjamin memperhatikan pengukuran dalam pengelolaan risiko. 8 Penerapan manajemen risiko Lembaga Penjamin memperhatikan pemantauan dan pengendalian risiko. 4. Sistem informasi manajemen risiko 1 Lembaga Penjamin memiliki sistem informasi manajemen risiko yang sesuai dengan karakteristik, kegiatan dan kompleksitas kegiatan usaha perusahaan. 2 Sistem informasi manajemen risiko yang dimiliki Lembaga Penjamin mampu mendukung pelaksanaan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan pengendalian risiko. 3 Sistem informasi manajemen risiko mampu memastikan tersedianya informasi yang akurat, lengkap, informatif, tepat waktu, dan dapat diandalkan agar dapat digunakan Direksi, Dewan Komisaris, dan satuan kerja yang terkait dalam penerapan manajemen risiko. 4 Sistem informasi manajemen risiko mampu memastikan efektivitas penerapan manajemen risiko mencakup kebijakan, prosedur, dan penetapan limit risiko. 5 Sistem informasi manajemen risiko mampu memastikan tersedianya informasi tentang hasil (realisasi) penerapan manajemen risiko dibandingkan dengan target yang ditetapkan oleh Lembaga Penjamin. 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 Sesuai Kriteria/Indikator Penilaian 4 Kurang Sesuai 3 Cukup Sesuai 1. Pengawasan aktif Dewan Komisaris 0 0 0 0 0 0 5 Skor Tidak Sesuai Ya Tidak 0 0 0 0 0 0 0 0 D. Penerapan manajemen risiko, sistem pengendalian internal, dan penerapan tata kelola teknologi informasi No Pertanyaan/Pernyataan 1 Sangat Sesuai 2 Sesuai Kriteria/Indikator Penilaian 4 Kurang Sesuai 3 Cukup Sesuai 5 Skor Tidak Sesuai 5. Sistem pengendalian intern yang menyeluruh 1 Lembaga Penjamin melaksanakan sistem pengendalian intern secara efektif dalam penerapan manajemen risiko Lembaga Penjamin. 2 Sistem pengendalian intern yang menyeluruh memperhatikan mekanisme pelaporan dalam hal terjadi penyimpangan. 6. Tata kelola teknologi informasi 1 Lembaga Penjamin menerapkan tata kelola teknologi informasi yang efektif. 2 Lembaga Penjamin memiliki struktur organisasi sistem informasi. 3 Lembaga Penjamin memiliki pedoman penggunaan sistem informasi yang dilengkapi dengan instruksi atau perintah kerja untuk setiap fungsi. 4 Lembaga Penjamin memiliki pedoman manajemen pengamanan data dan insiden (disaster recovery plan). Jumlah Skor Indikator Total Indikator Bobot Nilai Faktor 0 0 0 0 0 Ya Tidak 0 - 30 10,00 - ` E. Penerapan kebijakan remunerasi dan fasilitas lain Kriteria/Indikator Penilaian No Pertanyaan/Pernyataan 1 Sangat Sesuai 1 Lembaga Penjamin menerapkan kebijakan remunerasi bagi anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, dan pegawai yang mendorong perilaku berdasarkan prinsip kehati-hatian (prudent behaviour) yang sejalan dengan kepentingan jangka panjang Lembaga Penjamin dan perlakuan adil terhadap terjamin, penjamin, penerima jaminan dan/atau pemangku kepentingan lainnya. 2 Kebijakan remunerasi memperhatikan kinerja keuangan dan pemenuhan kewajiban Lembaga Penjamin sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. 3 Kebijakan remunerasi memperhatikan prestasi kerja individual. 4 Kebijakan remunerasi memperhatikan kewajaran dengan Lembaga Penjamin dan/atau level jabatan yang setara (peer group ). 5 Kebijakan remunerasi memperhatikan pertimbangan sasaran dan strategi jangka panjang Lembaga Penjamin. 6 Anggota Direksi dan Dewan Komisaris menerima remunerasi dalam bentuk non natura. 7 Anggota Direksi dan Dewan Komisaris menerima remunerasi dalam bentuk natura. 2. Pengungkapan paket atau kebijakan remunerasi dalam 1 (satu) tahun 1 Paket atau kebijakan remunerasi dan fasilitas lain bagi anggota Direksi dan Dewan Komisaris yang ditetapkan RUPS. 2 Remunerasi dan fasilitas lain bagi seluruh anggota Direksi dan Dewan Komisaris paling sedikit mencakup jumlah anggota Direksi, jumlah anggota Dewan Komisaris, dan jumlah seluruh kebijakan remunerasi dan fasilitas lain. 3 Jumlah anggota Direksi, dan Dewan Komisaris yang menerima paket remunerasi dalam 1 (satu) tahun yang dikelompokkan sesuai tingkat penghasilan. 3. Rasio gaji tertinggi dan terendah 1 Perusahaan menyampaikan rasio perbandingan gaji tertinggi dan terendah. Jumlah Skor Indikator Total Indikator Bobot Nilai Faktor 0 - 11 2,50 - 0 2 Sesuai 3 Cukup Sesuai 4 Kurang Sesuai 5 Tidak Sesuai Ya Tidak 1. Pengungkapan mengenai kebijakan remunerasi dan fasilitas lain bagi anggota Direksi dan Dewan Komisaris Skor 0 0 0 0 0 0 0 0 0 F. Transparansi kondisi keuangan dan non keuangan Perusahaan No Pertanyaan/Pernyataan 1 Lembaga Penjamin melaksanakan transparansi kondisi keuangan dan non keuangan kepada pemangku kepentingan. 2 Lembaga Penjamin memberikan data dan informasi kepada Otoritas Jasa Keuangan secara lengkap dan tepat waktu. 3 Lembaga Penjamin menjelaskan perjanjian transaksi penjaminan serta hak dan kewajiban pemangku kepentingan dalam setiap transaksi penjaminan. 4 Lembaga Penjamin memiliki sistem pelaporan keuangan yang diandalkan untuk keperluan pengawasan dan pemangku kepentingan lain. 5 Lembaga Penjamin melakukan promosi tentang jasa penjaminan. 6 Lembaga Penjamin secara transparan menyampaikan tata cara pengaduan dan penyelesaian sengketa kepada pemangku kepentingan. Jumlah Skor Indikator Total Indikator Bobot Nilai Faktor 1 Sangat Sesuai 2 Sesuai Kriteria/Indikator Penilaian 5 3 Cukup Sesuai 4 Kurang Sesuai Tidak Sesuai Ya Tidak 0 Skor 0 0 0 0 0 - 6 15,00 - G. Rencana jangka panjang serta rencana kerja dan anggaran tahunan Kriteria/Indikator Penilaian No Pertanyaan/Pernyataan 1 Lembaga Penjamin menyusun rencana jangka panjang Lembaga Penjamin. 2 Lembaga Penjamin menyusun rencana kerja Lembaga Penjamin. 3 Lembaga Penjamin menyusun anggaran tahunan Lembaga Penjamin. 4 Rencana jangka panjang serta rencana kerja dan anggaran tahunan Lembaga Penjamin disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan. Jumlah Skor Indikator Total Indikator Bobot Nilai Faktor 1 Sangat Sesuai 2 Sesuai 3 Cukup Sesuai 4 Kurang Sesuai 5 Tidak Sesuai Ya Tidak 0 0 0 Skor 0 - 4 7,50 - H. Pengungkapan kepemilikan saham anggota Direksi dan Dewan Komisaris yang mencapai 5% (lima puluh per seratus) atau lebih No Pertanyaan/Pernyataan 1 Lembaga Penjamin melaporkan kepemilikan saham anggota Direksi dan Dewan Komisaris yang mencapai 5% (lima per seratus) atau lebih pada Lembaga Penjamin. 2 Lembaga Penjamin melaporkan kepemilikan saham anggota Direksi dan Dewan Komisaris yang mencapai 5% (lima per seratus) atau lebih pada Lembaga Penjamin lain. 3 Lembaga Penjamin melaporkan kepemilikan saham anggota Direksi dan Dewan Komisaris yang mencapai 5% (lima per seratus) atau lebih pada perusahaan jasa keuangan selain Lembaga Penjamin. 4 Lembaga Penjamin melaporkan kepemilikan saham anggota Direksi dan Dewan Komisaris yang mencapai 5% (lima per seratus) atau lebih pada Lembaga Penjamin lainnya yang berkedudukan di dalam maupun di luar negeri, termasuk saham yang diperoleh melalui bursa efek. Jumlah Skor Indikator Total Indikator Bobot Nilai Faktor 1 Sangat Sesuai 2 Sesuai Kriteria/Indikator Penilaian 5 4 Kurang Sesuai Tidak Sesuai Ya Tidak 3 Skor Cukup Sesuai 0 0 0 0 - 4 5,00 - I. Hubungan keuangan dan hubungan keluarga bagi Direksi dan Dewan Komisaris No Pertanyaan/Pernyataan 1 Lembaga Penjamin melaporkan hubungan keuangan anggota Direksi dengan anggota Direksi lain, anggota Dewan Komisaris, dan/atau pemegang saham Lembaga Penjamin tempat anggota Direksi dimaksud menjabat. 2 Lembaga Penjamin melaporkan hubungan keluarga anggota Direksi dengan anggota Direksi lain, anggota Dewan Komisaris, dan/atau pemegang saham Lembaga Penjamin tempat anggota Direksi dimaksud menjabat. 3 Lembaga Penjamin melaporkan hubungan keuangan anggota Dewan Komisaris dengan anggota Dewan Komisaris lain, anggota Direksi, dan/atau pemegang saham Lembaga Penjamin tempat anggota Dewan Komisaris dimaksud menjabat. 4 Lembaga Penjamin melaporkan hubungan keluarga anggota Dewan Komisaris dengan anggota Dewan Komisaris lain, anggota Direksi, dan/atau pemegang saham Lembaga Penjamin tempat anggota Dewan Komisaris dimaksud menjabat. Jumlah Skor Indikator Total Indikator Bobot Nilai Faktor 1 Sangat Sesuai 2 Sesuai Kriteria/Indikator Penilaian 5 3 Cukup Sesuai 4 Kurang Sesuai Tidak Sesuai Ya Tidak Skor 0 0 0 0 - 4 5,00 - J. Pengungkapan hal-hal penting lainnya kepada Otoritas Jasa Keuangan No Pertanyaan/Pernyataan 1 Lembaga Penjamin mengungkapkan kepada Otoritas Jasa Keuangan terkait pengunduran diri auditor eksternal. 2 Auditor eksternal yang mengundurkan diri menyampaikan alasan terkait pengunduran diri kepada Otoritas Jasa Keuangan. 3 Lembaga Penjamin mengungkapkan kepada Otoritas Jasa Keuangan terkait pemberhentian auditor eksternal. 4 Lembaga Penjamin menyampaikan alasan pemberhentian auditor eksternal kepada Otoritas Jasa Keuangan. 2. Transaksi material dengan pihak terkait 1 Lembaga Penjamin telah mengungkapkan kepada Otoritas Jasa Keuangan terkait transaksi material dengan pihak lain. 3. Benturan kepentingan 1 Lembaga Penjamin telah mengungkapkan kepada Otoritas Jasa Keuangan terkait benturan kepentingan yang sedang berlangsung dengan pihak lain. 2 Lembaga Penjamin telah mengungkapkan kepada Otoritas Jasa Keuangan terkait transaksi Lembaga Penjamin yang memiliki potensi benturan kepentingan dengan Lembaga Penjamin lain. 4. Informasi material lain mengenai Lembaga Penjamin yang terkait dengan Tata Kelola Perusahaan yang Baik 1 Tidak terdapat intervensi dari pemilik Lembaga Penjamin. 2 Tidak terdapat perselisihan internal dalam Lembaga Penjamin. 3 Tidak terdapat permasalahan yang merupakan dampak dari kebijakan remunerasi Lembaga Penjamin. 5. Penyimpangan intern 1 Penyelesaian penyimpangan internal melibatkan proses hukum. 2 Tidak terdapat penyimpangan yang dilakukan oleh anggota Dewan Komisaris dan anggota Direksi. 3 Tidak terdapat penyimpangan yang dilakukan oleh pegawai tetap. 4 Tidak terdapat penyimpangan yang dilakukan oleh pegawai tidak tetap. 5 Lembaga Penjamin menyediakan mediasi penyelesaian terkait penyimpangan internal. 6. Permasalahan hukum 1 Lembaga Penjamin tidak memiliki permasalahan hukum yang merupakan kasus perdata. 2 Lembaga Penjamin tidak memiliki permasalahan hukum yang merupakan kasus pidana. 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 Sangat Sesuai 2 Sesuai Kriteria/Indikator Penilaian 5 3 Cukup Sesuai 4 Kurang Sesuai Tidak Sesuai 1. Pengunduran diri atau pemberhentian auditor eksternal 0 Ya Tidak Skor 0 0 0 0 J. Pengungkapan hal-hal penting lainnya kepada Otoritas Jasa Keuangan No Pertanyaan/Pernyataan 1 Sangat Sesuai 1 Direksi, Dewan Komisaris, dan karyawan Lembaga Penjamin mampu untuk tidak menawarkan atau memberikan sesuatu, baik langsung maupun tidak langsung kepada pihak lain, untuk mempengaruhi pengambilan keputusan yang terkait dengan transaksi penjaminan, dengan melanggar ketentuan perundang- undangan yang berlaku. 2 Direksi, Dewan Komisaris, dan karyawan Perusahaan mampu untuk tidak menerima sesuatu untuk kepentingan pribadinya dengan melanggar ketentuan perundang- undangan yang berlaku, baik langsung maupun tidak langsung, dari siapapun, yang dapat mempengaruhi pengambilan keputusan yang terkait dengan transaksi pembiayaan. 3 Lembaga Penjamin memiliki pedoman tentang perilaku etis, yang memuat nilai etika berusaha sebagai panduan bagi organ Lembaga Penjamin dan seluruh karyawan Lembaga Penjamin. Jumlah Skor Indikator Total Indikator Bobot Nilai Faktor 2 Sesuai Kriteria/Indikator Penilaian 5 3 Cukup Sesuai 7. Etika bisnis 4 Kurang Sesuai Tidak Sesuai Ya Tidak Skor 0 0 0 - 20 12,50 - K. Kesimpulan umum hasil penilaian secara mandiri (self assessment) Uraian Kesimpulan Umum (Berdasarkan Hasil Skor Penilaian) FORMAT 2 Penilaian secara mandiri (self assessment ) atas Penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik bagi Perusahaan Penjaminan Syariah, Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah, dan Perusahaan Penjaminan yang memiliki unit usaha syariah Pengantar: 1. 2. 3. Sesuai dengan SE OJK No. XX/SEOJK.05/2017, kuesioner ini merupakan salah satu ketentuan penilaian secara mandiri (self assessment ) atas Penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik bagi Lembaga Penjamin. Kuesioner ini dilakukan oleh Lembaga Penjamin yaitu Perusahaan Penjaminan Syariah, Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah, dan Perusahaan Penjaminan yang memiliki unit usaha syariah. Mohon untuk dapat mengisi dan mengirimkan kuesioner ini sesuai dengan ketentuan dan batas waktu yang telah ditetapkan. Petunjuk Pengisian: 1. 2. 3. 4. 5. 6. Sebelum mengisi kuesioner, bacalah petunjuk pengisian dengan cermat. Berilah tanda silang (X) pada kolom 1 Sangat Sesuai, 2 Sesuai, 3 Cukup Sesuai, 4 Kurang Sesuai dan 5 Tidak Sesuai atau pada kolom Ya dan Tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Pengisian kuesioner ini dilakukan dengan cara memberikan jawaban atas pertanyaan/pernyataan di masing-masing faktor yang ada. Kuesioner ini terdiri dari 10 faktor yang masing-masingnya memiliki pertanyaan/pernyataan terkait penilaian atas faktor tersebut. Format A sampai dengan Format J merupakan pengisian untuk masing-masing dari 10 faktor sesuai dengan ketentuan, dan Format K merupakan kesimpulan umum atas hasil penilaian sendiri (self assessment ). Isilah kuesioner dengan benar, hati-hati, dan sesuai dengan kondisi Lembaga Penjamin sebenarnya. Rincian Nilai Bobot Indikator No Faktor 1 Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Direksi, Dewan Komisaris, dan DPS. 2 Kelengkapan dan pelaksanaan tugas: a. komite audit bagi Lembaga Penjamin yang memiliki lingkup wilayah operasional nasional atau provinsi, atau terdapat kepemilikan asing; atau b. fungsi yang membantu Dewan Komisaris bagi Lembaga Penjamin yang memiliki lingkup wilayah operasional kabupaten, dalam memantau dan memastikan efektivitas sistem pengendalian internal. 3 Penerapan fungsi kepatuhan, auditor internal, dan auditor eksternal. 4 Penerapan manajemen risiko, sistem pengendalian internal, dan tata kelola teknologi informasi. 5 Penerapan kebijakan remunerasi dan fasilitas lain. 6 Transparansi kondisi keuangan dan non keuangan Lembaga Penjamin. 7 Rencana jangka panjang serta rencana kerja dan anggaran tahunan. 8 Pengungkapan kepemilikan saham. Bobot (%) Keterangan 35,00 Lihat ""Format A"" Lihat ""Format B1"" atau 5,00 ""Format B2"" (isi salah satu sesuai ketentuan) 7,50 Lihat ""Format C"" 10,00 Lihat ""Format D"" 2,50 Lihat ""Format E"" 15,00 Lihat ""Format F"" 7,50 Lihat ""Format G"" 2,50 Lihat ""Format H"" 9 Pengungkapan hubungan keuangan dan hubungan keluarga anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, dan anggota DPS dengan anggota Direksi lain, anggota Dewan Komisaris lain, anggota DPS lain, dan/atau pemegang saham Lembaga Penjamin tempat anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, dan anggota DPS dimaksud menjabat. 10 Pengungkapan hal-hal penting lainnya. JUMLAH 5,00 Lihat ""Format I"" 10,00 Lihat ""Format J"" 100,00 Dashboard Penilaian Self Assessment Nilai 84-100 68-83 52-67 36-51 20-35 Ketentuan Penilaian Rangking 1 2 3 4 5 Predikat Sangat Baik Baik Cukup Baik Kurang Baik Tidak Baik Faktor 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Hasil Penilaian Format A B1 B2 C D E F G H I J Total Nilai Predikat Nilai - - - - - - - - - - - - Hasil Penilaian 0,20 0,40 0,60 0,80 1,00 - A B1 B2 C D E F G H I J Total Nilai A. Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Direksi, Dewan Komisaris, dan DPS Kriteria/Indikator Penilaian No 1. Direksi 1 2 3 Direksi memiliki pengetahuan yang relevan dengan jabatan sebagai Direksi. Direksi mampu bertindak dengan itikad baik, jujur dan profesional. Direksi bertindak untuk kepentingan Lembaga Penjamin, terjamin, dan/atau penerima jaminan. 4 Direksi mendahulukan kepentingan Lembaga Penjamin, terjamin, dan/atau penerima jaminan, daripada kepentingan pribadi. 5 Direksi mampu mengambil keputusan berdasarkan penilaian independen dan objektif untuk kepentingan Lembaga Penjamin, terjamin, dan/atau penerima jaminan. 6 Direksi mampu menghindarkan penyalahgunaan kewenangan untuk mendapatkan keuntungan pribadi yang tidak semestinya atau menyebabkan kerugian bagi Lembaga Penjamin. 7 Direksi menjamin pengambilan keputusan yang efektif, tepat, dan cepat serta dapat bertindak secara independen, tidak mempunyai kepentingan yang dapat mengganggu kemampuannya untuk melaksanakan tugas secara mandiri dan kritis. 8 Direksi mematuhi peraturan perundang-undangan, anggaran dasar, dan peraturan internal lain dari Lembaga Penjamin dalam melaksanakan tugasnya. 9 Direksi mengelola Lembaga Penjamin sesuai dengan kewenangan dan tanggung jawabnya. 10 Direksi mampu mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugasnya kepada RUPS. 11 Direksi telah memastikan agar Lembaga Penjamin memperhatikan kepentingan semua pihak, khususnya kepentingan terjamin dan/atau penerima jaminan. 12 Direksi telah menyampaikan informasi secara tepat waktu dan lengkap mengenai Lembaga Penjamin kepada Dewan Komisaris dan DPS. 13 Direksi telah membantu memenuhi kebutuhan DPS dalam menggunakan anggota komite, karyawan Lembaga Penjamin, dan tenaga ahli profesional yang struktur organisasinya berada dibawah Direksi. 14 Direksi mampu menghindarkan transaksi yang mempunyai benturan kepentingan dengan kegiatan Lembaga Penjamin tempat anggota Direksi dimaksud menjabat. 15 Direksi mampu untuk tidak memanfaatkan jabatannya pada Lembaga Penjamin tempat anggota Direksi dimaksud menjabat untuk kepentingan pribadi, keluarga, dan/atau pihak lain yang dapat merugikan atau mengurangi keuntungan Lembaga Penjamin tempat anggota Direksi dimaksud menjabat. 0 0 0 Pernyataan/Pertanyaan 1 Sangat Sesuai 2 Sesuai 3 Cukup Sesuai 4 Kurang Sesuai 5 Tidak Sesuai Skor Ya Tidak 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 A. Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Direksi, Dewan Komisaris, dan DPS Kriteria/Indikator Penilaian No Pernyataan/Pertanyaan 16 Direksi mampu untuk menghindari perbuatan mengambil dan/atau menerima keuntungan pribadi dari Lembaga Penjamin tempat anggota Direksi dimaksud menjabat selain remunerasi dan fasilitas yang ditetapkan berdasarkan keputusan RUPS. 17 Direksi mampu untuk menolak permintaan pemegang saham yang terkait dengan kegiatan operasional Lembaga Penjamin tempat anggota Direksi dimaksud menjabat selain yang telah ditetapkan dalam RUPS. 18 19 Hasil rapat Direksi secara rutin telah dituangkan dalam risalah rapat Direksi. Risalah rapat yang merupakan keputusan bersama seluruh anggota Direksi telah didokumentasikan dengan baik. 20 Keputusan Direksi telah dituangkan ke dalam risalah rapat, termasuk perbedaan pendapat (dissenting opinions ) yang terjadi secara jelas. 21 Anggota Direksi Lembaga Penjamin berdomisili di Indonesia. 22 Lembaga Penjamin yang didalamnya terdapat kepemilikan asing baik secara langsung maupun tidak langsung memiliki paling sedikit 50% (lima puluh per seratus) anggota Direksi yang merupakan warga negara Indonesia. 23 Direksi berkewarganegaraan asing memiliki surat izin menetap dari instansi yang berwenang. 24 25 26 Direksi berkewarganegaraan asing memiliki surat izin bekerja dari instasi berwenang. Direksi Lembaga Penjamin memiliki komite investasi. Anggota Direksi Lembaga Penjamin tidak merangkap jabatan pada Lembaga Penjamin atau badan usaha lain. 27 Anggota Direksi tidak berasal dari pegawai atau pejabat aktif Otoritas Jasa Keuangan. 28 Direksi Lembaga Penjamin menyelenggarakan rapat Direksi secara berkala paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) bulan. 29 Direksi Lembaga Penjamin menghadiri rapat Direksi paling sedikit 50% (lima puluh per seratus) dari jumlah rapat Direksi dalam periode 1 (satu) tahun. 30 Jumlah rapat Direksi yang telah diselenggarakan dan jumlah kehadiran masing-masing anggota Direksi perusahaan harus dimuat dalam laporan penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik. 2. Dewan Komisaris 1 Dewan Komisaris mampu melaksanakan tugas pengawasan dan pemberian nasihat kepada Direksi. 2 Dewan Komisaris mampu mengawasi Direksi dalam menjaga keseimbangan kepentingan semua pihak. 3 Dewan Komisaris mampu memantau efektivitas penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik. 0 1 Sangat Sesuai 2 Sesuai 3 Cukup Sesuai 4 Kurang Sesuai 5 Tidak Sesuai Skor Ya Tidak 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 A. Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Direksi, Dewan Komisaris, dan DPS Kriteria/Indikator Penilaian No Pernyataan/Pertanyaan 4 Dewan Komisaris mampu memberikan persetujuan dalam hal DPS memerlukan bantuan anggota komite yang struktur organisasinya berada di bawah Dewan Komisaris. 5 Dewan Komisaris mampu memastikan bahwa Direksi telah menindaklanjuti temuan audit dan rekomendasi dari satuan kerja audit internal Lembaga Penjamin, auditor eksternal, hasil pengawasan Otoritas Jasa Keuangan dan/atau hasil pengawasan otoritas lain. 6 Anggota Dewan Komisaris mampu untuk tidak melakukan transaksi yang mempunyai benturan kepentingan dengan kegiatan Lembaga Penjamin tempat anggota Dewan Komisaris dimaksud menjabat. 7 Anggota Dewan Komisaris mampu untuk tidak memanfaatkan jabatannya pada Lembaga Penjamin tempat anggota Dewan Komisaris dimaksud menjabat untuk kepentingan pribadi, keluarga, dan/atau pihak lain yang dapat merugikan atau mengurangi keuntungan Lembaga Penjamin tempat anggota Dewan Komisaris dimaksud menjabat. 8 Anggota Dewan Komisaris mampu untuk menghindari perbuatan mengambil dan/atau menerima keuntungan pribadi dari Lembaga Penjamin tempat anggota Dewan Komisaris dimaksud menjabat, selain remunerasi dan fasilitas yang ditetapkan berdasarkan keputusan RUPS. 9 Anggota Dewan Komisaris mampu untuk tidak mencampuri kegiatan operasional Lembaga Penjamin yang menjadi tanggung jawab Direksi. 10 11 Hasil rapat Dewan Komisaris dituangkan dalam risalah rapat Dewan Komisaris. Risalah rapat yang merupakan keputusan bersama seluruh anggota Dewan Komisaris telah didokumentasikan dengan baik. 12 Keputusan Dewan Komisaris telah dituangkan ke dalam risalah rapat, termasuk perbedaan pendapat (dissenting opinion) yang terjadi secara jelas. 13 Dewan Komisaris mampu menjamin pengambilan keputusan yang efektif, tepat, dan cepat serta dapat bertindak secara independen dalam melaksanakan tugas. 14 15 Lembaga Penjamin memiliki paling sedikit 2 (dua) orang anggota Dewan Komisaris. Lembaga Penjamin memiliki paling sedikit 1 (satu) Dewan Komisaris yang berdomisili di Indonesia. 16 Anggota Dewan Komisaris yang berkewarganegaraan asing memiliki surat izin bekerja dari instansi berwenang. 17 Anggota Dewan Komisaris yang berkewarganegaraan asing memiliki surat izin menetap dari instansi berwenang. 1 Sangat Sesuai 2 Sesuai 3 Cukup Sesuai 4 Kurang Sesuai 5 Tidak Sesuai Skor Ya Tidak 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 A. Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Direksi, Dewan Komisaris, dan DPS Kriteria/Indikator Penilaian No Pernyataan/Pertanyaan 18 Anggota Dewan Komisaris Lembaga Penjamin tidak memiliki rangkap jabatan sebagai anggota Dewan Komisaris pada lebih dari 3 (tiga) Lembaga Penjamin atau badan usaha lain. 19 Anggota Dewan Komisaris tidak berasal dari pegawai atau pejabat aktif Otoritas Jasa Keuangan. 20 Anggota Dewan Komisaris menyusun laporan kegiatan Dewan Komisaris yang merupakan bagian dari laporan penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik. 21 Anggota Dewan Komisaris Lembaga Penjamin menyelenggarakan rapat Dewan Komisaris paling sedikit 1 (satu) kali dalam 3 (tiga) bulan. 22 Anggota Dewan Komisaris menghadiri rapat Dewan Komisaris paling sedikit 75% (tujuh puluh lima per seratus) dari jumlah rapat Dewan Komisaris dalam periode 1 (satu) tahun. 23 Jumlah rapat Dewan Komisaris yang telah diselenggarakan dan jumlah kehadiran masing-masing anggota Dewan Komisaris dimuat dalam laporan penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik. 3. DPS 1 DPS mampu bertindak sebagai wakil Perusahaan Penjaminan Syariah, Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah, atau Perusahaan Penjaminan yang memiliki unit usaha syariah pada Dewan Syariah Nasional - Majelis Ulama Indonesia. 2 DPS mampu bertindak dengan itikad baik, jujur, dan profesional. 3 DPS mampu bertindak untuk kepentingan Perusahaan Penjaminan Syariah, Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah, atau Perusahaan Penjaminan yang memiliki unit usaha syariah dan/atau pemangku kepentingan lainnya. 4 DPS mampu mendahulukan kepentingan Perusahaan Penjaminan Syariah, Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah, atau Perusahaan Penjaminan yang memiliki unit usaha syariah dan/atau pemangku kepentingan lainnya daripada kepentingan pribadi. 5 DPS mampu mengambil keputusan berdasarkan penilaian yang independen dan objektif untuk kepentingan Perusahaan Penjaminan Syariah, Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah, atau Perusahaan Penjaminan yang memiliki unit usaha syariah dan/atau pemangku kepentingan lainnya. 6 DPS mampu menghindarkan penyalahgunaan kewenangan untuk mendapat keuntungan pribadi yang tidak semestinya atau menyebabkan kerugian bagi Perusahaan Penjaminan Syariah, Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah, atau Perusahaan Penjaminan yang memiliki unit usaha syariah. 1 Sangat Sesuai 2 Sesuai 3 Cukup Sesuai 4 Kurang Sesuai 5 Tidak Sesuai Skor Ya Tidak 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 A. Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Direksi, Dewan Komisaris, dan DPS Kriteria/Indikator Penilaian No Pernyataan/Pertanyaan 7 DPS mampu menjamin pengambilan keputusan yang efektif, tepat, dan cepat, serta bertindak secara independen, tidak mempunyai kepentingan yang dapat mengganggu kemampuannya untuk melaksanakan tugas secara mandiri dan objektif. 8 DPS mampu melaksanakan tugas pengawasan dan pemberian nasihat serta saran kepada Direksi agar kegiatan Perusahaan Penjaminan Syariah, Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah, atau Perusahaan Penjaminan yang memiliki unit usaha syariah sesuai dengan prinsip syariah. 9 Risalah rapat yang merupakan keputusan bersama seluruh anggota DPS telah didokumentasikan dengan baik. 10 Keputusan DPS telah dituangkan ke dalam risalah rapat, termasuk perbedaan pendapat (dissenting opinions ) yang terjadi secara jelas. 11 Anggota DPS mampu untuk tidak melakukan transaksi yang mempunyai benturan kepentingan dengan kegiatan Perusahaan Penjaminan Syariah, Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah, dan unit usaha syariah tempat anggota DPS dimaksud menjabat. 12 Anggota DPS mampu untuk tidak memanfaatkan jabatannya untuk kepentingan pribadi, keluarga, dan/atau pihak lain yang mengurangi aset atau mengurangi keuntungan mengurangi keuntungan Perusahaan Penjaminan Syariah, Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah, dan unit usaha syariah tempat dimana anggota DPS dimaksud menjabat. 13 Anggota DPS tidak mengambil dan/atau menerima keuntungan pribadi dari Perusahaan Penjaminan Syariah, Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah, dan unit usaha syariah tempat dimana anggota DPS dimaksud menjabat selain remunerasi dan fasilitas lainnya yang ditetapkan berdasarkan RUPS. 14 DPS meminta penjelasan kepada anggota Direksi atas kebijakan atau tindakan anggota Direksi yang tidak sesuai dengan Prinsip Syariah menyangkut kegiatan Pembiayaan Syariah, akad Pembiayaan Syariah yang dipasarkan oleh Perusahaan Penjaminan Syariah, Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah, dan unit usaha syariah, dan praktik pemasaran pembiayaan syariah yang dilakukan oleh Perusahaan Penjaminan Syariah, Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah, dan unit usaha syariah. 1 Sangat Sesuai 2 Sesuai 3 Cukup Sesuai 4 Kurang Sesuai 5 Tidak Sesuai Skor Ya Tidak 0 0 0 0 0 0 0 0 A. Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Direksi, Dewan Komisaris, dan DPS Kriteria/Indikator Penilaian No Pernyataan/Pertanyaan 15 DPS melaporkan secara lengkap dan komprehensif kepada Otoritas Jasa Keuangan dan ditembuskan kepada Direksi sejak penjelasan anggota Direksi diterima oleh DPS terkait penolakan Direksi atas hasil penilaian DPS terhadap penerapan prinsip syariah oleh Direksi. 16 DPS dengan segera melaporkan secara lengkap dan komprehensif kepada Otoritas Jasa Keuangan dan ditembuskan kepada Direksi sejak diketahui anggota Direksi tidak melakukan upaya perbaikan sebagaimana yang dimintakan DPS agar sesuai dengan prinsip syariah. 1 Sangat Sesuai 2 Sesuai 3 Cukup Sesuai 4 Kurang Sesuai 5 Tidak Sesuai Skor Ya Tidak 0 0 17 18 DPS diangkat oleh RUPS atas rekomendasi Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama Indonesia. 0 Pengangkatan DPS oleh RUPS dituangkan dalam akta notaris. 19 Anggota DPS memberikan rekomendasi terhadap pelaksanaan tugas Direksi terkait aspek syariah terhadap kegiatan operasional Perusahaan Penjaminan Syariah, Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah, dan unit usaha syariah. 20 Anggota DPS tidak memiliki rangkap jabatan sebagai anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, atau anggota DPS pada lebih dari 4 (empat) lembaga keuangan syariah lainnya. 21 DPS melaksanakan pengawasan dan memberikan nasihat dan saran terkait kegiatan kegiatan penjaminan syariah dan penjaminan ulang syariah. 22 DPS melaksanakan pengawasan dan memberikan nasihat dan saran terkait akad penjaminan syariah dan penjaminan ulang syariah yang dipasarkan oleh Perusahaan Penjaminan Syariah, Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah, dan unit usaha syariah. 23 DPS melaksanakan pengawasan dan memberikan nasihat dan saran terkait praktik pemasaran penjaminan syariah dan penjaminan ulang syariah yang dilakukan oleh Perusahaan Penjaminan Syariah, Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah, dan unit usaha syariah. 24 Dalam pelaksanaan tugas, DPS dibantu oleh anggota komite dan/atau pegawai yang struktur organisasinya berada di bawah Dewan Komisaris dan/atau Direksi. 25 Anggota DPS memperoleh informasi dari Direksi mengenai praktik pemasaran penjaminan syariah dan penjaminan ulang syariah yang dilakukan oleh Perusahaan Penjaminan Syariah, Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah, dan unit usaha syariah secara lengkap dan tepat waktu. 26 Anggota DPS menyelenggarakan rapat secara berkala paling sedikit 4 (empat) kali dalam 1 (satu) tahun. 0 0 0 0 0 0 0 0 0 A. Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Direksi, Dewan Komisaris, dan DPS Kriteria/Indikator Penilaian No Pernyataan/Pertanyaan 27 Hasil rapat anggota DPS dituangkan dalam risalah rapat DPS. 28 Jumlah rapat DPS yang telah diselenggarakan dan jumlah kehadiran masing-masing anggota DPS dimuat dalam laporan penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik. Jumlah Skor Indikator Total Indikator Bobot Nilai Faktor 1 Sangat Sesuai 2 Sesuai 3 Cukup Sesuai 4 Kurang Sesuai 5 Tidak Sesuai Skor Ya Tidak 0 0 - 81 35,00 - B.1. Kelengkapan dan pelaksanaan tugas komite audit atau fungsi yang membantu Dewan Komisaris No Pernyataan/Pertanyaan 1 Sangat Sesuai 2 Sesuai Kriteria/ Indikator Penilaian 3 4 Cukup Sesuai Kurang Sesuai 5 Tidak Sesuai Ya Tidak a. Bagi Lembaga Penjamin yang memiliki wilayah operasional nasional atau provinsi atau terdapat kepemilikan asing 1 Komisaris Independen tidak mempunyai hubungan afiliasi dengan anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, anggota DPS, atau pemegang saham Lembaga Penjamin, dalam Lembaga Penjamin yang sama. 2 Komisaris Independen tidak pernah menjadi anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, anggota DPS atau menduduki jabatan 1 (satu) tingkat di bawah Direksi pada Lembaga Penjamin yang sama atau badan usaha lain yang memiliki hubungan afiliasi dengan Lembaga Penjamin tersebut dalam kurun waktu 6 (enam) bulan terakhir. 3 Komisaris Independen memahami peraturan perundang-undangan di bidang penjaminan, penjaminan syariah, penjaminan ulang, dan/atau penjaminan ulang syariah dan peraturan perundang-undangan lain yang relevan. 4 Komisaris Independen memiliki pengetahuan yang baik mengenai kondisi keuangan Lembaga Penjamin tempat Komisaris Independen dimaksud menjabat. 5 Komisaris Independen mampu menjalankan tugas pokok melakukan fungsi pengawasan untuk menyuarakan kepentingan terjamin, penerima jaminan, dan pemangku kepentingan lainnya. 6 Lembaga Penjamin memiliki komite audit. 7 8 9 Anggota komite audit memiliki keahlian dalam pelaksanaan tugas. Komite audit mampu membantu Dewan Komisaris dalam memantau dan memastikan efektivitas sistem pengendalian internal. Komite audit mampu membantu Dewan Komisaris dalam memantau dan memastikan efektivitas pelaksanaan tugas auditor internal dan auditor eksternal. 10 Komite audit mampu membantu Dewan Komisaris dalam melakukan pemantauan dan evaluasi atas perencanaan dan pelaksanaan audit dalam rangka menilai kecukupan pengendalian internal termasuk proses pelaporan keuangan. 11 Komite audit secara rutin melakukan rapat. 12 Lembaga Penjamin memiliki Komisaris Independen. 13 14 15 Komisaris Independen berkewarganegaraan Indonesia. Komisaris Independen berdomisili di Indonesia. Komisaris Independen melaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 10 (sepuluh) hari kalender sejak ditemukannya pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang penjaminan. 16 17 18 19 Lembaga Penjamin mengungkapkan kepada Otoritas Jasa Keuangan terkait pengunduran diri Komisaris Independen. Komisaris Independen yang mengundurkan diri menyampaikan alasan terkait pengunduran diri kepada Otoritas Jasa Keuangan. Lembaga Penjamin mengungkapkan kepada Otoritas Jasa Keuangan terkait pemberhentian Komisaris Independen. Lembaga Penjamin menyampaikan alasan pemberhentian Komisaris Independen Kepada Otoritas Jasa Keuangan. 20 Komisaris Independen melaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 10 (sepuluh) hari kalender sejak ditemukannya keadaan atau perkiraan keadaan yang dapat membahayakan kelangsungan usaha Lembaga Penjamin. 21 Komisaris Independen merupakan ketua komite audit. 22 Perusahaan memiliki struktur komite. 23 Komite audit memiliki program kerja komite. 24 Komite audit melaporkan realisasi terkait program kerja komite kepada Komisaris Independen. Jumlah Skor Indikator Total Indikator Bobot Nilai Faktor Skor 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 - 24 5,00 - B.2. Kelengkapan dan pelaksanaan tugas komite audit atau fungsi yang membantu Dewan Komisaris No Pernyataan/Pertanyaan 1 Sangat Sesuai 2 Sesuai Kriteria/Indikator Penilaian 5 4 Kurang Sesuai Tidak Sesuai Ya Tidak 3 Skor Cukup Sesuai b. Bagi Lembaga Penjamin yang memiliki wilayah operasional kabupaten 1 Satuan kerja atau pegawai yang memantau pelaksanaan audit bersifat independen. 2 Satuan kerja atau pegawai mampu membantu Dewan Komisaris dalam memantau dan memastikan efektivitas sistem pengendalian internal. 3 Satuan kerja atau pegawai yang mampu membantu Dewan Komisaris dalam memantau dan memastikan efektivitas pelaksanaan tugas auditor internal dan auditor eksternal. 4 Satuan kerja atau pegawai mampu membantu Dewan Komisaris dalam melakukan pemantauan dan evaluasi atas perencanaan dan pelaksanaan audit dalam rangka menilai kecukupan pengendalian internal termasuk proses pelaporan keuangan. 5 6 Satuan kerja atau pegawai yang memantau pelaksanaan audit secara rutin melakukan rapat. Lembaga Penjamin memiliki fungsi yang membantu Dewan Komisaris dalam memantau pelaksanaan audit. 7 Satuan kerja atau pegawai yang memantau pelaksanaan audit memiliki struktur. 8 9 Satuan kerja atau pegawai yang memantau pelaksanaan audit memiliki keahlian dalam pelaksanaan tugas. Satuan kerja atau pegawai yang memantau pelaksanaan audit memiliki program kerja. 10 Satuan kerja atau pegawai yang memantau pelaksanaan audit melaporkan realisasi terkait program kerja kepada Dewan Komisaris. Jumlah Skor Indikator Total Indikator Bobot Nilai Faktor 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 - 10 5,00 - C. Penerapan fungsi kepatuhan, auditor internal, dan auditor eksternal No Pernyataan/Pertanyaan 1 Sangat Sesuai 1 Anggota Direksi yang membawahkan fungsi kepatuhan mampu memastikan bahwa kebijakan, ketentuan, sistem dan prosedur, serta kegiatan usaha yang dilakukan oleh Lembaga Penjamin telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 2 Anggota Direksi yang membawahkan fungsi kepatuhan mampu memastikan kepatuhan Lembaga Penjamin terhadap komitmen yang dibuat Lembaga Penjamin kepada Otoritas Jasa Keuangan dan/atau otoritas pengawas lain yang berwenang. 3 Satuan kerja atau pegawai yang melaksanakan fungsi kepatuhan membantu Direksi dalam memastikan kepatutan Lembaga Penjamin terhadap peraturan perundang-undangan di bidang usaha penjaminan dan peraturan perundang-undangan lainnya. 4 5 6 Satuan kerja atau pegawai yang melaksanakan fungsi kepatuhan mampu mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugas kepada anggota direksi yang membawahkan fungsi kepatuhan. Lembaga Penjamin memiliki anggota Direksi yang membawahkan fungsi kepatuhan. Perusahaan memiliki satuan kerja atau pegawai yang melaksanakan fungsi kepatuhan. 2. Fungsi auditor internal 1 Perusahan memiliki auditor internal. 2 Auditor internal memiliki ruang lingkup pekerjaan audit. 3 Auditor internal memiliki struktur organisasi. 4 Auditor internal bersifat independen. 5 Auditor internal melaporkan hasil pelaksanaan tugas audit internal. 3. Fungsi auditor eksternal 1 Perusahaan menggunakan jasa auditor eksternal. 2 Auditor eksternal diajukan oleh Dewan Komisaris. 3 Auditor eksternal ditunjuk oleh RUPS. 4 Auditor eksternal terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan. 5 Lembaga Penjamin menyediakan semua catatan akuntansi dan data penunjang yang diperlukan bagi auditor eksternal. 6 Auditor eksternal bersifat independen. 7 Lembaga Penjamin membatasi penggunaan jasa audit atas informasi keuangan historis tahunan dari auditor eksternal yang sama paling lama untuk periode audit selama 3 (tiga) tahun buku pelaporan secara berturut-turut. Jumlah Skor Indikator Total Indikator Bobot Nilai Faktor 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 Sesuai Kriteria/Indikator Penilaian 5 4 Kurang Sesuai Tidak Sesuai Ya Tidak 3 Cukup Sesuai 1. Fungsi kepatuhan 0 Skor 0 0 0 0 0 - 18 7,50 - D. Penerapan manajemen risiko, sistem pengendalian internal, dan penerapan tata kelola teknologi informasi No Pertanyaan/Pernyataan 1 Sangat Sesuai 1 Direksi dan Dewan Komisaris Lembaga Penjamin memahami risiko yang dihadapi Lembaga Penjamin. 2 Direksi dan Dewan Komisaris Lembaga Penjamin memberikan arahan yang jelas terkait penerapan manajemen risiko. 3 Direksi dan Dewan Komisaris Lembaga Penjamin melakukan pengawasan dan mitigasi risiko secara aktif. 4 Direksi dan Dewan Komisaris Lembaga Penjamin mengembangkan budaya manajemen risiko di Lembaga Penjamin. 5 Direksi dan Dewan Komisaris Lembaga Penjamin memastikan ketersediaan struktur organisasi yang memadai. 6 Direksi dan Dewan Komisaris Lembaga Penjamin menetapkan tugas dan tanggung jawab yang jelas pada masing-masing satuan kerja. 7 Direksi dan Dewan Komisaris Lembaga Penjamin memastikan kecukupan kuantitas dan kualitas sumber daya manusia untuk mendukung penerapan manajemen risiko secara efektif. 2. Kecukupan kebijakan, prosedur, dan penetapan limit risiko 1 Penerapan manajemen risiko Lembaga Penjamin sejalan dengan visi, misi, strategi bisnis Lembaga Penjamin. 2 Penerapan manajemen risiko Lembaga Penjamin memperhatikan kecukupan kebijakan dalam pengelolaan risiko. 3 Lembaga Penjamin memiliki prosedur dan proses untuk menerapkan kebijakan manajemen risiko. 4 Penerapan manajemen risiko Lembaga Penjamin memperhatikan penetapan limit risiko dalam pengelolaan risiko. 3. Kecukupan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan pengendalian risiko 1 Lembaga Penjamin melakukan identifikasi seluruh risiko secara berkala. 2 Lembaga Penjamin memiliki metode atau sistem untuk melakukan identifikasi risiko pada seluruh kegiatan usaha dan aktivitas bisnis perusahaan. 3 Lembaga Penjamin melakukan pengukuran risiko secara berkala. 4 Lembaga Penjamin memiliki sistem dan prosedur pemantauan risiko. 5 Lembaga Penjamin memiliki metode pengendalian atas risiko yang sesuai dengan eksposur risiko maupun tingkat risiko yang akan diambil dan toleransi risiko. 6 Penerapan manajemen risiko Lembaga Penjamin memperhatikan kecukupan proses identifikasi dalam pengelolaan risiko. 7 Penerapan manajemen risiko Lembaga Penjamin memperhatikan pengukuran dalam pengelolaan risiko. 8 Penerapan manajemen risiko Lembaga Penjamin memperhatikan pemantauan dan pengendalian risiko. 4. Sistem informasi manajemen risiko 1 Lembaga Penjamin memiliki sistem informasi manajemen risiko yang sesuai dengan karakteristik, kegiatan dan kompleksitas kegiatan usaha perusahaan. 2 Sistem informasi manajemen risiko yang dimiliki Lembaga Penjamin mampu mendukung mendukung pelaksanaan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan pengendalian risiko. 3 Sistem informasi manajemen risiko mampu memastikan tersedianya informasi yang akurat, lengkap, informatif, tepat waktu, dan dapat diandalkan agar dapat digunakan Direksi, Dewan Komisaris, dan satuan kerja yang terkait dalam penerapan manajemen risiko. 4 Sistem informasi manajemen risiko mampu memastikan efektivitas penerapan manajemen risiko mencakup kebijakan, prosedur, dan penetapan limit risiko. 5 Sistem informasi manajemen risiko mampu memastikan tersedianya informasi tentang hasil (realisasi) penerapan manajemen risiko dibandingkan dengan target yang ditetapkan oleh Lembaga Penjamin. 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 Sesuai Kriteria/Indikator Penilaian 4 Kurang Sesuai 3 Cukup Sesuai 1. Pengawasan aktif Dewan Komisaris 0 0 0 0 0 0 5 Skor Tidak Sesuai Ya Tidak 0 0 0 0 0 D. Penerapan manajemen risiko, sistem pengendalian internal, dan penerapan tata kelola teknologi informasi No Pertanyaan/Pernyataan 1 Sangat Sesuai 2 Sesuai Kriteria/Indikator Penilaian 4 Kurang Sesuai 3 Cukup Sesuai 5 Skor Tidak Sesuai 5. Sistem pengendalian intern yang menyeluruh 1 Lembaga Penjamin melaksanakan sistem pengendalian intern secara efektif dalam penerapan manajemen risiko Lembaga Penjamin. 2 Sistem pengendalian intern yang menyeluruh memperhatikan mekanisme pelaporan dalam hal terjadi penyimpangan. 6. Tata kelola teknologi informasi 1 Lembaga Penjamin menerapkan tata kelola teknologi informasi yang efektif. 2 Lembaga Penjamin memiliki struktur organisasi sistem informasi. 3 Lembaga Penjamin memiliki pedoman penggunaan sistem informasi yang dilengkapi dengan instruksi atau perintah kerja untuk setiap fungsi. 4 Lembaga Penjamin memiliki pedoman manajemen pengamanan data dan insiden (disaster recovery plan). Jumlah Skor Indikator Total Indikator Bobot Nilai Faktor 0 0 0 0 0 Ya Tidak 0 - 30 10,00 - ` E. Penerapan kebijakan remunerasi dan fasilitas lain Kriteria/Indikator Penilaian No Pertanyaan/Pernyataan 1 Sangat Sesuai 2 Sesuai 3 Cukup Sesuai 4 Kurang Sesuai 5 Tidak Sesuai Ya Tidak 1. Pengungkapan mengenai kebijakan remunerasi dan fasilitas lain bagi anggota Direksi, Dewan Komisaris, dan DPS 1 Lembaga Penjamin menerapkan kebijakan remunerasi bagi anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, DPS, dan pegawai yang mendorong perilaku berdasarkan prinsip kehati-hatian (prudent behaviour) yang sejalan dengan kepentingan jangka panjang Lembaga Penjamin dan perlakuan adil terhadap terjamin, penjamin, penerima jaminan dan/atau pemangku kepentingan lainnya. 2 Kebijakan remunerasi memperhatikan kinerja keuangan dan pemenuhan kewajiban Lembaga Penjamin sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. 3 Kebijakan remunerasi memperhatikan prestasi kerja individual. 4 Kebijakan remunerasi memperhatikan kewajaran dengan Lembaga Penjamin dan/atau level jabatan yang setara (peer group ). 5 Kebijakan remunerasi memperhatikan pertimbangan sasaran dan strategi jangka panjang Lembaga Penjamin. 6 Anggota Direksi, Dewan Komisaris, dan DPS menerima remunerasi dalam bentuk non natura. 7 Anggota Direksi, Dewan Komisaris, dan DPS menerima remunerasi dalam bentuk natura. 2. Pengungkapan paket atau kebijakan remunerasi dalam 1 (satu) tahun 1 Paket atau kebijakan remunerasi dan fasilitas lain bagi anggota Direksi, Dewan Komisaris, dan DPS yang ditetapkan RUPS. 2 Remunerasi dan fasilitas lain bagi seluruh anggota Direksi, Dewan Komisaris, dan DPS paling sedikit mencakup jumlah anggota Direksi, jumlah anggota Dewan Komisaris, jumlah anggota DPS, dan jumlah seluruh kebijakan remunerasi dan fasilitas lain. 3 Jumlah anggota Direksi, Dewan Komisaris, dan DPS yang menerima paket remunerasi dalam 1 (satu) tahun yang dikelompokkan sesuai tingkat penghasilan. 3. Rasio gaji tertinggi dan terendah 1 Perusahaan menyampaikan rasio perbandingan gaji tertinggi dan terendah. Jumlah Skor Indikator Total Indikator Bobot Nilai Faktor 0 - 11 2,50 - 0 Skor 0 0 0 0 0 0 0 0 0 F. Transparansi kondisi keuangan dan non keuangan Perusahaan No Pertanyaan/Pernyataan 1 Lembaga Penjamin melaksanakan transparansi kondisi keuangan dan non keuangan kepada pemangku kepentingan. 2 Lembaga Penjamin memberikan data dan informasi kepada Otoritas Jasa Keuangan secara lengkap dan tepat waktu. 3 Lembaga Penjamin menjelaskan perjanjian transaksi penjaminan serta hak dan kewajiban pemangku kepentingan dalam setiap transaksi penjaminan. 4 Lembaga Penjamin memiliki sistem pelaporan keuangan yang diandalkan untuk keperluan pengawasan dan pemangku kepentingan lain. 5 Lembaga Penjamin melakukan promosi tentang jasa penjaminan. 6 Lembaga Penjamin secara transparan menyampaikan tata cara pengaduan dan penyelesaian sengketa kepada pemangku kepentingan. Jumlah Skor Indikator Total Indikator Bobot Nilai Faktor 1 Sangat Sesuai 2 Sesuai Kriteria/Indikator Penilaian 5 4 Kurang Sesuai Tidak Sesuai Ya Tidak 0 3 Cukup Sesuai Skor 0 0 0 0 0 - 6 15,00 - G. Rencana jangka panjang serta rencana kerja dan anggaran tahunan Kriteria/Indikator Penilaian No Pertanyaan/Pernyataan 1 Lembaga Penjamin menyusun rencana jangka panjang Lembaga Penjamin. 2 Lembaga Penjamin menyusun rencana kerja Lembaga Penjamin 3 Lembaga Penjamin menyusun anggaran tahunan Lembaga Penjamin. 4 Rencana jangka panjang serta rencana kerja dan anggaran tahunan Lembaga Penjamin disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan. Jumlah Skor Indikator Total Indikator Bobot Nilai Faktor 1 Sangat Sesuai 2 Sesuai 3 Cukup Sesuai 4 Kurang Sesuai 5 Tidak Sesuai Ya Tidak 0 0 0 0 Skor - 4 7,50 - H. Pengungkapan kepemilikan saham anggota Direksi dan Dewan Komisaris yang mencapai 5% (lima per seratus) atau lebih No Pertanyaan/Pernyataan 1 Lembaga Penjamin melaporkan kepemilikan saham anggota Direksi, Dewan Komisaris, dan DPS yang mencapai 5% (lima per seratus) atau lebih pada Lembaga Penjamin. 2 Lembaga Penjamin melaporkan kepemilikan saham anggota Direksi, Dewan Komisaris, dan DPS yang mencapai 5% (lima per seratus) atau lebih pada Lembaga Penjamin lain. 3 Lembaga Penjamin melaporkan kepemilikan saham anggota Direksi, Dewan Komisaris, dan DPS yang mencapai 5% (lima per seratus) atau lebih pada perusahaan jasa keuangan selain Lembaga Penjamin. 4 Lembaga Penjamin melaporkan kepemilikan saham anggota Direksi, Dewan Komisaris, dan DPS yang mencapai 5% (lima per seratus) atau lebih pada Lembaga Penjamin lainnya yang berkedudukan di dalam maupun di luar negeri, termasuk saham yang diperoleh melalui bursa efek. Jumlah Skor Indikator Total Indikator Bobot Nilai Faktor 1 Sangat Sesuai 2 Sesuai Kriteria/Indikator Penilaian 5 4 Kurang Sesuai Tidak Sesuai Ya Tidak 3 Cukup Sesuai 0 Skor 0 0 0 - 4 2,50 - I. Hubungan keuangan dan hubungan keluarga bagi Direksi, Dewan Komisaris, dan DPS No Pertanyaan/Pernyataan 1 Lembaga Penjamin melaporkan hubungan keuangan anggota Direksi dengan anggota Direksi lain, anggota Dewan Komisaris, anggota DPS, dan/atau pemegang saham Lembaga Penjamin tempat anggota Direksi dimaksud menjabat. 2 Lembaga Penjamin melaporkan hubungan keluarga anggota Direksi dengan anggota Direksi lain, anggota Dewan Komisaris, anggota DPS, dan/atau pemegang saham Lembaga Penjamin tempat anggota Direksi dimaksud menjabat. 3 Lembaga Penjamin melaporkan hubungan keuangan anggota Dewan Komisaris dengan anggota Dewan Komisaris lain, anggota Direksi, DPS, dan/atau pemegang saham Lembaga Penjamin tempat anggota Dewan Komisaris dimaksud menjabat. 4 Lembaga Penjamin melaporkan hubungan keluarga anggota Dewan Komisaris dengan anggota Dewan Komisaris lain, anggota Direksi, DPS, dan/atau pemegang saham Lembaga Penjamin tempat anggota Dewan Komisaris dimaksud menjabat. 5 Lembaga Penjamin melaporkan hubungan keuangan anggota DPS dengan anggota DPS lain, anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, dan/atau pemegang saham Lembaga Penjamin tempat anggota DPS dimaksud menjabat. 6 Lembaga Penjamin melaporkan hubungan keluarga anggota DPS dengan anggota DPS lain, anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, dan/atau pemegang saham Lembaga Penjamin tempat anggota DPS dimaksud menjabat. Jumlah Skor Indikator Total Indikator Bobot Nilai Faktor 1 Sangat Sesuai 2 Sesuai Kriteria/Indikator Penilaian 5 4 Kurang Sesuai Tidak Sesuai Ya Tidak 3 Cukup Sesuai Skor 0 0 0 0 0 0 - 6 5,00 - J. Pengungkapan hal-hal penting lainnya kepada Otoritas Jasa Keuangan No Pertanyaan/Pernyataan 1 Sangat Sesuai 1 Lembaga Penjamin mengungkapkan kepada Otoritas Jasa Keuangan terkait pengunduran diri auditor eksternal. 2 Auditor eksternal yang mengundurkan diri menyampaikan alasan terkait pengunduran diri kepada Otoritas Jasa Keuangan. 3 Lembaga Penjamin mengungkapkan kepada Otoritas Jasa Keuangan terkait pemberhentian auditor eksternal. 4 Lembaga Penjamin menyampaikan alasan pemberhentian auditor eksternal kepada Otoritas Jasa Keuangan. 2. Transaksi material dengan pihak terkait 1 Lembaga Penjamin telah mengungkapkan kepada Otoritas Jasa Keuangan terkait transaksi material dengan pihak lain. 3. Benturan kepentingan 1 Lembaga Penjamin telah mengungkapkan kepada Otoritas Jasa Keuangan terkait benturan kepentingan yang sedang berlangsung dengan pihak lain. 2 Lembaga Penjamin telah mengungkapkan kepada Otoritas Jasa Keuangan terkait transaksi Lembaga Penjamin yang memiliki potensi benturan kepentingan dengan Lembaga Penjamin lain. 4. Informasi material lain mengenai Lembaga Penjamin yang terkait dengan Tata Kelola Perusahaan yang Baik 1 Tidak terdapat intervensi dari pemilik Lembaga Penjamin. 2 Tidak terdapat perselisihan internal dalam Lembaga Penjamin. 3 Tidak terdapat permasalahan yang merupakan dampak dari kebijakan remunerasi Lembaga Penjamin 5. Penyimpangan intern 1 Penyelesaian penyimpangan internal melibatkan proses hukum. 2 Tidak terdapat penyimpangan yang dilakukan oleh anggota Dewan Komisaris dan anggota Direksi. 3 Tidak terdapat penyimpangan yang dilakukan oleh pegawai tetap. 4 Tidak terdapat penyimpangan yang dilakukan oleh pegawai tidak tetap. 5 Lembaga Penjamin menyediakan mediasi penyelesaian terkait penyimpangan internal. 6. Permasalahan hukum 1 Lembaga Penjamin tidak memiliki permasalahan hukum yang merupakan kasus perdata. 2 Lembaga Penjamin tidak memiliki permasalahan hukum yang merupakan kasus pidana. 7. Etika bisnis 1 Direksi, Dewan Komisaris, dan karyawan Lembaga Penjamin mampu untuk tidak menawarkan atau memberikan sesuatu, baik langsung maupun tidak langsung kepada pihak lain, untuk mempengaruhi pengambilan keputusan yang terkait dengan transaksi penjaminan, dengan melanggar ketentuan perundang- undangan yang berlaku. 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 Sesuai Kriteria/Indikator Penilaian 5 4 Kurang Sesuai Tidak Sesuai Ya Tidak 3 Cukup Sesuai 1. Pengunduran diri atau pemberhentian auditor eksternal 0 Skor 0 0 0 0 0 J. Pengungkapan hal-hal penting lainnya kepada Otoritas Jasa Keuangan No Pertanyaan/Pernyataan 2 Direksi, Dewan Komisaris, dan karyawan perusahaan mampu untuk tidak menerima sesuatu untuk kepentingan pribadinya dengan melanggar ketentuan perundang- undangan yang berlaku, baik langsung maupun tidak langsung, dari siapapun, yang dapat mempengaruhi pengambilan keputusan yang terkait dengan transaksi pembiayaan. 3 Lembaga Penjamin memiliki pedoman tentang perilaku etis, yang memuat nilai etika berusaha sebagai panduan bagi organ Lembaga Penjamin dan seluruh karyawan Lembaga Penjamin. Jumlah Skor Indikator Total Indikator Bobot Nilai Faktor 1 Sangat Sesuai 2 Sesuai Kriteria/Indikator Penilaian 5 4 Kurang Sesuai Tidak Sesuai Ya Tidak 3 Cukup Sesuai Skor 0 0 - 20 10,00 - K. Kesimpulan umum hasil penilaian secara mandiri (self assessment ) Uraian Kesimpulan Umum (Berdasarkan Hasil Skor Penilaian) Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 12 Oktober 2017 KEPALA EKSEKUTIF PENGAWAS PERASURANSIAN, DANA PENSIUN, LEMBAGA PEMBIAYAAN, DAN Salinan ini sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana LEMBAGA JASA KEUANGAN LAINNYA OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd RISWINANDI LAMPIRAN III SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 54 /SEOJK.05/2017 TENTANG LAPORAN PENERAPAN TATA KELOLA PERUSAHAAN YANG BAIK BAGI LEMBAGA PENJAMIN - 1 - RENCANA TINDAK (ACTION PLAN) No. 1. 2. 3. Dst. Tindakan Korektif Target Penyelesaian Kendala Penyelesaian Keterangan Menyetujui, DIREKSI DEWAN KOMISARIS Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 12 Oktober 2017 KEPALA EKSEKUTIF PENGAWAS PERASURANSIAN, PENSIUN, DANA LEMBAGA PEMBIAYAAN, DAN LEMBAGA JASA KEUANGAN LAINNYA OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd RISWINANDI Salinan ini sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana "," SEOJK 54/SEOJK.05/2017 LAPORAN PENERAPAN TATA KELOLA PERUSAHAAN YANG BAIK BAGI LEMBAGA PENJAMIN 12 Oktober 2017 12 Oktober 2017 '3/POJK.05/2017 | Pasal 58 ayat (6)' " " Yth. 1. Direksi Bank; 2. Direksi Perusahaan Asuransi dan Reasuransi; 3. Direksi Perusahaan Efek; dan 4. Direksi Perusahaan Pembiayaan; di tempat. SALINAN SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 14 /SEOJK.03/2015 TENTANG PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO TERINTEGRASI BAGI KONGLOMERASI KEUANGAN Sehubungan dengan berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 17/POJK.03/2014 tentang Penerapan Manajemen Risiko Terintegrasi bagi Konglomerasi Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 348, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5626), dan dalam rangka mendukung efektivitas pelaksanaannya, perlu mengatur pedoman mengenai penerapan manajemen risiko terintegrasi bagi konglomerasi keuangan dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan sebagai berikut: I. KETENTUAN UMUM 1. Lembaga Jasa Keuangan yang selanjutnya disebut LJK adalah lembaga yang melaksanakan kegiatan di sektor perbankan, pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Otoritas Jasa Keuangan. 2. Konglomerasi Keuangan adalah LJK yang berada dalam satu grup atau kelompok karena keterkaitan kepemilikan dan/atau pengendalian. 3. Entitas Utama adalah LJK induk dari Konglomerasi Keuangan atau LJK yang ditunjuk oleh pemegang saham pengendali Konglomerasi Keuangan... - 2 - Keuangan. 4. Risiko adalah potensi kerugian akibat terjadinya suatu peristiwa tertentu. 5. Manajemen Risiko adalah serangkaian metodologi dan prosedur yang digunakan untuk mengidentifikasi, mengukur, memantau, dan mengendalikan Risiko yang timbul dari seluruh kegiatan usaha LJK. 6. Manajemen Risiko Terintegrasi adalah serangkaian metodologi dan prosedur yang digunakan untuk mengidentifikasi, mengukur, memantau, dan mengendalikan Risiko yang timbul dari seluruh kegiatan usaha LJK yang tergabung dalam suatu Konglomerasi Keuangan secara terintegrasi. II. PEDOMAN PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO TERINTEGRASI Konglomerasi Keuangan wajib menerapkan Manajemen Risiko Terintegrasi secara komprehensif dan efektif, yang paling kurang mencakup hal-hal sebagai berikut. A. Pengawasan Direksi dan Dewan Komisaris Entitas Utama Direksi dan Dewan Komisaris Entitas Utama bertanggung jawab untuk memastikan penerapan Manajemen Risiko Terintegrasi dalam Konglomerasi Keuangan. Untuk itu Direksi dan Dewan Komisaris Entitas Utama harus memahami Risiko yang dihadapi Konglomerasi Keuangan, mengembangkan budaya Risiko pada Konglomerasi Keuangan, dan memastikan penerapan Manajemen Risiko pada setiap LJK dalam Konglomerasi Keuangan. B. Kecukupan Kebijakan, Prosedur, dan Penetapan Limit Manajemen Risiko Terintegrasi Penerapan Manajemen Risiko Terintegrasi yang efektif harus didukung dengan kebijakan Manajemen Risiko Terintegrasi yang ditetapkan secara jelas dengan memperhatikan tingkat Risiko yang akan diambil (risk appetite) dan toleransi Risiko (risk tolerance) pada Konglomerasi Keuangan. C. Kecukupan Proses Identifikasi, Pengukuran, Pemantauan, dan Pengendalian Risiko secara Terintegrasi, serta Sistem Informasi Manajemen Risiko Terintegrasi Identifikasi... - 3 - Identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan pengendalian Risiko secara terintegrasi merupakan proses utama dari penerapan Manajemen Risiko Terintegrasi. Entitas Utama wajib melakukan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan pengendalian Risiko terhadap seluruh faktor- faktor Risiko (risk factors) yang bersifat material secara terintegrasi. Pelaksanaan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan pengendalian Risiko secara terintegrasi wajib didukung antara lain oleh: 1. Sistem Informasi Manajemen Risiko Terintegrasi yang memadai; dan 2. laporan mengenai kinerja, kondisi keuangan, dan eksposur Risiko dari Konglomerasi Keuangan dan setiap LJK dalam Konglomerasi Keuangan. D. Sistem Pengendalian Intern yang Menyeluruh terhadap Penerapan Manajemen Risiko Terintegrasi Proses penerapan Manajemen Risiko Terintegrasi yang efektif harus dilengkapi dengan sistem pengendalian intern yang menyeluruh. Penerapan sistem pengendalian intern secara efektif diharapkan dapat menjaga aset Konglomerasi Keuangan, menjamin tersedianya pelaporan yang dapat dipercaya, meningkatkan kepatuhan terhadap ketentuan dan peraturan perundang-undangan, serta mengurangi Risiko terjadinya kerugian, penyimpangan dan pelanggaran aspek kehati-hatian. Uraian lebih lanjut mengenai Pedoman Penerapan Manajemen Risiko Terintegrasi sebagaimana dimaksud pada Lampiran I. III. PEDOMAN PENILAIAN PROFIL RISIKO TERINTEGRASI A. Prinsip-prinsip Umum Penilaian Profil Risiko Terintegrasi Dalam melakukan penilaian profil Risiko terintegrasi, perlu memperhatikan prinsip-prinsip utama dalam proses penilaian sebagai berikut: 1. Agregasi Risiko Penilaian Risiko didasarkan pada Risiko yang terdapat dalam Konglomerasi Keuangan secara menyeluruh (agregasi dari Risiko... - 4 - Risiko yang ada) dengan memperhatikan dampak yang ditimbulkan terhadap kondisi Konglomerasi Keuangan. Hal ini dilakukan dengan cara mengidentifikasi faktor internal dan eksternal yang dapat meningkatkan Risiko atau mempengaruhi kondisi Konglomerasi Keuangan pada saat ini dan masa yang akan datang. 2. Holistik Penilaian Risiko dilakukan dengan melihat keterkaitan antara satu faktor dengan faktor lainnya (holistik) sehingga diperoleh kesimpulan yang memberikan gambaran mengenai Risiko Konglomerasi Keuangan secara keseluruhan. 3. Signifikansi/Materialitas dan Proporsionalitas Penilaian Risiko dilakukan dengan memperhatikan signifikansi/materialitas Risiko secara proporsional pada Konglomerasi Keuangan secara keseluruhan, termasuk pada LJK dalam Konglomerasi Keuangan, dengan memperhatikan struktur, karakteristik, dan kompleksitas dari Konglomerasi Keuangan. 4. Komprehensif dan Terstruktur Penilaian Risiko dilakukan dengan analisis mendalam dengan memperhatikan faktor-faktor penilaian secara luas, lengkap, dan utuh (komprehensif). Proses analisis untuk penilaian dilakukan dengan didukung fakta-fakta yang relevan dan pengaruhnya terhadap Risiko dan kondisi Konglomerasi Keuangan dengan memperhatikan tingkat dan kecenderungan permasalahan. Untuk kemudian diinformasikan secara terstruktur dengan mengemukakan fakta, hasil analisis, dan kesimpulan atas penilaian Risiko. Proses penilaian profil Risiko terintegrasi merupakan penilaian terhadap 10 (sepuluh) jenis Risiko berdasarkan Risiko inheren dan Kualitas Penerapan Manajemen Risiko (KPMR) terintegrasi. Kesepuluh jenis Risiko tersebut adalah Risiko kredit, Risiko pasar, Risiko likuiditas, Risiko operasional, Risiko hukum, Risiko reputasi, Risiko stratejik, Risiko kepatuhan, Risiko transaksi intra-grup, dan Risiko asuransi. Risiko asuransi tidak wajib dikelola oleh Konglomerasi ... - 5 - Konglomerasi Keuangan yang tidak memiliki perusahaan asuransi dan/atau perusahaan reasuransi. Dari penilaian Risiko inheren dan penilaian KPMR terintegrasi akan diperoleh peringkat profil Risiko terintegrasi. B. Langkah-langkah Penilaian Profil Risiko Terintegrasi 1. Penilaian dan Penetapan Tingkat Risiko Inheren Penilaian Risiko inheren secara keseluruhan merupakan penilaian atas Risiko yang melekat pada seluruh kegiatan bisnis dari Konglomerasi Keuangan yang terutama bersumber dari LJK dalam Konglomerasi Keuangan. Risiko inheren dapat bersifat kuantitatif maupun kualitatif, yang berpotensi mempengaruhi kondisi usaha dari Konglomerasi Keuangan secara keseluruhan. Karakteristik Risiko inheren dari suatu Konglomerasi Keuangan dipengaruhi oleh faktor eksternal dan internal, antara lain kondisi ekonomi makro, kondisi sektor industri dimana Konglomerasi Keuangan melakukan aktivitas usaha, strategi bisnis, dan kompleksitas produk/aktivitas dari LJK dalam Konglomerasi Keuangan. Dalam menilai tingkat Risiko inheren Konglomerasi Keuangan harus memperhatikan faktor Risiko yang signifikan dari perusahaan non keuangan dalam Konglomerasi Keuangan. Risiko inheren dinilai sebelum mempertimbangkan KPMR terintegrasi. Dengan demikian, untuk Konglomerasi Keuangan dengan tingkat Risiko inheren yang sama, dapat memiliki tingkat Risiko (net risk) yang berbeda sesuai dengan tingkat KPMR terintegrasi Konglomerasi Keuangan. Penilaian atas Risiko inheren dilakukan dengan memperhatikan parameter/indikator yang bersifat kuantitatif dan kualitatif. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan penilaian Risiko inheren, antara lain: a. Pemahaman mengenai Risiko Inheren Karakteristik Risiko inheren dari suatu Konglomerasi Keuangan ditentukan oleh faktor eksternal dan internal, antara ... - 6 - antara lain strategi bisnis, karakteristik bisnis, kompleksitas produk dan aktivitas dari LJK dalam Konglomerasi Keuangan serta kondisi ekonomi makro. Risiko inheren yang signifikan mempengaruhi profil Risiko Konglomerasi Keuangan, umumnya terdapat pada bisnis utama dari LJK yang memiliki eksposur Risiko terbesar. Misalnya, apabila aktivitas bisnis utama LJK dalam Konglomerasi Keuangan adalah bank maka eksposur terbesar umumnya adalah perkreditan, dapat dikatakan bahwa Risiko kredit akan signifikan mempengaruhi profil Risiko Konglomerasi Keuangan. Apabila aktivitas utama LJK dalam Konglomerasi Keuangan adalah asuransi maka Risiko asuransi akan mempengaruhi secara signifikan profil Risiko Konglomerasi Keuangan. Pemahaman mengenai tingkat Risiko inheren harus dilengkapi dengan informasi mengenai faktor eksternal yang dapat mempengaruhi tingkat Risiko inheren, antara lain perkembangan sektor industri, situasi ekonomi mikro dan makro serta kebijakan Pemerintah yang dapat mempengaruhi tingkat persaingan dan strategi LJK dalam Konglomerasi Keuangan. Penilaian Risiko inheren dilakukan paling sedikit dengan menggunakan parameter yang ditetapkan untuk setiap jenis Risiko, dan rasio atau indikator baik yang bersifat kuantitatif maupun kualitatif. 1) Indikator Kuantitatif Indikator kuantitatif umumnya digunakan untuk menentukan eksposur atau volume, komposisi, dan tren Risiko tertentu, khususnya Risiko yang dapat dikuantifikasi seperti Risiko kredit, Risiko pasar, Risiko likuiditas, Risiko operasional, Risiko asuransi, dan Risiko transaksi intra-grup. Pelaksanaan analisis dengan menggunakan indikator kuantitatif harus dilengkapi dengan analisis indikator kualitatif. Indikator... - 7 - Indikator kuantitatif dapat bersifat ex-post dimana permasalahan telah terjadi dan mengganggu kinerja Konglomerasi Keuangan, maupun ex-ante dimana permasalahan masih bersifat potensi dan apabila tidak dimitigasi dapat menyebabkan permasalahan aktual. Analisis Risiko inheren harus dapat menggabungkan berbagai indikator kuantitatif dari keseluruhan LJK dalam Konglomerasi Keuangan sehingga menghasilkan agregasi dan kesimpulan yang akurat. Dalam melakukan analisis dengan menggunakan indikator kuantitatif berupa rasio, perlu memperhatikan tingkat dan kecenderungan rasio sehingga hasil analisis dapat menggambarkan Risiko pada saat ini maupun Risiko pada masa yang akan datang. 2) Indikator Kualitatif Indikator kualitatif adalah aspek-aspek kualitatif yang dapat berdampak pada tingkat Risiko inheren, antara lain strategi bisnis, karakteristik bisnis dan produk, kondisi dan perkembangan ekonomi makro, sektor industri, atau indikator lainnya yang relevan dengan Risiko yang dianalisis. Indikator kualitatif lebih dominan digunakan pada Risiko yang cenderung sulit dikuantifikasi, antara lain Risiko stratejik, Risiko hukum, Risiko kepatuhan, dan Risiko reputasi. b. Penggunaan Parameter Penilaian Risiko Inheren Dalam menilai Risiko inheren, Entitas Utama wajib mengacu pada beberapa parameter minimum sebagaimana diuraikan dibawah ini. Entitas Utama dapat menambah parameter lain yang relevan dengan karakteristik dan kompleksitas usaha Konglomerasi Keuangan dengan memperhatikan prinsip proporsionalitas. 1) Risiko... - 8 - 1) Risiko Kredit Risiko kredit adalah Risiko akibat kegagalan debitur dan/atau pihak lain dalam memenuhi kewajiban kepada Konglomerasi Keuangan. Untuk LJK yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, Risiko kredit mencakup Risiko investasi. Yang dimaksud dengan Risiko investasi (Equity Investment Risk) adalah Risiko akibat LJK ikut menanggung kerugian usaha nasabah yang dibiayai dalam pembiayaan berbasis bagi hasil baik yang menggunakan metode net revenue sharing maupun yang menggunakan metode profit and loss sharing. Dalam menilai Risiko inheren atas Risiko kredit, parameter yang digunakan antara lain: a) Komposisi Portofolio Aset dan Tingkat Konsentrasi; b) Kualitas Penyediaan Dana dan Kecukupan Pencadangan; c) Strategi Penyediaan Dana dan Sumber Timbulnya Penyediaan Dana; dan d) Faktor Eksternal. 2) Risiko Pasar Risiko pasar adalah Risiko akibat adanya pergerakan variabel pasar (adverse movement) dari portofolio yang dimiliki Konglomerasi Keuangan. Yang dimaksud dengan “variabel pasar” adalah suku bunga, nilai tukar, nilai komoditas, dan ekuitas. Untuk LJK yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, Risiko pasar mencakup pula Risiko imbal hasil. Yang dimaksud dengan Risiko imbal hasil (rate of return risk) adalah Risiko akibat perubahan tingkat imbal hasil yang dibayarkan LJK kepada nasabah, karena terjadi perubahan tingkat imbal hasil yang diterima LJK dari penyaluran dana, yang dapat mempengaruhi perilaku nasabah dana pihak ketiga LJK. Dalam... - 9 - Dalam menilai Risiko inheren atas Risiko pasar, parameter yang digunakan antara lain: a) Volume dan Komposisi Aset Trading, Derivatif, dan Fair Value Option (FVO); dan b) Strategi dan Kebijakan Bisnis, yang meliputi Karakteristik Trading, Kompleksitas Instrumen/Produk, Volume dan Karakteristik Risiko Suku Bunga pada Non-Trading Book. 3) Risiko Likuiditas Risiko likuiditas adalah Risiko akibat ketidakmampuan Konglomerasi Keuangan untuk memenuhi kewajiban yang jatuh tempo dari sumber pendanaan arus kas dan/atau dari aset likuid berkualitas tinggi yang dapat diagunkan, tanpa mengganggu aktivitas dan kondisi keuangan dari Konglomerasi Keuangan tersebut. Dalam menilai Risiko inheren atas Risiko likuiditas, parameter yang digunakan antara lain: a) Komposisi Aset, Kewajiban, dan c) Transaksi Rekening Administratif (TRA); b) Konsentrasi Aset dan Kewajiban; Kerentanan pada Kebutuhan Pendanaan; dan d) Akses pada Sumber-sumber Pendanaan. 4) Risiko Operasional Risiko operasional adalah Risiko akibat ketidakcukupan dan/atau tidak berfungsinya proses internal, kesalahan manusia, kegagalan sistem, dan/atau adanya kejadian-kejadian eksternal yang mempengaruhi operasional Konglomerasi Keuangan. Dalam menilai Risiko inheren atas Risiko operasional, parameter yang digunakan antara lain: a) Karakteristik dan Kompleksitas Bisnis; b) Sumber Daya Manusia (SDM); c) Teknologi Informasi (TI) dan Infrastruktur Pendukung; d) Fraud; dan e) Kejadian Eksternal. 5) Risiko... - 10 - 5) Risiko Hukum Risiko hukum adalah Risiko akibat tuntutan hukum dan/atau kelemahan aspek yuridis. Kelemahan aspek yuridis antara lain disebabkan, rendahnya pengetahuan/pemahaman atas hukum dan/atau peraturan perundang-undangan, ketiadaan peraturan perundang-undangan yang mendukung atau kelemahan perikatan seperti tidak dipenuhinya syarat sahnya perjanjian dan pengikatan agunan yang tidak sempurna. Dalam menilai Risiko inheren atas Risiko hukum, parameter yang digunakan antara lain: a) Faktor Litigasi; b) Faktor Kelemahan Perikatan; dan c) Faktor Ketiadaan Peraturan Perundang-undangan. 6) Risiko Reputasi Risiko reputasi adalah Risiko akibat menurunnya tingkat kepercayaan pemangku kepentingan (stakeholder) yang bersumber dari persepsi negatif baik terhadap LJK dalam Konglomerasi Keuangan maupun terhadap Konglomerasi Keuangan secara keseluruhan. Dalam menilai Risiko inheren atas Risiko reputasi, parameter yang digunakan antara lain: a) Pengaruh Reputasi dari Pemilik Konglomerasi Keuangan berikut Perusahaan-Perusahaan lainnya yang Memiliki Hubungan Kepemilikan, Pengendalian dan/atau Kepengurusan; b) Pelanggaran Etika Bisnis; c) Kompleksitas Produk dan Kerjasama Bisnis LJK dalam Konglomerasi Keuangan; d) Frekuensi, Materialitas dan Eksposur Pemberitaan Negatif LJK dalam Konglomerasi Keuangan; dan e) Frekuensi dan Materialitas Keluhan Nasabah. 7) Risiko Stratejik Risiko stratejik adalah Risiko akibat ketidaktepatan dalam pengambilan dan/atau pelaksanaan suatu keputusan... - 11 - keputusan stratejik serta kegagalan dalam mengantisipasi perubahan lingkungan bisnis. Dalam menilai Risiko inheren atas Risiko stratejik, parameter yang digunakan antara lain: a) Kesesuaian Strategi dengan Kondisi Lingkungan Bisnis; b) Strategi Bisnis LJK dalam Konglomerasi Keuangan; c) Posisi Bisnis LJK dalam Konglomerasi Keuangan; dan d) Pencapaian Rencana Bisnis LJK dalam Konglomerasi Keuangan. 8) Risiko Kepatuhan Risiko kepatuhan adalah Risiko akibat tidak mematuhi dan/atau tidak melaksanakan ketentuan dan peraturan perundang-undangan. Dalam menilai Risiko inheren atas Risiko kepatuhan, parameter yang digunakan antara lain: a) Jenis dan Signifikansi Pelanggaran yang Dilakukan; b) Frekuensi Pelanggaran yang Dilakukan atau Track Record Kepatuhan; dan c) Pelanggaran terhadap Ketentuan atas Transaksi Keuangan yang Sama. 9) Risiko Transaksi Intra-Grup Risiko transaksi intra-grup adalah Risiko akibat ketergantungan suatu entitas baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap entitas lainnya dalam satu Konglomerasi Keuangan dalam rangka pemenuhan kewajiban perjanjian tertulis maupun perjanjian tidak tertulis yang diikuti perpindahan dana dan/atau tidak diikuti perpindahan dana. Dalam menilai Risiko inheren atas Risiko transaksi intra-grup, parameter yang digunakan antara lain: a) Komposisi Transaksi Intra-Grup dalam Konglomerasi Keuangan; b) Dokumentasi dan Kewajaran Transaksi; dan c) Informasi lainnya. 10) Risiko Asuransi Risiko asuransi adalah Risiko akibat kegagalan perusahaan asuransi memenuhi kewajiban kepada pemegang... - 12 - pemegang polis sebagai akibat dari ketidakcukupan proses seleksi Risiko (underwriting), penetapan premi (pricing), penggunaan reasuransi, dan/atau penanganan klaim. Dalam menilai Risiko inheren atas Risiko asuransi, parameter yang digunakan antara lain: a) Risiko Teknikal; b) Dominasi Risiko Asuransi terhadap Keseluruhan Lini Usaha; c) Bauran Risiko Produk dan Jenis Manfaat; dan d) Struktur Reasuransi. Entitas Utama dalam menilai Risiko inheren atas setiap jenis Risiko tersebut di atas menggunakan parameter dan contoh indikator Risiko inheren yang relevan dengan berpedoman pada Matriks Jenis Risiko, Parameter dan Indikator Penilaian Risiko Inheren sebagaimana dimaksud pada Lampiran II. c. Penetapan Tingkat Risiko Inheren Dalam menetapkan tingkat Risiko inheren, Entitas Utama harus melakukan analisis secara komprehensif dengan menggunakan seluruh indikator kuantitatif dan kualitatif yang relevan. Hasil analisis tersebut diharapkan dapat secara obyektif menggambarkan tingkat Risiko inheren pada Konglomerasi Keuangan. Penetapan tingkat Risiko inheren untuk setiap jenis Risiko dikategorikan dalam 5 (lima) Peringkat yaitu Peringkat 1 (Low), Peringkat 2 (Low to Moderate), Peringkat 3 (Moderate), Peringkat 4 (Moderate to High), dan Peringkat 5 (High). Penetapan tingkat Risiko inheren tersebut berpedoman pada Matriks Penetapan Tingkat Risiko Inheren sebagaimana dimaksud pada Lampiran III. 2. Penilaian dan Penetapan Tingkat Kualitas Penerapan Manajemen Risiko (KPMR) Terintegrasi Penilaian KPMR terintegrasi bertujuan untuk menilai efektivitas penerapan Manajemen Risiko Konglomerasi Keuangan dengan mengacu pada ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang berlaku mengenai penerapan Manajemen Risiko Terintegrasi. Penerapan... - 13 - Penerapan Manajemen Risiko Terintegrasi dari suatu Konglomerasi Keuangan sangat bervariasi sesuai dengan struktur, skala, kompleksitas, dan tingkat Risiko yang dapat ditoleransi oleh Konglomerasi Keuangan. Dengan demikian, penilaian KPMR terintegrasi perlu disesuaikan dengan struktur, karakteristik, dan kompleksitas usaha Konglomerasi Keuangan. Hal-hal yang harus diperhatikan Entitas Utama dalam melakukan penilaian terhadap KPMR terintegrasi adalah sebagai berikut: a. Pemahaman KPMR Terintegrasi Entitas Utama harus memahami penerapan keseluruhan cakupan KPMR terintegrasi, yaitu: 1) Pengawasan Direksi dan Dewan Komisaris Entitas Utama; 2) Kecukupan Kebijakan, Prosedur, dan Penetapan Limit Manajemen Risiko Terintegrasi; 3) Kecukupan Proses Identifikasi, Pengukuran, Pemantauan, dan Pengendalian Risiko secara Terintegrasi, serta Sistem Informasi Manajemen Risiko Terintegrasi; dan 4) Sistem Pengendalian Intern yang Menyeluruh terhadap Penerapan Manajemen Risiko Terintegrasi. b. Standar Kecukupan KPMR Terintegrasi Kecukupan penerapan Manajemen Risiko Terintegrasi sangat ditentukan oleh skala, kompleksitas, dan karakteristik aktivitas Konglomerasi Keuangan serta tingkat Risiko inheren Konglomerasi Keuangan. Semakin kompleks suatu Konglomerasi Keuangan, penerapan Manajemen Risiko Terintegrasi yang sederhana tidak memadai lagi untuk memitigasi Risiko Konglomerasi Keuangan. Pada umumnya, semakin besar dan kompleks suatu Konglomerasi Keuangan, semakin tinggi standar kecukupan KPMR terintegrasi bagi Konglomerasi Keuangan tersebut. c. Penetapan Tingkat KPMR Terintegrasi Penetapan tingkat KPMR terintegrasi dilakukan secara komprehensif dan mengidentifikasi keandalan ataupun kelemahan-kelemahan utama pada keempat cakupan sebagaimana... - 14 - sebagaimana pada huruf a. Tingkat KPMR terintegrasi untuk setiap jenis Risiko dikategorikan dalam 5 (lima) Peringkat yaitu Peringkat 1 (Strong); Peringkat 2 (Satisfactory); Peringkat 3 (Fair); Peringkat 4 (Marginal); dan Peringkat 5 (Unsatisfactory). Penetapan tingkat KPMR terintegrasi berpedoman pada Matriks Penetapan Tingkat Kualitas Penerapan Manajemen Risiko Terintegrasi sebagaimana dimaksud pada Lampiran IV. 3. Penetapan Tingkat Risiko untuk Setiap Jenis Risiko Entitas Utama menentukan tingkat Risiko yang merupakan tingkat Risiko akhir setelah memperhitungkan tingkat KPMR terhadap tingkat Risiko inheren. Hal ini dilakukan untuk setiap jenis Risiko. Penetapan tingkat Risiko dilakukan dengan mengacu pada Matriks Tingkat Risiko sebagaimana dimaksud pada Lampiran V. Dalam kondisi tertentu, untuk menetapkan tingkat Risiko, Entitas Utama dapat menyesuaikan tingkat Risiko (lebih tinggi atau lebih rendah dari tingkat Risiko sebagaimana terdapat dalam Matriks Tingkat Risiko) dengan melakukan analisis secara komprehensif dan terstruktur, dapat menggambarkan tingkat Risiko yang sebenarnya. 4. Penetapan Tingkat Profil Risiko Terintegrasi Penetapan tingkat profil Risiko terintegrasi dilakukan dengan melakukan analisis tingkat Risiko secara keseluruhan dan memperhatikan signifikansi tingkat Risiko untuk setiap jenis Risiko sebagaimana dimaksud pada angka 3. Penetapan tingkat profil Risiko terintegrasi dikategorikan dalam 5 (lima) Peringkat yaitu Peringkat 1, Peringkat 2, Peringkat 3, Peringkat 4, dan Peringkat 5. Urutan peringkat profil Risiko terintegrasi yang lebih kecil mencerminkan Risiko yang semakin rendah. Penetapan tingkat profil Risiko terintegrasi mengacu pada Peringkat Profil Risiko Terintegrasi sebagaimana dimaksud pada Lampiran VI. IV. PELAPORAN... - 15 - IV. PELAPORAN A. Dalam rangka penerapan Manajemen Risiko Terintegrasi, Entitas Utama wajib menyampaikan Laporan Profil Risiko Terintegrasi secara semesteran untuk posisi akhir bulan Juni dan Desember, yang disajikan secara komparatif dengan posisi semester sebelumnya. B. Laporan Profil Risiko Terintegrasi disampaikan paling lambat pada tanggal 15 (lima belas) bulan kedua setelah berakhirnya bulan laporan yang bersangkutan. Dengan demikian untuk laporan posisi Juni disampaikan paling lambat tanggal 15 Agustus, sedangkan untuk laporan posisi Desember disampaikan paling lambat tanggal 15 Februari. C. Dalam hal tanggal 15 (lima belas) jatuh pada hari Sabtu atau Minggu atau libur, Laporan Profil Risiko Terintegrasi disampaikan pada hari kerja berikutnya. D. Kewajiban penyampaian Laporan Profil Risiko Terintegrasi pertama kali dilakukan untuk laporan sebagai berikut: 1. Posisi Juni 2015, untuk Entitas Utama yang merupakan Bank Umum berdasarkan Kegiatan Usaha (BUKU) 4; dan 2. Posisi Desember 2015, untuk Entitas Utama berupa bank selain Bank Umum berdasarkan Kegiatan Usaha (BUKU) 4 dan bukan bank. E. Laporan Profil Risiko Terintegrasi yang wajib disampaikan Entitas Utama terdiri dari: 1. Matriks penilaian profil Risiko terintegrasi; dan 2. Penilaian analisis setiap jenis Risiko. Penyusunan Laporan Profil Risiko Terintegrasi menggunakan format sebagaimana dimaksud dalam Lampiran VII. F. Laporan Profil Risiko Terintegrasi disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan alamat: 1. Departemen Pengawasan yang bertanggung jawab mengawasi LJK Entitas Utama, bagi Entitas Utama yang berkantor pusat di wilayah kerja Kantor Pusat Otoritas Jasa Keuangan; atau 2. Kantor Regional atau Kantor Otoritas Jasa Keuangan setempat, bagi LJK Entitas Utama yang berkantor pusat di luar wilayah kerja... - 16 - kerja Kantor Pusat Otoritas Jasa Keuangan. G. Bagi Entitas Utama berupa bank yang telah menyampaikan Laporan Profil Risiko Terintegrasi secara berkala, bank dianggap telah memenuhi kewajiban penyampaian Laporan Profil Risiko Konsolidasi secara berkala sebagaimana diatur dalam ketentuan mengenai penerapan Manajemen Risiko secara konsolidasi bagi bank yang melakukan pengendalian terhadap perusahaan anak. V. LAIN-LAIN Lampiran I, Lampiran II, Lampiran III, Lampiran IV, Lampiran V, Lampiran VI, dan Lampiran VII merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dari Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini. VI. PENUTUP Ketentuan dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 25 Mei 2015 KEPALA EKSEKUTIF PENGAWAS PERBANKAN OTORITAS JASA KEUANGAN, Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum I Departemen Hukum, Ttd. Ttd. Sudarmaji Ttd. NELSON TAMPUBOLON BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 44 TANGGAL 1 JUNI 2015 "," SEOJK 14/SEOJK.03/2015 PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO TERINTEGRASI BAGI KONGLOMERASI KEUANGAN 25 Mei 2015 25 Mei 2015 '17/POJK.03/2014' " " Yth. 1. Direksi PT Penyelenggara Program Perlindungan Investor Efek Indonesia; 2. Direksi Bank Kustodian; 3. Direksi PT Bursa Efek Indonesia; 4. Direksi PT Kliring Penjaminan Efek Indonesia; dan 5. Direksi PT Kustodian Sentral Efek Indonesia, di tempat. SALINAN SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 30/SEOJK.04/2015 TENTANG IURAN KEANGGOTAN BANK KUSTODIAN UNTUK DANA PERLINDUNGAN PEMODAL Dalam rangka pengaturan besaran nilai iuran keanggotaan Bank Kustodian pada Dana Perlindungan Pemodal sebagai pelaksanaan ketentuan Pasal 5 huruf c Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor Kep-715/BL/2012 tanggal 28 Desember 2012 tentang Dana Perlindungan Pemodal, Otoritas Jasa Keuangan perlu mengatur ketentuan mengenai iuran keanggotaan Bank Kustodian Untuk Dana Perlindungan Pemodal dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan sebagai berikut: I. KETENTUAN UMUM Dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Aset Pemodal adalah Efek dan harta lain yang berkaitan dengan Efek, dan/atau dana milik Pemodal yang dititipkan pada Kustodian. 2. Dana Perlindungan Pemodal adalah kumpulan dana yang dibentuk untuk melindungi Pemodal dari hilangnya Aset Pemodal. 3. Pemodal adalah nasabah dari Perantara Pedagang Efek yang mengadministrasikan rekening Efek nasabah dan Bank Kustodian. 4. Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal adalah Perseroan yang telah mendapatkan izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan untuk menyelenggarakan dan mengelola Dana Perlindungan Pemodal. 5. Bank… -2- 5. Bank Kustodian adalah Bank Umum yang telah mendapat persetujuan Otoritas Jasa Keuangan untuk menyelenggarakan kegiatan sebagai Kustodian. 6. Rasio Risiko adalah besaran risiko Bank Kustodian dibagi dengan jumlah besaran risiko mengadministrasikan rekening Efek nasabah dan besaran risiko Bank Kustodian. 7. Bobot Risiko adalah persentase tingkat risiko kemungkinan penggunaan Dana Perlindungan Pemodal untuk masing-masing jenis risiko. 8. Faktor Risiko adalah salah satu unsur dalam penentuan besaran iuran keanggotaan tahunan Bank Kustodian untuk Dana Perlindungan Pemodal yang merupakan jumlah nilai risiko dikalikan dengan Bobot Risiko. II. IURAN KEANGGOTAAN AWAL BANK KUSTODIAN Iuran keanggotaan awal Bank Kustodian untuk Dana Perlindungan Pemodal adalah sebesar Rp100.000.000,- (seratus juta rupiah) untuk masing-masing Bank Kustodian. III. IURAN KEANGGOTAAN TAHUNAN BANK KUSTODIAN 1. Iuran keanggotaan tahunan Bank Kustodian untuk Dana Perlindungan Pemodal adalah jumlah seluruh Faktor Risiko dikalikan dengan 0,001% (satu perseratus ribu) dari rata-rata bulanan total nilai Aset Pemodal tahun sebelumnya yang dititipkan pada Bank Kustodian. 2. Besaran Faktor Risiko sebagaimana dimaksud pada angka 1 dihitung berdasarkan jenis risiko sebagai berikut: a. Risiko Pemodal, dihitung dengan mengalikan Nilai Risiko Pemodal dengan Bobot risiko Pemodal. b. Risiko Kustodian, dihitung dengan mengalikan Nilai Risiko Kustodian dengan Bobot risiko Kustodian. c. Risiko Aset Pemodal, dihitung dengan mengalikan Nilai Risiko Aset Pemodal dengan Bobot risiko Aset Pemodal. 3. Penghitungan nilai risiko untuk masing-masing jenis risiko dilaksanakan sebagai berikut: a. Nilai risiko Pemodal merupakan rasio rata-rata bulanan jumlah Pemodal di Bank Kustodian terhadap rata-rata bulanan jumlah Pemodal… Perantara Pedagang Efek yang -3- Pemodal di Perantara Pedagang Efek yang mengadministrasikan rekening Efek nasabah dan Bank Kustodian. b. Nilai risiko Kustodian merupakan rasio jumlah Bank Kustodian terhadap jumlah Perantara Pedagang Efek yang mengadministrasikan rekening Efek nasabah dan Bank Kustodian. c. Nilai risiko Aset Pemodal merupakan rasio rata-rata bulanan nilai Aset Pemodal di Bank Kustodian terhadap rata-rata bulanan nilai Aset Pemodal di Perantara Pedagang Efek yang mengadministrasikan rekening Efek nasabah dan Bank Kustodian. 4. Bobot risiko untuk masing-masing jenis risiko adalah sebagai berikut: a. risiko Pemodal adalah sebesar 50% (lima puluh persen); b. risiko Kustodian adalah sebesar 35% (tiga puluh lima persen); dan c. risiko Aset Pemodal adalah sebesar 15% (lima belas persen). 5. Penghitungan Nilai Risiko menggunakan data pada tahun sebelum tahun pembayaran iuran tahunan. Untuk Nilai Risiko tahun 2016 menggunakan data tahun 2015, untuk Nilai Risiko tahun 2017 menggunakan data tahun 2016, dan seterusnya. 6. Penghitungan Nilai Risiko dilakukan hingga 2 angka di belakang koma dengan pembulatan ke atas. Contoh Pembulatan Dalam Penghitungan Nilai Risiko: − Nilai Risiko sebesar 0,217 dibulatkan menjadi 0,22. − Nilai Risiko sebesar 0,213 dibulatkan menjadi 0,22. 7. Besaran Faktor Risiko dihitung dan diterbitkan oleh Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal. 8. Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal wajib menerbitkan besaran Faktor Risiko paling lambat tanggal 15 Januari tahun berjalan. 9. Dalam hal tanggal 15 Januari sebagaimana dimaksud pada angka 8 jatuh pada hari libur, besaran Faktor Risiko wajib diterbitkan paling lambat pada hari kerja berikutnya. IV. PEMBAYARAN IURAN KEANGGOTAAN BANK KUSTODIAN 1. Iuran keanggotaan awal bagi Bank Kustodian sebagaimana dimaksud pada ketentuan II wajib dibayar paling lambat tanggal 31 Januari 2016. 2. Iuran keanggotaan tahunan bagi Bank Kustodian sebagaimana dimaksud pada ketentuan III wajib dibayar paling lambat tanggal 31 Januari tahun berjalan. 3. Iuran… -4- 3. Iuran keanggotaan awal sebagaimana dimaksud pada ketentuan IV angka 1 dibayar oleh Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, dan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian secara bersama-sama. V. PENUTUP Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 30 September 2015 KEPALA EKSEKUTIF PENGAWAS PASAR MODAL, Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Sudarmaji ttd NURHAIDA "," SEOJK 30/SEOJK.04/2015 IURAN KEANGGOTAN BANK KUSTODIAN UNTUK DANA PERLINDUNGAN PEMODAL 30 September 2015 30 September 2015 'KEP-715/BL/2012|KEPTA-BAPEPAM-LK/2012 | Pasal 5 huruf c' " " Yth. Direksi Bank Umum Konvensional di tempat. SALINAN SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 13 /SEOJK.03/2017 TENTANG PENERAPAN TATA KELOLA BAGI BANK UMUM Sehubungan dengan berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 4/POJK.03/2016 tentang Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 16, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5840) dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 55/POJK.03/2016 tentang Penerapan Tata Kelola Bagi Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 286, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5980), perlu untuk mengatur pelaksanaan Penerapan Tata Kelola Bagi Bank Umum dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan sebagai berikut: I. KETENTUAN UMUM 1. Dalam rangka meningkatkan kinerja Bank, melindungi kepentingan Pemangku Kepentingan, dan meningkatkan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan serta nilai etika yang berlaku umum pada industri perbankan, Bank wajib melaksanakan kegiatan usaha dengan berpedoman pada prinsip Tata Kelola yang baik sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 55/POJK.03/2016 tentang Penerapan Tata Kelola Bagi Bank Umum, yang selanjutnya disebut POJK Tata Kelola Bank Umum. Penerapan Tata Kelola pada industri perbankan harus senantiasa berlandaskan pada 5 (lima) prinsip dasar Tata Kelola yang baik sebagai berikut: a. Transparansi (transparency) yaitu keterbukaan dalam mengemukakan informasi yang material dan relevan serta - 2 - keterbukaan dalam melaksanakan proses pengambilan keputusan. b. Akuntabilitas (accountability) yaitu kejelasan fungsi dan pelaksanaan pertanggungjawaban organ Bank sehingga pengelolaannya berjalan secara efektif. c. Pertanggungjawaban (responsibility) yaitu kesesuaian pengelolaan Bank dengan peraturan perundang-undangan dan prinsip pengelolaan Bank yang sehat. d. Independensi (independency) yaitu pengelolaan Bank secara profesional tanpa pengaruh atau tekanan dari pihak manapun. e. Kewajaran (fairness) yaitu keadilan dan kesetaraan dalam memenuhi hak-hak Pemangku Kepentingan yang timbul berdasarkan perjanjian dan peraturan perundang-undangan. 2. Dalam rangka memastikan penerapan 5 (lima) prinsip dasar Tata Kelola yang baik sebagaimana dimaksud pada angka 1, Bank harus melakukan penilaian sendiri (self-assessment) secara berkala yang paling sedikit meliputi 11 (sebelas) faktor penilaian penerapan Tata Kelola yaitu: a. pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Direksi; b. pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Dewan Komisaris; c. kelengkapan dan pelaksanaan tugas komite; d. penanganan benturan kepentingan; e. penerapan fungsi kepatuhan; f. penerapan fungsi audit intern; g. penerapan fungsi audit ekstern; h. penerapan manajemen risiko termasuk sistem pengendalian intern; i. j. penyediaan dana kepada pihak terkait (related party) dan penyediaan dana besar (large exposure); transparansi kondisi keuangan dan non keuangan Bank, laporan pelaksanaan tata kelola dan pelaporan internal; dan k. rencana strategis Bank. - 3 - Selain itu, perlu diperhatikan informasi lain yang terkait penerapan Tata Kelola Bank di luar 11 (sebelas) faktor penilaian penerapan Tata Kelola, seperti permasalahan yang timbul sebagai dampak kebijakan remunerasi pada suatu Bank atau perselisihan intern Bank yang mengganggu operasional dan/atau kelangsungan usaha Bank. Sebagai contoh, penetapan bonus yang didasarkan pada pencapaian target pada akhir tahun dengan penetapan target yang sangat tinggi (ambisius) yang mengakibatkan dilakukan praktik tidak sehat oleh manajemen atau pegawai Bank dalam pencapaian target tersebut. 3. Pengalaman dari krisis keuangan global mendorong perlunya peningkatan efektivitas penerapan manajemen risiko dan Tata Kelola agar Bank mampu mengidentifikasi permasalahan secara lebih dini, melakukan tindak lanjut perbaikan yang tepat dan cepat, serta lebih tahan dalam menghadapi krisis. Sehubungan dengan hal tersebut, Otoritas Jasa Keuangan menyempurnakan metode penilaian Tingkat Kesehatan Bank yaitu dengan menggunakan pendekatan risiko (Risk Based Bank Rating/RBBR) baik secara individu maupun secara konsolidasi yang antara lain mencakup penilaian faktor Tata Kelola. Penilaian faktor Tata Kelola dalam penilaian Tingkat Kesehatan Bank dengan menggunakan pendekatan risiko atau RBBR merupakan pengganti dari penilaian terhadap faktor manajemen dalam penilaian Tingkat Kesehatan Bank berdasarkan CAMELS rating. 4. Berdasarkan ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur mengenai Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum dengan menggunakan pendekatan risiko atau RBBR, penilaian terhadap penerapan Tata Kelola yang berlandaskan pada 5 (lima) prinsip dasar Tata Kelola yang baik dikelompokkan dalam suatu governance system yang terdiri dari 3 (tiga) aspek governance, yaitu governance structure, governance process, dan governance outcome. 5. Bank menerapkan prinsip Tata Kelola yang Baik dalam setiap kegiatan usaha pada seluruh tingkatan atau jenjang organisasi yang meliputi Direksi dan Dewan Komisaris sampai dengan pegawai tingkat pelaksana. 6. Dalam penerapan Tata Kelola, diperlukan keberadaan Komisaris Independen dan Pihak Independen untuk menghindari benturan kepentingan (conflict of interest) dalam pelaksanaan tugas seluruh - 4 - tingkatan atau jenjang organisasi Bank, check and balance, serta melindungi kepentingan Pemangku Kepentingan khususnya pemilik dana dan pemegang saham non pengendali. Untuk mendukung independensi dalam pelaksanaan tugas dimaksud, perlu pengaturan mengenai masa tunggu (cooling off) bagi pihak yang akan menjadi Pihak Independen. 7. Dalam upaya perbaikan dan peningkatan kualitas penerapan Tata Kelola, Bank secara berkala melakukan penilaian sendiri (self- assessment) secara komprehensif terhadap kecukupan penerapan Tata Kelola sehingga Bank dapat segera menetapkan rencana tindak (action plan), yang meliputi tindakan korektif (corrective action) yang diperlukan dalam hal masih terdapat kekurangan dalam penerapan Tata Kelola. 8. Dalam rangka penerapan prinsip transparansi (transparency) sebagaimana dimaksud dalam butir 1.a., Bank menyampaikan laporan pelaksanaan tata kelola dan menginformasikan pada situs web Bank. II. DIREKSI 1. Presiden direktur atau direktur utama berasal dari pihak yang independen terhadap pemegang saham pengendali Bank. Independensi presiden direktur atau direktur utama dapat dipenuhi dalam hal yang bersangkutan tidak memiliki hubungan keuangan, hubungan kepengurusan, hubungan kepemilikan, dan/atau hubungan keluarga dengan pemegang saham pengendali Bank. a. Yang dimaksud dengan pemegang saham pengendali adalah badan hukum, orang perseorangan dan/atau kelompok usaha sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan bagi pihak utama lembaga jasa keuangan. Termasuk dalam pengertian pemegang saham pengendali Bank adalah pemegang saham Bank sampai dengan ultimate shareholders. b. Yang dimaksud dengan memiliki hubungan keuangan adalah dalam hal seseorang menerima penghasilan, bantuan keuangan, dan/atau pinjaman dari pemegang saham pengendali Bank. - 5 - c. Yang dimaksud dengan memiliki hubungan kepengurusan adalah dalam hal seseorang menduduki jabatan sebagai anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, atau Pejabat Eksekutif pada perusahaan pemegang saham pengendali Bank. d. Yang dimaksud dengan memiliki hubungan kepemilikan adalah dalam hal seseorang menjadi: 1) pemegang saham pada perusahaan pemegang saham pengendali Bank; dan/atau 2) pemegang saham Bank bersama pemegang saham pengendali Bank. Kepemilikan saham Bank yang berasal dari Management Shares Option Program (MSOP) yang besarnya tidak lebih dari 5% (lima persen) dari modal disetor Bank, tidak termasuk dalam hubungan kepemilikan dimaksud. e. Yang dimaksud dengan memiliki hubungan keluarga adalah memiliki hubungan keluarga sampai dengan derajat kedua baik hubungan vertikal maupun hubungan horizontal, termasuk mertua, menantu dan ipar, sehingga yang dimaksud dengan keluarga meliputi: 1) orang tua kandung/tiri/angkat; 2) saudara kandung/tiri/angkat beserta suami atau istri; 3) anak kandung/tiri/angkat; 4) kakek atau nenek kandung/tiri/angkat; 5) cucu kandung/tiri/angkat; 6) saudara kandung/tiri/angkat dari orang tua beserta suami atau istri; 7) suami atau istri; 8) mertua; 9) besan; 10) suami atau istri dari anak kandung/tiri/angkat; 11) kakek atau nenek dari suami atau istri; 12) suami atau istri dari cucu kandung/tiri/angkat; dan/atau 13) saudara kandung/tiri/angkat dari suami atau istri beserta suami atau istri. Dalam hal pemegang saham pengendali Bank berbentuk badan hukum maka hubungan keluarga antara presiden direktur atau - 6 - direktur utama dengan pemegang saham pengendali Bank dilihat dari hubungan keluarga antara seseorang dengan pemegang saham pengendali dari badan hukum yang merupakan pemegang saham pengendali Bank. 2. Direksi mengungkapkan kepada pegawai mengenai kebijakan Bank yang bersifat strategis di bidang kepegawaian. Yang dimaksud dengan kebijakan yang bersifat strategis di bidang kepegawaian, antara lain kebijakan mengenai sistem perekrutan (recruitment), sistem promosi, sistem remunerasi serta rencana Bank untuk melakukan efisiensi melalui pengurangan pegawai. Pengungkapan mengenai kebijakan tersebut harus dilakukan melalui sarana yang diketahui atau diakses dengan mudah oleh pegawai. 3. Direksi dilarang memberikan kuasa umum kepada pihak lain yang mengakibatkan pengalihan tugas dan fungsi Direksi sebagaimana diatur dalam POJK Tata Kelola Bank Umum. Yang dimaksud dengan pemberian kuasa umum adalah pemberian kuasa kepada 1 (satu) orang karyawan atau lebih atau orang lain yang mengakibatkan pengalihan tugas, wewenang, dan tanggung jawab Direksi secara menyeluruh yaitu tanpa batasan ruang lingkup dan waktu. 4. Segala keputusan Direksi diambil sesuai dengan pedoman dan tata tertib kerja, yang mengikat dan menjadi tanggung jawab seluruh anggota Direksi. Dalam hal terjadi perbedaan pendapat (dissenting opinion), dicantumkan secara jelas dalam risalah rapat Direksi beserta alasan perbedaan pendapat. Terkait dengan hal tersebut, salinan risalah rapat Direksi yang telah ditandatangani oleh seluruh anggota Direksi yang hadir, harus didistribusikan kepada seluruh anggota Direksi. III. DEWAN KOMISARIS 1. Komisaris Independen ditetapkan paling sedikit 50% (lima puluh persen) dari jumlah anggota Dewan Komisaris. Komisaris Independen adalah anggota Dewan Komisaris yang tidak memiliki hubungan keuangan, hubungan kepengurusan, hubungan kepemilikan, dan/atau hubungan keluarga dengan anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris lain, dan/atau pemegang saham pengendali, atau - 7 - hubungan dengan Bank yang dapat mempengaruhi kemampuan untuk bertindak independen. Pengertian mengenai “memiliki hubungan keuangan, hubungan kepengurusan, hubungan kepemilikan, dan/atau hubungan keluarga dengan anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris lain, dan/atau pemegang saham pengendali atau hubungan dengan Bank yang dapat mempengaruhi kemampuan untuk bertindak independen” adalah sebagai berikut: a. Yang dimaksud dengan pemegang saham pengendali adalah badan hukum, orang perseorangan, dan/atau kelompok usaha sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan bagi pihak utama lembaga jasa keuangan. Termasuk dalam pengertian pemegang saham pengendali Bank adalah pemegang saham Bank sampai dengan ultimate shareholders. b. Yang dimaksud dengan memiliki hubungan keuangan adalah dalam hal seseorang menerima penghasilan, bantuan keuangan, atau pinjaman dari: 1) anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris Bank; 2) perusahaan yang pemegang saham pengendalinya adalah anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris Bank; dan/atau 3) pemegang saham pengendali Bank. c. Yang dimaksud dengan memiliki hubungan kepengurusan adalah dalam hal seseorang menduduki jabatan sebagai: 1) anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris pada perusahaan yang anggota Dewan Komisarisnya menjadi anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris Bank; 2) anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris pada perusahaan yang pemegang saham pengendalinya adalah anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris Bank; dan/atau - 8 - 3) anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, atau Pejabat Eksekutif pada perusahaan pemegang saham pengendali Bank. d. Yang dimaksud dengan memiliki hubungan kepemilikan adalah dalam hal seseorang menjadi pemegang saham pada: 1) perusahaan yang secara bersama-sama dimiliki oleh anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, dan/atau pemegang saham pengendali Bank sehingga bersama-sama menjadi pemegang saham pengendali pada perusahaan tersebut; dan/atau 2) perusahaan pemegang saham pengendali Bank. e. Yang dimaksud dengan memiliki hubungan keluarga adalah memiliki hubungan keluarga sampai dengan derajat kedua baik hubungan vertikal maupun hubungan horizontal, termasuk mertua, menantu dan ipar, sehingga yang dimaksud dengan keluarga meliputi: 1) orang tua kandung/tiri/angkat; 2) saudara kandung/tiri/angkat beserta suami atau istri; 3) anak kandung/tiri/angkat; 4) kakek atau nenek kandung/tiri/angkat; 5) cucu kandung/tiri/angkat; 6) saudara kandung/tiri/angkat dari orang tua beserta suami atau istri; 7) suami atau istri; 8) mertua; 9) besan; 10) suami atau istri dari anak kandung/tiri/angkat; 11) kakek atau nenek dari suami atau istri; 12) suami atau istri dari cucu kandung/tiri/angkat; dan/atau 13) saudara kandung/tiri/angkat dari suami atau istri beserta suami atau istri. Dalam hal pemegang saham pengendali Bank berbentuk badan hukum maka hubungan keluarga antara Komisaris Independen dengan pemegang saham pengendali Bank dilihat dari hubungan keluarga antara seseorang dengan pemegang saham pengendali - 9 - dari badan hukum yang merupakan pemegang saham pengendali Bank. f. Yang dimaksud dengan hubungan dengan Bank yang dapat mempengaruhi kemampuan seseorang untuk bertindak tidak independen, adalah hubungan dalam bentuk: 1) kepemilikan saham Bank dengan jumlah kepemilikan lebih dari 5% (lima persen) dari modal disetor Bank; dan/atau 2) menerima atau memberi penghasilan, bantuan keuangan, atau pinjaman dari atau kepada Bank yang menyebabkan pihak yang memberi penghasilan, bantuan keuangan atau pinjaman memiliki kemampuan untuk mempengaruhi (controlling influence) pihak yang menerima penghasilan, bantuan keuangan atau pinjaman, seperti: a) pihak terafiliasi yaitu pihak yang memberikan jasa kepada Bank, antara lain akuntan publik, penilai, konsultan hukum dan konsultan lain; dan/atau b) transaksi keuangan dengan Bank yang dapat mempengaruhi kelangsungan usaha Bank dan/atau pihak yang melakukan transaksi keuangan, antara lain debitur inti, deposan inti, atau perusahaan yang sebagian besar sumber pendanaannya diperoleh dari Bank. Yang dimaksud dengan debitur inti dan deposan inti adalah debitur inti dan deposan inti sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang mengatur mengenai laporan berkala bank umum. 2. Mantan anggota Direksi Bank atau mantan Pejabat Eksekutif Bank atau pihak yang mempunyai hubungan dengan Bank, yang dapat mempengaruhi kemampuan untuk bertindak independen, tidak dapat menjadi Komisaris Independen pada Bank yang bersangkutan, sebelum menjalani masa tunggu (cooling off) paling singkat 1 (satu) tahun. Yang dimaksud dengan masa tunggu (cooling off) adalah tenggang waktu antara berakhirnya jabatan yang bersangkutan secara efektif yang dinyatakan secara tertulis sebagai anggota Direksi Bank atau Pejabat Eksekutif Bank atau pihak lain yang mempunyai - 10 - hubungan dengan Bank, dengan pengangkatan yang bersangkutan secara efektif sebagai Komisaris Independen. 3. Ketentuan masa tunggu (cooling off) untuk menjadi Komisaris Independen sebagaimana dimaksud pada angka 2 tidak berlaku bagi mantan anggota Direksi atau mantan Pejabat Eksekutif yang memiliki tugas hanya melakukan fungsi pengawasan paling sedikit 1 (satu) tahun. 4. Permohonan penilaian kemampuan dan kepatutan untuk calon Komisaris Independen diajukan paling cepat 30 (tiga puluh) hari sebelum masa tunggu (cooling off) berakhir. 5. Perubahan status jabatan dari Komisaris menjadi Komisaris Independen pada Bank yang sama harus mendapat persetujuan Otoritas Jasa Keuangan. Untuk mendapatkan persetujuan, calon Komisaris Independen antara lain harus menyampaikan surat pernyataan independensi dengan format sebagaimana pada Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini. Persetujuan Otoritas Jasa Keuangan mengacu pada ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan bagi pihak utama lembaga jasa keuangan. 6. Dewan Komisaris dilarang terlibat dalam pengambilan keputusan kegiatan operasional Bank, kecuali untuk: a. penyediaan dana kepada pihak terkait; dan b. hal-hal yang diatur dalam Anggaran Dasar Bank atau peraturan perundang-undangan. Keterlibatan atau persetujuan Dewan Komisaris dalam pengambilan keputusan kegiatan operasional sebagaimana pada huruf a dan huruf b, merupakan bagian dari upaya pengawasan dini yang dilakukan oleh Dewan Komisaris. Keterlibatan atau persetujuan Dewan Komisaris tidak meniadakan tanggung jawab Direksi dalam pelaksanaan kepengurusan Bank. 7. Dewan Komisaris memberitahukan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak ditemukan: a. pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang keuangan dan perbankan; dan/atau - 11 - b. keadaan atau perkiraan keadaan yang dapat membahayakan kelangsungan usaha Bank, antara lain berdasarkan rekomendasi dari komite-komite yang membantu efektivitas pelaksanaan tugas Dewan Komisaris. Hal yang dilaporkan adalah temuan sebagaimana pada huruf a dan huruf b yang belum atau tidak dilaporkan oleh Bank dan/atau oleh direktur yang membawahkan fungsi kepatuhan kepada Otoritas Jasa Keuangan. 8. Rapat Dewan Komisaris diselenggarakan secara berkala paling sedikit 4 (empat) kali dalam 1 (satu) tahun dan dihadiri oleh seluruh anggota Dewan Komisaris secara fisik paling sedikit 2 (dua) kali dalam 1 (satu) tahun, diutamakan dalam rangka evaluasi atau penetapan kebijakan strategis dan evaluasi realisasi rencana bisnis Bank. Dalam hal Komisaris Non Independen tidak dapat menghadiri rapat Dewan Komisaris secara fisik maka dapat menghadiri rapat Dewan Komisaris dengan menggunakan sarana teknologi telekonferensi. Dalam hal rapat Dewan Komisaris dilaksanakan dengan menggunakan sarana teknologi telekonferensi, harus dilengkapi: a. dasar keputusan penyelenggaraan rapat dengan menggunakan sarana teknologi telekonferensi, antara lain seperti ketentuan intern Bank dan risalah rapat Dewan Komisaris; b. bukti rekaman penyelenggaraan rapat; dan c. risalah rapat perihal dimaksud yang ditandatangani oleh seluruh peserta yang hadir secara fisik maupun melalui sarana teknologi telekonferensi. 9. Salinan risalah rapat Dewan Komisaris yang telah ditandatangani oleh seluruh anggota Dewan Komisaris yang hadir, harus didistribusikan kepada seluruh anggota Dewan Komisaris. IV. KOMITE-KOMITE 1. Dewan Komisaris membentuk paling sedikit komite audit, komite pemantau risiko, serta komite remunerasi dan nominasi, dalam rangka mendukung efektivitas pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Dewan Komisaris. - 12 - 2. Keanggotaan komite audit paling sedikit terdiri dari 1 (satu) orang Komisaris Independen yang merangkap sebagai ketua, 1 (satu) orang Pihak Independen yang memiliki keahlian di bidang keuangan atau bidang akuntansi, dan 1 (satu) orang Pihak Independen yang memiliki keahlian di bidang hukum atau bidang perbankan. Anggota komite audit yang berasal dari Pihak Independen dinilai memiliki keahlian di bidang keuangan atau bidang akuntansi dalam hal memenuhi kriteria: a. memiliki pengetahuan di bidang keuangan dan/atau bidang akuntansi; dan b. memiliki pengalaman kerja paling sedikit 5 (lima) tahun di bidang keuangan dan/atau bidang akuntansi. Anggota komite audit yang berasal dari Pihak Independen dinilai memiliki keahlian di bidang hukum atau bidang perbankan dalam hal memenuhi kriteria: a. memiliki pengetahuan di bidang hukum dan/atau bidang perbankan; dan b. memiliki pengalaman kerja paling sedikit 5 (lima) tahun di bidang hukum dan/atau bidang perbankan. 3. Keanggotaan komite pemantau risiko paling sedikit terdiri dari 1 (satu) orang Komisaris Independen yang merangkap sebagai ketua, 1 (satu) orang Pihak Independen yang memiliki keahlian di bidang keuangan, dan 1 (satu) orang Pihak Independen yang memiliki keahlian di bidang manajemen risiko. Anggota komite pemantau risiko yang berasal dari Pihak Independen dinilai memiliki keahlian di bidang keuangan dalam hal memenuhi kriteria: a. memiliki pengetahuan di bidang ekonomi, bidang keuangan dan/atau bidang perbankan; dan b. memiliki pengalaman kerja paling sedikit 5 (lima) tahun di bidang ekonomi, bidang keuangan, dan/atau bidang perbankan. Anggota komite pemantau risiko yang berasal dari Pihak Independen dinilai memiliki keahlian di bidang manajemen risiko dalam hal memenuhi kriteria: a. memiliki pengetahuan di bidang manajemen risiko; dan/atau - 13 - b. memiliki pengalaman kerja paling sedikit 2 (dua) tahun di bidang manajemen risiko. 4. Keanggotaan komite remunerasi dan nominasi paling sedikit terdiri dari 1 (satu) orang Komisaris Independen merangkap sebagai Ketua, 1 (satu) orang Komisaris Non Independen, dan 1 (satu) orang Pejabat Eksekutif yang membawahkan sumber daya manusia atau 1 (satu) orang perwakilan pegawai. Pejabat Eksekutif yang membawahkan sumber daya manusia atau perwakilan pegawai yang menjadi anggota komite harus memiliki pengetahuan mengenai sistem remunerasi dan/atau nominasi serta rencana suksesi (succession plan) Bank. Dalam hal Bank membentuk komite remunerasi dan nominasi secara terpisah maka Pejabat Eksekutif atau perwakilan pegawai yang menjadi anggota komite remunerasi harus memiliki pengetahuan mengenai sistem remunerasi Bank, dan Pejabat Eksekutif atau perwakilan pegawai yang menjadi anggota komite nominasi harus memiliki pengetahuan mengenai sistem nominasi dan rencana suksesi (succession plan) Bank. 5. Pihak Independen adalah pihak di luar Bank yang tidak memiliki hubungan keuangan, hubungan kepengurusan, hubungan kepemilikan, dan/atau hubungan keluarga dengan anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris dan/atau pemegang saham pengendali, atau hubungan dengan Bank, yang dapat mempengaruhi kemampuan untuk bertindak independen. Pengertian mengenai “memiliki hubungan keuangan, hubungan kepengurusan, hubungan kepemilikan, dan/atau hubungan keluarga dengan anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris lain, dan/atau pemegang saham pengendali, yang dapat mempengaruhi kemampuan untuk bertindak independen” adalah sebagaimana dimaksud dalam butir III.1. Adapun yang dimaksud dengan hubungan dengan Bank yang dapat mempengaruhi kemampuan seseorang untuk bertindak tidak independen, adalah hubungan dalam bentuk: a. kepemilikan saham Bank dengan jumlah kepemilikan lebih dari 5% (lima persen) dari modal disetor Bank; dan/atau - 14 - b. menerima atau memberi penghasilan, bantuan keuangan, atau pinjaman dari atau kepada Bank yang menyebabkan pihak yang memberi penghasilan, bantuan keuangan atau pinjaman memiliki kemampuan untuk mempengaruhi (controlling influence) pihak yang menerima penghasilan, bantuan keuangan atau pinjaman, seperti: 1) pihak terafiliasi yaitu pihak yang memberikan jasa kepada Bank, antara lain akuntan publik, penilai, konsultan hukum, dan konsultan lain; 2) menerima penghasilan dari Bank, kecuali penghasilan yang diterima oleh Pihak Independen karena merangkap jabatan sebagai anggota komite lain pada Bank yang sama; dan/atau 3) transaksi keuangan dengan Bank yang dapat mempengaruhi kelangsungan usaha Bank dan/atau pihak yang melakukan transaksi keuangan, antara lain debitur inti, deposan inti, atau perusahaan yang sebagian besar sumber pendanaannya diperoleh dari Bank. Yang dimaksud dengan debitur inti dan deposan inti adalah debitur inti dan deposan inti sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang mengatur mengenai laporan berkala bank umum. 6. Bank harus meneliti kebenaran seluruh dokumen atau data pendukung pemenuhan persyaratan Pihak Independen, antara lain surat pernyataan pribadi mengenai integritas Pihak Independen. 7. Ketua komite hanya dapat merangkap jabatan sebagai Ketua komite paling banyak pada 1 (satu) komite lain pada Bank yang sama. 8. Anggota komite yang berasal dari Pihak Independen dapat merangkap jabatan sebagai Pihak Independen anggota komite lain pada Bank yang sama, Bank lain, dan/atau perusahaan lain, sepanjang: a. memenuhi seluruh kompetensi yang dipersyaratkan; b. memenuhi kriteria independensi; c. mampu menjaga rahasia Bank; d. memperhatikan kode etik yang berlaku; dan - 15 - e. tidak mengabaikan pelaksanaan tugas dan tanggung jawab sebagai anggota komite. 9. Anggota komite audit, komite pemantau risiko, serta komite remunerasi dan nominasi dilarang berasal dari anggota Direksi, baik pada Bank yang sama maupun pada Bank lain. 10. Mantan anggota Direksi Bank, mantan Pejabat Eksekutif Bank atau pihak yang mempunyai hubungan dengan Bank yang dapat mempengaruhi kemampuan untuk bertindak independen, tidak dapat menjadi Pihak Independen dalam anggota komite audit dan/atau anggota komite pemantau risiko pada Bank yang bersangkutan, sebelum menjalani masa tunggu (cooling off) paling singkat 6 (enam) bulan. Yang dimaksud dengan masa tunggu (cooling off) adalah tenggang waktu antara berakhirnya jabatan yang bersangkutan secara efektif yang dinyatakan berhenti secara tertulis sebagai anggota Direksi atau Pejabat Eksekutif atau pihak lain yang mempunyai hubungan dengan Bank, dan pengangkatan yang bersangkutan secara efektif sebagai Pihak Independen. 11. Ketentuan masa tunggu (cooling off) untuk menjadi Pihak Independen sebagaimana pada angka 10 tidak berlaku bagi mantan anggota Direksi Bank atau mantan Pejabat Eksekutif yang bertugas hanya melakukan fungsi pengawasan paling singkat 6 (enam) bulan. 12. Dalam rangka pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya, komite audit, komite pemantau risiko, serta komite remunerasi dan nominasi harus memiliki kebijakan intern, yang paling sedikit meliputi: a. pedoman kerja, antara lain mekanisme kerja, uraian tugas serta tanggung jawab yang jelas dari tiap anggota; dan b. tata tertib kerja, antara lain pengaturan etika kerja, waktu kerja, dan pengaturan rapat termasuk pengaturan hak suara, yang harus diketahui dan bersifat mengikat bagi setiap anggota komite. 13. Keputusan rapat komite dilakukan berdasarkan musyawarah untuk mufakat. Dalam hal tidak terjadi musyawarah untuk mufakat, pengambilan keputusan dilakukan berdasarkan suara terbanyak dengan prinsip 1 (satu) orang 1 (satu) suara. - 16 - V. BENTURAN KEPENTINGAN 1. Dalam hal terjadi benturan kepentingan antara Bank dan pemilik Bank, anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, Pejabat Eksekutif dan/atau pihak lain yang terkait dengan Bank maka anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, dan Pejabat Eksekutif dilarang mengambil tindakan yang dapat merugikan atau mengurangi keuntungan Bank. Anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, dan Pejabat Eksekutif mengungkapkan benturan kepentingan dimaksud dalam setiap keputusan. 2. Pengungkapan benturan kepentingan sebagaimana dimaksud pada angka 1 dituangkan dalam risalah rapat yang paling sedikit mencakup nama pihak yang memiliki benturan kepentingan, masalah pokok benturan kepentingan, dan dasar pertimbangan pengambilan keputusan. 3. Untuk menghindari pengambilan keputusan yang berpotensi merugikan atau mengurangi keuntungan Bank, Bank harus memiliki dan menerapkan kebijakan intern mengenai: a. pengaturan penanganan benturan kepentingan yang mengikat setiap pengurus dan pegawai Bank, antara lain tata cara pengambilan keputusan; dan b. administrasi pencatatan, dokumentasi, dan pengungkapan benturan kepentingan dalam risalah rapat. VI. PENERAPAN TATA KELOLA PADA KANTOR CABANG DARI BANK YANG BERKEDUDUKAN DI LUAR NEGERI 1. Kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri menerapkan Tata Kelola yang baik pada seluruh tingkatan atau jenjang organisasi. 2. Pelaksanaan fungsi Dewan Komisaris dan pembentukan komite- komite disesuaikan dengan struktur organisasi yang berlaku pada kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri dan kantor pusatnya. 3. Dalam hal struktur organisasi kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri dan kantor pusatnya tidak memiliki fungsi Dewan Komisaris dan komite-komite, atau memiliki fungsi Dewan Komisaris dan komite-komite namun belum sesuai dengan - 17 - ketentuan sebagaimana diatur dalam POJK Tata Kelola Bank Umum, Otoritas Jasa Keuangan berwenang meminta penyesuaian struktur organisasi kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri untuk memastikan terlaksananya Tata Kelola yang baik sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam POJK Tata Kelola Bank Umum. VII. PRINSIP UMUM PENILAIAN FAKTOR TATA KELOLA 1. Bank melakukan penilaian sendiri (self-assessment) atas tingkat kesehatan bank dengan menggunakan pendekatan risiko atau RBBR, baik secara individu maupun secara konsolidasi yang dilakukan paling sedikit setiap semester untuk posisi akhir bulan Juni dan akhir bulan Desember sebagaimana diatur dalam ketentuan Otoritas Jasa Keuangan mengenai Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum. Adapun salah satu faktor dalam penilaian Tingkat Kesehatan Bank adalah faktor Tata Kelola. Sehubungan dengan itu, Bank melakukan penilaian sendiri (self-assessment) terhadap penerapan Tata Kelola sesuai periode penilaian Tingkat Kesehatan Bank. 2. Penilaian faktor Tata Kelola merupakan penilaian terhadap kualitas manajemen Bank atas penerapan prinsip Tata Kelola yang baik, dengan memperhatikan signifikansi atau materialitas suatu permasalahan terhadap penerapan Tata Kelola pada Bank secara bank-wide, sesuai skala, karakteristik, dan kompleksitas usaha Bank. Dalam rangka memastikan penerapan 5 (lima) prinsip dasar Tata Kelola yang baik sebagaimana dimaksud dalam butir I.1, Bank melakukan penilaian sendiri (self-assessment) secara berkala paling sedikit terhadap 11 (sebelas) faktor penilaian penerapan Tata Kelola dan informasi lain yang terkait penerapan Tata Kelola Bank, sebagaimana dimaksud dalam butir I.2. Penilaian sendiri (self- assessment) tersebut dilakukan secara komprehensif dan terstruktur yang diintegrasikan menjadi 3 (tiga) aspek governance yaitu governance structure, governance process, dan governance outcome, sebagai suatu proses yang berkesinambungan. 3. Penilaian governance structure bertujuan untuk menilai kecukupan struktur dan infrastruktur Tata Kelola Bank agar proses penerapan - 18 - prinsip Tata Kelola yang baik menghasilkan outcome yang sesuai dengan harapan Pemangku Kepentingan Bank. Yang termasuk dalam struktur Tata Kelola Bank adalah Direksi, Dewan Komisaris, komite-komite, dan satuan kerja pada Bank. Adapun yang termasuk infrastruktur Tata Kelola Bank antara lain kebijakan dan prosedur Bank, sistem informasi manajemen serta tugas pokok dan fungsi masing-masing struktur organisasi. 4. Penilaian governance process bertujuan untuk menilai efektivitas proses penerapan prinsip Tata Kelola yang baik yang didukung oleh kecukupan struktur dan infrastruktur Tata Kelola Bank sehingga menghasilkan outcome yang sesuai dengan harapan Pemangku Kepentingan Bank. 5. Penilaian governance outcome bertujuan untuk menilai kualitas outcome yang memenuhi harapan Pemangku Kepentingan Bank yang merupakan hasil proses penerapan prinsip Tata Kelola yang baik serta didukung oleh kecukupan struktur dan infrastruktur Tata Kelola Bank. Yang termasuk dalam outcome mencakup aspek kualitatif dan aspek kuantitatif, antara lain: a. kecukupan transparansi laporan; b. kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan; c. perlindungan konsumen; d. objektivitas dalam melakukan penilaian (assessment) atau audit; e. f. kinerja Bank seperti rentabilitas, efisiensi, dan permodalan; dan/atau peningkatan atau penurunan kepatuhan terhadap ketentuan dan penyelesaian permasalahan yang dihadapi Bank, seperti fraud, pelanggaran Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK), dan pelanggaran ketentuan terkait laporan bank kepada Otoritas Jasa Keuangan. 6. Hasil penilaian terhadap ketiga aspek governance yang paling sedikit meliputi 11 (sebelas) faktor penilaian penerapan Tata Kelola dan informasi lain yang terkait penerapan Tata Kelola Bank, dilakukan berdasarkan kerangka analisis yang komprehensif dan terstruktur ditetapkan dalam peringkat faktor Tata Kelola. Penilaian atas ketiga aspek governance merupakan satu kesatuan sehingga dalam hal - 19 - salah satu aspek dinilai tidak memadai maka kelemahan pada salah satu aspek dapat mempengaruhi peringkat faktor Tata Kelola. 7. Bagi Bank yang melakukan Pengendalian terhadap Perusahaan Anak, dalam melakukan penilaian penerapan Tata Kelola dan menetapkan peringkat faktor Tata Kelola secara konsolidasi, harus memperhatikan hal sebagai berikut: a. Penetapan Perusahaan Anak yang dikonsolidasikan mengacu pada ketentuan yang mengatur mengenai penerapan manajemen risiko secara konsolidasi bagi bank yang melakukan pengendalian terhadap perusahaan anak. b. Faktor penilaian penerapan Tata Kelola Bank secara individu dapat digunakan oleh Bank pada saat menilai Tata Kelola secara konsolidasi. Faktor penilaian penerapan Tata Kelola Perusahaan Anak yang digunakan untuk penilaian penerapan Tata Kelola secara konsolidasi ditetapkan dengan memperhatikan skala, karakteristik, dan kompleksitas usaha Perusahaan Anak serta didukung oleh data dan informasi yang memadai. c. Penetapan peringkat faktor Tata Kelola Bank secara konsolidasi dilakukan dengan memperhatikan: 1) signifikansi dan materialitas pangsa Perusahaan Anak terhadap Bank secara konsolidasi; dan/atau 2) permasalahan terkait dengan penerapan prinsip Tata Kelola yang baik pada Perusahaan Anak yang berpengaruh secara signifikan terhadap penerapan prinsip Tata Kelola yang baik secara konsolidasi. d. Penetapan signifikansi dan materialitas pangsa Perusahaan Anak dapat ditentukan melalui perbandingan total aset Perusahaan Anak terhadap total aset Bank secara konsolidasi, atau signifikansi pos-pos tertentu pada Perusahaan Anak yang mempengaruhi kinerja Bank secara konsolidasi. 8. Penetapan Peringkat faktor Tata Kelola dikategorikan ke dalam 5 (lima) Peringkat yaitu Peringkat 1, Peringkat 2, Peringkat 3, Peringkat 4 dan Peringkat 5. Urutan Peringkat faktor Tata Kelola yang lebih kecil mencerminkan penerapan Tata Kelola yang lebih baik. Penetapan Peringkat faktor Tata Kelola dilakukan dengan berpedoman pada matriks Peringkat faktor Tata Kelola sebagaimana - 20 - pada Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini. VIII. PENILAIAN SENDIRI (SELF-ASSESSMENT) PENERAPAN TATA KELOLA 1. Bank melakukan penilaian sendiri (self-assessment) penerapan Tata Kelola secara berkala sesuai dengan periode penilaian Tingkat Kesehatan Bank. Dalam hal diperlukan, Bank melakukan pengkinian penilaian sendiri (self-assessment) penerapan Tata Kelola sebagaimana dalam ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur mengenai Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum. 2. Penilaian sendiri (self-assessment) penerapan Tata Kelola dilakukan dengan menggunakan kertas kerja penilaian sendiri (self-assessment) penerapan Tata Kelola sebagaimana pada Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini. 3. Dalam melakukan penilaian sendiri (self-assessment) sebagaimana dimaksud pada angka 2, Bank terlebih dahulu harus memahami tujuan penilaian penerapan Tata Kelola yang mencakup 3 (tiga) aspek governance, yaitu governance structure, governance process, dan governance outcome, serta kriteria atau indikator pada setiap faktor penilaian. 4. Penilaian sendiri (self-assessment) penerapan Tata Kelola dilakukan dengan menyusun analisis kecukupan dan efektivitas penerapan prinsip Tata Kelola yang baik yang dituangkan dalam kertas kerja penilaian sendiri (self-assessment) penerapan Tata Kelola, dengan langkah-langkah sebagai berikut: a. Mengumpulkan data dan informasi yang relevan untuk menilai kecukupan dan efektivitas penerapan prinsip Tata Kelola yang baik, seperti data kepengurusan, data kepemilikan, struktur kelompok usaha, risalah rapat Direksi, risalah rapat Dewan Komisaris, dan risalah rapat komite-komite serta laporan, antara lain laporan tahunan, laporan khusus direktur yang membawahkan fungsi kepatuhan, laporan yang berkaitan dengan tugas satuan kerja audit intern, laporan akuntan publik khususnya komentar mengenai keandalan sistem pengendalian - 21 - intern Bank, laporan hasil penilaian sendiri tingkat kesehatan bank atau RBBR, laporan rencana bisnis dan laporan realisasi rencana bisnis, laporan Dewan Komisaris, dan laporan lain yang terkait dengan penerapan prinsip Tata Kelola. b. Menilai kecukupan dan efektivitas penerapan prinsip Tata Kelola yang baik yang dilakukan secara komprehensif dan terstruktur atas ketiga aspek governance, yaitu governance structure, governance process, dan governance outcome, dengan memperhatikan prinsip signifikansi atau materialitas. c. Menyimpulkan faktor positif dan faktor negatif dari masing- masing aspek governance. 5. Dalam menyimpulkan faktor positif dan faktor negatif ketiga aspek governance, perlu diperhatikan hal-hal antara lain sebagai berikut: a. Penilaian perlu difokuskan pada substansi penerapan Tata Kelola dan bukan hanya pada pemenuhan persyaratan formal prosedural (normatif). Dalam penilaian penerapan Tata Kelola juga perlu memperhatikan antara lain kebijakan dan prosedur Tata Kelola telah diimplementasikan dengan baik. Dengan demikian, dalam melakukan penilaian penerapan Tata Kelola, Bank tidak hanya menjawab pertanyaan dengan jawaban “ya” atau “tidak”, namun perlu mengungkapkan substansi dari jawaban Bank. Sebagai contoh, dalam melakukan penilaian terhadap pemenuhan kelengkapan organ pada struktur organisasi Bank, perlu dinilai juga apakah organ tersebut telah berfungsi sebagaimana mestinya. b. Penilaian pada governance structure, governance process, dan governance outcome merupakan satu rangkaian penilaian yang terintegrasi, komprehensif, dan terstruktur sehingga kesimpulan hasil penilaian governance outcome mencerminkan sejauh mana penerapan governance process dan dukungan yang memadai dari governance structure, yang perlu diuji dan dibuktikan lebih lanjut. - 22 - Sebagai contoh, terdapat permasalahan pada governance structure seperti tidak adanya direktur yang membawahkan fungsi kepatuhan. Dengan tidak adanya direktur yang membawahkan fungsi kepatuhan mengakibatkan timbulnya kelemahan pada governance process dalam penerapan fungsi kepatuhan Bank, yaitu tidak adanya tindakan pencegahan terhadap kebijakan dan/atau keputusan Direksi Bank di bidang perkreditan yang menyimpang dari ketentuan Otoritas Jasa Keuangan. Selanjutnya, adanya kelemahan pada governance process berdampak pada governance outcome berupa terjadinya pelanggaran ketentuan BMPK. c. Penilaian pada governance outcome selain mencakup aspek kualitatif juga meliputi aspek kuantitatif, antara lain: 1) kinerja Bank seperti rentabilitas, efisiensi, dan permodalan; dan 2) peningkatan atau penurunan kepatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan dan penyelesaian permasalahan yang dihadapi Bank, seperti fraud, pelanggaran BMPK, dan pelanggaran ketentuan terkait laporan Bank kepada Otoritas Jasa Keuangan. Dalam hal ini Bank harus memperhatikan apakah pelanggaran tersebut terjadi secara berulang dan/atau sifat materialitas atau signifikansi permasalahan terhadap kinerja Bank baik saat ini maupun pada masa datang. Selain itu, Bank juga perlu memperhatikan bahwa penilaian pada governance outcome telah mencakup tindak lanjut yang perlu dilakukan oleh Bank untuk mengatasi permasalahan saat ini dan mengantisipasi timbulnya permasalahan pada masa datang. d. Dalam penetapan Peringkat faktor Tata Kelola, Bank harus memperhatikan kesesuaian penetapan Peringkat faktor Tata Kelola dengan tingkat signifikansi permasalahan yang dihadapi Bank sebagaimana hasil kesimpulan yang diperoleh dalam penilaian penerapan Tata Kelola Bank. - 23 - e. Penilaian pada governance structure, governance process, dan governance outcome harus didukung oleh data atau informasi dan dokumen yang memadai. 6. Berdasarkan kertas kerja penilaian sendiri (self-assessment) penerapan Tata Kelola, Bank membuat kesimpulan umum hasil penilaian sendiri (self-assessment) penerapan Tata Kelola dan menetapkan Peringkat faktor Tata Kelola dengan mengacu pada matriks Peringkat faktor Tata Kelola sebagaimana pada Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini. Dalam melakukan penilaian penerapan Tata Kelola, Bank harus memperhatikan penilaian kualitas penerapan manajemen risiko dalam rangka penilaian profil risiko Bank, mengingat faktor Tata Kelola secara umum memiliki keterkaitan dengan kualitas penerapan manajemen risiko. Pada umumnya, penerapan Tata Kelola yang baik akan memastikan manajemen risiko yang baik sebagaimana tercermin pada penilaian kualitas penerapan manajemen risiko. 7. Selanjutnya Bank menyusun laporan penilaian sendiri (self- asssessment) penerapan Tata Kelola sebagaimana pada Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini, yang paling sedikit meliputi: a. peringkat faktor Tata Kelola dan definisi peringkat; dan b. analisis faktor Tata Kelola, antara lain terdiri dari: 1) identifikasi permasalahan berupa kelemahan dan penyebab permasalahan (root cause); dan 2) kekuatan penerapan Tata Kelola. Dalam hal berdasarkan hasil penilaian sendiri (self-assessment) penerapan Tata Kelola diperoleh Peringkat faktor Tata Kelola adalah Peringkat 3, Peringkat 4 atau Peringkat 5, Bank menyusun dan menyampaikan rencana tindak (action plan) yang memuat langkah perbaikan secara komprehensif dan sistematis serta target waktu pelaksanaan rencana tindak (action plan) kepada Otoritas Jasa Keuangan. 8. Laporan penilaian sendiri (self-assessment) penerapan Tata Kelola ditandatangani oleh Direksi Bank. - 24 - 9. Bank menyampaikan laporan penilaian sendiri (self-assessment) penerapan Tata Kelola Bank, baik secara individu maupun secara konsolidasi kepada Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana pada Lampiran IV, yang dilengkapi dengan kertas kerja penilaian sendiri (self-assessment) penerapan Tata Kelola sebagaimana pada Lampiran III, bersamaan dengan penyampaian hasil penilaian sendiri (self-assessment) Tingkat Kesehatan Bank. 10. Otoritas Jasa Keuangan melakukan penilaian atau evaluasi terhadap hasil penilaian sendiri (self-assessment) penerapan Tata Kelola yang disampaikan oleh Bank. Dalam hal terdapat perbedaan hasil penilaian sendiri (self-assessment) penerapan Tata Kelola Bank yang material, yaitu mengakibatkan hasil peringkat faktor Tata Kelola berbeda dengan hasil penilaian atau evaluasi yang dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan maka Bank harus melakukan revisi terhadap hasil penilaian sendiri (self-assessment) penerapan Tata Kelola. 11. Selain itu, dalam hal hasil penilaian Peringkat faktor Tata Kelola oleh Otoritas Jasa Keuangan tergolong lebih buruk yaitu Peringkat 3, Peringkat 4 atau Peringkat 5, Otoritas Jasa Keuangan dapat meminta Bank untuk menyampaikan rencana tindak (action plan) yang memuat langkah perbaikan secara komprehensif dan sistematis serta target waktu pelaksanaan rencana tindak (action plan). 12. Dalam hal diperlukan, Otoritas Jasa Keuangan dapat meminta Bank untuk menyesuaikan rencana tindak (action plan) yang telah disampaikan oleh Bank. 13. Rencana tindak (action plan) sebagaimana dimaksud dalam angka 11 dan angka 12 disampaikan sesuai dengan tata cara penyampaian sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur mengenai Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum. Bank dapat menyampaikan rencana tindak (action plan) lebih awal, bersamaan dengan penyampaian laporan penilaian sendiri (self- assessment) penerapan Tata Kelola secara individu. 14. Laporan pelaksanaan rencana tindak (action plan) Tata Kelola berikut waktu penyelesaian dan kendala atau hambatan penyelesaian rencana tindak (action plan) (jika ada), disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan mengacu pada tata cara penyampaian laporan pelaksanaan rencana tindak (action plan) sebagaimana - 25 - dimaksud dalam ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur mengenai Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum. 15. Dokumen yang terkait dengan penilaian sendiri (self-assessment) penerapan Tata Kelola antara lain kertas kerja penilaian sendiri (self- assessment) penerapan Tata Kelola dan laporan penilaian sendiri (self-assessment) penerapan Tata Kelola harus ditatausahakan dengan baik. IX. TRANSPARANSI PENERAPAN TATA KELOLA Transparansi penerapan Tata Kelola, paling sedikit meliputi pengungkapan seluruh aspek penerapan prinsip Tata Kelola yang baik yaitu: 1. Pengungkapan penerapan Tata Kelola paling sedikit meliputi: a. Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Direksi dan Dewan Komisaris, terdiri dari: 1) jumlah, komposisi, kriteria, serta independensi anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris; 2) tugas dan tanggung jawab Direksi dan Dewan Komisaris; dan 3) rekomendasi Dewan Komisaris. b. Kelengkapan dan pelaksanaan tugas komite-komite, terdiri dari: 1) struktur, keanggotaan, keahlian, dan independensi anggota komite; 2) tugas dan tanggung jawab komite; 3) frekuensi rapat komite; dan 4) program kerja komite dan realisasi program kerja komite. c. Penerapan fungsi kepatuhan, audit intern, dan audit ekstern Informasi yang diungkap adalah kinerja dari pelaksanaan fungsi kepatuhan, audit intern, dan audit ekstern, antara lain: 1) Fungsi kepatuhan Tingkat kepatuhan Bank terhadap seluruh ketentuan dan peraturan perundang-undangan serta pemenuhan komitmen dengan otoritas yang berwenang. 2) Fungsi audit intern Efektivitas dan cakupan audit intern dalam menilai seluruh aspek dan unsur kegiatan Bank. - 26 - 3) Fungsi audit ekstern Efektivitas pelaksanaan audit ekstern dan kepatuhan Bank terhadap ketentuan mengenai hubungan antara Bank, akuntan publik dan/atau kantor akuntan publik, dan Otoritas Jasa Keuangan bagi Bank konvensional, sebagaimana diatur dalam ketentuan yang mengatur mengenai transparansi kondisi keuangan bank. d. Penerapan manajemen risiko termasuk sistem pengendalian intern. Informasi yang diungkap mengenai penerapan manajemen risiko termasuk sistem pengendalian intern meliputi: 1) pengawasan aktif Direksi dan Dewan Komisaris; 2) kecukupan kebijakan dan prosedur manajemen risiko serta penetapan limit risiko; 3) kecukupan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan pengendalian risiko serta sistem informasi manajemen risiko; dan 4) sistem pengendalian intern yang menyeluruh. e. Penyediaan dana kepada pihak terkait (related party) dan penyediaan dana besar (large exposure). Informasi yang perlu diungkap adalah jumlah total baki debet penyediaan dana kepada pihak terkait (related party) dan kepada debitur inti (individu atau grup) per posisi laporan, sebagaimana pada Lampiran V yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini. f. Rencana strategis Bank meliputi: 1) rencana jangka panjang (corporate plan); dan 2) rencana jangka menengah dan pendek (business plan). g. Transparansi kondisi keuangan dan non keuangan Bank yang belum diungkap dalam laporan lain. h. Informasi lain yang terkait dengan Tata Kelola Bank, antara lain berupa intervensi pemilik, perselisihan permasalahan yang timbul sebagai dampak kebijakan remunerasi pada Bank. intern atau - 27 - 2. Kepemilikan saham anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris yang mencapai 5% (lima persen) atau lebih dari modal disetor, yang meliputi jenis dan jumlah lembar saham pada: a. Bank yang bersangkutan; b. bank lain; c. lembaga keuangan bukan bank; dan d. perusahaan lain, yang berkedudukan baik di dalam maupun di luar negeri. 3. Hubungan keuangan dan hubungan keluarga anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris dengan anggota Direksi lain, anggota Dewan Komisaris lain, dan/atau pemegang saham pengendali Bank. 4. Frekuensi Rapat Dewan Komisaris Pengungkapan mengenai frekuensi rapat Dewan Komisaris, paling sedikit mencakup: a. jumlah rapat yang diselenggarakan dalam 1 (satu) tahun; b. jumlah rapat yang dihadiri secara fisik dan/atau melalui sarana teknologi telekonferensi; dan c. kehadiran masing-masing anggota pada setiap rapat. 5. Jumlah Penyimpangan (Internal Fraud) Yang dimaksud dengan penyimpangan (internal fraud) adalah fraud yang dilakukan oleh anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, pegawai tetap, pegawai tidak tetap (honorer), dan/atau tenaga kerja alih daya (outsourcing). Adapun pengertian fraud mengacu pada ketentuan mengenai penerapan strategi anti fraud bagi bank umum. Nominal penyimpangan (internal fraud) yang diungkapkan adalah penyimpangan bernilai lebih dari Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Pengungkapan mengenai penyimpangan (internal fraud) paling sedikit mencakup: a. jumlah penyimpangan (internal fraud) yang telah diselesaikan; b. jumlah penyimpangan (internal fraud) yang sedang dalam proses penyelesaian di internal Bank; c. jumlah penyimpangan (internal fraud) yang belum diupayakan penyelesaian di internal Bank; dan d. jumlah penyimpangan (internal fraud) yang telah ditindaklanjuti melalui proses hukum, - 28 - sebagaimana pada Lampiran V yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini. 6. Permasalahan Hukum a. Yang dimaksud dengan permasalahan hukum adalah permasalahan hukum perdata dan permasalahan hukum pidana yang dihadapi Bank selama periode tahun laporan dan telah diajukan melalui proses hukum. b. Pengungkapan mengenai permasalahan hukum paling sedikit mencakup: 1) jumlah permasalahan perdata dan permasalahan pidana yang dihadapi dan telah mendapat putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap; dan 2) jumlah permasalahan perdata dan permasalahan pidana yang dihadapi dan masih dalam proses penyelesaian, sebagaimana pada Lampiran V yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini. 7. Transaksi yang Mengandung Benturan Kepentingan Pengungkapan mengenai transaksi yang mengandung benturan kepentingan, paling sedikit mencakup nama dan jabatan pihak yang memiliki benturan kepentingan, nama dan jabatan pengambil keputusan transaksi yang mengandung benturan kepentingan, jenis transaksi, nilai transaksi, dan keterangan, sebagaimana pada Lampiran V yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini. 8. Pembelian Kembali (Buy Back) Saham dan/atau Obligasi Bank a. Yang dimaksud dengan pembelian kembali (buy back) saham atau obligasi Bank adalah upaya mengurangi jumlah saham atau obligasi yang telah diterbitkan Bank dengan cara membeli kembali saham atau obligasi tersebut dengan tata cara pembayaran dilaksanakan sesuai ketentuan. b. Pengungkapan pembelian kembali (buy back) saham atau obligasi Bank paling sedikit mencakup: 1) kebijakan dalam melakukan pembelian kembali (buy back) saham atau obligasi Bank; - 29 - 2) jumlah lembar saham dan/atau obligasi yang dibeli kembali; 3) harga pembelian kembali per lembar saham dan/atau obligasi; dan 4) peningkatan laba per lembar saham dan/atau obligasi. 9. Pemberian Dana untuk Kegiatan Sosial dan/atau Kegiatan Politik Selama Periode Pelaporan Pengungkapan mengenai pemberian dana untuk kegiatan sosial dan/atau kegiatan politik paling sedikit meliputi pihak penerima dana dan jumlah dana yang diberikan. X. LAPORAN PELAKSANAAN TATA KELOLA 1. Bank menyusun laporan pelaksanaan tata kelola pada setiap akhir tahun buku. 2. Laporan pelaksanaan tata kelola paling sedikit terdiri dari: a. Transparansi penerapan Tata Kelola Bank sebagaimana dimaksud pada angka romawi IX; dan b. Laporan penilaian sendiri (self-assessment) penerapan tata kelola sesuai periode penilaian Tingkat Kesehatan Bank dalam 1 (satu) tahun terakhir dengan format sebagaimana pada Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini. c. Rencana tindak (action plan) dan pelaksanaan rencana tindak (action plan) berikut waktu penyelesaian dan kendala atau hambatan penyelesaian (jika ada). 3. Laporan pelaksanaan tata kelola dapat menjadi bab tersendiri dalam laporan tahunan Bank atau disajikan secara terpisah dari laporan tahunan Bank yang disampaikan bersamaan dengan laporan tahunan Bank. 4. Otoritas Jasa Keuangan meminta Bank untuk melakukan revisi terhadap laporan pelaksanaan tata kelola dalam hal berdasarkan evaluasi yang dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan, laporan dimaksud tidak sesuai dengan kondisi Bank yang sebenarnya. Revisi laporan pelaksanaan tata kelola segera disampaikan secara lengkap kepada Otoritas Jasa Keuangan dan dipublikasikan pada situs web Bank. - 30 - 5. Dalam hal terdapat perbedaan Peringkat faktor Tata Kelola hasil penilaian sendiri (self-assessment) penerapan Tata Kelola Bank pada laporan pelaksanaan tata kelola dengan hasil penilaian penerapan Tata Kelola oleh Otoritas Jasa Keuangan maka Bank harus melakukan revisi terhadap laporan pelaksanaan tata kelola terkait dengan hasil penilaian sendiri (self-assessment) penerapan Tata Kelola Bank tersebut. Revisi laporan pelaksanaan tata kelola dimaksud: a. segera disampaikan secara lengkap kepada Otoritas Jasa Keuangan dan dipublikasikan pada situs web Bank; b. segera dipublikasikan dalam laporan keuangan publikasi Bank pada periode yang terdekat, paling sedikit meliputi Peringkat faktor Tata Kelola disertai dengan penjelasan definisi Peringkat. XI. ALAMAT PENYAMPAIAN LAPORAN Penyampaian laporan kepada Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini dialamatkan kepada: 1. Departemen Pengawasan Bank terkait bagi Bank yang berkantor pusat atau kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri yang berada di wilayah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta; atau 2. Kantor Regional Otoritas Jasa Keuangan atau Kantor Otoritas Jasa Keuangan setempat sesuai wilayah tempat kedudukan kantor pusat Bank. XII. PENUTUP Pada saat Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 15/15/DPNP tanggal 29 April 2013 perihal Pelaksanaan Good Corporate Governance Bagi Bank Umum dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. - 31 - Ketentuan dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 17 Maret 2017 KEPALA EKSEKUTIF PENGAWAS PERBANKAN OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd NELSON TAMPUBOLON Salinan ini sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana "," SEOJK 13/SEOJK.03/2017 PENERAPAN TATA KELOLA BAGI BANK UMUM 17 Maret 2017 17 Maret 2017 '15/15/DPNP|SE-BI/2013' '55/POJK.03/2016', '4/POJK.03/2016' " " Yth. 1. Direksi Perusahaan Asuransi Syariah; 2. Direksi Perusahaan Reasuransi Syariah; 3. Direksi Perusahaan Asuransi yang memiliki Unit Syariah; dan 4. Direksi Perusahaan Reasuransi yang memiliki Unit Syariah, di tempat. SALINAN SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 25 /SEOJK.05/2017 TENTANG PEDOMAN PERHITUNGAN JUMLAH DANA TABARRU’ DAN DANA TANAHUD MINIMUM BERBASIS RISIKO DAN MODAL MINIMUM BERBASIS RISIKO BAGI PERUSAHAAN ASURANSI DAN PERUSAHAAN REASURANSI DENGAN PRINSIP SYARIAH Sehubungan dengan amanat ketentuan Pasal 12 ayat (4) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 72/POJK.05/2016 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi dengan Prinsip Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 305, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5995), perlu untuk mengatur ketentuan pelaksanaan mengenai pedoman perhitungan jumlah dana tabarru’ dan dana tanahud minimum berbasis risiko dan modal minimum berbasis risiko bagi perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi dengan prinsip syariah dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan sebagai berikut: I. KETENTUAN UMUM Dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Perusahaan adalah perusahaan asuransi syariah, perusahaan reasuransi syariah, dan unit syariah. - 2 - 2. Unit Syariah adalah unit kerja di kantor pusat perusahaan asuransi atau perusahaan reasuransi yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor di luar kantor pusat yang menjalankan usaha berdasarkan prinsip syariah. 3. Perusahaan Asuransi Syariah adalah perusahaan asuransi umum syariah dan perusahaan asuransi jiwa sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. 4. Perusahaan Reasuransi Syariah adalah perusahaan yang menyelenggarakan usaha pengelolaan risiko berdasarkan prinsip syariah atas risiko yang dihadapi oleh Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan penjaminan syariah, atau Perusahaan Reasuransi Syariah lainnya, termasuk Unit Syariah dari perusahaan reasuransi. 5. Pihak adalah orang atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun yang tidak berbentuk badan hukum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. 6. Produk Asuransi Yang Dikaitkan Dengan Investasi yang selanjutnya disebut PAYDI adalah produk asuransi yang paling sedikit memberikan perlindungan terhadap risiko kematian dan memberikan manfaat yang mengacu pada hasil investasi dari kumpulan dana yang khusus dibentuk untuk produk asuransi baik yang dinyatakan dalam bentuk unit maupun bukan unit. 7. Aset Yang Diperkenankan yang selanjutnya disingkat AYD adalah aset yang diperhitungkan dalam perhitungan tingkat solvabilitas. 8. Modal Minimum Berbasis Risiko yang selanjutnya disingkat MMBR adalah jumlah dana yang dibutuhkan untuk mengantisipasi risiko kerugian yang mungkin timbul sebagai akibat dari deviasi dalam pengelolaan aset dan liabilitas dari dana Perusahaan. syariah - 3 - 9. Dana Tabarru’ dan Dana Tanahud Minimum Berbasis Risiko yang selanjutnya disingkat DTMBR adalah jumlah dana yang dibutuhkan untuk mengantisipasi risiko kerugian yang mungkin timbul sebagai akibat dari deviasi dalam pengelolaan aset dan liabilitas dari dana tabarru’ dan dana tanahud. 10. Tingkat Solvabilitas Dana Tabarru’ dan Dana Tanahud adalah selisih antara jumlah AYD dari dana tabarru’ dan dana tanahud dikurangi dengan liabilitas dari pengelolaan dana tabarru’ dan dana tanahud. 11. Tingkat Solvabilitas Dana Perusahaan adalah selisih antara jumlah AYD dari dana Perusahaan dikurangi dengan liabilitas dari pengelolaan dana Perusahaan. 12. Liabilitas adalah kewajiban sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di bidang perasuransian. II. PERHITUNGAN DANA TABARRU’ MINIMUM BERBASIS RISIKO DAN MODAL MINIMUM BERBASIS RISIKO 1. DTMBR dan MMBR bagi Perusahaan ditetapkan berdasarkan besar risiko kerugian yang mungkin timbul sebagai akibat dari deviasi dalam pengelolaan aset dan Liabilitas dari pengelolaan dana tabarru’ dan dana perusahaan. 2. Perhitungan jumlah dana sebagaimana dimaksud pada angka 1 harus dilakukan berdasarkan pedoman sebagaimana dimaksud dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini. III. KETENTUAN PENUTUP 1. Ketentuan dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 2017. 2. Pada saat Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor PER-07/BL/2011 Pedoman Perhitungan Jumlah Dana yang tentang Diperlukan untuk Mengantisipasi Risiko Kerugian Pengelolaan Dana Tabarru’ dan Perhitungan Jumlah Dana yang Harus Disediakan Perusahaan untuk Mengantisipasi Risiko Kerugian - 4 - yang Mungkin Timbul dalam Penyelenggaraan Usaha Asuransi dan Usaha Reasuransi dengan Prinsip Syariah, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 13 Juni 2017 KEPALA EKSEKUTIF PENGAWAS PERASURANSIAN, DANA PENSIUN, LEMBAGA PEMBIAYAAN, DAN LEMBAGA JASA KEUANGAN LAINNYA OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd FIRDAUS DJAELANI Salinan ini sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana "," SEOJK 25/SEOJK.05/2017 PEDOMAN PERHITUNGAN JUMLAH DANA TABARRU’ DAN DANA TANAHUD MINIMUM BERBASIS RISIKO DAN MODAL MINIMUM BERBASIS RISIKO BAGI PERUSAHAAN ASURANSI DAN PERUSAHAAN REASURANSI DENGAN PRINSIP SYARIAH 13 Juni 2017 1 Juli 2017 'PER-07/BL/2011|PERTA-BAPEPAM-LK/2011' '72/POJK.05/2016 | Pasal 12 ayat (4)' " " Yth. PT Asabri (Persero) di Tempat SALINAN SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 15/SEOJK.05/2013 TENTANG LAPORAN BULANAN PT ASABRI (PERSERO) Sehubungan dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 3/POJK.05/2013 tanggal 12 September 2013 tentang Laporan Bulanan Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5443), maka perlu diatur ketentuan pelaksanaan mengenai laporan bulanan PT Asabri (Persero) dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan sebagai berikut: I. KETENTUAN UMUM 1. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat OJK adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. 2. Laporan Bulanan adalah laporan keuangan yang disusun oleh lembaga jasa keuangan non bank untuk kepentingan OJK, yang meliputi periode tanggal 1 sampai dengan akhir bulan berjalan dan disampaikan sesuai format dan menurut tata cara yang ditentukan oleh OJK. II. BENTUK... -2- II. BENTUK DAN SUSUNAN LAPORAN BULANAN Bentuk dan susunan laporan bulanan bagi PT Asabri (Persero), adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran OJK ini. III. WAKTU PENYAMPAIAN LAPORAN BULANAN 1. PT Asabri (Persero) wajib menyampaikan Laporan Bulanan kepada OJK paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya. 2. Dalam hal tanggal 10 sebagaimana dimaksud pada angka 1 jatuh pada hari libur, maka Laporan Bulanan wajib disampaikan pada hari kerja berikutnya. IV. TATA CARA PENYAMPAIAN 1. Penyampaian Laporan Bulanan dilakukan secara online melalui sistem jaringan komunikasi data OJK. 2. Dalam hal sistem jaringan komunikasi data OJK belum tersedia maka Laporan Bulanan disampaikan secara online melalui surat elektronik (email) resmi perusahaan dengan melampirkan softcopy laporan bulanan dalam format spreadsheet ke LB.ASOS@ojk.go.id 3. Dalam hal Laporan Bulanan disampaikan secara offline, penyampaian dilakukan melalui surat yang ditandatangani oleh paling sedikit satu anggota direksi dan ditujukan kepada: Otoritas Jasa Keuangan u.p. Direktur Pengawasan Perasuransian Gedung Sumitro Djojohadikusumo Lantai 14 Jl. Lapangan Banteng Timur Nomor 2-4 Jakarta 10710 4. Penyampaian... -3- 4. Penyampaian Laporan Bulanan secara offline sebagaimana dimaksud pada angka 3 dapat dilakukan dengan salah satu cara sebagai berikut: a. diserahkan langsung ke kantor OJK; b. dikirim melalui kantor pos secara tercatat; atau c. dikirim melalui perusahaan jasa pengiriman/titipan. 5. PT Asabri (Persero) dinyatakan telah menyampaikan laporan bulanan dengan ketentuan sebagai berikut: a. untuk penyampaian secara online melalui email, dibuktikan dengan email tanda terima dari OJK, b. untuk penyampaian secara offline, dibuktikan dengan: 1) surat tanda terima dari OJK, apabila laporan diserahkan langsung ke kantor OJK; atau 2) tanda terima pengiriman dari kantor pos atau perusahaan jasa pengiriman/titipan, apabila laporan dikirim melalui kantor pos atau perusahaan jasa pengiriman/titipan. 6. Dalam hal terdapat perubahan alamat surat elektronik (email) OJK sebagaimana dimaksud pada angka 2 dan/atau perubahan alamat kantor OJK sebagaimana dimaksud pada angka 3, OJK akan menyampaikan perubahan alamat melalui surat atau pengumuman. V. KETENTUAN SANKSI 1. OJK menetapkan sanksi administratif berupa teguran tertulis pertama sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (3) Peraturan OJK Nomor 3/POJK.05/2013 tentang Laporan Bulanan Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank dengan jangka waktu pemenuhan kewajiban penyampaian Laporan Bulanan paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak ditetapkannya sanksi administratif berupa teguran tertulis pertama. 2. Apabila... -4- 2. Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada angka 1 kewajiban penyampaian Laporan Bulanan belum dipenuhi, OJK menetapkan sanksi administratif berupa teguran tertulis kedua sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (4) Peraturan OJK Nomor 3/POJK.05/2013 tentang Laporan Bulanan Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank, dengan jangka waktu pemenuhan kewajiban penyampaian Laporan Bulanan paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak ditetapkannya sanksi administratif berupa teguran tertulis kedua. 3. Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada angka 2 kewajiban penyampaian Laporan Bulanan belum dipenuhi, OJK menetapkan sanksi administratif berupa teguran tertulis ketiga sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (4) Peraturan OJK Nomor 3/POJK.05/2013 tentang Laporan Bulanan Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank, dengan jangka waktu pemenuhan kewajiban penyampaian Laporan Bulanan paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak ditetapkannya sanksi administratif berupa teguran tertulis ketiga. VI. KETENTUAN PERALIHAN 1. PT Asabri (Persero) wajib menyampaikan Laporan Bulanan kepada OJK untuk periode laporan bulan September 2013 sampai dengan periode laporan bulan Agustus 2014 paling lambat akhir bulan berikutnya. 2. Dalam hal akhir bulan berikutnya sebagaimana dimaksud pada angka 1 jatuh pada hari libur, maka Laporan Bulanan wajib disampaikan pada hari kerja berikutnya. 3. Selama periode laporan bulan September 2013 sampai dengan periode laporan bulan Agustus 2014, PT Asabri (Persero) tidak diwajibkan untuk menyampaikan laporan bulan September 2013, Desember 2013, Maret 2014, dan Juni 2014. VII. PENUTUP... -5- VII. PENUTUP Surat Edaran OJK ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran OJK ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 25 November 2013 KEPALA EKSEKUTIF PENGAWAS IKNB OTORITAS JASA KEUANGAN, Ttd. FIRDAUS DJAELANI Salinan sesuai dengan aslinya Kepala Bagian Bantuan Hukum Direktorat Hukum Ttd. Mufli Asmawidjaja "," SEOJK 15/SEOJK.05/2013 LAPORAN BULANAN PT ASABRI (PERSERO) 25 November 2013 25 November 2013 '3/POJK.05/2013' 'Romawi V' " " Yth. PT Askes (Persero) di Tempat SALINAN SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 17/SEOJK.05/2013 TENTANG LAPORAN BULANAN PT ASKES (PERSERO) Sehubungan dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 3/POJK.05/2013 tanggal 12 September 2013 tentang Laporan Bulanan Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5443), maka perlu diatur ketentuan pelaksanaan mengenai laporan bulanan PT Askes (Persero) dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan sebagai berikut: I. KETENTUAN UMUM 1. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat OJK adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. 2. Laporan Bulanan adalah laporan keuangan yang disusun oleh lembaga jasa keuangan non bank untuk kepentingan OJK, yang meliputi periode tanggal 1 sampai dengan akhir bulan berjalan dan disampaikan sesuai format dan menurut tata cara yang ditentukan oleh OJK. II. BENTUK DAN SUSUNAN LAPORAN BULANAN Bentuk dan susunan laporan bulanan bagi PT Askes (Persero), adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran OJK ini. II. BENTUK... -2- III. WAKTU PENYAMPAIAN LAPORAN BULANAN 1. PT Askes (Persero) wajib menyampaikan Laporan Bulanan kepada OJK paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya 2. Dalam hal tanggal 10 sebagaimana dimaksud pada angka 1 jatuh pada hari libur, maka Laporan Bulanan wajib disampaikan pada hari kerja berikutnya. IV. TATA CARA PENYAMPAIAN 1. Penyampaian Laporan Bulanan dilakukan secara online melalui sistem jaringan komunikasi data OJK. 2. Dalam hal sistem jaringan komunikasi data OJK belum tersedia maka Laporan Bulanan disampaikan secara online melalui surat elektronik (email) resmi perusahaan dengan melampirkan softcopy laporan bulanan dalam format spreadsheet ke LB.ASOS@ojk.go.id 3. Dalam hal Laporan Bulanan disampaikan secara offline, penyampaian dilakukan melalui surat yang ditandatangani oleh direksi dan ditujukan kepada: Otoritas Jasa Keuangan u.p. Direktur Pengawasan Perasuransian Gedung Sumitro Djojohadikusumo Lantai 14 Jl. Lapangan Banteng Timur Nomor 2-4 Jakarta 10710 4. Penyampaian Laporan Bulanan secara offline sebagaimana dimaksud pada angka 3 dapat dilakukan dengan salah satu cara sebagai berikut: a. diserahkan... -3- a. diserahkan langsung ke kantor OJK; b. dikirim melalui kantor pos secara tercatat; atau c. dikirim melalui perusahaan jasa pengiriman/titipan. 5. PT Askes (Persero) dinyatakan telah menyampaikan Laporan Bulanan dengan ketentuan sebagai beikut: a. untuk penyampaian secara online melalui email, dibuktikan dengan email tanda terima dari OJK, b. untuk penyampaian secara offline, dibuktikan dengan: 1) surat tanda terima dari OJK, apabila laporan diserahkan langsung ke kantor OJK; atau 2) tanda terima pengiriman dari kantor pos atau perusahaan jasa pengiriman/titipan, apabila laporan dikirim melalui kantor pos atau perusahaan jasa pengiriman/titipan. 6. Dalam hal terdapat perubahan alamat surat elektronik (email) OJK sebagaimana dimaksud pada angka 2 dan/atau perubahan alamat kantor OJK sebagaimana dimaksud pada angka 3, OJK akan menyampaikan perubahan alamat melalui surat atau pengumuman. V. KETENTUAN SANKSI 1. OJK menetapkan sanksi administratif berupa teguran tertulis pertama sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (3) Peraturan OJK Nomor 3/POJK.05/2013 tentang Laporan Bulanan Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank dengan jangka waktu pemenuhan kewajiban penyampaian Laporan Bulanan paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak ditetapkannya sanksi administratif berupa teguran tertulis pertama. 2. Apabila... -4- 2. Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada angka 1 kewajiban penyampaian Laporan Bulanan belum dipenuhi, OJK menetapkan sanksi administratif berupa teguran tertulis kedua sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (4) Peraturan OJK Nomor 3/POJK.05/2013 tentang Laporan Bulanan Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank, dengan jangka waktu pemenuhan kewajiban penyampaian Laporan Bulanan paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak ditetapkannya sanksi administratif berupa teguran tertulis kedua. 3. Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada angka 2 kewajiban penyampaian Laporan Bulanan belum dipenuhi, OJK menetapkan sanksi administratif berupa teguran tertulis ketiga sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (4) Peraturan OJK Nomor 3/POJK.05/2013 tentang Laporan Bulanan Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank, dengan jangka waktu pemenuhan kewajiban penyampaian Laporan Bulanan paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak ditetapkannya sanksi administratif berupa teguran tertulis ketiga. VI. KETENTUAN PERALIHAN 1. PT Askes (Persero) wajib menyampaikan Laporan Bulanan kepada OJK untuk periode tahun 2013 yaitu hanya bulan Oktober 2013 dan November 2013 paling lambat akhir bulan berikutnya. 2. Dalam hal akhir bulan berikutnya sebagaimana dimaksud pada angka 1 jatuh pada hari libur, maka Laporan Bulanan wajib disampaikan pada hari kerja berikutnya. VII. PENUTUP... -5- VII. PENUTUP Surat Edaran OJK ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran OJK ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 25 November 2013 KEPALA EKSEKUTIF PENGAWAS IKNB OTORITAS JASA KEUANGAN, FIRDAUS DJAELANI Salinan sesuai dengan aslinya Kepala Bagian Bantuan Hukum Direktorat Hukum Ttd. Mufli Asmawidjaja "," SEOJK 17/SEOJK.05/2013 LAPORAN BULANAN PT ASKES (PERSERO) 25 November 2013 25 November 2013 '3/POJK.05/2013' 'Romawi V' " " Yth. Direksi Perusahaan Pergadaian di tempat. SALINAN SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 53 /SEOJK.05/2017 TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA PERUSAHAAN PERGADAIAN YANG MENYELENGGARAKAN KEGIATAN USAHA BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH Sehubungan dengan amanat ketentuan Pasal 13 ayat (5), Pasal 17 ayat (3), Pasal 21 ayat (2), Pasal 22 ayat (4), dan Pasal 27 ayat (3) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 31/POJK.05/2016 tentang Usaha Pergadaian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 152, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5913), perlu untuk mengatur ketentuan pelaksanaan mengenai penyelenggaraan usaha perusahaan pergadaian yang menyelenggarakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan sebagai berikut: I. KETENTUAN UMUM 1. Usaha Pergadaian adalah segala usaha menyangkut pemberian pinjaman dengan jaminan barang bergerak, jasa titipan, jasa taksiran, dan/atau jasa lainnya, termasuk yang diselenggarakan berdasarkan prinsip syariah. 2. Usaha Pergadaian Syariah adalah Usaha Pergadaian yang diselenggarakan berdasarkan prinsip syariah. 3. Perusahaan Pergadaian adalah perusahaan pergadaian swasta dan perusahaan pergadaian pemerintah yang diatur dan diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan. 4. Perusahaan adalah Perusahaan Pergadaian yang menyelenggarakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. - 2 - 5. Direksi: a. bagi Perusahaan Pergadaian yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas; atau b. bagi Perusahaan Pergadaian yang berbentuk badan hukum koperasi adalah pengurus sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. 6. Surat Bukti Gadai adalah surat tanda bukti perjanjian pinjam meminjam uang dengan jaminan yang ditandatangani oleh Perusahaan Pergadaian dan nasabah. 7. Uang Pinjaman adalah uang yang dipinjamkan oleh Perusahaan Pergadaian kepada nasabah. 8. Barang Jaminan adalah setiap barang bergerak yang dijadikan jaminan oleh nasabah kepada Perusahaan Pergadaian. 9. Uang Kelebihan adalah selisih lebih dari hasil penjualan Barang Jaminan dikurangi dengan jumlah Uang Pinjaman, bunga/jasa simpan, biaya untuk melelang, dan biaya menyelamatkan barang tersebut. 10. Hari adalah hari kerja. 11. Nasabah adalah orang perseorangan atau badan usaha yang menerima Uang Pinjaman dengan jaminan berupa Barang Jaminan dan/atau memanfaatkan layanan lainnya yang tersedia di Perusahaan Pergadaian. 12. Prinsip Syariah adalah ketentuan hukum Islam berdasarkan fatwa dan/atau pernyataan kesesuaian syariah dari Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia. II. PENGGUNAAN AKAD DALAM PELAKSANAAN KEGIATAN USAHA PERGADAIAN SYARIAH 1. Kegiatan Usaha Pergadaian Syariah meliputi: a. penyaluran Uang Pinjaman dengan jaminan berdasarkan hukum gadai; b. penyaluran Uang Pinjaman dengan jaminan berdasarkan fidusia; c. pelayanan jasa titipan barang berharga; dan/atau d. pelayanan jasa taksiran. - 3 - 2. Kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada angka 1 dilaksanakan dengan menggunakan akad: a. rahn; b. rahn tasjily; c. ijarah; dan/atau d. akad lainnya dengan persetujuan Otoritas Jasa Keuangan. 3. Penyaluran Uang Pinjaman dengan jaminan berdasarkan hukum gadai sebagaimana dimaksud pada angka 1 huruf a dapat dilakukan dengan menggabungkan akad qardh dan ijarah. III. KEGIATAN LAIN YANG TIDAK TERKAIT USAHA PERGADAIAN SYARIAH YANG MEMBERIKAN PENDAPATAN BERDASARKAN KOMISI BASED INCOME) 1. Perusahaan dapat melakukan kegiatan lain yang tidak terkait Usaha Pergadaian Syariah yang memberikan pendapatan berdasarkan komisi (fee based income) sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di bidang jasa keuangan. 2. Kegiatan lain yang tidak terkait Usaha Pergadaian Syariah yang memberikan pendapatan berdasarkan komisi (fee based income) sebagaimana dimaksud pada angka 1 antara lain: a. pemasaran produk dari lembaga jasa keuangan yang telah mendapat izin dari Otoritas Jasa Keuangan; b. agen layanan keuangan tanpa kantor dalam rangka keuangan inklusif; dan/atau c. agen jasa pengiriman uang (remittance). 3. Pendapatan Perusahaan dari kegiatan lain yang tidak terkait Usaha Pergadaian Syariah yang memberikan pendapatan berdasarkan komisi (fee based income) paling tinggi sebesar 20% (dua puluh persen) dari total aset Perusahaan. Total aset yang digunakan untuk menghitung pendapatan berdasarkan komisi (fee based income) diperoleh dari neraca laporan berkala terakhir Perusahaan dan tidak termasuk neraca anak Perusahaan (non-konsolidasi). (FEE - 4 - IV. KEGIATAN USAHA LAIN PERUSAHAAN DENGAN PERSETUJUAN OTORITAS JASA KEUANGAN A. KRITERIA KEGIATAN USAHA LAIN PERUSAHAAN DENGAN PERSETUJUAN OTORITAS JASA KEUANGAN 1. Perusahaan dapat melakukan kegiatan usaha lain dengan persetujuan Otoritas Jasa Keuangan. 2. Kriteria kegiatan usaha lain sebagaimana dimaksud pada angka 1 dilakukan dalam rangka: a. penugasan pemerintah; b. pengembangan produk Usaha Pergadaian Syariah; dan/atau c. kerja sama dalam rangka perolehan bisnis. 3. Pengembangan produk Usaha Pergadaian Syariah sebagaimana dimaksud pada angka 2 huruf b dilakukan dengan mengubah atau memodifikasi fitur produk Usaha Pergadaian Syariah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 4. Kerja sama dalam rangka perolehan bisnis sebagaimana dimaksud pada angka 2 huruf c dilakukan dengan memenuhi ketentuan: a. dituangkan dalam perjanjian kerja sama tertulis; b. tidak bertujuan untuk melakukan penguasaan pasar; c. tidak memiliki benturan kepentingan dengan pihak yang melakukan kerja sama dengan Perusahaan; dan d. menggunakan akad sebagaimana dimaksud pada romawi II angka 2. 5. Permohonan persetujuan kegiatan usaha lain dengan kriteria kerja sama dalam rangka perolehan bisnis sebagaimana dimaksud pada angka 2 huruf c dapat dilakukan 1 (satu) kali sepanjang skema kerja sama tidak berbeda meskipun kerja sama dilakukan dengan pihak yang berbeda. B. PERSYARATAN PERMOHONAN PERSETUJUAN KEGIATAN USAHA LAIN PERUSAHAAN 1. Perusahaan yang akan melakukan kegiatan usaha lain sebagaimana dimaksud dalam huruf A angka 1 harus memenuhi persyaratan tidak sedang dikenakan sanksi oleh Otoritas Jasa Keuangan. - 5 - 2. Selain persyaratan sebagaimana dimaksud pada angka 1, Perusahaan yang akan melakukan kegiatan usaha lain harus memiliki: a. sumber daya manusia yang memadai untuk melakukan kegiatan usaha lain: Sebagai contoh, Perusahaan yang akan menggunakan akad lain berupa akad XYZ harus memiliki pegawai yang memahami skema penggunaan akad XYZ tersebut; b. infrastruktur yang memadai untuk melakukan kegiatan usaha lain; c. metode penyelenggaraan kegiatan usaha lain (standard operating procedure); dan d. kondisi keuangan tidak merugi pada laporan berkala terakhir. C. PERMOHONAN PERSETUJUAN KEGIATAN USAHA LAIN PERUSAHAAN 1. Permohonan persetujuan kegiatan usaha lain disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan disertai dokumen yang berisi uraian paling sedikit mengenai: a. kegiatan usaha lain yang akan dilakukan, termasuk prosedur dan skema kegiatan usaha lain yang akan dilakukan; b. draf perjanjian yang akan digunakan dan mencerminkan akad yang akan digunakan; c. hak dan kewajiban para pihak; d. analisis prospek kegiatan usaha lain yang akan dilakukan; e. mitigasi risiko atas kegiatan usaha dilakukan; dan f. lain yang akan opini dan/atau persetujuan dewan pengawas syariah Perusahaan atas pemenuhan Prinsip Syariah untuk kegiatan usaha lain yang akan dilakukan. 2. Penyampaian permohonan persetujuan kegiatan usaha lain kepada Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada angka 1 harus menggunakan: a. format 1 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran - 6 - Otoritas Jasa Keuangan ini, yang ditujukan kepada Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya u.p. Direktur IKNB Syariah, bagi Perusahaan yang kantor pusatnya berkedudukan di wilayah DKI Jakarta dan Banten; atau b. format 2 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini, yang ditujukan kepada Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya u.p. Kepala Otoritas Jasa Keuangan Regional atau Kepala Otoritas Jasa Keuangan sesuai dengan lokasi kantor pusat Perusahaan dengan tembusan kepada Direktur IKNB Syariah, bagi Perusahaan yang kantor pusatnya berkedudukan di luar wilayah DKI Jakarta dan Banten. 3. Penyampaian permohonan persetujuan kegiatan usaha lain kepada Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada angka 2 dilengkapi formulir sebagaimana tercantum dalam format 3 Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini. 4. Penyampaian permohonan persetujuan kegiatan usaha lain sebagaimana dimaksud pada angka 2 mengacu pada tata cara penyampaian sesuai dengan ketentuan dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini. D. PEMBERIAN PERSETUJUAN KEGIATAN USAHA LAIN PERUSAHAAN 1. Otoritas Jasa Keuangan memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan persetujuan kegiatan usaha lain paling lama 20 (dua puluh) Hari sejak dokumen permohonan persetujuan kegiatan usaha lain diterima secara lengkap dan sesuai dengan persyaratan dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini. 2. Jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) Hari sebagaimana dimaksud pada angka 1 tidak termasuk waktu yang diberikan kepada Perusahaan untuk melengkapi, menambah, dan/atau memperbaiki dokumen yang dipersyaratkan. - 7 - 3. Otoritas Jasa Keuangan memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan persetujuan kegiatan usaha lain sebagaimana dimaksud pada angka 1 berdasarkan: a. penelitian atas kelengkapan dan kesesuaian dokumen; b. analisis kegiatan usaha lain yang akan dilakukan, termasuk prosedur dan skema kegiatan usaha lain yang akan dilakukan; c. analisis draf perjanjian yang akan digunakan dan mencerminkan akad yang akan digunakan; d. analisis atas hak dan kewajiban para pihak; e. analisis prospek kegiatan usaha lain yang akan dilakukan; f. g. analisis mitigasi risiko atas kegiatan usaha lain yang akan dilakukan; dan analisis atas opini dan/atau persetujuan dewan pengawas syariah Perusahaan atas pemenuhan Prinsip Syariah untuk kegiatan usaha lain yang akan dilakukan. 4. Apabila diperlukan, Otoritas Jasa Keuangan dapat meminta keterangan lebih lanjut kepada Perusahaan mengenai kegiatan usaha lain yang diajukan. 5. Penelitian atas kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada angka 3 huruf a mencakup kelengkapan isi dan format dokumen sesuai dengan format 1 atau format 2 persyaratan pengajuan permohonan persetujuan kegiatan usaha lain Perusahaan sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini. 6. Dalam hal dokumen permohonan persetujuan kegiatan usaha lain yang disampaikan dinilai telah lengkap dan kegiatan usaha lain yang diajukan dinilai layak, Otoritas Jasa Keuangan memberikan surat persetujuan kegiatan usaha lain yang dapat dijalankan oleh Perusahaan. 7. Dalam hal dokumen permohonan persetujuan kegiatan usaha lain yang disampaikan dinilai belum lengkap, Otoritas Jasa Keuangan menyampaikan surat permintaan kelengkapan dokumen kepada Perusahaan. - 8 - 8. Perusahaan harus menyampaikan kelengkapan kekurangan dokumen sebagaimana dimaksud pada angka 7 paling lambat 20 (dua puluh) Hari sejak tanggal surat permintaan kelengkapan dokumen dari Otoritas Jasa Keuangan. 9. Dalam hal Perusahaan tidak dapat melengkapi kekurangan dokumen dalam batas waktu sebagaimana dimaksud pada angka 8, maka permohonan persetujuan kegiatan usaha lain Perusahaan dinyatakan batal. 10. Perusahaan yang permohonan persetujuan kegiatan usaha lainnya dinyatakan batal oleh Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada angka 9 dapat menyampaikan kembali permohonan persetujuan kegiatan usaha lain kepada Otoritas Jasa Keuangan. 11. Dalam hal Perusahaan telah memenuhi kekurangan dokumen dalam batas waktu sebagaimana dimaksud pada angka 8 dan berdasarkan penilaian dari Otoritas Jasa Keuangan dokumen permohonan persetujuan kegiatan usaha lain yang disampaikan dinilai telah lengkap dan kegiatan usaha lain yang diajukan dinilai layak, Otoritas Jasa Keuangan memberikan surat persetujuan kegiatan usaha lain yang dapat dijalankan oleh Perusahaan. 12. Otoritas Jasa Keuangan dapat menolak permohonan persetujuan kegiatan usaha lain apabila penilaian terhadap kegiatan usaha lain yang diajukan dinilai tidak layak meskipun dokumen permohonan persetujuan kegiatan usaha lain yang disampaikan telah lengkap dan sesuai dengan persyaratan dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini. E. PENYELENGGARAAN KEGIATAN USAHA LAIN PERUSAHAAN 1. Perusahaan harus menyelenggarakan kegiatan usaha lain paling lama 20 (dua puluh) Hari sejak tanggal surat persetujuan kegiatan usaha lain dari Otoritas Jasa Keuangan. 2. Perusahaan harus menyampaikan laporan pelaksanaan kegiatan usaha lain sebagaimana dimaksud pada angka 1 kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 15 (lima belas) Hari sejak tanggal dimulainya kegiatan usaha lain. - 9 - 3. Penyampaian laporan pelaksanaan kegiatan usaha lain sebagaimana dimaksud pada angka 2 harus menggunakan: a. format 4 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini, yang ditujukan kepada Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya u.p. Direktur IKNB Syariah, bagi Perusahaan yang kantor pusatnya berkedudukan di wilayah DKI Jakarta dan Banten; atau b. format 5 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini, yang ditujukan kepada Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya u.p. Kepala Otoritas Jasa Keuangan Regional atau Kepala Otoritas Jasa Keuangan sesuai dengan lokasi kantor pusat Perusahaan dengan tembusan kepada Direktur IKNB Syariah, bagi Perusahaan yang kantor pusatnya berkedudukan di luar wilayah DKI Jakarta dan Banten, dan dilampiri dengan: a. fotokopi perjanjian; dan b. formulir sebagaimana tercantum dalam format 6 Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini. 4. Penyampaian laporan pelaksanaan kegiatan usaha lain sebagaimana dimaksud pada angka 3 mengacu pada tata cara penyampaian yang sesuai dengan ketentuan dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini. F. TATA CARA PENYAMPAIAN PERMOHONAN PERSETUJUAN KEGIATAN USAHA LAIN DAN LAPORAN PELAKSANAAN KEGIATAN USAHA LAIN 1. Penyampaian permohonan persetujuan kegiatan usaha lain sebagaimana dimaksud pada huruf C angka 4 dan laporan pelaksanaan kegiatan usaha lain sebagaimana dimaksud pada huruf E angka 4 disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan - 10 - secara dalam jaringan (online) melalui sistem jaringan komunikasi data Otoritas Jasa Keuangan. 2. Dalam hal sistem jaringan komunikasi data Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada angka 1 belum tersedia atau terjadi gangguan teknis pada saat penyampaian permohonan persetujuan kegiatan usaha lain atau laporan pelaksanaan kegiatan usaha lain maka permohonan persetujuan kegiatan usaha lain atau laporan pelaksanaan kegiatan usaha lain dimaksud disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan secara luar jaringan (offline), dengan salah satu cara sebagai berikut: a. diserahkan langsung kepada Otoritas Jasa Keuangan; atau b. dikirim melalui perusahaan jasa pengiriman. 3. Dalam hal terjadi gangguan teknis sebagaimana dimaksud pada angka 2, Otoritas Jasa Keuangan mengumumkan terjadinya gangguan teknis dimaksud melalui situs web Otoritas Jasa Keuangan. 4. Permohonan persetujuan kegiatan usaha lain atau laporan pelaksanaan kegiatan usaha lain sebagaimana dimaksud pada angka 2 harus disampaikan dalam bentuk cetak (hardcopy) atau dalam bentuk data elektronik dengan menggunakan media berupa compact disc (CD) atau media penyimpanan data elektronik lainnya. 5. Dalam hal gangguan teknis telah berhasil diatasi dan sistem jaringan komunikasi data Otoritas Jasa Keuangan telah kembali normal maka permohonan persetujuan kegiatan usaha lain atau laporan pelaksanaan kegiatan usaha lain disampaikan kembali secara online. 6. Penyampaian permohonan persetujuan kegiatan usaha lain atau laporan pelaksanaan kegiatan usaha lain sebagaimana dimaksud pada angka 2 harus dilengkapi surat pengantar dalam bentuk cetak (hardcopy) yang ditandatangani oleh Direksi Perusahaan dan disampaikan secara tertulis oleh Direksi Perusahaan. 7. Perusahaan dinyatakan telah menyampaikan permohonan kegiatan usaha lain atau laporan pelaksanaan kegiatan usaha lain dengan ketentuan sebagai berikut: - 11 - a. untuk penyampaian secara online melalui sistem jaringan komunikasi data Otoritas Jasa Keuangan, dibuktikan dengan tanda terima dari Otoritas Jasa Keuangan; atau b. untuk penyampaian secara offline, dibuktikan dengan: 1) surat tanda terima dari Otoritas Jasa Keuangan, apabila laporan diserahkan langsung sebagaimana dimaksud pada angka 2 huruf a; atau 2) tanda terima pengiriman dari perusahaan jasa pengiriman, apabila laporan dikirim melalui perusahaan jasa pengiriman sebagaimana dimaksud pada angka 2 huruf b. V. BARANG JAMINAN A. KRITERIA BARANG JAMINAN 1. Kriteria barang yang dapat diterima sebagai Barang Jaminan ditetapkan dalam pedoman Perusahaan. 2. Pedoman Perusahaan yang memuat kriteria Barang Jaminan yang dapat diterima sebagaimana dimaksud pada angka 1 disusun sesuai dengan ketentuan dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini. 3. Kriteria barang yang dapat diterima sebagai Barang Jaminan sebagaimana dimaksud pada angka 1 meliputi: a. memiliki nilai ekonomis; dan b. tidak melanggar ketentuan peraturan perundang- undangan. 4. Barang yang dapat diterima sebagai Barang Jaminan sebagaimana dimaksud pada angka 3 antara lain: a. barang perhiasan seperti emas, intan, permata, dan berlian; b. kendaraan seperti mobil, sepeda motor, dan sepeda; c. barang rumah tangga seperti perabotan rumah tangga, gerabah, dan peralatan elektronik; d. mesin yang dapat dipindahkan seperti traktor, pompa air, generator, dan gergaji mesin (chainsaw); e. f. tekstil seperti bahan pakaian, kain, sarung, sprei, dan permadani/ambal; aksesoris seperti jam tangan, tas, dompet, topi, sepatu, dan kaca mata; dan/atau - 12 - g. surat berharga, surat bukti kepemilikan, surat penting, dan surat lainnya yang mempunyai nilai ekonomis. 5. Perusahaan tidak dapat menerima Barang Jaminan dengan kriteria antara lain: a. barang milik pemerintah seperti perlengkapan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI); b. barang yang mudah busuk, susut, dan/atau kadaluarsa, seperti makanan, minuman, dan obat-obatan; c. barang yang berbahaya dan mudah terbakar seperti korek api, mercon (petasan), mesiu, bensin, minyak tanah, tabung berisi gas, dan senjata api; d. barang yang dilarang peredarannya seperti narkoba (ganja, opium, heroin, sabu, dan sejenisnya); dan/atau e. barang yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang- undangan dilarang untuk diperdagangkan. 6. Perusahaan dapat menetapkan barang lain yang dapat diterima sebagai jaminan selain Barang Jaminan sebagaimana dimaksud pada angka 4 sepanjang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud pada angka 3. 7. Perusahaan yang akan menerima barang lain yang dapat diterima sebagai jaminan sebagaimana dimaksud pada angka 6 harus terlebih dahulu memperhatikan kesiapan tempat penyimpanan untuk dokumen kepemilikan yang memenuhi standar tingkat keamanan dan keselamatan Barang Jaminan sesuai dengan persyaratan dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini. B. KEAMANAN DAN KESELAMATAN BARANG JAMINAN 1. Dalam menjaga keamanan dan keselamatan Barang Jaminan, Perusahaan harus mengacu pada pedoman Perusahaan sesuai dengan ketentuan dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini. 2. Dalam menjaga keamanan dan keselamatan Barang Jaminan, Perusahaan harus menjaga kebersihan dan melakukan perawatan secara berkala terhadap Barang Jaminan sesuai dengan karakteristik Barang Jaminan. - 13 - C. PERSYARATAN TEMPAT PENYIMPANAN BARANG JAMINAN 1. Persyaratan tempat penyimpanan Barang Jaminan ditetapkan berdasarkan jenis Barang Jaminan sebagai berikut: a. barang perhiasan seperti emas, intan, permata, dan berlian; aksesoris seperti jam tangan, tas, dompet, topi, sepatu, dan kaca mata; dan surat berharga, surat bukti kepemilikan, surat penting, serta surat lainnya yang mempunyai nilai ekonomis harus disimpan di ruangan tempat penyimpanan (kluis) dan/atau lemari besi; b. kendaraan seperti mobil, sepeda motor, dan sepeda dapat disimpan di gedung dan/atau di luar gedung dengan dilengkapi atap pelindung dan/atau penutup (cover) kendaraan, dengan mempertimbangkan kerahasiaan identitas Barang Jaminan; dan c. barang rumah tangga seperti perabotan rumah tangga, gerabah, dan peralatan elektronik; mesin yang dapat dipindahkan seperti traktor, pompa air, generator, dan gergaji mesin (chainsaw); dan tekstil seperti bahan pakaian, kain, sarung, sprei, serta permadani/ambal harus disimpan di gudang. 2. Tempat penyimpanan Barang Jaminan sebagaimana dimaksud pada angka 1 huruf a dapat berupa ruangan yang dibuat dengan memenuhi standar minimum keamanan dan keselamatan yang memiliki paling sedikit: a. struktur bangunan yang tidak mudah diruntuhkan, dihancurkan, dan didobrak; b. tembok keliling yang dibangun secara permanen; c. pintu berupa pintu besi dengan menggunakan kunci kombinasi; dan d. sekat pembatas berupa dinding yang memisahkan tempat penyimpanan Barang Jaminan dan tempat pelayanan Nasabah, dalam hal tempat penyimpanan Barang Jaminan berada di lokasi yang sama dengan tempat pelayanan Nasabah. 3. Tempat penyimpanan Barang Jaminan sebagaimana dimaksud pada angka 1 huruf b dan c dapat berupa ruangan yang dibuat dengan memenuhi standar minimum tingkat keamanan dan - 14 - keselamatan yang mencakup paling sedikit yaitu dapat melindungi Barang Jaminan dari bahaya cuaca dan risiko pencurian. 4. Barang Jaminan sebagaimana dimaksud pada angka 1 sebelum disimpan di ruangan tempat penyimpanan (kluis) dan/atau lemari besi, harus terlebih dahulu ditempatkan dalam kantong atau kotak dan harus dilengkapi pengamanan tambahan berupa segel atau tanda pengaman. 5. Penyegelan Barang Jaminan dilakukan dengan cara meletakkan atau menempelkan segel atau tanda pengaman pada kantong atau kotak tempat penyimpanan Barang Jaminan. 6. Segel atau tanda pengaman sebagaimana dimaksud pada angka 5 dapat terbuat dari kertas, plastik, logam, lak, dan/atau bahan lainnya dengan bentuk tertentu berupa lembaran, pita, kunci, kancing, dan/atau bentuk lainnya yang dapat dilengkapi dengan piranti elektronik. 7. Segel atau tanda pengaman sebagaimana dimaksud pada angka 5 terdiri dari: a. segel atau tanda pengaman kertas berupa lembaran kertas berperekat atau tidak, dengan tanda atau lambang Perusahaan dan nomor tanda terdaftar atau izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan, dengan bentuk, warna, dan ukuran tertentu yang ditetapkan Perusahaan; b. segel atau tanda pengaman berupa jepitan kantong yang terbuat dari aluminium yang jenis dan bentuknya ditetapkan oleh Perusahaan; c. segel atau tanda pengaman berupa pita yang terbuat dari kertas atau plastik berperekat atau tidak, dengan tanda atau lambang Perusahaan dan nomor tanda terdaftar atau izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan, dengan bentuk, warna, dan ukuran tertentu yang ditetapkan Perusahaan; atau d. segel atau tanda pengaman elektronik berupa barcode yang terbuat dari kertas, pita, kancing, kunci, atau bentuk lainnya yang tercetak barcode secara permanen. - 15 - 8. Dalam rangka memenuhi standar tingkat keamanan dan keselamatan Barang Jaminan, Perusahaan paling sedikit menggunakan 2 (dua) kombinasi perlengkapan keamanan sebagai berikut: a. kunci tambahan; b. alarm monitoring system; c. closed circuit television (CCTV); d. door contact; dan/atau e. panic button. 9. Tempat penyimpanan Barang Jaminan sebagaimana dimaksud pada angka 1 harus dilengkapi dengan tenaga pengamanan sesuai dengan standar tenaga pengamanan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. 10. Dalam rangka perlindungan terhadap Barang Jaminan, Perusahaan harus mengasuransikan Barang Jaminan paling sedikit terhadap risiko kebongkaran dan kebakaran. 11. Perusahaan dapat menggunakan: a. 1 (satu) tempat penyimpanan untuk menyimpan Barang Jaminan yang berasal dari beberapa unit layanan (outlet) (sistem clustering); atau b. tempat penyimpanan Barang Jaminan yang disediakan oleh pihak lain (outsourcing). 12. Penggunaan tempat penyimpanan Barang Jaminan sebagaimana dimaksud pada angka 11 harus: a. diatur dalam pedoman Perusahaan sesuai dengan ketentuan dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini; dan b. memenuhi standar tingkat keamanan dan keselamatan Barang Jaminan sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini. 13. Dalam mengelola tempat penyimpanan Barang Jaminan, Perusahaan harus mengacu pada pedoman Perusahaan sesuai dengan ketentuan dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini. 14. Dalam hal tempat penyimpanan Barang Jaminan berada di luar unit layanan (outlet), Perusahaan harus memenuhi standar tingkat keamanan dan keselamatan Barang Jaminan - 16 - sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini. D. PERSYARATAN TEMPAT PENYIMPANAN JASA TITIPAN BARANG BERHARGA 1. Perusahaan yang menyelenggarakan kegiatan usaha pelayanan jasa titipan barang berharga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf c Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 31/POJK.05/2016 tentang Usaha Pergadaian harus memenuhi persyaratan tempat penyimpanan jasa titipan barang berharga. 2. Persyaratan tempat penyimpanan jasa titipan barang berharga mengacu pada ketentuan mengenai persyaratan tempat penyimpanan Barang Jaminan sebagaimana dimaksud dalam huruf C. VI. NILAI MINIMUM PERBANDINGAN UANG PINJAMAN DAN NILAI TAKSIRAN BARANG JAMINAN 1. Perusahaan wajib memenuhi nilai minimum perbandingan antara Uang Pinjaman dan nilai taksiran Barang Jaminan dalam memberikan Uang Pinjaman kepada Nasabah, kecuali apabila Nasabah menyatakan secara tertulis menghendaki Uang Pinjaman yang lebih rendah. 2. Perbandingan nilai minimum antara Uang Pinjaman dan nilai taksiran Barang Jaminan sebagaimana dimaksud pada angka 1 ditetapkan sebagai berikut: a. untuk Barang Jaminan berupa barang perhiasan, Uang Pinjaman yang diberikan kepada Nasabah paling rendah 75% (tujuh puluh lima persen) dari nilai taksiran Barang Jaminan yang bersangkutan; Sebagai contoh: 1) Barang Jaminan berupa emas 5 gram. 2) Nilai taksiran Barang Jaminan emas = Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah). 3) Uang Pinjaman yang diberikan oleh Perusahaan kepada Nasabah paling sedikit = 75% x Rp2.000.000,00 = Rp1.500.000,00 (satu juta lima ratus ribu rupiah). - 17 - b. untuk Barang Jaminan berupa kendaraan bermotor, Uang Pinjaman yang diberikan kepada Nasabah paling rendah 70% (tujuh puluh persen) dari nilai taksiran Barang Jaminan yang bersangkutan; Sebagai contoh: 1) Barang Jaminan berupa motor. 2) Nilai taksiran Barang Jaminan motor = Rp7.000.000,00 (tujuh juta rupiah). 3) Uang Pinjaman yang diberikan oleh Perusahaan kepada Nasabah paling sedikit = 70% x Rp7.000.000,00 = Rp4.900.000,00 (empat juta sembilan ratus ribu rupiah). c. untuk Barang Jaminan berupa peralatan elektronik, Uang Pinjaman yang diberikan kepada Nasabah paling rendah 60% (enam puluh persen) dari nilai taksiran Barang Jaminan yang bersangkutan; Sebagai contoh: 1) Barang Jaminan berupa telepon genggam. 2) Nilai taksiran Barang Jaminan telepon genggam = Rp4.000.000,00 (empat juta rupiah). 3) Uang Pinjaman yang diberikan oleh Perusahaan kepada Nasabah paling sedikit = 60% x Rp4.000.000,00 = Rp2.400.000,00 (dua juta empat ratus ribu rupiah). d. untuk Barang Jaminan selain Barang Jaminan sebagaimana dimaksud huruf a, huruf b, dan huruf c, Uang Pinjaman yang diberikan kepada Nasabah paling rendah 50% (lima puluh persen) dari nilai taksiran Barang Jaminan yang bersangkutan. Sebagai contoh: 1) Barang Jaminan berupa kompor. 2) Nilai taksiran Barang Jaminan kompor = Rp300.000,00 (tiga ratus ribu rupiah). 3) Uang Pinjaman yang diberikan oleh Perusahaan kepada Nasabah paling sedikit = 50% x Rp300.000,00 = Rp150.000,00 (seratus lima puluh ribu rupiah). - 18 - 3. Dalam hal Nasabah sepakat, Perusahaan dapat memberikan Uang Pinjaman lebih rendah dari nilai minimum perbandingan Uang Pinjaman dengan nilai taksiran Barang Jaminan sebagaimana dimaksud pada angka 2. Sebagai contoh, Budi menggadaikan kendaraan bermotornya di Perusahaan. Perusahaan menaksir kendaraan bermotor Budi sebesar Rp8.000.000,00 (delapan juta rupiah). Sesuai ketentuan dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini, Perusahaan harus memberikan Uang Pinjaman kepada Budi paling rendah sebesar 70% (tujuh puluh persen) dari nilai taksiran dengan jumlah nominal sebesar Rp5.600.000,00 (lima juta enam ratus ribu rupiah). Namun karena satu dan lain hal, Budi hanya membutuhkan uang sebesar Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah) dan menyampaikan kebutuhannya tersebut kepada Perusahaan. Mengingat Nasabah menginginkan Uang Pinjaman yang lebih rendah dari Uang Pinjaman yang ditetapkan Perusahaan dan Perusahaan menyetujui, Perusahaan dapat memberikan Uang Pinjaman kepada Budi yang lebih rendah dari Uang Pinjaman yang telah ditetapkan. 4. Kesepakatan Nasabah untuk menerima Uang Pinjaman yang lebih rendah dari nilai minimum sebagaimana dimaksud angka 3 harus dicatat dalam Surat Bukti Gadai yang ditandatangani Nasabah yang bersangkutan. 5. Dalam memberikan Uang Pinjaman, Perusahaan harus mengacu pada pedoman Perusahaan mengenai nilai minimum pemberian Uang Pinjaman berdasarkan perbandingan Uang Pinjaman dengan nilai taksiran Barang Jaminan sesuai ketentuan dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini. VII. TATA CARA PENGEMBALIAN UANG KELEBIHAN 1. Perusahaan wajib mengembalikan Uang Kelebihan dari hasil penjualan Barang Jaminan dengan cara lelang atau berdasarkan kuasa menjual kepada Nasabah. 2. Dalam rangka pengembalian Uang Kelebihan, Perusahaan harus memberitahukan nominal Uang Kelebihan kepada Nasabah paling lama 10 (sepuluh) Hari setelah penjualan Barang Jaminan atau proses lelang dengan dilampiri keterangan berupa: - 19 - a. nomor Surat Bukti Gadai; b. nominal Uang Pinjaman; c. sewa modal; d. e. f. hasil penjualan lelang atau penjualan Barang Jaminan; biaya; tata cara pengambilan Uang Kelebihan; dan g. informasi jangka waktu Uang Kelebihan dinyatakan kadaluarsa. 3. Pemberitahuan kepada Nasabah sebagaimana dimaksud pada angka 2 harus dilakukan melalui papan pengumuman di unit layanan (outlet) tempat Nasabah menggadaikan yang mudah dibaca oleh Nasabah dan ditempatkan selama paling singkat 20 (dua puluh) Hari. 4. Selain pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada angka 3, Perusahaan dapat menyampaikan pemberitahuan melalui: a. surat yang dikirimkan langsung ke alamat Nasabah atau dikirimkan melalui perusahaan jasa pengiriman; dan/atau b. media lainnya seperti telepon, short message service (SMS), atau email. 5. Pengembalian Uang Kelebihan dapat dilakukan oleh Perusahaan kepada Nasabah secara: a. tunai; atau b. non-tunai, yang dilakukan dengan cara mengirimkan nominal Uang Kelebihan ke rekening Nasabah. 6. Pengembalian Uang Kelebihan secara non-tunai sebagaimana dimaksud pada angka 5 huruf b dilakukan paling lambat 20 (dua puluh) Hari sejak pengumuman sebagaimana dimaksud pada angka 3. 7. Biaya pemberitahuan dan pengiriman Uang Kelebihan kepada Nasabah dapat diperhitungkan sebagai pengurang dari Uang Kelebihan yang dikembalikan kepada Nasabah. 8. Pengenaan biaya pemberitahuan dan pengiriman Uang Kelebihan oleh Perusahaan sebagaimana dimaksud pada angka 7 harus dimuat di dalam Surat Bukti Gadai. 9. Perusahaan harus mengadministrasikan seluruh Uang Kelebihan sesuai nomor urut Surat Bukti Gadai dari Barang Jaminan yang dilelang atau dijual atas kuasa Nasabah pada periode tertentu. - 20 - 10. Perusahaan harus mengadministrasikan pengembalian Uang Kelebihan yang telah dikembalikan kepada Nasabah. 11. Dalam rangka pemberitahuan dan pengembalian Uang Kelebihan kepada Nasabah, Perusahaan harus mengacu pada pedoman Perusahaan sesuai dengan ketentuan dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini. 12. Uang Kelebihan dinyatakan kadaluarsa apabila telah melebihi jangka waktu 1 (satu) tahun sejak tanggal pemberitahuan kepada Nasabah sebagaimana dimaksud pada angka 3. 13. Dalam hal Nasabah menginginkan jangka waktu yang berbeda dari jangka waktu sebagaimana dimaksud pada angka 12, Perusahaan harus menyepakati jangka waktu yang diinginkan Nasabah. Sebagai contoh, Putra menggadaikan jam tangan di Perusahaan. Pada saat pengisian Surat Bukti Gadai, Putra menginginkan jangka waktu Uang Kelebihan dinyatakan kadaluarsa apabila telah melebihi jangka waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal pemberitahuan kepada Nasabah melalui papan pengumuman di unit layanan (outlet). Sesuai ketentuan dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini, Perusahaan harus menyepakati jangka waktu yang diinginkan Putra. 14. Dalam hal Uang Kelebihan tidak dapat dikembalikan kepada Nasabah atau kadaluarsa, Uang Kelebihan dapat disalurkan kepada dana kepedulian sosial, dana kebajikan umat, atau sejenisnya, sesuai kesepakatan dengan Nasabah yang dicantumkan dalam Surat Bukti Gadai. VIII. PEDOMAN PENYELENGGARAAN KEGIATAN USAHA PERGADAIAN SYARIAH 1. Perusahaan harus menyusun dan melaksanakan pedoman Perusahaan dalam menyelenggarakan kegiatan Usaha Pergadaian Syariah. 2. Pedoman sebagaimana dimaksud pada angka 1 memuat: a. kriteria barang yang dapat diterima sebagai Barang Jaminan sebagaimana dimaksud pada romawi V huruf A angka 3, yang paling sedikit memuat: 1) barang yang dapat diterima; dan 2) spesifikasi atau kriteria barang yang dapat diterima; - 21 - b. keamanan dan keselamatan Barang Jaminan sebagaimana dimaksud pada romawi V huruf B angka 1, yang paling sedikit memuat: 1) administrasi Barang Jaminan; 2) mekanisme perawatan secara berkala Barang Jaminan; 3) mekanisme pengambilan Barang Jaminan pelunasan; 4) mekanisme penanganan Barang Jaminan yang rusak, hilang, dan/atau bermasalah; 5) mekanisme penanganan Barang Jaminan dalam proses lelang; dan c. pengelolaan 6) mekanisme pengambilan Barang Jaminan lelang; penyimpanan tempat Barang Jaminan sebagaimana dimaksud pada romawi V huruf C angka 13, yang paling sedikit memuat tentang: 1) mekanisme penyimpanan Barang Jaminan; 2) mekanisme pengamanan Barang Jaminan yang disimpan di unit layanan (outlet); 3) mekanisme penggunaan tempat penyimpanan Barang Jaminan, dalam hal Perusahaan menggunakan 1 (satu) tempat penyimpanan untuk menyimpan Barang Jaminan yang berasal dari beberapa unit layanan (outlet) (sistem clustering) sebagaimana dimaksud pada romawi V huruf C angka 11 huruf a; 4) mekanisme pengamanan Barang Jaminan ketika Barang Jaminan dibawa dari unit layanan (outlet) ke tempat penyimpanan pihak lain Barang Jaminan yang disediakan oleh (outsourcing), dalam hal Perusahaan menggunakan tempat penyimpanan Barang Jaminan yang disediakan oleh pihak lain (outsourcing) sebagaimana dimaksud pada romawi V huruf C angka 11 huruf b; 5) mekanisme akses ke tempat penyimpanan Barang Jaminan; 6) mekanisme pemantauan stock opname Barang Jaminan pada tempat penyimpanan; 7) larangan penggunaan tempat penyimpanan selain untuk Barang Jaminan; dan - 22 - 8) mekanisme pengamanan oleh tenaga pengamanan; d. nilai minimum pemberian Uang Pinjaman berdasarkan perbandingan Uang Pinjaman dengan nilai taksiran Barang Jaminan sebagaimana dimaksud pada romawi VI angka 5, yang paling sedikit memuat tentang: 1) tata cara perhitungan penaksiran Barang Jaminan; 2) tata cara perhitungan besaran Uang Pinjaman; dan 3) besaran nilai taksiran minimal dan maksimal; dan e. mekanisme pemberitahuan dan pengembalian Uang Kelebihan sebagaimana dimaksud pada romawi VII angka 11, yang paling sedikit memuat tentang: 1) mekanisme pemberitahuan kepada Nasabah; 2) mekanisme pengembalian Uang Kelebihan kepada Nasabah; dan 3) administrasi Uang Kelebihan. 3. Perusahaan dapat menerapkan mekanisme penilaian kembali (review) terhadap pedoman Perusahaan sebagaimana dimaksud pada angka 1 dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi dan kemampuan Perusahaan. IX. PENUTUP Ketentuan dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 28 September 2017 KEPALA EKSEKUTIF PENGAWAS PERASURANSIAN, DANA PENSIUN, LEMBAGA PEMBIAYAAN, DAN LEMBAGA JASA KEUANGAN LAINNYA OTORITAS JASA KEUANGAN, Salinan ini sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana ttd RISWINANDI "," SEOJK 53/SEOJK.05/2017 PENYELENGGARAAN USAHA PERUSAHAAN PERGADAIAN YANG MENYELENGGARAKAN KEGIATAN USAHA BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH 28 September 2017 28 September 2017 '31/POJK.05/2016 | Pasal 13 ayat (5), Pasal 17 ayat (3), Pasal 21 ayat (2), Pasal 22 ayat (4), dan Pasal 27 ayat (3)' " "No. 32/50/KEP/DIR BARK INDONESIA SURAT KEPUTUSAN DIREKSI BANK INDONESIA TENTANG PERSYARATAN DAN TATA CARA PEMBELIAN SAHAM BANK UMUM DIREKSI BANK INDONESIA, . bahwa dengan berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1999 tentang Pembelian Saham Bank Umum periu ditetapkan persyaratan dan tata cara pembelian saham bank umum; . bahwa oleh karena itu dipandang perlu untuk menetapkan ketentuan tentang persyaratan dan tata cara pembelian saham bank umum dalam Surat Keputusan Direksi Bank indonesia; . Undang-undang Nomor 13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral (Lembaran Negara Tahun 1968 Nomor 63, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2865); . Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3472) scbagaimana- telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3790); 3. Undang 5 / . DIREKSI Halaman . 2. . BANK INDONESIA . Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3587); Ld 4. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3608); wn . Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1999 tentang Merger, Konsolidasi dan Akuisisi Bank (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 61, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3840); 6. Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1999 tentang Pembelian Saham Bank Umum (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3841); MEMUTUSKAN : Menetapkan © SURAT KEPUTUSAN DIREKSI BANK INDONESIA TENTANG PERSYARATAN DAN TATA CARA PEMBELIAN SAHAM BANK UMUM. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Yang dimaksud dalam Surat Keputusan ini dengan: Ll. Bank adalah Bank Umum scbagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan scbagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998; . Perorangan adalah orang perscorangan baik Warga Negara Indonesia maupun Warga Negara Asing; Badan Hukum adalah badan hukum Indonesia maupun badan hukum yang berkedudukan di luar negeri dan didirikan tidak berdasarkan hukum Indonesia; 4. Pembelian Saham Bank Melalui Bursa adalah pembelian saham melalui penawaran umum baik pada pasar perdana maupun melalui bursa efek. Pasal 2 (1) Perorangan dan/atau Badan Hukum dapat membeli saham Bank secara langsung maupun dengan Pembelian Saham Bank Melalui Bursa. (2) Perorangan dan/atan pemgnrus dan pemegang saham Badan Hukum yang memiliki saham Bank wajib memenuhi persyaratan kepemilikan Bank sebagaimana diatur dalam ketentuan pendirian Bank yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Pasal 3 Jumlah kepemilikan saham Bank oleh Warga Negara Asing dan/atau badan hukum asing yang diperoleh melalui pembelian secara langsung maupun melalui bursa efek sebanyak-banyaknya adalah 99% (sembilan puluh sembilan perseratus) dari jumlah saham Bank yang bersangkutan. Pasal 4 (1) Warga Negara Asing dan/atau badan hukum asing dapat membeli saham melalui bursa efek sampai 100% (seratus per scratus) dari jumlah saham Bank yang tercatat di bursa efek. (2) Bank hanya dapat mencatatkan sahamnya di bursa efek scbanyak-banyaknya 99% (sembilan puluh sembilan per seratus) dari jumlah saham Bank yang bersangkutan. (3) Sekurang-kurangnya 1% (satu per seratus) dari saham Bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) yang tidak dicatatkan di bursa efek harus tetap dimiliki Warga Negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia. Pasal 5 (1) Kepemilikan Bank oleh badan hukum Indonesia setinggi-tingginya sebesar modal sendiri bersih badan hukum yang bersangkutan. (2) Modal sendiri bersih sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan: a. penjumlahan dari modal disetor, cadangan dan laba, dikurangi penyertaan dan kerugian, bagi badan hukum berbentuk Perseroan Terbatas/Perusahaan Daerah; atau b. penjumlahan dari simpanan pokok, simpanan wajib, hibah, modal penyertaan, dana cadangan, dan sisa hasil usaha, dikurangi penyertaan dan kerugian bagi badan hukum berbentuk Koperasi. Pasal 6 Sumber dana yang digunakan untuk pembelian saham Bank dalam rangka kepemilikan, dilarang: a. berasal dari pinjaman atau fasilitas pembiayaan dalam bentuk apapun dari Bank dan/atau pihak lain di indonesia; b. berasal dari dan unwk tujuan pencucian uang (money laundering), dan c. berasal dari dana yang diharamkan menurut Prinsip Syariah bagi Bank yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah. Pasal 7 (1) Yang dapat menjadi pemilik Bank adalah pihak-pihak yang: a. tidak termasuk dalam daftar orang tercela di bidang perbankan sesuai dengan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia; b. menurut penilaian Bank Indonesia yang bersangkutan menmiliki integritas yang baik. (2) Pemilik Bank yang memiliki - integritas yang baik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, antara lain adalah pihak-pihak yang: a. memiliki akhiak dan moral yang baik; b. mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku; .c. memiliki - komitmen yang tinggi terhadap pengembangan operasional Bank yang sehat; . dinilai layak dar wajar:untuk menjadi pemegang saham Bank. Pasal 8 (1) Bank wajib mengadministrasikan dengan tertib: a. daftar pemegang saham dan perubahannya bagi Bank yang berbentuk hukum Persercan Terbatas/ Perusahaan Daerah; atau b. buku daftar anggota dan perubahannya bagi Bank yang berbentuk hukum Koperasi. (2) Bagi Bank yang terdaftar di pasar modal, daftar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a senantiasa diperbarui. ’ BAB II TATA CARA PEMBELIAN SAHAM BANK Pasal 9 (1) Pembelian saham Bank secara langsung atau Pemnbelian Saham Bank Melalui Bursa yang: ‘a. menyebabkan kepemilikan mencapai sebesar 25% {dua puluh lima perseratus) atau lebih dari jumlah saham Bank; atau b. kepemilikan sahamnya karang dari 25% (dua puluh lima perseratus) dari jumlah saham Bank namun mengakibatkan beralihnya pengendalian Bank, wajib terlebih - dahulu memperoleh izin dari Bank Indonesia. (2) Pembelian Saham Bank Melalui Bursa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang tidak dimaksudkan untuk dicatatkan dalam kepemilikan Bank, tidak memerlukan izin Bank Indonesia: (3) Permohonan untuk memperoleh izin pembelian saham Bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan oleh direksi Bank penerbit saham kepada i 1 rm T amnivan Bank nny stsunl dengan: foromt det Lampiean, (4) Apabila calon pembeli adalah Perorangan, permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) wajib dilampiri dengan: a. dokumen yang menyatakan identitas berupa fotokopi paspor dan fotokopi Kartu Izin Menetap Sementara (KIMS); b. rancangan akta jual beli saham; c. rencana komposisi pemegang saham Bank sctelah pembelian saham; d. surat pernyataan dari calon pembeli (personal statement) ~mengenai hal-hal yang dilarang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6; . surat pernyataan dari calon pembeli (personal statement) bahwa vang bersangkutan tidak pernah melakukan timdakan tercela di bidang perbankan, keuangan dan usaha lainnya dan/atau tidak pernah dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana - kejahatan. (5) Apabila calon pembeli saham adalah Badan Hukum, pengajuan permohonan izin pembelian saham Bank dilakukan oleh direksi Badan Hukum yang bersangkutan dan wajib dilampiri dengan: a. b. rancangan akta jual beli saham; akta pendirian termasuk anggaran dasar badan hukum berikut perubahannya yang telah mendapat pengesahan dari instansi berwenang; dokumen yang menyatakan identitas berupa fotokopi - Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau paspor dari seluruh anggota kornisdris dan direksi; . daftar pemegang saham berikut besamya masing- masing kepemilikan - saham Badan Hukum yang bersangkutan; neraca Badan Hukum yang telah diaudit oleh akuntan publik independen paling lambat 6 (enam) bulan sebelum tanggal pengajuan permohonan; surat pernyataan dari direksi dan/atau komisaris Badan Hukum yang bersangkutan (personal statement) mengenai hal-hal yang dilarang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6; dan . surat pernyataan dari calon pembeli (personal statement) bahwa yang bersangkutan tidak pernah melakukan tindakan tereela di bidang perbankan, keuangan dan usaha lainnya dan/atau tidak pernah dihukum Karena terbukti melakukan tindak pidana kejahatan. Pasal 10 (1) Persetujuan atau penmolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) diberikan oleh Bank Indonesia selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap. (2) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Bank Indonesia melakukan: a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dolumen; b. penelitian atas hal-hal yang dipersyaratkan dalam kepemilikan Bank sesual dengan ketentuan yang berlaku; dan ¢. wawancara terhadap calon pemilik Bank. (3) Tembusan . izin - persetujuan atau penolakan atas permohonan Pembelian Saham Bank Melalui Bursa disampaikan oleh Bank Indonesia kepada Badan Pengawas Pasar Modal. Pasal 11 (1) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (I) Bank Indonesia belum memberikan . tanggapan atas permohonan dimaksud, Bank Indonesia dianggap telah menyetujui permohonan tersebut. (2) Apabila permchonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditolak, Bank Indonesia akan memberitahukan sccara tertulis kepada Bank beserta alasannya. Pasal 12 (1) Apabila pihak yang membeli saham Bank tidak - memenuhi persyaratan sebagal pemegang saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 7, maka saham yang dibeli tersebut wajib dialihkan kepada pihak lain yang memenuhi persyaratan sebagai pemegang saham selambat-lambatnya dalam waktu 90 (sembilan puluh) hari sejak pemberitahuan dari Bank Indonesia kepada pembeli saham yang bersangkutan. (2) Apabila dalam :jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (I) pihak yang membeli saham tidak mengalihkan kepemilikan saham tersebut, maka pembeli yang bersangkutan dilarang melakukan tindakan-tindakan sebagai pemegang saham Bank. (3) Bank yang sahamnya dibeli oleh pihak sebagaimana dimalesud dalam ayat (1), dilarang melakukan pencatatan atas pembelian saham tersebut dan/atau memberikan hak- hak apapun sebagai pemegang saham kepada pembeii sahamn dimaksud. (4) Hak-hak = sebagai pemegang saham sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) antara lain adalah hak untuk hadir dan memberikan suara dalam Rapat Umum Pemegang Saham, dan hak untuk memperoleh dividen. Pasal 13 (1) Pembelian saham Bank secara langsung yang mengakibatkan kepemilikan menjadi sebesar kurang dari 25% (dua puluh lima perseratus) dari jumlah saham Bank, wajib dilaporkan oleh direksi Bank kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 10 (scpuluh) hari scjak terjadinya pencatatan schagai kepemilikan pada Bank. (2) Pembelian Saham Bank Melalui Bursa yang mengakibatkan kepemilikan saham Bank sebesar 5% (lima perseratus) sampai dengan kurang dari 25% (dua puluh- lima perseratus) dari jumlah saham Bank, wajib dilaporkan oleh direksi Bank kepada Rank Indonesia selambat-lambataya 10 (sepuluh) hari sejak terjadinya pencatatan sebagai kepemilikan pada Bank. (3) Laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat 2. nama da; b. tanggal pencatatan kepemilikan pada Bank; ¢. jumlah lembar dan nilai nominal saham yang dibeli; d. persentase kepemilikan. Pasal 14 Permohonan izin pembelian saham Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) dan laporan pembelian seham Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 disampaikan kepada : a. Bank Indonesia Up. Urusan Pengawasan Bank, JI. M.H. pusat di wilayah Jabotabek; b.Bank Indonesia Up. Urusan Pengawasan Bank, JI. M.H. Thamrin No.2, Jakarta 10110, dengan tembusan kepada Kantor Bank Indonesia setempat, bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah Jabotabek. BAB III LAIN-LAIN Pasal 15 Sepanjang tidak diatur secara khusus dalam . Surat Keputusan ini, segala ketentuan yang berkaitan dengan akuisisi Bank * scbagaimana diatur dalam Surat Keputusan. Direksi Bank Indonesia tentang Persyaratan dan Tata Cara Merger, Konsolidasi dan Akuisisi Bank Umum berlaku pula untuk pembelian saham Bank Umum. BAB IV SANKSI Pasal 16 Pelanggaran terhadap ketentuan dalam Pasal 8, Pasal 12 ayat (3), dan Pasal 13 Surat Keputusan ini dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan’ sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998. BAB V KETENTUAN PERALIHAN Pasal 17 Pembelian saham Bank oleh Warga Negara Asing atau badan hukum asing déngan cara Pembelian Saham Melalui Bursa yang telah dilakukan dan telah memperoleh izin sebelum berlakunya Surat Keputusan ini, dianggap telah memperoleh izin berdasarkan Surat Keputusan ini. BAB VI KETENTUAN PENUTUP Pasal 18 Surat Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan © pengumuman Surat Keputusan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 14 Mei 1999 DIREKSI BANK INDONESIA Abr tp Achwan Subarjo Joyosumarto “Uren. 5/0 Lampiran SuratKeputusan Dirclisi Bank indonesia Nomor 32/50/KEE/DIR tanggal 14 Mei 1999 Lampiran No. : Lamp: Kepada Direksi Bank Indonesia JI. M.H. Thamgzin No.2 JAKARTA 10110 Up. Urusan Pengawasan Bank Perihal : Permohonan Izin Pembelian Saham Bank Dengan ini -kami mengajukan permohonan untuk mendapatkan izin pembelian saham Bank coon, oleh Lo. (calon pembeli). s Untuk melengkapi permohonan dimaksud bersama ini kami sampaikan:®) Dafa salonmembell disertal dengnn dolormen denies yang dipersyaratkan. Rancangan akta jual beli saham. Rencana komposisi pemegeng saham Bank setelah pembelian saham. Surat pernyataan dari calon pembeli tentang sumber dana untuk pembelian saham Bank. Surat pernyataan dari calon pembeli tentang tidak pernah melakukan tindakan tercela di bidang perbankan, keuangan dan usaha lainnya dar/atau tidak pemah dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana kejahatan. Bw Untuk melengkapi permohonan dimaksud bersama ini kami sampaikan:**) 1. Rarcangan akta jual beli saham. 2. Aka pendirian termasuk anggaraan dasar Badan Hukum beserta perubahannya yang telah mendapat pengesahan dari instansi berwenang. Daftar seluruh anggota komisaris dan direksi Badan Hukum yang bersangkutan disertai dengan dengan dokumen identitas yang dipersyaratkan, 4. Daftar pemegang saham berikut besamnya masing-masing kepemilikan saham Badan Hukum yang bersangkutan. 5.- Neraca Badan Hukum yang telah diaudit oleh akuntan publik independen paling lambat 6 (cnam) bulan sebelum tanggal pengajuan permohonan. : 6. Surat pernyataan dari komisaris dan/atau direksi Badan Hukum yang aren - nr daria vimtale cae be ala Arle bersangkutan tentang sumber dana untuk pembelian saham Bank. wl Lampiren Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 32/S0/KEP/MDIR taniggal 14. Mei 1999 7. Surat pernyataan dad komisaris dan/atau direksi Badan Hukum yang bersangkutan tentang tidak permnah melakukan tindakan tercela di bidang perbankan, keuangan dan usaha lainnya dan/atau tidak pernah dihukum karena terbuldti melakukan tindak pidana kejahatan. Demikian permohonan kami. DIREKSI BANK ee, ce: Kantor Bank Indonesia wens (bagi Bank yang berkantor pusat diluar wilayah Jabotabek) *) Bag calon pembeli Perorangan **) Bagi calon pembeli Badan Hukum "," SKDIR-BI 32/50/KEP/DIR|SKDIR-BI/1999 PERSYARATAN DAN TATA CARA PEMBELIAN SAHAM BANK UMUM 14 Mei 1999 14 Mei 1999 '13/UU/1968', '7/UU/1992', '10/UU/1998', '1/UU/1995', '8/UU/1995', '28/PP/1999', '29/PP/1999' 'BAB IV' " "DIREKSI No. 32/52/KEP/DIR BANK INDONESIA SURAT KEPUTUSAN DIREKSI BANK INDONESIA TENTANG PERSYARATAN DAN TATA CARA MERGER, KONSOLIDASI DAN AKUISISI BANK PERKREDITAN RAKYAT DIREKSI BANK INDONESIA, bahwa dengan berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1999 tentang Merger, Konsolidasi dan Akuisisi Bank, terdapat beberapa ketentuan yang memerlukan pengaturan lebih lanjut; . bahwa berhubung dengan itu perlu untuk mengatur lebih lanjut ketentuan tentang Persyaratan dan Tata Cara Merger, Konsolidasi dan Akuisisi Bank Perkreditan Rakyat dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia; Undang-undang Nomor 13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral (Lembaran Negara Tahun 1968 Nomor 63, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2865); . Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3790); 3. Undang \, DIREKS! BANK INDONESIA Menetapkan : ALANYA (4A. 190 +. 3. 0a we Halaman . . .. . Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3587); 4. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1998 tentang Penggabungan, Peleburan, dan Pengambilalihan Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Tahun 1998 Nomor 40, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3741); 5. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1999 tentang Merger, Konsolidasi dan Akuisisi Bank (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 61, Tambshan Lembaran Negara Nomor 3840); Ud MEMUTUSKAN : SURAT KEPUTUSAN DIREKSI BANK INDONESIA TENTANG PERSYARATAN DAN TATA CARA MERGER, KONSOLIDASI DAN AKUISISI BANK PERKREDITAN RAKYAT. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Surat Keputusan ini yang dimaksud dengan: a. Bank Perkreditan Rakyat yang selanjutnya disebut BPR adalah Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 4 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998; b. Merger adalah penggabungan dari 2 (dua) BPR atau lebih, dengan cara tetap mempertabankan berdirinya salah satu BPR dan membubarkan BPR-BPR lainnya tanpa melikuidasi terlebih dahulu; ¢. Konsolidasi adalah penggabungan dari 2 (dua) BPR atau lebih, dengan cara mendirikan BPR baru dan membubarkan BPR-BPR tersebut tanpa melikuidasi terlebih dahulu; d. Akuisisi adalah pengambilalihan kepemilikan suatu BPR yang mengakibatkan beralihnya pengendalian terhadap BPR; - e. Pengendalian adalah kemampuan untuk menentukan, baik secara langsung maupun tidak langsung dengan cara apapun, pengelolaan dan/atau kebijaksanaan BPR; f. Saham BPR adalah bukti penyetoran modal atas nama pemegangnya bagi BPR yang berbentuk hukum Perseroan Terbatas atau Perusahaan Daerah atau bentuk lain yang disamakan dengan saham bagi BPR yang berbentuk hukum Koperasi; Rapat Umum Pemegang Saham ""adalah organ perseroan yang memegang kekuasaan tertinggi dalam perseroan dan memegang segala wewenang yang tidak diserahkan kepada direksi atau komisaris, termasuk dalam pengertian ini adalah Rapat Anggota bagi BPR yang berbentuk hukum Koperasi. 0 Pasal 2 (1) Merger, Konsolidasi dan Akuisisi BPR dapat dilakukan atas: a. inisiatif BPR yang bersangkutan; atau b. peamintaan Bank Indonesia. (2) Merger, Konsolidasi dan Akuisisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a wajib terlebih dahulu memperoleh icin dari Direksi Bank Indonesia. Pasal 3 (1) Merger atau Konsolidasi hanya dapat dilakukan antar BPR. (2) Merger atau Konsolidasi antara BPR konvensional dengan BPR berdasarkan prinsip Syariah hanya dapat dilakukan apabila BPR hasil Merger atau Konsolidasi dimaksud menjadi BPR Syariah. Pasal 4 Merger atan Konsolidasi dapat dilakukan: a. antar BPR yang berkedudukan dalam wilayah propinsi yang sama; atau b. antar BPR yang berkedudukan dalam wilayah propinsi yang berbeda sepanjang kantor-kantor BPR hasil Merger atau Konsolidasi berlokasi dalam wilayah propinsi yang sama. Pasal 5 Salah satu kantor BPR hasil Merger atau Konsolidasi dijadikan kantor pusat dan kantor BPR lainnya dapat menjadi kantor cabang. BAB II MERGER, KONSOLIDASI DAN AKUISISI ATAS INISIATIF BPR Bagian Pertama Persyaratan dan Tata Cara Merger atau Konsolidasi Pasal 6 Izin Merger atau Konsolidasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) dapat diberikan apabila dipenuhi persyaratan sebagai berikut : a. telah memperoleh persetujuan dari Rapat Umum Pemegang Saham; b. permodalan BPR hasil Merger atau Konsolidasi memenuhi ketentuan rasio kewajiban pemenuhan modal minimum yang ditetapkan oleh Bank Indonesia; c. calon anggota dewan komisaris dan direksi BPR hasil Merger atau . Konsolidasi memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia tentang BPR yang mengatur kepengurusan BPR; : d. dalam hal BPR hasil Merger atau XKonsolidasi akan menjadikan kantor ‘BPR lainnya sebagai kantor cabang wajib memenuhi persyaratan modal disetor untuk pembukaan kantor cabang BPR sebagaimana diatur dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia yang mengatur tentang pembukaan kantor cabang BPR. Pasal 7 (1) Direksi masing-masing BPR yang akan melakukan Merger atau Konsolidasi, secara bersama-sama wajib menyusun rancangan Merger atau Konsolidasi yang sekurang-kurangnya memuat : . nama dan tempat kedudukan BPR yang akan melakukan Merger atau Konsolidasi; . alasan dan penjelasan masing-masing direksi BPR yang akan melakukan Merger atau Konsolidasi; . tata cara konversi saham dari masing-masing BPR vang akan melakukan Merger atau Konsolidasi terhadap saham BPR hasil Merger atau Konsolidasi; . rancangan perubahan Anggaran Dasar BPR hasil Merger atau rancangan Akta Pendirian BPR hasil Konsolidasi; . laporan keuangan 1 (satu) tahun buku terakhir dari seluruh BPR yang akan melakukan Merger atau Konsolidasi; . rencana kerja BPR hasil Merger atau Konsolidasi selama 12 (dua belas) bulan dalam rangka memperbaiki tingkat kesehatannya; . rencana status kantor-kantor BPR hasil Merger atau Konsolidasi; . nama pemegang saham, calon anggota dewan komisaris dan direksi BPR hasil Merger atau Kousolidasi; i. penegasan dari BPR hasil Merger atau Konsolidasi mengenai kesediaan untuk menerima pengalthan hak dan kewajiban - dari BPR-BPR yang melakukan Merger atau Konsolidasi; j. hal-hal lain yang perfu diketahui oleh pemegang saham masing-masing BPR, antara lain : I. perkiraan neraca BPR hasil Merger atau Konsolidasi sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku; to . cara penyelesaian status karyawan BPR yang akan melakukan Merger atau Konsolidasi; Ww . cara penyelesaian hak dan kewajiban BPR kepada debitur dan kreditur; BANK INDONESIA 4. cara penyclesaian hak-hak pemegang saham minoritas; 5. perkiraan jangka waktu pelaksanaan Merger atau Konsolidasi; 6. laporan mengenai kondisi dan permasalahan selama tahun buku berjalan yang mempengaruhi kegiatan BPR. (2) Rancangan Merger atau Konsolidasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib mendapat persetujuan dari dewan komisaris masing-masing BPR dan disusun konsep akta Merger atau Konsolidasi. Pasal 8 (1) Direksi BPR yang akan melakukan Merger atau Konsolidasi wajib mengumumkan ringkasan rancangan Merger atau Konsolidasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) yang sekurang- kurangnya memuat : a. nama dan tempat kedudukan BPR yang akan melakukan Merger atau Konsolidasi; b. rencana status kantor-kantor BPR hasil Merger atau Konsolidasi; ¢. nama pemegang saham, calon anggota komisaris dan direksi BPR hasil Merger atau Konsolidasi. (2) Pengumuman sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilakukan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum Rapat Umum Pemegang Saham. (3) Pengumuman sebagaimana dimaksud ayat (2) dilakukan : a. dalam surat kabar harian setempat bagi BPR hasil Merger atau Konsolidasi yang memiliki total aset Rp.10.000.000.000,- (sepuluh milyar rupiah) atau lebih; atau | b. dengan menempeikan pada papan pengumuman di kantor masing-masing BPR atau di kantor kecamatan setempat, bagi BPR hasil Merger atau Konsolidasi yang memiliki total aset kurang dari Ryp.10.000.000.000,- (sepuluh milyar rupiah). Pasal 9 (1) Keberatan atas pelaksanaan Merger atau Konsolidasi oleh kreditur dan pemegang saham minoritas dapat diajukan selambat-lambatnya 7 (fujuh) hari sebelum pelaksanaan Rapat Umum Pemegang Saham. (2) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) kreditur dan pemegang saham minoritas tidak mengajukan keberatan, maka kreditur dan pemegang saham minoritas dianggap menyetujui Merger atau Konsolidasi. (3) Keberatan oleh kieditus dau pemegang saham minoritas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan kepada masing-masing direksi BPR untuk diselesaikan dalam Rapat Umum Pemegang Saham. (4) Selama penyelesaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) belum tercapai, Merger atau Konsolidasi tidak dapat dilaksanakan. Pasal 10 (1) Rancangan Merger atau Konsolidasi dan konsep Akta Merger atau Konsolidasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 wajib dimintakan persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham masing- masing BPR yang akan meiakukan Merger atan Konsolidasi. (2) Konsep Akta Merger atau Konsolidasi yang telah disetujui ‘Rapat Umum Pemegang Saham sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditsangkan dalam Akta Merger atau Konsolidasi dan Akta Perubahan Anggaran Dasar BPR hasil Merger atau Akta Pendirian BPR hasil Konsolidasi. Pasal 11 (1) Permohonan untuk memperoleh izin Merger atau Konsolidasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) diajukan oleh direksi masing-masing BPR yang akan melakukan Merger atau Koasolidasi secara bersama-sama kepada Direksi Bank Indonesia selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari setelah Rapat Umum Pemegang Saham. (2) Permohonan izin Merger atau Konsolidasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan sesuai dengan format dalam Lampiran 1 dan wajib dilampiri dengan: a. notulen Rapat Umum Pemegang Saham; b. Akta Merger atau Konsolidasi, dan Akta Perubahun Anggaran Dasar BPR hasil Merger atau Akta Pendirian BPR hasil Konsolidasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2); c. bukti pengumuman ringkasan rancangan Merger atau Konsolidasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 d. bukti pelunasan modal disetor bagi BPR yang memerlukan penambahan modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf d, dalam bentuk fotokopi bilyet deposito pada bank umum dj Indonesia atas nama “Direksi Bank Indonesia q.q. salah seorang pemilik BPR yang bersangkutan” dengan mencantumkan keterangan bahwa pencairannya hanya dapat dilakukan setelah mendapat persetujuan tertulis dari Direksi Bank Indonesia. (3) Tembusan permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan kepada : a. Menteri Kehakiman bagi BPR yang berbentuk hukum Perseroan Terbatas; atau b. Instansi yang berwenang yang menyetujui perubahan Anggaran Dasar bagi BPR yang berbentuk hukum Perusahaan Daerah atau Koperasi. : Pasal 12 Dalam memberikan persetujuan atau penolakan atas penmohonan izin Merger atau Konsolidasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Bank Indonesia melakukan: a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen; b. wawancara terhadap calon direksi dan dewan Komisaris BPR hasil Merger atau Konsolidasi. Pasal 13 (1) Persetujuan atau penolakan atas permohonan -izin Merger atau Konsolidasi diberikan dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari setelah permohonan diterima secara fengkap. (2) Dalam hal permotionan ditolak maka Bank Indonesia akan menjelaskan alasan penolakan secara tertulis. (3) Tembusan persetujuan atau penolakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan oleh Bank Indonesia kepada instansi yang berwenang. Pasal 14 (1) Dalam hal perubahan Anggaran Dasar BPR hasil Merger memerlukan persetujuan dari instansi yang berwenang, direksi BPR hasil Merger wajib mengajukan permohonan persetujuan atas perubahan Anggaran Dasar kepada instansi yang berwenang dan dilakukan bersamaan dengan pengajuan izin Merger kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1). (2) Direksi BPR hasil Konsolidasi wajib mengajukan * permohonan persetujuan Akta Pendirian BPR hasil Konsolidasi kepada instamsi yang berwenang dan dilakukan bersamaan dengan pengajuan izin Konsolidasi kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1). Pasal 15 Izin Merger atau Konsolidasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 bagi BPR yang berbentuk hukum Perseroan Terbatas berlaku sejak: a. tanggal persetujuan perubahan Anggaran Dasar atau Akta Pendirian BPR oleh Menteri Kehakiman; b. tanggal pendaftaran Akta Merger dan perubahan Anggaran Dasar dalam daftar perusahaan apabila perubahan Anggaran Dasar tidak memerlukan persetujuan Menteri Kehakiman. Pasal 16 Izin Merger atau Konsolidasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 bagi BPR yang berbentuk hukum Perusahaan Daerah atau Koperasi berlaku sejak : a. tanggal persetujuan perubahan Anggaran Dasar atau .Akta Pendirian dari instansi yang berwenang; b. tanggal pendaftaran Akta Merger dalam Daftar Perusahaan apabila perubahan Anggaran Dasar tidak memeriukan persetujuan dari instansi yang berwernang. Pasal 17 BPR yang telah memperoleh izin Merger atau Konsolidasi wajib : a. menyusun neraca penutupan masing-masing BPR yang melakukan Merger atau Konsolidasi; b. menyusun neraca pembukaan BPR hasil Merger atau Konsolidasi; c. mengumumkan hasil Merger atau Konsolidasi disertai dengan neraca pembukaan BPR hasil Merger atau Konsolidasi selambat-lambatnya 30 (tiga puiuh) hari sejak tanggal berlakunya izin Merger atau Konsolidasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 atau Pasal 16, pada : 1. surat kabar harian setempat bagi BPR hasil Merger atau Konsolidasi yang memiliki total aset Rp.10.000.000.000,- (sepuluh milyar rupiah) atau lebih; atau 2. papan pengumuman di kantor masing-masing BPR atau di kantor kecamatan setempat bagi BPR hasil Merger atau Konsolidasi yang memiliki total aset kurang dari Rp.10.000.000.000,- (sepuluh milyar rupiah); d. menyampaikan laporan pelaksanaan Merger atau Konsolidasi kepada Bank Indonesia selambat- lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah tanggal pengumuman dan wajib dilampiri dengan: 1. fotokopi perubahan Anggaran Dasar dan/atau Akta Pendivian yang telah mendapat persetujuan instansi yang berwenang; 2. bukti pengumuman sebagaimana dimaksud dalam hurufec. Pasal 18 Akta Merger atau Konsolidasi dan Akta perubahan Anggaran Dasar BPR hasil Merger atau Akta Pendirian BPR hasil Konsolidasi wajib didaftarkan dalam daftar perusahaan dan diumumkan dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal penerimaan laporan atau tanggal persetujuan instansi yang berwenang. ‘ Bagian Kedua Persyaratan dan Tata Cara Akuisisi Pasal 19 (1) Akuisisi BPR dapat dilakukan oleh perorangan atau badan hukum melalui pengambilalihan saham. (2) Akuisisi BPR dilakukan dengan cara pengambilalihan sefuruh atau sebagian jumiah saham BPR yang mengakibatkan pihak yang mengakuisisi memegang Pengendalian BPR. (3) Pengambilalihan saham BPR dianggap mengakibatkan beralibnya Pengendalian BPR sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) apabila kepemilikan saham: a. menjadi sebesar 25% (dua puluh {ima perseratus) atau lebih dari modal disetor BPR; atau b. kurang dari 25% (dua puluh lima perseratus) dari modal disetor BPR namun mepentukan baik langsung maupun tidak langsung pengelolaan dan/atau kebijaksanaan BPR. Pasal 20 Izin Akuisisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) dapat diberikan apabila dipennhi persyaratan sebagai berikut: a. telah memperoleh persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham BPR yang akan diakusisi; b. pihak yang melakukan Akuisisi memenuhi persyaratan sebagai pemilik BPR sebagaimana diatur dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia tentang BPR yang mengatur kepemilikan dan permodalan BPR. Pasal 21 (1) Direksi BPR yang akan diakuisisi dan pihak yang akan mengakuisisi secara bersama-sama menyusun rancangan Akuisisi yang sekurang-kurangnya memuat: a. nama dan alamat BPR yang akan diakuisisi dan pihak yang akan mengakuisisi, disertai dengan identitas pihak yang akan mengakuisisi; b. laporan keuangan 1 (satu) tahun buku terakhir dari badan hukum yang akan mengakuisisi; ¢. rancangan perubahan Anggaran Dasar BPR yang diakuisisi, apabila ada perubahan; d. jumiah dan nilai nominal saham yang akan diakuisisi beserta komposisi pemegang saham setelah dilakukan Akuisisi; e. kesiapan pendanaan dari pihak yang akan mengakuisisi; f. perkiraan jangka waktu pelaksanaan Akuisisi. (2) Rancangan Akuisisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib mendapat persetujuan dari dewan komisaris BPR. Pasal 22 (1) Direksi BPR wajib mengumumkan ringkasan rancangan Akuisisi sebapaimana dimaksud dalam Pasal 21 yang sekurang-kurangnya memuat : a.nama dan tempat kedudukan BPR yang akan diakuisisi dan pihak yang akan mengakuisisi, disertai dengan identitas pihak yang akan mengakuisisi; b. komposisi pemegang saham sebelum dan sesudah dilakukan Akuisisi; c. perkiraan jangka waktu pelaksanaan Akuisisi. (2) Pengumuman sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilakukan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum Rapat Umum Pemegang Saham. (3) Pengumuman sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan : a. dalam surat kabar harian setempat bagi BPR yang memiliki total aset Rp.10.000.000.000,- (sepuluh milyar rupiah) atau lebih; atau b.pada papan pengumuman di kantor BPR atau di kantor kecamatan setempat bagi BPR vang memiliki total aset kurang dari Rp. 190.000.000.000, (sepuluh milyar rupiah). Pasal 23 (1) Rancangan Akuisisi berikut kousep Akta Akuisisi wajib mendapat persetujuan dari: a. Rapat Umum Pemegang Saham BPR yang akan diakuisisi; b. pihak yang akan melakukan Akuisisi. (2) Rancangan Akuisisi berikut konsep Akta Akuisisi yang telah disetujui oleh pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dituangkan dalam Akta Akuisisi. Pasal 24 Permohonan untuk memperoleh izin Akuisisi digjukan oleh pthak yang akan mengakuisisi dan direksi BPR yang akan diakuisisi kepada Dircksi Bank Indonesia sesuai dengan format dalam Lampiran 2 dan wajib dilampiri dengan rancangan Akuisisi beserta- dokumen pendukungnya. Pasal 25 Dalam memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan izin Akuisisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), Bank Indonesia melakukan: a. penelitian kebenaran atas dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24; b. wawancara terhadap pihak yang akan mengakuisisi. Pasal 26 (1) Persetujuan atau penolakan atas permohionan izin Akuisisi diberikan oleh Bank Indonesia dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari setelah permohonan diterima secara lengkap. (2) Dalam hal permohonan ditolak maka Bank Indonesia akan menjclaskan alasan ponolakan secara tertulis. (3) Tembusan persetujuan atau penolakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan oleh Bank Indonesia kepada instansi yang berwenang, apabila terdapat perubahan Anggaran Dasar. Pasal 27 (1) Akuisisi BPR mulai berlaku sejak tanggal penandatangan Akta Akuisisi. (2) Direksi BPR wajib menyampaikan laporan pelaksanaan Akuisisi kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 190 (sepuluh) hari setelah tanggal penandatanganan Akta Akuisisi dilampiri dengan fotokopi Akta Akuisisi. Pasal 28 (1) Pengambilalihan saham - BPR yang tidak mengakibatkan beralihnya pengendalian BPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia sesuai dengan format dalam Lampiran 3. (2) Pihak yang mengambilalih saham BPR sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia tentang BPR yang mengatur kepemilikan dan permodalan BPR. (3) Apabila pihak yang mengambilalih saham BPR sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak memenuhi persyaratan sebagai pemegang saham BPR, saham yang telah dibeli tersebut wajib dialihkan kepada pihak lain yang memenuhi persyaratan sebagai pemilik BPR, - selambat- lambatnya 90 (sembilan = puluh) hari sejak pemberitahuan dari Bank Indonesia. (4) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) pthak yang mengambilalih saham tidak mengalihkan kepemilikan saham, pengalihan saham dimaksud dinyatakan tidak sah dan yang bersangkutan dilarang melakukan tindakan-tindakan sebagai pemegang saham. (5) Atas pengambilalihan saham sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) BPR dilarang: a. melakukan pencatatan dalam administrasi daftar pemegang saham atau daftar anggota; b. mernberikan hak apapun sebagai pemegang saham kepada pihak pengambitalih. BAB III MERGER, KONSOLIDASI DAN AKUISISI ATAS PERMINTAAN BANK INDONESIA Pasal 29 (1) Apabila menurut penilaian Bank Indonesia suatu BPR mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan = usahanya dan tidak dapat melaksanakan {angkah-langkah perbaikan yang ditetapkan Bank Indonesia, maka Bank Indonesia dapat meminta kepada pemilik dan pengurus BPR yang bersangkutan untuk: a. melakukan Merger atau Konsolidasi dengan BPR lain; atau ~ b.menjual sebagian atau seluruh kepemilikannya kepada BPR atau pihak lain; sebagaimana diatur dalam Pasal 37 ayat (1) Undang- undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998. (2) Pelaksanaan Merger, Konsolidasi dan Akuisisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam BAB II. BAB IV ALAMAT PERMOHONAN DAN PENYAMPAIAN PELAPORAN Pasal 30 (1) Permohonan untuk mendapatkan izin Merger, Konsolidasi dan Akusisi serta penyampaian {aporan dialamatkan kepada : a. Direksi Bank Indonesia u.p. Urusan Bank Perkreditan Rakyat, Bank Indonesia, Jalan M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10110, bagi BPR yang berlokasi di Daerah Khusus Jbukota Jakarta Raya, Kabupaten/Kotamadya Bekasi, Tangerang, Bogor, Karawang, Lebak, Serang dan Pandeglang; b. Direksi Bank Indonesia up. Kantor Bank Indonesia setempat, bagi BPR yang berkantor pusat di luar wilayah sebagaimana dimaksud dalam huruf a. (2) Penyampaian laporan BPR kepada Bank Indonesia sebagaimana diatur dalam Surat Keputusan ini dialamatkan kepada : . a. Bank Indonesia up. Urusan Bank Perkreditan Rakyat, Jalan M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10110 bagi BPR yung berlokasi di wilayah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a; b.Bank Indonesia up. Kantor Bank Indonesia setempat, bagi BPR yang berkantor pusat di luar wilayah sebagaimana dimaksud dalam huruf a. BAB V SANKSI Pasal 31 (1) BPR yang tidak memenuhi ketentuan mengenai kewajiban pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf d dan Pasal 27 ayat (2) dikenakan sanksi berupa : a. teguran tertulis dan denda sebesar Rp 100.000,00 (seratus ribu tupiah) untuk setiap keterlambatan laporar; b. teguran tertulis dan denda sebesar Rp250.000,00 (dua ratus lima pujuh ribu rupiah) apabila BPR tidak menyampaikan laporan. (2) BPR dinyatakan tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), apabila BPR tidak menyampaikan laporan setelah jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak batas akhir penyampaian laporan. BAB VI KETENTUAN PERALTHAN Pasal 32 Permohonan persetujuan Merger, Konsolidasi atau Akuisisi yang telah diajukan kepada Menteri Keuangan sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 dan belum mendapat persetujuan atau penolakan, akan diselesaikan oleh Bank Indonesia berdasarkan ketentuan Surat Keputusan ini. BAB VII LAIN-LAIN Pasal 33 Kecuali diatur khusus dalam Surat Keputusan ini, maka segala ketentuan mengenai permodalan, kepemilikan dan kepengurusan BPR sebagaimana diatur dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia tentang Bank Perkreditan Rakyat dan tentang Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah dinyatakan berlaku untuk Merger, Konsolidasi dan Akuisisi Bank Perkreditan Rakyat. Pasal 34 Ketentuan dalam Surat Keputusan ini tidak diberlakukan bagi Badan Kredit Desa (BKD) yang didirikan berdasarkan Staatsblad Tahun 1929 Nomor 357 dan Rijksblad Tahun 1937 Nomor 9. BAB VIII KETENTUAN PENUTUP Pasal 35 Surat Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman ~~ Surat Keputusan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 14 Mei 1999 DIREKSI / BANK INDONESIA / - or Achwan Subarjo Joyosumarto usp» 81101 DAB) - 75 1-1 -57 - AM Lampiran 1 Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No.32/52/KEF/DIR. tanggal 14 Mei 1999 tentang Merger, Konsolidasi dan Akuisisi Bank Perkreditan Rakyat. ""No. Lamp : Kepada Yth. Direksi Bank Indonesia JI. M.H. Thamrin No.2 JAKARTA 10110 Up. *) Perithal : Permohonan Izin Merger/Konsolidasi BPR. **) Dengan ini kami mengajukan permohonan untuk mendapatkan izin Merger/Konsolidasi**) antara PT/PD/KOP**) BPR... , PT/PD/KOP**) BPR ............. , dan PT/PD/KOP**) BPR.............. menjadi PT/PD/KOP**) BPR.............. (nama salah satu BPR yang tetap ada). Sebagai bahan pertimbangan bersama ini kami sampaikan : 1. Notulen Rapat Umum Pemegang Saham/Rapat Anggota **). 2. Akta Merger atau Konsolidasi **). 3. Akta Perubahan Anggaran Dasar BPR hasil Merger/Akta Pendirian BPR hasil Konsolidasi **). 4. Bukti pengumuman rancangan Merger atau Konsolidasi **) 5. Bukti pelunasan modal disetor bagi BPR yang memerlukan penambahan modal, dalam bentuk fotokopi bilyet deposito pada bank umum atas nama Direksi Bank Indonesia qq salah seorang pemilik BPR yang 2 bersangkutan” dengan mencantumkan keterangan bahwa pencairannya hanya dapat dilakukan setelah mendapat persetujuan tertulis dari Direksi Bank Indonesia. Demikian permohonan kami. DIREKSI 1 PI/PD/KOP**) BPR 2. PT/PD/KOP**) BPR 3. PT/PD/KOP**) BPR dst. *) Urusan Bank Perkreditan Rakyat (UBPR) (bagi BPR yang berkantor pusat di wilayah Jabotabek, Kabupaten/ Kotamadya Serang, Lebak dan Pandeglang); atau Kantor Bank Indonesia ......ceuue.... (bagi BPR yang berkantor pusat di luar wilayah di atas), dengan tembusan kepada UBPR. **) Coret yang tidak perlu Lampiran 2 Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No.32/52/KEP/DIR tanggal 14 Mei 1999 tentang Merger. Konsolidasi dan Akuisisi Bank Perkreditan Rakyat. No. Lamp : Kepada Yth. Direksi Bank Indonesia JI. M.H. Thamrin No.2 JAKARTA 10110 Up. *) Perihal : Permohonan Izin Akuisisi BPR. Dengan ini kami mengajukan permobonan untuk mendapatkan izin Akuisisi saham PT/PD/KOP**) BPR ......ccocceveennn... oleh snr. (pihak yang mengakuisisi). Untuk melengkapi permohonan dimaksud bersama ini kami sampaikan : 1. Nama dan tempat kedudukan BPR yang akan diakuisisi. 2. Daftar pihak yang mengakuisisi disertai dengan dokumen identitas yang dipersyaratkan. 3. Laporan keuangan 1 (satu) tahun terakhir bagi badan hukum yang akan mengakuisisi. Rancangan Perubzhan Anggaran Dasar BPR yang diakuisisi. Jumlah dan nominal saham yang diakuisisi. Kesiapan pendanaan dari pihak yang mengakuisisi. Perkiraan jangka waktu pelaksanaan Akuisisi. oN wok Komposisi pemegang saham sebelum dan setelah Akuisisi, 9. Rancangan akia jual befi dalam rangka Akuisisi. 10. Surat pernyataan dari pihak yang mengakuisisi tentang sumber dana untuk mengakuisisi saham BPR. 11. Surat pernyataan dari pihak yang mengakuisisi tentang tidak pernah melakukan tindakan tercela di bidang perbanken, keuangan dan usaha lainnya dan/atau tidak pemah dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana kejahatan. Demikian permohonan kami. PIHAK YANG MENGAKUISISI DIREKSI PT/PD/KOP **) BPR ........ ce *) Urusan Bank Perkreditan Rakyat (UBPR) (bagi BPR yang berkantor pusat di wilayah Jabutabek, Kabupaten/ Kotamadya Serang, Lebak dan Pandeglang); atau Kantor Bank Indonesia ............... Lai B BPR yang berkantor pusat di luar wilayah di atas), dengan tembusan kepada UBPR. *) Coret yang tidak perlu Lampiran 3 Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No.32/52/KEP/DIR tangoal 14 Mei 1999 tentang Merger, Konsolidasi dan Akuisisi Bank Perkreditan Rakvat. No. Lamp : Kepada : Bank Indonesia JI. MH. Thamrin No.2 JAKARTA 10110 Up %y Perihal : Laporan Pengambilalihan Saham BPR Dengan ini kami melaporkan pengalihan saham PT/PD/KOP**) BPR sir rirna oleh (pihak yang mengambilalih) yang dilaksanakan pada tanggal.................... Untuk melengkapi laporan dimaksud bersama ini kami sampaikan: (untuk perorangan), 1. Daftar pihak yang mengambilalih saham disertai dengan dokumen identitas yang dipersyazatkan. 2. Fotokopi akta pengaiihan saham. 3. Komposisi pemegang saham BPR sebelum dan setelah pengalihan saham. 4. Bukti transaksi dalam rangka pengalihan saham BPR. 5. Surat pernyataan dari pembeli tentang sumber dana untuk pembelian saham BPR. 6. Surat pernyataan dari pihak yang mengambilalih saham tentang tidak pemnah melakukan tindakan tercela di bidang perbankan, keuangan dan usaha lainnya dan/atau tidak pernah dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana kejahatan. (untuk badan hukum) 1. 2. Ww Fotokopi akta pengalihan saham Akta pendirian termasuk anggaran dasar badan hukum beserta perubahannya yang telah mendapat pengesahan dari instansi berwenang. . Daftar seluruh angpota komisaris dan direksi badan hukum yang bersangkutan disertai dengan dokumen indentitas yang dipersyaratkan. . Dartar pemegang saham berikut besamya masing-masing kepemilikan saham badan hukum yang bersangkutan. . Neraca badan hukum posisi akhir bulan sebelum tanggal pengajuan permohonan. Bagi badan hukum yang akan memiliki saham pada BPR sebesar Rp 1 milyar, neraca badan hukum dimaksud wajib diaudit oleh akuntan publik dengan posisi paling lama 6 (enam) bulan sebelum pengajuan permohonan. 6. Bukti transaksi dalam rangka pembelian saham. . Komposisi pemegang saham sebelum dan setelah pengalihan saham. . Surat pernyataan dari komisaris dan direksi badan hukum yang bersangkutan tentang sumber dana untuk pengalihan saham BPR. . Surat pernyataan dari komisaris dan direksi badan hukum yang bersangkutan tentang tidak pernah melakukan tindakan tercela di bidang perbankan, keuangan dan usaha lainnya dan/atau tidak pernah dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana kejahatan. Demikian permohonan kami. DIREXSI PT/PD/KOP ++) BPR ...... cc +) Urusan Bank Perkreditan Rakyat (UBPR) (bagi BPR yang berkantor pusat di wilayah Jabotabék, Kabupatern/ Kotamadya Serang, Lebak dan Pandeglang); atau Kantor Bank Indonesia .......ooveeiee {bagi BPR yang berkantor pusat di luar wilayah di atas). Coret yang tidak perlu "," SKDIR-BI 32/52/KEP/DIR|SKDIR-BI/1999 PERSYARATAN DAN TATA CARA MERGER, KONSOLIDASI DAN AKUISISI BANK PERKREDITAN RAKYAT 14 Mei 1999 14 Mei 1999 '13/UU/1968', '10/UU/1998', '28/PP/1999', '1/UU/1995', '27/PP/1998', '7/UU/1992' 'BAB V' " " UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG LEMBAGA KEUANGAN MIKRO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk menumbuhkembangkan perekonomian rakyat menjadi tangguh, berdaya, dan mandiri yang berdampak kepada peningkatan perekonomian nasional yang diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional; b. bahwa masih terdapat kesenjangan antara permintaan dan ketersediaan atas layanan jasa keuangan mikro yang memfasilitasi masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah, yang bertujuan untuk memberdayakan ekonomi masyarakat; c. bahwa untuk memberikan kepastian hukum dan memenuhi kebutuhan layanan keuangan terhadap masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah, kegiatan layanan jasa keuangan mikro dan kelembagaannya perlu diatur secara Iebih komprehensif sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu membentuk Undang-Undang tentang Lembaga Keuangan Mikro; Mengingat : Pasal 20, Pasal 21, Pasal 27 ayat (2), dan Pasal 33 ayat (1) dan ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun1945; Dengan . . . - 2 - Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN: Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG LEMBAGA KEUANGAN MIKRO. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Lembaga Keuangan Mikro yang selanjutnya disingkat LKM adalah lembaga keuangan yang khusus didirikan untuk memberikan jasa pengembangan usaha dan pemberdayaan masyarakat, baik melalui pinjaman atau pembiayaan dalam usaha skala mikro kepada anggota dan masyarakat, pengelolaan simpanan, maupun pemberian jasa konsultasi pengembangan usaha yang tidak semata-mata mencari keuntungan. 2. Simpanan adalah dana yang dipercayakan oleh masyarakat kepada LKM dalam bentuk tabungan dan/atau deposito berdasarkan perjanjian penyimpanan dana. 3. Pinjaman adalah penyediaan dana oleh LKM kepada masyarakat yang harus dikembalikan sesuai dengan yang diperjanjikan. 4. Pembiayaan adalah penyediaan dana oleh LKM kepada masyarakat yang harus dikembalikan sesuai dengan yang diperjanjikan dengan prinsip syariah. 5. Penyimpan adalah pihak yang menempatkan dananya pada LKM berdasarkan perjanjian. 6. Pemerintah . . . - 3 - 6. Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 7. Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. 8. Otoritas Jasa Keuangan adalah Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Otoritas Jasa Keuangan. BAB II ASAS DAN TUJUAN Pasal 2 LKM berasaskan: a. keadilan; b. kebersamaan; c. kemandirian; d. kemudahan; e. keterbukaan; f. pemerataan; g. keberlanjutan; dan h. kedayagunaan dan kehasilgunaan. Pasal 3 LKM bertujuan untuk: a. meningkatkan akses pendanaan skala mikro bagi masyarakat; b. membantu peningkatan pemberdayaan ekonomi dan produktivitas masyarakat; dan c. membantu peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat terutama masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah. BAB III . . . - 4 - BAB III PENDIRIAN, KEPEMILIKAN, DAN PERIZINAN Bagian Kesatu Pendirian Pasal 4 Pendirian LKM paling sedikit harus memenuhi persyaratan: a. bentuk badan hukum; b. permodalan; dan c. mendapat izin usaha yang tata caranya diatur dalam Undang-Undang ini. Pasal 5 (1) Bentuk badan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a adalah: a. Koperasi; atau b. Perseroan Terbatas. (2) Perseroan Terbatas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, sahamnya paling sedikit 60% (enam puluh persen) dimiliki oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota atau badan usaha milik desa/kelurahan. (3) Sisa kepemilikan saham Perseroan Terbatas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dimiliki oleh: a. warga negara Indonesia; dan/atau b. koperasi. (4) Kepemilikan setiap warga negara Indonesia atas saham Perseroan Terbatas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a paling banyak sebesar 20% (dua puluh persen). Pasal 6 LKM dilarang dimiliki, baik langsung maupun tidak langsung, oleh warga negara asing dan/atau badan usaha yang sebagian atau seluruhnya dimiliki oleh warga negara asing atau badan usaha asing. Pasal 7 . . . - 5 - Pasal 7 (1) Sumber permodalan LKM disesuaikan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan sesuai dengan badan hukumnya. (2) Ketentuan mengenai besaran modal LKM diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Bagian Kedua Kepemilikan Pasal 8 LKM hanya dapat dimiliki oleh: a. warga negara Indonesia; b. badan usaha milik desa/kelurahan; c. Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota; dan/atau d. koperasi. Bagian Ketiga Perizinan Pasal 9 (1) Sebelum menjalankan kegiatan usaha, LKM harus memiliki izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan. (2) Untuk memperoleh izin usaha LKM sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus dipenuhi persyaratan paling sedikit mengenai: a. susunan organisasi dan kepengurusan; b. permodalan; c. kepemilikan; dan d. kelayakan rencana kerja. Pasal 10 . . . - 6 - Pasal 10 Ketentuan lebih lanjut mengenai permodalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b, kepemilikan LKM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, dan tata cara perizinan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. BAB IV KEGIATAN USAHA DAN CAKUPAN WILAYAH USAHA Bagian Kesatu Kegiatan Usaha Pasal 11 (1) Kegiatan usaha LKM meliputi jasa pengembangan usaha dan pemberdayaan masyarakat, baik melalui Pinjaman atau Pembiayaan dalam usaha skala mikro kepada anggota dan masyarakat, pengelolaan Simpanan, maupun pemberian jasa konsultasi pengembangan usaha. (2) Ketentuan mengenai suku bunga Pinjaman atau imbal hasil Pembiayaan diatur dalam Peraturan Pemerintah. Pasal 12 (1) Penyaluran Pinjaman atau Pembiayaan dan pengelolaan Simpanan oleh LKM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dilaksanakan secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah. (2) Kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaksanakan sesuai dengan fatwa syariah yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional, Majelis Ulama Indonesia. Pasal 13 (1) Untuk melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2), LKM wajib membentuk dewan pengawas syariah. (2) Dewan . . . - 7 - (2) Dewan pengawas syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas memberikan nasihat dan saran kepada direksi atau pengurus serta mengawasi kegiatan LKM agar sesuai dengan prinsip syariah. Pasal 14 Dalam melakukan kegiatan usaha, LKM dilarang: a. menerima Simpanan berupa giro dan ikut serta dalam lalu lintas pembayaran; b. melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing; c. melakukan usaha perasuransian sebagai penanggung; d. bertindak sebagai penjamin; e. memberi pinjaman atau pembiayaan kepada LKM lain, kecuali dalam rangka mengatasi kesulitan likuiditas bagi LKM lain dalam wilayah kabupaten/kota yang sama; dan f. melakukan usaha di luar kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1). Pasal 15 Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan usaha LKM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 sampai dengan Pasal 14 diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Bagian Kedua Cakupan Wilayah Usaha Pasal 16 (1) Cakupan wilayah usaha suatu LKM berada dalam satu wilayah desa/kelurahan, kabupaten/kota. (2) Luas cakupan wilayah usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disesuaikan dengan skala usaha LKM yang diatur dalam Peraturan Pemerintah. kecamatan, atau Pasal 17 . . . - 8 - Pasal 17 Dalam hal terjadi pemekaran wilayah: a. Pinjaman atau Pembiayaan yang telah disalurkan LKM di luar wilayah usahanya tetap dapat dilanjutkan sampai dengan jangka waktu Pinjaman atau Pembiayaan berakhir; dan b. Simpanan yang telah diterima LKM dari Penyimpan di luar wilayah usahanya tetap dapat dilanjutkan sampai dengan penutupan Simpanan. Pasal 18 LKM yang tempat kedudukan dan cakupan wilayah usahanya mengalami perubahan sebagai akibat dari pemekaran wilayah harus memberitahukan kepada Otoritas Jasa Keuangan. BAB V PENJAMINAN SIMPANAN Pasal 19 (1) Untuk menjamin Simpanan masyarakat pada LKM, Pemerintah Daerah dan/atau LKM dapat membentuk lembaga penjamin simpanan LKM. (2) Dalam hal diperlukan, Pemerintah bersama Pemerintah Daerah dan LKM dapat mendirikan lembaga penjamin simpanan LKM. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah. BAB VI INFORMASI Pasal 20 Pengurus LKM dapat melakukan tukar-menukar informasi dan data mengenai penerima Pinjaman atau Pembiayaan dengan LKM lain. Pasal 21 . . . - 9 - Pasal 21 (1) Anggota dewan komisaris atau pengawas, direksi atau pengurus, pegawai, dan pihak terafiliasi LKM wajib merahasiakan informasi Penyimpan dan Simpanan. merahasiakan informasi (2) Kewajiban dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal informasi Penyimpan dan Simpanan untuk: a. kepentingan perpajakan; b. kepentingan peradilan dalam perkara pidana; c. kepentingan peradilan dalam perkara perdata; atau d. hal lain yang ditetapkan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. (3) Anggota direksi atau pengurus, dan pegawai LKM wajib memberikan informasi Penyimpan dan Simpanan untuk kepentingan sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara untuk memperoleh informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. BAB VII PENGGABUNGAN, PELEBURAN, DAN PEMBUBARAN Pasal 22 (1) LKM dapat melakukan penggabungan atau peleburan dengan 1 (satu) atau lebih LKM lainnya dengan persetujuan Otoritas Jasa Keuangan. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penggabungan atau peleburan LKM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 23 (1) Dalam hal LKM mengalami kesulitan likuiditas dan solvabilitas yang membahayakan keberlangsungan usahanya, Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan tindakan agar: a. pemegang saham atau anggota koperasi menambah modal; b. pemegang . . . sebagaimana - 10 - b. pemegang saham mengganti dewan komisaris atau pengawas dan/atau direksi atau pengurus LKM; c. LKM menghapusbukukan Pinjaman atau Pembiayaan yang macet dan memperhitungkan kerugian LKM dengan modalnya; d. LKM melakukan penggabungan atau peleburan dengan LKM lain; e. kepemilikan LKM dialihkan kepada pihak lain yang bersedia mengambil alih seluruh kewajiban; f. LKM menyerahkan pengelolaan seluruh atau sebagian kegiatan LKM kepada pihak lain; atau g. LKM menjual sebagian atau seluruh harta dan/atau kewajiban LKM kepada LKM atau pihak lain. (2) Dalam hal tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum cukup untuk mengatasi kesulitan likuiditas dan solvabilitas LKM, Otoritas Jasa Keuangan mencabut izin usaha LKM dan memerintahkan direksi atau pengurus LKM untuk segera menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham, Rapat Anggota atau rapat sejenis guna membubarkan badan hukum LKM dan membentuk tim likuidasi. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembubaran LKM sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. BAB VIII PERLINDUNGAN PENGGUNA JASA LKM Pasal 24 Untuk kepentingan pengguna jasa, LKM harus menyediakan informasi terbuka kepada masyarakat paling sedikit mengenai: a. wewenang dan tanggung jawab pengurus LKM; b. ketentuan dan persyaratan yang perlu diketahui oleh Penyimpan dan Peminjam; dan c. kemungkinan timbulnya risiko kerugian sehubungan dengan transaksi LKM dengan pihak lain. Pasal 25 . . . - 11 - Pasal 25 Untuk perlindungan Penyimpan dan masyarakat, Otoritas Jasa Keuangan berwenang melakukan tindakan pencegahan kerugian Penyimpan dan masyarakat yang meliputi: a. memberikan informasi dan edukasi kepada masyarakat atas karakteristik dan kegiatan usaha LKM; b. meminta LKM untuk menghentikan kegiatannya apabila kegiatan tersebut berpotensi merugikan masyarakat; dan c. tindakan lain yang dianggap perlu sesuai dengan Undang-Undang ini. Pasal 26 Otoritas Jasa Keuangan melakukan pelayanan pengaduan Penyimpan yang meliputi: a. menyiapkan perangkat untuk pelayanan pengaduan Penyimpan yang dirugikan oleh LKM; b. membuat mekanisme pengaduan Penyimpan yang dirugikan oleh LKM; dan c. memfasilitasi penyelesaian pengaduan Penyimpan yang dirugikan oleh LKM. BAB IX TRANSFORMASI LKM Pasal 27 LKM wajib bertransformasi menjadi bank jika: a. LKM melakukan kegiatan usaha melebihi 1 (satu) wilayah kabupaten/kota tempat kedudukan LKM; atau b. LKM telah memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. BAB X PEMBINAAN, PENGATURAN, DAN PENGAWASAN Pasal 28 (1) Pembinaan, pengaturan, dan pengawasan LKM dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan. (2) Dalam . . . - 12 - (2) Dalam melakukan pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan melakukan koordinasi dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan koperasi dan Kementerian Dalam Negeri. (3) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didelegasikan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. (4) Dalam hal Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota belum siap, Otoritas Jasa Keuangan dapat mendelegasikan pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada pihak lain yang ditunjuk. (5) Ketentuan mengenai hal yang berkaitan dengan pembinaan dan pengawasan yang didelegasikan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan pihak lain yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 29 (1) LKM wajib melakukan dan memelihara pencatatan dan/atau pembukuan keuangan sesuai dengan standar akuntansi keuangan yang berlaku. (2) Dalam melakukan dan memelihara pencatatan dan/atau pembukuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), direksi atau pengurus LKM dilarang: a. membuat pencatatan palsu dalam pembukuan dan/atau laporan keuangan tanpa didukung dengan dokumen yang sah; b. menghilangkan atau tidak memasukkan informasi yang benar dalam laporan kegiatan usaha, laporan keuangan, atau rekening LKM; dan c. mengubah, mengaburkan, menyembunyikan, menghapus, atau menghilangkan suatu pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan keuangan, maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha. Pasal 30 (1) LKM wajib menyampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan: a. laporan keuangan setiap 4 (empat) bulan; dan/atau b. laporan . . . - 13 - b. laporan lain yang ditetapkan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. (2) LKM wajib mengumumkan laporan keuangan dalam rangka menerapkan prinsip keterbukaan. Pasal 31 Dalam rangka pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan melakukan pemeriksaan terhadap LKM. Pasal 32 Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan, pengaturan, dan pengawasan LKM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 sampai dengan Pasal 31 diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. BAB XI SANKSI ADMINISTRATIF Pasal 33 (1) Setiap LKM yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 8, Pasal 11, Pasal 12 ayat (2), Pasal 13 ayat (1), Pasal 14, Pasal 18, Pasal 24, Pasal 27, Pasal 29 ayat (1), dan Pasal 30 dikenai sanksi administratif berupa: a. denda uang; b. peringatan tertulis; c. pembekuan kegiatan usaha; d. pemberhentian direksi atau pengurus LKM dan selanjutnya menunjuk dan mengangkat pengganti sementara sampai Rapat Umum Pemegang Saham atau Rapat Anggota Koperasi mengangkat pengganti yang tetap dengan persetujuan Otoritas Jasa Keuangan; atau e. pencabutan izin usaha. (2) Pengenaan . . . - 14 - (2) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata laksana dan penerapan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. BAB XII KETENTUAN PIDANA Pasal 34 (1) Setiap orang yang menjalankan usaha LKM tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). (2) Dalam hal kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh badan hukum yang berbentuk perseroan terbatas atau koperasi, maka penuntutan terhadap badan-badan dimaksud dilakukan baik terhadap mereka yang memberi perintah melakukan perbuatan itu atau yang bertindak sebagai pimpinan dalam perbuatan itu atau terhadap kedua-duanya. Pasal 35 (1) Setiap orang yang dengan sengaja memaksa LKM untuk memberikan informasi Penyimpan dan Simpanan di luar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). (2) Anggota dewan komisaris atau pengawas, direksi atau pengurus, pegawai, dan pihak terafiliasi LKM yang dengan sengaja memberikan informasi yang wajib dirahasiakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Pasal 36 . . . - 15 - Pasal 36 Anggota direksi atau pengurus, atau pegawai LKM yang dengan sengaja tidak memberikan informasi yang wajib dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Pasal 37 (1) Setiap direksi atau pengurus LKM yang: a. membuat pencatatan palsu dalam pembukuan atau laporan keuangan dan/atau tanpa didukung dengan dokumen yang sah; b. menghilangkan atau tidak memasukkan informasi yang benar dalam laporan kegiatan usaha, laporan keuangan, atau rekening LKM; dan c. mengubah, mengaburkan, menyembunyikan, menghapus, dan/atau menghilangkan suatu pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan keuangan, dan dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). (2) Anggota dewan komisaris atau pengawas, direksi atau pengurus, dan/atau pegawai LKM yang dengan sengaja: a. meminta atau menerima suatu imbalan, baik berupa uang maupun barang untuk keuntungan pribadi atau keluarganya: 1. dalam rangka orang lain mendapatkan uang muka atau fasilitas Pinjaman atau Pembiayaan dari LKM; 2. dalam rangka memberikan persetujuan bagi orang lain untuk melaksanakan penarikan dana yang melebihi batas Pinjaman atau Pembiayaan pada LKM; b. tidak . . . - 16 - b. tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan LKM terhadap ketentuan dalam Undang-Undang ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi LKM dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Pasal 38 Pemegang saham atau pemilik LKM yang dengan sengaja menyuruh dewan komisaris atau pengawas, direksi atau pengurus, anggota koperasi, atau pegawai LKM untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan yang mengakibatkan LKM tidak melaksanakan langkah- langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan LKM terhadap ketentuan dalam Undang-Undang ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi LKM, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). BAB XIII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 39 (1) Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Bank Desa, Lumbung Desa, Bank Pasar, Bank Pegawai, Badan Kredit Desa (BKD), Badan Kredit Kecamatan (BKK), Kredit Usaha Rakyat Kecil (KURK), Lembaga Perkreditan Kecamatan (LPK), Bank Karya Produksi Desa (BKPD), Badan Usaha Kredit Pedesaan (BUKP), Baitul Maal wa Tamwil (BMT), Baitul Tamwil Muhammadiyah (BTM), dan/atau lembaga-lembaga lainnya yang dipersamakan dengan itu tetap dapat beroperasi sampai dengan 1 (satu) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini berlaku. (2) Lembaga . . . - 17 - (2) Lembaga-lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memperoleh izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini berlaku. (3) Lembaga Perkreditan Desa dan Lumbung Pitih Nagari serta lembaga sejenis yang telah ada sebelum Undang- Undang ini berlaku, dinyatakan diakui keberadaaannya berdasarkan hukum adat dan tidak tunduk pada Undang-Undang ini. Pasal 40 (1) Otoritas Jasa Keuangan, kementerian yang menyelenggarakan urusan koperasi, dan Kementerian Dalam Negeri harus melakukan inventarisasi LKM yang belum berbadan hukum. (2) Inventarisasi LKM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diselesaikan paling lambat 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini berlaku. (3) Dalam melakukan inventarisasi LKM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Otoritas Jasa Keuangan, kementerian yang menyelenggarakan urusan koperasi, dan Kementerian Dalam Negeri dapat bekerja sama dengan pihak lain yang memiliki infrastruktur memadai. BAB XIV KETENTUAN PENUTUP Pasal 41 Peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan. Pasal 42 Undang-Undang ini mulai berlaku setelah 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan. Agar . . . - 18 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta pada tanggal 8 Januari 2013 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 8 Januari 2013 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd AMIR SYAMSUDIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2013 NOMOR 12 Salinan sesuai dengan aslinya KEMENTERIAN SEKRETARIAT NEGARA REPUBLIK INDONESIA Asisten Deputi Perundang-undangan Bidang Perekonomian, ttd Lydia Silvanna Djaman PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG LEMBAGA KEUANGAN MIKRO I. UMUM Sektor keuangan di Indonesia merupakan salah satu sektor yang memiliki peranan penting dalam mendorong peningkatan perekonomian nasional dan ekonomi masyarakat. Perkembangan dan kemajuan pada sektor keuangan, baik bank maupun lembaga keuangan bukan bank perlu dipertahankan. Dalam aspek kelembagaan, organisasi, regulasi (kebijakan), dan sumber daya manusia (SDM) perlu adanya peningkatan dan perbaikan, khususnya pada lembaga keuangan bukan bank. Di Indonesia banyak berkembang lembaga keuangan bukan bank yang melakukan kegiatan usaha bidang keuangan yang banyak membantu kepada masyarakat. Lembaga-lembaga tersebut perlu dikembangkan terutama secara kelembagaan dan legalitasnya karena telah banyak membantu peningkatan perekonomian masyarakat, khususnya masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah. Perkembangan dalam masyarakat saat ini, lembaga keuangan yang menyediakan dana atau modal bagi usaha skala mikro dan usaha skala kecil sangatlah penting dan urgent. Lembaga keuangan skala mikro ini memang hanya difokuskan kepada usaha-usaha masyarakat yang bersifat mikro. Lembaga keuangan berskala mikro ini dikenal dengan sebutan Lembaga Keuangan Mikro (LKM). Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) Pasal 33 ayat (1) menegaskan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Selanjutnya Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 menyatakan bahwa perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. LKM . . . - 2 - LKM pada dasarnya dibentuk berdasarkan semangat yang terdapat dalam Pasal 27 ayat (2) serta Pasal 33 ayat (1) dan ayat (4) UUD 1945. Keberadaan LKM pada prinsipnya sebagai lembaga keuangan yang menyediakan jasa Simpanan dan Pembiayaan skala mikro, kepada masyarakat, memperluas lapangan kerja, dan dapat berperan sebagai instrumen pemerataan dan peningkatan pendapatan masyarakat, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah. Berdasarkan hal tersebut, untuk memenuhi kebutuhan layanan keuangan terhadap masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah, perlu disusun suatu undang-undang tentang lembaga keuangan mikro untuk memberikan landasan hukum dan kepastian hukum terhadap kegiatan lembaga keuangan mikro. Penyusunan Undang-Undang ini bertujuan: 1. mempermudah akses masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah untuk memperoleh Pinjaman/Pembiayaan mikro; 2. memberdayakan ekonomi dan produktivitas masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah; dan 3. meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah. Undang-Undang ini memuat substansi pokok mengenai ketentuan lingkup LKM, konsep Simpanan dan Pinjaman/Pembiayaan dalam definisi LKM, asas dan tujuan. Undang-Undang ini juga mengatur kelembagaan, baik yang mengenai pendirian, bentuk badan hukum, permodalan, maupun kepemilikan. Bentuk badan hukum LKM menurut Undang-Undang ini adalah Koperasi dan Perseroan Terbatas. LKM yang berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas, kepemilikan sahamnya mayoritas dimiliki oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota atau badan usaha milik desa/kelurahan. Selain itu, Undang-Undang ini mengatur juga mengenai kegiatan usaha LKM meliputi jasa pengembangan usaha dan pemberdayaan masyarakat, baik melalui Pinjaman atau Pembiayaan dalam skala mikro kepada anggota dan masyarakat, pengelolaan Simpanan, maupun pemberian jasa konsultasi pengembangan usaha, serta cakupan wilayah usaha suatu LKM yang berada dalam satu wilayah desa/kelurahan, kecamatan, atau kabupaten/kota sesuai dengan perizinannya (multi-licensing). Untuk memberikan kepercayaan kepada para penyimpan, dapat dibentuk lembaga penjamin simpanan LKM yang didirikan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dan/atau LKM. Dalam hal diperlukan, Pemerintah dapat pula ikut mendirikan lembaga penjamin simpanan LKM bersama Pemerintah Daerah dan LKM. Undang . . . - 3 - Undang-Undang ini mengatur pula ketentuan mengenai tukar-menukar informasi antar-LKM. Undang-Undang ini juga mengatur mengenai penggabungan, peleburan, dan pembubaran. Di dalam Undang-Undang ini, perlindungan kepada pengguna jasa LKM, pembinaan dan pengawasan LKM, diserahkan kepada Otoritas Jasa Keuangan, dengan didelegasikan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota atau pihak lain yang ditunjuk oleh Otoritas Jasa Keuangan. Agar implementasi Undang-Undang ini dapat terlaksana dengan baik, Otoritas Jasa Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, termasuk Pemerintah Daerah, kementerian yang membidangi urusan perkoperasian, dan kementerian yang membidangi fiskal, perlu bekerja sama untuk melakukan sosialisasi Undang-Undang ini. Undang-Undang ini mulai berlaku 2 (dua) tahun sejak diundangkan. Jangka waktu 2 (dua) tahun tersebut dimaksudkan antara lain untuk menyiapkan infrastruktur yang diperlukan seperti sumber daya manusia Otoritas Jasa Keuangan selaku pembina dan pengawas LKM dan sumber daya manusia Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota selaku pihak yang menerima pendelegasian wewenang pembinaan dan pengawasan LKM, peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini dan pedoman teknis pembinaan, pengawasan LKM, dan teknologi informasi. Selanjutnya, LKM yang belum berbadan hukum tetap dapat beroperasi sampai dengan 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini berlaku dan wajib memperoleh izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini berlaku. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Huruf a Yang dimaksud dengan “asas keadilan” adalah memberikan kesempatan yang sama kepada masyarakat, terutama masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah untuk mendapatkan pelayanan dari LKM. Huruf b Yang dimaksud dengan “asas kebersamaan” adalah suatu kegiatan yang dilakukan secara bersama-sama untuk kepentingan bersama. Huruf c Yang dimaksud dengan “asas kemandirian” adalah suatu kegiatan yang dilakukan tanpa banyak tergantung kepada pihak lain, baik dari aspek sumber daya manusia maupun permodalan. Huruf d . . . - 4 - Huruf d Yang dimaksud dengan “asas kemudahan” adalah bahwa prosedur pembiayaan dan penyimpanan dana dalam LKM dibuat sesederhana mungkin. Huruf e Yang dimaksud dengan “asas keterbukaan” adalah suatu kegiatan usaha yang proses pengelolaannya dapat diketahui oleh masyarakat. Huruf f Yang dimaksud dengan “asas pemerataan” adalah pemberian Pinjaman atau Pembiayaan yang menjangkau seluruh masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah. Huruf g Yang dimaksud dengan “asas keberlanjutan” adalah suatu usaha yang dilakukan secara terus-menerus dan berkesinambungan yang tidak dibatasi oleh waktu tertentu. Huruf h Yang dimaksud dengan “asas kedayagunaan dan kehasilgunaan” adalah suatu kegiatan pemberdayaan sekaligus mendayagunakan usaha dan layanan keuangan mikro untuk masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan “koperasi” adalah koperasi jasa. Huruf b Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 . . . - 5 - Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 . . . - 6 - Pasal 21 Ayat (1) Yang dimaksud dengan ”pihak terafiliasi” adalah: a. pemegang saham, anggota, dan pihak yang memberikan jasanya kepada LKM, antara lain akuntan publik, penilai, dan konsultan hukum; dan b. pihak yang turut serta mempengaruhi pengelolaan LKM, antara lain pemegang saham dan keluarganya, keluarga komisaris, keluarga pengawas, keluarga direksi, atau keluarga pengurus. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 . . . - 7 - Pasal 31 Cukup jelas. Pasal 32 Cukup jelas. Pasal 33 Cukup jelas. Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Cukup jelas. Pasal 36 Cukup jelas. Pasal 37 Cukup jelas. Pasal 38 Cukup jelas. Pasal 39 Cukup jelas. Pasal 40 Cukup jelas. Pasal 41 Cukup jelas. Pasal 42 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5394 "," 1/UU/2013 LEMBAGA KEUANGAN MIKRO 8 Januari 2013 setelah 2 (dua) tahun terhitung sejak 8 Januari 2013 8 Januari 2013 'UUD 1945 | Pasal 20, Pasal 21, Pasal 27 ayat (2), dan Pasal 33 ayat (1) dan ayat (4)' 'BAB XI', 'BAB XII' " " UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PENJAMINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional; b. bahwa untuk mewujudkan kemandirian ekonomi, negara harus memberikan perhatian terhadap dunia usaha, khususnya usaha mikro, kecil, dan menengah serta koperasi yang sering kesulitan mendapatkan akses permodalan dalam bentuk kredit, pembiayaan, atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah dari lembaga keuangan dan di luar lembaga keuangan karena terbatasnya jaminan; c. bahwa untuk memudahkan akses permodalan, dibutuhkan dukungan penjaminan dari lembaga penjamin; d. bahwa untuk mendorong industri penjaminan yang diselenggarakan secara efisien, berkesinambungan, dan berperan penting dalam pembangunan nasional, perlu melakukan pengaturan terhadap industri penjaminan; e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d perlu membentuk Undang-Undang tentang Penjaminan; Mengingat : Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 33 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Dengan . . . - 2 - Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN: Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PENJAMINAN. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Penjaminan adalah kegiatan pemberian jaminan oleh Penjamin atas pemenuhan kewajiban finansial Terjamin kepada Penerima Jaminan. 2. Penjaminan Syariah adalah kegiatan pemberian jaminan oleh Penjamin atas pemenuhan kewajiban finansial Terjamin kepada Penerima Jaminan berdasarkan Prinsip Syariah. 3. Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan penjaminan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah. 4. Penjaminan Ulang adalah kegiatan pemberian jaminan atas pemenuhan kewajiban finansial Perusahaan Penjaminan. 5. Penjaminan Ulang Syariah adalah kegiatan pemberian jaminan atas pemenuhan kewajiban finansial Perusahaan Penjaminan Syariah dan UUS. 6. Lembaga Penjamin adalah Perusahaan Penjaminan, Perusahaan Penjaminan Syariah, Perusahaan Penjaminan Ulang, dan Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah yang menjalankan kegiatan penjaminan. 7. Perusahaan . . . - 3 - 7. Perusahaan Penjaminan adalah badan hukum yang bergerak di bidang keuangan dengan kegiatan usaha utama melakukan Penjaminan. 8. Perusahaan Penjaminan Syariah adalah badan hukum yang bergerak di bidang keuangan dengan kegiatan usaha utama melakukan Penjaminan Syariah. 9. Perusahaan Penjaminan Ulang adalah badan hukum yang bergerak di bidang keuangan dengan kegiatan usaha melakukan Penjaminan Ulang. 10. Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah adalah badan hukum yang bergerak di bidang keuangan dengan kegiatan usaha melakukan Penjaminan Ulang Syariah. 11. Penjamin adalah pihak yang melakukan penjaminan. 12. Penerima Jaminan adalah lembaga keuangan atau di luar lembaga keuangan yang telah memberikan Kredit, Pembiayaan, Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah atau kontrak jasa kepada Terjamin. 13. Terjamin adalah pihak yang telah memperoleh Kredit, Pembiayaan, Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah, atau kontrak jasa dari lembaga keuangan atau di luar lembaga keuangan yang dijamin oleh Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Syariah. 14. Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam, yang dibuat oleh bank atau koperasi dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. 15. Pembiayaan adalah penyediaan fasilitas finansial atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan, yang dibuat oleh lembaga pembiayaan dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu. 16. Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah adalah pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam undang- undang yang mengatur mengenai perbankan syariah. 17. Unit Usaha Syariah, yang selanjutnya disebut UUS, adalah unit kerja dari Perusahaan Penjaminan yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor atau unit yang melaksanakan kegiatan usaha Penjaminan berdasarkan Prinsip Syariah. 18. Sertifikat . . . - 4 - 18. Sertifikat Penjaminan adalah bukti persetujuan Penjaminan dari Perusahaan Penjaminan kepada Penerima Jaminan atas kewajiban finansial Terjamin. 19. Sertifikat Kafalah adalah bukti persetujuan Penjaminan Syariah dari Perusahaan Penjaminan Syariah dan UUS kepada Penerima Jaminan atas kewajiban finansial Terjamin. 20. Imbal Jasa Penjaminan, yang selanjutnya disingkat IJP, adalah sejumlah uang yang diterima oleh Perusahaan Penjaminan dari Terjamin dalam rangka kegiatan Penjaminan. 21. Imbal Jasa Kafalah, yang selanjutnya disingkat IJK, adalah sejumlah uang yang diterima oleh Perusahaan Penjaminan Syariah dan UUS dari Terjamin dalam rangka kegiatan Penjaminan Syariah. 22. Imbal Jasa Penjaminan Ulang, yang selanjutnya disingkat IJPU, adalah sejumlah uang yang diterima oleh Perusahaan Penjaminan Ulang dari Perusahaan Penjaminan dalam rangka kegiatan Penjaminan Ulang. 23. Imbal Jasa Kafalah Ulang, yang selanjutnya disingkat IJKU, adalah sejumlah uang yang diterima oleh Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah dari Perusahaan Penjaminan Syariah dan UUS dalam rangka kegiatan Penjaminan Ulang Syariah. 24. Otoritas Jasa Keuangan adalah lembaga pengatur dan pengawas sektor keuangan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai Otoritas Jasa Keuangan. 25. Setiap Orang adalah orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun yang tidak berbentuk badan hukum. BAB II ASAS, TUJUAN, DAN RUANG LINGKUP USAHA PENJAMINAN Bagian Kesatu Asas dan Tujuan Pasal 2 Penyelenggaraan usaha penjaminan berdasarkan asas: a. kepentingan nasional; b. kepastian . . . - 5 - b. kepastian hukum; c. keterbukaan; d. akuntabilitas; e. profesionalisme; f. efisiensi berkeadilan; g. edukasi; dan h. pelindungan konsumen. Pasal 3 Usaha penjaminan bertujuan untuk: a. menunjang kebijakan pemerintah, terutama dalam rangka mendorong kemandirian usaha dan pemberdayaan dunia usaha, khususnya usaha mikro, kecil, dan menengah serta koperasi dalam perekonomian nasional; b. meningkatkan akses bagi dunia usaha, khususnya usaha mikro, kecil, dan menengah serta koperasi dan usaha prospektif lainnya kepada sumber pembiayaan; c. mendorong pertumbuhan pembiayaan dan terciptanya iklim usaha yang kondusif bagi peningkatan sektor ekonomi strategis; d. meningkatkan kemampuan produksi nasional yang berdaya saing tinggi dan yang memiliki keunggulan untuk ekspor; e. mendukung pertumbuhan perekonomian nasional; dan f. meningkatkan tingkat inklusivitas keuangan nasional. Bagian Kedua Ruang Lingkup Pasal 4 (1) Usaha Penjaminan meliputi: a. penjaminan Kredit, Pembiayaan, atau Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah yang diberikan oleh lembaga keuangan; b. penjaminan . . . - 6 - b. penjaminan pinjaman yang disalurkan oleh koperasi simpan pinjam atau koperasi yang mempunyai unit usaha simpan pinjam kepada anggotanya; dan c. penjaminan Kredit dan/atau pinjaman program kemitraan yang disalurkan oleh badan usaha milik negara dalam rangka program kemitraan dan bina lingkungan. (2) Selain usaha Penjaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Perusahaan Penjaminan dapat melakukan: a. penjaminan atas surat utang; b. penjaminan pembelian barang secara angsuran; c. penjaminan transaksi dagang; d. penjaminan pengadaan barang dan/atau jasa (surety bond); e. penjaminan bank garansi (kontra bank garansi); f. penjaminan surat kredit berdokumen dalam negeri; g. penjaminan letter of credit; h. penjaminan kepabeanan (customs bond); i. penjaminan cukai; j. pemberian jasa konsultasi manajemen terkait dengan kegiatan usaha Penjaminan; dan k. kegiatan usaha lainnya setelah mendapat persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan. (3) Usaha Penjaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) yang dilakukan oleh Perusahaan Penjaminan Syariah harus berdasarkan Prinsip Syariah. (4) Dalam melakukan usaha Penjaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Perusahaan Penjaminan dan Perusahaan Penjaminan Syariah harus memprioritaskan penjaminan untuk mendukung usaha mikro, kecil, dan menengah serta koperasi. (5) Untuk mendukung usaha mikro, kecil, dan menengah serta koperasi, dan/atau program pemerintah, pemerintah dapat menunjuk atau menugaskan Lembaga Penjamin milik pemerintah. Pasal 5 . . . - 7 - Pasal 5 (1) Usaha Penjaminan Ulang hanya dapat menjamin kewajiban finansial Perusahaan Penjaminan. (2) Usaha Penjaminan Ulang Syariah hanya dapat menjamin kewajiban finansial Perusahaan Penjaminan Syariah dan UUS. (3) Dalam hal Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah belum terbentuk, Perusahaan Penjaminan Ulang dapat menjamin Perusahaan Penjaminan Syariah dan UUS. Pasal 6 (1) Lembaga Penjamin dapat melakukan investasi dalam mengelola dana yang dimiliki. (2) Ketentuan mengenai persyaratan dan ketentuan investasi bagi Lembaga Penjamin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. BAB III BADAN HUKUM DAN PERMODALAN Bagian Kesatu Badan Hukum Pasal 7 Badan hukum Lembaga Penjamin berbentuk: a. perusahaan umum; b. perseroan terbatas; atau c. koperasi. Pasal 8 Lembaga Penjamin yang berbentuk badan hukum perusahaan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a hanya dapat dimiliki oleh pemerintah pusat sesuai dengan undang- undang yang mengatur mengenai badan usaha milik negara. Pasal 9 . . . - 8 - Pasal 9 (1) Lembaga Penjamin yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b hanya dapat dimiliki oleh: a. warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia yang secara langsung atau tidak langsung sepenuhnya dimiliki oleh warga negara Indonesia; b. warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia sebagaimana dimaksud dalam huruf a bersama-sama dengan warga negara asing atau badan hukum asing; c. pemerintah pusat; dan/atau d. pemerintah daerah. (2) Kepemilikan asing pada Lembaga Penjamin berbentuk badan hukum perseroan terbatas, baik secara langsung maupun tidak langsung paling banyak sebesar 30% (tiga puluh per seratus) dari modal disetor. (3) Kepemilikan asing pada Lembaga Penjamin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib disetor dalam bentuk uang yang ditempatkan di rekening bank dalam negeri atas nama Lembaga Penjamin. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai kepemilikan asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, ayat (2), dan ayat (3) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 10 Lembaga Penjamin yang berbentuk badan hukum koperasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf c hanya dapat dimiliki oleh anggota koperasi sesuai dengan undang-undang yang mengatur mengenai perkoperasian. Pasal 11 Lembaga Penjamin yang berbentuk badan hukum koperasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf c yang melakukan kegiatan penjaminan tidak dapat bertindak sebagai Penerima Jaminan dan/atau Terjamin. Bagian . . . - 9 - Bagian Kedua Permodalan Pasal 12 (1) Modal disetor atau modal koperasi serta jumlah modal masing-masing pada Lembaga Penjamin ditetapkan sesuai dengan lingkup wilayah operasional. (2) Lingkup wilayah operasional Lembaga Penjamin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas wilayah nasional, provinsi, dan kabupaten/kota. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai modal disetor atau modal koperasi serta lingkup wilayah operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. BAB IV KEPEMILIKAN DAN KEPENGURUSAN Bagian Kesatu Kepemilikan Pasal 13 (1) Dalam hal pemegang saham berbentuk badan hukum Indonesia, jumlah penyertaan modal pada Lembaga Penjamin ditetapkan paling banyak sebesar: a. ekuitas badan hukum yang bersangkutan apabila tidak terdapat penyertaan lain; atau b. ekuitas badan hukum yang bersangkutan dikurangi jumlah penyertaan lain yang telah dilakukan apabila terdapat penyertaan lain. (2) Ekuitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan: a. penjumlahan dari modal disetor, cadangan, dan laba ditahan jika badan hukum pemilik berbentuk perseroan terbatas dan perusahaan umum; atau b. penjumlahan dari simpanan pokok, simpanan wajib, hibah, modal penyertaan, dana cadangan, dan sisa hasil usaha jika badan hukum pemilik berbentuk koperasi. (3) Pemilik . . . - 10 - (3) Pemilik Lembaga Penjamin wajib menjaga kecukupan modal Lembaga Penjamin sesuai dengan kebutuhan kapasitas penjaminan. Pasal 14 (1) Setiap Orang hanya dapat menjadi pemegang saham pengendali pada 1 (satu) Perusahaan Penjaminan, 1 (satu) Perusahaan Penjaminan Syariah, 1 (satu) Perusahaan Penjaminan Ulang, dan/atau 1 (satu) Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila pemegang saham pengendali adalah pemerintah dan/atau pemerintah daerah. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemegang saham pengendali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Bagian Kedua Kepengurusan Pasal 15 (1) Lembaga Penjamin wajib dikelola oleh direksi/pengurus dan komisaris/dewan pengawas/pengawas. (2) Ketentuan mengenai direksi/pengurus dan komisaris/dewan pengawas/pengawas Lembaga Penjamin diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 16 (1) Pemegang saham, komisaris/dewan pengawas/pengawas direksi/pengurus dan Lembaga Penjamin wajib memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh Otoritas Jasa Keuangan. (2) Ketentuan mengenai persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 17 . . . - 11 - Pasal 17 (1) Perusahaan Penjaminan Syariah, Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah, dan UUS wajib memiliki dewan pengawas syariah. (2) Dewan pengawas syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dalam rapat umum pemegang saham atau rapat anggota atas rekomendasi lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah. (3) Dewan pengawas syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib melaksanakan tugas pengawasan serta memberikan nasihat dan saran kepada direksi/pengurus agar kegiatan usahanya dilakukan sesuai dengan Prinsip Syariah. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai dewan pengawas syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. BAB V IZIN USAHA Bagian Kesatu Izin Usaha Penjaminan, Penjaminan Ulang, dan Unit Usaha Syariah Paragraf 1 Izin Usaha Penjaminan dan Penjaminan Ulang Pasal 18 (1) Setiap Orang yang melakukan usaha Penjaminan dan Penjaminan Ulang wajib terlebih dahulu mendapat izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan. (2) Untuk mendapatkan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dipenuhi persyaratan: a. akta pendirian badan hukum; b. anggaran dasar; c. susunan organisasi; d. data direksi/pengurus dan data komisaris/dewan pengawas/pengawas; e. data . . . - 12 - e. data pemegang saham atau anggota; f. sistem dan prosedur kerja usaha Penjaminan dan Penjaminan Ulang; g. keterangan mengenai tenaga ahli penjaminan; h. modal disetor; i. kelayakan rencana kerja; j. kesiapan infrastruktur; k. konfirmasi dari otoritas pengawas di negara asal pihak asing, jika terdapat penyertaan langsung pihak asing; dan l. syarat lain yang diperlukan untuk mendukung pertumbuhan usaha yang sehat. (3) Otoritas Jasa Keuangan menyetujui atau menolak permohonan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal permohonan diterima secara lengkap. (4) Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan menolak permohonan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penolakan harus dilakukan secara tertulis dengan disertai alasannya. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara perizinan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 19 (1) Perusahaan Penjaminan dan Perusahaan Penjaminan Ulang yang telah mendapat izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan wajib melakukan kegiatan usaha paling lambat 4 (empat) bulan terhitung sejak tanggal izin usaha ditetapkan. (2) Kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaporkan oleh direksi/pengurus Perusahaan Penjaminan dan Perusahaan Penjaminan Ulang kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 15 (lima belas) hari terhitung sejak tanggal kegiatan operasional dimulai. (3) Apabila . . . - 13 - (3) Apabila setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Perusahaan Penjaminan dan Perusahaan Penjaminan Ulang belum melakukan kegiatan usaha, Otoritas Jasa Keuangan mencabut izin usaha. Paragraf 2 Unit Usaha Syariah Pasal 20 (1) Perusahaan Penjaminan dapat melakukan sebagian kegiatan usaha Penjaminan berdasarkan Prinsip Syariah dengan membentuk UUS. (2) Perusahaan Penjaminan yang membentuk UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam anggaran dasarnya, wajib memuat maksud dan tujuan perusahaan untuk menjalankan sebagian kegiatan usaha Penjaminan Berdasarkan Prinsip Syariah. (3) Pembentukan UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib terlebih dahulu mendapat izin dari Otoritas Jasa Keuangan. (4) Persetujuan atau penolakan atas permohonan izin UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberikan paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap. (5) Penolakan atas permohonan izin UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan secara tertulis dan disertai alasannya. Pasal 21 (1) UUS yang telah mendapat izin dari Otoritas Jasa Keuangan wajib melakukan kegiatan usaha paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal izin dikeluarkan. (2) Kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaporkan oleh direksi/pengurus Perusahaan Penjaminan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 15 (lima belas) hari terhitung sejak tanggal kegiatan operasional dimulai. (3) Apabila . . . - 14 - (3) Apabila setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) UUS belum melakukan kegiatan usaha, Otoritas Jasa Keuangan mencabut izin UUS. Pasal 22 (1) Perusahaan Penjaminan dapat menghentikan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah dengan terlebih dahulu mengajukan permohonan pencabutan izin UUS kepada Otoritas Jasa Keuangan. (2) Ketentuan mengenai tata cara penghentian kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Bagian Kedua Izin Usaha Penjaminan Syariah dan Penjaminan Ulang Syariah Pasal 23 (1) Setiap Orang yang melakukan usaha Penjaminan Syariah dan usaha Penjaminan Ulang Syariah wajib terlebih dahulu mendapat izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan. (2) Untuk mendapatkan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dipenuhi persyaratan: a. akta pendirian badan hukum; b. anggaran dasar; c. susunan organisasi; d. data direksi/pengurus dan data komisaris/dewan pengawas/pengawas; e. data pemegang saham atau data anggota; f. dokumen persyaratan dewan pengawas syariah; g. sistem dan prosedur kerja usaha Penjaminan Syariah dan Penjaminan Ulang Syariah; h. keterangan mengenai tenaga ahli penjaminan syariah; i. modal disetor; j. kelayakan rencana kerja; k. kesiapan infrastruktur; l. konfirmasi . . . - 15 - l. konfirmasi dari otoritas pengawas di negara asal pihak asing jika terdapat penyertaan langsung pihak asing; dan m. syarat lain yang diperlukan untuk mendukung pertumbuhan usaha yang sehat. (3) Otoritas Jasa Keuangan menyetujui atau menolak permohonan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal permohonan diterima secara lengkap. (4) Penolakan atas permohonan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan secara tertulis dan disertai alasannya. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara perizinan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 24 (1) Perusahaan Penjaminan Syariah dan Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah yang telah mendapat izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan wajib melakukan kegiatan usaha paling lambat 4 (empat) bulan terhitung sejak tanggal izin usaha ditetapkan. (2) Kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaporkan oleh direksi/pengurus Penjaminan Syariah dan Penjaminan Ulang Syariah kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 15 (lima belas) hari terhitung sejak tanggal kegiatan operasional dimulai. (3) Apabila setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Perusahaan Penjaminan Syariah dan Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah belum melakukan kegiatan usaha, Otoritas Jasa Keuangan mencabut izin usaha. BAB VI KANTOR CABANG Pasal 25 (1) Lembaga Penjamin dapat membuka kantor cabang di wilayah negara Republik Indonesia sesuai dengan lingkup wilayah operasionalnya. (2) Untuk . . . - 16 - (2) Untuk dapat membuka kantor cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Lembaga Penjamin wajib terlebih dahulu mendapatkan izin dari Otoritas Jasa Keuangan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kantor cabang Lembaga Penjamin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. BAB VII TATA KELOLA, PENGAWASAN, DAN PELAPORAN Bagian Kesatu Tata Kelola Pasal 26 (1) Lembaga Penjamin dalam melaksanakan pengelolaan usahanya wajib menerapkan tata kelola perusahaan yang baik. (2) Lembaga Penjamin wajib menjaga kondisi kesehatan keuangannya. (3) Lembaga Penjamin dalam melaksanakan kegiatannya memanfaatkan teknologi informasi. (4) Ketentuan mengenai tata kelola, kondisi keuangan, dan pemanfaatan teknologi informasi Lembaga Penjamin sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Bagian Kedua Pengawasan Pasal 27 (1) Pengawasan Lembaga Penjamin, lembaga penunjang penjaminan, dan profesi penyedia jasa bagi Lembaga Penjamin dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan. (2) Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan berwenang untuk: a. mencabut izin usaha Lembaga Penjamin atau izin UUS; b. melakukan . . . - 17 - b. melakukan pemeriksaan terhadap Lembaga Penjamin, lembaga penunjang penjaminan, profesi penyedia jasa bagi Lembaga Penjamin, dan/atau pihak terafiliasi; c. melakukan penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap direksi/pengurus, komisaris/dewan pengawas/pengawas, dan dewan pengawas syariah; d. menonaktifkan direksi/pengurus, komisaris/dewan pengawas/pengawas, dan dewan pengawas syariah serta menetapkan pengelola statuter; e. memberi perintah tertulis kepada Lembaga Penjamin, lembaga penunjang penjaminan, profesi penyedia jasa bagi Lembaga Penjamin, dan/atau pihak terafiliasi untuk melaksanakan atau tidak melaksanakan hal tertentu sebagai tindak lanjut dari fungsi pengawasan; f. mengenakan sanksi kepada Lembaga Penjamin, pemegang saham, komisaris/dewan direksi/pengurus, pengawas/pengawas, dewan pengawas syariah, lembaga penunjang penjaminan, dan/atau profesi penyedia jasa bagi Lembaga Penjamin; g. mengeluarkan lembaga penunjang penjaminan dan profesi penyedia jasa bagi Lembaga Penjamin dari daftar di Otoritas Jasa Keuangan; dan h. melaksanakan kewenangan lain berdasarkan undang- undang. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai mekanisme pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Bagian Ketiga Pelaporan Pasal 28 (1) Lembaga Penjamin wajib menyampaikan laporan bulanan, laporan keuangan tahunan yang telah diaudit oleh akuntan publik, dan/atau laporan lain kepada Otoritas Jasa Keuangan. (2) Lembaga Penjamin wajib melaporkan setiap perubahan anggaran dasar kepada Otoritas Jasa Keuangan. (3) Ketentuan . . . - 18 - (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai laporan bulanan, laporan keuangan tahunan, dan/atau laporan lain serta laporan perubahan anggaran dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. BAB VIII PENGGABUNGAN, PELEBURAN, PENGAMBILALIHAN, PEMISAHAN, DAN KEPAILITAN Bagian Kesatu Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, dan Pemisahan Pasal 29 (1) Lembaga Penjamin dapat melakukan penggabungan atau peleburan dengan Lembaga Penjamin lainnya. (2) Lembaga Penjamin dapat melakukan pengambilalihan Lembaga Penjamin lainnya. (3) Lembaga Penjamin dapat melakukan pemisahan usaha. (4) Penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (5) Lembaga Penjamin yang menjalankan kegiatan penjaminan berdasarkan Prinsip Syariah hanya dapat melakukan penggabungan atau peleburan dengan Lembaga Penjamin yang juga berdasarkan Prinsip Syariah. (6) Lembaga Penjamin yang menjalankan kegiatan penjaminan berdasarkan Prinsip Syariah hanya dapat melakukan pengambilalihan Lembaga Penjamin yang juga berdasarkan Prinsip Syariah. (7) Badan hukum hasil pemisahan Lembaga Penjamin yang menjalankan kegiatan penjaminan berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan memilih untuk melakukan kegiatan penjaminan wajib tetap menjalankan kegiatan penjaminan berdasarkan Prinsip Syariah. (8) Lembaga . . . - 19 - (8) Lembaga Penjamin yang akan melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan wajib terlebih dahulu memperoleh persetujuan Otoritas Jasa Keuangan. (9) Ketentuan lebih lanjut mengenai penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan Lembaga Penjamin sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (5), ayat (6), dan ayat (7) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 30 Penggabungan, peleburan, pemisahan, dan pengambilalihan Lembaga Penjamin tidak mengurangi hak Penerima Jaminan dan kewajiban Terjamin. Bagian Kedua Kepailitan Pasal 31 (1) Permohonan pernyataan pailit terhadap Lembaga Penjamin berdasarkan Undang-Undang ini hanya dapat diajukan oleh Otoritas Jasa Keuangan, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang. (2) Tata cara dan persyaratan permohonan pernyataan pailit terhadap Lembaga Penjamin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. BAB IX PENCABUTAN IZIN USAHA Pasal 32 (1) Pencabutan izin usaha Lembaga Penjamin atau izin UUS dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan. (2) Pencabutan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam hal Lembaga Penjamin: a. bubar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan; b. dikenai sanksi administratif pencabutan izin usaha; c. tidak . . . - 20 - c. tidak lagi menjadi Lembaga Penjamin; d. bubar sebagai akibat melakukan penggabungan, peleburan, atau pemisahan; e. belum melakukan kegiatan usaha paling lambat 4 (empat) bulan setelah tanggal izin usaha ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dan Pasal 24 ayat (1); atau f. belum melakukan kegiatan usaha paling lambat 3 (tiga) bulan setelah tanggal izin UUS ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1). Pasal 33 Lembaga Penjamin bubar karena: a. keputusan rapat umum pemegang saham atau rapat anggota; b. jangka waktu berdirinya Lembaga Penjamin yang ditetapkan dalam anggaran dasar berakhir; c. putusan pengadilan; atau d. keputusan pemerintah. Pasal 34 Dalam hal Lembaga Penjamin bubar karena keputusan rapat umum pemegang saham atau rapat anggota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf a, likuidator atau kuasa rapat anggota harus melaporkan hasil rapat umum pemegang saham atau rapat anggota kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 15 (lima belas) hari setelah rapat umum pemegang saham atau rapat anggota dilaksanakan. Pasal 35 Dalam hal Lembaga Penjamin bubar karena jangka waktu berdirinya Lembaga Penjamin yang ditetapkan dalam anggaran dasar berakhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf b, likuidator atau penyelesai harus melaporkan pengakhiran Lembaga Penjamin kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 45 (empat puluh lima) hari setelah jangka waktu berdirinya Lembaga Penjamin yang ditetapkan dalam anggaran dasar berakhir. Pasal 36 . . . - 21 - Pasal 36 (1) Dalam hal Lembaga Penjamin bubar berdasarkan putusan pengadilan atau keputusan pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf c dan huruf d, likuidator atau penyelesai harus melaporkan pembubaran tersebut kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 15 (lima belas) hari sejak putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap atau sejak keputusan pemerintah diterima. (2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilampiri: a. putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap; atau b. keputusan pemerintah. Pasal 37 (1) Dalam hal Lembaga Penjamin dipailitkan atau dilikuidasi, cadangan klaim dan cadangan umum harus digunakan terlebih dahulu untuk memenuhi kewajiban kepada Penerima Jaminan. (2) Dalam hal terdapat kelebihan cadangan klaim dan cadangan umum setelah pemenuhan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kelebihan cadangan klaim dan cadangan umum tersebut dapat digunakan untuk memenuhi kewajiban kepada pihak ketiga selain Penerima Jaminan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. BAB X PENYELENGGARAAN PENJAMINAN Bagian Kesatu Mekanisme Penjaminan dan Penjaminan Syariah Pasal 38 (1) Kegiatan Penjaminan dan Penjaminan Syariah melibatkan 3 (tiga) pihak, yaitu Penerima Jaminan, Terjamin, dan Penjamin. (2) Penjamin . . . - 22 - (2) Penjamin memiliki hak tagih atas pemenuhan kewajiban finansial Terjamin apabila Penjamin telah menunaikan kewajibannya untuk memenuhi hak finansial Penerima Jaminan jika Terjamin gagal memenuhi kewajibannya. (3) Kegiatan Penjaminan dan Penjaminan Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dituangkan dalam Sertifikat Penjaminan atau Sertifikat Kafalah. (4) Ketentuan mengenai Sertifikat Penjaminan atau Sertifikat Kafalah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 39 (1) Penjaminan dan Penjaminan Syariah dilakukan dengan cara: a. penjaminan langsung; atau b. penjaminan tidak langsung. (2) Ketentuan mengenai penjaminan langsung dan penjaminan tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 40 (1) Penjaminan dan Penjaminan Syariah dapat dilakukan dalam bentuk penjaminan bersama. (2) Ketentuan mengenai penjaminan bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 41 (1) Perjanjian Penjaminan Syariah menggunakan akad penjaminan yang sesuai dengan Prinsip Syariah. (2) Ketentuan mengenai akad penjaminan yang sesuai dengan Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Bagian . . . - 23 - Bagian Kedua Penjaminan Ulang dan Penjaminan Ulang Syariah Pasal 42 (1) Perusahaan Penjaminan dan Perusahaan Penjaminan Syariah wajib melakukan mitigasi risiko dengan menjaminulangkan penjaminannya. (2) Penjaminan ulang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk memenuhi kewajiban finansial Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Syariah dalam hal: a. Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Syariah telah memenuhi kewajibannya kepada Penerima Jaminan; atau b. Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Syariah tidak dapat memenuhi kewajibannya. (3) Penjaminan ulang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Perusahaan Penjaminan Ulang atau Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah. (4) Dalam hal dukungan penjaminan ulang dari Perusahaan Penjaminan Ulang atau Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak diperoleh, mitigasi risiko Perusahaan Penjamin dan Perusahaan Penjamin Syariah diperoleh dari perusahaan reasuransi. Bagian Ketiga Imbal Jasa Pasal 43 (1) Dalam melaksanakan kegiatan usahanya, Perusahaan Penjaminan menerima IJP. (2) Dalam melaksanakan kegiatan usahanya, Perusahaan Penjaminan Syariah dan UUS menerima IJK. (3) Dalam melaksanakan kegiatan usahanya, Perusahaan Penjaminan Ulang menerima IJPU. (4) Dalam melaksanakan kegiatan usahanya, Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah menerima IJKU. (5) Ketentuan . . . - 24 - (5) Ketentuan mengenai IJP atau IJK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) bagi Penjaminan dan Penjaminan Syariah yang merupakan program pemerintah diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri. (6) Ketentuan mengenai IJP, IJK, IJPU, dan IJKU sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Bagian Keempat Klaim, Pembayaran Klaim, dan Peralihan Hak Tagih Pasal 44 Lembaga Penjamin wajib memiliki cadangan klaim dan cadangan umum. Pasal 45 Pengajuan klaim oleh Penerima Jaminan kepada Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Syariah dapat dilakukan apabila Terjamin gagal memenuhi kewajiban finansial. Pasal 46 (1) Lembaga Penjamin dilarang melakukan tindakan yang dapat memperlambat penyelesaian atau pembayaran klaim atau tidak melakukan tindakan yang seharusnya dilakukan yang dapat mengakibatkan kelambatan penyelesaian atau kelambatan pembayaran klaim. (2) Lembaga Penjamin wajib menyelesaikan pengajuan klaim dari Penerima Jaminan yang telah memenuhi persyaratan dokumentasi dan penjaminannya sesuai dengan tata cara pengajuan dan penyelesaian klaim. Pasal 47 . . . - 25 - Pasal 47 (1) Sejak klaim dibayar oleh Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Syariah, hak tagih Penerima Jaminan kepada Terjamin beralih menjadi hak tagih Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Syariah. (2) Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Syariah dapat membuat perjanjian dengan Penerima Jaminan agar Penerima Jaminan melakukan upaya penagihan atas hak tagih Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk dan atas nama Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Syariah. Pasal 48 Ketentuan lebih lanjut mengenai cadangan klaim dan cadangan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44, pengajuan klaim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45, pembayaran klaim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46, dan peralihan hak tagih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Bagian Kelima Retensi Sendiri Pasal 49 (1) Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Syariah wajib memiliki retensi sendiri untuk setiap penjaminan. (2) Ketentuan mengenai retensi sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Bagian . . . - 26 - Bagian Keenam Kapasitas Penjaminan Pasal 50 (1) Lembaga Penjamin wajib mengoptimalkan kapasitas penjaminan. (2) Kapasitas penjaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diukur dengan gearing ratio atau metode lain yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan. (3) Ketentuan mengenai kapasitas penjaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. BAB XI ASOSIASI LEMBAGA PENJAMIN, LEMBAGA PENUNJANG PENJAMINAN, DAN PROFESI PENYEDIA JASA BAGI LEMBAGA PENJAMIN Bagian Kesatu Asosiasi Lembaga Penjamin Pasal 51 (1) Lembaga Penjamin wajib menjadi anggota asosiasi Lembaga Penjamin. (2) Asosiasi Lembaga Penjamin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendapat persetujuan tertulis dari Otoritas Jasa Keuangan. Bagian Kedua Lembaga Penunjang Penjaminan Pasal 52 (1) Dalam melakukan kegiatan usahanya, Lembaga Penjamin dapat menggunakan jasa penjaminan. lembaga penunjang (2) Lembaga penunjang penjaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. pemeringkat usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi; b. agen . . . - 27 - b. agen penjamin; c. broker; dan d. lembaga penunjang penjaminan lain yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan. (3) Lembaga penunjang penjaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib terdaftar terlebih dahulu di Otoritas Jasa Keuangan. (4) Lembaga Penjamin wajib menggunakan lembaga penunjang penjaminan yang telah terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan. (5) Agen penjamin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dilarang menggelapkan IJP, IJK, IJPU, dan/atau IJKU. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai lembaga penunjang penjaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Bagian Ketiga Profesi Penyedia Jasa Bagi Lembaga Penjamin Pasal 53 (1) Profesi penyedia jasa bagi Lembaga Penjamin terdiri atas: a. aktuaris; b. akuntan publik; c. penilai publik; dan d. profesi lain yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan. (2) Untuk dapat menyediakan jasa bagi Lembaga Penjamin, profesi penyedia jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib terdaftar terlebih dahulu di Otoritas Jasa Keuangan. (3) Lembaga Penjamin wajib menggunakan profesi penyedia jasa penjaminan yang telah terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pendaftaran profesi penyedia jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. BAB XII . . . - 28 - BAB XII PENYELESAIAN SENGKETA Pasal 54 (1) Penyelesaian sengketa yang terjadi dalam kegiatan penjaminan dilakukan melalui musyawarah untuk mufakat. (2) Dalam hal penyelesaian sengketa melalui musyawarah untuk mufakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai, penyelesaian sengketa dapat dilakukan melalui lembaga alternatif penyelesaian sengketa di sektor jasa keuangan atau melalui pengadilan. (3) Dalam hal penyelesaian sengketa melalui musyawarah untuk mufakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan dalam hal penyelesaian sengketa melalui lembaga alternatif penyelesaian sengketa di sektor jasa keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah mencapai kesepakatan, kesepakatan tersebut bersifat final dan mengikat. Pasal 55 (1) Lembaga Penjamin wajib menjadi anggota lembaga alternatif penyelesaian sengketa penjaminan. (2) Lembaga alternatif penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat independen dan imparsial. (3) Lembaga alternatif penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendapat persetujuan tertulis dari Otoritas Jasa Keuangan. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai lembaga alternatif penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. BAB XIII . . . - 29 - BAB XIII SANKSI ADMINISTRATIF Pasal 56 (1) Setiap Lembaga Penjamin yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 9 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 10, Pasal 11, Pasal 13 ayat (3), Pasal 14 ayat (1), Pasal 15 ayat (1), Pasal 16 ayat (1), Pasal 17 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 19 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 20 ayat (2), Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 25 ayat (2), Pasal 26 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 29 ayat (5), ayat (6), ayat (7), dan ayat (8), Pasal 42 ayat (1), Pasal 44, Pasal 49 ayat (1), Pasal 50 ayat (1), Pasal 51 ayat (1), Pasal 52 ayat (4), Pasal 53 ayat (3), dan Pasal 55 ayat (1) dikenai sanksi administratif. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa: a. peringatan tertulis; b. denda administratif; c. pembekuan kegiatan usaha; atau d. pencabutan izin usaha. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. BAB XIV KETENTUAN PIDANA Pasal 57 Setiap Orang yang menjalankan Penjaminan, Penjaminan Syariah, Penjaminan Ulang, dan Penjaminan Ulang Syariah tanpa izin usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) dan Pasal 23 ayat (1) serta UUS tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah). Pasal 58 . . . - 30 - Pasal 58 Direksi/pengurus Lembaga Penjamin yang dengan sengaja memberikan laporan, informasi, data, dan/atau dokumen kepada Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) secara tidak benar, palsu, dan/atau menyesatkan dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). Pasal 59 Agen penjamin yang menggelapkan IJP, IJK, IJPU, dan/atau IJKU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (5) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah). BAB XV KETENTUAN PERALIHAN Pasal 60 (1) Lembaga Penjamin yang telah mendapatkan izin usaha Penjaminan atau Penjaminan Syariah, sebelum berlakunya Undang-Undang ini, dinyatakan tetap berlaku. (2) Lembaga Penjamin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyesuaikan dengan ketentuan Undang-Undang ini paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang- Undang ini berlaku. Pasal 61 (1) Setiap Orang di luar Lembaga Penjamin yang telah melakukan kegiatan penjaminan sebelum berlakunya Undang-Undang ini wajib menyesuaikan dengan Undang- Undang ini dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) tahun sejak berlakunya Undang-Undang ini. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap kegiatan penjaminan yang dijalankan berdasarkan undang-undang tersendiri. Pasal 62 . . . - 31 - Pasal 62 (1) Dalam hal Perusahaan Penjaminan memiliki UUS yang nilai asetnya telah mencapai paling sedikit 50% (lima puluh per seratus) dari total nilai aset perusahaan induknya atau 15 (lima belas) tahun sejak berlakunya Undang-Undang ini, Perusahaan Penjaminan tersebut wajib melakukan pemisahan UUS tersebut menjadi Perusahaan Penjaminan Syariah. (2) Ketentuan mengenai pemisahan UUS dan sanksi bagi Perusahaan Penjaminan yang tidak melakukan pemisahan UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. BAB XVI KETENTUAN PENUTUP Pasal 63 Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan mengenai penjaminan dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini. Pasal 64 Peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan. Pasal 65 Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar . . . - 32 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta pada tanggal 15 Januari 2016 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd JOKO WIDODO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 19 Januari 2016 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 9 PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PENJAMINAN I. UMUM Pasal 33 Ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Demokrasi ekonomi sebagaimana dimaksud dalam konstitusi merupakan alat untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat yang memerlukan dukungan dari berbagai pihak dan kalangan. Dalam demokrasi ekonomi, semua pelaku usaha mendapatkan posisi dan peluang yang sama untuk menggerakkan roda perekonomian, dengan tetap mengutamakan kebersamaan sebagai salah satu ciri ekonomi yang dicita-citakan oleh pendiri bangsa. Salah satu pelaku usaha yang memainkan peranan cukup penting dalam menggerakkan perekonomian nasional yang sesuai dengan paham demokrasi ekonomi adalah pelaku usaha pada sektor usaha mikro, kecil, dan menengah serta koperasi (UMKMK). UMKMK ini mempunyai peranan strategis dalam menggerakkan perekonomian negara jika dilihat dari serapan tenaga kerja, daya tahan terhadap guncangan ekonomi global, dan daya jangkau dalam menggerakkan perekonomian nasional. Namun, pada kenyataanya UMKMK menghadapi kendala, baik yang bersifat internal maupun eksternal. Kendala internal, antara lain, terkait dengan keterbatasan modal, tidak mempunyai laporan keuangan yang baik, dan manajemen bersifat kekeluargaan. Adapun kendala eksternal, antara lain, berupa kesulitan mendapatkan permodalan, teknologi, bahan baku, informasi dan pemasaran, infrastruktur, dan kemitraan. Terkait dengan permodalan, kendala yang dihadapi UMKMK meliputi: ketersediaan lembaga pembiayaan (availability), akses terhadap lembaga pembiayaan (accesibility), dan kemampuan mengakses lembaga pembiayaan (ability). Keterbatasan UMKMK dalam mengakses sumber pembiayaan disebabkan oleh ketidakmampuan dalam menyediakan agunan dan ketiadaan administrasi yang baik terkait dengan kegiatan usahanya sehingga dinilai tidak bankable. Terhadap . . . - 2 - Terhadap kesulitan pelaku UMKMK untuk mendapatkan kredit atau pembiayaan tanpa memberikan agunan, Pemerintah telah mengenalkan skema penjaminan kredit pada tahun 1970 dengan membentuk Lembaga Jaminan Kredit Koperasi (LJKK) oleh Kementerian Transmigrasi dan Koperasi dengan tugas menjamin kredit program yang disalurkan bank (BRI) kepada koperasi. Untuk lebih mengoptimalkan fungsi dan peran lembaga penjaminan kredit, pada tahun 1996 pemerintah menerbitkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 486/KMK.017/1996 tentang Perusahaan Penjaminan. Hal itu menandai dimulainya industri penjaminan kredit yang tidak hanya dilakukan oleh Perum Penjaminan Kredit Koperasi (d.h. LJKK), tetapi juga PT Penjaminan Kredit Pengusaha Indonesia (PT PKPI). Dalam perkembangannya kapasitas kedua lembaga penjaminan tersebut masih belum mampu memenuhi kebutuhan penjaminan kredit bagi UMKMK. Pada tahun 2008 pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2008 tentang Lembaga Penjaminan yang diikuti dengan lahirnya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 222/PMK.010/2008 tentang Perusahaan Penjaminan Kredit dan Perusahaan Penjaminan Ulang Kredit yang kemudian diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 99/PMK.010/2011 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 222/PMK.010/2008 tentang Perusahaan Penjaminan Kredit dan Perusahaan Penjaminan Ulang Kredit. Sejak diterbitkannya peraturan presiden dan peraturan menteri keuangan tersebut, mulai berdiri Lembaga Penjaminan Kredit Daerah (LPKD) dan terus berkembang sampai dengan sekarang. Dalam perkembangannya skema penjaminan juga tidak hanya berkembang pada penyaluran kredit atau pembiayaan, tetapi banyak kegiatan usaha yang juga menggunakan skema penjaminan, seperti penjaminan cukai, penjaminan kepabeanan (customs bond), penjaminan atas surat utang, penjaminan bank garansi, penjaminan pembelian barang secara angsuran, dan penjaminan pengadaan barang dan jasa (surety bond), serta lahirnya skema penjaminan berdasarkan prinsip syariah, khususnya terkait dengan pembiayaan syariah. Selain subjek dan objek penjaminan yang berkembang pesat, lahirnya UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan mengamanatkan peralihan kewenangan pengawasan terhadap lembaga penjaminan dari Menteri Keuangan kepada Otoritas Jasa Keuangan dan pengaturan mengenai Lembaga Penjaminan mengacu pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK). Atas dasar uraian di atas, dalam rangka memperkuat dasar hukum atas peraturan tentang penjaminan yang komprehensif sehingga menjadi rujukan dalam menyelenggarakan penjaminan, diperlukan payung hukum dalam bentuk Undang-Undang. Undang . . . - 3 - Undang-Undang ini mengatur berbagai hal yang terkait dengan lembaga penjamin, usaha penjaminan, mekanisme penjaminan, usaha pendukung dari penjaminan, profesi penyedia jasa penjaminan, dan asosiasi penjaminan serta ketentuan sanksi administratif dan sanksi pidana bagi setiap orang yang melanggar terhadap ketentuan yang terdapat di dalam Undang-Undang ini. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Huruf a Yang dimaksud dengan “kepentingan nasional” adalah asas yang menentukan bahwa keberpihakan kepada pelaku ekonomi, khususnya usaha mikro, kecil, dan menengah serta koperasi dengan mengutamakan kepentingan nasional Indonesia. Huruf b Yang dimaksud dengan “kepastian hukum” adalah asas yang meletakkan hukum dan ketentuan perundang-undangan sebagai dasar dalam setiap kebijakan dan tindakan dalam penjaminan. Huruf c Yang dimaksud dengan “keterbukaan” adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan penjaminan, dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi dan golongan, serta rahasia negara, termasuk rahasia sebagaimana ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Huruf d Yang dimaksud dengan “akuntabilitas” adalah asas yang menjamin bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari penyelenggaraan penjaminan dapat dipertanggungjawabkan. Huruf e Yang dimaksud dengan “profesionalisme” adalah asas yang menjamin bahwa pelaksanaan penjaminan dilakukan berdasarkan keahlian, pengalaman, dan integritas. Huruf f Yang dimaksud dengan “efisiensi berkeadilan” adalah asas yang menjamin pelaksanaan penjaminan dilakukan secara efisien untuk mewujudkan iklim usaha yang adil, kondusif, dan berdaya saing. Huruf g . . . - 4 - Huruf g Yang dimaksud dengan “edukasi” adalah asas yang memberikan penambahan pengetahuan dan kemampuan seseorang melalui teknik praktik belajar atau instruksi dengan tujuan untuk mengingat fakta atau kondisi nyata dengan cara memberikan pendorongan terhadap pengarahan diri dan aktif memberikan informasi-informasi atau ide baru. Huruf h Yang dimaksud dengan “pelindungan konsumen” adalah asas yang menciptakan sistem pelindungan dan menumbuhkan kesadaran pelaku usaha penjaminan sehingga mampu meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap sektor jasa keuangan. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan “Penjaminan Kredit, Pembiayaan, atau Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah” adalah Penjaminan Kredit, Pembiayaan, atau Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah bagi usaha perseorangan atau badan usaha. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan “penjaminan atas surat utang” adalah penjaminan atas ketidakmampuan usaha mikro, kecil, dan menengah dalam memenuhi kewajiban finansial atas surat utang yang diterbitkan (default). Huruf b Pembelian barang secara angsuran merupakan pembelian barang atau komoditas yang akan digunakan untuk tujuan kegiatan usaha produktif, seperti pembelian pupuk atau semen. Huruf c Penjaminan transaksi dagang tidak termasuk penjaminan atas penyelesaian transaksi bidang perdagangan berjangka/pasar berjangka komoditi dan pasar lelang komoditas. Huruf d . . . - 5 - Huruf d Cukup jelas. Huruf e Penjaminan bank garansi (kontra bank garansi) merupakan penjaminan yang diperlukan untuk mendapatkan bank garansi. Huruf f Penjaminan surat kredit berdokumen dalam negeri merupakan penjaminan yang diperlukan untuk mendapatkan surat kredit berdokumen dalam negeri. Huruf g Penjaminan letter of credit merupakan penjaminan yang diperlukan untuk mendapatkan letter of credit. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Cukup jelas. Huruf k Cukup jelas. Ayat (3) Kegiatan usaha yang berdasarkan Prinsip Syariah adalah kegiatan usaha yang tidak mengandung unsur, antara lain: a. riba yaitu penambahan pendapatan secara tidak sah (batil) antara lain dalam transaksi pertukaran barang sejenis yang tidak sama kualitas, kuantitas, dan waktu penyerahan (fadhl), atau dalam transaksi pinjam meminjam yang mempersyaratkan nasabah penerima fasilitas mengembalikan dana yang diterima melebihi pokok pinjaman karena berjalannya waktu (nasi’ah); b. maisir yaitu transaksi yang digantungkan kepada suatu keadaan yang tidak pasti dan bersifat untung-untungan; c. gharar yaitu transaksi yang objeknya tidak jelas, tidak dimiliki, tidak diketahui keberadaannya, atau tidak dapat diserahkan pada saat transaksi dilakukan kecuali diatur lain dalam syariah; d. haram yaitu transaksi yang objeknya dilarang dalam syariah; atau e. zalim yaitu transaksi yang menimbulkan ketidakadilan bagi pihak lainnya. Ayat (4) . . . - 6 - Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Program pemerintah adalah program yang dimiliki pemerintah dengan menggunakan mekanisme penjaminan tertentu. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Ayat (1) Investasi dalam pengelolaan dana yang dimiliki dapat dilakukan dengan menempatkan dana pada deposito dan/atau instrumen investasi keuangan lainnya serta wajib mengikuti Prinsip Syariah bagi yang menjalankan kegiatan Penjaminan Syariah dan Penjaminan Ulang Syariah. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Ayat (1) Modal koperasi adalah sebagaimana diatur dalam undang-undang yang mengatur tentang perkoperasian. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 13 . . . - 7 - Pasal 13 Ayat (1) Yang dimaksud dengan ""ekuitas"" adalah hak pemilik atas aktiva perusahaan yang merupakan kekayaan bersih (jumlah aktiva dikurangi kewajiban). Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 14 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Pengecualian dalam ketentuan ini dimaksudkan agar negara dapat memiliki dan/atau mengendalikan lebih dari satu perusahaan dengan usaha sejenis dalam rangka menyediakan jasa penjaminan bagi kelompok masyarakat tertentu atau daerah tertentu, menjadi perintis kegiatan usaha penjaminan yang belum dapat dilaksanakan oleh pihak swasta, atau menyelenggarakan kemanfaatan umum lain yang strategis bagi masyarakat. Ayat (3) Hal yang akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan antara lain berupa besar kepemilikan saham dan tata cara konsolidasi perusahaan. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Hal-hal mengenai persyaratan pemegang saham, direksi/pengurus dan komisaris/dewan pengawas/pengawas Lembaga Penjamin yang perlu diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan antara lain berupa: 1. ketentuan setoran modal dan latar belakang dari pemegang saham; 2. latar belakang, kecakapan, dan pengalaman direksi/pengurus dan komisaris/dewan pengawas/pengawas Lembaga Penjamin; 3. pelarangan jabatan rangkap; dan 4. uji . . . - 8 - 4. uji kelayakan dan kepatutan bagi calon direksi/pengurus dan komisaris/dewan pengawas/pengawas Lembaga Penjamin. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Waktu 30 (tiga puluh) hari kerja mencakup waktu untuk mengklarifikasi data atau informasi dalam dokumen yang dipersyaratkan untuk mendapatkan izin usaha. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Waktu 30 (tiga puluh) hari kerja mencakup waktu untuk mengklarifikasi data atau informasi dalam dokumen yang dipersyaratkan untuk mendapatkan izin. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 . . . - 9 - Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Waktu 30 (tiga puluh) hari kerja mencakup waktu untuk mengklarifikasi data atau informasi dalam dokumen yang dipersyaratkan untuk mendapatkan izin usaha. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “tata kelola perusahaan yang baik” adalah seperangkat proses yang diberlakukan dalam perusahaan untuk menentukan keputusan dan pengelolaan perusahaan dengan menggunakan prinsip antara lain transparansi, akuntabilitas, tanggung jawab, independensi, dan keadilan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 27 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) . . . - 10 - Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Yang dimaksud dengan “daftar” adalah daftar lembaga penunjang penjaminan dan daftar profesi penyedia jasa bagi Lembaga Penjamin. Huruf h Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 28 Ayat (1) Sebagai contoh laporan lain adalah laporan yang memuat hal-hal yang dapat mengakibatkan timbulnya permasalahan likuiditas dan/atau solvabilitas yang berpotensi membahayakan kelangsungan usaha perusahaan, antara lain: 1. besarnya jumlah potensi klaim; dan 2. pengaruh klaim terhadap likuiditas, dan/atau solvabilitas perusahaan. Ayat (2) Perubahan anggaran dasar yang dilaporkan, antara lain, berupa perubahan pemegang saham, direksi/pengurus, komisaris/pengawas/dewan pengawas, dan dewan pengawas syariah, perubahan modal, perubahan nama, serta perubahan bentuk badan hukum. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 29 . . . - 11 - Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 Cukup jelas. Pasal 32 Cukup jelas. Pasal 33 Cukup jelas. Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Cukup jelas. Pasal 36 Cukup jelas. Pasal 37 Cukup jelas. Pasal 38 Cukup jelas. Pasal 39 Ayat (1) Huruf a Penjaminan langsung merupakan penjaminan yang diberikan kepada Terjamin oleh Penjamin tanpa terlebih dahulu melalui Penerima Jaminan. Huruf b Penjaminan tidak langsung merupakan penjaminan yang diberikan kepada Terjamin oleh Penjamin dengan terlebih dahulu melalui atau atas permintaan Penerima Jaminan. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 40 . . . - 12 - Pasal 40 Ayat (1) Penjaminan bersama (co-guarantee) adalah kegiatan penjaminan yang dilaksanakan bersama oleh lebih dari satu Lembaga Penjamin. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 41 Cukup jelas. Pasal 42 Cukup jelas. Pasal 43 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Yang termasuk program pemerintah yang dimaksud dalam ketentuan ini dapat berupa program penjaminan kredit usaha untuk rakyat. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 44 Cadangan klaim adalah cadangan yang disisihkan oleh Lembaga Penjamin dari nilai penjaminan yang ditanggung sendiri (retensi sendiri). Cadangan umum adalah cadangan yang disisihkan oleh Lembaga Penjamin dari laba bersih atau selisih hasil usaha pada tiap akhir periode laporan tahunan. Pasal 45 Cukup jelas. Pasal 46 Cukup jelas. Pasal 47 . . . - 13 - Pasal 47 Cukup jelas. Pasal 48 Cukup jelas. Pasal 49 Ayat (1) Yang dimaksud dengan ""retensi sendiri"" adalah bagian dari jumlah uang penjaminan untuk setiap risiko yang menjadi tanggungan sendiri Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Syariah. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 50 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “gearing ratio” adalah perbandingan antara total nilai penjaminan yang ditanggung sendiri dengan ekuitas Lembaga Penjamin pada waktu tertentu. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 51 Ayat (1) Asosiasi Lembaga Penjamin merupakan kumpulan Lembaga Penjamin yang bertujuan meningkatkan peran Lembaga Penjamin dalam memajukan perekonomian nasional. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 52 Cukup jelas. Pasal 53 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c . . . - 14 - Huruf c Yang dimaksud dengan “penilai publik” adalah seseorang yang memiliki kompetensi dalam melakukan kegiatan penilaian, yang sekurang-kurangnya telah lulus pendidikan awal penilaian dan telah memperoleh izin dari Menteri Keuangan. Huruf d Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 54 Cukup jelas. Pasal 55 Cukup jelas. Pasal 56 Cukup jelas. Pasal 57 Cukup jelas. Pasal 58 Cukup jelas. Pasal 59 Cukup jelas. Pasal 60 Cukup jelas. Pasal 61 Ayat (1) Kegiatan penjaminan berdasarkan Undang-Undang ini melibatkan 3 (tiga) pihak, memungut imbal jasa penjaminan, terdapat sertifikat penjaminan, adanya klaim dan pembayaran klaim, serta pengalihan hak tagih. Oleh karena itu, penjaminan yang dilakukan tidak berdasarkan pada prinsip tersebut, tidak masuk dalam kategori penjaminan yang dimaksud dalam Undang-Undang ini. Ayat (2) . . . - 15 - Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 62 Cukup jelas. Pasal 63 Cukup jelas. Pasal 64 Cukup jelas. Pasal 65 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5835 "," 1/UU/2016 PENJAMINAN 15 Januari 2016 19 Januari 2016 19 Januari 2016 'UUD 1945 | Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 33 ayat (4)' 'BAB XIII', 'BAB XIV' "